SEPERTI yang sudah terjadi, maka orang-orang yang keluar kemudian itupun mengalami kesulitan menghadapi saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah. Mereka seakan-akan muncul begitu saja dari kegelapan, menyerang dengan garangnya. Sebelum mereka menemukan orang yang menghilang itu, maka dari arah lain telah meloncat bayangan, yang lain menyerang dengan cepat. Senjatanya menebas orang-orang terdekat.
Tetapi sebelum yang lain mampu berbuat banyak, maka orang itupun telah meninggalkan mereka. Dua tiga orang yang mengejar tiba-tiba saja harus menghadapi orang lain yang menyerang dari arah yang lain pula.
Demikianlah halaman rumah itu menjadi bagaikan diaduk oleh saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah. Namun saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah mengalami kesulitan untuk mengendalikan diri agar ujung-ujung senjata, mereka tidak membunuh lawan-lawan mereka.
Tetapi sebelum yang lain mampu berbuat banyak, maka orang itupun telah meninggalkan mereka. Dua tiga orang yang mengejar tiba-tiba saja harus menghadapi orang lain yang menyerang dari arah yang lain pula.
Demikianlah halaman rumah itu menjadi bagaikan diaduk oleh saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah. Namun saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah mengalami kesulitan untuk mengendalikan diri agar ujung-ujung senjata, mereka tidak membunuh lawan-lawan mereka.
Tetapi mereka memang tidak mempunyai pilihan lain. Dalam keadaan yang gawat, maka sikap mereka pun telah terpengaruh pula, karena mereka tentu tidak ingin membiarkan diri mereka sendiri yang harus jatuh menjadi korban.
Dalam kekalutan itu, maka beberapa orang pemimpin yang ada di ruang dalam telah keluar pula. Mereka menuju ke tempat yang berbeda. Namun mereka kemudian telah meneriakkan perintah agar para pengikut mereka semuanya mengepung halaman rumah itu dimulai dengan melekatkan punggung mereka pada dinding halaman dan menggiring orang-orang yang memasuki halaman itu ke halaman yang terbuka di sisi sebelah kiri rumah yang besar itu.
"Kita akan membantai mereka di sana" teriak para pemimpin itu.
Para pengikutnya itupun mulai menyadari kebodohan mereka. Karena itu, maka mereka pun segera bergerak kedinding halaman. Berdiri berjajar pada jarak yang sama. Kemudian dengan aba-aba yang diteriakkan oleh Kiai Windu Kusuma dari serambi samping yang kemudian disambung sahut-menyahut, mereka bergerak maju.
Saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang ada di halaman itu mengerti apa yang mereka hadapi. Mereka melihat orang-orang yang berlari-larian menebar mengelilingi halaman rumah itu, Mereka pun sadar, bahwa orang-orang itu akan menyisir seluruh halaman untuk menemukah orang-orang yang bersembunyi di halaman rumah itu.
Karena itu, maka mereka tidak menemukan pilinan lain. Mereka harus menghadapi orang-orang yang menebar itu. Namun sebenarnyalah bahwa orang-orang dari beberapa perguruan yang berkumpul di tempat itu menjadi berdebar-debar. Mereka melihat beberapa orang pengikut Kiai Windu Kusuma yang telah menjadi korban. Bahkan kawan-kawan mereka yang baru saja keluar dari dalam rumah itupun telah banyak yang menjadi korban pula.
Karena itu, ketika aba-aba Kiai Windu Kusuma yang disambung sahut menyahut telah menggetarkan seluruh halaman, maka orang-orang yang mengepung halaman itu mulai melangkah maju dengan senjata yang merunduk. Setiap saat mereka siap untuk menghujamkan senjata mereka.
Tetapi kebun belakang dari rumah yang besar itu cukup gelap oleh pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu. Dengan demikian maka orang-orang yang berjalan menyisir halaman itu tidak segera melihat, di mana lawan mereka bersembunyi.
Namun ada beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang mempunyai cara yang sama untuk menghindar meskipun mereka tidak saling bicara lebih dulu. Tiga orang di antara mereka telah memanjat pohon yang cukup besar di kebun belakang rumah yang besar itu.
Ternyata gelap malam dan gerumbul-gerumbul perdu cukup melindungi mereka dari orang-orang yang berjajar melangkah maju dengan senjata yang merunduk itu. Mereka sama sekali tidak melihat bahwa ada orang-orang yang sedang melekat pada dahan pepohonan.
Tetapi beberapa orang yang lain tidak dapat menghindar lagi. Mereka benar-benar telah digiring ke halaman samping yang terbuka. Sementara beberapa orang pemimpin dari berbagai perguruan telah berada di tempat itu pula.
Namun dalam pada itu, juragan gula itupun menyadari bahwa keadaan sudah semakin gawat. Karena itu, maka semua kekuatan harus dikerahkan. Sehingga dengan demikian, maka juragan gula itu menganggap bahwa sudah sampai saatnya pintu gerbang halaman rumah itu dibuka dan membiarkan cucu-cucu Kiai Gumrah yang membawa songsong itu masuk ke halaman.
Dengan demikian, maka mereka akan dapat memancing perhatian para pemimpin yang sedang menunggu di halaman samping, sementara orang-orangnya berusaha menggiring saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang ada di halaman.
Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar suitan nyaring. Suaranya menggetarkan udara di seluruh halaman yang luas itu. Suaranya bukan sekedar bunyi, yang nyaring. Tetapi getarannya telah menerpa isi dada orang-orang yang mendengarnya.
Orang-orang yang datang dari berbegai perguruan itu memang terkejut mendengar suitan nyaring itu. Rasa-rasanya dada mereka telah dihentak oleh kekuatan yang sangat besar. Dengan demikian, maka mereka harus mengerahkan daya tahan mereka untuk menjaga agar mereka tidak mengalami kesulitan pada bagian dalam tubuh mereka.
Namun suitan itu bagi Kiai Gumrah merupakan isyarat. Ia harus membuka pintu gerbang halaman rumah itu. Tetapi sebelum Kiai Gumrah yang membawa sebatang tombak itu beranjak, maka Ki Pandi pun berdesis, "Biarlah aku saja yang membuka...”
Ki Pandi yang bongkok itulah yang kemudian berlari ke pintu gerbang. Dua orang penjaga, pintu gerbang itu memang sedang kebingungan. Mereka tidak tahu pasti, apa yang terjadi. Mereka hanya mendengar isyarat pertanda bahaya. Bahkan kemudian perintah bagi semua orang yang ada di rumah yang besar itu. Bahkan ia mendengar para pemimpinnya berteriak memberikan aba-aba.
Ketika mereka melihat orang bongkok berlari-lari menuju pintu gerbang, mereka pun segera bersiaga. Demikian Ki Pandi itu mendekat, maka kedua orang itu dengan serta-merta telah menyerangnya. Namun mereka tidak tahu apa yang telah terjadi. Tiba-tiba saja mereka terpelanting jatuh. Kepala mereka seakan-akan telah dibenturkan di tanah.
Pandangan mata mereka pun menjadi gelap. Senjata-senjata mereka terlempar tanpa mereka ketahui di mana senjata-senjata itu terjatuh. Ternyata kedua orang itupun menjadi pingsan karenanya. Karena itulah, maka Ki Pandi pun dengan cepat mengangkat selarak dan membuka pintu gerbang itu.
Tetapi ternyata beberapa orang yang sedang sibuk di halaman samping dan belakang itupun melihat apa yang terjadi. Karena itu, maka beberapa orang telah berlari-lari menuju ke pintu gerbang halaman depan. Halaman yang terbuka, yang dikira tidak menjadi tempat persembunyian orang-orang yang memasuki halaman rumah yang besai itu.
Karena itu, maka halaman depan rumah itu agak luput dari perhatian penghuni rumah itu. Bahkan mereka pun tidak ingin menyelesaikan pertempuran itu di halaman depan. Tetapi di halaman samping yang juga terbuka, yang tidak mendapat pemeliharaan sebagaimana halaman depan yang diatur dengan rapi dan ditanami dengan beberapa pohon bunga di antara tebaran rumput yang hijau.
Tetapi meskipun pohon bunga itu terhitung jarang, namun dapat juga dipergunakan untuk bersembunyi Kiai Gumrah dan Ki Pandi. Pintu gerbang yang terbuka itu memang merupakan isyarat bagi kelima orang yang membawa songsong yang disimpan dengan baik oleh Kiai Gumrah atas nama perguruannya. Karena itu, maka demikian mereka melihat pintu itu terbuka, mereka pun segera berlari memasuki pintu gerbang itu.
Namun, demikian mereka masuk, maka mereka segera melihat Ki Pandi tengah menghalau beberapa orang yang menyerangnya. Kehadiran kelima orang itu memang mengejutkan. Apalagi seorang di antara mereka membawa sebuah songsong yang terbungkus, namun yang masih dapat dilihat kilatan warna kuning keemasan jika kain yang membungkusnya itu tersingkap.
Demikian mereka berada di halaman, maka Winih lah yang telah menarik baju lurik yang dipergunakan menutupi payung itu. Tutup itu sudah tidak ada artinya lagi, justru payung itu sengaja ditunjukkan untuk menarik perhatian orang-orang terpenting yang ada di rumah itu.
Sebenarnyalah beberapa orang yang berlari-larian ke halaman depan memang mengejutkan para pemimpin yang sudah berada di serambi menghadap ke halaman samping yang terbuka untuk menunggu orang-orang yang akan digiring ke halaman itu.
Apalagi ketika seorang di antara mereka berteriak, "Mereka berada di halaman depan Lihat, songsong itu...”
Beberapa orang pemimpin yang ada di rumah itu memang segera tertarik untuk menyaksikannya. Karena itu, maka mereka pun segera bergeser melingkari serambi rumah itu. Sebenarnyalah mereka melihat songsong kuning gemerlapan memantulkan cahaya oncor yang ada di sudut-sudut halaman dan bahkan di serambi depan. Songsong kuning keemasan yang dilingkari warna hijau ditengahnya.
Melihat songsong itu, maka Kiai Kajar telah menggeram. "Mereka telah mengantarkannya sendiri. Aku harus berterimakasih kepada mereka.”
"Mereka benar-benar sombong." desis Kiai Windu Kusuma "Tetapi mereka tentu akan menyesal”
Di sebelah mereka orang yang disebut Panembahan itu berkata, "Aku akan mengambilnya. Juga tombak-tombak yang tentu mereka bawa kemari”
Kiai Kajar mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sementara Susuhing Angin justru telah melangkah mendekati sekelompok orang yang membawa dan melindungi songsong itu. Tetapi ternyata bukan hanya mereka. Beberapa orang yang lain pun telah mengikutinya pula.
