Kiai Windu kusuma yang telah pernah bertempur melawan Kiai Gumrah tetapi tidak tuntas, harus mengakui bahwa orang yang mengaku dirinya anak Kiai Gumrah itu juga berilmu tinggi.
Karena itu, Maka Kiai Windu Kusuma pun harus mengerahkan segenap kemampuannya. Meskipun demikian orang yang bersenjata tombak itu masih belum dapat dikuasainya.
Nyi Prawara memang menjadi berdebar-debar menyaksikan pertempuran yang masih tersisa. Beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang telah menyelesaikan pertempuran di halaman itu bergeser perlahan-lahan mendekati arena. Dengan wajah yang tegang mereka melihat beberapa orang berilmu tinggi masih terlibat dalam pertempuran.
Namun mereka tidak langsung dapat ikut memasuki arena, karena hal itu justru akan mengecewakan mereka yang sedang bertempur itu sendiri. Nampaknya Ki Prawara ingin menyelesaikan lawannya sendiri. Apapun akibatnya. Pemimpin dari sekelompok orang yang menjadi landasan utama untuk mengambil pusaka-pusaka itu.
Sedangkan Kiai Gumrah yang bertempur melawan Kiai Kajar merupakan pertempuran di antara saudara seperguruan. Dilingkaran yang lain, Ki Pandi yang bongkok itupun telah bertempur dengan sengitnya melawan orang yang sudah lama diburunya.
Dalam keriuhan pertempuran itu, beberapa orang yang ada di halaman itu masih juga sempat mendengar aum harimau di luar dinding halaman. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi. Namun mereka sempat juga membayangkan beberapa orang yang melarikan diri dari halaman itu telah bertemu dengan dua ekor harimau di luar halaman.
Sementara itu Buta Ijo dan tiga orang saudara seperguruannya masih sibuk mengawasi orang-orang yang telah menyerahkan diri. Mereka yang menyerahkan diri itu telah dikumpulkan ditangga pendapa setelah mereka melepaskan senjata-senjata mereka.
Nyi Prawara yang menyaksikan suaminya masih bertempur dengan garangnya menjadi sangat tegang. Bahkan Winih- pun telah mengajak Manggada dan Laksana lebih mendekat, agar ia dapat melihat apa yang terjadi dengan ayahnya. Namun baik Nyi Prawara atau pun Winih yang tahu benar sifat Ki Prawara, sama sekali tidak berani mencampuri pertempuran itu.
Dalam ketegangan itu, mereka telah dikejutkan oleh umpatan kasar Kiai Kajar. Dengan serta merta Kiai Kajar itu meloncat beberapa langkah surut sambil memegangi pundaknya. Ternyata bahwa ujung tombak Kiai Gumrah telah berhasil menyentuh pundak orang itu. Kiai Kajar yang merasa jari-jarinya dihangati oleh darah di pundaknya itu menjadi semakin marah, rasa-rasanya jantungnya telah membara membakar seisi dadanya.
Namun Kiai Gumrah, saudara seperguruan Kiai Kajar memiliki landasan ilmu yang sama, sehingga seakan-akan apa yang akan dilakukan oleh Kiai Kajar, Kiai Gumrah sudah mengetahuinya. Demikian pula sebaliknya. Bahkan tataran ilmu mereka yang maningkat selapis demi selapis rasa-rasanya selalu membuat keseimbangan, sehingga sulit untuk menentukan siapakah yang akan menang dan kalah.
Tetapi di tangan Kiai Gumrah tergenggam tombak pusaka perguruan mereka, yang bahkan telah menyentuh pundak saudara seperguruannya itu. Meskipun di tangan Kiai Kajar, juga tergenggam senjata pilihan, tetapi ternyata melihat pusaka perguruannya di tangan Kiai Gumrah, ketahanan jiwani Kiai Kajar tergoyahkan pula.
Bagaimanapun juga ada perasaan bersalah yang menyelinap di dalam rongga dadanya karena ia telah berkhianat dengan memberikan beberapa keterangan tentang pusaka-pusaka yang nilainya sangat tinggi itu. Bukan saja sebagai barang warisan, tetapi karena pusaka-pusaka itu berlapis emas dan permata.
Namun sebenarnya Kiai Kajar telah menjadi kecewa ketika Panembahan itu menyatakan diri berhak atas pusaka itu pula. Bahkan panembahan itulah yang akan membuat pusaka-pusaka itu tetap bertuah dengan mencucinya dengan darah yang masih mengalir di dalam jantung.
Tetapi segala sesuatunya telah terlanjur. Ketika ia melihat pemimpin perguruan Susuhing Angin terlempar jatuh dan tidak bergerak lagi, maka ia justru berpengharapan bahwa ia akan dapat memenuhi keinginannya. Jika Panembahan itu dapat dikalahkan pula oleh lawannya, maka ia akan menjadi orang utama yang dapat memiliki pusaka-pusaka itu.
Saudara-saudara Kiai Gumrah yang hadir di halaman itu adalah saudara-saudara seperguruannya pula. Jika ia mampu mengalahkan Kiai Gumrah, seorang yang dianggap orang terpenting bersama-sama dengan dirinya sendiri dan juragan gula itu, maka saudara-saudara seperguruannya yang lain tentu akan tunduk pula kepadanya. Juragan gula itu sendiri nampaknya sudah menjadi sangat letih dan tidak berdaya. Yang kemudian harus dihancurkan adalah orang yang mengaku anak Kiai Gumrah itu bersama isterinya dan anak gadisnya.
"Setan!" geram Kiai Kajar "Mereka juga berilmu tinggi!”
Kenyataan-kenyataan itulah yang membuat hati Kiai Kajar kadang-kadang menjadi bimbang. Apalagi setiap kali ujung tombak di tangan Kiai Gumrah itu terayun di depan matanya. Pengaruh pusaka di tangan lawannya, kebimbangan dan, kenyataan yang dihadapinya, membuat perlawanan Kjai Kajar menjadi semakin goyah. Betapapun Kiai Kajar berusaha untuk tetap tegar dalam sikapnya, namun peletik kelemahan telah mewarnai hatinya pula.
Ternyata kelemahannya itulah yang menentukan akhir dari perlawanannya. Meskipun Kiai Kajar itu telah berusaha menghalau kegelisahannya itu dengan teriakan-teriakan yang menghentak-hentak, namun pertahanannya menjadi semakin goyah. Itulah sebabnya ketika kedua saudara seperguruannya itu sampai ke puncak ilmu mereka, maka kegelisahan di hati Kiai Kajar itu telah berpengaruh pula.
Baik Kiai Gumrah maupun Kiai Kajar dengan puncak ilmunya, justru tidak lagi meloncat-loncat dan berputaran. Mereka berhadapan dengan senjata mereka yang merunduk. Serangan-serangan yang mereka lakukan tidak lagi menghentak-hentak susul menyusul.
Pertempuran itu memang nampak menjadi semakin lamban. Tetapi ketika senjata mereka beradu, maka bunga api telah berloncatan ke udara. Mereka yang menyaksikan pertempuran itu mengerti, betapa besarnya tenaga mereka masing-masing.
Saudara-saudara seperguruan mereka yang sempat menyaksikan pertempuran itu menjadi sangat tegang. Bahkan jantung mereka terasa semakin cepat berdenyut ketika terdengar Kiai Kajar berteriak nyaring sambil mengayunkan senjatanya langsung mengarah ke kening Kiai Gumrah. Mereka melihat dan merasakan getar kekuatan tertinggi dari puncak ilmu perguruan mereka.
Kiai Gumrah pun menyadari bahwa Kiai Kajar ingin dengan cepat mengakhiri pertempuran itu. Karena itu, maka iapun telah berada di puncak kemampuannya pula. Ketika ayunan senjata Ki Kajar itu menyambar dengan kekuatan yang sangar besar. Maka Kiai Gumrah tidak berusaha untuk menangkisnya. Meskipun ia percaya akan kekuatan landean tombaknya, namun tenaga Kiai Kajar yang disertai dengan landasan ilmunya mungkin akan dapat mematahkan landean tombak yang terbuat dari kayu yang dihiasi dengan lapisan emas dan permata.
Karena itu, pada saat yang tepat, Kiai Gumrah telah bergeser selangkah, sehingga serangan yang dahsyat itu tidak mengenainya. Tetapi Kiai Kiajar pun melihat sikap itu. Dengan cepat, senjatanya yang terayun itu berputar. Untuk mengimbangi perubahan gerak senjatanya, Kiai Kajar telah bergeser ke samping.
Tetapi jantungnya bergetar ketika ia melihat ujung tombak itu dengan cepat bergetar di depan dadanya. Ujung tombak yang dihormatinya sejak ia berada diperguruannya, karena tombak itu adalah salah satu di antara lambang kebesaran guru dan perguruannya. Waktu yang sekejap itu ternyata telah menentukan. Pada saat ia bergeser ke samping itulah, maka ujung tombak itu tidak sekedar bergetar di depan dadanya. Tetapi ujung tombak itu telah mematuk dadanya.
Terdengar Kiai Kajar itu berteriak nyaring. Namun ketika Kiai Gumrah menarik tombaknya, maka Kiai Kajar itu-pun terhuyung-huyung sejenak. Darah memancar dari lukanya, sehingga membasahi pakaiannya. Tanpa dikehendakinya, maka senjata Kiai Kajar itu telah terlepas dari tangannya dan jatuh di tanah.
Beberapa orang saudara seperguruannya yang menyaksikan menahan nafas sejenak. Ketika mereka melihat Kiai Kajar itu tidak lagi mampu menguasai keseimbangannya, maka mereka pun segera berloncatan membantu menahan agar Kiai Kajar tidak jatuh terbanting di tanah.
Namun, Kiai Kajar memang sudah tidak berdaya. Darah bagaikan ditumpahkan dari luka-lukanya, sehingga karena itu, maka saudara-saudara seperguruannya telah membaringkannya perlahan-lahan.
Kiai Gumrah sendiri berdiri termangu-mangu. Di luar sadarnya ia memperhatikan tombaknya yang basah oleh darah segar yang masih mengalir di jantung. "Tidak...!" berkata Kiai Gumrah dalam hatinya. "Aku sama sekali tidak ingin mencuci ujung tombak ini dengan darah yang masih mengalir di Jantung.”
Sambil menarik nafas panjang, Kiai Gumrah itu melangkah mendekati Kiai Kajar yang terbaring dikerumuni oleh beberapa saudara seperguruannya. Tetapi mereka terkejut ketika mendengar teriakan nyaring yang menggetarkan halaman dan bahkan rumah yang besar itu.
Bukan sekedar teriakan marah. Tetapi hentakan ilmu yang sangat dahsyat yang dilontarkan Panembahan Lebdagati. Akibatnya memang luar biasa. Beberapa orang yang terluka, yang masih mungkin untuk mendapatkan penyembuhan, telah menggeliat dan jantungnya pun segera berhenti berdetak. Bahkan Kiai Kajar yang terluka parah itu telah menjadi semakin parah. Satu kalimat masih terucapkan.
"Saudara-saudaraku. Aku minta maaf atas kekhilafanku...”
"Kiai Kajar..." seorang dari saudara seperguruannya itu meraba tangannya. Tetapi tangan itu sudah tidak berdaya. Ketika yang lain meletakkan telinganya di dada, maka nafas Kiai Kajar telah berhenti.
Dalam pada itu, selagi seluruh perhatian seakan-akan tertumpah pada tubuh Kiai Kajar, maka terdengar Ki Pandi yang bongkok berteriak nyaring dengan suara wajarnya "Jangan lari...”
Semua orang berpaling. Sementara Ki Pandi melenting berlari mengejar Panembahan Lebdagati yang bagaikan terbang meloncati dinding halaman. Namun mereka pun melihat bayangan berikutnya menyusul. Ki Pandi.
Di luar dinding terdengar aum kedua ekor harimau Ki Pandi. Tetapi suaranya tidak lagi dekat di balik dinding. Bahkan ketika suara itu terdengar lagi, rasa-rasanya suara itu sudah menjadi semakin jauh.
Tidak seorang pun yang sempat membantu Ki Pandi menghentikan orang itu. Panembahan Lebdagati yang memang sejak semula tidak dapat mengalahkan Ki Pandi, ternyata telah gagal lagi. Apalagi ketika ia melihat beberapa orang yang berdiri di pihaknya telah berjatuhan. Demikian pula orang-orang yang datang dari berbagai perguruan itupun telah tidak berdaya lagi.
