Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 01
MALAM kelam, kabut tebal menyelimuti bumi. Berjalan di tengah kabut yang mengambang itu, Ho Leng-hong merasa bagaikan sedang berjalan di tengah awan, tubuh terasa enteng dan seakan-akan hendak melayang-layang sehingga dia kelihatan lebih cakap dan bergairah.
Bila dalam sakunya waktu itu tidak diganduli dengan lima puluh tahil perak, bisa jadi dia akan benar-benar melayang-layang terbawa kabut. Orang kuno bilang: Kalau rejeki sudah nomplok, gunung pun tak dapat mengalanginya. Dan malam ini Ho Leng-hong benar-benar telah meresapi kebenaran pepatah tersebut.
Ambil contoh seperti apa yang baru saja dialaminya di rumah perjudian keluarga Him sana, dia bermain Pay-kiu. Kartu yang dipegang selalu bagus dan mengherankan.
Bila orang lain menjadi “Ceng” (bandar), kartu yang dipegangnya selalu mati dan pasti tombok. Sebaliknya jika giliran Ho Leng-hong yang menjadi bandar, maka kartu yang dipegangnya pasti bagus, andaikan tidak menang, paling sedikit juga seri. Bila pemain atau pemasang mendapat kartu “Te kiu”, maka dia mendapat kartu “Thian-kiu”. Jika pemain memegang kartu “Thian-tui” dan “Te tui”, dia mendapat kartu “Ci-cun” yang merupakan kartu yang tak terkalahkan. Maklum, Ci-cun sendiri berarti yang maha besar.
Begitu bagus kartu yang dipegangnya sehingga membikin lawan-lawannya sama mendelik dan kheki setengah mati, berulang-ulang mengusap keringat dan susul menyusul merogoh saku … akhirnya, semua isi saku lawan-lawannya berpindah tempat ke saku Ho Leng-hong.
Rumah perjudian keluarga Him itu berformat kecil, tapi uang “tong” cukup besar. Bukanlah pekerjaan gampang jika ingin menang lima puluh tahil perak di sini.
Demi merayakan “panen” yang baru saja terjadi, Ho Leng-hong tidak mau menyiksa dirinya sendiri, maka begitu meninggalkan rumah judi itu, segera ia masuk ke restoran Lau-muacu (si burik Lau) di penggaulan jalan sana.
Keluar dari restoran Lau si burik, sedikitnya delapan bagian di terpengaruh oleh minuman keras. Tapi, biarpun mabuk, dia tak lupa daratan sama sekali, sedikitnya dia masih ingat ke mana dia harus “mendarat”.
Dia masih ingat janjinya dengan Siau Cui yang lagi menunggu kedatangannya. Ia pun tidak lupa di mana letak “Go-tong-kang” (gang waru), maka ke arah gang itulah dia menuju.
Waktu masuk ke lorong yang sudah apal baginya itu, tiba-tiba timbul semacam rangsangan yang sukar dijelaskan. “Uang adalah nyali”, atau uang sama dengan keberanian.
Limapuluh tahil perak memang bukan suatu jumlah yang terlalu besar, tapi kalau digunakan mengiming-iming di depan hidung kawanan budak germo itu, sedikitnya dapat membuat mata anjing mereka melotot.
Maklum, biasanya Ho Leng-hong dianggap langganan “kurus”, bersaku kosong, sehingga kurang mendapat pelayanan yang layak. Sekarang sakunya berisi 50 tahil perak, ia ingin berlagak “Cukong” supaya kawanan budak itu tidak lagi menghinanya.
Begitulah, sambil menepuk sakunya yang berisi itu, ia berdehem sekali, lalu membusungkan dada dengan lagak “dunia ini aku punya”, lalu dengan langkah berlenggang ia masuk ke rumah pelacuran “Hong-hong-wan” atau Villa burung Hong, di mana Siau Cui sedang menanti kedatangannya.
Meski sudah jauh malam, namun pintu gerbang Hong-hong-wan masih terbuka lebar, seorang pesuruh rumah pelacuran itu menyambut kedatangan Ho Leng-hong dengan senyuman dikulum.
“Ho-ya (tuan Ho), kau datang!” sapanya.
“Kenapa? Aku dilarang datang?” Ho Leng-hong menengadah dengan gaya menantang.
“Ai Ho-ya ini, masa aku bermaksud begitu? Sengaja mengundang Ho-ya saja belum tentu bisa….”
“Ya, lantaran undak-undakan pintu Hong-hong-wan terlalu tinggi, jadi orang yang tak punya fulus tak dapat masuk.”
Merasakan gelagat tak enak, cepat pesuruh berteriak, “Ho-ya datang, nona Siau Cui siap menerima tamu!”
Teriakan itu secara beruntun disampaikan ke ruang dalam, sepanjang jalan pegawai itu menyingkapkan tirai dan mempersilakan Ho Leng-hong masuk ke dalam.
Sebenarnya Ho Leng-hong ingin “mendamprat” lagi orang-orang itu, tapi lantas terpikir olehnya bahwa “tuan besar” yang banyak uang biasanya enggan ribut dengan orang bawahan, sebab hal ini hanya akan menurunkan derajat sendiri, maka ia lantas masuk saja dengan tertawa tak acuh.
“Cepat benar berita yang diterima orang-orang ini,” demikian pikirnya sambil melangkah masuk, “mereka tentu sudah tahu aku berhasil menang besar di rumah perjudian keluarga Him, maka sikap mereka jadi lain daripada biasanya.”
Baru masuk ke kamar, kontan Siau Cui menggerutu, “Kenapa sekarang baru muncul? Kau sudah berjanji mau datang sebelum tengah malam, bisa gila orang menunggu dirimu.”
“Sejak tadi aku mau kemari,” sahut Ho Leng-hong dengan tertawa, “tapi apa mau dikatakan kalau dewa rejeki menahanku terus. Maka aku datang terlambat.”
Sebuah bungkusan kecil yang berat dikeluarkan dan dijejalkan ke tangan Siau-Cui, lalu bisiknya dengan lembut. “Nih, ambillah!”
“Apa ini?”
“Buka saja, segera tahu.”
“Uang?” tanya Siau Cui sambil menimang-nimang bobot bungkusan itu.
“Benar, itulah yang kita butuhkan, lima puluh tahil, persis!” Ho Leng-hong tertawa bangga.
Ia mengira Siau Cui pasti akan terkejut bercampur gembira dan tentu akan buru-buru membuka serta menghitungnya, atau mungkin saking girangnya dirinya akan dipeluk dan diberi hadiah kecupan hangat...
Siapa tahu, Siau Cui tidak kaget, atau melonjak kegirangan, iapun tidak membuka bungkusan itu serta menghitung jumlahnya, bungkusan kecil itu malah dibuang begitu saja ke meja.
“Tidak tahukah kau bahwa aku ada urusan penting hendak berunding denganmu?” katanya sedih, “ai, mengapa kau hanya tahu minum arah dan berjudi? Selain pekerjaan itu tak pernahkah kau memikirkan soal lain?”
“Siau Cui, aku berbuat demikian demi kau, bukankah ibumu sakit dan membutuhkan uang?”
“Sekalipun membutuhkan uang, bukan berarti harus mendapatkannya lewat berjudi, kukira uang demikian bisa dijagakan?”
“Tentu saja, coba lihat! Aku berhasil menangkan uang itu seperti makan kacang goreng saja, coba kalau tidak kangen padamu, sampai fajar nanti dua-tiga ratus tahil perak pasti bisa kukeruk. Siau Cui, tahukah kau betapa anehnya kartu-kartu itu...”
“Ah, enggan kudengarkan soal kartu, aku ada urusan penting hendak kurundingkan denganmu.”
“Soal penyakit ibumu?”
Siau Cui menggeleng, “Penyakit ibu sudah agak baikan, yang hendak kurundingkan adalah urusan mengenai dirimu sendiri.”
“Urusanku?” Ho Leng-hong melengak, “Urusan apa?”
Siau Cui tidak menjawab, ia menuju keluar dan celingukan ke sekeliling situ, lalu dengan hati-hati menutup pintu menguncinya dan menggandeng tangan Ho Leng-hong menuju ke pembaringan.
Ho Leng-hong merasa tangannya begitu dingin, basah, sedikit gemetar, ini semua membuatnya tercengang. “Ada urusan apa sebenarnya? Jangan terlalu panik,” ia berbisik.
“Leng-hong,” kata Siau Cui serius, “aku ingin menanyakan suatu persoalan, dan aku harap kau suka menjawab sejujurnya, bersedia bukan?”
“Baik, katakanlah!”
“Ai, sudah cukup lama kita berkenalan,” Siau Cui menghela napas. “dan selama ini tak pernah kauanggap diriku sebagai pelacur, akupun tidak menganggapmu sebagai lelaki iseng, hal ini penting artinya bagimu maupun bagiku, anggaplah sebagai permohonanku kepadamu jangan menganggap ucapku ini sebagai gurauan belaka....”
Terpaksa Ho Leng-hong menarik kembali senyumannya dan bersikap sungguh-sungguh. Ia tahu, semakin serius seorang perempuan berbicara, semakin besar pula kemungkinan persoalannya yang akan dikemukakan Cuma urusan sepele, dalam keadaan begitu, paling baik bagi seorang lelaki adalah banyak mendengar dan sedikit bicara, walau dalam hati meremehkan, tapi di luar harus menunjukkan sikap serius.
Begitu lirih suara Siau Cui, bibirnya hampir menempel di tepi telinga Ho Leng-hong, ucapnya, “Leng-hong, kau masih muda dan lagi memiliki ilmu silat yang bagus, mengapa kau selalu bergaul dengan kaum penganggur? Tidak inginkah kau menciptakan suatu pekerjaan besar di dunia persilatan?”
Ho Leng-hong membungkam meski diam-diam keheranan, “Aneh benar budak ini, obat apa yang dia makan hari ini? Kenapa tiba-tiba saja menyinggung soal tetek-bengek ini?”
“Eh, dengar tidak apa yang kukatakan?” tiba-tiba Siau Cui menggoncangkan tubuhnya.
“Sudah dengar!”
“Kenapa diam saja kalau sudah dengar?”
“Persoalan inikah yang kau maksudkan sebagai urusan serius?” tanya Ho Leng-hong setelah berpikir sebentar.
“Benar, memangnya kauingin hidup luntang-lantung begini selamanya, tidak pernahkah memikirkan soal masa depanmu?”
Ho Leng-hong tertawa “Lantas apa yang harus kulakukan? Mencuri? Merampok dengan mengandalkan ilmu silatku? Atau membunuh orang untuk mempopulerkan namaku di mata masyarakat?”
“Tidak, aku tidak berharap kau berbuat begitu, tapi kau kan bisa mengemban tugas suci sebagai seorang pendekar untuk menolong yang lemah dan menumpas yang jahat, menegakkan keadilan dan kebenaran bagi kaum kecil....”
“O, itu bukan tugasku,” Ho Leng-hong mengangkat bahu, “hanya ada dua macam manusia di dunia ini yang melakukan hal-hal begitu, pertama adalah keturunan orang kaya yang ingin mencari nama, dan kedua adalah manusia miskin yang ingin menggunakan kesempatan itu untuk mencari popularitas dan memperbaiki keadaan sosial pribadinya. Hah, jelasnya yang dicari juga nama dan harta.”
“Kalau begitu, apakah mereka yang mengemban tugas suci sebagai seorang pendekar juga manusia munafik?”
“Aku tidak memaki mereka sebagai munafik, juga tidak mengakui mereka sebagai seorang Kuncu, sebab kalau mengemban tugas suci tanpa mencari nama, dari mana pula datangnya nama-nama besar para pendekar itu? Kalau bukan lantaran harta, semua Hiap-kek (pendekar) di dunia ini tentu sudah pada mampus kelaparan, memangnya mereka hanya makan nasi sendiri dan harus mengurusi persoalan orang lain?”
“Bukan maksudku untuk mengajak kau berdebat persoalan ini, aku hanya ingin bertanya, sekalipun tidak kaupikirkan tentang dirimu, seharusnya kau berpikir untukku, apakah kau senang melihat aku bercokol terus di tempat semacam ini?”
“Bukankah sudah kukatakan padamu, Siau Cui? Asal aku punya uang, pasti kau akan kutebus.”
“Tapi aku harus menunggu sampai kapan?”
“Ehm, kalau kulihat suasana malam ini, rasanya kau tak perlu menunggu terlalu lama....” Ho Leng-hong tertawa.
“Tidak! Aku tak dapat menunggu, seharipun tak sudi aku menunggu lagi. Leng-hong, kalau kau masih menginginkan diriku, bawalah aku pergi sekarang juga.”
“Sekarang? Detik ini juga?” seru Ho Leng-hong tercengang.
“Ya, detik ini juga kita harus pergi jauh dari sini, makin jauh makin baik, kita cari suatu tempat yang tak seorang pun kenal kita, sekalipun kehidupan kita lebih susah juga aku rela...”
“Siau Cui, kau sedang mengigau? Kau mabuk?” kata Ho Leng-hong meraba jidat si nona, “Sesungguhnya kau yang mabuk atau aku yang mabuk?”
Tiba-tiba Siau Cui memeluk pemuda itu erat-erat, lalu berbisik dengan suara gemetar, “Kumohon kepadamu Leng-hong, semua perkataanku benar-benar timbul dari sanubariku, cepatlah bawa aku pergi, kalau terlambat mungkin tak sempat lagi....”
“Siau Cui, ada apa kau hari ini?” Ho Leng-hong berkerut kening, “Hari kita masih panjang, siapa bilang tak sempat lagi....”
Sebelum perkataannya berlanjut, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Bagaikan seekor kelinci yang ketakutan, Siau Cui mendorong tubuh Ho Leng-hong, lalu melompat bangun sambil menutupi mulutnya dengan rasa kaget dan takut luar biasa.
“Siapa?” tegurnya kemudian.
“Aku enso Go!” jawab orang di luar. “Buka pintu nona, aku mengantar kuah penghilang mabuk untuk Ho-ya.”
Tiba-tiba air muka Siau Cui berubah menjadi pucat, dengan sedih ia melirik Ho Leng-hong sekejap, lalu sambil menarik napas panjang ia membuka palang pintu.
Tahun ini Go So atau enso (kakak ipar) Go berusia tiga puluhan, dia adalah babu Hong-hong-wan yang khusus untuk pekerjaan kasar, tinggi besar seperti kuda teji, badannya berotot seperti kerbau, meski mukanya berbedak tebal dan bergincu, tampangnya dipandang dari sudut manapun tidak mirip seorang perempuan.
Dengan tangan sebelah membawa baki dan tangan yang lain mendorong pintu, lebih dulu ia melongo ke dalam kamar, lalu katanya kepada Ho Leng-hong sambil tertawa, “Ho-ya, kau memang orang yang paling sibuk, bila malam ini kau tidak datang, sungguh nona Cui kita bisa terserang penyakit rindu.”
Ho Leng hong enggan melayani perempuan macam banci ini, ia tidak menjawab.
Go So melirik sekejap wajah Siau Cui, lalu tertawa lagi, “Mama kita mendengar Ho-ya lagi-lagi minum sampai mabuk, maka beliau menyuruh orang membuatkan semangkuk kuah penyadar mabuk untukmu, Ho-ya, minumlah cepat mumpung masih panas.”
“Terima kasih, letakkan saja di meja!”
“Kuah penyadar mabuk makin panas semakin manjur,” desak Go So lagi sambil mengangsurkan bakinya ke depan pemuda itu, “apalagi sudah larut malam, minum saja dulu kemudian baru beristirahat, kalau masih ada urusan besok kan masih ada waktu.”
“Baik, letakkan dulu di situ, nanti akan kuminum sendiri,” kata Leng-hong.
Tapi Go So mendesak terus, kepada Siau-Cui ia berkata, “Nona, jangan kauanggap aku cerewet, biasanya orang mabuk itu cepat lelah, kau harus mengajak Ho-ya beristirahat lebih dulu, jangan bicara yang bukan-bukan, berilah kesempatan kepada Ho-ya untuk menenangkan diri.”
“Aku tahu,” bisik Siau-Cui.
“Bagus kalau sudah tahu, nona muda memang harus lebih banyak belajar menghibur tuan sekalian, apalagi hari esok kan masih panjang, sekalipun masih ada persoalan segudang juga dapat diselesaikan....”
Ho Leng-hong berharap orang ini lekas pergi, maka dia ambil kuah tadi dan sekali tenggak menghabiskan isinya, lalu sambil mengulapkan tangan ia berkata, “Sudahlah Go So, kau harus beristirahat pula, kalau kau tidak pergi mana kami bisa beristirahat?”
“Oh, rupanya tuan mengusir aku? Kuatir waktumu yang berharga hilang? Baiklah, aku akan pergi, aku segera pergi!”
Di mulut ia berkata akan pergi, tapi badannya tak bergeser, ia malah memandang Ho Leng-hong sambil tertawa. Sikapnya seperti lagi menantikan sesuatu, tapi apa yang ditunggu? Atau mungkin sedang menunggu tip atau persen?
Muak rasanya Ho Leng-hong menyaksikan tampang orang, dia ingin mengambil uang supaya orang lekas pergi, tapi empat anggota badannya tiba-tiba menjadi lemas tak bertenaga, kelopak matanya menjadi berat, rasa mengantuk yang sukar ditahan tahu-tahu menyerangnya.
Ya, orang yang mabuk arak memang sangat lelah. Ho Leng-hong betul-betul lelah, saking lelahnya sampai badan lemas tak bertenaga, pikiranpun terasa kosong....
Hanya satu keinginannya waktu itu, yakni memejamkan mata dan tidur sepuasnya. Soal Go So sudah pergi atau tidak? Kuah penyadar mabuk kenapa tidak manjur? Ia malas untuk memikirkannya lagi. Dalam keadaan lamat-lamat ia pejamkan matanya, tidur lelap dan terbuai di alam mimpi....
Berapa lama ia tertidur? Ia tak tahu. Bahkan sekarang ia masih tidurkah? Atau sadarkah? Ia sendiripun tak tahu. Ia cuma tahu, sebelum matanya terbuka, terenduslah bau harum sayup-sayup.
Bau harum itu seperti datang dari bawah bantal, seperti juga timbul dari seprei, sampai kelambu, pembaringan.... pokoknya seluruh kamar dipenuhi bau harum. Bau harum itu amat sedap dan juga asing baginya, sudah jelas bukan bau harum yang biasa terendus dari badan nona-nona penghuni Hong-hong-wan, bau harum itu jelas bau harum tingkat tinggi.
Dia menggeliat lalu membuka matanya perlahan, pertama yang dilihatnya adalah seorang genduk cilik berbaju hijau berusia antara 13-14 tahun berdiri di depan pembaringan sambil mengulum senyum. Ia mengkucak-kucak matanya serta memandang sekeliling ruangan itu, ternyata ia sedang berbaring di sebuah villa yang dibangun di tengah kolam.
Empat sisi ruang ada daun jendela, air nan hijau mengelilingi villa tersebut, di tepi kolam di depan sana kelihatan aneka warna bunga tumbuh dengan indahnya.... rupanya bau harum yang terendus tadi berasal dari bau bunga yang tumbuh di sekeliling tempat itu.
Hanya di surgaloka terdapat pemandangan seindah ini, atau mungkin ia sudah kesasar ke surgaloka seperti halnya dalam dongeng?
Sementara ia tercengang, genduk berbaju hijau itu telah menyapa sambil tertawa, “Kau sudah sadar Tuanku?”
Ho Leng-hong melenggong “Aku....”
“Nyenyak benar tidur Tuanku ini, sudah dua kali nyonya menjenguk kemari tapi Tuan belum bangun juga, bir hamba segera memberitahu kepada Hujin (Nyonya)....”
“Eh.... eh.... tunggu sebentar, bolehkah kutanya, tempat manakah ini? Kenapa aku bisa tertidur di sini?” Seru Ho Leng-hong.
Mula-mula genduk cilik itu tertegun, lalu sambil menutup mulutnya ia tertawa geli, dan berkata, “Toa-ya, tampaknya mabukmu belum hilang dan masih mengigau.”
“Tidak! Aku tidak mabuk, aku segar bugar, aku benar-benar tidak tahu tempat manakah ini.”
“O, Tuanku, jangan-jangan engkau sakit?” dayang itu tertawa cekikikan. “Masa rumah sendiri tidak kenal lagi?!”
“Rumah? Rumahku sendiri?”
“Tentu saja, siapa yang tidak tahu tempat ini adalah Thian-po-hu yang tersohor di kolong langit ini. Dan villa ini adalah Kiok-hiang-sia di belakang taman yang paling disukai Tuan?”
“Thian-po-hu.... Kiok-hiang-sia....” gumam Ho Leng-hong, tiba-tiba ia berseru tertahan, “Hah, kaumaksudkan tempat ini adalah istana Thian-po-hu di Kiu-ci-shia (benteng liku sembilan)?”
“Terima kasih kepada langit dan bumi, syukurlah Tuan sudah ingat kembali.”
“Lantas, siapakah aku?”
“Tuan, masa siapakah dirimu sendiri juga lupa?”
Ho Leng-hong menggeleng, “Bukannya lupa, kutahu benar siapakah diriku, pada hakikatnya aku tak mempunyai hubungan apapun dengan Thian-po-hu, kenapa aku bisa tidur di sini?”
Genduk cilik itu tak bisa tertawa lagi, matanya terbelalak lebar. “Tuan, apa yang kau katakan?” ia berteriak. “Masa kau mengatakan dirimu tak ada hubungannya dengan Thian-po-hu?”
“Ya, aku memang tak ada hubungan apa-apa dengan kalian, aku she Ho dan tinggal di Lok-yang, sekalipun sudah lama kudengar kebesaran nama Thian-po-hu, sayang selama ini tidak ada berhubungan.”
“Apa? Kau she Ho?” kembali dayang cilik itu menjerit.
“Ya, betul!”
“Kau…. kau bilang tak pernah berhubungan Thian-po-hu…”
“Benar!”
“Kau…. kau…, siapakah dirimu sendiri juga tidak ingat lagi?”
“Tidak, aku ingat dengan sangat jelas, aku Ho…”
Dengan mata terbelalak dayang itu menyurut mundur beberapa langkah, tiba-tiba ia menjerit kaget, lalu angkat langkah seribu, seakan-akan mendadak ia lihat di atas kepala Ho Leng hong tumbuh sepasang tanduk…
Baru beberapa langkah ia lari keluar villa itu, hampir saja ia bertumbukan dengan dua orang yang muncul dari depan.
Kedua orang itu adalah majikan dan pelayan, yang satu memakai baju berwarna kuning telur berdandan pelayan, sedang yang lain adalah seorang nyonya muda jelita, mereka sedang menyeberangi jembatan dan masuk ke villa air tersebut.
Dengan suatu gerak cepat pelayan baju kuning itu menyambar lengan si genduk cilik tadi dan menegurnya, “He, Siau Lan, apa-apaan kau? Kenapa lari seperti diuber setan?”
“O, nyonya, enci Bwe, kebetulan sekali kedatangan kalian,” seru Siau Lan dengan napas tersengal, “Cepat masuk dan tengoklah keadaan Tuan, dia.... dia....”
“Tuan kenapa?” tanya nyonya cantik itu dengan kuatir.
“Dia.... entah sebab apa Tuan selalu mengatakan tidak kenal tempat ini.... dia mengaku she Ho, katanya tak ada hubungannya dengan Thian-po-hu....”
“Ah, masa begitu?” seru si nyonya terperanjat.
