Dewa Arak - Angkara Si Anak Naga

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Angkara Si Anak Naga Karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak - Angkara Si Anak Naga

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
"Taksaka...! Anakku, dimana kau?!"

Seruan keras itu terdengar berkali-kali dari mulut seorang wanita muda berpakaian coklat. Dengan mata berlinang dia mengawasi ke sana kemari berusaha mencari putranya. Namun sampai di tanah lapang berumput, tempat anaknya tadi bermain pun tidak ditemukan.

Kakinya terus melangkah menyusuri semak-semak, barangkali anaknya masihberadadi situ. Mulutnya terus-menerus menyerukan panggilan terhadap sang Anak. Wanita berpakaian coklat itu mengayunkan langkah seraya mengedarkan pandangan kesana-kemari.

Namun tiba-tiba dia mengerutkan kening ketika melihat dua sosok keluar dari rimbun pepohonan tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Keparat..! Kalian lagi rupanya...! Tak bosan-bosannya kalian mengejar kami!" dengus wanita berpakaian coklat itu penuh perasaan geram.

Dua sosok yang mengenakan pakaian serba hitam dan ikat kepala dengan warna sama tertawa bergelak. Kedua orang itu masing-masing hanya mempunyai satu mata.

"Selama kau belum memenuhi permintaan kami, jangan harap kalian berdua akan hidup tenang!" tegas salah satu dari dua sosok itu, yang mata kirinya buta.

"Benar!" sambung yang mata kanannya buta, "Penuhilah permintaan kami! Percayalah, setelah urusan yang kami maksud selesai, anakmu akan kami kembalikan!"

"Tutup mulutmu, Kucing-kucing Picak!" sahut wanita berpakaian coklat dengan nada menantang. "Kalian boleh saja membawanya kalau mampu melangkahi mayatku...!"

"Keparat!"

Hampir berbareng dua sosok berpakaian hitam yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun, menggeram marah. Julukan mereka sebenarnya Sepasang Harimau Hitam, tetapi wanita berpakaian coklat menyebut dengan julukan Kucing-kucing Picak. Karuan saja keduanya marah karena merasa tersinggung.

Namun ternyata bukan hanya Sepasang Harimau Hitam itu yang bangkit kemarahannya, wanita berpakaian coklat pun demikian. Diawali teriakan keras yang melengking nyaring, dia menerjang Harimau Hitam yang picak sebelah kiri.

Jari-jari tangannya yang menegang kaku disodokkan bertubi-tubi ke dada dan ulu hati lawannya. Bunyi bercicitan nyaring mengiringi serangan wanita berpakaian coklat. Hal itu membuat Sepasang Harimau Hitam tidak berani bertindak gegabah. Harimau Hitam yang picak mata sebelah kanannya, langsung melompat menjauh.

Sedangkan kawannya yang mendapatkan serangan, langsung menggeser kaki ke kanan, sehingga serangan itu lewat di samping kiri pinggangnya. Kemudian tangan kanannya yang membentuk cakar menyambar cepat ke perut wanita berpakaian coklat.

Wanita berpakaian coklat terperanjat mendapat serangan balasan yang tidak disangka-sangkanya itu. Namun ia tak tampak kegugupan sedikit pun. Buru-buru tubuhnya didoyongkan ke belakang seraya menarik pulang kedua tangannya. Namun hanya sampai pertengahan jalan, karena kemudian dengan kedudukan jari-jari tangan mencakar, dipapaknya serangan lawan.

"Hih...!"

Prat! Prat..!

Terdengar benturan keras ketika dua tangan sama-sama dialiri tenaga dalam itu beradu. Akibatnya, baik wanita berpakaian coklat maupun lawannya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.

Lelaki berpakaian hitam menggeram murka karena menyadari dalam gebrakan pertama tadi dia hampir celaka! Maka sambil berteriak nyaring, diterjangnya wanita berpakaian coklat yang langsung menyambutinya. Sesaat kemudian, kedua orang itu pun sudah terlibat dalam pertarungan sengit. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Harimau Hitam yang bermata picak sebelah kanan untuk meninggalkan tempat pertarungan.

Sebab dia yakin kalau kawannya akan mampu menghadapi perempuan itu. Jurus demi jurus saling mereka keluarkan untuk berusaha menjatuhkan lawan. Hingga pada satu ketika...,

"Hiaaa...!"

Bukkk!

"Hukh!" Pekikan tertahan keluar dari mulut wanita berpakaian coklat ketika pukulan Harimau Hitam telak dan keras sekali mendarat di perutnya. Seketika tubuhnya terbungkuk lalu terhuyung-huyung ke belakang. Wajahnya yang merah padam dengan sepasang mata membelalak lebar memperlihatkan betapa hebat rasa sakit yang dideritanya.

Namun lelaki berpakaian hitam itu tidak berhenti hanya sampai di situ. Diburunya tubuh wanita berpakaian coklat yang masih terhuyunghuyung dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun. Mungkin kalau serangan itu mengenai sasaran, nyawa wanita berpakaian coklat sulit untuk dapat diselamatkan. Ketika keadaan benar-benar gawat mengancam wanita berpakaian coklat, tiba-tiba....

Takkk!

"Akhhh!" Harimau Hitam memekik tertahan ketika merasakan sekujur tangannya bagaikan lumpuh. Tubuhnya pun terdorong ke samping dan terhuyung-huyung, bahkan hampir jatuh terjengkang, kalau dia tidak cepat-cepat menahannya. Dan begitu berhasil memperbaiki kedudukan, Harimau Hitam yang mata kirinya picak ini langsung mengarahkan pandangan ke tempat wanita berpakaian coklat tadi berada.

Di hadapan wanita berpakaian coklat itu, berdiri seorang pemuda berpakaian ungu. Rambutnya yang berwarna putih keperakan dan panjang hingga ke punggung dibiarkan tergerai dipermainkan angin. Dan di bahu pemuda berambut putih keperakan itu terpanggul sesosok tubuh berpakaian putih.

Harimau Hitam menggereng keras laksana binatang buas terluka. Dia merasa geram bukan kepalang melihat kegagalan mengirimkan serangan terakhir pada lawannya. Walaupun tengah dilanda amarah yang memuncak, Harimau Hitam bukan orang bodoh.

Dia tahu kalau pemuda berambut putih keperakan itu tidak bisa disamakan dengan wanita berpakaian coklat. Rasa sakit pada tangannya akibat benturan yang terjadi telah memberikannya petunjuk, kalau tenaga pemuda berambut putih keperakan itu amat kuat dan jauh berada di atasnya!

Oleh karena itu, tanpa sungkan-sungkan lagi segera dihunus senjatanya. Sebuah golok yang ujungnya terbelah dua, membiaskan sinar yang menyilaukan mata ketika keluar dari sarungnya.

Singngng!

Bunyi mendesing yang cukup nyaring terdengar ketika Harimau Hitam membabatkan goloknya ke leher pemuda berambut putih keperakan secara mendatar. Serangan itu begitu cepat, sehingga yang terlihat hanya sekelebatan sinar menyilaukan mata meluncur cepat ke arah lawannya.

Namun pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak memberikan tanggapan. Karuan saja Harimau Hitam merasa heran bercampur girang. Disangkanya pemuda itu bingung untuk mengelakkan serangannya yang dilancarkan secara cepat.

Namun kegembiraannya hanya berlangsung sekejap, berganti dengan keterkejutan hebat. Ketika goloknya yang menghantam leher pemuda berambut putih keperakan membalik, bagaikan menghantam benda kenyal. Bunyi berdetak nyaring mengiringi benturan mata golok pada leher pemuda berambut keperakan. Tangan Harimau Hitam bergetar, bahkan telapak tangannya dirasakan panas.

Harimau Hitam terbelalak kaget, melihat kenyataan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Benarkah pemuda berambut putih keperakan itu memiliki ilmu kebal, ataukah memiliki tenaga dalam kuat sehingga kulitnya tidak mampu ditembus goloknya. Rasanya mustahil! Harimau Hitam tidak percaya!

Rasa tidak percaya membuat Harimau Hitam memutuskan untuk melakukan serangan lagj. Goloknya diputar-putar di depan dada sampai lenyap bentuknya karena kecepatan putarnya. Kemudian dengan diiringi teriakan melengking nyaring, dikirimkan serangan berupa tusukan bertubi-tubi ke arah ulu hati, dada, dan pusar.

Seperti juga sebelumnya, pemuda berambut putih keperakan itu tak menunjukkan tanggapan apa pun. Dia tetap berdiam diri dengan senyum tersungging di bibir. Akibatnya, ujung-ujung golok Harimau Hitam mengenai sasaran yang dituju secara tepat. Namun seperti tadi, lelaki berpakaian hitamitu tercengang dengan mata terbelalak.

"Bagaimana?" tanya pemuda berambut putih keperakan ketika melihat Harimau Hitam terpaku dengan golok di tangan, sehabis memperbaiki kedudukannya yang terhuyung-huyung. "Masih penasaran? Silakan, pilih bagian yang paling empuk!"

Harimau Hitam menggeram keras. Kemudian setelah mengeluarkan geraman keras, dibalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan pemuda berambut putih keperakan itu. Rupanya dia menyadari kalau lawan yang dihadapi terlalu kuat untuk dirinya!

Pemuda berpakaian ungu itu tidak mengejar. Dia hanya menatap kepergian lawannya hingga tubuh berpakaian hitam itu lenyap di kejauhan. Kemudian dibalikkan tubuhnya, menghadapi wanita berpakaian coklat yang baru saja selesai membersihkan matanya dari debu.

"Terima kasih atas pertolonganmu...."

"Arya Buana. Panggil saja Arya!" jabar pemuda beramput putih keperakan yang tahu kalau wanita berpakaian coklat itu mengalami kesulitan untuk menyebutnya.

"Aku Nawangsuri. Tapi orang-orang biasa memanggilku, Nawang," wanita berpakaian coklat itu punmemperkenalkan diri.

"Harap turunkan aku, Arya! Aku sudah lebih segar sekarang," selak sosok berpakaian putih yang berada di bahu Arya Buana.

Pemuda berambut putih keperakan yang dikalangan persilatan lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak itu tersenyum. Kemudian segera diturunkan sosok berpakaian putih yang dipanggul di pundaknya.

"Ayah...!" seru Nawangsuri. Matanya terbelalak tidak percaya ketika melihat sosok bepakaian putih yang kini telah berdiri di depannya.

"Nawang...!" Sosok berpakaian putih yang ternyata seorang lelaki tua berambut putih, ikut berseru pula seraya mengembangkan tangan menyambut uluran tangan Nawangsuri. Sesaat kemudian ayah dan anak itu saling berpelukan erat.

"Apa yang terjadi, Ayah?" tanya Nawangsuri seraya melepaskan pelukannya. "Dan mengapa Ayah terluka?"

"Ceritanya cukup panjang, Nawang," jawab lelaki tua berambut putih itu sambil menghela napas berat "Kalau saja tidak ada Nak Arya ini, mungkin aku telah tidak ada di dunia lagi sekarang."

Kakek berambut putih itu menghela napas berat lagi sebelum melanjutkan ucapannya. Sementara Nawangsuri menunggu kelanjutannya dengan sabar. Ayah dan anak seakan lupa akan kehadiran Dewa Arak di situ.

"Begitu suratmu kuterima, aku langsung berangkat untuk menjumpaimu. Tapi rupanya, hal yang sangat kau rahasiakan itu telah tercium oleh tokoh-tokoh persilatan. Maka, mereka secara diam-diam menguntit kepergianku. Sayang, aku tidak mengetahuinya. Dan baru setelah berada di kaki gunung ini, secara kebetulan aku melihat beberapa sosok bayangan. Karena curiga, perjalanan tidak kulanjutkan. Hal itu rupanya diketahui oleh para penguntitku, sehingga mereka tidak sabar lagi dan memaksaku dengan kekerasan untuk memberitahukan ke mana aku akan pergi. Dan karena aku tidak mau mengatakan, pertarungan pun terjadi."

Sampai di sini kakek berambut putih itu menghentikan ceritanya. Sementara Dewa Arak yang sengaja membiarkan kedua ayah dan anak itu saling melepaskan rindu jadi termenung sendiri. Dia teringat akan pengalaman yang membuatnya berjumpa dengan lelaki tua itu dan menolongnya.

* * *

Siang itu udara sangat panas. Mentari bersinar terik seakan hendakmembakar permukaan bumi. Angin yang berhembus pun terasa kurang nyaman. Arya yang tengah melakukan perjalanan pengembaraan menyempatkan diri beristirahat di tepi sungai. Tubuhnya disandarkan pada sebatang pohon, duduk menghadap ke sungai. Tangannya memegang ranting kecil dicelupkan ke air sungai.

Tentu saja Arya tidak memancing secara biasa. Pemuda berpakaian ungu ini mengerahkan tenaga dalam untuk menarik ikan agar dapat menempel di ujung ranting yang dipegangnya. Sebuah hal yang tidak sulit bagi seorang pendekar sakti seperti Dewa Arak, yang memiliki tenaga dalam sempurna.

Sesaat kemudian, tampak Arya telah menarik rantingnya yang dicelupkan ke dalam air. Dan, di ujung ranting itu tampak bertengger beberapa ekor ikan! Dengan senyum ceria, Arya melemparkannya ke darat, hingga ikan-ikan itu menggelepar-gelepar.

Arya membuang pancing istimewanya, dan bermaksud menangkap ikan-ikan yang sedang menggelepar-gelepar itu. Tapi, gerakan tangannya terhenti dan sepasang matanya menatap membelalak ke sebelah kanannya! Keterkejutan tampak jelas pada wajah dan sorot matanya.

Untuk pertama kalinya, Dewa Arak yang pandai menyimpan perasaan tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya! Berjarak dua tombak di sebelah kanannya, tengah duduk seorang kakek yang sudah amat tua. Tubuhnya yang kurus kering dan keriput, terbungkus pakaian abu-abu. Rambut di kepalanya serta kumis dan jenggotnya yang panjang telah memutih.

Bahkan bulu-bulu hidung yang tampak menerobos keluar juga berwarna putih. Seperti juga Arya, kakek ini tengah memancing! Sikapnya tidak peduli, seakan-akan tidak tahu kalau keberadaannya menyebabkan Arya kaget bukan kepalang.

Dewa Arak tentu saja terkejut bukan kepalang. Tadi, dia yakin benar kalau di tempat itu hanya ada dirinya, tidak ada orang lain lagi. Namun, mengapa kakek berpakaian abu-abu ini bisa berada di situ tanpa diketahuinya. Dari sini saja Arya dapat memperkirakan ketinggian ilmu kakek itu.

Setidak-tidaknya kehebatan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga keberadaannya di tempat itu tidak terdengar. Padahal, Arya mempunyai pendengaran yang sangat tajam! Tanpa dapat mencegah lagi, Arya merasakan jantung di dadanya berdebar tegang.

DUA

Menyadari kalau kakek berpakaian abu-abu itu bukan orang sembarangan, Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Dirinya tidak ingin melakukan tindakan yang menyebabkan terjadi bentrokan antara mereka. Maka dia pun berpura-pura tak melihat keberadaan kakek berpakaian abu-abu. Lalu segera memunguti ikan-ikan yang berhasil didapatnya.

"Sayang sekali...! Dunia persilatan sedang goncang dan kacau, tapi seorang pendekar muda bersenang-senang memuaskan perut dan bersikap tidak peduli.Hhh... sungguh memprihatinkan!"

Suasana di sekitar tempat itu hening, tak heran kalau ucapan yang meskipun tidak keras itu, terdengar nyaring dan jelas tertangkap telinga Arya. Untuk kedua kalinya, tangan pemuda berambut putih keperakan itu terhenti. Sebagai seorang pendekar yang meskipun masih muda namun memiliki pengalaman cukup banyak, Arya tahu kalau ucapan itu ditujukan pada dirinya.

Meskipun asal suara itu tidak jelas, dirinya berani bertaruh kalau kakek berpakaian abu-abu itulah yang mengucapkannya. Sebab, hanya mereka berdualah yang beradadi tempat itu.

Yakin akan kebenaran dugaannya membuat Arya semakin menyadari kehebatan kakek berpakaian abu-abu itu. Suara yang terdengar tanpa dapat diketahui asalnya, dan seperti berasal dari delapan penjuru itu telah membuatnya benar-benar yakin akan ketinggian ilmu yang dimiliki si kakek berpakaian abu-abu.

Meskipun tahu kalau sindiran itu ditujukan padanya, Arya tidak merasa tersinggung sama sekali. Dilepaskan ikan-ikan yang baru digenggamnya, lalu dilayangkan pandangan ke arah kakek berpakaian abu-abu, dia berharap kakek itu akan menoleh kepadanya dan menjelaskan maksud ucapan tadi.

Namun, keinginan Dewa Arak tidak terkabul. Kakek berpakaian abu-abu itu tidak menoleh sama sekali, tetap sibuk dengan rantingnya yang dicelupkan ke dalam air sungai. Kenyataan itu membuat Arya agak ragu, benarkah kakek berpakaian abu-abu yang mengucapkan perkataan yang jelas-jelas ditujukan padanya?

Untuk sesaat pemuda berambut putih keperakan itu itu tercenung di tempatnya. Namun, rasa penasaran yang kuat memaksanya untuk mengayunkan kaki menghampiri kakek berpakaian abu-abu yang tetap tidak menunjukkan tanggapan apa pun. Seakan-akan dia tidak tahu kalau Dewa Arak tengah kebingungan dan penasaran.

"Maaf..., mengganggu sebentar, Kek," ucap Arya sopan, setelah berada di dekat kakek itu. Si kakek berpakaian abu-abu tetap tidak menoleh, seakan tak mengetahui kehadirannya. "Apakah kau yang telah mengucapkan kata-kata tadi, Kek?"

"Kalau benar mengapa, Anak Muda?" tanya kakek berpakaian abu-abu tanpa mengalihkan pandangan dari rantingnya.

"Tidak apa-apa, Kek," jawab Arya cepat. "Maaf, aku merasa berterima kasih sekali mendapat pemberitahuan itu, apalagi jika Kakek bersedia memberikan penjelasan ucapanmu itu."

"Ha ha ha...!" Mendadak kakek berpakaian abu-abu itu tertawa tergelak sambil menoleh ke arah pemuda di sampingnya.

Dewa Arak seketika terbelalak kaget, karena mengenal siapa adanya kakek ini. "Kiranya kau, Kek...! Kau..., kau... Ki Jaran Sangkar! Ah, sampai hati kau mempermainkanku, Kek!" seru Arya agak terputus-putus karena kaget.

