Dewa Arak - Pembunuh Gelap

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Pembunuh Gelap Karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak - Pembunuh Gelap

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
"Arum..., betapa malangnya nasibmu, Anakku. Ohhh...!"

Keluhan-keluhan penuh perasaan sedih yang terdengar parau itu keluar dari mulut seorang lelaki setengah baya berpakaian coklat. Tanpa sadar tangan-nya mengepal-ngepalkan tanah merah dari sebuah gundukan kuburan yang masih baru.

"Haruskah kutinggalkan tempat ini, Arum...? Haruskah aku membalaskan kematianmu pada orang-orang yang telah membunuhmu?! Kalau saja dulu aku tak pernah berjanji di depan jenazah mendiang ibumu tentu sekarang aku telah turun gunung. Maafkan Ayah, Arum! Ayah tak bisa mengingkari sumpah," ucap lelaki berpakaian coklat itu lagi, tetap dengan nada sedih.

"Tidak perlu hal itu harus kau lakukan, Salaban!"

Lelaki berpakaian coklat menolehkan kepala ke arah asal suara dengan perasaan kaget. Dia tidak mendengar bunyi langkah, tapi tahu-tahu tepat di belakangnya, hanya berjarak satu tombak, telah berdiri sesosok tubuh tinggi kurus, orang itu menatap ke arahnya dengan sorot kebencian! Sosok tinggi kurus inilah yang telah memotong ucapannya secara ketus.

"Kau...?!" Suara lelaki berpakaian coklat tercekat di tenggorokan. Raut wajahnya membiaskan keterkejutan yang tidak tersembunyikan.

"Benar, Salaban. Ini aku! Kau kaget?!" sambut sosok tinggi kurus itu dengan nada sinis.

"Mengapa kau bersikap seperti ini?! Dan apa maksud ucapanmu tadi?!" tanya lelaki berpakaian coklat yang ternyata bernama Salaban setelah berhasil menenangkan diri.

Sosok tinggi kurus yang ternyata seorang lelaki itu mendengus dengan kasar. "Sebenarnya pertanyaan seperti itu tak perlu kau ajukan, Salaban. Sadarilah dirimu! Arum telah tewas, tapi orang yang telah menyebabkan dia terbunuh kau biarkan pergi begitu saja! Dan kau berlindung di balik sumpahmu. Menjijikkan sekali!" Ucapan tajam lelaki tinggi kurus itu membuat wajah Salaban berubah merah padam.

Sayang, Salaban tidak pandai berdebat seperti halnya lelaki tinggi kurus itu. Maka mendapat desakan dengan kata-kata tajam, dia tidak mampu memberikan tanggapan, sanggahan, atau bantahan. Dia hanya tertegun dengan tarikan wajah kebingungan.

"Memang kau memiliki nasib malang, Arum," lelaki tinggi kurus meneruskan ucapannya, tapi kali ini seperti ditujukan pada orang yang telah tertidur di dalam gundukan tanah merah yang masih baru. "Kau mati secara mengenaskan, tapi ayahmu sendiri tidak berbuat apa-apa untuk menenteramkan rohmu agar tidak penasaran di alam baka!"

Tubuh Salaban menggigil mendengar ucapan lelaki bertubuh tinggi kurus. Ucapan itu dengan telak menghujam ke lubuk hatinya yang paling dalam. Sakit sekali rasanya seperti luka berdarah tersiram air garam.

"Tapi, kau tidak usah khawatir, Arum. Meskipun ayahmu sendiri tidak mau membalaskan rasa penasaran yang membuat.rohmu tidak bisa kembali ke alam kekal, masih ada aku! Akulah yang akan membuat jiwamu tenteram di sana Arum!"

"Diaaam...!" Akhirnya keluar juga kata-kata yang tertekan di hati Salaban. Mencuat begitu saja dalam bentuk pekikan keras. "Cepat menyingkir dari sini, sebelum aku lupa diri dan membunuhmu, Keparat!"

Lelaki tinggi kurus tidak bergeming sama sekali dari tempatnya. Padahal dia tahu kalau ucapan yang dikeluarkan Salaban tidak main-main. Bahkan dia balas menatap dengan tajam. "Dan... orang yang pertama kali mendapatkan balasannya adalah ayahmu sendiri, Arum! Karena aku tahu, hatimu merasa kecewa dan sakit hati terhadapnya!"

Ucapan lelaki tinggi kurus langsung disergap oleh teriakan nyaring Salaban. Lelaki berpakaian coklat ini langsung mengirimkan serangan mematikan dari sebuah sampokan tangan kanan ke arah pelipis.

"Hmh...!" Lelaki tinggi kurus itu hanya mendengus melihat serangan Salaban. Lalu dengan gerakan sembarangan dipapaknya serangan itu. Tangan kirinya mengibas sebelum serangan mendarat pada sasaran.

Plakkk! Rrrtt!

Salaban mengeluh tertahan ketika tangannya tidak hanya tertangkis dan sakit akibat benturan itu. Namun dengan gerakan aneh, dan kecepatan yang mengagetkan, pergelangan tangannya telah kena cengkeram. Tidak hanya sampai di situ tindakan lelaki tinggi kurus itu. Jari-jari tangannya kemudian bergerak meremas.

Wajah Salaban langsung pucat pasi. Keringat dingin bersembulan memenuhi selebar wajahnya yang putih laksana kertas. Tulang pergelangan tangannya dirasakan seperti remuk. Kemudian terdengar bunyi gemeretak keras ketika tulang-tulang jarinya hancur!

Salaban melolong menyayat hati. Rasa sakit yang diderita membuatnya tidak kuasa untuk menahan jerit. Dan sebelum tindakan sesuatu sempat dilakukannya, lelaki tinggi kurus itu menarik tangannya.

Salaban berusaha mempertahankan, meski tindakan yang dilakukan lelaki tinggi kurus itu terlalu cepat untuk dapat diikuti. Akhirnya ia harus menerima kenyataan yang mengejutkan hati. Dia tidak mampu mempertahankan diri, karena ternyata tenaga lawan demikian kuat.

Saat itu tangan kanan lelaki tinggi kurus bergerak secara cepat. Dan Salaban pun tewas dengan ubun-ubun pecah. Darah bercampur otak keluar dari bagian yang terluka, mengiringi ambruknya tubuh Salaban di tanah, tepat di samping kuburan Sekar Arum. Lelaki tinggi kurus menatap mayat Salaban sekilas, kemudian mengalihkan perhatian pada kuburan Sekar Arum.

"Lihatlah, Arum !" ucap lelaki tinggi kurus itu dengan suara parau sambil sesekali mendongak ke langit. "Salah seorang di antara mereka yang terlibat kematianmu telah menerima pembalasannya! Yang lainnya pun akan menyusul pula!"

Lelaki tinggi kurus terdiam di depan kuburan itu setelah selesai mengucapkan katanya. Kemudian dengan sekali lesatan tubuhnya telah berada jauh dari tempat itu.

Baru saja tubuh lelaki tinggi kurus itu lenyap di kejauhan, dari arah yang berlawanan, melesat cepat bagaikan kilat sesosok tubuh. Dan hanya dalam sekejap sosok itu telah berada di dekat kuburan Sekar Arum.

"Ah...!" Sosok yang ternyata seorang pemuda tampan gagah berambut panjang itu, berseru kaget. Sepasang matanya tertuju pada sosok berpakaian coklat yang tergeletak tak bergerak dengan ceceran darah dan otak, di kepalanya. Sekali lihat pemuda ini tahu kalau sosok yang tak lain Salaban itu telah tewas.

Pemuda tampan itu berjongkok di dekat mayat Salaban, dan memeriksanya sebentar. Kemudian sambil menghela napas berat pemuda itu kembali berdiri tegak.

"Malang sekali nasibmu, Kang Salaban," ucap pemuda tampan sambil menundukkan kepala. "Baru saja kau kehilangan putrimu..., sekarang harus kehilangan nyawamu pula. Tapi..., percayalah, Kang! Akan kucari orang yang telah melakukan kekejian ini! Aku percaya dia belum jauh dan...."

Pemuda tampan ini menghentikan ucapannya secara mendadak, lalu menelengkan kepala dengan kening berkenit. Mendadak pendengarannya yang tajam menangkap bunyi langkah di sebelah kanannya.

Tampak di kejauhan sesosok tubuh bergerak menuju ke arahnya. Tanpa sadar hati pemuda tampan ini berdebar tegang. Segumpal dugaan bergulat di hatinya. "Apakah sosok ini yang telah membunuh Salaban?"

Sosok yang ternyata seorang gadis cantik bertubuh montok dan menggiurkan, dengan pakaian warna merahnya menyolok, menghentikan larinya. Kemudian menatap wajah pemuda tampan di hadapannya penuh selidik.

"Siapa kau? Mengapa berada di tempat pemakamam keluargaku?" tanya gadis berpakaian merah dengan tatapan penuh curiga.

Pemuda berambut panjang tidak langsung memberikan jawaban. Dia malah tersenyum lebar karena tahu kalau gadis berpakaian merah ini bukan orang yang telah membunuh Salaban. Bahkan mungkin anggota keluarganya. Itulah sebabnya dia menyunggingkan senyum.

"Jadi... kau anggota keluarga dari orang-orang yang telah menjadi penghuni alam kekal ini?" tanya pemuda tampan meminta kepastian, agak menghaluskan kata-katanya.

"Benar," gadis berpakaian merah menganggukkan kepala, tapi tetap tak menghilangkan kecurigaannya. "Kau siapa?" tanyanya kemudian.

"Aku salah seorang dari sahabat... maaf, kau kenal dengan orang yang bernama Salaban?!"

"Tentu saja!" sahut wanita berpakaian merah itu. "Aku anaknya!"

"Ah...! Kalau begitu... kau Sekardati...?!" terka pemuda tampan berambut panjang, agak heran dan tidak percaya. "Ayahku banyak bercerita tentangmu, Sekardati."

"Kau siapa?"

Untuk kesekian kalinya pertanyaan itu keluar dari mulut gadis berpakaian merah yang ternyata bernama Sekardati, karena sejak tadi belum mendapat jawaban.

"Ah, maaf. Namaku Arya Buana... tapi bisa kau panggil Arya!" pemuda berambut panjang itu memberikan jawaban.

Sekardati mengangguk-anggukkan kepala. Sejak tadi dia merasa heran melihat ciri-ciri pemuda tampan di hadapannya ini. Kalau melihat wajah dan perawakannya sih, masuk golongan pemuda. Tapi, rambutnya yang panjang itu berwarna putih keperakan. Warna rambut yang hanya dimiliki orang berusia lanjut! Tapi anggukan kepala Sekardati terhenti ketika melihat sikap Arya. Pemuda berpakaian ungu itu tampak bingung.

"Jadi..., kau sahabat ayahku, Arya?" tanya Sekardati, tanpa canggung lagi langsung memanggil nama pemuda berambut putih keperakan itu.

"Benar," Arya menganggukkan kepala. "Tapi..., tahukah kau apa yang telah terjadi dengan ayah dan saudaramu?"

Pemuda berambut putih keperakan itu hati-hati sekali mengatakannya karena khawatir akan menge-jutkan Sekardati. Toh, tak urung wajah gadis berpakaian merah itu berubah hebat. Sepasang matanya yang indah menyiratkan kekhawatiran yang dalam.

"Apa..., apa maksudmu, Arya?" tanya Sekardati terbata-bata. Meskipun belum jelas, tapi telah bisa di-perkirakan hal yang akan diberitakan pemuda beram-but putih keperakan itu.

"Arum, saudaramu itu dan juga ayahmu telah pergi mendahuluimu, Sekardati," ujar Arya lirih.

"Tidak...!" Sekardati menangis dan menjerit menyayat hati mendengar pemberitahuan Arya. "Tidak mungkin Ayah dan Arum meninggalkanku seorang diri di dunia ini. Tidak mungkin! Katakan kalau kau bohong, Arya! Katakan!"

Arya diam saja ketika dengan kalap Sekardati mencengkeram baju dan mengguncang-guncangkannya. Air mata bercucuran membasahi pipinya yang halus.

"Aku tidak bohong, Sekardati. Dan aku tidak akan pernah berbohong, ayahmu memang telah tiada. Begitu juga dengan Arum, saudaramu," ucap Arya, masih tetap lembut tapi lebih keras daripada sebelum-nya. "Lihatlah sendiri!"

Arya bergeser dari tempatnya sehingga tubuh Salaban yang tergolek di tanah tidak terhalang lagi oleh tubuhnya. Dan Sekardati langsung melihatnya. Dia meraung keras dan menubruk tubuh yang sudah tidak bernyawa itu.

"Ayah...! Mengapa kau tinggalkan aku, Ayah...!" seru gadis berpakaian merah itu, keras.

Arya hanya bisa berdiri diam di tempatnya dan memandangi Sekardati dengan perasaan terharu. Dia tahu tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali membiarkan saja Sekardati menangis. Hanya itu jalan satu-satunya yang terbaik. Mendadak dengan cepat, Sekardati bangkit dan menoleh ke arah Arya dengan wajah beringas dan se-pasang mata seperti mengeluarkan api.

"Pasti kau yang telah membunuhnya! Mayat ayahku masih hangat pertanda belum lama mati, bah-kan mungkin baru saja. Satu-satunya orang yang ada di sini hanya kau, Arya! Pasti kau yang telah membu-nuhnya! Kubunuh kau...!"

"Tunggu, Sekar! Aku...!" Arya terpaksa menghentikan ucapannya karena Sekardati telah menerjangnya dengan serangan dahsyat. Sebuah tendangan lurus ke arah ulu hati yang keras dan mengeluarkan angin menderu hebat dikirimkan gadis berpakaian merah itu.

Menyadari akan adanya serangan maut, Arya segera melompat ke belakang, sehingga tendangan Sekardati mengenai tempat kosong. Tapi, Sekardati yang telah kalap, tidak berhenti hanya sampai di situ. Sambil memekik nyaring, tangan kanannya bergerak.

Dan Arya melihat sinar terang menyilaukan mata meluncur deras ke arahnya. Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang pengalaman dia tahu kalau sinar terang itu berupa senjata tajam yang ampuh!

Wuttt!

Hampir saja kepala Arya terpisah dari tubuh-nya kalau dia tidak segera merunduk dengan cepat. Dan pedang di tangan Sekardati yang semula mengancam Arya pun meluncur tipis sekali di atas kepalanya. Sehingga beberapa helai rambutnya yang putih kepe-rakan putus tersambar!

Pada gebrakan-gebrakan selanjutnya Arya dipaksa mengeluarkan kemampuannya untuk menyelamatkan selembar nyawa. Sekardati ternyata memiliki ilmu kepandaian hebat. Serangan-serangannya dahsyat dan selalu mengarah bagian yang mematikan.

Arya tahu Sekardati salah paham sehingga tidak bisa disalahkan. Ingin dia melawan, tapi tidak sampai hati mengingat gadis berpakaian merah itu baru saja menerima pukulan batin yang amat berat. Namun, membiarkannya pun bukan tindakan yang baik, mengingat serangan gadis itu tak tanggung-tanggung memburunya terus.

Itu sebabnya, begitu mendapat sebuah kesempatan, Arya segera melemparkan tubuh ke belakang dan berlari meninggalkan tempat itu. Dikerahkan selu-ruh ilmu lari cepat yang dimiliki karena khawatir Sekardati yang lihai akan menyusulnya.

"Keparat! Jangan lari kau, Pengecut..!" seru Se-kardati keras seraya berlari mengejar. Tapi hanya sebentar dilakukan karena jarak antara mereka semakin menjauh.

Sekardati hanya bisa melampiaskan amarahnya pada benda-benda di sekitarnya. Pukulan-pukulan jarak jauh dan kepalan tangan serta kakinya membuat tempat-tempat di sekitar pemakaman keluarganya hancur berantakan.

