Sejuknya Kampung Halaman
Bagian 04
"HANYA karena dua orang yang telah lama pergi akan kembali, maka padukuhan ini menjadi sangat gelisah?” bertanya Laksana.
"Ya. Itulah yang terjadi...!” jawab Ki Kertasana. Lalu katanya, "Tetapi persoalannya tak hanya sekedar dua orang kakak beradik itu akan kembali pulang. Tetapi tentu ada persoalan lain yang menyangkut kepulangan mereka itu.”
"Persoalan apa yang telah memhuat sesisi pedukuhan mi gelisah, ayah?" bertanya Manggada.
“Apakah kau masih ingat dua orang penghuni padukuhan ini yang bernama Wira Sabet dan Sura Gentong" bertanya Ki Kertasana "Nah, mereka berdua itulah yang akan pulang!”
Manggada mencoba mengingat-ingat. Kemudian anak muda itu mangangguk-angguk sambil berkata, “Ya. Aku ingat keduanya. Rumah mereka yang seorang berada di dekat banjar dan yang seorang lagi di sebelah padukuhan. Anak Ki Wira Sabet itu sebaya dengan aku. la kawan bermain waktu aku masih belum meninggalkan padukuhuan ini.”
"Nah, apakah kau ingat bagaimana Ki Wira Sabet itu pergi." bertanya ayahnya.
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berdesis "Tidak. Aku tidak ingat.”
Ki Kertasana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Ceriteranya memang sangat tidak menarik. Seumurmu waktu itu, kau tentu tidak banyak mengerti. Tetapi sekarang kau sudah dewasa, maka tidak ada salahnya jika kau mengerti alasan kepergian mereka berdua.”
Manggada dan Laksana mendengarkan ceritera ayahnya dengan sungguh-sungguh. Sementara Ki Kertasana meneruskannya, "Saat itu Sura Gentong masih nampak jauh lebih muda dari sekarang. Ia ternyata telah berhubungan dengan seorang perempuan yang sudah bersuami, sementara ia sendiri telah beristeri. Ketika orang-orang padukuhan ini sedang memikirkan untuk menyelesaikan persoalannya yang rumit, maka yang tidak diharapkan itu telah terjadi. Sura Gentong dan perempuan itu menjadi gila. Agaknya mereka sepakat untuk mengambil jalan pintas. Sura Gentong membunuh isterinya dan perempuan itu maracun suaminya sampai mati. Tetapi keduanya tidak sempat melarikan diri seperti yang direncanakan. Keduanya gagal melarikan diri karena tetangga-tetangga yang mendengar keributan di rumah Sura Gentong yang membunuh isterinya itu segera mangepungnya dipimpin langsung oleh Ki Jagabaya. Tetapi hal itu didengar pula oleh kakak Sura Gentong. Wira Sabet ternyata membela adiknya. Ketika, terjadi ketegangan dan bahkan kemudian keributan, maka Wira Sabet justru telah melukai Ki Jagabaya. Untunglah bahwa nyawa Ki Jagabaya dapat diselamatkan. Namun Wira Sabet dan Sura Gentong ternyata berhasil melarikan diri, luput dari kejaran orang-orang pedukuhan ini.”
Manggada mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku ingat keributan yang terjadi itu. Tetapi aku memang tidak tahu sebabnya.”
"Nah, sejak saat itu. Wira Sabet dan Sura Gentong menjadi buruan dan tidak berani lagi menginjakkan kakinya di padukuhan ini.”
"Tetapi sekarang mereka akan kembali?" bertanya Manggada.
"Ya. Itulah yang menggelisahkan.” jawab ayahnya.
"Kenapa menggelisahkan? Kenapa orang-orang padukuhan ini tidak bersikap sebagaimana beberapa tahun yang lalu? Bersama-sama menghadapi keduanya. Bukankah dengan demikian maka keduanya tidak akan berani berbuat apa-apa sebagaimana saat itu." bertanya Manggada.
"Ternyata keadaannya sudah berubah. Lebih dari lima tahun keduanya berguru kepada seorang yag sakti di kaki Gunung Kendeng. Nah, dengan ilmu yang tinggi itu, mereka kembali ke kampung halaman. Bahkan bukan hanya berdua, tetapi bersama kawan-kawan seperguruan mereka.”
"Darimana orang-orang padukuhan ini mengetahuinya bahwa keduanya akan kembali bersama saudara-saudara seperguruan mereka?” bertanya Manggada pula.
"Wira Sabet dan Sura Gentong telah menemui seseorang yang sedang berada di sawah. Ia sengaja memberitahukan hal itu untuk disebar-luaskan kapada penghuni padukuhan ini. Bahkan dengan pesan, mereka pada suatu saat akan datang untuk menuntut balas. Sura Gentong semakin mendendam sejak perempuan yang menjadi sumber persoalan itu ternyata telah mati pula.
“Apakah orang-orang di padukuhan ini membunuhnya?” bertanya Laksana.
“Tidak. Perempuan itu memang ditangkap waktu itu dan dibawa ke rumah Ki Jagabaya. Tetapi perempuan itu sangat menyesali perbuatannya. Ia sudah terlanjur membunuh suaminya. Sementara itu ia tidak berhasil melarikan diri bersama Sura Gentong, karena Sura Gentong sendiri harus menghindari kemarahan orang-orang padukuhan ini. Karena itu, maka dalam penyesalan yang tidak tertahankan, perempuan itu telah membunuh diri di ruang tahanannya. Ketika seorang pembantu di rumah Ki Jagabaya akan memberikan makan paginya, ternyata perempuan itu sudah meninggal, tergantung pada selendangnya yang diikatkan pada rusuk atap rumah dengan memanjat geledeg bambu yang ada di bilik itu.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara Ki Pandi mengerutkan dahinya. Dengan suara berat Ki Pandi itu berdesis, “Satu sisi gelap dari kehidupan seseorang. Betapapun manusia di anugerahi akal dan pikiran, namun kadang-kadang manusia sendiri tidak mampu memanfaatkan dengan baik.”
Manggada dan Laksanapun segera teringat kehidupan beberapa jenis binatang di hutan. Mereka tidak mempunyai akal dan pikiran sebagaimana manusia, sehingga mereka tidak tahu arti baik dan buruk. Tidak pula tahu benar dan salah.
Dalam pada itu, Ki Kertasana itupun berkata selanjutnya. "Nah, keadaan itulah yang telah membuat suasana padukuhan ini menjadi gelisah. Bahkan Ki Jagabaya menjadi gelisah pula. Dalam keadaan yang sulit ini, ia tidak berhasil mendapat dukungan dari siapapun di padukuhan ini, karena semua orang dibayangi oleh ketakutan untuk membantunya.”
"Tetapi jika orang-orang padukuhan ini bergerak bersama-sama, maka Wira Sabet dan Sura Gentong tentu akan berpikir dua kali untuk membalas dendam. Bagaimanapun juga mereka tentu tidak ingin hidup dalam suasana yang buruk, yang diwarnai permusuhan dan dendam, sehingga setiap bangun dari tidur, ia sudah merasa dikelilingi oleh musuh-musuhnya.”
"Tetapi tidak ada orang yang berani melakukannya, memusuhi keduanya akan dapat berarti mati bagi mereka.” berkata Ki Kertasana dengan sungguh sungguh.
"Apakah ayah menduga keduanya akan sampai hati membunuh tetangga mereka sendiri" bertanya Manggada.
"Ya, Iblis telah singgah dan bahkan menetap di hati mereka. Dendam itu telah membuat jantung mereka membara...”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada telah berpaling kepada Ki Pandi dan kemudian kepada pamannya. Meskipun agak ragu namun Manggada itupun bertanya,
“Paman. Seperti kedua orang itu, kami juga baru pulang. Apakah menurut paman, kami dapat membantu Ki Jagabaya yang mengalami kesulitan, bahkan mungkin kegelisahan yang sangat.”
Ki Citrabawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika kau merasa terdorong untuk membantu mereka yang hidupnya terancam oleh dendam dan kekelaman hati. Maka kalian dapat melakukannya. Tetapi jika baru sekedar ingin memamerkan kemampuan kalian, maka lebih baik kalian tinggal di belakang pintu tertutup sebagaimana orang lain di padukuhan ini.”
“Kami benar-benar ingin membantu, paman. Bukankah dengan demikian, maka banyak kerja yang terbengkalai, orang yang pergi ke sawah dengan tergesa-gesa pulang dan menutup pintu. Perempuan yang pergi ke pasar di pagi hari pun harus berlari-lari pula. Sedang anak-anak tidak lagi berani bermain di halaman..." jawab Manggada.
Ki Citrabawa mengangguk-angguk, katanya, “Baiklah jika demikian. Besok, pergilah ke rumah Ki Jagabaya, mungkin kalian juga harus menemui Ki Bekel...”
“Baik paman” jawab Manggada “Besok, kami akan menemui mereka...”
“Tetapi ingat Manggada. Keduanya tidak berdiri sendiri. Mereka sudah terikat dalam satu keluarga sebuah perguruan. Karena itu, maka saudara-saudara seperguruan mereka akan melibatkan diri pula jika harga diri mereka diganggu.”
"Baik, paman..." jawab Manggada “Kami akan berhati-hati.”
"Nah, kau dengar Laksana" berkata ayahnya “Kau bukan anak padukuhan Gemawang. Karena itu, kau harus sangat berhati-hati jika kau melibatkan diri ke dalam persoalan ini ”
"Ya ayah..." jawab Laksana "Aku akan mengingat semua petunjuk kakang Manggada, karena kakang Manggada tentu lebih mengetahui medannya daripada aku.”
"Selanjutnya aku tentu akan mohon paman untuk tetap tinggal untuk sementara disini. Bahkan aku juga mohon Ki Pandi untuk tinggal bersama kami.” berkata Manggada kemudian.
Ki Pandi tersenyum katanya, “Jika hanya untuk menemani kalian berdua, aku tentu tidak berkeberatan.”
"Ya, Ki Pandi, tetapi satu hal yang hendaknya Ki Pandi ingat, bukankah Ki Pandi akan mengajari kami membunyikan seruling sampai kami benar-benar mampu melagukan gending-gending kewiraan, namun juga kidung kesejukan dan kedamaian?”
Ki Pandi justru tertawa, sementara Ki Kertasana dan Ki Citrabawa hanya termangu-mangu saja. Namun baik Ki Kertasana maupun Ki Citrabawa telah menduga bahwa Ki Pandi yang nampaknya tidak lebih dari seorang yang bertubuh bongkok, namun ia tentu seorang yang berilmu tinggi. Tetapi pembicaraan itupun terputus, kerena Nyi Kertasana dan Nyi Citrabawa telah memasuki ruangin itu pula sambil membawa hidangan makan malam bagi mereka.
Setelah makan malam, Manggada dan Laksana masih duduk-duduk di ruang dalam bersama keluarganya dan pamannya serta Ki Pandi. Laksana telah bercerita panjang lebar tentang pengembaraannya dan agaknya sulit untuk dikekang, sekali-sekali anak muda itu telah bercerita pula tentang Ki Pandi.