Sementara itu di halaman belakang telah terjadi keributan. Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah tidak mampu bersembunyi lebin lama ketika orang-orang yang mengepung halaman itu bergerak menyisir kebun menggiring mereka ke halaman samping.
Tetapi orang-orang dari beberapa perguruan yang berkumpul di rumah itu menjadi berdebar-debar. Ternyata mereka harus bertempur dengan orang-orang berilmu tinggi. Meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak. Namun sulit bagi mereka untuk dapat bertahan.
Dalam kekalutan pertempuran itu, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang memanjat pohon telah berloncatan turun. Mereka justru telah berada di belakang kepungan. Ketika mereka menyerang dari belakang, maka orang-orang yang berusaha menggiring saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu terkejut. Sehingga dengan demikian maka kepungan mereka pun telah terkoyak.
Sementara itu, beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang sudah berada di longkangan dalam serta bahkan memasuki pintu butulan, terkejut ketika mendengar jerit beberapa orang perempuan. Ternyata mereka telah tersesat memasuki satu ruang yang berisi beberapa perempuan yang beberapa di antaranya sedang mabuk. Ketika kawannya menjerit ketakutan melihat kehadiran saudara seperguruan Kiai Gumrah, perempuan yang mabuk itu justru tertawa berkepanjangan.
Saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah keluar lagi dari ruangan itu. Dengan hati-hati seorang di antaranya menyusup ke ruang yang lain. Namun rumah itu seakan-akan telah menjadi kosong. Bahkan ketika ia memasuki ruang tengah, maka yang dijumpainya adalah Buta Ijo yang juga sedang termangu-mangu.
"Mereka telah pergi keluar..." desis Buta Ijo.
Keduanya pun kemudian telah memasuki ruangan-ruangan yang lain dan mencari jalan untuk menuju ke pintu pringgitan. Ternyata pintu pringgitan meskipun sudah ditutup, tetapi tidak diselarak. Dengan demikian mereka membuka pintu, maka mereka melihat apa yang terjadi di halaman depan yang terbuka.
Sejenak kedua orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang ada di pringgitan itu menjadi tegang. Mereka melihat beberapa orang yang tentu berilmu tinggi sedang melintasi halaman depan.
"Tentu mereka para pemimpin dari perguruan-perguruan yang berkumpul di sini" desis Buta Ijo.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" bertanya pada kawannya.
“Aku ingin beristirahat di sini..." berkata Buta Ijo.
"Gila. Kau biarkan saudara-saudara kita bertempur sementara Kau akan tidur di laicak itu?" geram kawannya.
"Aku sudah bertempur. Kiai Gumrah tentu sejak tadi bersembunyi di sana.” jawab Buta Ijo.
"Tetapi bukan karena Kiai Gumrah malas. Bukankah menurut kesepakatan kita, Kiai Gumrah memang harus menunggu di halaman depan sehinga terdengar isyarat untuk membuka pintu gerbang?"
Buta Ijo tidak menjawab. Tetapi ia melangkah melintasi pendapa menuju ke tangga yang menghadap ke halaman depan. Saudara seperguruannya itupun telah mengikutinya pula di belakangnya. Sesaat mereka berdua berdiri termangu-mangu di pendapa. Namun mereka kemudian mendengar keributan terjadi di halaman samping yang terbuka.
"Apa yang terjadi?" Desis Buta Ijo.
"Pertempuran di halaman samping.” jawab saudara seperguruannya itu.
Buta Ijo Itu termangu-mangu. Namun sambil memandang ke halaman depan ia bertanya. "Kita akan pergi kemana?"
"Kita turun, ke halaman depan. Nampaknya orang-orang berilmu tinggi itu akan berkumpul di sana, justru setelah payung itu dibawa masuk. Bukankan Kiai Gumrah sengaja memancing para pemimpin dari berbagai perguruan itu untuk datang kesana?"
"Apakah saudara-saudara kita tidak akan mengalami kesulitan melawan orang-orang yang terlalu banyak itu?“
"Mudah-mudahan tidak. Namun yang harus tampil ke halaman itu adalah Ki Prawara dan isterinya, juragan gula yang kikir itu dan Kiai Gumrah sendiri. Bukankan pusaka-pusaka itu di tangan mereka?"
"Tetapi juragan gula itu tidak kikir..." jawab Buta Ijo "Menurut pendapatku, ia tidak pernah menunda pembayaran gula yang diserahkan kepadanya.“
"Tetapi ia membeli dengan harga murah dan menjual dengan harga mahal...”
"Itu termasuk satu keahlian..." jawab Buta Ijo.
Namun saudara seperguruannya berdesis "Mereka hampir mulai. Kita tidak bisa berlama-lama di sini...”
Buta Ijo itu termangu-mangu sejenak. Dahinya nampak berkerut. Ia belum melihat juragan gula, Ki Prawara dan isterinya di halaman depan, sementara para pemimpin dari perguruan-perguruan yang ada di rumah itu sudah mendekati mereka yang membawa songsong setelah mereka memasuki regol halaman yang telah terbuka.
Dalam pada itu, orang yang disebut Panembahan yang ada di antara mereka yang mendekati songsong sudah berada di halaman itu tidak segera melihat orang bongkok yang nampaknya dengan sengaja berdiri di belakang sekelompok orang yang membawa dan yang harus melindungi songsong itu.
Beberapa langkah kemudian orang-orang berilmu tinggi itu berhenti. Panembahan, orang yang paling berpengaruh di antara para pemimpin perguruan yang ada di rumah itulah yang bertanya. "Siapakah yang memerintahkan kalian datang untuk menyerahkan songsong itu kemari?”
Yang menjawab adalah salah seorang saudara seperguruan Kiai Gumrah. "Kami datang tidak untuk menyerahkan songsong ini. Kami datang karena kami tidak dapat menahan diri lagi oleh tingkah laku kalian yang sangat menyakitkan itu. Bagi kami, lebih baik kami datang kemari untuk membuat penyelesaian tuntas daripada kami harus selalu menunggu dengan gelisah, karena kalian ingin merebut pusaka-pusaka kami...”
"Siapakah kau?” bertanya Panembahan.
"Aku bukan siapa-siapa. Bertanyalah kepada Kiai Kajar...”
Panembahan itu memang berpaling kepada Kiai Kajar. Sementara Kiai Kajar melangkah maju sambil berdesis, "Kau cucurut kecil. Di mana Gumrah. Aku ingin membuat penyelesaian tuntas. Akulah yang berwenang menyimpan pusaka-pusaka itu. Bukan Gumrah.”
Namun para pemimpin perguruan yang berkumpul di rumah itu terkejut ketika mendengar jawaban dari balik segerumbul pohon soka yang sedang berbunga itu. Kiai Gumrahlah yang kemudian melangkah mendekat dengan membawa tombak pusakanya sambil berkata, "Sudah lama aku menunggu kesempatan untuk bertemu denganmu Kiai Kajar.”
"Gumrah...!" gumam Kiai Kajar.
"Aku ingin mengucapkan terimakasih, bahwa kau sempat memberitahukan kepadaku lewat salah seorang pengikutmu bahwa besok rumahku akan didatangi oleh Kiai Windu Kusuma dan orang-orang berilmu tinggi yang lain.”
"Setan...!" geram pemimpin perguruan Susuhing Angin "Jadi kaukah yang telah berkhianat...”
Wajah-wajah itu memang menjadi tegang. Namun Panembahan itu tertawa. Katanya, "Kau percaya akan kata-katanya. Satu usaha untuk membuat kita saling curiga...”
"Tetapi bukankah masuk akal bila Kiai Kajar berkhianat? Bukankah ia berasal dari perguruan yang sama dengan orang-orang yang menyimpan pusaka-pusaka itu” jawab pemimpin perguruan Susuhing Angin.
"Kau memang gila..." geram Kiai Kajar "Itu adalah salah satu sifat licik Kiai Gumrah. Aku memang mengenal orang itu sejak lama. Aku memang saudara seperguruannya. Karena itu aku tahu, bagaimana ia berusaha membenturkan kekuatan kita masing-masing.”
Tetapi Kiai Gumrah tertawa. Katanya, "Maaf Kiai Kajar. Aku terlalu tergesa-gesa mengucapkan terimakasih kepadamu. Meskipun aku tahu bahwa pemberitahuanmu itu termasuk usahamu untuk menjebak aku.”
"Diam...!" bentak Kiai Kajar "Tetapi apapun yang sudah kau katakan, sekarang kau datang membawa pusaka-pusaka itu. Jadi kau ingin menyerahkannya, serahkan segera sebelum terjadi sesuatu.”
"Kau tentu tahu bahwa bukan itu maksudku?" jawab Kiai Gumrah "Aku datang justru untuk mempertahankannya”
"Cukup. Itu satu permainan yang buruk. Kami tidak akan membiarkan pengkhianatan itu terjadi. Di belakang, orang-orang kami sudah banyak yang menjadi korban.” teriak pemimpin perguruan Susuhing Angin.
"Bukan hanya terlalu banyak." Kiai Gumrah menyahut "Pada saatnya nanti, maka semua orang yang tidak menyerah akan mati. Termasuk kalian.”
"Aku tidak akan membiarkan pengkhianatan ini..." pemimpin perguruan Susuhing Angin itu masih berteriak.
Namun Panembahan itulah yang menjawab lantang. Suaranya tiba-tiba saja telah menggelegar menggetarkan setiap jantung. “Hanya orang dungu yang percaya igauan Kiai Gumrah. Aku tidak percaya. Aku tidak pernah menganggap Kiai Kajar berkhianat kepada kita.”
Pemimpin perguruan Susuhing Angin itu termangu-mangu sejenak. Namun ia menyadari, bahwa Panembahan itu sudah marah. Karena itu, maka ia tidak menyahut lagi. Baru kemudian dengan lantang Panembahan itu berbicara, sementara getaran suaranya masih saja memukul isi dada.
"Sekarang, tugas kita menyelesaikan mereka. Aku justru merasa bersyukur bahwa mereka telah datang untuk menyerahkan pusaka-pusaka itu. Purnama tinggal beberapa hari lagi. Tetapi di sini banyak terdapat jantung segar yang masih ada dalam dada. Karena itu, maka aku akan mencuci tombak itu dengan darah yang masih mengalir di jantung yang masih tergantung pada tangkainya.”
Tetapi Kiai Gumrah pun bertanya, "Darimana kau tahu bahwa sebelum purnama tombak ini harus dicuci dengan darah yang masih mengalir di dalam jantung...”
"Pertanyaanmu aneh Kiai. Seharusnya kau tahu akan hal itu Kiai Kajar juga mengetahuinya. Semua orang pun juga mengetahuinya.” jawab Panembahan.
