BIARPUN merasa agak heran, Adipati Wiguna lalu memerintahkan semua pelayannya mundur, kemudian ia menghadapi Dolleman yang duduk di depannya sambil bertanya, “Perkara apakah gerangan yang hendak kau bicarakan?“
Sebelum mulai bicara, Dolleman mengeluarkan sebungkus cerutu dan menawarkannya kepada tuan rumah, akan tetapi dengan halus Adipati Wiguna menampiknya sambil mengucapkan terima kasih. Dolleman mencabut sebatang cerutu dan menyalakannya, lalau menghisap asap cerutu itu dalam-dalam ke dadanya.
“Tuan Adipati Wiguna,” katanya setelah menghembuskan asap itu keluar dari mulut dan hidungnya, “Telah lama saya mendengar nama tuan Adipati dan kalau tidak salah tuan Adipati berasal dari Demak, bukan?“
Adipati Wiguna mengganguk dan bangsawan ini cukup mklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang opsir penyelidik yang terkenal sekali, maka ia menanti dengan hati berebar akan kelanjutan dari percakapan ini. Karena tidak mungkin opsir ini datang sekedar untuk bercakap-cakap angin belaka.
“Memang saya sekeluarga berasal dari Demak tuan Dolleman,“ jawabnya menekan debar jantungnya. “Saya baru dipindahkan ke Jepara dan menjabat pangkat Adipati di sini.“
Dolleman mengangguk-angguk dan menyentil-nyentil cerutunya dengan jari sehingga abunya yang putih jatuh ke atas lantai. “Tuan Adipati, saya telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran, diantaranya pertempura melawan Trunajaya di Surabaya. Pertemuan saya dengan tuan Adipati mengingatkan saya akan seorang pemimpin pemberontak pembantu Trunajaya, oleh karena wajahnya mirip sekali dengan tuan Adipati.“
Biarpun Adipati Wiguna berusaha menetapkan hatinya, namun wajahnya tetap saja berubah pucat mendengar uapan ini. Ia tersenyum menutupi kegelisahannya dan berkata, “Kau aneh sekali, tuan letnan! Tentu saja diantara ribuan manusia di dunia, banyak yang mirip mukanya, apakah anehnya hal ini?“
Dolleman mengangguk-angguka kepalanya yang berambut kuning keemasan itu. “Saya tahu, saya tahu… akan tetapi anehnya pula, orang inipun berasal dari Demak!” Kemudian letnan itu mendekatkan kepalanya kepada tuan rumah dan matanya memandang tajam sekai, seakan-akan berusaha hendak menembus mata Adipati Wiguna dan menjenguk ke dalam hatinya. “Dia itu bernama Wiratman, kenalkah kau kepadanya, tuan adipati?“
Wajah Adipati Wiguna makin pucat dan ia tidak dapat menjawab untuk beberapa lama. Ia maklum bahwa letnan Belanda itu telah mengetahui hal ini dan ia merasa seakan-akan ia berada dalam cengkraman tangan tamunya ini.
Melihat kebimbangan tuan rumah, letnan Dolleman tersenyum dan menarik napas panjang tanda kepuasan hatinya. “Tuan adipati, jangan kau gelisah. Sesungguhnya saya sudah tahu belaka bahwa Wirataman itu adalah adik kandungmu! Akan tetapi, sekali saja jangan kau berkuatir, tuan Adipati. Biarpun hal ini apabila diketahui oleh Sunan akan merupakan hal yang hebat dan bahaya akan mengancam keluargamu, akan tetapi hal ini yang mengetahui hanya saya seorang, dan saya tahu betul bahwa tuan Adipati tidak sama dengan adik kandung yang menjadi pemberontak itu!” Kembali Dollemon menghisap cerutunya dan menyadarkan tubuhnya pada kursinya.
“Tuan letnan Dolleman, terima kasih atas kepercayaanmu. Dan… dan apakah kiranya yang dapat saya lakukan untuk membalas kebaikan budimu ini?“ Melihat sikap dan mendengar ucapan Adipati Wiguna yang langsung itu, Dolleman tertawa bergelak, memperlihatkan giginya yang besar dan putih.
“Ha, ha, tuan Adipati. Saya suka melihat tuan yang bersikap terus terang dan langsung ini! Memang harus begini laki-laki menyelesaikan sesuatu persoalan. Terus terang pula saya menyatakan kepadamu bahwa setelah bertemu dengan puterimu Roro Santi pada keramaian di pantai kemarin dulu, saya merasa suka kepadanya. Dengan setulus hati aya, saya mengajukan pinangan untuk puteri tuan adipati itu!“ Sambil berkata demikian, kembali sepasang mata Dolleman memandang tajam.
Bukan main terkejutnya hati Adipati Wiguna mendengar pinangan yang pernah diduga-duganya itu. Dia adalah seorang Islam demikianpun semua keluarganya, dan sungguhpun ia berselisih faham dengan Wiratman yang membela Trunajaya sedangkan ia tetap bersetia kepada sunan Amangkurat II, namun ia tetap seorang umat islam yang beribadat dan teguh iman. Bagaimana ia dapat menikahkan puterinya kepada seorang Belanda, seorang kafir? lagipula, puterinya itu telah dipertunangkan dengan Raden Suseno, putera bupati di Rembang.
“Tuan letnan, hal ini tak mungkin dapat kuterima! Puteriku telah bertunangan dengan putera Bupati Randupati di Rembang dan pula, sebagai seorang Islam, kami tak mungkin menikahkan puteri kami kepada seorang yan bukan umat Islam! Harap kau mengerti akan hal ini dan mintalah saja yang lain.“
Dolleman tertawa lagi dan sikapnya masih tenang. “Kalau begitu tiada jalan lain bagi saya selain membuka rahasiamu kepada Sunan, biarkan Sunan sendiri yang menetapkan akibatnya!”
Tiba-tiba Dolleman tertawa terbahak-bahak, sama sekali tidak memperlihatkan sikap melawan atau meraba senjata apinya.
“Adipati Wiguna, simpan kembali kerismu itu. Aku hanya main-main saja. Ketahuilah, di negeri Belanda akupun telah mempunyai seorang isteri yang manis dan seorang anak, apa kau kira aku benar-benar hendak menikah lagi! Ha, ha, ha,!”
Adipati Wiguna memanang heran, menyimpan kembali kerisnya dan duduk sambil berkata. “Tuan letnan Dolleman, jangan kau main-main. Apakah maksudmu yang sesungguhnya? Aku sudah tua, jangan kau memprmainkan perasaanku.“
Dolleman membuang putung cerutunya ke dalam tempolong yang berada di bawah meja, lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh. “Tuan Adipati Wiguna, pinaganku ini hanya merupakan siasat untuk memancing bajak laut Kertapati, agar aku mendapat jalan untuk menangkapnya!”
“Saya tidak mengerti maksudmu, terangkanlah yang jelas.“
“Begini tuan Adipati. Pada waktu bajak laut itu muncul di panggung dan berhadapan dengan puterimu, saya dapat melihat dengan jelas bahwa bajak itu jatuh cinta kepada puterimu! Hal ini kuketahui baik-baik dan sungguhpun saya berani menyatakan bahwa puterimu juga tertarik kepadanya, akan tetapi aku yakin betul bahwa penjahat itu suka kepada Roro Santi! Oleh karena itu saya mendapat akal. Kalau dia mendengar bahwa Roro Santi akan menjadi isteri saya, tentu ia akan marah dan akan menghalanginya dan demikian, kita mendapat kesempatan untuk menawan atau membunuhnya!”
“Jadi… tuan hendak menggunakan puteri saya sebagai umpan untuk memancing dia keluar… ??“ tanya Adipati Wiguna dengan muka pucat.
“Benar! Akan tetapi jangan kuatir, kami akan menjaga keras agar puterimu itu tidak mengalami sesuatu. Juga dengan pengourbanan ini, berarti Adipati dan puterinya telah menunjukkan jasa besar terhadap Mataram. Bukankah bajak laut itu selain musuh Kompeni, juga merupakan musuh Mataram yang selalu mengacau dan menggangu lalu lintas di laut?“
Adipati wiguna mengerutkan kening dan berpikir, kemudian berkata ragu-ragu. “Akan tetapi… bagaimana dengan Bupati Randupati dan puteranya? Saya rasa mereka akan keberatan!“
Dolleman tersenyum. “Kalau kita jelaskan bahwa pinangan dan penyerahan puterimu kepada saya ini hanya sandiwara belaka, mengapa mereka berkeberatan? Saya akan memberitahukan hal ini kepada atasan saya, juga kepada Sunan, tidak mau membantu, bukankah berarti bahwa dia membela dan melindungi bajak laut? kertapati? Apakah dia berani menolak?“
“Akhirnya, karena berada di dalam kekuasaan Dolleman yang cerdik itu. Adipati Wiguna! Sekali-kali jangan kau ceritakan kepada Roro Santi, karena hal ini amat berbahaya. Kalau sampai rahasia ini bocor, maka tentu bajak laut Kertapati akan mendengar dan tidak mau membiarkan dirinya masuk perangkap!”
Adipati Wiguna mengangguk-angguk mklum dan mereka berdua lalu pergi ke Rembang guna berunding denga Bupati Randupati di Rembang. Juga Bupati ini terpaksa menurut, sedangkan Raden Suseno yang tadinya merasa keberatan, ketika mendengar bahwa hal ini dilakukan untuk memancing keluar bajak laut Kertapati yang amat dibencinya, lalu menyatakan persetujuannya!
“Sekarang harap tuan Adipati Wiguna suka menyiarkan berita bahwa pertunagan antara puterimu dan Raden Suseno dibatalkan dan kemudian menyiarkan berita bahwa puterimu telah ditunangkan dengan seorang letnan Kompeni. Kita sama-sama lihat apakah hal ini belum cukup kuat untuk memancing keluar Kertapati. Kalau belum cukup kuat, barulah kita bertindak lebih jauh, yakni mengirimkan puterimu dengan perahu Kompeni ke Semarang ! Sementara itu, aku akan berusaha menyelidiki di mana sebenarnya sarang Kertapati itu!“
Demikian Letnan Dolleman membari pesan terakhir kepada Adpipati wiguna.
Dua hari kemudian, seorang laki-laki berkumis panjang melarikan kudanya menuju ke barat. Laki-laki ini datang dari Jepara dan ketika ia tiba di batas kota, ia ditahan oleh beberapa orang penjaga. Akan tetapi laki-laki itu mengeluarkan sehelai kartu yang ada tanda cap dua singa. Membaca kartu keterangan itu, para penjaga membiarkan ia pergi tanpa berani menganggu, oleh karena kartu ini adalah tanda bahwa orang ini adalah seorang mata-mata kaki tangan Kompeni!
Memang benar, orang ini bernama Jiman, seorang kaki tangan dari Letnan Dolleman. Akan tetapi, sebenarnya Jiman adalah seorang anak buah bajak laut Kertapati yang dengan cerdiknya telah mendapat kepercayaan dari Letnan Dolleman, bahkan telah dijadikan mata-mata dari letnan itu!
Setelah melalui pos penjagaan dengan selamat, Jiman terus membalapkan kudanya menuju ke barat an akhirnya ia memasuki sebuah dusun di pantai laut, kurang lebih empat puluh kilometer dari Jepara. Di luar dusun nampak beberapa orang pemuda nelayan yang menjaga an melihat kedatangan Jiman, mereka lalu mengantarkan mata-mata itu ke sebuah rumah bambu besar.
Di dalam rumah itu nampak kurang lebih dua puluh orang laki-laki sedang duduk di atas tikar, agaknya sedang mengadakan rapat. Inilah tempat berkumpulnya kawanan bajak laut yang dikepalai oleh Kertapati memang mempunyai banyak tempat-tempat pertemuan di sepanjang pantai, dan ia mendapat dukungan sepenuhnya ari penduduk dusun yang tahu akan perjuangan!
Perlu diketahui bahwa sebenarnya, Kertapati adalah seorang plejuang yang aktip dari pemberontakan Trunajaya ! Sungguhpun ia bukan langsung menjadi anak buah Trunajaya, akan tetapi sebagai seorang yang bersempati kepada pemberontakan Tunajaya, ia merupakan pembantu sukarela yang telah banyak berjasa.
Semenjak Trunajaya masih bertahan di Surabaya, Kertapati telah banyak membantunya dengan pengiriman-pengiriman senjata yang dapat dirampasnya dari perahu-perahu Belanda, atau harta benda yang dapat dirampoknya dari perahu-perahu yang menjadi kurbannya.
Melihat kedatangan Jiman, Kertapati berdiri menyambutnya dan mempersilakan orang itu duduk. “Jiman, kau membawa berita apakah?“ tanyanya dan semua mata dari mereka yang duduk disitu ditujukan kepada pendatang itu.
“Kertapati,” Kata jiman yang telah kenal baik kepada bajak itu, tidak ada berita yang penting. Dolleman agaknya telah berputus asa dan tidak mengirim orang-orangnya untuk mencari jejakmu lagi. Akan tetapi ada sebuah berita aneh yang membuat aku masih binggung memikirkannya.”
“Apakah itu? Aku mendengar berita bahwa Adipti Wiguna telah membatalkan pertunangan puterinya dengan putera Bupati Randupati! Hal ini memang tak ada gunanya kuberitahukan kepadamu, karena mungkin sekali ini terjadi karena peristiwa dengan kau dulu itu. Akan tetapi ada berita yang amat aneh mengejutkan, yaitu Adipati Wiguna setelah membatalkan pertunangan puterinya itu, lalu mempertunangkan anaknya dengan Dolleman!”
“Apa…?” Kertapati terkejut sekali sehingga ia bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi, ketika melihat betapa semua kawannya memandangnya dengan heran, ia lalu menekan perasaannya dengan muka merah.
