Sang Penerus Bagian 18

Cerita Silat Indonesia Serial Arya Manggada episode Sang Penerus Bagian 18 karya SH Mintardja
Sonny Ogawa
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia percaya bahwa Kiai Gumrah dapat melakukannya. Ia akan dapat menyentuh simpul-simpul syaraf sehingga membuat seseorang tertidur atau seolah-olah membeku pada sebagian tubuhnya. Karena itu, maka Manggada dan laksana tidak bertanya lagi. Keduanya pun kemudian telah menyusul mereka yang sudah berada di banjar.

Meskipun rumah itu seolah-olah telah menjadi kosong, tetapi Kiai gumrah tidak menutup pintu depan. Kiai Gumrah memang ingin memberikan kesan bahwa tidak ada perubahan apa-apa terjadi di rumah itu, sehingga orang-orang yang mengamatinya tidak akan menaruh banyak perhatian. Bahkan mereka akan menganggap bahwa Kiai Gumrah masih belum mengetahui rencana Kiai Windu Kusuma dan Panembahan Lebdagati untuk datang mengambil pusaka-pusaka yang mereka anggap keramat itu.

Sebenarnyalah bahwa pengikut Kiai Windu Kusuma yang lewat di depan rumah Kiai Gumrah tidak melihat kesan apapun. Bahkan ia masih melihat lewat pintu regol halaman rumahnya yang terbuka, Kiai Gumrah yang sedang menyapu halaman rumahnya. Ketika kemudian senja turun, Kiai Gumrah masih juga menyalakan lampu-lampu di rumahnya. Sedangkan Manggada dan Laksana yang sudah berada di banjar, juga telah menyalakan lampu-lampu di banjar tua itu.

Namun demikian Kiai Gumrah menutup pintu rumahnya ketika malam turun, maka rumah itu telah menjadi kosong. Yang ada di dalam hanyalah kedua orang tawanan Kiai Gumrah yang tangan dan kakinya masih terikat, sementara dengan ketukan pada simpul syarafnya telah membuat kedua orang itu tertidur.

Sekeluarga, Kiai Gumrah pun kemudian telah meninggalkan banjar tua itu pula. Lewat lorong-lorong sempit di padukuhannya. Dengan hati-hati mereka menghindari pertemuan dengan seseorang agar pusaka-pusaka yang mereka bawa tidak menimbulkan persoalan.

Demikianlah, pada saat yang ditentukan, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah pun telah berkumpul di sebuah kebun yang kosong dekat sebuah kuburan. Ki Prawara yang berdiri di dekat Manggada dan Laksana sempat berdesis,

"Di kuburan ini orang yang kami hormati semasa hidupnya, telah dimakamkan..."

Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu Manggada bertanya “Siapakah orang yang dihormati itu?"

"Ceriteranya panjang!" jawab Ki Prawara "Nanti, setelah tugas kita selesai, semoga aku masih sempat, aku ceriterakan selengkapnya."

"Semoga kami berdua juga masih sempat mendengarkannya" sahut Manggada.

"Kita sama-sama berdoa!” gumam Ki Prawara kemudian.

Mereka pun kemudian terdiam. Agaknya Kiai Gumrah mulai berbicara dengan bersungguh-sungguh. Namun masih terbatas dengan juragan gula itu serta dua orang saudara seperguruannya yang lain. Selagi mereka masih menunggu, maka terdengar geram dua ekor harimau yang berada di kuburan itu. Saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang sudah tahu bahwa Ki Pandi akan datang bersama kedua ekor harimau peliharaannya itupun serentak berpaling ke arah suara itu.

Sebenarnyalah yang muncul memang orang bongkok yang berilmu tinggi itu. Dengan kedatangan Ki Pandi, maka pembicaraan pun segera dimulai. Saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun duduk melingkar di bawah rimbunnya pepohonan. Dua orang yang mendapat tugas mengamati keadaan pun segera memberikan keterangan tentang sasaran yang akan mereka datangi.

"Kami telah melihat sasaran dari segala sudut." berkata salah seorang dari keduanya. Dengan jelas orang itu menyebut ciri-ciri serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lihat dari luar.

Kiai Gumrahlah yang kemudian melengkapi keterangan itu. Agaknya Kiai Gumrah telah berhasil menyadap keterangan terperinci dari kedua orang tawanan yang ditinggalkannya di rumah.

"Kita tidak menyerang dengan memecahkan regol halaman beramai-ramai sebagaimana pasukan segelar-sepapan. Tetapi kita akan melakukannya sendiri-sendiri. Kita masing-masing akan memasuki rumah itu dari arah yang berbeda. Ingat, di dalam rumah itu tinggal Kiai Windu Kusuma dengan beberapa orang berilmu tinggi. Selain mereka masih terdapat para pengikutnya yang jumlahnya cukup banyak. Selain para pengikut Kiai Windu Kusuma, maka di dalam rumah itu terdapat pula para pengikut orang yang disebut panembahan itu. Di antara mereka terdapat pula orang-orang dari perguruan Susuhing Angin dan tidak mustahil, masih ada lagi orang-orang dari perguruan lain yang terpengaruh oleh Panembahan itu."

Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun telah membicarakan segala sesuatunya dengan cermat. Mereka menilai segala macam kemungkinan yang dapat terjadi. Isyarat-isyarat yang harus mereka berikan dari yang satu kepada yang lain agar tidak terjadi salah paham.

