Sejuknya Kampung Halaman
Bagian 12
Manggada dan Laksana terdiam. Tetapi jika mereka didorong dengan kasar, maka merekapun berpura-pura akan tertelungkup atau tingkah laku yang lain yang membuat mereka seolah-olah tidak berdaya lagi.
Beberapa langkah mendekati dua orang pengawas itu, salah seorang dari ketiga orang yang menggiring Manggada dan Laksana yang ditutup matanya itu berkata, “Apakah Ki Lurah ada?”
“Ada” jawab salah seorang dari mereka “tetapi bukankah kau harus menangkap tiga orang anak muda?”
“Iblis kecil yang seorang lagi sempat melarikan diri” jawab orang itu “Retapi dua ini sudah mewakili.”
“Ki Lurah menghendaki tiga.” berkata orang itu.
“Anak yang seorang itu penakut. Demikian ia melihat kami, maka dilarikannya kudanya menjauh. Tetapi yang dua orang ini tidak sempat melakukannya.”
Kedua orang pengawas itu mengangguk-angguk. Tetapi yang lain bertanya “Tidak kau bawa kudanya itu?”
Kudanya berlari seperti sedang berpacu demikian, penunggangnya terjatuh. Kami gagal untuk menangkap. Tetapi orang-orangnya inilah yang lebih penting dari kudanya bagi kami” jawab orang yang bertubuh tinggi itu.
Kedua pengawas itu tidak bertanya lagi. Mereka membiarkan ketiga orang itu membawa Manggada dan Laksana memasuki regol pagar barak mereka.
Sementara itu, Ki Pandi dengan hati-hati mengikuti jejak ketiga orang yang membawa Manggada dan Laksana. Tidak terlalu sulit baginya. Namun ketika jejak itu menuruni tebing sungai, maka Ki Pandi agak menjadi cemas. Jika mereka menelusuri sungai, maka tentu agak sulit baginya untuk mengikuti jejak mereka. Ia harus mencari jejak itu di seberang sungai, menelusuri tepian. Tetapi yang masih dipertanyakan, ke arah hulu atau udik.
Namun Ki Pandi tidak perlu bersusah payah. Ketika ia menyeberangi sungai itu, maka ia langsung dapat melihat jejak kaki di tepian. Jejak yang sengaja dibuat sebagaimana sebelumnya. Dengan demikian, Ki Pandi tidak menemukan kesulitan apa-apa untuk mengikuti arah perjalanan Manggada dan Laksana.
Tetapi Ki Pandi tidak dapat mengikuti jejak itu sampai ke barak. Dengan ketajaman penglihatannya, Ki Pandi yang bersembunyi di balik rimbunnya pohon perdu melihat Manggada dan Laksana itu dibawa ke barak, sementara dua orang yang mengawasi keadaan itu masih saja berjaga-jaga di tempatnya. Keduanya berjalan hilir mudik untuk mengatasi kejemuan mereka dalam tugas yang melelahkan itu. Agaknya para pengikut Wira Sabet dari Sura Gentong itu lebih senang melakukan tugas-tugas lain daripada berdiri di pinggir hutan untuk mengawasi keadaan.
Meskipun sejak semula mereka berada di tempat itu, belum pernah ada. orang yang datang atau bahkan yang tersesat sekalipun sampai ke tempat itu. Namun para pengikut Wira Sabat dan Sura Gentong setiap hari bergantian selalu mengawasi keadaan.
Namun karena itu, maka para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu tidak melakukan tugas mereka dengan sungguh-sungguh. Mereka lebih banyak menyibukkan diri justru untuk mengusir kejemuan daripada menjalankan tugasnya sebaik-baiknya.
Ki Pandi melihat gelagat itu. Karena itu, maka ia ingin memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Sebagai seorang yang berilmu tinggi dan mempunyai ketajaman panggraita, maka Ki Pandi mampu beringsut dari balik gerumbul perdu yang satu ke balik gerumpul perdu yang lain, sehingga akhirnya Ki Pandi itu hilang ke dalam hutan.
Dan dalam hutan itulah Ki Pandi ingin melihat, apa yang ada di balik dinding yang cukup tinggi yang dibuat dari bambu yang berjajar rapat. Dalam pada itu, Manggada dan Laksana telah dibawa masuk ke dalam lingkungan barak itu. Di regol dua orang penjaga berdiri di sebelah menyebelah dengan tombak di tangan.
“Inikah anak-anak muda yang harus kau ambil?” bertanya seorang penjaga.
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itulah yang menjawab “Ya. Seorang lagi lepas dari tangan kami....”
“Kenapa dapat terjadi?” bertanya penjaga.
Orang yang membawa Manggada dan Laksana itu merasa tidak perlu menjawab. Karena itu, maka merekapun, berjalan terus menuju ke bangunan induk sarang Wira Sabet dan Sura Gentong itu. Sekali-sekali mereka didorong ke arah yang benar, karena keduanya masih saja ditutup matanya.
Manggada dan Laksana hampir jatuh terjerumus ketika kaki mereka terantuk tangga ketika mereka sampai di bagian depan bangunan induk barak itu yang cukup luas dan terbuka, yang dianggapnya sebagai pendapa.
Tetapi seorang yang menggiring mereka cepat menangkap tengkuk Manggada dan sekaligus Laksana. Dengan kasar orang itu membentak “Naik tangga itu, anak-anak dungu. Manggada dan Laksanapun kemudian melangkah dengan hati-hati, naik tangga pendapa yang rendah itu.
“Hanya tiga anak tangga...” desis Laksana.
Orang-orang yang menggiringnya itupun kemudian mendorong Manggada dan Laksana sambil membentak, “Duduk”
Manggada dan Laksana masih belum merasa berada di atas tikar. Karena itu, mereka agak ragu-ragu untuk duduk. Tetapi orang-orang yang menggiringnya itu telah mendorong mereka, sehingga Manggada telah terjatuh, sementara Laksana terhuyung-huyung beberapa langkah.
“Duduk...!” bentak orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.
Sekali lagi Manggada dan Laksana merasa tengkuknya ditangkap dan kemudian ditekan untuk duduk di atas lantai tanah yang tidak dilambari sehelai tikar. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar seseorang berkata, “Jangan terlalu kasar terhadap orang yang sudah tidak berdaya.”
Manggada dan Laksana termangu-mangu mendengar peringatan itu. Apakah itu satu kebaikan baginya atau justru satu penghinaan, bahwa keduanya sama sekali sudah tidak berdaya. Namun kemudian terdengar suara itu lagi, “Kau hanya membawa dua di antara ketiga orang anak muda itu?”
“Yang seorang berhasil melarikan diri. Ketika anak itu melihat kami, maka ia langsung melarikan kudanya, sehingga kami tidak dapat mengejarnya. Sementara kedua orang anak muda ini tidak sempat melakukannya. Keduanya justru meloncat turun dan berusaha untuk melawan. Sementara kuda-kuda mereka juga lari dengan cepat menjauh”
“Paman Sura Gentong menghendaki ketiga-tiganya. Tetapi untuk sementara dua orang ini sudah cukup!”
Manggada dan Laksana yang mendengar pembicaraan itu cepat menduga, bahwa orang yang berbicara itu adalah Pideksa. Dalam pada itu, maka Pideksa itupun kemudian memerintahkan agar tutup mata kedua anak muda itu dibuka.
Demikian tutup mala itu dibuka, maka Manggada dan laksana melihat sebagaimana mereka duga, Pideksa berdiri beberapa langkah di hadapan mereka.
“Maaf Manggada...” berkata Pideksa “Kami terpaksa mengundang kalian berdua untuk datang ke sarang kami”
“Apa maksudmu menangkap kami berdua, Pideksa?” bertanya Manggada.
“Kalian berdua, bertiga dengan Sampurna, merupakan orang-orang yang berbahaya dipadukuhan Gemawang” jawab Pideksa.
“Kenapa?” bertanya Manggada.
“Kalian telah melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa kalian tidak menjadi ketakutan terhadap ayah dan paman Sura Gentong. Kalian telah menghasut orang-orang padukuhan Gemawang untuk tidak takut kepada kami” berkata Pideksa.
“Jadi maksudmu, kami, orang-orang Gemawang harus menjadi takut dan kemudian tunduk kepada kalian?” bertanya Manggada.
“Ya” jawab Pideksa “Kami tidak mempunyai pilihan lain”
Pembicaraan itu terhenti. Mereka melihat dua orang yang berjalan menuju kependapa yang bahannya semuanya dari bambu itu. Dari bambu petung yang besar dibuat untuk tiang-tiangnya. Bambu wulung dan bahkan bambu apus sebagai kerangka atapnya.
Namun bagaimanapun juga Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Kedua orang itu dapat melakukan hal-hal yang tidak terduga sebelumnya. Demikian mereka naik ke pendapa, maka seorang di antaranya, Sura Gentong sendiri, bertanya lantang, “Mana yang seorang lagi?”
“Yang seorang berhasil melarikan diri Ki Sura...” jawab orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu agak takut.
Namun Pideksa segera menyahut. “Sampurna memang seorang penakut sejak kanak-kanak. Ketika mereka melihat ketiga orang yang mencarinya, maka Sampurna segera melarikan kudanya meninggalkan kedua orang kawannya.”
“Jadi apa artinya kesombongannya selama ini?”
“Anak itu dapat diabaikan tanpa Manggada dan Laksana”
“Seharusnya tikus itu harus kau tangkap juga” geram Sura Gentong.
“Tetapi kami mendapat perintah untuk tidak menangkap mereka di rumah mereka...” jawab seorang di antara ketiga orang yang membawa Manggada dan Laksana itu.
“Untuk sementara kita memang masih membatasi diri...“ yang menyahut adalah Wira Sabet.
Namun Sura Gentong itu menggeram. “Sebenarnya kita harus sudah bertindak sesuai dengan rencana.”
“Bukankah Ki Sapa Aruh juga minta agar kita mematangkan keadan lebih dahulu?” sahut Wira Sabet.
Sura Gentong tidak menjawab. Namun kemudian ia berpaling kepada Manggada dan Laksana, “Kau ingat apa yang aku katakan kepada kalian di halaman rumah kakang Wira Sabet?”
Manggada dan Laksana menjadi semakin berdebar-debar. Namun kemudian Sura Gentong itu bertanya kepada ketiga orang yang membawa kedua orang anak muda itu, “He, tidak kau tutup matanya ketika mereka kau bawa kemari?”
Yang menjawab adalah Pideksa “Akulah yang membukanya. Baru saja...”
Sura Gentong itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata kepada Manggada dan Laksana, “Ada dua pilihan bagi kalian. Kalian tetap berada disini, atau kalian ingin pulang tetapi dengan mata yang buta.”
Manggada dan Laksana tidak segera menjawab, sehingga Sura Gentong membentaknya keras-keras, ”Jawab!”
