Dewa Arak - Biang Biang Iblis
Karya : AjisakaSATU
HARI sudah siang. Sang Surya yang sudah tinggi memancarkan sinar ke persada. Sinar yang tidak nikmat, bahkan terasa menyengat di kulit. Namun, ketidak-nyamanan suasana itu tidak dihiraukan oleh sosok bayangan merah. Padahal dia berada di tengah hamparan tanah lapang yang gersang, tanpa rumput dan pepohonan.
Rupanya sosok itu tengah berlatih silat. Gerakannya yang cepat menyebabkan bentuk tubuhnya seakan lenyap. Yang terlihat hanya bayangan tak jelas ber-warna merah berkelebatan ke sana kemari. Sesekali terdengar suara teriakan keras mengiringi pukulan atau tendangan sambil melompat melancarkan serangan terhadap lawan yang hanya ada dalam bayangannya.
Mendadak sosok merah itu menghentikan gerakannya, lalu berdiri tegak. Sosok itu ternyata seorang wanita cantik berusia paling banyak dua puluh tahun. Rambutnya yang hitam berkilat, terurai, menambah kecantikannya. Bentuk tubuhnya yang sintal terbalut kulit mulus kuning langsat, semakin menambah daya tarik wanita muda itu.
Gadis berpakaian merah berdiri dengan kedua kaki agak terpentang beberapa saat untuk meredakan nafasnya yang memburu. Peluh yang membasahi wajah dan leher membuktikan kalau dirinya telah banyak menguras tenaga dalam latihan itu. Tidak aneh, sebab sejak sang Surya belum muncul gadis berpakaian merah itu telah sibuk berlatih.
"Bagus...! Bagus sekali, Lestari! Kau telah mengalami kemajuan yang pesat!"
Pernyataan bernada pujian itu membuat gadis berpakaian merah menoleh kepala ke arah asal suara. "Benarkah itu, Ayah?!" tanya gadis berpakaian merah yang dipanggil dengan nama Lestari. Dia segera mengayunkan kaki menghampiri lelaki setengah baya yang tengah memandanginya.
"Tentu saja, Lestari. Pernahkah Ayah berbohong padamu?!" ujar lelaki yang ternyata ayahnya Lestari. Dia seorang lelaki tinggi besar bertubuh gemuk tapi gagah dan tegap. Sambil memandangi gadis itu mulutnya tersenyum lebar, menggambarkan kepuasan hatinya.
''Tapi... mengapa aku tetap belum dapat melakukan hal seperti yang Ayah lakukan?! Setiap batu yang ku pukul selalu hancur berkeping-keping. Tidak pernah terjadi seperti yang Ayah lakukan. Kalau Ayah yang memukul, batu itu tak hancur, gompal pun tidak. Tapi, begitu angin berhembus agak kencang, batu itu hancur lebur menjadi debu," ujar Lestari yang merasa tidak puas.
"Lestari... Lestari..." Lelaki tinggi besar berusia tak kurang dari lima puluh tahun itu menggeleng-gelengkan kepala mendengar bantahan putrinya. "Kau kira mudah melakukan hal itu?! Kemampuan seperti itu hanya akan kau dapatkan apabila dirimu telah memiliki tenaga dalam yang sempurna. Sedangkan untuk mencapai tingkat kesempurnaan itu perlu berlatih semadi dan pernapasan yang sungguh-sungguh. Dan memang kini kau tinggal melatih tenaga dalam serta mempertinggi ilmu meringankan tubuh karena semua ilmu yang kumiliki telah kuwariskan kepadamu!"
"Jadi..., tidak ada lagi yang akan Ayah ajarkan padaku?!" tanya Lestari setengah tidak percaya.
"Benar, Lestari," jawab lelaki tinggi besar seraya menganggukkan kepala. "Kau hanya tinggal mematangkannya. Setahun lagi kau boleh terjun ke dunia persilatan untuk mencari pengalaman dan menggunakan kepandaian yang kau miliki untuk menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, waktu yang hanya setahun ini, pergunakan sebaik-baiknya, Lestari. Giat-giatlah kau berlatih semadi dan pernapasan serta ilmu meringankan tubuh agar aku tenang melepas kau pergi ke dunia persilatan. Pesanku, jangan sekali-kali kau beritahukan kalau dirimu mempunyai hubungan dekat denganku. Sedapat mungkin kau harus menyembunyikannya. Apabila hal itu kau langgar, atau tanpa sengaja diketahui orang lain, akan besar bahayanya buatmu. Asal kau tahu saja, Lestari, aku banyak menanam permusuhan dengan tokoh-tokoh persilatan. Aku yakin, mereka akan melampiaskan dendamnya padamu apabila hal yang ku khawatirkan itu terjadi. Dan..."
Lelaki tinggi besar itu menghentikan ucapannya di tengah jalan karena tiba-tiba terasa ada getaran keras di tanah yang mereka pijak. Sepertinya, ada seekor gajah besar lewat di dekat tempat mereka. Lestari pun merasakannya. Maka dia tidak merasa heran melihat ayahnya menghentikan ucapan di tengah jalan.
Dengan sendirinya percakapan terhenti. Lestari dan ayahnya memusatkan perhatian pada getaran-getaran keras di tanah yang mereka pijak. Lestari terkejut ketika melihat sikap ayahnya menjadi gelisah.
"Ada apa, Ayah?!" tanya Lestari tanpa menyembunyikan rasa heran dan penasaran dalam nada suara dan tarikan wajahnya.
"Tidak usah banyak tanya! Cepat tinggalkan tempat ini, Lestari! Tinggalkan sejauh-jauhnya, dan ingat pesanku tadi!" ujar lelaki tinggi besar, penuh perasaan gelisah yang tidak dapat disembunyikan. Dia tidak mempedulikan pertanyaan anaknya sama sekali.
Namun Lestari bukan gadis yang bisa di gebah begitu saja, tanpa ada penjelasan yang meyakinkan. Sang Ayah sebenarnya tahu hal itu tapi kegelisahan yang melanda membuatnya lupa. Bahkan ketika melihat Lestari tidak mematuhi pe-rintahnya, dia menjadi kalap.
"Cepat tinggalkan tempat ini, Lestari! Cepat, kataku!" sentak sang Ayah dengan suara keras dan mata membelalak. "Atau kau ingin mencoba-coba menentang perintahku?!"
Lestari sampai terjingkat ke belakang mendengar nada keras bentakan ayahnya. Gadis itu benar-benar kaget, karena selama ini belum pernah ayahnya bicara keras seperti ini Seketika dia tahu akan gawatnya keadaan, tapi rasa penasaran dan ingin tahu, membuatnya tidak segera melaksanakan perintah sang Ayah.
"Ha ha ha...!" Tawa keras menggelegar yang membuat keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat mengiringi getaran yang semakin keras pada tanah. Dan pada jarak dua puluh tombak dari tempat Lestari dan ayahnya, tampak sesosok tubuh tinggi besar berlari mendekati tempat mereka. Dan hanya dalam waktu sekejap, sosok itu telah berdiri di hadapan mereka.
Lestari dan ayahnya membelalakkan mata kaget, seolah mereka tak percaya melihatnya. Sosok itu mampu berlari dengan menimbulkan getaran hebat bagaikan seekor gajah. Selain itu suara tawanya yang keras menyebabkan getaran hebat di dada mereka.
Lestari, yang sejak sosok itu terlihat memperhatikannya dengan penuh selidik, merasa ngeri ketika melihat adanya dua buah taring yang menyembul di mulut sosok yang baru tiba itu. Sosok yang memiliki taring di mulutnya ini memang memiliki ciri-ciri mengerikan. Tubuhnya tinggi dan besar. Sehingga ayahnya Lestari yang memiliki tubuh tinggi besar saja, tidak sampai sebahunya.
Di samping tinggi besar, otot-ototnya tampak bersembulan dan melingkar-lingkar di tubuh sosok berwajah mengiriskan. Lestari dapat melihatnya dengan jelas, karena makhluk itu tak mengenakan pakaian pun, kecuali sehelai celana panjang hitam sebatas bawah lutut.
"Raksasa Pemangsa Manusia...!" desis ayahnya Lestari dengan suara bergetar. "Mau apa kau kemari?"
"Ha ha ha...!" Sosok tinggi besar berotot yang disapa dengan julukan Raksasa Pemangsa Manusia, tertawa bergelak. "Rupanya kau mengenaliku, Malaikat Petir! Kalau begitu tidak ada gunanya lagi kau berpura-pura. Aku yakin kau pasti mengetahui maksud pertanyaanku. Asal kau tahu saja, sudah lama aku mencari-cari mu, Malaikat Petir. Ternyata mencarimu lebih sukar daripada mencari jarum dalam tumpukan jerami. Kau lenyap begitu saja dari dunia persilatan."
Ayahnya Lestari yang berjuluk Malaikat Petir, tersenyum getir. Senyum yang muncul di saat dia tidak ingin tersenyum. "Pasti karena masalah muridmu, kan?!" terka Malaikat Petir, datar.
"Tepat! Aku datang untuk menuntut balas atas kematian muridku, Malaikat Petir. Bersiaplah untuk menerima kematian!" sahut Raksasa Pemangsa Manusia penuh keyakinan akan keberhasilan usahanya itu.
"Menyingkirlah, Lestari, dan cepatlah pergi dari sini! Tinggalkan tempat ini sejauh-jauhnya!" Usai berkata demikian, tanpa memberikan kesempatan pada Lestari untuk memberikan tanggapan, Malaikat Petir langsung menerjang Raksasa Pemangsa Manusia.
Dan sesuai julukannya, lelaki berpakaian abu-abu ini memang memiliki gerakan amat cepat. Bentuk tubuhnya langsung lenyap ketika melancarkan serangan, hingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan abu-abu, meluruk ke arah Raksasa Pemangsa Manusia.
Namun, Raksasa Pemangsa Manusia ternyata tidak hanya berbicara besar ketika mengucapkan perkataan hendak mengirim nyawa lawannya ke akherat. Meskipun gerakan Malaikat Petir amat cepat, dan bahkan sampai tidak terlihat mata, dia dapat melihatnya secara jelas. Lelaki bertelanjang dada ini tahu kalau Malaikat Petir menubruk ke arahnya dan mengirimkan serangan gedoran telapak tangan kanan terbuka ke arah ulu hatinya.
Plakkk!
Benturan keras terdengar ketika Raksasa Pe-mangsa Manusia menangkis serangan Malaikat Petir dengan gerakan dan sikap jari serupa. Akibatnya, tubuh Malaikat Petir terhuyung-huyung ke belakang, sementara lawannya tidak bergeming sama sekali.
Benturan itu dilihat jelas oleh Lestari yang masih berada di situ, menyaksikan jalannya pertarungan dari tempat yang aman. Sekarang, baru gadis berpakaian merah ini mengerti mengapa sang Ayah menyuruhnya meninggalkan tempat itu. Lawan yang dihadapi Malaikat Petir amat tangguh!
"Lestari! Cepat pergi...!" Malaikat Petir yang masih sempat melihat kalau putrinya masih berada di tempat ini, menyerukan peringatan lagi, sebelum kembali menubruk Raksasa Pemangsa Manusia dengan serangan lebih dahsyat.
"Ha ha ha...!" Raksasa Pemangsa Manusia tertawa bergelak. "Inikah ilmu 'Telapak Tangan Petir'-mu, Malaikat Petir? Ternyata tak sehebat berita yang kudengar!"
Lelaki bertelanjang dada mengeluarkan pernyataan menghina itu ketika mendengar bunyi meledak-ledak nyaring di saat Malaikat Petir melancarkan serangan susulan. Asap tipis mengepul dari kedua telapak tangan Malaikat Petir.
Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Malaikat Petir yang tahu kalau lawannya memiliki kepandaian amat tinggi, tidak segan-segan mengeluarkan seluruh kemampuannya. Bunyi meledak-ledak diiringi asap tipis yang mengepul menyema-raki setiap serangan yang dilancarkan lelaki berpakaian abu-abu ini.
Namun, Raksasa Pemangsa Manusia memang amat tangguh. Meskipun tidak memiliki gerakan cepat sebagaimana lawannya, dia tidak mengalami kerepotan untuk menghadapi setiap serangan Malaikat Petir. Justru, ayahnya Lestari yang mengalami kesulitan besar untuk menjatuhkan serangan, karena seperti ada benteng tak nampak yang menghalangi serangannya sehingga selalu membalik sebelum mengenai sasaran. Selain itu kerasnya kulit tubuh Raksasa Pemangsa Manusia, membuat tangan atau kaki Malaikat Petir malah membalik ketika bertemu dengan tubuh lawannya.
Lestari menggigit bibir dengan perasaan gelisah ketika melihat perkembangan pertarungan itu. Memang, dia tidak dapat mengetahui secara jelas karena cepatnya gerakan tubuh kedua orang itu, terutama yang dilakukan Malaikat Petir. Namun, gadis berpakaian merah ini dapat memperkirakan dengan melihat ayahnya yang beberapa kali terhuyung, dan terus didesak mundur. Ayahnya terdesak hebat.
"Hiyaaattt...!" Setelah beberapa saat lamanya mempertimbangkan, Lestari mencabut kipas baja yang terselip di pinggangnya, kemudian melompat ke dalam kancah pertarungan. Dan begitu dekat, kipasnya yang berujung runcing ditusukkan ke dada Raksasa Pemangsa Manusia yang tengah mendesak ayahnya.
Takkk!
Gadis itu menjerit kaget ketika melihat ujung kipasnya seperti mengenai karet keras yang kenyal sehingga membalik. Bahkan tangannya terasa kesemutan. Ujung kipasnya yang terbuat dari baja, tidak mampu menembus kulit tubuh Raksasa Pemangsa Manusia.
Sebelum Lestari sadar dari keterkejutannya dan melakukan tindakan tangan, Raksasa Pemangsa Manusia bergerak cepat Lestari yang menyadari akan adanya ancaman ketika melihat berkelebatannya benda tak jelas dengan diiringi desiran angin kencang, berusaha keras untuk melakukan tindakan penyelamatan.
Tappp!
Lestari terkejut bukan kepalang ketika melihat usahanya gagal. Pergelangan tangan kanannya yang memegang kipas baja telah tercekal lawan yang besarnya malah lebih dari paha Lestari. Kenyataan yang tidak disangka-sangka ini membuat gadis berpakaian merah itu gugup dan kelabakan. Dengan sebisa-bisanya dia meronta untuk mele-paskan diri. Kedua kakinya pun ikut melakukan tendangan ke tubuh lelaki bertaring yang bertelanjang dada itu.
Namun kesudahannya malah membuat kedua kaki Lestari sakit-sakit karena tenaganya seperti membalik ketika serangan-serangannya itu mendarat pada sasaran. Lestari tidak berdaya ketika tubuhnya didekatkan ke mulut lelaki bertelanjang dada itu. Gigi-gigi yang sebagian terdiri dari taring itu, siap menelan bulat-bulat tubuh Lestari yang putih mulus.
"Lepaskan anakku!" teriak Malaikat Petir yang menjadi kalap ketika melihat nasib putrinya.
Ketika Lestari melancarkan serangan, tubuh Malaikat Petir tampak masih terhuyung-huyung ke belakang sehabis menangkis serangan Raksasa Pemangsa Manusia, sehingga dirinya tidak mampu mencegah lelaki bertaring itu membuat Lestari tidak berdaya.
Namun sesaat kemudian, Malaikat Petir menerjang Raksasa Pemangsa Manusia. Kedua telapak tangannya yang terbuka dipukulkan dengan pengerahan seluruh tenaga dalam. Kek-hawatiran akan nasib putrinya membuat serangan Malaikat Petir berkesan nekat, dan seperti tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri.
Raksasa Pemangsa Manusia rupanya tahu kedahsyatan serangan lawan. Apalagi kali ini bagian yang diserang adalah ulu hati dan pusar, dua bagian terlemah di tubuh manusia. Maka dia tidak berani berlaku sembrono. Cekalan tangannya atas Lestari segera dilepaskan, bahkan tubuh gadis berpakaian merah itu dilemparkan. Lalu, kedua tangannya dipukulkan ke depan dengan sikap jari-jari yang sama untuk memapak serangan lawan.
Prattt!
Benturan kali ini lebih keras dari sebelum-nya. Tubuh Malaikat Petir melayang ke belakang seperti daun kering yang diterbangkan angin. Raksasa Pemangsa Manusia pun tak luput dari serangan keras itu. Meski tidak sampai terlempar seperti lawannya, dia terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Sungguh sebuah pemandangan yang menggelikan hati, sebenarnya, kalau kebetulan ada yang melihatnya. Dalam waktu yang hampir bersamaan, tubuh ke tiga sosok itu sama-sama terlempar ke belakang. Namun karena yang paling sedikit menerima akibatnya adalah Raksasa Pemangsa Manusia, tokoh yang mengiriskan hati itu lebih dulu dapat menguasai diri. Dan langsung melompat menerjang memburu Malaikat Petir.
Bukkk!
Tubuh Malaikat Petir terjungkal ke belakang ketika tangan kanan Raksasa Pemangsa Manusia menghantam bahu kanannya. Darah segar muncrat dari mulutnya.
"Ayah...!" Lestari mengeluarkan jeritan kaget bercampur perasaan pilu ketika melihat kejadian yang menimpa ayahnya. Dia melihat secara jelas karena telah lebih dulu berhasil bangkit ketika Raksasa Pemangsa Manusia menerjang dengan gedoran tangan ke arah dada Malaikat Petir.
Untung lelaki gagah itu berhasil mengelakkannya sehingga serangan lawan hanya menghantam bahu kanan. Meskipun demikian, karena kuatnya tenaga dalam manusia yang memiliki taring itu, Malaikat Petir sampai muntah darah.
"Lestari, cepat pergi dari sini...!" Malaikat Petir masih sempat mengeluarkan seruan terhadap putrinya ketika Raksasa Pemangsa Manusia meluruk ke arahnya.
Lestari menahan isak tangis yang naik ke tenggorokannya. Sekilas sepasang bola matanya yang bening itu menatap sang Ayah yang sedang terlibat pertarungan dengan lawannya. Memang, meskipun sudah terluka Malaikat Petir masih cukup tangguh untuk dapat dirobohkan dengan mudah.
"Selamat tinggal, Ayah...!" seru Lestari dengan suara serak karena rasa haru yang mencekik tenggorokan. Firasatnya membisikkan kalau perpisahan dengan ayahnya ini adalah merupakan perpisahan yang terakhir kali. Maka sambil menangis terisak-isak dia berlari cepat meninggalkan tempat itu. Sebenarnya hatinya merasa berat untuk melakukan hal itu.
Namun, dia tahu kalau pesan ini tidak dilaksanakan, sang Ayah, si Malaikat Petir mati dengan perasaan penasaran. Lagi pula, Lestari tidak ingin mati sebagai anak yang tidak berbakti karena membangkang perintah orangtua. Di samping itu, untuk melakukan perlawanan, jelas merupakan tindakan sia-sia. Ayahnya saja tampak kewalahan dibuatnya, apalagi dirinya!
Meskipun tengah sibuk menghadapi desakan lawannya yang bertubuh besar dan mengiriskan itu, Malaikat Petir masih sempat melihat kepergian Lestari.
"Selamat tinggal, Lestari! Jagalah dirimu baik-baik!" seru lelaki tinggi besar ini dengan mulut tersenyum.
Dan ketika bayangan tubuh Lestari lenyap di kejauhan, perlawanan Malaikat Petir mulai menurun jauh. Lelaki berpakaian abu-abu ini memang telah terluka parah, tenaganya pun telah berkurang jauh, tambahan lagi, kemampuan lawan berada di atasnya. Hanya karena terdorong perasaan untuk menyelamatkan putrinya yang membuat dirinya seperti mendapat tenaga baru. Begitu dia yakin kalau Lestari selamat, tenaga tambahan itu pun lenyap.
Degk!
Malaikat Petir mengeluarkan jeritan menyayat hati ketika kaki kanan Raksasa Pemangsa Manusia menghantam dadanya secara telak sehingga membuat tubuhnya terlontar jauh ke belakang. Seketika itu pula nyawa Malaikat Petir melayang ke alam baka karena seluruh isi dadanya telah hancur berantakan akibat tendangan yang keras itu.
Tanpa mempedulikan nasib Malaikat Petir lagi, Raksasa Pemangsa Manusia melesat meninggalkan tempat itu, menuju arah yang tadi ditempuh oleh Lestari.
Lestari bukan seorang gadis yang bodoh. Setelah berlari beberapa saat, pikiran jernihnya timbul kembali. Sekarang, dia dapat menerima kebenaran perintah yang diberikan ayahnya. Kalau tadi dia memaksakan diri membantu ayahnya menghadapi Raksasa Pemangsa Manusia itu, mungkin dia dan ayahnya akan tewas. Lalu, siapa yang akan membalaskan dendam mereka? Kalau sekarang dia dapat menyelamatkan diri, kemungkinan untuk mengadakan pembalasan, meskipun kecil tapi ada harapannya.
Itulah sebabnya, ketika mendengar bunyi berdebum yang semakin lama semakin keras, dan mendekati tempatnya, Lestari dapat menduga kalau Raksasa Pemangsa Manusia tengah mengejarnya. Dan itu berarti Malaikat Petir, ayahnya, telah tewas!
Lestari menelan kesedihan yang menyesakkan dada. Dendam yang hebat terhadap Raksasa Pemangsa Manusia pun seketika muncul di ha-tinya. Namun, dia tidak mau bertindak gegabah dengan menyerang tokoh yang memiliki taring itu secara membuta. Gadis berpakaian merah ini ju-stru terus mempercepat larinya seraya mengedarkan pandangan ke sana kemari untuk mencari tempat persembunyian yang baik.
Dan ketika akhirnya menemukannya, Lestari segera menyelinap ke sana. Sebuah kerimbunan semak belukar yang rapat ditumbuhi pepohonan. Namun, baru saja masuk ke dalamnya, gadis berpakaian merah ini hampir menjerit kaget kalau tidak cepat-cepat menahannya. Di dalam semak belukar yang dimasukinya tengah bersembunyi seorang pemuda tampan berpakaian coklat.
Pemuda tampan bertubuh tegap itu meletakkan jari telunjuknya di bibir, memberi tanda agar Lestari tidak membuat kegaduhan hingga membuat jeritan gadis berpakaian merah tertahan. Dan sebelum Lestari sempat berbuat sesuatu, pemuda berpakaian coklat itu telah mengangsurkan sebuah kendi kecil padanya.
"Gosokkan isinya pada seluruh pakaian dan kulit tubuhmu agar Raksasa Pemangsa Manusia tidak dapat menemukanmu," ucapnya dengan suara berbisik.
"Apa ini?!" tanya Lestari sambil menerima kendi yang diangsurkan pemuda berpakaian coklat itu. Dia memperhatikan kendi itu sejenak, demikian pula dengan wajah pemuda yang memberikannya. Meski ucapannya itu pun dikeluarkan dengan suara pelan tapi tidak menyembunyikan adanya nada curiga di dalamnya.
"Cairan berisikan ramuan yang menyebarkan bau tanam-tanaman. Paman ku yang memberikannya, dan sengaja kuberikan padamu agar kau terhindar dari tangan Raksasa Pemangsa Manusia. Kau tahu, tokoh yang mengerikan itu memiliki penciuman yang amat tajam. Sekali saja bertemu denganmu, dia akan mengetahuinya meski kau berada jauh dari tempatnya. Raksasa Pemangsa Manusia memiliki hidung binatang buas."
"Jadi... ramuan ini untuk menghilangkan bau tubuhku dan menggantinya dengan bau tanam-tanaman?!" tanya Lestari meminta kepastian.
"Benar, tapi tidak dapat bertahan lama. Cepatlah, aku khawatir kita terlambat dan Raksasa Pemangsa Manusia lebih dulu tiba di sini...!"
Kali ini Lestari tidak ragu-ragu lagi untuk membuka tutup kendi itu. Meskipun demikian, perasaan hati-hati mendorongnya untuk mencium baunya ketika sumbat kendi itu terbuka. Dan memang, pemuda berpakaian coklat itu tidak berkata bohong, dia mencium bau khas tanaman dari dalam kendi itu.
Baru saja pemuda berpakaian coklat menggosok-gosokkan isi kendi itu pada sekujur pakaian dan tubuhnya, langkah-langkah yang menggetarkan bumi semakin keras terdengar. Sesaat kemudian, Raksasa Pemangsa Manusia berlari, lewat jalan tak jauh dari semak belukar tempat keduanya bersembunyi.
Raksasa Pemangsa Manusia menghentikan lari. Kepalanya ditolehkan ke arah kerimbunan semak-semak di kanan kiri jalan yang tengah dilaluinya. Hidungnya yang besar bergerak-gerak seperti tengah mengendus-endus. Tingkah manusia bertubuh besar dan tinggi ini mirip binatang buas tengah mencari mangsanya yang lolos.
Lestari yang berada di dalam kerimbunan semak-semak, sempat berdebar tegang hatinya ketika melihat Raksasa Pemangsa Manusia memperhatikan tempat persembunyiannya. Untung saja semak-semak ini amat rapat sehingga dirinya tidak terlihat.
Sementara Lestari sendiri dapat mengamatinya dengan jelas, bahkan ketika raksasa bertaring panjang itu mengembang-kempiskan hidungnya yang besar. Kenyataan yang dilihatnya ini semakin menambah kepercayaan di hati Lestari terhadap pemuda berpakaian coklat.
Ketegangan yang melanda hati Lestari membuyar ketika Raksasa Pemangsa Manusia tidak mempedulikan tempat persembunyiannya lagi. Sosok bertubuh raksasa itu terus berlari dengan diiringi bunyi bergetar keras dan berirama pada tanah.
"Hhh...!" Lestari mengeluarkan napas lega ketika melihat tubuh Raksasa Pemangsa Manusia lenyap ditelan di kejauhan. Yang tertinggal hanya getaran langkahnya pada tanah. ''Terima kasih atas pertolonganmu... Sobat. Aku Lestari," gadis berpakaian merah ini mengulurkan tangan, memperkenalkan diri.
"Aku Prapanca, Lestari. Dan mengenai pertolonganku, lupakan saja! Hanya sebuah pertolongan kecil dan tidak berarti," jawab pemuda berpakaian coklat seraya menyambut uluran tangan Lestari.
"Bagaimanapun kau telah berjasa besar, Prapanca" Tanpa sungkan-sungkan, Lestari yang mempunyai watak lincah dan tidak pemalu, menyapa pemuda berpakaian coklat itu dengan nada akrab seakan-akan mereka telah kenal lama. "Kalau tidak ada dirimu, mungkin aku sudah tertangkap oleh raksasa bermulut bau itu. Kau benar, Prapanca. Raksasa bermulut kotor itu memiliki hidung unik, seperti hidung macan! Eh, bagaimana kau bisa tahu kalau aku tengah dikejar-kejar raksasa jelek yang menjemukan itu? Dari mana pula kau mengetahui ketajaman... eh, hidungnya? Mengapa kau berada di sini? Siapa pula pamanmu itu?"
Pemuda berpakaian coklat yang bernama Prapanca sampai melongo menerima pertanyaan memberondong seperti gelombang laut itu. Dia merasa bingung memikirkan jawaban lebih dulu yang harus diberikan. Tambahan lagi dia masih merasa terkesima ketika merasakan halusnya tangan Lestari yang tadi berada di genggamannya.
"Hey...! Kau ini kenapa, sih?" sentak Lestari agak keras ketika melihat Prapanca hanya terlongong bengong.
"Ah... oh.... Ti... tidak apa-apa, Lestari. Hanya saja... maaf, maksudku... eh.... Aku harus menjawab pertanyaanmu yang mana dulu? Pertanyaanmu terlalu banyak sih!"
"Sesukamulah!" sahut Lestari sambil mengangkat bahu.
"Baiklah kalau begitu. Aku tahu kalau dirimu tengah dikejar-kejar karena melihatmu menyelinap kemari. Tahu orang yang mengejarmu Raksasa Pemangsa Manusia, penyebabnya karena hanya tokoh sesat itulah yang memiliki ciri khas begitu jika berlari. Sedangkan mengenai keistimewaan Raksasa Pemangsa Manusia... kudengar dari paman ku. Jelas?!"
"Sangat jelas!" Lestari mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum.
"Sekarang giliranku mengajukan pertanyaan, Lestari," ujar Prapanca bersikap seperti Lestari, sok akrab. "Mengapa kau bisa berurusan dengan Raksasa Pemangsa Manusia? Lalu bagaimana kau bisa lolos dari tangannya?"
Wajah Lestari langsung berubah hebat mendengar pertanyaan ini. Semula gadis berpakaian merah ini lupa nasib ayahnya, tapi kini teringat kembali karena mendapat pertanyaan itu.
"Ayaaah...!" seru Lestari dengan hati pilu. Dan sebelum gema teriakannya lenyap, dia telah melesat cepat ke arah semula. Mendapat jawaban seperti ini, karuan saja Prapanca jadi kebingungan. Dia sama sekali tidak menyangka, kalau pertanyaannya akan berakibat seperti itu. Meskipun begitu, pemuda berpakaian coklat ini mampu bersikap tanggap.
"Lestari...! Tunggu...!"
Namun seruan Prapanca sia-sia. Lestari tidak menggubris seruannya sama sekali, dan terus berlari. Hingga Prapanca pun tidak tinggal diam. Dia segera berlari mengejar. Dan ternyata ilmu lari cepat pemuda berpakaian coklat ini tidak rendah. Dia mampu membayangi Lestari, bahkan perlahan namun pasti dapat memperdekat jarak.
Lestari tentu saja tahu kalau Prapanca mengikutinya. Namun tidak dipedulikannya sama sekali. Yang ada di benak gadis itu hanya ayahnya. Dia khawatir sesuatu yang buruk menimpa ayahnya. Kalau tidak Raksasa Pemangsa Manusia tidak akan bisa mengejarnya karena Malaikat Petir pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk menghalanginya.
"Ayaaah...!" Lestari menjerit keras penuh bernada kekhawatiran, kepiluan, dan keterkejutan ketika melihat sosok yang tergeletak di tanah di tempat pertarungan antara Raksasa Pemangsa Manusia dengan ayahnya. Meski jaraknya masih cukup jauh, sepasang mata Lestari yang awas langsung bisa mengenali kalau sosok yang terbaring itu tak lain ayahnya.
Prapanca hanya bisa berdiri diam, terpaku di dekat Lestari yang duduk bersimpuh sambil menangisi kematian ayahnya. Pemuda berpakaian coklat ini tidak berkata apa-apa. Dia tahu tidak ada gunanya menghibur karena akan sia-sia. Hal yang lebih penting sekarang adalah membiarkan Lestari menumpahkan semua ganjalan perasaannya agar dadanya menjadi lega.
Cukup lama juga Prapanca harus menunggu Lestari menghentikan tangisnya. Pemuda itu baru ikut campur tangan dan membantu ketika Lestari, dengan bahu yang masih terguncang-guncang karena isak tangis, membopong tubuh ayahnya. Tanpa diminta Prapanca membuat lubang kuburan untuk ayahnya Lestari.
"Aku turut berduka cita atas kejadian ini, Lestari," ucap Prapanca lirih setelah selesai menguburkan mayat Malaikat Petir. "Boleh ku tahu, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
''Terima kasih, Prapanca. Aku banyak berhutang budi padamu. Kalau tidak ada kau, entah apa yang akan terjadi dengan diriku," jawab Lestari dengan suara serak. "Hhh...! Aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Mungkin aku akan memenuhi permintaan ayahku jauh-jauh hari sebelum beliau tewas...."
"Apa aku boleh mengetahuinya, Lestari?!" tanya Prapanca hati-hati karena khawatir membuat Lestari tersinggung. Pemuda berpakaian coklat ini tahu orang yang tengah dilanda kesedihan besar bisa mengalami perubahan watak yang tidak terduga.
"Yahhh...," jawab Lestari dengan suara mendesah. "Dulu... beberapa tahun yang lalu, ayahku sering kali menyinggung tentang hal ini. Sepertinya beliau telah mempunyai firasat akan adanya maut yang mengancam. Itulah sebabnya beliau sering memberi nasihat padaku apabila terjadi hal-hal tidak diinginkan atas dirinya, aku diperintahkan untuk menemui kawan-kawan akrabnya. Beliau mempunyai dua orang kawan karib, tapi aku lebih dipesankan untuk menemui kawannya yang satu lagi yang berjuluk Malaikat Salju."
"Malaikat Salju?!" Sepasang alis Prapanca berkerut seakan merasa terkejut mendengar ucapan gadis itu.
"Ya! Mengapa?!" Lestari balas mengajukan pertanyaan seraya menatap wajah Prapanca penuh selidik. "Apakah kau mengenalnya? Atau...."
"Aku tidak mengenalnya, Lestari," selak Prapanca untuk mencegah gadis berpakaian merah itu melanjutkan ucapannya. "Tapi terus terang, kuakui kalau aku mengenalnya... maksudku mendengar julukannya. Bukankah Malaikat Salju merupakan salah seorang dari Tiga Malaikat Bayangan yang belasan tahun lalu menggemparkan dunia persilatan?! Kalau ayahmu merupakan sahabat karib Malaikat Salju berarti beliau salah seorang dari Tiga Malaikat Bayangan. Maaf, aku... mungkin terlalu lancang, Lestari!"
"Dugaanmu tidak salah, Prapanca. Ayahku memang salah satu dari tiga tokoh besar itu. Julukan beliau Malaikat Petir," ujar Lestari menjelaskan masih dengan suara serak karena isak tangis yang tadi melanda.
Prapanca mengangguk-anggukkan kepala. Karuan saja melihat sikap ini, Lestari merasa heran. "Ada apa, Prapanca?!"
"Tidak apa-apa," sahut pemuda berpakaian coklat itu. "Hanya saja sekarang aku tahu mengapa ayahmu dibunuh oleh Raksasa Pemangsa Manusia. Pasti ini ada hubungannya dengan kejadian bertahun-tahun yang silam. Maksudku, ada hubungannya dengan kematian murid Raksasa Pemangsa Manusia oleh Malaikat Petir, ayahmu."
"Kau... kau..., dari mana kau mengetahuinya?!" tanya Lestari terbata-bata karena kaget mendengar dugaan Prapanca yang demikian tepat. Dari mana pemuda berpakaian coklat itu tahu, padahal dia sendiri, yang ayahnya terlibat langsung karena yang menjadi korban adalah ayahnya, baru mengetahuinya dari ucapan Raksasa Pemangsa Manusia sendiri.
Prapanca tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia malah menghela napas berat sambil menundukkan kepala. Sejenak sepasang matanya menekuri tanah, seakan-akan ada yang menarik perhatiannya di sana.
"Bukannya aku tidak mau memberitahukannya, Lestari. Tapi, guruku berpesan demikian. Dia tidak ingin ada seorang pun yang mengetahuinya. Aku hanya dapat memberikan gambaran bahwa guruku mempunyai hubungan dengan sahabat-sahabat ayahmu, dan bahkan terhadap ayahmu juga. Oleh karena itu, aku tahu penyebab permusuhan ayahmu dengan Raksasa Pemangsa Manusia. Cukup jelas?!"
"Hik hik hik...!" Suara tawa berkikikan telah lebih dulu menyambuti ucapan Prapanca, sebelum Lestari memberikan tanggapan. Suara tawa yang jelas berasal dari mulut seorang wanita. Hanya saja nadanya begitu menyeramkan, di samping getaran kuat yang menggetarkan dada.
Prapanca dan Lestari hampir bersamaan menolehkan kepala ke arah asal suara. Sepasang muda-mudi ini langsung bersikap waspada karena bisa mengetahui kalau pemilik tawa itu merupa-kan orang sakti. Tawa yang mampu menggetarkan dada mereka, penyebab Prapanca dan Lestari dapat memperkirakan demikian.
"Dewi Cabul...!" desis Prapanca terkejut ketika melihat pemilik tawa.
"Hi hi hi...! Rupanya kau telah mengenaliku, Bocah Bagus...?! Luar biasa! Ini menjadi pertanda kalau kau bukan orang sembarangan. Bagus...! Bagus...!"
Sosok yang disapa Prapanca dengan julukan Dewi Cabul, tidak pantas menyandang julukan demikian, karena paras dan keadaannya tidak mirip dengan dewi! Dia adalah seorang nenek, berambut panjang berwarna dua. Tubuhnya tinggi, tapi agak membungkuk, bongkok udang. Hidungnya melengkung seperti paruh burung kakaktua. Sepasang matanya yang mirip mata kucing itu semakin menambah seram penampilannya. Selain itu, rambutnya yang kusut masai dibiarkan ter-gerai dan dipermainkan angin.
"Seharusnya nenek bongkok ini tidak menyandang gelar dewi melainkan iblis atau nenek sihir!" protes Lestari dalam hati.
"Hi hi hi...! Tidak salahkah kau, Prapanca?!" selak Lestari setelah terlebih dulu mengumbar tawa. "Orang seperti ini kau sebut dewi? Lalu, bagaimana pula jelek atau buruknya kuntilanak dan iblis?! Seharusnya dia berjuluk Nenek Burung Bermata Anjing!"
Prapanca terkejut mendengar ucapan Lestari yang bernada menghina itu. Dia memang tahu kalau Lestari memiliki watak luar biasa, tidak mengenal takut, dan angin-anginan. Saat ini sedih, tapi lain saat lupa akan kesedihannya dan dapat memperolok orang lain. Namun, tindakan Lestari kali ini keterlaluan! Bukan hanya karena sembarangan mengeluarkan makian terhadap seseorang, tapi juga karena Prapanca tahu siapa sebenarnya orang yang dihina Lestari!
Prapanca sama sekali tidak tahu kalau kematian Malaikat Petir yang sangat mengenaskan, telah mengguncangkan hati Lestari. Memang, gadis berpakaian merah ini memiliki sifat angin-anginan, tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun kesedihan karena wataknya yang lincah dan gembira. Namun, Malaikat Petir merupakan satu satunya keluarga yang ada, dan Lestari sendiri amat menyayangi ayahnya.
Maka, Lestari amat dendam tatkala mengetahui ayahnya mati secara demikian mengenaskan di tangan Raksasa Pemangsa Manusia. Kalau saja mampu dan memiliki kepandaian, Lestari tentu akan menuntut balas. Tapi, karena tahu kalau terhadap Raksasa Pemangsa Manusia, tidak dapat bertindak apa-apa. Dendamnya itu kini ditujukan pada tokoh-tokoh persilatan sealiran dengan Raksasa Pemangsa Manusia. Karena Raksasa Pemangsa Manusia merupakan tokoh sesat, Lestari jadi memendam kebencian besar terhadap tokoh-tokoh aliran hitam.
Itulah sebabnya, Lestari langsung mengeluarkan hinaan kasar terhadap nenek bongkok. Karena melihat ciri-ciri, julukan, dan sikapnya, Lestari dapat memperkirakan kalau Dewi Cabul adalah tokoh golongan hitam.
"Lestari, kau terlalu sembrono," bisik Pra-panca pelan tapi bernada teguran. ''Tahukah kau siapa nenek itu?!"
"Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu! Yang jelas, dia tokoh golongan hitam, dan aku akan melenyapkannya!" tandas Lestari, mantap.
"Hikh... hik... hik...! Gagahnya...! Gagah dan cantik jelita! Ingin kulihat apakah kau masih berani menghinaku apabila wajahmu kujadikan lebih buruk dari wajahku...!"
Setelah berkata demikian, nenek berhidung melengkung itu menjulurkan tangan kanannya secara sembarangan. Lestari tentu saja melihat ancaman dari tangan keriput yang memiliki kuku-kuku panjang, runcing, dan berwarna hitam itu. Namun gadis berpakaian merah ini tidak menampakkan perasaan gentar atau takut.
Dia tahu, serangan tangan itu tidak akan mengenai sasaran yang dituju karena jarak antara mereka berdua tidak kurang dari satu setengah kali juluran tan-gan. Cengkeraman tangan ke arah wajahnya itu tidak akan membuahkan hasil sama sekali.
Namun keyakinan Lestari jadi membuyar ketika melihat jari-jari tangan nenek itu terus saja meluncur ke arah wajahnya. Padahal, Lestari tahu pasti kalau nenek bongkok itu tidak melangkah maju. Tapi, mengapa jari tangan itu terus meluncur ke arahnya?
Karena tak mempunyai kesempatan untuk mengelak, Lestari terpaksa memapaknya sambil mengerahkan seluruh tenaga. Sikap tanggapnya yang membuat gadis itu langsung mengambil tin-dakan meskipun benaknya masih dipenuhi rasa bingung melihat tangan lawan terus meluncur ke arah sasaran.
Lestari memekik tertahan karena perasaan kaget dan kesakitan. Tubuh gadis berpakaian merah ini terjengkang ke belakang seperti diseruduk kerbau liar. Sementara nenek Dewi Cabul hanya tergetar saja tangannya.
"Uh...!" Nenek bongkok itu mengeluarkan seruan kaget ketika merasakan ada hawa panas menjalar dari tangannya yang berbenturan dengan tangan Lestari. "Bukankah itu jurus 'Petir Menyambar Awan'? Apa hubunganmu dengan Malaikat Petir, Wanita Binal?!"
"Kau tidak perlu tahu, Kuntilanak Jelek!" jawab Lestari, kasar.
"Keparat! Rupanya kau sudah kepingin mampus?!"
Dewi Cabul kembali melancarkan serangan terhadap Lestari. Dia menubruk maju, memburu Lestari yang telah berhasil memperbaiki kedudukan tubuhnya. Seperti juga sebelumnya, kedua tangan nenek bongkok itu tertuju ke arah wajah Lestari. Rupanya dia ingin benar merusak wajah gadis berpakaian merah yang cantik itu.
"Tahan...!"
Seiring terdengarnya bentakan itu, sesosok bayangan coklat melesat memapaki serangan Dewi Cabul sehingga terjadi benturan antara mereka. Dan seperti juga yang terjadi pada Lestari, sosok bayangan coklat itu terhuyung-huyung ke belakang ketika berhasil menangkis serangan. Meskipun demikian, dia berhasil mematahkan serangan terhadap Lestari.
Dewi Cabul mengeluarkan pekik melengking nyaring melihat kegagalan serangannya untuk yang kedua kali. Kali ini yang membuyarkannya tak lain Prapanca. Kemudian dengan sikap gagah, pemuda berpakaian coklat itu berdiri di hadapan Dewi Cabul, membelakangi Lestari.
"Kau akan berhadapan denganku apabila meneruskan maksudmu itu, Dewi Cabul!" tandas Prapanca dengan sikap gagah.
''Terkutuk! Rupanya kau sudah tidak sabar untuk bersenang-senang denganku, Bocah Bagus! Baik, kau dulu yang akan kubereskan, baru wanita liar itu!"
Diawali teriakan nyaring laksana pekik seekor burung garuda, Dewi Cabul meluruk menerjang Prapanca. Namun, pemuda berpakaian coklat itu memang telah siap semenjak tadi, maka ter-jangan lawan pun disambutnya dengan hangat. Pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi.
Lestari tidak langsung ikut campur dalam pertarungan itu. Dia berdiri, memperhatikan jalannya pertarungan, sambil merasakan sakit yang mendera tangannya akibat berbenturan dengan tangan Dewi Cabul. Tangan itu terasa sakit dan ngilu bukan kepalang seperti berbenturan dengan sebatang baja yang amat keras. Bahkan sekujur tangan kanannya bagaikan lumpuh.
Lestari tidak yakin kalau Dewi Cabul memiliki tingkatan di bawah Raksasa Pemangsa Manusia. Setidak-tidaknya nenek bongkok ini mempunyai kepandaian setingkat dengan tokoh sesat yang bertaring itu. Dan dugaan ini membuat Lestari bergidik dalam hati. Sama sekali tidak disangkanya kalau dalam waktu sebentar saja bisa bertemu dengan tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian demikian dahsyat!
Namun, Lestari tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alun pikirannya itu. Sesaat kemudian, dia telah sibuk memperhatikan jalannya pertarungan antara Prapanca dengan Dewi Cabul dengan penuh minat! Lestari diam-diam terkejut ketika menyadari kalau Prapanca pun bukan orang sembarangan. Meskipun sebelumnya telah menduga kalau pemuda berpakaian coklat itu memiliki kepandaian, tapi Lestari tidak menyangka ternyata setinggi itu. Pemuda itu mampu menghadapi amukan Dewi Cabul.
Namun, kemampuan Prapanca mempertahankan serangan Dewi Cabul hanya untuk beberapa gebrakan saja. Kemudian pemuda berpakaian coklat itu terdesak hebat Dewi Cabul, meskipun telah berusia tua, dan bertubuh bongkok, tidak bisa dipandang remeh. Dewi Cabul memiliki gerakan cepat, dan tenaga dalam kuat. Beberapa kali ketika berbenturan, baik tangan atau kaki, Prapanca selalu menyeringai kesakitan dengan tubuh terhuyung-huyung.
Prapanca menggertakkan gigi dalam usahanya menambah semangat menghadapi setiap serangan Dewi Cabul. Kendati demikian, usahanya hampir tidak membuahkan hasil, Dewi Cabul terlalu tangguh untuk dapat dilawannya. Dia terus didesak dan dipaksa untuk pontang-panting ke sana kemari.
"Tidak usah melawan lagi, Anak Bagus! Percuma… Lebih baik kau menyerah dan ikut aku. Aku berjanji akan menurunkan ilmu-ilmu tinggi padamu kalau kau bersedia ikut denganku," bujuk Dewi Cabul di sela-sela desakannya.
"Nenek-nenek tidak tahu malu...!" maki Prapanca sambil melompat ke belakang untuk menghindarkan sapuan kaki lawannya. "Jangan harap aku akan menuruti ajakan mu yang tidak bermoral!"
"Rupanya kau ingin dipaksa, Bocah Bagus...?!" ujar Dewi Cabul, tanpa mengundang kemarahan. Nenek bongkok ini ternyata tidak main-main dengan ucapannya. Belum juga ucapannya lenyap, Prapanca merasakan terjangan-terjangan lawan semakin menghebat. Pemuda berpakaian coklat ini semakin terdesak hebat dan tampak kewalahan.
Lestari yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan, mengetahui kalau Prapanca berada dalam keadaan gawat. Maka, tanpa banyak cakap lagi, dicabut kipas bajanya yang terselip di pinggang, dan langsung terjun ke kancah pertarungan.
Ikut campurnya Lestari ke dalam kancah pertarungan benar-benar merubah keadaan. Prapanca tampak mulai terbebas dari desakan hebat. Tenaga gadis berpakaian merah itu memang dapat diandalkan. Sekarang, Dewi Cabul tidak bisa mendesak lawannya secara mudah. Apalagi ketika, Prapanca pun mengeluarkan senjatanya. Sepasang sumpit berujung runcing terbuat dari gading gajah, Dewi Cabul terpaksa mengeluarkan senjata andalannya, sehelai sapu tangan.
Lestari dan Prapanca semula merasa heran melihat Dewi Cabul menggunakan selembar sapu tangan lebar berwarna merah muda sebagai senjata. Namun ketika merasakan kehebatan benda itu di tangan nenek bongkok, pandangan mereka langsung berubah. Sapu tangan itu ternyata tidak kalah ampuh dengan senjata-senjata lainnya.
Selembar kain saja mungkin dapat digunakan untuk menghancurkan batu karang yang paling keras hanya dengan dikebutkan oleh Dewi Cabul. Sapu tangan itu bisa pula berubah menegang kaku seperti batang tongkat baja, bahkan mungkin pedang yang tajam.
