Matahari Senja
Bagian 04
LAKSANA termangu-mangu sejenak. Diluar sadarnya ia berpaling kepada Manggada. Tetapi wajah Manggada tidak memberikan kesan apapun sehingga Laksana tidak segera dapat menjawab.
Namun Ki Pandilah yang kemudian menjawab "Tentu Laksana akan mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Bukankah dengan demikian ia akan mendapatkan suatu pengalaman baru sebagaimana diinginkannya?"
Hampir diluar sadarnya laksana berdesis, "Ya. Demikianlah agaknya. Tentu jika kakang Manggada tidak berkeberatan."
Manggada tersenyum. Katanya, "Aku akan sangat berterima kasih jika kami mendapat kesempatan itu. Bukan saja pengalaman baru. Tetapi juga kesempatan untuk ikut menghapus warna-warna hitam diwajah kehidupan ini."
"Bagus" berkata Ki Ajar Pangukan "Jika demikian, aku akan mempersilahkan kalian tinggal disini lagi, bersama Ki Bongkok." Ki Ajar berhenti sejenak. Baru kemudian berdesis "Maaf, aku sudah terbiasa memanggil demikian."
Ki Pandi tertawa mendengar sebutan atas dirinya justru menjadi persoalan. Katanya kemudian "Apapun tetenger itu bagiku, asal jelas, bahwa akulah yang dimaksud."
Orang-orang tua tertawa. Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun merekapun tertawa pula.
Demikianlah, maka saat itu, Ki Pandi, Manggada dan Laksana berada dirumah Ki Ajar Pangukan bersama Ki Jagaprana yang terluka dibagian dalam tubuhnya. Namun dari hari kehari keadaannya menjadi berangsur baik sehingga akhirnya menjadi sembuh sama sekali.
Sementara itu, Ki Ajar Pangukan telah beberapa kali membawa Manggada dan Laksana berjalan-jalan menyusuri daerah yang pernah menjadi daerah pengaruh orang yang menyebut dirinya Panembahan Lebdagati.
Kehidupan di daerah itu memang sudah nampak berubah. Nampaknya jalan yang menembus hutan Jatimalang itu memberikan banyak arti bagi daerah itu. Perdagangan hasil bumi yang terjadi dengan wajar, kemudian kebutuhan alat-alat pertanian yang didatangkan dari balik hutan, serta kebutuhan-kebutuhan yang lain seperti garam dan barang kerajinan, membuat daerah di lereng Gunung Lawu itu berkembang menjadi satu lingkungan yang wajar sebagaimana lingkungan-lingkungan yang lain.
Hilangnya kekuatan hitam yang selalu memaksakan kehendaknya kepada para penghuni lingkungan yang sebelumnya terpisah itu mempunyai pengarah yang sangat besar. Para penghuninya tidak lagi dibayangi oleh perasaan takut serta tidak lagi dibebani oleh berbagai macam keharusan.
Bukan saja upeti yang harus mereka serahkan kepada Panembahan Lebdagati dan para pengikutnya, tetapi juga berbagai jenis upacara yang mereka lakukan sejalan dengan kepercayaan sesat yang dianut oleh Panembahan itu.
Namun semakin jauh Manggada dan laksana melihat keadaan yang berkembang dilereng Gunung Lawu itu, mereka justru mulai, mengenali warna-warna yang kusam.
"Kita mulai melihat perkembangan tatahan kehidupan yang berputar balik" berkata Ki Ajar Pangukan "Semula lingkungan kehidupan disini telah mengalami perubahan dan perkembangan sebagaimana tatanan kehidupan dilingkungan kehidupan yang lain. Maksudku padukuhan-padukuhan yang mulai diwarnai oleh tatanan kehidupan yang wajar setelah penghuninya banyak berhubungan dengan lingkungan disebelah hutan Jatimalang dan bahkan lingkungan yang lebih jauh yang melakukan hubungan perdagangan. Tetapi pada saat terakhir, perkembangan tatanan kehidupan mulai bergeser lagi. Meskipun hubungan perdagangan masih juga berlangsung sehingga pengaruh tatanan kehidupan dari seberang hutan Jatimalang masih nampak mewarnai tatanan kehidupan disini, tetapi upacara-upacara yang aneh mulai mewarnai kehidupan disini."
Manggada dan Laksana mendengarkan keterangan Ki Ajar itu dengan sungguh-sungguh. Meskipun kehidupan yang kusam itu belum nampak jelas dalam kehidupan sehari-hari, tetapi lambat-laun, perubahan-perubahan yang mendasar akan dapat terjadi.
Dengan ragu-ragu Manggada bertanya, "Ki Ajar. Selagi keadaan itu belum berkembang, apakah tidak sebaiknya mulai diluruskan kembali?"
"Itulah yang akan kami usahakan. Tetapi tentu bukan satu pekerjaan yang mudah. Sudah aku katakan, bahwa telah lahir satu padepokan baru yang agaknya memuat satu jenis perguruan yang berpijak pada atau setidak-tidaknya dipengaruhi oleh ilmu yang sesat sebagaimana dianut atau sejenis yang dianut oleh Panembahan Lebdagati."
"Dimanakah letak padepokan itu?”
"Kini tidak dapat dengan serta-merta mendekati tempat itu. Kita harus berhati-hati, karena didalam padepokan itu tentu tersimpan orang-orang berilmu tinggi dari aliran yang sesat itu." jawab Ki Ajar Pangukan.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Keduanya mencoba untuk melihat kelainan yang mulai tumbuh di beberapa padukuhan. Mereka melihat ditempat-tempat tertentu terdapat bangunan yang khusus. Dihalamannya yang luas terdapat batu tersusun rapi dengan permukaan yang datar setinggi orang dewasa dengan tangga batu pula di keempat sisinya.
"Untuk apa, Ki Ajar?" bertanya laksana.
"Sampai saat ini, yang kami lihat, diatas landasan batu itu diserahkan korban seekor anak binatang yang dilahirkan dibulan purnama. Jika tidak diketemukan maka yang akan dikorbankan adalah seekor anak binatang jenis apapun yang lahir terdekat dengan bulan purnama."
"Caranya?" bertanya Laksana pula.
"Dengan sepotong bambu yang ditajamkan, jantung anak binatang yang dikorbankan itu ditikam." jawab Ki Ajar Pangukan.
"Ah...!" desis Laksana diluar sadarnya.
"Yang menarik..." berkata Ki Ajar Pangukan "Sebelum anak binatang itu dikorbankan, anak binatang itu dimandikan, kemudian dibalut dengan kain yang berwarna putih. Kemudian sesudah binatang itu mati, maka beberapa orang yang nampaknya merupakan rangkaian dari upacara itu, menangisinya. Kemudian anak binatang itu dikubur dengan upacara yang khusus pula."
"Satu upacara yang aneh..." berkata Manggada.
"Ya. Upacara yang aneh. Tetapi lebih dari itu, aku membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Maksudku, waktu-waktu mendatang. Jika kepercayaan yang aneh itu menjadi semakin menggigit, maka aku cemas bahwa korban itu tidak hanya sekedar seekor binatang dari jenis apapun."
"Maksud Ki Ajar?" bertanya Laksana.
Ki Ajar tidak menjawab. Tetapi keningnya berkerut semakin dalam Laksana tidak mendesaknya. Ia sendiri tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi kemudian.
Manggadalah yang kemudian justru bertanya "Jenis binatang apa sajakah yang dapat dipakai sebagai korban?"
"Segala macam binatang peliharaan. Dari anak lembu, anak kambing sampai anak ayam yang menetas pada atau disekitar bulan purnama." jawab Ki Ajar Pangukan.
Manggada mengangguk-angguk. Tetapi iapun tidak ingin mendesak dan mendengarkan jawaban tentang kecemasan Ki Ajar di hari kemudian itu. Di rumah Ki Ajar, Manggada dan Laksana telah membicarakannya dengan Ki Pandi yang sibuk menyiapkan minum dan makan seisi rumah itu sebagaiman pernah dilakukannya dahulu.
Memang ada perbedaan dengan upacara yang dilakukan oleh Panembahan Lebdagati. Tetapi bayangan dikemudian hari itu, akan sama-sama mengerikannya. "Bagaimana mungkin masih saja ada orang yang mempergunakan cara-cara seperti itu untuk pemenuhan kepuasan batinnya.” desis Manggada.
“Kita tidak akan dapat tinggal diam atau sekedar sebagai penonton yang menutup wajah kita dan melihat peristiwa itu itu dari sela-sela jari tangan kita." berkata Ki Pandi.
Ternyata bahwa kemudian Ki Jagapranapun telah tertarik pula kepada tata kehidupan yang tidak sewajarnya itu. Dengan demikian, maka orang-orang yang tinggal dirumah Ki Ajar Pangukan itu telah menyusun rencana untuk melihat dan mengenali sebuah padepokan yang memancarkan kepercayaan yang berlandaskan pada ilmu hitam itu yang pengaruhnya sudah terasa dipadukuhan-padukuhan di lereng Gunung Lawu.
Penghuni padukuhan-padukuhan itu, yang sejak, semula memang sudah tersentuh oleh kepercayaan hitam itu agaknya tidak terlalu sulit untuk menerima kembali tatanan kehidupan yang pernah dikenali sebelumnya. Meskipun mereka sudah dipengaruhi oleh tatanan kehidupan yang lain, tetapi ketika pengenalan mereka itu tersentuh kembali, maka merekapun seakan-akan telah hanyut kedalam dunia lama yang telah mereka kenal itu.
Namun dalam pada itu, selagi Ki Ajar Pangukan, Ki Jagaprana dan Ki Pandi bersama Manggada dan Laksana akan mulai melangkahkan kaki, tiba-tiba saja telah datang dua orang yang pernah mereka kenal sebelumnya. Ki Ajar Pangukan terkejut atas kehadiran kedua orang yang tiba-tiba saja sudah berada di plataran rumah Ki Ajar Pangukan yang terasing itu.
"Aku mencari Ki Jagaprana dan Ki Bongkok" teriak seorang di antara mereka.
Bukan hanya Ki Ajar Pangukan sajalah yang kemudian keluar dan berdiri diserambi. Tetapi seisi rumah itu telah menyongsong kedua orang itu didepan rumah.
"Selamat datang digubuk kecil ini, Ki Lemah Teles dan Ki Sambi Pitu." sapa Ki Ajar Pangukan.
"Ki Ajar..." berkata Ki Lemah Teles "Sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Aku mempunyai persoalan dengan keduanya. Aku memang menunggu Ki Jagaprana sembuh. Aku akan menantangnya untuk berperang tanding. Kemudian aku juga akan menantang orang bongkok yang telah mengganggu perang tandingku dengan Sambi Pitu."
Dalam pada itu, Ki Sambi Pitu telah menyahut, "Ki Lemah Teles masih saja gila."
"Persetan kau..." geram Ki Lemah Teles "Kau akan mendapat giliran terakhir setelah aku menyelesaikan Jagaprana dan orang bongkok itu. Kecuali jika Ki Ajar ingin mencampuri persoalan ini. Maka ia akan aku selesaikan sebelum kau."
Tetapi Ki Pandi justru tertawa. Katanya, "Atas nama Ki Ajar, aku persilahkan kau duduk Ki Lemah Teles dan Ki Sambi Pitu. Ki Ajar menjadi heran melihat sikapmu yang gila itu sehingga ia tidak segera mempersilahkan kalian duduk."
“Ya, ya" sahut Ki Ajar. "Sikapmu aneh Ki Lemah Teles, sehingga aku kehilangan unggah-ungguh tanpa mempersilahkan kalian duduk, meskipun hanya disebuah amben tua di serambi gubug kecil ini."
“Aku tidak memerlukan sejenis basa-basi seperti itu” geram Ki Lemah Teles.
"Bukan sekedar basa-basi. Aku benar-benar mempersilahkan kalian duduk." sahut Ki Ajar Pangukan.
Ki Lemah Teles masih saja ragu-ragu. Namun Ki Sambi Pitu lah yang kemudian melangkah ke serambi. Ia justru duduk mendahului Ki Ajar Pangukan sendiri. Namun akhirnya semuanyapun duduk di amben bambu tua diserambi ruamah itu, kecuali Manggada dan Laksana.
Ketika amben itu berguncang, maka Ki Lemah Telespun berkata, "Kau jebak aku dengan amben reotmu ini."
Ki Ajar tertawa. Katanya, "Hatimu yang goyah itu selalu dibayangi oleh kecurigaan. Kami sama sekali tidak bermaksud buruk terhadapmu."
"Tetapi kenapa dengan amben ini?"