"Ha ha ha...!" Kakek berpakaian abu-abu yang ternyata Jaran Sangkar, tertawa terbahak-bahak dengan tarikan wajah menyiratkan kegembiraan. Seperti juga Arya, dia merasa gembira dengan pertemuan ini. "Kau masih tetap seperti dulu, Arya. Sabar dan tidak mudah terpancing amarah."

"Kau bisa saja, Ki," jawab Arya agak malu-malu. Sekarang pemuda berambut putih keperakan itu tidak merasa penasaran sama sekali dengan kejadian-kejadian menakjubkan yang dialaminya barusan. Dirinya tahu kalau Jaran Sangkar memiliki kepandaian sukar untuk diukur. (Untuk mengetahui lebih jelas tentang Jaran Sangkar, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: Kembalinya RajaTengkorak.)

"Oh, iya, Ki. Bisa kau jelaskan maksud ucapanmu tadi?" pinta Arya setelah beberapa saat lamanya terlibat percakapan dengan si kakek sakti itu.

"Aku pun hanya mengetahui secara kebetulan saja, Arya," jawab Jaran Sangkar dengan raut wajah sungguh-sungguh. "Dunia persilatan akan terancam bahaya besar, apabila anak ajaib ini terjatuh ke tangan tokoh golongan hitam."

"Bisa kau ceritakan lebih jelas lagi, Ki?" tanya Arya penasaran. Karena apabila seorang tokoh sakti seperti Jaran Sangkar sampai khawatir, bisa dipastikan masalah itu bukan main-main.

"Seorang tokoh sakti golongan putih yang sekarang telah menjadi kakek-kakek dan berjuluk Prajurit Kerajaan Dewa, mendapat surat dari anaknya. Isi surat itu menceritakan bahwa anak wanita satu-satunya telah melahirkan seorang bocah ajaib.

Sejak bocah ajaib masih bayi, anak Prajurit Kerajaan Dewa itu, beserta sang suami terpaksa membawanya kabur, meninggalkan tempat kediamannya. Mereka mengasingkan diri di tempat yang tersembunyi selama bertahun-tahun.

Anak Prajurit Kerajaan Dewa baru mengirim surat ketika bayinya telah berusia sepuluh tahun. Tapi sayang, entah bagaimana, isi surat itu bocor dan Prajurit Kerajaan Dewa dikuntit tokoh-tokoh persilatan. Mereka bermaksud mengambil bocah ajaib itu secara paksa dari ibunya. Asal kau tahu saja, Arya, meskipun masih bocah, kepandaiannya luar biasa!"

Jaran Sangkar menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas dan membasahi tenggorokannya. Arya, meskipun merasa penasaran dan tertarik untuk segera mendengarkan kelanjutan cerita itu, terpaksa menunggu dengan sabar.

"Meskipun aku tahu kepandaian Prajurit Kerajaan Dewa amat tinggi, tapi aku yakin dia tidak akan sanggup menghadapi tokoh-tokoh persilatan yang menginginkan cucunya. Dan bila bocah itu sampai jatuh ke tangan tokoh golongan hitam, berarti bencana bakal datang bagi dunia persilatan. Aku yakin, tak akan ada seorang tokoh pun yang sanggup menentang angkara murka bocah ajaib itu!"

"Kalau begitu, biar aku menyediakan tenagaku yang tidak seberapa ini untuk mencegah terjadinya bencana mengerikan itu, Ki!" ujar Arya menawarkan diri.

"Memang demikian seharusnya, Arya! Sekarang, pergilah kau ke Gunung Pangrango!"

Setelah berkata demikian, Jaran Sangkar lalu bersiul. Suaranya keras bukan kepalang, membuat Arya terpaksa mengerahkan tenaga dalam karena merasakan dadanya tergetar hebat. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan itu merasa heran melihat tindakan yang dilakukan Jaran Sangkar.

Namun keheranan Arya berganti keterkejutan ketika mendengar bunyi kelepak sayap burung besar. Dilihatnya seekor burung garuda berwarna kuning keemasan menukik turun sambil memekik nyaring melengking. Daun-daun pohon bergetar hebat oleh kekuatan kepak sayap burung yang dalam sekejap saja telah hinggap di depan Jaran Sangkar.

"Angkasa, bawa kawanku ini ke Gunung Pangrango! Patuhi perintahnya," ucap Jaran Sangkar seperti berbicara pada manusia. "Dan ingat, setelah itu kau harus kembali lagi kemari. Mengerti?"

Burung garuda emas yang tingginya hampir menyamai Arya itu mengeluarkan bunyi seakan-akan mengiyakan. Jaran Sangkar pun mempersilakan Dewa Arak naik di pungung burung raksasa itu.

Dewa Arak bimbang. Namun karena dirinya percaya penuh pada Jaran Sangkar, lagi pula perjalanan menuju Gunung Pangrango amat jauh, segera memberanikan diri menaiki punggung Angkasa, si Burung Raksasa itu. Sesaat kemudian, burung garuda emas itu terbang membawa tubuh Arya serta menuju tempat tujuan yang bila ditempuh dengan ilmu lari cepat memakan waktu berhari-hari.

* * *

Pada saat yang bersamaan dengan terbangnya garuda emas, kakek berambut putih yang tidak lain Prajurit Kerajaan Dewa, mulai melihat adanya sosok-sosok bayangan yang menguntitnya. Kini dia berada di kaki Gunung Pangrango. Kakek berambut putih itu pun menghentikan perjalanannya.

"Keluar kau, Pengecut Hina!" seru Prajurit Kerajaan Dewa dengan lantang. Matanya mengawasi ke sekelilingnya, yang berupa hamparan padang rumputdi luar hutan.

"Haha ha...!"

Suara-suara tawa yang keras dan tidak sedap didengar telinga langsung menyambuti seruan Prajurit Kerajaan Dewa. Menilik dari banyaknya tawa, bisa diketahui kalau pemiliknya tidak hanya satu orang. Ternyata benar. Sesaat kemudian sebelum suara tawa itu lenyap, berkelebat sesosok bayangan yang langsung berdiri di depan Prajurit Kerajaan Dewa.

"Tak kusangka! Semakin tua, mata dan telingamu semakin tajam saja, Prajurit!" seru sosok yang baru datang itu dengan senyum sinis terkembang di wajahnya.

Sosok yang berdiri di hadapan Prajurit Kerajaan Dewa terlihat aneh. Sesosok tubuh manusia bertubuh dan kepala dua. Namun kedua sosok itu berdiri dengan sepasang kaki. Secara jelasnya sosok itu adalah dua orang. Namun sosok yang satu lagi berdiri atau lebih tepatnya lagi bertengger di leher sosok yang lain, karena sosok itu tidak mempunyai batang kaki lagi. Kedua kakinya putus, sampai ke pangkal paha.

Usia sosok yang tidak mempunyai kaki itu sulit untuk diterka, tapi yang jelas tak kurang dari lima puluh tahun. Wajahnya bersih tanpa terhias bulu. Sebuah topi bundar yang bertengger di atas kepala membuat wajahnya sulit untuk dikenali.

Sosok yang satu lagi, walaupun memiliki sepasang kaki lengkap, tidak lebih beruntung dari rekannya, karena sepasang matanya buta. Dengan memanggul si buntung dia pun memperoleh keuntungan dari jerih payahnya itu. Dengan sepasang mata si buntung, dia tidak akan mengalami kesukaran untuk berjalan. Kedua sosok ini bisa saling menutupi kekurangan masing-masing.

Bagi orang awam mungkin melihat kedua orang ini akan menimbulkan rasa iba. Namun tidak demikian halnya bagi tokoh-tokoh persilatan. Justru kedua sosok cacat ini ditakuti karena kepandaian dan kekejamannya.

Lelaki yang berkaki buntung itu terkenal sebagai seorang bajak laut yang merajai berbagai sungai, menyebar kejahatan. Kejahatannya semakin merajalela setelah sepasang kakinya dibuntungi oleh seorang pendekar yang berusaha mencegah keangkara-murkaannya. Hal yang sama pun menimpa kawannya. Pendekar yang melakukan hal itu tak lain Prajurit Kerajaan Dewa, belasan bahkan mungkin puluhan tahun lalu.

Itulah sebabnya kedua tokoh hitam yang sebenarnya mempunyai julukan Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti mengenal Prajurit Kerajaan Dewa. Berbeda dengan kedua tokoh hitam itu yang langsung mengenali musuh bebuyutannya, Prajurit Kerajaan Dewa tidak demikian. Dia tertegun sesaat, memperhatikan kedua sosok ganjil itu.

"Ah, kiranya kalian, Iblis-iblis Haus Darah! Apakah peristiwa belasan tahun lalu belum membuat kalian kapok? Apakah kedatangan kalian kemari, mencegat perjalananku untuk balas dendam?!"

"Kau salah duga, Prajurit!" sahut lelaki berkaki buntung yang berjuluk Nelayan Pemancing Nyawa. "Kami tidak bermaksud membalas dendam padamu! Bukankah demikian, Petani?!"

Lelaki bermata buta yang berjuluk Petani Berjari Sakti, menganggukkan kepala. "Apa yang dikatakan Nelayan Pemancing Nyawa tidak salah, Prajurit Kerajaan Dewa! Kami tidak bermaksud membalas dendam atas perlakuanmu belasan tahun lalu. Kalau kami mau tentu saja telah kami lakukan ketika kami melihatmu meninggalkan tempat kediaman beberapa hari yang lalu!"

Prajurit Kerajaan Dewa bukan orang bodoh. Dia takkan begitu saja menelan mentah-mentah ucapan tokoh-tokoh golongan hitam yang telah terbiasa bertindak licik itu. Prajurit Kerajaan Dewa tidak percaya dua tokoh sesat itu akan membiarkan begitu, saja persoalan mereka. Pasti ada alasan lain.Dan dia bisa memperkirakan alasan itu.

"Tidak usah berpura-pura baik hati, Nelayan Pemancing Nyawa, Petani Berjari Sakti!" tukas Prajurit Kerajaan Dewa, tegas. "Aku tahu, orang-orang macam apa kalian! Jadi tak ada gunanya berbohong, lebih baik katakan maksud kalian yang sebenarnya...!"

"Ha ha ha...!" Nelayan Pemancing Nyawa tertawa bergelak untuk menenangkan hatinya karena Prajurit Kerajaan Dewa dapat menebak maksud mereka. "Memang lebih baik berterus terang terhadap orang seperti dirimu, Prajurit! Ketahuilah, kami bersedia tidak memperpanjang persoalan lama apabila kau bersedia menunjukkan di mana putrimu!"

"Sudah kuduga maksud kalian ke sana!" sahut Prajurit Kerajaan Dewa. "Tapi jangan harap aku akan membentahukannya! Aku, Prajurit Kerajaan Dewa, bukan orang yang takut mati! Tak akan kuberitahukan di mana putriku berada meskipun untuk itu nyawaku harus melayang! Majulah kalian, Manusia-manusia Busuk!"

"Keparat! Kau mencari mati, Prajurit! Rupanya kau merasa bangga karena dapat mengalahkanku dulu! Tapi, sekarang jangan harap kemenanganmu akan terulang! Kau akan menjadi mayat tanpa kubur di sini. Hih!"

Srrr!

Prajurit Kerajaan Dewa segera merendahkan rubuhnya ketika senjata Nelayan Pemancing Nyawameluncur ke arah kepalanya. Senjata lelaki berkaki buntung yang ternyata sebatang pancing, lengkap dengan tali, dan mata kailnya hampir saja mengenai pelipis. Untung lelaki tua itu bertindak cepat. Prajurit Kerajaan Dewa tahu apabila mata kail berhasil mendarat pada sasaran, nyawanya akan melayang ke alam baka.

Namun belum juga Prajurit Kerajaan Dewa sempat berbuat sesuatu, Petani Berjari Sakti telah melancarkan tendangan kaki kanan. Semula yang dituju adalah perut atau dada, tapi karena Prajurit Kerajaan Dewa, tengah merendahkan tubuh, serangan itu cepat beralih ke kepala.

Prajurit Kerajaan Dewa terkejut bukan kepalang, tapi sedikitpun tak ada rasa gugup. Dilempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara untuk menjauhkan diri. Sehingga serangan Petani Berjari Sakti hanya mengenai tempat kosong.

Petani Berjari Sakti dan Nelayan Pemancing Nyawa tidak hanya bertindak sampai di situ. Ketika Prajurit Kerajaan Dewa melompat jauh ke belakang, mereka berdua memburunya. Kemudian kedua tokoh sesat itu melancarkan serangan bertubi-tubi yang membuat Prajurit Kerajaan Dewa tidak bisa tinggal diam.Pertarungan sengitpun berlangsung.

Dalam gebrakan-gebrakan pertama, hanya Nelayan Pemancing Nyawa yang mempergunakan senjata. Namun seterusnya baik Petani Berjari Sakti maupun Prajurit Kerajaan Dewa mengeluarkan senjata masing-masing. Lelaki bermata buta itu mempergunakan senjata khas petani, cangkul bergagang melengkung. Senjata yang menggiriskan hati karena Prajurit Kerajaan Dewa diumpamakan tanah yang akan dicangkulnya.

Sementara Prajurit Kerajaan Dewa seperti juga kedua lawannya memiliki senjata khas prajurit kerajaan. Sebuah golok dilengkapi dengan sebuah perisai baja berbentuk bundar dan dipegang di tangan kiri. Lengan kiri dimasukkan di tali belakang perisainya.

Prajurit Kerajaan Dewa ternyatamasihmampu menunjukkan kelihaiannya.Meskipun cangkul Petani Berjari Sakti berkelebat ke sana kemari memburu sasaran, lelaki tua berjubah putih itu masih mampu mengatasi lawannya. Dengan senjata berupa cangkul itu tampaknya Petani Berjari Sakti tak mampu menembus pertahanan lawan.

Ke mana saja cangkulnya menyambar, perisai lawan telah siap menangkis dan dengan kuatnya melindungi tubuh Prajurit Kerajaan Dewa. Sialnya lagi, sekali perisai itu menangkis cangkul, selalu dibarengi dengan sabetan golok yang tiba-tiba dan tak terduga. Hal inilah yang menyebabkan Petani Berjari Sakti mati kutu.

Untung saja ada Nelayan Pemancing Nyawa. Lelaki berkaki buntung itu terus berusaha menyelamatkan kawannya dengan melancarkan serangan, membuat Prajurit Kerajaan Dewa terpaksa harus membatalkan serangannya.

Serangan pancing Nelayan Pemancing Nyawa benar-benar luar biasa. Senjatanya yang lentur bila sudah dialiri tenaga dalam, tidak begitu saja dapat ditangkis dengan perisai sebab arah serangannya sulituntuk diduga.

Kalau saja kedua lawannya maju satu persatu, tentu Prajurit Kerayaan Dewa sanggup menghadapi dengan senjata khasnya. Meskipun di dalam hati dia mengakui tingkat kepandaian kedua lawannya kini telah mengalami banyak perkembangan. Dua lawan untuk dihadapinya secara bersamaan terlalu berat. Apalagi masing-masing memiliki kemampuan istimewa dan senjata unik.

Itu pun masih ditambah lagi dengan kerja sama yang kompak, saling melindungi dan memperkuat serangan. Perlahan tapi pasti Prajurit Kerajaan Dewa berhasil didesak. Pancing di tangan Nelayan Pemancing Nyawalah yang membuatnya kerepotan.

Semakin lama kedudukan Prajurit Kerajaan Dewa semakin mengkhawatirkan. Pada saat memasuki jurus kelima puluh serangan-serangan yang dilancarkan hampir tidak adalagi. Dia hanya mampu bergerak kesana kemari mengelak sambil menangkis serangan gencar lawan. Lelaki tua berjubah putih itu terus terdesak mundur. Hingga satu ketika...,

"Hiaaa...!"

Prattt!

"Akh...!" Prajurit Kerajaan Dewa terpekik kaget ketika mata kail yang cukup besar merobek tengkuknya. Seketika darah mengalir keluar dari bagian yang terluka. Kakek berpakaian putih ini tidak sempat mengelak atau menangkis serangan, karena tubuhnya dalam keadaan terhuyung-huyung, setelah memapak cangkul Petani Berjari Sakti. Selain itu, dia pun baru saja mengelak dari babatan gagang pancing yang berkelebat cepat.

Namun senjata Nelayan Pemancing Nyawa itu memang luar biasa karena dapat melancarkan serangan ganda. Batang pancing dan mata kailnya menyambar dari arah yang berbeda dan sasaran yang dituju pun berbeda-beda juga.

TIGA

Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berian Sakti tampaknya tak ingin memberi kesempatan pada lawannya untuk memperbaiki kedudukan. Keduanya tidak ingat lagi akan maksud semula untuk memaksa Prajurit Kerajaan Dewa memberitahukan tempat putrinya berada. Yang ada di benak mereka itu hanya ingin melenyapkan nyawa lawannya.

Bahkan karena begitu tak sabar, Nelayan Pemancing Nyawa melompat dari pundak rekannya. Tubuhnya memburu Prajurit Kerajaan Dewa dengan pukulan telapak tangan ke dada lawan. Pada saat yang bersamaan, Petani Berjari Sakti pun mengayunkan cangkulnya ke arah pinggang kanan. Apabila kedua serangan ini mengenai sasaran, tak ampun lagi bagi lelaki tua berjubah putih itu.Nyawanya pasti akan melayang seketika.

Meskipun tengah berada dalam keadaan mengkhawatirkan. Prajurit Kerajaan Dewa masih mampu mempertunjukkan kalau dirinya seorang tokoh persilatan yang punya nama besar. Dalam keadaan terhuyung-huyung itu, dia masih sanggup mengayunkan perisainya untuk memapak sambaran cangkul.

Klangngng!

Kedudukan yang tidak menguntungkan, ditambah lagi dengan tenaganya yang telah terkuras, membuat tubuh Prajurit Kerajaan Dewa terhuyung-huyung ke samping. Bahkan akibat benturan keras itu perisainya terlepas dari pegangan.

Namun justru akibat benturan itu, Prajurit Kerajaan Dewa selamat dari marabahaya. Hantaman telapak tangan Nelayan Pemancing Nyawa tidak mengenai sasaran yang dituju, melainkan bahu kiri! Sungguh pun begitu, cukup untuk membuat tubuh Prajurit Kerajaan Dewa terjengkang ke belakang dengan menyemburkan darah dari mulutnya.

Sementara, Nelayan Pemancing Nyawa setelah berhasil memasukkan serangan langsung melompat kembali ke belakang leher Petani Berjari Sakti. Dengan sorot mata penuh perasaan menang Nelayan Pemancing Nyawa menatap Prajurit Kerajaan Dewa yang tergolek di tanah, tidak berdaya.