Panembahan Lebdagati agaknya merasa tidak akan banyak berarti jika ia mempergunakan ilmu pamungkasnya, karena Ki Pandi tentu akan dapat mengimbanginya. Sehingga karena itu, ketika terbuka kesempatan, maka lebih baik ia meninggalkan neraka yang sangat menyakitkan. Di halaman rumah itu ternyata telah berkumpul orang-orang berilmu tinggi yang berusaha mempertahankan pusaka-pusaka yang diingininya itu. Satu kekuatan yang sebenarnya di luar dugaannya.
Sepeninggal Panembahan dan Ki Pandi, maka pertempuran yang tersisa tidak banyak berarti lagi. Meskipun demikian, Kiai Windu Kusuma yang masih bertempur melawan Ki Prawara tetap tidak mau menyerah.
Kiai Gumrahlah yang kemudian sambil memegangi tombaknya melangkah mendekat. Dengan suara yang bergetar Kiai Gumrah itupun berkata, “Kiai Windu Kusuma. Sebaiknya kau menyerah saja. Kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mempertahankan diri. Bukan saja karena kau tidak akan dapat mengalahkan Prawara, tetapi kau sudah dikelilingi lawan-lawanmu. Kawan-kawanmu telah terbunuh kecuali Panembahan yang licik itu. Tetapi iapun akan segera dapat dibinasakan oleh Ki Pandi dan harimau-harimaunya!”
"Persetan kau Gumrah. Jika kau takut orang ini mati, lakukan apa yang ingin kau lakukan.” geram Kiai Windu Kusuma. Bahkan katanya kemudian, "Jika kalian merasa perlu untuk meramai-ramai mengeroyokku, aku sama sekali tidak akan gentar.”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Kiai Windu Kusuma justru menyerang Ki Prawara dengan garangnya. Kerisnya yang besar itu berputaran dan menggapai-gapai dada lawannya. Sambil meloncat maju Kiai Windu Kusuma mengayunkan kerisnya kemudian menusuk ke arah lambung.
Dengan tangkas Ki Prawara mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Namun Ki Prawara pun melihat betapa Kiai Windu Kusuma menjadi kehilangan pengamatan diri. Sekali-sekali oleh cahaya oncor yang lemah, Ki Prawara sempat melihat sorot mata Kiai Windu Kusuma yang menjadi liar.
"Ki Sanak!" berkata Ki Prawara kemudian sambil meloncat mundur. Namun ketika Kiai Windu Kusuma akan memburunya sambil mengayunkan kerisnya, maka ujung tombak Ki Prawara telah merunduk tepat diarah dada. Tetapi Ki Prawara menjadi ragu-ragu untuk mendorong tombaknya menghujam ke dada Kiai Windu Kusuma yang nampaknya telah berputus asa itu. Bahkan Ki Prawara telah meloncat selangkah mundur sambil berkata, "Kau tidak mempunyai kesempatan lagi Ki Sanak!”
Tetapi Kiai Windu Kusuma tertawa. Katanya, "Kenapa kau tidak menusuk jantungku? Ki Sanak, Apakah kau tidak berani melihat darah atau kau sengaja menghina aku?"
"Menyerahlah!" berkata Ki Prawara "Apakah artinya pertempuran ini? Seandainya salah seorang dari kita mati, tidak akan menimbulkan perubahan apapun juga. Pusaka-pusaka itu masih akan tetap di tangan Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya. Rumah ini akan tetap saja hancur dan orang-orang yang telah terbunuh tidak akan bangkit kembali.”
"Persetan!" teriak Kiai Windu Kusuma sambil meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi Ki Prawara sempat mengelak. Sementara itu Kiai Gumrah telah melangkah semakin dekat sambil, berkata, "Berhentilah...”
"Setan tua kau Gumrah. Jika kau akan ikut, ikutlah...” teriak Kiai Windu Kusuma.
"Kau tidak boleh menjadi kehilangan akal, Kiai. Kita masih mempunyai mulut untuk berbicara.” Kiai Gumrah hampir berteriak.
Namun yang tidak terduga telah dilakukan Kiai Windu Kusuma. Ketika Kiai Gumrah berdiri tidak terlalu jauh dari arena untuk mencoba melerai pertempuran itu, tiba-tiba saja Kiai Windu Kusuma telah meloncat meninggalkan Ki Prawara justru menyerang orang tua itu.
Yang menyaksikan serangan itu memang terkejut. Nyi Prawara justru sempat berteriak, "Ayah...!”
Kiai Gumrah juga menjadi terkejut sekali. Justru karena itu, maka ia tidak dapat mengendalikan nalurinya untuk menyelamatkan diri. Karena itu, ketika ia melihat Kiai Windu Kusuma meloncat sambil mengayunkan kerisnya dengan membabi buta, maka Kiai Gumrah telah mengangkat ujung tombaknya. Bahkan Kiai Gumrah tidak sempat mengekang tangannya yang mendorong ujung tombak itu menghujam ke dalam dada Kiai Windu Kusuma. Apa yang tidak dapat dilakukan oleh Ki Prawara ternyata terpaksa dilakukan Kiai Gumrah.
Terdengar Kiai Windu Kusuma berteriak nyaring. Namun suaranya kemudian bagaikan menggantung diawan. Semakin tinggi, semakin tinggi, sehingga bersamaan dengan tubuhnya yang terguling jatuh di tanah setelah Kiai Gumrah menarik ujung tombaknya dengan tangan yang gemetar, maka suara Kiai Windu Kusuma itupun menjadi semakin lambai. Yang terdengar kemudian adalah umpatannya yang terakhir.
"Kau memang iblis, Gumrah...!”
Kiai Gumrah tidak menjawab. Namun ia berdiri temangu-mangu memandang tubuh yang terbaring diam itu. "Aku tidak dapat berbuat lain.” desis Kiai Gumrah yang menyesal bahwa orang terakhir itu harus dibunuhnya pula.
Ki Prawara menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apa boleh buat!”
"Aku terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba itu..." desis Kiai Gumrah.
"Ya" Juragan gula yang sudah mendapatkan kekuatannya kembali setelah beberapa saat ia mengalami keletihan itu menyahut. "Kami tidak dapat menyalahkan kau, Kiai...”
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dipandanginya ujung tombaknya yang telah dibasahi lagi dengan darah yang masih mengalir di jantung di luar kehendaknya sendiri.
Demikian, sesaat kemudian orang-orang berilmu tinggi itupun telah berkumpul. Kiai Gumrah minta agar saudara-saudara seperguruannya mengumpulkan sisa orang-orang dari beberapa perguruan yang ada di halaman itu yang telah menyerah dan yang masih sanggup untuk berjalan ke depan tangga pendapa rumah Kiai Windu Kusuma. Selain itu maka semua saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah pun telah diminta berkumpul pula. Yang terluka parah, telah dibantu oleh saudara-saudaranya berkumpul di pendapa. Kiai Gumrah harus meyakinkan keadaan semuanya.
Tiga batang tombak dan songsong milik Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah berkumpul di pendapa itu pula. Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya itu terkejut ketika terdengar pintu pringgitan terbuka. Ketika mereka berpaling dilihatnya seorang yang muncul dari balik pintu pringgitan itu.
Beberapa orang serentak bangkit berdiri dengan senjata terhunus menghadap orang yang melangkah memasuki pringgitan dari ruang dalam itu. Tetapi Kiai Gumrahlah yang kemudian mendekatinya. Di bawah cahaya lampu di pendapa itu. Kiai Gumrah melihat, bahwa yang datang itu adalah Kundala.
"Kau Kundala..." desis Kiai Gumrah.
"Ya, Kiai..." sahut orang itu.
"Di mana kau selama pertempuran berlangsung?" bertanya Kiai Gumrah.
"Aku berada di atas langit-langit di ruang dalam. Aku tidak tahu harus berbuat apa.” jawab Kundala.
"Marilah, duduklah. Kita akan berbicara.” berkata Kiai Gumrah kemudian.
Kundala pun kemudian duduk di pendapa bersama Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya. Sementara itu suasana di halaman rumah yang luas itu terasa sangat mencengkam. Di sana-sini tergolek tubuh yang berdarah. Di antara mereka masih terdengar ada yang sedang mengerang kesakitan. Karena itu, maka Kiai Gumrah yang duduk di pendapa itupun kemudian berkata kepada saudara-saudara seperguruannya.
“Sebaiknya kita berbuat sesuatu atas mereka yang terluka. Bukan saudara-saudara kita saja yang akan mendapat perawatan, tetapi semuanya sejauh kita dapat melakukan. Karena itu kita dapat minta bantuan mereka yang telah menyerah, untuk mengumpulkan kawan-kawannya serta membantu merawat mereka. Namun kita harus mengawasi pelaksanaannya dengan sebaik-baiknya.”
Dengan demikian, maka beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah pun segera bangkit dan melangkah turun tangga pendapa, mendekati orang-orang yang telah menyerah, yang ada di halaman rumah itu. Dengan pengawasan saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah, maka orang-orang yang menyerah itu mendapat tugas untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah terbunuh dalam pertempuran itu.
Sementara itu langit menjadi merah oleh cahaya fajar, Regol halaman yang sudah terbuka itu justru ditutup kembali. Meskipun rumah itu tempatnya terpisah dari padukuhan-padukuhan, namun mereka harus tetap menghindari kemungkinan-kemungkinan akan ada orang lain yang melihat apa yang telah terjadi di halaman rumah yang luas yang menurut penglihatan orang-orang padukuhan regolnya selalu tertutup.
Namun disamping mereka yang terbaring di halaman, ternyata ketika salah seorang saudara seperguruan Kiai Gumrah membawa dua orang yang sudah menyerah itu keluar regol, mereka telah menemukan dua sosok tubuh yang agaknya telah dikoyak-koyak oleh kedua ekor harimau Ki Pandi. Agaknya kedua orang itu berusaha untuk melarikan diri dengan meloncati dinding, namun harimau Ki Pandi itu sempat melihatnya dan kemudian menerkamnya. Pekerjaan itu belum selesai sampai saatnva matahari terbit.
Sementara itu, Kiai Gumrah, juragan gula, Ki Prawara yang duduk di pendapa bersama Kundala tengah mengadakan pembicaraan tersendiri. Di sisi lain Nyi Prawara, Winih, Manggada dan Laksana Nampak termenung merenungi pengalaman yang sangat berkesan di hati mereka. Mereka mengucap sukur dalam hati, bahwa mereka masih mendapat perlindungan dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sehingga mereka selamat dari bencana yang telah mencengkam seisi rumah dan halamannya itu.
Manggada dari Laksana yang sejak semula sudah merasa dirinya kecil, maka mereka merasa menjadi semakin kecil. Keduanya sama sekali tidak dapat ikut berbuat, sesuatu ketika terjadi pertempuran yang menentukan, justru di lingkungan kekuasaan lawan yang jumlahnya jauh lebih besar dari jumlah saudara-saudara seperguruan Kiai. Gumrah.
Namun Nyi Prawara tidak dapat terlalu lama beristirahat. Bersama dua orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang lain, maka Nyi Prawara pun telah membantu merawat saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah. Bahkan sejauh jangkauan mereka, mereka juga berusaha menolong para pengikut dari mereka yang ingin merampas pusaka-pusaka itu dari tangan Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya, setelah mereka dikumpulkan di pendapa.
Dalam pada itu, Kiai Gumrah yang secara khusus berbicara dengan Kundala, telah menanyakan kepadanya, apakah Kundala bersedia untuk mengambil alih pimpinan di rumah itu.
"Aku tidak yakin, bahwa orang-orang yang tersisa itu akan bersedia menerima aku." berkata Kundala.
"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Meskipun Kiai Windu Kusuma sampai saat terakhir masih belum mengetahui, bahwa aku telah mengkhianatinya, namun kepercayaan Kiai Windu Kusuma kepadaku sudah jauh menyusut. Bukan karena ia mencurigai aku bahwa aku tidak setia, tetapi kemampuanku dianggap kurang memadai.”
"Tetapi sebagaimana kau lihat, tidak ada orang lain lagi di rumah yang besar ini. Kecuali itu, maka kami akan selalu membantumu jika terjadi sesuatu di rumah ini.”
Kundala menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia memandang berkeliling. Ia sempat melihat orang-orang yang tinggal di rumah itu seakan-akan telah kehilangan dirinya. Yang nampak hanya ujud-ujud kewadagannya saja. Tidak lagi membayangkan keperkasaan mereka. Apalagi mereka yang terluka, terbaring sambil menahan desah kesakitan, sementara. yang menyerah dalam keadaan yang utuh dan sedang mengumpulkan orang-orang yang terluka, tidak lagi berani mengangkat wajah mereka. Sedangkan yang mengawasi mereka hanyalah beberapa orang yang jumlahnya jauh lebih kecil.