“Amben tua ini agaknya mengeluh karena bebannya yang terlalu berat. Tetapi tidak apa-apa. Aku jamin bahwa amben tua ini tidak akan roboh."
Ki Lemah Teles tidak menjawab. Tetapi beberapa kali ia justru mengguncang amben bambu yang sudah tua itu. Dalam pada itu, Manggada dan Laksana telah pergi kedapur untuk menyiapkan minuman bagi tamu-tamu Ki Ajar Pangukan.
Sementara itu, Ki Lemah Teles masih saja dengan nada marah berkata, "Aku tidak mau diganggu lagi oleh siapapun juga. Aku harus membunuh mereka yang telah mengganggu perasaanku. Di umurku yang menjadi semakin tua, maka aku harus dapat hidup tenang, tenteram dan damai."
Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandii tertawa bersamaan, sehingga Ki Lemah Teles itu membentak, “Apa yang kalian tertawakan?"
"Begitukah caramu untuk mendapat ketenangan dan ketenteraman hidup? Membasahi tanganmu dengan darah sahabat-sahabatmu?" sahut Ki Ajar Pangukan.
"Ya." jawab Ki Lemah Teles tegas "Tanpa membunuh orang-orang yang telah menyakiti hatiku, menjerumuskan aku kedalam sepi serta mereka yang menghalangiku, maka hidupku tidak akan tenang."
“Tetapi sisa-sisa hidupmu akan selalu dibayangi oleh wajah-wajah yang sendu dari sahabat-sahabatmu yang telah kau bunuh itu. Mereka akan selalu datang dalam mimpi-mimpimu. Manggapai-gapai tanganmu, mohon pertolongan dan perlindungan dari seorang sahabatnya yang baik."
"Mereka tidak akan datang kepadaku. Mereka tidak akan minta pertolongan dan perlindungan kepadaku, justru karena aku yang membunuh mereka."
"Jika demikian mereka akan datang sambil merengek untuk mohon kau ampuni dan kau hidupkan kembali. Karena merasa bahwa mereka belum sampai pada saatnya untuk mati" berkata Ki Ajar Pangukan kemudian.
"Setan kau!" geram Ki Lemah Teles "Aku tidak perduli.”
Tetapi tiba-tiba saja Ki Pandi berkata, "Bagaimana jika kau yang mati?"
"Tidak. Aku tidak akan mati. Ilmuku lebih tinggi dari ilmu kalian." geram Ki Lemah Teles.
"Jangan membohongi dirimu sendiri" berkata Ki Pandi "Tentu ada orang lain yang ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang ada padamu."
Ki Lemah Teles mengerutkan dahinya. Tiba-tiba saja ia menantang, "Ayo. Siapa yang merasa ilmunya lebih tinggi dari ilmuku. Kita berperang tanding sampai mati."
Pembicaraan itupun tiba-tiba terputus. Manggada dan laksana telah datang menghidangkan minuman panas. Wedang jahe dengan gula kelapa.
"Pembicaraan kita akan kita lanjutkan nanti. Sekarang, aku persilahkan kalian minum lebih dahulu..."
Ki Lemah Tetes termangu-mangu sejenak. Namun ketika Ki Sambi Pitu dan yang lain telah menggapai mangkuk mereka, maka Ki Lemah Telespun telah mengangkat mangkuknya pula.
"Tetapi Ki Ajar jangan mencoba untuk mengekang sikapku dengan minuman ini" berkata Ki Lemah Teles.
"Tidak" jawab Ki Ajar. "Jika aku ingin mengekang sikapmu, aku tidak hanya sekedar mempergunakan semangkuk minuman. Tetapi aku akan mempergunakan ilmuku yang sangat tinggi"
"Gila. Seberapa tinggi ilmumu?" bertanya Ki Lemah Teles.
Orang-orang yang mendengar pertanyaan itu tertawa. Ki Ajar justru tertawa berkepanjangan. Katanya, "Ki Lemah Teles. Kenapa kau menjadi kehilangan akal disaat-saat kau merasa dicekik oleh kesepian. Kenapa kau harus menantang untuk berperang tanding dengan Ki Jagaprana, Ki Sambi Pitu dan kemudian Ki Pandi dan barangkali juga aku?"
"Mereka adalah orang-orang yang dengki atas kebahagiaan hidupku dan kemudian mendorong aku kedalam satu kehidupan yang kosong dan hampa seperti sekarang ini."
"Tidak, Ki Lemah Teles" berkata Ki Ajar Pangukan "Bukan karena itu. Tetapi kau merasa bahwa dihari-hari tua, kau dan barangkali juga aku, Ki Jagaprana, Ki Sambi Pitu dan Ki Bongkok mulai kehilangan kebanggaan yang pernah kau miliki. Kau menjadi cemas, bahwa orang-orang yang mengenalmu tidak lagi menganggap bahwa kau adalah orang yang penting dan diperlukan oleh lingkunganmu. Karena itu, kau telah berbuat sesuatu untuk menarik perhatian orang untuk memaksa orang lain tetap menganggapmu, bahwa kau adalah orang penting. Orang berilmu dan orang yang dibutuhkan sekali. Kau paksa orang lain bertempur untuk mengingatkan mereka akan kemampuan yang tinggi. Tetapi kau lupa bahwa orang lain juga memiliki kemampuan yang tinggi pula. Jika Ki Jagaprana terluka bagian dalam tubuhnya itu, karena ia menyangka bahwa kau tidak bersungguh-sungguh. Sementara Ki Sambi Pitu juga tidak dapat kau kalahkan. Seandainya Ki Bongkok tidak menghentikan perang tanding antara kau dan Ki Sambi Pitu, maka kalian berdua tidak akan pernah sampai dirumah ini."
Ternyata Ki Lemah Teles sempat mendengarkan kata-kata Ki Ajar Pangukan. Semula hatinya memang bergejolak Tetapi kemudian ia mulai merenungi kata-kata itu. Bahkan kemudian Ki Pandi pun berkata,
"Ki Lemah Teles. Jika Ki Lemah Teles tetap berniat untuk berperang tanding dengan siapa saja yang kenal dan dapat kau hubungi sekarang ini, maka aku akan minta agar Ki Lemah Teles menundanya. Tetapi kalau hatimu sudah benar-benar menjadi gelap, segala sesuatunya terserah kepadamu."
"Kenapa harus ditunda?" bertanya Ki Lemah Tetes.
"Kita sedang mengamati sebuah padepokan yang mungkin berisi satu perguruan yang berlandaskan pada ilmu hitam. Kami terpanggil untuk membayanginya, karena perguruan itu mempunyai pengaruh yang kurang baik bagi lingkungannya." jawab Ki Pandi. Lalu katanya kemudian "Kecuali jika Ki Lemah Teles telah kehilangan suara nuraninya yang jernih."
"Setan kau bongkok..." sahut Ki Lemah Teles. Namun katanya kemudian "Baiklah. Aku akan berusaha menahan diri. Aku akan memberi kesempatan kepada kalian untuk melakukan niat kalian membayangi perguruan yang berlandaskan ilmu hitam itu."
"Satu kesempatan bagimu, Ki Lemah Teles" berkata Ki Jagaparana yang lebih banyak berdiam diri saja. "Kau akan menjerumuskan aku kedalam jebakan dan membunuhku dengan cara yang licik?"
"Tentu tidak. Aku masih berharap kita dapat berperang tanding setelah kita menyelesaikan perguruan yang berlandaskan ilmu hitam itu" jawab Ki Jagaprana. Bahkan katanya pula, "Aku berharap bahwa aku dapat membalas luka bagian dalam tubuhku dengan melukai bagian dalam tubuhmu pula."
"Setan kau. Aku akan benar-benar membunuhmu" geram Ki Lemah Teles
"Sudahlah” berkata Ki Ajar Pangukan "kenapa kita hanya berbicara tentang bunuh membunuh? Kenapa kita tidak berbicara tentang satu rencana yang mungkin dapat kita lakukan untuk membayangi padepokan orang-orang berilmu hitam itu?"
Ki Lemah Teles termangu-mangu. Namun kemudian iapun bertanya "seandainya aku bergabung dengan kalian, apakah aku juga harus tinggal disini."
"Itu terserah kepadamu" jawab Ki Ajar Pangukan "Tetapi aku akan sangat senang jika kalian bersedia untuk tinggal bersama kami disini."
"Tetapi bagaimana dengan kuda-kuda kami?" bertanya Ki Lemah Teles.
"Kau membawa kuda?" bertanya Ki Ajar Pangukan.
"Ya."
Ki Ajarpun kemudian berkata kepada Ki Pandi, "Nah, kau adalah salah seorang di antara mereka yang tahu, bagaimana membawa seekor kuda ke tempat ini.”
Ki Pandipun mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah, aku tunjukkan kepada kalian jalan yang dapat kalian lewati."
Setelah minum beberapa teguk, maka Ki Pandi bersama kedua orang tamunya itupun meninggalkan tempat itu untuk mengambil kuda-kuda mereka yang terhalang oleh sulitnya jalan yang harus mereka tempuh sampai ke rumah Ki Ajar Pangukan itu.
Rumah Ki Ajar Pangukan adalah rumah yang kecil saja. Tetapi tamu-tamunya bukan orang-orang manja yang memerlukan tempat yang baik untuk bermalam. Mereka dapat tidur dimana saja. Diserambi, diruang tengah atau bilik yang sempit. Sedangkan mereka bukan pula orang yang memilih makanan tertentu menurut selera yang sulit. Mereka dapat makan apa saja yang pantas dimakan.
Karena itu, kehadiran orang-orang itu dirumah Ki Ajar tidak terlalu menyulitkannya. Mereka dapat makan ketela pohon, ketela rambat, jagung, apalagi nasi putih. Sementara itu, sayur-sayuran terdapat dihalaman dan di kebun rumah yang luas, bahkan seakan-akan tanpa batas. Kemudian kolam yang direnangi oleh berbagai jenis ikan. Di halaman belakang juga berkeliaran berpuluh ekor ayam, itik yang menebarkan telur dimalam hari dan bahkan angsa.
Di hari-hari berikutnya, rumah kecil itu memang menjadi ramai. Beberapa orang yang usianya telah merambat melampaui pertengahan abad dan dua orang anak muda, Manggada dan Laksana. Namun dengan demikian, Manggada dan Laksana telah mendapatkan pengalaman yang cukup banyak.
Orang-orang tua itu kadang-kadang mengisi waktunya dengan latihan-latihan sesuai dengan aliran ilmu mereka masing-masing untuk mempertahankan kemampuan ilmu dan daya tahan tubuh mereka. Ki Lemah Teles yang sebelumnya merasa hidup kesepian, mulai merasa bahwa ia masih mempunyai beberapa orang kawan yang memperhatikannya.
Dalam pada itu, orang-orang yang tinggal dirumah Ki Ajar Pangukan itu mulai membagi diri untuk mengamati sebuah padepokan yang mereka duga, mempunyai landasan ilmu hitam sebagaimana padepokan Panembahan Lebdagati. Mereka tidak saja bergerak disiang hari, tetapi kadang-kadang juga malam hari. Bahkan Ki Ajar Pangukan telah mulai berusaha untuk dapat berada dipadukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu.
Dalam pada itu, Ki Pandi yang berjalan-jalan bersama Manggada dan Laksana disebuah padukuhan sempat melihat bangunan khusus yang agak lain dari bangunan-bangunan khusus yang pernah mereka lihat. Disekitar bangunan itu terdapat halaman yang cukup luas dipagari dengan potongan batang kelapa yang berjajar rapat Pagar itu cukup tinggi dengan sebuah pintu gerbang saja.
"Apa yang ada didalam?" desis Laksana.
Lingkungan disekitar bangunan yang memang terletak menjorok diluar padukuhan itu memang sepi. Karena itu, maka Manggadapun berkata, "Apakah kita akan memasuki dinding bangunan yang khusus itu?"
Ki Pandi masih saja temangu-mangu. Namun kemudian mereka melihat dua orang bocah yang menggiring beberapa ekor kambing untuk digembalakan. Anak-anak itu tertegun sejenak melihat orang yang mereka anggap asing berada disekitar bangunan khusus.
"Kita dapat berbicara dengan anak-anak itu. Tetapi jangan takut-takuti mereka." berkata Ki Pandi.
Manggada mengangguk-angguk. Karena itu, maka iapun berkata, "Biarlah aku sendiri datang kepada mereka.”
"Sebentar lagi" desis Ki Pandi.