"Sekarang terimalah kematianmu, Prajurit!" seru Nelayan Pemancing Nyawa dengan suara bergetar karena amarah yang meluap. Sedangkan Petani Berjari Sakti hanya menganggukkan kepala, pertanda membenarkan ucapan rekannya.

"Hih!"

Seperti telah disepakati sebelumnya, Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti secara serentak melancarkan serangan. Nelayan Pemancing Nyawa menggerakkan senjata uniknya, sehingga tali pancingnya membelit batang pancing. Dengan gerakan cepat batang pancing itu ditusukkan ke arah mata Prajurit Kerajaan Dewa. Sedangkan Petani Berjari Sakti mengayunkan cangkulnya ke arah paha Prajurit Kerajaan Dewa.

Rupanya, kedua tokoh hitam ini telah bersepakat untuk membalas sakit hati mereka belasan tahun lalu. Gempuran demi gempuran terus dilancarkan ke tubuh lelaki tua berpakaian putih itu, tanpa dapat dicegah sedikit pun. Meskipun Prajurit Kerajaan Dewa tetap berupaya mengelak dan menangkis, tak urung serangan gencar itu berkali-kali mendarat di tubuhnya. Darah pun terus mengalir dari tengkuk, dada, perut yang terluka oleh senjata kedua lawannya.

Prajurit Kerajaan Dewa semakin parah karena sudah tidak mampu untuk menggelakkan atau menangkis serangan itu. Keadaan tubuhnya benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Luka parah yang diderita, serta tenaganya yang telah terkuras habis membuat orang tua itu tak mampu berbuat banyak guna menghentikan tindakan kedua tokoh hitam yang menjadi musuh bebuyutannya.

Di saat-saat mara bahaya akan menimpa Prajurit Kerajaan Dewa, mendadak terdengar pekikan melengking nyaring yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti kaget.

Sejenak kedua tokoh hitam itu menggigil menahan kekuatan suara dahsyat yang belum ketahuan dari mana asalnya. Dengan sendirinya serangan terhadap Prajurit Kerajaan Dewa pun terhenti. Keduanya merasakan tenaga dalam yang mereka kerahkan tiba-tiba lenyap seketika. Hal itu pun tak luput dialami oleh Prajurit Kerajaan Dewa yang sudah parah.

Namun Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti sama-sama tokoh hitam yang sangat tangguh. Keduanya tampak mengerahkan seluruh kemampuan tenaga dalam, mengusir kekuatan aneh yang mengungkung tubuh mereka.

Namun sayang, sebelum keduanya sempat berbuat sesuatu, dari atas meluncur dua rentetan angin pukulan dahsyat ke arah mereka. Angin pukulan yang mengandung hawa panas menyengat menandakan kalau pemiliknya memiliki tenaga dalam berhawa panas yang sangat kuat.

Kedua tokoh hitam berkaki buntung dan mata buta itu tampaknya menyadari ada bahaya mengancam jiwa mereka. Dengan cepat keduanya melompat menghindari serangan dahsyat itu. Seketika terdengar ledakan menggelegar. Debu mengepul tinggi ke udara disertai dengan berpentalannya bongkah-bongkahan tanah ke udara, menutupi pandangan.

Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti merasa geram bukan kepalang dengan adanya gangguan ini. Mereka tahu ada orang sakti yang telah menolong calon korban. Kehebatan tokoh yang jelas di atas Prajurit Kerajaan Dewa bisa mereka rasakan dari dahsyatnya pukulan jarak jauh yang tertuju pada mereka.

Walaupun demikian, Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Benari Sakti tampaknya tak merasa gentar sedikitpun. Bahkan keduanya bertekad untuk menyingkirkan perintang itu sekaligus. Dan karena rasa tidak sabar untuk melaksanakan maksud itu, keduanya segera mengerahkan tenaga dalam guna mengusir debu tebal yang menghalangi pandangan mata mereka. Sehingga sesaat kemudian suasana telah kembali seperti sediakala.

Ketika debu telah terusir, tampak berdiri tegap di hadapan mereka seorang pemuda berambut putih keperakan, yang tak lain Dewa Arak. Namun kedua tokoh hitam itu kaget ketika mereka tak melihat Prajurit Kerajaan Dewa. Rupanya ketika keadaan tempat itu diliputi debu tebal, Dewa Arak dengan cepat menyingkirkannya ke tempat yang aman.

"Hai...! Siapa kau, Monyet Kecil?! Sungguh berani kau mencampuri urusanku?" geram Nelayan Pemancing Nyawa penuh kemarahan. Sedangkan Petani Benari Sakti, yang tidak bisa melihat hanya berdiri dengan tarikan wajah menyiratkan kebingungan.

"Arya..., namaku Arya Buana. Dan orang yang hendak kalian bunuh itu adalah kawanku. Itulah sebabnya aku terpaksa ikut campur," jawab Dewa Arak.

"Kalau begitu, nyawamu lebih dulu yang akan kukirimke akherat!"

Sambil mengucapkan ancaman begitu, lelaki berkaki buntung itu telah mengayunkan senjata uniknya. Mata kailnya meluncur cepat menjadi sinar kehitaman yang menyambar ke arah leher Dewa Arak. Sedangkan batang pancingnya berkelebat cepat menusuk ke ulu hati. Dua buah serangan maut!

Sementara itu Petani Berjari Sakti yang tadi hanya mendengar percakapan rekannya langsung melancarkan serangan pula. Lelaki buta ini melancarkan serangan dengan tusukan dua jari tangan kanan dan kirinya. Tentu saja karena jaraknya yang cukup jauh, jari-jari Petani Berjari Sakti tidak akan menyentuh sasaran, tapi ternyata di sini keistimewaan lelaki buta itu.

Tidak percuma mendapat julukan Petani Berjari Sakti, karena angin serangannya pun sudah cukup berbahaya! Angin serangan jari-jarinya tak kalah dengan tusukan senjata tajam! Mampu melubangi sasaran dari jarak jauh!

Serangan yang dilancarkan kedua tokoh hitam itu ternyata sangat dahsyat. Namun bagi Dewa Arak hal itu tentu saja dianggap biasa. Pemuda berambut putih keperakan itu seolah-olah tak mempedulikan serangan Petani Berjari Sakti. Serangan itu dibiarkan saja. Yang dihadapinya hanya serangan Nelayan Pemancing Nyawa. Itu pun dengan cara yang luar biasa.

Serangan mata kail yang melesat ke leher dari arah kanan, dikandaskan dengan kibasan tangan kirinya yang menimbulkan hembusan angin kuat. Mata kail pun terhempas ke arah lain. Sedangkan tusukan batang pancing dielakkan hanya dengan meliukkan tubuh ke kanan tanpa menggeser kaki. Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Keduanya tak menduga kalau pemuda itu akan demikian mudah mematahkan serangan-serangan mereka. Namun yang lebih kebingungan lagi Petani Berjari Sakti. Meskipun matanya tidak dapat melihat, tapi dengan pendengarannya yang tajam, dapat mengetahui kalau lawan tidak mengelak. Dan serangan yang diakukan diketahui mengenai sasaran.

Namun tidak ada akibat lanjutan yang didengar selain bunyi angin tusukan jari-jarinya merobek baju lawannya. Ternyata benar, hasil yang didapat pendengaran Petani Berjari Sakti sesuai dengan kenyataannya.

Kegagalan serangan yang dilakukan, tak membuat Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti kapok. Bahkan sebaliknya serangan serangan lanjutan yang jauh lebih dahsyat segera dilancarkan. Hal itu terjadi karena rasa penasaran dan amarah yang menggelegak.

Terjangan-terjangan dua tokoh hitam itu disambut secara hangat oleh Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak hanya mengelak dan menangkis, tapi juga balas menyerang sehingga pertarungan pun berlangsung. Pertarungan kini berjalan jauh lebih seru dan menarik daripada ketika bertarung dengan Prajurit Kerajaan Dewa.

Seperti juga Prajurit Kerajaan Dewa, Arya pun mengalami sedikit kesulitan dalam menghadapi kedua lawannya yang bergabung dan bekerja sama secara aneh ini. Mereka bisa saling mengisi, saling menguatkan serangan, dan memperkokoh pertahanan. Hingga pertarungan telah berjalan selama dua puluh jurus, Dewa Arak tetap belum mampu mengatasi kehebatan serangan kedua lawannya.

Padahal dirinya telah mengeluarkan ilmu-ilmu andalan yang diwarisi dari almarhum ayahnya, Pendekar Ruyung Maut, yaitu ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Pedang Bintang).

Keadaan seperti itu pun tampaknya dialami pihak Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti. Mereka tak mampu menekan pertahanan lawan. Kedua belah pihak sama-sama mengalami kesulitan untuk mengungguli dan menggempur pertahanan lawan. Pertarungan itu pun berlangsung seimbang dan kian seru.

"Hey...!" Dewa Arak berseru kaget ketika melihat ada sesosok tubuh berpakaian merah tiba-tiba melesat mendekati tempat Prajurit Kerajaan Dewa berada. Dewa Arak langsung bisa memperkirakan hal yang akan terjadi. Sosok berpakaian merah itu hendak mengail di air keruh, mengambil keuntungan di saat kedua belah pihak yang tengah memperebutkan Prajurit Kerajaan Dewa, sibuk saling serang.

Oleh karena itu, Dewa Arak tidak berani bertindak lambat Sambil menjatuhkan tubuh ke tanah untuk menyelamatkan diri dari serangan kedua lawannya, dikirimkan pukulan jarak jauh dengan tangan kiri ke arah sosok berpakaian merah. Apabila sosok berpakaian merah itu meneruskan maksudnya tentu akan terhantam pukulan jarak jauh Dewa Arak.

Jalan untuk lolos dari serangan pemuda berbaju ungu itu hanya mengurungkan maksud dengan melompat menghindarinya. Namun dugaan Dewa Arak ternyata meleset. Sosok berpakaian merah itu memang tak meneruskan maksudnya, namun dengan cepat dikibaskan tangan kirinya menangkis serangan jarak jauh Dewa Arak, Hingga....

Glarrr!

Ledakan keras seperti halilintar menyambar terdengar, ketika dua buah angin pukulan itu berbenturan di tengah jalan. Akibatnya, baik Dewa Arak maupun sosok berpakaian merah sama-sama terjengkang ke belakang. Bahkan keduanya langsung jatuh dan bergulingan di tanah.

Namun Dewa Arak segera mengerahkan kembali tenaga dalamnya mematahkan tenaga dorong itu. Hal yang sama dilakukan pula oleh sosok berpakaian merah. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, kedua tokoh itu mematahkannya.

Sekarang, keduanya berdiri berhadapan dalam jarak sekitar enam tombak. Pertarungan antara Dewa Arak dengan Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Benari Sakti langsung terhenti. Bukan karena dua tokoh hitam itu tidak suka melakukan bokongan di saat lawan tidak siap. Keduanya tengah dilanda keterkejutan menyaksikan kedatangan tokoh berpakaian merah itu.

"Resi Ganda Wisesa...," desis Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti hampir bersamaan dengan mata terbelalak.

Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti mengenal betul tokoh berpakaian merah yang mereka sapa dengan panggilan Resi Ganda Wisesa. Seorang kakek yang tinggal di Gunung Merapi. Tokoh itu terkenal memiliki banyak ilmu tingkat tinggi yang aneh-aneh. Namun yang membuat namanya lebih dikenal orang karena sepak terjangnya yang menggiriskan. Resi Ganda Wisesa terkenal sebagai tokoh sakti yang memiliki watak kejam.

Berbeda dengan Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti, Arya tidak mengetahui sosok berpakaian merah itu merupakan tokoh yang ditakuti karena kepandaian dan kekejamannya. Dia hanya dapat memperkirakan kalau lawannya kali ini amat tangguh, berdasarkan perbenturan tenaga dalam tadi.

Kenyataan ini membuat Dewa Arak bersikap hati-hati. Hal yang sama pun dilakukan pula Resi Ganda Wisesa, karena tahu kalau pemuda berambut putih keperakan itu meskipun usianya masih muda, tak dapat dianggap remeh. Meskipun demikian, kakek berpakaian merah itu tidak merasa gentar. Tidak tersirat dalam pikirannya akan ada orang lain.

Apalagi pemuda yang dapat menandingi kemampuan ilmunya. Selama ini dirinya belum pernah menemukan tokoh yang mampu menandingi ilmu silatnya, baik dari golongan hitam maupun putih.

"Aku pernah mendengar adanya seorang tokoh baru di dunia persilatan. Seorang pendekar muda yang memiliki kesaktian menakjubkan dan terkenal dengan julukan Dewa Arak. Apakah kau orangnya, Macan Kecil?!" tanya Resi Ganda Wisesa dengan nada memandang rendah, setelah memperhatikan Arya dari ujung rambut sampai ujung kaki beberapa saat lamanya.

"Ah, berita itu terlalu dilebih-lebihkan. Mana bisa dibandingkan dengan kepandaian Kakek," jawab Arya tenang dan merendahkan diri. Sama sekali tak terpancing dengan sikap lawan yang meremehkannya.

Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti terkejut bukan kepalang ketika mengetahui kalau pemuda itu ternyata Dewa Arak. Seorang pemuda yang julukannya telah menggemparkan dunia persilatan. Kini rasa penasaran yang sejak tadi menyelimuti hati mereka karena tak mampu mengalahkan pemuda itu sirna! Kabar yang tersebar mengenai kesaktian Dewa Arak telah lama mereka dengar.

Keterkejutan yang melanda hati dua tokoh hitam itu tidak dialami Resi Ganda Wisesa. Kakek berpakaian merah tidak merasa kaget sama sekali mendengar Dewa Arak membenarkan dugaannya. Resi Ganda Wisesa tetap yakin kalau kepandaiannya berada di atas Dewa Arak. Meskipun telah banyak tokoh hitam rimba persilatan bertekuk lutut kepada pendekar muda berambut putih keperakan itu.

"Haha ha...!" Resi Ganda Wisesa yang bertubuh kecil kurus dan berwajah tirus mirip tikus, tertawa bergelak. Lelaki tua ini memang memiliki watak sombong dan senang dipuji, maka sambutan Dewa Arak yang bernada memuji, membuatnya merasa bangga bukan kepalang.

"Kau memiliki watak yang menyenangkan hatiku, Dewa Arak. Dan saat ini hatiku memang tengah merasa senang. Pergilah, jangan mencampuri urusan ini! Aku tidak ingin memperpanjang masalah ini!"

"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Kek. Tapi sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Sebab, urusan ini ada sangkut-pautnya dengan diriku pula. Aku hanya dapat memenuhi permintaanmu jika kau biarkan Prajurit Kerajaan Dewa pergi bersamaku!"

Seketika wajah Resi Ganda Wisesa berubah mendengar kata-kata Dewa Arak yang meskipun diucapkan dengan lemah lembut, tapi mengandung ketegasan. Kakek kecil kurus itu rupanya memahami benar maksud Dewa Arak.

"Pemuda tidak tahu diri! Dikasih hati kau malah meminta jantung! Jangan harap aku akan memenuhi permintaan gilamu itu, Bocah Sombong!"

"Kalau begitu, terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan mencoba untuk menentangmu, Kek," ujar Arya masih dengan sikap tenang.

"Kalau begitu..., kaulah yang lebih dulu harus kulenyapkan, Bocah Sombong! Agar tak ada halangan bagiku membawa Prajurit Kerajaan Dewa...."

"Hik hik hik!" Tiba-tiba sebuah tawa melengking panjang dan menggetarkan menyambut ucapan lelaki tua berpakaian merah itu.

Resi Ganda Wisesa yang bersiap hendak melancarkan serangan tentu saja terkejut. Serta-merta wajahnya menoleh ke arah suaraitu berasal.

"Heh...?!" Nelayan Pemancing Nyawa pun tersentak kaget, ketika mendongakkan kepalanya. Begitu pula Dewa Arak. Mereka hampir tak percaya melihat sosok manusia melayang di angkasa. Hanya si Petani Berjari Sakti celingukan. Meskipun tahu suara tawa melengking tadi berasal dari atas, dia tak dapat melihat, karena matanya buta!

EMPAT

Ternyata pendengaran tokoh-tokoh itu tidak salah. Di atas mereka, tampak seorang nenek berambut panjang meriap tengah duduk dengan angkuhnya di punggung seekor garuda berwarna putih. Ketiga tokoh persilatan terlongong bengong, keheranan, menyaksikan perempuan tua itu.

"Siluman Goa Langit! Turunlah untuk menerima hukuman dariku atas kelancangan mulutmu!" seru Resi Ganda Wisesa keras karena kemarahan yang melanda. Kakek ini memang tinggi hati dan selalu tak ingin diremehkan. Suara tawa Siuman Goa Langit dianggap meremehkan dirinya.

Siluman Goa Langit tetap memperdengarkan suara tawanya yang melengking tinggi. Kemudian mendadak, diawali jeritan melengking nyaring, burung garuda putih itu meluruk menyambar Resi Ganda Wisesa.

Resi Ganda Wisesa terkejut bukan kepalang, melihat kecepatan gerak burung tunggangan Siluman Goa Langit. Dia hanya melihat sinar putih berkelebat dari atas dan tahu-tahu sudah diserang bertubi-tubi oleh cakar dan paruh serta sayap besar burung raksasa itu.

Serangan itu hebat sekali. Namun Resi Ganda Wisesa memang seorang tokoh yang berkepandaian tinggi sekali. Pengalamannya yang banyak di rimba persilatan membuatnya tetap tenang menghadapi serangan itu. Dengan cepat dia menggerakkan tongkat yang semula menyangga tubuhnya. Tongkat itu ternyata hanya berupa sarung saja karena di dalamnya tersembunyi sebatang pedang yang berwarna hitam legam.

Dengan kecepatan tinggi pedang hitam legam itu digerakkan hingga membentuk lingkaran-lingkaran besar dan kecil. Kemudian dari dalam lingkaran-lingkaran itu melesat ujung pedang menusuk dengan cepat dan bertubi-tubi ke arah burung garuda yang tengah menyerangnya.

Serangan hebat Resi Ganda Wisesa tidak hanya membuat Siluman Goa Langit mendecak kagum, tapi juga Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti. Dewa Arak pun tampak menggeleng-gelengkan kepala.