Terakhir Kiai Gumrah itupun berkata, "Yang dikehendaki oleh Panembahan itu adalah pusaka-pusaka ini. Karena itu, maka tidak mustahil bahwa Panembahan itu akan langsung berusaha mengambilnya." Kiai Gumrah itupun berhenti sejenak, lalu "Karena itu, maka pusaka-pusaka itu harus berada di tangan-tangan yang benar-benar bertanggung jawab."

Namun Ki Pandi pun memotong pembicaraan itu. "Aku tidak ingin membawa salah satu di antara pusaka-pusaka itu. Tetapi aku akan menyertai mereka yang membawanya. Aku akan minta kerelaan kalian untuk dapat bertemu langsung dengan orang yang disebut Panembahan itu, sementara kalian tentu menganggap penting untuk bertemu dengan Kiai Kajar. Menurut pendapatku, baik Panembahan itu, maupun Kiai Kajar akan berusaha untuk dapat langsung menguasai pusaka-pusaka itu, sehingga aku akan dapat menemukannya jika aku berada di dekat orang yang membawa pusaka itu."

Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu kami tidak berkeberatan. Tetapi jika Ki Pandi tidak berhasil menemui Panembahan, jangan menyalahkan kami."

Ki Pandi mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak menjawab. Ternyata saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah mempercayakan pusaka-pusaka itu kepada Kiai Gumrah, juragan gula dan satu lagi diserahkan kepada Ki Prawara dan Nyi Prawara.

"Masih ada satu lagi. Siapakah yang akan membawa songsong itu?"

Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Songsong itu memang tidak secara khusus dapat dipergunakan sebagai senjata. Namun songsong itu mempunyai nilai yang tinggi bagi Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya. Karena itu, maka orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi itu berkata,

"Songsong itu akan berada di tangan ketiga cucu Kiai Gumrah. Namun dua orang di antara kami harus melindunginya.”

"Bagus" sahut Buta Ijo "Tetapi jika mereka juga harus memasuki sarang Kiai Windu Kusuma dengan membawa songsong itu, bukankah sama saja artinya dengan memanggil perhatian para pengikut Kiai Windu Kusuma yang sedang bertugas."

"Tetapi kita memerlukan semua orang untuk bersaman sama memasuki lingkungan lawan. Jumlah kita yang hanya tiga belas orang ditambah dengan tiga orang cucu Kilai Gumrah itu tentu akan menjadi terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah lawan."

"Kau belum menghitung Ki Pandi dan kedua ekor harimaunya” berkata Ki Prawara kemudian.

Saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu mengangguk-angguk, sementara Kiai Gumrah berkata "Baiklah. Mereka akan memasuki regol halaman rumah itu setelah salah seorang di antara kita membuka pintu itu dari dalam."

“Baik...” berkata juragan gula itu ”Demikian pintu terbuka, maka mereka akan memasuki halaman. Songsong itu memang akan menarik perhatian. Tetapi kita dapat mempergunakan sekaligus sebagai pancingan. Namun hal itu baru akan kita lakukan setelah kita membersihkan sebagian para pengikut Kiai Windu Kusuma yang akan dapat mengganggu benturan akhir dari serangan kita."

"Tetapi aku ingin memperingatkan kalian" berkata Kiai Gumrah "Kita semuanya bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berjantung. Kita menjunjung tinggi ajaran perguruan kita. Jika kita datang kesarang lawan kali ini adalah justru dalam rangka mempertahankan hak kita yang ingin mereka kuasai."

Tetapi Buta Ijo itu menyahut, "Apa yang dapat kita lakukan jika kita tidak boleh membunuh? Bukankah itu berarti kita sekedar membunuh diri?"

“Apakah kau artikan ajaran perguruan kita seperti itu?" bertanya Kiai Gumrah.

Buta Ijo itu terdiam. Sementara Kiai Gumrah pun berkata "Kita mengerti batas kewajaran ajaran perguruan kita. Tetapi bukankah kita juga dapat melumpuhkan lawan tanpa membunuhnya? Tentu saja dalam batas-batas kemungkinan."

Saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu mengangguk-angaguk. Buta Ijo itupun mengangguk-angguk pula. Sambil menunggu tengah malam, maka Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka melihat senjata-senjata mereka, agar pada saatnya tidak mengecewakannya.

Kiai Gumrah, juragan gula serta Ki Prawara telah menggegam tombak di tangan mereka masing-masing. Tombak yang akan mereka pergunakan langsung dipertempuran yang bakal terjadi di rumah besar yang menjadi sarang Kiai Windu Kusuma.

Menjelang tengah malam, maka segala macam persiapan benar-benar telah mapan. Karena itu, maka Kiai Gumrah pun segera minta saudara-saudara seperguruannya bersiap.

"Anak setan...!" geram orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi "Buta Ijo itu telah mendekur."

Juragan gula itulah yang kemudian membangunkannya. Sambil mengguncang lengannya ia berkata "He. Bangun dari mimpi burukmu itu."

Buta Ijo itu terkejut. Sekali ia menguap sambil menggeliat. Tetapi kawannya yang selalu terkantuk-kantuk membentak, "He, tutup mulutmu. Seekor katak dapat meloncat masuk ke dalam mulutmu yang terbuka itu."

"Setan kau!” geram Buta Ijo itu "Kenapa kau tidak kembali kekuburan itu saja?"

Tetapi saudara seperguruannya yang lain berkata, "Kau yang selalu mengantuk, ternyata tidak semudah Buta Ijo itu untuk dapat benar-benar tidur."

"Sudahlah..." berkata juragan gula itu "Kita akan segera berangkat."