Manggada dan Laksana terkejut. Tetapi keduanya masih tetap berdiam diri. Ternyata Sura Gentong memang seorang yang sangat kasar. Tiba-tiba kakinya melayang menghantam lengan Manggada. Manggada terpelanting. Ia bukan saja jatuh terlentang. Tetapi Manggada berguling dilantai yang tidak beralas itu. Bahkan kemudian ia nampak menjadi sangat kesakitan. Mulutnya menyeringai sementara ia menggeliat sambil memegangi lengannya dengan tangannya yang lain.
“Anak iblis...” geram Sura Gentong. Sementara Laksana menjadi sangat tegang. Tetapi Laksana masih dapat mengekang dirinya, sehingga ia tidak berbuat sesuatu.
Sura Gentong ternyata masih saja berteriak, ”jawab. Kau belum menjawab...”
“Kami tidak ingin menjadi buta paman...” jawab Manggada sambil menyeringai kesakitan.
Tetapi Sura Gentong menjadi semakin marah. Bahkan ia berteriak, “Dengar pertanyaanku. Apakah kau memilih tinggal disini atau memilih kami lemparkan kembali ke padukuhanmu tetapi dengan mata yang buta?”
Manggada terpaksa menjawab. “Aku memilih tinggal disini, paman...”
“Duduk!” perintah Sura Gentong lantang. Sementara itu, iapun berpaling kepada Laksana, “Bagaimana dengan kau?”
“Aku juga memilih tinggal disini.” jawab Laksana.
“Ternyata kesombongan kalian sama sekali tidak berarti apa-apa. Kau kelilingi padukuhan Gemawang dengan naik kuda, berderap seperti seorang senapati perang. Kau hasut orang-orang Gemawang untuk tidak takut menghadapi kami. Kau kira kami dapat membiarkan orang-orang yang menentang kami?”
Laksana menundukkan wajahnya. Sementara Manggada telah duduk lagi di sebelahnya. Tetapi dengan kasar Sura Gentong melemparkan ikat kepala dan menarik rambut Laksana sambil berkata, “Apakah kau masih akan menghasut orang-orang Gemawang menentang kami?”
“Tidak” jawab Laksana cepat-cepat.
Sura Gentong mengguncang kepala Laksana keras-keras sambil berkata, “Seharusnya kau tengadahkan wajahmu sebagaimana saat kau berada di punggung kuda berlari-lari mengelilingi padukuhan Gemawang.”
Laksana masih tetap berdiam diri meskipun rambutnya masih digoncang-goncang oleh Sura Gentong. Namun akhirnya Sura Gentong melepaskan rambut Laksana, tetapi dengan kerasnya ia menampar kening anak muda itu. Laksanalah yang kemudian berguling-guling kesakitan beberapa saat.
Ketiga orang yang membawa kedua orang anak muda itu menjadi tegang. Mereka sudah terbiasa menyaksikan orang-orang yang mengalami perlakuan kasar. Bahkan lebih dari yang dialami oleh kedua orang anak muda itu. Namun saat itu jantung mereka terasa berdentang semakin cepat. Pideksa pun berdiri termangu-mangu. sementara Wira Sabet memandang anak-anak muda iiu dengan wajah yang tegang.
Dalam pada itu Sura Gentong itupun berkata “Kalian berdua sudah terlanjur melihat tempat tinggal kami. Karena itu, sebelum segala sesuatunya selesai, kalian tidak akan dapat keluar dari tempat ini, kecuali jika mata kalian telah menjadi buta. kalian berdua akan menjadi budak disini. Melakukan segala pekerjaan kasar yang tidak pantas dilakukan oleh orang lain...”
Manggada dan Laksana tidak menjawab sama sekali. Dalam keadaan yang demikian mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk berbicara apapun juga. Karena itu, mereka harus menunggu satu kesempatan untuk berbicara tentang hubungan antara orang-orang itu dengan padukuhan Gemawang. Dalam pada itu, Pideksapun yang kemudian berkata, “Serahkan anak-anak gila itu kepadaku, paman”
“Kau urus mereka...” geram Sura Gentong.
Sementara itu, Wira Sabetpun berbicara pula kepada ketiga orang yang membawa kedua orang anak muda itu, “Serahkan mereka kepada Watang yang akan menyimpan mereka”
“Nanti aku akan berbicara dengan mereka.” geram Sura Gentong.
Ketiga orang itupun kemudian membawa kedua orang anak muda itu kepada orang yang ternama Watang. Seorang yang mendapat kepercayaan Wira Sabet dan Sura Gentong menahan orang-orang yang dianggapnya berbahaya. Bahkan dari lingkungan mereka sendiri. Tetapi Wira Sabet masih berkata selanjutnya,
“Pideksa. Temui Watang. katakan kepadanya tentang kedua anak muda itu”
Pideksa tanggap akan pesan ayahnya. Karena itu, maka iapun ikut pula bersama ketiga orang yang akan menyerahkan Manggada dan Laksana.
“Ambil ikat kepalamu.” berkata Pideksa kepada Laksana.
Laksanapun kemudian mengambil ikat kepalanya dan dikenakannya asal saja melekat di kepalanya. Diiringi oleh Pideksa dan ketiga orang yang membawanya ke tempat itu, maka Manggada dan Laksana telah di dihadapkan kepada orang yang bersama Watang. Seorang yang bertubuh tinggi besar dan sedikit gemuk Rambut di kepalanya tidak terlalu banyak, sementara ikat kepalanya yang botak itu tanpa menyembunyikan botaknya.
Wajah orang itu nampak bengis. Matanya yang dalam memancarkan nafas kebencian. Ketiga orang yang membawa Manggada dan Laksana itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka mengenal Watang sebagai seorang yang tidak berjantung. Ia dapat berbuat apapun yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.
Ketika mereka mendekati sebuah barak yang kokoh di tengah-tengah lingkungan sarang Wira Sabet dan Sura Gentong itu, Pideksa berkata kepada ketiga orang yang membawa Manggada dan Laksana, “Beristirahatlah. Kalian telah berhasil menjalankan tugas kalian, meskipun tidak sempurna”
Ketiga orng itu nampak ragu-ragu. Mereka memandangi Manggada dan Laksana sesaat dengan tatapan mata yang lain. Namun merekapun kemudian meninggalkan Manggada dan Laksana yang digiring langsung oleh Pideksa.
Watang yang melihat Pideksa membawa dua orang anak muda telah menyongsongnya. Dengan suara yang berakitan, bergetar, orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah garang itu bertanya, “Inikah anak-anak muda Gemawang yang berkeliaran di atas punggung kudanya itu? Bukankah semuanya ada tiga?”
“Ya” jawab Pideksa “Yang seorang masih luput, ia sempat melarikan diri.”
“Jika demikian, biarlah dosanya ditanggung oleh kedua orang kawannya itu...”
“Maksudmu?” bertanya Pideksa.
“Jika seharusnya yang dipatahkan satu tangannya, maka untuk menanggung dosa kawannya, maka yang akan aku patahkan adalah dua buah tangannya.”
“Itukah mimpimu siang dan malam?” bertanya Pideksa.
“Bukankah itu tugasku disini?” Watang justru bertanya.
“Tetapi dua orang anak muda itu adalah bagianku. Kau tidak boleh mengusiknya. Aku sendiri yang akan menghukum mereka. Ingat. Kau tidak boleh mengusiknya, atau kau sendiri juga akan mengalami perlakuan kasar dari aku atau ayah atau paman Sura Gentong...”
Watang mengerutkan dahinya. Sementara Pideksa berkata, “Aku ingin satu permainan yang utuh dengan kedua orang anak muda itu. Nah, kau tahu maksudku?”
Watang mengangguk sampai tersenyum, “Aku mengerti anak muda itu.”
“Nah, jika demikian jangan kecewakan aku.” berkata Pideksa kemudian.
Watang mengangguk-angguk. Sementara itu Pideksa berkata ”Simpan anak itu baik-baik...”
“Baik, anak muda...” jawab Watang kemudian.
Tiba-tiba saja kedua tangan Watang itu menyambar baju Manggada dan Laksana diarah tengkuknya. Didorongnya kedua anak muda itu ke pintu sebuah bilik tahanan yang kuat. Kemudian dengan kakinya, Watang mendorong Manggada dan kemudian Laksana masuk ke dalam bilik itu. Dorongan yang kemudian membuat kedua orang anak muda itu terhuyung-huyung. Namun Manggada kemudian telah jatuh tertelungkup di dalam biliknya.
Sementara itu Pideksa berkata, “Jangan kurangi hakku, mengerti. Aku tidak mau kecewa...”
Watang tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian menutup pintu dari luar dan kemudian menyelaraknya. Sejenak kemudian Pideksa pun telah meninggalkan bilik tahanan itu dan melangkah kenib di ke pendapa.
Adalah di luar kesadaran mereka, bahwa dari sebatang pohon yang tinggi, di dalam hutan yang terletak di sebelah lingkungan tempat tinggal Wira Sabet dan Sura Gentong itu, Ki Pandi sempat melihat kemana Manggada dan Laksana itu digiring dan disimpan. Meskipun Ki Pandi tidak tahu apa yang terjadi seluruhnya, namun setidak-tidaknya ia sudah mengetahui satu di antara bangunan yang ada di lingkungan dinding bambu yang terhitung tinggi itu, sebagai tempat untuk menahan Manggada dan Laksana.
Tetapi Ki Pandi tidak dapat berbuat apa-apa, ia tahu bahwa di tempat itu banyak terdapat para pengikut. Wira Sabet dan Sura Gentong dengan beberapa orang saudara seperguruannya. Bahkan mungkin orang yang bernama Ki Sapa Aruh itu juga tinggal di tempat itu pula.
Sementara itu, Manggada dan Laksana yang berada di dalam bilik yang tertutup rapat itu, duduk sambil mengusap pakaiannya yang kotor. Dengan nada dalam Manggada berkata, “Aku harus mengotori pakaianku dengan beberapa kali berguling-guling dilantai dan bahkan di tanah.”
“Salahmu...” desis Laksana “Kenapa kau harus jatuh dan berguling-guling, sehingga aku harus menirukannya juga.”
Manggada tersenyum. Katanya, “Bukankah permainanku meyakinkan mereka?”
"Tanpa setiap kali bergulingpun kita akan dapat meyakinkan mereka” sahut laksana.
Manggada tertawa tertahan. Katanya, “Sudahlah. Kita mempunyai gaya permainan tersendiri.”
Laksana mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Bagaimana tanggapanmu tentang sikap Pideksa?”
“Aku tidak berprasangka buruk. Bagaimanapun juga, di masa kecil, kami adalah kawan bermain. Aku tidak bermusuhan dengan Pideksa di masa kecilku” jawab Manggada.
“Mudah-mudahan. Akupun berpikir demikian. Tetapi dugaan kita dapat salah” jawab Laksana.
Tetapi untuk sementara kedua orang anak muda itu berkesimpulan bahwa Pideksa masih berusaha untuk mengekang perlakuan yang sangat buruk terhadap mereka.
