Matahari Senja
Bagian 10
KI PANDI menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kebimbangan di mata Ki Warana. “Kau harus mengambil sikap Ki Warana. Kau tidak boleh mengorbankan dirimu untuk sesuatu yang tidak kau yakini kebenarannya. Dengan demikian maka pengorbananmu akan sia-sia.”
“Aku menjadi bingung,“ desis Ki Warana.
“Jika kau dengar pendapatku. Ki Warana. Kau jangan hilang tanpa arti. Jika kau harus terlibat dalam pertempuran sekedar untuk menunjukkan kesetia-kawanan meskipun tidak didukung oleh keyakinan apapun, maka kau sebaiknya menentukan takaran, sampai dibatas manakah kau pantas menunjukkan kesetia-kawananmu itu.”
“Maksud Ki Pandi?”
“Kau tidak perlu mati dalam benturan kekerasan itu. Bukankah dengan demikian kau akan mati tidak untuk apa-apa?”
Ki Warana mengangguk-angguk. Sementara Ki Pandi berkata selanjutnya, ”Jika kau hidup, maka kau masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu yang lebih berarti. Berarti bagi dirimu sendiri dan berarti bagi orang lain.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, ”Aku mengerti. Dan aku akan berusaha untuk melakukannya. Jika aku tidak melihat kemungkinan apapun kalau Panembahan Lebdagati benar-benar datang, maka aku akan mempergunakan kesempatan terakhir untuk berusaha tetap hidup.”
“Kau dapat menularkan sikap ini kepada beberapa orang lain. Jika kau berhasil, maka yang tersisa dari padepokan Ki Banyu Bening, masih akan memberikan arti bagi kehidupan di lingkungan ini.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Sementara Ki Pandi berkata selanjutnya “Kami akan mengamati perkembangan di padepokanmu.“
“Terima kasih” desis Ki Warana yang kemudian minta diri “aku harus segera kembali ke padepokan.”
“Silahkan Ki Warana. Jika Ki Warana menganggap perlu, Ki Warana dapat berpesan kepada Delima.”
“Tetapi kadang-kadang aku merasa cemas melihat Delima berada ditepian. Mungkin orang-orang padepokan sendiri yang berkeliaran seperti yang pernah terjadi. Tetapi mungkin orang-orang Panembahan Lebdagati, justru akhir-akhir ini tepian menjadi sepi.”
“Kami akan mengawasinya. Setidak-tidaknya salah seorang diantara kami bertiga atau kawan-kawan kami yang lain.”
Ki Warana mengangguk kecil. Tetapi ia masih bertanya, ”Berapa orang kawan kalian?”
Ki Pandi tersenyum. Katanya “Tidak tentu. Kali ini ada beberapa orang tua bersamaku. Orang-orang tua yang ingin merasa dirinya masih berarti. Termasuk aku sendiri.”
Ki Warana menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun minta diri, “Terima kasih. Aku akan kembali ke barak.”
Sepeninggal Ki Warana, ketiga orang itu memang tidak segera meninggalkan tepian. Mereka duduk-duduk diatas batu sambil berbincang. Tetapi beberapa kali Laksana membelokkan pembicaraan mereka yang berkisar sekitar kemungkinan kedatangan Panembahan Lebdagati. Kadang-kadang seperti orang yang tidak menyadari apa yang dikatakannya. Laksana berbicara tentang gadis yang bernama Delima itu.
“Kenapa Delima harus datang ke tepian? Seharusnya kita justru memperingatkannya, agar ia tidak lagi pergi ketepian ini. Seperti yang dikatakan oleh Ki Warana, kemungkinan buruk itu dapat terjadi pada Delima sebagaimana yang pernah terjadi. Seandainya kita mengawasi tepian ini, namun bahaya itu dapat menyergap Delima sepanjang jalan menuju ke tepian ini.”
“Jadi menurut pendapatmu?” bertanya Manggada.
“Aku tidak berkeberatan datang kerumahnya setiap hari untuk menanyakan, apakah ada pesan dari Ki Warana atau tidak.”
“Apakah kau ingin Ki Warana atau keluarga Delima digantung di padepokan?“ bertanya Manggada, ”Orang-orang padepokan yang saling mencurigai tentu akan saling mengawasi. Dengan perintah atau tidak.”
“Kesetia-kawanan mereka cukup tinggi, sebagaimana sikap Ki Warana.”
“Untuk menghadapi bahaya dari luar. Tetapi kedalam mereka akan berebut kedudukan. Seperti juga terjadi dimana-mana, kadang-kadang seseorang yang saling menolong dalam keterkaitan dengan orang lain, akan sampai hati saling memfitnah justru diantara keluarga sendiri karena mereka berebut kedudukan.”
Laksana menarik nafas panjang. Namun agaknya ia dapat mengerti alasan itu. Ki Pandi hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan pembicaraan kedua orang anak muda itu. Namun akhirnya, Ki Pandi itu berdesis,
“Marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Kita dapat berbicara dengan saudara-saudara kita. Bahwa Panembahan Lebdagati siap untuk mengambil alih padepokan Ki Banyu Bening akan merupakan berita yang menarik bagi mereka.”
Sebenarnyalah, ketika hal itu disampaikan kepada mereka yang berada di rumah Ki Ajar Pangukan, ternyata bahwa mereka menjadi sangat tertarik.
“Jadi Panembahan iiu benar-benar akan mengusir Ki Banyu Bening?” bertanya Ki Ajar Pangukan.
”Menurut Ki Warana memang demikian. Dua orang utusannya telah bertemu dengan Ki Banyu Bening. Namun Ki Banyu Bening nampaknya berkeras untuk bertahan. Bahkan menurut Ki Warana, Ki Banyu Bening tidak percaya bahwa Panembahan Lebdagati itu masih ada.”
“Kita akan mengambil kesempatan,“ berkata Ki Ajar Pangukan.
“Kesempatan apa?“ bertanya Ki Jagaprana.
“Kita tidak menghendaki kehadiran kedua-duanya di lingkungan ini. Bahkan dimanapun juga. Karena itu, kita akan memanfaatkan benturan kekuatan mereka. Bukankah dengan demikian kedua-duanya menjadi lemah?”
Ki Pandipun kemudian menyahut, “Aku sependapat. Tetapi aku sedang berusaha untuk selalu berhubungan dengan Ki Warana. Aku berharap bahwa pada suatu saat, kita dapat bekerja bersamanya.”
“Bekerja bersama bagaimana?“ bertanya Ki Lemah Teles.
“Kalau Ki Warana menyadari kedudukannya serta panggilan nuraninya, maka aku kira aku akan berhasil.”
Dengan singkat, Ki Pandi menceriterakan hubungan yang dibuatnya dengan Ki Warana. Kemudian katanya, “Aku menaruh harapan pada sikapnya.”
Ki Lemah Telespun berkata, ”Jika demikian, teruskan hubunganmu dengan orang itu. Setidak-tidaknya kita dapat mengikuti perkembangan persoalan yang menyangkut hubungan antara padepokan Kiai Banyu Bening dan Panembahan Lebdagati.”
“Baiklah,“ berkata Ki Pandi “Namun nampaknya segala sesuatunya sudah menjadi semakin mendesak. Kitapun harus mempersiapkan diri untuk terlibat kedalam persoalan ini. Tentu saja dengan sudut pandang kita terhadap persoalan yang terjadi.”
Yang lain pun mengangguk-angguk. Mereka memang sudah meletakkan niat mereka untuk melawan kegiatan Kiai Banyu Bening dan apalagi Panembahan Lebdagati.
Demikianlah dari hari ke hari, Ki Pandi dapat tetap berhubungan dengan Ki Warana lewat Delima. Sehingga pada suatu hari, Ki Warana itu berkata, “Panembahan Lebdagati telah menyampaikan ancamannya.”
“Ancaman apa?“ bertanya Ki Pandi.
“Dua orang utusannya telah datang lagi. Panembahan Lebdagati minta dalam waktu sepuluh hari, padepokan itu harus sudah menjadi kosong. Semua kegiatan dihentikan, dan menyerahkan segala-galanya kepada Panembahan Lebdagati.”
Ki Pandipun mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Apakah padepokan itu masih tetap melakukan kegiatan di sanggar-sanggar dibeberapa padukuhan?”
“Sejak peristiwa di sanggar itu, maka beberapa kegiatan telah disusut. Tetapi menurut Kiai Banyu Bening, semuanya itu sekedar ancang-ancang untuk langkah-langkah panjang berikutnya. Tetapi kehadiran utusan-utusan orang yang menyebut dirinya kemenakan Lebdagati itu agaknya sangat berpengaruh terhadap kegiatan Kiai Banyu Bening. Apalagi setelah Panembahan Lebdagati mengancam dan memberikan waktu sepuluh hari. Maka kegiatan seisi padepokan terutama adalah mempersiapkan diri menyambut kedatangan Panembahan Lebdagati itu."
Ki Pandi mendengarkan keterangan Ki Warana itu dengan sungguh-sungguh. Dengan nada berat, Ki Pandi itu menyahut, ”Panembahan Lebdagati tentu tidak sekedar mengancam. Aku mengenal wataknya dengan baik. Ia tentu akan bersungguh-sungguh datang dengan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan Kiai Banyu Bening. Bukan sekedar mengusirnya. Seperti yang pernah aku katakan, kekuatan Panembahan Lebdagati tentu sulit untuk dilawan oleh Kiai Banyu Bening.”
“Tetapi Kiai Banyu Bening tetap pada pendiriannya. Ia tidak akan beranjak dari padepokan itu.”
“Ki Warana,“ berkata Ki Pandi “Jika para pengikut Kiai Banyu Bening akan bertahan, silahkan. Tetapi aku ingin memperingatkan, bahwa Ki Warana tidak perlu membunuh diri. Jika Ki Warana mempunyai beberapa orang yang dapat sungguh-sungguh dipercaya, maka Ki Warana dapat mempersiapkan diri untuk membuat garis pertahanan kedua, justru diluar padepokan.”
“Maksud Ki Pandi?” bertanya Ki Warana.
”Jika keadaan memaksa, maksudku jika pertahanan Kiai Banyu Bening benar-benar pecah dan tidak mungkin bertahan lagi, sebaiknya Ki Warana menyingkir dari padepokan. Ki Warana harus mempersiapkan tempat untuk mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dari padepokan itu.”
“Lalu, apa artinya? Jika bersama Kiai Banyu Bening kami sudah tidak mampu bertahan, apa yang kemudian dapat kita lakukan jika Panembahan Lebdagati memburu kami?” “Ki Warana” berkata Ki Pandi, ”kami berjanji untuk berada ditempat itu. Kami akan bersama membantu sejauh dapat kami lakukan untuk melawan kekuatan Panembahan Lebdagati. Tetapi sudah tentu dengan janji.”