"Ah, anak itu ternyata memang senang bergurau!" sahut Ki Pandi sambil tersenyum. "Ia juga senang memuji seseorang agak berlebihan. Tetapi aku tahu, ia tidak bermaksud apa-apa kecuali sekedar bergurau.”
Ki Kertasana dan Ki Citrabawa tertawa. Dengan nada rendah Ki Kertasana berkata, “Laksana memang senang bergurau, tetapi aku mempercayainya.”
Ki Pandi pun tertawa juga. Tetapi ia masih berkata, “Aku justru menjadi berdebar-debar jika ceritera angger Laksana itu dipercaya. Karena hal itu akan merupakan beban bagiku.”
Laksana justru tertunduk diam meskipun ia harus menahan tertawanya. Malam itu Manggada dan Laksana menjadi anak-anak muda yang dimanjakan. Mereka tidur di bilik yang bersih diterangi lampu minyak di atas ajug-ajug di sudut biliknya serta disediakan selimut kain panjang untuk melawan angin.
Tetapi kedua orang anak muda itu justru merasa canggung. Sebulan lamanya mereka berada di tengah-tengah hutan yang lebat, dengan hanya sekedar menggunakan kulit kayu sebagai pengganti pakaiannya. Justru karena itu, maka mereka tidak segera dapat tidur, untuk beberapa saat mereka masih saja berbincang kesana-kemari. Namun akhirnya pembicaraan mereka tersangkut pada persoalan yang sedang membuat padukuhan Gemawang di Kademangan Kalegen itu terasa panas.
“Besok kita akan menemui Ki Jagabaya!” desis Manggala.
“Ya!” sahut Laksana “Kita akan melibatkan diri langsung, justru aku ingin menemui dengan kedua orang itu.”
“Jika sudah bertemu?” bertanya Manggada.
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab, Bahkan kemudian ia memiringkan tubuhnya membelakangi Manggada sambil menguap. "Aku ingin tidur" desisnya.
Di bilik yang berada di gandok, Ki Pandi justru sudah tidur nyenyak. Orang tua itu seakan-akan dengan sengaja telah mengosongkan dirinya dari berbagai macam persoalan dan ingin benar-benar menikmati istirahatnya. Di umurnya yang semakin tua Ki Pandi yang terbiasa bertualang itu, sekali-sekali juga ingin berada dalam lingkungan keluarga yang sewajarnya seperti di rumah Ki Kertasana itu.
Tetapi pagi-pagi benar Ki Pandi sudah bangun. Ketika Manggada pergi ke sumur untuk menimba air mengisi pakiwan, Ki Pandi justru sudah mengisi pakiwan itu sampai penuh.
"Sebaiknya aku dan Laksana sajalah yang mengisi jambangan di pakiwan itu, Ki Pandi..." berkata Manggada.
Ki Pandi tersenyum. Katanya “Bukankah aku sekali-sekali juga ingin mandi di pakiwan?”
"Maksudku, biar sajalah Ki Pandi mandi. Tetapi kami sajalah yang mengisinya.”
"Bukankah sama saja? Asal jambangan itu tidak menjadi kosong” jawab Ki Pandi.
"Tetapi sebaiknya kami yang muda-muda sajalah yang mengisinya. Agaknya itu akan lebih pantas”
Ki Pandi menepuk bahu Manggada sambil berkata, “Aku akan mandi kau isi kembali jambangan itu.”
Demikianlah, setelah mandi dan berbenah diri, maka Ki Pandi, Manggada dan Laksana telah duduk di serambi gandok. Namun kemudian merekapun diminta untuk masuk ke ruang dalam untuk minum minuman hangat yang telah disediakan oleh Nyi Kertasana serta beberapa potong makanan yang dibuat oleh Nyi Citrabawa. Sambil makan, maka Manggada dan Laksana kembali menyatakan keinginannya untuk menemui Ki Jagabaya.
"Baiklah..." sahut Ki Kertasana "Tetapi sekali lagi aku pesan kepada kalian, agar kalian berhati-hati. Kalian harus menyesuaikan diri dengan semua rencana Ki Jagabaya. Kalian jangan membuat rencana tersendiri tanpa setahu Ki Jagabaya. Apalagi memotong kebijaksanaan Ki Jagabaya.”
"Baiklah ayah. Jika kami menemui Ki Jagabaya hari ini. kami baru akan menjajagi persoalan yang sebenarnya dihadapi oleh seisi padukuhan ini. Kami tentu akan memohon pertimbangan ayah dan paman Citrabawa. Selebihnya tentu juga Ki Pandi” jawab Manggada.
"Pergilah. Bawa diri kalian baik-baik...”pesan Ki Kertasana.
Sejenak kemudian, maka Manggada dan Laksana telah menyusuri jalan padukuhan menuju ke rumah Ki Jagabaya. Seperti yang telah mereka lihat, padukuhan Gemawang itu menjadi sangat lengang. Bahkan keduanya hampir tidak pernah menjumpai orang-orang yang pernah mereka kenal. Anak-anak kecil juga tidak bermain-main di halaman. Mereka pada umumnya lebih senang bermain di longkangan rumahnya.
Manggada dan Laksana berjalan dengan jantung yang berdebar-debar. Seisi padukuhan Gemawang itu memang benar-benar sedang dicengkam oleh kegelisahan. Ketika mereka sampai di regol halaman rumah Ki Jagabaya, maka regol itu tertutup pula. Tetapi ketika Manggada mendorong regol itu, maka regol itupun terbuka. Ternyata regol itu tidak diselarak dari dalam.
Dengan ragu-ragu keduanya menuju ke pendapa, tetapi mereka tidak melihat siapapun. Karena itu, maka mereka telah pergi ke pintu seketeng. Ternyata pintu seketeng itu tertutup, bahkan diselarak dari dalam. Kedua anak muda itu berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada pun berdesis, “Aku akan mencoba mengetok pintu seketeng ini. Mudah-mudahan ada yang mendengar?”
Laksana mengangguk sambil menjawab, “Ya. Kita memang harus mengetuk pintu. Atau melingkari gandok dan langsung pergi ke dapur!”
Manggadapun kemudian mengetuk pintu seketeng itu. Perlahan-lahan. Namun karena tidak ada seorangpun yang menyahut, maka iapun megetuk semakin keras. Untuk beberapa saat memang tidak ada yang menyahut. Tetapi kemudian keduanya mendengar langkah orang menuju ke pintu. Dengan nada berat terdengar seseorang bertanya,
“Siapa di luar?”
"Aku..." sahut Manggada.
"Aku, siapa?” bertanya suara itu pula.
"Manggada...!”
"Manggada? Aku belum pernah mendengar nama itu?”
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Aku anak Ki Kertasana.”
"Anak Ki Kertasana? Bukankah anak Ki Kertasana tidak berada di rumahnya?”
"Ya. Tetapi kemarin aku sudah pulang...”
Nampaknya suara Manggada cukup meyakinkan. Karena itu, maka terdengar orang di belakang pintu seketeng itu mengangkat selarak dan kemudian mendorong pintu sehingga terbuka. Yang berdiri di belakang pintu ternyata seorang anak muda yang sedikit lebih tua dari Manggada dan Laksana. Namun Manggada segera dapat mengenalinya. Anak muda itu tentu anak Ki Jagabaya.
“Bukankah kau Sampurna?” bertanya Manggada.
Anak muda itu mengerutkan dahinya. Tetapi iapun segera teringat. Anak muda itu adalah Manggada. Kawannya bermain, meskipun umurnya berselisih dua tiga tahun. "Marilah Manggada, masuklah. Kita duduk di serambi...” berkata Sampurna yang wajahnya menjadi cerah.
Manggada dan Laksana melangkah masuk. Manggada kemudian telah memperkenalkan Laksana, adik sepupunya itu. Ketiganyapun kemudian melangkah ke pandapa setelah Sampurna menyelarak pintu itu lagi. Sambil melangkah ke serambi samping, Manggadapun bertanya,
“Apakah kau akan pergi ke satu upacara?”
“Tidak" jawab Sampurna "Aku tidak akan pergi ke mana-mana.”
"Tetapi kau berpakaian lengkap" sahut Manggada.
Sampurna mendorong kerisnya kepunggungnya. Katanya “Aku tidak akan pergi ke sebuah upacara. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, maka aku merasa perlu untuk selalu bersiap-siap”
Manggada mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku melihat suasana yang menegangkan.”
"Apakah Ki Kertasana tidak berceritera tentang keadaan padukuhan Gemawang di saat-saat terkahir?” bertanya Sampurna.
“Ya, Ayah sudah berceritera..." jawab Manggada.
Sampurna menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun membuka pintu serambi dan sekali lagi mempersilahkan kedua anak-anak muda itu duduk di serambi samping.
“Seluruh padukuhan ini terasa sangat sepi” berkata Manggala kemudian.
“Ya, seluruh padukuhan ini sedang dibayangai oleh ketakutan. Berita akan kembalinya Wira Sabet dan Sura Gentong telah membuat semua orang menjadi gelisah. Termasuk ayah. Karena ayah dianggap musuh utama kedua orang itu” jawab Sampurna.
“Dimana Ki Jagabaya sekarang?” bertanya Manggada.
"Ayah sedang pergi ke rumah Ki Bekel. Bagaimanapun juga, ayah harus tetap menjalankan tugasnya. Meskipun ia harus bekerja sendiri?” jawab Sampurna.
"Kenapa sendiri? Bagaimana dengan bebahu padukuhan ini dan apakah hal ini sudah dilaporkan kepada Ki Demang Kalegen?”
"Ki Bekel sudah memberikan laporan. Namun tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Ki Demang di Kalegen. Agaknya nama Wira Sabet dan Sura Gentong benar-benar ditakuti. Apalagi setelah diketahui bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong ternyata telah bekerja sama dengan Ki Sapa Aruh.”
"Ki Sapa Aruh? Maksudmu ada seseorang yang bernama Sapa Aruh!" bertanya Manggada.
"Ya. Memang nama yang aneh. Tetapi orang yang bernama Sapa Aruh itu adalah orang yang memang ditakuti. Bukan hanya di Kademangan Kalegen, tetapi untuk satu lingkungan yang luas!”
"Aku belum pernah mendengar nama itu. Ayahpun tidak menyebut nama Ki Sapa Aruh” berkata Manggada.
"Nama itu sudah lama dikenal. Tetapi bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong diketahui berhubungan dengan Ki Sapa Aruh itu memang baru beberapa hari ini. Kabar yang diterima Ki Bekel tentang hal itu justru dari Kademangan. Mungkin Ki kertasana memang belum mengetahui hal itu”
Manggada mengangguk-angguk. Katanya "Sebelum orang-orang padukuhan ini mengetahui bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong berhubungan dengan Ki Sapa Aruh. mereka sudah menjadi ketakutan. Apalagi jika kemudian mereka mengetahuinya.
"Ya. Sebagaimana para bebahu Kademangan dan bahkan Ki Demang sendiri menjadi gelisah karenanya”
"Apakah Wira Sabet dan Sura Gentong itu telah mengupah Ki Sapa Aruh untuk membantu mereka?” bertanya Laksana.