Dalam pada itu, yang justru menjadi gelisah adalah ketiga orang yang telah membawa Manggada dan Laksana ke barak itu. Perasaan yang belum pernah singgah dihatinya telah membuat mereka tidak mengerti tentang diri mereka sendiri. Bahkan mereka bertiga sempat berbicara tentang nasib kedua orang anak muda itu.
“Aku tidak tahu, apa jadinya kedua orang anak yang aneh itu?” berkata orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.
“Sikapnya tidak masuk akal bagiku. Atau barangkali mereka memang anak-anak muda yang sombong?” jawab kawannya.
“Mungkin...” sahut yang lain ”Sombong dan tidak mengerti apa yang dapat terjadi atas diri mereka jika mereka berada di tangan Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong. Apalagi Watang yang gila itu dapat berbuat apa saja yang tidak pernah kita bayangkan sekalipun.”
“Anak-anak itu memang gila. Tetapi kegilaannya telah membuat jantungku berdebaran terus. Aku tiba-tiba merasa berhutang kepada mereka.” berkata orang yang bertubuh tinggi itu.
Dua orang kawannya yang berjalan mendekati mereka, melihat wajah-wajah yang nampak kusut itu. Seorang di antara mereka bertanya, “Kenapa kalian nampak murung?”
Yang bertubuh tinggi itulah yang menjawab. ”Kemungkinan buruk dapat terjadi atas kita”
“Kenapa?” bertanya kawannya itu.
“Kami gagal menangkap ketiga orang anak muda berkuda itu. Kami hanya dapat menangkap dua orang.” jawab orang yang bertubuh tinggi itu.
“Itu lebih baik daripada tidak sama sekali...” desis orang itu sambil melangkah pergi.
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu menarik nafas panjang. Di luar sadarnya ia berkata, “Anak-anak muda itu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Seorang saja di antara mereka dapat mengalahkan kita bertiga. Apakah dengan ilmunya yang tinggi itu, ia ingin menjajagi isi barak ini?”
“Mungkin. Tetapi jika keduanya membentur Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong, maka keduanya akan mengalami nasib buruk. Apalagi Ki Sapa Aruh.” sahut yang lain.
Orang yang bertubuh tinggi itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian. “Terserahlah, apa yang akan terjadi. Aku tidak mau menjadi gila karenanya. Jika terjadi sesuatu atas anak-anak itu, tentu bukan salah kami. Mereka sendiri yang justru memaksa kami membawanya kemari. Sebaliknya, jika anak-anak itu membuat keonaran disini, juga bukan salah kami. Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong menghendaki mereka dibawa kemari.”
“Ya” sahut kawannya “Kita tidak bersalah terhadap siapapun. Kita melakukan apa yang mereka kehendaki. Baik Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong, maupun Manggada dan Laksana itu.”
Ketiganya mengangguk-angguk. Meskipun demikian, rasa-rasanya ada beban yang tidak dapat mereka letakkan.
Sementara itu, Manggada dan Laksana sudah berbaring di dalam bilik tahanannya. Mereka masih belum tahu apa yang dapat terjadi atas diri mereka. Namun ternyata ada juga sedikit kecemasan di hati mereka setelah mereka benar-benar berada di sarang Wira Sabet dan Sura Gentong.
Ketika hari mendekati senja, maka Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar ketika selarak pintu dibuka. Watang yang bertubuh tinggi besar dan agak gemuk itu berdiri di muka pintu dengan wajah yang membuat jantung kedua anak muda itu berdeba-debar.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun. Watang melangkah masuk. Dicengkamnya baju Manggada dan Laksana. Kemudian dengan serta merta keduanya dilemparkan keluar bilik tahanan itu. Keduanya terhuyung-huyung beberapa langkah. Laksana sempat berpegangan sebatang pohon yang hampir saja membentur tubuhnya. Namun Manggada telah jatuh terguling di tanah. Ketika Manggada berusaha dengan susah payah bangkit. Laksana berbalik,
“Terjatuh lagi”
“Sst“ Manggada berdesis.
Mereka terdiam ketika Pideksa melangkah mendekati mereka sambil berkata, “Ayah dan paman Sura Gentong ingin berbicara dengan kalian.”
Manggada dan Laksana menjadi gelisah juga. Tetapi agaknya kesempatan itulah yang mereka tunggu. Demikianlah, maka Pideksapun telah membawa Manggada dan Laksana ke pendapa bangunan induk sarang Wira Sabet dan Sura Gentong itu.
Di pendapa itu, Wira Sabet dan Sura Gentong telah menunggu. Mereka duduk di atas tikar yang dibentangkan di pendapa itu. Tetapi tikar itu tidak cukup luas apabila Manggada dan Laksana ikut duduk bersama mereka.
Karena itu, maka ketika Sura Gentong memerintahkan keduanya untuk duduk, Manggada dan Laksana telah duduk di atas lantai tanpa lambaran tikar sama sekali. Dengan wajah yang tetap garang. Sura Gentongpun bertanya,
“He, kenapa kau telah melakukan satu perbuatan gila dengan berkuda berkeliling padukuhan?”
Manggada termangu-mangu sejenak. Pertanyaan seperti itu memang sudah diduganya. Meskipun demikian Manggada harus menjawabnya dengan sangat berhati-hati.
“Paman...” berkata Manggada kemudian “Sebenarnyalah aku ingin melihat padukuhan kami hidup lagi seperti keadaannya sehari-hari. Dalam keadaan yang tidak sewajarnya itu, maka orang-orang padukuhan tidak dapat melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Sawah tidak terpelihara sebagaimana seharusnya, parit-parit yang kering tidak sempat diairi karena bendungan yang pecah. Jalan-jalan yang rusak dan bahkan perempuan-perempuan tidak sempat pergi ke pasar.”
“Jadi kau ingin menjadi pahlawan, ya. Kau ingin menentang kami disini?”
“Sama sekali tidak. Yang kami lakukan sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong. Kami hanya ingin orang-orang Gemawang bekerja seperti biasa. Tanpa rasa takut, karena persoalan antara para bebahu Gemawang dengan paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong akan diselesaikan Oleh mereka, sehingga orang-orang Gemawang tidak usah turut campur.”
“Tidak” jawab Sura Gentong. “Kami memang menginginkan mereka menjadi ketakutan. Kami menginginkan agar mereka mendapat kesan, bahwa bebahu yang sekarang memegang pimpinan di padukuhan itu tidak mampu melindungi mereka.”
“Kami tidak mengetahuinya, paman.”
“Bohong! Kau kira kau dapat membohongi kami? Kau ingat apa yang kau katakan di halaman rumah kakang Wira Sabet? Kau ingat bagaimana kau mencobai untuk membujuk kami agar kami bersedia berbicara dengan Ki Jagabaya. Kata-katamu sudah saling bertentangan. Karena itu. aku dapat mengambil kesimpulan bahwa kau memang bermaksud buruk dengan kelakuanmu bertiga itu”
“Sebenarnya keinginan itu masih tetap ada di kepalaku, paman. Kami tentu akan merasa berbahagia jika paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong bersedia untuk berbicara”
Tiba-tiba saja Sura Gentong itu bangkit dan melangkah mendekati Manggada. “Bukankah aku sudah memberikan syarat untuk membuka pembicaraan? Apakah Ki Jagabaya menyetujui syarat itu?”
“Paman...” berkata Manggada “Bagaimana jika syarat itu paman katakan langsung kepada Ki Jagabaya dalam sebuah perundingan? Sebenarnya yang terpenting orang-orang padukuhan adalah satu penyelesaian yang tuntas, itu saja.”
Tiba-tiba saja Manggada terkejut. Kaki sura Gentong itu telah berada di atas pundaknya. Katanya, “Kau tidak berhak mengatakan sepatah katapun tentang usaha penyelesaian dalam persoalan Gemawang. Aku sudah mempunyai rencana yang lengkap. Rencana itu akan aku sampaikan kepada Ki Bekel dan para bebahu. Tidak ada perundingan. Persoalan akhir adalah, mereka menerima atau tidak. Jika mereka menerima, maka Gemawangakan segera pulih kembali. Jika tidak, maka terpaksa akan terjadi kekerasan”
Manggada menunduk. Pundaknya mulai terasa sakit. Sementara Sura Gentong berkata “Rencana penyelesaianku tetap sebagaimana aku katakan kepadamu di halaman rumah paman Wira Sabet. Tetapi sekarang aku sudah menyusunnya menjadi satu kesatuan pengertian yang terperinci dan dimuat pada sebuah surat yang memang agak panjang. Itu saja.”
“Apakah paman menghendaki aku membawa surat itu?”
“Persetan kau“ kaki Sura Gentong telah mendorong pundak Manggada sehingga Manggada jatuh terlentang. Mulutnya menyeringai menahan sakit”
“Duduk” bentak Sura Gentong “Sudah aku katakan, karena kau telah melihat tempat ini, maka kau akan menjadi budak disini sampai tercapai satu penyelesaian yang tuntas. Tergantung dari penyelesaian itu, apakah kau akan dapat melihat ayah dan ibumu lagi atau tidak”
Manggadapun kemudian berusaha untuk duduk. Sementara itu, Sura Gentong telah mendekati Laksana sambil berkata “He, kau orang asing. Kenapa kati ikut campur dalam persoalan padukuhan Gemawang”
“Aku hanya ikut-ikutan paman...” jawab Laksana “Aku adalah adik sepupu kakang Manggada”
“Aku sudah tahu...“ tangan Sura Gentongpun telah menampar wajah Laksana sehingga wajah Laksana itu terputar menyamping. Yang terdengar kemudian adalah desah kesakitan, sementara kedua tangannya memegangi mulutnya yang kesakitan”
Yang kemudian juga bangkit adalah Wira Sabet. Dengan kerut di dahinya Wira Sabet itupun bertanya “Apakah yang sudah dilakukan oleh Ki Jagabaya selama ini?”
Manggadalah yang menjawab “Ki Jagabaya tidak melakukan apa-apa, paman”
“Apakah ia mempersiapkan sekelompok orang untuk membantunya mempertahankan kedudukannya?”
“Sepengetahuanku tidak. Tidak ada orang yang akan berani melakukannya, seandainya Ki Jagabaya menghendakinya” jawab Manggada.
“Jadi, kenapa menurut pendapatmu, bahwa Ki Jagabaya berani menentang keinginan kami?” bertanya Wira Sabet pula.
“Aku tidak tahu paman. Tetapi menurut kata orang, Ki Jagabaya itu terlalu setia kepada kewajibannya, sehingga ia tidak memikirkan akibat yang dapat terjadi atas dirinya”
Namun tiba-tiba saja Sura Gentong itupun bertanya pula “He, apakah ayahmu juga berani menentang aku?”
“Tidak, paman. Ayah masih seperti dahulu. Ia tidak banyak menyangkutkan diri dengan persoalan di sekitarnya. Ayah lebih baik diam dan demikian pula dalam persoalan sekarang ini."