* * *

Sambil menggigit dan mengunyah potongan ayam yang baru saja matang, Arya berpikir keras. Namun, sampai beberapa kali mengunyah dan menelan potongan daging ayam panggang itu, belum juga ditemukan cara yang tepat.

"Rupanya di sini kau bersembunyi, Orang Sok Suci!"

Arya sampai terjingkat kaget dari duduk bersandarnya di batang pohon mendapat teguran seperti itu. Cepat kepalanya ditolehkan ke samping kanan. Dalam jarak sekitar dua tombak berdiri angker seorang kakek berkepala botak dengan tangan menggenggam sebatang tongkat besar yang batangnya melingkar-lingkar.

"Maaf, siapa kau, Kek?! Dan, apa maksud ucapanmu?" tanya Arya seraya bangkit berdiri. Pemuda berambut putih keperakan ini bisa menduga bahkan yakin kalau ucapan tadi ditujukan padanya. Tapi, sifat hati-hati dan rasa sopan membuatnya tidak langsung bertindak keras.

"'Tidak usah berpura-pura sopan dan tahu aturan, Orang Usilan!" sahut kakek berkepala botak, tetap dengan nada tinggi. Bahkan semakin meningkat Meskipun demikian, Arya tetap bersikap tenang. Memang, rasa tidak puas bergelora di hatinya, tapi berusaha ditindasnya karena menduga ada hal-hal tidak beres di sini. Barangkali saja kakek berkepala botak ini salah paham.

"Aku tidak mau berpanjang kata." Kakek berkepala botak itu melanjutkan ucapannya, "Cukup hanya kukatakan kalau kedatanganku kemari untuk membalaskan sakit hati muridku! Ingin kurasakan sendiri kelihaianmu yang telah menggemparkan dunia persilatan, Dewa Arak! Sehingga kau sampai begitu lancang berani membunuh murid orang, tanpa memandang muka gurunya! Bersiaplah kau, Dewa Arak!"

Sekarang Arya mengerti kalau masalah yang dihadapi bukan sekadar salah paham seperti halnya dengan Sekardati.

"Tunggu sebentar, Kek," ucap Arya buru-buru karena khawatir kakek berkepala botak itu akan lebih dulu menyerangnya. "Bisa kau jelaskan siapa muridmu yang kau katakan terbunuh di tanganku?!"

"Muridku adalah salah seorang anggota Pasukan Iblis Neraka!" tandas kakek berkepala botak, "Kuakui kau benar, dan dia telah salah jalan. Tapi, masih ada aku yang akan menghukumnya. Tidak perlu kau harus membunuhnya dengan melewati kepalaku! Awas serangan!"

Kakek berkepala botak menubruk maju. Kemudian tongkat besar di tangannya ditusukkan sehingga menimbulkan bunyi angin menderu keras.

Arya sadar tindakan kakek berkepala botak itu tidak bisa dicegahnya lagi. Tidak ada jalan lain baginya kecuali membela diri kalau tidak ingin mati konyol. Maka, kakinya dijejakkan sehingga tubuhnya melenting ke atas.

Brakkk!

Pohon yang berada di belakang Dewa Arak bergetar hebat. Tongkat si Kakek Botak sampai hampir setengahnya lebih amblas ke dalam batang pohon. Karuan saja Arya kaget bukan kepalang, karena kenyataan itu memperlihatkan kalau kakek berkepala botak ini memiliki tenaga dalam tinggi dan terarah. Sehingga semua tenaga serangan berpusat pada ujung tongkat. Pada serangan biasa, mungkin pohon itu akan hancur berantakan.

Namun ternyata kakek berkepala botak itu tidak hanya memiliki tenaga besar, melainkan juga gerakan gesit. Begitu serangannya tidak mengenai sasa-ran dan langsung amblas ke batang pohon, tangannya bergerak menyentak. Secepat itu dikirimkan ayunan secara mendatar ke belakang seraya membalikkan tubuh. Sebagai orang yang kenyang pengalaman, dia tahu kalau lawan pasti berada di belakangnya.

Serangan susulan ini membuat Dewa Arak yang baru saja menjejakkan kaki, terpaksa melompat lagi. Dan hanya itu yang dapat dilakukannya dalam beberapa saat, karena kakek berkepala botak, secara gencar dan terus mengirimkan serangan-serangan laksana gelombang laut.

Dewa Arak dipaksa untuk menguras ilmu meringankan tubuhnya. Serangan-serangan lawan terlalu gencar sehingga membuatnya belum memperoleh kesempatan melancarkan serangan balasan. Di saat Dewa Arak bermaksud mengirimkan serangan balasan, mendadak terdengar pekikan melengking tinggi, panjang, dan berturut-turut.

Secara tiba-tiba, kakek berkepala botak melompat mundur dan bersalto beberapa kali di udara, lalu menjejak tanah. Sikapnya terlihat masih penasaran bukan kepalang. "Untuk kali ini kau boleh bernapas lega, Dewa Arak. Aku masih mempunyai urusan lain yang lebih penting. Kau kuberi kesempatan untuk hidup lebih lama di dunia ini. Manfaatkanlah sebaik-baiknya! Karena bila kita ketemu lagi, aku akan mencabut nyawamu!"

Setelah berkata demikian, tanpa memberi kesempatan pada Arya, yang sekarang telah bisa bernapas lega untuk memberikan tanggapan, kakek berkepala botak itu melesat cepat meninggalkannya. Sekali lihat saja Arya tahu kalau kakek berkepala botak itu menuju ke arah asal suara lengkingan keras tadi.

Arya menghela napas berat. Sama sekali tidak pernah disangkanya kalau dalam waktu sebentar saja dia telah mendapatkan dua orang musuh yang cukup berat. Ditatapnya sekali lagi, tubuh kakek berkepala botak yang semakin mengecil di kejauhan. Baru sete-lah itu diayunkan kaki menuju tempat ayam pang-gangnya yang masih tersisa. Sesaat kemudian, mulut-nya telah sibuk menggerogoti daging ayam panggang itu.

DUA

"Ha ha ha...! Hendak lari ke mana kau, Manis?! Sampai di ujung dunia pun kau pergi dan bersembunyi, akan kukejar dan kutangkap! Ha ha ha...!"

Suara itu membuat Arya yang baru saja menghabiskan ayam panggangnya buru-buru bangkit. Ditelengkan kepalanya agar dapat lebih jelas mengetahui arah suara itu berasal. Suara itu seperti berasal dari berbagai arah, sukar untuk diperkirakan dengan pasti.

Hal ini membuat Dewa Arak bersikap waspada karena tahu kalau pemilik suara itu adalah seorang yang memiliki tenaga dalam dan kepandaian tinggi. Hanya orang-orang yang memiliki kepandaian sukar diukurlah yang mampu membuat suara yang dikeluarkan tidak jelas asalnya.

"Ah...! Apa kubilang?! Lebih baik menyerah saja, Manis. Tidak ada gunanya melarikan diri dariku. Percuma, karena aku akan berhasil menangkapmu!"

Jantung dalam dada Arya semakin cepat berde-tak karena rasa tegang yang melanda, dia tahu ada seseorang yang pasti wanita tengah menghadapi bahaya. Tapi sialnya, meski telah dua kali mendengar, pemuda berambut putih keperakan itu tetap belum dapat menentukan arahnya.

"Hih!" Dewa Arak menjejakkan kaki sehingga tubuh-nya melayang ke atas dan hinggap di sebuah cabang pohon yang tinggi. Dan dari sana diedarkan pandan-gannya ke sekeliling. Tempat yang tinggi memungkinkan dirinya untuk melihat ke sekitar tempat itu dengan leluasa.

Tak berapa jauh dari pohon tempat Dewa Arak berada tampak sebuah bangunan, atau lebih tepatnya bekas bangunan karena yang tinggal hanya bagian lantainya. Atap dan dinding bangunan itu sudah tidak ada lagi, mungkin karena terlalu tua hingga roboh tinggal puing-puingnya.

Bekas bangunan itu tidak akan tampak kalau tidak dilihat dari tempat tinggi, karena letaknya cukup tersembunyi oleh kerimbunan semak-semak yang cukup lebat. Namun bukan hal itu yang membuat Arya merasa heran dan tertarik. Melainkan sesosok tubuh kecil berpakaian teramat sederhana yang warna kainnya telah tidak tampak lagi. Sosok itu berlutut dan menelungkup dengan menempelkan telinganya di lantai.

"Keparat!"

Terdengar oleh Arya mulut sosok kecil itu mengeluarkan makian. Suaranya ternyata sama dengan dua buah suara pertama yang didengarnya. Maka pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau sosok kecil inilah yang tadi mengeluarkan seruan-seruan yang tidak dapat ditangkap di mana asalnya.

Arya mengedarkan pandangan ke sekitar tempat sosok kecil itu berada, mencari-cari wanita yang membutuhkan pertolongan. Namun tetap saja tidak dijumpainya. Hatinya merasa heran. Bukankah mestinya wanita itu berada di dekat sekitar situ, karena katanya sudah tidak dapat meloloskan diri lagi? Tapi, mana?

"Rupanya kau tetap tidak mau keluar, Manis?! Rupanya kau ingin kupaksa, ya?! Ha ha ha...!"

Sosok kecil berpakaian sederhana itu lalu menepuk-nepuk lantai tempat kepalanya tadi ditempelkan. Seketika itu pula Arya terlongo keheranan. Berarti wanita yang dipanggil manis oleh sosok kecil itu berada di dalam tanah!

"Tapi, mungkinkah itu?" pikir Dewa Arak keheranan. Perasaan tertarik dan ingin tahu yang amat kuat, membuat Arya melompat turun dari atas pohon. Kemudian dengan hati-hati karena takut ketahuan dan tidak ingin mencari permusuhan, bergerak mendekati sosok itu berada.

"Terkutuk! Kadal Busuk! Kucing Pincang! Lalat Gemuk! Rupanya kau benar-benar bermaksud mempermainkan aku, Manis?!"

Kembali sosok kecil itu mengeluarkan makian-makian aneh ketika Arya telah berada dekat tempat sosok Itu berada. Pemuda berambut putih keperakan ini bersembunyi di balik kerimbunan semak-semak.

"Kalau begitu terpaksa kau kusuruh keluar dengan ini!"

Sosok kecil itu bangkit, kemudian membuka celananya dan mengencingi tempat telinganya tadi ditempelkan. Di situ ternyata ada sebuah lubang kecil.

Wajah Arya seketika memerah ketika melihat kelakuan sosok kecil yang ternyata seorang lelaki sudah tua. Rambutnya tampak riap-riapan. Kumis serta jenggotnya telah memutih semua dan tidak terurus, awut-awutan. Ternyata orang gila!

"Ha ha ha...!" Kakek kecil itu tertawa bergelak-gelak penuh kegembiraan setelah mengencingi tempat telinganya tadi ditempelkan. "Benar tidak kalau kau tidak bisa lari dariku, Manis?!"

Kakek kecil itu lalu menjulurkan tangan mengambil sebuah benda kehitaman yang terapung di atas air kencingnya. Rupanya lubang kecil itu tidak dalam, sehingga langsung penuh ketika dikencingi kakek kecil itu, dan si Manis buruan kakek itu pun terbawa keluar.

Arya menjadi geli ketika melihat si Manis buruan kakek kecil itu ternyata seekor jangkrik. Hampir kepalanya digeleng-gelengkan karena tak kuat menahan rasa geli. Untung saja dia bisa menahannya karena tahu kalau gerakan itu bisa mengakibatkan keberadaannya diketahui. Dirinya tahu kakek kecil itu memiliki kepandaian luar biasa.

"Sebenarnya aku ingin mengadumu dengan jangkrik milikku, Manis," ucap kakek kecil itu sambil menatap jangkrik hitam di tangannya. "Tapi sayang, kau telah mengecewakanku. Lagi pula, di sini ada orang muda yang dapat kuajak bermain-main. Pertarungan antara kau dengan jangkrik milikku terpaksa kubatalkan!"

Kakek itu lalu memasukkan jangkrik kecil hitam itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya penuh perasaan nikmat. Sehingga terdengar bunyi gemeretuk ketika gigi kakek kecil itu beradu dengan badan jangkrik.

Arya terkejut bukan main di persembunyiannya. Bukan karena kakek kecil itu memakan jangkrik secara bulat-bulat seperti itu, karena dia tahu banyak tokoh persilatan yang memiliki tingkah dan kebiasaan aneh-aneh. Dewa Arak kaget karena menyadari kalau kakek kecil itu ternyata mengetahui keberadaan dirinya.

"Ha ha ha...! Tidak usah malu-malu seperti perawan tingting, Anak Muda. Keluarlah, dan mari kita bermain-main! Ha ha ha...! Setelah sekian lamanya ti-dak bermain-main, akhirnya kutemukan juga seorang kawan main yang aneh."

Mendengar ucapan kakek kecil ini, Arya tahu kalau tidak ada gunanya lagi terus berdiam di tempat persembunyiannya. Maka dengan wajah merah padam karena malu ketahuan mengintai orang, dia melangkah keluar.

"Maafkan aku, Kek! Bukan maksudku untuk mengintai perbuatanmu. Tapi...!"

"Kentut busuk! Siapa peduli ceritamu?! Ayo, cepat kita bermain!" potong kakek kecil itu tidak sabar.

"Bermain-main?!" Arya mengerutkan alisnya. Baru pertama kali dalam hidupnya ada orang, apalagi seorang kakek mengajaknya bermain-main. Memangnya anak kecil? Tapi karena tahu kalau kakek kecil yang berada di hadapannya bukan orang sembarangan, melainkan tokoh persilatan yang memiliki watak aneh, dia tidak mau melakukan tindakan yang dapat menyebabkan terjadinya suatu permusuhan di antara mereka.

"Rupanya kau tuli, Anak Muda. Kasihan sekali! Tapi, tak apa! Yang penting kau merupakan orang satu-satunya yang kujumpai di sini. Ayo, kita bermain! Kau mau bermain apa?"

Lagi-lagi Arya melongo. Tanpa sadar dia mengernyitkan dahi. Main apa? Kakek ini benar-benar aneh! "Sayang sekali, Kek Aku tidak tahu kita harus main apa..., maksudku... aku tidak pernah bermain-main...."

"Ah...! Sudahlah...! Biar aku yang tentukan!" sentak kakek itu penuh perasaan tidak sabar.

Lalu, tanpa mempedulikan Dewa Arak yang masih kebingungan mendapatkan pengalaman tidak disangka-sangka itu, kakek kecil telah memunguti batu-batu kecil di sekitarnya. Batu-batu sebesar buah ceremei.

"Ayo, tunggu apa lagi?! Mengapa masih bengong? Apakah kau takut kalah? Jangan khawatir, hukuman bagi yang kalah tidak berat."

"Apa yang harus kulakukan, Kek?" tanya Arya, akhirnya.

Kakek itu menghentikan kegiatannya mencari batu-batu kecil dan menatap Arya dengan sewot. "Rupanya kau ini tidak hanya tuli, tapi juga bodoh! Kalau saja ada orang lain, tak akan kuajak kau bermain-main. Tentu saja mencari batu-batu kecil ini, Tolol! Terpaksa pantatmu harus kutendang agar ketololanmu pergi!"

Setelah berkata demikian, kakek kecil itu mengayunkan kakinya dan benar-benar bermaksud menendang pantat Arya. Tentu saja pemuda berambut putih keperakan ini tidak membiarkannya, dan segera mengelak. Tapi, entah dengan cara bagaimana, kaki kakek itu tetap mendarat di pantat Arya dengan keras. Tubuhnya langsung terpental jauh dan terguling-guling.

Arya bangkit dengan wajah berubah. Kenyataan ini menyadarkannya kalau kakek kecil memiliki kepandaian luar biasa. Untung saja tidak bermaksud jahat. Kalau tidak, dia sudah terluka akibat tendangan itu. Si Kakek Kecil hanya bermaksud membuatnya terlempar tanpa terluka.

