SATU
ANGIN malam yang berhembus keras, begitu dingin menggigilkan tulang di sekujur tubuh. Bulan penuh tampak di langit. Sinarnya yang cukup terang berwarna kuning keperakan, memancar ke bumi. Suasana malam ini demikian hening dan sepi. Bahkan tak nampak ada binatang yang bergerak barang seekor pun.
Dalam suasana malam seperti ini, rasanya orang akan lebih suka tinggal di dalam rumah, berkawan selimut dan pembaringan. Namun tidak demikian dengan dua orang yang masing-masing berpakaian serba abu-abu dan merah. Dalam suasana seperti ini, ternyata mereka masih berada di luar rumah, di atas punggung kuda masing-masing.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Mereka terus memacu kudanya tergesa-gesa, melewati jalan tanah berdebu. Berkali-kali pecut mereka dihantamkan ke bagian belakang binatang tunggangan masingmasing. Yang berpakaian serba abu-abu ternyata laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Matanya sipit, sehingga seperti sebuah garis saja layaknya.
Sementara orang yang berpakaian serba merah, adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya yang cantik dan manis, semakin bertambah manis dengan dandanan rambutnya yang dikuncir kebelakang. Apalagi sinar rembulan yang berwarna kuning keemasan memperjelas keadaan wajahnya. Sehingga, membuat kecantikannya semakin menonjol.
"Apakah mereka tidak akan mengejar kita, Paman Kusuma?" tanya gadis cantik itu.
Kepalanya ditolehkan ke arah laki-laki berpakaian serba abu-abu, seraya tetap menghentakkan pecutnya ke bagian belakang kudanya agar binatang itu mampu beriari semakin cepat.
"Mereka pasti akan mengejar kita, Rara Inggar," sahut laki-laki bermata sipit yang dipanggil Paman Kusuma seraya tetap memacu kudanya. Raut wajahnya menyiratkan kecemasan yang amat sangat. Jelas, ada sesuatu yang ditakutinya. Belum juga ucapan Kusuma lenyap, terdengar gemuruh langkah kaki kuda di belakang mereka.
"Kau benar, Paman..!" seru gadis yang ternyata bernama Rara Inggar keras.
"Hiyaaa...! Hiyaaa...!"
Memang, di belakang mereka dalam jarak sekitar sepuluh tombak, nampak serombongan orang berkuda. Rata-rata, mereka mengenakan pakaian serba hitam yang pada bagian dadanya terdapat gambar kepala seekor macan putih.
"Itu mereka...!" teriak salah seorang dari rombongan yang berkuda paling depan seraya menudingkan telunjuknya ke arah Kusuma dan Rara Inggar. Dia adalah seorang laki-laki berwajah bopeng. "Cepat susul mereka sebelum memasuki desa di depan!" Perintah laki-laki berwajah bopeng itu membuat anak buahnya berusaha menyusul sekuat tenaga.
Maka dengan sendirinya, pecut mereka pun menghantam bertubi-tubi ke bagian belakang tubuh binatang tunggangan masingmasing. Akibatnya, kuda-kuda yang merasa kesakitan itu terpaksa berlari lebih cepat. Maka di malam yang sepi dan hening itu terjadi kejar-kejaran yang menegangkan. Derap kaki kuda yang bertubi-tubi menghantam bumi, memecahkan keheningan malam yang sepi.
Kusuma dan Rara Inggar berusaha memacu kuda secepat mungkin. Pecut dan mulut mereka tak hentihentinya bekerja dan berteriak dalam upaya mempercepat laju kuda. Tapi hal yang sama juga dilakukan para pengejar berpakaian hitam di bawah pimpinan laki-laki berwajah bopeng. Masing-masing pihak berusaha sekuat tenaga mengungguli lawan. Dan memang, hasilnya ditentukan kuda tunggangan mereka.
Namun ternyata, kuda orang-orang berpakaian hitam itu begitu kuat dan memiliki kemampuan lari yang cepat. Dan kini, sedikit demi sedikit jarak di antara mereka semakin bertambah dekat. Maka sudah bisa diperkirakan hasilnya. Tapi, rupanya laki-laki berwajah bopeng itu tidak sabar lagi menunggu. Tangan kanannya segera dimasukkan ke balik baju, sehingga tali kekang kuda itu kini hanya dipegang tangan kiri. Hanya sabentar saja tangannya masuk ke balik baju, dan begitu keluar langsung bergerak mengibas.
Sing, sing, sing...!
Suara mendesing nyaring terdengar seiring kibasan tangan laki-laki berwajah bopeng. Bukan itu saja. Dan kini beberapa benda berkilatan pun menyambar cepat ke arah sasarannya. Namun Kusuma dan Rara Inggar bukan orang bodoh. Meskipun tidak mendengar, tapi dari suara desing tajam langsung bisa diketahui kalau lawan telah mengirimkan serangan.
Cappp...! Satu dari sekian banyak pisau yang dilepaskan laki-laki berwajah bopeng itu ternyata mengenai kaki kuda Kusuma. Seketika terdengar ringkikan diiringi tersungkurnya kuda ke tanah bersama tubuh laki-laki bermata sipit itu.
"Paman...!" jerit Rara inggar kaget.
"Jangan pedulikan aku, Inggar! Cepat lari!" seruan kecemasan Kusuma telah memaksa Rara Inggar memacu kudanya kembali. Tubuh laki-laki berpakaian abu-abu itu jatuh ditanah. Dan sebelum bangkit berdiri, tangan kanannya bergerak mengibas. Dan...
Sing, sing, sing...!
Sinar-sinar terang berkilauan seketika meluncur cepat ke arah gerombolan orang-orang berseragam hitam itu.
“Keparat...!" Laki-laki berwajah bopeng itu berteriak memaki melihat serangan benda-benda berkilauan yang tak lain dari beberapa bilah pisau. Mau tidak mau, hal itu membuat dia dan rombongannya memperlambat langkah kuda untuk menghadapi serangan.
Beberapa di antara mereka segera mencabut senjata masing-masing untuk menangkis serangan. Maka suara berdentang nyaring kontan terdengar ketika senjatasenjata itu beradu. Lain lagi yang dilakukan laki-laki berwajah bopeng itu. Serangan pisau itu dihadapinya dengan mengelak. Tubuhnya dirapatkan dengan punggung kuda, sambil tetap memacu kuda.
Tampaknya serangan pisau itu menuju ke arah dada. Maka, serangan itu pun tewat sejengkal di atas kepala. Hanya itu yang sempat dilihat Rara Inggar. Karena, pecutnya langsung dilayangkan ke arah bagian belakang tubuh binatang tunggangannya.
Sesak rasanya dada gadis berpakaian merah itu oleh keharuan menggelegak. Sepasang matanya pun merembang berkaca-kaca. Ada sedu sedan yang naik ke kerongkongannya, sehingga membuat suaranya jadi bercampur isak.
"Selamat tinggal, Paman...'" ucap Rara Inggar.
"Selamat jalan Inggar...!" balas laki-laki bermata sipit itu. Dan saat itulah kuda tunggangan laki-laki berwajah bopeng meluncur tiba!
Hal ini membuat Kusuma kaget bukan kepalang. Dengan sebisa-bisanya dia melompat ke samping kanan untuk menghindari tabrakan kuda itu. Usaha yang dilakukan Kusuma memang berhasil. Tapi, kaki lawan tak tinggal diam. Begitu laki-laki berpakaian abu-abu itu mengelakkan diri, kaki kiri lawan melayang.
Bukkk...!
Keras bukan main tendangan yang dilancarkan laki-laki berwajah bopeng itu. Tambahan lagi, tendangan itu begitu telak menghantam perut Kusuma. Akibatnya, tubuh lakilaki bermata sipit itu terjengkang ke belakang. Keluhan tertahan terdengar mengiringi tersungkurnya tubuh Kusuma. Suara berdebuk keras kontan terdengar begitu tubuh Kusuma jatuh di atas tanah.
"Bunuh monyet kecil itu, sementara yang lain ikut aku! Kita harus mendapatkan gadis berpakaian merah itu!"
Tanpa menunggu sambutan rekan rekannya, laki-laki berwajah bopeng itu telah memacu kudanya. Suara derap kaki kuda dan debu yang mengepul tinggi ke udara mengiringi kepergian laki-laki berwajah bopeng itu, untuk menyergap Rara Inggar.
Empat dari belasan gerombolan berpakaian hitam segera menarik tali kekang kudanya, kemudian berlompatan mengepung Kusuma. Sedangkan sisanya yang tak kurang dari sepuluh orang, melecutkan cambuknya, terus mengikuti laki-laki berwajah bopeng itu.
Ctarrr, ctarrr...!
Kusuma berusaha keras untuk bangkit, walaupun rasa sakit dan mual yang amat sangat menyengat perutnya. Giginya bergemeretak berkali-ka-i menahan rasa sakit dan amarah yang bercampur menjadi satu. Memang, akhirnya laki-laki bermata sipit itu berhasil bangkit berdiri. Tapi belum bisa berdiri tegak, empat orang berseragam hitam telah siap menyerangnya.
Srat, srat, srat…!
Sinar-sinar terang berkeredep ketika tiga orang berpakaian hitam itu mencabut senjata masing-masing. Kini di tangan mereka telah tergenggam sebilah pedang yang bergagang kepala harimau, berwarna putih.
"Saat ajalmu sebentar lagi tiba, Tua Bangka…!" ancam salah satu dari empat orang berpakaian hitam itu.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh pendek kekar. Kusuma berusaha menegakkan tubuh, tapi ternyata tidak mampu, karena rasa sakit di perutnya. Maka dengan terbungkuk-bungkuk kakinya melangkah mundur seraya mencabut golok yang tergantung di pinggang.
Srattt..!
"He... he... he...!" Laki-laki bertubuh pendek tertawa terkekeh seraya melangkah maju. Jelas, hatinya merasa geli melihat Kusuma yang hendak mengadakan perlawanan.
"Biar aku saja yang membereskan keledai ini...!" pinta laki-laki bertubuh pendek itu, sombong.
"Terserah padamu, Sancang." sahut rekannya yang berkumis tipis seraya mengangkat bahu. Maka langkah kakinya pun dihentikan. Hal yang sama ternyata dilakukan rekan yang lainnya. Mereka pun menghentikan langkahnya pula.
Memang, ketiga orang itu bermaksud membiarkan laki-laki bertubuh pendek yang ternyata bernama Sancang untuk menyelesaikan lawannya tanpa di bantu.
Kusuma menyipitkan mata untuk memperjelas pandangannya. Meskipun keadaan tubuhnya belum pulih dan masih terbungkuk-bungkuk, namun berusaha menguatkan diri kalau nyawanya ingin selamat. Laki-laki berpakaian abu-abu itu hanya memperhatikan dengan seksama langkah-langkah Sancang. Langkah Sancang bergerak menggeser saat mendekati Kusuma. Kedua telapak kakinya tetap menyentuh tanah.
"Hiaaat..!" Begitu jarak mereka telah dekat, Sancang mulai melancarkan serangan. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah ulu hati. Kusuma tentu saja tidak sudi membiarkan lawan mengancam nyawanya. Maka goloknya segera digerakkan untuk menangkis serangan pedang itu.
Trang...!
Bunga api berpijar ketika dua bilah senjata berbeda itu berbenturan nyaring. Akibatnya tubuh kedua orang itu sama-sama terhuyung satu langkah ke belakang. Jelas, tenaga dalam Sancang dan Kusuma berimbang.
Sancang menggertakkan gigi, marah karena lawan berhasil memunahkan serangannya. Akibarnya, serangannya pun membabi buta. Pedang di tangan Sancang berkelebat cepat ke arah lawan. Membacok, menusuk, dan menyobek. Karuan saja hal itu membuat Kusuma kelabakan. Dengan susah payah, goloknya dikelebatkan ke sana kemari untuk menjegal setiap serangan.
Trang, trang, trang...!
Suara dentang senjata beradu menyemaraki pertarungan yang terjadi. Percikan bunga api pun semakin menambah riuhnya pertarungan. Serangan yang dilancarkan Sancang tampak bertubitubi. Tapi, semuanya berhasil dikandaskan Kusuma. Walaupun untuk itu, laki-laki berpakaian abu-abu itu harus pontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tindakan seperti itu karuan saja membuat sakit yang mendera Kusuma semakin menjadi-jadi. Begitu menusuk dan menggigit. Tidak aneh, kalau beberapa kali tubuhnya terbungkuk-bungkuk ketika mengelakkan serangan. Tak sampai delapan jurus, Kusuma sudah terdesak hebat. Bahkan beberapa bagian tubuhnya mulai terserempet senjata lawan. Sementara cairan merah kental pun mulai mengalir dari bagian yang terluka. Kalau saja Kusuma diberi kesempatan memulihkan diri, mungkin tidak akan semudah itu Sancang mendesak dan bahkan membuatnya terluka.
"Hih...!"
Wuttt..! Crottt...!
"Aaakh...!" Kusuma kontan menjerit keras ketika pedang Sancang menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung. Darah segar pun muncrat-muncrat dari bagian yang tertembus pedang. Sepasang mata laki-laki bermata sipit itu membelalak menjemput ajal. Golok yang tergenggam pun terlepas dari cekalan. Dan ketika Sancang menarik pedangnya, tubuh Kusuma pun roboh ke tanah. Sebentar dia berkelojotan, lalu tewas!
"Ha... ha... ha...!" Tawa bergelak Sancang yang disusul tawa ketiga rekannya berkumandang memecah keheningan malam. Sebuah tawa kemenangan.
"Tinggal gadis manis itu yang menjadi buruan kita...," ujar Sancang dengan dada dibusungkan. Tampak jelas, dia merasa bangga atas kemenangannya.
"Mudah-mudahan Kang Jalatang berhasil menangkapnya," harap laki-laki yang berkumis tipis. Sancang dan kedua orang rekannya hanya menganggukkan kepala saja, tidak menyambuti ucapan itu.
"Mari kita menyusulnya," ajak Sancang seraya berjalan meninggalkan tempat itu. Ketiga rekannya sama sekali tidak menyahuti ucapan laki-laki pendek itu. Mereka bergegas mengikuti setelah menyetujui saran rekannya.
"Hih...!" Hanya dengan menekuk lutut dan menekan kaki di tanah, tubuh keempat orang itu sudah melesat ke atas. Kemudian, mereka hinggap di atas punggung kuda masingmasing. Sancang dan ketiga orang rekannya mendecak pelan seraya menggeprakkan tali kekang. Sekejap kemudian, binatang-binatang tunggangan itu pun mulai berpacu cepat.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
* * * * * * * *
Sementara itu laki-laki berwajah bopeng yang dipanggil dengan nama Jalatang, bersama rekan-rekannya masih sibuk mengejar Rara Inggar. Sedangkan Rara Inggar terus memacu kudanya secepat mungkin. Pecut yang tergenggam di tangannya sudah tidak terhitung lagi yang menyengat bagian belakang tubuh kuda itu. Tak heran kalau tangannya pun sampai pegal-pegal karenanya.
Meskipun begitu, usahanya sia-sia belaka. Semakin lama jaraknya dengan para pengejar semakin bertambah dekat. Apalagi kuda lawan jauh lebih unggul dari kudanya. Orang-orang berseragam itu menggunakan kuda-kuda kuat dan mempunyai kemampuan lari cepat. Tapi Rata Inggar pantang berputus asa. Selama masih mampu, dia terus saja berusaha. Dan memang itu yang dilakukannya. Pecut di tangannya terus saja dilecutkan.
Ctar, ctar, ctarrr...!
Meskipun tidak melihat, tapi Rara Inggar tahu jarak para pengejarnya semakin bertambah dekat. Dan itu bisa diketahui dari gemuruh kaki kuda yang semakin keras terdengar di telinganya. Tak lama kemudian, dua ekor kuda mulai membarengi kuda Rara Inggar dari sebelah kanan dan kiri.
Para pengejarnya kini mulai menyusul gadis itu. Bahkan kini, laki-laki berwajah bopeng yang bernama Jalatang telah mendahului kuda Rara Inggar. Sementara, kuda temannya bergerak mengikuti. Dan begitu berada beberapa batang tombak di depan, kedua penunggang kuda itu menarik tali kekangnya.
Diringi ringkikan nyaring, kedua kuda itu menghentikan larinya. Kedua kaki depan kuda itu terangkat tinggi-tinggi ke atas. Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan kedua orang penunggang kuda itu. Tatkala kuda mereka berhenti, segera dilbalikkan arahnya. Dan kini, kedua kuda itu berdiri menghadang jalan.
Rara Inggar terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Tidak ada jalan keluar lagi untuknya. Apalagi, jalan tempat para penunggang kuda menghadang adalah sebuah jalan sempit, yang tidak mungkin dapat dilalui tiga ekor kuda yang berpacu berbarengan.
Dengan sendirinya, gadis itu tidak bisa lagi terus memacu kudanya. Mau tidak mau, gadis berpakaian merah itu menarik tali kekang kuda untuk menghentikan lari kudanya. Disadari kalau kini tidak mempunyai kesempatan lolos lagi. Kanan kirinya adalah dinding batu yang tinggi, sedangkan di belakangnya telah terdengar gerombolan pengejarnya yang lain. Diam-diam Rara Inggar memaki-maki diri sendiri, yang tadi begitu bodoh.
Mengapa jalan sempit yang di kanan dan kirinya terpampang dinding-dinding batu tinggi menjulang ini yang dipilihnya. Tapi nasi telah menjadi bubur, jadi tidak ada gunanya lagi disesali. Dan itu yang akhirnya disadari Rara Inggar. Dia tahu, hal yang perlu dilakukan sekarang adalah menghadapi pilihannya.
"Hup...!" Ringan tanpa suara, gadis berambut dikuncir itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Kemudian binatang tunggangannya ditambatkan di situ.
Srattt..!
Sinar terang berkeredep ketika Rara Inggar mencabut pedangnya yang tersampir di punggung.
"Majulah kalian semua, Iblis Berwajah Manusia...!" tantang gadis berpakaian merah itu lantang.
"Ha ha ha...!" Jalatang tertawa terbahak-bahak. Tanpa menghentikan tawanya, laki-laki berwajah bopeng itu melompat turun dari kudanya. Dituntunnya kuda itu ke pinggir, lalu ditambatkannya. Hal yang sama dilakukan semua rekan rekannya. Mereka pun tertawa terbahak-bahak, sehingga malam yang semula hening dan sunyi menjadi ramai.
"Lucu...! Ada seekor kelinci berani menantang harimau…! Lucu sekali! Ha... ha... ha...!" kata Jalatang bernada meremehkan. sambil menuding ke arah Rara Inggar.
"Tidak usah banyak basa-basi, Muka Bopeng! Majulah kalau berani...!" dengus Rara Inggar keras.
"Keparat!" bentak Jalatang. Laki-laki berwajah bopeng itu seketika menghentikan tawanya. Bahkan seri wajahnya pun langsung lenyap, berganti raut kemarahan. Dengan langkah lebar-lebar, dia maju menghamprri Rara Inggar. Sepasang matanya nampak menyorotkan ancaman hebat.
"Perempuan liar! Orang sepertimu harus diberi pelajaran biar kapok!"
Terdengar bergetar suara yang keluar dari mulut lakilaki berwajah bopeng. Betapa tidak? Karena, ucapan itu keluar dari hati yang panas terbakar amarah.
"Kau akan kutelanjangi dan kami perkosa beramai-ramai sampai mati!" lanjut Jalatang.
* * * * * * *
DUA
"Kang...!" Sebuah seruan kaget terdengar dari mulut seorang laki-laki berkulit hitam. Raut wajahnya tampak menyiratkan keterkejutan. Perasaan yang sama juga terpampang di raut wajah orang-orang berseragam hitam yang lainnya. Hanya saja, mereka tidak sampai mengeluarkan seruan. Jalatang menoleh ke arah laki-laki berkulit hitam yang berdiri di belakangnya dengan sinar mata penuh teguran.
"Kau tidak ingat larangan ketua?" agak ragu-ragu lakilaki berkulit hitam itu mengeluarkan ganjalan hatinya, karena tahu kalau Jalatang tidak senang atas tegurannya.
"Hm... Kalau kalian tidak membocorkan rahasia ini, aku yakin ketua tidak akan tahu!" kata Jalatang, enteng. Pandangannya juga beredar merayapi rekan-rekannya. "Wanita ini telah terlalu menghina. Jadi, harus menerima balasan yang setimpal! Apa kalian tidak ingin menikmatinya juga?"
“Tapi, Kang…," laki-laki berkulit hitam masih mencoba membantah.
"Bagaimana tugas yang diberikan ketua kita?"
"Itu bisa diurus setelah urusan kita selesai!" tandas Jalatang tak sabar. Laki-laki berkulit hitam itu pun diam. Dia tahu, Jalatang telah marah sekali. Maka kalau tetap bersikeras, bukan tidak mungkin laki-laki berwajah bopeng itu akan membunuhnya.
Dengan amarah yang semakin berkobar, Jalatang kembali membalikkan tubuhnya dan bersiap melaksanakan maksudnya. Tapi belum juga sempat melangkah. Rara Inggar yang sejak tadi mendengar niat busuk Jalatang dan sudah merasa geram bukan kepalang, langsung melompat menyerang.
Sing...!
Suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan pedang Rara Inggar yang meluncur deras ke arah leher Jalatang. Laki-laki berwajah bopeng itu kontan terperanjat. Sungguh tidak disangka kalau gadis berpakaian merah itu mempunyai gerakan demikian cepat.
Sehingga, tahu-tahu saja ujung pedang lawan hampir menembus lehernya. Tidak ada kesempatan lagi bagi laki-laki berwajah bopeng ini untuk menangkis serangan itu. Apalagi untuk mencabut senjatanya. Memang, tibanya serangan itu demikian cepat!