"Tetapi justru aku tidak mengetahuinya. Bagiku tombak ini adalah tombak sewajarnya. Tetapi karena landeannya dibuat dari bahan yang mahal, serta riwayat dari tombak ini yang mempunyai arti khusus bagi perguruan kami, maka kami akan mempertahankannya dengan segala kemampuan yang ada pada kami.”
Panembahan itu tertawa. Katanya "Betapa dungunya kau Kiai. Kau sia-siakan tuah yang ada di dalam tombak itu. Karena itu serahkan tombak itu kepadaku...”
“Aku juga berhak atas tombak itu!” geram Kiai Kajar.
Kiai Gumrah tertawa pula. Katanya, “Aku tahu bahwa kita yang berada di sini akan saling memperebutkan tiga batang tombak yang disimpan oleh perguruan kami serta songsong yang kuning keemasan itu. Yang penting bagi kalian, apakah tuah pusaka-pusaka itu atau emas dan permata yang terdapat pada pusaka-pusaka itu? Atau barangkali keduanya-duanya...”
"Persetan Gumrah" teriak Kiai Kajar "Serahkan tombak itu kepada kami...”
"Dan kalian akan berkelahi memperebutkannya?” bertanya Kiai Gumrah.
"Ada empat batang pusaka yang akan kami ambil dari kalian." berkata Kiai Windu Kusuma "Persoalan di antara kami kemudian, bukan urusanmu. Tetapi kau tidak akan dapat membenturkan kepentingan kami satu dengan yang lain. Usahamu untuk mengadu domba itu tidak akan berarti...”
"Sangat menarik." jawab Kiai Gumrah "Tetapi baiklah. Meskipun aku tidak sependapat dengan pendapat kalian bahwa pusaka itu harus dicuci dengan darah yang masih mengalir di jantung, namun jika kalian memaksanya, maka benar-benar aku akan melakukannya, mencuci tombak ini.”
Panembahan itulah yang tertawa. Katanya, "Kau kira kau merasa seorang yang mumpuni dalam ilmu kanuragan? Baiklah. Kita akan membuktikannya apakah kau mampu mempertahankan dalan waktu yang singkat. Ingat, aku akan mengambilnya. Jantungmu menurut pendapatku adalah jantung yang paling baik untuk mencucinya...”
Namun Panembahan itu terkejut. Ia melihat seseorang yang ada di belakang mereka yang membawa dan siap melindungi songsong itu bergerak dan melangkah maju sambil berkata, "Tidak semudah itu Lebdagati...”
Panembahan itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya orang itu tajam-tajam. Namun kemudian ia menggeram "Kau bongkok buruk. Aku sudah mengira bahwa kau akan melibatkan diri. Ceritera tentang harimau jadi-jadian itu telah memastikan, bahwa kau akan hadir dalam persoalan ini...”
“Aku menunggumu, Panembahan Lebdagati. Sejak kau lolos dari tanganku di sarangmu itu, maka aku telah mengembara untuk dapat menemukanmu.”
"Seharusnya kau menyadari keadaan dirimu. Kau bongkok, buruk dan dungu. Untuk apa kau mencari-cari aku, sementara kau tidak mampu berbuat apa-apa atasku?" bertanya Panembahan.
"Sekarang kita buktikan, apakah kau dapat berbuat apa-apa atau tidak.” jawab Ki Pandi.
Wajah Panembahan itu menjadi tegang. Sekali-sekali dipandanginya Kiai Gumrah yang membawa satu di antara tombak-tombak pusaka yang dicarinya. Namun ia sadar bahwa ia tidak dapat mengabaikan kehadiran orang bongkok itu. Karena itu, maka iapun berkata kepada kawan-kawannya,
"Jaga agar tombak dan songsong itu tidak lolos. Setidak-tidaknya yang ada di halaman ini. Biarlah aku menyelesaikan orang bongkok ini lebih dahulu...”
Orang bongkok itu memang bergeser menjauhi mereka yang membawa songsong, ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi Panembahan itu sambil berkata, "Marilah Panembahan. Aku ingin agar persoalan yang ada di antara kita segera tuntas.”
Panembahan itu tidak dapat berbuat lain. Ia sadar, orang bongkok itupun mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Ia dapat berbuat apa saja sebagaimana yang dapat dilakukannya. Karena itu, maka Panembahan itupun harus berhati-hati menghadapinya.
Demikian Panembahan itu bergeser, maka Kiai Kajarlah yang serta merta menghadapi Kiai Gumrah. Dua orang saudara seperguruan yang memiliki kelebihan di antara saudara-saudaranya yang lain.
Ketika Kiai Windu Kusuma dan pemimpin dari perguruan Susuhing Angin itu akan bergerak, maka dua orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang memang ditugaskan untuk melindungi songsong itupun bergerak pula.
Namun mereka tertegun ketika dari halaman samping telah muncul dua orang suami isteri. Seorang di antaranya membawa tombak pula. Ki Prawara dan Nyi Prawara.
Tetapi ternyata Ki Prawara dan Nyi Prawara tidak sempat mendekat. Dua orang di antara mereka yang menyertai para pemimpin mereka itupun telah menyongsong suami isteri itu. Seorang di antara keduanya adalah murid terpercaya dari perguruan Susuhing Angin. Seorang yang bertubuh tinggi besar. Berkumis lebat, namun berkepala botak. Ia tidak mengenakan ikat kepalanya dengan baik. Bahkan dengan sengaja menunjukkan kepalanya yang botak itu. Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang kepercayaan Kiai Windu Kusuma.
Ki Prawara dan Nyi Prawara pun berhenti untuk menanti kedua orang itu. Demikian kedua orang itu mendekat, maka kepercayaan Kiai Windu Kusuma itu menggeram,
"Setan. Ternyata seorang di antaranya seorang perempuan...?!”
Orang bertubuh tinggi besar itupun mengumpat. Katanya, "Kalian menghina kami. Tetapi kalian akan menyesal sampai tujuh turunan. Aku memang memerlukan seorang perempuan. Perempuan-perempuan pemabuk itu sangat menjemukan bagiku.”
Wajah Nyi Prawara menjadi merah. Tetapi iapun segera bergeser sambil berkata. "Katakan apa yang akan kau katakan, karena kesempatanmu akan segera berakhir. Nanti kau tidak akan dapat mengatakan apapun juga setelah nyawamu lepas dari tubuhmu.”
Orang bertubuh raksasa itu membelalakkan matanya. Tetapi iapun kemudian tertawa, "Jarang aku temui perempuan yang garang seperti perempuan ini. Tetapi justru karena itu, maka ia adalah perempuan langka yang banyak dicari.”
Nyi Prawara tidak dapat menahan gejolak perasaannya lagi. Kemarahannya telah membakar jantungnya dan membuat darahnya mendidih karenanya. Karena itu, maka dengan serta-merta Nyi Prawara itupun telah meloncat menyerang.
Serangan yang tak diduga sama sekali oleh orang yang bertubuh raksasa itu. Karena itu, maka ia tak sempat mengelak lagi. Ketika kaki Nyi Prawara yang mengenakan pakaian khususnya terjulur lurus ke arah dada, maka orang yang bertubuh tinggi besar itupun hanya sempat memiringkan tubuhnya sambil melindungi dadanya dengan sikunya.
Namun ternyata bahwa tenaga serangan Nyi Prawara pun tidak terduga pula. Dengan kekuatan tenaga dalamnya, maka serangan itu benar-benar telah mengguncang tubuh lawannya itu. Orang yang bertubuh raksasa itu ternyata telah terdorong surut. Namun ia masih mampu mempertahankan keseimbangannya sehingga raksasa itu tidak terjatuh.
Namun bahwa serangan perempuan itu sempat mengguncang tubuhnya, maka raksasa itu benar-benar merasa tersinggung. Sambil menggeram orang itu telah mempersiapkan dirinya. Tangannya mengembang siap untuk menangkap dan meremas tubuh Nyi Prawara yang jauh lebih kecil dari tubuh raksasa itu.
Namun sebelum ia bergerak, terdengar suara tertawa berkepanjangan. Seorang yang juga bertubuh tinggi besar melangkah mendekat sambil berkata, “He, ternyata dilihat dari ukuran tubuh, agaknya kita akan dapat menjadi lawan yang seimbang.”
Raksasa yang siap meremas tubuh Nyi Prawara itu termangu-mangu. Dilihatnya dua orang yang datang mendekat. Seorang di antaranya adalah orang yang bertubuh tinggi besar, sebagaimana dirinya sendiri.
Nyi Prawara yang juga berpaling itupun berkata, "Menyingkirlah Buta Ijo. Apa kau kira aku tidak dapat melawannya?”
“Tidak. Bukan itu Nyi." Berkata Buta Ijo "Jika aku melawannya, agaknya akan menjadi tontonan yang menarik. Dua orang raksasa berkelahi, He, Nyi. Masih ada banyak lawan yang bakal datang kemari. Di halaman samping itu mengalir orang-orang yang jumlahnya cukup banyak.”
"Aku tidak peduli mereka. Aku ingin melawan raksasa dungu ini. Carilah lawan yang lain. Ia sudah merendahkan martabatku sebagai seorang perempuan” berkata Nyi Prawara.
Buta Ijo itu mengangguk angguk kecil. Ia memang mendengar kata-kata tajam yang menusuk perasaan Nyi Prawara. Karena maka katanya, "Baiklah. Ia memang menghinamu. Tetapi biarlah aku bermain-main dengan yang seorang lagi.”
"Serahkan itu kepadaku.” barkata Nyi Prawara.
"Nampaknya kau ditunggu di dekat pintu gerbang itu.” berkata Buta ljo.
Ki Prawara memperhatikan pertempuran yang sudah terjadi di dekat pintu gerbang. Ternyata ada beberapa orang yang harus bertempur melawan dua bahkan tiga orang. Karena itu, maka Ki Prawara yang membawa satu di antara tombak-tombak pusaka itupun segera meloncat ke arah pintu gerbang sambil berkata, "Selesaikan raksasa dungu itu, Nyi”
Nyi Prawara tidak menjawab. Tetapi iapun segera beringsut untuk menghadapi raksasa yang telah merendahkan martabatnya itu.
Buta Ijo itulah yang kemudian termangu-mangu, sementara kawannya lebih dahulu telah berhadapan dengan kawan raksasa yang bertempur melawan Nyi Prawara itu. Untuk sementara Buta Ijo justru kebingungan. Namun kemudian ia telah melihat pertempuran di di halaman sebelah kiri yang terbuka telah bergeser pula. Beberapa kawan Buta Ijo itu memang terdesak. Lawan mereka masih terlalu banyak.
