Sejuknya Kampung Halaman Bagian 11

Cerita Silat Indonesia Serial Arya Manggada episode Sejuknya Kampung Halaman Bagian 11 karya Singgih Hadi Mintardja
Sonny Ogawa

Sejuknya Kampung Halaman

Bagian 11
Cerita silat Indonesia Seri Arya Manggada Karya SH Mintardja
KEDUA kawannya tidak menyahut, sementara itu Laksana, Sampurna dan Manggada telah menjadi semakin dekat. Laksana yang berdiri paling depan itulah yang bertanya “He, siapakah kalian yang telah berani menghentikan kami bertiga yang sedang menelusuri jalan-jalan padukuhan kami sendiri.”

“Anak iblis...” geram orang tertua dari ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu “kau-kira kau berbicara dengan siapa?”

“Jika aku tahu, aku tidak akan bertanya” sahut Laksana dengan lantang.”

“Kami datang untuk menangkap kalian dan membawa kalian ke tempat kami...” jawab salah seorang dari ketiga orang itu.

Laksana tertawa. Katanya “Kau kira, kau berbicara dengan siapa, he?”

Ketiga orang itu menggeram. Hampir bersamaan mereka mengumpat. Seorang di antara mereka berkata “Siapakah di antara kalian yang bernama Sampurna, anak Ki Jagabaya?"

Hampir bersamaan pula ketiga orang anak muda itu menjawab, “Aku...”

Tetapi mereka bertiga justru terkejut. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian mereka bertiga tertawa meledak. Wajah ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu menjadi merah padam. Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa mereka akan mendapat perlakuan yang demikian menyakitkan hati dari tiga orang anak-anak yang masih muda, sementara seisi padukuhan itu menjadi ketakutan melihat mereka bertiga datang.”

Dengan suara bergetar menahan kemarahan, seorang di antara mereka berteriak “Cukup. Aku akan mengoyak mulut kalian...”

Tetapi Laksana justru menjawab, “Jangan terlalu garang Ki Sanak. Kalian tidak berarti apa-apa disini. Jika Paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong melihat kehadiran kalian di daerah kuasanya, maka kalian akan segera dihancurkan sampai lumat.”

“Kau memang gila” geram orang itu “Aku adalah bagian dari kuasa Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong.”

“Nah, kenapa kau tidak mengatakan sejak semula. Jika kami tahu bahwa kalian adalah bagian dari kuasa paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong, maka sampaikan salam kami kepada mereka. Khususnya kepada paman Wira Sabet. Hari ini, kami akan mengambil duwet dan manggis di halaman rumahnya seperti biasanya...”

Kemarahan ketiga orang itu telah membakar ubun-ubun mereka. Karena itu, seorang di antara mereka berteriak, “Dengar, kami akan membuat kalian menjadi lumat. Kami akan mematahkan tulang-tulang kalian dan kemudian menyeret kalian menghadap Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong.”

Tetapi jawaban Laksana sangat menyakitkan hati, “He, kenapa kalian hanya datang bertiga? Kalian tahu bahwa kami bertiga. Seharusnya kalian datang sedikitnya bersembilan, karena takaran kemampuan kami adalah tiga orang di antara kalian.”

Orang-orang itu ternyata tidak tahan lagi mendengar ucapan Laksana itu. Karena itu, maka orang yang tertua di antara ketiga orang itupun berteriak, “Selesaikan mereka dengan cara kita.”

Orang-orang yang tinggal di pinggir jalan itu menjadi berdebar-debar. Mereka mendengar bentakan-bentakan kasar. Tetapi mereka juga mendengar suara tertawa nyaring. Bahkan satu dua kalimat dapat mereka dengar ketika kalimat-kalimat itu diucapkan dengan keras. Mereka mendengar ancaman-ancaman yang mengerikan. Sementara suara tertawa membuat mereka menjadi bingung.

“Anak-anak muda itu nampaknya sama sekali tidak menjadi ketakutan...” berkata orang-orang di sebelah-menyebelah jalan itu kepada diri sendiri.

Apalagi ketika kemudian mereka mendengar seseorang berkata keras-keras, “Jangan ganggu aku. Aku akan menyelesaikan ketiga orang itu seorang diri. Kecuali jika aku akan mati di tangan mereka.”

Kata-kata itu ternyata telah diucapkan oleh Laksana. Sampurna termangu-mangu sejenak. Sementara Manggada berkata “Kita lihat saja apakah anak sombong itu dapat benar-benar berhasil...?”

Sampurna tidak segera menjawab. Namun Laksanapun berkata sambil tertawa, “Kalian tidak usah ragu-ragu. Aku tentu akan berhasil.”

Kemarahan ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong yang merasa ditakuti oleh orang sepadukuhan itu benar-benar tidak tertahankan lagi. Karena itu, sebelum Laksana selesai berbicara, maka seorang di antara mereka telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Tetapi Laksana benar-benar tangkas. Ia masih menyelesaikan kalimatnya ketika ia meloncat mengelak. Bahkan ia berkata lebih lanjut, “Minggir. Aku akan menunjukkan satu permainan yang bagus bagi kalian.”

Kedua orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong yang lainpun telah menyerang Laksana pula. Seorang di antara mereka berkata, “Kita koyakkan mulutnya lebih dahulu. Baru kita selesaikan yang lain.”

Tetapi Laksana yang pernah ditempa oleh ayahnya sendiri bersama Manggada, yang kemudian mendapat landasan ilmu dari Ki Ajar Pangukan dan pengalaman yang luas selama ia tinggal bersama Kiai Gumrah dan yang terakhir tapa Ngidang di hutan, telah membuatnya menjadi anak muda pilihan.

