Matahari Senja
Bagian 05
MANGGADA dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian mereka telah diajak oleh Ki Pandi berlindung dibawah sebatang pohon yang rimbun.
"Jika saja burung itu mengenali kita bertiga?" desis Ki Pandi.
Tetapi Laksanapun menyahut. "Seandainya mereka mengenali kita, apakah burung-burung itu mempunyai cara untuk memberitahukan kepada Panembahan Lebdagati atau pengikutnya? Bagaimana burung elang itu dapat menyebut bahwa burung elang itu sudah melihat Ki Pandi, Manggada dan Laksana?"
Ki Pandi tertawa. Katanya, "Tentu burung elang itu tidak dapat menyebut namamu, Laksana. Tetapi burung itu tentu dapat memberi isyarat bahwa ia melihat orang-orang yang pernah dikenalnya sebelumnya."
Laksana mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi pemilik burung itu akan dapat salah menangkap artinya. Mungkin pemilik burung itu mengira bahwa elang-elangnya melihat Kiai Gumrah atau melihat Ki Prawara atau orang lain lagi."
Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Mungkin saja. Tetapi dengan demikian, maka Panembahan Lebdagati atau pengikutnya akan mengirimkan orang itu untuk melihat langsung sesuai dengan isyarat burung-burung elang itu. Nah, orang-orang itu akan dapat berbicara tentang penglihatannya. Apalagi tentang orang-orang yang mempunyai ciri khusus seperti aku ini."
Laksana mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Sementara kita tidak tahu, orang yang dikirim oleh Panembahan Lebdagati atau pengikutnya untuk mengamati kita."
Dengan demikian, maka ketiga orang itupun kemudian telah duduk dibawah sebatang pohon yang rindang. Dari jarak yang agak jauh mereka melihat kedua burung elang itu masih saja berputar-putar. Namun kemudian menghilang kearah Utara.
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita dapat memperkirakan bahwa sarang kedua ekor burung elang itu ada di-sisi Utara Gunung ini, meskipun mungkin dapat juga salah, karena kedua ekor burung itu dapat juga mengelabuhi orang. Meskipun mereka menghilang ke Utara, namun kemudian mereka akan terbang kearah yang lain."
Manggada dan Laksana yang memandang kedua ekor burung itu sampai hilang dikejauhan, mengangguk-angguk. Burung-burung elang yang terlatih baik itu seakan-akan memang mampu memperhitungkan sikap yang diambilnya.
Demikian kedua ekor burung elang itu hilang, maka Ki Pandi-pun telah mengajak Manggada dan Laksana melihat sebuah padukuhan yang pernah dikunjunginya, justru ketika sedang berlangsung upacara disaat bulan sedang purnama.
"Tetapi tentu tidak ada upacara disiang hari, Ki Pandi" berkata Manggada.
"Memang tidak!” berkata Ki Pandi "Di malam haripun tidak, karena upacara itu resminya hanya dilakukan setiap purnama. Beberapa hari yang lalu, di padukuhan itu baru saja dilakukan sebuah upacara sebagaimana di katakan Ki Sambi Pitu yang mendapat keterangan dari seorang anak muda."
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" bertanya Ki Pandi.
"Kita akan dapat berbincang dengan penghuni padukuhan itu. Mumpung masih agak pagi." jawab Ki Pandi.
Bertiga mereka menuju ke sebuah padukuhan yang pernah dikunjungi oleh Ki Pandi. Mereka tidak langsung menuju ke padukuhan. Tetapi mereka pergi kesebuah sungai diluar padukuhan itu. Dari kejauhan Ki Pandi melihat beberapa orang perempuan sedang mencuci pakaian. Karena itu, maka katanya, "Nanti saja. Jika yang lain telah pergi."
"Maksud Ki Pandi?" bertanya Manggada "Apakah kita harus mengintip orang mandi dan mencuci pakaian itu?"
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Pandi bertanya "Apakah upacara itu tidak akan pernah dilakukan di padukuhan ini selama masih ada yang menentangnya?"
"Ah..." Ki Pandi mengerutkan dahinya "Tentu tidak. Tetapi duduk sajalah disitu. Aku akan memperlihatkan diri. Bukankah disebelah itu jalan penyeberangan yang banyak dilalui orang? Aku akan lewat jalan itu. Nanti, aku beri kalian isyarat."
Manggada dan Laksana tidak tahu maksud orang tua bongkok itu. Tetapi mereka menurut saja. Keduanya pun kemudian duduk dibelakang gerumbul perdu yang tumbuh dibawah sebatang pohon nyamplung yang cukup besar.
"Tentu banyak ular disini" jawab Laksana. Manggada tertawa. Katanya "Ki Pandilah yang bertanggung jawab jika kita dipatuk ular."
Sementara itu, Ki Pandi telah turun ke jalan penyeberangan yang memang banyak dilalui orang yang lewat dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Apalagi setelah hutan Jatimalang ditembus oleh jalan perdagangan yang sengaja dibuat oleh Pajang, agar lingkungan dibelakang hutan Jatimalang itu tidak menjadi terpisah dari lingkungan lainnya.
Seperti yang diharapkan, seorang gadis yang sedang mencuci pakaian di antara beberapa perempuan yang lain telah melihatnya. Beberapa orang perempuan yang lain juga melihat orang bongkok yang lewat itu. Tetapi mereka tidak memperhatikannya. Orang bongkok itu hanyalah salah seorang saja diantara orang-orang lain yang lewat.
Berbeda dengan perempuan-perempuan yang lain, gadis yang pernah ditemui Ki Pandi itu justru memperhatikannya. Orang bongkok itu tiba-tiba saja terasa sebagai seorang kawan yang akrab. Berbeda dengan orang-orang di padukuhannya, orang bongkok itu rasa-rasanya dapat mengerti gejolak perasaannya menanggapi upacara-upacara yang diselenggarakan di padukuhannya. Orang-orang di padukuhannya, bahkan ayah ibunya, tidak lagi mau mengerti, betapa hatinya menjadi ngeri dan ketakutan melihat upacara yang dilakukan di bulan purnama itu.
Ketika perempuan-perempuan dan gadis-gadis yang lain selesai mandi dan mencuci pakaian, maka merekapun segera bersiap untuk kembali ke padukuhan. Tetapi gadis itu ternyata masih belum selesai. Bahkan iapun berkata kepada perempuan-perempuan yang lain, "Silahkan. Aku masih kurang sedikit. Nanti aku segera menyusul."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, sungai itu menjadi sepi. Hanya tinggal seorang gadis sajalah yang masih mencuci pakaiannya yang sebenarnya sudah bersih. Seperti yang diharapkan oleh gadis itu, maka orang bongkok itu telah datang mendekatinya. Wajahnya yang kusam itu nampak lunak karena senyumnya.
"Kawan-kawanmu sudah selesai?" berkata Ki Pandi.
"Aku belum, kek. Cucianku banyak sekali," jawab gadis itu.
Ki Pandi tertawa pendek. Katanya, "Aku tahu, kau sudah selesai mencuci. Karena itu, berpakaianlah lebih rapi."
"Kenapa?" wajah gadis itu tiba-tiba menjadi merah.
"Aku tidak datang sendiri. Aku datang bersama kedua orang cucuku yang ingin melihat-lihat daerah ini."
"O” gadis itu memang merapikan pakaiannya yang belum mapan.
"Jangan takut. Kedua cucuku dan aku sendiri ingin berbicara tentang kepercayaan yang berkembang di padukuhanmu. Tetapi jangan cemas. Kami tidak akan berbicara tentang korban-korban yang diserahkan."
Gadis itu mengerutkan dahinya. Namun, laki-laki bongkok itu rasa-rasanya mengerti perasaannya yang sebenarnya ingin menolak upacara yang sering diselenggarakan di padukuhannya. Karena itu, maka gadis itu mengangguk. Tetapi ia pun kemudian berkata, "Tetapi aku tidak dapat berlama-lama disini. Kawan-kawanku sudah pulang. Ibu akan bertanya kepada mereka, kenapa aku tinggal."
"Baiklah. Aku akan memanggil kedua orang cucuku."
Gadis itu menunduk dalam-dalam. Wajahnya terasa panas ketika Manggada dan Laksana berdiri beberapa langkah disebelahnya. Di padukuhannya juga ada beberapa orang anak muda. Ketika gadis itu masih remaja, maka iapun sering bermain-main dengan anak-anak laki-laki yang sebaya. Tetapi setelah ia menginjak dewasa, maka pergaulannya dengan anak-anak muda menjadi semakin terbatas.
Ketika kepercayaan hitam yang terdahulu berkembang, ia masih dapat bermain bersama di halaman jika bulan terang. Hanya saat buian purnama penuh, beberapa orang tua pergi ke upacara. Sedangkan sehari-hari, masa remajanya tidak begitu terpengaruh oleh kepercayaan yang sedang berkembang itu.
Namun ketika ia sudah mulai disebut seorang gadis, maka ia mulai mendapat batasan-batasan bergerak. Bukan saja karena ia dijauhkan dari anak-anak muda. Tetapi dalam keadaan yang memaksa, tiba-tiba saja seorang gadis dapat hilang dari lingkungannya.
Gadis itu tidak banyak mengetahui, apa yang telah terjadi. Namun baru kemudian ia menyadari, bahwa ilmu hitam dibawah pengaruh Panembahan Lebdagati, didalam upacara-upacara besarnya telah mengorbankan gadis-gadis. Gadis-gadis yang diambil dan dibeli dari seberang hutan Jatimalang. Tetapi jika gadis itu tidak didapatkannya, maka gadis dari lereng Gunung Lawu dibelakang hutan Jatimalang itu dapat saja tiba-tiba hilang.
Memang mengerikan, tetapi ia tidak pernah mengetahui apa yang terjadi. Sedang apa yang dialaminya sekarang, membuat jiwanya tersiksa. Bersama orang-orang sepadukuhan, gadis itu harus pergi ke upacara. Ia harus menyaksikan, bagaimana seekor anak binatang diletakkan diatas seonggok kayu kering dan kemudian dinyalakan. Anak binatang itu berteriak-teriak kesakitan.
Tetapi api itu sama sekali tidak mengenal belas kasihan. Bahkan orang-orang yang melakukan upacara itu juga tidak mengenal belas kasihan. Semua orang yang ada di lingkungan upacara itu seakan-akan telah kehilangan perasaannya.
Untuk beberapa saat lamanya Manggada, Laksana dan Ki Pandi bercakap-cakap dengan gadis itu. Tetapi sikap gadis itu menjadi jauh berbeda dengan sikapnya terhadap Ki Pandi. Wajahnya selalu menunduk dan kata-katanya hampir tidak dapat didengar. Tetapi gadis itu sempat berkata,
“Didalam lingkungan upacara, maka segala keterbatasan pergaulan itu dilupakan.”
"Maksudmu?" bertanya Ki Pandi.
