Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 06

Cerita Silat Mandarin Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 06 karya Gu Long
Sonny Ogawa

Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 06

Cerita silat Mandarin Karya Gu Long
Dari wilayah Kwan-lok ke Leng-lam ada ribuan li jauhnya, untuk menempuh perjalanan sejauh ini sebetulnya mereka harus berjalan secepatnya, tapi ketiga laki perempuan ini justru berjalan dengan sangat lambat. Sepanjang jalan Ho Leng-hong dan Pang Goan makan minum dan berpesiar dengan santainya, seakan-akan sedang menunggu sesuatu.

Hui Beng-cu tidak nampak gelisah, malah sebaliknya kelihatan gembira, ia selalu menemani kedua Toako itu berpesiar dan menikmati keindahan alam, gelak tertawa yang riang selalu menyemarakkan suasana, seakan-akan iapun sudah lupa pada keadaan di Hiang-in-hu, di rumahnya sendiri. Setengah bulan setelah meninggalkan Kiu-ci-shia, mereka baru tiba di sekitar Siang-hoan.

“Sepanjang perjalanan ini kita selalu menunggang kuda dan naik kereta, lama-lama menjadi bosan juga, bagaimana kalau perjalanan kita selanjutnya kita ganti naik kapal saja? Lebih cepat dan lebih nyaman rasanya,” usul Leng-hong.

Sebelum Pang Goan menjawab, Hui Beng-cu segera berseru lebih dulu, “Bagus sekali, kita boleh menyewa kapal sampai Liang-han, sekalian pesiar di telaga Tong-teng, dari situ dengan menunggang kuda kita melintasi Ngo-leng-san, perjalanan ini tentu lebih cepat.”

“Orang bilang, ‘Kapal di selatan dan kuda di utara’. Nona Hui sebagai gadis yang dibesarkan di wilayah selatan, apakah tidak merasa bosan naik kapal?” tanya Leng-hong.

“Mana bisa bosan!” sahut Beng-cu dengan tertawa, “aku paling suka naik kapal, tapi dulu aku hanya naik kapal laut, kapal sungai belum pernah kurasakan.”

Pang Goan manggut-manggut, “Kalau begitu kita putuskan untuk menyewa kapal setibanya di Huan-shia nanti.”

Hari itu juga mereka tiba di Huan-shia. Setelah menginap semalam, tengah hari keesokannya dengan meninggalkan Pang Goan yang beristirahat seorang diri di hotel, Ho Leng-hong dan Hui Beng-cu berangkat ke dermaga untuk menyewa kapal.

Sebetulnya soal menyewa kapal bisa diselesaikan oleh pelayan penginapan, tapi Hui Beng-cu ingin memilih kapal yang nyaman sekalian menikmati pemandangan di dermaga, maka Leng-hong terpaksa harus menemaninya ke dermaga.

Setibanya di dermaga, tampaklah layar kapal berjajar di sana sini, tapi sebagian besar adalah kapal layar yang memuat bahan obat-obatan dan sekalian membawa penumpang, jarang sekali ada kapal yang khusus hanya mengangkut penumpang.

Terpaksa mereka menelusuri sungai tepi untuk mencari kapal, tapi beberapa buah kapal yang dikunjunginya semua memberi jawaban yang sama, “Kebanyakan perahu di kota Huan-shia adalah perahu pengangkut barang, untuk menyewa perahu penumpang harus menyeberang ke kota Siang-yang!”

“Baiklah,” kata Leng-hong kemudian, “apa salahnya kita mengunjungi kota Siang-yang!”

“Nyo-toako, coba lihat! Bukankah di sana terdapat sebuah kapal penumpang?” tiba-tiba Hui Beng-cu menuding ke arah sungai.

Mengikuti arah yang ditunjuk, betul juga Leng-hong lihat ada sebuah perahu penumpang dengan layar rangkap yang indah membuang sauh di tengah sungai, perahu itu bercat masih baru, ruang duduknya bersih dan luas, ketika itu sedang membuang sauh kurang lebih sepuluh tombak di tengah sungai.

Leng-hong segera menggapai seorang tukang sampan, sambil menuding ke arah kapal layar itu ia bertanya, “Lotoa, tahukah kau siapa pemilik perahu itu?”

Tukang perahu itu mengamati perahu itu sejenak, kemudian menggeleng kepala, jawabnya, “Entahlah, dulu rasanya belum pernah melihat perahu ini, di atas perahu juga tidak terdapat bendera perkumpulan atau organisasi tertentu, mungkin saja perahu pribadi orang kaya.”

“Peduli perahu pembesar atau perahu orang kaya, apa salahnya kalau kita tanya dia, siapa tahu perahunya kebetulan kosong, dan dia bersedia memuat kita?”

Ho Leng-hong tertawa dan tidak omong lagi, dengan membimbing Hui Beng-cu mereka naik ke sampan kecil itu. Tiba di dekat perahu penumpang itu terasa suasana amat hening, sesosok bayangan pun tak kelihatan.

Sambil melompat ke atas geladak, Hui Beng-cu berteriak, “Hei, ada orangkah di sini?”

Setelah berteriak beberapa kali, dari buritan menongol keluar sebuah kepala gundul, sahutnya, “Mau apa kalian? Cari siapa?”

Orang itu adalah seorang kakek kurus berusia enam-tujuh puluh tahunan, mukanya penuh berkeriput, kepalanya botak dan tak berambut, mungkin ia lagi tidur di buritan, maka sikapnya agak uring-uringan.

“Maaf jika kami telah mengganggu,” cepat Leng-hong memberi hormat, “kami ingin menyewa perahu, ingin kami tanya apakah perahu ini boleh disewa atau tidak?”

“Kau bilang apa?” tanya si kakek sambil miringkan kepalanya.

Terpaksa Leng-hong mengulangi lagi kata-katanya. Kali ini kakek itu dapat mendengar dengan jelas, ia mengulapkan tangan berulang kali, “Pergi! Pergi! Perahu ini bukan perahu penumpang yang disewakan, perahu ini adalah perahu pribadi, lebih baik menyewa perahu di tempat lain!”

“Apa salahnya dengan perahu pribadi? Kami bersedia membayar tinggi, satu jalan pula, kenapa tidak bisa?” kata Hui Beng-cu.

Sambil memicingkan matanya kakek itu memperhatikan mereka sekejap, lalu bertanya, “Apakah kalian suami-isteri?”

Merah wajah Hui Beng-cu, cepat-cepat sangkalnya, “O, bukan! Aku she Hui dan dia adalah Nyo-toako, Nyo-tayhiap pemilik Thian-po-hu di Kiu-ki-shia.”

“Aku tidak kenal Nyo atau Nya, aku cuma ingin tahu kalian mau ke mana? Dan berapa berani bayar?”

“Kami ingin pesiar ke Tong-ting-ou, kemudian berganti kuda ke Leng-lam, jadi hanya satu jalan, terserah berapa besar ongkos yang kau minta.”

Kakek itu segera menghitung sambil bergumam, “Sejalan ke Tong-ting berarti tidak akan kembali ke sini... dari sini menuju Ji-han mengikuti arah arus, waktu berbelok ke Tong-ting harus berlayar melawan arus... waktu berangkat membutuhkan lima hari, waktu pulang tujuh sampai delapan hari...”

Tiba-tiba ia tanya lagi, “Apakah hanya kalian berdua? Boleh tambah penumpang tidak? Sepanjang jalan akan mendarat atau tidak?”

“Kita berjumlah tiga orang dan langsung menuju ke Tong-ting, dalam perjalanan pun tak akan mendarat. Tentu saja kami sewa seluruh perahu ini jadi tak boleh menambah penumpang lagi.”

Kembali kakek itu bergumam, “Kalau begitu, kuhitung seratus tahil perak saja.”

“Ha, masa begitu mahal?” teriak Hui Beng-cu.

“Kalau merasa mahal lebih baik jangan menyewa,” kata kakek itu dengan wajah cemberut, “terus terang kuberitahu kepada kalian, perahu ini adalah perahu pribadi Paduka wali kota Keng-ciu, sebetulnya aku tak boleh menerima permintaan kalian, tapi berhubung majikan kami sedang menemani nyonya berziarah ke Siong-san dan setengah bulan kemudian baru pulang, daripada waktu senggang terbuang begitu saja, kuputuskan untuk mengantar kalian dan mencari sedikit tambahan penghasilan.”

“Sekalipun begitu jangan seratus tahil perak, ah!” kata Beng-cu.

“Masa seratus tahil perak kau anggap mahal? Mari kuperinci untukmu, kelasi berikut aku ada empat orang, untuk melakukan dagang gelap yang menyerempet bahaya ini kan pantas kalau setiap orang mencari untung dua puluh tahil perak? Nah, dua kali empat adalah delapan berarti sudah termakan delapan puluh tahil perak, sisanya yang dua puluh tahil perak adalah makanan dan minuman untuk kalian bertiga, begini masa kau bilang mahal?”

“Ya, tidak mahal, kami akan sewa perahu ini,” kata Leng-hong cepat. Diambilnya selembar daun emas dan diperlihatkan kepada kakek itu, lalu katanya lagi, “Benda ini adalah daun emas, seberat sepuluh tahil, nilainya sama seratus tahil perak. Nah, orang tua, kapan kita akan berangkat?”

Kakek itu memandang daun emas itu sekejap, lalu memandang pula wajah Leng-hong, tiba-tiba ia tertawa, “Sekaligus kau bayar sewa perahu ini, apakah tidak takut kabur setelah menerima uang?”

“O, tidak menjadi soal, kupercaya penuh kepadamu.”

“Bagus sekali,” kata kakek itu sambil menerima daun emas tersebut, “kita putuskan begini saja, setelah menambah bahan makanan dan air tawar tengah hari nanti, kita segera berangkat. Jadi tengah hari nanti kalian boleh naik perahu.”

“Bolehkah kutahu kau orang tua she apa? Dan siapa namamu?”

“Aku she Kim, panggil saja Kim-lotoa kepadaku!”

Ho Leng-hong segera memberi hormat dan bersama Hui Beng-cu turun ke sampan. Di tengah jalan, Hui Beng-cu tiada hentinya berpaling ke arah perahu itu katanya, “Kulihat kakek she Kim itu bukan orang baik-baik!”

“Oya?! Kenapa?”

“Sikapnya tidak sopan, waktu bicara mau menangnya sendiri, sedikitpun tidak mirip seorang pembantu orang kaya yang mendapat pendidikan.”

Leng-hong tertawa, “Justru lantaran dia bekerja pada orang kaya, maka sikapnya kurang ajar dan tak tahu sopan, sewaktu berbicara pun hanya mau menangnya sendiri.”

“Nyo-toako, bagaimanapun juga aku tetap merasa tidak seharusnya kau bayar dulu ongkos perahu itu, andaikata dia benar-benar seorang penipu, setelah terima uang lantas kabur, bukankah kita akan membuang uang percuma?”

“Jangan kuatir, aku bertaruh ia tak akan kabur, sekalipun diusir dengan pecut pun dia takkan pergi!” jawab Leng-hong sambil tertawa.
Tengah hari itu, mereka bertiga pun naik perahu. Benar juga, Kim-lotoa tidak kabur, bahan makanan dan air tawar di atas perahu pun telah ditambah, maka begitu Leng-hong bertiga sudah naik, mereka segera berangkat.

Tiga orang kelasi di atas perahu itu rata-rata adalah pemuda berusia dua puluh tahunan, semuanya bertubuh kekar, berotot dan cekatan. Leng-hong mempersilakan Hui Beng-cu berdiam seorang diri di ruang tengah, sedang ia dan Pang Goan berdiam di ruang lain.

Kim-lotoa adalah juru mudi, ia tinggal di ruang kemudi, sedang tiga orang kelasinya tinggal di ruang depan, seorang mengurusi dapur, sedang dua lagi bertugas di bagian layar.

Begitulah, dari kota Huan-shia menuju ke selatan perahu berlayar dengan lancar karena mengikuti arus, hari itu juga mereka telah melewati kota Cwan-shia dan malamnya berlabuh di teluk, keesokan harinya mereka tiba di kota Tin-kang, jaraknya dengan kota Ji-han tinggal sehari perjalanan air.

Selama dua hari ini suasana di atas perahu tetap tenang, tapi Leng-hong telah menemukan ada sebuah perahu yang selalu mengikuti di belakang perahu mereka.

Perahu itu adalah sebuah perahu barang yang penuh dengan muatan bahan obat serta bahan lainnya, mulai dari kota Huan-shia, perahu itu membuntuti terus dengan ketatnya, meskipun kadang-kadang kala melewati perahu mereka, tapi mereka lantas menunggu lagi di depan sana, setelah perahu penumpang itu lewat mereka baru berlayar lagi.

Di atas perahu barang itu hanya ada lima-enam orang kelasi, tidak tampak penumpang lain dan tidak dijumpai pula orang-orang yang menyolok. Diam-diam Ho Leng-hong memberitahukan hal ini kepada Pang Goan.