Namun burung garuda itu pun seakan mengetahui kekuatan lawannya. Karena begitu menghadapi serangan maut dari pedang hitam itu, secara aneh dan cepat sekali garuda putih mampu merubah gerakannya. Tubuhnya berkelebat menyelinap di antara gulungan sinar pedang guna menyelamatkan diri. Sesaat kemudian terbang di atas kepala Resi Ganda Wisesa, menunggu kesempatan baik untuk melakukan serangan.

"Hi hi hi...!" Siluman Goa Langit meledakkan tawa gembira bernada ejekan terhadap Resi Ganda Wisesa. Hal itu membuat wajah kakek berpakaian merah padam karena amarah yang bergolak. Dia tahu nenek berambut panjang itu menertawakan kegagalannya.

"Rampas pedangnya, Manis!" seru Siluman Goa Langit seakan-akan tak menghiraukan kemarahan yang tengah melanda hati lawannya.

Kemarahan Resi Ganda Wisesa kian memuncak mendengar ucapan itu. Dia menyangka Siluman Goa Langit mengucapkan perkataan seperti itu untuk mengejeknya. Dia tahu kalau burung itu berbeda dengan burung lainnya karena Siluman Goa Langit telah mendidiknya agar dapat mengerti perintah-perintahnya.

Mendengar seruan tuannya, burung raksasa itu lalu melabrak dengan sayap dan cakar-cakamya berusaha merampas pedang Resi Ganda Wisesa. Burung garuda putih itu memukulkan kedua sayap ke arah kepala Resi Ganda Wisesa, disusul cengkeraman-cengkeraman kedua kakinya ke arah pedang hitam yang terus berkelebat menyerangnya.

Mengetahui maksud lawannya, Resi Ganda Wisesa terkejut. Serangan-serangan garuda itu, terutama sekali sepasang sayapnya dirasakan sangat dahsyat. Setiap kali bergerak, pasti menghempaskan angin keras yang membuat rambut dan pakaian Resi Ganda Wisesa berkibar keras. Sedikit banyak hal itu mempengaruhi penglihatan kakek berpakaian merah itu.

Arya, Nelayan Pemancing Nyawa, dan Petani Berjari Sakti memperhatikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar tegang di samping rasa tertarik. Memang pertarungan yang berlangsung cukup menarik dan menggiriskan hati.

Pertarungan antara seorang manusia sakti menghadapi seekor burung raksasa yang terlatih berkelahi dan bahkan seperti mengetahui ilmu silat. Sejauh itu belum nampak di antara keduanya yang bakal memenangkan pertarungan unik itu, baik Resi Ganda Wisesa maupun garuda putih masih tetap salingmenyerang.

Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga puluh dua, mendadak garuda putih mengeluarkan bunyi aneh yang membuat Siluman Goa Langit terkejut campur girang.

"Mari pergi dari sini, Manis," bujuk Siluman Goa Langit dengan lembut penuh kasih sayang.

Tanpa menunggu perintah dua kali, garuda putih itu melesat cepat meninggalkan Resi Ganda Wisesa. Tentu saja kakek berpakaian merah ini tak mau membiarkan begitu saja. Hatinya telah telanjur marah dan hanya akan bisa tenang apabila telah memberikan hajaran atau merenggut nyawa burung itu. Bahkan kalau bisa sekalian dengan pemiliknya.

Oleh karena itu, dengan kemarahan meluap-luap dilancarkan pukulan jarak jauh dengan menghentakkan tangan kanannya ke arah garuda yang tengah melesat. Namun sungguh di luar dugaan, burung raksasa itu mampu mengelakkannya dengan cara luar biasa! Dan kemudian terbang jauh meninggalkan tempat pertarungan.

Pada saat yang bersamaan dengan perginya burung tunggangan Siluman Goa Langit, Dewa Arak yang sudah bisa menduga kalau pertarungannya dengan Resi Ganda Wisesa dapat berlangsung kembali, segera menyambar tubuh Prajurit Kerajaan Dewa. Dia melesat cepat meninggalkan tempat itu.

Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti terkejut bukan kepalang mengetahui tindakan Dewa Arak. Mereka ingin mencegah tapi sayang tidak sempat, karena keduanya tadi memusatkan perhatian pada pertarungan. Meskipun demikian, kedua tokoh hitam itu tidak tinggal diam dan langsung melesat mengejar.

Mengetahui apa yang terjadi, Resi Ganda Wisesa pun melakukan hal yang sama, meskipun agak terlambat. Mengagumkan sekali ilmu meringankan tubuh Resi Ganda Wisesa. Sehingga meskipun Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti telah lebih dulu melesat, dia mampu menyusul.

Meski begitu, untuk menyusul Dewa Arak, kakek kecil kurus ini tidak mampu. Jarak antara mereka tetap tak berubah seperti semula. Kenyataan itu membuat Resi Ganda Wisesa yang mempunyai watak tinggi hati, merasa penasaran bukan kepalang. Dia tidak mau kalah oleh orang yang lebih pantas menjadi cucunya. Maka segera dikerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya untukmengejar.

Kejar-mengejar antara dua tokoh sakti yang berbeda usia dan kepentingan itu pun terjadi. Bentuk tubuh keduanya lenyap. Yang tampak hanya bayangan ungu dan merah berkelebatan dalam bentuk yang tidak jelas.

Dewa Arak tahu kalau Resi Ganda Wisesa mengejarnya. Dia pun menyadari untuk meninggalkan kakek berpakaian merah itu tidaklah semudah seperti meninggalkan Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti. Maka pemuda berambut putih keperakan itu segera memilih jalan yang dipenuhi dengan semak belukar, dan pepohonan.

Siasat Dewa Arak ternyata tidak sia-sia karena Resi Ganda Wisesa tampak mulai tertinggal. Kakek itu mengalami kesulitan untuk melakukan pengejaran karena terhalang semak-semak dan pepohonan. Hanya dalam beberapa saat, Dewa Arak telah aman dari kejaran Resi Ganda Wisesa.

Prajurit Kerajaan Dewa yang telah percaya pada Arya setelah tadi mendengar kalau penolongnya ternyata Dewa Arak, tanpa ragu-ragu memberitahukan tujuannya. Hatinya semakin gembira ketika tahu kalau pemuda berambut putih keperakan itu memang bermaksud menolongnya dari kejaran orang-orang persilatan atas petunjuk Jaran Sangkar.

Dewa Arak akhirnya terus menyertai Prajurit Kerajaan Dewa yang ingin menjumpai putrinya. Sehingga akhirnya mereka bertemu, ketika Nawangsuri tengah dipaksa oleh Sepasang Harimau Hitam.

* * *

"Begitulah ceritanya, Nawang," ucap Prajurit Kerajaan Dewa, mengakhiri penuturannya sejak dari dia pergi meninggalkan tempat kediamannya.

"Ah...! Lagi-lagi Dewa Arak...! Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak. Entah bagaimana caranya kami, ayah, dan anak untuk membalas kebaikanmu ini," ucap Nawangsuri seraya menatap pemuda berambut putih keperakan yang berdiri tak jauh di depannya, dengan sorot mata memancarkan rasa kagum.

"Lupakanlah!" ujar Arya dengan tarikan wajah malu hati melihat sikap Nawangsuri yang begitu bersyukur. "Aku hanya kebetulan saja berhasil menyelamatkan kalian berdua. Lalu, bagaimana dengan anakmu...?!"

Arya mengucapkan pertanyaannya secara pelan, tapi bagi Nawangsuri tak kalah kerasnya dengan ledakan halilintar! Pertanyaan Dewa Arak mengingatkannya kembali pada anak yang tengah dicarinya.

Keterkejutan Nawangsuri membuat Arya serta Prajurit Kerajaan Dewa yang telah sembuh dari lukanyamerasa heran bercampur khawatir. Sikap wanita berpakaian coklat itu telah memberi pertanda akan terjadinya hal-hal yang tak diinginkan.

"Apa yang terjadi, Nawang?" tanya Prajurit Kerajaan Dewa, tak mampu menyembunyikan kecemasan harinya.

"Taksaka tadi minta izin untuk pergi bermain. Kami pesan agar dia tidak pergi jauh-jauh. Tapi dia tidak kembali-kembali, maka aku menyusulnya sampai di sini. Itu pun setelah suamiku pergi menyusul dan belum kembali!"

Prajurit Kerajaan Dewa dan Arya saling pandang setelah mendengar penjelasan Nawangsuri. Meskipun tidak berbicara tapi satu sama lain keduanya saling mengerti arti tatapan yang hanya sekilas itu. Sama-sama khawatir akan terjadinya sesuatu pada diri Taksaka. Sebab, tokoh-tokoh persilatan telah mengetahui tempat Nawangsuri dan suaminya serta Taksaka berdiam. Kedatangan Sepasang Harimau Hitam telah memperjelas kenyataan itu.

"Kalau demikian tak ada salahnya kalau aku ikut mencarinya, Dewa Arak," ucap Prajurit Kerajaan Dewa dengan raut muka tegang karena khawatir kalau-kalau Taksaka telah jatuh ke tangan tokoh-tokoh persilatan yang memang tengah berusaha mendapatkannya.

Baru saja Arya bermaksud membuka mulut, pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara mencurigakan. Maka maksudnya dibatalkan. Sehingga ucapan yang keluar dari mulutnya berbeda dengan maksud sebelumnya.

"Awas, ada orang datang!" bisik pemuda berambut putih keperakan itu pada Nawangsuri dan Prajurit Kerajaan Dewa.

Ayah dan anak yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi itu memusatkan perhatian pada pendengaran, begitu mendengar ucapan Dewa Arak. Mereka ingin membuktikan kebenarannya, tapi usaha itu sia-sia karena bunyi yang dimaksud Arya begitu halus. Mereka tak mampu menangkapnya. Meskipun demikian tak berarti Dewa Arak berbohong dengan ucapannya tadi, karena sesaat kemudian terdengar suara mendengus keras.

"Kau boleh pergi sesuka hatimu, Dewa Arak! Tapi. jangan harap dapat lolos dari tanganku! Ke ujung langit sekalipun kau akan kukejar!"

Arya dan Prajurit Kerajaan Dewa tersentak kaget ketika mengenali siapa pemilik suara itu. Duga an keduanya ternyata tidak salah. Sesaat kemudian, di hadapan mereka telah berdiri seorang kakek berpakaian merah, Resi Ganda Wisesa.

"Aku bukan seorang pengecut seperti yang kau tuduhan, Kek! Aku melarikan diri dari dirimu bukan karena takut, tapi karena tak ingin bertarung denganmu. Aku tidak punya urusan apa pun denganmu!"

"Jangan salah, Dewa Arak! Siapa bilang antara kita tak ada urusan? Kau telah lancang berani mencampuri urusanku. Itu berarti sebuah tantangan terhadapku. Padahal, aku tak pernah menolak setiap tantangan yang ditujukan padaku! Bersiaplah untuk menerima kematian, Dewa Arak!" ujar Resi Ganda Wisesa, keras dan tegas.

"Sebenarnya, kalau saja saat ini tak ada urusan lain yang lebih penting, dengan senang hati aku bersedia meminta pelajaran darimu. Dan...."

"Tidak usah banyak mulut, Dewa Arak. Katakan saja kalau kau takut dan mengaku kalah, maka aku akan melepaskanmu! Urusan denganmu akan kuputuskan sampai di sini!" sergah Resi Ganda Wisesa, penuh kesombongan.

Wajah Dewa Arak langsung berubah. Amarah mulai membakar hatinya. Resi Ganda Wisesa terlalu sombong. Terlalu menghinanya! Hal ini tidak bisa dibiarkan karena sudah menyangkut harga dirinya selaku seorang pendekar.

"Baiklah, Resi Ganda Wisesa," ujar Arya dengan suara berat dan sikap gagah. Kemarahan membuat suaranya agak bergetar. "Kau yang memaksaku. Jadi jangan salahkan kalau aku bertindak kurang ajar, berani menentang tokoh tua sepertimu!"

"Tidak usah banyak bacot, Dewa Arak! Mulutmu tak ubahnya mulut wanita, Cerewet! Kalau berani takusah bicara lagi, ayo serang aku!"

"Mulutmu terlalu tajam Resi Ganda! Majulah! Seranglah aku! Bukankah kau yang menginginkan pertarungan ini?!"

"Kalau begitu, bersiaplah untuk menerima seranganku, Dewa Geblek!"

Sambil mendengus begitu Resi Ganda Wisesa menancapkan tongkatnya di tanah. Kemudian, kedua tangannya diputar di depan dada secara cepat, hingga terlihat seperti berjumlah banyak. Tangan kakek ini bagaikan puluhan pasang banyaknya! Inilah ilmu andalan yang bernama 'Tangan Seribu'!

"Heaaa...!"

Kemudian, dengan diawali teriakan keras dan menggetarkan Resi Ganda Wisesa melompat menerjang.Dari suara teriakannya saja telah dapat diketahui, bahwa kakek berpakaian merah itu mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Sesaat Nawangsuri dan Prajurit Kerajaan Dewa harus mengerahkan tenaga dalam mengatasi pengaruh getaran dari suara dahsyat itu.

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Disadari betul kedahsyatan yang terkandung dalam serangan Resi Ganda Wisesa. Bukan hanya karena kekuatan tenaga dalam yang tersimpan dalam setiap serangan, tapi kecepatan gerak kedua tangan itu pun sulit untuk diketahui arah yang dijadikan sasaran.

Penilaian seperti itu yang didapat oleh Prajurit Kerajaan Dewa dan anaknya. Mereka segera berlompatan menjauhi kancah pertarungan ketika melihat gerakan tangan Resi Ganda Wisesa yang meluncur ke arah Dewa Arak.

Tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Memang ketika jaraknya masih cukup jauh, dia tampak bingung untuk memperkirakan sasaran yang akan dituju kedua tangan yang seperti berjumlah puluhan pasang itu. Namun, ketika serangan-serangan itu telah menyambar dekat, dirinya baru bisa mengetahui.

Serangan tangan kanan menuju kearah pelipis, sedangkan yang kiri menyambar dengan cengkeraman ke perut. Apabila salah satu dari kedua serangan mengenai sasaran, cukup untuk mengirim nyawa Dewa Arak menuju liang kubur.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak langsung memapak kedua serangan itu. Serangan ke arah pelipis ditangkisnya dengan tangan kiri. Sedangkan yang menuju ke perut, dipapak cepat dengan sikap jari tangan juga membentuk cakar.

"Heaaa...!"

Takkk! Prat!

Suara keras terdengar ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, baik tubuh Dewa Arak maupun Resi Ganda Wisesa terdorong dua langkah ke belakang. Dari sini saja kedua belah pihak tahu kalau tenaga dalam lawan berimbang dengan tenaga dalam sendiri.

Dewa Arak yang memang sudah menduga kalau Resi Ganda Wisesa merupakan lawan yang amat tangguh, tidak terkejut mengalami kejadian itu. Bahkan semakin membuatnya harus bertindak hati-hati, karena merasakan sendiri betapa hebat kekuatan tenaga dalam lawan.

Namun tidak demikian halnya dengan Resi Ganda Wisesa. Hasil benturan tadi membuatnya merasa penasaran bukan kepalang. Penasaran bercampur kemarahan, di samping ketidak percayaan yang menggelora. Benarkah ada seorang pemuda memiliki tenaga dalam sekuat dirinya? Baginya mustahil!

LIMA

Kedua perasaan itulah yang menyebabkan Resi Ganda Wisesa melancarkan serangan kembali. Kedua tangannya seperti telah berubah menjadi banyak ketika ilmu 'Tangan Seribu'-nya dikeluarkan untuk melancarkan serangan. Dewa Arak pun menyambutnya dengan hangat, hingga pertarungan antara kedua tokoh sakti yang berbeda usia dan golongan itu berlangsung sengit menggiriskan hati.

Kini Dewa Arak merasakan sendiri kedahsyatan setiap serangan Resi Ganda Wisesa yang tak ubahnya gelombang laut. Kuat, bertubi-tubi dan penuh tekanan. Dengan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan 'Sepasang Tangan Penakluk Naga', dia berusaha meredam kedahsyatan setiap serbuan kakek berpakaian merah. Kemudian melancarkan serangan balasan yang tak kalah dahsyat.

Prajurit Kerajaan Dewa dan Nawangsuri yang menyaksikan jalannya pertarungan itu merasa takjub, kagum, di samping pula rasa ngeri. Mata mereka dirasakan berkunang-kunang dan kepala pusing ketika memaksakan diri agar dapat melihat dengan jelas pertarungan itu.

Hal itu karena gerakan Dewa Arak dan Resi Ganda Wisesa terlalu cepat, sehingga yang terlihat hanya bayangan bayangan ungu dan merah yang berkelebatan jelas. Saling belit dan sesekali tampak saling pisah. Itu pun berlangsung sebentar karena kemudian saling belit kembali.

Tidak hanya itu, dari kancah pertarungan menyambar desiran-desiran angin keras dan menggetarkan, membuat Prajurit Kerajaan Dewa dan anaknya lebih menjauhi kancah pertarungan. Angin-angin yang berasal dari serangan-serangan kedua tokoh sakti itu membuat napas mereka sesak.

Pertarungan kian seru. Namun tampak Resi Ganda Wisesa mulai kelabakan. Dia tidak pernah menyangka sama sekali kalau Dewa Arak akan selihai ini. Tidak hanya dalam hal tenaga mereka berimbang, tapi juga dalam hal ilmu meringankan tubuh. Hal ini benar-benar tidak bisa diterima.

Resi Ganda Wisesa yang memang berwatak angkuh. Kehebatan kemampuan lawan justru membuatnya semakin penasaran. Akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkannya pun semakin dahsyat!

Namun Dewa Arak tetap mampu meredamnya. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu mampu mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Pertarungan itu memang semakin seru. Jurus demi jurus telah saling dikerahkan. Bunyi berdecit, mengaung, dan deru angin mengiringi setiap gerakan cepat tangan atau kaki mereka.

Bukan hanya itu, angin yang keluar dari setiap serangan yang mereka lancarkan membuat semak-semak dan pepohonan di sekitar tempat itu tergetar hebat. Dedaunan berguguran dan beterbangan. Bahkan banyak dahan pohon yang berpatahan terhantam pukulan Dewa Arak maupun Resi Ganda Wisesa. Debu dan bongkahan-bongkahan tanah pun berhamburan ke atas, setiap pukulan dahsyat menghantam ke bumi.

Ketika pertarungan berjalan seru Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti muncul di tempat itu. Prajurit Kerajaan Dewa yang melihat kehadiran mereka, langsung mengeluarkan senjata istimewanya, golok dan perisai! Sebelum kedua belah pihak menyerang, mendadak muncul Sepasang Harimau Hitam. Kedua lelaki berpakaian serba hitam itu kembali setelah tak menemukan apa yang dicari di pondok kediaman Nawangsuri.