Buta Ijo itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang berapapun jumlahnya. Tetapi ia menjadi ngeri melihat tubuh yang silang melintang di mana-mana. Tetapi Buta Ijo itupun menyadari, tanpa berbuat demikian, maka justru saudara-saudara seperguruannya-lah yang akan terbaring diam di halaman dan di kebun yang luas itu.
"Pertempuran yang gila...” desis Buta Ijo itu.
Namun Buta Ijo itu tidak dapat berdiam diri. la pun segera berlari dan bergabung dengan saudara-saudara seperguruannya yang harus bertempur melawan kelompok-kelompok orang yang datang dari beberapa perguruan itu.
Pertempuran itu dilihat dari jumlahnya memang tidak seimbang. Tetapi saudara-saudara seperguruan Buta Ijo itu memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari orang-orang yang datang dari beberapa perguruan itu. Pemimpin-pemimpin mereka yang berilmu tinggi ternyata telah berkumpul di dekat pintu gerbang karena mereka memang terpancing oleh songsong yang berwarna kuning keemasan itu, sebagaimana diinginkan oleh Kiai Gumrah.
Karena itu, maka dengan kemampuan yang tinggi, serta kerja sama yang sangat baik, saudara-saudara seperguruan Buta Ijo itu mampu mengacaukan lawan mereka yang jumlahnya jauh lebih banyak itu. Satu-satu orang-orang dari beberapa perguruan itu jatuh dan tidak mampu bangun lagi.
Meskipun saudara-saudara seperguruan Buta Ijo itu bukan pembunuh yang tidak berjantung, tetapi dalam keadaan itu, mereka akan sangat sulit untuk mengekang ujung senjata mereka. Tanpa niat untuk membunuh, maka beberapa lawanpun telah terbunuh, sementara yang lain terluka parah.
Dalam pertempuran yang kalut itu, maka Buta Ijo pun segera berbaur dengan saudara-saudara seperguruannya yang jumlahnya tidak begitu banyak itu. Namun dengan gerak yang cepat dalam garis perlawanan yang tidak menentu, maka lawan-lawan mereka memang menjadi bingung. Bahkan masih ada saudara-saudara seperguruan Buta Ijo itu yang menyerang, namun kemudian berloncatan menjauh, sementara orang lain telah berlari sambil menyambar dengan senjatanya.
Dalam pada itu, para pemimpin dari beberapa perguruan serta pengawal-pengawal terbaik mereka telah bertempur pula di dekat pintu gerbang. Seorang Putut kepercayaan Kiai Windu Kusuma yang berusaha langsung meraih songsong yang dibawa oleh Laksana harus berhadapan dengan Winih. Putut memang terkejut ketika lawan yang dihadapinya itu seorang perempuan yang masih terlalu muda.
"Kenapa kau ikut memasuki halaman rumah ini? Apakah kau tidak tahu, bahwa halaman ini akan menjadi neraka bagi mereka yang telah berani memasukinya?" bertanya Putut itu.
Sambil memutar rantainya Winih menjawab. "Aku memang sudah berniat melakukannya. Nah bersiaplah. Kita akan bertempur...”
"Siapa namamu?" bertanya Putut itu.
Ternyata Winih tidak, merahasiakan namanya. Karena itu, maka iapun menjawab, "Namaku Winih...”
"Winih. Kaukah yang sering disebut-sebut oleh Darpati?”
"Mungkin..." jawab Winih. "Sayang, bahwa aku harus membunuhnya ketika ia berniat menjadikan aku barang taruhan.”
"Kau telah membunuh Darpati?" bertanya Putut itu.
"Ya. Aku terpaksa melakukannya." jawab Winih.
Putut itu tertawa. Katanya "Jangan mengigau. Darpati adalah anak muda berilmu tinggi. Ia memang terbunuh. Tetapi tentu bukan kau yang membunuhnya.”
"Percaya atau tidak, itu bukan persoalanku. Sekarang kita akan bertempur. Bersiaplah...”
Putut itu termangu-mangu sejenak. Namun perempuan itu nampak yakin akan dirinya sendiri, sehingga karenanya, maka Putut itu harus berhati-hati menghadapinya.
Winih yang sudah memutar rantainya tidak menunggu lebih lama lagi. Ialah yang telah mendahului menyerang Putut yang bersenjata pedang itu. Dengan loncatan-loncatan yang cepat. Winih berusaha untuk menembus pertahanan Putut itu. Tetapi Putut juga mempunyai bekal yang cukup untuk menghadapi Winih. Dengan tangkas Putut itu mengimbangi kecepatan gerak Winih.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya celah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Mereka saling menyerang dan menghindar. Beberapa kali Winih berhasil mendorong lawannya berloncatan surut. Tetapi kemudian Winih-lah yang harus melangkah mundur karena serangan lawannya yang datang beruntun.
Namun Putut itu menjadi semakin tegang ketika ternyata perempuan itu memang tidak dapat segera ditundukkan. Bahkan ia mulai mempercayainya, bahwa perempuan muda itu telah berhasil mempertahankan dirinya terhadap Darpati, meskipun mungkin ia tidak sendiri.
Tetapi semakin lama Putut itu menjadi semakin gelisah. Winih ternyata benar-benar memiliki ilmu yang tinggi! Menilik ujudnya, perempuan itu tentu masih sangat muda. Namun adalah di luar dugaannya, bahwa perempuan muda itu benar-benar telah mampu mendesaknya.
Putut itu tahu benar bahwa Darpati termasuk seorang yang berilmu tinggi. Tetapi jika benar perempuan muda itu dapat membunuhnya, maka perempuan yang bernama Winih itu adalah perempuan yang sangat berbahaya.
Dalam pada itu, pertempuran di dekat pintu gerbang itu-pun menjadi semakin sengit. Beberapa orang telah langsung terlibat. Demikian pula juragan gula itupun telah berada didekat pintu itu pula.
Dengan demikian tiga buah tombak pusaka dan sebuah songsong telah terkumpul di dekat pintu gerbang itu. Namun bukan sebagai benda-benda yang akan dipersembahkan kepada Panembahan Lebdagati serta Kiai Windu Kusuma dan kawan-kawannya. Tetapi senjata itu justru telah dipergunakan untuk melawan mereka.
Dengan demikian maka pertempuran itu merupakan pertempuran habis-habisan dari dua kelompok orang-orang berilmu tinggi. Ternyata Kiai Windu Kusuma kemudian berhadapan dengan Ki Prawara yang juga membawa sebuah di antara tombak pusaka itu, sedangkan juragan gula itu bertempur melawan pimpinan perguruan Susuhing Angin yang masih saja selalu mencurigai Kiai Kajar tentang kebocoran rencana mereka untuk menjemput pusaka-pusaka itu di rumah Kiai Gumrah.
Namun dalam pada itu, Kiai Kajar sendiri harus bertempur dengan mempertaruhkan segala-galanya melawan Kiai Gumrah. Keduanya saudara seperguruan yang dianggap memiliki kelebihan dari saudara-saudara seperguruannya yang lain disamping juragan gula itu.
Sementara itu, diarena pertempuran yang lain, beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah itu masih bertempur melawan orang-orang dari berbagai perguruan. Namun jumlah mereka memang menjadi semakin susut. Meskipun demikian, namun orang-orang itu masih tetap merupakan bahaya yang sungguh-sungguh bagi saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah.
Tiga orang saudara seperguruan Kiai Gumrah sudah terluka meskipun tidak parah. Justru orang yang selalu menyebut dirinya sambil bergurau berilmu tinggi. Seorang lagi yang lebih banyak mengantuk dari pada tidak. Sedangkan yang lain adalah seorang yang kurang bersungguh-sungguh menghadapi lawannya.
Orang yang berjambang tebal itu menganggap permainan yang dilakukan sangat menyenangkan. Baru ketika lengannya tergores senjata lawannya, orang itu menjadi sangat marah dan bersungguh-sungguh. Namun kemarahannya telah menimbulkan banyak kesulitan bagi lawan-lawannya.
Dalam pada itu Buta Ijo pun telah berada di antara saudara-saudara seperguruannya. Ternyata saudara-saudara seperguruannya telah berusaha untuk memancing di lingkungan yang lebih luas dari halaman yang terbuka di sisi sebelah kiri rumah yang besar itu. Tetapi juga menebar ke halaman depan.
Semakin luas medan, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu sempat membuat lawan-lawan mereka kadang-kadang kebingungan. Kadang-kadang orang-orang yang berpakaian serba hitam itu bagaikan hilang lenyap dalam bayang-bayang dedaunan. Namun tiba-tiba mereka muncul bagaikan terbang menyambar korban yang terdekat dengan sejata-senjata mereka.
Berbeda dengan saudara-saudaranya, Buta Ijo ternyata memilih cara yang lain. Ketika beberapa orang menyerangnya, ia justru berlari naik ke pendapa, kemudian melintasi pringgitan mendorong pintu dan masuk ke ruang dalam. Empat oang bersama-sama mengejarnya dengan senjata teracu. Di belakangnya tiga orang yang lain telah memburu pula.
Buta Ijo itu ternyata tidak berlari terus, Demikian ia menyelinap di balik pintu, iapun segera menunggu. Keempat orang yang memburunya itu terkejut. Demikian mereka melintasi pintu, maka dari sisi pintu itu terayun selarak pintu yang berat menghantam mereka. Dua orang yang berada di depan telah terpental membentur orang-orang yang ada di belakangnya. Keempat orang itu seakan-akan telah terlempar kembali keluar dari pintu pringgitan.
Ketiga orang yang memburu di belakang mereka terkejut. Mereka bahkan berloncatan surut. Dua orang di antara keempat orang yang jatuh terlentang itu segera berloncatan bangkit. Namun kepala mereka yang membentur lantai pendapa itu membuat mereka merasa pening. Sementara dua orang yang berada di depan memang mencoba juga untuk bangkit.
Tetapi wajah mereka mulai dibasahi oleh darah yang mengalir dari luka. Seorang di antara mereka telah melelehkan darah dari sela-sela bibirnya. Tiga giginya patah, sementara bibirnya menjadi pecah-pecah, sedang yang seorang lagi dahinya bukan saja menjadi memar, tetapi juga terluka dan menitikkan darah pula.
"Setan!" geram kawannya. Tetapi mereka tidak berani berlari memasuki ruang dalam. Ternyata raksasa yang berlari ke ruang dalam itu tidak mempergunakan senjatanya sendiri. Ia telah menyerang justru dengan selarak pintu.
Dengan hati-hati dua orang di antara mereka telah melintasi pintu. Mereka melihat ruang dalam itu kosong. Raksasa itu tentu sudah berlari dan bahkan mungkin bersembunyi. Di belakang mereka tiga orang yang lain mengikuti kedua orang kawannya, sedangkan dua orang yang terluka itu berada di paling belakang.