"Tetapi ingat Manggada. Keduanya tidak berdiri sendiri. Mereka sudah terikat dalam satu keluarga sebuah perguruan. Karena itu, saudara-saudara seperguruannya akan melibatkan diri pula jika harga diri mereka tersinggung."
"Agaknya tidak demikian" jawab Sampurna "Ki Sapa Aruh memang sengaja melibatkan diri karena kepentingannya sendiri. Jika ia berpihak kepada Wira Sabet dan Sura Gentong, maka hal itu akan dapat mengesahkan tindakan-tindakan yang diambilnya kemudian yang jutru bagi kepentingannya sendiri. Merampok dan perbuatan-perbuatan serupa”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara Sampurna berkata “Karena itu, maka agaknya ayah tidak dapat bersandar kepada siapapun juga kecuali kepada dirinya sendiri. Tetapi ayah sudah bertekad, apapun yang terjadi, ayah akan tetap berpijak pada tugas kewajibannya”
"Apakah di seluruh Kademangan ini benar-benar tidak ada orang yang dapat diajak bekerja bersamanya? Ki Jagabaya Kademangan Kalegen misalnya”
"Pada umumnya mereka tidak mau terlibat dalam permusuhan dengan Ki Sapa Aruh karena mencampuri persoalan orang lain. Agaknya persoalan antara ayah dan kedua orang kakak beradik itu dianggap persoalan pribadi sehingga siapa yang melibatkan diri dianggap mencampuri persoalan orang lain.”
"Kedudukan Ki Jagahnya memang menjadi sulit." berkata Manggada.
"Itulah sebabnya ayah memanggil aku pulang!”
"Oh" Manggada mengerutkan keningnya "Kemana kau selama ini sehingga kau harus dipanggil pulang?”
"Aku berguru kepada kakek yang juga guru ayah semasa mudanya. Tetapi karena ayah kemudian sendiri menghadapi persoalan yang terhitung gawat, maka aku telah dipanggil pulang.” jawab Sampurna.
Pembicaraan mereka tiba-tiba terhenti. Seorang gadis keluar sambil membawa minuman hangat. Agaknya Nyi Jagabaya mengetahui bahwa di serambi ada dua orang tamu. Demikian gadis itu meletakkan mangkuk-mangkuk minuman, maka Sampurna itupun bertanya kepada Manggada, "Kau ingat anak ini?”
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab “Ya. Tentu!”
"Siapa?” bertanya Sampurna lagi.
Manggada mulai membayangkan masa remajanya. Gadis itu adalah adik Sampurna. Di masa remaja anak-anak padukuhan Gemawang tidak membatasi permainan antara anak-laki-laki dan perempuan. Kadang-kadang mereka bermain bersama. Namun kadang-kadang memang bermain terpisah antara anak laki-laki dan perempuan. Tiba-tiba saja meluncur dari sela-sela bibirnya, "Tantri, lengkapnya Endang Bintarti...”
"Ingatanmu ternyata cukup cerah. Tantri, siapakah anak muda ini? Kau tentu masih mengenalnya?”
Tantri yang masih masih berdiri sambil memegang nampan itu termangu-mangu. Namun wajahnya mulai menjadi semburat merah. Anak muda itu memang kawan bermainnya di masa kanak kanak. Tetapi kini ia sudah seorang anak muda yang mulai menginjak dewasa. Sedang dirinya sendiripun sudah menjadi seorang gadis.
Tetapi kakaknya itu mendesaknya. He, kau ingat namanya?”
Tantri itu menunduk. Tetapi kemudian terdengar ia menyahut nama, "Manggada...”
“Nah, kau ternyata masih ingat. Ia memang Manggada. Sedang yang seorang lagi adalah saudara sepupunya. Namanya Laksana. Aku juga baru mengenalnya!”
Tantri mengangguk hormat,. Sementara itu Laksanapun mengangguk pula sambil mencoba untuk tersenyum. Tetapi Tantri tidak lama berdiri di serambi itu. Iapun kemudian telah meninggalkan tamu-tamunya kembali ke dapur. Kepada ibunya Tantri berceritera bahwa kedua orang tamu kakaknya itu adalah Manggada dan adik sepupunya.
"Manggada..." ibunya mengingat-ingat.
"Anak laki-laki Ki Kertasana!" sahut Tantri.
"Oh" ibunya mengangguk-angguk "Bukankah ia sudah lama meninggalkan padukuhan ini?”
“Ya. Bahkan Manggada pergi lebih dahulu daripada kakang Sampurna.”
Ibunya masih saja mengangguk-angguk "Ya. Berselisih beberapa tahun...”
Di serambi, Sampurna telah mempersilahkan Manggada dan Laksana minum. Sampurnapun menceriterakan pula bahwa ia pergi kemudian setelah Manggada beberapa tahun mendahuluinya.
"Kedatanganmu tentu memberikan sedikit ketenangan bagi ayahmu." berkata Manggada.
"Aku memang akan mencoba membantu tugas ayah meskipun aku tahu bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong memiliki ilmu yang tinggi setelah ia menempa diri dalam sebuah perguruan. Apalagi setelah keduanya menghubungkan namanya dengan Ki Sapa Arah. Kekuatan meieka benar-benar menggetarkan jantung. Tetapi ayah tidak dapat ingkar akan kewajibannya apapun yang terjadi. Karena aku anaknya, maka akupun harus membantunya sejauh dapat aku lakukan.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Laksana berkata, “Satu tugas yang sangat berat!”
“Ya" jawab Sampurna "Menurut kenyataannya, kami hanya berdua saja. Aku dan ayah. Sementara itu, jumlah kawan-kawan Wira Sabet dan Sura Gentong belum dapat kami ketahui. Mungkin lima, mungkin enam atau bahkan lebih.”
"Jika hanya lima atau enam, kenapa orang se Kademangan tidak berani melawan mereka?” bertanya Laksana. "Betapapun tinggi ilmunya, namun melawan orang se Kademangan, maka sulit bagi mereka untuk dapat menang.”
"Tetapi korbannya tentu banyak sekali. Nah, orang-orang Kademangan ini tidak mau menjadi salah seorang dari korban yang berjatuhan itu. Isteri-isteri merekapun berkeberatan. Demikian pula ayah dan ibu mereka atau kekasih mereka.”
"Tetapi bukankah kita tidak tahu, siapakah korban itu kemudian?" sahut Manggada.
"Justru karena itu. Setiap orang merasa bahwa korban itu kemungkinan adalah diri mereka, suami mereka atau anak-anak mereka yang telah mereka besarkan sejak anak itu lahir”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu. Sampurna berkata, "Tetapi biarlah. Ayah akan tetap bekerja dengan apa yang ada padanya.”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak, namun kemudian Manggada pun berkata kepada Sampurna, “Sebenarnya aku sudah mendengar keberatan terutama orang-orang padukuhan ini, untuk membantu ayahmu yang dianggap sebagai musuh bebuyutan oleh kedua orang itu, meskipun ayahmu tidak bersalah. Seharusnya, ayahmulah yang mendendam, karena ayahmu pernah dilukai sampai keadaannya sangat gawat. Namun justru kedua orang itulah yang mendendam ayahmu.”
"Perempuan yang akan melarikan diri dengan Sura Gentong itu meninggal di rumah ini. jawab Sampurna "Meskipun perempuan itu membunuh dirinya sendiri, namun dendam kedua orang itu ditujukan terutama kepada ayah. Merekapun mengira bahwa kemarahan orang-orang padukahan itu kepada keduanya sehingga keduanya harus mengalami perlakuan buruk adalah karena ayah telah menghasut orang-orang sepadukuhan.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Meskipun agak ragu, Manggada pun kemudian berkata, “Sampurna, kedatanganku kemari, sebenarnyalah karena aku ingin menghadap Ki Jagabaya. Setelah kami mendengar kesulitan yang dihadapi ayahmu, maka kami berniat untuk menyatakan kesediaan diri kami sekeluarga untuk ikut membantunya. Mungkin tenaga kami sekeluarga tidak berarti apa-apa bagi Ki Jagabaya, tetapi kami hanya ingin memancing keberanian orang-orang padukuhan ini untuk bangkit. Jika berhasil dan kemudian banyak orang yang menyatakan kesediaannya membantu kesulitan Ki Jagabaya. Maka rasa-rasanya kami dapat mengatasi kedua orang itu meskipun kemudian ia bekerja sama dengan Ki Sapa Aruh.”
Sampurna mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia tersenyum sambil bertanya, “Jadi kau dan keluargamu menyatakan bersedia untuk membantu ayah?”
"Ya, seperti yang aku katakan tadi, yang penting bukan kemampuan kami. Tetapi kesediaan kami hendaknya dapat membangunkan orang-orang Gemawang khususnya. Kami ingin menggelitik setiap laki-laki di padukuhan ini.”
"Bagus Manggada! Ayah tentu akan mengucapkan terima kasih yang sangat besar kepadamu dan keluargamu.” jawab Sampurna. Namun kemudian nada suaranya menurun "Tetapi jika terjadi sesuatu atas keluargamu atau satu dua di antara keluargamu, maka kami akan merasa telah bersalah karena kami telah menyeret keluargamu ke dalam bencana.”
"Tidak Sampurna...!" jawab Manggada "Persoalannya bukan sekedar ayahmu. Apa yang dilakukan ayahmu itu adalah karena ayahmu seorang Jagabaya. Seandainya ayahmu bukan seorang Jagabaya, maka agaknya iapun tidak akan terlibat sangat jauh dalam persoalan ini”
Sampurna memandang Manggada dan Laksana berganti-ganti. Keduanya masih sangat muda. Beberapa tahun lebih muda dari dirinya sendiri. "Manggada..." berkata Sampurna kemudian "Jika kau menyatakan bersedia untuk membantu ayah bersama keluargamu, berapa orang keluargamu yang sanggup benar-benar membantu ayah dalam pengertian yang paling keras Maksudku, apakah kalian bersedia untuk bertempur?”
"Tentu Sampurna" jawab Manggada "Kami tentu akan bersedia bertempur yang tentu saja setingkat dengan kemampuan kami. Sedangkan yang aku maksud sekeluarga adalah keluarga kami yang terdiri dari lima orang laki-laki. Kami berdua, ayah, paman yang kebetulan ayah Laksana ini, dan seorang tamu kami. Seorang yang sudah tua. Tetapi dalam ketuaannya, ia masih nampak kuat dan tegar!”
Sampurna mengangguk-angguk. Katanya “Kami mengucapkan terima kasih. Tetapi aku minta kalian berpikir dua tiga kali, jika kaitan memang sudah mantap, maka biarlah ayah mengumumkannya. Mudah-mudahan seperti yang kalian maksudkan, orang yang lain akan terpancing dan mengikuti jejak kalian.”
“Kami sudah berpikir dengan masak!” jawab Manggada “Jika Ki Jagabaya tidak berkeberatan, maka kami benar-benar akan melakukannya. Seperti juga Ki Jagabaya, apapun yang terjadi pada keluarga kami!”
Sampurna menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Aku akan menyampaikannya kepada ayah...”
"Nanti sore aku akan datang lagi untuk mohon keterangan langsung dan Ki Jagabaya, apakah Ki Jagabaya akan setuju atau tidak.”