“Ah, biarlah. Hal itu apakah sangkut pautnya dengan kita?“ Akan tetapi, sambil berkata demikian, di luar tahunya semua orang, diam-diam ia meraba saku bajunya di mana tersimpan tusuk konde emas yang pada malam hari sering dikeluarkan dan dikaguminya itu.
“Semenjak pertunangan itu diumumkan, Dolleman nampak tenang-tenang saja dan seakan-akan lupa kepada perkerjaannya. Jarang ia keluar pintu dan berdiam saja di rumah tempat ia menginap...“ Jiman melanjutkan ceritanya. “Oleh karena itu, kami yang menjadi pembantunya, tidak mempunyai pekerjaan sesuatu dan aku berkesempatan datang kemari. Selain itu, ada sebuah berita lagi. Rombongan Tumenggung Basirudin akan datang besok pagi dengan perahu dari Semarang. Kabarnya selain membawa isteri dan anaknya, tumenggung ini membawa banyak barang-barang berharga.“
Berita ini disambut dengan girang oleh kawan-kawan Kertapati, sungguhpun kepala bajak itu sendiri nampak tidak begitu gembira, karena hatinya masih penuh dengan berita tentang pertunagan Roro Santi dengan Dolleman tadi.
“Aku tak dapat lama berdiam di sini, kuatir kalau-kalau menimbulkan kecurigaan.“
“Baik, kau kembalilah ke Jepara, Jiman, dan perhatikan kalau-kalau ada perubahan dari fihak Dolleman,” kata Kertapati.
Jiman lalu keluar dan menunggang kudanya kembali, lalu melarikan kudanya pulang ke Jepara.
“Saudara-saudara“, kata Kertapati kemudian kepada kawan-kawannya, “Seperti telah kuceritakan tadi, sungguhpun Raden Trunajaya dan semua pegikutnya yang gagah berani telah dikalahkan oleh Kompeni, akan tetapi, berkat bantuan para saudara yang bersatu hati, kini Raden Trunajaya berhasil menduduki Mataram. Betapapun juga, hal ini belum berarti bahwa bencana telah lenyap sama sekali. Saudara semua tahu bahwa kedatangan Kompeni yang mengadakan perundingan dengan Sunan bukanlah hal yang tidak ada artinya. Tentu mereka bersepakat untuk sama-sama menggempur Mataram dan merampasnya kembali dari Raden Trunajaya. Oleh karena itu, kita harus mengumpulkan sebanyak senjata api dari Belanda, dan juga mengumpulkan harta benda untuk membiayai pertahanan Raden Trunajaya.“
“Hasil-hasil kita di laut tidak berapa besar, apakah artinya bagi Raden Trunajaya?” kata seorang anggota.
“Karena inilah maka kita harus bekerja keras, dan kalau perlu kita akan serang Jepara dan merampas harta benda dari para hartawanan bagsawan di sana!”
“Itu berbahaya sekali!” seru seorang anak buahnya.
Kertapati tersenyum. “Apakah artinya bahaya?“
Orang yang berseru tadi tertawa geli. “Bahaya artinya gembira!” katanya karena memang ucapan ini merupakan semboyan mereka sejak dulu! “Kalau kita atur sebaliknya, apakah susahnya menyerbu kota seperti Jepara?“
Demikianlah, dibawah pimpinan Kertapati yang cerdik itu, mereka mengatur siasat untuk menyerbu Jepara, kemudian ditetapkan bahwa sebelum penyerbuan itu, mereka lebih dulu akan merampok perahu yang adatang dari Semarang, yakni perahu yang membawa keluarga Tumenggung Basirudin.
Menjelang senjakala, sebuah perahu yang cukup besar berlayar maju menuju ke timur. Perahu ini datang dari Semarang, membawa penumapang-penumpang untuk Jepara, yakni keluarga Tumenggung Basirudin berserta anak isteri, para pelayan, dan beberapa orang saudagar. Karena mklum akan bahaya yang mengancam pada waktu itu, yakni bajak laut Kertapati, Basirudin dikawal oleh sepasukan penjaga yang membawa tombak, bahkan tiga orang pemimpin pasukan membawa senapan.
Mereka merasa lega bahwa selama pelayaran itu tidak terdapat gangguan sesuatu dan kini pelabuhan Jepara telah nampak dari jauh. Ingin mereka lekas-lekas tiba di kota itu karena sebelum melangkahkan kaki di ambang pintu rumah masing-masing, mereka belum merasa aman. Perahu maju perlahan karena angin tak berapa besar.
Tiba-tiba seorang penjaga berseru, “Ada dua perahu di depan!”
Semua orang menjadi pucat mendengar seruan ini dan memandang ke arah yang ditunjuk. Benar saja, di depan mereka nampak dua buah perahu melintang dan terapung-apung di atas air. Akan tetapi perahu-perahu yang berbentuk kecil akan tetapi panjang itu tidak ada penumpangnya. Dua perahu itu kosong!
Tadinya pengemudi hendak membelokkan perahu, siap untuk menjauhi perahu-perahu itu, akan tetapi setelah memandang dengan jelas dan mendapat kenyataan bahwa perahu-perahu itu memang kosong, mereka menjadi lega dan melanjutkan perjalanan, makin mendekati perahu-perahu tadi.
“Mungkin terlepas dari ikatan!” kata seorang.
“Nelayan-nelayan menakah yang demikian lalai sehingga perahu-perahu mereka terlepas dan terapung-apung di sini?” tanya orang kedua.
“Perahu-perahu itu bercat hitam!” terdengar seruan orang lain dengan kaget dan ngeri karena warna hitam adalah warna yang selalu dipergunakan oleh bajak-bajak laut Kertapati!
“Perahu-perahu macam itu bukanlah perahu nelayan!” kata pula orang lain dengan kaget dan gelisah. Dan ketika perahu yang mereka tumpangi telah datang dekat dengan perahu-perahu yang kosong itu, tiba-tiba mereka melihat banyak kepala orang bersembunyi di balik perahu-perahu itu!
“Bajak…! Bajak laut Kertapati…!” seru seorang penjaga yang segera menyiapkan tombaknya. Gegerlah dalam perahu besar itu dan tiga orang pemimpin pasukan yang membawa senapan segera berlari ke depan.
Kini para anak buah bajak yang tadi bersembunyi di belakang perahu, muncul dan berenang dengan cepat bagaikan serombongan ikan cucut menuju ke perahu yang hendak dirampok. Tiga orang pemimpin bersenapan lalu menembak ke arah mereka, akan tetapi tiba-tiba dari balik perahu kecil itu melayang anak panah yang dengan cepat dan jitu sekali menancap di leher seorang diantara para pemegang senapan itu.
Orang itu menjerit dan senapannya terlepas dari tangannya, jatuh keluar perahu, ke dalam air! Dua orang kawanya menjadi terkejut sekali melihat orang ini roboh denga leher tertancap sebatang anak panah hitam, sehingga mereka menjadi gugup dan tembakan-tembakan mereka ngawur. Kembali meluncur anak panah dari pasukan pelindung yang terdiri dari lima orang dan yang bersembunyi di balik perahu sambil mementang busur dan ributlah orang-orang di atas perahu. Mereka segera mencari perlindungan dan menjauhi pinggiran perahu.
Hal ini memudahkan rombongan bajak yang dipimpin oleh Kertapati untuk melemparkan besi-besi pengait ke atas. Besi-nesi itu diikat dengan tambang sehingga kini banyak tambang tergantung di pinggir perahu. Bagaikan kera-kera yang gesit para bajak itu naik ke tas melalui tambang dikepalai oleh Kertapati.
Maka terjdilah perang tanding yang hebat di atas perahu itu diantara ponggawa dan anak buah bajak. Para ponggawa menggunakan tombak dan tameng, sedangkan para bajak menggunakan parang atau keris. Teriakan-teriakan bercampur denagn suara senjata gaduh. Anak buah bajak laut itu terdiri dari dua belas orang, sedangkan para pengawal berjumlah dua puluh orang lebih, akan tetapi para bajak itu berkelahi dengan hebat sekali.
Terutama Kertapati, pemuda yang sigap ini sama sekali tidak memegang senjata, kaan tetapi di mana saja ia berada dan tiap kali kaki tangannya bergerak, bergelimpanglah tubuh para ponggawa kena tendang atau pukul. Dua orang pemimpin penjaga dengan senapannya tidak berani menembak karena dalam pertempuran kacau balau itu, sukarlah untuk melepaskan tembakan tanpa membahayakan kawan sendiri, maka mereka lalu berlari mendekati Kertapati dengan senapan ditodongkan!
Kertapati dapat melihat kedatangan dua orang itu yang menanti saat baik untuk melepaskan tembakan kepadanya. Dengan cepat, pemuda itu lalu menangkap tangan seorang penyerang yang memegang tombak, meninju perutnya sehingga orang itu mengeluh dan pingsan, kemudian dengan memutar tubuh orang ini di depannya, Kertapati melangkah maju menyambut kedatangan dua orang pemegang senapan.
Dua orang pemimpin pengawal itu terkejut sekali, akan tetapi mereka tidak berani menembak karena tembakan mereka tentu akan bersarang ke dalam tubuh kawan sendiri yang diputar-putar di depan kepala bajak itu, dan selagi mereka masih ragu-ragu tiba-tiba tubuh ponggawa itu dilontarkan oleh Kertapati ke arah seorang pemegang senapan. Dan berbareng dengan melayangnya tubuh itu, ia sendiri lalu melompat mengikuti dan menubruk pemegang senapan yang satu lagi!
Senapan ditembakkan, akan tetapi karena Kertapati telah memperhitungkan hal ini dan menubruk dengan gerakan dari samping, maka tembakan itu tidak mengenainya dan sebelum orang itu dapat menembak lagi, tangan kiri Kertapati telah menangkap pergelangan tangannya dan tangan kanan pemuda ini melayang ke arah dagu lawan!
Akan tetapi, ternyata bahwa pemimpin pasukan itu pandai pula bersilat. Dengan cepat ia dapat mengelak ke samping, akan tetapi terpaksa ia harus melepaskan senapannya yang oleh Kertapati lalu dirampas dan dipegang larasnya. Pada saat itu, pemegang senapan tang tadi tertimpa tubuh kawannya yang dilemparkan sehingga ia jatuh tunggang langgang di atas papan geladak, telah berdiri lagi.
Secepat kilat senapan di tangan Kertapati diayun dan “brak“, senapan lawannya itu kena dihantam oleh gagang senapan Kertapati sehingga pecah berantakan. Kertapati tertawa dan melemparkan senapan rampasannya tadi ke laut!
Kini kedua orang pemimpin pasukan itu telah berdiri dan mencabut klewang mereka! Dengan muka beringas dan kumis berdiri saking marahnya, mereka lalu melangkah maju dengan tangan kanan yang memegang klewang diangkat tinggi-tinggi sedangkan tangan kiri dikepal dan dirapatkan di atas pinggang. Inilah sikap atau kuda-kuda seorang ahli pencak yang pandai.
Kertapati yang bertangan kosong menanti dengan tenang, tubuhnya berdiri dengan kaki kiri di depan kaki kanan di belakang, agak membungkuk dan sepasang matanya dengan tajam menatap dua orang lawannya. Seluruh urat-urat dalam tubuhnya menegang, siap menghadapi serbuan lawan-lawan itu.
Pemimpin pasukan yang berkumis tebal tiba-tiba berseru keras dan klewang di tangannya diayun an dibacokkan ke arah kepala Kertapati dengan kecepatan luar biasa sehingga bacokan itu mengeluarkan suara bersiutan! Kertapati tidak tergesa-gesa mengelak. Dengan tubuh tak bergerak dan mata waspada ia menanti datangnya klewang yang menyambar kepalanya dan setelah klewang itu hampir mengenai kepala, barulah ia mengelak dengan sedikit gerakan saja.
Ia miringkan tubuh dengan tiba-tiba dan mengerakkan kepalanya, maka senjata lawan itu menyambar di samping kepalanya mengenai angin. Pada detik berikutnya, tangan kiri Kertapati yang dibuka dan dimiringkan telaha menyambar ke arah siku lengan lawan yang memagang klewang!
Akan tetapi ternyata si kumis tebal itu benar-benar pandai silat karena ketika membacok tadi, tangan kirinya sudah siap sedia melindungi tangan kanan maka begitu melihat tangan kiri Kertapati menyambar siku kanannya, ia telah dapat menangkis dengan tangan kiri melalui bawah siku itu.
”Duk…!”
Ketika dua lengan beradu dengan keras, si kumis tebal berseru kesakitan dan tubuhnya terdorong oleh tenaga pukulan Kertapati sehingga terhuyung-huyung ke belakang! Ia menjadi terkejut sekali karena merasa betapa lengannya seakan-akan beradu dengan kayu asam yang keras sehingga lengan kirinya terasa sakit sekali.
Gerakan mengelak dari pemuda itu tadi membuat ia maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli silat yang tinggi ilmunya, karena menurut gurunya dulu, makin tinggi ilmu silat seseorang makin tenang dan cepat gerakannya dan hanya mengelak apabila serangan lawan telah datang dekat untuk kemudian dibarengi dengan pukulan balasan yang tiba-tiba dan mematikan!
Kalau saja tadi ia tak berlaku cepat dengan tangkisannya, tentu siku kanannya telah terpukul dan kalau sikunya tidak terlepas sambungannya, sedikitnya klewangnya tentu akan terlepas dari pegangan!
Sementara itu, orang kedua yang bermuka bopeng bekas dimakan penyakit cacar, ketika melihat gagalnya serangan kawannya, lalu menerjang maju dan kali ini menyerang dengan menusukkan klewangnya yang tajam dan runcing itu ke arah lambung Kertapati! Maksudnya hendak menyate tubuh pemuda itu dengan sekali tusukan.