Kiai Gumrah pun kemudian telah memberikan pesan-pesan terakhir kepada saudara-saudara seperguruannya. Mereka diperingatkan untuk berusaha memasuki halaman rumah itu dengan diam-diam. Mereka harus dapat mengurangi lawan sebanyak-banyaknya. Tetapi diperingatkan pula bahwa mereka tidak boleh membunuh jika tidak terpaksa.

Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu sekali lagi berdiri dalam lingkaran. Sejenak mereka memusatkan nalar budi mereka untuk mempersiapkan tugas mereka yang sangat berat.

Sejenak kemudian, maka terdengar Kiai Gumrah berkata "Semoga kita selalu mendapat perlindungan dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang!"

Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun mulai bergerak. Mereka membenahi pakaian mereka agar tidak justru mengganggu tugas mereka. Senjata mereka pun sudah siap pula. Setiap saat mereka akan mempergunakannya.

Dalam kegelapan malam, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu mulai merayap mendekati rumah yang terhitung besar yang menjadi sarang Kiai Windu Kusuma dan para pengikutnya. Di dalam rumah itu juga terdapat orang-orang berilmu tinggi yang lain.

Seperti yang direncanakan, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu akan bergerak sendiri-sendiri. Mereka akan memasuki halaman rumah itu dengan meloncati dinding. Namun seperti yang ditentukan, ketiga orang cucu Kiai Gumrah serta dua orang yang akan melindungi mereka, baru akan memasuki halaman rumah itu setelah pintu gerbang dibuka.

Yang kemudian harus membawa payung yang bertangkai agak panjang itu adalah Manggada dan Laksana. Namun mereka tidak akan membawa songsong itu bersama-sama. Tetapi bergantian. Meskipun mereka tidak akan memasuki halaman bersama-sama dengan yang lain, namun berlima mereka telah bergerak mendekati pintu gerbang, meskipun masih pada jarak yang terbatas.

Winih sengaja tidak memasang selongsong payung yang berwarna putih itu. Tetapi menyulubunginya dengan baju lurik hitam milik kakeknya agar warna kuning keemasan yang mengkilat itu tidak justru memantulkan cahaya oncor yang sengaja dipasang di sudut-sudut dinding halaman rumah itu.

Sementara itu, maka Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya yang lain telah merayap mendekati dinding rumah itu. Dengan diam-diam mereka berusaha untuk dapat meloncati dinding. Dari saudara seperguruan mereka yang telah mengamati dinding halaman rumah itu dari luar serta keterangan terperinci yang diberikan oleh Kiai Gumrah berdasarkan keterangan kedua orang tawanannya, maka mereka dapat memilih tempat-tempat, yang paling aman untuk meloncat memasuki halaman.

Yang mula-mula mencapai dinding halaman itu adalah orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi. Sejenak ia mendengarkan setiap suara dengan saksama. Namun sudut dinding halaman di tempat ia menempelkan tubuhnya itu sangat sunyi. Tidak terdengar suara apapun juga. Karena itu, maka orang itu telah memberanikan diri untuk meloncat menggapai bibir dinding halaman itu. Perlahan-lahan ia beringsut naik, sehingga akhirnya ia berhasil memandang ke dalam.

Keadaan di dalam halaman itupun sangat sunyi, padahal menurut perhitungannya, jika besok mereka akan bergerak mengambil pusaka-pusaka itu di rumah Kiai Gumrah, maka mereka tentu sudah membuat persiapan-persiapan.

Sejenak kemudian orang itupun telah menelungkup datar di atas bibir dinding halaman. Dengan baju yang terbuat dari kain lurik ketan ireng serta celana komprang yang juga berwarna hitam serta kain panjang latar ireng, maka orang itu tidak begitu nampak. Apalagi cahaya oncor yang lemah tidak sempat menggapai tempat itu.

Untuk beberapa saat lamanya ia masih menelungkup melekat bibir dinding halaman. Dengan saksama ia mengamati keadaan. Oleh cahaya lampu minyak yang dipasang di serambi, maka samar-samar ia dapat melihat keadaan halaman belakang rumah yang besar itu.

Baru kemudian ia melihat dua orang duduk di serambi, di bawah bayangan kerei bambu yang sebagian masih digulung naik. Justru karena itu, maka orang itu menjadi sangat berhati-hati. Bahkan orang itu masih memperhitungkan bahwa tentu masih ada orang lain yang bertugas di halaman belakang itu.

Ternyata beberapa saat kemudian, orang itu melihat dua orang petugas yang lain berjalan melintasi serambi, menuju ke sebelah rumah itu. Nampaknya mereka memang sedang meronda berkeliling. Orang yang menyebut dirinya berilmu tinggi harus menahan nafas ketika kedua orang itu ternyata berjalan seakan-akan menuju ke tempatnya.

Untunglah bahwa kedua orang yang meronda berkeliling itu tidak melihatnya. Demikian kedua orang itu lewat, orang yang melekat di bibir dinding halaman itu menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian, kedua orang itu menjauh, maka orang itupun segera meloncat turun di dalam halaman rumah itu.

Perlahan-lahan sekali ia beringsut. Disusunnya dinding halaman itu. Perlahan-lahan ia berusaha mendekati kedua orang yang duduk di serambi itu, Orang itu berhenti sejenak di bawah sebatang pohon kemuning yang rimbun. Diperhatikannya suasana rumah itu dengan sungguh-sungguh. Sekali lagi orang itu tertegun. Dalam keheningan malam ia mendengar suara perempuan tertawa tertahan-tahan di belakang serambi tempat dua orang yang sedang duduk dibayangan kere bambu itu.