“Hujin jangan percaya obrolannya,” hibur Bwe-ji cepat, “Tentu Tuan sengaja menggodanya setelah sadar dari mabuknya, dan budak cilik ini menganggapnya sebagai kejadian serius.”
“Tidak, Tuan tidak bergurau, semuanya adalah kejadian nyata, Tuan bicara dengan serius, tidak seperti bergurau, kalau tidak percaya masuklah dan periksa sendiri.”
Nyonya cantik itu berkerut kening, ia tidak banyak bertanya lagi dan cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Tatkala dilihatnya Ho Leng-hong duduk di atas pembaringan dengan tenang, ia mengembus napas lega.
“Huh, Siau Lan si budak ini memang harus digebuk, coba lihat, Tuan kan baik-baik saja, bikin kaget hatiku saja.”
“Betul, Siau Lan suka gila-gilaan, mulutnya suka ngaco-belo,” Bwe-ji menimpali.
“Tapi sungguh-sungguh aku tidak bohong, Tuan yang berkata begitu kepadaku,” kata Siau Lan dengan penasaran.
“Huh, masih membantah? Coba lihat, Tuan segar bugar, masa ia mengucapkan kata-kata gila begitu….” omel Bwe-ji.
“Eh nona, jangan kau salahkan dia, apa yang dikatakannya memang benar dan bukan kata-kata gila,” seru Ho Leng-hong tiba-tiba. “Aku memang she Ho dan tak pernah datang ke Thian-po-hu, mungkin terjadi kesalah-pahaman di antara kita.”
“Kesalah-pahaman? Kesalahan-pahaman apa?” tanya Bwe-ji dengan melengak.
“Kukira mungkin kalian telah salah menganggap diriku sebagai seorang lain.”
Dengan bingung Bwe-ji memandang nyonya muda itu, sungguh ia tidak percaya pada apa yang didengarnya barusan.
Nyonya cantik itu kaget bercampur heran, sesudah tercengang sejenak barulah katanya dengan serius. “Jit-long, jangan bergurau macam begitu dengan para dayang, sekalipun mau bergurau, tahu diri sedikitlah. Gurauannya tidak apa-apa, kalau sampai tersiar keluar, bagaimana dengan nama baik Thian-po-hu?”
“Aku tidak bergurau, aku bicara sesungguhnya!” kembali Ho Leng-hong menegas.
Sekilas perasaan bingung dan ragu menghias wajah nyonya muda itu, “Jadi kauanggap dirimu she Ho?”
“Bukan menganggap, sesungguhnya aku memang she Ho”
“Kalau begitu, kenalkah kau siapa diriku?”
“Maaf, sebelum perjumpaan ini tak pernah kita bertemu, tapi dari panggilan kedua nona cilik ini, agaknya nyonya inilah isteri Nyo-tayhiap dari Thian-po-hu yang tersohor itu, betul bukan?”
Nyonya muda itu merasa geli dan juga mendongkol, ia menengok ke arah Bwe-ji dan bertanya, “Coba dengar, perkataan manusiakah itu? Masa siapa diriku tidak dikenalinya lagi.”
“Ya, mungkin semalam tuan mabuk keras, sampai sekarang mabuknya belum hilang....“ kata Bwe-ji.
“Tidak, aku tidak mabuk, aku merasa segar,” kata Leng-hong cepat, “Setiap kalimat, setiap perkataanku semuanya kuucapkan dengan pikiran yang sehat.”
Mata nyonya itu mulai berkaca-kaca karena sedih, katanya dengan mendongkol, “Semua ini gara-gara Lo-ya (tuan Lo) sekalian. Hmm, setiap kali mereka selalu mengantarmu pulang dalam keadaan mabuk. Coba lihat, sampai nama sendiri tak tahu lagi, sanak keluarga juga terlupakan semua.”
“Hujin, bagaimana kalau kita undang Lo-ya kemari?” bisik Bwe-ji.
Nyonya itu berpikir sebentar, lalu manggut-manggut. “Betul, aku haru minta pertanggung-jawab mereka....”
Ia berpaling sambil memberi pesan, “Siau Lan, kau saja yang ke sana dan sekalian beri kabar kepadanya, semua orang yang semalam ikut minum harap datang kemari, seorang pun tak boleh berkurang. Hm, Siapa berani tak datang, hati-hati kalau kulabrak ke rumahnya.”
Siau Lan mengiakan dan buru-buru berlalu. Tiba-tiba Ho Leng-hong bertanya, “Apakah Lo-ya yang hendak diundang Hujin itu ialah Kwan-lok-kiam-kek (jago pedang dari Kwan-lok) Lo Bun-pin yang tinggal di kota Lok-yang?”
“Betul, mendingan kau masih ingat nama satu orang ini,” jawab si nyonya jelita.
Ho Leng-hong menarik napas panjang, “Aku kenal orang ini, baik sekali kalau dia diundang kemari.”
“Hm, semoga iapun kenal padamu, kuharap pula dia masih ingat siapakah dia.”
Perkataan itu bernada marah, tapi Ho Leng-hong Cuma tertawa dan tidak membantah. Ia percaya, kalau Kwan-lok-kiam-kek Lo Bun-pin kenal padanya dan kenal juga Nyo Cu-wi, pemilik istana Thian-po-hu, jika ia sudah datang, maka duduknya perkara akan menjadi jelas.
Tapi masih ada satu persoalan yang membuatnya tidak mengerti, ia masih ingat benar semalam dirinya tertidur di kamar Siau Cui di rumah pelacuran Hong-hong-wan, kenapa secara tiba-tiba bisa muncul di Thian-po-hu?
Apa yang terjadi memang sungguh-sungguh ataukah dalam mimpi? Kalau dalam mimpi, tak bisa disangkal lagi impian ini adalah mimpi aneh yang tak masuk di akal...
Suara langkah kaki berkumandang di luar Kiok-hiang-sia, agaknya tak sedikit orang yang datang. Orang pertama yang masuk adalah Lo Bun-pin, sedang di belakangnya mengikut empat lima orang laki-laki berbaju perlente, mereka semua adalah jago-jago kenaman dari sekitar Kwan-liok, wajah mereka tampak kaget.
Rupanya Lo Bun-pin sudah diberitahu garis besar peristiwa yang terjadi oleh Siau Lan, wajahnya tampak gelisah dan bingung. Begitu melangkah masuk ia lantas berteriak, “Saudara Cu-wi, kenapa kau?”
Ho Leng-hong sedang duduk di kursi setelah berganti pakaian, ia melengak mendengar panggilan itu...
Sebelum ia menjawab, Lo Bun-pin telah menjura kepada Nyo-hujin seraya bertanya, “Enso, apa gerangan yang terjadi? Bukankah saudara Cu-wi duduk segar di sini? Kenapa Siau Lan bilang ia gila?”
“Hm, aku sendiri juga tak tahu ia sudah gila atau waras,” sahut Nyo-hujin, “pokoknya sebelum keluar rumah semalam ia masih segar bugar, tapi setelah sadar pagi ini, ia telah berubah menjadi seorang yang lain, tak kenal lagi akan diri sendiri, sanak keluarga sendiri juga tak dikenal, ia selalu mengatakan dirinya she Ho....“
“Ah, masa begitu?” Lo Bu-pin terkesiap, “tapi.... ketika pulang semalam, saudara Cu-wi tidak menunjukkan gejala apa-apa, semua sobat yang ikut minum semalam kini pun hadir di sini, semua orang menyaksikannya dengan mata kepala sendiri!”
“Ya, ya, aku tahu, kalian adalah sahabat karib, kenapa tidak kautanya sendiri padanya?” kata Nyo-hujin.
Lo Bun-pin manggut-manggut sambil berpaling ke arah Ho Leng-hong, katanya, “Saudara Cu-wi permainan apa yang kaulakukan? Jangan bergurau dengan sobat lama, hah!”
Betapa kesal Ho Leng-hong karena berulang dipanggil “Saudara Cu-wi”, setelah merenung sejenak lalu berkata, “Coba kau teliti lagi saudara Lo, benarkah aku ini Nyo Cu-wi dari Thian-po-hu?”
“Kenapa?” Lo Bun-pin tertawa. “Masa Nyo-heng tidak mengakui?”
“Tak sedikit orang di dunia ini yang mirip wajahnya, mungkin mata Lo-heng kabur dan salah melihat orang.”
“Hahaha... mana mungkin? Seandainya mataku sudah lamur, tak mungkin sobat-sobat lainnya juga lamur, kenapa Nyo-heng tidak tanya sendiri kepada mereka....”
“Betul, betul!” sahut semua orang, “sudah bertahun-tahun kita bergaul dengan Thian-po-hu, siapa yang tidak kenal Nyo-heng?”
“Tapi kalian telah salah melihat orang!”
“Ah, tak mungkin!” kembali semua orang menganggapi, “kita kan kenalan lama, mana mungkin salah lihat?”
“Aku berani bertaruh kalian pasti salah lihat, sebab aku sendiri tahu siapakah diriku, hakikatnya aku bukan Nyo Cu-wi.”
Semua orang sama melengak, siapapun bisa merasakan keseriusan Ho Leng-hong, mereka tahu orang ini tidak bergurau, tapi bicara sungguh-sungguh.
“Aku ingin cari tahu kabar seseorang, entah saudara Lo masih ingat atau tidak?” kata Ho Leng-hong lagi.
“Siapa?” tanya Lo Bun-pin.
“Suatu hari, ketika saudara Lo sedang berburu di luar kota, pernahkah kau berebut seekor kelinci liar yang terluka dengan seorang laki-laki miskin? Akhirnya terjadi adu kepandaian dan dilanjutkan dengan persahabatan, kalian bersama-sama menyelenggarakan pesta daging kelinci panggang di bukit itu serta menamai santapan lezat nomor satu di dunia....”
“O, kau maksudkan Ho Leng-hong yang hidup menganggur itu?”
“Benar, masih ingatkah Lo-heng padanya?”
“Tentu saja masih ingat, ilmu silatnya tidak berada di bawah kita, sayang ia lebih suka hidup konyol bersama kaum penganggur.”
“Seandainya Ho Leng-hong duduk di sini sekarang, dapatkah Lo-heng mengenalinya?”
“Pasti bisa, meski kami hanya berjumpa sekali saja, namun kesan yang diberikan kepadaku terlalu dalam, sampai kini aku masih ingat pada wajahnya.... Ai! Sayang sepotong batu kemala yang tak pernah diasah harus terjerumus di pencomberan, sungguh bikin orang menyesal.”
“Masih inginkah saudara Lo bertemu lagi dengannya?”
“Sekalipun ingin, mau apa lagi?” Lo Bun-pin menggeleng, “sayang selamanya tak dapat bertemu lagi dengannya.”
“Kenapa?”
Kembali Lo Bun-pin menghela napas, “Sebab Ho Leng-hong itu sudah mati!”
Ho Leng-hong melengak, cepat ia duduk tegak dan berseru, “Siapa yang bilang?”
“Siau Thian yang membawa kabar ini barusan,” sahut Lo Bun-pin sambil menuding seorang di belakang.
Siau Thian atau Thian cilik bukan lagi anak kecil, lengkapnya ia bernama Thian Pek-tat, tahun ini usianya sudah mencapai empat puluh tahun lebih, Cuma bila kau perhatikan kepalanya yang kecil dengan sepasang mata tikusnya dan kumisnya yang serupa kumis tikus, tak sulit bagimu untuk menghubungkan orang ini dengan kepandaian “kecil” yang pasti sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Sejak dilahirkan orang ini mempunyai wajah yang selalu tersenyum, dia pandai bicara dan pintar menyanjung, ia selalu bergaul dengan kalangan atas, mata-telinganya tajam, sebab itu orang menjulukinya sebagai Tiang-ni-siau-thian atau Thian kecil si telinga panjang. Kini Thian Pek-tat berdiri di belakang Lo Bun-pin, ia segera melangkah ke depan demi mendengar perkataan itu.
“Benar!” demikian tukasnya, “baru pagi ini kudengar kabar tersebut.”
Sungguh Ho Leng-hong ingin persen beberapa tempelengan untuk orang ini, tapi sedapatnya ia menahan emosinya.
“Bagaimana kabarnya?” ia bertanya.
“Konon Ho Leng-hong baru saja menang banyak di meja perjudian semalam, setelah minum arak ia main perempuan di gang Waru, siapa tahu keesokan harinya ia ditemukan tewas di kamar tidur Siau Cui, pelacur langganannya, ada orang bilang ia mampus karena perampokan, ada pula yang mengatakan dia kehabisan....“
Ia melirik sekejap wajah Nyo-hujin, kemudian sambil menampar muka sendiri, katanya, “Aku memang pantas mampus dan harus digebuk, aku lupa Hujin berada di sini hingga telanjur bicara yang bukan-bukan.”
Ho Leng-hong tertawa dingin, “Hm, jadi kau sendiri juga Cuma mendengar dari orang lain dan bukan melihat dengan mata kepala sendiri.”
“Tapi berita ini dapat dipercaya, semua orang di Lok-yang telah mengetahui kejadian ini, malah jenazahnya masih terbaring di rumah pelacuran Hong-hong-wan.”
“Ya, Siaute pun ikut menyesal atas musibah yang menimpa Ho Leng-hong itu, maka telah kuutus orang untuk menyelidiki sebab kematiannya serta mengurusi juga layonnya. Eh, omong-omong kenapa saudara Cu-wi menyinggung orang ini? Kau pun kenal padanya?” tanya Lo Bun-pin.
Ho Leng-hong tertawa, “Bukan cuma kenal, malah aku tahu kalau dia sampai saat ini masih hidup hakikatnya dia tidak mati.”
“Dari mana kau tahu?” tanya lagi Lo Bun-pin.
“Sebab akulah Hong Leng-hong!” sahut pemuda itu sekata demi sekata.
Tentu saja semua orang terkejut dan saling pandang dengan air muka berubah. Lo Bun-pin coba meraba jidat Ho Leng-hong kemudian mengamati wajahnya dengan saksama, lalu dengan penuh perhatian ia bertanya. “Saudara Cu-wi, kau tidak sakit bukan?”
“Apakah aku mirip orang sakit,” jawab Ho Leng-hong.
Lo Bun-pin menyengir, “Aku pernah melihat Ho Leng-hong, dia adalah dia dan kau adalah kau, mana bisa kalian dipersamakan menjadi satu?”
“Akupun lagi keheranan, jelas-jelas aku ini Ho Leng-hong, kenapa kalian berkeras menganggap aku adalah Nyo Cu-wi? Aku jelas masih hidup, tapi kalian ngotot mengatakan aku sudah mati?”
Lo Bun-pin terbelalak dengan mulut melongo dan tak tahu bagaimana harus menjawab.
Nyo-hujin lantas menangis, dengan tersengguk dia berkata, “Coba lihat, semua ini gara-gara minum arak, kalianlah yang membuat dia menjadi begini, Ayo, apa yang hendak kaukatakan sekarang….”
“Jangan panik dulu enso, tenanglah,” bujuk Lo Bun-pin, “Menurut pendapatku, mungkin saudara Cu-wi kemasukan roh jahat, mungkin diganggu setan…”
“Roh dan setan jahat apa? Hm, justru kalian inilah setan-setan arak yang membuatnya jadi begini,” teriak Nyo-hujin, “coba kalau kalian tidak mengajaknya minum arak, masa dia jadi begini? Pokoknya kalian harus bertanggung-jawab kepada ku hari ini, kalau tidak, siapapun jangan harap dapat meninggalkan Thian-po-hu.”
Malu sekali Lo Bun-pin menerima dampratan itu, ia menunduk dengan wajah merah, setelah termenung sebentar ia bertanya kepada Thian Pek-tat, “Siau Thian, dapat dipercaya tidak beritamu itu?”
“Tanggung bisa dipercaya, aku berani tanggung dengan batok kepalaku,” jawab Thian Pek-tat.
“Kalau begitu kita harus berusaha memperlihatkan bukti kepadanya, sekarang juga Siau Thian berangkat ke Lok-yang serta mengangkat jenazah Ho Leng-hong ke Kiu-cui-shia sini, biar dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri untuk membuyarkan khayalan dalam benaknya, otomatis sakitnya akan sembuh.”
“Benar!” Sungguh gagasan yang bagus” seru semua orang sambil manggut-manggut.
“Enso, terpaksa kita harus mengangkut jenazah itu kemari, tentunya kau tidak keberatan bukan?” kata Lo Bun-pin kemudian.
“Manjur tidak?” tanya Nyo-hujin.
“Kukira hanya dengan cara inilah kita akan membuyarkan khayalan dalam benaknya, supaya dia percaya bahwa dirinya bukan Ho Leng-hong.”
Nyo-hujin menghela napas panjang. “Ai, baiklah, asal Jit-long bisa disadarkan, tentu saja aku setuju.”
“Akupun setuju,” sambung Ho Leng-hong sambil tertawa, “bahkan aku berani bertaruh, batok kepala Thian kecil si telinga panjang perlu dicarikan cadangannya.”
Lo Bu-pin tidak menggubris ocehannya, buru-buru ia perintahkan orang mengantar Thian Pek-tat ke Lok-yang.
Semua orang yang mengelilingi tempat tidur hanya memandang Ho Leng-hong dengan perasaan kasihan, tidak ada yang mengajak bicara padanya. Dalam anggapan mereka, Ho Leng-hong sudah gila, penyakitnya betul-betul sudah gawat. Maklum, kalau identitas sendiripun sampai keliru, kalau bukan orang gila lantas apa namanya?
Sebaliknya menurut pandangan Ho Leng-hong Lo Bun-pin dan lain-lain itulah yang goblok dan menggelikan sekali. Bagaimana tidak? Seorang yang masih hidup segar bugar mereka anggap sudah mati, Ho Leng-hong yang mereka hadapi dikatakan sebagai Nyo Cu-wi, terutama nyonya rumah Thian-po-hu ini, orang asing dianggap sebagai suami sendiri...
Kalau kejadian ini sampai tersiar ke luar bukankah akan bikin orang tertawa hingga copot giginya? Semakin dibayangkan Ho Leng-hong makin geli.
Melihat dia tertawa sendiri tanpa sebab, orang semakin yakin ia sudah gila. Sebaliknya karena semua orang makin menganggapnya gila, Ho Leng-hong juga tambah gila.
Maka suasana dalam Kiok-hiang-sia berubah menjadi kacau-balau, ada yang menangis, ada yang tertawa, ada yang berbisik-bisik, ada pula yang menggeleng kepala sambil menghela napas....
Thian Pek-tat telah kembali. Ia pulang bersama dua orang laki-laki yang menggotong sebuah pembaringan butut, di atas pembaringan membujur sesosok mayat yang dibungkus kain kafan.
“Siau Thian, bikin repot dirimu!” kata Lo Bun-pin menyambut kedatangannya.
“Repot sih tidak,” jawab Thian Pek-tat sambil membesut keringat, “Cuma sepanjang jalan kereta berjalan terlalu lambat, kalau bisa aku ingin membawanya terbang pulang kemari.”
“Sudah kau selidiki sebab-sebab kematiannya? Apa yang dikatakan mak germo Hong-hong-wan?”
“Sudah kutanyakan langsung kepada Siau-Cui. Konon waktu masuk ke sarang pelacuran semalam, Ho Leng-hong sudah dalam keadaan mabuk, begitu masuk kamar dia lantas tidur, semalaman tidurnya nyenyak sekali, pagi-pagi baru diketahui badannya sudah membujur kaku dan dingin…..”
“Kalau begitu ia mati karena mabuk?”
“Keadaan yang sesungguhnya belum bisa kukatakan, tapi yang pasti lima puluh tahil perak itu masih berada di kamar Siau Cui, setahilpun tidak berkurang, jadi tak mungkin mati lantaran perampasan harta.”
Lo Bun-pin menghela napas panjang, “Ai, sayang benar! Seorang lelaki perkasa harus mati tanpa diketahui sebab musababnya....”
Kepada Ho Leng-hong ia berkata, “Nyo-heng kau berkeras mengatakan dirimu adalah Ho Leng-hong tapi kenyataan telah membuktikan Ho Leng-hong telah mati di kota Lok-yang, bahkan jenazahnya sekarang sudah diangkut kemari, tidak inginkah kau memeriksanya sendiri?”
“Tentu saja harus kuperiksa,” Ho Leng-hong tertawa, “aku tidak percaya di dunia ini terdapat dua orang Ho Leng-hong yang mempunyai bentuk wajah yang sama.”
“Baik. Tapi kurasa mukanya tentu sudah tak sedap dipandang, harap enso menyingkir dulu,” kata Lo Bun-pin.
Nyo-hujin dan sekalian dayangnya lantas memutar badan dan menghadap ke arah lain, Lo Bun-pin segera menggapai kepada kedua laki-laki itu agar menggotong masuk mayat tersebut. Perlahan Thian Pek-tat membuka kain kafan yang menutupi wajah jenazah.
Tiba-tiba senyuman Ho Leng-hong menjadi beku.... siapa lagi yang berbaring itu kalau bukan Ho Leng-hong?
“Sekarang kau sudah percaya bukan, saudara Nyo?” tanya Lo Bun-pin kemudian.
Kecurigaan seketika menyelimuti benak Ho Leng-hong, tiba-tiba ia mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan Thian Pek-tat, bentaknya, “Dari mana kaudapat mayat palsu itu? Hayo lekas jawab!”
“Tidak! Tidak ada mayat palsu.... ini.... ini jenazah Ho Leng-hong, jenazah asli bukan palsu….” jawab Thian Pek-tat dengan tergagap.
“Tenang, tenang dulu saudara Nyo, jangan emosi....” seru semua orang sambil maju melerai.
“Ya, lepaskan dulu Siau Thian, kalau ada persoalan boleh kita bicarakan secara baik-baik.”
“Betul! Lepaskan dulu, semua kan sahabat sendiri....“
Ho Leng-hong coba meraba muka sendiri, tiba-tiba timbul perasaan merinding dari lubuk hatinya, sambil membentak ia menggentakkan Thian Pek-tat ke samping, lalu disambarnya pembaringan butut itu dan dilemparkan ke luar...
Kedua laki-laki itu tak dapat berdiri tegak dan terlempar keluar berikut pembaringan tersebut. Ho Leng-hong manfaatkan kesempatan itu untuk menerjang keluar villa itu, ia coba melongok ke luar pagar jembatan....
“Cepat alangi, dia mau melompat ke air bunuh diri.” “Tutuk dulu jalan darahnya, tangkap!” “Dia sudah gila, cepat cepat!”
Padahal Leng-hong tidak gila, iapun tidak bermaksud terjun ke air untuk bunuh diri, dia hanya ingin bersandar di tepi jembatan dan menggunakan air kolam untuk melihat raut wajahnya sendiri. Dan sekarang ia dapat melihat jelas, seketika ia melongo.
Bukan wajah Ho Leng-hong yang muncul di permukaan air, tapi seraut wajah tampan seorang laki-laki setengah umur yang berkulit putih. Tak bisa disangsikan lagi, laki-laki setengah umur yang ganteng ini bukan lain adalah Nyo Cu-wi, pemilik istana Thian-po-hu.
Ho Leng-hong belum pernah berjumpa dengan Nyo Cu-wi, tapi ia merasa seperti pernah kenal bayangan orang yang muncul di permukaan air itu. Ia menjadi bingung dan ragu-ragu.... jangan-jangan dia memang sudah mati?
Benarkah dirinya sudah berubah menjadi Nyo Cu-wi? Tak sempat ia berpikir lagi, tak sempat ia memandang lebih teliti, sebab Lo Bun-pin dan lain-lain sudah keburu maju merubungi, ada yang menarik tangannya, ada yang memegang kakinya, bahkan ada pula yang menutuk jalan darahnya, kemudian beramai-ramai mereka menggotongnya masuk kembali ke Kiok-hiang-sia...
