Matahari Senja
Bagian 01
DI TIMUR matahari mulai membayangkan sinar paginya yang sejuk. Ketika Manggada dan Laksana keluar dari regol halaman, mereka melihat beberapa orang berjalan dengan tenang di jalan padukuhan. Di wajah mereka tidak lagi membayang kecemasan dan ketakutan.
Dua orang perempuan yang nampaknya akan pergi ke pasar, sempat bergurau. Suara tertawa mereka yang renyah disahut oleh kicau burung kepodang yang hinggap dipelepah daun pisang. Padukuhan Gemawang memang mulai tersenyum. Orang-orang yang pergi ke sawahpun tidak lagi nampak tergesa-gesa dengan wajah yang cemas.
Manggada dan Laksana pun kemudian melangkah menyusuri jalan padukuhan. Mereka memang akan pergi ke sawah untuk membuka pematang mengairi batang padi yang mulai berbunga. Manggada dan Laksana sengaja berjalan lewat depan rumah Wira Sabet.
Rumah yang sudah mulai dihuni lagi oleh pemiliknya setelah untuk beberapa lama ditinggalkan dan dibiarkan kosong dan kotor. Sampah berserakan dimana-mana. Kayu-kayu kering yang dibiarkan teronggok dibawah pepohonan. Namun pohon duwet dan manggis dirumah Wira Sabet itu tetap berbuah.
Ketika keduanya berjalan didepan regol, tiba-tiba saja keduanya ingin singgah. Keduanya mendengar suara sapu lidi di halaman rumah yang pintu regolnya masih tertutup.
Perlahan-lahan Manggada mendorong pintu regol yang ternyata tidak diselarak itu. Dari sela-sela pintu yang sedikit terbuka itu, Manggada melihat Pideksa yang sedang menyapu halaman, terkejut. Tetapi demikian Pideksa itu melihat Manggada dan Laksana yang kemudian melangkah masuk, màka ànak muda itupun tersenyum.
"Aku tidak sengaja mengejutkanmu..." berkata Manggada.
"Aku tahu..." jawab Pideksa yang berhenti menyapu "Tetapi jantungku yang menjadi rapuh sekarang membuat aku mudah sekali terkejut.”
"Lupakan!" desis Manggada "Masih banyak yang harus kau lakukan. Bukankah umurmu tidak terpaut dengan umur kami berdua?"
"Kau tidak pernah terperosok kedalam kubangan yang mengotori tubuh dan jiwamu." berkata Pideksa.
"Tetapi yang penting sekarang, apa yang akan kita kerjakan kemudian.” jawab Manggada.
Pideksa mengangguk kecil, sementara Laksana pun berkata, “Bangkitlah. Anak-anak muda padukuhan ini ternyata dapat menerima kau kembali diantara mereka.”
Pideksa memandang Laksana sekilas. Tetapi kemudian pandangan matanya terlempar jauh kesudut halamannya. Suaranya yang parau terdengar ragu. "Apakah mereka benar-benar memaafkan keluarga kami, atau sekedar meredam dendam didalam hati yang setiap saat akan meledak dan membakar keluarga kami?”
"Mungkin ada orang yang mendendammu. Mungkin keluarga dari korban yang jatuh ketika kami datang ke barakmu. Tetapi jika kau kembali memasuki kehidupan wajar dan membuktikan bahwa kau telah berubah, maka dendam itu akhirnya akan terkikis oleh kenyataan itu.”
Pideksa tersenyum, betapapun pahitnya. Katanya, "Aku berterima kasih kepada kalian berdua. Kalian telah memberi kesempatan kepada kami untuk menatap masa depan. Segala sesuatunya tentu tergantung kepada kami, apakah kami dapat mempergunakan kesempatan ini dengan baik atau tidak!”
"Tataplah hari depanmu dengan tegar!" desis Manggada sambil menepuk bahu Pideksa.
Pideksa mengangguk.
"Ki Jagabaya dan Sampurna benar-benar telah memaafkan kau dan paman Wira Sabet. Bukankah kau rasakan itu?"
Pideksa mengangguk pula. Katanya, "Ya. Aku merasakannya. Ayah juga merasakannya. Tetapi sampai sekarang, ayah masih lebih senang mengurung diri didalam rumah dengan pintu yang tertutup.”
"Ajak paman Wira Sabet keluar. Aku yakin, kalian akan diterima dengan baik oleh seisi padukuhan.” desis Manggada.
Pideksa mangangguk-angguk.
"Sudahlah..." berkata Manggada kemudian "Aku akan mengairi sawahku. Padi sedang berbunga. Jika terlambat, maka hasilnya tentu kurang baik.”
Pideksa memandang wajah Manggada dengan kerut didahi. Dengan ragu ia berkata, "Apakah Ki Bekel masih mengakui bahwa sawah ayah itu masih tetap menjadi milik ayah?"
"Ya, seharusnya demikian. Bukankah sampai sekarang sawah paman Wira Sabet masih kering dan tidak ditanami sejak paman Wira Sabet meninggalkan padukuhan ini?"
"Ya" jawab Pideksa.
"Sawah itu kini menjadi tempat anak-anak menggembala kambing. Tetapi sudah tentu bukan berarti bahwa kalian tidak boleh menanaminya lagi.” jawab Manggada.
Pideksa mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap nampak ragu. Manggada yang melihat keraguan di sorot mata Pideksa itupun berkata, "Baiklah. Aku akan menghubungi Ki Jagabaya untuk meyakinkan, apakah sawahmu itu dapat digarap lagi.”
Pideksa menarik nafas panjang. Dengan nada dalam ia berkata, "Terima kasih. Berapa kali lagi aku harus mengucapkan terima kasih kepada kalian.”
"Sudahlah. Jangan berlebihan. Kita akan bersama-sama hidup dalam suasana yang lebih baik di padukuhan ini.”
"Kami akan berusaha berbuat sebaik-baiknya. Kami benar-benar berharap bahwa kami dapat diterima oleh para penghuni padukuhan ini.”
"Penghuni padukuhan ini bukannya pendendam, Pideksa. Kecuali ayah dan paman Sura Gentong.”
"Jangan sebut lagi...” potong Laksana. Lalu katanya, "Nah, marilah. Kami akan pergi ke sawah. Nanti dari sawah kami akan singgah. Pohon duwet itu seakan-akan tidak berdaun lagi. Kamilah yang selama ini memetik duwet dan manggis dari halaman ini. Tentu saja atas ijin paman Wira Sabet.”
Ketika kemudian Manggada dan Laksana meninggalkan halaman itu, maka Pideksa mengantar mereka sampai keregol halaman. Demikian keduanya turun ke jalan, maka Pideksa melanjutkan kerjanya, menyapu halaman rumahnya yang terhitung cukup luas.
Dihari-hari berikutnya, Manggada dan Laksana memang berusaha untuk membawa Pideksa kembali kedalam pergaulan anak-anak muda. Sebagian dari anak-anak muda padukuhan itu, masih saja dibayangi oleh ketakutan, justru karena Pideksa anak Wira Sabet. Tetapi tingkah laku Pideksa memang meyakinkan anak-anak muda di Gemawang, bahwa Pideksa memang sudah berubah.
Seperti yang dijanjikan kepada Pideksa, maka Manggada dan Laksana telah menemui Ki Jagabaya. Mereka telah membicarakan tentang sawah dan pategalan milik Wira Sabet dan Sura Gentong. Apakah Wira Sabet diperbolehkan menggarap sawahnya kembali.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, "Mereka perlu makan. Karena itu menurut pendapatku, biarlah mereka menggarap sawah mereka. Karena Sura Gentong sudah tidak ada lagi, maka miliknya memang akan diwarisi oleh kemanakannya, Pideksa.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Ternyata Ki Jagabaya cukup bijaksana. Ia memang bukan pendendam sebagaimana diduganya. Bahkan sikap Sampuma pun tidak berbeda dengan sikap ayahnya. Ia menganggap bahwa Wira Sabet memerlukan bekal untuk dapat tetap hidup.
"Jika hidup paman Wira Sabet dan Pideksa mengalami kesulitan dan bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari, maka mereka akan dapat terperosok kembali kedalam dunianya yang gelap. Karena disamping mendendam orang-orang Gemawang, maka mereka telah hidup diantara para perampok, penyamun dan penjahat-penjahat yang lain, bahkan bersama para pengikut Ki Sapa Aruh.” Berkata Sampurna.
"Nah, biarlah aku menemuinya," berkata Ki Jagabaya “Tetapi sebaiknya aku berbicara dengan Ki Bekel.”
"Apa gunanya?" desis Sampurna "Selama ini Ki Bekel tidak berbuat apa-apa. Ia selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Bahkan menurut pendapatku bukan keragu-raguan karena ia membayangkan kerusakan, korban dan bencana yang dapat menimpa padukuhan ini. Tetapi ketakutan yang amat sangat.”
"Jangan begitu..." berkata Ki Jagabaya "Apapun yang dilakukan, tetapi ia masih tetap Bekel padukuhan Gemawang. Bukankah bukan hanya Ki Bekel yang berlaku seperti itu? Apa yang telah dilakukan oleh Kademangan Kalegen? Justru Ki Demang Rejandani yang dengan serta-merta bersedia membantu kita tanpa perasaan takut sama sekali meskipun ia sadar siapakah yang bakal dihadapi.”
"Meskipun Ki Demang mempunyai alasan tersendiri. Bukankah ia juga berusaha untuk mendapatkan kembali benda-benda yang sangat berharga yang dirampok oleh Ki Sapa Aruh dan orang-orang dari barak itu?" sahut Sampurna.
"Bukan hanya itu. Aku melihat sikap jujur pada Ki Demang Rejandani..." sahut Ki Jagabaya.
Sampurna tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk kecil. Ketika kemudian Manggada dan Laksana meninggalkan rumah Ki Jagabaya, maka seperti yang dikatakannya, Ki Jagabayapun telah pergi ke rumah Ki Bekel. Bagaimanapun juga sikap Ki Bekel sebelumnya, tetapi ia masih tetap diakui sebagai Bekel padukuhan Gemawang.
Kedatangan Ki Jagabaya telah diterima oleh Ki Bekel Gemawang di pringgitan. Dengan sikap seorang pemimpin Ki Bekel pun bertanya, "Apakah keperluan Ki Jagabaya menghadap aku sekarang ini?"
"Ki Bekel..." jawab Ki Jagabaya yang kemudian telah menceriterakan keperluannya datang menemui Ki Bekel.
Ki Bekel mendengarkan keterangan Ki Jagabaya dengan dahi yang kadang-kadang berkerut.
"Dengan menggarap sawahnya kembali, maka Wira Sabet akan dapat hidup bersama keluarganya.”
"Huh..." pikir Ki Bekel tiba-tiba telah mencibir “Apakah ia mengira bahwa ia dapat berbuat apa saja di padukuhan ini? Ia sudah berkhianat dan bahkan merusak tata kehidupan padukuhan ini. Sekarang dengan enaknya ia ingin minta sawah dan pategalannya kembali. Tidak. Sawah dan pategalannya bahkan rumah dan halamannya akan menjadi milik padukuhan. Aku bukan seorang pendendam. Tetapi ia sudah terlalu lama membuat kepalaku menjadi pusing. Jika saja aku tidak mempunyai daya tahan yang tinggi, maka aku tentu sudah menjadi gila karena tingkah lakunya yang buruk itu.”
"Jadi maksud Ki Bekel." bertanya Ki Jagabaya.
"Sudah aku katakan. Sebagai hukuman atas pengkhianatannya, maka sawah, pategalan, rumah, halaman dan segala kekayaannya akan dirampas dan menjadi milik padukuhan.”
"Ki Bekel..." berkata Ki Jagabaya "Ia sudah menyatakan diri untuk meninggalkan dunianya yang gelap itu. Ia sudah berjanji untuk hidup dengan baik sebagaimana orang lain penghuni padukuhan ini. Ia sudah menyesali segala perbuatannya. Sebenarnyalah bahwa yang sama sekali tidak terkendali adalah Sura Gentong. Bukan Wira Sabet.”