“Tetapi kenapa kau menjadi ribut bersama anak Jagabaya itu sehingga setiap hari kalian selalu bersama-sama dengan Sampurna berkuda di sepanjang jalan padukuhan? Apakah dengan demikian Sampurna mencari pendukung untuk mempertahankan kedudukan ayahnya yang sudah goncang itu?”
“Tidak. Sampurna melakukan sebagaimana kami lakukan” jawab Manggada.
Namun tiba-tiba saja kaki Sura Gentong telah hinggap pula di tengkuk Manggada “Kau jangan mencoba melindungi anak Jagabaya itu. Atau karena kau sadari bahwa apa yang dilakukannya menyangkut kalian berdua juga?”
“Tidak paman. Aku berkata sebenarnya” jawab Manggada.
Tetapi kaki Sura Gentong itu menekan Manggada semakin keras, sehingga kepala Manggada semakin menunduk hampir menyentuh lantai. Sementara kakinya masih tetap bersilang, sedangkan tangannya berusaha menyangga tubuhnya.
Tetapi Wira Sabet itupun kemudian bertanya kepadanya “Manggada. Apakah Ki Jagabaya pernah mengatakan sesuatu kepadamu dalam hubungannya dengan kami?”
“Seperti yang pernah kami katakan kepada paman.“ Manggada berhenti sejenak, sementara ia masih saja membungkuk karena kaki Sura Gentong masih menekan tengkuknya.
“Aku ingin mendengar jawabannya” berkata Wira Sabet kepada Sura Gentong.
Sura Gentong menggeram. Tetapi ia mengangkat kakinya dan memberikan Manggada mengangkat kepalanya pula.
“Jawab pertanyaanku dengan jelas” desis Wira Sabet.
“Seperti yang pernah kami katakan kepada paman di halaman rumah paman itu” jawab Manggada.
“Satu hal yang tidak mungkin.” berkata Wira Sabet “Selanjutnya tidak akan ada orang yang dapat mempengaruhi sikap kami terhadap padukuhan Gemawang. Apalagi setelah kau berdua ada disini. Seperti yang dikatakan oleh pamanmu Sura Gentong, maka kau akan menjadi budak disini”
Manggada tidak menjawab lagi. Sementara itu Wira Sabet pun berkata, “Kau akan berada dibawah perintah Pideksa langsung. Kau harus menurut perintahnya. Jika kau dan adik sepupumu itu berani menolak perintahnya, maka kau akan menyesal. Ingat, kau berada di lingkungan kuasa kami”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Tetapi kepala mereka menunduk dalam-dalam.
“Pideksa” berkata Wira Sabet “Bawa anak-anak ini melihat-lihat apa saja yang harus mereka lakukan mulai besok."
“Baik, ayah” jawab Pideksa.
Ternyata Sura Gentong tidak menahannya ketika Pideksa kemudian berkata, “Marilah, ikuti aku”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Iapun kemudian mengikuti Pideksa keluar dari pendapa. Dua orang pengawal yang mendapat tugas untuk mengikuti Pideksa yang membawa kedua orang tawanan melangkah di belakang mereka dengan tombak pendek di tangan.
Manggada dan Laksana kemudian berjalan di belakang Pideksa menuju ke bagian belakang barak itu. Barak yang dihuni oleh Wira Sabet dan Sura Gentong serta beberapa orang saudara seperguruannya. Meskipun secara khusus orang-orang yang disebut saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong itu tidak nampak menonjol di antara para pengikut yang ada di barak itu, namun Pideksa sempat berdesis kepada Manggada dan Laksana,
“Ada empat orang saudara seperguruan ayah dan paman Sura Gentong disini. Yang duduk di sudut barak yang terpisah itu adalah satu di antaranya”
Manggada dan Laksana memandang orang itu dengan jantung yang berdebaran. Orang itu benar-benar nampak bengis sebagaimana orang yang bernama Watang. Meskipun tubuhnya tidak sebesar Watang. tetapi nampak bahwa orang itu adalah orang yang berilmu. Bukan sekedar orang yang mengandalkan kekuatan tenaganya saja, atau barangkali sedikit kemampuan dasar olah kanuragan.
Ketika di antara dua bangunan bambu mereka berpapasan dengan seorang yang bertubuh sedang dan bahkan berwajah tampan, maka Pideksa pun berkata, “Orang itu adalah salah satunya pula”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Ternyata ujud orang itu jauh berbeda dengan ujud orang yang duduk di sudut barak yang terpisah itu. Demikian orang itu berdiri beberapa langkah dari Pideksa, orang itu berhenti. Demikian pula Pideksa, sehingga Manggada, Laksana dan dua orang pengawal di belakang merekapun berhenti.
Ternyata orang yang berwajah tampan itu tersenyum. Dipandanginya Manggada dan Laksana dengan saksama. Kemudian orang itupun berkata, “inikah anak-anak yang diburu oleh ayahmu itu?”
“Ya, paman...” jawab Pideksa.
“Apa sebenarnya kesalahan mereka?” bertanya orang berwajah tampan itu.
“Mereka yang dikatakan ayah dan paman Sura Gentong berkeliaran di padukuhan Gemawang di atas punggung kuda bertiga itu paman.” jawab Pideksa.
Orang itu tertawa. Kepada Manggada dan Laksana ia bertanya “He, apa sebenarnya yang kau lakukan dengan berkuda berkeliling padukuhan itu?”
Manggada dan Laksana masih melihat senyum di bibir orang itu. Dengan ragu-ragu Manggada menjawab “Sudah kami katakan kepada paman Wira Sabet dan Sura Gentong pula, bahwa kami sekedar ingin melihat padukuhan Gemawang hidup kembali”
Orang itu tertawa pula. Katanya “Ada yang menarik pada kalian berdua dan yang seharusnya bertiga. Kalian adalah anak-anak yang berani. Tetapi keberanian kalian telah melemparkan kalian ke dalam neraka ini”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Sementara orang itu bertanya kepada Pideksa, “Akan kau bawa kemana anak-anak itu, Pideksa?”
“Aku akan menunjukkan kepada mereka, apa yang harus mereka kerjakan disini”
“Apakah keduanya akan bergabung dengan budak-budak itu?” bertanya orang yang berwajah tampan itu.
“Ya” jawab Pideksa.
“Jika keduanya sering berkuda berkeliling padukuhannya, maka keduanya tentu dapat memelihara kuda. Nah, apakah kau pernah berpikir bahwa keduanya dapat diserahi untuk memelihara kuda-kuda yang ada di barak ini?”
Pideksa berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Satu gagasan yang baik. Baik, paman. Mereka akan mendapat tugas khusus, memelihara kuda...”
Orang itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Hanya ada satu kuda putih di barak ini. Kuda itu adalah kudaku. Hati-hati dengan kuda itu. Jika kalian melakukan kesalahan atas kuda putihku, maka tidak akan ada ampun lagi bagi kalian...”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Sementara itu, orang itu meneruskan langkahnya sambil menepuk pundak Manggada, “Selamat bekerja anak-anak. Mudah-mudahan kalian kerasan tinggal disini.”
Pideksa mengikuti langkah orang itu beberapa lama. Namun kemudian ia mengajak Manggada dan Laksana berjalan terus. Namun Pideksa itu sempat berdesis, “Hati-hati dengan orang itu...”
“Kenapa?” bertanya Manggada di luar sadarnya. “Nampaknya ia orang baik.”
“Ia adalah orang yang paling kejam di antara saudara seperguruan ayah. Mungkin pikiran dan perasaannya sejalan dengan paman Sura Gentong.”
“Tetapi menilik ujud dan sikapnya...” desis Laksana.
Pideksa tertawa pendek. Katanya, “Itulah yang sering menyesatkan anggapan orang atasnya.”
Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Sementara itu, senja sudah turun. Lampu-lampu minyak telah menyala dimana-mana. Pideksa telah mengajak Manggada dan Laksana ke kandang kuda yang terletak agak di bagian belakang barak itu.
Laksana menjadi berdebar-debar. Ada beberapa ekor kuda yang ada di kandang itu. Jika berdua saja dengan Manggada mereka harus memelihara kuda itu, maka mereka benar-benar menjadi budak yang malang.
“Inilah kuda-kuda itu...!” berkata Pideksa “Kalian harus memelihara dengan baik. Ingat, kuda putih itu adalah kuda yang harus kalian perhatikan melampaui yang lain. Pemiliknya adalah seorang yang mempunyai perangai yang aneh.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu Pideksa telah memerintahkan salah seorang pengawalnya memanggil orang yang sebelumnya memelihara kuda itu. Sejenak kemudian, orang itupun telah menghadap. Sambil terbungkuk-bungkuk ketakutan orang itu mendekati Pideksa.
“Aku membawa dua orang anak muda untuk menjadi kawan kerjamu disini. Kau sudah menjadi semakin tua. Tenagamu menjadi semakin lemah...” berkata Pideksa.
Orang tua itu memandang Manggada dan Laksana sejenak. Namun kemudian orang itu mengangguk-angguk sambil berkata, “Terima kasih anak muda. Dengan demikian tugasku akan menjadi lebih ringan.”
“Mulai besok, kalian berdua akan bekerja disini. Tetapi ingat, kalian berdua adalah tawanan kami. Kalian jangan mencoba dan berusaha untuk melarikan diri. Tidak ada jalan yang akan dapat kalian lalui. Jika kalian berusaha memanjat dinding, maka tentu ada seseorang yang melihat kalian, karena orang-orangku selalu mengawasi barak. Yang perlu kalian ketahui, setiap usaha untuk melarikan diri hanya akan berarti satu penderitaan panjang yang tidak berkeputusan...” berkata Pideksa.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu Pideksa itupun berkata, “Marilah. Malam ini kalian berdua masih harus tidur di bilik tahanan ini. Mungkin untuk beberapa malam berikutnya, sementara di siang hari kau bekerja disini."
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Ketika Pideksa akan mengajak Manggada dan Laksana kembali ke biliknya, maka mereka mendengar derap kaki kuda berlari ke arah mereka. Sejenak kemudian nampak dua orang berkuda melarikan kuda mereka menyusup di antara bangunan-bangunan yang ada di barak itu.
Demikian kedua orang itu meloncat turun, maka orang tua yang biasanya memelihara kuda itu tergesa-gesa mendekati mereka dan menerima kedua ekor kuda itu. Kedua orang tertegun melihat Pideksa dan dua orang anak muda di dekat kandang itu.
“Siapakah mereka, Pideksa?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Manggada dan Laksana, paman!” jawab Pideksa.
“Oh...“ yang seorang di antara mereka mengangguk-angguk sambil melangkah mendekati Manggada dan Laksana. “Jadi inilah anak-anak muda yang gagah berani itu...?
Beberapa langkah mendekati dua orang pengawas itu, salah seorang dari ketiga orang yang menggiring Manggada dan Laksana yang ditutup matanya itu berkata, “Apakah Ki Lurah ada?”