Sejenak kemudian tiba-tiba mereka terkejut. Mereka mendengar, jerit perempuan-perempuan yang berkumpul dibilik di belakang ruang dalam. Agaknya raksasa itu telah masuk ke dalam bilik perempuan-perempuan itu. Ketika orang-orang yang mengejar raksasa itu berlari ke arah bilik itu, mereka telah saling bertubrukan dengan beberapa orang perempuan yang berlari-larian keluar dari bilik itu.
Dari dalam bilik itu terdengar suara membentak-bentak, "Cepat keluar, atau aku bunuh kalian. Cepat sebelum aku kehilangan akal...”
Dalam kekalutan itu, maka beberapa orang pemimpin yang ada di ruang dalam telah keluar pula. Mereka menuju ke tempat yang berbeda. Namun mereka kemudian telah meneriakkan perintah agar para pengikut mereka semuanya mengepung halaman rumah itu dimulai dengan melekatkan punggung mereka pada dinding halaman dan menggiring orang-orang yang memasuki halaman itu ke halaman yang terbuka di sisi sebelah kiri rumah yang besar itu.
"Kita akan membantai mereka di sana" teriak para pemimpin itu.
Para pengikutnya itupun mulai menyadari kebodohan mereka. Karena itu, maka mereka pun segera bergerak kedinding halaman. Berdiri berjajar pada jarak yang sama. Kemudian dengan aba-aba yang diteriakkan oleh Kiai Windu Kusuma dari serambi samping yang kemudian disambung sahut-menyahut, mereka bergerak maju.
Saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang ada di halaman itu mengerti apa yang mereka hadapi. Mereka melihat orang-orang yang berlari-larian menebar mengelilingi halaman rumah itu, Mereka pun sadar, bahwa orang-orang itu akan menyisir seluruh halaman untuk menemukah orang-orang yang bersembunyi di halaman rumah itu.
Karena itu, maka mereka tidak menemukan pilinan lain. Mereka harus menghadapi orang-orang yang menebar itu. Namun sebenarnyalah bahwa orang-orang dari beberapa perguruan yang berkumpul di tempat itu menjadi berdebar-debar. Mereka melihat beberapa orang pengikut Kiai Windu Kusuma yang telah menjadi korban. Bahkan kawan-kawan mereka yang baru saja keluar dari dalam rumah itupun telah banyak yang menjadi korban pula.
Karena itu, ketika aba-aba Kiai Windu Kusuma yang disambung sahut menyahut telah menggetarkan seluruh halaman, maka orang-orang yang mengepung halaman itu mulai melangkah maju dengan senjata yang merunduk. Setiap saat mereka siap untuk menghujamkan senjata mereka.
Tetapi kebun belakang dari rumah yang besar itu cukup gelap oleh pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu. Dengan demikian maka orang-orang yang berjalan menyisir halaman itu tidak segera melihat, di mana lawan mereka bersembunyi.
Namun ada beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang mempunyai cara yang sama untuk menghindar meskipun mereka tidak saling bicara lebih dulu. Tiga orang di antara mereka telah memanjat pohon yang cukup besar di kebun belakang rumah yang besar itu.
Ternyata gelap malam dan gerumbul-gerumbul perdu cukup melindungi mereka dari orang-orang yang berjajar melangkah maju dengan senjata yang merunduk itu. Mereka sama sekali tidak melihat bahwa ada orang-orang yang sedang melekat pada dahan pepohonan.
Tetapi beberapa orang yang lain tidak dapat menghindar lagi. Mereka benar-benar telah digiring ke halaman samping yang terbuka. Sementara beberapa orang pemimpin dari berbagai perguruan telah berada di tempat itu pula.
Namun dalam pada itu, juragan gula itupun menyadari bahwa keadaan sudah semakin gawat. Karena itu, maka semua kekuatan harus dikerahkan. Sehingga dengan demikian, maka juragan gula itu menganggap bahwa sudah sampai saatnya pintu gerbang halaman rumah itu dibuka dan membiarkan cucu-cucu Kiai Gumrah yang membawa songsong itu masuk ke halaman.
Dengan demikian, maka mereka akan dapat memancing perhatian para pemimpin yang sedang menunggu di halaman samping, sementara orang-orangnya berusaha menggiring saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang ada di halaman.
Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar suitan nyaring. Suaranya menggetarkan udara di seluruh halaman yang luas itu. Suaranya bukan sekedar bunyi, yang nyaring. Tetapi getarannya telah menerpa isi dada orang-orang yang mendengarnya.
Orang-orang yang datang dari berbegai perguruan itu memang terkejut mendengar suitan nyaring itu. Rasa-rasanya dada mereka telah dihentak oleh kekuatan yang sangat besar. Dengan demikian, maka mereka harus mengerahkan daya tahan mereka untuk menjaga agar mereka tidak mengalami kesulitan pada bagian dalam tubuh mereka.
Namun suitan itu bagi Kiai Gumrah merupakan isyarat. Ia harus membuka pintu gerbang halaman rumah itu. Tetapi sebelum Kiai Gumrah yang membawa sebatang tombak itu beranjak, maka Ki Pandi pun berdesis, "Biarlah aku saja yang membuka...”
Ki Pandi yang bongkok itulah yang kemudian berlari ke pintu gerbang. Dua orang penjaga, pintu gerbang itu memang sedang kebingungan. Mereka tidak tahu pasti, apa yang terjadi. Mereka hanya mendengar isyarat pertanda bahaya. Bahkan kemudian perintah bagi semua orang yang ada di rumah yang besar itu. Bahkan ia mendengar para pemimpinnya berteriak memberikan aba-aba.
Ketika mereka melihat orang bongkok berlari-lari menuju pintu gerbang, mereka pun segera bersiaga. Demikian Ki Pandi itu mendekat, maka kedua orang itu dengan serta-merta telah menyerangnya. Namun mereka tidak tahu apa yang telah terjadi. Tiba-tiba saja mereka terpelanting jatuh. Kepala mereka seakan-akan telah dibenturkan di tanah.
Pandangan mata mereka pun menjadi gelap. Senjata-senjata mereka terlempar tanpa mereka ketahui di mana senjata-senjata itu terjatuh. Ternyata kedua orang itupun menjadi pingsan karenanya. Karena itulah, maka Ki Pandi pun dengan cepat mengangkat selarak dan membuka pintu gerbang itu.
Tetapi ternyata beberapa orang yang sedang sibuk di halaman samping dan belakang itupun melihat apa yang terjadi. Karena itu, maka beberapa orang telah berlari-lari menuju ke pintu gerbang halaman depan. Halaman yang terbuka, yang dikira tidak menjadi tempat persembunyian orang-orang yang memasuki halaman rumah yang besai itu.
Karena itu, maka halaman depan rumah itu agak luput dari perhatian penghuni rumah itu. Bahkan mereka pun tidak ingin menyelesaikan pertempuran itu di halaman depan. Tetapi di halaman samping yang juga terbuka, yang tidak mendapat pemeliharaan sebagaimana halaman depan yang diatur dengan rapi dan ditanami dengan beberapa pohon bunga di antara tebaran rumput yang hijau.
Tetapi meskipun pohon bunga itu terhitung jarang, namun dapat juga dipergunakan untuk bersembunyi Kiai Gumrah dan Ki Pandi. Pintu gerbang yang terbuka itu memang merupakan isyarat bagi kelima orang yang membawa songsong yang disimpan dengan baik oleh Kiai Gumrah atas nama perguruannya. Karena itu, maka demikian mereka melihat pintu itu terbuka, mereka pun segera berlari memasuki pintu gerbang itu.
Namun, demikian mereka masuk, maka mereka segera melihat Ki Pandi tengah menghalau beberapa orang yang menyerangnya. Kehadiran kelima orang itu memang mengejutkan. Apalagi seorang di antara mereka membawa sebuah songsong yang terbungkus, namun yang masih dapat dilihat kilatan warna kuning keemasan jika kain yang membungkusnya itu tersingkap.
Demikian mereka berada di halaman, maka Winih lah yang telah menarik baju lurik yang dipergunakan menutupi payung itu. Tutup itu sudah tidak ada artinya lagi, justru payung itu sengaja ditunjukkan untuk menarik perhatian orang-orang terpenting yang ada di rumah itu.
Sebenarnyalah beberapa orang yang berlari-larian ke halaman depan memang mengejutkan para pemimpin yang sudah berada di serambi menghadap ke halaman samping yang terbuka untuk menunggu orang-orang yang akan digiring ke halaman itu.
Apalagi ketika seorang di antara mereka berteriak, "Mereka berada di halaman depan Lihat, songsong itu...”
Beberapa orang pemimpin yang ada di rumah itu memang segera tertarik untuk menyaksikannya. Karena itu, maka mereka pun segera bergeser melingkari serambi rumah itu. Sebenarnyalah mereka melihat songsong kuning gemerlapan memantulkan cahaya oncor yang ada di sudut-sudut halaman dan bahkan di serambi depan. Songsong kuning keemasan yang dilingkari warna hijau ditengahnya.
Melihat songsong itu, maka Kiai Kajar telah menggeram. "Mereka telah mengantarkannya sendiri. Aku harus berterimakasih kepada mereka.”
"Mereka benar-benar sombong." desis Kiai Windu Kusuma "Tetapi mereka tentu akan menyesal”
Di sebelah mereka orang yang disebut Panembahan itu berkata, "Aku akan mengambilnya. Juga tombak-tombak yang tentu mereka bawa kemari”
Kiai Kajar mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sementara Susuhing Angin justru telah melangkah mendekati sekelompok orang yang membawa dan melindungi songsong itu. Tetapi ternyata bukan hanya mereka. Beberapa orang yang lain pun telah mengikutinya pula.
Sementara itu di halaman belakang telah terjadi keributan. Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah tidak mampu bersembunyi lebin lama ketika orang-orang yang mengepung halaman itu bergerak menyisir kebun menggiring mereka ke halaman samping.
Tetapi orang-orang dari beberapa perguruan yang berkumpul di rumah itu menjadi berdebar-debar. Ternyata mereka harus bertempur dengan orang-orang berilmu tinggi. Meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak. Namun sulit bagi mereka untuk dapat bertahan.
Dalam kekalutan pertempuran itu, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah yang memanjat pohon telah berloncatan turun. Mereka justru telah berada di belakang kepungan. Ketika mereka menyerang dari belakang, maka orang-orang yang berusaha menggiring saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu terkejut. Sehingga dengan demikian maka kepungan mereka pun telah terkoyak.
