Dewa Arak - Pembantai Dari Mongol

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Pembantai Dari Mongol karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak - Pembantai dari Mongol

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
KERETA itu kecil namun indah, bahkan terkesan mewah. Dua ekor kuda yang menarik kereta berjalan dengan lambatnya. Rupanya, tali kendali dilepaskan oleh kusir kereta yang sekaligus penumpangnya. Sang kusir kereta itu seorang pemuda berpenampilan rapi.

Ia mengenakan pakaian yang mewah dan indah. Wajahnya tampan dengan kulit putih kemerahan. Pemuda itu tampak seperti seorang wanita! Pemuda berpakaian mewah itu duduk seenaknya di atas kereta sambil meniup suling yang tergenggam dengan kedua tangan. Terdengar alunan nada-nada indah yang enak didengar.

Paduan bunyi langkah kaki kuda, derit roda kereta, dan bunyi suling mengiringi perjalanan kereta kuda memasuki sebuah desa. Beberapa orang yang kebetulan berpapasan meluangkan waktu untuk melihat kusir kereta itu.

Pemuda berpakaian mewah itu baru menghentikan permainan sulingnya ketika telah berada di depan sebuah rumah makan. Suling segera diselipkan di pinggang yang dilingkari sehelai sabuk lebar yang terbuat dari benang keemasan. Ditariknya tali kekang kuda untuk menghentikan laju kereta.

Setelah menambatkan kudanya pada sebatang pohon yang berada di dekat tempat itu dan membiarkan kudanya merumput, pemuda berpakaian mewah itu mengayunkan kaki memasuki rumah makan. Dengan dada membusung, pemuda itu menghampiri sebuah meja bundar yang terlihat masih kosong. Terlebih dulu ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai yang cukup ramai dipenuhi pengunjung.

Seorang lelaki berkulit hitam dengan tergopoh-gopoh menghampiri pemuda berpakaian mewah itu. "Mau pesan apa, Tuan?" tanya lelaki berkulit hitam yang adalah pelayan rumah makan.

"Bawa kemari semua masakan yang paling enak dan paling mahal!" tandas pemuda berpakaian mewah angkuh. Lalu, tanpa mempedulikan pelayan yang mengangguk mengiyakan, pemuda itu mengambil sebatang cangklong dari selipan pinggangnya.

Pemuda berpakaian mewah tidak menoleh ketika pelayan kedai membalikkan tubuh untuk menyiapkan pesanannya. Dia sibuk dengan cangklong yang telah diselipkan di celah-celah bibirnya. Ujung cangklong yang berbentuk seperti mangkok kecil dimasukkan racikan-racikan tembakau. Dengan sepasang batu api, dinyalakannya cangklong itu. Sesaat kemudian tercium bau semerbak yang aneh dan keras. Bau itu memenuhi rumah makan.

"Aku yakin kau yang akan menjadi pemenang dalam pertandingan nanti, Ketua. Bukankah demikian, Baroksa?"

Terdengar percakapan dari meja di sebelah kiri pemuda berpakaian mewah. Terlihat riak pada wajah pemuda itu. Rupanya, percakapan yang didengarnya cukup menarik perhatiannya. Bahkan, meski wajahnya tertuju ke depan, ekor matanya melirik ke arah meja tempat percakapan itu berasal.

"Benar, Ketua."

Orang yang dipanggil Baroksa mengangguk. Di sebelah Baroksa duduk seorang laki-laki bertubuh kurus jangkung. Sedangkan di depannya, duduk seorang lelaki kekar berkumis melintang. Ketiga orang ini mengelilingi sebuah meja bundar yang dipenuhi makanan dan minuman.

"Kalian terlalu menganggap remeh orang lain." lelaki berkumis melintang yang dipanggil ketua, menanggapi dengan suara berat dan berwibawa. "Orang-orang pandai di dunia ini terlampau banyak. Seperti Raja Racun Sakti di utara dan Raja Sihir Penyebar Maut di selatan. Dua tokoh tingkat tinggi itu tak akan mungkin bisa ku tandingi."

"Apa yang Ketua katakan memang tidak salah. Di samping utara, Raja Racun Sakti pun menguasai barat. Sedangkan wilayah timur juga dikuasai Raja Sihir Penyebar Maut, di samping daerah selatan yang memang menjadi tempat tinggalnya. Tapi, bukankah kedua datuk itu telah mengundurkan diri karena telah berusia lanjut? Mereka sudah bukan merupakan lawan lagi?" Baroksa mengajukan bantahan. Tapi, terasa betul sikap hati-hatinya.

Lelaki tinggi kurus yang menjadi kawan Baroksa mengangguk, mendukung ucapan rekannya. Malah, dengan sikap bangga dia menambahkan. "Siapa sih yang tidak mengenal kita, Ketua? Perkumpulan kita, Perkumpulan Iblis Merah, amat terkenal di dunia persilatan. Disegani kawan dan ditakuti lawan. Jangankan Ketua, kami berdua atau bahkan salah seorang di antara kami jika maju, tokoh-tokoh persilatan akan mundur teratur. Mereka akan berpikir beberapa kali sebelum maju menandingi kami."

Lelaki tinggi kurus mengucapkannya dengan suara lantang sambil berdiri dan membusungkan dada. Tapi karena dadanya memang tidak berdaging, tingkahnya jadi kelihatan menggelikan. Meski demikian, tidak mengurangi kadar kesombongan yang terkandung dalam ucapan dan sikapnya.

Ketua Perkumpulan Iblis Merah tersenyum lebar. Kesombongannya bangkit melihat sikap yang ditunjukkan anak buahnya. Sepasang matanya diedarkan ke sekeliling ruangan kedai. Diperhatikannya orang-orang yang berada di ruangan itu. Sinar matanya seperti mengajukan tantangan.

"Pelayan...!" Pemuda berpakaian mewah melambaikan tangan.

Di saat pelayan kedai tergopoh-gopoh menghampiri, pemuda itu mengeluarkan sapu tangan indah penuh sulaman dari bagian dalam bajunya. Dipergunakannya sapu tangan itu untuk menyeka mulutnya yang agak berminyak. Rupanya, ia telah selesai dengan makannya.

Memang, di saat pemuda itu mendengarkan pembicaraan orang-orang Perguruan Iblis Merah makanan telah siap dihidangkan di meja. Pemuda berpakaian mewah itu menyantap hidangannya sambil mendengarkan. Makanan yang dipesannya banyak, tapi tidak dihabiskan. Sebagian besar hanya dicicipinya.

"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan kedai seraya membungkuk hormat.

Tingkah pemuda berpakaian mewah dan pelayan kedai sempat dilihat oleh para pengunjung yang menikmati hidangan di meja masing-masing. Teriakan pemuda berpakaian mewah yang cukup lantang tadi membuat mereka mengalihkan perhatian. Tidak terkecuali orang-orang Perkumpulan Iblis Merah. Bahkan, alis Ketua Perkumpulan Iblis Merah berkerut. Ia merasa seruan lantang pemuda berpakaian mewah itu dikeluarkan untuk menimpali seruan anak buahnya tadi.

Pemuda berpakaian mewah tidak segera memberikan jawaban. Dengan sikap tenang dan penuh keangkuhan, diselipkannya cangklong yang tadi diletakkan di meja ke dalam mulutnya. Kemudian, dinyalakan dan menyedotkannya dalam-dalam. Ia mengepulkan asapnya pada sisa makanan yang berada di atas meja.

"Berikan sisa makanan ini pada orang-orang kurang makan di depan sana!" ujar pemuda berpakaian mewah dengan angkuh.

"Baik, Tuan!" Pelayan kedai mengangguk dan segera merapikan makanan di atas meja. Dibawanya makanan itu keluar untuk diberikan pada para pengemis yang berkerumun di luar kedai.

"Besar lagak...!" Lelaki tinggi kurus yang menjadi kawan Baroksa mendengus gemas. Rupanya, dia merasa jengkel melihat tingkah pemuda berpakaian mewah yang angkuh. "Ingin rasanya kuhajar dia agar berkurang sombongnya!"

"Kau jangan bersikap sembarangan, Tangkaran. Pemuda itu bukan orang sembarangan. Dia pasti mempunyai kepandaian yang cukup hingga berani bertindak seperti itu," ujar lelaki berkumis melintang.

Ucapan itu bagaikan minyak menyambar api. Lelaki tinggi kurus yang bernama Tangkaran semakin merasa tidak senang. Ucapan ketuanya tidak hanya membuatnya kesal karena seakan-akan memberikan pembelaan terhadap pemuda berpakaian mewah, tapi juga seperti memukulnya! Tangkaran merasakan ketuanya meragukan kepandaiannya. Tangkaran bangkit dari kursinya dengan wajah merah padam.

"Biar aku yang akan menghentikan sikap sombongnya, Ketua! Pemuda tidak tahu aturan itu kalau tidak diberi pelajaran akan besar kepala dan menganggap di dunia ini hanya dia yang memiliki kepandaian!"

Lelaki berkumis melintang tidak memberikan tanggapan sama sekali. Bahkan, seperti tidak mendengar ucapan Tangkaran. Dengan tenang dia menikmati makanannya. Sikap lelaki berkumis melintang itu dianggap oleh Tangkaran sebagai tanda perkenan atas tindakan yang akan dilakukannya. Maka, dengan langkah lebar, kakinya diayunkan menuju meja pemuda berpakaian mewah.

"Sungguh tidak kusangka kalau di rumah makan seperti ini ada seekor anjing merah kurus kering yang suka menyalak!"

Ucapan yang cukup keras dan lantang itu keluar dari mulut pemuda berpakaian mewah. Dia mengucapkannya setelah menghembuskan asap dari mulutnya. Kelihatannya, ucapan itu tak tertuju jelas pada siapa. Tapi Tangkaran merasakan dadanya seperti hendak meledak. Dia tahu ucapan pemuda itu ditujukan padanya.

"Pemuda sombong! Berani kau menghinaku? Rupanya, kau ingin merasakan kehebatan orang-orang Perkumpulan Iblis Merah!" teriak Tangkaran dengan suara menggelegar ketika telah berada di depan pemuda berpakaian mewah, yang masih enak-enakan duduk di kursinya bermain dengan asap tembakau. Bahkan, seperti tidak mempedulikan Tangkaran yang telah berdiri di depannya dan hanya terpisah oleh meja bundar.

"Menyingkirlah dari depanku dan berhentilah menyalak, Anjing Kurus!" sentak pemuda berpakaian mewah. Ditudingnya Tangkaran dengan cangklongnya. "Kalau tidak, aku akan memukulmu hingga kau terkaing-kaing pergi dari sini sambil menggulung ekor mu!"

"Keparat!" Perkataan pemuda berpakaian mewah yang terakhir membuat Tangkaran tidak bisa menahan sabar lagi. Dengan sepasang mata membelalak lebar seperti hendak melompat keluar dari rongganya, dia membuka serangan dengan sebuah pukulan keras ke arah wajah pemuda berpakaian mewah. Dalam kemarahannya, Tangkaran mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya. Terdengar bunyi berdesing ketika tangannya yang kurus meluncur datang.

Sudah terbayang dalam benak Tangkaran kepala pemuda yang sombong dan besar mulut ini akan hancur berantakan. Karena, jangankan kepala manusia, batu karang yang paling keras pun akan hancur terhantam tangannya.

Wukkk!

Dugaan Tangkaran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Pukulannya mengenai tempat kosong. Pemuda berpakaian mewah itu sudah tidak berada di tempatnya. Padahal, dia tidak kelihatan bergerak atau melakukan tindakan apa pun. Tapi, tubuhnya berikut kursi yang didudukinya bergeser jauh ke belakang seperti memiliki roda. Bunyi berkerit tajam mengiringi bergesernya kursi.

Amarah Tangkaran semakin berkobar. Dengan tangan kirinya, didorongnya meja bundar yang berada di depannya. Meja itu pun meluncur ke arah pemuda berpakaian mewah yang enak-enakan duduk di kursinya sambil mengisap cangklong.

Semua pasang mata pengunjung kedai, tak terkecuali lelaki berkumis melintang dan Baroksa, mulai tertarik untuk menyaksikan keributan kecil ini. Mereka ingin tahu bagaimana caranya pemuda berpakaian mewah itu meloloskan diri dari luncuran meja.

Sedikit lagi meja bundar itu menghantam pemuda berpakaian mewah, tiba-tiba pemuda itu bersama dengan kursinya terangkat tinggi ke atas! Meja itu pun meluncur di bawah keempat kaki kursi yang diduduki pemuda berpakaian mewah! Padahal, pemuda itu hanya menjejakkan kaki kanannya pelan ke lantai. Tapi, tindakan itu mampu mengangkat tubuh dan kursinya melayang ke atas setinggi hampir tiga tombak!

Yang lebih mengherankan Tangkaran dan hampir semua pengunjung kedai adalah ketika kursi yang diduduki pemuda berpakaian mewah itu mampu hinggap di atas meja tanpa menimbulkan bunyi berarti. Bagaikan sehelai daun kering mendarat di tanah! Pemuda itu sendiri dengan sikap tidak peduli enak-enakan bermain dengan asap cangklongnya.

Tindakan pemuda ini lagi-lagi membuat para pengunjung membelalakkan mata. Bahaya yang mengancam pemuda itu belum lagi sirna. Meja itu masih meluncur. Bahkan kini dengan membawahi pemuda berpakaian mewah bersama kursinya, meja itu meluncur menuju meja-meja para pengunjung, yang berada di belakang meja pemuda berpakaian mewah.

Pengunjung yang berada di belakang dan khawatir tertabrak meja yang meluncur cepat itu bergegas meninggalkan tempat mereka. Ketika meja itu menabrak meja yang ada di belakangnya terdengar bunyi berderit tajam. Lantai kedai tergurat sedalam beberapa jari sepanjang luncuran itu. Keempat kaki meja tampak amblas sedalam beberapa jari di lantai!

Sekujur tubuh Tangkaran bergetar hebat karena perasaan geram. Dia merasa dipermainkan! Apalagi, ketika dilihatnya pemuda berpakaian mewah itu masih dengan tenang mengisap cangklongnya.

"Tangkaran! Mundur...!" Lelaki berkumis melintang yang sejak tadi memperhatikan peristiwa itu memerintahkan dengan suara keras. Ketua Perkumpulan Iblis Merah ini tahu pemuda berpakaian mewah itu terlalu tangguh untuk muridnya. Sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lelaki berkumis melintang segera mencegah.

Ketua Perkumpulan Iblis Merah ini tahu calon lawannya memiliki ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam yang sangat tinggi. Pemuda berpakaian mewah itu telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk mengangkat kursinya. Dan, untuk menghentikan luncuran meja ia harus mengerahkan tenaga dalamnya.

Seruan lelaki berkumis melintang terdengar jelas oleh Tangkaran. Meski masih merasa penasaran, lelaki tinggi kurus ini tidak berani membantah. Setelah melepaskan pandangan penuh ancaman dan sikap terpaksa, Tangkaran membalikkan tubuhnya.

"Anjing merah yang kurus dan buduk hendak pergi begitu saja setelah membuang kotorannya yang busuk dekat seorang tuan muda? Rasanya tidak adil kalau tuan muda itu tidak memberikan balasan yang setimpal."

Tangkaran bergegas membalikkan tubuhnya kembali. Ia khawatir pemuda berpakaian mewah itu menyerangnya secara gelap. Kemarahan yang belum sirna dari hatinya semakin membesar.

Tapi, pemuda berpakaian mewah tidak menampakkan tanda-tanda akan menyerang. Dengan tenang pemuda itu menyelipkan cangklongnya ke pinggang, setelah membuang sisa-sisa tembakau. Kemudian, diambilnya suling dan diselipkan di bibirnya.

Tangkaran mengerutkan sepasang alisnya. Ia heran melihat tingkah pemuda itu. Apakah ia hendak bermain suling? Bukankah katanya hendak memberikan pembalasan setimpal atas tindakannya?

Perasaan heran juga membelit hati para pengunjung lainnya. Mereka semula sudah memperkira-kan pemuda berpakaian mewah itu akan menghukum Tangkaran. Maka, hati mereka pun kecewa ketika melihat pemuda itu malah hendak bermain suling.

"Pemuda itu sudah gila," pikir para pengunjung yang sebagian besar tokoh-tokoh persilatan. "Ini sih bukannya menghukum tapi menghibur."

Namun lelaki berkumis melintang tidak sependapat dengan mereka. Wajah Ketua Perkumpulan Iblis Merah ini berubah ketika melihat tindakan pemuda berpakaian mewah. "Menyingkir, Tangkaran!" seru lelaki itu keras.

Sekali kaki lelaki empat puluh lima tahun ini bergerak mengungkit, meja yang berada di depannya melayang ke arah pemuda berpakaian mewah. Makanan dan minuman yang berada di atas meja berserakan di lantai dengan suara riuh rendah.

"Hih...!" Pemuda berpakaian mewah mendengus marah. Sepasang matanya yang tajam berkilat melirik sejenak ke arah meja yang tengah meluncur. Kemudian, dengan tangan kanan masih memegang suling yang terselip di celah-celah bibir, tangan kirinya digerakkan ke arah meja yang tengah meluncur.

Dari tangan kiri pemuda berpakaian mewah yang kelihatan lembut itu berhembus angin dahsyat laksana badai. Meja yang tengah meluncur ke arahnya melaju lambat. Begitu sampai di tengah jalan, meja itu meluncur kembali ke pemiliknya, lelaki berkumis melintang. Mula-mula lambat, tapi semakin lama semakin cepat!

"Uh...!" Lelaki berkumis melintang mengeluarkan keluhan tertahan. Tangannya pun segera dijulurkan ke depan, agak menyerong ke atas. Seperti juga yang terjadi pada pemuda berpakaian mewah, dari tangan Ketua Perkumpulan Iblis Merah keluar angin dahsyat yang menahan luncuran meja, untuk kemudian meluncur kembali ke arah pemuda berpakaian mewah.

Pemuda berpakaian mewah itu pun sadar lawannya kali ini tidak bisa disamakan dengan Tangkaran. Maka sebelum meja itu meluncur lebih dekat ke arahnya, tambahan tenaga untuk tangan kirinya segera dikirimkan. Meja itu kembali meluncur ke arah lawan. Lelaki berkumis melintang bersikeras bertahan. Tak pelak lagi, pemandangan yang unik pun terjadi. Meja bundar itu meluncur berganti-ganti. Terkadang ke arah pemuda berpakaian mewah, dan tak jarang ke arah lelaki berkumis melintang.

Tangkaran dan Baroksa serta semua pengunjung kedai berdebar tegang. Mereka semua tahu antara pemuda berpakaian mewah dengan Ketua Perkumpulan Iblis Merah tengah terjadi pertarungan mengadu kekuatan tenaga dalam. Siapa yang lebih unggul akan memenangkan pertarungan ini.

Di antara para penonton, Tangkaran yang paling tegang. Sekarang dia mengerti mengapa gurunya memerintahkannya mundur. Pemuda itu terlalu tangguh untuk dilawan. Jangankan dirinya, gurunya sendiri tidak mudah mengalahkannya. Bahkan, Tangkaran merasa ragu gurunya akan keluar sebagai pemenang.

Pemuda berpakaian mewah itu sepertinya belum mengeluarkan semua kemampuannya. Sikapnya terlihat demikian sembarangan. Tangan yang dipergunakan hanya sebelah kiri. Padahal, Ketua Perkumpulan Iblis Merah telah menggunakan kedua tangannya!

DUA

Kekhawatiran Tangkaran ternyata beralasan. Setelah beberapa saat lamanya meja itu meluncur bergantian, sekarang terlihat jelas meja itu lebih sering meluncur ke arah gurunya. Bahkan, jaraknya telah lebih dekat dengan Ketua Perkumpulan Iblis Merah itu.