Pepatah kuno berkata: Sekali masuk rumah bangsawan, dalamnya melebihi samudra. Artinya rumah kediaman orang besar tidak gampang dikunjungi atau ditinggalkan.
Meskipun Thian-po-hu di Kiu-ci-shia bukan istana kaum bangsawan atau tempat orang berpangkat, tapi tempat ini merupakan tempat tinggal jago persilatan yang ternama, baik luasnya bangunan, kemewahan, dan kemegahan perabot maupun ketatnya penjagaan, tidak kalah dengan gedung orang berpangkat.
Bila Ho Leng-hong ingin kabur dari Thian-po-hu, hal ini jauh lebih sukar daripada naik ke langit. Sekalipun demikian, setiap saat ia selalu berusaha melarikan diri dari sana.
Hal ini tidak berarti ia meremehkan kenikmatan hidup yang di terimanya di Thian-po-hu, juga tidak berarti ia enggan tinggal dalam gedung yang megah melebihi istana ini, tapi dia harus mencari jawaban terlebih dahulu tentang siapakah dia yang sebenarnya? Sebab ia sendiripun mulai bingung.
Semenjak melihat mayat “Ho Leng-hong”, sejak melihat tampang “Nyo Cu-wi” yang muncul di permukaan air, ia mulai ragu, ia mulai sangsi dan bingung. Jenazah itu tidak palsu, baik perawakan, panca indera, raut wajah, semuanya persis Ho Leng-hong, sedikitpun tiada tanda-tanda yang mencurigakan.
Raut wajah Nyo Cu-wi juga tidak palsu, bukan saja semua orang menganggap demikian, bahkan Nyo-hujin sendiripun tidak curiga, bagaimanapun ia menggosok dan mencuci mukanya, semuanya membuktikan bahwa wajahnya bukan berubah lantaran dirias dengan obat-obatan.
Tapi, ia masih ingat dengan jelas bahwa dia adalah Ho Leng-hong dari Lok-yang, kenapa secara tiba-tiba bisa berubah menjadi Nyo Cu-wi dari Thian-po-hu di Kiu-ci-shia?
Daya ingat serta cara berpikirnya dimiliki orang ini, sebaliknya raut wajahnya, bentuk lahiriah adalah milik orang yang lain, hal ini suatu kejadian yang cukup menyiksa batin.
Maka dari itu, Ho Leng-hong ingin melarikan diri, bukan Cuma ingin menghindari penderitaan saja, tapi yang penting adalah ingin menemukan dirinya sendiri. Ia pikir, hanya seorang yang mungkin tahu duduk perkara yang sesungguhnya. Siapakah dia? Siau Cui.
Karena ia telah kehilangan pribadinya di pembaringan Siau Cui, bahkan dia masih ingat, ketika terjadi “musibah” tersebut, Siau Cui pernah mohon kepadanya agar mengajaknya kabur sejauh-jauhnya, kabur ke suatu tempat yang tak seorangpun mengenali diri mereka....
Bila dibayangkan kembali sekarang, bukankah ucapan itu suatu pertanda bahwa segera akan terjadi sesuatu?
Ho Leng-hong bertekad akan meninggalkan Thian-po-hu secara diam-diam dan satu-satunya jalan untuk mewujudkan cita-citanya adalah merebut kepercayaan Nyo-hujin dan Lo Bun-pin sekalian, bila sudah dipercaya, otomatis ia dapat bergerak bebas lagi.
Dan untuk mendapatkan kepercayaan mereka, satu-satunya cara adalah mengakui dirinya adalah Nyo Cu-wi untuk sementara waktu. Padahal keadaan telah memaksanya mau-tak-mau harus mengakui kenyataan tersebut.
Sudah tiga hari Ho Leng-hong dipaksa berbaring dalam Kit-hiang-sia, Lo Bun-pin sekalian secara bergilir mendapat tugas untuk menjaga siang dan malam, sekalipun alasan mereka untuk menemani, padahal yang benar adalah untuk mengawasinya, kuatir penyakit gilanya angot lagi.
Enam-tujuh rombongan Hwesio dan Tosu siang malam secara bergilir membacakan kitab di luar villa air, mereka berdoa untuk mengusir setan dan menundukkan roh jahat, suara tetabuhan yang dibunyikan sangat berisik dan membuat orang tak bisa beristirahat dengan tenang.
Suara gaduh dan ribut macam begini jangankan bisa mengusir setan atau roh jahat, sekalipun orang yang tidak gila, lama kelamaan malah akan menjadi gila sungguh-sungguh. Tapi ada satu kesulitan bagi Ho Leng-hong untuk mengakui dirinya sebagai Nyo Cu-wi, sebab selama ini ia selalu berkeras mengatakan dirinya bukan Nyo Cu-wi. Untuk ini, sedikitnya dia harus mencari suatu “alasan” yang tepat. Tapi alasan apa yang dapat digunakannya? Ah, ada akal...
Saat itu suatu rombongan Tosu sedang membunyikan alat tetabuhan, berdoa sambil mengelilingi villa itu. Sebagai pemimpin rombongan adalah seorang Hoatsu (pendeta agama To) yang bertubuh kurus kering dengan kumis tikus, tampangnya rada mirip Siau Thian.
Sejak semula Ho Leng-hong jemu melihat tampangnya, sebab Tosu kecil ini bukan saja suaranya tinggi melengking, caranya berdoa pun seperti jeritan setan, bahkan beberapa kali jeritannya menyadarkan dia dari tidurnya. Kini tiba kesempatan yang baik untuk memberi “hajaran” kepadanya.
Begitulah, tatkala Hoatsu itu tiba di pintu villa dan siap menggoyangkan pedang kayunya sambil membaca mentera pengusir setan, mendadak Ho Leng-hong melompat bangun, lalu berteriak keras, “Ada setan! Hai, kalian cepat kemari, tangkap setan itu! Tangkap!”
Kebetulan Lo Bun-pin yang mendapat giliran berjaga, buru-buru ia menghampirinya seraya bertanya, “Saudara Cu-wi, apa yang kau lihat?”
“Setan! Setan bertubuh ceking, bertangan empat dan kaki tiga! Cepat! Cepat tangkap!“
“Di mana?” tanya Lo Bun-pin dengan melenggong.
Sambil menuding Hoatsu itu kembali Ho Leng-hong berteriak, “Itu dia! Di depan pintu kamar, itu yang memakai jubah Pat-kwa sambil membawa pedang kayu.... dia itulah setan.... dia setan!”
“Keliru besar saudara Cu-wi, orang itu bukan setan, dia Ku-gwat Hoatsu dari Giok-siu-koan yang sengaja di undang untuk menangkap setan....“
“Tidak! Dialah setannya!” teriak Ho Leng-hong lagi, “dengan mata kepalaku sendiri kulihat ada setan menyusup ke tubuhnya, kalian cepat menangkapnya, cepat menangkapnya!
Sementara itu Nyo-hujin yang beristirahat di balik ruangan serta para Busu (pesilat) yang berjaga di sekitar villa itu sama berdatangan karena mendengar suar ribut itu.
“Jit-long, benarkah kau melihat setan?” tanya Nyo-hujin dengan penuh perhatian.
“Siapa bilang tidak? Setan itulah yang selama tiga hari mencekik leherku, mengganggu ketenanganku sehingga tak bisa beristirahat dengan baik, cepat kalian tangkap setan itu!”
Nyo-hujin memandang Lo Bun-pin, lalu bisiknya, “Apa yang terjadi?”
“Kejadian ini memang agak aneh, sudah tiga hari ia membungkam, tapi begitu buka suara ia menganggap Ku-gwat Hoatsu sebagai setan....”
“Hei, jangan biarkan dia kabur, cepat kalian tangkap setan itu,” terdengar Ho Leng-hong masih berteriak, “nyawaku telah tertelan ke perutnya, kalau dia kabur dari sini, habislah riwayatku.”
“Kukira kejadian ini agak mencurigakan,” kata Nyo-hujin kemudian sambil berkerut kening, “lebih baik kita turuti permintaan Jit-long, tangkap dulu Tosu tersebut.”
“Tapi... tapi... rasanya kurang baik....” Lo Bun-pin ragu-ragu.
“Tidak menjadi soal, kita utamakan si sakit daripada Tosu tersebut, sekalipun harus menyakitinya, paling-paling kita beri saja uang yang lebih banyak, dan urusan akan beres dengan sendirinya.” Sambil berkata nyonya Nyo lantas memberi tanda kepada para Busu.
Begitu mendapat perintah, serentak para Busu itu menyerbu maju dan menangkap Ku-gwat Hoatsu. Tentu saja para Tosu yang sedang membaca mantra pengusir setan tidak mengerti apa yang terjadi, mereka menjadi panik saking kagetnya.
Lebih-lebih Ku-gwat Hoatsu, ia tidak habis mengerti dengan kejadian yang menimpa dirinya, dengan gelagapan ia bertanya, “He, apa-apaan ini... aku datang untuk menangkap setan... kenapa kalian malah menangkap diriku!”
“Kaulah setannya, berani betul kau berpura-pura menangkap setan?” hardik Ho Leng-hong.
“Aku... aku....” Ku-gwat Hoatsu betul-betul jadi bingung, dan tak sanggup berbicara.
“Mengaku sajalah, hayo cepat muntahkan keluar nyawaku, kalau tidak... jangan menyesal bila kuberi ganjaran yang setimpal,” teriak Leng-hong.
Mulut Ku-gwat Hoatsu melongo lebar-lebar dan tak tahu apa yang mesti dikatakan.
“Pengawal, lolohkan kotoran manusia ke dalam mulutnya, perintahkan kepadanya untuk memuntahkan nyawaku, cepat lakukan!” teriak Ho Leng-hong lagi.
Karena Nyo-hujin tidak menunjukkan rasa keberatan, serta-merta para Busu itu mengerjakan apa yang diperintahkan, segentong kotoran manusia segera dipikul datang, lalu Ku-gwat Hoatsu ditelentangkan di tanah dan dicekoki kotoran itu.
Kasihan Ku-gwat Hoatsu, mau menolak tak bisa, melawan juga tak kuat, tak menolak perutnya tak tahan. Akhirnya ia tumpah-tumpah hebat, isi perutnya nyaris ikut tertumpah keluar. Sesudah Tosu itu tumpah-tumpah, Ho Leng-hong menarik napas lega, ia memejamkan mata dan berbaring kembali di atas pembaringan.
Lo Bun-pin menyuruh para Busu membawa pergi Ku-gwat Hoatsu yang “setengah mati” sesudah diberi uang lebih banyak. Setelah kawanan Tosu dienyahkan, Ho Leng-hong lantas sadar kembali, kata pertama yang diucapkan setelah membuka matanya adalah,
“Aku lapar, apakah ada makanan enak?”
Kalau orang sakit sudah tahu lapar, itu berarti penyakitnya sudah sembuh. Saking gembiranya hampir saja Nyo-hujin melelehkan air mata, buru-buru ia titahkan orang untuk menyiapkan makanan, lalu tanyanya, “Jit-long, bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah mengerti bukan?”
“Aku baik sekali! Apakah yang tidak mengerti?”
“Sudah tahu siapa dirimu? Tempat apakah ini?”
“Lucu, tempat ini kan Kiok-hiang-sia, terletak di taman belakan istana Thian-po-hu di Kiu-ci-sia, inilah rumahku sendiri, kenapa tidak tahu?”
“Lalu siapa namamu...?”
“Aku Nyo Cu-wi, memangnya kalian kira aku ini siapa?”
Nyo-hujin menarik napas lega, “Terima kasih kepada langit dan bumi, akhirnya kau sadar kembali.”
“Eh, apakah terjadi sesuatu?” tanya Leng-hong.
“O, tidak... tidak.....” buru-buru Lo Bun-pin menanggapi sambil tertawa, “terlalu banyak arak yang diminum Nyo-heng sewaktu ada di rumahku tempo hari hingga mabuk hebat, enso terus menerus mengomeli Siaute, untunglah sekarang sudah beres, dapatlah kumohon diri....“
“Eh jangan pergi dulu, jangan pergi dulu, apa salahnya kalau mabuk bila sobat lama berkumpul. Kau kan tahu tabiat ensomu, masa masih marah padanya?”
“Ah, mana berani,” kata Lo Bun-pin.
“Nah, begitulah,” kata Ho Leng-hong sambil tertawa, “kita harus berkumpul beberapa hari lagi, jangan pergi, kita boleh bercakap-cakap sepuasnya.”
“Bercakap-cakap boleh saja, tapi ingat, jangan minum sampai mabuk lagi,” Nyo-hujin memperingatkan.
“Kalau Cuma mabuk sedikit kan tidak apa, asal tidak kelewat takaran,” ujar Ho Leng-hong, “kenapa kau mesti menghilangkan kegembiraan orang banyak?”
“Betul!” Thian Pek-tat menanggapi sambil tertawa, “Nyo-hujin, bukannya aku Siau Thian rakus dan ingin minum arak, tapi pada umumnya barang siapa baru sadar dari mabuk hebat dia harus minum beberapa cawan arak lagi, dengan begitu baru badan takkan terganggu, arak ini namanya Hoan-hun-ciu (arak pengembali sukma).”
“Betul, memang begitu,” kata semua orang, “kalau tidak minum Hoan-hun-ciu, orang akan merasa pusing-pusing kepala selama beberapa hari, setiap peminum sama mempunyai pengalaman seperti ini.”
“Hahaha! Siau Thian memang selalu menarik dalam soal-soal begini,” kata Ho Leng-hong sambil tertawa, “rupanya Hoan-hun-ciu mau-tak-mau harus kuselenggarakan.”
Di tengah gelak tertawa orang ramai, Nyo-hujin tak bisa menolak lagi, terpaksa ia menyuruh orang menyiapkan arak. Ho Leng-hong bukanlah seorang yang gemar minum arak, ia berbuat demikian hanya untuk mencari kesempatan agar lebih memahami keadaan Thian-po-hu.
Terlampau sedikit yang diketahuinya tentang Thian-po-hu ini, bahkan siapa nama kecil Nyo-hujin pun tidak diketahui, kalau kurang lancar dalam soal panggil memanggil bisa mengakibatkan rahasianya ketahuan dan sulit lagi untuk mendapatkan kepercayaan orang.
Betul juga, setelah “arak pengembali sukma” diselenggarakan, semua kesulitan yang dikuatirkan berhasil diatasi dengan mudah. Bukan saja ia mengetahui Nyo-hujin bernama Pang Wan-kun, bahkan mengetahui juga dia adalah adik kandung It-kiam-keng-thian (pedang sakti menuding langit) Pang Goan, pemilik istana Cian-sui-hu dari Liat-liu-shia yang ilmu silatnya tidak di bawah Nyo Cu-wi.
Thian-po-hu dari Kiu-ci-shia, Cian-sui-hu dari Liat-liu-shia ditambah Hiang-in-hu dari Hu-yong-shia di wilayah Leng-lam disebut orang sebagai Bu-lim-sam-hu (tiga istana dunia persilatan) mereka semua merupakan keluarga persilatan yang tersohor di dunia.
Sebab itulah selain menaruh “hormat dan sayang”, Nyo Cu-wi juga merasa “jeri” terhadap istrinya yang cantik bak bidadari dari kahyangan ini.
Nyo Cu-wi terkenal sebagai laki-laki yang takut bini, terpaksa Ho Leng-hong tak dapat terlampau menunjukkan kejantanannya. Karenanya ketika malam itu Pang Wan-kun minta ia pindah dari Kiok-hiang-sia ke kamar tidur mereka, ia tak berani membantah melainkan hanya menurut saja.
Tapi sekarang muncul masalah baru. Apabila suami isteri tidur bersama dalam satu kamar, tentunya akan melakukan “tugas dan kewajiban”, hal inilah yang menyulitkan Ho Leng-hong.
Sebenarnya soal “begituan” bukan hal baru bagi Ho Leng-hong, yang merisaukan dia adalah dalam bermesraan antara suami-isteri tentu ada sesuatu “rahasia” yang menyangkut diri pribadi, untuk ini jelas tak bisa “diwakilkan” kepada orang lain, karena bila rahasianya ketahuan, akibatnya pasti akan runyam.
Sejak kakinya melangkah masuk ke dalam kamar tidur, Ho Leng-hong merasa hatinya berdebar keras. Ia tak dapat menolak untuk tidur sekamar, maka satu-satunya jalan untuk menghindari segala kemungkinan hanya main “mengulur waktu”, diambilnya sejilid buku, lalu duduk di tepi jendela sambil membaca.
Apa isi buku itu tak sehuruf pun yang masuk dalam benaknya, ia hanya berharap Pang Wan-kun cepat-cepat tertidur, itulah sebabnya meski mata memandang buku, tapi telinganya memperhatikan suara gerak-gerik dalam kamar.
Bwe-ji telah membereskan pembaringan, menutup pintu dan mengundurkan diri, apa mau dikata, Pang Wan-kun justru tidak mau tidur, seorang diri ia gemerasak dalam kamar, entah apa yang dilakukannya.
Tak terlukiskan rasa gelisah Ho Leng-hong, terpaksa ia harus berpura-pura menaruh perhatian, katanya, “Wan-kun, tidurlah dulu, beberapa hari ini kau tentu kepayahan.”
“Dan kau?” tanya Pang Wan-kun.
“Aku belum ngantuk, biar kuselesaikan dulu beberapa halaman buku ini, tak usah tunggul lagi.”
Langkah kaki tiba-tiba berkumandang makin dekat, dan Pang Wan-kun malah muncul dari dalam. “Hei, buku apa yang kau baca?” tegurnya sambil tertawa, “tampaknya asyik benar, sampai lupa tidur?”
Ah, buku....” tiba-tiba muka Ho Leng-hong menjadi merah dan urung bicara, buku itu cepat-cepat ditutup, kalau ada lubang ingin sekali buku itu segera disembunyikan. Sayang terlambat sebab Pang Wan-kun telah merampas buku itu.
“Buku baik biar akupun ikut baca, kenapa disembunyikan....” ia mengomel. Tapi sebelum lanjut ucapannya, mendadak pipinya berubah merah jengak, sambil membanting buku itu, serunya, “Sialan! Buku beginian yang kau baca!”
Rupanya buku yang diambil Ho Leng-hong sekenanya dari rak buku itu bukan lain adalah buku porno. Adalah wajar bila di kamar tidur suami-isteri muda tersimpan buku macam begini, celakanya Ho Leng-hong mengeluarkan buku demikian dalam suasana seperti ini, hal ini ibaratnya api disiram minyak, tambah merangsang nafsu. Tampaknya sulit bila malam ini hendak dilewatkan dengan “aman dan tenteram”.
Terpaksa Ho Leng-hong pura-pura bergelak untuk menutupi rasa jengahnya, ia berbangkit, katanya, “Baiklah, tidak membaca lagi, bagaimana kalau jalan-jalan di taman saja?”
Wan-kun tidak menyatakan setuju, juga tidak menolak, dia hanya menundukkan kepala sambil memainkan ujung bajunya. Ho Leng-hong membuka pintu yang menghubungkan villa itu dengan taman, lalu menarik napas panjang, katanya, “Betapa indahnya bulan purnama, sayang bila malam seindah ini dilewatkan begitu saja.”
Pang Wan-kun masih belum bersuara, dengan lembut ia merangkul bahu pemuda itu dan bersandar mesra di dadanya yang bidang. Bulan purnama bersinar terang di angkasa, bau harum bunga semerbak, membuat orang terlena, kedua “suami isteri” berangkulan dengan mesra di tengah keheningan malam yang jernih, sungguh suasana yang romantis.
Ho Leng-hong tak dapat meresapi keindahan alam dan suasana romantis itu, apa yang dirasakan hanya keresahan, pikirannya tak tenang, ia hanya berdoa semoga malam ini dapat dilewatkan dengan selamat.
Di bawah sinar bulan purnama, kedua “suami isteri” itu berjalan-jalan di tengah taman yang sepi, rupanya Pang Wan-kun merasa dingin karena bajunya tipis, ia bersandar dalam pelukan Ho Leng-hong dengan manja.
Ho Leng-hong bukan laki-laki yang alim, hampir saja ia tak sanggup mengendalikan diri, terpaksa mereka duduk di sebuah bangku batu. Begitu duduk, Pang Wan-kun lantas berbaring dalam pangkuan sang “suami” sambil menghela napas panjang, bisiknya lirih,
“Jit-long, masih ingatkah kau pada musibah yang menimpamu tahun yang lalu?”
Ho Leng-hong melenggong dan tak dapat menjawab. Untung Wan-kun tidak menanti jawabannya, ia bergumam sendiri, “Musim semi tahun yang lalu, keadaannya seperti juga sekarang, malam sunyi dengan bulan purnama yang indah sekali, waktu itu kitapun berdua, duduk di tepi telaga Siau-thian-ti di puncak Lu-san sambil menikmati keindahan rembulan….”
Ah, kiranya begitulah kejadiannya! Buru-buru Ho Leng-hong tertawa, “Siapa bilang aku lupa? Pemandangan alam Lu-san memang lain daripada yang lain, sebab itulah dalam syair kuno tercantum kata-kata yang berbunyi: Sekalipun tidak kenal wajah Lu-san yang sebenarnya, berjodohlah bila berada di gunung tersebut….”
“Bukan keindahan alam Lu-san yang kumaksudkan,” tukas Wan-kun cepat, “aku berbicara tentang kau digigit ulat beracun itu.”
Sekali lagi Ho Leng-hong tertegun, ia tidak tahu Nyo Cu-wi pernah digigit ulat beracun, terpaksa sahutnya secara samar-samar, “Ya…. Lu-san memang tempat yang menarik, sayang serangga beracunnya terlalu banyak, menjemukan….”
“Salah siapa?” Wan-kun menutup mulutnya sambil cekikikan, “siapa suruh kau membayangkan hal yang bukan-bukan? Tanpa sebab tiba-tiba kau ingin menggaet rembulan dalam kolam? Itulah akibatnya, rembulan tak berhasil kaudapat, punggungmu malah disengat makhluk beracun, esoknya luka ini bengkak besar dan akhirnya terpaksa harus dioperasi dan meninggalkan bekas luka. Masih ingatkah kau akan kejadian itu?”
“Masih ingat, masih ingat,” Ho Leng-hong tertawa getir, “Ai, waktu itu aku hanya ingin main-main, siapa tahu bisa jadi sial begitu.”
Dengan lembut Wan-kun meraba pipi sang “suami”, dengan penuh menyesal ia berkata, “Padahal akulah yang menerbitkan gara-gara itu, akulah yang menyuruh kau mengambilkan rembulan itu di telaga segala. Ya, ketika itu kita memang sedikit agak mabuk.”
“Ya, memang begitulah,” sambung Ho Leng-hong cepat, “kalau tidak mabuk, siapa yang akan melakukan perbuatan sebodoh itu.”
“Padahal waktu itu aku cuma bergurau, siapa tahu kau menganggapnya sungguhkan?”
“Mana aku berani tidak anggap sungguhkan perkataanmu? Sekalipun kau menginginkan bintang di langit juga akan kucarikan tangga untuk naik ke langit dan memetiknya bagimu.”
“O, Jit-long, sungguhkah kau begitu menurut pada perkataanku?” bisik Wan-kun lembut.
“Tentu saja,…” tapi begitu jawaban diucapkan, segera Leng-hong merasakan gelagat tak baik.