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikan wajahnya. Gadis itu berpaling. Dipandanginya air sungai yang mengalir gemericik dibawah kakinya yang berpijak pada bebatuan. Beberapa lembar daun kering hanyut mengikuti aliran sungai. "Sudahlah, kek" berkata gadis itu kemudian "Aku sudah terlalu lama ditinggalkan kawan-kawanku."
Ki Pandi tidak menahannya. Namun ketika gadis itu beranjak dari tempatnya, Ki Pandi bertanya, "Siapa namamu, ngger?"
Gadis itu berpaling. Tetapi ia ragu. Apalagi ketika tatapan mata Laksana yang tajam seakan-akan menusuk sampai ke jantung. Namun gadis itu kemudian berkata, "Namaku Delima, kek."
Ki Pandi tersenyum. Katanya "Nama yang bagus, ngger."
"Ketika ibu mengandung aku, ibu memang mengidam buah delima. Kemudian selain membeli delima, ayah juga menanam pohon delima di halaman rumahku. Sekarang pohon itu sudah berbuah.”
"Manis sekali..." desis Laksana. Namun kemudian tergesa-gesa ia menyambung “Maksudku, buah delima yang benar-benar masak itu rasanya manis sekali."
Wajah gadis itu terasa panas sesaat. Namun kemudian iapun meninggalkan tepian itu. Beberapa langkah kemudian Ki Pandi menyusul ketika Laksana berbisik, "Dimana rumahnya, Ki Pandi."
"Ngger, apakah angger tidak berkeberatan jika aku datang menemui orang tuamu untuk berbicara tentang upacara-upacara yang mengerikan itu?"
"Ayah merupakan salah seorang pendukung kuatnya, kek. Juga paman-pamanku. Bahkan seorang diantara kakak ayahku berada di padepokan itu."
"Apakah ia sering pulang ke padukuhan?" bertanya Ki Pandi.
"Sering, kek. Tetapi waktunya tidak tentu." jawab gadis itu.
"Baiklah. Aku akan mengunjungi rumahmu. Tetapi dimana rumahmu itu?"
"Rumahku berseberangan dengan banjar padukuhan, kek. Tetapi jika kakek pergi kesana. jangan katakan, bahwa kita pernah berbicara tentang kepercayaan itu."
"Baiklah...." Ki Pandi mengangguk-angguk "Aku akan menjaga, agar kau tidak mengalami kesulitan karena pembicaraan ini”
Delima pun segera melangkah pergi. Manggada sambil menggamit Laksana berkata, "Nah, rumahnya didepan banjar. Kapan kau akan kesana?”
"Ah, kau. Bukankah wajar bertanya rumah seseorang yang baru dikenalnya?" jawab Laksana.
"Tentu. Apakah aku tadi mengatakan tidak wajar?"
"Kau selalu begitu" desis Laksana.
Manggada tertawa. Namun kemudian ia bertanya, "Laksana, yang manakah yang lebih cantik. Winih atau Delima?"
Laksanapun tetawa. Tetapi ia tidak menjawab. Demikianlah, Ki Pandi telah mengajak Manggada dan Laksana meninggalkan tempat itu. Dari kejauhan mereka melihat bangunan khusus yang dipergunakan untuk upacara menyerahkan torban. Tetapi mereka tidak mendekat.
Malam itu, dirumah Ki Ajar Anggara, beberapa orang sedang berbincang. Pada umumnya, mereka ingin berhubungan dengan isi padepokan itu. "Jika kita berhasil berhubungan dengan mereka, maka kita akan mengetahui, siapakah mereka itu. Dengan demikian, maka kita akan dapat menentukan langkah lebih jauh."
"Tetapi kita jangan bersikap bermusuhan" berkata Ki Ajar "jika kita bersikap bermusuhan, maka segala-galanya tentu sudah tetutup."
"Ya" desis Ki Lemah Teles. "Kita harus bersikap bersahabat."
"Kita tidak boleh dengan serta-merta menantang perang tanding dengan pemimpin padepokan itu." berkata Ki Sambi Pitu.
Ki Jagaprana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun tertawa. Ki Ajar memang terlambat pula tertawa. Namun Ki Lemah Teles berkata, "Apa pedulimu? Semua orang akan aku tantang sampai pada satu saat ada orang yang mampu membunuhku."
"Ada banyak orang yang dapat membunuhmu. Tetapi orang-orang itu menaruh belas kasihan kepadamu, justru karena kau kehilangan akal seperti itu."
"He?" wajah Ki Lemah Teles berkerut. Dengan nada dalam ia justru bertanya, "Apakah aku memang pantas dikasihani?"
"Tidak. Memang tidak!" sahut Ki Ajar Pangukan.
Ki Lemah Teles bersungut-sungut. Tetapi kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Dalam pada itu, orang-orang tua itupun kemudian telah memutuskan untuk mulai berhubungan dengan orang-orang padepokan itu dengan cara apapun. Dengan demikian, maka mereka akan dapat mengetahui, apakah isi dari padepokan itu.
Yang paling baik dipergunakan sebagai alasan adalah, bahwa mereka ingin mendapatkan hasil bumi atau hasil kerajinan tangan di daerah ini untuk dibawa ke Pajang. Mereka harus menganggap bahwa di daerah yang semula tertutup ini tentu terdapat banyak sekali jenis pekerjaan tangan.
Sebenarnyalah, Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles kemudian mempersiapkan kuda-kuda mereka. Meskipun letak padepokan itu tidak jauh sekali dari tempat tinggal Ki Ajar yang tersembunyi, tetapi berkuda mereka akan nampak lebih mapan.
Dikeesokan harinya dua orang berkuda telah meninggalkan halaman rumah Ki Ajar Pangukan. Mereka harus menyusup melalui jalan yang khusus. Sedikit melingkar-lingkar untuk dapat keluar dari tempat yang tersembunyi itu. Baru kemudian mereka turun ke jalan dan melarikan kuda mereka memanjat kaki Gunung Lawu.
Keduanya telah sepakat untuk mengaku sebagai pedagang yang mencari barang dagangan di daerah yang semula dipisahkan oleh hutan Jatimalang itu. Keduanya dengan tekad bulat menuju ke sebuah padepokan yang tidak mereka kenal sebelumnya, padepokan yang seakan-akan berdin dibelakang kabut sehingga yang nampak hanyalah bayangannya saja.
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles memang sudah bertekad untuk melihat apa yang ada didalam padepokan itu. Mereka dengan tabah akan menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
“Mungkin kita akan ditangkap dan dibantai didalam padepokan yang berisi orang-orang dari aliran hitam itu." berkata Ki Lemah Teles.
“Atau kita akan diserahkan sebagai korban kepada iblis sebagaimana anak binatang yang diletakkan dialas seonggok kayu kering dan kemudian mereka nyalakan, sehingga kita akan terbakar hidup-hidup." sahut Ki Sambi Pitu.
Ki Lemah Teles tertawa. Katanya, "Tetapi sebelumnya kita tentu akan dipelihara sebaik-baiknya sampai saatnya purnama naik. Bukankah korban itu hanya diberikan setiap bulan purnama penuh."
Ki Sambi Pitupun tertawa. Katanya, "Bukankah itu lebih baik daripada kita saling membunuh diantara kita sendiri? Jika kita mati dipadepokan orang berilmu hitam itu, rasa-rasanya kematian kita ada juga gunanya, meskipun hanya sedikit.”
Ki Lemah Teles segera memotongnya, "Cukup. Cukup. Kau hanya akan mengatakan bahwa aku telah melakukan kesalahan dan bahkan pantas dikasihani. Tetapi jangan mengira bahwa kelak aku mengurungkan tantanganku untuk berperang tanding. Bukan hanya kau, tetapi orang-orang yang telah membuat hidupku kesepian.”
Tetapi Ki Sambi Pitu tertawa pula. Katanya, "Apakah kita masih akan dapat keluar dari padepokan itu?"
Ki Lemah Teles termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian "Aku akan menantang pemimpin padepokan itu untuk berperang tanding. Orang itu harus tahu, siapakah Ki Lemah Teles.”
"Bukankah kita tidak akan menunjukkan sikap permusuhan?”
"Kita memang tidak. Tetapi jika mereka memaksakan permusuhan itu, apa boleh buat."
Ki Sambi Pitu tidak menjawab. Sementara itu, keduanya menjadi semakin dekat dengan padepokan yang belum mereka kenal itu.
Sejak hutan Jatimalang dibuka, maka orang-orang yang belum dikenal, memang sering melintasi jalan-jalan di kaki Gunung Lawu itu. Hubungan antara dua lingkungan sebelah menyebelah hutan Jatimalang itu berjalan semakin lama semakin ramai. Namun perkembangan ilmu hitam itu membuat beberapa daerah yang terpengaruh, menjadi agak tertutup kembali.
Tetapi ketika dua orang berkuda lewat di jalan-jalan pedukuhan, orang-orang yang melihat mereka tidak terlalu banyak memperhatikan. Mereka memang sudah mengira bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang ingin melihat-lihat lingkungan dibelakang hutan Jatimalang sebagaimana sering terjadi sebelumnya.
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Telespun memanjat terus menuju ke padepokan dari sebuah perguruan yang melandasi ajarannya dengan ilmu hitam. Beberapa saat kemudian, maka Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles itupun menjadi semakin dekat dengan padepokan yang mereka tuju. Mereka telah berada di jalan yang langsung menuju ke pintu gerbang padepokan yang berdinding kayu-kayu utuh bulat yang dirangkai berjajar rapat.
"Sebuah padepokan yang terhitung besar." desis Ki Sambi Pitu.
"Bukan besar. Yang jelas kita lihat, padepokan ini cukup luas. Agaknya didalamnya terdapat bangunan-bangunan besar dan kecil bagi para penghuninya" sahut Ki Lemah Teles.
Ki Sambi Pitu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian "Marilah. Kita sudah bertekad untuk masuk kedalamnya."
Demikianlah, kedua orang itupun langsung melarikan kudanya ke pintu regol padepokan yang tertutup. Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles menghentikan kuda mereka didepan regol. Mereka melihat pada pintu regol, sebuah lubang yang kemudian telah dibuka dari dalam.
Dari lubang itu, Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles melihat wajah seseorang yang nampaknya memang garang sekali. Seorang yang bermata tajam dan berkumis tebal. Ki Sambi Pitu yang tepat berada di muka lubang itupun mengangguk sambil tersenyum. Katanya, "Selamat pagi Ki Sanak."
Orang yang berada dibelakang pintu itu bertanya dengan nada berat, “Siapakah kalian dan untuk apa kalian kemari?"
"Kami datang dari seberang hutan Jatimalang, Ki Sanak. Kami ingin berkenalan dengan penghuni padepokan ini." jawab Ki Sambi Pitu.
Wajah orang itu nampak berkerut. Dipandanginya Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles berganti-ganti. Namun kemudian katanya, "Pergilah. Kami tidak memerlukan kalian."
"Mungkin kalian memang tidak memerlukan kami, Ki sanak. Mungkin kamilah yang memerlukan kalian." jawab Ki Sambi Pitu.
"Itu urusan kalian." sahut orang itu "Tetapi pergilah."
