“MENURUT pendapatku, pak, seorang gadis seperti Roro Santi itu kalau sudah menjatuhkan hatinya kepada seseorang, akan dibelanya sapai mati!”
Setelah mendengar ucapan Winarti yang terakhir ini, kakek itu nampak tak ingin banyak bicara lagi dan Winarti yang kini tidak merasa takut lagi lalu menyandarkan tubuhnya pada batang pohon dan tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Winarti diantar oleh Pak Sumpil menuju ke Jepara. Akan tetapi, oleh karena perjalanan melalui hutan dan jalan yang amat sukar, sedangkan sebagai puteri bangsawan Winarti tak biasa berjalan jauh, maka perjalanan itu makan waktu sampai sehari! Gadis itu sama sekali tidak tahu bahwa kalau sekiranya mereka mengambil jalan langsung dan tidak berputar-putar dulu, tak sampai setengah hari mereka akan sampai di Jepara.
Menjelang senja mereka memasuki gerbang pintu Jepara dan para penjaga ketika melihat Winarti diantar pulang oleh seorang petani itu, menjadi girang sekali. Segera mereka memberitahukan hal ini kepada Tumenggung Basirudin yang segera datang menjemput puterinya. Winarti bertangis-tangisan dengan ayah-ibunya dan ketika kedua orang tuanya itu mendengar bahwa puteri mereka selamat dan tidak terganggu oleh bajak laut kertapati, mereka merasa bersukur sekali.
Winarti menuturkan jasa Pak Sumpil yang mengantarkan sampai ke kota Jepara, maka dengan berterima kasih sekali Tumenggung Basirudin lalu memberi hadiah uang dan pakaian. Pak Sumpil mengucapkan banyak terima kasih, kemudian ia diperkenankan untuk bermalam di situ, mendapat tempat di bagian para nelayan. Akan tetapi Pak Sumpil menyembah dan mengajukan permohonan.
“Gusti Tumenggung, banyak terima kasih hamba haturkan atas segala kurnia paduka kepada hamba yang sesungguhnya tidak melakukan sesuatu yang patut diberi jasa. Hamba adalah seorang dusun yang baru pertama kali semenjak puluhan tahun yang lalu melihat kota Jepara yang demikian indah. Oleh karena itu, karena besok pagi-pagi hamba harus kembali ke pondok hamba karena kuatir kalau-kalau anak cucu hamba mencari-cari, apabila diperkenankan, malam hari ini hamba tak hendak tidur. Hamba ingin menikmati keindahan kota Jepara dan berjalan-jalan di kota.“
Semua orang tertawa mendengar ini. “Tentu saja boleh, Pak Sumpil. Bahkan pintu samping akan kusuruh buka saja sehingga sewaktu-waktu kau datang, kau dapat terus masuk ke belakang,“ jawab Tumenggung Basirudin ramah.
Pak Sumpil lalu minta diri dan keluar dari gedung tumenggung. Dengan langkah perlahan dan memandang ke kanan kiri dengan penuh kekaguman, berjalan-jalan seorang diri di kota Jepara. Seorang penunggang kuda lewat cepat di dekatnya. Pak Sumpil menengok memberi isyarat dengan tangan kirinya. Penunggang kuda itu lewat terus seakan-akan tidak melihatnya, akan tetapi tak lama kemudian ia datang kembali dan melemparkan segulung kertas yang jatuh dekat kaki Pak Sumpil.
Kakek ini berhenti berjalan, mengeluarkan slepai tembakaunya. Ketika ia menyalakan sebatang rokok klobot, tiba-tiba slepainya terlepas dari tangan. Ia mengambilnya dan kertas gulungan itupun terbawa oleh jarinya. Lalu ia melanjutkan perjalanannya sambil tunduk membaca tulisan di kertas gulungan itu, yang hanya sebaris.
Kawan-kawan siap, gerbang selatan lemah. Kita serbu di sana.
“Bagus, Jiman!” Kertapati tersenyum, karena kakek atau Pak Sumpil itu sebenarnya memang Kertapati sendiri yang menyamar dan mempergunakan Winarti sebagai “perisai“ atau “Kunci masuk“ sehingga ia dapat memasuki Jepara tanpa banyak menimbulkan kecurigaan.
Jiman sendiri tadi tidak mengenalnya, demikian sempurna samaran yang dilakukan oleh Kertapati itu, akan tetapi ketika melihat tanda isarat yang diberikan oleh Kertapati, barulah Jiman mengenalnya. Pembantu ini memang semenjak tadi telah merasa gelisah karena tidak melihat Kertapati yang menurut kata kawan-kawan berada di dalam kota.
Setelah membaca surat itu yang lalu disobek-sobek dan dimasukkan ke saku bajunya untuk disebar di sepanjang jalan sedikit demi sedikit. Kertapati lalu melanjutkan perjalanannya dengan langkah perlahan dan lemah menuju ke selatan. Memang benar sebagaimana laporan Jiman, yang menjaga di gerbang ini hanya tiga orang penjaga. Pada saat Kertapati tiba di situ, Jiman telah mendahuluinya dan kini pembantunya itu nampak sedang bercakap-cakap dengan mereka. Jiman adalah seorang pembantu Letnan Dolleman yang banyak dikenal oleh para penjaga.
“He, pak tua!” Jiman menegur ketika Kertapati berjalan dekat pintu gerbang. “Kau hendak pergi ke mana?“
Sambil terbatuk-batuk seperti seorang kakek yang menderita penyakit mengguk, Kertapati berjalan terseok-seok menghampiri mereka, kemudian berkata. “Aku... adalah Pak Sumpil yang tadi mengantarkan pulang puteri Gusti Tumenggung. Waah, aku mendapat hadiah banyak sekali, coba lihat hadiah ini, alangkah indahnya...“ sambil berkata demikian ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menggenggam dengan kedua tangan.
Tiga orang penjaga menjadi tertarik hatinya dan karena hadiah yang dikeluarkan dari saku itu agaknya kecil sekali sehingga tidak nampak dari tempat mereka, mereka bertiga lalu melangkah maju untuk melihat benda di dalam kedua tangan kakek itu. Akan tetapi, alagkah kaget mereka ketika melihat bahwa kedua tangan itu kosong tak terisi apa-apa!
Selagi mereka hendak menegur, secepat kilat kedua lengan Pak Sumpil bergerak dan tahu-tahu leher dua orang penjaga telah dijepit dengan lengannya sedemikian kerasnya sehingga tak dapat mengeluarkan teriakan sama sekali. Pada saat itu juga, Jiman telah memukul kepala penjaga ketiga dengan gagang kerisnya sehingga penjaga itu roboh pingsan.
Setelah membuat ketiga orang penjaga itu tak berdaya dan menyeret tubuh mereka ke dalam semak-semak di dekat gardu, Kertapati dan Jiman lalu membuka pintu gerbang. Jiman lari ke kudanya dan mengambil busur dan anak panah. Tak lama kemudian, dari gerbang itu meluncurlah anak panah yang dipasangi api keluar dari pintu gerbang.
Mereka menanti sebentar dan tak lama kemudian berserabutanlah kawan-kawan mereka berlari datang dari balik-balik pohon. Tanpa banyak ribut karena memang telah diatur terlebih dahulu, mereka memecah rombongan menjadi beberapa bagian, mendatangi gedung-gedung besar yang telah menjadi bagian masing-masing.
Suasana sunyi senyap, akan tetapi tak lama kemudian, ributlah seluruh Jepara oleh bunyi kentungan yang dipukul bertalu-talu dan bersaut-sautan. Titir! Tanda ada perampok menyerang kota. Akan tetapi rumah manakah yang dirampok? Demikian banyaknya kentungan berbunyi pada saat yang sama! Para penjaga menjadi panik dan tiba-tiba terdengar tembakan-tembakan senjata api di gedung tempat para Kompeni bermalam!
Berlari-larilah para penjaga ke tempat itu dan hanya beberapa orang penjaga saja yang mendatangi rumah-rumah yang didatangi perampok, karena sebagaian besar berlari menuju ke arah datangnya suara senjata api. Mereka merasa lebih aman berlindung di belakang Kompeni yang bersenjata api!
Para penjaga dan Kompeni menjadi panik ketika rumah itu diserang dengan anak-anak panah yang meluncur itu, dapat diguga bahwa fihak penyerang sedikitnya tentu ada dua puluh orang. Kompeni yang berada di dalam rumah itu hanya ada dua belas orang, termasuk Dolleman yang memaki kalang kabut.
Letnan ini lalu memimpin kawan-kawannya untuk menembak ke arah penyerbu, akan tetapi para penyerbu itu selain berlindung di balik batang-batang pohon, juga ternyata membawa karung-karung pasir yang ditumpuk-tumpuk di dekat pohon itu!
“Setan jahanam!” seru Dolleman marah sekali. “Bagaimana mereka dapat masuk ke kota?“
Ketika mendengar bahwa mereka datang dari pintu selatan, Dolleman makin marah. Telah lama ia mencurigai Jiman dan malam hari ini adalah giliran Jiman untuk melakukan pengawasan terhadap para penjaga! Sementara itu, para anak buah bajak laut dengan mudah telah dapat memasuki gedung-gedung bagian mereka dan mengambil harta benda yang dapat mereka bawa.
Kertapati sendiri dengan dikawani oleh empat orang kawannya, menyerbu ke gedung Wiguna dan beberapa orang penjaga yang masih berada di situ dengan mudah saja dapat mereka bikin tak berdaya. Adipati Wiguna sekeluarga bersembunyi di dalam kamar mereka karena ketika Adipati Wiguna hendak ikut menghadapi perampok, ia dipegang oleh isterinya yang mencegahnya.
“Biarlah mereka membawa semua harta benda, apakah artinya itu bagi kita? Kalau kau sampai terkena bencana, bagaimanakah dengan kami?“ isterinya mencegah, juga Roro Santi mencegah ayahnya.
Kertapati setelah berhasil mengabil barang-barang berharga yang terbuat daripada emas, lalu memimpin kawan-kawannya untuk meninggalkan gedung itu, akan tetapi ia bertemu dengan seorang kawannya yang terluka pada pundaknya.
“Wiji! Kau terluka? Bagaimana kawan-kawan?“
“Celaka, Kertapati! Lima orang kawan kita yang menyerbu rumah Kompeni telah tertawan!”
Kagetlah Kertapati mendengar ini. Lima orang ahli panahnya tertawan. Dengan depat Wiji menuturkan bahwa kelima orang itu telah kena tipu oleh Dolleman. Ketika Jiman datang ke tempat itu, tiba-tiba ia ditodong oleh Dolleman dan dipaksa untuk mengambil jalan memutar, menghampiri lima orang ahli panah itu.
Mereka tidak mau memanah melihat Jiman, tidak tahunya di belakang Jiman ini terdapat Dolleman dan seorang lain yang memegang senjata api! Untuk menyerang Kompeni itu, tentu tubuh Jiman yang dijadikan perisai akan terkena, maka terpaksa di bawah todongan Dolleman dan kawannya, kelima orang ahli panah itu mengangkat tangan dan tertawan!
“Keparat!” seru Kertapati. “Beri tanda agar semua segera berlari keluar!” Setelah Wiji berlari pergi untuk menjalankan perintah ini. Kertapati sendiri lalu berlari masuk kembali ke gedung Adipati Wiguna!
Alangkah kagetnya hati Adipati Wiguna sekeluarga ketika tiba-tiba pintu kamar itu tertendang dari luar dan masuklah seorang pemuda baju hitam dengan keris di tangan!
“Kertapati!” terdengar Adipati Wiguna dan Roro Santi berseru hampir berbareng.
“Diam dan jangan bergerak!” Kertapati mengancam. “Kawan-kawanku tertawan, dan Roro Santi kujadikan tawananku untuk kelak ditukar!” Sebelum semua orang sadar, ia telah menubruk maju dan cepat sekali tubuh gadis itu telah berada dalan penodongannya.
Adipati Wiguna hendak menyerang, akan tetapi Kertapati membentak. “Kau tidak sayangi jiwa anakmu sendiri?“ Kerisnya diangkat dan ditempelkan ke arah dada Roro Santi, sehingga Adipati Wiguna melangkah mundur lagi denagn pucat. Kertapati lalu melompat dan menghilang ke dalam gelap, gadis itu meronta-ronta dalam pondongannya.
Geger dan ributlah kota Jepara dengan adanya serangan itu. Setelah para penyerang itu melarikan diri jauh barulah para penjaga itu mencari-cari dan memburu ke sana ke mari!
Setelah mendengar ucapan Winarti yang terakhir ini, kakek itu nampak tak ingin banyak bicara lagi dan Winarti yang kini tidak merasa takut lagi lalu menyandarkan tubuhnya pada batang pohon dan tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Winarti diantar oleh Pak Sumpil menuju ke Jepara. Akan tetapi, oleh karena perjalanan melalui hutan dan jalan yang amat sukar, sedangkan sebagai puteri bangsawan Winarti tak biasa berjalan jauh, maka perjalanan itu makan waktu sampai sehari! Gadis itu sama sekali tidak tahu bahwa kalau sekiranya mereka mengambil jalan langsung dan tidak berputar-putar dulu, tak sampai setengah hari mereka akan sampai di Jepara.