Jelas apa yang diucapkan Pang Wan-kun ini hanya kata-kata “pengantar” belaka, sebab tangannya sudah mulai merosot dari pipi ke tengkuk Ho Leng-hong, bahkan terus turun ke bawah, meraba dadanya, pinggangnya... terus... Tangan yang halus itu bagaikan seekor ular kecil yang merayap masuk ke balik bajunya.
Kini Ho Leng-hong bersetatus sebagi “suami” tentu saja ia tak dapat menolak belaian cinta sang “isteri”, tapi ia sadar bila adegan panas yang merangsang ini berlangsung terus, “akibatnya”nya sukarlah dilukiskan. Terpaksa ia berpura-pura takut geli, sambil menggeliat ke sana kemari ia menangkap tangan itu dari luar baju.
“Jangan begini Wan-kun,” bisiknya sambil tertawa, “kalau dilihat para pelayan, kita bisa ditertawakan....”
“Hm, semua pelayan sudah tidur, lepaskan bajumu Jit-long, biar kuraba bekas luka di tubuhmu itu, mau?”
Sungguh gawat, sebab punggungnya hakikatnya tidak terdapat codet seperti apa yang dimaksudkan, kalau sampai diraba, bukankah urusan bisa runyam?
“Ah, paling-paling cuma sebuah codet belaka, apa enaknya diraba?” kata Leng-hong cepat. “Marilah Wan-kun, kita bicara soal lain saja....”
“Tidak, aku suka merabanya, selama ini kau selalu mengizinkan aku merabanya, kenapa sekarang kau tolak permintaanku?”
“Bukannya menolak, kukuati dilihat para pelayan yang kebetulan masuk kemari.”
“Kan sudah kukatakan, semua pelayan sudah tidur, tak nanti ada orang yang masuk kemari.”
“Sekalipun tak ada orang, siapa tahu kalau di sini ada ulat beracunnya? Kalau sampai kena disengat lagi, wah bisa celaka.”
“Jit-long,” kata Wan-kun seraya merayu, “selamanya kau menuruti kehendakku, kenapa sekarang sikapmu berubah?”
“Aku... aku....“ Leng-hong gelagapan.
“Pokoknya aku tak mau tahu, aku tetap akan merabanya.”
Apa yang diucapkan segera dilaksanakan, ia merangkul leher Ho Leng-hong dengan tangan kiri, sedang tangan kanan dengan cepat merogoh ke balik bajunya, lewat di bawah ketiak dan meraba punggungnya.
Ho Leng-hong tak bisa menghindar lagi, peluh dingin sampai membasahi dahinya, dalam hati ia mengeluh, “Habis, tamatlah lelakonku kini, semua rahasiaku bakal terbongkar....”
Tapi apa yang terjadi? Ketika tangan Pang Wan-kun berhenti di punggungnya, ia tidak menunjukkan sesuatu reaksi yang “di luar dugaan”, malah dia merabanya dengan penuh kasih sayang.
“Oh, codet yang menawan hati,” gumamnya dengan rasa puas, “Inilah kenangan yang kau berikan kepadaku akibat ingin mengambil rembulan di kolam, sepanjang hidup akan kubelai terus dengan kasih sayang, tak akan kubiarkan kenangan itu meninggalkan jari-jari tanganku untuk selamanya....”
Ho Leng-hong menjadi kaget tercampur bingung, seketika ia terkesima. Mimpipun ia tak menyangka di punggungnya terdapat codet, sebuah codet yang persis seperti codet yang dimiliki Nyo Cu-wi. Ia tak pernah menggaet rembulan di telaga Siau-thian-ti di Lu-san, iapun tak pernah disengat ulat beracun, tapi darimana datangnya codet?
Apakah dirinya memang Nyo Cu-wi yang sesungguhnya? Jangan-jangan Ho Leng-hong benar-benar sudah mati? Atau mungkin.... Tidak! Tak mungkin, untuk membuktikan kejadian yang sesungguhnya, ia harus mencari Siau Cui?
Siau Cui adalah pelacur yang terdaftar di rumah pelacuran Hong-hong-wan, pelacur resmi, siapapun boleh mencarinya. Tapi tidak berlaku bagi Ho Leng-hong. Sebab statusnya kini adalah pemilik Thian-po-hu yang tersohor dan terhormat di Kiu-ci-shia, tentu saja ia tak dapat sembarangan mengunjungi rumah pelacuran dan menemui seorang pelacur.
Untuk menyembunyikan identitasnya, sengaja Ho Leng-hong mengenakan sebuah mantel hitam serta sebuah topi lebar, sebagian besar wajahnya hampir tertutup oleh tepian topi yang lebar itu. Ketika kentungan pertama baru lewat, dengan kepala tertunduk ia melangkah masuk ke dalam Hong-hong-wan.
Melihat ada tamu datang, pesuruh rumah pelacuran segera berteriak lantang, “Ada tamu!”
Baru sepatah kata meluncur keluar, tiba-tiba mulutnya tersumbat oleh sepotong benda keras. Sekeping uang perak yang berkilauan.
“Jangan berteriak, jangan berisik,” desis Ho Leng-hong sambil merangkul leher pesuruh itu. “Beritahu kepadaku, Siau Cui ada atau tidak?”
Mula-mula pegawai itu kaget, tapi setelah memuntahkan benda itu dari mulutnya dan mengetahui benda apakah itu, dengan kejut bercampur girang sahutnya cepat, “Ada! Ada! Ada!”
“Dalam kamarnya ada tamu?”
“Ada! Ada! Ada...” mendadak ia merasakan perkataannya tidak tepat, cepat sambungnya lagi “Tuan, yang kautanyakan adalah....”
“Nona Siau Cui yang tinggal di kamar serambi barat.”
“O, rupanya engkau menanyakan Siau Cui?” pesuruh itu menyengir, “tidak ada, tidak ada tamu, nona Siau Cui sudah tidak menerima tamu lagi, sekarang iapun tidak tinggal di kamar sebelah barat.”
“Oya? Kenapa?”
“Tuan, besar kemungkinan engkau datang dari luar daerah, bukan? Masa engkau tidak tahu Siau Cui tertimpa musibah?”
“Musibah apa?”
“Sebenarnya urusan semacam ini tidak pantas kukatakan kepada Tuan,” ujar pelayan itu berlagak rahasia, “cuma lantaran hamba lihat Tuan adalah orang baik, hamba tidak tega untuk mengelabuimu. Tuan, menurut pendapat hamba, Hong-hong-wan kami masih banyak nona cantik yang lain, mau pilih yang macam apapun ada, yang lebih hebat dari Siau Cui pun ada, tapi jangan sekali-kali kau mencarinya lagi.”
“Kalau mencarinya kenapa?”
“Terus terang kuberitahu kepadamu, Tuan, belakangan ini Siau Cui lagi sial, seorang buaya she Ho yang mabuk kedapatan mati dalam kamar Siau Cui, sejak itulah siapapun tak berani masuk ke kamarnya, sebab itulah Mama menyuruh dia berhenti bekerja untuk sementara waktu, sekarang ia sudah pindah ke kamar bagian belakang....”
“Kenapa secara tiba-tiba orang she Ho itu mati?”
“Siapa yang tahu? Pokoknya setiap hari bocah itu kerjanya cuma keluyuran, ya minum arak, ya berjudi, jelas bukan manusia baik-baik. Menurut pendapatku, kalau bukan mampus karena luka akibat berkelahi, tentu mampus keracunan arak lantaran terlalu banyak minum, orang luar sih tidak peduli, mereka hanya tahu dia mampus di sini, yang celaka adalah Siau Cui, gara-gara kejadian ini ia nyaris diseret ke pengadilan.”
“Ah, orang yang mengatakan begitu sungguh keterlaluan, sekalipun dia mati secara mendadak, itu kan bukan salah Siau Cui?”
“Betul juga perkataanmu, tapi dia kan seorang nona penghibur, kalau sampai mengalami kejadian sial semacam ini, siapa lagi yang berani masuk ke kamarnya?”
“Kalau begitu, jadi gara-gara orang she Ho itulah Siau Cui ikut tertimpa sial?” jengek Leng-hong.
“Bukan Siau Cui saja yang tertimpa malang, usaha kampiun ikut terpengaruh. Ai, bocah she Ho itu sungguh bikin celaka orang saja.”
Kalau bisa Leng-hong ingin memberi beberapa kali tempelengan pada pesuruh yang lancang mulut ini, tapi sedapatnya ia tahan perasaannya.
“Siau Cui tinggal di halaman belakang sebelah mana?” tanyanya kemudian, “jangan kuatir, bawa saja diriku ke sana, dan uang perak itu untuk minum arak bagiku.”
“Tuan, kau tidak takut?” tanya orang itu dengan suara parau.
Ho Leng-hong menggeleng kepala sambil tertawa, “Jangan kuatir, jika akupun ikut mampus di halaman belakang, anggap saja aku yang mencari kematian sendiri, tak nanti kubikin susah kepadamu.”
Pesuruh tersebut ingin mendapatkan hadiah, cepat dia celingukan ke sekeliling tempat itu, lalu bisiknya sambil memberi tanda, “Baik, ikutlah padaku.”
Mereka berdua masuk lewat pintu samping lalu mengitari ruang dan halaman tengah terus masuk ke halaman belakang.
Sambil menuding sebuah rumah papan di sudut pekarangan sana, bisik pesuruh itu, “Di sanalah nona Siau Cui berdiam, Tuan jangan berdiam terlalu lama di situ, kalau ketahuan Mama, hamba bisa celaka.”
Ho Leng-hong menyuruh pergi orang itu, kemudian mengawasi rumah kayu itu dengan saksama. Rumah kayu itu jelek, sudah tua dan dekat dinding pekarangan, bagian sampingnya adalah tempat menyimpan barang-barang tak terpakai, tentu saja bedanya bagaikan langit dan bumi bila dibandingkan kamar Siau Cui di serambi barat sana.
Meskipun Siau Cui hanya seorang pelacur yang hina dina, tapi terhadap Leng-hong dia memang jatuh cinta dengan tulus dan murni, Leng-hong menyesal karena tak dapat memenuhi harapan kekasihnya, apalagi setelah menyaksikan penderitaan yang dialaminya sekarang, ia menjadi malu hati.
Tapi, sesungguhnya salah siapakah itu? Siapa yang telah “mencelakai” Ho Leng-hong? Siapa yang membuat Ho Leng-hong “berubah” menjadi Nyo Cu-wi? Apakah kejadian inilah yang disebut “roh masuk pada raga orang lain?”
Ho Leng-hong jelas tidak mengakui dirinya telah “mati”, iapun tidak percaya setan iblis segala, apalagi tentang roh masuk ke tubuh orang lain. Oleh sebab itu ia harus tanya langsung persoalan ini kepada Siau Cui.
Cahaya redup tampak bersinar di balik jendela rumah kayu itu, di dalam terdengar suara batuk seorang yang berat. Itulah suara batuk Siau Cui, paru-parunya memang lemah, sering kali dia terbatuk-batuk sebelum tidur, terutama bila ada persoalan yang mengganjal dalam hatinya, ia akan mengalami kesulitan untuk tidur. Tiba-tiba Ho Leng-hong merasa terharu, ia menghela napas perlahan lalu mengetuk pintu.
“Siapa?” suara Siau Cui berkumandang dari dalam.
“Aku! Buka pintu, Siau Cui!”
“Siapa kau?”
“Ho Leng-hong…”
Celaka! Ketika nama itu disebutkan, Ho Leng-hong segera tahu urusan bakal runyam, tapi mau ditarik kembali sudah tak keburu lagi. Benarlah, dari balik ruangan berkumandang jeritan kaget, disusul suara pembaringan kayu yang bergetar keras. Mungkin Siau Cui sedang berbaring ketika mendengar jawabannya, sebab itu saking kagetnya, ia melompat turun dari pembaringan.
“Aku datang untuk persoalan yang menyangkut Ho Leng-hong,” cepat Leng-hong memberi penjelasan, “Bukalah pintu, Siau Cui, mau bukan?”
“Krek!” pintu terbuka sedikit. Dengan suatu gerakan cepat Ho Leng-hong menyelinap masuk ke dalam, lalu menutup kembali pintu kamar. Suasana dalam rumah remang-remang, hanya sebuah lentera menerangi tempat itu, keadaannya sangat sederhana, hanya terdapat sebuah pembaringan dan sebuah meja kecil.
Siau Cui meringkuk di pojok ruangan dengan muka pucat dan badan gemetar, wajahnya memancarkan perasaan takut. “Siapa… siapa kau?” tegurnya dengan tergagap.
Perlahan Ho Leng-hong menanggalkan topi lebarnya, lalu berkata, “Siau Cui, aku adalah Leng-hong, Sungguh! Meskipun mukaku telah berubah, tapi aku betul-betul adalah Ho Leng-hong, kau harus percaya kepadaku…”
Mata Siau-Cui terbelalak, lalu menggeleng berulang, “Tidak! Tidak! Kumohon kepadamu, jangan menakuti diriku! Ho Leng-hong telah mati, siapa kau sebenarnya?”
“Siau-Cui, tak perlu omong kosong, kau tahu jelas bahwa aku tidak mati.”
"Tidak, Ho Leng-hong benar-benar sudah mati, ia mati di kamar sebelah barat sana, dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan ia digotong keluar…”
“Aku tak peduli, siapa yang mereka gotong keluar, pokoknya aku benar-benar adalah Ho Leng-hong, sekarang aku masih hidup segar-bugar, Siau Cui, kau harus percaya kepadaku.”
“Tidak, akut tidak percaya! Aku tidak percaya!” Siau Cui menggeleng kepala, “aku tidak kenal dirimu, aku hanya tahu Ho Leng-hong sudah mati.”
Leng-hong sadar bila keadaan begini berlangsung terus, persoalan akan sukar selesai, maka ia berubah taktik, katanya, “Baiklah, kalau kau berkeras tak mau percaya kepadaku, akupun tak akan memaksa. Sekarang perhatikan diriku baik-baik, pernahkah kau melihat diriku sebelum ini?”
Dengan seksama Siau Cui mengamati wajahnya, lalu menggeleng, “Belum pernah!”
“Coba pikir lagi, pernahkah kenal denganku di suatu tempat?” desak Leng-hong pula.
“Tidak pernah!”
“Jadi kita baru pertama kali bertemu sekarang?”
“Benar!”
“Tapi aku tahu di sebelah kiri perutmu, di bawah pusar, terdapat setitik tahi lalat, di sebelah kanan belakang pinggangmu juga terdapat sebuah toh hitam, benar tidak?” kata Leng-hong sambil tertawa.
Siau Cui melengak, sampai sekian lama ia melongo, lama sekali baru bertanya dengan tergegap, “Kau dengar dari siapa?”
“Kulihat dengan mata kepalaku sendiri,” Leng-hong tertawa, “Seandainya kita tak pernah kenal sebelum ini dan baru bertemu untuk pertama kalinya, darimana kutahu akan tanda rahasia di atas tubuhmu?”
Perlahan Siau Cui menghela napas panjang, “Kenapa heran? Kami orang-orang yang melakukan pekerjaan semacam ini sudah biasa buka pakaian di depan setiap pria yang berkunjung kemari, soal itu sudah bukan rahasia lagi.”
“Baiklah, bila kau anggap tanda rahasia di tubuhmu sudah bukan rahasia lagi, kata-kata pribadimu dengan Ho Leng-hong tentu tak diketahui orang lain bukan? Sebagai contoh kata-kata yang kau bicarakan malam menjelang kejadian itu, bukankah kau minta kepada Ho Leng-hong untuk membawamu kabur sejauh-jauhnya dari sini...“
Belum habis perkataan itu, air muka Siau Cui sudah berubah hebat, tukasnya, “Apa yang kau katakan? Sungguh aku tidak paham, aku tak pernah kenal padamu, akupun tak ada waktu untuk mengobrol denganmu, kuminta sekarang juga kau keluar dari sini, keluar!”
Dengan tajam Ho Leng-hong mengawasinya tanpa berkedip, katanya perlahan, “Siau Cui, kau takut bukan? Waktu itu kau sudah tahu bakar terjadi sesuatu maka kau mohon kepadaku untuk membawamu pergi, kaupun tahu dalam kuah penyadar mabuk itu....”
Air muka Siau Cui semakin pucat, sebelum pemuda itu menyelesaikan kata-katanya ia sudah membentak, “Aku tidak mengerti akan perkataanmu, kuminta segera kau tinggalkan tempat ini, kalau tidak, segera aku akan memanggil orang.”
“Kau tidak akan memanggil orang, Siau Cui, kutahu kau tak akan berbuat demikian karena kau tahu siapa diriku, kaupun tahu apa yang telah terjadi, hanya kau tak berani mengatakannya.”
“Tidak tahu, aku tidak tahu.... apapun aku tidak tahu, sungguh aku tidak tahu apa-apa,” Seru Siau Cui sambil menggeleng kepala berulang kali dan menutup telinganya dengan tangan.
“Siau Cui, apa yang kau takuti? Kau diancam siapa? Kenapa tidak berani bercerita?”
Dengan suara yang hampir menangis Siau Cui berkata, “Kumohon padamu, janganlah mendesakku terus menerus, sungguh aku tidak tahu, kalian telah mencelakaiku hingga seperti ini, apakah masih belum cukup?”
“Siapa yang mencelakaimu?” seru Leng-hong sambil menarik lengannya, “Siau Cui, beri tahukan padaku, siapa yang mencelakai....“
Siau Cui tak bisa menjawab, dia hanya menangis tersedu-sedu. “Bicaralah Siau Cui, cepat katakan kepadaku,” pinta Leng-hong sambil mengguncang-guncangkan tubuh si nona, “aku adalah Leng-hong....”
“Blang!” tiba-tiba pintu kamar didobrak orang secara paksa.
Dua sosok bayangan tubuh yang tinggi besar berdiri tegak di depan pintu, seorang pria berbaju serba hitam, bertubuh kekar dan berdandang sebagai tukang pukul, sedang yang lain adalah perempuan, dia lebih tegap daripada pria tersebut, ia bukan lain adalah Go So.
Entah sejak kapan kedua orang itu tiba di luar kamar, ternyata Ho Leng-hong tidak mengetahui kehadiran mereka. Agaknya Go So tidak kenal lagi pada Ho Leng-hong, sambil menuding pemuda itu, bentaknya, “Keparat, apa yang kau lakukan? Berani betul menerbitkan keonaran dalam Hong-hong-wan? Hm. Tampaknya tulang-tulang badanmu sudah gatal dan minta digebuk!”
“Hm, kalian membuka rumah pelacuran ini untuk mencari uang, asal Toaya punya uang, siapa yang berani melarang kedatanganku?”
“Kalau bermain perempuan sepantasnya di ruang depan, apa maksudmu tarik menarik dengan nona yang beristirahat di ruang belakang? Mengapa kau datang kemari secara diam-diam? Keparat, tidak lekas lepas tangan, memangnya kau ingin digebuk?” Sambil berkata ia menggulung lengan bajunya dan siap berkelahi.
“Tunggu sebentar!” tiba-tiba si baju hitam di sampingnya mencegah, “rasanya kukenal wajah tamu kita ini, seperti pernah bertemu di suatu tempat?”
“Hm, kau kenal aku?” jengek Ho Leng-hong ketus.
Laki-laki berbaju hitam itu tidak menjawab, ia mengamati lawannya dengan cermat, mendadak ia memberi hormat, “Ah, kukira siapa, rupanya Nyo-tayhiap dari Thian-po-hu yang berkunjung kemari. Maaf! Maaf!”
“Kau ini....” melengak juga Leng-hong.
“Hamba she Tan, anak buah Thian-toaya, orang menjuluki diriku sebagai Thi-tau-siau Tan (Tan kecil kepala baja).”
“O, jadi Hong-hong-wan ini termasuk wilayah kekuasaan?”
“Ah, tidak berani, tidak berani,” Thi-tau Tan menyengir, “hamba hanya menjalankan perintah Thian-ya, lantaran Ho Leng-hong kedapatan mati di sini, maka aku diperbantukan selama beberapa hari di sini, sungguh tak nyana Nyo-tayhiap bisa berkunjung kemari. Bila kami berbuat kesalahan karena tidak mengenal Nyo-tayhiap, harap suka dimaafkan....”
Kepada Go So segera ia membentak, “Kenapa tidak cepat-cepat berlutut dan minta ampun! Beliau inilah Nyo-tayhiap, pemilik Thian-po-hu yang tersohor, biar sengaja diundang juga belum tentu tamu agung kita ini mau datang kemari, kau si goblok ini benar-benar anjing betina yang buta. Dengan cepat Go So berubah sikap, dengan lemas ia bertekuk lutut.
“Nyo-tayhiap,” demikian ujarnya, “maafkanlah aku si tua bangka yang punya mata tapi buta, engkau adalah orang besar, tentu tak akan ingat kesalahan orang kecil, anggap saja mulutku si tua bangka tadi hanya kentut busuk dan janganlah marah kepadaku”
Tiba-tiba Ho Leng-hong teringat kembali pada kuah penyadar mabuk malam itu. Go So inilah yang mengatar kuah itu baginya, seandainya dalam kuah terdapat sesuatu yang mencurigakan berarti Go So juga mengetahui persoalan ini sebelumnya.
Sementara ia masih melamun, Go So merangkak bangun sambil berkata, “Tidak sepantasnya menyambut kedatangan tamu agung di tempat sejelek ini, nona Siau Cui, baik-baiklah melayani Nyo-tayhiap, segera akan kuberi tahukan hal ini kepada Mama....”
“Tidak usah,” seru Leng-hong, “sebentar saja aku akan pergi.”
“Mana boleh jadi?” kata Go So, “Nyo-tayhiap tertarik oleh Siau Cui kami, hal ini merupakan rejeki besar baginya, sekalipun tidak menginap, paling sedikit harus minum arak lebih dulu agar ia menemani Nyo-tayhiap bercakap-cakap.”
“Betul, biar hamba undang juga Thian-ya,” sambung Thi-tau Tan, “Lo-ya sekalian juga akan kuundang kemari, Wah suasana nanti pasti akan bertambah meriah....”
Ho Leng-hong melirik Siau Cui sekejap, ia tahu tiada harapan baginya untuk mencari keterangan pada malam ini, ia menghela napas dan melepaskan tangannya. Diambilnya sekeping uang perak dan diserahkan kepada Thi-tau Tan, lalu pesannya, “Aku masih ada urusan dan harus segera berangkat. Nih, terimalah sebagai ongkos minum arak, tapi jangan sekali-kali kausiarkan kedatanganku ini di luaran, mengerti?”
“Apakah terhadap Thian-ya sekalian juga...“
“Ya, terhadap mereka juga harus dirahasiakan, sebab aku tak ingin seorang pun mengetahui kejadian malam ini.”
Berputar biji mata Thi-tau Tan, katanya dengan tertawa, “Ah, pahamlah hamba sekarang. Padahal Nyo-tayhiap tak usah kuatir, Thian-ya kan sahabat karib Nyo-tayhiap, tentang soal ini tak mungkin mereka akan....”
Ho Leng-hong tidak banyak bicara lagi, sambil mengulap tangan ia meninggalkan rumah kayu itu. Siau Cui hanya menunduk sambil menangis, ia membungkam seribu bahasa, tidak mendongak juga tidak mengantar.
Tapi Go So mengantar sampai di luar pintu, katanya dengan nada minta maaf, “Nyo-tayhiap, tentunya kau tidak marah padaku bukan? Kalau malam ini tak ada waktu, kapan-kapan silakan datang lagi? Nyo-tayhiap...”