"Maaf Ki Sanak. Kami ingin berbicara serba sedikit. Mungkin kita dapat membuat hubungan yang saling menguntungkan." berkata Ki Sambi Pitu.
"Tidak" jawab orang itu. "Kami tidak membuat hubungan dengan siapapun yang belum kami kenal."
"Kita dapat memperkenalkan diri." jawab Ki Sambi Pitu.
Tetapi orang itu justru membentak, "Cukup. Pergilah, atau kami akan mengusir kalian."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles saling berpandangan sejenak. Namun Ki Lemah Teleslah yang kemudian berkata, "Bagaimana kalau kita mencoba untuk berbicara dan menjajagi segala kemungkinan?"
"Sudahlah. Pergilah. Aku menjadi muak melihat wajah kalian berdua."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles menjadi kehilangan harapan. Meskipun demikian, keduanya tidak segera pergi sehingga orang dibelakang pintu gerbang itu membantak, "Cepat, pergi, apalagi yang kalian tunggu?"
Ketika keduanya benar-benar akan meninggalkan tempat itu, maka tiba-tiba saja terdengar suara didalam. "Ada apa?"
"Dua orang yang ingin masuk ke padepokan ini, Kiai."
"Untuk apa?" bertanaya suara itu.
“Tidak jelas. Mereka hanya menyebutkan, ingin membuat hubungan dengan kita disini."
"Hubungan apa?" bertanya suara itu.
"Juga tidak jelas." jawab orang yang berkumis tebal itu.
Namun Ki Sambi Pitu mempergunakan kesempatan itu. Katanya hampir berteriak, "Kami ingin membuat hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak."
Sejenak suasana menjadi hening. Namun tiba-tiba terdengar suara "Buka pintu gerbangnya. Biarlah dua orang itu masuk."
Orang yang wajahnya nampak dari lubang pintu gerbang yang masih terbuka itu nampak ragu-ragu. Tetapi suara didalam itu berkata sekali lagi, "Buka pintu gerbang. Aku ingin bertemu dengan mereka."
Tidak terdengar jawaban. Namun sejenak kemudian, terdengar selarak pintu yang berat itu terangkat. Kemudian, perlahan-lahan pintu itupun terbuka.
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles terkejut. Ternyata dibelakang pintu itu berdiri beberapa orang yang bersenjata telanjang. Kemudian seorang lagi yang berdiri terpisah. Pakaiannya nampaknya agak berbeda dengan yang iain. Warna pakaiannya lebih cerah dan penampilannyapun nampak lebih rapi dan bersih. Meskipun demikian laki-laki itu nampak tidak muda lagi meskipun belum setua Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles.
"Marilah Ki Sanak." berkata orang itu sambil tersenyum "Aku merasa mendapat kehormatan, karena Ki Sanak bersedia singgah di padepokan yang tidak berarti ini."
"Terima kasih atas perkenan Ki Sanak, menerima kami berdua." jawab Ki Sambi Pitu.
Orang yang berpakaian rapi itupun kemudian telah mempersilahkan Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles untuk naik ke pendapa. Dengan ramah orang berpakaian rapi itupun kemudian telah mengucapkan selamat datang kepada kedua orang tamunya.
"Kami jarang sekali mendapat kunjungan orang lain." berkata orang berpakaian rapi itu "Sehingga karena itu, maka orang-orangku menjadi sulit untuk bergaul. Tetapi kunjungan kalian berdua akan membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi padepokan kami.”
"Kami mengucapkan terima kasih atas penerimaan yang sangat baik ini." berkata Ki Lemah teles kemudian.
"Tetapi, jika aku boleh mengetahui, apakah keperluan Ki Sanak berdua ini sebenarnya?" bertanya orang itu.
"Sudah aku katakan, kami sebenarnya sedang mencari hubungan dagang dengan penghuni dibelakang hutan Jatimalang ini.”
"Di belakang? Kemana sebenarnya hutan itu menghadap?" bertanya orang berpakaian rapi itu.
"Maksudku, mereka yang tinggal di kaki Gunung Lawu yang dibatasi oleh hutan Jatimalang. Maaf, orang-orang diseberang hutan itu menyebut daerah ini, dibelakang hutan Jatimalang."
Orang itu tertawa. Katanya "Sebenarnya bagi kami memang tidak ada bedanya. Sebutan apapun dapat kami terima asal sebutan itu menunjuk dengan jelas." orang itu berhenti sejenak, lalu "Dagang apakah yang Ki Sanak jalankan sekarang?"
"Apa saja." jawab Ki Sambi Pitu "Tetapi yang terutama adalah hasil bumi dan kerajinan tangan. Aku dengar didaerah ini terdapat kelebihan bahan, pangan padi, jagung dan ketan. Tetapi kami juga ingin membeli gerabah dalam jumlah yang besar."
Orang itu tertawa pendek. Katanya "Jika demikian, kenapa kalian pergi ke sebuah padepokan?"
"Biasanya padepokan mempunyai tanah yang luas digarap oleh para cantrik, sehingga kadang-kadang hasilnya cukup melimpah dan berlebihan. Demikian pula para cantrik sering membuat benda-benda lain yang menjadi kebutuhan sehari-hari apapun ujudnya. Mungkin barang-barang kerajinan dari bambu atau dari kayu atau gerabah atau apapun."
Orang yang berpakaian rapi itu ternyata seorang yang berhati terbuka. Ia banyak tertawa dan mengatakan apa yang dipikirkan. "Ki Sanak berdua." berkata orang itu kemudian "Aku tidak yakin kalian benar-benar seorang pedagang. Mungkin kalian berdua sedang bertualang, tetapi mungkin pula kalian memang ingin melihat apakah yang ada dibelakang dinding padepokan ini. Tetapi itu bukan soal bagi kami, selama kalian tidak mengganggu semua kegiatan yang kami lakukan."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Lemah Teles itupun berkata, "Ki Sanak. Kami benar-benar pedagang yang sedang mencari lubang-lubang kemungkinan untuk membuka jalur perdagangan. Kami sedang menjajagi, apa yang dapat kami bawa dari daerah ini ke seberang hutan Jatimalang dan sebaliknya apa yang dapat kami bawa dari seberang hutan itu kedaerah ini."
Orang itu masih saja tertawa. Namun tiba-tiba ia bertanya, "Siapakah nama kalian berdua?"
"Namaku Sambi Pitu dan saudaraku ini dipanggil Ki Lemah Teles."
"Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles "Orang itu mengulang "Nama yang baik."
"Tetapi kami juga belum mengetahui nama Ki Sanak" desis Ki Sambi Pitu.
"Namaku Gandawira. Tetapi orang lebih senang memanggilku Kiai Banyu Bening."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba Ki Lemah Teles bertanya, "Jadi, menurut Kiai, bagaimana sebaiknya kami memanggil? Kiai Gandawira atau Kiai Banyu Bening?"
Orang itu tertawa pula. Katanya, "Terserah Ki Sanak. Tetapi murid-muirdku di padepokan ini memanggilku Kiai Banyu Bening. Bahkan orang-orang disekitar padepokan ini juga memanggilku Kiai Banyu Bening."
“Maksud Kiai, orang-orang disekitar padepokan ini juga berguru kepada Kiai?"
"Ya. Tetapi itu terjadi begitu saja. Maksudku, bukan akulah yang memaksa mereka untuk mengikut aku, tetapi mereka sendiri berniat demikian."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles itupun mengangguk-angguk pula. Sementara Kiai Banyu Bening itupun berkata, "Nah Ki Sanak. Kalian telah melihat isi padepokan kami. Tetapi jika kalian benar-benar berdagang, tidak ada yang dapat kami perdagangan disini.”
"Maksudku, jika kami tidak dapat membeli hasil bumi atau hasil kerajinan, kami dapat menawarkan barang-barang yang dibutuhkan oleh padepokan ini? Mislanya alat-alat pertanian atau barang-barang yang terbuat dari besi dan baja lainnya. Senjata misalnya."
Kiai Banyu Bening mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menggeleng. Katanya, "Sampai sekarang, kami dapat mencukupi kebutuhan kami sendiri. Tetapi aku tidak tahu kelak, jika padepokan kami ini berkembang. Mungkin kami memerlukan beberapa jenis senjata. Meskipun demikian, kami tidak akan membeli dari kalian. Kami dapat mengirim orang langsung ke seberang hutan Jatimalang untuk menghubungi beberapa orang pande besi yang cakap. Dengan demikian, kami akan dapat membeli senjata dengan harga yang lebih murah. Jika kalian benar-benar pedagang, kalian tentu akan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya."
"Tetapi Kiai Banyu Bening, sebaiknya kalian tidak membeli senjata kepada pande besi. Kiai Banyu Bening harus berhubungan dengan seorang Empu yang mampu membuat pusaka yang pantas bagi Kiai Banyu Bening dan murid-murid Kiai."
Kiai Banyu Bening tertawa berkepanjangan. Katanya, "Jangan ajari aku Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles. Aku memimpin padepokan bukannya baru sejak kemarin pagi. Tetapi sudah berpuluh tahun. Karena itu, aku tahu apa yang sebaiknya aku lakukan."
Ki Sambi Pitu mengangguk-angguk. Sementara Ki Lemah Teles berkata, "Maafkan Kiai. Kami hanya bermaksud agar dagangan kami dapat laku."
"Nah, aku sudah memberi kesempatan kepada Ki Sanak berdua untuk memasuki padepokan kami. Nampaknya tidak ada lagi yang akan kita bicarakan kemudian. Kami akan mempersiiahkan Ki Sanak untuk meninggalkan padepokan ini."
"Baiklah Kiai." jawab Ki Sambi Pitu "Kami mohon diri."
"Kesempatan seperti ini jarang sekali kami berikan kepada orang lain. Karena itu, kalian berdua tentu merasa beruntung dapat memasuki padepokan kami."
"Ya, ya" jawab Ki Lemah Teles "Kami memang merasa sangat beruntung"
"Nah, sekarang kami persilahkan kalian meninggalkan padepokan kami."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles itupun kemudian telah turun dari pendapa. Namun ketika mereka berada di halaman, mereka terhenti sejenak. Mereka tertarik pada sebuah bangunan yang menarik. Seperti yang pernah mereka lihat di padukuhan, sebuah bangunan batu yang ditata dengan baik. Lebih baik dan lebih besar dari bangunan serupa yang terdapat di padukuhan-padukuhan itu. Dibagian atasnya datar, sedangkan di ampat sisinya terdapat tangga untuk naik. Disebelah bangunan itu terdapat bangunan lain yang lebih tinggi. Namun yang menarik, diatas bangunan batu yang lebih tinggi itu terdapat batu nisan kecil.
Kiai Banyu Bening yang mengetahui bahwa kedua tamunya tertarik kepada kedua bangunan yang terbuat dari batu itu bertanya, "Apakah kalian belum pernah melihat bangunan kecil seperti itu?"
"Belum Kiai." jawab Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles hampir berbareng.