"Ayah tentu akan setuju, karena ayah memang memerlukan kawan. Jika kemudian ayah tidak setuju, itu tentu bukan karena ayah tidak mempercayai kebersihan hati kalian, tetapi semata-mata ayah tidak ingin menyulitkan kedudukan keluargamu di padukuhan ini” berkata Sampurna.
Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun kemudian telah minta diri. Namun Sampurna menahannya sejenak agar mereka dapat bertemu dengan ibunya. Nyi Jagabaya telah mengajak Tantri untuk menemui Manggada dan Laksana. Ternyata demikian Nyi Jagabaya melihat Manggada, maka ia tidak melupakan wajah itu. Apalagi Manggada memang sering bermain di rumahnya, karena ia adalah kawan bermain Tantri dan Sampurna. Manggada dan Laksana mohon maaf, ketika Nyi Jagabaya menahan mereka, agar mereka menunggu Ki Jagabaya.
“Nanti sore kami akan datang lagi Nyi” jawab Manggada.
Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun meninggalkan rumah Ki Jagabaya. Sampurna mengantar mereka sampai di regol halaman. Demikian Manggada dan Laksana turun ke jalan, maka Sampurna itupun berpesan, "Berhati-hatilah kalian berdua. Jalan menjadi sepanas bara api...”
Manggada dan Laksana tersenyum. Sambil mengangguk-angguk Manggada menjawab, “Aku akan berhati-hati...”
Sampurna menunggu beberapa saat di regol halaman rumahnya yang jarang terbuka meskipun tidak diselarak. Baru ketika Manggada dan Laksana melangkah beberapa puluh langkah, maka Sampurnapun segera menutup pintu dan masuk lewat pintu seketeng yang kemudian telah diselaraknya pula.
Ketika kemudian Sampurna menyatakan keinginan Manggada sekeluarga untuk membantu Ki Jagabaya. maka Nyi Jagabayapun berkata, “Kita dapat mengucapkan terima kasih dan bangkit kembali dengan harapan-harapan, atau sebaliknya kita merasa kasihan kepada keluarga Ki Kertasana karena dengan langkah yang diambilnya itu. mereka akan terancam...”
Sampurna mengangguk-angguk pula. Dengan nada dalam ia berkata, “Biarlah ayah memutuskan. Tetapi tanpa bantuan orang lain, maka segala usaha ayah tentu akan sia-sia, kita tahu kedua orang itu telah menempa diri dilandasi oleh dendam yang menyala di hati mereka. Apalagi mereka telah bekerjasama dengan Ki Sapa Aruh yang namanya sangat ditakuti itu”
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Sebagai isteri seorang Jagabaya, maka iapun harus siap menghadapi keadaan seperti itu. Nyi Jagabaya juga menyadari sepenuhya tentang tugas yang diemban oleh suaminya sebagai seorang yang bertanggung jawab terhadap ketenangan hidup seisi padukuhan.
Nyi Jagabaya itupun bergumam hampir kepada dirinya sendiri Justru karena itu, apakah keluarga Ki Kertasana itu menyadari sepenuhnya akan akibat yang dapat terjadi atas langkah yang diambilnya? Apakah keluarga Ki Kertasana itu memiliki sekedar kemampuan untuk melindungi diri mereka.”
Sampurna termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Niat itu sendiri harus kita hargai, ibu. Tetapi untuk selanjutnya biarlah ayah yang menentukan."
Ketika kemudian Ki Jagabaya kembali dari rumah Ki Bekel, maka Sampurna pun segera menemui ayahnya serta menyampaikan kesediaan keluarga Ki Kertasana untuk membantunya jika terjadi sesuatu karena dendam Wira Sabet dan Sura Gentong.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Satu langkah yang berani. Aku tentu akan mengucapkan terima kasih”
"Ibu justru mencemaskan nasib mereka.”
Ayahnya berkata kepada Sampurna kemudian. "Tetapi aku tentu tidak dapat mencegahnya. Jika aku menolak akan dapat terjadi salah paham. Kita akan dapat dianggap merendahkan keluarga itu. Apalagi secara jujur, kita memang memerlukan kesediaan orang-orang padukuhan ini untuk bangkit...”
"Manggada juga mengatakan, bahwa keluarganya ingin memancing sikap para penghuni padukuhan ini...”
"Baiklah. Aku akan menemui mereka...” berkata Ki Jagabaya.
"Manggada akan kembali kemari nanti..." berkata Sampurna.
"Biarlah aku pergi ke rumah Ki Kertasana. Disana aku dapat bertemu bukan saja dengan anak-anak itu. Tetapi juga dengan orang tuanya. Mudah mudahan yang dikatakan Manggada itu bukan sekedar mimpi seorang anak muda tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinannya lebih jauh” berkata Ki Jagabaya.
Sampurna mengangguk-angguk. Sebenarnya ia ingin ikut pergi ke rumah Ki Kertasana, tetapi ia tidak dapat meninggalkan ibu dan adiknya tanpa kawan seorangpun. Pembantu yang ada di rumah itu tentu tidak akan dapat berbuat sesuatu jika datang bahaya mengancam ibu dan adiknya. Karena itu, menjelang sore hari, Ki Jagabaya telah pergi sendiri ke rumah Ki Kertasana, mendahului kedatangan Manggada dan Laksana di rumahnya.
Kedatangan Ki Jagabaya memang mengejutkan. Karena itu dengan tergopoh-gopoh Ki Kertasana mempersilahkan ki Jagabaya naik ke pendapa.
"Kedatangan Ki Jagabaya tidak kami duga. Anakku tadi memang berniat menghadap Ki Jagabaya. Sore ini ia sudah bersiap-siap untuk menghadap pula sebagaimana dijanjikannya.” berkata Ki Kertasana.
Ki Jagabaya tersenyum, katanya, “Aku memang ingin datang ke rumahmu, disini aku dapat bertemu dengan anakmu dengan Ki Kertasana sendiri, dengan sepupunya dan pamannya, ia mengatakan bahwa ada beberapa orang laki laki di rumah ini”
“Benar Ki Jagabaya. Adikku ada disini pula...” jawab Ki Kertasana.
“Nah, aku ingin bertemu dan berbicara dengan mereka sehubungan dengan kedatangan anakmu ke rumahku yang ditemui oleh anakku, Sampurna.”
“Ya, Ki Jagabaya. Manggada memang mengatakan bahwa di rumah Ki Jagabaya ia ditemui oleh angger Sampurna, karena Ki Jagabaya sedang pergi ke rumah Ki Bekel” jawab Ki Kertasana.
"Apakah Ki Kertasana tidak berkeberatan jika aku bertemu dengan mereka?” bertanya Ki Jagabaya.
"Tentu tidak Ki Jagabaya. Baiklah, aku akan memanggil mereka untuk menemui Ki Jagabaya.”
Ki Kertasana itupun kemudian telah masuk ke ruang dalam. Dipanggilnya Ki Citrabawa. Ki Pandi, Manggada dan Laksana untuk menemui Ki Jagabaya. Demikian mereka duduk di pendapa, maka Ki Kertasana pun telah memperkenalkan mereka kepada Ki Jagabaya kecuali Manggada yang memang pernah dikenal oleh Ki Jagabaya saat Manggada masih remaja, karena Manggada adalah kawan Sampurna dan sering bermain ke rumahnya.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Menurut anakmu Manggada, yang agaknya telah mendengar persoalan yang terjadi di padukuhan Gemawang ini. Ki Kertasana sekeluarga telah menyatakan diri bersedia membantu tugas-tugasku sebagai seorang Jagabaya. Dalam hal ini mengalami kegelisahan orang-orang Gemawang karena tingkah laku Wira Sabet dan Sura Gentong.”
Ki Kertasana menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia menjawab. “Ki Jagabaya. Keinginan itu datang dari anakku dan sepupunya setelah mereka melihat kejanggalan yang terjadi di padukuhan ini. Lengang dan gelisah. Karena keduanya berniat dengan sungguh-sungguh, maka kami yang tua-tua tentu tidak akan begitu saja melepaskan mereka. Karena itu, maka kami menyatakan untuk bersedia ikut bersama mereka.”
"Aku mengucapkan terima kasih Ki Kertasana. Aku memang menunggu kesediaan orang-orang padukuhan ini untuk bersama-sama mengatasi persoalan yang sedang kita hadapi bersama. Tetapi ternyata bahwa hati orang-orang Gemawang memang tidak lebih besar dari biji sawi. Kecil, kerdil dan pengecut. Karena itu, pernyataan yang diucapkan oleh Manggada itu telah menggetarkan hatiku dan anakku. Rasa-rasanya pada saat-saat yang paling gawat ini kami tidak sendiri.”
"Ki Jagabaya!" berkata Ki Kertasana "Kesediaan kami untuk bersama-sama dengan Ki Jagabaya dalam hal ini, bukan karena kami memiliki kemampuan lebih baik dari tetangga-tetangga kami. Tetapi semata-mata karena kami merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan padukuhan Gemawang ini. Lebih dari itu, kami berharap bahwa kesediaan kami ini akan dapat memancing keberanian laki-laki Gemawang manghadapi persoalan yang gawat atas padukuhan dan tatanan kehidupannya.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Kami mengerti Ki Kertasana. Kami memang memerlukan sikap seperti itu. Namun demikian, maka biarlah kedua anak dan kemenakanmu itu mengerti, bahwa persoalan yang kita hadapi memang sangat gawat. Orang-orang Gemawang tidak berani bukan saja menghadapi, bahkan menyebut namanyapun mereka sudah gemetar. Menurut berita yang aku terima dari Kademangan, Wira Sabet dan Sura Gentong sudah menyatukan dirinya dengan Ki Sapa Aruh.”
Aku juga baru mendengar dari Manggada selelah manggada pulang dari rumah Ki Jagabaya.” jawab Ki Kertasana.
“Nah. hubungan kedua orang itu dengan Ki Sapa Aruh telah membuat kedudukan mereka menjadi semakin menakutkan orang-orang Gemawang, bahkan orang-orang Kademangan Kalegen menjadi semakin ketakutan...” berkata Ki Jagabaya "Bukan maksudku menakut-nakuti kalian, tetapi aku minta kalian mengetahui dengan pasti, apa yang sedang kita hadapi sekarang.”
“Medannya memang sangat gawat, Ki Jagabaya. Tetapi jika kita tidak bangkit, maka apa yang akan terjadi dengan padukuhan ini?”
"Jadi kalian sudah tahu pasti, apa yang sedang kita hadapi sekarang di Gumawang Ki Kertasana?” bertanya Ki Jagabaya.
“Ya. Ki Jagabaya. Sekali lagi, kami hanya berniat untuk memancing keberanian orang-orang Gemawang...” jawab Ki Kertasana.
"Kemungkinan yang sangat buruk akan dapat terjadi atas kalian sekeluarga jika Wira Sabet dan Sura Gentong menganggap bahwa kalian ikut bersalah. Sebagaimana aku maka kalian harus menerima hukuman, sementara orang-orang Gemawang tidak juga berani bangkit...!”
"Apa boleh buat, Ki Jagabaya. Tetapi aku harap setidak-tidaknya ada beberapa orang yang yang bersedia membantu Ki Jagabaya sebagaimana kami lakukan...”