"Jika kau bersedia, Kundala, maka aku akan berbicara dengan orang-orang itu. Sudah tentu bahwa kami tidak akan tinggal di sini untuk selanjutnya. Mungkin hari ini kami masih akan berada di sini. Tetapi mungkin pula besok kami sudah akan pergi."
Kundala ternyata ragu-ragu. Namun Kiai Gumrah, juragan gula dan Ki Prawara telah membesarkan hatinya. Dengan nada rendah Ki Prawara berkata,
"Kundala, orang-orang itu telah kehilangan keberanian untuk berbuat sesuatu. Bahkan untuk bersikap di dalam hati pun seperti itu, harus tampil seseorang. Kundala, jika kau ingin melahirkan, perubahan tata kehidupan di lingkungan mereka, sekarang adalah waktunya. Jangan beri kesempatan mereka untuk membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Kau harus mengajukan satu ujud tatanan kehidupan yang masuk akal dan dapat mereka cerna dengan panalaran. Pada kesempatan ini kau dapat menawarkan pola masa depan yang penuh harapan bagi mereka.”
Kundala menarik nafas dalam-dalam. Sementara juragan gula itu berkata pula, "Kau satu-satunya pilihan kami. Bagaimanapun juga kami masih melihat, bahwa kau masih sempat berpaling pada hati nuranimu justru di saat yang paling gawat.”
Kundala menundukkan kepalanya. Namun akhirnya ia berdesis "Aku akan mencobanya!”
"Bagus!" berkata Kiai Gumrah. "Aku akan berbicara nanti dengan orang-orang yang masih tertinggal di sini darimana pun mereka datang.”
“Tetapi bagaimana dengan Panembahan yang sempat melarikan diri itu?" bertanya Kundala.
"Ia tidak akan banyak mendapat kesempatan." berkata Kiai Gumrah "Orang bongkok itu tentu akan selalu membayanginya!”
Kundala mengerutkan dahinya. Namun Kiai Gumrah sempat menjelaskan, bahwa Ki Pandi agaknya tidak akan pernah melepaskan orang yang menyebut dirinya Panembahan itu.
"Jika Panembahan itu pada suatu saat datang kemari, maka Ki Pandi pun tentu akan datang pula kemari” berkata Kiai Gumrah.
Kundala mengangguk-angguk sambil berdesis. "Semoga aku dapat memikul beban ini, Kiai...”
"Kau akan dapat melakukannya. Bukankah kami tidak berada terlalu jauh dari tempat ini?”
Kundala mengangguk sambil menjawab "Terima kasih Kiai. Mudah-mudahan kami akan dapat mulai dengan satu bentuk kehidupan baru. Tentu saja yang lebih baik dari masa yang lalu...”
"Kalian harus berani memasuki satu tatanan yang barangkali sangat berbeda dengan tatanan kehidupan yang pernah kalian jalani sebelumnya. Tetapi dengan satu keyakinan, bahwa kalian akan dapat melakukannya” berkata juragan gula itu.
Kundala tidak menjawab. Namun matanya menerawang jauh meloncati dinding halaman rumah yang besar itu.
Hari itu, di rumah itu telah dilakukan satu kesibukan yang luar biasa. Semua orang telah dikerahkan untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang memerlukan perawatan. Bahkan Nyi Prawara rasa-rasanya tidak sempat lagi untuk beristirahat. Namun hari itu juga telah digali lubang-lubang kubur jauh dibagian belakang kebun yang paling jauh dari rumah yang besar dan berhalaman luas itu.
Hal itu terpaksa dilakukan karena Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya tidak ingin menarik perhatian orang-orang yang tinggal di padukuhan terdekat dari rumah itu. Jika mereka membawa tubuh-tubuh orang yang terbunuh di halaman itu ke kuburan, maka tentu akan mengundang banyak sekali pertanyaan.
Sementara itu, Kundala telah memerintahkan beberapa orang perempuan yang memang terbiasa bekerja di dapur untuk melakukan pekerjaan mereka, tetapi perempuan-perempuan itu, tidak dapat menolak. Mereka harus keluar dari persembunyian mereka di dalam rumah yang besar itu dan masuk ke dalam dapur yang luas. Sedangkan persediaan bahan makanan di rumah itu cukup banyak dan akan mencukupi untuk waktu yang panjang.
Tetapi perempuan-perempuan lain, yang tidak termasuk perempuan baik-baik dan bukan pula perempuan yang sehari-harinya memang dipekerjakan di rumah itu telah dikumpulkan disatu ruang yang khusus. Kundala memang berniat untuk menyingkirkan mereka dari rumah itu.
Atas desakan Kiai Gumrah, maka para penghuni rumah itu yang tersisa dan menyerah, telah menerima Kundala memimpin mereka. Meskipun Kundala bukan termasuk salah seorang pemimpin yang tataran ilmunya sejajar dengan Kiai Windu Kusuma, namun ternyata Kundala mempunyai kekuatan yang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gumrah, maka kesempatan itu memang dipergunakan sebaik-baiknya untuk memberikan pola kehidupan yang baru bagi orang-orang yang tersisa di rumah itu.
Kiai Gumrah ternyata berada di rumah itu tidak hanya sehari. Bersama dengan saudara-saudara seperguruannya, mereka diminta untuk tinggal dua tiga hari lagi sampai keadaan menjadi tenang. Goncangan yang terjadi benar-benar telah menikam ke dalam setiap jantung dari para penghuni rumah itu.
Ternyata tawaran Kundala tentang pola tatanan kehidupan yang baru telah menarik perhatian para penghuni rumah itu yang tersisa. Apalagi Kundala telah menunjuk sawah, ladang dan pategalan yang sangat luas, milik Kiai Windu Kusuma yang akan dapat menjadi ladang kehidupan mereka kemudian selain usaha lain dengan cara yang lebih baik dari cara yang pernah mereka tempuh.
Dalam waktu tiga hari, maka keadaan rumah itu telah mulai tenang kembali. Meskipun di sana-sini masih terbaring orang-orang yang lukanya, terhitung parah. Bahkan ada di antara. mereka yang terpaksa menyusul kawan-kawannya yang tubuhnya telah terbaring di kebun belakang dari rumah yang besar itu.
Selama, berada di rumah itu, Manggada dan Laksana setiap kali diajak Winih untuk ikut mengawasi perempuan-perempuan yang bekerja di dapur. Namun agaknya tugas itu tidak begitu menyenangkan bagi Manggada dan Laksana. Hanya karena Winih yang mengajak mereka, maka mereka tidak menolak. Apalagi keduanya memang tidak tahu, apa yang sebaiknya mereka lakukan di rumah itu.
Tetapi ketika keadaan menjadi semakin tenang, serta tatanan baru mulai disusun oleh Kundala dan dua orang yang ditunjuknya, maka Manggada dan Laksana merasa bahwa kehadiran mereka sama sekali sudah tidak diperlukan lagi. Karena itu, maka keduanya telah mulai membicarakan kepentingan mereka sendiri.
"Kapan kita akan meneruskan perjalanan kita?" bertanya Manggada.
Laksana mengangguk kecil. Katanya "Kita memang tidak diperlukan lagi di sini.”
"Baiklah. Kita akan berbicara dengan kakek” desis Manggada kemudian.
"Kakek siapa?" bertanya Laksana.
Manggada tersenyum. Tetapi ia masih juga bertanya. "Apakah kau akan berbicara juga dengan Winih?”
"Ah kau. Winih memang cantik. Tetapi ia terlalu garang.”
Keduanya tertawa. Sementara Manggada berkata, "Kita menunggu sampai Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya meninggalkan rumah ini, tetapi kita langsung melanjutkan perjalanan kita yang tertunda-tunda.”
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata sampai saat terakhir kita tetap tidak mengetahui dengan pasti, siapakah orang-orang yang setiap hari ada disekeliling kita. Kita juga tidak tahu pasti tentang pusaka-pusaka yang disimpan oleh Kiai Gumrah.”
"Ya. Kita telah melihat satu dunia yang seakan-akan dibatasi oleh tabir yang tipis. Kita memang dapat melihat tembus, tetapi tidak jelas.” gumam Manggada.
Namun di malam hari, ketika Kiai Gumrah dan saudara-saudara perguruannya duduk di pendapa membicarakan rencana mereka meninggalkan rumah itu, telah dikejutkan oleh kehadiran Ki Pandi. Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya mengira bahwa Ki Pandi tidak akan secepat itu, datang kembali mengunjungi mereka.
Kiai Gumrah pun kemudian mempersilahkan Ki Pandi untuk duduk bersama mereka di pendapa. Dengan singkat Ki Pandi menceriterakan bahwa ia tidak berhasil menemukan Panembahan Lebdagati malam itu. Namun Ki Pandi pun berkata,
"Tetapi aku yakin, bahwa aku akan dapat membayanginya di hari-hari mendatang. Panggraitaku akan dapat menjadi penunjuk yang dapat dipercaya untuk membayangi Panembahan itu.”
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Kami berharap demikian, agar Panembahan itu tidak akan mengacaukan pola tatanan kehidupan baru yang sedang disusun di rumah ini.”
Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya "Aku bersukur bahwa goncangan di rumah ini telah dapat menumbuhkan sesuatu yang berarti. Jika orang-orang yang tersisa itu dapat menemukan jalan yang baru itu adalah karena kalian telah melakukan sesuatu yang bukan saja berarti bagi kalian sendiri. Ternyata akibatnya bukan sekedar mempertahankan pusaka-pusaka itu, tetapi satu perubahan sikap hidup bagi banyak orang.”
"Kita memang harus mensukurinya, Ki Pandi.”
"Itulah sebabnya aku datang kembali. Ketika aku meninggalkan rumah ini, aku belum sempat mengucapkan selamat atas keberhasilan kalian.” berkata Ki Pandi.
“Tetapi itu juga karena bantuan Ki Pandi. Bukan hanya saat kami datang ke rumah ini, tetapi juga sejak jauh sebelumnya. Tanpa kehadiran kedua ekor harimau itu, maka sulit bagi kami untuk mempertahankan pusaka-pusaka itu di rumahku sebelum saudara-saudaraku berkumpul.”
Ki Pandi menggeleng. Katanya. "Tidak. Kalian mempunyai kekuatan cukup untuk mempertahankan pusaka itu saat ini.”
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Pandi berkata selanjutnya. "Tidak ada seorang pun, bahkan sekelompok orang-pun yang akan dapat mengambil pusaka-pusaka itu dari kalian sekarang, selagi kalian masih lengkap atau setidak-tidaknya sebagian besar dari kalian.”
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya mulai merenungi kata-kata Ki Pandi yang berkata seterusnya. "Tetapi aku yakin, bahwa tidak selamanya kalian dapat berkumpul seperti ini. Sebagaimana berlaku bagi setiap yang hidup, maka satu demi satu kalian tentu akan pergi. Hingga pada suatu saat, maka pusaka-pusaka itu tidak akan ada lagi yang dapat mempertahankannya jika seseorang atau sekelompok orang berusaha untuk memilikinya. Bahkan mungkin sekelompok orang yang bermaksud buruk. Apakah karena pusaka-pusaka itu dianggap bertuah atau karena pusaka-pusaka itu dibalut dengan bahan yang sangat mahal.”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai meraba arah bicara Ki Pandi yang bongkok itu. Dengan nada dalam ia berkata, "Jadi, menurut Ki Pandi, apa yang sebaiknya kami lakukan?”
"Kiai..." sahut Ki Pandi "Menurut penglihatanku, kalian yang mempertahankan pusaka-pusaka itu rata-rata sudah seumur dengan aku. Berapa tahun lagi kalian masih dapat bertahan. Lima tahun, atau sepuluh tahun atau berapa? Kalian sekarang dapat berbangga atas keutuhan kalian sebagai saudara-saudara seperguruan. Seakan-akan tidak akan ada kekuatan yang dapat memecahkan hubungan kalian yang satu dengan yang lain. Tetapi kalian tidak sempat memikirkan, bahwa saat itu akan datang juga. Satu demi satu kalian akan tidak ada lagi.”
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya mulai mengerutkan kening mereka. Kata-kata Ki Pandi itu. mulai menyentuh jantung mereka.