Baru ketika kedua orang anak itu duduk direrumputan sambi! melepas kambing mereka di tempat terbuka yang ditumbuhi rerumputan yang hijau subur itu, Manggada telah melangkah mendekati mereka. Ia berjalan dengan langkah yang wajar saja. Tidak tergesa-gesa dan tidak menarik perhatian. Sedangkan Laksana dan Ki Pandi justru berdiri saja ditempat mereka, dekat dengan bangunan khusus itu.
Kedua orang anak itu memang menjadi berdebar-debar. Tetapi sambil melangkah mendekati kedua anak itu, Manggada menunjukkan wajah yang terang dengan senyum dibibirnya. Kedua anak itu beringsut menjauh ketika Manggada kemudian duduk direrumputan itu pula.
"Jangan takut." berkata Manggada "Aku memang orang asing bagi kalian dan barangkali bagi padukuhan ini. Aku ingin membuka perdagangan dengan para penghuni padukuhan itu."
Kedua orang anak itu termangu-mangu. Namun tidak seorangpun diantara mereka yang menyahut.
"Aku dengar di padukuhan ini terdapat beberapa orang yang membuat gerabah." desis Manggada.
Kedua orang anak itu saring berpandangan, sementara Manggada bertanya pula, "Apakah benar?"
Seorang dintara kedua orang anak itu menggeleng. Jawabnya singkat "Tidak."
"O" Manggada mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya lagi "Dimana kami dapat membeli gerabah dalam jumlah yang cukup banyak untuk aku jual lagi diseberang hutan Jatimalang?"
Kedua anak itu menggeleng. Seorang diantara mereka menjawab "Aku tidak tahu."
Manggada mengangguk-angguk lagi. Namun ia bertanya "He, bangunan apakah yang dikelilingi dinding potongan batang kelapa utuh itu?"
Kedua orang anak itu saling berpandangan lagi. Wajah mereka menunjukkan keragu-raguan.
"Untuk menyelenggarakan upacara barangkali?”
Kedua orang anak itu mengangguk berbareng.
"Upacara apa?” bertanya Manggada lagi.
"Tempat itu belum pernah dipakai" jawab salah seorang dari kedua orang anak itu.
"O" Manggada mengangguk-angguk. Dengan dahi berkerut ia bertanya "Apakah bangunan itu baru selesai dibuat?"
“Sudah beberapa bulan yang lalu.” jawab anak itu.
Manggada masih saja mengangguk-angguk. Sambil memandang dinding yang mengelilingi bangunan khusus itu ia bertanya "Kenapa tempat upacara itu tidak segera dipergunakan?"
Kedua orang anak itu menggeleng. Manggada sadar, bahwa ia tidak akan mungkin mendapat keterangan yang cukup dari anak-anak itu. Tetapi apa yang telah didengar sedikit banyak dapat memberikan gambaran tentang bangunan yang masih belum pernah dipergunakan itu.
Sementara itu, Ki Pandi dan Laksana sempat melihat dari sela-sela potongan batang kelapa yang berjajar utuh itu, sesusunan batu yang ditata rapi. Dipahat seperti candi kecil bersusun agak tinggi mendatar dibagian atasnya.yang agaknya untuk meletakkan benda-benda upacara atau bahkan sesaji atau korban yang diserahkan.
Sejenak kemudian, Manggada telah berada diantara mereka kembali. Yang dapat disampaikan kepada Ki Pandi adalah sekedar apa yang telah didengarnya dari kedua orang anak yang sedang menggembala itu. Namun nampaknya mereka bertiga mendapat perhatian khusus dari seorang yang melihat mereka dari kejauhan. Orang yang sudah terhitung tua. Bahkan lebih tua dari Ki Pandi.
Dengan tongkat kayu yang panjang orang itu melangkah mendekati Ki Pandi, Manggada dan Laksana yang masih berada didekat bangunan yang khusus itu. "Selamat datang dipadukuhan kami Ki Sanak" sapa orang tua itu.
"Terima kasih" jawab Ki Pandi sambil membungkuk hormat "kami mohon maaf, bahwa kami telah mengganggu ketenangan padukuhan ini."
Orang tua itu tersenyum. Kemudian iapun bertanya, "Apa yang sebenarnya kalian kehendaki, Ki Sanak?"
Yang menyahut adalah Manggada, "Kami mendengar disini banyak dibuat gerabah, kek. Mungkin kami dapat membelinya dan membawanya keseberang hutan Jatimalang."
Orang tua itu termangu sejenak. Namun kemudian ia pun menggeleng. "Tidak anak muda. Disini tidak ada orang yang membuat gerabah. Kami justru membeli dari padukuhan-padukuhan yang terletak agak kebawah. Jika kalian datang dari seberang hutan Jatimalang, maka kalian tentu sudah melewati padukuhan kecil yang semua penghuninya membuat gerabah."
Namun Manggada dengan tangkas menjawab, "Sayang kek. Buatannya kurang baik menurut pendapat kami. Bahkan mudah pecah, sehingga kemungkinan rusak diperjalanan menjadi sangat tinggi."
Orang tua itu tersenyum. Katanya, "Gerabah dari Mungkid adalah gerabah yang terbaik yang pernah aku lihat."
Manggada termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih dapat menjawab, "Ternyata yang terbaik itu masih belum memenuhi syarat yang kami tentukan bagi perdagangan gerabah."
Orang itu tertawa. Namun kemudian ia bertanya. "Apakah kalian tertarik kepada bangunan yang belum pernah dipergunakan ini?"
"Ya, Ki Sanak!” yang menjawab adalah Ki Pandi. "Kami belum pernah melihat bangunan seperti ini sebelumnya?"
"Bangunan ini dibuat untuk keperluan upacara. Tetapi upacara itu belum pernah diselenggarakan dipadukuhan ini. Dahulu, ketika tempat ini berada dibawah pengaruh Panembahan Lebdagati, juga sering dilakukan upacara-upacara khusus disetiap bulan purnama. Tetapi upacara itu dilakukan disatu tempat saja. Tetapi sekarang tidak. Upacara itu dilakukan dibeberapa tempat. Dipadukuhan ini telah dibuat tempat upacara yang besar. Lebih besar atau lebih lengkap dari padukuhan-padukuhan kecil yang lain. Tetapi upacara itu sendiri tidak pernah dilakukan dipadukuhan ini.”
"Kenapa kek?" bertanya Laksana.
Orang tua itu memandang bangunan itu dengan mata yang redup. Katanya kemudian, "Sebagai seorang yang pernah mengalami pengaruh Panembahan Lebdagati, serta kemudian setelah daerah ini seolah-olah terbuka, sehingga hubungan dengan lingkungan seberang hutan Jatimalang berlangsung, maka upacara-upacara seperti itu rasanya sangat mengerikan. Aku sendiri sejak Panembahan Lebdgati menyelenggarakan upacara-upacara khusus didaerah ini, aku tidak pernah mengikutinya. Tetapi karena aku tidak mempunyai kekuatan apapun dan bahkan tidak mempunyai keberanian yang cukup, maka aku tidak berani berbuat apap-apa selain berharap."
"Apakah upacara yang berlangsung waktu itu dan sekarang sama?" bertanya laksana.
"Tidak anak muda. Dahulu korban yang diserahkan adalah gadis-gadis." jawab orang tua itu.
"Sekarang?" desak Laksana.
"Seekor anak binatang apapun. Ditusuk dadanya sampai mati. Bukankah itu mengerikan meskipun hanya seekor anak binatang? Seekor anak kambing berteriak melengking tinggi ketika sepotong bambu yang ditajamkan menusuk jantungnya, seperti tangis seorang bayi yang kesakitan."
Laksana tidak bertanya lebih jauh. Sekilas melintas di angan-angannya sesuatu yang sangat mengerikan.
Tetapi orang tua itu masih berkata, "Bangunan ini dibuat oleh beberapa orang yang sejak semula melandasi kepercayaannya dalam pengaruh ilmu hitam. Mereka menganggap bahwa upacara seperti ini akan dapat memberikan keselamatan dan kesejahteraan bagi hidupnya." Orang itu berhenti sejenak. Namun kemudian ia meneruskannya "Tetapi niat itu ditentang oleh banyak orang yang menyadarinya, bahwa upacara seperti itu hanya menimbulkan kengerian saja. Bahkan di hari mendatang akan menimbulkan malapetaka bagi penghuni padukuhan itu sendiri. Dan yang lebih buruk lagi jika malapetaka itu menyebar ke padukuhan-padukuhan disekitarnya, apalagi sampai keseberang hutan Jatimalang."
"Apakah hal seperti itu akan mungkin terjadi?" Laksana justru bertanya lagi.
"Mungkin sekali. Jika di satu padukuhan tidak lagi terdapat seekor anak binatangpun, maka tentu akan dicari dari padukuhan-padukuhan yang lain, sementara padukuhan-padukuhan yang lain juga membutuhkan bagi upacara yang mereka selenggarakan sendiri. Jika demikian bukankah harus dicari ditempat yang semakin jauh yang justru tidak mempunyai kepercayaan pada upacara seperti itu. Sekali lagi aku ingatkan, bahwa yang dilakukan sekarang dalam upacara itu barulah semacam pendahuluan. Pada kesempatan lain upacara itu akan menjadi upacara yang sesungguhnya menurut kepercayaan sesat itu."
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Pandi bertanya, “Apakah upacara itu tidak akan pernah dilakukan di padukuhan ini selama masih ada yang menentangnya?"
"Hanya untuk sementara!" jawab orang itu "Pada satu saat nanti, orang-orang dari padepokan dibelakang gumuk itu akan datang lagi. Mencoba untuk mempengaruhi orang-orang padukuhan itu serta mengungkit lagi kepercayaan hitam dari penghuni padepokan ini yang sebenarnya sudah mulai berubah. Jika mereka tidak berhasil, maka mereka tentu akan mulai dengan cara yang lebih kasar. Menakut-nakuti, mengancam dan mengganggu ketenangan. Jika cara itu masih belum berhasil, maka mereka akan mempergunakan kekerasan. Mereka akan memaksa para penghuni padukuhan ini untuk melakukan upacara-upacara terkutuk itu."
Ki Pandi mengangguk-angguk. Sementara orang itu berkata selanjutnya, "Para pemimpin padepokan itu agaknya tidak berjantung lagi. Mereka melakukan apa saja yang ingin mereka lakukan tanpa mengingat lagi nilai-nilai dalam tatanan kehidupan yang berlaku bagi orang banyak."
“Apakah Ki Sanak akan bertahan hidup dalam suasana yang demikian?" bertanya Ki Pandi.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain. Orang tuaku tinggal disini. Aku mendapat warisan tanah berserta rumahnya. Sementara anak-anakpun tinggal disini pula. Bahkan cucu-cucuku."
Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Baiklah Ki Sanak. Untuk sementara kami merasa sudah banyak mendengar tentang bangunan khusus itu. Mungkin pada kesempatan lain, kami akan singgah dirumah Ki Sanak. Namun apakah kami boleh mengetahui ancar-ancar tempat tinggal Ki Sanak?" bertanya Ki Pandi.
“Rumahku mudah dicari. Aku tinggal ditepi jalan induk padukuhan ini. Hampir berhadapan dengan banjar padukuhan. Jika kalian mengalami kesulitan, kalian dapat bertanya dirumah Ki Carang Ampel."
"Baik, Kiai. Sekarang aku mohon diri."
"Ki Sanak" desis Ki Carang Ampel. "Apakah Ki Sanak mempunyai pendapat khusus mengenai upacara yang sering dilakukan dipadukuhan-padukuhan yang lain."
"Tidak Ki Carang Ampel. Kami hanya sekedar ingin tahu saja." jawab Ki Pandi.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Dengan nada berat orang itu bertanya "Dimanakah Ki Sanak tinggal?"
"Kami orang-orang Pajang" jawab Ki Pandi.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya apapun lagi. Ketika kemudian Ki Pandi, Manggada dan Laksana duduk berkumpul bersama orang-orang lain penghuni rumah Ki Ajar yang kecil itu disore hari, maka Ki Pandi pun telah menceriterakan pertemuannya dengan Ki Carang Ampel.
Ki Jagaprana dengan serta-merta menyahut, "Sulit bagi kita untuk mempercayai sikap dan pendapat orang disini. Mereka nampaknya berbicara apa saja tanpa dipikirkannya masak-masak."
Tetapi Ki Pandi menyahut, "Tetapi nampaknya Ki Carang Ampel telah mencoba untuk mengatakannya sesuai dengan tanggapannya atas bangunan khusus di padukuhannya.”