Kembali Kertapati memperlihatkan kesigapannya. Ia melihat berkelebatan ujung klewang mengarah lambungnya, maka dengan gerakan kakinya, hanya tubuh atasnya saja yang mendoyong ke kanan sehingga klewang lawan menusuk pinggangnya sebelah kiri.
Saat itu, si kumis tebal telah melompat pula dan menggunakan kesempatan itu untuk membacok pula dengan klewangnya pada leher Kertapati yang tubuhnya masih miring! Agaknya ia ingin memengal leher pemuda itu bagaikan memenggal leher ayam saja.
Namun Kertapati tidak menjadi gugup. Oleh karena ketika mengelak diri ke kanan tadi, ia tidak merobah kedudukan kakinya yang masih berada dalam pasangan kuda-kuda cawang, yaitu kedua kaki terpentang ke kanan kiri dengan betis tegak lurus, maka ketika klewang si kumis tebal membacok lehernya, ia dapat menggerakkan kembali tubuhnya kepada kedudukan semula sebelum dibuang ke kanan.
Dan secepat kilat tangan kirinya yang tadi diangkat ke atas mengelak dari tusukan klewang si muka bopeng, kini diturunkan dan dengan gerakan yang luar biasa dan berani sekali ia mengempit klewang si bopeng di bawah ketiaknya! Si muka bopeng melihat betapa lawan muda itu berani mengempit klewang yang tajam dan runcing, cepat membetot senjatanya.
Akan tetapi, kalau tadi ia telah merasa girang dan hendak membuat kulit iga an lengan yang menegmpit klewangnya menjadi robek dengan betotan klwangnya yang tajam, kini ia merasa terheran-heran sekali karena klewangnya itu seakan-akan tercapit oleh catut besi yang kuat. Jangankan dengan satu tangan, bahkan ketika ia membetot dengan kedua tangannyapun, klewangnya ama sekali tak bergerak.
Kertapati tertawa bergelak dan kaki kirinya menyabar ke arah dua tangan si muka bopeng yang terpaksa melepaskan kedua tangannya dan melompat mundur! Si kumis tebal yang tadi tak berhasil membacok leher, ketika melihat betapa klewang kawannya telah dapat dirampas, segera menyerang lagi dengan mambabi-buta. Klewangnya diobat-abitkan bagaikan kitiran angin cepatnya, menyerang bagian atas dan bawah tubuh Kertapati dengan tubuh jongkok berdiri. Dengan gerakan ini ia hendak membuat lawanya tiada berkesempatan mengelak lagi.
Akan tetapi kini Kertapati telah mengambil klewang yang tadi dikempitnya. Ia menanti sampai berkelebat klewang si kumis tebal mendekati tubuhnya, kemudian ia menggerakkan klewang rampasan tadi sambil berseru keras, “Lepas senjata!” Dua batang senjata tajam bertemu.
“Traang!” dan meluncurkan klewang dari tangan si kumis tebal bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Kebetulan sekali klewang itu meluncur ke arah Tumenggung Basirudin yang berdiri dengan penuh kegelisahan di depan pintu kamar perahu itu. Agaknya klewang yang terbang itu sebentar lagi akan menancap di dadanya tanpa dapat dicegah pula.
Akan tetapi, tiba-tiba Kertapati yang melihat hal ini segera melontarkan klewang di tangannya yang secepat kilat menyambar menyusul klewang si kumis tebal tadi dan sebelum klewang itu mengenai tubuh Tumenggung Basirudin, telah tersusul dan terpukul kesamping oleh klewang yang dilontarkan oleh Kertapati!
Tumenggung Basirudin menjadi pucat sekali dan segera menyerukan kepada semua ponggawanya yang telah terdesak hebat,
“Berhenti.…! Tahan semua senjata…! Kami menyerah!!”
Mendengar seruan ini, Kertapati juga berseru kepada anak buahnya. “Tahan serbuan!”
Akan tetapi, kedua orang pemimpin ponggawa yang telah kena dirampas klewangnya itu, ternyata masih merasa penasaran. Mereka adalah ahli-ahli pencak silat yang terkenal di Semarang dan mereka bertubuh tinggi besar dan bertenaga kerbau, masa mereka harus menyerah terhadap seorang pemuda yang tak berapa besar tubuhnya dan nampak lemah lembut ini?
Di semarang nama Kertapati telah amat terkenal pula dan tadinya kedua orang inipun merasa gentar mendengar nama itu, akan tetapi kini setelah melihat orangnya, mereka merasa penasaran kalau sampai dikalahkan. Maka mereka lalu mempergunakan kesempatan pada waktu Kertapati sedang menengok ke arah anak buahnya untuk memberi perintah itu.
Dengan cepat keduanya lalu menubruk maju dan sepasang lengan mereka yang berurat bagaikan tambang dan panjang serta besar itu memeluk tubuh Kertapati! Si kumis tebal dari kiri memeluk leher dan dada, sedangkan si muka bopeng dari kanan memeluk pinggang Kertapati.
Jepitan dua pasang lengan ini kuat sekali, melebihi kuatnya belenggu besi, karena keduanya telah menggunakan pitingan yang mereka sebut “talipati“ yakni yang maksudnya bahwa siapa yang telah terjepit kedua lengan ini pasti takkan terlepas lagi!
“Kami telah dapat menangkapnya!” si kumis tebal berseru girang.
“Nah, berontaklah kau kalau mampu!” teriak si muka bopeng dengan sombong.
Sisa para pengawal menjadi girang melihat hal ini, sebaliknya diantara para anak buah bajak ada yang memdanang dengan kuatir. Mereka ini belum mengenal betul pemimpin mereka, akan tetapi sebagian besar anggota bajak hanya memandang sambil tersenyum dan menggunakan tangan untuk mencegah mereka yang agaknya hednak membantu Kertapati. Mereka memandang seakan-akan sedang menyaksikan pertandingan gumul yang menarik!
Nampaknya Kertapati memang tak berdaya, Pemuda ini meronta ke kanan kiri mencoba untuk meloloskan diri, akan tetapi ia hanya merupakan seekor lalat kecil yang coba meloloskan diri dari sarang laba-laba yang menangkapnya! Terdengar suara gelak tertawa dari beberapa orang ponggawa yang melihat hal ini. Tak seorangpun menyangka, juga kedua orang kepala ponggawa yang memiting Kertapati itu, bahwa gerakan Kertapati tadi hanyalah untuk mengacaukan pengeraghan tenaga kedua lawannya saja.
Dengan meronta-ronta itu tenaga lawannya terbagi dan kacau balau tak dapat di dipusatkan, kemudian terdengar pemuda itu berteriak nyaring sekali dan ia bergerak sambil mengerahkan Aji Belut Putih. Aji Belut Putih inilah yang membuat Dursasana tokoh pewayangan dari para senopati Kurawa, terkenal sekali karena kelincahannya.
Kedua orang pemimpin ponggawa yang menangkap tubuh kertapati itu tiba-tiba merasa betapa tubuh pemuda itu menjadi licin bagaikan belut dan sebelum mereka tahu bagaimana pemuda itu bergerak, orang yang mereka piting itu telah merosot ke bawah dan terlepas dari pegangan dan kempitan mereka! Kertapati taidak mau berhenti sampai di situ saja, kedua tangannya bergerak dan...
“Plal! plak!”
Telapak kedua tangannya telah menampar muka kedua orang itu sehingga membuat mereka merasa pedas mukanya dan mata mereka menjadi gelap yang membuat mereka terpaksa menutup kedua mata. Mereka lalu mengulur tangan ke depan dan menangkap sekenanya sehingga tanpa disadari mereka saling terkam dan saling piting!
“Aduh, aduh! kau mencekik leherku!” teriak si muka bopeng sambil terengah-engah dan sepuluh kuku jarinya mencengkeram kedepan.
“Aduh.…! Kumisku.…! jangan tarik-tarik kumisku...!" Teriak si kumis tebal karena si muka bopeng dalam kebingungannya dicekik lehernya itu telah mencengkeram ke depan dan membetot apa saja yang kena ditangkapnya!
Terdengar gelak tertawa dan kali ini yang tertawa adalah kawan-kawan Kertapati. Sebelum kedua orang kepala ponggawa itu insaf bahwa mereka telah saling jambak, tiba-tiba tangan Kertapati memegang dan mencengkeram rambut kepala yang berdekatan dan kedua kepala itu lalu dibenturkan satu kepala yang lain dengan kerasnya!
Biarpun hidung merupakan anggota muka yang lunak, akan tetapi kalau saling dibenturkan dengan kuat-kuat, akan terasa sekali sakitnya. Apalagi kalau yang membenturkannya Kertapati, maka setelah terdengar suara “blek!” yang bagi telinga kedua orang itu terdengar bagaikan letusan gunung Merapi, kedua orang itu setelah dilepas lalu roboh pingsan dengan hidung mengeluarkan darah!
Kini semua sisa ponggawa baru melihat dengan mata kepala sendiri kehebatan Kertapati, maka mereka berdiri dengan kaki mengigil, sedangkan Tumenggung Basirudin lalu berlari masuk ke dalam bilik perahu itu!
“Rampas semua senjata. Jangan menggangu mereka yang tak menyerang!” Dia sendiri dengan sigapnya lalu melompat ke dalam bilik, menyusul Tumenggung tadi. Di dalam kamar itu nampak Tumenggung Basirudin, isterinya, dan anaknya, yakni seorang gadis cantik yang ebrdiri denagn tegak dan membelalak kedua matanya tanpa memperlihatkan rsa takut sama sekali.
Inilah Dyah Winarti puteri Tumenggung Basirudin. Ia telah mendengar ribut-ribut tadi dan mendengar pula bahwa bajak laut Kertapati datang menyerbu, maka gadis yang tabah ini menghibur ibunya yang menangis ketakutan. Kini, melihat datangnya seorang pemuda baju hitam, gadis ini dengan heran berseru,
“Ah, dia ini yang mendapat tusuk konde Roro Santi dulu!”
“Sst, dialah Kertapati…“ bisik ayahnya yang berdiri menghadang di depan isterinya untuk melindungi mereka. Kemudian berkata kepada pemuda itu. “Kertapati, kau boleh ambil semua barang-barang kami, akan tetapi janganlah kau mengganggu anak isteriku!”
“Siapa yang hendak mengganggu?” kata Kertapati sambil tersenyum mengejek, akan tetapi tiba-tiba ia mendapatkan sebuah akal yang amat baik yang timbul dari seruan gadis itu. Gadis ini telah kenal kepada Roro Santi, dan selain itu, iapun memerlukan seorang yang dapat membawanya masuk ke Jepara pada saat penyerbuan kota itu. Maka ia lalu berkata, “Tumenggung Basirudin, aku tidak mau mengganggu anakmu, akan tetapi aku hendak meminjam sebentar.“
“Apa maksudmu?“
Kertapati tertawa. Tentu saja ia tidak dapat memberitahu apa maksudnya dengan gadis itu. “Tumenggung Basirudin, kami datang untuk mengambil barang-barang berharga di perahu ini, dan anakmu akan kami jadikan tawanan agar kami dapat pergi dengan aman. Jangan kuatir, aku yang tanggung bahwa puterimu takkan terganggu oleh siapapun juga!”
“Keparat, jangan ganggu anakku!” Tumenggung Basirudin berseru dan melangkah maju hendak menerjang. Akan tetapi sebuah dorongan tangan Kertapati membuat Tumenggung yang lemah itu jatuh tersungkur. Kemudian Kertapati hendak menendang tubuh itu, akan tetapi terdengar teriakan Winarti,
“Jangan pukul! Aku akan ikut padamu!”
Kertapati tersenyum lega ketika Tumenggung Basirudin hendak mencegah anaknya, Winarti berkata. “Rama, Kertapati bukanlah bajak laut sembarangan yang mau mengganggu wanita. Aku percaya kepadanya!”
Demikianlah setelah perahu iti dirampok habis, para bajak laut lalu turun dan kembali ke dalam perahu. Mereka tak perlu takut untuk diserang dari atas perahu besar, oleh karena kini mereka mempunyai seorang tawanan yang menjadi tanggungan atau penjaga keamanan!
Perahu-perahu kecil cat hitam itu lalu meluncur cepat, menghilang di dalam kegelapan malam mulai mendatang, membawa semua barang berharga dan juga Winarti yang duduk di dekat Kertapati tanpa takut-takut, bahkan menggunakan matanya untuk memandang kepada bajak laut muda itu dengan penuh kekaguman!
“Siapakah namamu, manis?“ tanya Kertapati kepada gadis itu tanpa memandang wajahnya.
“Diah Winarti,“ jawab gadis itu singkat.
“Tadi kau menyebut nama Roro Santi, kenalkah kau kepada gadis itu?“ Kini mata Kertapati menatapnya dengan tajam, dan heranlah pemuda itu melihat betapa sinar mata gadis itu memandangnya dengan halus dan mesra!
“Tentu saja kukenal dia, akan tetapi kalau boleh kunasihatkan, tiada gunanya kau memikirkan dia!”
“Apa maksudmu?“ Kertapati bertanya sambil mengerutkan kening.
“Maksudku… sia-sia saja kau jatuh cinta kepadanya dan…“
“Hai mengapa kau berani berkata selancang itu?“ Kertapati membentaknya. “Siapa bilang bahwa aku… mencinta…“
Winarti tersenyum memperlihatkan sebaris gigi yang kecil dan putih bersih. “Kaukira aku tidak melihatmu ketika kau hendak mengembalikan tusuk konde dulu itu? Aku duduk di dekat Roro Santi! Kau cinta kepadanya, hal ini mudah diterka, akan tetapi apakah kehendakmu itu akan tercapai, inlah soal yang sukar sekali! Pertama, Roro Santi adalah puteri Adipati Wiguna yang berpangkat tinggi, kedua gadis itu sekarang telah dipertunangkan denagn seorang Letnan Kompeni, ketiga, kau adalah seorang bajak laut yang dibenci. Maka kunasehatkan kau tadi bahwa tiada gunanya kau memikirkan dia!”
