Matahari Senja
Bagian 12
KI WARANA menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sadar, bahwa kedudukannya dalam keadaan goncang. Ia memerlukan orang-orang yang berilmu tinggi untuk menolongnya. Pada saat Ki Warana sedang termangu-mangu, maka terdengar Ki Pandi itupun berkata,
“Ki Warana, silahkan duduk. Aku akan memperkenalkan kawan-kawanku ini.”
Ki Waranapun kemudian duduk diantara orang-orang tua itu. Dua orang yang datang bersamanya dengan ragu-ragu duduk pula bersama mereka. Ki Pandi pun kemudian telah memperkenalkan kawan-kawannya kepada Ki Warana, termasuk Ki Lemah Teles yang berbaring di alas penyerahan korban itu.
Ki Warana mengangguk hormat kepada mereka sambil berkata, “Terima kasih atas perhatian Ki Sanak terhadap padepokan kami.”
“Kami ingin melihat padepokan itu berubah,“ berkata Ki Ajar Pangukan “Hendaknya yang memancar dari padepokan itu bukan awan yang hitam, tetapi cahaya yang bening dalam arti yang sebenarnya. Bukan beningnya Kiai Banyu Bening.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan kami pun sempat mendapatkan cahaya yang bening itu.”
“Kenapa tidak?“ bertanya Ki Ajar Pangukan.
“Kami terusir dari padepokan itu. Perjuangan untuk mendapatkan kembali tentu akan menelan korban. Jika korban itu aku sendiri, maka aku tidak akan pernah mendapatkan apa yang Ki Ajar katakan cahaya yang bening itu.”
“Tetapi bahwa kau mendambakannya, itu adalah satu langkah awal yang diperhitungkan. Jangan cemas. Kami akan bersamamu.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Pandi pun bertanya, ”Ki Warana hanya bertiga?”
“Tidak. Yang lain nanti akan menyusul. Kami melarikan diri dari padepokan dengan arah yang berbeda-beda untuk menghindari kemungkinan yang paling buruk.“ jawab Ki Warana.
“Apakah mereka juga akan datang ke sanggar ini?”
“Ya. Mereka akan datang ke sanggar ini sebelum kita berbicara dengan orang-orang padukuhan.”
Sebenarnyalah, bahwa beberapa saat kemudian, beberapa orang telah berdatangan. Mereka nampak letih dan kotor. Beberapa orang diantara mereka terluka. Bahkan ada yang terluka selama mereka berlari meninggalkan padepokan, karena kuku-kuku baja burung-burung elang yang menyerang mereka dari udara.
Ternyata orang-orang yang sependapat dengan Ki Warana itu terhitung cukup banyak. Menjelang senja, disanggar yang tidak terlalu luas itu telah bertebaran orang-orang yang telah melarikan diri dari padepokan. Ada diantara mereka yang berbaring diatas rerumputan. Ada yang sedang merawat luka-lukanya dan ada yang duduk-duduk saja sambil tepekur.
Ki Waranalah yang kemudian memberitahukan kepada orang-orang yang sejalan dengan sikapnya itu siapakah orang-orang yang sebelumnya tidak mereka kenal itu.
“Mereka akan berjuang bersama kita untuk melawan Panembahan Lebdagati.”
Tetapi seorang di antara mereka ada yang berkata, ”Apa yang dapat mereka lakukan? Sedangkan Kiai Banyu Bening saja tidak mampu melawan Panembahan Lebdagati.”
Ki Lemah Teles yang berbaring itu telah bangkit sambil berkata, “He, aku akan menantangnya berperang tanding.”
“He, kau pembual,” geram orang yang meragukan kemampuan orang-orang tua itu “Kau akan diremas menjadi abu oleh Panembahan Lebdagati.”
“Iblis kau,“ Ki Lemah Teles itu segera meloncat turun “Aku pilin lehermu jika kau menghina kami lagi.”
“Sudahlah“ Ki Ajar Pangukan menengahi. “Kita belum saling mengenal, sehingga kita masih belum mengetahui tataran ilmu kita masing-masing.”
Orang itu masih akan menjawab. Tetapi Ki Warana membentaknya “Cukup. Kita harus mengucapkan terima kasih, bahwa ada orang yang memperhatikan kita sekarang ini.”
Orang itu terdiam. Sementara Ki Lemah Teles pun kemudian telah duduk disebelah Ki Sambi Pitu. Ki Warana lah yang kemudian berdiri menghadap kepada orang-orang padepokan yang mengikutinya ke sanggar itu,
“Kita akan beristirahat disini. Aku minta kalian bersikap baik. Kita akan bersama-sama menghadapi Panembahan Lebdagati dengan para pengikutnya. Kita memang masih ragu, apakah kita dapat melakukannya. Tetapi lepas dari segalanya, kita tidak boleh kehilangan akal dan menjadi putus-asa.”
Orang-orang padepokan itu terdiam. Meskipun ada diantara mereka yang meragukan kemungkinan itu, tetapi mereka masih berusaha menahan diri.
Dalam pada itu, Ki Warana pun kemudian berkata, “Sebaiknya kalian tinggal disini. Aku akan pergi menemui Ki Bekel untuk membicarakan kemungkinan-kemungkinan lebih jauh. Aku juga ingin mengusahakan makan bagi kita semuanya.”
Orang-orang padepokan itu mengangguk-angguk. Bahkan beberapa orang berdesis “Kami sudah sangat lapar.”
Bersama dengan dua orang, Ki Warana telah meninggalkan sanggar itu menuju ke rumah Ki Bekel. Ki Bekel memang terkejut melihat kehadiran Ki Warana dengan dua orang kawannya yang nampaknya sangat letih itu.
“Ada apa?“ bertanya Ki Bekel.
Ki Warana memang sudah dikenal dengan baik oleh Ki Bekel. Ia sudah sering datang untuk memberikan sesorah kepada penghuni padukuhan itu dihari-hari tertentu. Juga sudah sering datang dalam upacara penyerahan korban binatang di malam purnama.
Ki Waranapun kemudian menceriterakan apa yang terdjadi di padepokan. Dengan nada geram ia Berkata, “Kami sekarang terusir dari padepokan. Jumlah lawan terlalu banyak. Terakhir, Kiai Banyu Bening telah terbunuh di medan.”
“Kiai Banyu Bening terbunuh?“ Ki Bekel terkejut. Baginya Kiai Banyu Bening adalah orang yang memiliki tataran lebih tinggi dari orang kebanyakan. Ia adalah kekasih Sang Maha Api dan mendapat tugas untuk menggelarkan kuasa Sang Maha Api itu diatas bumi.
Ki Warana mengangguk sambil menjawab, ”Ya Ki Bekel. Kiai Banyu Bening berusaha melindungi para pengikutnya. Ia bertempur seperti seekor harimau yang terluka. Ia mengorbankan dirinya bagi keselamatan para pengikutnya.”
“Lalu, apa yang terjadi sekarang?“ bertanya Ki Bekel.
“Ada beberapa kelompok yang berhasil menyelamatkan diri. Sekarang kami berada di sanggar.”
“Kenapa tidak dibanjar saja?”
“Kami belum mendapat ijin Ki Bekel. Jika Ki Bekel tidak berkeberatan, kami akan pergi ke banjar dan tinggal untuk sementara dibanjar dan beberapa rumah yang kosong lainnya, sebelum kami merebut kembali padepokan kami.”
“Bagaimana Ki Warana dapat melakukannya tanpa Kiai Banyu Bening.”
“Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan.” jawab Ki Warana.
“Baiklah Ki Warana. Aku persilahkan Ki Warana dan kawan-kawan dari padepokan tinggal di banjar. Kami akan mengatur, dimana saja kalian akan dapat bermalam.”
“Tetapi sementara ini Ki Bekel. Sehari-harian kami bertempur sehingga kami belum sempat makan meskipun di padepokan kami mempunyai bahan makanan yang melimpah. Tetapi yang sekarang tentu berada di tangan Panembahan Lebdagati.”
“Baiklah Ki Warana. Jangan cemas. Berapapun jumlahnya kami akan dapat menjamunya. Tetapi sudah tentu kami mohon waktu untuk memasaknya.”
“Tentu Ki Bekel. Kami tidak akan dapat makan serba mentah. Sementara itu, kami akan memindahkan kawan-kawan kami ke banjar padukuhan ini.”
Demikianlah, maka Ki Warana pun segera kembali ke sanggar untuk mengajak kawan-kawannya pergi ke banjar, sementara Ki Bekel telah memanggil beberapa orang untuk menyiapkan makan bagi orang-orang padepokan yang untuk sementara akan berada di banjar padukuhan.
Dalam pada itu ternyata pengaruh Ki Warana di padukuhan itu cukup besar. Ketika para penghuni padukuhan itu mengetahui, bahwa padepokan Kiai Banyu Bening sudah diduduki oleh Panembahan Lebdagati, maka orang-orang padukuhan itu menjadi sangat kecewa meskipun mereka tidak tahu kenapa sebenarnya mereka kecewa.
Ketika malam menjadi kelam, orang-orang padepokan telah berada di banjar. Mereka merasa mendapat tempat yang lebih baik, sehingga sebagian dari mereka telah tertidur nyenyak di lantai banjar dengan alas tikar pandan. Jauh lebih baik daripada mereka berbaring di rerumputan di sanggar.
Namun Ki Pandi sempat memperingatkan Ki Warana, agar mereka tidak menjadi lengah. “Panembahan Lebdagati dapat berbuat apa saja. Karena itu, maka sebaiknya orang-orangmu bergantian mengawasi keadaan. Mungkin sekali Panembahan Lebdagati menyusul kalian malam ini.”
Seperti orang yang baru sadar dari tidur yang nyenyak, Ki Warana berkata “Terima kasih, Ki Pandi. Aku akan membagi tugas bagi orang-orangku.”
Ki Pandi mengangguk sambil menyahut “Bagus. Hati-hatilah. Kau sudah melihat sendiri, bahwa para pengikut Panembahan Lebdagati secara pribadi mempunyai kelebihan dari orang-orangmu.”
Ki Warana memang menyadari akan kelebihan para pengikut Panembahan Lebdagati dari orang-orang yang berada di padepokan. Karena itu, maka ketika Ki Warana memerintahkan orang-orangnya berjaga-jaga di sudut-sudut padukuhan, iapun berpesan, agar mereka berhati-hati sekali.
”Kalian sekali-sekali harus meronda berkeliling. Tetapi jangan seorang diri.“
Namun ternyata hanya pada malam itu tidak terjadi sesuatu. Nampaknya Panembahan Lebdagati tidak tergesa-gesa. Orang-orang yang melarikan diri bercerai berai itu dianggapnya tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi.
Ketika matahari mulai melemparkan cahaya fajar, maka Ki Ajar Pangukan minta orang-orang dari padepokan yang berada di padukuhan itu untuk mulai dengan gerakannya, memburu orang-orang padepokan yang melarikan diri. Tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu. Tidak nampak ada gerakan yang mendatangi padukuhan itu dari arah manapun juga.
“Meskipun demikian, jangan lengah.” pesan Ki Ajar Pangukan kepada Ki Warana.
Hari itu, Ki Warana, Ki Bekel dan Ki Ajar Pangukan serta orang-orang tua yang tinggal bersamanya telah mengadakan pembicaraan khusus. Ki Warana telah menyampaikan kepada Ki Bekel kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di padukuhan itu.
“Pada suatu saat, mungkin Panembahan Lebdagati akan datang ke padukuhan ini dengan pengikutnya.“ berkata Ki Warana.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah yang dapat kami lakukan? Seisi padepokan ini akan bersedia melakukan apa saja. Bahkan mungkin bukan hanya seisi padepokan ini.”
“Aku tidak dapat minta bantuan kepada padukuhan yang lain. Jika hal itu diketahui oleh Panembahan Lebdagati, maka padukuhan yang memberikan bantuan itu akan dapat dihancurkan. Sedangkan kami tidak dapat memberikan bantuan apapun juga. Berbeda dengan padukuhan ini. Kami memang ada disini. Jika Panembahan Lebdagati datang kemari, maka kami akan dapat berbuat sesuatu betapapun lemahnya kami. Sementara itu, saudara-saudara kami ini akan bersedia membantu.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah kami, para penghuni dari padukuhan ini bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Kami tentu tidak akan tinggal diam seandainya Panembahan Lebdagati itu benar-benar datang menyerang kalian yang saat kalian berada di padukuhan kami. Meskipun padukuhan kami bukan padukuhan yang besar, tetapi kami mempunyai laki-laki dan anak-anak muda cukup banyak. Meskipun kami tidak terbiasa mempergunakan kekerasan, tetapi kami bukanlah laki-laki dan anak-anak muda yang lemah.”