Untungnya, Lestari dan Prapanca mampu bekerja-sama dengan baik. Sepasang muda-mudi ini dengan cepat dapat saling menyesuaikan diri menghadapi lawan mereka. Mereka mampu saling memperkuat serangan dan pertahanan. Kerjasama mereka mampu menambah daya tahan serangan dan pertahanan. Keduanya mampu saling isi dan melindungi.
"Keparat!" Dewi Cabul memaki-maki penuh kegeraman karena sampai lima puluh jurus bertarung, belum juga mampu mendesak pasangan muda-mudi itu. Kegeramannya semakin menjadi-jadi karena rasa penasaran yang memuncak. Dia telah menggunakan senjata andalan, tapi belum juga mampu merobohkan dua orang lawan yang masih sangat muda. Kalau sampai terdengar tokoh-tokoh persilatan, mau ditaruh di mana mukanya?
Sejauh itu, Dewi Cabul yang telah mengeluarkan seluruh kemampuannya tetap tidak bisa berbuat banyak. Namun hal yang sama pun dialami oleh pasangan muda-mudi yang menjadi lawannya. Sebagai tokoh yang telah kenyang pengalaman Dewi Cabul cepat tanggap dan tahu kalau menghadapi keadaan seperti ini pertarungan akan berlangsung cukup alot. Masih panjang waktu baginya untuk dapat mengalahkan Lestari dan Prapanca. Tampaknya nenek bongkok ini tidak mempunyai kesabaran yang cukup untuk menunggu lebih lama.
"Hih...!" Dewi Cabul meraup segenggam debu dan melemparkannya ketika Lestari dan Prapanca memburunya. Nenek bongkok yang licik itu memang pura-pura terdesak dan menjatuhkan diri di tanah. Mendapat serangan curang dan tidak tersangka-sangka, pasangan muda-mudi itu kelabakan. Namun mereka langsung menahan serangan seraya memejamkan mata agar serangan abu itu tidak mengenai mata.
Kesempatan seperti ini yang ditunggu-tunggu Dewi Cabul. Laksana seekor ikan, tubuhnya melenting ke arah lawan-lawannya yang tengah berada dalam keadaan kurang menguntungkan itu. Nenek bongkok ini mengirimkan serangan dengan sebuah totokan sapu tangan yang telah dibuatnya menegang, ke arah ulu hati Lestari.
Meski dengan sepasang mata terpejam, baik Lestari maupun Prapanca, bisa mengetahui adanya serangan maut itu. Pendengaran mereka yang terlatih menangkap bunyi mencicit nyaring. Maka keduanya bergegas menghindar.
Tukkk! Blukkk!
Lestari dan Prapanca sama-sama menjerit kesakitan ketika serangan licik Dewi Cabul men-genai sasaran, meskipun tidak terlalu cepat. Ujung sapu tangan tidak mengenai ulu hati Lestari, melainkan paha kanannya. Sedangkan Prapanca terkena tendangan pada bahu kirinya. Tubuh sepasang muda-mudi itu terjengkang dan terguling-guling.
Dewi Cabul yang membenci Lestari karena telah campur tangan dan merepotkannya, segera, menubruk untuk mengirimkan serangan maut. Tentu Lestari yang tidak mau merelakan nyawanya begitu saja berusaha keras untuk menyelamatkan diri. Namun, tetap saja ujung kebutan sapu tangan itu menyerempet pinggangnya hingga dia terguling. Dewi Cabul segera menyusulinya dengan serangan maut.
"Lestari...!" Prapanca yang kalah cepat oleh Dewi Cabul hanya dapat menjerit ngeri melihat hal ini. Dengan seluruh kemampuan yang ada, pemuda berpakaian coklat ini melesat untuk menyelamatkan Lestari.
Trakkk!
Dewi Cabul mengeluh tertahan ketika ujung sapu tangannya tidak menghantam leher Lestari, melainkan berbenturan dengan sebatang pedang yang dibabatkan oleh sesosok bayangan putih. Lagi-lagi serangan nenek bongkok itu gagal total. Dan kesempatan itu segera dipergunakan oleh Lestari untuk beringsut menjauh.
"Jahanam! Siapa kau, Monyet Betina Buduk?! Sebutkan namamu sebelum mati di tanganku!" maki Dewi Cabul geram sambil menatap sosok bayangan putih yang telah menggagalkan serangannya. Sosok berpakaian putih itu berdiri tegak di depan dengan pedang melintang di depan dada.
"Kaulah yang akan mati di tanganku, Monyet Betina Tua! Hhh... perempuan tua bau tanah! Kenalkan, aku Melati!" tandas sosok bayangan putih yang ternyata seorang gadis cantik dan berambut panjang tergerai. Kecantikannya bercampur dengan keanggunan ketika dagunya agak mendongak seiring dengan ditutup ucapannya yang lantang.
Melati, kekasih Dewa Arak ini, langsung menyambung ucapannya dengan tusukan pedang ke leher Dewi Cabul. Bunyi mengaung keras langsung terdengar ketika senjata tajam itu meluncur. Ternyata Melati langsung menggunakan ilmu pedangnya yang ganas, Ilmu 'Pedang Seribu Naga'.
Wajah Dewi Cabul berubah karena kaget melihat serangan Melati yang ganas itu. Walaupun demikian, tidak berarti dia menjadi gugup atau bingung. Tangan kanannya bergerak dengan cepat.
Rrrttt!
Dengan gerakan cepat, Dewi Cabul berhasil melibat batang pedang Melati dengan sapu tangannya. Melati kaget. Namun, sebelum gadis berpakaian putih ini bertindak, Dewi Cabul telah lebih dulu menggoyangkan kepala.
Wrrr!
Tiba-tiba rambut Dewi Cabul kusut masai terayun deras ke arah kepala Melati. Dengan kelihaiannya, nenek bongkok ini telah membuat rambutnya menjadi kaku laksana segumpal balok.
Namun dengan menundukkan tubuh, Melati berhasil mengelakkan serangan itu. Bahkan sam-bil melakukan tindakan demikian, dikerahkan te-naga dalam untuk menarik pedangnya dari lilitan satu tangan lawan. Hasilnya, sia-sia!
Batang pedang itu seperti telah berakar dan menyatu dengan sapu tangan Dewi Cabul. Tidak mampu terle-pas. Dan celakanya lagi, tenaga dalam Melati tak mampu menandingi sehingga ketika nenek bongkok itu balas menarik tubuh Melati tertarik ke depan.
Dan terseretnya tubuh Melati itu langsung dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Dewi Cabul. Nenek bongkok ini menyambuti datangnya tubuh Melati dengan sebuah pukulan telapak tangan terbuka ke arah dada. Melati yang tidak mempunyai pilihan lain, langsung memapaknya dengan sikap tangan serupa.
Plakkk!
Dua buah tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Melati langsung terpekik kaget ketika mengetahui tangannya tidak mampu ditarik pulang kembali. Tangan itu seperti telah melekat dengan tangan lawannya. Jantungnya dirasakan berdetak cepat secara mendadak ketika mengetahui tenaga dalamnya mengalir deras ke arah Dewi Cabul melalui tangan yang saling melekat. Betapa pun Melati berusaha keras untuk mencegah, tetap sia-sia! Tenaga dalamnya terus menjalar ke tubuh Dewi Cabul tanpa dapat dicegah lagi.
Melati benar-benar kehabisan daya. Wanita perkasa yang berjuluk Dewi Penyebar Maut akibat keganasan tindakannya terhadap orang-orang yang berada di pihak berlawanan dengannya. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: Dewi Penyebar Maut). Menyadari kalau nyawanya berada di ambang kematian.
Sing, sing!
Di saat kritis bagi keselamatan Melati, dua buah batu kecil sebesar ibu jari kaki meluncur ke arah dahi dan leher Dewi Cabul. Si Nenek Bongkok tidak berani menganggap remeh serangan ini, karena di samping mengancam jalan darah kematian, juga dilepas dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Ternyata Prapanca orang yang mengirimkan serangan itu.
Harapan Prapanca untuk menyelamatkan nyawa Melati dari ancaman maut, tidak percuma. Dewi Cabul yang melihat adanya bahaya besar itu, buru-buru melepaskan kemampuannya menyedot tenaga Melati, dan langsung melompat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Prapanca untuk melancarkan serangan susulan dengan mempergunakan sepasang sumpitnya.
"Larilah, Nisanak! Tinggalkan tempat ini, biar aku yang menahannya dulu...!" teriak Prapanca pada Melati di sela-sela sambaran sumpitnya yang menusuk ke arah jalan-jalan darah kematian di tubuh lawannya.
Melati tentu saja mendengar seruan itu. Dan kalau saja dia mau menuruti, meski masih agak lemas karena sebagian tenaganya terkuras, mudah saja baginya untuk melarikan diri dari tempat itu. Namun Melati bukan wanita yang gampang menyerah, dan Prapanca keliru kalau mengira gadis itu akan cepat melarikan diri. Gadis berpakaian putih ini malah berdiam diri di tempatnya, berusaha untuk memulihkan tenaga dalamnya yang tersedot.
Tindakan Melati membuat Prapanca menjadi cemas, karena merasa dirinya bukan tandingan Dewi Cabul. Dan Prapanca memang tidak bermaksud untuk terus bertarung dengan nenek bongkok itu. Penyerangannya atas Dewi Cabul semata-mata untuk menyelamatkan Melati yang telah menyelamatkan Lestari.
Paling tidak dapat memberi kesempatan pada gadis berpakaian putih agar melarikan diri, baru kemudian dia ikut kabur apabila mendapat kesempatan. Sedangkan Lestari sudah lebih dulu meninggalkan mereka. Dan itu pun atas anjuran Prapanca.
Sebenarnya, kalau saja tidak ada perkembangan lain, Prapanca lebih suka untuk meneruskan pertarungan. Dengan adanya tenaga bantuan dari Melati, mereka bertiga akan mampu mengalahkan Dewi Cabul. Namun di saat Melati tengah bersitegang melawan pengaruh ilmu aneh Dewi Cabul, mendadak terdengar getaran-getaran di bumi. Prapanca tahu apa artinya ini.
Apalagi ketika menyadari kalau getaran itu semakin mengeras. Raksasa Pemangsa Manusia tengah berlari mendekati tempat pertarungan mereka. Dan hal itu berarti bahaya besar. Dewi Cabul saja sudah merupakan lawan yang amat tangguh, apalagi di-tambah dengan Raksasa Pemangsa Manusia yang memiliki kemampuan mengiriskan, di samping bentuk tubuhnya yang besar.
Kedua tokoh itu mungkin memiliki kemampuan dan kedigdayaan yang setingkat karena merupakan tokoh-tokoh nomor satu dunia persilatan untuk golongan hitam. Raksasa Pemangsa Manusia dan Dewi Cabul merupakan dua di antara datuk-datuk kaum sesat yang terkenal dengan julukan Biang-Biang Iblis!
Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa gelisahnya hati Prapanca ketika melihat Melati tidak mempedulikan seruannya. Gadis berpakaian putih itu malah berdiam diri di tempatnya. Betapa pun, Prapanca di tengah-tengah kesibukannya menghadapi amukan Dewi Cabul, menyempatkan diri memerintahkan Melati melarikan diri. Gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak memper-gunakan kesempatan itu untuk kabur.
Tidak sampai sepuluh jurus Prapanca menahan Dewi Cabul, sudah beberapa kali nyawanya hampir melayang. Pemuda berpakaian coklat ini berhasil selamat hanya di saat-saat terakhir. Itu pun dengan terpontang-panting. Prapanca tidak yakin kalau dirinya mampu bertahan sepuluh ju-rus lagi menghadapi nenek bongkok ini.
Hal ini membuat Prapanca semakin gelisah. Kalau saja Melati sudah menuruti anjurannya un-tuk kabur, dengan keadaan seperti ini dia dapat memutar otak untuk menyelamatkan diri. Apalagi ketika dipikir Lestari pasti akan gelisah menunggu kedatangannya karena sewaktu disuruh melarikan diri, gadis berpakaian merah ini mau setelah tahu kalau Prapanca akan melarikan diri pula. Sama sekali Prapanca tak menyangka akan terjadi hal seperti itu.
Akhirnya, setelah tiga jurus berlalu dan Melati tidak menampakkan tanda-tanda akan melarikan diri, Prapanca jadi kehilangan kesabaran karena rasa cemasnya yang hebat. Bunyi getaran pada tanah telah semakin keras, pertanda kalau Raksasa Pemangsa Manusia sudah tidak jauh lagi dari tempat mereka.
Itulah sebabnya, Prapanca mengambil keputusan singkat. Prapanca yakin bahwa Melati akan mengikutinya jika dia kabur dari tempat itu. Sebab untuk melakukan perlawanan seorang diri tidak ada gunanya, hanya menca-ri mati. Namun, sebelum Prapanca melaksanakan niatnya, gadis berpakaian putih itu melesat masuk ke dalam kancah pertarungan.
"Tidak ada gunanya, Kisanak! Lebih baik kita tinggalkan tempat ini!" seru Prapanca, keras.
"Aku akan pergi setelah mengirim Nenek Bau ini ke akherat!" sahut Melati sambil mengirimkan serangkaian serangan dengan pedangnya.
Prapanca menggertakkan gigi. Dia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Melati yang dianggapnya berwatak keras. Hanya dua pilihan baginya, mengikuti tekad Melati, membinasakan Dewi Cabul atau meninggalkan Melati sendirian. Suatu pilihan yang membingungkan, karena membayangkan betapa gelisahnya Lestari kalau dia tidak kunjung datang.
Akhirnya, Prapanca memilih yang pertama. Dengan keputusan itu, Prapanca mengerahkan seluruh kemampuannya untuk dapat segera merobohkan Dewi Cabul sebelum Raksasa Pemangsa Manusia tiba di sini.
Namun, niat itu hanya mudah dalam bayangan, sulit dilaksanakannya. Betapa pun Prapanca yang dibantu oleh Melati, berusaha sekuat tenaga untuk merobohkan Dewi Cabul, tetap saja nenek bongkok itu sukar dirobohkan. Kerjasama antara Melati dan Prapanca tidak lebih baik daripada dengan Lestari, karena dengan tenaga dalam yang sebagian telah terkuras, kemampuan.
Melati telah merosot jauh. Kenyataan ini membuat Prapanca semakin gelisah. Namun sebaliknya Melati justru terlihat tenang-tenang saja. Rupanya keinginan untuk melenyapkan Dewi Cabul membuat Melati tidak memikirkan hal-hal lain. Getaran-getaran bumi yang semakin mengeras, dan diketahui tidak sewajarnya, tidak menarik perhatiannya sama sekali. Dia hanya tertarik sebentar kemudian melupakannya ketika teringat kembali akan Dewi Cabul.
"Ha ha ha...! Rupanya kau telah berada di sini, Dewi Cabul?!" Terdengar sebuah suara serak dan parau disusul dengan munculnya Raksasa Pemangsa Manusia. "Dan kau telah berpesta rupanya. Jangan serakah, Dewi Cabul! Aku tahu kau tidak doyan makanan yang satu, biar aku yang menyantapnya."
Tanpa menunggu tanggapan Dewi Cabul, Raksasa Pemangsa Manusia telah melangkah le-bar memasuki kancah pertarungan. Tangannya yang besar dan penuh bulu meluncur ke arah kedua pinggang Melati seperti hendak memeluk.
Melati menjerit kaget dan langsung melompat mundur, sehingga terhindar dari renggutan tangan Raksasa Pemangsa Manusia. Dan pada saat yang bersamaan dengan tangan kirinya, gadis berpakaian putih ini mengirimkan serangan jarak jauhnya, lewat jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Bresss!
Serangan tidak terduga-duga yang datang-nya demikian cepat itu, tidak dapat dielakkan oleh Raksasa Pemangsa Manusia. Seketika tubuh tinggi besar ini tergetar dan terhuyung selangkah ke belakang. Mendapatkan serangan balasan yang tak terduga-duga itu membuat Raksasa Pemangsa Manusia murka. Memang pukulan jarak jauh Melati tidak mampu melukai tubuhnya yang terlindung kulit kuat laksana kulit badak.
Namun tubuhnya yang terhuyung-huyung dan sedikit rasa panas pada dadanya yang terhantam serangan jarak jauh itu, menyulut amarahnya. Kemarahan itulah yang membuatnya menerjang Melati dengan pukulan kedua tangan dikepalkan keras.
Melati yang dibuat terpukau ketika melihat Raksasa Pemangsa Manusia tidak terluka sama sekali akibat serangan jarak jauhnya, sempat sadar melihat serangan bertubi-tubi ke arahnya. Gadis cantik ini langsung mengelak dan balas menyerang dengan mempergunakan pedangnya. Ilmu 'Pedang Seribu Naga' yang menjadi andalannya, langsung dikeluarkan.
Untuk yang kedua kalinya, Melati harus me-nelan kenyataan pahit. Lawan yang dihadapinya ini memiliki kemampuan jauh di atasnya. Itu pun masih ditambah dengan kekebalannya yang luar biasa. Beberapa kali, berkat kecepatan gerakan serta kedahsyatan ilmu pedangnya, dan terutama karena lawan tidak mempedulikan serangan, Melati berhasil menyarangkan serangan baik berupa tusukan, bacokan, maupun tendangan.
Namun semuanya tidak berarti sama sekali. Kulit tubuh Raksasa Pemangsa Manusia tidak terluka sama sekali. Bahkan sebaliknya tangan Melati yang ter-getar dan sakit-sakit setiap kali pedangnya berha-sil mendarat pada sasaran.
Kekuatan tubuh lawannya ini mengingatkan Melati akan lawan dahsyat yang dulu pernah dihadapinya. Dulu pun dia pernah bertarung dengan lawan yang memiliki kulit tubuh kuat. Tokoh itu berjuluk Raksasa Kulit Baja. Hanya saja Raksasa Kulit Baja tidak memiliki kepandaian seperti Raksasa Pemangsa Manusia. Kepandaian Raksasa Kulit Baja biasa-biasa saja. Kesulitan dalam membunuh tokoh itu hanya karena kulit tubuhnya yang kebal. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Dewi Penyebar Maut").
Bukan hanya Melati yang terancam bahaya maut, Prapanca pun tidak berbeda. Begitu Melati tidak membantunya karena telah menghadapi Raksasa Pemangsa Manusia, Prapanca langsung terdesak kembali. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan kekasih Dewa Arak itu.
Prapanca tahu, melawan terus berarti rela mati konyol. Maka, walau hati berat, diputuskan untuk kabur saja meninggalkan lawannya. Tidak ada gunanya lagi tetap berada di sini karena dia tidak akan dapat menolong Melati. Yang lebih penting sekarang berusaha menyelamatkan nya-wanya sendiri. "Lagi pula, siapa tahu Melati bisa menyelamatkan diri pula," hibur Prapanca dalam hati.
"Dewi Cabul! Lihat, 'Naga Siluman' milikku akan mencaplok kepalamu!" seru Prapanca dengan suara bergetar sambil melemparkan salah satu sumpit gadingnya.
Dewi Cabul tersentak kaget. Tanpa sadar dia melangkah mundur ketika melihat seekor naga muncul dan dari udara hendak mencaplok kepa-lanya. Naga itu membuka mulutnya lebar-lebar, memperlihatkan gigi-gigi taringnya yang runcing.
Wuttt!
Pyarrr!
Naga itu kontan lenyap ketika Dewi Cabul menghentakkan tangan kiri mengirimkan pukulan dengan telapak tangan terbuka ke arah kepala binatang mengiriskan itu. Dan di tanah tempat naga tadi berada, tampak sebatang sumpit gading yang telah hancur berantakan!
"Keparat!" Dewi Cabul menggertakkan gigi penuh pera-saan geram karena tahu kalau untuk sejenak tadi, lawan telah berhasil menipunya dengan ilmu sihir.
Naga itu tercipta karena ilmu sihir Prapanca. Dan pemuda berpakaian coklat itu sendiri, tidak berada lagi di situ. Meskipun tidak mengetahui arah yang ditempuh Prapanca, Dewi Cabul tetap memaksakan diri melakukan pengejaran. Rupanya dia tidak ingin menyia-nyiakan seorang pemuda sakti seperti Prapanca. Dengan kepergian Dewi Cabul, tinggal Melati dan Raksasa Pemangsa Manusia yang ma-sih tinggal di tempat itu. Kedua tokoh ini masih sibuk bertarung, dan Melati tetap terdesak dan kewalahan.
Bukkk!
Melati mengeluh tertahan ketika sisi tangan Raksasa Pemangsa Manusia menghantam pangkal bahu kanannya. Cukup telak, dan sudah pasti ke-ras karena tokoh yang memiliki taring itu memiliki tenaga besar. Seketika itu pula tubuh Melati ambruk terkulai di tanah. Pingsan! Sambil tertawa tergelak Raksasa Pemangsa Manusia mengangkat tubuh Melati dan membawanya pergi dari tempat itu.
"Manusia Jelek! Apa yang hendak kau lakukan?! Mari kita bertarung sampai salah seorang di antara kita ada yang mampus!" seru Melati ketika Raksasa Pemangsa Manusia membawanya lari meninggalkan tempat itu. Hanya hal ini yang dapat dilakukan oleh gadis berpakaian putih itu, ka-rena sekujur tubuhnya dirasakan lemas. Raksasa Pemangsa Manusia yang tidak bodoh, telah lebih dulu menotoknya hingga lumpuh sebelum Melati sadar dari pingsannya.
"Manusia Jelek! Ternyata hanya tubuhmu saja yang besar tapi nyalimu kecil. Kalau kau bukan seorang pengecut, bebaskan totokanku mari kita bertarung!" teriak Melati lagi dengan nada mulai cemas ketika mengetahui tantangan perta-manya tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
"Ha ha ha...!" Kali ini Raksasa Pemangsa Manusia tertawa bergelak penuh nada gembira. "Kau kira aku bodoh, Wanita Liar? Aku tidak bisa dipancing dan ditipu. Apa pun yang kau katakan, aku tak akan membebaskan mu. Bukankah telah terbukti kalau kau bukan tandinganku?! Kau telah kukalahkan! Dan ketahuilah, setiap orang yang kalah dengan Raksasa Pemangsa Manusia mempunyai dua pilihan. Kalau dia lelaki atau wanita yang telah tua, kematianlah yang akan di dapat. Sedangkan wanita yang masih muda, terutama sekali yang berilmu tinggi, akan menjadi santapan ku. Aku yakin daging dan tulang-tulang mudamu pasti nikmat! Ha ha ha...!"
"Apa kau orang yang berjuluk Raksasa Pemangsa Manusia?!" tanya Melati, tanpa menyembunyikan rasa kagetnya.
Ucapan lelaki tinggi dan bertaring itu yang membuatnya mempunyai dugaan demikian. Melati telah lama mendengar raja kaum sesat yang berjuluk Raksasa Pemangsa Manusia. Namun karena tokoh itu telah lama tidak ketahuan rimbanya lagi, dia sama sekali tidak menyangka kalau kini berhadapan dengan tokoh yang mengiriskan itu.
Sekarang, Melati baru sempat menyadari kalau ciri-ciri yang dimiliki tokoh sakti yang mengalahkannya sesuai dengan berita yang didapatkannya. Seketika bulu kuduk Melati meremang membayangkan dirinya akan dijadikan santapan tokoh sesat yang doyan makan daging manusia ini! Melati hanya bisa berharap kalau dugaannya ini salah.
Melati merasa putus asa ketika melihat lelaki tinggi besar itu mengangguk membenarkan dugaannya. Sementara, Raksasa Pemangsa Manusia bersikap tidak peduli dan terus berlari dengan langkah kakinya yang menimbulkan bunyi berdebum-debum menggetarkan tanah.
Tokoh yang mengiriskan ini memperlambat larinya ketika tiba di sebuah lembah yang diapit dua bukit kecil. Sebuah lembah yang luas, terdiri dari tanah kering dan gersang. Raksasa Pemangsa Manusia menghentikan langkahnya di depan sebuah goa besar yang terlihat hitam kelam.
Matanya yang besar dan beralis tebal memandangi ke sekeliling tempat itu dengan kening berkernyit, seperti tengah memperhatikan sesuatu. Sesaat kemudian, dengan sembarangan saja, tubuh Melati dilemparkan ke dekat dinding goa sedangkan dia sendiri langsung melangkah cepat masuk ke goa itu.
Jantung Melati berdetak kencang ketika melihat Raksasa Pemangsa Manusia berlari memasuki goa. Gadis berpakaian putih ini menyadari adanya sebuah kesempatan untuk melarikan diri. Maka, tanpa membuang-buang waktu dikerahkan tenaga dalamnya yang berada di bawah pusar, dipusatkan untuk membebaskan jalan darahnya yang tertotok. Namun ternyata totokan Raksasa Pemangsa Manusia kuat bukan kepalang, sia-sia! Meski begitu, gadis berpakaian putih ini tidak putus asa dan terus berusaha keras untuk membebaskan diri.
Melati menghela napas kesal. Seketika perasaan kecewa muncul di dalam hatinya karena tiba-tiba terdengar bunyi langkah berdebum keras. Sesaat kemudian Raksasa Pemangsa Manusia telah berada kembali di dekatnya.
Setelah melempar pandangan ke arah Melati untuk meyakinkan kalau tawanannya masih ada, dengan raut wajah gembira, Raksasa Pemangsa Manusia meletakkan alat-alat yang diambilnya dari ruang dalam tak jauh dari mulut goa.
Melati semakin merasakan jantungnya berdetak lebih cepat lagi. Dengan sorot mata memancarkan kengerian, diperhatikannya alat-alat yang telah tertata rapi di tanah itu. Kayu-kayu bakar, sebuah bejana besar mirip penggorengan dan guci besar berisi air! Ini berarti penjagalan atas dirinya tak lama lagi akan segera dimulai.
"Ha ha ha...!" Raksasa Pemangsa Manusia tertawa tergelak ketika bejana besar berisi air itu telah diletakkan di atas kayu bakar yang menyala nyala. "Begitu air itu mendidih, kau akan melihat hal-hal yang menarik, Wanita Liar! Kau mungkin tahu apa yang akan terjadi. Kau akan ku rebus!?"
Melati hampir tidak kuasa menahan kengeriannya melihat semua itu. Apalagi ketika terlihat olehnya gigi-gigi taring lelaki tinggi besar itu. Namun dengan menenangkan perasaan gadis itu tetap memandangi penggorengan besar yang penuh air di atas kobaran api. Melati yang telah kenyang pengalaman tahu, tokoh-tokoh sesat semakin senang apabila calon korban mereka semakin ketakutan. Mereka mendapat kepuasan tersendiri dari rasa takut yang melanda hati mangsa mereka.
Terlihat oleh Melati sinar kekecewaan di mata Raksasa Pemangsa Manusia melihat korbannya menampakkan sikap yang berbeda dengan harapan.
"Air itu bukan air sembarangan, Wanita Liar! Tapi, air yang telah ku campur dengan bahan-bahan milikku. Apabila telah mendidih, panasnya puluhan bahkan mungkin ratusan kali lipat dari air biasa. Hhh... menyakitkan sekali! Seluruh tubuhmu akan terasa seperti ditusuki pisau-pisau berkarat yang beracun. Juga, bahan-bahan yang ku campurkan membuat tubuhmu akan matang jauh lebih lama! Dengan demikian kau akan tersiksa sekali. Ha ha ha...!" lanjut Raksasa Pemangsa Manusia dengan nada dibuat menyeramkan untuk menimbulkan ketakutan hati Melati, agar dia tidak merasa kecewa lagi untuk kedua kalinya. Dia ingin melihat korbannya ini merengek-rengek memohon ampun.
Melati memang merasa ngeri bukan kepalang mendengarnya. Dia tahu, Raksasa Pemangsa Manusia tidak berdusta. Meski demikian, gadis berpakaian putih itu pandai menyembunyikan perasaan takut sehingga tidak terlihat di wajahnya.
Raksasa Pemangsa Manusia merasa kecewa melihat kegagalan dari usahanya. Sekarang dia sadar kalau Melati tidak bisa ditakut-takutinya. Namun rasa gembira yang melanda hati jauh lebih besar dari perasaan kecewa, sehingga meski keinginannya untuk menakut-nakutkan Melati tidak berhasil, mulut manusia raksasa itu tetap tertawa.
"Sekarang tinggal menunggu air itu mendidih, Wanita Liar! Dan apabila itu terjadi, nyawamu telah berada di ambang pintu akherat. Nikmatilah saat-saat terakhirmu, Wanita Liar!"
"Lepaskan dia, Manusia Pemakan Bangkai!"
Raksasa Pemangsa Manusia terperanjat, begitu pula Melati. Seruan yang terdengar itu meskipun tidak keras tapi mengandung getaran sampai ke dalam dada. Yang lebih mengejutkan hati lagi, seruan itu muncul tanpa ketahuan pemiliknya.
Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi baik Melati maupun Raksasa Pemangsa Manusia tahu kalau pemilik suara itu berkepandaian tinggi. Getaran suara yang mampu merasuk ke dalam dada telah menjadi bukti nyata ketinggian tenaga dalam pemilik suara itu.
Namun yang lebih mengejutkan, dari mana datangnya tidak dapat diketahui, padahal baik Melati maupun Raksasa Pemangsa Manusia telah mengerahkan kemampuan untuk mencari asal suara itu. Seolah-olah suara itu berasal seperti dari delapan penjuru angin.
"Kau mencari siapa, Manusia Pemakan Bangkai?!" Suara menggetarkan itu kembali terdengar. Nadanya mengejek. "Aku di sini!"
Angin berdesir pelan. Dan tahu-tahu di antara Raksasa Pemangsa Manusia dan Melati, berdiri sesosok tubuh kecil kurus. Kumis dan jenggot lebat menghias wajahnya yang memiliki sinar mata mencorong kehijauan.
Sebuah topi berbentuk se-tengah tempurung kelapa berwarna hitam, menutup kepalanya. Pakaiannya pun berwarna hitam pekat. Wajahnya yang dingin tampak angker, menatap Raksasa Pemangsa Manusia.
Raksasa Pemangsa Manusia merupakan seorang datuk kaum sesat yang memiliki wibawa mengiriskan hati. Namun tak urung, melihat sosok yang berdiri di hadapannya, dia mundur selangkah. Kehadiran sosok kecil kurus yang lebih dulu menimbulkan ketegangan, telah membuat keang-kerannya semakin terlihat jelas.
"Siapa kau? Dan apa maksud ucapanmu itu?! Menyingkirlah kalau tidak ingin nyawamu kukirim ke neraka!" gertak Raksasa Pemangsa Manusia yang telah mendapatkan kembali ketenangannya.
Raksasa Pemangsa Manusia meski tampak bodoh, ternyata tidak memiliki pikiran sempit. Dari cara kedatangan lelaki kecil kurus ini saja, dirinya tahu kalau sosok yang berada di hadapannya memiliki kepandaian tinggi.
Dan dalam keadaan seperti ini, Raksasa Pemangsa Manusia tidak ingin terlibat pertarungan. Bukan karena gentar, melainkan karena khawatir Melati akan lolos dari tangannya. Dia tahu totokannya tidak dapat bertahan lama bagi seorang gadis seperti Melati.
"Aku hanya mau menyingkir apabila gadis itu kau serahkan padaku!" tegas sosok kecil ku-rus, seraya menuding tubuh Melati yang tergolek.
"Itu artinya kau mengajakku bertarung!" sentak Raksasa Pemangsa Manusia mantap.
Wutt, wutt, wuttt!
Raksasa Pemangsa Manusia yang tahu kalau sosok kecil kurus di depannya memiliki kepandaian tinggi, tanpa ragu-ragu lagi dalam sekali menyerang langsung mengirimkan pukulan bertubi-tubi dengan kedua tangan dikepal keras. Deru angin keras mengiringi tibanya setiap serangan.
Sosok kecil kurus menyunggingkan senyum sinis di bibirnya seakan-akan meremehkan serangan Raksasa Pemangsa Manusia. Kemudian dengan berani dipapaknya serangan itu dengan cara yang sama. Bunyi nyaring seperti ada dua benda logam berbenturan pun terjadi ketika dua pasang tangan yang memiliki ukuran berbeda jauh itu bertemu di tengah jalan.
Melati menatap dengan sorot mata kaget, tapi hatinya segera melihat sosok kecil kurus itu ternyata memang benar-benar dapat diandalkan. Setiap kali terjadi benturan tangan, tubuh Raksa-sa Pemangsa Manusia tergetar hebat dan hampir terhuyung. Hal seperti itu tidak dialami oleh lelaki kecil kurus. Bahkan pada benturan yang terakhir, tubuh Raksasa Pemangsa Manusia sampai terhuyung-huyung ke belakang.
"Grrrhhh...!" Raksasa Pemangsa Manusia menggeram keras. Benturan keras itu membuktikan kalau tenaga dalam lelaki kecil kurus berada di atasnya. Dan dugaannya ternyata tidak keliru, lelaki kecil kurus memiliki keunggulan tenaga dalam.
Namun dalam hal kekuatan anggota-anggota tubuh, lelaki kecil kurus ini bukan tandingan lawannya yang memiliki tubuh laksana besi baja. Benturan-benturan yang terjadi menyebabkan rasa sakit di tangan lelaki kecil kurus! Namun masing-masing pihak, tidak mempedulikan hal itu. Hampir pada saat yang bersamaan keduanya saling terjang. Bertempur untuk memperebutkan Melati.
Lelaki kecil kurus yang menjadi lawan Raksasa Pemangsa Manusia ternyata memiliki kepandaian amat tinggi. Tokoh sesat bertaring itu sama sekali bukan tandingannya. Baik dalam hal tenaga maupun mutu ilmu silat, lelaki kecil kurus ini berada di atas lawannya. Apalagi dalam hal kecepatan. Hanya berkat kekuatan tubuhnya yang menakjubkan, Raksasa Pemangsa Manusia masih bertahan dengan tegar.
Padahal sudah beberapa kali-kali baik pukulan maupun tendangan lelaki kecil kurus mendarat di berbagai bagian tubuh lawannya. Namun sama sekali tidak mampu melukai manusia bertubuh besar dan tinggi itu. Akibat yang ditimbulkan hanya terlemparnya tubuh Raksasa Pemangsa Manusia. Bahkan tak jarang hanya terhuyung-huyung atau tergetar. Setelah itu, lelaki tinggi besar ini kembali melancarkan serangan dengan kekuatan penuh.
Sepuluh jurus dengan cepat berlalu. Selama itu telah belasan kali Raksasa Pemangsa Manusia menerima serangan lawan. Namun hal itu sama sekali tidak mempengaruhinya. Dia masih tetap tangguh dan kokoh seperti sebelumnya.
Melati yang menyaksikan jalannya pertarungan diam-diam merasa gembira. Dia tahu pertarungan akan berlangsung alot dan lama. Hatinya semakin berharap semoga saja keadaan seperti ini akan berlangsung lebih lama. Melati yakin, dia akan berhasil terbebas dari totokan yang membelenggu sebelum pertarungan usai.
Maka dengan penuh semangat dipusatkan perhatian pada tenaga dalamnya untuk membebaskan pengaruh totokan yang membelenggu. Dan dengan hati girang Melati merasakan kalau perlahan-lahan tenaga dalamnya mampu menembus pengaruh totokan Raksasa Pemangsa Manusia. Dia yakin tak lama lagi pengaruh totokan itu akan punah semuanya.
Kembali Melati melihat tubuh Raksasa Pemangsa Manusia terpental ke belakang dan terguling-guling akibat gedoran dua telapak tangan terbuka lelaki kecil kurus yang menghantam dadanya secara telak. Namun, sebelum tokoh sesat yang memiliki taring itu bangkit, si Lelaki Kecil Kurus dengan cepat melempar tubuh ke belakang dan... menyambar tubuh Melati!
Sambil memondong tubuh Melati, lelaki kecil kurus itu melesat pergi. Melati meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Tanpa disadari dirinya telah melakukan kesalahan besar. Tenaganya yang belum pulih benar dari pengaruh totokan membuat rontaan yang dilakukan tak ubahnya geliatan seekor cacing. Lemah. Namun hal itu menyebabkan lelaki kecil kurus mengetahui kalau Melati hampir bebas dari pengaruh totokan, Dan sekali jari-jari tangannya bergerak, Melati kembali lumpuh!
"Keparat Jahanam! Jangan lari kau, Pengecut!" seru Raksasa Pemangsa Manusia, kalap ketika melihat lawannya melesat kabur dengan membawa tubuh Melati. Dia pun melesat mengejar.
"Maaf, saudara-saudara yang gagah. Boleh saya bertemu dengan Malaikat Salju?!" tanya seorang gadis berpakaian merah pada dua orang pemuda bertubuh kekar yang berdiri di depan sebuah pintu gerbang. Di atas pintu gerbang itu bertengger sepotong papan lebar dan tebal bertuliskan huruf-huruf indah yang berbunyi 'Perkumpulan Pengemis Baju Putih'.
"Maaf, Nisanak. Mungkin kau salah alamat. Di sini tidak ada orang yang berjulukan seperti itu," jawab pemuda yang bertubuh pendek, dengan suara halus.
"Bukankah ini Perkumpulan Pengemis Baju Putih?!" Kembali gadis berpakaian merah itu men-gajukan pertanyaan, meminta penegasan. Sambil mengajukan pertanyaan itu, sepasang mata indah gadis itu melirik ke atas tempat tergantungnya pa-pan tanda nama perguruan.
''Tidak salah!" sahut pemuda satunya lagi yang bertubuh tinggi. "Tapi orang yang kau tanyakan tidak berada di sini."
"Mungkinkah ayahku salah memberikan pe-tunjuk padaku?!" gumam gadis berpakaian merah seperti berkata pada dirinya sendiri. Wajahnya tampak bingung, setelah tercenung beberapa saat. "Ayahku mengatakan kalau aku dapat menemukan Malaikat Salju, kawannya, di Perkumpulan Pengemis Baju Putih. Bahkan kata ayahku, Malaikat Salju menjadi pemimpinnya."
"Mungkin ayahmu keliru, Nisanak. Kami berkata sebenarnya, pemimpin perkumpulan ini bukan orang yang mempunyai julukan seperti kau katakan. Beliau berjuluk Raja Pengemis Tongkat Sakti," jelas pemuda pendek.
Kali ini gadis berpakaian merah tidak memberikan sambutan. Dia termenung dengan tarikan wajah bingung. Rupanya kenyataan yang dihadapi, tidak sesuai dengan yang diperkirakannya.
"Ayahku tidak mungkin keliru!" tandas gadis berpakaian merah, mantap. "Aku yakin Malaikat Salju berada di sini! Haaii...! Malaikat Salju, keluar kau! Aku, Lestari ingin menghadapmu...! Aku mempunyai sebuah pesan penting dari ayahku, Malaikat Petir!"
Seruan gadis berpakaian merah yang ternyata Lestari, putri Malaikat Petir, keras sekali karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Tindakan Lestari membuat dua pemuda kekar yang mengenakan pakaian penuh tambalan sebagai mana layaknya seorang pengemis, menjadi tidak senang. Sudah baik-baik mereka jawab, gadis itu malah melakukan perbuatan yang mereka anggap tak sopan.
Hal itu menandakan kalau tamu itu menganggap bahwa mereka berdua tidak bisa dipercaya. Padahal, pantang bagi murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih melakukan dusta. Karena berbohong merupakan tinda-kan seorang yang pengecut. Dan mereka bukan pengecut! Perkumpulan Pengemis Baju Putih me-rupakan perkumpulan para orang gagah!
"Kuharap dengan sangat agar kau bersedia meninggalkan tempat ini, Nisanak! Jangan paksa kami untuk melakukan tindakan kekerasan!" tegas pemuda pendek kekar yang mengenakan pakaian dari tambal-tambalan kain warna putih se-bagaimana yang umumnya dikenakan murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih.
"Ah...! Betapa gagahnya...! Ingin kubuktikan sendiri apakah kepandaianmu sejajar dengan besarnya sesumbar yang keluar dari mulutmu!" sambut Lestari bernada tantangan.
Kedua murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih ini kecelik mendengar sambutan Lestari. Mereka tidak menyangka akan mendapat tanggapan seperti itu. Tentu saja karena keduanya tak mengenal siapa gadis yang mereka hadapi. Lestari ada-lah seorang gadis yang berwatak berubah-ubah. Di samping juga suka menurutkan kemauan sendiri. Prinsipnya, sekali hitam akan tetap hitam! Dan semula, melihat sikap baik dan sopan murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih, Lestari ikut baik.
Gadis berpakaian merah ini memang memiliki tanggapan sesuai dengan yang diterimanya. Apabila orang bersikap baik dia akan membalas lebih baik. Namun apabila orang tidak baik, dia akan membalas dengan tindakan lebih kejam! Itulah sebabnya ketika mendapat ancaman murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih, sikapnya yang angin-anginan langsung meledak!
"Kau... kau..., Wanita Liar...!" seru pemuda kekar yang akhirnya sanggup berkata lagi setelah tertegun sebentar karena perasaan bingung.
"Pengemis-Pengemis Bermulut Ceriwis! Orang seperti kalian harus diberi hajaran agar tidak sembarangan memaki orang!"
Lestari yang sudah kumat watak ugal-ugalannya, langsung mengirimkan tamparan ke arah bahu pemuda pendek kekar yang telah memakinya. Namun, meskipun tengah terbangkit emosinya, Lestari masih ingat kalau dua orang yang berdiri di hadapannya bukan termasuk golongan hitam. Bahkan bukan tidak mungkin mereka murid Malaikat Salju, kawan akrab ayahnya! Itulah sebabnya, gadis berpakaian merah ini mengirimkan serangan yang tidak mematikan.
Meskipun kaget melihat cepatnya serangan Lestari yang meluncur ke arah pelipisnya, pemuda itu tidak menjadi kehilangan akal. Sekilas tadi di-rinya memang tampak gugup, tapi tetap tidak ke-hilangan sikap waspada dan hati-hati. Sungguh-pun dengan agak menggeragap, pemuda pendek kekar ini cepat melangkahkan kakinya ke bela-kang sambil mendoyongkan tubuh mengelakkan serangan Lestari. Hingga serangan putri Malaikat Petir itu pun lepas dari sasaran.
Namun, hal seperti ini rupanya sudah diperhitungkan oleh Lestari. Pada saat yang bersamaan dengan tangan kanannya yang menampar angin, kaki kanannya bergerak ke arah paha lawan.
Dukkk!
Secara telak dan keras sekali kaki Lestari mendarat pada sasaran. Seketika tubuh pemuda pendek kekar itu terlempar ke samping. Kenyataan ini membuat rekannya terkejut, dan langsung bergerak menyerang karena khawatir kawannya mendapat serangan susulan dari gadis itu.
Namun seperti ketika menghadapi pemuda pendek kekar, Lestari tidak mengalami kesukaran untuk merobohkannya. Sekali mengulurkan tangan, gadis berpakaian merah ini telah berhasil menyarangkan pukulan tangannya yang terbuka ke perut pemuda tinggi kekar. Murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang sial ini pun jatuh terduduk di tanah.
Tanpa mempedulikan kedua lawannya yang masih menyeringai menahan sakit, Lestari berjalan melenggang ke dalam melalui pintu gerbang. Mulutnya terus berteriak-teriak memanggil Malaikat Salju.
Seketika itu pula suasana di dalam Perkumpulan Pengemis Baju Putin gempar. Kedatangan Lestari dengan sikapnya yang ugal-ugalan, berte-riak-teriak memanggil nama Malaikat Salju membuat kaget orang-orang di dalam perguruan itu. Semua penghuni di dalam markas Perkumpulan Pengemis Baju Putin tampak berlarian keluar dari pondok masing-masing.
Di dalam lingkungan benteng ternyata terdapat halaman tanah luas. Dan di sekitar hamparan tanah luas itu berdiri banyak pondok-pondok sederhana jumlahnya cukup banyak dan bentuknya seragam. Hanya ada satu pondok yang jauh lebih besar dari yang lainnya. Inilah tempat tinggal sang Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang berjuluk Raja Pengemis Tongkat Sakti.
Lestari memandang berkeliling, tidak terlihat gentar sama sekali. Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan ketenangan. Padahal, gadis berpakaian merah ini telah terkurung oleh puluhan orang berpakaian pengemis. Dan mereka se-muanya menggenggam sebatang tongkat runcing dan panjang di tangan.
"Siapa kau, Nisanak? Bagaimana kau bisa masuk kemari?! Dan, apa arti ucapanmu itu, Ni-sanak?!" tegur seorang pengemis berwajah kuning yang berdiri di hadapan Lestari. Lelaki berwajah kuning ini melangkah tiga tindak agar lebih dekat dengan gadis berpakaian merah yang berdiri di tengah halaman.
"Aku sudah perkenalkan diri di luar, tapi orang-orang yang menjemukan itu tetap tidak mengizinkan aku masuk. Jadi, terpaksa aku masuk. Sekarang, sebelum kesabaranku hilang, dan terpaksa aku menyuruh kalian menuruti keinginanku dengan kekerasan, cepat bawa aku menemui Malaikat Salju!!" tandas Lestari. Wajah lelaki yang menegur Lestari seperti semakin bertambah kuning karena ucapan keras dan tajam gadis itu.
"Rupanya kau salah alamat, Nisanak! Di sini tidak ada orang yang kau cari! Di sini perkumpulan pengemis, bukan tempat malaikat! Cepat tinggalkan tempat ini!"
"Rupanya kau menginginkan aku bertindak keras, Manusia Penyakitan!" sambut Lestari, keras. "Baik kalau itu yang kau inginkan!"
Begitu selesai mengucapkan perkataan itu, Lestari menjejakkan kaki dan melompat ke atas melewati kepala rombongan pengemis yang mengurungnya. Tindakan Lestari yang tidak terduga-duga ini membuat rombongan pengemis itu, tak terkecuali lelaki berwajah kuning tak sempat melakukan tindakan untuk mencegah.
Dengan gemilang, Lestari berhasil melewati kepala para murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih, bahkan mendarat di luar kepungan. Kemudian dia langsung melesat ke arah bangunan paling besar. Dengan kecerdikannya Lestari dapat menduga kalau pondok terbesar itu pasti diperuntukkan bagi sang Ketua. Dan kalau benar, pasti Malaikat Salju! Itulah sebabnya, gadis berpakaian merah ini langsung melesat ke sana.
Beberapa langkah lagi mencapai pintu pondok, dari dalam melesat keluar sesosok bayangan yang tidak jelas bentuknya karena sangat cepat gerakannya. Kebetulan, pintu pondok itu terbuka lebar, sehingga sosok yang melesat dari dalam sa-na, tidak memerlukan gerakan tambahan untuk membuka daun pintunya.
Lestari yang tidak menduga kalau dari dalam akan melesat sesosok bayangan dengan kecepatan mengagumkan, menjadi kaget bukan kepalang. Apalagi ketika menyadari arah yang dituju sosok bayangan itu berlawanan dengannya. Kedua sosok yang tengah berlari ini berada persis dalam satu jalur, dan kebetulan berlawanan arah. Kalau tidak dapat dicegah, akan terjadi benturan antara mere-ka.
Lestari langsung menjejakkan kaki untuk melempar tubuhnya ke belakang. Dia sempat melakukan salto beberapa kali, sebelum kedua kakinya melayang turun dan hinggap di tanah dengan ringan. Sosok yang melesat dari dalam pun melakukan tindakan cepat untuk menghindarkan tabrakan dengan Lestari.
Seperti juga Lestari, sosok itu menyadari akan kemungkinan terjadinya tumbukan ketika telah berada di luar pintu pondok. Maka, dengan kecepatan gerak luar biasa, tongkat yang terpasang melintang di punggung dicabut dan dipukulkan ke tanah.