"Nah! Sekarang sifat tololmu itu pasti sudah lenyap. Cepat, kumpulkan batu-batu, dan kita bermain!" perintah kakek kecil itu tanpa mempedulikan keheranan Arya. "Tapi..., bagaimana kalau sebelum bermain batu kita bermain tebak-tebakan dulu?"

Arya diam, tidak memberikan tanggapan. Di-rinya tengah sibuk memutar akal untuk mencari cara agar dapat melarikan diri dari kakek kecil yang aneh itu.

"Batu kecil ini," kakek kecil itu berkata tanpa mempedulikan Arya yang tidak memperhatikan sikap-nya. "Kalau kulemparkan jadi apa. Ayo tebak, Anak Muda! Apabila kau tak bisa menjawabnya harus menggendongku sampai ke pohon sana!"

Tanpa sadar, Arya mengarahkan pandangan ke arah telunjuk kakek kecil itu menuding. Ternyata yang dimaksud pohon tempatnya bersandar tadi.

"Ayo, jawab! Cepat, kalau tidak bisa... kau harus menggendongku...!"

Arya pun terpaksa harus meladeni kemauan kakek kecil itu. Dia memutar otak untuk mencari jawaban. "Tapi... kalau aku bisa menjawabnya kau harus membiarkanku pergi dari sini. Kau mau berjanji, Kek?!"

"Itu soal mudah! Yang penting jawab dulu!"

"Tentu saja tetap jadi batu," jawab Arya, mantap.

"Salah!" seru kakek kecil itu penuh perasaan gembira seperti seorang anak kecil.

"Bagaimana mungkin bisa salah?!" Arya bersikeras. "Kecuali kalau kau menggunakan ilmu sihir!"

"Ini tebak-tebakan, Anak Muda. Tidak ada hubungannya dengan sihir. Ayo, cari jawabannya yang tepat. Atau... kau harus menggendongku ke sana!"

Arya mengarahkan seluruh kemampuan berpikirnya untuk menjawab pertanyaan kakek itu. Tapi, tetap saja tidak menemukan jawaban yang mungkin se-suai dan disetujui kakek itu.

"Aku menyerah," ucap Arya, akhirnya dengan dahi berkeringat karena berpikir keras.

"Ha ha ha...!" Kakek kecil itu tertawa penuh perasaan gembira. "Jawaban yang benar, batu ini apabila kulemparkan akan jadi... jauh! Ha ha ha...! Ayo, gendong aku, Anak Muda!"

Arya melongo. Dia sadar kalau kakek kecil bermaksud mencari kemenangan sendiri dengan tebakannya yang unik itu. Tapi, bagaimanapun janji adalah janji. Dan dia tidak mau mengingkarinya. Maka dia berdiam diri saja ketika kakek itu melompat cepat dan mendarat di punggungnya.

Arya menghela napas lega ketika merasakan tubuh kakek itu ringan sekali tak ubahnya kapas. Maka bergegas diayunkan kaki agar segera tiba di tempat pohon yang dimaksud. Tapi, Arya hampir berteriak saking kagetnya ketika secara mendadak tubuh kakek kecil itu menjadi berat. Bahkan amat berat, sehingga jangankan untuk membawanya melangkah, tetap mempertahankan tubuh kakek itu dengan berdiam diri di tempat saja, seakan tak kuasa.

Dewa Arak terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menahan bobot tubuh kakek itu. Dia seperti bukan menggendong seorang kakek kecil. Tubuhnya dirasakan seperti tergencet dua buah bukit!

Adu tenaga dalam pun berlangsung. Tubuh Arya tampak menggigil keras. Keringat sebesar-besar biji jagung membasahi wajahnya yang merah padam. Pemuda berambut putih keperakan ini telah mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya untuk menahan bobot tubuh kakek kecil yang diketahuinya telah mengerahkan tenaga dalam sehingga menjadi sangat berat.

Perlahan-lahan kedua kaki Arya mulai amblas ke dalam tanah. Bahkan dengan cepat telah sampai mata kaki. Adu tenaga dalam tingkat tinggi itu rupanya tidak kuat ditanggung oleh tanah!

Dewa Arak menggertakkan gigi untuk mengerahkan seluruh tenaga dalam sampai tingkatan terakhir. Bahkan pemuda berambut putih keperakan ini telah mengeluarkan 'Tenaga Dalam Inti Matahari' yang membuat tubuhnya panas, sehingga mengepulkan uap tipis dari sekujur tubuh. Tapi, kakek kecil itu seperti tidak merasakannya dan tetap enak-enakan bertengger di punggung Arya.

Arya hampir putus asa, sadar kalau keselamatannya bagai telur di ujung tanduk! Dia dapat terkubur hidup-hidup oleh kakek kecil yang luar biasa ini. Sekarang sampai hampir lutut kakinya terbenam di dalam tanah.

"Tidak mengecewakan... tidak mengecewakan!" di tengah-tengah pertarungan tenaga dalam itu, kakek kecil berucap.

Dan ini membuat Dewa Arak kaget bukan kepalang. Dalam pertarungan tenaga dalam seperti ini merupakan pantangan terbesar untuk berbicara. Karena tenaga jadi mengendur, dan terbagi, sehingga kemungkinan untuk terluka dalam akibat tenaga sendiri yang membalik. Tapi, toh, kakek kecil itu melakukannya!

Dan begitu kakek kecil itu selesai berbicara, tu-buhnya melesat dari gendongan Arya, bersalto beberapa kali di udara dan kemudian hinggap berjarak beberapa tombak dari tempat semula.

"Sayang sekali, Anak Muda. Aku tidak bisa meneruskan permainan karena ada permainan lebih menarik yang menungguku!"

Tanpa menunggu tanggapan Arya, kakek kecil melesat meninggalkan tempat itu. Dan Arya yang sempat melihatnya terbelalak kaget. Kakek kecil itu ternya-ta berlari dengan mempergunakan kedua tangannya! Tapi, kecepatan larinya mengagumkan!

Diam-diam Arya merasa heran melihat kelakuan si Kakek Kecil. Tadi, kakek itu begitu berhasrat untuk mengajaknya bermain, tapi mengapa malah pergi. Padahal, sekali lihat saja Arya tahu kalau kakek itu masih ingin bermain.

Namun pertanyaan itu langsung terjawab ketika Arya mendengar bunyi geraman keras dari kejauhan, tempat yang dituju kakek kecil itu. Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang pengalaman, Arya tahu kalau suara itu bukan berasal dari mulut harimau atau binatang buas lainnya, melainkan dari mulut tokoh sakti yang memiliki tenaga dalam tinggi. Rasa tertarik dan ingin tahu membuat Arya melesat menuju ke arah asal suara!

Jantung Arya berdetak lebih cepat dari semula ketika melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Tiga sosok tengah terlibat dalam pertarungan sengit yang amat dahsyat. Sedangkan tak jauh dari tempat itu, si Kakek Kecil yang aneh tadi tengah menyaksikan jalannya pertarungan sambil bermain batu-batu kecil yang dijadikannya kelereng!

Arya merasa kaget bercampur gembira ketika mengenali dua di antara tiga orang yang tengah bertarung itu. Satu seorang kakek berkepala botak yang tadi telah menyerangnya kalang kabut untuk menuntut balas kematian muridnya.

Sedangkan satu lagi, yang justru membuatnya merasa gembira, seorang nenek bertubuh tinggi kurus dan berhidung melengkung seperti burung kakaktua. Rambutnya yang panjang tampak besar-besar dan tebal karena beberapa helai rambut dipilin menjadi satu. Nenek ini ternyata orang yang tengah dicari-cari oleh Arya.

Namun Arya tidak langsung secara sembrono terjun dalam kancah pertarungan, sungguhpun telah melihat orang yang tengah dicari-carinya. Diperhatikannya jalan pertarungan secara seksama. Sebentar saja telah diketahuinya kalau nenek berhidung melengkung dan kakek berkepala botak berjuang bahu-membahu menghadapi lawannya.

Baik nenek berhidung melengkung maupun kakek berkepala botak sama-sama memiliki kepan-daian yang amat tinggi. Namun harus diakui oleh Arya bahwa lawan kedua orang ini, seorang kakek kurus kering seperti mayat hidup, tampaknya memiliki ilmu lebih tinggi ketimbang kedua lawannya. Kakek kurus yang hanya mengenakan celana pendek kusam, tanpa baju itu mampu mengimbangi keroyokan kedua lawannya, meskipun terlihat kerepotan.

Sekarang Arya mengerti mengapa kakek berke-pala botak meninggalkannya begitu mendengar lengkingan. Rupanya lengkingan tadi merupakan isyarat permintaan bantuan dari nenek berhidung melengkung. Jelas mereka berdua merupakan kawan baik. Tapi, yang menjadi pertanyaan bagi Arya mengapa kakek kecil itu ikut kemari begitu mendengar geraman. Apakah ada hubungan antara kakek kecil dengan kakek kurus kering yang berilmu tinggi itu.

Di kancah pertarungan kakek berkepala botak mengamuk dengan ayunan senjata andalannya. Tongkat besar dan berat di tangannya berkelebatan cepat laksana tangan-tangan malaikat maut ke arah si Kakek Kurus Kering. Tapi, ke mana pun tongkat itu menyambar baik dalam bentuk tusukan maupun gebukan selalu berbenturan dengan tangan atau kaki yang kurus dari kakek kurus kering itu.

Hal ini membuat Dewa Arak kagum bukan kepalang. Dia tahu untuk kesekian kalinya bertemu dengan tokoh yang luar biasa. Menangkis tongkat kakek berkepala botak dengan tangan atau kaki telanjang membuktikan kalau kakek itu memiliki kekuatan yang menakjubkan.

Namun yang lebih membuat Arya merasa kagum, ketika melihat kakek kurus kering melakukan hal yang sama terhadap serangan-serangan dari nenek berhidung melengkung. Padahal, senjata nenek itu berupa dua batang anak panah yang ujung-ujungnya berwarna kehijauan pertanda mengandung racun jahat.

Kenyataan ini membuat Arya menduga kalau kakek kurus kering itu memiliki kekebalan tubuh yang hebat dan luar biasa. Kekebalan yang terjadi bukan karena tenaga dalam kuat, melainkan karena sebuah ilmu mukjizat.

Desss!

Gebukan tongkat kakek berkepala botak dengan telak dan keras menghantam paha kanan kakek kurus kering hingga tubuhnya terpental ke belakang dan terguling-guling. Namun, dengan cepat bangkit tanpa kurang suatu apa. Sepertinya pukulan tongkat yang sanggup menghancurkan batu karang itu tidak berarti apa-apa baginya.

Sebelum kakek kurus kering itu sempat berbuat sesuatu, anak panah nenek berhidung melengkung telah lebih dulu menyerempet lehernya. Seperti juga serangan tongkat, anak panah itu sama sekali tidak menimbulkan akibat yang berarti! Tubuh kakek kurus kering itu hanya terjajar ke belakang, tanpa terluka sama sekali!

Hal ini membuat kakek berkepala botak dan nenek berhidung melengkung penasaran bukan main. Mereka menyerbu dengan lebih gencar dan kali ini menjatuhkan serangan pada bagian-bagian yang berbahaya dan lemah seperti mata dan ubun-ubun. Pili-han mereka ternyata tepat. Sekarang kakek kurus ke-ring itu tidak berani bertindak gegabah. Bahkan kini mulai terdesak semakin hebat.

"Rongga...! Bantu aku...! Cepat, apa lagi yang kau tunggu?!"

Kakek kurus kering itu berseru keras di tengah-tengah kesibukannya menangkis dan mengelakkan serangan. Kepalanya ditolehkan pada kakek kecil yang saat itu tengah sibuk bermain-main dengan ludah, mencoba membuat bulatan-bulatan dengan mempergunakan ludah dibantu bibir.

"Aku tak ingin bermain-main, Barureksa! Aku sedang jenuh! Kau saja menghadapi mereka. Nanti kalau aku mau, pasti aku akan turut campur tanpa kau minta," sahut kakek kecil yang ternyata bernama Rongga, tetap dengan kesibukannya bermain-main air ludahnya.

Kakek kurus kering menggeram. Tapi geramannya langsung terhenti ketika tongkat kakek berkepala botak dengan keras menghantam perutnya hingga tubuhnya terjengkang ke belakang. Waktu yang ada dipergunakan sebaik-baiknya oleh kakek berkepala botak dan nenek berhidung melengkung untuk melesat meninggalkan lawannya. Keduanya sadar dan merasa percuma untuk terus melanjutkan pertarungan karena keadaan yang tidak menguntungkan itu.

Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, baik nenek berhidung melengkung maupun kakek berkepala botak tahu kalau kakek kecil yang merupakan kawan kakek kurus kering merupakan lawan yang amat tangguh. Sehingga apabila kakek kecil yang bernama Rongga itu ikut campur tangan, keadaan mereka akan sangat tidak menguntungkan. Itulah sebabnya mereka melesat mengambil langkah seribu.

Barureksa menggeram hebat penuh kemurkaan melihat kedua lawannya melarikan diri. Jarak yang sudah jauh, membuatnya berhenti. Baginya menyusul mereka merupakan hal yang mustahil. Maka dia hanya bisa menimpakan kesalahan itu pada kakek kecil. Kakek kurus kering menatap Rongga penuh selidik.

"Kalau saja kau ikut campur tangan, mereka tidak akan bisa kabur, Rongga. Tindakanmu telah membuat mereka berdua lolos. Ingat Rongga, kalau lain kali kau bertemu denganku, jangan harap nyawamu kuampuni!"

Kakek kurus kering melesat meninggalkan kakek bernama Rongga setelah mengucapkan ancaman itu. Tapi, Rongga bersikap tidak peduli. Dia seperti tidak mendengar nada ancaman dalam ucapan Barureksa. Dia masih saja tenggelam dalam permainan ludahnya.

Arya tidak berani bertindak gegabah. Begitu dilihatnya kakek kecil kurus kering telah pergi jauh, dan Rongga tenggelam dalam permainannya, dia melesat cepat menyusul kakek berkepala botak dan nenek berhidung melengkung, berlari.

TIGA

Setelah berlari beberapa saat lamanya tidak ju-ga menjumpai adanya sepotong tubuh pun, Arya terpaksa berhenti. Jangankan nenek berhidung melengkung dan kakek berkepala botak, kakek kurus kering pun tidak dijumpainya. Mereka lenyap seperti ditelan bumi.

Sekarang, pemuda berambut putih keperakan ini berada di daerah yang kering karena berupa hamparan pasir. Gundukan-gundukan batu besar kecil, dan bukit yang menjulang tampak di sekitar tempat itu.

Arya mengedarkan pandangan sekali lagi untuk meyakinkan hati kalau usaha pengejarannya tidak akan membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Pemuda berambut putih keperakan itu pun memutuskan untuk membatalkan maksudnya. Di samping mempunyai tugas untuk mencari nenek berhidung melengkung yang merupakan pimpinan tertinggi gerombolan sesat yang telah berhasil dihancurkannya.

Arya masih mempunyai sebuah tugas, yaitu memenuhi amanat Sekar Arum. Gadis itu tewas karena menyelamatkannya. Sekar Arum menjadi tameng dirinya, menerima hunjaman ratusan anak panah yang mengancam dirinya. Ingat akan Sekar Arum wajah Arya menjadi murung. Ada perasaan sedih dan marah menusuk di hatinya.

"Jangan khawatir, Arum. Pesanmu ini akan kusampaikan!"

Dewa Arak melesat meninggalkan tempat berupa hamparan pasir itu. Tujuannya ke tempat perguruan Sekar Arum! Meski Arya mengerahkan seluruh kemampuannya dan jarang istirahat, setelah dua hari dua malam dirinya baru sampai di kaki bukit tempat perguruan yang dituju. Sebuah perjalanan cukup panjang telah ditempuhnya. Menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai serta naik turun perbukitan terjal.