Sementara itu, beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang sudah berada di longkangan dalam serta bahkan memasuki pintu butulan, terkejut ketika mendengar jerit beberapa orang perempuan. Ternyata mereka telah tersesat memasuki satu ruang yang berisi beberapa perempuan yang beberapa di antaranya sedang mabuk. Ketika kawannya menjerit ketakutan melihat kehadiran saudara seperguruan Kiai Gumrah, perempuan yang mabuk itu justru tertawa berkepanjangan.
Saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah keluar lagi dari ruangan itu. Dengan hati-hati seorang di antaranya menyusup ke ruang yang lain. Namun rumah itu seakan-akan telah menjadi kosong. Bahkan ketika ia memasuki ruang tengah, maka yang dijumpainya adalah Buta Ijo yang juga sedang termangu-mangu.
"Mereka telah pergi keluar..." desis Buta Ijo.
Keduanya pun kemudian telah memasuki ruangan-ruangan yang lain dan mencari jalan untuk menuju ke pintu pringgitan. Ternyata pintu pringgitan meskipun sudah ditutup, tetapi tidak diselarak. Dengan demikian mereka membuka pintu, maka mereka melihat apa yang terjadi di halaman depan yang terbuka.
Sejenak kedua orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang ada di pringgitan itu menjadi tegang. Mereka melihat beberapa orang yang tentu berilmu tinggi sedang melintasi halaman depan.
"Tentu mereka para pemimpin dari perguruan-perguruan yang berkumpul di sini" desis Buta Ijo.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" bertanya pada kawannya.
“Aku ingin beristirahat di sini..." berkata Buta Ijo.
"Gila. Kau biarkan saudara-saudara kita bertempur sementara Kau akan tidur di laicak itu?" geram kawannya.
"Aku sudah bertempur. Kiai Gumrah tentu sejak tadi bersembunyi di sana.” jawab Buta Ijo.
"Tetapi bukan karena Kiai Gumrah malas. Bukankah menurut kesepakatan kita, Kiai Gumrah memang harus menunggu di halaman depan sehinga terdengar isyarat untuk membuka pintu gerbang?"
Buta Ijo tidak menjawab. Tetapi ia melangkah melintasi pendapa menuju ke tangga yang menghadap ke halaman depan. Saudara seperguruannya itupun telah mengikutinya pula di belakangnya. Sesaat mereka berdua berdiri termangu-mangu di pendapa. Namun mereka kemudian mendengar keributan terjadi di halaman samping yang terbuka.
"Apa yang terjadi?" Desis Buta Ijo.
"Pertempuran di halaman samping.” jawab saudara seperguruannya itu.
Buta Ijo Itu termangu-mangu. Namun sambil memandang ke halaman depan ia bertanya. "Kita akan pergi kemana?"
"Kita turun, ke halaman depan. Nampaknya orang-orang berilmu tinggi itu akan berkumpul di sana, justru setelah payung itu dibawa masuk. Bukankan Kiai Gumrah sengaja memancing para pemimpin dari berbagai perguruan itu untuk datang kesana?"
"Apakah saudara-saudara kita tidak akan mengalami kesulitan melawan orang-orang yang terlalu banyak itu?“
"Mudah-mudahan tidak. Namun yang harus tampil ke halaman itu adalah Ki Prawara dan isterinya, juragan gula yang kikir itu dan Kiai Gumrah sendiri. Bukankan pusaka-pusaka itu di tangan mereka?"
"Tetapi juragan gula itu tidak kikir..." jawab Buta Ijo "Menurut pendapatku, ia tidak pernah menunda pembayaran gula yang diserahkan kepadanya.“
"Tetapi ia membeli dengan harga murah dan menjual dengan harga mahal...”
"Itu termasuk satu keahlian..." jawab Buta Ijo.
Namun saudara seperguruannya berdesis "Mereka hampir mulai. Kita tidak bisa berlama-lama di sini...”
Buta Ijo itu termangu-mangu sejenak. Dahinya nampak berkerut. Ia belum melihat juragan gula, Ki Prawara dan isterinya di halaman depan, sementara para pemimpin dari perguruan-perguruan yang ada di rumah itu sudah mendekati mereka yang membawa songsong setelah mereka memasuki regol halaman yang telah terbuka.
Dalam pada itu, orang yang disebut Panembahan yang ada di antara mereka yang mendekati songsong sudah berada di halaman itu tidak segera melihat orang bongkok yang nampaknya dengan sengaja berdiri di belakang sekelompok orang yang membawa dan yang harus melindungi songsong itu.
Beberapa langkah kemudian orang-orang berilmu tinggi itu berhenti. Panembahan, orang yang paling berpengaruh di antara para pemimpin perguruan yang ada di rumah itulah yang bertanya. "Siapakah yang memerintahkan kalian datang untuk menyerahkan songsong itu kemari?”
Yang menjawab adalah salah seorang saudara seperguruan Kiai Gumrah. "Kami datang tidak untuk menyerahkan songsong ini. Kami datang karena kami tidak dapat menahan diri lagi oleh tingkah laku kalian yang sangat menyakitkan itu. Bagi kami, lebih baik kami datang kemari untuk membuat penyelesaian tuntas daripada kami harus selalu menunggu dengan gelisah, karena kalian ingin merebut pusaka-pusaka kami...”
"Siapakah kau?” bertanya Panembahan.
"Aku bukan siapa-siapa. Bertanyalah kepada Kiai Kajar...”
Panembahan itu memang berpaling kepada Kiai Kajar. Sementara Kiai Kajar melangkah maju sambil berdesis, "Kau cucurut kecil. Di mana Gumrah. Aku ingin membuat penyelesaian tuntas. Akulah yang berwenang menyimpan pusaka-pusaka itu. Bukan Gumrah.”
Namun para pemimpin perguruan yang berkumpul di rumah itu terkejut ketika mendengar jawaban dari balik segerumbul pohon soka yang sedang berbunga itu. Kiai Gumrahlah yang kemudian melangkah mendekat dengan membawa tombak pusakanya sambil berkata, "Sudah lama aku menunggu kesempatan untuk bertemu denganmu Kiai Kajar.”
"Gumrah...!" gumam Kiai Kajar.
"Aku ingin mengucapkan terimakasih, bahwa kau sempat memberitahukan kepadaku lewat salah seorang pengikutmu bahwa besok rumahku akan didatangi oleh Kiai Windu Kusuma dan orang-orang berilmu tinggi yang lain.”
"Setan...!" geram pemimpin perguruan Susuhing Angin "Jadi kaukah yang telah berkhianat...”
Wajah-wajah itu memang menjadi tegang. Namun Panembahan itu tertawa. Katanya, "Kau percaya akan kata-katanya. Satu usaha untuk membuat kita saling curiga...”
"Tetapi bukankah masuk akal bila Kiai Kajar berkhianat? Bukankah ia berasal dari perguruan yang sama dengan orang-orang yang menyimpan pusaka-pusaka itu” jawab pemimpin perguruan Susuhing Angin.
"Kau memang gila..." geram Kiai Kajar "Itu adalah salah satu sifat licik Kiai Gumrah. Aku memang mengenal orang itu sejak lama. Aku memang saudara seperguruannya. Karena itu aku tahu, bagaimana ia berusaha membenturkan kekuatan kita masing-masing.”
Tetapi Kiai Gumrah tertawa. Katanya, "Maaf Kiai Kajar. Aku terlalu tergesa-gesa mengucapkan terimakasih kepadamu. Meskipun aku tahu bahwa pemberitahuanmu itu termasuk usahamu untuk menjebak aku.”
"Diam...!" bentak Kiai Kajar "Tetapi apapun yang sudah kau katakan, sekarang kau datang membawa pusaka-pusaka itu. Jadi kau ingin menyerahkannya, serahkan segera sebelum terjadi sesuatu.”
"Kau tentu tahu bahwa bukan itu maksudku?" jawab Kiai Gumrah "Aku datang justru untuk mempertahankannya”
"Cukup. Itu satu permainan yang buruk. Kami tidak akan membiarkan pengkhianatan itu terjadi. Di belakang, orang-orang kami sudah banyak yang menjadi korban.” teriak pemimpin perguruan Susuhing Angin.
"Bukan hanya terlalu banyak." Kiai Gumrah menyahut "Pada saatnya nanti, maka semua orang yang tidak menyerah akan mati. Termasuk kalian.”
"Aku tidak akan membiarkan pengkhianatan ini..." pemimpin perguruan Susuhing Angin itu masih berteriak.
Namun Panembahan itulah yang menjawab lantang. Suaranya tiba-tiba saja telah menggelegar menggetarkan setiap jantung. “Hanya orang dungu yang percaya igauan Kiai Gumrah. Aku tidak percaya. Aku tidak pernah menganggap Kiai Kajar berkhianat kepada kita.”
Pemimpin perguruan Susuhing Angin itu termangu-mangu sejenak. Namun ia menyadari, bahwa Panembahan itu sudah marah. Karena itu, maka ia tidak menyahut lagi. Baru kemudian dengan lantang Panembahan itu berbicara, sementara getaran suaranya masih saja memukul isi dada.
"Sekarang, tugas kita menyelesaikan mereka. Aku justru merasa bersyukur bahwa mereka telah datang untuk menyerahkan pusaka-pusaka itu. Purnama tinggal beberapa hari lagi. Tetapi di sini banyak terdapat jantung segar yang masih ada dalam dada. Karena itu, maka aku akan mencuci tombak itu dengan darah yang masih mengalir di jantung yang masih tergantung pada tangkainya.”
Tetapi Kiai Gumrah pun bertanya, "Darimana kau tahu bahwa sebelum purnama tombak ini harus dicuci dengan darah yang masih mengalir di dalam jantung...”
"Pertanyaanmu aneh Kiai. Seharusnya kau tahu akan hal itu Kiai Kajar juga mengetahuinya. Semua orang pun juga mengetahuinya.” jawab Panembahan.
"Tetapi justru aku tidak mengetahuinya. Bagiku tombak ini adalah tombak sewajarnya. Tetapi karena landeannya dibuat dari bahan yang mahal, serta riwayat dari tombak ini yang mempunyai arti khusus bagi perguruan kami, maka kami akan mempertahankannya dengan segala kemampuan yang ada pada kami.”
Panembahan itu tertawa. Katanya "Betapa dungunya kau Kiai. Kau sia-siakan tuah yang ada di dalam tombak itu. Karena itu serahkan tombak itu kepadaku...”
“Aku juga berhak atas tombak itu!” geram Kiai Kajar.
