Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 03 karya Gu Long
Sonny Ogawa

Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 03

Cerita silat Mandarin Karya Gu Long
MALAM akan terasa pendek dalam kegembiraan, tapi terasa lewat lebih cepat pada saat-saat yang penuh kehangatan.

Malam lewat dan fajarpun menyingsing pula. Waktu Ho Leng-hong bangun dari tidurnya, Wan-kun masih tertidur nyenyak. Tubuhnya yang putih halus bagaikan kemala hanya tertutup oleh selapis selimut tipis, rambutnya terurai indah, tubuhnya meringkuk di ranjang dengan senyuman puas masih menghiasi ujung bibirnya.

Anak kunci itu tergeletak di sisi bantal yang berbau harum. Dengan kasih sayang Leng-hong membelai rambutnya yang halus, lalu anak kunci itu diambil dan perlahan turun dari pembaringan.

Agaknya Wan-kun merasakan gerak-geriknya itu, dengan mata yang masih sepat ia memandangnya sekejap, lalu sambil menggeliat bisiknya, “Jit-long... jangan... jangan pergi....“

Tak tahan Leng-hong, ia membungkukkan badan dan mencium pipinya, Wan-kun tidak bergerak, kembali ia terlelap. Udara pagi terasa agak dingin, Leng-hong bantu menyelimuti tubuh Wan-kun, kemudian ia sendiri mengenakan pakaian dan berjalan menghampiri almari perhiasan, berjongkok dan memeriksa tanda rahasia yang sengaja ia tinggalkan di pintu almari besi.

Tapi apa yang kemudian terlihat membuat hatinya terkesiap. Ketika menutup almari besi semalam, secara diam-diam ia telah meninggalkan seutas rambut di celah pintu, tapi sekarang rambut itu sudah rontok dan ada di atas lantai. Hal ini menandakan semalam setelah ia tertidur ada orang telah membuka lemari besi itu.

Leng-hong segera bangun dan memeriksa semua jendela dan pintu yang ada di ruangan itu, tapi nyatanya baik daun jendela maupun daun pintu semuanya terkunci rapat, tidak berubah sedikitpun. Tapi kalau tak ada yang masuk ke kamar, siapa yang membuka almari besi?

Cepat Leng-hong membuka semua gembok pada pintu almari besi itu, apa yang ditemukan? Kotak besi berisi golok pusaka yang berada dalam almari itu telah lenyap tak berbekas.

Macam-macam pikiran timbul dalam benaknya, tapi ia pura-pura tidak tahu apa-apa, semua gembok kembali dikunci, almari besi itupun dikunci seperti semula, setelah mengembalikan anak kuncinya ke sisi bantal, ia mengenakan pakaian, membuka pintu, turun dari loteng dan buru-buru menuju ke Kiok-hiang-sia. Baru sampai pintu taman ia berpapasan dengan Bwe-ji.

Waktu itu Bwe-ji sedang keluar dengan rambut kusut, wajah lesu seakan-akan kurang tidur atau baru bangun tidur. Ia tampak gugup dan kelabakan ketika berjumpa dengan Ho Leng-hong, sambil berdiri dengan kepala tertunduk, bisiknya, “Tuan, kau sudah bangun!”

“Hei, sepagi ini ada apa kau ke taman?” tegur Leng-hong sambil menatapnya tajam-tajam.

Merah jengah wajah Bwe-ji, “Aku…. aku melayani Kuloya di…. di Kiok-hiang-sia….” sahutnya tergegap.

“Apakah semalam kau….”

“Kuloya mabuk arak, ia minta hamba tetap tinggal di sana.”

“Ngawur!” omel Leng-hong di dalam hati, dia memberi tanda dan berkata, “Cepat kembali ke kamarmu, bagaimana jadinya kalau ketahuan orang?”

Bwe-ji mengiakan dengan takut-takut, baru saja akan pergi, Leng-hong kembali berkata, “Tunggu sebentar, apakah Kuloya telah bangun?”

“Belum!”

“Apakah terjadi sesuatu di Kiok-hiang-sia semalam?”

“Tidak!”

“Bagus sekali!” kata Leng-hong, setelah termenung sejenak sambungnya, “Beristirahatlah dulu, Hujin belum bangun. Urusanmu ini jangan kauberitahukan kepadanya untuk sementara waktu.”

Bwe-ji mengiakan dengan lirih, lalu berlalu. Sepergi dayang itu, Leng-hong, mendongakkan kepalanya dan mengembus napas panjang, ia pikir, “Di luar saja Pang Goan bicara seperti orang alim, tak tahunya iapun seorang laki-laki bangor, bila aku masuk sekarang, mungkin dia akan kehilangan muka, lebih baik kutunggu sejenak lagi baru ke sana.”

Begitulah, setelah mengambil keputusan ia lantas berganti arah dan berjalan-jalan lebih dulu ke dalam taman. Sambil berjalan otaknya merenungkan kembali peristiwa semalam, ia menaruh kecurigaan besar atas tercurinya golok mestika, untuk sebelumnya ia sudah melakukan persiapan, coba kalau tidak, tentu penjahat-penjahat itu sudah berhasil.

Ketika terbayang kembali keangkeran Pang Goan sewaktu memberi nasihat, lalu membayangkan pula keadaan Bwe-ji yang mengenaskan, diam-diam ia merasa geli sekali. Anak keturunan keluarga ternama umumnya memang lebih binal, yang benar-benar suci bersih rasanya sangat sedikit.

Sambil berjalan sambil berpikir, tanpa terasa sampailah di sisi batu gunung yang pernah digunakannya untuk duduk bersama Pang Wan-kun. Ho Leng-hong berdiri termenung, ketika teringat kembali adegan waktu itu, diam-diam ia merasa malu.

Terbayang sudah sekian lama ia masuk ke Thian-po-hu secara ajaib, meskipun peristiwa ini terjadi bukan atas kehendak sendiri, tapi kenyataan menunjukkan ia telah menggunakan nama orang lain, mengangkangi isteri orang dan harta kekayaan orang.

Tapi hingga kini ia masih belum berhasil menyelidiki asal-usul para penjahat dibalik persoalan ini, bahkan mati-hidup Nyo Cu-wi, pemilik Thian-po-hu yang sesungguhnya pun tidak diketahui, betapa hatinya tidak merasa malu.

Sementara ia termenung dengan perasaan malu dan menyesal, tiba-tiba dari balik pepohonan sana terdengar suara deru angin yang santar. Deru angin yang mirip dengan suara sambaran senjata tajam, seperti pula suara tenaga dalam yang dipancarkan.

Dengan langkah yang sangat hati-hati Leng-hong mengitari pepohonan dan mengintip ke sana, maka terlihatlah seorang sedang berlatih jurus silat dengan telapak tangan sebagai golok. Ilmu yang sedang dilatih orang itu jelas serangkaian ilmu golok yang bersifat keras, di mana telapak tangannya menyambar, angin menderu-deru, daun dan ranting pohon di sekitar sepuluh tombak sekeliling tempat itu sama rontok dan hampir menutupi raut wajah orang itu.

Makin diperhatikan Ho Leng-hong merasa semakin terperanjat, ia tak mengerti siapa gerangan jago lihai yang sedang berlatih kungfu di dalam istana Thian-po-hu ini?

“Siapa yang sedang mencuri lihat di sana?” tiba-tiba orang itu menghentikan latihannya sambil membentak.

Karena ia berhenti berlatih, daun yang berguguran pun ikut berhenti, tapi hal ini justru makin mengejutkan Ho Leng-hong, sebab sekarang ia dapat melihat jelas siapa orangnya. Ternyata tokoh sakti ini tak lain adalah Pang Goan.

Dengan langkah cepat Leng-hong mendekat ke sana, lalu sapanya dengan nada kaget bercampur heran, “Lotoako, sejak kapan kau bangun?”

“Sebelum fajar menyingsing aku telah bangun dan berlatih ilmu golok di sini, adakah sesuatu yang tidak beres?” Pang Goan balas bertanya dengan heran.

“Kalau begitu semalam Lotoako tidak suruh dayang Bwe-ji menemani tidur di Kiok-hiang-sia?”

“Menemani tidur?!” terbelalak mata Pang Goan, sinar matanya penuh rasa marah, “kau menganggap diriku sebagai manusia macam apa? Sudah belasan tahun aku tak pernah mendekati perempuan, mana mungkin kupaksa dayang adikku untuk menemani aku tidur? Kau anggap aku secabul dirimu?”

“Wah, celaka kalau begitu,” seru Leng-hong tiba-tiba, tanpa menunggu lama ia lantas putar badan dan lari pergi.

“Berhenti!” bentak Pang Goan sambil menghalangi jalan perginya, “sebelum kauterangkan duduknya perkara, jangan tinggalkan tempat ini.”

Terpaksa Leng-hong berkata sambil menghela napas, “Lotoako, kita harus cepat-cepat kembali ke Kiok-hiang-sia, kemungkinan besar golok mestika dan kitab pusaka telah dicuri orang.”

“Mana mungkin?” Pang Goan ikut terperanjat, “sebelum meninggalkan tempat itu sudah kuperiksa sendiri....”

“Wah, kalau begitu lebih celaka lagi, kita harus cepat ke sana,” belum selesai berkata, secepat terbang ia terjang keluar hutan.

Pang Goan melengak, buru-buru ia menyusul ke sana...
Apa yang mereka duga ternyata benar, laci lemari buku itu sudah kosong, baik golok mestika maupun kitab pusaka itu sudah lenyap tak berbekas.

Dengan gemas Leng-hong berkata, “Tak kusangka kalau Bwe-ji si dayang itu adalah seorang pengkhianat, lebih-lebih tak kusangka ketika kepergok tadi, kulepaskan dia begitu saja....”

Sambil berkata sebenarnya dia hendak memerintahkan para Busu untuk melakukan pengejaran.

Pang Goan meski juga terperanjat, sikapnya tetap tenang, sambil menggoyangkan tangannya ia berkata, “Tak perlu dikejar lagi, sekalipun dayang itu berhasil disusul juga tak ada gunanya, sebab kalau pihak lawan sudah mengatur rencana untuk mendapatkan golok mestika dan kitab pusaka itu, masakah mereka tidak menyiapkan orang lain untuk menerima barangnya. Bila benda tersebut telah mereka dapatkan, sudah pasti barang itu segera dikirim keluar.”

“Tapi barang sudah dicuri, apakah kita hanya diam saja?”

“Tentu saja tidak, bila kita berkaok-kaok dan mengerahkan orang banyak untuk mengusut, bukan saja tidak ada manfaatnya malah merepotkan saja. Kau duduklah lebih dulu dan mari kita pelajari apa yang terjadi, asal apa yang diatur musuh sudah kita pahami, tak sulit untuk berusaha merampasnya kembali barang yang telah hilang. Harus diketahui, semakin kita tidak bereaksi, semakin sulit bagi lawan untuk menduga apa yang akan kita lakukan, dan juga semakin mudah menemukan titik-titik kelemahan mereka.”