Tetapi Kiai Banyu Bening itu menyahut, "Kalian tentu sudah pernah melihat di sebuah padukuhan. Bangunan seperti itu, tetapi lebih kecil, terdapat di beberapa padukuhan. Biasanya ditempatkan diluar dinding padukuhan, dipagari cukup rapat, sehingga jika diselenggarakan upacara didalamnya, tidak akan terganggu oleh lingkungan diluarnya."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Ki Lemah Teles bertanya, "Lalu apa yang dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu dalam upacara tertutup itu?"
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian sebagaimana sejak semula, orang itu tertawa lagi. Katanya, "Kau tidak akan mengetahui makna dari upacara yang kami lakukan karena kau tidak berpegang pada ilmu yang kami yakini."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles masih mengangguk-angguk. Tetapi Ki Lemah Teles itu bertanya lagi. "Lalu, apa artinya batu nisan kecil diatas bangunan yang agak tinggi itu?"
Wajah orang itu tiba-tiba menjadi suram. Katanya dengan nada rendah. "Itu adalah bangunan khusus yang sangat berarti bagiku pribadi. Yang dikuburkan dibawah bangunan itu adalah anakku. Anakku mati dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Pada umur satu tahun, anakku mati terbakar."
"O" Ki Sambi Pitu berdesis "Aku ikut berduka cita atas peristiwa itu. Tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi?"
"Serangan itu datang demikian tiba-tiba. Ketika aku sedang bertempur, musuh-musuhku yang licik itu telah membakar rumahku. Rumahku terbakar seisinya termasuk anakku,"
"Bagaimana dengan ibunya?" bertanya Ki Lemah Teles.
Kesuraman diwajah Kiai Banyu Bening itu tiba-tiba larut. Yang kemudian nampak diwajahnya adalah senyumnya. Katanya, "Isteriku adalah perempuan gila. Yang datang membakar rumahku itu adalah laki-laki yang membuatnya gila. Ia lari dengan laki-laki itu dengan meninggalkan bayinya yang belum genap setahun. Bahkan kemudian dengan tidak langsung, ia telah membunuh bayi itu dengan tangan laki-laki yang buas itu. Bayiku mati dalam nyala api. Aku masih sempat mendengar bayi itu menangis meraung-raung. Namun kemudian aku sendiri menjadi pingsan. Lukaku arang kranjang. Bahkan laki-laki itu dan kawan-kawannya menyangka bahwa aku telah mati."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles mengangguk-angguk kecil. Sementara Kiai Banyu Bening itu berkata selanjutnya, "Waktu itu suara tangis bayiku itu bagaikan menarik nyawaku lewat ubun-ubunnya. Mengerikan sekali.” orang itu berhenti sejenak, namun kemudian katanya sambil tertawa berkepanjangan, semakin lama semakin keras "Tetapi sekarang suara tangis bayi yang terbakar itu bagiku bagaikan lagu yang sangat merdu yang terdengar bergema dilangit yang didendangkan oleh peri-peri yang sangat cantik sambil melambai-lambaikan tangannya turun kebumi untuk mengusap seluruh tubuhku yang dihangatkan oleh api yang berbau mayat itu.”
Wajah Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles menjadi tegang. Kengerian yang pernah dibayangkan sebelumnya itu rasa-rasanya semakin nampak menerawang di kepala mereka.
Namun Kiai Banyu Bening itu masih saja tertawa berkepanjangan. Bahkan kemudian katanya, "Laki-laki yang telah membawa isteriku itu dan bahkan isteriku itu sendiri harus mati didalam nyala api. Mereka telah membunuh anakku. Anakku bagiku adalah segala-galanya."
Suara tertawa laki-laki itu terdiam. Ketika Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles memandang wajahnya, mereka terkejut. Di wajah itu tidak lagi membayang tawa dan senyum. Tetapi yang nampak adalah nyala api neraka disorot matanya.
Tiba-tiba saja orang itu menggeram. "Pergilah. Kau sudah terlalu banyak mengetahui tentang isi padepokan ini, yang seharusnya tidak boleh diketahui oleh orang lain. Jangan kembali lagi. Kau telah melanggar paugeran padepokan kami."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles tidak menjawab. Keduanya telah melangkah ke kuda mereka. Kemudian keduanya telah menuntun kuda mereka ke pintu gerbang Pintu gerbang itupun terbuka. Orang yang berwajah garang, bermata tajam dan berkumis tebal itu berdiri dengan tegang di sebelah pintu. Beberapa orang dengan senjata telanjang tegak mematung memandangi Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles yang lewat sambil menuntun kudanya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah berpacu meninggalkan padepokan yang menyimpan seribu macam pertanyaan itu. Sambil melarikan kuda mereka, untuk keduanya menjauhi padepokan itu, Ki Sambi Pitu itupun berkata, "Ternyata kita masih beruntung dapat keluar dari padepokan itu."
"Yang kita cemaskan itu ternyata tinggal menunggu waktu saja." berkata Ki Lemah Teles.
“Mengerikan sekali..." sahut Ki Sambi Pitu. "Kita memang harus menghentikannya" desis Ki Sambi Pitu kemudian.
"Nampaknya Kiai Banyu Bening itu menderita semacam penyakit yang sangat berbahaya." berkata Ki Lemah Teles kemudian.
"Penyakit apa?" bertanya Ki Sambi Pitu.
"Hatinya telah dicengkam oleh dendam yang membara. Kematian anaknya tidak pernah diikhlaskannya, sehingga hidupnya menjadi sangat gersang. Ia ingin menuntut kematian anaknya dengan kematian dan kematian."
"Itulah yang membayangi upacara hitam yang dilakukan oleh para pengikutnya" berkata Ki Sambi Pitu "apa yang terjadi sekarang, adalah semacam pemanasan. Pada saatnya, maka bayi-bayilah yang akan menjadi korban. Orang gila itu akan merasa sangat berbahagia mendengar jerit tangis bayi yang dikorbankannya, sebagaimana dikatakannya, seperti kidung yang didendangkan oleh peri-peri yang cantik, tetapi tidak dilangit. Peri-peri itu bangkit dari pusat bumi yang kelam yang membawakan lagu-lagu kematian." Ki Sambi Pitu berhenti sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi sayang, bahwa Kiai Banyu Bening tidak menantang orang-orang yang terlibat kematian bayinya dengan perang tanding."
"Aku bungkam mulutmu jika kau masih saja mengigau tentang perang tanding." geram Ki Lemah Teles.
Ki Sambi Pitu tertawa. Namun ia menjauhkan kudanya dari kuda Ki Lemah Teles yang menggeram.
Namun kedua orang itu terkejut ketika mendengar derap kaki kuda. Ketika mereka berpaling, mereka melihat empat ekor kuda yang berpacu seperti di kejar hantu. "Siapa mereka?" bertanya Ki Lemah Teles.
"Berhati-hatilah. Kiai Banyu Bening menganggap kita terlalu banyak tahu."
"Setan itu melepaskan kita dari padepokan, tetapi kemudian memerintahkan orang-orangnya memburu kita."
Keduanya justru memperlambat derap kaki kuda mereka, seakan-akan mereka justru sengaja menunggu keempat orang berkuda itu.
"Kita belum tahu siapa mereka dan untuk apa mereka memburu kita. Tetapi sebaiknya kita tidak berprasangka buruk lebih dahulu. Mungkin mereka bukan dari padepokan Kiai Banyu Bening." berkata Ki Sambi Pitu kemudian.
Dalam pada itu, keempat orang berkuda itu memacu kudanya semakin cepat. Ketika mereka berhasil menyusul Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles yang memang memperlambat derap lari kudanya, maka dua orang diantara mereka justru mendahului. Kemudian setelah keduanya berada di depan, maka mereka memberi isyarat, agar Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles itu berhenti.
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles yang sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan itupun menarik kendali kuda mereka sehingga sejenak kemudian, merekapun telah berhenti.
"Turunlah..." perintah salah seorang diantara kedua orang yang mendahului Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles. Ternyata orang itu adalah orang yang berwajah garang, bermata tajam dan berkumis tebal, yang berada dipintu gerbang padepokan Kiai Banyu Bening itu.
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles itupun kemudian meloncat turun dari kuda mereka. Dengan tenang keduanya telah mengikat kuda mereka pada sebatang pohon perdu. Demikian pula keempat orang yang memburu mereka. Keempat-empatnyapun telah meloncat turun serta mengikat kuda-kuda mereka pula.
"Ki Sanak..." berkata orang berkumis tebal itu. Suaranya mengguntur menggetarkan selaput telinga "Ternyata kalian terlalu banyak bertanya, sehingga kalianpun mengetahui banyak tentang padepokan kami."
"Tetapi bukankah Kiai Banyu Bening menjawab pertanyaan-pertanyaanku?” sahut Ki Sambil Pitu.
"Kiai Banyu Bening kadang-kadang memang kehilangan kendali. Jika seseorang memancing dengan pertanyaan-pertanyaan, maka diluar sadarnya, iapun selalu menjawabnya."
"Jadi?" bertanya Ki Lemah Teles.
"Pengertianmu yang banyak tentang padepokan kami akan sangat membahayakan kami. Karena itu, maka kalian tidak boleh menyebarkan apa yang telah kalian ketahui itu kepada orang lain." berkata orang berkumis tebal itu.
Ki Sambi Pitu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kami berjanji untuk tidak menyebar-luaskan pengertian kami tentang padepokan Kiai Banyu Bening."
"Sekedar janji sebagaimana kau katakan itu, tidak cukup Ki Sanak." berkata orang berkumis tebal itu pula.
"Jadi apa yang harus aku lakukan?"
"Kau harus diam untuk selama-lamanya" jawab orang itu.
"Maksudmu?" desak Ki Lemah Teles.
"Kalian harus dibunuh..."
Kedua orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian Ki Lemah Telespun berkata, "Jika kau akan membunuhku, maka kau akan aku bunuh lebih dahulu."
Wajah orang itu menjadi tegang. Tetapi kemudian iapun tertawa. Suaranya meledak-ledak seperti petir yang menyambar-nyambar dilangit.
"He" bentak Ki Lemah Teles, "Kenapa kau tiba-tiba menjadi gila?"
Orang itu tiba-tiba saja terdiam. Matanya menyala seakan-akan memancarkan api. "Kaulah yang benar-benar gila. Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan?"
"Tentu saja aku tahu. Kau adalah budak-budak kecil di padepokan orang yang berbangga dengan sebutan Kiai Banyu Bening. He, apakah kau tahu artinya Banyu Bening?"
"Cukup...!" orang itu berteriak "Sebaiknya kau sebut nama ayah dan ibumu. Sebentar lagi kau akan mati."
"Sudah aku katakan, kau yang akan mati. Apakah kau tuli?" Ki Lemah Telespun berteriak pula.
Namun Ki Sambi Pitu berkata dengan nada yang lebih rendah, "Apa sebenarnya yang terjadi dengan Kiai Banyu Bening? Apakah yang aku ketahui tentang padepokan itu cukup menjadi alasan baginya untuk membunuh?"
"Setiap orang yang tidak dikehendki oleh Kiai Banyu Bening akan mati." jawab orang itu...