“Terima kasih Ki Bekel. Mudah-mudahan kami tidak menyebabkan padukuhan ini mengalami bencana.”
Namun dalam pada itu, Ki Ajar Pangukan, dan kawan-kawannya dan Ki Warana telah pula membicarakan kemungkinan yang dapat terjadi. Mereka mempertimbangkan, manakah yang lebih menguntungkan. Apakah mereka menyerang padepokan itu atau memancing Panembahan Lebdagati untuk datang menyerang. Namun Ki Pandi berpendapat, bahwa lebih baik mereka memancing agar Panembahan Lebdagati menyerang padukuhan itu.
“Kita akan mengalami kesulitan untuk memasuki padepokan itu,“ berkata Ki Pandi “Pintu gerbang itu tentu sudah semakin diperkuat. Sementara itu, serangan senjata lontar dari atas dinding akan dapat mengurangi jumlah kita yang memang tidak begitu banyak.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, ”Aku sependapat jika Ki Bekel tidak berkeberatan.”
“Tidak Ki Warana. Kami sama sekali tidak berkeberatan. Kami dapat menyiapkan pertahanan sebaik-baiknya.“ jawab Ki Bekel.
“Baiklah. Jika demikian, maka kita akan memancing agar Panembahan Lebdagati itu datang kemari.” berkata Ki Ajar.
Dengan demikian, maka sejak hari itu, padukuhan itupun segera mempersiapkan diri. Ki Bekel telah memerintahkan kepada semua laki-laki dan anak-anak muda yang mampu turun ke medan pertempuran untuk mempersiapkan senjata apa saja yang mereka miliki.
“Apakah disini banyak terdapat busur dan anak panah?” bertanya Ki Ajar Pangukan.
“Ada beberapa,“ jawab Ki Bekel “Ada beberapa orang penghuni padukuhan ini yang mempunyai kegemaran berburu.”
“Kita harus menghimpunnya.” berkata Ki Pandi.
“Aku akan melakukannya.“ jawab Ki Bekel.
Hari itu juga Ki Bekel telah memanggil para bebahu. Mereka harus mempersiapkan padukuhan itu untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka harus menghubungi semua laki-laki dan anak-anak muda di padukuhan itu untuk mempersiapkan diri membantu para cantrik dari padepokan Kiai Banyu Bening yang terdorong keluar dari padepokannya. Hari itu juga laki-laki sepadukuhan itu telah menyatakan diri untuk ikut serta berperang jika hal itu benar-benar akan terjadi.
“Bersiap sajalah sebaik-baiknya. Siapkan senjata yang terbaik yang kalian miliki. Jika Panembahan Lebdagati itu benar-benar datang, maka kalian tidak lagi sekedar bermain-main. Tetapi kalian akan berperang. Taruhannya adalah nyawa kalian.”
Dengan demikian, maka telah tersusun kekuatan di padukuhan itu. Ditataran teratas adalah Ki Ajar Pangukan dan orang-orang yang tinggal bersamanya. Kemudian Ki Warana dan para penghuni padepokan yang menyingkir ke padukuhan itu. Tataran yang terakhir adalah para penghuni padukuhan itu.
Ki Ajar dan Ki Pandi telah berpesan mawanti-wanti, agar laki-laki dari padukuhan itu tidak menghadapi lawan mereka seorang melawan seorang. Mereka harus selalu berada dalam kelompok-kelompok kecil untuk melawan para pengikut Panembahan Lebdagati yang memiliki ilmu yang tinggi.
Setelah susunan pertahanan di padukuhan itu mantap, maka Ki Warana sudah mendapat isyarat dari Ki Ajar, agar ia mulai memancing perhatian isi padepokan itu. “Kita tidak usah pergi jauh.” berkata Ki Ajar “Kita manfaatkan burung-burung elang itu.”
“Maksud Ki Ajar?” bertanya Ki Bekel.
“Jika kita berkerumun atau berlatih berperang di tempat terbuka, maka menurut perhitunganku, burung-burung elang itu akan dapat melihatnya. Mereka akan menuntun petugas sandi Panembahan Lebdagati untuk mengamati kita disini.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita sudah siap. Kapan saja Panembahan Lebdagati itu akan datang, akan kami sambut mereka dengan sebaik-baiknya.”
“Kepada Ki Warana, Ki Ajar bertanya, “Bagaimana dengan orang-orangmu Ki Warana?”
“Mereka juga sudah siap,“ jawab Ki Warana.
“Jika demikian, sudah tidak ada lagi yang ditunggu. Kita akan segera melakukannya.“ berkata Ki Ajar kemudian.
Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di padukuhan itu justru akan memancing burung-burung elang itu agar melihat mereka dalam kelompok-kelompok yang langsung memberikan kesan kesiagaan untuk bertempur.
Ki Ajar Pangukan dan kawan-kawannyalah yang kemudian mengajak orang-orang padukuhan itu serta orang-orang padepokan untuk berlatih di tempat terbuka. Mereka benar-benar melakukan latihan sekedarnya untuk memperkenalkan laki-laki dan anak-anak muda padukuhan itu dengan senjata, agar mereka yang sama sekali belum pernah memegang senjata mengerti bagaimana mempergunakannya.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Lemah Teles yang pernah disebut pembual oleh salah seorang penghuni padepokan yang melarikan diri itu telah tersinggung lagi. Orang yang menyebutnya pembual itu lagi yang membuatnya marah. Ketika Ki Lemah Teles memberikan beberapa petunjuk kepada orang-orang padukuhan itu tentang mempergunakan tombak, maka orang itu berdesis,
“Pembual itu lagi. Apa yang ia ketahui tentang tombak.”
Ki Lemah Teles berpaling. Namun orang itu sama sekali tidak menyingkir. Ia sengaja maju melangkah sambil tertawa. Katanya, ”Kau marah?”
Ki Lemah Teles termangu-mangu sejenak. Ia ingin mendapat saksi, bahwa bukan ia yang mendahuluinya. Karena itu, maka dipanggilnya Manggada dengan Laksana untuk datang kepadanya.
Manggada dan kemudian juga Laksana telah melangkah mendekat. Dengan dahi yang berkerut Manggada bertanya, “Ki Lemah Teles memanggil kami?”
“Ya” jawab Ki Lemah Teles “Aku ingin kalian menjadi saksi, bahwa bukan aku yang mendahului jika aku bertengkar dengan orang ini.”
“Ya,“ orang itu dengan wajah tengadah menyahut. “Aku benci pada pembual ini. Ia berbaring diatas alas persembahan. Ia membual sesuka hatinya, menyombongkan diri dan tidak tahu malu.”
“Kau bersungguh-sungguh?“ bertanya Manggada.
“Ya. Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin ia minta maaf kepada kami. Terutama karena ia sudah menghina tempat persembahan itu. Aku akan menunjukkan kepadanya, bahwa ia tidak perlu membual dan menyombongkan dirinya seperti itu.”
“Nah, sudah cukup?“ bertanya Ki Lemah Teles. “Kau akan mengenal siapakah kami, para cantrik dari padepokan Kiai Banyu Bening.”
Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar, justru karena mereka mengenal Ki Lemah Teles. Tetapi saat itu, mereka menjadi heran. Ki Lemah Teles itu tidak menjadi sangat marah dan menantang orang itu perang tanding. Tetapi ia seakan-akan sekedar ingin melayaninya saja.
Dengan nada datar, Ki Lemah Teles itu berkata, “Marilah. Biarlah orang-orang yang sedang berlatih ini menjadi saksi pula, siapakah yang sebenarnya pembual dan sombong.”
Orang itupun segera mempersiapkan diri. Dengan wajah yang garang ia melangkah mendekati Ki Lemah Teles selangkah demi selangkah. Kemudian sambil tertawa ia berkata, “Kau akan berlutut dan mohon ampun kepadaku.”
Dalam pada itu, Ki Ajar Pangukan dan kawan-kawannya yang berlatih menebar tidak tahu apa yang dilakukan oleh Ki Lemah Teles. Mereka menduga bahwa Ki Lemah Teles yang dikerumuni oleh banyak orang itu sedang memperagakan, bagaimana mereka harus mempergunakan senjata dengan cara yang benar dan baik.
Ketika orang itu mulai berloncatan, Ki Lemah Teles masih saja berdiri termangu-mangu. Ia memperhatikan lawannya yang menunjukkan kemampuannya bergerak cepat dalam unsur-unsur gerak yang mendebarkan. Dengan keyakinan yang tinggi didalam dirinya, maka orang itu berkata lantang sambil meloncat menyerang, “Kalau kau mati, bukan salahku.”
Orang-orang yang menyaksikan menjadi berdebar-debar. Serangan itu datang dengan cepat dan deras. Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu tiba-tiba tersentak. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Namun yang mereka ketahui, tiba-tiba saja orang yang menyerang Ki Lemah Teles itu terbanting jatuh ditanah.
Wajah orang itu menjadi pucat. Punggungnya serasa akan patah, sementara itu nafasnya pun menjadi terengah-engah. Jangankan orang yang menyaksikan, sedang orang yang terbanting jatuh itupun tidak tahu apa yang dilakukan oleh Ki Lemah Teles.
Dalam pada itu, Ki Lemah Teles berdiri sambil tersenyum. Katanya sambil memberi isyarat dengan jari-jarinya, “Bangkitlah. Bukankah kita akan menjajagi kemampuan kita? Kenapa kau malah berbaring disitu? Apakah semalam kau tidak dapat tidur?”
Orang itu menyeringai menahan sakit. Ketika Ki Lemah Teles mendekat, ia berusaha beringsut sambil berkata, “Jangan, jangan...”
“Ayo. Bangkitlah...!”
Orang itu berusaha untuk duduk sambil berdesah kesakitan, sementara Ki Lemah Teles berkata, “Bukankah kau akan memaksa aku untuk berlutut dan mohon ampun?“
”Tidak. Akulah yang mohon ampun.” jawab orang itu.
Ki Lemah Teles pun menyahut “Jangan begitu. Bukankah kau laki-laki?”
”Cukup. Sudah cukup. Sekali lagi aku kau banting seperti ini, aku tidak akan dapat bangkit kembali. Aku mohon ampun.”
Ki Lemah Teles tertawa. Katanya, “Baiklah. Minggirlah, aku akan menunjukkan kepada saudara-saudara kita ini, bagaimana kita mempergunakan sebatang tombak.“
Orang itu berdiri sambil memegangi pinggangnya. Kemudian berjalan tertatih-tatih menepi. Dalam pada itu, maka Manggada dan Laksana yang berdiri termangu-mangu itupun tersenyum melihat orang itu bergeser menepi dan kemudian duduk diatas rerumputan sambil berkali-kali berdesah kesakitan.
“Apakah tugas kami sudah cukup, Ki Lemah Teles?“ bertanya Manggada.
“Apakah kalian juga ingin membuktikan, apakah aku pembual atau bukan?“
Laksanalah yang tersenyum sambil menjawab, ”Lain kali Ki Lemah Teles.”
Ki Lemah Teles mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Kembalilah ke tempat kalian.”
Manggada dan Laksana itupun kemudian telah berlari-lari kembali ketempatnya. Merekapun sedang memberi petunjuk bagaimana mempergunakan senjata kepada sekelompok anak muda dari padukuhan itu.
Tiga empat hari mereka berlatih, ternyata masih belum ada seekor burung elangpun yang terbang berputaran sampai ke padukuhan kecil itu. Agaknya Panembahan Lebdagati dan orang-orangnya terlalu yakin akan kemenangannya, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk mengamati keadaan.
Tetapi justru karena itu, maka Ki Pandi telah mengajak Manggada dan Laksana untuk mendekati padepokan itu. “Kita harus berhati-hati,“ desis Ki Pandi.
Ketika mereka menjadi semakin jauh dari padukuhan, maka mereka melihat kedua ekor harimau Ki Pandi merangkak mendekatinya sambil menggosok-gosokkan kepala mereka ke kaki Ki Pandi. Ki Pandipun kemudian membelai kedua ekor harimaunya. Namun kemudian ia memberi isyarat agar kedua ekor harimaunya itu mendahului mereka.