"Kiai..." berkata Ki Pandi kemudian "Yang ingin aku tanyakan kepada Kiai dan saudara-saudara seperguruan Kiai, apakah Kiai pernah memikirkan, siapakah yang akan meneruskan tugas Kiai menjaga pusaka-pusaka warisan yang nilainya sangat tinggi itu? Kiai tentu tidak akan dapat selalu berbangga karena Kiai dan saudara-saudara seperguruan Kiai masih mampu mempertahankannya. Kiai, coba marilah kita lihat, yang umurnya masih terhitung muda di sini hanyalah anak, menantu dan seorang cucu Kiai. Tetapi apakah mereka kemudian akan mampu melindungi pusaka-pusaka itu sebagaimana Kiai dan saudara-saudara seperguruan Kiai sekarang ini?”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku mengerti Ki Pandi. Pertanyaan Kiai telah membuka hati kami...”
"Nah..." berkata Ki Pandi selanjutnya "Nampaknya masih ada waktu. Kalian harus menyusun kekuatan untuk meneruskan tugas kalian menjaga pusaka pusaka itu. Satu angkatan penerus yang setidak-tidaknya memiliki kemampuan sebagaimana kalian yang sudah tua-tua itu.”
"Aku mengerti Ki Pandi..." Kiai Gumrah masih mengangguk-angguk "Selama ini kami memang terlalu berbangga akan diri kami sendiri. Kami memang merasa bahwa kami merupakan satu kekuatan yang sulit untuk dapat ditundukkan. Tetapi kami memang melupakan masa depan sebagaimana yang Ki Pandi katakan...”
"Kiai. Aku sangat kagum melihat kemampuan gadis cucu Kiai itu. Dengan demikian maka akan mempunyai gambaran, bahwa kalian akan dapat menyusun satu angkatan penerus sebagaimana Winih yang telah ditempa menjadi seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Meskipun pengalamannya masih belum terlalu banyak, tetapi agaknya penalarannya lebih banyak membantunya. Nah, Kiai..." berkata Ki Pandi pula "Kiai dan saudara-saudara seperguruan Kiai harus segera mulai...”
Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia memandangi saudara-saudara seperguruannya yang duduk di sekitarnya sambil berkata, "Bagaimana pendapat kalian?"
Juragan gula itulah yang menyahut. "Aku sependapat dengan Ki Pandi. Selama ini kita memang terlalu berbangga akan diri kita sendiri. Bahkan sampai hari ini. Kita berbangga bahwa kita dapat mempertahankan pusaka-pusaka warisan serta lambang dari perguruan kita. Sehingga kita tenggelam dalam kebanggaan itu. Tetapi kita memang tidak dapat berpikir bagaimana yang akan terjadi jika lima tahun lagi, atau sepuluh tahun lagi, keadaan seperti ini akan terulang. Sementara, orang lain menyusun kekuatan untuk mulai dengan langkah-langkah baru...”
Orang yang selalu-menyebut dirinya berilmu tinggi itupun berkata sambil mengusap-usap lukanya yang masih terasa pedih "Ya. Kita sekarang mampu melawan orang yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah kita. Kita dapat mengurangi jumlah mereka seorang demi seorang dengan cara kita. Namun suatu saat, jumlah kitalah yang akan dikurangi seorang demi seorang.”
Seorang yang lain pun berkata, "Apakah kita dapat menghentikan laju umur kita yang memanjat dari tahun ketahun?"
Kiai Gumrah tersenyum. Katanya sambil mengangguk-angguk. "Ya. Kita lupakan masa depan kita...” Tetapi suaranya kemudian meninggi. "Saudara-saudaraku. Aku sendiri telah menyiapkan pilar penyangga masa depan itu. Aku punya Prawara, isterinya dan cucu-cucuku. Nah, bagaimana dengan kalian?"
Buta Ijo itu bergumam hampir kepada dirinya sendiri “Cucu-cucumu. Berapa jumlah cucumu?"
"Tiga..." jawab Kiai Gumrah "Seorang perempuan dan dua orang laki-laki...”
Tiba-tiba saja semua orang berpaling kepada Manggada dan Laksana. Sementara Manggada dan Laksana sendiri menjadi bingung. Namun Kiai Gumrah itupun berkata, "Sebenarnya aku memang pernah berbicara tentang pendukung masa depan. Aku juga pernah berbicara dengan kedua cucu laki-lakiku itu. Sekarang aku ingin menegaskan, bahwa keduanya akan termasuk menjadi penerus dari perguruan kita.”
Manggada dan Laksana menjadi bingung. Sementara Kiai Gumrah itupun berkata kepada saudara-saudara seperguruannya, "Tetapi sudah tentu bahwa kalian juga berkewajiban untuk menyiapkannya. Mungkin anak atau cucu kalian masing-masing. Suatu ketika mereka akan kita kumpulkan agar mereka saling mengenal sehingga mereka akan terikat dalam satu lingkaran persaudaraan sebagaimana kita sendiri...”
“Baiklah" berkata Kiai Padma yang lebih dikenal sebagai juragan gula itu "Aku juga berjanji akan ikut mendukung masa depan itu dengan menyiapkan penerus yang akan menjadi pengawal bagi masa depan. Tanpa mereka kita memang tidak berarti apa-apa. Apa yang kita pertahankan dengan penuh kebanggaan sekarang ini, tidak lebih dari satu mimpi buruk!”
Seorang yang lebih banyak mengantuk itupun berkata, "Kita terlalu asyik dengan kebanggaan kita sendiri. He, bagaimana jika ada di antara kita tidak mempunyai anak seperti orang berkumis tidak rata itu?”
"Siapa bilang..." jawab orang yang disebut berkumis tidak rata. "Aku mempunyai lebih dari selusin anak meskipun anak tetangga. Tetapi aku dapat memilih yang terbaik di antara mereka.”
"Baiklah..." bakata Kiai Gumrah "Hari ini kita berjanji untuk segera mulai dengan mempersiapkan masa depan itu.”
Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana menjadi gelisah. Mereka tidak akan dapat terikat dengan rencana itu, dengan memaksa diri Manggada berkata, "Kiai. Kami berdua mohon maaf. Kecuali kami berdua merasa sama sekali tidak berarti di sini. kami pun masih mempunyai kepentingan yang lain. Sejak kami meninggalkan rumah paman, kami belum pernah sampai ke rumah ayah. Jika suatu hari paman berkunjung ke rumah ayah dan kami belum ada di rumah, maka ayah tentu akan menjadi gelisah.”
Kiai Gumrah mengerutkan dahinya. Katanya "Bukankah kalian sudah menyatakan keinginan kalian untuk tinggal bersama kami?"
"Waktu itu memang demikian!" jawab Manggada "Tetapi betapa bodohnya kami, bahwa kami merasa akan dapat membantu Kiai...”
"Pada suatu hari kau akan kami antar pulang dan sekaligus minta kepada orang tua kalian bahwa kalian akan berada di lingkungan kami...” berkata Kiai Gumrah.
"Terima kasih Kiai. Tetapi sebaiknya kami pulang lebih dahulu!” suara Manggada merendah.
Ki Pandi-lah yang kemudian menyahut. "Jika demikian, biarlah aku menemani anak-anak ini. Aku sudah kenal mereka sejak lama. Aku akan mengantarnya pulang. Suatu ketika aku akan membawa mereka kembali kepada kalian.”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Sementara Winih yang duduk di sebelah anak-anak muda itu bertanya. "Kalian akan meninggalkan kami?”
"Orang tua kami akan kehilangan kami, jika kami tidak pulang" jawab Manggada.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya. "Tetapi ingat anak-anak. Kalian adalah cucu-cucuku!”
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Mereka pun sebenarnya merasa sangat berat untuk meninggalkan Kiai Gumrah. Meskipun mereka tahu bahwa mereka tidak berarti apa-apa bagi orang tua itu, namun selama ia berada di rumah Kiai Gumrah, maka ia memang merasa seolah-olah tinggal di rumah sendiri. Bahkan setelah anak dan menantu Kiai Gumrah beserta Winih datang, hubungan mereka dengan keluarga Kiai Gumrah itu menjadi semakin akrab. Bahkan Manggada dan Laksana kadang-kadang sering lupa dan merasa bahwa mereka memang bagian dari keluarga itu.
Namun akhirnya Kiai Gumrah pun telah melepasnya pula. Juragan gula yang sudah akrab pula dengan kedua orang anak muda itu, bahkan beberapa orang yang lain, juga ikut menyesalkan kepergian Manggada dan Laksana. Namun mereka memang tidak dapat menahannya tanpa memperhatikan kepentingan anak-anak muda itu sendiri. Meskipun demikian, kedua anak muda itu masih diminta untuk singgah di rumah Kiai Gumrah sebelum mereka benar-benar meninggalkan keluarga itu.
Demikianlah, maka keesokan harinya, Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya itupun telah meninggalkan Kundala yang nampaknya mulai dapat menguasai orang-orang yang masih tersisa di rumah itu. Kepada mereka Kiai Gumrah berkata,
"Ikutilah jejak langkah Kundala. Jika kalian berjanji, maka kami tidak akan melaporkan kegiatan kalian kepada Senapati Pajang yang mendapat tugas di daerah ini. Tetapi jika kalian berkeras dengan cara hidup kalian sebelumnya, maka akan datang gilirannya pasukan Pajang menghancurkan kalian.”
Wajah-wajah yang suram itu hanya dapat menunduk. Namun kata-kata Kiai Gumrah itu meresap di hati mereka.
Ternyata bahwa saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu akan langsung pulang ke rumah masing-masing. Hanya mereka yang masih belum sembuh dari luka-lukanya, akan diantar oleh saudara seperguruan yang terdekat. Dua orang yang lukanya masih agak parah, akan dibawa lebih dahulu ke rumah Kiai Gumrah.
Demikian pula pusaka-pusaka yang telah berhasil mereka pertahankan itu akan tetap disimpan di rumah Kiai Gumrah untuk sementara, sebelum mereka mengambil keputusan lain, karena tempat itu sudah menjadi tidak tenang lagi.
Ketika Kiai Gumrah dan keluarganya serta kedua orang saudara seperguruannya yang terluka itu sampai di rumah, mereka menjadi heran. Dua orang yang tertangkap dan ditahan di rumah itu ternyata masih tetap menunggu. Ketika pengaruh ketukan jari-jari Kiai Gumrah telah mengendur, sehingga keduanya terbangun, keduanya tidak berniat untuk melarikan diri. Ternyata mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat hidup lagi tanpa perlindungan Kiai Gumrah.
"Baiklah. Besok kau akan kami serahkan kepada Kundala yang sekarang memimpin kawan-kawanmu di rumah Kiai Windu Kusuma...” berkata Kiai Gumrah kepada mereka.
Namun dalam pada itu. Manggada dan Laksana benar-benar akan meninggalkan rumah itu. Betapa beratnya hati keluarga Kiai Gumrah, namun mereka harus melepas mereka. Meskipun demikian mereka merasa berbesar hati bahwa Ki Pandi akan membawa mereka sampai kepada orang tua mereka dan ke!ak, akan membawa mereka kembali kepadanya. Kedua anak muda itu diharapkan akan dapat menjadi bagian dari penerus yang akan mengawal lambang kehadiran mereka.
Winih melepas kedua orang anak muda itu dengan mata yang basah. Banyak kesan yang tertinggal di hatinya tentang kedua anak muda itu. Setiap kali Winih masih memperbandingkan keduanya dengan Darpati yang hampir saja merampas hatinya sehingga ia akan dapat kehilangan pribadinya.
Manggada yang sudah siap untuk berangkat itu berkata,, "Aku kagumi kau Winih. Kami berdua bukan apa-apa dipandangan matamu!”
"Kalian salah mengerti kakang...” jawab Winih. "Aku bangga terhadap kalian berdua. Ilmu kemampuan dan kelebihan apapun tidak berarti apa-apa tanpa dukungan kepribadian yang kuat. Dan kalian sudah memiliki kepribadian itu. Pada saatnya kalian akan kembali dengan ilmu dan kemampuan yang tinggi didukung oleh kepribadian yang sangat kuat.”
Manggada mengangguk-angguk, sementara Laksana berkata, "Jika kelak aku kembali, apakah kau masih tetap menganggap kami sebagai kakakmu sendiri?”
"Tentu kakang...!” jawab Winih.
Dahi Laksana berkerut. Tetapi ia pun berdesis, "Terima kasih Winih. Kelak kami tentu akan datang kembali..”
Demikianlah, maka Manggada dan Laksana pun benar-benar meninggalkan rumah itu. Nyi Prawara membekali mereka dengan obat-obatan yang penting bagi mereka di perjalanan.
"Kami titipkan anak-anak ini kepadamu, Ki Pandi...” berkata Kiai Gumrah.
Ki Pandi tersenyum sambil mengangguk. Namun sejenak kemudian maka mereka pun telah pergi.
Karena itu, Maka Kiai Windu Kusuma pun harus mengerahkan segenap kemampuannya. Meskipun demikian orang yang bersenjata tombak itu masih belum dapat dikuasainya.