Bukan hanya Tangkaran yang sekarang menduga kekalahan akan terjadi di pihak gurunya. Para pengunjung lainnya pun demikian. Apalagi ketika mereka melihat keadaan Pimpinan Perkumpulan Iblis Merah itu. Sekujur tubuh lelaki berkumis melintang menggigil keras. Wajahnya penuh dibanjiri peluh. Ada asap tipis mengepul dari kepalanya. Semua itu membuktikan kalau Ketua Perkumpulan Iblis Merah telah mengerahkan tenaga dalam melebihi batas kemampuannya!

Di lain pihak, pemuda berpakaian mewah terlihat masih biasa-biasa saja. Hanya pada dahinya tampak sedikit peluh. Pertanda kalau dia telah mengeluarkan tenaga cukup banyak.

"Huakh...!" Ketua Perkumpulan Iblis Merah memuntahkan darah segar. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Kekerasan hati lelaki berkumis melintang untuk tetap bertahan melanjutkan pertarungan tidak diimbangi dengan kekuatan tenaga dalamnya. Pengerahan tenaga dalam yang melampaui batas membuatnya terluka dalam sehingga memuntahkan darah segar.

Kejadian yang menimpa Ketua Perkumpulan Iblis Merah dengan sendirinya menghentikan pertarungan. Karena terjadi secara mendadak, aliran tenaga dalam yang dikeluarkan pemuda berpakaian mewah tidak menghadapi hambatan sama sekali. Meja itu meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah Ketua Perkumpulan Iblis Merah yang masih terhuyung-huyung dengan kedua tangan mendekap dada.

Baroksa yang melihat adanya bahaya yang mengancam ketuanya, tidak tinggal diam. Kedua tangannya segera dihentakkan ke arah meja yang tengah meluncur. Lelaki pendek gemuk ini mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Brakkk!

Meja itu hancur berkeping-keping sebelum mencapai sasaran. Pecahannya berpentalan ke segala penjuru. Tapi, tanpa menemui kesulitan sedikit pun dapat dihindarkan oleh para pengunjung yang sebagian besar orang-orang persilatan. Meskipun tidak bisa disamakan dengan Baroksa, Tangkaran, apalagi Ketua Perkumpulan Iblis Merah dan pemuda berpakaian mewah.

Wajah Ketua Perkumpulan Iblis Merah yang tadi memucat kini tampak lega. Meskipun sinar kekhawatiran belum sirna dari wajahnya. Lelaki berkumis melintang itu tahu nyawanya dan nyawa kedua mu-ridnya bergantung pada pemuda berpakaian mewah itu. Tidak ada yang dapat dilakukan Ketua Perkumpulan Iblis Merah.

Lelaki berkumis melintang itu hanya menatap pemuda berpakaian mewah untuk melihat tindakan yang akan dilakukannya. Dilihatnya pemuda itu dengan tenang mengeluarkan sehelai sapu tangan indah. Dengan sapu tangan itu dibasuhnya keringat yang membasahi keningnya.

Baru setelah itu, pemuda berpakaian mewah menyimpan kembali sapu tangannya. Kemudian, dengan sekali mengibaskan tangan dan tanpa menggerakkan kaki, pemuda itu mampu membuat tubuh dan kursinya melayang meninggalkan meja. Ia mendarat di dekat Ketua Perkumpulan Iblis Merah.

"Kau Ketua Perkumpulan Iblis Merah?" tanya pemuda berpakaian mewah dengan sikap angkuh yang tidak bisa disembunyikan.

"Benar. Namaku Marong Jurig!" jawab lelaki berkumis melintang tegas. Dia berusaha untuk menunjukkan kalau keadaan dirinya biasa-biasa saja, tidak terluka sama sekali. Tapi sayang maksud itu tidak terkabul. Seringai kesakitan menghias wajahnya.

"Kudengar kau ingin ikut dalam perebutan kedudukan menjadi datuk untuk wilayah timur ini?" desak pemuda berpakaian mewah. Sinar matanya tajam menusuk wajah Marong Jung. Sikap pemuda itu seperti ingin membaca perasaan yang terkandung di dalam hati Marong Jurig.

"Benar. Karena kudengar kabar Raja Sihir Penyebar Maut lenyap entah ke mana. Apa salahnya kalau aku mencoba untuk menjadi datuk? Andaikata tidak bisa menguasai timur dan selatan seperti yang dikuasai Raja Sihir Penyebar Maut, setidak-tidaknya wilayah timur ini dapat ku kuasai," jelas Marong Jurig.

"Keinginanmu terlalu muluk, Marong!" kecam pemuda berpakaian mewah keras. "Lebih baik kau urungkan niatmu. Karena, aku akan ikut memperebutkan kedudukan itu. Aku tidak akan membiarkan wilayah kekuasaan ayahku jatuh ke tangan orang lain. Dan, kudengar pertarungan untuk memperebutkan kedudukan datuk itu diadakan di puncak Gunung Atap Langit. Apakah benar demikian?"

"Benar!" Marong Jurig masih dapat menjawab dengan agak keras. Meski jantung dalam dadanya berdetak lebih cepat. Ia tidak menyangka sedikit pun pemuda berpakaian mewah ini adalah putra Raja Sihir Penyebar Maut.

"Kapan pertemuan itu dilangsungkan?" desak pemuda berpakaian mewah.

"Tiga hari lagi. Tepat pada waktu malam bulan purnama. Tapi, pertemuan di puncak Gunung Atap Langit itu hanya untuk memperebutkan kedudukan datuk wilayah timur. Sedangkan wilayah-wilayah lain, bukan di sana tempatnya," Marong Jurig menambahkan.

Pemuda berpakaian mewah itu tidak memberikan tanggapan. Dia telah tahu kalau di empat wilayah terjadi persaingan untuk memperebutkan kedudukan datuk kaum sesat. Sehubungan dengan santernya berita yang tersiar di dunia persilatan, bahwa Raja Sihir Penyebar Maut dan Raja Racun Sakti lenyap tanpa ketahuan rimbanya, seperti di telan bumi!

"Bersyukurlah kau, Marong." Pemuda berpakaian mewah berujar dengan wajah dan sikap dingin. "Keterangan yang kau berikan membuat aku mengurungkan niat untuk mencabut nyawamu. Tapi, hanya kau yang mendapatkannya, sedangkan anjing merah kurus itu akan mendapatkan hukuman yang setimpal!"

Tangkaran yang dituding oleh pemuda berpakaian mewah menjadi pucat pasi wajahnya. Dengan sinar mata minta tolong, lelaki tinggi kurus ini menatap wajah gurunya. Tapi yang ditatap hanya menundukkan kepala dengan wajah muram. Melihat hal ini, Tangkaran tahu Marong Jurig tidak mampu menolongnya.

Pemuda berpakaian mewah hanya tersenyum keji melihat tindakan Tangkaran. Sekilas ditatapnya Baroksa yang kebingungan mengetahui rekannya berada dalam bahaya. Baroksa pun menatap Marong Jurig. Tapi, wajah lelaki berkumis melintang itu tertutup oleh rambutnya yang tergerai karena kepalanya ditundukkan dalam-dalam.

Baroksa beralih menatap pemuda berpakaian mewah. Dilihatnya pemuda tampan yang pesolek itu mengeluarkan suling yang tadi telah diselipkan di punggungnya. Ditempelkannya suling yang indah itu di bibirnya. Kemudian, mulai ditiupnya. Nada tinggi dan melengking yang mengusik telinga pun menyebar. Semakin lama semakin tinggi. Semua orang yang berada di dalam kedai mendekap telinga untuk menahan masuknya bunyi yang menyakitkan itu.

Tangkaran pun demikian. Lelaki tinggi kurus ini mendekap kedua telinganya kuat-kuat. Tapi, berbeda dengan orang-orang lain yang sepertinya tidak terlalu terpengaruh, Tangkaran merasa tersiksa bukan main. Telinganya seperti ditusuk-tusuk jarum. Sakit dan nyeri. Kian lama kian sakit. Sehingga, Tangkaran duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh suara suling. Tangkaran yang dijadikan sasaran serangan kelihatan sangat tersiksa.

Hanya dalam waktu singkat sekujur tubuh Tangkaran menggigil keras. Dia tidak lagi duduk bersila. Tangkaran tidak kuat menahan sakit yang melanda. Lelaki tinggi kurus ini berguling-guling di tanah sambil menjerit-jerit. Dari hidung, mulut, dan telinganya mengalir darah segar.

Beberapa saat lamanya Tangkaran berada dalam keadaan tersiksa. Berguling-guling, berkelojotan, seperti ayam disembelih sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Ia tewas dengan seluruh pembuluh darah pecah karena tak kuat menahan serangan tenaga dalam yang keluar dari suara suling.

Dengan wajah dingin, pemuda berpakaian mewah menyimpan kembali sulingnya. Tatapannya kemudian beredar menyapu isi ruangan. Sinar matanya tampak penuh tantangan.

"Barang siapa yang tidak senang dengan tindakanku dan merasa penasaran, silakan maju!" tantang pemuda berpakaian mewah itu.

Tidak seorang pun membuka suara apalagi mengajukan diri untuk menandingi pemuda itu. Sebagian besar dari mereka menundukkan kepala, takut bertemu pandang dengannya. Siapa tahu akibat hal itu akan mengerikan. Pemuda berpakaian mewah itu akan membunuh mereka. Hal seperti itu tidak aneh mengingat pemuda ini adalah putra Raja Sihir Penyebar Maut.

Hati semua tokoh persilatan yang berada di dalam kedai menjadi tegang ketika pemuda berpakaian mewah menatap semua yang berada di situ dengan sorot mata tajam berkilat.

"Akh...! Aaa...! Aaa...!"

Para pengunjung kedai, tak terkecuali Marong Jurig dan Baroksa, terlonjak kaget. Jeritan-jeritan menyayat yang terdengar susul-menyusul itu mengejutkan semua orang yang berada di dalam rumah makan. Jeritan-jeritan itu ternyata berasal dari luar rumah makan. Dari ambang pintu kedai yang tidak ditutup terlihat sebagian dari pemilik jeritan. Mereka adalah orang-orang berpakaian compang-camping. Pengemis!

Pemuda berpakaian mewah tersenyum keji. Tanpa berkata apa-apa dia melangkah meninggalkan rumah makan. Ketika telah berada di luar dan tubuh para pengemis yang tergolek di tanah menghalangi langkahnya, dengan tanpa peduli dilangkahinya. Bahkan, beberapa sosok yang masih menggelepar-gelepar menahan kesakitan dengan tenang diinjaknya tanpa mengenal kasihan sedikit pun. Terdengar bunyi berkerotokan tulang-tulang yang patah. Tak pelak lagi, jeritan kesakitan mereka pun semakin bertambah.

Tapi, pemuda berpakaian mewah tidak mempedulikannya. Ia mengayunkan kaki menuju kereta dan melajukan keretanya yang mewah secara perlahan. Baru ketika pemuda itu dan keretanya telah jauh meninggalkan rumah makan, para pengunjung kedai berlarian keluar untuk melihat. Mereka bergidik ngeri ketika tahu para pengemis yang jumlahnya belasan itu mati keracunan. Pasti makanan yang diberikan para orang-orang melarat itu telah diberi racun lebih dulu.

* * *

"Tunggu sebentar, Nisanak? Tidak boleh sembarangan orang boleh masuk ke dalam!"

Seruan itu membuat seorang gadis berpakaian biru yang tergesa-gesa mengayunkan langkah menuju pintu gerbang sebuah bangunan besar, menghentikan langkahnya. Apalagi, karena dua lelaki kekar berpakaian rompi hitam yang menjaga pintu gerbang, berdiri tepat di depan jalan yang akan dilalui gadis berpakaian biru.

Gadis berwajah cantik dengan bentuk tubuh menggiurkan itu membelalakkan sepasang matanya yang indah. "Kalian berani melarangku masuk?!" tegur gadis itu ketus sambil bertolak pinggang. "Tahukah kalian siapa aku?"

Dua lelaki kekar berompi hitam itu saling ber-tukar pandang. Sikap gadis berpakaian biru membuat mereka agak ragu.

"Cepat kalian menyingkir sebelum kesabaranku habis!" seru gadis berpakaian biru. Nada suaranya terdengar lebih tinggi. "Aku ingin bertemu dengan Danar Jati secepatnya! Ada urusan penting!"

"Sayang sekali, Nisanak." Salah satu dari dua penjaga, yang memiliki rajahan bergambar cakar burung di pangkal lengan kanan, berkata dengan nada menyesal. "Permohonan mu tidak bisa kami kabulkan. Tidak ada orang yang bernama Danar Jati di tempat ini!"

"O, begitu...." Gadis berpakaian biru mengangguk-anggukkan kepala seraya tersenyum sinis. "Rupanya sekarang dia tidak memakai nama aslinya lagi. Baiklah kalau kalian tidak mengenal nama Danar Jati. Mungkin perlu kuberitahu kalau Danar Jati itu sekarang telah berjuluk Malaikat Utara. Jelas?! Sekarang cepat panggil dia kemari! Katakan aku, Citra Sari, datang untuk menghukumnya karena tindakannya yang lancang!"

"Mulutmu semakin kurang ajar, Nisanak Cantik!" Lelaki berompi hitam yang satunya mulai berani bertindak kurang ajar. Sepasang matanya menatap pada bagian-bagian tertentu di tubuh gadis berpakaian biru dengan sinar mata penuh minat. Semula, kedua lelaki ini tidak berani bertindak demikian karena khawatir gadis berpakaian biru ini merupakan kawan baik pimpinan mereka. "Sekali lagi kau berani menghina pimpinan kami, kau akan ku telanjangi!" lanjut lelaki itu.

"Keparat!" Gadis berpakaian biru mengeluarkan makian keras. Dia melesat menerjang. Tidak kelihatan tangannya bergerak, tahu-tahu tubuh kedua lelaki berompi hitam itu telah terlempar ke sana kemari. Gadis berpakaian biru itu dengan kecepatan kilat menggerakkan tangan mengirimkan tamparan-tamparan.

Beruntung gadis itu tidak bermaksud membunuh sehingga tamparan-tamparannya hanya ditujukan pada bagian-bagian yang tidak berbahaya. Kendati demikian, cukup untuk membuat kedua penjaga itu tidak mampu bangkit lagi. Mereka menderita luka dalam yang cukup parah.

Tanpa mempedulikan nasib kedua lawannya, gadis berpakaian biru melangkah lebar memasuki pin-tu gerbang. Dalam beberapa langkah tubuhnya telah berada di halaman depan sebuah bangunan besar yang kokoh dan indah. Pada bagian sebelah kiri bangunan besar itu terdapat hamparan taman yang indah dan enak dipandang. Taman itu penuh dengan bunga-bunga dan patung-patung yang indah.

"Danar Jati...! Murid Murtad! Keluar kau...!" seru gadis berpakaian biru dengan mengerahkan tenaga dalam sehingga suaranya terdengar sampai jauh.

Belum juga gema ucapan Citra Sari lenyap, daun pintu bangunan yang terbuat dari kayu jati berukir bergerak membuka. Dari dalamnya keluar sesosok tubuh berpakaian serba putih. Di belakang sosok berpakaian putih ini tampak beberapa sosok lain. Dari gerak-geriknya dan sorot mata mereka, Citra Sari dapat mengetahui mereka adalah orang-orang golongan hitam.

Tapi Citra Sari tidak mempedulikan mereka. Pandangan gadis berpakaian biru itu tertuju pada sosok berpakaian putih. Jari-jari tangannya yang lentik bergerak menuding. "Danar Jati...! Manusia tidak kenal budi! Bersiaplah untuk menerima hukuman!"

Sosok berpakaian putih yang ternyata seorang lelaki tinggi besar dengan wajah persegi seperti wajah singa, tidak menunjukkan rasa marah mendengar makian tajam itu. Dia terkekeh pelan seraya melangkah menghampiri Citra Sari.

"Kukira siapa. Rupanya kau, Citra Sari. Silakan masuk dan bergabung dengan kami. Dengan adanya kau, kedudukan kami menjadi lebih kuat. Bukan tidak mungkin kalau aku menjadi datuk nomor satu, perkumpulan yang akan kita dirikan menjadi sebuah perkumpulan terkuat!" Lelaki berwajah singa yang berusia tidak lebih dari tiga puluh lima tahun dan bernama Danar Jati itu berkata dengan tenang.

"Tutup mulutmu, Danar Jati! Kedatanganku kemari untuk membunuhmu. Kau telah murtad. Andaikata guru-guru tahu semua tindakanmu, mereka akan bangkit dari lubang kuburnya!"

"Ah...! Rupanya begitu menurutmu, Citra Sari yang manis?" Danar Jati malah mengejek. "Keyakinanku tidak sepaham denganmu. Aku yakin guru-guru justru merasa bangga aku berhasil menjadi datuk wilayah utara. Tapi, tak akan lama lagi aku akan menjadi datuk nomor satu di seluruh penjuru dunia! Ha ha ha...!"

"Itu tidak akan terlaksana karena kau akan mampus di tanganku, Danar Jati Keparat!"

Begitu ucapannya selesai, Citra Sari mencabut sepasang pisau yang berkilat tajam dari balik bajunya. Kemudian, melesat menerjang Danar Jati dengan tu-sukan pisaunya yang kanan ke arah ulu hati! Bunyi berdesing nyaring yang mengiringi luncuran pisau me-nunjukkan kekuatan tenaga dalam serangan Citra Sari.

"Biar aku yang mewakilimu menaklukkan kuda betina liar ini, Malaikat Utara!"

Salah seorang dari perkumpulan orang-orang yang berada di belakang Danar Jati menyeruak maju. Dia adalah seorang lelaki bertubuh kecil kurus tapi memiliki kumis tebal dan hitam. Bibirnya tampak selalu menyunggingkan senyum. Pakaian yang dikenakannya kuning bergaris-garis hitam. Sehelai kipas indah dan lebar tercekal di tangan kanan dan selalu dikebut-kebutkan pelan di wajahnya.

Malaikat Utara menatap lelaki kecil kurus itu sejenak sebelum menganggukkan kepala. "Silakan, Setan Kipas. Kuserahkan dia padamu. Kau boleh bertindak apa saja padanya." ujar Malaikat Utara seraya melangkah ke belakang. Sehingga, serangan Citra Sari mengenai tempat kosong.

Sebelum Citra Sari sempat melancarkan serangan susulan, lelaki berkumis tebal itu telah lebih dulu mendahuluinya. Ia melancarkan serangkaian serangan dahsyat dengan totokan ujung kipasnya yang dikuncupkan.

Trak, trakk, trakkk!

Citra Sari yang tidak mempunyai kesempatan mengelak, menangkis serangan itu dengan sepasang pisaunya. Akibat benturan yang cukup keras itu tubuh keduanya terhuyung-huyung ke belakang. Setan Kipas terhuyung dua langkah lebih jauh. Setan Kipas yang sejak semula yakin akan mampu menundukkan Citra Sari jadi berubah wajahnya.

Kenyataan ini sangat memalukan Setan Kipas. Ia bertekad akan menutup kekalahannya. Serangan bertubi-tubi yang tidak terduga-duga pun dilancarkan. Kipas yang indah dalam sekejap berkali-kali berubah bentuk. Terkadang menutup, terkadang mengembang.

Namun, Citra Sari bukan dara sembarangan. Dia mampu mengimbangi permainan kipas si Setan Kipas. Bahkan, mengirimkan serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Setelah bertempur beberapa jurus, Setan Kipas mulai merasa ragu dapat mengalahkan Citra Sari.

Lawannya ini meski masih muda tapi memiliki kepandaian demikian hebat. Baik dalam hal tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh. Hanya karena Citra Sari kurang banyak pengalaman bertanding maka gadis itu tidak bisa mengembangkan permainannya. Hingga, Setan Kipas mampu bertahan cukup lama.