Ho Leng-hong tak berdaya, ia menarik napas panjang dan duduk kembali.

Pang Goan duduk pula, katanya, “Sekarang ceritakan dulu kejadian ketika kau pergoki Bwe-ji, ceritakan setelitinya.”

Leng-hong manggut-manggut, ia mengisahkan apa yang dialami pagi tadi, iapun menceritakan perundingan rahasia yang sempat disadap olehnya ketika seorang pria dan seorang perempuan sedang berunding di dalam taman baru-baru ini, iapun mengisahkan kejadian sekembalinya ke kamar semalam dan hasil pemeriksaan terhadap lemari besi tadi.

Pang Goan hanya mendengarkan dengan saksama tanpa memberi komentar apa-apa, setelah Leng-hong menyelesaikan ceritanya, ia baru berkata, “Bila kita tinjau dari kisahmu barusan, bukan saja pihak lawan telah mengetahui gerak-gerik kita, di dalam sini ada pengkhianat, di luar masih ada yang menunggu, itu berarti kecuali kau dan aku, dalam gedung Thian-po-hu ini sudah tidak ada orang ketiga yang dapat dipercaya lagi.”

“Siaute sendiripun mempunyai perasaan demikian, terutama sekembalinya ke kamar semalam, kunci lemari besi itu belum pernah meninggalkan pembaringan, pintu dan jendela pun tak berubah, tampaknya Wan-kun pun tak lepas dari kecurigaan.”

“Wan-kun adalah isterimu dan merupakan adikku pula, mana mungkin dia akan membantu orang luar? Kupikir, orang yang membuka lemari besi itu pastilah Bwe-ji, dia adalah dayang kepercayaan kalian, untuk masuk-keluar kamar bukan pekerjaan yang sukar, tentu dia yang telah membuka lemari besi itu. Setelah mengetahui isi kotak golok adalah benda palsu, maka ia lantas mengintip di luar Kiok-hiang-sia. Ya, tidak seharusnya kuperiksa lagi laci tersebut sebelum pergi sehingga rahasia ini diketahui olehnya.”

“Tapi seandainya ia masuk ke kamarku di tengah malam, tak mungkin aku tidak mengetahui sama sekali.”

Pelahan Pang Goan menggeleng kepala, “Bila sebelum itu ia mencampurkan sesuatu dalam air tehmu, bahkan mencampuri obat dalam arak perjamuan semalam, darimana kau bisa merasakannya?”

Leng-hong tertegun, ia benar-benar tak sanggup menjawab.

Pang Goan kembali berkata, “Oleh sebab itulah barusan kukatakan setiap orang dalam Thian-po-hu ini mungkin tak dapat dipercaya lagi, aku lebih-lebih berani memastikan bahwa orang yang ditugaskan lawan untuk menerima benda itu besar kemungkinan adalah salah seorang di antara kawan berfoya-foyamu, kau mengakui tidak?”

Leng-hong menundukkan kepalanya, bagaimanapun juga dia harus mengakui kebenaran ucapan tersebut.

Pang Goan berkata lebih jauh, “Kalau kitab pusaka itu hilang, untuk sementara waktu kehilangan tersebut tak akan menimbulkan pengaruh apa-apa terhadap kita, karena Po-in-pat-tay-sik (delapan jurus sakti ilmu pemecah awan) adalah ilmu golok keluarga Nyo kalian dan sama sekali tidak mencakup ilmu pedang Keng-hong-kiam-hoat (ilmu pedang kejutan pelangi) Cian-sui-hu kami, kalau melulu Nyo-keh-sin-to atau Keng-hong-kiam-hoat masih belum dapat menandingi kelihayan Hiang-in-hu, untunglah rumus barisan To-kiam-hap-ping yang hendak kita latih bersama belum sampai tercuri lawan.”

Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Ho Leng-hong, pikirnya, “Kalau didengar dari nada perkataannya ini, jangan-jangan pihak yang memusuhi Thian-po-hu adalah istana Hiang-in-hu di Hu-yong-shia daerah Leng-lam...?”

Baru saja ingatan tersebut terlintas, Pang Goan telah berkata lebih jauh, “Masalah terpenting yang kita hadapi sekarang adalah berusaha mendapatkan kembali golok Yan-ci-po-to yang tercuri, sebab golok ini sudah mempunyai sifat hidup, tajamnya luar biasa, bila sampai diperoleh orang she Hui itu, keadaannya akan mirip harimau tumbuh sayap, untuk mengalahkan dia mungkin kita akan mengalami kesulitan.”

“Bila golok mestika itu sudah mereka dapatkan niscaya orang-orang itu sudah kabur jauh, ke mana kita akan menyusulnya?”

Pang Goan berpikir sebentar, lalu berkata, “Untuk mengatasi persoalan ini, kita harus bekerja secara terpencar, kau selidiki pengkhianat dalam Thian-po-hu, sedang aku menyelidiki pihak luar yang menjadi penadahnya. Sebentar aku akan tinggalkan tempat ini, andaikata Wan-kun menanyakan, katakan saja aku ada urusan penting dan pulang ke Sengtoh.”

“Lotoako bermaksud akan pergi ke mana?”

“Aku pikir, kalau pihak musuh telah menggunakan pelbagai akal dan cara untuk mendapatkan golok mestika dan kitab pusaka itu, maka di sekitar tempat ini tentu telah disiapkan tempat lain untuk mengadakan kontak, begitu barang berhasil didapatkan, dengan melalui saluran penghubung barang itu akan diantar keluar, lalu oleh pihak utusan benda itu akan diteliti, jika terbukti asli mereka akan mencari orang yang sesuai untuk membawa golok itu dan melanjutkan perjalanan, atau paling tidak hingga dewasa ini benda tersebut belum lagi meninggalkan wilayah Kwan-lok.”

Ho Leng-hong manggut-manggut sependapat. Kembali Pang Goan berpesan, “Sepeninggalku nanti, jangan sekali-sekali kau menunjukkan sesuatu reaksi, segala sesuatu lakukan saja sewajarnya, berpura-puralah seperti tak pernah terjadi sesuatu apapun, bahkan harus berpura-pura rileks dan gembira, kumpulkan semua temanmu berfoya-foya, mau minum arak boleh, mau berjudi juga boleh, pokoknya seorang pun jangan sampai bolos, semuanya harus datang dan berusahalah sedapat mungkin untuk menahan mereka di sini, jangan biarkan mereka tinggalkan tempat ini.”

“O, aku mengertilah akan maksudmu, kausuruh aku menahan mereka agar dapat diselidiki siapa di antara mereka yang paling mencurigakan?”

Pang Goan menggeleng, “Mencari tahu siapa yang paling mencurigakan adalah tugasmu, sedang kepergianku dari Thian-po-hu secara tiba-tiba hanya ingin membuat pihak lawan merasa curiga dan tak berani mengantar pergi golok mestika secara gegabah.”

“Toako, menyuruh aku menyelidikinya dengan cara bagaimana?”

“Sederhana sekali, cukup kauperhatikan dua hal.” “Dua hal bagaimana?”

“Pertama, perhatikan siapa yang datang paling dulu dan siapa yang paling menaruh perhatian pada kepergianku? Kedua, perhatikan sewaktu berjudi, siapa yang pikirannya tak terpusatkan dan siapa yang kalah paling banyak?”

Mula-mula Leng-hong agak melengak, tapi segera ia paham, katanya sambil tertawa, “Toako tak pernah berjudi, tak kusangka pengetahuanmu tentang jiwa penjudi sedemikian dalamnya.”

Pang Goan tertawa, “Orang yang tidak makan kan tidak berarti dia berpuasa bukan?”

“Seandainya orang yang berada di belakang layar adalah orang lain lagi dan susah payah kita melakukan penyelidikan di sini, sedangkan dia telah kabur jauh-jauh dengan membawa golok mestika itu…..”

Pang Goan menggoyang tangan. “Peduli siapapun dia, sebelum arah tujuanku diketahui dengan jelas, tak nanti mereka berani bergerak secara sembarangan,” demikian katanya “ketika datang dari Cian-sui-hu, kotak golok itu kurantai pada leherku, sekarang benda itu sudah di tangan mereka, mana ia berani bertindak secara gegabah.” Bicara sampai di sini ia lantas berdiri.

“Bagaimana caraku untuk mengadakan kontak dengan Lotoako?” tanya Leng-hong.

Pang Goan termenung sejenak, kemudian jawabnya, “Setiap pagi dan malam berusahalah mencari kesempatan untuk masuk ke taman sini, aku akan muncul dengan sendirinya untuk bertemu denganmu.”

Leng-hong masih ingin mengetahui hal-hal yang menyangkut musuh pihak Thian-po-hu, tapi Pang Goan telah melompat keluar dan berlalu dengan tergesa-gesa. Taman di pagi itu masih sunyi, kabut tipis menyelimuti permukaan tanah. Sepintas lalu Thian-po-hu masih tenang seperti hari-hari biasa, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.

Tapi lamat-lamat Leng-hong seperti telah mencium bau amisnya darah di tengah udara pagi yang segar itu, suatu intrik jahat, suatu perangkap besar seakan-akan mulai tersingkap seperti kabut tipis yang mulai buyar itu.

Secara aneh dan tanpa disadari ia ikut terlibat ke dalam intrik jahat ini, urusan ini sebenarnya tidak ada sangkut-paut dengan dirinya, kini bagaikan pusaran air telah menyeretnya ke dalam, membuat ia tak bisa menghindarkan diri dan terpaksa harus mengikuti pusaran arus.

Ia tak tahu haruskah dirinya melanjutkan peranan tersebut, tapi perkembangan kejadian di luar serta perasaan ingin tahu di dalam hatinya memaksa pemuda ini mau tak mau harus melanjutkan peranannya, sudah terlanjur begini, ia tak dapat melepaskan diri lagi.
Sekembalinya dari Kiok-hiang-sia, baru masuk ke kamarnya, tiba-tiba Ho Leng-hong melenggong. Pang Wan-kun telah bangun tidur, ia sedang menyisir rambutnya di depan toilet. Orang yang membantunya menyisir rambut bukan lain adalah Bwe-ji.

Besar amat nyali dayang ini, bukan saja golok mestika dan kitab pusaka telah dicurinya, dia juga berani bohong dan memfitnah nama baik Pang Goan, dan ternyata tidak melarikan diri? Bukan saja tidak melarikan diri, sewaktu melihat Ho Leng-hong, sikapnya tetap wajar seolah-olah tak pernah terjadi suatu peristiwa apapun.

“Selamat pagi Tuan!” demikian sapanya sambil tertawa.

Api amarah segera berkobar, Leng-hong mendengus. Sebenarnya dia hendak mengumbar marahnya, tapi bila teringat pesan Pang Goan tadi, mau-tak-mau dia menahan kata-kata dampratannya.