Mendengar laporan itu, Pang Goan tertawa dingin, katanya, “Sejak pertama kali tadi sudah kuperhatikan, selain itu Kim-lotoa dan ketiga orang kelasinya juga adalah jago-jago silat, tampaknya kungfu mereka tidak lemah.”

“Lantas mengapa mereka belum juga turun tangan?” ujar Leng-hong.

“Siapa yang tahu?” Pang Goan angkat bahu, “mungkin mereka sedang menunggu bala bantuan, pokoknya cepat atau lambat mereka pasti akan bergerak.”

“Menurut dugaanku mereka pasti lantaran takut pada seseorang, jadi sampai sekarang belum juga turun tangan,” kata Leng-hong sambil tertawa.

“Takut kepada siapa?”

“Kau, Lotoako!”

“Kenapa mereka takut padaku?” tanya Pang Goan tertegun.

“Tujuan mereka yang terutama adalah ingin mengetahui ilmu To-kiam-hap-ping-tin, sekarang kau telah mengajarkan padaku, maka asal aku berhasil ditangkap dan dipaksa untuk bicara, urusan tetap akan beres, untuk menghadapiku adalah urusan gampang, tapi berhubung ada Lotoako, maka tak berani turun tangan.”

“Kalau begitu aku mesti menyingkir dulu?”

“Benar!” Leng-hong mengangguk, “lebih baik Lotoako bermain-main di darat, sementara Siaute tinggal di perahu... ini namanya memberi kebebasan kepada orang.”

Pang Goan tertawa terbahak-bahak, ia lantas beranjak dan menuju ke geladak. Suasana di luar gelap gulita, hanya kerlipan api di balik pintu ruangan, itulah lelatu api dari pada Huncwe (pipa tembakau) yang sedang dihisap Kim-lotoa.

Pelahan Pang Goan menghampirinya sambil menyapa, “Lotoa, apakah di atas perahu tersedia arak?”

“Tidak ada!” jawab Kim-lotoa dengan ketus dan tanpa mendongakkan kepalanya.

“Bolehkah aku meminjam seorang anak buahmu untuk membelinya sebentar di daratan?”

“Maaf, para kelasi sudah bekerja keras seharian penuh, besok pagi-pagi harus bekerja lagi, kini sudah tidur semua.”

“Kalau begitu...” Pang Goan berpikir sebentar, lalu katanya, “Terpaksa aku harus pergi membeli sendiri, tolong sewakan sampan tentunya boleh bukan, Lotoa?”

“Tempat ini bukan dermaga besar, mana ada sampan yang bisa disewa?” kata Kim-lotoa, lalu sambil menuding ke belakang buritan, katanya lagi, “Tuh, di sana ada sampan yang tersedia di perahu kami, kalau kau bisa mendayung sendiri, aku sih dengan senang hati akan membantumu untuk menurunkannya ke air.”

“Mendayung perahu sih aku bisa, tak perlu bantuan Lotoa lagi, aku bisa turun tangan sendiri.”

Agaknya ia memang sengaja hendak pamer kekuatan, setelah menghampiri sampan itu dengan langkah lebar, dicekalnya pinggiran sampan dengan kedua tangan, begitu hawa murninya dikerahkan, sampan kecil yang cuma muat tiga-empat orang ini segera terangkat dengan enteng.

Kim-lotoa tidak menunjukkan wajah kaget atau ketakutan, malah sambil tertawa katanya, “Wah, hebat juga tenagamu.”

Pang Goan mendengus, “Hei, Kim-lotoa, sanggupkah kau lakukan cara yang sama?”

Kim-lotoa menggeleng kepala, “Aku tak lebih cuma seorang juru mudi, bukan kuli panggul di dermaga yang biasa mengangkuti karung berat, apa gunanya memiliki tenaga sebesar itu?”

Mendongkol Pang Goan karena dipersamakan dengan kuli, segera dilemparkan sampan itu ke permukaan air. “Plung!” sampan itu terjatuh di air kurang lebih sepuluh tombak dari perahu tersebut. Sekali lompat Pang Goan melayang ke sana dan turun di atas sampan itu, tanpa menggunakan dayung maupun gala, ia menggerakkan kedua lengan bajunya secara bergantian, di antara deru angin yang keras, bagaikan anak panah terlepas dari busurnya sampan itu meluncur ke arah daratan.

Kim-lotoa masih saja berjongkok di geladak sambil mengisap Huncwe, tampaknya ia sama sekali tidak tertarik oleh demonstrasi kekuatan Pang Goan itu. Lelatu api pada pipa tembakaunya kembali berkedip tiga kali panjang dan tiga kali pendek.

Perahu barang yang buang sauh pada setengah li di depan perahu penumpang, di buritan perahu itu juga ada seorang sedang mengisap Huncwe sehingga kerlipan apinya juga tiga kali panjang dan tiga kali pendek. Tak lama kemudian, sebuah sampan kecil tanpa menimbulkan suara mendekati perahu penumpang itu.

Di atas sampan berdiri lima orang perempuan, mereka adalah Liu A-ih beserta empat orang perempuan cebol yang menyandang sepasang samurai panjang dan pendek. Dengan langkah cepat Kim-lotoa menyambut kedatangan mereka, kemudian bisiknya, “Si monyet dua kuda sedang naik ke darat, Hui Beng-cu ada di ruang tengah, sedang ‘sasaran’ ada di ruang nomor dua sebelah kiri.”

“Ehm, tahu,” Liu A-ih manggut-manggut, “kau tetap berjaga di luar perahu, kami bisa bereskan sendiri persoalan ini.”

Sambil memberi tanda, ia membawa keempat orang perempuan cebol berbaju hitam itu menyerbu ke dalam kabin. Agaknya ia apal sekali letak ruang di atas perahu tersebut, tanpa membuang banyak waktu ruang kedua di sebelah kiri telah ditemukan, ia lantas mengetuk pintu.

“Pintu tidak dikunci, silakan masuk sendiri!” sahut Leng-hong dari dalam.

Sambil mendorong pintu Liu A-ih mendadak menyerbu ke dalam, menyusul keempat orang cebol berbaju hitam itupun ikut menyerbu ke dalam ruangan. Suasana dalam ruangan terang benderang, Ho Leng-hong sedang duduk menghadap ke pintu, ia duduk di atas sebuah kursi, di atas lututnya tergeletak sebilah golok dan sebilah pedang.

Golok dan pedang diletakkan menjadi satu hanya gagangnya menghadap ke arah yang berlawanan, gagang golok menghadap ke kanan dan gagang pedang menghadap ke kiri. Dengan mengulum senyum, Ho Leng-hong manggut-manggut sambil berkata, “Sungguh tak kusangka begini cepat Liu A-ih akan sampai di sini. Maaf kalau aku tak menyambut kedatangan kalian, silakan duduk!”

“Jadi kau sudah tahu kami akan datang?” tanya A-ih.

“Benar!” Leng-hong tertawa, “Bukan cuma tahu kalian akan datang, bahkan telah kuduga pula kalian enggan berjumpa dengan Pang-toako, maka kuminta dia naik ke daratan. Sekarang di sini sudah tak ada orang lain lagi, kita boleh bercakap-cakap dengan tenang dan santai.”

“Apa yang ingin kaubicarakan?” tanya A-ih.

“Apa yang kalian inginkan, itu pula yang kita bicarakan!”

Biji mata Liu A-ih berputar-putar, setelah memeriksa sekejap sekeliling ruangan, ia baru berkata, “Baiklah! Setelah kau berlapang dada, kami pun tak akan berkecil hati, mari kita bicarakan persoalan ini dengan sebaik-baiknya.”

“Silakan duduk!” kata Leng-hong.

Liu A-ih maju dua langkah dan duduk di sebuah bangku panjang dekat pintu, sedangkan keempat orang perempuan cebol berbaju hitam itu berdiri berjajar di depan pintu.

“Bila keempat Taci itu tak mau duduk juga tak menjadi soal, tapi lebih baik pintunya ditutup saja agar orang lain tidak mengganggu,” kata Leng-hong dengan tertawa.

Keempat perempuan cebol berbaju hitam itu melirik sekejap ke arah Liu A-ih, ketika dilihatnya orang mengangguk kepala, pintu kamar segera ditutup rapat. Setelah pintu tertutup, Ho Leng-hong baru mengembus napas lega, katanya,

“Baiklah, sekarang kita boleh mulai bicara secara resmi, tapi sebelum pembicaraan berlangsung, kuharap kedua pihak harus mempunyai niat yang bersungguh-sungguh, siapa pun jangan coba main kotor dan siapa pun tak boleh memanasi hati lawan, dengan demikian kita baru dapat menyelesaikan urusan secara adil, entah bagaimana menurut pendapat Liu A-ih?”

“Aku setuju!”

“Baiklah, kalau setuju, maka kitapun tak usah membicarakan soal-soal lain lagi, langsung saja menyinggung ke masalah pokok. Liu A-ih yang akan bicara dulu atau aku lebih dulu?”

“Kau saja yang berbicara lebih dulu?”

Leng-hong manggut-manggut, setelah berdehem iapun mulai berkata, “Pertama-tama hendak kuterangkan dulu kedudukanku sekarang, aku bukan anggota dari Bu-lim-sam-hu, juga tak ingin mencari nama dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe yang akan datang, lebih-lebih lagi tak ingin terlibat dalam pertikaian ataupun perselisihan antar aliran atau golongan, terjunku ke dalam air keruh ini adalah karena terpaksa, boleh juga dibilang pihak Ci-moay-hwe yang memaksa aku terjun ke liang api ini, kurasa dalam hal ini Liu A-ih tak akan menyangkal bukan?”

Liu A-ih tidak menyangkal pun tidak mengakui, hanya katanya dengan ketus, “Katakan saja apa yang ingin kau katakan, jangan bertanya melulu kepadaku.”

“Baiklah setelah Ci-moay-hwe mengubah diriku menjadi Nyo Cu-wi, terpaksa aku harus menyesuaikan keadaan dan menganggap diriku sebagai Nyo Cu-wi dan berdiri di pihak Thian-po-hu, maka saat ini akupun harus tampil dalam kedudukan sebagai majikan Thian-po-hu untuk berunding dengan kalian, tentang soal ini akupun minta Liu A-ih suka memperhatikan.”

Liu A-ih kembali mendengus, rasa memandang hina terlintas pada wajahnya, tapi ia tidak berkata apa-apa.

Maka Leng-hong berkata lebih lanjut, “Sesungguhnya pertemuan Lo-hu-to-hwe yang diselenggarakan empat tahun sekali adalah tempat untuk memperebutkan nama dan kedudukan, dalam pertemuan tersebut tidak dibatasi jumlah golongan yang ingin ikut, setiap jago silat di dunia berhak naik ke panggung untuk memperlihatkan kebolehannya, jadi bila Ci-moay-hwe ingin beradu kekuatan dengan kaum pria di dunia ini, takkan ada orang yang melarang atau menghalanginya, sebab kalian berhak untuk berbuat begini, cuma seharusnya kalian mempergunakan cara yang wajar, jangan menggunakan cara licik dan rendah semacam ini untuk mencelakai orang di sana sini, karena hal ini tidaklah pantas....”

“Cukup,” sela Liu A-ih tiba-tiba, “kami bukan datang untuk mendengar ceramahmu, lebih baik simpan saja kata-katamu yang tak sedap ini, mari bicarakan dulu masalah pokok.”

“Jangan terburu-buru,” kata Leng-hong dengan tertawa, “sekarang juga akan kubicarakan masalah pokok.”

“Kuharap kau bicara ringkas saja dan jangan mencoba mengulur waktu, sebab kalau sampai si monyet dua kuda datang, hal itu sama sekali tak ada manfaatnya bagimu.”

“Hei, jangan kau nilai orang lain dengan pikiran picikmu, kalau aku ingin menunggu sampai kembalinya Pang-toako, tak nanti kudesak kepadanya agar menyingkir dulu ke daratan.”

Setelah berhenti sejenak, lalu Leng-hong berkata pula, “Sekarang marilah kita bicara blak-blakan, bukanlah kerja keras dan usaha Ci-moay-hwe selama ini dengan melatih manusia-manusia gadungan, tujuannya tak lain adalah untuk mendapatkan golok mestika Yan-ci-po-to serta ilmu To-kiam-hap-ping-tin-hoat?”

Liu A-ih tidak menjawab, dan diam berarti telah mengakuinya.

“Kalau memang begitu, soal ini lebih gampang lagi untuk dibicarakan,” kata Leng-hong, “kini Yan-ci-po-to sudah dicuri orang dan entah ke mana perginya, jadi maaf kalau aku tak dapat memenuhi harapan kalian, lain halnya dengan ilmu To-kiam-hap-ping-tin-hoat, kepandaian tersebut telah berada dalam benakku semua, asal syaratnya cocok setiap saat dapat kupersembahkan dengan begitu saja kepada kalian, mau diajarkan secara lisan atau tulisan, boleh terserah kemauan kalian.”

Mencorong sinar mata Liu A-ih, ia lantas tanya, “Syarat apa yang kau kehendaki?”