"Begitu mudahnya orang mendapatkan pengampunan?" bertanya Ki Bekel "Aku harus bersikap adil. Yang memberikan lebih bagi padukuhan ini akan mendapatkan lebih pula. Yang berkhianat tentu akan mendapatkan hukumannya. Wira Sabet bukannya baru sekarang melakukan dosa yang besar bagi padukuhan ini. Ketika ia melarikan diri, maka ia telah meninggalkan noda pula di padukuhan ini.”
"Ya" jawab Ki Jagabaya "Ketika itu, Wira Sabet telah melukai aku.”
Ki Bekel mengerutkan dahinya. Ia mengingat-ingat sebentar. Lalu katanya "Ya. Ia sudah melukai Ki Jagabaya. Kemudian ia telah berkhianat. Dengan susah payah aku harus berusaha mengatasinya, sehingga akhirnya ketenangan dapat diperoleh kembali oleh padukuhan ini.”
"Siapakah yang menangkap Wira Sabet menurut pendapat Ki Bekel?" tiba-tiba saja Ki Jagabaya bertanya.
Ki Bekel menjadi gagap. Namun kemudian jawabnya, "Itu memang kewajiban Ki Jagabaya. Tetapi segala perbuatan, sikap dan tingkah laku bebahu padukuhan ini tentu dibawah tanggung jawabku.”
"Ki Bekel benar..." jawab Ki Jagabaya "Karena itu maka aku harus datang menghadap dan mohon persetujuan Ki Bekel tentang sawah dan pategalan milik Wira Sabet.”
"Keputusanku tetap!" berkata Ki Bekel.
"Baiklah. Aku akan menyampaikan keputusan Ki Bekel kepada Wira Sabet. Aku akan mengatakan bahwa Ki Bekel tidak sependapat untuk menyerahkan kembali sawah dan pategalan Wira Sabet ketangannya.”
"Tetapi keputusan ini aku dasarkan atas jabatanku. Bukan aku pribadi.”
"Ya, Ki Bekel..." jawab Ki Jagabaya.
"Dengan demikian, maka kita semuanya harus mengamankan keputusan itu. Semua orang padukuhan ini. Terutama para bebahu. Apalagi Ki Jagabaya yang memang mempunyai tugas khusus untuk menjaga ketenangan dan ketertiban di padukuhan ini.”
"Baik Ki Bekel. Aku akan berusaha. Tetapi tentu saja kemampuan dan tenagaku terbatas. Sementara Wira Sabet dan saudara-saudara seperguruannya akan semakin mendendam.”
"Maksud Ki Jagabaya!" bertanya Ki Bekel.
"Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya mengatakan bahwa dendam Wira Sabet akan membakar jantungnya kembali.” jawab Ki Jagabaya.
"Adalah tugas Ki Jagabaya untuk menangkapnya dan memenjarakannya.” berkata Ki Bekel dengan wajah yang tegang.
"Tentu Ki Bekel. Tetapi sudah aku katakan, bahwa kemampuan dan tenagaku terbatas. Apalagi Wira Sabet sudah mendendamku sampai ke ujung rambutnya. Jika besok atau lusa saudara-saudara seperguruannya datang membunuh aku, maka segala sesuatunya tentu terserah kepada Ki Bekel. Mungkin Ki Bekel dapat menunjuk orang lain yang lebih baik dari aku atau Ki Bekel akan menanganinya sendiri.”
"Tetapi bukankah Ki Jagabaya mampu melawan mereka?" suara Ki bekel mulai bergetar.
"Mungkin seorang melawan seorang aku mampu mengimbangi kemampuan Wira Sabet. Tetapi jika datang dua orang, tiga orang, empat orang dengan beberapa orang pengikut? Atau mereka memakai cara yang lama dengan menakut-nakuti seisi padukuhan termasuk Ki Bekel?"
Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Untuk beberapa saat ia berdiam diri. Namun kemudian suaranya menjadi semakin gagap. "Bukankah Ki Jagabaya pernah mengalahkan Wira Sabet dan bahkan membunuh Sura Gentong?”
"Satu kebetulan Ki Bekel. Ada beberapa orang datang membantu. Ki Pandi dengan kedua ekor harimau peliharaannya yang garang tetapi terkendali. Ki Carang Aking dengan dua orang muridnya. Ki Citrabawa dengan anaknya dan Ki Demang Rejandani yang kebetulan mempunyai kepentingan yang sama. Tanpa mereka, maka padukuhan ini akan dihancurkan sampai lumat.”
“Bagaimana dengan Ki Kertasana? Anaknya dan anakmu?"
"Aku akan menyuruh isteri dan anak-anakku mengungsi. Jika Wira Sabet dan saudara-saudara seperguruannya datang mengamuk, biar aku sajalah yang dibunuhnya. Sementara Ki Kertasana, entahlah, apakah ia masih bersedia bertempur lagi atau tidak.”
>
Ki Bekel memang menjadi kebingungan. Dengan suara yang bergetar ia berkata, "Orang-orang itu harus tetap bersedia melawan Wira Sabet. Bahkan sekarang mereka aku perintahkan untuk menangkap Wira Sabet itu sebelum ia membuat keributan di padukuhan ini lagi.”
"Mereka tidak berkewajiban untuk mematuhi perintah Ki Bekel, karena mereka bukan penghuni padukuhan ini.”
"Tetapi mereka ada di sini sekarang." bentak Ki Bekel.
Ki Jagabaya yang sudah menahan diri itu mengerutkan dahinya. Ia tidak senang dibentak dengan kasar oleh Ki Bekel sekalipun. Karena itu, maka katanya, "Jika Ki Bekel ingin memberikan perintah itu kepada mereka, berikan langsung kepada mereka. Tetapi jika kemudian mereka justru berpihak kepada Wira Sabet, dan bahkan termasuk aku, itu terserah kepada Ki Bekel.”
"Gila. Apakah kau sudah gila?" bertanya Ki Bekel.
"Mungkin aku sudah gila. Tetapi aku ingin menyelamatkan diri dan keluargaku.” jawab Ki Jagabaya.
Wajah Ki Bekel menjadi pucat. Sementara Ki Jagabaya berkata, "Jika Ki Bekel tidak senang dengan sikapku, aku minta Ki Bekel memberhentikan aku dan menggantinya dengan orang lain yang memiliki kemampuan yang tinggi untuk melawan Wira Sabet.”
"Tetapi itu tidak mudah..." jawab Ki Bekel.
"Aku minta diri. Aku datang untuk minta agar Ki Bekel menyetujui menyerahkan kembali tanah dan pategalan Wira Sabet kepadanya. Hanya itu, jika Ki Bekel tidak setuju, itu terserah. Tetapi akibatnya terserah pula kepada Ki Bekel. Aku memilih dipecat saja karena aku tidak ingin mengorbankan keluargaku.”
Ki Bekel menjadi bingung. Ketika Ki Jagabaya beringsut, maka Ki Bekel itupun berkata, "Tunggu Ki Jagabaya.”
"Apalagi yang ditunggu? Bukankah keputusan Ki Bekel tetap? Sebaiknya aku pulang saja mempersiapkan pengungsian isteri dan anak-anakku. Aku mohon Ki Bekel menghubungi langsung orang-orang yang telah membantu membebaskan padukuhan ini dari tekanan ketakutan dan kecemasan. Itu jika mereka masih ada di padukuhan ini serta bersedia. Pokoknya terserah kepada Ki Bekel.”
"Tetapi itu kewajibanmu." teriak Ki Bekel.
"Bukankah aku katakan, pecat saja aku.”
"Aku tidak memecatmu. Tetapi aku memerintahkan kau berbuat sesuatu.”
"Kalau Ki Bekel tidak memecatku, aku meletakkan jabatan...”
"Tunggu. Tunggu...” minta Ki Bekel.
"Apalagi yang harus kita bicarakan?" bertanya Ki Jagabaya.
"Tetapi jangan pergi dahulu. Kita belum selesai" Ki Bekel menjadi gagap.
"Sebenarnya tidak banyak persoalan yang harus kita putuskan hari ini. Mengijinkan Wira Sabet menggarap sawah dan pategalannya lagi. Itu saja. Jika Ki Bekel memutuskan setuju, maka tidak ada persoalan lagi. Tetapi jika tidak, maka padukuhan ini akan memasuki kembali suasana sebagaimana pernah kita alami.”
Ki Bekel menjadi berdebar-debar. Suasana yang baru saja dialami oleh padukuhan itu benar-benar sangat menakutkan baginya. Bahkan ia tidak dapat berbohong kepada dirinya sendiri, bahwa segala sesuatunya Ki Jagabayalah yang telah mengatasinya. Karena itu, maka dengan nada berat Ki Bekel itupun berkata,
“Baiklah. Terserah kepada Ki Jagabaya. Jika Ki Jagabaya menganggap bahwa Wira Sabet pantas untuk menggarap sawah dan pategalannya kembali, maka akupun tidak berkeberatan pula.”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih Ki Bekel. Hanya itulah yang aku butuhkan. Aku mohon diri. Aku akan menyampaikannya kepada Wira Sabet dan anak laki-lakinya. Mereka tentu akan merasa senang dan tidak akan membuat keributan lagi di padukuhan ini.”
Berita bahwa Wira Sabet dan Pideksa diperkenankan menggarap sawahnya lagi, telah diterima dengan suka cita. Ketika Ki Jajabaya dengan mengajak Sampurna, Manggada dan Laksana datang kerumah Wira Sabet untuk menyampaikan ijin untuk menggarap sawah dan pategalannya lagi, maka Wira Sabet menjadi sangat terharu. Kegarangannya seakan-akan telah luluh oleh kebesaran jiwa orang-orang padukuhannya.
Ijin untuk menggarap sawah dan pategalannya kembali itu membuat penyesalan yang semakin mendalam di hatinya. Dihari-hari mendatang, maka Wira Sabet tidak lagi menjadi orang yang terasing di padukuhannya sendiri, ia mulai keluar dari dinding rumahnya untuk pergi ke sawah. Disepanjang jalan ia bertemu dengan tetangga-tetangganya. Mula-mula mereka hanya saling mengangguk. Namun kemudian mereka mulai berbicara yang satu dengan yang lain. Bahkan kemudian mereka mulai terbuka dan berbicara tentang banyak hal mengenai padukuhan mereka.
Demikian pula yang dilakukan oleh Pideksa diantara anak-anak muda Gemawang. Di hari-hari mendatang, maka Gemawang benar-benar telah menjadi tenang. Tatanan kehidupan telah pulih kembali. Tidak ada lagi ketakutan dan kecemasan. Tidak pula ada perasaan saling curiga dan permusuhan.
Bagi orang-orang Gemawang, maka padukuhan mereka telah menjadi padukuhan yang dapat memberikan kesejukan. Gemawang bukan sekedar tempat tinggal, tetapi Gemawang merupakan kampung halaman yang teduh.
Ketika kehidupan di Gemawang menjadi mapan, maka Ki Citrabawa justru mulai teringat kepada kampung halamannya sendiri. Karena itu, maka kepada Ki Kertasana, ia telah menyampaikan niatnya untuk pulang.
"Aku sudah cukup lama berada disini kakang." berkata Ki Citrabawa.
Ki Kertasana tersenyum. Katanya, "Kalian berdua telah ikut mengalami satu peristiwa yang mendebarkan di padukuhan ini.”
"Sekarang, semuanya telah lewat...” desis Ki Citrabawa.
Dengan demikian, maka Ki Kertasana tidak dapat menahan adiknya lebih lama lagi. Karena itu, maka ketika kemudian adiknya benar-benar minta diri, maka Ki Kertasana itupun telah melepaskannya. Namun Ki Kertasana masih minta Ki Citrabawa untuk minta diri kepada Ki Jagabaya. Ki Jagabaya melepaskan Ki Citrabawa dengan berat hati. Ki Citrabawa telah ikut menentukan hari depan padukuhan Gemawang bersama Laksana.