Pang Wan-kun sedang mengawasi gerak-geriknya dari balik cermin, dengan melongo ia berpaling dan menegur, “Hei, kenapa kau? Sepagi ini kau telah marah kepada siapa?”

Ho Leng-hong duduk di tepi pembaringan tanpa menjawab.

“Hei, apa yang terjadi? Kenapa diam saja?” Wan-kun kembali menegur dengan heran.

Leng-hong melirik Bwe-ji sekejap, tiba-tiba ia menghela napas panjang, dan berkata, “Ai, Toakomu telah pergi!”

“Apa?” seperti tertusuk jarum, Wan-kun melompat bangun, jeritnya melengking, “Toako pergi? Kapan?”

“Baru setengah jam yang lalu.”

“Kenapa ia pergi secara tiba-tiba?”

Sekali lagi Leng-hong memandang Bwe-ji sekejap lalu menghela napas pula, “Entahlah, aku juga tak tahu apa sebabnya.”

“Kau tidak bertanya padanya?”

“Sudah kutanyakan, ia hanya bilang ada urusan penting harus diselesaikan di Sengtoh, tapi tidak dijelaskan urusan penting apakah itu.”

“Hei, apa-apaan ini? Susah payah dari Cian-sui-hu yang ribuan li jauhnya datang kemari, ada persoalan penting apa yang lebih penting dari To-kiam-hap-ping-tin? Lagi pula kami baru berjumpa sekali, kendatipun ada urusan penting seharusnya dilaporkan dulu kepadaku….”

Leng-hong tidak bersuara, ia hanya melirik sekejap ke arah Bwe-ji, dilihatnya air muka Bwe-ji tetap tenang dan sama sekali tidak menunjukkan sesuatu tanda. Agaknya Pang Wan-kun mengetahui Ho Leng-hong sedang memperhatikan Bwe-ji, ia lantas bertanya,

“Bwe-ji, waktu kau layani Kuloya semalam, apa kaulakukan sesuatu yang membuatnya kurang senang? Kalau tidak, kenapa pagi-pagi benar ia sudah pergi tanpa pamit?”

“Tidak, Hujin, kemarin Kuloya malah mengeluarkan pakaian dari bungkusannya dan menyuruhku untuk mencucinya, ia bilang mungkin akan berdiam cukup lama di sini.”

Sewaktu bicara, air mukanya tidak merah, suaranya tidak gemetar, sikapnya wajar dan biasa, sulit bagi orang lain untuk mengetahui apakah dia sedang berbohong atau tidak.

Tanpa terasa Leng-hong berpikir, “Dugaan Pang Goan tampaknya tidak salah, jelas Wan-kun tidak tahu kalau dayangnya sudah dibeli orang luar untuk mengkhianatinya, sekarang ada baiknya jangan kubongkar dulu kebohongannya, tapi dia mengira aku orang she Ho gampang ditipu, keliru besarlah dugaanmu.”

Maka dia sengaja mengembus napas panjang seraya bangkit berdiri, katanya, “Bagaimanapun jua orangnya sudah pergi, apa gunanya kita menebak alasan di balik kepergiannya. Ai, baru saja kemarin kita berkumpul dan sekarang Toako telah pergi dengan marah. Bwe-ji, perintahkan orang untuk mengundang semua sobat karibku, suruh mereka datang secepatnya, pertemuan kemarin harus dilanjutkan hari ini, jangan lupa, seorangpun tak boleh ketinggalan!”

“Siapa tahu kalau kepergian Toako lantaran marah pada perbuatanmu kemarin, tidak dapatkah kau lewatkan sehari ini dengan tenang?” pinta Wan-kun.

“Ah, beberapa hari ini kehidupanku terasa hambar tak menyenangkan, isteriku sayang, jangan kau siram kepalaku dengan air dingin, izinkan aku bermain sepuasnya hari ini, boleh bukan?” kata Leng-hong sambil tertawa.

“Baik! Baik! Aku tak akan mengurus dirimu lagi, tapi kau harus tahu diri, main sih boleh, tapi jangan lupa, berlatih adalah pekerjaan yang utama,” kata Wan-kun sambil menghela napas dan menggeleng kepala berulang.

“Aku tahu, setelah permainan hari ini, lain waktu aku pasti akan menjaga diri baik-baik dan berlatih kungfu dengan tekun. Bwe-ji, kenapa tidak cepat laksanakan perintahku?”

Bwe-ji mengiakan dan cepat turun dari loteng. Sepergi Bwe-ji, sambil tertawa cengar-cengir kembali Ho Leng-hong mencumbu Pang Wan-kun, setelah puas baru ia pergi. Tak lama kemudian, Bwe-ji telah muncul untuk memberi laporan.

Merasa di sekeliling situ tak ada orang, sambil menarik muka Leng-hong segera menegur, “Bwe-ji, kini Hujin tak ada di sini, aku ingin bertanya kepadamu, dalam hal apakah kau telah menyalahi Kuloya sehingga ia pergi dengan marah?”

Dengan mata terbelalak Bwe-ji menggeleng kepala dan menjawab, “Aku... aku tidak... benar-benar tidak....”

“Kenapa pagi-pagi baru kaukembali dari Kiok-hiang-sia? Kenapa secara tiba-tiba Kuloya memutuskan untuk pergi?”

“Tuan, apa yang kau maksudkan?” keluh Bwe-ji dengan bingung, “siapa yang pagi-pagi baru pulang dari Kiok-hiang-sia... aku tidak mengerti.”

Leng-hong tertawa dingin, “Aku pergoki sendiri dirimu, kenapa? Mau coba mungkir?”

Mata Bwe-ji terbelalak, rasa kejut dan heran menghiasi wajahnya, ia berkata dengan tergagap, “Kapan Tuan bertemu dengan hamba? Sungguh hamba tidak paham apa yang Tuan katakan?”

“Baik, jika kau menyangkal terus, akan kukatakan terus terang kepada Hujin, ingin kulihat di manakah akan kau taruh mukamu?”

Air mata membasahi wajah Bwe-ji, tiba-tiba ia berlutut, ratapnya, “Perbuatan apakah yang hamba lakukan? Mohon Tuan sudi menjelaskan, hamba sungguh tak tahu.”

“Aku ingin bertanya kepadamu, semalam kau tidur di mana?”

“Tentu saja di kamar!” jawab Bwe-ji tanpa pikir.

“Ya, kutahu kau tidur di kamar, yang kutanyakan tidur di kamarmu sendiri ataukah di kamar baca Kiok-hiang-sia?”

Warna merah tiba-tiba menghiasi wajah Bwe-ji, katanya dengan terkejut, “Tuan, kenapa kau berkata begitu? Hamba...”

“Kenapa berkata begitu?” tukas Leng-hong, “Hm, justru aku mengetahuinya dari mulutmu sendiri, bukankah kau sendiri yang mengatakan padaku ketika kupergoki dirimu di depan pintu taman pagi tadi?”

“Tuan, pagi-pagi tadi kau pergoki diriku di pintu taman? Sungguhkah itu?”

“Hm, sungguh atau tidak hanya kau yang tahu, waktu itu rambutmu kusut, pakaianmu tidak teratur, ketika kutanya padamu datang dari mana, kau bilang Kuloya menyuruhmu menemaninya tidur di Kiok-hiang-sia, benar tidak kejadian ini?”

Bwe-ji tidak menjawab, tapi sambil menutup mukanya meledaklah isak tangisnya.

“Menangis sekarang apa gunanya? Mungkin saja lantaran terlalu banyak minum arak Kuloya telah melakukan hal itu, dan sebagai orang bawahan kau tak berani menolaknya, inipun bisa dimaafkan. Dengan maksud baik kurahasiakan kejadian ini pada Hujin, tapi sekarang kau menyangkal terus, tindakanmu inilah yang tidak pantas.”

Air mata membasahi wajah Bwe-ji, ia menggeleng kepala berulang kali, “Tuan, aku tidak, Tuan pasti salah lihat, aku benar-benar tidak....”

“Sampai sekarang kau masih coba menyangkal?”

“Hamba adalah pelayan Hujin, sekalipun tolol juga tak nanti melakukan perbuatan semacam itu,” kata Bwe-ji sambil menangis, “bila Tuan tidak percaya, tanyalah Siau Lan, semalam hamba berada terus bersamanya, mohon Tuan sudi memeriksa sejelasnya....”

Tampaknya Pang Wan-kun dibuat kaget oleh isak tangis tersebut, ia lari turun dari loteng sambil membentak, “Ada apa? Siapa yang menangis macam setan menjerit?”

“O, Hujin, berilah keadilan bagi hamba,” seru Bwe-ji sambil memeluk kaki Pang Wan-kun. Secara ringkas ia lantas menceritakan apa yang dituduhkan kepadanya.

“Jit-long, apa maksudmu?” kata Pang Wan-kun sambil menarik muka, “Sebagai seorang gadis, yang paling penting adalah kehormatan, kenapa tanpa sebab kau mengarang kejadian yang membingungkan semacam ini?”

“Apa yang kuucapkan adalah sesungguhnya, semua ini kudengar dari mulutnya, justru persoalan inilah Pang-toako pergi dengan marah. Aku hanya ingin mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, aku tidak menyalahkannya, tapi ia menyangkal terus.”

“Tapi setahuku Toako selalu mengutamakan ilmu silat, tak pernah ia bermain perempuan, mana mungkin melakukan perbuatan hal demikian.”

“Tapi hal ini Bwe-ji sendiri yang mengatakan padaku, aku dengan dia tak ada dendam atau sakit hati, buat apa kufitnahnya dengan menciptakan cerita bohong?”

Wan-kun termenung sebentar, kemudian berkata, “Soal ini tidak sukar untuk diselidiki, panggil Siau Lan sebagai saksi.”

Tak lama kemudian Siau Lan muncul di situ. Ketika didengarnya apa yang terjadi, dengan tegas katanya, “Semalam, enci Bwe-ji memang selalu berada bersamaku, ketika tengah malam aku ke kakus masih kulihat ia berada di kamar, pagi tadi akulah yang membangunkan dia untuk membantu Hujin menyisir rambut.”

“Sudah kau dengar sekarang” kata Pang Wan-kun sambil melirik Leng-hong. “Apa lagi yang hendak kau katakan?”

Ho Leng-hong tidak dapat bersuara lagi, dia hanya memandang Bwe-ji dengan rasa bingung. Ia percaya tak mungkin salah melihat orang, tapi iapun tak bisa menyangkal keterangan mereka, kecuali di Thian-po-hu terdapat dua orang Bwe-ji. Kalau bukan begitu, tentunya ada orang yang menyaru sebagai Bwe-ji dan membuat kekacauan.

Tapi, bukankah dayang yang bekerja di gedung belakang ada puluhan orang banyaknya, untuk menyaru yang lain jauh lebih mudah daripada menyaru sebagai Bwe-ji, mengapa menyaru sebagai Bwe-ji?

