Dewa Arak - Makhluk Jejadian
Karya : AjisakaSATU
"Ayaaah...! Tolong...!"
Jeritan nyaring melengking, dan berasal dari sesosok tubuh ramping yang berada di pondongan sosok kekar berpakaian hitam, menguak keheningan siang. Tubuh wanita itu menggeliat-geliat dalam pelukan tangan kanan sosok berpakaian serba hitam.
"Penjahat-penjahat keji! Jangan harap kalian dapat lolos dari tanganku!" sebuah suara keras dan parau bernada kemarahan, menimpali teriakan wanita berpakaian merah itu.
Pemilik suara kedua ini ternyata seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun bertubuh tinggi kurus dan berkumis melintang. Dia berlari cepat mengejar sosok hitam yang membawa kabur putrinya. Sebuah golok pendek berwarna hitam mengkilat tergenggam di tangan kanannya.
Lelaki berpakaian coklat tua itu ternyata memiliki kecepatan lari berada di atas sosok hitam yang dikejarnya. Jarak antara mereka yang semula cukup jauh, semakin lama semakin dekat. Namun ketika jarak mereka tinggal sekitar sepuluh tombak, kawan-kawan sosok berpakaian hitam membalikkan tubuh, menghadang di depannya. Hal ini membuat lelaki berkumis melintang tidak bisa melanjutkan pengejarannya.
"Tua bangka dungu! Rupanya kau sudah kepingin masuk lubang kubur, heh?!" seru sosok berpakaian serba hitam yang bertubuh pendek kekar. Tangan kanannya bergerak, dan tahu-tahu di dalam genggamannya telah tercekal sebuah pisau pendek berwarna putih mengkilat. Tiga sosok hitam lainnya pun melakukan hal yang sama.
"Kalianlah yang akan kukirim ke akherat!" Berbareng keluarnya ucapan itu, lelaki berkumis melintang menubruk maju. Golok hitam di tangannya diputar laksana kitiran di atas kepala sebelum diluncurkan ke arah kepala sosok hitam yang bertubuh pendek kekar.
Trangng!
Bunga-bunga api berpercikan ke udara ke-tika sosok hitam pendek kekar mengayunkan pisau di tangan memapak serangan itu. Akibatnya, tubuh sosok pendek kekar terhuyung-huyung dua langkah ke belakang, sedangkan lelaki berkumis melintang hanya tergetar tubuhnya.
Lelaki berpakaian coklat itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Goloknya kembali meluncur deras untuk menghabisi nyawa lawan yang belum sempat memperbaiki kedudukan. Namun niatnya tak menjadi kenyataan, karena tiga sosok berpakaian serba hitam yang juga berwajah dan bersikap kasar seperti sosok pendek kekar, serentak menyambuti serangan lawan. Mau tidak mau lelaki tinggi kurus itu membatalkan serangan dan memutar goloknya untuk menghadapi serangan tiga pisau yang meluncur ke arahnya. Pertarungan pun segera terjadi.
Lelaki berpakaian coklat yang terus diliputi kecemasan terhadap keselamatan putrinya itu bertarung kalap seperti binatang buas terluka. Dengan ganas goloknya berkelebatan mencari-cari sasaran. Dia ingin secepatnya mengakhiri perta-rungan itu. Tapi maksudnya tetap tidak kesampaian.
Tiga orang lawannya terlalu kuat untuk dihadapi, betapapun telah dikerahkan seluruh kemampuan, dia tidak mampu mendesak. Malah keadaannya yang kian lama kian terhimpit. Apa-lagi ketika lelaki pendek kekar ikut campur dalam pertarungan. Lelaki tinggi kurus ini terus terdesak dan hanya mampu bermain mundur.
Tak sampai sepuluh jurus, ujung pisau salah seorang lawan telah membabat goloknya hingga terpental jauh. Dan sebelum lelaki berkumis melintang ini bertindak untuk menghindar, tiga batang pisau yang lain secara hampir bersamaan membabat tubuhnya. Seketika mulutnya mengeluarkan jeritan menyayat hati ketika senjata-senjata lawan menjarah sekujur tubuhnya. Lelaki berpakaian coklat itu ambruk berlumuran darah.
Tanpa mempedulikan mayat lelaki tinggi kurus, empat lelaki berpakaian serba hitam itu segera melesat meninggalkannya. Mereka berlari menyusul rekan mereka yang memondong wanita berpakaian merah muda.
Langkah keempat lelaki berpakaian hitam ini semakin dipercepat ketika melihat rekan me-reka berdiri sekitar dua puluh tombak di depan. Sosok ramping berpakaian merah muda masih berada di bahu kanannya. Namun bukan hal itu yang membuat empat lelaki berpakaian hitam itu tergesa-gesa, melainkan keberadaan sosok yang menghadang perjalanan rekan mereka.
"Ah...! Kiranya kau tidak sendirian, Penculik Hina?! Pantas kau bersikap demikian tenang! Rupanya kau mengandalkan kawan-kawanmu, heh?!" ujar sosok yang berdiri menghadang di tengah jalan. Matanya memandangi keempat lelaki berpakaian serba hitam yang telah berdiri di dekat lelaki yang memondong tubuh wanita itu.
"Siapa kau, Kakek Tua?!" sergah lelaki pendek kekar, keras. "Sungguh berani mati kau menghadang perjalanan kami! Menyingkirlah! Sayangilah umurmu yang tinggal beberapa hari itu! Pergilah cepat sebelum kami kehilangan kesabaran dan terpaksa membunuhmu!"
"Hmh!" Sosok yang ternyata seorang kakek bermuka kehijauan itu mendengus. "Asal kalian tahu saja, keberadaanku di sini justru untuk menghalangi niat busuk kalian! Lepaskan wanita yang kalian culik itu, dan aku akan membiarkan kalian pergi dari sini. Atau... haruskah aku mengambilnya dengan cara kekerasan?!"
"Kau mencari mati sendiri, Tua Bangka Bau Tanah...!"
Lelaki pendek-kekar melompat menerjang dengan sebuah tusukan pisau ke arah leher. Namun kakek bermuka kehijauan itu tetap bersikap tenang, seakan-akan membiarkan ancaman maut terhadapnya. Baru ketika ujung pisau itu menyambar dekat, tangan kanannya bergerak cepat.
Baik lelaki pendek kekar maupun keempat kawannya tidak dapat mengetahui tindakan yang dilakukan kakek bermuka kehijauan itu. Yang jelas, tahu-tahu tubuh lelaki pendek kekar itu terpental jauh ke belakang dan jatuh berdebuk di tanah, beberapa tombak dari tempat semula. Pisau putih mengkilat yang semula berada di tangannya telah berada di tangan kakek bermuka kehijauan. Sambil tertawa terkekeh-kekeh kakek bermuka kehijauan itu menimang-nimang pisau lawannya.
"Sebuah senjata yang cukup bagus," gumam kakek bermuka kehijauan yang bertubuh tinggi melebihi manusia umumnya. Mungkin tinggi tubuhnya tidak kurang dari satu setengah kali manusia normal.
Melihat dalam segebrakan lelaki pendek kekar telah dapat dirobohkan, keempat rekannya pun tahu kalau kakek bertubuh jangkung ini memiliki kepandaian amat tinggi. Maka serentak mereka mencabut senjata masing-masing. Bah-kan lelaki berpakaian hitam yang memondong wanita berpakaian merah muda pun, ikut bergerak dan mengepung kakek bermuka kehijauan setelah terlebih dulu melemparkan tubuh gadis itu ke tempat yang cukup aman dari bahaya pertarungan.
"Begini lebih baik, agar pertarungan cepat selesai," dengus kakek bertubuh jangkung itu tanpa memperhatikan empat lelaki berpakaian serba hitam yang telah mengurungnya dari empat penjuru. Dia masih asyik menimang-nimang pisau rampasannya.
Sikap kakek bermuka kehijauan ini membuat kemarahan empat lelaki berpakaian hitam semakin meluap. Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan nyaring mereka menerjang. Sinar-sinar menyilaukan mata langsung mencuat ketika empat lelaki berpakaian hitam itu menggerakkan tangan, melakukan penyerangan dengan pisau di tangan.
Namun mereka kecelik. Babatan, tusukan, tikaman, dan ayunan senjata mereka ternyata hanya mengenai angin. Laksana bayangan tubuh kakek bermuka kehijauan itu begitu cepat menyelinap di antara serangan pisau-pisau lawan yang berkelebatan.
Hal ini membuat empat lelaki berpakaian hitam semakin penasaran dan melakukan penyerangan lebih dahsyat. Seperti semula, hasilnya tidak berubah. Kakek bertubuh jangkung itu terlalu lincah untuk dapat dikejar dengan serangan.
"Sekarang giliranku...!" Di tengah-tengah kelebatan serangan pisau-pisau empat pengeroyoknya, kakek yang mengenakan jubah putih itu berseru keras mengatasi riuh rendahnya bunyi pertarungan. Dan belum lagi gema ucapannya lenyap, tubuh-tubuh lelaki berpakaian hitam berpentalan keluar kancah pertarungan dan terbanting keras di tanah. Dengan tenang kakek bertubuh jangkung itu berdiri tegap. Kedua tangannya menggenggam senjata-senjata milik keempat lawan.
Tampaknya kelima lelaki berpakaian hitam mulai sadar kalau kakek jangkung itu terlalu tangguh bagi mereka. Kakek itu memiliki kepan-daian yang amat tinggi. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, setelah saling pandang sebentar, mereka membalikkan tubuh dan berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu.
Sebuah keuntungan masih berada di pihak mereka, kakek bertubuh jangkung tidak berwatak telengas dan menjatuhkan tangan maut kepada mereka. Bahkan melukai pun tidak. Kakek bermuka kehijauan itu hanya merampas senjata dan membuat tubuh mereka terlempar! Sehingga kelima lelaki berpakaian hitam masih mampu berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Sementara kakek bermuka kehijauan itu tidak mempedulikan lima orang lawannya lagi. Diayunkan kakinya menghampiri wanita muda berpakaian merah muda yang tergolek lemah di bawah sebatang pohon berdaun rimbun. Rupanya sebelum dilemparkan tubuh gadis itu telah ditotok oleh lelaki yang memondongnya.
"Bangkitlah, Cucu! Orang-orang jahat itu telah kuusir pergi," ucap kakek bertubuh jangkung itu seraya menepuk tubuh gadis itu untuk membebaskan totokan.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek!" ucap gadis bermuka cantik jelita itu seraya bangkit berdiri.
"Lupakanlah, Anak Manis!" sahut kakek jangkung itu sambil mengulapkan tangan dan tersenyum lebar. "O ya, mengapa kau bisa berada bersama mereka?"
Gadis berpakaian merah muda itu menengadahkan kepalanya ke langit seperti tengah mencari jawaban pertanyaan itu. "Aku tinggal bersama ayahku di tempat terpencil. Ayah bekas seorang pendekar, meskipun kepandaiannya tidak terlalu tinggi. Di tempat itu Ayah dan aku hidup sebagai petani untuk menyambung hidup. Bertahun-tahun lamanya kami hidup tenang. Tadi, tiba-tiba saja muncul lima orang jahat itu yang menculikku. Ketika itu Ayah tengah sibuk di sawah, dan aku dalam perjalanan untuk mengirim makanan kepada Ayah. Entah bagaimana nasib Ayah sekarang karena tadi kulihat beliau mengejar-ngejar kelima orang yang menculikku."
"Kalau begitu... mari, kita temui ayahmu. Barangkali saja dia tengah mencari-carimu," ajak kakek bermuka kehijauan itu.
Gadis berpakaian merah muda itu menyetujuinya. Sesaat kemudian, keduanya telah menempuh arah yang semula ditinggalkan oleh lima lelaki berpakaian hitam. Tak membutuhkan waktu lama bagi dua orang itu untuk menemukan lelaki berkumis melintang. Mendadak gadis berpakaian merah langsung mengeluarkan jeritan menyayat hati sambil menghambur ketika melihat sosok tubuh ayahnya tergolek di tanah bermandikan darah.
"Ayah...!" Gadis berpakaian merah meraung-raung. Tanpa mempedulikan darah yang membasahi wajah dan sekujur tubuh ayahnya, ditubruknya tubuh lelaki yang telah tidak bernyawa itu.
"Hhh...!" kakek jangkung hanya menghela napas berat melihat kenyataan ini. Disadari kalau tidak ada gunanya mencegah tindakan gadis berpakaian merah itu. Dibiarkan saja dia menangis dengan suara memilukan beberapa saat sebelum akhirnya roboh tak sadarkan diri.
Tanpa berkata apa pun, kakek bermuka kehijauan yang memang sejak tadi sudah bersiap segera menyambut tubuh gadis itu sebelum ambruk di tanah. Kemudian, dibawanya melesat meninggalkan tempat itu.
* * * "Hhh... hhh... sebenarnya untuk apa sih semua siksaan ini, Gumilang?" tanya seorang gadis berpakaian hijau muda dengan suara terengah-engah dan peluh bercucuran membasahi kening dan lehernya yang putih mulus.
Sosok yang dipanggil Gumilang, tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Pemuda berpakaian coklat itu malah melompat, kemudian hinggap di sebuah tonjolan batu beberapa tombak di depannya. Sebuah perbuatan yang tidak terlalu sulit sebenarnya kalau saja dilakukan dalam keadaan biasa.
Namun saat itu dia mengenakan alas kaki berupa potongan kayu tebal yang dibentuk sesuai telapak kaki. Cara mengenakannya dengan menjepit mempergunakan ibu jari kaki dan telunjuk pada tonjolan di bagian depan. Hal itu tentu membuatnya repot juga. Apalagi bahu kanannya memanggul sebuah pikulan yang terbuat dari susunan rotan-rotan diikat menjadi satu.
Pada ujung-ujung rotan itu tergantung dua buah ember besar dari kayu tebal yang penuh berisi air. Benda cair itu tampak bermuncratan ke sana kemari ketika kaki Gumilang mendarat di tonjolan batu.
Tindakan serupa pun dilakukan oleh gadis berpakaian hijau muda itu. Seperti juga Gumilang, dia pun memakai alas kaki yang sama dan memikul dua ember air. Hanya saja ember yang dibawanya lebih kecil.
"Jangan kau anggap ini sebagai siksaan, Kenari!" ujar Gumilang sambil kembali melompat untuk hinggap pada batu runcing yang berada di depannya lagi. "Aku yakin, apa yang kita lakukan, dan karena semua ini perintah Eyang, pasti banyak gunanya bagi kita. Hhh... hhh... hhh...."
"Bisa kau beritahukan gunanya padaku, Gumilang?!" desak gadis berpakaian hijau muda yang ternyata bernama Kenari, penuh perasaan penasaran, tetap dengan suara terengah-engah. "Aku belum merasakan sedikit pun kegunaan semua siksaan ini."
"Jadi kau tidak merasakan kegunaannya, Kenari? Apakah kau tidak merasakan sendiri perbedaannya?"
Gumilang balik bertanya sambil terus melompat-lompat dan hinggap di atas batu-batu runcing yang membentang dan harus mereka lalui. Terpeleset sedikit saja cukup untuk membuat mereka mengalami luka-luka akibat tersayat-sayat batu-batu itu.
"Tidak!" sambung Kenari, lantang.
"Lupakah kau, Kenari?! Beberapa bulan lalu, kita tidak mampu melewati tempat ini! Andaikan bisa pun, air yang kita bawa telah habis tercecer di perjalanan. Apakah kau tidak tahu pula kalau pikulan kita secara bertahap semakin mengecil karena batang-batang rotannya dikurangi Eyang satu-persatu?! Tidakkah kau sadari kalau sekarang kita dapat menempuh perjalanan lebih cepat?! Apakah kau tidak tahu pula kalau ember-ember yang kita bawa ini beratnya semakin bertambah?! Dan masih banyak lagi hal-hal yang tampaknya tak kau sadari...," urai Gumilang panjang lebar, dengan penuh semangat.
Kenari kontan terdiam. Rupanya penjelasan Gumilang membuatnya dapat berpikir. Dan dia pun mulai menyadari kebenaran ucapan pemuda berpakaian coklat itu ketika mengingat-ingat semua yang dikatakan secara terperinci itu. Dan sekarang, sepasang muda-mudi itu melanjutkan pekerjaan mereka tanpa bercakap-cakap.
"Hup!" Setelah sekian lamanya melalui perjalanan yang bermedan batu-batu runcing, Gumilang dan Kenari tiba pada sebuah tempat datar, di lereng gunung.
"Ayo, Kenari!" seru Gumilang penuh semangat "Aku yakin sekarang kita akan lebih cepat tiba di puncak. Dan, kolam-kolam yang harus kita isi telah penuh! Kita telah maju pesat. Aku yakin, sekarang Eyang akan memberikan pelajaran yang jauh lebih berharga!"
Kemudian Gumilang dan Kenari pun kembali berlari. Meskipun medan yang dilalui menanjak serta berbatu terjal dengan enak mereka melesat. Namun anehnya tak tampak tumpahan atau percikan air dari ember-ember yang mereka pikul. Padahal, isinya hampir penuh!
Mendadak langkah Gumilang dan Kenari yang semula cepat, langsung mengendur ketika melihat lima sosok tubuh berpakaian hitam berdiri di depan, menghadang perjalanan mereka.
"Berhati-hatilah, Kenari!" bisik Gumilang. "Aku yakin mereka bermaksud tidak baik. Ingat, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kau lekas kabur! Biar aku yang akan mencoba menghadang mereka," ujar Gumilang.
"Tapi, Kang...," Kenari mencoba membantah, dengan suara pelan karena takut ketahuan.
"Tidak ada tapi-tapian, Kenari!" tegas Gumilang masih dengan suara berbisik. "Ingat, kita belum mempelajari ilmu silat yang berarti dari Eyang. Jadi, tidak ada gunanya melawan mereka bersama-sama."
Karena yakin kalau lima sosok yang berdiri menghadang sekitar sepuluh tombak dari mereka bermaksud tidak baik, Gumilang segera berjalan di depan, dan tidak berlari seperti sebelumnya. Keduanya membelok ke kanan, melalui jalan se-tapak yang licin dan menurun.
Tanpa banyak bicara, Kenari mengikuti langkah Gumilang menghindari para penghadang yang belum dikenalnya itu. Begitu keduanya berbelok arah dan baru mulai menuruni jalan setapak, lima lelaki itu berlari mengejar.
"Hey! Mau ke mana kalian?! Berhenti!" seru lelaki yang bertubuh pendek kekar.
"Kenari! Cepat kabur! Beritahu Eyang! Buang saja pikulan itu!" seru Gumilang tanpa bisa menyembunyikan kecemasannya. Dia sendiri langsung membalikkan tubuh, bersiap menghadang kelima lelaki berpakaian hitam itu. Ember-ember segera diturunkan, lalu pikulan yang tersusun dari rotan-rotan sebesar jari telunjuk dan berjumlah empat buah itu, digenggam dengan kedua tangan. Pemuda berpakaian coklat ini bersiap untuk mengadakan perlawanan.
Wuttt!
Ayunan pikulan rotan yang digerakkan secara mendatar itu membuat lima lelaki berpa-kaian hitam melompat ke belakang. Dari bunyi berdecit nyaring yang terdengar mereka dapat mengetahui kalau tenaga dalam pemuda berpa-kaian coklat itu tidak bisa dianggap remeh.
"Keparat! Rupanya kau sudah kepingin mampus, heh?!" seru lelaki pendek kekar geram ketika melihat gadis berpakaian hijau muda yang berada jauh di depan. Gerakan gadis itu ternyata sangat cepat, bagaikan larinya seekor kijang!
Baik lelaki pendek kekar maupun keempat kawannya tidak bisa terlalu lama memperhatikan Kenari karena Gumilang telah kembali menyerang mereka, secara kalap. Cukup hebat gebrakan Gumilang, sehingga membuat lima lelaki berpa-kaian hitam ini buyar dan kerumunan.
Hal itu hanya berlangsung beberapa gebrakan, karena sesaat kemudian, Gumilang telah terkurung. Lima lelaki berpakaian hitam ini tampaknya orang-orang yang terbiasa bertempur untuk mempertaruhkan nyawa.
Maka sebentar kemudian mereka langsung tahu kalau Gumilang hanya menang dalam hal tenaga dan kegesitan gerakan, sedangkan mengenai gerakan-gerakan ilmu silat, tipu-tipu penyerangan, dan tangkisan maupun elakan, belumlah mahir. Serangan-serangan yang dilancarkan pemuda berpakaian coklat itu pun tidak berkembang. Dapat ditebak dan mudah dipatahkan. Keadaan Gumilang benar-benar gawat!
Sementara itu, Kenari meskipun mengkhawatirkan keselamatan Gumilang, terus berlari tanpa mempedulikan medan yang ditempuh. Tidak dipedulikannya sama sekali jalanan licin atau kadang semak belukar berduri yang membuat pakaiannya koyak-koyak, namun aneh-nya tidak mampu melukai kulitnya yang halus. Yang ada di benaknya adalah berlari secepat mungkin untuk memberitahukan kejadian ini pada gurunya.
Krakkk! Brukkk!
"Hey…!" Kenari mengeluarkan jeritan kaget ketika sebatang pohon besar tiba-tiba tumbang menghalangi jalan, padahal saat itu dia tengah berlari secepat mungkin. Gadis berpakaian hijau muda ini menjadi gugup, tapi tetap tidak kehilangan kesadaran untuk bertindak, meski untuk sesaat nyalinya seperti terbang entah ke mana. Untuk pertama kali, Kenari yang belum pernah menggunakan kemampuannya, ditantang untuk menyela-matkan diri dengan kepandaian yang belum diketahui kegunaannya.
"Hih!" Di saat-saat terakhir, Kenari menjejak tanah dengan kaki kanannya. Seketika tubuhnya melenting ke atas melewati batang pohon yang menghalangi jalan. Setelah bersalto beberapa kali di udara, dia berusaha mendarat di tanah. Tapi....
Tappp!
Kenari terpekik kaget ketika pergelangan kaki kanannya dicekal oleh sebuah tangan besar dan penuh bulu-bulu tebal. Dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tubuhnya terayun deras ketika tangan besar itu bergerak menghempaskannya.
Krosakkk!
Tubuh Kenari terlempar jauh dan jatuh ke semak-semak. Ini merupakan sebuah keuntungan bagi gadis berpakaian hijau muda ini, karena apabila jatuh menimpa batu atau tanah, dengan luncuran sederas itu, entahlah bagaimana luka yang akan dideritanya.
Kenari, menduga kalau pemilik tangan besar dan berbulu itu termasuk orang-orang yang mengejarnya. Karena begitu takutnya ia tidak mempedulikan rasa pusing akibat bantingan tadi. Dengan cepat gadis itu menerobos kerimbunan semak-semak berusaha melesat kabur. Kedua kalinya Kenari menjerit kaget. Seketika itu juga terhenti. Matanya membelalak lebar, seakan tidak percaya akan pemandangan yang dilihatnya.
Memang tidak terlalu berlebihan kalau Kenari sampai demikian terkesima. Sosok yang berdiri di hadapannya dalam jarak dua tombak, memang memiliki potongan tubuh menggiriskan hati. Bentuk tubuhnya tidak ada bedanya dengan manusia biasa, memiliki sepasang tangan, sepasang kaki, dan kepala di atas.
Namun bagian tubuhnya yang hanya tertutup pakaian berupa rompi putih, memperlihatkan bulu-bulu halus berwarna hitam dan bergaris-garis kuning seperti layaknya bulu-bulu yang terdapat pada seekor macan!
Ketika sosok makhluk yang mengerikan itu membuka mulutnya, tampak gigi-gigi taring runc-ing mencuat kanan kiri. Sosok ini lebih mirip manusia harimau!
"Gggrrrhhh...! Mau lari ke mana kau, Wanita Liar?! Grrrhhh...! Jangan harap dapat lolos dari tanganku. Grrrhhh...!" Sosok berompi putih itu mengeluarkan suara keras dan parau dengan sesekali diselingi geraman keras mirip auman harimau.
Seruan manusia harimau itu membuat Kenari sadar dari terkesimanya. Dan hal ini menyelamatkan nyawanya. Karena saat itu juga lelaki berompi putih yang berbulu harimau loreng itu melompat menerkamnya. Lompatannya pun mirip seekor harimau menyerang mangsanya.
Kenari yang belum pernah mempergunakan kemampuannya, dan bahkan belum mengetahui tingkat kepandaiannya, menjadi gugup melihat serangan itu. Sesaat dia terpaku kaku di tempatnya. Untung saja di saat-saat gawat, ketika jari-jari tangan sosok manusia harimau yang mempunyai kuku-kuku panjang melengkung dan berwarna kehitaman hampir merencah lehernya, Kenari teringat akan pelajaran ilmu silat yang diterimanya dari gurunya. Kaki kanannya digerak-kan melakukan tendangan lurus ke arah perut lawan yang tengah melompat.
Wuttt!
Manusia harimau itu ternyata benar-benar memiliki ilmu meringankan tubuh yang hampir tidak masuk akal! Serangan Kenari berhasil dielakkannya. Padahal, saat itu tubuhnya tengah berada di udara, tidak memiliki landasan apa pun yang dapat digunakan untuk menjejak, tapi toh hal itu mampu dilakukannya.
Dengan hanya menggeliatkan tubuh, serangan Kenari berhasil dielakkannya, bahkan sempat mengirimkan sampokan yang membuat gadis berpakaian hijau muda itu melempar tubuh ke belakang dan bergulingan menjauh.
Karena tidak ingin bertarung, Kenari mempergunakan kesempatan itu untuk terus mencelat dan melarikan diri. Namun manusia harimau itu benar-benar tidak mau melepaskannya. Dengan kecepatan yang mengagumkan makhluk aneh itu melesat mengejar. Kejar-kejaran pun terjadi.
Kenari hampir tak percaya ketika sempat menoleh ke belakang. Dilihatnya manusia harimau itu terkadang berlari dengan bantuan kedua tangan sebagaimana halnya seekor harimau sungguhan! Dengan cara lari seperti itu, kecepatan larinya pun tidak berkurang, bahkan bertambah cepat.
Kenari mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meninggalkan manusia harimau sejauh mungkin. Namun maksudnya tidak tercapai sama sekali. Makhluk yang merupakan campuran antara manusia dengan harimau itu tetap tidak bisa ditinggalkan. Meskipun demikian Kenari pun tidak bisa disusul, jarak antara keduanya tidak berubah.
Setelah melalui jalan terjal berbatu-batu yang kadang menanjak dan menurun, Kenari dan manusia harimau itu sampai di sebuah tempat datar. Dari situ tampak di kejauhan sebuah bangunan berupa pondok. Melihat hal ini semangat Kenari bertambah. Dia yakin apabila telah tiba di pondok itu dan gurunya datang, manusia harimau ini akan dapat diusir, dan bahkan dikalahkan.
Namun tiba-tiba semangat Kenari surut, bahkan berubah menjadi ketegangan, ketika matanya melihat lima sosok tengah terlibat dalam suatu pertarungan sengit. Satu di antara mereka dikenali betul oleh Kenari, Eyang Kendi Laga. Dan yang membuat hatinya lebih terkejut ketika melihat lawan-lawan yang mengeroyok gurunya itu sama seperti makhluk yang mengejarnya, campuran antara manusia dengan binatang.
Meskipun demikian, Kenari tetap meneruskan larinya. Biar bagaimanapun dia lebih tenang kalau berada di sisi gurunya. Namun ketika jarak antara Kenari dengan tempat pertarungan tinggal beberapa tombak lagi, tiba-tiba manusia harimau itu melompat melewati atas kepala sambil meraung keras. Kini makhluk aneh itu telah berdiri menghadang di depan Kenari. Mau tak mau Kenari terpaksa melakukan penyerangan. Untuk kedua kalinya pertarungan antara mereka pun terjadi.
Penglihatan Kenari ternyata tidak salah. Tak jauh dari tempat itu seorang kakek kecil kurus dan berkepala botak tengah sibuk bertarung menghadapi empat orang pengeroyoknya yang be-rupa makhluk aneh. Campuran antara manusia dengan binatang. Dan masing-masing memiliki keistimewaan yang berbeda sesuai dengan jenis campuran hewannya.
Eyang Kendi Laga, meskipun tengah sibuk mengerahkan seluruh kemampuan untuk menghadapi pengeroyokan lawan-lawannya, masih sempat melihat kehadiran Kenari. Perasaan khawatir akan keselamatan muridnya pun timbul. Ingin dia berusaha menolong Kenari, tapi apa dayanya? Dia sendiri tengah sibuk menghadapi gempuran dahsyat kelima makhluk aneh itu.
Desss!
Untuk yang kesekian kali, Eyang Kendi Laga berhasil mengirimkan sebuah tendangan ke arah perut salah seorang lawannya yang merupakan campuran antara manusia dengan badak! Tapi, lagi-lagi tubuh lawannya sama sekali tidak bergeming, seakan tidak merasakan akibat tendangan kakek kurus itu. Padahal tendangan dahsyat itu kalau mengenai sebongkah batu besar atau cadas pun akan hancur!
Sama halnya dengan manusia badak, tiga pengeroyok lainnya pun tidak kalah hebatnya, Manusia kera memiliki kegesitan yang mengagumkan. Setiap serangan Eyang Kendi Laga selalu kandas. Sebaliknya kakek kecil botak itu harus selalu berhati-hati terhadap serangannya. Kedahsyatan yang sama dimiliki pula oleh manusia beruang dan manusia serigala!
Crattt!
Eyang Kendi Laga memekik tertahan ketika sampokan tangan manusia kera berhasil menggores bahu kanannya. Tubuh kakek kecil kurus ini tampak terhuyung ke belakang dengan darah merembes keluar dari bagian yang terluka. Belum sempat Eyang Kendi Laga memperbaiki kedudukan, manusia badak telah melancarkan serangan dengan serudukan kepala.
Eyang Kendi Laga terkejut bukan kepalang, namun masih sempat untuk menjejakkan kaki sehingga tubuhnya melayang ke atas. Namun tindakannya tetap kurang cepat, kepala manusia badak yang mempunyai tanduk tunggal sempat menghantam kaki kanannya.
Meskipun tidak mengenai dada, serangan manusia badak itu cukup membuahkan hasil. Eyang Kendi Laga tidak bisa mendarat secara wajar di tanah. Serbuan terkaman manusia serigala yang berhasil dielakkan membuatnya jatuh terguling di tanah.
Tindakan manusia serigala ternyata amat cepat. Makhluk berbulu hitam ini langsung meluruk menerkam Eyang Kendi Laga untuk mengoyak-ngoyak tubuhnya dengan disertai lolongan melengking.
Karena tidak sempat untuk mengelakkan serangan, Eyang Kendi Laga mengambil keputusan untuk memapak moncong yang penuh gigi-gigi runcing dengan kedua tangannya, meskipun untuk itu harus terluka. Dihentakkan kedua tangannya itu ke depan.
"Kaing..!"
Sebelum moncong manusia serigala ber-benturan dengan sepasang tangan Eyang Kendi Laga yang dikepalkan, makhluk berbulu hitam itu mengeluarkan lengkingan kesakitan. Tubuhnya ambruk ke tanah sebelum berhasil melaksanakan maksudnya.
Sebagai tokoh tua yang sudah banyak pengalaman di dunia persilatan, Eyang Kendi Laga mengetahui penyebabnya. Meskipun hanya berupa sekelebatan, dia sempat melihat sepotong ranting sebesar ibu jari melesat cepat dan menghan-tam telak badan manusia serigala itu. Dia tahu ada seseorang yang telah menolongnya.
Belum sempat Eyang Kendi Laga bangkit, di depannya, berdiri membelakangi sesosok tubuh kekar berambut panjang. Tanpa membalikkan tubuh, dan hanya menolehkan kepala, sosok kekar yang ternyata seorang pemuda tampan berwajah jantan itu berkata.
"Biar aku yang menghadapi mereka, Eyang. Lebih baik kau tolong muridmu."
Ucapan pemuda berambut panjang itu hanya terhenti sampai di situ karena empat orang pengeroyok Eyang Kendi Laga telah menerjang-nya. Pemuda berambut panjang itu mengelakkannya dan kemudian melancarkan serangan sehingga terjadi pertarungan seru.
Eyang Kendi Laga tahu kalau pemuda penolongnya memiliki kepandaian tinggi. Hal itu diketahuinya dari hasil sambitan yang mengenai manusia serigala. Tanpa berpikir lebih lama lagi dia segera melakukan perintah pemuda berambut panjang itu. Meskipun dengan keadaan tubuh yang belum sehat betul, dia melesat menuju kancah pertarungan antara Kenari dengan manusia harimau.
Semula pertarungan antara Kenari dan manusia harimau berlangsung tak jauh dari pertarungan Eyang Kendi Laga. Namun karena masing-masing pertarungan bergeser pindah tempat, terutama sekali pertarungan antara Kenari dengan manusia harimau, jarak antara mereka jadi terpisah jauh. Bahkan pertarungan antara Kenari dengan manusia harimau telah berada di tepi sebuah jurang. Sementara keadaan gadis itu sangat gawat, karena terus terdesak ke bibir jurang.
Dan tepat di saat Eyang Kendi Laga berhasil mendekati kancah pertarungan, Kenari melompat ke belakang untuk menghindari sampokan tangan manusia harimau yang bertubi-tubi. Gadis berpakaian hijau muda ini sama sekali tidak tahu kalau di belakangnya adalah jurang menganga.
"Kenari..! Awas…!"
Eyang Kendi Laga yang melihat adanya bahaya itu berseru keras. Namun teriakannya terlambat karena tubuh Kenari telah melayang ke belakang. Kenari yang belum sadar akan bahaya itu mengira peringatan gurunya adalah untuk menghadapi manusia harimau. Dia baru memekik kaget ketika menyadari kedua kakinya tidak kun-jung menjejak tanah, dan bahkan terus melayang ke bawah. Gadis itu baru tahu kalau dirinya melompat ke jurang.
"Kenari...!" Eyang Kendi Laga berteriak keras sejadi-jadinya. Entahlah bagaimana perasaan yang ada di dalam hati lelaki tua itu. Keterkejutan, kepiluan, marah, cemas bercampur jadi satu. Sekali lihat saja, meskipun belum menjenguk sendiri jurang itu, dirinya tahu kemungkinan untuk hidup bagi Kenari tipis sekali.
Kemarahan yang menggelegak tak dapat lagi dibendungnya. Wajahnya memerah dengan mata membelalak menatap manusia harimau itu. Tanpa mengucapkan kata-kara apa pun Eyang Kendi Laga langsung melompat menerjangnya.
Manusia harimau, tanpa banyak cakap segera menyambut terjangan Eyang Kendi Laga. Pertarungan dahsyat pun terjadi di tepi jurang itu. Pukulan dan tendangan serta cakaran yang menimbulkan angin menderu keras terdengar di-tingkahi oleh suara teriakan-teriakan kemarahan. Belasan jurus berlalu dengan cepat, tapi belum ada yang terkalahkan.
Si Manusia Harimau itu tampaknya merasa kalau lawannya kali ini tidak bisa dianggap remeh, terlalu kuat. Hanya dalam beberapa gebrakan, dia berapa kali terkena puku-lan yang mengakibatkan tubuhnya terpental jauh dan terguling-guling di tanah.
Di kancah lainnya, pemuda berambut panjang pun telah dapat menguasai jalannya pertarungan. Meskipun manusia serigala dan manusia monyet memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan, dia mampu mengatasi mereka. Beberapa kali dia membagi-bagi pukulan pada empat lawannya. Terutama sekali pada manusia badak dan manusia beruang yang mempunyai gerakan lambat.
Untung manusia beruang dan manusia badak memiliki kekuatan tubuh yang mengagumkan, sehingga pukulan-pukulan pemuda berambut panjang itu seperti tidak menimbulkan akibat apa pun pada mereka. Tidak demikian halnya dengan manusia kera dan manusia serigala. Baru dua kali pukulan pemuda berambut panjang bersarang, mereka sudah tidak mampu bangkit lagi, tergolek di tanah. Sekarang yang masih mengadakan perlawanan sengit tinggal manusia badak dan manusia beruang yang sudah agak payah da-lam melakukan gerakan.
Sebuah tendangan yang dilakukan pemuda berambut panjang tanpa terduga-duga membuat manusia beruang terpental jauh dan terbanting di tanah tak berkutik lagi. Tendangan yang mendarat di dada itu membuat tulang tubuh campuran antara manusia beruang itu remuk.
Kenyataan ini membuat manusia badak menggeram keras. Dengan cepat makhluk berkulit keras itu melakukan penyerangan dengan mempergunakan kepalanya. Deru angin keras mengiringi tibanya serangan yang menuju ke dada pemuda berambut panjang itu. Dan....
Cappp! Cappp!
Dengan telak dan keras kepala bercula itu menghantam perut pemuda berambut panjang yang tidak berusaha mengelak sama sekali. Namun sebuah kejadian yang mengejutkan lawannya terjadi. Tubuh pemuda berambut panjang itu tidak apa-apa. Bergeming pun tidak! Kepala manusia badak itu malah menempel ke perutnya.
Manusia badak mendengus dan berusaha untuk menarik kepalanya. Tapi sia-sia saja! Kepalanya seakan telah melekat dengan perut lawan. Selain itu, ada hawa panas luar biasa yang menyeruak dari perut pemuda berambut panjang itu, sehingga membuat kepala manusia badak itu seperti diletakkan di atas sebuah tungku api yang panas! Manusia badak ini meraung-raung kesakitan dengan suaranya yang aneh. Saat itulah, pemuda berambut panjang menghantamkan kedua telapak tangannya yang terbuka pada sisi-sisi kepala manusia badak.
Blangng!
Raungan keras dan menggetarkan keluar dari mulut si Manusia Badak. Tubuh makhluk jejadian ini sempoyongan karena pada saat yang bersamaan, pemuda berambut panjang itu melepaskan tenaga yang membuat kepala lawan menempel dengan perutnya.
Pada saat yang bersamaan, manusia harimau pun mengeluarkan raungan keras ketika dua buah pukulan tangan terbuka Eyang Kendi Laga menghantam telak di dadanya. Eyang Kendi Laga mengayunkan kaki mendekati pemuda berambut panjang ketika dilihat lawannya sudah tidak bergerak lagi. Lawan-lawan pemuda tampan itu pun sudah tergeletak semua di tanah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Kalau tidak ada kau, mungkin aku yang tua sudah tidak berada lagi di dunia ini," ucap Eyang Kendi Laga penuh rasa terima kasih.
"Lupakanlah, Kek!" sambut pemuda berambut! panjang itu, sopan. "Pertolonganku tidak ada artinya sama sekali. Bahkan karena keterlambatanku pula muridmu jatuh ke jurang. Kalau saja aku datang lebih cepat, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Benarkah dugaanku kalau wanita yang jatuh ke jurang tadi muridmu...?"
"Benar," Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala. "Hm... boleh kutahu siapa kau, Anak Muda? Aku, Eyang Kendi Laga."
"Ah, syukurlah kalau begitu. Aku memang tengah mencari-carimu, Eyang. Itulah sebabnya aku berada di sini. Menurut berita yang kudengar kau tinggal di sini. Bahkan bersama-sama dengan beberapa orang muridmu. O ya, aku Arya Buana...," jawab pemuda berambut panjang itu memperkenalkan diri.
"Arya Buana?!" Eyang Kendi Laga mengernyitkan dahi seperti tengah berpikir. Beberapa saat lamanya dia termenung dengan pandangan tertuju ke angkasa. "Rasanya aku pernah men-dengar nama itu. Dan.... Ah...! Arya...! Bukankah kau yang terkenal dengan julukan Dewa Arak?! Ya, benar! Ciri-cirimu sesuai dengan berita yang kudengar mengenai tokoh muda yang telah meng-goncangkan dunia persilatan. Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak..., Arya?"
"Begitulah orang memberiku julukan, Eyang," jawab Arya, tanpa rasa bangga sama sekali. "Tapi, aku lebih suka dipanggil dengan namaku, Arya."
Eyang Kendi Laga merasa kagum mendengar ucapan pemuda berambut panjang yang berdiri di hadapannya. Dari tanggapan atas ucapannya dia tahu kalau Arya memiliki watak rendah hati. Penuh rasa gembira, sungguhpun tidak bisa menyembunyikan kegetiran hatinya akibat jatuhnya Kenari ke dalam jurang, ditatapnya sekujur tubuh Arya penuh selidik. Pakaian khasnya yang berwarna ungu dengan rambut panjang berwarna putih keperakan. Tak ketinggalan pula guci arak yang tergantung di punggung, jelas ciri-ciri yang dimiliki Dewa Arak.
"O ya. Hm..., lalu apa maksud kedatanganmu mencariku, Arya? Apakah hanya sekadar untuk mengunjungi gubukku yang reot ini?!" tanya Eyang Kendi Laga kemudian seraya tersenyum memandangi Dewa Arak.
"Kurasa hal itu bisa kita bicarakan nanti, Eyang. Urusan ini tidak terlalu mendesak. Lebih baik kita selidiki kemungkinan keadaan murid-mu. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan lolos dari maut," Arya mengajukan usul.
"Tidak ada salahnya kalau kuikuti saranmu itu, Arya. Tapi, aku yakin kemungkinan untuk hidup bagi Kenari amat kecil. Aku tahu betul, jurang itu amat dalam dan terjal, sulit untuk dapat kita turuni kecuali kalau mempunyai sayap."
Mulut kakek kecil kurus ini berkata demikian, tapi kakinya melangkah menuju jurang tempat tubuh Kenari tadi terjatuh. Hampir Dewa Arak tertawa geli, tapi karena takut menyinggung hati kakek kecil kurus itu, ditahannya. Tanpa berkata apa pun, diikutinya tindakan Eyang Kendi Laga menuju ke jurang.
Langkah Eyang Kendi Laga dan Arya terhenti bibir jurang. Keduanya melongokkan kepala ke bawah. Ternyata benar, di samping curam dan sangat terjal jurang itu amat dalam. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya kabut di bawah, tidak tampak sama sekali dasar jurang itu.
Arya menghela napas berat. Kemudian ia menoleh ke arah Eyang Kendi Laga. Kakek kecil kurus itu pun balas menatapnya dengan pandangan terharu dan penuh penyesalan.
"Bagaimana, Arya?!" tanya Eyang Kendi La-ga dengan suara parau dan pelan sekali.
"Rasanya kemungkinan yang dikatakan Eyang benar. Kecil sekali kemungkinannya bagi Kenari dapat lolos dari maut. Kecuali... bila Tuhan menghendaki lain."
"Mudah-mudahan, Arya," sambung Eyang Kendi Laga cepat dan penuh harap. "Tapi kemungkinan untuk hidup sangat kecil. Dasar jurang itu berupa bebatuan cadas yang siap meremukkan tubuh siapa saja yang terlempar ke sana,..."
"Siapa yang tahu kehendak Yang Maha Kuasa, Eyang...," gumam Dewa Arak sambil kembali menengok ke dasar jurang.
Eyang Kendi Laga tidak memberikan tanggapan lagi. Diayunkan kakinya meninggalkan tempat itu seraya memberi isyarat pada Arya agar mengikutinya. Pemuda berambut putih keperakan itu pun melangkah di sisi Eyang Kendi Laga.
"Kelihatannya sepi sekali, Eyang," Arya membuka pembicaraan setelah suasana hening beberapa saat. "Ke mana saja muridmu yang lain?"
Eyang Kendi Laga berubah seketika. Meski hanya sekejap hal itu tidak bisa lolos dari pandangan Arya yang tajam dan berpengalaman. Seketika itu pula pemuda berpakaian ungu ini tahu, ada sesuatu yang terjadi terhadap murid Eyang Kendi Laga.
"Mereka sudah tidak ada lagi, Arya," jawab Eyang Kendi Laga datar tanpa nada sedih, tapi mulutnya yang tersenyum getir serta sorot matanya yang kosong menunjukkan kalau hati kakek ini terguncang.
"Hhh... maafkan aku, Eyang! Bukan maksudku untuk mengusik kenangan yang tidak enak dan..." ujar Arya.
"Tidak apa-apa, Arya. Lagi pula aku pun ingin menceritakan masalah yang menimpa tempatku ini padamu. Barangkali saja kau dapat memecahkannya...," potong Eyang Kendi Laga cepat untuk menghilangkan perasaan tidak enak yang menyelimuti hati Arya atas pertanyaan tadi.