Karena itu, maka ia benar-benar berniat memberikan kesan yang mantap kepada orang-orang padukuhan Gemawang serta kepada para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong, bahwa padukuhan Gemawang tidak perlu menjadi ketakutan.

Kesan itu ternyata tidak tanggung-tanggung. Ia sendiri berniat untuk mengalahkan ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong, agar dengan demikian, yang terjadi itu akan benar-benar dapat meyakinkan.

Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi perkelahian antara Laksana dan ketiga orang itu. Seperti kijang Laksana berloncatan. Kakinya menjadi demikian ringannya sehingga seakan-akan tidak berjejak di atas tanah.

Tetapi ketiga lawannya juga bukan orang kebanyakan. Mereka adalah orang-orang yang sudah berpengalaman melakukan kekerasan. Namun agaknya mereka tidak dilandasi oleh dasar-dasar ilmu yang mapan. Karena itu, maka mereka meskipun bertiga, tidak segera dapat mengatasi lawannya yang hanya seorang dan tidak lebih dari anak yang masih terlalu muda bagi mereka.

Dalam pada itu, orang-orang yang tinggal di sebelah menyebelah jalan itu benar-benar dicengkam oleh ketegangan. Seorang yang memiliki sedikit keberanian telah dengan sangat hati-hati mendekati pintu regol. dari sela-sela pintunya yang sedikit terbuka ia sempat melihat apa yang terjadi.

Orang itu hampir tidak percaya kepada penglihatannya. Seorang dari ketiga orang anak muda yang sering berkuda menyusuri jalan-jalan padukuhan itu tengah bertempur melawan tiga orang yang tentu pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong Bukan karena kedua orang kawan anak muda itu menjadi ketakutan dan tidak berani membantunya. Tetapi kedua anak muda yang lain berdiri di pinggir jalan dengan gaya orang yang sedang menonton aduan ayam di kalangan.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya orang itu kepada diri sendiri.

Namun di luar sadarnya, maka orang itu justru tidak beranjak dari tempatnya. Ternyata tidak hanya seorang saja yang telah mengintip pertempuran itu. Di seberang jalan, di balik pintu regol yang sedikit terbuka, maka seseorang telah mengintip pula.

Sebenarnyalah bahwa Laksana telah bertempur seorang diri melawan ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu. Dengan tangkasnya ia berloncatan. Menghindari serangan-serangan ketiga orang itu. Namun kemudian dengan cepat melancarkan serangan yang tiba-tiba terhadap salah seorang dari ketiga orang lawannya. Demikian cepatnya, sehingga ketiga orang lawannya itu kadang-kadang memang menjadi bingung menghadapinya.

Namun karena pengalaman mereka yang luas, maka ketiga orang itupun tidak segera dapat ditundukkan oleh Laksana. Tetapi sebaliknya mereka bertiga juga tidak dapat menguasai anak yang masih terhitung muda itu.

Sementara itu, Sampurna dan Manggada memang tidak melibatkan dirinya Mereka justru sekali-sekali bertepuk tangan. Bahkan kemudian mereka mulai dengan lantang berteriak memberikan dorongan kepada Laksana yang sekali-sekali memang hurus berloncatan surut oleh desakan ketiga orang lawannya yang bertempur semakin lama menjadi semakin kasar.

Tetapi setelah berhasil mendapat pijakan yang mapan, maka Laksanalah yang kemudian dengan kecepatan yang sangat tinggi melibat ketiga orang lawannya. Seperti angin pusaran, Laksana berputaran sehingga kadang-kadang lawannya menjadi kehilangan arah.

Tetapi memang tidak terlalu mudah bagi Laksana untuk dapat mengalahkan ketiga orang yang bertempur semakin keras dan kasar itu. Laksana harus meningkatkan kemampuannya semakin tinggi. Tetapi latihan-latihan yang berat sebelumnya, telah memberikan bekal yang sangat berarti bagi Laksana menghadapi ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu.

Sementara itu teriakan-teriakan Sampurna dan Manggada memang menarik perhatian. Orang-orang yang tinggal tidak jauh dari tempat pertempuran itu terjadi, menjadi semakin tidak mengerti, apa yang telah terjadi. Sedangkan orang-orang yang berani mengintip dari celah-celah pintu regolnya, seakan-akan tidak mempercayai penglihatannya, bahwa salah seorang dari ketiga orang anak muda itu mampu menghadapi tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong. Sesuatu yang menurut mereka hanya dapat terjadi dalam mimpi yang akan terhapus saat mereka terbangun. Tetapi meskipun mereka mengusap mata mereka, yang terjadi itu memang telah terjadi.

Laksana yang bertempur melawan tiga orang lawannya yang bertempur dengan keras dan kasar itu justru menjadi semakin garang, kakinya berloncatan dengan cepat, seakan-akan tidak berjejak di atas tanah. Sekali-sekali ia melenting menyerang, namun kemudian meloncat menghindari serangan.

Ketiga orang tawannya yang sudah mulai kelelahan menjadi sangat marah. Anak muda tiu ternyata tidak mudah untuk ditundukkan, meskipun mereka bertiga, tetapi anak muda itu berloncatan dengan tangkas seperti seekor rusa di padang perdu.

Dalam pertempuran yang menjadi semakin garang, maka tiba-tiba saja terdengar seseorang mengaduh tertahan. Kaki Laksana tepat mengenai dada salah seorang lawannya. Seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan. Orang itu ternyata telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Untunglah bahwa kepalanya tidak membentur dinding halaman di pinggir jalan itu.