“Hih...!" Sambil menggertakkan gigi, kaki Jalatang dijejakkan di tanah. Dia langsung bersalto di udara sehingga serangan itu lewat di celah-celah kedua kakinya. Rara Inggar yang tengah dilanda kemarahan menggelegak sama sekali tidak memberi kesempatan. Begitu serangan pertamanya gagal ujung pedangnya terus meluncur deras mengancam berbagai bagian yang mematikan.
Kelebatan pedangnya menimbulkan suara mendesing nyaring dari udara yang terobek. Tampaknya, serangan itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya Jalatang harus berjuang keras menyelamatkan selembar nyawanya. Tubuhnya terpontang-panting ke sana kemari, menghindari malaikat maut yang ada di ujung pedang lawannya.
Jalatang sadar kalau tidak ada bantuan akan tewas di tangan gadis berambut dikuncir itu. Serangan-serangan yang dilancarkan Rara Inggar terlalu gencar, susu-lmenyusul seperti gelombang laut. Bahkan tidak memberinya kesempatan sama sekali. Jangankan untuk balas menyerang, mengelak saja sulit bukan main! Sebuah keuntungan ada di pihak Jalatang.
Rekan-rekannya rupanya mengetahui kesulitan yang dihadapinya. Itulah sebabnya, sebelum hal terburuk terjadi pada dirinya rekan- rekannya segera meluruk membantu. Suara-suara mendesing diikuti berkeredepnya sinarsinar menyilaukan dari senjata-senjata yang berkelebat menuju ke berbagai bagian tubuh, membuat Rara Inggar menghentikan desakannya pada Jalatang.
Sing...! Suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan pedang Rara Inggar yang meluncur deras ke arah leher Jalatang.
"Hih...!" sambil menggertakkan gigi, kaki Jalatang dijejakkan di tanah. Dia langsung melompat, sehingga serangan itu lewat di celah-celah kedua kakinya. Orang-orang berseragam hitam bergambar kepala macan putih di bagian dada, terperanjat ketika merasakan tangan yang menggenggam senjata terasa lumpuh.
Akibatnya, senjata-senjata yang digenggam pun terlepas dari pegangan dan jatuh ke tanah. Bukan hanya itu saja. Tanpa dapat dicegah, kaki mereka pun terhuyung-huyung ke belakang. Hal ini membuat orang-orang berseragam hitam itu sadar. Ternyata Rara Inggar bukan lawan sembarangan. Meskipun akibatnya cukup mengejutkan, tapi dari usaha yang mereka lakukan membuat Jalatang lolos dari ancaman maut.
"Hup...!" Ringan tanpa suara, laki-laki berwajah bopeng itu mendaratkan kedua kakinya di tanah.
"Hhh...!" Jalatang menghela napas lega ketika menyadari ancaman maut yang sejak tadi memburunya telah lenyap. Dengan punggung tangan, dihapusnya peluh yang membasahi kening. Peluh yang timbul karena perasaan tegang yang memuncak!
"Minggir semua...!" teriak Jalatang keras. "Biar aku yang menghadapinya!"
Srattt..! Begitu golok keluar dari warangkanya, laki-laki berwajah bopeng itu langsung memutar-mutarnya di depan dada. Sehingga, suaranya terdengar nyaring. Lalu....
"Hiaaat..!" Diawali jeritan melengking nyaring, Jalatang menyerang Rara Inggar. Golok di tangannya meluncur cepat ke arah berbagai bagian tubuh yang mematikan. Rara Inggar yang memang sudah bersiap sejak tadi, langsung menyambutnya. Pertarungan sengit dan matimatian pun tidak bisa dielakkan lagi.
Memang hebat pertarungan yang terjadi antara dua orang yang ternyata sama-sama lihai itu. Gerakan mereka sama-sama cepat, sehingga yang tampak hanya sekelebatan bayangan merah dan hitam saling belit dan saling pisah. Orang-orang berpakaian hitam itu sampai menyipitkan mata untuk dapat melihat lebih jelas pertarungan yang terjadi. Tapi, tetap saja mereka tidak mampu. Gerakangerakan Rara Inggar dan Jalatang terlalu cepat untuk dapat dilihat mata biasa.
Kini tubuh Jalatang dan Rara Inggar telah terbungkus gulungan sinar senjata masing-masing. Jalatang diselimuti gulungan sinar putih goloknya, sedangkan Rara Inggar gulungan sinar kuning pedangnya. Semula gulungan pedang itu sama-sama lebar. Tapi menginjak jurus ketiga puluh, gulungan sinar putih mulai menyempit. Sebaliknya, gulungan sinar kuning yang semakin melebar.
Melihat hal ini saja, bisa dipastikan kalau Jalatang terdesak. Dan ini membuat orang orang berpakaian hitam terkejut bukan kepalang. Jalatang, di perguruan mereka adalah seorang kepala kelompok yang membawahi dua belas orang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi. Tapi kini menghadapi Rara Inggar saja, ternyata terdesak. Jelas, kepandaian gadis berpakaian merah itu lebih tinggi dari pada Jalatang.
"Hih...!” Pedang Rara Inggar meluncur cepat ke arah leher Jalatang. Karuan saja serangan itu membuatnya terkejut bukan kepalang. Apalagi saat itu baru saja mengelakkan serangan sebelumnya. Bahkan kedudukannya dalam keadaan tidak memungkinkan. Maka terpaksa goloknya digerakkan untuk menangkis.
Trang...!
Jalatang meringis ketika tangan kanannya dirasakan kesemutan akibat benturan dua senjata itu. Dan belum lagi dia sempat berbuat sesuatu, kaki kanan gadis berambut dikuncir itu telah terlebih dahulu melesat ke arah pangkal paha kirinya.
Bukkk!
"Akh...!” Keluhan tertahan keluar dari mulut Jalatang ketika tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Sekujur kakinya terasa lumpuh!
Memang, keras sekali tendangan yang dilancarkan Rara Inggar. Apalagi mendarat secara telak ke sasaran. Dan rupanya Rara Inggar tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Pedangnya segera ditusukkan ke arah tubuh lawan yang berada di tanah. Tapi walaupun sebelah kakinya lumpuh, Jalatang masih sanggup membuktikan kelihaiannya.
Karena untuk melompat sudah tidak mungkin lagi, maka tubuhnya segera bergulingan di tanah. Hasilnya, serangan pedang Rara Inggar hanya mengenai angin. Karuan saja hal ini membuat gadis berpakaian merah ini semakin bertambah geram.
Tubuh yang bergulingan itu terus saja dihujani dengan tusukan-tusukan pedangnya. Walaupun berada dalam keadaan mengkhawatirkan, tapi karena memang telah terbiasa berhadapan dengan maut, pikiran Jalatang tetap jernih. Sambil terus berguling, pikirannya bekerja keras untuk menyelamatkan diri. Lakilaki berwajah bopeng itu sadar kalau dirinya tidak bisa terus-menerus mengelak.
Memang, sampai saat ini masih berhasil mengelak. Tapi sampai berapa lama keberuntungan itu tetap berpihak padanya. Bukan hanya Jalatang saja yang mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Rekan-rekannya yang sekaligus juga anak buahnya pun merasa khawatir melihat keadaan laki-laki berwajah bopeng itu. Mereka ingin membantu, tapi khawatir Jalatang akan marah. Memang, tadi pimpinan mereka itu telah mengatakan akan menghadapi Rara Inggar seorang diri!
Pada satu kesempatan sambil menggulingkan tubuh menghindari serangan, Jalatang mengibaskan tangannya. Dan… Brrr...! Segumpal abu berhamburan ke arah wajah Rara Inggar.
Karuan saja hal ini membuatnya gelagapan. Maka buru-buru matanya dipejamkan untuk menghindari masuknya debu itu ke mata. Dengan sendirinya, serangannya kontan terhenti. Kesempatan yang hanya sekejap itu tidak disia-siakan Jalatang. Tubuhnya melenting ke atas. Dan begitu tubuhnya telah berada di udara, kaki kanannya meluncur cepat ke arah dada Rara Inggar.
Bukkk!
"Hugh...!" Tubuh Rara Inggar terjengkang kebelakang. Darah segar langsung mengalir deras dari mulutnya. Tampaknya gadis berpakaian merah ini terluka dalam.
Memang, tendangan yang dilancarkan Jalatang dikeluarkan lewat pengerahan seluruh tenaga dalam. Tambahan lagi, tendangan itu mengenai sasaran secara telak. Dengan suatu pijakan dari kedua tangan yang jari-jarinya saling dipertemukan, Jalatang melesat mengejar tubuh Rara Inggar yang masih terjengkang. Dengan jari telunjuk menegang lurus, dan jari-jari lainnya mengepal, dilancarkannya totokan ke arah leher gadis berpakaian merah itu.
Tukkk...! Seketika itu juga tubuh Rara Inggar ambruk ke tanah dengan sekujur tubuh lemas ketika totokan jari tangan Jalatang mengenai jalan darah di lehernya.
"Hup...!" Pada saat tubuh Rara Inggar jatuh di tanah, Jalatang pun berhasil mendarat, gerakannya ringan, dan hampir tidak menimbulkan suara. Tapi meskipun begitu, tampak jelas seringai pada mulutnya. Rupanya tendangan Rara Inggar masih terasa olehnya.
Rara Inggar hanya mampu menatap dengan perasaan ngeri ketika Jalatang benalan menghampirinya. Lehernya yang tertotok terasa sakit bukan kepalang. Sehingga, membuat seluruh tubuhnya lemas dan tak mampu digerakkan.
"Sekarang kau akan menerima pembalasan dariku, Wanita sial!" desis Jalatang penuh ancaman, sambil terus melangkah lambat-lambat. Hal itu memang disengaja agar lebih menimbulkan kegelisahan pada Rara Inggar.
Wajah Rara Inggar seketika memucat. Perasaan takut yang amat sangat telah melanda hatinya ketika menyadari bahaya mengerikan yang akan menimpa. Ingin rasanya bergerak, dan melawan mati-matian. Tapi apa daya? Jangankan melawan, menggerakkan ujung jemarinya saja tidak mampu! Seluruh tubuh gadis itu lemas bukan main. Belum lagi ditambah luka dalamnya, akibat tendangan lawan.
Ternyata ketegangan bukan hanya melanda hati Rara Inggar, tapi juga semua orang yang mengenakan pakaian hitam. Mereka tahu, pimpinan kelompok mereka itu akan berbuat senonoh dan bakal tidak diampuni ketua perguruan.
Memang diakui, sebenarnya mereka ingin juga merasakan kemolekan tubuh gadis itu. Tapi keinginan itu dikalahkan rasa takut akan hukumannya. Namun demikian, perasaan seperti itu tidak melanda Jalatang. Yang ada di benaknya hanya bayangan tubuh molek dan montok menggiurkan milik Rara Inggar. Tak ada yang lain. Dan begitu telah berada di dekat tubuh Rara Inggar yang tergolek lemah, Jalatang berjongkok. Tangannya pun langsung dijulurkan.
Brettt..! Suara kain robek terdengar ketika Jalatang menggerakkan tangannya merenggut pakaian Rara Inggar, mulai dari leher sampai ke perut.
Jalatang menelan ludah melihat pemandangan indah yang terpampang di hadapannya. Deru napasnya memburu hebat seperti orang tengah berlari jauh. Bukan hanya Jalatang saja yang terpengaruh. Belasan pasang mata orang berpakaian hitam yang lain pun tertuju ke sana. Jakun mereka turun naik, membasahi tenggorokan yang mendadak kering.
Sementara pandangan mereka pun tak ubah nya seperti serigala lapar melihat seekor anak domba gemuk! Tanpa menunggu lebih lama lagi, Jalatang langsung menubruk tubuh Rara Inggar. Namun belum juga niatnya tersampaikan, mendadak...
"Hekh...!" Jerit terputus keluar dari mulut Jalatang begitu ada sebuah benda yang menahannya, saat hendak menindih tubuh Rara Inggar. Benda itu melilit lehernya, sehingga napasnya tersumbat.
Tanpa melihat pun, Jalatang sudah bisa memperkirakan sesuatu yang menjerat lehernya. Sadar akan keadaannya yang berbahaya, Jalatang buru-buru menggerakkan tangan ke sela-sela tambang yang melilit lehernya. Karena bila pemilik tambang menyentakkan, dia akan mati tercekik!
Dugaan laki-laki berwajah bopeng ini ternyata tidak meleset. Baru juga kedua tangannya menyelinap di selasela tambang dan leher, si pemilik tambang sudah menggerakkan tangan menyentak. Jalatang memang tidak melihat pemilik tambang, karena arah luncuran tubuhnya ke belakang. Dan itu berarti si pemilik tambang ada di belakangnya. Keras bukan main tenaga sentakan itu. Meskipun Jalatang telah mengerahkan seluruh tenaga, tetap saja tubuhnya tersentak ke belakang.
Tapi, lagi-lagi Jalatang membuktikan kalau tidak mudah dipecundangi. Ketika tubuhnya tengah melayang di udara, tangan kanannya mencabut golok yang tadi telah dimasukkan kembali dalam sarungnya di pinggang. Sedangkan tangan kirinya tetap memegangi tambang yang membelit lehernya. Langsung saja goloknya dikibaskan ke arah belakang.
Tasss...! Tambang itu kontan putus. Tapi meskipun begitu, tetap saja tubuh Jalatang melayang ke belakang karena pengaruh tenaga sentakan tadi.
"Hup...!" Meskipun agak terhuyung-huyung, laki-laki berwajah bopeng itu berhasil juga mendaratkan kedua kakinya di tanah. Langsung saja tubuhnya dibalikkan, bersiap menghadapi pemilik tambang.
Dalam jarak sekitar dua tombak di hadapan Jalatang, berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Jubahnya berwarna biru, dan pakaian dalamnya berwarna abu-abu. Tubuhnya kekar. Rambutnya yang panjang dan hitam diriap ke belakang.
"Siapa kau, Keparat! Sungguh berani mati mencampuri urusan Gerombolan Macan Putih!" gertak Jalatang.
"Hm... jadi kalian Gerombolan Macan Putih yang terkenal itu?! Ingin aku menjajalnya!" tantang pemuda berjubah biru setelah melepaskan senyum mengejek.
"Keparat! Kau mencari mampus sendiri, Pemuda Tak Tahu Diri! Hiyaaat..!" Diawali sebuah jeritan melengking nyaring, Jalatang melompat menerjang pemuda berjubah biru itu. Golok di tangannya meluncur cepat, membacok ke arah kepala dari atas ke bawah. Rupanya tubuh lawannya ingin dibelahnya menjadi dua bagian yang sama.
"Hmh...!" Pemuda berjubah biru itu hanya mendengus. Dibiarkan saja serangan yang mengancamnya. Baru setelah dekat, tangan kirinya diangkat ke atas. Jari tengah dan telunjuknya ditudingkan membentuk celah. Sedangkan jari-jari yang lainnya menekuk.
Tappp..! Golok di tangan Jalatang berbenturan dengan dua jari tangan pemuda berjubah biru. Hebatnya, jari tangan itu tidak putus. Padahal, babatan golok itu cukup mampu untuk membelah batu yang paling keras sekalipun! Bukan hanya itu saja. Kedua jari tangan pemuda berjubah biru lalu bergerak menjepit, sebelum Jalatang sempat menarik goloknya kembali.
Jalatang terkejut bukan kepalang. Sekuat tenaga goloknya berusaha ditarik kembali. Tapi sampai terdengar mulutnya menggeram, tetap saja goloknya yang terjepit tidak bergeming. Seolah-olah, yang menjepit golok Jalatang itu adalah jepitan baja! Rupanya Jalatang bukan termasuk orang yang mudah menyerah.
Dia tetap saja berusaha menarik kembali senjatanya. Dihirupnya napas dalam-dalam, untuk mengumpulkan semua tenaga dalam di kedua tangannya. Lalu, kembali diusahakannya menarik senjata itu kembali. Wajah Jalatang jadi merah padam karena mengerahkan tenaga dalam sampai melewati batas.
Di lain pihak, pemuda berjubah biru itu masih tetap berdiri tenang. Kedudukan kakinya tidak menunjukkan kalau tengah mengerahkan tenaga. Begitu juga, pada tangan dan wajahnya. Semua terlihat biasa saja.
"Hmh...!" Kembali pemuda bertubuh kekar berotot itu mendengus. Dan begitu dengusannya lenyap, kedua jari tangannya bergerak menekuk.
Takkk!
Mata golok itu kontan patah. Akibatnya, Jalatang yang saat itu tengah mengerahkan tenaga dalam sekuatnya untuk membetot, jadi terjengkang ke belakang. Tindakan pemuda berjubah biru itu ternyata tidak hanya sampai di situ saja. Di saat tubuh lawan tengah terjengkang, tangan kanannya dikibaskan.
Siing...! Suara mendesing nyaring terdengar ketika patahan mata golok yang tadi tertinggal di jepitan jarinya melesat cepat, laksana anak panah lepas dari busur.
Cappp...!
"Akh...!" Jalatang memekik kesakitan ketika patahan golok itu mengenai sambungan bahunya. Cairan merah kental kontan mengalir dari bagian yang terhunjam patahan golok. Tapi Jalatang benar-benar orang yang pantang menyerah Dia tahu, pemuda berjubah biru itu memiliki kepandaian lebih tinggi darinya. Maka tangannya segera diulapkan ke arah rekan rekannya.
"Bunuh pemuda keparat itu!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang berpakaian hitam itu meluruk cepat ke arah pemuda bertubuh kekar berotot. Senjata-senjata yang memang sejak tadi tergenggam, diayunkan ke arah berbagai bagian tubuh pemuda berjubah biru itu.
* * * * * * * *
TIGA
Sambil menggertakkan gigi Jalatang mencabut patahan golok yang menghunjam tulang bahunya. Mulutnya sampai meringis menahan sakit ketika patahan golok itu dicabut. Memang, untuk sementara Jalatang bisa tenang, karena pemuda berpakaian biru itu kini tengah dikeroyok rekan-rekannya. Begitu patahan golok itu berhasil dicabut, laki-laki berwajah bopeng itu langsung menotok jalan darah di sekitar luka untuk mencegah darah yang terus mengalir.
Setelah itu, baru kepalanya ditolehkan menatap pemuda berjubah biru yang dikeroyok rekan-rekannya. Kontan sepasang matanya terbelalak. Tampak pemuda berjubah biru itu hanya mengibas-ngibaskan tangan secara sembarangan saja. Hasilnya, tubuh orang-orang berpakaian hitam itu berpentalan tak tentu arah sebelum berhasil mencapai tubuh lawan.
Memang, dari kibasan kedua tangan pemuda bertubuh kekar berotot itu keluar angin keras, sehingga mampu membuat orang yang memiliki tenaga dalam tanggung akan terjengkang tak karuan. Jalatang menggeram ketika melihat semua rekannya bergeletakan di tanah. Kemudian sambil mengeluarkan pekikan nyaring, kembali dilancarkan serangan dengan goloknya yang tinggal sepotong itu.
Laki-laki berwajah bopeng itu melompat ke atas. Dan dari atas, tubuhnya meluruk ke bawah. Dan laksana burung garuda hendak menerkam mangsa, tubuhnya meluncur sambil mengarahkan goloknya ke ubun-ubun lawan.
"Hmh...!" Lagi-lagi pemuda berjubah biru itu hanya mendengus. Tanpa menggeser kedudukan kaki, tangan kanannya diulurkan Luar biasa! Entah bagaimana caranya, tahu-tahu pergelangan tangan kanan Jalatang telah berhasil dicekalnya. Dan sekali pemuda bertubuh kekar berotot itu bergerak membetot, tubuh Jalatang tertarik ke bawah, dan jatuh keras di tanah.
Keras bukan main betotan pemuda bertubuh kekar berotot itu. Sehingga sambungan pergelangan bahu Jalatang sampai terlepas. Laki-laki berwajah bopeng itu meringis kesakitan. Dan belum lagi rasa sakit itu lenyap, tangan pemuda berjubah biru yang masih mencekal pergelangan tangan Jalatang bergerak meremas.
Krrrkkk...!
Terdengar suara gemeretak dari tulang tulang yang hancur! Jalatang menggigit bibirnya kuat-kuat sampai berdarah untuk mencegah keluarnya jerit kesakitan. Peluh sebesar biji jagung bermunculan di selebar wajahnya. Saat itu, pemuda berjubah biru baru melepaskan cekalannya.
Karuan saja, Jalatang yang tengah menderita rasa sakit yang amat sangat tidak mampu menguasai keseimbangan tubuhnya dan jatuh bertutut di tanah. Dan untuk yang kesekian kalinya, laki-laki berwajah bopeng ini meringis kesakitan karena kedua lututnya berbenturan dengan tanah.
"Pergilah...!" Pemuda berjubah biru langsung mengibaskan tangannya. Seketika itu juga, muncul angin keras yang membuat tubuh Jalatang terpental jauh dan terguling-guling di tanah. Dan begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar lenyap, Jalatang merangkak bangun.
Keadaan laki-laki berwajah bopeng ini sangat menyedihkan. Untuk bangkit saja hampir tidak mampu. Untung rekan-rekannya bergegas menghampiri dan membantunya berdiri. Setelah melempar tatapan penuh dendam pada pemuda berjubah biru, lelaki berwajah bopeng itu lalu melangkah meninggalkan tempat itu dengan dipapah dua rekannya. Dia juga dibantu untuk menaiki punggung kudanya.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Gerombolan Macan Putih itu menggeprakkan tali kekang kudanya seraya mendecak pelan. Perlahan kudakuda itu bergerak melangkah meninggalkan tempat itu. Mula-mula lambat, tapi beberapa tombak kemudian mulai cepat dan semakin cepat. Sesaat kemudian, kuda-kuda itu telah lenyap meninggalkan kepulan debu tebal di udara.