“Janji apa?“ bertanya Ki Warana.
Ki Pandi termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, ”Semua ajaran Kiai Banyu Bening yang tidak lebih dari sekedar memanjakan nafsu dan dendam itu harus dihentikan. Padepokan itu harus menjadi tempat yang berani bagi kehidupan lahir dan batin bagi orang-orang di lingkungan ini. Padepokan itu harus menjadi tempat orang-orang mencari pengetahuan yang berarti bagi kesejahteraan hidup lahiriahnya, tetapi juga tempat orang menemukan dirinya dihadapan penciptanya menurut ajaran yang benar.”
Ki Warana memandang Ki Pandi dengan tajamnya. Namun kemudian Ki Warana itupun bertanya, “Tetapi siapakah yang akan dapat melakukannya? Maksudku, siapakah yang akan memimpin padepokan itu, karena tidak seorangpun diantara kami yang mampu melakukannya? Kami adalah orang-orang yang selama ini hanyut dalam arus yang liar dan bermuara pada genangan yang keruh.”
“Jalan telah dibuat menembus hutan yang menyekat lingkungan ini dengan dunia yang lebih cerah. Karena itu, jika segalanya telah dapat diselesaikan, maka pergilah ke pajang. Kalian akan dapai memecahkan persoalan yang kalian hadapi.”
“Haruskah kami menempuh perjalanan yang jauh itu?”
“Kau pernah ke Pajang? Pajang tidak terlalu jauh dari tempat ini. Apalagi setelah hutan Jatimalang terbuka.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Pandi. Aku akan berusaha sejauh dapat aku lakukan. Tetapi aku pun harus berhati-hati, agar aku tidak dicurigai oleh Kiai Banyu Bening dan para pengikutnya yang paling setia. Yang menurut penglihatan Kiai Banyu Bening termasuk aku sendiri.”
“Mudah-mudahan Ki Warana berhasil. Usaha Ki Warana ini juga merupakan usaha untuk melestarikan keberadaan padepokan itu, meskipun isinya akan berubah.”
Namun Ki Warana tidak dapat berbincang terlalu panjang, ia harus segera berada di padepokannya kembali. Meskipun demikian, Ki Warana telah membawa bekal yang akan sangat berarti bagi padepokannya.
“Ki Warana!” pesan Ki Pandi “Beritahukan kami, kemana Ki Warana akan menyusun pertahanan kedua sebelum Ki Warana akan kembali memasuki padepokan.”
“Baiklah Ki Pandi. Aku akan menyampaikannya dalam dua hari sebelum batas waktu yang sepuluh hari itu sampai. Jika aku tidak sempat menunggu Ki Pandi karena waktuku yang sempit, aku akan berpesan kepada Delima.”
Sepeninggal Ki Warana, Ki Pandi yang diikuti oleh Manggada dan Laksana telah menyusuri tepian. Ketika mereka sampai di tempat yang hampir tidak pernah di kunjungi orang, Ki Pandi berkata, ”Sepuluh hari lagi, Lebdagati akan datang ke padepokan. Kalian pun harus bersiap.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun mereka tanggap bahwa Ki Pandi telah menemukan tempat yang baik untuk berlatih. “Kita manfaatkan waktu yang pendek ini,” berkata Ki Pandi.
Untuk beberapa lama, maka mereka bertiga telah berlatih di tepian. Ki Pandi sengaja mengajak Manggada dan Laksana berlatih diatas pasir yang tebal, agar menambah hambatan pada langkah kaki mereka.
Sejak hari itu, maka orang-orang yang berada di rumah Ki Ajar Pangukan telah benar-benar mempersiapkan diri. Karena Manggada dan Laksana adalah orang-orang yang paling muda diantara mereka, bukan saja umurnya, tetapi juga ilmunya, maka seakan-akan orang-orang tua yang ada dirumah itu telah berusaha membantu mereka meningkatkan ilmunya. Bahkan tanpa diminta oleh siapapun, masing-masing berusaha menyesuaikan kemungkinan-kemungkinan yang tidak justru mengganggu bagi perkembangan ilmu dan tubuh Manggada dan Laksana.
Diantara mereka berusaha membantu perkembangan ilmu Manggada dan Laksana melengkapi unsur-unsur geraknya. Tetapi Ki Lemah Teles lebih senang mengajak kedua anak muda itu berkelahi.
“Aku tidak akan merusak dasar ilmu mereka. Dengan berkelahi, anak-anak itu akan mendapat pengalaman-pengalaman baru sehingga dasar kemampuan mereka akan berkembang dengan sendirinya. Karena didunia olah kanuragan, merekapun akan menghadapi kekerasan dari orang-orang yang semula ilmunya tidak dikenalnya sama sekali.”
Manggada dan Laksana memang memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Beberapa pintu yang rasa-rasanya masih tertutup baginya, telah menjadi terbuka, sehingga Manggada dan Laksana menemukan kemungkinan-kemungkinan baru didalam tatanan kemampuannya. Dengan demikian maka ilmu Manggada dan Laksana dengan pesatnya telah meningkat.
“Kalian tidak boleh menjadi beban,“ berkata Ki Pandi “jika benar kita akan terlibat, maka kalian akan dapat mandiri menghadapi para pengikut Panembahan Lebdagati.”
”Jika Kiai Banyu Bening diluar dugaan menang atas Panembahan Lebdagati dan dapat mengusirnya atau bahkan menghancurkannya sama sekali?“ bertanya Manggada.
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Memang mungkin sekali. Selama ini kita selalu menganggap bahwa Kiai Banyu Bening akan dikalahkan oleh Panembahan Lebdagati.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?“ bertanya Laksana.
“Kita harus mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Sebelum Kiai Banyu Bening sempat bernafas, kita akan datang dan menghancurkannya sama sekali. Terutama bangunan-bangunan yang ada hubungannya dengan nafsu dan dendamnya karena ia telah kehilangan anak bayinya. Sedangkan kita tidak tahu, siapakah yang telah bersalah, sehingga anak bayinya itu ditelan api.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka mengerti sepenuhnya, apa yang harus mereka lakukan jika Panembahan Lebdagati berhasil. Tetapi merekapun tahu apa yang harus mereka lakukan jika Kiai Banyu Bening berhasil mengusir Panembahan Lebdagati dan bahkan menghancurkan para pengikutnya.
Seperti yang sudah direncanakan, maka dua hari sebelum hari-hari yang menegangkan itu, Ki Warana ternyata masih sempat menemui Ki Pandi di tepian seperti biasanya. Bahkan Ki Warana sudah menunggu bersama Delima yang sedang mencuci. Ki Warana menemui Ki Pandi dan Manggada ditempat yang terpisah, sementara Laksana lebih senang menunggui Delima yang sedang sibuk dengan cuciannya.
“Kau tidak ikut dalam pembicaraan itu?“ bertanya Delima.
Laksana menggeleng. Katanya, “Seandainya aku ikut duduk bersama mereka, akupun hanya mendengarkan saja.”
“Bukankah dengan demikian kau akan mengetahui rancangan yang seharusnya kalian lakukan?”
“Bukankah aku dapat bertanya kepada kakang Manggada atau langsung kepada Ki Pandi?”
“Tetapi tentu lebih puas jika dapat langsung mendengar urut-urutan pembicaraan itu.”
“Hasil pembicaraan itu akan dapat aku dengar dari orang lain. Tetapi apa yang akan kau katakan hanya dapat aku dengar langsung dari kau sendiri.”
“Apa yang akan kau katakan?“ Delima justru terkejut.
“Tidak tahu. Tentu kau yang lebih tahu,“ jawab Laksana.
“Ah, kau,“ desis Delima yang kemudian telah tenggelam dalam kesibukannya, mencuci pakaian sebagaimana selalu dilakukannya. Biasanya bahkan Delima datang dengan beberapa orang kawan-kawan Delima masih belum berani turun ke sungai.
Dalam pada itu, Ki Warana telah memberikan ancar-ancar kepada Ki Pandi tentang garis pertahanan keduanya.
“Beberapa orang yang benar-benar dapat aku percaya telah sepakat,“ berkata Ki Warana “Jika keadaan memaksa kami akan menyusun pertahanan di sebuah padukuhan yang tidak terlalu jauh dari padepokan. Sebanyak kawan-kawan kami yang dapat melarikan diri, maka kami akan mencoba menyusun kekuatan kami kembali. Tentu saja dengan harapan, bahwa Ki Pandi akan membantu kami. Terutama untuk menghadapi Panembahan Lebdagati itu sendiri.”
Ki Pandi mengangguk-angguk. Kalanya, “Baiklah. Tetapi aku mempunyai syarat lagi.”
“Syarat apa Ki Pandi?“
“Jika padepokan kalian memenangkan pertempuran melawan Panembahan Lebdagati, maka Kiai Banyu Bening akan berhadapan dengan kami. Kami memang ingin menghapus nafsu dan dendam Kiai Banyu Bening. Jika Kiai Banyu Bening menang atas Panembahan Lebdagati, maka kepercayaan terhadap dirinya menjadi semakin tebal. Dengan demikian, maka kegiatan yang selama ini agak mengendor karena berbagai macam sebab, akan semakin meningkat. Kiai Banyu Bening tentu akan benar-benar memerintahkan mengorbankan bayi-bayi yang tidak berdosa sekedar untuk didengar tangisnya saat api mulai menjilat tubuhnya.”
Ki Warana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Lalu, apa yang sebaiknya kami lakukan?”
“Bukankah Ki Warana juga ingin membebaskan diri dari cengkeraman kepercayaan yang pura-pura itu?”
”Ya.” jawab Ki Warana.
“Nah, jika demikian, perintahkan orang-orang yang sejalan dengan pikiran Ki Warana untuk mengenakan tanda. Jika kalian mampu mengalahkan Panembahan Lebdagati, sementara kalian dan kami memasuki padepokan itu sebelum Kiai Banyu Bening sempat bernafas, agar kami dapat membedakan, siapakah yang berniat mempertahankan kehadiran Kiai Banyu Bening dan siapa yang tidak, kalian harus mengenakan sesuatu.”
“Apa menurut pendapat Ki Pandi?”
“Apa yang paling mudah kalian dapatkan di dalam padepokan Kiai Banyu Bening? Janur atau bulu ayam, bulu itik atau apa?”
“Memang ada beberapa batang pohon kelapa yang terkurung oleh dinding padepokan.”
“Nah, pastilah janur kuning. Sebelum kalian perlukan, ikatkan janur kuning itu dibawah baju kalian. Baru kemudian janur kuning itu diperlihatkan dan dipergunakan sebagai pertanda setelah diperlukan,” berkata Ki Pandi.