Namun ternyata bukan hanya Ki Citrabawa sajalah yang akan meninggalkan Gemawang. Ki Kertasana telah minta agar Manggada dan Laksana mengantarkan Ki Citrabawa pulang. "Lebih banyak kawan diperjalanan, tentu perjalanan akan dirasakan semakin pendek.” berkata Ki Kertasana.
Ki Citrabawa tidak menolak. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa anak dan kemanakannya itu sudah menjadi semakin matang. Bukan saja kemampuan ilmunya, tetapi juga cara mereka berpikir dan mengambil sikap. Tetapi baik Ki Citrabawa maupun Ki Kertasana tidak menentukan, apakah Mariggada dan Laksana akan tinggal dirumah orang tua mereka masing-masing, atau mereka akan selalu bersama-sama sebelum mereka masing-masing berkeluarga.
Tetapi justru karena itu, maka Ki Pandi pun telah minta diri pula. Katanya, "Aku berada disini karena Manggada dan Laksana ada disini. Jika mereka pergi, maka akupun akan pergi juga.”
"Ki Pandi akan pergi ke mana?" bertanya Manggada “Seandainya Ki Pandi tidak mempunyai kepentingan tertentu, marilah, kita berjalan bersama-sama.”
Ki Pandi mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berdesis, "Sebenarnya aku masih mempunyai tugas. Panembahan berilmu hitam itu masih belum dapat ditundukkan. Tetapi baiklah, sambil mencarinya, aku bersedia ikut berjalan bersama-sama Manggada dan Laksana. Bukankah itu berarti bahwa aku akan berjalan bersama Ki Citrabawa dan Nyi Citrabawa? Agaknya akan menjadi perjalanan yang menyenangkan”
"Aku akan berterima kasih sekali jika Ki Pandi dapat berjalan bersama kami...” berkata Ki Citrabawa.
"Meskipun aku akan berjalan bersama Ki Citrabawa, tetapi jalan yang akan kita lalui akan berbeda.” sahut Ki Pandi kemudian. Lalu katanya pula, “Aku membawa momongan. Dua ekor harimau. Karena itu, aku harus memilih jalan terbaik yang dapat kami lalui tanpa mengganggu orang lain.”
Manggada tertawa. Katanya, "Apakah kedua momongan Ki Pandi itu pada suatu saat tidak dapat ditinggalkan disatu tempat?"
"Tentu. Tetapi disatu tempat yang terdekat. Setiap saat aku memerlukan keduanya atau keduanya memerlukan aku..." berkata Ki Pandi kemudian.
"Jika demikian, biarlah kami yang menyesuaikan diri" berkata Ki Citrabawa.
Ki Pandi menggeleng. Katanya "Jangan. Jika Ki Citrabawa tidak berjalan bersama Nyi Citrabawa, maka aku tidak berkeberatan, karena aku yakin, dimasa muda Ki Citrabawa tentu telah sering menempuh perjalanan pula.”
Ki Citrabawapun tertawa. Katanya, "Itu sudah lama sekali terjadi. Tetapi baiklah. Meskipun Ki Pandi akan mengambil jalan sendiri, tetapi akhirnya Ki Pandi akan sampai kerumahku juga.”
Demikianlah, ketika sampai saat yang direncanakan, maka Ki Citrabawa dan Nyi Citrabawa telah meninggalkan padukuhan Gemawang diantar oleh Manggada dan Laksana. Bersama mereka adalah Ki Pandi. Namun Ki Pandi telah mengambil jalan yang lain, karena jika Ki Pandi menempuh jalan sebagaimana dilalui oleh Ki Citrabawa dan Nyi Citrabawa, maka kedua ekor harimaunya akan menakut-nakuti orang.
Perjalanan yang mereka tempuh memang merupakan perjalanan panjang. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak mengalami hambatan disepanjang perjalanan mereka, sehingga akhirnya mereka telah berada dirumah Ki Citrabawa.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, maka Ki Pandi yang menyertai mereka tetapi mengambil jalan yang berbeda, telah sampai pula dirumah Ki Citrabawa. Ki Pandi sudah berjanji untuk tinggal dirumah itu beberapa lama sebagaimana Manggada.
"Jika pada suatu saat kau akan pulang, maka biarlah aku bersamamu." berkata Ki Pandi kepada Manggada.
"Terima kasih Ki Pandi." sahut Manggada "Tetapi aku tidak tahu, apakah Laksana akan tinggal bersama paman dan bibi atau masih ada niatnya untuk menempuh perjalanan pengembaraan.”
"Kau kira aku akan tinggal dirumah sebagai gadis pingitan.” sahut Laksana.
Ki Pandi tertawa. Katanya, "Tetapi bukan aku yang mengajakmu. Jangan-jangan Ki Citrabawa dan Nyi Citrabawa salah mengerti.”
Manggada dan Laksana tertawa pula. Dengan nada tinggi Laksana berkata, "Aku akan mengatakan kepada ayah dan ibu, bahwa Ki Pandi telah memaksaku dan bahkan mengancamku jika aku tidak mau pergi bersamanya.”
Ki Pandi sendiri masih saja tertawa. Namun kemudian, ketika suara tertawa mereka mereda, Ki Pandipun berkata "Tetapi kalian harus mengetahui sebelumnya, bahwa jika kalian akan melakukan pengembaraan, kalian harus menjadi lebih berhati-hati.”
"Kenapa?" bertanya Manggada.
Dahi Ki Pandi menjadi berkerut. Ia menjadi lebih bersungguh-sungguh. "Perjalanan kalian selalu diamati oleh seseorang.”
"Siapa?" bertanya Laksana.
Ki Pandi menggeleng. Katanya "Aku tidak mengenal. Aku ketahui justru karena diperjalanan kalian bersama Ki Citrabawa dan Nyi Citrabawa aku telah memisahkan diri. Tetapi aku dapat mengenali orang itu jika aku bertemu kembali dengan orang itu”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Manggada berkata, "Jika demikian, maka pada suatu saat, kita akan dapat menemukan orang itu.”
"Mudah-mudahan..." jawab Ki Pandi "Tetapi karena untuk sementara kita akan berada disini, maka orang itu dapat kita lupakan saja. Kecuali jika pada suatu hari kita temui orang itu lagi dimanapun.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk pula. Namun mereka benar-benar telah melupakan orang itu, setidak-tidaknya untuk beberapa lama.
Ternyata Ki Pandi memang melihat orang itu. Bahkan ketika Ki Pandi berjalan-jalan seorang diri di luar halaman rumah Ki Citrabawa, ia melihat orang itu lagi. Tetapi Ki Pandi seakan-akan tidak menghiraukannya sama sekali. Untunglah bahwa orang itu juga tidak menghiraukan Ki Pandi. Tetapi dihari-hari mendatang, Ki Pandi tidak pernah melihat orang itu lagi disekitar rumah Ki Citrabawa.
Dalam pada itu, Manggada dan Laksana ternyata tidak dapat bertahan lebih lama lagi untuk tinggal dirumah saja. Karena itu, maka keduanyapun telah minta diri untuk menempuh satu perjalanan agar pengalaman mereka dapat bertambah.
"Tidak akan terlalu lama, paman..." berkata Manggada.
"Tidak terlalu lama itu menurut ukuranmu berapa hari?" bertanya Ki Citrabawa.
"Jangan dihitung hari, ayah..." sahut Laksana.
"Jadi...?"
"Pertanyaan ayah seharusnya berdasarkan bulan. Berapa bulan atau bahkan tahun...” berkata Laksana.
Ki Citrabawa menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat merasakan gejolak perasaan anak-anak muda yang ingin mendapatkan pengalaman yang lebih luas serta melihat lebih banyak dari warna bumi ini. Berbeda dengan anak-anak muda yang merasa hidupnya sudah berada diatas kemapanan tertentu, maka Manggada dan Laksana ingin menjangkau kesempatan yang lebih banyak lagi.
Seperti saat-saat Manggada dan Laksana minta diri meninggalkan rumah itu untuk pergi ke Gemawang beberapa saat yang lewat, maka Nyi Citrabawa merasa sangat berat untuk melepas mereka. Tetapi nampaknya keinginan Manggada dan Laksana sulit untuk dicegah lagi.
"Ngger..." berkata Nyi Citrabawa "Kau lihat anak-anak sebayamu di padukuhan ini, atau di padukuhan Gemawang, dapat bekerja dengan tenang dirumah, disawah dan pategalan. Mereka merupakan tiang-tiang penyangga kehidupan keluarga dan padukuhannya. Tetapi kenapa kalian berdua menjadi gelisah dan ingin menempuh satu pengembaraan yang panjang?"
"Ibu..." jawab Laksana "Pada suatu saat aku juga akan kembali ke padukuhan ini. Demikian juga kakang Manggada akan kembali ke Gemawang. Namun sebelum kami menetap tinggal dan bekerja bagi lingkungan kami, sebenarnyalah kami ingin melihat betapa luasnya tanah ini, meskipun aku sadar, bahwa yang dapat aku lihat itu tentu hanya selebar daun kelor dibanding dengan luasnya bumi.”
Nyi Ciirabawa itupun kemudian berpaling kepada Ki Pandi yang menunduk. Perasaan Ki Pandi memang agak tergelitik oleh sikap Nyi Citrabawa. Seperti yang dicemaskannya, akan dapat terjadi salah paham, seolah-olah Ki Pandilah yang mengajak kedua orang anak muda itu untuk mengembara.
Tetapi Ki Citrabawa itupun justru berkata, "Baiklah. Jika kalian ingin melihat-lihat sebagaimana pernah kalian lakukan sebelumnya.” Namun kemudian katanya kepada Ki Pandi, "Aku titipkan anak-anak ini kepada Ki Pandi. Mudah-mudahan pengembaraan mereka mendapat arti bagi hidupnya mendatang serta bagi sesamanya. Kami akan selalu berdoa, semoga Yang Maha Agung akan tetap melindungi mereka”
Nyi Citrabawa memang tidak menahan mereka lagi. Sementara Ki Pandi berkata, "Aku akan berusaha sebaik-baiknya dalam keterbatasanku Ki Citrabawa. Sebenarnya aku juga sudah mencoba untuk menahan mereka untuk tetap tinggal dirumah sementara aku akan minta diri, karena aku masih mempunyai tugas yang belum terselesaikan. Tetapi ternyata keduanya berkeras hati untuk tetap pergi untuk melihat lingkungan yang lebih luas.”
"Aku justru merasa beruntung, bahwa ketika keduanya ingin pergi, Ki Pandi justru bersama mereka. Itu akan jauh lebih baik daripada mereka pergi hanya berdua saja. Kemudian mereka kadang-kadang dapat membuat mereka kurang dapat mengekang diri”
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi didalam hati ia berkata, "Justru kepercayaan ini merupakan beban yang berat bagiku, Untunglah kedua anak muda itu termasuk anak-anak muda yang tidak terlalu sulit dikendalikan”
Demikianlah, maka Ki Citrabawa dan Nyi Citrabawa harus melepaskan anak dan kemanakannya itu pergi. Yang membuat mereka cemas adalah justru karena mereka mengetahui, bahwa keduanya tidak sekedar mengembara menyusuri jalan-jalan dan menghindari kesulitan yang dapat timbul diperjalanan. Tetapi sebagaimana yang pernah terjadi atas mereka, adalah justru peristiwa yang dapat membahayakan jiwa mereka.
Ketika mereka meninggalkan rumah Ki Citrabawa, maka bertiga mereka telah pergi ke sebuah hutan yang tidak terlalu jauh. Di hutan itu dahulu Manggada dan Laksana sering berburu harimau untuk mendapatkan kulitnya. Kulit harimau itu biasanya dibeli oleh para pedagang dengan harga yang cukup tinggi.