Menjelang senja mereka memasuki gerbang pintu Jepara dan para penjaga ketika melihat Winarti diantar pulang oleh seorang petani itu, menjadi girang sekali. Segera mereka memberitahukan hal ini kepada Tumenggung Basirudin yang segera datang menjemput puterinya. Winarti bertangis-tangisan dengan ayah-ibunya dan ketika kedua orang tuanya itu mendengar bahwa puteri mereka selamat dan tidak terganggu oleh bajak laut kertapati, mereka merasa bersukur sekali.
Winarti menuturkan jasa Pak Sumpil yang mengantarkan sampai ke kota Jepara, maka dengan berterima kasih sekali Tumenggung Basirudin lalu memberi hadiah uang dan pakaian. Pak Sumpil mengucapkan banyak terima kasih, kemudian ia diperkenankan untuk bermalam di situ, mendapat tempat di bagian para nelayan. Akan tetapi Pak Sumpil menyembah dan mengajukan permohonan.
“Gusti Tumenggung, banyak terima kasih hamba haturkan atas segala kurnia paduka kepada hamba yang sesungguhnya tidak melakukan sesuatu yang patut diberi jasa. Hamba adalah seorang dusun yang baru pertama kali semenjak puluhan tahun yang lalu melihat kota Jepara yang demikian indah. Oleh karena itu, karena besok pagi-pagi hamba harus kembali ke pondok hamba karena kuatir kalau-kalau anak cucu hamba mencari-cari, apabila diperkenankan, malam hari ini hamba tak hendak tidur. Hamba ingin menikmati keindahan kota Jepara dan berjalan-jalan di kota.“
Semua orang tertawa mendengar ini. “Tentu saja boleh, Pak Sumpil. Bahkan pintu samping akan kusuruh buka saja sehingga sewaktu-waktu kau datang, kau dapat terus masuk ke belakang,“ jawab Tumenggung Basirudin ramah.
Pak Sumpil lalu minta diri dan keluar dari gedung tumenggung. Dengan langkah perlahan dan memandang ke kanan kiri dengan penuh kekaguman, berjalan-jalan seorang diri di kota Jepara. Seorang penunggang kuda lewat cepat di dekatnya. Pak Sumpil menengok memberi isyarat dengan tangan kirinya. Penunggang kuda itu lewat terus seakan-akan tidak melihatnya, akan tetapi tak lama kemudian ia datang kembali dan melemparkan segulung kertas yang jatuh dekat kaki Pak Sumpil.
Kakek ini berhenti berjalan, mengeluarkan slepai tembakaunya. Ketika ia menyalakan sebatang rokok klobot, tiba-tiba slepainya terlepas dari tangan. Ia mengambilnya dan kertas gulungan itupun terbawa oleh jarinya. Lalu ia melanjutkan perjalanannya sambil tunduk membaca tulisan di kertas gulungan itu, yang hanya sebaris.
Kawan-kawan siap, gerbang selatan lemah. Kita serbu di sana.
“Bagus, Jiman!” Kertapati tersenyum, karena kakek atau Pak Sumpil itu sebenarnya memang Kertapati sendiri yang menyamar dan mempergunakan Winarti sebagai “perisai“ atau “Kunci masuk“ sehingga ia dapat memasuki Jepara tanpa banyak menimbulkan kecurigaan.
Jiman sendiri tadi tidak mengenalnya, demikian sempurna samaran yang dilakukan oleh Kertapati itu, akan tetapi ketika melihat tanda isarat yang diberikan oleh Kertapati, barulah Jiman mengenalnya. Pembantu ini memang semenjak tadi telah merasa gelisah karena tidak melihat Kertapati yang menurut kata kawan-kawan berada di dalam kota.
Setelah membaca surat itu yang lalu disobek-sobek dan dimasukkan ke saku bajunya untuk disebar di sepanjang jalan sedikit demi sedikit. Kertapati lalu melanjutkan perjalanannya dengan langkah perlahan dan lemah menuju ke selatan. Memang benar sebagaimana laporan Jiman, yang menjaga di gerbang ini hanya tiga orang penjaga. Pada saat Kertapati tiba di situ, Jiman telah mendahuluinya dan kini pembantunya itu nampak sedang bercakap-cakap dengan mereka. Jiman adalah seorang pembantu Letnan Dolleman yang banyak dikenal oleh para penjaga.
“He, pak tua!” Jiman menegur ketika Kertapati berjalan dekat pintu gerbang. “Kau hendak pergi ke mana?“
Sambil terbatuk-batuk seperti seorang kakek yang menderita penyakit mengguk, Kertapati berjalan terseok-seok menghampiri mereka, kemudian berkata. “Aku... adalah Pak Sumpil yang tadi mengantarkan pulang puteri Gusti Tumenggung. Waah, aku mendapat hadiah banyak sekali, coba lihat hadiah ini, alangkah indahnya...“ sambil berkata demikian ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menggenggam dengan kedua tangan.
Tiga orang penjaga menjadi tertarik hatinya dan karena hadiah yang dikeluarkan dari saku itu agaknya kecil sekali sehingga tidak nampak dari tempat mereka, mereka bertiga lalu melangkah maju untuk melihat benda di dalam kedua tangan kakek itu. Akan tetapi, alagkah kaget mereka ketika melihat bahwa kedua tangan itu kosong tak terisi apa-apa!
Selagi mereka hendak menegur, secepat kilat kedua lengan Pak Sumpil bergerak dan tahu-tahu leher dua orang penjaga telah dijepit dengan lengannya sedemikian kerasnya sehingga tak dapat mengeluarkan teriakan sama sekali. Pada saat itu juga, Jiman telah memukul kepala penjaga ketiga dengan gagang kerisnya sehingga penjaga itu roboh pingsan.
Setelah membuat ketiga orang penjaga itu tak berdaya dan menyeret tubuh mereka ke dalam semak-semak di dekat gardu, Kertapati dan Jiman lalu membuka pintu gerbang. Jiman lari ke kudanya dan mengambil busur dan anak panah. Tak lama kemudian, dari gerbang itu meluncurlah anak panah yang dipasangi api keluar dari pintu gerbang.
Mereka menanti sebentar dan tak lama kemudian berserabutanlah kawan-kawan mereka berlari datang dari balik-balik pohon. Tanpa banyak ribut karena memang telah diatur terlebih dahulu, mereka memecah rombongan menjadi beberapa bagian, mendatangi gedung-gedung besar yang telah menjadi bagian masing-masing.
Suasana sunyi senyap, akan tetapi tak lama kemudian, ributlah seluruh Jepara oleh bunyi kentungan yang dipukul bertalu-talu dan bersaut-sautan. Titir! Tanda ada perampok menyerang kota. Akan tetapi rumah manakah yang dirampok? Demikian banyaknya kentungan berbunyi pada saat yang sama! Para penjaga menjadi panik dan tiba-tiba terdengar tembakan-tembakan senjata api di gedung tempat para Kompeni bermalam!
Berlari-larilah para penjaga ke tempat itu dan hanya beberapa orang penjaga saja yang mendatangi rumah-rumah yang didatangi perampok, karena sebagaian besar berlari menuju ke arah datangnya suara senjata api. Mereka merasa lebih aman berlindung di belakang Kompeni yang bersenjata api!
Para penjaga dan Kompeni menjadi panik ketika rumah itu diserang dengan anak-anak panah yang meluncur itu, dapat diguga bahwa fihak penyerang sedikitnya tentu ada dua puluh orang. Kompeni yang berada di dalam rumah itu hanya ada dua belas orang, termasuk Dolleman yang memaki kalang kabut.
Letnan ini lalu memimpin kawan-kawannya untuk menembak ke arah penyerbu, akan tetapi para penyerbu itu selain berlindung di balik batang-batang pohon, juga ternyata membawa karung-karung pasir yang ditumpuk-tumpuk di dekat pohon itu!
“Setan jahanam!” seru Dolleman marah sekali. “Bagaimana mereka dapat masuk ke kota?“
Ketika mendengar bahwa mereka datang dari pintu selatan, Dolleman makin marah. Telah lama ia mencurigai Jiman dan malam hari ini adalah giliran Jiman untuk melakukan pengawasan terhadap para penjaga! Sementara itu, para anak buah bajak laut dengan mudah telah dapat memasuki gedung-gedung bagian mereka dan mengambil harta benda yang dapat mereka bawa.
Kertapati sendiri dengan dikawani oleh empat orang kawannya, menyerbu ke gedung Wiguna dan beberapa orang penjaga yang masih berada di situ dengan mudah saja dapat mereka bikin tak berdaya. Adipati Wiguna sekeluarga bersembunyi di dalam kamar mereka karena ketika Adipati Wiguna hendak ikut menghadapi perampok, ia dipegang oleh isterinya yang mencegahnya.
“Biarlah mereka membawa semua harta benda, apakah artinya itu bagi kita? Kalau kau sampai terkena bencana, bagaimanakah dengan kami?“ isterinya mencegah, juga Roro Santi mencegah ayahnya.
Kertapati setelah berhasil mengabil barang-barang berharga yang terbuat daripada emas, lalu memimpin kawan-kawannya untuk meninggalkan gedung itu, akan tetapi ia bertemu dengan seorang kawannya yang terluka pada pundaknya.
“Wiji! Kau terluka? Bagaimana kawan-kawan?“
“Celaka, Kertapati! Lima orang kawan kita yang menyerbu rumah Kompeni telah tertawan!”
Kagetlah Kertapati mendengar ini. Lima orang ahli panahnya tertawan. Dengan depat Wiji menuturkan bahwa kelima orang itu telah kena tipu oleh Dolleman. Ketika Jiman datang ke tempat itu, tiba-tiba ia ditodong oleh Dolleman dan dipaksa untuk mengambil jalan memutar, menghampiri lima orang ahli panah itu.
Mereka tidak mau memanah melihat Jiman, tidak tahunya di belakang Jiman ini terdapat Dolleman dan seorang lain yang memegang senjata api! Untuk menyerang Kompeni itu, tentu tubuh Jiman yang dijadikan perisai akan terkena, maka terpaksa di bawah todongan Dolleman dan kawannya, kelima orang ahli panah itu mengangkat tangan dan tertawan!
“Keparat!” seru Kertapati. “Beri tanda agar semua segera berlari keluar!” Setelah Wiji berlari pergi untuk menjalankan perintah ini. Kertapati sendiri lalu berlari masuk kembali ke gedung Adipati Wiguna!
Alangkah kagetnya hati Adipati Wiguna sekeluarga ketika tiba-tiba pintu kamar itu tertendang dari luar dan masuklah seorang pemuda baju hitam dengan keris di tangan!
“Kertapati!” terdengar Adipati Wiguna dan Roro Santi berseru hampir berbareng.
“Diam dan jangan bergerak!” Kertapati mengancam. “Kawan-kawanku tertawan, dan Roro Santi kujadikan tawananku untuk kelak ditukar!” Sebelum semua orang sadar, ia telah menubruk maju dan cepat sekali tubuh gadis itu telah berada dalan penodongannya.
Adipati Wiguna hendak menyerang, akan tetapi Kertapati membentak. “Kau tidak sayangi jiwa anakmu sendiri?“ Kerisnya diangkat dan ditempelkan ke arah dada Roro Santi, sehingga Adipati Wiguna melangkah mundur lagi denagn pucat. Kertapati lalu melompat dan menghilang ke dalam gelap, gadis itu meronta-ronta dalam pondongannya.
Geger dan ributlah kota Jepara dengan adanya serangan itu. Setelah para penyerang itu melarikan diri jauh barulah para penjaga itu mencari-cari dan memburu ke sana ke mari!
Ketika Kertapati berkumpul dengan anak buahnya, ternyata bahwa dua orang kawan mereka tewas, tiga dengan Jiman yang ditembak mati oleh Dolleman, empat orang luka-luka dan lima orang ahli panah tertawan! Akan tetapi hasil rampasan mereka amat banyak dan mereka membayangkan betapa akan gembiranya Trunajaya menerima bantuan ini!
“Kau… pemuda yang berahlak rendah! Kau ksatria yang sesat dan membikin malu nama keluargamu sendiri!”
* * * * *
“Kau… pemuda yang berahlak rendah! Kau ksatria yang sesat dan membikin malu nama keluargamu sendiri!”
Di dalam gubuk tempat ia ditahan, Roro Santi berdiri dan menudingkan jari telunjuknya ke arah muka Kertapati yang telah meninggalkan samarannya, Wajah gadis itu merah dan matanya bersinar-sinar, memandang dengan penuh kemarahan.
Kertapati duduk di atas sebuah bangku, menatap wajah Roro Santi dengan penuh kekaguman, Alangkah indahnya mata itu kalau sedang marah, memancarkan cahaya berapi-api. Alis yang kecil panjang menghitam itu lebih manis lagi ketika dikerutkan. Bagaikan terpesona Kertapati menatap bibir yang bergerak-gerak, mencela dan memakinya itu.
“Sudah cukupkah? Atau masih ada lagi? Kalau masih ada, teruskan, nanti datang giliranku!” jawabnya sambil tersenyum.
Roro Santi merasa agak binggung melihat senyum itu. Senyum itu nampak demikian manis dan manarik hatinya sehingga diam-diam ia merasa kemarahannya memuncak. “Kau pemuda tidak tahu malu. Orang gagah perkasa yang rendah budi membikin malu bangsa sendiri! Kau menbajak, merampok, bahkan berani menculik puteri-puteri bangsawan! Pekerjaan apakah yang lebih rendah daripada semua kejahatan yang kaulakukan itu?“
Kertapati mendengarkan sambil tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Kau menculik Winarti dan menghinanya! Sekarang kau tidak hanya merampok penduduk Jepara termasuk ayahku, akan tetapi juga berani menculik aku! Kau mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kami, sekarang aku sudah kau tawan, mau bunuh lekas bunuhlah!” Sambil mengangkat dadanya Roro Santi memandang dengan menantang, akan tetapi dari dua matanya melompat keluar dua titik air mata!