Tak membutuhkan waktu banyak bagi Dewa Arak untuk mendaki lereng, tempat perguruan itu. Se-telah beberapa saat berjalan mendaki, pondok pergu-ruan tempat Sekar Arum menjadi murid itu pun telah terlihat.

Namun sepasang alis pemuda berambut putih keperakan itu berkerut dalam ketika melihat adanya keanehan di sekitar bangunan perguruan. Keadaannya sepi sekali, tidak terdengar suara apa pun. Hening seperti mati.

Arya memang telah mendengar cerita dari Sekar Arum kalau perguruannya hanya mempunyai beberapa orang murid. Selain dirinya, ada enam orang belajar di perguruan itu. Tapi, mungkinkah akan seperti ini keadaannya? Hening dan seperti tanpa penghuni?

Melihat kenyataan yang mencurigakan ini, De-wa Arak berusaha mendekati pondok yang terkurung papan kayu bulat. Dengan hati-hati pemuda berpa-kaian ungu itu mengendap-endap mendekati sekelom-pok bangunan pondok. Padahal, semula dia bermak-sud datang secara terus terang.

Begitu tiba di depan pintu gerbang yang terbuka lebar karena tidak mempunyai daun pintu itu, Arya mengintip. Dan..., seketika itu pula dia segera memalingkan wajah dengan perut terasa mual! Secara jelas sekali terlihat olehnya, sesosok ramping berpakaian merah tengah dengan lahapnya memakan benda putih bergumpal-gumpal sebesar kepalan. Pada beberapa bagian terdapat cairan merah kental.

Karena di dekat tubuh sosok berpakaian merah itu tergolek sosok tubuh dengan kepala terbelah menjadi dua, Dewa Arak langsung bisa mengetahui kalau benda putih bergumpal sebesar kepalan itu tentunya otak manusia!

Seketika itu pula timbul perasaan geram di dalam hati Arya terhadap sosok berpakaian merah. Namun, terselip juga rasa iba dan tidak sampai hati. Meskipun hanya sekali melihatnya, dia yakin kalau sosok berpakaian merah itu adalah Sekardati!

Namun naluri kependekarannya yang tidak pernah bisa membiarkan kekejian berlangsung di depan matanya, langsung membuat Arya dapat mengambil keputusan cepat.

"Tak pernah kusangka kalau dirimu akan tersesat seperti ini, Sekardati!" seru Arya sambil melangkah keluar dari tempat pengintaiannya.

Sosok berpakaian merah itu membalikkan tubuh dengan kaget karena tidak menyangka kalau kelakuannya diketahui orang. Namun ternyata bukan hanya sosok berpakaian merah itu yang merasa kaget, Aryapun demikian.

Bahkan tubuh pemuda berpakaian ungu itu sampai terjingkat ke belakang karena kagetnya. Hanya saja ada tarikan kegembiraan pada sorot matanya di samping keterkejutan yang melanda. Dan hal ini terjadi karena Arya melihat sosok berpakaian merah ternyata bukanlah Sekardati.

Memang, dandanan rambutnya sama. Demikian juga potongan tubuh serta model pakaiannya ketika terlihat dari belakang. Tapi, wajah yang tampak bukan wajah Sekardati! Sekardati memiliki wajah cantik manis dengan kulit halus. Sedangkan sosok berpakaian merah itu memiliki kulit wajah penuh keriput. Wajah seorang nenek.

"Siapa kau, Bocah?! Menyingkirlah kalau tidak ingin mengalami nasib sama dengan mereka ini!" bentak nenek berpakaian merah seraya menuding sosok-sosok yang bergelimpangan berlumuran darah.

Arya menggertakkan gigi. Dengan sepasang ma-ta dihitungnya jumlah mayat yang tergolek di sana, tu-juh orang! Berarti semua penghuni rumah perguruan ini telah dibunuh oleh nenek berpakaian merah ini. Tidak terkecuali guru Sekar Arum!

"Keji!" desis Arya tajam seraya mengalihkan perhatian pada nenek berpakaian merah yang masih sibuk menjilati jari-jari tangannya yang berlepotan da-rah dan otak. "Semula kukira kau kawanku, dan aku bimbang untuk membasmimu agar kekejian ini tidak terulang. Tapi kini lenyap keraguanku.... Orang sepertimu.harus segera dilenyapkan dari muka bumi!"

"Kaulah yang akan menerima kematian di tanganku, Bocah usilan!"

Nenek berpakaian merah mendahului menyerang Dewa Arak dengan tendangan kaki kanan kiri bertubi-tubi yang mengeluarkan bunyi mengaung keras. Dewa Arak menyadari serangan itu berbahaya. Sekali saja terkena kaki yang kelihatannya indah itu nyawanya akan berada di pintu alam baka. Maka dia bertindak cepat. Dengan kedua tangan ditangkisnya.

Plak, plak, plak!

Suara benturan terdengar berkali-kali ketika tangan dan kaki itu beradu. Dan setiap kali benturan terjadi, tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan pada benturan terakhir keduanya hampir terjengkang, karena begitu kuatnya benturan itu terjadi.

Namun nenek berpakaian merah itu benar-benar bermaksud membuktikan ancamannya. Dia langsung mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung, lalu melancarkan serangan susulan yang tak kalah dahsyat. Setiap serangan yang dilakukan mengeluarkan bunyi angin menderu.

Dewa Arak yang tengah dilanda amarah karena perbuatan keji nenek berpakaian merah itu memu-tuskan untuk melawan dengan keras. Oleh karena itu serangan susulan ini akan dipapakinya lagi. Namun pemuda berpakaian ungu ini terkejut ketika menyadari kedua tangan yang hendak digunakan memapak tidak dapat digerakkan secara normal! Begitu dikerahkan tenaga dalam, kedua tangannya terasa ngilu bukan kepalang.

Melihat kedua tangannya mulai berwarna kelabu, Arya langsung tahu kalau kedua tangannya telah terkena racun jahat. Ternyata kaki perempuan tua itu mengandung racun jahat. Itulah sebabnya Dewa Arak tidak berani melakukan tangkisan lagi. Di samping memang tidak bisa karena kedua tangannya berada dalam keadaan ngilu dan nyeri. Akhirnya dia hanya menggunakan kelinca-hannya untuk mengelak.

Nenek berpakaian merah tidak tinggal diam. Malah serangan gencar yang dilancarkannya semakin menjadi-jadi setelah tahu hal yang telah dialami pe-muda itu.

"Untung kau tidak terluka, Anak Muda. Kecil saja kulitmu berdarah, racun itu akan terbawa aliran darah menuju ke jantung. Apabila itu terjadi, nyawamu akan melayang ke neraka! Hi hi hi...!"

Arya tahu kalau nenek berpakaian merah itu tidak berbohong. Namun dia tidak merasa gentar, karena baginya mati bukan merupakan persoalan. Kehidupannya sebagai seorang pembela kebenaran, membuat hidupnya selalu terancam maut. Sewaktu-waktu nyawanya bisa melayang. Luka merupakan hal yang biasa.

Dalam keadaan seperti itu Dewa Arak tidak mampu mempergunakan kedua tangannya. Yang dipa-kainya, sekarang, hanya kedua kaki untuk melancarkan serangan. Itu pun langsung ditariknya kembali ketika melihat lawan berusaha menangkis.

Tentu saja keberadaan pemuda berambut putih keperakan itu sangat tidak menguntungkan. Betapa pun kuatnya pertahanan, apabila tanpa penyerangan sama sekali akan bobol juga. Lama-kelamaan Dewa Arak tampak semakin kewalahan. Keadaannya semakin mengkhawatirkan ketika rasa pusing mulai melandanya.

Semula Arya bingung mengapa hal itu bisa terjadi. Namun segera disadari bahwa serangan-serangan yang dilakukan perempuan tua itu menimbulkan angin yang membawa uap racun. Kalau saja kedua tangannya tidak dalam keadaan seperti itu, mungkin Arya mempunyai kesempatan untuk mengambil guci dan mengobati luka racunnya.

Desss!

Akhirnya pukulan telapak tangan terbuka nenek berpakaian merah berhasil mendarat di bagian kiri dada Dewa Arak. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terjengkang ke belakang dan menabrak pagar kayu bulat hingga jebol!

Dewa Arak tidak kuasa untuk menahan jeritan ketika tubuhnya melayang deras ke bawah. Di belakang pagar kayu bulat itu ternyata menganga sebuah jurang curam dan dalam. Tak pelak lagi, tubuh Dewa Arak melayang ke jurang itu.

Nenek berpakaian merah kaget mendengar teriakan Arya. Dia pun melesat mengejar untuk melihatnya. Bulu kuduknya langsung berdiri ketika melihat jurang menganga tampak kelihatan dasarnya itu.

Seperti Arya, dia pun tidak menyangka kalau bagian belakang perguruan ini ternyata sebuah jurang. Tanpa berkata apa pun, nenek berpakaian merah itu menjauh. Kemudian, dia telah sibuk kembali memakan otak mayat-mayat guru dan saudara seperguruan Sekar Arum.

Setelah melayang-layang beberapa saat lamanya, tubuh Arya jatuh di atas permukaan air. Tu-buh pemuda itu terus meluncur ke dalam air. Tak lama kemudian, berkat ilmu meringankan tubuhnya pemuda berambut putih keperakan itu berhasil mengapung di atas permukaan air. Arya masih tetap sadar, meskipun telah melayang jatuh dari ketinggian jurang.

Dan sekarang, meskipun dalam keadaan terluka parah akibat racun dan pukulan pada dada kiri yang juga beracun, Arya berusaha keras untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Dengan keadaan tangan hampir lumpuh, dia berjuang keras.

Namun dasar jurang yang ternyata air, dan merupakan badan sungai itu mempunyai arus kuat sekali. Arya yang tengah berada dalam keadaan lemas, tak mampu bertahan dari arus sungai yang sangat deras. Tubuhnya terbawa arus, meskipun kedua kakinya menjejak-jejak ke sana kemari berusaha menahan.

Entah berapa lama Dewa Arak yang dalam keadaan setengah pingsan terus terbawa arus air sampai jauh. Ketika akhirnya sepasang matanya membuka disadari kalau tubuhnya telah tidak terbawa air lagi. Tapi, dia tahu kalau tubuhnya masih berada di dalam sungai.

Ketika Arya memperhatikan sekelilingnya, baru dia sadar tubuhnya tersangkut pada sebuah batu yang menonjol di tengah permukaan sungai. Dengan susah payah Arya beringsut mendaki gundukan batu itu, agar tidak terendam di aliran air. Dan ketika akhirnya berada di atas batu yang kebetulan mempunyai permukaan rata, pemuda itu duduk bersila. Dia bersiap untuk mengobati luka dalamnya.

Sebuah keuntungan masih berpihak pada Arya. Guci araknya, sumber penangkal racun tidak terlepas dari punggung. Bahkan isinya masih ada sungguhpun tidak penuh. Sesaat kemudian, pemuda berpakaian ungu itu telah sibuk dengan pengobatannya, luka dalam dan keracunan.

Cukup lama juga hal itu dilakukan, sejak ma-tahari belum mencapai titik tengahnya sampai condong ke barat, baru Arya merasakan luka di dalam tubuhnya telah mulai pulih. Bahkan kedua tangannya telah kembali seperti sediakala.

Pemuda berambut putih keperakan ini memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Tempatnya berada ternyata diapit oleh dinding tebing yang cukup tinggi. Dinding-dinding yang di atasnya banyak tumbuh pepohonan besar kecil. Sungai ini ternyata berada di dalam hutan.

Dengan sorot matanya Arya mengukur ketinggian tebing di kanan kirinya. Sekali lihat saja dia tahu kalau tebing di sebelah kanan jauh lebih rendah. Maka dia segera memutuskan untuk menujukan tindakan ke sana.

Meskipun demikian, Arya tahu untuk mencapai atas tebing dengan sekali atau dua kali lompatan merupakan sebuah perbuatan mustahil. Tinggi tebing itu tak kurang dari dua puluh tombak. Tapi, Arya tidak kehilangan akal. Dipungutnya beberapa buah batu ke-cil yang didapatkan dari tempat dirinya berada.

"Hih!" Arya langsung melemparkan sebuah batu ke atas. Kemudian tubuhnya menyusul melompat, lalu menjejak batu itu untuk melompat lagi ke atas. Pada saat yang bersamaan, batu kedua dilemparkannya, dan hal serupa pun dilakukan. Begitu seterusnya, hingga dapat mendarat di atas tebing dengan selamat.

"Hi hi hi...!" Sebuah tawa bergelak langsung menyambut ketika Arya baru saja menjejakkan kaki di tanah tepian tebing. Karuan saja hal ini membuat pemuda berambut putih keperakan itu langsung bersikap waspada.

Sesaat kemudian sekujur urat saraf dan otot-otot tubuhnya kembali mengendur setelah sekian lamanya menunggu, dan juga memperhatikan suasana sekitar, tidak nampak adanya seseorang tadi tertawa.

Namun tiba-tiba Arya kaget lagi mendengar pemilik suara itu kembali mengumandangkan kata-katanya yang sarat dengan perasaan gembira.

"Hi hi hi...! Sebentar lagi usahaku ini akan berhasil. Aku tidak akan pernah tua. Aku akan hidup seribu tahun lagi. Hi hi hi...!"

Arya mengernyitkan dahi mendengar ucapan itu. Kemudian setelah memperkirakan dari mana asal suara, diayunkan kaki menuju ke tempat itu. Dia ingin tahu orang yang telah mengeluarkan perkataan seperti itu. Apalagi di tempat terpencil seperti ini!

Dengan cerdik, Arya memperhatikan jalan yang ditempuhnya. Medan yang berupa kumpulan semak-semak dan ilalang serta pepohonan liar seperti tidak pernah terjamah manusia itu, membuatnya hati-hati memilih langkah. Sekali menyentuh dahan kering, keberadaannya akan diketahui oleh pemilik suara itu. Dan hal ini tidak diinginkannya.

Ternyata asal suara itu berasal dari tempat yang cukup jauh. Setelah cukup lama berjalan, pemuda berambut putih keperakan itu baru melihat pemilik suara itu. Arya kaget ketika mengenali sosok yang tengah tertawa-tawa gembira di depan mulut sebuah goa. Arya yang mengintai dari balik sebatang pohon mengenal betul siapa sosok yang tertawa-tawa itu.

Ternyata dialah yang selama ini tengah dicari-carinya, nenek berhidung melengkung! Pimpinan tertinggi Pasukan Iblis Neraka yang telah berhasil dihancurkannya bersama para pendekar lain. Segerombolan tokoh jahat yang melakukan tindakan-tindakan keji, menculiki wanita-wanita perawan dan bayi-bayi yang masih kecil. Entah untuk apa hal itu dilakukannya.

Arya tidak tahu, bahkan sampai pimpinan tertinggi, yaitu nenek berhidung melengkung itu, melarikan diri! Kemarahan Arya bangkit ketika melihat nenek berhidung melengkung. Apalagi disadari kalau kemungkinan besar nenek ini baru saja melakukan kejahatan keji lagi.

Tapi, sebelum pendekar muda itu keluar dari tempat persembunyiannya untuk melakukan penyerbuan, dari arah sebelah kanan melesat sesosok bayangan biru. Dan tahu-tahu di depan nenek berhidung melengkung berdiri seorang pemuda berwajah tirus berpakaian biru. Sikapnya terlihat menantang sekali.

"Rupanya kau bersembunyi di sini, Nenek Penyihir!" bentak pemuda berpakaian biru, sambil menudingkan jari telunjuknya ke muka nenek berhidung melengkung. "Asal kau tahu saja, ke mana pun kau pergi tetap akan kucari!"