Setelah kuda-kuda itu lenyap dari pandangan, baru pemuda berjubah biru itu mengalihkan perhatiannya pada Rara Inggar yang masih tergolek lemas di tanah. Sementara Rara Inggar hanya memperhatikan tindak tanduk pemuda bertubuh kekar itu penuh selidik. Namun perasaan cemas bergayut di hatinya, karena khawatir kalau pemuda berjubah biru akan berbuat tidak patut seperti halnya Jalatang.
Pemuda berjubah biru itu mengibas-ngibaskan kedua tangannya secara sembarangan. Perlahan saja kelihatannya tapi akibatnya berhembus angin cukup keras ke arah Rara Inggar. Sekejap kemudian, bagian tubuh gadis itu yang tadi terbuka, telah tertutup kembali.
Kemudian, pemuda bertubuh kekar itu melangkah mendekati Rara Inggar. Dia lalu berjongkok ketika telah berada di dekat gadis berpakaian merah itu. Tangannya diulurkan, untuk menepuk beberapa bagian tubuh Rara Inggar. Seketika jalan darah gadis itu yang tadi tersumbat kini lancar kembali. Dengan sendirinya, anggota tubuhnya mampu digerakkan kembali.
Setelah membebaskan totokan Rara Inggar, pemuda berjubah biru itu lalu bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Rara Inggar untuk memperbaiki pakaiannya yang koyak-koyak.
"Terima kasih atas pertolongan, Kisanak," ucap gadis berpakaian merah itu setelah merapikan keadaannya kembali.
"Lupakanlah...," pemuda bertubuh kekar berotot itu mengulapkan tangannya.
"Maaf. Aku ingin menyembuhkan luka dalamku dulu…," pinta Rara Inggar lagi. Memang, ada rasa nyeri yang menyengat dadanya ketika tadi menarik napas. Hal ini menjadi pertanda kalau dirinya telah terluka dalam.
"Silakan…," sahut pemuda berjubah biru mempersilakan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rara Inggar segera menolehkan kepala ke sana kemari untuk mencari tempat yang terlindung. Baru ketika menemukan tempat, kakinya melangkah ke sana. Gadis berpakaian merah itu langsung duduk bersila. Jari-jari kedua tangannya yang terbuka lurus dipertemukan di depan dada. Punggungnya pun ditegakkan. Sesaat kemudian, dia sudah tenggelam dalam semadinya.
* * * * * * * *
"Mengapa Gerombolan Macan Putih sampai bisa berurusan denganmu, Nisanak?” tanya pemuda berjubah biru itu setelah Rara Inggar selesai bersemadi.
Memang, bagi orang yang telah mempunyai tenaga dalam cukup tinggi bukan hal yang aneh untuk mengobati luka dalam dengan semadi. Rara Inggar menggelengkan kepala.
"Kau tidak tahu?!" desak pemuda berjubah biru itu. Ada nada ketidak percayaan dalam pertanyaannya.
"Aku benar-benar tidak tahu," tegas gadis berambut dikuncir itu. "Yang kutahu, orang-orang yang menamakan diri Gerombolan Macan Putih datang menyerbu perguruan ayahku...."
Sampai di sini, ucapan Rara Inggar terhenti. Sepasang matanya nampak berkaca-kaca. Wajahnya pun berubah mendung. Jelas, hatinya tengah dilanda kesedihan.
"Hm... lalu..?" selak pemuda berjubah biru yang tidak sabar menunggu tertalu lama. “Tentu saja, ayah dan murid-muridnya tidak bisa berdiam diri. Mereka pun mengadakan perlawanan…,” sambung Rara Inggar di sela-sela isaknya.
"Tapi, perlawanan mereka sia-sia. Gerombolan itu ternyata memiliki banyak tokoh berkepandaian tinggi. Sehingga, tanpa menemui kesulitan perlawanan ayah dan murid-murid perguruan kami dipatahkan."
Kembali gadis berpakaian merah itu menghentikan ceritanya. Dibersihkannya cairan yang memenuhi hidung, karena perasaan sedih yang melanda Rara Inggar pun berdehem untuk mengembalikan suaranya yang tercekat di tenggorokan.
“Rupanya mereka memendam dendam hebat. Semua yang ada di Perguruan Hati Naga milik ayahku, dibantai. Tidak saja manusia, binatang-binatang peliharaan kami pun dibantainya. Mereka bukan manusia! Tapi, iblis!" Rara Inggar menghentikan ceritanya sejenak untuk meredakan napasnya yang memburu hebat karena pengaruh amarah yang menggelegak dalam dada.
"Jadi, ayahmu juga tewas?!"
"Ya. Begitu pula dengan ibuku. Lawan yang mereka hadapi terlalu lihai. Ayah menghadapi seorang yang bercelana putih. Di dadanya terdapat gambar kepala seekor macan putih. Sayang, wajahnya tidak jelas karena dipenuhi coreng-moreng aneh, dan bulu-bulu yang membuat tampangnya mirip seekor macan. Tapi kalau menilik tubuhnya, aku yakin dia tidak terlalu tua. Apalagi, tubuhnya terlihat kekar dan berotot!"
"Kalau lawan ibumu" tanya pemuda berjubah biru itu lagi. Nada suaranya juga menyiratkan keingin-tahuannya yang mendalam.
Rara Inggar menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat sebelum menjawab pertanyaan itu. "Kalau orang yang berhadapan dengan ibuku, bisa dikenali. Dia seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya dari kulit macan putih, dan bergambar kepala seekor macan putih besar di bagian dada. Seperti juga orang yang melawan ayahku, wajahnya juga penuh coreng-moreng dan bulu-bulu halus. Sehingga, membuat wajahnya mirip seekor macan," jelas gadis berpakaian merah itu.
"Hm... Mungkin kedua orang itu pemimpinnya," tebak pemuda berpakaian biru itu.
"Aku pun menduga demikian...," sambut Rara Inggar cepat.
"Lalu... kenapa kau berada di sini?!"
"Itulah yang kusesalkan," keluh Rara Inggar. "Sebelum ikut terjun menghadapi musuh, ayah berpesan kalau keadaan tidak memungkinkan. Maka aku disuruh pergi ke suatu tempat bersama Paman Kusuma.... Tapi di perjalanan, kami dihadang Gerombolan Macan Putih. Bahkan Paman Kusuma berhasil dirobohkan. Yahhh...! Nasibnya sudah bisa kuduga!" Suasana menjadi hening sejenak ketika Rara Inggar menghentikan ceritanya.
"Aku juga telah mendengar berita tentang Gerombolan Macan Putih, yang konon tidak pernah terkalahkan. Mungkin benar katamu kalau mereka memendam dendam. Karena sepanjang yang kudengar, mereka tidak pernah membunuhi binatang-binatang," pemuda berjubah biru mengernyitkan keningnya.
"Apakah orang tuamu mempunyai musuh?"
Rara Inggar menggelengkan kepala.
"Cobalah ingat-ingat Nisanak.... Aku yakin perlakuan Gerombolan Macan Putih ini mempunyai latar belakang.... Mungkin saja, guru, kakak, atau ayah kedua pemimpin gerombolan itu tewas di tangan orang tuamu atau kakek gurumu... "
"Ah! Kau benar!" sentak Rara Inggar tiba-tiba. Nada keterkejutan tampak jelas, baik pada wajah mau pun nada suaranya.
"Jadi... orang tuamu benar telah membunuh orang yang mempunyai hubungan dengan pemimpin Gerombolan Macan Putih?!"
Rara Inggar menggelengkan kepala.
"Hm…. Lalu?" wajah pemuda bertubuh kekar itu seketika berubah.
"Aku sempat mendengar ucapan wanita yang melawan ibuku karena bicaranya jelas sekali...."
"Apa yang diucapkannya?" tanya pemuda berjubah biru penuh perhatian. Rara Inggar tercenung sejenak untuk mengingat-ingat ucapan yang sempat didengarnya.
"Dia mengatakan kalau ayah dan ibuku mendapat kehormatan menjadi korban awal pembalasan dendam orang yang berjuluk Raja Ular Pelenyap Sukma!" ucap Rara Inggar.
"Raja Ular Pelenyap Sukma...," ulang pemuda berjubah biru itu pelan. Dahinya tampak berkernyit, pertanda tengah memikirkan sesuatu.
"Kau mengenalnya, Ki, eh! Ng..., Kisanak?" tanya Rara Inggar agak bingung karena belum mengenal nama pemuda bertubuh kekar itu.
Rupanya pemuda berjubah biru itu tidak mengetahui kebingungan gadis itu saat ingin menyebut namanya. Buktinya dia tetap tidak memperkenalkan nama. Hanya kepalanya saja yang digelengkan untuk menanggapi pertanyaan Rara Inggar.
"Mengenalnya sih, tidak. Tapi julukannya pernah kudengar."
"Ah! Kau benar...!" sentak Rara Inggar mendadak. "Ya! Aku juga telah pernah mendengar julukan itu, Raja Ular Pelenyap Sukma! Seorang tokoh sesat yang mengerikan, dan pernah merajalela di dunia persilatan tanpa ada seorang pun yang bisa menghalangi sepak terjangnya...."
"Benar! Aku pun mendengarnya demikian," sambut pemuda bertubuh kekar. "Apakah kau tahu cerita selanjutnya?"
Rara Inggar menganggukkan kepala. "Ya. Ibu telah menceritakannya padaku."
"Bisa kau ceritakan padaku?" pinta pemuda berjubah biru.
“Tentu saja!" sahut Rara Inggar semangat. "Menurut cerita ibuku, sepak terjang Raja Ular Pelenyap Sukma itu sangat sewenang-wenang. Tidak terhitung orang yang sudah menjadi sasaran tindak kejahatannya." Rara Inggar menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. "Merasa tidak ada orang yang berani melawannya lagi, tindakan Raja Ular Pelenyap Sukma semakin menggiriskan saja. Sampai akhirnya, dia membunuh seorang pendekar muda yang menjadi anak kakek guruku...."
Kembali Rara Inggar menghentikan ceritanya sejenak untuk memberi kesempatan. Barangkali saja pemuda bertubuh kekar itu akan mengutarakan sesuatu. Karena pemuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi setelah ditunggu beberapa saat tidak nampak adanya tanda-tanda kalau dia akan mengatakan sesuatu.
"Kakek guruku marah bukan main, karena yang dibunuh adalah anak satu-satunya. Tapi karena sudah tidak ingin mencampuri urusan dunia persilatan lagi, dia mencoba bersabar. Murid-muridnya pun dilarang mengadakan pembalasan."
"Hm.. berita yang kudengar tidak seperti itu," sergah pemuda bertubuh kekar. "Kudengar, Raja Ular Pelenyap Sukma tewas secara menyedihkan di tangan kakek gurumu!"
"Sabar dulu! Aku kan, belum selesai!" selak Rara Inggar cepat.
Pemuda berjubah biru itu pun terdiam. Tak lama kemudian, nenek guruku sakit keras karena rasa sedih akibat meninggalnya anak satu-satunya. Tidak ada lagi harapan untuk sembuh karena dia memang tidak ingin berharap untuk kesembuhan. Usia tua, rasa sedih, dan ketidak inginan untuk sembuh, semakin menambah parah sakitnya.”
Rara Inggar menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering karena terlalu banyak bercerita. "Sebelum meninggal, dia mempunyai sebuah permintaan agar tidak penasaran. Beliau ingin agar kematian anak tunggalnya dapat terbalaskan. Raja Ular Pelenyap Sukma harus ikut pergi ke alam baka! Tidak ada pilihan lagi bagi kakek guruku. Dia pun kembali terjun dalam dunia persilatan untuk mencari Raja Ular Pelenyap Sukma. Ketika bertemu, pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Melalui pertempuran yang sengit dan mati-matian, kakek guruku berhasil membinasakan Raja Ular Pelenyap Sukma. Hingga akhirnya, nenek guruku dapat mati dengan senyum di bibir…," Rara Inggar menutup ceritanya.
Suasana menjadi hening ketika Rara Inggar menghentikan ceritanya. Apalagi, pemuda berjubah biru juga tidak berkata-kata. "Kurasa teka-teki telah terjawab..," kata Rara Inggar, kembali memecahkan kehenungan di antara mereka.
"Teka-teki...?" pemuda berpakaian biru mengernyitkan dahi.
"Ya. Teka-teki yang menyebabkan Gerombolan Macan Pulih begitu keterlaluan membasmi Perguruan Hati Naga sudah bisa ditebak, dua orang pimpinan Gerombolan Macan Putih mempunyai hubungan dengan Raja Ular Pelenyap Sukma. Karena kakek guruku telah tiada, pasti dendam itu dilimpahkan pada murid-muridnya."
"Jadi kakek gurumu banyak mempunyai murid?" tanya pemuda berjubah biru itu.
Rara Inggar mengangguk.
"Kakek guruku mempunyai empat orang murid. Satu di antaranya adalah wanita, yang kemudian menjadi ibuku. Sedangkan ayahku, juga salah satu dari empat murid itu," jawab Rara Inggar.
"Berarti... kau masih mempunyai dua orang paman guru, Nisanak?" Rara Inggar mengangguk. "Pasti kau akan menuju ke sana...," duga pemuda berjubah biru itu.
"Musibah ini harus kuberitahukan kedua paman guruku. Sekaligus, aku hendak memberitahu kemungkinan Gerombolan Macan Putih akan menyerbu tempat mereka. Aku yakin, lama-kelamaan Gerombolan Macan Putih akan menemukan tempat mereka...."
"Di mana tempat tinggal kedua paman gurumu..?"
"Maaf. Bukannya aku tidak percaya padamu. Kisanak. Tapi... ini terlalu membahayakan. Sekali lagi, aku minta maaf," tolak Rara Inggar halus.
"Tidak apa-apa…," sahut pemuda berjubah biru dengan senyum di bibir. "Aku bisa memakluminya...."
"Terima kasih ," ucap Rara Inggar tulus.
"O, ya...! Boleh aku tahu.... ke mana arah yang kau tuju? Barangkali saja arah yang kita tempuh sama...," pemuda bertubuh kekar membuka suara lagi setelah beberapa saat lamanya tercenung.
"Ng... aku hendak menuju ke Barat..."
"Kalau begitu.... arah yang kita tuju sama!" sentak pemuda berjubah biru. "Aku pun hendak menuju ke Barat. Ke Desa Ganjar. Apakah kau tidak keberatan bila kita menempuh perjalanan bersama?"
"Tentu saja tidak!" jawab Rara Inggar sambil tersenyum manis.
"Kapan kau hendak berangkat Nisanak?"
"Sekarang Juga," sahut Rara Inggar cepat. "Lebih cepat lebih baik! Aku yakin, Gerombolan Macan Putih tidak akan menghentikan pencariannya terhadap diriku!"
Setelah berkata demikian, Rara Inggar segera melesat ke arah kudanya yang masih tertambat di dekat dinding tebing. Rupanya, Gerombolan Macan Putih lupa membunuh binatang tunggangan gadis berpakaian merah itu.
"Kau sendiri... bagaimana?" tanya Rara Inggar ketika telah berada di atas punggung kudanya. Wajah gadis berambut dikuncir itu tampak kebingungan. Haruskah pemuda bertubuh kekar itu berlari, sementara dia menunggang kuda?
"Tidak usah khawatir." jawab pemuda berjubah biru sambil tersenyum lebar. Meskipun Rara Inggar belum mengatakan, sudah bisa diduga hal yang menyebalikan gadis itu kebingungan. Ini untuk pertama kalinya pemuda berjubah biru itu tersenyum. Karena sejak tadi sikapnya terlihat sungguh-sungguh.
Bahkan tak pernah tersenyum itulah sebabnya, Rara Inggar agar terpukau sejenak melihat pemuda itu tersenyum. Tapi pemuda berjubah biru itu sama sekali tidak mempedulikan keheranan Rara Inggar Kemudian beberapa jarinya dimasukkan ke dalam mulut.
Suiiit...!
Suitan nyaring melengking terdengar. Keras bukan main, sehingga menggema ke seluruh penjuru tempat itu. Jelas, pemuda berjubah biru itu mengerahkan tenaga dalam pada suitannya. Rara Inggar sampai menekap telinga dengan kedua tangan. Suitan itu memang membuat telinga berdenging dan kakinya menggigil.
Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda berjubah biru itu. Sesaat kemudian terdengar suara bergemuruh. Di kejauhan tampak seekor kuda berwarna coklat berlari cepat menuju ke arah mereka. Debu yang mengepul tinggi terlihat di belakangnya.
"Itulah kudaku…, Kilat namanya," jelas pemuda berjubah biru itu seraya menudingkan telunjuknya ke arah kuda coklat yang semakin lama semakin dekat. Sampai akhirnya, kuda itu telah berada dekat dengan dengan dirinya. Kuda coklat itu meringkik riang, ketika melihat pemuda berjubah biru. Dengan sikap manja, kepalanya digesekgesekkan ke dada majikannya. Pemuda berjubah biru itu mengusap-usap leher binatang tunggangannya. Kemudian.... "Hup...!" Hanya sekali genjotkan kaki, tubuh pemuda berjubah biru telah melayang ke atas. Kemudian, dia hinggap di atas punggung kuda. Manis dan indah gerakannya.
"Seekor kuda yang baik...." puji Rara Inggar tulus.
"Hm...," hanya gumam perlahan pemuda berjubah biru yang menyambut ucapan Rara Inggar.
Rara Inggar berdecak pelan. Lalu tali kekang kudanya digeprak. Sekejap kemudian, binatang tunggangan itu mulai berlari meninggalkan kepulan debu pekat di belakangnya. Pemuda berjubah biru itu pun melakukan hal yang sama. Sesaat kemudian, kuda coklat itu melesat menyusul kuda Rara Inggar yang telah melesat lebih dahulu.
* * * * * * * *
EMPAT
Rara Inggar yang ingin segera memberi tahu tentang malapetaka yang menimpa orang tuanya, segera memacu kudanya secepat mungkin. Pecut di tangannya berkali-kali menyengat bagian belakang kuda tunggangannya. Rara Inggar memang memaksa kudanya agar berlari secepat mungkin.
Sementara pemuda berjubah biru itu sama sekati tidak memaksa kudanya. Pecutnya hanya sesekali saja dilayangkan. Tapi ternyata, lari kedua kuda itu bersisian! Jelas, kuda yang bernama Kilat itu bukan kuda sembarangan. Bahkan ketika memasuki Desa Mentawa. Rara Inggar tetap tak mengendurkan lari binatang tunggangannya. Bahkan pecutnya terus saja diayunkan.
Pemuda berjubah biru itu menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Rara Inggar. Tapi, dia pun harus memacu kudanya pula kalau tidak ingin tertinggal. Akibatnya, malam yang larut dan semula hening mencekam, dipecah suara gemuruh derap langkah dua ekor kuda. Dua ekor kuda itu terus saja berpacu, sekalipun telah memasuki desa.
Para penduduk yang terjaga dari tidurnya karena gemuruh derap kaki kuda hanya bisa menyumpah serapah. Beberapa di antara mereka malah ada yang bangkit dan pembaringan. Dibukanya jendela, dan kepalanya melongok keluar. Semua itu didorong rasa ingin tahu terhadap orang tidak tahu diri yang telah menimbulkan suara berisik itu! Tapi yang mereka jumpai hanya gumpalan debu pekat yang ditinggalkan.
Sementara, penyebab suara bergemuruh itu sudah tidak tertihat lagi. Memang, Rara Inggar dan pemuda berjubah biru itu telah berada di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk. Di sini gadis berpakaian merah baru memperlambat lari kudanya. Lagi-lagi pemuda berjubah biru itu ikut pula memperlambat lari binatang tunggangannya.
"Apa yang kau ketahui tentang Gerombolan Macan Putih. Nisanak?" tanya pemuda berjubah biru. Dia masih tetap memanggil seperti sebelumnya. Rupanya hatinya tidak berminat mengetahui nama gadis berpakaian merah itu. Rara Inggar menggelengkan kepala.
"Kau tahu?" Gadis itu malah balas bertanya.
"Sedikit. Karena sebelum Gerombolan Macan Putih menyerbu perguruan ayahmu yang terletak di Desa Kaung, aku telah beberapa kali melihat hasil perbuatan mereka...."
"Bisa kau jelaskan tentang Gerombolan Macan Putih?" pinta Rara Inggar. Pemuda bertubuh kekar itu mengangguk.
"Gerombolan Macan Putih mempunyai puluhan anak buah. Pemimpinnya adalah orang yang berhadapan dengan ayahmu. Sedangkan yang bertarung melawan ibumu adalah wakilnya," jelas pemuda berjubah biru itu. "Kedua orang itu memiliki tiga orang pemimpin regu. Setiap pemimpin regu mempunyai empat orang pemimpin kelompok yang masing-masing memiliki belasan bawahan lagi."
Rara Inggar mengernyitkan dahinya mendengar penuturan pemuda bertubuh kekar tentang Gerombolan Macan Putih. Rupanya, dia merasa bingung mendengar uraian itu.
"Lalu... bagaimana kita tahu kalau orang yang dihadapi adalah keroco, pemimpin kelompok, atau pemimpin regu?" tanya Rara Inggar lagi beberapa saat kemudian, setelah berhasil mencerna penjelasan tadi.
"Dari gambar kepala macan pada pakaian mereka," jawab pemuda itu. "Kau bisa lihat perbedaan antara sulaman gambar macan pada orang yang merobohkanmu, dan belasan lainnya."
Rara Inggar tercenung sejenak untuk mengingat-ingat. "Ya. Pada orang yang merobohkanku, di dada kirinya tersulam dua kepala macan," jawab Rara Inggar.
"Sedangkan pada kepala kelompok ada tiga buah, dan berbentuk segi tiga," jelas pemuda berjubah biru lagi.
Mendadak Rara Inggar menarik tali kekang, sehingga kudanya langsung berhenti. Tentu saja pemuda berjubah biru itu terkejut melihat sikap Rara Inggar. Maka ucapannya kontan terhenti. Pandangannya pun diarahkan ke depan, ke arah yang ditatap gadis berpakaian merah itu.