Blarrr!
Gumpalan-gumpalan tanah langsung berhamburan dan bahkan debu tebal pun mengepul ke udara. Namun bukan hal itu yang diharapkan oleh sosok yang melesat dari dalam. Dengan meminjam tenaga yang membalik dari pukulan tongkat, tubuhnya mencelat ke belakang dan mendarat dengan mantap, tepat di ambang pintu.
Berbeda dengan sosok itu yang mampu mendarat dengan aman, Lestari tidak demikian. Setelah kedua kakinya menjejak tanah, rombon-gan Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang semula mengejarnya, langsung merubung dan mengirimkan serangan. Tiga di antara mereka yang bersikap lebih tanggap, langsung menusukkan tongkat masing-masing ke arah gadis itu.
Serangan-serangan yang datang secara mendadak itu ternyata sangat dahsyat. Namun, Lestari masih mampu membuktikan bahwa dirinya tak percuma menjadi putri tunggal tokoh kesohor berjuluk Malaikat Petir. Dengan mudah dia berhasil mengelakkan satu serangan. Sedangkan yang dua lagi dipapaknya dengan tangan dan tendangan. Akibatnya, tubuh dua anggota Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang sial itu pun terjengkang ke belakang saking kerasnya tenaga tangkisan Lestari.
Melihat keberhasilan Lestari menghadapi serangan mendadak ini, belasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih ini pun menjadi penasaran. Serentak mereka bergerak untuk menyerbu.
''Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras. Be-lasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang tengah merangsek maju langsung berhenti. Mereka semua tahu betul siapa pemilik suara itu. Tanpa banyak membantah, mereka menghentikan gerakan dan melangkah mundur.
"Kalian jangan membuat malu perkumpulan kita...!" sambung pemilik seruan mencegah itu, yang ternyata si Lelaki Berwajah Kuning. "Tindakan kalian, apabila sampai terdengar oleh dunia persilatan akan menjadikan perkumpulan kita sebagai buah ejekan orang lain. Perlu kalian ingat, Perkumpulan Pengemis Baju Putih, bukan serombongan orang berjiwa pengecut yang hanya berani melakukan pengeroyokan!"
"Gagah nian ucapanmu itu, Muka Penyakit!" sergah Lestari, lantang dan tidak mempedulikan lelaki berwajah kuning yang menyibak kerumunan murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih untuk mendekatinya. "Apakah kau bermaksud melawanku sendiri?! Lebih baik urungkan saja niatmu yang sok-sokan itu. Dan biarkan saja rekan-rekanmu membantu untuk melakukan penge-royokan terhadap diriku!"
"Sombong!" bentak lelaki berwajah kuning yang semakin bertambah kuning warnanya karena marah melihat sikap sombong Lestari yang diang-gapnya keterlaluan "Kau akan melihat buktinya sendiri, Wanita Liar!"
Lelaki berwajah kuning itu menutup ucapannya dengan sebuah pukulan tangan kanan ke arah dada. Pukulan keras itu diketahui oleh Lestari didorong tenaga dalam cukup kuat Sebab ti-banya serangan itu diiringi bunyi berkesiutan dari udara yang terobek.
Lestari yang memiliki watak sukar ditebak, kali ini tidak menangkis serangan itu. Padahal, dia yakin kalau tenaga dalamnya tidak kalah kuat dengan yang dimiliki lawan. Gadis berpakaian merah ini malah mengelak. Tindakan itu tetap dilakukannya kendati lelaki berwajah kuning itu terus melancarkan serangan susulan. Ternyata tidak mengecewakan, Lestari berhasil membuat semua serangan lawannya hanya mengenai angin.
"Mana bukti ucapanmu, Manusia Penyakitan?! Ternyata ucapanmu tak lebih dan kentut! Bau busuk, dan tidak bisa menyebabkan apa pun selain orang menutup hidung!" ejek Lestari di sela-sela gerakan tubuhnya yang berlompatan ke sana kemari.
"Kaulah yang pengecut, Wanita Liar! Kalau kau memang bermaksud menyaksikan kelihaian ku, jangan cuma berlompatan seperti kera betina mencari pejantan untuk dikawini, tapi balaslah menyerang!" sahut lelaki berwajah kuning, tak ta-han untuk tidak berkata keras karena marah dan jengkel.
Lestari mengeluarkan lengkingan nyaring karena kaget dan marahnya mendengar ucapan yang terdengar tak senonoh untuk diperdengarkan pada seorang gadis sepertinya. Selebar wajahnya merah padam karena perasaan malu bercampur marah. Mendadak gerakannya berubah, tidak hanya bergerak mengelak melainkan juga melaku-kan tangkisan.
Plakkk!
Tubuh pengemis berwajah kuning langsung terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah ketika tendangan lurusnya dipapak oleh kaki Lestari. Mulutnya menyeringai menahan sakit yang melanda. Sementara tubuh gadis itu hanya tergetar dan agak goyah kedudukannya. Melihat keadaan lelaki berwajah kuning itu, tanpa diberi perintah murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putin meluruk menerjang.
''Tahan...!"
Lagi-lagi terdengar seruan mencegah. Dan seperti juga sebelumnya, kali ini pun belasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih mematuhinya. Mereka semua menghentikan gerakan, padahal serangan-serangan sudah siap dilancarkan.
Lestari langsung mengarahkan pandangan ke arah asal bentakan. Pemilik suara itu ternyata menghampirinya, dan berjalan menyibak kerumunan pengemis-pengemis berbaju putih. Mereka semua menyingkir untuk memberi jalan.
"Siapa kau, Nisanak?!" tanya pemilik bentakan ketika telah berjarak dua tombak di depan Lestari. Dia ternyata seorang pemuda berpakaian biru. Tubuhnya gagah berotot. Wajahnya yang berbentuk persegi seperti wajah singa memperlihatkan kejantanan. "Mengapa kau mengacau di tempat ini?!"
Lestari tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Matanya menatap tajam pemuda berpakaian biru dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sesaat kemudian, sambil tersenyum sinis dia men-gangguk-anggukkan kepala.
"Kelihatannya kau berbeda dengan mereka," ucap Lestari seenaknya. "Tapi, ternyata kau sama menjemukannya dengan mereka. Selalu mau tahu urusan orang! Tidak cukupkah aku mengatakan kepentinganku kemari?! Haruskah aku melapor pada semua orang yang ada di sini satu persatu untuk kepentingan yang kubawa ini? Aku sudah bosan mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti ini terus! Menyingkirlah, biar aku sendiri yang mencari di mana adanya Malaikat Salju!"
Dengan sikap tidak peduli, Lestari mengayunkan kaki ke depan. Padahal, di depannya berdiri pemuda berpakaian biru. Andaikata, Lestari terus melanjutkan tindakannya, dan pemuda itu tidak menyingkir, antara mereka akan terjadi tubrukan.
"Tunggu sebentar, Nisanak!" cegah pemuda berpakaian biru sambil menjulurkan kedua tangan ketika Lestari bam saja melangkah dua tindak. "Percayalah, setelah ini kau tidak akan mendapat pertanyaan itu lagi. Katakan, apa maksud-mu mencari Malaikat Salju! Dan siapa dirimu sebenarnya? Dan dari mana kau bisa menduga kalau Malaikat Salju berada di sini?!"
"Baiklah!" ujar Lestari sambil membanting kaki seperti melampiaskan kejengkelannya. "Aku tahu Malaikat Salju berada di sini dari ayahku. Dan beliau adalah salah seorang sahabat baik Malaikat Salju. Beliau berjuluk Malaikat Petir!"
"Ah...!" seru pemuda berpakaian biru, kaget. Wajah tampannya yang jantan berubah cerah. "Kiranya kau...! Kau putri Malaikat Petir?! Jadi... kau... kau... Lestari Mala...!"
Sekarang ganti Lestari yang merasa terkejut. Baru sekarang ada orang yang menyebut namanya dengan lengkap. Memang, demikian namanya. Namun dia sendiri hampir melupakan karena lebih sering mempergunakan nama depannya saja.
"Dari mana kau tahu namaku...?!" tanya gadis yang bernama lengkap Lestari Mala ini dengan suara bergetar karena menahan gejolak perasaan.
"Tentu saja dari guruku. Beliaulah yang menceritakan tentang diri Malaikat Petir dan putrinya yang katanya bernama Lestari Mala. Dan guruku ini adalah... Malaikat Salju, orang yang kau cari...!"
"Pantas kau lihai," puji Lestari sehingga membuat selebar wajah pemuda berpakaian biru memerah karena malu. "O ya, mana gurumu? Aku ingin bertemu dengannya untuk menyampaikan sebuah kabar penting."
"Sayang sekali, Lestari," jawab pemuda berpakaian biru dengan penuh penyesalan. Dia tidak bertanya lebih jauh mengenai kabar penting yang dimaksud. "Baru kemarin beliau pergi karena selalu mendapat firasat buruk mengenai gurunya, Kakek Sobrang. Beliau pergi untuk memastikan kebenaran firasatnya."
Raut wajah Lestari berubah. Tampak di wajahnya perasaan kecewa, meski hanya sebentar. "Bagaimana kau dan gurumu bisa menjadi ketua perkumpulan orang-orang kurang makan ini?"
Pemuda berpakaian biru tersenyum mendengar pertanyaan Lestari yang ceplas-ceplos itu. Diam-diam dia merasa aneh sendiri. Sebab, biasanya tidak pernah dia tersenyum seperti itu. Namun, di depan Lestari tiba-tiba dia tersenyum. Ada saja ucapan atau tingkah gadis itu yang membuatnya tidak bisa menahan geli.
"Kami tidak menjadi ketua pengemis, Lestari. Bahkan keberadaan kami di sini, meskipun memang diketahui oleh semua murid perkumpulan tapi tidak ada seorang pun yang mengenalku dan guruku. Kecuali, pengemis yang berwajah kuning. Ada pun penyebabnya adalah karena guruku telah menyelamatkan nyawa ketua perkumpulan pengemis ini dari pengeroyokan bajak-bajak sungai yang ingin membunuhnya. Karena guruku hendak menjauhkan diri dari dunia persilatan, ketua pengemis itu menawarkan tempat tinggal dan guruku menerimanya. Ketua pengemis itu sendiri kini tengah bersemadi dan tidak bisa diganggu. Jelas, Lestari?"
"Ah..., begitukah...! Betapa untungnya aku? Sama sekali tidak kusangka akan dapat menemu-kan tempat persembunyian Malaikat-Malaikat Pengecut itu! Hoi...! Malaikat Salju yang penge-cut..! Keluar kau...!"
Tiba-tiba terdengar suara seruan keras dan berkumandang. Pemuda berpakaian biru, Lestari, dan seluruh murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih terkejut bukan kepalang mendengar suara yang langsung berkumandang di sekitar tempat itu. Mereka semua menengok ke angkasa karena memang berasal dari sana. Dan seketika itu pula mereka semua membelalakkan sepasang mata seakan tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Tepat di atas mereka, berjarak sekitar delapan tombak tampak sesosok tubuh kurus seorang kakek berambut awut-awutan tengah duduk di atas sebatang kayu bulat sebesar ibu jari kaki. Panjang kayu itu tak lebih dari satu tombak. Pada bagian belakangnya terikat ijuk. Jadi kakek itu duduk pada sebatang sapu ijuk, seperti layaknya menunggang kuda. Kedua tangannya memegang batang kayu.
"Dewa Langit Tak Punya Malu...!" ucap pemuda berpakaian biru, tanpa mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekhawatiran pada wajahnya.
"Kau mengenalnya?!" tanya Lestari dengan suara berbisik karena masih belum dapat menghilangkan perasaan kaget yang melanda hati melihat pemandangan seperti itu.
"Guruku banyak bercerita tentang tokoh-tokoh dunia persilatan. Dan menurutnya, ada gembong-gembong datuk sesat yang sekitar dua puluh tahun lalu mengasingkan diri, lenyap dari rimba persilatan. Gembong-gembong itu berjuluk Biang-Biang Iblis, karena memiliki kepandaian dan kekejaman luar biasa. Dan Dewa Langit Tak Punya Malu ini merupakan salah satu di antara mereka."
"Ah...!" Lestari tampak kaget mendengar keterangan dari pemuda berpakaian biru itu. Sebab sebelumnya dia tak pernah mendengar nama tokoh ini, meskipun Malaikat Petir, ayahnya telah banyak bercerita tentang tokoh kesohor di dunia persilatan. Seketika dia teringat akan tokoh-tokoh dahsyat dan mengerikan yang ditemuinya sebelum ini.
"Jadi selain dia masih ada lagi. Apakah Dewi Cabul juga termasuk di antara mereka?!"
"Benar," pemuda berpakaian biru menganggukkan kepala. "Mereka semua, menurut guruku, memiliki kepandaian tinggi dan aneh-aneh serta memiliki bentuk kejahatan keji yang berbeda-beda...."
"Rupanya kau benar-benar telah menjadi seorang pengecut, Malaikat Salju?!" seru kakek berambut awut-awutan yang berjuluk Dewa Langit Tak Punya Malu, setelah menunggu sejenak tak juga terdengar adanya sambutan. "Baik, kalau begitu biar aku yang turun dan mencarimu...!"
Seruan Dewa Langit Tak Punya Malu itu membuat Lestari dan pemuda berpakaian biru menghentikan percakapan. Bagai telah disepakati Lestari dan pemuda berpakaian biru mengeluarkan senjata andalan masing-masing.
"Aku tak yakin kalau kita akan mampu berbuat banyak terhadapnya, Lestari. Menurut guruku, kepandaian Dewa Langit Tak Punya Malu sukar dicari tandingannya. Bahkan mungkin beliau pun tak mampu menghadapi tokoh-tokoh dari kelompok Biang-Biang Iblis ini."
Pemuda berpakaian biru mengeluarkan per-kataannya tanpa melepaskan pandangan dari Dewa Langit Tak Punya Malu. Lestari dan juga belasan pasang mata lainnya pun melakukan hal yang sama. Mereka semua ingin tahu, bagaimanakah kakek berambut awut-awutan turun dari tempat yang cukup tinggi itu. Apakah dengan mempergu-nakan kendaraannya yang bernama 'Sapu Angin' itu, atau langsung melompat.
Lestari memalingkan wajahnya yang lang-sung berubah merah ketika melihat mendadak Dewa Langit Tak Punya Malu memerosotkan celananya. Bahkan pemuda berpakaian biru dan belasan orang murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih pun merasa heran melihat kelakuan kakek berambut awut-awutan itu. Apakah yang hendak dilakukannya? Pertanyaan itu bergayut di benak mereka.
Mereka semua berhamburan menjauhkan diri dari tempat itu ketika dari atas turun perci-kan-percikan air. Rupanya gembong datuk sesat itu memang memiliki watak tidak tahu malu. Dari atas dia mengencingi orang-orang yang berada di bawahnya.
"Ha ha ha...!"
Di saat belasan orang, tak terkecuali Lestari dan pemuda berpakaian biru berlompatan dengan penuh perasaan jijik, takut terkena percikan air kotor itu, Dewa Langit Tak Punya Malu malah ter-tawa bergelak penuh kegembiraan.
"Bagaimana?! Enak bukan?!" ujar Dewa Lan-git Tak Punya Malu, begitu belasan orang-orang yang berdiri di bawahnya telah berdiri tegak lagi di tanah.
Pertanyaan itu membuat belasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih semakin meluap amarahnya. Sebagian besar di antara mereka terkena percikan air yang menjijikkan itu, meskipun telah berusaha untuk mengelak. Yang lebih parah lagi, air kencing Dewa Langit Tak Punya Malu itu amat pesing dan bercampur bau busuk. Hampir saja mereka muntah-muntah. Tak urung, beberapa di antara mereka meludah-ludah penuh rasa jijik. Lucunya, bagian yang terkena percikan air kencing itu justru mereka cium-cium!
"Keparat..! Jahanam...!"
"Mampus kau, Tua Bangka Gendeng...!"
Dorongan amarah yang menggelora mem-buat belasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih itu melemparkan pisau-pisau ke arah Dewa Langit Tak Punya Malu! Sinar-sinar berkilat berbarengan dengan bunyi-bunyi berdesing nyaring yang mengiringi meluncurnya belasan bahkan mungkin puluhan pisau itu ke arah sasaran.
Dewa Langit Tak Punya Malu malah tertawa terbahak-bahak sambil memutar-mutarkan kedua tangannya. Dia tidak kelihatan gugup atau khawatir mendapat serangan seperti itu di saat tubuhnya tengah berada di udara. Bahkan lelaki tua itu ber-sikap seolah-olah tidak ada bahaya yang mengan-camnya. Baru ketika pisau-pisau itu hampir mengenai sasaran, kedua tangannya bergerak mengibas secara cepat sekali.
Menyaksikan tindakan kakek berambut gembel itu belasan orang yang menyerangnya terkejut. Tangkisan tangan telanjang Dewa Langit Tak Punya Malu, membuat sebagian pisau melesat kembali ke arah pemiliknya. Bahkan kecepatannya bertambah berlipat ganda. Kepanikan pun timbul di dalam rombongan Perkumpulan Pengemis Baju Putih itu.
Mereka semua berlompatan dan berlari untuk menyelamatkan diri. Namun, sebagian di antara mereka kurang cepat, sehingga pisau-pisau itu telah lebih dulu memangsa majikannya. Jeritan-jeritan menyayat hati mengiringi robohnya tubuh murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih itu. Mereka tewas oleh senjata mereka sendiri.
Lestari, pemuda berpakaian biru, dan pen-gemis berwajah kuning menggertakkan gigi penuh geram ketika melihat banyaknya korban yang ber-jatuhan tertancap pisau mereka sendiri. Namun apa yang dapat dilakukan, lawan berada di atas, jauh dari jangkauan serangan kecuali lemparan senjata rahasia!
"Sayang sekali..., permainan ini kurang menarik! Aku akan mempertunjukkan pada kalian permainan yang lebih menarik...!"
Pemuda berpakaian biru dan yang lainnya tahu kalau Dewa Langit Tak Punya Malu akan melakukan serangan. Maka mereka segera bersiap siaga. Senjata-senjata yang tergenggam di tangan mereka telah terhunus siap untuk dipergunakan.
Sementara Dewa Langit Tak Punya Malu terlihat tidak tergesa-gesa dengan permainan yang akan dipertunjukkannya. Dengan gerakan lambat diambilnya buntalan yang tersangkut di bahu ka-nan. Tangan kanannya merogoh buntalan berwar-na hitam itu.
"Silakan berpesta, Anak-Anakku...!" ujar Dewa Langit Tak Punya Malu seraya melemparkan benda-benda berwarna hitam mengkilat yang tergenggam di tangan.
Para murid Perkumpulan Pengemis Baju Pu-tih yang sejak tadi telah bersiap siaga, segera ber-tindak ketika melihat sinar-sinar hitam meluncur dari atas. Mata mereka yang rata-rata terlatih langsung bisa mengetahui kalau benda-benda hi-tam yang tengah meluncur turun itu ternyata ular-ular berbisa. Sambil melangkah mundur me-reka memutar-mutarkan senjata di atas kepala untuk membabati binatang-binatang melata yang mencoba memangsa mereka.
Namun, lagi-lagi pemuda berpakaian biru dan kelompoknya harus menelan kenyataan pahit. Ular-ular hitam itu ternyata tidak mudah dibunuh. Meskipun sebagian dari binatang-binatang melata itu terkena hantaman senjata para murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih tak nampak terluka atau putus. Ular-ular itu terus meluncur menuju sasaran sambil mengeluarkan desisan menyeramkan.
Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul ketika ular-ular hitam itu amblas ke dalam dada murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang sial. Mereka berkelojotan sebentar sebelum akhirnya diam tidak bergerak untuk selamanya. Lestari dan pemuda berpakaian biru serta pengemis berwajah kuning tampak berhasil menyelamatkan diri dari sergapan maut ular-ular hitam yang ternyata memiliki racun amat mematikan itu.
Kesempatan di saat pemuda berpakaian biru dan yang lain-lainnya disibukkan dengan usaha menyelamatkan diri, Dewa Langit Tak Punya Malu meluncur ke bawah. Kakek berambut awut-awutan itu melompat begitu saja dari kendaraan 'Sapu Angin'-nya. Kedua tangannya yang meng-genggam batang kayu, diletakkan di atas kepala seperti sebuah payung.
Tokoh sesat berwatak aneh itu memutar-mutarkannya. Dan berkat tindakan ini, laju tubuhnya yang meluncur turun tidak terlalu pesat. Hanya dalam waktu sebentar, Dewa Langit Tak Punya Malu telah berhasil menjejak tanah dengan ringan.
Pemuda berpakaian biru bertindak lebih cepat daripada Lestari ataupun pengemis berwajah kuning. Pemuda berwajah persegi ini mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Dewa Langit Tak Punya Malu.
"Hebat...!" seru Dewa Langit Tak Punya Malu sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Sayang, kurang cepat! Tidak kena...!"
Tongkat pemuda berpakaian biru melayang di atas kepala lawan karena kakek berwatak aneh itu ternyata telah lebih dulu merendahkan tubuh.
"Eit..! Ini pun melesat...!" sesumbar Dewa Langit Tak Punya Malu lagi sambil melompat ke belakang ketika kipas baja di tangan Lestari meluruk cepat mengarah kepalanya.
Pengemis berwajah kuning, mendapat giliran penyerangan terakhir karena memang dia paling rendah kepandaiannya. Namun seperti juga Lestari dan murid Malaikat Salju, serangan lelaki berwajah kuning itu pun tak berhasil. Dewa Langit Tak Punya Malu mengelak sambil melontarkan se-ruan-seruan yang sepertinya menyayangkan tapi jelas penuh ejekan.
Tiada henti-hentinya kakek berambut awut-awutan itu mengeluarkan ejekan-ejekan setiap berhasil mengelakkan serangan. Dia terus-menerus mengelak tanpa melancarkan serangan. Baru ketika menginjak jurus ketiga belas, Dewa Langit Tak Punya Malu melakukan serangan balasan.
"Ah...! Maaf, aku tidak bermaksud memukulmu keras-keras!" ucap kakek berambut awut-awutan itu ketika berhasil menghantam pengemis berwajah kuning sehingga nyawanya melayang ke akherat dengan pelipis pecah. "Pasti sakit, ya?! Maafkan aku...!"
Lestari dan pemuda berpakaian biru semakin geram melihat sikap Dewa Langit Tak Punya Malu yang demikian. Mereka pun menguras seluruh kemampuan agar dapat mengalahkan lawan-nya. Namun, kakek berambut awut-awutan itu benar-benar bukan lawan yang gampang dikalah-kan. Dapat mengimbanginya saja sudah merupakan hal yang membanggakan.
Sampai dua puluh lima jurus kedua belah pihak masih belum terlihat ada yang terdesak. Pertarungan masih berlangsung seru. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Dan pada jurus kedua puluh tujuh, pihak Lestari dan pemuda berpakaian biru nampak mulai terdesak. Sesaat kemu-dian keduanya telah berada dalam keadaan gawat. Hal itu terjadi karena Dewa Langit Tak Punya Malu benar-benar melakukan perbuatan yang tidak punya malu.
Serangan-serangan yang dilakukannya tidak hanya menggunakan tangan dan kaki, serta sapunya. Melainkan juga ludah, ingus, dan angin yang keluar dari lubang duburnya. Tindakan aneh kakek berambut awut-awutan itu menyebabkan gerak penyerangan Lestari maupun pemuda berpakaian biru tidak leluasa, karena merasa jijik.
Pemuda berpakaian biru tahu, lama-kelamaan mereka berdua akan tewas di tangan Dewa Langit Tak Punya Malu. Dan hal itu tidak diinginkannya. Dia sendiri tidak takut mati, dan bahkan kematian baginya bukan apa-apa. Namun hatinya, tidak ingin Lestari Mala ikut mati! Pemuda berpakaian biru tidak ingin Lestari tewas percuma. Dia ingin Lestari selamat.
Sebuah perasaan aneh bersemi di hatinya ketika bertemu dengan putri tunggal Malaikat Petir itu. Dunia seperti berubah. Awan, pohon, dan tanah yang terlihat jadi lebih indah. Pemuda berpakaian biru merasa menaruh hati pada gadis cantik itu. Barangkali perasaan inilah yang menyebabkannya tidak rela Lestari mati.
"Lestari...! Larilah kau, biar aku coba menahannya...!" seru pemuda berpakaian biru sambil menyerang Dewa Langit Tak Punya Malu secara membabi buta, untuk memberikan kesempatan pada Lestari agar melarikan diri.
"Kau kira aku takut mati?! Aku bukan pengecut! Lebih baik kita mati bersama!" sambut Lestari keras sambil ikut menyerang.
"Jangan bertindak nekat, Lestari! Kita tak akan menang melawannya. Cepat pergi, biar aku yang menghadapinya!" bujuk pemuda berpakaian biru sambil memutar tongkatnya laksana baling-baling untuk membuat pertahanan yang kokoh kuat. Namun dia langsung terjengkang ketika tongkatnya berbenturan dengan Sapu Angin Dewa Langit Tak Punya Malu.
Pemuda berpakaian biru tidak mempeduli-kannya sama sekali. Tanpa menghiraukan sakit yang melanda sekujur tubuh akibat benturan itu, dia memotong serangan Dewa Langit Tak Punya Malu yang ditujukan pada Lestari.
Trakkk!
Tangkisan tangkai sapu Dewa Langit Tak Punya Malu yang terpaksa membatalkan serangannya terhadap Lestari Mala, membuat tubuh pemuda berpakaian biru terjengkang ke belakang.
"Cepat lari, Lestari! Jangan sia-siakan pengorbanan ku! Apakah kau ingin aku mati penasaran!" seru pemuda berpakaian biru, sementara tubuhnya terguling-guling karena kerasnya tang-kisan Dewa Langit Tak Punya Malu.
Lestari menggigit bibir untuk menguatkan perasaan hatinya yang terharu melihat tindakan pemuda berpakaian biru. Apalagi ketika dilihatnya pemuda itu bergulingan di tanah untuk menyela-matkan selembar nyawanya dari kejaran Dewa Langit Tak Punya Malu. Gadis itu sadar kalau semua ucapan pemuda berpakaian biru benar, maka dengan berat hati dia berlari meninggalkannya.
"Selamat tinggal, Lestari...!"
Sempat didengar oleh Lestari, seruan pemuda berpakaian biru. Namun, Lestari tidak berani menoleh kepala. Dia tidak ingin, pemuda berpakaian biru melihat sepasang matanya yang berkaca-kaca. Malah, Lestari semakin mempercepat larinya.
Lestari berlari terus tanpa memperhatikan arah. Dia hanya menuruti saja ke mana kakinya berlari. Kalau tidak mengingat ucapan pemuda berpakaian biru, dan juga tugas yang diembankan kepadanya, Lestari lebih suka mati bersama murid Malaikat Salju itu.
Karena berlari dengan pikiran melayang ke sana kemari, Lestari kurang waspada. Dia lupa memperhatikan sekelilingnya. Gadis berpakaian merah ini baru terperanjat ketika merasakan bunyi riuh-rendah di depannya. Dan ketika Lestari mengawasi secara lebih teliti, dia terkejut.
Sekitar dua puluh tombak di depan Lestari yang tengah berlari, tampak sesuatu bergerak-gerak menuju arahnya. Sesuatu yang ditakuti oleh sebagian besar kaum perempuan. Tikus! Dan yang lebih membuat bergidik hati Lestari adalah jumlahnya. Seekor tikus saja sudah cukup untuk membuat bulu tengkuknya meremang. Kini di hadapannya ada ratusan bahkan mungkin ribuan ekor tikus berwarna hitam mengkilat dan besar. Tikus-tikus itu hampir sebesar kucing.
Lestari langsung menghentikan langkahnya, dan memandang dengan sorot mata tidak percaya. Dari mana datangnya tikus-tikus besar begini banyaknya? Meskipun tadi tidak melalui jalan ini, Lestari dapat menduga kalau keberadaan kawa-nan tikus hitam itu di tempat ini merupakan suatu yang aneh. Tidak wajar!
Lestari semakin yakin akan dugaannya keti-ka melihat sesosok manusia bertubuh tinggi sekali berada di belakang kawanan tikus itu. Sosok bertelanjang dada dan hanya mengenakan sepotong celana panjang merah. Jarak yang masih jauh menyulitkan Lestari untuk bisa melihat lebih jelas. Namun dia yakin kalau sosok tinggi laksana galah itu seorang lelaki! Di mulut lelaki tinggi itu menempel sebatang suling bambu yang dipegang dengan kedua tangan.
Suara melengking tinggi dan bernada aneh terdengar dari suling itu. Sesaat kemudian tiba-tiba Lestari merasakan kedua lututnya lemas! Ti-kus-tikus besar itu mendadak berlarian menyer-bunya sambil memperdengarkan suara mencicit yang ramai memecah bergemuruhnya langkah mereka yang seperti saling berlomba. Seakan binatang-binatang menjijikkan itu mengancam penuh kemarahan.
Lestari sama sekali tidak menyangka kalau tikus-tikus itu akan melakukan penyerangan den-gan demikian ganasnya. Namun, otaknya yang cerdas langsung dapat menduga bahwa perilaku binatang-binatang yang terkenal dengan ketaja-man giginya itu, berhubungan dengan bunyi suling yang ditiup oleh sosok tinggi kurus di belakang mereka.
Lestari tak sempat banyak memikirkan tentang hal itu, karena tikus-tikus berbulu hitam itu telah semakin dekat. Keadaan itu membuat ha-tinya kian dicekam kengerian. Perasaan takut dan ngeri yang hebat, karena Lestari amat takut terhadap tikus, membuat kedua kakinya kian lemas. Untung saja ilmu silat yang dimilikinya, sudah mendarah daging, sehingga dia dapat juga memu-lihkan keadaan yang tidak menguntungkan itu. Lestari langsung membalikkan tubuh, dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Namun, baru beberapa kali lesatan, Lestari langsung terhenti dengan mata membelalak kaget. Sekitar empat tombak di depannya, berdiri sosok yang baru saja dilihatnya. Sosok tinggi kurus laksana galah yang tadi berdiri di belakang kawanan tikus hitam mengkilat. Dalam hati gadis itu merasa heran. Tidak salahkah penglihatannya?
Rasa penasaran membuat Lestari mengalihkan pandangan ke belakang, dan hatinya langsung tercekat. Di belakang rombongan tikus yang tengah berlarian memburunya ternyata sudah tak tampak lelaki tadi. Berarti jelas, sosok bertelanjang dada di depannya adalah sosok tinggi kurus yang tadi berdiri di belakang kawanan tikus.
Tanpa sadar, bulu kuduk Lestari berdiri karena perasaan ngerinya, Bagaimana sosok tinggi kurus itu bisa berada di depannya tanpa diketahui. Apakah lelaki peniup suling itu bisa menghilang dan pindah ke lain tempat?!
Perbuatan sosok tinggi kurus itu membuat Lestari gentar, tapi masih tidak mampu mengalahkan rasa takut dan ngeri yang bersemayam akibat tikus-tikus pengejarnya. Jangankan hanya sosok tinggi kurus yang belum diketahui tingkat kepandaiannya, biar ada raja iblis di depannya, Lestari tidak akan mundur setapak pun! Dia lebih suka berhadapan dengan raja iblis dari pada dengan gerombolan tikus yang mengiriskan itu. Maka, Lestari segera meneruskan tindakan-nya yang semula terhenti karena perasaan kaget yang mencuat.
"Menyingkir kau...!" seru Lestari sambil me-nusukkan kipasnya yang berujung baja-baja runc-ing ke dada sosok tinggi kurus yang berdiri meng-hadang jalan dengan kepala tertunduk dan suling menempel di bibir.
Trakkk!
Lestari terpekik kaget ketika kipasnya lang-sung berbenturan dengan suling di tangan sosok tinggi kurus. Kemudian, sosok itu memutar-mutarkan tangannya, sehingga membuat kipas baja Lestari ikut terbawa berputar bersama dengan tangannya. Lestari berusaha keras untuk menahannya, tapi sia-sia!
Kreppp!
Sebelum Lestari sempat melakukan tindakan penyelamatan, tangan kanan sosok tinggi kurus telah berhasil mencekal leher bajunya dan mengangkatnya ke atas. Karena tinggi tubuh Lestari berada jauh di bawah sosok tinggi kurus, tubuh putri Malaikat Petir itu tergantung di atas tanah.
Lestari tidak tinggal diam. Gadis yang memiliki watak keras ini menggerakkan kedua kaki untuk menendang bagian-bagian tubuh lawan yang berbahaya agar dapat membebaskan diri. Namun usahanya kandas karena tubuh lawan berada lebih jauh dari jangkauan kakinya. Tendangan-tendangan Lestari hanya mengenai angin.
Di saat Lestari masih memikirkan cara lain untuk menyelamatkan diri, sosok tinggi kurus itu mengibaskan tangannya. Seketika tubuh Lestari terlontar ke belakang. Hampir pingsan Lestari ketika mengetahui kalau tubuhnya melayang menuju kerumunan tikus-tikus besar yang tengah beringas.
Namun, tekad untuk menyelamatkan nyawa, membuatnya mampu untuk tetap sadar. Malah, dia masih mampu mengatur kedudukan hingga ketika men-darat di tanah dengan keadaan menguntungkan.
Tikus-tikus yang tengah sibuk, ramai, dan riuh rendah menunggu jatuhnya tubuh mangsa, langsung mencicit-cicit keras ketika tubuh mereka terlempar karena kebutan kipas Lestari. Gadis berpakaian merah itu mampu mengebutkan kipas yang disertai pengerahan tenaga dalam kuat, sebelum kakinya menjejak tanah. Sehingga ketika berhasil mendarat, tanah sudah bersih dari kawanan tikus yang ganas dan mengerikan itu.
Binatang-binatang bergigi runcing yang tam-pak sangat buas itu, tidak tinggal diam. Sambil mengeluarkan bunyi mencicit yang ramai sekali mereka menyerbu Lestari. Pertarungan aneh antara manusia dengan binatang-binatang haus darah pun terjadi.
Lestari benar-benar menguras seluruh kemampuan karena perasaan ngeri yang menyer-gap hatinya. Kipas di tangan dan pukulan-pukulan jarak jauh yang dilakukan dengan tangan kirinya terus-menerus dilakukan untuk membuat binatang-binatang menjijikkan itu tidak bisa mendekatinya.
Akibat amukan Lestari memang mengiriskan hati. Kebutan kipasnya selain mampu melempar-kan tubuh tikus-tikus besar itu, juga menewaskan sebagian di antara mereka. Namun tidak sedahsyat pukulan-pukulan jarak jauh tangan kirinya. Setiap kali tangan kirinya dihentakkan, beberapa ekor tikus terlempar tewas dengan tubuh remuk dan terbakar!
Hentakan tangan gadis berpakaian merah itu selalu disertai dengan bunyi meledak-ledak seperti kilat atau petir menyambar. Inilah ilmu 'Tapak Petir' andalan ayahnya, Malaikat Petir. Hembusan angin panas melingkupi tempat itu akibat ilmu 'Tapak Petir'!
Sudah tak terhitung tikus-tikus yang tewas dan bergeletakan tanpa nyawa. Namun jumlah yang masih terus melakukan penyerangan, bagaikan tidak pernah berkurang. Seakan-akan mati satu, muncul seratus. Dan hal ini membuat Lestari kewalahan! Pukulan-pukulan jarak jauh yang dilancarkan, dan senantiasa membutuhkan tenaga penuh itu, membuatnya cepat lelah.
Apalagi gadis ini memang baru saja menguras kemampuan dalam menghadapi Dewa Langit Tak Punya Malu. Dan yang lebih berbahaya lagi, tikus-tikus itu ter-nyata bukan binatang sembarangan karena mengandung racun ganas. Dengus napas dan gemuruh suara dari ribuan binatang itu membuat Lestari pusing. Beberapa kali tubuh gadis ini agak terhuyung.
Kenyataan ini membuat Lestari sadar kalau serbuan tikus-tikus itu tidak mungkin bisa dibendungnya. Dia tahu, tak lama lagi tenaganya akan habis, padahal jumlah tikus-tikus itu sepertinya tidak berkurang. Lestari yang biasanya tidak pernah putus asa, kini mulai patah semangat. Apalagi ketika dirasakan pusing yang melandanya semakin menjadi-jadi dan sepasang matanya sudah mulai samar-samar untuk melihat.
"Biadab...!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras menggelegar dari kejauhan. Dalam cekaman rasa pusing yang semakin parah, Lestari masih dapat menangkap bentakan penuh kegeraman itu. Sesaat kemudian, tikus-tikus yang tengah merangsek kian mendekat mendadak berpentalan ke belakang seperti dilanda angin topan. Hembusan angin kencang berasal dari belakang Lestari yang membuat binatang-binatang itu berpentalan.
''Tidak ada gunanya melawan binatang-binatang tidak bersalah itu, Nisanak," ujar sebuah suara yang berasal dari sebelah kanan Lestari, seraya menghentakkan tangan mengirimkan serangkaian pukulan jarak jauh pada tikus-tikus itu. "Lebih baik kita tinggalkan mereka!"
Sebelum Lestari memberikan persetujuan, pemilik suara itu telah menggamit lengan kirinya. Gadis berpakaian merah itu terkejut ketika tahu-tahu dirinya sudah dibawa melesat kabur. Dia tak mampu membantah atau menolaknya. Sekilas matanya sempat memperhatikan sosok yang telah menyelamatkannya. Namun pandangannya yang sudah tidak awas lagi hanya menangkap sosok berpakaian ungu dan berambut putih panjang tergerai dipermainkan angin.
Namun, seperti juga yang dihadapi Lestari, sosok ungu itu mendapat hadangan dari sosok tinggi kurus. Tadi, sosok tinggi kurus ini terlalu sibuk meniup suling untuk memaksa tikus-tikus besarnya menyerang Lestari tanpa mengenal takut, maka tidak sempat mencegah masuknya sosok ungu ke dalam kancah pertarungan.
Baru ketika sosok ungu itu akan melesat kabur, sosok tinggi kurus turun tangan menghadang. Sosok ungu menghentikan langkah, dan menatap sosok tinggi kurus yang berdiri menghadang jalan. Dengan penuh kewibawaan sosok ungu yang ternyata seorang pemuda tampan itu berdiri dengan tenang sambil memegangi lengan Lestari.
"Manusia Biadab! Orang sepertimu tak layak untuk tinggal di dalam dunia. Sampai hati kau bermaksud menjadikan gadis tak berdosa ini sebagai santapan tikus-tikus kelaparan!" ujar sosok ungu itu dengan suara bergetar karena dikuasai amarah.
Sosok tinggi kurus yang sejak tadi tertunduk, hingga raut mukanya tidak kelihatan, mengangkat wajah. Dia ternyata seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, berwajah tirus dengan kumis dan jenggot jarang-jarang menghias wajahnya yang selalu cemberut.
"Sungguh berani kau mengeluarkan perka-taan seperti ini padaku, Kadal Buntung! Apa dirimu tidak mengenal siapa yang kau hadapi?! Aku, Raja Tikus Dasar Bumi! Hhh... apa yang kau andalkan hingga berani menantangku...?!" geram lelaki tinggi bertelanjang dada itu dengan suara parau sambil menatap tajam sosok ungu yang berdiri di depannya.
Sementara pemuda tampan berambut keperakan dan berpakaian ungu itu hanya tersenyum sinis, membalas tatapan lelaki tinggi kurus yang mengaku berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi.
"Aku Arya, tapi orang-orang persilatan mengenalku sebagai Dewa Arak," jawab pemuda berpakaian putih keperakan yang bukan lain adalah Arya Buana alias Dewa Arak, tak mau kalah gertak.
"Hmh...! Jadi rupanya kau tokoh sombong yang menganggap diri sendiri tokoh nomor satu dunia persilatan.... Aku telah mendengar kabar tentang kehebatanmu, Dewa Arak. Dan sudah lama aku berkeinginan untuk menemuimu dan melenyapkan kau dari muka bumi atas kesombonganmu! Sama sekali tidak pernah mimpi aku bisa jumpa denganmu di sini!" tandas lelaki tinggi yang berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi.
"Kau terlalu berlebihan, Raja Tikus Dasar Bumi. Mana bisa aku dibandingkan dengan dirimu. Telah lama kudengar nama besarmu. Bukankah kau salah seorang di antara Biang-Biang Iblis, datuk kaum sesat yang telah menjauhkan diri dari dunia ramai sejak hampir dua puluh tahun lalu? Tapi, meskipun demikian aku tidak gentar, Raja Tikus! Mari kita buktikan siapa di antara kita yang lebih patut untuk menghirup udara di dunia ini lebih lama!"
Baru saja Dewa Arak menyelesaikan kata-katanya, Raja Tikus Dasar Bumi telah melancarkan serangan dengan sebuah sabetan suling ke arah pelipis Dewa Arak. Ada suara seperti tiupan suling ketika senjata yang merupakan teman penghibur hati manusia, melayang ke arah sasaran
Wuing...!
Serangan dahsyat itu mengenai angin ketika Dewa Arak mendoyongkan tubuh ke belakang. Be-gitu serangan lewat, pemuda berambut putih keperakan ini mengirimkan tendangan ke arah dada lawannya.
Tappp!
Dewa Arak mengeluh tertahan ketika pergelangan kakinya berhasil ditangkap oleh tangan kanan Raja Tikus Dasar Bumi. Dewa Arak sampai terkejut melihat kenyataan ini. Namun dia segera dapat menyadari keadaannya yang kurang menguntungkan, maka bertindak cepat. Dengan kaki yang satunya lagi Dewa Arak mengirimkan serangan ke arah leher dengan bertumpu pada kaki yang tercekal lawan.
"Hebat juga kau...!" puji Raja Tikus Dasar Bumi sambil melompat ke belakang. Cekalan tangannya terhadap kaki lawan dilepaskan, karena tidak ingin nyawanya melayang akibat tendangan Dewa Arak yang mampu menghancurkan batu karang yang paling keras sekalipun itu.
Pertarungan antara dua tokoh berbeda usia itu berkobar. Masing-masing pihak mengerahkan seluruh kemampuan karena telah dapat memperkirakan ketangguhan lawan dari gebrakan-gebrakan yang terjadi. Gerakan-gerakan cepat ke-duanya membuat tubuh mereka lenyap, hingga yang tampak hanya bayangan coklat dan bayan-gan ungu saling berkelebat.
Dewa Arak mengeluh dalam hati. Baru bertarung dalam lima jurus saja pemuda berambut putih keperakan yang telah kenyang pengalaman ini tahu kalau Raja Tikus Dasar Bumi merupakan tokoh tangguh, bahkan belum tentu kalah dengannya. Hal itu membuat hatinya gelisah. Kalau saja tidak teringat akan nasib Lestari, pemuda berambut putih keperakan ini tidak akan demikian pusing. Dia tahu, Lestari telah keracunan, dan apabila bertindak lambat nyawa gadis berpakaian merah itu mungkin akan lebih dulu melayang.
Dewa Arak pun mengambil keputusan cepat. Dengan perhitungan matang, dilancarkan serangan bertubi-tubi. Dan seperti yang telah diduganya, Raja Tikus Dasar Bumi mengelak dengan cara melempar tubuh ke tanah. Ini merupakan satu-satunya cara terbaik. Diam-diam dia harus memuji kejelian mata lawannya. Memang, serangan-serangan Arya lebih baik apabila dihadapi dengan elakan, karena apabila menangkis banyak kemungkinan yang tidak terduga.
Tindakan ini telah diperhitungkannya baik-baik. Maka begitu Raja Tikus Dasar Bumi membanting tubuh ke tanah, dia pun segera menyambar tubuh Lestari yang semakin terhuyung karena pusingnya. Setelah itu melesat cepat meninggalkan lawannya.
Raja Tikus Dasar Bumi hanya dapat memaki-maki penuh perasaan geram melihat tubuh lawannya yang semakin mengecil di kejauhan. Dia tahu tidak ada gunanya lagi melakukan pengejaran. Masih ada urusan yang lebih penting dan harus diselesaikan. Maka setelah melempar pandang sekali lagi ke arah tempat lenyapnya Dewa Arak, Raja Tikus Dasar Bumi meniup sulingnya, memerintahkan tikus-tikus peliharaannya untuk meninggalkan tempat itu.
Tadi ketika tokoh sesat ini terlibat pertarungan, tikus-tikus itu tidak melancarkan serangan lagi, karena sibuk memakan daging-daging kawannya yang tewas. Semangat binatang-binatang itu untuk menyerang langsung pupus ketika majikan mereka tidak meniup sulingnya lagi.
"Sekarang kau sudah selamat dari bahaya maut, Nisanak," ujar Dewa Arak pada Lestari yang duduk bersila di depannya. Keduanya duduk bersila dan berhadap-hadapan. Lestari sudah tampak segar kembali seperti sedia kala karena Arya telah mengobatinya.
''Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak. Kau Dewa Arak bukan? Kudengar kau tadi memperkenalkan diri dengan julukan itu. Sayang, aku telah lama tinggal di tempat terpencil hingga tidak sempat mendengar kebesaran namamu. Aku yakin kau tokoh yang menggemparkan, Dewa Arak. Terbukti, Raja Tikus Dasar Bumi mengagumimu."
Dewa Arak tersenyum sambil menganggukkan kepala. "O ya, mengapa kau bisa bentrok dengan tokoh seperti itu, Nisanak? Kau tahu siapa dia?!" tanya Arya mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
''Tentu saja!" Lestari mengangguk. "Ng... aku usul kau memanggil namaku saja, Dewa Arak. Namaku Lestari Mala, biasa disebut Lestari."
"Aku Arya," timpal Arya masih dengan tersenyum.
"Aku tahu siapa orang yang menjadi lawanku, Arya. Dia berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi, salah seorang datuk sesat dari Biang-Biang Iblis. Tapi aku tidak tahu mengapa tokoh-tokoh itu seperti memusuhi ku. Padahal, yang menjalin permusuhan adalah ayahku. Malaikat Petir. Bahkan tokoh-tokoh Biang Iblis lainnya seperti Raksasa Pemangsa Manusia memusuhi anggota Tiga Malaikat Bayangan!" Kemudian secara singkat tapi jelas, Lestari menceritakan semua kejadian yang dialaminya sampai bertemu Dewa Arak.
"Kau bilang seorang gadis muda berpakaian putih berambut panjang, Lestari?!" tanya Arya dengan suara bergetar ketika gadis berpakaian merah itu menyelesaikan cerita. "Apakah dia bersenjata pedang? Dan, apakah setiap pergerakan pedangnya menimbulkan bunyi mengaung seperti ada sekumpulan lebah tengah mengamuk?!"
"Benar! Kau mengenalnya, Arya?!" tanya Lestari, kaget dan dengan hati terasa tidak nyaman. Gadis berpakaian merah itu sendiri tidak tahu mengapa. Yang dirasakan hanya perasaan tidak enak melanda hati ketika mengetahui Arya sepertinya mengenal gadis berpakaian putih.
"Benar, Lestari," jawab Arya. Karena perasaan gembiranya dia tidak melihat tarikan wajah Lestari yang kurang enak ketika Arya menanyakan tentang gadis berpakaian putih. "Dia adalah... eh kawan baikku. Karena suatu sebab kami harus terpisah. Eh... di mana kau bertemu dengannya, Lestari?"
"Kurasa lebih baik kalau kita mencarinya bersama-sama, Arya. Siapa tahu aku dapat membantu melakukan pencarian...," Lestari mengajukan usul.