“Sudah cukupkah?” kata Kertapati dengan suara halus dan tenang. "Sekarang giliranku. Kau tadi bertanya apakah ada kejahatan yang lebih rendah daripada perbuatanku? Banyak! Perbuatan orang tuamu, perbuatan para bangsawan di Jepara, bahkan perbuatanmu sendiri jauh lebih rendah!”
“Apa katamu? Perbuatanku yang mana yang kau anggap rendah?“
“Sebagai seorang puteri bangsawan, seorang umat Islam pula, kau telah menyediakan dirimu untuk menjadi jodoh seorang kafir, seorang Belanda yang banyak mendatangkan malapetaka bagi bangsa kita sendiri!”
“Keparat! Jangan sembarangan membuka mulut! Siapa sudi menjadi jodohnya? Aku… aku tidak sudi!”
“Akan tetepai kau tidak melawan kehendak ayahmu. Pertunaganmu dengan Dolleman bukan rahasia lagi!”
“Aku… aku terpaksa, harus tunduk kepada ayahku, dan dan hal ini sama sekali bukan urusanmu, kau perduli apa?“ Kembali dara itu memandang marah dengan mata menantang.
“Tentu saja aku perduli! Orang lain yang manapun kalau hendak dijodohkan dengan mata-mata Kompeni musuh kita itu, tentu membuat hatiku tak seneng. Apalagi… kau...!”
“Kalau aku mengapa!”
“Kau… kau… aku harus melarang hal ini terjadi, biarpun akan kuhalangi dengan nyawaku. Aku tidak rela kau menjadi jodoh keparat Kompeni itu atau… jodoh siapa saja!!”
“Kau gila! Ada hak apakah kau atas diriku maka kau berani berkata demikian?“
“Hal yang timbul karena perasaan kita, perasaanku dan perasaanmu. Santi, ikatan hati kita tak akan putus sedemikian mudahnya!”
Roro Santi memandang denagn mata terbelalak. “Apa maksudmu...?”
Kini wajah Kertapati nampak bersungguh-sungguh. Lenyaplah senyum mengejek tadi dari bibirnya dan matanya yang tadi berseri jenaka kini berubah sayu dan pandang matanya mesra ditujukan ke arah wajah gadis itu. “Santi, semenjak kau memberi tusuk konde itu… kita saling mencintai. Kau tahu akan hal ini sama baiknya dengan aku, dan jangan kau menipu hatimu sendiri!”
“Tidak…! Bohong… Tak mungkin aku menynita seorang bajak, seorang perampok, lebih-lebih… seorang penghianat yang mencelakakan bangsa sendiri!”
“Diam!” Kertapati membentak marah dan melompat lalu memegang kedua pundak Roro Santi. “Dengarlah, gadis…! Kau boleh menyebut aku apa saja akan tetapi jangan sekali-kali menyebutku penghianat. Aku tidak mau! Apalagi kalau keluar dari mulutmu dan mulut orang-orang yang bersekutu dengan Belanda! Kau mau dipertunangkan dengan Kompeni, ayahmu bersetia kepada Sunan yang untuk mempertahankan gelar dan singgasana, rela membuat kita diperbudak oleh orang-orang kafir Apakah orang-orang macam kalian itu patut menyebutku seorang penghianat?“
Sambil berkata demikian, dalam kemarahannya Kertapati mengguncang-ngguncang kedua pundak Roro Santi yang tak berdaya dalam pegangan sepasang tangan yang kuat itu sehingga gadis ini mulai menangis!
Melihat air mata yang membanjir keluar dari kedua mata Roro Santi, lemaslah tubuh Kertapati dan kekerasan hatinya hancur luluh sama sekali. Tanpa disadarinya, tangannya masih memegang pundak gadis itu, menarik tubuh itu ke dadanya dan sesaat kemudian ia mendekap kepala dan dada orang yang dikasihinya itu ke dada!
Kertapati duduk di atas sebuah bangku, menatap wajah Roro Santi dengan penuh kekaguman, Alangkah indahnya mata itu kalau sedang marah, memancarkan cahaya berapi-api. Alis yang kecil panjang menghitam itu lebih manis lagi ketika dikerutkan. Bagaikan terpesona Kertapati menatap bibir yang bergerak-gerak, mencela dan memakinya itu.
“Sudah cukupkah? Atau masih ada lagi? Kalau masih ada, teruskan, nanti datang giliranku!” jawabnya sambil tersenyum.
Roro Santi merasa agak binggung melihat senyum itu. Senyum itu nampak demikian manis dan manarik hatinya sehingga diam-diam ia merasa kemarahannya memuncak. “Kau pemuda tidak tahu malu. Orang gagah perkasa yang rendah budi membikin malu bangsa sendiri! Kau menbajak, merampok, bahkan berani menculik puteri-puteri bangsawan! Pekerjaan apakah yang lebih rendah daripada semua kejahatan yang kaulakukan itu?“
Kertapati mendengarkan sambil tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Kau menculik Winarti dan menghinanya! Sekarang kau tidak hanya merampok penduduk Jepara termasuk ayahku, akan tetapi juga berani menculik aku! Kau mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kami, sekarang aku sudah kau tawan, mau bunuh lekas bunuhlah!” Sambil mengangkat dadanya Roro Santi memandang dengan menantang, akan tetapi dari dua matanya melompat keluar dua titik air mata!
“Sudah cukupkah?” kata Kertapati dengan suara halus dan tenang. "Sekarang giliranku. Kau tadi bertanya apakah ada kejahatan yang lebih rendah daripada perbuatanku? Banyak! Perbuatan orang tuamu, perbuatan para bangsawan di Jepara, bahkan perbuatanmu sendiri jauh lebih rendah!”
“Apa katamu? Perbuatanku yang mana yang kau anggap rendah?“
“Sebagai seorang puteri bangsawan, seorang umat Islam pula, kau telah menyediakan dirimu untuk menjadi jodoh seorang kafir, seorang Belanda yang banyak mendatangkan malapetaka bagi bangsa kita sendiri!”
“Keparat! Jangan sembarangan membuka mulut! Siapa sudi menjadi jodohnya? Aku… aku tidak sudi!”
“Akan tetepai kau tidak melawan kehendak ayahmu. Pertunaganmu dengan Dolleman bukan rahasia lagi!”
“Aku… aku terpaksa, harus tunduk kepada ayahku, dan dan hal ini sama sekali bukan urusanmu, kau perduli apa?“ Kembali dara itu memandang marah dengan mata menantang.
“Tentu saja aku perduli! Orang lain yang manapun kalau hendak dijodohkan dengan mata-mata Kompeni musuh kita itu, tentu membuat hatiku tak seneng. Apalagi… kau...!”
“Kalau aku mengapa!”
“Kau… kau… aku harus melarang hal ini terjadi, biarpun akan kuhalangi dengan nyawaku. Aku tidak rela kau menjadi jodoh keparat Kompeni itu atau… jodoh siapa saja!!”
“Kau gila! Ada hak apakah kau atas diriku maka kau berani berkata demikian?“
“Hal yang timbul karena perasaan kita, perasaanku dan perasaanmu. Santi, ikatan hati kita tak akan putus sedemikian mudahnya!”
Roro Santi memandang denagn mata terbelalak. “Apa maksudmu...?”
Kini wajah Kertapati nampak bersungguh-sungguh. Lenyaplah senyum mengejek tadi dari bibirnya dan matanya yang tadi berseri jenaka kini berubah sayu dan pandang matanya mesra ditujukan ke arah wajah gadis itu. “Santi, semenjak kau memberi tusuk konde itu… kita saling mencintai. Kau tahu akan hal ini sama baiknya dengan aku, dan jangan kau menipu hatimu sendiri!”
“Tidak…! Bohong… Tak mungkin aku menynita seorang bajak, seorang perampok, lebih-lebih… seorang penghianat yang mencelakakan bangsa sendiri!”
“Diam!” Kertapati membentak marah dan melompat lalu memegang kedua pundak Roro Santi. “Dengarlah, gadis…! Kau boleh menyebut aku apa saja akan tetapi jangan sekali-kali menyebutku penghianat. Aku tidak mau! Apalagi kalau keluar dari mulutmu dan mulut orang-orang yang bersekutu dengan Belanda! Kau mau dipertunangkan dengan Kompeni, ayahmu bersetia kepada Sunan yang untuk mempertahankan gelar dan singgasana, rela membuat kita diperbudak oleh orang-orang kafir Apakah orang-orang macam kalian itu patut menyebutku seorang penghianat?“
Sambil berkata demikian, dalam kemarahannya Kertapati mengguncang-ngguncang kedua pundak Roro Santi yang tak berdaya dalam pegangan sepasang tangan yang kuat itu sehingga gadis ini mulai menangis!
Melihat air mata yang membanjir keluar dari kedua mata Roro Santi, lemaslah tubuh Kertapati dan kekerasan hatinya hancur luluh sama sekali. Tanpa disadarinya, tangannya masih memegang pundak gadis itu, menarik tubuh itu ke dadanya dan sesaat kemudian ia mendekap kepala dan dada orang yang dikasihinya itu ke dada!
Bagaikan terkena pesona dan hilang ingatan, untuk beberapa lamanya Roro Danti menangis sambil menyandar keningnya pada dada yang bidang dan kuat itu. Hal ini mendatangkan rasa damai dan tentram kepadanya.
“Kalau saja… kau bukan bajak laut Kertapati… dan aku…. Aku bukan Roro Santi puteri seorang Adipati…“ bisiknya perlahan.
Kertapati tidak menjawab, hanya mempererat dekapananya. Akan tetapi, tiba-tiba Roro Santi merenggutkan tubuhnya dari pelukan itu dan berkata dengan wajah pucat,
“Kalau saja… kau bukan bajak laut Kertapati… dan aku…. Aku bukan Roro Santi puteri seorang Adipati…“ bisiknya perlahan.
Kertapati tidak menjawab, hanya mempererat dekapananya. Akan tetapi, tiba-tiba Roro Santi merenggutkan tubuhnya dari pelukan itu dan berkata dengan wajah pucat,
“Tidak... tidak...! Ini tidak mungkin! Kertapati kau dengarlah baik-baik karena kurasa kau mesih mempunyai cukup kebijaksanaan untuk menimbang dengan adil. Jangan kau kira bahwa aku demikian gila dan suka kepada Kompeni juga mendengar percakapan-percakapan antara ayah dan ibu, mereka juga tidak suka kepada Kompeni! Akan tetapi, ayah adalah seorang ponggawa kerajaan yang harus setia kepada junjungan. Dan aku… aku adalah puteri tunggal dari orang tuaku, maka aku betapapun juga harus berbakti dan tunduk. Aku tahu bahwa ayah dan ibu tidak begitu gila untuk mempertunangkan aku dengan Kompeni itu apabila tidak ada hal yang amat memaksa mereka. Dan kalau menolak pasti ayah akan mendapat bencana! Sebagai seorang anak yang berbakti, tentu saja aku harus membela orang tuaku, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa!”
“Lebih baik berkorban nyawa daripada mengurbankan kesucianmu sebagai gadis bangsawan yang beribadat kepada seorang Kompeni!” kata Kertapati gemas.
“Apa kau kira aku akan tunduk begitu saja, Kertapati? Aku tunduk hanya untuk membela orang tuaku, akan tetapi, Dolleman hanya akan dapat menjamah mayatku!” Sambil berkata demikian Roro Santi berdiri tegak dengan kepala dikedikan. Wajahnya ang masih basah air mata itu nampak pucat, akan tetapi membayangkan kegagahan dan ketabahan hati.
“Santi, alangkah gagahnya kau! Hatiku tidak rela melepasmu untuk menjadi korban keganasan Kompeni dan ketamakan ayahmu! Jangan kau pergi meninggalkan aku, Santi!”
“Akan tetapi ayahku...“
“Ayamu membela pihak yang sesat, jangan dipikirkan lagi!”
Roro Santi memandang marah. “Kertapati! Tentu saja kau tidak mengerti tentang cintakasih antara orang tua dan anak, tidak kenal akan rasa bakti terhadap orang tua di dalam hati anak! Agaknya kau… kau tak pernah berbakti kepada orang tuamu! Oleh karena itu agaknya maka kau tersesat dan menjadi seorang bajak, seorang perampok!”
Tiba-tiba pucatlah wajah Kertapati. Bibirnya gemetar, ternyata bahwa ia sedang menderita pukulan batin dan menahan keperihan hati yang hebat mendengar ucapan itu. Kemudian katanya perlahan, “Santi, ayah, ibu, semua saudaraku telah tewas karena peluru senapan Kompeni di banten. Kebaktian apalagi yang dapat kulakukan selain memusuhi Kompeni dan kaki tangan serta sekutunya?“
“Oh… maafkan aku, Kertapati,” kata Roro Santi dengan suara perlahan dan terharu, dan kini pandangannya terhadap pemuda itu sama sekali berobah.