Setan Kipas penasaran bukan main. Di samping itu dia pun merasa malu. Di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh persilatan dia didesak. Mau ditaruh di mana mukanya? Perasaan malu ini yang mendorong Setan Kipas untuk terus melakukan perlawanan. Dan, kalau bisa mengalahkan lawan.

Setan Kipas adalah seorang tokoh hitam yang telah lama malang-melintang di dunia persilatan. Telah puluhan kali dia terlibat pertarungan. Sebagian besar dapat dimenangkan. Dalam kemenan-gan itu tidak sedikit yang didapatnya dengan cara ti-dak wajar. Setan Kipas berlaku curang. Kali ini pun dia bermaksud bertindak demikian.

Desss!

Sebuah tendangan kaki kanan Citra Sari yang mengenai paha kanan Setan Kipas membuat lelaki berkumis tebal itu terlempar dan jatuh terguling-guling. Citra Sari yang marah segera memburu. Setan Kipas segera bangkit dan berjungkir balik beberapa kali di udara. Citra Sari yang mengetahui maksud la-wannya segera mengejar. Tapi dia terlambat Setan Kipas telah lebih dulu menjejak tanah di saat Citra Sari meluruk maju dengan tusukan pisaunya.

Setan Kipas menggesek-gesekkan kedua kakinya di tanah. Hingga, tanah yang cukup keras itu terkikis cukup banyak. Citra Sari yang tengah menerjang melihatnya. Tapi dia tidak mempedulikannya. Gadis itu tidak tahu maksud tindakan lawannya.

Wusss!

Setan Kipas baru mengebutkan kipasnya ketika Citra Sari telah semakin dekat. Kali ini kipasnya mengebut tempat yang berbeda. Tanah! Akibat kebutan yang keras itu, debu tanah yang telah terkikis beterbangan ke arah Citra Sari.

Citra Sari kaget bukan main. Buru-buru matanya dipejamkan. Takut kalau-kalau matanya kemasukan debu. Ini memang kesempatan yang ditunggu-tunggu Setan Kipas. Tindakan Citra Sari sudah masuk perhitungannya. Secepat kilat, Setan Kipas melompat mengirimkan sebuah tendangan. Citra Sari tahu serangan terhadap dirinya. Pendengarannya yang tajam dapat mendengar bunyi menderu serangan Setan Kipas.

Desss!

"Hukh...!" Citra Sari mengeluarkan seruan kesakitan. Kaki Setan Kipas dengan telak mendarat di perutnya. Gadis berpakaian biru ini tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Di samping keadaan tubuhnya yang tengah berada di udara, serangan lawan pun tiba demikian cepat. Citra Sari hanya dapat mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi bagian dalam tubuhnya. Meskipun demikian, gadis berpakaian biru ini terlempar jauh ke belakang. Darah segar membasahi sudut-sudut mulutnya. Kalau saja saat ini Citra Sari tidak mengerahkan tenaga dalam, nyawanya akan melayang saat itu juga.

Setan Kipas yang dalam cekaman perasaan malu dan marah karena sempat terdesak oleh Citra Sari kini menjadi beringas. Citra Sari yang tengah tidak berdaya dan tubuhnya melayang deras, diburunya. Kipasnya ditotokkan ke arah leher gadis berpakaian biru itu.

TIGA

Trakkk!

"Uh...!" Setan Kipas mengeluarkan keluhan tertahan. Di saat ujung kipasnya hampir berhasil mengenai sasaran, dari arah yang berlawanan melesat bayangan hitam dengan disertai bunyi berdesing nyaring. Cepat bukan main dan membentur ujung kipasnya. Setan Kipas merasakan kedua tangannya bergetar hebat.

Setan Kipas berjungkir balik ke belakang. Begitu menjejak tanah, dilihatnya sesosok tubuh kekar berpakaian ungu tengah menurunkan tubuh Citra Sari dari kedua tangannya. Gadis berpakaian biru itu telah ditangkap sosok tubuh kekar berambut putih panjang sebelum membentur tanah.

Setan Kipas menatap sosok berpakaian ungu yang sekarang telah membalikkan tubuh menghadapnya. Sosok berpakaian ungu itu ternyata seorang pemuda berambut putih keperakan dan berwajah tampan. Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Ini bisa diperkirakan Setan Kipas dari hebatnya getaran tangannya yang memegang kipas ketika benda gelap yang ternyata sebutir kerikil sebesar ibu jari kaki membenturnya.

"Siapa kau, Keparat?! Berani betul mencampuri urusan Setan Kipas?!" gertak Setan Kipas penuh ancaman.

"Dia pasti Dewa Arak...!" Seruan itu keluar dari mulut seorang nenek berpakaian penuh tambalan yang berada di belakang Malaikat Utara.

"Ah...!" Hampir semua yang berada di situ terlonjak kaget mendengar siapa yang telah menolong Citra Sari. Hanya beberapa di antara mereka yang kelihatan tidak terkejut. Mereka mampu menguasai perasaannya sehingga tidak terlihat di wajah. Salah satu di antara mereka adalah Malaikat Utara. Dia tetap berdiri tegak dengan sikap angkuhnya.

"Benarkah kau tokoh yang sombong itu, Pemuda Usilan?!" Setan Kipas meminta penegasan seraya menudingkan kipasnya.

"Tidak salah! Akulah Dewa Arak!" jawab pemuda berambut putih keperakan yang tidak lain Arya alias Dewa Arak. Suaranya mantap dan tegas.

"Ha ha ha...!" Setan Kipas tertawa terbahak. "Rupanya benar berita yang kudengar mengenai dirimu, Dewa Arak. Kau memang sombong dan usilan. Merasa diri sendiri paling hebat sehingga berani mencampuri urusan orang lain. Selama ini kau boleh beruntung. Tapi sekarang, setelah bertemu dengan aku, Setan Kipas, keberuntunganmu akan berakhir! Namamu yang besar dan menggemparkan dunia persilatan akan pupus di sini!"

Wukkk!

Setan Kipas menutup ucapannya dengan sebuah kebutan kipasnya. Cara yang telah berhasil memperdaya Citra Sari dipergunakan lagi terhadap Dewa Arak. Debu mengepul tinggi dan meluruk ke arah Dewa Arak seperti ingin membungkus tubuhnya.

Meski terperanjat melihat serangan yang dilakukan secara tiba-tiba dan demikian curang ini, Arya tidak kelihatan bingung apalagi gugup. Dia terlalu sering berhadapan dengan bahaya dan ancaman maut. Sehingga, menghadapi ancaman tiba-tiba seperti ini ia tidak kehilangan akal.

Pemuda berambut putih keperakan itu melakukan gerakan mendorong ke depan. Hembusan angin keras bertiup melemparkan sekumpulan debu yang menuju ke arahnya berbalik ke arah pemiliknya. Khawatir tidak semua debu terusir pergi, Arya membarengi dorongannya itu dengan tiupan mulutnya. Debu-debu itu pun melayang kembali ke arah Setan Kipas.

Lelaki berkumis tebal itu yang baru saja menjejakkan kaki untuk melancarkan serangan gelap terkejut bukan main. Debu-debu yang meluncur ke arah Dewa Arak berbalik ke arahnya. Buru-buru dia memejamkan mata dan melempar tubuhnya ke belakang dengan sebuah letikan laksana seekor lumba-lumba.

"Hik hik hik...! Kurasa sudah waktunya bagimu untuk mundur, Setan Kipas! Kau bukan tandingan Dewa Arak. Lagi pula kau sudah bertarung melawan gadis ingusan itu. Sekarang menyingkirlah. Biar aku yang menghadapi Dewa Arak!"

Setan Kipas hendak membantah, tapi niatnya segera diurungkan. Orang yang berbicara itu adalah nenek berpakaian penuh tambalan. Nenek yang terkenal dengan julukan Pengemis Tongkat Merah itu berwatak aneh. Ia akan marah dan menyerang apabila niatnya dihalangi. Setan Kipas tidak mau hal itu terjadi. Pengemis Tongkat Merah memiliki kemampuan di atasnya. Apalagi ketika diliriknya Malaikat Utara menganggukkan kepala dan memberikan isyarat agar dia mundur. Tanpa banyak cakap lagi, Setan Kipas pun melangkah mundur.

"Aku rasa kalian semua salah menduga dengan maksud kedatanganku." Arya buru-buru berujar seraya menatap Pengemis Tongkat Merah, Malaikat Utara dan tokoh-tokoh persilatan yang berada di belakang datuk wilayah utara. "Aku datang kemari tidak untuk bermusuhan dengan kalian. Aku datang kemari tidak sengaja, karena mendengar bunyi riuh-rendah suara pertempuran. Jadi...."

"Kau takut Dewa Arak...?!" Pengemis Tongkat Merah menukas tak sabar.

Merah padam wajah Dewa Arak. "Dalam kamus hidupku tidak ada kata takut, Nek! Hanya saja aku tidak ingin bertarung dan menanam permusuhan tanpa alasan yang jelas."

"Alasan!" Pengemis Tongkat Merah membentak. "Kau kira menolong wanita itu dari tangan Setan Kipas tidak membuatmu jadi mempunyai urusan dengan kami? Katakan saja kalau kau takut! Aku tidak akan menyerangmu, Dewa Arak!"

"Majulah, Nek! Buktikan kalau sesumbar mu sesuai dengan kemampuan yang kau miliki!" tandas Arya mantap.

"Pemuda Sombong!" Sepasang mata nenek berpakaian penuh tambalan membelalak lebar. "Aku sudah terkenal di dunia persilatan. Dan, menjadi tokoh yang tak tertandingi sebelum kau lahir! Terimalah ini, Pemuda Sombong!"

Wukkk!

Babatan tongkat kayu merah di tangan Pengemis Tongkat Merah yang mengancam pinggangnya berhasil dielakkan. Arya menjejakkan kaki dan tubuh-nya melayang ke atas. Tongkat itu menyambar bebera-pa jari di bawah kaki pemuda berambut putih keperakan itu.

Tapi, nenek berpakaian penuh tambalan tidak percuma mendapat julukan Pengemis Tongkat Merah. Permainan tongkatnya memang menakjubkan. Begitu berhasil dielakkan Dewa Arak, tongkat itu berputar melingkar dan meluncur dengan sebuah tusukan ke arah dada. Serangan ini memaksa pemuda berambut putih keperakan melompat jauh ke belakang. Pengemis Tongkat Merah segera mengejar.

Debu mengepul tinggi. Bunyi mengaung dan menderu-deru mengiringi gerakan tongkat Pengemis Tongkat Merah. Tongkat itu lenyap menjadi kelebatan bayangan merah yang bergulung-gulung seperti hen-dak membungkus tubuh Dewa Arak. Tapi, dengan lincahnya pemuda berambut putih keperakan itu menghindar. Bahkan, beberapa kali melancarkan serangan balasan. Dewa Arak menghadapi amukan Pengemis Tongkat Merah dengan tangan kosong.

Tappp!

Pengemis Tongkat Merah terperanjat. Ujung tongkat merahnya tertangkap oleh lawan saat ia melakukan sodokan ke arah ulu hati. Nenek berpakaian penuh tambalan ini tidak tinggal diam. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, sodokannya diteruskan. Ketika tidak bergeming juga segera ditariknya pulang. Tapi gagal. Tongkat itu seperti dicengkeram jepitan baja. Padahal, jelas terlihat oleh Pengemis Tongkat Merah kalau Dewa Arak hanya memegangnya dengan satu tangan.

"Ah...!" Pengemis Tongkat Merah mengeluarkan seruan tertahan. Tubuhnya terangkat ketika Arya menggerakkan tongkatnya ke atas. Betapa pun nenek bertongkat merah ini mengerahkan tenaga dalam untuk memberatkan tubuhnya, usahanya sia-sia. Tubuhnya semakin terangkat ke atas.

Tindakan pemuda berambut putih keperakan itu tidak berhenti sampai di situ saja. Tangan yang mencengkeram tongkat disodokkan ke depan. Tongkat itu pun dengan telak menghantam perut Pengemis Tongkat Merah. Terdengar bunyi keluh kesakitan dari mulut nenek berpakaian penuh tambalan.

Pengemis Tongkat Merah terpental ke belakang. Tongkat merah di tangannya terlempar dari pegangan dan jatuh ke tanah. Karena Arya yang menggenggamnya melepaskan pegangan pada tongkat begitu tubuh Pengemis Tongkat Merah terpental.

Malang bagi Pengemis Tongkat Merah. Tidak ada seorang pun tokoh persilatan yang sudi menolongnya. Maka, ketika dia berusaha mendarat dengan kedua kaki, tubuhnya terhuyung-huyung belakang dan jatuh dengan menggunakan kedua lututnya.

"Kurasa sudah cukup sampai di sini," ujar Dewa Arak. Ditentangnya pandang mata Malaikat Utara yang diyakininya sebagai pemimpin tokoh persilatan yang berada di situ. "Aku pergi!"

Dengan sikap yakin kalau lawan-lawannya tidak akan membokongnya, Arya membalikkan tubuh. Langkahnya terayun mendekati Citra Sari yang masih tergolek di tanah. Arya memutuskan untuk membawa Citra Sari meninggalkan tempat itu. Meski ia belum merasa jelas dengan masalah mereka. Tapi, melihat sikap Setan Kipas dan Pengemis Tongkat Merah, Arya lebih condong untuk membela Citra Sari.

"Tunggu, Dewa Arak!" Terdengar teriakan lantang.

Arya terpaksa menghentikan ayunan kakinya. Tapi, pemuda berambut putih keperakan ini tidak membalikkan tubuh. Ia berdiri tenang dengan sekujur urat syaraf menegang waspada. Belum lenyap gema teriakan itu, Arya mendengar bunyi angin mendesir di atas kepalanya. Tapi pemuda itu tetap bersikap tenang. Ia tahu itu bukan bunyi angin yang ditimbulkan oleh serangan.

Sekejap kemudian, tanpa menimbulkan bunyi berarti, beberapa tombak di depan Arya telah berdiri lelaki berpakaian serba putih. Dialah Malaikat Utara alias Danar Jati.

"Kau memang hebat, Dewa Arak!" puji Malaikat Utara. Kemenangan demi kemenangan yang diraih Dewa Arak atas Setan Kipas dan Pengemis Tongkat Merah telah membuatnya kagum. Seorang yang masih berusia demikian muda telah mempunyai kepandaian tinggi.

"Sama sekali tidak, Sobat. Orang-orang yang kuhadapi kebetulan telah berbaik hati mau mengalah. Kalau tidak, mana mungkin aku akan dapat mengungguli mereka?" sambut Arya merendah.

"Ha ha ha...!" Malaikat Utara tertawa bergelak. Keras sekali. Tapi hanya sebentar. Kemudian langsung ditutup dengan dengusan. Wajahnya kembali dingin seperti semula. "Kau memang pandai merendah, Dewa Arak. Tapi, itu tidak penting! Perkenalkan, aku adalah Malaikat Utara!"

Arya terkejut mendengar pemberitahuan ini. Dia telah mendengar berita kalau telah muncul seorang tokoh kaum sesat yang merajai wilayah utara. Ia berjuluk Malaikat Utara. Jadi, inikah tokoh yang terkenal itu? Meski demikian, pada wajah tampan Arya tidak terlihat bias perasaannya. Wajahnya tampak tetap tenang.

"Kiranya kau datuk sesat wilayah utara ini, Malaikat Utara." Datar dan ringan ucapan yang dikeluarkan Arya. "Maaf kalau aku mengacau tempat mu. Ini sungguh tidak ku sengaja. Kuharap kau mau berbesar hati membiarkan aku pergi dari sini. Untuk itu, aku mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya."

Kembali Malaikat Utara tertawa bergelak. Dan diakhiri dengan dengusan tajam. "Sayang sekali, Dewa Arak. Aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Kau sudah memasuki tempat tinggalku, menimbulkan kekacauan dan merobohkan pengikut-pengikut ku. Kalau kubiarkan pergi, apa kata orang nanti? Mereka akan menganggap aku takut padamu. Ini akan menjatuhkan namaku. Orang-orang akan berani keluar masuk tempat tinggalku dengan seenaknya."

"Jadi...." Arya menggantungkan ucapannya. Ditunggunya jawaban Malaikat Utara. Sekujur urat-urat syarafnya menegang penuh kewaspadaan. Arya tahu betapa pun lihai dirinya, tapi apabila Malaikat Utara dan semua pengikutnya turun tangan dia tidak akan bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup.

"Kau boleh keluar dari tempat ini bila mampu memenuhi persyaratan ku!" tandas Malaikat Utara penuh wibawa. "Bagaimana? Kau setuju?"

"Tergantung persyaratan yang kau ajukan, Malaikat Utara!" Arya menjawab tak kalah tegas. "Aku tidak langsung menyetujui bila tidak mengetahui syarat yang akan kau ajukan!"

"Tidak berat. Dewa Arak. Kau hanya mencoba untuk memenangkan adu ketrampilan dengan seorang anak buahku. Apabila kau menang, aku akan membiarkan kau pergi dari sini dengan membawa gadis liar itu! Tapi bila kau kalah, kau harus berhadapan denganku! Kau berani?"

"Tidak ada kata tidak bagi sebuah tantangan yang diajukan padaku!" Dengan lantang Arya menjawab. Hatinya panas karena mendapat pertanyaan apakah dirinya berani menerima tantangan yang diajukan Malaikat Utara.

"Bagus!" Malaikat Utara berseru gembira. Hal itu akan mengangkat namanya tinggi-tinggi dalam pandangan para pengikutnya. Dia mampu memaksa Dewa Arak untuk mengikuti aturannya. Itu keuntungan pertama. Yang kedua, dia telah mengangkat dirinya karena Dewa Arak hanya akan dapat menghadapinya bila memenangkan pertarungan dari anak buahnya. Malaikat Utara telah dengan cerdiknya menempatkan diri di atas Dewa Arak.

Dengan senyum lebar karena merasa yakin akan kemenangan di pihaknya, Malaikat Utara mengu-lapkan tangan pada seorang pengikutnya. Ia seorang lelaki kekar memakai rompi dari kulit harimau. Kulit-nya hitam kecoklatan dengan rambut kemerahan. Di belakang punggungnya tampak sebilah busur dengan sekotak panjang anak panah.

"Pengikut ku ini berjuluk Raja Panah Berbaju Emas." Malaikat Utara memperkenalkan lelaki berrambut kemerahan pada Arya. "Dialah yang akan menjadi lawanmu, Dewa Arak."

Meski terkejut melihat calon lawannya, Dewa Arak tetap bersikap tenang. Dalam hati dia memuji kecerdikan Malaikat Utara. Tapi, Arya tidak berkecil hati. Kalau hanya permainan panah, dia mampu melakukannya. Bagi orang seperti Dewa Arak, memanah bukan merupakan kepandaian asing. Pemuda berambut putih keperakan itu mampu melakukannya dengan baik.

"Silakan kalian bertarung," ujar Malaikat Utara. Ditinggalkannya Arya dan Raja Panah Berbaju Emas.

"Pertarungan macam apa yang kau inginkan Raja Panah?" tanya Arya. Ditatapnya wajah lelaki berambut kemerahan itu sejenak.

Raja Panah Berbaju Emas tidak segera menjawab. Dia melangkah dengan menengadahkan kepala, seperti ada yang dicarinya. Dan, wajahnya berseri ketika melihat titik-titik hitam di angkasa. Burung-burung yang tengah beterbangan.

"Itulah yang akan kita pertarungkan!" Raja Panah Berbaju Emas menunjuk ke angkasa. "Kau sanggup?"

"Mengapa tidak?" jawab Dewa Arak cepat. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa yakin. Kalau hanya membidik burung-burung itu, Arya yakin akan mampu melakukannya.