Nenek berhidung melengkung seketika murka melihat sikap pemuda berpakaian biru di hadapannya. Kaki kanannya bergerak menjejak tanah, dan seketika itu pula tanah amblas hampir sedalam betis!

"Siapa kau, Pemuda Lancang?! Sungguh berani kau bersikap seperti itu di depanku! Apa kau telah bosan hidup?"

"Hmh!" Pemuda berpakaian biru mendengus melihat kemarahan nenek berhidung melengkung. Dia tidak kelihatan merasa kaget atau gentar. "Siapa adanya aku tidak perlu kau tahu. Yang perlu kau tahu maksud kedatanganku kemari. Aku ingin membunuhmu, Nenek Tua!"

"Keparat!" Nenek berhidung melengkung membentak keras. "Rupanya kau sudah kepingin mati, Monyet Jelek! Pergilah ke neraka!"

Nenek berhidung melengkung mengibaskan tangan kanannya. Bunyi berdesir pun langsung terdengar berbarengan dengan meluncurnya benda-benda halus ke arah pemuda berpakaian biru.

Arya yang memperhatikan secara seksama, tahu kalau nenek berhidung melengkung mengirimkan serangan dengan mempergunakan senjata berupa jarum. Tidak kurang dari sepuluh banyaknya. Dan melihat bagaimana keadaan nenek berhidung melengkung, jarum-jarum itu sudah pasti mengandung racun jahat. Arya mengkhawatirkan keselamatan pemuda berpakaian biru itu.

Arya yang sudah bersiap-siap untuk memberikan pertolongan apabila pemuda berpakaian biru itu tidak melihat serangan atau tidak mampu mengelakkan, jadi terkejut. Ternyata kekhawatirannya tidak beralasan sama sekali. Dengan sikap tenang, pemuda berpakaian biru itu memutar-mutarkan kedua tangan. Seketika jarum-jarum itu runtuh sebelum mencapai sasaran.

Nenek berhidung melengkung kembali mengeluarkan jeritan melengking sambil melancarkan seran-gan susulan. Kali ini serangannya lebih ganas, karena menggunakan anak panah.

Pemuda berpakaian biru rupanya tahu kelihaian lawan, sehingga dia tidak berani bertindak gegabah. Begitu nenek berhidung melengkung mengeluarkan anak-anak panah yang ujungnya beracun, dia pun mencabut senjatanya. Sebatang golok berwarna merah membara seperti besi dibakar! Dengan adanya senjata andalan di masing-masing pihak pertarungan semakin sengit.

EMPAT

Arya yang menyaksikan dari jarak jauh dengan penuh minat merasa kagum melihat pertarungan itu. Untuk kesekian kali kembali dijumpai tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi. Pengalaman ini membuatnya harus mengakui bahwa banyak tokoh berilmu tinggi di permukaan bumi ini.

Sementara di kancah pertarungan nenek berhidung melengkung dan pemuda berpakaian biru masih terlibat dalam pertarungan sengit. Tapi lambat laun mulai tampak keunggulan si Nenek. Pemuda berpakaian biru ternyata kurang memiliki pengalaman bertempur, sehingga dengan mudah dapat dibaca lawan.

Dengan mengandalkan kelebihan jumlah senjatanya, nenek berhidung melengkung menekan pemuda berpakaian biru. Golok pemuda berpakaian biru selalu diapit dan ditempel oleh anak panah yang satu, sedangkan anak panah sisanya digunakan untuk melancarkan serangan. Cara ini membuat pemuda berpakaian biru selalu dalam kedudukan terdesak.

Trakkk!

Pemuda berpakaian biru mengeluarkan keluhan tertahan ketika golok merahnya tertempel anak panah di tangan kiri lawan. Dan ketika nenek itu memutarkan anak panahnya, golok di tangan pemuda berpakaian biru ikut terputar tanpa dapat dicegah. Golok itu seperti telah melekat dengan anak panah lawan.

Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh nenek berhidung melengkung. Anak panah di tangan kanannya ditusukkan ke tenggorokan lawan. Serangan ini memaksa pemuda berpakaian biru melem-parkan tubuh ke belakang, dan dengan berat hati senjata andalannya dilepaskan.

Nenek berhidung melengkung tidak berhenti sampai di situ saja dalam bertindak. Dengan dua buah anak panahnya dia terus memburu lawan dan menghujaninya dengan serangan gencar. Sekali saja terkena, nyawa pemuda berpakaian biru akan terancam bahaya maut.

Trakkk!

Di saat ujung anak panah di tangan kanan lawan hampir menembus ulu hati pemuda berpakaian biru, melesat sesosok bayangan ungu, menyelak di antara mereka dan menangkis dengan gucinya.

"Keparat! Lagi-lagi kau!" seru nenek berhidung melengkung penuh perasaan geram ketika melihat sosok yang berdiri di depannya dengan tangan kanan memegang guci.

"Benar, aku! Akhirnya kita bertemu lagi, Kencana Wungu," ucap Dewa Arak, sosok berpakaian ungu itu, tersenyum sinis. "Dan ini berarti penentuan terakhir di antara kita. Kalau bukan kau, tentu aku yang akan mati! Bersiaplah, Kencana Wungu!"

"Kaulah yang akan mati, Pemuda ssilan!" Sambil menjerit nyaring, nenek berhidung melengkung yang ternyata bernama Kencana Wungu menerjang Dewa Arak. Anak panah di tangan kanan disodorkan ke arah leher, sedangkan yang kiri mengarah ke lambung.

Namun hanya dengan menarik tubuh ke belakang, Arya telah membuat kedua serangan itu kandas. Bahkan kemudian langsung mengirimkan serangan balasan dengan sebuah tendangan kaki kiri ke arah ulu hati lawan.

Namun, serangan itu buru-buru ditarik kembali karena sebelum mencapai sasaran, anak panah di tangan kanan Kencana Wungu digunakan untuk menangkal tendangan itu. Kalau Dewa Arak bersikeras untuk meneruskan serangan, sebelum berhasil mendarat di sasaran kakinya akan tertusuk anak panah yang mengandung racun. Sesaat kemudian, baik Dewa Arak maupun Kencana Wungu telah saling melancarkan serangan dan menggelakkannya.

Tak berapa jauh dari tempat mereka, pemuda berpakaian biru menghapus keringat yang membasahi keningnya. Kalau saja Dewa Arak tidak cepat bertindak, nyawanya tentu sudah melayang. Dia memperhatikan jalannya pertarungan sesaat sebelum mengayunkan kaki mengambil golok merahnya yang tadi dilemparkan Kencana Wungu begitu saja.

Pemuda berpakaian biru menimang-nimang goloknya sambil mengarahkan pandangan ke kancah pertarungan. Dilihatnya masih berlangsung seimbang. Meskipun demikian sepasang matanya yang tajam, dapat mengetahui kalau kemungkinan Dewa Arak keluar sebagai pemenang besar sekali. Pemuda berambut putih keperakan itu ternyata memiliki kepandaian hebat, ilmunya aneh.

Setiap serangan Kencana Wungu, betapapun hebatnya, selalu dapat dielakkan dengan cara aneh. Sebaliknya, serangan-serangan balasan yang dikirimkan, bertubi-tubi dan penuh mengandung tekanan tak ubahnya gelombang lautan. Beratnya serangan-serangan Dewa Arak dirasakan sendiri oleh Kencana Wungu. Dia terus didesak dan dihimpit

"Kuhitung sampai tiga, Kencana Wungu. Dan kau harus melancarkan serangan berantai. Usahakan! Pada saat yang sama aku pun melancarkan serangan. Aku yakin Dewa Goblok itu akan berhasil kita binasakan!"

Kencana Wungu agak tersentak begitu mendengar suara di telinganya. Bukan karena suara itu dikeluarkan dengan ilmu mengirim suara dari jauh, yang menjadi bukti kehebatan pengirimnya, tapi karena mengenal siapa pemilik suara itu, sungguhpun dia mendengarnya baru sekali. Mendengar adanya kesungguhan dalam suara itu dia memutuskan untuk menurutinya.

Maka begitu suara itu terdengar telah menghitung sampai tiga, tanpa peduli keselamatan, nenek berhidung melengkung itu melompat menerjang Dewa Arak. Dua anak panah di tangannya ditusukkan bertubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh lawan.

Bertepatan dengan meluncurnya serangan Kencana Wungu, dari arah sebelah kanan melesat sesosok bayangan ke arah Dewa Arak. Dalam sekejap tampak segundukan sinar merah membara berputaran mendekati pemuda berambut putih keperakan itu. Dan kemudian berubah menjadi seleret sinar merah yang meluncur cepat ke arah leher.

Arya yang tidak menyangka akan terjadinya hal seperti ini kaget bukan kepalang. Serangan Kencana Wungu saja sudah membuatnya repot, ini masih ditambah dengan serangan tak kalah dahsyat yang meluncur dari arah kanannya. Pemuda berambut putih keperakan ini pun mengerahkan seluruh kemampuannya dan melemparkan tubuh ke belakang.

Namun, rupanya baik Kencana Wungu maupun sosok yang mengirim serangan belakangan, sudah memperhitungkan hal itu. Tubuh mereka pun melayang mengikuti Arya sambil terus menghujani serangan secara gencar. Wajah Arya berubah tegang, tapi masih beru-saha keras untuk menyelamatkan dirinya. Dengan cepat dipalangkan gucinya di depan dada, sedangkan kepalanya digelengkan ke kanan.

Crat, crattt! Srettt!

Arya tidak tahu apa yang terjadi, hanya dirasakan sakit dan perih menyengat bahu kanan, serta kedua pergelangan tangannya. Seketika itu pula, hawa yang sangat panas dirasakan menjalar dari bahu kanan, sedangkan dari pergelangan tangan mengalir cepat hawa dingin! Kedua sergapan hawa ini membuat pemuda berambut putih keperakan ini pusing. Namun, nalurinya membisikkan adanya bahaya lanjutan yang masih mengancam.

Maka begitu berhasil menjejak tanah, walau dengan agak terhuyung, tubuhnya langsung bergulingan cepat. Perhitungan Dewa Arak ternyata benar, begitu melihat serangan tadi tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, Kencana Wungu dan penyerang satunya lagi, memburu Dewa Arak yang tengah bergulingan di tanah.

Dewa Arak meskipun berada dalam cengkeraman rasa pusing, masih sempat melihat samar-samar dua sosok yang memburunya. Maka gulingan tubuhnya terus dilanjutkan. Tapi, hanya sebentar saja. Karena sesaat kemudian pandangan berubah gelap pekat.

"Uhhh...!" Arya mengeluh dengan mulut menyeringai kesakitan ketika merasakan sakit laksana ditusuk-tusuk oleh pisau mendera pergelangan tangannya. Sedangkan hawa yang sangat panas seakan tengah membakar bahu kanannya.

"Tenanglah, kau tidak boleh banyak bergerak dulu. Biarkan obatnya meresap dulu. Memang perih, tapi tahanlah sebentar."

Terdengar sebuah suara halus dan lembut ketika pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud untuk bangkit. Arya mematuhi ucapan halus itu. Perlahan-lahan dia membelalakkan matanya berusaha melihat orang itu. Namun, usahanya sia-sia. Sepasang matanya belum bisa melihat jelas. Pemandangan yang tampak hanya sesosok tubuh samar-samar berwarna hijau. Meskipun demikian, menilik warna pakaian dan suaranya yang lembut, sosok ini pasti seorang wanita.

Terpaksa Arya menutup mata lagi karena kepalanya dirasakan pusing kembali. Meskipun demikian, dia berusaha untuk mengingat-ingat mengapa bisa berada bersama sosok berpakaian hijau yang diduganya seorang wanita dan tentu berwajah cantik molek serta bertubuh montok menggiurkan.

Namun, betapapun Dewa Arak mengorek ingatannya, yang didapat dan sempat diingat hanya di saat dia menggulingkan tubuh dalam usaha terakhir untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Setelah itu tidak ada lagi yang bisa diingatnya. Ataukah sosok hijau ini yang telah menyelamatkannya dari tangan maut Kencana Wungu dan penjahat satu lagi yang tidak disangka-sangkanya?

Tapi mungkinkah itu? Benarkah sosok hijau ini memiliki kepandaian melebihi Kencana Wungu dan kawannya? Rasanya tidak mungkin! Kakek kurus kering yang memiliki kepandaian dan berilmu tinggi saja tidak sanggup menghadapi pengeroyokan Kencana Wungu dan kakek berkepala botak. Padahal Arya berani bertaruh kalau penjahat yang membantu Kencana Wungu memiliki kemampuan tak kalah hebat dengan kakek berkepala botak.

Teringat akan kakek kurus kering, Arya tanpa sadar bergidik. Mau tidak mau harus diakui dalam hati kalau kepandaiannya tak akan cukup jika dipergunakan untuk menghadapi kakek kurus kering yang luar biasa itu. Belum lagi kakek kecil yang berwatak seperti anak kecil! Kalau saja kedua tokoh sakti yang sepertinya saling kenal itu melakukan tindak kejahatan, dia tidak akan mampu menanggulangi.

Mendadak hati Arya tercekat ketika berhasil mengingat-ingat sesuatu yang membuat hatinya berdebar tegang. Gerakan-gerakan pemuda berpakaian biru itu ternyata memiliki persamaan dengan kakek kurus kering! Dan ini baru terpikirkan olehnya. Mengapa dia begitu pelupa? Apakah ada hubungan antara kedua orang itu?

Namun hanya sampai di situ Dewa Arak dapat mengingat-ingat dan berpikir, karena sepasang matanya mendadak berat. Dan tanpa mampu bertahan lagi, dia tertidur. Begitu terbangun, tubuhnya dirasakan enak sekali. Tidak ada lagi rasa sakit, baik pada kedua pergelangan tangan maupun bahu kanan. Bahkan semua luka itu telah sembuh. Arya tidak merasa heran melihat hal ini, karena dia tahu banyak tokoh memiliki obat luka yang amat mujarab, bahkan dia pun memilikinya.

Arya mengedarkan pandangan, tapi tetap tidak ditemukan sosok hijau yang dilihatnya sewaktu dia masih belum sadar betul. Hal ini membuat hatinya merasa penasaran sekali. Apakah sosok hijau itu langsung pergi meninggalkannya begitu dia sembuh, tanpa menunggunya bangun? Berpikir demikian, Dewa Arak bergegas bangkit berdiri.

Baru saja Arya memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, guna mencari sosok hijau, telinganya menangkap adanya langkah-langkah halus pertanda ada tokoh berkepandaian tinggi mendekati tempatnya. Arya pun bersikap waspada. Barangkali saja pemilik langkah itu si Nenek Kencana Wungu atau penjahat yang membantu nenek berhidung melengkung itu menyerangnya.

Tapi, urat-urat sarafnya yang telah mengejang itu mengendur kembali ketika melihat sosok pemilik langkah. Arya terpesona ketika menatapnya. Sosok berpakaian hijau ini seperti yang diduga Arya memang cantik, bahkan melebihi apa yang diperkirakan Arya. Tidak hanya tubuhnya yang ramping indah dan menggiurkan. Kulit tubuhnya halus dan mulus, serta bersih sekali.

"Ah...! Kiranya kau sudah bangun!" Ucapan gadis berpakaian hijau itu membuat Arya sadar dari ketidakpantasan sikapnya, buru-buru ditundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah-nya yang memerah. Dan ketika diangkat kembali wa-jah itu telah kembali seperti semula.

"Atas pertolonganmu, Nisanak," ucap Arya. "Kuucapkan terima kasih, atas segala jerih payahmu."

"Lupakanlah," ujar gadis berpakaian hijau sambil mengulapkan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya sibuk menjinjing setandan pisang yang telah masak. "Hanya sebuah pertolongan kecil. Kalau aku tidak salah kau Arya bukan?"