Nyi Prawara memang menjadi berdebar-debar menyaksikan pertempuran yang masih tersisa. Beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang telah menyelesaikan pertempuran di halaman itu bergeser perlahan-lahan mendekati arena. Dengan wajah yang tegang mereka melihat beberapa orang berilmu tinggi masih terlibat dalam pertempuran.
Namun mereka tidak langsung dapat ikut memasuki arena, karena hal itu justru akan mengecewakan mereka yang sedang bertempur itu sendiri. Nampaknya Ki Prawara ingin menyelesaikan lawannya sendiri. Apapun akibatnya. Pemimpin dari sekelompok orang yang menjadi landasan utama untuk mengambil pusaka-pusaka itu.
Sedangkan Kiai Gumrah yang bertempur melawan Kiai Kajar merupakan pertempuran di antara saudara seperguruan. Dilingkaran yang lain, Ki Pandi yang bongkok itupun telah bertempur dengan sengitnya melawan orang yang sudah lama diburunya.
Dalam keriuhan pertempuran itu, beberapa orang yang ada di halaman itu masih juga sempat mendengar aum harimau di luar dinding halaman. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi. Namun mereka sempat juga membayangkan beberapa orang yang melarikan diri dari halaman itu telah bertemu dengan dua ekor harimau di luar halaman.
Sementara itu Buta Ijo dan tiga orang saudara seperguruannya masih sibuk mengawasi orang-orang yang telah menyerahkan diri. Mereka yang menyerahkan diri itu telah dikumpulkan ditangga pendapa setelah mereka melepaskan senjata-senjata mereka.
Nyi Prawara yang menyaksikan suaminya masih bertempur dengan garangnya menjadi sangat tegang. Bahkan Winih- pun telah mengajak Manggada dan Laksana lebih mendekat, agar ia dapat melihat apa yang terjadi dengan ayahnya. Namun baik Nyi Prawara atau pun Winih yang tahu benar sifat Ki Prawara, sama sekali tidak berani mencampuri pertempuran itu.
Dalam ketegangan itu, mereka telah dikejutkan oleh umpatan kasar Kiai Kajar. Dengan serta merta Kiai Kajar itu meloncat beberapa langkah surut sambil memegangi pundaknya. Ternyata bahwa ujung tombak Kiai Gumrah telah berhasil menyentuh pundak orang itu. Kiai Kajar yang merasa jari-jarinya dihangati oleh darah di pundaknya itu menjadi semakin marah, rasa-rasanya jantungnya telah membara membakar seisi dadanya.
Namun Kiai Gumrah, saudara seperguruan Kiai Kajar memiliki landasan ilmu yang sama, sehingga seakan-akan apa yang akan dilakukan oleh Kiai Kajar, Kiai Gumrah sudah mengetahuinya. Demikian pula sebaliknya. Bahkan tataran ilmu mereka yang maningkat selapis demi selapis rasa-rasanya selalu membuat keseimbangan, sehingga sulit untuk menentukan siapakah yang akan menang dan kalah.
Tetapi di tangan Kiai Gumrah tergenggam tombak pusaka perguruan mereka, yang bahkan telah menyentuh pundak saudara seperguruannya itu. Meskipun di tangan Kiai Kajar, juga tergenggam senjata pilihan, tetapi ternyata melihat pusaka perguruannya di tangan Kiai Gumrah, ketahanan jiwani Kiai Kajar tergoyahkan pula.
Bagaimanapun juga ada perasaan bersalah yang menyelinap di dalam rongga dadanya karena ia telah berkhianat dengan memberikan beberapa keterangan tentang pusaka-pusaka yang nilainya sangat tinggi itu. Bukan saja sebagai barang warisan, tetapi karena pusaka-pusaka itu berlapis emas dan permata.
Namun sebenarnya Kiai Kajar telah menjadi kecewa ketika Panembahan itu menyatakan diri berhak atas pusaka itu pula. Bahkan panembahan itulah yang akan membuat pusaka-pusaka itu tetap bertuah dengan mencucinya dengan darah yang masih mengalir di dalam jantung.
Tetapi segala sesuatunya telah terlanjur. Ketika ia melihat pemimpin perguruan Susuhing Angin terlempar jatuh dan tidak bergerak lagi, maka ia justru berpengharapan bahwa ia akan dapat memenuhi keinginannya. Jika Panembahan itu dapat dikalahkan pula oleh lawannya, maka ia akan menjadi orang utama yang dapat memiliki pusaka-pusaka itu.
Saudara-saudara Kiai Gumrah yang hadir di halaman itu adalah saudara-saudara seperguruannya pula. Jika ia mampu mengalahkan Kiai Gumrah, seorang yang dianggap orang terpenting bersama-sama dengan dirinya sendiri dan juragan gula itu, maka saudara-saudara seperguruannya yang lain tentu akan tunduk pula kepadanya. Juragan gula itu sendiri nampaknya sudah menjadi sangat letih dan tidak berdaya. Yang kemudian harus dihancurkan adalah orang yang mengaku anak Kiai Gumrah itu bersama isterinya dan anak gadisnya.
"Setan!" geram Kiai Kajar "Mereka juga berilmu tinggi!”
Kenyataan-kenyataan itulah yang membuat hati Kiai Kajar kadang-kadang menjadi bimbang. Apalagi setiap kali ujung tombak di tangan Kiai Gumrah itu terayun di depan matanya. Pengaruh pusaka di tangan lawannya, kebimbangan dan, kenyataan yang dihadapinya, membuat perlawanan Kjai Kajar menjadi semakin goyah. Betapapun Kiai Kajar berusaha untuk tetap tegar dalam sikapnya, namun peletik kelemahan telah mewarnai hatinya pula.
Ternyata kelemahannya itulah yang menentukan akhir dari perlawanannya. Meskipun Kiai Kajar itu telah berusaha menghalau kegelisahannya itu dengan teriakan-teriakan yang menghentak-hentak, namun pertahanannya menjadi semakin goyah. Itulah sebabnya ketika kedua saudara seperguruannya itu sampai ke puncak ilmu mereka, maka kegelisahan di hati Kiai Kajar itu telah berpengaruh pula.
Baik Kiai Gumrah maupun Kiai Kajar dengan puncak ilmunya, justru tidak lagi meloncat-loncat dan berputaran. Mereka berhadapan dengan senjata mereka yang merunduk. Serangan-serangan yang mereka lakukan tidak lagi menghentak-hentak susul menyusul.
Pertempuran itu memang nampak menjadi semakin lamban. Tetapi ketika senjata mereka beradu, maka bunga api telah berloncatan ke udara. Mereka yang menyaksikan pertempuran itu mengerti, betapa besarnya tenaga mereka masing-masing.
Saudara-saudara seperguruan mereka yang sempat menyaksikan pertempuran itu menjadi sangat tegang. Bahkan jantung mereka terasa semakin cepat berdenyut ketika terdengar Kiai Kajar berteriak nyaring sambil mengayunkan senjatanya langsung mengarah ke kening Kiai Gumrah. Mereka melihat dan merasakan getar kekuatan tertinggi dari puncak ilmu perguruan mereka.
Kiai Gumrah pun menyadari bahwa Kiai Kajar ingin dengan cepat mengakhiri pertempuran itu. Karena itu, maka iapun telah berada di puncak kemampuannya pula. Ketika ayunan senjata Ki Kajar itu menyambar dengan kekuatan yang sangar besar. Maka Kiai Gumrah tidak berusaha untuk menangkisnya. Meskipun ia percaya akan kekuatan landean tombaknya, namun tenaga Kiai Kajar yang disertai dengan landasan ilmunya mungkin akan dapat mematahkan landean tombak yang terbuat dari kayu yang dihiasi dengan lapisan emas dan permata.
Karena itu, pada saat yang tepat, Kiai Gumrah telah bergeser selangkah, sehingga serangan yang dahsyat itu tidak mengenainya. Tetapi Kiai Kiajar pun melihat sikap itu. Dengan cepat, senjatanya yang terayun itu berputar. Untuk mengimbangi perubahan gerak senjatanya, Kiai Kajar telah bergeser ke samping.
Tetapi jantungnya bergetar ketika ia melihat ujung tombak itu dengan cepat bergetar di depan dadanya. Ujung tombak yang dihormatinya sejak ia berada diperguruannya, karena tombak itu adalah salah satu di antara lambang kebesaran guru dan perguruannya. Waktu yang sekejap itu ternyata telah menentukan. Pada saat ia bergeser ke samping itulah, maka ujung tombak itu tidak sekedar bergetar di depan dadanya. Tetapi ujung tombak itu telah mematuk dadanya.
Terdengar Kiai Kajar itu berteriak nyaring. Namun ketika Kiai Gumrah menarik tombaknya, maka Kiai Kajar itu-pun terhuyung-huyung sejenak. Darah memancar dari lukanya, sehingga membasahi pakaiannya. Tanpa dikehendakinya, maka senjata Kiai Kajar itu telah terlepas dari tangannya dan jatuh di tanah.
Beberapa orang saudara seperguruannya yang menyaksikan menahan nafas sejenak. Ketika mereka melihat Kiai Kajar itu tidak lagi mampu menguasai keseimbangannya, maka mereka pun segera berloncatan membantu menahan agar Kiai Kajar tidak jatuh terbanting di tanah.
Namun, Kiai Kajar memang sudah tidak berdaya. Darah bagaikan ditumpahkan dari luka-lukanya, sehingga karena itu, maka saudara-saudara seperguruannya telah membaringkannya perlahan-lahan.
Kiai Gumrah sendiri berdiri termangu-mangu. Di luar sadarnya ia memperhatikan tombaknya yang basah oleh darah segar yang masih mengalir di jantung. "Tidak...!" berkata Kiai Gumrah dalam hatinya. "Aku sama sekali tidak ingin mencuci ujung tombak ini dengan darah yang masih mengalir di Jantung.”
Sambil menarik nafas panjang, Kiai Gumrah itu melangkah mendekati Kiai Kajar yang terbaring dikerumuni oleh beberapa saudara seperguruannya. Tetapi mereka terkejut ketika mendengar teriakan nyaring yang menggetarkan halaman dan bahkan rumah yang besar itu.
Bukan sekedar teriakan marah. Tetapi hentakan ilmu yang sangat dahsyat yang dilontarkan Panembahan Lebdagati. Akibatnya memang luar biasa. Beberapa orang yang terluka, yang masih mungkin untuk mendapatkan penyembuhan, telah menggeliat dan jantungnya pun segera berhenti berdetak. Bahkan Kiai Kajar yang terluka parah itu telah menjadi semakin parah. Satu kalimat masih terucapkan.
"Saudara-saudaraku. Aku minta maaf atas kekhilafanku...”
"Kiai Kajar..." seorang dari saudara seperguruannya itu meraba tangannya. Tetapi tangan itu sudah tidak berdaya. Ketika yang lain meletakkan telinganya di dada, maka nafas Kiai Kajar telah berhenti.
Dalam pada itu, selagi seluruh perhatian seakan-akan tertumpah pada tubuh Kiai Kajar, maka terdengar Ki Pandi yang bongkok berteriak nyaring dengan suara wajarnya "Jangan lari...”
Semua orang berpaling. Sementara Ki Pandi melenting berlari mengejar Panembahan Lebdagati yang bagaikan terbang meloncati dinding halaman. Namun mereka pun melihat bayangan berikutnya menyusul. Ki Pandi.
Di luar dinding terdengar aum kedua ekor harimau Ki Pandi. Tetapi suaranya tidak lagi dekat di balik dinding. Bahkan ketika suara itu terdengar lagi, rasa-rasanya suara itu sudah menjadi semakin jauh.
Tidak seorang pun yang sempat membantu Ki Pandi menghentikan orang itu. Panembahan Lebdagati yang memang sejak semula tidak dapat mengalahkan Ki Pandi, ternyata telah gagal lagi. Apalagi ketika ia melihat beberapa orang yang berdiri di pihaknya telah berjatuhan. Demikian pula orang-orang yang datang dari berbagai perguruan itupun telah tidak berdaya lagi.
Panembahan Lebdagati agaknya merasa tidak akan banyak berarti jika ia mempergunakan ilmu pamungkasnya, karena Ki Pandi tentu akan dapat mengimbanginya. Sehingga karena itu, ketika terbuka kesempatan, maka lebih baik ia meninggalkan neraka yang sangat menyakitkan. Di halaman rumah itu ternyata telah berkumpul orang-orang berilmu tinggi yang berusaha mempertahankan pusaka-pusaka yang diingininya itu. Satu kekuatan yang sebenarnya di luar dugaannya.