Pemuda bertubuh kekar langsung mengangguk-anggukkan kepala ketika melihat belasan sosok tubuh berpakaian hitam bersulamkan gambar kepala macan putih di dada kiri. Mereka berdiri menghadang jalan, dalam jarak sekitar sepuluh tombak di depan.
"Gerombolan Macan Putih...," desah pemuda berjubah biru itu pelan.
"Yaaah...," sahut Rara Inggar, mendesah.
"Dua di antara mereka mempunyai sulaman tiga kepala macan di dada kiri...." Pemuda bertubuh kekar mengalihkan pandangannya. Ditatapnya wajah gadis di sebelahnya lekat-lekat. "Kau takut?"
"Tak ada kata takut dalam kamus hidupku," tegas Rara Inggar.
"Tapi, nada suaramu..," pancing pemuda itu lagi.
"Hanya menyadari keadaan," desah Rara Inggar lirih.
"Maksudmu ..?"
"Menghadapi pemimpin kelompok saja, aku tidak mampu. Apalagi menghadapi pemimpin regu…."
"Hhh...!" Pemuda bertubuh kekar itu menghembuskan napasnya yang berat, mendengar ucapan Rara Inggar. "Kau coba dulu, Nisanak," saran pemuda berjubah biru itu. "Sisanya, biar kuhadapi. Andaikata kulihat kau terdesak, baru akan kubantu. Yang penting, kau harus tiba di tempat tinggal kedua paman gurumu!"
Rara Inggar menoleh. Ditatapnya wajah pemuda berjubah biru itu dengan sepasang mata merembang berkaca-kaca. Hatinya merasa terharu melihat pembelaan yang dilakukan pemuda di sebelahnya. Padahal mereka belum saling mengenal nama! Tidak disangka, di balik sikap dinginnya, tersembunyi hati yang baik! Perlahan-lahan Rara Inggar mengulurkan tangan, kemudian menggenggam pergelangan tangan pemuda bertubuh kekar itu.
“Terima kasih…. Kau... kau baik sekali...." Hanya itu yang bisa diucapkan Rara Inggar. Itu pun dengan suara serak dan terputus-putus karena rasa haru yang mencekik tenggorokan.
"Sudahlah," kata pemuda berjubah biru sambil mengulapkan tangannya. "Hentikan segala kecengengan ini, Nisanak! Sekarang yang perlu dilakukan adalah menghadapi lawan yang telah berada di hadapan kita."
Kepala Rara Inggar bagai direndam dalam air es. Pemuda berjubah biru itu benar! Sekarang memang bukan saatnya bersedih! Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat untuk melegakkan dadanya yang terasa sesak akibat rasa haru yang melanda.
"Hih...!" Ringan tanpa suara, kedua kaki Rara Inggar mendarat di tanah. Hal yang sama pun dilakukan pemuda bertubuh kekar. Hanya saja, Rara Inggar harus menambatkan kudanya, karena khawatir binatang itu lari. Sementara, pemuda berjubah biru sama sekali tidak melakukannya.
"Ng... Sebelum mati aku ingin mengenal namamu, Kisanak. Aku, Rara Inggar. Biasa dipanggil Inggar," kata gadis berpakaian merah itu memperkenalkan diri.
Pemuda berjubah biru menoleh ke arah Rara Inggar yang berdiri di sebelah kirinya. "Rupanya kau termasuk orang yang berjiwa rapuh juga, Ni…. eh.... Inggar," kata pemuda bertubuh kekar itu tanpa peduli kalau kata-katanya membuat selebar wajah gadis berambut dikuncir itu merah.
"Sebenarnya, aku paling tidak suka dengan kecengengan-kecengengan seperti ini. Aku sudah terbiasa hidup keras! Tapi... tak apalah. Namaku, Suta!"
“Pemuda keparat!" maki Jalatang. Rupanya, dia tak kuat lagi menahan sabar melihat Suta dan Rara Inggar masih tenang-tenang saja. "Sebentar lagi kau akan mengenal orang-orang Gerombolan Macan Putih!"
"Menyingkir, Jalatang," perintah seorang laki-laki tinggi kurus. Menilik dari sikapnya yang berani memerintahkan Jalatang yang merupakan pemimpin kelompok, bisa diperkirakan kalau kedudukannya lebih tinggi.
Hal ini dibuktikan oleh sulaman kepala macan berwarna putih. Jumlah sulamannya ada tiga buah, dan terdapat pada dada kiri pakaiannya yang berwarna hitam. Memang, laki-laki tinggi kurus itu adalah pemimpin regu! Jalatang tidak berani membantah. Dengan sikap lesu dan kepala tertunduk, kakinya melangkah mundur. Dibiarkan saja laki-laki tinggi kurus itu yang melangkah maju lebih dahulu.
Saat itu, bukan dirinya yang menjadi pimpinan. Di situ, masih ada dua orang lagi yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripadanya. Jabatan mereka adalah pemimpin regu. Mereka adalah laki-laki tinggi kurus yang tadi menyuruhnya menyingkir, dan laki-laki bertubuh pendek gemuk yang berdiri di sebelah lakilaki tinggi kurus. Tambahan lagi, keadaan diri Jalatang memang tidak memungkinkan untuk bertarung. Luka-luka yang dideritanya akibat tindakan Suta masih belum pulih, meskipun memang telah diobati.
"Kau hadapi orang yang bertubuh tinggi kurus itu, Inggar," kata Suta menganjurkan. "Biar sisanya aku yang urus."
Tanpa menunggu persetujuan Rara Inggar, Suta langsung melompat ke arah kerumunan Gerombolan Macan Putih, sebelum mereka bergerak mengurung dan membuat rencananya kacau. Suta benar-benar memburu waktu. Selagj tubuhnya masih berada di udara, kedua tangannya diputar-putarkan dengan arah gerakan dari luar ke dalam.
Memang sungguh dahsyat serangan Suta. Dari kedua tangannya yang berputaran itu keluar angin keras yang berhembus ke arah Gerombolan Macan Putih. Gerombolan Macan Putih yang sama sekali tidak menduga hal itu, kontan menerima akibatnya. Tubuh-tubuh mereka berpentalan tak tentu arah ke belakang, bagaikan terlanda angin ribut. Hanya ada beberapa orang di antara mereka yang tak terjengkang, karena sempat mengerahkan tenaga dalam ke arah kaki sehingga seolah-olah berakar di bumi.
Mereka adalah dua orang pemimpin regu dan seorang pemimpin kelompok, selain dari Jalatang. Karena, tubuh Jalatang sendiri terjengkang ke belakang. Meskipun ketiga orang pemimpin itu tidak ikut terjengkang, bukan berarti mereka bebas dari deru angin keras yang keluar dari putaran tangan Suta.
Memang, mereka tidak jatuh, tapi tetap saja tubuhnya bergeser jauh ke belakang. Sedangkan kedua kaki mereka tetap menempel di tanah, sehingga menimbulkan geseran cukup dalam di tanah. Dan hasilnya, pimpinan kelompok terseret sejauh tiga tombak lebih, sedangkan kedua pimpinan regu hanya terhuyung sekitar dua tombak.
"Gila...! Pemuda keparat itu memiliki tenaga dalam luar biasa, Kakang Samparan...," desis pimpinan kelompok itu begitu melihat kemampuan lawan, sehingga membuatnya kaget.
"Kita harus hati-hati menghadapinya, Karugi," sahut pimpinan regu yang bertubuh tinggi kurus. "Bukan begitu, Bangor?."
Bangor yang ternyata pemimpin regu yang bertubuh pendek gemuk mengangguk, membenarkan. Namun baru saja Bangor menghentikan anggukannya, Suta sudah melayang ke arah mereka seraya melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Bangor dan Karugi.
Karuan saja kedua orang itu terkejut bukan kepalang. Buru-buru mereka melempar tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Lalu, mereka mendaratkan kedua kaki masing-masing di dekat belasan anggota Gerombolan Macan Putih yang tadi terjengkang ke sana kemari.
Suta tidak bertindak sampai di situ saja. Kembali tubuhnya melesat cepat ke arah Bangor dan Karugi yang berkumpul bersama belasan anggota Gerombolan Macan Putih. Dibiarkan saja Samparan yang tertinggal sendiri.
Suta memang sengaja membuat Samparan terpisah dengan gerombolannya, agar Rara Inggar dapat tenang menghadapi laki-laki tinggi kurus itu. Sadar kalau Suta merupakan lawan yang amat tangguh, Bangor tidak segan-segan memerintahkan seluruh anak buahnya untuk turun tangan.
"Serbu...!" seru laki-laki pendek gemuk itu.
Srrrt..! Srrrt..!
Sinar-sinar terang berkeredep dari tenjata golok Gerombolan Macan Putih yang tercabut dari sarungnya. Sesaat kemudian, pertarungan sengit antara Suta melawan Gerombolan Macan Putih di bawah pimpinan Bangor berlangsung sengit.
* * * * * * * *
"Kau dengar suara itu, Melati?" tanya seorang pemuda tampan berpakaian ungu. Kepalanya langsung menoleh ke arah gadis cantik berpakaian putih yang berada agak jauh di belakangnya.
Gadis itu duduk di cabang sebuah pohon, dan punggungnya disandarkan pada batangnya. Kepala pemuda berpakaian ungu itu agak dimiringkan. Sehingga rambutnya yang panjang meriap dan berwarna putih keperakan, terurai menutupi bahunya. Gadis berpakaian putih yang tidak lain memang Melati, dengan malas membuka matanya. Lalu kepalanya dimiringkan sebentar, baru kemudian mengangguk.
"Sepertinya suara denting senjata orang bertarung, Kang Arya.... Arahnya dari sana...," sahut Melati sambil menudingkan telunjuknya ke arah Utara.
"Kau benar, Melati. Bagaimana kalau kita melihatnya sebentar?" usul pemuda berambut putih keperakan yang tak lain dari Arya Buana alias Dewa Arak.
"Aaah...! Kau ini ada-ada saja, Kang…," rutuk gadis berpakaian putih itu. "Waktu telah menjelang pagi. Apakah kau tidak mengantuk? Nanti saja kita lihat asal suara riuh itu."
"Tidakkah itu terlalu lambat, Melati?" bantah Arya setengah membujuk. "Bagaimana kalau di sana sebetulnya ada orang yang tengah membutuhkan pertolongan kita."
"Tapi aku ngantuk, Kang. Ngantuk sekali! Jangankan untuk bertarung, mempertahankan agar mataku tetap terbuka saja sudah sulit"
Dewa Arak tercenung sebentar. "Kalau begitu..., biar aku yang pergi saja ke sana..."
"Dan aku di sini, berteman nyamuk-nyamuk hutan? Begitu?" sambung Melati merajuk.
"Kalau memang itu yang kau inginkan." goda Dewa Arak.
"Hhh...!" Melati menghembuskan napas berat, lalu menjauhkan punggungnya dari batang pohon.
"Bagaimana?" tanya Arya lagi dengan senyum di bibir. "Ingin berteman nyamuk di sini... atau ikut denganku melihat keramaian di sana?"
"Kau memang paling pintar memutarbalikkan ucapan, Kang," kata gadis berpakaian putih itu. Mulutnya tampak memberengut kesal.
"Jadi...?" Arya menggantung ucapannya.
"Yahhh... Aku lebih suka berteman denganmu daripada berteman dengan nyamuk-nyamuk di sini..," sahut Melati bernada keluhan.
"Ha ha ha...!" tawa pemuda berambut putih keperakan itu meledak. "Sudah kuduga...."
"Kau memang keterlaluan, Kang..." hanya itu ucapan yang bisa dikeluarkan Melati.
Dengan tawa pelan yang masih keluar dari mulutnya, Dewa Arak mengulurkan tangan ke arah guci yang tergantung di cabang pohon. Dibukanya ikatan tali di cabang pohon yang membuat gucinya tergantung, kemudian disampirkannya ke punggung.
"Hup...!" Ringan tanpa suara, kedua kaki pemuda berpakaian ungu itu mendarat di tanah.
Pada saat yang sama Melati juga mendaratkan kakinya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, sepasang pendekar yang sama-sama digdaya itu melesat cepat menuju ke arah asal suara denting senjata beradu yang terdengar. Ilmu meringankan tubuh Dewa Arak dan Melati memang telah mencapai tingkatan tinggi. Tidak heran ketika melesat, bentuk tubuh mereka tidak nampak lagi. Yang terlihat hanya sekelebatan bayangan ungu dan putih yang tidak jelas bentuknya.
Berbeda dengan Melati yang mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dewa Arak hanya mengeluarkan sebagian saja. Karena kalau dikerahkan seluruhnya, jelas gadis itu akan tertinggal. Sedangkan pemuda berambut putih keperakan itu tidak menginginkan hal itu terjadi. Semakin lama, denting senjata beradu itu terdengar semakin jelas.
"Tidak salah lagi, Melati. Rupanya di sana tengah terjadi pertarungan," kata Arya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah semak-semak dan pepohonan yang berada tak jauh di hadapannya. Hanya beberapa kali melangkah, sepasang pendekar muda itu telah berada di dekat semak-semak dan pepohonan.
Dan memang, suara berisik itu berasal dari sana. Dengan gerakan perlahan dan hati-hati sekali, Dewa Arak dan Melati menggenjotkan kakinya. Kontan tubuh mereka melayang ke atas, dan mendarat ringan laksana seekor burung di cabang pohon. Begitu telah berada di atas pohon, kedua orang itu langsung mengedarkan pandangan ke bawah.
Dan dalam keremangan sinar rembulan di langit, tampaklah seorang pemuda berjubah biru tengah bertarung menghadapi belasan orang berpakaian hitam. Tak jauh dari tempat itu, nampak seorang gadis berpakaian merah dan seorang lakilaki tinggi kurus tengah memperhatikan jalannya pertarungan.
"Kurasa pemuda itu tidak memerlukan bantuan kita, Kang...," kata Melati pelan, setelah memperhatikan pertarungan antara pemuda berjubah biru dengan belasan orang Gerombolan Macan Putih.
"Kau benar, Melati." sahut Dewa Arak seraya menganggukkan kepala. "Kau mengenal mereka, Kang...?" tanya Melati lagi ingin tahu. Arya menggeleng.
"Makanya, jangan sembarangan turun tangan dulu, Melati. Kita tidak tahu permasalahannya, dan juga tidak tahu siapa yang benar dan salah. Tidak bijaksana kalau kita ikut campur. Kecuali... kalau keadaan memaksa demikian."
Melati mengangguk-anggukkan kepala. Dia memang sudah tahu betul watak kekasihnya. Dan meskipun terkadang tidak setuju dengan tindakan yang diambil Arya, tapi kenyataan yang terjadi selalu membuktikan kebenaran perbuatan Dewa Arak!
Kini Melati dan Arya kembali mengalihkan perhatian ke arah pertarungan yang berlangsung di bawah sana. Ternyata ada sedikit perubahan yang terjadi. Gadis berpakaian merah yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan, mulai melangkah menghampiri laki-laki bertubuh tinggi kurus yang juga sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan.
* * * * * * * *
Samparan tersenyum mengejek ketika melihat Rara Inggar bergerak menghampirinya. "Jangan harap bisa lolos dari Gerombolan Macan Putih, Wanita Liar...!" dengus laki-laki tinggi kurus itu.
Rara Inggar sama sekali tidak menggubris ancaman Samparan. Gadis berpakaian merah itu sadar kalau lawan yang ada di hadapannya memiliki kepandaian tinggi. Dan itu bisa diperkirakan karena dia telah merasakan sendiri kelihaian Jalatang. Oleh karena itu, Rara Inggar tidak mau bersikap mainmain lagi. Segera dikeluarkan ilmu andalannya. Jurus 'Trenggiling' yang menjadi andalan kakek gurunya. Dengan ilmu itulah, kakek gurunya yang berjuluk Dewa Muka Putih menaklukkan Raja Ular Pelenyap Sukma.
"Hih...!" Rara Inggar melompat ke depan, kemudian bergulingan di tanah mendekati lawan. Dan begitu telah berada di dekat Samparan, kedua kakinya melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati.
"Heh...?!" Seruan keterkejutan keluar dari mulut Samparan. Dia tahu betul kedahsyatan serangan itu. Makanya dia tidak berani bertindak ceroboh. Sebongkah batu yang paling keras pun akan hancur berantakan apabila terkena.
Buru-buru laki-laki tinggi kurus itu melompat ke belakang, sehingga serangan itu hanya menghantam tempat kosong, beberapa jengkal di depannya. Tapi serangan Rara Inggar tidak berhenti sampai di situ saja. Tubuh gadis berpakaian merah itu kembali bergulingan. Dan tahu-tahu, kedua kakinya telah meluncur cepat mengancam lutut Samparan.
Seperti juga serangan sebelumnya, serangan kali ini pun didahului deru angin keras. Jelas, tendangan itu ditopang tenaga dalam kuat. Kali ini Samparan tidak berani melakukan elakan seperti semula. Sebagai orang yang telah kenyang makan asam garamnya pertarungan, laki-laki tinggi kurus itu tahu, kalau melakukan gerakan mengelak yang sama, serangan lanjutan kembali akan meluncur ke arahnya. Dan hal itu tidak diinginkannya. Sambil mengeluarkan pekikan keras yang menyakitkan telinga, Samparan melompat ke depan. Dilewatinya tubuh Rara Inggar, lalu dari atas kedua tangannya disampokkan ke arah kepala lawan.
Wuttt...!
Plakkk! Samparan kontan meringis. Kedua tangannya yang berbenturan dengan kedua kaki Rara Inggar nyeri bukan kepalang. Entah dengan cara bagaimana, laki-laki tinggi kurus itu tidak mengerti. Yang jelas, tahu-tahu kedua kaki gadis berambut dikuncir itu telah melindungi kepala.
"Hup...!" Samparan mendaratkan kedua kakinya di tanah, setelah bersalto beberapa kali di udara meski agak terhuyung. Dan begitu kedudukannya telah diperbaiki, langsung tubuhnya berbalik. Kini dia bersiap-siap menghadapi serangan susulan.
Dugaan laki-laki tinggi kurus itu ternyata tidak meleset. Rara Inggar kembali telah menggulingkan tubuhnya. Langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi dengan kedua kakinya. Kini, Samparan tidak bisa bersikap main-main lagi. Dikerahkan seluruh kepandaian yang dimiliki, kalau tidak ingin mati sia-sia. Sesaat kemudian, pertarungan sengit dan mati-matian pun terjadi.
Sebenarnya kalau dibuat perbandingan, Rara Inggar bukan tandingan Samparan. Laki-laki tinggi kurus itu memiliki banyak keunggulan dibanding lawannya. Baik tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun pengalaman bertarung. Tapi karena kedahsyatan jurus 'Tringgiling' yang dimiliki Rara Inggar, keunggulan Samparan jadi tertutupi. Jurus 'Trenggiling' memang hebat bukan kepalang.
Bahkan pada waktu Dewa Muka Putih yang menggunakannya. Raja Ular Pelenyap Sukma pun roboh karenanya. Memang, sebenarnya tidak ada satu tokoh pun yang sanggup mengalahkan Raja Ular Pelenyap Sukma. Padahal, datuk sesat itu telah merajalela belasan tahun dalam rimba persilatan.
Jangankan mengalahkan, menandinginya saja tidak ada yang mampu. Ditambah lagi, waktu itu beberapa orang pentolan golongan putih telah bersatu padu untuk mengeroyoknya. Sekarang, Samparan yang mendapat kesempatan untuk menjajaki kehebatan jurus itu. Dan memang, akibatnya laki-laki tinggi kurus itu kewalahan.
Jurus 'Trenggiling' yang menitik beratkan pada kemampuan kaki, memang mempunyai kehebatan tersendiri. Setiap serangan dan pertahanan selalu dilakukan dengan kaki. Anehnya, ke manapun serangan dilakukan lawan, selalu bertemu sepasang kaki. Dan anehnya lagi, dalam pengerahan jurus ini, tenaga dalam si pemakai jadi bertambah.
Kedua kaki orang yang memiliki jurus ini akan sanggup menahan gempuran lawan. Bahkan mampu membuat tangan atau kaki orang yang memiliki tenaga dalam tinggi, akan menjadi terasa lumpuh bila berbenturan. Sayangnya, Rara Inggar hanya mempunyai beberapa jurus saja dari delapan Jurus 'Trenggiling'. Bahkan jurus-jurus pamungkasnya pun tidak dimiliki. Itulah sebabnya, meskipun berhasil mendesak Samparan, tetap saja tidak mampu merobohkannya.
Samparan menggertakkan gigi, menahan geram. Pertarungan telah berlangsung hampir dua puluh jurus, tapi tetap saja lawannya tidak mampu dikalahkan. Jangankan mengalahkan, mendesak pun tidak mampu. Malah sebaliknya. dirinyalah yang dibuat pontang-panting oleh Rara Inggar. Bukan hanya itu saja. Kedua tangan dan kaki Samparan pun terasa nyeri bukan kepalang, akibat berbenturan dengan kedua kaki lawan.
Kedudukan Rara Inggar memang menyulitkan Samparan untuk melancarkan serangan. Perasaan marah, malu, dan penasaran bercampur aduk di hati laki-laki tinggi kurus ini. Dia adalah ketua regu Gerombolan Macan Putih. Tapi kini menghadapi seorang gadis muda saja dibuat terpontang-panting. Kalau didengar tokoh tokoh persilatan, mau ditaruh di mana mukanya?
Maka hal ini membuat Samparan jadi kalap bukan kepalang. Serangan-serangannya pun dengan sendirinya jadi semakin bertubi-tubi. Suara tangan atau kaki yang berbenturan terdengar berkali-kali. Dan hal ini selalu membuat seringai kesakitan di mulut Samparan!