Arya diam. Diedarkan sepasang matanya ke sekeliling tempat itu. Tapi seperti tadi, hanya keheningan yang dijumpainya.
"Kejadiannya berawal dari beberapa hari yang lalu," Eyang Kendi Laga memulai ceritanya. Dewa Arak pun memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.
"Memang berita yang kau dapat itu tidak salah. Aku mempunyai beberapa orang murid. Sembilan orang. Delapan lelaki muda dan seorang gadis. Tapi beberapa hari yang lalu, tujuh di antara mereka lenyap tanpa ketahuan ke mana perginya. Lenyap begitu saja seperti ditelan bumi. Yang tinggal hanya dua orang Gumilang dan Kenari. Dan..., Gumilang! Ke mana dia?! Mengapa aku begitu pelupa?! Kenari hanya kembali seorang diri! Duh.., pasti ada sesuatu yang terjadi terhadap dirinya...!"
Tiba-tiba Eyang Kendi Laga teringat akan Gumilang, muridnya.
"Kalau begitu, mari kita cari, Eyang," sahut Arya, cepat. Dirinya langsung bisa mengetahui kegelisahan Eyang Kendi Laga.
"Mari, Arya!" sambut Eyang Kendi Laga tak sabar. "Aku mempunyai dugaan di mana adanya Gumilang! Mudah-mudahan saja belum terjadi sesuatu yang tidak kita harapkan atas dirinya!"
Dengan kekhawatiran yang mendalam akan keselamatan Gumilang, Eyang Kendi Laga melesat meninggalkan tempat itu. Kakek kecil kurus ini langsung melesat menuju jalan yang dilalui dua orang muridnya untuk mengambil air dan mengisi dua bak besar di belakang rumah. Tanpa berkata apa pun, Arya segera mengikutinya.
"Itu tong air mereka…!" Suara Eyang Kendi Laga terdengar penuh getaran karena perasaan tegang menyergap hatinya. Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke depan, agak ke atas.
Arya terbelalak melihat tong air yang ditunjuk Eyang Kendi Laga. Tong dari kayu berat itu berada di udara, melayang-layang sekitar tiga tombak di atas permukaan bumi. Padahal dua buah tong kayu besar yang masih tergantung pada pikulannya itu tidak ada yang memegang. Jadi melayang-layang sendiri!
"Hati-hati, Eyang!" Meski dengan perasaan tidak enak karena takut dianggap menasihati, Arya memperingatkan Eyang Kendi Laga. "Aku yakin ada orang sakti yang tersangkut dengan peristiwa ini. Aku yakin tong itu tidak bergerak sendiri. Atau..., benarkah muridmu mampu melakukan hal seperti ini?"
Ucapan Arya membuat Eyang Kendi Laga agak memperlambat larinya. Dia merasakan kebenaran ucapan Arya. Perasaan tegang mengingat keselamatan murid yang tinggal semata wayang membuatnya melupakan keberadaan tong air itu. Tong air itu tidak mungkin berada di sana tanpa ada orang sakti yang berdiri di belakangnya. Dan dia tahu pasti kalau Gumilang, betapa pun hebatnya, tidak akan mampu melakukan hal seperti itu? Dia sendiri pun merasa sangsi untuk dapat melakukannya.
Sayangnya, baik Arya maupun Eyang Kendi Laga tidak dapat langsung mengetahui orang yang berada di balik tong air itu. Tempat tong air itu berada lebih tinggi dari tempat Arya dan Eyang Kendi Laga. Dua tokoh sakti yang berbeda usia ini menempuh jalan mendatar beberapa saat lamanya ingin mengetahui siapa yang mengendalikan tong air itu.
Langkah Eyang Kendi Laga dan Arya langsung tertahan. Mata mereka membelalak menatap lurus ke depan. Berjarak lima tombak dari tempat mereka, berdiri sesosok tubuh ringkih dan bongkok dari seorang kakek yang mengenakan pakaian terbalik. Baik baju ataupun celananya dikenakan secara terbalik, yang bagian dalamnya di luar!
Kakek bongkok ini tengah menjulurkan tangan kanannya ke depan. Sedangkan tangan kirinya melambai-lambai tertiup angin. Baik Eyang Kendi Laga maupun Arya tahu kalau lengan baju itu kosong! Tangan kiri kakek bongkok itu buntung sampai pangkal tangan.
Kakek bongkok itu pun rupanya melihat kedatangan Eyang Kendi Laga dan Arya. Tangan kanannya yang terjulur itu ditarik kembali ke sisi pinggang. Seketika itu pula tong air yang melayang-layang di udara jatuh ke tanah. Kenyataan ini membuat Eyang Kendi Laga dan Arya semakin yakin kalau kakek bongkok inilah yang membuat tong air itu berada di udara.
"He he he...!" kakek bongkok itu tertawa terkekeh dengan biji mata berputaran liar seperti orang tak waras. "Siapa kalian? Apakah kalian mempunyai nyawa rangkap sehingga berani mengintai perbuatanku?"
"Kaulah yang harus menjelaskan keberadaanmu di sini!" sergah Eyang Kendi Laga tak mau kalah gertak. "Sekitar daerah ini berada dalam kekuasaanku! Dan tong air yang kau permainkan itu milik muridku! Katakan apa yang telah kau lakukan terhadapnya!"
"He he he,..! Rupanya kau galak juga, Kurus!" ujar kakek bongkok seraya mengayunkan kaki menghampiri. "Ingin kuketahui apakah lagakmu sesuai dengan kepandaian yang kau miliki?!"
"Boleh kau lihat sendiri, Bongkok!" Seraya berkata demikian, Eyang Kendi Laga yang terpancing kemarahannya, melompat menerjang. Tangan kanannya dijulurkan ke depan dengan jari-jari siap menusuk mata lawan. Desiran angin keras dan suara berdesit mengiringi serangan itu.
"Uh...! Boleh juga kau, Kurus!" Kakek bongkok itu melangkahkan kaki kanan ke belakang sehingga tusukan jari tangan lawan tak mengenai sasaran. Namun hal ini sudah diperhitungkan oleh Eyang Kendi Laga, langsung dikirimkan serangan susulan berupa tendangan keras dan bertubi-tubi.
Kakek bongkok tampak tetap tenang. Sedikit pun tak tampak kegugupannya. Dengan tak kalah cepat dia menyelinap maju melalui bawah, dan tahu-tahu dia telah berada di dekat Eyang Kendi Laga. Tangan kirinya yang buntung mengirimkan serangan tak kalah dahsyat. Lengan bajunya yang kosong menegang kaku laksana pedang, dapat menusuk ke arah tenggorokan lawan.
Namun, Eyang Kendi Laga pun berhasil memusnahkannya dan mengirimkan serangan tak kalah dahsyat sehingga menimbulkan pertarungan sengit Sebentar saja pertarungan telah berlang-sung hampir dua puluh jurus.
Tukkkk! Prattt!
Eyang Kendi Laga memekik kesakitan seiring dengan tubuhnya yang terlempar ke belakang. Kakek kecil berkepala botak ini masih mampu mendarat dengan kedua kaki, meski agak terhuyung-huyung. Sebelum Eyang Kendi Laga melesat menerjang untuk melanjutkan pertarungan, Arya telah lebih dulu bergerak dan berdiri di sebelahnya.
"Biar aku yang mencoba menghadapinya, Eyang," ujarnya dengan suara halus.
Dewa Arak sengaja ikut campur karena tahu kalau Eyang Kendi Laga bukan tandingan kakek bongkok yang berilmu lebih tinggi. Pemuda berpakaian ungu ini melihat secara jelas jalannya pertarungan. Sehingga mengetahui kalau Eyang Kendi Laga telah terluka cukup parah.
Tangan kiri kakek bongkok yang kosong itu ternyata benar-benar luar biasa, Eyang Kendi Laga sempat terkena dua pukulan beruntun. Pertama lengan baju itu menotok bahu kanan, kemudian langsung melemas dan mengebut mengenai bahu kiri secara keras. Itulah sebabnya tadi tubuh Eyang Kendi Laga terlempar beberapa langkah sambil menjerit.
"He he he...! Rupanya kau juga ingin bermain-main denganku, Rambut Setan? Mengapa harus membuang waktu dengan melawan satu persatu? Lebih baik maju bareng, aku akan mengalahkan kalian sekaligus biar tidak bertele-tele!"
"Terima kasih atas usulmu itu, Kek," ucap Arya sambil mengembangkan senyum di bibir. Dia tidak terpengaruh oleh ucapan mengejek dari kakek bongkok itu. "Tapi sayang sekali, aku tidak bisa menurutimu. Aku dan kawanku ini bukan termasuk orang-orang pengecut! Biarlah, andaikata kalah darimu pun aku tidak menyesal. Kau memang tangguh dan sakti."
"He he he...! Kau terlalu merendah, Rambut Setan! Aku tidak yakin akan dapat mengalahkanmu, tapi jangan harap kau akan mudah pula mengalahkanku. Terimalah seranganku!"
"Uh...!" Arya mengeluarkan keluhan tertahan ketika melihat kakek bongkok itu melancarkan serangan dengan tangan kirinya yang buntung. Lengan baju itu bergerak aneh, mematuk-matuk dan meliuk-liuk seperti seekor ular. Gerakannya yang lemas tapi cepat, sempat membuat pendekar muda berambut putih keperakan itu agak kebingungan untuk mengetahui secara pasti bagian yang menjadi sasaran.
Namun Arya adalah Dewa Arak yang telah kenyang pengalaman menghadapi berbagai macam tokoh di dunia persilatan. Sebelum serangan itu mencapai sasaran, telah bisa diketahuinya kalau tangan baju yang kosong itu mengincar wajahnya. Maka buru-buru didoyongkan tubuh bagian atasnya ke belakang tanpa memundurkan kaki.
Dewa Arak hampir terpekik kaget ketika serangan itu mendadak berubah. Serangan lengan baju lawan ternyata hanya pancingan belaka, karena langsung ditarik sebelum mencapai sasaran. Serangan sesungguhnya ternyata sebuah pukulan tangan kanan dengan jari-jari terbuka ke arah dada.
Deru angin keras yang mengiringi serangan tipuan menyadarkan Dewa Arak kalau gedoran itu mampu menumbangkan sebatang pohon besar. Maka tanpa membuang-buang waktu langsung dipapaknya dengan bentuk jari-jari tangan serupa.
Glarrr!
Baik tubuh kakek bongkok maupun Dewa Arak terhuyung-huyung ke belakang, akibat benturan keras tangan mereka yang mengandung tenaga dalam kuat itu. Arya agak kaget ketika menyadari kalau kakek bongkok hanya terhuyung dua atau tiga langkah. Padahal dirinya hampir mencapai dua tombak ke belakang. Sama sekali tidak disangkanya kalau tenaga dalam lawan sampai sekuat itu.
Namun Arya tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun keterkejutannya karena kakek bongkok telah mengirimkan serangan susulan dengan mempergunakan sepasang kakinya. Dua batang kaki itu meluncur bertubi-tubi ke arah Arya dengan kibasan-kibasan yang mengeluarkan deru angin keras.
Pertarungan sengit antara dua tokoh berbeda usia itu terus berlangsung. Dewa Arak dengan kemampuannya dapat mematahkan serangan-serangan maut lawan. Bahkan mengirimkan serangan balasan yang tak kalah berbahaya dengan mengerahkan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan 'Sepasang Tang Penakluk Naga'.
Pemuda berambut putih keperakan ini sengaja tidak mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'nya karena dia menduga kalau lawannya bukan orang jahat. Buktinya, tadi kakek bongkok ini tidak mengirimkan serangan susulan pada Eyang Kendi Laga yang terhuyung-huyung karena terkena serangannya. Hal itu merupakan cerminan tokoh persilatan yang tak suka berlaku curang. Tak ingin membokong lawan bila dalam keadaan tidak siap.
Seperti dua buah ilmu yang dipergunakan Dewa Arak, ilmu-ilmu kakek bongkok memiliki daya serangan luar biasa. Pertarungan telah berjalan beberapa jurus, kedua belah pihak lebih banyak melancarkan serangan daripada pertahanan. Sehingga pertarungan tampak seru dan menegangkan.
Sementara itu Eyang Kendi Laga yang menyaksikan dari jarak beberapa tombak, merasa tegang dan was-was. Sebab setiap kali terjadi benturan keras baik kaki maupun tangan Dewa Arak tampak selalu terhuyung-huyung ke belakang. Seakan pemuda itu tak mampu menahan kekuatan tenaga dalam lawannya.
Plakkk! Bretttt!
Hampir bersamaan Dewa Arak dan kakek bongkok itu terhuyung-huyung ke belakang. Dari mulut keduanya pun keluar jeritan kesakitan dan keterkejutan. Dalam sebuah gerakan yang sangat cepat, tepakan tangan kanan kakek bongkok berhasil menghantam pundak kiri Arya. Namun pemuda berambut putih keperakan itu pun berhasil mencengkeram lengan baju kiri lawan hingga sobek.
Tanpa menemui kesulitan Dewa Arak berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya sempoyongan. Kemudian bersiap untuk melompat kembali ke kancah pertarungan setelah terlebih dahulu menggosok sudut bibirnya dengan punggung tangan kanan. Tampak darah di tangannya. Dewa Arak terluka.
"Cukup, Rambut Setan! Kau benar-benar lihai!" Seketika urat-urat saraf dan otot-otot Dewa Arak yang semula menegang kaku menjadi lemas kembali, mendengar ucapan kakek bongkok itu. Apalagi kakek itu pun tak siap untuk bertarung lagi. Tentu saja hal itu membuat kening Dewa Arak berkerut karena merasa heran.
"Sekarang beritahukan pada kami pemilik tong air yang kau buat permainan itu. Tentu saja kalau kau memang tidak bermaksud untuk mencari permusuhan dengan kami," sela Eyang Kendi Laga cepat.
"He he he...! Pemilik tong air itu?" tuding kakek bongkok pada tong air yang tergeletak di atas tanah berbatu-batu. Dan ketika hampir Arya dan Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala, kakek ini segera menyambung ucapannya, "Mengapa kalian bertanya padaku? Sejak aku berada di sini pun pemiliknya sudah tidak ada. Hanya tong air itu yang ada di sini. He he he...!"
Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga saling pandang. Keduanya tahu kakek bongkok itu sama sekali tidak berdusta.
"Kalau begitu..., maafkan atas tindakan kami, sobat," ucap Eyang Kendi Laga sambil mengulurkan tangan meminta maaf. "Kami telah salah menjatuh tuduhan. Kami kira kau yang telah mencelakai pemilik tong air itu. Asal kau tahu saja, pemilik tong air itu adalah muridku."
"Lupakanlah, Kurus!" sambut kakek bongkok tetap tidak merubah panggilannya. Uluran tangan Eyang Kendi Laga tidak disambutnya sama sekali. "Sikapmu membuat perutku mual!"
Meski merasa mendongkol atas sikap kakek bongkok, Eyang Kendi Laga tidak berkata apa-apa. Perhatiannya dialihkan pada Dewa Arak.
"Kalau begitu, Gumilang mendapat bahaya sebelum kakek ini datang, Eyang."
Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala membenarkan dugaan Dewa Arak. "Dan aku yakin Gumilang tidak menyerah begitu saja. Dia pasti mengadakan perlawanan. Namun, apabila itu terjadi, pasti akan ada bekas-bekas pertarungan di sekitar sini."
Tanpa berbicara lagi Arya dan Eyang Kendi Laga mulai sibuk meneliti sekitar tempat itu. Sementara kakek bongkok tampak hanya berdiri memperhatikan sambil cengengesan sendirian. Namun kemudian secara diam-diam dia melangkah mengikuti Eyang Kendi Laga dan Dewa Arak yang tengah meneliti tempat ini.
"Arrrggghhh...!"
Bagai diberi perintah Arya, Eyang Kendi Laga, dan kakek bongkok menolehkan kepala ke arah asal jeritan. Saat itu ketiganya telah berada di tempat Kenari dihadang oleh sebatang pohon yang tumbang. Dan si Kakek Bongkok pun ternyata mengikuti sampai ke tempat itu. Serentak ketiganya melesat menuju tempat asal jeritan itu. Suara yang lebih mirip jeritan kematian karena didera oleh rasa sakit yang hebat.
Mereka bertiga harus menerobos kerimbunan semak-semak dan pepohonan sebelum akhirnya melihat pemilik jeritan yang menggiriskan hati. Pemilik raungan ternyata makhluk jejadian pula, hanya berlainan dengan yang mengeroyok Eyang Kendi Laga tadi. Makhluk jejadian kali ini merupakan gabungan antara manusia dengan macan kumbang.
Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga tercengang dengan mata membelalak. Begitu pula kakek bongkok bertangan buntung yang berdiri agak jauh dengan Dewa Arak. Mereka bertiga tak mengerti melihat manusia macan kumbang itu tengah mengguling-gulingkan tubuh di rerumputan sambil terus meraung-raung seperti dilanda kesakitan hebat.
Tubuhnya yang bergulingan beberapa kali menabrak batang pohon atau semak-semak ber-duri, tapi seperti tidak merasakannya sama seka-li. Manusia macan itu tetap meraung-raung dengan tubuh berkelojotan.
"Apa yang terjadi dengannya, Eyang...?" tanpa ragu-ragu Arya mengajukan pertanyaan pada Eyang Kendi Laga.
"Entahlah, Arya," jawab Eyang Kendi Laga sambil menggeleng. Tampaknya dia tak berani buru-buru menyimpulkan. "Tapi aku yakin dia tidak menderita luka apa pun. Kemungkinan besar makhluk jejadian ini menderita keracunan. Tapi, keracunan apa, ini yang menjadi pertanyaan..."
Baru saja Eyang Kendi Laga menghentikan jawabannya, sambil mengeluarkan keluhan panjang manusia macan itu terkulai lemas, tidak bergerak lagi. Seketika suasana di tempat itu berubah hening. Tanpa memeriksa lagi pun, baik Eyang Kendi Laga maupun Arya dan kakek bongkok tahu kalau makhluk jejadian itu telah tewas. Meski begitu, ketiganya tetap melangkahkan kaki mendekat memeriksa apa penyebab kematian manusia macan itu secara lebih jelas.
"Makhluk ini benar keracunan," gumam Eyang Kendi Laga setelah memeriksanya sesaat. "Dan racun inilah yang telah merenggut nyawanya. Dan anehnya mungkin kalian berdua akan menjadi heran karenanya. Racun yang mematikan itu ternyata memang berada dalam dirinya. Maksudku dia tidak karena terkena racun dari luar. Jelasnya di dalam tubuh makhluk ini memang mengandung racun, mungkin di dalam darahnya. Hhh... aneh! Kemungkinan racun di dalam darahnya itulah penyebab kematiannya...."
Arya dan kakek bongkok tercenung. Keduanya pun merasa heran mendengar penuturan Eyang Kenda Laga. Mungkinkah makhluk jejadian ini memiliki darah beracun seperti layaknya binatang-binatang berbisa? Tapi, yang menjadi pertanyaan mengapa dia keracunan darahnya sendiri? Kedua orang ini memaksa benaknya untuk berpikir seperti Eyang Kendi Laga. Sesaat suasana kembali hening. Tak satu pun yang berbicara, hanya menatap sosok manusia berbulu hitam yang tergeletak di depan mereka.
"Kurasa kita dapat mencari jawabannya nanti," Ucap Eyang Kendi Laga memecahkan keheningan yang terjadi karena masing-masing hanyut dalam perasaan heran dan aneh. "Yang penting sekarang mumpung aku ingat, ingin kuketahui, mengapa kau berada di sini, Sobat? Dan siapa dirimu. Seperti yang telah kau ketahui namaku Eyang Kendi Laga, dan ini kawanku Arya. O ya, kau pun belum menjelaskan maksudmu mencariku, Arya."
"Sebenarnya sepele saja, Eyang," jawab Arya setelah tercenung sejenak. "Kedatanganku mengunjungi tempatmu hanya untuk mengajukan sebuah pertanyaan. Tapi sama sekali tidak kusangka kalau pertanyaan yang akan kuajukan berada di sini pula. Aku ingin tahu, benarkah makhluk seperti yang kita jumpai ini ada? Maksudku, apakah memang mempunyai jenis sendiri, seperti layaknya kita yang termasuk jenis manusia?!"
Eyang Kendi Laga tidak langsung memberikan jawaban. Dia tercenung dengan menengadahkan wajah ke langit. Tindakannya mengisyaratkan seolah-olah jawaban bagi pertanyaan itu ada di atas sana dan dia tengah mencarinya.
"Kemungkinan jawaban bagi pertanyaanmu itu, ya dan tidak Arya," jawab kakek kecil kurus ini masih dengan kening berkernyit yang menandakan kalau dirinya masih berpikir. "Masing-masing jawaban mempunyai alasan kuat. Ya, kalau mengingat rasanya tidak mungkin seorang manusia, betapapun tinggi ilmunya mampu menjelma atau membuat dirinya seperti yang telah kita lihat ini. Mungkinkah seorang manusia dapat merubah manusia atau binatang menjadi campuran antara keduanya? Rasanya mustahil!"
Arya mengangguk-anggukkan kepala karena merasakan adanya kebenaran dalam uraian Eyang Kendi Laga. Sementara kakek bongkok diam saja. Bahkan seperti tidak memperhatikan Eyang Kendi Laga sama sekali.
"Tetapi kita pun tak bisa menolak kemungkinan adanya makhluk-makhluk aneh seperti itu. Bukankah di dunia ini banyak keganjilan dan ke-jadian yang kadang tak masuk akal sama sekali. Yang menjadi pertanyaan dalam hatiku, kalau memang benar makhluk ini ciptaan Yang Maha Kuasa, mengapa baru muncul akhir-akhir ini? Tidak sejak dulu? Dan mengapa mereka bisa akur, rukun, satu sama lain, padahal campuran jenisnya berbeda-beda...," Eyang Kendi Laga berhenti, lalu menatap Arya. "O ya, mengapa kau tanyakan hal itu, Arya? Apa kau juga menjumpai mereka di sepanjang perjalanan kemari?"
Arya menganggukkan kepala pertanda membenarkan. "Sekarang giliranmu menerangkan semua hal yang berhubungan dengan dirimu, Sobat?!"
Kakek bongkok yang mendapat giliran, tertawa terkekeh-kekeh. Seakan pertanyaan Eyang Kendi Laga merupakan sesuatu yang lucu. "Namaku, Resi Bumi Gidulu. Tapi keberadaanku di sini dalam tujuan untuk mencari murid murtadku. Dia berhasil lolos dari penjara di sebuah pulau kosong dan penuh rahasia. Itulah sebabnya aku mencarinya. Muridku seorang berwatak bejat. Apabila dia muncul ke dunia ramai, kekacauan takkan dapat dihindari lagi. Dia memiliki watak telengas, kejam, dan membunuh terlalu ringan baginya.... Jejak yang kudapat 0menunjukkan kalau dia berada di pegunungan ini. Setidak-tidaknya, dia pernah berada di sini. Maka dari sini aku mulai melacak jejaknya. Barang kali saja dapat bertemu."
Arya dan Eyang Kendi Laga tidak memberikan tanggapan. Mereka mendengarkan penjelasan kakek bongkok sambil mengangguk-anggukkan kepala. Benar dugaan Dewa Arak bahwa tokoh tua itu bukan orang jahat.
"Hup!"
Dengan sebuah gerakan manis seorang gadis berpakaian merah melompat dari atas punggung kuda dan mendarat di tanah. Rambutnya yang digelung ke atas agak bergoyang-goyang ketika kakinya menjejak tanah.
Kemudian, setelah mengikatkan tali kuda pada sebatang pohon yang di dekatnya banyak terdapat rumput segar, gadis berpakaian merah ini menghampiri sebuah sungai. Hanya dengan beberapa langkah, dia telah berada di pinggir sungai, dan berjongkok di bagian pinggiran yang dekat dengan permukaan air.
"Ah...! Segarnya...!" desah gadis berpakaian merah itu setelah membasuh wajah dan kedua tangannya dengan air sungai yang jernih. Wajah yang semula penuh peluh dan debu, telah kembali putih kemerahan.
Bunyi ringkikan kuda yang tiba-tiba terdengar membuat gadis itu serta-merta membalikkan tubuh dengan sikap waspada. Tangannya dengan cepat mencabut pedang yang tersampir di punggungnya. Seketika sinar yang menyilaukan mata mencuat dari mata pedang yang mengkilat itu.
"Keparat!" Gadis berpakaian merah itu mengeluarkan desisan kemarahan ketika melihat kuda tunggangannya ambruk ke tanah. Dari leher kuda coklat itu mengalir darah segar, karena tertancap sebatang pisau.
Tanpa berpikir lebih panjang, gadis berpakaian merah ini tahu kalau binatang tung-gangannya telah dibunuh orang. Dan dugaannya ternyata tidak salah! Sekejap kemudian, dari balik pepohonan yang ada di sekitar tempat itu berlompatan lima sosok berpakaian hitam. Sebilah pisau berwarna putih mengkilat tergenggam di tangan kanan mereka.
"Tidak usah membuang-buang tenaga dengan marah-marah dan mencoba melawan kami, Anak Manis! Lebih baik kau menyerah dan ikut secara baik-baik. Tidak ada gunanya kau melawan kami" ucap lelaki bertubuh pendek kekar sambil menyeringai kejam.
"Ooo..., jadi kalianlah yang menjadi pelaku penculikan terhadap wanita-wanita tak berdosa?!" Tanpa memberikan jawaban atas permintaan le-laki pendek kekar, gadis berpakaian merah itu menghampiri kudanya yang telah tergeletak sambil memasukkan pedangnya ke dalam warangka. Ternyata dia mengambil sebatang tongkat dari pelana kudanya.
"Ah...! Jadi kau telah mendengar berita itu, Manis?!" sahut lelaki pendek kekar tanpa merasa kaget lama sekali. "Kebetulan kalau begitu. Memang kamilah yang telah melakukan penculikan terhadap wanita-wanita. Menyerahlah kalau kau ingin diperlakukan baik-baik!"
"Tutup mulutmu, Manusia Iblis!" sentak gadis berpakaian merah, "Wanita lain boleh kau perlakukan sekehendakmu. Tapi aku, Mawar, tidak akan membiarkan kau bertindak semaunya! Orang-orang seperti kalian harus dilenyapkan dari muka bumi!"
Lima lelaki berpakaian hitam tertawa bergelak. Semua merasa geli mendengar ucapan gadis berpakaian merah yang mereka anggap terlalu berani itu. Kelimanya baru merasa kaget ketika gadis berpakaian merah itu mengirimkan serangan dengan tongkatnya yang runcing.
Bunyi berdesing nyaring dari udara yang terobek akibat gerakan tongkat runcing itu menyadarkan kelima lelaki berpakaian hitam. Gadis berpakaian merah yang mereka anggap mangsa empuk itu ternyata memiliki tenaga dalam tinggi.
Oleh karena itu, kelima lelaki berpakaian hitam ini tidak berani bertindak gegabah. Mereka terpaksa melakukan perlawanan dengan mengerahkan kemampuan masing-masing.
Trang, trang, trang!
Bunga api berpijar ketika tongkat runcing di tangan gadis berpakaian merah berbenturan dengan lima batang pisau mengkilat milik lawan-lawannya. Kelima lelaki berpakaian hitam semakin kaget ketika merasakan tangan mereka tergetar hebat bahkan senjata masing-masing hampir terlepas dari pegangan. Hal ini semakin meyakinkan mereka kalau mangsa kali ini bukan gadis sembarangan.
Dugaan mereka ternyata tak salah. Mawar bukanlah lawan yang ringan. Gadis ini memiliki kepandaian cukup tinggi. Apalagi setelah Dewa Arak memberikan petunjuk-petunjuk berharga kepadanya meskipun hanya dua hari. Ditambah pula dengan bimbingan saudara kembarnya, Melati, membuat kepandaian Mawar meningkat pesat. (Untuk jelasnya mengenai tokoh Mawar, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar").
Bukkk! Crettt!
Dua di antara lima lelaki berpakaian hitam terjengkang ke belakang ketika kaki kanan Mawar mendarat di paha kanan salah seorang di antara mereka. Sedangkan yang satunya lagi terkena babatan ujung tongkat runcing.
Tiga lelaki berpakaian hitam sisanya langsung bergerak cepat, melompat ke belakang dan mengurung dari tiga arah. Mawar berdiri diam di tempatnya. Dia tidak mau melancarkan serangan karena ingin melihat terlebih dulu tindakan mereka selanjutnya.
Ternyata tiga lelaki berpakaian hitam itu tidak melancarkan serangan. Mereka berdiri di tempat masing-masing dan membentur-benturkan pisau di tangan kanan dengan sarungnya hingga menimbulkan bunyi berdenting yang cukup riuh.
Mawar mengernyitkan alisnya, heran. Dia tidak mengerti mengapa tiga lelaki berpakaian hitam itu melakukan tindakan demikian. Apalagi ketika disadari kalau ketukan itu memperdengarkan bunyi yang khas. Suaranya terdengar susul-menyusul secara berirama tetap.
Mawar baru merasa kaget bukan kepalang ketika mendadak merasakan sakit pada telinganya. Kian lama kian bertambah sakitnya, bahkan kemudian rasa pusing mulai menyerangnya. Sekujur tubuhnya terasa lemas secara mendadak bagaikan dilolosi tulang-belulangnya. Tanpa da-pat dicegah lagi, tongkat yang tergenggam di tangan terlepas dan jatuh ke tanah. Bahkan tubuh Mawar mulai limbung.
Saat Mawar tengah tidak berdaya seperti itu, lelaki berpakaian hitam yang tadi terkena tendangan pada paha kanannya, dengan agak ter-tatih-tatih melangkah mendekati gadis itu. Mawar masih menyadari adanya bahaya, tapi tidak berdaya sama sekali. Dirinya tidak mampu melakukan perbuatan apa pun, bahkan sampai lelaki pincang itu menotok bahu kanannya, hingga roboh lemas tidak berdaya. Bersamaan dengan robohnya Mawar, tiga lelaki berpakaian hitam menghentikan ketukan senjata mereka.
"Hebat juga betina liar ini!" ucap lelaki pendek kekar bernada kagum. "Tanpa cara ini mungkin kita tidak akan dapat membekuknya!"
Empat rekannya, tak terkecuali yang pincang kakinya dan yang terluka perutnya, namun telah ditotok jalan darahnya sehingga darah tidak mengalir lagi, menganggukkan kepala membenarkan. Kemudian, setelah lelaki pendek kekar memanggul tubuh Mawar di bahu kanan, mereka beranjak meninggalkan tempat itu.
"Tunggu...!"
Seruan keras yang membuat suasana di tempat itu tergetar hebat membuat lima lelaki berpakaian hitam berhenti dan membalikkan tubuh. Lima lelaki berpakaian hitam itu terjingkat kaget ketika melihat orang yang telah mengeluarkan suara menggeledek itu.
"Lagi-lagi kau, Kakek Bau Tanah.,.!" seru lelaki pendek kekar tanpa menyembunyikan nada kegentaran dalam ucapannya.
"Hm... kau masih mengenaliku, Penculik-Penculik keparat!" gumam pemilik suara yang ternyata si Kakek Bermuka Kehijauan. Tubuhnya yang tinggi laksana galah, tampak bergoyang-goyang seperti akan jatuh karena tertiup angin.
Lima lelaki berpakaian hitam saling pandang. Sinar mata mereka menyiratkan kebingungan.
"Kalau kalian tidak mau melepaskan wanita itu jangan harap aku akan mengampuni kalian seperti dulu lagi! Asal kalian tahu saja, sekarang aku sedang tidak enak pikiran. Bukan tak mung-kin kalau sekarang aku akan membunuh kalian! Lepaskan wanita itu dan pergi dari sini! Cepat!"
Lima lelaki berpakaian hitam itu tidak langsung mematuhi bentakan kakek bermuka hijau. Mereka saling pandang sejenak. Dalam sinar mata mereka rupanya terdapat kecocokan pendapat. Sambil menghembuskan napas berat lelaki pendek kekar melemparkan tubuh gadis berpakaian merah.
Tappp!
Seperti menerima segumpal daun kering, kakek bermuka hijau itu menyambut tubuh Mawar dengan tangan kiri. Hampir pada saat yang sama, tangan kanannya bergerak menepuk, dan Mawar pun merasakan totokannya telah punah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," ucap Mawar penuh perasaan terima kasih. "Kalau tidak ada Kakek entah apa yang akan terjadi pada diriku. Aku berhutang budi padamu."
Mawar segera membalikkan tubuh. Dia bermaksud mengejar lima lelaki berpakaian hitam yang masih terlihat di kejauhan. Mereka melesat cepat meninggalkan tempat itu setelah memberikan tubuh Mawar pada kakek bermuka hijau.
"Tunggu, Nak!" Cegahan kakek jangkung membuat Mawar menghentikan maksudnya. Tubuhnya kembali dibalikkan.
"Ada apa, Kek?"
"Kurasa lebih baik kau urungkan niatmu untuk mengejar mereka. Terlalu berbahaya. Kau akan ditangkap lagi oleh mereka. Mereka sangat licik dan mempunyai banyak cara untuk merobohkanmu. Lebih baik kau ikut bersamaku."
Mawar tercenung sejenak. Kalau menuruti perasaan, dia ingin menolak tawaran itu. Dirinya masih mempunyai urusan yang harus diselesai-kan. Dan urusan itulah yang menyebabkannya berada di tempat ini.
"Ikutlah bersamaku, Nak…!" ujar kakek jangkung itu lagi, mengulang ajakannya.
Mawar menganggukkan kepala. Kakinya melangkah menghampiri kakek jangkung. Kemudian keduanya berlari cepat meninggalkan tempat itu. Belum berapa lama kakek jangkung dan Mawar berlari, di kejauhan mereka melihat sosok yang tengah melesat cepat menuju tempat itu. Namun, baik kakek Jangkung maupun Mawar tidak mempedulikannya sama sekali dan terus berlari. Sebentar kemudian, kedua belah pihak berpapasan. Dan...
"Hei, Mawar! Mengapa kau berada di sini?! Hendak ke mana kau?!" tanya sosok yang melesat dari arah berlawanan, begitu jarak antara mereka tinggal lima tombak. Sosok itu berhenti dan berdi-ri menghadang di jalan. Mau tidak mau Mawar dan kakek jangkung pun berhenti.
"Ah! Kakang Arya...!" sambut Mawar penuh perasaan gembira. "Memang aku tengah mencari-carimu, Dan..."
"Siapa orang ini, Mawar?!" selak kakek jangkung bernada selidik dan tak senang seraya menatap Arya dan Mawar berganti-ganti.
"Dia Arya, Kek. Kawan baikku...."
Mawar terpaksa menghentikan ucapannya karena mengetahui kakek jangkung tidak menghiraukan melainkan mengalihkan perhatian pada pemuda berpakaian ungu di depannya.
"Anak Muda, siapa pun kau adanya. Betapapun Mawar mengatakan kalau kau adalah kawan baiknya, aku tidak bisa mempercayaimu. Jangan-jangan kau kawan dari para penculik yang baru saja menawannya dan berhasil kuusir pergi. Menyingkirlah dari sini, sebelum aku bertindak kasar padamu! Lagi pula aku dan Mawar mempunyai urusan yang harus segera diselesaikan. Bukan begitu, Mawar?!"
"Be... betul, Kang Arya," jawab Mawar agak terbata-bata setelah tercenung dan agak kelihatan gugup mendapat pertanyaan yang tak disangka-sangka itu.
Arya tertegun. Jawaban Mawar benar-benar tidak disangkanya. Dan sebelum dia sempat berkata apa-apa, dengan tidak sabaran kakek jangkung telah mengayunkan kaki ke depan, bermaksud pergi.
"Mari, Mawar! Aku tidak yakin kalau pe-muda ini bermaksud baik padamu...."
Tanpa banyak membantah, meskipun tari-kan wajahnya menyiratkan kebingungan, Mawar mengikuti tindakan kakek jangkung. Tapi....
"Tunggu dulu, Kek!"
Di saat terakhir, Arya masih sempat bertindak sebelum kakek jangkung dan Mawar meninggalkan tempat itu. Dia menggeser kaki sehingga berdiri menghadang jalan. Kedua tangan-nya pun dijulurkan ke depan. Tindakannya itu memaksa kakek jangkung dan Mawar berhenti.
"Rupanya kau memang seorang berkepala batu, Anak Muda," dengus kakek jangkung tanpa menyembunyikan rasa kesalnya. "Peringatan secara baik-baik tidak mempan untukmu. Jadi, kau ingin diperlakukan secara kasar, hah?! Baik kalau itu maumu! Sambutlah ini!"
Arya tidak mendapat kesempatan untuk memberikan jawaban karena kakek jangkung itu telah mengirimkan serangan berupa cengkeraman kedua tangannya. Yang kanan mengancam ubun-ubun sedangkan yang kiri mengincar dada. Dua buah serangan yang mematikan.
"Keparat!"
Bersamaan dengan dengusan itu, Dewa Arak melempar tubuh ke belakang. Namun kakek jangkung yang telah bangkit amarahnya itu segera melompat memburu seraya mengirimkan tendangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati. Tendangan yang mengeluarkan bunyi angin berkesiutan karena didukung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Plak, plakkk!
Tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung dua langkah ke belakang ketika memapak tendangan itu dengan kedua tangannya. Namun serangan maut itu dapat dikandaskannya. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu mampu mengirimkan serangan balasan. Sebentar kemudian, dua tokoh yang berbeda usia ini telah terlibat pertarungan sengit.
Tentu saja perkembangan yang tidak ter-sangka-sangka ini membuat Mawar kebingungan. Dia tidak ingin kakek jangkung itu bertarung dengan Arya. Dia tahu kedua belah pihak telah salah paham. Mawar khawatir pertarungan ini akan membuat salah satu pihak terluka. Hal ini tidak diinginkannya sama sekali, karena baik Arya maupun kakek jangkung telah sama-sama melepas budi besar pada dirinya. Namun sayang-nya dia tak memiliki kemampuan apa pun untuk menghentikan pertarungan itu.
Yang dapat dilakukan Mawar hanya menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati cemas sambil berseru-seru agar kedua belah pihak menghentikan pertarungan. Namun sia-sia saja! Teriakannya sama sekali tidak diperhatikan, apa-lagi oleh kakek bermuka kehijauan. Rupanya ka-kek jangkung telah demikian marah sehingga ti-dak dapat diajak berpikir lagi.
"Ternyata kau memiliki sedikit kepandaian, Anak Muda Sombong! Pantas kau berani bersikap kurang ajar terhadap orang tua...!" seru kakek jangkung sela-sela hujan serangan yang dikirimkannya.
Suara kakek bermuka kehijauan ini terdengar sarat dengan perasaan geram dan penasaran, karena Arya mampu menangkis serangan yang dilancarkan dengan pengerahan seluruh tenaga dalam. Dan setiap tangkisan pemuda berambut putih keperakan itu selalu membuatnya terhuyung dan tergetar. Hal ini membuatnya sangat penasaran, meskipun dilihatnya Arya mengalami hal serupa.
Karena kedua belah pihak memiliki gerakan cepat, tak terasa pertarungan telah berlangsung tiga puluh jurus. Selama itu belum terlihat pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Keduanya masih saling serang dengan sengitnya.
"Grrrhhh...!"
Tanpa terduga-duga, kakek jangkung mengeluarkan geraman keras laksana seekor singa yang hendak melumpuhkan mangsa dengan suara aumannya. Sekitar tempat itu tergetar hebat, bahkan Mawar langsung jatuh duduk karena kedua kakinya mendadak lemas.
Kalau Mawar saja yang berada cukup jauh dari kancah pertarungan terpengaruh hingga ja-tuh setengah berlutut, apa lagi Dewa Arak, orang yang berada dekat dan menjadi sasaran serangan. Meskipun telah terlindung oleh tenaga dalam tinggi, tak urung tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terhuyung-huyung ke belakang. Kalau saja tidak mempunyai tenaga dalam kuat, isi dadanya mungkin terguncang dan bahkan nyawanya akan melayang.
Kakek jangkung yang sudah memperhitungkan hal ini, langsung meluruk dengan tamparan kedua tangan bertubi-tubi dari kanan dan kiri ke arah pelipis Dewa Arak. Sudah terbayang di benaknya kalau pemuda berambut putih keperakan itu akan tewas dengan kepala remuk.
Arya pun, meski tengah berada dalam keadaan terhuyung-huyung dan matanya berkunang-kunang karena pengaruh suara geraman tadi, masih dapat melihat adanya ancaman bahaya maut. Buru-buru diangkat kedua tangannya untuk menghalangi tangan lawan mendarat di sasaran. Hal ini dilakukan karena tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak,
Plak, plakkk!
Karena sebagian tenaga dalamnya seperti lenyap akibat geraman lawan, tangkisan yang dilakukan membuat tubuh Arya terlempar dan jatuh bergulingan di tanah. Namun, dengan gera-kan manis pemuda bangkit dan berdiri tegak siap untuk menghadapi serangan lanjutan lawan.
"Iblis!" seru kakek jangkung penuh perasaan ngeri melihat lawannya masih berdiri tegak dengan sikap siap menghadapi serangannya. Setelah menatap Dewa Arak sejenak, disambarnya tangan Mawar dan dibawanya kabur.
"Mari, Mawar! Tinggalkan tempat ini..!"
Kakek jangkung berlari dengan pengerahan seluruh ilmu lari cepatnya karena khawatir Dewa Arak akan mengejarnya. Tindakan kakek ini membuat Mawar yang mempunyai kemampuan lari cepat jauh bawahnya jadi setengah terseret. Namun gadis berpakaian merah ini tidak menghentikan pengerahan ilmu larinya dan membiarkan saja tubuhnya dibawa kabur.
Kakek jangkung berlari sambil beberapa kali menoleh ke belakang karena khawatir Arya akan mengejarnya. Hatinya lega ketika melihat pemuda berambut putih keperakan itu tidak mengejarnya, melainkan hanya berdiri menatapnya. Dewa Arak tetap bersikap begitu sampai akhirnya kakek jangkung itu tidak melihatnya karena lenyap ditelan kejauhan.
Yakin kalau pemuda berbaju ungu tidak mengejarnya, kakek bermuka kehijauan itu memperlambat larinya. Meskipun agak heran mengapa pemuda berambut putih keperakan itu tidak mengejar, padahal keadaannya masih segar-bugar, kakek jangkung menghibur hatinya dengan menganggap Arya merasa sia-sia untuk mencegahnya.
Sementara itu, begitu melihat tubuh kakek jangkung lenyap di kejauhan, tubuh Arya baru bergetar keras. Lalu....
"Bhuakh,..!" Arya memuntahkan darah segar dari mulutnya. Darah yang sejak tadi ditahan-tahan keluarnya. Apabila kakek jangkung mengetahui hal ini, nyawanya akan melayang karena kakek itu pasti akan terus melanjutkan penyerangan.
Begitu mengeluarkan darah segar banyak dari mulutnya, Arya terguling roboh dan pingsan. Paksaan yang dilakukannya untuk tetap tampak segar-bugar dan menahan-nahan muntahnya darah segar, membuatnya harus mengerahkan tenaga dalam. Padahal, keadaannya saat itu terluka parah, dan tindakan ini membuat luka dalamnya semakin parah.
Sosok tubuh tegap bergerak dengan sikap hati-hati mendekati tubuh Arya yang tergolek. Semula sosok yang mengenakan pakaian rompi kulit ular ini tengah berlari cepat, tapi langsung dihentikan ketika melihat sosok tubuh berambut putih keperakan tergolek tak bergerak.
"Siapa pemuda ini, ya?" tanya sosok berpakaian kulit ular yang ternyata seorang pemuda berwajah jantan, apalagi dengan adanya kumis dan jenggot tebal serta hitam menghias wajahnya. "Mengapa dia bisa terluka? Melihat ciri-cirinya aku jadi teringat akan seorang tokoh golongan putih yang julukannya menggemparkan dunia persilatan. Diakah Dewa Arak?"
Semua pertanyaan itu terucap hanya di dalam hati pemuda berpakaian kulit ular. Dan dengan pertanyaan yang bergaung-gaung di dalam hati, didekatinya, tubuh Arya dengan sikap waspada karena khawatir kalau-kalau sosok itu tiba-tiba bangkit dan menyerangnya. Namun sampai pemuda berompi kulit ular itu berada dekat dengan tubuh Arya, dan bahkan sampai berjongkok, apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Tubuh itu tetap diam mematung seperti sebelumnya.