Sepeninggal Panembahan dan Ki Pandi, maka pertempuran yang tersisa tidak banyak berarti lagi. Meskipun demikian, Kiai Windu Kusuma yang masih bertempur melawan Ki Prawara tetap tidak mau menyerah.
Kiai Gumrahlah yang kemudian sambil memegangi tombaknya melangkah mendekat. Dengan suara yang bergetar Kiai Gumrah itupun berkata, “Kiai Windu Kusuma. Sebaiknya kau menyerah saja. Kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mempertahankan diri. Bukan saja karena kau tidak akan dapat mengalahkan Prawara, tetapi kau sudah dikelilingi lawan-lawanmu. Kawan-kawanmu telah terbunuh kecuali Panembahan yang licik itu. Tetapi iapun akan segera dapat dibinasakan oleh Ki Pandi dan harimau-harimaunya!”
"Persetan kau Gumrah. Jika kau takut orang ini mati, lakukan apa yang ingin kau lakukan.” geram Kiai Windu Kusuma. Bahkan katanya kemudian, "Jika kalian merasa perlu untuk meramai-ramai mengeroyokku, aku sama sekali tidak akan gentar.”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Kiai Windu Kusuma justru menyerang Ki Prawara dengan garangnya. Kerisnya yang besar itu berputaran dan menggapai-gapai dada lawannya. Sambil meloncat maju Kiai Windu Kusuma mengayunkan kerisnya kemudian menusuk ke arah lambung.
Dengan tangkas Ki Prawara mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Namun Ki Prawara pun melihat betapa Kiai Windu Kusuma menjadi kehilangan pengamatan diri. Sekali-sekali oleh cahaya oncor yang lemah, Ki Prawara sempat melihat sorot mata Kiai Windu Kusuma yang menjadi liar.
"Ki Sanak!" berkata Ki Prawara kemudian sambil meloncat mundur. Namun ketika Kiai Windu Kusuma akan memburunya sambil mengayunkan kerisnya, maka ujung tombak Ki Prawara telah merunduk tepat diarah dada. Tetapi Ki Prawara menjadi ragu-ragu untuk mendorong tombaknya menghujam ke dada Kiai Windu Kusuma yang nampaknya telah berputus asa itu. Bahkan Ki Prawara telah meloncat selangkah mundur sambil berkata, "Kau tidak mempunyai kesempatan lagi Ki Sanak!”
Tetapi Kiai Windu Kusuma tertawa. Katanya, "Kenapa kau tidak menusuk jantungku? Ki Sanak, Apakah kau tidak berani melihat darah atau kau sengaja menghina aku?"
"Menyerahlah!" berkata Ki Prawara "Apakah artinya pertempuran ini? Seandainya salah seorang dari kita mati, tidak akan menimbulkan perubahan apapun juga. Pusaka-pusaka itu masih akan tetap di tangan Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya. Rumah ini akan tetap saja hancur dan orang-orang yang telah terbunuh tidak akan bangkit kembali.”
"Persetan!" teriak Kiai Windu Kusuma sambil meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi Ki Prawara sempat mengelak. Sementara itu Kiai Gumrah telah melangkah semakin dekat sambil, berkata, "Berhentilah...”
"Setan tua kau Gumrah. Jika kau akan ikut, ikutlah...” teriak Kiai Windu Kusuma.
"Kau tidak boleh menjadi kehilangan akal, Kiai. Kita masih mempunyai mulut untuk berbicara.” Kiai Gumrah hampir berteriak.
Namun yang tidak terduga telah dilakukan Kiai Windu Kusuma. Ketika Kiai Gumrah berdiri tidak terlalu jauh dari arena untuk mencoba melerai pertempuran itu, tiba-tiba saja Kiai Windu Kusuma telah meloncat meninggalkan Ki Prawara justru menyerang orang tua itu.
Yang menyaksikan serangan itu memang terkejut. Nyi Prawara justru sempat berteriak, "Ayah...!”
Kiai Gumrah juga menjadi terkejut sekali. Justru karena itu, maka ia tidak dapat mengendalikan nalurinya untuk menyelamatkan diri. Karena itu, ketika ia melihat Kiai Windu Kusuma meloncat sambil mengayunkan kerisnya dengan membabi buta, maka Kiai Gumrah telah mengangkat ujung tombaknya. Bahkan Kiai Gumrah tidak sempat mengekang tangannya yang mendorong ujung tombak itu menghujam ke dalam dada Kiai Windu Kusuma. Apa yang tidak dapat dilakukan oleh Ki Prawara ternyata terpaksa dilakukan Kiai Gumrah.
Terdengar Kiai Windu Kusuma berteriak nyaring. Namun suaranya kemudian bagaikan menggantung diawan. Semakin tinggi, semakin tinggi, sehingga bersamaan dengan tubuhnya yang terguling jatuh di tanah setelah Kiai Gumrah menarik ujung tombaknya dengan tangan yang gemetar, maka suara Kiai Windu Kusuma itupun menjadi semakin lambai. Yang terdengar kemudian adalah umpatannya yang terakhir.
"Kau memang iblis, Gumrah...!”
Kiai Gumrah tidak menjawab. Namun ia berdiri temangu-mangu memandang tubuh yang terbaring diam itu. "Aku tidak dapat berbuat lain.” desis Kiai Gumrah yang menyesal bahwa orang terakhir itu harus dibunuhnya pula.
Ki Prawara menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apa boleh buat!”
"Aku terkejut mendapat serangan yang tiba-tiba itu..." desis Kiai Gumrah.
"Ya" Juragan gula yang sudah mendapatkan kekuatannya kembali setelah beberapa saat ia mengalami keletihan itu menyahut. "Kami tidak dapat menyalahkan kau, Kiai...”
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Dipandanginya ujung tombaknya yang telah dibasahi lagi dengan darah yang masih mengalir di jantung di luar kehendaknya sendiri.
Demikian, sesaat kemudian orang-orang berilmu tinggi itupun telah berkumpul. Kiai Gumrah minta agar saudara-saudara seperguruannya mengumpulkan sisa orang-orang dari beberapa perguruan yang ada di halaman itu yang telah menyerah dan yang masih sanggup untuk berjalan ke depan tangga pendapa rumah Kiai Windu Kusuma. Selain itu maka semua saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah pun telah diminta berkumpul pula. Yang terluka parah, telah dibantu oleh saudara-saudaranya berkumpul di pendapa. Kiai Gumrah harus meyakinkan keadaan semuanya.
Tiga batang tombak dan songsong milik Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu telah berkumpul di pendapa itu pula. Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya itu terkejut ketika terdengar pintu pringgitan terbuka. Ketika mereka berpaling dilihatnya seorang yang muncul dari balik pintu pringgitan itu.
Beberapa orang serentak bangkit berdiri dengan senjata terhunus menghadap orang yang melangkah memasuki pringgitan dari ruang dalam itu. Tetapi Kiai Gumrahlah yang kemudian mendekatinya. Di bawah cahaya lampu di pendapa itu. Kiai Gumrah melihat, bahwa yang datang itu adalah Kundala.
"Kau Kundala..." desis Kiai Gumrah.
"Ya, Kiai..." sahut orang itu.
"Di mana kau selama pertempuran berlangsung?" bertanya Kiai Gumrah.
"Aku berada di atas langit-langit di ruang dalam. Aku tidak tahu harus berbuat apa.” jawab Kundala.
"Marilah, duduklah. Kita akan berbicara.” berkata Kiai Gumrah kemudian.
Kundala pun kemudian duduk di pendapa bersama Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya. Sementara itu suasana di halaman rumah yang luas itu terasa sangat mencengkam. Di sana-sini tergolek tubuh yang berdarah. Di antara mereka masih terdengar ada yang sedang mengerang kesakitan. Karena itu, maka Kiai Gumrah yang duduk di pendapa itupun kemudian berkata kepada saudara-saudara seperguruannya.
“Sebaiknya kita berbuat sesuatu atas mereka yang terluka. Bukan saudara-saudara kita saja yang akan mendapat perawatan, tetapi semuanya sejauh kita dapat melakukan. Karena itu kita dapat minta bantuan mereka yang telah menyerah, untuk mengumpulkan kawan-kawannya serta membantu merawat mereka. Namun kita harus mengawasi pelaksanaannya dengan sebaik-baiknya.”
Dengan demikian, maka beberapa orang saudara seperguruan Kiai Gumrah pun segera bangkit dan melangkah turun tangga pendapa, mendekati orang-orang yang telah menyerah, yang ada di halaman rumah itu. Dengan pengawasan saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah, maka orang-orang yang menyerah itu mendapat tugas untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah terbunuh dalam pertempuran itu.
Sementara itu langit menjadi merah oleh cahaya fajar, Regol halaman yang sudah terbuka itu justru ditutup kembali. Meskipun rumah itu tempatnya terpisah dari padukuhan-padukuhan, namun mereka harus tetap menghindari kemungkinan-kemungkinan akan ada orang lain yang melihat apa yang telah terjadi di halaman rumah yang luas yang menurut penglihatan orang-orang padukuhan regolnya selalu tertutup.
Namun disamping mereka yang terbaring di halaman, ternyata ketika salah seorang saudara seperguruan Kiai Gumrah membawa dua orang yang sudah menyerah itu keluar regol, mereka telah menemukan dua sosok tubuh yang agaknya telah dikoyak-koyak oleh kedua ekor harimau Ki Pandi. Agaknya kedua orang itu berusaha untuk melarikan diri dengan meloncati dinding, namun harimau Ki Pandi itu sempat melihatnya dan kemudian menerkamnya. Pekerjaan itu belum selesai sampai saatnva matahari terbit.
Sementara itu, Kiai Gumrah, juragan gula, Ki Prawara yang duduk di pendapa bersama Kundala tengah mengadakan pembicaraan tersendiri. Di sisi lain Nyi Prawara, Winih, Manggada dan Laksana Nampak termenung merenungi pengalaman yang sangat berkesan di hati mereka. Mereka mengucap sukur dalam hati, bahwa mereka masih mendapat perlindungan dari Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sehingga mereka selamat dari bencana yang telah mencengkam seisi rumah dan halamannya itu.
Manggada dari Laksana yang sejak semula sudah merasa dirinya kecil, maka mereka merasa menjadi semakin kecil. Keduanya sama sekali tidak dapat ikut berbuat, sesuatu ketika terjadi pertempuran yang menentukan, justru di lingkungan kekuasaan lawan yang jumlahnya jauh lebih besar dari jumlah saudara-saudara seperguruan Kiai. Gumrah.
Namun Nyi Prawara tidak dapat terlalu lama beristirahat. Bersama dua orang saudara seperguruan Kiai Gumrah yang lain, maka Nyi Prawara pun telah membantu merawat saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah. Bahkan sejauh jangkauan mereka, mereka juga berusaha menolong para pengikut dari mereka yang ingin merampas pusaka-pusaka itu dari tangan Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya, setelah mereka dikumpulkan di pendapa.
Dalam pada itu, Kiai Gumrah yang secara khusus berbicara dengan Kundala, telah menanyakan kepadanya, apakah Kundala bersedia untuk mengambil alih pimpinan di rumah itu.
"Aku tidak yakin, bahwa orang-orang yang tersisa itu akan bersedia menerima aku." berkata Kundala.
"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Meskipun Kiai Windu Kusuma sampai saat terakhir masih belum mengetahui, bahwa aku telah mengkhianatinya, namun kepercayaan Kiai Windu Kusuma kepadaku sudah jauh menyusut. Bukan karena ia mencurigai aku bahwa aku tidak setia, tetapi kemampuanku dianggap kurang memadai.”
"Tetapi sebagaimana kau lihat, tidak ada orang lain lagi di rumah yang besar ini. Kecuali itu, maka kami akan selalu membantumu jika terjadi sesuatu di rumah ini.”
Kundala menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia memandang berkeliling. Ia sempat melihat orang-orang yang tinggal di rumah itu seakan-akan telah kehilangan dirinya. Yang nampak hanya ujud-ujud kewadagannya saja. Tidak lagi membayangkan keperkasaan mereka. Apalagi mereka yang terluka, terbaring sambil menahan desah kesakitan, sementara. yang menyerah dalam keadaan yang utuh dan sedang mengumpulkan orang-orang yang terluka, tidak lagi berani mengangkat wajah mereka. Sedangkan yang mengawasi mereka hanyalah beberapa orang yang jumlahnya jauh lebih kecil.
"Jika kau bersedia, Kundala, maka aku akan berbicara dengan orang-orang itu. Sudah tentu bahwa kami tidak akan tinggal di sini untuk selanjutnya. Mungkin hari ini kami masih akan berada di sini. Tetapi mungkin pula besok kami sudah akan pergi."