Dalam pada itu, Ki Pandi, Manggada dan Laksana telah bergerak kembali. Mereka semakin lama menjadi semakin dekat dengan padepokan yang telah ditinggalkan oleh Ki Warana. Tetapi ketiga orang itupun tertegun ketika dari kejauhan mereka melihat seekor burung elang yang terbang rendah mengelilingi padepokan.
“Ternyata mereka cukup berhati-hati,“ berkata Ki Pandi.
“Jika elang itu terbang rendah seperti itu, maka elang itu tidak akan pernah melihat sisa-sisa orang padepokan yang sedang berlatih itu.” sahut Manggada.
“Kita akan menunggu sampai sepekan. Jika dalam sepekan tidak ada seekor burung elang yang terbang diatas padukuhan, maka kita yang akan memancingnya.” desis Ki Pandi.
Untuk beberapa saat mereka mengamati burung elang yang berterbangan itu. Namun beberapa saat kemudian, burung itu menukik dan hilang dibalik dinding padepokan.
“Biarlah kita pergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada orang-orang padukuhan mempergunakan senjata. Biarlah mereka lebih mengenali senjata mereka, karena mereka akan terjun di arena pertempuran melawan orang-orang yang sudah berpengalaman.”
Ketiga orang itu tidak terlalu lama berada ditempat itu. Ketika kedua ekor harimau Ki Pandi kembali lagi menemuinya, maka Ki Pandipun telah mengajak Manggada dan Laksana kembali ke padukuhan, sementara ia memberikan isyarat kepada kedua ekor harimaunya untuk tinggal di hutan perdu yang luas dilereng Gunung Lawu yang membatasi lingkungan persawahan dengan hutan lereng gunung.
Di padukuhan, Ki Pandi pun telah memberitahukan apa yang dilihatnya kepada Ki Ajar Pangukan, Ki Warana dan Ki Bekel. Untuk sementara burung elang itu tidak akan melihat kesiagaan mereka.
“Kita justru dapat memanfaatkan waktu,“ berkata Ki Pandi “Dengan pengenalan yang lebih banyak tentang senjata mereka, maka orang-orangku akan dapat lebih banyak berbuat disamping mereka yang sudah berpengalaman.”
“Ya. Kita akan menunggu sampai sepekan.”
Tetapi meskipun tidak ada seekorpun burung elang yang sempat terbang diatas padukuhan itu, namun kabar tentang kesiagaan orang-orang padukuhan itu telah tersebar. Orang-orang dari padukuhan lain yang melihat apa yang dilakukan di padukuhan itu menjadi saling bertanya. Apalagi ketika padukuhan itu kemudian telah menutup diri.
Berita yang berkembang dari mulut-ke mulut itu, menyusup sampai ke pasar. Bahkan kemudian sampai ke telinga pengikut Panembahan Lebdagati yang memang sering pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari yang telah habis dalam persediaan mereka. Tetapi Panembahan Lebdagati memang sering mengirimkan orang untuk berada ditempat orang banyak agar mereka dapat mendengar jika ada berita yang berkembang menyangkut padepokannya.
Ternyata bahwa orang yang berada di pasar itu telah mendengar berita tentang kegiatan sebuah padukuhan yang kemudian justru telah menutup diri. Menutup jalan-jalan yang menuju ke padukuhan itu dari segala jurusan. Dengan demikian, maka berita itu telah menjadi laporannya pula ketika ia kembali ke padepokan.
Panembahan Lebdagati ternyata tertarik pula oleh laporan itu. Karena itu, maka iapun lelah memerintahkan orang yang merawat burung-burung elangnya untuk mengamati keadaan.
“Jika burung-burung itu gagal, maka aku akan mengirimkan beberapa orang langsung untuk melihat. Tetapi jika elang-elang itu berhasil, maka setidak-tidaknya burung-burung elang itu akan dapat menuntun orang-orang kita untuk melihat padukuhan itu."
Sebenarnyalah, hari itu juga dua ekor burung elang telah terbang tinggi. Keduanya berputaran sambil mengamati padukuhan-padukuhan disekitar padepokan yang telah diduduki oleh Panembahan Lebdagati itu. Beberapa kali kedua ekor burung itu berputaran. Mereka tidak saja berputar-putar disekitar padepokan, tetapi kedua burung elang itu berputar pada garis lingkaran yang luas.
Sebenarnyalah kedua ekor burung itu sempat melihat orang-orang padukuhan dan orang-orang padepokan Kiai Banyu Bening yang berhasil melarikan diri itu. Mereka masih saja berlatih ditempat terbuka tanpa merasa cemas, bahwa Panembahan Lebdagati akan dapat melihat mereka. Meskipun demikian, ketika mereka melihat dua ekor burung elang terbang berputaran di udara, maka mereka pun menjadi berdebar-debar.
“Akhirnya burung-burung itu datang juga,“ desis Ki Pandi.
“Satu isyarat bahwa kita harus benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan.“ sahut Ki Ajar Pangukan.
“Kami akan melihat-lihat kegiatan di padepokan itu,“ berkata Ki Pandi, ”Setelah mereka melihat kegiatan kita lewat mata burung elang itu, apakah mereka menunjukkan kegiatan tertentu.”
“Tetapi berhati-hatilah. Bahwa mereka telah mengirimkan burung elang itu berarti bahwa mereka telah mulai dengan satu pengamatan khusus terhadap kita disini,“ pesan Ki Ajar Pangukan.
Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun ternyata ia minta agar Manggada dan Laksana tidak ikut bersamanya. “Aku akan pergi sendiri. Jika keadaan memungkinkan, kita akan pergi bersama besok.”
Manggada dan Laksana mengangguk mengiakan. Mereka selalu menganggap apa yang dikatakan Ki Pandi seharusnya mereka lakukan. Kecuali mereka menganggap bahwa orang bongkok itu adalah gurunya, kedua anak muda itu juga menyadari, bahwa apa yang dikatakan oleh Ki Pandi itu pada umumnya sangat berarti bagi mereka.
Demikianlah, maka Ki Pandi pun telah berangkat sendiri untuk melihat padepokan yang telah melepaskan dua ekor burung elang itu. Seperti sebelumnya, ketika Ki Pandi memasuki padang perdu, maka kedua ekor harimaunya telah menyongsongnya, menjilat-jilat tangannya dan menggosok-gosokkan kepalanya pada kaki Ki Pandi.
“Berhati-hatilah,“ desis Ki Pandi sambil mengusap kepala kedua ekor harimaunya itu.
Kedua ekor harimaunya itu seakan-akan mengerti kata-kata Ki Pandi sehingga keduanya berjalan merunduk-runduk disela-sela gerumbul-gerumbul perdu. Beberapa saal kemudian, Ki Pandi dan kedua ekor harimaunya telah berada tidak terlalu jauh dari padepokan. Ki Pandi tidak melihat sesuatu selain pintu gerbang yang tertutup rapat.
Untuk beberapa lama Ki Pandi mengamati padepokan itu. Tetapi ia tidak melihat kegiatan apapun diluar padepokan. Sementara itu dinding padepokan itu berdiri tegak dengan angkuhnya. Membeku di panasnya sinar matahari. Namun tiba-tiba saja kedua ekor harimaunya menjadi gelisah. Mereka memandang ke arah yang jauh.
Ki Pandi yang sudah mengenal sifat kedua ekor harimaunya selalu memperhatikan sikapnya. Ki Pandipun kemudian ikut pula memandang kearah yang jauh itu. Dengan ketajaman penglihatannya, maka Ki Pandi pun melihat titik-titik yang bergerak di kejauhan. Ternyata dua ekor burung elang yang melayang-layang. Tetapi tidak diatas padukuhan yang dipergunakan oleh Ki Warana menjadi pertahanan keduanya itu. Justru diarah yang berlawanan.
"Tentu bukan burung elang yang terbang diatas padukuhan itu,“ berkata Ki Pandi kepada kedua ekor harimaunya.
Kedua ekor harimau itu memandanginya dengan tajamnya, seakan-akan mereka ingin mengetahui apa yang dikatakan itu. Kedua ekor burung elang itu semakin lama menjadi semakin kelihatan jelas. Keduanya terbang langsung menuju ke padepokan keduanya berputaran beberapa kali.
Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Tetapi kedua ekor harimaunya nampak semakin gelisah. Ternyata kemudian, Ki Pandi itu melihat debu yang mengepul. Beberapa orang penunggang kuda melarikan kuda mereka dijalan berdebu menuju ke padepokan.
“Siapakah mereka?” bertanya Ki Pandi kepada diri sendiri, karena ia tidak akan dapat bertanya kepada kedua ekor harimaunya. Dengan sangat berhati-hati Ki Pandi beringsut mendekat. Tetapi pada jarak itu, Ki Pandi memang tidak dapat melihat wajah orang-orang berkuda itu dengan jelas.
Ki Pandi menjadi berdebar-debar ketika Ki Pandi melihat pintu gerbang itu terbuka perlahan-lahan. Apalagi ketika ia melihat bahwa beberapa orang telah berdiri untuk menyambut orang-orang berkuda iiu. Seorang diantara mereka segera dapat dikenali oleh Ki Pandi meskipun dari jarak yang agak jauh, karena ia mengenal orang itu dengan sangat baik. Panembahan Lebdagati sendiri.
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang berkuda itu tentu orang yang dihormati, sehingga Panembahan Lebdagati sendiri harus menyambutnya dipintu gerbang. Untuk beberapa saat lamanya Ki Pandi menjadi tegang. Ia melihat Panembahan Lebdagati menyambut orang-orang berkuda itu. Menurut penilaian Ki Pandi, dua orang diantara orang-orang berkuda itu termasuk orang yang penting bagi Panembahan Lebdagati.
Dengan demikian, maka Ki Pandipun mengerti, bahwa burung elang yang nampak sebagai titik-titik kecil itu adalah burung elang yang mendapat tugas untuk menjemput dan menuntun tamu-tamu Panembahan Lebdagati itu sampai ke padepokan. Ketika kemudian pintu gerbang itu perlahan-lahan ditutup kembali, maka Ki Pandi pun menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah mereka datang secara kebetulan, atau Panembahan Lebdagati memang memanggilnya untuk menyelesaikan orang-orang yang tersisa dari padepokan Kiai Banyu Bening yang sempat dilihat oleh burung elang itu?“ bertanya Ki Pandi kepada diri sendiri.
Namun bagaimanapun juga, kehadiran beberapa orang berkuda itu harus menjadi perhatian mereka. Dengan demikian, maka Ki Pandi berkesimpulan, bahwa setiap hari sebaiknya dilakukan pengamatan atas padepokan itu. Ia tidak dapat melakukannya sendiri. Tetapi bergantian dengan orang-orang tua yang memiliki ilmu yang tinggi untuk sementara dirumah Ki Ajar Pangukan itu.
Tetapi terasa hari-harinya tinggal besok atau lusa. Panembahan Lebdagati tentu akan segera datang untuk menghancurkan orang-orang yang telah berani membuat persiapan-persiapan yang tentu akan menentangnya.
Meskipun nemikian, ketika hal itu disampaikan kepada Ki Ajar Pangukan, maka Ki Ajar telah menyetujuinya. Bahkan Ki Ajar itu menganggap bahwa pengamatan itu harus dilakukan setiap saat. Karena itu, maka orang-orang di padukuhan itu telah mengadakan pembicaraan khusus untuk mengatur pengamatan terhadap gerak orang-orang padukuhan.
“Waktunya tentu tidak akan lama lagi,“ berkata Ki Pandi.
Demikianlah, sejak saat itu, maka bergantian orang-orang dari padukuhan itu mengadakan pengamatan atas padepokan yang telah dirampas oleh Panembahan Lebdagati. Ki Warana telah menunjuk orang-orangnya yang terbaik untuk membantu melakukannya. Terutama di malam hari. Sedangkan disiang hari pengawasan itu dilakukan oleh orang-orang tua yang berilmu tinggi, karena mereka harus sangat berhati-hati.
Dalam pada itu, ketika orang-orang padukuhan itu melihat beberapa ekor burung elang terbang berputar-putar diatas padukuhan itu, menjadi berdebar-debar. Tidak hanya dua ekor seperti biasanya. Tetapi lima ekor burung elang.
“Apa yang akan terjadi?“ desis Ki Ajar Pangukan.
“Nampaknya mereka menganggap bahwa waktunya sudah tiba,“ sahut Ki Pandi.
“Tetapi tentu bukan hari ini,“ berkata Ki Ajar.