Ucapan ini benar-benar menikam ulu hati Kertapati, sungguhpun ia merasa heran mengapa ia merasa hatinya sakit mendengar ucapan seperti itu.
Winarti adalah seorang gadis yang berpemandangan tajam dan berperasaan halus, maka melihat kerut di kening Kertapati serta kemuraman yang menyelimuti sinar matanya, ia lalu berkata sengan suara menghibur. “Seorang tampan dan gagah seperti kau, msih muda pula, tak perlu merasa putus asa dan patah hati. Di dunia masih banyak puteri-puteri bangsawan yang cantik jelita!”
Kertapati mau-tak-mau tersenyum juga mendengar ucapan ini. Alangkah tabahnya gadis ini. Sebagai seorang tawanan yang berada di tangan bajak-bajak laut, bukannya merasa takut, bahkan kini menjadi penasihat dan pengiburnya dalam hal asmara. Keberanian gadis itu membuat Kertapati menjadi agak gembira, maka sengaja ia melayani percakapan itu dan berkata,
“Bukankah tadi aku bilang bahwa aku adalah seorang bajak laut yang dibenci? Puteri bagsawan mana yang sudi kepadaku?“
Kini jawaban Winarti yang disertai pandang mata lembut dan penuh perasaan, benar-benar membuat Kertapati terkejut. Gadis itu berkata. “Banyak terdapat puteri-puteri bangsawan cantik jelita yang lebih menyinta seorang bajak laut yang muda, rupawan dan gagah perkasa, daripada seorang teruna bagsawan atau pangeran yang bertubuh lemah, berpenyakitan, dan biasanya hanya mengumpulkan selir, sebanyaknya saja! Aku sendiri... akupun tidak suka dan benci sekali melihat pemuda bangsawan macam itu! Dan… bajak laut hanyalah merupakan nama saja, merupakan sebutan seperti halnya pakaian yang dipakai. Kalau pakaian itu ditinggalkan dibuang jauh-jauh di laut dan kemudian diganti dengan pakaian lain yang bersih, siapa yang akan tahu kalau Kertapati adalah bekas seorang bajak laut yang ditakuti? Dan aku kiranya aku akan dapat menolongmu dalam hal ini, yakni... kalau kau kehendaki…“
Tiba-tiba Kertapati tertawa bergelak. “Minggirkan perahu!” katanya kepada anak buahnya yang mendayung perahunya.
Para anak buahnya merasa heran mendengar perintah ini karena mereka masih jauh dari perkampungan yang hari ini akan dijadikan tempat persembunyian. Tapi mereka merasa girang melihat betapa Kertapati yang biasanya “Alim“ terhadap wanita itu, kini bahkan dengan tangan sendiri menculik seorang gadis. Dan melihat kecantikan puteri ini, diam-diam mereka mengharapkan agar kali ini Kertapati benar-benar akan memilih jodohnya!
Maka, bukan main kecewa dan keheranan mereka ketika melihat bahwa setelah perahu menempel di tepi pantai, Kertapati lalu menarik tangan gadis itu turun dari perahu dan berkata, “Nah, sampai di sini saja. Winarti! Dan tetang nasihatmu tadi akan kupikir-pikirkan baik-baik. Terima kasih!” Sambil tertawa Kertapati lalu melompat ke atas perahunya lagi dan menyuruh anak buahnya mendayung pergi.
“Kertapati...! Jangan tinggalkan aku seorang diri di sini... aku takut!” Winarti berteriak-teriak sambil memandang ke sekelilingnay yang sunyi dan gelap.
“Ha, ha, ha...! Kau tidak takut kepada bajak laut Kertapati, masa sekarang kau takut kepada malam gelap? Ha, ha, ha!” Terdengar suara ketawa Kertapati dan kawannya makin menjauh dan melenyap berbareng dengan lenyapnya bayangan perahu mereka.
Winarti menjadi binggung. Kembali ia memandang ke sekelilingnya yang gelap. Sinar bulan yang suram muram membuat pohon-pohon besar nampak bagaikan raksasa hitam tinggi besar dan angin laut yang tertiup membuat raksasa-raksasa itu bergerak-gerak seakan-akan handak menerkamnya. Winarti berlutut di atas pasir pantai dan menutupi kedua matanya dengan tangan, lalu menangis!
“Dengar, kawan-kawan. Kalian harap lekas membawa barang-barang ini ke tempat kawan-kawan kita yang lain. Adakan persiapan untuk penyerbuan kota jepara yang akan kulalukakn pada besok malam! Kerahkan semua kawan-kawan, bahkan tambahan bala bantuan dari kampung-kampung yang berdekatan. Kita harus memberi pukulan keras dan mendatangkan hasil yang besar kali ini agar cepat dapat kita kirimkan ke Mataram! Kalian boleh berkumpul di gerbang barat, menanti tanda yang akan kuberi dengan panah api.“
“Kau sendiri bagaiamana akan dapat masuk ke Jepara? Wajahmu telah dikenal dan setelah perahu Tumenggung Basirudin itu tiba di Jepara, tentu penjagaan akan diperkuat!” kata seorang kawannya.
“Mudah saja, aku sudah mempunyai “Kunci masuk“ yang merupakan seorang gadis cantik.“
Kawan-kawannya memandang heran, akan tetapi kemudian mereka dapat menduga, maka terdengar suara ketawa disana-sini. Kertapati lalu mengatur siasat penyerbuan itu dan memberi pesan kepada semua kawannya bagaimana harus menyerbu Jepara pada besok malam. Kemudian ia berkata.
“Jangan lupa, kawan-kawan, karena mungkin aku tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengulang pesanan ini. Kelima ahli panah kita, Harjo, Wiro Mangun, Dibyo dan Kartiko, harus menyerang rumah penginapan Dolleman untuk menarik pertahanan kota di tempat itu. Serang sambil berpencar, tipu mereka dengan panah-panah kembar, dan jangan lupa bawa karung-karung pasir untuk tempat berlindung mereka.“
Setelah memberi pesan dengan teliti sekali, ia lalu berpaling kepaad seorang anggota bajak yang sudah agak tua, bertanya, “Dirun, kau bawa perabot-perabotmu?“
“Ada, ada dalam saku bajuku,“ jawab orang itu.
“Nah, mari kau robah mukaku, jangan terlalu muda, juga jangan terlalu tua, cukup saja untuk menarik kepercayaan seorang gadis tanpa menimbulkan jijik. Ia duduk di atas pasir dan Dirun mulai “merobah“ muka kepala bajak muda itu dengan jari-jari yang amat cekatan. Pekerjaan ini dilakukan hanya dibawah penerangan beberapa batang obor yang mereka nyalakan.
Winarti masih duduk ditepi laut seorang diri, kadang-kadang menangis, kadang-kadang mengibur diri sambil menarik napas panjang. Tak lama lagi, hari akan terang kembali dan aku bisa mencari jalan pulang atau minta tolong kepada orang kampung yang kujumpai di jalan, demikian ia menghibur diri sendiri dan menekan rasa takutnya. Akan tetapi kalau ia teringat kepada Kertapati, tak terasa air matanya mengalir turun kembali.
Ia merasa amat kecewa, karena pemuda yang luar biasa, tampan dan gagah perkasa itu agaknya sama sekali tidak tertarik kepadanya. Yang menyakitkan perasaannya ialah bahwa pemuda itu tidak menaruh kasian kepadanya! Alangkah kejamnya, meninggalkan aku seorang diri di tempat seperti ini.
Ah, dia tidak berjantung, tidak berperasaan, tak kenal perikemanusiaan ! Winarti mengomel panjang-pendek di dalam hatinya dan mencoba untuk menanam rasa benci di dalam hatinya. Akan tetapi, diam-diam ia harus akui bahwa tak mungkin baginya untuk membenci pemuda itu. Ia kagumi kegagahannya, dan wajah itu… terutama matanya yang tajam tak mau hilang saja dari bayang-bayang lamunannya!
Ah, pikirnya sambil mengigit bibir, kalau dia berganti pakaian, berganti nama, dan menjadi… mantu ayahku, siapa yang akan menyangka bahwa ayahku, siapa yang akan meyangka bahwa dia adalah bajak laut Kertapati? Alangkah bahagianya bersuamikan seorang gagah perkasa… ah, akan tetapi ia sombong, sombong dan kejam! Aku benci padanya…. benci! Ia menangis lagi.
Tengah malam telah lewat dan keadaan makin sunyi membuat hati Winarti makin gelisah dan takut. Sebetulnya bukan tak ada orang sama sekali di sekitar tempat itu, karena semenjak tadi, di luar tahunya Winarti, ada sepasang mata yang tajam dan bersembunyi di balik bulu mata yang sudah keputih-putihan dan pelupuk mata yang agak sipit dan berkeriput.
Ini adalah mata seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang petani, baju biru panjang penuh tambalan, celana panjang samapi bawah lutut, jga penuh tambalan, rambutnya yang telah banyak uban itu tertutup oleh sehelai ikat hitam dan sarungnya diselempangkan pada pundak kirinya.
Kakek ini berdehem perlahan dan muncul dari tempat persembunyiannya. Winarti yang sedang menangis terkejut sekali hingga serentak ia bangun berdiri. Akan tetapi, ketika ia melihat seorang setengah tua berdiri tak jauh dari situ, ia menjadi setengah tua berdiri bertindak menghampiri ia berkata.
“Pak tua... kau tolonglah aku…“
Kakek itu melihat di bawah sinar bulan yang suram betapa seorang gadis cantik berlari kepadanya, maka ia segera membelalakkan matanya dan nampak terkejut sekali.
“Ya Jagat Dewa Batara...!” ia memuji. “Bagaimana di tempat seperti ini muncul seorang kuntilanak? Hai iblis! Pergilah dan jangan ganggu Pak Sumpil! Aku sudah tua dan takkan tertarik oleh kecantikanmu!” Sambil berkata demikian, kakek itu mengangkat kedua tangannya seakan-akan ia berdoa!
Sungguhpun ia tadi baru saja menangis, akan tetapi melihat kelakuan kakek itu, Winarti tertawa terkekeh-kekeh sehingga kakek itu makin ketakutan dan mundur dua langkah.
“Pak tua… atau Pak Sumpil kalau memang itu namamu. Aku bukan kuntilanak! Lihatlah, apakah punggungku bolong?“ Sambil berkata demikian, Winarti lalu memutar tubuhnya memperlihatkan punggungnya yang halus, bersih dan sama sekali tidak bolong.
“Bukan kuntilanak…? Maaf… kalau begitu, siapakah den ajeng ini? Mengapa seorang wanita muda seperti den ajeng berada di tempat ini pada saat seperti ini?“ Kakek itu menghampiri dengan membungkuk-nungkuk memberi hormat.
“Saya adalah puteri Tumenggung Basirudin di Jepara. Siapakah kau, pak? Apakah namamu Pak Sumpil?“
Kakek itu nampak tertegun mendengar bahwa puteri ini adalah anak seorang tumenggung, maka ia segera memberi hormat dan berkata. “Memang benar nama hamba Pak Sumpil, karena selain menjadi petani, hamba suka mencari dan mengumpulkan sumpil (keong kecil), maka hamba disebut Pak Sumpil. Mengapa den ajeng berada di tempat ini seorang diri?“
Dengan girang karena telah bertemu dengan seorang dusun, Winarti lalu menceritakan bahwa ia telah diculik oleh bajak laut Kertapati dan diturunkan di situ. “Maka, harap kau suka tolong aku, Pak Sumpil. Antarkan aku ke Jepara, ayah tentu akan memberi hadiah besar kepadamu!”
Pak Sumpil segera menyanggupi dan berkata, “Karena malam gelap. Lebih baik kita berangkat besok pagi-pagi, den ajeng. Kalau den ajeng suka, dan den ajeng boleh mengaso atau tidur, hamba yang menjaga.“
Akan tetapi Winarti tak dapat tidur, dan setelah Pak Sumpil membuat api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk, ia malah mengajak kakek itu bercakap-cakap.
“Telah lama hamba dan sekalian saudara-saudara di kampung mendengar nama bajak laut Kertapati. Bahkan belakangan ini orang-orang mengabarkan bahwa bajak laut itu hendak menikah dengan seorang puteri Jepara yang bernama Roro Santi! Betulkah berita ini, den ajeng?“
“Bohong! Bagaimana seorang bajak laut yang jahat bisa menikah denagn seorang puteri Adipati? Menggelikan! Andaikata Roro Santi sendiri setuju, tak mungkin ayahnya memberi ijin. Pula, Adipati Wiguna telah memberikan puterinya itu kepada letnan Kompeni, mereka sudah bertunangan!”
Kakek itu nampak kaget. “Apa?? Menikahkan puterinya dengan seorang Kompeni? Aneh benar!! Belum pernah hamba mendengar berita seaneh ini selama hamba hidup.“
“Ini kehendak Adipati Wiguna, siapa bisa menghalanginya?“
“Apakah den ajeng Roro Santi juga sudah setuju dinikahkan dengan seorang Belanda yang bermata biru dan berambut kuning?“
Winarti menggeleng kepalanya. “Jangankan kepada seorang letnan Kompeni, bahkan pada tunangannya yang dulupun, Roro Santi tidak pernah merasa suka. Padahal tunangannya yang dulu, Raden Suseno, adalah seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah!”
“Seorang gadis yang keras hati dan tak mudah jatuh cinta...“ Kakek itu berkata perlahan, “Diwaktu hamba masih muda dulu, pernah hamba bertemu dengan seorang gadis seperti itu.“
“Benarkah, Pak Sumpil? Tentu pengalamanmu banyak sekali tentang watak-watak wanita, bukan? Kau agaknya bukan seorang alim di waktu mudamu, pak!”