"Jika saja burung itu mengenali kita bertiga?" desis Ki Pandi.
Tetapi Laksanapun menyahut. "Seandainya mereka mengenali kita, apakah burung-burung itu mempunyai cara untuk memberitahukan kepada Panembahan Lebdagati atau pengikutnya? Bagaimana burung elang itu dapat menyebut bahwa burung elang itu sudah melihat Ki Pandi, Manggada dan Laksana?"
Ki Pandi tertawa. Katanya, "Tentu burung elang itu tidak dapat menyebut namamu, Laksana. Tetapi burung itu tentu dapat memberi isyarat bahwa ia melihat orang-orang yang pernah dikenalnya sebelumnya."
Laksana mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi pemilik burung itu akan dapat salah menangkap artinya. Mungkin pemilik burung itu mengira bahwa elang-elangnya melihat Kiai Gumrah atau melihat Ki Prawara atau orang lain lagi."
Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Mungkin saja. Tetapi dengan demikian, maka Panembahan Lebdagati atau pengikutnya akan mengirimkan orang itu untuk melihat langsung sesuai dengan isyarat burung-burung elang itu. Nah, orang-orang itu akan dapat berbicara tentang penglihatannya. Apalagi tentang orang-orang yang mempunyai ciri khusus seperti aku ini."
Laksana mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Sementara kita tidak tahu, orang yang dikirim oleh Panembahan Lebdagati atau pengikutnya untuk mengamati kita."
Dengan demikian, maka ketiga orang itupun kemudian telah duduk dibawah sebatang pohon yang rindang. Dari jarak yang agak jauh mereka melihat kedua burung elang itu masih saja berputar-putar. Namun kemudian menghilang kearah Utara.
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita dapat memperkirakan bahwa sarang kedua ekor burung elang itu ada di-sisi Utara Gunung ini, meskipun mungkin dapat juga salah, karena kedua ekor burung itu dapat juga mengelabuhi orang. Meskipun mereka menghilang ke Utara, namun kemudian mereka akan terbang kearah yang lain."
Manggada dan Laksana yang memandang kedua ekor burung itu sampai hilang dikejauhan, mengangguk-angguk. Burung-burung elang yang terlatih baik itu seakan-akan memang mampu memperhitungkan sikap yang diambilnya.
Demikian kedua ekor burung elang itu hilang, maka Ki Pandi-pun telah mengajak Manggada dan Laksana melihat sebuah padukuhan yang pernah dikunjunginya, justru ketika sedang berlangsung upacara disaat bulan sedang purnama.
"Tetapi tentu tidak ada upacara disiang hari, Ki Pandi" berkata Manggada.
"Memang tidak!” berkata Ki Pandi "Di malam haripun tidak, karena upacara itu resminya hanya dilakukan setiap purnama. Beberapa hari yang lalu, di padukuhan itu baru saja dilakukan sebuah upacara sebagaimana di katakan Ki Sambi Pitu yang mendapat keterangan dari seorang anak muda."
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" bertanya Ki Pandi.
"Kita akan dapat berbincang dengan penghuni padukuhan itu. Mumpung masih agak pagi." jawab Ki Pandi.
Bertiga mereka menuju ke sebuah padukuhan yang pernah dikunjungi oleh Ki Pandi. Mereka tidak langsung menuju ke padukuhan. Tetapi mereka pergi kesebuah sungai diluar padukuhan itu. Dari kejauhan Ki Pandi melihat beberapa orang perempuan sedang mencuci pakaian. Karena itu, maka katanya, "Nanti saja. Jika yang lain telah pergi."
"Maksud Ki Pandi?" bertanya Manggada "Apakah kita harus mengintip orang mandi dan mencuci pakaian itu?"
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Pandi bertanya "Apakah upacara itu tidak akan pernah dilakukan di padukuhan ini selama masih ada yang menentangnya?"
"Ah..." Ki Pandi mengerutkan dahinya "Tentu tidak. Tetapi duduk sajalah disitu. Aku akan memperlihatkan diri. Bukankah disebelah itu jalan penyeberangan yang banyak dilalui orang? Aku akan lewat jalan itu. Nanti, aku beri kalian isyarat."
Manggada dan Laksana tidak tahu maksud orang tua bongkok itu. Tetapi mereka menurut saja. Keduanya pun kemudian duduk dibelakang gerumbul perdu yang tumbuh dibawah sebatang pohon nyamplung yang cukup besar.
"Tentu banyak ular disini" jawab Laksana. Manggada tertawa. Katanya "Ki Pandilah yang bertanggung jawab jika kita dipatuk ular."
Sementara itu, Ki Pandi telah turun ke jalan penyeberangan yang memang banyak dilalui orang yang lewat dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Apalagi setelah hutan Jatimalang ditembus oleh jalan perdagangan yang sengaja dibuat oleh Pajang, agar lingkungan dibelakang hutan Jatimalang itu tidak menjadi terpisah dari lingkungan lainnya.
Seperti yang diharapkan, seorang gadis yang sedang mencuci pakaian di antara beberapa perempuan yang lain telah melihatnya. Beberapa orang perempuan yang lain juga melihat orang bongkok yang lewat itu. Tetapi mereka tidak memperhatikannya. Orang bongkok itu hanyalah salah seorang saja diantara orang-orang lain yang lewat.
Berbeda dengan perempuan-perempuan yang lain, gadis yang pernah ditemui Ki Pandi itu justru memperhatikannya. Orang bongkok itu tiba-tiba saja terasa sebagai seorang kawan yang akrab. Berbeda dengan orang-orang di padukuhannya, orang bongkok itu rasa-rasanya dapat mengerti gejolak perasaannya menanggapi upacara-upacara yang diselenggarakan di padukuhannya. Orang-orang di padukuhannya, bahkan ayah ibunya, tidak lagi mau mengerti, betapa hatinya menjadi ngeri dan ketakutan melihat upacara yang dilakukan di bulan purnama itu.
Ketika perempuan-perempuan dan gadis-gadis yang lain selesai mandi dan mencuci pakaian, maka merekapun segera bersiap untuk kembali ke padukuhan. Tetapi gadis itu ternyata masih belum selesai. Bahkan iapun berkata kepada perempuan-perempuan yang lain, "Silahkan. Aku masih kurang sedikit. Nanti aku segera menyusul."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, sungai itu menjadi sepi. Hanya tinggal seorang gadis sajalah yang masih mencuci pakaiannya yang sebenarnya sudah bersih. Seperti yang diharapkan oleh gadis itu, maka orang bongkok itu telah datang mendekatinya. Wajahnya yang kusam itu nampak lunak karena senyumnya.
"Kawan-kawanmu sudah selesai?" berkata Ki Pandi.
"Aku belum, kek. Cucianku banyak sekali," jawab gadis itu.
Ki Pandi tertawa pendek. Katanya, "Aku tahu, kau sudah selesai mencuci. Karena itu, berpakaianlah lebih rapi."
"Kenapa?" wajah gadis itu tiba-tiba menjadi merah.
"Aku tidak datang sendiri. Aku datang bersama kedua orang cucuku yang ingin melihat-lihat daerah ini."
"O” gadis itu memang merapikan pakaiannya yang belum mapan.
"Jangan takut. Kedua cucuku dan aku sendiri ingin berbicara tentang kepercayaan yang berkembang di padukuhanmu. Tetapi jangan cemas. Kami tidak akan berbicara tentang korban-korban yang diserahkan."
Gadis itu mengerutkan dahinya. Namun, laki-laki bongkok itu rasa-rasanya mengerti perasaannya yang sebenarnya ingin menolak upacara yang sering diselenggarakan di padukuhannya. Karena itu, maka gadis itu mengangguk. Tetapi ia pun kemudian berkata, "Tetapi aku tidak dapat berlama-lama disini. Kawan-kawanku sudah pulang. Ibu akan bertanya kepada mereka, kenapa aku tinggal."
"Baiklah. Aku akan memanggil kedua orang cucuku."
Gadis itu menunduk dalam-dalam. Wajahnya terasa panas ketika Manggada dan Laksana berdiri beberapa langkah disebelahnya. Di padukuhannya juga ada beberapa orang anak muda. Ketika gadis itu masih remaja, maka iapun sering bermain-main dengan anak-anak laki-laki yang sebaya. Tetapi setelah ia menginjak dewasa, maka pergaulannya dengan anak-anak muda menjadi semakin terbatas.
Ketika kepercayaan hitam yang terdahulu berkembang, ia masih dapat bermain bersama di halaman jika bulan terang. Hanya saat buian purnama penuh, beberapa orang tua pergi ke upacara. Sedangkan sehari-hari, masa remajanya tidak begitu terpengaruh oleh kepercayaan yang sedang berkembang itu.
Namun ketika ia sudah mulai disebut seorang gadis, maka ia mulai mendapat batasan-batasan bergerak. Bukan saja karena ia dijauhkan dari anak-anak muda. Tetapi dalam keadaan yang memaksa, tiba-tiba saja seorang gadis dapat hilang dari lingkungannya.
Gadis itu tidak banyak mengetahui, apa yang telah terjadi. Namun baru kemudian ia menyadari, bahwa ilmu hitam dibawah pengaruh Panembahan Lebdagati, didalam upacara-upacara besarnya telah mengorbankan gadis-gadis. Gadis-gadis yang diambil dan dibeli dari seberang hutan Jatimalang. Tetapi jika gadis itu tidak didapatkannya, maka gadis dari lereng Gunung Lawu dibelakang hutan Jatimalang itu dapat saja tiba-tiba hilang.
Memang mengerikan, tetapi ia tidak pernah mengetahui apa yang terjadi. Sedang apa yang dialaminya sekarang, membuat jiwanya tersiksa. Bersama orang-orang sepadukuhan, gadis itu harus pergi ke upacara. Ia harus menyaksikan, bagaimana seekor anak binatang diletakkan diatas seonggok kayu kering dan kemudian dinyalakan. Anak binatang itu berteriak-teriak kesakitan.
Tetapi api itu sama sekali tidak mengenal belas kasihan. Bahkan orang-orang yang melakukan upacara itu juga tidak mengenal belas kasihan. Semua orang yang ada di lingkungan upacara itu seakan-akan telah kehilangan perasaannya.
Untuk beberapa saat lamanya Manggada, Laksana dan Ki Pandi bercakap-cakap dengan gadis itu. Tetapi sikap gadis itu menjadi jauh berbeda dengan sikapnya terhadap Ki Pandi. Wajahnya selalu menunduk dan kata-katanya hampir tidak dapat didengar. Tetapi gadis itu sempat berkata,
“Didalam lingkungan upacara, maka segala keterbatasan pergaulan itu dilupakan.”
"Maksudmu?" bertanya Ki Pandi.
Gadis itu tidak menjawab. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikan wajahnya. Gadis itu berpaling. Dipandanginya air sungai yang mengalir gemericik dibawah kakinya yang berpijak pada bebatuan. Beberapa lembar daun kering hanyut mengikuti aliran sungai. "Sudahlah, kek" berkata gadis itu kemudian "Aku sudah terlalu lama ditinggalkan kawan-kawanku."