“Ada” jawab salah seorang dari mereka “tetapi bukankah kau harus menangkap tiga orang anak muda?”
“Iblis kecil yang seorang lagi sempat melarikan diri” jawab orang itu “Retapi dua ini sudah mewakili.”
“Ki Lurah menghendaki tiga.” berkata orang itu.
“Anak yang seorang itu penakut. Demikian ia melihat kami, maka dilarikannya kudanya menjauh. Tetapi yang dua orang ini tidak sempat melakukannya.”
Kedua orang pengawas itu mengangguk-angguk. Tetapi yang lain bertanya “Tidak kau bawa kudanya itu?”
Kudanya berlari seperti sedang berpacu demikian, penunggangnya terjatuh. Kami gagal untuk menangkap. Tetapi orang-orangnya inilah yang lebih penting dari kudanya bagi kami” jawab orang yang bertubuh tinggi itu.
Kedua pengawas itu tidak bertanya lagi. Mereka membiarkan ketiga orang itu membawa Manggada dan Laksana memasuki regol pagar barak mereka.
Sementara itu, Ki Pandi dengan hati-hati mengikuti jejak ketiga orang yang membawa Manggada dan Laksana. Tidak terlalu sulit baginya. Namun ketika jejak itu menuruni tebing sungai, maka Ki Pandi agak menjadi cemas. Jika mereka menelusuri sungai, maka tentu agak sulit baginya untuk mengikuti jejak mereka. Ia harus mencari jejak itu di seberang sungai, menelusuri tepian. Tetapi yang masih dipertanyakan, ke arah hulu atau udik.
Namun Ki Pandi tidak perlu bersusah payah. Ketika ia menyeberangi sungai itu, maka ia langsung dapat melihat jejak kaki di tepian. Jejak yang sengaja dibuat sebagaimana sebelumnya. Dengan demikian, Ki Pandi tidak menemukan kesulitan apa-apa untuk mengikuti arah perjalanan Manggada dan Laksana.
Tetapi Ki Pandi tidak dapat mengikuti jejak itu sampai ke barak. Dengan ketajaman penglihatannya, Ki Pandi yang bersembunyi di balik rimbunnya pohon perdu melihat Manggada dan Laksana itu dibawa ke barak, sementara dua orang yang mengawasi keadaan itu masih saja berjaga-jaga di tempatnya. Keduanya berjalan hilir mudik untuk mengatasi kejemuan mereka dalam tugas yang melelahkan itu. Agaknya para pengikut Wira Sabet dari Sura Gentong itu lebih senang melakukan tugas-tugas lain daripada berdiri di pinggir hutan untuk mengawasi keadaan.
Meskipun sejak semula mereka berada di tempat itu, belum pernah ada. orang yang datang atau bahkan yang tersesat sekalipun sampai ke tempat itu. Namun para pengikut Wira Sabat dan Sura Gentong setiap hari bergantian selalu mengawasi keadaan.
Namun karena itu, maka para pengikut Wira Sabet dan Sura Gentong itu tidak melakukan tugas mereka dengan sungguh-sungguh. Mereka lebih banyak menyibukkan diri justru untuk mengusir kejemuan daripada menjalankan tugasnya sebaik-baiknya.
Ki Pandi melihat gelagat itu. Karena itu, maka ia ingin memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Sebagai seorang yang berilmu tinggi dan mempunyai ketajaman panggraita, maka Ki Pandi mampu beringsut dari balik gerumbul perdu yang satu ke balik gerumpul perdu yang lain, sehingga akhirnya Ki Pandi itu hilang ke dalam hutan.
Dan dalam hutan itulah Ki Pandi ingin melihat, apa yang ada di balik dinding yang cukup tinggi yang dibuat dari bambu yang berjajar rapat. Dalam pada itu, Manggada dan Laksana telah dibawa masuk ke dalam lingkungan barak itu. Di regol dua orang penjaga berdiri di sebelah menyebelah dengan tombak di tangan.
“Inikah anak-anak muda yang harus kau ambil?” bertanya seorang penjaga.
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itulah yang menjawab “Ya. Seorang lagi lepas dari tangan kami....”
“Kenapa dapat terjadi?” bertanya penjaga.
Orang yang membawa Manggada dan Laksana itu merasa tidak perlu menjawab. Karena itu, maka merekapun, berjalan terus menuju ke bangunan induk sarang Wira Sabet dan Sura Gentong itu. Sekali-sekali mereka didorong ke arah yang benar, karena keduanya masih saja ditutup matanya.
Manggada dan Laksana hampir jatuh terjerumus ketika kaki mereka terantuk tangga ketika mereka sampai di bagian depan bangunan induk barak itu yang cukup luas dan terbuka, yang dianggapnya sebagai pendapa.
Tetapi seorang yang menggiring mereka cepat menangkap tengkuk Manggada dan sekaligus Laksana. Dengan kasar orang itu membentak “Naik tangga itu, anak-anak dungu. Manggada dan Laksanapun kemudian melangkah dengan hati-hati, naik tangga pendapa yang rendah itu.
“Hanya tiga anak tangga...” desis Laksana.
Orang-orang yang menggiringnya itupun kemudian mendorong Manggada dan Laksana sambil membentak, “Duduk”
Manggada dan Laksana masih belum merasa berada di atas tikar. Karena itu, mereka agak ragu-ragu untuk duduk. Tetapi orang-orang yang menggiringnya itu telah mendorong mereka, sehingga Manggada telah terjatuh, sementara Laksana terhuyung-huyung beberapa langkah.
“Duduk...!” bentak orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.
Sekali lagi Manggada dan Laksana merasa tengkuknya ditangkap dan kemudian ditekan untuk duduk di atas lantai tanah yang tidak dilambari sehelai tikar. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar seseorang berkata, “Jangan terlalu kasar terhadap orang yang sudah tidak berdaya.”
Manggada dan Laksana termangu-mangu mendengar peringatan itu. Apakah itu satu kebaikan baginya atau justru satu penghinaan, bahwa keduanya sama sekali sudah tidak berdaya. Namun kemudian terdengar suara itu lagi, “Kau hanya membawa dua di antara ketiga orang anak muda itu?”
“Yang seorang berhasil melarikan diri. Ketika anak itu melihat kami, maka ia langsung melarikan kudanya, sehingga kami tidak dapat mengejarnya. Sementara kedua orang anak muda ini tidak sempat melakukannya. Keduanya justru meloncat turun dan berusaha untuk melawan. Sementara kuda-kuda mereka juga lari dengan cepat menjauh”
“Paman Sura Gentong menghendaki ketiga-tiganya. Tetapi untuk sementara dua orang ini sudah cukup!”
Manggada dan Laksana yang mendengar pembicaraan itu cepat menduga, bahwa orang yang berbicara itu adalah Pideksa. Dalam pada itu, maka Pideksa itupun kemudian memerintahkan agar tutup mata kedua anak muda itu dibuka.
Demikian tutup mala itu dibuka, maka Manggada dan laksana melihat sebagaimana mereka duga, Pideksa berdiri beberapa langkah di hadapan mereka.
“Maaf Manggada...” berkata Pideksa “Kami terpaksa mengundang kalian berdua untuk datang ke sarang kami”
“Apa maksudmu menangkap kami berdua, Pideksa?” bertanya Manggada.
“Kalian berdua, bertiga dengan Sampurna, merupakan orang-orang yang berbahaya dipadukuhan Gemawang” jawab Pideksa.
“Kenapa?” bertanya Manggada.
“Kalian telah melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa kalian tidak menjadi ketakutan terhadap ayah dan paman Sura Gentong. Kalian telah menghasut orang-orang padukuhan Gemawang untuk tidak takut kepada kami” berkata Pideksa.
“Jadi maksudmu, kami, orang-orang Gemawang harus menjadi takut dan kemudian tunduk kepada kalian?” bertanya Manggada.
“Ya” jawab Pideksa “Kami tidak mempunyai pilihan lain”
Pembicaraan itu terhenti. Mereka melihat dua orang yang berjalan menuju kependapa yang bahannya semuanya dari bambu itu. Dari bambu petung yang besar dibuat untuk tiang-tiangnya. Bambu wulung dan bahkan bambu apus sebagai kerangka atapnya.
Namun bagaimanapun juga Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar. Kedua orang itu dapat melakukan hal-hal yang tidak terduga sebelumnya. Demikian mereka naik ke pendapa, maka seorang di antaranya, Sura Gentong sendiri, bertanya lantang, “Mana yang seorang lagi?”
“Yang seorang berhasil melarikan diri Ki Sura...” jawab orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu agak takut.
Namun Pideksa segera menyahut. “Sampurna memang seorang penakut sejak kanak-kanak. Ketika mereka melihat ketiga orang yang mencarinya, maka Sampurna segera melarikan kudanya meninggalkan kedua orang kawannya.”
“Jadi apa artinya kesombongannya selama ini?”
“Anak itu dapat diabaikan tanpa Manggada dan Laksana”
“Seharusnya tikus itu harus kau tangkap juga” geram Sura Gentong.
“Tetapi kami mendapat perintah untuk tidak menangkap mereka di rumah mereka...” jawab seorang di antara ketiga orang yang membawa Manggada dan Laksana itu.
“Untuk sementara kita memang masih membatasi diri...“ yang menyahut adalah Wira Sabet.
Namun Sura Gentong itu menggeram. “Sebenarnya kita harus sudah bertindak sesuai dengan rencana.”
“Bukankah Ki Sapa Aruh juga minta agar kita mematangkan keadan lebih dahulu?” sahut Wira Sabet.
Sura Gentong tidak menjawab. Namun kemudian ia berpaling kepada Manggada dan Laksana, “Kau ingat apa yang aku katakan kepada kalian di halaman rumah kakang Wira Sabet?”
Manggada dan Laksana menjadi semakin berdebar-debar. Namun kemudian Sura Gentong itu bertanya kepada ketiga orang yang membawa kedua orang anak muda itu, “He, tidak kau tutup matanya ketika mereka kau bawa kemari?”
Yang menjawab adalah Pideksa “Akulah yang membukanya. Baru saja...”
Sura Gentong itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata kepada Manggada dan Laksana, “Ada dua pilihan bagi kalian. Kalian tetap berada disini, atau kalian ingin pulang tetapi dengan mata yang buta.”
Manggada dan Laksana tidak segera menjawab, sehingga Sura Gentong membentaknya keras-keras, ”Jawab!”
Manggada dan Laksana terkejut. Tetapi keduanya masih tetap berdiam diri. Ternyata Sura Gentong memang seorang yang sangat kasar. Tiba-tiba kakinya melayang menghantam lengan Manggada. Manggada terpelanting. Ia bukan saja jatuh terlentang. Tetapi Manggada berguling dilantai yang tidak beralas itu. Bahkan kemudian ia nampak menjadi sangat kesakitan. Mulutnya menyeringai sementara ia menggeliat sambil memegangi lengannya dengan tangannya yang lain.