Kakek itu tertawa bergelak. “Ah, hamba hanyalah seorang dusun, dan wanita-wanita yang hamba kenalpun hanya perempuan-perempuan tani dan nelayan...“
Sebelum mulai bicara, Dolleman mengeluarkan sebungkus cerutu dan menawarkannya kepada tuan rumah, akan tetapi dengan halus Adipati Wiguna menampiknya sambil mengucapkan terima kasih. Dolleman mencabut sebatang cerutu dan menyalakannya, lalau menghisap asap cerutu itu dalam-dalam ke dadanya.
“Tuan Adipati Wiguna,” katanya setelah menghembuskan asap itu keluar dari mulut dan hidungnya, “Telah lama saya mendengar nama tuan Adipati dan kalau tidak salah tuan Adipati berasal dari Demak, bukan?“
Adipati Wiguna mengganguk dan bangsawan ini cukup mklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang opsir penyelidik yang terkenal sekali, maka ia menanti dengan hati berebar akan kelanjutan dari percakapan ini. Karena tidak mungkin opsir ini datang sekedar untuk bercakap-cakap angin belaka.
“Memang saya sekeluarga berasal dari Demak tuan Dolleman,“ jawabnya menekan debar jantungnya. “Saya baru dipindahkan ke Jepara dan menjabat pangkat Adipati di sini.“
Dolleman mengangguk-angguk dan menyentil-nyentil cerutunya dengan jari sehingga abunya yang putih jatuh ke atas lantai. “Tuan Adipati, saya telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran, diantaranya pertempura melawan Trunajaya di Surabaya. Pertemuan saya dengan tuan Adipati mengingatkan saya akan seorang pemimpin pemberontak pembantu Trunajaya, oleh karena wajahnya mirip sekali dengan tuan Adipati.“
Biarpun Adipati Wiguna berusaha menetapkan hatinya, namun wajahnya tetap saja berubah pucat mendengar uapan ini. Ia tersenyum menutupi kegelisahannya dan berkata, “Kau aneh sekali, tuan letnan! Tentu saja diantara ribuan manusia di dunia, banyak yang mirip mukanya, apakah anehnya hal ini?“
Dolleman mengangguk-angguka kepalanya yang berambut kuning keemasan itu. “Saya tahu, saya tahu… akan tetapi anehnya pula, orang inipun berasal dari Demak!” Kemudian letnan itu mendekatkan kepalanya kepada tuan rumah dan matanya memandang tajam sekai, seakan-akan berusaha hendak menembus mata Adipati Wiguna dan menjenguk ke dalam hatinya. “Dia itu bernama Wiratman, kenalkah kau kepadanya, tuan adipati?“
Wajah Adipati Wiguna makin pucat dan ia tidak dapat menjawab untuk beberapa lama. Ia maklum bahwa letnan Belanda itu telah mengetahui hal ini dan ia merasa seakan-akan ia berada dalam cengkraman tangan tamunya ini.
Melihat kebimbangan tuan rumah, letnan Dolleman tersenyum dan menarik napas panjang tanda kepuasan hatinya. “Tuan adipati, jangan kau gelisah. Sesungguhnya saya sudah tahu belaka bahwa Wirataman itu adalah adik kandungmu! Akan tetapi, sekali saja jangan kau berkuatir, tuan Adipati. Biarpun hal ini apabila diketahui oleh Sunan akan merupakan hal yang hebat dan bahaya akan mengancam keluargamu, akan tetapi hal ini yang mengetahui hanya saya seorang, dan saya tahu betul bahwa tuan Adipati tidak sama dengan adik kandung yang menjadi pemberontak itu!” Kembali Dollemon menghisap cerutunya dan menyadarkan tubuhnya pada kursinya.
“Tuan letnan Dolleman, terima kasih atas kepercayaanmu. Dan… dan apakah kiranya yang dapat saya lakukan untuk membalas kebaikan budimu ini?“ Melihat sikap dan mendengar ucapan Adipati Wiguna yang langsung itu, Dolleman tertawa bergelak, memperlihatkan giginya yang besar dan putih.
“Ha, ha, tuan Adipati. Saya suka melihat tuan yang bersikap terus terang dan langsung ini! Memang harus begini laki-laki menyelesaikan sesuatu persoalan. Terus terang pula saya menyatakan kepadamu bahwa setelah bertemu dengan puterimu Roro Santi pada keramaian di pantai kemarin dulu, saya merasa suka kepadanya. Dengan setulus hati aya, saya mengajukan pinangan untuk puteri tuan adipati itu!“ Sambil berkata demikian, kembali sepasang mata Dolleman memandang tajam.
Bukan main terkejutnya hati Adipati Wiguna mendengar pinangan yang pernah diduga-duganya itu. Dia adalah seorang Islam demikianpun semua keluarganya, dan sungguhpun ia berselisih faham dengan Wiratman yang membela Trunajaya sedangkan ia tetap bersetia kepada sunan Amangkurat II, namun ia tetap seorang umat islam yang beribadat dan teguh iman. Bagaimana ia dapat menikahkan puterinya kepada seorang Belanda, seorang kafir? lagipula, puterinya itu telah dipertunangkan dengan Raden Suseno, putera bupati di Rembang.
“Tuan letnan, hal ini tak mungkin dapat kuterima! Puteriku telah bertunangan dengan putera Bupati Randupati di Rembang dan pula, sebagai seorang Islam, kami tak mungkin menikahkan puteri kami kepada seorang yan bukan umat Islam! Harap kau mengerti akan hal ini dan mintalah saja yang lain.“
Dolleman tertawa lagi dan sikapnya masih tenang. “Kalau begitu tiada jalan lain bagi saya selain membuka rahasiamu kepada Sunan, biarkan Sunan sendiri yang menetapkan akibatnya!”
Tiba-tiba Dolleman tertawa terbahak-bahak, sama sekali tidak memperlihatkan sikap melawan atau meraba senjata apinya.
“Adipati Wiguna, simpan kembali kerismu itu. Aku hanya main-main saja. Ketahuilah, di negeri Belanda akupun telah mempunyai seorang isteri yang manis dan seorang anak, apa kau kira aku benar-benar hendak menikah lagi! Ha, ha, ha,!”
Adipati Wiguna memanang heran, menyimpan kembali kerisnya dan duduk sambil berkata. “Tuan letnan Dolleman, jangan kau main-main. Apakah maksudmu yang sesungguhnya? Aku sudah tua, jangan kau memprmainkan perasaanku.“
Dolleman membuang putung cerutunya ke dalam tempolong yang berada di bawah meja, lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh. “Tuan Adipati Wiguna, pinaganku ini hanya merupakan siasat untuk memancing bajak laut Kertapati, agar aku mendapat jalan untuk menangkapnya!”
“Saya tidak mengerti maksudmu, terangkanlah yang jelas.“
“Begini tuan Adipati. Pada waktu bajak laut itu muncul di panggung dan berhadapan dengan puterimu, saya dapat melihat dengan jelas bahwa bajak itu jatuh cinta kepada puterimu! Hal ini kuketahui baik-baik dan sungguhpun saya berani menyatakan bahwa puterimu juga tertarik kepadanya, akan tetapi aku yakin betul bahwa penjahat itu suka kepada Roro Santi! Oleh karena itu saya mendapat akal. Kalau dia mendengar bahwa Roro Santi akan menjadi isteri saya, tentu ia akan marah dan akan menghalanginya dan demikian, kita mendapat kesempatan untuk menawan atau membunuhnya!”
“Jadi… tuan hendak menggunakan puteri saya sebagai umpan untuk memancing dia keluar… ??“ tanya Adipati Wiguna dengan muka pucat.
“Benar! Akan tetapi jangan kuatir, kami akan menjaga keras agar puterimu itu tidak mengalami sesuatu. Juga dengan pengourbanan ini, berarti Adipati dan puterinya telah menunjukkan jasa besar terhadap Mataram. Bukankah bajak laut itu selain musuh Kompeni, juga merupakan musuh Mataram yang selalu mengacau dan menggangu lalu lintas di laut?“
Adipati wiguna mengerutkan kening dan berpikir, kemudian berkata ragu-ragu. “Akan tetapi… bagaimana dengan Bupati Randupati dan puteranya? Saya rasa mereka akan keberatan!“
Dolleman tersenyum. “Kalau kita jelaskan bahwa pinangan dan penyerahan puterimu kepada saya ini hanya sandiwara belaka, mengapa mereka berkeberatan? Saya akan memberitahukan hal ini kepada atasan saya, juga kepada Sunan, tidak mau membantu, bukankah berarti bahwa dia membela dan melindungi bajak laut? kertapati? Apakah dia berani menolak?“
“Akhirnya, karena berada di dalam kekuasaan Dolleman yang cerdik itu. Adipati Wiguna! Sekali-kali jangan kau ceritakan kepada Roro Santi, karena hal ini amat berbahaya. Kalau sampai rahasia ini bocor, maka tentu bajak laut Kertapati akan mendengar dan tidak mau membiarkan dirinya masuk perangkap!”
Adipati Wiguna mengangguk-angguk mklum dan mereka berdua lalu pergi ke Rembang guna berunding denga Bupati Randupati di Rembang. Juga Bupati ini terpaksa menurut, sedangkan Raden Suseno yang tadinya merasa keberatan, ketika mendengar bahwa hal ini dilakukan untuk memancing keluar bajak laut Kertapati yang amat dibencinya, lalu menyatakan persetujuannya!
“Sekarang harap tuan Adipati Wiguna suka menyiarkan berita bahwa pertunagan antara puterimu dan Raden Suseno dibatalkan dan kemudian menyiarkan berita bahwa puterimu telah ditunangkan dengan seorang letnan Kompeni. Kita sama-sama lihat apakah hal ini belum cukup kuat untuk memancing keluar Kertapati. Kalau belum cukup kuat, barulah kita bertindak lebih jauh, yakni mengirimkan puterimu dengan perahu Kompeni ke Semarang ! Sementara itu, aku akan berusaha menyelidiki di mana sebenarnya sarang Kertapati itu!“
Demikian Letnan Dolleman membari pesan terakhir kepada Adpipati wiguna.
* * * * *
Dua hari kemudian, seorang laki-laki berkumis panjang melarikan kudanya menuju ke barat. Laki-laki ini datang dari Jepara dan ketika ia tiba di batas kota, ia ditahan oleh beberapa orang penjaga. Akan tetapi laki-laki itu mengeluarkan sehelai kartu yang ada tanda cap dua singa. Membaca kartu keterangan itu, para penjaga membiarkan ia pergi tanpa berani menganggu, oleh karena kartu ini adalah tanda bahwa orang ini adalah seorang mata-mata kaki tangan Kompeni!
Memang benar, orang ini bernama Jiman, seorang kaki tangan dari Letnan Dolleman. Akan tetapi, sebenarnya Jiman adalah seorang anak buah bajak laut Kertapati yang dengan cerdiknya telah mendapat kepercayaan dari Letnan Dolleman, bahkan telah dijadikan mata-mata dari letnan itu!
Setelah melalui pos penjagaan dengan selamat, Jiman terus membalapkan kudanya menuju ke barat an akhirnya ia memasuki sebuah dusun di pantai laut, kurang lebih empat puluh kilometer dari Jepara. Di luar dusun nampak beberapa orang pemuda nelayan yang menjaga an melihat kedatangan Jiman, mereka lalu mengantarkan mata-mata itu ke sebuah rumah bambu besar.
Di dalam rumah itu nampak kurang lebih dua puluh orang laki-laki sedang duduk di atas tikar, agaknya sedang mengadakan rapat. Inilah tempat berkumpulnya kawanan bajak laut yang dikepalai oleh Kertapati memang mempunyai banyak tempat-tempat pertemuan di sepanjang pantai, dan ia mendapat dukungan sepenuhnya ari penduduk dusun yang tahu akan perjuangan!
Perlu diketahui bahwa sebenarnya, Kertapati adalah seorang plejuang yang aktip dari pemberontakan Trunajaya ! Sungguhpun ia bukan langsung menjadi anak buah Trunajaya, akan tetapi sebagai seorang yang bersempati kepada pemberontakan Tunajaya, ia merupakan pembantu sukarela yang telah banyak berjasa.
Semenjak Trunajaya masih bertahan di Surabaya, Kertapati telah banyak membantunya dengan pengiriman-pengiriman senjata yang dapat dirampasnya dari perahu-perahu Belanda, atau harta benda yang dapat dirampoknya dari perahu-perahu yang menjadi kurbannya.
Melihat kedatangan Jiman, Kertapati berdiri menyambutnya dan mempersilakan orang itu duduk. “Jiman, kau membawa berita apakah?“ tanyanya dan semua mata dari mereka yang duduk disitu ditujukan kepada pendatang itu.
“Kertapati,” Kata jiman yang telah kenal baik kepada bajak itu, tidak ada berita yang penting. Dolleman agaknya telah berputus asa dan tidak mengirim orang-orangnya untuk mencari jejakmu lagi. Akan tetapi ada sebuah berita aneh yang membuat aku masih binggung memikirkannya.”
“Apakah itu? Aku mendengar berita bahwa Adipti Wiguna telah membatalkan pertunangan puterinya dengan putera Bupati Randupati! Hal ini memang tak ada gunanya kuberitahukan kepadamu, karena mungkin sekali ini terjadi karena peristiwa dengan kau dulu itu. Akan tetapi ada berita yang amat aneh mengejutkan, yaitu Adipati Wiguna setelah membatalkan pertunangan puterinya itu, lalu mempertunangkan anaknya dengan Dolleman!”
“Apa…?” Kertapati terkejut sekali sehingga ia bangkit dari tempat duduknya, akan tetapi, ketika melihat betapa semua kawannya memandangnya dengan heran, ia lalu menekan perasaannya dengan muka merah.
“Ah, biarlah. Hal itu apakah sangkut pautnya dengan kita?“ Akan tetapi, sambil berkata demikian, di luar tahunya semua orang, diam-diam ia meraba saku bajunya di mana tersimpan tusuk konde emas yang pada malam hari sering dikeluarkan dan dikaguminya itu.