“Sudah terlalu siang untuk memulai sebuah pertempuran. Agaknya malam nanti mereka akan bergerak.“ sahut Ki Pandi.
“Ketika mereka menyerang padepokan itu, mereka lakukan disiang hari. Dengan satu keyakinan untuk menang, mereka datang dengan dada tengadah. Disiang hari, maka mereka akan dapat sedikit mengatasi kesulitan medan.”
Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Medan di padukuhan ini tentu lebih sulit bagi mereka. Karena itu, menurut pendapatku, mereka akan datang esok menjelang matahari terbit.”
Ketika sekali lagi Ki Warana membuat perhitungan, manakah yang lebih baik antara bertahan dan menyerang, maka Ki Ajar berkata, “Kita lebih baik bertahan disini. Panembahan Lebdagati tidak akan menyerang dengan segala kekuatannya. Tentu masih ada yang akan ditinggalkan di padepokan. Jika kita yang datang ke padepokan, maka kita akan berhadapan dengan segenap kekuatan yang ada di padepokan, selain kita akan mengalami kesulitan untuk memasuki padepokan itu.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Kita mantapkan sikap kita. Kita akan benahan di padukuhan ini. Tetapi Ki Bekel harus dapat memecahkan persoalan perempuan dan anak-anak.”
“Ada dua tempat pengungsian,“ sahut Ki Bekel “Di banjar dan dirumahku. Menurut perhitunganku, kedua tempat itu akan dapat menampung semua perempuan dan anak-anak di padukuhan ini.”
“Pengungsian itu harus segera dilakukan,“ berkata Ki Ajar, ”Burung elang itu merupakan isyarat, bahwa mereka akan segera bergerak. Jika terlambat, maka akibatnya sangat buruk bagi mereka.”
“Baiklah,“ berkata Ki Bekel “Aku akan mulai hari ini juga. Mereka masih mempunyai kesempatan hari ini dan malam nanti seandainya benar besok menjelang matahari terbit, Panembahan Lebdagati akan menyerang padukuhan ini.”
Sebenarnyalah, Ki Bekel telah memerintahkan para bebahu untuk mengatur pengungsian perempuan dan anak-anak ke banjar dan ke rumah Ki Bekel, tetapi Ki Bekel masih berpesan, “Jangan membuat perempuan dan anak-anak menjadi sangat ketakutan. Mereka harus yakin, bahwa mereka akan mendapat perlindungan yang baik. Tidak seorangpun diantara para pengikut Panembahan Lebdagati yang akan dapat menginjakkan kakinya di halaman banjar dan halaman rumahku itu.
Demikianlah, maka pengungsian perempuan dan anak-anak pun segera berlangsung. Bagaimana pun juga para bebahu berusaha, namun perempuan dan anak-anak itu menjadi ketakutan.
Sementara itu, laki-laki dan anak-anak muda padukuhan itu nampak hilir mudik membantu perempuan dan anak-anak mengungsi. Hanya kemudian mereka pun telah dihimpun dalam kelompok-kelompok yang akan menyalurkan perintah-perintah sampai ke setiap telinga. Mereka pun telah membagi lingkungan tugas mereka. Kecuali dalam keadaan yang khusus.
Dalam pada itu, Ki Warana pun telah menentukan tugas orang-orang yang menyertainya sampai ke padukuhan itu. Mereka juga terbagi sebagaimana orang-orang padukuhan itu, sehingga disetiap kelompok orang-orang padukuhan terdapat beberapa orang dari padepokan Kiai Banyu Bening.
Selain daripada itu, maka orang-orang padepokan Kiai Banyu Bening itupun telah berusaha mengenali medan dengan sebaik-baiknya. Seperti yang pernah mereka lakukan, maka mereka akan memanfaatkan medan itu untuk mengacaukan lawan mereka.
Namun dalam pada itu, Ki Ajar Pangukan telah memperingatkan agar orang-orang tua yang tinggal bersamanya itu menjadi sangat berhati-hati. “Ada orang baru di padepokan,“ berkata Ki Ajar.
Ki Warana menarik nafas dalam-dalam. Panembahan Lebdagati sendiri bersama pengikutnya sudah merupakan kekuatan yang sangat besar. Apalagi dengan kekuatan baru meskipun hanya beberapa orang, maka kekuatan Panembahan Lebdagati akan menjadi sangat besar.
Meskipun demikian, Ki Warana sudah bertekad untuk melawannya, apapun yang terjadi. Iapun percaya kepada kemampuan orang-orang tua yang ada diantara mereka, karena Ki Warana sendiri pernah mengalami benturan kekuatan. Ki Warana itu merasa dirinya sama sekali tidak berarti dihadapan orang tua-tua itu.
Dalam pada itu, burung-burung elang yang berputaran di atas padukuhan itu, ternyata telah diamati oleh beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati dari kejauhan. Mereka mendapat kesimpulan bahwa burung elang itu melihat kekuatan yang cukup besar tersimpan di padukuhan itu. Apalagi orang-orang padukuhan itu sengaja tidak menyembunyikan diri dari penglihatan burung-burung elang itu.
Namun para pengikut Panembahan Lebdagati itu masih juga belum dapat menterjemahkan pengertian kekuatan yang cukup besar itu dengan tepat. “Berapa banyak orang yang sempat melarikan diri itu?“ bertanya seseorang diantara mereka yang mengamati burung elang itu.
“Saat itu aku berniat untuk mengejar mereka. Tetapi aku dan kawan-kawanku telah dicegah. Waktu itu kita menganggap bahwa kekuatan yang melarikan diri itu tidak seberapa.”
“Sampai sekarang pun aku menganggap bahwa kekuatan mereka itu memang tidak seberapa.“ sahut yang lain “jika burung elang itu memberikan isyarat bahwa kekuatan di padukuhan itu cukup besar, maka mungkin burung elang itu juga melihat kesibukan orang-orang padukuhan itu sendiri.”
“Salah kita, bahwa kita belum pernah mengirimkan orang untuk melihat langsung apa yang mereka lakukan. Menurut kata orang di pasar itu setiap hari mereka mengadakan latihan di tempat terbuka.”
“Satu cara untuk menggertak kita.“ jawab yang tahu “kita tidak usah menghiraukan kata orang. Jika kita datang ke padukuhan itu, maka padukuhan itu akan kita hancurkan. Para penghuninya yang telah membantu, apakah itu berujud pangan atau alat apapun, akan kita anggap ikut bersalah. Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kesalahan mereka.”
“Hanya ada satu macam hukuman yang dapat Kita berikan. Hukuman mati dengan cara apapun juga.”
Sementara itu seorang diantara mereka berkata, ”Jika saja di padukuhan itu ada sepuluh atau lima belas gadis yang bersih. Panembahan Lebdagati akan dapat menghemat kesibukannya selama limabelas bulan jika ia benar-benar ingin memulai lagi dengan menyerahkan korban bagi kerisnya.“
Namun dengan nada rendah ia melanjutkan, ”Tetapi sudah berapa sebenarnya umur Panembahan.”
“Apakah kau kira umur dapat menjadi patokan berapa tahun lagi ia akah hidup didunia ini? Aku yakin, bahwa Panembahan Lebdagati masih akan dapat menyelesaikan tugasnya menyerahkan korban sepanjang seratus kali purnama. Umurnya tentu masih akan mencapai seperempat abad lagi.”
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi memang tidak mustahil bahwa seseorang akan mencapai umur lebih dari seratus tahun. Beberapa saat kemudian, maka orang-orang itupun segera meninggalkan tempatnya. Mereka melangkah kembali ke padepokan sambil mencoba menemukan kesimpulan yang akan menjadi laporan mereka kepada Panembahan Lebdagati.
Di padepokan, mereka langsung menyampaikah laporan pengamatan mereka kepada Panembahan Lebdagati. Sehingga Panembahan Lebdagati itupun mengambil kesimpulan, bahwa ia harus segera bertindak.
“Kenapa kau pelihara kecoak-kecoak itu, Panembahan?” bertanya seorang yang bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang. Salah seorang dari orang-orang berkuda yang datang ke padepokan itu.
“Aku mengira bahwa mereka tidak akan berbuat apa-apa lagi. Tetapi ternyata mereka sudah siap untuk membunuh diri.”
“Mumpung aku ada disini.” berkata orang berkumis tebal itu “Aku akan ikut bersamamu. Mungkin aku akan mendapatkan sesuatu yang menarik di padukuhan itu?”
“Apa yang kau inginkan?“ bertanya Panembahan Lebdagati.
Orang itu tertawa. Katanya, ”Apa saja yang menarik perhatian. Tetapi memang mungkin tidak ada apa-apa.”
“Kau masih saja liar.” desis Panembahan Lebdagati.
“Kau kira watakku dapat berubah?“
“Baiklah Ki Lembu Palang. Jika kau mau ikut bersama kami, marilah.”
”Kapan kau akan pergi ke padukuhan itu?”
“Kapan sebaiknya menurutmu?“
“Besok kita pergi.”
“Kenapa besok? Besok aku sudah berjanji untuk mengadu delapan ekor ayam jantan. Aku memerlukan yang terbaik dari delapan ekor ayam jantan itu.”
“Berjanji kepada siapa?“ bertanya Ki Kebo Palang.
“Kepada orang-orangku. Mereka memerlukan hiburan. Hiburan yang terbaik bagi mereka adalah menonton adu ayam. Selain hiburan pertarungan itu akan dapat memberikan dorongan kejantanan mereka di medan pertempuran.”
“Kenapa kau menganggap adu ayam lebih penting dari menyelesaikan kecoak-kecoak yang mengotori pinggan nasimu?” bertanya Ki Kebo Palang.
Panembahan Lebdagati menarik nafas panjang. Katanya, ”Baiklah, besok aku akan pergi ke padukuhan itu. Menurut orang-orang itu, mereka mempunyai kekuatan yang cukup besar.”
“Bukankah orang yang menyebut dirinya Banyu Bening itu sudah kau bunuh? Yang tersisa tinggallah para pengikutnya yang berhasil melarikan diri. Itupun jumlahnya tidak terlalu banyak. Bukankah kau mengatakan begitu?“ bertanya Lembu Palang.
“Ya. Jumlah mereka yang melarikan diri memang tidak terlalu banyak.”
“Lalu siapa lagi?” bertanya Lembu Palang.
“Mungkin mereka mempengaruhi orang-orang padukuhan itu.”
“Apa artinya orang-orang padukuhan itu?”
Panembahan Lebdagati tersenyum. Katanya, “Besok kita pergi. Besok lusa aku akan mengadu ayam itu.”
Keputusan itupun segera diberitahukan kepada para penglkutnya. Panembahan Lebdagati telah memerintahkan para pengikutnya untuk bersiap-siap. Bahkan Panembahan Lebdagati sempat berpesan, “Jangan terlalu merendahkan lawan kita. Kita akan dapat terjebak dalam kesulitan. Karena itu, kita bawa kekuatan secukupnya.”
Lembu Palang yang mendengar pesan itu sempat tertawa. Katanya “Kau cukup berhati-hati Panembahan. Tetapi tidak ada jeleknya orang berhati-hati. Dengan demikian, maka apa yang dilakukan akan dapat berhasil dengan sempurna.“
“Beberapa kali aku terjebak dalam kesulitan karena aku menganggap lawanku terlalu kecil. Aku kehilangan kesempatan pertama untuk menjadikan kerisku keris terbaik di bumi ini. Kemudian kegagalan yang lain telah merenggut setiap kesempatanku mendapatkan pusaka terbaik.”
"Tetapi sekarang kau tidak sedang merebut pusaka apapun. Kau tidak lebih dari sekedar membersihkan gledeg bambumu dari kecoak-kecoak yang mengotori isinya. Karena itu, kau tidak perlu terlalu pening memikirkan kesiagaan orang-orangmu yang aku nilai cukup banyak dan memiliki landasan ilmu yang cukup. Terus terang, tidak ada padepokan manapun yang akan dapat menandingi kekuatan padepokanmu ini nanti jika sudah mapan.”
Panembahan Lebdagati mengangguk kecil. Katanya, ”Terima kasih atas pujian itu. Tetapi aku merasa bahwa aku harus tetap berhati-hati.”
Lembu Palang tertawa sambil berkata “Bagus. Aku menjadi semakin kagum melihat sikap dan pendirianmu. Besok aku dan kawan-kawanku akan ikut bersama kalian...”