"Kurasa tidak perlu, Lestari," tolak Arya, halus. "Aku yakin dapat mencari jejaknya apabila kau memberitahukan tempatnya dengan jelas. Lagi pula, bukankah kau hendak mencari Malaikat Salju dan Malaikat Aneh?! Aku tidak ingin tugasmu terganggu karenanya."
Lestari menelan kekecewaan yang melanda hatinya. Kemudian dengan suara berat diberitahukan tempat Melati dan Prapanca ditinggalkannya pergi.
''Terima kasih, Lestari. O ya, jaga dirimu baik-baik dan selamat tinggal!"
Belum lenyap gema ucapan Dewa Arak, tubuhnya telah tidak berada di situ. Lestari hanya sempat melihat sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat ke depan, dan tahu-tahu tubuh pe-muda berambut putih keperakan itu telah berada di kejauhan.
Lestari menghela napas berat. Ada perasaan sakit bersemayam di hatinya melihat tingkah Arya yang demikian bersemangat untuk bertemu dengan Melati. Lestari yakin akan adanya sesuatu di antara mereka. Dan keyakinan ini membuat sakit di hatinya semakin bertambah. Lestari menjadi heran karenanya. Apa yang telah terjadi dengan dirinya? Mengapa dapat timbul perasaan ini? Dan mengapa ada rasa hilang mendera hatinya seiring dengan perginya Dewa Arak?
Lestari merasakan ada sesuatu dalam dadanya yang lenyap ketika Dewa Arak telah tidak nampak lagi bayangannya. Ada sesuatu yang tidak diketahui, bergejolak dalam hati Lestari, tapi begitu saja lenyap seperti terbawa oleh kepergian Dewa Arak.
Arya menyusuri sekitar tempat yang dikatakan oleh Lestari. Sepasang matanya yang tajam mencorong laksana mata seekor harimau dalam gelap itu merayapi setiap jengkal tanah di sekitar tempatnya berada. Meskipun sepi, Arya tahu beberapa waktu sebelumnya tempat ini menjadi ajang pertarungan tokoh-tokoh berilmu tinggi. Keadaan di sekitar tempat itu masih porak-poranda. Bahkan beberapa bagian tanah terbongkar. Semua petunjuk ini membuktikan kalau cerita Lestari tidak dusta.
Pemuda berambut putih keperakan itu terus memperhatikan sekeliling untuk melihat-lihat barangkali ada petunjuk yang ditemukannya. Dia merasa khawatir sekali akan nasib gadis berpa-kaian putih penolong Lestari yang diyakini Arya sebagai Melati, kekasihnya. Karena menurut cerita Lestari, lawan yang dihadapi amat tangguh, Dewi Cabul. Malah, sebelum Lestari pergi, Raksasa Pe-mangsa Manusia telah hampir tiba di tempat itu. Berarti lawan kuat telah bertambah lagi.
"Apa yang tengah kau cari, Anak Muda?! Dewa Arak?! Arya Buana?! Murid Manusia Sakti Ki Gering Langit?!"
Arya hampir terjingkat kaget mendengar sapaan itu. Bukan hanya karena pemilik suara itu mengetahui semua hal tentang dirinya terutama sekali karena keberadaan kakek sosok pemilik su-ara itu. Arya yakin betul kalau tadi di tempat ini tidak ada seorang pun. Jadi, kalau sekarang ada suara menyapa, berarti pemilik suara itu baru saja tiba. Yang lebih mengherankannya suara itu datang dari tempat yang dekat sekali. Dari sini saja Dewa Arak tahu kalau pemilik suara itu memiliki kepandaian terutama sekali ilmu meringankan tu-buh yang amat tinggi.
"Ah...! Kiranya kau, Ki Jaran Sangkar...!" seru Arya merasa lega ketika melihat pemilik suara itu. Seorang kakek berpakaian abu-abu yang telah berusia amat tua, sehingga semua bulu yang ada di kepala dan wajahnya memutih semua.
"He he he...!" Kakek berpakaian abu-abu yang dikenal dengan nama Jaran Sangkar itu tertawa terkekeh. "Rupanya aku membuatmu kaget, Dewa Arak?! Syukurlah kalau demikian!"
Arya hanya tersenyum lebar mendengar sambutan Jaran Sangkar. Dia tahu betul siapa kakek ini karena telah beberapa kali bertemu. Setiap dalam pertemuan, kakek berpakaian abu-abu ini menimbulkan keterkejutan di dalam hatinya. Arya tahu, Jaran Sangkar merupakan seorang tokoh sakti tingkat tinggi. Meskipun di antara mereka berdua belum pernah terjadi pertarungan, Arya berani bertaruh kalau tingkat kepandaian Jaran Sangkar berada cukup jauh di atasnya.
Apalagi jika yang diperbandingkan ilmu gaib yang mereka miliki. Arya tahu, Jaran Sangkar memiliki banyak ilmu gaib yang luar biasa dan aneh-aneh. Namun kakek itu selalu merendahkan diri dengan mengatakan kalau ilmu-ilmu gaibnya tidak bisa disamakan dengan yang dimiliki Ki Gering Langit, guru Arya. (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang bernama Jaran Sangkar ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: Kembalinya Raja Tengkorak. Dan Angkara Si Anak Naga).
"Apakah ada sesuatu yang hendak kau sampaikan padaku, Ki? Sehingga kau sampai bersusah payah menemuiku?!" tanya Arya, langsung menerka karena biasanya memang demikian.
"Kau memang cerdik, Dewa Arak," puji Jaran Sangkar sambil melemparkan senyum lebar. "Aku datang kemari karena keadaan yang mendesak. Kalau tidak demikian, orang setua dan tidak berguna seperti aku, tak akan mungkin keluar ke dunia yang keras. Ini berhubungan dengan keluarnya tokoh-tokoh hitam yang pernah menjadi datuk puluhan tahun lalu. Tokoh-tokoh hitam itu berjuluk Biang-Biang Iblis. Kau telah bentrok dengan salah seorang di antara mereka?"
"Maksudmu..., Raja Tikus Dasar Bumi, Ki?!" terka Arya setelah tercenung sebentar.
Jaran Sangkar menganggukkan kepala "Sedangkan tokoh-tokoh lainnya adalah Raksasa Pemangsa Manusia, Dewi Cabul, dan Dewa Langit Tak Punya Malu. Kau telah mendengar tentang mereka kan, Dewa Arak?!"
Dewa Arak mengangguk. "Sebagian kudengar dari berita di dunia persilatan. Tapi, lebih jelasnya lagi dari mulut seorang gadis. Dia telah mengalami kejadian hebat, bertemu dengan empat datuk Biang-Biang Iblis. Karena gadis itulah aku bisa berada di sini."
"Bukan gadis yang kau maksudkan adalah Lestari Mala putri Malaikat Petir?!" terka Jaran Sangkar.
Arya tidak merasa kaget sedikit pun mendengar ketepatan terkaan itu. Dia telah mengetahui kalau Jaran Sangkar banyak memiliki ilmu gaib.
"Kita kembali pada permasalahan, Dewa Arak," lanjut Jaran Sangkar setelah membiarkan suasana hening sebentar. "Puluhan tahun lalu... dunia persilatan kacau-balau karena adanya tokoh-tokoh sesat yang amat sakti dan memiliki kekejaman sukar digambarkan, sehingga mendapat julukan Biang-Biang Iblis. Tak terhitung sudah korban jatuh, baik yang tewas karena keganasan sepak terjang mereka maupun karena sengaja mempertaruhkan diri untuk membasmi kejahatan mereka. Golongan terakhir ini adalah para pendekar yang ingin melenyapkan Biang-Biang Iblis itu."
Jaran Sangkar menghentikan ceritanya sejenak. Dia menatap wajah Arya, untuk melihat tanggapannya, sambil menelan air liur membasahi tenggorokannya.
"Masing-masing pentolan sesat ini menguasai wilayah berbeda. Tiap seorang dari mereka menguasai satu mata angin. Namun, itu tidak membuat mereka puas. Masing-masing datuk sesat itu ingin menjadi tokoh nomor satu di delapan penjuru mata angin. Maka melalui satu kesepakatan, mereka mengadakan pertemuan di suatu tempat yang ditentukan. Mereka pun bertarung, saling berganti lawan agar lebih akurat dalam mengambil kesimpulan untuk menentukan tokoh terpandai. Tapi, ternyata kepandaian mereka semua berimbang. Masing-masing tokoh mempunyai kekurangan dan kelebihan sendiri-sendiri. Akhir-nya, mereka pun mengambil keputusan untuk bertemu kembali tiga tahun kemudian. Untuk sementara gelar jago nomor satu mereka kesampingkan. Namun, di saat keempat Biang Iblis itu hendak meninggalkan tempat pertemuan, mereka mendengar bunyi orang bersyair. Maksud untuk meninggalkan tempat itu pun berubah. Mereka memutuskan untuk mencari asal syair yang terdengar dekat itu."
Jaran Sangkar menghentikan cerita. Pandangannya diedarkan ke angkasa seperti tengah memikirkan lanjutan ceritanya. Arya diam saja menunggu kelanjutannya.
''Tak jauh dari tempat mereka mengadakan pertemuan, tampak seorang kakek bersama seorang pemuda tengah asyik memancing di tepi kali. Keberadaan keduanya membuat keempat datuk sesat menjadi jengkel. Saat itu mereka memang tengah kesal karena tidak berhasil memperebutkan gelar jago terkuat dalam pertemuan itu. Maka keberadaan kakek dan pemuda di situ membuat mereka memutuskan untuk menjadikan dua orang sial itu sebagai pelampiasan kekesalan. Dan niat itu semakin kuat ketika mereka melihat kakek dan pemuda itu ternyata bukan pemancing sembarangan. Keduanya memancing hanya dengan mempergunakan sepotong bambu, tanpa tali, pelampung, bahkan mata kail pun tidak! Anehnya, berkali-kali keduanya berhasil menarik ikan-ikan dari sungai itu. Tapi, tetap saja hal itu tidak dipandang sebelah mata pun oleh datuk-datuk sesat yang tengah kalap itu. Bagi mereka, permainan yang ditunjukkan oleh kakek dan pemuda itu hanya permainan kanak-kanak."
"Hm...," tanpa sadar Arya bergumam sehingga membuat Jaran Sangkar menghentikan cerita. Gumaman itu keluar karena mengetahui kesombongan Biang-Biang Iblis yang menganggap kedua pemancing itu seperti anak-anak. Arya tahu tindakan yang dilakukan kakek dan pemuda itu tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang kecuali yang memiliki tenaga dalam kuat.
"Empat datuk kaum sesat itu memang tidak percuma berjuluk Biang-Biang Iblis. Meski saat itu tengah berada dalam puncak kekesalan, sifat kejam mereka membuat putusan mati tidak langsung dijatuhkan. Seperti biasa mereka akan mempermainkan calon korban sedemikian rupa sebelum dibunuh. Tapi kali ini mereka kecelik. Kakek itu bukan orang sembarangan. Demikian juga si Pemuda. Empat datuk golongan hitam yang tengah panas hati itu terpancing untuk mengucapkan sumpah, akan mengundurkan diri dari dunia persilatan selama-lamanya, apabila kakek itu mampu mengalahkan mereka satu persatu, Dan celakanya lagi, empat datuk kaum sesat itu berhasil dikalahkan. Mereka pun memenuhi janji. Itulah sebabnya julukan mereka kemudian lenyap."
"Lalu, mengapa sekarang mereka muncul kembali ke dunia persilatan, Ki?! Apakah perjanjian itu telah usai? Apakah masa berlakunya perjanjian itu hanya dua puluh tahun?!" tanya Dewa Arak tanpa menyembunyikan keheranannya ketika melihat Jaran Sangkar tidak melanjutkan ceritanya lagi. Mungkin sudah selesai.
"Tidak demikian, Dewa Arak," jawab Jaran Sangkar. "Perjanjian itu tidak punya batas waktu. Namun, datuk-datuk kaum sesat yang teguh janjinya itu akhirnya termakan pendapat orang ketiga yang bermaksud mendapat keuntungan. Orang ketiga ini mengirimkan surat pada empat datuk yang masih mengasingkan diri. Isi surat itu mencela keempat datuk sesat yang dikatakan bodoh karena termakan sumpah yang sudah tidak mengikat lagi. Bukankah kakek yang menyebabkan mereka bersumpah telah tewas, untuk apa dipatuhi lagi? Bahkan agar empat datuk itu tidak dianggap melanggar sumpah, pemilik surat itu telah membunuh pemuda yang bersama kakek yang pernah mengalahkan keempat datuk itu. Pemuda itu ternyata, keturunan si Kakek Sakti yang selalu menyertainya. Dengan matinya pemuda itu, keturunan kakek sakti putus. Kalau kakek itu dan keturunannya sudah tidak ada lagi, bukankah sumpah mereka berarti telah selesai? Pendapat ini memang tidak dapat dibantah kebenarannya, maka empat datuk sesat pun turun gunung dan mulai menyebar maut! Sebelum semuanya semakin berlarut-larut segera kutemui kau, Dewa Arak. Bukan karena aku tidak yakin kalau kau mampu bertindak cepat. Aku hanya merasa cemas korban yang jatuh akan semakin bertambah apabila masalah ini dibiarkan berlama-lama. Padahal, semua ini terjadi akibat salah paham saja. Pihak ketigalah penyebab semua ini!" papar Jaran Sangkar.
"Jadi... sebenarnya kakek sakti dan keturunannya masih hidup, Ki?!" tanya Arya ingin tahu.
"Kakek sakti sudah mati karena usia tua. Sedangkan pemuda yang ternyata anaknya tewas dibunuh oleh tokoh yang mengirimkan surat. Meskipun demikian, kakek sakti itu masih mempunyai keturunan karena pemuda putra si Kakek telah menikah dengan seorang gadis. Tapi itu dilakukan secara diam-diam karena orangtua si Gadis tidak setuju. Sayang, di waktu melahirkan bayinya, gadis itu meninggal. Kenyataan ini membuat hati putra kakek sakti terguncang. Dia kabur meninggalkan mayat istri dan bayinya. Tangisan bayi itu didengar oleh Malaikat Petir yang kebetulan lewat. Malaikat Petir mengambil bayi itu dan mengasuhnya. Bayi perempuan itu tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik sampai sekarang. Dan gadis itu adalah... yang kau tolong dari ancaman Raja Tikus Dasar Bumi."
"Ah...!" desah Arya, kaget. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Lestari merupakan keturunan terakhir kakek sakti penakluk Biang-Biang Iblis.
"Dan tugasmu, Dewa Arak, memberitahukan pada empat datuk sesat itu kalau kakek sakti yang mengalahkan mereka masih mempunyai keturu-nan. Dengan demikian, sumpah atas diri mereka masih berlaku. Sebab atas sumpah keempat datuk sesat, dua puluh tahun lalu, kakek sakti itu pernah menyambutinya dengan mengatakan kalau keturunannya akan menjadi pengawas untuk melihat sendiri kebenaran janji Biang-Biang Iblis. Jelas, Dewa Arak?!"
"Jelas, Ki," jawab Arya cepat ''Tapi... masalahnya bagaimana kalau keempat Biang Ibis tidak percaya bahwa Lestari merupakan keturunan kakek sakti itu? Bukankah, tidak diketahui kalau putra kakek sakti itu berkeluarga? Bisa saja mereka mengatakan kalau Lestari adalah keturunan palsu."
"Kekhawatiranmu masuk akal, Dewa Arak. Tapi, kau tidak perlu cemas. Karena setiap keturunan kakek sakti itu mempunyai tanda khas yang tidak akan pernah ditemukan pada orang lain. Sayangnya, Lestari tidak tahu kalau Malaikat Petir hanya ayah angkatnya. Jadi, kewajibanmu, harus dapat menjelaskan hal ini sebelum membawanya menghadap empat datuk kaum sesat itu. Kau tidak usah khawatir, Dewa Arak! Tidak akan sukar untuk meyakinkannya karena putra kakek sakti telah meninggalkan warisan untuk putrinya. Kau laksanakan saja tugas ini. Sesegera mungkin, Dewa Arak, agar korban yang jatuh tidak semakin banyak!" ujar Jaran Sangkar, mengingatkan.
"Akan kuingat pesanmu itu, Ki," Dewa Arak mengangguk. ''Tapi..., ada satu hal yang perlu kusampaikan padamu. Saat ini aku tengah terlibat persoalan tidak ringan. Dan karena masalah itulah aku berada di sini. Dan...."
"Aku tahu, Dewa Arak," potong Jaran Sangkar bernada tidak sabar tapi dengan mulut menyunggingkan senyum. "Kau urus saja Lestari, biar Melati aku yang urus! Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa terhadapnya! Aku jamin itu, Dewa Arak. Dan sebagai tambahan agar kau tidak bertanya-tanya dalam hati, kakek sakti itu bernama Rawung. Dia tidak terkenal di dunia persilatan meskipun berilmu tinggi. Karena tidak pernah muncul di dunia ramai. Ilmu-ilmu itu dimilikinya dari hasil berguru dari para pertapa yang ditemuinya di gunung-gunung ditambah hasil ciptaannya sendiri. Asal kau tahu saja, Dewa Arak, tidak ada orang yang tahu nama kakek itu."
"Terima kasih, Ki," Arya merasa hatinya lega sekarang. Dia percaya penuh akan jaminan seorang tokoh seperti Jaran Sangkar, maka tidak diucapkan bantahan sedikit pun. Tidak juga bertanya mengapa kakek berpakaian abu-abu itu bisa mengetahui mengenai Melati.
Arya tahu, Jaran Sangkar dengan kemampuannya dalam mengerahkan ilmu gaib dapat mengetahui banyak persoalan yang tidak diketahui orang lain. Setelah menganggukkan kepala pada Jaran Sangkar, Arya segera melesat meninggalkan tempat itu untuk mencari Lestari.
"Apa...?! Kau... kau bohong...! Penipu...! Katakan kalau ucapanmu itu tidak benar, Arya?!" ucap Lestari terbata-bata dengan wajah menyiratkan campuran bermacam-macam perasaan. Kecewa, gembira, sedih, bingung, dan cemas, serta ketidak percayaan.
"Aku tidak bohong, Lestari. Aku mengatakan hal yang sebenarnya. Kau bukan putri Malaikat Petir, bahkan aku dapat memberikan mu bukti lainnya," lanjut Arya, masih tetap lembut tapi tegar.
''Tidak...! Tidak...! Kau bohong! Penipu...! Aku benci kau...!" maki Lestari sambil menudingkan jari telunjuk kanannya pada wajah Arya. Tarikan wajah gadis berpakaian merah itu sukar untuk ditebak karena di sana bercampur macam-macam perasaan yang bergolak di hatinya. Dan sambil mengeluarkan perkataan-perkataan seperti itu, Lestari melangkah mundur terus tanpa membalikkan tubuh. Seakan-akan Arya merupakan sesuatu yang menjijikkan.
Di lain pihak, Arya tidak melakukan tindakan apa pun. Dia hanya berdiri diam di tempatnya. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu, hanya hal inilah yang dapat dilakukannya. Berita yang disampaikannya memang terlalu mengejutkan bagi gadis itu. Jadi, bisa dimaklumi tindakan Lestari sekarang. Namun hal itu sudah diduga sebelumnya oleh Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu tetap berdiri diam, meski akhirnya Lestari membalikkan tubuh dan berlari meninggalkannya sambil terus meneriakkan kata-kata yang menyatakan ketidak-percayaan. Tak lama kemudian gadis itu telah lenyap dari pandangannya.
"Hhh...!" Dewa Arak hanya menghela napas berat. Sengaja dibiarkannya Lestari pergi. Dia tahu Lestari menderita guncangan batin yang cukup berat akibat penjelasannya. Biarlah, nanti apabila gun-cangan hatinya sudah mereda, akan dikemukakan siapa sebenarnya Lestari!
Dengan pikiran melayang-layang, Dewa Arak mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Piki-ran dan hatinya masih diliputi oleh permasalahan Lestari. Bagaimana nanti mengutarakan persoalan itu kepadanya, masih membingungkan, mengingat sikap Lestari yang berubah-ubah dan sulit diterka.
Sementara itu Lestari ternyata tidak pergi jauh dari tempat pertemuannya dengan Arya. Gadis itu tengah termenung seperti memikirkan sesuatu ketika Arya melihatnya. Dan ketika mendengar suara panggilan wajahnya berseri-seri. Namun, hal itu tidak berlangsung lama.
Begitu pemuda berpakaian ungu itu mengutarakan sebab kedatangannya, Lestari menunjukkan tanggapan yang sudah diperkirakan oleh Arya. Bagaimanapun pengalamannya yang luas telah membuat pendekar muda mampu membaca sikap dan prilaku seseorang....
"Lestari...!"
Sebuah seruan keras yang telah pernah dikenal telinga, membuat gadis berpakaian merah itu menghentikan lari, dan membalikkan tubuh. Saat itu, Lestari telah berlari jauh meninggalkan Dewa Arak.
"Prapanca...!" balas Lestari, tak kalah keras ketika melihat sesosok tubuh kekar seorang pemuda berpakaian coklat melesat cepat menuju ke arahnya. Hanya sekejap saja, sosok coklat yang memang Prapanca itu, telah berjarak beberapa tombak dari Lestari.
"Apa yang terjadi denganmu, Lestari?! Katakan padaku, apakah ada orang yang menyakitimu?!" tanya Prapanca, kaget ketika melihat mendung di wajah Lestari. Sepasang matanya yang ta-jam segera melihat pipi Lestari yang masih basah. Apalagi kalau bukan air mata?!
"Aku... aku tidak apa-apa, Prapanca. Hanya... ada berita yang telah menyakitkan hatiku." Secara singkat tapi jelas, Lestari menceritakan semua kejadian yang dialaminya bersama Dewa Arak.
"Ah...! Jadi... kau bukan putri Malaikat Petir?! Kau berarti cucu kakek sakti penakluk empat datuk kaum sesat itu?! Ah, luar biasa! Kalau begitu keadaanmu berbahaya, Lestari. Kau tahu, banyak tokoh yang hendak melenyapkan keturunan kakek sakti itu. Waspadalah kau! Sekarang, lebih baik kau ikut pergi bersamaku."
''Tapi, Prapanca...," Lestari mencoba untuk menolak.
"Tidak ada tapi-tapian lagi, Lestari! Aku harus memaksamu, ini semata-mata demi keselamatanmu!" tandas Prapanca, mantap.
Lestari menjadi bingung. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Prapanca untuk menggamit lengan kiri Lestari dan membawanya lari. Mau tidak mau, Lestari mengerahkan ilmu lari cepatnya kalau tidak ingin mengalami kejadian yang kurang menyenangkan, seperti seorang tawanan dibawa kabur.
Namun belum berapa lama berlari, Prapanca menggumam tak senang karena beberapa tombak di depannya berdiri sesosok tubuh kekar berpakaian biru, menghadang jalan. Prapanca mencium adanya gelagat tidak baik. Dia menyadari untuk kembali sudah tidak memungkinkan lagi karena sosok berpakaian biru di depan pasti sudah melihatnya. Karena Prapanca yakin akan kemampuan dirinya, dia tetap berlari dan baru dihentikan ketika berada sekitar lima tombak di depan sosok berpakaian biru.
"Kau...!" seru Lestari tertahan, memanggil sosok berpakaian biru, yang dikenalnya, tapi tidak diketahui namanya.
"Lestari...!" sapa pemuda berpakaian biru, yang tak lain penolong Lestari ketika di Perkumpulan Pengemis Baju Putih.
"Jadi... kau selamat...?!" tanya Lestari lagi, masih terharu ketika teringat akan pembelaan pemuda berpakaian biru. Tanpa sadar dia melangkah ke depan. "Bagaimana caranya kau bisa lolos dari tangan Dewa Langit Tak Punya Malu?"
"Aku ditolong oleh guruku. Beliau datang di saat yang gawat sekali." Pemuda berpakaian biru juga melangkah menghampiri.
Namun maksud Lestari untuk menghampiri pemuda berbaju biru itu tidak tercapai. Sebab baru dua langkah Lestari maju, Prapanca telah menyerobot maju ke depan sambil merentangkan tangan kiri ke samping untuk mencegah gadis itu.
"Kau jangan sembarangan bertindak, Lestari! Kau harus hati-hati. Bukan tidak mungkin dia merupakan salah seorang yang akan mencabut nyawamu!" tuding Prapanca ke wajah pemuda berpakaian biru.
"Pitnah!" tangkis pemuda berpakaian biru. Matanya menatap tajam dengan wajah merah padam. "Kau jangan percaya mulut kotor itu, Lestari! Lebih baik kau menyingkir darinya! Aku malah yakin kalau dia yang akan mencelakaimu!"
Suara pemuda berpakaian biru terdengar bergetar karena perasaan marahnya. Memang, sudah sejak tadi, ketika melihat Lestari bersama seorang pemuda, hati pemuda berpakaian biru sudah panas. Perasaannya yang membuat hati murid Malaikat Salju ini merasa heran.
"Apa yang terjadi dengan dirinya?" tanyanya dalam hati.
"Menyingkirlah dari sini, Kutu Busuk!" Prapanca yang menjadi kalap mendengar makian pemuda berpakaian biru langsung menubruk maju, mengirimkan serangan dengan gedoran kedua tangannya yang terbuka ke arah dada. Karena kemarahannya, Prapanca ingin menewaskan murid Malaikat Salju itu dalam segebrakan. Seperti juga lawannya, Prapanca merasakan hatinya tidak nyaman melihat Lestari bermanis-manis sikap dengan pemuda berpakaian biru itu.
"Kaulah yang akan menggeletak mampus di sini, Anjing Kudisan!" bentak pemuda berpakaian biru seraya menyambut serangan Prapanca den-gan pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Glarrr!
Bunyi keras yang terdengar mengiringi terpentalnya tubuh dua tokoh muda itu ke belakang. Namun, pemuda berpakaian biru terlempar selangkah lebih jauh daripada Prapanca yang hanya terhuyung-huyung tiga langkah. Benturan ini membuat pemuda berpakaian biru penasaran. Sebaliknya Prapanca semakin bersemangat untuk segera mengalahkan lawannya. Pertarungan pun kembali berlanjut.
"Hei...! Kalian berdua gila! Hentikan pertarungan ini...! Kalau tidak aku akan pergi dari sini...!" Karena merasa serba salah lalu Lestari berteriak-teriak untuk menghentikan pertarungan yang tidak diinginkannya itu.
Maksud baik Lestari tidak membuahkan hasil sama sekali. Dua pemuda yang tengah kalap itu tidak mempedulikan seruannya sama sekali. Keduanya terus melanjutkan kesibukan mereka, saling serang dengan hebatnya untuk dapat segera mengalahkan satu sama lain.
Kenyataan ini membuat Lestari yang memiliki watak keras kian kehilangan kesabaran. Dia merasa di tantang untuk membuktikan kebenaran ucapannya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis itu melesat cepat meninggalkan mereka. Prapanca dan lawannya yang tengah sibuk, tidak mengetahuinya sama sekali.
"Ha ha ha...! Jadi... inikah orang yang berju-uk Dewa Arak itu, Raja Tikus?! Masih muda sekali! Benar-benar mengagumkan! Semuda ini sudah menjagoi dunia persilatan?! Hebat...! Hebat...!"
Arya menghentikan ayunan kakinya mendengar seruan yang datang dari arah samping kanan itu. Seketika dia menoleh sambil menghentikan langkahnya. Berjarak sekitar empat tombak tampak dua sosok berdiri menatapnya. Salah satu dari mereka dikenal sebagai Raja Tikus Dasar Bumi. Sedangkan sosok yang satunya lagi, belum pernah dilihatnya. Namun melihat ciri-cirinya bisa diterka kalau dia pasti Raksasa Pemangsa Manusia.
Dugaan pemuda berambut putih keperakan itu tidak salah. Sosok yang bersama Raja Tikus Dasar Bumi tak lain Raksasa Pemangsa Manusia. Tokoh sesat yang memiliki bala pasukan berupa kawanan tikus itu sehabis bertarung dengan Dewa Arak, dalam perjalanannya bertemu dengan Raksasa Pemangsa Manusia yang tengah mencari-cari penculik Melati.
Dalam pertemuan itu, Raja Tikus Dasar Bumi menceritakan tentang Dewa Arak yang mengakibatkan Raksasa Pemangsa Manusia penasaran. Akhirnya kedua tokoh sesat itu bersama-sama mencari Dewa Arak, hingga bertemu di situ.
"Benar, Raksasa Jelek...!" jawab Raja Tikus Dasar Bumi ketika bersama rekannya telah berada di dekat Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu berdiri di tempatnya, tidak melakukan tindakan apa pun kecuali bersikap waspada.
"Ha ha ha...! Kalau cuma seperti ini orangnya jangan-jangan berita yang tersebar hanya kabar burung belaka...," timpal Raksasa Pemangsa Manusia lagi, sambil tersenyum mengejek. "Hei...! Dewa Arak...! Aku ingin merasakan sendiri kelihaian mu yang selama ini digembar-gemborkan orang! Bersiaplah...!"
Wuttt!
Raksasa Pemangsa Manusia mengawali serangannya dengan sebuah tamparan tangan kanan keras ke arah pelipis pemuda itu. Dewa Arak yang merasa tersinggung mendengar tantangan Raksasa Pemangsa Manusia, tanpa merasa gentar sedikit pun, memapaknya dengan tamparan pula.
Plakkk!
Tubuh Raksasa Pemangsa Manusia terputar dan terhuyung, jauh lebih parah dibanding Dewa Arak yang hanya terputar tubuhnya. Kenyataan ini membuat datuk sesat pemakan manusia itu menjadi murka, lalu menerjang lebih ganas. Dewa Arak pun menyambuti sehingga pertarungan sen-git pun terjadi di antara mereka.
Baru beberapa gebrakan saja mereka bertarung, Raksasa Pemangsa Manusia telah merasakan sendiri kehebatan pemuda berambut putih keperakan. Hal itu karena Dewa Arak yang sudah tak sabar karena teringat akan Lestari, langsung mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya. Tekanan-tekanan serangannya atas Raksasa Pemangsa Manusia semakin menjadi-jadi. Sebaliknya setiap serangan lawan, tanpa kesulitan langsung dipapakinya dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
"Jangan khawatir, Raksasa! Aku datang membantu...!"
Wuing...! Wuing!
Belum lenyap gema ucapannya, Raja Tikus Dasar Bumi telah terjun ke dalam kancah pertarungan. Dengan senjatanya yang berupa suling kakek bertelanjang dada itu mencecar berbagai bagian yang berbahaya di tubuh Dewa Arak. Bunyi melengking indah mengiringi setiap gerakan suling datuk sesat pemimpin pasukan tikus ini.
Masuknya kakek berwajah tirus yang hanya mengenakan celana panjang merah itu langsung mempengaruhi keadaan. Raksasa Pemangsa Manusia mendapat kesempatan bergerak lebih leluasa. Sekarang ganti Dewa Arak yang kelabakan. Terasa oleh pemuda berambut putih keperakan betapa beratnya menghadapi dua orang lawan tokoh Biang-Biang Iblis ini. Untung saja dia memiliki ilmu 'Belalang Sakti' yang aneh itu. Dengan ilmu itu dia mampu menghadapi setiap gempuran dahsyat kedua lawannya.
Perhatian yang dipusatkan penuh terhadap lawan tarung, membuat Dewa Arak dan dua lawannya sama sekali tidak mengetahui adanya beberapa sosok yang tengah melesat ke arah mereka. Sosok yang melesat paling depan adalah seorang gadis berpakaian merah.
"Mampus kau, Wanita Liar...!" Sosok kurus memakai topi berbentuk setengah tempurung kepala memaki sambil menghentakkan tangan kanan ke depan. Segundukan angin keras menyambar diiringi bunyi mengaung, memburu punggung gadis berpakaian merah yang tak lain Lestari.
"Guru...! Jangan bunuh dia...!"
Teriakan itu terdengar dari mulut sosok yang berlari ke belakang kakek bertopi hitam itu. Sosok berpakaian coklat itu ternyata Prapanca. Namun permintaannya terlambat, pukulan jarak jauh kakek berpakaian hitam telah lebih dulu melesat dan tidak mungkin ditahan lagi. Untung saja, sebelum menghantam sasaran, Lestari yang menyadari akan adanya ancaman maut itu membanting tubuh ke tanah, kemudian bergulingan untuk menjauhkan diri.
"Keparat...!" Tanpa mengenal kasihan sama sekali, kakek berpakaian hitam itu meluruk ke arah Lestari yang tengah bergulingan. Sikapnya mengisyaratkan maut bagi putri Malaikat Petir itu. Kakek bertopi aneh ini tidak mempedulikan teriakan-teriakan permohonan Prapanca.
"Hentikan, Brangsang...! Tanganmu telah banyak berlumuran darah orang-orang tidak berdosa...!"
Kakek berpakaian hitam yang ternyata bernama Brangsang, menghentikan gerakannya. Dan sebelum dia sempat menoleh, ke samping kanannya telah berdiri seorang kakek berkulit putih dan pucat. Jenggot kumis, cambang, dan bahkan alisnya pun putih semua! Kakek berkulit putih ini berdiri dengan sikap angker.
"Kiranya kau, Sobrang!" seru Brangsang agak kaget "Sama sekali tidak kusangka kalau kau akan keluar dari tempat pertapaanmu. Apa yang hendak kau lakukan, heh...?! Ingat kau telah bersumpah untuk tidak mempergunakan kepandaianmu lagi! Apalagi untuk menentang ku...!"
"Aku memang tidak ingin menjatuhkan tangan keras padamu, Brangsang! Tapi, sebagai kakak seperguruanmu aku mempunyai hak untuk mengingatkan mu akan kesalahan tindakan yang kau lakukan ini. Bertobatlah, Brangsang!"
"Kalau aku tidak mau, kau mau apa, Sobrang?!" tantang Brangsang yang ternyata adik seperguruan Sobrang, dengan berani. "Ataukah ingin menjilat ludahmu sendiri?!"
Sobrang tersenyum getir. "Aku bukan orang yang suka menjilat ludah yang sudah ku keluarkan sendiri, Brangsang! Tapi aku tahu kaulah yang telah membunuh Malaikat Aneh. Kau pula yang menyebabkan Malaikat Petir dan Perkumpulan Pengemis Baju Putih hancur berantakan akibat fitnah dan pembunuhan yang kau lakukan terhadap keturunan kakek sakti. Kaulah yang mengeluarkan Biang-Biang Iblis dengan gagasan-gagasan licikmu! Aku tahu, sebabnya, karena kau ingin mengambil harta karun milik bajak laut ratusan tahun lalu yang konon tersimpan di sana. Bukankah kau telah menemukan petanya?!"
"Tutup mulutmu, Tua Bangka...!" Brangsang langsung murka karena semua rahasianya dibeberkan oleh Sobrang. Tanpa peduli siapa yang dihadapi dia langsung menerjang dengan tepakan-tepakan maut.
Sobrang hanya tersenyum getir melihatnya. Tak tampak kalau kakek berjenggot putih itu akan melakukan tangkisan atau mengelak. Mungkinkah, kakek ini bermaksud mendiamkan saja serangan itu karena takut dianggap melanggar sumpah?
''Pengecut Licik!" Bersamaan terdengarnya teriakan itu, sesosok bayangan putih melesat cepat memapaki serangan Brangsang. Benturan pun tidak dapat dicegah. Akibatnya tubuh kedua belah pihak sama-sama terjengkang ke belakang. Namun, tubuh sosok bayangan putih terlontar lebih jauh. Dan ketika akhirnya berhasil bangkit wajahnya tampak pucat. Sosok bayangan putih ini memiliki kulit tubuh putih seperti Sobrang hanya saja jauh lebih muda.
"Malaikat Salju...!" seru Sobrang dan Brangsang hampir berbarengan.
"Guru...!" Malaikat Salju, sosok yang baru saja tiba, langsung saja memberi hormat pada Sobrang. Terlihat agak menggelikan, seorang guru memanggil muridnya dengan julukan. Maklumlah, Sobrang tidak ingat lagi nama muridnya.
Namun Malaikat Salju tidak bisa berlama-lama bertegur sapa dengan Sobrang karena Brangsang dengan penuh nafsu membunuh, langsung mengirimkan serangan-serangan berbahaya. Malaikat Salju menyambutinya hingga perang tanding pun terjadi.
Di tempat yang semula hening itu tercipta dua kancah pertarungan hebat. Sementara tiga pasang mata, Lestari, Prapanca, dan Sobrang hanya menyaksikan. Di antara ketiga orang itu, tampak Prapanca yang paling kebingungan. Rupanya dia tak habis pikir melihat perkembangan yang terjadi. Dia suka pada Lestari, tapi hatinya pun tidak ingin bertentangan dengan Brangsang, gurunya.
Memang diakui oleh Prapanca kalau sang Guru bukan orang baik-baik, tapi biar bagaimanapun dia menghormatinya. Kenyataan membuatnya harus berada di tempat yang tidak menyenangkan. Dengan wajah bingung dipandanginya Lestari, tapi gadis berpakaian merah itu malah melengos, tidak mau melihatnya lagi. Hal ini membuat Prapanca semakin kebingungan.
Lestari memang merasakan hatinya terbakar oleh kemarahan ketika mengetahui Prapanca mempunyai guru yang demikian jahat. Bahkan guru Prapanca yang telah menyebabkan ayah angkatnya, Malaikat Petir, tewas. Demikian pula dengan ayah kandungnya. Melihat Prapanca demikian membela gurunya, Lestari menjadi benci pada pemuda berpakaian coklat itu. Dalam perasaan seperti itu Lestari pun teringat akan pemuda berpakaian biru. Apa yang terjadi dengan murid Malaikat Salju itu? Apakah dia tewas di tangan Prapanca?
Pemuda berpakaian biru itu sebenarnya tidak tewas! Dia hanya pingsan akibat terkena tendangan Prapanca. Prapanca tidak sempat mengirimkan serangan terakhir karena telah keburu cemas ketika melihat Lestari tidak di situ. Prapanca mengejar Lestari.
Namun, di tengah jalan pemuda berpakaian coklat ini bertemu dengan gurunya. Kakek berpakaian hitam itu tengah dilanda kecewa dan marah karena tawanannya, Melati, telah dirampas oleh Jaran Sangkar, tanpa dia mampu berbuat sesuatu untuk mencegahnya. Melihat, muridnya tengah mengejar seorang gadis, Brangsang menanyakannya, dan Prapanca tidak berdaya untuk berbohong. Dikatakan hal yang sebenarnya. Dan, hal yang ditakutkannya pun terjadi, Brangsang bermaksud membunuh Lestari!
Lestari merasa cemas ketika melihat Malaikat Salju tidak mampu menandingi Brangsang yang lihai. Sahabat Malaikat Petir ini terus-menerus terdesak. Bahkan beberapa kali hampir saja serangan Brangsang bersarang di tubuhnya. Hanya di saat-saat terakhir, Malaikat Salju berhasil mengelak.
"Mengapa kau diam saja, Kakek Sobrang?!" tanya Lestari penuh perasaan gemas pada Sobrang yang dilihatnya berdiri diam, dan tidak berusaha untuk bertindak. Padahal, Lestari yakin Sobrang memiliki kepandaian tinggi. Bukankah Sobrang kakak seperguruan Brangsang? "Apakah kau ingin muridmu mampus?! Cepatlah bertindak...!"
Sobrang hanya tersenyum getir. Dia tidak melakukan tindakan apa pun selain hanya memperhatikan jalannya pertarungan itu. Meski Lestari yang semakin cemas akan keselamatan Malaikat Salju telah mengguncang-guncang tubuhnya, dia tetap tidak bergerak.
"Baik! Karena kau seorang kakek pengecut yang takut mati, aku yang akan turun tangan...!" seru Lestari, habis daya untuk membujuk Sobrang.
Akibat ucapan Lestari yang tajam itu, wajah Sobrang yang sejak tadi tenang, langsung berubah pucat. Makian Lestari memang terlalu menusuk perasaan. Namun, Lestari tidak mempedulikannya. Karena kekalapan dan ketidaksabarannya Lestari mencabut kipas yang terselip di pinggang dan siap untuk menerjang maju dalam kancah pertarungan.
"He he he...! Ternyata sudah ramai...! Aku ketinggalan...! Ah, dengan siapa aku harus bertempur...!"
"Hik hik hik...! Aku pun terlalu lambat datang...!"
Belum lenyap gema ucapan yang saling susul ini, dari kejauhan melesat dua sosok bayangan yang ternyata Dewa Langit Tak Punya Malu dan Dewi Cabul! Hanya dalam sekejapan dua da-tuk sesat ini telah berada di dekat pertarungan.
Namun, sebelum dua datuk sesat yang berwatak aneh ini berbuat sesuatu, Arya yang mendengar seruan mereka, dan menyadari adanya kegawatan segera melesat meninggalkan kancah pertarungan. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, memang tidak sulit untuk melakukan tindakan demikian.
"Hentikan...?!" Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk berteriak sekeras-kerasnya. Bagai kerbau dicocok hidungnya, semua orang yang berada di situ, menghentikan gerakan. Tak terkecuali tokoh-tokoh yang tengah terlibat pertarungan. Ada kekuatan luar biasa dalam seruan Arya yang membuat mereka semua terpaksa patuh.
"Wahai datuk-datuk sesat yang terkenal dengan julukan Biang-Biang Iblis, aku ingin mengajukan pertanyaan! Apakah kalian semua ini pengecut-pengecut hina yang mudah mengingkari janji kalian sendiri?! Begitu rendah harga diri kalian, menjilat ludah yang tertumpah keluar...!" seru Dewa Arak lantang.
"Apa maksudmu, Dewa Arak?! Jelaskan cepat, atau kuhancurkan mulutmu!" sahut Raksasa Pemangsa Manusia sambil mengepalkan tinjunya yang besar.
"Jangan dengarkan dia...!" sela Brangsang yang khawatir Dewa Arak akan membuka rahasianya. Bergegas dia mengayunkan kaki mendekati Dewa Arak dan menyerangnya. Namun langsung diurungkan ketika melihat empat datuk kaum sesat menatap ke arahnya dengan sorot mengancam.
Arya yang melihat hal ini merasa lega. "Bukankah kalian telah terlibat perjanjian dengan kakek sakti yang telah mengalahkan kalian puluhan tahun lalu?! Mengapa sekarang kalian melanggarnya?!"
"Kakek itu telah mati. Demikian pula keturunannya! Jadi, janji kami sudah tidak berlaku lagi!" bantah Raja Tikus Dasar Bumi, lantang. Ketiga rekannya menganggukkan kepala, mendukung bantahannya.
"Siapa bilang keturunan kakek sakti itu sudah tidak ada lagi. Di hadapan kalian berdiri keturunan terakhir kakek sakti itu!" tandas Dewa Arak sambil menuding Lestari!
Seruan-seruan kaget langsung keluar dari mulut Biang-Biang Iblis mendengar ucapan Dewa Arak.
"Kau dusta, Dewa Arak!" Kali ini Dewi Cabul yang berbicara. "Kau hanya mengada-ada! Gadis itu anak Malaikat Petir, dan kami tahu itu! Lagi pula kalau dia keturunan kakek sakti, mengapa tidak memiliki ilmu-ilmu leluhurnya?!"
Lagi-lagi tiga datuk sesat lainnya menganggukkan kepala menyetujui ucapan Dewi Cabul.
"Dengarkan baik-baik," ujar Arya masih tetap tenang. "Malaikat Petir hanya ayah angkat Lestari. Kemudian, mengapa Lestari tidak bisa memiliki ilmu leluhurnya, karena sejak bayi telah diasuh oleh Malaikat Petir. Jelas?! Ataukah, perlu kuberikan bukti yang lebih kuat?! Asal kalian tahu saja, aku menjamin ucapanku ini dengan kehormatanku sebagai seorang pendekar!"
"Dia berkata benar," Sobrang berkata pelan, "Muridku tidak pernah menikah, bagaimana mungkin dia bisa punya anak?!"
Empat datuk kaum sesat itu saling pandang sebentar. Mereka tahu tokoh-tokoh seperti Dewa Arak dan Sobrang, tak akan berkata bohong.
"Kalau begitu, kami akan kembali ke pengasingan," ujar Raja Tikus Dasar Bumi mewakili kawan-kawannya. ''Tapi, pertarungan antara kami denganmu belum selesai, Dewa Arak. Aku ingin merasakan kelihaian mu sendiri!"
"Jangan khawatir," ucap Arya sambil tersenyum. "Aku akan mengunjungi tempat pengasingan kalian!"
Empat datuk kaum sesat itu tidak memberikan jawaban sama sekali. Mereka melesat cepat meninggalkan tempat itu untuk menuju tempat pengasingan yang belum lama mereka tinggalkan.
"Lain waktu aku akan membuat perhitungan denganmu, Dewa Arak!" ancam Brangsang, sebelum membalikkan tubuh dan melesat meninggalkan tempat itu.
"Biarkan dia pergi, Dewa Arak!" pinta Sobrang cepat sebelum Dewa Arak melesat mengejar. "Apabila aku tidak berada di sini, dan jika kau menemukannya lagi setelah ini, hukumlah dia! Aku rela."
Dewa Arak tidak tega untuk mengabaikan permohonan itu. Dia menganggukkan kepala, sebelum melangkah meninggalkan tempat itu. Dia tahu, Melati pasti sudah dibebaskan oleh Jaran Sangkar. Maka, dia berangkat ke tempat pertemuannya dengan kakek itu.
Lestari memandangi kepergian Dewa Arak dengan perasaan sedih. Tidak disangka kalau pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak menaruh perhatian padanya. Rasa sukanya bertepuk sebelah tangan. Dengan pandangan sedih, diperhatikannya Arya, yang terus menjauh.
"Lestari...!"
Lestari mengalihkan pandangan ke arah panggilan. Dilihatnya murid Malaikat Salju tengah berlari cepat ke arahnya. Lestari tersenyum. Dia tahu pemuda berpakaian biru ini menyukainya. Namun hatinya telah ikut pergi bersama dengan kepergian Arya. Maka setengah melempar senyum sekali lagi, dia berbalik. Dan.... "Selamat tinggal...!"
Pemuda berpakaian biru hanya bisa melongo melihat kenyataan yang tidak pernah disangka-sangka ini. Di sebelah sana, Prapanca pun menundukkan kepala dengan hati kecewa karena tahu kalau Lestari tidak mencintainya dan hanya mencintai Dewa Arak. Dengan kepala tertunduk, Prapanca meninggalkan tempat itu.
Sementara, pemuda berpakaian biru masih menatap punggung Lestari dengan berbagai perta-nyaan bergayut di benak. Mengapa Lestari bersikap seperti itu? Namun, pemuda berpakaian biru tidak berani mengejar, apalagi menanyakannya. Dia hanya bisa memandanginya dari kejauhan. Dirasakan ada sesuatu yang hilang dari dalam dadanya seiring kepergian Lestari.
Mendadak sesosok bayangan putih berkelebat dan berhenti di tempat itu. Ternyata seorang gadis cantik berpakaian putih yang tak lain Melati. "Di mana adanya Dewa Arak?!" tanya Melati tanpa basa-basi. Entahlah kepada siapa pertanyaan itu diajukan.
"Dia sudah pergi," Sobrang yang memberikan jawaban dengan suara lesu. Karena seperti juga Malaikat Salju, dia tengah merasa kasihan pada pemuda berpakaian biru yang tengah patah hati karena cintanya tak ditanggapi oleh Lestari.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati segera melesat meninggalkan tempat itu untuk menyusul Dewa Arak.