Tetapi Ki Citrabawapun kemudian melarang mereka untuk setiap kali memburu harimau, sehingga keduanyapun telah menghentikan kegiatan mereka. Diperjalanan itulah Ki Pandi telah memperingatkan mereka sekali lagi, bahwa mereka berdua agaknya sedang dalam pengawasan seseorang.
"Kita belum dapat memastikan, apakah ada hubungannya antara orang itu dengan peristiwa yang terjadi di barak Wira Sabet dan Sura Gentong. Terbunuhnya beberapa orang berilmu tinggi kadang-kadang membuat persoalan berlarut-larut. Mungkin ada orang yang tersinggung karenanya, sehingga memahatkan dendam didalam hatinya. Dendam itulah yang membuat tanah ini selalu dibayangi oleh kekerasan, disamping sifat-sifat bujuk yang lain yang dapat hinggap dihati seseorang...”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Tetapi pesan Ki Pandi itu mereka perhatikan dengan sungguh-sungguh. Benih itu akan dapat tumbuh dan berkembang di hati yang pada dasarnya memang merupakan ladang yang subur.
Demikianlah, di hutan itu Ki Pandi sempat menemui kedua ekor harimaunya. Berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Manggada dan Laksana. Namun kemudian Ki Pandipun berkata "Aku berharap bahwa keduanya bersedia tinggal dihutan ini untuk beberapa lama.
"Di hutan ini banyak terdapat binatang buas Ki Pandi...” berkata Manggada.
"Kedua ekor harimauku ini memiliki sedikit kelebihan. Mereka dapat menghindari perkelahian. Tetapi jika hal itu harus terjadi, maka keduanya dapat melakukan yang tidak dapat dilakukan oleh jenis-jenis binatang buas yang lain”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun mereka meyakini kata-kata Ki Pandi yang sudah bergaul dengan kedua ekor harimaunya untuk waktu yang lama. Ketiga orang itu bermalam di hutan itu. Manggada dan Laksana yang pernah tinggal dihutan sebulan penuh sama sekali tidak merasa canggung tidur di atas pepohonan. Merekapun tidak canggung pula berburu untuk mendapatkan makan malam mereka.
Baru dihari berikutnya, menjelang matahari terbit, setelah mereka mandi disebuah mata air, maka merekapun meninggalkan hutan itu. Demikian keduanya keluar dari hutan itu, maka dilihatnya cahaya matahari yang membayangi di langit. Kemerah-merahan. Semakin lama semakin cerah.
Ki Pandi yang sudah berpengalaman telah mengajak mereka untuk menentukan arah perjalanan. Meskipun mereka tidak mempunyai rencana tertentu, namun sebaiknya mereka tidak berjalan asal melangkahkan kaki mereka.
"Bagaimana pendapat Ki Pandi jika kita melihat keadaan diseberang hutan Jatimalang sepeninggal Panembahan Lebdagati?"
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian bertanya kepada diri sendiri, "Sepeninggal Panembahan Lebdagati yang berilmu hitam itu?"
Manggada yang mendengar kata-kata itu justru menyahut. “Ya. Apakah Ki Ajar Pangukan masih berada ditempatnya?"
Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Dapat saja jika kita memang ingin singgah”
"Ya, sekedar singgah. Agaknya kita memang tidak akan menjumpai apa-apa lagi disana. Panembahan Lebdagati sudah meninggalkan padepokannya dan mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain”
"Panembahan itu sudah kehilangan kesempatan yang telah dirintisnya sejak lama dengan mengorbankan gadis-gadis. Satu kali purnama lepas dari padanya, maka ia harus mengulanginya lagi dari awal. Agaknya Panembahan itu sudah tidak mungkin lagi untuk memulainya, sehingga ia telah mencari jalan lain yang dianggapnya lebih pendek daripada mengorbankan gadis-gadis disetiap bulan purnama. Karena ia sudah kehilangan waktu yang panjang, sejak kita menggagalkannya dan merebut anak Ki Wiradadi itu.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun rencana untuk singgah dilingkungan seberang hutan Jatimalang sangat menarik bagi mereka. Mungkin perubahan-perubahan sudah dan sedang berlangsung disana. Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun rencana untuk singgah dilingkungan seberang hutan Jatimalang sangat menarik bagi mereka. Mungkin perubahan-perubahan sudah dan sedang berlangsung disana.
Dengan demikian, maka mereka telah mengarahkan arah perjalanan mereka. Mereka akan melihat, apakah kehidupan di kaki Gunung Lawu itu sudah banyak mengalami perubahan atau belum. Namun mereka tidak tergesa-gesa. Mereka tidak mempunyai satu kepentingan tertentu di seberang hutan Jati, selain sekedar ingin melihat kembali lingkungan itu.
Karena itu, maka mereka berjalan sambil melihat-lihat. Padu kuhan, sawah, pategalan, sungai dan hijaunya pepohonan. Ketika mereka melewati sebuah pasar, maka Laksanapun berniat untuk singgah sebentar disebuah kedai dipinggir pasar itu.
“Aku ingin minum dan makanan hangat..." desis anak muda itu.
Manggada tersenyum. Ketika ia berpaling kepada Ki Pandi, sebelum Manggada bertanya kepadanya, maka Ki Pandi itu sudah mengangguk sambil berkata, "Bukankah aku hanya mengikuti kalian?"
Manggada tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kita singgah sebentar...!”
Demikianlah, maka mereka bertiga telah singgah disebuah kedai yang tidak terlalu besar. Meskipun demikian, agaknya kedai itu menyediakan makanan dan minuman yang baik, sehingga karena itu, maka kedai itu menjadi cukup ramai.
Dalam kesibukan menghirup minuman dan mengunyah makanan, tiba-tiba wajah Ki Pandi berkerut. Ia melihat lagi orang yang dilihatnya mengikuti perjalanan Manggada dan Laksana ketika mereka mengantar Ki Citrabawa dan isterinya. Orang yang juga pernah dilihatnya di dekat rumah Ki Citrabawa.
Tetapi Ki Pandi tidak sempat menunjukkannya kepada Manggada dan Laksana karena orang itu hanya lewat dan berhenti sejenak di depan kedai itu. Namun nampaknya orang itu tidak seorang diri. Meskipun orang itu sudah tidak nampak lagi, namun Ki Pandi telah memberitahukan juga kepada Manggada dan Laksana, bahwa orang yang pernah dikatakannya mengamati perjalanan mereka itu baru saja lewat didepan kedai itu.
"Kenapa Ki Pandi tidak menunjukkan kepada kami?"
"Orang itu hanya lewat. Ketika aku berniat untuk mengatakan kepada kalian, orang itu sudah tidak nampak lagi.”
"Kita akan mencarinya. Mungkin ia masih berada disekitar tempat ini" berkata Laksana.
Tetapi Ki Pandi itu menggeleng. Katanya, "Kita tidak perlu bersusah payah mencarinya.”
"Tetapi menurut Ki Pandi, orang itu berbahaya bagi kita.” sahut Laksana.
"Ya. Tetapi tanpa mencarinya, orang itu tentu akan datang lagi kepada kita. Nanti, esok atau lusa. Mereka tentu akan selalu mengikuti kalian berdua. Namun setelah mereka mengetahui bahwa aku selalu bersama kalian, maka akupun akan ikut mereka awasi.”
"Apakah Ki Pandi tidak keliru? Justru Ki Pandilah yang diikutinya.” desis Manggada.
"Agaknya memang suatu kemungkinan. Tetapi yang sempat mereka temukan dahulu adalah kalian berdua. Orang itu memperhitungkan, bahwa dengan mengikuti kalian berdua, maka kalian akan membawanya kepadaku.” "Ternyata perhitungannya benar." desis Laksana.
Ki Pandi mengangguk-angguk. Setelah merenung sejenak, maka Ki Pandi itupun berdesis "Memang masuk akal. Tetapi semua itu baru merupakan dugaan-dugaan. Meskipun demikian aku kira pada suatu saat, kita akan mengetahui, apakah sebenarnya yang dikehendakinya.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka masih menghirup minuman dan mereka bahkan mulut mereka masih juga mengunyah makanan.
Sementara itu Ki Pandi mulai membayangkan kembali orang yang pernah dilihatnya. Ketika ia melihat orang itu didekat rumah Ki Citrabawa, maka orang itu seakan-akan tidak memperhatikan. Tetapi Ki Pandi tidak ingin pening memikirkan orang itu. Ia berharap bahwa suatu ketika ia mendapat kejelasan.
Dalam pada itu, setelah Manggada membayar harga makanan dan minuman, mereka bertigapun keluar dari kedai itu dan berjalan searah dengan orang yang telah dikenali Ki Pandi. Namun mereka sudah tidak melihat lagi orang itu.
"Mungkin orang itu salah seorang saudara seperguruan Sura Gentong atau saudara-saudara seperguruannya.” berkata Manggada.
"Jika demikin, kenapa mereka tidak mencari ayah?" bertanya Laksana. Namun nada pertanyaannya memang mengandung kecemasan. Laksana benar-benar memikirkan keadaan ayahnya.
"Sudahlah" berkata Ki Pandi...” Kita tidak dapat memecahkan teka-teki itu.”
Dengan demikian, maka perjalanan mereka bertiga sama sekali tidak terpengaruh oleh kehadiran orang yang tak dikenal itu. Siapapun mereka, maka ketiga orang itu melanjutkan perjalanan ke arah hutan Jatimalang.
Perjalanan mereka memang perjalanan yang panjang. Meskipun Manggada dan Laksana teringat juga kepada Ki Wiradadi, namun mereka tidak ingin singgah kerumah itu. "Jika kita harus singgah dimana-mana, maka kita tidak akan sampai dihutan Jatimalang” berkata Manggada.
Laksana mengerutkan dahinya. Tetapi sebelum ia mengucapkan sesuatu, Manggada telah mendahuluinya "Anak gadis Ki Wiradadi itu?"
"Ah, tidak...” jawab Laksana.
Manggada tertawa. Sementara Laksana melemparkan pandangan matanya jauh-jauh. Ki Pandi sempat tersenyum juga mendengar pembicaraan kedua orang anak muda itu. Namun ia tidak berkata sesuatu.
Demikianlah, maka merekapun berjalan semakin jauh. Matahari yang kemudian melewati puncak langit, panasnya bagaikan membakar kulit. Namun perjalanan mereka selanjutnya sama sekali tidak terganggu. Juga ketika mereka berhenti untuk minum dan makan disebuah kedai.
Menjelang malam, ketiga orang itu memasuki sebuah padukuhan. Bertiga mereka berniat untuk menumpang bermalam di banjar padukuhan itu. Tetapi ketiga orang itu merasa aneh. Padukuhan itu nampak sepi. Pintu-pintu rumah sudah tertutup dan gardu-gardupun tidak terisi.
"Mungkin masih terlalu sore untuk berada di gardu." berkata Manggada.
"Mungkin..." sahut Ki Pandi "Tetapi regol-regol halaman dan bahkan pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat”
"Seperti padukuhan Gemawang sebelum barak Wira Sabet dan Sura Gentong di kuasai.” berkata Laksana.
"Ya" sahut Manggada "Apapun yang terjadi ditempat ini, tentu ada yang tidak wajar.”
Ki Pandi mengangguk-angguk mengiakan. Namun ia tidak berkata sesuatu. Ia berjalan saja menelusuri jalan padukuhan. Beberapa saat kemudian, ternyata mereka telah berada didepan banjar padukuhan. Namun nampaknya banjar padukuhan itu juga nampak sepi. Dengan agak ragu ketiga orang itu melangkah memasuki banjar padukuhan. Mungkin mereka dapat bertemu dengan penunggu banjar itu.
Seperti yang mereka duga, maka dibelakang banjar itu tinggal sebuah keluarga kecil. Ia bertugas untuk menunggu dan memelihara banjar milik padukuhan itu. Meskipun nampak ragu-ragu, namun ketiga orang itu dipersilahkan masuk kerumahnya yang tidak begitu besar. Ki Pandilah yang minta kepada penunggu banjar itu untuk diijinkan bermalam barang semalam saja dibanjar itu...