"Memang mungkin." sahut Ki Ajar Pangukan "Aku masih juga percaya bahwa orang penalarannya mulai terbuka sejak hutan Jatimalang itu ditembus. Beberapa orang mencoba membuka jalur perdagangan didaerah ini dapat membuka hati orang-orang yang semula dibayangi oleh ilmu hitam. Bahkan ada diantara para pedagang justru dengan sengaja berusaha membuka nalar budi orang-orang itu agar mereka mengenali hubungan antara mereka dengan penciptanya."
Ki Jagaprana mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Lemah Teles berkata, “Nampaknya para pemimpin di padepokan itu telah mempelajari dengan baik lingkungan ini, sehingga mereka telah memilih tempat ini untuk mendirikan padepokan yang bukan sekedar sebuah perguruan tertutup. Tetapi para pemimpin padepokan itu berusaha menyebarkan pengaruhnya disatu lingkungan yang luas, menurut pendapat mereka, merupakan lahan yang subur bagi kepercayaan hitam, karena lingkungan ini memang pernah dibayangi oleh ilmu hitam ketika Panembahan Lebdagati ada disini."
"Ya." Ki Ajar Pangukan mengangguk-angguk. Katanya kemudian. "Karena itulah, maka kita merasa mendapat beban tugas yang berat meskipun kita sendiri yang meletakkan beban itu dipundak kita.
“Yang dapat kita lakukan adalah mencegah menjalarnya pengaruh ilmu hitam itu. Tetapi kita tidak boleh melupakan, bahwa kita akan berhasil dengan baik, jika kita dapat mematikan sumbernya. Tetapi kita tahu, bahwa hal itu tidak akan mudah kita lakukan. Kita belum tahu kekuatan yang sebenarnya yang ada di padepokan itu.”
Sementara itu Ki Sambi Pitupun berkata, "Agaknya para pemimpin di padepokan itu menyebarkan pengaruhnya dengan bertahap. Satu hal yang menarik perhatian. Nampaknya para pemimpin di padepokan itu benar-benar mematangkan rencananya sebelum mereka bertindak."
"Maksud Ki Sambi Pitu?" bertanya Ki Jagaprana.
"Mula-mula korban yang diserahkan oleh orang-orang yang sudah mulai terpengaruh lagi oleh ilmu hitam itu adalah anak-anak binatang jenis apapun dengan menusuk jantungnya sampat mati. Tetapi disatu padukuhan yang terhitung dekat dengan padepokan itu, upacara mulai berubah. Adalah kebetulan bahwa aku dapat berbicara dengan seorang anak muda yang tidak menyadari dengan siapa ia berbicara."
"Perubahan apakah yang terjadi?" bertanya Ki A jar.
"Di padukuhan itu, korban tidak lagi ditusuk. Tetapi dibakar hidup-hidup. Anak binatang itu diletakkan diatas seonggok kayu kering. Kemudian kayu itu dinyalakan."
Orang-orang yang mendengar penjelasan Ki Sambi Pitu itu menjadi berdebar-debar. Mereka merasa ngeri membayangkan peristiwa itu terjadi. Apalagi ketika angan-angan mereka berkembang lebih jauh. Dengan demikian, maka orang-orang yang tinggal dirumah Ki Ajar itu sepakat untuk melihat keadaan lebih jauh lagi. Namun Ki Lemah Teles pun berkata,
"Jika kita terlalu sering berkeliaran, maka kita tentu akan sangat menarik perhatian. Suatu ketika, maka kehadiran kita akan didengar oleh orang-orang padepokan itu."
"Ya" Ki Ajar mengangguk-angguk "Kita memang harus berhati-hati. Jika orang-orang padepokan itu mencium kehadiran kita, maka kita akan langsung berhadapan dengan mereka."
Dengan demikian, maka orang-orang dirumah kecil itu sepakat untuk meningkatkan kewaspadaan mereka. Ki Pandi agaknya sangat tertarik dengan keterangan Ki Sambi Pitu tentang perubahan upacara yang mengerikan itu. Karena itu, maka tanpa Manggada dan Laksana orang bongkok itu telah menyusuri jalan ke padukuhan itu.
Sebuah padukuhan yang letaknya agak tinggi di kaki Gunung Lawu itu bukan sebuah padukuhan yang besar. Para penghuninya juga bukan orang-orang yang termasuk orang-orang berada. Meskipun demikian, ternyata bahwa mereka telah berusaha dengan susah payah yang membuat satu bangunan khusus untuk menyelenggarakan upacara yang aneh itu.
Ki Pandi telah memilih saat yang tepat. Ketika bulan purnama naik, maka dengan diam-diam ia telah berada di padukuhan itu. Apa yang disaksikan, benar-benar mengerikan. Meskipun yang dikorbankan sekedar seekor anak kambing. Ki Pandi melihat orang-orang padukuhan itu memasuki halaman bangunan khusus itu menjelang tengah malam. Mereka berjalan dengan kedua tangannya bersilang dimuka dada. Laki-laki dan perempuan. Kepala menunduk dan mereka tidak saling berbicara.
Suasananya memang terasa mencekam. Yang dilihat oleh Ki Pandi seakan-akan bukan orang-orang yang berjalan. Tetapi seperti sebuah golek kayu besar, yang bergerak dengan sendirinya menuju ke tempat upacara.
Tetapi setelah upacara selesai dan orang-orang padukuhan itu sudah kembali kerumah masing-masing dengan cara yang sama sebagaimana mereka datang, Ki Pandi tidak segera meninggalkan tempat itu.
Di pagi hari berikutnya, Ki Pandi masih berada disekitar padukuhan itu. Ketika Ki Pandi sedang mencuci kakinya di sebuah sungai kecil, maka dilihatnya seorang gadis yang sedang mencuci. Namun setiap kali gadis itu mengkerutkan lehernya sambil menggelengkan kepalanya.
Menurut penglihatan Ki Pandi, gadis itu agaknya sedang dibayangi oleh perasaan takut dan ngeri. Ketika Ki Pandi mendekatinya, gadis itu menjadi cemas. Orang bongkok itu membuatnya gelisah. Apalagi ujud Ki Pandi yang lain dari kebanyakan orang.
Tetapi Ki Pandi yang menyadari perasaan gadis itupun segera berkata, "Jangan takut ngger. Aku hanya ingin bertanya?"
Gadis itu tidak menjawab. Dipandanginya Ki Pandi dengan wajah gelisah.
"Ngger" berkata Ki Pandi yang kemudian duduk diatas sebongkah batu tidak jauh dari gadis yang sedang mencuci itu "Apakah angger tadi malam juga mengikuti upacara itu?”
"Ah..." gadis itu tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Diluar sadarnya ia berdesis "Mengerikan sekali. Aku masih selalu dibayangi oleh peristiwa itu. Aku sedang berusaha mengusirnya dari bayangan angan-anganku. Tiba-tiba saja kakek justru bertanya tentang hal itu.”
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Maaf ngger. Bukan maksudku untuk mengelitik perasaanmu dengan kengerian itu. Tetapi aku masih ingin bertanya serba sedikit tentang upacara yang aneh itu."
"Jangan sebut-sebut lagi kek..." minta gadis itu.
"Tetapi bukankah sebelumnya daerah ini juga pernah dipengaruhi oleh upacara-upacara yang pernah dilakukan oleh orang yang bernama Panembahan Lebdagati. Jika korban kali ini yang diserahkan hanyalah seekor anak binatang, beberapa waktu lalu korbannya justru seorang gadis. Sehingga keresahan telah tersebar bukan saja dikaki Gunung Lawu ini, tetapi sampai keseberang hutan Jatimalang."
“Tetapi aku belum pernah hadir pada upacara itu, kek. Sanggar pemujaannya pun terletak agak jauh dari padukuhan ini. Tetapi sekarang hampir disetiap padukuhan yang mempunyai banyak pendukung dari aliran yang mengerikan itu telah membangun sendiri sanggar seperti itu."
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu iapun bertanya, "Apakah dipadukuhanmu banyak orang yang menjadi pengikut aliran itu ngger?"
Gadis itu nampak ragu-ragu sejenak. Sekilas Ki Pandi melihat sinar matanya yang berkilat. Gadis itu hanyalah seorang gadis desa yang sederhana. Tetapi nampaknya ia seorang gadis yang cerdas. Ia sadar, bahwa jawaban yang diberikan akan dapat menjeratnya dalam kesulitan jika ia salah ucap. Namun gadis itu kemudian berdesis, "Semua orang dipadukuhanku menjadi pengikut aliran itu."
Ki Pandi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Baiklah ngger. Terima kasih atas keterangan angger. Mungkin pada kesempatan lain kita akan bertemu lagi.”
"Tetapi jangan bicarakan tentang upacara itu lagi, kek."
Ki Pandi tersenyum. Dengan nada ringan ia menjawab, “Tidak ngger. Aku tidak akan bertanya lagi."
Namun tiba-tiba sekali gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Suaranya yang serak terdengar dari balik telapak tangannya, "Tidak. Tidak akan lebih dari itu?"
"Kenapa ngger?" bertanya Ki Pandi "Bukankah aku tidak menyinggung lagi tentang upacara itu?"
"Bayangan itu selalu melintas di kepalaku kek. Semalam aku tidak dapat tidur setelah aku pulang dari upacara itu. Bayangan yang nampak dikepalaku, korban itu bukan sekedar seekor anak binatang."
"Sudahlah ngger. Jika kau membayangkan yang, bukan-bukan, kau akan menjadi semakin ngeri. Sebaiknya kau lupakan saja. Lihat pakaian yang kau cuci itu agar tidak hanyut. Kau perhatikan apakah cucianmu sudah bersih atau belum. Yang penting kau palingkah ingatanmu kepada apa saja yang baik kau kenang. Mungkin seorang jejaka yang tampan atau barangkali ayah dan ibumu pernah berbicara tentang jodoh bagimu atau bahkan kau sudah berkeluarga?"
"Aku memang belum berkeluarga kek. Ayah dan ibu juga belum pernah berbicara tentang jodohku. Ah, semuanya masih jauh bagiku.” jawab gadis itu sambil duduk.
“Waktunya tentu akan datang." desis Ki Pandi. Namun kemudian katanya "Sudahlah ngger. Aku akan pulang.."
"Dimana kakek tinggal?" bertanya gadis itu.
"Dekat hutan Jatimalang." jawab Ki Pandi.
Gadis itu memandang Ki Pandi yang melangkah meninggalkan gadis yang sedang mencuci itu. Meskipun orang tua itu bongkok dan buruk, tetapi gadis itu tidak lagi merasa takut. Suaranya terdengar lembut seperti wajahnya yang banyak tersenyum.
Bayangan yang mengerikan sebagaimana dikatakan oleh gadis itu, justru telah semakin mencemaskan pula orang-orang yang tinggal dirumah Ki Ajar Pangukan. Mereka semakin sering melihat perkembangan aliran sesat itu dipadukuhan-padukuhan yang dekat dan yang lebih jauh lagi dari padepokan.
Namun ternyata bahwa aliran itu tidak dapat berkembang meliputi daerah dibelakang hutan Jatimalang sebagaimana sebelumnya, justru karena pengaruh hubungan yang lebih luas dengan orang orang seberang hutan. Namun yang tidak diperhitungkan oleh orang-orang dirumah Ki Ajar Pangukan itu telah terjadi.
Ketika Ki Pandi, Manggada dan Laksana sedang berada tidak terlalu jauh dari padepokan itu, mereka telah melihat dua ekor burung elang yang terbang berputar-putar diatas padepokan yang dilingkari dinding kayu yang kuat dan cukup tinggi.
"Elang itu?" desis Ki Pandi.
"Apakah memang ada hubungan antara Panembahan Lebdagati dengan padepokan itu?" bertanya Manggada.
"Atau bahkan padepokan itu telah dibuat oleh para pengikut Panembahan Lebdagati dan memang dipersiapkan bagi kembalinya Panembahan itu di lereng Gunung Lawu ini?" desis Laksana.
"Perkembangan yang menarik." berkata Ki Pandi "Jika benar padepokan itu dipersiapkan bagi Panembahan Lebdagati yang ingin kembali menguasai daerah ini, maka persoalannya justru akan menjadi jelas."
Namun Laksana itupun bertanya "Apakah tidak ada orang lain yang mampu mengendalikan elang seperti Panembahan Lebdagati?"
"Ada. Tentu ada!" jawab Ki Pandi "salah seorang pengikutnya atau bahkan orang lain yang mempunyai kegemaran yang sama. Tetapi menilik sikap dan ujud burung elang itu, nampaknya burung itu dikendalikan oleh para pengikut Panembahan Lebdagati yang tersisa...."