Sementara kedua kawannya masih bertempur terus, maka orang itu berusaha untuk bangkit. Dadanya terasa sesak dan nyeri. Seakan-akan tulang-tulang iganya menjadi retak. Bahkan punggungnyapun terasa sakit. Demikian derasnya serangan Laksana, sehingga ketiga orang itu terbanting jatuh, maka punggungnya telah tergores batu-batu yang berserakan di jalan.

Tetapi orang itu berhasil bangkit berdiri sambil menahan sakit. Untuk beberapa saat ia berdiri termangu-mangu, sementara kedua orang kawannya semakin mengalami kesulitan menghadapi Laksana yang masih saja bertempur dengan tangkasnya.

Namun beberapa saat kemudian, maka orang itupun telah mempersiapkan diri untuk kembali memasuki arena pertempuran. Meskipun tulang-tulangnya masih terasa nyeri, namun orang itu kemudian telah meloncat memasuki arena.

Tetapi demikian, orang itu mulai menyerang, maka seorang temannya tiba-tiba saja telah jatuh terduduk sambil memegangi perutnya. Ternyata sambil berputar, kaki Laksana terayun menghantam perut orang itu Demikian kerasnya, sehingga isi perutnya seakan-akan akan menghambur keluar. Kesakitan yang sangat telah membuatnya kehilangan kekuatan untuk tetap tegak berdiri.

Keadaan Laksana menjadi semakin baik. Dua lawannya telah disakitinya. Sehingga tinggal seorang saja yang masih mampu memberikan perlawanan dengan baik. Dalam pada itu, Manggadapun segera memberi isyarat kepada Sampurna untuk berdiri berseberangan. Dengan demikian, maka keduanya telah menutup kemungkinan orang-orang itu melarikan diri.

Pertempuran masih berlangsung meskipun keseimbangannya telah menjadi semakin jelas. Ketika orang yang perutnya kesakitan itu dapat bangkit berdiri, maka kedua kawannya benar-benar sudah terdesak. Sebelum orang itu sempat memasuki arena pertempuran, maka seorang yang masih belum disakiti itulah yang mengaduh kesakitan. Ketika Laksana sempat menusuk dengan jari-jarinya yang merapat, tepat di arah ulu hati lawannya itu, maka orang itu telah terbungkuk.

Pada saat itulah, maka Laksana telah memukul tengkuknya dengan telapak tangannya. Dengan derasnya orang itu telah terjerumus dan jatuh menelungkup di tanah. Wajahnyalah yang telah tersuruk di tanah yang berbatu-batu kerikil. Orang yang dadanya masih kesakitan itu mencoba untuk membantunya. Dengan sisa tenaganya ia menyerang Laksana.

Namun usahanya sia-sia. Dengan tangkasnya Laksana bergeser ke samping, kemudian kakinya terjulur dengan cepatnya mengenai lambungnya. Sekali lagi orang itu terdorong surut. Sementara itu, Laksana telah meloncat memburunya. Tangannyalah yang kemudian, terjulur menyambar keningnya.

Orang itu tidak sempat berbuat sesuatu. Tubuhnyapun terpelanting jatuh. Kawannya yang seorang lagi ternyata hatinya kuncup, ia tidak lagi nampak garang. Bahkan kemudian ia berdiri saja dengan wajah yang pucat. Ketika Laksana melangkah mendekatinya, maka orang itupun surut kebelakang, sehingga akhirnya ia berdiri melekat dinding.

“Aku dapat membunuhmu...” geram Laksana.

Orang itu tidak menjawab. Perut dan punggungnya masih terasa sakit. Sementara itu, ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Dengan lantang Laksanapun kemudian memerintahkan ketiga orang itu berkumpul. Dua orang yang masih terbaring itupun berusaha untuk dapat bangkit. Bahkan seorang di antaranya terpaksa harus merangkak untuk melakukan perintah Laksana.

Demikian ketiga orang itu duduk bersandar dinding dengan tubuh yang lemah dan sakit-sakitan, maka Laksanapun berkata, “Nah, sekarang kalian mendapat kesempatan untuk melihat kenyataan yang ada di padukuhan ini.”

Karena ketiga orang itu tidak menjawab, maka Laksana itu bertanya pula “He, kenapa kau kemarin menyakiti seorang di antara para penghuni padukuhan ini?”

Ketiga orang itu masih tetap berdiam diri. Sehingga Laksana itupun kemudian membentak, ”Jawab. Kenapa kau menyakiti salah seorang penghuni padukuhan ini?”

Ketika Laksana menyambar baju salah seorang dari ketiganya, yang kebetulan dadanya masih terasa sangat sakit, serta tulang-tulang iganya rasa-rasanya menjadi retak, maka orang itupun mengaduh kesakitan. Tetapi Laksana justru mengguncangnya sambil membentak pula,

“He, kenapa kau tidak menjawab...?”

Orang itu menjadi semakin kesakitan. karena itu, maka ia terpaksa menjawabnya. “Bukan maksudku...”

“Jadi, maksud siapa?” desak Laksana.

“Aku mendapat perintah dari Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong untuk mengetahui anak-anak muda yang berkeliaran di atas punggung kuda. Kami harus menangkap mereka dan membawanya menghadap. Sebenarnya kami tidak bermaksud menyakiti orang pudukuhan itu. Kami hanya ingin sekedar bertanya. Tetapi ternyata orang itu keras kepala.”

“Bohong!” bentak Laksana “Orang-orang padukuhan ini sebagian menjadi ketakutan melihat kalian. Orang itu tidak akan berani berbohong kepadamu atau menolak untuk menjawab. Tetapi kalian tetap saja menyakitinya karena kalian ingin membuat padukuhan ini semakin ketakutan.”