Dua orang perempuan yang nampaknya akan pergi ke pasar, sempat bergurau. Suara tertawa mereka yang renyah disahut oleh kicau burung kepodang yang hinggap dipelepah daun pisang. Padukuhan Gemawang memang mulai tersenyum. Orang-orang yang pergi ke sawahpun tidak lagi nampak tergesa-gesa dengan wajah yang cemas.
Manggada dan Laksana pun kemudian melangkah menyusuri jalan padukuhan. Mereka memang akan pergi ke sawah untuk membuka pematang mengairi batang padi yang mulai berbunga. Manggada dan Laksana sengaja berjalan lewat depan rumah Wira Sabet.
Rumah yang sudah mulai dihuni lagi oleh pemiliknya setelah untuk beberapa lama ditinggalkan dan dibiarkan kosong dan kotor. Sampah berserakan dimana-mana. Kayu-kayu kering yang dibiarkan teronggok dibawah pepohonan. Namun pohon duwet dan manggis dirumah Wira Sabet itu tetap berbuah.
Ketika keduanya berjalan didepan regol, tiba-tiba saja keduanya ingin singgah. Keduanya mendengar suara sapu lidi di halaman rumah yang pintu regolnya masih tertutup.
Perlahan-lahan Manggada mendorong pintu regol yang ternyata tidak diselarak itu. Dari sela-sela pintu yang sedikit terbuka itu, Manggada melihat Pideksa yang sedang menyapu halaman, terkejut. Tetapi demikian Pideksa itu melihat Manggada dan Laksana yang kemudian melangkah masuk, màka ànak muda itupun tersenyum.
"Aku tidak sengaja mengejutkanmu..." berkata Manggada.
"Aku tahu..." jawab Pideksa yang berhenti menyapu "Tetapi jantungku yang menjadi rapuh sekarang membuat aku mudah sekali terkejut.”
"Lupakan!" desis Manggada "Masih banyak yang harus kau lakukan. Bukankah umurmu tidak terpaut dengan umur kami berdua?"
"Kau tidak pernah terperosok kedalam kubangan yang mengotori tubuh dan jiwamu." berkata Pideksa.
"Tetapi yang penting sekarang, apa yang akan kita kerjakan kemudian.” jawab Manggada.
Pideksa mengangguk kecil, sementara Laksana pun berkata, “Bangkitlah. Anak-anak muda padukuhan ini ternyata dapat menerima kau kembali diantara mereka.”
Pideksa memandang Laksana sekilas. Tetapi kemudian pandangan matanya terlempar jauh kesudut halamannya. Suaranya yang parau terdengar ragu. "Apakah mereka benar-benar memaafkan keluarga kami, atau sekedar meredam dendam didalam hati yang setiap saat akan meledak dan membakar keluarga kami?”
"Mungkin ada orang yang mendendammu. Mungkin keluarga dari korban yang jatuh ketika kami datang ke barakmu. Tetapi jika kau kembali memasuki kehidupan wajar dan membuktikan bahwa kau telah berubah, maka dendam itu akhirnya akan terkikis oleh kenyataan itu.”
Pideksa tersenyum, betapapun pahitnya. Katanya, "Aku berterima kasih kepada kalian berdua. Kalian telah memberi kesempatan kepada kami untuk menatap masa depan. Segala sesuatunya tentu tergantung kepada kami, apakah kami dapat mempergunakan kesempatan ini dengan baik atau tidak!”
"Tataplah hari depanmu dengan tegar!" desis Manggada sambil menepuk bahu Pideksa.
Pideksa mengangguk.
"Ki Jagabaya dan Sampurna benar-benar telah memaafkan kau dan paman Wira Sabet. Bukankah kau rasakan itu?"
Pideksa mengangguk pula. Katanya, "Ya. Aku merasakannya. Ayah juga merasakannya. Tetapi sampai sekarang, ayah masih lebih senang mengurung diri didalam rumah dengan pintu yang tertutup.”
"Ajak paman Wira Sabet keluar. Aku yakin, kalian akan diterima dengan baik oleh seisi padukuhan.” desis Manggada.
Pideksa mangangguk-angguk.
"Sudahlah..." berkata Manggada kemudian "Aku akan mengairi sawahku. Padi sedang berbunga. Jika terlambat, maka hasilnya tentu kurang baik.”
Pideksa memandang wajah Manggada dengan kerut didahi. Dengan ragu ia berkata, "Apakah Ki Bekel masih mengakui bahwa sawah ayah itu masih tetap menjadi milik ayah?"
"Ya, seharusnya demikian. Bukankah sampai sekarang sawah paman Wira Sabet masih kering dan tidak ditanami sejak paman Wira Sabet meninggalkan padukuhan ini?"
"Ya" jawab Pideksa.
"Sawah itu kini menjadi tempat anak-anak menggembala kambing. Tetapi sudah tentu bukan berarti bahwa kalian tidak boleh menanaminya lagi.” jawab Manggada.
Pideksa mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap nampak ragu. Manggada yang melihat keraguan di sorot mata Pideksa itupun berkata, "Baiklah. Aku akan menghubungi Ki Jagabaya untuk meyakinkan, apakah sawahmu itu dapat digarap lagi.”
Pideksa menarik nafas panjang. Dengan nada dalam ia berkata, "Terima kasih. Berapa kali lagi aku harus mengucapkan terima kasih kepada kalian.”
"Sudahlah. Jangan berlebihan. Kita akan bersama-sama hidup dalam suasana yang lebih baik di padukuhan ini.”
"Kami akan berusaha berbuat sebaik-baiknya. Kami benar-benar berharap bahwa kami dapat diterima oleh para penghuni padukuhan ini.”
"Penghuni padukuhan ini bukannya pendendam, Pideksa. Kecuali ayah dan paman Sura Gentong.”
"Jangan sebut lagi...” potong Laksana. Lalu katanya, "Nah, marilah. Kami akan pergi ke sawah. Nanti dari sawah kami akan singgah. Pohon duwet itu seakan-akan tidak berdaun lagi. Kamilah yang selama ini memetik duwet dan manggis dari halaman ini. Tentu saja atas ijin paman Wira Sabet.”
Ketika kemudian Manggada dan Laksana meninggalkan halaman itu, maka Pideksa mengantar mereka sampai keregol halaman. Demikian keduanya turun ke jalan, maka Pideksa melanjutkan kerjanya, menyapu halaman rumahnya yang terhitung cukup luas.
Dihari-hari berikutnya, Manggada dan Laksana memang berusaha untuk membawa Pideksa kembali kedalam pergaulan anak-anak muda. Sebagian dari anak-anak muda padukuhan itu, masih saja dibayangi oleh ketakutan, justru karena Pideksa anak Wira Sabet. Tetapi tingkah laku Pideksa memang meyakinkan anak-anak muda di Gemawang, bahwa Pideksa memang sudah berubah.
Seperti yang dijanjikan kepada Pideksa, maka Manggada dan Laksana telah menemui Ki Jagabaya. Mereka telah membicarakan tentang sawah dan pategalan milik Wira Sabet dan Sura Gentong. Apakah Wira Sabet diperbolehkan menggarap sawahnya kembali.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, "Mereka perlu makan. Karena itu menurut pendapatku, biarlah mereka menggarap sawah mereka. Karena Sura Gentong sudah tidak ada lagi, maka miliknya memang akan diwarisi oleh kemanakannya, Pideksa.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Ternyata Ki Jagabaya cukup bijaksana. Ia memang bukan pendendam sebagaimana diduganya. Bahkan sikap Sampuma pun tidak berbeda dengan sikap ayahnya. Ia menganggap bahwa Wira Sabet memerlukan bekal untuk dapat tetap hidup.
"Jika hidup paman Wira Sabet dan Pideksa mengalami kesulitan dan bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari, maka mereka akan dapat terperosok kembali kedalam dunianya yang gelap. Karena disamping mendendam orang-orang Gemawang, maka mereka telah hidup diantara para perampok, penyamun dan penjahat-penjahat yang lain, bahkan bersama para pengikut Ki Sapa Aruh.” Berkata Sampurna.
"Nah, biarlah aku menemuinya," berkata Ki Jagabaya “Tetapi sebaiknya aku berbicara dengan Ki Bekel.”
"Apa gunanya?" desis Sampurna "Selama ini Ki Bekel tidak berbuat apa-apa. Ia selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Bahkan menurut pendapatku bukan keragu-raguan karena ia membayangkan kerusakan, korban dan bencana yang dapat menimpa padukuhan ini. Tetapi ketakutan yang amat sangat.”
"Jangan begitu..." berkata Ki Jagabaya "Apapun yang dilakukan, tetapi ia masih tetap Bekel padukuhan Gemawang. Bukankah bukan hanya Ki Bekel yang berlaku seperti itu? Apa yang telah dilakukan oleh Kademangan Kalegen? Justru Ki Demang Rejandani yang dengan serta-merta bersedia membantu kita tanpa perasaan takut sama sekali meskipun ia sadar siapakah yang bakal dihadapi.”
"Meskipun Ki Demang mempunyai alasan tersendiri. Bukankah ia juga berusaha untuk mendapatkan kembali benda-benda yang sangat berharga yang dirampok oleh Ki Sapa Aruh dan orang-orang dari barak itu?" sahut Sampurna.
"Bukan hanya itu. Aku melihat sikap jujur pada Ki Demang Rejandani..." sahut Ki Jagabaya.
Sampurna tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk kecil. Ketika kemudian Manggada dan Laksana meninggalkan rumah Ki Jagabaya, maka seperti yang dikatakannya, Ki Jagabayapun telah pergi ke rumah Ki Bekel. Bagaimanapun juga sikap Ki Bekel sebelumnya, tetapi ia masih tetap diakui sebagai Bekel padukuhan Gemawang.
Kedatangan Ki Jagabaya telah diterima oleh Ki Bekel Gemawang di pringgitan. Dengan sikap seorang pemimpin Ki Bekel pun bertanya, "Apakah keperluan Ki Jagabaya menghadap aku sekarang ini?"
"Ki Bekel..." jawab Ki Jagabaya yang kemudian telah menceriterakan keperluannya datang menemui Ki Bekel.
Ki Bekel mendengarkan keterangan Ki Jagabaya dengan dahi yang kadang-kadang berkerut.
"Dengan menggarap sawahnya kembali, maka Wira Sabet akan dapat hidup bersama keluarganya.”
"Huh..." pikir Ki Bekel tiba-tiba telah mencibir “Apakah ia mengira bahwa ia dapat berbuat apa saja di padukuhan ini? Ia sudah berkhianat dan bahkan merusak tata kehidupan padukuhan ini. Sekarang dengan enaknya ia ingin minta sawah dan pategalannya kembali. Tidak. Sawah dan pategalannya bahkan rumah dan halamannya akan menjadi milik padukuhan. Aku bukan seorang pendendam. Tetapi ia sudah terlalu lama membuat kepalaku menjadi pusing. Jika saja aku tidak mempunyai daya tahan yang tinggi, maka aku tentu sudah menjadi gila karena tingkah lakunya yang buruk itu.”
"Jadi maksud Ki Bekel." bertanya Ki Jagabaya.
"Sudah aku katakan. Sebagai hukuman atas pengkhianatannya, maka sawah, pategalan, rumah, halaman dan segala kekayaannya akan dirampas dan menjadi milik padukuhan.”
"Ki Bekel..." berkata Ki Jagabaya "Ia sudah menyatakan diri untuk meninggalkan dunianya yang gelap itu. Ia sudah berjanji untuk hidup dengan baik sebagaimana orang lain penghuni padukuhan ini. Ia sudah menyesali segala perbuatannya. Sebenarnyalah bahwa yang sama sekali tidak terkendali adalah Sura Gentong. Bukan Wira Sabet.”