Sejenak kemudian, maka pintu serambi itu terbuka. Seorang perempuan didorong keluar lewat pintu itu. Hampir saja perempuan itu terjatuh menimpa kedua orang yang sedang duduk di serambi itu. Perempuan itu masih tertawa. Ketika dua orang yang duduk di serambi itu menyeretnya untuk duduk bersamanya.

Ketika perempuan itu mulai mengigau, maka saudara seperguruan Kiai Gumrah itu mengerti, bahwa perempuan itu sedang mabuk. Tetapi menurut penilaiannya, perempuan itu tentu bukan perempuan baik-baik.

"Setan...!" geram orang yang menyebut dirinya berilmu tinggi itu ia terpaksa mengurungkan niatnya mendekati kedua orang di serambi itu. Tetapi kesan yang didapatkannya adalah, bahwa isi rumah yang besar itu ternyata adalah warna-warna buram, sehingga sepantasnyalah bahwa isi rumah itu dibersihkan sama sekali.

Demikian orang itu beranjak pergi, maka terdengar lagi suara tertawa berkepanjangan. Masih juga terdengar suara perempuan, tetapi bukan perempuan yang telah berada di serambi itu. Saudara seperguruan Kiai Gumrah itu bergumam meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati ia menyelinap kebelakang gerumbul perdu di sebelah rumah yang besar itu.

Ia mulai yakin, bahwa rumah itu masih belum tertidur meskipun sudah lewat tengah malam. Namun iapun yakin pula, bahwa seisi rumah itu sama sekali tidak menduga, bahwa beberapa orang yang asing bagi mereka telah berada di halaman rumah itu.

Ketika orang itu kemudian melihat dua orang penjaga yang berjalan hilir mudik di dekat pintu butulan pada dinding halaman yang menghadap ke samping, maka saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun telah menghembus kedua telapak tangannya sambil berdesis,

“Apa boleh buat. Jika daya tahan kalian cukup tinggi, maka kalian tidak akan mati. Tetapi jika kalian ternyata mati, itu bukan salahku, karena ilmuku memang terlalu tinggi bagi kalian..."

Dengan hati-hati orang itu merayap mendekati. Kemudian demikian ia meloncat keluar dari kegelapan, maka, tangannya telah melayang menyambar tengkuk salah seorang dari kedua orang itu.

Orang itu memang tidak sempat mengaduh. Sesaat ia terhuyung-huyung. Namun kemudian orang itupun terjatuh ditanah. Sementara itu kawannya terkejut. Tetapi ia juga tidak mendapat kesempatan. Satu pukulan yang sangat keras telah mengenai ulu hatinya sehingga orang itu terbungkuk kesakitan, baru kemudian telapak tangan saudara seperguruan Kiai Gumrah itu menghantam tengkuknya. Orang itupun telah kehilangan kesadarannya. iapun kemudian telah terjatuh pula.

Orang yang selalu menyebut dirinya berilmu tinggi itu tersenyum sambil berdesis, "Mudah-mudahan kalian tidak mati. Kiai Gumrah berpesan agar kami tidak menjadi pembunuh yang haus darah. Tetapi bukankah kalian sama sekali tidak menitikkan darah?"

Orang itu kemudian masih sempat menyeret kedua sosok tubuh itu ke dalam gerumbul di sebelah pintu butulan. Tetapi ia sadar, bahwa tidak hanya kedua orang itu sajalah yang harus diselesaikan lebih dahulu, sebelum mereka benar-benar memasuki rumah itu dan berusaha bertemu dengan Kiai Windu Kusuma dan orang-orang penting lainnya yang tinggal di rumah itu.

"Aku ingin bertemu dengan Kiai Kajar!" berkata orang itu di dalam hatinya "Ia seorang yang terlalu manja diperguruan. Tetapi aku tidak yakin bahwa ilmunya melampaui ilmu saudara-saudara seperguruannya."

Namun baginya Kiai Kajar adalah seorang yang sangat bodoh. Jika sekelompok orang yang tinggal di rumah itu berhasil memiliki pusaka-pusaka yang disimpan oleh Kiai Gumrah, maka Kiai Kajar itu tentu hanya mendapat bagian yang kecil saja. Bahkan seandainya pusaka-pusaka itu harus dibagi di antara saudara-saudara seperguruannya, maka ia akan mendapatkan lebih banyak.

Tetapi orang itu bergumam, "Tetapi pusaka-pusaka itu bukan milik siapa-siapa di perguruan!"

Sejenak orang itupun beringsut pula. Ia menuju sudut belakang gandok rumah itu. Namun ia terkejut ketika ia menemukan sebatang tombak pendek yang tergeletak di tanah, baru kemudian ia melihat jejak sesuatu yang ditarik ke gerumbul di sudut gandok yang gelap itu. Rerumputan dan daun-daun perdu yang patah menuntunnya menemukan dua sosok tubuh yang terbaring diam.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun telah menyembunyikan tombak itu pula di dekat tubuh yang membeku itu. "Juga tidak ada darah.” desisnya.

Ternyata saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah telah berada di halaman rumah itu kecuali yang bertugas melindungi songsong di depan pintu gerbang utama. Mereka yang ada di halaman itu telah berusaha membersihkan para petugas yang berjaga-jaga. Bahkan orang-orang yang meronda berkeliling pun telah mengalami nasib buruk pula.