“Sederhana sekali, dengan ilmu To-kiam-hap-ping-tin-hoat ditukar dengan keterangan jejak Nyo Cu-wi suami isteri.”

Tiba-tiba Liu A-ih mengerutkan dahinya, “He, syarat ini atas niatmu atau maksud Pang Goan?”

“Maksudku tentu Pang-toako juga setuju!”

Liu A-ih tertawa dingin, “Heran, aku betul-betul tak habis mengerti, Pang Goan bersaudara kandung dengan Pang Wan-kun, tidak aneh jika ia menguatirkan keselamatan saudaranya, sebaliknya kau bukan sanak bukan keluarga mereka, mau apa kau mencampuri urusan ini?”

“Sesungguhnya urusan ini memang tiada sangkut pautnya denganku, tapi kalian yang telah memaksaku untuk menyaru sebagai Nyo Cu-wi? maka mau tak mau aku harus memperhatikan juga nasib mereka.”

“Apa jeleknya kami mengubah kau menjadi Nyo Cu-wi? seandainya mereka tak pulang lagi ke Thian-po-hu, maka selamanya kau dapat menikmati segala kehormatan, kedudukan serta harta kekayaan yang melimpah, mengapa tidak kau nikmati rejeki nomplok itu, malah sebaliknya mengharapkan kembalinya Nyo Cu-wi?”

Ho Leng-hong tertawa, “Seandainya aku bisa menyaru menjadi dia selama hidup, tentu saja aku tidak berharap ia pulang kembali, sayang semua rahasia kini telah terbongkar, bukan kalian saja yang tahu bahwa aku ini Nyo Cu-wi gadungan, bahkan Pang-toako juga tahu, pikirlah sendiri, mana mungkin aku tinggal diam terus menerus?”

“Sekalipun tak bisa melanjutkan penyaruanmu, kau boleh berdiri di luar garis, apa gunanya kau bantu mereka mencari kembali Nyo Cu-wi?”

“Sayang selama beberapa waktu belakangan ini aku sudah terbiasa dengan kehidupan mewah, agak keberatan juga bagiku untuk melepaskan semua itu dengan begitu saja.”

“Kalau memang begini, lebih-lebih tidak pantas bagimu untuk menemukan kembali Nyo Cu-wi suami-isteri.”

“Tentu saja di samping ini masih ada masalah lain,” kata Leng-hong lebih lanjut sambil tertawa, “aku ingin kehidupan yang mewah, tapi tak perlu menyaru sebagai Nyo Cu-wi, dan kebetulan Pang-toako telah menyanggupi permintaanku, asal Nyo Cu-wi kembali ke Thian-po-hu, dia akan mengajakku pulang ke Cian-sui-hu di Liat-liu-shia serta mengangkat diriku menjadi saudaranya, keluarga Pang tak punya keturunan, bila Lotoako berpulang ke alam baka, secara resmi aku akan menjadi majikan Cian-sui-hu, bukankah cara ini jauh lebih menguntungkan diriku daripada melanjutkan penyaruan sebagai Nyo Cu-wi?”

“O, jadi berbicara pulang pergi rupanya kau sedang mengincar harta kekayaan Cian-sui-hu dan kau sudah kena disuap oleh Pang Goan?” kata Liu A-ih.

“Ah, betapa tak sedapnya kata suap itu,” seru Leng-hong sambil menggoyangkan tangannya, “bila manusia tidak mementingkan diri sendiri, matilah dia, bagaimanapun juga aku harus memikirkan kehidupanku seterusnya, apalagi kami suka sama suka, siapapun tak memaksa yang lain.”

“Hehehe, manusia tak mementingkan diri sendiri matilah dia, sungguh kata yang bagus,” ejek Liu A-ih, “Bila kutawarkan harta kekayaan dua kali lipat lebih besar daripada Cian-sui-hu, apakah kau bersedia menukarnya dengan ilmu To-kiam-hap-ping-tin-hoat?”

“O, hal itu tak mungkin terjadi, sebab meskipun kau bisa memberikan harta kekayaan dua kali lebih besar, dan sekaligus tak dapat kau beri nama Cian-sui-hu kepadaku.”

“Dapat! Bukan cuma nama besar seperti Cian-sui-hu, kampiun sekaligus dapat pula memberikan nama seharum Thian-po-hu kepadamu, agar kecuali Ci-moay-hwe, kau merupakan manusia yang paling berkuasa, laki-laki paling kaya dan terhormat di dunia ini, percaya tidak?”

“Aku tak berani mempercayainya,” kata pemuda itu sambil mengangkat bahu.

“Kalau begitu dengarkan baik-baik,” sengaja Liu A-ih mempertinggi nada pembicaraannya, “asal ilmu To-kiam-hap-ping-tin-hoat kau berikan kepada kami, dan mulai sekarang kau bersedia mendengarkan perintah Ci-moay-hwe, maka selama hidup ini tak akan terbongkar rahasia penyaruanmu sebagai Nyo Cu-wi, bahkan akan kami bantu dirimu untuk melenyapkan Pang Goan agar sekaligus kau menjadi majikan Thian-po-hu maupun Cian-sui-hu serta menikmati segala kehormatan dan kejayaannya.”

“Apakah kalian mempunyai keyakinan dapat melenyapkan Pang-toako?”

“Apa susahnya untuk berbuat demikian?” ejek Liu A-ih dengan sombongnya, “kami telah berhasil memahami inti sari ilmu pedang Keng-hong-kiam-hoatnya, jika dapat memperoleh rahasia To-kiam-hap-ping-tin lagi, bukan masalah sulit untuk menyingkirkan dia.”

Ho Leng-hong berpikir sebentar, lalu berkata lagi, “Sekalipun Pang-toako dapat disingkirkan, andaikata secara tiba-tiba Nyo Cu-wi suami-isteri muncul kembali di Thian-po-hu, bukankah rahasia tersebut akhirnya terbongkar juga?”

“Jangan kuatir, mereka tak mungkin bisa kembali lagi...” tiba-tiba Liu A-ih merasa salah omong, buru-buru katanya lagi, “andaikata ia pulang juga, asal kau berkeras menuduh mereka sebagai gadungan, siapakah yang berani tidak percaya pada perkataanmu?”

“Liu A-ih!” kata anak muda itu kemudian dengan serius, “tolong beritahu kepadaku dengan sejujurnya, apakah kalian telah membunuh Nyo Cu-wi suami-isteri?”

“Tidak!”

“Lalu berdasarkan apa kau berani mengatakan bahwa mereka tak mungkin kembali lagi?”

“Aku tidak mengatakan demikian, hal itu cuma dugaan dan perumpamaan saja.”

Leng-hong mendengus, “Kalau cuma dugaan saja, kenapa kalian berani mengangkangi Thian-po-hu dengan sewenang-wenang? Paling sedikit, kalian pasti tahu jejak mereka berdua.”

“Wahai orang she Ho, jangan lupa kita sedang merundingkan pertukaran syarat,” teriak Liu A-ih dengan suara keras, “sekalipun kami mengetahui jejaknya, tidak menjadi keharusan bagiku untuk memberitahukan padamu....”

“Beritahu atau tidak, mungkin kau tak bisa lagi berbuat sesuka hatimu!”

Ucapan ini bukan berasal dari mulut Ho Leng-hong melainkan datang dari luar pintu ruangan. Bersamaan itu, “blang,” pintu ruangan terpentang dan melayang masuklah sesosok tubuh manusia.

Ketika keempat perempuan cebol berbaju hitam yang berdiri berjajar membelakangi pintu itu mendengar sambaran angin dari belakang, tanpa berpaling empat bilah samurai segera dilolos bersama.

Di antara berkelebatnya cahaya golok, seketika itu juga tubuh manusia itu tercincang menjadi beberapa bagian dan rontok ke lantai, ternyata orang itu bukan lain adalah Kim-lotoa yang gundul.

Liu A-ih menjerit kaget, serentak ia mendorong bangku dan melompat bangun. Ia cepat, ternyata Leng-hong jauh lebih cepat daripadanya, golok dan pedang yang berada di lututnya serentak dicabut, sambil bangkit berdiri dan tertawa, katanya, “Liu A-ih, jika kau ingin menyaksikan ilmu To-kiam-hap-ping-tin, bagaimana kalau sekarang juga kumainkan di hadapanmu?”

“Betul!” sambung orang di luar ruangan itu, “sudah sering kita tekun berlatih, tapi belum ada kesempatan untuk dipraktekkan dengan musuh, hari ini kita harus mencoba dengan sebaik-baiknya.” Yang berbicara adalah Pang Goan, ia berdiri di depan pintu dengan golok dan pedang terhunus.

Sementara itu meski keempat perempuan cebol berbaju hitam itu telah meloloskan samurainya, berhubung ruangan dalam perahu amat sempit dan lagi mereka harus berdiri saling berdesakan, hakikatnya sulit bagi mereka untuk mengembangkan serangan goloknya.

Air muka Liu A-ih agak berubah, tapi ia masih diam saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Sekarang kalian sudah tiada jalan keluar untuk mundur lagi,” kata Leng-hong, lebih baik simpan saja senjata kalian dan katakan secara jujur di manakah Nyo Cu-wi suami-isteri berada, asal kalian mau mengaku, kampiun tak akan menyusahkan kalian.”

Liu A-ih hanya mendengus, ia tetap belum membuka suara.

Pang Goan habis sabarnya, dengan gusar ia membentak, “Perempuan busuk, rupanya kau minta diperlakukan keras. Hmm, kau anggap kami tak berani membunuh dirimu?” Seraya berkata ia lantas melangkah masuk ke dalam dan siap turun tangan. Pada saat itulah tiba-tiba dari luar muncul seorang yang segera menjerit, “Pang-toako, apa yang terjadi? Siapakah orang-orang ini….”

Waktu itu Pang Goan baru saja melangkah masuk ke dalam ruangan, mendengar teguran tersebut, ia berpaling, tertampaklah Hui Beng-cu dengan golok lengkungnya terhunus berdiri di belakangnya. Tiba-tiba timbul kewaspadaannya, cepat ia putar badan dan menyingkir ke samping.

Liu A-ih tidak membuang kesempatan baik itu, ia segera mencabut senjata sambil membentak, “Serbu!”

Serentak keempat orang perempuan cebol berbaju hitam itu melancarkan serangan, dengan menciptakan selapis cahaya tajam samurai mereka terayun ke depan dan menerjang ke arah pintu. Pang Goan membentak, dengan pedang di kiri dan golok di kanan, ia melancarkan serangan berbareng.

Di tengah bentrokan senjata yang ramai, dua orang perempuan cebol berbaju hitam terdepan segera termakan oleh serangan tersebut, yang seorang tertebas lambungnya dan tewas seketika, sedang yang lain kena dikutungin lengan kanannya, samurai dan kutungan lengannya terjatuh ke lantai.

Untuk pertama kalinya To-kiam-hap-ping-tin dipergunakan untuk menghadapi musuh tangguh, nyata ilmu gabungan antara golok dan pedang ini memang maha sakti.

Namun perempuan cebol berbaju hitam itu betul-betul pasukan berani mati, meskipun orang yang terbacok kutung lengah kanannya sudah terluka parah, bahkan darah mengucur dengan derasnya, namun ia pantang menyerah, sambil meloloskan samurai kecil dengan tangan kiri ia menerjang lagi ke arah pintu dengan garang.

Kedua perempuan cebol berbaju hitam yang berada di belakangnya ikut menyerbu maju, mereka malah mempergunakan mayat rekannya sebagai tameng untuk disodorkan ke arah Pang Goan. Semua kejadian ini berlangsung dalam sekejap mata, tahu-tahu Pang Goan sudah terdesak meninggalkan pintu ruangan, ketika dia hendak menghalangi lagi, namun sudah terlambat.

Jarak Ho Leng-hong lebih jauh lagi, ia tahu dikejarpun tak ada gunanya, namun pemuda itu tidak tinggal diam, cepat ia menerobos jendela dan dari geladak berputar menuju ke depan perahu.

Hui Beng-cu berdiri di depan pintu, entah lantaran kaget atau diterjang oleh perempuan-perempuan cebol berbaju hitam yang dahsyat, beruntun ia mundur dua langkah ke belakang sebelum golok dicabut keluar.

Tapi keadaan sudah terlambat, dengan kekuatan seorang dan sebilah golok, mana mungkin terjangan keempat orang itu dapat dibendung? Baru bergebrak satu jurus, ia terdesak mundur oleh samurai panjang dan pendek dari ketiga perempuan cebol itu.

Bagaikan air bah yang menjebolkan tanggul Liu A-ih dan ketiga orang perempuan cebol itu menerjang keluar pintu dan langsung melarikan diri. Tapi baru tiba di luar, Leng-hong telah menghadangnya lagi. Sementara itu Pang Goan juga menyusul tiba pada saatnya.

Melihat gelagat tidak menguntungkan, Liu A-ih buru-buru melancarkan dua kali bacokan, kemudian kabur ke tepi perahu dan terjun ke dalam sungai. Sedangkan ketiga perempuan cebol berbaju hitam itu di bawah kerubutan Leng-hong dari belakang dalam waktu singkat salah seorang di antaranya kembali terluka.