Namun Ki Pandilah yang kemudian menjawab "Tentu Laksana akan mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Bukankah dengan demikian ia akan mendapatkan suatu pengalaman baru sebagaimana diinginkannya?"
Hampir diluar sadarnya laksana berdesis, "Ya. Demikianlah agaknya. Tentu jika kakang Manggada tidak berkeberatan."
Manggada tersenyum. Katanya, "Aku akan sangat berterima kasih jika kami mendapat kesempatan itu. Bukan saja pengalaman baru. Tetapi juga kesempatan untuk ikut menghapus warna-warna hitam diwajah kehidupan ini."
"Bagus" berkata Ki Ajar Pangukan "Jika demikian, aku akan mempersilahkan kalian tinggal disini lagi, bersama Ki Bongkok." Ki Ajar berhenti sejenak. Baru kemudian berdesis "Maaf, aku sudah terbiasa memanggil demikian."
Ki Pandi tertawa mendengar sebutan atas dirinya justru menjadi persoalan. Katanya kemudian "Apapun tetenger itu bagiku, asal jelas, bahwa akulah yang dimaksud."
Orang-orang tua tertawa. Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun merekapun tertawa pula.
Demikianlah, maka saat itu, Ki Pandi, Manggada dan Laksana berada dirumah Ki Ajar Pangukan bersama Ki Jagaprana yang terluka dibagian dalam tubuhnya. Namun dari hari kehari keadaannya menjadi berangsur baik sehingga akhirnya menjadi sembuh sama sekali.
Sementara itu, Ki Ajar Pangukan telah beberapa kali membawa Manggada dan Laksana berjalan-jalan menyusuri daerah yang pernah menjadi daerah pengaruh orang yang menyebut dirinya Panembahan Lebdagati.
Kehidupan di daerah itu memang sudah nampak berubah. Nampaknya jalan yang menembus hutan Jatimalang itu memberikan banyak arti bagi daerah itu. Perdagangan hasil bumi yang terjadi dengan wajar, kemudian kebutuhan alat-alat pertanian yang didatangkan dari balik hutan, serta kebutuhan-kebutuhan yang lain seperti garam dan barang kerajinan, membuat daerah di lereng Gunung Lawu itu berkembang menjadi satu lingkungan yang wajar sebagaimana lingkungan-lingkungan yang lain.
Hilangnya kekuatan hitam yang selalu memaksakan kehendaknya kepada para penghuni lingkungan yang sebelumnya terpisah itu mempunyai pengarah yang sangat besar. Para penghuninya tidak lagi dibayangi oleh perasaan takut serta tidak lagi dibebani oleh berbagai macam keharusan.
Bukan saja upeti yang harus mereka serahkan kepada Panembahan Lebdagati dan para pengikutnya, tetapi juga berbagai jenis upacara yang mereka lakukan sejalan dengan kepercayaan sesat yang dianut oleh Panembahan itu.
Namun semakin jauh Manggada dan laksana melihat keadaan yang berkembang dilereng Gunung Lawu itu, mereka justru mulai, mengenali warna-warna yang kusam.
"Kita mulai melihat perkembangan tatahan kehidupan yang berputar balik" berkata Ki Ajar Pangukan "Semula lingkungan kehidupan disini telah mengalami perubahan dan perkembangan sebagaimana tatanan kehidupan dilingkungan kehidupan yang lain. Maksudku padukuhan-padukuhan yang mulai diwarnai oleh tatanan kehidupan yang wajar setelah penghuninya banyak berhubungan dengan lingkungan disebelah hutan Jatimalang dan bahkan lingkungan yang lebih jauh yang melakukan hubungan perdagangan. Tetapi pada saat terakhir, perkembangan tatanan kehidupan mulai bergeser lagi. Meskipun hubungan perdagangan masih juga berlangsung sehingga pengaruh tatanan kehidupan dari seberang hutan Jatimalang masih nampak mewarnai tatanan kehidupan disini, tetapi upacara-upacara yang aneh mulai mewarnai kehidupan disini."
Manggada dan Laksana mendengarkan keterangan Ki Ajar itu dengan sungguh-sungguh. Meskipun kehidupan yang kusam itu belum nampak jelas dalam kehidupan sehari-hari, tetapi lambat-laun, perubahan-perubahan yang mendasar akan dapat terjadi.
Dengan ragu-ragu Manggada bertanya, "Ki Ajar. Selagi keadaan itu belum berkembang, apakah tidak sebaiknya mulai diluruskan kembali?"
"Itulah yang akan kami usahakan. Tetapi tentu bukan satu pekerjaan yang mudah. Sudah aku katakan, bahwa telah lahir satu padepokan baru yang agaknya memuat satu jenis perguruan yang berpijak pada atau setidak-tidaknya dipengaruhi oleh ilmu yang sesat sebagaimana dianut atau sejenis yang dianut oleh Panembahan Lebdagati."
"Dimanakah letak padepokan itu?”
"Kini tidak dapat dengan serta-merta mendekati tempat itu. Kita harus berhati-hati, karena didalam padepokan itu tentu tersimpan orang-orang berilmu tinggi dari aliran yang sesat itu." jawab Ki Ajar Pangukan.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Keduanya mencoba untuk melihat kelainan yang mulai tumbuh di beberapa padukuhan. Mereka melihat ditempat-tempat tertentu terdapat bangunan yang khusus. Dihalamannya yang luas terdapat batu tersusun rapi dengan permukaan yang datar setinggi orang dewasa dengan tangga batu pula di keempat sisinya.
"Untuk apa, Ki Ajar?" bertanya laksana.
"Sampai saat ini, yang kami lihat, diatas landasan batu itu diserahkan korban seekor anak binatang yang dilahirkan dibulan purnama. Jika tidak diketemukan maka yang akan dikorbankan adalah seekor anak binatang jenis apapun yang lahir terdekat dengan bulan purnama."
"Caranya?" bertanya Laksana pula.
"Dengan sepotong bambu yang ditajamkan, jantung anak binatang yang dikorbankan itu ditikam." jawab Ki Ajar Pangukan.
"Ah...!" desis Laksana diluar sadarnya.
"Yang menarik..." berkata Ki Ajar Pangukan "Sebelum anak binatang itu dikorbankan, anak binatang itu dimandikan, kemudian dibalut dengan kain yang berwarna putih. Kemudian sesudah binatang itu mati, maka beberapa orang yang nampaknya merupakan rangkaian dari upacara itu, menangisinya. Kemudian anak binatang itu dikubur dengan upacara yang khusus pula."
"Satu upacara yang aneh..." berkata Manggada.
"Ya. Upacara yang aneh. Tetapi lebih dari itu, aku membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Maksudku, waktu-waktu mendatang. Jika kepercayaan yang aneh itu menjadi semakin menggigit, maka aku cemas bahwa korban itu tidak hanya sekedar seekor binatang dari jenis apapun."
"Maksud Ki Ajar?" bertanya Laksana.
Ki Ajar tidak menjawab. Tetapi keningnya berkerut semakin dalam Laksana tidak mendesaknya. Ia sendiri tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi kemudian.
Manggadalah yang kemudian justru bertanya "Jenis binatang apa sajakah yang dapat dipakai sebagai korban?"
"Segala macam binatang peliharaan. Dari anak lembu, anak kambing sampai anak ayam yang menetas pada atau disekitar bulan purnama." jawab Ki Ajar Pangukan.
Manggada mengangguk-angguk. Tetapi iapun tidak ingin mendesak dan mendengarkan jawaban tentang kecemasan Ki Ajar di hari kemudian itu. Di rumah Ki Ajar, Manggada dan Laksana telah membicarakannya dengan Ki Pandi yang sibuk menyiapkan minum dan makan seisi rumah itu sebagaiman pernah dilakukannya dahulu.
Memang ada perbedaan dengan upacara yang dilakukan oleh Panembahan Lebdagati. Tetapi bayangan dikemudian hari itu, akan sama-sama mengerikannya. "Bagaimana mungkin masih saja ada orang yang mempergunakan cara-cara seperti itu untuk pemenuhan kepuasan batinnya.” desis Manggada.
“Kita tidak akan dapat tinggal diam atau sekedar sebagai penonton yang menutup wajah kita dan melihat peristiwa itu itu dari sela-sela jari tangan kita." berkata Ki Pandi.
Ternyata bahwa kemudian Ki Jagapranapun telah tertarik pula kepada tata kehidupan yang tidak sewajarnya itu. Dengan demikian, maka orang-orang yang tinggal dirumah Ki Ajar Pangukan itu telah menyusun rencana untuk melihat dan mengenali sebuah padepokan yang memancarkan kepercayaan yang berlandaskan pada ilmu hitam itu yang pengaruhnya sudah terasa dipadukuhan-padukuhan di lereng Gunung Lawu.
Penghuni padukuhan-padukuhan itu, yang sejak, semula memang sudah tersentuh oleh kepercayaan hitam itu agaknya tidak terlalu sulit untuk menerima kembali tatanan kehidupan yang pernah dikenali sebelumnya. Meskipun mereka sudah dipengaruhi oleh tatanan kehidupan yang lain, tetapi ketika pengenalan mereka itu tersentuh kembali, maka merekapun seakan-akan telah hanyut kedalam dunia lama yang telah mereka kenal itu.
Namun dalam pada itu, selagi Ki Ajar Pangukan, Ki Jagaprana dan Ki Pandi bersama Manggada dan Laksana akan mulai melangkahkan kaki, tiba-tiba saja telah datang dua orang yang pernah mereka kenal sebelumnya. Ki Ajar Pangukan terkejut atas kehadiran kedua orang yang tiba-tiba saja sudah berada di plataran rumah Ki Ajar Pangukan yang terasing itu.
"Aku mencari Ki Jagaprana dan Ki Bongkok" teriak seorang di antara mereka.
Bukan hanya Ki Ajar Pangukan sajalah yang kemudian keluar dan berdiri diserambi. Tetapi seisi rumah itu telah menyongsong kedua orang itu didepan rumah.
"Selamat datang digubuk kecil ini, Ki Lemah Teles dan Ki Sambi Pitu." sapa Ki Ajar Pangukan.
"Ki Ajar..." berkata Ki Lemah Teles "Sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Aku mempunyai persoalan dengan keduanya. Aku memang menunggu Ki Jagaprana sembuh. Aku akan menantangnya untuk berperang tanding. Kemudian aku juga akan menantang orang bongkok yang telah mengganggu perang tandingku dengan Sambi Pitu."
Dalam pada itu, Ki Sambi Pitu telah menyahut, "Ki Lemah Teles masih saja gila."
"Persetan kau..." geram Ki Lemah Teles "Kau akan mendapat giliran terakhir setelah aku menyelesaikan Jagaprana dan orang bongkok itu. Kecuali jika Ki Ajar ingin mencampuri persoalan ini. Maka ia akan aku selesaikan sebelum kau."
Tetapi Ki Pandi justru tertawa. Katanya, "Atas nama Ki Ajar, aku persilahkan kau duduk Ki Lemah Teles dan Ki Sambi Pitu. Ki Ajar menjadi heran melihat sikapmu yang gila itu sehingga ia tidak segera mempersilahkan kalian duduk."
“Ya, ya" sahut Ki Ajar. "Sikapmu aneh Ki Lemah Teles, sehingga aku kehilangan unggah-ungguh tanpa mempersilahkan kalian duduk, meskipun hanya disebuah amben tua di serambi gubug kecil ini."
“Aku tidak memerlukan sejenis basa-basi seperti itu” geram Ki Lemah Teles.
"Bukan sekedar basa-basi. Aku benar-benar mempersilahkan kalian duduk." sahut Ki Ajar Pangukan.
Ki Lemah Teles masih saja ragu-ragu. Namun Ki Sambi Pitu lah yang kemudian melangkah ke serambi. Ia justru duduk mendahului Ki Ajar Pangukan sendiri. Namun akhirnya semuanyapun duduk di amben bambu tua diserambi ruamah itu, kecuali Manggada dan Laksana.
Ketika amben itu berguncang, maka Ki Lemah Telespun berkata, "Kau jebak aku dengan amben reotmu ini."
Ki Ajar tertawa. Katanya, "Hatimu yang goyah itu selalu dibayangi oleh kecurigaan. Kami sama sekali tidak bermaksud buruk terhadapmu."
"Tetapi kenapa dengan amben ini?"
“Amben tua ini agaknya mengeluh karena bebannya yang terlalu berat. Tetapi tidak apa-apa. Aku jamin bahwa amben tua ini tidak akan roboh."