“Jangan kau kira bahwa semua hasil rampokan dan rampasan yang kulakukan bersama anak buahku itu kami pakai untuk kepentingan sendiri. Tidak! Semua harta benda yang kami dapatkan, kami kirim untuk mambantu pemberontakkan-pemberontakan para pemimpin rakyat terhadap Kompeni. Maka, janganlah kau memandang terlampau rendah dan hina kepadaku, Santi...“ Suara Kertapati bukan bersifat menyombong, bahkan terdengar sebagai seorang terdakwa yang membela diri dan minta dikasihani.
“Kertapati…. Kertapati…” kata Roro Santi perlahan sambil memandang dengan air mata berlinang. “Sekarang aku merasa menyesal mengapa aku dilahirkan sebagai seorang puteri bangsawan, Aku ingin menjadi seorang gadis dusun agar dapat membantumu...!”
“Santi...!” Kertapati melangkah maju dan kembali memeluk dara itu yang kini telah menyerahkan hatiku bulat-bulat terhdap pemuda yang memang semenjak pertemuan pertama kali telah menarik hatinya itu. Pada saat itu, dari luar pintu rumah terdengar panggilan,
“Kertapati!”
Sepasang teruna remaja itu cepat-cepat memisahkan diri dan melepaskan pelukan.
“Masuklah, Karim...!” kata Kertapati yang mengenali suara kawannya itu.
Seorang pemuda bertubuh kecil masuk dan matanya mengerling ke arah Roro Santi yang memandangnya dengan tenang. Kalau Karim memiliki mata tajam, tentu ia akan melihat betapa mata gadis itu berbeda sekali dengan kemarin nampak sedih dan amarah, kini nampak berseri-seri dan seakan-akan cahaya baru timbul dari manik matanya!
“Kompeni mengumumkan bahwa kelima orang kawan kita yang tertawan, akan dibebaskan apabila kita megembalikan puteri Adipati ini. Kompeni mengajak bertukar tawanan, satu lawan lima!”
“Baik...“ Kertapati mengangguk. “Siapkan kudaku!”
Karim keluar lagi dengan muka girang karena kawan-kawannya yang tertawan akan dibebaskan kembali. Setelah Karim pergi. Kertapati duduk dengan muka muram dan kening dikerutkan, sikap yang belum pernah nampak pada diri anak muda ini sebelum Roro Santi masuk ke lubuk hatinya! Pemuda ini biasanya berani, tabah, gembira dan tak pernah menyusahkan sesuatu, akan tetapi sekarang, baru saja ia bertukar kasih dengan Roro Santi, ia sudah menderita kekawatiran, kesedihan dan kebingungan karena perpisahan dari kekasihnya ini.
Dalam hal ini, ada betulnya juga kata setengah orang bahwa penderitaan laki-laki datang dari wanita! Akan tetapi, tak dapat disangkal pula bahwa segala kebahagiaan laki-laki timbul dari wanita pula!
Roro Santi maklum akan jalan pikiran Kertapati, maka ia lalu mendekat dan menaruhkan tangannya ke atas pundak kepala bajak yang duduk di atas bangku itu. “Kertapati, kedudukan dan kebaktian kita merupakan jurang yang lebar dan dalam yang memisahkan kita. Akan tetapi, jangan kau gelisah. Sebagaimana yang telah kau katakan tadi, orang macam Dolleman atau laki-laki yang manapun juga, hanya akan dapat menjamah tubuhku yang sudah menjadi mayat.”
Kertapati berdiri dan memegang tangan gadis itu. Sepuluh jari tangan mereka saling genggam erat-erat merupakan sumpah atau janji bisu yang tak terdengar oleh telinga akan tetapi telah mengukir di dalam hati masing-masing.
“Santi, kau memberi kekuatan kepadaku untuk melanjutkan tugasku, bahkau kau menjadi penambah semangat bagiku! Karena aku tahu bahwa sungguhpun kau berdiri di seberang sana, akan tetapi hatimu berada di dekatku selalu. Jangan kuatir, kekasihku, siapapun orangnya yang berani mengganggumu, akan berhadapan dengan Kertapati, dan akan merasakan pembalasan tangan Kertapati! Kita pasti akan, bertemu kembali Santi!”
Sambil menekan tangan pemuda itu Roro Santi berkata dengan air mata berlinang. “Pasti Kertapati, akupun yakin akan hal ini!”
Kuda telah dipersiapkan dan Kertapati berkata kepada kawan-kawannya yang berada di depan rumah itu. “Kawan-kawan, aku sendiri akan mengantarkan puteri ini kembali ke Jepara, untuk ditukar dengan lima orang kawan-kawan kita!”
“Akan tetapi, baagaimana kalau ini merupakan suatu perangkap untukmu, Kertapati?” kata seorang kawannya.
Pemuda itu tersenyum. “Mereka takkan mencelakakan puteri ini, dan kalian tahu bahwa aku tak begitu bodoh untuk mudah saja masuk dalam perangkap seperti seekor tikus!” Dengan sigapnya, ia lalu membantu Roro Santi naik ke atas kudanya yang berbulu dawuk (kelabu) kemudian ia melompat di belakang gadis itu dan membalapkan kudanya yang berlari congklang.
“Alangkah senengnya hidupku apabila setiap hari aku dapat bersama kau menunggang kuda seperti sekarang ini!” kata Kertapati sambil menghela napas.
Mendengar ucapan ini, Roro Santi juga menarik napas panjang. Setelah tiba di luar pintu gerbang, Kertapati menahan kudanya. “Hati-hati Kertapati, aku kuatir kalau-kalau Kompeni akan menipumu,” berkata Roro Santi dengan tubuh gemetar.
Akan tetapi pada saat itu, dari pintu gerbang muncul sepasukan penjaga dan beberapa orang serdadu yang dikepalai oleh Dolleman sendiri. Mereka mengiringkan lima orang kawan-kawan Kertapati yang dibelenggu dengan rantai panjang pada lengan mereka.
“Kertapati!” Dolleman berseru dari jauh. “Kau lepaskan tunanganku dan aku akan membebaskan lima orang kawan-kawanmu!”
Bukan main mendongkolnya hati Kertapati mendengar Dolleman menyebut Roro Santi sebagai tunangannya. Akan tetapi ia menahan marahnya dan tertawa menghina.
“Siapakah yang sudi mempercayai omongan palsu yang keluar dari mulut Kompeni? Kau kira aku tidak tahu bahwa begitu puteri ini tiba ditempatmu, kau dan kaki tanganmu akan menembak kami berenam? Ha, mukamu menjadi makin merah! Tak perlu kau merasa malu karena rahasia hatimu telah kuketahui. Lebih baik kau lekas pergi, aku tak sudi berurusan dengan Kompeni. Puteri ini adalah anak dari Adipati Wiguna, maka biarlah Adipati Wiguna sendiri yang berurusan dengan aku dan mengadakan pertukaran tawanan ini!”
Marahlah Dolleman mendengar ini “Kertapati, kau menghina Kompeni! Akan tiba masanya kau dan seluruh gerombolanmu mampus ditangan Kompeni!” kata Dolleman.
“Ha, ha, Dolleman, bagi kami, ancaman-ancaman dan bujukan-bujukan Kompeni tak berharga sedikitpun juga. Lekas kau pergi dan biar Adipati Wiguna sendiri menjemput puterinya!” Kertapati mengusir pula.
Setelah menyumpah-nyumpah karena merasa terhina sekali, akhirnya Dolleman mengalah dan menarik mundur pasukannya. Tak lama kemudian, Wiguna sendiri datang dan mengiringkan lima orang anggota bajak laut itu. Adipati Wiguna merasa terharu sekali melihat puterinya, maka ia lalu berlari-lari menghampiri Kertapati dan puterinya.
“Santi…!” Ayah yang merasa bahagia ini lalu memeluk puterinya dan menatap wajahnya seperti orang menyelidik. “Bagaimana, Santi? Kau tak apa-apa, nak?“
Roro Santi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Kertapati bukanlah penjahat yang suka mengganggu wanita seperti para pangeran muda ayah. Saya diperlakukan baik sekali…“
“Syukur... dan terima kasih, Kertapati.“
Akan tetapi kertapati tak memperhatikan mereka, karena sedang sibuk untuk melepaskan belenggu yang mengikat tangan kelima kawannya setelah menerima kuncinya dari tangan Wiguna.
“Kertapati, kau hati-hatilah, “Kemudian terdengar Adipati Wiguna berbisik, “Mungkin sekali perjalananmu pulang akan dicegat oleh Dolleman!”
Mendengar ini, pucatlah wajah Roro Santi, dan Kertapati memandang dengan tajam kepada Adipati Wiguna seakan-akan hendak menjenguk isi hati orang tua itu.
“Pernah kau mendengar nama Wirataman yang membantu Trunajaya? Dia adalah adik kandungku! Kau berlaku baik terhadap anakku!”
Setelah mengeluarkan ucapan singkat ini kepada Kertapati yang mendengar dengan muka terheran, Adipati Wiguna lalu manarik tangan anaknya, diajak kembali ke dalam kota. Beberapa kali Roro Santi menengok, akan tetapi Kertapati yang merasa kuatir kalau-kalau terdahului oleh Dolleman, telah memberi perintah kilat kepada lima orang kawannya. Mereka berunding sebentar, lalu enam orang itu berlari cepat memasuki hutan dengan terpencar!
Oleh karena ini, biarpun Dolleman dan pasukannya telah mencegat perjalanan kertapati, mereka tidak menjumpai enam orang itu, hanya melihat seekor kuda tanpa penunggang yang berlari cepat bagaikan setan! Sekali lagi Dolleman menympah-nyumpah karena merasa telah dipermainkan oleh Kertapati.
Semenjak pertemuannya dengan Roro Santi, kawanan bajak laut Kertapati makin mengganas, dan kini sasaran penyerbuan mereka semata-mata hanyalah perahu-perahu Kompeni. Perahu-perahu kecil panjang yang berwarna hitam dan berlayar hitam pula itu, muncul di mana-mana bagaikan setan-setan laut.
Memang, Kertapati mendapat benyak pengikut yang setia dan kini ia melakukan operasi dengan berpencar menjadi tiga kelompok. Dan tiga kelompok inilah yang selalu mengganggu di sepanjang pantai, dan kini daerah mereka diperpanjang sampai Tuban.
Pada waktu itu, semenjak mengadakan perjanjian dengan Sunan Amangkurat II untuk membantu usaha Sunan itu merampas kembali Mataram dari tangan Trunajaya, Kompeni lalu mengumpulkan kekuatan bala tentaranya. Sudah menjadi siasat dan kelicikan Kompeni untuk mempergunakan tenaga orang lain, mengadu domba penduduk pribumi sendiri, mengadakan pengaruh “uang sogokan“ yang berasal dari perasan bumi Indonesia sendiri!
Demikianlah, maka mereka mendatangkan pasukan-pasukan yang besar jumlahnya yang terdiri dari bermacam-macam bangsa yakni diantaranya orang-orang Mardika, Melayu, Makasar, Ambon, dan sebagainya. Orang-orang Belanda sendiri yang ikut dalam pasukan itu tentu saja menjadi opsir-opsirnya! Pasukan-pasukan ini didatangkan dari luar Pulau Jawa untuk disatukan dengan pasukan-pasukan dari Amangkurat II sendiri dan kemudian untuk dipimpin melakukan penyerbuan besar-besaran ke Mataram!
Pada waktu itulah maka Kertapati menjalankan perjuangan yang hebat. Perahu-perahu Kompeni yang membawa pasyukan-pasukan ini, seringkali mendapat gangguan hebat. Penyerangan para bajak laut itu memang dahsyat dan mengerikan. Pada waktu malam gelap, perahu Kompeni itu tiba-tiba diserang oleh panah-panah api yang meluncur dari sekelilingnya. Mereka sukar sekali membalas oleh karena perahu-perahu bajak itu hitam dan tidak memakai api penerangan.
Pada saat tembakan ditujukan ke arah tempat dari mana meluncur panah api, perahu itu dengan cepatnya telah pergi ke lain bagian. Tiap kali panah api dilepas, perahu bajak yang ringan, runcing dan panjang itu bergerak maju cepat-cepat sehingga peluru-peluru Kompeni hanya mengenai air kosong apabila perahu Kompeni itu telah mulai terbakar layar-layarnya dan semua anak perahu terpaksa melompat ke dalam air!
Dengan cara demikian, tidak kurang dari enam buah perahu kena dihancurkan oleh anak buah bajak laut Kertapati, dan entah berapa banyak pasukan yang mampus karena terbakar atau tenggelam!
Dalam penyerangan-penyerangan ini. Kertapati selalu berada di depan dan serngkali pemuda ini melakukan perbuatan-perbuatan berani luar biasa yang amat menggumkan. Pernah ia menyamar sebagai seorang nelayan tua yang menjala ikan dan ketika perahu Kompeni lewat, ia memberi tanda bahwa ia melihat adanya bajak laut! Tentu saja ia lalu dinaikkan ke perahu untuk ditanya lebih jelas.
“Tadi hamba melihat lima buah perahu berlayar ke barat,” demikian katanya dengan tubuh gemetar dan bibirnya yang keriputan menggigil. “Perahu-perahu kecil panjang berwarna hitam…“
Dan ketika kapten belanda datang mendekatinya secepat kilat Kertapati menangkapnya, mengancam dengan keris di lambung kapten itu dan menyeretnya ke kamar mesin! Tak seorangpun diantara penumpang perahu berani menyerang atau menembak, kuatir kalau-kalau akan mencelakai kapen Belanda itu. Kemudian, sambil mempergunakan kapten itu sebagai perisai, kertapati membakar kamar mesin lalu menyeret kapten itu ke geladak dan bersama-sama melempar diri ke dalam air!