Leng-hong kuatir Pang Goan menyerang terlampau berat, buru-buru teriaknya, “Lotoako, bekuk mereka hidup-hidup.”

Waktu itu golok di tangan kanan Pang Goan sedang menangkis bacokan samurai pendek dari perempuan yang kutung tangannya, sementara pedang di tangan kirinya siap melancarkan tusukan, ketika mendengar teriakan tersebut, jurus serangan segera berubah, dengan gagang pedang ia sodok jalan darah di pinggang perempuan itu.

Kedua orang lainnya tak berani bertarung lebih lanjut, sambil menjerit aneh mereka sambitkan samurai itu sebagai senjata rahasia ke arah Ho Leng-hong dan Pang Goan. Pada waktu Leng-hong dan Pang Goan memukul rontok samurai tersebut, kedua orang perempuan cebol itu melepaskan kabut pemabuk dan melompat ke dalam sungai.

Baik Leng-hong maupun Pang Goan sama-sama tak pandai berenang, terpaksa mereka membentang mata lebar-lebar dan sambil menyaksikan kedua orang musuh melarikan diri.

“Jangan kuatir, mereka tak bakal lolos!” teriak Hui Beng-cu tiba-tiba, ia pun terjun ke dalam sungai.

“Perempuan busuk, anggap saja nasib kalian masih baik,” maki Pang Goan dengan mendongkol, “jika sampai ketemu lagi lain kali, jangan harap kalian bisa kabur.”

Leng-hong memandang ke depan, ia lihat perahu barang tadi sedang menaikkan jangkar dan kabur dengan tergesa-gesa. Dengan saksama kedua orang itu menggeledah seluruh perahu, tapi ketiga orang kelasi yang berada di ruang depan tadi telah lenyap pula tak berbekas.

“Untung kau segera memberi peringatan sehingga berhasil kita tangkap seorang musuh, bagaimana kalau kita mendarat dulu kemudian baru memeriksa dia?” kata Pang Goan.

“Lotoako, kau terlalu cepat pulang kembali ke perahu, coba sedikit lebih lambat, mungkin dari mulut perempuan busuk she Liu itu dapat kupancing keterangan yang lebih terperinci lagi.”

“Sesungguhnya akupun tak ingin cepat-cepat menampakkan diri, tapi berhubung kakek she Kim itu sangat lihai, sewaktu menundukkannya mungkin akan terlihat oleh orang yang berada di atas perahu barang, maka daripada rahasianya bocor, kupercepat tindakanku.”

“Hahaha, kali ini Ci-moay-hwe betul-betul rugi besar, menurut perhitungan mereka pasti akan berhasil membekuk kita, siapa tahu justru kitalah yang berhasil menangkap salah seorang di antara mereka.”

Pang Goan ikut tertawa, “Sekalipun perempuan busuk she Liu itu berhasil meloloskan diri, sepulangnya dari sini pasti akan dicaci maki oleh pemimpinnya, betapapun ia telah merasakan kelihaian To-kiam-hap-ping-tin kita, sayangnya jurus-jurus serangan itu tak dapat diingatnya.”

Tiba-tiba satu ingatan terlintas dalam benaknya, katanya pula, “Saudaraku, menurut pendapatmu apa pula yang akan terjadi pada budak Hui itu? Mungkinkah dia akan kembali lagi kemari?”

“Kukira dia tak akan kembali lagi ke sini,” jawab Ho Leng-hong dengan dahi berkerut.

“Kenapa? Apakah dia betul-betul anggota Ci-moay-hwe?”

Leng-hong menggeleng kepala berulang kali, “Soal ini sulit untuk dipastikan. Cuma penampilannya malam ini mau tak mau menimbulkan juga kecurigaan kita.”

Pang Goan termenung sejenak, kemudian menarik napas panjang, “Andaikata ia benar-benar tidak kembali lagi ke sini, apakah kita akan melanjutkan perjalanan ke Leng-lam?”

“Pergi ke Leng-lam atau tidak adalah urusan nomor dua, kurasa masalah paling penting yang kita hadapi sekarang adalah mencari tahu mati-hidup Nyo Cu-wi suami-isteri, menurut apa yang dikatakan perempuan busuk she Liu itu, kemungkinan besar Nyo Cu-wi suami isteri tidak berada di tangan Ci-moay-hwe, sekali pun dulu pernah terjatuh ke tangan mereka, sekarang sudah tidak berada di sana lagi.”

“Apa yang dia katakan?” tanya Pang Goan.

“Ia tidak bicara terus terang, tapi jelas mereka ketahui bahwa Nyo Cu-wi suami-isteri tak mungkin kembali ke Thian-po-hu lagi, bahkan selamanya tak mungkin pulang lagi, dari sini terbuktilah bahwa mereka mengetahui jejak Nyo Cu-wi suami-isteri.”

“Bukankah hal ini sama artinya dengan menyatakan bahwa mereka sudah terbunuh?” kata Pang Goan dengan kuatir.

“Tapi kukira tujuan mereka adalah menguasai dunia persilatan, jadi tiada alasan bagi mereka untuk mencelakai jiwa Nyo Cu-wi suami-isteri.”

“Perempuan sialan!” maki Pang Goan, “jika mereka berani mengganggu seujung rambut Wan-kun, aku bersumpah akan membantai setiap anggota Ci-moay-hwe yang kujumpai.”

Setelah berhenti sejenak, katanya lagi, “Mari, kita periksa dulu perempuan busuk itu.”

Dengan langkah lebar ia menuju ke lorong sana, dicengkeramnya perempuan cebol berbaju hitam yang sudah buntung itu. Dengan bentakan pelahan jari tangannya bekerja, beruntun menutuk empat jalan darah penting di tubuh perempuan cebol itu.

Buru-buru Leng-hong memburu ke situ, tapi ia segera terperanjat, sebab air muka perempuan cebol itu telah berubah menjadi hitam pekat, cairan darah berwarna hitam kental meleleh dari ujung bibirnya, keadaan sangat gawat, jelas ia telah menelan racun sebelum sempat diperiksa.

Dengan paksa Pang Goan memencet rahangnya dan membuka mulut yang terkatup, kemudian digabloknya punggung perempuan itu keras-keras, sebiji gigi palsu yang telah tergigit pecah terjatuh ke geladak.

Melihat itu, Leng-hong menggeleng kepala berulang kali, “Sungguh tak kusangka mereka telah menyiapkan racun dalam mulutnya, ai... sayang... sayang....”

Tak terlukiskan kemarahan Pang Goan, ia menampar wajah perempuan cebol itu sekeras-kerasnya dan membentak, “Perempuan busuk, ayo bicara! Kalian apakan Wan-kun? Ayo bicara!”

Tapi kepala perempuan cebol berlengan kutung itu lantas menjuntai dengan lemas, seluruh tubuhnya berpelepotan darah, napasnya telah berhenti.

Leng-hong menghela napas, “Ai, tampaknya kita tetap harus berkunjung ke Leng-lam….”

Tengah bicara, tiba-tiba terdengar suara percikan air disusul munculnya seseorang. Di luar dugaan, orang ini ternyata adalah Hui Beng-cu! Lebih-lebih di luar dugaan lagi, di bawah ketiak Hui Beng-cu ternyata mengempit seorang perempuan cebol berbaju hitam.

Leng-hong dan Pang Goan saling pandang dengan melenggong, mereka tak menyangka Hui Beng-cu akan muncul kembali, lebih-lebih tak menyangka ia kembali dengan membawa seorang tawanan hidup. Dengan tangan sebelah mengepit tawanan, tangan yang lain memegang pinggiran perahu, Hui Beng-cu berteriak, “Toako berdua, cepat bantu aku menyeret tawanan ini ke atas!”

“Mati atau masih hidup?” tanya Pang Goan.

“Tentu saja masih hidup. Cuma ia sudah kutenggelamkan ke sungai hingga banyak minum air, sekarang ia tak sadarkan diri!”

“Dalam mulutnya terdapat gigi palsu yang berisi racun, apakah kau tahu?” kembali Pang Goan bertanya.

“Jangan kuatir, gigi racunnya telah kucabut, jangan harap permainan busuk orang Ainu ini akan mengelabuhi diriku!”

Pang Goan sangat gembira, ia segera mencengkeram rambut perempuan Ainu itu dan menyeretnya ke atas perahu.

Hui Beng-cu melompat ke atas, sambil membesut air yang membasahi wajahnya ia berkata, “Pompa dulu perutnya agar air tertumpah keluar, kemudian baru bertanya kepadanya, hati-hati pada bahu kirinya terdapat luka tusukan pedang, jangan biarkan darah mengalir terlalu banyak... ada seorang lagi yang kulukai, sayang ia berhasil melarikan diri."

Sementara itu Pang Goan telah memompa keluar air dalam perut perempuan cebol itu, kemudian menghentikan pula cucuran darah pada bahunya. Kali ini ia turun tangan dengan sangat hati-hati, ia takut tawanannya mati lagi sehingga sukar mencari jejak Pang Wan-kun.

Kali ini Leng-hong tidak membantu ataupun membuka suara, dia hanya memandang wajah Hui Beng-cu dengan termangu, ia rada bingung. Tak lama perempuan itu sudah sadar kembali dari pingsannya, begitu membuka matanya dan menyaksikan keadaan di sekeliling situ, cepat ia menggertak gigi rapat-rapat...

“Apa yang kau lakukan?” ejek Pang Goan sambil tertawa dingin, “gula-gula dalam mulutmu itu tak perlu dicari lagi, sudah terlepas dan dimakan ikan!”

Air muka perempuan itu berubah hebat, tiba-tiba ia angkat telapak tangannya untuk menghantam kepala sendiri. Tapi baru sampai di tengah jalan, tangannya sudah keburu dicengkeram oleh Pang Goan,

“Jangan buru-buru mampus,” katanya, “nanti saja kalau mau mati, sesudah menjawab pertanyaan kami.”

Beruntun ia tutuk enam jalan darah penting pada badannya, kemudian baru lepas tangan. Setelah seluruh tubuh tak bisa berkutik perempuan cebol itu memejamkan matanya, dua titik air mata meleleh membasahi pipinya.

“Beginilah tabiat perempuan bangsa Ainu,” kata Hui Beng-cu, “mereka suka kekerasan dan menolak cara halus, kalau tidak diberi sedikit kelihaian, mereka tak akan bicara terus terang.”

“O, itu sih gampang,” kata Pang Goan. Jari tangannya segera bekerja cepat, menutuk empat-lima tempat jalan darah perempuan Ainu itu, akhirnya ia tabok belakang tengkuknya.

Seperti terkena listrik tegangan tinggi tiba-tiba sekujur tubuh perempuan itu gemetar keras, butiran keringat sebesar kacang membasahi jidatnya, kulit wajahnya berkejang, giginya gemertakan, rintihan kesakitan berkumandang tiada hentinya.

“Mulai sekarang setiap pertanyaanku harus kau jawab dengan sejujurnya,” bentak Pang Goan, “kalau tidak, akan kusuruh kau rasakan bagaimana nikmatnya beribu semut menerobosi hatimu, kubikin kau tak sempat bernapas selama tiga hari tiga malam.”

Dengan air mata bercucuran, terpaksa perempuan Ainu itu mengangguk kepala.

Pang Goan segera membebaskan jalan darahnya yang tertutuk, kemudian sambil tertawa dingin katanya, “Beritahu dulu kepadaku, siapa pemimpin Ci-moay-hwe? Di mana letak markas besarnya?”

Perempuan itu menjawab dengan logat yang kaku dan sukar dimengerti.

“Hei, apa yang kau katakan?” bentak Pang Goan.

Hui Beng-cu tertawa geli, katanya, “Dia perempuan asing yang kurang fasih berbicara dengan logat kita, dia menjawab tidak tahu.”

“Omong kosong, kau adalah anggota Ci-moay-hwe, masa tidak tahu tentang urusan Ci-moay-hwe?” teriak Pang Goan.

Kembali perempuan Ainu itu mengoceh dengan kata-kata yang kurang jelas.

Terpaksa Hui Beng-cu bertindak sebagai juru bahasa, “Ia bilang benar-benar tidak tahu, sebab orang itu tidak ia kenal, tempat pun tak diketahui.”

“Baik, sekalipun tak dapat kau sebutkan nama orang dan tempatnya, tentunya kau tahu bagaimana jalan menuju ke sana?”

Perempuan Ainu itu mengangguk kepala berulang kali, “Ya, ya... aku tahu.”

“Kalau begitu, bawalah kami ke sana.”

Perempuan itu berkerut dahi sambil menunjukkan tanda-tanda keberatan.

“Kenapa? Apakah siksaan yang kau rasakan tadi belum cukup?” hardik Pang Goan.

Perempuan itu mengucapkan dua-tiga kata. Kali ini Pang Goan dapat menangkap maksudnya, ia mendengus, “Hmm, mereka dapat membunuhmu, apakah aku tak bisa membunuhmu pula? Ketahuilah, aku bisa membunuhmu dengan cara yang lebih keji, apakah kau ingin mencobanya?”