Melihat kedatangan mereka, Nawangsuri pun tidak tinggal diam Segera dicabut pedangnya, siap menghadapi serbuan Sepasang Harimau Hitam yang baginya, satu di antara mereka saja cukup berat untuk dilawan.

Namun rupanya, baik Nelayan Pemancing Nyawa, Petani Berjari Sakti, maupun Sepasang Harimau Hitam tak langsung melancarkan penyerbuan terhadap ayah dan anak yang telah bersiap untuk bertarung itu. Keempat tokoh hitam itu merasa tertarik dengan pertarungan antara Dewa Arak dengan Resi Ganda Wisesa. Perhatian merekapun tertuju ke sana.

Sementara itu, pertarungan Dewa Arak dan Resi Ganda Wisesa telah berjalan hampir lima puluh jurus. Namun sejauh itu tetap belum menampakkan tanda-tanda siapa yang bakal memenangkan pertarungan.

"Haaat..!"

Pada jurus kelima puluh tiga, setelah terlebih dulu bersalto beberapa kali di udara, Resi Ganda Wisesa meluruk menerjang Dewa Arak. Lelaki tua itu melancarkan serangan dengan kedua tangan terbuka dipukulkan ke dada lawan. Deru angin keras mengiringi tibanya serangan dahsyat itu.

Dewa Arak menyadari kedahsyatan dan kehebatan serangan lawan. Namun tak tampak kegentaran dalam sikapnya. Sambil mengeluarkan teriakan yang tidak kalah kerasnya dengan Resi Ganda Wisesa, Dewa Arak melakukan tindakan yang sama. Pemuda berambut pulih keperakan itu bertekad mengadu keras lawan keras!

Deru angin yang tidak kalah kerasnya pun berhembus dari kedua tangan Dewa Arak. Prajurit Kerajaan Dewa dan yang lain-lain harus mengerahkan tenaga dalam guna melindungi bagian dalam tubuh mereka dari guncangan hebat akibat teriakan menggelegar Dewa Arak dan Resi Ganda Wisesa.

Glarrr…!

Bunyi keras laksana halintar menyambar terdengar, ketika dua pasang tangan yang telah sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu berbenturan. Getaran hebat pun dirasakan oleh tokoh-tokoh persilatan yang menyaksikan pertarungan itu. Bahkan dalam jarak belasan tombak dari tempat pertarungan, pepohonan pun bergetar bagai dilanda gempa. Tubuh kedua tokoh sakti itu terjengkang kebelakang dan terguling-guling di tanah dengan dada terasa sesak dan kedua tangan terasa bagaikan lumpuh.

"Pantas kau sombong, Dewa Arak! Rupanya kau memiliki kepandaian yang dapat diandalkan!” desis Resi Ganda Wisesa setelah bangkit berdiri. Matanya menatap geram pada Dewa Arak.

Dewa Arak tidak memberikan jawaban sama sekali, kecuali sedikit senyum pahit di mulut. Kemudian diayunkan langkah menghampiri Resi Ganda Wisesa yang juga berjalan mendekat. Namun langkah keduanya terhenti, ketika tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berlari mendekati tempat pertarungan.

"Nawangsuri...! Nawang...! Celaka...!" Dengan napas terengah-engah, sesosok lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun berseru memanggil Nawangsuri. Tubuhnya penuh luka serta pakaian yang dikenakannya koyak-koyak. Darah pun tampak mengalir dari beberapa luka membasahi sekujur tubuhnya.

"Kakang...! Kakang Wisnu...! Apa yang tejadi, Kang?!" sambut Nawangsuri dengan suara penuh kekhawatiran ketika melihat sosok pendek kekar yang ternyata suaminya, ayahTaksaka!

Seruan itu tidak langsung dikeluarkan Nawangsuri. Dia terkesima beberapa saat dengan mata terbelalak penuh perasaan tidak percaya melihat keadaan Wisnu yang terluka parah. Dan wanita berpakaian coklat ini menghambur ke depan dengan keduatangan terkembang.

Dalam keadaan teriuka parah dan keinginan untuk menyampaikan sesuatu berita yang dibawanya, Wisnu ingat kalau di tempat itu yang ada tidak hanya istrinya, melainkan banyak lagi lainnya. Bahkan ada dua tokoh yang tengah bertarung! Dia pun menghambur dengan kedua tangan terbuka menyambut Nawangsuri, istrinya.

Namun keinginan itu hanya terkabul di angan-angan. Sebelum terlaksana, tubuh Wisnu tersungkur ke tanah. Luka-lukanya terlalu parah. Dan berhasilnya bertahan hidup disebabkan besarnya keinginan menyampaikan berita kepada sang Istri.

"Kang Wisnu..,!" seru Nawangsuri sambil duduk bersimpuh di tanah, tidak mempedulikan tokoh-tokoh lain yang terkesima melihat kejadian itu. Tak terkecuali Prajurit Kerajaan Dewa. Bahkan pertarungan Dewa Arak dan Resi Ganda Wisesa berhenti, semua perhatian tertuju pada Nawangsuri danWisnu.

"Jangan pikirkan aku, Nawang!" ujar Wisnu terputus-putus karena luka-lukanya yang terlalu parah. Pelan sekali suaranya mirip bisikan, sehingga Prajurit Kerajaan Dewa terpaksa beringsut mendekati agar dapat mendengar lebih jelas. "Anak kita... Taksaka diculik orang..., aku mencoba untuk mencegahnya tapi tidak mampu...," tutur Wisnu dengan napas terengah-engah.

"Siapa orang itu, Kang? Katakan!" tanya Nawangsuri langsung kalap begitu mendengar berita yang dibawa suaminya.

Untuk sesaat dia lupa terhadap kepayahan suaminya. Berganti dengan kekhawatiran terhadap nasib sang anak. Air mata yang tadi mengalir karena kesedihan melihat keadaan suaminya, segera disekanya. Tarikan wajahnya sudah tidak menyiratkan kesedihan lagi melainkan membara menahan kegeraman.

"Dia... dia... ahhh...!"

Sayang sekali, sebelum berhasil memberitahukan orang yang telah menculik Taksaka, nyawa Wisnu telah terlebih dulu melayang ke alam baka. Tubuhnya terkulai lemas.

"Kakang...! Kakang Wisnu...!" jerit Nawangsuri keras penuh kesedihan ketika menyadari kalau sang suami telah meninggalkan untuk selama-lamanya. Sambil menangis, Nawangsuri meng guncang-guncangkan tubuh suaminya. Seakan tidak percaya kalau suaminya telah meninggal.

Resi Ganda Wisesa tampak tersentak kaget sambil memperhatikan sesaat mayat Wisnu. Begitu pula dengan Nelayan Pemancing Nyawa, Petani Berjari Sakti, dan Sepasang Harimau Hitam. Mereka terkejut mendengar tentang anak yang tengah diperebutkan telah diculik orang!

Seketika timbul keinginan di hati mereka untuk segera meninggalkan tempat itu. Mengejar orang yang menculik si anak ajaib, Taksaka, selagi belum lama kejadiaanya. Mereka yakin kalau penculik belum jauh dari tempat kejadian.

Dengan gerakan tidak kentara, kecuali Resi Ganda Wisesa, tokoh-tokoh hitam itu mengayunkan kaki meninggalkan tempat pertarungan. Mereka berharap barangkali saja masih sempat untuk merampas Taksaka.

"Sayang sekali, aku ada urusan yang lebih penting, Dewa Arak, sehingga tidak bisa menemanimu lebih lama. Tapi, setelah urusan ini selesai, aku akan mencarimu, dan kita lanjutkan pertarungan yang belum selesai ini!"

Setelah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban Dewa Arak, Resi Ganda Wisesa melesat menyusul tokoh-tokoh hitam lainnya yang telah berangkat lebih dulu.

Arya tidak menahan kepergian Resi Ganda Wisesa. Dibiarkan saja tokoh sakti dari golongan hitam itu pergi. Dia hanya memandangi hingga sosok merah itu lenyap di kejauhan. Kemudian melangkah menghampiri mayat Wisnu yang masih dipeluk dan ditangisi istrinya.

"Sudahlah, Nawangsuri," ucap Prajurit Kerajaan Dewa yang tiba lebih dulu di sebelah anaknya. "Yang sudah pergi, relakan saja! Tak ada gunanya kau tangisi. Toh, dia tidak akan kembali lagi. Biar kau mengucurkan air mata darah sekalipun keadaan tetap tidak berubah."

Prajurit Kerajaan Dewa mengucapkannya dengan suara lembut dan penuh kasih sayang, seraya mengusap-usap rambut putrinya itu. Tentu saja hal ini semakin membuat kesedihan Nawangsuri menjadi-jadi. Bahunya terguncang-guncang karena isakan tangisnya.

Melihat hal ini, Prajurit Kerajaan Dewa tahu kalau putrinya mengalami tekanan batin yang berat. Sehingga tak berani mencegah Nawangsuri yang menangis tersedu-sedu.

"Keluarkan air matamu, Nawang! Menangislah, biar batinmu lega!" ujar lelaki tua berjubah putih itu dalam hati.

Nawangsuri bangkit, lalu membalikkan tubuh dan menubruk kaki sang Ayah. Prajurit Kerajaan Dewa membiarkan saja putrinya berlaku seperti itu. Hatinya memaklumi kesedihan Nawangsuri yang baru saja ditinggal sang suami. Bahkan anaknya, Taksaka, yang belum diketahui bagaimana nasibnya.

Prajurit Kerajaan Dewa melirik ke arah kanannya. Tampak Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala pertanda menyetujui tindakan yang diambilnya. Kemudian dengan gerak isyarat, pemuda berambut putih keperakan itu memberitahukan pada Prajurit Kerajaan Dewa kalau dia ingin mencari penculik Taksaka. Tanpa berpikir lebih lama lagi kakek berpakaian putih ini menganggukkan kepala menyetujui.

Arya pun melesat meninggalkan ayah dan anak itu, berlari cepat menempuh arah yang ditinggalkan Wisnu. Dewa Arak tahu, tidak ada gunanya dia berada di situ. Itulah sebabnya, pemuda berambut putih keperakan itu buru-buru melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam sekejap, tubuh Dewa Arak telah lenyap dari pandangan.

Ketika tubuh Arya sudah tidak terlihat lagi, Prajurit Kerajaan Dewa mengalihkan pandangan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Seorang pemuda yang luar biasa," ucap kakek berpakaian putih itu tanpa bisa menyembunyikan kekaguman yang tampak dalam tarikan wajah dan suaranya.

* * *

"Nek...! Lihat..!"

Seruan keras yang menguak keheningan pagi di sebuah lereng gunung membuat seorang nenek berpakaian kuning dan berambut panjang, mengalihkan pandangan. Tampak sesosok tubuh tinggi besar dan kekar tengah mempermainkan sebuah batu sebesar kambing. Batu itu diturun-naikkan dengan tendangan kaki sebagaimana layaknya orang mempermainkan bola.

Terkadang melalui depan, tapi tak jarang ke belakang. Enak saja hal itu dilakukan seakan-akan batu begitu ringan bagai segumpal kapas. Tak nampak adanya tanda-tanda kalau kaki yang berbenturan dengan batu terasa sakit. Tidak hanya perbuatan orang itu yang menimbulkan rasa kagum dan heran. Kalau orang melihat bagaimana sosok tubuh besar itu, tentu akan lebih merasa bergidik. Sesosok tubuh tinggi besar berkulit tubuh penuh sisik berwarna kehijauan, mirip kulit ular!

Nenek berpakaian kuning menggeleng-gelengkan kepala dengan penuh perasaan kagum melihat pertunjukan itu.

"Kau lihat itu, Manis?" ucap wanita berambut panjang itu pada seekor burung garuda putih besar yang bertengger di atas sebuah batu besar dihadapannya. "Bukankah anak ini benar-benar luar biasa?!"

"Kakkk...!" Hanya jawaban seperti itu yang diberikan garuda putih. Keras dan singkat. Namun rupanya jawaban itu memuaskan nenek berambut panjang yang tak lain Siluman Goa Langit. Sambil mengangguk-anggukkan kepala dia tersenyum merasa puas.

"Benar-benar seorang anak naga! Hanya kuberi pelajaran tenaga dalam beberapa kali, dia telah memiliki tenaga dalam yang luar biasa, berlipat kali tenaga dalamku. Begitu gerakannya, sangat lincah dan gesit. Benar-benar mewarisi keperkasaan leluhurnya!

Ucapan-ucapan penuh kagum itu keluar dari mulut Siluman Goa Langit seraya menatap laki-laki tinggi besar berkulit tubuh penuh sisik di sekujur tubuhnya, mirip ular. Dan kekagumannya itu tidaklah terlalu berlebihan.

Lelaki berkulit ular itu baru beberapa hari ikut dengannya, telah mampu menguasai ilmu-ilmu yang diajarkannya, bahkan kemampuan tenaga dalam bocah itu tak mungkin tertandingi, meski oleh orang yang belajar selama puluhan tahun sekalipun. Padahal sebelumnya lelaki bersisik ular itu sama sekali belum memiliki ilmu dan tenaga dalam. Tak aneh kalau kelebihan itu membuat Siluman Goa Langit tak henti-hentinya berdecak kagum.

"Taksaka..., kemari sebentar...!" panggil Siluman Goa Langit seraya melambai-lambaikan tangan.

"Iya, Nek," sahut lelaki berkulit ular seraya menghentikan latihan. Taksaka menolehkan kepala ke arah Siluman Goa Langit lalu berjalan menghampirinya.

Lelaki tinggi besar berkulit ular itu ternyata hanya badannya yang besar. Wajahnya memperlihatkan kalau usianya belum melewati masa kanak-kanak. Dan hal itu memang tidak salah karena usia Taksaka belum menginjak sebelas tahun. Namun di situlah anehnya, dalam usia semuda itu dia telah memiliki tubuh sebagaimana layaknya orang dewasa. Pertumbuhan tubuh berlangsung demikian cepat.

"Dengar, Taksaka!" ucap Siluman Goa Langit bernada sungguh-sungguh, seraya menatap sepasang mata bocah berkulit ular itu. "Aku ingin mengajakmu turun gunung. Apakah kau mau?"

"Apakah Manis juga ikut Nek?!" Taksaka malah balas bertanya.

“Tentu saja, Taksaka! Bagaimana, kau mau ikut!?”

“Tentu, Nek,!” sahut Taksaka cepat dengan raut wajah berseri-seri.

ENAM

"Turun di sini, Manis," ucap Siluman Goa Langit setelah beberapa saat lamanya melayang-layang di angkasa bersama Taksaka duduk di punggung garuda putih.

Burung raksasa itu mengeluarkan bunyi pelan sebelum akhimya menukik ke bawah, menuju hamparan padang rumput yang terbentang luas. Hanya dalam beberapa tarikan napas saja garuda putih itu telah mendarat. Siluman Goa Langit dan Taksaka segera melompat turun dari punggungnya.

"Tunggulah di sini, Manis! Aku akan kembali tak lama lagi," ucap Siluman Goa Langit sambil mengelus-elus leher garuda putihnya.

Burung raksasa itu mengangguk-anggukan kepala seakan mengerti ucapan yang ditujukan padanya. Kemudian sambil mengeluarkan pekikan nyaring yang memekakkan telinga, burung raksasa itu melesat ke angkasa, dan terbang mengitari sekitar tempat itu.

Tanpa mempedulikan garuda putihnya, Siluman Goa Langit mengajak Taksaka untuk segera meninggalkan tempat itu. Keduanya berlari dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh. Maka pemandangan yang unik pun terlihat, Siluman Goa Langit tertinggal di belakang. Semakin lama semakin jauh jaraknya. Padahal tadi mereka berlari bersamaan. Hal itu pun menunjukkan kalau ilmu lari cepat Taksaka berada di atas nenek berambut panjang itu.

Suatu hal yang sebenarnya hampir mustahil karena Taksaka baru belajar ilmu itu beberapa hari yang lalu. Di samping itu Siluman Goa Langit bukan orang sembarangan, yang memiliki kepandaian di atas Nelayan Pemancing Nyawa atau Petani Berjari Sakti! Namun Taksaka temyata mampu dengan mudah meninggalkannya jauh.

Siluman Goa Langit mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mengejar Taksaka, tapi sia-sia. Bocah berkulit ular itu terlalu lincah untuk dapat dikejamya. Mau tak mau Siluman Goa Langit berseru agar Taksaka menunggunya, karena khawatir akan kehilangan jejak bocah itu.

Taksaka pun segera berhenti menunggu Siluman Goa Langit, lalu berlari dengan kecepatan setaraf dengan nenek itu. Tak lama kemudian, kedua orang itu telah melihat sebuah pondok sederhana di depan. Ke sanalah Siluman Goa Langit membawa Taksaka.

"Kau lihat tempat itu, Taksaka?" tanya Siluman Goa Langit seraya menudingkan jari telunjuknya ke depan. "Itu tempat tinggal musuh besarku, Taksaka. Dia beberapa kali menghina dan mempermalukanku! Apakah kau mau membantuku menghadapi dan membinasakannya, Taksaka?"

"Tentu saja aku mau, Nek. Tapi, kapan kau akan membawaku kembali pada orang-tuaku? Aku khawatir mereka akan mencemaskan diriku. Mungkin saat ini mereka tengah mencari-cariku?"

"Sabarlah, Taksaka! Kau kira mudah mencari orang di dunia yang luas ini?! Apakah kau tidak tahu letak atau tempat di mana orangtuamu tinggal. Percayalah, aku pun tidak berdiam diri. Apabila urusanku selesai, kita cari orangtuamu! Atau..., kau tidak kerasan tinggal bersamaku dan membantuku menghadapi musuh-musuhku?"

'Tentu saja aku bersedia membantumu, Nek. Biarlah, kita mencari orangtuaku setelah urusanmu selesai," jawab Taksaka cepat mendengar ucapan Siluman Goa Langit yang dikeluarkan dengan nada merengek itu.

"Nah! Itulah musuh besarku, Taksaka!" seru Siluman Goa Langit.

Taksaka mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Siluman Goa Langit Dan dia melihat seorang lelaki yang tidak jelas umurnya karena jarak yang masih jauh. Lelaki itu tengah berjongkok dengan kedua tangan sibuk mengorek-ngorek tanah yang ditumbuhi dedaunan. Sosok itu tengah mencabuti ubi.

Rupanya sosok bertelanjang dada itu, mengetahui kedatangan Taksaka dan Siluman Goa Langit. Kepalanya didongakkan, menatap ke arah dua sosok yang tengah bergerak mendatanginya.