"Hei… Apa yang kau lakukan?!"
Di saat pemuda berompi kulit ular itu mengulurkan tangan hendak menyentuh tubuh Arya, terdengar suara teriakan. Suara itu terdengar dekat sekali padahal pemiliknya masih berada dalam jarak sekitar tiga puluh tombak, teriakan itu menimbulkan getaran hingga ke dalam dada!
Rasa kaget membuat pemuda berompi kulit ular menghentikan gerakan tangannya, dan bahkan menariknya kembali. Tubuhnya segera berbalik, tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu, pemilik suara itu telah berada di depannya.
"Apa yang hendak kau lakukan terhadap si Rambut Setan, Manusia Ular?!" tanya pemilik suara yang ternyata seorang kakek bongkok mengenakan pakaian terbalik, bagian dalam di luar!
"Jangan sembarangan menuduh, Kek!" sahut pemuda berompi kulit ular itu merasa tidak senang, setelah wajah dan sikapnya menampakkan keterkejutan seperti seorang maling yang ter-tangkap basah. "Aku sendiri baru tiba di sini, dan akan memeriksa tubuh muda ini. Barangkali saja nyawanya masih bisa diselamatkan...."
Kakek bongkok tidak langsung mempercayai jawaban pemuda berompi kulit ular itu. Meski dia tidak memberikan tanggapan, beberapa saat sepasang matanya meneliti sekujur tubuh pemuda berompi kulit ular itu dengan penuh selidik dan tanpa menyembunyikan perasaan curiga.
Pemuda berompi kulit ular rupanya termasuk orang yang berwatak sabar, atau merasa gentar melihat sikap dan tindakan kakek bongkok. Dia malah menundukkan kepala setelah sejenak balas menatap. Sikap ini membuat kakek bong-kok semakin bertambah curiga karena setahunya hanya orang yang bersalah merasa takut diselidiki.
"Uuuh...!" Keluhan panjang dari mulut Arya membebaskan pemuda berompi kulit ular dari tatapan penuh selidik kakek bongkok. Sepasang mata tua tapi masih tajam berkilat penuh pengaruh itu berlari secara cepat ke arah tubuh Arya yang tergolek
"He he he...! Apa yang terjadi, Rambut Setan? Aku tak percaya kalau tidak melihat sendiri...! Orang seperti kau bisa terluka. Luar biasa! Apakah ini orang yang telah melukaimu?!" tanya kakek bongkok tak sabar begitu melihat Dewa Arak yang tergolek di tanah mengerjap-ngerjapkan sepasang matanya.
Arya meski baru saja sadar dari pingsan, tapi karena telah terbiasa hidup dalam bahaya, langsung dapat mengetahui keadaan. Meski pandangannya masih kabur, dia dapat mengenali dua sosok yang berdiri depannya.
"Bukan, Resi. Bukan dia yang telah melukaiku. Aku bertarung dengan seorang kakek sakti."
Pemuda berompi kulit ular melirik ke arah kakek bongkok penuh kemenangan. Sorot matanya seperti mengucapkan perkataan. "Apa kubilang?!"
"He he he...! Kau terluka parah, Rambut Setan! Biar kucoba mengobati lukamu. Duduklah bersila!" ujar kakek bongkok yang ternyata bernama Resi Bumi Gidulu.
"Terima kasih, Resi, Tidak usah repot-repot, biar aku yang menyembuhkan luka ini. Tidak parah, kok." Dewa Arak lalu bangkit dan duduk bersila meski agak payah, untuk bersemadi.
Resi Bumi Gidulu tidak bisa berkata apa-apa selain mengangkat dua bahunya. Dia tidak memaksakan kehendak karena tahu Dewa Arak bersungguh-sungguh dengan penolakannya, bukan sekadar basa-basi belaka.
Dibiarkan saja pemuda berambut putih keperakan itu melakukan hal yang ingin dikerjakan. Dan sebentar kemudian, Dewa Arak telah tenggelam dalam keheningan semadi untuk mengobati luka dalamnya. Resi Bumi Gidulu menatap Dewa Arak sebentar, tapi kemudian mengalihkan perhatian pada pemuda berompi kulit ular.
"Siapa kau, Manusia Ular?! Apakah kau pun di sini untuk memburu makhluk-makhluk jejadian?!" tanya Resi Bumi Gidulu, langsung tanpa basa-basi. Mulutnya cengengesan menatap pemuda itu.
"Panggil saja aku Dongga! Keberadaanku di sini untuk mencari pengalaman. Ke mana saja kakiku ini membawa ke situlah aku menuju," jawab pemuda berompi kulit ular, halus.
"Mencari pengalaman?! Pengalaman tai kucing! Kau di sini tidak untuk mencari pengalaman! Untuk apa pengalaman?! Aku di sini karena membawa sebuah tugas yang sebenarnya tidak kusukai. Tapi, karena ini masih tanggung jawabku, apa boleh buat, harus kuselesaikan juga."
"Tugas, Resi. Tugas apa? Barangkali saja aku dapat menyumbangkan tenaga dan kemampuanku yang tidak seberapa ini untuk meringankan tugasmu. Maaf kalau aku terlalu lancang, Resi."
"Tentu saja tidak, Manusia Ular! He he he...! Bahkan aku memang bermaksud menceritakannya padamu," sambut Resi Bumi Gidulu tetap tidak memanggil pemuda itu dengan namanya.
"Aku sebenarnya sudah mundur dari rimba persilatan. Aku sudah jenuh, bosan! Kini, terpaksa harus keluar lagi dan terlibat dengan kekerasan, karena ingin mencari dan menangkap, serta kalau bisa melenyapkan murid murtadku dari muka bumi ini kalau dia masih melanjutkan kesesatannya seperti dulu."
Resi Bumi Gidulu menghentikan ceritanya untuk melihat tanggapan Dongga. Barangkali saja pemuda berompi kulit ular itu hendak mengajukan sebuah perkataan. Namun, Dongga ternyata diam, tak menyela cerita kakek bongkok itu. Ia ti-dak berbicara apa pun, menunggu kelanjutan cerita dengan sabar, sikap seorang pendengar yang baik!
"Dulu, hampir tiga puluh tahun yang lalu aku terpaksa menyekap murid yang sangat kusayangi di sebuah pulau mengerikan. Pulau aneh yang tidak mungkin orang keluar dari tempat itu kecuali mengetahui rahasianya. Sebuah kebetulan, aku mengetahui rahasianya, dan muridku tidak. Hal itu terpaksa kulakukan, setelah muridku yang waktu itu berusia dua puluh lima tahun, tidak juga mau sadar dari kesesatan tindakannya. Mengacaukan dunia persilatan, bahkan dengan cara licik berani membuat tubuhku cacat. Kau lihat bongkokku? Ini akibat perbuatan muridku!"
"Keji sekali muridmu itu, Resi!" Dongga mengeluarkan makian terhadap murid Resi Bumi Gidulu, ketika kakek bongkok itu menghentikan ceritanya untuk mengambil napas.
"He he he...! Dia memang bukan manusia lagi, Manusia Ular, tapi iblis! Itulah sebabnya aku khawatir sekali ketika menengok pulau itu satu purnama yang lalu, tidak kulihat keberadaannya di sana. Malah aku melihat adanya tanda-tanda kalau dia telah pergi meninggalkan pulau hukuman itu. Maka, walau sudah tua, lewat seratus tahun usiaku, karena khawatir murid biadab itu melakukan tindakan kejinya, aku terpaksa turun gunung. O ya, nama muridku itu Rawali. Kulitnya hitam kelam. Wajahnya khas karena mengingatkan orang akan wajah seekor burung elang. Bukan hanya karena dandanannya, tapi karena bentuk hidung dan sepasang matanya. Aku yakin akan mudah mencari orang dengan ciri-ciri seperti itu. Tapi sampai sekarang aku belum juga berhasil menemukan jejaknya. Aku jadi ragu, apakah muridku itu menempuh jalan yang berlainan denganku atau sebenarnya belum keluar dari pulau hukuman?!"
"Mungkin muridmu itu menempuh jalan yang berada jauh denganmu, Resi. Siapa tahu dia menempuh arah ke barat, sedangkan kau ke timur. Bagaimana mungkin kau bisa menemukan jejaknya. Lagi kau... maksudku... tahukah kau, Resi, kapan tepatnya muridmu itu telah tidak berada di pulau hukuman?!"
"Aku tidak tahu pasti, Manusia Ular," Resi Bumi Gidulu mengangkat bahunya. "Tapi, aku yakin tidak sampai setahun. Sebab, aku menengok tempat itu saja tahun sekali. Jadi, kemungkinannya paling lama hanya setahun dia lolos dari tempat itu. Meskipun demikian entah mengapa aku yakin sekali kalau Rawali pergi belum lama dari pulau itu. Paling lama hanya berseling beberapa hari."
Dongga tidak sempat memberikan tanggapan lagi karena Arya telah menyelesaikan semadinya dan berjalan mendekati mereka berdua. Terlihat jelas kala luka dalam pemuda berambut putih keperakan itu telah sembuh, karena wajahnya terlihat telah segar. Hanya saja tenaga Arya belum seluruhnya pulih seperti sediakala. Arya masih memerlukan semadi lagi untuk membuat tenaga dalamnya penuh.
"Mengapa kau berada di sini, Resi?!" Arya mengajukan pertanyaan tanpa berprasangka buruk, setelah terlebih dulu berkenalan dan berbasa-basi dengan Dongga, dan menceritakan penyebabnya terluka.
"He he he...! Meskipun tidak melihatnya, kau tahu kalau sekarang Eyang Kendi Laga telah menemukan jawaban bagi pertanyaanmu, Rambut Setan," jawab Resi Bumi Gidulu, memberikan alasan keberadaannya di tempat ini. Memang, tiga orang ini mulanya telah saling pisah untuk melaksanakan kepentingan masing-masing.
"Lalu... bagaimana hasilnya, Resi?!" tanya Dewa Arak penuh rasa ingin tahu.
"Mengapa tidak kau temui si Kurus itu dan bertanya padanya, Rambut Setan?!" Resi Bumi Gidulu malah balas bertanya.
"Kau ikut, Dongga?!" ajak Arya sebelum pergi.
"Kalau kau tidak keberatan, Arya?!"
"Tentu saja tidak!" jawab Arya cepat. "Bukankah kita sekarang berkawan?!"
Dongga si Pemuda Berompi Kulit Ular melesat mengikuti Dewa Arak dan Resi Bumi Gidulu. Semula Arya menahan-nahan kecepatan larinya, khawatir kalau Dongga akan tertinggal jauh. Namun ternyata tidak, pemuda berompi kulit ular itu mampu mengimbangi lari mereka berdua, bahkan ketika Arya mengeluarkan hampir seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Diam-diam baik Arya maupun Resi Bumi Gidulu bertanya-tanya dalam hati,
"Murid siapakah pemuda berompi kulit ular ini?"
Karena ketiga tokoh itu berlari cepat, dalam waktu sebentar saja telah berada dekat dengan pondok kediaman Eyang Kendi Laga. Dan tampak kakek kecil kurus itu berdiri menunggu di depan pintu pondok. Tampak jelas perasaan tidak sabarnya untuk memberitahukan hasil penyelidikannya. Dan seperti juga Arya, Resi Bumi Gidulu, Dongga, dan Eyang Kendi Laga pun melihat kedatangan mereka. Dan tergesa-gesa kakek kecil kurus itu berlari menyambut. Kedua belah pihak pun bertemu muka di tengah perjalanan.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu, Eyang?" tanya Arya, sebelum Eyang Kendi Laga mengatakannya.
"Kau akan terkejut mendengarnya, Arya," jawab kakek berkepala botak itu yakin akan ucapannya. "Makhluk-makhluk jejadian itu ternyata tidak ada!"
"Maksudmu... makhluk-makhluk itu dibuat orang, kurus?!" Resi Bumi Gidulu yang malah mengajukan pertanyaan.
"Benar," Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala. "Entah dengan cara bagaimana aku sendiri pun tidak tahu, tapi yang jelas, makhluk jejadian ini dibuat dari bahan dasar berupa manusia sungguhan!"
"Biadab!" Arya memaki penuh perasaan geram.
"Iblis!" Resi Bumi Gidulu ikut pula mengeluarkan seruan kemarahan.
Dongga, karena tidak tahu masalah yang tengah diributkan, hanya berdiam diri. Dia tidak mengajukan pertanyaan sama sekali. Dan, Resi Bumi Gidulu yang telah tahu sikap pemuda berompi kulit ular yang sungkan itu, segera bersikap tanggap dengan menceritakan semuanya.
"Ah, jadi... makhluk jejadian itu benar-benar ada?! Dan, itu semua merupakan hasil perbuatan seseorang? Sungguh keji!" ujar Dongga ketika Resi Bumi Gidulu telah selesai mengutarakan ceritanya. "Sama sekali tidak kusangka. Kupikir berita itu hanya kabar burung belaka. Semula aku tidak percaya. Mana mungkin ada manusia harimau, manusia kera, atau yang lainnya?"
"Kau sendiri, bagaimana hasilnya, Arya?" tanya Eyang Kendi Laga ingin tahu.
"Belum, Eyang." Kemudian secara jelas Arya menceritakan semua kejadian yang dialaminya. "Mudah-mudahan saja kakek itu tidak bermaksud jahat terhadap Mawar."
"Kau jangan terlalu yakin, Arya," gumam Eyang Kendi Laga membuat Dewa Arak menoleh ke arahnya. "Bisa kau ceritakan, maksudku... beritahukan ciri-ciri kakek yang telah membawa lari kawan baikmu itu. Aku khawatir kawanmu itu selamat dari mulut serigala tapi masuk dalam cengkeraman harimau,"
Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia tercenung dengan sepasang mata menatap ke angkasa. Pemuda berambut putih keperakan ini mencoba mengingat ciri-ciri kakek yang telah membawa Mawar pergi.
"Seorang kakek bertubuh jangkung... tingginya tak kurang dari satu setengah kali orang biasa. Wajahnya kehijauan. Hanya itu ciri-ciri khas orang itu yang dapat kuberitahukan padamu, Eyang. Apakah kau mengenalnya?!"
Arya mengajukan pertanyaan demikian karena melihat wajah Eyang Kendi Laga berubah, menampakkan keterkejutan dan kekhawatiran.
"Kekhawatiran ku ternyata beralasan, Arya," gumam Eyang Kendi Laga, pahit. "Ciri-ciri orang yang kau sebutkan padaku itu amat kukenal. Aku pernah beberapa kali bertemu dengannya meskipun tidak pernah bentrok. Dia seorang tokoh hitam yang berwatak keji. Aku bukan bermaksud menakut-nakutimu, tapi aku yakin keselamatan kawanmu itu terancam!"
"Siapa sebenarnya tokoh itu, Kurus?!" tanya Resi Bumi Gidulu sebelum Arya mengajukan pertanyaan. Kakek bongkok ini mendengarkan percakapan Arya dan Eyang Kendi Laga. Tampaknya dia merasa tertarik sehingga segera ikut campur dan mengajukan pertanyaan.
"Raja Sihir Pelenyap Sukma," jawab Eyang Kendi Laga, singkat.
"Ah...!" Seruan keterkejutan hampir bersamaan keluar dari mulut Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Dongga.
"Kau mengenalnya, Arya?" tanya Eyang Kendi Laga, ingin tahu.
"Tidak, Eyang. Tapi nama besar dan kejahatan tokoh itu telah lama kudengar. Ah, kasihan Mawar!" Wajah Dewa Arak mendadak berubah, mencemaskan keadaan kawannya.
"Apakah tidak mungkin bagi kita untuk menyelamatkannya," Dongga menyela pembicaraan mereka. "Barangkali saja kita dapat bertindak cepat sebelum terjadi sesuatu atas diri Mawar."
"Kemungkinan untuk menyelamatkannya merupakan sebuah hal yang sulit, Dongga. Bukan karena kita tidak mampu, tapi aku yakin kalau waktu tidak memungkinkan kita. Terkecuali kalau kita sudah lebih dulu mengetahui tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma itu."
Dongga mengangguk-anggukkan kepala, dapat menyadari adanya kebenaran dalam ucapan Eyang Kendi Laga yang menanggapi usulnya.
"Kalau benar demikian, kurasa kemungkinan itu terjadi besar, Kurus!" sambut Resi Bumi Gidulu penuh semangat.
Hal itu membuat wajah-wajah, terutama sekali Arya yang sudah lesu sete-lah mendengar penuturan Eyang Kendi Laga, jadi bercahaya karena mempunyai sedikit harapan.
"Apakah kau mempunyai cara cepat untuk dapat menyelamatkan Mawar, Resi?!" tanya Arya, cepat.
"Menyelamatkannya sih, aku tidak yakin," jawab Resi Bumi Gidulu yang membuat dua wajah lain terutama Arya yang semula sudah berseri-seri jadi putus asa kembali. "Bukankah, si Kurus itu hanya mengingatkan kalau kita mampu mengetahui tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma, akan dapat menyelamatkan nyawa Mawar?! Nah! Aku mempunyai sebuah cara untuk mengetahui tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma secara cepat."
"Benarkah itu, Resi?!" sambut Arya cepat dengan semangat yang mulai timbul kembali.
"Tentu saja!" jawab Resi Bumi Gidulu, mantap. "Tapi, apakah usahaku ini akan berarti bagi keselamatan nyawa kawanmu itu, Rambut Setan?!"
"Mudah-mudahan saja!" sahut Arya.
"Kalau begitu aku bersedia. Tapi, aku tetap membutuhkan bantuan kalian semua. Siapa di antara kalian yang bersedia membantu?! Tapi, sebelumnya perlu kuberitahukan bahwa caraku ini tidak wajar. Aku akan meminta bantuan pada roh-roh yang berada di sekitar tempat ini. Baik roh gentayangan maupun setan-setan yang berkeliaran. Bantuan yang dibutuhkan adalah kesediaan salah seorang di antara kalian untuk menjadi tempat dari roh yang akan dipanggil. Aku akan mengajukan pertanyaan pada roh-roh yang akan bersedia datang. Siapa di antara kalian yang bersedia?!"
"Aku saja, Resi. Biar bagaimanapun aku lebih bertanggung jawab atas keselamatan kawanku itu. Bukan karena aku mengecilkan arti Eyang Kendi Laga atau pun Dongga."
"Kalau begitu, bersiaplah, Rambut Setan! Kita akan memulainya."
Dewa Arak melangkah mendekati tempat kakek bongkok itu berada. Sedangkan Dongga dan Eyang Kendi Laga segera menjauh. Sementara itu Resi Bumi Gidulu segera mengeluarkan perabotannya untuk memanggil roh-roh dimaksud dari buntalan kain yang ada di belakang punggungnya.
Pedupaan, kemenyan, dan bubuk berwarna putih. Dupa yang telah diisi kemenyan diletakkan di tengah-tengah tempat pemanggilan roh. Sedangkan bubuk putih itu dis-ebarkan menggelilingi tempatnya dan Arya berada membentuk persegi panjang cukup luas.
"Aungng...!" Lolong anjing hutan yang mengaung panjang membuat suasana malam yang melingkupi hutan di bawah puncak gunung terasa semakin menyeramkan. Apalagi bulan penuh yang tampak di langit perlahan-lahan mulai tertutup awan hitam bergumpal-gumpal yang entah muncul dari mana.
Dalam suasana mencekam seperti itu, sosok tubuh jangkung yang tak lain Raja Sihir Pelenyap Sukma melesat cepat dengan pengerahan ilmu larinya, sehingga bentuk tubuhnya lenyap dan yang terlihat hanya bayangan berkelebat da-lam bentuk tidak jelas. Sementara di belakang-nya, berlari mengejarnya sesosok tubuh yang hampir telanjang karena sebagian pakaiannya telah hancur berantakan.
"Hayo kejar aku, Iblis Busuk! Akan kuhancurkan tulang-belulangmu!" seru Raja Sihir Pelenyap Sukma sambil menolehkan kepala, tapi tanpa memperlambat kecepatan larinya.
Sosok yang hampir telanjang itu rupanya sudah jenuh mengejar-ngejar buruannya. Dia berhenti, lalu berbalik arah. Namun anehnya, Raja Sihir Pelenyap Sukma malah menghentikan larinya dan bergerak mengejar.
"Hey! Iblis Busuk! Iblis Pengecut, kemari kau! Hadapi aku!"
Ucapan-ucapan keras bernada tantangan dari Raja Sihir Pelenyap Sukma ternyata sia-sia belaka. Sosok hampir telanjang yang dimaki-makinya terus berlari tanpa mempedulikan teriakan tantangan dari kakek jangkung itu.
Melihat hal ini Raja Sihir Pelenyap Sukma sambil terus mengejar, mengeluarkan benda-benda logam berbentuk bintang segitiga. Lalu, dilemparkannya ke arah sosok hampir telanjang yang berlari di depannya berjarak enam tombak.
Cap, cappp!
Bintang bersegitiga itu menancap semua pada saran yang dituju karena sosok hampir telanjang tidak mengelakkannya sama sekali. Sosok hampir telanjang itu mengeluarkan jeritan keras menggelegar penuh kemarahan. Seketika berhenti lalu membalikkan tubuhnya.
Dengan gerakan cepat sosok hampir telanjang itu melompat menerkam Raja Sihir Pelenyap Sukma seperti seekor harimau menerkam mangsa. Kedua tangannya yang berkuku panjang dan hitam siap merobek-robek tubuh kakek jangkung itu.
Namun Raja Sihir Pelenyap Sukma tidak kalah gesit bertindak. Sebelum serangan itu men-genai sasaran, dia bergerak cepat mengelak ke kanan depan. Tangan kirinya dikibaskan ke dada lawannya yang terbuka lebar.
Bukkk!
Telak dan keras sekali tangan kiri Raja Sihir Pelenyap Sukma mendarat di dada lawan. Seketika tubuh sosok hampir telanjang itu terlempar jauh ke samping. Namun, dengan gerakan manis sosok itu menggerakkan tubuh untuk mematahkan kekuatan yang membuatnya terlempar, kemudian mendarat di tanah dengan kedua kaki.
Tidak terlihat tanda-tanda kalau pukulan keras Raja Sihir Pelenyap Sukma yang mampu meng-hancurkan batu sebesar rumah itu berpengaruh terhadap dirinya. Dengan gerakan yang lebih keras dari sebelumnya, sosok hampir telanjang itu kembali menerjang lawannya.
Raja Sihir Pelenyap Sukma kali ini melompat jauh ke belakang untuk mengelakkannya. Dia tidak kaget melihat lawannya tidak terluka atau kesakitan akibat pukulan tadi.
Malam mencekam dengan suasana remang-remang karena bulan purnama tertutup awan tebal terus merayap perlahan. Pertarungan sengit itu pun terus berlanjut. Sebuah pertarungan aneh karena sosok hampir telanjang yang memusatkan diri pada penyerangan, tidak pernah berusaha mengelak atau menangkis gempuran lawan.
Berkali-kali serangan Raja Sihir Pelenyap Sukma, baik berupa pukulan maupun tendangan bersarang di tubuhnya, namun hanya membuatnya terlempar jatuh untuk kemudian melakukan penyerangan lebih dahsyat. Serangan-serangan aneh karena dilakukan dengan gerakan kaku.
Sepuluh jurus berlalu dan tidak terhitung sudah beberapa kali sosok berpakaian hampir telanjang itu terkena pukulan maupun tendangan dari Raja Sihir Pelenyap Sukma. Namun kekuatan tubuhnya benar-benar luar biasa! Tak sedikit pun terlihat adanya tanda-tanda kalau serangan-serangan yang gencar mendarat pada sasaran itu berpengaruh atas dirinya.
Raja Sihir Pelenyap Sukma sejak semula sadar, percuma menghadapi lawannya karena mengetahui keperkasaan dan ketangguhan sosok berpakaian hampir telanjang itu. Itulah sebabnya, pada jurus kedua belas, ketika memperoleh kesempatan, dia segera melesat meninggalkan lawannya, setelah terlebih dahulu melempar tubuh ke belakang untuk menjauhkan diri.
Sosok hampir telanjang tidak mau membiarkan lawan pergi begitu saja. Dia kembali melesat mengejarnya. Tak pelak lagi kejar-mengejar yang kedua kalinya pun terjadi. Namun kali ini, Raja Sihir Pelenyap Sukma terus berlari tanpa mengucapkan kata-kata menantang. Dan cerdiknya, kakek jangkung ini menempuh tempat-tempat yang banyak dipenuhi semak-semak dan pepohonan, sehingga dalam waktu sebentar saja lawannya kehilangan jejak.
Sosok berpakaian hampir telanjang itu menggeram penuh kemarahan ketika mengetahui buruannya lenyap. Meskipun demikian karena merasa amat penasaran, pengejaran terus dilakukan. Kerimbunan semak-semak dan pepohonan menjadi sasaran kemurkaannya. Semak-semak serta pepohonan itu porak-poranda ketika dia menghentakkan dan menyambar-nyambar tangannya secara sembarangan sambil meraung-raung karena marah.
Mendadak sosok hampir telanjang itu menolehkan kepala secara cepat ke samping kanannya. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya bunyi gerakan dari arah itu. Maka dengan kecepatan kilat dia melesat ke sana.
"Astaga makhluk apa itu?!" Terdengar suara seruan dari mulut kakek kecil kurus yang merupakan salah satu dari empat sosok yang tengah berlari menerobos kerimbunan semak-semak dan pepohonan di dalam hutan ini.
Tiga sosok lainnya adalah seorang kakek bongkok dan dua orang pemuda. Satu di antara pemuda itu mempunyai rambut berwarna putih keperakan. Pemuda berambut putih keperakan ini tak lain Arya. Sedangkan tiga sosok lainnya adalah Dongga, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga.
"Melihat ciri-cirinya aku yakin sosok ini bukan manusia, Kurus," timpal Resi Bumi Gidulu. "Aku lebih condong menduga kalau makhluk ini adalah mayat hidup!"
Arya dan Dongga tidak memberikan tanggapan sama sekali, tapi dari mereka terlihat kalau dua pemuda perkasa ini mempunyai pendapat yang sama dengan Resi Bumi Gidulu. Keempat tokoh ini menatap ke arah sosok yang tengah mereka perbincangkan dengan mata hampir tidak berkedip. Sosok yang muncul secara tiba-tiba dari balik kerimbunan semak dan pepohonan sehingga membuat perjalanan mereka terhenti.
Keempat orang ini tengah dalam perjalanan menuju tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma, setelah berhasil menemukan tempat kediaman kakek jangkung itu lewat upacara pemanggilan roh!
Dan keempat tokoh ini memang tidak berlebihan dengan pendapatnya. Sosok yang berdiri dihadapan mereka tampak kaget juga melihat keempatnya. Sosok itu memiliki ciri-ciri yang menggiriskan hati. Tubuhnya kurus kering seperti tidak memiliki daging, pakaian koyak-koyak membungkus tubuhnya. Sebuah pakaian yang telah lusuh dan rapuh karena ada bagian yang ro-bek dan jatuh ke tanah ketika angin agak keras berhembus.
Namun yang lebih meyakinkan Arya dan ketiga kawan seperjalanannya akan dugaan Resi Bumi Gidulu adalah ketika mencium bau ti-dak enak yang menyebar dari tubuh sosok hampir telanjang itu. Baik yang hanya keluar dari tubuh binatang atau manusia yang telah lama meninggal, bau bangkai!
"Arrrggghh...!"
Setelah sesaat tertegun sosok kurus kering itu menggeram keras. Dia tertegun karena tidak menyangka kalau bunyi yang tadi didengarnya bukan yang ditimbulkan oleh langkah kaki Raja Sihir Pelenyap Sukma.
Sebelum gema suara keras itu lenyap, sosok kurus kering telah melompat menerjang Eyang Kendi Laga, yang berada paling depan. Kedua tangannya melancarkan totokan bertubi-tubi dengan menggunakan sebuah jari telunjuk. Bunyi mencicit nyaring mengiris pendengaran mengiringi tibanya serangan itu.
Sebelum serangan sosok hampir telanjang itu mengenai sasaran, terdengar teriakan keras yang menggeledek Dongga melesat memotong dari samping seraya mengirimkan tendangan ke arah dada sosok kurus kering itu.
Bluk! Blukk!
Tubuh mayat hidup itu terpental jauh ke belakang ketika tendangan terbang Dongga menghantam sasaran secara telak dan keras. Tidak hanya sekali, karena begitu tendangan pertama menghantam sasaran, pemuda berompi kulit ular ini langsung menyusulnya dengan tendangan kaki yang lain.
Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga menghela napas berat melihat hat ini. Diam-diam ketiga tokoh ini menyayangkan tindakan Dongga yang mereka anggap terlalu kejam. Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, Arya dan kedua kakek itu tahu kalau tendangan Dongga itu amat dahsyat dan cukup untuk menewaskan lawan yang bagaimanapun kuatnya.
Perasaan kagum pun menyeruak di hati mereka terhadap Dongga karena tidak menyangka kalau pemuda pendiam itu memiliki ilmu demikian tinggi. Walaupun begitu perasaan ini tidak mampu mengusir perasaan sesal atas tindakan Dongga yang mereka anggap terlalu gampang menjatuhkan serangan mematikan.
Namun penyesalan yang membelit hati Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga langsung berubah ketika melihat perkembangan yang tidak mereka sangka-sangka. Tubuh sosok kurus kering yang melayang jauh itu tidak jatuh berdebuk di tanah seperti dugaan mereka semula. Dengan sebuah gerakan manis sosok hampir telanjang itu mendarat di tanah dengan kedua kaki, secara mantap.
"Tidak salahkah penglihatanku...?!" Pertanyaan itu bergayut di hati Arya dan dua kakek sakti itu.
Ketiganya baru yakin kalau sosok yang mirip mayat hidup itu benar-benar tidak terpengaruh terhadap tendangan Dongga. Sambil menggeram keras makhluk menggiriskan hati itu kembali melompat menerjang. Kali ini yang mereka serang adalah Dongga.
Dongga yang rupanya tidak menduga hal itu akan terjadi, kelihatan gugup. Dengan gerakan mendadak, dibanting tubuhnya ke tanah. Namun makhluk kurus kering itu tidak membiarkan lawannya lolos. Dia melesat mengejar, lalu menghujaninya dengan serangan-serangan maut sehingga membuat Dongga menggulingkan tubuh ke tanah untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Eyang Kendi Laga yang melihat keselamatan Dongga terancam, tak bisa tinggal diam. Bagaimana pun tadi pemuda berompi kulit ular itu telah menunjukkan maksud baiknya dengan menjegal serangan makhluk aneh itu terhadap dirinya.
Maka, kakek kecil kurus berkepala botak ini pun melesat di dalam kancah pertarungan, menghampiri Dongga yang masih bergulingan sedangkan makhluk kurus kering itu mengejarnya terus dengan serangan-serangan maut.
"Makhluk Buruk, lihat serangan!" seru Eyang Kendi Laga yang tidak mau mengirimkan serangan di saat lawannya tidak bersiap.
Kakek kecil kurus ini mengirimkan serangan dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Kedua tangannya yang terkepal keras dipukulkan susul-menyusul ke arah punggung makhluk kurus kering itu.
"Arrrggghhh....!" Makhluk hampir telanjang yang mempunyai kekuatan tubuh luar biasa itu menggeram keras. Tubuhnya membalik kemudian memapak serangan Eyang Kendi Laga juga dengan tangan terkepal. Tindakan ini membuat serangan terhadap Dongga dihentikan.
Duk, duk, dukkk!
Bunyi keras terdengar berkali-kali ketika dua tangan yang terkepal berbenturan secara keras. Dan setiap benturan membuat tubuh Eyang Kendi Laga tergetar hebat dengan tangan terasa sakit-sakit. Bahkan benturan terakhir membuat tubuhnya terjengkang ke belakang.
Kesempatan baik ini dipergunakan cepat oleh makhluk menyerupai mayat hidup itu untuk mengirimkan cengkeraman ke arah lambung dan ubun-ubun Eyang Kendi Laga.
Ctarrr! Rrrttt!
Sebelum ubun-ubun dan lambung Eyang Kendi Laga hancur oleh cengkeraman makhluk aneh itu, Resi Bumi Gidulu, telah lebih dulu bertindak dengan cambuknya. Bunyi meledak keras mengiringi meluncurnya cambuk itu ke arah makhluk hampir telanjang itu dan secara telak menghantam ubun-ubunnya.
Seketika itu pula tubuh makhluk menyerupai mayat hidup itu terjengkang ke belakang bagai diseruduk kerbau. Serangannya terhadap Eyang Kendi Laga pun kandas di tengah jalan.
"Iblis!" Resi Bumi Gidulu sampai mengeluarkan seruan terkejut tanpa sadar ketika melihat makhluk hampir telanjang itu masih tetap tegar. Hantaman pada ubun-ubun yang merupakan tempat mematikan itu sama sekali tidak berpengaruh, kecuali hanya terjengkang ke belakang.
Dan ketika pengaruh hantaman cambuk yang membuatnya terjengkang berhasil dipunahkan, makhluk kurus kering itu kembali melancarkan serangan dahsyat. Sasaran serangan makhluk berkekuatan tubuh luar biasa ini berpindah, tidak pada Eyang Kendi Laga lagi, melainkan pada Resi Bumi Gidulu.
Mengetahui kekuatan luar biasa makhluk kurus kering itu, Eyang Kendi Laga tidak tega membiarkan Resi Bumi Gidulu yang telah menyelamatkan nyawanya. Dia pun ikut campur. Maka, pertarungan yang lebih seru dari sebelumnya pun berlangsung. Makhluk kurus kering itu menghadapi Resi Bumi Gidulu dan Eyang Kendi Laga.
Dongga yang telah kembali menjauhi kancah pertarungan dan berdiri di sebelah Arya menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati penuh takjub.
"Benarkah itu makhluk hidup?!" tanya Arya masih belum percaya akan pandangan matanya.
"Apa lagi, Arya?" sambut Dongga bernada membenarkan. "Ciri-ciri dan kedahsyatannya telah menjadi bukti nyata kebenaran kalau dia memang makhluk hidup."
Arya tidak memberikan tanggapan lagi, dalam hati dia membenarkan ucapan Dongga. Kini pandangan dan perhatiannya dipusatkan kembali ke arah pertarungan yang tengah berlangsung. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu, lambat laun makhluk kurus kering itu pasti akan keluar sebagai pemenang. Kekuatan tubuhnya yang menakjubkan akan menyebabkannya berada di atas angin.
Makhluk itu dengan berani menerima semua serangan Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu tanpa khawatir terluka. Sebaliknya, kedua kakek itu justru harus berhati-hati karena sekali saja terkena serangan, nyawa mereka akan terancam. Serangan-serangan makhluk menyerupai mayat dan berbau busuk itu sangat dahsyat dan berbahaya.
Sambil terus memperhatikan pertarungan, Dewa Arak memutar benaknya berusaha menjawab pertanyaan mengenai makhluk kurus kering itu. Kalau benar makhluk hidup, bagaimana dia bisa bangkit, dan kalau benar mengapa bisa demikian. Akal dan hati nuraninya menolak, mana mungkin mayat bisa hidup dan bangkit sendiri. Pasti ada orang yang membangkitkannya.
"Arya!" Teguran Dongga membuat Dewa Arak menolehkan kepala ke arah pemuda berompi kulit ular yang berada di sebelahnya. "Kurasa sebaiknya kita segera mendatangi tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma. Tidakkah kau khawatir kalau tokoh sesat yang keji itu lebih dulu mencelakai temanmu?!"
Arya langsung memberikan jawaban, meskipun hatinya membenarkan usul Dongga. Namun dia merasa khawatir akan keselamatan Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu. Dia ya-kin lambat laun kedua kakek itu akan celaka di tangan mayat hidup yang menggiriskan itu, kecuali apabila mereka telah menemukan kelemahannya.
"Kurasa kau tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan mereka, Arya," sambung Dongga, seperti mengetahui hati yang membuat pemuda berambut putih keperakan itu tidak langsung mengiyakan ajakannya. "Mereka tokoh-tokoh sak-ti dan berpengalaman, aku yakin keduanya akan sadar dan menyelamatkan diri apabila tidak sanggup menghadapi mayat hidup itu."
"Kau benar, Dongga?!" Kali ini Arya langsung sigap menyambut "Mari kita tinggalkan tempat ini! Eyang, Resi, aku teruskan maksud kita semula!" teriaknya kemudian.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak bersama Dongga melesat menuju tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma. Namun baru beberapa langkah, keduanya saling pandang ketika melihat sosok jangkung tengah berlari searah dengan mereka. Sosok jangkung yang sudah pasti Raja Sihir Pelenyap Sukma itu berada di depan mereka dalam jarak sekitar dua puluh tombak. Sosok itu berlari dengan hati-hati.
"Itukah penculik kawanmu, Arya?!" tanya Dongga meminta jawaban pasti. Dan ketika Dewa Arak menganggukkan kepala, pemuda berompi kulit ular ini segera menyambung, "Kalau begitu, lekas kita kejar! Aku yakin dia tengah menuju tempat kediamannya,!"
"Dan kau sendiri langsung menuju tempat kediamannya, Dongga?" tebak Arya yang telah bisa menduga arah pemikiran pemuda berompi kulit ular itu.
"Benar!"
"Baiklah kalau demikian, Dongga. Aku sendiri sudah tidak sabar lagi untuk memberikan ganjaran dan kalau bisa mengirim nyawanya ke akherat. Aku yakin makhluk-makhluk jejadian yang muncul di dunia persilatan ada hubungan dengannya. Bahkan aku mempunyai dugaan kalau Raja Sihir Pelenyap Sukma yang telah membuat makhluk dari mayat hidup itu. Mungkin untuk menghalangi pertolongan yang kita lakukan terhadap Mawar. Tapi kusarankan kau hati-hati, Dongga. Bukan tidak mungkin kalau Raja Sihir Pelenyap Sukma telah mengetahui maksud kita!"
Usai berkata demikian, Arya melesat dengan pengerahan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dalam waktu sekejap dia telah berada di belakang kakek bertubuh jangkung itu. "Mau lari ke mana kau, Iblis Keji?!"
Dewa Arak melompat ke atas melewati kepala Raja Sihir Pelenyap Sukma, bersalto beberapa kali di udara, dan mendarat dengan mantap di depannya.
"Lagi-lagi kau...!" desis kakek jangkung yang ternyata Raja Sihir Pelenyap Sukma. "Selalu saja kau yang menghalangi maksudku, Orang Usilan! Menyingkirlah, sebelum kau menyesal!"
"Aku akan lebih menyesal lagi kalau membiarkan orang sepertimu terus berkeliaran di dunia ini!" tandas Arya, mantap.
"Menyingkirlah, Anak Muda! Aku tak ada waktu meladeni bocah ingusan sepertimu! Cepat beri aku jalan sebelum semuanya terlambat!"
"Sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu itu! Kau hanya dapat pergi dari sini jika mampu membunuhku...."
"Kau mencari penyakit!"
Wuttt!
Bersamaan dengan keluarnya ucapan itu, Raja Sihir Pelenyap Sukma mengirimkan serangan dengan tusukan sebuah benda yang diambil dari pinggang kanannya. Gerakannya sangat cepat sehingga bentuk benda itu tidak tampak jelas bahkan ketika meluncur ke arah Dewa Arak.
Meskipun demikian, sepasang mata pendekar muda itu mampu mengetahui kalau benda yang mengancamnya ternyata sebuah kipas yang ujung-ujungnya runcing dan tajam. Deru anginnya saja mungkin mampu merobek pakaian jika terkena.
Dewa Arak tentu saja tidak membiarkan kipas itu merobek dadanya. Dia melompat ke belakang, tapi Raja Sihir Pelenyap Sukma tidak membiarkan tindakan pemuda berambut putih keperakan itu. Dia melancarkan serangan susulan cepat dengan sebuah kebutan kipas ke arah wajah. Kipas itu dikembangkan.
Namun Raja Sihir Pelenyap Sukma terlalu memandang rendah, hingga mengira dengan serangan susulan dahsyat itu Dewa Arak akan dapat dirobohkannya. Meskipun serangan itu meluncur secara tiba-tiba, Dewa Arak mampu mengelakkannya den-gan merendahkan tubuh.
Bahkan pemuda itu dapat mengirimkan serangan yang membuat lawannya melompat mundur. Untuk yang kedua kalinya pertarungan antara Dewa Arak dengan Raja Sihir Pelenyap Sukma terjadi. Hanya saja kali ini, kakek jangkung itu menggunakan kipas baja yang merupakan senjata andalannya.
Arya pun mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti', yang menjadi penyebab julukan Dewa Arak menggemparkan dunia persilatan. Raja Sihir Pelenyap Sukma menggertakkan gigi, merasa geram karena kecelik.
Semula disangka setelah kipas andalannya dikeluarkan, dengan mudah Dewa Arak dapat dirobohkan. Sama sekali tidak diduga kalau tindakan itu membuatnya berada dalam keadaan gawat. Karena memberi kesempatan Dewa Arak mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya.
Dan begitu Dewa Arak menggunakan guci araknya terasa oleh kakek jangkung betapa dahsyat ilmu yang dimiliki pendekar muda itu. Setiap serangan kipasnya selalu berhasil dikandaskan, sebaliknya serangan-serangan lawan begitu dahsyat dan penuh tekanan, tak ubahnya hantaman gelombang laut.
"Bukk!" Dibarengi pekikan kesakitan, tubuh Raja Sihir Pelenyap Sukma terpental ke belakang ketika sebuah tendangan kaki kanan Arya bersarang di paha kanannya. Dewa Arak yang memang sudah bertekad bulat untuk melenyapkan lawannya, segera meluruk untuk mengirimkan serangan mematikan. Guci araknya diayunkan dengan cepat ke arah kepala kakek bermuka kehijauan itu.
"Tahan...!"
Ayunan guci itu terhenti di tengah jalan ketika Raja Sihir Pelenyap Sukma mengeluarkan teriakan keras sambil melempar kipas di tangannya. Dewa Arak tidak bisa membunuh lawan yang tidak bersedia melawan lagi, karena tindakan itu bukan sifat seorang pendekar sejati.
"Apa maksudmu, Raja Sihir?!" bentak Arya, keras. Tangan kanannya masih menegang, dan siap mengayunkan guci apabila kakek jangkung itu melakukan tindakan yang mencurigakan. Pemuda berambut putih keperakan ini khawatir kalau-kalau Raja Sihir Pelenyap Sukma melakukan tindakan kecurangan. Dia tahu hal itu bukan pantangan bagi tokoh golongan hitam.
"Kalau kau teruskan niatmu itu dan aku mati, maka keamanan dunia persilatan akan terancam. Aku yakin kau bukan tokoh golongan hitam, Anak Muda. Apa kau tega dunia persilatan akan kacau-balau?!" Ucap Raja Sihir Pelenyap Sukma lagi tenang tapi bernada tuntutan, dan sikapnya tidak memperlihatkan tanda-tanda kalau akan melakukan tindakan kecurangan.
"Kau bergurau, Raja Sihir?!" Arya masih tidak percaya. "Aku yakin malah sebaliknya! Dengan kematianmu, dunia persilatan akan menjadi aman dan...."
"Tunggu sebentar, Anak Muda!" potong kakek jangkung cepat sebelum Arya menyelesaikan ucapannya. "Kau... mengapa kau memanggilku Raja Sihir?! Apakah kau tidak keliru mengenali orang?!"
"Kau masih juga mau berpura-pura, Raja Sihir?! Ataukah... kau ingin memungkiri bahwa dirimu berjuluk Raja Sihir Pelenyap Sukma?!" sahut Arya, langsung mengajukan dugaan.
"Kau... kau gila, Anak Muda...!" sergah kakek jangkung sambil menudingkan tangan kanannya. "Kau memaksakan diriku untuk mengakui julukan yang bukan milikku! Lalu apa maksudmu, Anak Muda?! Apa kau tidak percaya kalau kukatakan diriku bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma?!"
Arya kontan terdiam mendengar ucapan kakek jangkung itu. Nuraninya sebagai seorang pendekar mengatakan kalau kakek jangkung di hadapannya ini tidak berbohong. Pegangannya terhadap guci arak pun mengendur.
"Jadi... kau bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma?!" tanya Arya meminta kepastian dengan nada suara mulai melunak. Kakek jangkung itu menganggukkan kepala.