Rupanya sosok itu tengah berlatih silat. Gerakannya yang cepat menyebabkan bentuk tubuhnya seakan lenyap. Yang terlihat hanya bayangan tak jelas ber-warna merah berkelebatan ke sana kemari. Sesekali terdengar suara teriakan keras mengiringi pukulan atau tendangan sambil melompat melancarkan serangan terhadap lawan yang hanya ada dalam bayangannya.
Mendadak sosok merah itu menghentikan gerakannya, lalu berdiri tegak. Sosok itu ternyata seorang wanita cantik berusia paling banyak dua puluh tahun. Rambutnya yang hitam berkilat, terurai, menambah kecantikannya. Bentuk tubuhnya yang sintal terbalut kulit mulus kuning langsat, semakin menambah daya tarik wanita muda itu.
Gadis berpakaian merah berdiri dengan kedua kaki agak terpentang beberapa saat untuk meredakan nafasnya yang memburu. Peluh yang membasahi wajah dan leher membuktikan kalau dirinya telah banyak menguras tenaga dalam latihan itu. Tidak aneh, sebab sejak sang Surya belum muncul gadis berpakaian merah itu telah sibuk berlatih.
"Bagus...! Bagus sekali, Lestari! Kau telah mengalami kemajuan yang pesat!"
Pernyataan bernada pujian itu membuat gadis berpakaian merah menoleh kepala ke arah asal suara. "Benarkah itu, Ayah?!" tanya gadis berpakaian merah yang dipanggil dengan nama Lestari. Dia segera mengayunkan kaki menghampiri lelaki setengah baya yang tengah memandanginya.
"Tentu saja, Lestari. Pernahkah Ayah berbohong padamu?!" ujar lelaki yang ternyata ayahnya Lestari. Dia seorang lelaki tinggi besar bertubuh gemuk tapi gagah dan tegap. Sambil memandangi gadis itu mulutnya tersenyum lebar, menggambarkan kepuasan hatinya.
''Tapi... mengapa aku tetap belum dapat melakukan hal seperti yang Ayah lakukan?! Setiap batu yang ku pukul selalu hancur berkeping-keping. Tidak pernah terjadi seperti yang Ayah lakukan. Kalau Ayah yang memukul, batu itu tak hancur, gompal pun tidak. Tapi, begitu angin berhembus agak kencang, batu itu hancur lebur menjadi debu," ujar Lestari yang merasa tidak puas.
"Lestari... Lestari..." Lelaki tinggi besar berusia tak kurang dari lima puluh tahun itu menggeleng-gelengkan kepala mendengar bantahan putrinya. "Kau kira mudah melakukan hal itu?! Kemampuan seperti itu hanya akan kau dapatkan apabila dirimu telah memiliki tenaga dalam yang sempurna. Sedangkan untuk mencapai tingkat kesempurnaan itu perlu berlatih semadi dan pernapasan yang sungguh-sungguh. Dan memang kini kau tinggal melatih tenaga dalam serta mempertinggi ilmu meringankan tubuh karena semua ilmu yang kumiliki telah kuwariskan kepadamu!"
"Jadi..., tidak ada lagi yang akan Ayah ajarkan padaku?!" tanya Lestari setengah tidak percaya.
"Benar, Lestari," jawab lelaki tinggi besar seraya menganggukkan kepala. "Kau hanya tinggal mematangkannya. Setahun lagi kau boleh terjun ke dunia persilatan untuk mencari pengalaman dan menggunakan kepandaian yang kau miliki untuk menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, waktu yang hanya setahun ini, pergunakan sebaik-baiknya, Lestari. Giat-giatlah kau berlatih semadi dan pernapasan serta ilmu meringankan tubuh agar aku tenang melepas kau pergi ke dunia persilatan. Pesanku, jangan sekali-kali kau beritahukan kalau dirimu mempunyai hubungan dekat denganku. Sedapat mungkin kau harus menyembunyikannya. Apabila hal itu kau langgar, atau tanpa sengaja diketahui orang lain, akan besar bahayanya buatmu. Asal kau tahu saja, Lestari, aku banyak menanam permusuhan dengan tokoh-tokoh persilatan. Aku yakin, mereka akan melampiaskan dendamnya padamu apabila hal yang ku khawatirkan itu terjadi. Dan..."
Lelaki tinggi besar itu menghentikan ucapannya di tengah jalan karena tiba-tiba terasa ada getaran keras di tanah yang mereka pijak. Sepertinya, ada seekor gajah besar lewat di dekat tempat mereka. Lestari pun merasakannya. Maka dia tidak merasa heran melihat ayahnya menghentikan ucapan di tengah jalan.
Dengan sendirinya percakapan terhenti. Lestari dan ayahnya memusatkan perhatian pada getaran-getaran keras di tanah yang mereka pijak. Lestari terkejut ketika melihat sikap ayahnya menjadi gelisah.
"Ada apa, Ayah?!" tanya Lestari tanpa menyembunyikan rasa heran dan penasaran dalam nada suara dan tarikan wajahnya.
"Tidak usah banyak tanya! Cepat tinggalkan tempat ini, Lestari! Tinggalkan sejauh-jauhnya, dan ingat pesanku tadi!" ujar lelaki tinggi besar, penuh perasaan gelisah yang tidak dapat disembunyikan. Dia tidak mempedulikan pertanyaan anaknya sama sekali.
Namun Lestari bukan gadis yang bisa di gebah begitu saja, tanpa ada penjelasan yang meyakinkan. Sang Ayah sebenarnya tahu hal itu tapi kegelisahan yang melanda membuatnya lupa. Bahkan ketika melihat Lestari tidak mematuhi pe-rintahnya, dia menjadi kalap.
"Cepat tinggalkan tempat ini, Lestari! Cepat, kataku!" sentak sang Ayah dengan suara keras dan mata membelalak. "Atau kau ingin mencoba-coba menentang perintahku?!"
Lestari sampai terjingkat ke belakang mendengar nada keras bentakan ayahnya. Gadis itu benar-benar kaget, karena selama ini belum pernah ayahnya bicara keras seperti ini Seketika dia tahu akan gawatnya keadaan, tapi rasa penasaran dan ingin tahu, membuatnya tidak segera melaksanakan perintah sang Ayah.
"Ha ha ha...!" Tawa keras menggelegar yang membuat keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat mengiringi getaran yang semakin keras pada tanah. Dan pada jarak dua puluh tombak dari tempat Lestari dan ayahnya, tampak sesosok tubuh tinggi besar berlari mendekati tempat mereka. Dan hanya dalam waktu sekejap, sosok itu telah berdiri di hadapan mereka.
Lestari dan ayahnya membelalakkan mata kaget, seolah mereka tak percaya melihatnya. Sosok itu mampu berlari dengan menimbulkan getaran hebat bagaikan seekor gajah. Selain itu suara tawanya yang keras menyebabkan getaran hebat di dada mereka.
Lestari, yang sejak sosok itu terlihat memperhatikannya dengan penuh selidik, merasa ngeri ketika melihat adanya dua buah taring yang menyembul di mulut sosok yang baru tiba itu. Sosok yang memiliki taring di mulutnya ini memang memiliki ciri-ciri mengerikan. Tubuhnya tinggi dan besar. Sehingga ayahnya Lestari yang memiliki tubuh tinggi besar saja, tidak sampai sebahunya.
Di samping tinggi besar, otot-ototnya tampak bersembulan dan melingkar-lingkar di tubuh sosok berwajah mengiriskan. Lestari dapat melihatnya dengan jelas, karena makhluk itu tak mengenakan pakaian pun, kecuali sehelai celana panjang hitam sebatas bawah lutut.
"Raksasa Pemangsa Manusia...!" desis ayahnya Lestari dengan suara bergetar. "Mau apa kau kemari?"
"Ha ha ha...!" Sosok tinggi besar berotot yang disapa dengan julukan Raksasa Pemangsa Manusia, tertawa bergelak. "Rupanya kau mengenaliku, Malaikat Petir! Kalau begitu tidak ada gunanya lagi kau berpura-pura. Aku yakin kau pasti mengetahui maksud pertanyaanku. Asal kau tahu saja, sudah lama aku mencari-cari mu, Malaikat Petir. Ternyata mencarimu lebih sukar daripada mencari jarum dalam tumpukan jerami. Kau lenyap begitu saja dari dunia persilatan."
Ayahnya Lestari yang berjuluk Malaikat Petir, tersenyum getir. Senyum yang muncul di saat dia tidak ingin tersenyum. "Pasti karena masalah muridmu, kan?!" terka Malaikat Petir, datar.
"Tepat! Aku datang untuk menuntut balas atas kematian muridku, Malaikat Petir. Bersiaplah untuk menerima kematian!" sahut Raksasa Pemangsa Manusia penuh keyakinan akan keberhasilan usahanya itu.
"Menyingkirlah, Lestari, dan cepatlah pergi dari sini! Tinggalkan tempat ini sejauh-jauhnya!" Usai berkata demikian, tanpa memberikan kesempatan pada Lestari untuk memberikan tanggapan, Malaikat Petir langsung menerjang Raksasa Pemangsa Manusia.
Dan sesuai julukannya, lelaki berpakaian abu-abu ini memang memiliki gerakan amat cepat. Bentuk tubuhnya langsung lenyap ketika melancarkan serangan, hingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan abu-abu, meluruk ke arah Raksasa Pemangsa Manusia.
Namun, Raksasa Pemangsa Manusia ternyata tidak hanya berbicara besar ketika mengucapkan perkataan hendak mengirim nyawa lawannya ke akherat. Meskipun gerakan Malaikat Petir amat cepat, dan bahkan sampai tidak terlihat mata, dia dapat melihatnya secara jelas. Lelaki bertelanjang dada ini tahu kalau Malaikat Petir menubruk ke arahnya dan mengirimkan serangan gedoran telapak tangan kanan terbuka ke arah ulu hatinya.
Plakkk!
Benturan keras terdengar ketika Raksasa Pe-mangsa Manusia menangkis serangan Malaikat Petir dengan gerakan dan sikap jari serupa. Akibatnya, tubuh Malaikat Petir terhuyung-huyung ke belakang, sementara lawannya tidak bergeming sama sekali.
Benturan itu dilihat jelas oleh Lestari yang masih berada di situ, menyaksikan jalannya pertarungan dari tempat yang aman. Sekarang, baru gadis berpakaian merah ini mengerti mengapa sang Ayah menyuruhnya meninggalkan tempat itu. Lawan yang dihadapi Malaikat Petir amat tangguh!
"Lestari! Cepat pergi...!" Malaikat Petir yang masih sempat melihat kalau putrinya masih berada di tempat ini, menyerukan peringatan lagi, sebelum kembali menubruk Raksasa Pemangsa Manusia dengan serangan lebih dahsyat.
"Ha ha ha...!" Raksasa Pemangsa Manusia tertawa bergelak. "Inikah ilmu 'Telapak Tangan Petir'-mu, Malaikat Petir? Ternyata tak sehebat berita yang kudengar!"
Lelaki bertelanjang dada mengeluarkan pernyataan menghina itu ketika mendengar bunyi meledak-ledak nyaring di saat Malaikat Petir melancarkan serangan susulan. Asap tipis mengepul dari kedua telapak tangan Malaikat Petir.
Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi. Malaikat Petir yang tahu kalau lawannya memiliki kepandaian amat tinggi, tidak segan-segan mengeluarkan seluruh kemampuannya. Bunyi meledak-ledak diiringi asap tipis yang mengepul menyema-raki setiap serangan yang dilancarkan lelaki berpakaian abu-abu ini.
Namun, Raksasa Pemangsa Manusia memang amat tangguh. Meskipun tidak memiliki gerakan cepat sebagaimana lawannya, dia tidak mengalami kerepotan untuk menghadapi setiap serangan Malaikat Petir. Justru, ayahnya Lestari yang mengalami kesulitan besar untuk menjatuhkan serangan, karena seperti ada benteng tak nampak yang menghalangi serangannya sehingga selalu membalik sebelum mengenai sasaran. Selain itu kerasnya kulit tubuh Raksasa Pemangsa Manusia, membuat tangan atau kaki Malaikat Petir malah membalik ketika bertemu dengan tubuh lawannya.
Lestari menggigit bibir dengan perasaan gelisah ketika melihat perkembangan pertarungan itu. Memang, dia tidak dapat mengetahui secara jelas karena cepatnya gerakan tubuh kedua orang itu, terutama yang dilakukan Malaikat Petir. Namun, gadis berpakaian merah ini dapat memperkirakan dengan melihat ayahnya yang beberapa kali terhuyung, dan terus didesak mundur. Ayahnya terdesak hebat.
"Hiyaaattt...!" Setelah beberapa saat lamanya mempertimbangkan, Lestari mencabut kipas baja yang terselip di pinggangnya, kemudian melompat ke dalam kancah pertarungan. Dan begitu dekat, kipasnya yang berujung runcing ditusukkan ke dada Raksasa Pemangsa Manusia yang tengah mendesak ayahnya.
Takkk!
Gadis itu menjerit kaget ketika melihat ujung kipasnya seperti mengenai karet keras yang kenyal sehingga membalik. Bahkan tangannya terasa kesemutan. Ujung kipasnya yang terbuat dari baja, tidak mampu menembus kulit tubuh Raksasa Pemangsa Manusia.
Sebelum Lestari sadar dari keterkejutannya dan melakukan tindakan tangan, Raksasa Pemangsa Manusia bergerak cepat Lestari yang menyadari akan adanya ancaman ketika melihat berkelebatannya benda tak jelas dengan diiringi desiran angin kencang, berusaha keras untuk melakukan tindakan penyelamatan.
Tappp!
Lestari terkejut bukan kepalang ketika melihat usahanya gagal. Pergelangan tangan kanannya yang memegang kipas baja telah tercekal lawan yang besarnya malah lebih dari paha Lestari. Kenyataan yang tidak disangka-sangka ini membuat gadis berpakaian merah itu gugup dan kelabakan. Dengan sebisa-bisanya dia meronta untuk mele-paskan diri. Kedua kakinya pun ikut melakukan tendangan ke tubuh lelaki bertaring yang bertelanjang dada itu.
Namun kesudahannya malah membuat kedua kaki Lestari sakit-sakit karena tenaganya seperti membalik ketika serangan-serangannya itu mendarat pada sasaran. Lestari tidak berdaya ketika tubuhnya didekatkan ke mulut lelaki bertelanjang dada itu. Gigi-gigi yang sebagian terdiri dari taring itu, siap menelan bulat-bulat tubuh Lestari yang putih mulus.
"Lepaskan anakku!" teriak Malaikat Petir yang menjadi kalap ketika melihat nasib putrinya.
Ketika Lestari melancarkan serangan, tubuh Malaikat Petir tampak masih terhuyung-huyung ke belakang sehabis menangkis serangan Raksasa Pemangsa Manusia, sehingga dirinya tidak mampu mencegah lelaki bertaring itu membuat Lestari tidak berdaya.
Namun sesaat kemudian, Malaikat Petir menerjang Raksasa Pemangsa Manusia. Kedua telapak tangannya yang terbuka dipukulkan dengan pengerahan seluruh tenaga dalam. Kek-hawatiran akan nasib putrinya membuat serangan Malaikat Petir berkesan nekat, dan seperti tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri.
Raksasa Pemangsa Manusia rupanya tahu kedahsyatan serangan lawan. Apalagi kali ini bagian yang diserang adalah ulu hati dan pusar, dua bagian terlemah di tubuh manusia. Maka dia tidak berani berlaku sembrono. Cekalan tangannya atas Lestari segera dilepaskan, bahkan tubuh gadis berpakaian merah itu dilemparkan. Lalu, kedua tangannya dipukulkan ke depan dengan sikap jari-jari yang sama untuk memapak serangan lawan.
Prattt!
Benturan kali ini lebih keras dari sebelum-nya. Tubuh Malaikat Petir melayang ke belakang seperti daun kering yang diterbangkan angin. Raksasa Pemangsa Manusia pun tak luput dari serangan keras itu. Meski tidak sampai terlempar seperti lawannya, dia terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Sungguh sebuah pemandangan yang menggelikan hati, sebenarnya, kalau kebetulan ada yang melihatnya. Dalam waktu yang hampir bersamaan, tubuh ke tiga sosok itu sama-sama terlempar ke belakang. Namun karena yang paling sedikit menerima akibatnya adalah Raksasa Pemangsa Manusia, tokoh yang mengiriskan hati itu lebih dulu dapat menguasai diri. Dan langsung melompat menerjang memburu Malaikat Petir.
Bukkk!
Tubuh Malaikat Petir terjungkal ke belakang ketika tangan kanan Raksasa Pemangsa Manusia menghantam bahu kanannya. Darah segar muncrat dari mulutnya.
"Ayah...!" Lestari mengeluarkan jeritan kaget bercampur perasaan pilu ketika melihat kejadian yang menimpa ayahnya. Dia melihat secara jelas karena telah lebih dulu berhasil bangkit ketika Raksasa Pemangsa Manusia menerjang dengan gedoran tangan ke arah dada Malaikat Petir.
Untung lelaki gagah itu berhasil mengelakkannya sehingga serangan lawan hanya menghantam bahu kanan. Meskipun demikian, karena kuatnya tenaga dalam manusia yang memiliki taring itu, Malaikat Petir sampai muntah darah.
"Lestari, cepat pergi dari sini...!" Malaikat Petir masih sempat mengeluarkan seruan terhadap putrinya ketika Raksasa Pemangsa Manusia meluruk ke arahnya.
Lestari menahan isak tangis yang naik ke tenggorokannya. Sekilas sepasang bola matanya yang bening itu menatap sang Ayah yang sedang terlibat pertarungan dengan lawannya. Memang, meskipun sudah terluka Malaikat Petir masih cukup tangguh untuk dapat dirobohkan dengan mudah.
"Selamat tinggal, Ayah...!" seru Lestari dengan suara serak karena rasa haru yang mencekik tenggorokan. Firasatnya membisikkan kalau perpisahan dengan ayahnya ini adalah merupakan perpisahan yang terakhir kali. Maka sambil menangis terisak-isak dia berlari cepat meninggalkan tempat itu. Sebenarnya hatinya merasa berat untuk melakukan hal itu.
Namun, dia tahu kalau pesan ini tidak dilaksanakan, sang Ayah, si Malaikat Petir mati dengan perasaan penasaran. Lagi pula, Lestari tidak ingin mati sebagai anak yang tidak berbakti karena membangkang perintah orangtua. Di samping itu, untuk melakukan perlawanan, jelas merupakan tindakan sia-sia. Ayahnya saja tampak kewalahan dibuatnya, apalagi dirinya!
Meskipun tengah sibuk menghadapi desakan lawannya yang bertubuh besar dan mengiriskan itu, Malaikat Petir masih sempat melihat kepergian Lestari.
"Selamat tinggal, Lestari! Jagalah dirimu baik-baik!" seru lelaki tinggi besar ini dengan mulut tersenyum.
Dan ketika bayangan tubuh Lestari lenyap di kejauhan, perlawanan Malaikat Petir mulai menurun jauh. Lelaki berpakaian abu-abu ini memang telah terluka parah, tenaganya pun telah berkurang jauh, tambahan lagi, kemampuan lawan berada di atasnya. Hanya karena terdorong perasaan untuk menyelamatkan putrinya yang membuat dirinya seperti mendapat tenaga baru. Begitu dia yakin kalau Lestari selamat, tenaga tambahan itu pun lenyap.
Degk!
Malaikat Petir mengeluarkan jeritan menyayat hati ketika kaki kanan Raksasa Pemangsa Manusia menghantam dadanya secara telak sehingga membuat tubuhnya terlontar jauh ke belakang. Seketika itu pula nyawa Malaikat Petir melayang ke alam baka karena seluruh isi dadanya telah hancur berantakan akibat tendangan yang keras itu.
Tanpa mempedulikan nasib Malaikat Petir lagi, Raksasa Pemangsa Manusia melesat meninggalkan tempat itu, menuju arah yang tadi ditempuh oleh Lestari.
Lestari bukan seorang gadis yang bodoh. Setelah berlari beberapa saat, pikiran jernihnya timbul kembali. Sekarang, dia dapat menerima kebenaran perintah yang diberikan ayahnya. Kalau tadi dia memaksakan diri membantu ayahnya menghadapi Raksasa Pemangsa Manusia itu, mungkin dia dan ayahnya akan tewas. Lalu, siapa yang akan membalaskan dendam mereka? Kalau sekarang dia dapat menyelamatkan diri, kemungkinan untuk mengadakan pembalasan, meskipun kecil tapi ada harapannya.
Itulah sebabnya, ketika mendengar bunyi berdebum yang semakin lama semakin keras, dan mendekati tempatnya, Lestari dapat menduga kalau Raksasa Pemangsa Manusia tengah mengejarnya. Dan itu berarti Malaikat Petir, ayahnya, telah tewas!
Lestari menelan kesedihan yang menyesakkan dada. Dendam yang hebat terhadap Raksasa Pemangsa Manusia pun seketika muncul di ha-tinya. Namun, dia tidak mau bertindak gegabah dengan menyerang tokoh yang memiliki taring itu secara membuta. Gadis berpakaian merah ini ju-stru terus mempercepat larinya seraya mengedarkan pandangan ke sana kemari untuk mencari tempat persembunyian yang baik.
Dan ketika akhirnya menemukannya, Lestari segera menyelinap ke sana. Sebuah kerimbunan semak belukar yang rapat ditumbuhi pepohonan. Namun, baru saja masuk ke dalamnya, gadis berpakaian merah ini hampir menjerit kaget kalau tidak cepat-cepat menahannya. Di dalam semak belukar yang dimasukinya tengah bersembunyi seorang pemuda tampan berpakaian coklat.
Pemuda tampan bertubuh tegap itu meletakkan jari telunjuknya di bibir, memberi tanda agar Lestari tidak membuat kegaduhan hingga membuat jeritan gadis berpakaian merah tertahan. Dan sebelum Lestari sempat berbuat sesuatu, pemuda berpakaian coklat itu telah mengangsurkan sebuah kendi kecil padanya.
"Gosokkan isinya pada seluruh pakaian dan kulit tubuhmu agar Raksasa Pemangsa Manusia tidak dapat menemukanmu," ucapnya dengan suara berbisik.
"Apa ini?!" tanya Lestari sambil menerima kendi yang diangsurkan pemuda berpakaian coklat itu. Dia memperhatikan kendi itu sejenak, demikian pula dengan wajah pemuda yang memberikannya. Meski ucapannya itu pun dikeluarkan dengan suara pelan tapi tidak menyembunyikan adanya nada curiga di dalamnya.
"Cairan berisikan ramuan yang menyebarkan bau tanam-tanaman. Paman ku yang memberikannya, dan sengaja kuberikan padamu agar kau terhindar dari tangan Raksasa Pemangsa Manusia. Kau tahu, tokoh yang mengerikan itu memiliki penciuman yang amat tajam. Sekali saja bertemu denganmu, dia akan mengetahuinya meski kau berada jauh dari tempatnya. Raksasa Pemangsa Manusia memiliki hidung binatang buas."
"Jadi... ramuan ini untuk menghilangkan bau tubuhku dan menggantinya dengan bau tanam-tanaman?!" tanya Lestari meminta kepastian.
"Benar, tapi tidak dapat bertahan lama. Cepatlah, aku khawatir kita terlambat dan Raksasa Pemangsa Manusia lebih dulu tiba di sini...!"
Kali ini Lestari tidak ragu-ragu lagi untuk membuka tutup kendi itu. Meskipun demikian, perasaan hati-hati mendorongnya untuk mencium baunya ketika sumbat kendi itu terbuka. Dan memang, pemuda berpakaian coklat itu tidak berkata bohong, dia mencium bau khas tanaman dari dalam kendi itu.
Baru saja pemuda berpakaian coklat menggosok-gosokkan isi kendi itu pada sekujur pakaian dan tubuhnya, langkah-langkah yang menggetarkan bumi semakin keras terdengar. Sesaat kemudian, Raksasa Pemangsa Manusia berlari, lewat jalan tak jauh dari semak belukar tempat keduanya bersembunyi.
Raksasa Pemangsa Manusia menghentikan lari. Kepalanya ditolehkan ke arah kerimbunan semak-semak di kanan kiri jalan yang tengah dilaluinya. Hidungnya yang besar bergerak-gerak seperti tengah mengendus-endus. Tingkah manusia bertubuh besar dan tinggi ini mirip binatang buas tengah mencari mangsanya yang lolos.
Lestari yang berada di dalam kerimbunan semak-semak, sempat berdebar tegang hatinya ketika melihat Raksasa Pemangsa Manusia memperhatikan tempat persembunyiannya. Untung saja semak-semak ini amat rapat sehingga dirinya tidak terlihat.
Sementara Lestari sendiri dapat mengamatinya dengan jelas, bahkan ketika raksasa bertaring panjang itu mengembang-kempiskan hidungnya yang besar. Kenyataan yang dilihatnya ini semakin menambah kepercayaan di hati Lestari terhadap pemuda berpakaian coklat.
Ketegangan yang melanda hati Lestari membuyar ketika Raksasa Pemangsa Manusia tidak mempedulikan tempat persembunyiannya lagi. Sosok bertubuh raksasa itu terus berlari dengan diiringi bunyi bergetar keras dan berirama pada tanah.
DUA
"Hhh...!" Lestari mengeluarkan napas lega ketika melihat tubuh Raksasa Pemangsa Manusia lenyap ditelan di kejauhan. Yang tertinggal hanya getaran langkahnya pada tanah. ''Terima kasih atas pertolonganmu... Sobat. Aku Lestari," gadis berpakaian merah ini mengulurkan tangan, memperkenalkan diri.
"Aku Prapanca, Lestari. Dan mengenai pertolonganku, lupakan saja! Hanya sebuah pertolongan kecil dan tidak berarti," jawab pemuda berpakaian coklat seraya menyambut uluran tangan Lestari.
"Bagaimanapun kau telah berjasa besar, Prapanca" Tanpa sungkan-sungkan, Lestari yang mempunyai watak lincah dan tidak pemalu, menyapa pemuda berpakaian coklat itu dengan nada akrab seakan-akan mereka telah kenal lama. "Kalau tidak ada dirimu, mungkin aku sudah tertangkap oleh raksasa bermulut bau itu. Kau benar, Prapanca. Raksasa bermulut kotor itu memiliki hidung unik, seperti hidung macan! Eh, bagaimana kau bisa tahu kalau aku tengah dikejar-kejar raksasa jelek yang menjemukan itu? Dari mana pula kau mengetahui ketajaman... eh, hidungnya? Mengapa kau berada di sini? Siapa pula pamanmu itu?"
Pemuda berpakaian coklat yang bernama Prapanca sampai melongo menerima pertanyaan memberondong seperti gelombang laut itu. Dia merasa bingung memikirkan jawaban lebih dulu yang harus diberikan. Tambahan lagi dia masih merasa terkesima ketika merasakan halusnya tangan Lestari yang tadi berada di genggamannya.
"Hey...! Kau ini kenapa, sih?" sentak Lestari agak keras ketika melihat Prapanca hanya terlongong bengong.
"Ah... oh.... Ti... tidak apa-apa, Lestari. Hanya saja... maaf, maksudku... eh.... Aku harus menjawab pertanyaanmu yang mana dulu? Pertanyaanmu terlalu banyak sih!"
"Sesukamulah!" sahut Lestari sambil mengangkat bahu.
"Baiklah kalau begitu. Aku tahu kalau dirimu tengah dikejar-kejar karena melihatmu menyelinap kemari. Tahu orang yang mengejarmu Raksasa Pemangsa Manusia, penyebabnya karena hanya tokoh sesat itulah yang memiliki ciri khas begitu jika berlari. Sedangkan mengenai keistimewaan Raksasa Pemangsa Manusia... kudengar dari paman ku. Jelas?!"
"Sangat jelas!" Lestari mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum.
"Sekarang giliranku mengajukan pertanyaan, Lestari," ujar Prapanca bersikap seperti Lestari, sok akrab. "Mengapa kau bisa berurusan dengan Raksasa Pemangsa Manusia? Lalu bagaimana kau bisa lolos dari tangannya?"
Wajah Lestari langsung berubah hebat mendengar pertanyaan ini. Semula gadis berpakaian merah ini lupa nasib ayahnya, tapi kini teringat kembali karena mendapat pertanyaan itu.
"Ayaaah...!" seru Lestari dengan hati pilu. Dan sebelum gema teriakannya lenyap, dia telah melesat cepat ke arah semula. Mendapat jawaban seperti ini, karuan saja Prapanca jadi kebingungan. Dia sama sekali tidak menyangka, kalau pertanyaannya akan berakibat seperti itu. Meskipun begitu, pemuda berpakaian coklat ini mampu bersikap tanggap.
"Lestari...! Tunggu...!"
Namun seruan Prapanca sia-sia. Lestari tidak menggubris seruannya sama sekali, dan terus berlari. Hingga Prapanca pun tidak tinggal diam. Dia segera berlari mengejar. Dan ternyata ilmu lari cepat pemuda berpakaian coklat ini tidak rendah. Dia mampu membayangi Lestari, bahkan perlahan namun pasti dapat memperdekat jarak.
Lestari tentu saja tahu kalau Prapanca mengikutinya. Namun tidak dipedulikannya sama sekali. Yang ada di benak gadis itu hanya ayahnya. Dia khawatir sesuatu yang buruk menimpa ayahnya. Kalau tidak Raksasa Pemangsa Manusia tidak akan bisa mengejarnya karena Malaikat Petir pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk menghalanginya.
"Ayaaah...!" Lestari menjerit keras penuh bernada kekhawatiran, kepiluan, dan keterkejutan ketika melihat sosok yang tergeletak di tanah di tempat pertarungan antara Raksasa Pemangsa Manusia dengan ayahnya. Meski jaraknya masih cukup jauh, sepasang mata Lestari yang awas langsung bisa mengenali kalau sosok yang terbaring itu tak lain ayahnya.
Prapanca hanya bisa berdiri diam, terpaku di dekat Lestari yang duduk bersimpuh sambil menangisi kematian ayahnya. Pemuda berpakaian coklat ini tidak berkata apa-apa. Dia tahu tidak ada gunanya menghibur karena akan sia-sia. Hal yang lebih penting sekarang adalah membiarkan Lestari menumpahkan semua ganjalan perasaannya agar dadanya menjadi lega.
Cukup lama juga Prapanca harus menunggu Lestari menghentikan tangisnya. Pemuda itu baru ikut campur tangan dan membantu ketika Lestari, dengan bahu yang masih terguncang-guncang karena isak tangis, membopong tubuh ayahnya. Tanpa diminta Prapanca membuat lubang kuburan untuk ayahnya Lestari.
"Aku turut berduka cita atas kejadian ini, Lestari," ucap Prapanca lirih setelah selesai menguburkan mayat Malaikat Petir. "Boleh ku tahu, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
''Terima kasih, Prapanca. Aku banyak berhutang budi padamu. Kalau tidak ada kau, entah apa yang akan terjadi dengan diriku," jawab Lestari dengan suara serak. "Hhh...! Aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Mungkin aku akan memenuhi permintaan ayahku jauh-jauh hari sebelum beliau tewas...."
"Apa aku boleh mengetahuinya, Lestari?!" tanya Prapanca hati-hati karena khawatir membuat Lestari tersinggung. Pemuda berpakaian coklat ini tahu orang yang tengah dilanda kesedihan besar bisa mengalami perubahan watak yang tidak terduga.
"Yahhh...," jawab Lestari dengan suara mendesah. "Dulu... beberapa tahun yang lalu, ayahku sering kali menyinggung tentang hal ini. Sepertinya beliau telah mempunyai firasat akan adanya maut yang mengancam. Itulah sebabnya beliau sering memberi nasihat padaku apabila terjadi hal-hal tidak diinginkan atas dirinya, aku diperintahkan untuk menemui kawan-kawan akrabnya. Beliau mempunyai dua orang kawan karib, tapi aku lebih dipesankan untuk menemui kawannya yang satu lagi yang berjuluk Malaikat Salju."
"Malaikat Salju?!" Sepasang alis Prapanca berkerut seakan merasa terkejut mendengar ucapan gadis itu.
"Ya! Mengapa?!" Lestari balas mengajukan pertanyaan seraya menatap wajah Prapanca penuh selidik. "Apakah kau mengenalnya? Atau...."
"Aku tidak mengenalnya, Lestari," selak Prapanca untuk mencegah gadis berpakaian merah itu melanjutkan ucapannya. "Tapi terus terang, kuakui kalau aku mengenalnya... maksudku mendengar julukannya. Bukankah Malaikat Salju merupakan salah seorang dari Tiga Malaikat Bayangan yang belasan tahun lalu menggemparkan dunia persilatan?! Kalau ayahmu merupakan sahabat karib Malaikat Salju berarti beliau salah seorang dari Tiga Malaikat Bayangan. Maaf, aku... mungkin terlalu lancang, Lestari!"
"Dugaanmu tidak salah, Prapanca. Ayahku memang salah satu dari tiga tokoh besar itu. Julukan beliau Malaikat Petir," ujar Lestari menjelaskan masih dengan suara serak karena isak tangis yang tadi melanda.
Prapanca mengangguk-anggukkan kepala. Karuan saja melihat sikap ini, Lestari merasa heran. "Ada apa, Prapanca?!"
"Tidak apa-apa," sahut pemuda berpakaian coklat itu. "Hanya saja sekarang aku tahu mengapa ayahmu dibunuh oleh Raksasa Pemangsa Manusia. Pasti ini ada hubungannya dengan kejadian bertahun-tahun yang silam. Maksudku, ada hubungannya dengan kematian murid Raksasa Pemangsa Manusia oleh Malaikat Petir, ayahmu."
"Kau... kau..., dari mana kau mengetahuinya?!" tanya Lestari terbata-bata karena kaget mendengar dugaan Prapanca yang demikian tepat. Dari mana pemuda berpakaian coklat itu tahu, padahal dia sendiri, yang ayahnya terlibat langsung karena yang menjadi korban adalah ayahnya, baru mengetahuinya dari ucapan Raksasa Pemangsa Manusia sendiri.
Prapanca tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia malah menghela napas berat sambil menundukkan kepala. Sejenak sepasang matanya menekuri tanah, seakan-akan ada yang menarik perhatiannya di sana.
"Bukannya aku tidak mau memberitahukannya, Lestari. Tapi, guruku berpesan demikian. Dia tidak ingin ada seorang pun yang mengetahuinya. Aku hanya dapat memberikan gambaran bahwa guruku mempunyai hubungan dengan sahabat-sahabat ayahmu, dan bahkan terhadap ayahmu juga. Oleh karena itu, aku tahu penyebab permusuhan ayahmu dengan Raksasa Pemangsa Manusia. Cukup jelas?!"
"Hik hik hik...!" Suara tawa berkikikan telah lebih dulu menyambuti ucapan Prapanca, sebelum Lestari memberikan tanggapan. Suara tawa yang jelas berasal dari mulut seorang wanita. Hanya saja nadanya begitu menyeramkan, di samping getaran kuat yang menggetarkan dada.
Prapanca dan Lestari hampir bersamaan menolehkan kepala ke arah asal suara. Sepasang muda-mudi ini langsung bersikap waspada karena bisa mengetahui kalau pemilik tawa itu merupa-kan orang sakti. Tawa yang mampu menggetarkan dada mereka, penyebab Prapanca dan Lestari dapat memperkirakan demikian.
"Dewi Cabul...!" desis Prapanca terkejut ketika melihat pemilik tawa.
"Hi hi hi...! Rupanya kau telah mengenaliku, Bocah Bagus...?! Luar biasa! Ini menjadi pertanda kalau kau bukan orang sembarangan. Bagus...! Bagus...!"
Sosok yang disapa Prapanca dengan julukan Dewi Cabul, tidak pantas menyandang julukan demikian, karena paras dan keadaannya tidak mirip dengan dewi! Dia adalah seorang nenek, berambut panjang berwarna dua. Tubuhnya tinggi, tapi agak membungkuk, bongkok udang. Hidungnya melengkung seperti paruh burung kakaktua. Sepasang matanya yang mirip mata kucing itu semakin menambah seram penampilannya. Selain itu, rambutnya yang kusut masai dibiarkan ter-gerai dan dipermainkan angin.
"Seharusnya nenek bongkok ini tidak menyandang gelar dewi melainkan iblis atau nenek sihir!" protes Lestari dalam hati.
"Hi hi hi...! Tidak salahkah kau, Prapanca?!" selak Lestari setelah terlebih dulu mengumbar tawa. "Orang seperti ini kau sebut dewi? Lalu, bagaimana pula jelek atau buruknya kuntilanak dan iblis?! Seharusnya dia berjuluk Nenek Burung Bermata Anjing!"
Prapanca terkejut mendengar ucapan Lestari yang bernada menghina itu. Dia memang tahu kalau Lestari memiliki watak luar biasa, tidak mengenal takut, dan angin-anginan. Saat ini sedih, tapi lain saat lupa akan kesedihannya dan dapat memperolok orang lain. Namun, tindakan Lestari kali ini keterlaluan! Bukan hanya karena sembarangan mengeluarkan makian terhadap seseorang, tapi juga karena Prapanca tahu siapa sebenarnya orang yang dihina Lestari!
Prapanca sama sekali tidak tahu kalau kematian Malaikat Petir yang sangat mengenaskan, telah mengguncangkan hati Lestari. Memang, gadis berpakaian merah ini memiliki sifat angin-anginan, tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun kesedihan karena wataknya yang lincah dan gembira. Namun, Malaikat Petir merupakan satu satunya keluarga yang ada, dan Lestari sendiri amat menyayangi ayahnya.
Maka, Lestari amat dendam tatkala mengetahui ayahnya mati secara demikian mengenaskan di tangan Raksasa Pemangsa Manusia. Kalau saja mampu dan memiliki kepandaian, Lestari tentu akan menuntut balas. Tapi, karena tahu kalau terhadap Raksasa Pemangsa Manusia, tidak dapat bertindak apa-apa. Dendamnya itu kini ditujukan pada tokoh-tokoh persilatan sealiran dengan Raksasa Pemangsa Manusia. Karena Raksasa Pemangsa Manusia merupakan tokoh sesat, Lestari jadi memendam kebencian besar terhadap tokoh-tokoh aliran hitam.
Itulah sebabnya, Lestari langsung mengeluarkan hinaan kasar terhadap nenek bongkok. Karena melihat ciri-ciri, julukan, dan sikapnya, Lestari dapat memperkirakan kalau Dewi Cabul adalah tokoh golongan hitam.
"Lestari, kau terlalu sembrono," bisik Pra-panca pelan tapi bernada teguran. ''Tahukah kau siapa nenek itu?!"
"Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu! Yang jelas, dia tokoh golongan hitam, dan aku akan melenyapkannya!" tandas Lestari, mantap.
"Hikh... hik... hik...! Gagahnya...! Gagah dan cantik jelita! Ingin kulihat apakah kau masih berani menghinaku apabila wajahmu kujadikan lebih buruk dari wajahku...!"
Setelah berkata demikian, nenek berhidung melengkung itu menjulurkan tangan kanannya secara sembarangan. Lestari tentu saja melihat ancaman dari tangan keriput yang memiliki kuku-kuku panjang, runcing, dan berwarna hitam itu. Namun gadis berpakaian merah ini tidak menampakkan perasaan gentar atau takut.
Dia tahu, serangan tangan itu tidak akan mengenai sasaran yang dituju karena jarak antara mereka berdua tidak kurang dari satu setengah kali juluran tan-gan. Cengkeraman tangan ke arah wajahnya itu tidak akan membuahkan hasil sama sekali.
Namun keyakinan Lestari jadi membuyar ketika melihat jari-jari tangan nenek itu terus saja meluncur ke arah wajahnya. Padahal, Lestari tahu pasti kalau nenek bongkok itu tidak melangkah maju. Tapi, mengapa jari tangan itu terus meluncur ke arahnya?
Karena tak mempunyai kesempatan untuk mengelak, Lestari terpaksa memapaknya sambil mengerahkan seluruh tenaga. Sikap tanggapnya yang membuat gadis itu langsung mengambil tin-dakan meskipun benaknya masih dipenuhi rasa bingung melihat tangan lawan terus meluncur ke arah sasaran.
Lestari memekik tertahan karena perasaan kaget dan kesakitan. Tubuh gadis berpakaian merah ini terjengkang ke belakang seperti diseruduk kerbau liar. Sementara nenek Dewi Cabul hanya tergetar saja tangannya.
"Uh...!" Nenek bongkok itu mengeluarkan seruan kaget ketika merasakan ada hawa panas menjalar dari tangannya yang berbenturan dengan tangan Lestari. "Bukankah itu jurus 'Petir Menyambar Awan'? Apa hubunganmu dengan Malaikat Petir, Wanita Binal?!"
"Kau tidak perlu tahu, Kuntilanak Jelek!" jawab Lestari, kasar.
"Keparat! Rupanya kau sudah kepingin mampus?!"
Dewi Cabul kembali melancarkan serangan terhadap Lestari. Dia menubruk maju, memburu Lestari yang telah berhasil memperbaiki kedudukan tubuhnya. Seperti juga sebelumnya, kedua tangan nenek bongkok itu tertuju ke arah wajah Lestari. Rupanya dia ingin benar merusak wajah gadis berpakaian merah yang cantik itu.
"Tahan...!"
Seiring terdengarnya bentakan itu, sesosok bayangan coklat melesat memapaki serangan Dewi Cabul sehingga terjadi benturan antara mereka. Dan seperti juga yang terjadi pada Lestari, sosok bayangan coklat itu terhuyung-huyung ke belakang ketika berhasil menangkis serangan. Meskipun demikian, dia berhasil mematahkan serangan terhadap Lestari.
Dewi Cabul mengeluarkan pekik melengking nyaring melihat kegagalan serangannya untuk yang kedua kali. Kali ini yang membuyarkannya tak lain Prapanca. Kemudian dengan sikap gagah, pemuda berpakaian coklat itu berdiri di hadapan Dewi Cabul, membelakangi Lestari.
"Kau akan berhadapan denganku apabila meneruskan maksudmu itu, Dewi Cabul!" tandas Prapanca dengan sikap gagah.
''Terkutuk! Rupanya kau sudah tidak sabar untuk bersenang-senang denganku, Bocah Bagus! Baik, kau dulu yang akan kubereskan, baru wanita liar itu!"
Diawali teriakan nyaring laksana pekik seekor burung garuda, Dewi Cabul meluruk menerjang Prapanca. Namun, pemuda berpakaian coklat itu memang telah siap semenjak tadi, maka ter-jangan lawan pun disambutnya dengan hangat. Pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi.
Lestari tidak langsung ikut campur dalam pertarungan itu. Dia berdiri, memperhatikan jalannya pertarungan, sambil merasakan sakit yang mendera tangannya akibat berbenturan dengan tangan Dewi Cabul. Tangan itu terasa sakit dan ngilu bukan kepalang seperti berbenturan dengan sebatang baja yang amat keras. Bahkan sekujur tangan kanannya bagaikan lumpuh.
Lestari tidak yakin kalau Dewi Cabul memiliki tingkatan di bawah Raksasa Pemangsa Manusia. Setidak-tidaknya nenek bongkok ini mempunyai kepandaian setingkat dengan tokoh sesat yang bertaring itu. Dan dugaan ini membuat Lestari bergidik dalam hati. Sama sekali tidak disangkanya kalau dalam waktu sebentar saja bisa bertemu dengan tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian demikian dahsyat!
Namun, Lestari tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alun pikirannya itu. Sesaat kemudian, dia telah sibuk memperhatikan jalannya pertarungan antara Prapanca dengan Dewi Cabul dengan penuh minat! Lestari diam-diam terkejut ketika menyadari kalau Prapanca pun bukan orang sembarangan. Meskipun sebelumnya telah menduga kalau pemuda berpakaian coklat itu memiliki kepandaian, tapi Lestari tidak menyangka ternyata setinggi itu. Pemuda itu mampu menghadapi amukan Dewi Cabul.
Namun, kemampuan Prapanca mempertahankan serangan Dewi Cabul hanya untuk beberapa gebrakan saja. Kemudian pemuda berpakaian coklat itu terdesak hebat Dewi Cabul, meskipun telah berusia tua, dan bertubuh bongkok, tidak bisa dipandang remeh. Dewi Cabul memiliki gerakan cepat, dan tenaga dalam kuat. Beberapa kali ketika berbenturan, baik tangan atau kaki, Prapanca selalu menyeringai kesakitan dengan tubuh terhuyung-huyung.
Prapanca menggertakkan gigi dalam usahanya menambah semangat menghadapi setiap serangan Dewi Cabul. Kendati demikian, usahanya hampir tidak membuahkan hasil, Dewi Cabul terlalu tangguh untuk dapat dilawannya. Dia terus didesak dan dipaksa untuk pontang-panting ke sana kemari.
"Tidak usah melawan lagi, Anak Bagus! Percuma… Lebih baik kau menyerah dan ikut aku. Aku berjanji akan menurunkan ilmu-ilmu tinggi padamu kalau kau bersedia ikut denganku," bujuk Dewi Cabul di sela-sela desakannya.
"Nenek-nenek tidak tahu malu...!" maki Prapanca sambil melompat ke belakang untuk menghindarkan sapuan kaki lawannya. "Jangan harap aku akan menuruti ajakan mu yang tidak bermoral!"
"Rupanya kau ingin dipaksa, Bocah Bagus...?!" ujar Dewi Cabul, tanpa mengundang kemarahan. Nenek bongkok ini ternyata tidak main-main dengan ucapannya. Belum juga ucapannya lenyap, Prapanca merasakan terjangan-terjangan lawan semakin menghebat. Pemuda berpakaian coklat ini semakin terdesak hebat dan tampak kewalahan.
Lestari yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan, mengetahui kalau Prapanca berada dalam keadaan gawat. Maka, tanpa banyak cakap lagi, dicabut kipas bajanya yang terselip di pinggang, dan langsung terjun ke kancah pertarungan.
TIGA
Ikut campurnya Lestari ke dalam kancah pertarungan benar-benar merubah keadaan. Prapanca tampak mulai terbebas dari desakan hebat. Tenaga gadis berpakaian merah itu memang dapat diandalkan. Sekarang, Dewi Cabul tidak bisa mendesak lawannya secara mudah. Apalagi ketika, Prapanca pun mengeluarkan senjatanya. Sepasang sumpit berujung runcing terbuat dari gading gajah, Dewi Cabul terpaksa mengeluarkan senjata andalannya, sehelai sapu tangan.
Lestari dan Prapanca semula merasa heran melihat Dewi Cabul menggunakan selembar sapu tangan lebar berwarna merah muda sebagai senjata. Namun ketika merasakan kehebatan benda itu di tangan nenek bongkok, pandangan mereka langsung berubah. Sapu tangan itu ternyata tidak kalah ampuh dengan senjata-senjata lainnya.
Selembar kain saja mungkin dapat digunakan untuk menghancurkan batu karang yang paling keras hanya dengan dikebutkan oleh Dewi Cabul. Sapu tangan itu bisa pula berubah menegang kaku seperti batang tongkat baja, bahkan mungkin pedang yang tajam.
Untungnya, Lestari dan Prapanca mampu bekerja-sama dengan baik. Sepasang muda-mudi ini dengan cepat dapat saling menyesuaikan diri menghadapi lawan mereka. Mereka mampu saling memperkuat serangan dan pertahanan. Kerjasama mereka mampu menambah daya tahan serangan dan pertahanan. Keduanya mampu saling isi dan melindungi.