"Begitu mudahnya orang mendapatkan pengampunan?" bertanya Ki Bekel "Aku harus bersikap adil. Yang memberikan lebih bagi padukuhan ini akan mendapatkan lebih pula. Yang berkhianat tentu akan mendapatkan hukumannya. Wira Sabet bukannya baru sekarang melakukan dosa yang besar bagi padukuhan ini. Ketika ia melarikan diri, maka ia telah meninggalkan noda pula di padukuhan ini.”
"Ya" jawab Ki Jagabaya "Ketika itu, Wira Sabet telah melukai aku.”
Ki Bekel mengerutkan dahinya. Ia mengingat-ingat sebentar. Lalu katanya "Ya. Ia sudah melukai Ki Jagabaya. Kemudian ia telah berkhianat. Dengan susah payah aku harus berusaha mengatasinya, sehingga akhirnya ketenangan dapat diperoleh kembali oleh padukuhan ini.”
"Siapakah yang menangkap Wira Sabet menurut pendapat Ki Bekel?" tiba-tiba saja Ki Jagabaya bertanya.
Ki Bekel menjadi gagap. Namun kemudian jawabnya, "Itu memang kewajiban Ki Jagabaya. Tetapi segala perbuatan, sikap dan tingkah laku bebahu padukuhan ini tentu dibawah tanggung jawabku.”
"Ki Bekel benar..." jawab Ki Jagabaya "Karena itu maka aku harus datang menghadap dan mohon persetujuan Ki Bekel tentang sawah dan pategalan milik Wira Sabet.”
"Keputusanku tetap!" berkata Ki Bekel.
"Baiklah. Aku akan menyampaikan keputusan Ki Bekel kepada Wira Sabet. Aku akan mengatakan bahwa Ki Bekel tidak sependapat untuk menyerahkan kembali sawah dan pategalan Wira Sabet ketangannya.”
"Tetapi keputusan ini aku dasarkan atas jabatanku. Bukan aku pribadi.”
"Ya, Ki Bekel..." jawab Ki Jagabaya.
"Dengan demikian, maka kita semuanya harus mengamankan keputusan itu. Semua orang padukuhan ini. Terutama para bebahu. Apalagi Ki Jagabaya yang memang mempunyai tugas khusus untuk menjaga ketenangan dan ketertiban di padukuhan ini.”
"Baik Ki Bekel. Aku akan berusaha. Tetapi tentu saja kemampuan dan tenagaku terbatas. Sementara Wira Sabet dan saudara-saudara seperguruannya akan semakin mendendam.”
"Maksud Ki Jagabaya!" bertanya Ki Bekel.
"Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya mengatakan bahwa dendam Wira Sabet akan membakar jantungnya kembali.” jawab Ki Jagabaya.
"Adalah tugas Ki Jagabaya untuk menangkapnya dan memenjarakannya.” berkata Ki Bekel dengan wajah yang tegang.
"Tentu Ki Bekel. Tetapi sudah aku katakan, bahwa kemampuan dan tenagaku terbatas. Apalagi Wira Sabet sudah mendendamku sampai ke ujung rambutnya. Jika besok atau lusa saudara-saudara seperguruannya datang membunuh aku, maka segala sesuatunya tentu terserah kepada Ki Bekel. Mungkin Ki Bekel dapat menunjuk orang lain yang lebih baik dari aku atau Ki Bekel akan menanganinya sendiri.”
"Tetapi bukankah Ki Jagabaya mampu melawan mereka?" suara Ki bekel mulai bergetar.
"Mungkin seorang melawan seorang aku mampu mengimbangi kemampuan Wira Sabet. Tetapi jika datang dua orang, tiga orang, empat orang dengan beberapa orang pengikut? Atau mereka memakai cara yang lama dengan menakut-nakuti seisi padukuhan termasuk Ki Bekel?"
Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Untuk beberapa saat ia berdiam diri. Namun kemudian suaranya menjadi semakin gagap. "Bukankah Ki Jagabaya pernah mengalahkan Wira Sabet dan bahkan membunuh Sura Gentong?”
"Satu kebetulan Ki Bekel. Ada beberapa orang datang membantu. Ki Pandi dengan kedua ekor harimau peliharaannya yang garang tetapi terkendali. Ki Carang Aking dengan dua orang muridnya. Ki Citrabawa dengan anaknya dan Ki Demang Rejandani yang kebetulan mempunyai kepentingan yang sama. Tanpa mereka, maka padukuhan ini akan dihancurkan sampai lumat.”
“Bagaimana dengan Ki Kertasana? Anaknya dan anakmu?"
"Aku akan menyuruh isteri dan anak-anakku mengungsi. Jika Wira Sabet dan saudara-saudara seperguruannya datang mengamuk, biar aku sajalah yang dibunuhnya. Sementara Ki Kertasana, entahlah, apakah ia masih bersedia bertempur lagi atau tidak.”
>
Ki Bekel memang menjadi kebingungan. Dengan suara yang bergetar ia berkata, "Orang-orang itu harus tetap bersedia melawan Wira Sabet. Bahkan sekarang mereka aku perintahkan untuk menangkap Wira Sabet itu sebelum ia membuat keributan di padukuhan ini lagi.”
"Mereka tidak berkewajiban untuk mematuhi perintah Ki Bekel, karena mereka bukan penghuni padukuhan ini.”
"Tetapi mereka ada di sini sekarang." bentak Ki Bekel.
Ki Jagabaya yang sudah menahan diri itu mengerutkan dahinya. Ia tidak senang dibentak dengan kasar oleh Ki Bekel sekalipun. Karena itu, maka katanya, "Jika Ki Bekel ingin memberikan perintah itu kepada mereka, berikan langsung kepada mereka. Tetapi jika kemudian mereka justru berpihak kepada Wira Sabet, dan bahkan termasuk aku, itu terserah kepada Ki Bekel.”
"Gila. Apakah kau sudah gila?" bertanya Ki Bekel.
"Mungkin aku sudah gila. Tetapi aku ingin menyelamatkan diri dan keluargaku.” jawab Ki Jagabaya.
Wajah Ki Bekel menjadi pucat. Sementara Ki Jagabaya berkata, "Jika Ki Bekel tidak senang dengan sikapku, aku minta Ki Bekel memberhentikan aku dan menggantinya dengan orang lain yang memiliki kemampuan yang tinggi untuk melawan Wira Sabet.”
"Tetapi itu tidak mudah..." jawab Ki Bekel.
"Aku minta diri. Aku datang untuk minta agar Ki Bekel menyetujui menyerahkan kembali tanah dan pategalan Wira Sabet kepadanya. Hanya itu, jika Ki Bekel tidak setuju, itu terserah. Tetapi akibatnya terserah pula kepada Ki Bekel. Aku memilih dipecat saja karena aku tidak ingin mengorbankan keluargaku.”
Ki Bekel menjadi bingung. Ketika Ki Jagabaya beringsut, maka Ki Bekel itupun berkata, "Tunggu Ki Jagabaya.”
"Apalagi yang ditunggu? Bukankah keputusan Ki Bekel tetap? Sebaiknya aku pulang saja mempersiapkan pengungsian isteri dan anak-anakku. Aku mohon Ki Bekel menghubungi langsung orang-orang yang telah membantu membebaskan padukuhan ini dari tekanan ketakutan dan kecemasan. Itu jika mereka masih ada di padukuhan ini serta bersedia. Pokoknya terserah kepada Ki Bekel.”
"Tetapi itu kewajibanmu." teriak Ki Bekel.
"Bukankah aku katakan, pecat saja aku.”
"Aku tidak memecatmu. Tetapi aku memerintahkan kau berbuat sesuatu.”
"Kalau Ki Bekel tidak memecatku, aku meletakkan jabatan...”
"Tunggu. Tunggu...” minta Ki Bekel.
"Apalagi yang harus kita bicarakan?" bertanya Ki Jagabaya.
"Tetapi jangan pergi dahulu. Kita belum selesai" Ki Bekel menjadi gagap.
"Sebenarnya tidak banyak persoalan yang harus kita putuskan hari ini. Mengijinkan Wira Sabet menggarap sawah dan pategalannya lagi. Itu saja. Jika Ki Bekel memutuskan setuju, maka tidak ada persoalan lagi. Tetapi jika tidak, maka padukuhan ini akan memasuki kembali suasana sebagaimana pernah kita alami.”
Ki Bekel menjadi berdebar-debar. Suasana yang baru saja dialami oleh padukuhan itu benar-benar sangat menakutkan baginya. Bahkan ia tidak dapat berbohong kepada dirinya sendiri, bahwa segala sesuatunya Ki Jagabayalah yang telah mengatasinya. Karena itu, maka dengan nada berat Ki Bekel itupun berkata,
“Baiklah. Terserah kepada Ki Jagabaya. Jika Ki Jagabaya menganggap bahwa Wira Sabet pantas untuk menggarap sawah dan pategalannya kembali, maka akupun tidak berkeberatan pula.”
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih Ki Bekel. Hanya itulah yang aku butuhkan. Aku mohon diri. Aku akan menyampaikannya kepada Wira Sabet dan anak laki-lakinya. Mereka tentu akan merasa senang dan tidak akan membuat keributan lagi di padukuhan ini.”
Berita bahwa Wira Sabet dan Pideksa diperkenankan menggarap sawahnya lagi, telah diterima dengan suka cita. Ketika Ki Jajabaya dengan mengajak Sampurna, Manggada dan Laksana datang kerumah Wira Sabet untuk menyampaikan ijin untuk menggarap sawah dan pategalannya lagi, maka Wira Sabet menjadi sangat terharu. Kegarangannya seakan-akan telah luluh oleh kebesaran jiwa orang-orang padukuhannya.
Ijin untuk menggarap sawah dan pategalannya kembali itu membuat penyesalan yang semakin mendalam di hatinya. Dihari-hari mendatang, maka Wira Sabet tidak lagi menjadi orang yang terasing di padukuhannya sendiri, ia mulai keluar dari dinding rumahnya untuk pergi ke sawah. Disepanjang jalan ia bertemu dengan tetangga-tetangganya. Mula-mula mereka hanya saling mengangguk. Namun kemudian mereka mulai berbicara yang satu dengan yang lain. Bahkan kemudian mereka mulai terbuka dan berbicara tentang banyak hal mengenai padukuhan mereka.
Demikian pula yang dilakukan oleh Pideksa diantara anak-anak muda Gemawang. Di hari-hari mendatang, maka Gemawang benar-benar telah menjadi tenang. Tatanan kehidupan telah pulih kembali. Tidak ada lagi ketakutan dan kecemasan. Tidak pula ada perasaan saling curiga dan permusuhan.
Bagi orang-orang Gemawang, maka padukuhan mereka telah menjadi padukuhan yang dapat memberikan kesejukan. Gemawang bukan sekedar tempat tinggal, tetapi Gemawang merupakan kampung halaman yang teduh.
Ketika kehidupan di Gemawang menjadi mapan, maka Ki Citrabawa justru mulai teringat kepada kampung halamannya sendiri. Karena itu, maka kepada Ki Kertasana, ia telah menyampaikan niatnya untuk pulang.
"Aku sudah cukup lama berada disini kakang." berkata Ki Citrabawa.
Ki Kertasana tersenyum. Katanya, "Kalian berdua telah ikut mengalami satu peristiwa yang mendebarkan di padukuhan ini.”
"Sekarang, semuanya telah lewat...” desis Ki Citrabawa.
Dengan demikian, maka Ki Kertasana tidak dapat menahan adiknya lebih lama lagi. Karena itu, maka ketika kemudian adiknya benar-benar minta diri, maka Ki Kertasana itupun telah melepaskannya. Namun Ki Kertasana masih minta Ki Citrabawa untuk minta diri kepada Ki Jagabaya. Ki Jagabaya melepaskan Ki Citrabawa dengan berat hati. Ki Citrabawa telah ikut menentukan hari depan padukuhan Gemawang bersama Laksana.