“Semenjak pertunangan itu diumumkan, Dolleman nampak tenang-tenang saja dan seakan-akan lupa kepada perkerjaannya. Jarang ia keluar pintu dan berdiam saja di rumah tempat ia menginap...“ Jiman melanjutkan ceritanya. “Oleh karena itu, kami yang menjadi pembantunya, tidak mempunyai pekerjaan sesuatu dan aku berkesempatan datang kemari. Selain itu, ada sebuah berita lagi. Rombongan Tumenggung Basirudin akan datang besok pagi dengan perahu dari Semarang. Kabarnya selain membawa isteri dan anaknya, tumenggung ini membawa banyak barang-barang berharga.“
Berita ini disambut dengan girang oleh kawan-kawan Kertapati, sungguhpun kepala bajak itu sendiri nampak tidak begitu gembira, karena hatinya masih penuh dengan berita tentang pertunagan Roro Santi dengan Dolleman tadi.
“Aku tak dapat lama berdiam di sini, kuatir kalau-kalau menimbulkan kecurigaan.“
“Baik, kau kembalilah ke Jepara, Jiman, dan perhatikan kalau-kalau ada perubahan dari fihak Dolleman,” kata Kertapati.
Jiman lalu keluar dan menunggang kudanya kembali, lalu melarikan kudanya pulang ke Jepara.
“Saudara-saudara“, kata Kertapati kemudian kepada kawan-kawannya, “Seperti telah kuceritakan tadi, sungguhpun Raden Trunajaya dan semua pegikutnya yang gagah berani telah dikalahkan oleh Kompeni, akan tetapi, berkat bantuan para saudara yang bersatu hati, kini Raden Trunajaya berhasil menduduki Mataram. Betapapun juga, hal ini belum berarti bahwa bencana telah lenyap sama sekali. Saudara semua tahu bahwa kedatangan Kompeni yang mengadakan perundingan dengan Sunan bukanlah hal yang tidak ada artinya. Tentu mereka bersepakat untuk sama-sama menggempur Mataram dan merampasnya kembali dari Raden Trunajaya. Oleh karena itu, kita harus mengumpulkan sebanyak senjata api dari Belanda, dan juga mengumpulkan harta benda untuk membiayai pertahanan Raden Trunajaya.“
“Hasil-hasil kita di laut tidak berapa besar, apakah artinya bagi Raden Trunajaya?” kata seorang anggota.
“Karena inilah maka kita harus bekerja keras, dan kalau perlu kita akan serang Jepara dan merampas harta benda dari para hartawanan bagsawan di sana!”
“Itu berbahaya sekali!” seru seorang anak buahnya.
Kertapati tersenyum. “Apakah artinya bahaya?“
Orang yang berseru tadi tertawa geli. “Bahaya artinya gembira!” katanya karena memang ucapan ini merupakan semboyan mereka sejak dulu! “Kalau kita atur sebaliknya, apakah susahnya menyerbu kota seperti Jepara?“
Demikianlah, dibawah pimpinan Kertapati yang cerdik itu, mereka mengatur siasat untuk menyerbu Jepara, kemudian ditetapkan bahwa sebelum penyerbuan itu, mereka lebih dulu akan merampok perahu yang adatang dari Semarang, yakni perahu yang membawa keluarga Tumenggung Basirudin.
* * * * *
Menjelang senjakala, sebuah perahu yang cukup besar berlayar maju menuju ke timur. Perahu ini datang dari Semarang, membawa penumapang-penumpang untuk Jepara, yakni keluarga Tumenggung Basirudin berserta anak isteri, para pelayan, dan beberapa orang saudagar. Karena mklum akan bahaya yang mengancam pada waktu itu, yakni bajak laut Kertapati, Basirudin dikawal oleh sepasukan penjaga yang membawa tombak, bahkan tiga orang pemimpin pasukan membawa senapan.
Mereka merasa lega bahwa selama pelayaran itu tidak terdapat gangguan sesuatu dan kini pelabuhan Jepara telah nampak dari jauh. Ingin mereka lekas-lekas tiba di kota itu karena sebelum melangkahkan kaki di ambang pintu rumah masing-masing, mereka belum merasa aman. Perahu maju perlahan karena angin tak berapa besar.
Tiba-tiba seorang penjaga berseru, “Ada dua perahu di depan!”
Semua orang menjadi pucat mendengar seruan ini dan memandang ke arah yang ditunjuk. Benar saja, di depan mereka nampak dua buah perahu melintang dan terapung-apung di atas air. Akan tetapi perahu-perahu yang berbentuk kecil akan tetapi panjang itu tidak ada penumpangnya. Dua perahu itu kosong!
Tadinya pengemudi hendak membelokkan perahu, siap untuk menjauhi perahu-perahu itu, akan tetapi setelah memandang dengan jelas dan mendapat kenyataan bahwa perahu-perahu itu memang kosong, mereka menjadi lega dan melanjutkan perjalanan, makin mendekati perahu-perahu tadi.
“Mungkin terlepas dari ikatan!” kata seorang.
“Nelayan-nelayan menakah yang demikian lalai sehingga perahu-perahu mereka terlepas dan terapung-apung di sini?” tanya orang kedua.
“Perahu-perahu itu bercat hitam!” terdengar seruan orang lain dengan kaget dan ngeri karena warna hitam adalah warna yang selalu dipergunakan oleh bajak-bajak laut Kertapati!
“Perahu-perahu macam itu bukanlah perahu nelayan!” kata pula orang lain dengan kaget dan gelisah. Dan ketika perahu yang mereka tumpangi telah datang dekat dengan perahu-perahu yang kosong itu, tiba-tiba mereka melihat banyak kepala orang bersembunyi di balik perahu-perahu itu!
“Bajak…! Bajak laut Kertapati…!” seru seorang penjaga yang segera menyiapkan tombaknya. Gegerlah dalam perahu besar itu dan tiga orang pemimpin pasukan yang membawa senapan segera berlari ke depan.
Kini para anak buah bajak yang tadi bersembunyi di belakang perahu, muncul dan berenang dengan cepat bagaikan serombongan ikan cucut menuju ke perahu yang hendak dirampok. Tiga orang pemimpin bersenapan lalu menembak ke arah mereka, akan tetapi tiba-tiba dari balik perahu kecil itu melayang anak panah yang dengan cepat dan jitu sekali menancap di leher seorang diantara para pemegang senapan itu.
Orang itu menjerit dan senapannya terlepas dari tangannya, jatuh keluar perahu, ke dalam air! Dua orang kawanya menjadi terkejut sekali melihat orang ini roboh denga leher tertancap sebatang anak panah hitam, sehingga mereka menjadi gugup dan tembakan-tembakan mereka ngawur. Kembali meluncur anak panah dari pasukan pelindung yang terdiri dari lima orang dan yang bersembunyi di balik perahu sambil mementang busur dan ributlah orang-orang di atas perahu. Mereka segera mencari perlindungan dan menjauhi pinggiran perahu.
Hal ini memudahkan rombongan bajak yang dipimpin oleh Kertapati untuk melemparkan besi-besi pengait ke atas. Besi-nesi itu diikat dengan tambang sehingga kini banyak tambang tergantung di pinggir perahu. Bagaikan kera-kera yang gesit para bajak itu naik ke tas melalui tambang dikepalai oleh Kertapati.
Maka terjdilah perang tanding yang hebat di atas perahu itu diantara ponggawa dan anak buah bajak. Para ponggawa menggunakan tombak dan tameng, sedangkan para bajak menggunakan parang atau keris. Teriakan-teriakan bercampur denagn suara senjata gaduh. Anak buah bajak laut itu terdiri dari dua belas orang, sedangkan para pengawal berjumlah dua puluh orang lebih, akan tetapi para bajak itu berkelahi dengan hebat sekali.
Terutama Kertapati, pemuda yang sigap ini sama sekali tidak memegang senjata, kaan tetapi di mana saja ia berada dan tiap kali kaki tangannya bergerak, bergelimpanglah tubuh para ponggawa kena tendang atau pukul. Dua orang pemimpin penjaga dengan senapannya tidak berani menembak karena dalam pertempuran kacau balau itu, sukarlah untuk melepaskan tembakan tanpa membahayakan kawan sendiri, maka mereka lalu berlari mendekati Kertapati dengan senapan ditodongkan!
Kertapati dapat melihat kedatangan dua orang itu yang menanti saat baik untuk melepaskan tembakan kepadanya. Dengan cepat, pemuda itu lalu menangkap tangan seorang penyerang yang memegang tombak, meninju perutnya sehingga orang itu mengeluh dan pingsan, kemudian dengan memutar tubuh orang ini di depannya, Kertapati melangkah maju menyambut kedatangan dua orang pemegang senapan.
Dua orang pemimpin pengawal itu terkejut sekali, akan tetapi mereka tidak berani menembak karena tembakan mereka tentu akan bersarang ke dalam tubuh kawan sendiri yang diputar-putar di depan kepala bajak itu, dan selagi mereka masih ragu-ragu tiba-tiba tubuh ponggawa itu dilontarkan oleh Kertapati ke arah seorang pemegang senapan. Dan berbareng dengan melayangnya tubuh itu, ia sendiri lalu melompat mengikuti dan menubruk pemegang senapan yang satu lagi!
Senapan ditembakkan, akan tetapi karena Kertapati telah memperhitungkan hal ini dan menubruk dengan gerakan dari samping, maka tembakan itu tidak mengenainya dan sebelum orang itu dapat menembak lagi, tangan kiri Kertapati telah menangkap pergelangan tangannya dan tangan kanan pemuda ini melayang ke arah dagu lawan!
Akan tetapi, ternyata bahwa pemimpin pasukan itu pandai pula bersilat. Dengan cepat ia dapat mengelak ke samping, akan tetapi terpaksa ia harus melepaskan senapannya yang oleh Kertapati lalu dirampas dan dipegang larasnya. Pada saat itu, pemegang senapan tang tadi tertimpa tubuh kawannya yang dilemparkan sehingga ia jatuh tunggang langgang di atas papan geladak, telah berdiri lagi.
Secepat kilat senapan di tangan Kertapati diayun dan “brak“, senapan lawannya itu kena dihantam oleh gagang senapan Kertapati sehingga pecah berantakan. Kertapati tertawa dan melemparkan senapan rampasannya tadi ke laut!
Kini kedua orang pemimpin pasukan itu telah berdiri dan mencabut klewang mereka! Dengan muka beringas dan kumis berdiri saking marahnya, mereka lalu melangkah maju dengan tangan kanan yang memegang klewang diangkat tinggi-tinggi sedangkan tangan kiri dikepal dan dirapatkan di atas pinggang. Inilah sikap atau kuda-kuda seorang ahli pencak yang pandai.
Kertapati yang bertangan kosong menanti dengan tenang, tubuhnya berdiri dengan kaki kiri di depan kaki kanan di belakang, agak membungkuk dan sepasang matanya dengan tajam menatap dua orang lawannya. Seluruh urat-urat dalam tubuhnya menegang, siap menghadapi serbuan lawan-lawan itu.
Pemimpin pasukan yang berkumis tebal tiba-tiba berseru keras dan klewang di tangannya diayun an dibacokkan ke arah kepala Kertapati dengan kecepatan luar biasa sehingga bacokan itu mengeluarkan suara bersiutan! Kertapati tidak tergesa-gesa mengelak. Dengan tubuh tak bergerak dan mata waspada ia menanti datangnya klewang yang menyambar kepalanya dan setelah klewang itu hampir mengenai kepala, barulah ia mengelak dengan sedikit gerakan saja.
Ia miringkan tubuh dengan tiba-tiba dan mengerakkan kepalanya, maka senjata lawan itu menyambar di samping kepalanya mengenai angin. Pada detik berikutnya, tangan kiri Kertapati yang dibuka dan dimiringkan telaha menyambar ke arah siku lengan lawan yang memagang klewang!
Akan tetapi ternyata si kumis tebal itu benar-benar pandai silat karena ketika membacok tadi, tangan kirinya sudah siap sedia melindungi tangan kanan maka begitu melihat tangan kiri Kertapati menyambar siku kanannya, ia telah dapat menangkis dengan tangan kiri melalui bawah siku itu.
”Duk…!”
Ketika dua lengan beradu dengan keras, si kumis tebal berseru kesakitan dan tubuhnya terdorong oleh tenaga pukulan Kertapati sehingga terhuyung-huyung ke belakang! Ia menjadi terkejut sekali karena merasa betapa lengannya seakan-akan beradu dengan kayu asam yang keras sehingga lengan kirinya terasa sakit sekali.
Gerakan mengelak dari pemuda itu tadi membuat ia maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli silat yang tinggi ilmunya, karena menurut gurunya dulu, makin tinggi ilmu silat seseorang makin tenang dan cepat gerakannya dan hanya mengelak apabila serangan lawan telah datang dekat untuk kemudian dibarengi dengan pukulan balasan yang tiba-tiba dan mematikan!
Kalau saja tadi ia tak berlaku cepat dengan tangkisannya, tentu siku kanannya telah terpukul dan kalau sikunya tidak terlepas sambungannya, sedikitnya klewangnya tentu akan terlepas dari pegangan!
Sementara itu, orang kedua yang bermuka bopeng bekas dimakan penyakit cacar, ketika melihat gagalnya serangan kawannya, lalu menerjang maju dan kali ini menyerang dengan menusukkan klewangnya yang tajam dan runcing itu ke arah lambung Kertapati! Maksudnya hendak menyate tubuh pemuda itu dengan sekali tusukan.
Kembali Kertapati memperlihatkan kesigapannya. Ia melihat berkelebatan ujung klewang mengarah lambungnya, maka dengan gerakan kakinya, hanya tubuh atasnya saja yang mendoyong ke kanan sehingga klewang lawan menusuk pinggangnya sebelah kiri.