“Anak iblis...” geram Sura Gentong. Sementara Laksana menjadi sangat tegang. Tetapi Laksana masih dapat mengekang dirinya, sehingga ia tidak berbuat sesuatu.
Sura Gentong ternyata masih saja berteriak, ”jawab. Kau belum menjawab...”
“Kami tidak ingin menjadi buta paman...” jawab Manggada sambil menyeringai kesakitan.
Tetapi Sura Gentong menjadi semakin marah. Bahkan ia berteriak, “Dengar pertanyaanku. Apakah kau memilih tinggal disini atau memilih kami lemparkan kembali ke padukuhanmu tetapi dengan mata yang buta?”
Manggada terpaksa menjawab. “Aku memilih tinggal disini, paman...”
“Duduk!” perintah Sura Gentong lantang. Sementara itu, iapun berpaling kepada Laksana, “Bagaimana dengan kau?”
“Aku juga memilih tinggal disini.” jawab Laksana.
“Ternyata kesombongan kalian sama sekali tidak berarti apa-apa. Kau kelilingi padukuhan Gemawang dengan naik kuda, berderap seperti seorang senapati perang. Kau hasut orang-orang Gemawang untuk tidak takut menghadapi kami. Kau kira kami dapat membiarkan orang-orang yang menentang kami?”
Laksana menundukkan wajahnya. Sementara Manggada telah duduk lagi di sebelahnya. Tetapi dengan kasar Sura Gentong melemparkan ikat kepala dan menarik rambut Laksana sambil berkata, “Apakah kau masih akan menghasut orang-orang Gemawang menentang kami?”
“Tidak” jawab Laksana cepat-cepat.
Sura Gentong mengguncang kepala Laksana keras-keras sambil berkata, “Seharusnya kau tengadahkan wajahmu sebagaimana saat kau berada di punggung kuda berlari-lari mengelilingi padukuhan Gemawang.”
Laksana masih tetap berdiam diri meskipun rambutnya masih digoncang-goncang oleh Sura Gentong. Namun akhirnya Sura Gentong melepaskan rambut Laksana, tetapi dengan kerasnya ia menampar kening anak muda itu. Laksanalah yang kemudian berguling-guling kesakitan beberapa saat.
Ketiga orang yang membawa kedua orang anak muda itu menjadi tegang. Mereka sudah terbiasa menyaksikan orang-orang yang mengalami perlakuan kasar. Bahkan lebih dari yang dialami oleh kedua orang anak muda itu. Namun saat itu jantung mereka terasa berdentang semakin cepat. Pideksa pun berdiri termangu-mangu. sementara Wira Sabet memandang anak-anak muda iiu dengan wajah yang tegang.
Dalam pada itu Sura Gentong itupun berkata “Kalian berdua sudah terlanjur melihat tempat tinggal kami. Karena itu, sebelum segala sesuatunya selesai, kalian tidak akan dapat keluar dari tempat ini, kecuali jika mata kalian telah menjadi buta. kalian berdua akan menjadi budak disini. Melakukan segala pekerjaan kasar yang tidak pantas dilakukan oleh orang lain...”
Manggada dan Laksana tidak menjawab sama sekali. Dalam keadaan yang demikian mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk berbicara apapun juga. Karena itu, mereka harus menunggu satu kesempatan untuk berbicara tentang hubungan antara orang-orang itu dengan padukuhan Gemawang. Dalam pada itu, Pideksapun yang kemudian berkata, “Serahkan anak-anak gila itu kepadaku, paman”
“Kau urus mereka...” geram Sura Gentong.
Sementara itu, Wira Sabetpun berbicara pula kepada ketiga orang yang membawa kedua orang anak muda itu, “Serahkan mereka kepada Watang yang akan menyimpan mereka”
“Nanti aku akan berbicara dengan mereka.” geram Sura Gentong.
Ketiga orang itupun kemudian membawa kedua orang anak muda itu kepada orang yang ternama Watang. Seorang yang mendapat kepercayaan Wira Sabet dan Sura Gentong menahan orang-orang yang dianggapnya berbahaya. Bahkan dari lingkungan mereka sendiri. Tetapi Wira Sabet masih berkata selanjutnya,
“Pideksa. Temui Watang. katakan kepadanya tentang kedua anak muda itu”
Pideksa tanggap akan pesan ayahnya. Karena itu, maka iapun ikut pula bersama ketiga orang yang akan menyerahkan Manggada dan Laksana.
“Ambil ikat kepalamu.” berkata Pideksa kepada Laksana.
Laksanapun kemudian mengambil ikat kepalanya dan dikenakannya asal saja melekat di kepalanya. Diiringi oleh Pideksa dan ketiga orang yang membawanya ke tempat itu, maka Manggada dan Laksana telah di dihadapkan kepada orang yang bersama Watang. Seorang yang bertubuh tinggi besar dan sedikit gemuk Rambut di kepalanya tidak terlalu banyak, sementara ikat kepalanya yang botak itu tanpa menyembunyikan botaknya.
Wajah orang itu nampak bengis. Matanya yang dalam memancarkan nafas kebencian. Ketiga orang yang membawa Manggada dan Laksana itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka mengenal Watang sebagai seorang yang tidak berjantung. Ia dapat berbuat apapun yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.
Ketika mereka mendekati sebuah barak yang kokoh di tengah-tengah lingkungan sarang Wira Sabet dan Sura Gentong itu, Pideksa berkata kepada ketiga orang yang membawa Manggada dan Laksana, “Beristirahatlah. Kalian telah berhasil menjalankan tugas kalian, meskipun tidak sempurna”
Ketiga orng itu nampak ragu-ragu. Mereka memandangi Manggada dan Laksana sesaat dengan tatapan mata yang lain. Namun merekapun kemudian meninggalkan Manggada dan Laksana yang digiring langsung oleh Pideksa.
Watang yang melihat Pideksa membawa dua orang anak muda telah menyongsongnya. Dengan suara yang berakitan, bergetar, orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah garang itu bertanya, “Inikah anak-anak muda Gemawang yang berkeliaran di atas punggung kudanya itu? Bukankah semuanya ada tiga?”
“Ya” jawab Pideksa “Yang seorang masih luput, ia sempat melarikan diri.”
“Jika demikian, biarlah dosanya ditanggung oleh kedua orang kawannya itu...”
“Maksudmu?” bertanya Pideksa.
“Jika seharusnya yang dipatahkan satu tangannya, maka untuk menanggung dosa kawannya, maka yang akan aku patahkan adalah dua buah tangannya.”
“Itukah mimpimu siang dan malam?” bertanya Pideksa.
“Bukankah itu tugasku disini?” Watang justru bertanya.
“Tetapi dua orang anak muda itu adalah bagianku. Kau tidak boleh mengusiknya. Aku sendiri yang akan menghukum mereka. Ingat. Kau tidak boleh mengusiknya, atau kau sendiri juga akan mengalami perlakuan kasar dari aku atau ayah atau paman Sura Gentong...”
Watang mengerutkan dahinya. Sementara Pideksa berkata, “Aku ingin satu permainan yang utuh dengan kedua orang anak muda itu. Nah, kau tahu maksudku?”
Watang mengangguk sampai tersenyum, “Aku mengerti anak muda itu.”
“Nah, jika demikian jangan kecewakan aku.” berkata Pideksa kemudian.
Watang mengangguk-angguk. Sementara itu Pideksa berkata ”Simpan anak itu baik-baik...”
“Baik, anak muda...” jawab Watang kemudian.
Tiba-tiba saja kedua tangan Watang itu menyambar baju Manggada dan Laksana diarah tengkuknya. Didorongnya kedua anak muda itu ke pintu sebuah bilik tahanan yang kuat. Kemudian dengan kakinya, Watang mendorong Manggada dan kemudian Laksana masuk ke dalam bilik itu. Dorongan yang kemudian membuat kedua orang anak muda itu terhuyung-huyung. Namun Manggada kemudian telah jatuh tertelungkup di dalam biliknya.
Sementara itu Pideksa berkata, “Jangan kurangi hakku, mengerti. Aku tidak mau kecewa...”
Watang tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian menutup pintu dari luar dan kemudian menyelaraknya. Sejenak kemudian Pideksa pun telah meninggalkan bilik tahanan itu dan melangkah kenib di ke pendapa.
Adalah di luar kesadaran mereka, bahwa dari sebatang pohon yang tinggi, di dalam hutan yang terletak di sebelah lingkungan tempat tinggal Wira Sabet dan Sura Gentong itu, Ki Pandi sempat melihat kemana Manggada dan Laksana itu digiring dan disimpan. Meskipun Ki Pandi tidak tahu apa yang terjadi seluruhnya, namun setidak-tidaknya ia sudah mengetahui satu di antara bangunan yang ada di lingkungan dinding bambu yang terhitung tinggi itu, sebagai tempat untuk menahan Manggada dan Laksana.
Tetapi Ki Pandi tidak dapat berbuat apa-apa, ia tahu bahwa di tempat itu banyak terdapat para pengikut. Wira Sabet dan Sura Gentong dengan beberapa orang saudara seperguruannya. Bahkan mungkin orang yang bernama Ki Sapa Aruh itu juga tinggal di tempat itu pula.
Sementara itu, Manggada dan Laksana yang berada di dalam bilik yang tertutup rapat itu, duduk sambil mengusap pakaiannya yang kotor. Dengan nada dalam Manggada berkata, “Aku harus mengotori pakaianku dengan beberapa kali berguling-guling dilantai dan bahkan di tanah.”
“Salahmu...” desis Laksana “Kenapa kau harus jatuh dan berguling-guling, sehingga aku harus menirukannya juga.”
Manggada tersenyum. Katanya, “Bukankah permainanku meyakinkan mereka?”
"Tanpa setiap kali bergulingpun kita akan dapat meyakinkan mereka” sahut laksana.
Manggada tertawa tertahan. Katanya, “Sudahlah. Kita mempunyai gaya permainan tersendiri.”
Laksana mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Bagaimana tanggapanmu tentang sikap Pideksa?”
“Aku tidak berprasangka buruk. Bagaimanapun juga, di masa kecil, kami adalah kawan bermain. Aku tidak bermusuhan dengan Pideksa di masa kecilku” jawab Manggada.
“Mudah-mudahan. Akupun berpikir demikian. Tetapi dugaan kita dapat salah” jawab Laksana.
Tetapi untuk sementara kedua orang anak muda itu berkesimpulan bahwa Pideksa masih berusaha untuk mengekang perlakuan yang sangat buruk terhadap mereka.
Dalam pada itu, yang justru menjadi gelisah adalah ketiga orang yang telah membawa Manggada dan Laksana ke barak itu. Perasaan yang belum pernah singgah dihatinya telah membuat mereka tidak mengerti tentang diri mereka sendiri. Bahkan mereka bertiga sempat berbicara tentang nasib kedua orang anak muda itu.