"Ya. Itulah yang terjadi...!” jawab Ki Kertasana. Lalu katanya, "Tetapi persoalannya tak hanya sekedar dua orang kakak beradik itu akan kembali pulang. Tetapi tentu ada persoalan lain yang menyangkut kepulangan mereka itu.”
"Persoalan apa yang telah memhuat sesisi pedukuhan mi gelisah, ayah?" bertanya Manggada.
“Apakah kau masih ingat dua orang penghuni padukuhan ini yang bernama Wira Sabet dan Sura Gentong" bertanya Ki Kertasana "Nah, mereka berdua itulah yang akan pulang!”
Manggada mencoba mengingat-ingat. Kemudian anak muda itu mangangguk-angguk sambil berkata, “Ya. Aku ingat keduanya. Rumah mereka yang seorang berada di dekat banjar dan yang seorang lagi di sebelah padukuhan. Anak Ki Wira Sabet itu sebaya dengan aku. la kawan bermain waktu aku masih belum meninggalkan padukuhuan ini.”
"Nah, apakah kau ingat bagaimana Ki Wira Sabet itu pergi." bertanya ayahnya.
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berdesis "Tidak. Aku tidak ingat.”
Ki Kertasana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Ceriteranya memang sangat tidak menarik. Seumurmu waktu itu, kau tentu tidak banyak mengerti. Tetapi sekarang kau sudah dewasa, maka tidak ada salahnya jika kau mengerti alasan kepergian mereka berdua.”
Manggada dan Laksana mendengarkan ceritera ayahnya dengan sungguh-sungguh. Sementara Ki Kertasana meneruskannya, "Saat itu Sura Gentong masih nampak jauh lebih muda dari sekarang. Ia ternyata telah berhubungan dengan seorang perempuan yang sudah bersuami, sementara ia sendiri telah beristeri. Ketika orang-orang padukuhan ini sedang memikirkan untuk menyelesaikan persoalannya yang rumit, maka yang tidak diharapkan itu telah terjadi. Sura Gentong dan perempuan itu menjadi gila. Agaknya mereka sepakat untuk mengambil jalan pintas. Sura Gentong membunuh isterinya dan perempuan itu maracun suaminya sampai mati. Tetapi keduanya tidak sempat melarikan diri seperti yang direncanakan. Keduanya gagal melarikan diri karena tetangga-tetangga yang mendengar keributan di rumah Sura Gentong yang membunuh isterinya itu segera mangepungnya dipimpin langsung oleh Ki Jagabaya. Tetapi hal itu didengar pula oleh kakak Sura Gentong. Wira Sabet ternyata membela adiknya. Ketika, terjadi ketegangan dan bahkan kemudian keributan, maka Wira Sabet justru telah melukai Ki Jagabaya. Untunglah bahwa nyawa Ki Jagabaya dapat diselamatkan. Namun Wira Sabet dan Sura Gentong ternyata berhasil melarikan diri, luput dari kejaran orang-orang pedukuhan ini.”
Manggada mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku ingat keributan yang terjadi itu. Tetapi aku memang tidak tahu sebabnya.”
"Nah, sejak saat itu. Wira Sabet dan Sura Gentong menjadi buruan dan tidak berani lagi menginjakkan kakinya di padukuhan ini.”
"Tetapi sekarang mereka akan kembali?" bertanya Manggada.
"Ya. Itulah yang menggelisahkan.” jawab ayahnya.
"Kenapa menggelisahkan? Kenapa orang-orang padukuhan ini tidak bersikap sebagaimana beberapa tahun yang lalu? Bersama-sama menghadapi keduanya. Bukankah dengan demikian maka keduanya tidak akan berani berbuat apa-apa sebagaimana saat itu." bertanya Manggada.
"Ternyata keadaannya sudah berubah. Lebih dari lima tahun keduanya berguru kepada seorang yag sakti di kaki Gunung Kendeng. Nah, dengan ilmu yang tinggi itu, mereka kembali ke kampung halaman. Bahkan bukan hanya berdua, tetapi bersama kawan-kawan seperguruan mereka.”
"Darimana orang-orang padukuhan ini mengetahuinya bahwa keduanya akan kembali bersama saudara-saudara seperguruan mereka?” bertanya Manggada pula.
"Wira Sabet dan Sura Gentong telah menemui seseorang yang sedang berada di sawah. Ia sengaja memberitahukan hal itu untuk disebar-luaskan kapada penghuni padukuhan ini. Bahkan dengan pesan, mereka pada suatu saat akan datang untuk menuntut balas. Sura Gentong semakin mendendam sejak perempuan yang menjadi sumber persoalan itu ternyata telah mati pula.
“Apakah orang-orang di padukuhan ini membunuhnya?” bertanya Laksana.
“Tidak. Perempuan itu memang ditangkap waktu itu dan dibawa ke rumah Ki Jagabaya. Tetapi perempuan itu sangat menyesali perbuatannya. Ia sudah terlanjur membunuh suaminya. Sementara itu ia tidak berhasil melarikan diri bersama Sura Gentong, karena Sura Gentong sendiri harus menghindari kemarahan orang-orang padukuhan ini. Karena itu, maka dalam penyesalan yang tidak tertahankan, perempuan itu telah membunuh diri di ruang tahanannya. Ketika seorang pembantu di rumah Ki Jagabaya akan memberikan makan paginya, ternyata perempuan itu sudah meninggal, tergantung pada selendangnya yang diikatkan pada rusuk atap rumah dengan memanjat geledeg bambu yang ada di bilik itu.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara Ki Pandi mengerutkan dahinya. Dengan suara berat Ki Pandi itu berdesis, “Satu sisi gelap dari kehidupan seseorang. Betapapun manusia di anugerahi akal dan pikiran, namun kadang-kadang manusia sendiri tidak mampu memanfaatkan dengan baik.”
Manggada dan Laksanapun segera teringat kehidupan beberapa jenis binatang di hutan. Mereka tidak mempunyai akal dan pikiran sebagaimana manusia, sehingga mereka tidak tahu arti baik dan buruk. Tidak pula tahu benar dan salah.
Dalam pada itu, Ki Kertasana itupun berkata selanjutnya. "Nah, keadaan itulah yang telah membuat suasana padukuhan ini menjadi gelisah. Bahkan Ki Jagabaya menjadi gelisah pula. Dalam keadaan yang sulit ini, ia tidak berhasil mendapat dukungan dari siapapun di padukuhan ini, karena semua orang dibayangi oleh ketakutan untuk membantunya.”
"Tetapi jika orang-orang padukuhan ini bergerak bersama-sama, maka Wira Sabet dan Sura Gentong tentu akan berpikir dua kali untuk membalas dendam. Bagaimanapun juga mereka tentu tidak ingin hidup dalam suasana yang buruk, yang diwarnai permusuhan dan dendam, sehingga setiap bangun dari tidur, ia sudah merasa dikelilingi oleh musuh-musuhnya.”
"Tetapi tidak ada orang yang berani melakukannya, memusuhi keduanya akan dapat berarti mati bagi mereka.” berkata Ki Kertasana dengan sungguh sungguh.
"Apakah ayah menduga keduanya akan sampai hati membunuh tetangga mereka sendiri" bertanya Manggada.
"Ya, Iblis telah singgah dan bahkan menetap di hati mereka. Dendam itu telah membuat jantung mereka membara...”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada telah berpaling kepada Ki Pandi dan kemudian kepada pamannya. Meskipun agak ragu namun Manggada itupun bertanya,
“Paman. Seperti kedua orang itu, kami juga baru pulang. Apakah menurut paman, kami dapat membantu Ki Jagabaya yang mengalami kesulitan, bahkan mungkin kegelisahan yang sangat.”
Ki Citrabawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika kau merasa terdorong untuk membantu mereka yang hidupnya terancam oleh dendam dan kekelaman hati. Maka kalian dapat melakukannya. Tetapi jika baru sekedar ingin memamerkan kemampuan kalian, maka lebih baik kalian tinggal di belakang pintu tertutup sebagaimana orang lain di padukuhan ini.”
“Kami benar-benar ingin membantu, paman. Bukankah dengan demikian, maka banyak kerja yang terbengkalai, orang yang pergi ke sawah dengan tergesa-gesa pulang dan menutup pintu. Perempuan yang pergi ke pasar di pagi hari pun harus berlari-lari pula. Sedang anak-anak tidak lagi berani bermain di halaman..." jawab Manggada.
Ki Citrabawa mengangguk-angguk, katanya, “Baiklah jika demikian. Besok, pergilah ke rumah Ki Jagabaya, mungkin kalian juga harus menemui Ki Bekel...”
“Baik paman” jawab Manggada “Besok, kami akan menemui mereka...”
“Tetapi ingat Manggada. Keduanya tidak berdiri sendiri. Mereka sudah terikat dalam satu keluarga sebuah perguruan. Karena itu, maka saudara-saudara seperguruan mereka akan melibatkan diri pula jika harga diri mereka diganggu.”
"Baik, paman..." jawab Manggada “Kami akan berhati-hati.”
"Nah, kau dengar Laksana" berkata ayahnya “Kau bukan anak padukuhan Gemawang. Karena itu, kau harus sangat berhati-hati jika kau melibatkan diri ke dalam persoalan ini ”
"Ya ayah..." jawab Laksana "Aku akan mengingat semua petunjuk kakang Manggada, karena kakang Manggada tentu lebih mengetahui medannya daripada aku.”
"Selanjutnya aku tentu akan mohon paman untuk tetap tinggal untuk sementara disini. Bahkan aku juga mohon Ki Pandi untuk tinggal bersama kami.” berkata Manggada kemudian.
Ki Pandi tersenyum katanya, “Jika hanya untuk menemani kalian berdua, aku tentu tidak berkeberatan.”
"Ya, Ki Pandi, tetapi satu hal yang hendaknya Ki Pandi ingat, bukankah Ki Pandi akan mengajari kami membunyikan seruling sampai kami benar-benar mampu melagukan gending-gending kewiraan, namun juga kidung kesejukan dan kedamaian?”
Ki Pandi justru tertawa, sementara Ki Kertasana dan Ki Citrabawa hanya termangu-mangu saja. Namun baik Ki Kertasana maupun Ki Citrabawa telah menduga bahwa Ki Pandi yang nampaknya tidak lebih dari seorang yang bertubuh bongkok, namun ia tentu seorang yang berilmu tinggi. Tetapi pembicaraan itupun terputus, kerena Nyi Kertasana dan Nyi Citrabawa telah memasuki ruangin itu pula sambil membawa hidangan makan malam bagi mereka.
Setelah makan malam, Manggada dan Laksana masih duduk-duduk di ruang dalam bersama keluarganya dan pamannya serta Ki Pandi. Laksana telah bercerita panjang lebar tentang pengembaraannya dan agaknya sulit untuk dikekang, sekali-sekali anak muda itu telah bercerita pula tentang Ki Pandi.
"Ah, anak itu ternyata memang senang bergurau!" sahut Ki Pandi sambil tersenyum. "Ia juga senang memuji seseorang agak berlebihan. Tetapi aku tahu, ia tidak bermaksud apa-apa kecuali sekedar bergurau.”