Saat itu, si kumis tebal telah melompat pula dan menggunakan kesempatan itu untuk membacok pula dengan klewangnya pada leher Kertapati yang tubuhnya masih miring! Agaknya ia ingin memengal leher pemuda itu bagaikan memenggal leher ayam saja.
Namun Kertapati tidak menjadi gugup. Oleh karena ketika mengelak diri ke kanan tadi, ia tidak merobah kedudukan kakinya yang masih berada dalam pasangan kuda-kuda cawang, yaitu kedua kaki terpentang ke kanan kiri dengan betis tegak lurus, maka ketika klewang si kumis tebal membacok lehernya, ia dapat menggerakkan kembali tubuhnya kepada kedudukan semula sebelum dibuang ke kanan.
Dan secepat kilat tangan kirinya yang tadi diangkat ke atas mengelak dari tusukan klewang si muka bopeng, kini diturunkan dan dengan gerakan yang luar biasa dan berani sekali ia mengempit klewang si bopeng di bawah ketiaknya! Si muka bopeng melihat betapa lawan muda itu berani mengempit klewang yang tajam dan runcing, cepat membetot senjatanya.
Akan tetapi, kalau tadi ia telah merasa girang dan hendak membuat kulit iga an lengan yang menegmpit klewangnya menjadi robek dengan betotan klwangnya yang tajam, kini ia merasa terheran-heran sekali karena klewangnya itu seakan-akan tercapit oleh catut besi yang kuat. Jangankan dengan satu tangan, bahkan ketika ia membetot dengan kedua tangannyapun, klewangnya ama sekali tak bergerak.
Kertapati tertawa bergelak dan kaki kirinya menyabar ke arah dua tangan si muka bopeng yang terpaksa melepaskan kedua tangannya dan melompat mundur! Si kumis tebal yang tadi tak berhasil membacok leher, ketika melihat betapa klewang kawannya telah dapat dirampas, segera menyerang lagi dengan mambabi-buta. Klewangnya diobat-abitkan bagaikan kitiran angin cepatnya, menyerang bagian atas dan bawah tubuh Kertapati dengan tubuh jongkok berdiri. Dengan gerakan ini ia hendak membuat lawanya tiada berkesempatan mengelak lagi.
Akan tetapi kini Kertapati telah mengambil klewang yang tadi dikempitnya. Ia menanti sampai berkelebat klewang si kumis tebal mendekati tubuhnya, kemudian ia menggerakkan klewang rampasan tadi sambil berseru keras, “Lepas senjata!” Dua batang senjata tajam bertemu.
“Traang!” dan meluncurkan klewang dari tangan si kumis tebal bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Kebetulan sekali klewang itu meluncur ke arah Tumenggung Basirudin yang berdiri dengan penuh kegelisahan di depan pintu kamar perahu itu. Agaknya klewang yang terbang itu sebentar lagi akan menancap di dadanya tanpa dapat dicegah pula.
Akan tetapi, tiba-tiba Kertapati yang melihat hal ini segera melontarkan klewang di tangannya yang secepat kilat menyambar menyusul klewang si kumis tebal tadi dan sebelum klewang itu mengenai tubuh Tumenggung Basirudin, telah tersusul dan terpukul kesamping oleh klewang yang dilontarkan oleh Kertapati!
Tumenggung Basirudin menjadi pucat sekali dan segera menyerukan kepada semua ponggawanya yang telah terdesak hebat,
“Berhenti.…! Tahan semua senjata…! Kami menyerah!!”
Mendengar seruan ini, Kertapati juga berseru kepada anak buahnya. “Tahan serbuan!”
Akan tetapi, kedua orang pemimpin ponggawa yang telah kena dirampas klewangnya itu, ternyata masih merasa penasaran. Mereka adalah ahli-ahli pencak silat yang terkenal di Semarang dan mereka bertubuh tinggi besar dan bertenaga kerbau, masa mereka harus menyerah terhadap seorang pemuda yang tak berapa besar tubuhnya dan nampak lemah lembut ini?
Di semarang nama Kertapati telah amat terkenal pula dan tadinya kedua orang inipun merasa gentar mendengar nama itu, akan tetapi kini setelah melihat orangnya, mereka merasa penasaran kalau sampai dikalahkan. Maka mereka lalu mempergunakan kesempatan pada waktu Kertapati sedang menengok ke arah anak buahnya untuk memberi perintah itu.
Dengan cepat keduanya lalu menubruk maju dan sepasang lengan mereka yang berurat bagaikan tambang dan panjang serta besar itu memeluk tubuh Kertapati! Si kumis tebal dari kiri memeluk leher dan dada, sedangkan si muka bopeng dari kanan memeluk pinggang Kertapati.
Jepitan dua pasang lengan ini kuat sekali, melebihi kuatnya belenggu besi, karena keduanya telah menggunakan pitingan yang mereka sebut “talipati“ yakni yang maksudnya bahwa siapa yang telah terjepit kedua lengan ini pasti takkan terlepas lagi!
“Kami telah dapat menangkapnya!” si kumis tebal berseru girang.
“Nah, berontaklah kau kalau mampu!” teriak si muka bopeng dengan sombong.
Sisa para pengawal menjadi girang melihat hal ini, sebaliknya diantara para anak buah bajak ada yang memdanang dengan kuatir. Mereka ini belum mengenal betul pemimpin mereka, akan tetapi sebagian besar anggota bajak hanya memandang sambil tersenyum dan menggunakan tangan untuk mencegah mereka yang agaknya hednak membantu Kertapati. Mereka memandang seakan-akan sedang menyaksikan pertandingan gumul yang menarik!
Nampaknya Kertapati memang tak berdaya, Pemuda ini meronta ke kanan kiri mencoba untuk meloloskan diri, akan tetapi ia hanya merupakan seekor lalat kecil yang coba meloloskan diri dari sarang laba-laba yang menangkapnya! Terdengar suara gelak tertawa dari beberapa orang ponggawa yang melihat hal ini. Tak seorangpun menyangka, juga kedua orang kepala ponggawa yang memiting Kertapati itu, bahwa gerakan Kertapati tadi hanyalah untuk mengacaukan pengeraghan tenaga kedua lawannya saja.
Dengan meronta-ronta itu tenaga lawannya terbagi dan kacau balau tak dapat di dipusatkan, kemudian terdengar pemuda itu berteriak nyaring sekali dan ia bergerak sambil mengerahkan Aji Belut Putih. Aji Belut Putih inilah yang membuat Dursasana tokoh pewayangan dari para senopati Kurawa, terkenal sekali karena kelincahannya.
Kedua orang pemimpin ponggawa yang menangkap tubuh kertapati itu tiba-tiba merasa betapa tubuh pemuda itu menjadi licin bagaikan belut dan sebelum mereka tahu bagaimana pemuda itu bergerak, orang yang mereka piting itu telah merosot ke bawah dan terlepas dari pegangan dan kempitan mereka! Kertapati taidak mau berhenti sampai di situ saja, kedua tangannya bergerak dan...
“Plal! plak!”
Telapak kedua tangannya telah menampar muka kedua orang itu sehingga membuat mereka merasa pedas mukanya dan mata mereka menjadi gelap yang membuat mereka terpaksa menutup kedua mata. Mereka lalu mengulur tangan ke depan dan menangkap sekenanya sehingga tanpa disadari mereka saling terkam dan saling piting!
“Aduh, aduh! kau mencekik leherku!” teriak si muka bopeng sambil terengah-engah dan sepuluh kuku jarinya mencengkeram kedepan.
“Aduh.…! Kumisku.…! jangan tarik-tarik kumisku...!" Teriak si kumis tebal karena si muka bopeng dalam kebingungannya dicekik lehernya itu telah mencengkeram ke depan dan membetot apa saja yang kena ditangkapnya!
Terdengar gelak tertawa dan kali ini yang tertawa adalah kawan-kawan Kertapati. Sebelum kedua orang kepala ponggawa itu insaf bahwa mereka telah saling jambak, tiba-tiba tangan Kertapati memegang dan mencengkeram rambut kepala yang berdekatan dan kedua kepala itu lalu dibenturkan satu kepala yang lain dengan kerasnya!
Biarpun hidung merupakan anggota muka yang lunak, akan tetapi kalau saling dibenturkan dengan kuat-kuat, akan terasa sekali sakitnya. Apalagi kalau yang membenturkannya Kertapati, maka setelah terdengar suara “blek!” yang bagi telinga kedua orang itu terdengar bagaikan letusan gunung Merapi, kedua orang itu setelah dilepas lalu roboh pingsan dengan hidung mengeluarkan darah!
Kini semua sisa ponggawa baru melihat dengan mata kepala sendiri kehebatan Kertapati, maka mereka berdiri dengan kaki mengigil, sedangkan Tumenggung Basirudin lalu berlari masuk ke dalam bilik perahu itu!
“Rampas semua senjata. Jangan menggangu mereka yang tak menyerang!” Dia sendiri dengan sigapnya lalu melompat ke dalam bilik, menyusul Tumenggung tadi. Di dalam kamar itu nampak Tumenggung Basirudin, isterinya, dan anaknya, yakni seorang gadis cantik yang ebrdiri denagn tegak dan membelalak kedua matanya tanpa memperlihatkan rsa takut sama sekali.
Inilah Dyah Winarti puteri Tumenggung Basirudin. Ia telah mendengar ribut-ribut tadi dan mendengar pula bahwa bajak laut Kertapati datang menyerbu, maka gadis yang tabah ini menghibur ibunya yang menangis ketakutan. Kini, melihat datangnya seorang pemuda baju hitam, gadis ini dengan heran berseru,
“Ah, dia ini yang mendapat tusuk konde Roro Santi dulu!”
“Sst, dialah Kertapati…“ bisik ayahnya yang berdiri menghadang di depan isterinya untuk melindungi mereka. Kemudian berkata kepada pemuda itu. “Kertapati, kau boleh ambil semua barang-barang kami, akan tetapi janganlah kau mengganggu anak isteriku!”
“Siapa yang hendak mengganggu?” kata Kertapati sambil tersenyum mengejek, akan tetapi tiba-tiba ia mendapatkan sebuah akal yang amat baik yang timbul dari seruan gadis itu. Gadis ini telah kenal kepada Roro Santi, dan selain itu, iapun memerlukan seorang yang dapat membawanya masuk ke Jepara pada saat penyerbuan kota itu. Maka ia lalu berkata, “Tumenggung Basirudin, aku tidak mau mengganggu anakmu, akan tetapi aku hendak meminjam sebentar.“
“Apa maksudmu?“
Kertapati tertawa. Tentu saja ia tidak dapat memberitahu apa maksudnya dengan gadis itu. “Tumenggung Basirudin, kami datang untuk mengambil barang-barang berharga di perahu ini, dan anakmu akan kami jadikan tawanan agar kami dapat pergi dengan aman. Jangan kuatir, aku yang tanggung bahwa puterimu takkan terganggu oleh siapapun juga!”
“Keparat, jangan ganggu anakku!” Tumenggung Basirudin berseru dan melangkah maju hendak menerjang. Akan tetapi sebuah dorongan tangan Kertapati membuat Tumenggung yang lemah itu jatuh tersungkur. Kemudian Kertapati hendak menendang tubuh itu, akan tetapi terdengar teriakan Winarti,
“Jangan pukul! Aku akan ikut padamu!”
Kertapati tersenyum lega ketika Tumenggung Basirudin hendak mencegah anaknya, Winarti berkata. “Rama, Kertapati bukanlah bajak laut sembarangan yang mau mengganggu wanita. Aku percaya kepadanya!”
Demikianlah setelah perahu iti dirampok habis, para bajak laut lalu turun dan kembali ke dalam perahu. Mereka tak perlu takut untuk diserang dari atas perahu besar, oleh karena kini mereka mempunyai seorang tawanan yang menjadi tanggungan atau penjaga keamanan!
Perahu-perahu kecil cat hitam itu lalu meluncur cepat, menghilang di dalam kegelapan malam mulai mendatang, membawa semua barang berharga dan juga Winarti yang duduk di dekat Kertapati tanpa takut-takut, bahkan menggunakan matanya untuk memandang kepada bajak laut muda itu dengan penuh kekaguman!
“Siapakah namamu, manis?“ tanya Kertapati kepada gadis itu tanpa memandang wajahnya.
“Diah Winarti,“ jawab gadis itu singkat.
“Tadi kau menyebut nama Roro Santi, kenalkah kau kepada gadis itu?“ Kini mata Kertapati menatapnya dengan tajam, dan heranlah pemuda itu melihat betapa sinar mata gadis itu memandangnya dengan halus dan mesra!
“Tentu saja kukenal dia, akan tetapi kalau boleh kunasihatkan, tiada gunanya kau memikirkan dia!”
“Apa maksudmu?“ Kertapati bertanya sambil mengerutkan kening.
“Maksudku… sia-sia saja kau jatuh cinta kepadanya dan…“
“Hai mengapa kau berani berkata selancang itu?“ Kertapati membentaknya. “Siapa bilang bahwa aku… mencinta…“
Winarti tersenyum memperlihatkan sebaris gigi yang kecil dan putih bersih. “Kaukira aku tidak melihatmu ketika kau hendak mengembalikan tusuk konde dulu itu? Aku duduk di dekat Roro Santi! Kau cinta kepadanya, hal ini mudah diterka, akan tetapi apakah kehendakmu itu akan tercapai, inlah soal yang sukar sekali! Pertama, Roro Santi adalah puteri Adipati Wiguna yang berpangkat tinggi, kedua gadis itu sekarang telah dipertunangkan denagn seorang Letnan Kompeni, ketiga, kau adalah seorang bajak laut yang dibenci. Maka kunasehatkan kau tadi bahwa tiada gunanya kau memikirkan dia!”