Buru-buru perempuan berbaju hitam itu geleng kepala.

“Kalau tidak ingin mampus, bawalah kami ke sana. Sekarang aku hendak bertanya satu hal, Nyo….”

Mendadak ia teringat bahwa Hui Beng-cu masih belum mengetahui asal-usul Ho Leng-hong yang sebenarnya, maka ia ganti perkataan, “Apakah Nyo-hujin dari Thian-po-hu yang bernama Pang Wan-kun terjatuh ke tangan Ci-moay-hwe?”

Kembali perempuan itu menjawab dengan logat yang sukar dimengerti. Pang Goan tahu, kalau begini caranya tak mungkin akan didapatkan apa yang diharapkan, maka ia putuskan untuk mencari dulu markas Ci-moay-hwe, sebab dengan sendirinya jejak Nyo Cu-wi suami-isteri akan diketahui bila markas musuh telah diketemukan.

Maka katanya kepada Hui Beng-cu, “Dengan perempuan asing ini sebagai penunjuk jalan, lebih baik kita langsung menuju ke markas besar Ci-moay-hwe, kalau mau membekuk bajingan lebih dulu harus bekuk pemimpinnya, asal sarang mereka sudah kita aduk, otomatis urusan di rumahmu akan beres juga dengan sendirinya, entah bagaimana pendapat nona?”

Hui Beng-cu berpikir sebentar, lalu jawabnya, “Baiklah, kalau mau pergi harus segera berangkat, daripada rahasia ini bocor dan mereka keburu kabur.”

Ho Leng-hong hanya mengikuti pembicaraan itu dari samping, ia tidak buka suara juga tidak memberi komentar apa-apa.

Begitulah, dengan menggusur perempuan Ainu itu berangkatlah mereka bertiga meninggalkan perahu, di kota Tin-kang mereka menyewa sebuah kereta dan dua ekor kuda, sebelum fajar menyingsing mereka meneruskan perjalanan.

Ho Leng-hong dan Pang Goan menunggang kuda, sedang Hui Beng-cu dan perempuan baju hitam itu numpang di dalam kereta, atas petunjuk perempuan itu mereka telusuri jalan lama, balik ke kota Siang-yang.

Di tengah jalan, Pang Goan sengaja memperlambat lari kudanya, kepada Ho Leng-hong bisiknya, “Lote, apakah kau masih mencurigai asal-usul budak she Hui itu?”

Leng-hong menarik napas panjang, “Aku tak dapat mengemukakan alasan apa-apa, tapi bagaimanapun aku tetap merasa di balik soal ini ada sesuatu yang kurang beres.”

“Andaikata dia adalah anggota Ci-moay-hwe, kenapa ia membantu kita membekuk seorang tawanan hidup?”

“Aku tidak mengatakan dia adalah musuh,” ujar Leng-hong sambil tertawa getir, “pokoknya lebih baik kita berhati-hati sepanjang perjalanan, sebab aku mendapat firasat bahwa di tengah jalan nanti mungkin akan terjadi sesuatu.”

“Dalam hal apakah yang kau maksudkan?”

“Segala hal bisa terjadi, tapi yang paling penting adalah perempuan Ainu itu, kita harus mengawasinya secara khusus.”

“Kenapa dengan perempuan itu?”

“Kalau bukan dia yang akan mencelakai kita, tentu pula Ci-moay-hwe akan membinasakannya.”

“Oo!?” Pang Goan seperti memahami akan sesuatu.

Ternyata dugaan mereka memang benar, malam itu juga peristiwa tersebut telah terjadi.
Berangkat dari Tin-kang menuju ke barat, malam itu sampailah mereka di sebuah kota kecil di sebelah utara Keng-ciu, kota kecil ini bernama Kian-yang-gi. Kota ini merupakan persimpangan jalan raya yang menghubungkan Keng-ciu dan Siang-yang, menuju ke arah timur akan sampai di Ji-han, ke barat akan sampai Sam-shia, ke utara bukan saja sampai Siang-hua, malah ada jalan raya menuju ke Kam-siok, sebab itulah suasana di kota kecil ini ramai sekali.

Mereka menginap di rumah penginapan “Hong-an”, Pang Goan dan Ho Leng-hong memakai satu kamar, sedang Hui Beng-cu dan perempuan Ainu itu tinggal di kamar yang lain.

Selesai bersantap malam, sebelum tidur, Pang Goan memperingatkan Hui Beng-cu secara khusus, katanya, “Jangan terlalu nyenyak tidurmu malam nanti, jangan kau bebaskan pula jalan darah perempuan asing itu, jika ada sesuatu yang mencurigakan, segera panggil kami.”

“Jangan kuatir Pang-toako,” sahut Hui Beng-cu sambil tertawa, “tanggung tak akan terjadi apa-apa, aku akan mengawasinya sepanjang malam, sekalipun punya sayap jangan harap akan terbang dari hadapanku.”

Sekembalinya ke kamar, Pang Goan kembali berunding dengan Ho Leng-hong, mereka putuskan untuk jaga malam secara bergilir, Ho Leng-hong menjaga setengah malam pertama dan Pang Goan setengah malam berikutnya. Setengah malam yang pertama berlangsung tenang tanpa terjadi apapun.

Ketika giliran Pang Goan menjaga setengah malam berikutnya, kurang lebih dua jam menjelang fajar, Pang Goan mengambil sebuah bangku dan duduk bersila di tepi jendela sambil mengatur napas diam-diam ia perhatikan gerak-gerik kamar sebelah. Satu jam sudah lewat, tapi suasana tetap tenang.

Ketika fajar menjelang tiba, pada cuaca paling gelap, waktu itu Pang Goan masih duduk bersila sambil terkantuk-kantuk, mendadak ia mendengar suara aneh di kamar Hui Beng-cu. Suara rintihan yang lemah dan lirih, seakan-akan ada seseorang sedang dicekik lehernya hingga ingin berteriak pun tak mampu bersuara. Dengan sigap Pang Goan melompat bangun lalu teriaknya dari jendela, “Beng-cu! Beng-cu...!”

Panggilannya yang berulang kali itu tidak memperoleh jawaban apa-apa, malah rintihan tadi mendadak berhenti. Pang Goan tidak membuang waktu lagi, ia hantam daun jendela hingga terpentang lebar, kemudian menyerbu ke dalam ruangan. Ia cepat masuk, waktu keluarpun tak kalah cepatnya, sambil melompat mundur dari ruangan itu serunya dengan cemas, “Jit-long, cepat bangun, terjadi peristiwa...”

“Apa yang terjadi?” buru-buru Leng-hong lari keluar dari kamarnya.

Sambil menuding ke arah kamar tidur Hui Beng-cu, kata Pang Goan dengan napas terengah, “Entah bagaimana caranya, perempuan asing itu berhasil meloloskan diri, ia sedang mencekik Beng-cu....”

“Sungguh? Kita harus menolongnya!” seru Leng-hong dengan terkejut.

Tapi Pang Goan segera menghalanginya sambil menggoyang tangan berulang, “Tidak mungkin, kita kurang leluasa untuk masuk ke sana, kita harus cari akal.”

“Kenapa?” tanya Leng-hong.

Dengan wajah merah kata Pang Goan, “Perempuan asing itu dalam... dalam keadaan telanjang.. pan... pantatnya kelihatan jelas...”

Mendengar ucapan tersebut, Leng-hong merasa geli dan dongkol, katanya, “Lotoako, dalam keadaan apakah ini? Kenapa kau urus soal semacam itu?”

Sekali melompat ia melewati Pang Goan dan langsung menerjang masuk ke dalam ruangan. Apa yang dikatakan Pang Goan memang tak salah, perempuan Ainu itu betul-betul dalam keadaan telanjang bulat, waktu itu ia sedang menunggangi tubuh Hui Beng-cu sementara tangannya mencekik leher gadis itu dengan keras-keras.

“Lepaskan!” bentak Leng-hong.

Perempuan itu benar-benar lepaskan tangannya, cuma bagaikan angin puyuh ia memutar ke arah pemuda tersebut. Seandainya Pang Goan yang menghadapi kejadian ini, jangankan melawan, melihat gayanya yang “mengerikan” itu saja mungkin sudah kabur terbirit-birit.

Sayang dijumpainya kali ini adalah Ho Leng-hong. Ho Leng-hong tidak menganggapnya sebagai manusia, apalagi sebagai seorang perempuan, adegan semacam ini sudah biasa baginya, sedikitpun tidak heran dan terangsang. Ia menganggapnya seperti gumpalan daging atau seekor babi betina, tanpa pikir tangan kiri menyodok ke depan. Sodokan ini telak bersarang di perut perempuan cebol itu.

“Aduh!” karena kesakitan perempuan itu membungkukkan badannya, seakan-akan mendadak merasa malu. Sedikitpun tidak terlintas dalam benak Ho Leng-hong rasa kasihan, bagaikan sebilah golok telapak tangan kanannya membacok kuduk perempuan itu dengan keras.

“Ouh...” perempuan itu mengerang kesakitan dan jatuh berlutut di lantai.

Dengan cekatan Leng-hong menjambak rambutnya, menutuk jalan darahnya dan membungkus tubuhnya yang telanjang itu dengan selimut, kemudian dilemparkan ke atas pembaringan. Sesudah bertepuk tangan, ia baru mengalihkan sinar matanya ke wajah Hui Beng-cu. Ketika itu Hui Beng-cu sudah hampir jatuh semaput, ia sedang mengurut leher sendiri, napasnya tersengal dan tak sekatapun sanggup diucapkan.

“Bagaimana Jit-long?” kedengaran Pang Goan bertanya di luar jendela.

Sambil memberi secawan teh pada Hui Beng-cu agar tenggorokannya basah, jawab Leng-hong, “Sudah beres, silakan masuk!”

Tapi rupanya Pang Goan belum percaya, dia melongok dari luar jendela, setelah Leng-hong memasang lampu, dengan hati lega baru ia berani masuk ke dalam.

“Siapa yang membebaskan jalan darahnya?” tegur Leng-hong kemudian.

“Aku....” jawab gadis itu dengan napas terengah.

“Bukankah kau bilang akan mengawasinya sepanjang malam dan tak akan terjadi apa-apa? Kenapa kau bebaskan jalan darahnya?”

“Aku tertipu oleh siasat perempuan busuk ini, mula-mula dia bilang mau kencing, maka kubebaskan jalan darah kakinya, kemudian ia bilang bahwa perempuan Ainu biasa tidur dalam keadaan telanjang, kupikir bila ia berada dalam keadaan telanjang, tentu dia tak mungkin akan kabur, maka…”

“Maka kau bebaskan jalan darah tangannya? Maka lehermu dicekik perempuan itu?”

Hui Beng-cu tundukkan kepalanya rendah-rendah, katanya dengan menyesal, “Tidak kupikir sampai sejauh itu. Akulah yang salah, akulah yang terlalu gegabah.”

“Andaikata ia bilang perempuan Ainu kalau tidur tentu memeluk sebilah golok, apakah kau juga akan memberikan golok padanya?”

Hui Beng-cu tak dapat menjawab, hanya tunduk kepala dan bungkam.

Pang Goan kuatir gadis itu merasa jengah, buru-buru selanya, “Kejadian yang lewat biarlah lalu, untung kita cukup waspada dan tak sampai perempuan itu kabur, lain kali sedikitlah lebih berhati-hati, Jit-long, mari kita kembali ke kamar.”

Leng-hong tidak berkata apa-apa, ia putar badan dan melangkah keluar. Sambil memandang bayangan punggung orang yang berlalu, kata Hui Beng-cu dengan suara takut, “Agaknya Nyo-toako sangat marah dan menyalahkan aku, padahal aku sungguh-sungguh teledor, aku tidak sengaja melepaskan dia....”

“Aku mengerti,” kata Pang Goan sambil tertawa, “Jit-long juga tidak benar-benar menyalahkan dirimu, tujuannya agar kau jangan tertipu lagi di kemudian hari, sekali tertipu lain kali harus hati-hati. Sudahlah, beristirahatlah, akupun akan pergi.”

Ketika kembali ke kamar sebelah, Leng-hong sedang berbaring sambil menopang tengkuknya dengan tangan, pemuda itu sedang memandang langit-langit dengan termangu, wajahnya tampak amat serius.

Tak tahan lagi Pang Goan menggerutu, “Kau juga kelewatan, kenapa tidak memberi muka pada budak keluarga Hui itu? Apa yang kau katakan tadi terlalu berat bagi pendengarannya.”

“Lotoako, kau anggap apa yang diucapkan tadi adalah kata-kata yang sejujurnya?”

“Masa bukan?”

Leng-hong tertawa dingin, “Paling sedikit ada satu hal yang tidak kupercayai, dengan ilmu silat Hui Beng-cu, tak mungkin segampang itu ia dapat dibekuk oleh perempuan Ainu itu sekalipun dibekuk, paling sedikit juga akan bersuara, lebih-lebih orang tak perlu mencekik lehernya dalam keadaan telanjang....”

“Jadi maksudmu...” kata Pang Goan setelah termenung sejenak.