Ketika anak buah kapten itu sibuk hendak menolong kaptennya, tiba-tiba api yang dilepas oleh Kertapati telah menjalar menyabar bahan bakar sehingga perahu itu meledak dan terbakar hebat! Kertapati sendiri telah selamat dan di angkat oleh kawan-kawannya yang telah menanti-nanti dengan hati berdebar menyaksikan perbuatan pemimpin mereka itu dari jauh!
Masih banyak hal-hal yang luar biasa dan penuh keberanian dilakukan oleh Kertapati dan anak buahnya. Bahkan mereka pernah mencoba untuk membakar sebuah kapal Kompeni yang amat besar dan diperlengkapi dengan meriam-meriam. Kapal itu sedang berlabuh di pelabuhan Semarang yang besar dan terdapat banyak penjaga, nemun bajak laut Kertapati tak kenal takut dan berani mencobanya!
Biarpun mereka hanya berhasil membakar layarnya saja dengan api karena keburu datang serbuan dari para penjaga sehingga seorang anak buah Kertapati tewas kena tembak, namun perbuatan ini membuat nama bajak laut itu makin ditakuti.
Dolleman makin merasa benci dan marah kepada Kertapai oleh karena kegagalannya untuk menangkap atau membunuh bajak laut itu membuat ia mendapat teguran hebat dari atasannya di Semarang.
“Percuma saja kau menyebut dirimu sebagai mata-mata dan penyelidik yang terpandai dan tercakap di seluruh Hindia,“ Atasannya itu menegurnya “Baru menghadapi seorang bajak laut kecil seperti Kertapati saja kau tidak berdaya! Tahu kau bahwa Dewan Hindia telah menegurku karena gangguan-gangguan Kertapati itu? Mulai sekarang kau harus kembali ke Semarang, tiada gunanya kau tinggal berbulan-bulan di Jepara kalau tidak mampu membekuk Kertapati. Biar aku menugaskan kepada lain orang!”
Marah, malu, dan mendongkol mengaduk-aduk pikiran dan hati Doleman ketika ia mendengar teguran ini. “Berilah aku waktu barang sebulan lagi,” katanya memohon, “Kalau dalam sebulan aku tidak dapat menangkapnya, lebih baik aku dikirim kembali ke Negeri Belanda!”
Akhirnya atasannya memberi waktu sebulan kepadanya dan dengan hati mendongkol lalu kembali ke Jepara. Ia maklum bahwa biarpun pada waktu itu Kertapati tidak berada disekitar Jepara karena seringkali bajak laut itu muncul di daerah Semarang, akan tetapi ia tahu bahwa di daerah Jepara banyak terdapat mata-mata dan anak buah bajak laut. Buktinya Jiman yang ditembaknya dulu, yang menjadi orang kepercayaannya, ternyata juga menjadi anak buah bajak laut Kertapati!
Sehari semalam Dolleman tidak keluar dari kamarnya, memeras otak dan mencari siasat. Ia teringat kepada Adipati Wiguna. Dapatkah adipati itu dipercaya? Ia mulai merasa curiga kepada Adipati Wiguna semenjak Roro Santi dikirim kembali oleh Kertapati. Siapa lagi kalau bukan Adipati Wiguna yang membuat Kertapati dan kawan-kawannya tahu bahwa ia dan pasukannya mencegat jalan pulangnya?
Akan tetapi masih ada kemungkinan, misalnya memang mungkin bajak laut yang cerdik itu sengaja berpencar karena merasa curiga dan berlaku hati-hati, atau boleh jadi yang membocorkannya adalah orang lain, seorang diantaranya para penjaga sendiri misalnya! Ah, ia menjadi binggung dan mulai merasa curiga kepada semua orang! Bahkan kepada Roro Santi ia menaruh curiga! Setidak-tidaknya gadis itu pernah berdua dengan kepala bajak itu dan ia tahu pula betapa gagah dan tampannya Kertapati sehingga melihat pandang mata mereka ketika duduk diatas kuda berdua, ah… siapa tahu?
Akhirnya ia mengambil keputusan. “Tidak ada jalan lain yang cukup menguntungkan aku!" katanya kepada diri sendiri. “Dengan akal ini, seandainya aku tak berhasil menangkap Kertapati sebagai gantinya aku akan mendapatkan Roro Santi“ ia meramkan matanya dan membayangkan bentuk tubuh yang menggairahkan dan wajah yang cantik jelita itu, “Cukup menarik untuk menghibur kedukaanku apabila aku gagal dalam pekerjaan ini!”
Setelah mengambil keputusan yang agaknya memuaskan hatinya ini, Dolleman lalu melempar tubuhnya di atas tempat tidur dan mendengkurlah dia seperti babi disembelih.
Adipati Wiguna mengerutkan kening dan sebetulnya ia tidak setuju sekali. “Akan tetapi, tuan Letnan, kalau mereka menyerbu perahumu, anakku akan berada dalam bahaya. Pula, bukankah pertunangan itu hanya sekadar memancing kertapati belaka? Bagaimana dengan pertunagan anakku dengan putera Bupati Randupati? Juga, anakku tentu akan merasa keberatan, karena namanya akan cemar, menjadi ejekan orang…“
“Mengapa, tuan Adipati? Aku tidak bermaksud buruk. Hanya pura-pura saja puterimu ikut aku ke Semarang untuk menjalankan upacara pernikahan. Kau dan yang lain-lain boleh mendahului ke Semarang dengan jalan darat dan menjemput puterimu di pelabuhan Semarang. Aku hanya membutuhkan puterimu di atas perahu saja, sepanjang pelayaran dari Jepara ke Semarang. Muncul atau tidaknya Kertapati, pasti puterimu akan tiba di Semarang dengan selamat. Aku menjamin!”
Tetap saja Adipati Wiguna ragu-ragu. Perjalanan perahu dari Jepara ke Semarang makan waktu sehari, apalagi kalau angin kecil. Dan ia tidak percaya kepada Letnan yang bermata biru tajam ini. Telah beberapa kali letnan Belanda ini memperlihatkan tingkah laku yang kurang sopan, yakni ia menanyakan keadaan Roro Santi, seringkali minta supaya gadis itu keluar ikut bercakap-cakap dan membawa hadiah-hadiah untuk Roro Santi.
Pendeknya, sikap seorang laki-laki yang suka kepada seorang gadis. Bahkan, ketika Roro Santi pernah menegur sikapnya yang gak terlalu berani itu, ia menjawab sambil tertawa. “Bukankah kita sudah bertunangan?“ Sikap yang diperlihatkan oleh Dolleman itulah yang membuat Adipati Wiguna merasa khawatir dan tidak percaya akan keselamatan anaknya apabila ikut dengan perahu Dolleman.
“Namun, betapa juga aku masih tidak rela apabila anakku ikut dengan perahumu, tuan letnan. Kalau bajak laut itu muncul dan menyerang, bagimana nasib Roro Santi anakku?“
“Jangan kuatir, kalau mereka muncul, Kertapati dan kawan-kawannya pasti akan kutangkap atau kubinasakan di laut!”
Adipati Wiguna mentertawakannya di dalam hati, akan tetapi ia menarik napas panjang dan berkata. “Sudah banyak kali ucapan seperti ini dikeluarkan, akan tetapi kenyatannya sehingga kini Kertapati masih belum tertangkap!”
“Sekarang ini lain lagi, tuan Adipati!” kata Dolleman penasaran. “Saya sengaja memperlengkapi kapal ini dengan meriam-meriam baik dan juga sepasukan Kompeni bersenjata api. Kalau pancingan ini berhasil dan Kertapai berani mennampakkan diri, pasti dia dan kaki tangannya akan hancur lebur!”
“Akan tetapi...“
Dolleman menjadi habis sabar. Ia berdiri dari kursinya dan berkata. “Tuan Adipati, apakah kau tidak percaya kepada aku, Letnan Dolleman dari Kompeni? Tak perlu kita berpanjang cerita, tuan Adipati tinggal piliha satu antara dua. Setuju dan mengijinkan Roro Santi ikut dengan kapalku ke Semarang atau, kau sekeluarga kutangkap dengan tuduhan membantu dan melindungi bajak laut Kertapati!”
Adipati Wiguna juga berdiri dengan muka pucat. “Kompeni takkan percaya kepadamu, apa buktinya?“
Dolleman menyeringai. “Buktinya? Ha, ha, ha! Masih ingatkah kau kepada adik kandungmu Wiratman? Aku bisa mendakwa kau sebagai pelindung Kertapati dan pembantu pemberontak Trunajaya!”
Lemaslah tubuh Adipati Wiguna. Semenjak dulu memang ia merasa berada di dalam cengkaraman kekuasaan Belanda ini dan ia tahu bahwa kalau hal itu dilakukan oleh Dolleman, berarti dia sekeluarga tidak saja akan menderita bencana hebat, akan tetapi juga nama keluarganya akan rusak!
“Dolleman,” katanya perlahan, “Biarkan aku berpikir dan mempertimbangkan soal ini sebaik-baiknya dulu.“
Senyum kemenangan membayang di bibir letnan itu, dan ia bergerak hendak meninggalkan tuan rumah sambil berkata. “Kapalku akan berangkat sore-sore untuk memberi kesempatan kepada bajak-bajak laut itu melakukan serangannya di malam hari. Ingat, tuan Adipati, anakmu kau perbantukan untuk memancing keluar Kertapati, atau sekeluarga akan kutangkap dan dibawa ke Semarang sebagai orang-orang tangkapan, atau ditahan di penjara sini!” Lalu ia pergi meninggalkan Adipati Wiguna yang duduk dengan muka pucat di tas kursinya.
Ketika Adipati Wiguna menceritakan hal ini kepada istrinya dan kepada Roro Santi, kedua orang wanita itu menangis tersedu-sedu. Akan tetapi Roro Santi lalu menghapus air matanya dan menghibur ibunya dengan kata-kata penuh kepercayaan.
“Ibu, sudahlah jangan ibu bersedih. Aku percaya bahwa Kertapati tentu akan muncul dan takkan membiarkan kita diperhina oleh Kompeni!”
Kepada Adipati Wiguna dan istrinya telah diceritakan oleh gadis itu tentang keadaan bajak laut Kertapati yang sebenarnya adalah seorang pembantu Trunajaya dan seorang yang benci kepada Kompeni, karena selain Kompeni telah membunuh keluarga pemuda itu, juga dianggapnya bahwa Kompeni menimbulkan malapetaka di tanah air.
Maka mereka kini tidak benci lagi kepada Kertapati, bahkan atas bujukan dan pandangan-pandangan Roro Santi, kini Adipati Wiguna seakan-akan terbuka matanya dan diam-diam ia membenarkan perjuangan adik kandungnya yang membantu Trunajaya!
Kemudian, antara anak, ibu, dan ayah ini terjadi perundingan rahasia untuk mengatur siasat, dan kalau mungkin bahkan membantu Kertapati untuk menghancurkan Kompeni yang sekarang telah terasa oleh mereka akan kejahatan dan penindasannya.
Adipati Wiguna lalu mengumumkan bahwa puterinya hendak diboyong, oleh tunangannya, yakni Letnan Dolleman, ke Semarang dan akan merayakan upacara pernikahan di Semarang! Biarpun berita ini diterima dengan hati mendongkol oleh semua penduduk, akan tetapi mereka merasa tidak heran, oleh karena mereka telah tahu bahwa puteri Adipati itu telah bertunangan dengan seorang Kompeni, dan keheranan mereka telah dihabiskan ketika mendengar berita pertunangan itu. Betapapun juga, banyak orang yang segera mengirim “sumbangan” kepada keluarga pengantin.
Tidak ketinggalan para lurah-lurah dusun mengirimkan sumbangan-sumbangan berupa barang-barang berharga besar kecil, dari perhiasan rambut dari emas yang kecil sampai sumbangan-sumbangan berupa lemari-lemari pakaian berkaca, peti pakaian berukir, dan lain-lain. Orang-orang yang datang mengantarkan barang-barang sumbangan ini keluar masuk tiada habisnya!
Diam-diam Dolleman yang amat cerdik itu lalu menyebar puluhan orang mata-matanya untuk menyelidiki kalau-kalau diantara orang-orang yang mengantarkan barang-barang sumbangan itu terdapat bajak laut Kertapati yang pandai menyamar, atau orang-orang yang mencurigakan. Pintu gerbang juga dijaga ketat dan setiap penyumbang yang datang dari luar kota diamat-amati.
Bupati Randupati dari Rembang ketika mendengar berita ini menjadi marah sekali. “Adipati Wiguna sungguh kurang ajar! Apakah dia hendak mempermainkan aku?”
Raden Suseno dengan muka merah berkata, “Ayah, biar anak pergi ke Jepara sekarang juga dan bicara dengan hati terbuka dengan paman Adipati!”
Pemuda itu lalu menunggang kudanya dan membalap ke Jepara dengan hati yang amat panas. Ketika ia tiba di Jepara, orang-orang yang melihat pemuda ini memasuki kota dengan muka merah dan membalapkan kudanya, diam-diam memperhatikan dan maklum akan kemarahan bekas tunangan Roro Santi ini.