Kiai Gumrah tertawa pula. Katanya, “Aku tahu bahwa kita yang berada di sini akan saling memperebutkan tiga batang tombak yang disimpan oleh perguruan kami serta songsong yang kuning keemasan itu. Yang penting bagi kalian, apakah tuah pusaka-pusaka itu atau emas dan permata yang terdapat pada pusaka-pusaka itu? Atau barangkali keduanya-duanya...”
"Persetan Gumrah" teriak Kiai Kajar "Serahkan tombak itu kepada kami...”
"Dan kalian akan berkelahi memperebutkannya?” bertanya Kiai Gumrah.
"Ada empat batang pusaka yang akan kami ambil dari kalian." berkata Kiai Windu Kusuma "Persoalan di antara kami kemudian, bukan urusanmu. Tetapi kau tidak akan dapat membenturkan kepentingan kami satu dengan yang lain. Usahamu untuk mengadu domba itu tidak akan berarti...”
"Sangat menarik." jawab Kiai Gumrah "Tetapi baiklah. Meskipun aku tidak sependapat dengan pendapat kalian bahwa pusaka itu harus dicuci dengan darah yang masih mengalir di jantung, namun jika kalian memaksanya, maka benar-benar aku akan melakukannya, mencuci tombak ini.”
Panembahan itulah yang tertawa. Katanya, "Kau kira kau merasa seorang yang mumpuni dalam ilmu kanuragan? Baiklah. Kita akan membuktikannya apakah kau mampu mempertahankan dalan waktu yang singkat. Ingat, aku akan mengambilnya. Jantungmu menurut pendapatku adalah jantung yang paling baik untuk mencucinya...”
Namun Panembahan itu terkejut. Ia melihat seseorang yang ada di belakang mereka yang membawa dan siap melindungi songsong itu bergerak dan melangkah maju sambil berkata, "Tidak semudah itu Lebdagati...”
Panembahan itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya orang itu tajam-tajam. Namun kemudian ia menggeram "Kau bongkok buruk. Aku sudah mengira bahwa kau akan melibatkan diri. Ceritera tentang harimau jadi-jadian itu telah memastikan, bahwa kau akan hadir dalam persoalan ini...”
“Aku menunggumu, Panembahan Lebdagati. Sejak kau lolos dari tanganku di sarangmu itu, maka aku telah mengembara untuk dapat menemukanmu.”
"Seharusnya kau menyadari keadaan dirimu. Kau bongkok, buruk dan dungu. Untuk apa kau mencari-cari aku, sementara kau tidak mampu berbuat apa-apa atasku?" bertanya Panembahan.
"Sekarang kita buktikan, apakah kau dapat berbuat apa-apa atau tidak.” jawab Ki Pandi.
Wajah Panembahan itu menjadi tegang. Sekali-sekali dipandanginya Kiai Gumrah yang membawa satu di antara tombak-tombak pusaka yang dicarinya. Namun ia sadar bahwa ia tidak dapat mengabaikan kehadiran orang bongkok itu. Karena itu, maka iapun berkata kepada kawan-kawannya,
"Jaga agar tombak dan songsong itu tidak lolos. Setidak-tidaknya yang ada di halaman ini. Biarlah aku menyelesaikan orang bongkok ini lebih dahulu...”
Orang bongkok itu memang bergeser menjauhi mereka yang membawa songsong, ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi Panembahan itu sambil berkata, "Marilah Panembahan. Aku ingin agar persoalan yang ada di antara kita segera tuntas.”
Panembahan itu tidak dapat berbuat lain. Ia sadar, orang bongkok itupun mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Ia dapat berbuat apa saja sebagaimana yang dapat dilakukannya. Karena itu, maka Panembahan itupun harus berhati-hati menghadapinya.
Demikian Panembahan itu bergeser, maka Kiai Kajarlah yang serta merta menghadapi Kiai Gumrah. Dua orang saudara seperguruan yang memiliki kelebihan di antara saudara-saudaranya yang lain.
Ketika Kiai Windu Kusuma dan pemimpin dari perguruan Susuhing Angin itu akan bergerak, maka dua orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang memang ditugaskan untuk melindungi songsong itupun bergerak pula.
Namun mereka tertegun ketika dari halaman samping telah muncul dua orang suami isteri. Seorang di antaranya membawa tombak pula. Ki Prawara dan Nyi Prawara.
Tetapi ternyata Ki Prawara dan Nyi Prawara tidak sempat mendekat. Dua orang di antara mereka yang menyertai para pemimpin mereka itupun telah menyongsong suami isteri itu. Seorang di antara keduanya adalah murid terpercaya dari perguruan Susuhing Angin. Seorang yang bertubuh tinggi besar. Berkumis lebat, namun berkepala botak. Ia tidak mengenakan ikat kepalanya dengan baik. Bahkan dengan sengaja menunjukkan kepalanya yang botak itu. Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang kepercayaan Kiai Windu Kusuma.
Ki Prawara dan Nyi Prawara pun berhenti untuk menanti kedua orang itu. Demikian kedua orang itu mendekat, maka kepercayaan Kiai Windu Kusuma itu menggeram,
"Setan. Ternyata seorang di antaranya seorang perempuan...?!”
Orang bertubuh tinggi besar itupun mengumpat. Katanya, "Kalian menghina kami. Tetapi kalian akan menyesal sampai tujuh turunan. Aku memang memerlukan seorang perempuan. Perempuan-perempuan pemabuk itu sangat menjemukan bagiku.”
Wajah Nyi Prawara menjadi merah. Tetapi iapun segera bergeser sambil berkata. "Katakan apa yang akan kau katakan, karena kesempatanmu akan segera berakhir. Nanti kau tidak akan dapat mengatakan apapun juga setelah nyawamu lepas dari tubuhmu.”
Orang bertubuh raksasa itu membelalakkan matanya. Tetapi iapun kemudian tertawa, "Jarang aku temui perempuan yang garang seperti perempuan ini. Tetapi justru karena itu, maka ia adalah perempuan langka yang banyak dicari.”
Nyi Prawara tidak dapat menahan gejolak perasaannya lagi. Kemarahannya telah membakar jantungnya dan membuat darahnya mendidih karenanya. Karena itu, maka dengan serta-merta Nyi Prawara itupun telah meloncat menyerang.
Serangan yang tak diduga sama sekali oleh orang yang bertubuh raksasa itu. Karena itu, maka ia tak sempat mengelak lagi. Ketika kaki Nyi Prawara yang mengenakan pakaian khususnya terjulur lurus ke arah dada, maka orang yang bertubuh tinggi besar itupun hanya sempat memiringkan tubuhnya sambil melindungi dadanya dengan sikunya.
Namun ternyata bahwa tenaga serangan Nyi Prawara pun tidak terduga pula. Dengan kekuatan tenaga dalamnya, maka serangan itu benar-benar telah mengguncang tubuh lawannya itu. Orang yang bertubuh raksasa itu ternyata telah terdorong surut. Namun ia masih mampu mempertahankan keseimbangannya sehingga raksasa itu tidak terjatuh.
Namun bahwa serangan perempuan itu sempat mengguncang tubuhnya, maka raksasa itu benar-benar merasa tersinggung. Sambil menggeram orang itu telah mempersiapkan dirinya. Tangannya mengembang siap untuk menangkap dan meremas tubuh Nyi Prawara yang jauh lebih kecil dari tubuh raksasa itu.
Namun sebelum ia bergerak, terdengar suara tertawa berkepanjangan. Seorang yang juga bertubuh tinggi besar melangkah mendekat sambil berkata, “He, ternyata dilihat dari ukuran tubuh, agaknya kita akan dapat menjadi lawan yang seimbang.”
Raksasa yang siap meremas tubuh Nyi Prawara itu termangu-mangu. Dilihatnya dua orang yang datang mendekat. Seorang di antaranya adalah orang yang bertubuh tinggi besar, sebagaimana dirinya sendiri.
Nyi Prawara yang juga berpaling itupun berkata, "Menyingkirlah Buta Ijo. Apa kau kira aku tidak dapat melawannya?”
“Tidak. Bukan itu Nyi." Berkata Buta Ijo "Jika aku melawannya, agaknya akan menjadi tontonan yang menarik. Dua orang raksasa berkelahi, He, Nyi. Masih ada banyak lawan yang bakal datang kemari. Di halaman samping itu mengalir orang-orang yang jumlahnya cukup banyak.”
"Aku tidak peduli mereka. Aku ingin melawan raksasa dungu ini. Carilah lawan yang lain. Ia sudah merendahkan martabatku sebagai seorang perempuan” berkata Nyi Prawara.
Buta Ijo itu mengangguk angguk kecil. Ia memang mendengar kata-kata tajam yang menusuk perasaan Nyi Prawara. Karena maka katanya, "Baiklah. Ia memang menghinamu. Tetapi biarlah aku bermain-main dengan yang seorang lagi.”
"Serahkan itu kepadaku.” barkata Nyi Prawara.
"Nampaknya kau ditunggu di dekat pintu gerbang itu.” berkata Buta ljo.
Ki Prawara memperhatikan pertempuran yang sudah terjadi di dekat pintu gerbang. Ternyata ada beberapa orang yang harus bertempur melawan dua bahkan tiga orang. Karena itu, maka Ki Prawara yang membawa satu di antara tombak-tombak pusaka itupun segera meloncat ke arah pintu gerbang sambil berkata, "Selesaikan raksasa dungu itu, Nyi”
Nyi Prawara tidak menjawab. Tetapi iapun segera beringsut untuk menghadapi raksasa yang telah merendahkan martabatnya itu.
Buta Ijo itulah yang kemudian termangu-mangu, sementara kawannya lebih dahulu telah berhadapan dengan kawan raksasa yang bertempur melawan Nyi Prawara itu. Untuk sementara Buta Ijo justru kebingungan. Namun kemudian ia telah melihat pertempuran di di halaman sebelah kiri yang terbuka telah bergeser pula. Beberapa kawan Buta Ijo itu memang terdesak. Lawan mereka masih terlalu banyak.
Buta Ijo itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang berapapun jumlahnya. Tetapi ia menjadi ngeri melihat tubuh yang silang melintang di mana-mana. Tetapi Buta Ijo itupun menyadari, tanpa berbuat demikian, maka justru saudara-saudara seperguruannya-lah yang akan terbaring diam di halaman dan di kebun yang luas itu.
"Pertempuran yang gila...” desis Buta Ijo itu.
Namun Buta Ijo itu tidak dapat berdiam diri. la pun segera berlari dan bergabung dengan saudara-saudara seperguruannya yang harus bertempur melawan kelompok-kelompok orang yang datang dari beberapa perguruan itu.