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, ”Baiklah, Ki Pandi. Kami akan mencobanya. Kami akan bertahan terhadap Panembahan Lebdagati, tetapi disisi lain kami ingin bebas dari belenggu Kiai Banyu Bening tanpa menumbuhkan kecuriagaan.”
“Terima kasih Ki Warana. Mudah-mudahan kita berhasil,” jawab Ki Pandi.
“Jika Panembahan Lebdagati bersungguh-sungguh, maka waktu kita tinggal dua hari.”
“Aku kira Panembahan Lebdagati bersungguh-sungguh. Berhati-hatilah. Kau tidak boleh hancur dalam permainan ini, karena kau akan membawa perubahan sikap dari beberapa orang yang terbelenggu didalam cengkeraman lingkungan yang kau benci.”
“Baiklah...“ berkata Ki Warana, ”Aku akan berusaha.”
Seperti biasanya maka Ki Warana tidak dapat terlalu lama berada di pinggir sungai itu. Apalagi disaat padepokannya sedang mempersiapkan kesiagaan tertinggi menghadapi tantangan Panembahan Lebdagati. Karena sebenarnyalah Kiai Banyu Bening sendiri menjadi berdebar-debar menghadapi ancaman itu. Tetapi sebagai seorang yang berilmu tinggi dan berkeyakinan atas kemampuannya, maka Kiai Banyu Bening tidak akan begitu saja menyerah terhadap ancaman Panembahan Lebdagati.
Pada malam-malam terkhir, mendekati saat yang ditentukan oleh Panembahan Lebdagati, maka Kiai Banyu Bening sendiri memang lebih banyak berada didalam sanggarnya. Beberapa orang kepercayaannya memang diperintahkan untuk meningkatkan kemampuan mereka. Memantapkan pengabdian mereka kepada Sang Maha Api dan menyediakan senjata secukupnya.
Kiai Banyu Bening telah memerintahkan pula membuat panggungan dibelakang dinding padepokannya. Para cantrik sudah diperintahkan untuk menghancurkan lawan sebelum mereka memasuki dinding padepokan. “Sediakan anak panah sebanyak-banyaknya. Juga sediakan lembing dan senjata lontar yang lain.”
Sedangkan para cantrik juga diperintahkan untuk melihat dinding, pintu gerbang dan pintu butulan. Yang nampak lemah harus segera diperkuat. Selarak pintu pun dibuat rangkap pula.
Menjelang hari-hari yang ditentukan, maka segala sesuatunya telah siap. Kiai Banyu Bening menjadi semakin yakin, bahwa orang yang menyebut dirinya Panembahan Lebdagati itu tidak akan dapat memasuki padepokannya.
Namun dihari-hari terakhir itu pula sepasang burung elang nampak berputaran di langit. Sekali-sekali menukik rendah. Namun kemudian membubung tinggi menyentuh mega-mega di langit. Dengan matanya yang tajam sepasang burung elang itu memperhatikan apa yang ada didalam dinding padepokan. Kemudian dengan gerak isyarat sepasang burung elang itu memberikan laporan tentang penglihatannya sesuai dengan kemampuannya.
Sementara itu orang-orang yang mampu mengendalikan burung-burung elang itu mencoba untuk menangkap arti dari isyarat-isyarat yang diberikan oleh sepasang burung elang itu. Namun bukan hanya orang-orang yang mengendalikan burung-burung elang itu saja yang memperhatikan sepasang burung itu dari kejauhan. Tetapi Ki Pandi, Manggada dan Laksana pun ikut memperhatikan pula dari kejauhan.
“Menurut Ki Warana, besok adalah batas terakhir yang diberikan oleh Panembahan Lebdagati,“ berkata Ki Pandi.
“Besok akan terjadi pertempuran yang sengit antara dua aliran hitam yang garang.“ desis Manggada.
“Bukan besok,“ sahut Ki Pandi “Besok adalah batas terakhir. Aku kira baru besok lusa Panembahan Lebdagati akan datang ke padepokan.”
“Kita harus siap di tempat yang sudah disebut Ki Warana itu Ki Pandi. Ki Warana menganggap tempat itu sebagai garis pertahanannya yang kedua. Jika Ki Pandi dan orang-orang tua yang tinggal dirumah Ki Ajar Pangukan itu tidak ikut campur, maka mereka tentu akan dimusnakan oleh Panembahan Lebdagati,“ berkata Manggada.
“Ya!” desis Laksana. “Namun Panembahan Lebdagati tentu bersungguh-sungguh. Sepasang burung elang itu merupakan salah satu isyarat kesungguhan Panembehan Labdagati.”
“Baiklah,“ Ki Pandi mengangguk-angguk, ”Kitapun harus bersiap. Besok malam kita harus bergerak ke tempat yang sudah ditentukan itu. Sebuah padukuhan kecil yang tidak terlalu jauh dari padepokan sebagaimana telah diancar-ancarkan oleh Ki Warana."
“Marilah kita kembali” desis Manggada.
Tetapi Laksanapun berdesis, “Kita singgah sebentar di tepian itu.”
”Untuk apa?” bertanya Manggada.
“Melihat apakah Delima ada di tepian,” jawab Laksana.
“Bukankah kau yang mengatakan sendiri? Delima mengatakan kepadamu, bahwa ia tidak akan datang ke tepian lagi untuk beberapa hari sampai keadaan menjadi tenang?”
“Mungkin hari ini ia masih datang.”
“Tentu tidak,“ jawab Manggada “Apakah kau masih belum puas menunggui gadis itu mencuci kemarin?”
Laksana hanya tersenyum saja. Dengan nada dalam ia berkata, “Baiklah. Kita pulang saja.”
Bertiga merekapun kemudian menyusuri jalan setapak dan sekali-sekali naik dan turun tebing yang curam untuk mencapai sebuah rumah yang terpencil yang dihuni oleh Ki Ajar Pangukan.
Kepada orang-orang tua yang berada di rumah Ki Ajar Pangukan, Ki Pandi telah memberikan keterangan terperinci, apakah yang harus mereka lakukan menjelang terjadinya benturan kekuatan antara isi padepokan Kiai Banyu Bening dengan Panembahan Lebdagati serta para pengikutnya.
“Waktu kita tinggal besok siang. Besok malam kita harus sudah berada di padukuhan kecil itu."
Ki Ajar Pangukan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita yang sudah berjanji, terutama kepada diri sendiri untuk menghancurkan ilmu hitam siapapun yang menjadi pemimpinnya, akan melakukan kewajiban yang kita letakkan diatas pundak kita sendiri ini dengan sebaik-baiknya. Besok kita semuanya akan pergi ke padukuhan sebagaimana dikatakan oleh Ki Warana itu.”
“Tetapi bagaimana dengan orang-orang padukuhan itu sendiri? Apakah mereka sudah mengerti tentang apa yang bakal terjadi?“ bertanya Ki Sambi Pitu.
Ki Pandi menggeleng. Katanya, “Belum. Jika mereka mengetahuinya, mungkin rencana itu akan menjalar dan didengar oleh Kiai Banyu Bening atau oleh Panembahan Lebdagati. Kedua-duanya tidak menguntungkan bagi rencana Ki Warana.”
“Ya,“ Ki Sambi Pitu mengangguk-angguk, ”Jika demikian, besok kita harus dapat menempatkan diri. Kita sudah tahu, bahwa kehadiran kita besok masih belum diketahui oleh orang-orang padukuhan itu, sehingga kita tidak dengan serta-merta datang ke banjar.”
Demikianlah, maka orang-orang tua itu telah merencanakan untuk berada disekitar sanggar yang agaknya juga sudah dibuat dipadukuhan itu.
Dalam pada itu, maka Ki Pandipun telah minta waktu untuk mengambil dua ekor harimaunya. Dengan tegas ia berkata, ”Besok, sebelum matahari terbenam, aku sudah berada di tempat ini kembali. Kita akan bersama-sama pergi ke padukuhan itu. Kita akan mencoba mengikuti perkembangan keadaan dikeesokan harinya. Apa yang akan terjadi di padepokan Kiai Banyu Bening.”
“Jadi, Ki Pandi akan pergi?“ bertanya Manggada.
“Ya,” jawab Ki Pandi “Kalian tidak usah ikut. Usahakan untuk melihat apakah besok burung-burung elang itu akan berputaran lagi diatas padepokan.”
Demikianlah, maka Ki Pandi pun telah minta diri setelah menitipkan Manggada dan Laksana kepada orang-orang yang berada dirumah Ki Ajar Pangukan itu.
“Tetapi apakah Ki Pandi dapat menempuh perjalanan itu semalam dan sehari besok?” bertanya Manggada “Seandainya dapat Ki Pandi lakukan, Ki Pandi tentu letih sekali.”
Ki Pandi tersenyum. Katanya “Aku akan mencobanya untuk kembali pada saatnya. Jika aku merasa letih, bukanah masih ada waktu semalam untuk beristirahat?”
Manggada mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya, Ki Pandi.”
Ternyata Ki Pandi memang seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Agar tidak terlambat maka Ki Pandi telah menempuh perjalanannya dengan cepat. Secepat orang berlari. Ki Pandi pun tidak menempuh perjalanan lewat jalur jalan yang berkelok-kelok. Tetapi ia lebih banyak memotong arah.
Bukan saja melintasi pematang, tanggul, meloncati parit dan menyeberang sungai, tetapi Ki Pandi juga berjalan dengan cepat menembus hutan seperti seekor kijang. Pengalamannya Tapa Ngidang yang sudah dilakukan tidak hanya sekali, sangat membantunya menerobos gerumbul-gerumbul liar dan eri bebondotan.
Dengan caranya itu, maka Ki Pandi memang akan dapat kembali pada waktunya sebagaimana di janjikannya. Bukan hal yang sulit bagi Ki Pandi untuk menemukan kedua ekor harimaunya. Hanya tanpa istirahat, maka Ki Pandipun segera mengajak kedua ekor harimaunya ke kaki Gunung Lawu.
Dalam pada itu, Manggada dan Laksana yang ditinggalkan oleh Ki Pandi di rumah Ki Ajar Pangukan mendapatkan kesempatan sebagaimana yang sering dilakukannya, mengadakan latihan dengan orang-orang tua yang berilmu tinggi. Kesempatan yang sangat berarti bagi Manggada dan Laksana. Dengan latihan-latihan yang berat itu, maka ilmu kedua anak muda itu memang selalu meningkat dan menjadi matang.
Pada kesempatan di hari terakhir yang diberikan oleh Panembahan Lebdagati kepada Kiai Banyu Bening, maka Manggada dan Laksana telah mengamati padepokan itu dari kejauhan. Mereka memang melihat dua ekor burung elang yang berputar-putar. Sekali-sekali menukik rendah, kemudian terbang naik tinggi tinggi. Melihat sikap kedua ekor burung itu, maka nampaknya memang terjadi sesuatu di padepokan Kiai Banyu Bening.