“Tidak. Sungguh tidak ada niat kami untuk menyakitinya....” jawab orang itu.

Karena Laksana melepaskan tangannya sambil mendorongnya, maka orang itu terjatuh menimpa dinding halaman. Karena itu, maka orang itupun mengaduh kesakitan.

Dalam pada itu maka Manggada lah yang kemudian melangkah mendekati sambil berkata, “Nah, sekarang kalian sudah bertemu dan berbicara langsung dengan ketiga orang anak muda yang berkeliaran di punggung kuda. Apakah kalian masih tetap berniat menangkap kami dan membawa kami menghadap paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong?”

Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian dengan nada rendah ia menjawab, “Kami tidak berhasil...”

Manggada mengangguk-angguk. Sementara itu Sampurna itupun berkata, “Ki Sanak. Jika kau tidak berhasil menangkap kami dan membawa kami kepada paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong, maka sampaikan salam kami kepada mereka dan kawan-kawannya. Tetapi sebelum kalian menemui mereka, maka kalian harus menjawab beberapa pertanyaan.”

Wajah orang itu menjadi semakin pucat. Sementara Sampurna berkata, “Pertanyaan-pertanyaan kami sangat sederhana. Karena itu, maka kalian tentu dapat menjawabnya."

“Kami tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan” jawab orang yang dadanya masih terasa sakit itu.

“Terserah kepada kalian.” berkata Sampurna “Tetapi sebelum kalian menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, maka kalian tidak akan kami lepaskan”

“Kalian tidak akan berani berbuat seperti itu.” berkata orang itu.

“Kenapa?” bertanya Sampurna.

“Jika kami tidak kembali pada saat yang ditentukan, maka Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong akan datang sendiri kemari.”

“Menarik sekali...” berkata Sampurna “Itulah salah satu pertanyaan yang ingin aku sampaikan kepada kalian. Kapan paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong akan datang kemari. Karena itu, maka sebaiknya kami menahan kalian bertiga sampai mereka benar-benar datang.”

Orang itu mengumpat di dalam hati. Sementara itu kawannya yang perutnya masih terasa sakit itupun berkata “Jika Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong datang kemari, mereka tentu tidak hanya berdua. Tentu bersama Pideksa dan beberapa orang pengawal.”

“Bagus...” sahut Sampurna “Disini kami tinggal bersuit saja. Anak-anak muda akan berdatangan untuk menyambut paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong serta para pengawalnya.”

Tetapi orang yang wajahnya tersuruk ke tanah dengan goresan-goresan kecil yang menjadi merah itu berkata “Aku tidak yakin, bahwa anak-anak muda padukuhan ini berani dari keluar regol halaman rumahnya.”

Jawaban itu membuat Sampurna menjadi marah. Tiba-tiba saja tangannya telah menampar wajah orang itu, sehingga orang itu mengaduh kesakitan. Goresan-goresan yang berwarna merah itu sudah terasa pedih, apalagi telapak tangan Sampurna itu.

“Kau menghina kami...” geram Sampurna. Orang itu tidak berbicara lagi. Apalagi ketika terasa darah yang hangat mengalir disela-sela bibirnya yang pecah.

Yang kemudian bertanya adalah Manggada “Ki Sanak. Katakan kepada kami, dimana tempat tinggal paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong?”

Jantung ketiga orang itu rasa-rasanya berdetak semakin-cepat. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang sangat menakutkan. Mereka bertiga tentu tidak akan dapat menunjukkan dimana tempat tinggal Wira Sabet dan Sura Gentong. Tetapi jika mereka tidak mengatakan, maka ketiga anak muda itu tentu akan memaksanya.

“Anak-anak muda ini memang gila” geram orang-orang itu di dalam hatinya. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa di padukuhan Gemawang itu ada juga anak-anak muda yang berilmu tinggi.

Manggada memang menunggu sejenak. Tetapi karena tidak ada di antara mereka yang menjawab, maka Manggada telah mengulangi lagi pertanyaannya “Katakan kepada kami, dimana tempat tinggal paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong. Kami tidak mempunyai waktu banyak. Karena itu, sebaiknya kau tidak menunda-nunda jawaban kalian.”

Adalah di luar dugaan, bahwa orang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan itu berkata, “Anak-anak muda. Kalian tentu tahu, bahwa kami tidak akan dapat memberikan jawaban itu. Kami tahu, bahwa kalian dapat memaksa kami untuk berbicara dengan cara kalian. Tetapi kami tetap tidak akan berani menjawab, karena jika terloncat dari mulut kami jawaban itu, maka nasib kami akan menjadi sangat buruk.”

“Tetapi bukankah kau juga memaksa seorang dari penghuni padukuhan ini untuk mengatakan kepada kalian, siapakah kami bertiga?”

Orang itu terdiam lagi. Tetapi jantungnya menjadi semakin berdentangan.

“Ki Sanak“ berkata Manggada “Kami dapat memperlakukan kalian sebagaimana kalian memperlakukan salah seorang tetangga kami yang baik. Bahkan kami dapat menahan kalian sampai kalian bersedia berbicara. Kami tidak takut apakah paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong datang kemari atau tidak. Bahkan seandainya mereka datang dengan saudara-saudara seperguruannya.”

“Anak-anak muda...” berkata orang yang bertubuh tinggi itu “Bagaimanapun juga kami tidak akan memilih untuk mengatakan dimana tempat tinggal Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong. Seandainya kalian akan memperlakukan kami lebih buruk lagi dari perlakuan kami atas tetangga kalian itu, kami memang harus menjalaninya. Tetapi betapapun pahitnya penderitaan kami di tangan kalian, bagi kami tentu masih lebih baik dari hukuman yang akan kami terima jika kami menjawab pertanyaan kalian”

“Itukah duniamu? Dunia paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong?”