Kundala ternyata ragu-ragu. Namun Kiai Gumrah, juragan gula dan Ki Prawara telah membesarkan hatinya. Dengan nada rendah Ki Prawara berkata,
"Kundala, orang-orang itu telah kehilangan keberanian untuk berbuat sesuatu. Bahkan untuk bersikap di dalam hati pun seperti itu, harus tampil seseorang. Kundala, jika kau ingin melahirkan, perubahan tata kehidupan di lingkungan mereka, sekarang adalah waktunya. Jangan beri kesempatan mereka untuk membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Kau harus mengajukan satu ujud tatanan kehidupan yang masuk akal dan dapat mereka cerna dengan panalaran. Pada kesempatan ini kau dapat menawarkan pola masa depan yang penuh harapan bagi mereka.”
Kundala menarik nafas dalam-dalam. Sementara juragan gula itu berkata pula, "Kau satu-satunya pilihan kami. Bagaimanapun juga kami masih melihat, bahwa kau masih sempat berpaling pada hati nuranimu justru di saat yang paling gawat.”
Kundala menundukkan kepalanya. Namun akhirnya ia berdesis "Aku akan mencobanya!”
"Bagus!" berkata Kiai Gumrah. "Aku akan berbicara nanti dengan orang-orang yang masih tertinggal di sini darimana pun mereka datang.”
“Tetapi bagaimana dengan Panembahan yang sempat melarikan diri itu?" bertanya Kundala.
"Ia tidak akan banyak mendapat kesempatan." berkata Kiai Gumrah "Orang bongkok itu tentu akan selalu membayanginya!”
Kundala mengerutkan dahinya. Namun Kiai Gumrah sempat menjelaskan, bahwa Ki Pandi agaknya tidak akan pernah melepaskan orang yang menyebut dirinya Panembahan itu.
"Jika Panembahan itu pada suatu saat datang kemari, maka Ki Pandi pun tentu akan datang pula kemari” berkata Kiai Gumrah.
Kundala mengangguk-angguk sambil berdesis. "Semoga aku dapat memikul beban ini, Kiai...”
"Kau akan dapat melakukannya. Bukankah kami tidak berada terlalu jauh dari tempat ini?”
Kundala mengangguk sambil menjawab "Terima kasih Kiai. Mudah-mudahan kami akan dapat mulai dengan satu bentuk kehidupan baru. Tentu saja yang lebih baik dari masa yang lalu...”
"Kalian harus berani memasuki satu tatanan yang barangkali sangat berbeda dengan tatanan kehidupan yang pernah kalian jalani sebelumnya. Tetapi dengan satu keyakinan, bahwa kalian akan dapat melakukannya” berkata juragan gula itu.
Kundala tidak menjawab. Namun matanya menerawang jauh meloncati dinding halaman rumah yang besar itu.
Hari itu, di rumah itu telah dilakukan satu kesibukan yang luar biasa. Semua orang telah dikerahkan untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang memerlukan perawatan. Bahkan Nyi Prawara rasa-rasanya tidak sempat lagi untuk beristirahat. Namun hari itu juga telah digali lubang-lubang kubur jauh dibagian belakang kebun yang paling jauh dari rumah yang besar dan berhalaman luas itu.
Hal itu terpaksa dilakukan karena Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya tidak ingin menarik perhatian orang-orang yang tinggal di padukuhan terdekat dari rumah itu. Jika mereka membawa tubuh-tubuh orang yang terbunuh di halaman itu ke kuburan, maka tentu akan mengundang banyak sekali pertanyaan.
Sementara itu, Kundala telah memerintahkan beberapa orang perempuan yang memang terbiasa bekerja di dapur untuk melakukan pekerjaan mereka, tetapi perempuan-perempuan itu, tidak dapat menolak. Mereka harus keluar dari persembunyian mereka di dalam rumah yang besar itu dan masuk ke dalam dapur yang luas. Sedangkan persediaan bahan makanan di rumah itu cukup banyak dan akan mencukupi untuk waktu yang panjang.
Tetapi perempuan-perempuan lain, yang tidak termasuk perempuan baik-baik dan bukan pula perempuan yang sehari-harinya memang dipekerjakan di rumah itu telah dikumpulkan disatu ruang yang khusus. Kundala memang berniat untuk menyingkirkan mereka dari rumah itu.
Atas desakan Kiai Gumrah, maka para penghuni rumah itu yang tersisa dan menyerah, telah menerima Kundala memimpin mereka. Meskipun Kundala bukan termasuk salah seorang pemimpin yang tataran ilmunya sejajar dengan Kiai Windu Kusuma, namun ternyata Kundala mempunyai kekuatan yang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gumrah, maka kesempatan itu memang dipergunakan sebaik-baiknya untuk memberikan pola kehidupan yang baru bagi orang-orang yang tersisa di rumah itu.
Kiai Gumrah ternyata berada di rumah itu tidak hanya sehari. Bersama dengan saudara-saudara seperguruannya, mereka diminta untuk tinggal dua tiga hari lagi sampai keadaan menjadi tenang. Goncangan yang terjadi benar-benar telah menikam ke dalam setiap jantung dari para penghuni rumah itu.
Ternyata tawaran Kundala tentang pola tatanan kehidupan yang baru telah menarik perhatian para penghuni rumah itu yang tersisa. Apalagi Kundala telah menunjuk sawah, ladang dan pategalan yang sangat luas, milik Kiai Windu Kusuma yang akan dapat menjadi ladang kehidupan mereka kemudian selain usaha lain dengan cara yang lebih baik dari cara yang pernah mereka tempuh.
Dalam waktu tiga hari, maka keadaan rumah itu telah mulai tenang kembali. Meskipun di sana-sini masih terbaring orang-orang yang lukanya, terhitung parah. Bahkan ada di antara. mereka yang terpaksa menyusul kawan-kawannya yang tubuhnya telah terbaring di kebun belakang dari rumah yang besar itu.
Selama, berada di rumah itu, Manggada dan Laksana setiap kali diajak Winih untuk ikut mengawasi perempuan-perempuan yang bekerja di dapur. Namun agaknya tugas itu tidak begitu menyenangkan bagi Manggada dan Laksana. Hanya karena Winih yang mengajak mereka, maka mereka tidak menolak. Apalagi keduanya memang tidak tahu, apa yang sebaiknya mereka lakukan di rumah itu.
Tetapi ketika keadaan menjadi semakin tenang, serta tatanan baru mulai disusun oleh Kundala dan dua orang yang ditunjuknya, maka Manggada dan Laksana merasa bahwa kehadiran mereka sama sekali sudah tidak diperlukan lagi. Karena itu, maka keduanya telah mulai membicarakan kepentingan mereka sendiri.
"Kapan kita akan meneruskan perjalanan kita?" bertanya Manggada.
Laksana mengangguk kecil. Katanya "Kita memang tidak diperlukan lagi di sini.”
"Baiklah. Kita akan berbicara dengan kakek” desis Manggada kemudian.
"Kakek siapa?" bertanya Laksana.
Manggada tersenyum. Tetapi ia masih juga bertanya. "Apakah kau akan berbicara juga dengan Winih?”
"Ah kau. Winih memang cantik. Tetapi ia terlalu garang.”
Keduanya tertawa. Sementara Manggada berkata, "Kita menunggu sampai Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya meninggalkan rumah ini, tetapi kita langsung melanjutkan perjalanan kita yang tertunda-tunda.”
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata sampai saat terakhir kita tetap tidak mengetahui dengan pasti, siapakah orang-orang yang setiap hari ada disekeliling kita. Kita juga tidak tahu pasti tentang pusaka-pusaka yang disimpan oleh Kiai Gumrah.”
"Ya. Kita telah melihat satu dunia yang seakan-akan dibatasi oleh tabir yang tipis. Kita memang dapat melihat tembus, tetapi tidak jelas.” gumam Manggada.
Namun di malam hari, ketika Kiai Gumrah dan saudara-saudara perguruannya duduk di pendapa membicarakan rencana mereka meninggalkan rumah itu, telah dikejutkan oleh kehadiran Ki Pandi. Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya mengira bahwa Ki Pandi tidak akan secepat itu, datang kembali mengunjungi mereka.
Kiai Gumrah pun kemudian mempersilahkan Ki Pandi untuk duduk bersama mereka di pendapa. Dengan singkat Ki Pandi menceriterakan bahwa ia tidak berhasil menemukan Panembahan Lebdagati malam itu. Namun Ki Pandi pun berkata,
"Tetapi aku yakin, bahwa aku akan dapat membayanginya di hari-hari mendatang. Panggraitaku akan dapat menjadi penunjuk yang dapat dipercaya untuk membayangi Panembahan itu.”
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Kami berharap demikian, agar Panembahan itu tidak akan mengacaukan pola tatanan kehidupan baru yang sedang disusun di rumah ini.”
Ki Pandi mengangguk-angguk. Katanya "Aku bersukur bahwa goncangan di rumah ini telah dapat menumbuhkan sesuatu yang berarti. Jika orang-orang yang tersisa itu dapat menemukan jalan yang baru itu adalah karena kalian telah melakukan sesuatu yang bukan saja berarti bagi kalian sendiri. Ternyata akibatnya bukan sekedar mempertahankan pusaka-pusaka itu, tetapi satu perubahan sikap hidup bagi banyak orang.”
"Kita memang harus mensukurinya, Ki Pandi.”
"Itulah sebabnya aku datang kembali. Ketika aku meninggalkan rumah ini, aku belum sempat mengucapkan selamat atas keberhasilan kalian.” berkata Ki Pandi.
“Tetapi itu juga karena bantuan Ki Pandi. Bukan hanya saat kami datang ke rumah ini, tetapi juga sejak jauh sebelumnya. Tanpa kehadiran kedua ekor harimau itu, maka sulit bagi kami untuk mempertahankan pusaka-pusaka itu di rumahku sebelum saudara-saudaraku berkumpul.”
Ki Pandi menggeleng. Katanya. "Tidak. Kalian mempunyai kekuatan cukup untuk mempertahankan pusaka itu saat ini.”
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Pandi berkata selanjutnya. "Tidak ada seorang pun, bahkan sekelompok orang-pun yang akan dapat mengambil pusaka-pusaka itu dari kalian sekarang, selagi kalian masih lengkap atau setidak-tidaknya sebagian besar dari kalian.”
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya mulai merenungi kata-kata Ki Pandi yang berkata seterusnya. "Tetapi aku yakin, bahwa tidak selamanya kalian dapat berkumpul seperti ini. Sebagaimana berlaku bagi setiap yang hidup, maka satu demi satu kalian tentu akan pergi. Hingga pada suatu saat, maka pusaka-pusaka itu tidak akan ada lagi yang dapat mempertahankannya jika seseorang atau sekelompok orang berusaha untuk memilikinya. Bahkan mungkin sekelompok orang yang bermaksud buruk. Apakah karena pusaka-pusaka itu dianggap bertuah atau karena pusaka-pusaka itu dibalut dengan bahan yang sangat mahal.”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai meraba arah bicara Ki Pandi yang bongkok itu. Dengan nada dalam ia berkata, "Jadi, menurut Ki Pandi, apa yang sebaiknya kami lakukan?”
"Kiai..." sahut Ki Pandi "Menurut penglihatanku, kalian yang mempertahankan pusaka-pusaka itu rata-rata sudah seumur dengan aku. Berapa tahun lagi kalian masih dapat bertahan. Lima tahun, atau sepuluh tahun atau berapa? Kalian sekarang dapat berbangga atas keutuhan kalian sebagai saudara-saudara seperguruan. Seakan-akan tidak akan ada kekuatan yang dapat memecahkan hubungan kalian yang satu dengan yang lain. Tetapi kalian tidak sempat memikirkan, bahwa saat itu akan datang juga. Satu demi satu kalian akan tidak ada lagi.”
Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya mulai mengerutkan kening mereka. Kata-kata Ki Pandi itu. mulai menyentuh jantung mereka.
"Kiai..." berkata Ki Pandi kemudian "Yang ingin aku tanyakan kepada Kiai dan saudara-saudara seperguruan Kiai, apakah Kiai pernah memikirkan, siapakah yang akan meneruskan tugas Kiai menjaga pusaka-pusaka warisan yang nilainya sangat tinggi itu? Kiai tentu tidak akan dapat selalu berbangga karena Kiai dan saudara-saudara seperguruan Kiai masih mampu mempertahankannya. Kiai, coba marilah kita lihat, yang umurnya masih terhitung muda di sini hanyalah anak, menantu dan seorang cucu Kiai. Tetapi apakah mereka kemudian akan mampu melindungi pusaka-pusaka itu sebagaimana Kiai dan saudara-saudara seperguruan Kiai sekarang ini?”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku mengerti Ki Pandi. Pertanyaan Kiai telah membuka hati kami...”