Arya langsung melongo. Dari mana gadis berpakaian hijau ini tahu namanya kalau bertemu saja baru kali ini?

"Tidak perlu heran, Arya. Nanti kuceritakan. Sekarang lebih baik kalau kita, terutama sekali kau... makan dulu. Kau lapar kan? Pasti! Karena sudah sehari semalam kau tidak makan."

"Sehari semalam?" ulang Arya dalam hati. Berarti dirinya pingsan sampai selama itu. Dan ini benar-benar di luar dugaannya.

Sementara gadis berpakaian hijau langsung duduk dan mengajak Arya untuk melakukan hal yang sama. Tanpa banyak membantah, pemuda itu melaku-kannya. Sesaat kemudian, sepasang muda-mudi ini telah sibuk dengan pisang yang tergenggam di tangan.

"Bagaimana dengan Kencana Wungu dan kawannya, Nisanak..?" tanya Arya berusaha untuk men-gorek keterangan sehingga dirinya ditolong gadis berpakaian hijau.

"Aku tidak tahu," jawab gadis berpakaian hijau seraya mengangkat bahu, dan menelan pisang yang te-lah dimasukkan ke dalam mulutnya. "Begitu kulemparkan bahan peledak yang membuat mereka kelabakan dan mundur, kusambar tubuhmu dan kubawa kabur. Sayang sekali, Arya, aku datang terlambat. Kalau tidak, kita berdua akan menghadapi mereka bersama-sama."

Arya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepa-la dengan perasaan bingung. Gadis berpakaian hijau ini bercakap-cakap seolah Arya adalah kenalan lamanya. Hal ini membuatnya merasa bingung dan sibuk menduga-duga.

"Aku telah banyak mendengar tentang dirimu, Arya. Jadi kau tidak perlu merasa heran," ucap gadis berpakaian hijau, yang rupanya mengetahui perasaan hati Dewa Arak. "Tapi, untuk tidak mengacaukan suasana, baiknya kuperkenalkan diriku. Aku, Sekardati, dan..."

Sekardati terpaksa menghentikan ucapannya di tengah jalan ketika melihat Arya terbatuk-batuk karena pisang yang telah berada di tenggorokan tidak segera ditelannya. Gadis berpakaian hijau ini menjadi heran. Ia tahu, orang seperti Arya tidak mungkin mengalami hal itu sebenarnya kalau tidak mengalami keter-kejutan, dan itu pasti karena ucapannya.

"Apakah ada ucapanku yang salah?" tanya Sekardati, hati-hati.

"Sebenarnya tidak," sahut Arya sambil menatap tajam gadis berpakaian hijau di depannya. "Tapi kalau kau maksudkan dirimu adalah Sekardati saudara kandung Arum, dan putri sahabatku, Salaban, keadaan menjadi lain."

"Lho?! Memangnya kenapa, Arya?" Sekarang gadis berpakaian hijau yang mengaku sebagai Sekardati itu yang kebingungan. "Memang aku Sekardati saudara kandung Sekar Arum, anak dari Salaban."

"Kalau boleh kutahu, sebenarnya Salaban itu mempunyai berapa orang anak bernama Sekardati?!" Arya malah balas bertanya.

Sekardati bangkit dengan perasaan berang. Pisang yang baru saja digigit separo, dibantingnya ke tanah dengan perasaan kesal. "Apa maksudmu, Arya?! Apakah kau hendak mempermainkan aku?! Tentu saja Sekardati hanya ada satu, aku! Aku hanya mempunyai satu saudara kandung, yaitu Sekar Arum! Apa maksud ucapanmu!"

Arya menghela napas berat. Melihat sikap Sekardati, dia tahu ada sebuah kesalahpahaman di sini. Atau lebih tepatnya lagi ada hal-hal unik yang tersembunyi. Menuruti kemarahan akan menimbulkan permasalahan baru yang tidak akan pernah kunjung selesai. Maka diberinya isyarat pada Sekardati untuk duduk. Untung, gadis itu menurutinya meskipun dengan mulut masih monyong.

"Dengar baik-baik, Sekardati atau siapa pun namamu," Arya memulai ucapannya yang membuat Sekardati tak senang mendengarnya. Tapi pemuda berambut putih keperakan itu berpura-pura tidak tahu. "Beberapa hari yang lalu, di tempat pemakaman keluargamu, aku bertemu dengan seorang gadis mengaku bernama Sekardati. Tentu saja aku percaya karena dia kenal dengan Sekar Arum dan Salaban. Namun kemudian dia menyerangku dengan kemarahan karena kesalahpahaman, dan sampai sekarang permasalahan ini belum selesai!"

"Keparat! Sungguh berani orang itu memalsukan diriku...!" seru Sekardati penuh perasaan geram.

"Yang membuatku merasa heran," sambung Arya atas ucapannya yang belum tuntas. "Peran yang dibawakannya sebagai Sekardati sangat pas sekali sehingga aku yakin kebenaran pengakuannya. Di samping dia mengetahui keluargamu, juga dia benar-benar marah dan berniat membunuhku karena kesalahpahaman.... maksudku salah duga...."

"Apakah yang menyebabkannya salah paham itu?" tanya Sekardati penasaran. Keningnya berkerut menatap Dewa Arak yang duduk tenang di depannya.

Arya pun menatap wajah Sekardati lekat-lekat sebelum mengutarakannya. Dan seperti yang telah diduganya, Sekardati kaget bahkan amat berduka, tapi rupanya hati gadis itu tetap tegar sehingga tidak menjatuhkan air mata. Dia hanya terkesima dan mendadak diam. Sementara sepasang matanya berkaca-kaca. Arya tahu kalau gadis berpakaian hijau itu tengah berusaha menahan gejolak perasaan, maka dia ti-dak ingin mengusiknya.

"Aku pun, kalau tidak mendengar tentang diri-mu dari Sekar Arum apalagi melihat keberadaanmu di tempat itu, akan menduga demikian. Kesimpulan yang diambil orang yang memalsukan aku tidak salah... maksudku tidak bisa disalahkan...," ucap Sekardati, akhirnya dengan suara mengambang, tidak berirama. Sedangkan sepasang matanya menerawang jauh ke atas. Kelincahannya lenyap.

"Hhh...!" Arya menghela napas berat, dan mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui pendapat gadis berpakaian hijau itu. "Kalau boleh kuberikan saran, keluarkan saja kesedihanmu, Sekardati. Tidak baik menyimpannya di dalam dada kalau memang berat. Lebih baik kau tumpahkan, keluarkan sampai habis biar dadamu ringan. Dan...."

"Maksudmu... menangis, Arya?!" potong Sekardati dengan suara tetap datar, sedangkan sepasang matanya meski melihat pada Arya, tapi tatapannya kosong. "Kau tahu, pantang bagiku untuk meneteskan air mata. Aku tidak ingin menangis, dan tidak akan pernah menangis. Jelas?!"

Arya terdiam, tidak memberikan tanggapan sama sekali.

"Kalau boleh, aku ingin kau memberikan ciri-ciri wanita yang telah menyamar sebagai diriku, Arya. Aku ingin menyelidikinya. Aku ingin tahu maksud yang terkandung dalam penyalahgunaan nama ini."

"Dia seorang gadis berpakaian serba merah, cantik, muda, dan berambut dikuncir satu. Pada wajahnya, di bagian pipi atas...."

"Cukup..., Arya," potong Sekardati, cepat suaranya tetap datar.

"Kau mengenalnya, Sekardati?" tanya Arya, yang dijawab dengan anggukan Sekardati.

"Dia kakak seperguruanku. Baik hati. Tapi sayang, nasibnya buruk. Aku harap, apabila kau bertemu dengannya lagi, kau tidak menyakitinya, Arya. Dia baik hati, tidak jahat. Dan sebagai tambahan, kakak seperguruanku itu amat menyayangiku dan ayahku. Semula dia anak yang terlantar, ditemukan oleh ayahku lalu dipelihara secara baik dan penuh kasih sayang sampai berusia sepuluh tahun. Jadi keluargaku telah dianggap keluarganya sendiri."

"Akan kuingat, Sekardati," janji Arya, mantap. "O ya, hampir aku lupa. Sekar Arum menitipkan ini padaku, pesannya untuk diberikan pada guru atau saudara seperguruannya, karena mereka sangat menginginkannya. Tapi, ketika aku pergi ke sana, mereka semua telah menjadi mayat. Yang kujumpai di sana hanya seorang nenek berpakaian merah yang mengerikan. Dia tengah memakan otak mayat-mayat itu. Semula dia kusangka Sekardati, karena pakaian dan semua ciri-cirinya mirip, tapi itu karena kulihat dari belakang. Nenek itu biadab sekali. Tidak hanya membunuh dan memakan otak mereka. Keji sekali! Semula aku merasa ragu untuk bertindak keras karena mengira dia itu..., maaf Sekardati, dirimu. Itulah yang diberikan nama gadis berpakaian merah. Tapi ketika kutahu bukan... Sekardati.... Maka aku bertindak dengan maksud melenyapkannya...."

"Lalu...?!" potong Sekardati dengan suara bergetar, dan rasa ingin tahu yang begitu besar. Melihat hal itu Arya merasa tidak enak. Mengapa Sekardati begitu tertarik dengan cerita ini?

"Sayang, aku gagal. Dia terlalu lihai, dan lagi aku kena pengaruh racunnya yang ganas...." Kemudian secara singkat Arya menceritakan tentang dirinya yang jatuh ke dalam jurang.

"Syukurlah kau tidak membunuhnya, Arya," ucap Sekardati, penuh perasaan lega, tapi tetap dengan wajah murung.

"Mengapa, Sekardati?! Nenek itu benar-benar biadab. Dia tidak hanya membunuh, tapi juga memakan otak mereka," bantah Arya seraya menatap wajah Sekardati.

Tapi Sekardati menggeleng-gelengkan kepala. "Kau tidak tahu, Arya," ucap Sekardati dengan air matanya yang hampir menetes. "Nenek itu tidak jahat. Aku yakin betul. Dan juga orang-orang perguruan Sekar Arum yang tewas bukan oleh tangannya. Aku yakin...!"

"Tapi, Sekardati...," Arya mencoba untuk membantah. Tapi ketika teringat akan ucapan Sekardati, jantungnya berdetak lebih cepat. "Sekardati..., apakah nenek itu kakak seperguruanmu yang telah menyamar jadi dirimu?!"

Sekardati mengangguk-anggukkan kepala kemudian melesat meninggalkan Arya.

"Sekardati...! Tunggu...!" seru Arya keras.

Sekardati tak mempedulikan teriakan Dewa Arak. Dia terus berlari. Dan Arya semula bermaksud mengejar. Tapi, langsung diurungkan. Dia tahu kesedihan Sekardati telah tak mampu ditahannya. Mungkin gadis itu pun akan menangis.

Namun karena Sekardati memiliki hati yang keras dan telah berkata di depannya untuk tidak akan pernah menangis tentu dia akan berusaha untuk menahannya. Kalau Arya tidak berada di depan Sekardati, gadis itu tidak mempunyai alasan untuk tidak menangis. Maka, Arya tidak mengejarnya dan membiarkan saja Sekardati kabur.

LIMA

Tapi, Arya bimbang dengan keputusan itu ketika pandangannya tertumbuk pada suling kecil dari bambu yang ada di tangan kanannya. Benda ini yang akan diberikannya pada Sekardati, tapi gadis berpakaian hijau itu rupanya lupa untuk menerimanya.

Akhirnya, setelah mempertimbangkannya sebentar, Arya memutuskan ingin menyusul Sekardati untuk memberikan suling itu. Dia ingin tidak ada lagi beban yang menghambat perjalanannya. Setelah disampaikannya amanat dari Sekar Arum, tinggal satu tugas yang harus diselesaikan, membunuh Kencana Wungu! Oleh karena itu, Arya melesat mengejar ke arah perginya Sekardati.

Arya berhasil menyusul Sekardati hanya dengan perkiraan saja. Diakui kalau kemungkinan kecil sekali untuk dapat menemukan gadis itu. Hutan ini sangat luas dan dipenuhi pohon besar kecil serta kerimbunan semak-semak. Tidaklah mudah untuk menemukan orang di situ. Mungkin lebih mudah menemukan jarum di dalam tumpukan jerami!

Tapi, toh Arya terus melakukannya. Pemuda berambut putih keperakan ini mempunyai patokan. Sekardati pasti akan kembali ke tempat tinggal ayahnya. Dia pasti menuju ke pekuburan keluarga.

Hampir Arya tertawa gembira ketika mendengar isak tangis lapat-lapat dari kejauhan. Hal ini menjadi pertanda kalau dia menempuh arah yang benar. Bergegas ayunan kakinya dipercepat. Dan ketika suara tangis itu semakin terdengar jelas, Arya bertindak hati-hati. Bahkan dia melompat ke atas pohon, hinggap di salah satu cabang dan mengintai dari sana.

"Ayah...! Arum...! Mengapa kalian begitu tega pergi lebih dulu...! Mengapa kalian tidak mau menungguku...!"

Tampak oleh Arya, Sekardati duduk bersimpuh di tanah sambil menangis. Suara tangisannya cukup keras terdengar karena suasana di hutan itu memang sunyi. Kedua tangannya yang mungil dipukulkan ke tanah berkali-kali.

Seketika Arya merasa dadanya sesak karena terharu. Ada hawa yang membuat tenggorokannya terasa gatal, bahkan sepasang matanya pun berkaca-kaca. Ratap Sekardati memang terdengar sangat memilukan hati, menyuarakan kesedihan yang telah ditahan-tahan.

Tanpa sadar, Arya mengerjap-ngerjapkan sepasang matanya yang tiba-tiba dirasakan gatal. Kalau tidak mengingat akan kekerasan hati Sekardati yang tidak ingin kelemahan hatinya diketahui orang, ingin rasanya Arya turun dan menghibur semampunya.

Sementara Sekardati yang tidak tahu akan adanya pengintai gelap itu, terus saja mengeluarkan tangis yang sejak tadi ditahan-tahan. Dia tidak tahu kalau di atas pohon, seorang pendekar muda yang julukannya menggemparkan dunia persilatan, telah kenyang melihat penderitaan, hampir tak tahan menahan rasa harunya. Padahal, pendekar muda ini belum pernah menjatuhkan air matanya.

Arya yang tengah dilibat perasaan haru itu mendadak kaget ketika melihat dua sosok tengah melesat di kejauhan. Tempat yang tinggi memungkinkan dirinya dapat melihat suasana di sekitar lebih dulu. Hatinya terkejut karena sosok itu ternyata orang yang telah membantu Kencana Wungu mencelakainya secara curang!

Tapi keberadaan sosok ini tidak terlalu dikhawatirkannya. Yang membuat Arya merasa tegang justru ketika melihat sosok yang satu lagi. Sosok itu tak lain kakek kurus kering yang memiliki kepandaian ilmu mengiriskan. Bahkan mungkin di atas kakek kecil yang telah menjatuhkannya secara mudah itu!

Dewa Arak semakin merasa khawatir dan was-was ketika melihat arah yang ditempuh kedua sosok itu bakal melalui tempat Sekardati berada. Mereka pasti akan menjumpai Sekardati. Arya tahu, apabila hal itu terjadi, penjahat yang kemarin membantu Ken-cana Wungu mencelakainya, pasti akan mencelakai Sekardati! Mungkin tak akan membiarkan Sekardati begitu saja.

Arya bimbang. Di satu pihak dia ingin memberitahu pada Sekardati akan adanya bahaya mengancam, tapi di lain pihak, merasa khawatir gadis itu akan marah karena malu, kelemahan hatinya diketahui. Arya bingung bercampur khawatir. Namun ketika kakek bertubuh kurus kering dan penjahat kawan tak terduga Kencana Wungu, semakin dekat, Arya mengambil keputusan nekat.