"Kalau begitu, kita mulai!"

Raja Panah Berbaju Emas mengeluarkan sebatang anak panah dari kantong yang tergantung di punggungnya. Kemudian, dipasangnya pada tali busur dan dibidikkan ke angkasa mencari sasaran. Tampak burung-burung terbang berkelompok hendak pulang ke sarang. Memang waktu itu hari telah sore. Matahari mulai terbenam di kaki langit. Terdengar bunyi berdesing dari luncuran anak panah.

Sesaat kemudian, terlihat sesuatu melayang jatuh dan berdebuk di tanah. Seketika orang-orang berdecak kagum ketika melihat seekor burung telah terpanggang lehernya oleh panah Raja Panah Berbaju Emas.

"Lakukanlah seperti yang kulakukan." Raja Panah Berbaju Emas menyerahkan anak panah dan busurnya pada Dewa Arak.

Pemuda berambut putih keperakan itu memasang anak panah pada tali busur dan membidikkan ke atas. Agak lama baru terdengar suara berdesing ketika anak panah itu lepas dari busurnya. Sesaat kemudian, terdengar bunyi berdebuk. Seekor burung jatuh ke tanah dengan dada tertembus panah.

Raja Panah Berbaju Emas tersenyum gembira. Dia tidak merasa gusar dengan keberhasilan Dewa Arak. Ia mendapat seorang lawan yang cukup tangguh. Kalau dalam segebrakan saja pemuda berambut putih keperakan itu berhasil dikalahkan, dia malah akan kecewa.

"Kau boleh juga, Dewa Arak. Tapi, sekarang aku yakin kau tidak akan mampu menandingi ku. Tadi hanya permulaan saja. Hanya untuk menguji apakah kau pantas berhadapan denganku. Raja Panah Berbaju Emas!"

EMPAT

Begitu menerima angsuran busur dari Dewa Arak, Raja Panah Berbaju Emas segera mengambil tiga batang anak panah dan memasangkan ke busurnya. Arya menatapnya dengan sepasang mata heran. Pemuda berambut putih keperakan ini menduga-duga dalam hati. Apakah Raja Panah Berbaju Emas bermaksud melepaskan tiga batang anak panah itu bersamaan?

Tanpa mempedulikan keheranan Dewa Arak, Raja Panah Berbaju Emas menarik tali busurnya. Kemudian, dilepaskannya hingga terdengar bunyi berdesing nyaring. Tiga batang anak panah itu melesat ke atas. Dan, tak lama kemudian terdengar bunyi berdebuk dari jatuhnya tiga ekor burung di tanah.

Sekarang Dewa Arak benar-benar melihat bukti. Julukan yang disandang lelaki berambut kemerahan itu tidak berlebihan kalau julukan Raja Panah Berbaju Emas diberikan padanya. Kemampuannya dalam memanah memang luar biasa. Tiga ekor burung itu terpanggang anak panah pada bagian yang sulit. Leher!

Dengan perasaan bimbang, Dewa Arak menerima busur dan tiga batang anak panah yang diangsurkan Raja Panah Berbaju Emas. Arya tahu kemungkinan untuk dapat melakukan hal seperti Raja Panah Berbaju Emas kecil sekali. Memanah dengan tiga batang anak panah sekaligus, dan ketiga-tiganya mengenai sasaran yang berbeda, merupakan pekerjaan yang amat sulit.

"Apakah Malaikat Utara, datuk yang merajai wilayah utara berada di dalam? Kami harap kau keluar dan menemui kami. Atau, kami yang akan masuk ke dalam!"

Seruan keras itu menggema ke seluruh penjuru kediaman Malaikat Utara. Getarannya sanggup mengguncangkan isi dada. Hingga, semua tokoh persilatan yang berada di situ mengerahkan tenaga dalam untuk mencegah getaran yang dapat merusak isi dada.

Seruan itu tidak hanya mengejutkan Malaikat Utara, tapi juga semua pengikutnya. Bahkan Dewa Arakpun demikian. Pemilik suara itu memiliki kepandaian tinggi, terutama tenaga dalamnya.

"Tidak perlu banyak basa-basi, Sobat! Jika kau ingin menemuiku, silakan masuk!"

Malaikat Utara tak mau kalah gertak. Ia mengerahkan kemampuan tenaga dalamnya. Tidak terlihat lelaki itu berteriak. Hanya sedikit menggerakkan bibir, tapi bunyi yang keluar dari mulutnya laksana halilintar! Keras bukan main.

Baru saja seruan Malaikat Utara keluar, dari arah pintu gerbang tampak berkelebat sesosok bayangan. Tahu-tahu di tempat itu telah berdiri tegak sesosok tubuh yang mengejutkan semua orang. Bukan karena kecepatan gerakannya, tapi karena jati dirinya!

Sosok itu memiliki tubuh kekar terbungkus pakaian dari bulu binatang, semacam kambing. Sepasang matanya agak sipit. Wajahnya kokoh. Tampak keras, dan kasar. Tapi, memperlihatkan perbedaan yang menyolok dengan kerasnya wajah Malaikat Utara. Dan lagi, sosok yang baru datang ini mengenakan sebuah topi baja bundar setengah tempurung kelapa.

Tepat pada bagian tengah topi baja itu terdapat besi runcing sepanjang dua jari. Pada bagian bawahnya, di sekelilingnya, terdapat hiasan-hiasan dari bulu binatang. Pada bagian belakang topi baja itu, menutup tengkuk dan bagian belakang lehernya, ada sehelai kain hitam dari kulit harimau kumbang. Lebar dan panjang kulit itu tak lebih dari dua jengkal.

"Siapa kau, Sobat? Aku yakin kau berasal dari tempat yang jauh...." Malaikat Utara membuka pembicaraan dengan suara berwibawa. Dia sudah mampu mengusir perasaan kaget yang semula mendera hatinya. Sejak pertama kali terdengar seruan sosok itu, Malaikat Utara sudah merasa heran. Logat yang terdengar demikian aneh. Ternyata pemiliknya memang orang aneh.

"Namaku Targoutai! Aku berasal dari negeri yang jauh dari tempat ini. Mongol, nama negeri ku" sahut lelaki kekar berusia empat puluh lima tahun dan bertopi baja bundar itu. Suaranya patah-patah dan kaku.

"Mongol?!" Malaikat Utara mengernyitkan dahi. Sikapnya seperti orang yang tengah berpikir keras. "Aku pernah mendengar akan adanya pasukan tentara Mongol yang datang ke negeri ini"

"Memang benar!" Targoutai menjawab cepat. "Aku datang bersama rombongan tentara itu tanpa sepengetahuan mereka. Tapi aku tidak terus mengikuti mereka. Aku memisahkan diri. Kedatangan mereka karena urusan kerajaan, sedangkan aku tidak. Aku datang karena ingin membuktikan sendiri berita yang kudengar. Di negeri ku, aku merupakan salah seorang tokoh yang hampir tidak pernah tertandingi. Kesenanganku yang utama adalah bertarung. Kudengar kau merupakan tokoh terkenal wilayah utara, maka aku datang kemari."

"Kau tidak salah, Sobat!" Malaikat Utara menjawab sambil membusungkan dada, menampakkan kesombongan. "Aku bukan hanya tokoh terkenal di wilayah utara ini. Tapi, juga tokoh nomor satu di wilayah utara! Tak lama lagi aku akan menjadi tokoh nomor satu untuk semua wilayah. Aku akan menjadi tokoh tersakti di seluruh penjuru mata angin! Ha ha ha...!"

"Syukurlah kalau demikian. Memang kedatanganku untuk mencari tokoh-tokoh nomor satu!"

"Ku turuti kemauanmu, Targoutai!" timpal Malaikat Utara angkuh.

"Hih!" Targoutai membuka serangannya dengan sebuah pukulan sederhana. Tangan kanannya terkepal dihantamkan ke arah dada Malaikat Utara. Meski terlihat sederhana, bunyi mengaung keras mengiringi luncuran kepalannya yang cukup besar.

Malaikat Utara yang tidak ingin dianggap pengecut, di samping ingin menunjukkan kalau dirinya jago nomor satu wilayah utara, tanpa pikir-pikir panjang lagi menyambuti serangan Targoutai dengan sikap serupa.

Bresss!

Sepasang mata Malaikat Utara membelalak lebar. Akibat benturan itu Targoutai hanya terhuyung-huyung dua langkah. Padahal, dia sendiri terhuyung sampai tiga langkah! Jari-jari tangannya yang berbenturan dengan jari lawan terasa sakit bukan main, seperti membentur gumpalan besi. Kalau Malaikat Utara sangat terkejut, tidak demikian halnya dengan Targoutai. Lelaki kekar Mon-gol ini malah tertawa bergelak. Ia kelihatan gembira sekali.

"Kau hebat, Malaikat Utara. Kau merupakan seorang lawan yang amat menyenangkan! Tapi ketahuilah. Aku tidak bertindak main-main. Sekali aku bertarung, tidak akan berhenti sampai lawanku menggeletak tak berdaya!"

"Tidak usah banyak cakap, Targoutai!" Malaikat Utara hampir saja keseleo lidahnya. Nama lelaki Mongol itu memang sulit untuk dihafalkan. "Aku belum kalah!"

Malaikat Utara membuka serangan dengan sebuah tendangan ke arah perut Pada saat itu Targoutai tengah berdiri dengan tubuh agak membungkuk. Ke-dua tangannya terkembang di sisi pinggang. Dan, sepasang matanya mengintai dari bawah.

Desss!

Tubuh Targoutai terhuyung-huyung ke belakang ketika kaki Malaikat Utara dengan telak bersarang di sasaran. Tapi, lelaki Mongol ini seakan-akan memiliki tubuh dari baja. Begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung usai, dia berdiri seperti semula. Bahkan kemudian menubruk ke arah pinggang Malaikat Utara dengan kedua tangannya.

Malaikat Utara kaget melihat bentuk penyeran-gan yang tampak aneh itu. Dia tidak berani bertindak gegabah. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, dielakkannya serangan itu. Bahkan, kemudian balas menyerang dengan tak kalah dahsyatnya.

Pertarungan unik pun berlangsung. Malaikat Utara harus mengakui kalau baru pertama kali ini dia menemukan lawan yang memiliki ilmu demikian aneh seperti ini. Malaikat Utara tidak tahu kalau Targoutai memiliki ilmu khas suku Mongol, yaitu ilmu gulat! Dengan ilmu itu, Targoutai berusaha secepat mungkin mengalahkan Malaikat Utara.

Tappp!

"Uh...!" Malaikat Utara mengeluarkan keluhan tertahan. Pergelangan tangannya berhasil dicekal tangan Targoutai. Dan, kekagetannya semakin bertambah ketika dengan sigap dan sangat cepat, Targoutai memutar tangannya. Tubuh Malaikat Utara pun terpaksa berbalik kalau tidak ingin tangannya patah.

Malaikat Utara baru menyadari kehebatan ilmu gulat Targoutai. Ia tahu keadaan amat berbahaya. Kedudukannya sekarang membelakangi Targoutai! Tangan kanannya telah ditelikung dan ditekan ke atas. Malaikat Utara mati kutu. Mudah saja bagi Targoutai untuk mengirimkan serangan susulan yang mematikan!

Tapi Malaikat Utara ternyata bukan sembarangan tokoh. Dalam keadaan yang mengkhawatirkan itu, dia mampu menunjukkan kalau dirinya pantas bergelar tokoh nomor satu wilayah utara. Setelah menjejakkan kaki, dia mampu membuat tubuhnya jungkir balik di udara. Kemudian, hinggap di belakang tubuh Targoutai! Tapi hal ini tidak berlangsung lama. Tangan Targoutai bergerak menyentak ke depan. Tubuh Malaikat Utara pun terbawa ke depan dan terbanting ke tanah!

Meski kepalanya terasa pening bukan main, Malaikat Utara menggulingkan tubuhnya menjauh. Malaikat Utara menyeringai ketika merasakan sakit yang sangat mendera pada bagian kiri tubuhnya. Mungkin salah satu tulang iganya ada yang patah. Padahal, tadi Malaikat Utara telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya.

Targoutai tidak tinggal diam. Tangannya segera digerakkan mengambil busur dan anak panah yang tersampir di punggung. Sesaat kemudian, terdengar bunyi berdesing nyaring ketika tiga batang anak panah meluncur ke arah tubuh Malaikat Utara yang tengah bergulingan.

Malaikat Utara mendengar bunyi desingan tajam yang mengiris telinga itu. Dia pun tahu apa artinya. Tapi apa dayanya? Saat itu dia tengah bergulingan. Tidak ada yang dapat dilakukannya. Di saat berbahaya itu, terdengar bunyi tali busur berdentang nyaring. Raja Panah Berbaju Emas melepaskan tiga batang anak panah untuk mencegah anak-anak panah Targoutai!

Tiga pasang anak panah itu berbenturan di udara. Anak-anak panah Raja Panah Berbaju Emas agak terpental ke belakang, dan runtuh ke tanah! Sedangkan anak panah Targoutai hanya melenceng arahnya. Dari benturan ini bisa diketahui kalau tenaga dalam Raja Panah Berbaju Emas tidak bisa diperbandingkan dengan Targoutai.

Targoutai menggeram keras. Dia tampak marah sekali. Bukan karena kegagalannya membunuh Malaikat Utara, tapi karena campur tangan Raja Panah Berbaju Emas. Sebagai seorang Mongol, ia mempunyai aturan aneh di negerinya. Dalam sebuah pertandingan satu lawan satu, tidak boleh seorang pun membantu!

Begitu pun andaikata dirinya yang terdesak oleh lawan dan terancam maut, dan kebetulan dia mempunyai teman. Targoutai dan suku bangsanya lebih mementingkan kegagahan daripada nyawa! Itu sebabnya dia geram bukan main terhadap Raja Panah Berbaju Emas. Targoutai menganggap Raja Panah Berbaju Emas sebagai seorang pengecut. Targoutai sangat membenci hal itu.

"Kau ingin mengadu kepandaian memanah denganku, Pengecut Hina?!" bentak Targoutai menantang dengan suara kaku.

"Tidak ada alasan bagiku untuk menolak. Orang Asing!" tandas Raja Panah Berbaju dengan suara keras. Terbakar amarah atas hinaan penuh tantangan itu.

"Bagus!" Targoutai agak berkurang rasa sebalnya. Sambutan lelaki berambut kemerahan terhadap tantangannya membuat lelaki kekar dari Mongol ini menjadi lebih hormat. Sikap Raja Panah Berbaju Emas menunjukkan kegagahan.

Hampir bersamaan dua lelaki gagah yang sama-sama memiliki keahlian memanah itu mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Malaikat Utara untuk menepi. Lelaki ini sebenarnya mengalami luka dalam yang cukup parah. Pergelangan tangan kanannya patah.

Sekarang, semua pasang mata tertuju ke arah Raja Panah Berbaju Emas dan Targoutai. Semuanya merasakan jantung dalam dadanya berdetak lebih cepat. Biasanya para pengikut Malaikat Utara tidak pernah meragukan kemampuan Raja Panah Berbaju Emas. Tapi sekarang mereka semua meragukannya. Telah mereka saksikan sendiri kemampuan Targoutai mempergunakan anak panah.

Setelah saling menatap lawan di hadapannya dengan mata tidak berkedip, anak-anak panah yang telah dipasang di busur pun dilepaskan. Tidak tanggung-tanggung. Tiga batang anak panah sekaligus. Masing-masing tertuju pada bagian-bagian berbahaya di tubuh lawan.

Untuk pertama kalinya semua tokoh yang berada di situ membelalakkan mata melihat pertarungan memanah. Tiga anak panah yang dilepaskan dari arah yang berlawanan itu berbenturan di udara. Tepat di tengah-tengah kedua jago panah itu. Seperti sebelumnya, karena Targoutai memiliki tenaga dalam yang jauh lebih kuat, tiga batang anak panahnya berhasil melemparkan panah lawan. Meski demikian, tiga batang anak panah Targoutai kemudian runtuh karena lajunya telah terhambat.

Tapi masing-masing pihak tidak mempedulikan hal itu. Mereka segera mengambil anak panah dan melepaskannya kembali, saling adu cepat. Untuk kedua kalinya, tiga pasang anak panah itu berbenturan di tengah jalan, tapi agak lebih dekat pada Raja Panah Berbaju Emas. Dan ketiga kalinya, benturan itu lebih dekat lagi dengan Raja Panah Berbaju Emas. Agaknya, tokoh golongan hitam pengikut Malaikat Utara ini kalah cepat dalam mengambil anak panah! Kalah gesit di samping kalah tenaga.

Cappp!

"Aaakh...!" Raja Panah Berbaju Emas menjerit keras. Tiga batang anak panah yang dilepaskan Targoutai menembus leher, dada, dan pusarnya. Lelaki berambut kemerahan ini baru saja selesai memasang anak-anak panah pada busurnya. Rupanya dia kalah cepat. Anak-anak panah itu melesat ke udara karena. Raja Panah Berbaju Emas roboh ke tanah. Dia tewas!

"Ah...!" Meski telah menduga sebelumnya, Malaikat Utara, Setan Kipas, Pengemis Tongkat Merah, dan teman-temannya berseru kaget. Kehidupan Raja Panah Berbaju Emas berakhir menyedihkan. Tewas di ujung anak panah!

Targoutai dengan wajah dingin menyimpan busurnya kembali. Kemudian, tatapannya tertuju pada Malaikat Utara. "Kita masih mempunyai urusan, Malaikat Utara. Sudah kukatakan aku tidak akan bertindak tanggung-tanggung bila telah bertarung denganku!" tandas Targoutai dingin.

Tanpa sadar Malaikat Utara bergerak mundur selangkah. Meski sebenarnya dia bukan seorang pengecut, tapi sikap Targoutai benar-benar mengerikan. Setan Kipas dan Pengemis Tongkat Merah serta belasan tokoh-tokoh persilatan lain segera melangkah maju. Senjata-senjata mereka terhunus di tangan.

"Ha ha ha...!" Targoutai langsung tertawa bergelak. Dia tidak kelihatan gentar. Bahkan, merasa gembira melihat sikap pengikut-pengikut Malaikat Utara.

"Tidak usah ragu-ragu. Ayo maju! Hadapi aku! Seorang demi seorang hanya akan memakan waktu saja! Majulah!"

Targoutai segera melangkah mundur dan mengambil sebatang lembing yang tadi ditancapkan di tanah ketika dia bertarung dengan Malaikat Utara. Dekat bagian ujung lembing yang tajam berkilat terhias bulu-bulu binatang, sejenis kambing.

Baru saja Targoutai menggenggam lembing, belasan tokoh persilatan itu menerjang maju seraya mengayunkan senjata masing-masing. Sambil tertawa bergelak, Targoutai menyambutnya. Pertarungan tak seimbang pun terjadi.

Malaikat Utara yang tidak ikut dalam pengeroyokan memperhatikan tanpa berkedip. Sebagai seorang tokoh besar, tentu saja lelaki ini tidak mau melakukan pengeroyokan. Baginya, lebih baik mati daripada melakukan tindakan pengecut seperti itu. Apalagi saat ini keadaannya tidak mengizinkan untuk melakukan hal seperti itu.

Malaikat Utara ingin membuktikan kebenaran dugaannya. Tadi dia mendapati kenyataan yang mengejutkan sewaktu bertarung dengan Targoutai. Lelaki dari Mongol itu tidak terluka meski terkena tendangan telak. Malaikat Utara seperti menghantam gumpalan karet keras yang kenyal.

Malaikat Utara tahu pengeroyokan Setan Kipas dan yang lain-lain, bila dia sendiri yang menghadapi tak akan bisa ditanggulangi. Mereka terlalu tangguh untuk ditanggulangi sendiri. Targoutai pun tak akan mampu menghadapi mereka. Tapi, itu dalam keadaan biasa. Padahal, Malaikat Utara tahu Targoutai memiliki kekuatan lain yang membuatnya jadi luar biasa.