Ki Lemah Teles tidak menjawab. Tetapi beberapa kali ia justru mengguncang amben bambu yang sudah tua itu. Dalam pada itu, Manggada dan Laksana telah pergi kedapur untuk menyiapkan minuman bagi tamu-tamu Ki Ajar Pangukan.
Sementara itu, Ki Lemah Teles masih saja dengan nada marah berkata, "Aku tidak mau diganggu lagi oleh siapapun juga. Aku harus membunuh mereka yang telah mengganggu perasaanku. Di umurku yang menjadi semakin tua, maka aku harus dapat hidup tenang, tenteram dan damai."
Ki Ajar Pangukan dan Ki Pandii tertawa bersamaan, sehingga Ki Lemah Teles itu membentak, “Apa yang kalian tertawakan?"
"Begitukah caramu untuk mendapat ketenangan dan ketenteraman hidup? Membasahi tanganmu dengan darah sahabat-sahabatmu?" sahut Ki Ajar Pangukan.
"Ya." jawab Ki Lemah Teles tegas "Tanpa membunuh orang-orang yang telah menyakiti hatiku, menjerumuskan aku kedalam sepi serta mereka yang menghalangiku, maka hidupku tidak akan tenang."
“Tetapi sisa-sisa hidupmu akan selalu dibayangi oleh wajah-wajah yang sendu dari sahabat-sahabatmu yang telah kau bunuh itu. Mereka akan selalu datang dalam mimpi-mimpimu. Manggapai-gapai tanganmu, mohon pertolongan dan perlindungan dari seorang sahabatnya yang baik."
"Mereka tidak akan datang kepadaku. Mereka tidak akan minta pertolongan dan perlindungan kepadaku, justru karena aku yang membunuh mereka."
"Jika demikian mereka akan datang sambil merengek untuk mohon kau ampuni dan kau hidupkan kembali. Karena merasa bahwa mereka belum sampai pada saatnya untuk mati" berkata Ki Ajar Pangukan kemudian.
"Setan kau!" geram Ki Lemah Teles "Aku tidak perduli.”
Tetapi tiba-tiba saja Ki Pandi berkata, "Bagaimana jika kau yang mati?"
"Tidak. Aku tidak akan mati. Ilmuku lebih tinggi dari ilmu kalian." geram Ki Lemah Teles.
"Jangan membohongi dirimu sendiri" berkata Ki Pandi "Tentu ada orang lain yang ilmunya lebih tinggi dari ilmu yang ada padamu."
Ki Lemah Teles mengerutkan dahinya. Tiba-tiba saja ia menantang, "Ayo. Siapa yang merasa ilmunya lebih tinggi dari ilmuku. Kita berperang tanding sampai mati."
Pembicaraan itupun tiba-tiba terputus. Manggada dan laksana telah datang menghidangkan minuman panas. Wedang jahe dengan gula kelapa.
"Pembicaraan kita akan kita lanjutkan nanti. Sekarang, aku persilahkan kalian minum lebih dahulu..."
Ki Lemah Tetes termangu-mangu sejenak. Namun ketika Ki Sambi Pitu dan yang lain telah menggapai mangkuk mereka, maka Ki Lemah Telespun telah mengangkat mangkuknya pula.
"Tetapi Ki Ajar jangan mencoba untuk mengekang sikapku dengan minuman ini" berkata Ki Lemah Teles.
"Tidak" jawab Ki Ajar. "Jika aku ingin mengekang sikapmu, aku tidak hanya sekedar mempergunakan semangkuk minuman. Tetapi aku akan mempergunakan ilmuku yang sangat tinggi"
"Gila. Seberapa tinggi ilmumu?" bertanya Ki Lemah Teles.
Orang-orang yang mendengar pertanyaan itu tertawa. Ki Ajar justru tertawa berkepanjangan. Katanya, "Ki Lemah Teles. Kenapa kau menjadi kehilangan akal disaat-saat kau merasa dicekik oleh kesepian. Kenapa kau harus menantang untuk berperang tanding dengan Ki Jagaprana, Ki Sambi Pitu dan kemudian Ki Pandi dan barangkali juga aku?"
"Mereka adalah orang-orang yang dengki atas kebahagiaan hidupku dan kemudian mendorong aku kedalam satu kehidupan yang kosong dan hampa seperti sekarang ini."
"Tidak, Ki Lemah Teles" berkata Ki Ajar Pangukan "Bukan karena itu. Tetapi kau merasa bahwa dihari-hari tua, kau dan barangkali juga aku, Ki Jagaprana, Ki Sambi Pitu dan Ki Bongkok mulai kehilangan kebanggaan yang pernah kau miliki. Kau menjadi cemas, bahwa orang-orang yang mengenalmu tidak lagi menganggap bahwa kau adalah orang yang penting dan diperlukan oleh lingkunganmu. Karena itu, kau telah berbuat sesuatu untuk menarik perhatian orang untuk memaksa orang lain tetap menganggapmu, bahwa kau adalah orang penting. Orang berilmu dan orang yang dibutuhkan sekali. Kau paksa orang lain bertempur untuk mengingatkan mereka akan kemampuan yang tinggi. Tetapi kau lupa bahwa orang lain juga memiliki kemampuan yang tinggi pula. Jika Ki Jagaprana terluka bagian dalam tubuhnya itu, karena ia menyangka bahwa kau tidak bersungguh-sungguh. Sementara Ki Sambi Pitu juga tidak dapat kau kalahkan. Seandainya Ki Bongkok tidak menghentikan perang tanding antara kau dan Ki Sambi Pitu, maka kalian berdua tidak akan pernah sampai dirumah ini."
Ternyata Ki Lemah Teles sempat mendengarkan kata-kata Ki Ajar Pangukan. Semula hatinya memang bergejolak Tetapi kemudian ia mulai merenungi kata-kata itu. Bahkan kemudian Ki Pandi pun berkata,
"Ki Lemah Teles. Jika Ki Lemah Teles tetap berniat untuk berperang tanding dengan siapa saja yang kenal dan dapat kau hubungi sekarang ini, maka aku akan minta agar Ki Lemah Teles menundanya. Tetapi kalau hatimu sudah benar-benar menjadi gelap, segala sesuatunya terserah kepadamu."
"Kenapa harus ditunda?" bertanya Ki Lemah Tetes.
"Kita sedang mengamati sebuah padepokan yang mungkin berisi satu perguruan yang berlandaskan pada ilmu hitam. Kami terpanggil untuk membayanginya, karena perguruan itu mempunyai pengaruh yang kurang baik bagi lingkungannya." jawab Ki Pandi. Lalu katanya kemudian "Kecuali jika Ki Lemah Teles telah kehilangan suara nuraninya yang jernih."
"Setan kau bongkok..." sahut Ki Lemah Teles. Namun katanya kemudian "Baiklah. Aku akan berusaha menahan diri. Aku akan memberi kesempatan kepada kalian untuk melakukan niat kalian membayangi perguruan yang berlandaskan ilmu hitam itu."
"Satu kesempatan bagimu, Ki Lemah Teles" berkata Ki Jagaparana yang lebih banyak berdiam diri saja. "Kau akan menjerumuskan aku kedalam jebakan dan membunuhku dengan cara yang licik?"
"Tentu tidak. Aku masih berharap kita dapat berperang tanding setelah kita menyelesaikan perguruan yang berlandaskan ilmu hitam itu" jawab Ki Jagaprana. Bahkan katanya pula, "Aku berharap bahwa aku dapat membalas luka bagian dalam tubuhku dengan melukai bagian dalam tubuhmu pula."
"Setan kau. Aku akan benar-benar membunuhmu" geram Ki Lemah Teles
"Sudahlah” berkata Ki Ajar Pangukan "kenapa kita hanya berbicara tentang bunuh membunuh? Kenapa kita tidak berbicara tentang satu rencana yang mungkin dapat kita lakukan untuk membayangi padepokan orang-orang berilmu hitam itu?"
Ki Lemah Teles termangu-mangu. Namun kemudian iapun bertanya "seandainya aku bergabung dengan kalian, apakah aku juga harus tinggal disini."
"Itu terserah kepadamu" jawab Ki Ajar Pangukan "Tetapi aku akan sangat senang jika kalian bersedia untuk tinggal bersama kami disini."
"Tetapi bagaimana dengan kuda-kuda kami?" bertanya Ki Lemah Teles.
"Kau membawa kuda?" bertanya Ki Ajar Pangukan.
"Ya."
Ki Ajarpun kemudian berkata kepada Ki Pandi, "Nah, kau adalah salah seorang di antara mereka yang tahu, bagaimana membawa seekor kuda ke tempat ini.”
Ki Pandipun mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah, aku tunjukkan kepada kalian jalan yang dapat kalian lewati."
Setelah minum beberapa teguk, maka Ki Pandi bersama kedua orang tamunya itupun meninggalkan tempat itu untuk mengambil kuda-kuda mereka yang terhalang oleh sulitnya jalan yang harus mereka tempuh sampai ke rumah Ki Ajar Pangukan itu.
Rumah Ki Ajar Pangukan adalah rumah yang kecil saja. Tetapi tamu-tamunya bukan orang-orang manja yang memerlukan tempat yang baik untuk bermalam. Mereka dapat tidur dimana saja. Diserambi, diruang tengah atau bilik yang sempit. Sedangkan mereka bukan pula orang yang memilih makanan tertentu menurut selera yang sulit. Mereka dapat makan apa saja yang pantas dimakan.
Karena itu, kehadiran orang-orang itu dirumah Ki Ajar tidak terlalu menyulitkannya. Mereka dapat makan ketela pohon, ketela rambat, jagung, apalagi nasi putih. Sementara itu, sayur-sayuran terdapat dihalaman dan di kebun rumah yang luas, bahkan seakan-akan tanpa batas. Kemudian kolam yang direnangi oleh berbagai jenis ikan. Di halaman belakang juga berkeliaran berpuluh ekor ayam, itik yang menebarkan telur dimalam hari dan bahkan angsa.
Di hari-hari berikutnya, rumah kecil itu memang menjadi ramai. Beberapa orang yang usianya telah merambat melampaui pertengahan abad dan dua orang anak muda, Manggada dan Laksana. Namun dengan demikian, Manggada dan Laksana telah mendapatkan pengalaman yang cukup banyak.
Orang-orang tua itu kadang-kadang mengisi waktunya dengan latihan-latihan sesuai dengan aliran ilmu mereka masing-masing untuk mempertahankan kemampuan ilmu dan daya tahan tubuh mereka. Ki Lemah Teles yang sebelumnya merasa hidup kesepian, mulai merasa bahwa ia masih mempunyai beberapa orang kawan yang memperhatikannya.
Dalam pada itu, orang-orang yang tinggal dirumah Ki Ajar Pangukan itu mulai membagi diri untuk mengamati sebuah padepokan yang mereka duga, mempunyai landasan ilmu hitam sebagaimana padepokan Panembahan Lebdagati. Mereka tidak saja bergerak disiang hari, tetapi kadang-kadang juga malam hari. Bahkan Ki Ajar Pangukan telah mulai berusaha untuk dapat berada dipadukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu.
Dalam pada itu, Ki Pandi yang berjalan-jalan bersama Manggada dan Laksana disebuah padukuhan sempat melihat bangunan khusus yang agak lain dari bangunan-bangunan khusus yang pernah mereka lihat. Disekitar bangunan itu terdapat halaman yang cukup luas dipagari dengan potongan batang kelapa yang berjajar rapat Pagar itu cukup tinggi dengan sebuah pintu gerbang saja.
"Apa yang ada didalam?" desis Laksana.
Lingkungan disekitar bangunan yang memang terletak menjorok diluar padukuhan itu memang sepi. Karena itu, maka Manggadapun berkata, "Apakah kita akan memasuki dinding bangunan yang khusus itu?"
Ki Pandi masih saja temangu-mangu. Namun kemudian mereka melihat dua orang bocah yang menggiring beberapa ekor kambing untuk digembalakan. Anak-anak itu tertegun sejenak melihat orang yang mereka anggap asing berada disekitar bangunan khusus.
"Kita dapat berbicara dengan anak-anak itu. Tetapi jangan takut-takuti mereka." berkata Ki Pandi.
Manggada mengangguk-angguk. Karena itu, maka iapun berkata, "Biarlah aku sendiri datang kepada mereka.”
"Sebentar lagi" desis Ki Pandi.
Baru ketika kedua orang anak itu duduk direrumputan sambi! melepas kambing mereka di tempat terbuka yang ditumbuhi rerumputan yang hijau subur itu, Manggada telah melangkah mendekati mereka. Ia berjalan dengan langkah yang wajar saja. Tidak tergesa-gesa dan tidak menarik perhatian. Sedangkan Laksana dan Ki Pandi justru berdiri saja ditempat mereka, dekat dengan bangunan khusus itu.