Ki Kertasana dan Ki Citrabawa tertawa. Dengan nada rendah Ki Kertasana berkata, “Laksana memang senang bergurau, tetapi aku mempercayainya.”
Ki Pandi pun tertawa juga. Tetapi ia masih berkata, “Aku justru menjadi berdebar-debar jika ceritera angger Laksana itu dipercaya. Karena hal itu akan merupakan beban bagiku.”
Laksana justru tertunduk diam meskipun ia harus menahan tertawanya. Malam itu Manggada dan Laksana menjadi anak-anak muda yang dimanjakan. Mereka tidur di bilik yang bersih diterangi lampu minyak di atas ajug-ajug di sudut biliknya serta disediakan selimut kain panjang untuk melawan angin.
Tetapi kedua orang anak muda itu justru merasa canggung. Sebulan lamanya mereka berada di tengah-tengah hutan yang lebat, dengan hanya sekedar menggunakan kulit kayu sebagai pengganti pakaiannya. Justru karena itu, maka mereka tidak segera dapat tidur, untuk beberapa saat mereka masih saja berbincang kesana-kemari. Namun akhirnya pembicaraan mereka tersangkut pada persoalan yang sedang membuat padukuhan Gemawang di Kademangan Kalegen itu terasa panas.
“Besok kita akan menemui Ki Jagabaya!” desis Manggala.
“Ya!” sahut Laksana “Kita akan melibatkan diri langsung, justru aku ingin menemui dengan kedua orang itu.”
“Jika sudah bertemu?” bertanya Manggada.
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab, Bahkan kemudian ia memiringkan tubuhnya membelakangi Manggada sambil menguap. "Aku ingin tidur" desisnya.
Di bilik yang berada di gandok, Ki Pandi justru sudah tidur nyenyak. Orang tua itu seakan-akan dengan sengaja telah mengosongkan dirinya dari berbagai macam persoalan dan ingin benar-benar menikmati istirahatnya. Di umurnya yang semakin tua Ki Pandi yang terbiasa bertualang itu, sekali-sekali juga ingin berada dalam lingkungan keluarga yang sewajarnya seperti di rumah Ki Kertasana itu.
Tetapi pagi-pagi benar Ki Pandi sudah bangun. Ketika Manggada pergi ke sumur untuk menimba air mengisi pakiwan, Ki Pandi justru sudah mengisi pakiwan itu sampai penuh.
"Sebaiknya aku dan Laksana sajalah yang mengisi jambangan di pakiwan itu, Ki Pandi..." berkata Manggada.
Ki Pandi tersenyum. Katanya “Bukankah aku sekali-sekali juga ingin mandi di pakiwan?”
"Maksudku, biar sajalah Ki Pandi mandi. Tetapi kami sajalah yang mengisinya.”
"Bukankah sama saja? Asal jambangan itu tidak menjadi kosong” jawab Ki Pandi.
"Tetapi sebaiknya kami yang muda-muda sajalah yang mengisinya. Agaknya itu akan lebih pantas”
Ki Pandi menepuk bahu Manggada sambil berkata, “Aku akan mandi kau isi kembali jambangan itu.”
Demikianlah, setelah mandi dan berbenah diri, maka Ki Pandi, Manggada dan Laksana telah duduk di serambi gandok. Namun kemudian merekapun diminta untuk masuk ke ruang dalam untuk minum minuman hangat yang telah disediakan oleh Nyi Kertasana serta beberapa potong makanan yang dibuat oleh Nyi Citrabawa. Sambil makan, maka Manggada dan Laksana kembali menyatakan keinginannya untuk menemui Ki Jagabaya.
"Baiklah..." sahut Ki Kertasana "Tetapi sekali lagi aku pesan kepada kalian, agar kalian berhati-hati. Kalian harus menyesuaikan diri dengan semua rencana Ki Jagabaya. Kalian jangan membuat rencana tersendiri tanpa setahu Ki Jagabaya. Apalagi memotong kebijaksanaan Ki Jagabaya.”
"Baiklah ayah. Jika kami menemui Ki Jagabaya hari ini. kami baru akan menjajagi persoalan yang sebenarnya dihadapi oleh seisi padukuhan ini. Kami tentu akan memohon pertimbangan ayah dan paman Citrabawa. Selebihnya tentu juga Ki Pandi” jawab Manggada.
"Pergilah. Bawa diri kalian baik-baik...”pesan Ki Kertasana.
Sejenak kemudian, maka Manggada dan Laksana telah menyusuri jalan padukuhan menuju ke rumah Ki Jagabaya. Seperti yang telah mereka lihat, padukuhan Gemawang itu menjadi sangat lengang. Bahkan keduanya hampir tidak pernah menjumpai orang-orang yang pernah mereka kenal. Anak-anak kecil juga tidak bermain-main di halaman. Mereka pada umumnya lebih senang bermain di longkangan rumahnya.
Manggada dan Laksana berjalan dengan jantung yang berdebar-debar. Seisi padukuhan Gemawang itu memang benar-benar sedang dicengkam oleh kegelisahan. Ketika mereka sampai di regol halaman rumah Ki Jagabaya, maka regol itu tertutup pula. Tetapi ketika Manggada mendorong regol itu, maka regol itupun terbuka. Ternyata regol itu tidak diselarak dari dalam.
Dengan ragu-ragu keduanya menuju ke pendapa, tetapi mereka tidak melihat siapapun. Karena itu, maka mereka telah pergi ke pintu seketeng. Ternyata pintu seketeng itu tertutup, bahkan diselarak dari dalam. Kedua anak muda itu berpandangan sejenak. Namun kemudian Manggada pun berdesis, “Aku akan mencoba mengetok pintu seketeng ini. Mudah-mudahan ada yang mendengar?”
Laksana mengangguk sambil menjawab, “Ya. Kita memang harus mengetuk pintu. Atau melingkari gandok dan langsung pergi ke dapur!”
Manggadapun kemudian mengetuk pintu seketeng itu. Perlahan-lahan. Namun karena tidak ada seorangpun yang menyahut, maka iapun megetuk semakin keras. Untuk beberapa saat memang tidak ada yang menyahut. Tetapi kemudian keduanya mendengar langkah orang menuju ke pintu. Dengan nada berat terdengar seseorang bertanya,
“Siapa di luar?”
"Aku..." sahut Manggada.
"Aku, siapa?” bertanya suara itu pula.
"Manggada...!”
"Manggada? Aku belum pernah mendengar nama itu?”
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Aku anak Ki Kertasana.”
"Anak Ki Kertasana? Bukankah anak Ki Kertasana tidak berada di rumahnya?”
"Ya. Tetapi kemarin aku sudah pulang...”
Nampaknya suara Manggada cukup meyakinkan. Karena itu, maka terdengar orang di belakang pintu seketeng itu mengangkat selarak dan kemudian mendorong pintu sehingga terbuka. Yang berdiri di belakang pintu ternyata seorang anak muda yang sedikit lebih tua dari Manggada dan Laksana. Namun Manggada segera dapat mengenalinya. Anak muda itu tentu anak Ki Jagabaya.
“Bukankah kau Sampurna?” bertanya Manggada.
Anak muda itu mengerutkan dahinya. Tetapi iapun segera teringat. Anak muda itu adalah Manggada. Kawannya bermain, meskipun umurnya berselisih dua tiga tahun. "Marilah Manggada, masuklah. Kita duduk di serambi...” berkata Sampurna yang wajahnya menjadi cerah.
Manggada dan Laksana melangkah masuk. Manggada kemudian telah memperkenalkan Laksana, adik sepupunya itu. Ketiganyapun kemudian melangkah ke pandapa setelah Sampurna menyelarak pintu itu lagi. Sambil melangkah ke serambi samping, Manggadapun bertanya,
“Apakah kau akan pergi ke satu upacara?”
“Tidak" jawab Sampurna "Aku tidak akan pergi ke mana-mana.”
"Tetapi kau berpakaian lengkap" sahut Manggada.
Sampurna mendorong kerisnya kepunggungnya. Katanya “Aku tidak akan pergi ke sebuah upacara. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, maka aku merasa perlu untuk selalu bersiap-siap”
Manggada mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku melihat suasana yang menegangkan.”
"Apakah Ki Kertasana tidak berceritera tentang keadaan padukuhan Gemawang di saat-saat terkahir?” bertanya Sampurna.
“Ya, Ayah sudah berceritera..." jawab Manggada.
Sampurna menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun membuka pintu serambi dan sekali lagi mempersilahkan kedua anak-anak muda itu duduk di serambi samping.
“Seluruh padukuhan ini terasa sangat sepi” berkata Manggala kemudian.
“Ya, seluruh padukuhan ini sedang dibayangai oleh ketakutan. Berita akan kembalinya Wira Sabet dan Sura Gentong telah membuat semua orang menjadi gelisah. Termasuk ayah. Karena ayah dianggap musuh utama kedua orang itu” jawab Sampurna.
“Dimana Ki Jagabaya sekarang?” bertanya Manggada.
"Ayah sedang pergi ke rumah Ki Bekel. Bagaimanapun juga, ayah harus tetap menjalankan tugasnya. Meskipun ia harus bekerja sendiri?” jawab Sampurna.
"Kenapa sendiri? Bagaimana dengan bebahu padukuhan ini dan apakah hal ini sudah dilaporkan kepada Ki Demang Kalegen?”
"Ki Bekel sudah memberikan laporan. Namun tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Ki Demang di Kalegen. Agaknya nama Wira Sabet dan Sura Gentong benar-benar ditakuti. Apalagi setelah diketahui bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong ternyata telah bekerja sama dengan Ki Sapa Aruh.”
"Ki Sapa Aruh? Maksudmu ada seseorang yang bernama Sapa Aruh!" bertanya Manggada.
"Ya. Memang nama yang aneh. Tetapi orang yang bernama Sapa Aruh itu adalah orang yang memang ditakuti. Bukan hanya di Kademangan Kalegen, tetapi untuk satu lingkungan yang luas!”
"Aku belum pernah mendengar nama itu. Ayahpun tidak menyebut nama Ki Sapa Aruh” berkata Manggada.
"Nama itu sudah lama dikenal. Tetapi bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong diketahui berhubungan dengan Ki Sapa Aruh itu memang baru beberapa hari ini. Kabar yang diterima Ki Bekel tentang hal itu justru dari Kademangan. Mungkin Ki kertasana memang belum mengetahui hal itu”
Manggada mengangguk-angguk. Katanya "Sebelum orang-orang padukuhan ini mengetahui bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong berhubungan dengan Ki Sapa Aruh. mereka sudah menjadi ketakutan. Apalagi jika kemudian mereka mengetahuinya.
"Ya. Sebagaimana para bebahu Kademangan dan bahkan Ki Demang sendiri menjadi gelisah karenanya”
"Apakah Wira Sabet dan Sura Gentong itu telah mengupah Ki Sapa Aruh untuk membantu mereka?” bertanya Laksana.
"Tetapi ingat Manggada. Keduanya tidak berdiri sendiri. Mereka sudah terikat dalam satu keluarga sebuah perguruan. Karena itu, saudara-saudara seperguruannya akan melibatkan diri pula jika harga diri mereka tersinggung."