“Ya” jawab orang itu.

Manggada menarik nafas dalam-dalam. Ketiga orang itu tentu tidak akan berani mengatakan apa-apa. Bahkan agaknya mereka akan memilih membunuh diri daripada dipaksa untuk mengatakan, dimana letaknya tempat tinggal Wira Sabet dan Sura Gentong.

Untuk membuktikan dugaannya itu maka Manggadapun berkata, “Ki Sanak. Bagaimanapun juga. kami akan memaksa kalian untuk berbicara. Jangan mengira bahwa kami tidak dapat memperlakukan kalian lebih buruk dari paman Wira Sabet dan Sura Gentong. Kami dapat menghukum kalian dengan hukuman picis”

Keringat dingin telah membasahi seluruh pakaian orang-orang itu. Bukan saja karena mereka telah memeras tenaganya untuk berkelahi dan kalah, tetapi mereka memang menjadi sangat ngeri mendengar hukuman picis yang disebut-sebut oleh anak muda itu.

Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk mengkhianati Wira Sabet dan Sura Gentong. Untuk waktu yang cukup lama mereka telah dibentuk untuk menjadi seorang hamba yang setia. Setiap kali mereka selalu mendengar ancaman, bentakan dan bahkan kadang-kadang kekerasan badani. Namun kadang-kadang mereka juga disanjung dan diberi harapan-harapan bagi masa depan mereka.

Karena orang itu masih saja ragu-ragu, maka Manggadapun berkata “Nah, pertimbangkan lagi keputusan kalian. Apakah kalian akan berbicara atau tidak?”

“Anak-anak muda...” berkata orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan “Aku mohon, bunuh saja kami. Kami tidak mempunyai kesempatan apapun juga. Kematian tentu akan lebih baik daripada mengalami perlakuan Ki Wira Sabet dan Ki Sira Gentong serta beberapa orang saudara seperguruan mereka. Apalagi di antara merekapun terdapat Ki Sapa Aruh”

Ketiga orang anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba saja Manggada berkata, “Baik. Jika kalian tidak mau menunjukkan tempat tinggal paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong, maka aku mempunyai usul. Kalian kami bebaskan Tetapi dengan syarat bahwa kalian harus menangkap kami sebagaimana tugas yang diberikan kepada kalian dan membawa kami menghadap paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong.

Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya “Apakah kau bergurau?”

“Tidak. Aku tidak bergurau...” jawab Manggada yang lalu bertanya kepada Laksana “Apakah kau sependapat, bahwa kita akan menyerah saja dan biarlah ketiga orang itu menangkap dan membawa kita?”

”Satu rencana yang bagus” sahut Laksana “Aku setuju. Kita akan sampai juga ke tempat tinggal paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong”

Sampurnapun kemudian juga menyahut “Baik. Kami akan menyerahkan diri kami...”

Tetapi Manggada berkata “Kau jangan, Sampurna. Bagimu akan menjadi sangat berbahaya. Kau akan dapat menjadi sasaran dendam paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong. Bukankah sasaran utama dendamnya kepada ayahmu?”

“Aku tidak akan gentar mengalami perlakuan apapun juga.” jawab Sampurna.

Namun Laksana juga memperingatkan “Jangan. Kau akan tinggal. Kau akan menyampaikan keputusan kami ini kepada ayah dan paman”

“Tetapi rencana ini juga sangat berbahaya bagi kalian."

“Tidak. Paman Wira Sabet pernah kami temui. Ia masih belum melupakan aku yang di masa kecil sering mencari duwet dan manggis di halaman rumahnya. Pohon duwet dan manggis itu masih ada meskipun juga sudah tua” berkata Manggada.

“Tetapi itu tidak adil. Jika kalian mengalami sesuatu, maka aku akan menyesal sepanjang hidupku” jawab Sampurna.

“Kami akan menjaga diri kami, percayalah. Kami titipkan kuda kami kepadamu. Sampaikan pula rencana ini kepada ayah dan paman...” berkata Manggada. Lalu katanya “Dengan demikian, biarlah ayah dan paman membuat rencana berikutnya dengan Ki Jagabaya untuk mengatasinya”

Sampurna masih saja ragu-ragu. Sementara itu Manggada berkata “Jika kau ikut bersama kami, maka tidak ada seorangpun yang dapat menyampaikan rencana ini kepada Ki Jagabaya dan kepada ayah serta paman”

Sampurna akhirnya dapat diyakinkannya, sehingga iapun kemudian bersedia untuk tinggal. Namun ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itulah yang menjadi bingung. Karena itu, maka Manggada pun menjelaskan rencananya.

“Nah, kalian dapat memilih. Tinggal disini dengan hukuman picis, atau menangkap kami berdua dan membawa kami menghadap paman Wira Sabet dan Sura Gentong. Agar kalian tidak mendapat hukuman, maka kalian harus mengatakan kepada mereka, bahwa kalian berhasil menangkap kami berdua. Tetapi Sampurna berhasil meloloskan dirinya. Nah, jelas?”

Ketiga orang itu masih saja bingung. Seorang di antara mereka berkata, “Kami tidak akan dapat melakukannya. Jika kalian jatuh ketangan Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong, maka nasib kalian akan menjadi sangat buruk. Kalian akan mengalami perlakuan yang tidak kalian bayangkan sebelumnya.”