Sementara itu Kiai Gumrah sendiri dan Ki Pandi masih berada di halaman depan yang luas. Mereka berjongkok di belakang sebatang pohon soka yang daunnya menjadi sangat rimbun. Bunganya yang kemerah-merahan nampak hampir di setiap ujung ranting-rantingnya.

Keduanya agaknya masih menunggu. Juragan gula itulah yang mendapat tugas untuk memberikan isyarat jika mereka akan memasuki rumah yang besar itu. Namun sebelumnya akan ada isyarat-isyarat kecil untuk menandai kesiagaan semua saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu.

Yang terjadi kemudian adalah gerakan yang diam dari mereka yang memasuki halaman rumah itu. Orang yang selalu terkantuk-kantuk itu ternyata telah berhasil memasuki longkangan samping setelah berhasil meloncati dinding di sebelah seketheng. Dua orang yang ada dilongkangan itupun tidak berdaya ketika orang itu menyentuhnya.

Sementara itu, Buta Ijo yang bertubuh seperti raksasa itu justru telah masuk ke dalam dapur dengan membuka dinding perlahan-lahan. Ketika ia membuka geledeg ia masih menemukan beberapa potong makanan.

Tetapi sentuhan-sentuhan mangkuk di geledeg itu telah membangunkan seorang anak muda yang tidur di dapur itu. Namun demikian anak muda itu bangkit, maka mulutnya pun telah dibungkam oleh Buta Ijo yang masih mengunyah sepotong ledre pisang.

Anak muda itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia merasa tekanan yang sangat keras di tengkuk dan punggungnya. Namun kemudian anak muda itu telah tertidur kembali.

"Kau akan tidur untuk waktu yang lebih lama dari kebiasaanmu anak muda..." desis Buta Ijo itu "Mungkin besok tengah hari kau baru akan menyadari keadaanmu lagi."

Buta Ijo itupun kemudian telah beringsut dari tempatnya. Ketika ia melewati pintu dapur di sisi lain, ternyata ia sudah berada di sebuah longkangan.

"Kiai Gumrah tidak menyebut longkangan ini" berkata orang itu di dalam hatinya.

Untuk beberapa saat Buta Ijo itu mengamat-amati tempat itu. Beberapa kali ia memperhatikan bangunan di sebelah Iongkangan yang berdinding bambu sebagaimana dinding dapur itu. Namun ia menjadi ragu-ragu.

Namun akhirnya Buta Ijo itu mengangguk-angguk ketika ia teringat pesan Kiai Gumrah, bahwa memang telah dibuat bangunan baru. Dapur itupun merupakan bangunan susulan karena dapur yang sebenarnya telah dipergunakan untuk kepentingan lain.

"Agaknya di dalam bangunan di sebelah longkangan itu tinggal beberapa orang pengikut Kiai Windu Kusuma atau pengikut Panembahan yang dibawanya kemari..." berkata Buta Ijo itu di dalam hatinya.

Tetapi Buta Ijo itu tidak akan memasuki bangunan di depan longkangan itu. Jika ia terperosok ke dalamnya, maka ia tentu akan bertemu dengan beberapa orang pengikut Kiai Windu Kusuma. Raksasa itu tidak akan mati ketakutan, tetapi dengan demikian, maka suasana tentu akan segera menjadi ribut.

Karena itu, maka Buta Ijo itu akan menghindari saja tempat itu dan kembali keluar lewat dinding bambu di dapur yang telah dibukanya. Sejenak kemudian Buta Ijo itu sudah ada di luar. Ia tidak mau meninggalkan jejak yang dapat menarik perhatian. Karena itu, maka dilekatkannya lagi dinding bambu yang telah dibukanya itu.

Tetapi sebelum ia beranjak, dua orang dengan tergesa-gesa mendekatinya. Dua orang peronda yang masih lolos dari tangan saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah. Sambil mengacukan senjatanya, seorang di antara keduanya itu membentak, "Siapa kau, he?"

Buta Ijo itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tertawa sambil menjawab. "kau aneh. Kenapa kau bertanya seperti itu?"

Orang itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Buta Ijo itu berkata, "Bukankah aku yang dua hari yang lalu datang dari perguruan Susuhing Angin?"

Kedua orang itu masih termangu-mangu. Tetapi yang seorang kemudian berkata, “Bohong. Yang datang dari perguruan Susuhing Angin telah aku kenal semuanya"

“Ternyata tidak. Kenapa kau tidak mengenal aku?" desis Buta Ijo dengan tenang.

"Menyerahlah. Bagaimana kau berhasil masuk kelingkungan kami yang tertutup ini?" geram orang yang lain. Ujung senjatanya mulai bergetar.

Tetapi Buto Ijo masih tenang-tenang saja. Bahkan iapun berkata pula. “Kalian memang aneh. Jika aku bukan orang dari perguruan Susuhing Angin, bagaimana aku dapat masuk kemari?"

"Tidak ada gunanya kau berbohong. Jika kau orang dari Susuhing Angin, apa yang kau lakukan di sini?"

Buta Ijo itu melihat berkeliling. Namun kemudian katanya perlahan-lahan "Tetapi jangan berkata kepada siapapun. Aku ingin masuk ke dapur!"

"Untuk apa?" bertanya salah seorang dari kedua peronda itu.

"Aku lapar...!" Buta Ijo itu menjawab sambil tertawa.