“Burung-burung itu tentu mengamati utusan Panembahan Lebdagati yang datang ke padepokan itu” desis Manggada.
Laksana mengangguk-angguk. Katanya, ”Mudah-mudahan dugaan Ki Pandi benar, bahwa hari ini masih belum terjadi sesuatu di padepokan itu.”
“Kita akan mengamati padepokan itu dari jarak yang lebih dekat. Tetapi hati-hati. Jika mereka, apakah orang-orang Kiai Banyu Bening, lebih-lebih lagi orang-orang Panembahan Lebdagati, rencana Ki Warana akan dapat terganggu seandainya salah seorang atau bahkan mereka berdua mengadakan perubahan sikap,” berkata Manggada selanjutnya.
Demikianlah, maka dengan sangat berhati-hati kedua orang anak muda itu telah berusaha mendekti padepokan. Tetapi mereka tetap berada pada jarak tertentu agar kehadiran mereka tidak diketahui oleh kedua belah pihak yang sedang bersengketa itu. Kedua-nyapun berusaha untuk menghindari penglihatan burung-burung elang yang terbang berputaran diatas padepokan Kiai Banyu Bening.
Dua orang anak muda itu telah tersembunyi dibelakang gerumbul perdu yang rimbun. Dan tempat mereka bersembunyi, mereka dapat melihat meskipun tidak begitu jelas, wajah depan padepokan Kiai Banyu Bening.
Untuk beberapa lamanya mereka menunggu. Burung-burung elang yang berterbangan itu masih saja berputar-putar dan sekali-sekali menukik rendah. Manggada dan Laksana menduga, bahwa utusan Panembahan Lebdagati masih berada di padepokan. Keduanya telah menyabarkan dirinya, untuk melihat utusan Panembahan Lebdagati itu keluar dari regol padepokan Kiai Banyu Bening yang masih tertutup.
Ketika kesabaran kedua orang anak muda itu hampir habis, maka mereka melihat dari kejauhan, pintu gerbang padepokan itu bergerak. Perlahan-lahan pintu itupun terbuka. Dari dalam regol, Manggada dan Laksana melihat lima orang berkuda meninggalkan padepokan itu. Sementara itu, beberapa orang penghuni padepokan itu melepas orang-orang berkuda itu pergi. Namun nampak bahwa sikap mereka, baik kelima orang berkuda itu, maupun orang-orang yang melepas mereka pergi, tidak cukup ramah.
Ketika kelima orang berkuda itu menjauh, maka orang-orang yang melepas mereka pergi itupun segera kembali masuk ke dalam dan pintu regol pun perlahan-lahan ditutup. Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Manggada mengusap keringatnya yang mengembun di keningnya berkata,
”Mereka tentu tidak menemukan persetujuan. Besok akan terjadi keributan itu.”
“Tetapi mungkin juga Panembahan Lebdagati menunggu persiapan yang lebih matang.”
“Menurut perhitunganku, Panembahan Lebdagati akan berperan dengan cepat. Jika dia sudah memberikan waktu sepuluh hari, itu berarti bahwa dalam sepuluh hari itu, Panembahan Lebdagati mematangkan persiapannya.”
Laksana mengangguk-angguk sambil berdesis, ”Jika demikian, besok akan terjadi pertempuran yang sengit di regol itu.“
“Kita harus sudah berada di padukuhan kecil itu. Mudah-mudahan Ki Pandi datang tepat pada waktunya,“ sahut Manggada.
Laksana tidak menjawab. Sementara itu, burung-burung elang itupun masih nampak terbang berputaran. Tetapi tidak lagi diatas padepokan Kiai Banyu Bening. Burung-burung elang itu berputaran sambil mengikuti kelima orang utusan Panembahan Lebdagati itu.
“Apakah kita akan mengikuti arah terbang burung-burung itu agar kita mendapat ancar-ancar dimana sarang Panembahan Lebdagati selama ia mempersiapkan diri untuk menyerang padepokan Kiai Banyu Bening?“ bertanya Laksana.
”Sudahlah. Kita kembali saja ke rumah Ki Ajar Pangukan. Jika para pengikut Panembahan Lebdagati atau burung-burung elang mereka melihat kita, maka kita akan berada dalam kesulitan. Bahkan mungkin bukan hanya kita berdua.”
Laksana mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan memberikan laporan kepada Ki Ajar Pangukan.”
Demikianlah, maka mereka berduapun segera kembali kerumah Ki Ajar Pangukan. Namun ketika mereka menyusup sebuah gerumbul dan kemudian memanjat naik sebuah tebing rendah, mereka terkejut. Ki Ajar Pangukan duduk diatas sebuah batu padas sambil tersenyum.
“Ki Ajar,” desis Manggada dan Laksana hampir berbareng.
“Aku memang menunggu kalian,“ berkata Kj Ajar.
“Ki Ajar disini sejak tadi?“ bertanya Laksana.
”Tidak. Aku menunggu kalian yang bersembunyi dibelakang gerumbul sambil melihat kepergian kelima orang utusan Panembahan Lebdagati."
“Jadi?”
Ki Ajar Pangukan tertawa. Katanya “Ya. Aku juga ingin mengetahui apa yang terjadi di padepokan Kiai Banyu Bening.”
Manggada dan Laksana pun tersenyum pula. Sementara Ki Ajar berkata, “Marilah. Kita pulang. Kecuali aku dan kalian, maka yang lain pun ikut pula melihat apa yang terjadi di padepokan justru pada saat yang genting.”
Sebenarnyalah ketika mereka sampai dirumah Ki Ajar Pangukan, maka ternyata seisi rumah itu telah mendekati padepokan dari arah yang berbeda-beda. Mereka semuanya melihat kelima orang utusan Panembahan Lebdagati meninggalkan padepokan. Mereka semuanya melihat burung-burung elang itu berputaran mengamati kelima orang yang meninggalkan padepokan itu.
Dalam pada itu, maka seisi rumah itupun kemudian telah mempersiapkan diri. Malam nanti mereka akan pergi ke padukuhan yang telah disebutkan oleh Ki Pandi. Namun mereka akan menunggu sampai Ki Pandi datang bersama kedua ekor harimaunya.
“Sampai kapan kita menunggu?“ bertanya Ki Lemah Teles.
“Jika menjelang tengah malam Ki Pandi tidak datang, maka kita akan meninggalkannya.“ Ki Sambi Pitulah yang menjawab.
“Baiklah,” berkata Ki Ajar Pangukan “Kita akan menunggu sampai menjelang tengah malam.”
“Tetapi bukankah Ki Pandi berjanji untuk datang sebelum senja,“ bertanya Manggada.
“Kita tidak tahu, apakah Ki Pandi mengalami hambatan yang sulit diatasi,“ berkata Ki Lemah Teles.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Memang segala sesuatu mungkin terjadi. Tetapi jika tidak ada hambatan apapun, Ki Pandi agaknya tidak akan mengingkari janjinya.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka cahayanya yang kemerahan memancar ke puncak pepohonan. Selembar-selembar awan yang didorong angin mengambang ke utara.
Manggada dan Laksana masih duduk diserambi depan rumah Ki Ajar Pangukan. Setelah mereka membuat minuman dan menghidangkannya kepada penghuni rumah itu, maka kedua anak muda itu telah membawa mangkuk minuman hangat bagi mereka sendiri di serambi.
“Senja sudah turun,“ berkata Manggada.
“Mungkin terjadi sesuatu di perjalanan,“ sahut Laksana yang mulai menjadi gelisah.
Meskipun dirumah itu ada beberapa orang tua yang berilmu tinggi, namun rasa-rasanya orang yang paling dekat dengan mereka adalah Ki Pandi. Ki Pandi pula lah yang membawa mereka ke rumah Ki Ajar Pangukan. Ki Pandi pulalah yang telah menuntun mereka memanjat ketataran ilmu mereka yang semakin tinggi. Karena itu, maka baik Manggada maupun Laksana telah menganggap bahwa Ki Pandi adalah guru mereka.
Manggada dan Laksana itupun tiba-tiba meloncat bangkit ketika mereka melihat di antara gerumbul-gerumbul perdu dua ekor harimau yang berjalan perlahan-lahan sambil memandang kedua orang anak muda yang kemudian berdiri di halaman itu. Dua pasang mata yang berkilat-kilat seperti sorot permata yang kehijau-hijauan memancar di ketemaraman senja.
“Ki Pandi” desis Manggada.
Dari balik pohon perdu yang tumbuh memagari halaman rumah itu, Ki Pandi melangkah terbungkuk-bungkuk. “Aku memenuhi janjiku,“ berkata Ki Pandi sambil tersenyum. Namun katanya pula “Tetapi aku terlambat sedikit.”
Pintu rumah yang masih terbuka itu terbuka semakin lebar. Ki Ajar Pangukan yang mendengar nama Ki Pandi disebut, segera melangkah keluar.
”Kau datang pada waktunya,” berkata Ki Ajar.
”Aku berusaha untuk memenuhi janjiku, meskipun aku harus berjalan tanpa berhenti,“ jawab Ki Pandi.
“Sejak kemarin?”
“Tidak. Aku sempat tidur, mandi dan makan.”
“Marilah, masuklah. Kedua cucumu itu menunggumu di serambi sejak tadi,“ berkata Ki Lemah Teles.
Ki Pandi tertawa, sementara Manggada berkata, “Semua kerja sudah selesai, sehingga kami sempat duduk menunggu disini.”
Demikianlah, maka Ki Pandi pun telah duduk bersama dengan seisi rumah itu. Laksana telah menghidangkan minuman hangat bagi Ki Pandi, sementara ketela pohon yang direbus Manggada pun telah masak pula.
Ketika ketela rebus itu dihidangkan, maka Ki Ajar Pangukan pun berkata, “Marilah. Silahkan makan sebanyak-banyaknya. Belum tentu besok kita akan sempat makan. Seandainya sempat, kita belum tahu apakah ada orang yang memberi kita makan.”
Demikianlah setelah mereka makan ketela pohon yang direbus dengan santan dan garam secukupnya, maka mereka pun segera bersiap-siap untuk pergi.
Sementara itu langit telah menjadi hitam. Lampu minyak telah dipasang. Tetapi karena semuanya akan pergi, maka lampu-lampu itupun segera dipadamkannya.
Beberapa saat kemudian, seisi rumah Ki Ajar Pangukan itu telah berada dalam perjalanan. Mereka merayap maju dalam kegelapan melalui jalan yang kadang-kadang turun dengan terjal, kadang-kadang menyusup diantara gerumbul perdu. Sekali meloncat dan memanjat. Tetapi mereka tidak tergesa-gesa. Karena itu, maka mereka berjalan perlahan-lahan, sehingga karena itu, maka mereka maju dengan lambat...