Di arena lainnya, pertarungan yang berlangsung antara Suta dengan belasan orang Gerombolan Macan Putih berlangsung tak kalah seru. Sepak terjang pemuda berjubah biru ternyata luar biasa. Meskipun lawan yang dihadapinya banyak, namun dia tidak tampak terdesak. Bahkan tampak jelas kalau pertarungan benar-benar dikuasainya. Bangor dan Karugi merasa penasaran bukan main. Lebih-lebih Bangor. Memang, Jalatang telah menceritakan kelihaian pemuda berjubah biru itu.
Namun sungguh di luar dugaan kalau akan sampai selihai ini. Setiap serangan yang dilancarkannya, selalu mudah dapat dipatahkan. Bahkan setiap kali berbenturan, tangan atau kakinya terasa sakit dan nyeri. Jelas, tenaga dalam lawan berada di atasnya.
Yang lebih hebat lagi, Suta berani menyerahkan badannya sebagai tameng, untuk menerima serangan senjata Karugi dan anak buahnya. Dan hebatnya, pemuda berjubah biru itu sama sekali tidak terluka! Malah sebaliknya, senjata-senjata itulah yang terpental balik. Bahkan tangan yang menggenggam senjata pun terasa sakit bukan kepalang.
Namun setiap kali Suta melancarkan serangan balasan, dapat dipastikan beberapa sosok tubuh akan terjengkang. Hanya saja yang menjadi bahan pemikiran Bangor. Lawannya ternyata tak bermaksud menurunkan tangan kejam. Laki-laki bertubuh pendek gemuk ini pun yakin kalau lawan tidak bersungguh-sungguh menghadapinya.
Hal ini bisa diketahui dari gerakan-gerakan sembarangan yang dilakukan Suta. Padahal, Bangor ingin mengetahui ilmu-ilmu yang dimiliki lawan. Paling tidak bisa diketahui, dari mana asal pemuda bertubuh kekar itu. Tapi sampai sekian jauh bertarung, Bangor tetap tidak mengetahuinya.
Memang, Suta seperti menyembunyikan kepandaiannya. Gerakan-gerakan mengelak atau menyerang pun, hanya yang umum saja. Pemuda berjubah biru belum mengeluarkan llmu khasnya. Meskipun Suta menghadapi lawan secara sembarangan, tetap saja Bangor tidak bisa memanfaatkan kesempatan itu. Karuan saja hal ini membuatnya penasaran bukan kepalang. Dan sebagai akibatnya, serangan-serangan laki-laki pendek gemuk ini pun jadi semakin bertambah dahsyat.
Pada akhirnya, Suta ternyata memenuhi janjinya terhadap Rara Inggar. Sambil bergerak mengelakkan serangan-serangan yang mengancam bagian-bagian berbahaya di tubuhnya, Suta menyempatkan diri untuk memperhatikan keadaan gadis berpakaian merah itu. Maka tidak aneh kalau Suta mengetahui keadaan Rara Inggar, sejak melancarkan desakan-desakan pada Samparan. Di jurus-jurus awal, Rara Inggar berhasil membuat Samparan pontang-panting.
Tapi menginjak jurus ketiga puluh, serangan-serangan yang dilancarkan gadis berpakaian merah mulai mengendur. Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus ketiga puluh dua, Rara Inggar lebih sering menangkis dan bertahan. Malah hampir tidak pernah melancarkan serangan lagi.
Sebagai seorang yang telah kenyang bertarung, Samparan tentu saja tahu kelelahan yang dialami lawan. Dan itu bisa diketahui dari napas gadis itu yang menderuderu. Memang itulah akibat yang harus ditanggung Rara Inggar. Jurus 'Tringgiling' memang terlalu banyak membutuhkan pengerahan tenaga. Padahal, gadis itu memiliki tenaga dalam yang tidak begitu kuat. Dan dengan sendirinya, kekuatan yang dimilikinya pun terbatas.
Keadaan yang dialami Rara Inggar dipergunakan Samparan sebaik-baiknya. Laki-laki tinggi kurus itu pun melancarkan serangan bertubi-tubi. Dia tidak ingin memberikan kesempatan pada gadis berambut dikuncir itu untuk memulihkan diri. Kini ganti Rara Inggar yang terpontang-panting.
Di awal-awal serangan Samparan, gadis itu memang bisa mempergunakan sepasang kakinya untuk menangkis. Tapi karena menggunakan jurus 'Tringgiling' itu semakin membuatnya semakin lelah, Rara Inggar mulai mengelak.
Tanpa menggunakan jurus Tringgiling, tidak sulit bagi Samparan untuk menghadapi Rara Inggar. Dalam beberapa gebrakan saja, gadis berambut dikuncir itu sudah dibuat terpontang-panting ke sana kemari. Bahkan hampir saja nyawanya melayang akibat cecaran serangan yang bertubi-tubi dilancarkan Samparan.
Untung di saat-saat terakhir, dia masih mampu menyelamatkan selembar nyawanya. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu Samparan tiba. Kedua tangan Rara Inggar kini telah terpojok. Dan saat itulah kedua tangan laki-laki tinggi kurus itu meluncur cepat ke arah dada kiri gadis itu.
Rara Inggar hanya bisa membelalakkan sepasang mata menanti tibanya serangan. Jangankan untuk mengelak, menangkis pun sudah tidak sempat lagi. Dan pada saat yang tepat, Suta melesat ke arahnya. Cepat bukan main gerakan pemuda berjubah biru itu. Tahu-tahu....
Plakkk...!
Tubuh Samparan terlempar ke belakang ketika tangan Suta menangkis serangan. Dan sebelum semua sempat berbuat sesuatu, pemuda bertubuh kekar itu telah menyambar tubuh Rara Inggar. Dan sekali kakinya bergerak melangkah, tubuhnya telah berada dalam jarak belasan tombak dari situ.
"Kejar...!" teriak Bangor keras memberi perintah seraya bergerak mengejar diikuti Karugi dan belasan anak buahnya. Sementara Jalatang yang sejak tadi menonton jalannya pertarungan karena keadaannya yang tidak memungkinkan, segera melesat ke arah Samparan yang terguling-guling di tanah. Samparan berusaha bangkit berdiri. Tapi....
Huaaakh...!" Darah segera muncrat dari mulutnya. Jelas laki-laki bertubuh tinggi kurus itu terluka dalam. Bahkan sambungan siku tangannya terlepas, saking kerasnya tenaga tangkisan yang dikeluarkan Suta. Jalatang yang saat itu tengah membungkukkan tubuh dan menunduk, mengangkat kepalanya begitu mendengar adanya suara langkah-langkah kaki mendekat.
Tampak Bangor, Karugi, dan belasan orang anggota Gerombolan Macan Putih. Tanpa bertanya pun laki-laki berwajah bopeng itu tahu kalau Suta dan Rara Inggar telah berhasil meloloskan diri. Dan hal itu tidak aneh. Karena, di samping ilmu meringankan tubuh pemuda berjubah biru itu memang tinggi, suasana malam yang gelap dan kerimbunan pohon, membuat Suta lebih cepat meloloskan diri. Dengan langkah lesu, rombongan Gerombolan Macan Putih itu pun kembali meninggalkan tempat itu. Rekan-rekan mereka yang luka-luka harus terpaksa ditandu atau dipapah.
"Kurasa, ketua harus turun tangan kalau masih ingin melenyapkan gadis liar itu...," kata Karugi pelan.
"Benar," sambut Bangor. “Pemuda itu memang terlalu sakti untuk kita lawan.... Hanya ketualah yang akan sanggup menaklukkannya."
"Meskipun ketua turun tangan, tapi aku masih ragu, Kang Bangor. Ilmu pemuda itu terlalu tinggi. Mungkin kalau ketua dan wakil ketua maju bersama, pemuda itu dapat dirobohkan."
Bangor menatapi Karugi dengan sinar mata penuh teguran. "Kau terlalu meremehkan ketua, Karugi. Kau tahu, semua ilmu Raja Ular Pelenyap Sukma sudah dikuasai ketua. Bahkan ketua masih mempunyai keunggulan, yaitu jurus 'Macan'nya. Hanya satu yang belum dikuasainya, yakni ilmu 'Pelenyap Sukma'. Karena, kitab dan seruling itu dirampas Dewa Muka Putih!"
"Aku tahu, Kang Bangor. Itulah sebabnya, ketua menyuruh kita menyelidiki tempat tinggal kedua orang murid Dewa Muka Putih lainnya. Karena, kitab dan seruling itu ternyata tidak berada di Perguruan Hati Naga...."
Bangor tidak menanggapi ucapan itu. Sementara Karugi pun sadar kalau laki-laki pendek gemuk itu tidak mau memperpanjang pembicaraan. Maka, dia hanya terdiam. Dan kini mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata lagi. Sama sekali Gerombolan Macan Putih itu tidak mengetahui kalau sepeninggal mereka, dua sosok tubuh pun melesat turun dari atas pepohonan. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak dan Melati?
"Kalau saja, pemuda itu tidak cepat bertindak, mungkin aku telah keburu turun tangan, Kang Arya." kata Melati.
"Lebih baik kita memang tidak ikut campur dulu, Melati," sahut Arya, tenang.
"Mengapa, Kang?" tanya Melati, putri angkat Raja Bojong Gading.
"Karena kita tidak tahu masalahnya. Kita tidak tahu, siapa yang benar dan yang salah. Bukankah kita datang, pada saat mereka tengah bertarung?"
"Tapi, Kang. Aku yakin kalau sepasang muda-mudi itu berada di pihak yang benar." bantah Melati tak mau kalah. "Siapa yang tidak kenal kekejian Gerombolan Macan Putih?!"
"Gerombolan Macan Putih?! Jadi, belasan orang berpakaian hitam itu adalah Gerombolan Macan Putih? Dari mana kau mengetahuinya, Melati?"
"Mudah saja, Kang," jawab gadis berpakaian putih itu, kalem.
Arya mengernyitkan keningnya sebentar. "Kau benar, Melati. Mereka adalah Gerombolan Macan Putih! Gambar kepala seekor macan di dada kiri mereka itu pasti yang membuatmu mengenali mereka, bukan?"
Gadis berpakaian putih itu menganggukkan kepala sambil tersenyum manis. "Lebih baik, kita susul sepasang muda-mudi itu, Melati," ujar Dewa Arak mengalihkan perhatian "Aku yakin, gerombolan itu akan terus mengejar mereka!"
"Kau benar, Kang," sambut gadis berambut panjang itu cepat "Lagi pula, tanganku sudah gatal-gatal, nih! Sudah lama aku tidak memukuli orang-orang jahat!" Arya hanya tersenyum lebar mendengar ucapan kekasihnya. Dengan mulut masih menyunggingkan senyum, kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
Melati yang tidak mau tertinggal, ikut melangkah pula. Luar biasa! Yang tampak hanyalah seleret bayangan ungu dan putih yang melesat, kemudian lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
* * * * * * * *
LIMA
Hari sudah agak siang ketika sebuah perahu meluncur ke tengah danau. "Di pulau itulah paman guruku tinggal, Suta," jelas Rara Inggar seraya menudingkan jari telunjuknya ke arah sebuah pulau yang tampak samar-samar di depan. Memang, gadis berpakaian merah itu akhirnya mengambil keputusan untuk mengajak Suta ke tempat tinggal paman gurunya.
Rara Inggar ingin memperkenalkan orang yang telah berkali-kali menyelamatkan nyawanya pada kedua paman gurunya. Dapat dibayangkan, betapa gembiranya hati Rara Inggar ketika Suta menyatakan kesanggupannya untuk ikut bersamanya. Itulah sebabnya, kini mereka berperahu berdua di tengah danau.
"Hm...." Suta hanya menggumam saja. Tangan kanan pemuda itu tetap mengayuhkan dayung. Menilik dari luncuran perahu yang cepat, bisa diperkirakan kalau pemuda berjubah biru itu mengerahkan sebagian besar tenaga dalam pada kedua tangannya. Karena perahu itu meluncur cepat, dalam waktu sebentar saja pulau kecil yang dituju telah berada di depan mata.
"Hup...! Suta melompat ketika perahunya telah mencapai tepi danau. Rara Inggar juga melompat menyusul. Dan begitu kedua kakinya telah mendarat di tanah, Suta segera menyeret perahu itu ke darat. Lalu, ditambatkannya perahu itu pada patok yang telah tersedia.
"Kau pernah kemari, Inggar?" tanya Suta setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Sudah dua kali aku kemari," jawab gadis berpakaian merah itu. Suta mengangguk-anggukkan kepala.
"Mari, Suta...," ajak Rara Inggar sambil bergerak mendahului menuju ke dalam pulau.
Suta pun melangkah mengikuti dibelakang. Semula dikira, mudah saja menemukan tempat tinggal kedua paman guru Rara Inggar setelah berada di pulau itu. Tapi ternyata tidak sesederhana itu! Ternyata, mereka berdua harus melewati kerimbunan semak-semak di sana-sini dan jalan berliku-liku.
Itu pun memakan waktu yang agak lama, sebelum akhirnya tiba di sebuah tempat yang terlihat nyaman. Memang, di kanan kiri jalan yang ditumbuhi hamparan rumput hijau halus dan dipotong pendek, juga ditumbuhi tanaman bunga-bunga dan rempah-rempah.
"Itulah tempat tinggal paman guru...." Rara Inggar menudingkan jari telunjuknya ke arah sebuah bangunan sederhana yang terletak sekitar delapan tombak di depan mereka. Sebenarnya tanpa diberi tahu, Suta sudah bisa memperkirakan.
"Paman...! Paman Karundeng…!” panggil Rara Inggar sambil berhambur ke arah seorang laki-laki setengah baya yang baru keluar dari dalam pondok.
Laki-laki kecil kurus dan berpakaian abu-abu yang dipanggil Karundeng pun bergerak menyambuti. "Inggar...! Ya Tuhan...! Kau benar, Rara Inggar...!" teriakan bernada kaget keluar dari mulut Karundeng. Karena kedua belah pihak sama-sama bergerak mendekat di pertengahan jalan tubuh keduanya bertemu dalam sebuah pelukan kerinduan.
"Inggar...! Mana ayah dan ibumu...?" tanya Karundeng sambil memeluk tubuh gadis berpakaian merah itu eraterat. Pandangan matanya beredar berkeliling mencari-cari orang tua Rara Inggar. "Dan... siapa pemuda gagah itu?"
"Ceritanya panjang, Paman..." kata Rara Inggar dengan suara tersendat-sendat. Kesedihan yang selama ini selalu ditahan karena tidak ada tempat pencurahan, ditumpahkan semua pada pamannya. Air mata yang selama ini diusahakannya untuk tidak keluar, kini tumpah ruah. Tubuh gadis berpakaian merah itu pun terguncang-guncang karena isak tangis yang melanda.
Sebagai seorang yang telah berpengalaman, Karundeng tahu kalau jiwa murid ponakannya ini tengah terguncang. Oleh karena itu dibiarkan saja, Rara Inggar menangis. Laki-laki kecil kurus ini tahu, tangis akan dapat mengurangi tekanan perasaan yang mendera keponakannya itu. Tak lama kemudian, Rara Inggar pun berhasil menguasai perasaan. Dilepaskan pelukan pada pamannya, kemudian air matanya disusut.
"Maafkan aku, Paman. Aku telah mengotori pakaian Paman..," ucap Rara Inggar malu-malu. Suara gadis berpakaian merah itu masih terdengar serak, karena habis menangis. Bahkan wajah dan hidungnya pun masih merah.
"Lupakanlah, Inggar," sahut Karundeng sambil mengelus kepala gadis berpakaian merah itu penuh kasih sayang. "Sekarang, centakanlah apa yang terjadi. Dan siapa pula pemuda yang gagah itu?"
Rara Inggar terkejut bukan main, mendengar ucapan Karundeng. Sungguh keterlaluan sekali. Dia telah mengabaikan Suta! Maka buru-buru tangannya digapaikan pada pemuda berjubah biru itu. Dengan sikap tenang seperti biasanya. Suta melangkah mendekat.
"Inilah orang yang selalu menyelamatkan nyawaku, Paman. Suta namanya..." kata Rara Inggar memperkenalkan. Suta mengulurkan tangannya.
"Ah...! Terima kasih atas pertolonganmu, Suta. Aku Karundeng," laki-laki berpakaian abu-abu itu balas mengulurkan tangan dan kemudian menggenggamnya erat-erat.
"Inggar terlalu membesar-besarkan, Paman." elak pemuda berjubah biru itu, ikut memanggil paman pada Karundeng. Perlahan-lahan genggaman tangannya dilepaskan. "Padahal pertolongan yang kuberikan tidak seberapa...."
Karundeng tersenyum lebar. Dia tahu, memang begitu seharusnya sikap seorang pendekar tulen. Paling tidak agar orang yang ditolong tidak terjerat dalam keinginan untuk membalas budi.
"O, ya. Di mana Paman Tapas Jaya, Paman?" tanya Rara Inggar ketika teringat ketidakhadiran paman gurunya yang satunya lagi.
"Dia tengah tidak mau diganggu. Inggar. Tapi, nanti akan kupanggilkan. Sekarang yang penting, ceritakanlah apa yang telah terjadi. Barangkali, Suta juga ingin mendengarnya."
Rara Inggar menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat untuk menenangkan hati. Baru setelah dirinya telah terasa tenang, gadis berpakaian merah itu mulai bercerita. Sementara, Karundeng dan Suta mendengarkannya. Meskipun sudah mendengar ceritanya dari Rara Inggar, tapi Suta tidak keberatan untuk ikut mendengarkan kembali.
Beberapa kali sewaktu Rara Inggar bercerita, Karundeng menggertakkan gigi menahan geram. Tapi perasaan geramnya itu masih kalah besar oleh perasaan terkejut yang melanda.
"Begitulah ceritanya, Paman," tutur Rara Inggar.
Karundeng tercenung beberapa saat. "Apa yang dikhawatirkan Kakang Tapas Jaya ternyata benar...." pelan dan bernada keluhan ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berpakaian abu-abu itu.
"Maksud, Paman?" tanya Rara Inggar. Kedua alisnya hampir bertautan. Suta pun menatap wajah Karundeng tajam tajam. Ada sorot pertanyaan memancar pada sepasang mata yang mencorong itu.
"Bertahun-tahun yang lalu..., Kakang Tapas Jaya telah menduga Raja Ular Pelenyap Sukma pasti akan mempunyai ahli waris. Dan dia yakin ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma akan menguasai kepandaian yang dimilikinya. Mengapa demikian? Karena bagi golongan seperti mereka, banyak jalan untuk mencapainya" Karundeng menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. "Di lain pihak, kami berempat yang menjadi murid Dewa Muka Putih tak lebih dari keledai-keledai dungu. Di antara kami semua, hanya Rupaksa yaitu ayahmu, yang paling berhasil menguasai jurus 'Trenggiling' yang dapat melumpuhkan ilmu-ilmu milik Raja Ular Pelenyap Sukma itu."
"Jadi.. ayah yang paling menguasai jurus 'Trenggiling' itu, Paman?" tanya Rara Inggar setengah tak percaya.
"Benar," Karundeng menganggukkan kepala. "Dia berhasil menguasai dua belas dari delapan belas jurus 'Trenggiling'. Itu pun tidak begitu sempurna dikuasainya. Dan menilik dari tewasnya ayahmu di tangan ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma, sudah bisa kuperkirakan kalau ahli waris itu telah mewarisi seluruh ilmu-ilmu yang dimiliki tokoh sesat yang menggiriskan itu!"
"Hm... Lalu..?" Suasana menjadi hening sejenak ketika Karundeng menghentikan ucapannya. "Kini aku mengerti...!" seru Rara Inggar tiba-tiba. ''Paman Tapas Jaya tengah berusaha menguasai jurus 'Trenggiling'. Bukan begitu?!"
Dengan perasaan berat Karundeng menganggukkan kepala. "Belasan tahun dia bergelut dengan jurus 'Trenggiling' tapi tetap hanya mampu mempelajari tiga belas jurus," Ada nada keluhan dalam ucapan laki-laki kecil kurus itu.
"Mengapa begitu, Paman?" Rara Inggar mengajukan keheranannya.
"Jurus 'Trenggiling' bukan ilmu sembarangan, Rara Inggar. Justru jurus itu malah penuh bahayanya. Apalagi bila mempelajarinya tanpa pembimbing. Akibatnya akan sangat berbahaya. Bahkan pamanmu itu mengalami nasib seperti itu."
"Maksud. Paman...?"
"Kakang Tapas Jaya selalu mengalami akibat yang tidak menyenangkan setiap kali melatih jurus keempat belas...." lanjut Karundeng setengah mengeluh.
"Ahhh...!" Rara Inggar memekik kaget.
"Satu-satunya orang yang berhasil mencapai jurus ketujuh belas adalah putra kakek gurumu Tapi, sayang...," Karundeng menghentikan ucapan. Raut wajahnya menyiratkan penyesalan yang amat hebat.
"Hhh…!" Rara Inggar menghela napas berat. Tanpa laki-laki kecil kurus itu meneruskan, sudah bisa diperkirakan kelanjutannya. Memang gadis itu sudah mengetahui nasib yang menimpa putra kakek gurunya. "Mengapa dia masih bisa dikalahkan Raja Ular Pelenyap Sukma. Paman? Bukankah dia telah menguasai hampir seluruh rangkaian jurus dalam jurus 'Tringgling'?"
"Banyak hal yang menyebabkan putra kakek gurumu itu tewas di tangan Raja Ular Pelenyap Sukma," sahut Karundeng dengan wajah murung. Rupanya kenangan menyedihkan itu belum dapat dilupakannya. Terbukti kesedihan masih tergambar di wajahnya sekalipun peristiwa itu telah lama berlalu. "Saat itu, dia masih sangat muda dan belum berpengalaman. Apalagi, untuk menghadapi seorang tokoh kawakan semacam Raja Ular Pelenyap Sukma." lanjut kakek kecil kurus itu memberi penjelasan. "Kau tahu Inggar, Raja Ular Pelenyap Sukma tidak hanya menggunakan ilmu kepandaian yang wajar untuk menghadapi lawan, tapi juga menggunakan ilmu hitam. Itulah sebabnya dia mendapat julukan Pelenyap Sukma di samping julukan Raja Ular." Karundeng menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. "Untuk menggunakan ilmu hitamnya tokoh itu menggunakan pula senjata andalannya yang bernama Suling Naga. Tanpa adanya benda itu, ilmu-ilmu hitamnya tidak akan bisa dipergunakan. Keampuhan Suling Naga memang sangat dahsyat. Dengan nada-nada tertentu. Raja Ular Pelenyap Sukma bisa memanggil segala macam ular, dan dapat diperintahkan sekehendak hatinya."