Meskipun tujuannya menyaru sebagai Bwe-ji hanya untuk mempermudah gerak-geriknya, kenapa ia menggunakan “menemani tidur” sebagai dalihnya? Ho Leng-hong benar-benar dibuat bingung oleh teka-teki ini.

Cuma ada satu hal yang diketahuinya dengan jelas, yakni di antara Bwe-ji dan Siau Lan paling sedikit ada seorang sedang berbohong, bahkan mungkin juga kedua-duanya memang berkomplot dan sengaja berbohong. Kebetulan datang laporan dari ruang depan waktu itu bahwa tamu sudah berdatangan.

Cepat Leng-hong menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri, persoalan mengenai Bwe-ji pun tertunda untuk sementara waktu.
Thian si telinga panjang memang orang yang pandai menyelami perasaan orang. Maka ia datang paling pagi, begitu mendapat berita, dengan gerakan tercepat ia berangkat ke Thian-po-hu.

Begitu berjumpa, Thian Pek-tat tertawa lebar sampai bibirpun tak bisa merapat, dengan berseri ia berkata, “Kabar ini sungguh merupakan berita yang paling baik, saudara Cu-wi, bicara terus terang, semalam Siaute benar-benar mengusir dirimu, bagaimanakah watak kakak iparmu kita sama tahu, permainan kemarin yang dibubarkan itu memang bukan soal bagi kami, tapi sedikit banyak Nyo-heng tentu diomeli. Bagaimana, kalian tidak sampai ribut, bukan?”

“Ah, tidak apa-apa,” Leng-hong tertawa, “paling-paling cuma dinasihati dan didamprat, masa ia akan membunuhku?”

“Syukurlah kalau begitu, siapa suruh dia adalah kakaknya lenso, usianya lebih tua lagi dari kita. Ya, mendengarkan beberapa patah kata nasihatnya juga pantas, nanti kan bosan sendiri.”

“Untuk dia masih ada urusan penting, sejak pagi tadi sudah pamit pergi, mumpung ada kesempatan baik, kita harus lanjutkan permainan kemarin, kita kumpul beramai-ramai selama beberapa hari.”

“Mungkin Thian kasihan kepadaku, kemarin nasibku kurang baik dan kalah tak sedikit, siapa tahu kalau kekalahanku bersama rentenya akan kutarik kembali sekarang?!”

Tiba-tiba ia mengalihkan pembicaraan ke soal lain, lanjutnya, “Eh, jauh-jauh datang dari Cian-sui-hu, tentunya kakak iparmu itu ada urusan penting bukan?”

“Urusan penting sih tidak ada, hanya lantaran sudah beberapa tahun tak bertemu dengan isteriku, maka sengaja datang untuk menengoknya sekedar melepas rindu.”

“Kalau begitu, seharusnya ia berdiam lagi beberapa hari, kenapa ia berangkat lagi secara tergesa-gesa?”

“Siapa tahu?” Leng-hong mengangkat bahu, “pokoknya ia mau datang lantas datang, mau pergi lantas pergi, bergantung pada kemauan hatinya.”

“Siaute ada sepatah kata, mungkin aku berkuatir tanpa alasan, tapi tidak mustahil terjadi, bila kukatakan nanti harap saudara Cu-wi jangan marah.”

“Silakan bicara!”

“Menurut pendapat Siaute, bila kita mau berkumpul dan bersenang-senang, sebaiknya kita ganti tempat lain.”

“Kenapa?”

“Terus terang Siaute agak curiga tentang maksud kakak iparmu pulang ke Sengtoh, seandainya dia cuma bermaksud mencoba dirimu, pura-pura pamit pulang, tapi tahu-tahu muncul lagi, kami sih tidak apa-apa, tapi Nyo-heng yang akan kena dampratan lagi.”

“Tidak mungkin,” Leng-hong tertawa, “sekali dia berkata akan pergi, tak mungkin kembali lagi, kau tak usah kuatir.”

“Dengan dasar apa Nyo-heng merasa yakin dia tak bakal kembali lagi?”

Leng-hong sengaja berpikir sebentar, lalu bisiknya, “Sebetulnya masalah ini adalah urusan pribadi rumah tanggaku, bila kuberitahukan padamu harap kau jangan menyampaikannya lagi kepada orang lain.”

“Ah, saudara Cu-wi, bagaimanakah hubungan kita selama ini? Masakah kau masih tidak mempercayai aku orang she Thian?”

“Tentu saja aku percaya padamu,” Ho Leng-hong manggut-manggut, “cuma persoalan ini menyangkut kejelekan rumah tanggaku, mestinya tak pantas dikatakan kepada orang luar, aku cuma dapat memberi sedikit berita saja padamu, terus terang saja kakak iparku pergi lantaran malu dengan suatu perbuatan brutalnya.”

“Oya?!” Thian Pek-tat berseru heran.

Leng-hong tertawa, katanya, “Terus terang kuberitahukan kepadamu, ia tertarik oleh seorang pelayanku, tanpa sengaja perbuatannya kupergoki, lantaran malu maka iapun mohon diri secara tergesa-gesa.”

“Ah, sungguh tak kusangka,” kata Thian Pek-tat dengan tercengang, “kelihatannya saja dia begitu serius dan terpelajar, rupanya iapun seorang yang suka begituan.”

“Oleh karena itulah tak usah kuatir, sekalipun dijemput dengan tandu besar yang digotong delapan orang, tak nanti ia punya muka untuk kembali lagi ke sini.”

Sampai di sini, kedua orang itu tak dapat menahan rasa gelinya lagi, mereka mendongak dan tertawa terbahak-bahak.

Dari depan pintu masuk seseorang, dan langsung menanggapi, “Siapa yang bilang aku tak berani kemari, bukankah aku telah datang lagi?”

Yang muncul adalah Kwan-lok-kiam-kek Lo Bun-pin, ia mengenakan pakaian ringkas, tangannya menenteng hasil buruan berupa ayam hutan, kelinci liar, dan lain-lain. Begitu melangkah masuk segera katanya sambil tertawa, “Pang-lotoa sudah pergi? Inilah yang dinamakan Thian masih memenuhi harapan orang. Siaute lagi berburu, begitu mendengar berita baik ini, tidak sempat bertukar pakaian lagi segera kulari kemari, hasil buruanku ini anggap saja sebagai oleh-olehku, kita harus minum arak dan pesta pora sepuas-puasnya.”

“Saudara Lo, jangan keburu senang dulu,” kata Thian Pek-tat sambil menyongsong kedatangan rekannya, “siapa tahu kalau nasib orang akan berubah pada hari ini, kemarin Lo-heng menang banyak lantaran lagi mujur, siapa tahu kemenanganmu kemarin akan ludes hari ini.”

“Menang atau kalah apa artinya, “Lo Bun-pin tertawa, “asal dapat main, kalah sedikit uang tidak mengapa, daripada kesal di rumah memeluk bini.”

Sementara mereka bercakap-cakap, teman-teman lainnya telah berdatangan, bagaikan setan kelaparan dan setan judi yang baru dibebaskan dari neraka, serentak mereka menarik kursi dan mengatur meja untuk minum arak sambil berjudi.

Diam-diam Ho Leng-hong menghitung jumlah anggota yang datang, ternyata yang hadir kemari sekarang juga lengkap, malah ditambah pula dengan beberapa orang yang tak kelihatan kemarin, tentu saja suasana bertambah ramai.

Begitu semuanya sudah duduk, dengan suara lantang Leng-hong berkata, “Adapun maksud Siaute mengundang kehadiran saudara sekalian karena ada dua alasan. Pertama, tentu saja untuk mohon maaf kepada saudara sekalian atas sikap kasar kakak iparku kemarin....”

“Kita adalah saudara sendiri, buat apa membicarakan urusan semacam itu?” seru semua orang, “Hei, saudara Cu-wi, kenapa hari ini kau menjadi sungkan-sungkan dengan kami?”

“Meskipun kita adalah sahabat, adat kesopanan tak boleh ditinggalkan. Terutama setelah kukemukakan alasan yang kedua, kumohon kawan-kawan sekalian bersedia memenuhi harapanku ini.”

“Katakan saja terus terang, asal dapat kita laksanakan, siapa yang tidak mau anggaplah dia anak kura-kura,” sahut semua orang lagi.

Ho Leng-hong tertawa, katanya, “Maksud baik saudara sekalian Siaute ucapkan banyak terima kasih lebih dulu, padahal persoalan ini hanya menyangkut persoalan pribadiku, seperti diketahui, jauh-jauh dari Cian-sui-hu kakak iparku telah berkunjung kemari, ia ada pesan dan minta kepadaku untuk mulai berlatih sejenis ilmu silat keluarga, mungkin setelah hari ini kita akan semakin jarang bertemu lagi.”

Karena keterangan ini, gemparlah para hadirin. Ada di antaranya yang segera berkata, “Yang berlatih biarlah berlatih, yang bersenang-senang boleh bersenang-senang, buat apa Nyo-heng mesti mengurung diri dan menjauhi kawan lama?”

“Antar teman bisa berkumpul dan bersenang-senang bersama, betapa gembiranya suasana seperti ini, sekalipun mau berlatih silat juga tidak harus pantang minum arak dan berjudi?” sambung yang lain.

Bahkan ada pula yang berkata begini, “Saudara Nyo, ilmu silat macam apakah yang hendak kau latih hingga hubungan dengan para sahabatmu pun harus diputus?”

Begitulah, seketika macam-macam bisikan dan pertanyaan berkumandang memenuhi ruangan, mereka sama menujukan perasaan heran dan ragu.

Ho Leng-hong menjura, lalu katanya, “Maksud Siaute bukan hendak memutuskan hubungan dengan para kawan, perpisahan ini hanya bersifat sementara, karena harus menutup diri untuk berlatih, kita akan lebih jarang bertemu. Cuma untuk perpisahan tersebut, maka mulai sekarang kita boleh berkumpul dan bergembira sepuas-puasnya, siapapun di antara kalian tak boleh mengundurkan diri di tengah perjamuan, kita harus bermain sampai puas baru bubar, Siaute telah berpesan kepada para Busu, sebelum perjamuan bubar, tak seorangpun di antara kalian boleh meninggalkan gedung ini. Di samping itu pihak dapur telah menyiapkan hidangan yang takkan berhenti, kita akan pesta pora sepanjang hari, paling sedikit tiga hari, tiga malam pesta ini akan terus berlangsung.”

Mereka yang hadir ini sebagian besar adalah anak orang kaya, mereka lupa diri setlah mendengar perkataan itu, serentak mereka berteriak menyatakan akur. Maka pesta segera diselenggarakan, meja judi pun disiapkan, dengan riang gembira para tamu mengambil tempat duduk dan mulai berpesta pora.

Selama pesta gila-gilaan berlangsung, Leng-hong sangat memperhatikan gerak-gerik Thian Pek-tat, ia lihat meski orang ini ikut minum arak dan berjudi seperti lain-lainnya, namun sering kali keningnya berkerut, seakan-akan ada sesuatu hal yang membuat perasaannya tidak tenang.