"Keparat!" Dewi Cabul memaki-maki penuh kegeraman karena sampai lima puluh jurus bertarung, belum juga mampu mendesak pasangan muda-mudi itu. Kegeramannya semakin menjadi-jadi karena rasa penasaran yang memuncak. Dia telah menggunakan senjata andalan, tapi belum juga mampu merobohkan dua orang lawan yang masih sangat muda. Kalau sampai terdengar tokoh-tokoh persilatan, mau ditaruh di mana mukanya?
Sejauh itu, Dewi Cabul yang telah mengeluarkan seluruh kemampuannya tetap tidak bisa berbuat banyak. Namun hal yang sama pun dialami oleh pasangan muda-mudi yang menjadi lawannya. Sebagai tokoh yang telah kenyang pengalaman Dewi Cabul cepat tanggap dan tahu kalau menghadapi keadaan seperti ini pertarungan akan berlangsung cukup alot. Masih panjang waktu baginya untuk dapat mengalahkan Lestari dan Prapanca. Tampaknya nenek bongkok ini tidak mempunyai kesabaran yang cukup untuk menunggu lebih lama.
"Hih...!" Dewi Cabul meraup segenggam debu dan melemparkannya ketika Lestari dan Prapanca memburunya. Nenek bongkok yang licik itu memang pura-pura terdesak dan menjatuhkan diri di tanah. Mendapat serangan curang dan tidak tersangka-sangka, pasangan muda-mudi itu kelabakan. Namun mereka langsung menahan serangan seraya memejamkan mata agar serangan abu itu tidak mengenai mata.
Kesempatan seperti ini yang ditunggu-tunggu Dewi Cabul. Laksana seekor ikan, tubuhnya melenting ke arah lawan-lawannya yang tengah berada dalam keadaan kurang menguntungkan itu. Nenek bongkok ini mengirimkan serangan dengan sebuah totokan sapu tangan yang telah dibuatnya menegang, ke arah ulu hati Lestari.
Meski dengan sepasang mata terpejam, baik Lestari maupun Prapanca, bisa mengetahui adanya serangan maut itu. Pendengaran mereka yang terlatih menangkap bunyi mencicit nyaring. Maka keduanya bergegas menghindar.
Tukkk! Blukkk!
Lestari dan Prapanca sama-sama menjerit kesakitan ketika serangan licik Dewi Cabul men-genai sasaran, meskipun tidak terlalu cepat. Ujung sapu tangan tidak mengenai ulu hati Lestari, melainkan paha kanannya. Sedangkan Prapanca terkena tendangan pada bahu kirinya. Tubuh sepasang muda-mudi itu terjengkang dan terguling-guling.
Dewi Cabul yang membenci Lestari karena telah campur tangan dan merepotkannya, segera, menubruk untuk mengirimkan serangan maut. Tentu Lestari yang tidak mau merelakan nyawanya begitu saja berusaha keras untuk menyelamatkan diri. Namun, tetap saja ujung kebutan sapu tangan itu menyerempet pinggangnya hingga dia terguling. Dewi Cabul segera menyusulinya dengan serangan maut.
"Lestari...!" Prapanca yang kalah cepat oleh Dewi Cabul hanya dapat menjerit ngeri melihat hal ini. Dengan seluruh kemampuan yang ada, pemuda berpakaian coklat ini melesat untuk menyelamatkan Lestari.
Trakkk!
Dewi Cabul mengeluh tertahan ketika ujung sapu tangannya tidak menghantam leher Lestari, melainkan berbenturan dengan sebatang pedang yang dibabatkan oleh sesosok bayangan putih. Lagi-lagi serangan nenek bongkok itu gagal total. Dan kesempatan itu segera dipergunakan oleh Lestari untuk beringsut menjauh.
"Jahanam! Siapa kau, Monyet Betina Buduk?! Sebutkan namamu sebelum mati di tanganku!" maki Dewi Cabul geram sambil menatap sosok bayangan putih yang telah menggagalkan serangannya. Sosok berpakaian putih itu berdiri tegak di depan dengan pedang melintang di depan dada.
"Kaulah yang akan mati di tanganku, Monyet Betina Tua! Hhh... perempuan tua bau tanah! Kenalkan, aku Melati!" tandas sosok bayangan putih yang ternyata seorang gadis cantik dan berambut panjang tergerai. Kecantikannya bercampur dengan keanggunan ketika dagunya agak mendongak seiring dengan ditutup ucapannya yang lantang.
Melati, kekasih Dewa Arak ini, langsung menyambung ucapannya dengan tusukan pedang ke leher Dewi Cabul. Bunyi mengaung keras langsung terdengar ketika senjata tajam itu meluncur. Ternyata Melati langsung menggunakan ilmu pedangnya yang ganas, Ilmu 'Pedang Seribu Naga'.
Wajah Dewi Cabul berubah karena kaget melihat serangan Melati yang ganas itu. Walaupun demikian, tidak berarti dia menjadi gugup atau bingung. Tangan kanannya bergerak dengan cepat.
Rrrttt!
Dengan gerakan cepat, Dewi Cabul berhasil melibat batang pedang Melati dengan sapu tangannya. Melati kaget. Namun, sebelum gadis berpakaian putih ini bertindak, Dewi Cabul telah lebih dulu menggoyangkan kepala.
Wrrr!
Tiba-tiba rambut Dewi Cabul kusut masai terayun deras ke arah kepala Melati. Dengan kelihaiannya, nenek bongkok ini telah membuat rambutnya menjadi kaku laksana segumpal balok.
Namun dengan menundukkan tubuh, Melati berhasil mengelakkan serangan itu. Bahkan sam-bil melakukan tindakan demikian, dikerahkan te-naga dalam untuk menarik pedangnya dari lilitan satu tangan lawan. Hasilnya, sia-sia!
Batang pedang itu seperti telah berakar dan menyatu dengan sapu tangan Dewi Cabul. Tidak mampu terle-pas. Dan celakanya lagi, tenaga dalam Melati tak mampu menandingi sehingga ketika nenek bongkok itu balas menarik tubuh Melati tertarik ke depan.
Dan terseretnya tubuh Melati itu langsung dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Dewi Cabul. Nenek bongkok ini menyambuti datangnya tubuh Melati dengan sebuah pukulan telapak tangan terbuka ke arah dada. Melati yang tidak mempunyai pilihan lain, langsung memapaknya dengan sikap tangan serupa.
Plakkk!
Dua buah tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Melati langsung terpekik kaget ketika mengetahui tangannya tidak mampu ditarik pulang kembali. Tangan itu seperti telah melekat dengan tangan lawannya. Jantungnya dirasakan berdetak cepat secara mendadak ketika mengetahui tenaga dalamnya mengalir deras ke arah Dewi Cabul melalui tangan yang saling melekat. Betapa pun Melati berusaha keras untuk mencegah, tetap sia-sia! Tenaga dalamnya terus menjalar ke tubuh Dewi Cabul tanpa dapat dicegah lagi.
Melati benar-benar kehabisan daya. Wanita perkasa yang berjuluk Dewi Penyebar Maut akibat keganasan tindakannya terhadap orang-orang yang berada di pihak berlawanan dengannya. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: Dewi Penyebar Maut). Menyadari kalau nyawanya berada di ambang kematian.
Sing, sing!
Di saat kritis bagi keselamatan Melati, dua buah batu kecil sebesar ibu jari kaki meluncur ke arah dahi dan leher Dewi Cabul. Si Nenek Bongkok tidak berani menganggap remeh serangan ini, karena di samping mengancam jalan darah kematian, juga dilepas dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Ternyata Prapanca orang yang mengirimkan serangan itu.
Harapan Prapanca untuk menyelamatkan nyawa Melati dari ancaman maut, tidak percuma. Dewi Cabul yang melihat adanya bahaya besar itu, buru-buru melepaskan kemampuannya menyedot tenaga Melati, dan langsung melompat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Prapanca untuk melancarkan serangan susulan dengan mempergunakan sepasang sumpitnya.
"Larilah, Nisanak! Tinggalkan tempat ini, biar aku yang menahannya dulu...!" teriak Prapanca pada Melati di sela-sela sambaran sumpitnya yang menusuk ke arah jalan-jalan darah kematian di tubuh lawannya.
Melati tentu saja mendengar seruan itu. Dan kalau saja dia mau menuruti, meski masih agak lemas karena sebagian tenaganya terkuras, mudah saja baginya untuk melarikan diri dari tempat itu. Namun Melati bukan wanita yang gampang menyerah, dan Prapanca keliru kalau mengira gadis itu akan cepat melarikan diri. Gadis berpakaian putih ini malah berdiam diri di tempatnya, berusaha untuk memulihkan tenaga dalamnya yang tersedot.
Tindakan Melati membuat Prapanca menjadi cemas, karena merasa dirinya bukan tandingan Dewi Cabul. Dan Prapanca memang tidak bermaksud untuk terus bertarung dengan nenek bongkok itu. Penyerangannya atas Dewi Cabul semata-mata untuk menyelamatkan Melati yang telah menyelamatkan Lestari.
Paling tidak dapat memberi kesempatan pada gadis berpakaian putih agar melarikan diri, baru kemudian dia ikut kabur apabila mendapat kesempatan. Sedangkan Lestari sudah lebih dulu meninggalkan mereka. Dan itu pun atas anjuran Prapanca.
Sebenarnya, kalau saja tidak ada perkembangan lain, Prapanca lebih suka untuk meneruskan pertarungan. Dengan adanya tenaga bantuan dari Melati, mereka bertiga akan mampu mengalahkan Dewi Cabul. Namun di saat Melati tengah bersitegang melawan pengaruh ilmu aneh Dewi Cabul, mendadak terdengar getaran-getaran di bumi. Prapanca tahu apa artinya ini.
Apalagi ketika menyadari kalau getaran itu semakin mengeras. Raksasa Pemangsa Manusia tengah berlari mendekati tempat pertarungan mereka. Dan hal itu berarti bahaya besar. Dewi Cabul saja sudah merupakan lawan yang amat tangguh, apalagi di-tambah dengan Raksasa Pemangsa Manusia yang memiliki kemampuan mengiriskan, di samping bentuk tubuhnya yang besar.
Kedua tokoh itu mungkin memiliki kemampuan dan kedigdayaan yang setingkat karena merupakan tokoh-tokoh nomor satu dunia persilatan untuk golongan hitam. Raksasa Pemangsa Manusia dan Dewi Cabul merupakan dua di antara datuk-datuk kaum sesat yang terkenal dengan julukan Biang-Biang Iblis!
Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa gelisahnya hati Prapanca ketika melihat Melati tidak mempedulikan seruannya. Gadis berpakaian putih itu malah berdiam diri di tempatnya. Betapa pun, Prapanca di tengah-tengah kesibukannya menghadapi amukan Dewi Cabul, menyempatkan diri memerintahkan Melati melarikan diri. Gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak memper-gunakan kesempatan itu untuk kabur.
Tidak sampai sepuluh jurus Prapanca menahan Dewi Cabul, sudah beberapa kali nyawanya hampir melayang. Pemuda berpakaian coklat ini berhasil selamat hanya di saat-saat terakhir. Itu pun dengan terpontang-panting. Prapanca tidak yakin kalau dirinya mampu bertahan sepuluh ju-rus lagi menghadapi nenek bongkok ini.
Hal ini membuat Prapanca semakin gelisah. Kalau saja Melati sudah menuruti anjurannya un-tuk kabur, dengan keadaan seperti ini dia dapat memutar otak untuk menyelamatkan diri. Apalagi ketika dipikir Lestari pasti akan gelisah menunggu kedatangannya karena sewaktu disuruh melarikan diri, gadis berpakaian merah ini mau setelah tahu kalau Prapanca akan melarikan diri pula. Sama sekali Prapanca tak menyangka akan terjadi hal seperti itu.
Akhirnya, setelah tiga jurus berlalu dan Melati tidak menampakkan tanda-tanda akan melarikan diri, Prapanca jadi kehilangan kesabaran karena rasa cemasnya yang hebat. Bunyi getaran pada tanah telah semakin keras, pertanda kalau Raksasa Pemangsa Manusia sudah tidak jauh lagi dari tempat mereka.
Itulah sebabnya, Prapanca mengambil keputusan singkat. Prapanca yakin bahwa Melati akan mengikutinya jika dia kabur dari tempat itu. Sebab untuk melakukan perlawanan seorang diri tidak ada gunanya, hanya menca-ri mati. Namun, sebelum Prapanca melaksanakan niatnya, gadis berpakaian putih itu melesat masuk ke dalam kancah pertarungan.
"Tidak ada gunanya, Kisanak! Lebih baik kita tinggalkan tempat ini!" seru Prapanca, keras.
"Aku akan pergi setelah mengirim Nenek Bau ini ke akherat!" sahut Melati sambil mengirimkan serangkaian serangan dengan pedangnya.
Prapanca menggertakkan gigi. Dia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Melati yang dianggapnya berwatak keras. Hanya dua pilihan baginya, mengikuti tekad Melati, membinasakan Dewi Cabul atau meninggalkan Melati sendirian. Suatu pilihan yang membingungkan, karena membayangkan betapa gelisahnya Lestari kalau dia tidak kunjung datang.
Akhirnya, Prapanca memilih yang pertama. Dengan keputusan itu, Prapanca mengerahkan seluruh kemampuannya untuk dapat segera merobohkan Dewi Cabul sebelum Raksasa Pemangsa Manusia tiba di sini.
Namun, niat itu hanya mudah dalam bayangan, sulit dilaksanakannya. Betapa pun Prapanca yang dibantu oleh Melati, berusaha sekuat tenaga untuk merobohkan Dewi Cabul, tetap saja nenek bongkok itu sukar dirobohkan. Kerjasama antara Melati dan Prapanca tidak lebih baik daripada dengan Lestari, karena dengan tenaga dalam yang sebagian telah terkuras, kemampuan.
Melati telah merosot jauh. Kenyataan ini membuat Prapanca semakin gelisah. Namun sebaliknya Melati justru terlihat tenang-tenang saja. Rupanya keinginan untuk melenyapkan Dewi Cabul membuat Melati tidak memikirkan hal-hal lain. Getaran-getaran bumi yang semakin mengeras, dan diketahui tidak sewajarnya, tidak menarik perhatiannya sama sekali. Dia hanya tertarik sebentar kemudian melupakannya ketika teringat kembali akan Dewi Cabul.
"Ha ha ha...! Rupanya kau telah berada di sini, Dewi Cabul?!" Terdengar sebuah suara serak dan parau disusul dengan munculnya Raksasa Pemangsa Manusia. "Dan kau telah berpesta rupanya. Jangan serakah, Dewi Cabul! Aku tahu kau tidak doyan makanan yang satu, biar aku yang menyantapnya."
Tanpa menunggu tanggapan Dewi Cabul, Raksasa Pemangsa Manusia telah melangkah le-bar memasuki kancah pertarungan. Tangannya yang besar dan penuh bulu meluncur ke arah kedua pinggang Melati seperti hendak memeluk.
Melati menjerit kaget dan langsung melompat mundur, sehingga terhindar dari renggutan tangan Raksasa Pemangsa Manusia. Dan pada saat yang bersamaan dengan tangan kirinya, gadis berpakaian putih ini mengirimkan serangan jarak jauhnya, lewat jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Bresss!
Serangan tidak terduga-duga yang datang-nya demikian cepat itu, tidak dapat dielakkan oleh Raksasa Pemangsa Manusia. Seketika tubuh tinggi besar ini tergetar dan terhuyung selangkah ke belakang. Mendapatkan serangan balasan yang tak terduga-duga itu membuat Raksasa Pemangsa Manusia murka. Memang pukulan jarak jauh Melati tidak mampu melukai tubuhnya yang terlindung kulit kuat laksana kulit badak.
Namun tubuhnya yang terhuyung-huyung dan sedikit rasa panas pada dadanya yang terhantam serangan jarak jauh itu, menyulut amarahnya. Kemarahan itulah yang membuatnya menerjang Melati dengan pukulan kedua tangan dikepalkan keras.
Melati yang dibuat terpukau ketika melihat Raksasa Pemangsa Manusia tidak terluka sama sekali akibat serangan jarak jauhnya, sempat sadar melihat serangan bertubi-tubi ke arahnya. Gadis cantik ini langsung mengelak dan balas menyerang dengan mempergunakan pedangnya. Ilmu 'Pedang Seribu Naga' yang menjadi andalannya, langsung dikeluarkan.
Untuk yang kedua kalinya, Melati harus me-nelan kenyataan pahit. Lawan yang dihadapinya ini memiliki kemampuan jauh di atasnya. Itu pun masih ditambah dengan kekebalannya yang luar biasa. Beberapa kali, berkat kecepatan gerakan serta kedahsyatan ilmu pedangnya, dan terutama karena lawan tidak mempedulikan serangan, Melati berhasil menyarangkan serangan baik berupa tusukan, bacokan, maupun tendangan.
Namun semuanya tidak berarti sama sekali. Kulit tubuh Raksasa Pemangsa Manusia tidak terluka sama sekali. Bahkan sebaliknya tangan Melati yang ter-getar dan sakit-sakit setiap kali pedangnya berha-sil mendarat pada sasaran.
Kekuatan tubuh lawannya ini mengingatkan Melati akan lawan dahsyat yang dulu pernah dihadapinya. Dulu pun dia pernah bertarung dengan lawan yang memiliki kulit tubuh kuat. Tokoh itu berjuluk Raksasa Kulit Baja. Hanya saja Raksasa Kulit Baja tidak memiliki kepandaian seperti Raksasa Pemangsa Manusia. Kepandaian Raksasa Kulit Baja biasa-biasa saja. Kesulitan dalam membunuh tokoh itu hanya karena kulit tubuhnya yang kebal. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Dewi Penyebar Maut").
Bukan hanya Melati yang terancam bahaya maut, Prapanca pun tidak berbeda. Begitu Melati tidak membantunya karena telah menghadapi Raksasa Pemangsa Manusia, Prapanca langsung terdesak kembali. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan kekasih Dewa Arak itu.
Prapanca tahu, melawan terus berarti rela mati konyol. Maka, walau hati berat, diputuskan untuk kabur saja meninggalkan lawannya. Tidak ada gunanya lagi tetap berada di sini karena dia tidak akan dapat menolong Melati. Yang lebih penting sekarang berusaha menyelamatkan nya-wanya sendiri. "Lagi pula, siapa tahu Melati bisa menyelamatkan diri pula," hibur Prapanca dalam hati.
"Dewi Cabul! Lihat, 'Naga Siluman' milikku akan mencaplok kepalamu!" seru Prapanca dengan suara bergetar sambil melemparkan salah satu sumpit gadingnya.
Dewi Cabul tersentak kaget. Tanpa sadar dia melangkah mundur ketika melihat seekor naga muncul dan dari udara hendak mencaplok kepa-lanya. Naga itu membuka mulutnya lebar-lebar, memperlihatkan gigi-gigi taringnya yang runcing.
Wuttt!
Pyarrr!
Naga itu kontan lenyap ketika Dewi Cabul menghentakkan tangan kiri mengirimkan pukulan dengan telapak tangan terbuka ke arah kepala binatang mengiriskan itu. Dan di tanah tempat naga tadi berada, tampak sebatang sumpit gading yang telah hancur berantakan!
"Keparat!" Dewi Cabul menggertakkan gigi penuh pera-saan geram karena tahu kalau untuk sejenak tadi, lawan telah berhasil menipunya dengan ilmu sihir.
Naga itu tercipta karena ilmu sihir Prapanca. Dan pemuda berpakaian coklat itu sendiri, tidak berada lagi di situ. Meskipun tidak mengetahui arah yang ditempuh Prapanca, Dewi Cabul tetap memaksakan diri melakukan pengejaran. Rupanya dia tidak ingin menyia-nyiakan seorang pemuda sakti seperti Prapanca. Dengan kepergian Dewi Cabul, tinggal Melati dan Raksasa Pemangsa Manusia yang ma-sih tinggal di tempat itu. Kedua tokoh ini masih sibuk bertarung, dan Melati tetap terdesak dan kewalahan.
Bukkk!
Melati mengeluh tertahan ketika sisi tangan Raksasa Pemangsa Manusia menghantam pangkal bahu kanannya. Cukup telak, dan sudah pasti ke-ras karena tokoh yang memiliki taring itu memiliki tenaga besar. Seketika itu pula tubuh Melati ambruk terkulai di tanah. Pingsan! Sambil tertawa tergelak Raksasa Pemangsa Manusia mengangkat tubuh Melati dan membawanya pergi dari tempat itu.
EMPAT
"Manusia Jelek! Apa yang hendak kau lakukan?! Mari kita bertarung sampai salah seorang di antara kita ada yang mampus!" seru Melati ketika Raksasa Pemangsa Manusia membawanya lari meninggalkan tempat itu. Hanya hal ini yang dapat dilakukan oleh gadis berpakaian putih itu, ka-rena sekujur tubuhnya dirasakan lemas. Raksasa Pemangsa Manusia yang tidak bodoh, telah lebih dulu menotoknya hingga lumpuh sebelum Melati sadar dari pingsannya.
"Manusia Jelek! Ternyata hanya tubuhmu saja yang besar tapi nyalimu kecil. Kalau kau bukan seorang pengecut, bebaskan totokanku mari kita bertarung!" teriak Melati lagi dengan nada mulai cemas ketika mengetahui tantangan perta-manya tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
"Ha ha ha...!" Kali ini Raksasa Pemangsa Manusia tertawa bergelak penuh nada gembira. "Kau kira aku bodoh, Wanita Liar? Aku tidak bisa dipancing dan ditipu. Apa pun yang kau katakan, aku tak akan membebaskan mu. Bukankah telah terbukti kalau kau bukan tandinganku?! Kau telah kukalahkan! Dan ketahuilah, setiap orang yang kalah dengan Raksasa Pemangsa Manusia mempunyai dua pilihan. Kalau dia lelaki atau wanita yang telah tua, kematianlah yang akan di dapat. Sedangkan wanita yang masih muda, terutama sekali yang berilmu tinggi, akan menjadi santapan ku. Aku yakin daging dan tulang-tulang mudamu pasti nikmat! Ha ha ha...!"
"Apa kau orang yang berjuluk Raksasa Pemangsa Manusia?!" tanya Melati, tanpa menyembunyikan rasa kagetnya.
Ucapan lelaki tinggi dan bertaring itu yang membuatnya mempunyai dugaan demikian. Melati telah lama mendengar raja kaum sesat yang berjuluk Raksasa Pemangsa Manusia. Namun karena tokoh itu telah lama tidak ketahuan rimbanya lagi, dia sama sekali tidak menyangka kalau kini berhadapan dengan tokoh yang mengiriskan itu.
Sekarang, Melati baru sempat menyadari kalau ciri-ciri yang dimiliki tokoh sakti yang mengalahkannya sesuai dengan berita yang didapatkannya. Seketika bulu kuduk Melati meremang membayangkan dirinya akan dijadikan santapan tokoh sesat yang doyan makan daging manusia ini! Melati hanya bisa berharap kalau dugaannya ini salah.
Melati merasa putus asa ketika melihat lelaki tinggi besar itu mengangguk membenarkan dugaannya. Sementara, Raksasa Pemangsa Manusia bersikap tidak peduli dan terus berlari dengan langkah kakinya yang menimbulkan bunyi berdebum-debum menggetarkan tanah.
Tokoh yang mengiriskan ini memperlambat larinya ketika tiba di sebuah lembah yang diapit dua bukit kecil. Sebuah lembah yang luas, terdiri dari tanah kering dan gersang. Raksasa Pemangsa Manusia menghentikan langkahnya di depan sebuah goa besar yang terlihat hitam kelam.
Matanya yang besar dan beralis tebal memandangi ke sekeliling tempat itu dengan kening berkernyit, seperti tengah memperhatikan sesuatu. Sesaat kemudian, dengan sembarangan saja, tubuh Melati dilemparkan ke dekat dinding goa sedangkan dia sendiri langsung melangkah cepat masuk ke goa itu.
Jantung Melati berdetak kencang ketika melihat Raksasa Pemangsa Manusia berlari memasuki goa. Gadis berpakaian putih ini menyadari adanya sebuah kesempatan untuk melarikan diri. Maka, tanpa membuang-buang waktu dikerahkan tenaga dalamnya yang berada di bawah pusar, dipusatkan untuk membebaskan jalan darahnya yang tertotok. Namun ternyata totokan Raksasa Pemangsa Manusia kuat bukan kepalang, sia-sia! Meski begitu, gadis berpakaian putih ini tidak putus asa dan terus berusaha keras untuk membebaskan diri.
Melati menghela napas kesal. Seketika perasaan kecewa muncul di dalam hatinya karena tiba-tiba terdengar bunyi langkah berdebum keras. Sesaat kemudian Raksasa Pemangsa Manusia telah berada kembali di dekatnya.
Setelah melempar pandangan ke arah Melati untuk meyakinkan kalau tawanannya masih ada, dengan raut wajah gembira, Raksasa Pemangsa Manusia meletakkan alat-alat yang diambilnya dari ruang dalam tak jauh dari mulut goa.
Melati semakin merasakan jantungnya berdetak lebih cepat lagi. Dengan sorot mata memancarkan kengerian, diperhatikannya alat-alat yang telah tertata rapi di tanah itu. Kayu-kayu bakar, sebuah bejana besar mirip penggorengan dan guci besar berisi air! Ini berarti penjagalan atas dirinya tak lama lagi akan segera dimulai.
"Ha ha ha...!" Raksasa Pemangsa Manusia tertawa tergelak ketika bejana besar berisi air itu telah diletakkan di atas kayu bakar yang menyala nyala. "Begitu air itu mendidih, kau akan melihat hal-hal yang menarik, Wanita Liar! Kau mungkin tahu apa yang akan terjadi. Kau akan ku rebus!?"
Melati hampir tidak kuasa menahan kengeriannya melihat semua itu. Apalagi ketika terlihat olehnya gigi-gigi taring lelaki tinggi besar itu. Namun dengan menenangkan perasaan gadis itu tetap memandangi penggorengan besar yang penuh air di atas kobaran api. Melati yang telah kenyang pengalaman tahu, tokoh-tokoh sesat semakin senang apabila calon korban mereka semakin ketakutan. Mereka mendapat kepuasan tersendiri dari rasa takut yang melanda hati mangsa mereka.
Terlihat oleh Melati sinar kekecewaan di mata Raksasa Pemangsa Manusia melihat korbannya menampakkan sikap yang berbeda dengan harapan.
"Air itu bukan air sembarangan, Wanita Liar! Tapi, air yang telah ku campur dengan bahan-bahan milikku. Apabila telah mendidih, panasnya puluhan bahkan mungkin ratusan kali lipat dari air biasa. Hhh... menyakitkan sekali! Seluruh tubuhmu akan terasa seperti ditusuki pisau-pisau berkarat yang beracun. Juga, bahan-bahan yang ku campurkan membuat tubuhmu akan matang jauh lebih lama! Dengan demikian kau akan tersiksa sekali. Ha ha ha...!" lanjut Raksasa Pemangsa Manusia dengan nada dibuat menyeramkan untuk menimbulkan ketakutan hati Melati, agar dia tidak merasa kecewa lagi untuk kedua kalinya. Dia ingin melihat korbannya ini merengek-rengek memohon ampun.
Melati memang merasa ngeri bukan kepalang mendengarnya. Dia tahu, Raksasa Pemangsa Manusia tidak berdusta. Meski demikian, gadis berpakaian putih itu pandai menyembunyikan perasaan takut sehingga tidak terlihat di wajahnya.
Raksasa Pemangsa Manusia merasa kecewa melihat kegagalan dari usahanya. Sekarang dia sadar kalau Melati tidak bisa ditakut-takutinya. Namun rasa gembira yang melanda hati jauh lebih besar dari perasaan kecewa, sehingga meski keinginannya untuk menakut-nakutkan Melati tidak berhasil, mulut manusia raksasa itu tetap tertawa.
"Sekarang tinggal menunggu air itu mendidih, Wanita Liar! Dan apabila itu terjadi, nyawamu telah berada di ambang pintu akherat. Nikmatilah saat-saat terakhirmu, Wanita Liar!"
"Lepaskan dia, Manusia Pemakan Bangkai!"
Raksasa Pemangsa Manusia terperanjat, begitu pula Melati. Seruan yang terdengar itu meskipun tidak keras tapi mengandung getaran sampai ke dalam dada. Yang lebih mengejutkan hati lagi, seruan itu muncul tanpa ketahuan pemiliknya.
Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi baik Melati maupun Raksasa Pemangsa Manusia tahu kalau pemilik suara itu berkepandaian tinggi. Getaran suara yang mampu merasuk ke dalam dada telah menjadi bukti nyata ketinggian tenaga dalam pemilik suara itu.
Namun yang lebih mengejutkan, dari mana datangnya tidak dapat diketahui, padahal baik Melati maupun Raksasa Pemangsa Manusia telah mengerahkan kemampuan untuk mencari asal suara itu. Seolah-olah suara itu berasal seperti dari delapan penjuru angin.
"Kau mencari siapa, Manusia Pemakan Bangkai?!" Suara menggetarkan itu kembali terdengar. Nadanya mengejek. "Aku di sini!"
Angin berdesir pelan. Dan tahu-tahu di antara Raksasa Pemangsa Manusia dan Melati, berdiri sesosok tubuh kecil kurus. Kumis dan jenggot lebat menghias wajahnya yang memiliki sinar mata mencorong kehijauan.
Sebuah topi berbentuk se-tengah tempurung kelapa berwarna hitam, menutup kepalanya. Pakaiannya pun berwarna hitam pekat. Wajahnya yang dingin tampak angker, menatap Raksasa Pemangsa Manusia.
Raksasa Pemangsa Manusia merupakan seorang datuk kaum sesat yang memiliki wibawa mengiriskan hati. Namun tak urung, melihat sosok yang berdiri di hadapannya, dia mundur selangkah. Kehadiran sosok kecil kurus yang lebih dulu menimbulkan ketegangan, telah membuat keang-kerannya semakin terlihat jelas.
"Siapa kau? Dan apa maksud ucapanmu itu?! Menyingkirlah kalau tidak ingin nyawamu kukirim ke neraka!" gertak Raksasa Pemangsa Manusia yang telah mendapatkan kembali ketenangannya.
Raksasa Pemangsa Manusia meski tampak bodoh, ternyata tidak memiliki pikiran sempit. Dari cara kedatangan lelaki kecil kurus ini saja, dirinya tahu kalau sosok yang berada di hadapannya memiliki kepandaian tinggi.
Dan dalam keadaan seperti ini, Raksasa Pemangsa Manusia tidak ingin terlibat pertarungan. Bukan karena gentar, melainkan karena khawatir Melati akan lolos dari tangannya. Dia tahu totokannya tidak dapat bertahan lama bagi seorang gadis seperti Melati.
"Aku hanya mau menyingkir apabila gadis itu kau serahkan padaku!" tegas sosok kecil ku-rus, seraya menuding tubuh Melati yang tergolek.
"Itu artinya kau mengajakku bertarung!" sentak Raksasa Pemangsa Manusia mantap.
Wutt, wutt, wuttt!
Raksasa Pemangsa Manusia yang tahu kalau sosok kecil kurus di depannya memiliki kepandaian tinggi, tanpa ragu-ragu lagi dalam sekali menyerang langsung mengirimkan pukulan bertubi-tubi dengan kedua tangan dikepal keras. Deru angin keras mengiringi tibanya setiap serangan.
Sosok kecil kurus menyunggingkan senyum sinis di bibirnya seakan-akan meremehkan serangan Raksasa Pemangsa Manusia. Kemudian dengan berani dipapaknya serangan itu dengan cara yang sama. Bunyi nyaring seperti ada dua benda logam berbenturan pun terjadi ketika dua pasang tangan yang memiliki ukuran berbeda jauh itu bertemu di tengah jalan.
Melati menatap dengan sorot mata kaget, tapi hatinya segera melihat sosok kecil kurus itu ternyata memang benar-benar dapat diandalkan. Setiap kali terjadi benturan tangan, tubuh Raksa-sa Pemangsa Manusia tergetar hebat dan hampir terhuyung. Hal seperti itu tidak dialami oleh lelaki kecil kurus. Bahkan pada benturan yang terakhir, tubuh Raksasa Pemangsa Manusia sampai terhuyung-huyung ke belakang.
"Grrrhhh...!" Raksasa Pemangsa Manusia menggeram keras. Benturan keras itu membuktikan kalau tenaga dalam lelaki kecil kurus berada di atasnya. Dan dugaannya ternyata tidak keliru, lelaki kecil kurus memiliki keunggulan tenaga dalam.
Namun dalam hal kekuatan anggota-anggota tubuh, lelaki kecil kurus ini bukan tandingan lawannya yang memiliki tubuh laksana besi baja. Benturan-benturan yang terjadi menyebabkan rasa sakit di tangan lelaki kecil kurus! Namun masing-masing pihak, tidak mempedulikan hal itu. Hampir pada saat yang bersamaan keduanya saling terjang. Bertempur untuk memperebutkan Melati.
Lelaki kecil kurus yang menjadi lawan Raksasa Pemangsa Manusia ternyata memiliki kepandaian amat tinggi. Tokoh sesat bertaring itu sama sekali bukan tandingannya. Baik dalam hal tenaga maupun mutu ilmu silat, lelaki kecil kurus ini berada di atas lawannya. Apalagi dalam hal kecepatan. Hanya berkat kekuatan tubuhnya yang menakjubkan, Raksasa Pemangsa Manusia masih bertahan dengan tegar.
Padahal sudah beberapa kali-kali baik pukulan maupun tendangan lelaki kecil kurus mendarat di berbagai bagian tubuh lawannya. Namun sama sekali tidak mampu melukai manusia bertubuh besar dan tinggi itu. Akibat yang ditimbulkan hanya terlemparnya tubuh Raksasa Pemangsa Manusia. Bahkan tak jarang hanya terhuyung-huyung atau tergetar. Setelah itu, lelaki tinggi besar ini kembali melancarkan serangan dengan kekuatan penuh.
Sepuluh jurus dengan cepat berlalu. Selama itu telah belasan kali Raksasa Pemangsa Manusia menerima serangan lawan. Namun hal itu sama sekali tidak mempengaruhinya. Dia masih tetap tangguh dan kokoh seperti sebelumnya.
Melati yang menyaksikan jalannya pertarungan diam-diam merasa gembira. Dia tahu pertarungan akan berlangsung alot dan lama. Hatinya semakin berharap semoga saja keadaan seperti ini akan berlangsung lebih lama. Melati yakin, dia akan berhasil terbebas dari totokan yang membelenggu sebelum pertarungan usai.
Maka dengan penuh semangat dipusatkan perhatian pada tenaga dalamnya untuk membebaskan pengaruh totokan yang membelenggu. Dan dengan hati girang Melati merasakan kalau perlahan-lahan tenaga dalamnya mampu menembus pengaruh totokan Raksasa Pemangsa Manusia. Dia yakin tak lama lagi pengaruh totokan itu akan punah semuanya.
Kembali Melati melihat tubuh Raksasa Pemangsa Manusia terpental ke belakang dan terguling-guling akibat gedoran dua telapak tangan terbuka lelaki kecil kurus yang menghantam dadanya secara telak. Namun, sebelum tokoh sesat yang memiliki taring itu bangkit, si Lelaki Kecil Kurus dengan cepat melempar tubuh ke belakang dan... menyambar tubuh Melati!
Sambil memondong tubuh Melati, lelaki kecil kurus itu melesat pergi. Melati meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Tanpa disadari dirinya telah melakukan kesalahan besar. Tenaganya yang belum pulih benar dari pengaruh totokan membuat rontaan yang dilakukan tak ubahnya geliatan seekor cacing. Lemah. Namun hal itu menyebabkan lelaki kecil kurus mengetahui kalau Melati hampir bebas dari pengaruh totokan, Dan sekali jari-jari tangannya bergerak, Melati kembali lumpuh!
"Keparat Jahanam! Jangan lari kau, Pengecut!" seru Raksasa Pemangsa Manusia, kalap ketika melihat lawannya melesat kabur dengan membawa tubuh Melati. Dia pun melesat mengejar.
* * *
"Maaf, saudara-saudara yang gagah. Boleh saya bertemu dengan Malaikat Salju?!" tanya seorang gadis berpakaian merah pada dua orang pemuda bertubuh kekar yang berdiri di depan sebuah pintu gerbang. Di atas pintu gerbang itu bertengger sepotong papan lebar dan tebal bertuliskan huruf-huruf indah yang berbunyi 'Perkumpulan Pengemis Baju Putih'.
"Maaf, Nisanak. Mungkin kau salah alamat. Di sini tidak ada orang yang berjulukan seperti itu," jawab pemuda yang bertubuh pendek, dengan suara halus.
"Bukankah ini Perkumpulan Pengemis Baju Putih?!" Kembali gadis berpakaian merah itu men-gajukan pertanyaan, meminta penegasan. Sambil mengajukan pertanyaan itu, sepasang mata indah gadis itu melirik ke atas tempat tergantungnya pa-pan tanda nama perguruan.
''Tidak salah!" sahut pemuda satunya lagi yang bertubuh tinggi. "Tapi orang yang kau tanyakan tidak berada di sini."
"Mungkinkah ayahku salah memberikan pe-tunjuk padaku?!" gumam gadis berpakaian merah seperti berkata pada dirinya sendiri. Wajahnya tampak bingung, setelah tercenung beberapa saat. "Ayahku mengatakan kalau aku dapat menemukan Malaikat Salju, kawannya, di Perkumpulan Pengemis Baju Putih. Bahkan kata ayahku, Malaikat Salju menjadi pemimpinnya."
"Mungkin ayahmu keliru, Nisanak. Kami berkata sebenarnya, pemimpin perkumpulan ini bukan orang yang mempunyai julukan seperti kau katakan. Beliau berjuluk Raja Pengemis Tongkat Sakti," jelas pemuda pendek.
Kali ini gadis berpakaian merah tidak memberikan sambutan. Dia termenung dengan tarikan wajah bingung. Rupanya kenyataan yang dihadapi, tidak sesuai dengan yang diperkirakannya.
"Ayahku tidak mungkin keliru!" tandas gadis berpakaian merah, mantap. "Aku yakin Malaikat Salju berada di sini! Haaii...! Malaikat Salju, keluar kau! Aku, Lestari ingin menghadapmu...! Aku mempunyai sebuah pesan penting dari ayahku, Malaikat Petir!"
Seruan gadis berpakaian merah yang ternyata Lestari, putri Malaikat Petir, keras sekali karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Tindakan Lestari membuat dua pemuda kekar yang mengenakan pakaian penuh tambalan sebagai mana layaknya seorang pengemis, menjadi tidak senang. Sudah baik-baik mereka jawab, gadis itu malah melakukan perbuatan yang mereka anggap tak sopan.
Hal itu menandakan kalau tamu itu menganggap bahwa mereka berdua tidak bisa dipercaya. Padahal, pantang bagi murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih melakukan dusta. Karena berbohong merupakan tinda-kan seorang yang pengecut. Dan mereka bukan pengecut! Perkumpulan Pengemis Baju Putih me-rupakan perkumpulan para orang gagah!
"Kuharap dengan sangat agar kau bersedia meninggalkan tempat ini, Nisanak! Jangan paksa kami untuk melakukan tindakan kekerasan!" tegas pemuda pendek kekar yang mengenakan pakaian dari tambal-tambalan kain warna putih se-bagaimana yang umumnya dikenakan murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih.
"Ah...! Betapa gagahnya...! Ingin kubuktikan sendiri apakah kepandaianmu sejajar dengan besarnya sesumbar yang keluar dari mulutmu!" sambut Lestari bernada tantangan.
Kedua murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih ini kecelik mendengar sambutan Lestari. Mereka tidak menyangka akan mendapat tanggapan seperti itu. Tentu saja karena keduanya tak mengenal siapa gadis yang mereka hadapi. Lestari ada-lah seorang gadis yang berwatak berubah-ubah. Di samping juga suka menurutkan kemauan sendiri. Prinsipnya, sekali hitam akan tetap hitam! Dan semula, melihat sikap baik dan sopan murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih, Lestari ikut baik.
Gadis berpakaian merah ini memang memiliki tanggapan sesuai dengan yang diterimanya. Apabila orang bersikap baik dia akan membalas lebih baik. Namun apabila orang tidak baik, dia akan membalas dengan tindakan lebih kejam! Itulah sebabnya ketika mendapat ancaman murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih, sikapnya yang angin-anginan langsung meledak!
"Kau... kau..., Wanita Liar...!" seru pemuda kekar yang akhirnya sanggup berkata lagi setelah tertegun sebentar karena perasaan bingung.
"Pengemis-Pengemis Bermulut Ceriwis! Orang seperti kalian harus diberi hajaran agar tidak sembarangan memaki orang!"
Lestari yang sudah kumat watak ugal-ugalannya, langsung mengirimkan tamparan ke arah bahu pemuda pendek kekar yang telah memakinya. Namun, meskipun tengah terbangkit emosinya, Lestari masih ingat kalau dua orang yang berdiri di hadapannya bukan termasuk golongan hitam. Bahkan bukan tidak mungkin mereka murid Malaikat Salju, kawan akrab ayahnya! Itulah sebabnya, gadis berpakaian merah ini mengirimkan serangan yang tidak mematikan.
Meskipun kaget melihat cepatnya serangan Lestari yang meluncur ke arah pelipisnya, pemuda itu tidak menjadi kehilangan akal. Sekilas tadi di-rinya memang tampak gugup, tapi tetap tidak ke-hilangan sikap waspada dan hati-hati. Sungguh-pun dengan agak menggeragap, pemuda pendek kekar ini cepat melangkahkan kakinya ke bela-kang sambil mendoyongkan tubuh mengelakkan serangan Lestari. Hingga serangan putri Malaikat Petir itu pun lepas dari sasaran.
Namun, hal seperti ini rupanya sudah diperhitungkan oleh Lestari. Pada saat yang bersamaan dengan tangan kanannya yang menampar angin, kaki kanannya bergerak ke arah paha lawan.
Dukkk!
Secara telak dan keras sekali kaki Lestari mendarat pada sasaran. Seketika tubuh pemuda pendek kekar itu terlempar ke samping. Kenyataan ini membuat rekannya terkejut, dan langsung bergerak menyerang karena khawatir kawannya mendapat serangan susulan dari gadis itu.
Namun seperti ketika menghadapi pemuda pendek kekar, Lestari tidak mengalami kesukaran untuk merobohkannya. Sekali mengulurkan tangan, gadis berpakaian merah ini telah berhasil menyarangkan pukulan tangannya yang terbuka ke perut pemuda tinggi kekar. Murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang sial ini pun jatuh terduduk di tanah.
Tanpa mempedulikan kedua lawannya yang masih menyeringai menahan sakit, Lestari berjalan melenggang ke dalam melalui pintu gerbang. Mulutnya terus berteriak-teriak memanggil Malaikat Salju.
Seketika itu pula suasana di dalam Perkumpulan Pengemis Baju Putin gempar. Kedatangan Lestari dengan sikapnya yang ugal-ugalan, berte-riak-teriak memanggil nama Malaikat Salju membuat kaget orang-orang di dalam perguruan itu. Semua penghuni di dalam markas Perkumpulan Pengemis Baju Putin tampak berlarian keluar dari pondok masing-masing.
Di dalam lingkungan benteng ternyata terdapat halaman tanah luas. Dan di sekitar hamparan tanah luas itu berdiri banyak pondok-pondok sederhana jumlahnya cukup banyak dan bentuknya seragam. Hanya ada satu pondok yang jauh lebih besar dari yang lainnya. Inilah tempat tinggal sang Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang berjuluk Raja Pengemis Tongkat Sakti.
LIMA
Lestari memandang berkeliling, tidak terlihat gentar sama sekali. Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan ketenangan. Padahal, gadis berpakaian merah ini telah terkurung oleh puluhan orang berpakaian pengemis. Dan mereka se-muanya menggenggam sebatang tongkat runcing dan panjang di tangan.
"Siapa kau, Nisanak? Bagaimana kau bisa masuk kemari?! Dan, apa arti ucapanmu itu, Ni-sanak?!" tegur seorang pengemis berwajah kuning yang berdiri di hadapan Lestari. Lelaki berwajah kuning ini melangkah tiga tindak agar lebih dekat dengan gadis berpakaian merah yang berdiri di tengah halaman.
"Aku sudah perkenalkan diri di luar, tapi orang-orang yang menjemukan itu tetap tidak mengizinkan aku masuk. Jadi, terpaksa aku masuk. Sekarang, sebelum kesabaranku hilang, dan terpaksa aku menyuruh kalian menuruti keinginanku dengan kekerasan, cepat bawa aku menemui Malaikat Salju!!" tandas Lestari. Wajah lelaki yang menegur Lestari seperti semakin bertambah kuning karena ucapan keras dan tajam gadis itu.
"Rupanya kau salah alamat, Nisanak! Di sini tidak ada orang yang kau cari! Di sini perkumpulan pengemis, bukan tempat malaikat! Cepat tinggalkan tempat ini!"
"Rupanya kau menginginkan aku bertindak keras, Manusia Penyakitan!" sambut Lestari, keras. "Baik kalau itu yang kau inginkan!"
Begitu selesai mengucapkan perkataan itu, Lestari menjejakkan kaki dan melompat ke atas melewati kepala rombongan pengemis yang mengurungnya. Tindakan Lestari yang tidak terduga-duga ini membuat rombongan pengemis itu, tak terkecuali lelaki berwajah kuning tak sempat melakukan tindakan untuk mencegah.
Dengan gemilang, Lestari berhasil melewati kepala para murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih, bahkan mendarat di luar kepungan. Kemudian dia langsung melesat ke arah bangunan paling besar. Dengan kecerdikannya Lestari dapat menduga kalau pondok terbesar itu pasti diperuntukkan bagi sang Ketua. Dan kalau benar, pasti Malaikat Salju! Itulah sebabnya, gadis berpakaian merah ini langsung melesat ke sana.
Beberapa langkah lagi mencapai pintu pondok, dari dalam melesat keluar sesosok bayangan yang tidak jelas bentuknya karena sangat cepat gerakannya. Kebetulan, pintu pondok itu terbuka lebar, sehingga sosok yang melesat dari dalam sa-na, tidak memerlukan gerakan tambahan untuk membuka daun pintunya.
Lestari yang tidak menduga kalau dari dalam akan melesat sesosok bayangan dengan kecepatan mengagumkan, menjadi kaget bukan kepalang. Apalagi ketika menyadari arah yang dituju sosok bayangan itu berlawanan dengannya. Kedua sosok yang tengah berlari ini berada persis dalam satu jalur, dan kebetulan berlawanan arah. Kalau tidak dapat dicegah, akan terjadi benturan antara mere-ka.
Lestari langsung menjejakkan kaki untuk melempar tubuhnya ke belakang. Dia sempat melakukan salto beberapa kali, sebelum kedua kakinya melayang turun dan hinggap di tanah dengan ringan. Sosok yang melesat dari dalam pun melakukan tindakan cepat untuk menghindarkan tabrakan dengan Lestari.
Seperti juga Lestari, sosok itu menyadari akan kemungkinan terjadinya tumbukan ketika telah berada di luar pintu pondok. Maka, dengan kecepatan gerak luar biasa, tongkat yang terpasang melintang di punggung dicabut dan dipukulkan ke tanah.
Blarrr!
Gumpalan-gumpalan tanah langsung berhamburan dan bahkan debu tebal pun mengepul ke udara. Namun bukan hal itu yang diharapkan oleh sosok yang melesat dari dalam. Dengan meminjam tenaga yang membalik dari pukulan tongkat, tubuhnya mencelat ke belakang dan mendarat dengan mantap, tepat di ambang pintu.