"Apa kau hendak mengingkar pula kalau kita pernah bertemu sebelumnya, dan bahkan pernah bertempur di saat kau hendak membawa kabur seorang gadis berpakaian merah?!" tanya Arya lagi setelah tercenung sejenak dan memutar otak.
Kakek jangkung tersenyum lebar sebelum memberikan jawaban. "Kuakui kalau kita pernah bertemu sebelumnya. Tapi, percayalah padaku, Anak Muda! Kejadian yang telah menimpa kita adalah kesalah-pahaman belaka!"
"Mungkin aku bisa mempercayainya, Kek," Arya merubah panggilannya. "Tapi, bisakah kau membuktikan padaku kalau kau tidak melakukan hal-hal keji terhadap kawan baikku? Aku baru mempercayaimu kalau kau mempertemukanku dengan kawanku itu"
"Kalau hal itu dapat membuatmu mempercayaiku; aku tidak keberatan. Tapi, sebelumnya perlu kutekankan padamu, aku tidak melakukan hal-hal seperti yang kau khawatirkan. Dan kau boleh mengajukan pertanyaan itu pada kawanmu nanti."
Arya tidak memberikan tanggapan sama sekali. Tanpa berkata apa-apa diayunkan kakinya mengikuti kakek jangkung yang melangkah lebih dulu setelah terlebih dulu mengambil kipasnya. Meskipun demikian, pemuda berambut putih keperakan itu tidak langsung mempercayainya begitu saja. Dan karena kekhawatiran kalau kakek jangkung itu melakukan kecurangan secara mendadak, Dewa Arak mengambil jarak agak jauh.
"Mawar...! Kenari...! Lasini..,! Kemarilah...!"
Begitu sampai di mulut sebuah goa kakek jangkung itu langsung berteriak. Tidak keras, tapi cukup untuk terdengar oleh orang-orang yang berada di dalamnya.
Arya sempat memperhatikan bagian tebing di sekitar goa yang akan dimasukinya bersama kakek jangkung itu. Ternyata benar, bagian tebing itu berbentuk kepala tengkorak manusia, persis seperti penjelasan dari roh yang dipanggil oleh Resi Bumi Gidulu.
Namun perhatian Arya hanya sebentar, karena langsung dilibat oleh perasaan kaget mendengar panggilan yang dikeluarkan kakek jangkung. Ternyata bukan Mawar saja yang berada bersama kakek jangkung ini. Ada juga Kenari, gadis murid Eyang Kendi Laga, dan seorang gadis lain. Bagaimana mungkin Kenari bisa berada bersama kakek bermuka kehijauan ini? Perasaan curiga yang bersemayam di benak Dewa Arak semakin membesar.
Sungguhpun demikian, Arya tidak bertindak gegabah dan langsung menjatuhkan serangan terhadap kakek jangkung itu. Diputuskan untuk melihat terus perkembangannya, serta semakin bertindak hati-hati. Dengan kewaspadaan yang semakin meningkat, Arya mengikuti kakek jangkung masuk ke goa.
Di dalam ternyata terang-benderang seperti layaknya pada waktu siang hari dan tersorot sinar matahari. Hal ini cukup mengherankan sebenarnya, tapi tidak membuat Arya bingung. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau ada sejenis batuan yang menyerap sinar matahari di waktu siang dan memantulkan nya kembali di waktu malam. Dia menduga batu-batuan yang ada di dalam goa termasuk batuan seperti itu.
"Mawar...! Kenari...! Lasini...! Di mana kalian..,! Cepat kemari...!"
Kembali kakek jangkung mengeluarkan seruan ketika belum juga terdengar sahutan dari dalam. Kenyataan ini membuat Dewa Arak semakin curiga. Dia tidak percaya kalau panggilan kakek jangkung itu tidak terdengar. Dia lebih condong kalau semua cerita kakek itu hanya bualan belaka, dan kini tengah menyiapkan perangkap. Keberadaan Kenari bersama Mawar, dan tidak adanya panggilan jawaban atas panggilan itu membuat kepercayaanya terhadap ucapan kakek jangkung mulai luntur.
Dewa Arak melompat mundur ketika sampai di bagian terakhir goa, tidak terlihat gadis-gadis yang dipanggil kakek jangkung. Lorong goa telah berakhir di sebuah jalan buntu berupa dind-ing tebal dan beruang cukup luas.
"Cukup sandiwaramu, Raja Sihir! Sekarang aku tidak memberimu kesempatan lagi, bersiaplah untuk mati!" seru Arya bernada mengancam.
"Tidakkah kau bisa bersabar sebentar, Anak Muda?!" sahut kakek jangkung, masih dengan tenang. "Aku yakin ada kekeliruan di sini. Mungkin ketiga gadis itu pergi keluar goa. Dan...."
"Aku telah bertindak cukup bijaksana den-gan mempercayaimu, Raja Sihir! Tapi, kenyataannya, kau tidak bisa memberikan bukti atas ucapanmu. O ya, ada satu hal yang kulupakan. Kau masih mengingkari kalau dirimu berjuluk Raja Sihir Pelenyap Sukma?!"
"Benar!" sahut kakek jangkung, mantap. "Aku memang bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma."
"Kau mungkin bisa menipuku, karena aku memang belum pernah menjumpaimu, Raja Sihir! Aku tidak mengenalmu, tapi, seorang kawan baikku kenal betul dengan dirimu, bahkan hanya dengan mendengarkan ciri-cirimu yang kukata-kan dia langsung mengetahuinya! Kalau benar kau bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma, bisa kau jelaskan mengapa ciri-cirimu bisa mirip dengannya? Aku tak yakin ini hanya sebuah kebetulan!"
"Hhh...!" Kakek jangkung menghela napas berat setelah terdiam beberapa saat lamanya. Sikapnya menunjukkan kesan kalau hal yang akan dikatakan merupakan hal yang bertentangan dengan batinnya, "Karena kau terlalu memaksa. Dan agar masalah ini tidak berlarut-larut, sebaiknya kukatakan padamu. Aku akan berterus terang, memberitahukan hal yang sebenarnya tidak boleh dan tidak pernah kukatakan pada siapa pun. Aku adalah saudara kembar Raja Sihir Pelenyap Sukma! Nah, puas kau sekarang, Anak Muda?!"
"Tidak," Arya menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa mempercayainya. Aku tidak percaya dengan ucapanmu lagi!"
"Percayalah, Anak Muda, aku berkata sebenarnya! Kalau saja tidak terjepit waktu dan ada urusan besar yang membutuhkan bantuanku demi keamanan dunia persilatan, tak sudi aku mengemis-ngemis kepercayaanmu! Asal kau tahu saja, Anak Muda, aku tidak takut mati! Bagiku, mati bukan apa-apa!"
"Aku pun merasa berat untuk tidak mempercayaimu, Kek," ujar Arya hati-hati. "Tapi, bagaimana, kenyataan menunjukkan kalau uca-panmu tidak bisa dipercaya. Bukti yang kau akan tunjukkan padaku, tidak ada sama sekali. Aku curiga kalau kawanku dan dua gadis yang kau sebutkan itu telah menjadi korban kekejianmu!"
"Baiklah," kakek jangkung berdesah. "Bawa saja aku pada kawanmu yang kau katakan mengenal Raja Sihir Pelenyap Sukma! Aku yakin dia tahu kalau aku bukan tokoh sesat yang kau maksud itu."
"Ah...!"
Kakek jangkung tersentak kaget ketika melihat tanggapan Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu terlihat begitu terkejut. Bahkan tubuhnya sampai terjingkat seperti disengat ular berbisa. Kakek berwajah kehijauan ini jadi merasa keheranan. Dia sama sekali tidak tahu mengapa Arya bersikap seperti itu.
"Mengapa aku demikian pelupa?!" Arya menepak keningnya tanpa mempedulikan keheranan kakek jangkung. "Kalau benar kau bermaksud baik, dan dirimu bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma, tunggu di sini!"
Tanpa memberikan kesempatan pada kakek jangkung untuk memberikan tanggapan, Arya melesat pergi. Pemuda berambut putih keperakan itu melesat cepat dengan pengerahan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, karena khawatir akan terjadi hal-hal seperti yang dikhawatirkannya.
"Eyang...! Resi...!"
Arya berseru kaget ketika telah berada da-lam jarak lima tombak, melihat tubuh Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu terhuyung ke belakang dan memekik kesakitan. Sesaat kemudian kedua kakek itu siap melancarkan serangan secara bersamaan. Resi Bumi Gidulu mengirimkan serangan cambuk ke arah mata. Sedangkan Eyang Kendi Laga menusukkan tombak pendek ke punggung lawan tangguhnya setelah terlebih dulu meludahi tombak itu dan menggurat-guratkannya ke tanah.
Arya yang bermata tajam melihat kalau gerakan kedua kakek itu sudah tidak segesit sebelumnya. Dia tahu kalau Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu telah kelelahan, dan bahkan bukan tidak mungkin kalau mereka telah terluka. Sambil terus berlari mendekati, pandangannya tetap ditujukan ke tempat pertarungan.
"Arrrggghh...!" Makhluk kurus kering menggeram keras melihat serangan yang datang dari dua jurusan itu. Namun seperti sebelumnya, sosok yang me-miliki kekuatan tubuh menakjubkan itu tidak tampak gentar melihat serangan-serangan yang tertuju ke arahnya. Tanpa menggeser tubuh dari kedudukan semula, tangan kanannya diulur. Pada saat yang bersamaan kaki kanannya menendang ke belakang, seperti layaknya seekor kuda menyepak.
Tappp! Dukkk!
Hampir bersamaan serangan cambuk dan tombak itu berhasil dipunahkan. Ujung cambuk dicengkeram dengan tangan kanan, sedangkan tombak dibiarkan menghantam punggung, tapi tidak menimbulkan luka sama sekali. Kedua kakek rekan seperjalanan Dewa Arak ini tampak kaget ketika melihat untuk ke sekian kalinya usaha mereka kandas. Dan sebelum Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu sempat berbuat sesuatu.
Crattt! Bukkk!
Jeritan kesakitan hampir berbarengan ke-luar dari mulut Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu. Tubuh kedua nya sama-sama terjengkang ke belakang. Eyang Kendi Laga terpental lebih jauh karena kakek kecil kurus ini terkena tendangan pada paha kirinya. Sedangkan Resi Bumi Gidulu terkena sampokan tangan makhluk kurus kering itu pada dadanya.
Kakek bongkok ini mengalami nasib demikian karena setelah cambuknya tertangkap langsung disentakkan hingga tubuh Resi Bumi Gidulu ikut tertarik, dan saat itulah tangan kiri makhluk menyerupai mayat hidup itu merobek dadanya.
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan makhluk mayat hidup. Sambil mengeluarkan geraman mengerikan, dia melompat menerkam tubuh Resi Bumi Gidulu yang tengah terhuyung-huyung. Seketika wajah kakek bongkok bertangan satu itu memucat, menyadari maut yang tengah meluruk ke arahnya.
Namun sebelum kuku-kuku jari makhluk kurus kering itu merencah tubuh Resi Bumi Gi-dulu, Dewa Arak melesat menyambar tubuhnya.
"Aaarrrggghh…!"
Makhluk aneh itu menggeram penuh ke-murkaan ketika melihat calon korbannya terlepas dari maut. Tentu saja dia tidak bodoh untuk mengetahui ada orang yang telah menyelamatkan Resi Bumi Gidulu. Bergegas kepalanya menoleh saat melihat melesatnya Dewa Arak. Tampaklah bayangan ungu berkelebat cepat sekali.
Geraman keras penuh kemarahan kembali terdengar dari mulutnya ketika melihat sosok ungu itu melesat ke arah tubuh Eyang Kendi Laga yang tengah terhuyung dan menyambarnya. Kemudian dengan gerakan secepat kilat membawa keduanya melesat kabur dari situ.
Makhluk menyerupai mayat itu bergegas mengejar. Namun lagi-lagi usahanya kandas! De-wa Arak ternyata memiliki kecerdikan mengagumkan. Dia tahu kalau makhluk itu memiliki il-mu lari cepat yang juga luar biasa, maka merupakan sebuah tindakan berbahaya kalau untuk berlari di tempat terbuka dengan beban yang cukup berat itu. Dewa Arak memilih tempat yang banyak memungkinkan untuk menghilangkan jejak Dia terus melesat menembus semak-semak dan pepohonan.
Arya tersenyum lega dalam hati ketika mendengar teriakan geram itu sangat jauh, karena kehilangan jejaknya. Namun pemuda berambut putih keperakan ini tidak berpuas diri, melainkan terus berlari untuk menjauhi lawannya.
"Lebih baik kau turunkan aku, Arya! Aku bisa berlari sendiri," pinta Eyang Kendi Laga ketika suara geraman makhluk aneh itu sudah tidak terdengar lagi.
"Aku juga demikian, Rambut Setan," Resi Bumi, Gidulu menyambung.
Arya berhenti dan menurunkan tubuh kedua kakek itu.
"Bagaimana hasil usahamu, Arya?" tanya Eyang Kendi Laga, setelah merapikan pakaiannya yang terbuka di sana-sini karena dipanggul Arya.
"Aku bertugas menghadang perjalanan Raja Sihir Pelenyap Sukma, sedangkan Dongga mendapat bagian untuk menyelamatkan kawanku." Arya langsung menceritakan semua yang dialami, sampai dia berhasil menolong Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu.
"Sekarang aku ingat, Resi, Eyang, mungkinkah lenyapnya Mawar dan lain-lain dari dalam goa itu karena telah ditolong oleh Dongga? Tapi, kalau benar demikian, mengapa pemuda itu tidak memberi kabar?!"
Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu mengernyitkan kening, berpikir keras.
"Masalah ini jadi rumit, Arya. Ada dua pertanyaan di sini. Apakah betul kakek jangkung itu bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma dan ke mana perginya Dongga?!" Eyang Kendi Laga membuka suara.
"He he he...! Kurasa lebih baik kalau kita pergi ke goa tempat tinggal kakek yang tidak mau disebut Raja Sihir Pelenyap Sukma itu! Kalau ternyata ucapannya benar, pasti dia masih berada di sana! Bukankah demikian, Rambut Setan?!"
"Seharusnya demikian, Resi!" jawab Arya tanpa berani memberikan kepastian.
Pernyataan Resi Bumi Gidulu membuat mereka memutuskan untuk menuju tempat kediaman kakek jangkung yang tidak mau mengaku sebagai Raja Sihir Pelenyap Sukma. Hanya dalam waktu sebentar saja, Arya dan kedua kakek itu telah sampai di depan goa. Dan dengan penuh waspada ketiganya masuk ke goa untuk membuktikan keberadaan kakek jang-kung di sana. Dan ternyata, kosong!
"Berarti benar, dia Raja Sihir Pelenyap Sukma!" tandas Resi Bumi Gidulu, mantap. "Dan dia telah membohongimu, Rambut Setan. He he he.,.! Dia yang telah menyebabkan terjadinya semua kekacauan ini. Bahkan aku yakin kalau Dongga mendapat celaka di tangannya!"
"Tapi, saat itu dia tengah bertarung denganku, Resi. Maaf, kalau aku berani berlancang mulut, Resi!"
"Kita kehilangan jejak kembali," gumam Eyang Kendi Laga, mengeluh. "Haruskah upacara pemanggilan roh itu diadakan lagi, Bumi Gidulu?"
"Tidak perlu, Kurus! Kalau benar Raja Sihir Pelenyap Sukma penipu itu telah berada di sini sebelumnya, dan belum pergi lama, aku dapat melacak ke mana dia pergi," jawab Resi Bumi Gidulu, penuh keyakinan.
Lalu, tanpa mempedulikan Arya dan Eyang Kendi Laga yang masih belum mengerti yang di-maksudkannya, kakek bongkok ini sudah sibuk mengembang kempiskan hidungnya seperti tengah mencium-cium bau. Tindakannya mengingatkan akan kelakuan seekor anjing, atau binatang lain yang mempergunakan hidung untuk melacak jejak.
Resi Bumi Gidulu sibuk mengendus-endus sekitar tempat yang cukup luas di dalam goa itu beberapa saat, sebelum akhirnya melangkah ke luar goa. Arya dan Eyang Kendi Laga saling pandang sejenak dan mengangkat bahu, lalu mengikuti Resi Bumi Gidulu.
Resi Bumi Gidulu terus saja mengembang-kempiskan hidungnya. Bahkan terkadang berhenti sejenak di satu tempat sambil tetap mengembang-kempiskan hidungnya seraya memutar kepala seperti mencari-cari bau yang dimaksudkan. Kemudian melangkah secara pasti menuju arah yang diyakininya dilewati kakek jangkung.
Arya dan Eyang Kendi Laga tidak bisa menyembunyikan perasaan kagum ketika Resi Bumi Gidulu memberikan isyarat pada mereka untuk melihat ke depan, dan ternyata di sana tampak sesosok tubuh jangkung yang tengah bersembunyi di balik sebatang pohon. Sosok yang diyakini Resi Bumi Gidulu sebagai Raja Sihir Pelenyap Sukma.
Dengan tindakan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, ketiganya melangkah mendekati tempat kakek jangkung. Mereka khawatir kalau kakek yang diduga Raja Sihir Pelenyap Sukma itu akan kabur. Sebab di samping saat itu suasana malam terlalu gelap, tempat di sekitar mereka merupakan semak-semak dan pepohonan.
Rupanya kakek jangkung itu benar-benar memiliki pendengaran tajam. Saat jarak Resi Bumi Gidulu tinggal tiga tombak darinya, kepala kakek jangkung itu menoleh ke belakang. Resi Bumi Gidulu tidak ingin kehilangan jejak buruannya itu. Maka sebelum kakek jangkung itu sempat melakukan gerakan apa pun, dia lebih dulu melesat.
"Mau kabur ke mana lagi, Raja Sihir?!" seru Resi Bumi Gidulu keras. sambil mengirimkan to-tokan maut ke leher dengan lengan bajunya yang menegang kaku laksana pedang.
Prattt!
Serangan Resi Bumi Gidulu kandas ketika kakek jangkung memapak serangan itu dengan kipas yang dicabut secara cepat dari balik ikat pinggangnya, Tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung-huyung ke belakang. Lengan baju Resi Bumi Gidulu kembali melemas seperti sediakala.
Resi Bumi Gidulu menggertakkan gigi karena penasaran melihat serangannya menemui kegagalan. Tanpa memberi kesempatan sedikit pun kembali dilancarkan serangan susulan yang membuat pertarungan berlanjut.
"Hentikan...! Tahan...!"
Kakek berwajah kehijauan beberapa kali berteriak mencegah untuk menahan Resi Bumi Gidulu agar tidak menyerangnya. Namun sia-sia! Kakek bongkok itu terus saja menghujaninya dengan serangan maut.
Arya dan Eyang Kendi Laga saling pandang. Mereka merasa heran mendengar seruan-seruan itu. Mengapa kakek jangkung sepertinya tak menyukai terjadinya pertarungan? Benarkah ada kesalahpahaman di sini? Betulkah kakek berwajah kehijauan itu tidak ber-salah? Pertanyaan ini bergayut di benak Arya dan Eyang Kendi Laga.
"Jangan-jangan kakek jangkung itu benar-benar tidak bersalah, Eyang!" Arya tidak tahan untuk menyimpan dugaan itu terus-menerus di dalam hati.
"Mungkin kau benar, Arya. Kulihat dia tidak menginginkan terjadinya pertarungan," ujar Eyang Kendi Laga. Namun sebelum Arya dan Eyang Kendi Laga melompat untuk mencegah terjadinya pertarungan lebih lanjut, pandang mata mereka yang tajam, melihat beberapa sosok bayangan berkelebat mendekati kancah pertarungan.
Baik Arya maupun Eyang Kendi Laga mengetahui kalau sosok-sosok yang berjumlah lima orang dan mengenakan pakaian serba hitam. Karena ingin mengetahui hal yang akan mereka lakukan, Arya dan Eyang Kendi Laga menghentikan tindakan mereka dan memperhatikan Lima lelaki berpakaian hitam itu ternyata berhenti sekitar tujuh tombak dari tempat perta-rungan. Mereka langsung menyelinap di balik pepohonan.
"Apa yang hendak mereka lakukan?" tanya Arya dan Eyang Kendi Laga dalam hati.
Lima lelaki berpakaian hitam itu lalu mengeluarkan benda-benda berkilat yang ternyata senjata tajam berupa pisau. Kemudian masing-masing sosok melemparkannya ke arah kancah pertarungan. Bunyi berdesing langsung terdengar di antara teriakan-teriakan kedua kakek yang sedang bertarung.
Arya dan Eyang Kendi. Laga terkejut ketika mengetahui arah pisau-pisau itu tertuju pada Resi Bumi Gidulu. Hal ini menjadi pertanda kalau lima lelaki berpakaian hitam berada di pihak kakek jangkung.
Resi Bumi Gidulu jadi kelabakan, karena dirinya tengah memusatkan seluruh perhatian untuk menghadapi kakek jangkung. Dan celakanya, serangan-serangan pisau itu berlangsung berkali-kali. Sehingga dalam sekejapan saja Resi Bumi Gidulu jadi terdesak hebat oleh lawannya.
Melihat kenyataan ini Arya dan Eyang Kendi Laga tahu kalau dibiarkan terus Resi Bumi Gidulu akan celaka di tangan lawan. Sebab, kakek jangkung yang semula berteriak-teriak untuk mencegah Resi Bumi Gidulu menyerangnya, malah melancarkan tekanan-tekanan hebat yang membahayakan.
Hal ini membuat Arya dan Eyang Kendi Laga tidak segan-segan lagi mengambil tindakan guna menyelamatkan Resi Bumi Gidulu. Sudah terbukti kalau kakek jangkung mempunyai hubungan dengan lima lelaki berpakaian hitam itu.
Baru saja Arya dan Eyang Kendi Laga meluruk ke dalam kancah pertarungan, dari arah berlawanan muncul sosok-sosok yang amat mereka kenal. Makhluk-makhluk jejadian yang menurut penyelidikan Eyang Kendi Laga merupakan hasil pekerjaan manusia!
Sambil mengeluarkan geraman-geraman khasnya, beberapa sosok makhluk yang terdiri dari campuran antara manusia dengan harimau, kera, badak, beruang, dan lain-lainnya menyambut kedatangan Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga. Hal ini membuat pertarungan lain terjadi.
Berbareng dengan munculnya makhluk-makhluk jejadian itu, lima lelaki berpakaian hitam menghentikan bantuan mereka terhadap kakek jangkung. Bahkan kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Resi Bumi Gidulu yang semula terdesak hebat perlahan-lahan dapat menyusun kekuatan lagi, sehingga mampu bangkit mengimbangi perlawanan.
Di tempat lain, Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga tampak sibuk. Hanya saja tindakan kedua orang ini tidak sekeras sebelumnya. Baik Arya maupun Eyang Kendi Laga tidak berusaha mengirimkan serangan yang dapat membahayakan keselamatan lawan-lawan mereka.
Serangan-serangan yang mereka kirimkan hanya bertujuan merobohkan makhluk-makhluk jejadian itu, tanpa harus membunuh mereka. Tindakan ini dilakukan karena mengetahui kalau makhluk-makhluk jejadian itu berasal dari manusia. Semua melakukan penyerangan karena pengaruh jahat yang mengendalikan mereka.
Tentu saja niat Arya dan Eyang Kendi Laga membuat mereka semakin sulit untuk mengalahkan makhluk-makhluk jejadian itu. Merobohkan tanpa melukai secara berat lebih sulit ketimbang membunuh mereka. Sebab, baik tindakan Arya maupun Eyang Kendi Laga jadi tidak leluasa.
Teriakan-teriakan keras bersahut-sahutan yang berasal dari kancah pertarungan lainnya membuat Arya dan Eyang Kendi Laga mengalihkan perhatian sejenak. Mereka melihat kakek jangkung serta Resi Bumi Gidulu sama-sama melompat saling terjang dengan tangan terbuka sama-sama dijulurkan ke depan. Tak pelak lagi ke-dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu bertemu di udara dan melekat, sampai tubuh keduanya turun ke tanah.
Eyang Kendi Laga menghela napas berat melihat hal ini. Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, Arya pun tahu kalau Resi Bumi Gidulu dan lawannya tengah mengadu tenaga dalam secara langsung. Dan hal ini amat berbahaya. Yang kalah akan tewas, sementara yang menang pun tidak akan luput dari luka dalam parah.
Menyadari akan keadaan yang gawat Arya dan Eyang Kendi Laga semakin mempertinggi kemampuan daya serang. Dewa Arak melompat ke atas dengan bersalto di udara melewati kepala lawan-lawannya. Kemudian dari sana mengirimkan serangan ke arah belakang kaki lawan.
Dalam sekali gerakan Dewa Arak mampu mengirimkan serangan beruntun terhadap lawan-lawannya. Dan semua mengenai sasarannya. Seketika itu pula tubuh makhluk-makhluk jejadian itu ambruk ke tanah, tak mampu bangun lagi karena sambungan lutut mereka terlepas!
Hal yang sama pun berhasil dilakukan oleh Eyang Kendi Laga. Hanya saja kakek kecil kurus ini mengirimkan serangan dari depan, tapi sasa-ran yang dituju tetap lutut. Dua makhluk jejadian sisanya roboh dengan sambungan tulang lutut terlepas.
Tanpa mempedulikan lawan-lawan mereka, Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga mengalihkan perhatian pada pertarungan menegangkan antara Resi Bumi Gidulu dan kakek jangkung. Keadaan dua kakek itu tampak sudah mengkhawatirkan. Dari atas kepala kedua belah pihak, mengepul uap putih. Keadaan lawan Resi Bumi Gidulu tampak lebih parah. Wajahnya dibanjiri peluh sebesar-besar biji jagung.
"Apa yang akan kau lakukan, Arya?" tanya Eyang Kendi Laga, ingin tahu. Sebab dia menyadari kalau saat-saat seperti itu, merupakan hal yang sulit untuk dipisahkan. Orang yang mencoba memisahkan dua tenaga dalam akan tewas dengan sekujur tubuh hancur, karena terkena gabungan tenaga dalam yang tengah menyatu.
Arya tidak memberikan jawaban. Pemuda berambut putih keperakan ini terdiam dengan hati memanggil-manggil belalang raksasa di alam gaib. Arya telah berjanji dalam hati untuk tidak menggunakan bantuan belalang raksasa kasat mata itu kecuali dalam keadaan gawat. Dan sekarang keadaan telah kritis, maka dia memanggilnya.
Sesaat kemudian, Dewa Arak merasakan sekujur tubuhnya bergetar sebentar. Bulu kuduknya berdiri ketika belalang raksasa dari alam gaib itu masuk ke tubuhnya.
Eyang Kendi Laga, meskipun tidak mengetahuinya, bisa merasakan adanya keanehan yang secara tiba-tiba itu. Dia sempat merasakan ada hembusan angin dingin yang membuat bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Kebetulan dia berada di sebelah Dewa Arak.
Sepasang mata Eyang Kendi Laga hampir keluar dari rongganya ketika melihat di belakang Dewa Arak seperti tampak sesosok binatang bersayap yang besar, berwarna coklat. Sosok binatang menyerupai belalang raksasa itu hanya tampak samar-samar dan berupa bayangan.
"Arrrggghh...!" Mendadak Dewa Arak mengeluarkan geraman keras menggetarkan sekitar tempat itu. Suara yang tidak patut keluar dari mulut seorang manusia. Meskipun Eyang Kendi Laga telah mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menahan pengaruh geraman itu, dia tetap tidak mampu. Sekujur kakinya terasa lemas, dan tak dapat dicegah lagi dia jatuh berlutut. Selain sekujur tubuh merasa lemas lunglai seluruh tenaganya seakan lenyap seketika.
Hal yang sama pun dialami Resi Bumi Gidulu dan lawannya. Hanya saja karena kedua kakek ini tengah mengerahkan tenaga dalam, pengaruhnya tidak sedahsyat yang dialami Eyang Kendi Laga. Meskipun demikian, akibat pengaruh geraman keras itu membuat aliran tenaga dalam mereka sempat terhenti sejenak.
Kesempatan di saat aliran tenaga dalam kedua kakek itu terhenti, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Dengan kecepatan luar biasa pemuda berambut putih keperakan itu melesat ke dalam kancah pertarungan. Dan di saat tubuhnya masih berada di udara, kedua tangannya dihentak-hentakkan.
Angin dahsyat pun muncul dari tangan Dewa Arak, menghempaskan tubuh kedua kakek yang tengah bertarung, hingga terpental dan terguling-guling. Begitu kekuatan yang membuat tubuh mereka terguling-guling habis, Resi Bumi Gidulu dan kakek jangkung merangkak bangun. Keduanya tampak lemas sekali. Gerakan mereka tidak sigap atau pun gesit seperti semula. Baik tenaga Resi Bumi Gidulu maupun lawannya telah terkuras habis.
Di tempat yang sama, hanya berbeda jarak sekitar lima tombak, Eyang Kendi Laga pun tampak tertunduk lesu. Kakek kecil kurus ini masih berdiri dengan kedua lututnya. Dia masih tidak bergairah untuk bangkit karena belum mampu menghilangkan perasaan kagetnya akibat teriakan Dewa Arak.
Sementara tokoh yang menjadi penyebab semua ini pun terdiam tapi dengan senyum puas tersungging di bibir. Saat itu belalang raksasa telah keluar dari dalam dirinya. Karena masing-masing tokoh terdiam, suasana berubah hening. Mendadak....
"Aaarrrggghh...!" Geraman yang tidak kalah dahsyat dengan suara Dewa Arak tadi, kembali terdengar. Bunyi geraman ini pun berbeda, meskipun sama-sama mengandung getaran yang dapat melumpuhkan lawan.
Hal ini membuat tokoh-tokoh di tempat itu, yang masih terpengaruh oleh teriakan Arya, jadi kembali lemas. Arya satu-satunya orang yang semula berdiri tegak pun, merasakan kedua kakinya menggigil. Namun dengan pengerahan tenaga dalam dia berhasil membuat kedua kakinya tetap berdiri tegak di atas tanah.
"Hak hak hak...!"
Sebelum gema geraman keras tadi lenyap seluruhnya, terdengar suara tawa keras tergelak bernada aneh, sehingga membuat Arya dan yang lainnya kecuali kakek jangkung, merasa heran. Wajah kakek jangkung tampak pucat pasi
"Ah...! Celaka...! Aku terlambat..,! Semuanya sia-sia...!" keluh kakek jangkung itu penuh penyesalan. Kemudian pandangannya diedarkan pada Dewa Arak, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga. "Kalianlah yang menjadi penyebabnya! Kalau kalian tidak terlalu keras kepala memaksakan kehendak, dan mau mengerti sedikit, hal ini tidak akan terjadi. Sia-sia semua usahaku!"
Dewa Arak, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga saling pandang penuh perasaan heran mendengar makian kakek jangkung. Mereka tidak paham mengapa kakek itu marah-marah dan menimpakan kesalahan pada mereka. Yang jelas, ketiga tokoh ini tahu kalau marahnya kakek jangkung berhubungan dengan munculnya sesosok makhluk seperti mayat hidup yang didahului suara geraman keras menggelegar itu.
Sebentar kemudian, ketiga tokoh ini dan juga kakek jangkung melihat sendiri pemilik suara aneh tadi. Sosok itu ternyata si Makhluk Kurus Kering yang memiliki kekebalan tubuh luar biasa. Tapi, dia tidak sendirian, ada sosok lain yang datang bersamanya, seorang pemuda mengenakan pakaian dari kulit ular!
"Dongga...!" hampir berbareng Arya, Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu memanggil pemuda itu. Sorot mata dan tarikan wajah Arya serta dua kakek rekan seperjalanannya menyiratkan perasaan heran melihat keberadaan Dongga dengan makhluk kurus kering itu. Dongga kelihatannya bersahabat dengan makhluk yang hampir telanjang itu. Hal ini membuat Arya dan kedua kakek kawannya menduga bakal terjadi sesuatu.
"He he he...!" Dongga tertawa terkekeh mengejek keheranan Dewa Arak dan kedua kawannya. Bahkan sekarang mereka melihat jelas sorot kekejian di mata pemuda berompi kulit ular itu.
"Pada kalian bertiga memang aku memperkenalkan diri dengan nama Dongga. Masalahnya kalau kuperkenalkan nama asliku, jangan-jangan kalian terutama sekali kakek buntung itu akan mengenalku," ucap Dongga dengan tenang sambil menuding Resi Bumi Gidulu.
"Tutup mulutmu, Pengecut Licik!" sergah Resi Bumi Gidulu, keras dan penuh kemarahan... Kakek bongkok ini merasa kecewa sekali mengetahui pemuda yang telah mendatangkan rasa simpatik di hatinya, tak lebih dari seorang penjahat "Jangankan mengenal namamu, wajahmu pun tidak kukenal!"
"Begitukah?!" sambut Dongga cepat, penuh ejekan. "Tapi, aku yakin kau akan mengenali namaku, Guru."
"Guru?!" suara Resi Bumi Gidulu terdengar menggigil karena kaget. Perasaan yang sama me-nyemak di hati Arya, Eyang Kendi Laga, dan kakek jangkung. Mereka menolehkan kepala dengan cepat pertanda kaget, mendengar sapaan Dongga. "Si... siapakah kau... aku... eh..."
"Jadi, kau telah lupa padaku, Guru?! Aku, muridmu! Orang yang kau cari-cari karena lari dari pulau hukuman. Aku Rawali...!"
"Rawali?!" Suara Resi Bumi Gidulu semakin menggigil karena cekaman perasaan tegang yang melanda. "Ti... tidak mungkin! Kau masih muda... sedangkan Rawali sudah berusia lanjut. Bahkan sekarang, mungkin usianya tak akan kurang dari lima puluh lima tahun. Kau tidak bisa mempermainkan aku, Pembohong!"
"He he he...!" Dengan sikap tenang, Dongga alias Rawali tertawa terkekeh. "Kalau hanya menjadi muridmu, tentu saja kau bisa berkata demikian, Tua Bangka Bau Tanah! Tapi aku tidak bodoh, aku berguru lagi. Dan dari guruku yang kedualah aku mendapatkan kemampuan merubah wajahku sehingga terlihat muda. Bahkan dengan ramu-ramuan tertentu yang kubuat, aku berhasil membuat tubuhku tetap seperti layaknya tubuh orang muda. Aku pun belajar pula ilmu-ilmu racun yang membuatku dapat membuat makhluk jenis baru campuran antara manusia dengan binatang. Sayang, beberapa di antaranya gagal. Mereka mati keracunan, karena tidak kuat adanya kesalahan. Bagaimana, masih tidak percaya?"
Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga terdiam dengan wajah menyiratkan perasaan kaget tidak terkira. Sama sekali tidak disangka kalau dalang semua kejadian ini ternyata Dongga, bukan kakek jangkung yang mereka anggap Raja Sihir Pelenyap Sukma!
"Aku tahu ramuan-ramuan yang kau mak-sud, Rawali!" sela Arya dengan suara keras. "Wanita-wanita itu bukan?"
"Tepat! Tapi masih kurang tertuju, Dewa Arak!" jawab Dongga atau Rawali sambil menganggukkan kepala. "Tepatnya adalah wanita-wanita yang masih gadis. Tapi, sayang dua kali pengambilan yang dilakukan anak buahku dijegal oleh kakek sialan itu!" Dongga alias Rawali menuding kakek jangkung. "Namun kakek itu bodoh! Begitu wanita culikan anak buahku yang pertama berhasil dirampasnya, aku segera membuat jebakan. Kusuruh anak buahku menculik wanita tapi bukan perawan, karena aku yakin akan dirampas kembali. Aku melihat kakek dungu itu mengintai tindak-tanduk anak buahku! Dan memang, kakek bodoh itu tertipu! Wanita yang bukan gadis diambil juga. Padahal, aku tahu pasti kalau dia tengah melakukan sebuah perbuatan yang membutuhkan wanita-wanita yang masih gadis. Dia tertipu!"
Arya, Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu menatap kakek jangkung. Jadi, kakek jangkung itu pun menculiki gadis-gadis untuk melakukan suatu percobaan? Berarti sama bejatnya dengan Rawali.
"Tutup mulutmu yang kotor itu, Rawali!" maki kakek jangkung kalap. "Jangan samakan tindakanku dengan perbuatanmu! Kau menculiki gadis untuk obat awet mudamu dan juga makhluk-makhluk jejadianmu. Gadis-gadis itu kau bunuh setelah kau pergunakan. Sedangkan aku hanya membutuhkannya untuk melenyapkan terjadinya angkara murka di dunia persilatan, dan gadis-gadis itu tidak kurang suatu apa. Mereka tetap masih gadis, dan sehat. Malah mereka membantuku dengan suka rela!"
"Sebentar, Rawali!" selak Resi Bumi Gidulu untuk menghentikan pertengkaran antara Rawali dengan kakek jangkung. "Aku yakin, kau lolos dari pulau hukuman belum lama. Bahkan aku yakin tidak sampai sebulan sebelum kedatanganku yang terakhir. Bagaimana mungkin dalam waktu singkat kau dapat bertemu dengan seorang guru dan belajar ilmu-ilmu sesat itu serta menguasainya?"
"Kau memang tolol, Bumi Gidulu!" Enak saja Rawali memaki gurunya. "Tentu saja aku mempelajarinya di pulau hukuman. Karena aku menemukan guru kedua itu di pulau hukuman. Dan beberapa hari sebelum kau datang menjenguk aku telah tamat belajar dan langsung meninggalkan pulau. Sungguh kebetulan guru keduaku tahu jalan keluar dari pulau. Dialah yang menuntunku keluar. Sayangnya, guru keduaku mempunyai watak seperti kau juga, lemah! Keberadaannya di pulau itu justru sengaja dan menghukum diri karena menyesali atas dosa-dosa yang dilakukannya belasan tahun lalu. Keluarnya dari pulau hanya karena ingin menolongku. Ketika timbul rasa khawatir akan menjadi penghalangku dikemudian hari akhirnya dia kubunuh!"
"Biadab!" seru Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu, serta kakek jangkung, hampir bersamaan. Sementara Dewa Arak menggeleng-gelengkan kepala.
"Keparat, Rawali! Kau harus mengganti dengan nyawamu atas tindakan kejimu terhadap saudara kembarku itu!" seru kakek jangkung penuh kemarahan. Kalau saja tidak dalam keadaan payah, tentu sudah diterjangnya pemuda berompi kulit ular itu.
"Ah, jadi Raja Sihir Pelenyap Sukma itu saudara kembarmu, Kakek Dungu. Aku memang sudah merasa heran sejak semula melihat kemiripan wajahmu dengan guru keduaku yang bodoh juga itu. Ternyata kau saudara kembarnya. Dan kau ingin membalaskan sakit hati Raja Sihir Pelenyap Sukma yang bodoh itu? Silakan!"
Arya tidak ingin kakek jangkung yang ternyata tidak bersalah dan masih lelah itu melancarkan serangan, maka langsung melompat mendahului. Dan karena telah mengetahui tingkat kepandaian Rawali alias Dongga yang luar biasa, dikerahkan seluruh tenaga dalam. Dengan kedua tangan terbuka dikirimkan serangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati lawannya.
Namun sebelum serangan Arya mencapai sasaran, Rawali memberi isyarat pada makhluk kurus kering yang sejak tadi berdiam diri di sebelahnya. Makhluk menyerupai mayat hidup itu mengeluarkan gerengan aneh sambil menggerakkan tangan. Mendadak tubuh Dewa Arak tertahan di udara, seperti dipaku! Pemuda berpakaian ungu itu terapung di udara dalam sikap tengah melancarkan serangan.
Eyang Kendi Laga, dengan sisa tenaga yang masih ada bergerak untuk melancarkan serangan. Namun, dia pun mengalami nasib seperti Arya ketika makhluk kurus kering itu menggerakkan tangan menuding.
"Tidak akan ada orang yang sanggup menghadapinya," ucap kakek jangkung pelan tapi terdengar jelas oleh Resi Bumi Gidulu. "Karena telah berhasil dikuasai oleh Rawali, makhluk kurus kering itu jadi memiliki kemampuan berlipat ganda. Dia tidak akan bisa dikalahkan apa lagi dibunuh, kecuali... olehku!"
"Mengapa tidak kau lakukan?!" sentak Resi Bumi Gidulu cepat, tak sabaran karena khawatir makhluk kurus kering itu mengalihkan sasaran padanya.
"Tapi, kau harus berjanji membunuh Rawali untuk membalas kematian saudara kembarku!"
"Aku berjanji," sahut Resi Bumi Gidulu mantap, sungguhpun merasa heran mengapa kakek jangkung itu bersikap demikian. Bukankah kakek itu memiliki kepandaian tidak kalah dengannya? Mengapa harus meminta bantuan padanya?
Kakek jangkung tak mempedulikan keheranan Resi Bumi Gidulu. Dia sibuk berkomat-kamit entah membaca apa, Resi Bumi Gidulu sendiri tidak mendengarnya. Yang jelas ketika kakek jangkung itu berhenti merapal mantera dan kemudian mengangkat tangan kanannya, makhluk kurus kering di sana ikut mengangkat tangan kanannya.
"Hih?!" Kakek jangkung menghantamkan tangannya ke ubun-ubun hingga hancur dan mengeluarkan bunyi berderak keras. Pada saat yang bersamaan, ubun-ubun makhluk kurus kering itu pun hancur tertembus tangannya. Dan bersamaan tubuh kakek jangkung dan tubuh makhluk aneh itu ambruk di tanah dalam keadaan tidak bernyawa.
Dengan tewasnya, makhluk kurus kering itu, pengaruh ilmunya punah. Tubuh Arya dan Eyang Kendi Laga melayang turun. Arya yang sejak tadi dalam hati memanggil belalang raksasa di alam gaib namun binatang itu tidak kunjung datang, mendadak merasakan kehadiran belalang alam gaib itu di dalam tubuhnya ketika melayang turun.
Seketika itu pula dengan sebuah gerakan tidak masuk akal, di saat tubuh berada di udara, Dewa Arak melompat dan mengirimkan sampokan ke arah pelipis Rawali.
Rawali yang tengah terkesima melihat kematian makhluk kurus kering andalannya, gugup melihat serangan yang datang secara cepat dan tidak tersangka-sangka itu. Meskipun demikian dia masih sempat mengangkat tangan melindung bagian yang diserang.
Plakkk! Plakkk!
Rawali hanya bisa memekik tertahan ketika sampokan Dewa Arak tetap menghantam kepalanya hingga hancur berantakan. Tangkisannya tidak mampu menahan tenaga serangan lawan. Tubuh pemuda berompi kulit ular ini pun berkelojotan di tanah sebentar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi, mati!
Menjelang pagi, Dewa Arak, Eyang Kendi Laga, Resi Bumi Gidulu, Kenari, Mawar, serta gadis lainnya meninggalkan tempat yang menjadi saksi tewasnya Rawali. Dari cerita Mawar dan Kenari, Arya serta kedua kakek itu mendengar secara lebih jelas tentang kakek jangkung.
Kakek itu memang berkata benar, meminta kesediaan Mawar dan Kenari serta seorang gadis lain untuk sebuah perbuatan yang akan dilakukannya. Menyempurnakan kematian seorang leluhur dari kakek jangkung yang telah dikutuk suatu saat akan bangkit dari kubur dan menyebar malapetaka.
Dengan sentuhan tangan tiga orang gadis yang masih perawan, dengan hati suka rela, mayat leluhur kakek jangkung tidak bangkit lagi untuk selamanya. Namun, ternyata keadaan menjadi lain karena Mawar bukan gadis lagi. Leluhur kakek jangkung jadi mayat hidup dan akhirnya jatuh ke tangan Rawali, yang mengorbankan Lasini untuk membuat makhluk kurus kering itu patuh padanya. Lasini tewas menjadi tumbal.
Dan berkat Kenari, Eyang Kendi Laga tahu kalau Gumilang telah dijadikan makhluk jejadian. Gumilang termasuk salah seorang di antara enam makhluk jejadian yang menyerang Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga. Kakek kecil kurus itu pun berjanji akan mencari obat guna memulihkan keadaan makhluk-makhluk campuran itu. Sayangnya, lima lelaki berpakaian hitam telah pergi ketika Dewa Arak dan yang lain-lain menyatroni tempat kediaman Rawali.
Jeritan nyaring melengking, dan berasal dari sesosok tubuh ramping yang berada di pondongan sosok kekar berpakaian hitam, menguak keheningan siang. Tubuh wanita itu menggeliat-geliat dalam pelukan tangan kanan sosok berpakaian serba hitam.