Namun ternyata bukan hanya Ki Citrabawa sajalah yang akan meninggalkan Gemawang. Ki Kertasana telah minta agar Manggada dan Laksana mengantarkan Ki Citrabawa pulang. "Lebih banyak kawan diperjalanan, tentu perjalanan akan dirasakan semakin pendek.” berkata Ki Kertasana.
Ki Citrabawa tidak menolak. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa anak dan kemanakannya itu sudah menjadi semakin matang. Bukan saja kemampuan ilmunya, tetapi juga cara mereka berpikir dan mengambil sikap. Tetapi baik Ki Citrabawa maupun Ki Kertasana tidak menentukan, apakah Mariggada dan Laksana akan tinggal dirumah orang tua mereka masing-masing, atau mereka akan selalu bersama-sama sebelum mereka masing-masing berkeluarga.
Tetapi justru karena itu, maka Ki Pandi pun telah minta diri pula. Katanya, "Aku berada disini karena Manggada dan Laksana ada disini. Jika mereka pergi, maka akupun akan pergi juga.”
"Ki Pandi akan pergi ke mana?" bertanya Manggada “Seandainya Ki Pandi tidak mempunyai kepentingan tertentu, marilah, kita berjalan bersama-sama.”
Ki Pandi mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berdesis, "Sebenarnya aku masih mempunyai tugas. Panembahan berilmu hitam itu masih belum dapat ditundukkan. Tetapi baiklah, sambil mencarinya, aku bersedia ikut berjalan bersama-sama Manggada dan Laksana. Bukankah itu berarti bahwa aku akan berjalan bersama Ki Citrabawa dan Nyi Citrabawa? Agaknya akan menjadi perjalanan yang menyenangkan”
"Aku akan berterima kasih sekali jika Ki Pandi dapat berjalan bersama kami...” berkata Ki Citrabawa.
"Meskipun aku akan berjalan bersama Ki Citrabawa, tetapi jalan yang akan kita lalui akan berbeda.” sahut Ki Pandi kemudian. Lalu katanya pula, “Aku membawa momongan. Dua ekor harimau. Karena itu, aku harus memilih jalan terbaik yang dapat kami lalui tanpa mengganggu orang lain.”
Manggada tertawa. Katanya, "Apakah kedua momongan Ki Pandi itu pada suatu saat tidak dapat ditinggalkan disatu tempat?"
"Tentu. Tetapi disatu tempat yang terdekat. Setiap saat aku memerlukan keduanya atau keduanya memerlukan aku..." berkata Ki Pandi kemudian.
"Jika demikian, biarlah kami yang menyesuaikan diri" berkata Ki Citrabawa.
Ki Pandi menggeleng. Katanya "Jangan. Jika Ki Citrabawa tidak berjalan bersama Nyi Citrabawa, maka aku tidak berkeberatan, karena aku yakin, dimasa muda Ki Citrabawa tentu telah sering menempuh perjalanan pula.”
Ki Citrabawapun tertawa. Katanya, "Itu sudah lama sekali terjadi. Tetapi baiklah. Meskipun Ki Pandi akan mengambil jalan sendiri, tetapi akhirnya Ki Pandi akan sampai kerumahku juga.”
Demikianlah, ketika sampai saat yang direncanakan, maka Ki Citrabawa dan Nyi Citrabawa telah meninggalkan padukuhan Gemawang diantar oleh Manggada dan Laksana. Bersama mereka adalah Ki Pandi. Namun Ki Pandi telah mengambil jalan yang lain, karena jika Ki Pandi menempuh jalan sebagaimana dilalui oleh Ki Citrabawa dan Nyi Citrabawa, maka kedua ekor harimaunya akan menakut-nakuti orang.
Perjalanan yang mereka tempuh memang merupakan perjalanan panjang. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak mengalami hambatan disepanjang perjalanan mereka, sehingga akhirnya mereka telah berada dirumah Ki Citrabawa.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, maka Ki Pandi yang menyertai mereka tetapi mengambil jalan yang berbeda, telah sampai pula dirumah Ki Citrabawa. Ki Pandi sudah berjanji untuk tinggal dirumah itu beberapa lama sebagaimana Manggada.
"Jika pada suatu saat kau akan pulang, maka biarlah aku bersamamu." berkata Ki Pandi kepada Manggada.
"Terima kasih Ki Pandi." sahut Manggada "Tetapi aku tidak tahu, apakah Laksana akan tinggal bersama paman dan bibi atau masih ada niatnya untuk menempuh perjalanan pengembaraan.”
"Kau kira aku akan tinggal dirumah sebagai gadis pingitan.” sahut Laksana.
Ki Pandi tertawa. Katanya, "Tetapi bukan aku yang mengajakmu. Jangan-jangan Ki Citrabawa dan Nyi Citrabawa salah mengerti.”
Manggada dan Laksana tertawa pula. Dengan nada tinggi Laksana berkata, "Aku akan mengatakan kepada ayah dan ibu, bahwa Ki Pandi telah memaksaku dan bahkan mengancamku jika aku tidak mau pergi bersamanya.”
Ki Pandi sendiri masih saja tertawa. Namun kemudian, ketika suara tertawa mereka mereda, Ki Pandipun berkata "Tetapi kalian harus mengetahui sebelumnya, bahwa jika kalian akan melakukan pengembaraan, kalian harus menjadi lebih berhati-hati.”
"Kenapa?" bertanya Manggada.
Dahi Ki Pandi menjadi berkerut. Ia menjadi lebih bersungguh-sungguh. "Perjalanan kalian selalu diamati oleh seseorang.”
"Siapa?" bertanya Laksana.
Ki Pandi menggeleng. Katanya "Aku tidak mengenal. Aku ketahui justru karena diperjalanan kalian bersama Ki Citrabawa dan Nyi Citrabawa aku telah memisahkan diri. Tetapi aku dapat mengenali orang itu jika aku bertemu kembali dengan orang itu”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Manggada berkata, "Jika demikian, maka pada suatu saat, kita akan dapat menemukan orang itu.”
"Mudah-mudahan..." jawab Ki Pandi "Tetapi karena untuk sementara kita akan berada disini, maka orang itu dapat kita lupakan saja. Kecuali jika pada suatu hari kita temui orang itu lagi dimanapun.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk pula. Namun mereka benar-benar telah melupakan orang itu, setidak-tidaknya untuk beberapa lama.
Ternyata Ki Pandi memang melihat orang itu. Bahkan ketika Ki Pandi berjalan-jalan seorang diri di luar halaman rumah Ki Citrabawa, ia melihat orang itu lagi. Tetapi Ki Pandi seakan-akan tidak menghiraukannya sama sekali. Untunglah bahwa orang itu juga tidak menghiraukan Ki Pandi. Tetapi dihari-hari mendatang, Ki Pandi tidak pernah melihat orang itu lagi disekitar rumah Ki Citrabawa.
Dalam pada itu, Manggada dan Laksana ternyata tidak dapat bertahan lebih lama lagi untuk tinggal dirumah saja. Karena itu, maka keduanyapun telah minta diri untuk menempuh satu perjalanan agar pengalaman mereka dapat bertambah.
"Tidak akan terlalu lama, paman..." berkata Manggada.
"Tidak terlalu lama itu menurut ukuranmu berapa hari?" bertanya Ki Citrabawa.
"Jangan dihitung hari, ayah..." sahut Laksana.
"Jadi...?"
"Pertanyaan ayah seharusnya berdasarkan bulan. Berapa bulan atau bahkan tahun...” berkata Laksana.
Ki Citrabawa menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat merasakan gejolak perasaan anak-anak muda yang ingin mendapatkan pengalaman yang lebih luas serta melihat lebih banyak dari warna bumi ini. Berbeda dengan anak-anak muda yang merasa hidupnya sudah berada diatas kemapanan tertentu, maka Manggada dan Laksana ingin menjangkau kesempatan yang lebih banyak lagi.
Seperti saat-saat Manggada dan Laksana minta diri meninggalkan rumah itu untuk pergi ke Gemawang beberapa saat yang lewat, maka Nyi Citrabawa merasa sangat berat untuk melepas mereka. Tetapi nampaknya keinginan Manggada dan Laksana sulit untuk dicegah lagi.
"Ngger..." berkata Nyi Citrabawa "Kau lihat anak-anak sebayamu di padukuhan ini, atau di padukuhan Gemawang, dapat bekerja dengan tenang dirumah, disawah dan pategalan. Mereka merupakan tiang-tiang penyangga kehidupan keluarga dan padukuhannya. Tetapi kenapa kalian berdua menjadi gelisah dan ingin menempuh satu pengembaraan yang panjang?"
"Ibu..." jawab Laksana "Pada suatu saat aku juga akan kembali ke padukuhan ini. Demikian juga kakang Manggada akan kembali ke Gemawang. Namun sebelum kami menetap tinggal dan bekerja bagi lingkungan kami, sebenarnyalah kami ingin melihat betapa luasnya tanah ini, meskipun aku sadar, bahwa yang dapat aku lihat itu tentu hanya selebar daun kelor dibanding dengan luasnya bumi.”
Nyi Ciirabawa itupun kemudian berpaling kepada Ki Pandi yang menunduk. Perasaan Ki Pandi memang agak tergelitik oleh sikap Nyi Citrabawa. Seperti yang dicemaskannya, akan dapat terjadi salah paham, seolah-olah Ki Pandilah yang mengajak kedua orang anak muda itu untuk mengembara.
Tetapi Ki Citrabawa itupun justru berkata, "Baiklah. Jika kalian ingin melihat-lihat sebagaimana pernah kalian lakukan sebelumnya.” Namun kemudian katanya kepada Ki Pandi, "Aku titipkan anak-anak ini kepada Ki Pandi. Mudah-mudahan pengembaraan mereka mendapat arti bagi hidupnya mendatang serta bagi sesamanya. Kami akan selalu berdoa, semoga Yang Maha Agung akan tetap melindungi mereka”
Nyi Citrabawa memang tidak menahan mereka lagi. Sementara Ki Pandi berkata, "Aku akan berusaha sebaik-baiknya dalam keterbatasanku Ki Citrabawa. Sebenarnya aku juga sudah mencoba untuk menahan mereka untuk tetap tinggal dirumah sementara aku akan minta diri, karena aku masih mempunyai tugas yang belum terselesaikan. Tetapi ternyata keduanya berkeras hati untuk tetap pergi untuk melihat lingkungan yang lebih luas.”
"Aku justru merasa beruntung, bahwa ketika keduanya ingin pergi, Ki Pandi justru bersama mereka. Itu akan jauh lebih baik daripada mereka pergi hanya berdua saja. Kemudian mereka kadang-kadang dapat membuat mereka kurang dapat mengekang diri”
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi didalam hati ia berkata, "Justru kepercayaan ini merupakan beban yang berat bagiku, Untunglah kedua anak muda itu termasuk anak-anak muda yang tidak terlalu sulit dikendalikan”
Demikianlah, maka Ki Citrabawa dan Nyi Citrabawa harus melepaskan anak dan kemanakannya itu pergi. Yang membuat mereka cemas adalah justru karena mereka mengetahui, bahwa keduanya tidak sekedar mengembara menyusuri jalan-jalan dan menghindari kesulitan yang dapat timbul diperjalanan. Tetapi sebagaimana yang pernah terjadi atas mereka, adalah justru peristiwa yang dapat membahayakan jiwa mereka.
Ketika mereka meninggalkan rumah Ki Citrabawa, maka bertiga mereka telah pergi ke sebuah hutan yang tidak terlalu jauh. Di hutan itu dahulu Manggada dan Laksana sering berburu harimau untuk mendapatkan kulitnya. Kulit harimau itu biasanya dibeli oleh para pedagang dengan harga yang cukup tinggi.
Tetapi Ki Citrabawapun kemudian melarang mereka untuk setiap kali memburu harimau, sehingga keduanyapun telah menghentikan kegiatan mereka. Diperjalanan itulah Ki Pandi telah memperingatkan mereka sekali lagi, bahwa mereka berdua agaknya sedang dalam pengawasan seseorang.