Berbeda dengan sosok itu yang mampu mendarat dengan aman, Lestari tidak demikian. Setelah kedua kakinya menjejak tanah, rombon-gan Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang semula mengejarnya, langsung merubung dan mengirimkan serangan. Tiga di antara mereka yang bersikap lebih tanggap, langsung menusukkan tongkat masing-masing ke arah gadis itu.
Serangan-serangan yang datang secara mendadak itu ternyata sangat dahsyat. Namun, Lestari masih mampu membuktikan bahwa dirinya tak percuma menjadi putri tunggal tokoh kesohor berjuluk Malaikat Petir. Dengan mudah dia berhasil mengelakkan satu serangan. Sedangkan yang dua lagi dipapaknya dengan tangan dan tendangan. Akibatnya, tubuh dua anggota Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang sial itu pun terjengkang ke belakang saking kerasnya tenaga tangkisan Lestari.
Melihat keberhasilan Lestari menghadapi serangan mendadak ini, belasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih ini pun menjadi penasaran. Serentak mereka bergerak untuk menyerbu.
''Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras. Be-lasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang tengah merangsek maju langsung berhenti. Mereka semua tahu betul siapa pemilik suara itu. Tanpa banyak membantah, mereka menghentikan gerakan dan melangkah mundur.
"Kalian jangan membuat malu perkumpulan kita...!" sambung pemilik seruan mencegah itu, yang ternyata si Lelaki Berwajah Kuning. "Tindakan kalian, apabila sampai terdengar oleh dunia persilatan akan menjadikan perkumpulan kita sebagai buah ejekan orang lain. Perlu kalian ingat, Perkumpulan Pengemis Baju Putih, bukan serombongan orang berjiwa pengecut yang hanya berani melakukan pengeroyokan!"
"Gagah nian ucapanmu itu, Muka Penyakit!" sergah Lestari, lantang dan tidak mempedulikan lelaki berwajah kuning yang menyibak kerumunan murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih untuk mendekatinya. "Apakah kau bermaksud melawanku sendiri?! Lebih baik urungkan saja niatmu yang sok-sokan itu. Dan biarkan saja rekan-rekanmu membantu untuk melakukan penge-royokan terhadap diriku!"
"Sombong!" bentak lelaki berwajah kuning yang semakin bertambah kuning warnanya karena marah melihat sikap sombong Lestari yang diang-gapnya keterlaluan "Kau akan melihat buktinya sendiri, Wanita Liar!"
Lelaki berwajah kuning itu menutup ucapannya dengan sebuah pukulan tangan kanan ke arah dada. Pukulan keras itu diketahui oleh Lestari didorong tenaga dalam cukup kuat Sebab ti-banya serangan itu diiringi bunyi berkesiutan dari udara yang terobek.
Lestari yang memiliki watak sukar ditebak, kali ini tidak menangkis serangan itu. Padahal, dia yakin kalau tenaga dalamnya tidak kalah kuat dengan yang dimiliki lawan. Gadis berpakaian merah ini malah mengelak. Tindakan itu tetap dilakukannya kendati lelaki berwajah kuning itu terus melancarkan serangan susulan. Ternyata tidak mengecewakan, Lestari berhasil membuat semua serangan lawannya hanya mengenai angin.
"Mana bukti ucapanmu, Manusia Penyakitan?! Ternyata ucapanmu tak lebih dan kentut! Bau busuk, dan tidak bisa menyebabkan apa pun selain orang menutup hidung!" ejek Lestari di sela-sela gerakan tubuhnya yang berlompatan ke sana kemari.
"Kaulah yang pengecut, Wanita Liar! Kalau kau memang bermaksud menyaksikan kelihaian ku, jangan cuma berlompatan seperti kera betina mencari pejantan untuk dikawini, tapi balaslah menyerang!" sahut lelaki berwajah kuning, tak ta-han untuk tidak berkata keras karena marah dan jengkel.
Lestari mengeluarkan lengkingan nyaring karena kaget dan marahnya mendengar ucapan yang terdengar tak senonoh untuk diperdengarkan pada seorang gadis sepertinya. Selebar wajahnya merah padam karena perasaan malu bercampur marah. Mendadak gerakannya berubah, tidak hanya bergerak mengelak melainkan juga melaku-kan tangkisan.
Plakkk!
Tubuh pengemis berwajah kuning langsung terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah ketika tendangan lurusnya dipapak oleh kaki Lestari. Mulutnya menyeringai menahan sakit yang melanda. Sementara tubuh gadis itu hanya tergetar dan agak goyah kedudukannya. Melihat keadaan lelaki berwajah kuning itu, tanpa diberi perintah murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putin meluruk menerjang.
''Tahan...!"
Lagi-lagi terdengar seruan mencegah. Dan seperti juga sebelumnya, kali ini pun belasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih mematuhinya. Mereka semua menghentikan gerakan, padahal serangan-serangan sudah siap dilancarkan.
Lestari langsung mengarahkan pandangan ke arah asal bentakan. Pemilik suara itu ternyata menghampirinya, dan berjalan menyibak kerumunan pengemis-pengemis berbaju putih. Mereka semua menyingkir untuk memberi jalan.
"Siapa kau, Nisanak?!" tanya pemilik bentakan ketika telah berjarak dua tombak di depan Lestari. Dia ternyata seorang pemuda berpakaian biru. Tubuhnya gagah berotot. Wajahnya yang berbentuk persegi seperti wajah singa memperlihatkan kejantanan. "Mengapa kau mengacau di tempat ini?!"
Lestari tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Matanya menatap tajam pemuda berpakaian biru dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sesaat kemudian, sambil tersenyum sinis dia men-gangguk-anggukkan kepala.
"Kelihatannya kau berbeda dengan mereka," ucap Lestari seenaknya. "Tapi, ternyata kau sama menjemukannya dengan mereka. Selalu mau tahu urusan orang! Tidak cukupkah aku mengatakan kepentinganku kemari?! Haruskah aku melapor pada semua orang yang ada di sini satu persatu untuk kepentingan yang kubawa ini? Aku sudah bosan mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti ini terus! Menyingkirlah, biar aku sendiri yang mencari di mana adanya Malaikat Salju!"
Dengan sikap tidak peduli, Lestari mengayunkan kaki ke depan. Padahal, di depannya berdiri pemuda berpakaian biru. Andaikata, Lestari terus melanjutkan tindakannya, dan pemuda itu tidak menyingkir, antara mereka akan terjadi tubrukan.
"Tunggu sebentar, Nisanak!" cegah pemuda berpakaian biru sambil menjulurkan kedua tangan ketika Lestari bam saja melangkah dua tindak. "Percayalah, setelah ini kau tidak akan mendapat pertanyaan itu lagi. Katakan, apa maksud-mu mencari Malaikat Salju! Dan siapa dirimu sebenarnya? Dan dari mana kau bisa menduga kalau Malaikat Salju berada di sini?!"
"Baiklah!" ujar Lestari sambil membanting kaki seperti melampiaskan kejengkelannya. "Aku tahu Malaikat Salju berada di sini dari ayahku. Dan beliau adalah salah seorang sahabat baik Malaikat Salju. Beliau berjuluk Malaikat Petir!"
"Ah...!" seru pemuda berpakaian biru, kaget. Wajah tampannya yang jantan berubah cerah. "Kiranya kau...! Kau putri Malaikat Petir?! Jadi... kau... kau... Lestari Mala...!"
Sekarang ganti Lestari yang merasa terkejut. Baru sekarang ada orang yang menyebut namanya dengan lengkap. Memang, demikian namanya. Namun dia sendiri hampir melupakan karena lebih sering mempergunakan nama depannya saja.
"Dari mana kau tahu namaku...?!" tanya gadis yang bernama lengkap Lestari Mala ini dengan suara bergetar karena menahan gejolak perasaan.
"Tentu saja dari guruku. Beliaulah yang menceritakan tentang diri Malaikat Petir dan putrinya yang katanya bernama Lestari Mala. Dan guruku ini adalah... Malaikat Salju, orang yang kau cari...!"
"Pantas kau lihai," puji Lestari sehingga membuat selebar wajah pemuda berpakaian biru memerah karena malu. "O ya, mana gurumu? Aku ingin bertemu dengannya untuk menyampaikan sebuah kabar penting."
"Sayang sekali, Lestari," jawab pemuda berpakaian biru dengan penuh penyesalan. Dia tidak bertanya lebih jauh mengenai kabar penting yang dimaksud. "Baru kemarin beliau pergi karena selalu mendapat firasat buruk mengenai gurunya, Kakek Sobrang. Beliau pergi untuk memastikan kebenaran firasatnya."
Raut wajah Lestari berubah. Tampak di wajahnya perasaan kecewa, meski hanya sebentar. "Bagaimana kau dan gurumu bisa menjadi ketua perkumpulan orang-orang kurang makan ini?"
Pemuda berpakaian biru tersenyum mendengar pertanyaan Lestari yang ceplas-ceplos itu. Diam-diam dia merasa aneh sendiri. Sebab, biasanya tidak pernah dia tersenyum seperti itu. Namun, di depan Lestari tiba-tiba dia tersenyum. Ada saja ucapan atau tingkah gadis itu yang membuatnya tidak bisa menahan geli.
"Kami tidak menjadi ketua pengemis, Lestari. Bahkan keberadaan kami di sini, meskipun memang diketahui oleh semua murid perkumpulan tapi tidak ada seorang pun yang mengenalku dan guruku. Kecuali, pengemis yang berwajah kuning. Ada pun penyebabnya adalah karena guruku telah menyelamatkan nyawa ketua perkumpulan pengemis ini dari pengeroyokan bajak-bajak sungai yang ingin membunuhnya. Karena guruku hendak menjauhkan diri dari dunia persilatan, ketua pengemis itu menawarkan tempat tinggal dan guruku menerimanya. Ketua pengemis itu sendiri kini tengah bersemadi dan tidak bisa diganggu. Jelas, Lestari?"
"Ah..., begitukah...! Betapa untungnya aku? Sama sekali tidak kusangka akan dapat menemu-kan tempat persembunyian Malaikat-Malaikat Pengecut itu! Hoi...! Malaikat Salju yang penge-cut..! Keluar kau...!"
Tiba-tiba terdengar suara seruan keras dan berkumandang. Pemuda berpakaian biru, Lestari, dan seluruh murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih terkejut bukan kepalang mendengar suara yang langsung berkumandang di sekitar tempat itu. Mereka semua menengok ke angkasa karena memang berasal dari sana. Dan seketika itu pula mereka semua membelalakkan sepasang mata seakan tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Tepat di atas mereka, berjarak sekitar delapan tombak tampak sesosok tubuh kurus seorang kakek berambut awut-awutan tengah duduk di atas sebatang kayu bulat sebesar ibu jari kaki. Panjang kayu itu tak lebih dari satu tombak. Pada bagian belakangnya terikat ijuk. Jadi kakek itu duduk pada sebatang sapu ijuk, seperti layaknya menunggang kuda. Kedua tangannya memegang batang kayu.
"Dewa Langit Tak Punya Malu...!" ucap pemuda berpakaian biru, tanpa mampu menyembunyikan keterkejutan dan kekhawatiran pada wajahnya.
"Kau mengenalnya?!" tanya Lestari dengan suara berbisik karena masih belum dapat menghilangkan perasaan kaget yang melanda hati melihat pemandangan seperti itu.
"Guruku banyak bercerita tentang tokoh-tokoh dunia persilatan. Dan menurutnya, ada gembong-gembong datuk sesat yang sekitar dua puluh tahun lalu mengasingkan diri, lenyap dari rimba persilatan. Gembong-gembong itu berjuluk Biang-Biang Iblis, karena memiliki kepandaian dan kekejaman luar biasa. Dan Dewa Langit Tak Punya Malu ini merupakan salah satu di antara mereka."
"Ah...!" Lestari tampak kaget mendengar keterangan dari pemuda berpakaian biru itu. Sebab sebelumnya dia tak pernah mendengar nama tokoh ini, meskipun Malaikat Petir, ayahnya telah banyak bercerita tentang tokoh kesohor di dunia persilatan. Seketika dia teringat akan tokoh-tokoh dahsyat dan mengerikan yang ditemuinya sebelum ini.
"Jadi selain dia masih ada lagi. Apakah Dewi Cabul juga termasuk di antara mereka?!"
"Benar," pemuda berpakaian biru menganggukkan kepala. "Mereka semua, menurut guruku, memiliki kepandaian tinggi dan aneh-aneh serta memiliki bentuk kejahatan keji yang berbeda-beda...."
* * *
"Rupanya kau benar-benar telah menjadi seorang pengecut, Malaikat Salju?!" seru kakek berambut awut-awutan yang berjuluk Dewa Langit Tak Punya Malu, setelah menunggu sejenak tak juga terdengar adanya sambutan. "Baik, kalau begitu biar aku yang turun dan mencarimu...!"
Seruan Dewa Langit Tak Punya Malu itu membuat Lestari dan pemuda berpakaian biru menghentikan percakapan. Bagai telah disepakati Lestari dan pemuda berpakaian biru mengeluarkan senjata andalan masing-masing.
"Aku tak yakin kalau kita akan mampu berbuat banyak terhadapnya, Lestari. Menurut guruku, kepandaian Dewa Langit Tak Punya Malu sukar dicari tandingannya. Bahkan mungkin beliau pun tak mampu menghadapi tokoh-tokoh dari kelompok Biang-Biang Iblis ini."
Pemuda berpakaian biru mengeluarkan per-kataannya tanpa melepaskan pandangan dari Dewa Langit Tak Punya Malu. Lestari dan juga belasan pasang mata lainnya pun melakukan hal yang sama. Mereka semua ingin tahu, bagaimanakah kakek berambut awut-awutan turun dari tempat yang cukup tinggi itu. Apakah dengan mempergu-nakan kendaraannya yang bernama 'Sapu Angin' itu, atau langsung melompat.
Lestari memalingkan wajahnya yang lang-sung berubah merah ketika melihat mendadak Dewa Langit Tak Punya Malu memerosotkan celananya. Bahkan pemuda berpakaian biru dan belasan orang murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih pun merasa heran melihat kelakuan kakek berambut awut-awutan itu. Apakah yang hendak dilakukannya? Pertanyaan itu bergayut di benak mereka.
Mereka semua berhamburan menjauhkan diri dari tempat itu ketika dari atas turun perci-kan-percikan air. Rupanya gembong datuk sesat itu memang memiliki watak tidak tahu malu. Dari atas dia mengencingi orang-orang yang berada di bawahnya.
"Ha ha ha...!"
Di saat belasan orang, tak terkecuali Lestari dan pemuda berpakaian biru berlompatan dengan penuh perasaan jijik, takut terkena percikan air kotor itu, Dewa Langit Tak Punya Malu malah ter-tawa bergelak penuh kegembiraan.
"Bagaimana?! Enak bukan?!" ujar Dewa Lan-git Tak Punya Malu, begitu belasan orang-orang yang berdiri di bawahnya telah berdiri tegak lagi di tanah.
Pertanyaan itu membuat belasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih semakin meluap amarahnya. Sebagian besar di antara mereka terkena percikan air yang menjijikkan itu, meskipun telah berusaha untuk mengelak. Yang lebih parah lagi, air kencing Dewa Langit Tak Punya Malu itu amat pesing dan bercampur bau busuk. Hampir saja mereka muntah-muntah. Tak urung, beberapa di antara mereka meludah-ludah penuh rasa jijik. Lucunya, bagian yang terkena percikan air kencing itu justru mereka cium-cium!
"Keparat..! Jahanam...!"
"Mampus kau, Tua Bangka Gendeng...!"
Dorongan amarah yang menggelora mem-buat belasan murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih itu melemparkan pisau-pisau ke arah Dewa Langit Tak Punya Malu! Sinar-sinar berkilat berbarengan dengan bunyi-bunyi berdesing nyaring yang mengiringi meluncurnya belasan bahkan mungkin puluhan pisau itu ke arah sasaran.
Dewa Langit Tak Punya Malu malah tertawa terbahak-bahak sambil memutar-mutarkan kedua tangannya. Dia tidak kelihatan gugup atau khawatir mendapat serangan seperti itu di saat tubuhnya tengah berada di udara. Bahkan lelaki tua itu ber-sikap seolah-olah tidak ada bahaya yang mengan-camnya. Baru ketika pisau-pisau itu hampir mengenai sasaran, kedua tangannya bergerak mengibas secara cepat sekali.
Menyaksikan tindakan kakek berambut gembel itu belasan orang yang menyerangnya terkejut. Tangkisan tangan telanjang Dewa Langit Tak Punya Malu, membuat sebagian pisau melesat kembali ke arah pemiliknya. Bahkan kecepatannya bertambah berlipat ganda. Kepanikan pun timbul di dalam rombongan Perkumpulan Pengemis Baju Putih itu.
Mereka semua berlompatan dan berlari untuk menyelamatkan diri. Namun, sebagian di antara mereka kurang cepat, sehingga pisau-pisau itu telah lebih dulu memangsa majikannya. Jeritan-jeritan menyayat hati mengiringi robohnya tubuh murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih itu. Mereka tewas oleh senjata mereka sendiri.
Lestari, pemuda berpakaian biru, dan pen-gemis berwajah kuning menggertakkan gigi penuh geram ketika melihat banyaknya korban yang ber-jatuhan tertancap pisau mereka sendiri. Namun apa yang dapat dilakukan, lawan berada di atas, jauh dari jangkauan serangan kecuali lemparan senjata rahasia!
"Sayang sekali..., permainan ini kurang menarik! Aku akan mempertunjukkan pada kalian permainan yang lebih menarik...!"
Pemuda berpakaian biru dan yang lainnya tahu kalau Dewa Langit Tak Punya Malu akan melakukan serangan. Maka mereka segera bersiap siaga. Senjata-senjata yang tergenggam di tangan mereka telah terhunus siap untuk dipergunakan.
Sementara Dewa Langit Tak Punya Malu terlihat tidak tergesa-gesa dengan permainan yang akan dipertunjukkannya. Dengan gerakan lambat diambilnya buntalan yang tersangkut di bahu ka-nan. Tangan kanannya merogoh buntalan berwar-na hitam itu.
"Silakan berpesta, Anak-Anakku...!" ujar Dewa Langit Tak Punya Malu seraya melemparkan benda-benda berwarna hitam mengkilat yang tergenggam di tangan.
Para murid Perkumpulan Pengemis Baju Pu-tih yang sejak tadi telah bersiap siaga, segera ber-tindak ketika melihat sinar-sinar hitam meluncur dari atas. Mata mereka yang rata-rata terlatih langsung bisa mengetahui kalau benda-benda hi-tam yang tengah meluncur turun itu ternyata ular-ular berbisa. Sambil melangkah mundur me-reka memutar-mutarkan senjata di atas kepala untuk membabati binatang-binatang melata yang mencoba memangsa mereka.
Namun, lagi-lagi pemuda berpakaian biru dan kelompoknya harus menelan kenyataan pahit. Ular-ular hitam itu ternyata tidak mudah dibunuh. Meskipun sebagian dari binatang-binatang melata itu terkena hantaman senjata para murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih tak nampak terluka atau putus. Ular-ular itu terus meluncur menuju sasaran sambil mengeluarkan desisan menyeramkan.
Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul ketika ular-ular hitam itu amblas ke dalam dada murid-murid Perkumpulan Pengemis Baju Putih yang sial. Mereka berkelojotan sebentar sebelum akhirnya diam tidak bergerak untuk selamanya. Lestari dan pemuda berpakaian biru serta pengemis berwajah kuning tampak berhasil menyelamatkan diri dari sergapan maut ular-ular hitam yang ternyata memiliki racun amat mematikan itu.
Kesempatan di saat pemuda berpakaian biru dan yang lain-lainnya disibukkan dengan usaha menyelamatkan diri, Dewa Langit Tak Punya Malu meluncur ke bawah. Kakek berambut awut-awutan itu melompat begitu saja dari kendaraan 'Sapu Angin'-nya. Kedua tangannya yang meng-genggam batang kayu, diletakkan di atas kepala seperti sebuah payung.
Tokoh sesat berwatak aneh itu memutar-mutarkannya. Dan berkat tindakan ini, laju tubuhnya yang meluncur turun tidak terlalu pesat. Hanya dalam waktu sebentar, Dewa Langit Tak Punya Malu telah berhasil menjejak tanah dengan ringan.
ENAM
Pemuda berpakaian biru bertindak lebih cepat daripada Lestari ataupun pengemis berwajah kuning. Pemuda berwajah persegi ini mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Dewa Langit Tak Punya Malu.
"Hebat...!" seru Dewa Langit Tak Punya Malu sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Sayang, kurang cepat! Tidak kena...!"
Tongkat pemuda berpakaian biru melayang di atas kepala lawan karena kakek berwatak aneh itu ternyata telah lebih dulu merendahkan tubuh.
"Eit..! Ini pun melesat...!" sesumbar Dewa Langit Tak Punya Malu lagi sambil melompat ke belakang ketika kipas baja di tangan Lestari meluruk cepat mengarah kepalanya.
Pengemis berwajah kuning, mendapat giliran penyerangan terakhir karena memang dia paling rendah kepandaiannya. Namun seperti juga Lestari dan murid Malaikat Salju, serangan lelaki berwajah kuning itu pun tak berhasil. Dewa Langit Tak Punya Malu mengelak sambil melontarkan se-ruan-seruan yang sepertinya menyayangkan tapi jelas penuh ejekan.
Tiada henti-hentinya kakek berambut awut-awutan itu mengeluarkan ejekan-ejekan setiap berhasil mengelakkan serangan. Dia terus-menerus mengelak tanpa melancarkan serangan. Baru ketika menginjak jurus ketiga belas, Dewa Langit Tak Punya Malu melakukan serangan balasan.
"Ah...! Maaf, aku tidak bermaksud memukulmu keras-keras!" ucap kakek berambut awut-awutan itu ketika berhasil menghantam pengemis berwajah kuning sehingga nyawanya melayang ke akherat dengan pelipis pecah. "Pasti sakit, ya?! Maafkan aku...!"
Lestari dan pemuda berpakaian biru semakin geram melihat sikap Dewa Langit Tak Punya Malu yang demikian. Mereka pun menguras seluruh kemampuan agar dapat mengalahkan lawan-nya. Namun, kakek berambut awut-awutan itu benar-benar bukan lawan yang gampang dikalah-kan. Dapat mengimbanginya saja sudah merupakan hal yang membanggakan.
Sampai dua puluh lima jurus kedua belah pihak masih belum terlihat ada yang terdesak. Pertarungan masih berlangsung seru. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Dan pada jurus kedua puluh tujuh, pihak Lestari dan pemuda berpakaian biru nampak mulai terdesak. Sesaat kemu-dian keduanya telah berada dalam keadaan gawat. Hal itu terjadi karena Dewa Langit Tak Punya Malu benar-benar melakukan perbuatan yang tidak punya malu.
Serangan-serangan yang dilakukannya tidak hanya menggunakan tangan dan kaki, serta sapunya. Melainkan juga ludah, ingus, dan angin yang keluar dari lubang duburnya. Tindakan aneh kakek berambut awut-awutan itu menyebabkan gerak penyerangan Lestari maupun pemuda berpakaian biru tidak leluasa, karena merasa jijik.
Pemuda berpakaian biru tahu, lama-kelamaan mereka berdua akan tewas di tangan Dewa Langit Tak Punya Malu. Dan hal itu tidak diinginkannya. Dia sendiri tidak takut mati, dan bahkan kematian baginya bukan apa-apa. Namun hatinya, tidak ingin Lestari Mala ikut mati! Pemuda berpakaian biru tidak ingin Lestari tewas percuma. Dia ingin Lestari selamat.
Sebuah perasaan aneh bersemi di hatinya ketika bertemu dengan putri tunggal Malaikat Petir itu. Dunia seperti berubah. Awan, pohon, dan tanah yang terlihat jadi lebih indah. Pemuda berpakaian biru merasa menaruh hati pada gadis cantik itu. Barangkali perasaan inilah yang menyebabkannya tidak rela Lestari mati.
"Lestari...! Larilah kau, biar aku coba menahannya...!" seru pemuda berpakaian biru sambil menyerang Dewa Langit Tak Punya Malu secara membabi buta, untuk memberikan kesempatan pada Lestari agar melarikan diri.
"Kau kira aku takut mati?! Aku bukan pengecut! Lebih baik kita mati bersama!" sambut Lestari keras sambil ikut menyerang.
"Jangan bertindak nekat, Lestari! Kita tak akan menang melawannya. Cepat pergi, biar aku yang menghadapinya!" bujuk pemuda berpakaian biru sambil memutar tongkatnya laksana baling-baling untuk membuat pertahanan yang kokoh kuat. Namun dia langsung terjengkang ketika tongkatnya berbenturan dengan Sapu Angin Dewa Langit Tak Punya Malu.
Pemuda berpakaian biru tidak mempeduli-kannya sama sekali. Tanpa menghiraukan sakit yang melanda sekujur tubuh akibat benturan itu, dia memotong serangan Dewa Langit Tak Punya Malu yang ditujukan pada Lestari.
Trakkk!
Tangkisan tangkai sapu Dewa Langit Tak Punya Malu yang terpaksa membatalkan serangannya terhadap Lestari Mala, membuat tubuh pemuda berpakaian biru terjengkang ke belakang.
"Cepat lari, Lestari! Jangan sia-siakan pengorbanan ku! Apakah kau ingin aku mati penasaran!" seru pemuda berpakaian biru, sementara tubuhnya terguling-guling karena kerasnya tang-kisan Dewa Langit Tak Punya Malu.
Lestari menggigit bibir untuk menguatkan perasaan hatinya yang terharu melihat tindakan pemuda berpakaian biru. Apalagi ketika dilihatnya pemuda itu bergulingan di tanah untuk menyela-matkan selembar nyawanya dari kejaran Dewa Langit Tak Punya Malu. Gadis itu sadar kalau semua ucapan pemuda berpakaian biru benar, maka dengan berat hati dia berlari meninggalkannya.
"Selamat tinggal, Lestari...!"
Sempat didengar oleh Lestari, seruan pemuda berpakaian biru. Namun, Lestari tidak berani menoleh kepala. Dia tidak ingin, pemuda berpakaian biru melihat sepasang matanya yang berkaca-kaca. Malah, Lestari semakin mempercepat larinya.
* * *
Lestari berlari terus tanpa memperhatikan arah. Dia hanya menuruti saja ke mana kakinya berlari. Kalau tidak mengingat ucapan pemuda berpakaian biru, dan juga tugas yang diembankan kepadanya, Lestari lebih suka mati bersama murid Malaikat Salju itu.
Karena berlari dengan pikiran melayang ke sana kemari, Lestari kurang waspada. Dia lupa memperhatikan sekelilingnya. Gadis berpakaian merah ini baru terperanjat ketika merasakan bunyi riuh-rendah di depannya. Dan ketika Lestari mengawasi secara lebih teliti, dia terkejut.
Sekitar dua puluh tombak di depan Lestari yang tengah berlari, tampak sesuatu bergerak-gerak menuju arahnya. Sesuatu yang ditakuti oleh sebagian besar kaum perempuan. Tikus! Dan yang lebih membuat bergidik hati Lestari adalah jumlahnya. Seekor tikus saja sudah cukup untuk membuat bulu tengkuknya meremang. Kini di hadapannya ada ratusan bahkan mungkin ribuan ekor tikus berwarna hitam mengkilat dan besar. Tikus-tikus itu hampir sebesar kucing.
Lestari langsung menghentikan langkahnya, dan memandang dengan sorot mata tidak percaya. Dari mana datangnya tikus-tikus besar begini banyaknya? Meskipun tadi tidak melalui jalan ini, Lestari dapat menduga kalau keberadaan kawa-nan tikus hitam itu di tempat ini merupakan suatu yang aneh. Tidak wajar!
Lestari semakin yakin akan dugaannya keti-ka melihat sesosok manusia bertubuh tinggi sekali berada di belakang kawanan tikus itu. Sosok bertelanjang dada dan hanya mengenakan sepotong celana panjang merah. Jarak yang masih jauh menyulitkan Lestari untuk bisa melihat lebih jelas. Namun dia yakin kalau sosok tinggi laksana galah itu seorang lelaki! Di mulut lelaki tinggi itu menempel sebatang suling bambu yang dipegang dengan kedua tangan.
Suara melengking tinggi dan bernada aneh terdengar dari suling itu. Sesaat kemudian tiba-tiba Lestari merasakan kedua lututnya lemas! Ti-kus-tikus besar itu mendadak berlarian menyer-bunya sambil memperdengarkan suara mencicit yang ramai memecah bergemuruhnya langkah mereka yang seperti saling berlomba. Seakan binatang-binatang menjijikkan itu mengancam penuh kemarahan.
Lestari sama sekali tidak menyangka kalau tikus-tikus itu akan melakukan penyerangan den-gan demikian ganasnya. Namun, otaknya yang cerdas langsung dapat menduga bahwa perilaku binatang-binatang yang terkenal dengan ketaja-man giginya itu, berhubungan dengan bunyi suling yang ditiup oleh sosok tinggi kurus di belakang mereka.
Lestari tak sempat banyak memikirkan tentang hal itu, karena tikus-tikus berbulu hitam itu telah semakin dekat. Keadaan itu membuat ha-tinya kian dicekam kengerian. Perasaan takut dan ngeri yang hebat, karena Lestari amat takut terhadap tikus, membuat kedua kakinya kian lemas. Untung saja ilmu silat yang dimilikinya, sudah mendarah daging, sehingga dia dapat juga memu-lihkan keadaan yang tidak menguntungkan itu. Lestari langsung membalikkan tubuh, dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Namun, baru beberapa kali lesatan, Lestari langsung terhenti dengan mata membelalak kaget. Sekitar empat tombak di depannya, berdiri sosok yang baru saja dilihatnya. Sosok tinggi kurus laksana galah yang tadi berdiri di belakang kawanan tikus hitam mengkilat. Dalam hati gadis itu merasa heran. Tidak salahkah penglihatannya?
Rasa penasaran membuat Lestari mengalihkan pandangan ke belakang, dan hatinya langsung tercekat. Di belakang rombongan tikus yang tengah berlarian memburunya ternyata sudah tak tampak lelaki tadi. Berarti jelas, sosok bertelanjang dada di depannya adalah sosok tinggi kurus yang tadi berdiri di belakang kawanan tikus.
Tanpa sadar, bulu kuduk Lestari berdiri karena perasaan ngerinya, Bagaimana sosok tinggi kurus itu bisa berada di depannya tanpa diketahui. Apakah lelaki peniup suling itu bisa menghilang dan pindah ke lain tempat?!
Perbuatan sosok tinggi kurus itu membuat Lestari gentar, tapi masih tidak mampu mengalahkan rasa takut dan ngeri yang bersemayam akibat tikus-tikus pengejarnya. Jangankan hanya sosok tinggi kurus yang belum diketahui tingkat kepandaiannya, biar ada raja iblis di depannya, Lestari tidak akan mundur setapak pun! Dia lebih suka berhadapan dengan raja iblis dari pada dengan gerombolan tikus yang mengiriskan itu. Maka, Lestari segera meneruskan tindakan-nya yang semula terhenti karena perasaan kaget yang mencuat.
"Menyingkir kau...!" seru Lestari sambil me-nusukkan kipasnya yang berujung baja-baja runc-ing ke dada sosok tinggi kurus yang berdiri meng-hadang jalan dengan kepala tertunduk dan suling menempel di bibir.
Trakkk!
Lestari terpekik kaget ketika kipasnya lang-sung berbenturan dengan suling di tangan sosok tinggi kurus. Kemudian, sosok itu memutar-mutarkan tangannya, sehingga membuat kipas baja Lestari ikut terbawa berputar bersama dengan tangannya. Lestari berusaha keras untuk menahannya, tapi sia-sia!
Kreppp!
Sebelum Lestari sempat melakukan tindakan penyelamatan, tangan kanan sosok tinggi kurus telah berhasil mencekal leher bajunya dan mengangkatnya ke atas. Karena tinggi tubuh Lestari berada jauh di bawah sosok tinggi kurus, tubuh putri Malaikat Petir itu tergantung di atas tanah.
Lestari tidak tinggal diam. Gadis yang memiliki watak keras ini menggerakkan kedua kaki untuk menendang bagian-bagian tubuh lawan yang berbahaya agar dapat membebaskan diri. Namun usahanya kandas karena tubuh lawan berada lebih jauh dari jangkauan kakinya. Tendangan-tendangan Lestari hanya mengenai angin.
Di saat Lestari masih memikirkan cara lain untuk menyelamatkan diri, sosok tinggi kurus itu mengibaskan tangannya. Seketika tubuh Lestari terlontar ke belakang. Hampir pingsan Lestari ketika mengetahui kalau tubuhnya melayang menuju kerumunan tikus-tikus besar yang tengah beringas.
Namun, tekad untuk menyelamatkan nyawa, membuatnya mampu untuk tetap sadar. Malah, dia masih mampu mengatur kedudukan hingga ketika men-darat di tanah dengan keadaan menguntungkan.
Tikus-tikus yang tengah sibuk, ramai, dan riuh rendah menunggu jatuhnya tubuh mangsa, langsung mencicit-cicit keras ketika tubuh mereka terlempar karena kebutan kipas Lestari. Gadis berpakaian merah itu mampu mengebutkan kipas yang disertai pengerahan tenaga dalam kuat, sebelum kakinya menjejak tanah. Sehingga ketika berhasil mendarat, tanah sudah bersih dari kawanan tikus yang ganas dan mengerikan itu.
Binatang-binatang bergigi runcing yang tam-pak sangat buas itu, tidak tinggal diam. Sambil mengeluarkan bunyi mencicit yang ramai sekali mereka menyerbu Lestari. Pertarungan aneh antara manusia dengan binatang-binatang haus darah pun terjadi.
Lestari benar-benar menguras seluruh kemampuan karena perasaan ngeri yang menyer-gap hatinya. Kipas di tangan dan pukulan-pukulan jarak jauh yang dilakukan dengan tangan kirinya terus-menerus dilakukan untuk membuat binatang-binatang menjijikkan itu tidak bisa mendekatinya.
Akibat amukan Lestari memang mengiriskan hati. Kebutan kipasnya selain mampu melempar-kan tubuh tikus-tikus besar itu, juga menewaskan sebagian di antara mereka. Namun tidak sedahsyat pukulan-pukulan jarak jauh tangan kirinya. Setiap kali tangan kirinya dihentakkan, beberapa ekor tikus terlempar tewas dengan tubuh remuk dan terbakar!
Hentakan tangan gadis berpakaian merah itu selalu disertai dengan bunyi meledak-ledak seperti kilat atau petir menyambar. Inilah ilmu 'Tapak Petir' andalan ayahnya, Malaikat Petir. Hembusan angin panas melingkupi tempat itu akibat ilmu 'Tapak Petir'!
Sudah tak terhitung tikus-tikus yang tewas dan bergeletakan tanpa nyawa. Namun jumlah yang masih terus melakukan penyerangan, bagaikan tidak pernah berkurang. Seakan-akan mati satu, muncul seratus. Dan hal ini membuat Lestari kewalahan! Pukulan-pukulan jarak jauh yang dilancarkan, dan senantiasa membutuhkan tenaga penuh itu, membuatnya cepat lelah.
Apalagi gadis ini memang baru saja menguras kemampuan dalam menghadapi Dewa Langit Tak Punya Malu. Dan yang lebih berbahaya lagi, tikus-tikus itu ter-nyata bukan binatang sembarangan karena mengandung racun ganas. Dengus napas dan gemuruh suara dari ribuan binatang itu membuat Lestari pusing. Beberapa kali tubuh gadis ini agak terhuyung.
Kenyataan ini membuat Lestari sadar kalau serbuan tikus-tikus itu tidak mungkin bisa dibendungnya. Dia tahu, tak lama lagi tenaganya akan habis, padahal jumlah tikus-tikus itu sepertinya tidak berkurang. Lestari yang biasanya tidak pernah putus asa, kini mulai patah semangat. Apalagi ketika dirasakan pusing yang melandanya semakin menjadi-jadi dan sepasang matanya sudah mulai samar-samar untuk melihat.
"Biadab...!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras menggelegar dari kejauhan. Dalam cekaman rasa pusing yang semakin parah, Lestari masih dapat menangkap bentakan penuh kegeraman itu. Sesaat kemudian, tikus-tikus yang tengah merangsek kian mendekat mendadak berpentalan ke belakang seperti dilanda angin topan. Hembusan angin kencang berasal dari belakang Lestari yang membuat binatang-binatang itu berpentalan.
''Tidak ada gunanya melawan binatang-binatang tidak bersalah itu, Nisanak," ujar sebuah suara yang berasal dari sebelah kanan Lestari, seraya menghentakkan tangan mengirimkan serangkaian pukulan jarak jauh pada tikus-tikus itu. "Lebih baik kita tinggalkan mereka!"
Sebelum Lestari memberikan persetujuan, pemilik suara itu telah menggamit lengan kirinya. Gadis berpakaian merah itu terkejut ketika tahu-tahu dirinya sudah dibawa melesat kabur. Dia tak mampu membantah atau menolaknya. Sekilas matanya sempat memperhatikan sosok yang telah menyelamatkannya. Namun pandangannya yang sudah tidak awas lagi hanya menangkap sosok berpakaian ungu dan berambut putih panjang tergerai dipermainkan angin.
Namun, seperti juga yang dihadapi Lestari, sosok ungu itu mendapat hadangan dari sosok tinggi kurus. Tadi, sosok tinggi kurus ini terlalu sibuk meniup suling untuk memaksa tikus-tikus besarnya menyerang Lestari tanpa mengenal takut, maka tidak sempat mencegah masuknya sosok ungu ke dalam kancah pertarungan.
Baru ketika sosok ungu itu akan melesat kabur, sosok tinggi kurus turun tangan menghadang. Sosok ungu menghentikan langkah, dan menatap sosok tinggi kurus yang berdiri menghadang jalan. Dengan penuh kewibawaan sosok ungu yang ternyata seorang pemuda tampan itu berdiri dengan tenang sambil memegangi lengan Lestari.
"Manusia Biadab! Orang sepertimu tak layak untuk tinggal di dalam dunia. Sampai hati kau bermaksud menjadikan gadis tak berdosa ini sebagai santapan tikus-tikus kelaparan!" ujar sosok ungu itu dengan suara bergetar karena dikuasai amarah.
Sosok tinggi kurus yang sejak tadi tertunduk, hingga raut mukanya tidak kelihatan, mengangkat wajah. Dia ternyata seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, berwajah tirus dengan kumis dan jenggot jarang-jarang menghias wajahnya yang selalu cemberut.
"Sungguh berani kau mengeluarkan perka-taan seperti ini padaku, Kadal Buntung! Apa dirimu tidak mengenal siapa yang kau hadapi?! Aku, Raja Tikus Dasar Bumi! Hhh... apa yang kau andalkan hingga berani menantangku...?!" geram lelaki tinggi bertelanjang dada itu dengan suara parau sambil menatap tajam sosok ungu yang berdiri di depannya.
Sementara pemuda tampan berambut keperakan dan berpakaian ungu itu hanya tersenyum sinis, membalas tatapan lelaki tinggi kurus yang mengaku berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi.
"Aku Arya, tapi orang-orang persilatan mengenalku sebagai Dewa Arak," jawab pemuda berpakaian putih keperakan yang bukan lain adalah Arya Buana alias Dewa Arak, tak mau kalah gertak.
"Hmh...! Jadi rupanya kau tokoh sombong yang menganggap diri sendiri tokoh nomor satu dunia persilatan.... Aku telah mendengar kabar tentang kehebatanmu, Dewa Arak. Dan sudah lama aku berkeinginan untuk menemuimu dan melenyapkan kau dari muka bumi atas kesombonganmu! Sama sekali tidak pernah mimpi aku bisa jumpa denganmu di sini!" tandas lelaki tinggi yang berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi.
"Kau terlalu berlebihan, Raja Tikus Dasar Bumi. Mana bisa aku dibandingkan dengan dirimu. Telah lama kudengar nama besarmu. Bukankah kau salah seorang di antara Biang-Biang Iblis, datuk kaum sesat yang telah menjauhkan diri dari dunia ramai sejak hampir dua puluh tahun lalu? Tapi, meskipun demikian aku tidak gentar, Raja Tikus! Mari kita buktikan siapa di antara kita yang lebih patut untuk menghirup udara di dunia ini lebih lama!"
Baru saja Dewa Arak menyelesaikan kata-katanya, Raja Tikus Dasar Bumi telah melancarkan serangan dengan sebuah sabetan suling ke arah pelipis Dewa Arak. Ada suara seperti tiupan suling ketika senjata yang merupakan teman penghibur hati manusia, melayang ke arah sasaran
Wuing...!
Serangan dahsyat itu mengenai angin ketika Dewa Arak mendoyongkan tubuh ke belakang. Be-gitu serangan lewat, pemuda berambut putih keperakan ini mengirimkan tendangan ke arah dada lawannya.
Tappp!
Dewa Arak mengeluh tertahan ketika pergelangan kakinya berhasil ditangkap oleh tangan kanan Raja Tikus Dasar Bumi. Dewa Arak sampai terkejut melihat kenyataan ini. Namun dia segera dapat menyadari keadaannya yang kurang menguntungkan, maka bertindak cepat. Dengan kaki yang satunya lagi Dewa Arak mengirimkan serangan ke arah leher dengan bertumpu pada kaki yang tercekal lawan.
"Hebat juga kau...!" puji Raja Tikus Dasar Bumi sambil melompat ke belakang. Cekalan tangannya terhadap kaki lawan dilepaskan, karena tidak ingin nyawanya melayang akibat tendangan Dewa Arak yang mampu menghancurkan batu karang yang paling keras sekalipun itu.
Pertarungan antara dua tokoh berbeda usia itu berkobar. Masing-masing pihak mengerahkan seluruh kemampuan karena telah dapat memperkirakan ketangguhan lawan dari gebrakan-gebrakan yang terjadi. Gerakan-gerakan cepat ke-duanya membuat tubuh mereka lenyap, hingga yang tampak hanya bayangan coklat dan bayan-gan ungu saling berkelebat.
Dewa Arak mengeluh dalam hati. Baru bertarung dalam lima jurus saja pemuda berambut putih keperakan yang telah kenyang pengalaman ini tahu kalau Raja Tikus Dasar Bumi merupakan tokoh tangguh, bahkan belum tentu kalah dengannya. Hal itu membuat hatinya gelisah. Kalau saja tidak teringat akan nasib Lestari, pemuda berambut putih keperakan ini tidak akan demikian pusing. Dia tahu, Lestari telah keracunan, dan apabila bertindak lambat nyawa gadis berpakaian merah itu mungkin akan lebih dulu melayang.
Dewa Arak pun mengambil keputusan cepat. Dengan perhitungan matang, dilancarkan serangan bertubi-tubi. Dan seperti yang telah diduganya, Raja Tikus Dasar Bumi mengelak dengan cara melempar tubuh ke tanah. Ini merupakan satu-satunya cara terbaik. Diam-diam dia harus memuji kejelian mata lawannya. Memang, serangan-serangan Arya lebih baik apabila dihadapi dengan elakan, karena apabila menangkis banyak kemungkinan yang tidak terduga.
Tindakan ini telah diperhitungkannya baik-baik. Maka begitu Raja Tikus Dasar Bumi membanting tubuh ke tanah, dia pun segera menyambar tubuh Lestari yang semakin terhuyung karena pusingnya. Setelah itu melesat cepat meninggalkan lawannya.
Raja Tikus Dasar Bumi hanya dapat memaki-maki penuh perasaan geram melihat tubuh lawannya yang semakin mengecil di kejauhan. Dia tahu tidak ada gunanya lagi melakukan pengejaran. Masih ada urusan yang lebih penting dan harus diselesaikan. Maka setelah melempar pandang sekali lagi ke arah tempat lenyapnya Dewa Arak, Raja Tikus Dasar Bumi meniup sulingnya, memerintahkan tikus-tikus peliharaannya untuk meninggalkan tempat itu.
Tadi ketika tokoh sesat ini terlibat pertarungan, tikus-tikus itu tidak melancarkan serangan lagi, karena sibuk memakan daging-daging kawannya yang tewas. Semangat binatang-binatang itu untuk menyerang langsung pupus ketika majikan mereka tidak meniup sulingnya lagi.
TUJUH
"Sekarang kau sudah selamat dari bahaya maut, Nisanak," ujar Dewa Arak pada Lestari yang duduk bersila di depannya. Keduanya duduk bersila dan berhadap-hadapan. Lestari sudah tampak segar kembali seperti sedia kala karena Arya telah mengobatinya.
''Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak. Kau Dewa Arak bukan? Kudengar kau tadi memperkenalkan diri dengan julukan itu. Sayang, aku telah lama tinggal di tempat terpencil hingga tidak sempat mendengar kebesaran namamu. Aku yakin kau tokoh yang menggemparkan, Dewa Arak. Terbukti, Raja Tikus Dasar Bumi mengagumimu."
Dewa Arak tersenyum sambil menganggukkan kepala. "O ya, mengapa kau bisa bentrok dengan tokoh seperti itu, Nisanak? Kau tahu siapa dia?!" tanya Arya mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
''Tentu saja!" Lestari mengangguk. "Ng... aku usul kau memanggil namaku saja, Dewa Arak. Namaku Lestari Mala, biasa disebut Lestari."
"Aku Arya," timpal Arya masih dengan tersenyum.
"Aku tahu siapa orang yang menjadi lawanku, Arya. Dia berjuluk Raja Tikus Dasar Bumi, salah seorang datuk sesat dari Biang-Biang Iblis. Tapi aku tidak tahu mengapa tokoh-tokoh itu seperti memusuhi ku. Padahal, yang menjalin permusuhan adalah ayahku. Malaikat Petir. Bahkan tokoh-tokoh Biang Iblis lainnya seperti Raksasa Pemangsa Manusia memusuhi anggota Tiga Malaikat Bayangan!" Kemudian secara singkat tapi jelas, Lestari menceritakan semua kejadian yang dialaminya sampai bertemu Dewa Arak.
"Kau bilang seorang gadis muda berpakaian putih berambut panjang, Lestari?!" tanya Arya dengan suara bergetar ketika gadis berpakaian merah itu menyelesaikan cerita. "Apakah dia bersenjata pedang? Dan, apakah setiap pergerakan pedangnya menimbulkan bunyi mengaung seperti ada sekumpulan lebah tengah mengamuk?!"
"Benar! Kau mengenalnya, Arya?!" tanya Lestari, kaget dan dengan hati terasa tidak nyaman. Gadis berpakaian merah itu sendiri tidak tahu mengapa. Yang dirasakan hanya perasaan tidak enak melanda hati ketika mengetahui Arya sepertinya mengenal gadis berpakaian putih.
"Benar, Lestari," jawab Arya. Karena perasaan gembiranya dia tidak melihat tarikan wajah Lestari yang kurang enak ketika Arya menanyakan tentang gadis berpakaian putih. "Dia adalah... eh kawan baikku. Karena suatu sebab kami harus terpisah. Eh... di mana kau bertemu dengannya, Lestari?"
"Kurasa lebih baik kalau kita mencarinya bersama-sama, Arya. Siapa tahu aku dapat membantu melakukan pencarian...," Lestari mengajukan usul.