"Penjahat-penjahat keji! Jangan harap kalian dapat lolos dari tanganku!" sebuah suara keras dan parau bernada kemarahan, menimpali teriakan wanita berpakaian merah itu.
Pemilik suara kedua ini ternyata seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun bertubuh tinggi kurus dan berkumis melintang. Dia berlari cepat mengejar sosok hitam yang membawa kabur putrinya. Sebuah golok pendek berwarna hitam mengkilat tergenggam di tangan kanannya.
Lelaki berpakaian coklat tua itu ternyata memiliki kecepatan lari berada di atas sosok hitam yang dikejarnya. Jarak antara mereka yang semula cukup jauh, semakin lama semakin dekat. Namun ketika jarak mereka tinggal sekitar sepuluh tombak, kawan-kawan sosok berpakaian hitam membalikkan tubuh, menghadang di depannya. Hal ini membuat lelaki berkumis melintang tidak bisa melanjutkan pengejarannya.
"Tua bangka dungu! Rupanya kau sudah kepingin masuk lubang kubur, heh?!" seru sosok berpakaian serba hitam yang bertubuh pendek kekar. Tangan kanannya bergerak, dan tahu-tahu di dalam genggamannya telah tercekal sebuah pisau pendek berwarna putih mengkilat. Tiga sosok hitam lainnya pun melakukan hal yang sama.
"Kalianlah yang akan kukirim ke akherat!" Berbareng keluarnya ucapan itu, lelaki berkumis melintang menubruk maju. Golok hitam di tangannya diputar laksana kitiran di atas kepala sebelum diluncurkan ke arah kepala sosok hitam yang bertubuh pendek kekar.
Trangng!
Bunga-bunga api berpercikan ke udara ke-tika sosok hitam pendek kekar mengayunkan pisau di tangan memapak serangan itu. Akibatnya, tubuh sosok pendek kekar terhuyung-huyung dua langkah ke belakang, sedangkan lelaki berkumis melintang hanya tergetar tubuhnya.
Lelaki berpakaian coklat itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Goloknya kembali meluncur deras untuk menghabisi nyawa lawan yang belum sempat memperbaiki kedudukan. Namun niatnya tak menjadi kenyataan, karena tiga sosok berpakaian serba hitam yang juga berwajah dan bersikap kasar seperti sosok pendek kekar, serentak menyambuti serangan lawan. Mau tidak mau lelaki tinggi kurus itu membatalkan serangan dan memutar goloknya untuk menghadapi serangan tiga pisau yang meluncur ke arahnya. Pertarungan pun segera terjadi.
Lelaki berpakaian coklat yang terus diliputi kecemasan terhadap keselamatan putrinya itu bertarung kalap seperti binatang buas terluka. Dengan ganas goloknya berkelebatan mencari-cari sasaran. Dia ingin secepatnya mengakhiri perta-rungan itu. Tapi maksudnya tetap tidak kesampaian.
Tiga orang lawannya terlalu kuat untuk dihadapi, betapapun telah dikerahkan seluruh kemampuan, dia tidak mampu mendesak. Malah keadaannya yang kian lama kian terhimpit. Apa-lagi ketika lelaki pendek kekar ikut campur dalam pertarungan. Lelaki tinggi kurus ini terus terdesak dan hanya mampu bermain mundur.
Tak sampai sepuluh jurus, ujung pisau salah seorang lawan telah membabat goloknya hingga terpental jauh. Dan sebelum lelaki berkumis melintang ini bertindak untuk menghindar, tiga batang pisau yang lain secara hampir bersamaan membabat tubuhnya. Seketika mulutnya mengeluarkan jeritan menyayat hati ketika senjata-senjata lawan menjarah sekujur tubuhnya. Lelaki berpakaian coklat itu ambruk berlumuran darah.
Tanpa mempedulikan mayat lelaki tinggi kurus, empat lelaki berpakaian serba hitam itu segera melesat meninggalkannya. Mereka berlari menyusul rekan mereka yang memondong wanita berpakaian merah muda.
Langkah keempat lelaki berpakaian hitam ini semakin dipercepat ketika melihat rekan me-reka berdiri sekitar dua puluh tombak di depan. Sosok ramping berpakaian merah muda masih berada di bahu kanannya. Namun bukan hal itu yang membuat empat lelaki berpakaian hitam itu tergesa-gesa, melainkan keberadaan sosok yang menghadang perjalanan rekan mereka.
"Ah...! Kiranya kau tidak sendirian, Penculik Hina?! Pantas kau bersikap demikian tenang! Rupanya kau mengandalkan kawan-kawanmu, heh?!" ujar sosok yang berdiri menghadang di tengah jalan. Matanya memandangi keempat lelaki berpakaian serba hitam yang telah berdiri di dekat lelaki yang memondong tubuh wanita itu.
"Siapa kau, Kakek Tua?!" sergah lelaki pendek kekar, keras. "Sungguh berani mati kau menghadang perjalanan kami! Menyingkirlah! Sayangilah umurmu yang tinggal beberapa hari itu! Pergilah cepat sebelum kami kehilangan kesabaran dan terpaksa membunuhmu!"
"Hmh!" Sosok yang ternyata seorang kakek bermuka kehijauan itu mendengus. "Asal kalian tahu saja, keberadaanku di sini justru untuk menghalangi niat busuk kalian! Lepaskan wanita yang kalian culik itu, dan aku akan membiarkan kalian pergi dari sini. Atau... haruskah aku mengambilnya dengan cara kekerasan?!"
"Kau mencari mati sendiri, Tua Bangka Bau Tanah...!"
Lelaki pendek-kekar melompat menerjang dengan sebuah tusukan pisau ke arah leher. Namun kakek bermuka kehijauan itu tetap bersikap tenang, seakan-akan membiarkan ancaman maut terhadapnya. Baru ketika ujung pisau itu menyambar dekat, tangan kanannya bergerak cepat.
Baik lelaki pendek kekar maupun keempat kawannya tidak dapat mengetahui tindakan yang dilakukan kakek bermuka kehijauan itu. Yang jelas, tahu-tahu tubuh lelaki pendek kekar itu terpental jauh ke belakang dan jatuh berdebuk di tanah, beberapa tombak dari tempat semula. Pisau putih mengkilat yang semula berada di tangannya telah berada di tangan kakek bermuka kehijauan. Sambil tertawa terkekeh-kekeh kakek bermuka kehijauan itu menimang-nimang pisau lawannya.
"Sebuah senjata yang cukup bagus," gumam kakek bermuka kehijauan yang bertubuh tinggi melebihi manusia umumnya. Mungkin tinggi tubuhnya tidak kurang dari satu setengah kali manusia normal.
Melihat dalam segebrakan lelaki pendek kekar telah dapat dirobohkan, keempat rekannya pun tahu kalau kakek bertubuh jangkung ini memiliki kepandaian amat tinggi. Maka serentak mereka mencabut senjata masing-masing. Bah-kan lelaki berpakaian hitam yang memondong wanita berpakaian merah muda pun, ikut bergerak dan mengepung kakek bermuka kehijauan setelah terlebih dulu melemparkan tubuh gadis itu ke tempat yang cukup aman dari bahaya pertarungan.
"Begini lebih baik, agar pertarungan cepat selesai," dengus kakek bertubuh jangkung itu tanpa memperhatikan empat lelaki berpakaian serba hitam yang telah mengurungnya dari empat penjuru. Dia masih asyik menimang-nimang pisau rampasannya.
Sikap kakek bermuka kehijauan ini membuat kemarahan empat lelaki berpakaian hitam semakin meluap. Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan nyaring mereka menerjang. Sinar-sinar menyilaukan mata langsung mencuat ketika empat lelaki berpakaian hitam itu menggerakkan tangan, melakukan penyerangan dengan pisau di tangan.
Namun mereka kecelik. Babatan, tusukan, tikaman, dan ayunan senjata mereka ternyata hanya mengenai angin. Laksana bayangan tubuh kakek bermuka kehijauan itu begitu cepat menyelinap di antara serangan pisau-pisau lawan yang berkelebatan.
Hal ini membuat empat lelaki berpakaian hitam semakin penasaran dan melakukan penyerangan lebih dahsyat. Seperti semula, hasilnya tidak berubah. Kakek bertubuh jangkung itu terlalu lincah untuk dapat dikejar dengan serangan.
"Sekarang giliranku...!" Di tengah-tengah kelebatan serangan pisau-pisau empat pengeroyoknya, kakek yang mengenakan jubah putih itu berseru keras mengatasi riuh rendahnya bunyi pertarungan. Dan belum lagi gema ucapannya lenyap, tubuh-tubuh lelaki berpakaian hitam berpentalan keluar kancah pertarungan dan terbanting keras di tanah. Dengan tenang kakek bertubuh jangkung itu berdiri tegap. Kedua tangannya menggenggam senjata-senjata milik keempat lawan.
Tampaknya kelima lelaki berpakaian hitam mulai sadar kalau kakek jangkung itu terlalu tangguh bagi mereka. Kakek itu memiliki kepan-daian yang amat tinggi. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, setelah saling pandang sebentar, mereka membalikkan tubuh dan berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu.
Sebuah keuntungan masih berada di pihak mereka, kakek bertubuh jangkung tidak berwatak telengas dan menjatuhkan tangan maut kepada mereka. Bahkan melukai pun tidak. Kakek bermuka kehijauan itu hanya merampas senjata dan membuat tubuh mereka terlempar! Sehingga kelima lelaki berpakaian hitam masih mampu berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Sementara kakek bermuka kehijauan itu tidak mempedulikan lima orang lawannya lagi. Diayunkan kakinya menghampiri wanita muda berpakaian merah muda yang tergolek lemah di bawah sebatang pohon berdaun rimbun. Rupanya sebelum dilemparkan tubuh gadis itu telah ditotok oleh lelaki yang memondongnya.
"Bangkitlah, Cucu! Orang-orang jahat itu telah kuusir pergi," ucap kakek bertubuh jangkung itu seraya menepuk tubuh gadis itu untuk membebaskan totokan.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek!" ucap gadis bermuka cantik jelita itu seraya bangkit berdiri.
"Lupakanlah, Anak Manis!" sahut kakek jangkung itu sambil mengulapkan tangan dan tersenyum lebar. "O ya, mengapa kau bisa berada bersama mereka?"
Gadis berpakaian merah muda itu menengadahkan kepalanya ke langit seperti tengah mencari jawaban pertanyaan itu. "Aku tinggal bersama ayahku di tempat terpencil. Ayah bekas seorang pendekar, meskipun kepandaiannya tidak terlalu tinggi. Di tempat itu Ayah dan aku hidup sebagai petani untuk menyambung hidup. Bertahun-tahun lamanya kami hidup tenang. Tadi, tiba-tiba saja muncul lima orang jahat itu yang menculikku. Ketika itu Ayah tengah sibuk di sawah, dan aku dalam perjalanan untuk mengirim makanan kepada Ayah. Entah bagaimana nasib Ayah sekarang karena tadi kulihat beliau mengejar-ngejar kelima orang yang menculikku."
"Kalau begitu... mari, kita temui ayahmu. Barangkali saja dia tengah mencari-carimu," ajak kakek bermuka kehijauan itu.
Gadis berpakaian merah muda itu menyetujuinya. Sesaat kemudian, keduanya telah menempuh arah yang semula ditinggalkan oleh lima lelaki berpakaian hitam. Tak membutuhkan waktu lama bagi dua orang itu untuk menemukan lelaki berkumis melintang. Mendadak gadis berpakaian merah langsung mengeluarkan jeritan menyayat hati sambil menghambur ketika melihat sosok tubuh ayahnya tergolek di tanah bermandikan darah.
"Ayah...!" Gadis berpakaian merah meraung-raung. Tanpa mempedulikan darah yang membasahi wajah dan sekujur tubuh ayahnya, ditubruknya tubuh lelaki yang telah tidak bernyawa itu.
"Hhh...!" kakek jangkung hanya menghela napas berat melihat kenyataan ini. Disadari kalau tidak ada gunanya mencegah tindakan gadis berpakaian merah itu. Dibiarkan saja dia menangis dengan suara memilukan beberapa saat sebelum akhirnya roboh tak sadarkan diri.
Tanpa berkata apa pun, kakek bermuka kehijauan yang memang sejak tadi sudah bersiap segera menyambut tubuh gadis itu sebelum ambruk di tanah. Kemudian, dibawanya melesat meninggalkan tempat itu.
* * * "Hhh... hhh... sebenarnya untuk apa sih semua siksaan ini, Gumilang?" tanya seorang gadis berpakaian hijau muda dengan suara terengah-engah dan peluh bercucuran membasahi kening dan lehernya yang putih mulus.
Sosok yang dipanggil Gumilang, tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Pemuda berpakaian coklat itu malah melompat, kemudian hinggap di sebuah tonjolan batu beberapa tombak di depannya. Sebuah perbuatan yang tidak terlalu sulit sebenarnya kalau saja dilakukan dalam keadaan biasa.
Namun saat itu dia mengenakan alas kaki berupa potongan kayu tebal yang dibentuk sesuai telapak kaki. Cara mengenakannya dengan menjepit mempergunakan ibu jari kaki dan telunjuk pada tonjolan di bagian depan. Hal itu tentu membuatnya repot juga. Apalagi bahu kanannya memanggul sebuah pikulan yang terbuat dari susunan rotan-rotan diikat menjadi satu.
Pada ujung-ujung rotan itu tergantung dua buah ember besar dari kayu tebal yang penuh berisi air. Benda cair itu tampak bermuncratan ke sana kemari ketika kaki Gumilang mendarat di tonjolan batu.
Tindakan serupa pun dilakukan oleh gadis berpakaian hijau muda itu. Seperti juga Gumilang, dia pun memakai alas kaki yang sama dan memikul dua ember air. Hanya saja ember yang dibawanya lebih kecil.
"Jangan kau anggap ini sebagai siksaan, Kenari!" ujar Gumilang sambil kembali melompat untuk hinggap pada batu runcing yang berada di depannya lagi. "Aku yakin, apa yang kita lakukan, dan karena semua ini perintah Eyang, pasti banyak gunanya bagi kita. Hhh... hhh... hhh...."
"Bisa kau beritahukan gunanya padaku, Gumilang?!" desak gadis berpakaian hijau muda yang ternyata bernama Kenari, penuh perasaan penasaran, tetap dengan suara terengah-engah. "Aku belum merasakan sedikit pun kegunaan semua siksaan ini."
"Jadi kau tidak merasakan kegunaannya, Kenari? Apakah kau tidak merasakan sendiri perbedaannya?"
Gumilang balik bertanya sambil terus melompat-lompat dan hinggap di atas batu-batu runcing yang membentang dan harus mereka lalui. Terpeleset sedikit saja cukup untuk membuat mereka mengalami luka-luka akibat tersayat-sayat batu-batu itu.
"Tidak!" sambung Kenari, lantang.
"Lupakah kau, Kenari?! Beberapa bulan lalu, kita tidak mampu melewati tempat ini! Andaikan bisa pun, air yang kita bawa telah habis tercecer di perjalanan. Apakah kau tidak tahu pula kalau pikulan kita secara bertahap semakin mengecil karena batang-batang rotannya dikurangi Eyang satu-persatu?! Tidakkah kau sadari kalau sekarang kita dapat menempuh perjalanan lebih cepat?! Apakah kau tidak tahu pula kalau ember-ember yang kita bawa ini beratnya semakin bertambah?! Dan masih banyak lagi hal-hal yang tampaknya tak kau sadari...," urai Gumilang panjang lebar, dengan penuh semangat.
Kenari kontan terdiam. Rupanya penjelasan Gumilang membuatnya dapat berpikir. Dan dia pun mulai menyadari kebenaran ucapan pemuda berpakaian coklat itu ketika mengingat-ingat semua yang dikatakan secara terperinci itu. Dan sekarang, sepasang muda-mudi itu melanjutkan pekerjaan mereka tanpa bercakap-cakap.
"Hup!" Setelah sekian lamanya melalui perjalanan yang bermedan batu-batu runcing, Gumilang dan Kenari tiba pada sebuah tempat datar, di lereng gunung.
"Ayo, Kenari!" seru Gumilang penuh semangat "Aku yakin sekarang kita akan lebih cepat tiba di puncak. Dan, kolam-kolam yang harus kita isi telah penuh! Kita telah maju pesat. Aku yakin, sekarang Eyang akan memberikan pelajaran yang jauh lebih berharga!"
Kemudian Gumilang dan Kenari pun kembali berlari. Meskipun medan yang dilalui menanjak serta berbatu terjal dengan enak mereka melesat. Namun anehnya tak tampak tumpahan atau percikan air dari ember-ember yang mereka pikul. Padahal, isinya hampir penuh!
Mendadak langkah Gumilang dan Kenari yang semula cepat, langsung mengendur ketika melihat lima sosok tubuh berpakaian hitam berdiri di depan, menghadang perjalanan mereka.
"Berhati-hatilah, Kenari!" bisik Gumilang. "Aku yakin mereka bermaksud tidak baik. Ingat, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kau lekas kabur! Biar aku yang akan mencoba menghadang mereka," ujar Gumilang.
"Tapi, Kang...," Kenari mencoba membantah, dengan suara pelan karena takut ketahuan.
"Tidak ada tapi-tapian, Kenari!" tegas Gumilang masih dengan suara berbisik. "Ingat, kita belum mempelajari ilmu silat yang berarti dari Eyang. Jadi, tidak ada gunanya melawan mereka bersama-sama."
Karena yakin kalau lima sosok yang berdiri menghadang sekitar sepuluh tombak dari mereka bermaksud tidak baik, Gumilang segera berjalan di depan, dan tidak berlari seperti sebelumnya. Keduanya membelok ke kanan, melalui jalan se-tapak yang licin dan menurun.
Tanpa banyak bicara, Kenari mengikuti langkah Gumilang menghindari para penghadang yang belum dikenalnya itu. Begitu keduanya berbelok arah dan baru mulai menuruni jalan setapak, lima lelaki itu berlari mengejar.
"Hey! Mau ke mana kalian?! Berhenti!" seru lelaki yang bertubuh pendek kekar.
"Kenari! Cepat kabur! Beritahu Eyang! Buang saja pikulan itu!" seru Gumilang tanpa bisa menyembunyikan kecemasannya. Dia sendiri langsung membalikkan tubuh, bersiap menghadang kelima lelaki berpakaian hitam itu. Ember-ember segera diturunkan, lalu pikulan yang tersusun dari rotan-rotan sebesar jari telunjuk dan berjumlah empat buah itu, digenggam dengan kedua tangan. Pemuda berpakaian coklat ini bersiap untuk mengadakan perlawanan.
Wuttt!
Ayunan pikulan rotan yang digerakkan secara mendatar itu membuat lima lelaki berpa-kaian hitam melompat ke belakang. Dari bunyi berdecit nyaring yang terdengar mereka dapat mengetahui kalau tenaga dalam pemuda berpa-kaian coklat itu tidak bisa dianggap remeh.
"Keparat! Rupanya kau sudah kepingin mampus, heh?!" seru lelaki pendek kekar geram ketika melihat gadis berpakaian hijau muda yang berada jauh di depan. Gerakan gadis itu ternyata sangat cepat, bagaikan larinya seekor kijang!
Baik lelaki pendek kekar maupun keempat kawannya tidak bisa terlalu lama memperhatikan Kenari karena Gumilang telah kembali menyerang mereka, secara kalap. Cukup hebat gebrakan Gumilang, sehingga membuat lima lelaki berpa-kaian hitam ini buyar dan kerumunan.
Hal itu hanya berlangsung beberapa gebrakan, karena sesaat kemudian, Gumilang telah terkurung. Lima lelaki berpakaian hitam ini tampaknya orang-orang yang terbiasa bertempur untuk mempertaruhkan nyawa.
Maka sebentar kemudian mereka langsung tahu kalau Gumilang hanya menang dalam hal tenaga dan kegesitan gerakan, sedangkan mengenai gerakan-gerakan ilmu silat, tipu-tipu penyerangan, dan tangkisan maupun elakan, belumlah mahir. Serangan-serangan yang dilancarkan pemuda berpakaian coklat itu pun tidak berkembang. Dapat ditebak dan mudah dipatahkan. Keadaan Gumilang benar-benar gawat!
Sementara itu, Kenari meskipun mengkhawatirkan keselamatan Gumilang, terus berlari tanpa mempedulikan medan yang ditempuh. Tidak dipedulikannya sama sekali jalanan licin atau kadang semak belukar berduri yang membuat pakaiannya koyak-koyak, namun aneh-nya tidak mampu melukai kulitnya yang halus. Yang ada di benaknya adalah berlari secepat mungkin untuk memberitahukan kejadian ini pada gurunya.
Krakkk! Brukkk!
"Hey…!" Kenari mengeluarkan jeritan kaget ketika sebatang pohon besar tiba-tiba tumbang menghalangi jalan, padahal saat itu dia tengah berlari secepat mungkin. Gadis berpakaian hijau muda ini menjadi gugup, tapi tetap tidak kehilangan kesadaran untuk bertindak, meski untuk sesaat nyalinya seperti terbang entah ke mana. Untuk pertama kali, Kenari yang belum pernah menggunakan kemampuannya, ditantang untuk menyela-matkan diri dengan kepandaian yang belum diketahui kegunaannya.
"Hih!" Di saat-saat terakhir, Kenari menjejak tanah dengan kaki kanannya. Seketika tubuhnya melenting ke atas melewati batang pohon yang menghalangi jalan. Setelah bersalto beberapa kali di udara, dia berusaha mendarat di tanah. Tapi....
Tappp!
Kenari terpekik kaget ketika pergelangan kaki kanannya dicekal oleh sebuah tangan besar dan penuh bulu-bulu tebal. Dan sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tubuhnya terayun deras ketika tangan besar itu bergerak menghempaskannya.
Krosakkk!
Tubuh Kenari terlempar jauh dan jatuh ke semak-semak. Ini merupakan sebuah keuntungan bagi gadis berpakaian hijau muda ini, karena apabila jatuh menimpa batu atau tanah, dengan luncuran sederas itu, entahlah bagaimana luka yang akan dideritanya.
Kenari, menduga kalau pemilik tangan besar dan berbulu itu termasuk orang-orang yang mengejarnya. Karena begitu takutnya ia tidak mempedulikan rasa pusing akibat bantingan tadi. Dengan cepat gadis itu menerobos kerimbunan semak-semak berusaha melesat kabur. Kedua kalinya Kenari menjerit kaget. Seketika itu juga terhenti. Matanya membelalak lebar, seakan tidak percaya akan pemandangan yang dilihatnya.
DUA
Memang tidak terlalu berlebihan kalau Kenari sampai demikian terkesima. Sosok yang berdiri di hadapannya dalam jarak dua tombak, memang memiliki potongan tubuh menggiriskan hati. Bentuk tubuhnya tidak ada bedanya dengan manusia biasa, memiliki sepasang tangan, sepasang kaki, dan kepala di atas.
Namun bagian tubuhnya yang hanya tertutup pakaian berupa rompi putih, memperlihatkan bulu-bulu halus berwarna hitam dan bergaris-garis kuning seperti layaknya bulu-bulu yang terdapat pada seekor macan!
Ketika sosok makhluk yang mengerikan itu membuka mulutnya, tampak gigi-gigi taring runc-ing mencuat kanan kiri. Sosok ini lebih mirip manusia harimau!
"Gggrrrhhh...! Mau lari ke mana kau, Wanita Liar?! Grrrhhh...! Jangan harap dapat lolos dari tanganku. Grrrhhh...!" Sosok berompi putih itu mengeluarkan suara keras dan parau dengan sesekali diselingi geraman keras mirip auman harimau.
Seruan manusia harimau itu membuat Kenari sadar dari terkesimanya. Dan hal ini menyelamatkan nyawanya. Karena saat itu juga lelaki berompi putih yang berbulu harimau loreng itu melompat menerkamnya. Lompatannya pun mirip seekor harimau menyerang mangsanya.
Kenari yang belum pernah mempergunakan kemampuannya, dan bahkan belum mengetahui tingkat kepandaiannya, menjadi gugup melihat serangan itu. Sesaat dia terpaku kaku di tempatnya. Untung saja di saat-saat gawat, ketika jari-jari tangan sosok manusia harimau yang mempunyai kuku-kuku panjang melengkung dan berwarna kehitaman hampir merencah lehernya, Kenari teringat akan pelajaran ilmu silat yang diterimanya dari gurunya. Kaki kanannya digerak-kan melakukan tendangan lurus ke arah perut lawan yang tengah melompat.
Wuttt!
Manusia harimau itu ternyata benar-benar memiliki ilmu meringankan tubuh yang hampir tidak masuk akal! Serangan Kenari berhasil dielakkannya. Padahal, saat itu tubuhnya tengah berada di udara, tidak memiliki landasan apa pun yang dapat digunakan untuk menjejak, tapi toh hal itu mampu dilakukannya.
Dengan hanya menggeliatkan tubuh, serangan Kenari berhasil dielakkannya, bahkan sempat mengirimkan sampokan yang membuat gadis berpakaian hijau muda itu melempar tubuh ke belakang dan bergulingan menjauh.
Karena tidak ingin bertarung, Kenari mempergunakan kesempatan itu untuk terus mencelat dan melarikan diri. Namun manusia harimau itu benar-benar tidak mau melepaskannya. Dengan kecepatan yang mengagumkan makhluk aneh itu melesat mengejar. Kejar-kejaran pun terjadi.
Kenari hampir tak percaya ketika sempat menoleh ke belakang. Dilihatnya manusia harimau itu terkadang berlari dengan bantuan kedua tangan sebagaimana halnya seekor harimau sungguhan! Dengan cara lari seperti itu, kecepatan larinya pun tidak berkurang, bahkan bertambah cepat.
Kenari mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meninggalkan manusia harimau sejauh mungkin. Namun maksudnya tidak tercapai sama sekali. Makhluk yang merupakan campuran antara manusia dengan harimau itu tetap tidak bisa ditinggalkan. Meskipun demikian Kenari pun tidak bisa disusul, jarak antara keduanya tidak berubah.
Setelah melalui jalan terjal berbatu-batu yang kadang menanjak dan menurun, Kenari dan manusia harimau itu sampai di sebuah tempat datar. Dari situ tampak di kejauhan sebuah bangunan berupa pondok. Melihat hal ini semangat Kenari bertambah. Dia yakin apabila telah tiba di pondok itu dan gurunya datang, manusia harimau ini akan dapat diusir, dan bahkan dikalahkan.
Namun tiba-tiba semangat Kenari surut, bahkan berubah menjadi ketegangan, ketika matanya melihat lima sosok tengah terlibat dalam suatu pertarungan sengit. Satu di antara mereka dikenali betul oleh Kenari, Eyang Kendi Laga. Dan yang membuat hatinya lebih terkejut ketika melihat lawan-lawan yang mengeroyok gurunya itu sama seperti makhluk yang mengejarnya, campuran antara manusia dengan binatang.
Meskipun demikian, Kenari tetap meneruskan larinya. Biar bagaimanapun dia lebih tenang kalau berada di sisi gurunya. Namun ketika jarak antara Kenari dengan tempat pertarungan tinggal beberapa tombak lagi, tiba-tiba manusia harimau itu melompat melewati atas kepala sambil meraung keras. Kini makhluk aneh itu telah berdiri menghadang di depan Kenari. Mau tak mau Kenari terpaksa melakukan penyerangan. Untuk kedua kalinya pertarungan antara mereka pun terjadi.
Penglihatan Kenari ternyata tidak salah. Tak jauh dari tempat itu seorang kakek kecil kurus dan berkepala botak tengah sibuk bertarung menghadapi empat orang pengeroyoknya yang be-rupa makhluk aneh. Campuran antara manusia dengan binatang. Dan masing-masing memiliki keistimewaan yang berbeda sesuai dengan jenis campuran hewannya.
Eyang Kendi Laga, meskipun tengah sibuk mengerahkan seluruh kemampuan untuk menghadapi pengeroyokan lawan-lawannya, masih sempat melihat kehadiran Kenari. Perasaan khawatir akan keselamatan muridnya pun timbul. Ingin dia berusaha menolong Kenari, tapi apa dayanya? Dia sendiri tengah sibuk menghadapi gempuran dahsyat kelima makhluk aneh itu.
Desss!
Untuk yang kesekian kali, Eyang Kendi Laga berhasil mengirimkan sebuah tendangan ke arah perut salah seorang lawannya yang merupakan campuran antara manusia dengan badak! Tapi, lagi-lagi tubuh lawannya sama sekali tidak bergeming, seakan tidak merasakan akibat tendangan kakek kurus itu. Padahal tendangan dahsyat itu kalau mengenai sebongkah batu besar atau cadas pun akan hancur!
Sama halnya dengan manusia badak, tiga pengeroyok lainnya pun tidak kalah hebatnya, Manusia kera memiliki kegesitan yang mengagumkan. Setiap serangan Eyang Kendi Laga selalu kandas. Sebaliknya kakek kecil botak itu harus selalu berhati-hati terhadap serangannya. Kedahsyatan yang sama dimiliki pula oleh manusia beruang dan manusia serigala!
Crattt!
Eyang Kendi Laga memekik tertahan ketika sampokan tangan manusia kera berhasil menggores bahu kanannya. Tubuh kakek kecil kurus ini tampak terhuyung ke belakang dengan darah merembes keluar dari bagian yang terluka. Belum sempat Eyang Kendi Laga memperbaiki kedudukan, manusia badak telah melancarkan serangan dengan serudukan kepala.
Eyang Kendi Laga terkejut bukan kepalang, namun masih sempat untuk menjejakkan kaki sehingga tubuhnya melayang ke atas. Namun tindakannya tetap kurang cepat, kepala manusia badak yang mempunyai tanduk tunggal sempat menghantam kaki kanannya.
Meskipun tidak mengenai dada, serangan manusia badak itu cukup membuahkan hasil. Eyang Kendi Laga tidak bisa mendarat secara wajar di tanah. Serbuan terkaman manusia serigala yang berhasil dielakkan membuatnya jatuh terguling di tanah.
Tindakan manusia serigala ternyata amat cepat. Makhluk berbulu hitam ini langsung meluruk menerkam Eyang Kendi Laga untuk mengoyak-ngoyak tubuhnya dengan disertai lolongan melengking.
Karena tidak sempat untuk mengelakkan serangan, Eyang Kendi Laga mengambil keputusan untuk memapak moncong yang penuh gigi-gigi runcing dengan kedua tangannya, meskipun untuk itu harus terluka. Dihentakkan kedua tangannya itu ke depan.
"Kaing..!"
Sebelum moncong manusia serigala ber-benturan dengan sepasang tangan Eyang Kendi Laga yang dikepalkan, makhluk berbulu hitam itu mengeluarkan lengkingan kesakitan. Tubuhnya ambruk ke tanah sebelum berhasil melaksanakan maksudnya.
Sebagai tokoh tua yang sudah banyak pengalaman di dunia persilatan, Eyang Kendi Laga mengetahui penyebabnya. Meskipun hanya berupa sekelebatan, dia sempat melihat sepotong ranting sebesar ibu jari melesat cepat dan menghan-tam telak badan manusia serigala itu. Dia tahu ada seseorang yang telah menolongnya.
Belum sempat Eyang Kendi Laga bangkit, di depannya, berdiri membelakangi sesosok tubuh kekar berambut panjang. Tanpa membalikkan tubuh, dan hanya menolehkan kepala, sosok kekar yang ternyata seorang pemuda tampan berwajah jantan itu berkata.
"Biar aku yang menghadapi mereka, Eyang. Lebih baik kau tolong muridmu."
Ucapan pemuda berambut panjang itu hanya terhenti sampai di situ karena empat orang pengeroyok Eyang Kendi Laga telah menerjang-nya. Pemuda berambut panjang itu mengelakkannya dan kemudian melancarkan serangan sehingga terjadi pertarungan seru.
Eyang Kendi Laga tahu kalau pemuda penolongnya memiliki kepandaian tinggi. Hal itu diketahuinya dari hasil sambitan yang mengenai manusia serigala. Tanpa berpikir lebih lama lagi dia segera melakukan perintah pemuda berambut panjang itu. Meskipun dengan keadaan tubuh yang belum sehat betul, dia melesat menuju kancah pertarungan antara Kenari dengan manusia harimau.
Semula pertarungan antara Kenari dan manusia harimau berlangsung tak jauh dari pertarungan Eyang Kendi Laga. Namun karena masing-masing pertarungan bergeser pindah tempat, terutama sekali pertarungan antara Kenari dengan manusia harimau, jarak antara mereka jadi terpisah jauh. Bahkan pertarungan antara Kenari dengan manusia harimau telah berada di tepi sebuah jurang. Sementara keadaan gadis itu sangat gawat, karena terus terdesak ke bibir jurang.
Dan tepat di saat Eyang Kendi Laga berhasil mendekati kancah pertarungan, Kenari melompat ke belakang untuk menghindari sampokan tangan manusia harimau yang bertubi-tubi. Gadis berpakaian hijau muda ini sama sekali tidak tahu kalau di belakangnya adalah jurang menganga.
"Kenari..! Awas…!"
Eyang Kendi Laga yang melihat adanya bahaya itu berseru keras. Namun teriakannya terlambat karena tubuh Kenari telah melayang ke belakang. Kenari yang belum sadar akan bahaya itu mengira peringatan gurunya adalah untuk menghadapi manusia harimau. Dia baru memekik kaget ketika menyadari kedua kakinya tidak kun-jung menjejak tanah, dan bahkan terus melayang ke bawah. Gadis itu baru tahu kalau dirinya melompat ke jurang.
"Kenari...!" Eyang Kendi Laga berteriak keras sejadi-jadinya. Entahlah bagaimana perasaan yang ada di dalam hati lelaki tua itu. Keterkejutan, kepiluan, marah, cemas bercampur jadi satu. Sekali lihat saja, meskipun belum menjenguk sendiri jurang itu, dirinya tahu kemungkinan untuk hidup bagi Kenari tipis sekali.
Kemarahan yang menggelegak tak dapat lagi dibendungnya. Wajahnya memerah dengan mata membelalak menatap manusia harimau itu. Tanpa mengucapkan kata-kara apa pun Eyang Kendi Laga langsung melompat menerjangnya.
Manusia harimau, tanpa banyak cakap segera menyambut terjangan Eyang Kendi Laga. Pertarungan dahsyat pun terjadi di tepi jurang itu. Pukulan dan tendangan serta cakaran yang menimbulkan angin menderu keras terdengar di-tingkahi oleh suara teriakan-teriakan kemarahan. Belasan jurus berlalu dengan cepat, tapi belum ada yang terkalahkan.
Si Manusia Harimau itu tampaknya merasa kalau lawannya kali ini tidak bisa dianggap remeh, terlalu kuat. Hanya dalam beberapa gebrakan, dia berapa kali terkena puku-lan yang mengakibatkan tubuhnya terpental jauh dan terguling-guling di tanah.
Di kancah lainnya, pemuda berambut panjang pun telah dapat menguasai jalannya pertarungan. Meskipun manusia serigala dan manusia monyet memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan, dia mampu mengatasi mereka. Beberapa kali dia membagi-bagi pukulan pada empat lawannya. Terutama sekali pada manusia badak dan manusia beruang yang mempunyai gerakan lambat.
Untung manusia beruang dan manusia badak memiliki kekuatan tubuh yang mengagumkan, sehingga pukulan-pukulan pemuda berambut panjang itu seperti tidak menimbulkan akibat apa pun pada mereka. Tidak demikian halnya dengan manusia kera dan manusia serigala. Baru dua kali pukulan pemuda berambut panjang bersarang, mereka sudah tidak mampu bangkit lagi, tergolek di tanah. Sekarang yang masih mengadakan perlawanan sengit tinggal manusia badak dan manusia beruang yang sudah agak payah da-lam melakukan gerakan.
Sebuah tendangan yang dilakukan pemuda berambut panjang tanpa terduga-duga membuat manusia beruang terpental jauh dan terbanting di tanah tak berkutik lagi. Tendangan yang mendarat di dada itu membuat tulang tubuh campuran antara manusia beruang itu remuk.
Kenyataan ini membuat manusia badak menggeram keras. Dengan cepat makhluk berkulit keras itu melakukan penyerangan dengan mempergunakan kepalanya. Deru angin keras mengiringi tibanya serangan yang menuju ke dada pemuda berambut panjang itu. Dan....
Cappp! Cappp!
Dengan telak dan keras kepala bercula itu menghantam perut pemuda berambut panjang yang tidak berusaha mengelak sama sekali. Namun sebuah kejadian yang mengejutkan lawannya terjadi. Tubuh pemuda berambut panjang itu tidak apa-apa. Bergeming pun tidak! Kepala manusia badak itu malah menempel ke perutnya.
Manusia badak mendengus dan berusaha untuk menarik kepalanya. Tapi sia-sia saja! Kepalanya seakan telah melekat dengan perut lawan. Selain itu, ada hawa panas luar biasa yang menyeruak dari perut pemuda berambut panjang itu, sehingga membuat kepala manusia badak itu seperti diletakkan di atas sebuah tungku api yang panas! Manusia badak ini meraung-raung kesakitan dengan suaranya yang aneh. Saat itulah, pemuda berambut panjang menghantamkan kedua telapak tangannya yang terbuka pada sisi-sisi kepala manusia badak.
Blangng!
Raungan keras dan menggetarkan keluar dari mulut si Manusia Badak. Tubuh makhluk jejadian ini sempoyongan karena pada saat yang bersamaan, pemuda berambut panjang itu melepaskan tenaga yang membuat kepala lawan menempel dengan perutnya.
Pada saat yang bersamaan, manusia harimau pun mengeluarkan raungan keras ketika dua buah pukulan tangan terbuka Eyang Kendi Laga menghantam telak di dadanya. Eyang Kendi Laga mengayunkan kaki mendekati pemuda berambut panjang ketika dilihat lawannya sudah tidak bergerak lagi. Lawan-lawan pemuda tampan itu pun sudah tergeletak semua di tanah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Kalau tidak ada kau, mungkin aku yang tua sudah tidak berada lagi di dunia ini," ucap Eyang Kendi Laga penuh rasa terima kasih.
"Lupakanlah, Kek!" sambut pemuda berambut! panjang itu, sopan. "Pertolonganku tidak ada artinya sama sekali. Bahkan karena keterlambatanku pula muridmu jatuh ke jurang. Kalau saja aku datang lebih cepat, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Benarkah dugaanku kalau wanita yang jatuh ke jurang tadi muridmu...?"
"Benar," Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala. "Hm... boleh kutahu siapa kau, Anak Muda? Aku, Eyang Kendi Laga."
"Ah, syukurlah kalau begitu. Aku memang tengah mencari-carimu, Eyang. Itulah sebabnya aku berada di sini. Menurut berita yang kudengar kau tinggal di sini. Bahkan bersama-sama dengan beberapa orang muridmu. O ya, aku Arya Buana...," jawab pemuda berambut panjang itu memperkenalkan diri.
"Arya Buana?!" Eyang Kendi Laga mengernyitkan dahi seperti tengah berpikir. Beberapa saat lamanya dia termenung dengan pandangan tertuju ke angkasa. "Rasanya aku pernah men-dengar nama itu. Dan.... Ah...! Arya...! Bukankah kau yang terkenal dengan julukan Dewa Arak?! Ya, benar! Ciri-cirimu sesuai dengan berita yang kudengar mengenai tokoh muda yang telah meng-goncangkan dunia persilatan. Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak..., Arya?"
"Begitulah orang memberiku julukan, Eyang," jawab Arya, tanpa rasa bangga sama sekali. "Tapi, aku lebih suka dipanggil dengan namaku, Arya."
Eyang Kendi Laga merasa kagum mendengar ucapan pemuda berambut panjang yang berdiri di hadapannya. Dari tanggapan atas ucapannya dia tahu kalau Arya memiliki watak rendah hati. Penuh rasa gembira, sungguhpun tidak bisa menyembunyikan kegetiran hatinya akibat jatuhnya Kenari ke dalam jurang, ditatapnya sekujur tubuh Arya penuh selidik. Pakaian khasnya yang berwarna ungu dengan rambut panjang berwarna putih keperakan. Tak ketinggalan pula guci arak yang tergantung di punggung, jelas ciri-ciri yang dimiliki Dewa Arak.
"O ya. Hm..., lalu apa maksud kedatanganmu mencariku, Arya? Apakah hanya sekadar untuk mengunjungi gubukku yang reot ini?!" tanya Eyang Kendi Laga kemudian seraya tersenyum memandangi Dewa Arak.
"Kurasa hal itu bisa kita bicarakan nanti, Eyang. Urusan ini tidak terlalu mendesak. Lebih baik kita selidiki kemungkinan keadaan murid-mu. Mudah-mudahan saja dia masih hidup dan lolos dari maut," Arya mengajukan usul.
"Tidak ada salahnya kalau kuikuti saranmu itu, Arya. Tapi, aku yakin kemungkinan untuk hidup bagi Kenari amat kecil. Aku tahu betul, jurang itu amat dalam dan terjal, sulit untuk dapat kita turuni kecuali kalau mempunyai sayap."
Mulut kakek kecil kurus ini berkata demikian, tapi kakinya melangkah menuju jurang tempat tubuh Kenari tadi terjatuh. Hampir Dewa Arak tertawa geli, tapi karena takut menyinggung hati kakek kecil kurus itu, ditahannya. Tanpa berkata apa pun, diikutinya tindakan Eyang Kendi Laga menuju ke jurang.
Langkah Eyang Kendi Laga dan Arya terhenti bibir jurang. Keduanya melongokkan kepala ke bawah. Ternyata benar, di samping curam dan sangat terjal jurang itu amat dalam. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya kabut di bawah, tidak tampak sama sekali dasar jurang itu.
Arya menghela napas berat. Kemudian ia menoleh ke arah Eyang Kendi Laga. Kakek kecil kurus itu pun balas menatapnya dengan pandangan terharu dan penuh penyesalan.
"Bagaimana, Arya?!" tanya Eyang Kendi La-ga dengan suara parau dan pelan sekali.
"Rasanya kemungkinan yang dikatakan Eyang benar. Kecil sekali kemungkinannya bagi Kenari dapat lolos dari maut. Kecuali... bila Tuhan menghendaki lain."
"Mudah-mudahan, Arya," sambung Eyang Kendi Laga cepat dan penuh harap. "Tapi kemungkinan untuk hidup sangat kecil. Dasar jurang itu berupa bebatuan cadas yang siap meremukkan tubuh siapa saja yang terlempar ke sana,..."
"Siapa yang tahu kehendak Yang Maha Kuasa, Eyang...," gumam Dewa Arak sambil kembali menengok ke dasar jurang.
Eyang Kendi Laga tidak memberikan tanggapan lagi. Diayunkan kakinya meninggalkan tempat itu seraya memberi isyarat pada Arya agar mengikutinya. Pemuda berambut putih keperakan itu pun melangkah di sisi Eyang Kendi Laga.
"Kelihatannya sepi sekali, Eyang," Arya membuka pembicaraan setelah suasana hening beberapa saat. "Ke mana saja muridmu yang lain?"
Eyang Kendi Laga berubah seketika. Meski hanya sekejap hal itu tidak bisa lolos dari pandangan Arya yang tajam dan berpengalaman. Seketika itu pula pemuda berpakaian ungu ini tahu, ada sesuatu yang terjadi terhadap murid Eyang Kendi Laga.
"Mereka sudah tidak ada lagi, Arya," jawab Eyang Kendi Laga datar tanpa nada sedih, tapi mulutnya yang tersenyum getir serta sorot matanya yang kosong menunjukkan kalau hati kakek ini terguncang.
"Hhh... maafkan aku, Eyang! Bukan maksudku untuk mengusik kenangan yang tidak enak dan..." ujar Arya.
"Tidak apa-apa, Arya. Lagi pula aku pun ingin menceritakan masalah yang menimpa tempatku ini padamu. Barangkali saja kau dapat memecahkannya...," potong Eyang Kendi Laga cepat untuk menghilangkan perasaan tidak enak yang menyelimuti hati Arya atas pertanyaan tadi.
Arya diam. Diedarkan sepasang matanya ke sekeliling tempat itu. Tapi seperti tadi, hanya keheningan yang dijumpainya.
"Kejadiannya berawal dari beberapa hari yang lalu," Eyang Kendi Laga memulai ceritanya. Dewa Arak pun memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.