Kedua orang anak itu memang menjadi berdebar-debar. Tetapi sambil melangkah mendekati kedua anak itu, Manggada menunjukkan wajah yang terang dengan senyum dibibirnya. Kedua anak itu beringsut menjauh ketika Manggada kemudian duduk direrumputan itu pula.
"Jangan takut." berkata Manggada "Aku memang orang asing bagi kalian dan barangkali bagi padukuhan ini. Aku ingin membuka perdagangan dengan para penghuni padukuhan itu."
Kedua orang anak itu termangu-mangu. Namun tidak seorangpun diantara mereka yang menyahut.
"Aku dengar di padukuhan ini terdapat beberapa orang yang membuat gerabah." desis Manggada.
Kedua orang anak itu saring berpandangan, sementara Manggada bertanya pula, "Apakah benar?"
Seorang dintara kedua orang anak itu menggeleng. Jawabnya singkat "Tidak."
"O" Manggada mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya lagi "Dimana kami dapat membeli gerabah dalam jumlah yang cukup banyak untuk aku jual lagi diseberang hutan Jatimalang?"
Kedua anak itu menggeleng. Seorang diantara mereka menjawab "Aku tidak tahu."
Manggada mengangguk-angguk lagi. Namun ia bertanya "He, bangunan apakah yang dikelilingi dinding potongan batang kelapa utuh itu?"
Kedua orang anak itu saling berpandangan lagi. Wajah mereka menunjukkan keragu-raguan.
"Untuk menyelenggarakan upacara barangkali?”
Kedua orang anak itu mengangguk berbareng.
"Upacara apa?” bertanya Manggada lagi.
"Tempat itu belum pernah dipakai" jawab salah seorang dari kedua orang anak itu.
"O" Manggada mengangguk-angguk. Dengan dahi berkerut ia bertanya "Apakah bangunan itu baru selesai dibuat?"
“Sudah beberapa bulan yang lalu.” jawab anak itu.
Manggada masih saja mengangguk-angguk. Sambil memandang dinding yang mengelilingi bangunan khusus itu ia bertanya "Kenapa tempat upacara itu tidak segera dipergunakan?"
Kedua orang anak itu menggeleng. Manggada sadar, bahwa ia tidak akan mungkin mendapat keterangan yang cukup dari anak-anak itu. Tetapi apa yang telah didengar sedikit banyak dapat memberikan gambaran tentang bangunan yang masih belum pernah dipergunakan itu.
Sementara itu, Ki Pandi dan Laksana sempat melihat dari sela-sela potongan batang kelapa yang berjajar utuh itu, sesusunan batu yang ditata rapi. Dipahat seperti candi kecil bersusun agak tinggi mendatar dibagian atasnya.yang agaknya untuk meletakkan benda-benda upacara atau bahkan sesaji atau korban yang diserahkan.
Sejenak kemudian, Manggada telah berada diantara mereka kembali. Yang dapat disampaikan kepada Ki Pandi adalah sekedar apa yang telah didengarnya dari kedua orang anak yang sedang menggembala itu. Namun nampaknya mereka bertiga mendapat perhatian khusus dari seorang yang melihat mereka dari kejauhan. Orang yang sudah terhitung tua. Bahkan lebih tua dari Ki Pandi.
Dengan tongkat kayu yang panjang orang itu melangkah mendekati Ki Pandi, Manggada dan Laksana yang masih berada didekat bangunan yang khusus itu. "Selamat datang dipadukuhan kami Ki Sanak" sapa orang tua itu.
"Terima kasih" jawab Ki Pandi sambil membungkuk hormat "kami mohon maaf, bahwa kami telah mengganggu ketenangan padukuhan ini."
Orang tua itu tersenyum. Kemudian iapun bertanya, "Apa yang sebenarnya kalian kehendaki, Ki Sanak?"
Yang menyahut adalah Manggada, "Kami mendengar disini banyak dibuat gerabah, kek. Mungkin kami dapat membelinya dan membawanya keseberang hutan Jatimalang."
Orang tua itu termangu sejenak. Namun kemudian ia pun menggeleng. "Tidak anak muda. Disini tidak ada orang yang membuat gerabah. Kami justru membeli dari padukuhan-padukuhan yang terletak agak kebawah. Jika kalian datang dari seberang hutan Jatimalang, maka kalian tentu sudah melewati padukuhan kecil yang semua penghuninya membuat gerabah."
Namun Manggada dengan tangkas menjawab, "Sayang kek. Buatannya kurang baik menurut pendapat kami. Bahkan mudah pecah, sehingga kemungkinan rusak diperjalanan menjadi sangat tinggi."
Orang tua itu tersenyum. Katanya, "Gerabah dari Mungkid adalah gerabah yang terbaik yang pernah aku lihat."
Manggada termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih dapat menjawab, "Ternyata yang terbaik itu masih belum memenuhi syarat yang kami tentukan bagi perdagangan gerabah."
Orang itu tertawa. Namun kemudian ia bertanya. "Apakah kalian tertarik kepada bangunan yang belum pernah dipergunakan ini?"
"Ya, Ki Sanak!” yang menjawab adalah Ki Pandi. "Kami belum pernah melihat bangunan seperti ini sebelumnya?"
"Bangunan ini dibuat untuk keperluan upacara. Tetapi upacara itu belum pernah diselenggarakan dipadukuhan ini. Dahulu, ketika tempat ini berada dibawah pengaruh Panembahan Lebdagati, juga sering dilakukan upacara-upacara khusus disetiap bulan purnama. Tetapi upacara itu dilakukan disatu tempat saja. Tetapi sekarang tidak. Upacara itu dilakukan dibeberapa tempat. Dipadukuhan ini telah dibuat tempat upacara yang besar. Lebih besar atau lebih lengkap dari padukuhan-padukuhan kecil yang lain. Tetapi upacara itu sendiri tidak pernah dilakukan dipadukuhan ini.”
"Kenapa kek?" bertanya Laksana.
Orang tua itu memandang bangunan itu dengan mata yang redup. Katanya kemudian, "Sebagai seorang yang pernah mengalami pengaruh Panembahan Lebdagati, serta kemudian setelah daerah ini seolah-olah terbuka, sehingga hubungan dengan lingkungan seberang hutan Jatimalang berlangsung, maka upacara-upacara seperti itu rasanya sangat mengerikan. Aku sendiri sejak Panembahan Lebdgati menyelenggarakan upacara-upacara khusus didaerah ini, aku tidak pernah mengikutinya. Tetapi karena aku tidak mempunyai kekuatan apapun dan bahkan tidak mempunyai keberanian yang cukup, maka aku tidak berani berbuat apap-apa selain berharap."
"Apakah upacara yang berlangsung waktu itu dan sekarang sama?" bertanya laksana.
"Tidak anak muda. Dahulu korban yang diserahkan adalah gadis-gadis." jawab orang tua itu.
"Sekarang?" desak Laksana.
"Seekor anak binatang apapun. Ditusuk dadanya sampai mati. Bukankah itu mengerikan meskipun hanya seekor anak binatang? Seekor anak kambing berteriak melengking tinggi ketika sepotong bambu yang ditajamkan menusuk jantungnya, seperti tangis seorang bayi yang kesakitan."
Laksana tidak bertanya lebih jauh. Sekilas melintas di angan-angannya sesuatu yang sangat mengerikan.
Tetapi orang tua itu masih berkata, "Bangunan ini dibuat oleh beberapa orang yang sejak semula melandasi kepercayaannya dalam pengaruh ilmu hitam. Mereka menganggap bahwa upacara seperti ini akan dapat memberikan keselamatan dan kesejahteraan bagi hidupnya." Orang itu berhenti sejenak. Namun kemudian ia meneruskannya "Tetapi niat itu ditentang oleh banyak orang yang menyadarinya, bahwa upacara seperti itu hanya menimbulkan kengerian saja. Bahkan di hari mendatang akan menimbulkan malapetaka bagi penghuni padukuhan itu sendiri. Dan yang lebih buruk lagi jika malapetaka itu menyebar ke padukuhan-padukuhan disekitarnya, apalagi sampai keseberang hutan Jatimalang."
"Apakah hal seperti itu akan mungkin terjadi?" Laksana justru bertanya lagi.
"Mungkin sekali. Jika di satu padukuhan tidak lagi terdapat seekor anak binatangpun, maka tentu akan dicari dari padukuhan-padukuhan yang lain, sementara padukuhan-padukuhan yang lain juga membutuhkan bagi upacara yang mereka selenggarakan sendiri. Jika demikian bukankah harus dicari ditempat yang semakin jauh yang justru tidak mempunyai kepercayaan pada upacara seperti itu. Sekali lagi aku ingatkan, bahwa yang dilakukan sekarang dalam upacara itu barulah semacam pendahuluan. Pada kesempatan lain upacara itu akan menjadi upacara yang sesungguhnya menurut kepercayaan sesat itu."
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Pandi bertanya, “Apakah upacara itu tidak akan pernah dilakukan di padukuhan ini selama masih ada yang menentangnya?"
"Hanya untuk sementara!" jawab orang itu "Pada satu saat nanti, orang-orang dari padepokan dibelakang gumuk itu akan datang lagi. Mencoba untuk mempengaruhi orang-orang padukuhan itu serta mengungkit lagi kepercayaan hitam dari penghuni padepokan ini yang sebenarnya sudah mulai berubah. Jika mereka tidak berhasil, maka mereka tentu akan mulai dengan cara yang lebih kasar. Menakut-nakuti, mengancam dan mengganggu ketenangan. Jika cara itu masih belum berhasil, maka mereka akan mempergunakan kekerasan. Mereka akan memaksa para penghuni padukuhan ini untuk melakukan upacara-upacara terkutuk itu."
Ki Pandi mengangguk-angguk. Sementara orang itu berkata selanjutnya, "Para pemimpin padepokan itu agaknya tidak berjantung lagi. Mereka melakukan apa saja yang ingin mereka lakukan tanpa mengingat lagi nilai-nilai dalam tatanan kehidupan yang berlaku bagi orang banyak."
“Apakah Ki Sanak akan bertahan hidup dalam suasana yang demikian?" bertanya Ki Pandi.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain. Orang tuaku tinggal disini. Aku mendapat warisan tanah berserta rumahnya. Sementara anak-anakpun tinggal disini pula. Bahkan cucu-cucuku."
Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Baiklah Ki Sanak. Untuk sementara kami merasa sudah banyak mendengar tentang bangunan khusus itu. Mungkin pada kesempatan lain, kami akan singgah dirumah Ki Sanak. Namun apakah kami boleh mengetahui ancar-ancar tempat tinggal Ki Sanak?" bertanya Ki Pandi.
“Rumahku mudah dicari. Aku tinggal ditepi jalan induk padukuhan ini. Hampir berhadapan dengan banjar padukuhan. Jika kalian mengalami kesulitan, kalian dapat bertanya dirumah Ki Carang Ampel."
"Baik, Kiai. Sekarang aku mohon diri."
"Ki Sanak" desis Ki Carang Ampel. "Apakah Ki Sanak mempunyai pendapat khusus mengenai upacara yang sering dilakukan dipadukuhan-padukuhan yang lain."
"Tidak Ki Carang Ampel. Kami hanya sekedar ingin tahu saja." jawab Ki Pandi.
Orang tua itu mengangguk-angguk. Dengan nada berat orang itu bertanya "Dimanakah Ki Sanak tinggal?"
"Kami orang-orang Pajang" jawab Ki Pandi.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya apapun lagi. Ketika kemudian Ki Pandi, Manggada dan Laksana duduk berkumpul bersama orang-orang lain penghuni rumah Ki Ajar yang kecil itu disore hari, maka Ki Pandi pun telah menceriterakan pertemuannya dengan Ki Carang Ampel.
Ki Jagaprana dengan serta-merta menyahut, "Sulit bagi kita untuk mempercayai sikap dan pendapat orang disini. Mereka nampaknya berbicara apa saja tanpa dipikirkannya masak-masak."
Tetapi Ki Pandi menyahut, "Tetapi nampaknya Ki Carang Ampel telah mencoba untuk mengatakannya sesuai dengan tanggapannya atas bangunan khusus di padukuhannya.”