Rara Inggar mengangguk-anggukkan kepala. Perasaan ngeri menghinggapi dirinya. Sungguh tidak pernah disangka akan begitu mengerikan tokoh yang berjuluk Raja Ular Pelenyap Sukma itu. "Sulit kubayangkan ketinggian ilmu kakek guru sehingga Raja Ular Pelenyap Sukma yang begitu mengerikan bisa dikalahkan…," kata Rara Inggar seperti berbicara pada diri sendiri.
"Dengan jurus 'Trenggiling' tingkat terakhir, kakek gurumu berhasil menaklukkan Raja Ular Pelenyap Sukma. Kau tahu, Inggar. Jurus kedelapan belas 'Trenggiling' membuat Suling Naga Raja Ular Pelenyap Sukma kehilangan keperkasaannya...."
"Apakah ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma itu memiliki juga ilmu-ilmu hitam peninggalan leluhurnya, Paman?" tanya Rara Inggar.
Ada nada kegentaran pada suara gadis berambut dikuncir itu. Dan itu dapat dirasakan baik Karundeng maupun Suta. Karundeng menggelengkan kepala sambil tersenyum lebar.
"Mengapa, Paman?" desak Rara Inggar penasaran.
"Karena kakek gurumu telah mengambil Suling Naga dari tangan Raja Ular Pelenyap Sukma. Tanpa adanya senjata itu tetap saja tidak bisa menggunakannya, meskipun si ahli waris telah menghafal kitab itu."
"Lalu... di manakah Suling Naga itu, Paman?" tanya Rara Inggar ingin tahu. "Aku ingin sekali melihat bentuk suling yang memiliki nama begitu gagah."
Kakek kecil kurus itu mengangkat bahu. "Entahlah. Kakek gurumu tidak pernah membicarakan senjata itu padaku. Mungkin pada ayahmu, ibumu, atau pada Kakang Tapas Jaya. Tapi kalau menurut dugaanku, Suling Naga itu mungkn diberikan pada ayahmu, Inggar. Karena, dialah murid yang paling berbakat."
"Tapi ayah tidak menyimpan benda itu, Paman. Kalau benar dia yang menyimpannya, pasti akan diberikan padaku untuk diselamatkan…"
"Kalau begitu, benda itu pasti ada di tangan Kakang Tapas Jaya."
"Maaf, Paman,... Inggar. Kurasa aku telah terlalu lama berada di sini. Aku ingin pamit saja. Hatiku sudah lega karena kau telah tiba selamat di sini," Suta yang sejak tadi bertindak sebagai pendengar, buru-buru menyelak pembicaraan ketika Karundeng menghentikan cerita.
"Lho?!" Bukan hanya Rara Inggar saja yang terkejut, Karundeng pun demikian pula. "Mengapa buru-buru, Suta. Masuklah dulu ke dalam untuk benstirahat...," sambut Karundeng buru-buru.
"Terima kasih, Paman. Tapi, aku masih mempunyai keperluan di Desa Mentawa…," tolak Suta halus. Rara Inggar baru saja hendak membuka mulut, tapi segera ditahan karena Karundeng telah mendahuluinya.
"Baiklah, Suta. Tapi jangan lupa singgah kemari, bila kau sempat."
"Jangan khawatir, Paman. Sehabis menyelesaikan urusan di Desa Mentawa, aku akan singgah kemari," Janji Suta.
Setelah berkata demikian, Suta melesat meninggalkan tempat itu. Meskipun baru sekali ke tempat Karundeng, tapi dia tidak mengalami kesulitan untuk kembali ke tempat semula, ketika perahu ditambatkan.
* * * * * * * *
ENAM
Brosss...! Tanah keras seketika amblas sedalam betis begitu kaki kanan seorang laki-laki yang bertubuh kekar dijejakkan. Menilik akibatnya, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam pemilik kaki itu.
Dia adalah seorang laki-laki dengan bentuk tubuh kekar berotot. Dadanya telanjang dan hanya mengenakan sehelai celana panjang berwarna putih. Hanya sayangnya, wajah laki-laki bertubuh kekar berotot ini tidak tampak jelas. Dandanan yang menghias, membuat raut wajahnya jadi mirip seekor macan. Itu pun masih ditambah lagi dengan adanya bulu-bulu halus yang menempel, meramaikan selebar wajahnya.
Tidak hanya itu saja keanehan yang dimiliki laki-laki yang tampaknya memiliki kepandaian tinggi, mengingat akibat yang ditimbulkan pada tanah keras itu. Di bagian dada nya terlukis gambar kepala seekor macan putih yang besar.
"Kalian tahu, mengapa aku marah besar?!" Kembali suara menggeledek terdengar dari mulut laki-laki bertubuh kekar berotot itu. Pandangannya juga beredar ke arah puluhan orang yang berdiri di hadapannya.
Mereka rata-rata mengenakan pakaian hitam, dan memiliki sulaman gambar kepala macan putih di dada kiri. Sedangkan di sebelah laki-laki bercelana putih yang tengah marah-marah itu, tampak seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya terbuat dari kulit macan putih. Dia juga memiliki sulaman gambar kepala seekor macan pada bagian dada. Wajahnya juga penuh coreng moreng dan bulu-bulu yang membuat raut wajahnya mirip wajah seekor macan!
Laki-laki kekar dan wanita tua itu adalah Ketua dan Wakil Ketua Gerombolan Macan Putih! Puluhan orang berseragam hitam itu yang sejak tadi hanya menundukkan kepala saja, perlahan mengangguk bersamaan seperti diberi perintah. Perasaan yang melanda mereka pun sama.
Mereka sama-sama takut bukan kepalang melihat kemurkaan sang Ketua. Sehingga, terik matahari yang tepat berada di atas kepala, sama sekali tidak dirasakan. Padahal, mereka tengah berdiri di tanah lapang yang hanya sedikit ditumbuhi rumput. Sementara, di sekeliling mereka bertebaran pepohonan lebat. Tanpa disadari Gerombolan Macan Putih ternyata ada dua sosok tubuh yang tengah mengintai.
Dua orang itu, adalah pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis cantik berpakaian putih. Mereka tak lain adalah Arya dan Melati. Memang, begitu tidak menemukan jejak Suta dan Rara Inggar, Arya dan Melati akhirnya memutuskan untuk mengikuti jejak Gerombolan Macan Putih. Barangkali saja dengan mengikuti jejak gerombolan itu, Suta dan Rara Inggar bisa ditemukan.
Akhirnya setelah melakukan pencarian terus menerus, mereka berhasil menemukan tempat pertemuan Gerombolan Macan Putih. Mereka sempat melihat juga kedatangan sang Ketua yang agak terlambat, ketika matahari telah hampir berada di atas kepala. Dan begitu tiba, sang Ketua itu sudah membuat Arya dan Melati terkejut. Sang Ketua Gerombolan Macan Putih itu ternyata tengah murka!
Rasa-rasanya, akan ada anak buahnya yang diberi hukuman. Dan sepasang pendekar itu ingin mengetahui, penyebab kemarahan sang Ketua itu. Di samping itu juga ingin mengetahui secara lebih jelas duduk masalahnya. Itulah sebabnya, dari tempat persembunyian, Arya dan Melati hanya memperhatikan saja.
"Jadi kalian tahu?! Coba katakan...!" dengus Ketua Gerombolan Macan Putih.
"Karena kegagalan kami menangkap putri Ketua Perguruan Hati Naga, Ketua," Bangor yang memberanikan diri mengajukan jawaban.
"Hmh..." dengus laki-laki bertubuh kekar berotot itu. Karuan saja sambutan sang Ketua membuat wajah laki-laki pendek gemuk itu pucat. "Bagaimana dengan yang lain? Apa jawaban kalian?"
Semua kepala terangguk. Jelas mereka semua mempunyai jawaban pertanyaan yang sama.
"Bodoh kalian semua...!"
Kontan tubuh puluhan anggota Gerombolan Macan Putih itu terlonjak ketika sang Ketua mendadak membentak nyaring. Wajah mereka semuanya pucat.
"Kalian semua dengar! Aku tidak akan semarah ini bila kalian hanya gagal menangkap putri musuh leluhurku! Tapi yang membuatku marah, adanya orang-orang yang berani melanggar laranganku dan menyelewengkan perintah-perintahku di antara kalian semua." Tegas, jelas, dan keras sekali ucapan yang dikeluarkan Ketua Gerombolan Macan Putih itu. "Dan seperti yang telah kalian ketahui. Aku tidak akan mendiamkan saja orang-orang yang berani menentang perintah dan laranganku! Kuharap orang-orang yang merasa melakukan kesalahan maju ke depan, sebelum aku sendiri yang akan menyeretnya kemari!" ujar laki-laki bertubuh kekar berotot itu sambil melayangkan pandangan.
Wajah Jalatang dan Samparan pucat pasi seketika. Memang, kedua orang inilah yang telah melakukan kesalahan seperti yang telah disebutkan ketua mereka.
"Hmh...! Di samping berani menginjak-injak peraturan, orang-orang tak berguna itu tidak berani pula mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka harus dihukum berat, Kala. Biar menjadi contoh bagi yang lain," tambah wanita berpakaian kulit macan putih, dingin.
Setelah beberapa saat lamanya perintah Ketua Gerombolan Macan Putih, sama sekali tidak ada tanda-tanda akan ada yang maju mengakui kesalahan.
"Pasti akan kulakukan, Nyi Nila." sahut Ketua Gerombolan Macan Putih yang ternyata bernama Kala. Menilik dari pangilan yang dipanggil masing-masing, bisa diduga kalau kedudukan wanita tua itu tidak berada di bawah Kala.
"Baiklah. Rupanya orang yang telah melakukan kesalahan mengira bisa menyembunyikan diri dariku?!" Ada kegeraman dalam ucapan Kala. "Angkat wajah kalian semua!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, kepala puluhan orang berseragam hitam itu terangkat.
"Kalian semua perhatikan dan camkan ucapanku baik-baik! Jangan mengira kalian bisa melanggar peraturan tanpa kuketahui. Dan buktinya, akan segera kuungkapkan di hadapan kalian!"
Berpuluh puluh jantung berdebar keras penuh ketegangan. Masing-masing diri menebak-nebak, siapa orang yang telah melakukan kesalahan itu. Kala melangkah maju lambat-lambat. Karuan saja hal itu semakin menambah besar ketegangan yang melanda puluhan orang Gerombolan Macan Putih.
Meskipun ketegangan besar melanda, namun Jalatang berusaha menenangkan hati. Sehingga, wajahnya tidak terlalu gelisah. Sama saja dengan raut wajah anggota gerombolan yang lain, yang sama-sama dicekam ketegangan. Tapi ketenangan laki-laki berwajah bopeng itu mulai goyah. Jantungnya berdetak keras ketika melihat Kala bergerak menghampirinya.
Semakin Ketua Gerombolan Macan Putih itu mendekatinya, debar jantung Jalatang kian keras. Dan ketika akhirnya Kala menghentikan langkah tepat di depannya, laki-laki berwajah bopeng ini tidak bisa menahan diri Lagi. Kedua kakinya langsung menggigil hebat!
"Anjing kurap...!" desis Kaa penuh geram sambil melayangkan kaki.
Tuk, tuk...!
Jalatang memekik kesakitan ketika kaki sang Ketua menghantam kedua lututnya. Tubuhnya pun langsung terkulai karena kedua tulang lututnya langsung hancur terkena tendangan yang ditopang tenaga dalam tinggi. Tanpa mengenal kasihan sedikit pun, Kala segera menjejak kedua siku Jalatang.
Krek, krek...!
Suara berkeretek keras dua kali, menjadi pertanda hancurnya kedua tulang siku Jalatang. Kali ini tidak ada keluh kesakitan lagi dari mulut Jalatang. Bibirnya digigit kuat-kuat untuk menahan keluarnya jeritan itu. Saking kerasnya, sampai-sampai bibir itu pecah. Tak pelak lagi, darah pun mengalir. Ternyata tindakan Kala tidak berhenti sampai di situ saja. Kali ini ujung kaki kanannya bergerak. Dan dengan sebuah gerakan mengungkit, tubuh Jalatang telah dibuatnya melayang ke atas.
Brukkk...!
Diiringi suara berdebuk keras, tubuh laki-laki berwajah bopeng itu jatuh ke tanah, tepat di sebelah Nyi Nila!
"Hmh...!" Wanita setengah tua itu mendengus seraya menggerakkan kaki menekan pergelangan tangan Jalatang. Dan...
Krekkk! Tulang pergelangan tangan Jalatang pun kembali hancur. Jalatang sudah tidak mampu lagi menjerit. Siksaan Kala telah membuatnya hampir pingsan!
Memang, siksaan yang mendera tidak tanggung-tanggung. Tambahan lagi, laki-laki berwajah bopeng ini belum pulih dari luka-luka yang diderita setelah bertarung melawan Suta. Hanya suara keluhan pelan dan tak jelas yang keluar dari mulut Jalatang ketika pergelangan tangannya hancur berantakan.
Tanpa mempedulikan keadaan Jalatang yang dilemparkannya, Kala mengedarkan pandangan. Lalu, kakinya melangkah kembali. Kali ini, laki-laki bertubuh kekar berotot itu harus menyibak kerumunan anak buahnya karena orang yang dicarinya ternyata berada di bagian tengah.
Wajah Samparan seketika berubah. Menilik dari tatapan mata, bisa diperkirakan kalau sang Ketua tengah menuju ke arahnya. Dugaan laki-laki tinggi kurus itu ternyata tidak salah. Tepat di hadapannya, Kala menghentikan langkahnya.
"Cacing busuk..!" Untuk yang kedua kalinya. Ketua Gerombolan Macan Putih itu memaki. Belum lagi ucapannya lenyap, tangan Kala telah terulur. Dan....
Kreppp…!
Leher baju Samparan telah dicekal tangan Kala. Sekali tangan itu bergerak menyentak, tubuh laki-laki tinggi kurus itu telah terlempar. Tapi, Samparan memang sudah bersiap siaga sejak tadi. Maka begitu tubuhnya dilontarkan, segera ilmu meringankan tubuhnya digunakan. Samparan mempergunakan tenaga lontaran itu untuk bersalto beberapa kali di udara.
"Keparat..! Berani kau memamerkan kepandaian seperti itu di hadapanku...?!" geram Kala.
Pada saat yang bersamaan dengan lenyapnya suara makian itu, Kala menggenjotkan kaki. Seketika itu pula, tubuhnya melayang ke udara, menyusul tubuh Samparan yang tengah berjumpalitan di udara. Samparan terkejut bukan kepalang. Sepasang matanya hanya melihat sekelebatan sosok bayangan meluncur ke arahnya. Dan tahu-tahu….
Plakkk, plakkk…!
"Huakh...!" Samparan memuntahkan darah segar dari mulutnya ketika dua tangan Kala menepuk kedua bahunya.
"Hup...!" Indah dan manis Kala mendaratkan kedua kakinya di tanah. Disusul kemudian, Samparan hinggap di tanah dalam keadaan terhuyung-huyung. Lelehan cairan merah kental tampak di kedua sudut mulutnya. Tanpa mempedulikan keadaan Samparan, Kala mengalihkan pandangan ke arah puluhan anak buahnya yang hanya bisa memperhatikan semua kejadian.
"Kalian semua lihat baik-baik!" ujar Kala, pelan tapi mengandung getaran yang membuat isi dada bergetar. "Inilah orang-orang yang telah berani menentang aturanku!"
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. "Anjing kurap ini...," lanjut Ketua Gerombolan Macan Putih sambil menudingkan jari telunjuk ke arah tubuh Jalatang yang masih tergolek tanpa daya di tanah. "Telah berusaha memperkosa putri Ketua Perguruan Hati Naga."
"Ah...!" Seruan-seruan keterkejutan keluar dari mulut anggota Gerombolan Macan Putih, kecuali yang menjadi bawahan Jalatang.
Bahkan Sancang dan ketiga rekannya yang ditugaskan melenyapkan Kusuma ikut berseru kaget. Memang, keempat oang itu tidak mengetahui hal itu, bertemu di tengah jalan dengan rombongan Jalatang yang tampak terburu-buru. Dan ketika ditanyakan, hanya mendapatkan jawaban kalau Rara Inggar telah diselamatkan seorang tokoh sakti, dan mereka dipukul mundur ketika mencoba melawan.
Itulah sebabnya, Sancang menjadi terkejut mendengar ucapan Ketua Gerombolan Macan Putih. Dia hanya mampu memandang dengan mata terbelalak. Kala mengangkat tangan kanannya ke atas. Seketika itu pula, suasana yang semula riuh rendah suara teriak keterkejutan, kontan hening. Jelas, sang Ketua amat disegani anak buahnya.
"Dan cacing busuk ini," tunjuk Kala pada Samparan yang hanya dapat berdiri dengan wajah pucat. “Telah berani bertindak lancang hendak membunuh gadis liar putri Ketua Perguruan Hati Naga! Padahal, cacing busuk ini tahu kalau aku sangat membutuhkan gadis liar itu untuk mendapatkan kembali pusaka leluhurku! Suling Naga!"
Kala menghentikan ucapannya sejenak untuk melihat tanggapan anak buahnya. Sepasang matanya beredar berkeliling memperhatikan wajah wajah anak buahnya.
"Kedua orang yang telah berani menentang peraturanku ini akan mendapatkan hukuman. Terutama sekali, Jalatang! Dia telah begitu berani hendak melakukan dosa tak terampunkan dalam perkumpulan kita!"
Usai berkata demikian, Kala lalu membalikkan tubuh. Kemudian dia berjalan menghampiri Jalatang yang berada dalam keadaan setengah sadar. "Anjing kurap…! Sekarang kau harus menerima hukuman atas perbuatanmu...!"
Seiring selesainya ucapan itu, Kala mulai dengan siksaannya. Dengan senyum kecut tersungging di bibir, Ketua Gerombolan Macan Putih itu lalu mengangkat kaki kirinya. Kemudian, diletakkannya di atas paha Jalatang yang memang terbaring menelentang. Suara berkeretekan dari tulang-tulang yang patah terdengar ketika kaki Kala bergerak menekan.
Kontan tubuh Jalatang menggeliat dilanda rasa sakit yang menggelegak. Memang, tidak ada jeritan yang keluar dari mulutnya. Tapi gigitan gigi pada kedua bibirnya yang membuat darah mengalir, telah menjadi bukti kedahsyatan rasa sakit yang melanda. Seringai menggiriskan semakin tampak di mulut Kala. Kaki kirinya kembali bergerak.
Kali ini turun ke betis karena tulang tulang di paha, dan lutut Jalatang telah hancur. Maka, rasa sakti yang mendera kembali harus diterima Jalatang. Dan untuk yang kesekian kalinya pula tubuhnya menggeliat.
Tanpa mengenal rasa kasihan, Kala terus melakukan penyiksaan. Setelah tulang tulang kaki Jalatang hancur semua, tulang-tulang tangannya menyusul mendapat giliran. Siksaan itu baru berakhir ketika nyawa Jalatang melayang meninggalkan raganya. Dan itu terjadi ketika kaki kiri Kala menekan dada Jalatang hingga hancur berantakan!
Darah segar yang menghambur deras dari mulut Jalatang mengiringi melayangnya nyawa laki-laki berwajah bopeng itu ke alam baka. Dengan seringai sadis yang menghias wajah, Kala menolehkan kepala ke arah Samparan yang sejak tadi menyaksikan penyiksaan dengan hati ngeri. Padahal kalau dalam keadaan biasa, laki-laki tinggi kurus ini pasti akan tertawa terbahak-bahak.
Tapi karena sadar kalau nasib yang akan diterima tidak akan jauh berbeda dengan Jalatang, bulu tengkuknya seketika merinding. Maka ketika Kala menatap ke arahnya dengan pandangan menggiriskan. Samparan segera melompat ke belakang.
"Mau ke mana kau, Cacing Busuk...?!" dengus Ketua Gerombolan Macan Putih seraya melompat mengejar. "Jangan harap bisa lolos dari tanganku dan.... Hey...!"
Prakkk...! Kepala Samparan kontan pecah. Darah bercampur otak mengalir keluar dari bagian yang tertuka. Kala memekik kaget ketika melihat tangan Samparan bergerak memukul kepalanya sendiri. Maksud laki-laki tinggi kurus ini sudah jelas. Ingin membunuh diri! Rupanya, dia yakin kalau tidak mungkin lagi bisa lolos dari tangan laki-laki bertubuh kekar berotot itu. Maka, dipilihnya jalan singkat.
Pengecut..!" maki Kala geram ketika kedua kakinya telah mendarat di tanah. Beberapa saat lamanya pandangan laki-laki bertubuh kekar berotot itu terpaku pada mayat Samparan. Baru kemudian, dialihkan ke arah kerumunan anak buahnya.
"Besok siang kuharap kalian telah berada di pulau kecil yang terletak di tengah Danau Garu. Di sanalah sisa murid-murid Dewa Muka Putih tinggal. Di situ, ada juga gadis liar itu dan pemuda penolongnya! Seperti biasa, aku tidak akan turun tangan, sebelum diperlukan. Kalian mengerti?!"
Puluhan kepala anggota Gerombolan Macan Putih menganggukkan kepala. "Sekarang kalian boleh bubar!"