Malaikat Utara tengah menanti hal yang luar biasa itu. Sesuatu yang ditunggu-tunggu Malaikat Utara ternyata tidak muncul begitu saja. Dalam gebrakan-gebrakan pertama yang terlihat adalah ramainya pertarungan. Tapi, Malaikat Utara sudah dapat melihat hal-hal yang mencurigakan.

Terlihat jelas oleh Malaikat Utara, Targoutai hampir tidak mempedulikan pertahanan. Yang dilaku-kan lelaki kekar dari Mongol ini adalah menyerang! Bahkan ketika lawan mengirimkan serangan mematikan, dia tidak mempedulikan sama sekali. Ia balas menyerang seperti hendak mengajak mati bersama. Hal itu membuat lawan yang menyerang membatalkan serangan.

Sepasang mata Malaikat Utara yang tajam melihat kalau Targoutai hanya mengelak bila serangan itu tertuju ke arah sepasang matanya. Tak jarang serangan yang meluncur ke bagian itu ditangkisnya. Pada hal, serangan terhadap mata paling parah hanya akan membuat sepasang mata itu buta. Tapi Targoutai menghindarinya! Serangan yang mematikan justru dibiarkan meluncur ke arah sasaran.

Hal itu sepertinya mengherankan. Tapi, tidak demikian halnya dengan Malaikat Utara. Datuk wilayah utara ini tahu dugaannya benar. Targoutai memiliki tubuh yang kebal! Itulah sebabnya serangan-serangan mematikan dibiarkan saja. Sedangkan serangan terhadap mata tidak disepelekan. Karena, betapapun saktinya seseorang tak mungkin mampu membuat sepasang mata menjadi kebal.

Dan, keyakinan Malaikat Utara menjadi kenyataan. Berbagai macam senjata yang mendarat di tubuh Targoutai hanya menyebabkan senjata-senjata itu membalik seperti berbenturan dengan karet keras yang kenyal.

Kenyataan itu rupanya mengejutkan pengikut-pengikut Malaikat Utara. Mereka baru menyadari Targoutai memiliki tubuh yang kebal. Tidak mempan terhadap segala macam senjata. Setan Kipas dan yang lain-lainnya jadi hanya mempunyai sasaran serangan yang sedikit. Berbeda dengan Targoutai. Hingga, tak sampai menginjak jurus kedelapan salah seorang di antara mereka tewas tertusuk lembing Targoutai.

Beberapa jurus kemudian, seorang lagi tewas karena tertangkap Targoutai kemudian dibantingnya keras-keras. Jeritan menyayat terdengar susul menyusul. Tak sampai dua puluh lima jurus tidak ada satu pun di antara mereka yang masih berdiri tegak. Mereka semua tewas dengan mengerikan.

Malaikat Utara tidak berubah wajahnya meski melihat semua pengikutnya tewas. Dia tidak sudi melarikan diri. Apalagi, keadaannya memang tidak memungkinkan. Malaikat Utara lebih suka tewas sebagai harimau daripada mati sebagai babi! Dia tidak takut mati. Hanya saja lelaki ini merasa kecewa karena impiannya untuk menjadi jago nomor satu harus kandas sebelum tercapai. Justru di saat dia baru merintis!

* * *

LIMA

"Ha ha ha...!" Tawa bergelak keras yang bernada meremehkan terdengar memecah suasana malam yang dingin. Tawa itu berasal dari dalam sebuah ruangan yang luas dan megah di dalam bangunan besar.

Tampak seorang pemuda tampan berpakaian mewah. Kulitnya halus dan mulus seperti kulit wanita. Sebuah cangklong yang mengepulkan asap ter-genggam di tangan kanannya. Pemuda itu tidak lain putra dari Raja Sihir Penyebar Maut. Pemuda yang telah menggemparkan rumah ma-an dengan tindakannya yang luar biasa.

"Kalau tidak mendengar sendiri dari mulutmu, aku tidak akan percaya, Setan Timur! Kau yang menguasai wilayah timur dan menjadi datuk nomor satu di sana datang ke tempatku untuk menceritakan hal ini? Ha ha ha...! Lucu! Lucu sekali...!"

"Kau terlalu menganggap remeh persoalan ini, Dewa Tampan!" sambut sebuah suara yang nyata-nyata menyiratkan kekesalan. "Aku tahu kau datuk wilayah selatan sekarang. Tapi aku sangsi apakah kau mampu menandingi ku. Dan...."

"Bisa kau buktikan sendiri nanti. Dua hari lagi kita akan mengadakan pertemuan untuk menentukan siapa yang lebih sakti di antara kita. Ia pantas berjuluk jago nomor satu." sambut pemuda berpakaian mewah cepat seraya menghembuskan asap cangklongnya.

"Bukan itu maksudku, Dewa Tampan." sergah Setan Timur. Ia seorang lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Berkepala botak dan bercambar bauk lebat. Pakaiannya berwarna coklat dengan lengan baju sampai di bawah siku. Tampak gelang hitam melilit pergelangan tangan kanan dan kirinya. "Aku hanya memperbandingkan saja. Harap kau ingat. Bukan berarti aku takut padamu. Tapi, biar bagaimanapun juga kau perlu kuberitahu."

"Hm...!" Dewa Tampan yang julukan lengkapnya Dewa Tampan Dari Selatan, yang mendapat julukan itu setelah kemenangannya dalam memperebutkan kedudukan datuk wilayah selatan yang berlangsung di Puncak Kabut Putih, menggumam. Sikapnya memperlihatkan dia mulai tertarik mendengarkan pernyataan Setan Timur.

"Kau tahu Malaikat Utara dan Raksasa Barat, kan?" Setan Timur yang pandai mempergunakan kesempatan segera memotong. Tidak ada jawaban dari mulut Dewa Tampan Dari Selatan. Tapi dia tidak peduli. "Raksasa Barat bisa kita perkirakan kepandaiannya. Dia adalah murid terkasih Raja Racun Sakti. Malaikat Utara tidak perlu kita perhitungkan dulu karena dia tidak bisa kita perkirakan kepandaiannya, meski dari keberhasilannya menjadi datuk di wilayah utara sudah cukup untuk membuktikan kelihaiannya. Tapi kita tidak bisa mencari patokan. Berbeda dengan Raksasa Barat."

Dewa Tampan Dari Selatan hanya menggerakkan alisnya ke atas dan mengepulkan asap cangklongnya. Dia tidak berbicara sedikit pun untuk memberikan tanggapan terhadap pernyataan rekannya.

"Kita tahu, Raja Racun Sakti memiliki kemampuan setaraf dengan gurumu, Raja Sihir Penyebar Maut. Karena itu mereka hanya dapat menguasai dua wilayah yang memang sebelumnya telah dikuasai mereka. Jadi, kita bisa memperkirakan kemampuan Raksasa Barat sebagai murid terkasih Raja Racun Sakti yang tidak berselisih jauh denganmu sebagai putra Raja Sihir Penyebar Maut" Setan Timur menyambung. "Dan, perlu kau ketahui, Dewa Tampan. Raksasa Barat seperti juga halnya Malaikat Utara telah tewas di tangan tokoh baru dunia persilatan."

"Aku telah mendengar berita itu. Apa anehnya?" Dewa Tampan Dari Selatan yang memiliki watak sombong langsung menimpali. "Justru apabila hal itu benar, aku tidak perlu lagi bersusah payah mengalahkan mereka untuk mendapatkan wilayah kekuasaan mereka. Meskipun andaikata mereka masih hidup aku mampu merebut wilayah mereka, itu menjadikan aku datuk nomor satu di seluruh penjuru mata angin."

"Kau terlalu sombong, Dewa Tampan!" Setan Timur tak kuasa menahan rasa kesalnya. "Aku tidak heran kalau kau akhirnya akan tewas di tangan tokoh sakti yang telah menewaskan Raksasa Barat dan Malaikat Utara. Mengapa aku berani berkesimpulan demikian? Karena kau memiliki kemampuan di bawah Raksasa Barat!"

"Keparat!" Dewa Tampan Dari Selatan yang tidak boleh tersinggung sedikit pun langsung mengirimkan gedoran telapak tangan terbuka ke arah dada Setan Timur. Tapi, Setan Timur memang sudah menduga. Tanpa ragu disambutinya serangan itu dengan sikap serupa.

Plakkk!

Benturan keras yang terjadi mengguncangkan tubuh Dewa Tampan Dari Selatan dan Setan Timur. Saat itu mereka tengah duduk di kursi, saling berhadapan dan hanya dibatasi sebuah meja bundar yang indah. Kegagalan serangan ini membuat Dewa Tampan Dari Selatan tak kuasa menahan amarah. Cangklongnya diayunkan ke arah pelipis Setan Timur. Meskipun hanya cangklong, tapi di tangan Dewa Tampan Dari Selatan tak kalah berbahayanya dengan hantaman sebuah tongkat baja!

Trakkk!

Lagi-lagi serangan itu kandas. Setan Timur memapakinya dengan pisau belati di tangan kiri. Dewa Tampan Dari Selatan bergegas menyusulinya dengan tiupan mulutnya. Bukan sembarang tiupan. Tadi dia baru saja mengisap tembakaunya. Sehingga, sekarang asap itu meluncur ke arah wajah Setan Timur. Asap yang dapat membuat mata perih dan pandangan terhalang. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya karena dilakukan dalam jarak dekat. Dua datuk sesat ini melakukan pertarungan di atas kursi dalam keadaan masih duduk.

Setan Timur memang seorang tokoh sesat yang luar biasa. Tidak percuma tokoh ini menjadi jago nomor satu wilayah timur. Menghadapi serangan Dewa Tampan Dari Selatan, dia tidak menjadi gugup. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Setan Timur mengambil sesuatu dari balik bajunya, kemudian dikebutkan. Asap yang semula menghambur ke arahnya berbalik kembali ke arah Dewa Tampan Dari Selatan. Sesuatu yang diambil Setan Timur adalah sebuah kipas.

Tentu saja serangan asap yang membalik itu tidak ada artinya bagi Dewa Tampan Dari Selatan. Serbuan asap yang menuju ke arahnya tidak pedulikan. Dewa Tampan Dari Selatan pusatkan perhatian pada serangan lain. Dan ketika asap itu berhasil diusirnya, Setan Timur membarengi dengan totokan kipasnya ke arah hati. Namun serangan itu berhasil dipunahkan Dewa Tampan Dari Selatan dengan tangkisannya.

Tidak hanya kedua tangan saja yang dipergunakan kedua datuk itu. Tapi, juga kedua kaki mereka. Kaki-kaki mereka saling menendang dan menangkis di bawah meja. Cukup lama juga pertarungan itu berlangsung. Ketika untuk kesekian kalinya tubuh kedua datuk itu terguncang, Setan Timur segera mengambil kesempatan.

"Apakah kau ingin kita terlibat dalam pertarungan, Dewa Tampan? Tahukah kau di saat kita lemah, tokoh baru itu akan datang dan membantai kita dengan mudah?"

"Aku tidak takut!" sentak Dewa Tampan Dari Selatan keras. "Akan kubunuh dia di sini, apabila berani datang!"

"Kaulah yang akan mati, Dewa Tampan!" sergah Setan Timur. "Kau tahu, tokoh yang kudengar berasal dari negeri seberang itu memiliki kemampuan luar biasa. Seorang diri dia mampu membinasakan Malaikat Utara dengan kelompoknya. Juga Raksasa Barat dan pengikut-pengikutnya. Di tempat kediaman kedua datuk itu pula. Markas mereka kemudian, dibumi-hanguskan!"

Dewa Tampan Dari Selatan terdiam. Dia memang belum mendengar berita ini. Dia buru-buru menyuruh anak buahnya berhenti bicara ketika mereka memberitahukan tentang kematian Malaikat Utara dan Raksasa Barat. Padahal, Dewa Tampan Dari Selatan yang menyuruh pengikut-pengikutnya mencari berita yang tersebar di dunia persilatan. Tapi, watak sombongnya tidak mengizinkan untuk mendengar berita tentang keunggulan seseorang. Baru sekarang Dewa Tampan Dari Selatan mendengar berita ini dari mulut Setan Timur.

"Apakah kedua datuk itu tewas dalam pertarungan satu lawan satu?" tanya Dewa Tampan Dari Selatan.

"Mula-mula demikian." Setan Timur menganggukkan kepala. "Setelah datuk-datuk itu kalah dan tewas, pengikut-pengikutnya langsung mengeroyok tokoh asing itu. Tapi, mereka semua habis dibantai."

"Tokoh asing?!" Dewa Tampan Dari Selatan mengernyitkan kening. "Dari mana asalnya?"

"Kalau aku tidak salah, dari Mongol. Tokoh itu bernama Targoutai. Kedatangannya kemari adalah untuk mencari jago-jago nomor satu. Ia ingin menandinginya dalam hal ilmu silat. Targoutai haus pertarungan."

"Dari Mongol?" Dewa Tampan Dari Selatan menggumam. Keningnya berkerut dalam.

"Benar...!" Setan Timur mengiyakan. "Ku dengar dari penyelidik-penyelidik yang kukirim, di samping ilmu silatnya tinggi, jago dari Mongol itu memiliki ilmu kebal yang luar biasa. Ilmu gulat, ilmu memanah, dan permainan lembing yang amat mahir. Bahkan, Raja Panah Berbaju Emas tewas dalam pertandingan adu panah dengan Targoutai."

"Ah...!" Kali ini Dewa Tampan Dari Selatan tidak mampu menahan keterkejutannya. Berita tentang tewasnya Raja Panah Berbaju Emas di tangan Targoutai sangat mengejutkan putra Raja Sihir Penyebar Maut ini.

Dewa Tampan Dari Selatan tahu siapa Raja Panah Berbaju Emas. Seorang ahli panah yang boleh dibilang tidak tertandingi. Tak ada seorang tokoh persilatan pun yang mampu menandinginya apalagi mengalahkannya. Tapi kenyataannya? Targoutai mampu melakukan hal itu. Berarti Targoutai memiliki ilmu memanah yang sungguh luar biasa!

"Perlu kau ketahui, Dewa Tampan." Setan Timur menyambung perkataannya. "Aku datang kemari dan menceritakan semua ini karena aku tidak ingin orang asing itu menjadi jagoan di tempat kita. Biar bagaimanapun juga, andaikata aku tidak menjadi datuk nomor satu di dunia persilatan, aku tidak ingin gelar itu jatuh ke tangan orang dari negeri seberang!"

Dewa Tampan Dari Selatan menatap wajah Setan Timur lekat-lekat, seperti ingin mencari kebenaran ucapan tokoh nomor satu wilayah timur itu.

"Karena itu, aku ingin perebutan gelar antar kita ditunda lebih dulu. Bukankah sesuai kesepakatan akan diadakan minggu depan?"

"Kalau itu keinginanmu, apa boleh buat?" Dewa Tampan Dari Selatan mengangkat bahunya. "Asal kau tahu saja, Setan Timur. Aku tidak takut dengan orang yang bernama Targoutai. Bahkan, aku akan merobohkan tokoh-tokoh di daerah barat dan utara supaya wilayah kekuasaanku tidak hanya meliputi daerah selatan!"

"Lakukan apa yang kau mau, Dewa Tampan. Dan, selamat melawat ke akherat!"

Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, tubuh Setan Timur melayang ke belakang bersama dengan kursinya. Padahal, lelaki berkepala botak itu hanya mengibaskan kedua tangannya ke bawah.

"Tunggu sebentar, Setan Timur! Jelaskan maksud ucapanmu!"

Dewa Tampan Dari Selatan tidak mau kalah melakukan unjuk kepandaian. Dia pun menekan kedua tangannya ke bawah. Tubuhnya bersama kursi yang didudukinya mencelat ke atas melewati meja dan melayang mengejar kursi Setan Timur. Tepat ketika kaki-kaki kursi Setan Timur hinggap di lantai, kaki-kaki kursi Dewa Tampan Selatan pun mendarat pula.

"Aku hanya mengucapkan tanda bukti ikut berduka cita atas kematianmu, Dewa Tampan. Kau tidak akan mampu mengungguli Targoutai! Dia miliki kulit tubuh yang amat kuat. Jangankan tangan, senjata tajam pun tidak mampu melukainya. Selamat tinggal."

Tanpa mempedulikan Dewa Tampan Dari Selatan yang masih termangu-mangu, Setan Timur melesat meninggalkan ruangan itu. Dalam sekelebatan bayan-gannya sudah tidak terlihat lagi.

* * *

"Tolong turunkan aku, Dewa Arak! Aku berjalan sendiri."

Seruan itu diucapkan seorang gadis berpakaian biru yang berada dalam bopongan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu tengah berlari cepat meninggalkan bangunan mewah dan megah tempat tinggal Malaikat Utara. Arya mempergunakan kesempatan di saat kemunculan Targoutai untuk pergi.

"Ah... Kalau demikian, bagus sekali, Nisanak," Arya menyahuti. Kebetulan tempat tinggal Malaikat Utara sudah tertinggal jauh.

Sebenarnya Arya tahu Citra Sari tidak akan bisa berjalan akibat luka yang dideritanya. Tapi, karena gadis itu memaksa, permohonan Citra Sari pun dipenuhi. Gadis itu dibawa Arya ke tempat yang agak rindang dan dipenuhi pohon-pohon, baru kemudian diturunkan.

Citra Sari terhuyung ketika berdiri dengan kedua kakinya. Arya sudah bersiap hendak menangkap apabila gadis itu terjatuh. Tapi, ternyata tidak. Citra Sari mampu berdiri tegak. Gadis itu lalu duduk bersila, ia bersemadi untuk memulihkan lukanya.

Terpaksa Arya berdiri menunggu. Di dalam hati pemuda berambut putih keperakan ini merasa bersyu-kur kebetulan lewat di tempat itu. Di depan bangunan besar milik Malaikat Utara, ia merasa heran melihat dua sosok tubuh tergolek di tanah. Arya mendekatinya. Kemudian, terdengar bunyi riuh rendah pertempuran. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya melesat ke dalam dan melihat Citra Sari tengah terancam bahaya. Dia pun bergegas menolongnya.

Arya mengeluh dalam hati ketika teringat Malaikat Utara. Pemuda berambut putih keperakan ini memang telah mendengar selentingan kabar di dunia persilatan. Telah didengarnya kalau dua datuk kaum sesat yaitu Raja Racun Sakti dan Raja Sesat Penyebar Maut telah lenyap. Terjadi pergolakan dunia kaum sesat untuk menjadi pengganti kedua datuk tersebut.

Arya tahu perebutan kedudukan telah berlangsung di empat wilayah. Di utara keluar sebagai pemenang, Malaikat Utara. Di timur, Setan Timur. Di selatan, Dewa Tampan Dari Selatan, sedangkan di barat, Raksasa Barat. Dua nama terakhir adalah putra dan murid dua datuk terdahulu. Arya mengeluh bukan karena takut, tapi karena risau.

Malaikat Utara saja sudah merupakan lawan yang demikian berat. Bisa diperkirakan kalau ditambah dengan tiga datuk yang lain. Kepandaian mereka pasti tidak berbeda jauh. Bahkan mungkin imbang. Kalau mereka bergabung, ini merupakan ancaman berat bagi keamanan dunia persilatan.

Benak Arya kemudian disibukkan dengan tokoh Mongol yang sempat dilihatnya. Tokoh Mongol itu memiliki kepandaian tinggi. Apakah tokoh itu termasuk salah seorang di antara datuk-datuk lainnya? Raksasa Barat barangkali? Atau tokoh yang berjuluk Setan Timur?

Kesibukan berpikir membuat Arya tidak tahu Citra Sari telah lama tenggelam dalam semadinya. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya tahu Citra Sari menyelesaikan semadi ketika mendengar helaan napas gadis itu.