“Aku menjadi bingung,“ desis Ki Warana.
“Jika kau dengar pendapatku. Ki Warana. Kau jangan hilang tanpa arti. Jika kau harus terlibat dalam pertempuran sekedar untuk menunjukkan kesetia-kawanan meskipun tidak didukung oleh keyakinan apapun, maka kau sebaiknya menentukan takaran, sampai dibatas manakah kau pantas menunjukkan kesetia-kawananmu itu.”
“Maksud Ki Pandi?”
“Kau tidak perlu mati dalam benturan kekerasan itu. Bukankah dengan demikian kau akan mati tidak untuk apa-apa?”
Ki Warana mengangguk-angguk. Sementara Ki Pandi berkata selanjutnya, ”Jika kau hidup, maka kau masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu yang lebih berarti. Berarti bagi dirimu sendiri dan berarti bagi orang lain.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, ”Aku mengerti. Dan aku akan berusaha untuk melakukannya. Jika aku tidak melihat kemungkinan apapun kalau Panembahan Lebdagati benar-benar datang, maka aku akan mempergunakan kesempatan terakhir untuk berusaha tetap hidup.”
“Kau dapat menularkan sikap ini kepada beberapa orang lain. Jika kau berhasil, maka yang tersisa dari padepokan Ki Banyu Bening, masih akan memberikan arti bagi kehidupan di lingkungan ini.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Sementara Ki Pandi berkata selanjutnya “Kami akan mengamati perkembangan di padepokanmu.“
“Terima kasih” desis Ki Warana yang kemudian minta diri “aku harus segera kembali ke padepokan.”
“Silahkan Ki Warana. Jika Ki Warana menganggap perlu, Ki Warana dapat berpesan kepada Delima.”
“Tetapi kadang-kadang aku merasa cemas melihat Delima berada ditepian. Mungkin orang-orang padepokan sendiri yang berkeliaran seperti yang pernah terjadi. Tetapi mungkin orang-orang Panembahan Lebdagati, justru akhir-akhir ini tepian menjadi sepi.”
“Kami akan mengawasinya. Setidak-tidaknya salah seorang diantara kami bertiga atau kawan-kawan kami yang lain.”
Ki Warana mengangguk kecil. Tetapi ia masih bertanya, ”Berapa orang kawan kalian?”
Ki Pandi tersenyum. Katanya “Tidak tentu. Kali ini ada beberapa orang tua bersamaku. Orang-orang tua yang ingin merasa dirinya masih berarti. Termasuk aku sendiri.”
Ki Warana menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun minta diri, “Terima kasih. Aku akan kembali ke barak.”
Sepeninggal Ki Warana, ketiga orang itu memang tidak segera meninggalkan tepian. Mereka duduk-duduk diatas batu sambil berbincang. Tetapi beberapa kali Laksana membelokkan pembicaraan mereka yang berkisar sekitar kemungkinan kedatangan Panembahan Lebdagati. Kadang-kadang seperti orang yang tidak menyadari apa yang dikatakannya. Laksana berbicara tentang gadis yang bernama Delima itu.
“Kenapa Delima harus datang ke tepian? Seharusnya kita justru memperingatkannya, agar ia tidak lagi pergi ketepian ini. Seperti yang dikatakan oleh Ki Warana, kemungkinan buruk itu dapat terjadi pada Delima sebagaimana yang pernah terjadi. Seandainya kita mengawasi tepian ini, namun bahaya itu dapat menyergap Delima sepanjang jalan menuju ke tepian ini.”
“Jadi menurut pendapatmu?” bertanya Manggada.
“Aku tidak berkeberatan datang kerumahnya setiap hari untuk menanyakan, apakah ada pesan dari Ki Warana atau tidak.”
“Apakah kau ingin Ki Warana atau keluarga Delima digantung di padepokan?“ bertanya Manggada, ”Orang-orang padepokan yang saling mencurigai tentu akan saling mengawasi. Dengan perintah atau tidak.”
“Kesetia-kawanan mereka cukup tinggi, sebagaimana sikap Ki Warana.”
“Untuk menghadapi bahaya dari luar. Tetapi kedalam mereka akan berebut kedudukan. Seperti juga terjadi dimana-mana, kadang-kadang seseorang yang saling menolong dalam keterkaitan dengan orang lain, akan sampai hati saling memfitnah justru diantara keluarga sendiri karena mereka berebut kedudukan.”
Laksana menarik nafas panjang. Namun agaknya ia dapat mengerti alasan itu. Ki Pandi hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan pembicaraan kedua orang anak muda itu. Namun akhirnya, Ki Pandi itu berdesis,
“Marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Kita dapat berbicara dengan saudara-saudara kita. Bahwa Panembahan Lebdagati siap untuk mengambil alih padepokan Ki Banyu Bening akan merupakan berita yang menarik bagi mereka.”
Sebenarnyalah, ketika hal itu disampaikan kepada mereka yang berada di rumah Ki Ajar Pangukan, ternyata bahwa mereka menjadi sangat tertarik.
“Jadi Panembahan iiu benar-benar akan mengusir Ki Banyu Bening?” bertanya Ki Ajar Pangukan.
”Menurut Ki Warana memang demikian. Dua orang utusannya telah bertemu dengan Ki Banyu Bening. Namun Ki Banyu Bening nampaknya berkeras untuk bertahan. Bahkan menurut Ki Warana, Ki Banyu Bening tidak percaya bahwa Panembahan Lebdagati itu masih ada.”
“Kita akan mengambil kesempatan,“ berkata Ki Ajar Pangukan.
“Kesempatan apa?“ bertanya Ki Jagaprana.
“Kita tidak menghendaki kehadiran kedua-duanya di lingkungan ini. Bahkan dimanapun juga. Karena itu, kita akan memanfaatkan benturan kekuatan mereka. Bukankah dengan demikian kedua-duanya menjadi lemah?”
Ki Pandipun kemudian menyahut, “Aku sependapat. Tetapi aku sedang berusaha untuk selalu berhubungan dengan Ki Warana. Aku berharap bahwa pada suatu saat, kita dapat bekerja bersamanya.”
“Bekerja bersama bagaimana?“ bertanya Ki Lemah Teles.
“Kalau Ki Warana menyadari kedudukannya serta panggilan nuraninya, maka aku kira aku akan berhasil.”
Dengan singkat, Ki Pandi menceriterakan hubungan yang dibuatnya dengan Ki Warana. Kemudian katanya, “Aku menaruh harapan pada sikapnya.”
Ki Lemah Telespun berkata, ”Jika demikian, teruskan hubunganmu dengan orang itu. Setidak-tidaknya kita dapat mengikuti perkembangan persoalan yang menyangkut hubungan antara padepokan Kiai Banyu Bening dan Panembahan Lebdagati.”
“Baiklah,“ berkata Ki Pandi “Namun nampaknya segala sesuatunya sudah menjadi semakin mendesak. Kitapun harus mempersiapkan diri untuk terlibat kedalam persoalan ini. Tentu saja dengan sudut pandang kita terhadap persoalan yang terjadi.”
Yang lain pun mengangguk-angguk. Mereka memang sudah meletakkan niat mereka untuk melawan kegiatan Kiai Banyu Bening dan apalagi Panembahan Lebdagati.
Demikianlah dari hari ke hari, Ki Pandi dapat tetap berhubungan dengan Ki Warana lewat Delima. Sehingga pada suatu hari, Ki Warana itu berkata, “Panembahan Lebdagati telah menyampaikan ancamannya.”
“Ancaman apa?“ bertanya Ki Pandi.
“Dua orang utusannya telah datang lagi. Panembahan Lebdagati minta dalam waktu sepuluh hari, padepokan itu harus sudah menjadi kosong. Semua kegiatan dihentikan, dan menyerahkan segala-galanya kepada Panembahan Lebdagati.”
Ki Pandipun mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Apakah padepokan itu masih tetap melakukan kegiatan di sanggar-sanggar dibeberapa padukuhan?”
“Sejak peristiwa di sanggar itu, maka beberapa kegiatan telah disusut. Tetapi menurut Kiai Banyu Bening, semuanya itu sekedar ancang-ancang untuk langkah-langkah panjang berikutnya. Tetapi kehadiran utusan-utusan orang yang menyebut dirinya kemenakan Lebdagati itu agaknya sangat berpengaruh terhadap kegiatan Kiai Banyu Bening. Apalagi setelah Panembahan Lebdagati mengancam dan memberikan waktu sepuluh hari. Maka kegiatan seisi padepokan terutama adalah mempersiapkan diri menyambut kedatangan Panembahan Lebdagati itu."
Ki Pandi mendengarkan keterangan Ki Warana itu dengan sungguh-sungguh. Dengan nada berat, Ki Pandi itu menyahut, ”Panembahan Lebdagati tentu tidak sekedar mengancam. Aku mengenal wataknya dengan baik. Ia tentu akan bersungguh-sungguh datang dengan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan Kiai Banyu Bening. Bukan sekedar mengusirnya. Seperti yang pernah aku katakan, kekuatan Panembahan Lebdagati tentu sulit untuk dilawan oleh Kiai Banyu Bening.”
“Tetapi Kiai Banyu Bening tetap pada pendiriannya. Ia tidak akan beranjak dari padepokan itu.”
“Ki Warana,“ berkata Ki Pandi “Jika para pengikut Kiai Banyu Bening akan bertahan, silahkan. Tetapi aku ingin memperingatkan, bahwa Ki Warana tidak perlu membunuh diri. Jika Ki Warana mempunyai beberapa orang yang dapat sungguh-sungguh dipercaya, maka Ki Warana dapat mempersiapkan diri untuk membuat garis pertahanan kedua, justru diluar padepokan.”
“Maksud Ki Pandi?” bertanya Ki Warana.
”Jika keadaan memaksa, maksudku jika pertahanan Kiai Banyu Bening benar-benar pecah dan tidak mungkin bertahan lagi, sebaiknya Ki Warana menyingkir dari padepokan. Ki Warana harus mempersiapkan tempat untuk mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dari padepokan itu.”
“Lalu, apa artinya? Jika bersama Kiai Banyu Bening kami sudah tidak mampu bertahan, apa yang kemudian dapat kita lakukan jika Panembahan Lebdagati memburu kami?” “Ki Warana” berkata Ki Pandi, ”kami berjanji untuk berada ditempat itu. Kami akan bersama membantu sejauh dapat kami lakukan untuk melawan kekuatan Panembahan Lebdagati. Tetapi sudah tentu dengan janji.”
“Janji apa?“ bertanya Ki Warana.