Kontan puluhan orang berpakaian hitam melangkah meninggaikan tempat itu dengan perasaan lega karena tidak terkena hukuman. Meskipun merasa lega, tapi rombongan Gerombolan Macan Putih yang ikut bersama Jalatang, dan yang ikut bersama Samparan sewaktu mengejar Suta dan Rara Inggar, dilanda keheranan. Di antara mereka yang keheranan itu termasuk pula Karugi dan Bangor!
Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak mereka semua. Benarkah Kala melihat semua itu? Ataukah hanya menduga saja? Kalau hanya menduga, tidak mungkin akan diberikan hukuman seperti itu pada anak buahnya. Dan kalau benar berada di sana, mengintai misalnya, mengapa tidak turun tangan mencegah kepergian Suta yang membawa kabur Rara Inggar?
Namun akhirnya sebuah jawaban berhasil ditemukan Bangor! Ya! Ketua Gerombolan Macan Putih itu sudah pasti berada di sana. Dan ketika Suta membawa kabur Rara Inggar, sang Ketua pun mengejar. Toh, hasilnya sudah terbukti! Kala telah berhasil menemukan tempat persembunyian sisa murid-murid Dewa Muka Putih! Ketika tidak ada lagi anggota Gerombolan Macan Putih di situ, Kala melangkah menghampiri Nyi Nila.
"Mudah-mudahan semua yang kita rencanakan berhasil dengan baik, Nyi. Maka, dendam Raja Ular Pelenyap Sukma akan terbalaskan. Di samping itu, Suling Naga akan berhasil pula kudapatkan!"
"Pasti, Kala! Aku yakin semuanya akan berhasil baik! Kalau tidak, rasanya akan sia-sia kita menundukkan tokoh-tokoh hitam itu, dan menjadikannya sebagai pengikut kita."
"Terima kasih, Nyi," ucap Kala.
"Tidak usah berterima kasih, Kala. Kau adalah cucu Raja Ular Pelenyap Sukma. Sedangkan aku adalah pelayan kakekmu. Sudah sewajarnya aku membantumu agar dendam majikanku bisa terbalaskan!"
"Yang aku heran, mengapa kau bisa secepat itu mengumpulkan mereka, Nyi?"
"Mudah saja," sahut wanita berpakaian dari kulit macan putih itu. "Dengan panah ini." Sambil berkata demikian, Nyi Nila lalu mengangsurkan busur dan sekelompok anak panah yang sejak tadi tersampir di pinggangnya. Baik busur mau pun anak panah itu tidak sebesar biasanya, tapi kecil. Paling-paling hanya berukuran setengah dari yang biasa.
Kala mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. Dan memang, dia telah mengetahui kegunaan peralatan itu. Anak panah itu berapi, dan akan dilontarkan bila hendak meminta bantuan. Pantas saja kalau semua anggota gerombolan yang bergerak mengejar dan berpencar bisa berkumpul di tanah lapang di Gunung Garu.
"Aku pergi dulu, Kala."
"Silakan, Nyi."
Belum juga gema ucapan Ketua Gerombolan Macan Putih lenyap, tubuh wanita berpakaian kulit macan itu telah melesat dari situ. Dalam beberapa kali langkah saja, tubuhnya telah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
Sepeninggal Nyi Nila, Kala pun melangkah meninggalkan tempat itu. Arah yang ditempuh berlawanan dengan nenek berpakaian merah itu. Setelah suasana di tempat itu sepi, baru Dewa Arak dan Melati keluar dari tempat persembunyiannya.
"Bagaimana, Kang? Apa yang harus kita lakukan?" tanya gadis berpakaian putih itu.
"Kita harus ke pulau kecil di tengah Danau Garu itu, Melati," ujar Dewa Arak mengambil keputusan. "Aku telah mendengar tentang tokoh yang berjuluk Dewa Muka Putih. Kalau tidak salah, dia termasuk tokoh aliran putih. Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu murid-muridnya."
Melati hanya mengangkat bahu. Dia telah percaya penuh pada pemuda berambut putih keperakan itu. Apa pun keputusan Arya, pasti disetujuinya. Karena, dia tahu kalau keputusan yang diambil kekasihnya tidak pernah salah! Tak lama kemudian, Arya dan Melati pun melesat cepat meninggalkan tempat itu.
* * * * * * * *
TUJUH
"Hhh...!" Suara helaan napas kakek tinggi besar berkepala botak mengusik keheningan pagi yang sejuk. Sehelai pakaian berwarna coklat dan longgar membungkus tubuhnya yang kokoh laksana batu karang. Kakek berpakaian kuning itu tengah duduk bersila di teras depan sebuah bangunan sederhana yang bagian depannya terhampar rapi tanaman rempah dan bungabunga.
Sementara di sana juga tergelar rerumputan hijau yang dipotong pendek. Kesejukan memang menyelimuti tempat itu. Dua sosok tubuh yang juga duduk bersila di depan kakek tinggi besar itu menundukkan kepala. Jelas hati mereka dilanda keresahan pula, sebagaimana yang dirasakan kakek berpakaian kuning.
Yang seorang adalah kakek kecil kurus berpakaian abu-abu. Sementara yang satunya, adalah seorang gadis berpakaian merah. Wajahnya yang cantik jelita. Apalagi dengan rambut yang dikuncir. Hanya saja, sayangnya saat itu nampak tengah bersedih. Meskipun begitu, tidak mengurangi kecantikannya. Dua sosok tubuh itu tak lain adalah Karundeng dan Rara Inggar.
"Apa yang kukhawatirkan ternyata terjadi juga...," kembali kakek berkepala botak mengucapkan kata-kata bernada keluhan. "Ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma, akhirnya muncul juga. Sementara, aku baru berhasil mempelajari tiga belas dari delapan belas Jurus Trenggiling. Ahhh...! Sungguh tidak kusangka kalau diriku begitu bebal..."
"Kakang Tapas Jaya.... Kau tidak usah menyesali diri. Jurus 'Trenggiling' memang sulit luar bisa. Bukankah guru pun telah mengatakannya. Kecuali orang yang sangat berbakat, sulit untuk bisa menguasainya. Apalagi sampai menguasai semuanya," hibur Karundeng.
“Tapi... bagaimana kalau ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma merajalela lagi? Siapa yang akan mampu menghadapinya?" tanya kakek tinggi besar yang ternyata Tapas Jaya, murid tertua Dewa Muka Putih!
"Kita tak perlu khawatir, Kang. Ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma tidak akan selihai dan berbahaya seperti leluhurnya," kata Karundeng bernada menenangkan. "Bukankah Suling Naga telah dirampas guru?"
"Ah...! Kau benar, Adi." sahut Tapas Jaya terkejut bercampur gembira. "Mengapa aku bisa melupakannya?"
"Jadi... kau yang menyimpan Suling Naga, Kang?"
"Benar! Benda itu kusimpan di suatu tempat. Maaf, Adi. Aku tidak bisa memberitahukanmu. Kau mau memakluminya, bukan?"
Karundeng tersenyum lebar. "Aku mengerti, Kang. Lebih sedikit orang yang tahu, lebih baik dan lebih sulit untuk bocor ketimbang diketahui banyak orang."
"Tapi, Paman...." Rara Inggar terpaksa menahan ucapannya ketika Tapas Jaya mengangkat jari telunjuk dan menempelkannya ke bibir.
"Aku mendengar ada langkah kaki menuju kemari...," bisik kakek tinggi besar itu, sebelum Rara Inggar sempat mengajukan pertanyaan.
"Banyak, Paman?" tanya Rara Inggar pelan, lebih mirip bisikan.
Tapas Jaya menggelengkan kepala. "Hanya satu orang...."
"Mungkin Suta...." duga Rara Inggar dengan wajah berseri, seraya membalikkan tubuhnya.
Tapas Jaya dan Karundeng tersenyum lebar. Meskipun gadis berpakaian merah itu tidak mengutarakannya, tapi bisa diterka-terka kalau Rara Inggar menyukai Suta. Baik Karundeng maupun Tapas Jaya sama sekali tidak melarang. Bahkan sebaliknya merestui.
Memang, Tapas Jaya telah mendengar perihal pemuda berjubah biru itu dari Karundeng dan juga Rara Inggar sendiri. Bukan hanya Rara Inggar saja yang membalikkan tubuh. Karundeng pun demikian pula. Dia juga ingin mengetahui pemilik langkah itu. Dan hanya Tapas Jaya seorang yang sama sekali tidak merubah sikap tubuhnya, karena memang tengah duduk bersila menghadap jalan. Sesaat kemudian, pemilik langkah itu pun terlihat. Dugaan Rara Inggar ternyata tidak keliru. Sutalah orangnya.
Ingin rasanya Rara Inggar bangkit dari duduk bersilanya dan menghambur ke arah Suta. Hanya saja, perasaan malu yang melanda menghalanginya berbuat seperti itu. Memang, gadis berpakaian merah itu bangkit dari duduk bersilanya. Tapi tidak lantas menghambur, melainkan melangkah perlahan menyambut Suta.
Ternyata bukan hanya Rara Inggar saja yang melangkah maju menghampiri Suta, tapi juga Tapas Jaya dan Karundeng. Tapi senyum yang mengembang di bibir Rara Inggar kontan menciut ketika melihat raut wajah pemuda bertubuh kekar yang terlihat begitu tegang.
"Ada apa, Suta?" tanya Rara Inggar khawatir, begitu telah berhadapan dalam jarak dua tombak dari pemuda berjubah biru itu. "Kau membatalkan niatmu ke Desa Garu?" Rara Inggar mengajukan pertanyaan seperti itu karena tahu kalau perjalanan dari tempat kedua pamannya ini ke Desa Garu membutuhkan waktu sehari semalam. Itu pun bila perjalanan dilakukan cepat dan tanpa henti.
"Apa boleh buat..." sambut Suta pelan.
"Mengapa, Suta?" tanya Karundeng ingin tahu.
"Kemarin malam, di perjalanan aku menyaksikan pertemuan yang diadakan Gerombolan Macan Putih," tutur pemuda berjubah biru itu memulai ceritanya.
"Ahhh...! Lalu...?" selak Rara Inggar ingin tahu. Perasaan terkejut amat sangat tampak di wajahnya.
Bukan hanya gadis berpakaian merah itu saja yang terkejut Tapas Jaya dan Karundeng pun dilanda perasaan yang sama. Hanya saja, kedua kakek itu mampu menguasai perasaan sehingga tidak tampak di wajahnya.
"Rupanya mereka telah mengetahui tempat ini, Paman, Inggar. Karena kudengar mereka hendak menyerbu tempat ini."
"Ahhh….!" desah Rara Inggar seraya menatap wajah Karundeng dan Tapas Jaya berganti-ganti. "Apa yang harus kita lakukan, Paman?"
Tapas Jaya dan Karundeng tidak langsung menjawab. Dahi kedua orang itu nampak berkernyit dalam. Jelas, kedua kakek sakti itu tengah memikirkan masalah yang dibawa Suta.
"Kita lihat saja dulu keadaannya, Inggar," jawab kakek bertubuh tinggi besar itu. "Kalau memang perlu, kau dan Suta harus pergi dari sini menyelamatkan diri. Biar aku dan Karundeng yang akan menahan mereka."
"Mengapa Paman tidak ikut bersama kami meninggalkan tempat ini saja?" tanya Rara Inggar.
"Kami bukan pengecut-pengecut yang takut mati, Inggar. Apa pun yang terjadi, kami tidak akan meninggalkan tempat ini!" tandas Karundeng mantap. Nada suara kakek berpakaian abu-abu ini mengandung ketegasan yang tidak bisa dibantah lagi.
"Kalau begitu, kami pun tidak akan meninggalkan tempat ini! Kami akan melawan Gerombolan Macan Putih itu sampai titik darah penghabisan! Bukan begitu, Suta?"
"Jangan bertindak bodoh, Inggar!" sergah Tapas Jaya keras. "Kami berdua sudah tua. Mati sekarang atau nanti tidak menjadi persoalan. Sedangkan kau masih sangat muda. Adalah sebuah tindakan bodoh untuk membuang nyawa secara percuma…"
"Tapi, Paman..." Rara Inggar terpaksa menahan ucapannya ketika melihat kakek berkepala botak itu mengangkat tangan, mencegahnya bicara lebih lanjut.
"Dan tindakan bodoh kedua yang kau lakukan adalah usahamu melibatkan Suta dalam persoalan kita. Kau ingin Suta menjadi buruan Gerombolan Macan Putih itu?!"
Rara Inggar terdiam. Ucapan Tapas Jaya tidak hanya sampai di situ saja. Kepalanya ditolehkan ke arah Suta yang sejak tadi diam mendengarkan.
“Terima kasih atas pemberitahuanmu, Suta. Kuharap kau segera pergi dari sini sebelum terlibat terlalu jauh yang akibatnya membuat kami menyesal seumur hidup. Kami tidak ingin orang luar yang tidak tahu apa-apa, jadi korban karena kami."
"Paman..!" seru Rara Inggar kaget.
"Hhh...!" Suta menghembuskan napas berat. Sesaat lamanya dia terdiam, dan hanya menatap wajah-wajah di hadapannya berganti-ganti.
"Aku memang orang luar, Ki," kata pemuda berjubah biru itu merubah panggilannya. "Tapi, aku tidak bisa meninggalkan Rara Inggar di sini menghadapi Gerombolan Macan Putih."
Tapas Jaya dan Karundeng terdiam, sedangkan Rara Inggar menundukkan kepala begitu ucapan Suta selesai. Memang, meskipun hanya segitu, tapi cukup untuk diketahui maksud yang tersirat di dalamnya.
"Kalau kau memang tidak ingin melihat Rara Inggar celaka, bawa dia pergi dari sini, Suta. Kupercayakan murid keponakanku ini padamu," ujar Tapas Jaya setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Kalau menurut pendapatku, lebih baik kita lihat dahulu perkembangannya. Apabila betul Gerombolan Macan Putih datang dan kita tidak bisa menanggulanginya, baru Suta dan Rara Inggar harus pergi pergi dari sini. Dan...."
"Kalau saja keadaanku memungkinkan, usulmu itu bisa kuterima, Adi," selak Tapas Jaya.
"Ap... apa maksudmu...?"
"Hhh…! Aku mengalami luka dalam yang lumayan parah ketika memaksakan diri menguasai jurus keempat belas 'Tringgiling'...."
"Kenapa kau tidak segera mengobatinya, Kang?!" tanya Karundeng kaget.
''Karena aku ingin melihat dan bercakap-cakap dulu dengan murid keponakanku...."
“Paman...!" seru Rara Inggar sambil menghambur ke arah kakek berkepala botak itu. Ada isak tangis keluar dari mulut gadis berpakaian merah itu karena perasaan haru yang menggelegak. Sungguh tidak disangka akan sebesar itu kasih sayang Tapas Jaya padanya, sehingga rela menangguhkan pengobatannya demi untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan murid keponakannya!
Tapas Jaya tersenyum lebar. Kedua tangannya mengembang. Disambutnya tubuh yang menghambur ke arahnya, lalu direngkuhnya penuh kasih sayang. Kedua tangannya yang masih tampak kekar, meskipun telah dipenuhi keriput di sana-sini, mengelus-elus rambut hitam dan tebal milik Rara Inggar.
"Maukah kau memenuhi permintaan terakhir kami berdua, Inggar?" tanya Tapas Jaya. Rara Inggar mendongakkan kepala, kemudian perlahan kepalanya terangguk. "Kau dan Suta pergi dari sini."
Rara Inggar terperanjat sebentar, tapi kemudian tersenyum walaupun getir. "Kalau hal itu dapat membuat hati Paman berdua gembira, aku mau memenuhinya," kata gadis berambut dikuncir itu dengan suara serak.
"Bukan hanya gembira saja, Inggar. Tapi juga bahagia. Kami akan berbahagia sekali bila kau sudi memenuhi permintaan kami...."
"Ada apa, Paman?" tanya Rara Inggar ketika melihat kakek tinggi besar itu menghentikan ucapannya secara mendadak.
"Aku mendengar banyak langkah kaki menuju kemari...."
"Banyak?" selak Suta. “Jangan-jangan mereka adalah Gerombolan Macan Putih."
"Mungkin kau benar, Suta," kali ini Karundeng yang menanggapi. "Menilik dari suaranya, jumlah mereka tak kurang dari dua puluh orang...."
"Kalau begitu kita harus bersiap-siap menghadapinya," tegas Rara Inggar gagah sambil melepaskan pelukannya.
“Tapi, ingat. Begitu keadaan tidak menguntungkan, kau dan Suta harus segera meninggalkan tempat ini!"
Rara Inggar mengangguk. "Aku bukan orang yang suka menarik kembali ucapan yang telah keluar dari mulutku. Paman"
"Bagus! Aku percaya padamu...!"
* * * * * * * *
DELAPAN
Dugaan Suta tidak keliru. Di kejauhan tampak banyak sosok tubuh berpakaian hitam yang tengah bergerak cepat menuju ke arah mereka.
"Itukah Gerombolan Macan Putih yang telah menghancurkan perguruan ayahmu, Inggar?" tanya Tapas Jaya.
Rara Inggar mengangguk. Pandangannya tertuju ke arah sosok-sosok tubuh yang berada jauh di sana dengan sorot mata mengandung dendam.
"Mari kita sambut mereka!" kata Karundeng sambil melangkah meninggalkan pondok.
Tapas Jaya, Rara Inggar, dan Suta bergegas mengikuti. Pandangan mata mereka tertuju pada puluhan sosok tubuh yang semakin lama semakin bergerak mendekat. Memang, rombongan itu tak lain adalah Gerombolan Macan Putih! Berdiri paling depan adalah Nyi Nila, Bangor dan beberapa orang pemimpin kelompok.
"Serbu...!" teriak Nyi Nila seraya mengibaskan tangan kanan ke depan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, puluhan Gerombolan Macan Putih meluruk ke arah rombongan Tapas Jaya. Suara suara berdesing nyaring dan berkeredep sinar-sinar berkilatan mengiringi tercabutnya golok bergagang kepala macan putih. Maka dengan senjata terhunus di tangan, Gerombolan Macan Putih menerjang.
Serbuan Gerombolan Macan Putih itu disambut hangat oleh rombongan Tapas Jaya. Sementara Rara Inggar tanpa ragu-ragu lagi segera menghunus pedangnya. Tapi Tapas Jaya, Karundeng, dan Suta sama sekali tidak menggunakan senjata. Dengan tangan telanjang, mereka menghadapi serbuan puluhan Gerombolan Macan Putih.
Seperti telah diatur saja, Nyi Nila segera melesat ke arah Karundeng. Tapas Jaya dikepung Bangor, seorang pemimpin regu lagi dan empat orang pemimpin kelompok. Sedangkan sisa pemimpin kelompok yang berjumlah tujuh orang dan puluhan orang Gerombolan Macan Putih lainnya, mengeroyok Rara Inggar dan Suta.
Pertarungan sengit dan mati-matian pun tak bisa dielakkan lagi. Memang, masing-masing pihak telah mengeluarkan seluruh kemampuan. Di antara semua orang yang tengah bertarung, hanya Tapas Jaya saja yang merasa menyesal bukan kepalang.
Mengapa lawan datang di saat dirinya belum berhasil memulihkan kesehatannya. Sehingga, kelihaiannya menurun jauh. Oleh karena itu, Tapas Jaya mengalami sedikit kesulitan untuk menghadapi keroyokan enam orang lawan. Terutama sekali Bangor dan rekan setingkatannya.
Ternyata bukan hanya Tapas Jaya saja yang mengalami kesulitan. Karundeng, Rara Inggar, dan Suta pun mengalami hal yang sama. Karundeng yang menghadapi Nyi Nila dibuat terpontang-panting ke sana kemari. Memang, tingkat kepandaian kakek berpakaian abu-abu ini hanya sedikit di atas ibu Rara Inggar yang tewas di tangan Nyi Nila. Maka tidak aneh kalau Karundeng menghadapi lawan berat.
Di antara keempat orang itu, yang terlihat menggebugebu hanya Rara Inggar seorang. Pedang di tangannya melesat ke sana kemari mencari-cari sasaran. Tapi, serangannya selalu kandas, karena lawan-lawan yang dihadapi terlalu berat. Empat orang pemimpin kelompok. Padahal seorang di antara mereka saja, memiliki kepandaian yang hanya berselisih sedikit saja daripadanya. Dan kini gadis berpakaian merah itu menghadapi empat orang sekaligus.
Akibatnya, dia terpontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Sebuah keuntungan bagi Rara Inggar. Suta selalu memperhatikan keadaannya. Pemuda itu selalu melesat menolong, apabila Rara Inggar berada dalam keadaan bahaya. Padahal, Suta tengah menghadapi keroyokan banyak lawan. Hal ini pun tak lepas dari perhatian Karundeng dan Tapas Jaya, walaupun memang hanya sekilas saja terlihat.
Diam-diam kedua tokoh sakti itu bersyukur, Rara Inggar mendapatkan seorang yang bersedia melindunginya dari segala bahaya. Kalau melihat dari letak pulau kecil itu, kemungkinan pertarungan dilihat orang tipis sekali. Tapi ternyata ada juga orang yang menyaksikan pertarungan mati-matian itu. Sang penonton itu berjumlah dua orang, dan mengintai dari balik kerimbunan pepohonan. Mereka tak lain adalah Melati dan Arya.
"Bagaimana, Kang? Apakah kita pertu turun tangan sekarang?" tanya Melati yang sudah tidak sabar lagi untuk segera terjun dalam pertarungan.
"Sabar dulu, Melati," sahut Arya.
"Aku ingin melihat kehadiran Ketua Gerombolan Macan Putih dulu. Dan lagi, ada hal hal yang mencurigakan hatiku...."
"Apa itu, Kang?" tanya Melati ingin tahu.
"Maaf Melati. Aku tidak bisa mengatakannya. Dan andaikata dugaanku benar, aku tak ingin kau terkejut... Tambahan lagi, aku ingin melihat kau berusaha berpikir dan memperhatikan pertempuran."