Ucapan ini benar-benar menikam ulu hati Kertapati, sungguhpun ia merasa heran mengapa ia merasa hatinya sakit mendengar ucapan seperti itu.
Winarti adalah seorang gadis yang berpemandangan tajam dan berperasaan halus, maka melihat kerut di kening Kertapati serta kemuraman yang menyelimuti sinar matanya, ia lalu berkata sengan suara menghibur. “Seorang tampan dan gagah seperti kau, msih muda pula, tak perlu merasa putus asa dan patah hati. Di dunia masih banyak puteri-puteri bangsawan yang cantik jelita!”
Kertapati mau-tak-mau tersenyum juga mendengar ucapan ini. Alangkah tabahnya gadis ini. Sebagai seorang tawanan yang berada di tangan bajak-bajak laut, bukannya merasa takut, bahkan kini menjadi penasihat dan pengiburnya dalam hal asmara. Keberanian gadis itu membuat Kertapati menjadi agak gembira, maka sengaja ia melayani percakapan itu dan berkata,
“Bukankah tadi aku bilang bahwa aku adalah seorang bajak laut yang dibenci? Puteri bagsawan mana yang sudi kepadaku?“
Kini jawaban Winarti yang disertai pandang mata lembut dan penuh perasaan, benar-benar membuat Kertapati terkejut. Gadis itu berkata. “Banyak terdapat puteri-puteri bangsawan cantik jelita yang lebih menyinta seorang bajak laut yang muda, rupawan dan gagah perkasa, daripada seorang teruna bagsawan atau pangeran yang bertubuh lemah, berpenyakitan, dan biasanya hanya mengumpulkan selir, sebanyaknya saja! Aku sendiri... akupun tidak suka dan benci sekali melihat pemuda bangsawan macam itu! Dan… bajak laut hanyalah merupakan nama saja, merupakan sebutan seperti halnya pakaian yang dipakai. Kalau pakaian itu ditinggalkan dibuang jauh-jauh di laut dan kemudian diganti dengan pakaian lain yang bersih, siapa yang akan tahu kalau Kertapati adalah bekas seorang bajak laut yang ditakuti? Dan aku kiranya aku akan dapat menolongmu dalam hal ini, yakni... kalau kau kehendaki…“
Tiba-tiba Kertapati tertawa bergelak. “Minggirkan perahu!” katanya kepada anak buahnya yang mendayung perahunya.
Para anak buahnya merasa heran mendengar perintah ini karena mereka masih jauh dari perkampungan yang hari ini akan dijadikan tempat persembunyian. Tapi mereka merasa girang melihat betapa Kertapati yang biasanya “Alim“ terhadap wanita itu, kini bahkan dengan tangan sendiri menculik seorang gadis. Dan melihat kecantikan puteri ini, diam-diam mereka mengharapkan agar kali ini Kertapati benar-benar akan memilih jodohnya!
Maka, bukan main kecewa dan keheranan mereka ketika melihat bahwa setelah perahu menempel di tepi pantai, Kertapati lalu menarik tangan gadis itu turun dari perahu dan berkata, “Nah, sampai di sini saja. Winarti! Dan tetang nasihatmu tadi akan kupikir-pikirkan baik-baik. Terima kasih!” Sambil tertawa Kertapati lalu melompat ke atas perahunya lagi dan menyuruh anak buahnya mendayung pergi.
“Kertapati...! Jangan tinggalkan aku seorang diri di sini... aku takut!” Winarti berteriak-teriak sambil memandang ke sekelilingnay yang sunyi dan gelap.
“Ha, ha, ha...! Kau tidak takut kepada bajak laut Kertapati, masa sekarang kau takut kepada malam gelap? Ha, ha, ha!” Terdengar suara ketawa Kertapati dan kawannya makin menjauh dan melenyap berbareng dengan lenyapnya bayangan perahu mereka.
Winarti menjadi binggung. Kembali ia memandang ke sekelilingnya yang gelap. Sinar bulan yang suram muram membuat pohon-pohon besar nampak bagaikan raksasa hitam tinggi besar dan angin laut yang tertiup membuat raksasa-raksasa itu bergerak-gerak seakan-akan handak menerkamnya. Winarti berlutut di atas pasir pantai dan menutupi kedua matanya dengan tangan, lalu menangis!
“Dengar, kawan-kawan. Kalian harap lekas membawa barang-barang ini ke tempat kawan-kawan kita yang lain. Adakan persiapan untuk penyerbuan kota jepara yang akan kulalukakn pada besok malam! Kerahkan semua kawan-kawan, bahkan tambahan bala bantuan dari kampung-kampung yang berdekatan. Kita harus memberi pukulan keras dan mendatangkan hasil yang besar kali ini agar cepat dapat kita kirimkan ke Mataram! Kalian boleh berkumpul di gerbang barat, menanti tanda yang akan kuberi dengan panah api.“
“Kau sendiri bagaiamana akan dapat masuk ke Jepara? Wajahmu telah dikenal dan setelah perahu Tumenggung Basirudin itu tiba di Jepara, tentu penjagaan akan diperkuat!” kata seorang kawannya.
“Mudah saja, aku sudah mempunyai “Kunci masuk“ yang merupakan seorang gadis cantik.“
Kawan-kawannya memandang heran, akan tetapi kemudian mereka dapat menduga, maka terdengar suara ketawa disana-sini. Kertapati lalu mengatur siasat penyerbuan itu dan memberi pesan kepada semua kawannya bagaimana harus menyerbu Jepara pada besok malam. Kemudian ia berkata.
“Jangan lupa, kawan-kawan, karena mungkin aku tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengulang pesanan ini. Kelima ahli panah kita, Harjo, Wiro Mangun, Dibyo dan Kartiko, harus menyerang rumah penginapan Dolleman untuk menarik pertahanan kota di tempat itu. Serang sambil berpencar, tipu mereka dengan panah-panah kembar, dan jangan lupa bawa karung-karung pasir untuk tempat berlindung mereka.“
Setelah memberi pesan dengan teliti sekali, ia lalu berpaling kepaad seorang anggota bajak yang sudah agak tua, bertanya, “Dirun, kau bawa perabot-perabotmu?“
“Ada, ada dalam saku bajuku,“ jawab orang itu.
“Nah, mari kau robah mukaku, jangan terlalu muda, juga jangan terlalu tua, cukup saja untuk menarik kepercayaan seorang gadis tanpa menimbulkan jijik. Ia duduk di atas pasir dan Dirun mulai “merobah“ muka kepala bajak muda itu dengan jari-jari yang amat cekatan. Pekerjaan ini dilakukan hanya dibawah penerangan beberapa batang obor yang mereka nyalakan.
* * * * *
Winarti masih duduk ditepi laut seorang diri, kadang-kadang menangis, kadang-kadang mengibur diri sambil menarik napas panjang. Tak lama lagi, hari akan terang kembali dan aku bisa mencari jalan pulang atau minta tolong kepada orang kampung yang kujumpai di jalan, demikian ia menghibur diri sendiri dan menekan rasa takutnya. Akan tetapi kalau ia teringat kepada Kertapati, tak terasa air matanya mengalir turun kembali.
Ia merasa amat kecewa, karena pemuda yang luar biasa, tampan dan gagah perkasa itu agaknya sama sekali tidak tertarik kepadanya. Yang menyakitkan perasaannya ialah bahwa pemuda itu tidak menaruh kasian kepadanya! Alangkah kejamnya, meninggalkan aku seorang diri di tempat seperti ini.
Ah, dia tidak berjantung, tidak berperasaan, tak kenal perikemanusiaan ! Winarti mengomel panjang-pendek di dalam hatinya dan mencoba untuk menanam rasa benci di dalam hatinya. Akan tetapi, diam-diam ia harus akui bahwa tak mungkin baginya untuk membenci pemuda itu. Ia kagumi kegagahannya, dan wajah itu… terutama matanya yang tajam tak mau hilang saja dari bayang-bayang lamunannya!
Ah, pikirnya sambil mengigit bibir, kalau dia berganti pakaian, berganti nama, dan menjadi… mantu ayahku, siapa yang akan menyangka bahwa ayahku, siapa yang akan meyangka bahwa dia adalah bajak laut Kertapati? Alangkah bahagianya bersuamikan seorang gagah perkasa… ah, akan tetapi ia sombong, sombong dan kejam! Aku benci padanya…. benci! Ia menangis lagi.
Tengah malam telah lewat dan keadaan makin sunyi membuat hati Winarti makin gelisah dan takut. Sebetulnya bukan tak ada orang sama sekali di sekitar tempat itu, karena semenjak tadi, di luar tahunya Winarti, ada sepasang mata yang tajam dan bersembunyi di balik bulu mata yang sudah keputih-putihan dan pelupuk mata yang agak sipit dan berkeriput.
Ini adalah mata seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang petani, baju biru panjang penuh tambalan, celana panjang samapi bawah lutut, jga penuh tambalan, rambutnya yang telah banyak uban itu tertutup oleh sehelai ikat hitam dan sarungnya diselempangkan pada pundak kirinya.
Kakek ini berdehem perlahan dan muncul dari tempat persembunyiannya. Winarti yang sedang menangis terkejut sekali hingga serentak ia bangun berdiri. Akan tetapi, ketika ia melihat seorang setengah tua berdiri tak jauh dari situ, ia menjadi setengah tua berdiri bertindak menghampiri ia berkata.
“Pak tua... kau tolonglah aku…“
Kakek itu melihat di bawah sinar bulan yang suram betapa seorang gadis cantik berlari kepadanya, maka ia segera membelalakkan matanya dan nampak terkejut sekali.
“Ya Jagat Dewa Batara...!” ia memuji. “Bagaimana di tempat seperti ini muncul seorang kuntilanak? Hai iblis! Pergilah dan jangan ganggu Pak Sumpil! Aku sudah tua dan takkan tertarik oleh kecantikanmu!” Sambil berkata demikian, kakek itu mengangkat kedua tangannya seakan-akan ia berdoa!
Sungguhpun ia tadi baru saja menangis, akan tetapi melihat kelakuan kakek itu, Winarti tertawa terkekeh-kekeh sehingga kakek itu makin ketakutan dan mundur dua langkah.
“Pak tua… atau Pak Sumpil kalau memang itu namamu. Aku bukan kuntilanak! Lihatlah, apakah punggungku bolong?“ Sambil berkata demikian, Winarti lalu memutar tubuhnya memperlihatkan punggungnya yang halus, bersih dan sama sekali tidak bolong.
“Bukan kuntilanak…? Maaf… kalau begitu, siapakah den ajeng ini? Mengapa seorang wanita muda seperti den ajeng berada di tempat ini pada saat seperti ini?“ Kakek itu menghampiri dengan membungkuk-nungkuk memberi hormat.
“Saya adalah puteri Tumenggung Basirudin di Jepara. Siapakah kau, pak? Apakah namamu Pak Sumpil?“
Kakek itu nampak tertegun mendengar bahwa puteri ini adalah anak seorang tumenggung, maka ia segera memberi hormat dan berkata. “Memang benar nama hamba Pak Sumpil, karena selain menjadi petani, hamba suka mencari dan mengumpulkan sumpil (keong kecil), maka hamba disebut Pak Sumpil. Mengapa den ajeng berada di tempat ini seorang diri?“
Dengan girang karena telah bertemu dengan seorang dusun, Winarti lalu menceritakan bahwa ia telah diculik oleh bajak laut Kertapati dan diturunkan di situ. “Maka, harap kau suka tolong aku, Pak Sumpil. Antarkan aku ke Jepara, ayah tentu akan memberi hadiah besar kepadamu!”
Pak Sumpil segera menyanggupi dan berkata, “Karena malam gelap. Lebih baik kita berangkat besok pagi-pagi, den ajeng. Kalau den ajeng suka, dan den ajeng boleh mengaso atau tidur, hamba yang menjaga.“
Akan tetapi Winarti tak dapat tidur, dan setelah Pak Sumpil membuat api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk, ia malah mengajak kakek itu bercakap-cakap.
“Telah lama hamba dan sekalian saudara-saudara di kampung mendengar nama bajak laut Kertapati. Bahkan belakangan ini orang-orang mengabarkan bahwa bajak laut itu hendak menikah dengan seorang puteri Jepara yang bernama Roro Santi! Betulkah berita ini, den ajeng?“
“Bohong! Bagaimana seorang bajak laut yang jahat bisa menikah denagn seorang puteri Adipati? Menggelikan! Andaikata Roro Santi sendiri setuju, tak mungkin ayahnya memberi ijin. Pula, Adipati Wiguna telah memberikan puterinya itu kepada letnan Kompeni, mereka sudah bertunangan!”
Kakek itu nampak kaget. “Apa?? Menikahkan puterinya dengan seorang Kompeni? Aneh benar!! Belum pernah hamba mendengar berita seaneh ini selama hamba hidup.“
“Ini kehendak Adipati Wiguna, siapa bisa menghalanginya?“
“Apakah den ajeng Roro Santi juga sudah setuju dinikahkan dengan seorang Belanda yang bermata biru dan berambut kuning?“
Winarti menggeleng kepalanya. “Jangankan kepada seorang letnan Kompeni, bahkan pada tunangannya yang dulupun, Roro Santi tidak pernah merasa suka. Padahal tunangannya yang dulu, Raden Suseno, adalah seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah!”
“Seorang gadis yang keras hati dan tak mudah jatuh cinta...“ Kakek itu berkata perlahan, “Diwaktu hamba masih muda dulu, pernah hamba bertemu dengan seorang gadis seperti itu.“
“Benarkah, Pak Sumpil? Tentu pengalamanmu banyak sekali tentang watak-watak wanita, bukan? Kau agaknya bukan seorang alim di waktu mudamu, pak!”
Kakek itu tertawa bergelak. “Ah, hamba hanyalah seorang dusun, dan wanita-wanita yang hamba kenalpun hanya perempuan-perempuan tani dan nelayan...“
Selanjutnya,