"Lagi-lagi kau yang kemari, Siluman Betina! Rupanya kau belum kapok juga?!" ucap sosok bertelanjang dada yang ternyata seorang lelaki setengah baya bertubuh gagah dan cukup tampan. Apalagi dengan adanya kumis melintang dan tebal di bawah hidungnya.

Wajah yang semula tenang itu langsung berubah, ketika melihat sosok yang berada di sebelah Siluman Goa Langit. Sosok yang membuatnya terperanjat bukan kepalang. Memang, lelaki ini tidak termasuk tokoh-tokoh persilatan yang mencari Taksaka untuk dipergunakan demi memuaskan nafsu kejahatan.

Namun berita mengenai adanya anak ajaib yang lahir dengan tubuh dipenuhi sisik, karena ibunya telah menelan seekor ular, telah diketahui. Maka begitu melihat Taksaka, lelaki bertelanjang dada itu dapat menduga kalau bocah bersisik yang berada di hadapannya pasti Anak Naga yang selama ini diperebutkan tokoh-tokoh persilatan.

Hanya yang dibingungkan bagaimana Siluman Goa Langit bisa mendapatkannya. Dan, bahkan mampu membuat anak itu kelihatan patuh padanya. Lelaki bertelanjang dada ini merasakan dadanya berdebar tegang.

"Hi hi hi...! Kau kaget, Ragola?! Kali ini jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" ujar Siluman Goa Langit penuh keyakinan.

Lelaki bertelanjang dada yang bernama Ragola itu tersenyum pahit. "Kau jangan terlalu yakin, wanita jalang!" tandas Ragola, tetap tenang meskipun hatinya sempat tergetar ketika melihat Taksaka. "Beberapa kali usahamu berhasil kukandaskan! Dan yang kedua ketika kau membawa garuda putih pun tetap tak berhasil. Sekarang pun kau tak akan berhasil juga!"

"Tutup mulutmu, Ragola! Kali ini kau tak akan selamat dari tanganku! Dendamku selama ini akan berhasil kulampiaskan padamu! Bersiaplah untuk menerima kematian, Ragola!"

Ucapan Siluman Goa Langit terdengar bergetar karena kemarahannya yang telah memuncak. Hal itu karena ucapan Ragola yang mengungkit-ungkit kegagalan demi kegagalan usaha pembalasan dendam yang dilakukan.

Sekitar dua puluh lima tahun lalu, Siluman Goa Langit belum mempunyai garuda putih. Namun dirinya sudah mempunyai nama besar sebagai tokoh hitam yang memiliki kepandaian tinggi. Kepandaiannya dipergunakan untuk menculik pemuda-pemuda tampan yang dijadikan pemuas nafsunya.

Sayang, pada suatu hari Siluman Goa Langit menculik seorang pemuda yang ternyata murid Ragola, dan mempermainkannya. Ragola yang akhirnya mengetahui menjadi marah bukan kepalang. Siluman Goa Langit berhasil dikalahkan. Namun Ragola yang merasa sakit hati atas tindakan perempuan itu tidak hanya sampai di situ. Tanpa pikir panjang diperkosanya Siluman Goa Langit.

Siluman Goa Langit merasa sakit hati bukan kepalang. Apalagi karena Ragola melakukannya secara demikian merendahkan. Maka ketika Ragola meninggalkan begitu saja, Siluman Goa Langit bertekad menuntut ilmu untuk membalas dendam kesumatnya. Dan ketika akhirnya dirasakan cukup, tambah lagi pada saat itu dia mendapatkan seekor burung garuda putih, pembalasan dendamnya pun dimulai.

Namun Siuman Goa Langit harus menelan pil pahit. Ragola kembali mengalahkannya. Burung yang diharapkan membantunya menghadapi Ragola pun tidak berdaya. Ternyata binatang itu pernah berhutang budi pada Ragola.

Garuda putih pernah menerima pertolongan Ragola, ketika sayapnya terkena sambaran anak panah pemburu yang hendak membunuhnya. Dan itu terjadi jauh sebelum garuda putih bertemu dengan Siluman Goa Langit.

Kali ini untuk kesekian kalinya, Siluman Goa Langit bermaksud membalas sakit hatinya pada Ragola dengan perantaraan Taksaka. Nenek berambut panjang ini yakin kalau Taksaka akan dapat melunasi sakit hatinya.

"Bunuh dia, Taksaka!" seru Siluman Goa Langit seraya menuding Ragola.

"Baik, Nek!" Hanya itu yang diberikan Taksaka sebagai jawabannya karena kemudian langsung melancarkan serangan terhadap Ragola. Bocah berkulit mirip ular itu menubruk seraya melancarkan serangan bertubi-tubi dengan sampokan tangannya yang berbentuk cakar.

"Uh...!" Ragola tidak tahan untuk tidak mengeluarkan keluhan tertahan. Dia mendengar bunyi decitan tajam dan angin yang terobek serangan cakar Taksaka. Bunyi itu timbul dari akibat gerakan tangan yang didorong tenaga dalam tinggi. Dan ini membuat Ragola kaget bukan kepalang.

Dirinya baru mengerti mengapa banyak tokoh persilatan saling memperebutkan bocah ini. Kalau dalam usia semuda ini sudah memiliki tenaga dalam sedemikian kuatnya, tak dapat dibayangkan kalau Taksaka telah dewasa. Tak akan ada seorang pun yang sanggup menandingi tenaga dalamnya.

Namun, Ragola tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alun keterkejutannya karena serangan Taksaka semakin menyambar dekat. Dengan cepat dihentakkan kakinya dan melesat ke atas melewati kepala Taksaka. Sehingga serangan itu lewat beberapa jari ke bawah kakinya. Dan dari atas, Ragola mengirimkan serangan berupa tusukan jari tangan kanan ke arah sepasang mata bocah bersisik itu.

Taksaka menggeram. Suara geramannya lebih kuat dari raungan harimau, hingga membuat Ragola merasa tubuhnya mendadak lemas. Dalam waktu yang demikian singkat serangannya terhenti karena tiba-riba kehilangan tenaga. Jelas, kalau geraman Anak Naga itu mengandung kekuatan yang dapat melumpuhkan lawan.

Saat itulah, tangan Taksaka dengan cepat menyambar, tapi kali ini tertuju pada tangan Ragola yang baru saja terulur. Gerakannya yang sangat cepat laksana kelebatan bayangan, sehingga Ragola terperanjat. Sambil menggertakkan gigi, lelaki bertelanjang dada ini menarik pulang tangannya seraya melancarkan tendangan kaki kanan ke perut lawan.

"Hih...!"

Bukkk!

Telak dan keras sekali kaki Ragola menghantam sasaran, sedangkan cengkeraman tangan Taksaka berhasil dielakkannya. Hal itu membuat lelaki bertelanjang dada ini merasa gembira. Namun senyum yang semula menghias bibirnya, langsung lenyap saat melihat lawan sama sekali tak terpengaruh dengan serangannya.

Jangankan terhuyung, bergeming pun tidak. Malah sebaliknya, Ragola yang merasakan kakinya sakit dan linu ketika berhasil mendarat di perut lawan. Kakinya terpental balik bagaikan menghantam benda keras yang kenyal. Dan waktu Ragola belum berhasil memperbaiki kedudukannya. Taksaka menyergapnya laksana seekor harimau menerkam mangsa.

Lelaki bertelanjang dada itu berusaha keras untuk mengelak dengan melompat kebelakang. Sayang, kalah cepat Kedua tangan Taksaka yang berbentuk cakar itu telah lebih dulu mencengkeram kedua bahunya. Wajah Ragola kontan pucat melihat hal ini. Namun sebagai tokoh kawakan, di saat yang amat berbahaya, dia masih mampu melakukan tindakan untuk menyelamatkan diri. Apalagi ketika dirasakan jari-jari tangan lawan sangat kuat mencengkeram kedua bahunya, bagaikan tangan baja!

Rasa sakit mendera kedua bahunya. Ragola sadar kalau hal ini berlangsung lama, tulang-tulangnya akan hancur di samping kulit dan dagingnya terobek lebar. Dugaan Ragola bukan tanpa alasan. Diketahui tenaga dalam bocah bersisik itu jauh berada di atasnya. Hal ini diyakininya ketika berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk mengeraskan daging, tetap saja jari-jari tangan Taksaka amblas, bahkan mencengkeram lebih kuat.

Itulah sebabnya, tanpa membuangbuang waktu, Ragola segera mengirimkan tendangan kaki kanan ke selangkangan Taksaka. Dalam keadaan sangat berbahaya itu Ragola tidak berani mengambil risiko dengan menyerang bagian lainnya. Sebab telah membuktikan sendiri kalau Taksaka memiliki kulit yang alot, kebal.

Kali ini Taksaka tidak berani membiarkan serangan Ragola mengenai sasaran. Rupanya dia tahu kalau selangkangan merupakan bagian yang lemah. Tanpa mengendurkan cengkeraman, diangkat kaki kanannya untuk menjadi pelindung selangkangan. Kaki Ragola pun menghantam betis Taksaka secara keras.

Namun tidak hanya sampai di situ tindakan bocah berkulit ular itu. Dengan sebuah gerakan cepat, kaki kanannya digerakkan ke kanan, sehingga kaki Ragola yang baru saja menghantam sasaran, tergaet. Dengan cepat pula kaki Taksaka langsung meluncur ke paha kanan Ragola.

Krakkk...!

"Akh...!" Ragola meraung keras ketiga kaki Taksaka menghantam telak pangkal paha kanannya. Bunyi berderak keras yang terdengar menjadi pertanda kalau ada tulang kaki Ragola patah! Seketika tubuh Ragola limbung, tapi tetap di tempat karena cengkeraman tangan Taksaka masih lekat di kedua bahunya.

Taksaka benar-benar telah larut dalam alun kemarahannya. Patahnya tulang kaki lawan tidak membuat tindakannya terhenti. Dia semakin buas laksana hiu lapar mencium bau darah. Sambil mengeluarkan gerengan keras mirip binatang marah, kedua tangannya yang sejak tadi mencengkeram, ditekankan semakin keras. Sejak tadi Ragola telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tulang-tulang bahunya dari kehancuran akibat cengkeraman Taksaka. Namun dia tetap kewalahan. Dan tiba-tiba...,

Krekk!

"Aaakh...!" Ragola terpekik keras ketika tulang bahunya dirasakan remuk. Rupanya bocah berkulit ular itu telah mencengkeramnya semakin kuat. Rasa sakit yang hebat mendera bahu Ragola. Kedua matanya terpejam rapat dengan mulut meringis menahan rasa sakit yang tak terkira. Tubuhnya kian limbung tak mampu menahan.

Wajahnya pucat pasi bagaikan tidak berdarah. Keringat sebesar biji-biji jagung pun bersembulan di sekujur wajahnya. Ragola sudah tidak kuasa untuk melakukan perlawanan lagi. Dia hanya pasrah menunggu datangnya maut Rintihan lirih terus keluar dari mulutnya.

"Cukup, Taksaka...!"

Seruan Siluman Goa Langit membuat Taksaka yang bermaksud melakukan tindakan penyiksaan lanjutan, mengurung kan niatnya. Namun, tangannya tetap memegang kedua bahu Ragola ketika menoleh ke arah nenek berambut panjang dengai sorot mata mengandung pertanyaan.

"Aku yang akan menyelesaikannya," jawab Siluman Goa Langit yang seakan memahami arti tatapan Taksaka. "Lepaskan saja dia!"

Tanpa memberikan bantahan sama sekali, Taksaka melepaskan cengkeramannya. Tubuh Ragola pun ambruk ke tanah. Siksaan bocah berkulit ular itu membuat seluruh tenaganya bagaikan lenyap. Bahkan tulang-tulang tubuhnya dirasakan bagai telah dilolosi semuanya.

"Bagaimana, Ragola?" tanya Siluman Goa Langit seraya mengayunkan langkah menghampiri Ragola. Jelas pertanyaan itu bernada kemenangan dan ejekan.

Ragola bukan orang bodoh, dia pun tahu. Namun, berpura-pura tidak peduli. Tak diberikannya tanggapan sama sekali. Di samping karena tak ingin membuat nenek berpakaian kuning itu semakin merasa menang, juga rasa sakit yang diderita telah membuat nafsu berbicaranya lenyap.

Siluman Goa Langit yang tengah dimabuk kemenangan, tidak mempedulikan hal itu. Baginya tak ada masalah sama sekali, baik Ragola menjawab ucapannya atau pun tidak. Yang penting, musuh bebuyutannya itu telah membuktikan kalau Siluman Goa Langit akhirnya bisa unggul!

"Kau ingat peristiwa dua puluh lima tahun lalu...?" tanya Siluman Goa Langit seraya menyepak perlahan kepala Ragola yang tergolek lemah di tanah.

"Cuhhh!" Ragola menjawab dengan semburan ludah. Namun karena tubuhnya tergolek di tanah, sedangkan Siluman Goa Langit berdiri, semburan ludah itu tidak mengenai wajah nenek berpakaian kuning itu.

"Ah..., rupanya kau masih ingat," ucap Siluman Goa Langit tetap kalem namun dengan sinar mata berkilat karena dilanda amarah. "Ya, kau meludahiku setelah puas memperkosa dan mempermainkan tubuhku. Bahkan kau pun telah merusak kedua payudaraku dengan tusukan jarum-jarummu. Bukankah begitu?!”

TUJUH
Sambil berkata demikian, Siluman Goa Langit menjejalkan kaki kanannya yang berlumur lumpur, ke mulut Ragola. Tentu saja lelaki bertelanjang dada itu tak membiarkan begitu saja penghinaan lawannya. Dengan kakinya yang masih berguna, dikirimkan tendangan ke arah selangkangan Siluman Goa Langit.

Namun usaha Ragola tidak berarti sama sekali, hanya dengan sebuah gerakan sederhana, nenek berpakaian kuning itu berhasil mengelakkannya. Dan sekali kakinya bergerak menjejak, tulang kaki Ragola yang satu lagi pun patah pula.

Ragola hanya bisa meringis menahan sakit yang melanda. Tak sedikit pun dikeluarkan keluhan dari mulutnya karena khawatir Siluman Goa Langit semakin akan lebih merasa menang karenanya. Dan keluhannya semakin tidak terdengar karena alas kaki Siluman Goa Langit menyumpal mulutnya.

Meski telah tidak bisa menggerakkan kaki dan tangan, Ragola berusaha keras untuk mencegah alas kaki Siluman Goa Langit menyumpal mulutnya. Dengan menggerakkan kepala, dicoba mengelakkannya. Namun usaha Ragola siasia saja. Kaki Siluman Goa Langit seperti mempunyai perekat sehingga terus melekat dengan mulutnya. Sekalipun telah diusahakan untuk melepaskan, kaki itu terus menyumpal mulutnya. Tak pelak lagi, mulut dan wajah Ragola penuh dengan lumpur dan tanah.

Siluman Goa Langit baru menghentikan tindakannya ketika napas Ragola kembang kempis dan wajahnya merah padam karena sulit bernapas. "Bagaimana, Ragola? Nikmat?! Itu belum seberapa. Masih ada lainnya yang jauh lebih menarik! Kau mau membuktikannya?!"

Siluman Goa Langit mengambil sebuah guci kecil dari balik pakaiannya. "Kau tahu apa isi kendi ini, Ragola?! Racun! Racun yang dapat menghancurkan kulit wajahmu meski hanya terkena satu tetes saja," ujar Siluman Goa Langit sambil menimang-nimang kendi itu di atas wajah Ragola yang langsung pucat begitu mendengar ucapan itu.

Tarikan wajah dan sorot mata Ragola memancarkan kengerian ketika dengan gerak perlahan-lahan, Siluman Goa Langit membuka sumbat kendi itu. Nenek berambut panjang itu sengaja melakukannya lambat-lambat untuk menyiksa perasaan Ragola. Dan memang dia berhasil. Wajah lelaki bertelanjang dada itu semakin lama semakin tampak menegang membayangkan cairan itu diteteskan ke wajahnya.

"Terimalah pembalasanku, Ragola!" Siluman Goa Langit menuangkan cairan di dalam kendi itu. Setetes, dan tepat jatuh di pipi Ragola.

Seketika Ragola meraung sambil menggelepar-gelepar seperti ikan jatuh di darat. Bunyi berdesis nyaring seperti besi panas disiram air berbaur dengan jeritan kesakitan Ragola.

"Hi hi hi...!" Siluman Goa Langit tertawa mengikik, menyaksikan Ragola yang berkelojotan dan menjerit-jerit. Perempuan tua berambut tergerai itu tampak kegirangan melihat musuh bebuyutan yang dibencinya, menggelepar-gelepar menahan sakit sambil melolong-lolong menyayat hati.

Semua kejadian itu tak lepas dari perhatian Taksaka. Namun tidak nampak adanya tanda-tanda kalau penderitaan Ragola mempengaruhinya. Taksaka telah berubah buas, semenjak bergaul dengan Siluman Goa Langit yang berwatak kejam. Hal ini sebenarnya tidak terlalu aneh karena dalam diri Taksaka mengalir darah seekor hewan buas. Anak itu malah merasa gembira melihat Siluman Goa Langit bergembira.

"Mari, Taksaka...!" ajak Siluman Goa Langit setelah merasa puas bergembira, dan tertawa-rawa.

Nenek berambut panjang itu tidak merasa khawatir sama sekali kalau lawannya akan selamat dari maut. Dia yakin, meskipun Ragola tidak mati, tidak akan dapat membalas dendam. Apa yang bisa dilakukan oleh orang telah remuk tulang-tulang tangan dan kakinya?

* * *

"Di sanalah pusakaku terjatuh, Taksaka," ujar Siluman Goa Langit seraya menudingkan jari telunjuk ke dataran berupa padang pasir yang membentang.

Taksaka yang berada di depan Siluman Goa Langit, duduk di punggung garuda putih mengarahkan pandangan ke bawah. Namun buru-buru dialihkan lagi, karena merasa ngeri.

"Mengapa kau tidak mengambilnya kembali, Nek?" tanya Taksaka heran.

"Hi hi hi...!" Siluman Goa Langit tertawa, karena merasa geli mendengar pertanyaan Taksaka. "Kau kira mudah mengambilnya, Taksaka? Kau tahu, apabila terjatuh ke tempat itu, jangankan aku. Orang yang memiliki kepandaian puluhan kali lipat dari yang kumiliki pun, tidak akan mampu mengambilnya kembali!"