Ho Leng-hong berlalu dengan langkah lebar hakikatnya seperti orang lari, dia mengambil langkah seribu meninggalkan rumah hiburan itu....
Bila dalam sakunya waktu itu tidak diganduli dengan lima puluh tahil perak, bisa jadi dia akan benar-benar melayang-layang terbawa kabut. Orang kuno bilang: Kalau rejeki sudah nomplok, gunung pun tak dapat mengalanginya. Dan malam ini Ho Leng-hong benar-benar telah meresapi kebenaran pepatah tersebut.
Ambil contoh seperti apa yang baru saja dialaminya di rumah perjudian keluarga Him sana, dia bermain Pay-kiu. Kartu yang dipegang selalu bagus dan mengherankan.
Bila orang lain menjadi “Ceng” (bandar), kartu yang dipegangnya selalu mati dan pasti tombok. Sebaliknya jika giliran Ho Leng-hong yang menjadi bandar, maka kartu yang dipegangnya pasti bagus, andaikan tidak menang, paling sedikit juga seri. Bila pemain atau pemasang mendapat kartu “Te kiu”, maka dia mendapat kartu “Thian-kiu”. Jika pemain memegang kartu “Thian-tui” dan “Te tui”, dia mendapat kartu “Ci-cun” yang merupakan kartu yang tak terkalahkan. Maklum, Ci-cun sendiri berarti yang maha besar.
Begitu bagus kartu yang dipegangnya sehingga membikin lawan-lawannya sama mendelik dan kheki setengah mati, berulang-ulang mengusap keringat dan susul menyusul merogoh saku … akhirnya, semua isi saku lawan-lawannya berpindah tempat ke saku Ho Leng-hong.
Rumah perjudian keluarga Him itu berformat kecil, tapi uang “tong” cukup besar. Bukanlah pekerjaan gampang jika ingin menang lima puluh tahil perak di sini.
Demi merayakan “panen” yang baru saja terjadi, Ho Leng-hong tidak mau menyiksa dirinya sendiri, maka begitu meninggalkan rumah judi itu, segera ia masuk ke restoran Lau-muacu (si burik Lau) di penggaulan jalan sana.
Keluar dari restoran Lau si burik, sedikitnya delapan bagian di terpengaruh oleh minuman keras. Tapi, biarpun mabuk, dia tak lupa daratan sama sekali, sedikitnya dia masih ingat ke mana dia harus “mendarat”.
Dia masih ingat janjinya dengan Siau Cui yang lagi menunggu kedatangannya. Ia pun tidak lupa di mana letak “Go-tong-kang” (gang waru), maka ke arah gang itulah dia menuju.
Waktu masuk ke lorong yang sudah apal baginya itu, tiba-tiba timbul semacam rangsangan yang sukar dijelaskan. “Uang adalah nyali”, atau uang sama dengan keberanian.
Limapuluh tahil perak memang bukan suatu jumlah yang terlalu besar, tapi kalau digunakan mengiming-iming di depan hidung kawanan budak germo itu, sedikitnya dapat membuat mata anjing mereka melotot.
Maklum, biasanya Ho Leng-hong dianggap langganan “kurus”, bersaku kosong, sehingga kurang mendapat pelayanan yang layak. Sekarang sakunya berisi 50 tahil perak, ia ingin berlagak “Cukong” supaya kawanan budak itu tidak lagi menghinanya.
Begitulah, sambil menepuk sakunya yang berisi itu, ia berdehem sekali, lalu membusungkan dada dengan lagak “dunia ini aku punya”, lalu dengan langkah berlenggang ia masuk ke rumah pelacuran “Hong-hong-wan” atau Villa burung Hong, di mana Siau Cui sedang menanti kedatangannya.
Meski sudah jauh malam, namun pintu gerbang Hong-hong-wan masih terbuka lebar, seorang pesuruh rumah pelacuran itu menyambut kedatangan Ho Leng-hong dengan senyuman dikulum.
“Ho-ya (tuan Ho), kau datang!” sapanya.
“Kenapa? Aku dilarang datang?” Ho Leng-hong menengadah dengan gaya menantang.
“Ai Ho-ya ini, masa aku bermaksud begitu? Sengaja mengundang Ho-ya saja belum tentu bisa….”
“Ya, lantaran undak-undakan pintu Hong-hong-wan terlalu tinggi, jadi orang yang tak punya fulus tak dapat masuk.”
Merasakan gelagat tak enak, cepat pesuruh berteriak, “Ho-ya datang, nona Siau Cui siap menerima tamu!”
Teriakan itu secara beruntun disampaikan ke ruang dalam, sepanjang jalan pegawai itu menyingkapkan tirai dan mempersilakan Ho Leng-hong masuk ke dalam.
Sebenarnya Ho Leng-hong ingin “mendamprat” lagi orang-orang itu, tapi lantas terpikir olehnya bahwa “tuan besar” yang banyak uang biasanya enggan ribut dengan orang bawahan, sebab hal ini hanya akan menurunkan derajat sendiri, maka ia lantas masuk saja dengan tertawa tak acuh.
“Cepat benar berita yang diterima orang-orang ini,” demikian pikirnya sambil melangkah masuk, “mereka tentu sudah tahu aku berhasil menang besar di rumah perjudian keluarga Him, maka sikap mereka jadi lain daripada biasanya.”
Baru masuk ke kamar, kontan Siau Cui menggerutu, “Kenapa sekarang baru muncul? Kau sudah berjanji mau datang sebelum tengah malam, bisa gila orang menunggu dirimu.”
“Sejak tadi aku mau kemari,” sahut Ho Leng-hong dengan tertawa, “tapi apa mau dikatakan kalau dewa rejeki menahanku terus. Maka aku datang terlambat.”
Sebuah bungkusan kecil yang berat dikeluarkan dan dijejalkan ke tangan Siau-Cui, lalu bisiknya dengan lembut. “Nih, ambillah!”
“Apa ini?”
“Buka saja, segera tahu.”
“Uang?” tanya Siau Cui sambil menimang-nimang bobot bungkusan itu.
“Benar, itulah yang kita butuhkan, lima puluh tahil, persis!” Ho Leng-hong tertawa bangga.
Ia mengira Siau Cui pasti akan terkejut bercampur gembira dan tentu akan buru-buru membuka serta menghitungnya, atau mungkin saking girangnya dirinya akan dipeluk dan diberi hadiah kecupan hangat...
Siapa tahu, Siau Cui tidak kaget, atau melonjak kegirangan, iapun tidak membuka bungkusan itu serta menghitung jumlahnya, bungkusan kecil itu malah dibuang begitu saja ke meja.
“Tidak tahukah kau bahwa aku ada urusan penting hendak berunding denganmu?” katanya sedih, “ai, mengapa kau hanya tahu minum arah dan berjudi? Selain pekerjaan itu tak pernahkah kau memikirkan soal lain?”
“Siau Cui, aku berbuat demikian demi kau, bukankah ibumu sakit dan membutuhkan uang?”
“Sekalipun membutuhkan uang, bukan berarti harus mendapatkannya lewat berjudi, kukira uang demikian bisa dijagakan?”
“Tentu saja, coba lihat! Aku berhasil menangkan uang itu seperti makan kacang goreng saja, coba kalau tidak kangen padamu, sampai fajar nanti dua-tiga ratus tahil perak pasti bisa kukeruk. Siau Cui, tahukah kau betapa anehnya kartu-kartu itu...”
“Ah, enggan kudengarkan soal kartu, aku ada urusan penting hendak kurundingkan denganmu.”
“Soal penyakit ibumu?”
Siau Cui menggeleng, “Penyakit ibu sudah agak baikan, yang hendak kurundingkan adalah urusan mengenai dirimu sendiri.”
“Urusanku?” Ho Leng-hong melengak, “Urusan apa?”
Siau Cui tidak menjawab, ia menuju keluar dan celingukan ke sekeliling situ, lalu dengan hati-hati menutup pintu menguncinya dan menggandeng tangan Ho Leng-hong menuju ke pembaringan.
Ho Leng-hong merasa tangannya begitu dingin, basah, sedikit gemetar, ini semua membuatnya tercengang. “Ada urusan apa sebenarnya? Jangan terlalu panik,” ia berbisik.
“Leng-hong,” kata Siau Cui serius, “aku ingin menanyakan suatu persoalan, dan aku harap kau suka menjawab sejujurnya, bersedia bukan?”
“Baik, katakanlah!”
“Ai, sudah cukup lama kita berkenalan,” Siau Cui menghela napas. “dan selama ini tak pernah kauanggap diriku sebagai pelacur, akupun tidak menganggapmu sebagai lelaki iseng, hal ini penting artinya bagimu maupun bagiku, anggaplah sebagai permohonanku kepadamu jangan menganggap ucapku ini sebagai gurauan belaka....”
Terpaksa Ho Leng-hong menarik kembali senyumannya dan bersikap sungguh-sungguh. Ia tahu, semakin serius seorang perempuan berbicara, semakin besar pula kemungkinan persoalannya yang akan dikemukakan Cuma urusan sepele, dalam keadaan begitu, paling baik bagi seorang lelaki adalah banyak mendengar dan sedikit bicara, walau dalam hati meremehkan, tapi di luar harus menunjukkan sikap serius.
Begitu lirih suara Siau Cui, bibirnya hampir menempel di tepi telinga Ho Leng-hong, ucapnya, “Leng-hong, kau masih muda dan lagi memiliki ilmu silat yang bagus, mengapa kau selalu bergaul dengan kaum penganggur? Tidak inginkah kau menciptakan suatu pekerjaan besar di dunia persilatan?”
Ho Leng-hong membungkam meski diam-diam keheranan, “Aneh benar budak ini, obat apa yang dia makan hari ini? Kenapa tiba-tiba saja menyinggung soal tetek-bengek ini?”
“Eh, dengar tidak apa yang kukatakan?” tiba-tiba Siau Cui menggoncangkan tubuhnya.
“Sudah dengar!”
“Kenapa diam saja kalau sudah dengar?”
“Persoalan inikah yang kau maksudkan sebagai urusan serius?” tanya Ho Leng-hong setelah berpikir sebentar.
“Benar, memangnya kauingin hidup luntang-lantung begini selamanya, tidak pernahkah memikirkan soal masa depanmu?”
Ho Leng-hong tertawa “Lantas apa yang harus kulakukan? Mencuri? Merampok dengan mengandalkan ilmu silatku? Atau membunuh orang untuk mempopulerkan namaku di mata masyarakat?”
“Tidak, aku tidak berharap kau berbuat begitu, tapi kau kan bisa mengemban tugas suci sebagai seorang pendekar untuk menolong yang lemah dan menumpas yang jahat, menegakkan keadilan dan kebenaran bagi kaum kecil....”
“O, itu bukan tugasku,” Ho Leng-hong mengangkat bahu, “hanya ada dua macam manusia di dunia ini yang melakukan hal-hal begitu, pertama adalah keturunan orang kaya yang ingin mencari nama, dan kedua adalah manusia miskin yang ingin menggunakan kesempatan itu untuk mencari popularitas dan memperbaiki keadaan sosial pribadinya. Hah, jelasnya yang dicari juga nama dan harta.”
“Kalau begitu, apakah mereka yang mengemban tugas suci sebagai seorang pendekar juga manusia munafik?”
“Aku tidak memaki mereka sebagai munafik, juga tidak mengakui mereka sebagai seorang Kuncu, sebab kalau mengemban tugas suci tanpa mencari nama, dari mana pula datangnya nama-nama besar para pendekar itu? Kalau bukan lantaran harta, semua Hiap-kek (pendekar) di dunia ini tentu sudah pada mampus kelaparan, memangnya mereka hanya makan nasi sendiri dan harus mengurusi persoalan orang lain?”
“Bukan maksudku untuk mengajak kau berdebat persoalan ini, aku hanya ingin bertanya, sekalipun tidak kaupikirkan tentang dirimu, seharusnya kau berpikir untukku, apakah kau senang melihat aku bercokol terus di tempat semacam ini?”
“Bukankah sudah kukatakan padamu, Siau Cui? Asal aku punya uang, pasti kau akan kutebus.”
“Tapi aku harus menunggu sampai kapan?”
“Ehm, kalau kulihat suasana malam ini, rasanya kau tak perlu menunggu terlalu lama....” Ho Leng-hong tertawa.
“Tidak! Aku tak dapat menunggu, seharipun tak sudi aku menunggu lagi. Leng-hong, kalau kau masih menginginkan diriku, bawalah aku pergi sekarang juga.”
“Sekarang? Detik ini juga?” seru Ho Leng-hong tercengang.
“Ya, detik ini juga kita harus pergi jauh dari sini, makin jauh makin baik, kita cari suatu tempat yang tak seorang pun kenal kita, sekalipun kehidupan kita lebih susah juga aku rela...”
“Siau Cui, kau sedang mengigau? Kau mabuk?” kata Ho Leng-hong meraba jidat si nona, “Sesungguhnya kau yang mabuk atau aku yang mabuk?”
Tiba-tiba Siau Cui memeluk pemuda itu erat-erat, lalu berbisik dengan suara gemetar, “Kumohon kepadamu Leng-hong, semua perkataanku benar-benar timbul dari sanubariku, cepatlah bawa aku pergi, kalau terlambat mungkin tak sempat lagi....”
“Siau Cui, ada apa kau hari ini?” Ho Leng-hong berkerut kening, “Hari kita masih panjang, siapa bilang tak sempat lagi....”
Sebelum perkataannya berlanjut, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Bagaikan seekor kelinci yang ketakutan, Siau Cui mendorong tubuh Ho Leng-hong, lalu melompat bangun sambil menutupi mulutnya dengan rasa kaget dan takut luar biasa.
“Siapa?” tegurnya kemudian.
“Aku enso Go!” jawab orang di luar. “Buka pintu nona, aku mengantar kuah penghilang mabuk untuk Ho-ya.”
Tiba-tiba air muka Siau Cui berubah menjadi pucat, dengan sedih ia melirik Ho Leng-hong sekejap, lalu sambil menarik napas panjang ia membuka palang pintu.
Tahun ini Go So atau enso (kakak ipar) Go berusia tiga puluhan, dia adalah babu Hong-hong-wan yang khusus untuk pekerjaan kasar, tinggi besar seperti kuda teji, badannya berotot seperti kerbau, meski mukanya berbedak tebal dan bergincu, tampangnya dipandang dari sudut manapun tidak mirip seorang perempuan.
Dengan tangan sebelah membawa baki dan tangan yang lain mendorong pintu, lebih dulu ia melongo ke dalam kamar, lalu katanya kepada Ho Leng-hong sambil tertawa, “Ho-ya, kau memang orang yang paling sibuk, bila malam ini kau tidak datang, sungguh nona Cui kita bisa terserang penyakit rindu.”
Ho Leng hong enggan melayani perempuan macam banci ini, ia tidak menjawab.
Go So melirik sekejap wajah Siau Cui, lalu tertawa lagi, “Mama kita mendengar Ho-ya lagi-lagi minum sampai mabuk, maka beliau menyuruh orang membuatkan semangkuk kuah penyadar mabuk untukmu, Ho-ya, minumlah cepat mumpung masih panas.”
“Terima kasih, letakkan saja di meja!”
“Kuah penyadar mabuk makin panas semakin manjur,” desak Go So lagi sambil mengangsurkan bakinya ke depan pemuda itu, “apalagi sudah larut malam, minum saja dulu kemudian baru beristirahat, kalau masih ada urusan besok kan masih ada waktu.”
“Baik, letakkan dulu di situ, nanti akan kuminum sendiri,” kata Leng-hong.
Tapi Go So mendesak terus, kepada Siau-Cui ia berkata, “Nona, jangan kauanggap aku cerewet, biasanya orang mabuk itu cepat lelah, kau harus mengajak Ho-ya beristirahat lebih dulu, jangan bicara yang bukan-bukan, berilah kesempatan kepada Ho-ya untuk menenangkan diri.”
“Aku tahu,” bisik Siau-Cui.
“Bagus kalau sudah tahu, nona muda memang harus lebih banyak belajar menghibur tuan sekalian, apalagi hari esok kan masih panjang, sekalipun masih ada persoalan segudang juga dapat diselesaikan....”
Ho Leng-hong berharap orang ini lekas pergi, maka dia ambil kuah tadi dan sekali tenggak menghabiskan isinya, lalu sambil mengulapkan tangan ia berkata, “Sudahlah Go So, kau harus beristirahat pula, kalau kau tidak pergi mana kami bisa beristirahat?”
“Oh, rupanya tuan mengusir aku? Kuatir waktumu yang berharga hilang? Baiklah, aku akan pergi, aku segera pergi!”
Di mulut ia berkata akan pergi, tapi badannya tak bergeser, ia malah memandang Ho Leng-hong sambil tertawa. Sikapnya seperti lagi menantikan sesuatu, tapi apa yang ditunggu? Atau mungkin sedang menunggu tip atau persen?
Muak rasanya Ho Leng-hong menyaksikan tampang orang, dia ingin mengambil uang supaya orang lekas pergi, tapi empat anggota badannya tiba-tiba menjadi lemas tak bertenaga, kelopak matanya menjadi berat, rasa mengantuk yang sukar ditahan tahu-tahu menyerangnya.
Ya, orang yang mabuk arak memang sangat lelah. Ho Leng-hong betul-betul lelah, saking lelahnya sampai badan lemas tak bertenaga, pikiranpun terasa kosong....
Hanya satu keinginannya waktu itu, yakni memejamkan mata dan tidur sepuasnya. Soal Go So sudah pergi atau tidak? Kuah penyadar mabuk kenapa tidak manjur? Ia malas untuk memikirkannya lagi. Dalam keadaan lamat-lamat ia pejamkan matanya, tidur lelap dan terbuai di alam mimpi....
Berapa lama ia tertidur? Ia tak tahu. Bahkan sekarang ia masih tidurkah? Atau sadarkah? Ia sendiripun tak tahu. Ia cuma tahu, sebelum matanya terbuka, terenduslah bau harum sayup-sayup.
Bau harum itu seperti datang dari bawah bantal, seperti juga timbul dari seprei, sampai kelambu, pembaringan.... pokoknya seluruh kamar dipenuhi bau harum. Bau harum itu amat sedap dan juga asing baginya, sudah jelas bukan bau harum yang biasa terendus dari badan nona-nona penghuni Hong-hong-wan, bau harum itu jelas bau harum tingkat tinggi.
Dia menggeliat lalu membuka matanya perlahan, pertama yang dilihatnya adalah seorang genduk cilik berbaju hijau berusia antara 13-14 tahun berdiri di depan pembaringan sambil mengulum senyum. Ia mengkucak-kucak matanya serta memandang sekeliling ruangan itu, ternyata ia sedang berbaring di sebuah villa yang dibangun di tengah kolam.
Empat sisi ruang ada daun jendela, air nan hijau mengelilingi villa tersebut, di tepi kolam di depan sana kelihatan aneka warna bunga tumbuh dengan indahnya.... rupanya bau harum yang terendus tadi berasal dari bau bunga yang tumbuh di sekeliling tempat itu.
Hanya di surgaloka terdapat pemandangan seindah ini, atau mungkin ia sudah kesasar ke surgaloka seperti halnya dalam dongeng?
Sementara ia tercengang, genduk berbaju hijau itu telah menyapa sambil tertawa, “Kau sudah sadar Tuanku?”
Ho Leng-hong melenggong “Aku....”
“Nyenyak benar tidur Tuanku ini, sudah dua kali nyonya menjenguk kemari tapi Tuan belum bangun juga, bir hamba segera memberitahu kepada Hujin (Nyonya)....”
“Eh.... eh.... tunggu sebentar, bolehkah kutanya, tempat manakah ini? Kenapa aku bisa tertidur di sini?” Seru Ho Leng-hong.
Mula-mula genduk cilik itu tertegun, lalu sambil menutup mulutnya ia tertawa geli, dan berkata, “Toa-ya, tampaknya mabukmu belum hilang dan masih mengigau.”
“Tidak! Aku tidak mabuk, aku segar bugar, aku benar-benar tidak tahu tempat manakah ini.”
“O, Tuanku, jangan-jangan engkau sakit?” dayang itu tertawa cekikikan. “Masa rumah sendiri tidak kenal lagi?!”
“Rumah? Rumahku sendiri?”
“Tentu saja, siapa yang tidak tahu tempat ini adalah Thian-po-hu yang tersohor di kolong langit ini. Dan villa ini adalah Kiok-hiang-sia di belakang taman yang paling disukai Tuan?”
“Thian-po-hu.... Kiok-hiang-sia....” gumam Ho Leng-hong, tiba-tiba ia berseru tertahan, “Hah, kaumaksudkan tempat ini adalah istana Thian-po-hu di Kiu-ci-shia (benteng liku sembilan)?”
“Terima kasih kepada langit dan bumi, syukurlah Tuan sudah ingat kembali.”
“Lantas, siapakah aku?”
“Tuan, masa siapakah dirimu sendiri juga lupa?”
Ho Leng-hong menggeleng, “Bukannya lupa, kutahu benar siapakah diriku, pada hakikatnya aku tak mempunyai hubungan apapun dengan Thian-po-hu, kenapa aku bisa tidur di sini?”
Genduk cilik itu tak bisa tertawa lagi, matanya terbelalak lebar. “Tuan, apa yang kau katakan?” ia berteriak. “Masa kau mengatakan dirimu tak ada hubungannya dengan Thian-po-hu?”
“Ya, aku memang tak ada hubungan apa-apa dengan kalian, aku she Ho dan tinggal di Lok-yang, sekalipun sudah lama kudengar kebesaran nama Thian-po-hu, sayang selama ini tidak ada berhubungan.”
“Apa? Kau she Ho?” kembali dayang cilik itu menjerit.
“Ya, betul!”
“Kau…. kau bilang tak pernah berhubungan Thian-po-hu…”
“Benar!”
“Kau…. kau…, siapakah dirimu sendiri juga tidak ingat lagi?”
“Tidak, aku ingat dengan sangat jelas, aku Ho…”
Dengan mata terbelalak dayang itu menyurut mundur beberapa langkah, tiba-tiba ia menjerit kaget, lalu angkat langkah seribu, seakan-akan mendadak ia lihat di atas kepala Ho Leng hong tumbuh sepasang tanduk…
Baru beberapa langkah ia lari keluar villa itu, hampir saja ia bertumbukan dengan dua orang yang muncul dari depan.
Kedua orang itu adalah majikan dan pelayan, yang satu memakai baju berwarna kuning telur berdandan pelayan, sedang yang lain adalah seorang nyonya muda jelita, mereka sedang menyeberangi jembatan dan masuk ke villa air tersebut.
Dengan suatu gerak cepat pelayan baju kuning itu menyambar lengan si genduk cilik tadi dan menegurnya, “He, Siau Lan, apa-apaan kau? Kenapa lari seperti diuber setan?”
“O, nyonya, enci Bwe, kebetulan sekali kedatangan kalian,” seru Siau Lan dengan napas tersengal, “Cepat masuk dan tengoklah keadaan Tuan, dia.... dia....”
“Tuan kenapa?” tanya nyonya cantik itu dengan kuatir.
“Dia.... entah sebab apa Tuan selalu mengatakan tidak kenal tempat ini.... dia mengaku she Ho, katanya tak ada hubungannya dengan Thian-po-hu....”
“Ah, masa begitu?” seru si nyonya terperanjat.
“Hujin jangan percaya obrolannya,” hibur Bwe-ji cepat, “Tentu Tuan sengaja menggodanya setelah sadar dari mabuknya, dan budak cilik ini menganggapnya sebagai kejadian serius.”