Ki Pandi tidak menahannya. Namun ketika gadis itu beranjak dari tempatnya, Ki Pandi bertanya, "Siapa namamu, ngger?"
Gadis itu berpaling. Tetapi ia ragu. Apalagi ketika tatapan mata Laksana yang tajam seakan-akan menusuk sampai ke jantung. Namun gadis itu kemudian berkata, "Namaku Delima, kek."
Ki Pandi tersenyum. Katanya "Nama yang bagus, ngger."
"Ketika ibu mengandung aku, ibu memang mengidam buah delima. Kemudian selain membeli delima, ayah juga menanam pohon delima di halaman rumahku. Sekarang pohon itu sudah berbuah.”
"Manis sekali..." desis Laksana. Namun kemudian tergesa-gesa ia menyambung “Maksudku, buah delima yang benar-benar masak itu rasanya manis sekali."
Wajah gadis itu terasa panas sesaat. Namun kemudian iapun meninggalkan tepian itu. Beberapa langkah kemudian Ki Pandi menyusul ketika Laksana berbisik, "Dimana rumahnya, Ki Pandi."
"Ngger, apakah angger tidak berkeberatan jika aku datang menemui orang tuamu untuk berbicara tentang upacara-upacara yang mengerikan itu?"
"Ayah merupakan salah seorang pendukung kuatnya, kek. Juga paman-pamanku. Bahkan seorang diantara kakak ayahku berada di padepokan itu."
"Apakah ia sering pulang ke padukuhan?" bertanya Ki Pandi.
"Sering, kek. Tetapi waktunya tidak tentu." jawab gadis itu.
"Baiklah. Aku akan mengunjungi rumahmu. Tetapi dimana rumahmu itu?"
"Rumahku berseberangan dengan banjar padukuhan, kek. Tetapi jika kakek pergi kesana. jangan katakan, bahwa kita pernah berbicara tentang kepercayaan itu."
"Baiklah...." Ki Pandi mengangguk-angguk "Aku akan menjaga, agar kau tidak mengalami kesulitan karena pembicaraan ini”
Delima pun segera melangkah pergi. Manggada sambil menggamit Laksana berkata, "Nah, rumahnya didepan banjar. Kapan kau akan kesana?”
"Ah, kau. Bukankah wajar bertanya rumah seseorang yang baru dikenalnya?" jawab Laksana.
"Tentu. Apakah aku tadi mengatakan tidak wajar?"
"Kau selalu begitu" desis Laksana.
Manggada tertawa. Namun kemudian ia bertanya, "Laksana, yang manakah yang lebih cantik. Winih atau Delima?"
Laksanapun tetawa. Tetapi ia tidak menjawab. Demikianlah, Ki Pandi telah mengajak Manggada dan Laksana meninggalkan tempat itu. Dari kejauhan mereka melihat bangunan khusus yang dipergunakan untuk upacara menyerahkan torban. Tetapi mereka tidak mendekat.
Malam itu, dirumah Ki Ajar Anggara, beberapa orang sedang berbincang. Pada umumnya, mereka ingin berhubungan dengan isi padepokan itu. "Jika kita berhasil berhubungan dengan mereka, maka kita akan mengetahui, siapakah mereka itu. Dengan demikian, maka kita akan dapat menentukan langkah lebih jauh."
"Tetapi kita jangan bersikap bermusuhan" berkata Ki Ajar "jika kita bersikap bermusuhan, maka segala-galanya tentu sudah tetutup."
"Ya" desis Ki Lemah Teles. "Kita harus bersikap bersahabat."
"Kita tidak boleh dengan serta-merta menantang perang tanding dengan pemimpin padepokan itu." berkata Ki Sambi Pitu.
Ki Jagaprana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun tertawa. Ki Ajar memang terlambat pula tertawa. Namun Ki Lemah Teles berkata, "Apa pedulimu? Semua orang akan aku tantang sampai pada satu saat ada orang yang mampu membunuhku."
"Ada banyak orang yang dapat membunuhmu. Tetapi orang-orang itu menaruh belas kasihan kepadamu, justru karena kau kehilangan akal seperti itu."
"He?" wajah Ki Lemah Teles berkerut. Dengan nada dalam ia justru bertanya, "Apakah aku memang pantas dikasihani?"
"Tidak. Memang tidak!" sahut Ki Ajar Pangukan.
Ki Lemah Teles bersungut-sungut. Tetapi kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Dalam pada itu, orang-orang tua itupun kemudian telah memutuskan untuk mulai berhubungan dengan orang-orang padepokan itu dengan cara apapun. Dengan demikian, maka mereka akan dapat mengetahui, apakah isi dari padepokan itu.
Yang paling baik dipergunakan sebagai alasan adalah, bahwa mereka ingin mendapatkan hasil bumi atau hasil kerajinan tangan di daerah ini untuk dibawa ke Pajang. Mereka harus menganggap bahwa di daerah yang semula tertutup ini tentu terdapat banyak sekali jenis pekerjaan tangan.
Sebenarnyalah, Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles kemudian mempersiapkan kuda-kuda mereka. Meskipun letak padepokan itu tidak jauh sekali dari tempat tinggal Ki Ajar yang tersembunyi, tetapi berkuda mereka akan nampak lebih mapan.
Dikeesokan harinya dua orang berkuda telah meninggalkan halaman rumah Ki Ajar Pangukan. Mereka harus menyusup melalui jalan yang khusus. Sedikit melingkar-lingkar untuk dapat keluar dari tempat yang tersembunyi itu. Baru kemudian mereka turun ke jalan dan melarikan kuda mereka memanjat kaki Gunung Lawu.
Keduanya telah sepakat untuk mengaku sebagai pedagang yang mencari barang dagangan di daerah yang semula dipisahkan oleh hutan Jatimalang itu. Keduanya dengan tekad bulat menuju ke sebuah padepokan yang tidak mereka kenal sebelumnya, padepokan yang seakan-akan berdin dibelakang kabut sehingga yang nampak hanyalah bayangannya saja.
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles memang sudah bertekad untuk melihat apa yang ada didalam padepokan itu. Mereka dengan tabah akan menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
“Mungkin kita akan ditangkap dan dibantai didalam padepokan yang berisi orang-orang dari aliran hitam itu." berkata Ki Lemah Teles.
“Atau kita akan diserahkan sebagai korban kepada iblis sebagaimana anak binatang yang diletakkan dialas seonggok kayu kering dan kemudian mereka nyalakan, sehingga kita akan terbakar hidup-hidup." sahut Ki Sambi Pitu.
Ki Lemah Teles tertawa. Katanya, "Tetapi sebelumnya kita tentu akan dipelihara sebaik-baiknya sampai saatnya purnama naik. Bukankah korban itu hanya diberikan setiap bulan purnama penuh."
Ki Sambi Pitupun tertawa. Katanya, "Bukankah itu lebih baik daripada kita saling membunuh diantara kita sendiri? Jika kita mati dipadepokan orang berilmu hitam itu, rasa-rasanya kematian kita ada juga gunanya, meskipun hanya sedikit.”
Ki Lemah Teles segera memotongnya, "Cukup. Cukup. Kau hanya akan mengatakan bahwa aku telah melakukan kesalahan dan bahkan pantas dikasihani. Tetapi jangan mengira bahwa kelak aku mengurungkan tantanganku untuk berperang tanding. Bukan hanya kau, tetapi orang-orang yang telah membuat hidupku kesepian.”
Tetapi Ki Sambi Pitu tertawa pula. Katanya, "Apakah kita masih akan dapat keluar dari padepokan itu?"
Ki Lemah Teles termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian "Aku akan menantang pemimpin padepokan itu untuk berperang tanding. Orang itu harus tahu, siapakah Ki Lemah Teles.”
"Bukankah kita tidak akan menunjukkan sikap permusuhan?”
"Kita memang tidak. Tetapi jika mereka memaksakan permusuhan itu, apa boleh buat."
Ki Sambi Pitu tidak menjawab. Sementara itu, keduanya menjadi semakin dekat dengan padepokan yang belum mereka kenal itu.
Sejak hutan Jatimalang dibuka, maka orang-orang yang belum dikenal, memang sering melintasi jalan-jalan di kaki Gunung Lawu itu. Hubungan antara dua lingkungan sebelah menyebelah hutan Jatimalang itu berjalan semakin lama semakin ramai. Namun perkembangan ilmu hitam itu membuat beberapa daerah yang terpengaruh, menjadi agak tertutup kembali.
Tetapi ketika dua orang berkuda lewat di jalan-jalan pedukuhan, orang-orang yang melihat mereka tidak terlalu banyak memperhatikan. Mereka memang sudah mengira bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang ingin melihat-lihat lingkungan dibelakang hutan Jatimalang sebagaimana sering terjadi sebelumnya.
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Telespun memanjat terus menuju ke padepokan dari sebuah perguruan yang melandasi ajarannya dengan ilmu hitam. Beberapa saat kemudian, maka Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles itupun menjadi semakin dekat dengan padepokan yang mereka tuju. Mereka telah berada di jalan yang langsung menuju ke pintu gerbang padepokan yang berdinding kayu-kayu utuh bulat yang dirangkai berjajar rapat.
"Sebuah padepokan yang terhitung besar." desis Ki Sambi Pitu.
"Bukan besar. Yang jelas kita lihat, padepokan ini cukup luas. Agaknya didalamnya terdapat bangunan-bangunan besar dan kecil bagi para penghuninya" sahut Ki Lemah Teles.
Ki Sambi Pitu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian "Marilah. Kita sudah bertekad untuk masuk kedalamnya."
Demikianlah, kedua orang itupun langsung melarikan kudanya ke pintu regol padepokan yang tertutup. Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles menghentikan kuda mereka didepan regol. Mereka melihat pada pintu regol, sebuah lubang yang kemudian telah dibuka dari dalam.
Dari lubang itu, Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles melihat wajah seseorang yang nampaknya memang garang sekali. Seorang yang bermata tajam dan berkumis tebal. Ki Sambi Pitu yang tepat berada di muka lubang itupun mengangguk sambil tersenyum. Katanya, "Selamat pagi Ki Sanak."
Orang yang berada dibelakang pintu itu bertanya dengan nada berat, “Siapakah kalian dan untuk apa kalian kemari?"
"Kami datang dari seberang hutan Jatimalang, Ki Sanak. Kami ingin berkenalan dengan penghuni padepokan ini." jawab Ki Sambi Pitu.
Wajah orang itu nampak berkerut. Dipandanginya Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles berganti-ganti. Namun kemudian katanya, "Pergilah. Kami tidak memerlukan kalian."
"Mungkin kalian memang tidak memerlukan kami, Ki sanak. Mungkin kamilah yang memerlukan kalian." jawab Ki Sambi Pitu.
"Itu urusan kalian." sahut orang itu "Tetapi pergilah."
"Maaf Ki Sanak. Kami ingin berbicara serba sedikit. Mungkin kita dapat membuat hubungan yang saling menguntungkan." berkata Ki Sambi Pitu.