"Sekardati, cepat menyingkir dari situ. Ada dua tokoh sakti luar biasa yang tengah menuju kemari dan akan melewati tempatmu. Cepat, menyingkirlah sebelum terlambat!" beritahu Arya dengan penggunaan ilmu mengirim suara dari jauh.

Tepat seperti yang diperhitungkan Arya, Sekardati terkejut bukan main. Tangisnya langsung berhenti. Bahkan bekas-bekas air mata dibersihkan. Bibirnya yang mungil indah membisikkan satu nama. Terlihat jelas oleh Arya kalau gadis itu membisikkan namanya.

Namun sayangnya, Sekardati tidak langsung melaksanakan perintah pemuda berambut putih keperakan. Bahkan dia mendongakkan kepala dan memandang ke sekitarnya.

"Arya, di mana pun kau berada sekarang, kau pasti mendengar ucapanku ini. Aku tidak suka dikuntit, dan kau telah melakukannya, maka apabila kita bertemu aku akan membuat perhitungan denganmu! Kau dengar, Arya?!"

Suara Sekardati terdengar keras dan bergema ke seluruh penjuru hutan itu karena gadis berpakaian hijau itu mengerahkan tenaga dalam pada seruannya. Karuan saja tindakan tak tersangka-sangka itu membuat Arya kaget.

Dan sebelum dia sempat memberikan peringatan lagi, kakek kurus kering dan kawan tak terduga Kencana Wungu telah keburu tiba di tempat itu. Mereka langsung melihat keberadaan Sekardati. Tepat seperti yang diduga Arya, dua sosok itu menghentikan langkah.

"Aha...! Sungguh tak kusangka akan bertemu di sini denganmu, Anak Manis. Kau harus bertanggung jawab atas lepasnya Dewa Arak dari tanganku!"

Setelah berkata demikian, kawan tak terduga Kencana Wungu itu melompat menerjang dan mengirimkan serangan dengan cengkeraman ke arah dada Sekardati. Karuan saja gadis berpakaian hijau itu mendelik, dan buru-buru menggeser tubuh ke samping untuk mengelakkan serangan kurang ajar itu. Dari sana dikirimkan serangan berupa tendangan ke arah pinggang. Tapi, secara mudah kawan tak terduga Kencana Wungu itu menangkisnya dengan kaki pula.

Dukkk!

Kedua kaki yang sama-sama mengandung tenaga dalam bertemu di udara. Tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke belakang. Hanya saja, Sekardati terhuyung selangkah lebih jauh. Sekardati merasa geram bukan main melihat keunggulan lawan dalam hal tenaga itu. Maka, sambil mengeluarkan pekikan melengking nyaring, dia melompat dan mengirimkan sebuah tendangan terbang ke arah kepala.

Terdengar pekikan tertahan karena kaget. Tapi bukan keluar dari mulut Sekardati atau kawan tak terduga Kencana Wungu, melainkan dari mulut kakek kurus kering. Dan sekali kakinya bergerak melangkah, tubuhnya telah berada di antara Sekardati dan kawan tak terduga Kencana Wungu. Kakek ini bergerak mengibas.

Seketika tubuh Sekardati terpental kembali ke belakang. Hanya dengan sebuah salto ke belakang beberapa kali gadis itu berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar dan hinggap di tanah secara tidak tetap.

"Tahan!" seru kakek kurus kering dengan suara serak. Jari telunjuknya yang kurus kering dan tidak berdaging, ditudingkan ke arah Sekardati. "Apa hubunganmu dengan si Rongga Pendek?!"

"Mau apa kau tanya-tanya guruku, Manusia Tulang...?" ejek Sekardati dengan berani. Meskipun dia tahu kalau sekali gebrakan saja kakek kurus kering itu tak akan mungkin dapat dilawannya.

Tapi, kakek kurus kering sama sekali tidak marah. Dia malah mengalihkan perhatian pada kawan tak terduga Kencana Wungu yang terpaksa berdiam diri dan memperhatikan percakapan itu.

"Biarkan dia pergi, Sangkuni! Dia murid Rongga," ujar kakek kurus kering itu, datar.

"Memangnya kenapa kalau dia adalah murid Rongga pendek itu, Guru?!" tanya kawan tak terduga Kencana Wungu yang ternyata murid kakek kurus kering itu. "Apakah Guru takut padanya?!"

"Cuhhh!" Kakek kurus kering itu meludah ke tanah. "Siapa takut padanya! Kalau sekarang si Pendek Jelek itu berada di sini pun akan kutekan tubuhnya biar tambah pendek!"

"Kalau begitu, mengapa Guru menyuruhku membiarkan gadis binal murid Rongga pendek itu pergi?! Kalau si Pendek itu mendengar hal ini, disangkanya Guru takut padanya!" ujar kawan tak terduga Kencana Wungu yang bernama Sangkuni.

"Hm... Kau benar," gumam kakek kurus kering sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Lakukanlah apa yang kau mau! Tunjukkan pada Rongga pendek kalau aku tidak takut padanya!"

Sangkuni tersenyum simpul. Kemudian, dialihkan perhatiannya pada Sekardati yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu dengan hati bergolak penuh kemarahan. Dan saking tak kuatnya menahan amarah begitu murid kakek kurus kering itu mengalihkan per-hatian, langsung saja diserangnya. Sangkuni menyambutnya dengan hangat, dan pertarungan sengit pun berlangsung.

Di atas pohon, sudah sejak tadi, Arya hampir saja turun tangan. Namun diurungkan karena melihat perkembangan tak terduga, di mana kakek kurus kering hampir membiarkan Sekardati pergi. Dan sekarang dia hanya bisa menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar tegang.

Pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud menolong Sekardati apabila keadaan memungkinkan, dan kabur. Karena tak mungkin dirinya dan Sekardati mampu menghadapi Barureksa dan Sangkuni itu. Mereka terlalu kuat untuk dilawan.

Arya tahu Sangkuni yang pernah membantu Kencana Wungu, memiliki kepandaian tinggi. Bahkan tidak kalah dengan nenek berhidung melengkung itu sendiri kalau saja tidak kalah pengalaman. Kepandaiannya boleh dibilang setingkat dengan Kencana Wungu. Karena Sangkuni itulah orang yang bermaksud membunuh Kencana Wungu sendiri, tapi gagal dan hampir tewas kalau tidak ditolong Arya.

Sama sekali tidak di sangka oleh Dewa Arak kalau balasan yang diterima adalah bergabungnya orang yang pernah ditolong dengan Kencana Wungu. Mereka bersama mengeroyoknya. Dan kawan tak terduga Kencana Wungu itu tak lain adalah pemuda berpakaian biru, yang ternyata bernama Sangkuni.

Jalannya pertarungan semakin menarik karena kedua belah pihak telah mengeluarkan senjata masing-masing. Sekardati yang memulainya begitu menyadari kalau lawan lebih unggul darinya dalam ilmu tan-gan kosong. Sangkuni memiliki tenaga dalam lebih kuat, sehingga begitu terjadi benturan, Sekardati selalu tampak kewalahan. Celakanya lagi, Sangkuni mempergunakan kelebihannya dengan baik untuk menekan pertahanan lawan.

Namun sekarang pertempuran kembali berjalan seimbang setelah masing-masing pihak menggunakan senjata. Sekardati menggunakan sabuk berwarna hijau sedangkan Sangkuni mengeluarkan golok merahnya yang beracun.

Bagaimanapun Sekardati harus mengakui keunggulan Sangkuni. Begitu pertarungan menginjak jurus ketiga puluh, perlahan-lahan pemuda berpa-kaian biru itu berhasil mendesaknya. Sekardati kembali terhimpit.

Yang lebih membuat Sekardati terdesak adalah kelicikan Sangkuni. Sepanjang pertarungan pemuda berpakaian biru itu selalu memecah perhatian lawan dengan ucapan-ucapan kotornya.

"Kau harus mendapatkan imbalan atas kelancanganmu membebaskan Dewa Arak, Kuda Betina Liar. Kau akan kuperkosa! Kau akan kutelanjangi...! Akan kubiarkan semut-semut merah yang besar menggigiti tubuhmu yang telah telanjang setelah puas kuperkosa. Ha ha ha...! Nikmat bukan?!"

Sekardati memekik kaget ketika tanpa terduga kaki Sangkuni telah menyapunya, sehingga dia terjengkang ke belakang. Namun gadis berpakaian hijau itu memang cerdik. Begitu terjengkang, langsung saja diteruskan dengan membanting tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan menjauh. Tindakan yang diambilnya tepat, karena Sangkuni langsung memburunya dan menghujaninya dengan serangan gencar.

Melihat keadaan gawat Sekardati, Dewa Arak tak bisa tinggal diam lagi. Tangannya segera menjumpul daun yang ada di dekatnya, tidak tanggung-tanggung langsung segenggam. Tapi....

"Pengecut Hina...! Keluar kau...!" Kakek kurus kering memutar-mutarkan tangan kanannya yang dijulurkan ke depan. Dan serangkum angin pukulan keras yang berputar meluruk ke tempat Dewa Arak berada.

Pemuda berambut putih keperakan itu kaget namun tetap tidak kehilangan akal. Buru-buru dia melompat turun seraya melemparkan daun-daun yang digeng-gamnya ke arah Sangkuni.

Brakkk!

Pohon tempat Dewa Arak tadi berdiam, langsung hancur berantakan. Dedaunan dan ranting-ranting yang berpatahan berjatuhan ke tanah. Namun Dewa Arak telah lebih dulu melesat sebelum serangan itu menghantamnya. Sehingga terlepaslah dirinya dari reruntuhan pohon.

Sebaliknya dedaunan yang dilepaskannya meluruk cepat ke arah Sangkuni laksana pisau terbang! Melihat serangan itu pemuda berpakaian biru buru-buru melemparkan tubuh ke samping untuk menyelamatkan diri dari puluhan dedaunan yang tak kalah berbahaya dengan serangan senjata tajam lainnya.

Cap, cap, cappp!

Puluhan daun itu menancap di tanah tempat Sangkuni tadi berada. Pada saat yang bersamaan, De-wa Arak mendarat dengan ringannya.

"Cepat lari, Sekardati! Cepat selamatkan dirimu!" Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera melompat menerjang Sangkuni yang baru saja berdiri tegak di tanah. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak langsung mengeluarkan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' yang menjadi andalan ayahnya. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").

Sangkuni kelabakan begitu mendapat serangan bertubi-tubi dan dahsyat itu. Memang, ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' memiliki kekuatan dahsyat dalam hal penyerangan.

Plak, plak, plak!

Tubuh keduanya sama-sama terhuyung-huyung ke belakang ketika Sangkuni menangkis serangan gencar yang dilancarkan Dewa Arak. Dewa Arak rupanya sudah memperhitungkan hal itu. Bahkan sudah merencanakannya meskipun dalam waktu yang demikian sempit.

Tatkala tubuhnya terhuyung ke belakang dia segera menambahkan tenaga dorong itu untuk melesat. Sehingga tubuh pemuda berambut putih keperakan itu melesat ke arah kakek kurus kering yang bermaksud mencegat Sekardati melarikan diri.

Kakek kurus kering mengeluarkan keluhan tertahan ketika Dewa Arak membarengi tubuhnya yang melesat ke arahnya dengan serangan-serangan mematikan. Kedua tangan Arya meluncur ke ulu hati dan tenggorokan, dua bagian terlemah di tubuh manusia. Namun kakek kurus kering itu tak mempedulikan serangan Dewa Arak. Tidak menangkis maupun mengelak.

Sedangkan Sekardati mempergunakan kesempatan itu untuk melanjutkan larinya. Kekerasan hatinya lumer ketika teringat akan ancaman yang mengerikan dari Sangkuni. Dirinya menyadari tidak akan menang melawan Sangkuni. Apalagi di belakang pemuda berpakaian biru itu masih ada gurunya yang sangat mengiriskan.

Sekardati semakin gentar kecut hatinya ketika teringat akan cerita Rongga, gurunya, mengenai kakek kurus kering ini. Semula dia tidak tahu, tapi percakapan Sangkuni dan kakek yang hanya memakai celana pendek itu, membuatnya teringat.

Kakek kurus kering sebenarnya boleh dibilang saudara seperguruan dengan guru Sekardati. Keduanya termasuk dari sekian banyak orang-orang buangan yang telah melanggar aturan perguruan, kemudian dihukum atau lebih tepat lagi menghukum diri sendiri selama lima puluh tahun lebih di sebuah pulau kosong. Dan kini setelah lima puluh tahun, mereka keluar. Apalagi karena adanya sesuatu yang tengah mereka cari-cari.

Di pulau kosong itu, dua kakek yang sebelumnya sudah memiliki ilmu dan kedigdayaan, saling berlatih keras. Keduanya mampu menciptakan ilmu sendiri melalui caranya masing-masing. Cara-cara aneh yang tidak lumrah manusia. Terlebih-lebih lagi si Kakek Kurus Kering. Dirinya melakukan semadi dengan cara tidur bersama mayat di kuburan-kuburan. Perbuatan aneh itu membuatnya memiliki ilmu-ilmu aneh, di antaranya ilmu kebal yang tidak lumrah dimiliki manusia biasa.

Sekardati telah mendapat cerita itu dari Rongga. Rongga mengatakan kalau bertemu dengan kakek kurus kering lebih baik menjauhkan diri. Sebab, dia memiliki watak tidak bisa ditebak. Kalau timbul keinginan membunuhnya, tanpa sungkan-sungkan akan membunuh orang. Itulah sebabnya, Sekardati langsung lari begitu tahu kalau kakek kurus kering ini adalah orang yang diceritakan gurunya.

Tuk, tukkk!

Arya tercekat kaget ketika kedua tangannya yang mengenai ulu hati dan tenggorokan lawan, membalik seperti menghantam benda keras yang kenyal. Dua tempat kematian itu pun tidak sanggup ditembusnya. Hal ini menyadarkan Arya bahwa penglihatannya sewaktu menyaksikan pertarungan kakek kurus kering yang dikeroyok Kencana Wungu dan kakek berkepala botak, ternyata tidak keliru. Kakek yang diketahuinya bernama Barureksa memang memiliki ilmu kebal yang luar biasa.

Sebelum hilang kekagetan Dewa Arak, kakek kurus kering itu mengibaskan kedua tangannya. Angin yang amat kuat keluar dari kedua tangan itu dan membuat tubuh Dewa Arak terpental ke belakang seperti daun kering dihembus angin. Meski dengan agak terhuyung-huyung pemuda berambut putih keperakan itu berhasil mendaratkan kaki di tanah.

Dan belum lagi sempat Arya memperbaiki kedudukan, mendadak Sangkuni telah meluruk ke arahnya dengan golok di tangan. Mau tidak mau Arya harus meladeninya. Di lain pihak, begitu berhasil membuat tubuh Arya terlempar, kakek kurus kering menjulurkan kedua tangannya ke depan. Seketika itu pula Sekardati yang tengah berlari, tertahan! Betapapun gadis itu mengerahkan segenap tenaganya, dan bahkan mengayunkan kaki, dia hanya dapat berlari di tempat.

Namun Sekardati benar-benar gadis yang keras hati. Meskipun tahu tindakannya tertahan, tetap saja diteruskan. Dia tahu Barureksa pasti mengerahkan banyak tenaga dalam untuk menahan larinya. Dia akan mengajak kakek itu untuk menentukan siapa yang lebih kuat bertahan.

Kakek kurus kering itu bukan orang bodoh. Dia tahu, biar bagaimanapun Sekardati berada di pihak yang lebih menguntungkan. Keberhasilannya menahan lari gadis itu pun karena harus mengerahkan seluruh tenaga dalam. Dan itu tidak bisa dilakukannya terus-menerus.