Thian Pek-tat datang paling cepat, dia pula yang amat menaruh perhatian terhadap kepergian Pang Goan, mungkinkah dia yang diam-diam bersekongkol dengan pihak lawan? Tanpa terasa Leng-hong teringat kembali pada kematian Siau Cui, lalu kematian pesuruh Hong-hong-wan dan Go So yang dibunuh untuk melenyapkan saksi hidup.

Semua itu hakikatnya berhubungan dengan Thian Pek-tat, hal ini membuat Leng-hong semakin curiga. Bila ditinjau dari pelbagai gejalanya, meski Thian Pek-tat bukan otak dari pencurian golok mestika itu, paling sedikit ia sudah dibeli oleh pihak lawan, bahkan mungkin dia pula orangnya yang mengadakan perundingan rahasia dengan gadis baju hijau di luar Kiok-hiang-sia itu.
Tak lama setelah perjudian dimulai, benar juga, Thian Pek-tat mengalami kekalahan total. Sambil berpura-pura menaruh perhatian Leng-hong menepuk bahunya, lalu berkata seraya tertawa,

“Siau Thian, tampaknya hari ini nasibmu kurang mujur, beristirahatlah dahulu.”

Thian Pek-tat menggeleng kepala berulang kali, ia berikan tempatnya untuk Lo Bun-pin, lalu berdiri. Pada kesempatan itu sengaja Leng-hong mengajak Thian Pek-tat ke luar rumah, lalu bisiknya, “Kalah berapa kau?”

“Tidak banyak, tiga laksa lebih, entah kenapa, hari ini aku memang lagi sial,” Thian Pek-tat tertawa getir.

“Tidak menjadi soal,” kata Leng-hong dengan tertawa, “tiga laksa tahil perak bisa direbut kembali dengan sekali permainan, kalau modalnya kurang katakan saja kepadaku.”

“Oh, uang sejumlah itu masih bisa kutanggung. Cuma kartu itu yang sialan, bikin orang menjadi penasaran saja.”

“Aku lihat sikapmu tidak tenang, seakan-akan ada rahasia dalam hatimu, apa gerangan yang kau pikirkan?”

Thian Pek-tat seperti agak terkejut, cepat katanya, “Ah, tidak! Atau mungkin Nyo-heng melihat sesuatu yang tidak beres atas diriku?”

“O, tidak, aku hanya merasa konsentrasimu buyar, hatimu tak tenang dan perhatianmu tak dapat terpusat di meja judi.”

Tiba-tiba Thian Pek-tat berseru dengan suara tertahan sambil tertawa, “Ah, benar, setelah disinggung saudara Nyo, Siaute menjadi ingat kembali. Padahal juga tidak terhitung rahasia besar, selama ini Siaute hanya teringat dengan ucapan yang Nyo-heng katakan tadi, dan hatiku terasa agak sedih.”

“Oh? Perkataan apa yang kau maksudkan?”

“Aku ini meski luas pergaulan, tapi paling tidak suka menyanjung dan menjilat, bicara terus terang, di antara sekian banyak teman, Siaute merasa paling cocok dan paling menaruh hormat terhadap Nyo-heng.”

Leng-hong cuma tertawa saja dan tidak memberi tanggapan apa-apa.

“Oleh sebab itu,” demikian Thian Pek-tat melanjutkan, “ketika kudengar pengumuman Nyo-heng yang bermaksud menutup diri sementara waktu untuk melatih sejenis ilmu silat, tiba-tiba saja Siaute merasa berat hati dan amat sedih.”

“Ya, apa boleh buat? Hal ini terpaksa harus kulakukan, untung yang harus kulatih adalah ilmu silat keluargaku sendiri, percayalah masa tirakat diriku tak akan berlangsung terlalu lama.”

“Saudara Cu-wi,” kata Thian Pek-tat pula dengan wajah serius, “maafkan bila ada kata-kataku yang sembrono, terhadap musibah yang menimpa Thian-po-hu, meski Siaute adalah orang luar, sedikit banyak cukup tahu keadaan yang sebenarnya. Bersahabat memang penting, tapi berlatih untuk membangun kembali nama baik keluarga jauh lebih penting daripada segalanya, terhadap hal ini memang Nyo-heng tak boleh teledor.”

Ketika mendengar kata “membangun kembali nama baik keluarga”, satu ingatan tiba-tiba terlintas dalam benak Ho Leng-hong, segera ia bertanya, “Siau Thian, berapa banyak yang kau ketahui tentang persoalan keluarga kami?”

“Dulu ketika kakakmu yang menjadi ketua gedung ini, Siaute kurang begitu rapat hubungannya dengan Thian-po-hu, apa yang kudengar pun hanya berita selentingan di luar, jadi apa yang kuketahui hanya sedikit sekali.”

“Oya?! Apa yang dibilang orang luar?”

“Ah, tidak lebih cuma berkisar pada kekalahan kakakmu dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe serta usaha Thian-po-hu untuk meminang puteri Cian-sui-hu dengan menyerahkan golok mestika kalian kepada pihak perempuan.”

“Oo!” Leng-hong bersuara tertahan, pikirnya, “Dugaanku ternyata benar, Lo-hu-to-hwe di selenggarakan di Leng-lam, tentu masalah ini ada hubungan dengan pihak Hu-yong-shia.”

Dalam hati ia berpikir demikian, di luar sengaja menghela napas sambil tunduk kepala dan membungkam. Padahal yang benar ia sedang menunggu komentar Thian Pek-tat lebih lanjut.

Benar juga, dengan penuh perhatian Thian Pek-tat berkata lagi, “Saudara Cu-wi, kita boleh dibilang ada jodoh, syukur engkau menganggapku sebagai sobat karibmu, maka aku ingin memberi nasihat padamu. Dengan ilmu golok warisan Thian-po-hu ditambah dengan golok mestika Yan-ci-po-to sepantasnya kalian tak sampai kalah dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe, tahukah kau apa sebabnya kakakmu sampai menderita kekalahan total?”

Darimana Ho Leng-hong bisa tahu, terpaksa ia menggeleng kepala belaka.

“Kekalahan yang diderita kakakmu bukan lantaran ilmu silatnya tak dapat menandingi orang, sebetulnya ia dikalahkan oleh satu huruf.”

“Huruf apa?” tanya Leng-hong sambil melengak.

“Perempuan!” air muka Thian Pek-tat berubah menjadi serius, “ketika itu kakakmu masih muda dan berdarah panas, tapi ia telah terjebak oleh Bi-jin-keh (siasat perempuan cantik), bukan saja rahasia ilmu golok Po-in-pat-tay-sik telah dibocorkan, sebelum bertanding iapun kena dicelakai lebih dulu sebab itulah gelar Thian-he-te-it-to (golok nomor satu di dunia) terpaksa diserahkan kepada pihak Hiang-in-hu.”

Hiang-in-hu?! ternyata benar Hiang-in-hu dari Hu-yong-shia di wilayah Leng-lam.

Tak dapat dilukiskan perasaan Leng-hong ketika itu, entak kejut atau bergirang ataukah terbangkit semangatnya? “Siau Thian, darimana kau tahu tentang persoalan ini?” buru-buru ia tanya.

Thian Pek-tat tertawa, ia menjawab, “Meski hal ini merupakan suatu rahasia besar, tapi mana bisa lolos dari pendengaranku si telinga panjang. Terus terang kukatakan padamu, ada seorang Bu-lim-cianpwe yang telah membocorkan rahasia ini, waktu itu Cianpwe tersebut ikut dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe, dengan mata kepala sendiri ia saksikan kakakmu menderita kekalahan total, rupanya peristiwa itu menimbulkan kecurigaannya, kemudian setelah dilakukan penyelidikan secara diam-diam, terbuktilah bahwa apa yang dicurigainya memang betul.”

“Tapi belum pernah kakakku menceritakan kejadian itu padaku.”

“Setelah terkena siasat Bi-jin-keh lawan, tentu saja ia merasa malu untuk menceritakan kejadian ini kepadamu. Cuma bila kita tinjau apa yang diatur dan dipersiapkannya sebelum meninggalkan tempat ini, dapat kita simpulkan bagaimanakah perasaan hatinya waktu itu.”

“Oya?” Leng-hong berseru heran.

“Dengan Yan-ci-po-to sebagai alasan, kakakmu berangkat ke Cian-sui-hu, jelas dia ingin menggunakan ilmu pedang Cian-sui-hu untuk menutupi kelemahan Po-in-to-hoat keluargamu, di samping itu, iapun berharap dengan kecantikan serta kebijaksanaan nona Wan-kun kehidupanmu bisa dikendalikan sehingga tak sampai terperosok lagi seperti apa yang dialaminya.”

Diam-diam Leng-hong mengenang kembali perkataan Pang Goan, mau-tak-mau dia harus mengakui ucapan Thian Pek-tat ini memang masuk di akal. Hanya ada satu hal yang tidak dipahami, yaitu kenapa Thian Pek-tat memberitahukan hal ini kepadanya? Jika Thian Pek-tat adalah orang pihak Hiang-in-hu, lebih-lebih tidak seharusnya membongkar rahasia ini.

Ketika melihat rekannya hanya diam saja, Thian Pek-tat berkata pula, “Saudara Cu-wi, selama ini kita hanya berpesta pora dan berfoya-foya, urusan yang penting memang telah kita abaikan sekian lama, untuk menambal kekurangan kita di masa lalu, rasanya belum terlalu terlambat, sebagai sahabat aku berkewajiban memberi nasihat, selanjutnya hendaknya kau bangkit menjunjung kembali nama baik Thian-po-hu, sebab cita-cita luhur kakakmu terletak dia atas pundakmu.”

Leng-hong mengangguk.

Tiba-tiba Thian Pek-tat berbisik, “Seperti tindakanmu menyelidiki Hong-hong-wan tempo hari, sejak kini mesti diperhatikan sebaik-baiknya, siapa tahu kalau tempat itu adalah perangkap yang telah diatur oleh pihak Hiang-in-hu.”

Mendengar perkataan ini, Leng-hong merasa terkejut, baru saja dia hendak bersuara, saat itu kebetulan Lo Bun-pin muncul. Begitu bertemu, orang she Lo itu lantas berseru dengan suara lantang, “Hai, apa yang kalian rundingkan di sini? Cepat masuk ruangan, kini Lo Cin lagi mujur besar, semua orang tak mampu menahan kehebatannya.”

Dengan cepat Thian Pek-tat berganti sikap lain, katanya sambil tertawa, “O, ya?! Lo Cin lagi jagoan sekarang? Itulah yang dinamakan: bila di gunung tak ada harimau, monyet pun menjadi raja. Hayo berangkat, biar aku orang she Thian ringkus monyet itu!”