“Sedang bermain sandiwara, sandiwara yang sengaja diperlihatkan kepada kita.”

“Sekalipun bermain sandiwara, kan tidak perlu bersandiwara dalam keadaan bugil.”

“Ya, tapi sandiwara ini hanya khusus dipertunjukkan buatku seorang.”

“Aku tidak paham maksudmu.”

“Sederhana sekali, mereka tahu aku mencurigai asal-usul Hui Beng-cu, maka sengaja dimainkan sandiwara tersebut dengan tujuan untuk melenyapkan rasa curigaku terhadap Hui Beng-cu, agar kelihatan lebih seram dia sungguhkan, mereka atur waktu kau bertugas meronda, tapi takut aku tak sempat ikut menyaksikan, maka mereka putuskan untuk berperan dalam keadaan bugil. Mereka menduga kalau Lotoako tak akan tega menyaksikan adegan semacam itu dan akulah yang pasti disuruh masuk, tercapailah tujuan mereka, asal adegan itu kusaksikan sendiri, mereka yakin aku pasti akan percaya asal-usul Hui Beng-cu.”

Pang Goan manggut-manggut, “Kalau begitu, kau yakin budak keluarga Hui ini adalah gadungan?”

“Aku tidak berani mengatakan apakah dia Hui Beng-cu asli atau tidak, aku cuma tahu dia sekomplotan dengan Ci-moay-hwe, dulu cuma curiga saja, tapi sekarang hakikatnya sudah pasti.”

Pang Goan termenung, katanya kemudian, “Jika dugaanmu benar, itu berarti kepergian kita ke markas besar Ci-moay-hwe akan terjebak, cuma sebelum mendapat bukti nyata lebih baik kita jangan menuduh orang dengan begitu saja, persoalan ini kita simpan saja dalam hati dan jangan disiarkan untuk sementara, coba kita lihat dulu bagaimanakah perkembangan selanjutnya.”

“Setelah kita tahu kejadian ini adalah suatu jebakan, kenapa kita masih menuruti perintah mereka?”

“Tujuan mereka adalah untuk mendapatkan To-kiam-hap-ping-tin-hoat, setelah dapat kita pahami duduknya persoalan, kini merekalah yang berada dalam perhitungan kita, kenapa kita tidak menggunakan siasat untuk melawan siasat?”

Leng-hong tidak bertanya lebih jauh, sebab ia mengerti Pang Goan “si monyet dua kuda” bukanlah orang bodoh, ia pasti sudah mempunyai rencana yang matang untuk menghadapi persoalan ini.
Ketika melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya, keadaan aman tenteram seperti tak pernah terjadi apa-apa. Cuma setiap kali Hui Beng-cu bertemu dengan Ho Leng-hong, wajahnya selalu tampak kikuk, seperti malu dan rada takut.

Kereta bergerak menuju ke utara menurut petunjuk perempuan cebol ini, selewatnya Siang-huan, tiba-tiba mereka berbelok ke barat, melewati Bu-tong-san terus menuju ke Tay-pa-san di daerah Siamsay.

Tak lama setelah melewati tembok besar, mereka sudah berada di lereng pegunungan, perjalanan tak dapat dilakukan lagi dengan menunggang kereta. Terpaksa Pang Goan harus meninggalkan kuda dan keretanya, setelah membebaskan jalan darah kaki perempuan pendek itu, berempat mereka mendaki gunung dengan berjalan kaki.

Agaknya perempuan itu apal sekali dengan jalanan bukit itu, sepanjang perjalanan ia selalu memilih jalan setapak yang sepi, dalam sehari mereka dapat menempuh dua sampai tiga puluh li jalan gunung yang tak ada manusianya.

Ho Leng-hong jadi curiga, bisiknya kepada Pang Goan, “Lotoako, tampaknya agak kurang beres, tujuan Ci-moay-hwe adalah menguasai dunia persilatan, tak mungkin markas besarnya didirikan di tengah gunung yang jauh dari keramaian.”

“Aku tahu,” jawab Pang Goan sambil tertawa, “perempuan asing ini sengaja mengajak kita berputar ayun di atas gunung untuk membuang waktu, tujuannya agar perempuan-perempuan busuk itu melakukan persiapan.”

“Menurut pendapat Lotoako, apa yang sedang mereka persiapkan?”

“Jangan pedulikan cara apa yang akan mereka gunakan, pokoknya ingat saja, bila sampai terjadi sesuatu, aku yang menghadapi serangan luar dan kau hadapi musuh dari dalam.”

Leng-hong mengangguk dan tertawa. Tentu saja ia mengerti apa yang dimaksudkan “musuh dari dalam”, tanpa terasa ia berjalan menghampiri Hui Beng-cu. Waktu itu Hui Beng-cu sedang membuat api unggun di tepi sebuah batu karang, karena hari mulai gelap dan terpaksa harus menginap di udara terbuka, mereka harus membuat api untuk mengusir ular dan sebangsanya.

Perempuan Ainu itu duduk bersila di depan mulut gua dan memejamkan mata, menundukkan kepala seperti mengantuk. Api unggun baru saja dibuat, Hui Beng-cu sedang mengebaskan lengan bajunya untuk membuyarkan asap tebal.

Ho Leng-hong menghampirinya, sambil tertawa ia menyapa, “Nona Hui, merepotkan dirimu saja, nona keluarga kenamaan harus melakukan pekerjaan kasar seperti ini.”

“Mengapa kau berkata begitu? Membuat api dan memasak air adalah pekerjaan kaum wanita. Silakan duduk, Nyo-toako.”

Setelah duduk di tepi api unggun, kembali Leng-hong berkata, “Selama di Hiang-in-hu, apakah kau juga melakukan pekerjaan rumah tangga?”

“Meskipun tak pernah kulakukan secara resmi, tapi belajar sih pernah, ayahku selalu menaruh perhatian khusus terhadap kepandaian puteri.”

“Pantas kepandaian nona membuat api unggun dan memotong kayu bakar sudah berpengalaman, bukan seperti orang yang melakukan untuk pertama kali.”

Tiba-tiba Hui Beng-cu berkerut dahi, lalu berkata dengan lirih, “Nyo-toako, ada beberapa persoalan sebetulnya ingin kubicarakan denganmu, sayang selama ini tak ada kesempatan, cuma setelah kuucapkan nanti harap kau jangan marah.”

“Ah, masa marah? Bila ada persoalan katakan saja terus terang,” jawab Leng-hong sambil tertawa.

“Aku merasa, sejak kedatanganku di Thian-po-hu, agaknya Nyo-toako tidak menyukai diriku, benar tidak?”

“Hei, kenapa kau mempunyai pikiran seaneh itu?!”

Hui Beng-cu tertawa getir, katanya lagi, “Misalkan saja pada hari pertama aku tiba di Thian-po-hu, kau telah mencurigai diriku gadungan.”

“Jangan berpikir yang bukan-bukan nona, maklumlah, terpaksa aku harus hati-hati, sebab belum lama berselang Ci-moay-hwe baru saja mengacau di Thian-po-hu, jadi mau tak mau aku harus waspada.”

“Nyo-toako, aku tidak berpikir yang bukan-bukan, lebih-lebih tidak menyalahkanmu, aku dapat memakluminya, bahkan enso pun telah dipalsukan oleh Ci-moay-hwe sehingga Nyo-toako tertipu sekian lama, tak heran rasa bencimu terhadap Ci-moay-hwe telah merasuk tulang, tapi akupun sama-sama menderita akibat ulah mereka, Nyo-toako, tak boleh lantaran perbuatan Ci-moay-hwe maka seluruh perempuan yang ada di dunia kau benci semua!”

“Soal ini...” Leng-hong jadi gelagapan.

Hui Beng-cu kembali berkata, “Nyo-toako, kau mencurigaiku sebagai mata-mata dari Ci-moay-hwe, hal ini adalah urusanmu sendiri dan aku tidak menyalahkanmu, tapi aku harap sebelum ada faktanya jangan kau ambil kesimpulan sendiri, apalagi dalam peristiwa di rumah penginapan Hong-an, tidak semestinya kau menuduh aku bersandiwara untuk menipumu, atau paling sedikit kau harus menunggu setibanya di markas besar Ci-moay-hwe atau setelah tiba di Hiang-in-hu dan menyelidiki duduk perkara yang sebenarnya baru menarik kesimpulan-kesimpulan, terus terang kukatakan bahwa sikapmu itu sangat menyedihkan hatiku, membuatku penasaran.”

Makin bicara makin emosi, akhirnya sambil mendekap wajahnya ia menangis tersedu-sedu. Leng-hong tidak menyangka semua pembicaraannya dengan Pang Goan telah didengar olehnya, lebih-lebih tidak menyangka bakal ditegur secara terus terang, untuk sesaat pemuda itu menjadi gelagapan dan tak tahu bagaimana mesti menjawab.

Setelah tertegun sekian lama, akhirnya ia berkata, “Nona Hui, ucapanmu memang benar, mungkin rasa benciku terhadap Ci-moay-hwe sudah terlampau mendalam sehingga prasangkaku lebih besar dan mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman ini, kuharap kau memahami bahwa aku tidak bermaksud jahat, seandainya aku pernah melakukan kesalahan atau menyinggung perasaanmu, kuharap kau bersedia memaafkan.”

Hui Beng-cu menggeleng kepala berulang kali, sambil terisak katanya, “Tidak, Nyo-toako, aku tidak bermaksud menyalahkan dirimu! Aku hanya… hanya merasa sangat sedih, aku tak menyangka maksudku mohon bantuan pada Thian-po-hu akan berakibat begini....”

“Sudahlah, jangan bersedih hati, apa yang terjadi hanya suatu kesalah-pahaman kecil, peristiwa ini tak akan mempengaruhi hubungan persahabatan antar Bu-lim-sam-hu, kita masih tetap sesama saudara sendiri, nanti kalau markas besar Ci-moay-hwe telah ditemukan dan siapa pemimpinnya berhasil kita ketahui, aku pasti akan menemanimu pergi ke Hiang-in-hu, aku pasti akan membantumu untuk menghadapi komplotan penjahat yang telah menguasai ayahmu itu.”

“Sungguh?” Hui Beng-cu mendongakkan kepalanya, “Nyo-toako, kau benar-benar mau menemaniku pergi ke Leng-lam? Kau masih bersedia menganggapku sebagai adikmu?”

“Tentu saja sungguh, kita mempunyai musuh yang sama dan penderitaan yang sama pula, bukankah begitu?”

Hui Beng-cu tertawa, katanya, “Nyo-toako, kau tidak membohongiku bukan?”

“Persoalan ini adalah masalah serius, buat apa aku membohongimu?” Leng-hong ikut tertawa.

“Kalau begitu legalah hatiku, terus terang kukatakan, semenjak bertemu denganmu untuk pertama kalinya, aku telah menyukaimu, aku tak punya kakak atau adik, selanjutnya aku akan menganggapmu sebagai kakakku sendiri, Nyo-toako kau bersedia bukan?”

“Ya, bersedia,” Leng-hong segera mengalihkan pembicaraan ke soal lain, “Sekarang tanyakan kepada perempuan asing itu, kapan kita baru akan sampai di markas besar Ci-moay-hwe?”

“Sudah kutanyakan kepadanya, bila sepanjang jalan tiada rintangan, besok malam kita akan tiba di tempat tujuan.”

“Apakah kau tidak berusaha mencari kabar tentang keadaan markas besar Ci-moay-hwe?”

“Sudah kutanyakan, tapi ia tak mau menjawab, ia hanya bilang keadaan di sekitar tempat itu sangat curam dan berbahaya, di situlah berdiri istana Ci-moay-kiong, sebuah istana yang megah dan mewah, katanya penghuni istana itu seluruhnya adalah perempuan, lagi pula ilmu silat mereka rata-rata sangat tinggi.”

Sambil mendengarkan keterangan itu Leng-hong mengangguk-angguk seakan-akan mendengarkan secara serius, tapi seperti juga sangat kecewa, gumamnya, “Kalau begitu, besok kita akan berhasil membongkar rahasia yang menyelimuti Ci-moay-hwe? Kenapa sampai saat ini keadaan masih tetap tenang-tenang saja?”

“Betul, akupun merasa heran,” kata Beng-cu, “semestinya semakin mendekati sarang Ci-moay-hwe, semakin banyak gangguan atau penghadangan akan terjadi.”

Leng-hong tertawa, bisiknya, “Siapa tahu kalau malam nanti bakal ada gerakan? Kau harus hati-hati.”

Setelah melirik sekejap ke arah perempuan negeri seberang itu, dia lantas bangkit dan meninggalkan api unggun. Perempuan Ainu itu masih duduk bersila tanpa bergerak, seolah-olah sudah tertidur, ketika Leng-hong berlalu, tiba-tiba ia bangkit dan putar badan masuk ke dalam gua di belakangnya.

Tempat itu merupakan sebuah tebing yang menonjol keluar di kaki gunung, di sekeliling sana terdapat enam-tujuh buah gua yang tidak sama dalamnya, sedangkan yang cetek hanya muat satu badan, di depan sana ada sebuah sungai, pemandangan indah, suatu tempat berkemah yang baik.