Akan hebat sekarang, mereka berkata dan sebagaimana sudah menjadi kebiasaan orang-orang yang suka sekali melihat terjadinya hal-hal yang menghebohkan, maka sebentar saja, setelah Raden Suseno turun dari kudanya dan berlari memasuki pendopo gedung Adipati Wiguna, di depan pendopo banyak berkumpul orang-orang yang ingin melihat kelanjutan peristiwa itu. Para penjaga yang telah mengenal pemuda itu, tidak berani menghalangi ketika Raden Suseno mengeluarkan kata-kata tegurnya.
“Paman Adipati! Apakah artinya semua ini? Benarkah berita yang sampai di Rembang bahwa Roro Santi hendak diboyong ke Semarang oleh Letnan Dolleman?”
Oleh karena di situ terdapat banyak pelayan, maka Adipati Wiguna lalu berkata sabar, “Raden Suseno, marilah kita masuk ke dalam dan bicara dengan baik-baik dan jelas."
Mereka masuk ke dalam dan bicara dengan baik-baik dan jelas. Mereka masuk ke perdalaman dan di situ Raden Suseno disambut oleh isteri Adipati Wiguna dan juga Roro Santi terdapat pula di situ. Setelah berada di tempat yang tidak ada orang luar ini, Raden Suseno berkata lagi.
“Saya diutus oleh rama untuk menanyakan hal ini kepada paman. Kami menghendaki penjelasan dan keterangan yang adil! Paman tentu maklum bahwa dengan membiarkan Roro Santi pura-pura bertunangan dengan Letnan Dolleman, pihak kami telah memberi pengertian dan kesabaran luar biasa, akan tetapi mengapa agaknya orang tidak menaruh perindahan kepada kami? Apakah sengaja keluarga Bupati Randupati hendak dipermaikan orang semau-maunya?”
“Tenang, tenang, Raden Suseno!” berkata Adipati Wiguna sambil menarik napas panjang. “Tenang dan sabarlah. Kami sama sekali tidak hendak mempermainkan kau atau rama mu, karena sesungguhnya kami melakukan hal ini dengan terpaksa benar?”
Kemudian ia lalu menceritakan tentang maksud Dolleman hendak mempergunakan Roro Santi sebagai umpan untuk yang penghabisan kali, dengan ancaman-ancaman hendak menangkap atas tuduhan membantu pemberontakan dan bajak apabila ia menolak.
“Apakah yang dapat kami lakukan, Raden? Menolak berarti kami sekeluarga akan mengalami bencana yang lebih hebat lagi. Oleh karena itu, terpaksa kami menurut, bukankah hal ini hanya sebagai pura-pura saja!”
Sementara itu, Roro Santi yang mendengarkan percakapan itu, melihat sikap-sikap kasar dan keras dari Raden Suseno terhadap ayahnya, merasa mendongkol dan marah sekali. Keluarganya sedang mengalami bencana, pemuda yang dipertunangkan kepadanya ini bukannya datang menghibur atau memberi pertolongan, malahan datang-datang marah dan menuntut!
"Raden Suseno,” tiba-tiba Roro Santi berkata sambil memandang tajam, ”Kalau kau memang laki-laki, bangsawan dan ksatria utama, mengapa kau tidak segera pergi mencari Dolleman itu dan membunuhnya atau menantangnya berkelahi? Apa artinya kau datang mendesak-desak kami yang sudah terdesak dan terjepit? Lalu marah-marah kepada orang yang sudah tidak berdaya, ini bukanlah sikap seorang ksatria!”
Muka Raden Suseno yang tadinya merah karena marah itu, kini menjadi pucat. “Tapi… tapi…” ia tak dapat melanjutkan katanya, dan Adipati Wiguna yang merasa kasihan kepadanya dan menganggap ucapan Roro Santi tadi keterlaluan berkata menghibur.
“Sudahlah, Raden Suseno, apakah yang dapat kami lakukan terhadap mereka? Kekuasaan Kompeni amat besar, terutama semenjak mereka mengadakan pertemuan dengan Gusti Sunan dulu. Kita menentang berarti bencana. Kita harus bersabar, karena kau sendiri tahu betapa besarnya kekuasaan Letnan Dolleman.”
Raden Suseno menarik napas dan menggertakan giginya. “Sudah bosan saya terhadap kekuasaan asing ini! Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Roro Santi, aku takkan tinggal diam! Dolleman harus bertanggung jawab!” Setelah mengucapkan kata keras ini, dengan muka marah Raden Suseno lalu pergi meninggalkan gedung itu tanpa pamit.
Dengan disaksikan oleh banyak orang-orang bangsawan dan penduduk Jepara, juga Raden Suseno yang berdiri di tempat agak jauh sambil menggigit bibirnya, Roro Santi naik ke atas kapal, dijemput oleh Letnan Dolleman yang mengenakan pakaian prajurit yang mewah dan indah.
Sesuai dengan kehendak Dolleman, tak seorangpun pelayan dan pengiring boleh ikut, dan Roro Santi hanya dikawani oleh barang-barangnya yang sebagian besar didapat dari sumbangan orang. Sebuah tandu, sebuah peti pakaian berukir indah, dan beberapa kopor kayu ikut diangkut naik ke atas perahu besar itu dan diletakkan di dalam kamar Roro Santi yang telah disediakan di situ, sebuah kamar yang cukup mewah, indah, dan besar.
Roro Santi merasa dirinya asing ketika masuk ke dalam kamar ini akan tetapi hatinya tenang dan sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut dan gelisah.
Kapal itu mulai bergerak ketengah, diikuti oleh sorak-sorai para pengantar di pantai. Dianatara sorak-sorai ini terdengar isak tangis isteri Adipati dan suaminya berdiri diam dengan muka pucat dan bibir bergerak-gerak. Adipati Wiguna sedang berdoa untuk keselamatan puteri tunggalnya.
“Lebih baik berkorban nyawa daripada mengurbankan kesucianmu sebagai gadis bangsawan yang beribadat kepada seorang Kompeni!” kata Kertapati gemas.
“Apa kau kira aku akan tunduk begitu saja, Kertapati? Aku tunduk hanya untuk membela orang tuaku, akan tetapi, Dolleman hanya akan dapat menjamah mayatku!” Sambil berkata demikian Roro Santi berdiri tegak dengan kepala dikedikan. Wajahnya ang masih basah air mata itu nampak pucat, akan tetapi membayangkan kegagahan dan ketabahan hati.
“Santi, alangkah gagahnya kau! Hatiku tidak rela melepasmu untuk menjadi korban keganasan Kompeni dan ketamakan ayahmu! Jangan kau pergi meninggalkan aku, Santi!”
“Akan tetapi ayahku...“
“Ayamu membela pihak yang sesat, jangan dipikirkan lagi!”
Roro Santi memandang marah. “Kertapati! Tentu saja kau tidak mengerti tentang cintakasih antara orang tua dan anak, tidak kenal akan rasa bakti terhadap orang tua di dalam hati anak! Agaknya kau… kau tak pernah berbakti kepada orang tuamu! Oleh karena itu agaknya maka kau tersesat dan menjadi seorang bajak, seorang perampok!”
Tiba-tiba pucatlah wajah Kertapati. Bibirnya gemetar, ternyata bahwa ia sedang menderita pukulan batin dan menahan keperihan hati yang hebat mendengar ucapan itu. Kemudian katanya perlahan, “Santi, ayah, ibu, semua saudaraku telah tewas karena peluru senapan Kompeni di banten. Kebaktian apalagi yang dapat kulakukan selain memusuhi Kompeni dan kaki tangan serta sekutunya?“
“Oh… maafkan aku, Kertapati,” kata Roro Santi dengan suara perlahan dan terharu, dan kini pandangannya terhadap pemuda itu sama sekali berobah.
“Jangan kau kira bahwa semua hasil rampokan dan rampasan yang kulakukan bersama anak buahku itu kami pakai untuk kepentingan sendiri. Tidak! Semua harta benda yang kami dapatkan, kami kirim untuk mambantu pemberontakkan-pemberontakan para pemimpin rakyat terhadap Kompeni. Maka, janganlah kau memandang terlampau rendah dan hina kepadaku, Santi...“ Suara Kertapati bukan bersifat menyombong, bahkan terdengar sebagai seorang terdakwa yang membela diri dan minta dikasihani.
“Kertapati…. Kertapati…” kata Roro Santi perlahan sambil memandang dengan air mata berlinang. “Sekarang aku merasa menyesal mengapa aku dilahirkan sebagai seorang puteri bangsawan, Aku ingin menjadi seorang gadis dusun agar dapat membantumu...!”
“Santi...!” Kertapati melangkah maju dan kembali memeluk dara itu yang kini telah menyerahkan hatiku bulat-bulat terhdap pemuda yang memang semenjak pertemuan pertama kali telah menarik hatinya itu. Pada saat itu, dari luar pintu rumah terdengar panggilan,
“Kertapati!”
Sepasang teruna remaja itu cepat-cepat memisahkan diri dan melepaskan pelukan.
“Masuklah, Karim...!” kata Kertapati yang mengenali suara kawannya itu.
Seorang pemuda bertubuh kecil masuk dan matanya mengerling ke arah Roro Santi yang memandangnya dengan tenang. Kalau Karim memiliki mata tajam, tentu ia akan melihat betapa mata gadis itu berbeda sekali dengan kemarin nampak sedih dan amarah, kini nampak berseri-seri dan seakan-akan cahaya baru timbul dari manik matanya!
“Kompeni mengumumkan bahwa kelima orang kawan kita yang tertawan, akan dibebaskan apabila kita megembalikan puteri Adipati ini. Kompeni mengajak bertukar tawanan, satu lawan lima!”
“Baik...“ Kertapati mengangguk. “Siapkan kudaku!”
Karim keluar lagi dengan muka girang karena kawan-kawannya yang tertawan akan dibebaskan kembali. Setelah Karim pergi. Kertapati duduk dengan muka muram dan kening dikerutkan, sikap yang belum pernah nampak pada diri anak muda ini sebelum Roro Santi masuk ke lubuk hatinya! Pemuda ini biasanya berani, tabah, gembira dan tak pernah menyusahkan sesuatu, akan tetapi sekarang, baru saja ia bertukar kasih dengan Roro Santi, ia sudah menderita kekawatiran, kesedihan dan kebingungan karena perpisahan dari kekasihnya ini.
Dalam hal ini, ada betulnya juga kata setengah orang bahwa penderitaan laki-laki datang dari wanita! Akan tetapi, tak dapat disangkal pula bahwa segala kebahagiaan laki-laki timbul dari wanita pula!
Roro Santi maklum akan jalan pikiran Kertapati, maka ia lalu mendekat dan menaruhkan tangannya ke atas pundak kepala bajak yang duduk di atas bangku itu. “Kertapati, kedudukan dan kebaktian kita merupakan jurang yang lebar dan dalam yang memisahkan kita. Akan tetapi, jangan kau gelisah. Sebagaimana yang telah kau katakan tadi, orang macam Dolleman atau laki-laki yang manapun juga, hanya akan dapat menjamah tubuhku yang sudah menjadi mayat.”
Kertapati berdiri dan memegang tangan gadis itu. Sepuluh jari tangan mereka saling genggam erat-erat merupakan sumpah atau janji bisu yang tak terdengar oleh telinga akan tetapi telah mengukir di dalam hati masing-masing.
“Santi, kau memberi kekuatan kepadaku untuk melanjutkan tugasku, bahkau kau menjadi penambah semangat bagiku! Karena aku tahu bahwa sungguhpun kau berdiri di seberang sana, akan tetapi hatimu berada di dekatku selalu. Jangan kuatir, kekasihku, siapapun orangnya yang berani mengganggumu, akan berhadapan dengan Kertapati, dan akan merasakan pembalasan tangan Kertapati! Kita pasti akan, bertemu kembali Santi!”
Sambil menekan tangan pemuda itu Roro Santi berkata dengan air mata berlinang. “Pasti Kertapati, akupun yakin akan hal ini!”
Kuda telah dipersiapkan dan Kertapati berkata kepada kawan-kawannya yang berada di depan rumah itu. “Kawan-kawan, aku sendiri akan mengantarkan puteri ini kembali ke Jepara, untuk ditukar dengan lima orang kawan-kawan kita!”
“Akan tetapi, baagaimana kalau ini merupakan suatu perangkap untukmu, Kertapati?” kata seorang kawannya.
Pemuda itu tersenyum. “Mereka takkan mencelakakan puteri ini, dan kalian tahu bahwa aku tak begitu bodoh untuk mudah saja masuk dalam perangkap seperti seekor tikus!” Dengan sigapnya, ia lalu membantu Roro Santi naik ke atas kudanya yang berbulu dawuk (kelabu) kemudian ia melompat di belakang gadis itu dan membalapkan kudanya yang berlari congklang.
“Alangkah senengnya hidupku apabila setiap hari aku dapat bersama kau menunggang kuda seperti sekarang ini!” kata Kertapati sambil menghela napas.
Mendengar ucapan ini, Roro Santi juga menarik napas panjang. Setelah tiba di luar pintu gerbang, Kertapati menahan kudanya. “Hati-hati Kertapati, aku kuatir kalau-kalau Kompeni akan menipumu,” berkata Roro Santi dengan tubuh gemetar.
Akan tetapi pada saat itu, dari pintu gerbang muncul sepasukan penjaga dan beberapa orang serdadu yang dikepalai oleh Dolleman sendiri. Mereka mengiringkan lima orang kawan-kawan Kertapati yang dibelenggu dengan rantai panjang pada lengan mereka.
“Kertapati!” Dolleman berseru dari jauh. “Kau lepaskan tunanganku dan aku akan membebaskan lima orang kawan-kawanmu!”