"Agaknya tidak demikian" jawab Sampurna "Ki Sapa Aruh memang sengaja melibatkan diri karena kepentingannya sendiri. Jika ia berpihak kepada Wira Sabet dan Sura Gentong, maka hal itu akan dapat mengesahkan tindakan-tindakan yang diambilnya kemudian yang jutru bagi kepentingannya sendiri. Merampok dan perbuatan-perbuatan serupa”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara Sampurna berkata “Karena itu, maka agaknya ayah tidak dapat bersandar kepada siapapun juga kecuali kepada dirinya sendiri. Tetapi ayah sudah bertekad, apapun yang terjadi, ayah akan tetap berpijak pada tugas kewajibannya”
"Apakah di seluruh Kademangan ini benar-benar tidak ada orang yang dapat diajak bekerja bersamanya? Ki Jagabaya Kademangan Kalegen misalnya”
"Pada umumnya mereka tidak mau terlibat dalam permusuhan dengan Ki Sapa Aruh karena mencampuri persoalan orang lain. Agaknya persoalan antara ayah dan kedua orang kakak beradik itu dianggap persoalan pribadi sehingga siapa yang melibatkan diri dianggap mencampuri persoalan orang lain.”
"Kedudukan Ki Jagahnya memang menjadi sulit." berkata Manggada.
"Itulah sebabnya ayah memanggil aku pulang!”
"Oh" Manggada mengerutkan keningnya "Kemana kau selama ini sehingga kau harus dipanggil pulang?”
"Aku berguru kepada kakek yang juga guru ayah semasa mudanya. Tetapi karena ayah kemudian sendiri menghadapi persoalan yang terhitung gawat, maka aku telah dipanggil pulang.” jawab Sampurna.
Pembicaraan mereka tiba-tiba terhenti. Seorang gadis keluar sambil membawa minuman hangat. Agaknya Nyi Jagabaya mengetahui bahwa di serambi ada dua orang tamu. Demikian gadis itu meletakkan mangkuk-mangkuk minuman, maka Sampurna itupun bertanya kepada Manggada, "Kau ingat anak ini?”
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab “Ya. Tentu!”
"Siapa?” bertanya Sampurna lagi.
Manggada mulai membayangkan masa remajanya. Gadis itu adalah adik Sampurna. Di masa remaja anak-anak padukuhan Gemawang tidak membatasi permainan antara anak-laki-laki dan perempuan. Kadang-kadang mereka bermain bersama. Namun kadang-kadang memang bermain terpisah antara anak laki-laki dan perempuan. Tiba-tiba saja meluncur dari sela-sela bibirnya, "Tantri, lengkapnya Endang Bintarti...”
"Ingatanmu ternyata cukup cerah. Tantri, siapakah anak muda ini? Kau tentu masih mengenalnya?”
Tantri yang masih masih berdiri sambil memegang nampan itu termangu-mangu. Namun wajahnya mulai menjadi semburat merah. Anak muda itu memang kawan bermainnya di masa kanak kanak. Tetapi kini ia sudah seorang anak muda yang mulai menginjak dewasa. Sedang dirinya sendiripun sudah menjadi seorang gadis.
Tetapi kakaknya itu mendesaknya. He, kau ingat namanya?”
Tantri itu menunduk. Tetapi kemudian terdengar ia menyahut nama, "Manggada...”
“Nah, kau ternyata masih ingat. Ia memang Manggada. Sedang yang seorang lagi adalah saudara sepupunya. Namanya Laksana. Aku juga baru mengenalnya!”
Tantri mengangguk hormat,. Sementara itu Laksanapun mengangguk pula sambil mencoba untuk tersenyum. Tetapi Tantri tidak lama berdiri di serambi itu. Iapun kemudian telah meninggalkan tamu-tamunya kembali ke dapur. Kepada ibunya Tantri berceritera bahwa kedua orang tamu kakaknya itu adalah Manggada dan adik sepupunya.
"Manggada..." ibunya mengingat-ingat.
"Anak laki-laki Ki Kertasana!" sahut Tantri.
"Oh" ibunya mengangguk-angguk "Bukankah ia sudah lama meninggalkan padukuhan ini?”
“Ya. Bahkan Manggada pergi lebih dahulu daripada kakang Sampurna.”
Ibunya masih saja mengangguk-angguk "Ya. Berselisih beberapa tahun...”
Di serambi, Sampurna telah mempersilahkan Manggada dan Laksana minum. Sampurnapun menceriterakan pula bahwa ia pergi kemudian setelah Manggada beberapa tahun mendahuluinya.
"Kedatanganmu tentu memberikan sedikit ketenangan bagi ayahmu." berkata Manggada.
"Aku memang akan mencoba membantu tugas ayah meskipun aku tahu bahwa Wira Sabet dan Sura Gentong memiliki ilmu yang tinggi setelah ia menempa diri dalam sebuah perguruan. Apalagi setelah keduanya menghubungkan namanya dengan Ki Sapa Arah. Kekuatan meieka benar-benar menggetarkan jantung. Tetapi ayah tidak dapat ingkar akan kewajibannya apapun yang terjadi. Karena aku anaknya, maka akupun harus membantunya sejauh dapat aku lakukan.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Laksana berkata, “Satu tugas yang sangat berat!”
“Ya" jawab Sampurna "Menurut kenyataannya, kami hanya berdua saja. Aku dan ayah. Sementara itu, jumlah kawan-kawan Wira Sabet dan Sura Gentong belum dapat kami ketahui. Mungkin lima, mungkin enam atau bahkan lebih.”
"Jika hanya lima atau enam, kenapa orang se Kademangan tidak berani melawan mereka?” bertanya Laksana. "Betapapun tinggi ilmunya, namun melawan orang se Kademangan, maka sulit bagi mereka untuk dapat menang.”
"Tetapi korbannya tentu banyak sekali. Nah, orang-orang Kademangan ini tidak mau menjadi salah seorang dari korban yang berjatuhan itu. Isteri-isteri merekapun berkeberatan. Demikian pula ayah dan ibu mereka atau kekasih mereka.”
"Tetapi bukankah kita tidak tahu, siapakah korban itu kemudian?" sahut Manggada.
"Justru karena itu. Setiap orang merasa bahwa korban itu kemungkinan adalah diri mereka, suami mereka atau anak-anak mereka yang telah mereka besarkan sejak anak itu lahir”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu. Sampurna berkata, "Tetapi biarlah. Ayah akan tetap bekerja dengan apa yang ada padanya.”
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak, namun kemudian Manggada pun berkata kepada Sampurna, “Sebenarnya aku sudah mendengar keberatan terutama orang-orang padukuhan ini, untuk membantu ayahmu yang dianggap sebagai musuh bebuyutan oleh kedua orang itu, meskipun ayahmu tidak bersalah. Seharusnya, ayahmulah yang mendendam, karena ayahmu pernah dilukai sampai keadaannya sangat gawat. Namun justru kedua orang itulah yang mendendam ayahmu.”
"Perempuan yang akan melarikan diri dengan Sura Gentong itu meninggal di rumah ini. jawab Sampurna "Meskipun perempuan itu membunuh dirinya sendiri, namun dendam kedua orang itu ditujukan terutama kepada ayah. Merekapun mengira bahwa kemarahan orang-orang padukahan itu kepada keduanya sehingga keduanya harus mengalami perlakuan buruk adalah karena ayah telah menghasut orang-orang sepadukuhan.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Meskipun agak ragu, Manggada pun kemudian berkata, “Sampurna, kedatanganku kemari, sebenarnyalah karena aku ingin menghadap Ki Jagabaya. Setelah kami mendengar kesulitan yang dihadapi ayahmu, maka kami berniat untuk menyatakan kesediaan diri kami sekeluarga untuk ikut membantunya. Mungkin tenaga kami sekeluarga tidak berarti apa-apa bagi Ki Jagabaya, tetapi kami hanya ingin memancing keberanian orang-orang padukuhan ini untuk bangkit. Jika berhasil dan kemudian banyak orang yang menyatakan kesediaannya membantu kesulitan Ki Jagabaya. Maka rasa-rasanya kami dapat mengatasi kedua orang itu meskipun kemudian ia bekerja sama dengan Ki Sapa Aruh.”
Sampurna mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia tersenyum sambil bertanya, “Jadi kau dan keluargamu menyatakan bersedia untuk membantu ayah?”
"Ya, seperti yang aku katakan tadi, yang penting bukan kemampuan kami. Tetapi kesediaan kami hendaknya dapat membangunkan orang-orang Gemawang khususnya. Kami ingin menggelitik setiap laki-laki di padukuhan ini.”
"Bagus Manggada! Ayah tentu akan mengucapkan terima kasih yang sangat besar kepadamu dan keluargamu.” jawab Sampurna. Namun kemudian nada suaranya menurun "Tetapi jika terjadi sesuatu atas keluargamu atau satu dua di antara keluargamu, maka kami akan merasa telah bersalah karena kami telah menyeret keluargamu ke dalam bencana.”
"Tidak Sampurna...!" jawab Manggada "Persoalannya bukan sekedar ayahmu. Apa yang dilakukan ayahmu itu adalah karena ayahmu seorang Jagabaya. Seandainya ayahmu bukan seorang Jagabaya, maka agaknya iapun tidak akan terlibat sangat jauh dalam persoalan ini”
Sampurna memandang Manggada dan Laksana berganti-ganti. Keduanya masih sangat muda. Beberapa tahun lebih muda dari dirinya sendiri. "Manggada..." berkata Sampurna kemudian "Jika kau menyatakan bersedia untuk membantu ayah bersama keluargamu, berapa orang keluargamu yang sanggup benar-benar membantu ayah dalam pengertian yang paling keras Maksudku, apakah kalian bersedia untuk bertempur?”
"Tentu Sampurna" jawab Manggada "Kami tentu akan bersedia bertempur yang tentu saja setingkat dengan kemampuan kami. Sedangkan yang aku maksud sekeluarga adalah keluarga kami yang terdiri dari lima orang laki-laki. Kami berdua, ayah, paman yang kebetulan ayah Laksana ini, dan seorang tamu kami. Seorang yang sudah tua. Tetapi dalam ketuaannya, ia masih nampak kuat dan tegar!”
Sampurna mengangguk-angguk. Katanya “Kami mengucapkan terima kasih. Tetapi aku minta kalian berpikir dua tiga kali, jika kaitan memang sudah mantap, maka biarlah ayah mengumumkannya. Mudah-mudahan seperti yang kalian maksudkan, orang yang lain akan terpancing dan mengikuti jejak kalian.”
“Kami sudah berpikir dengan masak!” jawab Manggada “Jika Ki Jagabaya tidak berkeberatan, maka kami benar-benar akan melakukannya. Seperti juga Ki Jagabaya, apapun yang terjadi pada keluarga kami!”
Sampurna menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Aku akan menyampaikannya kepada ayah...”
"Nanti sore aku akan datang lagi untuk mohon keterangan langsung dan Ki Jagabaya, apakah Ki Jagabaya akan setuju atau tidak.”