“Aku tidak tahu, apa jadinya kedua orang anak yang aneh itu?” berkata orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.
“Sikapnya tidak masuk akal bagiku. Atau barangkali mereka memang anak-anak muda yang sombong?” jawab kawannya.
“Mungkin...” sahut yang lain ”Sombong dan tidak mengerti apa yang dapat terjadi atas diri mereka jika mereka berada di tangan Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong. Apalagi Watang yang gila itu dapat berbuat apa saja yang tidak pernah kita bayangkan sekalipun.”
“Anak-anak itu memang gila. Tetapi kegilaannya telah membuat jantungku berdebaran terus. Aku tiba-tiba merasa berhutang kepada mereka.” berkata orang yang bertubuh tinggi itu.
Dua orang kawannya yang berjalan mendekati mereka, melihat wajah-wajah yang nampak kusut itu. Seorang di antara mereka bertanya, “Kenapa kalian nampak murung?”
Yang bertubuh tinggi itulah yang menjawab. ”Kemungkinan buruk dapat terjadi atas kita”
“Kenapa?” bertanya kawannya itu.
“Kami gagal menangkap ketiga orang anak muda berkuda itu. Kami hanya dapat menangkap dua orang.” jawab orang yang bertubuh tinggi itu.
“Itu lebih baik daripada tidak sama sekali...” desis orang itu sambil melangkah pergi.
Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu menarik nafas panjang. Di luar sadarnya ia berkata, “Anak-anak muda itu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Seorang saja di antara mereka dapat mengalahkan kita bertiga. Apakah dengan ilmunya yang tinggi itu, ia ingin menjajagi isi barak ini?”
“Mungkin. Tetapi jika keduanya membentur Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong, maka keduanya akan mengalami nasib buruk. Apalagi Ki Sapa Aruh.” sahut yang lain.
Orang yang bertubuh tinggi itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian. “Terserahlah, apa yang akan terjadi. Aku tidak mau menjadi gila karenanya. Jika terjadi sesuatu atas anak-anak itu, tentu bukan salah kami. Mereka sendiri yang justru memaksa kami membawanya kemari. Sebaliknya, jika anak-anak itu membuat keonaran disini, juga bukan salah kami. Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong menghendaki mereka dibawa kemari.”
“Ya” sahut kawannya “Kita tidak bersalah terhadap siapapun. Kita melakukan apa yang mereka kehendaki. Baik Ki Wira Sabet dan Ki Sura Gentong, maupun Manggada dan Laksana itu.”
Ketiganya mengangguk-angguk. Meskipun demikian, rasa-rasanya ada beban yang tidak dapat mereka letakkan.
Sementara itu, Manggada dan Laksana sudah berbaring di dalam bilik tahanannya. Mereka masih belum tahu apa yang dapat terjadi atas diri mereka. Namun ternyata ada juga sedikit kecemasan di hati mereka setelah mereka benar-benar berada di sarang Wira Sabet dan Sura Gentong.
Ketika hari mendekati senja, maka Manggada dan Laksana menjadi berdebar-debar ketika selarak pintu dibuka. Watang yang bertubuh tinggi besar dan agak gemuk itu berdiri di muka pintu dengan wajah yang membuat jantung kedua anak muda itu berdeba-debar.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun. Watang melangkah masuk. Dicengkamnya baju Manggada dan Laksana. Kemudian dengan serta merta keduanya dilemparkan keluar bilik tahanan itu. Keduanya terhuyung-huyung beberapa langkah. Laksana sempat berpegangan sebatang pohon yang hampir saja membentur tubuhnya. Namun Manggada telah jatuh terguling di tanah. Ketika Manggada berusaha dengan susah payah bangkit. Laksana berbalik,
“Terjatuh lagi”
“Sst“ Manggada berdesis.
Mereka terdiam ketika Pideksa melangkah mendekati mereka sambil berkata, “Ayah dan paman Sura Gentong ingin berbicara dengan kalian.”
Manggada dan Laksana menjadi gelisah juga. Tetapi agaknya kesempatan itulah yang mereka tunggu. Demikianlah, maka Pideksapun telah membawa Manggada dan Laksana ke pendapa bangunan induk sarang Wira Sabet dan Sura Gentong itu.
Di pendapa itu, Wira Sabet dan Sura Gentong telah menunggu. Mereka duduk di atas tikar yang dibentangkan di pendapa itu. Tetapi tikar itu tidak cukup luas apabila Manggada dan Laksana ikut duduk bersama mereka.
Karena itu, maka ketika Sura Gentong memerintahkan keduanya untuk duduk, Manggada dan Laksana telah duduk di atas lantai tanpa lambaran tikar sama sekali. Dengan wajah yang tetap garang. Sura Gentongpun bertanya,
“He, kenapa kau telah melakukan satu perbuatan gila dengan berkuda berkeliling padukuhan?”
Manggada termangu-mangu sejenak. Pertanyaan seperti itu memang sudah diduganya. Meskipun demikian Manggada harus menjawabnya dengan sangat berhati-hati.
“Paman...” berkata Manggada kemudian “Sebenarnyalah aku ingin melihat padukuhan kami hidup lagi seperti keadaannya sehari-hari. Dalam keadaan yang tidak sewajarnya itu, maka orang-orang padukuhan tidak dapat melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Sawah tidak terpelihara sebagaimana seharusnya, parit-parit yang kering tidak sempat diairi karena bendungan yang pecah. Jalan-jalan yang rusak dan bahkan perempuan-perempuan tidak sempat pergi ke pasar.”
“Jadi kau ingin menjadi pahlawan, ya. Kau ingin menentang kami disini?”
“Sama sekali tidak. Yang kami lakukan sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong. Kami hanya ingin orang-orang Gemawang bekerja seperti biasa. Tanpa rasa takut, karena persoalan antara para bebahu Gemawang dengan paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong akan diselesaikan Oleh mereka, sehingga orang-orang Gemawang tidak usah turut campur.”
“Tidak” jawab Sura Gentong. “Kami memang menginginkan mereka menjadi ketakutan. Kami menginginkan agar mereka mendapat kesan, bahwa bebahu yang sekarang memegang pimpinan di padukuhan itu tidak mampu melindungi mereka.”
“Kami tidak mengetahuinya, paman.”
“Bohong! Kau kira kau dapat membohongi kami? Kau ingat apa yang kau katakan di halaman rumah kakang Wira Sabet? Kau ingat bagaimana kau mencobai untuk membujuk kami agar kami bersedia berbicara dengan Ki Jagabaya. Kata-katamu sudah saling bertentangan. Karena itu. aku dapat mengambil kesimpulan bahwa kau memang bermaksud buruk dengan kelakuanmu bertiga itu”
“Sebenarnya keinginan itu masih tetap ada di kepalaku, paman. Kami tentu akan merasa berbahagia jika paman Wira Sabet dan paman Sura Gentong bersedia untuk berbicara”
Tiba-tiba saja Sura Gentong itu bangkit dan melangkah mendekati Manggada. “Bukankah aku sudah memberikan syarat untuk membuka pembicaraan? Apakah Ki Jagabaya menyetujui syarat itu?”
“Paman...” berkata Manggada “Bagaimana jika syarat itu paman katakan langsung kepada Ki Jagabaya dalam sebuah perundingan? Sebenarnya yang terpenting orang-orang padukuhan adalah satu penyelesaian yang tuntas, itu saja.”
Tiba-tiba saja Manggada terkejut. Kaki sura Gentong itu telah berada di atas pundaknya. Katanya, “Kau tidak berhak mengatakan sepatah katapun tentang usaha penyelesaian dalam persoalan Gemawang. Aku sudah mempunyai rencana yang lengkap. Rencana itu akan aku sampaikan kepada Ki Bekel dan para bebahu. Tidak ada perundingan. Persoalan akhir adalah, mereka menerima atau tidak. Jika mereka menerima, maka Gemawangakan segera pulih kembali. Jika tidak, maka terpaksa akan terjadi kekerasan”
Manggada menunduk. Pundaknya mulai terasa sakit. Sementara Sura Gentong berkata “Rencana penyelesaianku tetap sebagaimana aku katakan kepadamu di halaman rumah paman Wira Sabet. Tetapi sekarang aku sudah menyusunnya menjadi satu kesatuan pengertian yang terperinci dan dimuat pada sebuah surat yang memang agak panjang. Itu saja.”
“Apakah paman menghendaki aku membawa surat itu?”
“Persetan kau“ kaki Sura Gentong telah mendorong pundak Manggada sehingga Manggada jatuh terlentang. Mulutnya menyeringai menahan sakit”
“Duduk” bentak Sura Gentong “Sudah aku katakan, karena kau telah melihat tempat ini, maka kau akan menjadi budak disini sampai tercapai satu penyelesaian yang tuntas. Tergantung dari penyelesaian itu, apakah kau akan dapat melihat ayah dan ibumu lagi atau tidak”
Manggadapun kemudian berusaha untuk duduk. Sementara itu, Sura Gentong telah mendekati Laksana sambil berkata “He, kau orang asing. Kenapa kati ikut campur dalam persoalan padukuhan Gemawang”
“Aku hanya ikut-ikutan paman...” jawab Laksana “Aku adalah adik sepupu kakang Manggada”
“Aku sudah tahu...“ tangan Sura Gentongpun telah menampar wajah Laksana sehingga wajah Laksana itu terputar menyamping. Yang terdengar kemudian adalah desah kesakitan, sementara kedua tangannya memegangi mulutnya yang kesakitan”
Yang kemudian juga bangkit adalah Wira Sabet. Dengan kerut di dahinya Wira Sabet itupun bertanya “Apakah yang sudah dilakukan oleh Ki Jagabaya selama ini?”
Manggadalah yang menjawab “Ki Jagabaya tidak melakukan apa-apa, paman”
“Apakah ia mempersiapkan sekelompok orang untuk membantunya mempertahankan kedudukannya?”
“Sepengetahuanku tidak. Tidak ada orang yang akan berani melakukannya, seandainya Ki Jagabaya menghendakinya” jawab Manggada.
“Jadi, kenapa menurut pendapatmu, bahwa Ki Jagabaya berani menentang keinginan kami?” bertanya Wira Sabet pula.
“Aku tidak tahu paman. Tetapi menurut kata orang, Ki Jagabaya itu terlalu setia kepada kewajibannya, sehingga ia tidak memikirkan akibat yang dapat terjadi atas dirinya”
Namun tiba-tiba saja Sura Gentong itupun bertanya pula “He, apakah ayahmu juga berani menentang aku?”
“Tidak, paman. Ayah masih seperti dahulu. Ia tidak banyak menyangkutkan diri dengan persoalan di sekitarnya. Ayah lebih baik diam dan demikian pula dalam persoalan sekarang ini."