"Eh?! Mengapa bisa begitu, Nek?!" tanya Taksaka masih dengan keheranan. Dia merasakan adanya nada kesungguhan dalam ucapan wanita berambut panjang itu. Taksaka tahu, Siluman Goa Langit tidak berbohong.

"Tempat jatuhnya pusakaku itu terdapat hamparan lumpur hidup! Sebuah tempat yang tak mampu menahan beban sebuah benda, kecuali yang sangat ringan. Jadi, apa pun yang jatuh ke sana akan tertarik ke dalam, tanpa ampun! Tak satu pun makhluk yang akan mampu menahan daya tariknya bila telah jatuh ke sana, betapa pun lihainya!"

"Ah...!" Taksaka mengeluarkan teriakan kaget mendengar kedahsyatan tempat jatuhnya pusaka milik Siluman Goa Langit Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan kengerian.

"Tapi kau tak usah khawatir, Taksaka!"

"Kalau begitu... bagaimana, Nek?! Lalu, apa maksudmu menunjukkan tempat itu padaku? Bukankah kau tahu, tak akan ada orang yang sanggup mengambilnya, betapapun saktinya orang itu!"

"Itu memang benar, Taksaka! Tapi..., ada kecualinya. Ada orang yang dapat mengambilnya karena memiliki kemampuan khusus yang tidak dimiliki orang lain, dan orang itu adalah kau, Taksaka!" tandas Siluman Goa Langit, tegas.

Karuan saja pemberitahuan yang tidak disangka-sangka ini membuat Taksaka terperanjat kaget Dia tampak bingung. "Dari mana kau tahu aku mampu melakukannya, Nek?! Apakah kau tidak salah?"

"Tidak usah kau pikirkan hal itu, Taksaka!" Siluman Goa Langit buru-buru mengulapkan tangan, memutuskan pembicaraan. "Nanti kau pun akan tahu sendiri. Sekarang lebih baik kita turun saja."

Usai berkata demikian, tanpa menunggu persetujuan Taksaka lagi, Siluman Goa Langit segera memerintahkan garuda putih untuk turun. Burung raksasa itu pun menukik ke bawah, melaksanakan perintah tuannya.

Sesaat kemudian, garuda putih itu telah mendarat. Tentu saja tidak di atas hamparan pasir yang dikatakan Siluman Goa Langit sebagai lumpur hidup. Melainkan di tempat yang aman, tapi tak jauh dari tempat itu.

"Sekarang kau ambillah pusaka milikku itu, Taksaka!" perintah Siluman Goa Langit setelah berada di pinggir hamparan pasir yang di dalamnya terkandung lumpur hidup. "Aku yakin kau bisa karena pusaka milikku itu terbuat dari tulang-belulang seekor ular yang sangat besar."

"Hm...!" Taksaka menggumam pelan, kemudian secara mendadak sikapnya berubah. Sorot sepasang matanya mencorong tajam dan berwarna kehijauan mirip harimau dalam gelap. Lalu, kedua tangannya terangkat ke atas, agak ke depan, terkembang jari-jemari membentuk cakar.

Taksaka berdiam beberapa saat, sedangkan Siluman Goa Langit memperhatikan saja semua tindakan bocah berkulit ular itu tanpa berkedip. Berganti-ganti sepasang matanya ditujukan pada Taksaka dan hamparan pasir yang membentang dan sepi seperti mati!

"Ah...!" Tanpa sadar Siluman Goa Langit mengeluarkan pekikan kaget ketika melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan hati. Permukaan pasir yang semula tenang itu, di salah satu bagian bergolak hebat seperti air mendidih, menggelegak!

Semakin lama golakan pasir itu semakin hebat. Sepertinya akan ada sesuatu yang akan keluar dari sana. Dan Siluman Goa Langit tahu apa yang menjadi penyebabnya serta benda apa yang akan keluar dari dalamnya. Dengan pandangan mata penuh minat, diperhatikan permukaan pasir yang semakin keras bergolak. Beberapa kali pandangannya dialihkan pada sepasang tangan Taksaka yang bergetar hebat.

Namun hal itu dilakukannya hanya sekali-sekali saja. Itu pun karena perasaan tidak sabarnya untuk segera melihat pusaka yang diinginkan segera keluar dari tempat itu. Dan akhirnya Siluman Goa Langit melihatnya!

Sebuah kotak kecil berukuran lebih dari dua kali kaki, mulai menyembul di permukaan pasir. Kotak itu bergerak-gerak beberapa saat lamanya di permukaan, sebelum akhirnya melesat ke atas seperti ditarik oleh sebuah tangan gaib. Dan arah yang ditujunya jelas, kedua tangan Taksaka yang terkembang.

"Cukup, Taksaka!" Siluman Goa Langit yang sudah tidak sabar lagi untuk segera mendapatkan peti itu berteriak. Dengan cepat tangannya melolos sabuk yang melilit pinggang dan meluncurkannya ke arah kotak! Bagaikan hidup dan bermata sabuk itu meluncur.

Taksaka segera menghentikan pengerahan tenaga dalamnya yang tadi dikerahkan untuk menyedot peti dari dalam lumpur hidup. Maka peti yang tengah berada di udara itu meluncur ke bawah karena beratnya. Namun sebelum sempat jatuh ke dalam hamparan pasir maut yang akan menelannya kembali, tiba-tiba peti itu meluncur ke arah kiri Taksaka. Seakan ditarik oleh suatu kekuatan gaib. Hanya berselang dalam waktu yang sangat singkat, sabuk Siluman Goa Langit melilit tempat peti itu berada.

"Heh...?!" Siluman Goa Langit kaget bercampur geram ketika melihat sabuknya melilit tempat kosong. Sebab peti yang akan dijadikan sasaran belitan itu, sudah lenyap. Secara aneh, peti itu meluncur cepat ke arah lain.

Sebagai seorang tokoh persilatan yang penuh pengalaman, Siluman Goa Langit tahu, ada seseorang yang telah mendahuluinya merebut peti itu. Seorang tokoh yang memiliki kekuatan tenaga dalam luar biasa, karena mampu menyedot peti yang berada di udara!

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Siluman Goa Langit mengarahkan pandangan ke arah tempat peti kecil itu meluncur. Ternyata dugaannya tepat. Seorang kakek yang sudah sangat tua berkepala botak. Kumis, jenggot, alis, dan cambangnya telah berwama putih semua.

Cara berdirinya sudah tidak tegak lagi saking tuanya usia kakek yang berpakaian jubah lusuh dan kumal itu. Seperti juga yang dilakukan Taksaka, kakek bongkok itu mengembangkan kedua tangan. Hanya saja tidak ke atas, melainkan ke depan. Dan melihat raut wajah kakek itu yang merah padam, dapat diketahui kalau tindakan yang dilakukan itu membuat tenaganya terkuras.

"Taksaka...! Jangan biarkan kakek bongkok itu mengambil peti! Rampas kembali!" seru Siluman Goa Langit, cepat. Suaranya agak bergetar karena perasaan tegang melihat peti itu telah hampir berada dalam jangkauan tangan si Kakek Bongkok.

Sambil mengeram Taksaka langsung menjulurkan tangan ke arah peti. Luncuran peti yang semula menuju arah kakek bongkok langsung terhenti. Namun hal itu hanya berlangsung sebentar, karena sesaat kemudian langsung berubah tujuan ke arah Taksaka berada. Memang tidak secepat semula!

Kakek bongkok menggereng seperti harimau terluka. Melihat peti kecil itu berubah arah membuatnya segera mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki. Hasilnya memang tak percuma. Peti itu yang semula telah meluncur lambat ke arah Taksaka, terhenti. Kemudian melayang lambat-lambat menuju ke arahnya.

Namun hal itu pun hanya berlangsung sesaat. Ketika dengan cepat Taksaka mengeluarkan gerengan serupa dan menambah kekuatan tenaga dalamnya, peti itu meluncur ke arah Taksaka. Mula-mula lambat, tapi semakin lama seiring dengan kian jauh dari kakek bongkok, kecepatan luncurannya semakin cepat.

Siluman Goa Langit tersenyum lebar melihat hal ini. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi dunia persilatan, dirinya tahu kalau Kakek bongkok itu dan Taksaka tengah mengadu kekuatan tenaga dalam memperebutkan peti.

Dan dari kenyataan yang terjadi kemudian Siluman Goa Langit tahu, kalau tenaga dalam Taksaka berada di atas kakek bongkok! Taksaka mampu memenangkan adu tarik-tarikan itu. Meskipun peti itu tadi telah hampir mencapai tangan si Kakek Bongkok.

Hal itu pun disadari oleh kakek bongkok, dan dia pun tidak mau mencelakai diri dengan terus memaksa mengerahkan tenaga dalam untuk merebutnya. Begitu tahu kalau peti itu tak mungkin dapat direbutnya kembali dengan cara seperti itu, dihentikan penyaturan tenaga dalamnya.

Sehingga peti itu meluncur ke arah Taksaka dengan kecepatan tinggi. Sampai akhirnya jatuh di kedua tangan bocah ajaib itu. Kakek bongkok yang mengikuti dengan pandang matanya ke arah luncuran peti itu, terbelalak kaget ketika melihat sosok Taksaka.

"Pantas...," desis kakek bongkok sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Rupanya pemiliknya yang datang mengambil peti itu. Pantas saja benda-benda yang semula terkubur di dalam bumi itu dapat keluar kembali! Heh...?!"

Mendadak kakek bongkok kembali tersentak kaget ketika melihat Taksaka menyerahkan peti kecil itu pada seorang nenek berpakaian kuning yang bergegas merebutnya. Kakek bongkok tahu siapa adanya nenek berambut panjang itu.

Seorang tokoh sesat yang memiliki watak kejam. Kalau isi peti yang merupakan pusaka-pusaka maha ampuh sampai jatuh ke tangannya, maka akan sulit baga tokoh persilatan aliran putih untuk menghentikan tindakan angkara murkanya.

Kekhawatiran akan terjadi hal itu membuat kakek bongkok melompat menerjang Siluman Goa Langit. Sungguh suatu gerakan yang mengagumkan sekali. Meski lelaki renta itu tadi tampak sangat lemah ternyata memiliki kecepatan gerak yang sangat cepat dan ringan. Bentuk tubuhnya tidak terlihat, bergerak menerjang Siluman Goa Langit.

Siluman Goa Langt terperanjat melihat sekelebatan bayangan kuning meluruk ke arahnya dari atas, laksana seekor burung besar menerkam mangsanya. Meskipun tidak dapat melihat secara jelas, nenek berambut panjang tahu kalau sosok itu pasti kakek bongkok yang ingin merampas kembali peti yang berada di tangannya.

Secara untung-untungan, karena tak ingin peti itu terampas kembali Siluman Goa Langit segera melemparkarmya. Kemudian dengan kedua tangan, dipapakkan ke atas seraya mengangkat kepala, dia bermaksud menangkis serangan sekaligus mengirimkan serangan balasan.

"Heaaa...!"

Plak! Plak!

Siluman Goa Langit mengeluarkan keluhan kesakitan ketika kedua tangannya berbenturan dengan kedua tangan si Kakek Bongkok. Kedua tangannya langsung terasa lumpuh sejenak di samping nyeri. Tubuhnya pun terjengkang ke belakang. Jelas, tenaga dalam si Kakek Bongkok berada jauh di atasnya.

"Orang sepertimu lebih baik kulenyapkan dari muka bumi agar tidak menyeret Anak Naga itu ke jalan sesat dan terkutuk," ujar kakek bongkok pelan, tapi terdengar jelas oleh telinga Siluman Goa Langit.

Seketika Siluman Goa Langit merasa gentar bukan kepalang. Disadari kalau dirinya bukan tandingan lelaki tua renta yang sangat sakti itu. Sebelum kakinya menjejak tanah, kakek bongkok telah meluruk ke arahnya seraya mengirimkan serangan-serangan maut. Dengan cepat Siluman Goa Langit langsung menjatuhkan tubuh di tanah dan bergulingan menjauh untuk menyelamatkan selembar nyawanya.

"Taksaka...! Tolong aku...! Bunuh Kakek peot ini...!" sambil terus bergulingan, Siluman Goa Langit meneriakkan kata-kata perintah pada bocah berkulit ular itu.

Seperti biasanya, Taksaka pun mematuhi perintah Siluman Goa Langit secara cepat. Sekali menjejakkan kaki, bocah ajaib ini melesat ke dalam kancah pertarungan. Dia langsung menyelak di antara kedua orang tua yang tengah sibuk bertarung itu. Begitu sampai di arena, Taksaka langsung memapak serangan-serangan yang tertuju ke arah Siluman Goa Langit.

Plakk! Plakkk!

"Heh!"

Bunyi keras terdengar ketika tangan-tangan Taksaka yang besar dan kekar berbenturan dengan tangan kakek bongkok yang kecil dan keriput. Akibatnya, tubuh lelaki tua renta berjubah lusuh itu terhuyung-huyung ke belakang sambil menyeringai kesakitan. Kakek ini menderita kerugian yang berlipat ganda akibat benturan itu karena memang kalah segala-galanya. Baik dalam kekuatan tenaga dalam maupun kekuatan anggota tubuh. Kedua tangannya terasa sakit dan gemetar akibat benturan tadi.

DELAPAN

Kakek bongkok itu merasa kagum terhadap kemampuan Taksaka. Namun hal itu tidak dapat diutarakannya, karena bocah berkulit ular itu telah meluruk ke arahnya dengan serangan-serangan mematikan setelah berhasil memperbaiki kedudukan. Terpaksa si Kakek Bongkok mengerahkan kemampuan untuk melakukan perlawanan. Sebab jika hal itu tidak dilakukan, nyawanya akan melayang ke alam baka.

Pertarungan sengit yang mendebarkan pun berlangsung. Taksaka beringas bukan kepalang. Setiap serangan yang dikirimkan selalu menuju bagian-bagian mematikan. Mau tidak mau lelaki tua berambut putih itu bertindak serupa. Ketika Taksaka tengah berjuang keras untuk dapat merobohkan lawannya.

Siluman Goa Langit sibuk melayangkan pandangan ke sana kemari menecri-cari peti yang tadi dilemparkannya. Tadi dalam luapan perasaan gugup dan khawatir, peti itu dilontarkan tanpa diperhatikan arahnya. Namun yang jelas, peti itu tidak menuju ke lumpur hidup.

Setelah mengedarkan pandangan ke sana kemari, Siluman Goa Langit yakin kalau peti itu jatuh di kerimbunan semak-semak yang berjarak sekitar lima belas tombak darinya. Sebab, hanya tempat itulah satu-satunya yang agak tersembunyi. Siluman Goa Langit pun beranjak ke sana. Namun baru beberapa lesatan dan masih belum mencapai tempat yang dituju, jantung nenek berambut panjang ini hampir copot. Tiba-tiba telinganya mendengar suara-suara yang mengejutkan hatinya.

"Ha ha ha...! Kalau memang jodoh akhimya akan dapat juga, bukankah pusaka-pusaka ini kabarnya terpendam di dalam lumpur hidup. Ya, sejak lebih dari seratus tahun lalu ketika Naga Sakti Danau Pasir membuang peti ini karena keturunannya menjadi penjahat besar, dan akhimya tewas di tangannya. Mengapa bisa berada di sini?!"

"Tidak usah kau pikirkan itu! Lebih baik bagaimana kita memanfaatkannya agar dapat menjadi tokoh paling sakti di kolong langit ini!" sambut sebuah suara yang lain.

"Aku yakin peti ini semula berada di dalam lumpur hidup, hanya saja entah bagaimana caranya bisa berada di sini. Lihat saja keadaannya? Penuh lumpur dan pasir, kan?"

Ucapan-ucapan yang jelas, berasal dari dua orang itu hanya sampai di situ, karena saat itu juga terdengar suara lainnya.

"Siapa bilang kalian yang berjodoh? Jangan sembarangan mementang bacot! Kamilah yang berhak atas pusaka Pendekar Naga Sakti Danau Pasir!"

"Benar!" timpal suara lain lagi. "Kamilah yang berhak mendapatkannya! Lekas, berikan peti itu kalau ingin selamat!"

Di saat dua sosok yang pertama, penemu peti, bersitegang dengan dua sosok yang baru datang, Siluman Goa Langit tiba. Keempat sosok yang sudah siap untuk bertarung itu terperanjat melihat kehadiran nenek tua tidak disangka-sangka.

"Kalian semua keliru!" seru Siluman Goa Langit sambil menatap wajah empat sosok yang terdiri dari Nelayan Pemancing Nyawa, Petani Berjari Sakti, dan Sepasang Harimau Hitam Bermata Satu.

Sekarang, nenek berambut panjang ini tahu penemu peti yang dilemparkannya adalah Sepasang Harimau Hitam. Sebab suara dua sosok yang belakangan dikenalinya milik Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti.

"Asal kalian tahu saja," ujar Siluman Goa Langit menambahkan setelah melihat empat sosok itu berdiam dan mendengarkan ucapannya. "Akulah yang berhak atas peti itu. Akulah yang dengan susah payah mengambilnya dari dalam lumpur hidup! Harimau Hitam, berikan peti itu padaku!"

"Ha ha ha...!"

Hanya tawa bergelak yang diberikan Sepasang Harimau Hitam atas ucapan Siluman Goa Langit.

"Lucu-lucu sekali...! Kita semua merasa paling berhak, padahal tak ada satu pun yang benar! Kita semua tidak lebih dari pencuri-pencuri harta pusaka milik orang, mengapa saling mengaku miliknya," tukas Harimau Hitam yang mata kirinya picak setelah selesai tertawa.

"Benar, benar sekali. Jadi, jangan harap kalau kami akan memberikannya. Kalau mampu silakan ambil," timpal Harimau Hitam yang bermata picak sebelah kanan, bernada menantang.

Diam-diam Sepasang Harimau Hitam mengeluh dalam hati karena tahu kalau lawan yang dihadapi merupakan tokoh-tokoh berat. Dalam hati mereka menyesali diri karena langsung larut dalam kegembiraan dan tidak lebih dulu mengurus pusaka. Kalau saja mereka menggunakan isi peti itu, niscaya mereka akan jauh lebih kuat. Namun apa boleh buat nasi telah menjadi bubur. Sekarang sudah tidak mungkin lagi mereka melakukannya.

Baru saja Sepasang, Harimau Hitam selesai dengan ucapannya, Siluman Goa Langit, Nelayan Pemancing Nyawa, dan Petani Berjari Sakti telah menyerangnya. Masing-masing pihak langsung mengeluarkan senjata andalan. Tak pelak lagi, kail, cangkul, dan sabuk meluruk ke arah dua tokoh hitam yang senantiasa mengenakan pakaian hitam itu.