“Memang mungkin. Tetapi ini satu-satunya cara bagi kami untuk mengetahui tempat tinggal paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong. Selebihnya, kami akan dapat mengalami beberapa hal tentang isi tempat tinggal mereka."

Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Jangan lakukan itu...”

Sikap orang-orang itu memang menarik perhatian. Manggada dan Laksana bahkan percaya, bahwa ketika orang itu tidak akan mencelakakan mereka dengan sengaja. Tetapi ketiga orang itu benar-benar menjadi bingung. Semula mereka menyangka bahwa anak-anak muda itu sekedar bergurau untuk mengganggu mereka yang telah gagal menjalankan tugas. Namun ternyata anak-anak muda itu bersungguh-sungguh.

Sementara itu Manggadapun berkata, “Ki Sanak. Dengarkan. Kami telah mengampuni kesalahan kalian. Seharusnya kami dapat memperlakukan kalian apa saja sekehendak kami. Kami sama sekali tidak takut atas pembalasan paman Wira Sabet dan Sura Gentong. Tetapi kami tidak melakukannya. Karena itu, terserah tanggapan kalian atas tingkah laku kami. Sementara itu, kami minta kalian menangkap kami. Membawa kami berdua sebagaimana tugas yang dibebankan kepada kalian. Kalian tidak usah segan. Perlakukan kami sebagaimana kalian memperlakukan orang-orang tangkapan."

Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Sementara itu Manggada telah menarik Sampurna menjauh dan memberikan beberapa pesan kepadanya. Sampurna mengangguk-angguk, Katanya hampir berbisik, “Baiklah. Aku akan mengusahakannya...”

Demikianlah, Manggada dan Laksana telah memaksa ketiga orang itu untuk membawanya. Dengan nada keras Manggada berkata, “Kesempatan ini adalah kesempatan terbaik bagi kalian. Apapun yang terjadi atas diri kami, kalian tidak usah menghiraukannya. Sementara itu, paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong tidak akan menghukum kalian. Karena kalian tidak gagal sepenuhnya. Dua dari tiga orang telah dapat kalian tangkap.”

“Tetapi kami tidak akan dapat menyaksikan perlakuan Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gepong atas kalian...”

“Itu tergantung kepada sikap kalian. Jika kalian tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, maka nasib kami tidak akan terlalu buruk. Sementara keinginan kami untuk mengetahui tempat tinggal mereka dapat terlaksana.”

Ketiga orang itu benar-benar sulit untuk mengerti, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh anak-anak muda. keinginan yang bagi mereka tidak masuk akal. Rencana itu akan dapat membahayakan jiwa mereka. Karena itu salah seorang dari ketiga orang itu berkata,

“Anak muda. Kalian telah berbuat di luar dugaan kami. Kalian tidak memaksa kami berbicara dengan cara yang kasar. Bahkan kalian akan membebaskan kami. Dengan demikian, apakah kami akan sampai hati melihat kalian mengalami kesulitan di sarang kami? Anak-anak muda. Kami peringatkan, bahwa Ki Sura Gentong sering menghukum seseorang dengan cara di luar batas ketahanan badani seseorang. Sehingga akibatnya menjadi sangat parah. Mati tidak tetapi hidup pun tidak.”

Manggada mengerutkan dahinya. Ia masih teringat ancaman Sura Gentong yang diucapkan di halaman rumah Wira Sabet. Namun Manggada masih berharap bahwa berdua dengan Laksana, ia akan dapat mengatasi kesulitan itu. Karena itu, maka ia menjawab,

“Ki Sanak. Nasibku akan berbeda jika seandainya aku tertangkap saat aku menyusup memasuki sarang itu. Tetapi sekarang aku tertangkap di padukuhanku sendiri, sehingga kesalahanku tentu dianggap tidak seberat jika aku datang ke tempat tinggal mereka”

Ketiga orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Jika mereka menolak, maka anak-anak muda itu tidak akan melepaskan mereka dan bahkan mungkin merekapun akan mendapat perlakuan buruk di padukuhan itu. Tetapi untuk membawa kedua orang anak muda itu, maka rasa-rasanya sangat berat bagi perasaannya.

Bahkan ketiga orang itu sempat juga bertanya kepada diri mereka sendiri “Apakah aku masih mempunyai perasaan?”

Namun sikap kedua orang anak muda itu agaknya telah mengguncang jantungnya, dan mengorek endapan perasaannya yang masih tersisa. Dengan demikian, maka ketiga orang itupun terpaksa melakukan permintaan kedua orang anak muda itu. Bertiga mereka menggiring keduanya keluar padukuhan Gemawang.

Memang agak aneh, bahwa orang-orang yang menangkap kedua orang anak muda itu keadaannya jauh lebih buruk dari kedua orang tangkapannya. Namun Manggada dan Laksana berkata kepada mereka bertiga, ”Jangan cemas. Kami pandai berpura-pura. Disarang paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong, aku akan berpura-pura kesakitan di bagian dalam tubuhku lebih parah dari kalian”

Ketiga orang itu tidak menjawab. Tetapi kegelisahan telah mencengkam jantung mereka. Betapapun ganas dan garangnya mereka, namun ternyata sia-sia nuraninya masih juga sempat berbicara. Dalam pada itu, sepeninggal Manggada dan Laksana yang telah dibawa oleh ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu, maka Sampurnapun segera memenuhi pesan Manggada. Cepat-cepat ia pergi ke rumah Ki Kertasana untuk memberitahukan keputusan yang telah diambil oleh Manggada dan Laksana.