Bukan main mendongkolnya hati Kertapati mendengar Dolleman menyebut Roro Santi sebagai tunangannya. Akan tetapi ia menahan marahnya dan tertawa menghina.
“Siapakah yang sudi mempercayai omongan palsu yang keluar dari mulut Kompeni? Kau kira aku tidak tahu bahwa begitu puteri ini tiba ditempatmu, kau dan kaki tanganmu akan menembak kami berenam? Ha, mukamu menjadi makin merah! Tak perlu kau merasa malu karena rahasia hatimu telah kuketahui. Lebih baik kau lekas pergi, aku tak sudi berurusan dengan Kompeni. Puteri ini adalah anak dari Adipati Wiguna, maka biarlah Adipati Wiguna sendiri yang berurusan dengan aku dan mengadakan pertukaran tawanan ini!”
Marahlah Dolleman mendengar ini “Kertapati, kau menghina Kompeni! Akan tiba masanya kau dan seluruh gerombolanmu mampus ditangan Kompeni!” kata Dolleman.
“Ha, ha, Dolleman, bagi kami, ancaman-ancaman dan bujukan-bujukan Kompeni tak berharga sedikitpun juga. Lekas kau pergi dan biar Adipati Wiguna sendiri menjemput puterinya!” Kertapati mengusir pula.
Setelah menyumpah-nyumpah karena merasa terhina sekali, akhirnya Dolleman mengalah dan menarik mundur pasukannya. Tak lama kemudian, Wiguna sendiri datang dan mengiringkan lima orang anggota bajak laut itu. Adipati Wiguna merasa terharu sekali melihat puterinya, maka ia lalu berlari-lari menghampiri Kertapati dan puterinya.
“Santi…!” Ayah yang merasa bahagia ini lalu memeluk puterinya dan menatap wajahnya seperti orang menyelidik. “Bagaimana, Santi? Kau tak apa-apa, nak?“
Roro Santi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Kertapati bukanlah penjahat yang suka mengganggu wanita seperti para pangeran muda ayah. Saya diperlakukan baik sekali…“
“Syukur... dan terima kasih, Kertapati.“
Akan tetapi kertapati tak memperhatikan mereka, karena sedang sibuk untuk melepaskan belenggu yang mengikat tangan kelima kawannya setelah menerima kuncinya dari tangan Wiguna.
“Kertapati, kau hati-hatilah, “Kemudian terdengar Adipati Wiguna berbisik, “Mungkin sekali perjalananmu pulang akan dicegat oleh Dolleman!”
Mendengar ini, pucatlah wajah Roro Santi, dan Kertapati memandang dengan tajam kepada Adipati Wiguna seakan-akan hendak menjenguk isi hati orang tua itu.
“Pernah kau mendengar nama Wirataman yang membantu Trunajaya? Dia adalah adik kandungku! Kau berlaku baik terhadap anakku!”
Setelah mengeluarkan ucapan singkat ini kepada Kertapati yang mendengar dengan muka terheran, Adipati Wiguna lalu manarik tangan anaknya, diajak kembali ke dalam kota. Beberapa kali Roro Santi menengok, akan tetapi Kertapati yang merasa kuatir kalau-kalau terdahului oleh Dolleman, telah memberi perintah kilat kepada lima orang kawannya. Mereka berunding sebentar, lalu enam orang itu berlari cepat memasuki hutan dengan terpencar!
Oleh karena ini, biarpun Dolleman dan pasukannya telah mencegat perjalanan kertapati, mereka tidak menjumpai enam orang itu, hanya melihat seekor kuda tanpa penunggang yang berlari cepat bagaikan setan! Sekali lagi Dolleman menympah-nyumpah karena merasa telah dipermainkan oleh Kertapati.
* * * * *
Semenjak pertemuannya dengan Roro Santi, kawanan bajak laut Kertapati makin mengganas, dan kini sasaran penyerbuan mereka semata-mata hanyalah perahu-perahu Kompeni. Perahu-perahu kecil panjang yang berwarna hitam dan berlayar hitam pula itu, muncul di mana-mana bagaikan setan-setan laut.
Memang, Kertapati mendapat benyak pengikut yang setia dan kini ia melakukan operasi dengan berpencar menjadi tiga kelompok. Dan tiga kelompok inilah yang selalu mengganggu di sepanjang pantai, dan kini daerah mereka diperpanjang sampai Tuban.
Pada waktu itu, semenjak mengadakan perjanjian dengan Sunan Amangkurat II untuk membantu usaha Sunan itu merampas kembali Mataram dari tangan Trunajaya, Kompeni lalu mengumpulkan kekuatan bala tentaranya. Sudah menjadi siasat dan kelicikan Kompeni untuk mempergunakan tenaga orang lain, mengadu domba penduduk pribumi sendiri, mengadakan pengaruh “uang sogokan“ yang berasal dari perasan bumi Indonesia sendiri!
Demikianlah, maka mereka mendatangkan pasukan-pasukan yang besar jumlahnya yang terdiri dari bermacam-macam bangsa yakni diantaranya orang-orang Mardika, Melayu, Makasar, Ambon, dan sebagainya. Orang-orang Belanda sendiri yang ikut dalam pasukan itu tentu saja menjadi opsir-opsirnya! Pasukan-pasukan ini didatangkan dari luar Pulau Jawa untuk disatukan dengan pasukan-pasukan dari Amangkurat II sendiri dan kemudian untuk dipimpin melakukan penyerbuan besar-besaran ke Mataram!
Pada waktu itulah maka Kertapati menjalankan perjuangan yang hebat. Perahu-perahu Kompeni yang membawa pasyukan-pasukan ini, seringkali mendapat gangguan hebat. Penyerangan para bajak laut itu memang dahsyat dan mengerikan. Pada waktu malam gelap, perahu Kompeni itu tiba-tiba diserang oleh panah-panah api yang meluncur dari sekelilingnya. Mereka sukar sekali membalas oleh karena perahu-perahu bajak itu hitam dan tidak memakai api penerangan.
Pada saat tembakan ditujukan ke arah tempat dari mana meluncur panah api, perahu itu dengan cepatnya telah pergi ke lain bagian. Tiap kali panah api dilepas, perahu bajak yang ringan, runcing dan panjang itu bergerak maju cepat-cepat sehingga peluru-peluru Kompeni hanya mengenai air kosong apabila perahu Kompeni itu telah mulai terbakar layar-layarnya dan semua anak perahu terpaksa melompat ke dalam air!
Dengan cara demikian, tidak kurang dari enam buah perahu kena dihancurkan oleh anak buah bajak laut Kertapati, dan entah berapa banyak pasukan yang mampus karena terbakar atau tenggelam!
Dalam penyerangan-penyerangan ini. Kertapati selalu berada di depan dan serngkali pemuda ini melakukan perbuatan-perbuatan berani luar biasa yang amat menggumkan. Pernah ia menyamar sebagai seorang nelayan tua yang menjala ikan dan ketika perahu Kompeni lewat, ia memberi tanda bahwa ia melihat adanya bajak laut! Tentu saja ia lalu dinaikkan ke perahu untuk ditanya lebih jelas.
“Tadi hamba melihat lima buah perahu berlayar ke barat,” demikian katanya dengan tubuh gemetar dan bibirnya yang keriputan menggigil. “Perahu-perahu kecil panjang berwarna hitam…“
Dan ketika kapten belanda datang mendekatinya secepat kilat Kertapati menangkapnya, mengancam dengan keris di lambung kapten itu dan menyeretnya ke kamar mesin! Tak seorangpun diantara penumpang perahu berani menyerang atau menembak, kuatir kalau-kalau akan mencelakai kapen Belanda itu. Kemudian, sambil mempergunakan kapten itu sebagai perisai, kertapati membakar kamar mesin lalu menyeret kapten itu ke geladak dan bersama-sama melempar diri ke dalam air!
Ketika anak buah kapten itu sibuk hendak menolong kaptennya, tiba-tiba api yang dilepas oleh Kertapati telah menjalar menyabar bahan bakar sehingga perahu itu meledak dan terbakar hebat! Kertapati sendiri telah selamat dan di angkat oleh kawan-kawannya yang telah menanti-nanti dengan hati berdebar menyaksikan perbuatan pemimpin mereka itu dari jauh!
Masih banyak hal-hal yang luar biasa dan penuh keberanian dilakukan oleh Kertapati dan anak buahnya. Bahkan mereka pernah mencoba untuk membakar sebuah kapal Kompeni yang amat besar dan diperlengkapi dengan meriam-meriam. Kapal itu sedang berlabuh di pelabuhan Semarang yang besar dan terdapat banyak penjaga, nemun bajak laut Kertapati tak kenal takut dan berani mencobanya!
Biarpun mereka hanya berhasil membakar layarnya saja dengan api karena keburu datang serbuan dari para penjaga sehingga seorang anak buah Kertapati tewas kena tembak, namun perbuatan ini membuat nama bajak laut itu makin ditakuti.
Dolleman makin merasa benci dan marah kepada Kertapai oleh karena kegagalannya untuk menangkap atau membunuh bajak laut itu membuat ia mendapat teguran hebat dari atasannya di Semarang.
“Percuma saja kau menyebut dirimu sebagai mata-mata dan penyelidik yang terpandai dan tercakap di seluruh Hindia,“ Atasannya itu menegurnya “Baru menghadapi seorang bajak laut kecil seperti Kertapati saja kau tidak berdaya! Tahu kau bahwa Dewan Hindia telah menegurku karena gangguan-gangguan Kertapati itu? Mulai sekarang kau harus kembali ke Semarang, tiada gunanya kau tinggal berbulan-bulan di Jepara kalau tidak mampu membekuk Kertapati. Biar aku menugaskan kepada lain orang!”
Marah, malu, dan mendongkol mengaduk-aduk pikiran dan hati Doleman ketika ia mendengar teguran ini. “Berilah aku waktu barang sebulan lagi,” katanya memohon, “Kalau dalam sebulan aku tidak dapat menangkapnya, lebih baik aku dikirim kembali ke Negeri Belanda!”
Akhirnya atasannya memberi waktu sebulan kepadanya dan dengan hati mendongkol lalu kembali ke Jepara. Ia maklum bahwa biarpun pada waktu itu Kertapati tidak berada disekitar Jepara karena seringkali bajak laut itu muncul di daerah Semarang, akan tetapi ia tahu bahwa di daerah Jepara banyak terdapat mata-mata dan anak buah bajak laut. Buktinya Jiman yang ditembaknya dulu, yang menjadi orang kepercayaannya, ternyata juga menjadi anak buah bajak laut Kertapati!
Sehari semalam Dolleman tidak keluar dari kamarnya, memeras otak dan mencari siasat. Ia teringat kepada Adipati Wiguna. Dapatkah adipati itu dipercaya? Ia mulai merasa curiga kepada Adipati Wiguna semenjak Roro Santi dikirim kembali oleh Kertapati. Siapa lagi kalau bukan Adipati Wiguna yang membuat Kertapati dan kawan-kawannya tahu bahwa ia dan pasukannya mencegat jalan pulangnya?
Akan tetapi masih ada kemungkinan, misalnya memang mungkin bajak laut yang cerdik itu sengaja berpencar karena merasa curiga dan berlaku hati-hati, atau boleh jadi yang membocorkannya adalah orang lain, seorang diantaranya para penjaga sendiri misalnya! Ah, ia menjadi binggung dan mulai merasa curiga kepada semua orang! Bahkan kepada Roro Santi ia menaruh curiga! Setidak-tidaknya gadis itu pernah berdua dengan kepala bajak itu dan ia tahu pula betapa gagah dan tampannya Kertapati sehingga melihat pandang mata mereka ketika duduk diatas kuda berdua, ah… siapa tahu?
Akhirnya ia mengambil keputusan. “Tidak ada jalan lain yang cukup menguntungkan aku!" katanya kepada diri sendiri. “Dengan akal ini, seandainya aku tak berhasil menangkap Kertapati sebagai gantinya aku akan mendapatkan Roro Santi“ ia meramkan matanya dan membayangkan bentuk tubuh yang menggairahkan dan wajah yang cantik jelita itu, “Cukup menarik untuk menghibur kedukaanku apabila aku gagal dalam pekerjaan ini!”
Setelah mengambil keputusan yang agaknya memuaskan hatinya ini, Dolleman lalu melempar tubuhnya di atas tempat tidur dan mendengkurlah dia seperti babi disembelih.
* * * * *
“Dia terlalu jahat! Sukar sekali untuk menangkapnya, maka tidak ada jalan lain, tuan Adipati, akal ini harus dijalankan!” Dolleman mendesak.Adipati Wiguna mengerutkan kening dan sebetulnya ia tidak setuju sekali. “Akan tetapi, tuan Letnan, kalau mereka menyerbu perahumu, anakku akan berada dalam bahaya. Pula, bukankah pertunangan itu hanya sekadar memancing kertapati belaka? Bagaimana dengan pertunagan anakku dengan putera Bupati Randupati? Juga, anakku tentu akan merasa keberatan, karena namanya akan cemar, menjadi ejekan orang…“
“Mengapa, tuan Adipati? Aku tidak bermaksud buruk. Hanya pura-pura saja puterimu ikut aku ke Semarang untuk menjalankan upacara pernikahan. Kau dan yang lain-lain boleh mendahului ke Semarang dengan jalan darat dan menjemput puterimu di pelabuhan Semarang. Aku hanya membutuhkan puterimu di atas perahu saja, sepanjang pelayaran dari Jepara ke Semarang. Muncul atau tidaknya Kertapati, pasti puterimu akan tiba di Semarang dengan selamat. Aku menjamin!”