"Bagaimana keadaanmu sekarang, Nisanak?"

"Lebih baik dari sebelumnya," jawab Citra Sari lembut. "Tapi kuharap kau tidak memanggilku 'Nisanak', Dewa Arak. Panggil saja aku Citra, atau Sari."

"Kaupun harus demikian, Ni... eh, Citra." Arya ikut membetulkan, "Kau tidak usah memanggilku dengan sebutan yang membuat telingaku gatal mendengarnya. Panggil saja aku, Arya. Namaku adalah Arya Buana. Jadi, kau mempunyai nama lengkap Citra Sari?"

Gadis berpakaian biru itu mengangguk. "Terima kasih atas pertolongan yang kau beri-kan, Arya. Kalau tidak ada kau, mungkin nyawaku sudah tidak berdiam di raga lagi. Benar juga peringatan ayahku."

"Peringatan ayahmu?"

"Ya. Beliau mengingatkan aku agar tidak usah menyatroni tempat kediaman Malaikat Utara. Karena itu hanya akan mencelakakan nyawaku sendiri. Tapi, aku memang keras kepala. Aku sudah kesal bukan main pada murid murtad itu. Secara diam-diam aku pergi untuk menghukum Malaikat Utara. Tapi jangankan menghadapinya, baru bertarung dengan pengikutnya saja aku sudah tidak berdaya," Citra Sari mengeluh.

"Jadi.... Malaikat Utara itu kakak seperguruanmu?" duga Arya agak ragu.

"Bukan." Citra Sari menggelengkan kepala. "Dia bukan kakak seperguruanku. Tapi paman perguruan."

"Jadi..., Malaikat Utara itu adik seperguruan ayahmu?" tanya Arya lagi. Ketika dilihatnya Citra Sari mengangguk, ucapannya kembali diteruskan. "Bisa ku perkirakan betapa tingginya kepandaian ayahmu, Citra. Malaikat Utara saja yang menjadi adik seperguruannya memiliki kepandaian demikian tinggi."

"Tidak demikian, Arya," ujar Citra Sari. "Meski memang ayahku termasuk kakak seperguruannya, tapi bila diperbandingkan, kepandaian Malaikat Utara lebih tinggi. Bahkan mungkin berselisih jauh. Dia tidak hanya memiliki satu guru saja."

Arya mengernyitkan alis, bingung mendengar penjelasan Citra Sari.

"Ayahku mempunyai seorang guru." Citra Sari memutuskan untuk menerangkan semuanya agar jelas. "Guru Ayah itu seorang pertapa di sebuah pegunungan. Entah di gunung mana aku tidak tahu. Sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, Ayah selesai belajar dan turun gunung. Kemudian, dia mempunyai seorang keturunan, aku. Saat aku berusia lima tahun, Ayah mengajakku untuk menemui gurunya. Di tengah perjalanan kami menemukan seorang anak lelaki berusia sekitar lima belas tahun yang dikejar-kejar seekor macan. Ayah segera menolongnya. Karena anak itu sudah tidak punya keluarga, Ayah lalu membawanya serta kepada gurunya. Ternyata guru Ayah tertarik untuk mengangkat anak lelaki yang bernama Danar Jati itu menjadi murid. Bahkan, dua pertapa lain yang kebetulan tengah mengunjungi guru Ayah ikut tertarik untuk menjadikan Danar Jati sebagai murid. Danar Jati pun menjadi murid tiga pertapa sekaligus."

Citra Sari menghentikan ceritanya sejenak. Ditatapnya Arya yang asyik mendengarkan. Melihat Arya tampak berminat untuk terus mendengarkan, Citra Sari pun melanjutkan ceritanya.

"Aku dan Ayah tinggal di situ hanya tiga bulan. Kemudian kami kembali. Sedangkan Danar Jati tinggal di sana. Tapi, ketika dua bulan yang lalu aku datang ke sana, kujumpai tiga pertapa itu telah lumpuh dan buta semua. Danar Jati telah sampai hati meracuni mereka. Anak itu ternyata tidak berwatak baik. Setelah melapor pada Ayah, aku lalu mencari Danar Jati. Berminggu-minggu aku mencarinya. Sampai aku mendapat berita kalau Danar Jati telah menjadi datuk di wilayah utara dan berjuluk Malaikat Utara. Aku datang untuk membunuhnya. Tapi hasilnya?"

Dewa Arak menghela napas berat "Apa rencanamu sekarang, Citra?"

"Memberitahukan ayahku mengenai hal ini. Kau mau ikut Arya? Ayahku sudah cukup lama men-dengar kebesaran namamu. Dia ingin sekali bertemu denganmu. Sayang belum kesampaian."

"Ayolah kalau demikian."

Wajah Citra Sari langsung berseri mendengar kesediaan Arya untuk menemui ayahnya.

ENAM

"Hey...!" Citra Sari menudingkan jari telunjuknya ke depan. Menunjuk seseorang yang tengah melesat keluar dari pintu gerbang sebuah rumah yang daun pintunya terbuka lebar. Gerakan sosok itu gesit bukan main. Kebetulan arah yang ditujunya adalah arah yang ditinggalkan Citra Sari bersama Dewa Arak. Saat itu mereka sedang dalam perjalanan menuju tempat tinggal ayahnya Citra Sari.

"Ada apa, Citra?" tanya Arya seraya menatap sosok bayangan yang semakin dekat dengan tempatnya. Ia tidak bisa melihat orang itu dengan jelas karena cepatnya gerakan larinya.

"Sosok bayangan itu baru keluar dari tempat tinggalku!" jawab Citra Sari penuh kekhawatiran. "Aku jadi mencemaskan keadaan Ayah...!"

"Kalau demikian, jangan kita biarkan sosok itu lolos sebelum kita mendapat keterangan apa yang telah dilakukannya di tempat kediaman ayahmu."

Usai berkata, Arya segera menghentikan jalannya dan berdiri di tengah jalan. Dihadangnya arah yang akan dilalui sosok bayangan yang tengah melaju cepat itu.

"Perlahan dulu, Sobat. Aku mau bicara." Untuk menarik perhatian sosok yang tengah meluncur dengan cepat itu, Dewa Arak tidak ragu-ragu mengerahkan tenaga dalamnya. Tindakan itu membuat ucapannya terdengar menggema, seperti berteriak di pegunungan.

Sosok yang tengah melesat itu mendadak mengurangi kecepatannya. Bahkan, beberapa saat kemudian menghentikan larinya. Ia berdiri tegak dalam jarak tiga tombak dari Arya dan Citra Sari.

Wajah Arya dan Citra Sari berubah ketika melihat sosok di depan mereka. Sosok itu bertubuh kekar dengan pakaian terbuat dari kulit binatang. Wajahnya keras. Ia mengenakan topi baja bulat yang pada bagian atasnya tepat di tengah tampak besi runcing. Sedangkan pada bagian bawahnya terdapat hiasan dari bulu binatang. Wajah yang keras itu tampak asing, sosok ini adalah Targoutai! Pendekar Mongol yang sakti.

Seperti halnya Arya dan Citra Sari, Targoutai pun agak berubah wajahnya. Targoutai merasa pernah melihat Dewa Arak. Sedangkan Citra Sari meski dari tempatnya yang agak tersembunyi dan tengah terluka, di tempat kediaman Malaikat Utara tetapi ia melihat kedatangan Targoutai.

"Bukankah kau orang yang akan bertarung dengan Raja Panah Berbaju Emas?" Targoutai membuka suara dengan logat aneh. "Apa maksudmu menghentikan perjalananku?!"

"Tidak ada maksud apa pun kecuali untuk mengajukan sebuah pertanyaan. Aku yakin kau bisa menjawabnya, Saudara...."

"Targoutai. Namaku Targoutai. Jago dari negeri seberang, Mongol. Aku sengaja datang kemari untuk menjajal kelihaian jagoan-jagoan negeri ini. Sayang, tak ada seorang pun lawan yang benar-benar tangguh. Hanya tinggal dua tokoh lagi yang namanya kudengar cukup menggegerkan dunia persilatan. Tapi aku tidak yakin mereka akan mampu melawanku. Dua orang yang mempunyai kedudukan setingkat dengan mereka berhasil kukalahkan tanpa banyak mendapat kesukaran!"

"Targoutai?!" Arya dan Citra Sari saling berpandangan mendengar nama asing itu. Tapi, perasaan heran itu masih tidak seberapa bila dibandingkan dengan rasa tersinggung mendengar ucapan Targoutai yang merendahkan jago-jago negeri mereka. Hati sepasang muda-mudi ini panas seperti terbakar api!

"Boleh ku tahu dua tokoh terkenal yang kau maksudkan, dan dua tokoh setingkat mereka yang telah kau kalahkan?" Arya lebih dulu membuka suara sebelum Citra Sari mengajukan pertanyaan Pemuda berambut putih keperakan ini khawatir Citra Sari akan bertindak macam-macam dengan pertanyaannya.

"Dua tokoh yang telah kukalahkan itu adalah Raksasa Barat dan Malaikat Utara. Sedangkan dua tokoh setingkatan mereka yang akan kucari dan tandingi adalah...."

"Setan Timur dan Dewa Tampan Dari Selatan!" potong Citra Sari cepat.

"Benar!" Targoutai sama sekali tidak marah ucapannya dipotong dengan kasar seperti itu.

Mendengar jawaban ini, Dewa Arak merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Kalau benar Malaikat Utara dan Raksasa Barat berhasil dikalahkan oleh Targoutai, berarti lelaki Mongol ini memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi. Arya sendiri tidak berani memutuskan kalau kepandaian yang dimilikinya berada di atas Malaikat Utara. Ia hanya tahu Malaikat Utara merupakan lawan yang amat tangguh.

"Jadi..., sewaktu kau kulihat berada di tempat kediaman Malaikat Utara, kau sedang menantang Malaikat Utara untuk bertarung?" Arya mulai mengerti dengan duduk persoalannya.

"Benar!" Targoutai menjawab singkat.

"Lalu, bagaimana dengan pengikut-pengikut Malaikat Utara?" desak Arya.

"Karena mereka mencabut senjata dan menyerangku, aku tidak mempunyai pilihan lain selain menghadapi mereka dan membinasakannya. Mereka terpaksa bernasib sama seperti Malaikat Utara!"

Arya menahan nafasnya. Sekarang dia baru tahu. Malaikat Utara telah tewas. Pemuda itu menelan keterkejutannya mendengar pengikut-pengikut Malaikat Utara tewas semua. Berita ini membuat pemuda berambut putih keperakan ini sukar untuk memperkirakan ketinggian ilmu yang dimiliki Targoutai. Arya sendiri tidak yakin akan mampu menghadapi keroyokan pengikut-pengikut Malaikat Utara yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi.

"Kau sendiri siapa, Anak Muda? Kulihat kau memiliki kepandaian yang tidak rendah. Tenaga dalam yang kau kerahkan dalam teriakan tadi cukup kuat. Mungkin tingkat kepandaianmu tidak berada di bawah tua bangka tidak berguna yang baru saja kubunuh!" Targoutai baru teringat untuk mengajukan pertanyaan.

"Siapa yang kau maksudkan, Orang Asing Keparat?!" Citra Sari telah lebih dulu memotong sebelum Arya sempat mengajukan pertanyaan.

"Pendekar Golok Salju! Dia...."

"Keparat! Kubunuh kau...!" Citra Sari yang sudah setengah menduga tokoh yang dimaksudkan Targoutai langsung menggeram murka. Ia mendengar dengan telinganya sendiri tokoh yang baru saja tewas di tangan Targoutai lah Pendekar Golok Salju, ayahnya. Gadis berkaian biru itu menerjang dengan pukulan-pukulan berantai ke arah dada dan ulu hati. Serangan-serangan yang mematikan dan dapat mengirim nyawa Targoutai ke akherat.

"Hmh...!" Targoutai mengeluarkan dengusan menghindari hidungnya. Kemudian, dengan kecepatan gerak yang mengejutkan, tangan kanan lelaki berpakaian dari bulu binatang itu terulur. Arya tampak kaget ketika melihat tangan Targoutai mampu menangkap pergelangan Citra Sari. Dengan kesigapan yang mengagumkan, Targoutai membanting tubuh Citra Sari melewati kepala lelaki Mongol itu sendiri. Targoutai melakukan bantingan itu sambil membalikkan tubuh.

Dewa Arak yang sudah sejak tadi bersikap siaga untuk menjaga keselamatan Citra Sari, karena tidak sempat mencegah gadis berpakaian biru itu menyerang, tidak tinggal diam. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu bantingan seorang tokoh seperti Targoutai tidak bisa dianggap ringan.

Meski Citra Sari memiliki kepandaian tinggi dan tenaga dalam yang lumayan, tulang-tulangnya akan hancur berantakan. Itu sebabnya, Arya segera bertindak cepat. Begitu tubuh Citra Sari diayunkan untuk dibanting pemuda itu menghentakkan kedua tangannya ke arah Citra Sari.

Wusss!

Dari dua tangan yang dipukulkan terbuka itu meluncur segundukan angin keras. Hembusan angin itu tidak berbahaya karena Arya mengirimkan untuk melemparkan tubuh Citra Sari jauh-jauh. Setidak-tidaknya membuat daya banting tubuh Citra Sari pupus tertiup pukulan jarak jauh itu.

Meski maksud Arya tidak terpenuhi sepenuhnya, tapi karena hembusan angin keras itu ayunan tubuh Citra Sari ke tanah berkurang jauh. Ada kekuatan lain yang berusaha membawanya melayang ke samping. Kekuatan ini sedikit banyak mengurangi lontaran tubuh Citra Sari ke tanah. Maka meski tubuh Citra Sari tetap terbanting, kekuatan bantingannya telah berkurang amat banyak.

Targoutai tidak mempedulikan Citra Sari yang bergulingan menjauh. Pandangan dan perhatian lelaki Mongol ini tertuju pada Arya. "Kau lawan yang cukup berharga juga, Anak Muda." Targoutai berkata sedikit gembira. "Sejak tadi kau belum memperkenalkan diri. Apakah kau tak punya nama atau julukan? Atau, kau takut menyebutkannya barangkali? Aku yakin orang dengan kepandaian seperti kau pasti memiliki julukan. Tua bangka tolol yang baru saja kubunuh itu pun mempunyai julukan. Pendekar Golok Salju. Hmh! Sebuah julukan yang terlalu berlebihan!"

"Aku bukan seorang pengecut, Targoutai!" tandas Arya agak keras, tersinggung dengan ejekan Targoutai. "Kalau kau ingin tahu namaku, akan kuberikan. Namaku Arya Buana. Tapi, lebih dikenal dengan panggilan Arya saja. Singkat bukan?"

"Arya Buana? Nama yang cukup bagus!" puji Targoutai datar. "Apakah kau hanya mempunyai nama saja, Buana? Tidak julukan? Apakah kau tidak punya julukan, Buana? Eh, bolehkan kalau aku memanggilmu Buana?"

Arya tersenyum getir. "Aku tidak keberatan, Targoutai!. Kau bebas untuk memanggilku. Mengenai julukan memang kuakui aku memilikinya. Tapi aku yakin tidak terlalu berarti."

Arya memutuskan untuk lebih dulu mengecilkan diri sebelum memberikan julukannya. Pemuda berambut putih keperakan ini yakin Targoutai telah mendengar julukannya. Bukankah julukan Dewa Arak telah tersebar di dunia persilatan sebelum julukan Malaikat Utara dan yang lain-lainnya?

"Biarlah, Buana. Aku yakin julukan yang kau sandang cukup bagus. Mungkin Pendekar Berambut Perak atau Pendekar Berambut Siluman. Boleh jadi malah Pendekar Berambut Tua." Targoutai mengajukan dugaan yang lucu-lucu.

"Salah semua, Targoutai!" Arya menggeleng. "Yang benar, julukanku adalah.... Dewa Arak...!"

"Apa...?!" Targoutai terjingkat ke belakang seperti disengat ular berbisa. Sepasang mata lelaki Mongol ini membelalak lebar. Wajahnya menampakkan keterkejutan. "Dewa Arak...?!"

"Benar. Itulah julukanku, Targoutai. Sebuah julukan yang sederhana. Sesederhana kepandaian yang kumiliki," Arya merendahkan diri.

"Kurasa tidak!" Targoutai menggelengkan kepala. "Sebelum mati Pendekar Golok Salju berkata kepadaku, kalau aku berniat menjajagi kepandaian jago nomor satu dunia persilatan negeri ini, aku harus mencari seorang tokoh yang berjuluk Dewa Arak. Tokoh ini masih muda tapi memiliki kepandaian hebat. Bahkan, kata Pendekar Golok Salju kepandaian empat datuk sesat masih berada di bawah Dewa Arak! Jadi, kalau aku telah mengalahkan Dewa Arak, katanya baru aku boleh menganggap diriku jago tidak terkalahkan di negeri ini! Sungguh tidak kusangka aku dapat bertemu denganmu, Dewa Arak! Silakan bersiap untuk bertarung!"

"Berita yang kau dapat terlalu berlebihan, Targoutai. Banyak tokoh persilatan negeri ini yang memiliki kepandaian melebihi ku. Malah beberapa tokoh yang kutemui mampu mengalahkanku tanpa berkeringat sama sekali. Tanpa menggeser kaki dari tempatnya berdiri. Jadi, ucapan Pendekar Golok Salju mengenai kepandaian yang kumiliki dan tokoh tersakti negeri ini adalah aku, hanya isapan jempol belaka. Tapi, tentu saja aku tidak takut untuk meladeni mu bertarung!"

"Bagus! Silakan jaga ini, Dewa Arak!" Targoutai membuka serangan dengan sebuah tusukan tangan kanan. Jari telunjuk dan tengahnya diluruskan, menotok ke arah dahi Arya. Bunyi berdecit nyaring mengiringi luncuran jari-jari tangan itu. Jari-jari itu mampu melubangi dahi Dewa Arak.

Arya tidak ingin membuat lawannya berbesar hati. Ia memiringkan kepala sedikit. Lalu, menangkis dari dalam dengan tangan kirinya.

Trakkk! Rrrttt!

"Eh...?!" Dewa Arak terperanjat ketika pergelangan tangan kirinya membentur tangan lawan. Dengan gerakan laksana ular, tangan Targoutai berhasil mencekal pergelangan Dewa Arak. Bahkan, sebelum Arya sempat berbuat sesuatu, tubuhnya telah diangkat ke atas dan dibanting ke tanah.

Tapi Targoutai kecewa kalau mengira akan semudah itu menaklukkan Dewa Arak. Ketika tubuhnya dibanting, karena tidak sempat mengerahkan tenaga dalam untuk memberatkan tubuh, Dewa Arak sempat mengirimkan sebuah tendangan belakang!

Desss!

Tendangan Dewa Arak itu keras bukan main. Dan mendarat di sasaran dengan telak, di dada. Targoutai terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan Arya sebelum tubuhnya membentur tanah telah mengerahkan tenaga dalam untuk mencegah kerusakan tulang-tulang dan bagian dalam tubuhnya. Bagi orang dengan tingkat kepandaian seperti Dewa Arak, melakukan hal seperti itu tidak terlalu sulit. Tubuhnya jadi selunak kapas ketika berbenturan dengan tanah. Pemuda berambut putih keperakan ini langsung menggulingkan tubuh.

Ketika Dewa Arak telah berdiri tegak, dilihatnya Targoutai telah bersiap untuk melancarkan serangan kembali. Arya sempat kaget. Sikap Targoutai menunjukkan tokoh dari Mongol ini biasa-biasa saja. Segar-bugar seperti tidak terluka. Padahal, Dewa Arak yakin tendangannya bersarang dengan telak. Ataukah tadi hanya perasaannya saja? Arya jadi bingung sendiri. Targoutai kelihatan tidak terluka. Padahal, tendangan itu cukup untuk menghancurkan batu karang paling keras sampai hancur berkeping-keping! Tapi, kenyataannya?