“Tidak, Tuan tidak bergurau, semuanya adalah kejadian nyata, Tuan bicara dengan serius, tidak seperti bergurau, kalau tidak percaya masuklah dan periksa sendiri.”
Nyonya cantik itu berkerut kening, ia tidak banyak bertanya lagi dan cepat-cepat masuk ke dalam rumah. Tatkala dilihatnya Ho Leng-hong duduk di atas pembaringan dengan tenang, ia mengembus napas lega.
“Huh, Siau Lan si budak ini memang harus digebuk, coba lihat, Tuan kan baik-baik saja, bikin kaget hatiku saja.”
“Betul, Siau Lan suka gila-gilaan, mulutnya suka ngaco-belo,” Bwe-ji menimpali.
“Tapi sungguh-sungguh aku tidak bohong, Tuan yang berkata begitu kepadaku,” kata Siau Lan dengan penasaran.
“Huh, masih membantah? Coba lihat, Tuan segar bugar, masa ia mengucapkan kata-kata gila begitu….” omel Bwe-ji.
“Eh nona, jangan kau salahkan dia, apa yang dikatakannya memang benar dan bukan kata-kata gila,” seru Ho Leng-hong tiba-tiba. “Aku memang she Ho dan tak pernah datang ke Thian-po-hu, mungkin terjadi kesalah-pahaman di antara kita.”
“Kesalah-pahaman? Kesalahan-pahaman apa?” tanya Bwe-ji dengan melengak.
“Kukira mungkin kalian telah salah menganggap diriku sebagai seorang lain.”
Dengan bingung Bwe-ji memandang nyonya muda itu, sungguh ia tidak percaya pada apa yang didengarnya barusan.
Nyonya cantik itu kaget bercampur heran, sesudah tercengang sejenak barulah katanya dengan serius. “Jit-long, jangan bergurau macam begitu dengan para dayang, sekalipun mau bergurau, tahu diri sedikitlah. Gurauannya tidak apa-apa, kalau sampai tersiar keluar, bagaimana dengan nama baik Thian-po-hu?”
“Aku tidak bergurau, aku bicara sesungguhnya!” kembali Ho Leng-hong menegas.
Sekilas perasaan bingung dan ragu menghias wajah nyonya muda itu, “Jadi kauanggap dirimu she Ho?”
“Bukan menganggap, sesungguhnya aku memang she Ho”
“Kalau begitu, kenalkah kau siapa diriku?”
“Maaf, sebelum perjumpaan ini tak pernah kita bertemu, tapi dari panggilan kedua nona cilik ini, agaknya nyonya inilah isteri Nyo-tayhiap dari Thian-po-hu yang tersohor itu, betul bukan?”
Nyonya muda itu merasa geli dan juga mendongkol, ia menengok ke arah Bwe-ji dan bertanya, “Coba dengar, perkataan manusiakah itu? Masa siapa diriku tidak dikenalinya lagi.”
“Ya, mungkin semalam tuan mabuk keras, sampai sekarang mabuknya belum hilang....“ kata Bwe-ji.
“Tidak, aku tidak mabuk, aku merasa segar,” kata Leng-hong cepat, “Setiap kalimat, setiap perkataanku semuanya kuucapkan dengan pikiran yang sehat.”
Mata nyonya itu mulai berkaca-kaca karena sedih, katanya dengan mendongkol, “Semua ini gara-gara Lo-ya (tuan Lo) sekalian. Hmm, setiap kali mereka selalu mengantarmu pulang dalam keadaan mabuk. Coba lihat, sampai nama sendiri tak tahu lagi, sanak keluarga juga terlupakan semua.”
“Hujin, bagaimana kalau kita undang Lo-ya kemari?” bisik Bwe-ji.
Nyonya itu berpikir sebentar, lalu manggut-manggut. “Betul, aku haru minta pertanggung-jawab mereka....”
Ia berpaling sambil memberi pesan, “Siau Lan, kau saja yang ke sana dan sekalian beri kabar kepadanya, semua orang yang semalam ikut minum harap datang kemari, seorang pun tak boleh berkurang. Hm, Siapa berani tak datang, hati-hati kalau kulabrak ke rumahnya.”
Siau Lan mengiakan dan buru-buru berlalu. Tiba-tiba Ho Leng-hong bertanya, “Apakah Lo-ya yang hendak diundang Hujin itu ialah Kwan-lok-kiam-kek (jago pedang dari Kwan-lok) Lo Bun-pin yang tinggal di kota Lok-yang?”
“Betul, mendingan kau masih ingat nama satu orang ini,” jawab si nyonya jelita.
Ho Leng-hong menarik napas panjang, “Aku kenal orang ini, baik sekali kalau dia diundang kemari.”
“Hm, semoga iapun kenal padamu, kuharap pula dia masih ingat siapakah dia.”
Perkataan itu bernada marah, tapi Ho Leng-hong Cuma tertawa dan tidak membantah. Ia percaya, kalau Kwan-lok-kiam-kek Lo Bun-pin kenal padanya dan kenal juga Nyo Cu-wi, pemilik istana Thian-po-hu, jika ia sudah datang, maka duduknya perkara akan menjadi jelas.
Tapi masih ada satu persoalan yang membuatnya tidak mengerti, ia masih ingat benar semalam dirinya tertidur di kamar Siau Cui di rumah pelacuran Hong-hong-wan, kenapa secara tiba-tiba bisa muncul di Thian-po-hu?
Apa yang terjadi memang sungguh-sungguh ataukah dalam mimpi? Kalau dalam mimpi, tak bisa disangkal lagi impian ini adalah mimpi aneh yang tak masuk di akal...
Suara langkah kaki berkumandang di luar Kiok-hiang-sia, agaknya tak sedikit orang yang datang. Orang pertama yang masuk adalah Lo Bun-pin, sedang di belakangnya mengikut empat lima orang laki-laki berbaju perlente, mereka semua adalah jago-jago kenaman dari sekitar Kwan-liok, wajah mereka tampak kaget.
Rupanya Lo Bun-pin sudah diberitahu garis besar peristiwa yang terjadi oleh Siau Lan, wajahnya tampak gelisah dan bingung. Begitu melangkah masuk ia lantas berteriak, “Saudara Cu-wi, kenapa kau?”
Ho Leng-hong sedang duduk di kursi setelah berganti pakaian, ia melengak mendengar panggilan itu...
Sebelum ia menjawab, Lo Bun-pin telah menjura kepada Nyo-hujin seraya bertanya, “Enso, apa gerangan yang terjadi? Bukankah saudara Cu-wi duduk segar di sini? Kenapa Siau Lan bilang ia gila?”
“Hm, aku sendiri juga tak tahu ia sudah gila atau waras,” sahut Nyo-hujin, “pokoknya sebelum keluar rumah semalam ia masih segar bugar, tapi setelah sadar pagi ini, ia telah berubah menjadi seorang yang lain, tak kenal lagi akan diri sendiri, sanak keluarga sendiri juga tak dikenal, ia selalu mengatakan dirinya she Ho....“
“Ah, masa begitu?” Lo Bu-pin terkesiap, “tapi.... ketika pulang semalam, saudara Cu-wi tidak menunjukkan gejala apa-apa, semua sobat yang ikut minum semalam kini pun hadir di sini, semua orang menyaksikannya dengan mata kepala sendiri!”
“Ya, ya, aku tahu, kalian adalah sahabat karib, kenapa tidak kautanya sendiri padanya?” kata Nyo-hujin.
Lo Bun-pin manggut-manggut sambil berpaling ke arah Ho Leng-hong, katanya, “Saudara Cu-wi permainan apa yang kaulakukan? Jangan bergurau dengan sobat lama, hah!”
Betapa kesal Ho Leng-hong karena berulang dipanggil “Saudara Cu-wi”, setelah merenung sejenak lalu berkata, “Coba kau teliti lagi saudara Lo, benarkah aku ini Nyo Cu-wi dari Thian-po-hu?”
“Kenapa?” Lo Bun-pin tertawa. “Masa Nyo-heng tidak mengakui?”
“Tak sedikit orang di dunia ini yang mirip wajahnya, mungkin mata Lo-heng kabur dan salah melihat orang.”
“Hahaha... mana mungkin? Seandainya mataku sudah lamur, tak mungkin sobat-sobat lainnya juga lamur, kenapa Nyo-heng tidak tanya sendiri kepada mereka....”
“Betul, betul!” sahut semua orang, “sudah bertahun-tahun kita bergaul dengan Thian-po-hu, siapa yang tidak kenal Nyo-heng?”
“Tapi kalian telah salah melihat orang!”
“Ah, tak mungkin!” kembali semua orang menganggapi, “kita kan kenalan lama, mana mungkin salah lihat?”
“Aku berani bertaruh kalian pasti salah lihat, sebab aku sendiri tahu siapakah diriku, hakikatnya aku bukan Nyo Cu-wi.”
Semua orang sama melengak, siapapun bisa merasakan keseriusan Ho Leng-hong, mereka tahu orang ini tidak bergurau, tapi bicara sungguh-sungguh.
“Aku ingin cari tahu kabar seseorang, entah saudara Lo masih ingat atau tidak?” kata Ho Leng-hong lagi.
“Siapa?” tanya Lo Bun-pin.
“Suatu hari, ketika saudara Lo sedang berburu di luar kota, pernahkah kau berebut seekor kelinci liar yang terluka dengan seorang laki-laki miskin? Akhirnya terjadi adu kepandaian dan dilanjutkan dengan persahabatan, kalian bersama-sama menyelenggarakan pesta daging kelinci panggang di bukit itu serta menamai santapan lezat nomor satu di dunia....”
“O, kau maksudkan Ho Leng-hong yang hidup menganggur itu?”
“Benar, masih ingatkah Lo-heng padanya?”
“Tentu saja masih ingat, ilmu silatnya tidak berada di bawah kita, sayang ia lebih suka hidup konyol bersama kaum penganggur.”
“Seandainya Ho Leng-hong duduk di sini sekarang, dapatkah Lo-heng mengenalinya?”
“Pasti bisa, meski kami hanya berjumpa sekali saja, namun kesan yang diberikan kepadaku terlalu dalam, sampai kini aku masih ingat pada wajahnya.... Ai! Sayang sepotong batu kemala yang tak pernah diasah harus terjerumus di pencomberan, sungguh bikin orang menyesal.”
“Masih inginkah saudara Lo bertemu lagi dengannya?”
“Sekalipun ingin, mau apa lagi?” Lo Bun-pin menggeleng, “sayang selamanya tak dapat bertemu lagi dengannya.”
“Kenapa?”
Kembali Lo Bun-pin menghela napas, “Sebab Ho Leng-hong itu sudah mati!”
Ho Leng-hong melengak, cepat ia duduk tegak dan berseru, “Siapa yang bilang?”
“Siau Thian yang membawa kabar ini barusan,” sahut Lo Bun-pin sambil menuding seorang di belakang.
Siau Thian atau Thian cilik bukan lagi anak kecil, lengkapnya ia bernama Thian Pek-tat, tahun ini usianya sudah mencapai empat puluh tahun lebih, Cuma bila kau perhatikan kepalanya yang kecil dengan sepasang mata tikusnya dan kumisnya yang serupa kumis tikus, tak sulit bagimu untuk menghubungkan orang ini dengan kepandaian “kecil” yang pasti sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Sejak dilahirkan orang ini mempunyai wajah yang selalu tersenyum, dia pandai bicara dan pintar menyanjung, ia selalu bergaul dengan kalangan atas, mata-telinganya tajam, sebab itu orang menjulukinya sebagai Tiang-ni-siau-thian atau Thian kecil si telinga panjang. Kini Thian Pek-tat berdiri di belakang Lo Bun-pin, ia segera melangkah ke depan demi mendengar perkataan itu.
“Benar!” demikian tukasnya, “baru pagi ini kudengar kabar tersebut.”
Sungguh Ho Leng-hong ingin persen beberapa tempelengan untuk orang ini, tapi sedapatnya ia menahan emosinya.
“Bagaimana kabarnya?” ia bertanya.
“Konon Ho Leng-hong baru saja menang banyak di meja perjudian semalam, setelah minum arak ia main perempuan di gang Waru, siapa tahu keesokan harinya ia ditemukan tewas di kamar tidur Siau Cui, pelacur langganannya, ada orang bilang ia mampus karena perampokan, ada pula yang mengatakan dia kehabisan....“
Ia melirik sekejap wajah Nyo-hujin, kemudian sambil menampar muka sendiri, katanya, “Aku memang pantas mampus dan harus digebuk, aku lupa Hujin berada di sini hingga telanjur bicara yang bukan-bukan.”
Ho Leng-hong tertawa dingin, “Hm, jadi kau sendiri juga Cuma mendengar dari orang lain dan bukan melihat dengan mata kepala sendiri.”
“Tapi berita ini dapat dipercaya, semua orang di Lok-yang telah mengetahui kejadian ini, malah jenazahnya masih terbaring di rumah pelacuran Hong-hong-wan.”
“Ya, Siaute pun ikut menyesal atas musibah yang menimpa Ho Leng-hong itu, maka telah kuutus orang untuk menyelidiki sebab kematiannya serta mengurusi juga layonnya. Eh, omong-omong kenapa saudara Cu-wi menyinggung orang ini? Kau pun kenal padanya?” tanya Lo Bun-pin.
Ho Leng-hong tertawa, “Bukan cuma kenal, malah aku tahu kalau dia sampai saat ini masih hidup hakikatnya dia tidak mati.”
“Dari mana kau tahu?” tanya lagi Lo Bun-pin.
“Sebab akulah Hong Leng-hong!” sahut pemuda itu sekata demi sekata.
Tentu saja semua orang terkejut dan saling pandang dengan air muka berubah. Lo Bun-pin coba meraba jidat Ho Leng-hong kemudian mengamati wajahnya dengan saksama, lalu dengan penuh perhatian ia bertanya. “Saudara Cu-wi, kau tidak sakit bukan?”
“Apakah aku mirip orang sakit,” jawab Ho Leng-hong.
Lo Bun-pin menyengir, “Aku pernah melihat Ho Leng-hong, dia adalah dia dan kau adalah kau, mana bisa kalian dipersamakan menjadi satu?”
“Akupun lagi keheranan, jelas-jelas aku ini Ho Leng-hong, kenapa kalian berkeras menganggap aku adalah Nyo Cu-wi? Aku jelas masih hidup, tapi kalian ngotot mengatakan aku sudah mati?”
Lo Bun-pin terbelalak dengan mulut melongo dan tak tahu bagaimana harus menjawab.
Nyo-hujin lantas menangis, dengan tersengguk dia berkata, “Coba lihat, semua ini gara-gara minum arak, kalianlah yang membuat dia menjadi begini, Ayo, apa yang hendak kaukatakan sekarang….”
“Jangan panik dulu enso, tenanglah,” bujuk Lo Bun-pin, “Menurut pendapatku, mungkin saudara Cu-wi kemasukan roh jahat, mungkin diganggu setan…”
“Roh dan setan jahat apa? Hm, justru kalian inilah setan-setan arak yang membuatnya jadi begini,” teriak Nyo-hujin, “coba kalau kalian tidak mengajaknya minum arak, masa dia jadi begini? Pokoknya kalian harus bertanggung-jawab kepada ku hari ini, kalau tidak, siapapun jangan harap dapat meninggalkan Thian-po-hu.”
Malu sekali Lo Bun-pin menerima dampratan itu, ia menunduk dengan wajah merah, setelah termenung sebentar ia bertanya kepada Thian Pek-tat, “Siau Thian, dapat dipercaya tidak beritamu itu?”
“Tanggung bisa dipercaya, aku berani tanggung dengan batok kepalaku,” jawab Thian Pek-tat.
“Kalau begitu kita harus berusaha memperlihatkan bukti kepadanya, sekarang juga Siau Thian berangkat ke Lok-yang serta mengangkat jenazah Ho Leng-hong ke Kiu-cui-shia sini, biar dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri untuk membuyarkan khayalan dalam benaknya, otomatis sakitnya akan sembuh.”
“Benar!” Sungguh gagasan yang bagus” seru semua orang sambil manggut-manggut.
“Enso, terpaksa kita harus mengangkut jenazah itu kemari, tentunya kau tidak keberatan bukan?” kata Lo Bun-pin kemudian.
“Manjur tidak?” tanya Nyo-hujin.
“Kukira hanya dengan cara inilah kita akan membuyarkan khayalan dalam benaknya, supaya dia percaya bahwa dirinya bukan Ho Leng-hong.”
Nyo-hujin menghela napas panjang. “Ai, baiklah, asal Jit-long bisa disadarkan, tentu saja aku setuju.”
“Akupun setuju,” sambung Ho Leng-hong sambil tertawa, “bahkan aku berani bertaruh, batok kepala Thian kecil si telinga panjang perlu dicarikan cadangannya.”
Lo Bu-pin tidak menggubris ocehannya, buru-buru ia perintahkan orang mengantar Thian Pek-tat ke Lok-yang.
Semua orang yang mengelilingi tempat tidur hanya memandang Ho Leng-hong dengan perasaan kasihan, tidak ada yang mengajak bicara padanya. Dalam anggapan mereka, Ho Leng-hong sudah gila, penyakitnya betul-betul sudah gawat. Maklum, kalau identitas sendiripun sampai keliru, kalau bukan orang gila lantas apa namanya?
Sebaliknya menurut pandangan Ho Leng-hong Lo Bun-pin dan lain-lain itulah yang goblok dan menggelikan sekali. Bagaimana tidak? Seorang yang masih hidup segar bugar mereka anggap sudah mati, Ho Leng-hong yang mereka hadapi dikatakan sebagai Nyo Cu-wi, terutama nyonya rumah Thian-po-hu ini, orang asing dianggap sebagai suami sendiri...
Kalau kejadian ini sampai tersiar ke luar bukankah akan bikin orang tertawa hingga copot giginya? Semakin dibayangkan Ho Leng-hong makin geli.
Melihat dia tertawa sendiri tanpa sebab, orang semakin yakin ia sudah gila. Sebaliknya karena semua orang makin menganggapnya gila, Ho Leng-hong juga tambah gila.
Maka suasana dalam Kiok-hiang-sia berubah menjadi kacau-balau, ada yang menangis, ada yang tertawa, ada yang berbisik-bisik, ada pula yang menggeleng kepala sambil menghela napas....
Thian Pek-tat telah kembali. Ia pulang bersama dua orang laki-laki yang menggotong sebuah pembaringan butut, di atas pembaringan membujur sesosok mayat yang dibungkus kain kafan.
“Siau Thian, bikin repot dirimu!” kata Lo Bun-pin menyambut kedatangannya.
“Repot sih tidak,” jawab Thian Pek-tat sambil membesut keringat, “Cuma sepanjang jalan kereta berjalan terlalu lambat, kalau bisa aku ingin membawanya terbang pulang kemari.”
“Sudah kau selidiki sebab-sebab kematiannya? Apa yang dikatakan mak germo Hong-hong-wan?”
“Sudah kutanyakan langsung kepada Siau-Cui. Konon waktu masuk ke sarang pelacuran semalam, Ho Leng-hong sudah dalam keadaan mabuk, begitu masuk kamar dia lantas tidur, semalaman tidurnya nyenyak sekali, pagi-pagi baru diketahui badannya sudah membujur kaku dan dingin…..”
“Kalau begitu ia mati karena mabuk?”
“Keadaan yang sesungguhnya belum bisa kukatakan, tapi yang pasti lima puluh tahil perak itu masih berada di kamar Siau Cui, setahilpun tidak berkurang, jadi tak mungkin mati lantaran perampasan harta.”
Lo Bun-pin menghela napas panjang, “Ai, sayang benar! Seorang lelaki perkasa harus mati tanpa diketahui sebab musababnya....”
Kepada Ho Leng-hong ia berkata, “Nyo-heng kau berkeras mengatakan dirimu adalah Ho Leng-hong tapi kenyataan telah membuktikan Ho Leng-hong telah mati di kota Lok-yang, bahkan jenazahnya sekarang sudah diangkut kemari, tidak inginkah kau memeriksanya sendiri?”
“Tentu saja harus kuperiksa,” Ho Leng-hong tertawa, “aku tidak percaya di dunia ini terdapat dua orang Ho Leng-hong yang mempunyai bentuk wajah yang sama.”
“Baik. Tapi kurasa mukanya tentu sudah tak sedap dipandang, harap enso menyingkir dulu,” kata Lo Bun-pin.
Nyo-hujin dan sekalian dayangnya lantas memutar badan dan menghadap ke arah lain, Lo Bun-pin segera menggapai kepada kedua laki-laki itu agar menggotong masuk mayat tersebut. Perlahan Thian Pek-tat membuka kain kafan yang menutupi wajah jenazah.
Tiba-tiba senyuman Ho Leng-hong menjadi beku.... siapa lagi yang berbaring itu kalau bukan Ho Leng-hong?
“Sekarang kau sudah percaya bukan, saudara Nyo?” tanya Lo Bun-pin kemudian.
Kecurigaan seketika menyelimuti benak Ho Leng-hong, tiba-tiba ia mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan Thian Pek-tat, bentaknya, “Dari mana kaudapat mayat palsu itu? Hayo lekas jawab!”
“Tidak! Tidak ada mayat palsu.... ini.... ini jenazah Ho Leng-hong, jenazah asli bukan palsu….” jawab Thian Pek-tat dengan tergagap.
“Tenang, tenang dulu saudara Nyo, jangan emosi....” seru semua orang sambil maju melerai.
“Ya, lepaskan dulu Siau Thian, kalau ada persoalan boleh kita bicarakan secara baik-baik.”
“Betul! Lepaskan dulu, semua kan sahabat sendiri....“
Ho Leng-hong coba meraba muka sendiri, tiba-tiba timbul perasaan merinding dari lubuk hatinya, sambil membentak ia menggentakkan Thian Pek-tat ke samping, lalu disambarnya pembaringan butut itu dan dilemparkan ke luar...
Kedua laki-laki itu tak dapat berdiri tegak dan terlempar keluar berikut pembaringan tersebut. Ho Leng-hong manfaatkan kesempatan itu untuk menerjang keluar villa itu, ia coba melongok ke luar pagar jembatan....
“Cepat alangi, dia mau melompat ke air bunuh diri.” “Tutuk dulu jalan darahnya, tangkap!” “Dia sudah gila, cepat cepat!”
Padahal Leng-hong tidak gila, iapun tidak bermaksud terjun ke air untuk bunuh diri, dia hanya ingin bersandar di tepi jembatan dan menggunakan air kolam untuk melihat raut wajahnya sendiri. Dan sekarang ia dapat melihat jelas, seketika ia melongo.
Bukan wajah Ho Leng-hong yang muncul di permukaan air, tapi seraut wajah tampan seorang laki-laki setengah umur yang berkulit putih. Tak bisa disangsikan lagi, laki-laki setengah umur yang ganteng ini bukan lain adalah Nyo Cu-wi, pemilik istana Thian-po-hu.
Ho Leng-hong belum pernah berjumpa dengan Nyo Cu-wi, tapi ia merasa seperti pernah kenal bayangan orang yang muncul di permukaan air itu. Ia menjadi bingung dan ragu-ragu.... jangan-jangan dia memang sudah mati?
Benarkah dirinya sudah berubah menjadi Nyo Cu-wi? Tak sempat ia berpikir lagi, tak sempat ia memandang lebih teliti, sebab Lo Bun-pin dan lain-lain sudah keburu maju merubungi, ada yang menarik tangannya, ada yang memegang kakinya, bahkan ada pula yang menutuk jalan darahnya, kemudian beramai-ramai mereka menggotongnya masuk kembali ke Kiok-hiang-sia...