Tetap saja Adipati Wiguna ragu-ragu. Perjalanan perahu dari Jepara ke Semarang makan waktu sehari, apalagi kalau angin kecil. Dan ia tidak percaya kepada Letnan yang bermata biru tajam ini. Telah beberapa kali letnan Belanda ini memperlihatkan tingkah laku yang kurang sopan, yakni ia menanyakan keadaan Roro Santi, seringkali minta supaya gadis itu keluar ikut bercakap-cakap dan membawa hadiah-hadiah untuk Roro Santi.
Pendeknya, sikap seorang laki-laki yang suka kepada seorang gadis. Bahkan, ketika Roro Santi pernah menegur sikapnya yang gak terlalu berani itu, ia menjawab sambil tertawa. “Bukankah kita sudah bertunangan?“ Sikap yang diperlihatkan oleh Dolleman itulah yang membuat Adipati Wiguna merasa khawatir dan tidak percaya akan keselamatan anaknya apabila ikut dengan perahu Dolleman.
“Namun, betapa juga aku masih tidak rela apabila anakku ikut dengan perahumu, tuan letnan. Kalau bajak laut itu muncul dan menyerang, bagimana nasib Roro Santi anakku?“
“Jangan kuatir, kalau mereka muncul, Kertapati dan kawan-kawannya pasti akan kutangkap atau kubinasakan di laut!”
Adipati Wiguna mentertawakannya di dalam hati, akan tetapi ia menarik napas panjang dan berkata. “Sudah banyak kali ucapan seperti ini dikeluarkan, akan tetapi kenyatannya sehingga kini Kertapati masih belum tertangkap!”
“Sekarang ini lain lagi, tuan Adipati!” kata Dolleman penasaran. “Saya sengaja memperlengkapi kapal ini dengan meriam-meriam baik dan juga sepasukan Kompeni bersenjata api. Kalau pancingan ini berhasil dan Kertapai berani mennampakkan diri, pasti dia dan kaki tangannya akan hancur lebur!”
“Akan tetapi...“
Dolleman menjadi habis sabar. Ia berdiri dari kursinya dan berkata. “Tuan Adipati, apakah kau tidak percaya kepada aku, Letnan Dolleman dari Kompeni? Tak perlu kita berpanjang cerita, tuan Adipati tinggal piliha satu antara dua. Setuju dan mengijinkan Roro Santi ikut dengan kapalku ke Semarang atau, kau sekeluarga kutangkap dengan tuduhan membantu dan melindungi bajak laut Kertapati!”
Adipati Wiguna juga berdiri dengan muka pucat. “Kompeni takkan percaya kepadamu, apa buktinya?“
Dolleman menyeringai. “Buktinya? Ha, ha, ha! Masih ingatkah kau kepada adik kandungmu Wiratman? Aku bisa mendakwa kau sebagai pelindung Kertapati dan pembantu pemberontak Trunajaya!”
Lemaslah tubuh Adipati Wiguna. Semenjak dulu memang ia merasa berada di dalam cengkaraman kekuasaan Belanda ini dan ia tahu bahwa kalau hal itu dilakukan oleh Dolleman, berarti dia sekeluarga tidak saja akan menderita bencana hebat, akan tetapi juga nama keluarganya akan rusak!
“Dolleman,” katanya perlahan, “Biarkan aku berpikir dan mempertimbangkan soal ini sebaik-baiknya dulu.“
Senyum kemenangan membayang di bibir letnan itu, dan ia bergerak hendak meninggalkan tuan rumah sambil berkata. “Kapalku akan berangkat sore-sore untuk memberi kesempatan kepada bajak-bajak laut itu melakukan serangannya di malam hari. Ingat, tuan Adipati, anakmu kau perbantukan untuk memancing keluar Kertapati, atau sekeluarga akan kutangkap dan dibawa ke Semarang sebagai orang-orang tangkapan, atau ditahan di penjara sini!” Lalu ia pergi meninggalkan Adipati Wiguna yang duduk dengan muka pucat di tas kursinya.
Ketika Adipati Wiguna menceritakan hal ini kepada istrinya dan kepada Roro Santi, kedua orang wanita itu menangis tersedu-sedu. Akan tetapi Roro Santi lalu menghapus air matanya dan menghibur ibunya dengan kata-kata penuh kepercayaan.
“Ibu, sudahlah jangan ibu bersedih. Aku percaya bahwa Kertapati tentu akan muncul dan takkan membiarkan kita diperhina oleh Kompeni!”
Kepada Adipati Wiguna dan istrinya telah diceritakan oleh gadis itu tentang keadaan bajak laut Kertapati yang sebenarnya adalah seorang pembantu Trunajaya dan seorang yang benci kepada Kompeni, karena selain Kompeni telah membunuh keluarga pemuda itu, juga dianggapnya bahwa Kompeni menimbulkan malapetaka di tanah air.
Maka mereka kini tidak benci lagi kepada Kertapati, bahkan atas bujukan dan pandangan-pandangan Roro Santi, kini Adipati Wiguna seakan-akan terbuka matanya dan diam-diam ia membenarkan perjuangan adik kandungnya yang membantu Trunajaya!
Kemudian, antara anak, ibu, dan ayah ini terjadi perundingan rahasia untuk mengatur siasat, dan kalau mungkin bahkan membantu Kertapati untuk menghancurkan Kompeni yang sekarang telah terasa oleh mereka akan kejahatan dan penindasannya.
Adipati Wiguna lalu mengumumkan bahwa puterinya hendak diboyong, oleh tunangannya, yakni Letnan Dolleman, ke Semarang dan akan merayakan upacara pernikahan di Semarang! Biarpun berita ini diterima dengan hati mendongkol oleh semua penduduk, akan tetapi mereka merasa tidak heran, oleh karena mereka telah tahu bahwa puteri Adipati itu telah bertunangan dengan seorang Kompeni, dan keheranan mereka telah dihabiskan ketika mendengar berita pertunangan itu. Betapapun juga, banyak orang yang segera mengirim “sumbangan” kepada keluarga pengantin.
Tidak ketinggalan para lurah-lurah dusun mengirimkan sumbangan-sumbangan berupa barang-barang berharga besar kecil, dari perhiasan rambut dari emas yang kecil sampai sumbangan-sumbangan berupa lemari-lemari pakaian berkaca, peti pakaian berukir, dan lain-lain. Orang-orang yang datang mengantarkan barang-barang sumbangan ini keluar masuk tiada habisnya!
Diam-diam Dolleman yang amat cerdik itu lalu menyebar puluhan orang mata-matanya untuk menyelidiki kalau-kalau diantara orang-orang yang mengantarkan barang-barang sumbangan itu terdapat bajak laut Kertapati yang pandai menyamar, atau orang-orang yang mencurigakan. Pintu gerbang juga dijaga ketat dan setiap penyumbang yang datang dari luar kota diamat-amati.
Bupati Randupati dari Rembang ketika mendengar berita ini menjadi marah sekali. “Adipati Wiguna sungguh kurang ajar! Apakah dia hendak mempermainkan aku?”
Raden Suseno dengan muka merah berkata, “Ayah, biar anak pergi ke Jepara sekarang juga dan bicara dengan hati terbuka dengan paman Adipati!”
Pemuda itu lalu menunggang kudanya dan membalap ke Jepara dengan hati yang amat panas. Ketika ia tiba di Jepara, orang-orang yang melihat pemuda ini memasuki kota dengan muka merah dan membalapkan kudanya, diam-diam memperhatikan dan maklum akan kemarahan bekas tunangan Roro Santi ini.
Akan hebat sekarang, mereka berkata dan sebagaimana sudah menjadi kebiasaan orang-orang yang suka sekali melihat terjadinya hal-hal yang menghebohkan, maka sebentar saja, setelah Raden Suseno turun dari kudanya dan berlari memasuki pendopo gedung Adipati Wiguna, di depan pendopo banyak berkumpul orang-orang yang ingin melihat kelanjutan peristiwa itu. Para penjaga yang telah mengenal pemuda itu, tidak berani menghalangi ketika Raden Suseno mengeluarkan kata-kata tegurnya.
“Paman Adipati! Apakah artinya semua ini? Benarkah berita yang sampai di Rembang bahwa Roro Santi hendak diboyong ke Semarang oleh Letnan Dolleman?”
Oleh karena di situ terdapat banyak pelayan, maka Adipati Wiguna lalu berkata sabar, “Raden Suseno, marilah kita masuk ke dalam dan bicara dengan baik-baik dan jelas."
Mereka masuk ke dalam dan bicara dengan baik-baik dan jelas. Mereka masuk ke perdalaman dan di situ Raden Suseno disambut oleh isteri Adipati Wiguna dan juga Roro Santi terdapat pula di situ. Setelah berada di tempat yang tidak ada orang luar ini, Raden Suseno berkata lagi.
“Saya diutus oleh rama untuk menanyakan hal ini kepada paman. Kami menghendaki penjelasan dan keterangan yang adil! Paman tentu maklum bahwa dengan membiarkan Roro Santi pura-pura bertunangan dengan Letnan Dolleman, pihak kami telah memberi pengertian dan kesabaran luar biasa, akan tetapi mengapa agaknya orang tidak menaruh perindahan kepada kami? Apakah sengaja keluarga Bupati Randupati hendak dipermaikan orang semau-maunya?”
“Tenang, tenang, Raden Suseno!” berkata Adipati Wiguna sambil menarik napas panjang. “Tenang dan sabarlah. Kami sama sekali tidak hendak mempermainkan kau atau rama mu, karena sesungguhnya kami melakukan hal ini dengan terpaksa benar?”
Kemudian ia lalu menceritakan tentang maksud Dolleman hendak mempergunakan Roro Santi sebagai umpan untuk yang penghabisan kali, dengan ancaman-ancaman hendak menangkap atas tuduhan membantu pemberontakan dan bajak apabila ia menolak.
“Apakah yang dapat kami lakukan, Raden? Menolak berarti kami sekeluarga akan mengalami bencana yang lebih hebat lagi. Oleh karena itu, terpaksa kami menurut, bukankah hal ini hanya sebagai pura-pura saja!”
Sementara itu, Roro Santi yang mendengarkan percakapan itu, melihat sikap-sikap kasar dan keras dari Raden Suseno terhadap ayahnya, merasa mendongkol dan marah sekali. Keluarganya sedang mengalami bencana, pemuda yang dipertunangkan kepadanya ini bukannya datang menghibur atau memberi pertolongan, malahan datang-datang marah dan menuntut!
"Raden Suseno,” tiba-tiba Roro Santi berkata sambil memandang tajam, ”Kalau kau memang laki-laki, bangsawan dan ksatria utama, mengapa kau tidak segera pergi mencari Dolleman itu dan membunuhnya atau menantangnya berkelahi? Apa artinya kau datang mendesak-desak kami yang sudah terdesak dan terjepit? Lalu marah-marah kepada orang yang sudah tidak berdaya, ini bukanlah sikap seorang ksatria!”
Muka Raden Suseno yang tadinya merah karena marah itu, kini menjadi pucat. “Tapi… tapi…” ia tak dapat melanjutkan katanya, dan Adipati Wiguna yang merasa kasihan kepadanya dan menganggap ucapan Roro Santi tadi keterlaluan berkata menghibur.
“Sudahlah, Raden Suseno, apakah yang dapat kami lakukan terhadap mereka? Kekuasaan Kompeni amat besar, terutama semenjak mereka mengadakan pertemuan dengan Gusti Sunan dulu. Kita menentang berarti bencana. Kita harus bersabar, karena kau sendiri tahu betapa besarnya kekuasaan Letnan Dolleman.”
Raden Suseno menarik napas dan menggertakan giginya. “Sudah bosan saya terhadap kekuasaan asing ini! Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Roro Santi, aku takkan tinggal diam! Dolleman harus bertanggung jawab!” Setelah mengucapkan kata keras ini, dengan muka marah Raden Suseno lalu pergi meninggalkan gedung itu tanpa pamit.
* * * * *
Dengan disaksikan oleh banyak orang-orang bangsawan dan penduduk Jepara, juga Raden Suseno yang berdiri di tempat agak jauh sambil menggigit bibirnya, Roro Santi naik ke atas kapal, dijemput oleh Letnan Dolleman yang mengenakan pakaian prajurit yang mewah dan indah.
Sesuai dengan kehendak Dolleman, tak seorangpun pelayan dan pengiring boleh ikut, dan Roro Santi hanya dikawani oleh barang-barangnya yang sebagian besar didapat dari sumbangan orang. Sebuah tandu, sebuah peti pakaian berukir indah, dan beberapa kopor kayu ikut diangkut naik ke atas perahu besar itu dan diletakkan di dalam kamar Roro Santi yang telah disediakan di situ, sebuah kamar yang cukup mewah, indah, dan besar.
Roro Santi merasa dirinya asing ketika masuk ke dalam kamar ini akan tetapi hatinya tenang dan sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut dan gelisah.
Kapal itu mulai bergerak ketengah, diikuti oleh sorak-sorai para pengantar di pantai. Dianatara sorak-sorai ini terdengar isak tangis isteri Adipati dan suaminya berdiri diam dengan muka pucat dan bibir bergerak-gerak. Adipati Wiguna sedang berdoa untuk keselamatan puteri tunggalnya.
Selanjutnya,