“Ki Warana, silahkan duduk. Aku akan memperkenalkan kawan-kawanku ini.”
Ki Waranapun kemudian duduk diantara orang-orang tua itu. Dua orang yang datang bersamanya dengan ragu-ragu duduk pula bersama mereka. Ki Pandi pun kemudian telah memperkenalkan kawan-kawannya kepada Ki Warana, termasuk Ki Lemah Teles yang berbaring di alas penyerahan korban itu.
Ki Warana mengangguk hormat kepada mereka sambil berkata, “Terima kasih atas perhatian Ki Sanak terhadap padepokan kami.”
“Kami ingin melihat padepokan itu berubah,“ berkata Ki Ajar Pangukan “Hendaknya yang memancar dari padepokan itu bukan awan yang hitam, tetapi cahaya yang bening dalam arti yang sebenarnya. Bukan beningnya Kiai Banyu Bening.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan kami pun sempat mendapatkan cahaya yang bening itu.”
“Kenapa tidak?“ bertanya Ki Ajar Pangukan.
“Kami terusir dari padepokan itu. Perjuangan untuk mendapatkan kembali tentu akan menelan korban. Jika korban itu aku sendiri, maka aku tidak akan pernah mendapatkan apa yang Ki Ajar katakan cahaya yang bening itu.”
“Tetapi bahwa kau mendambakannya, itu adalah satu langkah awal yang diperhitungkan. Jangan cemas. Kami akan bersamamu.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Pandi pun bertanya, ”Ki Warana hanya bertiga?”
“Tidak. Yang lain nanti akan menyusul. Kami melarikan diri dari padepokan dengan arah yang berbeda-beda untuk menghindari kemungkinan yang paling buruk.“ jawab Ki Warana.
“Apakah mereka juga akan datang ke sanggar ini?”
“Ya. Mereka akan datang ke sanggar ini sebelum kita berbicara dengan orang-orang padukuhan.”
Sebenarnyalah, bahwa beberapa saat kemudian, beberapa orang telah berdatangan. Mereka nampak letih dan kotor. Beberapa orang diantara mereka terluka. Bahkan ada yang terluka selama mereka berlari meninggalkan padepokan, karena kuku-kuku baja burung-burung elang yang menyerang mereka dari udara.
Ternyata orang-orang yang sependapat dengan Ki Warana itu terhitung cukup banyak. Menjelang senja, disanggar yang tidak terlalu luas itu telah bertebaran orang-orang yang telah melarikan diri dari padepokan. Ada diantara mereka yang berbaring diatas rerumputan. Ada yang sedang merawat luka-lukanya dan ada yang duduk-duduk saja sambil tepekur.
Ki Waranalah yang kemudian memberitahukan kepada orang-orang yang sejalan dengan sikapnya itu siapakah orang-orang yang sebelumnya tidak mereka kenal itu.
“Mereka akan berjuang bersama kita untuk melawan Panembahan Lebdagati.”
Tetapi seorang di antara mereka ada yang berkata, ”Apa yang dapat mereka lakukan? Sedangkan Kiai Banyu Bening saja tidak mampu melawan Panembahan Lebdagati.”
Ki Lemah Teles yang berbaring itu telah bangkit sambil berkata, “He, aku akan menantangnya berperang tanding.”
“He, kau pembual,” geram orang yang meragukan kemampuan orang-orang tua itu “Kau akan diremas menjadi abu oleh Panembahan Lebdagati.”
“Iblis kau,“ Ki Lemah Teles itu segera meloncat turun “Aku pilin lehermu jika kau menghina kami lagi.”
“Sudahlah“ Ki Ajar Pangukan menengahi. “Kita belum saling mengenal, sehingga kita masih belum mengetahui tataran ilmu kita masing-masing.”
Orang itu masih akan menjawab. Tetapi Ki Warana membentaknya “Cukup. Kita harus mengucapkan terima kasih, bahwa ada orang yang memperhatikan kita sekarang ini.”
Orang itu terdiam. Sementara Ki Lemah Teles pun kemudian telah duduk disebelah Ki Sambi Pitu. Ki Warana lah yang kemudian berdiri menghadap kepada orang-orang padepokan yang mengikutinya ke sanggar itu,
“Kita akan beristirahat disini. Aku minta kalian bersikap baik. Kita akan bersama-sama menghadapi Panembahan Lebdagati dengan para pengikutnya. Kita memang masih ragu, apakah kita dapat melakukannya. Tetapi lepas dari segalanya, kita tidak boleh kehilangan akal dan menjadi putus-asa.”
Orang-orang padepokan itu terdiam. Meskipun ada diantara mereka yang meragukan kemungkinan itu, tetapi mereka masih berusaha menahan diri.
Dalam pada itu, Ki Warana pun kemudian berkata, “Sebaiknya kalian tinggal disini. Aku akan pergi menemui Ki Bekel untuk membicarakan kemungkinan-kemungkinan lebih jauh. Aku juga ingin mengusahakan makan bagi kita semuanya.”
Orang-orang padepokan itu mengangguk-angguk. Bahkan beberapa orang berdesis “Kami sudah sangat lapar.”
Bersama dengan dua orang, Ki Warana telah meninggalkan sanggar itu menuju ke rumah Ki Bekel. Ki Bekel memang terkejut melihat kehadiran Ki Warana dengan dua orang kawannya yang nampaknya sangat letih itu.
“Ada apa?“ bertanya Ki Bekel.
Ki Warana memang sudah dikenal dengan baik oleh Ki Bekel. Ia sudah sering datang untuk memberikan sesorah kepada penghuni padukuhan itu dihari-hari tertentu. Juga sudah sering datang dalam upacara penyerahan korban binatang di malam purnama.
Ki Waranapun kemudian menceriterakan apa yang terdjadi di padepokan. Dengan nada geram ia Berkata, “Kami sekarang terusir dari padepokan. Jumlah lawan terlalu banyak. Terakhir, Kiai Banyu Bening telah terbunuh di medan.”
“Kiai Banyu Bening terbunuh?“ Ki Bekel terkejut. Baginya Kiai Banyu Bening adalah orang yang memiliki tataran lebih tinggi dari orang kebanyakan. Ia adalah kekasih Sang Maha Api dan mendapat tugas untuk menggelarkan kuasa Sang Maha Api itu diatas bumi.
Ki Warana mengangguk sambil menjawab, ”Ya Ki Bekel. Kiai Banyu Bening berusaha melindungi para pengikutnya. Ia bertempur seperti seekor harimau yang terluka. Ia mengorbankan dirinya bagi keselamatan para pengikutnya.”
“Lalu, apa yang terjadi sekarang?“ bertanya Ki Bekel.
“Ada beberapa kelompok yang berhasil menyelamatkan diri. Sekarang kami berada di sanggar.”
“Kenapa tidak dibanjar saja?”
“Kami belum mendapat ijin Ki Bekel. Jika Ki Bekel tidak berkeberatan, kami akan pergi ke banjar dan tinggal untuk sementara dibanjar dan beberapa rumah yang kosong lainnya, sebelum kami merebut kembali padepokan kami.”
“Bagaimana Ki Warana dapat melakukannya tanpa Kiai Banyu Bening.”
“Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan.” jawab Ki Warana.
“Baiklah Ki Warana. Aku persilahkan Ki Warana dan kawan-kawan dari padepokan tinggal di banjar. Kami akan mengatur, dimana saja kalian akan dapat bermalam.”
“Tetapi sementara ini Ki Bekel. Sehari-harian kami bertempur sehingga kami belum sempat makan meskipun di padepokan kami mempunyai bahan makanan yang melimpah. Tetapi yang sekarang tentu berada di tangan Panembahan Lebdagati.”
“Baiklah Ki Warana. Jangan cemas. Berapapun jumlahnya kami akan dapat menjamunya. Tetapi sudah tentu kami mohon waktu untuk memasaknya.”
“Tentu Ki Bekel. Kami tidak akan dapat makan serba mentah. Sementara itu, kami akan memindahkan kawan-kawan kami ke banjar padukuhan ini.”
Demikianlah, maka Ki Warana pun segera kembali ke sanggar untuk mengajak kawan-kawannya pergi ke banjar, sementara Ki Bekel telah memanggil beberapa orang untuk menyiapkan makan bagi orang-orang padepokan yang untuk sementara akan berada di banjar padukuhan.
Dalam pada itu ternyata pengaruh Ki Warana di padukuhan itu cukup besar. Ketika para penghuni padukuhan itu mengetahui, bahwa padepokan Kiai Banyu Bening sudah diduduki oleh Panembahan Lebdagati, maka orang-orang padukuhan itu menjadi sangat kecewa meskipun mereka tidak tahu kenapa sebenarnya mereka kecewa.
Ketika malam menjadi kelam, orang-orang padepokan telah berada di banjar. Mereka merasa mendapat tempat yang lebih baik, sehingga sebagian dari mereka telah tertidur nyenyak di lantai banjar dengan alas tikar pandan. Jauh lebih baik daripada mereka berbaring di rerumputan di sanggar.
Namun Ki Pandi sempat memperingatkan Ki Warana, agar mereka tidak menjadi lengah. “Panembahan Lebdagati dapat berbuat apa saja. Karena itu, maka sebaiknya orang-orangmu bergantian mengawasi keadaan. Mungkin sekali Panembahan Lebdagati menyusul kalian malam ini.”
Seperti orang yang baru sadar dari tidur yang nyenyak, Ki Warana berkata “Terima kasih, Ki Pandi. Aku akan membagi tugas bagi orang-orangku.”
Ki Pandi mengangguk sambil menyahut “Bagus. Hati-hatilah. Kau sudah melihat sendiri, bahwa para pengikut Panembahan Lebdagati secara pribadi mempunyai kelebihan dari orang-orangmu.”
Ki Warana memang menyadari akan kelebihan para pengikut Panembahan Lebdagati dari orang-orang yang berada di padepokan. Karena itu, maka ketika Ki Warana memerintahkan orang-orangnya berjaga-jaga di sudut-sudut padukuhan, iapun berpesan, agar mereka berhati-hati sekali.
”Kalian sekali-sekali harus meronda berkeliling. Tetapi jangan seorang diri.“
Namun ternyata hanya pada malam itu tidak terjadi sesuatu. Nampaknya Panembahan Lebdagati tidak tergesa-gesa. Orang-orang yang melarikan diri bercerai berai itu dianggapnya tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi.
Ketika matahari mulai melemparkan cahaya fajar, maka Ki Ajar Pangukan minta orang-orang dari padepokan yang berada di padukuhan itu untuk mulai dengan gerakannya, memburu orang-orang padepokan yang melarikan diri. Tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu. Tidak nampak ada gerakan yang mendatangi padukuhan itu dari arah manapun juga.
“Meskipun demikian, jangan lengah.” pesan Ki Ajar Pangukan kepada Ki Warana.
Hari itu, Ki Warana, Ki Bekel dan Ki Ajar Pangukan serta orang-orang tua yang tinggal bersamanya telah mengadakan pembicaraan khusus. Ki Warana telah menyampaikan kepada Ki Bekel kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di padukuhan itu.
“Pada suatu saat, mungkin Panembahan Lebdagati akan datang ke padukuhan ini dengan pengikutnya.“ berkata Ki Warana.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah yang dapat kami lakukan? Seisi padepokan ini akan bersedia melakukan apa saja. Bahkan mungkin bukan hanya seisi padepokan ini.”
“Aku tidak dapat minta bantuan kepada padukuhan yang lain. Jika hal itu diketahui oleh Panembahan Lebdagati, maka padukuhan yang memberikan bantuan itu akan dapat dihancurkan. Sedangkan kami tidak dapat memberikan bantuan apapun juga. Berbeda dengan padukuhan ini. Kami memang ada disini. Jika Panembahan Lebdagati datang kemari, maka kami akan dapat berbuat sesuatu betapapun lemahnya kami. Sementara itu, saudara-saudara kami ini akan bersedia membantu.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah kami, para penghuni dari padukuhan ini bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Kami tentu tidak akan tinggal diam seandainya Panembahan Lebdagati itu benar-benar datang menyerang kalian yang saat kalian berada di padukuhan kami. Meskipun padukuhan kami bukan padukuhan yang besar, tetapi kami mempunyai laki-laki dan anak-anak muda cukup banyak. Meskipun kami tidak terbiasa mempergunakan kekerasan, tetapi kami bukanlah laki-laki dan anak-anak muda yang lemah.”