"Memang berita yang kau dapat itu tidak salah. Aku mempunyai beberapa orang murid. Sembilan orang. Delapan lelaki muda dan seorang gadis. Tapi beberapa hari yang lalu, tujuh di antara mereka lenyap tanpa ketahuan ke mana perginya. Lenyap begitu saja seperti ditelan bumi. Yang tinggal hanya dua orang Gumilang dan Kenari. Dan..., Gumilang! Ke mana dia?! Mengapa aku begitu pelupa?! Kenari hanya kembali seorang diri! Duh.., pasti ada sesuatu yang terjadi terhadap dirinya...!"
Tiba-tiba Eyang Kendi Laga teringat akan Gumilang, muridnya.
"Kalau begitu, mari kita cari, Eyang," sahut Arya, cepat. Dirinya langsung bisa mengetahui kegelisahan Eyang Kendi Laga.
"Mari, Arya!" sambut Eyang Kendi Laga tak sabar. "Aku mempunyai dugaan di mana adanya Gumilang! Mudah-mudahan saja belum terjadi sesuatu yang tidak kita harapkan atas dirinya!"
Dengan kekhawatiran yang mendalam akan keselamatan Gumilang, Eyang Kendi Laga melesat meninggalkan tempat itu. Kakek kecil kurus ini langsung melesat menuju jalan yang dilalui dua orang muridnya untuk mengambil air dan mengisi dua bak besar di belakang rumah. Tanpa berkata apa pun, Arya segera mengikutinya.
TIGA
"Itu tong air mereka…!" Suara Eyang Kendi Laga terdengar penuh getaran karena perasaan tegang menyergap hatinya. Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke depan, agak ke atas.
Arya terbelalak melihat tong air yang ditunjuk Eyang Kendi Laga. Tong dari kayu berat itu berada di udara, melayang-layang sekitar tiga tombak di atas permukaan bumi. Padahal dua buah tong kayu besar yang masih tergantung pada pikulannya itu tidak ada yang memegang. Jadi melayang-layang sendiri!
"Hati-hati, Eyang!" Meski dengan perasaan tidak enak karena takut dianggap menasihati, Arya memperingatkan Eyang Kendi Laga. "Aku yakin ada orang sakti yang tersangkut dengan peristiwa ini. Aku yakin tong itu tidak bergerak sendiri. Atau..., benarkah muridmu mampu melakukan hal seperti ini?"
Ucapan Arya membuat Eyang Kendi Laga agak memperlambat larinya. Dia merasakan kebenaran ucapan Arya. Perasaan tegang mengingat keselamatan murid yang tinggal semata wayang membuatnya melupakan keberadaan tong air itu. Tong air itu tidak mungkin berada di sana tanpa ada orang sakti yang berdiri di belakangnya. Dan dia tahu pasti kalau Gumilang, betapa pun hebatnya, tidak akan mampu melakukan hal seperti itu? Dia sendiri pun merasa sangsi untuk dapat melakukannya.
Sayangnya, baik Arya maupun Eyang Kendi Laga tidak dapat langsung mengetahui orang yang berada di balik tong air itu. Tempat tong air itu berada lebih tinggi dari tempat Arya dan Eyang Kendi Laga. Dua tokoh sakti yang berbeda usia ini menempuh jalan mendatar beberapa saat lamanya ingin mengetahui siapa yang mengendalikan tong air itu.
Langkah Eyang Kendi Laga dan Arya langsung tertahan. Mata mereka membelalak menatap lurus ke depan. Berjarak lima tombak dari tempat mereka, berdiri sesosok tubuh ringkih dan bongkok dari seorang kakek yang mengenakan pakaian terbalik. Baik baju ataupun celananya dikenakan secara terbalik, yang bagian dalamnya di luar!
Kakek bongkok ini tengah menjulurkan tangan kanannya ke depan. Sedangkan tangan kirinya melambai-lambai tertiup angin. Baik Eyang Kendi Laga maupun Arya tahu kalau lengan baju itu kosong! Tangan kiri kakek bongkok itu buntung sampai pangkal tangan.
Kakek bongkok itu pun rupanya melihat kedatangan Eyang Kendi Laga dan Arya. Tangan kanannya yang terjulur itu ditarik kembali ke sisi pinggang. Seketika itu pula tong air yang melayang-layang di udara jatuh ke tanah. Kenyataan ini membuat Eyang Kendi Laga dan Arya semakin yakin kalau kakek bongkok inilah yang membuat tong air itu berada di udara.
"He he he...!" kakek bongkok itu tertawa terkekeh dengan biji mata berputaran liar seperti orang tak waras. "Siapa kalian? Apakah kalian mempunyai nyawa rangkap sehingga berani mengintai perbuatanku?"
"Kaulah yang harus menjelaskan keberadaanmu di sini!" sergah Eyang Kendi Laga tak mau kalah gertak. "Sekitar daerah ini berada dalam kekuasaanku! Dan tong air yang kau permainkan itu milik muridku! Katakan apa yang telah kau lakukan terhadapnya!"
"He he he,..! Rupanya kau galak juga, Kurus!" ujar kakek bongkok seraya mengayunkan kaki menghampiri. "Ingin kuketahui apakah lagakmu sesuai dengan kepandaian yang kau miliki?!"
"Boleh kau lihat sendiri, Bongkok!" Seraya berkata demikian, Eyang Kendi Laga yang terpancing kemarahannya, melompat menerjang. Tangan kanannya dijulurkan ke depan dengan jari-jari siap menusuk mata lawan. Desiran angin keras dan suara berdesit mengiringi serangan itu.
"Uh...! Boleh juga kau, Kurus!" Kakek bongkok itu melangkahkan kaki kanan ke belakang sehingga tusukan jari tangan lawan tak mengenai sasaran. Namun hal ini sudah diperhitungkan oleh Eyang Kendi Laga, langsung dikirimkan serangan susulan berupa tendangan keras dan bertubi-tubi.
Kakek bongkok tampak tetap tenang. Sedikit pun tak tampak kegugupannya. Dengan tak kalah cepat dia menyelinap maju melalui bawah, dan tahu-tahu dia telah berada di dekat Eyang Kendi Laga. Tangan kirinya yang buntung mengirimkan serangan tak kalah dahsyat. Lengan bajunya yang kosong menegang kaku laksana pedang, dapat menusuk ke arah tenggorokan lawan.
Namun, Eyang Kendi Laga pun berhasil memusnahkannya dan mengirimkan serangan tak kalah dahsyat sehingga menimbulkan pertarungan sengit Sebentar saja pertarungan telah berlang-sung hampir dua puluh jurus.
Tukkkk! Prattt!
Eyang Kendi Laga memekik kesakitan seiring dengan tubuhnya yang terlempar ke belakang. Kakek kecil berkepala botak ini masih mampu mendarat dengan kedua kaki, meski agak terhuyung-huyung. Sebelum Eyang Kendi Laga melesat menerjang untuk melanjutkan pertarungan, Arya telah lebih dulu bergerak dan berdiri di sebelahnya.
"Biar aku yang mencoba menghadapinya, Eyang," ujarnya dengan suara halus.
Dewa Arak sengaja ikut campur karena tahu kalau Eyang Kendi Laga bukan tandingan kakek bongkok yang berilmu lebih tinggi. Pemuda berpakaian ungu ini melihat secara jelas jalannya pertarungan. Sehingga mengetahui kalau Eyang Kendi Laga telah terluka cukup parah.
Tangan kiri kakek bongkok yang kosong itu ternyata benar-benar luar biasa, Eyang Kendi Laga sempat terkena dua pukulan beruntun. Pertama lengan baju itu menotok bahu kanan, kemudian langsung melemas dan mengebut mengenai bahu kiri secara keras. Itulah sebabnya tadi tubuh Eyang Kendi Laga terlempar beberapa langkah sambil menjerit.
"He he he...! Rupanya kau juga ingin bermain-main denganku, Rambut Setan? Mengapa harus membuang waktu dengan melawan satu persatu? Lebih baik maju bareng, aku akan mengalahkan kalian sekaligus biar tidak bertele-tele!"
"Terima kasih atas usulmu itu, Kek," ucap Arya sambil mengembangkan senyum di bibir. Dia tidak terpengaruh oleh ucapan mengejek dari kakek bongkok itu. "Tapi sayang sekali, aku tidak bisa menurutimu. Aku dan kawanku ini bukan termasuk orang-orang pengecut! Biarlah, andaikata kalah darimu pun aku tidak menyesal. Kau memang tangguh dan sakti."
"He he he...! Kau terlalu merendah, Rambut Setan! Aku tidak yakin akan dapat mengalahkanmu, tapi jangan harap kau akan mudah pula mengalahkanku. Terimalah seranganku!"
"Uh...!" Arya mengeluarkan keluhan tertahan ketika melihat kakek bongkok itu melancarkan serangan dengan tangan kirinya yang buntung. Lengan baju itu bergerak aneh, mematuk-matuk dan meliuk-liuk seperti seekor ular. Gerakannya yang lemas tapi cepat, sempat membuat pendekar muda berambut putih keperakan itu agak kebingungan untuk mengetahui secara pasti bagian yang menjadi sasaran.
Namun Arya adalah Dewa Arak yang telah kenyang pengalaman menghadapi berbagai macam tokoh di dunia persilatan. Sebelum serangan itu mencapai sasaran, telah bisa diketahuinya kalau tangan baju yang kosong itu mengincar wajahnya. Maka buru-buru didoyongkan tubuh bagian atasnya ke belakang tanpa memundurkan kaki.
Dewa Arak hampir terpekik kaget ketika serangan itu mendadak berubah. Serangan lengan baju lawan ternyata hanya pancingan belaka, karena langsung ditarik sebelum mencapai sasaran. Serangan sesungguhnya ternyata sebuah pukulan tangan kanan dengan jari-jari terbuka ke arah dada.
Deru angin keras yang mengiringi serangan tipuan menyadarkan Dewa Arak kalau gedoran itu mampu menumbangkan sebatang pohon besar. Maka tanpa membuang-buang waktu langsung dipapaknya dengan bentuk jari-jari tangan serupa.
Glarrr!
Baik tubuh kakek bongkok maupun Dewa Arak terhuyung-huyung ke belakang, akibat benturan keras tangan mereka yang mengandung tenaga dalam kuat itu. Arya agak kaget ketika menyadari kalau kakek bongkok hanya terhuyung dua atau tiga langkah. Padahal dirinya hampir mencapai dua tombak ke belakang. Sama sekali tidak disangkanya kalau tenaga dalam lawan sampai sekuat itu.
Namun Arya tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun keterkejutannya karena kakek bongkok telah mengirimkan serangan susulan dengan mempergunakan sepasang kakinya. Dua batang kaki itu meluncur bertubi-tubi ke arah Arya dengan kibasan-kibasan yang mengeluarkan deru angin keras.
Pertarungan sengit antara dua tokoh berbeda usia itu terus berlangsung. Dewa Arak dengan kemampuannya dapat mematahkan serangan-serangan maut lawan. Bahkan mengirimkan serangan balasan yang tak kalah berbahaya dengan mengerahkan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan 'Sepasang Tang Penakluk Naga'.
Pemuda berambut putih keperakan ini sengaja tidak mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'nya karena dia menduga kalau lawannya bukan orang jahat. Buktinya, tadi kakek bongkok ini tidak mengirimkan serangan susulan pada Eyang Kendi Laga yang terhuyung-huyung karena terkena serangannya. Hal itu merupakan cerminan tokoh persilatan yang tak suka berlaku curang. Tak ingin membokong lawan bila dalam keadaan tidak siap.
Seperti dua buah ilmu yang dipergunakan Dewa Arak, ilmu-ilmu kakek bongkok memiliki daya serangan luar biasa. Pertarungan telah berjalan beberapa jurus, kedua belah pihak lebih banyak melancarkan serangan daripada pertahanan. Sehingga pertarungan tampak seru dan menegangkan.
Sementara itu Eyang Kendi Laga yang menyaksikan dari jarak beberapa tombak, merasa tegang dan was-was. Sebab setiap kali terjadi benturan keras baik kaki maupun tangan Dewa Arak tampak selalu terhuyung-huyung ke belakang. Seakan pemuda itu tak mampu menahan kekuatan tenaga dalam lawannya.
Plakkk! Bretttt!
Hampir bersamaan Dewa Arak dan kakek bongkok itu terhuyung-huyung ke belakang. Dari mulut keduanya pun keluar jeritan kesakitan dan keterkejutan. Dalam sebuah gerakan yang sangat cepat, tepakan tangan kanan kakek bongkok berhasil menghantam pundak kiri Arya. Namun pemuda berambut putih keperakan itu pun berhasil mencengkeram lengan baju kiri lawan hingga sobek.
Tanpa menemui kesulitan Dewa Arak berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya sempoyongan. Kemudian bersiap untuk melompat kembali ke kancah pertarungan setelah terlebih dahulu menggosok sudut bibirnya dengan punggung tangan kanan. Tampak darah di tangannya. Dewa Arak terluka.
"Cukup, Rambut Setan! Kau benar-benar lihai!" Seketika urat-urat saraf dan otot-otot Dewa Arak yang semula menegang kaku menjadi lemas kembali, mendengar ucapan kakek bongkok itu. Apalagi kakek itu pun tak siap untuk bertarung lagi. Tentu saja hal itu membuat kening Dewa Arak berkerut karena merasa heran.
"Sekarang beritahukan pada kami pemilik tong air yang kau buat permainan itu. Tentu saja kalau kau memang tidak bermaksud untuk mencari permusuhan dengan kami," sela Eyang Kendi Laga cepat.
"He he he...! Pemilik tong air itu?" tuding kakek bongkok pada tong air yang tergeletak di atas tanah berbatu-batu. Dan ketika hampir Arya dan Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala, kakek ini segera menyambung ucapannya, "Mengapa kalian bertanya padaku? Sejak aku berada di sini pun pemiliknya sudah tidak ada. Hanya tong air itu yang ada di sini. He he he...!"
Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga saling pandang. Keduanya tahu kakek bongkok itu sama sekali tidak berdusta.
"Kalau begitu..., maafkan atas tindakan kami, sobat," ucap Eyang Kendi Laga sambil mengulurkan tangan meminta maaf. "Kami telah salah menjatuh tuduhan. Kami kira kau yang telah mencelakai pemilik tong air itu. Asal kau tahu saja, pemilik tong air itu adalah muridku."
"Lupakanlah, Kurus!" sambut kakek bongkok tetap tidak merubah panggilannya. Uluran tangan Eyang Kendi Laga tidak disambutnya sama sekali. "Sikapmu membuat perutku mual!"
Meski merasa mendongkol atas sikap kakek bongkok, Eyang Kendi Laga tidak berkata apa-apa. Perhatiannya dialihkan pada Dewa Arak.
"Kalau begitu, Gumilang mendapat bahaya sebelum kakek ini datang, Eyang."
Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala membenarkan dugaan Dewa Arak. "Dan aku yakin Gumilang tidak menyerah begitu saja. Dia pasti mengadakan perlawanan. Namun, apabila itu terjadi, pasti akan ada bekas-bekas pertarungan di sekitar sini."
Tanpa berbicara lagi Arya dan Eyang Kendi Laga mulai sibuk meneliti sekitar tempat itu. Sementara kakek bongkok tampak hanya berdiri memperhatikan sambil cengengesan sendirian. Namun kemudian secara diam-diam dia melangkah mengikuti Eyang Kendi Laga dan Dewa Arak yang tengah meneliti tempat ini.
"Arrrggghhh...!"
Bagai diberi perintah Arya, Eyang Kendi Laga, dan kakek bongkok menolehkan kepala ke arah asal jeritan. Saat itu ketiganya telah berada di tempat Kenari dihadang oleh sebatang pohon yang tumbang. Dan si Kakek Bongkok pun ternyata mengikuti sampai ke tempat itu. Serentak ketiganya melesat menuju tempat asal jeritan itu. Suara yang lebih mirip jeritan kematian karena didera oleh rasa sakit yang hebat.
Mereka bertiga harus menerobos kerimbunan semak-semak dan pepohonan sebelum akhirnya melihat pemilik jeritan yang menggiriskan hati. Pemilik raungan ternyata makhluk jejadian pula, hanya berlainan dengan yang mengeroyok Eyang Kendi Laga tadi. Makhluk jejadian kali ini merupakan gabungan antara manusia dengan macan kumbang.
Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga tercengang dengan mata membelalak. Begitu pula kakek bongkok bertangan buntung yang berdiri agak jauh dengan Dewa Arak. Mereka bertiga tak mengerti melihat manusia macan kumbang itu tengah mengguling-gulingkan tubuh di rerumputan sambil terus meraung-raung seperti dilanda kesakitan hebat.
Tubuhnya yang bergulingan beberapa kali menabrak batang pohon atau semak-semak ber-duri, tapi seperti tidak merasakannya sama seka-li. Manusia macan itu tetap meraung-raung dengan tubuh berkelojotan.
"Apa yang terjadi dengannya, Eyang...?" tanpa ragu-ragu Arya mengajukan pertanyaan pada Eyang Kendi Laga.
"Entahlah, Arya," jawab Eyang Kendi Laga sambil menggeleng. Tampaknya dia tak berani buru-buru menyimpulkan. "Tapi aku yakin dia tidak menderita luka apa pun. Kemungkinan besar makhluk jejadian ini menderita keracunan. Tapi, keracunan apa, ini yang menjadi pertanyaan..."
Baru saja Eyang Kendi Laga menghentikan jawabannya, sambil mengeluarkan keluhan panjang manusia macan itu terkulai lemas, tidak bergerak lagi. Seketika suasana di tempat itu berubah hening. Tanpa memeriksa lagi pun, baik Eyang Kendi Laga maupun Arya dan kakek bongkok tahu kalau makhluk jejadian itu telah tewas. Meski begitu, ketiganya tetap melangkahkan kaki mendekat memeriksa apa penyebab kematian manusia macan itu secara lebih jelas.
"Makhluk ini benar keracunan," gumam Eyang Kendi Laga setelah memeriksanya sesaat. "Dan racun inilah yang telah merenggut nyawanya. Dan anehnya mungkin kalian berdua akan menjadi heran karenanya. Racun yang mematikan itu ternyata memang berada dalam dirinya. Maksudku dia tidak karena terkena racun dari luar. Jelasnya di dalam tubuh makhluk ini memang mengandung racun, mungkin di dalam darahnya. Hhh... aneh! Kemungkinan racun di dalam darahnya itulah penyebab kematiannya...."
Arya dan kakek bongkok tercenung. Keduanya pun merasa heran mendengar penuturan Eyang Kenda Laga. Mungkinkah makhluk jejadian ini memiliki darah beracun seperti layaknya binatang-binatang berbisa? Tapi, yang menjadi pertanyaan mengapa dia keracunan darahnya sendiri? Kedua orang ini memaksa benaknya untuk berpikir seperti Eyang Kendi Laga. Sesaat suasana kembali hening. Tak satu pun yang berbicara, hanya menatap sosok manusia berbulu hitam yang tergeletak di depan mereka.
"Kurasa kita dapat mencari jawabannya nanti," Ucap Eyang Kendi Laga memecahkan keheningan yang terjadi karena masing-masing hanyut dalam perasaan heran dan aneh. "Yang penting sekarang mumpung aku ingat, ingin kuketahui, mengapa kau berada di sini, Sobat? Dan siapa dirimu. Seperti yang telah kau ketahui namaku Eyang Kendi Laga, dan ini kawanku Arya. O ya, kau pun belum menjelaskan maksudmu mencariku, Arya."
"Sebenarnya sepele saja, Eyang," jawab Arya setelah tercenung sejenak. "Kedatanganku mengunjungi tempatmu hanya untuk mengajukan sebuah pertanyaan. Tapi sama sekali tidak kusangka kalau pertanyaan yang akan kuajukan berada di sini pula. Aku ingin tahu, benarkah makhluk seperti yang kita jumpai ini ada? Maksudku, apakah memang mempunyai jenis sendiri, seperti layaknya kita yang termasuk jenis manusia?!"
Eyang Kendi Laga tidak langsung memberikan jawaban. Dia tercenung dengan menengadahkan wajah ke langit. Tindakannya mengisyaratkan seolah-olah jawaban bagi pertanyaan itu ada di atas sana dan dia tengah mencarinya.
"Kemungkinan jawaban bagi pertanyaanmu itu, ya dan tidak Arya," jawab kakek kecil kurus ini masih dengan kening berkernyit yang menandakan kalau dirinya masih berpikir. "Masing-masing jawaban mempunyai alasan kuat. Ya, kalau mengingat rasanya tidak mungkin seorang manusia, betapapun tinggi ilmunya mampu menjelma atau membuat dirinya seperti yang telah kita lihat ini. Mungkinkah seorang manusia dapat merubah manusia atau binatang menjadi campuran antara keduanya? Rasanya mustahil!"
Arya mengangguk-anggukkan kepala karena merasakan adanya kebenaran dalam uraian Eyang Kendi Laga. Sementara kakek bongkok diam saja. Bahkan seperti tidak memperhatikan Eyang Kendi Laga sama sekali.
"Tetapi kita pun tak bisa menolak kemungkinan adanya makhluk-makhluk aneh seperti itu. Bukankah di dunia ini banyak keganjilan dan ke-jadian yang kadang tak masuk akal sama sekali. Yang menjadi pertanyaan dalam hatiku, kalau memang benar makhluk ini ciptaan Yang Maha Kuasa, mengapa baru muncul akhir-akhir ini? Tidak sejak dulu? Dan mengapa mereka bisa akur, rukun, satu sama lain, padahal campuran jenisnya berbeda-beda...," Eyang Kendi Laga berhenti, lalu menatap Arya. "O ya, mengapa kau tanyakan hal itu, Arya? Apa kau juga menjumpai mereka di sepanjang perjalanan kemari?"
Arya menganggukkan kepala pertanda membenarkan. "Sekarang giliranmu menerangkan semua hal yang berhubungan dengan dirimu, Sobat?!"
Kakek bongkok yang mendapat giliran, tertawa terkekeh-kekeh. Seakan pertanyaan Eyang Kendi Laga merupakan sesuatu yang lucu. "Namaku, Resi Bumi Gidulu. Tapi keberadaanku di sini dalam tujuan untuk mencari murid murtadku. Dia berhasil lolos dari penjara di sebuah pulau kosong dan penuh rahasia. Itulah sebabnya aku mencarinya. Muridku seorang berwatak bejat. Apabila dia muncul ke dunia ramai, kekacauan takkan dapat dihindari lagi. Dia memiliki watak telengas, kejam, dan membunuh terlalu ringan baginya.... Jejak yang kudapat 0menunjukkan kalau dia berada di pegunungan ini. Setidak-tidaknya, dia pernah berada di sini. Maka dari sini aku mulai melacak jejaknya. Barang kali saja dapat bertemu."
Arya dan Eyang Kendi Laga tidak memberikan tanggapan. Mereka mendengarkan penjelasan kakek bongkok sambil mengangguk-anggukkan kepala. Benar dugaan Dewa Arak bahwa tokoh tua itu bukan orang jahat.
* * *
EMPAT
"Hup!"
Dengan sebuah gerakan manis seorang gadis berpakaian merah melompat dari atas punggung kuda dan mendarat di tanah. Rambutnya yang digelung ke atas agak bergoyang-goyang ketika kakinya menjejak tanah.
Kemudian, setelah mengikatkan tali kuda pada sebatang pohon yang di dekatnya banyak terdapat rumput segar, gadis berpakaian merah ini menghampiri sebuah sungai. Hanya dengan beberapa langkah, dia telah berada di pinggir sungai, dan berjongkok di bagian pinggiran yang dekat dengan permukaan air.
"Ah...! Segarnya...!" desah gadis berpakaian merah itu setelah membasuh wajah dan kedua tangannya dengan air sungai yang jernih. Wajah yang semula penuh peluh dan debu, telah kembali putih kemerahan.
Bunyi ringkikan kuda yang tiba-tiba terdengar membuat gadis itu serta-merta membalikkan tubuh dengan sikap waspada. Tangannya dengan cepat mencabut pedang yang tersampir di punggungnya. Seketika sinar yang menyilaukan mata mencuat dari mata pedang yang mengkilat itu.
"Keparat!" Gadis berpakaian merah itu mengeluarkan desisan kemarahan ketika melihat kuda tunggangannya ambruk ke tanah. Dari leher kuda coklat itu mengalir darah segar, karena tertancap sebatang pisau.
Tanpa berpikir lebih panjang, gadis berpakaian merah ini tahu kalau binatang tung-gangannya telah dibunuh orang. Dan dugaannya ternyata tidak salah! Sekejap kemudian, dari balik pepohonan yang ada di sekitar tempat itu berlompatan lima sosok berpakaian hitam. Sebilah pisau berwarna putih mengkilat tergenggam di tangan kanan mereka.
"Tidak usah membuang-buang tenaga dengan marah-marah dan mencoba melawan kami, Anak Manis! Lebih baik kau menyerah dan ikut secara baik-baik. Tidak ada gunanya kau melawan kami" ucap lelaki bertubuh pendek kekar sambil menyeringai kejam.
"Ooo..., jadi kalianlah yang menjadi pelaku penculikan terhadap wanita-wanita tak berdosa?!" Tanpa memberikan jawaban atas permintaan le-laki pendek kekar, gadis berpakaian merah itu menghampiri kudanya yang telah tergeletak sambil memasukkan pedangnya ke dalam warangka. Ternyata dia mengambil sebatang tongkat dari pelana kudanya.
"Ah...! Jadi kau telah mendengar berita itu, Manis?!" sahut lelaki pendek kekar tanpa merasa kaget lama sekali. "Kebetulan kalau begitu. Memang kamilah yang telah melakukan penculikan terhadap wanita-wanita. Menyerahlah kalau kau ingin diperlakukan baik-baik!"
"Tutup mulutmu, Manusia Iblis!" sentak gadis berpakaian merah, "Wanita lain boleh kau perlakukan sekehendakmu. Tapi aku, Mawar, tidak akan membiarkan kau bertindak semaunya! Orang-orang seperti kalian harus dilenyapkan dari muka bumi!"
Lima lelaki berpakaian hitam tertawa bergelak. Semua merasa geli mendengar ucapan gadis berpakaian merah yang mereka anggap terlalu berani itu. Kelimanya baru merasa kaget ketika gadis berpakaian merah itu mengirimkan serangan dengan tongkatnya yang runcing.
Bunyi berdesing nyaring dari udara yang terobek akibat gerakan tongkat runcing itu menyadarkan kelima lelaki berpakaian hitam. Gadis berpakaian merah yang mereka anggap mangsa empuk itu ternyata memiliki tenaga dalam tinggi.
Oleh karena itu, kelima lelaki berpakaian hitam ini tidak berani bertindak gegabah. Mereka terpaksa melakukan perlawanan dengan mengerahkan kemampuan masing-masing.
Trang, trang, trang!
Bunga api berpijar ketika tongkat runcing di tangan gadis berpakaian merah berbenturan dengan lima batang pisau mengkilat milik lawan-lawannya. Kelima lelaki berpakaian hitam semakin kaget ketika merasakan tangan mereka tergetar hebat bahkan senjata masing-masing hampir terlepas dari pegangan. Hal ini semakin meyakinkan mereka kalau mangsa kali ini bukan gadis sembarangan.
Dugaan mereka ternyata tak salah. Mawar bukanlah lawan yang ringan. Gadis ini memiliki kepandaian cukup tinggi. Apalagi setelah Dewa Arak memberikan petunjuk-petunjuk berharga kepadanya meskipun hanya dua hari. Ditambah pula dengan bimbingan saudara kembarnya, Melati, membuat kepandaian Mawar meningkat pesat. (Untuk jelasnya mengenai tokoh Mawar, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar").
Bukkk! Crettt!
Dua di antara lima lelaki berpakaian hitam terjengkang ke belakang ketika kaki kanan Mawar mendarat di paha kanan salah seorang di antara mereka. Sedangkan yang satunya lagi terkena babatan ujung tongkat runcing.
Tiga lelaki berpakaian hitam sisanya langsung bergerak cepat, melompat ke belakang dan mengurung dari tiga arah. Mawar berdiri diam di tempatnya. Dia tidak mau melancarkan serangan karena ingin melihat terlebih dulu tindakan mereka selanjutnya.
Ternyata tiga lelaki berpakaian hitam itu tidak melancarkan serangan. Mereka berdiri di tempat masing-masing dan membentur-benturkan pisau di tangan kanan dengan sarungnya hingga menimbulkan bunyi berdenting yang cukup riuh.
Mawar mengernyitkan alisnya, heran. Dia tidak mengerti mengapa tiga lelaki berpakaian hitam itu melakukan tindakan demikian. Apalagi ketika disadari kalau ketukan itu memperdengarkan bunyi yang khas. Suaranya terdengar susul-menyusul secara berirama tetap.
Mawar baru merasa kaget bukan kepalang ketika mendadak merasakan sakit pada telinganya. Kian lama kian bertambah sakitnya, bahkan kemudian rasa pusing mulai menyerangnya. Sekujur tubuhnya terasa lemas secara mendadak bagaikan dilolosi tulang-belulangnya. Tanpa da-pat dicegah lagi, tongkat yang tergenggam di tangan terlepas dan jatuh ke tanah. Bahkan tubuh Mawar mulai limbung.
Saat Mawar tengah tidak berdaya seperti itu, lelaki berpakaian hitam yang tadi terkena tendangan pada paha kanannya, dengan agak ter-tatih-tatih melangkah mendekati gadis itu. Mawar masih menyadari adanya bahaya, tapi tidak berdaya sama sekali. Dirinya tidak mampu melakukan perbuatan apa pun, bahkan sampai lelaki pincang itu menotok bahu kanannya, hingga roboh lemas tidak berdaya. Bersamaan dengan robohnya Mawar, tiga lelaki berpakaian hitam menghentikan ketukan senjata mereka.
"Hebat juga betina liar ini!" ucap lelaki pendek kekar bernada kagum. "Tanpa cara ini mungkin kita tidak akan dapat membekuknya!"
Empat rekannya, tak terkecuali yang pincang kakinya dan yang terluka perutnya, namun telah ditotok jalan darahnya sehingga darah tidak mengalir lagi, menganggukkan kepala membenarkan. Kemudian, setelah lelaki pendek kekar memanggul tubuh Mawar di bahu kanan, mereka beranjak meninggalkan tempat itu.
"Tunggu...!"
Seruan keras yang membuat suasana di tempat itu tergetar hebat membuat lima lelaki berpakaian hitam berhenti dan membalikkan tubuh. Lima lelaki berpakaian hitam itu terjingkat kaget ketika melihat orang yang telah mengeluarkan suara menggeledek itu.
"Lagi-lagi kau, Kakek Bau Tanah.,.!" seru lelaki pendek kekar tanpa menyembunyikan nada kegentaran dalam ucapannya.
"Hm... kau masih mengenaliku, Penculik-Penculik keparat!" gumam pemilik suara yang ternyata si Kakek Bermuka Kehijauan. Tubuhnya yang tinggi laksana galah, tampak bergoyang-goyang seperti akan jatuh karena tertiup angin.
Lima lelaki berpakaian hitam saling pandang. Sinar mata mereka menyiratkan kebingungan.
"Kalau kalian tidak mau melepaskan wanita itu jangan harap aku akan mengampuni kalian seperti dulu lagi! Asal kalian tahu saja, sekarang aku sedang tidak enak pikiran. Bukan tak mung-kin kalau sekarang aku akan membunuh kalian! Lepaskan wanita itu dan pergi dari sini! Cepat!"
Lima lelaki berpakaian hitam itu tidak langsung mematuhi bentakan kakek bermuka hijau. Mereka saling pandang sejenak. Dalam sinar mata mereka rupanya terdapat kecocokan pendapat. Sambil menghembuskan napas berat lelaki pendek kekar melemparkan tubuh gadis berpakaian merah.
Tappp!
Seperti menerima segumpal daun kering, kakek bermuka hijau itu menyambut tubuh Mawar dengan tangan kiri. Hampir pada saat yang sama, tangan kanannya bergerak menepuk, dan Mawar pun merasakan totokannya telah punah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," ucap Mawar penuh perasaan terima kasih. "Kalau tidak ada Kakek entah apa yang akan terjadi pada diriku. Aku berhutang budi padamu."
Mawar segera membalikkan tubuh. Dia bermaksud mengejar lima lelaki berpakaian hitam yang masih terlihat di kejauhan. Mereka melesat cepat meninggalkan tempat itu setelah memberikan tubuh Mawar pada kakek bermuka hijau.
"Tunggu, Nak!" Cegahan kakek jangkung membuat Mawar menghentikan maksudnya. Tubuhnya kembali dibalikkan.
"Ada apa, Kek?"
"Kurasa lebih baik kau urungkan niatmu untuk mengejar mereka. Terlalu berbahaya. Kau akan ditangkap lagi oleh mereka. Mereka sangat licik dan mempunyai banyak cara untuk merobohkanmu. Lebih baik kau ikut bersamaku."
Mawar tercenung sejenak. Kalau menuruti perasaan, dia ingin menolak tawaran itu. Dirinya masih mempunyai urusan yang harus diselesai-kan. Dan urusan itulah yang menyebabkannya berada di tempat ini.
"Ikutlah bersamaku, Nak…!" ujar kakek jangkung itu lagi, mengulang ajakannya.
Mawar menganggukkan kepala. Kakinya melangkah menghampiri kakek jangkung. Kemudian keduanya berlari cepat meninggalkan tempat itu. Belum berapa lama kakek jangkung dan Mawar berlari, di kejauhan mereka melihat sosok yang tengah melesat cepat menuju tempat itu. Namun, baik kakek Jangkung maupun Mawar tidak mempedulikannya sama sekali dan terus berlari. Sebentar kemudian, kedua belah pihak berpapasan. Dan...
"Hei, Mawar! Mengapa kau berada di sini?! Hendak ke mana kau?!" tanya sosok yang melesat dari arah berlawanan, begitu jarak antara mereka tinggal lima tombak. Sosok itu berhenti dan berdi-ri menghadang di jalan. Mau tidak mau Mawar dan kakek jangkung pun berhenti.
"Ah! Kakang Arya...!" sambut Mawar penuh perasaan gembira. "Memang aku tengah mencari-carimu, Dan..."
"Siapa orang ini, Mawar?!" selak kakek jangkung bernada selidik dan tak senang seraya menatap Arya dan Mawar berganti-ganti.
"Dia Arya, Kek. Kawan baikku...."
Mawar terpaksa menghentikan ucapannya karena mengetahui kakek jangkung tidak menghiraukan melainkan mengalihkan perhatian pada pemuda berpakaian ungu di depannya.
"Anak Muda, siapa pun kau adanya. Betapapun Mawar mengatakan kalau kau adalah kawan baiknya, aku tidak bisa mempercayaimu. Jangan-jangan kau kawan dari para penculik yang baru saja menawannya dan berhasil kuusir pergi. Menyingkirlah dari sini, sebelum aku bertindak kasar padamu! Lagi pula aku dan Mawar mempunyai urusan yang harus segera diselesaikan. Bukan begitu, Mawar?!"
"Be... betul, Kang Arya," jawab Mawar agak terbata-bata setelah tercenung dan agak kelihatan gugup mendapat pertanyaan yang tak disangka-sangka itu.
Arya tertegun. Jawaban Mawar benar-benar tidak disangkanya. Dan sebelum dia sempat berkata apa-apa, dengan tidak sabaran kakek jangkung telah mengayunkan kaki ke depan, bermaksud pergi.
"Mari, Mawar! Aku tidak yakin kalau pe-muda ini bermaksud baik padamu...."
Tanpa banyak membantah, meskipun tari-kan wajahnya menyiratkan kebingungan, Mawar mengikuti tindakan kakek jangkung. Tapi....
"Tunggu dulu, Kek!"
Di saat terakhir, Arya masih sempat bertindak sebelum kakek jangkung dan Mawar meninggalkan tempat itu. Dia menggeser kaki sehingga berdiri menghadang jalan. Kedua tangan-nya pun dijulurkan ke depan. Tindakannya itu memaksa kakek jangkung dan Mawar berhenti.
"Rupanya kau memang seorang berkepala batu, Anak Muda," dengus kakek jangkung tanpa menyembunyikan rasa kesalnya. "Peringatan secara baik-baik tidak mempan untukmu. Jadi, kau ingin diperlakukan secara kasar, hah?! Baik kalau itu maumu! Sambutlah ini!"
Arya tidak mendapat kesempatan untuk memberikan jawaban karena kakek jangkung itu telah mengirimkan serangan berupa cengkeraman kedua tangannya. Yang kanan mengancam ubun-ubun sedangkan yang kiri mengincar dada. Dua buah serangan yang mematikan.
"Keparat!"
Bersamaan dengan dengusan itu, Dewa Arak melempar tubuh ke belakang. Namun kakek jangkung yang telah bangkit amarahnya itu segera melompat memburu seraya mengirimkan tendangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati. Tendangan yang mengeluarkan bunyi angin berkesiutan karena didukung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Plak, plakkk!
Tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung dua langkah ke belakang ketika memapak tendangan itu dengan kedua tangannya. Namun serangan maut itu dapat dikandaskannya. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu mampu mengirimkan serangan balasan. Sebentar kemudian, dua tokoh yang berbeda usia ini telah terlibat pertarungan sengit.
Tentu saja perkembangan yang tidak ter-sangka-sangka ini membuat Mawar kebingungan. Dia tidak ingin kakek jangkung itu bertarung dengan Arya. Dia tahu kedua belah pihak telah salah paham. Mawar khawatir pertarungan ini akan membuat salah satu pihak terluka. Hal ini tidak diinginkannya sama sekali, karena baik Arya maupun kakek jangkung telah sama-sama melepas budi besar pada dirinya. Namun sayang-nya dia tak memiliki kemampuan apa pun untuk menghentikan pertarungan itu.
Yang dapat dilakukan Mawar hanya menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati cemas sambil berseru-seru agar kedua belah pihak menghentikan pertarungan. Namun sia-sia saja! Teriakannya sama sekali tidak diperhatikan, apa-lagi oleh kakek bermuka kehijauan. Rupanya ka-kek jangkung telah demikian marah sehingga ti-dak dapat diajak berpikir lagi.
"Ternyata kau memiliki sedikit kepandaian, Anak Muda Sombong! Pantas kau berani bersikap kurang ajar terhadap orang tua...!" seru kakek jangkung sela-sela hujan serangan yang dikirimkannya.
Suara kakek bermuka kehijauan ini terdengar sarat dengan perasaan geram dan penasaran, karena Arya mampu menangkis serangan yang dilancarkan dengan pengerahan seluruh tenaga dalam. Dan setiap tangkisan pemuda berambut putih keperakan itu selalu membuatnya terhuyung dan tergetar. Hal ini membuatnya sangat penasaran, meskipun dilihatnya Arya mengalami hal serupa.
Karena kedua belah pihak memiliki gerakan cepat, tak terasa pertarungan telah berlangsung tiga puluh jurus. Selama itu belum terlihat pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Keduanya masih saling serang dengan sengitnya.
"Grrrhhh...!"
Tanpa terduga-duga, kakek jangkung mengeluarkan geraman keras laksana seekor singa yang hendak melumpuhkan mangsa dengan suara aumannya. Sekitar tempat itu tergetar hebat, bahkan Mawar langsung jatuh duduk karena kedua kakinya mendadak lemas.
Kalau Mawar saja yang berada cukup jauh dari kancah pertarungan terpengaruh hingga ja-tuh setengah berlutut, apa lagi Dewa Arak, orang yang berada dekat dan menjadi sasaran serangan. Meskipun telah terlindung oleh tenaga dalam tinggi, tak urung tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terhuyung-huyung ke belakang. Kalau saja tidak mempunyai tenaga dalam kuat, isi dadanya mungkin terguncang dan bahkan nyawanya akan melayang.
Kakek jangkung yang sudah memperhitungkan hal ini, langsung meluruk dengan tamparan kedua tangan bertubi-tubi dari kanan dan kiri ke arah pelipis Dewa Arak. Sudah terbayang di benaknya kalau pemuda berambut putih keperakan itu akan tewas dengan kepala remuk.
Arya pun, meski tengah berada dalam keadaan terhuyung-huyung dan matanya berkunang-kunang karena pengaruh suara geraman tadi, masih dapat melihat adanya ancaman bahaya maut. Buru-buru diangkat kedua tangannya untuk menghalangi tangan lawan mendarat di sasaran. Hal ini dilakukan karena tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak,
Plak, plakkk!
Karena sebagian tenaga dalamnya seperti lenyap akibat geraman lawan, tangkisan yang dilakukan membuat tubuh Arya terlempar dan jatuh bergulingan di tanah. Namun, dengan gera-kan manis pemuda bangkit dan berdiri tegak siap untuk menghadapi serangan lanjutan lawan.
"Iblis!" seru kakek jangkung penuh perasaan ngeri melihat lawannya masih berdiri tegak dengan sikap siap menghadapi serangannya. Setelah menatap Dewa Arak sejenak, disambarnya tangan Mawar dan dibawanya kabur.
"Mari, Mawar! Tinggalkan tempat ini..!"
Kakek jangkung berlari dengan pengerahan seluruh ilmu lari cepatnya karena khawatir Dewa Arak akan mengejarnya. Tindakan kakek ini membuat Mawar yang mempunyai kemampuan lari cepat jauh bawahnya jadi setengah terseret. Namun gadis berpakaian merah ini tidak menghentikan pengerahan ilmu larinya dan membiarkan saja tubuhnya dibawa kabur.
Kakek jangkung berlari sambil beberapa kali menoleh ke belakang karena khawatir Arya akan mengejarnya. Hatinya lega ketika melihat pemuda berambut putih keperakan itu tidak mengejarnya, melainkan hanya berdiri menatapnya. Dewa Arak tetap bersikap begitu sampai akhirnya kakek jangkung itu tidak melihatnya karena lenyap ditelan kejauhan.
Yakin kalau pemuda berbaju ungu tidak mengejarnya, kakek bermuka kehijauan itu memperlambat larinya. Meskipun agak heran mengapa pemuda berambut putih keperakan itu tidak mengejar, padahal keadaannya masih segar-bugar, kakek jangkung menghibur hatinya dengan menganggap Arya merasa sia-sia untuk mencegahnya.
Sementara itu, begitu melihat tubuh kakek jangkung lenyap di kejauhan, tubuh Arya baru bergetar keras. Lalu....
"Bhuakh,..!" Arya memuntahkan darah segar dari mulutnya. Darah yang sejak tadi ditahan-tahan keluarnya. Apabila kakek jangkung mengetahui hal ini, nyawanya akan melayang karena kakek itu pasti akan terus melanjutkan penyerangan.
Begitu mengeluarkan darah segar banyak dari mulutnya, Arya terguling roboh dan pingsan. Paksaan yang dilakukannya untuk tetap tampak segar-bugar dan menahan-nahan muntahnya darah segar, membuatnya harus mengerahkan tenaga dalam. Padahal, keadaannya saat itu terluka parah, dan tindakan ini membuat luka dalamnya semakin parah.
LIMA
Sosok tubuh tegap bergerak dengan sikap hati-hati mendekati tubuh Arya yang tergolek. Semula sosok yang mengenakan pakaian rompi kulit ular ini tengah berlari cepat, tapi langsung dihentikan ketika melihat sosok tubuh berambut putih keperakan tergolek tak bergerak.
"Siapa pemuda ini, ya?" tanya sosok berpakaian kulit ular yang ternyata seorang pemuda berwajah jantan, apalagi dengan adanya kumis dan jenggot tebal serta hitam menghias wajahnya. "Mengapa dia bisa terluka? Melihat ciri-cirinya aku jadi teringat akan seorang tokoh golongan putih yang julukannya menggemparkan dunia persilatan. Diakah Dewa Arak?"
Semua pertanyaan itu terucap hanya di dalam hati pemuda berpakaian kulit ular. Dan dengan pertanyaan yang bergaung-gaung di dalam hati, didekatinya, tubuh Arya dengan sikap waspada karena khawatir kalau-kalau sosok itu tiba-tiba bangkit dan menyerangnya. Namun sampai pemuda berompi kulit ular itu berada dekat dengan tubuh Arya, dan bahkan sampai berjongkok, apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Tubuh itu tetap diam mematung seperti sebelumnya.
"Hei… Apa yang kau lakukan?!"
Di saat pemuda berompi kulit ular itu mengulurkan tangan hendak menyentuh tubuh Arya, terdengar suara teriakan. Suara itu terdengar dekat sekali padahal pemiliknya masih berada dalam jarak sekitar tiga puluh tombak, teriakan itu menimbulkan getaran hingga ke dalam dada!