Ki Pandi termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, ”Semua ajaran Kiai Banyu Bening yang tidak lebih dari sekedar memanjakan nafsu dan dendam itu harus dihentikan. Padepokan itu harus menjadi tempat yang berani bagi kehidupan lahir dan batin bagi orang-orang di lingkungan ini. Padepokan itu harus menjadi tempat orang-orang mencari pengetahuan yang berarti bagi kesejahteraan hidup lahiriahnya, tetapi juga tempat orang menemukan dirinya dihadapan penciptanya menurut ajaran yang benar.”
Ki Warana memandang Ki Pandi dengan tajamnya. Namun kemudian Ki Warana itupun bertanya, “Tetapi siapakah yang akan dapat melakukannya? Maksudku, siapakah yang akan memimpin padepokan itu, karena tidak seorangpun diantara kami yang mampu melakukannya? Kami adalah orang-orang yang selama ini hanyut dalam arus yang liar dan bermuara pada genangan yang keruh.”
“Jalan telah dibuat menembus hutan yang menyekat lingkungan ini dengan dunia yang lebih cerah. Karena itu, jika segalanya telah dapat diselesaikan, maka pergilah ke pajang. Kalian akan dapai memecahkan persoalan yang kalian hadapi.”
“Haruskah kami menempuh perjalanan yang jauh itu?”
“Kau pernah ke Pajang? Pajang tidak terlalu jauh dari tempat ini. Apalagi setelah hutan Jatimalang terbuka.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Pandi. Aku akan berusaha sejauh dapat aku lakukan. Tetapi aku pun harus berhati-hati, agar aku tidak dicurigai oleh Kiai Banyu Bening dan para pengikutnya yang paling setia. Yang menurut penglihatan Kiai Banyu Bening termasuk aku sendiri.”
“Mudah-mudahan Ki Warana berhasil. Usaha Ki Warana ini juga merupakan usaha untuk melestarikan keberadaan padepokan itu, meskipun isinya akan berubah.”
Namun Ki Warana tidak dapat berbincang terlalu panjang, ia harus segera berada di padepokannya kembali. Meskipun demikian, Ki Warana telah membawa bekal yang akan sangat berarti bagi padepokannya.
“Ki Warana!” pesan Ki Pandi “Beritahukan kami, kemana Ki Warana akan menyusun pertahanan kedua sebelum Ki Warana akan kembali memasuki padepokan.”
“Baiklah Ki Pandi. Aku akan menyampaikannya dalam dua hari sebelum batas waktu yang sepuluh hari itu sampai. Jika aku tidak sempat menunggu Ki Pandi karena waktuku yang sempit, aku akan berpesan kepada Delima.”
Sepeninggal Ki Warana, Ki Pandi yang diikuti oleh Manggada dan Laksana telah menyusuri tepian. Ketika mereka sampai di tempat yang hampir tidak pernah di kunjungi orang, Ki Pandi berkata, ”Sepuluh hari lagi, Lebdagati akan datang ke padepokan. Kalian pun harus bersiap.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Namun mereka tanggap bahwa Ki Pandi telah menemukan tempat yang baik untuk berlatih. “Kita manfaatkan waktu yang pendek ini,” berkata Ki Pandi.
Untuk beberapa lama, maka mereka bertiga telah berlatih di tepian. Ki Pandi sengaja mengajak Manggada dan Laksana berlatih diatas pasir yang tebal, agar menambah hambatan pada langkah kaki mereka.
Sejak hari itu, maka orang-orang yang berada di rumah Ki Ajar Pangukan telah benar-benar mempersiapkan diri. Karena Manggada dan Laksana adalah orang-orang yang paling muda diantara mereka, bukan saja umurnya, tetapi juga ilmunya, maka seakan-akan orang-orang tua yang ada dirumah itu telah berusaha membantu mereka meningkatkan ilmunya. Bahkan tanpa diminta oleh siapapun, masing-masing berusaha menyesuaikan kemungkinan-kemungkinan yang tidak justru mengganggu bagi perkembangan ilmu dan tubuh Manggada dan Laksana.
Diantara mereka berusaha membantu perkembangan ilmu Manggada dan Laksana melengkapi unsur-unsur geraknya. Tetapi Ki Lemah Teles lebih senang mengajak kedua anak muda itu berkelahi.
“Aku tidak akan merusak dasar ilmu mereka. Dengan berkelahi, anak-anak itu akan mendapat pengalaman-pengalaman baru sehingga dasar kemampuan mereka akan berkembang dengan sendirinya. Karena didunia olah kanuragan, merekapun akan menghadapi kekerasan dari orang-orang yang semula ilmunya tidak dikenalnya sama sekali.”
Manggada dan Laksana memang memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Beberapa pintu yang rasa-rasanya masih tertutup baginya, telah menjadi terbuka, sehingga Manggada dan Laksana menemukan kemungkinan-kemungkinan baru didalam tatanan kemampuannya. Dengan demikian maka ilmu Manggada dan Laksana dengan pesatnya telah meningkat.
“Kalian tidak boleh menjadi beban,“ berkata Ki Pandi “jika benar kita akan terlibat, maka kalian akan dapat mandiri menghadapi para pengikut Panembahan Lebdagati.”
”Jika Kiai Banyu Bening diluar dugaan menang atas Panembahan Lebdagati dan dapat mengusirnya atau bahkan menghancurkannya sama sekali?“ bertanya Manggada.
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Memang mungkin sekali. Selama ini kita selalu menganggap bahwa Kiai Banyu Bening akan dikalahkan oleh Panembahan Lebdagati.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?“ bertanya Laksana.
“Kita harus mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Sebelum Kiai Banyu Bening sempat bernafas, kita akan datang dan menghancurkannya sama sekali. Terutama bangunan-bangunan yang ada hubungannya dengan nafsu dan dendamnya karena ia telah kehilangan anak bayinya. Sedangkan kita tidak tahu, siapakah yang telah bersalah, sehingga anak bayinya itu ditelan api.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Mereka mengerti sepenuhnya, apa yang harus mereka lakukan jika Panembahan Lebdagati berhasil. Tetapi merekapun tahu apa yang harus mereka lakukan jika Kiai Banyu Bening berhasil mengusir Panembahan Lebdagati dan bahkan menghancurkan para pengikutnya.
Seperti yang sudah direncanakan, maka dua hari sebelum hari-hari yang menegangkan itu, Ki Warana ternyata masih sempat menemui Ki Pandi di tepian seperti biasanya. Bahkan Ki Warana sudah menunggu bersama Delima yang sedang mencuci. Ki Warana menemui Ki Pandi dan Manggada ditempat yang terpisah, sementara Laksana lebih senang menunggui Delima yang sedang sibuk dengan cuciannya.
“Kau tidak ikut dalam pembicaraan itu?“ bertanya Delima.
Laksana menggeleng. Katanya, “Seandainya aku ikut duduk bersama mereka, akupun hanya mendengarkan saja.”
“Bukankah dengan demikian kau akan mengetahui rancangan yang seharusnya kalian lakukan?”
“Bukankah aku dapat bertanya kepada kakang Manggada atau langsung kepada Ki Pandi?”
“Tetapi tentu lebih puas jika dapat langsung mendengar urut-urutan pembicaraan itu.”
“Hasil pembicaraan itu akan dapat aku dengar dari orang lain. Tetapi apa yang akan kau katakan hanya dapat aku dengar langsung dari kau sendiri.”
“Apa yang akan kau katakan?“ Delima justru terkejut.
“Tidak tahu. Tentu kau yang lebih tahu,“ jawab Laksana.
“Ah, kau,“ desis Delima yang kemudian telah tenggelam dalam kesibukannya, mencuci pakaian sebagaimana selalu dilakukannya. Biasanya bahkan Delima datang dengan beberapa orang kawan-kawan Delima masih belum berani turun ke sungai.
Dalam pada itu, Ki Warana telah memberikan ancar-ancar kepada Ki Pandi tentang garis pertahanan keduanya.
“Beberapa orang yang benar-benar dapat aku percaya telah sepakat,“ berkata Ki Warana “Jika keadaan memaksa kami akan menyusun pertahanan di sebuah padukuhan yang tidak terlalu jauh dari padepokan. Sebanyak kawan-kawan kami yang dapat melarikan diri, maka kami akan mencoba menyusun kekuatan kami kembali. Tentu saja dengan harapan, bahwa Ki Pandi akan membantu kami. Terutama untuk menghadapi Panembahan Lebdagati itu sendiri.”
Ki Pandi mengangguk-angguk. Kalanya, “Baiklah. Tetapi aku mempunyai syarat lagi.”
“Syarat apa Ki Pandi?“
“Jika padepokan kalian memenangkan pertempuran melawan Panembahan Lebdagati, maka Kiai Banyu Bening akan berhadapan dengan kami. Kami memang ingin menghapus nafsu dan dendam Kiai Banyu Bening. Jika Kiai Banyu Bening menang atas Panembahan Lebdagati, maka kepercayaan terhadap dirinya menjadi semakin tebal. Dengan demikian, maka kegiatan yang selama ini agak mengendor karena berbagai macam sebab, akan semakin meningkat. Kiai Banyu Bening tentu akan benar-benar memerintahkan mengorbankan bayi-bayi yang tidak berdosa sekedar untuk didengar tangisnya saat api mulai menjilat tubuhnya.”
Ki Warana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Lalu, apa yang sebaiknya kami lakukan?”
“Bukankah Ki Warana juga ingin membebaskan diri dari cengkeraman kepercayaan yang pura-pura itu?”
”Ya.” jawab Ki Warana.
“Nah, jika demikian, perintahkan orang-orang yang sejalan dengan pikiran Ki Warana untuk mengenakan tanda. Jika kalian mampu mengalahkan Panembahan Lebdagati, sementara kalian dan kami memasuki padepokan itu sebelum Kiai Banyu Bening sempat bernafas, agar kami dapat membedakan, siapakah yang berniat mempertahankan kehadiran Kiai Banyu Bening dan siapa yang tidak, kalian harus mengenakan sesuatu.”
“Apa menurut pendapat Ki Pandi?”
“Apa yang paling mudah kalian dapatkan di dalam padepokan Kiai Banyu Bening? Janur atau bulu ayam, bulu itik atau apa?”
“Memang ada beberapa batang pohon kelapa yang terkurung oleh dinding padepokan.”
“Nah, pastilah janur kuning. Sebelum kalian perlukan, ikatkan janur kuning itu dibawah baju kalian. Baru kemudian janur kuning itu diperlihatkan dan dipergunakan sebagai pertanda setelah diperlukan,” berkata Ki Pandi.
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, ”Baiklah, Ki Pandi. Kami akan mencobanya. Kami akan bertahan terhadap Panembahan Lebdagati, tetapi disisi lain kami ingin bebas dari belenggu Kiai Banyu Bening tanpa menumbuhkan kecuriagaan.”