"Kita belum dapat memastikan, apakah ada hubungannya antara orang itu dengan peristiwa yang terjadi di barak Wira Sabet dan Sura Gentong. Terbunuhnya beberapa orang berilmu tinggi kadang-kadang membuat persoalan berlarut-larut. Mungkin ada orang yang tersinggung karenanya, sehingga memahatkan dendam didalam hatinya. Dendam itulah yang membuat tanah ini selalu dibayangi oleh kekerasan, disamping sifat-sifat bujuk yang lain yang dapat hinggap dihati seseorang...”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Tetapi pesan Ki Pandi itu mereka perhatikan dengan sungguh-sungguh. Benih itu akan dapat tumbuh dan berkembang di hati yang pada dasarnya memang merupakan ladang yang subur.
Demikianlah, di hutan itu Ki Pandi sempat menemui kedua ekor harimaunya. Berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Manggada dan Laksana. Namun kemudian Ki Pandipun berkata "Aku berharap bahwa keduanya bersedia tinggal dihutan ini untuk beberapa lama.
"Di hutan ini banyak terdapat binatang buas Ki Pandi...” berkata Manggada.
"Kedua ekor harimauku ini memiliki sedikit kelebihan. Mereka dapat menghindari perkelahian. Tetapi jika hal itu harus terjadi, maka keduanya dapat melakukan yang tidak dapat dilakukan oleh jenis-jenis binatang buas yang lain”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun mereka meyakini kata-kata Ki Pandi yang sudah bergaul dengan kedua ekor harimaunya untuk waktu yang lama. Ketiga orang itu bermalam di hutan itu. Manggada dan Laksana yang pernah tinggal dihutan sebulan penuh sama sekali tidak merasa canggung tidur di atas pepohonan. Merekapun tidak canggung pula berburu untuk mendapatkan makan malam mereka.
Baru dihari berikutnya, menjelang matahari terbit, setelah mereka mandi disebuah mata air, maka merekapun meninggalkan hutan itu. Demikian keduanya keluar dari hutan itu, maka dilihatnya cahaya matahari yang membayangi di langit. Kemerah-merahan. Semakin lama semakin cerah.
Ki Pandi yang sudah berpengalaman telah mengajak mereka untuk menentukan arah perjalanan. Meskipun mereka tidak mempunyai rencana tertentu, namun sebaiknya mereka tidak berjalan asal melangkahkan kaki mereka.
"Bagaimana pendapat Ki Pandi jika kita melihat keadaan diseberang hutan Jatimalang sepeninggal Panembahan Lebdagati?"
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian bertanya kepada diri sendiri, "Sepeninggal Panembahan Lebdagati yang berilmu hitam itu?"
Manggada yang mendengar kata-kata itu justru menyahut. “Ya. Apakah Ki Ajar Pangukan masih berada ditempatnya?"
Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Dapat saja jika kita memang ingin singgah”
"Ya, sekedar singgah. Agaknya kita memang tidak akan menjumpai apa-apa lagi disana. Panembahan Lebdagati sudah meninggalkan padepokannya dan mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain”
"Panembahan itu sudah kehilangan kesempatan yang telah dirintisnya sejak lama dengan mengorbankan gadis-gadis. Satu kali purnama lepas dari padanya, maka ia harus mengulanginya lagi dari awal. Agaknya Panembahan itu sudah tidak mungkin lagi untuk memulainya, sehingga ia telah mencari jalan lain yang dianggapnya lebih pendek daripada mengorbankan gadis-gadis disetiap bulan purnama. Karena ia sudah kehilangan waktu yang panjang, sejak kita menggagalkannya dan merebut anak Ki Wiradadi itu.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun rencana untuk singgah dilingkungan seberang hutan Jatimalang sangat menarik bagi mereka. Mungkin perubahan-perubahan sudah dan sedang berlangsung disana. Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun rencana untuk singgah dilingkungan seberang hutan Jatimalang sangat menarik bagi mereka. Mungkin perubahan-perubahan sudah dan sedang berlangsung disana.
Dengan demikian, maka mereka telah mengarahkan arah perjalanan mereka. Mereka akan melihat, apakah kehidupan di kaki Gunung Lawu itu sudah banyak mengalami perubahan atau belum. Namun mereka tidak tergesa-gesa. Mereka tidak mempunyai satu kepentingan tertentu di seberang hutan Jati, selain sekedar ingin melihat kembali lingkungan itu.
Karena itu, maka mereka berjalan sambil melihat-lihat. Padu kuhan, sawah, pategalan, sungai dan hijaunya pepohonan. Ketika mereka melewati sebuah pasar, maka Laksanapun berniat untuk singgah sebentar disebuah kedai dipinggir pasar itu.
“Aku ingin minum dan makanan hangat..." desis anak muda itu.
Manggada tersenyum. Ketika ia berpaling kepada Ki Pandi, sebelum Manggada bertanya kepadanya, maka Ki Pandi itu sudah mengangguk sambil berkata, "Bukankah aku hanya mengikuti kalian?"
Manggada tersenyum. Katanya, "Baiklah. Kita singgah sebentar...!”
Demikianlah, maka mereka bertiga telah singgah disebuah kedai yang tidak terlalu besar. Meskipun demikian, agaknya kedai itu menyediakan makanan dan minuman yang baik, sehingga karena itu, maka kedai itu menjadi cukup ramai.
Dalam kesibukan menghirup minuman dan mengunyah makanan, tiba-tiba wajah Ki Pandi berkerut. Ia melihat lagi orang yang dilihatnya mengikuti perjalanan Manggada dan Laksana ketika mereka mengantar Ki Citrabawa dan isterinya. Orang yang juga pernah dilihatnya di dekat rumah Ki Citrabawa.
Tetapi Ki Pandi tidak sempat menunjukkannya kepada Manggada dan Laksana karena orang itu hanya lewat dan berhenti sejenak di depan kedai itu. Namun nampaknya orang itu tidak seorang diri. Meskipun orang itu sudah tidak nampak lagi, namun Ki Pandi telah memberitahukan juga kepada Manggada dan Laksana, bahwa orang yang pernah dikatakannya mengamati perjalanan mereka itu baru saja lewat didepan kedai itu.
"Kenapa Ki Pandi tidak menunjukkan kepada kami?"
"Orang itu hanya lewat. Ketika aku berniat untuk mengatakan kepada kalian, orang itu sudah tidak nampak lagi.”
"Kita akan mencarinya. Mungkin ia masih berada disekitar tempat ini" berkata Laksana.
Tetapi Ki Pandi itu menggeleng. Katanya, "Kita tidak perlu bersusah payah mencarinya.”
"Tetapi menurut Ki Pandi, orang itu berbahaya bagi kita.” sahut Laksana.
"Ya. Tetapi tanpa mencarinya, orang itu tentu akan datang lagi kepada kita. Nanti, esok atau lusa. Mereka tentu akan selalu mengikuti kalian berdua. Namun setelah mereka mengetahui bahwa aku selalu bersama kalian, maka akupun akan ikut mereka awasi.”
"Apakah Ki Pandi tidak keliru? Justru Ki Pandilah yang diikutinya.” desis Manggada.
"Agaknya memang suatu kemungkinan. Tetapi yang sempat mereka temukan dahulu adalah kalian berdua. Orang itu memperhitungkan, bahwa dengan mengikuti kalian berdua, maka kalian akan membawanya kepadaku.” "Ternyata perhitungannya benar." desis Laksana.
Ki Pandi mengangguk-angguk. Setelah merenung sejenak, maka Ki Pandi itupun berdesis "Memang masuk akal. Tetapi semua itu baru merupakan dugaan-dugaan. Meskipun demikian aku kira pada suatu saat, kita akan mengetahui, apakah sebenarnya yang dikehendakinya.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka masih menghirup minuman dan mereka bahkan mulut mereka masih juga mengunyah makanan.
Sementara itu Ki Pandi mulai membayangkan kembali orang yang pernah dilihatnya. Ketika ia melihat orang itu didekat rumah Ki Citrabawa, maka orang itu seakan-akan tidak memperhatikan. Tetapi Ki Pandi tidak ingin pening memikirkan orang itu. Ia berharap bahwa suatu ketika ia mendapat kejelasan.
Dalam pada itu, setelah Manggada membayar harga makanan dan minuman, mereka bertigapun keluar dari kedai itu dan berjalan searah dengan orang yang telah dikenali Ki Pandi. Namun mereka sudah tidak melihat lagi orang itu.
"Mungkin orang itu salah seorang saudara seperguruan Sura Gentong atau saudara-saudara seperguruannya.” berkata Manggada.
"Jika demikin, kenapa mereka tidak mencari ayah?" bertanya Laksana. Namun nada pertanyaannya memang mengandung kecemasan. Laksana benar-benar memikirkan keadaan ayahnya.
"Sudahlah" berkata Ki Pandi...” Kita tidak dapat memecahkan teka-teki itu.”
Dengan demikian, maka perjalanan mereka bertiga sama sekali tidak terpengaruh oleh kehadiran orang yang tak dikenal itu. Siapapun mereka, maka ketiga orang itu melanjutkan perjalanan ke arah hutan Jatimalang.
Perjalanan mereka memang perjalanan yang panjang. Meskipun Manggada dan Laksana teringat juga kepada Ki Wiradadi, namun mereka tidak ingin singgah kerumah itu. "Jika kita harus singgah dimana-mana, maka kita tidak akan sampai dihutan Jatimalang” berkata Manggada.
Laksana mengerutkan dahinya. Tetapi sebelum ia mengucapkan sesuatu, Manggada telah mendahuluinya "Anak gadis Ki Wiradadi itu?"
"Ah, tidak...” jawab Laksana.
Manggada tertawa. Sementara Laksana melemparkan pandangan matanya jauh-jauh. Ki Pandi sempat tersenyum juga mendengar pembicaraan kedua orang anak muda itu. Namun ia tidak berkata sesuatu.
Demikianlah, maka merekapun berjalan semakin jauh. Matahari yang kemudian melewati puncak langit, panasnya bagaikan membakar kulit. Namun perjalanan mereka selanjutnya sama sekali tidak terganggu. Juga ketika mereka berhenti untuk minum dan makan disebuah kedai.
Menjelang malam, ketiga orang itu memasuki sebuah padukuhan. Bertiga mereka berniat untuk menumpang bermalam di banjar padukuhan itu. Tetapi ketiga orang itu merasa aneh. Padukuhan itu nampak sepi. Pintu-pintu rumah sudah tertutup dan gardu-gardupun tidak terisi.
"Mungkin masih terlalu sore untuk berada di gardu." berkata Manggada.
"Mungkin..." sahut Ki Pandi "Tetapi regol-regol halaman dan bahkan pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat”
"Seperti padukuhan Gemawang sebelum barak Wira Sabet dan Sura Gentong di kuasai.” berkata Laksana.
"Ya" sahut Manggada "Apapun yang terjadi ditempat ini, tentu ada yang tidak wajar.”
Ki Pandi mengangguk-angguk mengiakan. Namun ia tidak berkata sesuatu. Ia berjalan saja menelusuri jalan padukuhan. Beberapa saat kemudian, ternyata mereka telah berada didepan banjar padukuhan. Namun nampaknya banjar padukuhan itu juga nampak sepi. Dengan agak ragu ketiga orang itu melangkah memasuki banjar padukuhan. Mungkin mereka dapat bertemu dengan penunggu banjar itu.
Seperti yang mereka duga, maka dibelakang banjar itu tinggal sebuah keluarga kecil. Ia bertugas untuk menunggu dan memelihara banjar milik padukuhan itu. Meskipun nampak ragu-ragu, namun ketiga orang itu dipersilahkan masuk kerumahnya yang tidak begitu besar. Ki Pandilah yang minta kepada penunggu banjar itu untuk diijinkan bermalam barang semalam saja dibanjar itu...
Selanjutnya,
MATAHARI SENJA BAGIAN 02
MATAHARI SENJA BAGIAN 02