Rasa kaget membuat pemuda berompi kulit ular menghentikan gerakan tangannya, dan bahkan menariknya kembali. Tubuhnya segera berbalik, tapi sebelum dia sempat berbuat sesuatu, pemilik suara itu telah berada di depannya.
"Apa yang hendak kau lakukan terhadap si Rambut Setan, Manusia Ular?!" tanya pemilik suara yang ternyata seorang kakek bongkok mengenakan pakaian terbalik, bagian dalam di luar!
"Jangan sembarangan menuduh, Kek!" sahut pemuda berompi kulit ular itu merasa tidak senang, setelah wajah dan sikapnya menampakkan keterkejutan seperti seorang maling yang ter-tangkap basah. "Aku sendiri baru tiba di sini, dan akan memeriksa tubuh muda ini. Barangkali saja nyawanya masih bisa diselamatkan...."
Kakek bongkok tidak langsung mempercayai jawaban pemuda berompi kulit ular itu. Meski dia tidak memberikan tanggapan, beberapa saat sepasang matanya meneliti sekujur tubuh pemuda berompi kulit ular itu dengan penuh selidik dan tanpa menyembunyikan perasaan curiga.
Pemuda berompi kulit ular rupanya termasuk orang yang berwatak sabar, atau merasa gentar melihat sikap dan tindakan kakek bongkok. Dia malah menundukkan kepala setelah sejenak balas menatap. Sikap ini membuat kakek bong-kok semakin bertambah curiga karena setahunya hanya orang yang bersalah merasa takut diselidiki.
"Uuuh...!" Keluhan panjang dari mulut Arya membebaskan pemuda berompi kulit ular dari tatapan penuh selidik kakek bongkok. Sepasang mata tua tapi masih tajam berkilat penuh pengaruh itu berlari secara cepat ke arah tubuh Arya yang tergolek
"He he he...! Apa yang terjadi, Rambut Setan? Aku tak percaya kalau tidak melihat sendiri...! Orang seperti kau bisa terluka. Luar biasa! Apakah ini orang yang telah melukaimu?!" tanya kakek bongkok tak sabar begitu melihat Dewa Arak yang tergolek di tanah mengerjap-ngerjapkan sepasang matanya.
Arya meski baru saja sadar dari pingsan, tapi karena telah terbiasa hidup dalam bahaya, langsung dapat mengetahui keadaan. Meski pandangannya masih kabur, dia dapat mengenali dua sosok yang berdiri depannya.
"Bukan, Resi. Bukan dia yang telah melukaiku. Aku bertarung dengan seorang kakek sakti."
Pemuda berompi kulit ular melirik ke arah kakek bongkok penuh kemenangan. Sorot matanya seperti mengucapkan perkataan. "Apa kubilang?!"
"He he he...! Kau terluka parah, Rambut Setan! Biar kucoba mengobati lukamu. Duduklah bersila!" ujar kakek bongkok yang ternyata bernama Resi Bumi Gidulu.
"Terima kasih, Resi, Tidak usah repot-repot, biar aku yang menyembuhkan luka ini. Tidak parah, kok." Dewa Arak lalu bangkit dan duduk bersila meski agak payah, untuk bersemadi.
Resi Bumi Gidulu tidak bisa berkata apa-apa selain mengangkat dua bahunya. Dia tidak memaksakan kehendak karena tahu Dewa Arak bersungguh-sungguh dengan penolakannya, bukan sekadar basa-basi belaka.
Dibiarkan saja pemuda berambut putih keperakan itu melakukan hal yang ingin dikerjakan. Dan sebentar kemudian, Dewa Arak telah tenggelam dalam keheningan semadi untuk mengobati luka dalamnya. Resi Bumi Gidulu menatap Dewa Arak sebentar, tapi kemudian mengalihkan perhatian pada pemuda berompi kulit ular.
"Siapa kau, Manusia Ular?! Apakah kau pun di sini untuk memburu makhluk-makhluk jejadian?!" tanya Resi Bumi Gidulu, langsung tanpa basa-basi. Mulutnya cengengesan menatap pemuda itu.
"Panggil saja aku Dongga! Keberadaanku di sini untuk mencari pengalaman. Ke mana saja kakiku ini membawa ke situlah aku menuju," jawab pemuda berompi kulit ular, halus.
"Mencari pengalaman?! Pengalaman tai kucing! Kau di sini tidak untuk mencari pengalaman! Untuk apa pengalaman?! Aku di sini karena membawa sebuah tugas yang sebenarnya tidak kusukai. Tapi, karena ini masih tanggung jawabku, apa boleh buat, harus kuselesaikan juga."
"Tugas, Resi. Tugas apa? Barangkali saja aku dapat menyumbangkan tenaga dan kemampuanku yang tidak seberapa ini untuk meringankan tugasmu. Maaf kalau aku terlalu lancang, Resi."
"Tentu saja tidak, Manusia Ular! He he he...! Bahkan aku memang bermaksud menceritakannya padamu," sambut Resi Bumi Gidulu tetap tidak memanggil pemuda itu dengan namanya.
"Aku sebenarnya sudah mundur dari rimba persilatan. Aku sudah jenuh, bosan! Kini, terpaksa harus keluar lagi dan terlibat dengan kekerasan, karena ingin mencari dan menangkap, serta kalau bisa melenyapkan murid murtadku dari muka bumi ini kalau dia masih melanjutkan kesesatannya seperti dulu."
Resi Bumi Gidulu menghentikan ceritanya untuk melihat tanggapan Dongga. Barangkali saja pemuda berompi kulit ular itu hendak mengajukan sebuah perkataan. Namun, Dongga ternyata diam, tak menyela cerita kakek bongkok itu. Ia ti-dak berbicara apa pun, menunggu kelanjutan cerita dengan sabar, sikap seorang pendengar yang baik!
"Dulu, hampir tiga puluh tahun yang lalu aku terpaksa menyekap murid yang sangat kusayangi di sebuah pulau mengerikan. Pulau aneh yang tidak mungkin orang keluar dari tempat itu kecuali mengetahui rahasianya. Sebuah kebetulan, aku mengetahui rahasianya, dan muridku tidak. Hal itu terpaksa kulakukan, setelah muridku yang waktu itu berusia dua puluh lima tahun, tidak juga mau sadar dari kesesatan tindakannya. Mengacaukan dunia persilatan, bahkan dengan cara licik berani membuat tubuhku cacat. Kau lihat bongkokku? Ini akibat perbuatan muridku!"
"Keji sekali muridmu itu, Resi!" Dongga mengeluarkan makian terhadap murid Resi Bumi Gidulu, ketika kakek bongkok itu menghentikan ceritanya untuk mengambil napas.
"He he he...! Dia memang bukan manusia lagi, Manusia Ular, tapi iblis! Itulah sebabnya aku khawatir sekali ketika menengok pulau itu satu purnama yang lalu, tidak kulihat keberadaannya di sana. Malah aku melihat adanya tanda-tanda kalau dia telah pergi meninggalkan pulau hukuman itu. Maka, walau sudah tua, lewat seratus tahun usiaku, karena khawatir murid biadab itu melakukan tindakan kejinya, aku terpaksa turun gunung. O ya, nama muridku itu Rawali. Kulitnya hitam kelam. Wajahnya khas karena mengingatkan orang akan wajah seekor burung elang. Bukan hanya karena dandanannya, tapi karena bentuk hidung dan sepasang matanya. Aku yakin akan mudah mencari orang dengan ciri-ciri seperti itu. Tapi sampai sekarang aku belum juga berhasil menemukan jejaknya. Aku jadi ragu, apakah muridku itu menempuh jalan yang berlainan denganku atau sebenarnya belum keluar dari pulau hukuman?!"
"Mungkin muridmu itu menempuh jalan yang berada jauh denganmu, Resi. Siapa tahu dia menempuh arah ke barat, sedangkan kau ke timur. Bagaimana mungkin kau bisa menemukan jejaknya. Lagi kau... maksudku... tahukah kau, Resi, kapan tepatnya muridmu itu telah tidak berada di pulau hukuman?!"
"Aku tidak tahu pasti, Manusia Ular," Resi Bumi Gidulu mengangkat bahunya. "Tapi, aku yakin tidak sampai setahun. Sebab, aku menengok tempat itu saja tahun sekali. Jadi, kemungkinannya paling lama hanya setahun dia lolos dari tempat itu. Meskipun demikian entah mengapa aku yakin sekali kalau Rawali pergi belum lama dari pulau itu. Paling lama hanya berseling beberapa hari."
Dongga tidak sempat memberikan tanggapan lagi karena Arya telah menyelesaikan semadinya dan berjalan mendekati mereka berdua. Terlihat jelas kala luka dalam pemuda berambut putih keperakan itu telah sembuh, karena wajahnya terlihat telah segar. Hanya saja tenaga Arya belum seluruhnya pulih seperti sediakala. Arya masih memerlukan semadi lagi untuk membuat tenaga dalamnya penuh.
"Mengapa kau berada di sini, Resi?!" Arya mengajukan pertanyaan tanpa berprasangka buruk, setelah terlebih dulu berkenalan dan berbasa-basi dengan Dongga, dan menceritakan penyebabnya terluka.
"He he he...! Meskipun tidak melihatnya, kau tahu kalau sekarang Eyang Kendi Laga telah menemukan jawaban bagi pertanyaanmu, Rambut Setan," jawab Resi Bumi Gidulu, memberikan alasan keberadaannya di tempat ini. Memang, tiga orang ini mulanya telah saling pisah untuk melaksanakan kepentingan masing-masing.
"Lalu... bagaimana hasilnya, Resi?!" tanya Dewa Arak penuh rasa ingin tahu.
"Mengapa tidak kau temui si Kurus itu dan bertanya padanya, Rambut Setan?!" Resi Bumi Gidulu malah balas bertanya.
"Kau ikut, Dongga?!" ajak Arya sebelum pergi.
"Kalau kau tidak keberatan, Arya?!"
"Tentu saja tidak!" jawab Arya cepat. "Bukankah kita sekarang berkawan?!"
Dongga si Pemuda Berompi Kulit Ular melesat mengikuti Dewa Arak dan Resi Bumi Gidulu. Semula Arya menahan-nahan kecepatan larinya, khawatir kalau Dongga akan tertinggal jauh. Namun ternyata tidak, pemuda berompi kulit ular itu mampu mengimbangi lari mereka berdua, bahkan ketika Arya mengeluarkan hampir seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Diam-diam baik Arya maupun Resi Bumi Gidulu bertanya-tanya dalam hati,
"Murid siapakah pemuda berompi kulit ular ini?"
Karena ketiga tokoh itu berlari cepat, dalam waktu sebentar saja telah berada dekat dengan pondok kediaman Eyang Kendi Laga. Dan tampak kakek kecil kurus itu berdiri menunggu di depan pintu pondok. Tampak jelas perasaan tidak sabarnya untuk memberitahukan hasil penyelidikannya. Dan seperti juga Arya, Resi Bumi Gidulu, Dongga, dan Eyang Kendi Laga pun melihat kedatangan mereka. Dan tergesa-gesa kakek kecil kurus itu berlari menyambut. Kedua belah pihak pun bertemu muka di tengah perjalanan.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu, Eyang?" tanya Arya, sebelum Eyang Kendi Laga mengatakannya.
"Kau akan terkejut mendengarnya, Arya," jawab kakek berkepala botak itu yakin akan ucapannya. "Makhluk-makhluk jejadian itu ternyata tidak ada!"
"Maksudmu... makhluk-makhluk itu dibuat orang, kurus?!" Resi Bumi Gidulu yang malah mengajukan pertanyaan.
"Benar," Eyang Kendi Laga menganggukkan kepala. "Entah dengan cara bagaimana aku sendiri pun tidak tahu, tapi yang jelas, makhluk jejadian ini dibuat dari bahan dasar berupa manusia sungguhan!"
"Biadab!" Arya memaki penuh perasaan geram.
"Iblis!" Resi Bumi Gidulu ikut pula mengeluarkan seruan kemarahan.
Dongga, karena tidak tahu masalah yang tengah diributkan, hanya berdiam diri. Dia tidak mengajukan pertanyaan sama sekali. Dan, Resi Bumi Gidulu yang telah tahu sikap pemuda berompi kulit ular yang sungkan itu, segera bersikap tanggap dengan menceritakan semuanya.
"Ah, jadi... makhluk jejadian itu benar-benar ada?! Dan, itu semua merupakan hasil perbuatan seseorang? Sungguh keji!" ujar Dongga ketika Resi Bumi Gidulu telah selesai mengutarakan ceritanya. "Sama sekali tidak kusangka. Kupikir berita itu hanya kabar burung belaka. Semula aku tidak percaya. Mana mungkin ada manusia harimau, manusia kera, atau yang lainnya?"
"Kau sendiri, bagaimana hasilnya, Arya?" tanya Eyang Kendi Laga ingin tahu.
"Belum, Eyang." Kemudian secara jelas Arya menceritakan semua kejadian yang dialaminya. "Mudah-mudahan saja kakek itu tidak bermaksud jahat terhadap Mawar."
"Kau jangan terlalu yakin, Arya," gumam Eyang Kendi Laga membuat Dewa Arak menoleh ke arahnya. "Bisa kau ceritakan, maksudku... beritahukan ciri-ciri kakek yang telah membawa lari kawan baikmu itu. Aku khawatir kawanmu itu selamat dari mulut serigala tapi masuk dalam cengkeraman harimau,"
Arya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia tercenung dengan sepasang mata menatap ke angkasa. Pemuda berambut putih keperakan ini mencoba mengingat ciri-ciri kakek yang telah membawa Mawar pergi.
"Seorang kakek bertubuh jangkung... tingginya tak kurang dari satu setengah kali orang biasa. Wajahnya kehijauan. Hanya itu ciri-ciri khas orang itu yang dapat kuberitahukan padamu, Eyang. Apakah kau mengenalnya?!"
Arya mengajukan pertanyaan demikian karena melihat wajah Eyang Kendi Laga berubah, menampakkan keterkejutan dan kekhawatiran.
"Kekhawatiran ku ternyata beralasan, Arya," gumam Eyang Kendi Laga, pahit. "Ciri-ciri orang yang kau sebutkan padaku itu amat kukenal. Aku pernah beberapa kali bertemu dengannya meskipun tidak pernah bentrok. Dia seorang tokoh hitam yang berwatak keji. Aku bukan bermaksud menakut-nakutimu, tapi aku yakin keselamatan kawanmu itu terancam!"
"Siapa sebenarnya tokoh itu, Kurus?!" tanya Resi Bumi Gidulu sebelum Arya mengajukan pertanyaan. Kakek bongkok ini mendengarkan percakapan Arya dan Eyang Kendi Laga. Tampaknya dia merasa tertarik sehingga segera ikut campur dan mengajukan pertanyaan.
"Raja Sihir Pelenyap Sukma," jawab Eyang Kendi Laga, singkat.
"Ah...!" Seruan keterkejutan hampir bersamaan keluar dari mulut Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Dongga.
"Kau mengenalnya, Arya?" tanya Eyang Kendi Laga, ingin tahu.
"Tidak, Eyang. Tapi nama besar dan kejahatan tokoh itu telah lama kudengar. Ah, kasihan Mawar!" Wajah Dewa Arak mendadak berubah, mencemaskan keadaan kawannya.
"Apakah tidak mungkin bagi kita untuk menyelamatkannya," Dongga menyela pembicaraan mereka. "Barangkali saja kita dapat bertindak cepat sebelum terjadi sesuatu atas diri Mawar."
"Kemungkinan untuk menyelamatkannya merupakan sebuah hal yang sulit, Dongga. Bukan karena kita tidak mampu, tapi aku yakin kalau waktu tidak memungkinkan kita. Terkecuali kalau kita sudah lebih dulu mengetahui tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma itu."
Dongga mengangguk-anggukkan kepala, dapat menyadari adanya kebenaran dalam ucapan Eyang Kendi Laga yang menanggapi usulnya.
"Kalau benar demikian, kurasa kemungkinan itu terjadi besar, Kurus!" sambut Resi Bumi Gidulu penuh semangat.
Hal itu membuat wajah-wajah, terutama sekali Arya yang sudah lesu sete-lah mendengar penuturan Eyang Kendi Laga, jadi bercahaya karena mempunyai sedikit harapan.
"Apakah kau mempunyai cara cepat untuk dapat menyelamatkan Mawar, Resi?!" tanya Arya, cepat.
"Menyelamatkannya sih, aku tidak yakin," jawab Resi Bumi Gidulu yang membuat dua wajah lain terutama Arya yang semula sudah berseri-seri jadi putus asa kembali. "Bukankah, si Kurus itu hanya mengingatkan kalau kita mampu mengetahui tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma, akan dapat menyelamatkan nyawa Mawar?! Nah! Aku mempunyai sebuah cara untuk mengetahui tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma secara cepat."
"Benarkah itu, Resi?!" sambut Arya cepat dengan semangat yang mulai timbul kembali.
"Tentu saja!" jawab Resi Bumi Gidulu, mantap. "Tapi, apakah usahaku ini akan berarti bagi keselamatan nyawa kawanmu itu, Rambut Setan?!"
"Mudah-mudahan saja!" sahut Arya.
"Kalau begitu aku bersedia. Tapi, aku tetap membutuhkan bantuan kalian semua. Siapa di antara kalian yang bersedia membantu?! Tapi, sebelumnya perlu kuberitahukan bahwa caraku ini tidak wajar. Aku akan meminta bantuan pada roh-roh yang berada di sekitar tempat ini. Baik roh gentayangan maupun setan-setan yang berkeliaran. Bantuan yang dibutuhkan adalah kesediaan salah seorang di antara kalian untuk menjadi tempat dari roh yang akan dipanggil. Aku akan mengajukan pertanyaan pada roh-roh yang akan bersedia datang. Siapa di antara kalian yang bersedia?!"
"Aku saja, Resi. Biar bagaimanapun aku lebih bertanggung jawab atas keselamatan kawanku itu. Bukan karena aku mengecilkan arti Eyang Kendi Laga atau pun Dongga."
"Kalau begitu, bersiaplah, Rambut Setan! Kita akan memulainya."
Dewa Arak melangkah mendekati tempat kakek bongkok itu berada. Sedangkan Dongga dan Eyang Kendi Laga segera menjauh. Sementara itu Resi Bumi Gidulu segera mengeluarkan perabotannya untuk memanggil roh-roh dimaksud dari buntalan kain yang ada di belakang punggungnya.
Pedupaan, kemenyan, dan bubuk berwarna putih. Dupa yang telah diisi kemenyan diletakkan di tengah-tengah tempat pemanggilan roh. Sedangkan bubuk putih itu dis-ebarkan menggelilingi tempatnya dan Arya berada membentuk persegi panjang cukup luas.
* * *
ENAM
"Aungng...!" Lolong anjing hutan yang mengaung panjang membuat suasana malam yang melingkupi hutan di bawah puncak gunung terasa semakin menyeramkan. Apalagi bulan penuh yang tampak di langit perlahan-lahan mulai tertutup awan hitam bergumpal-gumpal yang entah muncul dari mana.
Dalam suasana mencekam seperti itu, sosok tubuh jangkung yang tak lain Raja Sihir Pelenyap Sukma melesat cepat dengan pengerahan ilmu larinya, sehingga bentuk tubuhnya lenyap dan yang terlihat hanya bayangan berkelebat da-lam bentuk tidak jelas. Sementara di belakang-nya, berlari mengejarnya sesosok tubuh yang hampir telanjang karena sebagian pakaiannya telah hancur berantakan.
"Hayo kejar aku, Iblis Busuk! Akan kuhancurkan tulang-belulangmu!" seru Raja Sihir Pelenyap Sukma sambil menolehkan kepala, tapi tanpa memperlambat kecepatan larinya.
Sosok yang hampir telanjang itu rupanya sudah jenuh mengejar-ngejar buruannya. Dia berhenti, lalu berbalik arah. Namun anehnya, Raja Sihir Pelenyap Sukma malah menghentikan larinya dan bergerak mengejar.
"Hey! Iblis Busuk! Iblis Pengecut, kemari kau! Hadapi aku!"
Ucapan-ucapan keras bernada tantangan dari Raja Sihir Pelenyap Sukma ternyata sia-sia belaka. Sosok hampir telanjang yang dimaki-makinya terus berlari tanpa mempedulikan teriakan tantangan dari kakek jangkung itu.
Melihat hal ini Raja Sihir Pelenyap Sukma sambil terus mengejar, mengeluarkan benda-benda logam berbentuk bintang segitiga. Lalu, dilemparkannya ke arah sosok hampir telanjang yang berlari di depannya berjarak enam tombak.
Cap, cappp!
Bintang bersegitiga itu menancap semua pada saran yang dituju karena sosok hampir telanjang tidak mengelakkannya sama sekali. Sosok hampir telanjang itu mengeluarkan jeritan keras menggelegar penuh kemarahan. Seketika berhenti lalu membalikkan tubuhnya.
Dengan gerakan cepat sosok hampir telanjang itu melompat menerkam Raja Sihir Pelenyap Sukma seperti seekor harimau menerkam mangsa. Kedua tangannya yang berkuku panjang dan hitam siap merobek-robek tubuh kakek jangkung itu.
Namun Raja Sihir Pelenyap Sukma tidak kalah gesit bertindak. Sebelum serangan itu men-genai sasaran, dia bergerak cepat mengelak ke kanan depan. Tangan kirinya dikibaskan ke dada lawannya yang terbuka lebar.
Bukkk!
Telak dan keras sekali tangan kiri Raja Sihir Pelenyap Sukma mendarat di dada lawan. Seketika tubuh sosok hampir telanjang itu terlempar jauh ke samping. Namun, dengan gerakan manis sosok itu menggerakkan tubuh untuk mematahkan kekuatan yang membuatnya terlempar, kemudian mendarat di tanah dengan kedua kaki.
Tidak terlihat tanda-tanda kalau pukulan keras Raja Sihir Pelenyap Sukma yang mampu meng-hancurkan batu sebesar rumah itu berpengaruh terhadap dirinya. Dengan gerakan yang lebih keras dari sebelumnya, sosok hampir telanjang itu kembali menerjang lawannya.
Raja Sihir Pelenyap Sukma kali ini melompat jauh ke belakang untuk mengelakkannya. Dia tidak kaget melihat lawannya tidak terluka atau kesakitan akibat pukulan tadi.
Malam mencekam dengan suasana remang-remang karena bulan purnama tertutup awan tebal terus merayap perlahan. Pertarungan sengit itu pun terus berlanjut. Sebuah pertarungan aneh karena sosok hampir telanjang yang memusatkan diri pada penyerangan, tidak pernah berusaha mengelak atau menangkis gempuran lawan.
Berkali-kali serangan Raja Sihir Pelenyap Sukma, baik berupa pukulan maupun tendangan bersarang di tubuhnya, namun hanya membuatnya terlempar jatuh untuk kemudian melakukan penyerangan lebih dahsyat. Serangan-serangan aneh karena dilakukan dengan gerakan kaku.
Sepuluh jurus berlalu dan tidak terhitung sudah beberapa kali sosok berpakaian hampir telanjang itu terkena pukulan maupun tendangan dari Raja Sihir Pelenyap Sukma. Namun kekuatan tubuhnya benar-benar luar biasa! Tak sedikit pun terlihat adanya tanda-tanda kalau serangan-serangan yang gencar mendarat pada sasaran itu berpengaruh atas dirinya.
Raja Sihir Pelenyap Sukma sejak semula sadar, percuma menghadapi lawannya karena mengetahui keperkasaan dan ketangguhan sosok berpakaian hampir telanjang itu. Itulah sebabnya, pada jurus kedua belas, ketika memperoleh kesempatan, dia segera melesat meninggalkan lawannya, setelah terlebih dahulu melempar tubuh ke belakang untuk menjauhkan diri.
Sosok hampir telanjang tidak mau membiarkan lawan pergi begitu saja. Dia kembali melesat mengejarnya. Tak pelak lagi kejar-mengejar yang kedua kalinya pun terjadi. Namun kali ini, Raja Sihir Pelenyap Sukma terus berlari tanpa mengucapkan kata-kata menantang. Dan cerdiknya, kakek jangkung ini menempuh tempat-tempat yang banyak dipenuhi semak-semak dan pepohonan, sehingga dalam waktu sebentar saja lawannya kehilangan jejak.
Sosok berpakaian hampir telanjang itu menggeram penuh kemarahan ketika mengetahui buruannya lenyap. Meskipun demikian karena merasa amat penasaran, pengejaran terus dilakukan. Kerimbunan semak-semak dan pepohonan menjadi sasaran kemurkaannya. Semak-semak serta pepohonan itu porak-poranda ketika dia menghentakkan dan menyambar-nyambar tangannya secara sembarangan sambil meraung-raung karena marah.
Mendadak sosok hampir telanjang itu menolehkan kepala secara cepat ke samping kanannya. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya bunyi gerakan dari arah itu. Maka dengan kecepatan kilat dia melesat ke sana.
* * *
"Astaga makhluk apa itu?!" Terdengar suara seruan dari mulut kakek kecil kurus yang merupakan salah satu dari empat sosok yang tengah berlari menerobos kerimbunan semak-semak dan pepohonan di dalam hutan ini.
Tiga sosok lainnya adalah seorang kakek bongkok dan dua orang pemuda. Satu di antara pemuda itu mempunyai rambut berwarna putih keperakan. Pemuda berambut putih keperakan ini tak lain Arya. Sedangkan tiga sosok lainnya adalah Dongga, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga.
"Melihat ciri-cirinya aku yakin sosok ini bukan manusia, Kurus," timpal Resi Bumi Gidulu. "Aku lebih condong menduga kalau makhluk ini adalah mayat hidup!"
Arya dan Dongga tidak memberikan tanggapan sama sekali, tapi dari mereka terlihat kalau dua pemuda perkasa ini mempunyai pendapat yang sama dengan Resi Bumi Gidulu. Keempat tokoh ini menatap ke arah sosok yang tengah mereka perbincangkan dengan mata hampir tidak berkedip. Sosok yang muncul secara tiba-tiba dari balik kerimbunan semak dan pepohonan sehingga membuat perjalanan mereka terhenti.
Keempat orang ini tengah dalam perjalanan menuju tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma, setelah berhasil menemukan tempat kediaman kakek jangkung itu lewat upacara pemanggilan roh!
Dan keempat tokoh ini memang tidak berlebihan dengan pendapatnya. Sosok yang berdiri dihadapan mereka tampak kaget juga melihat keempatnya. Sosok itu memiliki ciri-ciri yang menggiriskan hati. Tubuhnya kurus kering seperti tidak memiliki daging, pakaian koyak-koyak membungkus tubuhnya. Sebuah pakaian yang telah lusuh dan rapuh karena ada bagian yang ro-bek dan jatuh ke tanah ketika angin agak keras berhembus.
Namun yang lebih meyakinkan Arya dan ketiga kawan seperjalanannya akan dugaan Resi Bumi Gidulu adalah ketika mencium bau ti-dak enak yang menyebar dari tubuh sosok hampir telanjang itu. Baik yang hanya keluar dari tubuh binatang atau manusia yang telah lama meninggal, bau bangkai!
"Arrrggghh...!"
Setelah sesaat tertegun sosok kurus kering itu menggeram keras. Dia tertegun karena tidak menyangka kalau bunyi yang tadi didengarnya bukan yang ditimbulkan oleh langkah kaki Raja Sihir Pelenyap Sukma.
Sebelum gema suara keras itu lenyap, sosok kurus kering telah melompat menerjang Eyang Kendi Laga, yang berada paling depan. Kedua tangannya melancarkan totokan bertubi-tubi dengan menggunakan sebuah jari telunjuk. Bunyi mencicit nyaring mengiris pendengaran mengiringi tibanya serangan itu.
Sebelum serangan sosok hampir telanjang itu mengenai sasaran, terdengar teriakan keras yang menggeledek Dongga melesat memotong dari samping seraya mengirimkan tendangan ke arah dada sosok kurus kering itu.
Bluk! Blukk!
Tubuh mayat hidup itu terpental jauh ke belakang ketika tendangan terbang Dongga menghantam sasaran secara telak dan keras. Tidak hanya sekali, karena begitu tendangan pertama menghantam sasaran, pemuda berompi kulit ular ini langsung menyusulnya dengan tendangan kaki yang lain.
Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga menghela napas berat melihat hat ini. Diam-diam ketiga tokoh ini menyayangkan tindakan Dongga yang mereka anggap terlalu kejam. Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, Arya dan kedua kakek itu tahu kalau tendangan Dongga itu amat dahsyat dan cukup untuk menewaskan lawan yang bagaimanapun kuatnya.
Perasaan kagum pun menyeruak di hati mereka terhadap Dongga karena tidak menyangka kalau pemuda pendiam itu memiliki ilmu demikian tinggi. Walaupun begitu perasaan ini tidak mampu mengusir perasaan sesal atas tindakan Dongga yang mereka anggap terlalu gampang menjatuhkan serangan mematikan.
Namun penyesalan yang membelit hati Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga langsung berubah ketika melihat perkembangan yang tidak mereka sangka-sangka. Tubuh sosok kurus kering yang melayang jauh itu tidak jatuh berdebuk di tanah seperti dugaan mereka semula. Dengan sebuah gerakan manis sosok hampir telanjang itu mendarat di tanah dengan kedua kaki, secara mantap.
"Tidak salahkah penglihatanku...?!" Pertanyaan itu bergayut di hati Arya dan dua kakek sakti itu.
Ketiganya baru yakin kalau sosok yang mirip mayat hidup itu benar-benar tidak terpengaruh terhadap tendangan Dongga. Sambil menggeram keras makhluk menggiriskan hati itu kembali melompat menerjang. Kali ini yang mereka serang adalah Dongga.
Dongga yang rupanya tidak menduga hal itu akan terjadi, kelihatan gugup. Dengan gerakan mendadak, dibanting tubuhnya ke tanah. Namun makhluk kurus kering itu tidak membiarkan lawannya lolos. Dia melesat mengejar, lalu menghujaninya dengan serangan-serangan maut sehingga membuat Dongga menggulingkan tubuh ke tanah untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Eyang Kendi Laga yang melihat keselamatan Dongga terancam, tak bisa tinggal diam. Bagaimana pun tadi pemuda berompi kulit ular itu telah menunjukkan maksud baiknya dengan menjegal serangan makhluk aneh itu terhadap dirinya.
Maka, kakek kecil kurus berkepala botak ini pun melesat di dalam kancah pertarungan, menghampiri Dongga yang masih bergulingan sedangkan makhluk kurus kering itu mengejarnya terus dengan serangan-serangan maut.
"Makhluk Buruk, lihat serangan!" seru Eyang Kendi Laga yang tidak mau mengirimkan serangan di saat lawannya tidak bersiap.
Kakek kecil kurus ini mengirimkan serangan dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Kedua tangannya yang terkepal keras dipukulkan susul-menyusul ke arah punggung makhluk kurus kering itu.
"Arrrggghhh....!" Makhluk hampir telanjang yang mempunyai kekuatan tubuh luar biasa itu menggeram keras. Tubuhnya membalik kemudian memapak serangan Eyang Kendi Laga juga dengan tangan terkepal. Tindakan ini membuat serangan terhadap Dongga dihentikan.
Duk, duk, dukkk!
Bunyi keras terdengar berkali-kali ketika dua tangan yang terkepal berbenturan secara keras. Dan setiap benturan membuat tubuh Eyang Kendi Laga tergetar hebat dengan tangan terasa sakit-sakit. Bahkan benturan terakhir membuat tubuhnya terjengkang ke belakang.
Kesempatan baik ini dipergunakan cepat oleh makhluk menyerupai mayat hidup itu untuk mengirimkan cengkeraman ke arah lambung dan ubun-ubun Eyang Kendi Laga.
Ctarrr! Rrrttt!
Sebelum ubun-ubun dan lambung Eyang Kendi Laga hancur oleh cengkeraman makhluk aneh itu, Resi Bumi Gidulu, telah lebih dulu bertindak dengan cambuknya. Bunyi meledak keras mengiringi meluncurnya cambuk itu ke arah makhluk hampir telanjang itu dan secara telak menghantam ubun-ubunnya.
Seketika itu pula tubuh makhluk menyerupai mayat hidup itu terjengkang ke belakang bagai diseruduk kerbau. Serangannya terhadap Eyang Kendi Laga pun kandas di tengah jalan.
"Iblis!" Resi Bumi Gidulu sampai mengeluarkan seruan terkejut tanpa sadar ketika melihat makhluk hampir telanjang itu masih tetap tegar. Hantaman pada ubun-ubun yang merupakan tempat mematikan itu sama sekali tidak berpengaruh, kecuali hanya terjengkang ke belakang.
Dan ketika pengaruh hantaman cambuk yang membuatnya terjengkang berhasil dipunahkan, makhluk kurus kering itu kembali melancarkan serangan dahsyat. Sasaran serangan makhluk berkekuatan tubuh luar biasa ini berpindah, tidak pada Eyang Kendi Laga lagi, melainkan pada Resi Bumi Gidulu.
Mengetahui kekuatan luar biasa makhluk kurus kering itu, Eyang Kendi Laga tidak tega membiarkan Resi Bumi Gidulu yang telah menyelamatkan nyawanya. Dia pun ikut campur. Maka, pertarungan yang lebih seru dari sebelumnya pun berlangsung. Makhluk kurus kering itu menghadapi Resi Bumi Gidulu dan Eyang Kendi Laga.
Dongga yang telah kembali menjauhi kancah pertarungan dan berdiri di sebelah Arya menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati penuh takjub.
"Benarkah itu makhluk hidup?!" tanya Arya masih belum percaya akan pandangan matanya.
"Apa lagi, Arya?" sambut Dongga bernada membenarkan. "Ciri-ciri dan kedahsyatannya telah menjadi bukti nyata kebenaran kalau dia memang makhluk hidup."
Arya tidak memberikan tanggapan lagi, dalam hati dia membenarkan ucapan Dongga. Kini pandangan dan perhatiannya dipusatkan kembali ke arah pertarungan yang tengah berlangsung. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu, lambat laun makhluk kurus kering itu pasti akan keluar sebagai pemenang. Kekuatan tubuhnya yang menakjubkan akan menyebabkannya berada di atas angin.
Makhluk itu dengan berani menerima semua serangan Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu tanpa khawatir terluka. Sebaliknya, kedua kakek itu justru harus berhati-hati karena sekali saja terkena serangan, nyawa mereka akan terancam. Serangan-serangan makhluk menyerupai mayat dan berbau busuk itu sangat dahsyat dan berbahaya.
Sambil terus memperhatikan pertarungan, Dewa Arak memutar benaknya berusaha menjawab pertanyaan mengenai makhluk kurus kering itu. Kalau benar makhluk hidup, bagaimana dia bisa bangkit, dan kalau benar mengapa bisa demikian. Akal dan hati nuraninya menolak, mana mungkin mayat bisa hidup dan bangkit sendiri. Pasti ada orang yang membangkitkannya.
"Arya!" Teguran Dongga membuat Dewa Arak menolehkan kepala ke arah pemuda berompi kulit ular yang berada di sebelahnya. "Kurasa sebaiknya kita segera mendatangi tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma. Tidakkah kau khawatir kalau tokoh sesat yang keji itu lebih dulu mencelakai temanmu?!"
Arya langsung memberikan jawaban, meskipun hatinya membenarkan usul Dongga. Namun dia merasa khawatir akan keselamatan Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu. Dia ya-kin lambat laun kedua kakek itu akan celaka di tangan mayat hidup yang menggiriskan itu, kecuali apabila mereka telah menemukan kelemahannya.
"Kurasa kau tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan mereka, Arya," sambung Dongga, seperti mengetahui hati yang membuat pemuda berambut putih keperakan itu tidak langsung mengiyakan ajakannya. "Mereka tokoh-tokoh sak-ti dan berpengalaman, aku yakin keduanya akan sadar dan menyelamatkan diri apabila tidak sanggup menghadapi mayat hidup itu."
"Kau benar, Dongga?!" Kali ini Arya langsung sigap menyambut "Mari kita tinggalkan tempat ini! Eyang, Resi, aku teruskan maksud kita semula!" teriaknya kemudian.
Setelah berkata demikian, Dewa Arak bersama Dongga melesat menuju tempat kediaman Raja Sihir Pelenyap Sukma. Namun baru beberapa langkah, keduanya saling pandang ketika melihat sosok jangkung tengah berlari searah dengan mereka. Sosok jangkung yang sudah pasti Raja Sihir Pelenyap Sukma itu berada di depan mereka dalam jarak sekitar dua puluh tombak. Sosok itu berlari dengan hati-hati.
"Itukah penculik kawanmu, Arya?!" tanya Dongga meminta jawaban pasti. Dan ketika Dewa Arak menganggukkan kepala, pemuda berompi kulit ular ini segera menyambung, "Kalau begitu, lekas kita kejar! Aku yakin dia tengah menuju tempat kediamannya,!"
"Dan kau sendiri langsung menuju tempat kediamannya, Dongga?" tebak Arya yang telah bisa menduga arah pemikiran pemuda berompi kulit ular itu.
"Benar!"
"Baiklah kalau demikian, Dongga. Aku sendiri sudah tidak sabar lagi untuk memberikan ganjaran dan kalau bisa mengirim nyawanya ke akherat. Aku yakin makhluk-makhluk jejadian yang muncul di dunia persilatan ada hubungan dengannya. Bahkan aku mempunyai dugaan kalau Raja Sihir Pelenyap Sukma yang telah membuat makhluk dari mayat hidup itu. Mungkin untuk menghalangi pertolongan yang kita lakukan terhadap Mawar. Tapi kusarankan kau hati-hati, Dongga. Bukan tidak mungkin kalau Raja Sihir Pelenyap Sukma telah mengetahui maksud kita!"
Usai berkata demikian, Arya melesat dengan pengerahan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dalam waktu sekejap dia telah berada di belakang kakek bertubuh jangkung itu. "Mau lari ke mana kau, Iblis Keji?!"
Dewa Arak melompat ke atas melewati kepala Raja Sihir Pelenyap Sukma, bersalto beberapa kali di udara, dan mendarat dengan mantap di depannya.
"Lagi-lagi kau...!" desis kakek jangkung yang ternyata Raja Sihir Pelenyap Sukma. "Selalu saja kau yang menghalangi maksudku, Orang Usilan! Menyingkirlah, sebelum kau menyesal!"
"Aku akan lebih menyesal lagi kalau membiarkan orang sepertimu terus berkeliaran di dunia ini!" tandas Arya, mantap.
"Menyingkirlah, Anak Muda! Aku tak ada waktu meladeni bocah ingusan sepertimu! Cepat beri aku jalan sebelum semuanya terlambat!"
"Sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu itu! Kau hanya dapat pergi dari sini jika mampu membunuhku...."
"Kau mencari penyakit!"
Wuttt!
Bersamaan dengan keluarnya ucapan itu, Raja Sihir Pelenyap Sukma mengirimkan serangan dengan tusukan sebuah benda yang diambil dari pinggang kanannya. Gerakannya sangat cepat sehingga bentuk benda itu tidak tampak jelas bahkan ketika meluncur ke arah Dewa Arak.
Meskipun demikian, sepasang mata pendekar muda itu mampu mengetahui kalau benda yang mengancamnya ternyata sebuah kipas yang ujung-ujungnya runcing dan tajam. Deru anginnya saja mungkin mampu merobek pakaian jika terkena.
Dewa Arak tentu saja tidak membiarkan kipas itu merobek dadanya. Dia melompat ke belakang, tapi Raja Sihir Pelenyap Sukma tidak membiarkan tindakan pemuda berambut putih keperakan itu. Dia melancarkan serangan susulan cepat dengan sebuah kebutan kipas ke arah wajah. Kipas itu dikembangkan.
Namun Raja Sihir Pelenyap Sukma terlalu memandang rendah, hingga mengira dengan serangan susulan dahsyat itu Dewa Arak akan dapat dirobohkannya. Meskipun serangan itu meluncur secara tiba-tiba, Dewa Arak mampu mengelakkannya den-gan merendahkan tubuh.
Bahkan pemuda itu dapat mengirimkan serangan yang membuat lawannya melompat mundur. Untuk yang kedua kalinya pertarungan antara Dewa Arak dengan Raja Sihir Pelenyap Sukma terjadi. Hanya saja kali ini, kakek jangkung itu menggunakan kipas baja yang merupakan senjata andalannya.
Arya pun mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti', yang menjadi penyebab julukan Dewa Arak menggemparkan dunia persilatan. Raja Sihir Pelenyap Sukma menggertakkan gigi, merasa geram karena kecelik.
Semula disangka setelah kipas andalannya dikeluarkan, dengan mudah Dewa Arak dapat dirobohkan. Sama sekali tidak diduga kalau tindakan itu membuatnya berada dalam keadaan gawat. Karena memberi kesempatan Dewa Arak mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya.
Dan begitu Dewa Arak menggunakan guci araknya terasa oleh kakek jangkung betapa dahsyat ilmu yang dimiliki pendekar muda itu. Setiap serangan kipasnya selalu berhasil dikandaskan, sebaliknya serangan-serangan lawan begitu dahsyat dan penuh tekanan, tak ubahnya hantaman gelombang laut.
TUJUH
"Bukk!" Dibarengi pekikan kesakitan, tubuh Raja Sihir Pelenyap Sukma terpental ke belakang ketika sebuah tendangan kaki kanan Arya bersarang di paha kanannya. Dewa Arak yang memang sudah bertekad bulat untuk melenyapkan lawannya, segera meluruk untuk mengirimkan serangan mematikan. Guci araknya diayunkan dengan cepat ke arah kepala kakek bermuka kehijauan itu.
"Tahan...!"
Ayunan guci itu terhenti di tengah jalan ketika Raja Sihir Pelenyap Sukma mengeluarkan teriakan keras sambil melempar kipas di tangannya. Dewa Arak tidak bisa membunuh lawan yang tidak bersedia melawan lagi, karena tindakan itu bukan sifat seorang pendekar sejati.
"Apa maksudmu, Raja Sihir?!" bentak Arya, keras. Tangan kanannya masih menegang, dan siap mengayunkan guci apabila kakek jangkung itu melakukan tindakan yang mencurigakan. Pemuda berambut putih keperakan ini khawatir kalau-kalau Raja Sihir Pelenyap Sukma melakukan tindakan kecurangan. Dia tahu hal itu bukan pantangan bagi tokoh golongan hitam.
"Kalau kau teruskan niatmu itu dan aku mati, maka keamanan dunia persilatan akan terancam. Aku yakin kau bukan tokoh golongan hitam, Anak Muda. Apa kau tega dunia persilatan akan kacau-balau?!" Ucap Raja Sihir Pelenyap Sukma lagi tenang tapi bernada tuntutan, dan sikapnya tidak memperlihatkan tanda-tanda kalau akan melakukan tindakan kecurangan.
"Kau bergurau, Raja Sihir?!" Arya masih tidak percaya. "Aku yakin malah sebaliknya! Dengan kematianmu, dunia persilatan akan menjadi aman dan...."
"Tunggu sebentar, Anak Muda!" potong kakek jangkung cepat sebelum Arya menyelesaikan ucapannya. "Kau... mengapa kau memanggilku Raja Sihir?! Apakah kau tidak keliru mengenali orang?!"
"Kau masih juga mau berpura-pura, Raja Sihir?! Ataukah... kau ingin memungkiri bahwa dirimu berjuluk Raja Sihir Pelenyap Sukma?!" sahut Arya, langsung mengajukan dugaan.
"Kau... kau gila, Anak Muda...!" sergah kakek jangkung sambil menudingkan tangan kanannya. "Kau memaksakan diriku untuk mengakui julukan yang bukan milikku! Lalu apa maksudmu, Anak Muda?! Apa kau tidak percaya kalau kukatakan diriku bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma?!"
Arya kontan terdiam mendengar ucapan kakek jangkung itu. Nuraninya sebagai seorang pendekar mengatakan kalau kakek jangkung di hadapannya ini tidak berbohong. Pegangannya terhadap guci arak pun mengendur.
"Jadi... kau bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma?!" tanya Arya meminta kepastian dengan nada suara mulai melunak. Kakek jangkung itu menganggukkan kepala.
"Apa kau hendak mengingkar pula kalau kita pernah bertemu sebelumnya, dan bahkan pernah bertempur di saat kau hendak membawa kabur seorang gadis berpakaian merah?!" tanya Arya lagi setelah tercenung sejenak dan memutar otak.