Setelah kenyang mengisi perut, keempat orang itu masing-masing lantas mencari sebuah gua untuk beristirahat. Agar lebih leluasa mengontrol perempuan Ainu itu, Hui Beng-cu mencari sebuah gua yang agak dalam dan tinggal bersamanya, ia menyuruh perempuan itu tidur di dalam gua, sementara ia sendiri di mulut gua. Pang Goan dan Leng-hong berjaga secara bergilir, mereka mendiami dua buah gua yang agak cetek di kiri kanannya.

Api unggun terletak persis di muka gua yang ditempati Hui Beng-cu, seandainya ada orang mendekati tebing tersebut, kebanyakan mereka akan memperhatikan gua di bagian tengah daripada kedua gua yang terletak di sisinya. Secara kebetulan sekali, baru saja mereka beristirahat, tiba-tiba kedengaran suara langkah kaki manusia ramai.

Pang Goan paling dulu mendengar suara langkah manusia itu, tapi ia hanya membetulkan letak senjatanya tanpa bergerak dari tempatnya. Leng-hong coba melongok dan melirik sekejap ke arah gua sebelah tengah, ia tidak tampak Hui Beng-cu, mungkin gadis itu pun mendengar suar tersebut dan mengundurkan diri ke dalam gua. Maka Leng-hong pun diam saja.

Yang datang berjumlah empat orang, seorang pendeta dan tiga orang preman, pakaian mereka compang-camping, kepala tertunduk rendah dengan langkah sempoyongan, agaknya mereka sama terluka. Leng-hong duduk di dalam gua dan tak sempat melihat jelas raut wajah keempat orang itu, tapi ia merasa di antara keempat orang itu paling sedikit ada seorang yang sudah dikenalinya.

Orang pertama adalah seorang Hwesio berusia lima puluhan, jubahnya terkoyak-koyak dan berpelepotan darah, di belakangnya mengikut tiga orang laki-laki preman setengah umur, tubuh merekapun babak-belur.

Dengan terhuyung-huyung keempat orang itu mendekati api unggun, rupanya mereka sudah kehabisan tenaga, mendadak mereka roboh terkapar di tanah dan tidak berkutik lagi. Tergetar perasaan Leng-hong, baru saja dia hendak berdiri.

“Tunggu sebentar!” seru Pang Goan dengan suara tertahan, “kendalikan emosimu, keempat orang itu sudah tewas, jangan pedulikan mereka, hati-hati dengan musuh tangguh yang bersembunyi di tempat gelap!”

Terpaksa Leng-hong tarik napas panjang dan menekan gejolak emosinya. Tapi setelah ditunggu sekian lama, belum kedengaran juga suara yang lain, bahkan tidak nampak sesosok bayangan pun yang muncul di situ. Sementara itu keempat sosok mayat tadi terkapar di dekat api unggun, jelas mereka sudah putus nyawa karena tubuh kaku dan tak berkutik lagi.

“Lotoako, kau lihat benda di atas dada mereka?” bisik Ho Leng-hong dengan suara parau.

“Sudah! Jangan bergerak dulu, biar kuperiksa daerah sekeliling tempat ini!”

Begitu selesai berkata, bagaikan seekor monyet, dengan gesit Pang Goan melayang keluar gua. Tidak lama kemudian ia muncul kembali dengan wajah serius, sambil menggapai katanya, “Keluarlah Beng-cu! Tutuk dulu jalan darah perempuan asing itu, jangan sampai dia sempat melarikan diri.”

Leng-hong dan Beng-cu sama muncul dari gua, setelah memeriksa keempat sosok mayat di tepi api unggun itu, perasaan semua orang sama tertekan. Sebelum tiba di dekat api unggun jelas keempat orang itu, seorang pendeta dan tiga orang preman, telah terluka parah, bahkan kedatangan mereka ke sana menjelang ajalnya pun bukan atas keinginan mereka sendiri.

Sebab tangan mereka berempat sama diikat oleh seutas tali panjang, lagi pula dada masing-masing tergantung sebuah lencana kayu yang berukirkan sebuah huruf besar berwarna merah darah. Dibaca menurut urutannya dari pendeta itu, maka tersusunlah empat kata yang berbunyi, “Jip”, “Kok”, “Cia” dan “Si” yang artinya, “Barang siapa masuk ke dalam lembah, mati!”

Meskipun sekujur badan keempat orang itu penuh dengan luka, tapi luka yang mengakibatkan kematian mereka adalah sama, yakni dada kiri ditembus ujung golok hingga tembus ke hulu hati, sekalipun malaikat dewata juga tak bisa menyelamatkan jiwa mereka. Tusukan menembus hati itu bukan saja dilakukan dengan sangat jitu, besar-kecilnya luka dan dalam cetaknya luka ternyata persis sama satu dengan lainnya.

Pang Goan geleng kepala berulang kali dan berkata, “Sungguh ilmu golok yang amat keji!”

“Betul!” Leng-hong menanggapi, “kesempurnaan ilmu golok pembunuh itu tampaknya tidak berada di bawah ilmu golok Thian-po-hu maupun Hiang-in-hu.”

“Jit-long, kenalkah kau pada keempat orang ini?” tanya Pang Goan kemudian.

“Aku hanya kenal lelaki nomor dua yang mengenakan baju hijau itu, sedang sang pendeta ini kemungkinan besar adalah Hwesio dari Siau-lim-si.”

“Oya? Lantas siapakah laki-laki itu?”

“Thian Pek-tat!”

“Thian si telinga panjang?” ulang Pang Goan dengan air muka berubah hebat.

“Memang dia inilah orangnya, bukankah Lotoako pernah bilang secara tiba-tiba dia diajak temannya meninggalkan rumah dan menuju ke Lan-hong? Bisa jadi kedua orang ini adalah sahabatnya yang mengajaknya pergi, kemungkinan besar kepergian mereka ke Lan-hong adalah untuk mengunjungi Siau-lim-si... cuma, kenapa mereka bisa mati di sini?”

“Kalau begitu, kecurigaanmu padanya sebagai mata-mata Ci-moay-hwe jelas keliru besar,” kata Pang Goan dengan kening berkerut.

“Baik dalam tindak tanduknya maupun dalam pembicaraannya, Thian Pek-tat merupakan seorang yang patut dicurigai, maka menurut dugaanku jika ia bukan mata-mata Ci-moay-hwe, jelas dia orang suruhan dari kelompok organisasi misterius lainnya, kalau tidak, tak mungkin tanpa sebab musabab ia mendatangi pegunungan Tay-pa-san ini.”

“Lantas siapa pula kelompok manusia yang misterius itu?”

“Tentang ini tak berani kukatakan secara gegabah. Cuma selalu kurasakan sejak tercurinya Yan-ci-po-to seakan-akan terdapat sekelompok manusia yang diam-diam memusuhi pihak Ci-moay-hwe, mungkin saja merekapun mengincar golok mestika tersebut, dan mungkin juga mempunyai tujuan tertentu, tapi kawankah atau musuhkan? Sukar untuk dikatakan dengan begitu saja, sayang Thian Pek-tat telah mati, kalau tidak, mungkin dari mulutnya akan diperoleh sedikit titik terang.”

Pang Goan termenung sebentar, lalu berkata, “Kalau demikian, suasananya makin lama berkembang makin kacau, kecuali Ci-moay-hwe, siapa lagi yang berhasrat mendapatkan golok mestika Yan-ci-po-to?”

“Lotoako, masih ingatkah kau Yan-ci-po-to telah dirampas oleh seorang berkerudung yang tinggi besar? Hakikatnya Samkongcu dari Ci-moay-hwe tidak berhasil mendapatkan golok mestika tersebut.”

Tergerak juga hati Pang Goan, katanya, “Benar, waktu itu aku mengira pihak Ci-moay-hwe berbohong, bila kita bayangkan kembali sekarang rasanya memang ada beberapa bagian yang bisa dipercaya...”

Sementara mereka membicarakan kejadian yang berlangsung di Thian-po-hu tempo hari, Hui Beng-cu menjadi tidak sabar, selanya, “Hei, apa yang kalian bicarakan? Sepatah katapun tidak kupahami. Sekarang lebih baik kita rundingkan dulu apa yang mesti dilakukan dengan keempat sosok mayat ini.”

“Gali saja sebuah liang dan kita kubur mereka…..” usul Pang Goan.

“Tidak, tak boleh dikubur!” mendadak seseorang menganggapi, bersamaan itu dari atas tebing melayang turun sesosok manusia.

Baik Pang Goan maupun Ho Leng-hong, kedua-duanya tidak menyangka di atas tebing telah bersembunyi seseorang, serentak mereka lolos golok dan pedang.

“Jangan menggerakkan senjata,” kembali orang itu berkata, “kedatanganku orang tua ini hanya bermaksud menasihati kalian saja, mau turut atau tidak terserah kepada kalian sendiri, dan tak perlu bersitegang macam begini.”

Orang yang mengaku sebagai orang tua itu memang telah lanjut usia, wajahnya penuh keriput, rambut dan jenggotnya telah memutih, badannya agak membungkuk, meskipun belum mencapai sembilan puluh, paling sedikit juga melampaui delapan puluh. Meski begitu, tongkat baja sebesar telur itik yang berada dalam genggamannya itu memiliki bobot yang hampir sebanding dengan usianya, kalau tidak mencapai sembilan puluh kati, delapan puluh pasti ada.

Dengan usianya yang tua namun sanggup membawa tongkat seberat itu, dari sini saja dapat diketahui bahwa orang tua ini memang bukan orang sembarangan.

Pang Goan bukan orang bodoh, golok dan pedangnya tidak digunakan untuk menyerang, tapi disilangkan untuk melindungi badan, lalu tegurnya dengan suara berat, “Siapa kau?”

“Aku adalah orang di luar garis, bila kalian suka panggil saja aku orang di luar garis.”

“Kalau begitu, kau tak ada hubungan apa-apa dengan Ci-moay-hwe?” sela Ho Leng-hong.

Kakek itu tertawa, “Dengan sebutan orang di luar garis, berarti aku tak ada hubungan apa-apa dengan pihak manapun.”

“Lantas dengan maksud apa kau bersembunyi di puncak tebing itu?” tegur Pang Goan.

“Pang-lote, jangan berkata begitu!” ujar kakek itu sambil menarik senyumnya, “tebing ini bukan milik Cian-sui-hu, kalian boleh datang kemari kenapa aku tak boleh datang? Lagipula aku datang lebih awal daripada kalian, semenjak tadi aku sudah berdiam di atas tebing itu, adalah kalian yang tidak melihat jejakku, masa kini menyalahkan aku si kakek mengintip kalian?”

“Kalau begitu, anggap saja ketajaman pendengaran kamilah yang kurang...” kata Leng-hong kemudian, “tapi, bolehkah kutahu mengapa kau melarang kami mengubur mayat-mayat ini?”

“Untuk mengetahui alasannya, maka lebih dulu ingin kutanya, jauh-jauh kalian datang ke tempat sepi semacam ini, sesungguhnya apa tujuan kalian?”

“Kami sedang mencari suatu tempat!”

“Apakah alamat markas besar Ci-moay-hwe yang sedang kalian cari?”

“Benar!”

“Aku ingin bertanya lagi, tahukah kalian siapakah yang membunuh keempat orang ini?”

“Tentu saja orang-orang Ci-moay-hwe!”

“Mengapa pihak Ci-moay-hwe membunuh mereka?”

“Jelas sekali, mereka sengaja pamerkan kekuatan agar kami tak berani melanjutkan perjalanan.”

“Apakah kau kira markas besar Ci-moay-hwe terletak di atas bukit di sebelah depan sana?” tanya kakek itu lagi.

“Betul,” jawab Leng-hong.

Ditatapnya pemuda itu dengan tersenyum, lalu kata si kakek, “Tak kunyana, kau benar-benar pintar!”

“Tak berani kuterima pujianmu...” Leng-hong memberi hormat.

Tiba-tiba kakek itu menarik muka sambil meludah ke tanah, “Pintar?” ejeknya, “Cis! Pintar kentut, Hei, anak muda, kau anggap dirimu sangat pintar? Padahal gobloknya melebihi kerbau.”

Leng-hong melenggong, “Orang tua, kau....”

“Hmm, aku sudah cukup sungkan padamu, coba kalau tidak sungkan, ingin sekali kuhadiahi beberapa tempelengan untukmu. Apakah tidak kau bayangkan, setelah Ci-moay-hwe dapat masuk keluar dengan seenaknya sendiri di Bu-lim-sam-hu bagaikan di rumah sendiri, apakah mereka mau mendirikan markas besarnya di tengah bukit liar semacam ini?”

Sekalipun sedang didamprat, namun Leng-hong cuma diam saja, sebab ia merasa perkataan itu memang benar.