Ki Kertasana dan Ki Citrabawa memang terkejut. Dengan wajah tegang Ki Kertasana itupun berdesis, “Satu petualangan yang tidak berperhitungan”

“Ketiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu justru telah memperingatkan mereka” berkata Sampurna “Tetapi Manggada dan Laksana tetap pada keinginannya. Sebenarnya aku juga menyatakan ingin menyertai mereka, tetapi mereka menolak, karena dengan demikian tidak seorangpun yang dapat memberitahukan rencana ini kepada paman”

Ki Kertasana dan Ki Citrabawa memang menjadi tegang. Namun Ki Pandi lah yang bertanya, “Apakah ada pesan yang lain yang harus angger sampaikan?”

“Ya” jawab Sampurna “Manggada dan Laksana akan berusaha meninggalkan jejak disepanjang perjalanan mereka...”

Ki Pandi itupun mengangguk-angguk. Kemudian katanya “Terima kasih ngger. Mudah-mudahan cara yang dipilihnya tidak berakibat sangat buruk bagi mereka” Namun Ki Pandi itupun kemudian berkata kepada Ki Kertasana dan Ki Citrabawa, “Aku minta diri. Mudah-mudahan ada cara untuk berbuat sesuatu”

“Apa yang akan Ki Pandi lakukan?” bertanya Ki Kertasana.

“Aku belum tahu. Setidak-tidaknya mengikuti jejak anak-anak itu sampai sejauh jejak itu aku ketemukan” jawab ki Pandi.

Ki Kertasana dan Ki Citrabawa yang sudah menduga bahwa Ki Pandi tidak akan membiarkan kedua orang anak muda itu, tidak mencegahnya. Namun Ki Kertasanapun berpesan, “Hati-hati Ki Pandi. Kita berhadapan dengan orang-orang yang sakit hati dan menyimpan dendam yang dalam sekali di dalam hatinya”

“Tetapi dendam itu tidak mutlak ditujukan kepada Manggada dan Laksana...” jawab Ki Pandi.

Dengan demikian, maka Ki Pandi itupun kemudian telah meninggalkan rumah itu selelah ia mendapat petunjuk dari Sampurna, darimana awal Keberangkatan Manggada dan Laksana.

Dengan cepat Ki Pandi menemukan isyarat pertama dari Manggada. Ketika ia sampai di ujung lorong, maka dilihatnya ranting perdu yang berpatahan terinjak kaki. Manggada dan Laksana tentu dengan sengaja melakukannya, karena mereka dengan sengaja telah meninggalkan jejak sebagaimana dikatakannya dalam pesannya lewat Sampurna.

Dalam pada itu, yang juga menjadi pening adalah orang-orang yang sempat mengintip apa yang telah terjadi. Mereka tidak dapat mengerti, apa yang dilakukan oleh Manggada dan Laksana. Bahkan ketika kedua orang anak muda itu dibawa pergi, beberapa orang telah muncul di jalan. Mereka saling berpandangan dan sejenak kemudian tiga orang telah berkumpul di halaman rumah salah seorang dari mereka.

“Aku tidak dapat mengerti, apa yang sebenarnya telah terjadi. Seorang dari ketiga orang anak muda itu mampu mengalahkan tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong. Namun kemudian dua di antara ketiga anak muda itu menyerahkan diri untuk dibawa ke sarang Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong”

“Ya. Tetapi mereka sempat melarang Sampurna untuk ikut. Memang dendam Wira Sabet dan Sura Gentong kepada Ki Jagabaya akan dapat dilimpahkan kepadanya” berkata yang lain.

Namun yang lain lagi berkata “Manggada memang gila. Apa sebenarnya yang dikehendakinya”

Orang yang pertamalah yang menyahut “Nampaknya anak-anak itu telah mengorbankan segala-galanya, bahkan diri mereka sendiri untuk mengatasi bayangan Wira Sabet dan Sura Gentong yang menakutkan itu”

“Tetapi satu hal yang aku anggap tidak masuk akal. Seorang saja di antara mereka telah dapat mengalahkan tiga orang pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong yang sangat ditakuti itu. Orang-orang sepadukuhan ini tidak berani berbuat apa-apa terhadap mereka bertiga. Sementara itu seorang anak muda mampu menundukkannya” berkata yang lain.

Tetapi kesimpulan yang mereka ambil ternyata tidak sejalan dengan kesimpulan yang dikehendaki oleh anak-anak muda itu. Mereka tidak segera bangkit dan ikut serta melawan ketakutan yang tersebar di padukuhan itu. Tetapi seorang di antara mereka justru berkata, “Tetapi kekalahan itu tentu akan membuat Wira Sabet dan Sura Gentong menjadi sangat marah, sehingga mereka akan mengirimkan orang lebih banyak dan lebih garang. Atau bahkan Wira Sabet dan Sura Gentong sendiri yang akan datang”

“Tetapi anak-anak muda yang menang itu justru menyerah.” sahut yang lain.

“Itulah yang dapat membuat kita menjadi gila. Tetapi aku tidak yakin bahwa tingkah anak-anak itu akan mampu menyelamatkan kita dan padukuhan Gemawang dari kegarangan Wira Sabet dan Sura Gentong” berkata yang seorang lagi.

“Justru sebaliknya” berkata yang lain “Mungkin akan timbul persoalan-persoalan baru yang dapat menambah kesulitan padukuhan ini”

Namun mereka tidak berbincang lebih lama. Dua orang di antara merekapun segera meninggalkan halaman rumah itu, kembali ke rumah masing-masing dengan berbagai pertanyaan di dalam hati mereka.

Dalam pada itu, Manggada dan Laksana telah berjalan semakin jauh. Laksana tidak tahu, kemana ia akan dibawa. Tetapi Manggada yang memang dilahirkan di padukuhan itu, serta kenakalannya di masa kanak-kanaknya, segera dapat mengerti, kemana mereka pergi.