“Terima kasih Ki Bekel. Mudah-mudahan kami tidak menyebabkan padukuhan ini mengalami bencana.”
Namun dalam pada itu, Ki Ajar Pangukan, dan kawan-kawannya dan Ki Warana telah pula membicarakan kemungkinan yang dapat terjadi. Mereka mempertimbangkan, manakah yang lebih menguntungkan. Apakah mereka menyerang padepokan itu atau memancing Panembahan Lebdagati untuk datang menyerang. Namun Ki Pandi berpendapat, bahwa lebih baik mereka memancing agar Panembahan Lebdagati menyerang padukuhan itu.
“Kita akan mengalami kesulitan untuk memasuki padepokan itu,“ berkata Ki Pandi “Pintu gerbang itu tentu sudah semakin diperkuat. Sementara itu, serangan senjata lontar dari atas dinding akan dapat mengurangi jumlah kita yang memang tidak begitu banyak.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, ”Aku sependapat jika Ki Bekel tidak berkeberatan.”
“Tidak Ki Warana. Kami sama sekali tidak berkeberatan. Kami dapat menyiapkan pertahanan sebaik-baiknya.“ jawab Ki Bekel.
“Baiklah. Jika demikian, maka kita akan memancing agar Panembahan Lebdagati itu datang kemari.” berkata Ki Ajar.
Dengan demikian, maka sejak hari itu, padukuhan itupun segera mempersiapkan diri. Ki Bekel telah memerintahkan kepada semua laki-laki dan anak-anak muda yang mampu turun ke medan pertempuran untuk mempersiapkan senjata apa saja yang mereka miliki.
“Apakah disini banyak terdapat busur dan anak panah?” bertanya Ki Ajar Pangukan.
“Ada beberapa,“ jawab Ki Bekel “Ada beberapa orang penghuni padukuhan ini yang mempunyai kegemaran berburu.”
“Kita harus menghimpunnya.” berkata Ki Pandi.
“Aku akan melakukannya.“ jawab Ki Bekel.
Hari itu juga Ki Bekel telah memanggil para bebahu. Mereka harus mempersiapkan padukuhan itu untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka harus menghubungi semua laki-laki dan anak-anak muda di padukuhan itu untuk mempersiapkan diri membantu para cantrik dari padepokan Kiai Banyu Bening yang terdorong keluar dari padepokannya. Hari itu juga laki-laki sepadukuhan itu telah menyatakan diri untuk ikut serta berperang jika hal itu benar-benar akan terjadi.
“Bersiap sajalah sebaik-baiknya. Siapkan senjata yang terbaik yang kalian miliki. Jika Panembahan Lebdagati itu benar-benar datang, maka kalian tidak lagi sekedar bermain-main. Tetapi kalian akan berperang. Taruhannya adalah nyawa kalian.”
Dengan demikian, maka telah tersusun kekuatan di padukuhan itu. Ditataran teratas adalah Ki Ajar Pangukan dan orang-orang yang tinggal bersamanya. Kemudian Ki Warana dan para penghuni padepokan yang menyingkir ke padukuhan itu. Tataran yang terakhir adalah para penghuni padukuhan itu.
Ki Ajar dan Ki Pandi telah berpesan mawanti-wanti, agar laki-laki dari padukuhan itu tidak menghadapi lawan mereka seorang melawan seorang. Mereka harus selalu berada dalam kelompok-kelompok kecil untuk melawan para pengikut Panembahan Lebdagati yang memiliki ilmu yang tinggi.
Setelah susunan pertahanan di padukuhan itu mantap, maka Ki Warana sudah mendapat isyarat dari Ki Ajar, agar ia mulai memancing perhatian isi padepokan itu. “Kita tidak usah pergi jauh.” berkata Ki Ajar “Kita manfaatkan burung-burung elang itu.”
“Maksud Ki Ajar?” bertanya Ki Bekel.
“Jika kita berkerumun atau berlatih berperang di tempat terbuka, maka menurut perhitunganku, burung-burung elang itu akan dapat melihatnya. Mereka akan menuntun petugas sandi Panembahan Lebdagati untuk mengamati kita disini.”
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita sudah siap. Kapan saja Panembahan Lebdagati itu akan datang, akan kami sambut mereka dengan sebaik-baiknya.”
“Kepada Ki Warana, Ki Ajar bertanya, “Bagaimana dengan orang-orangmu Ki Warana?”
“Mereka juga sudah siap,“ jawab Ki Warana.
“Jika demikian, sudah tidak ada lagi yang ditunggu. Kita akan segera melakukannya.“ berkata Ki Ajar kemudian.
Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di padukuhan itu justru akan memancing burung-burung elang itu agar melihat mereka dalam kelompok-kelompok yang langsung memberikan kesan kesiagaan untuk bertempur.
Ki Ajar Pangukan dan kawan-kawannyalah yang kemudian mengajak orang-orang padukuhan itu serta orang-orang padepokan untuk berlatih di tempat terbuka. Mereka benar-benar melakukan latihan sekedarnya untuk memperkenalkan laki-laki dan anak-anak muda padukuhan itu dengan senjata, agar mereka yang sama sekali belum pernah memegang senjata mengerti bagaimana mempergunakannya.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Lemah Teles yang pernah disebut pembual oleh salah seorang penghuni padepokan yang melarikan diri itu telah tersinggung lagi. Orang yang menyebutnya pembual itu lagi yang membuatnya marah. Ketika Ki Lemah Teles memberikan beberapa petunjuk kepada orang-orang padukuhan itu tentang mempergunakan tombak, maka orang itu berdesis,
“Pembual itu lagi. Apa yang ia ketahui tentang tombak.”
Ki Lemah Teles berpaling. Namun orang itu sama sekali tidak menyingkir. Ia sengaja maju melangkah sambil tertawa. Katanya, ”Kau marah?”
Ki Lemah Teles termangu-mangu sejenak. Ia ingin mendapat saksi, bahwa bukan ia yang mendahuluinya. Karena itu, maka dipanggilnya Manggada dengan Laksana untuk datang kepadanya.
Manggada dan kemudian juga Laksana telah melangkah mendekat. Dengan dahi yang berkerut Manggada bertanya, “Ki Lemah Teles memanggil kami?”
“Ya” jawab Ki Lemah Teles “Aku ingin kalian menjadi saksi, bahwa bukan aku yang mendahului jika aku bertengkar dengan orang ini.”
“Ya,“ orang itu dengan wajah tengadah menyahut. “Aku benci pada pembual ini. Ia berbaring diatas alas persembahan. Ia membual sesuka hatinya, menyombongkan diri dan tidak tahu malu.”
“Kau bersungguh-sungguh?“ bertanya Manggada.
“Ya. Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin ia minta maaf kepada kami. Terutama karena ia sudah menghina tempat persembahan itu. Aku akan menunjukkan kepadanya, bahwa ia tidak perlu membual dan menyombongkan dirinya seperti itu.”
“Nah, sudah cukup?“ bertanya Ki Lemah Teles. “Kau akan mengenal siapakah kami, para cantrik dari padepokan Kiai Banyu Bening.”
Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar, justru karena mereka mengenal Ki Lemah Teles. Tetapi saat itu, mereka menjadi heran. Ki Lemah Teles itu tidak menjadi sangat marah dan menantang orang itu perang tanding. Tetapi ia seakan-akan sekedar ingin melayaninya saja.
Dengan nada datar, Ki Lemah Teles itu berkata, “Marilah. Biarlah orang-orang yang sedang berlatih ini menjadi saksi pula, siapakah yang sebenarnya pembual dan sombong.”
Orang itupun segera mempersiapkan diri. Dengan wajah yang garang ia melangkah mendekati Ki Lemah Teles selangkah demi selangkah. Kemudian sambil tertawa ia berkata, “Kau akan berlutut dan mohon ampun kepadaku.”
Dalam pada itu, Ki Ajar Pangukan dan kawan-kawannya yang berlatih menebar tidak tahu apa yang dilakukan oleh Ki Lemah Teles. Mereka menduga bahwa Ki Lemah Teles yang dikerumuni oleh banyak orang itu sedang memperagakan, bagaimana mereka harus mempergunakan senjata dengan cara yang benar dan baik.
Ketika orang itu mulai berloncatan, Ki Lemah Teles masih saja berdiri termangu-mangu. Ia memperhatikan lawannya yang menunjukkan kemampuannya bergerak cepat dalam unsur-unsur gerak yang mendebarkan. Dengan keyakinan yang tinggi didalam dirinya, maka orang itu berkata lantang sambil meloncat menyerang, “Kalau kau mati, bukan salahku.”
Orang-orang yang menyaksikan menjadi berdebar-debar. Serangan itu datang dengan cepat dan deras. Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu tiba-tiba tersentak. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Namun yang mereka ketahui, tiba-tiba saja orang yang menyerang Ki Lemah Teles itu terbanting jatuh ditanah.
Wajah orang itu menjadi pucat. Punggungnya serasa akan patah, sementara itu nafasnya pun menjadi terengah-engah. Jangankan orang yang menyaksikan, sedang orang yang terbanting jatuh itupun tidak tahu apa yang dilakukan oleh Ki Lemah Teles.
Dalam pada itu, Ki Lemah Teles berdiri sambil tersenyum. Katanya sambil memberi isyarat dengan jari-jarinya, “Bangkitlah. Bukankah kita akan menjajagi kemampuan kita? Kenapa kau malah berbaring disitu? Apakah semalam kau tidak dapat tidur?”
Orang itu menyeringai menahan sakit. Ketika Ki Lemah Teles mendekat, ia berusaha beringsut sambil berkata, “Jangan, jangan...”
“Ayo. Bangkitlah...!”
Orang itu berusaha untuk duduk sambil berdesah kesakitan, sementara Ki Lemah Teles berkata, “Bukankah kau akan memaksa aku untuk berlutut dan mohon ampun?“
”Tidak. Akulah yang mohon ampun.” jawab orang itu.
Ki Lemah Teles pun menyahut “Jangan begitu. Bukankah kau laki-laki?”
”Cukup. Sudah cukup. Sekali lagi aku kau banting seperti ini, aku tidak akan dapat bangkit kembali. Aku mohon ampun.”
Ki Lemah Teles tertawa. Katanya, “Baiklah. Minggirlah, aku akan menunjukkan kepada saudara-saudara kita ini, bagaimana kita mempergunakan sebatang tombak.“
Orang itu berdiri sambil memegangi pinggangnya. Kemudian berjalan tertatih-tatih menepi. Dalam pada itu, maka Manggada dan Laksana yang berdiri termangu-mangu itupun tersenyum melihat orang itu bergeser menepi dan kemudian duduk diatas rerumputan sambil berkali-kali berdesah kesakitan.
“Apakah tugas kami sudah cukup, Ki Lemah Teles?“ bertanya Manggada.
“Apakah kalian juga ingin membuktikan, apakah aku pembual atau bukan?“
Laksanalah yang tersenyum sambil menjawab, ”Lain kali Ki Lemah Teles.”
Ki Lemah Teles mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Kembalilah ke tempat kalian.”
Manggada dan Laksana itupun kemudian telah berlari-lari kembali ketempatnya. Merekapun sedang memberi petunjuk bagaimana mempergunakan senjata kepada sekelompok anak muda dari padukuhan itu.
Tiga empat hari mereka berlatih, ternyata masih belum ada seekor burung elangpun yang terbang berputaran sampai ke padukuhan kecil itu. Agaknya Panembahan Lebdagati dan orang-orangnya terlalu yakin akan kemenangannya, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk mengamati keadaan.
Tetapi justru karena itu, maka Ki Pandi telah mengajak Manggada dan Laksana untuk mendekati padepokan itu. “Kita harus berhati-hati,“ desis Ki Pandi.
Ketika mereka menjadi semakin jauh dari padukuhan, maka mereka melihat kedua ekor harimau Ki Pandi merangkak mendekatinya sambil menggosok-gosokkan kepala mereka ke kaki Ki Pandi. Ki Pandipun kemudian membelai kedua ekor harimaunya. Namun kemudian ia memberi isyarat agar kedua ekor harimaunya itu mendahului mereka.
Dalam pada itu, Ki Pandi, Manggada dan Laksana telah bergerak kembali. Mereka semakin lama menjadi semakin dekat dengan padepokan yang telah ditinggalkan oleh Ki Warana. Tetapi ketiga orang itupun tertegun ketika dari kejauhan mereka melihat seekor burung elang yang terbang rendah mengelilingi padepokan.