Pertempuran itu dilihat dari jumlahnya memang tidak seimbang. Tetapi saudara-saudara seperguruan Buta Ijo itu memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari orang-orang yang datang dari beberapa perguruan itu. Pemimpin-pemimpin mereka yang berilmu tinggi ternyata telah berkumpul di dekat pintu gerbang karena mereka memang terpancing oleh songsong yang berwarna kuning keemasan itu, sebagaimana diinginkan oleh Kiai Gumrah.
Karena itu, maka dengan kemampuan yang tinggi, serta kerja sama yang sangat baik, saudara-saudara seperguruan Buta Ijo itu mampu mengacaukan lawan mereka yang jumlahnya jauh lebih banyak itu. Satu-satu orang-orang dari beberapa perguruan itu jatuh dan tidak mampu bangun lagi.
Meskipun saudara-saudara seperguruan Buta Ijo itu bukan pembunuh yang tidak berjantung, tetapi dalam keadaan itu, mereka akan sangat sulit untuk mengekang ujung senjata mereka. Tanpa niat untuk membunuh, maka beberapa lawanpun telah terbunuh, sementara yang lain terluka parah.
Dalam pertempuran yang kalut itu, maka Buta Ijo pun segera berbaur dengan saudara-saudara seperguruannya yang jumlahnya tidak begitu banyak itu. Namun dengan gerak yang cepat dalam garis perlawanan yang tidak menentu, maka lawan-lawan mereka memang menjadi bingung. Bahkan masih ada saudara-saudara seperguruan Buta Ijo itu yang menyerang, namun kemudian berloncatan menjauh, sementara orang lain telah berlari sambil menyambar dengan senjatanya.
Dalam pada itu, para pemimpin dari beberapa perguruan serta pengawal-pengawal terbaik mereka telah bertempur pula di dekat pintu gerbang. Seorang Putut kepercayaan Kiai Windu Kusuma yang berusaha langsung meraih songsong yang dibawa oleh Laksana harus berhadapan dengan Winih. Putut memang terkejut ketika lawan yang dihadapinya itu seorang perempuan yang masih terlalu muda.
"Kenapa kau ikut memasuki halaman rumah ini? Apakah kau tidak tahu, bahwa halaman ini akan menjadi neraka bagi mereka yang telah berani memasukinya?" bertanya Putut itu.
Sambil memutar rantainya Winih menjawab. "Aku memang sudah berniat melakukannya. Nah bersiaplah. Kita akan bertempur...”
"Siapa namamu?" bertanya Putut itu.
Ternyata Winih tidak, merahasiakan namanya. Karena itu, maka iapun menjawab, "Namaku Winih...”
"Winih. Kaukah yang sering disebut-sebut oleh Darpati?”
"Mungkin..." jawab Winih. "Sayang, bahwa aku harus membunuhnya ketika ia berniat menjadikan aku barang taruhan.”
"Kau telah membunuh Darpati?" bertanya Putut itu.
"Ya. Aku terpaksa melakukannya." jawab Winih.
Putut itu tertawa. Katanya "Jangan mengigau. Darpati adalah anak muda berilmu tinggi. Ia memang terbunuh. Tetapi tentu bukan kau yang membunuhnya.”
"Percaya atau tidak, itu bukan persoalanku. Sekarang kita akan bertempur. Bersiaplah...”
Putut itu termangu-mangu sejenak. Namun perempuan itu nampak yakin akan dirinya sendiri, sehingga karenanya, maka Putut itu harus berhati-hati menghadapinya.
Winih yang sudah memutar rantainya tidak menunggu lebih lama lagi. Ialah yang telah mendahului menyerang Putut yang bersenjata pedang itu. Dengan loncatan-loncatan yang cepat. Winih berusaha untuk menembus pertahanan Putut itu. Tetapi Putut juga mempunyai bekal yang cukup untuk menghadapi Winih. Dengan tangkas Putut itu mengimbangi kecepatan gerak Winih.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya celah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Mereka saling menyerang dan menghindar. Beberapa kali Winih berhasil mendorong lawannya berloncatan surut. Tetapi kemudian Winih-lah yang harus melangkah mundur karena serangan lawannya yang datang beruntun.
Namun Putut itu menjadi semakin tegang ketika ternyata perempuan itu memang tidak dapat segera ditundukkan. Bahkan ia mulai mempercayainya, bahwa perempuan muda itu telah berhasil mempertahankan dirinya terhadap Darpati, meskipun mungkin ia tidak sendiri.
Tetapi semakin lama Putut itu menjadi semakin gelisah. Winih ternyata benar-benar memiliki ilmu yang tinggi! Menilik ujudnya, perempuan itu tentu masih sangat muda. Namun adalah di luar dugaannya, bahwa perempuan muda itu benar-benar telah mampu mendesaknya.
Putut itu tahu benar bahwa Darpati termasuk seorang yang berilmu tinggi. Tetapi jika benar perempuan muda itu dapat membunuhnya, maka perempuan yang bernama Winih itu adalah perempuan yang sangat berbahaya.
Dalam pada itu, pertempuran di dekat pintu gerbang itu-pun menjadi semakin sengit. Beberapa orang telah langsung terlibat. Demikian pula juragan gula itupun telah berada didekat pintu itu pula.
Dengan demikian tiga buah tombak pusaka dan sebuah songsong telah terkumpul di dekat pintu gerbang itu. Namun bukan sebagai benda-benda yang akan dipersembahkan kepada Panembahan Lebdagati serta Kiai Windu Kusuma dan kawan-kawannya. Tetapi senjata itu justru telah dipergunakan untuk melawan mereka.
Dengan demikian maka pertempuran itu merupakan pertempuran habis-habisan dari dua kelompok orang-orang berilmu tinggi. Ternyata Kiai Windu Kusuma kemudian berhadapan dengan Ki Prawara yang juga membawa sebuah di antara tombak pusaka itu, sedangkan juragan gula itu bertempur melawan pimpinan perguruan Susuhing Angin yang masih saja selalu mencurigai Kiai Kajar tentang kebocoran rencana mereka untuk menjemput pusaka-pusaka itu di rumah Kiai Gumrah.
Namun dalam pada itu, Kiai Kajar sendiri harus bertempur dengan mempertaruhkan segala-galanya melawan Kiai Gumrah. Keduanya saudara seperguruan yang dianggap memiliki kelebihan dari saudara-saudara seperguruannya yang lain disamping juragan gula itu.
Sementara itu, diarena pertempuran yang lain, beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah itu masih bertempur melawan orang-orang dari berbagai perguruan. Namun jumlah mereka memang menjadi semakin susut. Meskipun demikian, namun orang-orang itu masih tetap merupakan bahaya yang sungguh-sungguh bagi saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah.
Tiga orang saudara seperguruan Kiai Gumrah sudah terluka meskipun tidak parah. Justru orang yang selalu menyebut dirinya sambil bergurau berilmu tinggi. Seorang lagi yang lebih banyak mengantuk dari pada tidak. Sedangkan yang lain adalah seorang yang kurang bersungguh-sungguh menghadapi lawannya.
Orang yang berjambang tebal itu menganggap permainan yang dilakukan sangat menyenangkan. Baru ketika lengannya tergores senjata lawannya, orang itu menjadi sangat marah dan bersungguh-sungguh. Namun kemarahannya telah menimbulkan banyak kesulitan bagi lawan-lawannya.
Dalam pada itu Buta Ijo pun telah berada di antara saudara-saudara seperguruannya. Ternyata saudara-saudara seperguruannya telah berusaha untuk memancing di lingkungan yang lebih luas dari halaman yang terbuka di sisi sebelah kiri rumah yang besar itu. Tetapi juga menebar ke halaman depan.
Semakin luas medan, maka saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu sempat membuat lawan-lawan mereka kadang-kadang kebingungan. Kadang-kadang orang-orang yang berpakaian serba hitam itu bagaikan hilang lenyap dalam bayang-bayang dedaunan. Namun tiba-tiba mereka muncul bagaikan terbang menyambar korban yang terdekat dengan sejata-senjata mereka.
Berbeda dengan saudara-saudaranya, Buta Ijo ternyata memilih cara yang lain. Ketika beberapa orang menyerangnya, ia justru berlari naik ke pendapa, kemudian melintasi pringgitan mendorong pintu dan masuk ke ruang dalam. Empat oang bersama-sama mengejarnya dengan senjata teracu. Di belakangnya tiga orang yang lain telah memburu pula.
Buta Ijo itu ternyata tidak berlari terus, Demikian ia menyelinap di balik pintu, iapun segera menunggu. Keempat orang yang memburunya itu terkejut. Demikian mereka melintasi pintu, maka dari sisi pintu itu terayun selarak pintu yang berat menghantam mereka. Dua orang yang berada di depan telah terpental membentur orang-orang yang ada di belakangnya. Keempat orang itu seakan-akan telah terlempar kembali keluar dari pintu pringgitan.
Ketiga orang yang memburu di belakang mereka terkejut. Mereka bahkan berloncatan surut. Dua orang di antara keempat orang yang jatuh terlentang itu segera berloncatan bangkit. Namun kepala mereka yang membentur lantai pendapa itu membuat mereka merasa pening. Sementara dua orang yang berada di depan memang mencoba juga untuk bangkit.
Tetapi wajah mereka mulai dibasahi oleh darah yang mengalir dari luka. Seorang di antara mereka telah melelehkan darah dari sela-sela bibirnya. Tiga giginya patah, sementara bibirnya menjadi pecah-pecah, sedang yang seorang lagi dahinya bukan saja menjadi memar, tetapi juga terluka dan menitikkan darah pula.
"Setan!" geram kawannya. Tetapi mereka tidak berani berlari memasuki ruang dalam. Ternyata raksasa yang berlari ke ruang dalam itu tidak mempergunakan senjatanya sendiri. Ia telah menyerang justru dengan selarak pintu.
Dengan hati-hati dua orang di antara mereka telah melintasi pintu. Mereka melihat ruang dalam itu kosong. Raksasa itu tentu sudah berlari dan bahkan mungkin bersembunyi. Di belakang mereka tiga orang yang lain mengikuti kedua orang kawannya, sedangkan dua orang yang terluka itu berada di paling belakang.
Sejenak kemudian tiba-tiba mereka terkejut. Mereka mendengar, jerit perempuan-perempuan yang berkumpul dibilik di belakang ruang dalam. Agaknya raksasa itu telah masuk ke dalam bilik perempuan-perempuan itu. Ketika orang-orang yang mengejar raksasa itu berlari ke arah bilik itu, mereka telah saling bertubrukan dengan beberapa orang perempuan yang berlari-larian keluar dari bilik itu.
Dari dalam bilik itu terdengar suara membentak-bentak, "Cepat keluar, atau aku bunuh kalian. Cepat sebelum aku kehilangan akal...”
Selanjutnya, Sang Penerus Bagian 20 |