Kakek jangkung tersenyum lebar sebelum memberikan jawaban. "Kuakui kalau kita pernah bertemu sebelumnya. Tapi, percayalah padaku, Anak Muda! Kejadian yang telah menimpa kita adalah kesalah-pahaman belaka!"
"Mungkin aku bisa mempercayainya, Kek," Arya merubah panggilannya. "Tapi, bisakah kau membuktikan padaku kalau kau tidak melakukan hal-hal keji terhadap kawan baikku? Aku baru mempercayaimu kalau kau mempertemukanku dengan kawanku itu"
"Kalau hal itu dapat membuatmu mempercayaiku; aku tidak keberatan. Tapi, sebelumnya perlu kutekankan padamu, aku tidak melakukan hal-hal seperti yang kau khawatirkan. Dan kau boleh mengajukan pertanyaan itu pada kawanmu nanti."
Arya tidak memberikan tanggapan sama sekali. Tanpa berkata apa-apa diayunkan kakinya mengikuti kakek jangkung yang melangkah lebih dulu setelah terlebih dulu mengambil kipasnya. Meskipun demikian, pemuda berambut putih keperakan itu tidak langsung mempercayainya begitu saja. Dan karena kekhawatiran kalau kakek jangkung itu melakukan kecurangan secara mendadak, Dewa Arak mengambil jarak agak jauh.
* * *
"Mawar...! Kenari...! Lasini..,! Kemarilah...!"
Begitu sampai di mulut sebuah goa kakek jangkung itu langsung berteriak. Tidak keras, tapi cukup untuk terdengar oleh orang-orang yang berada di dalamnya.
Arya sempat memperhatikan bagian tebing di sekitar goa yang akan dimasukinya bersama kakek jangkung itu. Ternyata benar, bagian tebing itu berbentuk kepala tengkorak manusia, persis seperti penjelasan dari roh yang dipanggil oleh Resi Bumi Gidulu.
Namun perhatian Arya hanya sebentar, karena langsung dilibat oleh perasaan kaget mendengar panggilan yang dikeluarkan kakek jangkung. Ternyata bukan Mawar saja yang berada bersama kakek jangkung ini. Ada juga Kenari, gadis murid Eyang Kendi Laga, dan seorang gadis lain. Bagaimana mungkin Kenari bisa berada bersama kakek bermuka kehijauan ini? Perasaan curiga yang bersemayam di benak Dewa Arak semakin membesar.
Sungguhpun demikian, Arya tidak bertindak gegabah dan langsung menjatuhkan serangan terhadap kakek jangkung itu. Diputuskan untuk melihat terus perkembangannya, serta semakin bertindak hati-hati. Dengan kewaspadaan yang semakin meningkat, Arya mengikuti kakek jangkung masuk ke goa.
Di dalam ternyata terang-benderang seperti layaknya pada waktu siang hari dan tersorot sinar matahari. Hal ini cukup mengherankan sebenarnya, tapi tidak membuat Arya bingung. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau ada sejenis batuan yang menyerap sinar matahari di waktu siang dan memantulkan nya kembali di waktu malam. Dia menduga batu-batuan yang ada di dalam goa termasuk batuan seperti itu.
"Mawar...! Kenari...! Lasini...! Di mana kalian..,! Cepat kemari...!"
Kembali kakek jangkung mengeluarkan seruan ketika belum juga terdengar sahutan dari dalam. Kenyataan ini membuat Dewa Arak semakin curiga. Dia tidak percaya kalau panggilan kakek jangkung itu tidak terdengar. Dia lebih condong kalau semua cerita kakek itu hanya bualan belaka, dan kini tengah menyiapkan perangkap. Keberadaan Kenari bersama Mawar, dan tidak adanya panggilan jawaban atas panggilan itu membuat kepercayaanya terhadap ucapan kakek jangkung mulai luntur.
Dewa Arak melompat mundur ketika sampai di bagian terakhir goa, tidak terlihat gadis-gadis yang dipanggil kakek jangkung. Lorong goa telah berakhir di sebuah jalan buntu berupa dind-ing tebal dan beruang cukup luas.
"Cukup sandiwaramu, Raja Sihir! Sekarang aku tidak memberimu kesempatan lagi, bersiaplah untuk mati!" seru Arya bernada mengancam.
"Tidakkah kau bisa bersabar sebentar, Anak Muda?!" sahut kakek jangkung, masih dengan tenang. "Aku yakin ada kekeliruan di sini. Mungkin ketiga gadis itu pergi keluar goa. Dan...."
"Aku telah bertindak cukup bijaksana den-gan mempercayaimu, Raja Sihir! Tapi, kenyataannya, kau tidak bisa memberikan bukti atas ucapanmu. O ya, ada satu hal yang kulupakan. Kau masih mengingkari kalau dirimu berjuluk Raja Sihir Pelenyap Sukma?!"
"Benar!" sahut kakek jangkung, mantap. "Aku memang bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma."
"Kau mungkin bisa menipuku, karena aku memang belum pernah menjumpaimu, Raja Sihir! Aku tidak mengenalmu, tapi, seorang kawan baikku kenal betul dengan dirimu, bahkan hanya dengan mendengarkan ciri-cirimu yang kukata-kan dia langsung mengetahuinya! Kalau benar kau bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma, bisa kau jelaskan mengapa ciri-cirimu bisa mirip dengannya? Aku tak yakin ini hanya sebuah kebetulan!"
"Hhh...!" Kakek jangkung menghela napas berat setelah terdiam beberapa saat lamanya. Sikapnya menunjukkan kesan kalau hal yang akan dikatakan merupakan hal yang bertentangan dengan batinnya, "Karena kau terlalu memaksa. Dan agar masalah ini tidak berlarut-larut, sebaiknya kukatakan padamu. Aku akan berterus terang, memberitahukan hal yang sebenarnya tidak boleh dan tidak pernah kukatakan pada siapa pun. Aku adalah saudara kembar Raja Sihir Pelenyap Sukma! Nah, puas kau sekarang, Anak Muda?!"
"Tidak," Arya menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa mempercayainya. Aku tidak percaya dengan ucapanmu lagi!"
"Percayalah, Anak Muda, aku berkata sebenarnya! Kalau saja tidak terjepit waktu dan ada urusan besar yang membutuhkan bantuanku demi keamanan dunia persilatan, tak sudi aku mengemis-ngemis kepercayaanmu! Asal kau tahu saja, Anak Muda, aku tidak takut mati! Bagiku, mati bukan apa-apa!"
"Aku pun merasa berat untuk tidak mempercayaimu, Kek," ujar Arya hati-hati. "Tapi, bagaimana, kenyataan menunjukkan kalau uca-panmu tidak bisa dipercaya. Bukti yang kau akan tunjukkan padaku, tidak ada sama sekali. Aku curiga kalau kawanku dan dua gadis yang kau sebutkan itu telah menjadi korban kekejianmu!"
"Baiklah," kakek jangkung berdesah. "Bawa saja aku pada kawanmu yang kau katakan mengenal Raja Sihir Pelenyap Sukma! Aku yakin dia tahu kalau aku bukan tokoh sesat yang kau maksud itu."
"Ah...!"
Kakek jangkung tersentak kaget ketika melihat tanggapan Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu terlihat begitu terkejut. Bahkan tubuhnya sampai terjingkat seperti disengat ular berbisa. Kakek berwajah kehijauan ini jadi merasa keheranan. Dia sama sekali tidak tahu mengapa Arya bersikap seperti itu.
"Mengapa aku demikian pelupa?!" Arya menepak keningnya tanpa mempedulikan keheranan kakek jangkung. "Kalau benar kau bermaksud baik, dan dirimu bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma, tunggu di sini!"
Tanpa memberikan kesempatan pada kakek jangkung untuk memberikan tanggapan, Arya melesat pergi. Pemuda berambut putih keperakan itu melesat cepat dengan pengerahan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, karena khawatir akan terjadi hal-hal seperti yang dikhawatirkannya.
"Eyang...! Resi...!"
Arya berseru kaget ketika telah berada da-lam jarak lima tombak, melihat tubuh Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu terhuyung ke belakang dan memekik kesakitan. Sesaat kemudian kedua kakek itu siap melancarkan serangan secara bersamaan. Resi Bumi Gidulu mengirimkan serangan cambuk ke arah mata. Sedangkan Eyang Kendi Laga menusukkan tombak pendek ke punggung lawan tangguhnya setelah terlebih dulu meludahi tombak itu dan menggurat-guratkannya ke tanah.
Arya yang bermata tajam melihat kalau gerakan kedua kakek itu sudah tidak segesit sebelumnya. Dia tahu kalau Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu telah kelelahan, dan bahkan bukan tidak mungkin kalau mereka telah terluka. Sambil terus berlari mendekati, pandangannya tetap ditujukan ke tempat pertarungan.
"Arrrggghh...!" Makhluk kurus kering menggeram keras melihat serangan yang datang dari dua jurusan itu. Namun seperti sebelumnya, sosok yang me-miliki kekuatan tubuh menakjubkan itu tidak tampak gentar melihat serangan-serangan yang tertuju ke arahnya. Tanpa menggeser tubuh dari kedudukan semula, tangan kanannya diulur. Pada saat yang bersamaan kaki kanannya menendang ke belakang, seperti layaknya seekor kuda menyepak.
Tappp! Dukkk!
Hampir bersamaan serangan cambuk dan tombak itu berhasil dipunahkan. Ujung cambuk dicengkeram dengan tangan kanan, sedangkan tombak dibiarkan menghantam punggung, tapi tidak menimbulkan luka sama sekali. Kedua kakek rekan seperjalanan Dewa Arak ini tampak kaget ketika melihat untuk ke sekian kalinya usaha mereka kandas. Dan sebelum Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu sempat berbuat sesuatu.
Crattt! Bukkk!
Jeritan kesakitan hampir berbarengan ke-luar dari mulut Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu. Tubuh kedua nya sama-sama terjengkang ke belakang. Eyang Kendi Laga terpental lebih jauh karena kakek kecil kurus ini terkena tendangan pada paha kirinya. Sedangkan Resi Bumi Gidulu terkena sampokan tangan makhluk kurus kering itu pada dadanya.
Kakek bongkok ini mengalami nasib demikian karena setelah cambuknya tertangkap langsung disentakkan hingga tubuh Resi Bumi Gidulu ikut tertarik, dan saat itulah tangan kiri makhluk menyerupai mayat hidup itu merobek dadanya.
Kesempatan baik itu tidak disia-siakan makhluk mayat hidup. Sambil mengeluarkan geraman mengerikan, dia melompat menerkam tubuh Resi Bumi Gidulu yang tengah terhuyung-huyung. Seketika wajah kakek bongkok bertangan satu itu memucat, menyadari maut yang tengah meluruk ke arahnya.
Namun sebelum kuku-kuku jari makhluk kurus kering itu merencah tubuh Resi Bumi Gi-dulu, Dewa Arak melesat menyambar tubuhnya.
"Aaarrrggghh…!"
Makhluk aneh itu menggeram penuh ke-murkaan ketika melihat calon korbannya terlepas dari maut. Tentu saja dia tidak bodoh untuk mengetahui ada orang yang telah menyelamatkan Resi Bumi Gidulu. Bergegas kepalanya menoleh saat melihat melesatnya Dewa Arak. Tampaklah bayangan ungu berkelebat cepat sekali.
Geraman keras penuh kemarahan kembali terdengar dari mulutnya ketika melihat sosok ungu itu melesat ke arah tubuh Eyang Kendi Laga yang tengah terhuyung dan menyambarnya. Kemudian dengan gerakan secepat kilat membawa keduanya melesat kabur dari situ.
Makhluk menyerupai mayat itu bergegas mengejar. Namun lagi-lagi usahanya kandas! De-wa Arak ternyata memiliki kecerdikan mengagumkan. Dia tahu kalau makhluk itu memiliki il-mu lari cepat yang juga luar biasa, maka merupakan sebuah tindakan berbahaya kalau untuk berlari di tempat terbuka dengan beban yang cukup berat itu. Dewa Arak memilih tempat yang banyak memungkinkan untuk menghilangkan jejak Dia terus melesat menembus semak-semak dan pepohonan.
Arya tersenyum lega dalam hati ketika mendengar teriakan geram itu sangat jauh, karena kehilangan jejaknya. Namun pemuda berambut putih keperakan ini tidak berpuas diri, melainkan terus berlari untuk menjauhi lawannya.
"Lebih baik kau turunkan aku, Arya! Aku bisa berlari sendiri," pinta Eyang Kendi Laga ketika suara geraman makhluk aneh itu sudah tidak terdengar lagi.
"Aku juga demikian, Rambut Setan," Resi Bumi, Gidulu menyambung.
Arya berhenti dan menurunkan tubuh kedua kakek itu.
"Bagaimana hasil usahamu, Arya?" tanya Eyang Kendi Laga, setelah merapikan pakaiannya yang terbuka di sana-sini karena dipanggul Arya.
"Aku bertugas menghadang perjalanan Raja Sihir Pelenyap Sukma, sedangkan Dongga mendapat bagian untuk menyelamatkan kawanku." Arya langsung menceritakan semua yang dialami, sampai dia berhasil menolong Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu.
"Sekarang aku ingat, Resi, Eyang, mungkinkah lenyapnya Mawar dan lain-lain dari dalam goa itu karena telah ditolong oleh Dongga? Tapi, kalau benar demikian, mengapa pemuda itu tidak memberi kabar?!"
Eyang Kendi Laga dan Resi Bumi Gidulu mengernyitkan kening, berpikir keras.
"Masalah ini jadi rumit, Arya. Ada dua pertanyaan di sini. Apakah betul kakek jangkung itu bukan Raja Sihir Pelenyap Sukma dan ke mana perginya Dongga?!" Eyang Kendi Laga membuka suara.
"He he he...! Kurasa lebih baik kalau kita pergi ke goa tempat tinggal kakek yang tidak mau disebut Raja Sihir Pelenyap Sukma itu! Kalau ternyata ucapannya benar, pasti dia masih berada di sana! Bukankah demikian, Rambut Setan?!"
"Seharusnya demikian, Resi!" jawab Arya tanpa berani memberikan kepastian.
Pernyataan Resi Bumi Gidulu membuat mereka memutuskan untuk menuju tempat kediaman kakek jangkung yang tidak mau mengaku sebagai Raja Sihir Pelenyap Sukma. Hanya dalam waktu sebentar saja, Arya dan kedua kakek itu telah sampai di depan goa. Dan dengan penuh waspada ketiganya masuk ke goa untuk membuktikan keberadaan kakek jang-kung di sana. Dan ternyata, kosong!
"Berarti benar, dia Raja Sihir Pelenyap Sukma!" tandas Resi Bumi Gidulu, mantap. "Dan dia telah membohongimu, Rambut Setan. He he he.,.! Dia yang telah menyebabkan terjadinya semua kekacauan ini. Bahkan aku yakin kalau Dongga mendapat celaka di tangannya!"
"Tapi, saat itu dia tengah bertarung denganku, Resi. Maaf, kalau aku berani berlancang mulut, Resi!"
"Kita kehilangan jejak kembali," gumam Eyang Kendi Laga, mengeluh. "Haruskah upacara pemanggilan roh itu diadakan lagi, Bumi Gidulu?"
"Tidak perlu, Kurus! Kalau benar Raja Sihir Pelenyap Sukma penipu itu telah berada di sini sebelumnya, dan belum pergi lama, aku dapat melacak ke mana dia pergi," jawab Resi Bumi Gidulu, penuh keyakinan.
Lalu, tanpa mempedulikan Arya dan Eyang Kendi Laga yang masih belum mengerti yang di-maksudkannya, kakek bongkok ini sudah sibuk mengembang kempiskan hidungnya seperti tengah mencium-cium bau. Tindakannya mengingatkan akan kelakuan seekor anjing, atau binatang lain yang mempergunakan hidung untuk melacak jejak.
Resi Bumi Gidulu sibuk mengendus-endus sekitar tempat yang cukup luas di dalam goa itu beberapa saat, sebelum akhirnya melangkah ke luar goa. Arya dan Eyang Kendi Laga saling pandang sejenak dan mengangkat bahu, lalu mengikuti Resi Bumi Gidulu.
Resi Bumi Gidulu terus saja mengembang-kempiskan hidungnya. Bahkan terkadang berhenti sejenak di satu tempat sambil tetap mengembang-kempiskan hidungnya seraya memutar kepala seperti mencari-cari bau yang dimaksudkan. Kemudian melangkah secara pasti menuju arah yang diyakininya dilewati kakek jangkung.
DELAPAN
Arya dan Eyang Kendi Laga tidak bisa menyembunyikan perasaan kagum ketika Resi Bumi Gidulu memberikan isyarat pada mereka untuk melihat ke depan, dan ternyata di sana tampak sesosok tubuh jangkung yang tengah bersembunyi di balik sebatang pohon. Sosok yang diyakini Resi Bumi Gidulu sebagai Raja Sihir Pelenyap Sukma.
Dengan tindakan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, ketiganya melangkah mendekati tempat kakek jangkung. Mereka khawatir kalau kakek yang diduga Raja Sihir Pelenyap Sukma itu akan kabur. Sebab di samping saat itu suasana malam terlalu gelap, tempat di sekitar mereka merupakan semak-semak dan pepohonan.
Rupanya kakek jangkung itu benar-benar memiliki pendengaran tajam. Saat jarak Resi Bumi Gidulu tinggal tiga tombak darinya, kepala kakek jangkung itu menoleh ke belakang. Resi Bumi Gidulu tidak ingin kehilangan jejak buruannya itu. Maka sebelum kakek jangkung itu sempat melakukan gerakan apa pun, dia lebih dulu melesat.
"Mau kabur ke mana lagi, Raja Sihir?!" seru Resi Bumi Gidulu keras. sambil mengirimkan to-tokan maut ke leher dengan lengan bajunya yang menegang kaku laksana pedang.
Prattt!
Serangan Resi Bumi Gidulu kandas ketika kakek jangkung memapak serangan itu dengan kipas yang dicabut secara cepat dari balik ikat pinggangnya, Tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung-huyung ke belakang. Lengan baju Resi Bumi Gidulu kembali melemas seperti sediakala.
Resi Bumi Gidulu menggertakkan gigi karena penasaran melihat serangannya menemui kegagalan. Tanpa memberi kesempatan sedikit pun kembali dilancarkan serangan susulan yang membuat pertarungan berlanjut.
"Hentikan...! Tahan...!"
Kakek berwajah kehijauan beberapa kali berteriak mencegah untuk menahan Resi Bumi Gidulu agar tidak menyerangnya. Namun sia-sia! Kakek bongkok itu terus saja menghujaninya dengan serangan maut.
Arya dan Eyang Kendi Laga saling pandang. Mereka merasa heran mendengar seruan-seruan itu. Mengapa kakek jangkung sepertinya tak menyukai terjadinya pertarungan? Benarkah ada kesalahpahaman di sini? Betulkah kakek berwajah kehijauan itu tidak ber-salah? Pertanyaan ini bergayut di benak Arya dan Eyang Kendi Laga.
"Jangan-jangan kakek jangkung itu benar-benar tidak bersalah, Eyang!" Arya tidak tahan untuk menyimpan dugaan itu terus-menerus di dalam hati.
"Mungkin kau benar, Arya. Kulihat dia tidak menginginkan terjadinya pertarungan," ujar Eyang Kendi Laga. Namun sebelum Arya dan Eyang Kendi Laga melompat untuk mencegah terjadinya pertarungan lebih lanjut, pandang mata mereka yang tajam, melihat beberapa sosok bayangan berkelebat mendekati kancah pertarungan.
Baik Arya maupun Eyang Kendi Laga mengetahui kalau sosok-sosok yang berjumlah lima orang dan mengenakan pakaian serba hitam. Karena ingin mengetahui hal yang akan mereka lakukan, Arya dan Eyang Kendi Laga menghentikan tindakan mereka dan memperhatikan Lima lelaki berpakaian hitam itu ternyata berhenti sekitar tujuh tombak dari tempat perta-rungan. Mereka langsung menyelinap di balik pepohonan.
"Apa yang hendak mereka lakukan?" tanya Arya dan Eyang Kendi Laga dalam hati.
Lima lelaki berpakaian hitam itu lalu mengeluarkan benda-benda berkilat yang ternyata senjata tajam berupa pisau. Kemudian masing-masing sosok melemparkannya ke arah kancah pertarungan. Bunyi berdesing langsung terdengar di antara teriakan-teriakan kedua kakek yang sedang bertarung.
Arya dan Eyang Kendi. Laga terkejut ketika mengetahui arah pisau-pisau itu tertuju pada Resi Bumi Gidulu. Hal ini menjadi pertanda kalau lima lelaki berpakaian hitam berada di pihak kakek jangkung.
Resi Bumi Gidulu jadi kelabakan, karena dirinya tengah memusatkan seluruh perhatian untuk menghadapi kakek jangkung. Dan celakanya, serangan-serangan pisau itu berlangsung berkali-kali. Sehingga dalam sekejapan saja Resi Bumi Gidulu jadi terdesak hebat oleh lawannya.
Melihat kenyataan ini Arya dan Eyang Kendi Laga tahu kalau dibiarkan terus Resi Bumi Gidulu akan celaka di tangan lawan. Sebab, kakek jangkung yang semula berteriak-teriak untuk mencegah Resi Bumi Gidulu menyerangnya, malah melancarkan tekanan-tekanan hebat yang membahayakan.
Hal ini membuat Arya dan Eyang Kendi Laga tidak segan-segan lagi mengambil tindakan guna menyelamatkan Resi Bumi Gidulu. Sudah terbukti kalau kakek jangkung mempunyai hubungan dengan lima lelaki berpakaian hitam itu.
Baru saja Arya dan Eyang Kendi Laga meluruk ke dalam kancah pertarungan, dari arah berlawanan muncul sosok-sosok yang amat mereka kenal. Makhluk-makhluk jejadian yang menurut penyelidikan Eyang Kendi Laga merupakan hasil pekerjaan manusia!
Sambil mengeluarkan geraman-geraman khasnya, beberapa sosok makhluk yang terdiri dari campuran antara manusia dengan harimau, kera, badak, beruang, dan lain-lainnya menyambut kedatangan Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga. Hal ini membuat pertarungan lain terjadi.
Berbareng dengan munculnya makhluk-makhluk jejadian itu, lima lelaki berpakaian hitam menghentikan bantuan mereka terhadap kakek jangkung. Bahkan kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Resi Bumi Gidulu yang semula terdesak hebat perlahan-lahan dapat menyusun kekuatan lagi, sehingga mampu bangkit mengimbangi perlawanan.
Di tempat lain, Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga tampak sibuk. Hanya saja tindakan kedua orang ini tidak sekeras sebelumnya. Baik Arya maupun Eyang Kendi Laga tidak berusaha mengirimkan serangan yang dapat membahayakan keselamatan lawan-lawan mereka.
Serangan-serangan yang mereka kirimkan hanya bertujuan merobohkan makhluk-makhluk jejadian itu, tanpa harus membunuh mereka. Tindakan ini dilakukan karena mengetahui kalau makhluk-makhluk jejadian itu berasal dari manusia. Semua melakukan penyerangan karena pengaruh jahat yang mengendalikan mereka.
Tentu saja niat Arya dan Eyang Kendi Laga membuat mereka semakin sulit untuk mengalahkan makhluk-makhluk jejadian itu. Merobohkan tanpa melukai secara berat lebih sulit ketimbang membunuh mereka. Sebab, baik tindakan Arya maupun Eyang Kendi Laga jadi tidak leluasa.
Teriakan-teriakan keras bersahut-sahutan yang berasal dari kancah pertarungan lainnya membuat Arya dan Eyang Kendi Laga mengalihkan perhatian sejenak. Mereka melihat kakek jangkung serta Resi Bumi Gidulu sama-sama melompat saling terjang dengan tangan terbuka sama-sama dijulurkan ke depan. Tak pelak lagi ke-dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu bertemu di udara dan melekat, sampai tubuh keduanya turun ke tanah.
Eyang Kendi Laga menghela napas berat melihat hal ini. Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, Arya pun tahu kalau Resi Bumi Gidulu dan lawannya tengah mengadu tenaga dalam secara langsung. Dan hal ini amat berbahaya. Yang kalah akan tewas, sementara yang menang pun tidak akan luput dari luka dalam parah.
Menyadari akan keadaan yang gawat Arya dan Eyang Kendi Laga semakin mempertinggi kemampuan daya serang. Dewa Arak melompat ke atas dengan bersalto di udara melewati kepala lawan-lawannya. Kemudian dari sana mengirimkan serangan ke arah belakang kaki lawan.
Dalam sekali gerakan Dewa Arak mampu mengirimkan serangan beruntun terhadap lawan-lawannya. Dan semua mengenai sasarannya. Seketika itu pula tubuh makhluk-makhluk jejadian itu ambruk ke tanah, tak mampu bangun lagi karena sambungan lutut mereka terlepas!
Hal yang sama pun berhasil dilakukan oleh Eyang Kendi Laga. Hanya saja kakek kecil kurus ini mengirimkan serangan dari depan, tapi sasa-ran yang dituju tetap lutut. Dua makhluk jejadian sisanya roboh dengan sambungan tulang lutut terlepas.
Tanpa mempedulikan lawan-lawan mereka, Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga mengalihkan perhatian pada pertarungan menegangkan antara Resi Bumi Gidulu dan kakek jangkung. Keadaan dua kakek itu tampak sudah mengkhawatirkan. Dari atas kepala kedua belah pihak, mengepul uap putih. Keadaan lawan Resi Bumi Gidulu tampak lebih parah. Wajahnya dibanjiri peluh sebesar-besar biji jagung.
"Apa yang akan kau lakukan, Arya?" tanya Eyang Kendi Laga, ingin tahu. Sebab dia menyadari kalau saat-saat seperti itu, merupakan hal yang sulit untuk dipisahkan. Orang yang mencoba memisahkan dua tenaga dalam akan tewas dengan sekujur tubuh hancur, karena terkena gabungan tenaga dalam yang tengah menyatu.
Arya tidak memberikan jawaban. Pemuda berambut putih keperakan ini terdiam dengan hati memanggil-manggil belalang raksasa di alam gaib. Arya telah berjanji dalam hati untuk tidak menggunakan bantuan belalang raksasa kasat mata itu kecuali dalam keadaan gawat. Dan sekarang keadaan telah kritis, maka dia memanggilnya.
Sesaat kemudian, Dewa Arak merasakan sekujur tubuhnya bergetar sebentar. Bulu kuduknya berdiri ketika belalang raksasa dari alam gaib itu masuk ke tubuhnya.
Eyang Kendi Laga, meskipun tidak mengetahuinya, bisa merasakan adanya keanehan yang secara tiba-tiba itu. Dia sempat merasakan ada hembusan angin dingin yang membuat bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Kebetulan dia berada di sebelah Dewa Arak.
Sepasang mata Eyang Kendi Laga hampir keluar dari rongganya ketika melihat di belakang Dewa Arak seperti tampak sesosok binatang bersayap yang besar, berwarna coklat. Sosok binatang menyerupai belalang raksasa itu hanya tampak samar-samar dan berupa bayangan.
"Arrrggghh...!" Mendadak Dewa Arak mengeluarkan geraman keras menggetarkan sekitar tempat itu. Suara yang tidak patut keluar dari mulut seorang manusia. Meskipun Eyang Kendi Laga telah mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk menahan pengaruh geraman itu, dia tetap tidak mampu. Sekujur kakinya terasa lemas, dan tak dapat dicegah lagi dia jatuh berlutut. Selain sekujur tubuh merasa lemas lunglai seluruh tenaganya seakan lenyap seketika.
Hal yang sama pun dialami Resi Bumi Gidulu dan lawannya. Hanya saja karena kedua kakek ini tengah mengerahkan tenaga dalam, pengaruhnya tidak sedahsyat yang dialami Eyang Kendi Laga. Meskipun demikian, akibat pengaruh geraman keras itu membuat aliran tenaga dalam mereka sempat terhenti sejenak.
Kesempatan di saat aliran tenaga dalam kedua kakek itu terhenti, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Dengan kecepatan luar biasa pemuda berambut putih keperakan itu melesat ke dalam kancah pertarungan. Dan di saat tubuhnya masih berada di udara, kedua tangannya dihentak-hentakkan.
Angin dahsyat pun muncul dari tangan Dewa Arak, menghempaskan tubuh kedua kakek yang tengah bertarung, hingga terpental dan terguling-guling. Begitu kekuatan yang membuat tubuh mereka terguling-guling habis, Resi Bumi Gidulu dan kakek jangkung merangkak bangun. Keduanya tampak lemas sekali. Gerakan mereka tidak sigap atau pun gesit seperti semula. Baik tenaga Resi Bumi Gidulu maupun lawannya telah terkuras habis.
Di tempat yang sama, hanya berbeda jarak sekitar lima tombak, Eyang Kendi Laga pun tampak tertunduk lesu. Kakek kecil kurus ini masih berdiri dengan kedua lututnya. Dia masih tidak bergairah untuk bangkit karena belum mampu menghilangkan perasaan kagetnya akibat teriakan Dewa Arak.
Sementara tokoh yang menjadi penyebab semua ini pun terdiam tapi dengan senyum puas tersungging di bibir. Saat itu belalang raksasa telah keluar dari dalam dirinya. Karena masing-masing tokoh terdiam, suasana berubah hening. Mendadak....
"Aaarrrggghh...!" Geraman yang tidak kalah dahsyat dengan suara Dewa Arak tadi, kembali terdengar. Bunyi geraman ini pun berbeda, meskipun sama-sama mengandung getaran yang dapat melumpuhkan lawan.
Hal ini membuat tokoh-tokoh di tempat itu, yang masih terpengaruh oleh teriakan Arya, jadi kembali lemas. Arya satu-satunya orang yang semula berdiri tegak pun, merasakan kedua kakinya menggigil. Namun dengan pengerahan tenaga dalam dia berhasil membuat kedua kakinya tetap berdiri tegak di atas tanah.
"Hak hak hak...!"
Sebelum gema geraman keras tadi lenyap seluruhnya, terdengar suara tawa keras tergelak bernada aneh, sehingga membuat Arya dan yang lainnya kecuali kakek jangkung, merasa heran. Wajah kakek jangkung tampak pucat pasi
"Ah...! Celaka...! Aku terlambat..,! Semuanya sia-sia...!" keluh kakek jangkung itu penuh penyesalan. Kemudian pandangannya diedarkan pada Dewa Arak, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga. "Kalianlah yang menjadi penyebabnya! Kalau kalian tidak terlalu keras kepala memaksakan kehendak, dan mau mengerti sedikit, hal ini tidak akan terjadi. Sia-sia semua usahaku!"
Dewa Arak, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga saling pandang penuh perasaan heran mendengar makian kakek jangkung. Mereka tidak paham mengapa kakek itu marah-marah dan menimpakan kesalahan pada mereka. Yang jelas, ketiga tokoh ini tahu kalau marahnya kakek jangkung berhubungan dengan munculnya sesosok makhluk seperti mayat hidup yang didahului suara geraman keras menggelegar itu.
Sebentar kemudian, ketiga tokoh ini dan juga kakek jangkung melihat sendiri pemilik suara aneh tadi. Sosok itu ternyata si Makhluk Kurus Kering yang memiliki kekebalan tubuh luar biasa. Tapi, dia tidak sendirian, ada sosok lain yang datang bersamanya, seorang pemuda mengenakan pakaian dari kulit ular!
"Dongga...!" hampir berbareng Arya, Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu memanggil pemuda itu. Sorot mata dan tarikan wajah Arya serta dua kakek rekan seperjalanannya menyiratkan perasaan heran melihat keberadaan Dongga dengan makhluk kurus kering itu. Dongga kelihatannya bersahabat dengan makhluk yang hampir telanjang itu. Hal ini membuat Arya dan kedua kakek kawannya menduga bakal terjadi sesuatu.
"He he he...!" Dongga tertawa terkekeh mengejek keheranan Dewa Arak dan kedua kawannya. Bahkan sekarang mereka melihat jelas sorot kekejian di mata pemuda berompi kulit ular itu.
"Pada kalian bertiga memang aku memperkenalkan diri dengan nama Dongga. Masalahnya kalau kuperkenalkan nama asliku, jangan-jangan kalian terutama sekali kakek buntung itu akan mengenalku," ucap Dongga dengan tenang sambil menuding Resi Bumi Gidulu.
"Tutup mulutmu, Pengecut Licik!" sergah Resi Bumi Gidulu, keras dan penuh kemarahan... Kakek bongkok ini merasa kecewa sekali mengetahui pemuda yang telah mendatangkan rasa simpatik di hatinya, tak lebih dari seorang penjahat "Jangankan mengenal namamu, wajahmu pun tidak kukenal!"
"Begitukah?!" sambut Dongga cepat, penuh ejekan. "Tapi, aku yakin kau akan mengenali namaku, Guru."
"Guru?!" suara Resi Bumi Gidulu terdengar menggigil karena kaget. Perasaan yang sama me-nyemak di hati Arya, Eyang Kendi Laga, dan kakek jangkung. Mereka menolehkan kepala dengan cepat pertanda kaget, mendengar sapaan Dongga. "Si... siapakah kau... aku... eh..."
"Jadi, kau telah lupa padaku, Guru?! Aku, muridmu! Orang yang kau cari-cari karena lari dari pulau hukuman. Aku Rawali...!"
"Rawali?!" Suara Resi Bumi Gidulu semakin menggigil karena cekaman perasaan tegang yang melanda. "Ti... tidak mungkin! Kau masih muda... sedangkan Rawali sudah berusia lanjut. Bahkan sekarang, mungkin usianya tak akan kurang dari lima puluh lima tahun. Kau tidak bisa mempermainkan aku, Pembohong!"
"He he he...!" Dengan sikap tenang, Dongga alias Rawali tertawa terkekeh. "Kalau hanya menjadi muridmu, tentu saja kau bisa berkata demikian, Tua Bangka Bau Tanah! Tapi aku tidak bodoh, aku berguru lagi. Dan dari guruku yang kedualah aku mendapatkan kemampuan merubah wajahku sehingga terlihat muda. Bahkan dengan ramu-ramuan tertentu yang kubuat, aku berhasil membuat tubuhku tetap seperti layaknya tubuh orang muda. Aku pun belajar pula ilmu-ilmu racun yang membuatku dapat membuat makhluk jenis baru campuran antara manusia dengan binatang. Sayang, beberapa di antaranya gagal. Mereka mati keracunan, karena tidak kuat adanya kesalahan. Bagaimana, masih tidak percaya?"
Arya, Resi Bumi Gidulu, dan Eyang Kendi Laga terdiam dengan wajah menyiratkan perasaan kaget tidak terkira. Sama sekali tidak disangka kalau dalang semua kejadian ini ternyata Dongga, bukan kakek jangkung yang mereka anggap Raja Sihir Pelenyap Sukma!
"Aku tahu ramuan-ramuan yang kau mak-sud, Rawali!" sela Arya dengan suara keras. "Wanita-wanita itu bukan?"
"Tepat! Tapi masih kurang tertuju, Dewa Arak!" jawab Dongga atau Rawali sambil menganggukkan kepala. "Tepatnya adalah wanita-wanita yang masih gadis. Tapi, sayang dua kali pengambilan yang dilakukan anak buahku dijegal oleh kakek sialan itu!" Dongga alias Rawali menuding kakek jangkung. "Namun kakek itu bodoh! Begitu wanita culikan anak buahku yang pertama berhasil dirampasnya, aku segera membuat jebakan. Kusuruh anak buahku menculik wanita tapi bukan perawan, karena aku yakin akan dirampas kembali. Aku melihat kakek dungu itu mengintai tindak-tanduk anak buahku! Dan memang, kakek bodoh itu tertipu! Wanita yang bukan gadis diambil juga. Padahal, aku tahu pasti kalau dia tengah melakukan sebuah perbuatan yang membutuhkan wanita-wanita yang masih gadis. Dia tertipu!"
Arya, Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu menatap kakek jangkung. Jadi, kakek jangkung itu pun menculiki gadis-gadis untuk melakukan suatu percobaan? Berarti sama bejatnya dengan Rawali.
"Tutup mulutmu yang kotor itu, Rawali!" maki kakek jangkung kalap. "Jangan samakan tindakanku dengan perbuatanmu! Kau menculiki gadis untuk obat awet mudamu dan juga makhluk-makhluk jejadianmu. Gadis-gadis itu kau bunuh setelah kau pergunakan. Sedangkan aku hanya membutuhkannya untuk melenyapkan terjadinya angkara murka di dunia persilatan, dan gadis-gadis itu tidak kurang suatu apa. Mereka tetap masih gadis, dan sehat. Malah mereka membantuku dengan suka rela!"
"Sebentar, Rawali!" selak Resi Bumi Gidulu untuk menghentikan pertengkaran antara Rawali dengan kakek jangkung. "Aku yakin, kau lolos dari pulau hukuman belum lama. Bahkan aku yakin tidak sampai sebulan sebelum kedatanganku yang terakhir. Bagaimana mungkin dalam waktu singkat kau dapat bertemu dengan seorang guru dan belajar ilmu-ilmu sesat itu serta menguasainya?"
"Kau memang tolol, Bumi Gidulu!" Enak saja Rawali memaki gurunya. "Tentu saja aku mempelajarinya di pulau hukuman. Karena aku menemukan guru kedua itu di pulau hukuman. Dan beberapa hari sebelum kau datang menjenguk aku telah tamat belajar dan langsung meninggalkan pulau. Sungguh kebetulan guru keduaku tahu jalan keluar dari pulau. Dialah yang menuntunku keluar. Sayangnya, guru keduaku mempunyai watak seperti kau juga, lemah! Keberadaannya di pulau itu justru sengaja dan menghukum diri karena menyesali atas dosa-dosa yang dilakukannya belasan tahun lalu. Keluarnya dari pulau hanya karena ingin menolongku. Ketika timbul rasa khawatir akan menjadi penghalangku dikemudian hari akhirnya dia kubunuh!"
"Biadab!" seru Eyang Kendi Laga, dan Resi Bumi Gidulu, serta kakek jangkung, hampir bersamaan. Sementara Dewa Arak menggeleng-gelengkan kepala.
"Keparat, Rawali! Kau harus mengganti dengan nyawamu atas tindakan kejimu terhadap saudara kembarku itu!" seru kakek jangkung penuh kemarahan. Kalau saja tidak dalam keadaan payah, tentu sudah diterjangnya pemuda berompi kulit ular itu.
"Ah, jadi Raja Sihir Pelenyap Sukma itu saudara kembarmu, Kakek Dungu. Aku memang sudah merasa heran sejak semula melihat kemiripan wajahmu dengan guru keduaku yang bodoh juga itu. Ternyata kau saudara kembarnya. Dan kau ingin membalaskan sakit hati Raja Sihir Pelenyap Sukma yang bodoh itu? Silakan!"
Arya tidak ingin kakek jangkung yang ternyata tidak bersalah dan masih lelah itu melancarkan serangan, maka langsung melompat mendahului. Dan karena telah mengetahui tingkat kepandaian Rawali alias Dongga yang luar biasa, dikerahkan seluruh tenaga dalam. Dengan kedua tangan terbuka dikirimkan serangan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati lawannya.
Namun sebelum serangan Arya mencapai sasaran, Rawali memberi isyarat pada makhluk kurus kering yang sejak tadi berdiam diri di sebelahnya. Makhluk menyerupai mayat hidup itu mengeluarkan gerengan aneh sambil menggerakkan tangan. Mendadak tubuh Dewa Arak tertahan di udara, seperti dipaku! Pemuda berpakaian ungu itu terapung di udara dalam sikap tengah melancarkan serangan.
Eyang Kendi Laga, dengan sisa tenaga yang masih ada bergerak untuk melancarkan serangan. Namun, dia pun mengalami nasib seperti Arya ketika makhluk kurus kering itu menggerakkan tangan menuding.
"Tidak akan ada orang yang sanggup menghadapinya," ucap kakek jangkung pelan tapi terdengar jelas oleh Resi Bumi Gidulu. "Karena telah berhasil dikuasai oleh Rawali, makhluk kurus kering itu jadi memiliki kemampuan berlipat ganda. Dia tidak akan bisa dikalahkan apa lagi dibunuh, kecuali... olehku!"
"Mengapa tidak kau lakukan?!" sentak Resi Bumi Gidulu cepat, tak sabaran karena khawatir makhluk kurus kering itu mengalihkan sasaran padanya.
"Tapi, kau harus berjanji membunuh Rawali untuk membalas kematian saudara kembarku!"
"Aku berjanji," sahut Resi Bumi Gidulu mantap, sungguhpun merasa heran mengapa kakek jangkung itu bersikap demikian. Bukankah kakek itu memiliki kepandaian tidak kalah dengannya? Mengapa harus meminta bantuan padanya?
Kakek jangkung tak mempedulikan keheranan Resi Bumi Gidulu. Dia sibuk berkomat-kamit entah membaca apa, Resi Bumi Gidulu sendiri tidak mendengarnya. Yang jelas ketika kakek jangkung itu berhenti merapal mantera dan kemudian mengangkat tangan kanannya, makhluk kurus kering di sana ikut mengangkat tangan kanannya.
"Hih?!" Kakek jangkung menghantamkan tangannya ke ubun-ubun hingga hancur dan mengeluarkan bunyi berderak keras. Pada saat yang bersamaan, ubun-ubun makhluk kurus kering itu pun hancur tertembus tangannya. Dan bersamaan tubuh kakek jangkung dan tubuh makhluk aneh itu ambruk di tanah dalam keadaan tidak bernyawa.
Dengan tewasnya, makhluk kurus kering itu, pengaruh ilmunya punah. Tubuh Arya dan Eyang Kendi Laga melayang turun. Arya yang sejak tadi dalam hati memanggil belalang raksasa di alam gaib namun binatang itu tidak kunjung datang, mendadak merasakan kehadiran belalang alam gaib itu di dalam tubuhnya ketika melayang turun.
Seketika itu pula dengan sebuah gerakan tidak masuk akal, di saat tubuh berada di udara, Dewa Arak melompat dan mengirimkan sampokan ke arah pelipis Rawali.
Rawali yang tengah terkesima melihat kematian makhluk kurus kering andalannya, gugup melihat serangan yang datang secara cepat dan tidak tersangka-sangka itu. Meskipun demikian dia masih sempat mengangkat tangan melindung bagian yang diserang.
Plakkk! Plakkk!
Rawali hanya bisa memekik tertahan ketika sampokan Dewa Arak tetap menghantam kepalanya hingga hancur berantakan. Tangkisannya tidak mampu menahan tenaga serangan lawan. Tubuh pemuda berompi kulit ular ini pun berkelojotan di tanah sebentar sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi, mati!
* * *
Menjelang pagi, Dewa Arak, Eyang Kendi Laga, Resi Bumi Gidulu, Kenari, Mawar, serta gadis lainnya meninggalkan tempat yang menjadi saksi tewasnya Rawali. Dari cerita Mawar dan Kenari, Arya serta kedua kakek itu mendengar secara lebih jelas tentang kakek jangkung.
Kakek itu memang berkata benar, meminta kesediaan Mawar dan Kenari serta seorang gadis lain untuk sebuah perbuatan yang akan dilakukannya. Menyempurnakan kematian seorang leluhur dari kakek jangkung yang telah dikutuk suatu saat akan bangkit dari kubur dan menyebar malapetaka.
Dengan sentuhan tangan tiga orang gadis yang masih perawan, dengan hati suka rela, mayat leluhur kakek jangkung tidak bangkit lagi untuk selamanya. Namun, ternyata keadaan menjadi lain karena Mawar bukan gadis lagi. Leluhur kakek jangkung jadi mayat hidup dan akhirnya jatuh ke tangan Rawali, yang mengorbankan Lasini untuk membuat makhluk kurus kering itu patuh padanya. Lasini tewas menjadi tumbal.
Dan berkat Kenari, Eyang Kendi Laga tahu kalau Gumilang telah dijadikan makhluk jejadian. Gumilang termasuk salah seorang di antara enam makhluk jejadian yang menyerang Dewa Arak dan Eyang Kendi Laga. Kakek kecil kurus itu pun berjanji akan mencari obat guna memulihkan keadaan makhluk-makhluk campuran itu. Sayangnya, lima lelaki berpakaian hitam telah pergi ketika Dewa Arak dan yang lain-lain menyatroni tempat kediaman Rawali.
SELESAI
Selanjutnya,