Begitulah mereka bertiga lantas masuk kembali ke arena judi. Leng-hong sudah tidak berhasrat untuk berjudi lagi, setelah melayani sekian lama, ketika senja hampir tiba, ia mengundurkan diri, dan kembali ke taman belakang.

Pang Goan hanya berjanji akan mengadakan dua kali pertemuan dalam sehari, pagi sekali dan malam sekali, tapi ia tidak menetapkan waktu yang tepat. Dengan tergesa-gesa Leng-hong melakukan pencarian di sekitar taman, tapi tak sesosok bayangan manusia pun ditemukan, selagi gelisah, mendadak di antara embusan angin ia merasa ada suara pembicaraan orang.

Di mana Ho Leng-hong berada sekarang adalah tepi hutan buatan yang tadi pagi digunakan Pang Goan untuk berlatih silat, suara pembicaraan itu berasal dari balik hutan sana, seperti ada dua orang sedang berbisik-bisik di sana, tapi apa yang sedang mereka bicarakan tidak kedengaran jelas. Setelah diperhatikan sekian lama, Leng-hong hanya dapat membedakan bahwa suara itu berasal dari dua orang perempuan.

Sesungguhnya Leng-hong ingin menghardik kedua orang itu, tapi ingatan lain mencegahnya untuk berbuat begitu, agar tidak “mengusik rumput mengejutkan ular”, ia tidak masuk ke hutan, tapi ia melayang ke atas pohon dan bersembunyi di antara daun yang rimbun.

Tak lama kemudian, suara pembicaraan itu berhenti, menyusul lantas kedengaran suara langkah orang yang perlahan. Dua orang gadis berjalan keluar dari balik hutan sambil bergandengan tangan. Leng-hong bersembunyi di atas pohon dengan menahan napas, dilihatnya kedua gadis itu lewat di bawah pohon, dan terlihat jelas bahwa kedua orang itu tak lain adalah Bwe-ji dan Siau Lan.

Bwe-ji menenteng sebuah keranjang bunga, di dalamnya terdapat beberapa tangkai bunga sedap malam. Siau Lan membawa cangkul kecil, di ujung cangkul masih tersisa sedikit tanah lumpur. Sepintas lalu kedua orang itu seperti baru saja menanam bunga, tapi mengapa menanam bunga di waktu malam? Lebih tak mungkin lagi kalau menanam bunga di dalam hutan yang penuh pepohonan.

Gerak-gerik kedua orang itu sangat rahasia dan mencurigakan, setelah keluar dari hutan, mereka celingukan dulu ke sana kemari, sesudah yakin di sekitar situ tak ada orang, segera mereka melompat keluar dengan cepat, sesudah jauh dari pepohonan, langkah mereka baru diperlambat.

Kedengaran Bwe-ji sedang berbisik lirih, “Lebih baik kita berpisah di sini saja, ingat, suruh dia datang tengah malam nanti, dan jangan lupa harus berhati-hati.”

“Aku tahu, kau sendiri juga mesti berhati-hati, jangan sampai dilihat orang lain,” jawab Siau Lan.

Kedua orang itu berpisah di tepi hutan, Bwe-ji menuju ke timur dan kembali ke loteng, sedang Siau Lan ke barat dan menuju ke pintu taman belakang.

Leng-hong segera memutuskan untuk menguntit Siau Lan, dia ingin tahu manusia macam apakah yang hendak ditemuinya, tapi baru saja dia hendak melompat turun, tiba-tiba dari atas kepalanya menyambar turun sebuah tangan dan mencengkeram kuduk bajunya.

Saking terkejutnya hampir saja Leng-hong berseru, cepat ia mendongak ke atas, ternyata Pang Goan yang nongkrong di antara rimbunnya dedaunan. Ketika melompat ke atas pohon tadi, pemuda itu tidak mengetahui di atas pohon sudah hadir seorang yang lain, diam-diam ia merasa malu, dengan suara serak katanya, “Lotoako, sudah kau lihat kedua orang dayang itu?”

Pang Goan mengangguk, “Aku datang lebih dulu dari mereka berdua, tentu saja dapat kulihat dengan jelas.”

“Apakah kau tahu perbuatan apa yang mereka lakukan di dalam hutan ini?” tanya Leng-hong.

“Rupanya sedang menanam suatu benda.”

“Menanam sesuatu benda? Benda apa yang mereka tanam?”

“Aku tidak jelas benda apa yang mereka tanam, Cuma...“ tiba-tiba ia tertawa lebar, “bila nasib kita tidak jelek, kemungkinan besar itulah benda yang sedang kita cari.”

“Golok mestika Yan-ci-po-to?” Leng-hong berseru tertahan.

Sambil tertawa Pang Goan manggut-manggut, katanya, “Padahal mestinya kita dapat berpikir ke situ. Ketika fajar tadi dayang tersebut kaupergoki tanpa sengaja, ia berada dalam keadaan tangan hampa tanpa membawa sesuatu, bila kita pikirkan, bisa disimpulkan tentunya karena hari sudah terang tanah, mereka tak sempat menyelundupkan benda curian itu keluar.”

“Benar,” seru Leng-hong sambil bertepuk tangan, “Jika golok mestika itu berhasil diselundupkan keluar gedung, sudah pasti mereka akan kabur meninggalkan tempat ini, dan tak mungkin tetap tinggal di sini menempuh bahaya.”

“Sesudah mengetahui isi kotak itu ternyata golok palsu, mestinya mereka menyadari golok asli tak dapat dicuri semudah itu, kemudian karena aku kurang berhati-hati sehingga tempat menyimpan golok pusaka itu diketahui mereka dan benda itu berhasil mereka dapatkan, tapi karena tak sempat lagi menyelundupkannya keluar, terpaksa mereka menanamnya lebih dulu di sini.”

“Tapi seandainya pada saat terakhir mereka putuskan untuk menanam golok pusaka itu, sepantasnya benda itu di tanam di sekitar Kiok-hiang-sia, kenapa tidak disembunyikan di tempat yang dekat, sebaliknya malah menanamnya di hutan yang jauh letaknya sini.”

“Apa yang perlu diherankan lagi?” Pang Goan tertawa, “mula-mula tentunya mereka akan menyembunyikannya di sekitar Kiok-hiang-sia, tapi lantaran tempat tersebut luas dan dekat air, mungkin sulit untuk digali, maka terpaksa malam-malam begini mereka menanamnya di sini.”

Begitulah, hasil analisa kedua orang ini menunjukkan golok mestika Yan-ci-po-to bukan saja belum meninggalkan gedung Thian-po-hu, benda tersebut pasti ditanam di dalam hutan ini oleh Bwe-ji dan Siau Lan.

Ho Leng-hong merasa semangatnya berkorbar, katanya, “Sungguh atas berkah Thian, Lotoako, mari kita gali golok pusaka itu, kemudian baru kita menunggu sang kelinci keluar dari liangnya, bila tengah malam nanti mereka datang untuk mengambil golok, kita ringkus mereka semua.”

Pang Goan menyatakan akur, bahkan pesannya, “Sebentar bila sudah mendapatkan kembali golok mestika tersebut, lebih baik kau kembali ke ruang depan dan jangan menunjukkan tanda apa-apa, kita bukan saja mendapatkan kembali golok mestika itu, yang lebih penting adalah menyelidiki siapakah yang berdiri di belakang layar dalam peristiwa ini.”

“Siaute sudah melakukan pengamatan secara diam-diam, aku rasa Thian Pek-tat merupakan orang yang mencurigakan.”

Secara ringkas iapun menceritakan apa yang dialaminya selama berada di ruangan depan tadi. Selesai mendengarkan penjelasan tersebut, Pang Goan tidak memberi komentar apa-apa, dengan suatu gerakan lincah dia merosot turun ke bawah pohon dan masuk ke hutan untuk mencari tempat penanaman golok.

Orang lain memberi poyokan padanya sebagai “Monyet Pang”, kenyataannya bukan saja tampangnya mirip monyet, ternyata kepandaiannya memanjat pohon juga lebih lincah daripada monyet, caranya menerobos hutan, bukan saja gesit, juga cepat luar biasa.

Tak berapa lama kemudian, dengan mudah mereka berhasil menemukan sebuah gundukan daun busuk di tengah hutan, tampak jelas daun-daun busuk itu pernah disentuh orang. Dengan kedua tangannya, Pang Goan membongkar daun-daun busuk itu, benar juga di bawah tumpukan daun tadi ditemukan tanah lumpur yang barusan digali, bahkan diberi pula sebuah tanda sebagai tanda.

“Nah, pasti di sini tempatnya,” kata Leng-hong “harap Lotoako tunggu sebentar, akan kucarikan sebuah cangkul.”

“Hanya tanah lumpur saja, buat apa pakai cangkul?”

Sambil berkata, dengan kesepuluh jari tangannya yang dipentangkan bagaikan cakar ia menggali tanah tersebut, sekali mencengkeram segumpal tanah lantas diangkatnya. Orang ini memang tangguh, kedua tangannya ternyata lebih berguna daripada cangkul, tak lama kemudian tergali sebuah liang besar. Benar juga, di dalam liang tertanam satu kotak panjang yang dibungkus dengan kain minyak.

Pang Goan menengadah dan menarik napas panjang, katanya dengan perasaan lega, “Ai, akhirnya benda mestika ini berhasil ditemukan kembali, mungkin arwah kakakmu melindungi kita, juga takdir telah menetapkan bahwa Thian-po-hu harus mengembangkan kembali nama baiknya.”

Dengan tatapan tajam Leng-hong memperhatikan bungkusan kain minyak itu sekian lama, tiba-tiba katanya, “Lotoako jangan keburu gembira lebih dulu, kulihat isi bungkusan ini rada mencurigakan.”

“Oya?” desis Pang Goan kaget. “Seandainya bila bungkusan ini sudah ditanam selama sehari di sini, bila digali keluar lagi tentu akan memperlihatkan tanda kelembaban, tapi kain minyak ini tampak kering dan masih baru, jelas belum lama ditanam di sini....”

Belum habis kata-katanya, buru-buru Pang Goan membuka bungkusan kain minyak itu, isi bungkusan itu memang sebilah golok besar. Cuma golok tersebut bukan golok mestika Yan-ci-po-to yang sedang mereka cari, golok ini hanya sebilah golok biasa yang umum.

Kontan saja Pang Goan mendengus marah, katanya, “Kurang ajar benar kedua perempuan anjing itu, berani betul mereka melakukan siasat licik ini untuk menipu kita.”

Leng-hong berpikir sebentar, lalu katanya, “Namun ada satu hal yang mencurigakan, darimana mereka tahu kita bakal datang dan menyiapkan lebih dulu sebatang golok palsu ini?”

“Mungkin kedua orang perempuan hina itu sengaja bermaksud mengambil golok mestika pada waktu malam, tapi tiba-tiba melihat kaupun berada di taman sini, maka pada saat terakhir mereka ganti siasat dan sengaja menanam golok biasa di sini, lalu pada kesempatan kita sedang menggali di sini, mereka gunakan peluang tersebut untuk menyelundupkan golok mestika itu keluar, untuk mendapatkan sebilah golok biasa dalam Thian-po-hu kan tidak sukar?”