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun ternyata Buta Ijo telah memanfaatkan kesempatan itu. Dengan cepat ia meloncat menyusup di antara dua ujung senjata kedua orang itu. Dengan cepat pula kedua tangannya meraih kepala kedua orang itu.

Kedua orang itu tidak sempat mengetahui apa yang terjadi kemudian. Dunia pun segera menjadi gelap. Buta Ijo itu terbelalak melihat akibat perbuatannya. Kepala kedua orang itu menjadi retak. Dan darah telah mengalir.

"Bukan maksudku..." desis Buta Ijo yang menjadi sangat gelisah "Aku bukan pembunuh yang mendapat kepuasan karena kematian orang lain"

Tetapi ia tidak sempat berpikir panjang, iapun kemudian telah menyeret kedua orang itu dan membenamkannya di belakang gerumbul. Kedua pucuk senjata itupun telah dibuangnya ke dalam gerumbul itu pula.

Setelah menenangkan hatinya sejenak, Buta Ijo itupun mengendap-endap pula di kegelapan. Ia telah melingkari rumah yang besar itu. Namun dengan serta-merta Buta Ijo itu telah berhenti, menyusup ke balakang gerumbul ketika ia melihat sesuatu yang bergerak. Perlahan-lahan mulutnya telah berdecak seperti suara seekor bilalang.

Ketika dari gerumbul yang lain juga terdengar suara yang sama, maka Buta Ijo itupun yakin, kalau yang dilihatnya bergerak itu adalah saudara seperguruannya. Karena itu, maka Buta Ijo pun telah mendekatinya. Sebenarnyalah bahwa yang bersembunyi di belakang gerumbul itu adalah saudara seperguruannya yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan dengan kumis yang panjang diujungnya.

"Aku terpaksa membunuh!" desis Buta Ijo.

"Apa boleh buat!" desis yang berkumis. Lalu katanya "Sebenarnya kita dapat mengetrapkan ilmu sirep saja."

“Jangan!" cegah Buta Ijo "Sirepmu tidak akan berarti bagi orang-orang berilmu tinggi di rumah itu. Justru hanya akan mengundang kecurigaan saja. Jika mereka menyadari bahwa ada sirep, maka mereka justru akan segera bersiap-siap!"

Orang berkumis panjang dikedua ujungnya itu mengerutkan dahinya. Katanya "Sirepku melampaui ilmu sirep yang mana pun. Kau pun akan tertidur pula karenanya."

"Jika saudara-saudara kami tertidur, apa yang akan kami lakukan?"

"Setan kau!" geram orang berkumis itu.

Buta Ijo itu tertawa. Tetapi orang berkumis itu cepat berdesis "Kau jangan mengacaukan rencana kita..."

Buta Ijo itu menutup mulutnya. Namun keduanya terkejut ketika mereka melihat beberapa orang keluar dari pintu samping dengan senjata siap di tangan. Mereka berhenti sejenak ketika pemimpin sekelompok orang itu memberikan perintah.

“Menyebar. Bayangan itu tentu masih belum keluar!”

"Ternyata mereka sudah mengetahui bahwa ada orang lain di halaman rumah ini" gumam orang berkumis itu.

"Beri isyarat..." sahut Buta Ijo.

"Kau sajalah. Suaramu lebih mirip dengan suara burung bence daripada suaraku."

"Tetapi orang-orang itu sudah berada di hadapan hidung kita. Jika mereka mendengar suara burung bence di sini, maka mereka tentu akan berdatangan kemari..." desis Buta Ijo.

Kawannya tidak menjawab. Tetapi tiga orang di antara mereka yang menyebar itu melangkah mendekati gerumbul tempat keduanya bersembunyi. Ketika ketiga orang itu benar-benar menyibak dedaunan gerumbul itu, maka kedua orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Dengan cepat kedua orang itu meloncat dan menerkam ketiga orang itu. Orang berkumis itu menangkap seorang di antara mereka tepat di kepalanya. Satu putaran yang keras sekali ternyata telah mematahkan leher orang itu. Sementara sekali lagi Buta Ijo itu meraih dua kepala dan membenturkannya.

Tetapi keduanya tidak lagi dapat bersembunyi. Tiga orang yang lain yang bergerak ke samping telah melihat serangan singkat yang telah melumpuhkan tiga orang kawannya itu. Karena itu, maka ketiga orang itupun segera berteriak, "Mereka ada di sini...!"

"Wah..." desah Buta Ijo "Tetapi bukan kita yang menyebabkan kehadiran kita diketahui..."

"Tidak. Tentu bukan kita. Ketika mereka keluar dari pintu samping rumah itu, mereka sudah mencari seseorang. Tentu orang kantuk itu yang menyebabkannya."

"Jangan menuduh..." jawab Buta Ijo.

Demikianlah, maka orang-orang yang keluar dari pintu samping itu segera mengepung Buta Ijo dan orang berkumis panjang di ujungnya itu. Dengan demikian maka keduanya tidak dapat berbuat lain. Mereka harus bertempur menghadapi beberapa orang yang mengepung mereka. Namun Buta Ijo itu masih berdesis."Jika terjadi seperti ini, bagaimana kita dapat menghentikan perlawanan mereka tanpa membunuh?"

"Tetapi bukan niat kita membunuh. Jika ada yang mati, itu salah mereka sendiri" jawab orang berkumis itu.

"Ya, salah mereka sendiri..." sahut Buta Ijo.

Pemimpin sekelompok orang yang mengepung kedua orang saudara seperguruan Kiai Gumrah itupun berkata lantang. "Menyerahlah. Mungkin kalian masih dapat diampuni..."