“Ternyata mereka cukup berhati-hati,“ berkata Ki Pandi.
“Jika elang itu terbang rendah seperti itu, maka elang itu tidak akan pernah melihat sisa-sisa orang padepokan yang sedang berlatih itu.” sahut Manggada.
“Kita akan menunggu sampai sepekan. Jika dalam sepekan tidak ada seekor burung elang yang terbang diatas padukuhan, maka kita yang akan memancingnya.” desis Ki Pandi.
Untuk beberapa saat mereka mengamati burung elang yang berterbangan itu. Namun beberapa saat kemudian, burung itu menukik dan hilang dibalik dinding padepokan.
“Biarlah kita pergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk memberikan petunjuk-petunjuk kepada orang-orang padukuhan mempergunakan senjata. Biarlah mereka lebih mengenali senjata mereka, karena mereka akan terjun di arena pertempuran melawan orang-orang yang sudah berpengalaman.”
Ketiga orang itu tidak terlalu lama berada ditempat itu. Ketika kedua ekor harimau Ki Pandi kembali lagi menemuinya, maka Ki Pandipun telah mengajak Manggada dan Laksana kembali ke padukuhan, sementara ia memberikan isyarat kepada kedua ekor harimaunya untuk tinggal di hutan perdu yang luas dilereng Gunung Lawu yang membatasi lingkungan persawahan dengan hutan lereng gunung.
Di padukuhan, Ki Pandi pun telah memberitahukan apa yang dilihatnya kepada Ki Ajar Pangukan, Ki Warana dan Ki Bekel. Untuk sementara burung elang itu tidak akan melihat kesiagaan mereka.
“Kita justru dapat memanfaatkan waktu,“ berkata Ki Pandi “Dengan pengenalan yang lebih banyak tentang senjata mereka, maka orang-orangku akan dapat lebih banyak berbuat disamping mereka yang sudah berpengalaman.”
“Ya. Kita akan menunggu sampai sepekan.”
Tetapi meskipun tidak ada seekorpun burung elang yang sempat terbang diatas padukuhan itu, namun kabar tentang kesiagaan orang-orang padukuhan itu telah tersebar. Orang-orang dari padukuhan lain yang melihat apa yang dilakukan di padukuhan itu menjadi saling bertanya. Apalagi ketika padukuhan itu kemudian telah menutup diri.
Berita yang berkembang dari mulut-ke mulut itu, menyusup sampai ke pasar. Bahkan kemudian sampai ke telinga pengikut Panembahan Lebdagati yang memang sering pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari yang telah habis dalam persediaan mereka. Tetapi Panembahan Lebdagati memang sering mengirimkan orang untuk berada ditempat orang banyak agar mereka dapat mendengar jika ada berita yang berkembang menyangkut padepokannya.
Ternyata bahwa orang yang berada di pasar itu telah mendengar berita tentang kegiatan sebuah padukuhan yang kemudian justru telah menutup diri. Menutup jalan-jalan yang menuju ke padukuhan itu dari segala jurusan. Dengan demikian, maka berita itu telah menjadi laporannya pula ketika ia kembali ke padepokan.
Panembahan Lebdagati ternyata tertarik pula oleh laporan itu. Karena itu, maka iapun lelah memerintahkan orang yang merawat burung-burung elangnya untuk mengamati keadaan.
“Jika burung-burung itu gagal, maka aku akan mengirimkan beberapa orang langsung untuk melihat. Tetapi jika elang-elang itu berhasil, maka setidak-tidaknya burung-burung elang itu akan dapat menuntun orang-orang kita untuk melihat padukuhan itu."
Sebenarnyalah, hari itu juga dua ekor burung elang telah terbang tinggi. Keduanya berputaran sambil mengamati padukuhan-padukuhan disekitar padepokan yang telah diduduki oleh Panembahan Lebdagati itu. Beberapa kali kedua ekor burung itu berputaran. Mereka tidak saja berputar-putar disekitar padepokan, tetapi kedua burung elang itu berputar pada garis lingkaran yang luas.
Sebenarnyalah kedua ekor burung itu sempat melihat orang-orang padukuhan dan orang-orang padepokan Kiai Banyu Bening yang berhasil melarikan diri itu. Mereka masih saja berlatih ditempat terbuka tanpa merasa cemas, bahwa Panembahan Lebdagati akan dapat melihat mereka. Meskipun demikian, ketika mereka melihat dua ekor burung elang terbang berputaran di udara, maka mereka pun menjadi berdebar-debar.
“Akhirnya burung-burung itu datang juga,“ desis Ki Pandi.
“Satu isyarat bahwa kita harus benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan.“ sahut Ki Ajar Pangukan.
“Kami akan melihat-lihat kegiatan di padepokan itu,“ berkata Ki Pandi, ”Setelah mereka melihat kegiatan kita lewat mata burung elang itu, apakah mereka menunjukkan kegiatan tertentu.”
“Tetapi berhati-hatilah. Bahwa mereka telah mengirimkan burung elang itu berarti bahwa mereka telah mulai dengan satu pengamatan khusus terhadap kita disini,“ pesan Ki Ajar Pangukan.
Ki Pandi mengangguk-angguk. Namun ternyata ia minta agar Manggada dan Laksana tidak ikut bersamanya. “Aku akan pergi sendiri. Jika keadaan memungkinkan, kita akan pergi bersama besok.”
Manggada dan Laksana mengangguk mengiakan. Mereka selalu menganggap apa yang dikatakan Ki Pandi seharusnya mereka lakukan. Kecuali mereka menganggap bahwa orang bongkok itu adalah gurunya, kedua anak muda itu juga menyadari, bahwa apa yang dikatakan oleh Ki Pandi itu pada umumnya sangat berarti bagi mereka.
Demikianlah, maka Ki Pandi pun telah berangkat sendiri untuk melihat padepokan yang telah melepaskan dua ekor burung elang itu. Seperti sebelumnya, ketika Ki Pandi memasuki padang perdu, maka kedua ekor harimaunya telah menyongsongnya, menjilat-jilat tangannya dan menggosok-gosokkan kepalanya pada kaki Ki Pandi.
“Berhati-hatilah,“ desis Ki Pandi sambil mengusap kepala kedua ekor harimaunya itu.
Kedua ekor harimaunya itu seakan-akan mengerti kata-kata Ki Pandi sehingga keduanya berjalan merunduk-runduk disela-sela gerumbul-gerumbul perdu. Beberapa saal kemudian, Ki Pandi dan kedua ekor harimaunya telah berada tidak terlalu jauh dari padepokan. Ki Pandi tidak melihat sesuatu selain pintu gerbang yang tertutup rapat.
Untuk beberapa lama Ki Pandi mengamati padepokan itu. Tetapi ia tidak melihat kegiatan apapun diluar padepokan. Sementara itu dinding padepokan itu berdiri tegak dengan angkuhnya. Membeku di panasnya sinar matahari. Namun tiba-tiba saja kedua ekor harimaunya menjadi gelisah. Mereka memandang ke arah yang jauh.
Ki Pandi yang sudah mengenal sifat kedua ekor harimaunya selalu memperhatikan sikapnya. Ki Pandipun kemudian ikut pula memandang kearah yang jauh itu. Dengan ketajaman penglihatannya, maka Ki Pandi pun melihat titik-titik yang bergerak di kejauhan. Ternyata dua ekor burung elang yang melayang-layang. Tetapi tidak diatas padukuhan yang dipergunakan oleh Ki Warana menjadi pertahanan keduanya itu. Justru diarah yang berlawanan.
"Tentu bukan burung elang yang terbang diatas padukuhan itu,“ berkata Ki Pandi kepada kedua ekor harimaunya.
Kedua ekor harimau itu memandanginya dengan tajamnya, seakan-akan mereka ingin mengetahui apa yang dikatakan itu. Kedua ekor burung elang itu semakin lama menjadi semakin kelihatan jelas. Keduanya terbang langsung menuju ke padepokan keduanya berputaran beberapa kali.
Ki Pandi termangu-mangu sejenak. Tetapi kedua ekor harimaunya nampak semakin gelisah. Ternyata kemudian, Ki Pandi itu melihat debu yang mengepul. Beberapa orang penunggang kuda melarikan kuda mereka dijalan berdebu menuju ke padepokan.
“Siapakah mereka?” bertanya Ki Pandi kepada diri sendiri, karena ia tidak akan dapat bertanya kepada kedua ekor harimaunya. Dengan sangat berhati-hati Ki Pandi beringsut mendekat. Tetapi pada jarak itu, Ki Pandi memang tidak dapat melihat wajah orang-orang berkuda itu dengan jelas.
Ki Pandi menjadi berdebar-debar ketika Ki Pandi melihat pintu gerbang itu terbuka perlahan-lahan. Apalagi ketika ia melihat bahwa beberapa orang telah berdiri untuk menyambut orang-orang berkuda iiu. Seorang diantara mereka segera dapat dikenali oleh Ki Pandi meskipun dari jarak yang agak jauh, karena ia mengenal orang itu dengan sangat baik. Panembahan Lebdagati sendiri.
Ki Pandi menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang berkuda itu tentu orang yang dihormati, sehingga Panembahan Lebdagati sendiri harus menyambutnya dipintu gerbang. Untuk beberapa saat lamanya Ki Pandi menjadi tegang. Ia melihat Panembahan Lebdagati menyambut orang-orang berkuda itu. Menurut penilaian Ki Pandi, dua orang diantara orang-orang berkuda itu termasuk orang yang penting bagi Panembahan Lebdagati.
Dengan demikian, maka Ki Pandipun mengerti, bahwa burung elang yang nampak sebagai titik-titik kecil itu adalah burung elang yang mendapat tugas untuk menjemput dan menuntun tamu-tamu Panembahan Lebdagati itu sampai ke padepokan. Ketika kemudian pintu gerbang itu perlahan-lahan ditutup kembali, maka Ki Pandi pun menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah mereka datang secara kebetulan, atau Panembahan Lebdagati memang memanggilnya untuk menyelesaikan orang-orang yang tersisa dari padepokan Kiai Banyu Bening yang sempat dilihat oleh burung elang itu?“ bertanya Ki Pandi kepada diri sendiri.
Namun bagaimanapun juga, kehadiran beberapa orang berkuda itu harus menjadi perhatian mereka. Dengan demikian, maka Ki Pandi berkesimpulan, bahwa setiap hari sebaiknya dilakukan pengamatan atas padepokan itu. Ia tidak dapat melakukannya sendiri. Tetapi bergantian dengan orang-orang tua yang memiliki ilmu yang tinggi untuk sementara dirumah Ki Ajar Pangukan itu.
Tetapi terasa hari-harinya tinggal besok atau lusa. Panembahan Lebdagati tentu akan segera datang untuk menghancurkan orang-orang yang telah berani membuat persiapan-persiapan yang tentu akan menentangnya.
Meskipun nemikian, ketika hal itu disampaikan kepada Ki Ajar Pangukan, maka Ki Ajar telah menyetujuinya. Bahkan Ki Ajar itu menganggap bahwa pengamatan itu harus dilakukan setiap saat. Karena itu, maka orang-orang di padukuhan itu telah mengadakan pembicaraan khusus untuk mengatur pengamatan terhadap gerak orang-orang padukuhan.
“Waktunya tentu tidak akan lama lagi,“ berkata Ki Pandi.
Demikianlah, sejak saat itu, maka bergantian orang-orang dari padukuhan itu mengadakan pengamatan atas padepokan yang telah dirampas oleh Panembahan Lebdagati. Ki Warana telah menunjuk orang-orangnya yang terbaik untuk membantu melakukannya. Terutama di malam hari. Sedangkan disiang hari pengawasan itu dilakukan oleh orang-orang tua yang berilmu tinggi, karena mereka harus sangat berhati-hati.
Dalam pada itu, ketika orang-orang padukuhan itu melihat beberapa ekor burung elang terbang berputar-putar diatas padukuhan itu, menjadi berdebar-debar. Tidak hanya dua ekor seperti biasanya. Tetapi lima ekor burung elang.
“Apa yang akan terjadi?“ desis Ki Ajar Pangukan.
“Nampaknya mereka menganggap bahwa waktunya sudah tiba,“ sahut Ki Pandi.
“Tetapi tentu bukan hari ini,“ berkata Ki Ajar.
“Sudah terlalu siang untuk memulai sebuah pertempuran. Agaknya malam nanti mereka akan bergerak.“ sahut Ki Pandi.