Karuan saja hal itu membuat Sepasang Harimau Hitam kelabakan. Mereka harus menghadapi keroyokan tokoh-tokoh sakti karena peti pusaka peninggalan Naga Sakti Danau Pasir. Serangan-serangan dahsyat yang datang secara bersamaan itu memaksa mereka membanting tubuh ke tanah dan bergulingan menjauh untuk menyelamatkan diri.

Namun ketiga lawan mereka tidak tinggal diam, melainkan terus memburu dengan serangan-serangan maut. Hanya dalam beberapa gebrakan Sepasang Harimau Hitam dibuat kelabakan. Padahal keduanya telah menggunakan golok bercabang dua, senjata andalan mereka. Namun tetap saja keadaan tidak berubah.

Memang, sebenarnya tingkat kepandaian Sepasang Harimau Hitam, bila dibandingkan dengan lawan-lawannya tidak akan sanggup mengungguli. Nelayan Pemancing Nyawa, Petani Berjari Sakti, apalagi Siluman Goa Langit, terlalu tangguh untuk dapat mereka hadapi. Ketiga tokoh itu unggul dalam segala hal. Tak heran hanya dalam beberapa gebrakan nyawa Sepasang Harimau Hitam berada di ambang maut.

Tahu kalau keadaan seperti ini terus akan membuat nyawa bisa melayang, Harimau Hitam yang picak mata kanannya segera melempar peti itu. Perkiraannya tidak meleset. Begitu melihat peti pusaka melayang, baik pihak Nelayan Pemancing Nyawa maupun Siluman Goa Langit, langsung menghentikan serangan. Dengan cepat berlomba menuju ke arah peti.

Rrrt! Rrrtt!

Baik Nelayan Pemancing Nyawa maupun Siluman Goa Langit, benar-benar mahir mempergunakan senjata andalan, sehingga peti yang tengah melayang itu, berhasil mereka belit dengan senjata masing-masing. Hanya saja karena melilit peti secara bersamaan, peti itu tertahan di tengah jalan. Kedua belah pihak terlibat dalam tarik-menarik dengan mengerahkan tenaga dalam.

Sebenarnya, saat itu merupakan kesempatan baik bagi Sepasang Harimau Hitam untuk melancarkan serangan ketika Siluman Goa Langit dan Nelayan Pemancing Nyawa tengah bersitegang. Kedua senjata tampak menegang saling mempertahankan belitan pada peti itu.

Namun, Sepasang Harimau Hitam khawatir usahanya akan gagal. Maka keduanya menunggu saat yang benar-benar tepat. Lagi pula keduanya bermaksud membiarkan Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti, serta Siluman Goa Langit saling bentrok. Baru di saat kedua belak pihak telah lemah mereka akan turun tangan.

Ternyata Siluman Goa Langit memiliki tenaga dalam lebih kuat. Nelayan Pemancing Nyawa tampak terengah-engah. Tubuhnya pun hampir terlepas dari leher Petani Berjari Sakti, condong ke depan tertarik kekuatan tenaga lawan. Untung saja Petani Berjari Sakti cepat bertindak, Cangkulnya diayunkan ke arah perut Siluman Goa Langit dari arah sebelah kanan.

"Heaaa...!"

Wuttt!

"Aits...!"

Deru angin keras terdengar mengiringi sambaran cangkul itu. Siluman Goa Langit harus berpikir keras untuk dapat melakukan tindakan tepat. Nenek berambut panjang tahu kalau serangan cangkul itu sampai mengenai sasaran nyawanya mungkin melayang dengan sekujur tubuh hancur dan isi perut terburai.

Mendadak, dalam waktu yang demikian sempit, Siluman Goa Langit mengulur sabuknya seraya mendoyongkan tubuh dan menggeser kakinya ke belakang. Hal itu membuat serangan cangkul Nelayan Pemancing Nyawa lewat beberapa jari di depan perutnya. Rambutnya yang panjang tergerai berkibar terhempas angin sambaran cangkul lawan.

Mengendurnya sabuk di tangan Siluman Goa Langit pun sempat membuat tubuh si Buntung yang bertengger di leher kawannya hampir terjengkang. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Siluman Goa Langit. Ketika sabuk itu menegang kembali akibat terjengkangnya tubuh Nelayan Pemancing Nyawa, memberi peluang kepada Siluman Goa Langit. Dengan cepat perempuan tua berambut panjang itu melancarkan tendangan keras ke tubuh Petani Berjari Sakti.

Gerakan Siluman Goa Langit saja sudah cepat bukan main apalagi ditambah dengan tenaga ayunnya. Maka kecepatannya pun jadi berlipat ganda. Dan akibarnya, Petani Berjari Sakti merasa gugup dengan tibanya serangan yang begitu cepat dan tidak tersangka-sangka itu.

Dengan sebisa-bisanya dia berusaha melompat untuk mengelak. Namun sayang, lelaki bermata buta ini kalah cepat. Tendangan Siluman Goa Langit lebih dulu bersarang di dadanya secara telak dan keras.

Petani Berjari Sakti terpekik keras ketika tulang-tulang dadanya remuk dengan mengeluarkan bunyi berdetak keras. Tubuh lelaki bermata buta ini pun terjengkang ke belakang seraya menyemburkan darah segar dari mulut.

Nelayan Pemancing Nyawa tidak mau mengambil resiko dengan tetap berdiam diri di leher Petani Berjari Sakti. Meskipun diketahui kemungkinan besar kawannya itu akan tewas, mengingat luka-luka yang parah. Kakek berkaki buntung ini akhimya melompat ketika kawannya terjengkang.

Tidak sembarang lompatan yang dilakukan, tapi sekaligus mengirimkan serangan pada Siluman Goa Langit. Nelayan Pemancing Nyawa mengirimkan tamparan tangan kiri ke arah pelipis lawannya. Itu dilakukan dengan tali pancing masih membelit peti seperti juga halnya sabuk di tangan Siluman Goa Langit.

Siluman Goa Langit tidak mempunyai pilihan lain. Dipapaknya serangan itu dengan tindakan serupa. Namun tiba-tiba....

Wuttt!

Plak! Plak!

"Heh...?!" Siluman Goa Langit dan Nelayan Pemancing Nyawa tersentak kaget. Mendadak sesosok bayangan merah berkelebat dan langsung memapak pukulan tangan keduanya. Siluman Goa Langit terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Begitu pula keadaannya dengan Nelayan Pemancing Nyawa yang meringis, merasakan nyeri di tangan.

"Resi Ganda Wisesa...!" seru Siluman Goa Langit dan Nelayan Pemancing Nyawa ketika berhasil memperbaiki kedudukan. Kakek berkaki buntung itu terpaksa berdiri dengan kedua pangkal pahanya karena rekannya telah tewas.

"He he he...!" Resi Ganda Wisesa tertawa terkekeh. Tampak peti berisi pusaka yang diperebutkan itu telah berada di tangannya. Nelayan Pemancing Nyawa dan Siluman Goa Langit merasa heran. Keduanya takjub karena tidak tahu bagaimana kakek berpakaian merah itu merebutnya tadi.

Nelayan Pemancing Nyawa dan Siluman Goa Langit saling pandang. Sesaat kemudian keduanya telah bersepakat untuk bersama-sama menghadapi lawan yang amat tangguh ini sebelum pertarungan mereka dilanjutkan.

Sementara Resi Ganda Wisesa masih tertawa-tawa sambil mengangkat tinggi-tinggi peti itu. Bahkan sedikit pun tidak ditolehkan sama sekali wajahnya ke arah Siluman Goa Langit maupun Nelayan Pemancing Nyawa.

"Sekarang apa yang akan kau lakukan, Siluman Jalang?! Burungmu tidak akan bisa membantu di tempat yang tertutup pepohonan dan semak-semak ini! Ha ha ha...!"

"Tutup mulutmu, Resi Keparat!" Sambil berkata demikian, Siluman Goa Langit langsung melancarkan serangan dengan sabuknya. Benda yang semula lemas itu, sekarang menegang kaku bagaikan tombak. Bergerak cepat menusuk ke leher dan dada Resi Ganda Wisesa.

Pada saat yang bersamaan, Nelayan Pemancing Nyawa pun menyabetkan kailnya. Mata kail itu melesat ke arah mata lawan. Sedangkan ujung batangnya ditusukkan ke leher.

"Eh...?!" Resi Ganda Wisesa terkejut melihat kedua tokoh yang semula saling tarung itu kini justru bekerja-sama menyerangnya. Hal itu sama sekali tak diduganya. Namun dia tetap tegar tanpa gentar sedikit pun. Kakinya dijejakkan sehingga tubuhnya melenting ke atas. Semua serangan itu pun meleset ke tempat kosong. Dari sini, kakek berpakaian merah itu balas menyerang sehingga terjadi pertarungan sengit.

Di dekat lumpur maut Taksaka dan kakek bongkok telah bertarung hampir seratus lima puluh jurus. Selama itu Taksaka selalu mampu mendesak lawannya.

Kakek bongkok mengeluh dalam hati. Dirinya tahu kalau riwayatnya akan berakhir di tangan seorang bocah. Dirasakan sekujur tubuhnya telah lelah sekali. Bahkan boleh dibilang kehabisan tenaga akibat pertarungan panjang yang terus-menerus mengerahkan tenaga dalam.

Serangan dan gerakannya yang semula penuh pengerahan tenaga dalam dan cepat, telah menurun jauh. Sementara lawannya, Taksaka tampak masih tetap tegar. Kekuatan dan kelincahannya tak berubah.

Sebenarnya, sudah sejak jurus ketiga puluh, kakek bongkok telah mempergencar serangan, baik berupa pukulan maupun tendangan ke tubuh Taksaka. Namun anak itu benar-benar memiliki kulit tubuh yang alot. Hantaman tangan dan kaki lawan sama sekali tak dirasakannya. Sebaliknya, kakek bongkok harus terus mengelakkan setiap serangan Taksaka kalau tidak ingin mati konyol.

Untungnya, kakek bongkok itu memiliki ilmu 'Langkah-langkah Ajaib' yang dapat dipergunakannya untuk mengelakkan setiap serangan lawan. Kalau tidak, sudah sejak tadi nyawanya tercabut dari raga.

Taksaka ternyata bukan sembarang bocah. Setelah pertarungan menginjak jurus ke seratus enam puluh tiga, sebuah cara untuk menghadapi ilmu langkah ajaib kakek bongkok telah berhasil ditemukannya. Memang ilmu langkah itu hanya itu-itu saja. Maka apabila dipergunakan terus-menerus, kelemahannya akan mudah diketahui lawan.

Taksaka langsung mempergunakan penemuannya di saat kakek bongkok baru selesai mengelakkan serangannya. Dia mencegat arah yang akan dituju lawan dan secepat kilat menyapu kakinya. Sehingga kakek bongkok itu terjungkal ke belakang. Namun lelaki tua renta berjubah kumal itu memang benar-benar tangguh. Dia mampu berdiri dengan kedua kaki meski agak terhuyung-huyung.

Ancaman bahaya maut buat kakek bongkok tak sampai di situ saja. Sambil mendengus keras, Taksaka menubruk sambil mengirimkan pukulan kanan kiri bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan perut lawan. Kakek bongkok terperanjat, tahu kalau dirinya tak akan mampu mengelakkan serangan itu. Sedangkan untuk menangkis merupakan tindakan konyol yang sangat berbahaya. Namun tiba-tiba saja....

"Hiaaa...!"

Buk! Buk! Buk!

Sesosok bayangan ungu berkelebat begitu cepat memapak serangan si Bocah Ajaib. Bertubi-tubi benturan itu terjadi, menimbulkan bunyi keras. Dan setiap kali terjadi benturan, tubuh sosok ungu itu terguncang dan terhuyung. Bahkan benturan yang terakhir membuatnya terjengkang ke belakang dan menabrak tubuh kakek bongkok. Sehingga mereka berdua jatuh saling tumpang tindih.

Namun dengan gerakan cepat dan mengagumkan, baik kakek bongkok maupun sosok ungu yang ternyata Dewa Arak bangkit dan kembali sibuk menghadapi Taksaka. Akhirnya, kakek bongkok dan Dewa Arak bahu-membahu bersama-sama menanggulangi serangan Taksaka yang menggiriskan itu.

Kini Dewa Arak harus mengakui kebenaran ucapan Jaran Sangkar. Taksaka, si Anak Naga itu benar-benar luar biasa. Betapapun telah dikerahkan ilmu 'Belalang Sakti dan dibantu dengan kakek bongkok, tetap saja mengalami kesulitan untuk menghadapi Taksaka.

Beberapa kali pukulan, tendangan, maupun guci Arya menghantam tubuh Taksaka, tapi satu pun tak ada yang dirasakan. Sebaliknya, Dewa Arak dan kakek bongkok harus pontang-panting setiap kali Taksaka menyerang. Sesekali keduanya terpaksa menangkis, tapi akibatnya tubuh mereka terjengkang lalu terguling-guling ke tanah.

Karena tahu kalau Taksaka memiliki tubuh kebal, Dewa Arak dan kakek bongkok menujukan serangan pada bagian-bagian yang sulit untuk dilindungi kekebalan, seperti mata dan ubun-ubun. Ternyata benar, Taksaka tak berani membiarkan serangan ke arah itu.

Pertarungan antara Anak Ajaib itu melawan Dewa Arak dan kakek bongkok kian seru. Serangan-serangan dahsyat terus berlangsung. Keadaan di sekitar tempat itu porak-poranda bagai diamuk badai dahsyat.

Mendadak Taksaka yang merasa geram karena tidak juga berhasil mengalahkan lawan-lawannya menggeram keras. Sehingga membuat keadaan di sekitar tempat itu tergetar hebat. Bahkan Dewa Arak dan kakek bongkok merasakan sendiri akibatnya. Kedua kaki mereka menggigil lemas.

Saat itu, Taksaka melompat menerjang untuk mengirimkan serangan maut, ketika kedua lawannya terpengaruh geramannya. Tapi....

"Taksaka...! Hentikan...!"

Taksaka menghentikan gerakannya secara mendadak karena mengenal betul pemilik suara itu. Dengan agak ragu-ragu dan bergetar ditolehkan kepalanya ke belakang.

"Ibu...!" seru Taksaka seraya berlari menghambur ke arah wanita berpakaian coklat yang berdiri bersebelahan dengan kakek berpakaian putih, Prajurit Kerajaan Dewa.

Nawangsuri tersenyum seraya mengembangkan kedua lengan menyambut tubuh putranya. "Jangan kau serang mereka, Taksaka! Pemuda berambut putih keperakan itu orang yang menyelamatkanku dan juga kakekmu," ujar Nawangsuri memberitahukan anaknya, seraya menunjuk Prajurit Kerajaan Dewa. "Mengapa kau bisa berada di sini, Taksaka?"

"Cukup panjang ceritanya, Bu," jawab Taksaka pelan. "Di saat aku tengah bermain melihat seekor burung besar berwarna putih. Aku tertarik, dan mendekatinya, tapi burung itu selalu pergi setiap kali aku hampir menangkapnya. Sampai akhirnya aku tersesat, tidak tahu jalan untuk pulang. Saat itulah kepalaku mendadak pusing. Dan ketika sadar aku berada di atas punggung burung bersama seorang nenek. Dia katanya menemukanku tergolek pingsan."

"Dia bohong!" tandas Nawangsuri, "Nenek itu bukan penolongmu. Dia penculikmu, bahkan dia pula yang telah membunuh ayahmu ketika bermaksud menyelamatkanmu!"

"Apa? Ayah mati?! Dibunuh oleh Nenek itu?!" tanya Taksaka dengan mata terbelalak kaget. Dirinya hampir tak percaya mendengar ucapan sang Ibu.

"Benar. Luka-luka yang diderita, sebagian besar akibat paruh dan cakar burung besar. Dan kebetulan seorang pencari kayu bakar melihatnya. Karena itulah kami tahu siapa yang menculikmu!"

"Keparat!" geram Taksaka, "Kalau begitu, Nenek keparat itu harus kubunuh!"

Lalu, tanpa mempedulikan Nawangsuri yang memanggil-manggilnya, Taksaka melesat menuju tempat Siluman Goa Langit tadi pergi. Telah bulat tekadnya untuk melenyapkan nenek berambut panjang itu dari muka bumi.

Melihat Nawangsuri dan Prajurit Kerajaan Dewa mengejar Taksaka, Dewa Arak dan kakek bongkok pun melakukan hal yang sama. Seperti juga Nawangsuri dan ayahnya, kedua tokoh sakti yang berbeda usia itu pun tadi mendengarkan semua cerita Taksaka. Bahkan Dewa Arak tadi sempat bertanya kepada kakek bongkok yang ternyata salah seorang keturunan kawan Naga Sakti Danau Pasir yang bertugas menjaga peti pusaka itu.

Sambil berlari, Dewa Arak membantin di dalam hati. Semula disangkanya hanya dia, Nawangsuri, dan Prajurit Kerajaan Dewa yang berpikir kalau penculik Taksaka menuju kemari. Ternyata semuanya pun berpikir demikian. Telah dilihatnya sendiri, pertarungan yang menewaskan Petani Berjari Sakti sebelum dia menolong kakek bongkok.

Dewa Arak dan kakek bongkok merasa heran ketika melihat Taksaka, dan ibunya. Kakek itu hanya mematung. Mengapa bocah ajaib itu tidak berbuat sesuatu? Apakah ada sesuatu yang terjadi di sana?

Ternyata memang benar, di tempat pertarungan telah bergelimpangan mayat-mayat berlumuran darah. Tak jauh dari situ, tampak peti yang diperebutkan tergolek. Tidak ada satu pun tokoh hitam yang berhasil mendapatkan peti itu.

Resi Ganda Wisesa, Nelayan Pemancing Nyawa, dan Siluman Goa Langit tewas dalam pertarungan mereka. Sedangkan Sepasang Harimau Hitam rupanya tewas oleh racun ganas yang sengaja ditaburkan Resi Ganda Wisesa di kotak pusaka.

Tanpa menunggu lebih lama Dewa Arak membalikkan tubuh dan mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Diam-diam dirinya merasa bergidik teringat pada Taksaka yang luar biasa. Dewa Arak telah mendengar kalau Nawangsuri dulu tidak pernah bisa hamil.

Namun beberapa tahun kemudian dikabarkan bahwa Nawangsuri hamil setelah memakan daging ular besar. Mungkinkah karena itu Taksaka berwujud demikian? Dewa Arak hanya menggeleng-geleng kepala sambil terus berjalan melanjutkan pengembaraannya.

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.