Arya tidak memiliki kesempatan untuk berpikir lebih lama. Targoutai telah kembali menerjang. Serangan-serangan lelaki dari Mongol ini sempat membuat Arya gelagapan karena penuh dengan gerakan-gerakan aneh. Tidak hanya menangkis, mengelak, memukul, atau menendang, tapi sering dipenuhi dengan tangkapan-tangkapan. Diikuti dengan gerakan membanting atau memuntir yang sanggup mematahkan tulang-tulang lawan.

Dewa Arak tidak tahu ilmu yang digunakan lawannya. Tapi, dia tahu Targoutai seorang lawan yang amat tangguh! Maka, Arya segera menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya.

Begitu bergebrak beberapa jurus, baik Targou-tai maupun Dewa Arak harus mengakui di dalam hati, lawan yang dihadapi tangguh bukan main. Targoutai merasa sempat gembira mendapat lawan yang setim-pal. Lelaki dari Mongol ini telah menguras seluruh ke-mampuan dan kecepatannya. Tapi, ia tetap tidak mampu menangkap dan melumpuhkan Dewa Arak. Malah serangan-serangannya banyak yang kandas. Dewa Arak demikian licin laksana belut!

Yang membuat Targoutai lebih penasaran adalah ketika melihat gaya Dewa Arak mengandaskan serangannya. Dengan gerakan aneh yang sebagian besar dilakukan dengan langkah terhuyung-huyung, Arya berhasil mengelakkan semua serangan. Kadang-kadang pemuda itu berlari-lari di tempat, berputar mengelilingi Targoutai. Namun yang lebih gila adalah ketika Dewa Arak memapaki datangnya serangan dengan tubuhnya. Tapi hebatnya, justru dengan gerakan itu Dewa Arak dapat lolos dari serangan!

Hal lain yang membuat Targoutai kagum adalah karena Dewa Arak tidak hanya memiliki kehebatan dalam mengelak. Serangan-serangannya pun luar biasa. Bila mengelak tubuh pemuda berambut putih keperakan itu seperti lemas tidak bertulang. Dan, sewaktu melancarkan serangan tampak kokoh dan kuat. Tidak hanya tangan, kaki, atau gucinya yang digerakkan Arya, tapi juga semburan araknya! Targoutai harus mengakui Dewa Arak adalah lawan paling berat yang pernah dihadapinya.

Tapi, bukan hanya Targoutai saja yang merasa kagum. Dewa Arak pun demikian. Berkali-kali serangan yang dilancarkan mendarat di berbagai bagian tubuh yang berbahaya, tapi hasilnya tidak terlihat sama sekali. Tubuh Targoutai bagaikan terbuat dari baja. Tidak bergeming sedikit pun.

Meski setiap kali serangan Arya mendarat, tubuh lelaki dari Mongol ini terjengkang kebelakang. Namun, ia segera maju kembali dengan semangat berlipat ganda. Untuk kesekian kalinya, Dewa Arak dan Targoutai terhuyung mundur ketika tangan-tangan mereka berbenturan. Tubuh mereka terhuyung tiga langkah ke belakang.

"Kau hebat, Dewa Arak!" Targoutai yang berwatak jantan, tak lupa untuk memuji. Tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam. Karena untuk pertama kalinya dia bertemu lawan yang demikian tangguh.

"Kau pun tak kalah hebat, Targoutai!" Arya balas memuji.

Kedua tokoh itu tidak saling gebrak kembali. Mereka berpandangan dalam jarak sekitar dua tombak. Sepasang mata kedua orang itu memancarkan kekaguman terhadap orang yang berdiri dihadapannya. Tapi, di dalam kekaguman itu terpancar perasaan penasaran.

Targoutai memutar lembingnya di atas kepala hingga mengeluarkan bunyi mengaung. Kemudian, dengan langkah silang dan satu-satu, didekatinya Dewa Arak yang tetap berdiri di tempatnya. Tapi, tiba-tiba Targoutai menghentikan langkahnya. Bahkan, ayunan lembingnya dihentikan. Sepasang matanya menatap lurus ke belakang Dewa Arak.

Arya yang tahu kegagahan Targoutai dan tak mungkin tokoh ini akan membokongnya, tanpa curiga segera menolehkan kepala ke belakang untuk melihat apa yang telah membuat Targoutai bertindak demikian.

TUJUH

Beberapa tombak, mungkin sekitar sepuluh tombak lebih di belakang Dewa Arak tampak berdiri dua sosok lelaki yang mengenakan seragam pasukan kerajaan. Melihat topi dan hiasan yang dikenakan di atas kepala, Dewa Arak yakin kedua orang ini adalah Bangsa Mongol. Bangsanya Targoutai!

Kenyataan ini membuat jantung Dewa Arak berdetak lebih cepat. Satu lawan saja belum bisa diselesaikan sekarang muncul dua lagi. Meski belum ketahuan kemampuannya, tapi sedikit banyak menambah kekuatan lawan. Dan lagi, Dewa Arak jadi khawatir akan keselamatan Citra Sari.

Tampak salah seorang dari kedua lelaki berseragam aneh itu menuding. Kepada siapa sosok itu menunjuk, Arya bisa memperkirakan. Tapi, yang jelas sambil menunjuk kedua lelaki itu berseru. Karena terlalu pelan, Arya tidak mampu mendengarnya. Saat itulah Dewa Arak mendengar seruan yang membuatnya merasa heran.

"Sayang sekali ada gangguan, Dewa Arak. Lain kali aku akan mencarimu untuk meneruskan pertarungan kita!"

Arya telah hafal siapa pemilik suara itu meski baru mendengarnya beberapa kali. Secepat kilat kepalanya ditolehkan ke tempat Targoutai berdiri. Tapi, Targoutai hanya melemparkan senyum sebelum membalikkan tubuh dan melesat meninggalkan tempat itu. Dalam beberapa kali lompatan, tubuh lelaki perkasa dari Mongol itu telah berubah menjadi titik hitam yang semakin mengecil di kejauhan.

Arya yang masih kebingungan dan heran melihat sikap Targoutai yang seperti ketakutan, tidak mampu mencegah kepergian lelaki dari Mongol itu. Dia hanya dapat menatap kepergian Targoutai dengan pandangan kagum. Pemuda berambut putih keperakan ini baru menolehkan kepala ketika mendengar bunyi langkah kaki mendekati tempatnya. Ternyata dua orang yang mengenakan seragam pasukan aneh itu.

"Sayang sekali.... Lagi-lagi dia lolos...!" ujar salah seorang yang bertubuh agak kurus.

"Ini berarti banyak lagi orang yang akan menjadi korbannya," sambung temannya. Seperti juga rekannya, logat bicara orang kedua ini pun terdengar aneh dan menggelitik di telinga.

"Sebenarnya ada apa, Tuan-tuan?" tanya Arya ingin tahu, setelah yakin kedua orang prajurit Mongol ini tidak bermaksud jahat. Mereka agaknya bukan kawan Targoutai.

"Sebenarnya ini urusan pribadi kami..." Prajurit Mongol yang bertubuh agak kurus menjawab setelah terlebih dulu menghela napas panjang. Ucapan yang dikeluarkannya satu-satu dan terputus-putus. Terlihat kalau dia sulit mencari kata-kata, "Tapi... karena Targoutai telah bentrok dengan saudara, tidak ada salahnya kalau kami menceritakannya...."

"Benar." Prajurit Mongol yang satu membantu rekannya yang terdiam dengan kening berkerut. "Targoutai adalah anggota suku kami. Dia seorang jagoan nomor satu di negeri kami. Kegemarannya adalah mengadu ilmu. Tanpa sepengetahuan pemerintah kami, Targoutai ikut rombongan pasukan. Untung kami dapat mengetahui dia ikut pergi meninggalkan negeri. Maka, kami diperintahkan untuk membawa Targoutai kembali agar tidak menimbulkan bencana di negeri ini, khususnya terhadap orang-orang persilatan."

"Sayang, kami terlambat." Prajurit Mongol yang bertubuh agak kurus kembali berbicara. "Dia telah menimbulkan cukup banyak malapetaka. Tapi, beruntung kami lebih dulu datang sebelum kau dicelakai."

"Terima kasih atas pertolongan Tuan-tuan. Karena kedatangan Tuan-tuan, aku bisa selamat. Terima kasih," ujar Arya dengan sikap dongkol yang disembunyikan. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa jengkel. Ucapan Prajurit Mongol itu menunjukkan ia memandang rendah dirinya. Padahal, dia yakin belum tentu kalah menghadapi Targoutai yang orang asing!

"Tidak mengapa. Sudah kewajiban kami untuk mencegah tindakan sewenang-wenang Targoutai," sahut Prajurit Mongol yang bertubuh agak kurus. Ia tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepala.

Arya semakin jengkel melihatnya. "Bagaimana mungkin Targoutai bisa kalian tangkap? Menurut penglihatanku, kalian berdua bukan tandingan Targoutai yang demikian lihai!" Perasaan jengkel membuat Arya tidak ragu-ragu menyatakan penilaiannya.

"Tidak perlu heran," prajurit Mongol yang bertubuh kurus memberikan jawaban. "Meski kami berdua bukan tandingan Targoutai, tapi Targoutai tidak berani melawan kami. Dia tidak ingin melawan pasukan kerajaan, pasukan pemerintah. Targoutai tidak mau menjadi pemberontak. Jadi, apabila terjepit dia pasti akan menyerah. Dan, selama bisa kabur, dia akan kabur!"

Sekarang Arya baru mengerti. Saat itu pula dia teringat pada Citra Sari. Betapa kagetnya hati pemuda berambut putih keperakan itu. Ia tidak melihat keberadaan Citra Sari di situ.

"Citra...!" Arya mengerahkan tenaga agar pang-gilannya bisa terdengar sampai jauh.

Dua prajurit Mongol tampak terperanjat mendengar teriakan yang seperti ledakan halilintar itu. Mereka saling berpandangan dengan sikap takjub. Kemudian, bergegas melanjutkan langkah melakukan pengejaran terhadap Targoutai!

Sementara Arya sambil memanggil-manggil mengedarkan pandangan. Pemuda berambut keperakan ini merasa khawatir akan keselamatan Citra Sari. Ketika pandangan Arya tertumbuk pada bangunan cukup megah di kejauhan, kekhawatirannya pun mulai berkurang. Dia yakin Citra Sari berada di sana. Pemuda itu segera melangkah menuju ke sana.

Dugaan Arya ternyata tepat. Begitu mendekati tembok yang mengelilingi bangunan, dari dalam terdengar isak tangis. Ketika Arya tiba di depan pintu gerbang yang terbuka lebar, terlihat Citra Sari tengah menangis seraya memangku sesosok tubuh yang telah terkulai lemas.

Dewa Arak tahu tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang ini. Obat yang paling baik bagi Citra Sari saat ini adalah menangis. Maka, Arya tidak mengganggunya. Bahkan tidak masuk ke dalam pintu gerbang. Ia malah mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Arya sibuk dengan alun pikirannya. Bagaimana caranya dia dapat menaklukkan Targoutai yang demikian lihai?

* * *

Lapangan tanah yang ditumbuhi rumput-rumput kecil dan tidak hijau itu cukup luas. Bahkan sangat luas. Tapi, saat itu tanah lapang yang luas ti-dak cukup untuk menampung banyaknya orang yang berkumpul. Orang-orang dengan berbagai macam ku-lit, beraneka model pakaian, dan berlainan rupa dan tingkah laku. Tapi, yang jelas mereka semua adalah orang-orang persilatan. Dan, yang lebih jelas lagi dari golongan hitam.

Jumlah orang-orang golongan hitam itu kurang lebih dua ratus orang. Mereka semua berdiri mengelilingi sebuah panggung berbentuk persegi panjang. Tinggi panggung itu dua tombak. Cukup tinggi!

"Hih!" Dari kerumunan ratusan orang tokoh golongan hitam itu meloncat ke atas sesosok bayangan. Ia bersalto beberapa kali di udara sebelum menjejakkan kaki dengan ringan di lantai panggung. "Wahai kawan-kawan sehaluan, dengarkan baik-baik...!"

Sosok yang ternyata seorang pemuda berpakaian mewah dan berwajah tampan membuka suara seraya mengangkat tangannya ke atas tinggi-tinggi. Bunyi riuh-rendah seperti tawon marah yang tadi terdengar pun segera terhenti. Suasana mendadak senyap. Pemuda berpakaian mewah yang mengenakan sabuk dari benang emas, yang terselip suling dan cangklong di sana, memang mengerahkan tenaga dalam. Hingga, suaranya tak kalah dengan ledakan halilintar.

"Aku adalah Dewa Tampan Dari Selatan. Datuk wilayah selatan. Aku berdiri di sini karena ingin mengajukan diriku sebagai datuk tidak hanya di wilayah selatan saja, tapi juga di tiga mata angin lainnya. Aku telah menguasai satu mata angin. Dan, dua mata angin lain tidak dikuasai oleh seorang datuk pun. Maka, aku mengajukan diri untuk menjadi penguasa atau datuk yang merajai wilayah utara dan barat pula. Siapa yang tidak setuju harap maju untuk menjajal kemampuanku!"

Ratusan tokoh persilatan yang datang karena mendengar kabar akan dilangsungkan pemilihan datuk nomor satu, tentu saja tidak memenuhi tantangan itu. Sebagian besar di antara mereka hanya ingin menyaksikan jalannya pertarungan. Sebagian lain karena ingin mendapat seorang pemimpin untuk dijadikan tempat meminta tolong bila berhadapan dengan kaum golongan putih.

"Kau terlalu sombong, Dewa Tampan!" Terdengar seruan parau menyambuti tantangan Dewa Tampan Dari Selatan, setelah beberapa saat lamanya tantangan itu tidak mendapat tanggapan. Belum juga gema ucapan itu lenyap, sesosok tubuh melesat cepat melompat ke atas panggung. Ia bersalto beberapa kali di udara. Kemudian, melemparkan seutas tambang ke lantai panggung.

Cappp!

Laksana sebatang tombak, tambang yang panjangnya tak lebih dari empat tombak itu menancap di lantai panggung yang terbuat dari papan tebal dan kuat. Sekejap kemudian, pemilik seruan itu telah menjejakkan salah satu telapak kakinya di ujung tambang yang menegang seperti sebatang tombak. Seketika tepuk tangan membahana menyambut pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa ini.

Sosok yang hinggap di atas tambang yang menegang kaku itu adalah seorang lelaki setengah baya. Berkepala botak dan berpakaian coklat. Gelang-gelang hitam melingkari pergelangan tangan kanan dan kirinya.

"Setan Timur...!" desis beberapa mulut dari bawah panggung.

Setan Timur membusungkan dadanya. Sepasang matanya merayapi wajah-wajah yang berada di bawah panggung dengan sinar menantang. Tapi, setiap tokoh yang menerima tantangan Setan Timur menundukkan kepala, khawatir akan disuruh maju atau terkena amukan lelaki berkepala botak itu. Seorang tokoh sesat seperti Setan Timur memiliki perangai yang sukar ditebak. Bisa saja tanpa alasan membunuh orang yang kebetulan tidak menyenangkan hatinya.

"Aku mengajukan diri sebagai datuk nomor satu untuk seluruh mata angin! Barang siapa yang tidak setuju silakan maju dan melawanku!" teriak Setan Timur lantang.

Suasana langsung hening ketika datuk nomor satu wilayah timur itu menyelesaikan perkataannya. Tak ada seorang pun yang memberikan sambutan. Sebagian besar tokoh malah saling pandang. Sisanya menundukkan kepala dan mencari-cari tokoh yang merupakan tandingan Setan Timur, yaitu Dewa Tampan Dari Selatan.

Dewa Tampan Dari Selatan sendiri tetap bersikap tenang. Pemuda berpakaian mewah yang datang bersama pengikutnya, seperti juga Setan Timur, dengan sikap angkuh bermain-main dengan cangklongnya. Kepulan asap sesekali dikeluarkan dari mulutnya.

Keheningan suasana langsung pecah dan semua kepala, tak terkecuali datuk timur dan selatan, menoleh ke atas ketika terdengar bunyi mendesing tajam yang menyakitkan telinga. Dari belakang kumpulan tokoh-tokoh persilatan melesat sesosok tubuh berpakaian bulu binatang dengan kecepatan menakjubkan! Semua mata membelalak penuh kekaguman. Sosok itu berdiri di atas busur anak panah yang tengah meluncur.

Ketika telah berada di atas kepala kumpulan tokoh persilatan yang berada di sekitar panggung, sosok yang tidak lain Targoutai menekan kaki kanannya yang berada di depan. Maka, luncuran anak panah menukik ke bawah, ke arah punggung.

"Aku yang akan maju dan menjajal kepandaianmu, Setan Timur!" seru Targoutai lantang.

Setan Timur telah dapat menguasai rasa kagetnya. Ketika melihat anak panah yang dikendalikan Targoutai meluncur ke arahnya, buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Ia mendarat di pinggir lantai panggung.

Targoutai tidak meneruskan serangannya. Dia berhasil mendaratkan anak panah itu di lantai panggung secara menakjubkan. Kemudian, berdiri di tengah-tengah menatap di sekitar bawah panggung.

"Aku dari Mongol. Sebuah negeri yang jauh. Kedatanganku kemari untuk menantang jago-jago nomor satu negeri ini! Siapa yang merasa memiliki kepandaian, silakan maju! Tapi, sebelumnya aku akan menghadapi Setan Timur lebih dulu!"

Setan Timur melangkah mendekati Targoutai yang berdiri tegak di tengah panggung. "Jadi..., kau rupanya tokoh yang telah membunuh Raksasa Barat dan Malaikat Utara?!" tanya Setan Timur mencoba bersikap penuh wibawa meski jantungnya berdebar. Diam-diam lelaki berkepala botak ini memang telah mengkhawatirkan kedatangan Targoutai. Dan, ternyata kekhawatirannya beralasan!

"Benar!" Targoutai mengangguk. Dicabutnya lembing yang tadi diselipkan di belakang punggungnya. "Sekarang bersiaplah untuk menerima kematian di tangan Targoutai!"

"Orang asing yang sombong! Kaulah yang akan tewas di sini! Mati tanpa ada yang mengurusi kuburanmu!"

Setan Timur mendahului mengirimkan serangan. Pisau yang telah tergenggam di tangan sewaktu dia maju menghampiri Targoutai langsung ditusukkan bertubi-tubi ke arah sepasang mata lelaki perkasa dari Mongol ini. Setan Timur yang telah mendengar kekebalan tubuh Targoutai tidak berani bertindak gegabah. Ia langsung mengirimkan serangan pada bagian tubuh yang diketahuinya tidak akan bisa dibuat kebal!

Targoutai melompat ke belakang dan mengirimkan serangan dengan tusukan lembingnya. Setan Timur terpaksa melompat ke atas. Lelaki berkepala botak ini bersalto beberapa kali untuk mendekati Targoutai. Dari atas ia mengirimkan tusukan-tusukan ke arah mata lelaki dari Mongol.

Targoutai yang banyak berpengalaman dalam pertarungan segera bisa menduga maksud Setan Timur. Lelaki dari Mongol ini tahu lawan mengajaknya bertarung dalam jarak dekat. Hal itu tidak diinginkan Targoutai. Dia melompat mundur dan mengandalkan jangkauan senjatanya yang panjang untuk mengirimkan serangan. Targoutai berusaha memaksa lawannya terlibat dalam pertarungan jarak jauh. Senjata Targoutai yang berupa lembing memang memiliki jangkauan lebih jauh daripada sepasang pisau Setan Timur.