“Ketika mereka menyerang padepokan itu, mereka lakukan disiang hari. Dengan satu keyakinan untuk menang, mereka datang dengan dada tengadah. Disiang hari, maka mereka akan dapat sedikit mengatasi kesulitan medan.”
Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya, “Medan di padukuhan ini tentu lebih sulit bagi mereka. Karena itu, menurut pendapatku, mereka akan datang esok menjelang matahari terbit.”
Ketika sekali lagi Ki Warana membuat perhitungan, manakah yang lebih baik antara bertahan dan menyerang, maka Ki Ajar berkata, “Kita lebih baik bertahan disini. Panembahan Lebdagati tidak akan menyerang dengan segala kekuatannya. Tentu masih ada yang akan ditinggalkan di padepokan. Jika kita yang datang ke padepokan, maka kita akan berhadapan dengan segenap kekuatan yang ada di padepokan, selain kita akan mengalami kesulitan untuk memasuki padepokan itu.”
Ki Warana mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Kita mantapkan sikap kita. Kita akan benahan di padukuhan ini. Tetapi Ki Bekel harus dapat memecahkan persoalan perempuan dan anak-anak.”
“Ada dua tempat pengungsian,“ sahut Ki Bekel “Di banjar dan dirumahku. Menurut perhitunganku, kedua tempat itu akan dapat menampung semua perempuan dan anak-anak di padukuhan ini.”
“Pengungsian itu harus segera dilakukan,“ berkata Ki Ajar, ”Burung elang itu merupakan isyarat, bahwa mereka akan segera bergerak. Jika terlambat, maka akibatnya sangat buruk bagi mereka.”
“Baiklah,“ berkata Ki Bekel “Aku akan mulai hari ini juga. Mereka masih mempunyai kesempatan hari ini dan malam nanti seandainya benar besok menjelang matahari terbit, Panembahan Lebdagati akan menyerang padukuhan ini.”
Sebenarnyalah, Ki Bekel telah memerintahkan para bebahu untuk mengatur pengungsian perempuan dan anak-anak ke banjar dan ke rumah Ki Bekel, tetapi Ki Bekel masih berpesan, “Jangan membuat perempuan dan anak-anak menjadi sangat ketakutan. Mereka harus yakin, bahwa mereka akan mendapat perlindungan yang baik. Tidak seorangpun diantara para pengikut Panembahan Lebdagati yang akan dapat menginjakkan kakinya di halaman banjar dan halaman rumahku itu.
Demikianlah, maka pengungsian perempuan dan anak-anak pun segera berlangsung. Bagaimana pun juga para bebahu berusaha, namun perempuan dan anak-anak itu menjadi ketakutan.
Sementara itu, laki-laki dan anak-anak muda padukuhan itu nampak hilir mudik membantu perempuan dan anak-anak mengungsi. Hanya kemudian mereka pun telah dihimpun dalam kelompok-kelompok yang akan menyalurkan perintah-perintah sampai ke setiap telinga. Mereka pun telah membagi lingkungan tugas mereka. Kecuali dalam keadaan yang khusus.
Dalam pada itu, Ki Warana pun telah menentukan tugas orang-orang yang menyertainya sampai ke padukuhan itu. Mereka juga terbagi sebagaimana orang-orang padukuhan itu, sehingga disetiap kelompok orang-orang padukuhan terdapat beberapa orang dari padepokan Kiai Banyu Bening.
Selain daripada itu, maka orang-orang padepokan Kiai Banyu Bening itupun telah berusaha mengenali medan dengan sebaik-baiknya. Seperti yang pernah mereka lakukan, maka mereka akan memanfaatkan medan itu untuk mengacaukan lawan mereka.
Namun dalam pada itu, Ki Ajar Pangukan telah memperingatkan agar orang-orang tua yang tinggal bersamanya itu menjadi sangat berhati-hati. “Ada orang baru di padepokan,“ berkata Ki Ajar.
Ki Warana menarik nafas dalam-dalam. Panembahan Lebdagati sendiri bersama pengikutnya sudah merupakan kekuatan yang sangat besar. Apalagi dengan kekuatan baru meskipun hanya beberapa orang, maka kekuatan Panembahan Lebdagati akan menjadi sangat besar.
Meskipun demikian, Ki Warana sudah bertekad untuk melawannya, apapun yang terjadi. Iapun percaya kepada kemampuan orang-orang tua yang ada diantara mereka, karena Ki Warana sendiri pernah mengalami benturan kekuatan. Ki Warana itu merasa dirinya sama sekali tidak berarti dihadapan orang tua-tua itu.
Dalam pada itu, burung-burung elang yang berputaran di atas padukuhan itu, ternyata telah diamati oleh beberapa orang pengikut Panembahan Lebdagati dari kejauhan. Mereka mendapat kesimpulan bahwa burung elang itu melihat kekuatan yang cukup besar tersimpan di padukuhan itu. Apalagi orang-orang padukuhan itu sengaja tidak menyembunyikan diri dari penglihatan burung-burung elang itu.
Namun para pengikut Panembahan Lebdagati itu masih juga belum dapat menterjemahkan pengertian kekuatan yang cukup besar itu dengan tepat. “Berapa banyak orang yang sempat melarikan diri itu?“ bertanya seseorang diantara mereka yang mengamati burung elang itu.
“Saat itu aku berniat untuk mengejar mereka. Tetapi aku dan kawan-kawanku telah dicegah. Waktu itu kita menganggap bahwa kekuatan yang melarikan diri itu tidak seberapa.”
“Sampai sekarang pun aku menganggap bahwa kekuatan mereka itu memang tidak seberapa.“ sahut yang lain “jika burung elang itu memberikan isyarat bahwa kekuatan di padukuhan itu cukup besar, maka mungkin burung elang itu juga melihat kesibukan orang-orang padukuhan itu sendiri.”
“Salah kita, bahwa kita belum pernah mengirimkan orang untuk melihat langsung apa yang mereka lakukan. Menurut kata orang di pasar itu setiap hari mereka mengadakan latihan di tempat terbuka.”
“Satu cara untuk menggertak kita.“ jawab yang tahu “kita tidak usah menghiraukan kata orang. Jika kita datang ke padukuhan itu, maka padukuhan itu akan kita hancurkan. Para penghuninya yang telah membantu, apakah itu berujud pangan atau alat apapun, akan kita anggap ikut bersalah. Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kesalahan mereka.”
“Hanya ada satu macam hukuman yang dapat Kita berikan. Hukuman mati dengan cara apapun juga.”
Sementara itu seorang diantara mereka berkata, ”Jika saja di padukuhan itu ada sepuluh atau lima belas gadis yang bersih. Panembahan Lebdagati akan dapat menghemat kesibukannya selama limabelas bulan jika ia benar-benar ingin memulai lagi dengan menyerahkan korban bagi kerisnya.“
Namun dengan nada rendah ia melanjutkan, ”Tetapi sudah berapa sebenarnya umur Panembahan.”
“Apakah kau kira umur dapat menjadi patokan berapa tahun lagi ia akah hidup didunia ini? Aku yakin, bahwa Panembahan Lebdagati masih akan dapat menyelesaikan tugasnya menyerahkan korban sepanjang seratus kali purnama. Umurnya tentu masih akan mencapai seperempat abad lagi.”
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi memang tidak mustahil bahwa seseorang akan mencapai umur lebih dari seratus tahun. Beberapa saat kemudian, maka orang-orang itupun segera meninggalkan tempatnya. Mereka melangkah kembali ke padepokan sambil mencoba menemukan kesimpulan yang akan menjadi laporan mereka kepada Panembahan Lebdagati.
Di padepokan, mereka langsung menyampaikah laporan pengamatan mereka kepada Panembahan Lebdagati. Sehingga Panembahan Lebdagati itupun mengambil kesimpulan, bahwa ia harus segera bertindak.
“Kenapa kau pelihara kecoak-kecoak itu, Panembahan?” bertanya seorang yang bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang. Salah seorang dari orang-orang berkuda yang datang ke padepokan itu.
“Aku mengira bahwa mereka tidak akan berbuat apa-apa lagi. Tetapi ternyata mereka sudah siap untuk membunuh diri.”
“Mumpung aku ada disini.” berkata orang berkumis tebal itu “Aku akan ikut bersamamu. Mungkin aku akan mendapatkan sesuatu yang menarik di padukuhan itu?”
“Apa yang kau inginkan?“ bertanya Panembahan Lebdagati.
Orang itu tertawa. Katanya, ”Apa saja yang menarik perhatian. Tetapi memang mungkin tidak ada apa-apa.”
“Kau masih saja liar.” desis Panembahan Lebdagati.
“Kau kira watakku dapat berubah?“
“Baiklah Ki Lembu Palang. Jika kau mau ikut bersama kami, marilah.”
”Kapan kau akan pergi ke padukuhan itu?”
“Kapan sebaiknya menurutmu?“
“Besok kita pergi.”
“Kenapa besok? Besok aku sudah berjanji untuk mengadu delapan ekor ayam jantan. Aku memerlukan yang terbaik dari delapan ekor ayam jantan itu.”
“Berjanji kepada siapa?“ bertanya Ki Kebo Palang.
“Kepada orang-orangku. Mereka memerlukan hiburan. Hiburan yang terbaik bagi mereka adalah menonton adu ayam. Selain hiburan pertarungan itu akan dapat memberikan dorongan kejantanan mereka di medan pertempuran.”
“Kenapa kau menganggap adu ayam lebih penting dari menyelesaikan kecoak-kecoak yang mengotori pinggan nasimu?” bertanya Ki Kebo Palang.
Panembahan Lebdagati menarik nafas panjang. Katanya, ”Baiklah, besok aku akan pergi ke padukuhan itu. Menurut orang-orang itu, mereka mempunyai kekuatan yang cukup besar.”
“Bukankah orang yang menyebut dirinya Banyu Bening itu sudah kau bunuh? Yang tersisa tinggallah para pengikutnya yang berhasil melarikan diri. Itupun jumlahnya tidak terlalu banyak. Bukankah kau mengatakan begitu?“ bertanya Lembu Palang.
“Ya. Jumlah mereka yang melarikan diri memang tidak terlalu banyak.”
“Lalu siapa lagi?” bertanya Lembu Palang.
“Mungkin mereka mempengaruhi orang-orang padukuhan itu.”
“Apa artinya orang-orang padukuhan itu?”
Panembahan Lebdagati tersenyum. Katanya, “Besok kita pergi. Besok lusa aku akan mengadu ayam itu.”
Keputusan itupun segera diberitahukan kepada para penglkutnya. Panembahan Lebdagati telah memerintahkan para pengikutnya untuk bersiap-siap. Bahkan Panembahan Lebdagati sempat berpesan, “Jangan terlalu merendahkan lawan kita. Kita akan dapat terjebak dalam kesulitan. Karena itu, kita bawa kekuatan secukupnya.”
Lembu Palang yang mendengar pesan itu sempat tertawa. Katanya “Kau cukup berhati-hati Panembahan. Tetapi tidak ada jeleknya orang berhati-hati. Dengan demikian, maka apa yang dilakukan akan dapat berhasil dengan sempurna.“
“Beberapa kali aku terjebak dalam kesulitan karena aku menganggap lawanku terlalu kecil. Aku kehilangan kesempatan pertama untuk menjadikan kerisku keris terbaik di bumi ini. Kemudian kegagalan yang lain telah merenggut setiap kesempatanku mendapatkan pusaka terbaik.”
"Tetapi sekarang kau tidak sedang merebut pusaka apapun. Kau tidak lebih dari sekedar membersihkan gledeg bambumu dari kecoak-kecoak yang mengotori isinya. Karena itu, kau tidak perlu terlalu pening memikirkan kesiagaan orang-orangmu yang aku nilai cukup banyak dan memiliki landasan ilmu yang cukup. Terus terang, tidak ada padepokan manapun yang akan dapat menandingi kekuatan padepokanmu ini nanti jika sudah mapan.”
Panembahan Lebdagati mengangguk kecil. Katanya, ”Terima kasih atas pujian itu. Tetapi aku merasa bahwa aku harus tetap berhati-hati.”
Lembu Palang tertawa sambil berkata “Bagus. Aku menjadi semakin kagum melihat sikap dan pendirianmu. Besok aku dan kawan-kawanku akan ikut bersama kalian...”
Selanjutnya,
MATAHARI SENJA BAGIAN 13
MATAHARI SENJA BAGIAN 13