“Seandainya....”

“Jangan pakai seandainya, untung belum terlambat, golok mestika Yan-ci-po-to itu pasti masih berada di sekitar Kiok-hiang-sia, kalau kita lakukan pengejaran sekarang, mungkin masih belum terlambat.”

Rasa gusar, gemas dan cemas membuat tokoh Cian-sui-hu ini ingin sekali melompat mencapai Kiok-hiang-sia, ketika kata terakhir diucapkan, bagaikan angin ia sudah melayang keluar dari hutan sana.

Cepat Leng-hong mengikut di belakangnya. Tapi tak lama setelah keluar hutan, tiba-tiba Leng-hong menarik ujung baju Pang Goan sambil berbisik, “Lotoako, harap tunggu sebentar.”

“Tunggu apa?” tanya Pang Goan sambil berhenti.

Leng-hong tidak menjawab, ia celingukan sejenak memandang sekeliling tempat itu, lalu menariknya masuk kembali ke dalam hutan.

“Hei, apa yang kau lakukan?” tegur Pang Goan keheranan, “Kau tahu, waktu sudah mendesak, jangan sampai kehilangan waktu yang berharga.”

Ho Leng-hong menggoyangkan tangannya berulang, katanya dengan suara parau, “Bagaimana juga Siaute merasa di balik kejadian ini masih ada hal lain yang mencurigakan, Lotoako boleh melakukan pemeriksaan di sekitar Kiok-hiang-sia, tapi jangan sampai jejakmu ketahuan orang, sedang Siaute akan tetap menunggu saja di sini.”

“Apa yang hendak aku tunggu di sini?”

“Siaute mempunyai suatu firasat, bila golok mestika Yan-ci-po-to tiada di Thian-po-hu, maka kemungkinan besar benda tersebut masih berada dalam hutan ini.”

Pang Goan berpikir sebentar, kemudian katanya, “Baiklah, kau boleh tinggal di sini, sedang aku akan melakukan pemeriksaan di sekitar Kiok-hiang-sia, bila di sana tidak berhasil kutemukan sesuatu, aku akan segera kembali ke sini.”

Leng-hong membiarkan Pang Goan berlalu, ia tunggu bayangan orang sudah tak tampak baru kembali ke tepi liang penyimpan golok tadi. Mula-mula ia masukkan dulu golok tersebut ke tempatnya semula, lalu ditimbun dengan tanah dan akhirnya diberi saputangan dan ditutup pula dengan daun busuk.

Ketika segala sesuatunya sudah beres, Leng-hong baru melayang kembali ke atas dahan pohon, menutupi badannya dengan dedaunan dan menunggu di sana dengan tenang. Apa yang dinantikan? Ia sendiripun tak dapat menerangkan, tapi bagaikan seorang pemburu yang berpengalaman ia menunggu dengan penuh kesabaran dan penuh rasa percaya pada diri sendiri.

Sekian lama sudah, tapi suasana tetap hening, Pang Goan juga belum kembali. Leng-hong tetap duduk diam di atas pohon, ia perhatikan suasana di sekeliling tempat itu dengan seksama. Lewat sekian lama pula, suasana di sekeliling situ tetap hening, sama sekali tiada suatu yang mencurigakan. Leng-hong mulai gelisah….. bukan karena dugaannya keliru, tapi merasa kuatir atas keselamatan Pang Goan yang pergi dan tak kembali lagi itu.

“Sret!” mendadak terdengar suara enteng, tahu-tahu di bawah pohon telah bertambah dengan sesosok bayangan manusia. Sungguh cepat kemunculan orang ini, suara gemersik dan kelebatan bayangan hampir terjadi pada saat yang sama, baru saja desir angin terdengar tahu-tahu orang itu sudah berada di bawah pohon.

Betapa kejut Leng-hong, ia nyaris terjatuh dari atas pohon. Apalagi setelah melihat jelas raut wajah serta dandanan orang itu, hampir ia menjerit kaget. Orang ini mengenakan gaun berwarna kuning telur, ternyata tak lain adalah Pang Wan-kun.

Gerak-gerik Pang Wan-kun kelihatan agak gugup, tampaknya ia tak menyangka di atas pohon bersembunyi seseorang, dengan sorot mata tajam ia awasi tempat penyimpanan golok itu, lalu mencabut sebilah pisau belati dan mulai menggali tanah dengan tergesa-gesa.

Sesungguhnya Leng-hong hendak menegurnya, tapi setelah menyaksikan keadaan itu ia urungkan niatnya. Pang Wan-kun bukan cuma gugup, baju dan rambutnya juga kusut tak teratur, pula bahu kirinya kelihatan berdarah, jelas ia terluka. Sebab apa ia terluka? Darimana ia tahu golok mestika itu disembunyikan di sini? Mengapa ia gugup? Apa yang hendak digalinya….

Semua pertanyaan itu dengan cepat telah memperoleh jawabannya. Pang Wan-kun bekerja dengan cepat, tak seberapa lama golok berbungkus kain minyak itu sudah tergali keluar. Tapi ia tidak memperhatikan golok tersebut dan dibuang begitu saja ke samping, lalu melanjutkan pekerjaannya menggali liang.

Tak lama kemudian, dari dalam liang ia mengeluarkan pula suatu bungkusan yang lain. Mencorong sinar mata Ho Leng-hong, cukup sekilas pandang saja ia lantas mengenali benda itu sebagai bungkusan yang digunakannya untuk menyimpan golok Yan-ci-po-to semalam.

Kiranya benda yang disembunyikan Bwe-ji dan Siau Lan memang benar-benar adalah golok mestika Yan-ci-po-to, cuma pada lapisan yang atas mereka taruh pula sebilah golok biasa. Kecuali menyaksikan dengan mata kepala sendiri, siapa yang akan menduga di dalam liang telah ditanam dua bilah golok yang berbeda?

Ho Leng-hong tak menyangka, Pang Goan yang cerdik dan teliti pun tak mengira. Tapi, dari mana Pang Wan-kun bisa tahu? Melihat gelagatnya, bukan saja ia tahu tentang penyimpanan golok mestika itu, bahkan bisa jadi Bwe-ji dan Siau Lan melakukan pekerjaan itu atas perintahnya...

Pelbagai pikiran berkecamuk dalam benak Ho Leng-hong, meskipun ia merasa terkejut, macam-macam tanda tanya selama beberapa hari akhirnya tersingkap juga, dengan enteng ia lantas melayang turun ke bawah.

Waktu itu Pang Wan-kun sedang membuka kain yang membungkus golok tersebut, betapa terperanjatnya demi melihat kemunculan Ho Leng-hong, air mukanya berubah hebat, sambil mundur dua-tiga langkah ia sembunyikan golok mestika itu di belakang punggungnya.

Leng-hong tertawa lebar, katanya, “Hah, tak kau sangka bukan, bahwa aku akan muncul di sini?”

Dengan tangan kiri masih disembunyikan di belakang punggung, Pang Wan-kun menepuk dadanya dan mengembuskan napas, katanya sambil tertawa, “Ai benar-benar tak kusangka, Jit-long kau bikin kaget padaku saja.”

“Nona, kupikir sebutan di antara kita kini perlu diganti,” kata Leng-hong sambil tertawa.

“Kenapa?”

“Sebab kau bukan Pang Wan-kun, dan kaupun tahu aku bukan Nyo Cu-wi, sandiwara suami-isteri sudah berlangsung hingga kini, apakah tidak perlu diakhiri saja?”

“Aku tidak paham akan maksudmu!”

Ho Leng-hong mendesak maju selangkah, lalu katanya lagi dengan suara tertahan, “Apa susahnya untuk memahami? Tujuan kalian adalah mencuri golok mestika Yan-ci-po-to, sebenarnya urusan ini tak ada sangkut pautnya denganku, tapi dengan pelbagai akal muslihat kalian telah menyeretku terjerumus ke dalam pusaran air ini.”

Bergetar badan Pang Wan-kun, ditatapnya wajah Ho Leng-hong dengan tajam, ia tidak membenarkan pun tidak menyangkal ucapannya. Leng-hong menjadi semakin bangga, katanya lebih lanjut,

“Kalau dipikir kembali, sungguh aku amat bodoh. Selama ini, hampir saja kuanggap diriku benar-benar adalah Nyo Cu-wi, tak lama berselang akupun masih menganggap kau sebagai Pang Wan-kun yang sesungguhnya, tapi sekarang aku telah paham. Cuma, nona, dengan berani kau menyamar sebagai majikan perempuannya gedung Thian-po-hu, begini persis samaranmu sehingga Pang-toako pun terkelabui, hal ini membuktikan bahwa kecerdikan maupun keberanianmu sungguh sangat mengagumkan.”

Pang Wan-kun berkedip-kedip seperti orang bingung, katanya dengan ragu, “Jit-long, kau omong apa? Jangan-jangan menyakitmu kumat lagi?”

“Ya, mungkin saja penyakitku kumat lagi,” kata Leng-hong sambil tertawa, “tapi sekali ini untung hadir seorang tabib sakti di sini. Nona, asal kau serahkan golok Yan-ci-po-to itu kepadaku, lalu kita bersama-sama menghadap Pang-lotoa, siapa yang sakit dan siapa yang tidak dengan cepat pasti akan diketahui.”

“Hei, apa yang kau maksudkan dengan golok Yan-ci-po-to? Di mana ada Yan-ci-po-to?”

“Itu dia, di belakang punggungmu! Bagaimanapun kita sudah menjadi suami-isteri, lebih baik serahkan sendiri kepadaku, sebab kalau terpaksa harus kugunakan kekerasan, tentu akan lenyaplah semua hubungan kasih mesra suami-isteri antara kita berdua.”

Pang Wan-kun mengulurkan tangan kirinya dan memperlihatkan sarung golok ke depan, katanya, “Apakah golok ini yang kau maksudkan sebagai Yan-ci-po-to?”

“Masa bukan? Kukenal dengan jelas kain pembungkus golok itu, dan lagi pada gagang golok terdapat huruf yang gemerlapan...“

Pang Wan-kun menghela napas panjang, ia sodorkan sarung golok itu ke depan Leng-hong, katanya, “Ai, kalau kau ngotot mengatakan golok ini adalah golok mestika Yan-ci-po-to segala, nah ambil dan lihatlah sendiri.”

“Ya, aku memang ingin memeriksanya dengan seksama, mana mungkin kusalah lihat....”

Baru saja tangannya memegang ujung sarung golok, baru disadarinya bukan salah melihat terhadap goloknya melainkan orangnya. Waktu Pang Wan-kun menyodorkan golok itu kepadanya, ekor sarung golok itu tertuju ke arah Ho Leng-hong dengan gagang golok menghadap ke arahnya sendiri, dan tatkala anak muda itu memegang sarung golok, tiba-tiba ia membalik telapak tangannya dan tahu-tahu gagang golok telah tergenggam.