Pertarungan dua tokoh yang sama-sama hebat itu segera saja menyita perhatian semua tokoh persilatan. Terutama Dewa Tampan Dari Selatan. Pemuda in-ilah yang kelihatan paling tertarik dengan jalannya pertarungan. Sepasang matanya yang tajam hampir ti-dak berkedip.

Diam-diam Dewa Tampan Dari Selatan harus mengakui kekhawatiran Setan Timur. Lelaki dari Mongol, Targoutai itu, memang memiliki kemampuan luar biasa. Beberapa kali dilihatnya apabila terjadi benturan senjata, tubuh Setan Timur terhuyung-huyung ke belakang sambil menyeringai kesakitan.

Bukan hanya itu saja keunggulan Targoutai. Dewa Tampan Dari Selatan melihat keanehan ilmu-ilmu Targoutai, di samping kekebalan tubuh dan kelincahan gerakannya. Ilmu aneh yang membuat Setan Timur kelabakan!

Dewa Tampan Dari Selatan tahu robohnya Setan Timur hanya tinggal menunggu waktu saja. Targoutai memang hebat bukan main. Ia memiliki kemampuan di atas Setan Timur. Bahkan, Dewa Tampan Dari Selatan pun menyadari tingkat kepandaiannya masih berada di bawah Targoutai. Kecemasan pun melanda hati datuk wilayah selatan ini.

DELAPAN

"Arrrggghhh...!" Setan Timur menjerit memilukan hati. Lembing Targoutai menembus perutnya hingga ke punggung. Ketika lelaki dari Mongol itu menarik kembali lembingnya darah beserta usus Setan Timur terburai keluar. Setan Timur menatap tak percaya. Dia berdiri gontai sebelum akhirnya ambruk untuk tidak pernah bangkit lagi.

Targoutai mengangkat lembingnya tinggi-tinggi. Ditatapnya wajah-wajah tokoh persilatan yang berada di bawah panggung. Lembingnya yang dipenuhi darah menetes-netes di lantai panggung.

"Siapa lagi yang bersedia bertarung dengan Targoutai?! Tidak ada lagikah tokoh sakti di negeri ini? Hanya sampai di sini sajakah kemampuan datuk-datuk persilatan negeri ini? Mengecewakan sekali!"

Tantangan bernada penghinaan dari Targoutai membuat wajah orang-orang persilatan berubah merah. Mereka merasa terhina oleh ucapan orang asing seperti Targoutai yang meremehkan kemampuan jago-jago negeri mereka.

Tapi hanya sampai di situ saja tindakan tokoh-tokoh persilatan itu. Mereka tahu Targoutai amat pandai dan tidak akan dapat ditandingi. Tanpa sadar semua pasang mata tertuju ke arah Dewa Tampan Dari Selatan dan kelompoknya berada. Sebuah tempat yang dibangun kelompok datuk selatan itu dengan memiliki atap dan kursi untuk pemuda berpakaian mewah itu duduk.

Dewa Tampan Dari Selatan tentu saja mengetahui maksud tatapan tokoh-tokoh persilatan, tapi dia tidak peduli. Pemuda ini berpura-pura tidak tahu. Dengan tenang, Dewa Tampan Dari Selatan menyibukkan diri dengan cangklongnya.

Ketegangan terasa sekali melingkupi sekitar tempat itu. Masing-masing tokoh merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Terutama sekali Dewa Tampan Dari Selatan. Mau tidak mau ia harus berhadapan dengan Targoutai, kalau tidak ingin nama besarnya hancur berantakan karena dia dianggap takut!

"Aku yang akan menghadapimu, Targoutai!" Seruan lantang dan nyaring memecahkan keheningan. Dewa Tampan Dari Selatan yang bermaksud bangkit dari kursinya dan menghadapi Targoutai jadi menahan keinginannya. Ia duduk kembali di kursinya. Belum lagi gema ucapan itu lenyap, sesosok bayangan ungu berkelebat. Di hadapan Targoutai telah berdiri seorang pemuda berambut putih keperakan.

"Ah...! Kiranya kau, Dewa Arak! Memang kaulah lawan yang kutunggu-tunggu!" seru Targoutai gembira.

Dewa Arak tersenyum pahit. Pemuda ini tidak menanggapi seruan gembira lelaki dari Mongol itu. Bahkan, Arya tidak mempedulikan pekikan-pekikan tertahan tokoh-tokoh persilatan. Hampir sebagian be-sar tokoh persilatan telah mendengar julukan Dewa Arak yang menggemparkan. Dewa Tampan Dari Selatan sendiri sampai menyipitkan sepasang matanya untuk melihat lebih jelas tokoh yang telah lama didengar nama besarnya itu.

"Tidak usah banyak cakap lagi, Targoutai!" tandas Dewa Arak. "Bukankah kau menantang jago-jago negeri ini? Meski aku bukan orang yang tersakti di negeri ini, aku maju untuk memenuhi tantanganmu!"

"Apa pun katamu, Dewa Arak. Apabila aku telah berhasil mengalahkanmu, berarti aku telah mengalahkan seluruh jago di negerimu. Kau lawan terlihai yang pernah kuhadapi. Aku akan berbangga hati bila sampai kalah di tanganmu, Dewa Arak!"

Targoutai menutup kata-katanya dengan sebuah tusukan lembing ke arah lambung Dewa Arak. Serangan itu berhasil dipatahkan Arya dengan mengayunkan gucinya ke depan. Ketika benturan terjadi, tubuh kedua orang itu terhuyung-huyung ke belakang. Targoutai yang bernafsu dapat merobohkan Dewa Arak segera melancarkan serangan bertubi-tubi. Dewa Arak menghadapinya dengan ilmu 'Belalang Sakti'. Pertarungan tingkat tinggi pun berlangsung.

Hanya dalam sebentar saja pertarungan telah memakan puluhan jurus. Dewa Arak mengeluh dalam hati. Telah beberapa kali pukulan dan tendangannya bersarang di tubuh Targoutai, tapi tak satu pun yang menimbulkan hasil. Sebaliknya, beberapa kali pemuda berambut putih keperakan ini harus menguras kemampuannya agar mampu lolos dari tangkapan kedua tangan Targoutai. Arya tahu, sekali tertangkap bahaya besar akan mengancamnya.

Dewa Arak sadar jika keadaan berlangsung seperti ini terus, dia akan menderita kerugian. Harus dicarinya cara lain agar dapat mengalahkan Targoutai. Tapi, kekebalan Targoutai belum diketemukan kelemahannya. Serangan-serangannya dibiarkan saja oleh Targoutai. Sebaliknya, serangan-serangan Targoutai memaksanya untuk menangkis atau mengelak.

"Seranganmu bila kau lakukan melalui pukulan atau tendangan akan bertemu dengan kulit tubuh yang keras laksana kulit badak. Pergunakan serangan yang mampu mendarat di sasaran tanpa terhalang oleh kulit tubuhnya!"

Suara itu terdengar di telinga Dewa Arak. Arya tahu suara itu dikirimkan dari jarak jauh. Ada seseorang yang memberi petunjuk padanya.

"Lihat ke belakang, Dewa Arak. Aku akan mengangkat tinggi-tinggi senjata yang dapat menembus kekebalan tubuh orang Mongol itu. Ambillah." Lagi-lagi suara itu tertangkap telinga Arya, saat pemuda itu baru saja mengelakkan serangan Targoutai.

Arya melompat ke belakang menjauhi Targoutai. Pemuda itu menolehkan kepalanya ke belakang. Tampak di bawah punggung, di deretan belakang, sebatang bambu sepanjang hampir dua jengkal teracung tinggi-tinggi ke atas. Arya tahu bambu itu adalah sebatang suling.

Pemuda berambut putih keperakan ini segera bertindak cepat. Dia tahu kalau mengambil suling itu membutuhkan sedikit waktu. Maka, kedatangan Targoutai yang memburunya dengan lembing di tangan, disambutnya dengan pukulan jarak jauh dari jurus 'Pukulan Belalang'!

Bresss!

Tubuh Targoutai terpental ke belakang ketika hembusan angin keras berhawa panas menerpa tubuhnya. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya untuk mengambil suling yang teracung. Pemuda ini menjulurkan tangannya ke arah deretan bawah panggung. Bagai ditarik oleh tangan tak nampak, suling yang berada sepuluh tombak dari Arya terbang melayang! Lalu, Dewa Arak segera menangkapnya.

Dewa Arak segera duduk bersila dan menempelkan suling itu ke bibirnya. Tepat pada saat itu Targoutai yang tidak terpengaruh sedikit pun akibat pukulan jarak jauh jurus 'Pukulan Belalang' bergerak bangkit dan melesat ke arah Dewa Arak. Padahal, biasanya jurus 'Pukulan Belalang' telah cukup untuk membuat melayang tokoh yang bagaimanapun tangguhnya. Tubuh korban akan menghitam menjadi arang.

Terjangan Targoutai langsung terhenti di tengah jalan ketika bunyi suling yang ditiup Dewa Arak mulai terdengar. Bunyi yang mengalun laksana gendang perang. Dalam tiupan suling itu seakan terdengar derap kaki puluhan ekor kuda, dentang senjata beradu, dan jeritan kematian yang menyayat hati. Bunyi seperti itu yang didengar orang-orang yang berada di bawah panggung. Tapi tidak demikian halnya dengan Targoutai.

Tidak hanya bunyi itu yang tertangkap telinganya. Tapi, kehebatan serangan yang terkandung di dalamnya. Bunyi yang bagi orang lain terdengar mengasyikkan bagi Targoutai amat mengerikan. Tidak hanya telinganya saja yang sakit, isi dadanya pun seperti dikoyak-koyak!

Targoutai tahu adanya ancaman bahaya. Maka, terjangannya dihentikan. Lelaki perkasa dari Mongol ini lalu mencabut dua batang anak panah dan menggosok-gosokkannya. Terdengar bunyi bergerit nyaring yang semakin lama semakin meninggi. Targoutai berusaha menahan gelombang serangan bunyi suling Dewa Arak dengan suara gesekan anak panahnya.

Tokoh-tokoh rendahan dan sebagian besar tokoh persilatan menatap pertarungan ini dengan perasaan heran. Tapi tidak demikian halnya dengan Dewa Tampan Dari Selatan dan beberapa tokoh tingkat tinggi. Mereka tahu antara Dewa Arak dan Targoutai tengah terjadi pertarungan mati-matian. Pertarungan tenaga dalam. Selisih tenaga dalam yang sedikit akan membuat nyawa salah seorang di antara mereka melayang ke alam baka.

Keadaan Dewa Arak dan Targoutai semakin mengkhawatirkan. Wajah kedua tokoh itu dipenuhi peluh sebesar biji jagung. Bahkan, dari atas kepala mereka mengepul uap putih yang semakin lama semakin tebal. Terlihat kepulan uap di atas kepala Dewa Arak jauh lebih sedikit. Kedudukan pemuda itu memang lebih menguntungkan. Alat yang digunakan memungkinkan ia untuk dengan mudah mengubah bentuk penyerangan. Kenyataan ini membuat Targoutai kewalahan!

Pyarrr!

Bersamaan dengan patahnya anak-anak panah, tubuh Targoutai terjengkang ke belakang. Darah segar memancur deras dari mulutnya. Namun, Targoutai benar-benar seorang tokoh yang mengagumkan. Dia masih mampu berdiri meski kedua kakinya menggigil keras.

"Kau..., kau hebat, Dewa Arak. Aku mengaku kalah...!" Targoutai masih sempat memberikan pujian sebelum tubuhnya ambruk ke tanah. Targoutai yang perkasa itu tewas.

Dewa Arak pun buru-buru bersemadi untuk memulihkan tenaganya. Pemuda ini pun memuntahkan darah segar dari mulutnya. Bila ia tidak bertindak cepat dan segera mengobati luka dalamnya bukan tak mungkin dia akan pergi menyusul Targoutai.

Tewasnya Targoutai menimbulkan kegembiraan pada orang-orang yang menyaksikan jalannya pertarungan. Tewasnya Targoutai telah menolong muka jago-jago negeri ini. Telah terbukti kalau jago negeri ini tak kalah oleh jago dari negeri Mongol!

Saat itulah Dewa Tampan Dari Selatan melompat dari kursinya. Dengan gerakan manis, pemuda ini bersalto beberapa kali kemudian menjejak lantai panggung tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun.

"Aku mengajukan diri sebagai datuk nomor satu dunia persilatan! Siapa yang tidak setuju silakan maju dan tandingi aku!" seru Dewa Tampan Dari Selatan lantang seraya mengepulkan asap cangklongnya.

Tidak ada tanggapan apa pun dari bawah panggung. Mereka semua tahu siapa adanya Dewa Tampan Dari Selatan. Melawan hanya mencari mati belaka. Dalam hati sebagian besar di antara mereka memaki-maki Dewa Tampan Dari Selatan yang licik. Tadi ketika Targoutai berdiri sebagai penantang, pemuda pesolek ini berdiam diri saja mengulur-ulur waktu. Sekarang setelah Targoutai tewas dan Dewa Arak terluka parah, baru Dewa Tampan Dari Selatan maju. Sungguh licik!

Dewa Tampan Dari Selatan tertawa bergelak. Gembira. "Jadi, tak ada orang yang berani melawanku?! Berarti sekarang akulah datuk nomor satu untuk seluruh wilayah. Datuk golongan hitam! Dan, kalian semua adalah pengikut ku! Ingat, siapa yang tidak taat akan kubunuh! Kalian mengerti?!"

Dewa Tampan Dari Selatan mengedarkan pandangan ke bawah punggung. Ditatapnya wajah-wajah yang ada di sana dengan sinar mata bengis. Sedikit saja terlihat adanya tantangan, pemuda pesolek ini akan menurunkan tangan kejam!

"Dan perintah pertama ku adalah... bunuh pemuda ini!" Dewa Tampan Dari Selatan menuding ke arah Dewa Arak. "Dia seorang tokoh tingkat tinggi golongan putih! Tak terhitung sudah rekan-rekan kita yang tewas di tangannya. Bukan tidak mungkin kalau kalian yang akan menjadi giliran selanjutnya. Maka, daripada dia menimbulkan korban lagi di kalangan kita, cepat lenyapkan saja!"

Seketika belasan tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ berlompatan ke atas punggung untuk memenuhi perintah Dewa Tampan Dari Selatan. Sedikit pun tidak terbesit di hati mereka rasa terima kasih atas jerih payah Dewa Arak. Memang, bagi orang-orang golongan hitam seperti mereka tidak ada yang namanya balas budi. Yang ada hanya bertindak demi keuntungan diri sendiri.

Begitu menjejak lantai panggung, belasan tokoh persilatan itu langsung mencabut senjata masing-masing dan mengayunkannya ke tubuh Arya yang masih sibuk mengobati luka dalamnya. Dewa Tampan Dari Selatan sudah bisa memperkirakan Dewa Arak akan tewas. Maka, dengan sikap tidak peduli dibalikkannya tubuhnya sambil tersenyum lebar. Pemuda ini menunjukkan kesan kalau tewasnya Dewa Arak bukan merupakan masalah besar baginya. Sehingga, tidak perlu diperhatikan.

Tapi, senyum Dewa Tampan Dari Selatan langsung lenyap ketika mendengar teriakan-teriakan kesakitan yang susul-menyusul. Tubuh-tubuh tokoh persilatan yang tadi menyerbu Dewa Arak berpentalan ke sana kemari seperti daun-daun kering diterbangkan angin.

Dewa Tampan Dari Selatan membalikkan tubuhnya kembali untuk melihat keanehan itu. Wajah pemuda ini pun langsung pias. Berdiri membelakangi Dewa Arak yang masih duduk bersemadi, dua orang kakek. Yang seorang berbadan besar dan bermuka mirip kuda. Sedangkan yang satunya lagi bermuka kuning.

"Aa... Ayah...?!" desis Dewa Tampan Dari Selatan dengan suara terbata-bata. Sepasang mata pemuda pesolek itu menatap penuh rasa tak percaya pada kakek bermuka dua. Kakek yang tak lain Raja Sihir Penyebar Maut ini tertawa. Suara tawanya lebih mendekati ringkik kuda!

"Masih ada muka kau memanggil Ayah, Anak Tak Tahu Diuntung?!" bentak Raja Sihir Penyebar Maut. Suaranya parau dan lantang. "Kau sadar siapa kau sebelumnya? Hanya anak terlantar! Ku pungut dan ku asuh kau sebagai anak sendiri! Ku wariskan ilmu-ilmu tinggi. Tapi, setelah besar kau balas semuanya dengan memenjarakan aku dan Raja Racun Sakti yang tengah mengadakan pertemuan. Kau pikir aku mati? Aku berhasil keluar bersama Raja Racun Sakti dengan menggali sebuah terowongan! Sekarang aku datang untuk membinasakan mu!"

Dewa Tampan Dari Selatan tahu tak ada ampunan untuknya dari Raja Sihir Penyebar Maut yang sebenarnya adalah ayah angkatnya. Kakek bermuka kuda itu memiliki watak keji! Tak akan ada ampunan bagi orang yang mengkhianatinya! Dewa Tampan Dari Selatan teringat kembali akan tindakannya.

Ayah angkatnya dan Raja Racun Sakti mengadakan pertemuan di sebuah goa di suatu puncak gunung. Dengan longsoran, pemuda pesolek ini menutup pintu keluar goa. Hal itu dilakukannya agar dia dapat mengambil pusaka-pusaka milik Ayah angkatnya. Karena telah lama dia menginginkannya tapi tak diberikan oleh Raja Sihir Penyebar Maut.

Sekarang, Dewa Tampan Dari Selatan segera melompat menerjang Ayah angkatnya dengan cangklongnya. Raja Sihir Penyebar Maut menyambutnya. Pertarungan pun berlangsung. Di lain pihak, Raja Racun Sakti dengan mengandalkan nama besar dan kekuasaannya memerintahkan semua tokoh persilatan yang berada di situ untuk pergi. Kakek ini yang telah memberi petunjuk pada Dewa Arak dan juga memberikan suling untuk mengalahkan Targoutai.

Tokoh-tokoh persilatan pun meninggalkan tempat itu. Tapi, perasaan tertarik membuat mereka sesekali menoleh ke belakang. Mereka ingin mengetahui akhir pertarungan Raja Sihir Penyebar Maut dengan Dewa Tampan Dari Selatan. Niat mereka kesampaian. Belum berapa jauh mereka melangkah terdengar jeritan menyayat hati. Dewa Tampan Dari Selatan tewas dengan kepala remuk terhantam cakar Raja Sihir Penyebar Maut.

Dengan kemunculan Raja Sihir Penyebar Maut dan Raja Racun Sakti, pertarungan untuk memperebutkan kedudukan datuk pun berakhir. Bertepatan dengan tewasnya Dewa Tampan Dari Selatan, Dewa Arak menyelesaikan semadinya.

"Kau hebat, Dewa Arak!" puji Raja Sihir Penyebar Maut. "Tanpa adanya kau, mungkin orang asing itu akan mengira tidak ada tokoh negeri ini yang mampu menandinginya. Kau telah menutup kesombongannya."

"Atas bantuanmu juga, Kek." Arya merendah. Dia tahu kalau dua datuk ini yang telah memberikan jalan padanya untuk mengalahkan Targoutai.

"Tak perlu merendah," Raja Racun Sakti membantah. "Bukan tidak mungkin suatu saat kita akan berhadapan sebagai lawan. Sekarang, kami akan pergi. Tapi bila terjadi pertemuan di antara kita, aku akan menantangmu bertarung!"

Dewa Arak hanya menghela napas berat. Dia tetap diam ketika dua datuk golongan hitam itu berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Tinggallah Dewa Arak dan mayat Targoutai di atas panggung. Mayat lainnya telah dibawa pergi oleh kelompoknya masing-masing.
SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.