"Jika kami diampuni, apakah kami boleh pergi?" bertanya Buta Ijo.

"Itu bukan persoalanku. Itu persoalan pemimpinku." jawab pemimpin kelompok itu.

"Siapa pemimpinmu?" bertanya orang berkumis tipis.

"Itu bukan urusanmu..." jawab pemimpin kelompok "Sekarang menyerahlah. Lemparkan senjata kalian. Melangkah maju perlahan-lahan."

Buta Ijo itu termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian ia menggamit saudara seperguruannya sambil berdesis “Kita melangkah maju."

Kedua orang itupun melangkah maju. Mereka terhenti ketika pemimpin kelompok itu berteriak "Lemparkan senjata kalian..."

Buta Ijo itu termangu-mangu. Luwuknya yang besar masih berada disarungnya. Demikian pula senjata orang berkumis itu. Ia membawa sepasang trisula yang masih terselip pada ikat pinggangnya, bersilang di punggungnya.

"Perlahan-lahan tarik senjata kalian dari sarungnya!" teriak orang itu yang dengan sengaja ingin diperdengarkan kepada orang-orang yang ada di dalam rumah itu.

Sebenarnyalah bahwa para pemimpin dari kelompok-kelompok yang ada di rumah itu mendengarnya. Seorang di antara mereka berdesis, "Bodoh. Seharusnya ia tidak memerintahkan untuk mencabut senjata dari sarungnya. Biar saja senjata itu dilemparkan bersama sarungnya"

Baru saja orang yang ada di dalam rumah itu mengatupkan bibirnya, yang dicemaskan itu sudah terjadi. Buta Ijo dan orang berkumis itu memang menarik senjata-senjata mereka. Tetapi mereka tidak melemparkan senjata itu. Dengan cepat mereka telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Orang-orang yang mengepung dengan senjata teracu itu terkejut. Mereka tidak mengira bahwa kedua orang yang sudah dikepung itu masih berani menyerang. Namun mereka terlambat menyadari kesalahan mereka. Buta Ijo itu memutar luwuknya dengan cepat. Beberapa buah senjata terpelanting dari tangan pemiliknya. Namun mereka tidak sempat berbuat sesuatu karena ayunan luwuk itu berikutnya telah menyambar tubuh mereka.

Beberapa orang telah terpelanting jatuh. Sementara itu beberapa orang yang lain telah berteriak kesakitan. Tajamnya trisula telah melukai beberapa orang pula. Pertempuran tidak dapat dihindari lagi. Namun Buta Ijo yang mempunyai kesempatan lebih dahulu tidak menyia-nyiakannya. Dengan cepat orang bertubuh raksasa itu berloncatan menyerang, sehingga lawan-lawannya pun berjatuhan.

Demikian pula orang berkumis itu. Sepasang trisulanya berputaran di kedua tangannya. Setiap kali senjata lawannya yang sempat terjepit oleh mata trisula yang bercabang tiga itu, tentu terhempas dari tangan. Putaran trisula itu merupakan kekuatan yang dapat merenggut senjata lawan dengan kekuatan yang besar.

Namun kedua orang itu tidak melayani lawan-lawannya terlalu lama. Keduanya pun kemudian sepakat untuk bergeser dari tempatnya dan berlari ke halaman belakang. Beberapa orang yang tersisa telah mengejar mereka berdua. Namun yang terjadi benar-benar menggetarkan jantung. Ketika mereka melewati sudut belakang rumah yang besar itu, maka dua orang yang berlari di paling belakang telah terlempar jatuh.

Demikian beberapa orang berhenti, maka dua orang lagi jatuh terpelanting sambil mengaduh kesakitan. Lima orang yang tersisa menjadi bingung. Mereka melihat seseorang berlari dari sudut belakang rumah itu dan menghilang di kegelapan.

Pertempuran pun telah menjalar. Dari longkangan rumah itu terdengar suara kentongan memberikan isyarat kepada seisi rumah itu untuk bersiap menghadapi bahaya yang ternyata telah ada di halaman rumah itu pula. Tetapi tiba-tiba saja suara kentongan itu terputus. Beberapa saat tidak terdengar lagi isyarat itu. Tetapi kemudian dari longkangan yang lain, telah terdengar lagi suara kentongan dengan nada titir.

Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya tidak mempunyai pilihan lain. Mereka pun telah bergerak bertindak. Beberapa kelompok pengikut Kiai Windu Kusuma, orang yang disebut Panembahan, Kiai Kajar dan orang-orang dari perguruan Susuhing Angin dan semuanya yang ada di dalam lingkungan rumah yang besar itu telah menghambur keluar pula.

Orang-orang yang bergerak dalam kelompok-kelompok itu memang setiap kali terkejut. Tiba-tiba saja mereka diserang oleh orang-orang yang berloncatan dari gerumbul-gerumbul perdu. Setelah terjadi pertempuran sejenak, maka orang itu segera berlari. Namun orang-orang yang mengejarnya, tiba-tiba saja telah mendapat serangan dengan cepat pula. Dua tiga orang terjatuh dengan luka-luka yang parah.

Dengan demikian maka para pengikut orang-orang yang berkumpul di rumah yang besar itu dengan cepat menjadi susut. Tubuh mereka terbaring silang melintang di halaman samping dan halaman belakang.