"Nah..." berkata Ki Pandi selanjutnya "Nampaknya masih ada waktu. Kalian harus menyusun kekuatan untuk meneruskan tugas kalian menjaga pusaka pusaka itu. Satu angkatan penerus yang setidak-tidaknya memiliki kemampuan sebagaimana kalian yang sudah tua-tua itu.”
"Aku mengerti Ki Pandi..." Kiai Gumrah masih mengangguk-angguk "Selama ini kami memang terlalu berbangga akan diri kami sendiri. Kami memang merasa bahwa kami merupakan satu kekuatan yang sulit untuk dapat ditundukkan. Tetapi kami memang melupakan masa depan sebagaimana yang Ki Pandi katakan...”
"Kiai. Aku sangat kagum melihat kemampuan gadis cucu Kiai itu. Dengan demikian maka akan mempunyai gambaran, bahwa kalian akan dapat menyusun satu angkatan penerus sebagaimana Winih yang telah ditempa menjadi seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Meskipun pengalamannya masih belum terlalu banyak, tetapi agaknya penalarannya lebih banyak membantunya. Nah, Kiai..." berkata Ki Pandi pula "Kiai dan saudara-saudara seperguruan Kiai harus segera mulai...”
Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia memandangi saudara-saudara seperguruannya yang duduk di sekitarnya sambil berkata, "Bagaimana pendapat kalian?"
Juragan gula itulah yang menyahut. "Aku sependapat dengan Ki Pandi. Selama ini kita memang terlalu berbangga akan diri kita sendiri. Bahkan sampai hari ini. Kita berbangga bahwa kita dapat mempertahankan pusaka-pusaka warisan serta lambang dari perguruan kita. Sehingga kita tenggelam dalam kebanggaan itu. Tetapi kita memang tidak dapat berpikir bagaimana yang akan terjadi jika lima tahun lagi, atau sepuluh tahun lagi, keadaan seperti ini akan terulang. Sementara, orang lain menyusun kekuatan untuk mulai dengan langkah-langkah baru...”
Orang yang selalu-menyebut dirinya berilmu tinggi itupun berkata sambil mengusap-usap lukanya yang masih terasa pedih "Ya. Kita sekarang mampu melawan orang yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah kita. Kita dapat mengurangi jumlah mereka seorang demi seorang dengan cara kita. Namun suatu saat, jumlah kitalah yang akan dikurangi seorang demi seorang.”
Seorang yang lain pun berkata, "Apakah kita dapat menghentikan laju umur kita yang memanjat dari tahun ketahun?"
Kiai Gumrah tersenyum. Katanya sambil mengangguk-angguk. "Ya. Kita lupakan masa depan kita...” Tetapi suaranya kemudian meninggi. "Saudara-saudaraku. Aku sendiri telah menyiapkan pilar penyangga masa depan itu. Aku punya Prawara, isterinya dan cucu-cucuku. Nah, bagaimana dengan kalian?"
Buta Ijo itu bergumam hampir kepada dirinya sendiri “Cucu-cucumu. Berapa jumlah cucumu?"
"Tiga..." jawab Kiai Gumrah "Seorang perempuan dan dua orang laki-laki...”
Tiba-tiba saja semua orang berpaling kepada Manggada dan Laksana. Sementara Manggada dan Laksana sendiri menjadi bingung. Namun Kiai Gumrah itupun berkata, "Sebenarnya aku memang pernah berbicara tentang pendukung masa depan. Aku juga pernah berbicara dengan kedua cucu laki-lakiku itu. Sekarang aku ingin menegaskan, bahwa keduanya akan termasuk menjadi penerus dari perguruan kita.”
Manggada dan Laksana menjadi bingung. Sementara Kiai Gumrah itupun berkata kepada saudara-saudara seperguruannya, "Tetapi sudah tentu bahwa kalian juga berkewajiban untuk menyiapkannya. Mungkin anak atau cucu kalian masing-masing. Suatu ketika mereka akan kita kumpulkan agar mereka saling mengenal sehingga mereka akan terikat dalam satu lingkaran persaudaraan sebagaimana kita sendiri...”
“Baiklah" berkata Kiai Padma yang lebih dikenal sebagai juragan gula itu "Aku juga berjanji akan ikut mendukung masa depan itu dengan menyiapkan penerus yang akan menjadi pengawal bagi masa depan. Tanpa mereka kita memang tidak berarti apa-apa. Apa yang kita pertahankan dengan penuh kebanggaan sekarang ini, tidak lebih dari satu mimpi buruk!”
Seorang yang lebih banyak mengantuk itupun berkata, "Kita terlalu asyik dengan kebanggaan kita sendiri. He, bagaimana jika ada di antara kita tidak mempunyai anak seperti orang berkumis tidak rata itu?”
"Siapa bilang..." jawab orang yang disebut berkumis tidak rata. "Aku mempunyai lebih dari selusin anak meskipun anak tetangga. Tetapi aku dapat memilih yang terbaik di antara mereka.”
"Baiklah..." bakata Kiai Gumrah "Hari ini kita berjanji untuk segera mulai dengan mempersiapkan masa depan itu.”
Namun dalam pada itu, Manggada dan Laksana menjadi gelisah. Mereka tidak akan dapat terikat dengan rencana itu, dengan memaksa diri Manggada berkata, "Kiai. Kami berdua mohon maaf. Kecuali kami berdua merasa sama sekali tidak berarti di sini. kami pun masih mempunyai kepentingan yang lain. Sejak kami meninggalkan rumah paman, kami belum pernah sampai ke rumah ayah. Jika suatu hari paman berkunjung ke rumah ayah dan kami belum ada di rumah, maka ayah tentu akan menjadi gelisah.”
Kiai Gumrah mengerutkan dahinya. Katanya "Bukankah kalian sudah menyatakan keinginan kalian untuk tinggal bersama kami?"
"Waktu itu memang demikian!" jawab Manggada "Tetapi betapa bodohnya kami, bahwa kami merasa akan dapat membantu Kiai...”
"Pada suatu hari kau akan kami antar pulang dan sekaligus minta kepada orang tua kalian bahwa kalian akan berada di lingkungan kami...” berkata Kiai Gumrah.
"Terima kasih Kiai. Tetapi sebaiknya kami pulang lebih dahulu!” suara Manggada merendah.
Ki Pandi-lah yang kemudian menyahut. "Jika demikian, biarlah aku menemani anak-anak ini. Aku sudah kenal mereka sejak lama. Aku akan mengantarnya pulang. Suatu ketika aku akan membawa mereka kembali kepada kalian.”
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Sementara Winih yang duduk di sebelah anak-anak muda itu bertanya. "Kalian akan meninggalkan kami?”
"Orang tua kami akan kehilangan kami, jika kami tidak pulang" jawab Manggada.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya. "Tetapi ingat anak-anak. Kalian adalah cucu-cucuku!”
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak. Mereka pun sebenarnya merasa sangat berat untuk meninggalkan Kiai Gumrah. Meskipun mereka tahu bahwa mereka tidak berarti apa-apa bagi orang tua itu, namun selama ia berada di rumah Kiai Gumrah, maka ia memang merasa seolah-olah tinggal di rumah sendiri. Bahkan setelah anak dan menantu Kiai Gumrah beserta Winih datang, hubungan mereka dengan keluarga Kiai Gumrah itu menjadi semakin akrab. Bahkan Manggada dan Laksana kadang-kadang sering lupa dan merasa bahwa mereka memang bagian dari keluarga itu.
Namun akhirnya Kiai Gumrah pun telah melepasnya pula. Juragan gula yang sudah akrab pula dengan kedua orang anak muda itu, bahkan beberapa orang yang lain, juga ikut menyesalkan kepergian Manggada dan Laksana. Namun mereka memang tidak dapat menahannya tanpa memperhatikan kepentingan anak-anak muda itu sendiri. Meskipun demikian, kedua anak muda itu masih diminta untuk singgah di rumah Kiai Gumrah sebelum mereka benar-benar meninggalkan keluarga itu.
Demikianlah, maka keesokan harinya, Kiai Gumrah dan saudara-saudara seperguruannya itupun telah meninggalkan Kundala yang nampaknya mulai dapat menguasai orang-orang yang masih tersisa di rumah itu. Kepada mereka Kiai Gumrah berkata,
"Ikutilah jejak langkah Kundala. Jika kalian berjanji, maka kami tidak akan melaporkan kegiatan kalian kepada Senapati Pajang yang mendapat tugas di daerah ini. Tetapi jika kalian berkeras dengan cara hidup kalian sebelumnya, maka akan datang gilirannya pasukan Pajang menghancurkan kalian.”
Wajah-wajah yang suram itu hanya dapat menunduk. Namun kata-kata Kiai Gumrah itu meresap di hati mereka.
Ternyata bahwa saudara-saudara seperguruan Kiai Gumrah itu akan langsung pulang ke rumah masing-masing. Hanya mereka yang masih belum sembuh dari luka-lukanya, akan diantar oleh saudara seperguruan yang terdekat. Dua orang yang lukanya masih agak parah, akan dibawa lebih dahulu ke rumah Kiai Gumrah.
Demikian pula pusaka-pusaka yang telah berhasil mereka pertahankan itu akan tetap disimpan di rumah Kiai Gumrah untuk sementara, sebelum mereka mengambil keputusan lain, karena tempat itu sudah menjadi tidak tenang lagi.
Ketika Kiai Gumrah dan keluarganya serta kedua orang saudara seperguruannya yang terluka itu sampai di rumah, mereka menjadi heran. Dua orang yang tertangkap dan ditahan di rumah itu ternyata masih tetap menunggu. Ketika pengaruh ketukan jari-jari Kiai Gumrah telah mengendur, sehingga keduanya terbangun, keduanya tidak berniat untuk melarikan diri. Ternyata mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat hidup lagi tanpa perlindungan Kiai Gumrah.
"Baiklah. Besok kau akan kami serahkan kepada Kundala yang sekarang memimpin kawan-kawanmu di rumah Kiai Windu Kusuma...” berkata Kiai Gumrah kepada mereka.
Namun dalam pada itu. Manggada dan Laksana benar-benar akan meninggalkan rumah itu. Betapa beratnya hati keluarga Kiai Gumrah, namun mereka harus melepas mereka. Meskipun demikian mereka merasa berbesar hati bahwa Ki Pandi akan membawa mereka sampai kepada orang tua mereka dan ke!ak, akan membawa mereka kembali kepadanya. Kedua anak muda itu diharapkan akan dapat menjadi bagian dari penerus yang akan mengawal lambang kehadiran mereka.
Winih melepas kedua orang anak muda itu dengan mata yang basah. Banyak kesan yang tertinggal di hatinya tentang kedua anak muda itu. Setiap kali Winih masih memperbandingkan keduanya dengan Darpati yang hampir saja merampas hatinya sehingga ia akan dapat kehilangan pribadinya.
Manggada yang sudah siap untuk berangkat itu berkata,, "Aku kagumi kau Winih. Kami berdua bukan apa-apa dipandangan matamu!”
"Kalian salah mengerti kakang...” jawab Winih. "Aku bangga terhadap kalian berdua. Ilmu kemampuan dan kelebihan apapun tidak berarti apa-apa tanpa dukungan kepribadian yang kuat. Dan kalian sudah memiliki kepribadian itu. Pada saatnya kalian akan kembali dengan ilmu dan kemampuan yang tinggi didukung oleh kepribadian yang sangat kuat.”
Manggada mengangguk-angguk, sementara Laksana berkata, "Jika kelak aku kembali, apakah kau masih tetap menganggap kami sebagai kakakmu sendiri?”
"Tentu kakang...!” jawab Winih.
Dahi Laksana berkerut. Tetapi ia pun berdesis, "Terima kasih Winih. Kelak kami tentu akan datang kembali..”
Demikianlah, maka Manggada dan Laksana pun benar-benar meninggalkan rumah itu. Nyi Prawara membekali mereka dengan obat-obatan yang penting bagi mereka di perjalanan.
"Kami titipkan anak-anak ini kepadamu, Ki Pandi...” berkata Kiai Gumrah.
Ki Pandi tersenyum sambil mengangguk. Namun sejenak kemudian maka mereka pun telah pergi.
SELESAI
Selanjutnya, seri ke 4 Arya Manggada Sejuknya Kampung Halaman |