Pepatah kuno berkata: Sekali masuk rumah bangsawan, dalamnya melebihi samudra. Artinya rumah kediaman orang besar tidak gampang dikunjungi atau ditinggalkan.
Meskipun Thian-po-hu di Kiu-ci-shia bukan istana kaum bangsawan atau tempat orang berpangkat, tapi tempat ini merupakan tempat tinggal jago persilatan yang ternama, baik luasnya bangunan, kemewahan, dan kemegahan perabot maupun ketatnya penjagaan, tidak kalah dengan gedung orang berpangkat.
Bila Ho Leng-hong ingin kabur dari Thian-po-hu, hal ini jauh lebih sukar daripada naik ke langit. Sekalipun demikian, setiap saat ia selalu berusaha melarikan diri dari sana.
Hal ini tidak berarti ia meremehkan kenikmatan hidup yang di terimanya di Thian-po-hu, juga tidak berarti ia enggan tinggal dalam gedung yang megah melebihi istana ini, tapi dia harus mencari jawaban terlebih dahulu tentang siapakah dia yang sebenarnya? Sebab ia sendiripun mulai bingung.
Semenjak melihat mayat “Ho Leng-hong”, sejak melihat tampang “Nyo Cu-wi” yang muncul di permukaan air, ia mulai ragu, ia mulai sangsi dan bingung. Jenazah itu tidak palsu, baik perawakan, panca indera, raut wajah, semuanya persis Ho Leng-hong, sedikitpun tiada tanda-tanda yang mencurigakan.
Raut wajah Nyo Cu-wi juga tidak palsu, bukan saja semua orang menganggap demikian, bahkan Nyo-hujin sendiripun tidak curiga, bagaimanapun ia menggosok dan mencuci mukanya, semuanya membuktikan bahwa wajahnya bukan berubah lantaran dirias dengan obat-obatan.
Tapi, ia masih ingat dengan jelas bahwa dia adalah Ho Leng-hong dari Lok-yang, kenapa secara tiba-tiba bisa berubah menjadi Nyo Cu-wi dari Thian-po-hu di Kiu-ci-shia?
Daya ingat serta cara berpikirnya dimiliki orang ini, sebaliknya raut wajahnya, bentuk lahiriah adalah milik orang yang lain, hal ini suatu kejadian yang cukup menyiksa batin.
Maka dari itu, Ho Leng-hong ingin melarikan diri, bukan Cuma ingin menghindari penderitaan saja, tapi yang penting adalah ingin menemukan dirinya sendiri. Ia pikir, hanya seorang yang mungkin tahu duduk perkara yang sesungguhnya. Siapakah dia? Siau Cui.
Karena ia telah kehilangan pribadinya di pembaringan Siau Cui, bahkan dia masih ingat, ketika terjadi “musibah” tersebut, Siau Cui pernah mohon kepadanya agar mengajaknya kabur sejauh-jauhnya, kabur ke suatu tempat yang tak seorangpun mengenali diri mereka....
Bila dibayangkan kembali sekarang, bukankah ucapan itu suatu pertanda bahwa segera akan terjadi sesuatu?
Ho Leng-hong bertekad akan meninggalkan Thian-po-hu secara diam-diam dan satu-satunya jalan untuk mewujudkan cita-citanya adalah merebut kepercayaan Nyo-hujin dan Lo Bun-pin sekalian, bila sudah dipercaya, otomatis ia dapat bergerak bebas lagi.
Dan untuk mendapatkan kepercayaan mereka, satu-satunya cara adalah mengakui dirinya adalah Nyo Cu-wi untuk sementara waktu. Padahal keadaan telah memaksanya mau-tak-mau harus mengakui kenyataan tersebut.
Sudah tiga hari Ho Leng-hong dipaksa berbaring dalam Kit-hiang-sia, Lo Bun-pin sekalian secara bergilir mendapat tugas untuk menjaga siang dan malam, sekalipun alasan mereka untuk menemani, padahal yang benar adalah untuk mengawasinya, kuatir penyakit gilanya angot lagi.
Enam-tujuh rombongan Hwesio dan Tosu siang malam secara bergilir membacakan kitab di luar villa air, mereka berdoa untuk mengusir setan dan menundukkan roh jahat, suara tetabuhan yang dibunyikan sangat berisik dan membuat orang tak bisa beristirahat dengan tenang.
Suara gaduh dan ribut macam begini jangankan bisa mengusir setan atau roh jahat, sekalipun orang yang tidak gila, lama kelamaan malah akan menjadi gila sungguh-sungguh. Tapi ada satu kesulitan bagi Ho Leng-hong untuk mengakui dirinya sebagai Nyo Cu-wi, sebab selama ini ia selalu berkeras mengatakan dirinya bukan Nyo Cu-wi. Untuk ini, sedikitnya dia harus mencari suatu “alasan” yang tepat. Tapi alasan apa yang dapat digunakannya? Ah, ada akal...
Saat itu suatu rombongan Tosu sedang membunyikan alat tetabuhan, berdoa sambil mengelilingi villa itu. Sebagai pemimpin rombongan adalah seorang Hoatsu (pendeta agama To) yang bertubuh kurus kering dengan kumis tikus, tampangnya rada mirip Siau Thian.
Sejak semula Ho Leng-hong jemu melihat tampangnya, sebab Tosu kecil ini bukan saja suaranya tinggi melengking, caranya berdoa pun seperti jeritan setan, bahkan beberapa kali jeritannya menyadarkan dia dari tidurnya. Kini tiba kesempatan yang baik untuk memberi “hajaran” kepadanya.
Begitulah, tatkala Hoatsu itu tiba di pintu villa dan siap menggoyangkan pedang kayunya sambil membaca mentera pengusir setan, mendadak Ho Leng-hong melompat bangun, lalu berteriak keras, “Ada setan! Hai, kalian cepat kemari, tangkap setan itu! Tangkap!”
Kebetulan Lo Bun-pin yang mendapat giliran berjaga, buru-buru ia menghampirinya seraya bertanya, “Saudara Cu-wi, apa yang kau lihat?”
“Setan! Setan bertubuh ceking, bertangan empat dan kaki tiga! Cepat! Cepat tangkap!“
“Di mana?” tanya Lo Bun-pin dengan melenggong.
Sambil menuding Hoatsu itu kembali Ho Leng-hong berteriak, “Itu dia! Di depan pintu kamar, itu yang memakai jubah Pat-kwa sambil membawa pedang kayu.... dia itulah setan.... dia setan!”
“Keliru besar saudara Cu-wi, orang itu bukan setan, dia Ku-gwat Hoatsu dari Giok-siu-koan yang sengaja di undang untuk menangkap setan....“
“Tidak! Dialah setannya!” teriak Ho Leng-hong lagi, “dengan mata kepalaku sendiri kulihat ada setan menyusup ke tubuhnya, kalian cepat menangkapnya, cepat menangkapnya!
Sementara itu Nyo-hujin yang beristirahat di balik ruangan serta para Busu (pesilat) yang berjaga di sekitar villa itu sama berdatangan karena mendengar suar ribut itu.
“Jit-long, benarkah kau melihat setan?” tanya Nyo-hujin dengan penuh perhatian.
“Siapa bilang tidak? Setan itulah yang selama tiga hari mencekik leherku, mengganggu ketenanganku sehingga tak bisa beristirahat dengan baik, cepat kalian tangkap setan itu!”
Nyo-hujin memandang Lo Bun-pin, lalu bisiknya, “Apa yang terjadi?”
“Kejadian ini memang agak aneh, sudah tiga hari ia membungkam, tapi begitu buka suara ia menganggap Ku-gwat Hoatsu sebagai setan....”
“Hei, jangan biarkan dia kabur, cepat kalian tangkap setan itu,” terdengar Ho Leng-hong masih berteriak, “nyawaku telah tertelan ke perutnya, kalau dia kabur dari sini, habislah riwayatku.”
“Kukira kejadian ini agak mencurigakan,” kata Nyo-hujin kemudian sambil berkerut kening, “lebih baik kita turuti permintaan Jit-long, tangkap dulu Tosu tersebut.”
“Tapi... tapi... rasanya kurang baik....” Lo Bun-pin ragu-ragu.
“Tidak menjadi soal, kita utamakan si sakit daripada Tosu tersebut, sekalipun harus menyakitinya, paling-paling kita beri saja uang yang lebih banyak, dan urusan akan beres dengan sendirinya.” Sambil berkata nyonya Nyo lantas memberi tanda kepada para Busu.
Begitu mendapat perintah, serentak para Busu itu menyerbu maju dan menangkap Ku-gwat Hoatsu. Tentu saja para Tosu yang sedang membaca mantra pengusir setan tidak mengerti apa yang terjadi, mereka menjadi panik saking kagetnya.
Lebih-lebih Ku-gwat Hoatsu, ia tidak habis mengerti dengan kejadian yang menimpa dirinya, dengan gelagapan ia bertanya, “He, apa-apaan ini... aku datang untuk menangkap setan... kenapa kalian malah menangkap diriku!”
“Kaulah setannya, berani betul kau berpura-pura menangkap setan?” hardik Ho Leng-hong.
“Aku... aku....” Ku-gwat Hoatsu betul-betul jadi bingung, dan tak sanggup berbicara.
“Mengaku sajalah, hayo cepat muntahkan keluar nyawaku, kalau tidak... jangan menyesal bila kuberi ganjaran yang setimpal,” teriak Leng-hong.
Mulut Ku-gwat Hoatsu melongo lebar-lebar dan tak tahu apa yang mesti dikatakan.
“Pengawal, lolohkan kotoran manusia ke dalam mulutnya, perintahkan kepadanya untuk memuntahkan nyawaku, cepat lakukan!” teriak Ho Leng-hong lagi.
Karena Nyo-hujin tidak menunjukkan rasa keberatan, serta-merta para Busu itu mengerjakan apa yang diperintahkan, segentong kotoran manusia segera dipikul datang, lalu Ku-gwat Hoatsu ditelentangkan di tanah dan dicekoki kotoran itu.
Kasihan Ku-gwat Hoatsu, mau menolak tak bisa, melawan juga tak kuat, tak menolak perutnya tak tahan. Akhirnya ia tumpah-tumpah hebat, isi perutnya nyaris ikut tertumpah keluar. Sesudah Tosu itu tumpah-tumpah, Ho Leng-hong menarik napas lega, ia memejamkan mata dan berbaring kembali di atas pembaringan.
Lo Bun-pin menyuruh para Busu membawa pergi Ku-gwat Hoatsu yang “setengah mati” sesudah diberi uang lebih banyak. Setelah kawanan Tosu dienyahkan, Ho Leng-hong lantas sadar kembali, kata pertama yang diucapkan setelah membuka matanya adalah,
“Aku lapar, apakah ada makanan enak?”
Kalau orang sakit sudah tahu lapar, itu berarti penyakitnya sudah sembuh. Saking gembiranya hampir saja Nyo-hujin melelehkan air mata, buru-buru ia titahkan orang untuk menyiapkan makanan, lalu tanyanya, “Jit-long, bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah mengerti bukan?”
“Aku baik sekali! Apakah yang tidak mengerti?”
“Sudah tahu siapa dirimu? Tempat apakah ini?”
“Lucu, tempat ini kan Kiok-hiang-sia, terletak di taman belakan istana Thian-po-hu di Kiu-ci-sia, inilah rumahku sendiri, kenapa tidak tahu?”
“Lalu siapa namamu...?”
“Aku Nyo Cu-wi, memangnya kalian kira aku ini siapa?”
Nyo-hujin menarik napas lega, “Terima kasih kepada langit dan bumi, akhirnya kau sadar kembali.”
“Eh, apakah terjadi sesuatu?” tanya Leng-hong.
“O, tidak... tidak.....” buru-buru Lo Bun-pin menanggapi sambil tertawa, “terlalu banyak arak yang diminum Nyo-heng sewaktu ada di rumahku tempo hari hingga mabuk hebat, enso terus menerus mengomeli Siaute, untunglah sekarang sudah beres, dapatlah kumohon diri....“
“Eh jangan pergi dulu, jangan pergi dulu, apa salahnya kalau mabuk bila sobat lama berkumpul. Kau kan tahu tabiat ensomu, masa masih marah padanya?”
“Ah, mana berani,” kata Lo Bun-pin.
“Nah, begitulah,” kata Ho Leng-hong sambil tertawa, “kita harus berkumpul beberapa hari lagi, jangan pergi, kita boleh bercakap-cakap sepuasnya.”
“Bercakap-cakap boleh saja, tapi ingat, jangan minum sampai mabuk lagi,” Nyo-hujin memperingatkan.
“Kalau Cuma mabuk sedikit kan tidak apa, asal tidak kelewat takaran,” ujar Ho Leng-hong, “kenapa kau mesti menghilangkan kegembiraan orang banyak?”
“Betul!” Thian Pek-tat menanggapi sambil tertawa, “Nyo-hujin, bukannya aku Siau Thian rakus dan ingin minum arak, tapi pada umumnya barang siapa baru sadar dari mabuk hebat dia harus minum beberapa cawan arak lagi, dengan begitu baru badan takkan terganggu, arak ini namanya Hoan-hun-ciu (arak pengembali sukma).”
“Betul, memang begitu,” kata semua orang, “kalau tidak minum Hoan-hun-ciu, orang akan merasa pusing-pusing kepala selama beberapa hari, setiap peminum sama mempunyai pengalaman seperti ini.”
“Hahaha! Siau Thian memang selalu menarik dalam soal-soal begini,” kata Ho Leng-hong sambil tertawa, “rupanya Hoan-hun-ciu mau-tak-mau harus kuselenggarakan.”
Di tengah gelak tertawa orang ramai, Nyo-hujin tak bisa menolak lagi, terpaksa ia menyuruh orang menyiapkan arak. Ho Leng-hong bukanlah seorang yang gemar minum arak, ia berbuat demikian hanya untuk mencari kesempatan agar lebih memahami keadaan Thian-po-hu.
Terlampau sedikit yang diketahuinya tentang Thian-po-hu ini, bahkan siapa nama kecil Nyo-hujin pun tidak diketahui, kalau kurang lancar dalam soal panggil memanggil bisa mengakibatkan rahasianya ketahuan dan sulit lagi untuk mendapatkan kepercayaan orang.
Betul juga, setelah “arak pengembali sukma” diselenggarakan, semua kesulitan yang dikuatirkan berhasil diatasi dengan mudah. Bukan saja ia mengetahui Nyo-hujin bernama Pang Wan-kun, bahkan mengetahui juga dia adalah adik kandung It-kiam-keng-thian (pedang sakti menuding langit) Pang Goan, pemilik istana Cian-sui-hu dari Liat-liu-shia yang ilmu silatnya tidak di bawah Nyo Cu-wi.
Thian-po-hu dari Kiu-ci-shia, Cian-sui-hu dari Liat-liu-shia ditambah Hiang-in-hu dari Hu-yong-shia di wilayah Leng-lam disebut orang sebagai Bu-lim-sam-hu (tiga istana dunia persilatan) mereka semua merupakan keluarga persilatan yang tersohor di dunia.
Sebab itulah selain menaruh “hormat dan sayang”, Nyo Cu-wi juga merasa “jeri” terhadap istrinya yang cantik bak bidadari dari kahyangan ini.
Nyo Cu-wi terkenal sebagai laki-laki yang takut bini, terpaksa Ho Leng-hong tak dapat terlampau menunjukkan kejantanannya. Karenanya ketika malam itu Pang Wan-kun minta ia pindah dari Kiok-hiang-sia ke kamar tidur mereka, ia tak berani membantah melainkan hanya menurut saja.
Tapi sekarang muncul masalah baru. Apabila suami isteri tidur bersama dalam satu kamar, tentunya akan melakukan “tugas dan kewajiban”, hal inilah yang menyulitkan Ho Leng-hong.
Sebenarnya soal “begituan” bukan hal baru bagi Ho Leng-hong, yang merisaukan dia adalah dalam bermesraan antara suami-isteri tentu ada sesuatu “rahasia” yang menyangkut diri pribadi, untuk ini jelas tak bisa “diwakilkan” kepada orang lain, karena bila rahasianya ketahuan, akibatnya pasti akan runyam.
Sejak kakinya melangkah masuk ke dalam kamar tidur, Ho Leng-hong merasa hatinya berdebar keras. Ia tak dapat menolak untuk tidur sekamar, maka satu-satunya jalan untuk menghindari segala kemungkinan hanya main “mengulur waktu”, diambilnya sejilid buku, lalu duduk di tepi jendela sambil membaca.
Apa isi buku itu tak sehuruf pun yang masuk dalam benaknya, ia hanya berharap Pang Wan-kun cepat-cepat tertidur, itulah sebabnya meski mata memandang buku, tapi telinganya memperhatikan suara gerak-gerik dalam kamar.
Bwe-ji telah membereskan pembaringan, menutup pintu dan mengundurkan diri, apa mau dikata, Pang Wan-kun justru tidak mau tidur, seorang diri ia gemerasak dalam kamar, entah apa yang dilakukannya.
Tak terlukiskan rasa gelisah Ho Leng-hong, terpaksa ia harus berpura-pura menaruh perhatian, katanya, “Wan-kun, tidurlah dulu, beberapa hari ini kau tentu kepayahan.”
“Dan kau?” tanya Pang Wan-kun.
“Aku belum ngantuk, biar kuselesaikan dulu beberapa halaman buku ini, tak usah tunggul lagi.”
Langkah kaki tiba-tiba berkumandang makin dekat, dan Pang Wan-kun malah muncul dari dalam. “Hei, buku apa yang kau baca?” tegurnya sambil tertawa, “tampaknya asyik benar, sampai lupa tidur?”
Ah, buku....” tiba-tiba muka Ho Leng-hong menjadi merah dan urung bicara, buku itu cepat-cepat ditutup, kalau ada lubang ingin sekali buku itu segera disembunyikan. Sayang terlambat sebab Pang Wan-kun telah merampas buku itu.
“Buku baik biar akupun ikut baca, kenapa disembunyikan....” ia mengomel. Tapi sebelum lanjut ucapannya, mendadak pipinya berubah merah jengak, sambil membanting buku itu, serunya, “Sialan! Buku beginian yang kau baca!”
Rupanya buku yang diambil Ho Leng-hong sekenanya dari rak buku itu bukan lain adalah buku porno. Adalah wajar bila di kamar tidur suami-isteri muda tersimpan buku macam begini, celakanya Ho Leng-hong mengeluarkan buku demikian dalam suasana seperti ini, hal ini ibaratnya api disiram minyak, tambah merangsang nafsu. Tampaknya sulit bila malam ini hendak dilewatkan dengan “aman dan tenteram”.
Terpaksa Ho Leng-hong pura-pura bergelak untuk menutupi rasa jengahnya, ia berbangkit, katanya, “Baiklah, tidak membaca lagi, bagaimana kalau jalan-jalan di taman saja?”
Wan-kun tidak menyatakan setuju, juga tidak menolak, dia hanya menundukkan kepala sambil memainkan ujung bajunya. Ho Leng-hong membuka pintu yang menghubungkan villa itu dengan taman, lalu menarik napas panjang, katanya, “Betapa indahnya bulan purnama, sayang bila malam seindah ini dilewatkan begitu saja.”
Pang Wan-kun masih belum bersuara, dengan lembut ia merangkul bahu pemuda itu dan bersandar mesra di dadanya yang bidang. Bulan purnama bersinar terang di angkasa, bau harum bunga semerbak, membuat orang terlena, kedua “suami isteri” berangkulan dengan mesra di tengah keheningan malam yang jernih, sungguh suasana yang romantis.
Ho Leng-hong tak dapat meresapi keindahan alam dan suasana romantis itu, apa yang dirasakan hanya keresahan, pikirannya tak tenang, ia hanya berdoa semoga malam ini dapat dilewatkan dengan selamat.
Di bawah sinar bulan purnama, kedua “suami isteri” itu berjalan-jalan di tengah taman yang sepi, rupanya Pang Wan-kun merasa dingin karena bajunya tipis, ia bersandar dalam pelukan Ho Leng-hong dengan manja.
Ho Leng-hong bukan laki-laki yang alim, hampir saja ia tak sanggup mengendalikan diri, terpaksa mereka duduk di sebuah bangku batu. Begitu duduk, Pang Wan-kun lantas berbaring dalam pangkuan sang “suami” sambil menghela napas panjang, bisiknya lirih,
“Jit-long, masih ingatkah kau pada musibah yang menimpamu tahun yang lalu?”
Ho Leng-hong melenggong dan tak dapat menjawab. Untung Wan-kun tidak menanti jawabannya, ia bergumam sendiri, “Musim semi tahun yang lalu, keadaannya seperti juga sekarang, malam sunyi dengan bulan purnama yang indah sekali, waktu itu kitapun berdua, duduk di tepi telaga Siau-thian-ti di puncak Lu-san sambil menikmati keindahan rembulan….”
Ah, kiranya begitulah kejadiannya! Buru-buru Ho Leng-hong tertawa, “Siapa bilang aku lupa? Pemandangan alam Lu-san memang lain daripada yang lain, sebab itulah dalam syair kuno tercantum kata-kata yang berbunyi: Sekalipun tidak kenal wajah Lu-san yang sebenarnya, berjodohlah bila berada di gunung tersebut….”
“Bukan keindahan alam Lu-san yang kumaksudkan,” tukas Wan-kun cepat, “aku berbicara tentang kau digigit ulat beracun itu.”
Sekali lagi Ho Leng-hong tertegun, ia tidak tahu Nyo Cu-wi pernah digigit ulat beracun, terpaksa sahutnya secara samar-samar, “Ya…. Lu-san memang tempat yang menarik, sayang serangga beracunnya terlalu banyak, menjemukan….”
“Salah siapa?” Wan-kun menutup mulutnya sambil cekikikan, “siapa suruh kau membayangkan hal yang bukan-bukan? Tanpa sebab tiba-tiba kau ingin menggaet rembulan dalam kolam? Itulah akibatnya, rembulan tak berhasil kaudapat, punggungmu malah disengat makhluk beracun, esoknya luka ini bengkak besar dan akhirnya terpaksa harus dioperasi dan meninggalkan bekas luka. Masih ingatkah kau akan kejadian itu?”
“Masih ingat, masih ingat,” Ho Leng-hong tertawa getir, “Ai, waktu itu aku hanya ingin main-main, siapa tahu bisa jadi sial begitu.”
Dengan lembut Wan-kun meraba pipi sang “suami”, dengan penuh menyesal ia berkata, “Padahal akulah yang menerbitkan gara-gara itu, akulah yang menyuruh kau mengambilkan rembulan itu di telaga segala. Ya, ketika itu kita memang sedikit agak mabuk.”
“Ya, memang begitulah,” sambung Ho Leng-hong cepat, “kalau tidak mabuk, siapa yang akan melakukan perbuatan sebodoh itu.”
“Padahal waktu itu aku cuma bergurau, siapa tahu kau menganggapnya sungguhkan?”
“Mana aku berani tidak anggap sungguhkan perkataanmu? Sekalipun kau menginginkan bintang di langit juga akan kucarikan tangga untuk naik ke langit dan memetiknya bagimu.”
“O, Jit-long, sungguhkah kau begitu menurut pada perkataanku?” bisik Wan-kun lembut.
“Tentu saja,…” tapi begitu jawaban diucapkan, segera Leng-hong merasakan gelagat tak baik.