"Memang mungkin." sahut Ki Ajar Pangukan "Aku masih juga percaya bahwa orang penalarannya mulai terbuka sejak hutan Jatimalang itu ditembus. Beberapa orang mencoba membuka jalur perdagangan didaerah ini dapat membuka hati orang-orang yang semula dibayangi oleh ilmu hitam. Bahkan ada diantara para pedagang justru dengan sengaja berusaha membuka nalar budi orang-orang itu agar mereka mengenali hubungan antara mereka dengan penciptanya."
Ki Jagaprana mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Lemah Teles berkata, “Nampaknya para pemimpin di padepokan itu telah mempelajari dengan baik lingkungan ini, sehingga mereka telah memilih tempat ini untuk mendirikan padepokan yang bukan sekedar sebuah perguruan tertutup. Tetapi para pemimpin padepokan itu berusaha menyebarkan pengaruhnya disatu lingkungan yang luas, menurut pendapat mereka, merupakan lahan yang subur bagi kepercayaan hitam, karena lingkungan ini memang pernah dibayangi oleh ilmu hitam ketika Panembahan Lebdagati ada disini."
"Ya." Ki Ajar Pangukan mengangguk-angguk. Katanya kemudian. "Karena itulah, maka kita merasa mendapat beban tugas yang berat meskipun kita sendiri yang meletakkan beban itu dipundak kita.
“Yang dapat kita lakukan adalah mencegah menjalarnya pengaruh ilmu hitam itu. Tetapi kita tidak boleh melupakan, bahwa kita akan berhasil dengan baik, jika kita dapat mematikan sumbernya. Tetapi kita tahu, bahwa hal itu tidak akan mudah kita lakukan. Kita belum tahu kekuatan yang sebenarnya yang ada di padepokan itu.”
Sementara itu Ki Sambi Pitupun berkata, "Agaknya para pemimpin di padepokan itu menyebarkan pengaruhnya dengan bertahap. Satu hal yang menarik perhatian. Nampaknya para pemimpin di padepokan itu benar-benar mematangkan rencananya sebelum mereka bertindak."
"Maksud Ki Sambi Pitu?" bertanya Ki Jagaprana.
"Mula-mula korban yang diserahkan oleh orang-orang yang sudah mulai terpengaruh lagi oleh ilmu hitam itu adalah anak-anak binatang jenis apapun dengan menusuk jantungnya sampat mati. Tetapi disatu padukuhan yang terhitung dekat dengan padepokan itu, upacara mulai berubah. Adalah kebetulan bahwa aku dapat berbicara dengan seorang anak muda yang tidak menyadari dengan siapa ia berbicara."
"Perubahan apakah yang terjadi?" bertanya Ki A jar.
"Di padukuhan itu, korban tidak lagi ditusuk. Tetapi dibakar hidup-hidup. Anak binatang itu diletakkan diatas seonggok kayu kering. Kemudian kayu itu dinyalakan."
Orang-orang yang mendengar penjelasan Ki Sambi Pitu itu menjadi berdebar-debar. Mereka merasa ngeri membayangkan peristiwa itu terjadi. Apalagi ketika angan-angan mereka berkembang lebih jauh. Dengan demikian, maka orang-orang yang tinggal dirumah Ki Ajar itu sepakat untuk melihat keadaan lebih jauh lagi. Namun Ki Lemah Teles pun berkata,
"Jika kita terlalu sering berkeliaran, maka kita tentu akan sangat menarik perhatian. Suatu ketika, maka kehadiran kita akan didengar oleh orang-orang padepokan itu."
"Ya" Ki Ajar mengangguk-angguk "Kita memang harus berhati-hati. Jika orang-orang padepokan itu mencium kehadiran kita, maka kita akan langsung berhadapan dengan mereka."
Dengan demikian, maka orang-orang dirumah kecil itu sepakat untuk meningkatkan kewaspadaan mereka. Ki Pandi agaknya sangat tertarik dengan keterangan Ki Sambi Pitu tentang perubahan upacara yang mengerikan itu. Karena itu, maka tanpa Manggada dan Laksana orang bongkok itu telah menyusuri jalan ke padukuhan itu.
Sebuah padukuhan yang letaknya agak tinggi di kaki Gunung Lawu itu bukan sebuah padukuhan yang besar. Para penghuninya juga bukan orang-orang yang termasuk orang-orang berada. Meskipun demikian, ternyata bahwa mereka telah berusaha dengan susah payah yang membuat satu bangunan khusus untuk menyelenggarakan upacara yang aneh itu.
Ki Pandi telah memilih saat yang tepat. Ketika bulan purnama naik, maka dengan diam-diam ia telah berada di padukuhan itu. Apa yang disaksikan, benar-benar mengerikan. Meskipun yang dikorbankan sekedar seekor anak kambing. Ki Pandi melihat orang-orang padukuhan itu memasuki halaman bangunan khusus itu menjelang tengah malam. Mereka berjalan dengan kedua tangannya bersilang dimuka dada. Laki-laki dan perempuan. Kepala menunduk dan mereka tidak saling berbicara.
Suasananya memang terasa mencekam. Yang dilihat oleh Ki Pandi seakan-akan bukan orang-orang yang berjalan. Tetapi seperti sebuah golek kayu besar, yang bergerak dengan sendirinya menuju ke tempat upacara.
Tetapi setelah upacara selesai dan orang-orang padukuhan itu sudah kembali kerumah masing-masing dengan cara yang sama sebagaimana mereka datang, Ki Pandi tidak segera meninggalkan tempat itu.
Di pagi hari berikutnya, Ki Pandi masih berada disekitar padukuhan itu. Ketika Ki Pandi sedang mencuci kakinya di sebuah sungai kecil, maka dilihatnya seorang gadis yang sedang mencuci. Namun setiap kali gadis itu mengkerutkan lehernya sambil menggelengkan kepalanya.
Menurut penglihatan Ki Pandi, gadis itu agaknya sedang dibayangi oleh perasaan takut dan ngeri. Ketika Ki Pandi mendekatinya, gadis itu menjadi cemas. Orang bongkok itu membuatnya gelisah. Apalagi ujud Ki Pandi yang lain dari kebanyakan orang.
Tetapi Ki Pandi yang menyadari perasaan gadis itupun segera berkata, "Jangan takut ngger. Aku hanya ingin bertanya?"
Gadis itu tidak menjawab. Dipandanginya Ki Pandi dengan wajah gelisah.
"Ngger" berkata Ki Pandi yang kemudian duduk diatas sebongkah batu tidak jauh dari gadis yang sedang mencuci itu "Apakah angger tadi malam juga mengikuti upacara itu?”
"Ah..." gadis itu tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Diluar sadarnya ia berdesis "Mengerikan sekali. Aku masih selalu dibayangi oleh peristiwa itu. Aku sedang berusaha mengusirnya dari bayangan angan-anganku. Tiba-tiba saja kakek justru bertanya tentang hal itu.”
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Maaf ngger. Bukan maksudku untuk mengelitik perasaanmu dengan kengerian itu. Tetapi aku masih ingin bertanya serba sedikit tentang upacara yang aneh itu."
"Jangan sebut-sebut lagi kek..." minta gadis itu.
"Tetapi bukankah sebelumnya daerah ini juga pernah dipengaruhi oleh upacara-upacara yang pernah dilakukan oleh orang yang bernama Panembahan Lebdagati. Jika korban kali ini yang diserahkan hanyalah seekor anak binatang, beberapa waktu lalu korbannya justru seorang gadis. Sehingga keresahan telah tersebar bukan saja dikaki Gunung Lawu ini, tetapi sampai keseberang hutan Jatimalang."
“Tetapi aku belum pernah hadir pada upacara itu, kek. Sanggar pemujaannya pun terletak agak jauh dari padukuhan ini. Tetapi sekarang hampir disetiap padukuhan yang mempunyai banyak pendukung dari aliran yang mengerikan itu telah membangun sendiri sanggar seperti itu."
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu iapun bertanya, "Apakah dipadukuhanmu banyak orang yang menjadi pengikut aliran itu ngger?"
Gadis itu nampak ragu-ragu sejenak. Sekilas Ki Pandi melihat sinar matanya yang berkilat. Gadis itu hanyalah seorang gadis desa yang sederhana. Tetapi nampaknya ia seorang gadis yang cerdas. Ia sadar, bahwa jawaban yang diberikan akan dapat menjeratnya dalam kesulitan jika ia salah ucap. Namun gadis itu kemudian berdesis, "Semua orang dipadukuhanku menjadi pengikut aliran itu."
Ki Pandi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Baiklah ngger. Terima kasih atas keterangan angger. Mungkin pada kesempatan lain kita akan bertemu lagi.”
"Tetapi jangan bicarakan tentang upacara itu lagi, kek."
Ki Pandi tersenyum. Dengan nada ringan ia menjawab, “Tidak ngger. Aku tidak akan bertanya lagi."
Namun tiba-tiba sekali gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Suaranya yang serak terdengar dari balik telapak tangannya, "Tidak. Tidak akan lebih dari itu?"
"Kenapa ngger?" bertanya Ki Pandi "Bukankah aku tidak menyinggung lagi tentang upacara itu?"
"Bayangan itu selalu melintas di kepalaku kek. Semalam aku tidak dapat tidur setelah aku pulang dari upacara itu. Bayangan yang nampak dikepalaku, korban itu bukan sekedar seekor anak binatang."
"Sudahlah ngger. Jika kau membayangkan yang, bukan-bukan, kau akan menjadi semakin ngeri. Sebaiknya kau lupakan saja. Lihat pakaian yang kau cuci itu agar tidak hanyut. Kau perhatikan apakah cucianmu sudah bersih atau belum. Yang penting kau palingkah ingatanmu kepada apa saja yang baik kau kenang. Mungkin seorang jejaka yang tampan atau barangkali ayah dan ibumu pernah berbicara tentang jodoh bagimu atau bahkan kau sudah berkeluarga?"
"Aku memang belum berkeluarga kek. Ayah dan ibu juga belum pernah berbicara tentang jodohku. Ah, semuanya masih jauh bagiku.” jawab gadis itu sambil duduk.
“Waktunya tentu akan datang." desis Ki Pandi. Namun kemudian katanya "Sudahlah ngger. Aku akan pulang.."
"Dimana kakek tinggal?" bertanya gadis itu.
"Dekat hutan Jatimalang." jawab Ki Pandi.
Gadis itu memandang Ki Pandi yang melangkah meninggalkan gadis yang sedang mencuci itu. Meskipun orang tua itu bongkok dan buruk, tetapi gadis itu tidak lagi merasa takut. Suaranya terdengar lembut seperti wajahnya yang banyak tersenyum.
Bayangan yang mengerikan sebagaimana dikatakan oleh gadis itu, justru telah semakin mencemaskan pula orang-orang yang tinggal dirumah Ki Ajar Pangukan. Mereka semakin sering melihat perkembangan aliran sesat itu dipadukuhan-padukuhan yang dekat dan yang lebih jauh lagi dari padepokan.
Namun ternyata bahwa aliran itu tidak dapat berkembang meliputi daerah dibelakang hutan Jatimalang sebagaimana sebelumnya, justru karena pengaruh hubungan yang lebih luas dengan orang orang seberang hutan. Namun yang tidak diperhitungkan oleh orang-orang dirumah Ki Ajar Pangukan itu telah terjadi.
Ketika Ki Pandi, Manggada dan Laksana sedang berada tidak terlalu jauh dari padepokan itu, mereka telah melihat dua ekor burung elang yang terbang berputar-putar diatas padepokan yang dilingkari dinding kayu yang kuat dan cukup tinggi.
"Elang itu?" desis Ki Pandi.
"Apakah memang ada hubungan antara Panembahan Lebdagati dengan padepokan itu?" bertanya Manggada.
"Atau bahkan padepokan itu telah dibuat oleh para pengikut Panembahan Lebdagati dan memang dipersiapkan bagi kembalinya Panembahan itu di lereng Gunung Lawu ini?" desis Laksana.
"Perkembangan yang menarik." berkata Ki Pandi "Jika benar padepokan itu dipersiapkan bagi Panembahan Lebdagati yang ingin kembali menguasai daerah ini, maka persoalannya justru akan menjadi jelas."
Namun Laksana itupun bertanya "Apakah tidak ada orang lain yang mampu mengendalikan elang seperti Panembahan Lebdagati?"
"Ada. Tentu ada!" jawab Ki Pandi "salah seorang pengikutnya atau bahkan orang lain yang mempunyai kegemaran yang sama. Tetapi menilik sikap dan ujud burung elang itu, nampaknya burung itu dikendalikan oleh para pengikut Panembahan Lebdagati yang tersisa...."
Selanjutnya,
MATAHARI SENJA BAGIAN 05
MATAHARI SENJA BAGIAN 05