“Tetapi kenapa kau menjadi ribut bersama anak Jagabaya itu sehingga setiap hari kalian selalu bersama-sama dengan Sampurna berkuda di sepanjang jalan padukuhan? Apakah dengan demikian Sampurna mencari pendukung untuk mempertahankan kedudukan ayahnya yang sudah goncang itu?”
“Tidak. Sampurna melakukan sebagaimana kami lakukan” jawab Manggada.
Namun tiba-tiba saja kaki Sura Gentong telah hinggap pula di tengkuk Manggada “Kau jangan mencoba melindungi anak Jagabaya itu. Atau karena kau sadari bahwa apa yang dilakukannya menyangkut kalian berdua juga?”
“Tidak paman. Aku berkata sebenarnya” jawab Manggada.
Tetapi kaki Sura Gentong itu menekan Manggada semakin keras, sehingga kepala Manggada semakin menunduk hampir menyentuh lantai. Sementara kakinya masih tetap bersilang, sedangkan tangannya berusaha menyangga tubuhnya.
Tetapi Wira Sabet itupun kemudian bertanya kepadanya “Manggada. Apakah Ki Jagabaya pernah mengatakan sesuatu kepadamu dalam hubungannya dengan kami?”
“Seperti yang pernah kami katakan kepada paman.“ Manggada berhenti sejenak, sementara ia masih saja membungkuk karena kaki Sura Gentong masih menekan tengkuknya.
“Aku ingin mendengar jawabannya” berkata Wira Sabet kepada Sura Gentong.
Sura Gentong menggeram. Tetapi ia mengangkat kakinya dan memberikan Manggada mengangkat kepalanya pula.
“Jawab pertanyaanku dengan jelas” desis Wira Sabet.
“Seperti yang pernah kami katakan kepada paman di halaman rumah paman itu” jawab Manggada.
“Satu hal yang tidak mungkin.” berkata Wira Sabet “Selanjutnya tidak akan ada orang yang dapat mempengaruhi sikap kami terhadap padukuhan Gemawang. Apalagi setelah kau berdua ada disini. Seperti yang dikatakan oleh pamanmu Sura Gentong, maka kau akan menjadi budak disini”
Manggada tidak menjawab lagi. Sementara itu Wira Sabet pun berkata, “Kau akan berada dibawah perintah Pideksa langsung. Kau harus menurut perintahnya. Jika kau dan adik sepupumu itu berani menolak perintahnya, maka kau akan menyesal. Ingat, kau berada di lingkungan kuasa kami”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Tetapi kepala mereka menunduk dalam-dalam.
“Pideksa” berkata Wira Sabet “Bawa anak-anak ini melihat-lihat apa saja yang harus mereka lakukan mulai besok."
“Baik, ayah” jawab Pideksa.
Ternyata Sura Gentong tidak menahannya ketika Pideksa kemudian berkata, “Marilah, ikuti aku”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Iapun kemudian mengikuti Pideksa keluar dari pendapa. Dua orang pengawal yang mendapat tugas untuk mengikuti Pideksa yang membawa kedua orang tawanan melangkah di belakang mereka dengan tombak pendek di tangan.
Manggada dan Laksana kemudian berjalan di belakang Pideksa menuju ke bagian belakang barak itu. Barak yang dihuni oleh Wira Sabet dan Sura Gentong serta beberapa orang saudara seperguruannya. Meskipun secara khusus orang-orang yang disebut saudara seperguruan Wira Sabet dan Sura Gentong itu tidak nampak menonjol di antara para pengikut yang ada di barak itu, namun Pideksa sempat berdesis kepada Manggada dan Laksana,
“Ada empat orang saudara seperguruan ayah dan paman Sura Gentong disini. Yang duduk di sudut barak yang terpisah itu adalah satu di antaranya”
Manggada dan Laksana memandang orang itu dengan jantung yang berdebaran. Orang itu benar-benar nampak bengis sebagaimana orang yang bernama Watang. Meskipun tubuhnya tidak sebesar Watang. tetapi nampak bahwa orang itu adalah orang yang berilmu. Bukan sekedar orang yang mengandalkan kekuatan tenaganya saja, atau barangkali sedikit kemampuan dasar olah kanuragan.
Ketika di antara dua bangunan bambu mereka berpapasan dengan seorang yang bertubuh sedang dan bahkan berwajah tampan, maka Pideksa pun berkata, “Orang itu adalah salah satunya pula”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk kecil. Ternyata ujud orang itu jauh berbeda dengan ujud orang yang duduk di sudut barak yang terpisah itu. Demikian orang itu berdiri beberapa langkah dari Pideksa, orang itu berhenti. Demikian pula Pideksa, sehingga Manggada, Laksana dan dua orang pengawal di belakang merekapun berhenti.
Ternyata orang yang berwajah tampan itu tersenyum. Dipandanginya Manggada dan Laksana dengan saksama. Kemudian orang itupun berkata, “inikah anak-anak yang diburu oleh ayahmu itu?”
“Ya, paman...” jawab Pideksa.
“Apa sebenarnya kesalahan mereka?” bertanya orang berwajah tampan itu.
“Mereka yang dikatakan ayah dan paman Sura Gentong berkeliaran di padukuhan Gemawang di atas punggung kuda bertiga itu paman.” jawab Pideksa.
Orang itu tertawa. Kepada Manggada dan Laksana ia bertanya “He, apa sebenarnya yang kau lakukan dengan berkuda berkeliling padukuhan itu?”
Manggada dan Laksana masih melihat senyum di bibir orang itu. Dengan ragu-ragu Manggada menjawab “Sudah kami katakan kepada paman Wira Sabet dan Sura Gentong pula, bahwa kami sekedar ingin melihat padukuhan Gemawang hidup kembali”
Orang itu tertawa pula. Katanya “Ada yang menarik pada kalian berdua dan yang seharusnya bertiga. Kalian adalah anak-anak yang berani. Tetapi keberanian kalian telah melemparkan kalian ke dalam neraka ini”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Sementara orang itu bertanya kepada Pideksa, “Akan kau bawa kemana anak-anak itu, Pideksa?”
“Aku akan menunjukkan kepada mereka, apa yang harus mereka kerjakan disini”
“Apakah keduanya akan bergabung dengan budak-budak itu?” bertanya orang yang berwajah tampan itu.
“Ya” jawab Pideksa.
“Jika keduanya sering berkuda berkeliling padukuhannya, maka keduanya tentu dapat memelihara kuda. Nah, apakah kau pernah berpikir bahwa keduanya dapat diserahi untuk memelihara kuda-kuda yang ada di barak ini?”
Pideksa berpikir sejenak. Kemudian katanya, “Satu gagasan yang baik. Baik, paman. Mereka akan mendapat tugas khusus, memelihara kuda...”
Orang itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Hanya ada satu kuda putih di barak ini. Kuda itu adalah kudaku. Hati-hati dengan kuda itu. Jika kalian melakukan kesalahan atas kuda putihku, maka tidak akan ada ampun lagi bagi kalian...”
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Sementara itu, orang itu meneruskan langkahnya sambil menepuk pundak Manggada, “Selamat bekerja anak-anak. Mudah-mudahan kalian kerasan tinggal disini.”
Pideksa mengikuti langkah orang itu beberapa lama. Namun kemudian ia mengajak Manggada dan Laksana berjalan terus. Namun Pideksa itu sempat berdesis, “Hati-hati dengan orang itu...”
“Kenapa?” bertanya Manggada di luar sadarnya. “Nampaknya ia orang baik.”
“Ia adalah orang yang paling kejam di antara saudara seperguruan ayah. Mungkin pikiran dan perasaannya sejalan dengan paman Sura Gentong.”
“Tetapi menilik ujud dan sikapnya...” desis Laksana.
Pideksa tertawa pendek. Katanya, “Itulah yang sering menyesatkan anggapan orang atasnya.”
Manggada dan Laksana menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Sementara itu, senja sudah turun. Lampu-lampu minyak telah menyala dimana-mana. Pideksa telah mengajak Manggada dan Laksana ke kandang kuda yang terletak agak di bagian belakang barak itu.
Laksana menjadi berdebar-debar. Ada beberapa ekor kuda yang ada di kandang itu. Jika berdua saja dengan Manggada mereka harus memelihara kuda itu, maka mereka benar-benar menjadi budak yang malang.
“Inilah kuda-kuda itu...!” berkata Pideksa “Kalian harus memelihara dengan baik. Ingat, kuda putih itu adalah kuda yang harus kalian perhatikan melampaui yang lain. Pemiliknya adalah seorang yang mempunyai perangai yang aneh.”
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu Pideksa telah memerintahkan salah seorang pengawalnya memanggil orang yang sebelumnya memelihara kuda itu. Sejenak kemudian, orang itupun telah menghadap. Sambil terbungkuk-bungkuk ketakutan orang itu mendekati Pideksa.
“Aku membawa dua orang anak muda untuk menjadi kawan kerjamu disini. Kau sudah menjadi semakin tua. Tenagamu menjadi semakin lemah...” berkata Pideksa.
Orang tua itu memandang Manggada dan Laksana sejenak. Namun kemudian orang itu mengangguk-angguk sambil berkata, “Terima kasih anak muda. Dengan demikian tugasku akan menjadi lebih ringan.”
“Mulai besok, kalian berdua akan bekerja disini. Tetapi ingat, kalian berdua adalah tawanan kami. Kalian jangan mencoba dan berusaha untuk melarikan diri. Tidak ada jalan yang akan dapat kalian lalui. Jika kalian berusaha memanjat dinding, maka tentu ada seseorang yang melihat kalian, karena orang-orangku selalu mengawasi barak. Yang perlu kalian ketahui, setiap usaha untuk melarikan diri hanya akan berarti satu penderitaan panjang yang tidak berkeputusan...” berkata Pideksa.
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara itu Pideksa itupun berkata, “Marilah. Malam ini kalian berdua masih harus tidur di bilik tahanan ini. Mungkin untuk beberapa malam berikutnya, sementara di siang hari kau bekerja disini."
Manggada dan Laksana tidak menjawab. Ketika Pideksa akan mengajak Manggada dan Laksana kembali ke biliknya, maka mereka mendengar derap kaki kuda berlari ke arah mereka. Sejenak kemudian nampak dua orang berkuda melarikan kuda mereka menyusup di antara bangunan-bangunan yang ada di barak itu.
Demikian kedua orang itu meloncat turun, maka orang tua yang biasanya memelihara kuda itu tergesa-gesa mendekati mereka dan menerima kedua ekor kuda itu. Kedua orang tertegun melihat Pideksa dan dua orang anak muda di dekat kandang itu.
“Siapakah mereka, Pideksa?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Manggada dan Laksana, paman!” jawab Pideksa.
“Oh...“ yang seorang di antara mereka mengangguk-angguk sambil melangkah mendekati Manggada dan Laksana. “Jadi inilah anak-anak muda yang gagah berani itu...?
Selanjutnya,
SEJUKNYA KAMPUNG HALAMAN BAGIAN 13
SEJUKNYA KAMPUNG HALAMAN BAGIAN 13