"Hm...," Hanya gumam pelan tak jelas dari mulut gadis berpakaian putih yang menyambuti ucapan Arya.
"Hanya yang perlu kau ketahul, Melati. Aku yakin Ketua Gerombolan Macan Putih telah berada dalam kancah pertarungan. Hanya saja, belum mau mengunjukkan diri. Mungkin ada sesuatu yang ditunggunya,"
"Mengapa kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu, Kang?" tanya Melati lagi.
“Tentu saja dari pengamatan jalannya pertarungan," kalem jawaban pemuda berambut putih keperakan itu. Melati pun diam. Dan kini pandangannya kembali dialihkan ke arah pertarungan.
Sementara itu di antara pertarungan. Tapas Jaya mulai dilanda rasa was-was. Telah hampir lima puluh jurus bertarung, tapi tidak juga mampu merobohkan lawan seorang pun. Kerja sama enam orang lawan benar-benar menyulitkannya. Apa lagi keadaannya memang tidak menguntungkan.
Sambil lalu, diliriknya Karundeng. Ternyata tidak jauh beda dengannya. Begitu pula keadaan Rara Inggar. Hanya Suta saja yang keadaannya lebih baik. Meskipun kelihatan terdesak, tapi selalu menolong Rara Inggar pada saat gadis itu dalam keadaan berbahaya.
"Inggar, Suta...! Ombak besar, gulung layar...!" teriak Tapas Jaya menyuruh sepasang muda-mudi itu menyelamatkan diri. Sengaja kakek berkepala botak ini menggunakan bahasa rahasia untuk membuat pihak lawan tidak mengetahui maksudnya.
Rara Inggar menoleh ke arah Suta. Dan dengan sebuah gerakan mengejutkan, pemuda berjubah biru itu melesat cepat, dan tahu-tahu telah berada di sebelah Rara Inggar. Tapi para pengeroyok Suta mana mau membiarkannya? Mereka pun bergerak mengejar. Kini Rara Inggar dan Suta bersama-sama dalam satu kurungan puluhan Gerombolan Macan Putih.
"Mintalah sesuatu untuk kenang-kenangan, Inggar. Agar kita bisa selalu mengingat beliau, anggaplah sebagai eh... hadiah perkawinan dari mereka," ujar Suta.
Belum juga Rara Inggar sempat menyambuti ucapan itu, kembali Gerombolan Macan Putih telah meluruk menyerbu. Terpaksa mereka berdua bahu membahu menghadapinya.
"Mari kita menuju tempat paman untuk memberi tahu, Inggar... Teroboslah cepat, aku akan melindungimu..."
Tanpa ragu-ragu, Rara Inggar bergerak menerobos kepungan. Tentu saja, para pengeroyok tidak sudi membiarkannya. Berbondong-bondong mereka bergerak menghadang. Hujan senjata pun bertubi-tubi mengancam berbagai bagian tubuh gadis berpakaian merah itu. Tapi semua hambatan itu kontan buyar berantakan ketika Suta menggerak-gerakkan tangannya.
Angin kuat berhembus dari kedua tangan pemuda berjubah biru itu, sehingga membuat tubuh-tubuh lawan berpentalan seperti dilanda angin ribut. Tak terkecuali tubuh-tubuh para pemimpin kelompok. Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Suta.
"Maaf, Paman...!" Sambil berteriak keras, tubuhnya meluruk ke arah enam orang pimpinan Gerombolan Macan Putih yang tengah mengeroyok Tapas Jaya. Tangan dan kakinya melancarkan serangan bertubi-tubi.
Enam orang pimpinan Gerombolan Macan Putih itu terkejut bukan kepalang ketika menyadari kedahsyatan serangan lawan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera tubuhnya dibanting dan bergulingan menjauh. Kesempatan yang hanya sesaat itu dimanfaatkan Rara Inggar sebaik-baiknya.
"Kami minta sesuatu sebagai kenang-kenangan dari Paman, sekaligus sebagai hadiah pernikahan kami... Paman," pinta Rara Inggar dengan wajah berubah merah.
Benak Tapas Jaya berputar cepat. Apa yang pantas untuk diberikan? Dia tidak memiliki apa pun yang cukup berharga, kecuali…. Suling Naga! Bertepatan dengan berhasilnya kakek berkepala botak itu menemukan hadiah untuk Rara Inggar, serangan-serangan dari enam orang lawan kembali tiba. Sedangkan Suta sudah sibuk menahan pengeroyok yang tadi ditinggalkan.
"Ambil hadiah itu di dalam tanah di bawah pohon Melati… Inggar," ujar Tapas Jaya seraya menyambut datangnya serangan lawan.
Belum juga Rara Inggar melaksanakan perintah itu, Suta sudah melesat meninggalkan lawan-lawannya. “Tahan mereka dulu, Inggar. Aku yang akan mengambil hadiah itu!"
Mau tidak mau, Rara Inggar pun terpaksa menghadapi lawan-lawannya karena Suta sudah melesat meninggalkan. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, dia sudah dibuat terpontang-panting ke sana kemari.
Suta segera mengedarkan pandangan ke arah tanaman depan pondok, begitu telah keluar dari kancah pertarungan. Sesaat kemudian, senyumnya berseri ketika telah melihat pohon melati. Hanya ada satu tanaman melati di sekitar situ. Jadi, tidak mungkin salah lagi. Tapi sebelum sempat menghamiri pohon itu, belasan orang Gerombolan Macan Putih telah menyerbunya. Memang, Rara Inggar tidak mampu mencegah mereka yang tengah memburu Suta karena terlalu banyak lawan yang dihadapinya.
"Keparat..!" Suta menggeram keras. Kedua tangannya bergerak cepat memapak hujan senjata yang menuju ke arah berbagai bagian tubuhnya. Suara berdetak keras senjata senjata yang berpatahan, dan jeritan kesakitan belasan Gerombolan Macan Putih terdengar meningkahi tubuh-tubuh yang berpentalan.
Tanpa mempedulikan keadaan lawan-lawannya, Suta segera melesat menghampiri pohon melati. Tangannya diulurkan mencengkeram batang pohon itu, kemudian bergerak mencabut. Brelll..! Pohon itu tercabut sampai ke akar-akarnya. Tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, Suta melemparkan pohon melati itu. Pandangannya langsung dialihkan ke arah lubang yang kini terbentuk.
Wajah pemuda berjubah biru ini kontan berseri ketika melihat sebuah buntalan kain kuning di dasar lubang. Dengan tangan menggigil dan dada berdebar tegang, diambilnya buntalan kain itu, lalu dikeluarkan isinya.
"Suling Naga...," desis Suta. Wajahnya kontan berseri dan sepasang matanya berbinar-binar pertanda tengah dilanda perasaan gembira yang menggelegak. Sepasang matanya menatap ke arah benda yang kini tergeletak di tangan. Sebuah suling yang pada bagian ujungnya terdapat bentuk kepala seekor naga. Sementara, badan ular naga itu melilit di sekitar badan suling.
"Ha... ha... ha...!" Mendadak Suta tertawa terbahak-bahak. "Akhirnya kudapatkan juga benda ini. Ha ha ha...!"
"Berikan senjata itu pada kami...!" teriak Karugi sambil melangkah maju diikuti belasan temannya yang tadi memekik kesakitan ketika senjata mereka berpatahan.
"Hentikan pertempuran...!"
Kontan semua Gerombolan Macan Putih menghentikan gerakan. Mereka semua mengenal pemilik suara yang melengking nyaring itu. Suara Nyi Nila, Wakil Ketua Gerombolan Macan Putih! Seiring selesai ucapan itu, tubuh Nyi Nila melenting ke belakang. Dia kemudian bersalto beberapa kali di udara, lalu mendarat beberapa tombak dari tempat semula.
Karundeng sama sekali tidak mengejar, tapi sebaliknya malah bergerak mendekati Rara Inggar dan Tapas Jaya yang telah bersama-sama. Memang, lawan telah bergerak menjauh akibat perintah yang dikeluarkan Nyi Nila.
"Inggar...! Cepat kau lari…!" perintah Tapas Jaya seraya mendorong tubuh gadis berpakaian merah pelan. Tanpa membuang-buang waktu, Rara Inggar berlari menghampiri Suta.
"Mari, Suta...!" Melihat tindakan Rara Inggar, belasan orang Gerombolan Macan Putih sudah bergerak dan siap mengejar. Tapi....
"Tahan...!" Lagi-lagi suara Nyi Nila terdengar menggelegar membuat gerakan Gerombolan Macan Putih itu tertahan.
Hanya pandangan mata keheranan saja yang menjadi saksi kalau mereka merasa bingung mendengar perintah itu. Gilakah Nyi Nila? Kalau tidak, mengapa seperti sengaja memberikan kesempatan kabur pada Rara Inggar? Karena tidak ada yang bergerak menghalangi, tidak ada kesulitan bagi Rara Inggar untuk tiba di dekat Suta.
"Mari kita pergi, Suta...!" ajak Rara Inggar. Agak heran hatinya melihat sikap pemuda berjubah biru itu.
"Pergi? Ha... ha... ha…! Aku memang akan pergi, Wanita Liar! Tapi setelah kau dan kakek-kakek jompo itu kulenyapkan! Apalagi, pusaka leluhurku telah berada di tanganku…!" kasar dan keras sekali ucapan yang keluar dari mulut pemuda kekar itu.
Wajah dan sepasang mata yang semula lembut, kini berubah beringas, penuh hawa membunuh. Karuan saja ucapan dan perubahan sikap Suta bukan hanya membuat Rara Inggar tersentak kaget. Tapas Jaya dan Karundeng, serta belasan Gerombolan Macan Putih pun begitu terkejut. Orang-orang berpakaian hitam itu merasa heran melihat di antara lawan ada perselisihan.
"Kau..? Kau...?! Apa maksudmu...?!" tanya gadis berpakaian merah itu terbata-bata.
“Inggar...! Cepat kemari !" teriak Tapas Jaya yang sudah menyadari adanya gelagat yang tidak menguntungkan. Ucapan Suta telah membuat dirinya sadar, siapa adanya pemuda berjubah biru itu.
"Tapi, Paman…," Rara Inggar mencoba membantah.
"Cepat kemari...! Dia adalah ahli waris Raja Ular Pelenyap Sukma...!" teriak Tapas Jaya lagi.
"Ah...! Benarkah itu... Suta?" tanya Rara Inggar gagap seraya melangkah mundur.
"Ha ha ha...!" Bukannya jawaban yang diperoleh Rara Inggar, tapi sebuah tawa bergelak yang menyeramkan. Tapi mendadak saja tawanya dihentikan, dan diputuskan dengan dengus.
"Hih...!" Prall...! Pakaian yang dikenakan Suta langsung hancur berkeping-keping, ketika terdengar suara berkerotokan keras. Seolah-olah seluruh tulang di tubuh pemuda berjubah biru itu hancur berantakan. Kini Suta berdiri kokoh tanpa mengenakan pakaian lagi. Pemuda berjubah biru itu kini bertelanjang dada. Sehingga, tampak otot-otot dan urat-urat yang bertonjolan di sekujur tubuhnya.
Tapi bukan itu yang membuat semua pasang mata, kecuali mata Nyi Nila, terbelalak. Gambar kepala seekor macan putih besar di bagian dada Sutalah yang membuat mereka semua hampir terlonjak. Tanda seperti itu hanya dimiliki Ketua Gerombolan Macan Putih! Jadi, Suta adalah....
"Kau...?!" jerit Rara Inggar dengan perasaan hancur. Sama sekali tidak disangka, orang yang selama ini menolongnya adalah pembunuh ayahnya. Dialah keturunan Raja Ular Pelenyap Sukma. Beberapa saat lamanya gadis itu hanya terpaku kaku. "Keparat..! Kubunuh kau...!"
"Inggar...!" Karundeng dan Tapas Jaya sama-sama berseru kaget ketika melihat Rara Inggar melancarkan serangan ke arah Suta. Pedang di tangan gadis berpakaian merah itu meluncur deras ke arah tenggorokan Ketua Gerombolan Macan Putih.
"Hmh...!" Suta hanya mendengus. Ditunggunya hingga serangan menyambar dekat, kemudian tangannya diulurkan. Dan....
Tappp...! Pedang Rara Inggar berhasil dicekalnya. Dan sekali tangannya bergerak menekuk, kontan senjata itu patahpatah. Akibatnya tubuh gadis berpakaian merah itu terhuyung- huyung.
"Habisi mereka...!" perintah Suta yang ternyata adalah Ketua Gerombolan Macan Putih.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Gerombolan Macan Putih bergerak menyerbu rombongan Tapas Jaya. Kini Bangor, Karugi, dan sebagian besar Gerombolan Macan Putih yang menjadi anak buah Jalatang mengerti, mengapa Ketua Gerombolan Macan Putih itu tahu orang-orang yang melanggar aturan gerombolan itu. Karena tanpa sepengetahuan mereka sang Ketua berada di sana waktu itu! Suta alias Ketua Gerombolan Macan Putih menghampiri Nyi Nila yang telah menjauhi arena pertarungan.
"Bagaimana, Nyi? Rencanaku berhasil baik, bukan? Berarti nama Kala Suta tidak jadi kubuang! Bukankah begitu tekadku, Nyi?"
Wanita berpakaian kulit macan putih ttu menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Kau akan lebih sakti dari kakekmu sendiri, Kala. Kau akan menguasai dunia persilatan!" tegas Nyi Nila yakin seraya menatap Suling Naga yang dipegang Kala Suta. "Tapi, ingat. Larang setiap anak buahmu memperkosa wanita! Kau tahu, betapa besar kengerian yang melanda hati wanita yang akan diperkosa!"
"Akan kuperhatikan ucapanmu, Nyi!" sahut Suta yang ternyata memiliki nama lengkap Kala Suta.
"Kala...! Lihat..!" seru Nyi Nila sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah pertarungan.
Terdengar suara gemeretak dari mulut Kala Suta ketika sepasang matanya mengikuti arah tudingan telunjuk wanita berpakaian kulit macan putih itu. Betapa tidak? Di kancah pertarungan ternyata bukan anak buahnya yang tengah membantai lawan. Tapi, justru anak buahnya yang tengah dibantai! Saking asyiknya terlibat percakapan, Kala Suta dan Nyi Nila sama sekali tidak curiga mendengar jeritan-jeritan kematian sejak tadi. Rupanya, jeritan itu keluar dari mulut anak buahnya!
"Siapa keparat-keparat busuk itu, Nyi?!" tanya Kala Suta sambil menatap penuh perhatian pada dua sosok tubuh yang tengah sibuk merobohkan Gerombolan Macan Putih.
Dua sosok tubuh yang tak lain dari Arya dan Melati rupanya telah ikut campur tangan. Beberapa sosok tubuh lawan tampak bergeletakan tanpa nyawa di tanah. Nyi Nila menggeleng.
"Siapa pun adanya kedua orang itu, mereka harus dilenyapkan! Mari, Nyi. Kita bunuh mereka!"
Sambil berkata begitu, Kala Suta dan Nyi Nila melompat ke dalam kancah pertarungan. Seperti telah dimufakati lebih dahulu, Kala Suta langsung menerjang Dewa Arak. Sementara, Nyi Sula langsung menerjang Melati. Tanpa sungkan-sungkan lagi, mereka mengirimkan serangan bertubi-tubi dan mematikan ke arah berbagai bagian tubuh sepasang pendekar itu. Arya dan Melati tidak menjadi gugup, dan buru-buru menangkis. Seluruh tenaga dalam dikerahkan dalam tangkisan itu.
Plak, plak, plak...!
Suara nyaring seperti beradunya dua batang logam keras terdengar ketika empat pasang tangan itu berbenturan. Tubuh mereka pun sama-sama terhuyung ke belakang. Sadar akan ketangguhan lawan, Dewa Arak segera mengambil guci araknya yang terletak di punggung, kemudian dituangkan ke mulut. Gluk... gluk... gluk...! Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Arya. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun limbung.
Kala Suta sama sekali tidak memberi Dewa Arak kesempatan. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka lurus dan menegang kaku meluncur bertubi-tubi menimbulkan suara berdesing nyaring. Inilah Jurus 'Ular', warisan Raja Ular Pelenyap Sukma.
Cit, cit, cit...! Suara mendecit nyaring menjadi pertanda kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu.
Tapi lawan yang dihadapinya adalah Dewa Arak. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', serangan itu mudah saja dikandaskan. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu balas menyerang yang tak kalah dahsyat. Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun berlangsung. Bukan hanya pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Kala Suta saja yang berlangsung ramai.
Pertarungan Melati melawan Nyi Nila, dan pertarungan rombongan Tapas Jaya menghadapi Gerombolan Macan Putih pun berlangsung tak kalah seru. Riuhnya suara denting senjata beradu, gerakan setiap tokoh-tokoh tingkat tinggi, serta jerit kematian dari mulut anggota Gerombolan Macan Putih, meningkahi pertarungan sengit itu. Memang, setelah tanpa Nyi Nila ikut bertarung. Tapas Jaya, Karundeng, dan Rara Inggar tidak mengalami kesulitan mendesak Gerombolan Macan Putih.
Apalagi, dua pemimpin regu, dan beberapa orang pimpinan kelompok sudah roboh di tangan Arya dan Melati. Sehingga, lawan yang tinggal kebanyakan hanya keroco saja. Tak sampai tujuh puluh jurus, hanya tinggal beberapa gelintir saja Gerombolan Macan Putih yang tersisa. Dan itu pun tak berlangsung lama. Dua jeritan kematian mengiringi robohnya dua orang terakhir Gerombolan Macan Putih.
Tapas Jaya, Karundeng, dan Rara Inggar menghentikan gerakan. Lalu, mereka menghapus peluh yang membasahi kening dan leher. Kini perhatian mereka beralih pada pertarungan antara Dewa Arak melawan Kala Suta, dan Melati melawan Nyi Nila. Memang hebat bukan kepalang pertarungan yang terjadi. Terutama sekali pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Kala Suta.
Dalam hati, Dewa Arak harus mengakui kelihaian lawan. Jurus 'Ular' milik lawannya mengingatkannya pada lawan tangguhnya dulu yang juga memiliki jurus 'Ular Terbang' (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode perdana Pedang Bintang). Seluruh kemampuan yang dimilikinya telah dikeluarkan. Kedua tangan, guci, dan semburan araknya juga telah dikeluarkan. Tapi tetap saja mengalami kesulitan menanggulangi lawan. Baru pada jurus keseratus dua puluh lima, lawannya berhasil ditekan.
Ternyata bukan hanya Arya saja yang berhasil mengungguli lawan. Melati pun demikian pula. Pedang di tangannya dalam penggunaan ilmu 'Pedang Seribu Naga' menggerung mendesak Nyi Nila yang bersenjatakan sepasang pisau bergagang kepala seekor harimau. Pada jurus keseratus enam puluh dua, Kala Suta yang kini telah menggunakan Suling Naga melompat menerjang Dewa Arak. Suling Naga di tangannya menotok cepat ke arah dada, menimbulkan suara berciutan nyaring.
Menyadari akan kedahsyatan serangan itu. Dewa Arak segera melangkahkan kaki ke kanan seraya mendoyongkan tubuh sehingga serangan itu lewat di sebelah kirinya. Di saat itulah kaki kiri Arya melayang ke arah dada. Kedudukan Kala Suta yang saat itu tidak menguntungkan berusaha keras mengelak. Tapi…
Desss...!
Telak dan keras bukan kepalang tendangan itu mengenai sasarannya. Diiringi suara berderak dari tulang-tulang yang patah, dan darah menyembur dari mulut, tubuh Ketua Gerombolan Macan Putih itu melayang ke belakang dan jatuh ke tanah. Pada saat yang tepat, Dewa Arak cepat melompat. Begitu tubuh Kala Suta telentang, kaki Arya dijatuhkan, tepat di leher Ketua Gerombolan Macan Putih itu. Sebentar Kala Suta kelojotan, lalu diam tidak bergerak lagi. Mati!
Pada saat kematian Kala Suta, Nyi Nila menusukkan kedua pisaunya bertubi-tubi ke arah dada Melati. Tapi dengan sebuah genjotan pelan pada kaki, gadis berpakaian pulih itu telah membuat serangan lawan tidak mengenai sasaran, dan hanya meluncur lewat di bawah kakinya. Memang, Melati telah melompat ke atas. Dan dari atas, dengan kecepatan luar biasa Melati menusukkan pedangnya ke arah kepala Dan...
Cappp...!
"Aaakh...!" Nyi Nila menjerit ngeri. Tubuhnya pun roboh ke tanah, berbarengan dengan hinggapnya kedua kaki Melati. Sesaat tubuh Wakil Ketua Gerombolan Macan Putih itu menggelepar, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak dan Melati segera melesat meninggalkan tempat itu.
"Anak Muda! Tunggu..!" Karundeng berusaha mencegah kepergian Arya, tapi terlambat. Karena, hanya dalam beberapa langkah saja tubuh sepasang muda-mudi itu telah mengecil.
Rara Inggar hanya dapat menatap mayat Kala Suta dengan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk. Pandangan matanya pun tetap tidak bergeming, meski Tapas Jaya berjalan menghampiri mayat Kala Suta dan mengambil Suling Naga.
Sementara, Karundeng masih telah melayangkan pandangannya ke depan, ke arah tubuh Dewa Arak dan Melati yang telah semakin mengecil. "Sayang sekali, kedua orang itu cepat pergi. Ingin aku berkenalan dengan sepasang anak muda yang begitu sakti…Ahhh…! Mereka berdua memang pendekar-pendekar sejati...."
Matahari perlahan mulai gelincir dari titik tengahnya. Tapi Rara Inggar, Tapas Jaya, dan Karundeng tetap hanyut dalam lamunan masing-masing.
SELESAI
Selanjutnya, Ilmu Halimun |