“Terima kasih Ki Warana. Mudah-mudahan kita berhasil,” jawab Ki Pandi.
“Jika Panembahan Lebdagati bersungguh-sungguh, maka waktu kita tinggal dua hari.”
“Aku kira Panembahan Lebdagati bersungguh-sungguh. Berhati-hatilah. Kau tidak boleh hancur dalam permainan ini, karena kau akan membawa perubahan sikap dari beberapa orang yang terbelenggu didalam cengkeraman lingkungan yang kau benci.”
“Baiklah...“ berkata Ki Warana, ”Aku akan berusaha.”
Seperti biasanya maka Ki Warana tidak dapat terlalu lama berada di pinggir sungai itu. Apalagi disaat padepokannya sedang mempersiapkan kesiagaan tertinggi menghadapi tantangan Panembahan Lebdagati. Karena sebenarnyalah Kiai Banyu Bening sendiri menjadi berdebar-debar menghadapi ancaman itu. Tetapi sebagai seorang yang berilmu tinggi dan berkeyakinan atas kemampuannya, maka Kiai Banyu Bening tidak akan begitu saja menyerah terhadap ancaman Panembahan Lebdagati.
Pada malam-malam terkhir, mendekati saat yang ditentukan oleh Panembahan Lebdagati, maka Kiai Banyu Bening sendiri memang lebih banyak berada didalam sanggarnya. Beberapa orang kepercayaannya memang diperintahkan untuk meningkatkan kemampuan mereka. Memantapkan pengabdian mereka kepada Sang Maha Api dan menyediakan senjata secukupnya.
Kiai Banyu Bening telah memerintahkan pula membuat panggungan dibelakang dinding padepokannya. Para cantrik sudah diperintahkan untuk menghancurkan lawan sebelum mereka memasuki dinding padepokan. “Sediakan anak panah sebanyak-banyaknya. Juga sediakan lembing dan senjata lontar yang lain.”
Sedangkan para cantrik juga diperintahkan untuk melihat dinding, pintu gerbang dan pintu butulan. Yang nampak lemah harus segera diperkuat. Selarak pintu pun dibuat rangkap pula.
Menjelang hari-hari yang ditentukan, maka segala sesuatunya telah siap. Kiai Banyu Bening menjadi semakin yakin, bahwa orang yang menyebut dirinya Panembahan Lebdagati itu tidak akan dapat memasuki padepokannya.
Namun dihari-hari terakhir itu pula sepasang burung elang nampak berputaran di langit. Sekali-sekali menukik rendah. Namun kemudian membubung tinggi menyentuh mega-mega di langit. Dengan matanya yang tajam sepasang burung elang itu memperhatikan apa yang ada didalam dinding padepokan. Kemudian dengan gerak isyarat sepasang burung elang itu memberikan laporan tentang penglihatannya sesuai dengan kemampuannya.
Sementara itu orang-orang yang mampu mengendalikan burung-burung elang itu mencoba untuk menangkap arti dari isyarat-isyarat yang diberikan oleh sepasang burung elang itu. Namun bukan hanya orang-orang yang mengendalikan burung-burung elang itu saja yang memperhatikan sepasang burung itu dari kejauhan. Tetapi Ki Pandi, Manggada dan Laksana pun ikut memperhatikan pula dari kejauhan.
“Menurut Ki Warana, besok adalah batas terakhir yang diberikan oleh Panembahan Lebdagati,“ berkata Ki Pandi.
“Besok akan terjadi pertempuran yang sengit antara dua aliran hitam yang garang.“ desis Manggada.
“Bukan besok,“ sahut Ki Pandi “Besok adalah batas terakhir. Aku kira baru besok lusa Panembahan Lebdagati akan datang ke padepokan.”
“Kita harus siap di tempat yang sudah disebut Ki Warana itu Ki Pandi. Ki Warana menganggap tempat itu sebagai garis pertahanannya yang kedua. Jika Ki Pandi dan orang-orang tua yang tinggal dirumah Ki Ajar Pangukan itu tidak ikut campur, maka mereka tentu akan dimusnakan oleh Panembahan Lebdagati,“ berkata Manggada.
“Ya!” desis Laksana. “Namun Panembahan Lebdagati tentu bersungguh-sungguh. Sepasang burung elang itu merupakan salah satu isyarat kesungguhan Panembehan Labdagati.”
“Baiklah,“ Ki Pandi mengangguk-angguk, ”Kitapun harus bersiap. Besok malam kita harus bergerak ke tempat yang sudah ditentukan itu. Sebuah padukuhan kecil yang tidak terlalu jauh dari padepokan sebagaimana telah diancar-ancarkan oleh Ki Warana."
“Marilah kita kembali” desis Manggada.
Tetapi Laksanapun berdesis, “Kita singgah sebentar di tepian itu.”
”Untuk apa?” bertanya Manggada.
“Melihat apakah Delima ada di tepian,” jawab Laksana.
“Bukankah kau yang mengatakan sendiri? Delima mengatakan kepadamu, bahwa ia tidak akan datang ke tepian lagi untuk beberapa hari sampai keadaan menjadi tenang?”
“Mungkin hari ini ia masih datang.”
“Tentu tidak,“ jawab Manggada “Apakah kau masih belum puas menunggui gadis itu mencuci kemarin?”
Laksana hanya tersenyum saja. Dengan nada dalam ia berkata, “Baiklah. Kita pulang saja.”
Bertiga merekapun kemudian menyusuri jalan setapak dan sekali-sekali naik dan turun tebing yang curam untuk mencapai sebuah rumah yang terpencil yang dihuni oleh Ki Ajar Pangukan.
Kepada orang-orang tua yang berada di rumah Ki Ajar Pangukan, Ki Pandi telah memberikan keterangan terperinci, apakah yang harus mereka lakukan menjelang terjadinya benturan kekuatan antara isi padepokan Kiai Banyu Bening dengan Panembahan Lebdagati serta para pengikutnya.
“Waktu kita tinggal besok siang. Besok malam kita harus sudah berada di padukuhan kecil itu."
Ki Ajar Pangukan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita yang sudah berjanji, terutama kepada diri sendiri untuk menghancurkan ilmu hitam siapapun yang menjadi pemimpinnya, akan melakukan kewajiban yang kita letakkan diatas pundak kita sendiri ini dengan sebaik-baiknya. Besok kita semuanya akan pergi ke padukuhan sebagaimana dikatakan oleh Ki Warana itu.”
“Tetapi bagaimana dengan orang-orang padukuhan itu sendiri? Apakah mereka sudah mengerti tentang apa yang bakal terjadi?“ bertanya Ki Sambi Pitu.
Ki Pandi menggeleng. Katanya, “Belum. Jika mereka mengetahuinya, mungkin rencana itu akan menjalar dan didengar oleh Kiai Banyu Bening atau oleh Panembahan Lebdagati. Kedua-duanya tidak menguntungkan bagi rencana Ki Warana.”
“Ya,“ Ki Sambi Pitu mengangguk-angguk, ”Jika demikian, besok kita harus dapat menempatkan diri. Kita sudah tahu, bahwa kehadiran kita besok masih belum diketahui oleh orang-orang padukuhan itu, sehingga kita tidak dengan serta-merta datang ke banjar.”
Demikianlah, maka orang-orang tua itu telah merencanakan untuk berada disekitar sanggar yang agaknya juga sudah dibuat dipadukuhan itu.
Dalam pada itu, maka Ki Pandipun telah minta waktu untuk mengambil dua ekor harimaunya. Dengan tegas ia berkata, ”Besok, sebelum matahari terbenam, aku sudah berada di tempat ini kembali. Kita akan bersama-sama pergi ke padukuhan itu. Kita akan mencoba mengikuti perkembangan keadaan dikeesokan harinya. Apa yang akan terjadi di padepokan Kiai Banyu Bening.”
“Jadi, Ki Pandi akan pergi?“ bertanya Manggada.
“Ya,” jawab Ki Pandi “Kalian tidak usah ikut. Usahakan untuk melihat apakah besok burung-burung elang itu akan berputaran lagi diatas padepokan.”
Demikianlah, maka Ki Pandi pun telah minta diri setelah menitipkan Manggada dan Laksana kepada orang-orang yang berada dirumah Ki Ajar Pangukan itu.
“Tetapi apakah Ki Pandi dapat menempuh perjalanan itu semalam dan sehari besok?” bertanya Manggada “Seandainya dapat Ki Pandi lakukan, Ki Pandi tentu letih sekali.”
Ki Pandi tersenyum. Katanya “Aku akan mencobanya untuk kembali pada saatnya. Jika aku merasa letih, bukanah masih ada waktu semalam untuk beristirahat?”
Manggada mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya, Ki Pandi.”
Ternyata Ki Pandi memang seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Agar tidak terlambat maka Ki Pandi telah menempuh perjalanannya dengan cepat. Secepat orang berlari. Ki Pandi pun tidak menempuh perjalanan lewat jalur jalan yang berkelok-kelok. Tetapi ia lebih banyak memotong arah.
Bukan saja melintasi pematang, tanggul, meloncati parit dan menyeberang sungai, tetapi Ki Pandi juga berjalan dengan cepat menembus hutan seperti seekor kijang. Pengalamannya Tapa Ngidang yang sudah dilakukan tidak hanya sekali, sangat membantunya menerobos gerumbul-gerumbul liar dan eri bebondotan.
Dengan caranya itu, maka Ki Pandi memang akan dapat kembali pada waktunya sebagaimana di janjikannya. Bukan hal yang sulit bagi Ki Pandi untuk menemukan kedua ekor harimaunya. Hanya tanpa istirahat, maka Ki Pandipun segera mengajak kedua ekor harimaunya ke kaki Gunung Lawu.
Dalam pada itu, Manggada dan Laksana yang ditinggalkan oleh Ki Pandi di rumah Ki Ajar Pangukan mendapatkan kesempatan sebagaimana yang sering dilakukannya, mengadakan latihan dengan orang-orang tua yang berilmu tinggi. Kesempatan yang sangat berarti bagi Manggada dan Laksana. Dengan latihan-latihan yang berat itu, maka ilmu kedua anak muda itu memang selalu meningkat dan menjadi matang.
Pada kesempatan di hari terakhir yang diberikan oleh Panembahan Lebdagati kepada Kiai Banyu Bening, maka Manggada dan Laksana telah mengamati padepokan itu dari kejauhan. Mereka memang melihat dua ekor burung elang yang berputar-putar. Sekali-sekali menukik rendah, kemudian terbang naik tinggi tinggi. Melihat sikap kedua ekor burung itu, maka nampaknya memang terjadi sesuatu di padepokan Kiai Banyu Bening.
“Burung-burung itu tentu mengamati utusan Panembahan Lebdagati yang datang ke padepokan itu” desis Manggada.