“Creng!” cahaya tajam gemerlapan, golok itu secepat kilat sudah dilolos dari sarungnya.

Ho Leng-hong hanya merasa ketiaknya tersambar angin dingin, cepat ia lepaskan pegangan sambil melompat mundur, tapi antara pinggang dan perut telah tersayat suatu luka sepanjang tujuh delapan inci, dara segera mengucur keluar.

Pang Wan-kun membalik lagi tangan kanannya dan meraih sarung golok dari tangan Leng-hong, katanya sambil tertawa dingin kepada Leng-hong, “Mengingat hubungan suami-isteri, kuampuni jiwamu dari tebasan golok tadi, maka lebih baik jangan kau terangkan asal-usulmu kepada si monyet Pang, sebab jika ia sampai mencari tahu jejak Nyo Cu-wi dan isterinya, maka kau pun akan mengalami kesulitan sendiri.”

Selesai berkata ia masukkan goloknya ke dalam sarung, lalu memutar badan dan berlalu dari situ. Dengan sempoyongan Leng-hong memburu maju tapi darah segar mengucur lebih deras dari lukanya, tenggorokkan terasa kering seperti terbakar, kepala pusing dan hampir roboh. Ia sadar musuh tak mungkin terkejar, terpaksa ia himpun tenaga dan berteriak keras-keras, “Pang-toako.... Pang-toako....”

Tapi sebelum mendengar suara jawaban Pang Goan, robohlah dia tak sadarkan diri.

* * *

Entah sudah lewat beberapa lama, entah apa pula yang terjadi kemudian. Ketika Ho Leng-hong mengendus bau harum bunga dan membuka matanya, baru diketahuinya dirinya berbaring dalam Kiok-hiang-sia.

Duduk di kursi di tepi pembaringan seorang nyonya muda berwajah cantik sedang menundukkan kepala sambil menyulam kain sarung bantal. Dipandang dari samping, jelas nyonya cantik ini bukan lain adalah Pang Wan-kun. Sungguh tidak kepalang kaget Ho Leng-hong, hampir saja ia melompat bangun dari pembaringan.

Tapi baru saja setengah badannya terangkat, lambungnya terasa sakit sekali, ia mengeluh dan roboh kembali ke atas bantal. Rintihannya mengejutkan Pang Wan-kun yang duduk di sampingnya, buru-buru ia menaruh sulamannya dan berpaling, lalu sapanya dengan tersenyum,

“Jit-long, kau telah sadar? Tidur saja dengan tenang, jangan sampai pecah lagi lukamu.”

Dengan sorot mata kaget, gusar, mendongkol dan cemas Leng-hong melototi nyonya itu, seakan-akan sedang berhadapan dengan setan iblis yang menyeramkan.

Pang Wan-kun tertawa manis, pelahan ia membetulkan ujung selimut, katanya, “Kenapa kau melotot padaku? Seperti tidak kenal aku lagi?”

“Hm, kau perempuan siluman, tak kusangka kau masih berani tinggal di sini!”

“Kenapa aku tak boleh tinggal di sini? Tempat ini adalah Thian-po-hu, rumah kita...”

“Cis!” sungguh Leng-hong ingin meludahi nyonya muda tersebut, katanya sambil menggigit bibir, “apa yang kau inginkan sudah didapatkan, kenapa tidak lekas angkat kaki? Kau anggap aku tak berani membongkar rahasiamu ini kepada Pang-toako?”

Wan-kun sama sekali tidak marah, dengan tenang katanya, “Jit-long, agaknya penyakit gilamu kambuh lagi!”

“Kau sendiri yang gila,” teriak Leng-hong dengan marah, “terus terang kukatakan padamu, aku hendak...”

“Kau hendak bilang apa? Terhadap siapa? Jit-long, kuanjurkan lebih baik tenanglah dulu, sekarang semua orang tahu kau mengidap penyakit gila, apapun yang kau katakan tak akan dipercaya oleh siapapun.”

“Semua kejadian akan kusingkap, kau yang mencuri Yan-ci-po-to, kau juga yang melukai diriku.”

Wan-kun tertawa tak acuh, “Terserah apa katamu, pokoknya Toako sudah tahu Bwe-ji dan Siau Lan yang mencuri golok itu, dan kau terluka di tangan seorang berkerudung, untung aku datang tepat pada waktunya hingga jiwamu selamat, malah akupun terluka karena berusaha menolongmu, sedang orang berkerudung itu berhasil meloloskan diri.”

“Tapi kutahu Bwe-ji dan Siau Lan mendapat perintahmu, atau paling sedikit mereka adalah dayang-dayang kepercayaanmu, bagaimanapun jua tak mungkin kau tak tahu menahu akan perbuatan mereka.”

“Ya, memang, mereka adalah dayang-dayang kepercayaanku, tapi bukan aku yang membawa mereka dari Cian-sui-hu, jika mereka sampai bersekongkol dengan orang luar, apa aku yang bertanggung jawab?”

“Hm, cepat atau lambat merekapun takkan lolos dari cengkeraman Pang-lotoa, asal satu saja di antara mereka tertangkap, tak sulit untuk memaksanya mengaku.”

“Sayang selamanya mereka takkan tertangkap lagi,” kata Wan-kun sambil mengangkat bahu.

“Berdasar apa kau berani berkata demikian?”

“Sebab mereka telah dibunuh orang di dekat Kiok-hiang-sia semalam!”

“Kau yang membunuh mereka?”

“Tentu saja bukan aku, pembunuh itu datang dari ruang depan, lagipula seorang pria, justru lantaran Toako harus mengejar pembunuh itu, maka ia tak bisa kembali ke hutan tepat pada saatnya.”

“Ia pasti akan berhasil menyelidiki siapa pembunuh itu?”

“Seharusnya ia akan berhasil, sayang tindakannya terlampau buru-buru, dan lagi sahabat-sahabat anjingmu terlalu jeri kepadanya, maka akhirnya kecuali membubarkan mereka, hasil apapun tidak ditemukan.”

“Di mana orangnya sekarang?”

“Itu!” Pang Wan-kun memonyongkan mulutnya keluar jendela, “ia tak pernah putus harapannya untuk menemukan golok mestika itu, dianggapnya benda tersebut masih ada di dalam taman, sejak tengah malam kemarin ia pimpin sendiri orang-orang untuk menggali taman dan hingga sekarang belum juga istirahat, sayang sekali tanaman bunga-bunga dalam taman di sekitar Kiok-hiang-sia semuanya porak poranda.”

Ho Leng-hong coba melongok keluar lewat jendela, kemudian dengan sedih ia menghela napas panjang. Bayangan manusia tampak bergerak di sekitar Kiok-hiang-sia, suara cangkul dan sekop kedengaran nyaring, dipimpin sendiri oleh Pang Goan, puluhan orang Busu itu bekerja keras menggali hampir seluruh pelosok taman untuk mencari golok mestika Yan-ci-po-to.

“Selama Pang-lotoa masih berada di Thian-po-hu, pasti akan berakhir riwayatmu,” kata Leng-hong dengan gemas, “akan kubongkar semua rahasiamu kepadanya.”

Pang Wan-kun kembali tertawa, “Kau tak akan berbuat demikian, sebab hal ini tak ada manfaatnya bagimu, malah sebaliknya akan mendatangkan banyak kesulitan, apalagi kau pernah mengidap penyakit gila, siapa yang akan percaya pada keteranganmu?”

“Tapi paling sedikit aku sudah tahu kau bukan majikan perempuan dari Thian-po-hu, Pang Wan-kun adalah saudara kandung Pang Goan, ia pasti dapat membuktikan bahwa kau adalah Pang Wan-kun gadungan.”

Wan-kun tertawa senang, katanya pula, “Dengan cara apa hendak ia buktikan aku ini gadungan? Saudara seayah lain ibu, lagi pula usianya selisih sekian puluh tahun, hidup terpisah sekian lama, sewaktu di rumah pun sehari belum tentu bertemu satu kali, apalagi setelah kawin, sekalipun di tubuhku mempunyai tanda khusus juga belum tentu ia akan mengetahuinya, sekalipun tahu, masa dia akan mencopot bajuku untuk melakukan pemeriksaan?”

Setelah berhenti sebentar, katanya lebih lanjut, “Apalagi aku bukan Pang Wan-kun dan kaupun bukan Nyo Cu-wi, bila urusannya terbongkar, apakah kau tidak kuatir akan kugigit dirimu bahwa kita bersekongkol?”

Ho Leng-hong terbelalak dan melongo, untuk sesaat ia tak sanggup membantah. “Benar juga kata-katanya,” demikian ia berpikir, “bukan saja aku tak punya bukti, asal usulku juga tak jelas, mana mungkin perkataanku akan dipercaya oleh Pang Goan?”

Sambil tertawa Pang Wan-kun duduk di tepi pembaringan, dipegangnya bahu pemuda itu dengan tangannya yang halus, lalu katanya dengan lembut, “Jit-long, kau adalah orang yang pintar, tak nanti melakukan perbuatan sebodoh itu. Harta kekayaan, kedudukan dan isteri cantik belum tentu bisa didapatkan orang lain meski dalam mimpi, tapi kau telah memperolehnya secara gampang, apalagi yang masih kurang?”

Ho Leng-hong tak bisa bersuara lagi, ia merasa timbul hawa dingin dalam lubuk hatinya, rasanya seperti terjerumus ke gudang es. Perempuan itu sungguh terlalu lihay, segala sesuatunya telah diatur secara cermat dan rapi, apa lagi yang dapat dikatakannya?

Agaknya Pang Wan-kun dapat menebak isi hatinya, kembali ia berkata, “Pepatah kuno mengatakan: menjadi suami isteri dalam semalam, selamanya terkenang tak terlupakan. Kita adalah suami isteri, tak mungkin kucelakai dirimu.”

Ho Leng-hong termenung agak lama, kemudian menghela napas panjang, katanya, “Beri tahukan padaku, sesungguhnya siapa kau? Golok Yan-ci-po-to telah kaudapatkan, apa lagi yang kauinginkan?”

Sambil tersenyum Wan-kun mentowel pipinya lalu berbisik lirih, “Aku bernama Pang Wan-kun, kau bernama Nyo Cu-wi, aku adalah isterimu dan kau adalah suamiku, sekarang demikian, besokpun begitu. Sebagai seorang isteri, kecuali memikirkan suami sendiri, apa lagi yang perlu dipikirkan?”

Ucapan ini penuh nada kasih sayang, tapi bagi pendengaran Ho Leng-hong cukup mendirikan bulu kuduknya.

“Kita suami isteri sudah bicara cukup lama,” kata Wan-kun kemudian, “sedang Toako masih sibuk menggali pusaka di luar sana, sepantasnya diundang masuk untuk beristirahat...”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.