“Jalan ini menuju ke padang perdu di pinggir hutan itu” berkata Manggada di dalam hatinya.

Namun jalan yang ditempuh memang bukan jalan yang ramai. Tetapi jalan setapak yang jarang dilalui orang. Bahkan jalan itu kadang-kadang menuruni tebing sungai dan kemudian naik di seberang. Melintasi padang ilalang dan tanah gersang yang tidak digarap Baru kemudian mereka sampai ke padang perdu yang luas sampai ke batas sebuah hutan yang memang tidak terlalu besar.

“Agaknya di hutan itu mereka bersarang” berkata Manggada di dalam hatinya.

Namun ketika mereka menjadi semakin dekat, pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itupun berkata “Kami harus menutup mata kalian jika kalian memasuki lingkungan kami. Bahkan hal ini seharusnya kami lakukan, sejak kami meninggalkan jalan padukuhan di bulak itu”

“Baik” berkata Manggada “Lakukanlah. Tetapi sebelumnya beritahu aku, diarah mana sarang kalian dibuat."

“Di ujung hutan di sisi sebelat Barat” jawab orang itu.

“Di tempat yang menjorok itu?” bertanya Manggada.

“Ya” jawab orang itu termangu-mangu.

“Baiklah” berkata Manggada “Tutuplah mata kami. Sebenarnya jika kami inginkan, kami dapat melarikan diri sekarang, sehingga keinginan kami untuk mengetahui dimana letak sarang kalian sudah kami dapat. Kalian bertiga tentu tidak akan dapat mencegah kami. Tetapi dengan demikian, kalian bertiga akan mengalami penderitaan yang sangat kalian takutkan. Karena itu, biarlah kalian bawa kami ke sarang kalian dengan mata tertutup.”

Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang di antara mereka berkata “Ya. Kalian dapat melarikan diri sekarang. Tetapi jika hal itu kalian lakukan, bunuh saja kami bertiga disini. Itu lebih baik bagi kami. Tetapi jika kalian tidak melakukannya. Sebenarnyalah kami ingin mengetahui, apa sebenarnya yang kalian inginkan?”

“Kami memang ingin berhubungan dan berbicara lebih banyak dengan paman Wira Sabet dan Sura Gentong” jawab Manggada.

“Untuk terakhir kalinya, aku peringatkan kalian, bahwa kalian akan dapat mengalami penderitaan yang tidak berkeputusan”

“Mudah-mudahan tidak. Tetapi bukankah kau yang akan mengalaminya jika kami membatalkan niat kami pergi ke sarangmu itu” berkata Manggada “Bahkan kau minta agar kami membunuh kalian bertiga”

Ketiga orang itu tidak menjawab. Mereka memang masih saja kebingungan. Sementara itu Manggada. berkata pula, “Lekas, tutup mata kami sebelum kawan-kawanmu melihat apa yang terjadi sekarang”

Orang-orang itu tidak menjawab. Namun mereka melakukan sebagaimana dikatakan oleh Manggada. Sejenak kemudian Manggada dan Laksanapun telah ditutup matanya. Mereka digiring menuju ke sarang Wira Sabet dan Sura Gentong yang memang terletak di tempat yang terpencil dari hubungan dengan sesamanya.

“Kita sudah dekat” desis orang yang bertubuh tinggi itu.

Manggadapun berdesis “Laksana, kita harus menunjukkan bahwa kita dalam keadaan yang sulit”

“Bagaimana aku harus berpura-pura?”

“Kau tentu dapat melakukannya” jawab Manggada. Lalu katanya kepada pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu “Lakukan tugas kalian dengan baik”

Ketiga orang yang menggiringnya tiaak menyahut. Sebenarnyalah mereka merasa segan untuk berbuat kasar kepada kedua orang anak muda yang tidak dapat dimengerti kemauannya itu. Namun ketika mereka mendekati pagar bambu yang rapat yang mengelilingi sebuah lingkungan yang menjadi barak hunian Wira Sabet dan Sura Gentong, ketiga orang itu memang mulai menjadi kasar. Mereka mendorong Manggada dan Laksana berganti-ganti.

Dari kejauhan, dua orang yang mengawasi keadaan di luar dinding barak itu sudah melihat, ketiga orang kawannya datang dengan membawa dua orang tawanan yang matanya tertutup rapat.

“Kenapa hanya dua?” desis yang seorang.

“Seharusnya tiga orang anak muda.” sahut yang lain.

Tetapi keduanyapun terdiam. Sementara itu ketiga orang yang membawa Manggada dan Laksana itu berusaha untuk menghilangkan bekas atau rasa sakit dengan berjalan tegap tanpa memberikan kesan kesakitan. Ketika ketiga orang itu menjadi semakin dekat dengan dinding baraknya, maka mereka menjadi semakin kasar. Sementara itu sekali-sekali Manggada terhuyung-huyung hampir jatuh tertelungkup jika punggungnya disentuh oleh orang yang menggiringnya.

Laksana yang tertutup matanya tidak melihat apa yang dilakukan oleh Manggada. Tetapi ia mendengar seakan-akan Manggada akan terjatuh. Karena itu, maka iapun bertanya, “Apa yang terjadi?”

Manggada justru berdesah “Sst. Aku pura-pura setengah mati. Kau harus melakukan juga. Jika tidak, maka semuanya akan sia-sia saja...”

Laksana terdiam. Sementara salah seorang yang menggiringnya itu berdesis “Kita sudah dekat. Ada pengawas di depan....”
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.