Jelas apa yang diucapkan Pang Wan-kun ini hanya kata-kata “pengantar” belaka, sebab tangannya sudah mulai merosot dari pipi ke tengkuk Ho Leng-hong, bahkan terus turun ke bawah, meraba dadanya, pinggangnya... terus... Tangan yang halus itu bagaikan seekor ular kecil yang merayap masuk ke balik bajunya.
Kini Ho Leng-hong bersetatus sebagi “suami” tentu saja ia tak dapat menolak belaian cinta sang “isteri”, tapi ia sadar bila adegan panas yang merangsang ini berlangsung terus, “akibatnya”nya sukarlah dilukiskan. Terpaksa ia berpura-pura takut geli, sambil menggeliat ke sana kemari ia menangkap tangan itu dari luar baju.
“Jangan begini Wan-kun,” bisiknya sambil tertawa, “kalau dilihat para pelayan, kita bisa ditertawakan....”
“Hm, semua pelayan sudah tidur, lepaskan bajumu Jit-long, biar kuraba bekas luka di tubuhmu itu, mau?”
Sungguh gawat, sebab punggungnya hakikatnya tidak terdapat codet seperti apa yang dimaksudkan, kalau sampai diraba, bukankah urusan bisa runyam?
“Ah, paling-paling cuma sebuah codet belaka, apa enaknya diraba?” kata Leng-hong cepat. “Marilah Wan-kun, kita bicara soal lain saja....”
“Tidak, aku suka merabanya, selama ini kau selalu mengizinkan aku merabanya, kenapa sekarang kau tolak permintaanku?”
“Bukannya menolak, kukuati dilihat para pelayan yang kebetulan masuk kemari.”
“Kan sudah kukatakan, semua pelayan sudah tidur, tak nanti ada orang yang masuk kemari.”
“Sekalipun tak ada orang, siapa tahu kalau di sini ada ulat beracunnya? Kalau sampai kena disengat lagi, wah bisa celaka.”
“Jit-long,” kata Wan-kun seraya merayu, “selamanya kau menuruti kehendakku, kenapa sekarang sikapmu berubah?”
“Aku... aku....“ Leng-hong gelagapan.
“Pokoknya aku tak mau tahu, aku tetap akan merabanya.”
Apa yang diucapkan segera dilaksanakan, ia merangkul leher Ho Leng-hong dengan tangan kiri, sedang tangan kanan dengan cepat merogoh ke balik bajunya, lewat di bawah ketiak dan meraba punggungnya.
Ho Leng-hong tak bisa menghindar lagi, peluh dingin sampai membasahi dahinya, dalam hati ia mengeluh, “Habis, tamatlah lelakonku kini, semua rahasiaku bakal terbongkar....”
Tapi apa yang terjadi? Ketika tangan Pang Wan-kun berhenti di punggungnya, ia tidak menunjukkan sesuatu reaksi yang “di luar dugaan”, malah dia merabanya dengan penuh kasih sayang.
“Oh, codet yang menawan hati,” gumamnya dengan rasa puas, “Inilah kenangan yang kau berikan kepadaku akibat ingin mengambil rembulan di kolam, sepanjang hidup akan kubelai terus dengan kasih sayang, tak akan kubiarkan kenangan itu meninggalkan jari-jari tanganku untuk selamanya....”
Ho Leng-hong menjadi kaget tercampur bingung, seketika ia terkesima. Mimpipun ia tak menyangka di punggungnya terdapat codet, sebuah codet yang persis seperti codet yang dimiliki Nyo Cu-wi. Ia tak pernah menggaet rembulan di telaga Siau-thian-ti di Lu-san, iapun tak pernah disengat ulat beracun, tapi darimana datangnya codet?
Apakah dirinya memang Nyo Cu-wi yang sesungguhnya? Jangan-jangan Ho Leng-hong benar-benar sudah mati? Atau mungkin.... Tidak! Tak mungkin, untuk membuktikan kejadian yang sesungguhnya, ia harus mencari Siau Cui?
Siau Cui adalah pelacur yang terdaftar di rumah pelacuran Hong-hong-wan, pelacur resmi, siapapun boleh mencarinya. Tapi tidak berlaku bagi Ho Leng-hong. Sebab statusnya kini adalah pemilik Thian-po-hu yang tersohor dan terhormat di Kiu-ci-shia, tentu saja ia tak dapat sembarangan mengunjungi rumah pelacuran dan menemui seorang pelacur.
Untuk menyembunyikan identitasnya, sengaja Ho Leng-hong mengenakan sebuah mantel hitam serta sebuah topi lebar, sebagian besar wajahnya hampir tertutup oleh tepian topi yang lebar itu. Ketika kentungan pertama baru lewat, dengan kepala tertunduk ia melangkah masuk ke dalam Hong-hong-wan.
Melihat ada tamu datang, pesuruh rumah pelacuran segera berteriak lantang, “Ada tamu!”
Baru sepatah kata meluncur keluar, tiba-tiba mulutnya tersumbat oleh sepotong benda keras. Sekeping uang perak yang berkilauan.
“Jangan berteriak, jangan berisik,” desis Ho Leng-hong sambil merangkul leher pesuruh itu. “Beritahu kepadaku, Siau Cui ada atau tidak?”
Mula-mula pegawai itu kaget, tapi setelah memuntahkan benda itu dari mulutnya dan mengetahui benda apakah itu, dengan kejut bercampur girang sahutnya cepat, “Ada! Ada! Ada!”
“Dalam kamarnya ada tamu?”
“Ada! Ada! Ada...” mendadak ia merasakan perkataannya tidak tepat, cepat sambungnya lagi “Tuan, yang kautanyakan adalah....”
“Nona Siau Cui yang tinggal di kamar serambi barat.”
“O, rupanya engkau menanyakan Siau Cui?” pesuruh itu menyengir, “tidak ada, tidak ada tamu, nona Siau Cui sudah tidak menerima tamu lagi, sekarang iapun tidak tinggal di kamar sebelah barat.”
“Oya? Kenapa?”
“Tuan, besar kemungkinan engkau datang dari luar daerah, bukan? Masa engkau tidak tahu Siau Cui tertimpa musibah?”
“Musibah apa?”
“Sebenarnya urusan semacam ini tidak pantas kukatakan kepada Tuan,” ujar pelayan itu berlagak rahasia, “cuma lantaran hamba lihat Tuan adalah orang baik, hamba tidak tega untuk mengelabuimu. Tuan, menurut pendapat hamba, Hong-hong-wan kami masih banyak nona cantik yang lain, mau pilih yang macam apapun ada, yang lebih hebat dari Siau Cui pun ada, tapi jangan sekali-kali kau mencarinya lagi.”
“Kalau mencarinya kenapa?”
“Terus terang kuberitahu kepadamu, Tuan, belakangan ini Siau Cui lagi sial, seorang buaya she Ho yang mabuk kedapatan mati dalam kamar Siau Cui, sejak itulah siapapun tak berani masuk ke kamarnya, sebab itulah Mama menyuruh dia berhenti bekerja untuk sementara waktu, sekarang ia sudah pindah ke kamar bagian belakang....”
“Kenapa secara tiba-tiba orang she Ho itu mati?”
“Siapa yang tahu? Pokoknya setiap hari bocah itu kerjanya cuma keluyuran, ya minum arak, ya berjudi, jelas bukan manusia baik-baik. Menurut pendapatku, kalau bukan mampus karena luka akibat berkelahi, tentu mampus keracunan arak lantaran terlalu banyak minum, orang luar sih tidak peduli, mereka hanya tahu dia mampus di sini, yang celaka adalah Siau Cui, gara-gara kejadian ini ia nyaris diseret ke pengadilan.”
“Ah, orang yang mengatakan begitu sungguh keterlaluan, sekalipun dia mati secara mendadak, itu kan bukan salah Siau Cui?”
“Betul juga perkataanmu, tapi dia kan seorang nona penghibur, kalau sampai mengalami kejadian sial semacam ini, siapa lagi yang berani masuk ke kamarnya?”
“Kalau begitu, jadi gara-gara orang she Ho itulah Siau Cui ikut tertimpa sial?” jengek Leng-hong.
“Bukan Siau Cui saja yang tertimpa malang, usaha kampiun ikut terpengaruh. Ai, bocah she Ho itu sungguh bikin celaka orang saja.”
Kalau bisa Leng-hong ingin memberi beberapa kali tempelengan pada pesuruh yang lancang mulut ini, tapi sedapatnya ia tahan perasaannya.
“Siau Cui tinggal di halaman belakang sebelah mana?” tanyanya kemudian, “jangan kuatir, bawa saja diriku ke sana, dan uang perak itu untuk minum arak bagiku.”
“Tuan, kau tidak takut?” tanya orang itu dengan suara parau.
Ho Leng-hong menggeleng kepala sambil tertawa, “Jangan kuatir, jika akupun ikut mampus di halaman belakang, anggap saja aku yang mencari kematian sendiri, tak nanti kubikin susah kepadamu.”
Pesuruh tersebut ingin mendapatkan hadiah, cepat dia celingukan ke sekeliling tempat itu, lalu bisiknya sambil memberi tanda, “Baik, ikutlah padaku.”
Mereka berdua masuk lewat pintu samping lalu mengitari ruang dan halaman tengah terus masuk ke halaman belakang.
Sambil menuding sebuah rumah papan di sudut pekarangan sana, bisik pesuruh itu, “Di sanalah nona Siau Cui berdiam, Tuan jangan berdiam terlalu lama di situ, kalau ketahuan Mama, hamba bisa celaka.”
Ho Leng-hong menyuruh pergi orang itu, kemudian mengawasi rumah kayu itu dengan saksama. Rumah kayu itu jelek, sudah tua dan dekat dinding pekarangan, bagian sampingnya adalah tempat menyimpan barang-barang tak terpakai, tentu saja bedanya bagaikan langit dan bumi bila dibandingkan kamar Siau Cui di serambi barat sana.
Meskipun Siau Cui hanya seorang pelacur yang hina dina, tapi terhadap Leng-hong dia memang jatuh cinta dengan tulus dan murni, Leng-hong menyesal karena tak dapat memenuhi harapan kekasihnya, apalagi setelah menyaksikan penderitaan yang dialaminya sekarang, ia menjadi malu hati.
Tapi, sesungguhnya salah siapakah itu? Siapa yang telah “mencelakai” Ho Leng-hong? Siapa yang membuat Ho Leng-hong “berubah” menjadi Nyo Cu-wi? Apakah kejadian inilah yang disebut “roh masuk pada raga orang lain?”
Ho Leng-hong jelas tidak mengakui dirinya telah “mati”, iapun tidak percaya setan iblis segala, apalagi tentang roh masuk ke tubuh orang lain. Oleh sebab itu ia harus tanya langsung persoalan ini kepada Siau Cui.
Cahaya redup tampak bersinar di balik jendela rumah kayu itu, di dalam terdengar suara batuk seorang yang berat. Itulah suara batuk Siau Cui, paru-parunya memang lemah, sering kali dia terbatuk-batuk sebelum tidur, terutama bila ada persoalan yang mengganjal dalam hatinya, ia akan mengalami kesulitan untuk tidur. Tiba-tiba Ho Leng-hong merasa terharu, ia menghela napas perlahan lalu mengetuk pintu.
“Siapa?” suara Siau Cui berkumandang dari dalam.
“Aku! Buka pintu, Siau Cui!”
“Siapa kau?”
“Ho Leng-hong…”
Celaka! Ketika nama itu disebutkan, Ho Leng-hong segera tahu urusan bakal runyam, tapi mau ditarik kembali sudah tak keburu lagi. Benarlah, dari balik ruangan berkumandang jeritan kaget, disusul suara pembaringan kayu yang bergetar keras. Mungkin Siau Cui sedang berbaring ketika mendengar jawabannya, sebab itu saking kagetnya, ia melompat turun dari pembaringan.
“Aku datang untuk persoalan yang menyangkut Ho Leng-hong,” cepat Leng-hong memberi penjelasan, “Bukalah pintu, Siau Cui, mau bukan?”
“Krek!” pintu terbuka sedikit. Dengan suatu gerakan cepat Ho Leng-hong menyelinap masuk ke dalam, lalu menutup kembali pintu kamar. Suasana dalam rumah remang-remang, hanya sebuah lentera menerangi tempat itu, keadaannya sangat sederhana, hanya terdapat sebuah pembaringan dan sebuah meja kecil.
Siau Cui meringkuk di pojok ruangan dengan muka pucat dan badan gemetar, wajahnya memancarkan perasaan takut. “Siapa… siapa kau?” tegurnya dengan tergagap.
Perlahan Ho Leng-hong menanggalkan topi lebarnya, lalu berkata, “Siau Cui, aku adalah Leng-hong, Sungguh! Meskipun mukaku telah berubah, tapi aku betul-betul adalah Ho Leng-hong, kau harus percaya kepadaku…”
Mata Siau-Cui terbelalak, lalu menggeleng berulang, “Tidak! Tidak! Kumohon kepadamu, jangan menakuti diriku! Ho Leng-hong telah mati, siapa kau sebenarnya?”
“Siau-Cui, tak perlu omong kosong, kau tahu jelas bahwa aku tidak mati.”
"Tidak, Ho Leng-hong benar-benar sudah mati, ia mati di kamar sebelah barat sana, dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan ia digotong keluar…”
“Aku tak peduli, siapa yang mereka gotong keluar, pokoknya aku benar-benar adalah Ho Leng-hong, sekarang aku masih hidup segar-bugar, Siau Cui, kau harus percaya kepadaku.”
“Tidak, akut tidak percaya! Aku tidak percaya!” Siau Cui menggeleng kepala, “aku tidak kenal dirimu, aku hanya tahu Ho Leng-hong sudah mati.”
Leng-hong sadar bila keadaan begini berlangsung terus, persoalan akan sukar selesai, maka ia berubah taktik, katanya, “Baiklah, kalau kau berkeras tak mau percaya kepadaku, akupun tak akan memaksa. Sekarang perhatikan diriku baik-baik, pernahkah kau melihat diriku sebelum ini?”
Dengan seksama Siau Cui mengamati wajahnya, lalu menggeleng, “Belum pernah!”
“Coba pikir lagi, pernahkah kenal denganku di suatu tempat?” desak Leng-hong pula.
“Tidak pernah!”
“Jadi kita baru pertama kali bertemu sekarang?”
“Benar!”
“Tapi aku tahu di sebelah kiri perutmu, di bawah pusar, terdapat setitik tahi lalat, di sebelah kanan belakang pinggangmu juga terdapat sebuah toh hitam, benar tidak?” kata Leng-hong sambil tertawa.
Siau Cui melengak, sampai sekian lama ia melongo, lama sekali baru bertanya dengan tergegap, “Kau dengar dari siapa?”
“Kulihat dengan mata kepalaku sendiri,” Leng-hong tertawa, “Seandainya kita tak pernah kenal sebelum ini dan baru bertemu untuk pertama kalinya, darimana kutahu akan tanda rahasia di atas tubuhmu?”
Perlahan Siau Cui menghela napas panjang, “Kenapa heran? Kami orang-orang yang melakukan pekerjaan semacam ini sudah biasa buka pakaian di depan setiap pria yang berkunjung kemari, soal itu sudah bukan rahasia lagi.”
“Baiklah, bila kau anggap tanda rahasia di tubuhmu sudah bukan rahasia lagi, kata-kata pribadimu dengan Ho Leng-hong tentu tak diketahui orang lain bukan? Sebagai contoh kata-kata yang kau bicarakan malam menjelang kejadian itu, bukankah kau minta kepada Ho Leng-hong untuk membawamu kabur sejauh-jauhnya dari sini...“
Belum habis perkataan itu, air muka Siau Cui sudah berubah hebat, tukasnya, “Apa yang kau katakan? Sungguh aku tidak paham, aku tak pernah kenal padamu, akupun tak ada waktu untuk mengobrol denganmu, kuminta sekarang juga kau keluar dari sini, keluar!”
Dengan tajam Ho Leng-hong mengawasinya tanpa berkedip, katanya perlahan, “Siau Cui, kau takut bukan? Waktu itu kau sudah tahu bakar terjadi sesuatu maka kau mohon kepadaku untuk membawamu pergi, kaupun tahu dalam kuah penyadar mabuk itu....”
Air muka Siau Cui semakin pucat, sebelum pemuda itu menyelesaikan kata-katanya ia sudah membentak, “Aku tidak mengerti akan perkataanmu, kuminta segera kau tinggalkan tempat ini, kalau tidak, segera aku akan memanggil orang.”
“Kau tidak akan memanggil orang, Siau Cui, kutahu kau tak akan berbuat demikian karena kau tahu siapa diriku, kaupun tahu apa yang telah terjadi, hanya kau tak berani mengatakannya.”
“Tidak tahu, aku tidak tahu.... apapun aku tidak tahu, sungguh aku tidak tahu apa-apa,” Seru Siau Cui sambil menggeleng kepala berulang kali dan menutup telinganya dengan tangan.
“Siau Cui, apa yang kau takuti? Kau diancam siapa? Kenapa tidak berani bercerita?”
Dengan suara yang hampir menangis Siau Cui berkata, “Kumohon padamu, janganlah mendesakku terus menerus, sungguh aku tidak tahu, kalian telah mencelakaiku hingga seperti ini, apakah masih belum cukup?”
“Siapa yang mencelakaimu?” seru Leng-hong sambil menarik lengannya, “Siau Cui, beri tahukan padaku, siapa yang mencelakai....“
Siau Cui tak bisa menjawab, dia hanya menangis tersedu-sedu. “Bicaralah Siau Cui, cepat katakan kepadaku,” pinta Leng-hong sambil mengguncang-guncangkan tubuh si nona, “aku adalah Leng-hong....”
“Blang!” tiba-tiba pintu kamar didobrak orang secara paksa.
Dua sosok bayangan tubuh yang tinggi besar berdiri tegak di depan pintu, seorang pria berbaju serba hitam, bertubuh kekar dan berdandang sebagai tukang pukul, sedang yang lain adalah perempuan, dia lebih tegap daripada pria tersebut, ia bukan lain adalah Go So.
Entah sejak kapan kedua orang itu tiba di luar kamar, ternyata Ho Leng-hong tidak mengetahui kehadiran mereka. Agaknya Go So tidak kenal lagi pada Ho Leng-hong, sambil menuding pemuda itu, bentaknya, “Keparat, apa yang kau lakukan? Berani betul menerbitkan keonaran dalam Hong-hong-wan? Hm. Tampaknya tulang-tulang badanmu sudah gatal dan minta digebuk!”
“Hm, kalian membuka rumah pelacuran ini untuk mencari uang, asal Toaya punya uang, siapa yang berani melarang kedatanganku?”
“Kalau bermain perempuan sepantasnya di ruang depan, apa maksudmu tarik menarik dengan nona yang beristirahat di ruang belakang? Mengapa kau datang kemari secara diam-diam? Keparat, tidak lekas lepas tangan, memangnya kau ingin digebuk?” Sambil berkata ia menggulung lengan bajunya dan siap berkelahi.
“Tunggu sebentar!” tiba-tiba si baju hitam di sampingnya mencegah, “rasanya kukenal wajah tamu kita ini, seperti pernah bertemu di suatu tempat?”
“Hm, kau kenal aku?” jengek Ho Leng-hong ketus.
Laki-laki berbaju hitam itu tidak menjawab, ia mengamati lawannya dengan cermat, mendadak ia memberi hormat, “Ah, kukira siapa, rupanya Nyo-tayhiap dari Thian-po-hu yang berkunjung kemari. Maaf! Maaf!”
“Kau ini....” melengak juga Leng-hong.
“Hamba she Tan, anak buah Thian-toaya, orang menjuluki diriku sebagai Thi-tau-siau Tan (Tan kecil kepala baja).”
“O, jadi Hong-hong-wan ini termasuk wilayah kekuasaan?”
“Ah, tidak berani, tidak berani,” Thi-tau Tan menyengir, “hamba hanya menjalankan perintah Thian-ya, lantaran Ho Leng-hong kedapatan mati di sini, maka aku diperbantukan selama beberapa hari di sini, sungguh tak nyana Nyo-tayhiap bisa berkunjung kemari. Bila kami berbuat kesalahan karena tidak mengenal Nyo-tayhiap, harap suka dimaafkan....”
Kepada Go So segera ia membentak, “Kenapa tidak cepat-cepat berlutut dan minta ampun! Beliau inilah Nyo-tayhiap, pemilik Thian-po-hu yang tersohor, biar sengaja diundang juga belum tentu tamu agung kita ini mau datang kemari, kau si goblok ini benar-benar anjing betina yang buta. Dengan cepat Go So berubah sikap, dengan lemas ia bertekuk lutut.
“Nyo-tayhiap,” demikian ujarnya, “maafkanlah aku si tua bangka yang punya mata tapi buta, engkau adalah orang besar, tentu tak akan ingat kesalahan orang kecil, anggap saja mulutku si tua bangka tadi hanya kentut busuk dan janganlah marah kepadaku”
Tiba-tiba Ho Leng-hong teringat kembali pada kuah penyadar mabuk malam itu. Go So inilah yang mengatar kuah itu baginya, seandainya dalam kuah terdapat sesuatu yang mencurigakan berarti Go So juga mengetahui persoalan ini sebelumnya.
Sementara ia masih melamun, Go So merangkak bangun sambil berkata, “Tidak sepantasnya menyambut kedatangan tamu agung di tempat sejelek ini, nona Siau Cui, baik-baiklah melayani Nyo-tayhiap, segera akan kuberi tahukan hal ini kepada Mama....”
“Tidak usah,” seru Leng-hong, “sebentar saja aku akan pergi.”
“Mana boleh jadi?” kata Go So, “Nyo-tayhiap tertarik oleh Siau Cui kami, hal ini merupakan rejeki besar baginya, sekalipun tidak menginap, paling sedikit harus minum arak lebih dulu agar ia menemani Nyo-tayhiap bercakap-cakap.”
“Betul, biar hamba undang juga Thian-ya,” sambung Thi-tau Tan, “Lo-ya sekalian juga akan kuundang kemari, Wah suasana nanti pasti akan bertambah meriah....”
Ho Leng-hong melirik Siau Cui sekejap, ia tahu tiada harapan baginya untuk mencari keterangan pada malam ini, ia menghela napas dan melepaskan tangannya. Diambilnya sekeping uang perak dan diserahkan kepada Thi-tau Tan, lalu pesannya, “Aku masih ada urusan dan harus segera berangkat. Nih, terimalah sebagai ongkos minum arak, tapi jangan sekali-kali kausiarkan kedatanganku ini di luaran, mengerti?”
“Apakah terhadap Thian-ya sekalian juga...“
“Ya, terhadap mereka juga harus dirahasiakan, sebab aku tak ingin seorang pun mengetahui kejadian malam ini.”
Berputar biji mata Thi-tau Tan, katanya dengan tertawa, “Ah, pahamlah hamba sekarang. Padahal Nyo-tayhiap tak usah kuatir, Thian-ya kan sahabat karib Nyo-tayhiap, tentang soal ini tak mungkin mereka akan....”
Ho Leng-hong tidak banyak bicara lagi, sambil mengulap tangan ia meninggalkan rumah kayu itu. Siau Cui hanya menunduk sambil menangis, ia membungkam seribu bahasa, tidak mendongak juga tidak mengantar.
Tapi Go So mengantar sampai di luar pintu, katanya dengan nada minta maaf, “Nyo-tayhiap, tentunya kau tidak marah padaku bukan? Kalau malam ini tak ada waktu, kapan-kapan silakan datang lagi? Nyo-tayhiap...”
Ho Leng-hong berlalu dengan langkah lebar hakikatnya seperti orang lari, dia mengambil langkah seribu meninggalkan rumah hiburan itu....
Selanjutnya,