"Tidak" jawab orang itu. "Kami tidak membuat hubungan dengan siapapun yang belum kami kenal."
"Kita dapat memperkenalkan diri." jawab Ki Sambi Pitu.
Tetapi orang itu justru membentak, "Cukup. Pergilah, atau kami akan mengusir kalian."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles saling berpandangan sejenak. Namun Ki Lemah Teleslah yang kemudian berkata, "Bagaimana kalau kita mencoba untuk berbicara dan menjajagi segala kemungkinan?"
"Sudahlah. Pergilah. Aku menjadi muak melihat wajah kalian berdua."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles menjadi kehilangan harapan. Meskipun demikian, keduanya tidak segera pergi sehingga orang dibelakang pintu gerbang itu membantak, "Cepat, pergi, apalagi yang kalian tunggu?"
Ketika keduanya benar-benar akan meninggalkan tempat itu, maka tiba-tiba saja terdengar suara didalam. "Ada apa?"
"Dua orang yang ingin masuk ke padepokan ini, Kiai."
"Untuk apa?" bertanaya suara itu.
“Tidak jelas. Mereka hanya menyebutkan, ingin membuat hubungan dengan kita disini."
"Hubungan apa?" bertanya suara itu.
"Juga tidak jelas." jawab orang yang berkumis tebal itu.
Namun Ki Sambi Pitu mempergunakan kesempatan itu. Katanya hampir berteriak, "Kami ingin membuat hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak."
Sejenak suasana menjadi hening. Namun tiba-tiba terdengar suara "Buka pintu gerbangnya. Biarlah dua orang itu masuk."
Orang yang wajahnya nampak dari lubang pintu gerbang yang masih terbuka itu nampak ragu-ragu. Tetapi suara didalam itu berkata sekali lagi, "Buka pintu gerbang. Aku ingin bertemu dengan mereka."
Tidak terdengar jawaban. Namun sejenak kemudian, terdengar selarak pintu yang berat itu terangkat. Kemudian, perlahan-lahan pintu itupun terbuka.
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles terkejut. Ternyata dibelakang pintu itu berdiri beberapa orang yang bersenjata telanjang. Kemudian seorang lagi yang berdiri terpisah. Pakaiannya nampaknya agak berbeda dengan yang iain. Warna pakaiannya lebih cerah dan penampilannyapun nampak lebih rapi dan bersih. Meskipun demikian laki-laki itu nampak tidak muda lagi meskipun belum setua Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles.
"Marilah Ki Sanak." berkata orang itu sambil tersenyum "Aku merasa mendapat kehormatan, karena Ki Sanak bersedia singgah di padepokan yang tidak berarti ini."
"Terima kasih atas perkenan Ki Sanak, menerima kami berdua." jawab Ki Sambi Pitu.
Orang yang berpakaian rapi itupun kemudian telah mempersilahkan Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles untuk naik ke pendapa. Dengan ramah orang berpakaian rapi itupun kemudian telah mengucapkan selamat datang kepada kedua orang tamunya.
"Kami jarang sekali mendapat kunjungan orang lain." berkata orang berpakaian rapi itu "Sehingga karena itu, maka orang-orangku menjadi sulit untuk bergaul. Tetapi kunjungan kalian berdua akan membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi padepokan kami.”
"Kami mengucapkan terima kasih atas penerimaan yang sangat baik ini." berkata Ki Lemah teles kemudian.
"Tetapi, jika aku boleh mengetahui, apakah keperluan Ki Sanak berdua ini sebenarnya?" bertanya orang itu.
"Sudah aku katakan, kami sebenarnya sedang mencari hubungan dagang dengan penghuni dibelakang hutan Jatimalang ini.”
"Di belakang? Kemana sebenarnya hutan itu menghadap?" bertanya orang berpakaian rapi itu.
"Maksudku, mereka yang tinggal di kaki Gunung Lawu yang dibatasi oleh hutan Jatimalang. Maaf, orang-orang diseberang hutan itu menyebut daerah ini, dibelakang hutan Jatimalang."
Orang itu tertawa. Katanya "Sebenarnya bagi kami memang tidak ada bedanya. Sebutan apapun dapat kami terima asal sebutan itu menunjuk dengan jelas." orang itu berhenti sejenak, lalu "Dagang apakah yang Ki Sanak jalankan sekarang?"
"Apa saja." jawab Ki Sambi Pitu "Tetapi yang terutama adalah hasil bumi dan kerajinan tangan. Aku dengar didaerah ini terdapat kelebihan bahan, pangan padi, jagung dan ketan. Tetapi kami juga ingin membeli gerabah dalam jumlah yang besar."
Orang itu tertawa pendek. Katanya "Jika demikian, kenapa kalian pergi ke sebuah padepokan?"
"Biasanya padepokan mempunyai tanah yang luas digarap oleh para cantrik, sehingga kadang-kadang hasilnya cukup melimpah dan berlebihan. Demikian pula para cantrik sering membuat benda-benda lain yang menjadi kebutuhan sehari-hari apapun ujudnya. Mungkin barang-barang kerajinan dari bambu atau dari kayu atau gerabah atau apapun."
Orang yang berpakaian rapi itu ternyata seorang yang berhati terbuka. Ia banyak tertawa dan mengatakan apa yang dipikirkan. "Ki Sanak berdua." berkata orang itu kemudian "Aku tidak yakin kalian benar-benar seorang pedagang. Mungkin kalian berdua sedang bertualang, tetapi mungkin pula kalian memang ingin melihat apakah yang ada dibelakang dinding padepokan ini. Tetapi itu bukan soal bagi kami, selama kalian tidak mengganggu semua kegiatan yang kami lakukan."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Lemah Teles itupun berkata, "Ki Sanak. Kami benar-benar pedagang yang sedang mencari lubang-lubang kemungkinan untuk membuka jalur perdagangan. Kami sedang menjajagi, apa yang dapat kami bawa dari daerah ini ke seberang hutan Jatimalang dan sebaliknya apa yang dapat kami bawa dari seberang hutan itu kedaerah ini."
Orang itu masih saja tertawa. Namun tiba-tiba ia bertanya, "Siapakah nama kalian berdua?"
"Namaku Sambi Pitu dan saudaraku ini dipanggil Ki Lemah Teles."
"Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles "Orang itu mengulang "Nama yang baik."
"Tetapi kami juga belum mengetahui nama Ki Sanak" desis Ki Sambi Pitu.
"Namaku Gandawira. Tetapi orang lebih senang memanggilku Kiai Banyu Bening."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba Ki Lemah Teles bertanya, "Jadi, menurut Kiai, bagaimana sebaiknya kami memanggil? Kiai Gandawira atau Kiai Banyu Bening?"
Orang itu tertawa pula. Katanya, "Terserah Ki Sanak. Tetapi murid-muirdku di padepokan ini memanggilku Kiai Banyu Bening. Bahkan orang-orang disekitar padepokan ini juga memanggilku Kiai Banyu Bening."
“Maksud Kiai, orang-orang disekitar padepokan ini juga berguru kepada Kiai?"
"Ya. Tetapi itu terjadi begitu saja. Maksudku, bukan akulah yang memaksa mereka untuk mengikut aku, tetapi mereka sendiri berniat demikian."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles itupun mengangguk-angguk pula. Sementara Kiai Banyu Bening itupun berkata, "Nah Ki Sanak. Kalian telah melihat isi padepokan kami. Tetapi jika kalian benar-benar berdagang, tidak ada yang dapat kami perdagangan disini.”
"Maksudku, jika kami tidak dapat membeli hasil bumi atau hasil kerajinan, kami dapat menawarkan barang-barang yang dibutuhkan oleh padepokan ini? Mislanya alat-alat pertanian atau barang-barang yang terbuat dari besi dan baja lainnya. Senjata misalnya."
Kiai Banyu Bening mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menggeleng. Katanya, "Sampai sekarang, kami dapat mencukupi kebutuhan kami sendiri. Tetapi aku tidak tahu kelak, jika padepokan kami ini berkembang. Mungkin kami memerlukan beberapa jenis senjata. Meskipun demikian, kami tidak akan membeli dari kalian. Kami dapat mengirim orang langsung ke seberang hutan Jatimalang untuk menghubungi beberapa orang pande besi yang cakap. Dengan demikian, kami akan dapat membeli senjata dengan harga yang lebih murah. Jika kalian benar-benar pedagang, kalian tentu akan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya."
"Tetapi Kiai Banyu Bening, sebaiknya kalian tidak membeli senjata kepada pande besi. Kiai Banyu Bening harus berhubungan dengan seorang Empu yang mampu membuat pusaka yang pantas bagi Kiai Banyu Bening dan murid-murid Kiai."
Kiai Banyu Bening tertawa berkepanjangan. Katanya, "Jangan ajari aku Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles. Aku memimpin padepokan bukannya baru sejak kemarin pagi. Tetapi sudah berpuluh tahun. Karena itu, aku tahu apa yang sebaiknya aku lakukan."
Ki Sambi Pitu mengangguk-angguk. Sementara Ki Lemah Teles berkata, "Maafkan Kiai. Kami hanya bermaksud agar dagangan kami dapat laku."
"Nah, aku sudah memberi kesempatan kepada Ki Sanak berdua untuk memasuki padepokan kami. Nampaknya tidak ada lagi yang akan kita bicarakan kemudian. Kami akan mempersiiahkan Ki Sanak untuk meninggalkan padepokan ini."
"Baiklah Kiai." jawab Ki Sambi Pitu "Kami mohon diri."
"Kesempatan seperti ini jarang sekali kami berikan kepada orang lain. Karena itu, kalian berdua tentu merasa beruntung dapat memasuki padepokan kami."
"Ya, ya" jawab Ki Lemah Teles "Kami memang merasa sangat beruntung"
"Nah, sekarang kami persilahkan kalian meninggalkan padepokan kami."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles itupun kemudian telah turun dari pendapa. Namun ketika mereka berada di halaman, mereka terhenti sejenak. Mereka tertarik pada sebuah bangunan yang menarik. Seperti yang pernah mereka lihat di padukuhan, sebuah bangunan batu yang ditata dengan baik. Lebih baik dan lebih besar dari bangunan serupa yang terdapat di padukuhan-padukuhan itu. Dibagian atasnya datar, sedangkan di ampat sisinya terdapat tangga untuk naik. Disebelah bangunan itu terdapat bangunan lain yang lebih tinggi. Namun yang menarik, diatas bangunan batu yang lebih tinggi itu terdapat batu nisan kecil.
Kiai Banyu Bening yang mengetahui bahwa kedua tamunya tertarik kepada kedua bangunan yang terbuat dari batu itu bertanya, "Apakah kalian belum pernah melihat bangunan kecil seperti itu?"
"Belum Kiai." jawab Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles hampir berbareng.
Tetapi Kiai Banyu Bening itu menyahut, "Kalian tentu sudah pernah melihat di sebuah padukuhan. Bangunan seperti itu, tetapi lebih kecil, terdapat di beberapa padukuhan. Biasanya ditempatkan diluar dinding padukuhan, dipagari cukup rapat, sehingga jika diselenggarakan upacara didalamnya, tidak akan terganggu oleh lingkungan diluarnya."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Ki Lemah Teles bertanya, "Lalu apa yang dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu dalam upacara tertutup itu?"
Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian sebagaimana sejak semula, orang itu tertawa lagi. Katanya, "Kau tidak akan mengetahui makna dari upacara yang kami lakukan karena kau tidak berpegang pada ilmu yang kami yakini."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles masih mengangguk-angguk. Tetapi Ki Lemah Teles itu bertanya lagi. "Lalu, apa artinya batu nisan kecil diatas bangunan yang agak tinggi itu?"
Wajah orang itu tiba-tiba menjadi suram. Katanya dengan nada rendah. "Itu adalah bangunan khusus yang sangat berarti bagiku pribadi. Yang dikuburkan dibawah bangunan itu adalah anakku. Anakku mati dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Pada umur satu tahun, anakku mati terbakar."
"O" Ki Sambi Pitu berdesis "Aku ikut berduka cita atas peristiwa itu. Tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi?"
"Serangan itu datang demikian tiba-tiba. Ketika aku sedang bertempur, musuh-musuhku yang licik itu telah membakar rumahku. Rumahku terbakar seisinya termasuk anakku,"
"Bagaimana dengan ibunya?" bertanya Ki Lemah Teles.
Kesuraman diwajah Kiai Banyu Bening itu tiba-tiba larut. Yang kemudian nampak diwajahnya adalah senyumnya. Katanya, "Isteriku adalah perempuan gila. Yang datang membakar rumahku itu adalah laki-laki yang membuatnya gila. Ia lari dengan laki-laki itu dengan meninggalkan bayinya yang belum genap setahun. Bahkan kemudian dengan tidak langsung, ia telah membunuh bayi itu dengan tangan laki-laki yang buas itu. Bayiku mati dalam nyala api. Aku masih sempat mendengar bayi itu menangis meraung-raung. Namun kemudian aku sendiri menjadi pingsan. Lukaku arang kranjang. Bahkan laki-laki itu dan kawan-kawannya menyangka bahwa aku telah mati."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles mengangguk-angguk kecil. Sementara Kiai Banyu Bening itu berkata selanjutnya, "Waktu itu suara tangis bayiku itu bagaikan menarik nyawaku lewat ubun-ubunnya. Mengerikan sekali.” orang itu berhenti sejenak, namun kemudian katanya sambil tertawa berkepanjangan, semakin lama semakin keras "Tetapi sekarang suara tangis bayi yang terbakar itu bagiku bagaikan lagu yang sangat merdu yang terdengar bergema dilangit yang didendangkan oleh peri-peri yang sangat cantik sambil melambai-lambaikan tangannya turun kebumi untuk mengusap seluruh tubuhku yang dihangatkan oleh api yang berbau mayat itu.”
Wajah Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles menjadi tegang. Kengerian yang pernah dibayangkan sebelumnya itu rasa-rasanya semakin nampak menerawang di kepala mereka.
Namun Kiai Banyu Bening itu masih saja tertawa berkepanjangan. Bahkan kemudian katanya, "Laki-laki yang telah membawa isteriku itu dan bahkan isteriku itu sendiri harus mati didalam nyala api. Mereka telah membunuh anakku. Anakku bagiku adalah segala-galanya."
Suara tertawa laki-laki itu terdiam. Ketika Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles memandang wajahnya, mereka terkejut. Di wajah itu tidak lagi membayang tawa dan senyum. Tetapi yang nampak adalah nyala api neraka disorot matanya.
Tiba-tiba saja orang itu menggeram. "Pergilah. Kau sudah terlalu banyak mengetahui tentang isi padepokan ini, yang seharusnya tidak boleh diketahui oleh orang lain. Jangan kembali lagi. Kau telah melanggar paugeran padepokan kami."
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles tidak menjawab. Keduanya telah melangkah ke kuda mereka. Kemudian keduanya telah menuntun kuda mereka ke pintu gerbang Pintu gerbang itupun terbuka. Orang yang berwajah garang, bermata tajam dan berkumis tebal itu berdiri dengan tegang di sebelah pintu. Beberapa orang dengan senjata telanjang tegak mematung memandangi Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles yang lewat sambil menuntun kudanya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah berpacu meninggalkan padepokan yang menyimpan seribu macam pertanyaan itu. Sambil melarikan kuda mereka, untuk keduanya menjauhi padepokan itu, Ki Sambi Pitu itupun berkata, "Ternyata kita masih beruntung dapat keluar dari padepokan itu."
"Yang kita cemaskan itu ternyata tinggal menunggu waktu saja." berkata Ki Lemah Teles.
“Mengerikan sekali..." sahut Ki Sambi Pitu. "Kita memang harus menghentikannya" desis Ki Sambi Pitu kemudian.
"Nampaknya Kiai Banyu Bening itu menderita semacam penyakit yang sangat berbahaya." berkata Ki Lemah Teles kemudian.
"Penyakit apa?" bertanya Ki Sambi Pitu.
"Hatinya telah dicengkam oleh dendam yang membara. Kematian anaknya tidak pernah diikhlaskannya, sehingga hidupnya menjadi sangat gersang. Ia ingin menuntut kematian anaknya dengan kematian dan kematian."
"Itulah yang membayangi upacara hitam yang dilakukan oleh para pengikutnya" berkata Ki Sambi Pitu "apa yang terjadi sekarang, adalah semacam pemanasan. Pada saatnya, maka bayi-bayilah yang akan menjadi korban. Orang gila itu akan merasa sangat berbahagia mendengar jerit tangis bayi yang dikorbankannya, sebagaimana dikatakannya, seperti kidung yang didendangkan oleh peri-peri yang cantik, tetapi tidak dilangit. Peri-peri itu bangkit dari pusat bumi yang kelam yang membawakan lagu-lagu kematian." Ki Sambi Pitu berhenti sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi sayang, bahwa Kiai Banyu Bening tidak menantang orang-orang yang terlibat kematian bayinya dengan perang tanding."
"Aku bungkam mulutmu jika kau masih saja mengigau tentang perang tanding." geram Ki Lemah Teles.
Ki Sambi Pitu tertawa. Namun ia menjauhkan kudanya dari kuda Ki Lemah Teles yang menggeram.
Namun kedua orang itu terkejut ketika mendengar derap kaki kuda. Ketika mereka berpaling, mereka melihat empat ekor kuda yang berpacu seperti di kejar hantu. "Siapa mereka?" bertanya Ki Lemah Teles.
"Berhati-hatilah. Kiai Banyu Bening menganggap kita terlalu banyak tahu."
"Setan itu melepaskan kita dari padepokan, tetapi kemudian memerintahkan orang-orangnya memburu kita."
Keduanya justru memperlambat derap kaki kuda mereka, seakan-akan mereka justru sengaja menunggu keempat orang berkuda itu.
"Kita belum tahu siapa mereka dan untuk apa mereka memburu kita. Tetapi sebaiknya kita tidak berprasangka buruk lebih dahulu. Mungkin mereka bukan dari padepokan Kiai Banyu Bening." berkata Ki Sambi Pitu kemudian.
Dalam pada itu, keempat orang berkuda itu memacu kudanya semakin cepat. Ketika mereka berhasil menyusul Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles yang memang memperlambat derap lari kudanya, maka dua orang diantara mereka justru mendahului. Kemudian setelah keduanya berada di depan, maka mereka memberi isyarat, agar Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles itu berhenti.
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles yang sudah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan itupun menarik kendali kuda mereka sehingga sejenak kemudian, merekapun telah berhenti.
"Turunlah..." perintah salah seorang diantara kedua orang yang mendahului Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles. Ternyata orang itu adalah orang yang berwajah garang, bermata tajam dan berkumis tebal, yang berada dipintu gerbang padepokan Kiai Banyu Bening itu.
Ki Sambi Pitu dan Ki Lemah Teles itupun kemudian meloncat turun dari kuda mereka. Dengan tenang keduanya telah mengikat kuda mereka pada sebatang pohon perdu. Demikian pula keempat orang yang memburu mereka. Keempat-empatnyapun telah meloncat turun serta mengikat kuda-kuda mereka pula.
"Ki Sanak..." berkata orang berkumis tebal itu. Suaranya mengguntur menggetarkan selaput telinga "Ternyata kalian terlalu banyak bertanya, sehingga kalianpun mengetahui banyak tentang padepokan kami."
"Tetapi bukankah Kiai Banyu Bening menjawab pertanyaan-pertanyaanku?” sahut Ki Sambil Pitu.
"Kiai Banyu Bening kadang-kadang memang kehilangan kendali. Jika seseorang memancing dengan pertanyaan-pertanyaan, maka diluar sadarnya, iapun selalu menjawabnya."
"Jadi?" bertanya Ki Lemah Teles.
"Pengertianmu yang banyak tentang padepokan kami akan sangat membahayakan kami. Karena itu, maka kalian tidak boleh menyebarkan apa yang telah kalian ketahui itu kepada orang lain." berkata orang berkumis tebal itu.
Ki Sambi Pitu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kami berjanji untuk tidak menyebar-luaskan pengertian kami tentang padepokan Kiai Banyu Bening."
"Sekedar janji sebagaimana kau katakan itu, tidak cukup Ki Sanak." berkata orang berkumis tebal itu pula.
"Jadi apa yang harus aku lakukan?"
"Kau harus diam untuk selama-lamanya" jawab orang itu.
"Maksudmu?" desak Ki Lemah Teles.
"Kalian harus dibunuh..."
Kedua orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian Ki Lemah Telespun berkata, "Jika kau akan membunuhku, maka kau akan aku bunuh lebih dahulu."
Wajah orang itu menjadi tegang. Tetapi kemudian iapun tertawa. Suaranya meledak-ledak seperti petir yang menyambar-nyambar dilangit.
"He" bentak Ki Lemah Teles, "Kenapa kau tiba-tiba menjadi gila?"
Orang itu tiba-tiba saja terdiam. Matanya menyala seakan-akan memancarkan api. "Kaulah yang benar-benar gila. Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan?"
"Tentu saja aku tahu. Kau adalah budak-budak kecil di padepokan orang yang berbangga dengan sebutan Kiai Banyu Bening. He, apakah kau tahu artinya Banyu Bening?"
"Cukup...!" orang itu berteriak "Sebaiknya kau sebut nama ayah dan ibumu. Sebentar lagi kau akan mati."
"Sudah aku katakan, kau yang akan mati. Apakah kau tuli?" Ki Lemah Telespun berteriak pula.
Namun Ki Sambi Pitu berkata dengan nada yang lebih rendah, "Apa sebenarnya yang terjadi dengan Kiai Banyu Bening? Apakah yang aku ketahui tentang padepokan itu cukup menjadi alasan baginya untuk membunuh?"
"Setiap orang yang tidak dikehendki oleh Kiai Banyu Bening akan mati." jawab orang itu...
Selanjutnya,
MATAHARI SENJA BAGIAN 06
MATAHARI SENJA BAGIAN 06