Laksana mengangguk-angguk. Katanya, ”Mudah-mudahan dugaan Ki Pandi benar, bahwa hari ini masih belum terjadi sesuatu di padepokan itu.”
“Kita akan mengamati padepokan itu dari jarak yang lebih dekat. Tetapi hati-hati. Jika mereka, apakah orang-orang Kiai Banyu Bening, lebih-lebih lagi orang-orang Panembahan Lebdagati, rencana Ki Warana akan dapat terganggu seandainya salah seorang atau bahkan mereka berdua mengadakan perubahan sikap,” berkata Manggada selanjutnya.
Demikianlah, maka dengan sangat berhati-hati kedua orang anak muda itu telah berusaha mendekti padepokan. Tetapi mereka tetap berada pada jarak tertentu agar kehadiran mereka tidak diketahui oleh kedua belah pihak yang sedang bersengketa itu. Kedua-nyapun berusaha untuk menghindari penglihatan burung-burung elang yang terbang berputaran diatas padepokan Kiai Banyu Bening.
Dua orang anak muda itu telah tersembunyi dibelakang gerumbul perdu yang rimbun. Dan tempat mereka bersembunyi, mereka dapat melihat meskipun tidak begitu jelas, wajah depan padepokan Kiai Banyu Bening.
Untuk beberapa lamanya mereka menunggu. Burung-burung elang yang berterbangan itu masih saja berputar-putar dan sekali-sekali menukik rendah. Manggada dan Laksana menduga, bahwa utusan Panembahan Lebdagati masih berada di padepokan. Keduanya telah menyabarkan dirinya, untuk melihat utusan Panembahan Lebdagati itu keluar dari regol padepokan Kiai Banyu Bening yang masih tertutup.
Ketika kesabaran kedua orang anak muda itu hampir habis, maka mereka melihat dari kejauhan, pintu gerbang padepokan itu bergerak. Perlahan-lahan pintu itupun terbuka. Dari dalam regol, Manggada dan Laksana melihat lima orang berkuda meninggalkan padepokan itu. Sementara itu, beberapa orang penghuni padepokan itu melepas orang-orang berkuda itu pergi. Namun nampak bahwa sikap mereka, baik kelima orang berkuda itu, maupun orang-orang yang melepas mereka pergi, tidak cukup ramah.
Ketika kelima orang berkuda itu menjauh, maka orang-orang yang melepas mereka pergi itupun segera kembali masuk ke dalam dan pintu regol pun perlahan-lahan ditutup. Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Manggada mengusap keringatnya yang mengembun di keningnya berkata,
”Mereka tentu tidak menemukan persetujuan. Besok akan terjadi keributan itu.”
“Tetapi mungkin juga Panembahan Lebdagati menunggu persiapan yang lebih matang.”
“Menurut perhitunganku, Panembahan Lebdagati akan berperan dengan cepat. Jika dia sudah memberikan waktu sepuluh hari, itu berarti bahwa dalam sepuluh hari itu, Panembahan Lebdagati mematangkan persiapannya.”
Laksana mengangguk-angguk sambil berdesis, ”Jika demikian, besok akan terjadi pertempuran yang sengit di regol itu.“
“Kita harus sudah berada di padukuhan kecil itu. Mudah-mudahan Ki Pandi datang tepat pada waktunya,“ sahut Manggada.
Laksana tidak menjawab. Sementara itu, burung-burung elang itupun masih nampak terbang berputaran. Tetapi tidak lagi diatas padepokan Kiai Banyu Bening. Burung-burung elang itu berputaran sambil mengikuti kelima orang utusan Panembahan Lebdagati itu.
“Apakah kita akan mengikuti arah terbang burung-burung itu agar kita mendapat ancar-ancar dimana sarang Panembahan Lebdagati selama ia mempersiapkan diri untuk menyerang padepokan Kiai Banyu Bening?“ bertanya Laksana.
”Sudahlah. Kita kembali saja ke rumah Ki Ajar Pangukan. Jika para pengikut Panembahan Lebdagati atau burung-burung elang mereka melihat kita, maka kita akan berada dalam kesulitan. Bahkan mungkin bukan hanya kita berdua.”
Laksana mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan memberikan laporan kepada Ki Ajar Pangukan.”
Demikianlah, maka mereka berduapun segera kembali kerumah Ki Ajar Pangukan. Namun ketika mereka menyusup sebuah gerumbul dan kemudian memanjat naik sebuah tebing rendah, mereka terkejut. Ki Ajar Pangukan duduk diatas sebuah batu padas sambil tersenyum.
“Ki Ajar,” desis Manggada dan Laksana hampir berbareng.
“Aku memang menunggu kalian,“ berkata Kj Ajar.
“Ki Ajar disini sejak tadi?“ bertanya Laksana.
”Tidak. Aku menunggu kalian yang bersembunyi dibelakang gerumbul sambil melihat kepergian kelima orang utusan Panembahan Lebdagati."
“Jadi?”
Ki Ajar Pangukan tertawa. Katanya “Ya. Aku juga ingin mengetahui apa yang terjadi di padepokan Kiai Banyu Bening.”
Manggada dan Laksana pun tersenyum pula. Sementara Ki Ajar berkata, “Marilah. Kita pulang. Kecuali aku dan kalian, maka yang lain pun ikut pula melihat apa yang terjadi di padepokan justru pada saat yang genting.”
Sebenarnyalah ketika mereka sampai dirumah Ki Ajar Pangukan, maka ternyata seisi rumah itu telah mendekati padepokan dari arah yang berbeda-beda. Mereka semuanya melihat kelima orang utusan Panembahan Lebdagati meninggalkan padepokan. Mereka semuanya melihat burung-burung elang itu berputaran mengamati kelima orang yang meninggalkan padepokan itu.
Dalam pada itu, maka seisi rumah itupun kemudian telah mempersiapkan diri. Malam nanti mereka akan pergi ke padukuhan yang telah disebutkan oleh Ki Pandi. Namun mereka akan menunggu sampai Ki Pandi datang bersama kedua ekor harimaunya.
“Sampai kapan kita menunggu?“ bertanya Ki Lemah Teles.
“Jika menjelang tengah malam Ki Pandi tidak datang, maka kita akan meninggalkannya.“ Ki Sambi Pitulah yang menjawab.
“Baiklah,” berkata Ki Ajar Pangukan “Kita akan menunggu sampai menjelang tengah malam.”
“Tetapi bukankah Ki Pandi berjanji untuk datang sebelum senja,“ bertanya Manggada.
“Kita tidak tahu, apakah Ki Pandi mengalami hambatan yang sulit diatasi,“ berkata Ki Lemah Teles.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Memang segala sesuatu mungkin terjadi. Tetapi jika tidak ada hambatan apapun, Ki Pandi agaknya tidak akan mengingkari janjinya.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka cahayanya yang kemerahan memancar ke puncak pepohonan. Selembar-selembar awan yang didorong angin mengambang ke utara.
Manggada dan Laksana masih duduk diserambi depan rumah Ki Ajar Pangukan. Setelah mereka membuat minuman dan menghidangkannya kepada penghuni rumah itu, maka kedua anak muda itu telah membawa mangkuk minuman hangat bagi mereka sendiri di serambi.
“Senja sudah turun,“ berkata Manggada.
“Mungkin terjadi sesuatu di perjalanan,“ sahut Laksana yang mulai menjadi gelisah.
Meskipun dirumah itu ada beberapa orang tua yang berilmu tinggi, namun rasa-rasanya orang yang paling dekat dengan mereka adalah Ki Pandi. Ki Pandi pula lah yang membawa mereka ke rumah Ki Ajar Pangukan. Ki Pandi pulalah yang telah menuntun mereka memanjat ketataran ilmu mereka yang semakin tinggi. Karena itu, maka baik Manggada maupun Laksana telah menganggap bahwa Ki Pandi adalah guru mereka.
Manggada dan Laksana itupun tiba-tiba meloncat bangkit ketika mereka melihat di antara gerumbul-gerumbul perdu dua ekor harimau yang berjalan perlahan-lahan sambil memandang kedua orang anak muda yang kemudian berdiri di halaman itu. Dua pasang mata yang berkilat-kilat seperti sorot permata yang kehijau-hijauan memancar di ketemaraman senja.
“Ki Pandi” desis Manggada.
Dari balik pohon perdu yang tumbuh memagari halaman rumah itu, Ki Pandi melangkah terbungkuk-bungkuk. “Aku memenuhi janjiku,“ berkata Ki Pandi sambil tersenyum. Namun katanya pula “Tetapi aku terlambat sedikit.”
Pintu rumah yang masih terbuka itu terbuka semakin lebar. Ki Ajar Pangukan yang mendengar nama Ki Pandi disebut, segera melangkah keluar.
”Kau datang pada waktunya,” berkata Ki Ajar.
”Aku berusaha untuk memenuhi janjiku, meskipun aku harus berjalan tanpa berhenti,“ jawab Ki Pandi.
“Sejak kemarin?”
“Tidak. Aku sempat tidur, mandi dan makan.”
“Marilah, masuklah. Kedua cucumu itu menunggumu di serambi sejak tadi,“ berkata Ki Lemah Teles.
Ki Pandi tertawa, sementara Manggada berkata, “Semua kerja sudah selesai, sehingga kami sempat duduk menunggu disini.”
Demikianlah, maka Ki Pandi pun telah duduk bersama dengan seisi rumah itu. Laksana telah menghidangkan minuman hangat bagi Ki Pandi, sementara ketela pohon yang direbus Manggada pun telah masak pula.
Ketika ketela rebus itu dihidangkan, maka Ki Ajar Pangukan pun berkata, “Marilah. Silahkan makan sebanyak-banyaknya. Belum tentu besok kita akan sempat makan. Seandainya sempat, kita belum tahu apakah ada orang yang memberi kita makan.”
Demikianlah setelah mereka makan ketela pohon yang direbus dengan santan dan garam secukupnya, maka mereka pun segera bersiap-siap untuk pergi.
Sementara itu langit telah menjadi hitam. Lampu minyak telah dipasang. Tetapi karena semuanya akan pergi, maka lampu-lampu itupun segera dipadamkannya.
Beberapa saat kemudian, seisi rumah Ki Ajar Pangukan itu telah berada dalam perjalanan. Mereka merayap maju dalam kegelapan melalui jalan yang kadang-kadang turun dengan terjal, kadang-kadang menyusup diantara gerumbul perdu. Sekali meloncat dan memanjat. Tetapi mereka tidak tergesa-gesa. Karena itu, maka mereka berjalan perlahan-lahan, sehingga karena itu, maka mereka maju dengan lambat...
Selanjutnya,
MATAHARI SENJA BAGIAN 11
MATAHARI SENJA BAGIAN 11