Terdengar kakek itu berkata lebih jauh, “Lagipula, seandainya mereka tak ingin kedatangan kalian, banyak kesempatan bagi mereka untuk turun tangan di sepanjang jalan, kenapa harus pamer kekuatan pada saat seperti ini? Jikalau keempat orang itupun bisa mereka bunuh, mengapa mereka tidak dapat membunuh kalian pula? Apa gunanya membuka celana untuk kentut, melakukan tindakan berlebihan? Memangnya kalian bertiga lebih hebat daripada mereka berempat?”

“Jadi maksud orang tua, kedatangan kami memang telah diatur oleh Ci-moay-hwe secara diam-diam?”

“Kalau tidak, apakah kalian bisa sampai di sini dengan lancar?”

“Kalau begitu, mereka sengaja mengatur jebakan agar kami masuk perangkap?”

Tersungging juga senyuman pada wajah kakek itu, “O, rupanya kau memang tidak terlalu goblok, akhirnya keluar juga sepatah kata cerdik.”

“Lalu, siapakah yang membunuh keempat orang itu? Jebakan apakah yang mereka siapkan di atas bukit?” tanya Leng-hong lagi.

Kakek itu menggeleng kepala berulang kali, “Baru saja kukatakan kau pintar, kenapa menjadi bodoh lagi? Terus terang kuberitahukan padamu, inilah siasat Cioh-to-sat-jin (pinjam golok membunuh orang) dari Ci-moay-hwe, mengerti?”

“Aku belum mengerti!”

“Sialan, terpaksa harus kuterangkan lebih terperinci padamu,” keluh kakek itu sambil menghela napas, “ketahuilah, pihak Ci-moay-hwe sengaja mengirim anak domba ke mulut harimau, kalian di pancing ke sebuah lembah yang mengerikan, meskipun tempat itu tiada jebakan yang berbahaya, tapi hanya bisa datang dan jangan harap akan keluar lagi, sebab barang siapa telah masuk ke dalam lembah itu, selamanya tak mungkin keluar lagi dalam keadaan hidup....”

“Apakah kau maksudkan lembah Mi-kok?”

Tiba-tiba air muka kakek itu berubah, “Sudah terlalu jelas keteranganku tadi, apapun nama tempat itu, pokoknya lebih baik jangan di datangi, aku hanya orang di luar garis, sampai di sini saja apa yang bisa kukatakan, mau percaya atau tidak terserah kepada kalian sendiri.”

Dia lantas mengangkat tongkatnya dan siap meninggalkan tempat itu.

“Tunggu sebentar!” seru Pang Goan tiba-tiba sambil mengadang jalan perginya.

Sambil tertawa dingin kakek itu menghentikan langkahnya, “Pang-lote, apakah masih ada urusan lain?”

“Aku ingin tanya satu hal, sebagai orang di luar garis, kenapa begitu banyak persoalan tentang Ci-moay-hwe yang kau ketahui? Darimana pula kau tahu bahwa setiap orang yang masuk ke lembah Mi-kok tiada harapan lagi untuk keluar dalam keadaan hidup?”

“Pang-lote,” kata kakek itu sambil menarik napas panjang, “aku bermaksud baik, jangan kau anggap aku bermaksud jahat.”

“Kalau betul bermaksud baik, kenapa tidak berani sebutkan namamu?”

“Apa gunanya memaksa orang melakukan hal yang tidak diinginkannya?” kata kakek itu lagi sambil tertawa.

“Oleh karena kau orang di luar garis yang terlalu banyak mencampuri urusan ini.”

“Jika aku tak bersedia menyebutkan namaku?”

“Terpaksa akan kuselidiki asal-usulnya dari ilmu silatmu?”

“Hahaha... kau hendak bertarung denganku?” seru si kakek sambil tertawa terbahak-bahak.

“Betul, silakan!”

Dengan golok di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, Pang Goan segera menunjukkan gaya pembukaan ilmu To-kiam-hap-ping-tin.

Ho Leng-hong kuatir mereka benar-benar berkelahi, segera teriaknya, “Pang-toako, bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan dulu kepada orang tua ini?”

“Baik, tanyalah lebih dulu!”

Leng-hong memberi hormat kepada kakek itu, lalu katanya, “Aku percaya kau orang tua benar-benar bermaksud baik, tapi ucapanmu baru sampai di tengah jalan, kenapa lantas buru-buru mau pergi?”

“Apa yang bisa kukatakan telah kuutarakan, urusan apa yang kau maksudkan cuma setengah jalan?”

“Tadi kami hendak mengubur keempat sosok jenazah ini, tapi dihalangi olehmu, sampai sekarang belum kau jelaskan kepada kami kenapa jenazah mereka tak boleh dikubur.”

“O, rupanya persoalan ini yang kau tanyakan,” kata si kakek sambil tertawa, “Baiklah! Akan kuterangkan padamu, keempat sosok mayat dan lencana kayu di tubuh mayat tersebut merupakan sebagian dari siasat Ciok-to-sat-jin dari Ci-moay-hwe. Jika kalian mau menurut anjuranku, maka cepatlah bakar mayat itu dengan api, kemudian tinggalkan Tay-pa-san, kalau tidak, maka tak lama bakal ada bencana besar yang akan menimpa kalian.”

“Kenapa mayat-mayat itu mesti dibakar dengan api...?” tanya Leng-hong dengan tercengang.

“Ah, terlalu banyak yang kau tanya!” tukas kakek itu marah, tongkatnya segera diketukkan ke tanah dan tubuhnya melayang pergi meninggalkan tempat itu.

“Jangan pergi dulu! Sambut seranganku ini.” Bentak Pang Goan. Tampak cahaya tajam berkilau, golok di tangan kiri dan pedang di tangan kanannya segera menyerang bersama.

Waktu itu kedua kaki si kakek sudah meninggalkan permukaan tanah, tiba-tiba ia tertawa dingin, “Jurus serangan bagus!”

Bayangan tongkat berkelebat membelah angkasa, di antara getaran ujung tongkat terciptalah selapis cahaya hitam. Ketika serangan golok dan pedang Pang Goan membentur cahaya hitam tersebut.

“Trang!” golok dan pedang terpental kembali. Untung Pang Goan tidak menggunakan segenap tenaganya dalam serangan tersebut, ia tergetar mundur dua langkah dengan sempoyongan, tangannya terasa panas dan sakit, hampir saja senjatanya terlepas dari genggaman.

Kakek itu sama sekali tidak menghentikan gerak tubuhnya, sekali berjumpalitan ia sudah melayang ke atas tebing dan lenyap dibalik batu itu.

“Toako terluka tidak?” tanya Leng-hong cepat.

Pang Goan menggeleng kepala dengan wajah terkejut katanya, “Betapa sempurnanya tenaga dalam kakek itu, hidup sampai setua ini baru sekali ini aku benar-benar menjumpai seorang jago tangguh.”

“Sudah Toako tahu asal-usulnya?”

Kembali Pang Goan menggeleng, “Tidak berhasil kuketahui, tenaga dalam orang ini jauh di atasku, belum pernah kudengar dalam dunia persilatan terdapat seorang jago setangguh ini.”

Padahal Pang Goan adalah seorang tinggi hati dan tak pernah tunduk kepada orang lain, tapi sekarang ia mengucapkan kata-kata semacam itu, dapat diketahui bahwa perasaannya betul-betul tergetar keras.

“Untung ia menyebut dirinya sebagai orang di luar garis, jadi tidak bermusuhan dengan kita, kalau tidak, sungguh seorang musuh tangguh.”

Hui Beng-cu yang membungkam terus sejak tadi tiba-tiba berkata sambil tertawa, “Menurut pendapatku, usianya sudah terlalu lanjut, senjatanya juga kelewat berat, andaikata benar-benar terjadi pertarungan, belum tentu dia bisa menandingi kelihayan Pang-toako.”

“Kau tak perlu bantu menutupi maluku,” kata Pang Goan sambil tertawa getir, “di atas langit masih ada langit, di atas manusia pintar masih ada yang lebih pintar, dunia persilatan penuh dengan orang kosen yang tak terhitung banyaknya, tenaga dalam tak dapat menandingi bukanlah sesuatu yang memalukan, tak berani mengaku kalah barulah suatu kejadian yang memalukan.”

Merah wajah Hui Beng-cu karena jengah, katanya sambil tertawa, “Maksudku jurus pedang Pang-toako belum tentu kalah dengannya, misalnya saja kalau ia tidak cepat-cepat pergi, bila Pang-toako telah mengembangkan ilmu To-kiam-hap-ping-tin, siapa yang bakal menang atau kalah masih sukar diramalkan.”

“Sekarang tak usah membicarakan soal semacam itu,” kata Leng-hong, “yang mesti kita rundingkan sekarang adalah apakah kita harus mengikuti anjurannya atau tidak?”

Pang Goan berkerut kening, untuk sesaat ia tak berkata apa-apa.

“Aku pikir anjurannya tak perlu digubris,” kata Beng-cu, “bahkan siapakah dia saja tidak kita ketahui, dengan dasar apa kita harus menuruti perkataannya?”

“Tapi, apa yang dikatakannya ada benarnya juga, andaikata hal ini benar-benar merupakan rencana busuk Ci-moay-hwe, mau tak mau kita harus waspada dan mencegahnya.”

“Bagaimanapun besok kita akan tiba di tempat tujuan, sampai waktunya bukankah semua persoalan akan tersingkap dengan sendirinya? Jangan lantaran cuma sepatah katanya lantas melepaskan semua usaha kita yang telah kita capai dengan susah-payah.”

Leng-hong berpikir sejenak, kemudian berpaling, “Bagaimana pendapatmu, Lotoako?”

Pang Goan menarik napas panjang, “Kukira ucapan kakek itu tak mungkin tanpa alasan, mungkin saja ia bermaksud baik. Cuma kita tak boleh melepaskan usaha kita sampai setengah jalan saja….”

“Benar!” Beng-cu menyambung, “asal kita lebih berhati-hati, sekalipun di depan sana ada marabahaya juga tak perlu takut.”

Pang Goan tidak menanggapinya, katanya, “Menurut perkataan orang tua itu, kemungkinan besar lembah tersebut adalah Mi-kok seperti apa yang tersiar dalam dunia persilatan selama ini, andaikata betul, sekalipun harus menyerempet bahaya tetap akan kita datangi tempat itu, sedang mengenai keempat sosok mayat ini, kupikir memang ada baiknya dibakar saja seperti usulnya tadi.”

Tiba-tiba Leng-hong tertawa, katanya, “Siaute telah mendapatkan suatu akal bagus, entah Toako menyetujui atau tidak?”

“Coba katakan.”

“Kukira ucapan kakek itu dapat dipercaya, cuma keterangannya tidak terperinci sehingga bikin orang bingung, bagaimana kalau kita lakukan percobaan?”

“Percobaan bagaimana?”

“Ia sarankan agar mayat ini dibakar, dikatakan pula keempat sosok mayat dan lencana kayu ini merupakan sebagian dari siasat Cioh-to-sat-jin (pinjam golok membunuh orang) dari Ci-moay-hwe, aku rasa dibalik ucapan tersebut tentu ada sebab-sebabnya, maka menurut pendapatku untuk sementara waktu kita jangan melanjutkan perjalanan dulu, mayat-mayat inipun tak usah kita bakar, biarkan saja mayat dan lencana kayu berada di tempat semula, kemudian kita sembunyi dan menunggu satu hari, coba kita lihat peristiwa apa yang akan terjadi?”

“Bagus sekali...!” sorak Beng-cu, “aku sangat setuju dengan percobaan ini, toh terlambat satu-dua hari juga tidak apa-apa.”

Pang Goan termenung sejenak sebelum menjawab, “Mungkin juga bencana yang dimaksudkan tak akan terjadi di sini, kalau begitu, bukankah kita akan menunggu dengan sia-sia di sini?”

“Meski demikian, hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi rencana kita semula, selewatnya besok kita masih bisa membakar mayat-mayat ini dan melanjutkan perjalanan, apa artinya tertunda sehari?”

“Baiklah,” kata Pang Goan kemudian sambil mengangguk, “kita coba saja kalau begitu.”

“Aku akan coba mencari apakah di sekitar sini ada tempat persembunyian yang baik?” kata Beng-cu cepat.

“Tak usah dicari lagi, bukanlah di atas sana merupakan tempat persembunyian yang baik?” kata Leng-hong sambil menuding tonjolan tebing sebelah atas.

Tiga orang itu segera melompat ke puncak tebing itu, betul juga, mereka temukan sebuah gua di sana, mulut gua ciut, dan pendek, tapi perut gua itu lebar dan dalam sekali, pada ujung lain terdapat jalan tembus dan melingkar sampai sejauh puluhan tombak lebih.

Gua itu benar-benar aman dan rahasia letaknya, tak aneh kakek yang menyebut dirinya, “orang luar garis” itu begitu mencapai puncak tebing ini lantas lenyap.

Hui Beng-cu membawa juga perempuan Ainu itu ke atas tebing dan meletakkannya di dalam gua, sementara api unggun dan mayat dibiarkan tetap berada di tempat semula. Setelah segala sesuatunya selesai diatur, ketiga orang itu lantas bertiarap di depan gua sambil menantikan perubahan selanjutnya....


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.