Kiai Gumrah dan Ki Pandi yang berada di halaman depan masih menunggu isyarat juragan gula sebagaimana disepakati. Sementara itu juragan gula yang ada disamping rumah yang besar itu, telah melibatkan diri pula. Ujung tombak di tangannya beberapa kali telah mematuk orang-orang yang berlari-larian dan kejar-mengejar di sekitarnya. Bahkan juragan gula itu sendiri juga harus ikut berlari-larian.

Akhirnya orang-orang yang tinggal di rumah itu menyadari, bahwa orang yang datang memasuki halaman rumah itu jumlahnya cukup banyak. Karena itu, maka sekali lagi terdengar suara kentongan yang memberikan isyarat bahaya tertinggi bagi mereka yang tinggal di rumah itu.

“Apa yang terjadi?" bertanya Kiai Windu Kusuma kepada seorang kepercayaannya.

"Beberapa orang telah menyerang rumah ini, Kiai" jawab orang itu.

"Berapa orang?" bertanya Kiai Windu Kusuma.

"Belum dapat diketahui dengan pasti. Tetapi rasa-rasanya di mana-mana ada. Mereka memakai baju lurik hitam, celana hitam dan kain serta ikat kepala tatar ireng yang juga kehitam-hitaman."

"Apakah kalian tidak dapat menyelesaikannya?" bertanya Kiai Windu Kusuma.

"Aku cemas, bahwa tidak lama lagi orang-orang kita sudah habis dibantai oleh mereka. Mereka bersembunyi di balik geurmbul yang gelap. Namun kemudian tiba-tiba saja mereka menyergap jika ada orang-orang kita yang berlari-lari dekat tempat persembunyian mereka"

"Kenapa kalian berlari-lari?" bertanya Kiai Windu Kusuma.

"Kami mengejar di antara mereka yang berlari untuk bersembunyi di tempat-tempat gelap."

"Pikirkan. Bukankah kalian yang dungu...?!" Kiai Windu Kusuma yang marah berteriak.

Orang kepercayaannya itu tidak menjawab. Sementara itu orang yang disebut Panembahan yang juga sudah berkumpul di ruang tengah itu berkata, “Semua gerakan harus mulai diatur.”

"Jangan menunggu sampai semua orang-orangku dibantai habis. Kita semuanya harus segera bertindak!" berkata Kiai Windu Kusuma kepada orang-orang yang ada di ruang dalam.

"Maksudmu?" bertanya Kiai Kajar.

"Semua orang harus keluar untuk menyongsong orang-orang yang telah berani memasuki halaman rumah ini?" jawab Kiai Windu Kusuma.

"Apakah kau tidak lagi mampu mengatasinya. Kau tuan rumah di sini. Kau harus dapat mengamankan tamu-tamumu..." berkata pemimpin Perguruan Susuhing Angin.

"Kita mempunyai kepentingan bersama-sama. Jika orang-orangku habis dibantai, kita akan menjadi semakin lemah. Selagi hal itu belum terjadi, perintahkan orang-orang kalian dan bahkan kita semua untuk keluar!"

"Seberapa orang yang telah memasuki halamanmu? Siapa pula mereka?" bertanya Kiai Kajar.

"Jangan berpura-pura lagi. Kita semuanya menjadi cemas. Jika sekelompok orang berani memasuki halaman rumahku, mereka tentu bukan orang kebanyakan." jawab Kiai Windu Kusuma.

Yang menjawab adalah orang yang nampaknya paling berpengaruh di antara mereka. Panembahan itu. Katanya "Kita tidak dapat berpura-pura tenang di sini. Aku setuju, semua kekuatan yang ada harus mulai bergerak. Semuanya barus mulai diatur dengan tertib. Jika kita tidak langsung ikut campur, maka kita sendiri akan mengalami kesulitan."

Karena yang berbicara adalah orang yang sangat berpengaruh di antara mereka, maka tidak seorang pun yang membantah. Sementara Panembahan itu berkata,

"Kita harus mengetahui, siapakah orang yang datang itu. Aku condong menduga bahwa mereka adalah Kiai Gumrah dan kawan-kawannya. Ternyata rencana kita untuk datang ke rumahnya telah bocor, sehingga ia lebih dahulu datang kepada kita."

"Itu tidak penting" jawab Kiai Kajar "Mereka akan kita hancurkan di sini."

"Kita harus menemukan orang yang telah membocorkan rahasia ini..." berkata pemimpin perguruan Susuhing Angin.

"Tidak perlu sekarang" jawab Kiai Windu Kusuma "Yang penting kita hadapi orang-orang yang datang itu lebih dahulu."

Orang-orang yang ada di ruang dalam itupun telah mempersiapkan diri. Sementara itu, sebagaimana dikatakan oleh Panembahan, maka para pengikut dari berbagai macam perguruan itupun telah diperintahkan untuk ikut serta keluar dari bilik-bilik mereka.

Karena itu, maka terdengar pula suara kentongan dalam nada yang berbeda. Bukan sekedar memperingatkan bahaya tertinggi bagi orang-orang yang ada di dalam rumah yang besar dan halaman yang sangat luas itu. Tetapi nadanya menyiratkan perintah bagi semua orang untuk keluar.

Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya tidak tahu maksud isyarat itu. Namun bunyi kentongan itu memperingatkan kepada mereka, bahwa mereka harus menjadi lebih berhati-hati.

Sebenarnyalah sesaat kemudian, kelompok-kelompok yang ada di rumah itu telah keluar pula. Bukan hanya para pengikut Kiai Windu Kusuma. Namun mereka pun segera disergap oleh saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang bertebaran di halaman....

Selanjutnya,
Sang Penerus Bagian 19
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.