"Kurasa tidak perlu, Lestari," tolak Arya, halus. "Aku yakin dapat mencari jejaknya apabila kau memberitahukan tempatnya dengan jelas. Lagi pula, bukankah kau hendak mencari Malaikat Salju dan Malaikat Aneh?! Aku tidak ingin tugasmu terganggu karenanya."
Lestari menelan kekecewaan yang melanda hatinya. Kemudian dengan suara berat diberitahukan tempat Melati dan Prapanca ditinggalkannya pergi.
''Terima kasih, Lestari. O ya, jaga dirimu baik-baik dan selamat tinggal!"
Belum lenyap gema ucapan Dewa Arak, tubuhnya telah tidak berada di situ. Lestari hanya sempat melihat sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat ke depan, dan tahu-tahu tubuh pe-muda berambut putih keperakan itu telah berada di kejauhan.
Lestari menghela napas berat. Ada perasaan sakit bersemayam di hatinya melihat tingkah Arya yang demikian bersemangat untuk bertemu dengan Melati. Lestari yakin akan adanya sesuatu di antara mereka. Dan keyakinan ini membuat sakit di hatinya semakin bertambah. Lestari menjadi heran karenanya. Apa yang telah terjadi dengan dirinya? Mengapa dapat timbul perasaan ini? Dan mengapa ada rasa hilang mendera hatinya seiring dengan perginya Dewa Arak?
Lestari merasakan ada sesuatu dalam dadanya yang lenyap ketika Dewa Arak telah tidak nampak lagi bayangannya. Ada sesuatu yang tidak diketahui, bergejolak dalam hati Lestari, tapi begitu saja lenyap seperti terbawa oleh kepergian Dewa Arak.
Arya menyusuri sekitar tempat yang dikatakan oleh Lestari. Sepasang matanya yang tajam mencorong laksana mata seekor harimau dalam gelap itu merayapi setiap jengkal tanah di sekitar tempatnya berada. Meskipun sepi, Arya tahu beberapa waktu sebelumnya tempat ini menjadi ajang pertarungan tokoh-tokoh berilmu tinggi. Keadaan di sekitar tempat itu masih porak-poranda. Bahkan beberapa bagian tanah terbongkar. Semua petunjuk ini membuktikan kalau cerita Lestari tidak dusta.
Pemuda berambut putih keperakan itu terus memperhatikan sekeliling untuk melihat-lihat barangkali ada petunjuk yang ditemukannya. Dia merasa khawatir sekali akan nasib gadis berpa-kaian putih penolong Lestari yang diyakini Arya sebagai Melati, kekasihnya. Karena menurut cerita Lestari, lawan yang dihadapi amat tangguh, Dewi Cabul. Malah, sebelum Lestari pergi, Raksasa Pe-mangsa Manusia telah hampir tiba di tempat itu. Berarti lawan kuat telah bertambah lagi.
"Apa yang tengah kau cari, Anak Muda?! Dewa Arak?! Arya Buana?! Murid Manusia Sakti Ki Gering Langit?!"
Arya hampir terjingkat kaget mendengar sapaan itu. Bukan hanya karena pemilik suara itu mengetahui semua hal tentang dirinya terutama sekali karena keberadaan kakek sosok pemilik su-ara itu. Arya yakin betul kalau tadi di tempat ini tidak ada seorang pun. Jadi, kalau sekarang ada suara menyapa, berarti pemilik suara itu baru saja tiba. Yang lebih mengherankannya suara itu datang dari tempat yang dekat sekali. Dari sini saja Dewa Arak tahu kalau pemilik suara itu memiliki kepandaian terutama sekali ilmu meringankan tu-buh yang amat tinggi.
"Ah...! Kiranya kau, Ki Jaran Sangkar...!" seru Arya merasa lega ketika melihat pemilik suara itu. Seorang kakek berpakaian abu-abu yang telah berusia amat tua, sehingga semua bulu yang ada di kepala dan wajahnya memutih semua.
"He he he...!" Kakek berpakaian abu-abu yang dikenal dengan nama Jaran Sangkar itu tertawa terkekeh. "Rupanya aku membuatmu kaget, Dewa Arak?! Syukurlah kalau demikian!"
Arya hanya tersenyum lebar mendengar sambutan Jaran Sangkar. Dia tahu betul siapa kakek ini karena telah beberapa kali bertemu. Setiap dalam pertemuan, kakek berpakaian abu-abu ini menimbulkan keterkejutan di dalam hatinya. Arya tahu, Jaran Sangkar merupakan seorang tokoh sakti tingkat tinggi. Meskipun di antara mereka berdua belum pernah terjadi pertarungan, Arya berani bertaruh kalau tingkat kepandaian Jaran Sangkar berada cukup jauh di atasnya.
Apalagi jika yang diperbandingkan ilmu gaib yang mereka miliki. Arya tahu, Jaran Sangkar memiliki banyak ilmu gaib yang luar biasa dan aneh-aneh. Namun kakek itu selalu merendahkan diri dengan mengatakan kalau ilmu-ilmu gaibnya tidak bisa disamakan dengan yang dimiliki Ki Gering Langit, guru Arya. (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang bernama Jaran Sangkar ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: Kembalinya Raja Tengkorak. Dan Angkara Si Anak Naga).
"Apakah ada sesuatu yang hendak kau sampaikan padaku, Ki? Sehingga kau sampai bersusah payah menemuiku?!" tanya Arya, langsung menerka karena biasanya memang demikian.
"Kau memang cerdik, Dewa Arak," puji Jaran Sangkar sambil melemparkan senyum lebar. "Aku datang kemari karena keadaan yang mendesak. Kalau tidak demikian, orang setua dan tidak berguna seperti aku, tak akan mungkin keluar ke dunia yang keras. Ini berhubungan dengan keluarnya tokoh-tokoh hitam yang pernah menjadi datuk puluhan tahun lalu. Tokoh-tokoh hitam itu berjuluk Biang-Biang Iblis. Kau telah bentrok dengan salah seorang di antara mereka?"
"Maksudmu..., Raja Tikus Dasar Bumi, Ki?!" terka Arya setelah tercenung sebentar.
Jaran Sangkar menganggukkan kepala "Sedangkan tokoh-tokoh lainnya adalah Raksasa Pemangsa Manusia, Dewi Cabul, dan Dewa Langit Tak Punya Malu. Kau telah mendengar tentang mereka kan, Dewa Arak?!"
Dewa Arak mengangguk. "Sebagian kudengar dari berita di dunia persilatan. Tapi, lebih jelasnya lagi dari mulut seorang gadis. Dia telah mengalami kejadian hebat, bertemu dengan empat datuk Biang-Biang Iblis. Karena gadis itulah aku bisa berada di sini."
"Bukan gadis yang kau maksudkan adalah Lestari Mala putri Malaikat Petir?!" terka Jaran Sangkar.
Arya tidak merasa kaget sedikit pun mendengar ketepatan terkaan itu. Dia telah mengetahui kalau Jaran Sangkar banyak memiliki ilmu gaib.
"Kita kembali pada permasalahan, Dewa Arak," lanjut Jaran Sangkar setelah membiarkan suasana hening sebentar. "Puluhan tahun lalu... dunia persilatan kacau-balau karena adanya tokoh-tokoh sesat yang amat sakti dan memiliki kekejaman sukar digambarkan, sehingga mendapat julukan Biang-Biang Iblis. Tak terhitung sudah korban jatuh, baik yang tewas karena keganasan sepak terjang mereka maupun karena sengaja mempertaruhkan diri untuk membasmi kejahatan mereka. Golongan terakhir ini adalah para pendekar yang ingin melenyapkan Biang-Biang Iblis itu."
Jaran Sangkar menghentikan ceritanya sejenak. Dia menatap wajah Arya, untuk melihat tanggapannya, sambil menelan air liur membasahi tenggorokannya.
"Masing-masing pentolan sesat ini menguasai wilayah berbeda. Tiap seorang dari mereka menguasai satu mata angin. Namun, itu tidak membuat mereka puas. Masing-masing datuk sesat itu ingin menjadi tokoh nomor satu di delapan penjuru mata angin. Maka melalui satu kesepakatan, mereka mengadakan pertemuan di suatu tempat yang ditentukan. Mereka pun bertarung, saling berganti lawan agar lebih akurat dalam mengambil kesimpulan untuk menentukan tokoh terpandai. Tapi, ternyata kepandaian mereka semua berimbang. Masing-masing tokoh mempunyai kekurangan dan kelebihan sendiri-sendiri. Akhir-nya, mereka pun mengambil keputusan untuk bertemu kembali tiga tahun kemudian. Untuk sementara gelar jago nomor satu mereka kesampingkan. Namun, di saat keempat Biang Iblis itu hendak meninggalkan tempat pertemuan, mereka mendengar bunyi orang bersyair. Maksud untuk meninggalkan tempat itu pun berubah. Mereka memutuskan untuk mencari asal syair yang terdengar dekat itu."
Jaran Sangkar menghentikan cerita. Pandangannya diedarkan ke angkasa seperti tengah memikirkan lanjutan ceritanya. Arya diam saja menunggu kelanjutannya.
''Tak jauh dari tempat mereka mengadakan pertemuan, tampak seorang kakek bersama seorang pemuda tengah asyik memancing di tepi kali. Keberadaan keduanya membuat keempat datuk sesat menjadi jengkel. Saat itu mereka memang tengah kesal karena tidak berhasil memperebutkan gelar jago terkuat dalam pertemuan itu. Maka keberadaan kakek dan pemuda di situ membuat mereka memutuskan untuk menjadikan dua orang sial itu sebagai pelampiasan kekesalan. Dan niat itu semakin kuat ketika mereka melihat kakek dan pemuda itu ternyata bukan pemancing sembarangan. Keduanya memancing hanya dengan mempergunakan sepotong bambu, tanpa tali, pelampung, bahkan mata kail pun tidak! Anehnya, berkali-kali keduanya berhasil menarik ikan-ikan dari sungai itu. Tapi, tetap saja hal itu tidak dipandang sebelah mata pun oleh datuk-datuk sesat yang tengah kalap itu. Bagi mereka, permainan yang ditunjukkan oleh kakek dan pemuda itu hanya permainan kanak-kanak."
"Hm...," tanpa sadar Arya bergumam sehingga membuat Jaran Sangkar menghentikan cerita. Gumaman itu keluar karena mengetahui kesombongan Biang-Biang Iblis yang menganggap kedua pemancing itu seperti anak-anak. Arya tahu tindakan yang dilakukan kakek dan pemuda itu tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang kecuali yang memiliki tenaga dalam kuat.
"Empat datuk kaum sesat itu memang tidak percuma berjuluk Biang-Biang Iblis. Meski saat itu tengah berada dalam puncak kekesalan, sifat kejam mereka membuat putusan mati tidak langsung dijatuhkan. Seperti biasa mereka akan mempermainkan calon korban sedemikian rupa sebelum dibunuh. Tapi kali ini mereka kecelik. Kakek itu bukan orang sembarangan. Demikian juga si Pemuda. Empat datuk golongan hitam yang tengah panas hati itu terpancing untuk mengucapkan sumpah, akan mengundurkan diri dari dunia persilatan selama-lamanya, apabila kakek itu mampu mengalahkan mereka satu persatu, Dan celakanya lagi, empat datuk kaum sesat itu berhasil dikalahkan. Mereka pun memenuhi janji. Itulah sebabnya julukan mereka kemudian lenyap."
"Lalu, mengapa sekarang mereka muncul kembali ke dunia persilatan, Ki?! Apakah perjanjian itu telah usai? Apakah masa berlakunya perjanjian itu hanya dua puluh tahun?!" tanya Dewa Arak tanpa menyembunyikan keheranannya ketika melihat Jaran Sangkar tidak melanjutkan ceritanya lagi. Mungkin sudah selesai.
"Tidak demikian, Dewa Arak," jawab Jaran Sangkar. "Perjanjian itu tidak punya batas waktu. Namun, datuk-datuk kaum sesat yang teguh janjinya itu akhirnya termakan pendapat orang ketiga yang bermaksud mendapat keuntungan. Orang ketiga ini mengirimkan surat pada empat datuk yang masih mengasingkan diri. Isi surat itu mencela keempat datuk sesat yang dikatakan bodoh karena termakan sumpah yang sudah tidak mengikat lagi. Bukankah kakek yang menyebabkan mereka bersumpah telah tewas, untuk apa dipatuhi lagi? Bahkan agar empat datuk itu tidak dianggap melanggar sumpah, pemilik surat itu telah membunuh pemuda yang bersama kakek yang pernah mengalahkan keempat datuk itu. Pemuda itu ternyata, keturunan si Kakek Sakti yang selalu menyertainya. Dengan matinya pemuda itu, keturunan kakek sakti putus. Kalau kakek itu dan keturunannya sudah tidak ada lagi, bukankah sumpah mereka berarti telah selesai? Pendapat ini memang tidak dapat dibantah kebenarannya, maka empat datuk sesat pun turun gunung dan mulai menyebar maut! Sebelum semuanya semakin berlarut-larut segera kutemui kau, Dewa Arak. Bukan karena aku tidak yakin kalau kau mampu bertindak cepat. Aku hanya merasa cemas korban yang jatuh akan semakin bertambah apabila masalah ini dibiarkan berlama-lama. Padahal, semua ini terjadi akibat salah paham saja. Pihak ketigalah penyebab semua ini!" papar Jaran Sangkar.
"Jadi... sebenarnya kakek sakti dan keturunannya masih hidup, Ki?!" tanya Arya ingin tahu.
"Kakek sakti sudah mati karena usia tua. Sedangkan pemuda yang ternyata anaknya tewas dibunuh oleh tokoh yang mengirimkan surat. Meskipun demikian, kakek sakti itu masih mempunyai keturunan karena pemuda putra si Kakek telah menikah dengan seorang gadis. Tapi itu dilakukan secara diam-diam karena orangtua si Gadis tidak setuju. Sayang, di waktu melahirkan bayinya, gadis itu meninggal. Kenyataan ini membuat hati putra kakek sakti terguncang. Dia kabur meninggalkan mayat istri dan bayinya. Tangisan bayi itu didengar oleh Malaikat Petir yang kebetulan lewat. Malaikat Petir mengambil bayi itu dan mengasuhnya. Bayi perempuan itu tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik sampai sekarang. Dan gadis itu adalah... yang kau tolong dari ancaman Raja Tikus Dasar Bumi."
"Ah...!" desah Arya, kaget. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Lestari merupakan keturunan terakhir kakek sakti penakluk Biang-Biang Iblis.
"Dan tugasmu, Dewa Arak, memberitahukan pada empat datuk sesat itu kalau kakek sakti yang mengalahkan mereka masih mempunyai keturu-nan. Dengan demikian, sumpah atas diri mereka masih berlaku. Sebab atas sumpah keempat datuk sesat, dua puluh tahun lalu, kakek sakti itu pernah menyambutinya dengan mengatakan kalau keturunannya akan menjadi pengawas untuk melihat sendiri kebenaran janji Biang-Biang Iblis. Jelas, Dewa Arak?!"
"Jelas, Ki," jawab Arya cepat ''Tapi... masalahnya bagaimana kalau keempat Biang Ibis tidak percaya bahwa Lestari merupakan keturunan kakek sakti itu? Bukankah, tidak diketahui kalau putra kakek sakti itu berkeluarga? Bisa saja mereka mengatakan kalau Lestari adalah keturunan palsu."
"Kekhawatiranmu masuk akal, Dewa Arak. Tapi, kau tidak perlu cemas. Karena setiap keturunan kakek sakti itu mempunyai tanda khas yang tidak akan pernah ditemukan pada orang lain. Sayangnya, Lestari tidak tahu kalau Malaikat Petir hanya ayah angkatnya. Jadi, kewajibanmu, harus dapat menjelaskan hal ini sebelum membawanya menghadap empat datuk kaum sesat itu. Kau tidak usah khawatir, Dewa Arak! Tidak akan sukar untuk meyakinkannya karena putra kakek sakti telah meninggalkan warisan untuk putrinya. Kau laksanakan saja tugas ini. Sesegera mungkin, Dewa Arak, agar korban yang jatuh tidak semakin banyak!" ujar Jaran Sangkar, mengingatkan.
"Akan kuingat pesanmu itu, Ki," Dewa Arak mengangguk. ''Tapi..., ada satu hal yang perlu kusampaikan padamu. Saat ini aku tengah terlibat persoalan tidak ringan. Dan karena masalah itulah aku berada di sini. Dan...."
"Aku tahu, Dewa Arak," potong Jaran Sangkar bernada tidak sabar tapi dengan mulut menyunggingkan senyum. "Kau urus saja Lestari, biar Melati aku yang urus! Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa terhadapnya! Aku jamin itu, Dewa Arak. Dan sebagai tambahan agar kau tidak bertanya-tanya dalam hati, kakek sakti itu bernama Rawung. Dia tidak terkenal di dunia persilatan meskipun berilmu tinggi. Karena tidak pernah muncul di dunia ramai. Ilmu-ilmu itu dimilikinya dari hasil berguru dari para pertapa yang ditemuinya di gunung-gunung ditambah hasil ciptaannya sendiri. Asal kau tahu saja, Dewa Arak, tidak ada orang yang tahu nama kakek itu."
"Terima kasih, Ki," Arya merasa hatinya lega sekarang. Dia percaya penuh akan jaminan seorang tokoh seperti Jaran Sangkar, maka tidak diucapkan bantahan sedikit pun. Tidak juga bertanya mengapa kakek berpakaian abu-abu itu bisa mengetahui mengenai Melati.
Arya tahu, Jaran Sangkar dengan kemampuannya dalam mengerahkan ilmu gaib dapat mengetahui banyak persoalan yang tidak diketahui orang lain. Setelah menganggukkan kepala pada Jaran Sangkar, Arya segera melesat meninggalkan tempat itu untuk mencari Lestari.
* * *
"Apa...?! Kau... kau bohong...! Penipu...! Katakan kalau ucapanmu itu tidak benar, Arya?!" ucap Lestari terbata-bata dengan wajah menyiratkan campuran bermacam-macam perasaan. Kecewa, gembira, sedih, bingung, dan cemas, serta ketidak percayaan.
"Aku tidak bohong, Lestari. Aku mengatakan hal yang sebenarnya. Kau bukan putri Malaikat Petir, bahkan aku dapat memberikan mu bukti lainnya," lanjut Arya, masih tetap lembut tapi tegar.
''Tidak...! Tidak...! Kau bohong! Penipu...! Aku benci kau...!" maki Lestari sambil menudingkan jari telunjuk kanannya pada wajah Arya. Tarikan wajah gadis berpakaian merah itu sukar untuk ditebak karena di sana bercampur macam-macam perasaan yang bergolak di hatinya. Dan sambil mengeluarkan perkataan-perkataan seperti itu, Lestari melangkah mundur terus tanpa membalikkan tubuh. Seakan-akan Arya merupakan sesuatu yang menjijikkan.
Di lain pihak, Arya tidak melakukan tindakan apa pun. Dia hanya berdiri diam di tempatnya. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu, hanya hal inilah yang dapat dilakukannya. Berita yang disampaikannya memang terlalu mengejutkan bagi gadis itu. Jadi, bisa dimaklumi tindakan Lestari sekarang. Namun hal itu sudah diduga sebelumnya oleh Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan itu tetap berdiri diam, meski akhirnya Lestari membalikkan tubuh dan berlari meninggalkannya sambil terus meneriakkan kata-kata yang menyatakan ketidak-percayaan. Tak lama kemudian gadis itu telah lenyap dari pandangannya.
"Hhh...!" Dewa Arak hanya menghela napas berat. Sengaja dibiarkannya Lestari pergi. Dia tahu Lestari menderita guncangan batin yang cukup berat akibat penjelasannya. Biarlah, nanti apabila gun-cangan hatinya sudah mereda, akan dikemukakan siapa sebenarnya Lestari!
Dengan pikiran melayang-layang, Dewa Arak mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Piki-ran dan hatinya masih diliputi oleh permasalahan Lestari. Bagaimana nanti mengutarakan persoalan itu kepadanya, masih membingungkan, mengingat sikap Lestari yang berubah-ubah dan sulit diterka.
Sementara itu Lestari ternyata tidak pergi jauh dari tempat pertemuannya dengan Arya. Gadis itu tengah termenung seperti memikirkan sesuatu ketika Arya melihatnya. Dan ketika mendengar suara panggilan wajahnya berseri-seri. Namun, hal itu tidak berlangsung lama.
Begitu pemuda berpakaian ungu itu mengutarakan sebab kedatangannya, Lestari menunjukkan tanggapan yang sudah diperkirakan oleh Arya. Bagaimanapun pengalamannya yang luas telah membuat pendekar muda mampu membaca sikap dan prilaku seseorang....
DELAPAN
"Lestari...!"
Sebuah seruan keras yang telah pernah dikenal telinga, membuat gadis berpakaian merah itu menghentikan lari, dan membalikkan tubuh. Saat itu, Lestari telah berlari jauh meninggalkan Dewa Arak.
"Prapanca...!" balas Lestari, tak kalah keras ketika melihat sesosok tubuh kekar seorang pemuda berpakaian coklat melesat cepat menuju ke arahnya. Hanya sekejap saja, sosok coklat yang memang Prapanca itu, telah berjarak beberapa tombak dari Lestari.
"Apa yang terjadi denganmu, Lestari?! Katakan padaku, apakah ada orang yang menyakitimu?!" tanya Prapanca, kaget ketika melihat mendung di wajah Lestari. Sepasang matanya yang ta-jam segera melihat pipi Lestari yang masih basah. Apalagi kalau bukan air mata?!
"Aku... aku tidak apa-apa, Prapanca. Hanya... ada berita yang telah menyakitkan hatiku." Secara singkat tapi jelas, Lestari menceritakan semua kejadian yang dialaminya bersama Dewa Arak.
"Ah...! Jadi... kau bukan putri Malaikat Petir?! Kau berarti cucu kakek sakti penakluk empat datuk kaum sesat itu?! Ah, luar biasa! Kalau begitu keadaanmu berbahaya, Lestari. Kau tahu, banyak tokoh yang hendak melenyapkan keturunan kakek sakti itu. Waspadalah kau! Sekarang, lebih baik kau ikut pergi bersamaku."
''Tapi, Prapanca...," Lestari mencoba untuk menolak.
"Tidak ada tapi-tapian lagi, Lestari! Aku harus memaksamu, ini semata-mata demi keselamatanmu!" tandas Prapanca, mantap.
Lestari menjadi bingung. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Prapanca untuk menggamit lengan kiri Lestari dan membawanya lari. Mau tidak mau, Lestari mengerahkan ilmu lari cepatnya kalau tidak ingin mengalami kejadian yang kurang menyenangkan, seperti seorang tawanan dibawa kabur.
Namun belum berapa lama berlari, Prapanca menggumam tak senang karena beberapa tombak di depannya berdiri sesosok tubuh kekar berpakaian biru, menghadang jalan. Prapanca mencium adanya gelagat tidak baik. Dia menyadari untuk kembali sudah tidak memungkinkan lagi karena sosok berpakaian biru di depan pasti sudah melihatnya. Karena Prapanca yakin akan kemampuan dirinya, dia tetap berlari dan baru dihentikan ketika berada sekitar lima tombak di depan sosok berpakaian biru.
"Kau...!" seru Lestari tertahan, memanggil sosok berpakaian biru, yang dikenalnya, tapi tidak diketahui namanya.
"Lestari...!" sapa pemuda berpakaian biru, yang tak lain penolong Lestari ketika di Perkumpulan Pengemis Baju Putih.
"Jadi... kau selamat...?!" tanya Lestari lagi, masih terharu ketika teringat akan pembelaan pemuda berpakaian biru. Tanpa sadar dia melangkah ke depan. "Bagaimana caranya kau bisa lolos dari tangan Dewa Langit Tak Punya Malu?"
"Aku ditolong oleh guruku. Beliau datang di saat yang gawat sekali." Pemuda berpakaian biru juga melangkah menghampiri.
Namun maksud Lestari untuk menghampiri pemuda berbaju biru itu tidak tercapai. Sebab baru dua langkah Lestari maju, Prapanca telah menyerobot maju ke depan sambil merentangkan tangan kiri ke samping untuk mencegah gadis itu.
"Kau jangan sembarangan bertindak, Lestari! Kau harus hati-hati. Bukan tidak mungkin dia merupakan salah seorang yang akan mencabut nyawamu!" tuding Prapanca ke wajah pemuda berpakaian biru.
"Pitnah!" tangkis pemuda berpakaian biru. Matanya menatap tajam dengan wajah merah padam. "Kau jangan percaya mulut kotor itu, Lestari! Lebih baik kau menyingkir darinya! Aku malah yakin kalau dia yang akan mencelakaimu!"
Suara pemuda berpakaian biru terdengar bergetar karena perasaan marahnya. Memang, sudah sejak tadi, ketika melihat Lestari bersama seorang pemuda, hati pemuda berpakaian biru sudah panas. Perasaannya yang membuat hati murid Malaikat Salju ini merasa heran.
"Apa yang terjadi dengan dirinya?" tanyanya dalam hati.
"Menyingkirlah dari sini, Kutu Busuk!" Prapanca yang menjadi kalap mendengar makian pemuda berpakaian biru langsung menubruk maju, mengirimkan serangan dengan gedoran kedua tangannya yang terbuka ke arah dada. Karena kemarahannya, Prapanca ingin menewaskan murid Malaikat Salju itu dalam segebrakan. Seperti juga lawannya, Prapanca merasakan hatinya tidak nyaman melihat Lestari bermanis-manis sikap dengan pemuda berpakaian biru itu.
"Kaulah yang akan menggeletak mampus di sini, Anjing Kudisan!" bentak pemuda berpakaian biru seraya menyambut serangan Prapanca den-gan pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Glarrr!
Bunyi keras yang terdengar mengiringi terpentalnya tubuh dua tokoh muda itu ke belakang. Namun, pemuda berpakaian biru terlempar selangkah lebih jauh daripada Prapanca yang hanya terhuyung-huyung tiga langkah. Benturan ini membuat pemuda berpakaian biru penasaran. Sebaliknya Prapanca semakin bersemangat untuk segera mengalahkan lawannya. Pertarungan pun kembali berlanjut.
"Hei...! Kalian berdua gila! Hentikan pertarungan ini...! Kalau tidak aku akan pergi dari sini...!" Karena merasa serba salah lalu Lestari berteriak-teriak untuk menghentikan pertarungan yang tidak diinginkannya itu.
Maksud baik Lestari tidak membuahkan hasil sama sekali. Dua pemuda yang tengah kalap itu tidak mempedulikan seruannya sama sekali. Keduanya terus melanjutkan kesibukan mereka, saling serang dengan hebatnya untuk dapat segera mengalahkan satu sama lain.
Kenyataan ini membuat Lestari yang memiliki watak keras kian kehilangan kesabaran. Dia merasa di tantang untuk membuktikan kebenaran ucapannya. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, gadis itu melesat cepat meninggalkan mereka. Prapanca dan lawannya yang tengah sibuk, tidak mengetahuinya sama sekali.
"Ha ha ha...! Jadi... inikah orang yang berju-uk Dewa Arak itu, Raja Tikus?! Masih muda sekali! Benar-benar mengagumkan! Semuda ini sudah menjagoi dunia persilatan?! Hebat...! Hebat...!"
Arya menghentikan ayunan kakinya mendengar seruan yang datang dari arah samping kanan itu. Seketika dia menoleh sambil menghentikan langkahnya. Berjarak sekitar empat tombak tampak dua sosok berdiri menatapnya. Salah satu dari mereka dikenal sebagai Raja Tikus Dasar Bumi. Sedangkan sosok yang satunya lagi, belum pernah dilihatnya. Namun melihat ciri-cirinya bisa diterka kalau dia pasti Raksasa Pemangsa Manusia.
Dugaan pemuda berambut putih keperakan itu tidak salah. Sosok yang bersama Raja Tikus Dasar Bumi tak lain Raksasa Pemangsa Manusia. Tokoh sesat yang memiliki bala pasukan berupa kawanan tikus itu sehabis bertarung dengan Dewa Arak, dalam perjalanannya bertemu dengan Raksasa Pemangsa Manusia yang tengah mencari-cari penculik Melati.
Dalam pertemuan itu, Raja Tikus Dasar Bumi menceritakan tentang Dewa Arak yang mengakibatkan Raksasa Pemangsa Manusia penasaran. Akhirnya kedua tokoh sesat itu bersama-sama mencari Dewa Arak, hingga bertemu di situ.
"Benar, Raksasa Jelek...!" jawab Raja Tikus Dasar Bumi ketika bersama rekannya telah berada di dekat Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu berdiri di tempatnya, tidak melakukan tindakan apa pun kecuali bersikap waspada.
"Ha ha ha...! Kalau cuma seperti ini orangnya jangan-jangan berita yang tersebar hanya kabar burung belaka...," timpal Raksasa Pemangsa Manusia lagi, sambil tersenyum mengejek. "Hei...! Dewa Arak...! Aku ingin merasakan sendiri kelihaian mu yang selama ini digembar-gemborkan orang! Bersiaplah...!"
Wuttt!
Raksasa Pemangsa Manusia mengawali serangannya dengan sebuah tamparan tangan kanan keras ke arah pelipis pemuda itu. Dewa Arak yang merasa tersinggung mendengar tantangan Raksasa Pemangsa Manusia, tanpa merasa gentar sedikit pun, memapaknya dengan tamparan pula.
Plakkk!
Tubuh Raksasa Pemangsa Manusia terputar dan terhuyung, jauh lebih parah dibanding Dewa Arak yang hanya terputar tubuhnya. Kenyataan ini membuat datuk sesat pemakan manusia itu menjadi murka, lalu menerjang lebih ganas. Dewa Arak pun menyambuti sehingga pertarungan sen-git pun terjadi di antara mereka.
Baru beberapa gebrakan saja mereka bertarung, Raksasa Pemangsa Manusia telah merasakan sendiri kehebatan pemuda berambut putih keperakan. Hal itu karena Dewa Arak yang sudah tak sabar karena teringat akan Lestari, langsung mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya. Tekanan-tekanan serangannya atas Raksasa Pemangsa Manusia semakin menjadi-jadi. Sebaliknya setiap serangan lawan, tanpa kesulitan langsung dipapakinya dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
"Jangan khawatir, Raksasa! Aku datang membantu...!"
Wuing...! Wuing!
Belum lenyap gema ucapannya, Raja Tikus Dasar Bumi telah terjun ke dalam kancah pertarungan. Dengan senjatanya yang berupa suling kakek bertelanjang dada itu mencecar berbagai bagian yang berbahaya di tubuh Dewa Arak. Bunyi melengking indah mengiringi setiap gerakan suling datuk sesat pemimpin pasukan tikus ini.
Masuknya kakek berwajah tirus yang hanya mengenakan celana panjang merah itu langsung mempengaruhi keadaan. Raksasa Pemangsa Manusia mendapat kesempatan bergerak lebih leluasa. Sekarang ganti Dewa Arak yang kelabakan. Terasa oleh pemuda berambut putih keperakan betapa beratnya menghadapi dua orang lawan tokoh Biang-Biang Iblis ini. Untung saja dia memiliki ilmu 'Belalang Sakti' yang aneh itu. Dengan ilmu itu dia mampu menghadapi setiap gempuran dahsyat kedua lawannya.
Perhatian yang dipusatkan penuh terhadap lawan tarung, membuat Dewa Arak dan dua lawannya sama sekali tidak mengetahui adanya beberapa sosok yang tengah melesat ke arah mereka. Sosok yang melesat paling depan adalah seorang gadis berpakaian merah.
"Mampus kau, Wanita Liar...!" Sosok kurus memakai topi berbentuk setengah tempurung kepala memaki sambil menghentakkan tangan kanan ke depan. Segundukan angin keras menyambar diiringi bunyi mengaung, memburu punggung gadis berpakaian merah yang tak lain Lestari.
"Guru...! Jangan bunuh dia...!"
Teriakan itu terdengar dari mulut sosok yang berlari ke belakang kakek bertopi hitam itu. Sosok berpakaian coklat itu ternyata Prapanca. Namun permintaannya terlambat, pukulan jarak jauh kakek berpakaian hitam telah lebih dulu melesat dan tidak mungkin ditahan lagi. Untung saja, sebelum menghantam sasaran, Lestari yang menyadari akan adanya ancaman maut itu membanting tubuh ke tanah, kemudian bergulingan untuk menjauhkan diri.
"Keparat...!" Tanpa mengenal kasihan sama sekali, kakek berpakaian hitam itu meluruk ke arah Lestari yang tengah bergulingan. Sikapnya mengisyaratkan maut bagi putri Malaikat Petir itu. Kakek bertopi aneh ini tidak mempedulikan teriakan-teriakan permohonan Prapanca.
"Hentikan, Brangsang...! Tanganmu telah banyak berlumuran darah orang-orang tidak berdosa...!"
Kakek berpakaian hitam yang ternyata bernama Brangsang, menghentikan gerakannya. Dan sebelum dia sempat menoleh, ke samping kanannya telah berdiri seorang kakek berkulit putih dan pucat. Jenggot kumis, cambang, dan bahkan alisnya pun putih semua! Kakek berkulit putih ini berdiri dengan sikap angker.
"Kiranya kau, Sobrang!" seru Brangsang agak kaget "Sama sekali tidak kusangka kalau kau akan keluar dari tempat pertapaanmu. Apa yang hendak kau lakukan, heh...?! Ingat kau telah bersumpah untuk tidak mempergunakan kepandaianmu lagi! Apalagi untuk menentang ku...!"
"Aku memang tidak ingin menjatuhkan tangan keras padamu, Brangsang! Tapi, sebagai kakak seperguruanmu aku mempunyai hak untuk mengingatkan mu akan kesalahan tindakan yang kau lakukan ini. Bertobatlah, Brangsang!"
"Kalau aku tidak mau, kau mau apa, Sobrang?!" tantang Brangsang yang ternyata adik seperguruan Sobrang, dengan berani. "Ataukah ingin menjilat ludahmu sendiri?!"
Sobrang tersenyum getir. "Aku bukan orang yang suka menjilat ludah yang sudah ku keluarkan sendiri, Brangsang! Tapi aku tahu kaulah yang telah membunuh Malaikat Aneh. Kau pula yang menyebabkan Malaikat Petir dan Perkumpulan Pengemis Baju Putih hancur berantakan akibat fitnah dan pembunuhan yang kau lakukan terhadap keturunan kakek sakti. Kaulah yang mengeluarkan Biang-Biang Iblis dengan gagasan-gagasan licikmu! Aku tahu, sebabnya, karena kau ingin mengambil harta karun milik bajak laut ratusan tahun lalu yang konon tersimpan di sana. Bukankah kau telah menemukan petanya?!"
"Tutup mulutmu, Tua Bangka...!" Brangsang langsung murka karena semua rahasianya dibeberkan oleh Sobrang. Tanpa peduli siapa yang dihadapi dia langsung menerjang dengan tepakan-tepakan maut.
Sobrang hanya tersenyum getir melihatnya. Tak tampak kalau kakek berjenggot putih itu akan melakukan tangkisan atau mengelak. Mungkinkah, kakek ini bermaksud mendiamkan saja serangan itu karena takut dianggap melanggar sumpah?
''Pengecut Licik!" Bersamaan terdengarnya teriakan itu, sesosok bayangan putih melesat cepat memapaki serangan Brangsang. Benturan pun tidak dapat dicegah. Akibatnya tubuh kedua belah pihak sama-sama terjengkang ke belakang. Namun, tubuh sosok bayangan putih terlontar lebih jauh. Dan ketika akhirnya berhasil bangkit wajahnya tampak pucat. Sosok bayangan putih ini memiliki kulit tubuh putih seperti Sobrang hanya saja jauh lebih muda.
"Malaikat Salju...!" seru Sobrang dan Brangsang hampir berbarengan.
"Guru...!" Malaikat Salju, sosok yang baru saja tiba, langsung saja memberi hormat pada Sobrang. Terlihat agak menggelikan, seorang guru memanggil muridnya dengan julukan. Maklumlah, Sobrang tidak ingat lagi nama muridnya.
Namun Malaikat Salju tidak bisa berlama-lama bertegur sapa dengan Sobrang karena Brangsang dengan penuh nafsu membunuh, langsung mengirimkan serangan-serangan berbahaya. Malaikat Salju menyambutinya hingga perang tanding pun terjadi.
Di tempat yang semula hening itu tercipta dua kancah pertarungan hebat. Sementara tiga pasang mata, Lestari, Prapanca, dan Sobrang hanya menyaksikan. Di antara ketiga orang itu, tampak Prapanca yang paling kebingungan. Rupanya dia tak habis pikir melihat perkembangan yang terjadi. Dia suka pada Lestari, tapi hatinya pun tidak ingin bertentangan dengan Brangsang, gurunya.
Memang diakui oleh Prapanca kalau sang Guru bukan orang baik-baik, tapi biar bagaimanapun dia menghormatinya. Kenyataan membuatnya harus berada di tempat yang tidak menyenangkan. Dengan wajah bingung dipandanginya Lestari, tapi gadis berpakaian merah itu malah melengos, tidak mau melihatnya lagi. Hal ini membuat Prapanca semakin kebingungan.
Lestari memang merasakan hatinya terbakar oleh kemarahan ketika mengetahui Prapanca mempunyai guru yang demikian jahat. Bahkan guru Prapanca yang telah menyebabkan ayah angkatnya, Malaikat Petir, tewas. Demikian pula dengan ayah kandungnya. Melihat Prapanca demikian membela gurunya, Lestari menjadi benci pada pemuda berpakaian coklat itu. Dalam perasaan seperti itu Lestari pun teringat akan pemuda berpakaian biru. Apa yang terjadi dengan murid Malaikat Salju itu? Apakah dia tewas di tangan Prapanca?
Pemuda berpakaian biru itu sebenarnya tidak tewas! Dia hanya pingsan akibat terkena tendangan Prapanca. Prapanca tidak sempat mengirimkan serangan terakhir karena telah keburu cemas ketika melihat Lestari tidak di situ. Prapanca mengejar Lestari.
Namun, di tengah jalan pemuda berpakaian coklat ini bertemu dengan gurunya. Kakek berpakaian hitam itu tengah dilanda kecewa dan marah karena tawanannya, Melati, telah dirampas oleh Jaran Sangkar, tanpa dia mampu berbuat sesuatu untuk mencegahnya. Melihat, muridnya tengah mengejar seorang gadis, Brangsang menanyakannya, dan Prapanca tidak berdaya untuk berbohong. Dikatakan hal yang sebenarnya. Dan, hal yang ditakutkannya pun terjadi, Brangsang bermaksud membunuh Lestari!
Lestari merasa cemas ketika melihat Malaikat Salju tidak mampu menandingi Brangsang yang lihai. Sahabat Malaikat Petir ini terus-menerus terdesak. Bahkan beberapa kali hampir saja serangan Brangsang bersarang di tubuhnya. Hanya di saat-saat terakhir, Malaikat Salju berhasil mengelak.
"Mengapa kau diam saja, Kakek Sobrang?!" tanya Lestari penuh perasaan gemas pada Sobrang yang dilihatnya berdiri diam, dan tidak berusaha untuk bertindak. Padahal, Lestari yakin Sobrang memiliki kepandaian tinggi. Bukankah Sobrang kakak seperguruan Brangsang? "Apakah kau ingin muridmu mampus?! Cepatlah bertindak...!"
Sobrang hanya tersenyum getir. Dia tidak melakukan tindakan apa pun selain hanya memperhatikan jalannya pertarungan itu. Meski Lestari yang semakin cemas akan keselamatan Malaikat Salju telah mengguncang-guncang tubuhnya, dia tetap tidak bergerak.
"Baik! Karena kau seorang kakek pengecut yang takut mati, aku yang akan turun tangan...!" seru Lestari, habis daya untuk membujuk Sobrang.
Akibat ucapan Lestari yang tajam itu, wajah Sobrang yang sejak tadi tenang, langsung berubah pucat. Makian Lestari memang terlalu menusuk perasaan. Namun, Lestari tidak mempedulikannya. Karena kekalapan dan ketidaksabarannya Lestari mencabut kipas yang terselip di pinggang dan siap untuk menerjang maju dalam kancah pertarungan.
"He he he...! Ternyata sudah ramai...! Aku ketinggalan...! Ah, dengan siapa aku harus bertempur...!"
"Hik hik hik...! Aku pun terlalu lambat datang...!"
Belum lenyap gema ucapan yang saling susul ini, dari kejauhan melesat dua sosok bayangan yang ternyata Dewa Langit Tak Punya Malu dan Dewi Cabul! Hanya dalam sekejapan dua da-tuk sesat ini telah berada di dekat pertarungan.
Namun, sebelum dua datuk sesat yang berwatak aneh ini berbuat sesuatu, Arya yang mendengar seruan mereka, dan menyadari adanya kegawatan segera melesat meninggalkan kancah pertarungan. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, memang tidak sulit untuk melakukan tindakan demikian.
"Hentikan...?!" Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk berteriak sekeras-kerasnya. Bagai kerbau dicocok hidungnya, semua orang yang berada di situ, menghentikan gerakan. Tak terkecuali tokoh-tokoh yang tengah terlibat pertarungan. Ada kekuatan luar biasa dalam seruan Arya yang membuat mereka semua terpaksa patuh.
"Wahai datuk-datuk sesat yang terkenal dengan julukan Biang-Biang Iblis, aku ingin mengajukan pertanyaan! Apakah kalian semua ini pengecut-pengecut hina yang mudah mengingkari janji kalian sendiri?! Begitu rendah harga diri kalian, menjilat ludah yang tertumpah keluar...!" seru Dewa Arak lantang.
"Apa maksudmu, Dewa Arak?! Jelaskan cepat, atau kuhancurkan mulutmu!" sahut Raksasa Pemangsa Manusia sambil mengepalkan tinjunya yang besar.
"Jangan dengarkan dia...!" sela Brangsang yang khawatir Dewa Arak akan membuka rahasianya. Bergegas dia mengayunkan kaki mendekati Dewa Arak dan menyerangnya. Namun langsung diurungkan ketika melihat empat datuk kaum sesat menatap ke arahnya dengan sorot mengancam.
Arya yang melihat hal ini merasa lega. "Bukankah kalian telah terlibat perjanjian dengan kakek sakti yang telah mengalahkan kalian puluhan tahun lalu?! Mengapa sekarang kalian melanggarnya?!"
"Kakek itu telah mati. Demikian pula keturunannya! Jadi, janji kami sudah tidak berlaku lagi!" bantah Raja Tikus Dasar Bumi, lantang. Ketiga rekannya menganggukkan kepala, mendukung bantahannya.
"Siapa bilang keturunan kakek sakti itu sudah tidak ada lagi. Di hadapan kalian berdiri keturunan terakhir kakek sakti itu!" tandas Dewa Arak sambil menuding Lestari!
Seruan-seruan kaget langsung keluar dari mulut Biang-Biang Iblis mendengar ucapan Dewa Arak.
"Kau dusta, Dewa Arak!" Kali ini Dewi Cabul yang berbicara. "Kau hanya mengada-ada! Gadis itu anak Malaikat Petir, dan kami tahu itu! Lagi pula kalau dia keturunan kakek sakti, mengapa tidak memiliki ilmu-ilmu leluhurnya?!"
Lagi-lagi tiga datuk sesat lainnya menganggukkan kepala menyetujui ucapan Dewi Cabul.
"Dengarkan baik-baik," ujar Arya masih tetap tenang. "Malaikat Petir hanya ayah angkat Lestari. Kemudian, mengapa Lestari tidak bisa memiliki ilmu leluhurnya, karena sejak bayi telah diasuh oleh Malaikat Petir. Jelas?! Ataukah, perlu kuberikan bukti yang lebih kuat?! Asal kalian tahu saja, aku menjamin ucapanku ini dengan kehormatanku sebagai seorang pendekar!"
"Dia berkata benar," Sobrang berkata pelan, "Muridku tidak pernah menikah, bagaimana mungkin dia bisa punya anak?!"
Empat datuk kaum sesat itu saling pandang sebentar. Mereka tahu tokoh-tokoh seperti Dewa Arak dan Sobrang, tak akan berkata bohong.
"Kalau begitu, kami akan kembali ke pengasingan," ujar Raja Tikus Dasar Bumi mewakili kawan-kawannya. ''Tapi, pertarungan antara kami denganmu belum selesai, Dewa Arak. Aku ingin merasakan kelihaian mu sendiri!"
"Jangan khawatir," ucap Arya sambil tersenyum. "Aku akan mengunjungi tempat pengasingan kalian!"
Empat datuk kaum sesat itu tidak memberikan jawaban sama sekali. Mereka melesat cepat meninggalkan tempat itu untuk menuju tempat pengasingan yang belum lama mereka tinggalkan.
"Lain waktu aku akan membuat perhitungan denganmu, Dewa Arak!" ancam Brangsang, sebelum membalikkan tubuh dan melesat meninggalkan tempat itu.
"Biarkan dia pergi, Dewa Arak!" pinta Sobrang cepat sebelum Dewa Arak melesat mengejar. "Apabila aku tidak berada di sini, dan jika kau menemukannya lagi setelah ini, hukumlah dia! Aku rela."
Dewa Arak tidak tega untuk mengabaikan permohonan itu. Dia menganggukkan kepala, sebelum melangkah meninggalkan tempat itu. Dia tahu, Melati pasti sudah dibebaskan oleh Jaran Sangkar. Maka, dia berangkat ke tempat pertemuannya dengan kakek itu.
Lestari memandangi kepergian Dewa Arak dengan perasaan sedih. Tidak disangka kalau pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak menaruh perhatian padanya. Rasa sukanya bertepuk sebelah tangan. Dengan pandangan sedih, diperhatikannya Arya, yang terus menjauh.
"Lestari...!"
Lestari mengalihkan pandangan ke arah panggilan. Dilihatnya murid Malaikat Salju tengah berlari cepat ke arahnya. Lestari tersenyum. Dia tahu pemuda berpakaian biru ini menyukainya. Namun hatinya telah ikut pergi bersama dengan kepergian Arya. Maka setengah melempar senyum sekali lagi, dia berbalik. Dan.... "Selamat tinggal...!"
Pemuda berpakaian biru hanya bisa melongo melihat kenyataan yang tidak pernah disangka-sangka ini. Di sebelah sana, Prapanca pun menundukkan kepala dengan hati kecewa karena tahu kalau Lestari tidak mencintainya dan hanya mencintai Dewa Arak. Dengan kepala tertunduk, Prapanca meninggalkan tempat itu.
Sementara, pemuda berpakaian biru masih menatap punggung Lestari dengan berbagai perta-nyaan bergayut di benak. Mengapa Lestari bersikap seperti itu? Namun, pemuda berpakaian biru tidak berani mengejar, apalagi menanyakannya. Dia hanya bisa memandanginya dari kejauhan. Dirasakan ada sesuatu yang hilang dari dalam dadanya seiring kepergian Lestari.
Mendadak sesosok bayangan putih berkelebat dan berhenti di tempat itu. Ternyata seorang gadis cantik berpakaian putih yang tak lain Melati. "Di mana adanya Dewa Arak?!" tanya Melati tanpa basa-basi. Entahlah kepada siapa pertanyaan itu diajukan.
"Dia sudah pergi," Sobrang yang memberikan jawaban dengan suara lesu. Karena seperti juga Malaikat Salju, dia tengah merasa kasihan pada pemuda berpakaian biru yang tengah patah hati karena cintanya tak ditanggapi oleh Lestari.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati segera melesat meninggalkan tempat itu untuk menyusul Dewa Arak.
SELESAI
Selanjutnya,