"Ayah tentu akan setuju, karena ayah memang memerlukan kawan. Jika kemudian ayah tidak setuju, itu tentu bukan karena ayah tidak mempercayai kebersihan hati kalian, tetapi semata-mata ayah tidak ingin menyulitkan kedudukan keluargamu di padukuhan ini” berkata Sampurna.
Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun kemudian telah minta diri. Namun Sampurna menahannya sejenak agar mereka dapat bertemu dengan ibunya. Nyi Jagabaya telah mengajak Tantri untuk menemui Manggada dan Laksana. Ternyata demikian Nyi Jagabaya melihat Manggada, maka ia tidak melupakan wajah itu. Apalagi Manggada memang sering bermain di rumahnya, karena ia adalah kawan bermain Tantri dan Sampurna. Manggada dan Laksana mohon maaf, ketika Nyi Jagabaya menahan mereka, agar mereka menunggu Ki Jagabaya.
“Nanti sore kami akan datang lagi Nyi” jawab Manggada.
Demikianlah, maka Manggada dan Laksanapun meninggalkan rumah Ki Jagabaya. Sampurna mengantar mereka sampai di regol halaman. Demikian Manggada dan Laksana turun ke jalan, maka Sampurna itupun berpesan, "Berhati-hatilah kalian berdua. Jalan menjadi sepanas bara api...”
Manggada dan Laksana tersenyum. Sambil mengangguk-angguk Manggada menjawab, “Aku akan berhati-hati...”
Sampurna menunggu beberapa saat di regol halaman rumahnya yang jarang terbuka meskipun tidak diselarak. Baru ketika Manggada dan Laksana melangkah beberapa puluh langkah, maka Sampurnapun segera menutup pintu dan masuk lewat pintu seketeng yang kemudian telah diselaraknya pula.
Ketika kemudian Sampurna menyatakan keinginan Manggada sekeluarga untuk membantu Ki Jagabaya. maka Nyi Jagabayapun berkata, “Kita dapat mengucapkan terima kasih dan bangkit kembali dengan harapan-harapan, atau sebaliknya kita merasa kasihan kepada keluarga Ki Kertasana karena dengan langkah yang diambilnya itu. mereka akan terancam...”
Sampurna mengangguk-angguk pula. Dengan nada dalam ia berkata, “Biarlah ayah memutuskan. Tetapi tanpa bantuan orang lain, maka segala usaha ayah tentu akan sia-sia, kita tahu kedua orang itu telah menempa diri dilandasi oleh dendam yang menyala di hati mereka. Apalagi mereka telah bekerjasama dengan Ki Sapa Aruh yang namanya sangat ditakuti itu”
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Sebagai isteri seorang Jagabaya, maka iapun harus siap menghadapi keadaan seperti itu. Nyi Jagabaya juga menyadari sepenuhya tentang tugas yang diemban oleh suaminya sebagai seorang yang bertanggung jawab terhadap ketenangan hidup seisi padukuhan.
Nyi Jagabaya itupun bergumam hampir kepada dirinya sendiri Justru karena itu, apakah keluarga Ki Kertasana itu menyadari sepenuhnya akan akibat yang dapat terjadi atas langkah yang diambilnya? Apakah keluarga Ki Kertasana itu memiliki sekedar kemampuan untuk melindungi diri mereka.”
Sampurna termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Niat itu sendiri harus kita hargai, ibu. Tetapi untuk selanjutnya biarlah ayah yang menentukan."
Ketika kemudian Ki Jagabaya kembali dari rumah Ki Bekel, maka Sampurna pun segera menemui ayahnya serta menyampaikan kesediaan keluarga Ki Kertasana untuk membantunya jika terjadi sesuatu karena dendam Wira Sabet dan Sura Gentong.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Satu langkah yang berani. Aku tentu akan mengucapkan terima kasih”
"Ibu justru mencemaskan nasib mereka.”
Ayahnya berkata kepada Sampurna kemudian. "Tetapi aku tentu tidak dapat mencegahnya. Jika aku menolak akan dapat terjadi salah paham. Kita akan dapat dianggap merendahkan keluarga itu. Apalagi secara jujur, kita memang memerlukan kesediaan orang-orang padukuhan ini untuk bangkit...”
"Manggada juga mengatakan, bahwa keluarganya ingin memancing sikap para penghuni padukuhan ini...”
"Baiklah. Aku akan menemui mereka...” berkata Ki Jagabaya.
"Manggada akan kembali kemari nanti..." berkata Sampurna.
"Biarlah aku pergi ke rumah Ki Kertasana. Disana aku dapat bertemu bukan saja dengan anak-anak itu. Tetapi juga dengan orang tuanya. Mudah mudahan yang dikatakan Manggada itu bukan sekedar mimpi seorang anak muda tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinannya lebih jauh” berkata Ki Jagabaya.
Sampurna mengangguk-angguk. Sebenarnya ia ingin ikut pergi ke rumah Ki Kertasana, tetapi ia tidak dapat meninggalkan ibu dan adiknya tanpa kawan seorangpun. Pembantu yang ada di rumah itu tentu tidak akan dapat berbuat sesuatu jika datang bahaya mengancam ibu dan adiknya. Karena itu, menjelang sore hari, Ki Jagabaya telah pergi sendiri ke rumah Ki Kertasana, mendahului kedatangan Manggada dan Laksana di rumahnya.
Kedatangan Ki Jagabaya memang mengejutkan. Karena itu dengan tergopoh-gopoh Ki Kertasana mempersilahkan ki Jagabaya naik ke pendapa.
"Kedatangan Ki Jagabaya tidak kami duga. Anakku tadi memang berniat menghadap Ki Jagabaya. Sore ini ia sudah bersiap-siap untuk menghadap pula sebagaimana dijanjikannya.” berkata Ki Kertasana.
Ki Jagabaya tersenyum, katanya, “Aku memang ingin datang ke rumahmu, disini aku dapat bertemu dengan anakmu dengan Ki Kertasana sendiri, dengan sepupunya dan pamannya, ia mengatakan bahwa ada beberapa orang laki laki di rumah ini”
“Benar Ki Jagabaya. Adikku ada disini pula...” jawab Ki Kertasana.
“Nah, aku ingin bertemu dan berbicara dengan mereka sehubungan dengan kedatangan anakmu ke rumahku yang ditemui oleh anakku, Sampurna.”
“Ya, Ki Jagabaya. Manggada memang mengatakan bahwa di rumah Ki Jagabaya ia ditemui oleh angger Sampurna, karena Ki Jagabaya sedang pergi ke rumah Ki Bekel” jawab Ki Kertasana.
"Apakah Ki Kertasana tidak berkeberatan jika aku bertemu dengan mereka?” bertanya Ki Jagabaya.
"Tentu tidak Ki Jagabaya. Baiklah, aku akan memanggil mereka untuk menemui Ki Jagabaya.”
Ki Kertasana itupun kemudian telah masuk ke ruang dalam. Dipanggilnya Ki Citrabawa. Ki Pandi, Manggada dan Laksana untuk menemui Ki Jagabaya. Demikian mereka duduk di pendapa, maka Ki Kertasana pun telah memperkenalkan mereka kepada Ki Jagabaya kecuali Manggada yang memang pernah dikenal oleh Ki Jagabaya saat Manggada masih remaja, karena Manggada adalah kawan Sampurna dan sering bermain ke rumahnya.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Menurut anakmu Manggada, yang agaknya telah mendengar persoalan yang terjadi di padukuhan Gemawang ini. Ki Kertasana sekeluarga telah menyatakan diri bersedia membantu tugas-tugasku sebagai seorang Jagabaya. Dalam hal ini mengalami kegelisahan orang-orang Gemawang karena tingkah laku Wira Sabet dan Sura Gentong.”
Ki Kertasana menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia menjawab. “Ki Jagabaya. Keinginan itu datang dari anakku dan sepupunya setelah mereka melihat kejanggalan yang terjadi di padukuhan ini. Lengang dan gelisah. Karena keduanya berniat dengan sungguh-sungguh, maka kami yang tua-tua tentu tidak akan begitu saja melepaskan mereka. Karena itu, maka kami menyatakan untuk bersedia ikut bersama mereka.”
"Aku mengucapkan terima kasih Ki Kertasana. Aku memang menunggu kesediaan orang-orang padukuhan ini untuk bersama-sama mengatasi persoalan yang sedang kita hadapi bersama. Tetapi ternyata bahwa hati orang-orang Gemawang memang tidak lebih besar dari biji sawi. Kecil, kerdil dan pengecut. Karena itu, pernyataan yang diucapkan oleh Manggada itu telah menggetarkan hatiku dan anakku. Rasa-rasanya pada saat-saat yang paling gawat ini kami tidak sendiri.”
"Ki Jagabaya!" berkata Ki Kertasana "Kesediaan kami untuk bersama-sama dengan Ki Jagabaya dalam hal ini, bukan karena kami memiliki kemampuan lebih baik dari tetangga-tetangga kami. Tetapi semata-mata karena kami merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan padukuhan Gemawang ini. Lebih dari itu, kami berharap bahwa kesediaan kami ini akan dapat memancing keberanian laki-laki Gemawang manghadapi persoalan yang gawat atas padukuhan dan tatanan kehidupannya.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Katanya, “Kami mengerti Ki Kertasana. Kami memang memerlukan sikap seperti itu. Namun demikian, maka biarlah kedua anak dan kemenakanmu itu mengerti, bahwa persoalan yang kita hadapi memang sangat gawat. Orang-orang Gemawang tidak berani bukan saja menghadapi, bahkan menyebut namanyapun mereka sudah gemetar. Menurut berita yang aku terima dari Kademangan, Wira Sabet dan Sura Gentong sudah menyatukan dirinya dengan Ki Sapa Aruh.”
Aku juga baru mendengar dari Manggada selelah manggada pulang dari rumah Ki Jagabaya.” jawab Ki Kertasana.
“Nah. hubungan kedua orang itu dengan Ki Sapa Aruh telah membuat kedudukan mereka menjadi semakin menakutkan orang-orang Gemawang, bahkan orang-orang Kademangan Kalegen menjadi semakin ketakutan...” berkata Ki Jagabaya "Bukan maksudku menakut-nakuti kalian, tetapi aku minta kalian mengetahui dengan pasti, apa yang sedang kita hadapi sekarang.”
“Medannya memang sangat gawat, Ki Jagabaya. Tetapi jika kita tidak bangkit, maka apa yang akan terjadi dengan padukuhan ini?”
"Jadi kalian sudah tahu pasti, apa yang sedang kita hadapi sekarang di Gumawang Ki Kertasana?” bertanya Ki Jagabaya.
“Ya. Ki Jagabaya. Sekali lagi, kami hanya berniat untuk memancing keberanian orang-orang Gemawang...” jawab Ki Kertasana.
"Kemungkinan yang sangat buruk akan dapat terjadi atas kalian sekeluarga jika Wira Sabet dan Sura Gentong menganggap bahwa kalian ikut bersalah. Sebagaimana aku maka kalian harus menerima hukuman, sementara orang-orang Gemawang tidak juga berani bangkit...!”
"Apa boleh buat, Ki Jagabaya. Tetapi aku harap setidak-tidaknya ada beberapa orang yang yang bersedia membantu Ki Jagabaya sebagaimana kami lakukan...”
Selanjutnya,