Sekardati telah memiliki tenaga dalam cukup tinggi, tambahan lagi jarak antara mereka cukup jauh. Ini memegang peranan. Kalau kemauan Sekardati diikuti, dia bisa terluka dalam. Oleh karena itu kakek kurus kering berlaku cerdik.

"Grrrhhh...!" Sebuah gerengan keras yang penuh pengerahan tenaga dalam, dikeluarkannya. Dan akibatnya memang luar biasa. Tidak hanya Sekardati yang menerima pengaruhnya, Sangkuni dan bahkan Dewa Arak pun mengalaminya.

Kaki-kaki mereka menggigil karena mendadak terasa lemas. Bahkan dada mereka pun tergetar hebat. Untung saja ketiga orang itu telah memiliki tenaga dalam kuat, sehingga getaran yang berasal dari gerengan kakek kurus kering itu tidak menghancurkan isi dada mereka.

Di antara ketiga orang itu, Dewa Arak yang paling ringan terkena pengaruhnya. Kesempatan itu di-pergunakan sebaik-baiknya untuk melesat ke arah Sangkuni dengan sebuah tamparan ke arah pelipis. Sehingga membuat pemuda berpakaian biru itu terpental dan terhuyung ketika terpaksa menangkis.

Dewa Arak tidak mempedulikan Sangkuni lagi. Dia melesat ke arah Barureksa dan mengirimkan tendangan bertubi-tubi. Pada saat yang bersamaan, kakek kurus kering itu mengibaskan tangan kiri. Sehingga tubuh Sekardati yang karena pengaruh gerengan tadi tak bisa mengerahkan tenaga dalam, langsung terbawa tarikan Barureksa dan terlempar ke arah Sangkuni.

Kemudian dengan cepat sekali tangan Barureksa berkelebat. Secepat itu pula kedua kaki Dewa Arak telah berhasil dicekalnya. Sekali kakek kurus kering ini bergerak membanting, tubuh Dewa Arak jatuh berdebuk keras di tanah. Untung, pemuda berambut putih keperakan itu sempat mengerahkan tenaga hingga tubuhnya tidak luluh lantak.

Barureksa tidak memberikan kesempatan pada Dewa Arak untuk menolong Sekardati lagi. Dia terus menyerbu dengan ganas. Dewa Arak terpaksa harus mengerahkan seluruh kemampuan dan memusatkan perhatian untuk menghadapi kakek kurus kering ini. Disadari benar kalau serangan-serangan lawan sangat membahayakan keselamatannya.

Gluk... Gluk... Gluk...! Arya langsung menenggak araknya hingga menimbulkan bunyi tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan dalam perjalanan menuju perut. Sesaat kemudian, pemuda itu telah siap dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya.

Di lain pihak, Sekardati telah lemah akibat pengaruh gerengan yang memang ditujukan padanya. Tambahan lagi, pengaruh teriakan dan juga kibasan tangan Barureksa sehingga membuat tubuhnya terlempar, mengakibatkan pusing tak karuan. Tanpa menemui kesulitan Sangkuni yang berada di dekatnya segera dapat melumpuhkan Sekardati. Pemuda itu segera menotok tubuh Sekardati hingga roboh dan terkulai lemas.

"Ha ha ha...!" Sambil memanggul tubuh Sekardati di bahu kanan, Sangkuni tertawa terbahak-bahak. "Akan kau lihat dan rasakan sendiri ancaman yang tadi kukatakan padamu, Gadis Liar!"

Brettt!

Sekardati tidak kuasa untuk menahan jeritan ketika tangan Sangkuni merenggut bajunya di bagian dada hingga robek lebar. Dan dua bukit kembar pun mencuat keluar! Indah, mulus, dan menggiurkan! De-ngan kasar, Sangkuni langsung meremas-remasnya.

"Keparat! Lepaskan aku! Mari, kita bertarung sampai mati...!" seru Sekardati yang masih lemah ka-rena pengaruh totokan.

Sangkuni tidak mempedulikannya sama sekali. Sambil terus meremas-remas payudara Sekardati de-ngan kasar dia melesat meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanan, di samping meremas-remas dan menjarah sekujur tubuh Sekardati, dikoyaknya pakaian gadis itu sepotong demi sepotong.

Meskipun tidak melihat kejadian itu, Dewa Arak dapat mendengarnya. Hal itu membuatnya merasa cemas bukan main. Dia tahu, Sangkuni pasti akan melaksanakan ancamannya. Pemuda itu sudah seperti orang yang mempunyai kelainan jiwa. Alias gila!

Dewa Arak hanya bisa menggigit bibir menahan perasaan geram dan kasihan. Geram pada Sangkuni dan tak sampai hati terhadap Sekardati. Dia bisa merasakan betapa takutnya hati gadis itu menerima pembuktian ancaman Sangkuni. Suara-suara lemah yang keluar dari mulut Sekardati terdengar. Dari ucapan bernada tantangan sampai mohon dibunuh saja daripada dihina seperti itu, telah menjelaskan segalanya pada Dewa Arak yang berada jauh dari gadis itu.

Hati Dewa Arak diiris-iris mendengar semua keluhan Sekardati yang semakin kecil dan pelan tertangkap telinganya karena jarak yang semakin jauh. Dan kemarahan serta kegeraman terhadap Sangkuni itu dilampiaskan pada kakek kurus kering. Dewa Arak mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' sampai ke puncaknya.

ENAM

Ilmu 'Belalang Sakti' memang merupakan ilmu mukjizat. Baik bagi pertahanan maupun penyerangan, sama-sama luar biasa. Dan ini bukan hal aneh karena guru Dewa Arak, Ki Gering Langit yang memiliki kepandaian tak masuk akal manusia, mengambilnya sendiri dari alam gaib secara lengkap. Tidak seperti layaknya ilmu ciptaan manusia pada umumnya.

Namun, betapapun hebatnya ilmu itu, karena baik dalam hal tenaga maupun ilmu meringankan tubuh Arya berada di bawah Barureksa, keampuhan ilmu itu seakan jadi tertutupi. Memang, sampai sekian jauh, kakek kurus kering itu belum mampu memasukkan satu pun serangan pada Dewa Arak.

Namun setiap kali serangan Dewa Arak tertangkis, selalu mengakibatkan tubuh pemuda itu yang terjengkang ke belakang dan terguling-guling. Terkadang, serangan Dewa Arak mengenai sasaran, baik karena lawan tidak mampu mengelakkan, atau memang sengaja, tapi tidak menimbulkan akibat apa pun.

Hal itu bukan hanya membuat Dewa Arak kebingungan dalam menghadapinya, tapi juga mengakibatkan kedudukannya kian terdesak hebat. Lawan kali ini diakuinya benar-benar tangguh. Memiliki ilmu kebal dan kekuatan yang luar biasa.

Dewa Arak yang tengah dilanda perasaan kalap karena mengingat nasib Sekardati, mengambil keputusan untuk memanggil belalang raksasa di alam gaib guna mengalahkan lawan yang luar biasa itu. Dia yakin dengan keberadaan binatang gaib itu di dalam tubuhnya, lawan akan dapat dikalahkan dan bahkan dibinasakan.

Plakkk!

Untuk kesekian kalinya terjadi benturan antara Dewa Arak dan kakek kurus kering yang mengakibatkan tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terpental jauh dan terguling. Tangannya dirasakan sakit-sakit dan dadanya sesak untuk menarik napas.

Kakek kurus kering tertawa terkekeh. Kemu-dian dengan kecepatan yang membuat Arya tercekat dia menubruk! Arya kaget, tapi dia sudah mantap mengambil keputusan untuk memanggil belalang raksasa. Namun sebelum kedua tangan Barureksa berhasil mengenai sasaran, dari belakang Arya, meluncur sesosok bayangan yang langsung memapaki serangan kakek kurus kering itu.

Glarrr!

Benturan keras langsung terdengar. Sekitar tempat itu langsung tergetar hebat. Bahkan getarannya terasa oleh Arya yang masih tergolek di tanah. Baik tubuh kakek kurus kering maupun sosok yang menolong Arya sama-sama terjengkang ke belakang.

"Rongga...!" Kakek kurus kering menggeram marah. "Mengapa kau menghalangi tindakanku?! Apa kau mengajakku bertarung?!"

"He he he...!" Sosok penolong Arya yang ternyata kakek kecil tertawa terkekeh sambil mempermainkan ludahnya. "Siapa menantang siapa, Barureksa?! Aku melihat adanya sobekan-sobekan pakaian murid-ku di sini. Katakan, apa yang terjadi dengannya?! Dan di mana muridku itu, Barureksa?! Aku tahu kau bersamanya belum lama ini. Katakan! Ingat, apabila terjadi sesuatu atas Sekardati jangan salahkan aku kalau mukamu itu kukencingi!"

"Keparat!" Barureksa yang selalu berwajah muram, menggeram. "Rupanya kau sudah ingin mampus Rongga!"

Sebelum kakek kecil yang berwatak kekanak-kanakan itu menjawab, Dewa Arak lebih dulu menyelak. "Sekardati ditawan oleh muridnya, Kek. Dia akan mengalami penghinaan. Dan..."

"Aku sudah tahu, Anak Muda," potong kakek kecil dengan muka muram. "Itu memang sudah merupakan garis nasibnya. Tapi, kaulah yang akan mengakhiri petualangan keji Sangkuni. Dia akan tewas di tanganmu. Tapi hati-hatilah, kau akan terlibat salah paham dengan kakak seperguruan Sekardati. Dia pun akan menjadi korban kebiadaban Sangkuni kalau kau tidak bertindak cerdik. Pergilah, temui Sekardati. Kalau nasibnya baik kau mungkin berhasil menyelamatkannya, dari penghinaan itu."

Dewa Arak ingin memberikan tanggapan, tapi segera menahannya karena kakek kurus kering yang tampak sangat murka itu telah melancarkan serangan terhadap Rongga. Dan pemuda berambut putih keperakan ini terbelalak ketika melihat serangan Barureksa. Tubuh kakek kurus itu lurus dan menegang kaku laksana sebatang tombak, meluncur dengan kepala lebih dulu ke arah Rongga.

Rongga tertawa terkekeh. Kemudian sekali kakinya digerakkan tubuh kecil itu telah menggelinding laksana bola ke samping kanan, dan serangan Baru-reksa mengenai tempat kosong. Namun, dengan kece-patan tak kalah dengan semula, tubuh kakek kurus kering itu membalik dan meluncur seperti semula. Pertarungan sengit dan unik yang membuat Dewa Arak mengernyitkan alis karena heran dan tertarik pun terjadi.

Kalau saja tidak mengingat akan nasib Sekardati, Dewa Arak ingin menyaksikan jalannya pertarungan antara dua tokoh yang memiliki kepandaian hebat itu. Namun, kali ini tidak ada pilihan lain baginya. Maka, meski dengan perasaan sayang, dia melesat meninggalkan tempat itu untuk menyelamatkan Sekardati.

Tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengikuti jejak Sangkuni yang membawa kabur Sekardati. Sobekan-sobekan pakaian gadis berpakaian hijau itu menun-tunnya untuk menemukan jalan yang harus ditempuh. Dan sobekan kain berwarna hijau itu terakhir berada di dekat sebuah semak-semak yang rimbun.

Dengan hati berdebar-debar dan sikap waspada, Dewa Arak menyibak kerimbunan semak-semak itu. Seketika sepasang matanya langsung membelalak kaget. Sesaat kemudian buru-buru dipalingkan, kemu-dian dengan cepat dibuka pakaiannya sendiri. Namun, ketika hendak melakukan tindakan lanjutan dirinya tampak kebingungan.

"Maafkan aku, Sekardati," hanya itu yang dapat diucapkan Dewa Arak dengan suara penuh penyesalan seraya melangkah maju.

Di hadapan pemuda berambut putih keperakan itu, dalam jarak sekitar satu tombak tergolek sesosok tubuh polos yang montok, molek, dan menggiurkan. Hanya sayangnya berada dalam keadaan mengenaskan hati. Sosok itu memang Sekardati. Tubuhnya telanjang bulat penuh luka, baik gigitan maupun cakaran di berbagai bagian, terutama dada dan paha. Arya segera dapat mengetahui kalau Sekardati telah diperkosa secara keji!

"A... Arya...," bisik Sekardati lirih dengan bibir bergetar dan sepasang mata basah.

"Sekardati... Ah... betapa malangnya nasibmu, Sekardati," ucap Arya masih dengan suara menggigil karena cekaman perasaan haru dan iba melihat keadaan Sekardati. "Akan kuhancurkan seluruh tubuh si Keparat Sangkuni!"

Dewa Arak kemudian menghentakkan kedua tangannya secara bergantian. Sehingga semut-semut merah besar yang merajalela di atas tubuh Sekardati berpentalan karena dari kedua tangan pemuda itu keluar angin keras yang membuat mereka beterbangan. Baru setelah itu, Arya menyelimuti tubuh Sekardati dengan pakaiannya.

"Terima kasih, Arya," ujar Sekardati lemah. "Kau baik sekali. Tak salah Sekar Arum mencintaimu. Dia banyak bercerita dan memuji-muji dirimu."

"Dari mana kau mendapat berita itu, Sekardati," tanya Arya sambil membopong tubuh Sekardati untuk dibawa menghadap Rongga. Arya tahu keadaan gadis itu sangat parah, bahkan mungkin sekali tak akan tertolong.

"Kami berhubungan dan saling mengirimkan surat dengan mempergunakan burung merpati. Setiap kali hendak mengirimkan surat Sekar Arum selalu meniup suling bambunya untuk memanggil merpatinya. Bukankah suling itu yang akan kau berikan padaku. Suling itu banyak diminati orang, maksudku, saudara-saudara seperguruan Sekar Arum. Itulah sebabnya, Sekar Arum memintamu memberikannya pada mereka."

"Sudahlah, Sekardati. Lebih baik kau istirahat dulu. Jangan bicara. Akan kucincang Sangkuni!" ucap Arya memberi nasihat pada gadis berpakaian hijau itu yang keadaannya memang amat payah, bahkan berbicara pun tampak kesulitan.

"Tidak, Arya. Aku malah ingin banyak bicara sebelum meninggalkan dunia ini. Aku mengerti mengapa Sekar Arum berani berkorban nyawa untukmu. Kau memang pemuda yang hebat. Arya..., aku cinta padamu."

Dewa Arak tersentak kaget. Hampir saja tubuh Sekardati terjatuh dari bopongannya kalau dia tidak segera menguatkan perasaan.

"Aku tidak main-main, Arya. Tapi..., apa artinya seorang wanita yang sudah ternoda sepertiku. Aku tidak berharga lagi, Arya. Aku terlalu hina untuk mendapatkan cintamu."

"Jangan berkata begitu, Sekardati," ucap Arya sambil terus mengayunkan kaki. "Bagiku kau tetap Sekardati yang kukenal sebelumnya. Sekardati yang lincah dan suci. Aku justru merasa berharga sekali mendapatkan cinta dari seorang wanita secantik dan sehebat dirimu. Aku... aku merasa bangga."

"Benarkah itu, Arya?" tanya Sekardati dengan sepasang mata berbinar-binar penuh perasaan gembira dan tidak percaya.

"Aku tidak pernah berbohong, Sekardati," ucap Arya, mantap. Kemudian dengan lembut dan penuh kasih dikecupnya kening Sekardati.

Gadis berpakaian hijau itu pun segera melingkarkan kedua tangannya ke leher Dewa Arak. Tapi, hanya sebentar saja kedua tangan halus mulus itu melingkari leher Arya. Sebab, begitu pemuda berambut putih keperakan itu melangkah dua tindak, kedua tangan Sekardati terlepas dari leher dan jatuh terkulai.

Seketika Arya menghentikan langkah, karena tahu apa artinya ini. Dan ketika diperhatikannya Sekardati untuk memastikan, nyawa gadis itu telah pergi meninggalkan raga. Sekardati meninggal dengan mulut menyunggingkan senyum.

Arya menggertakkan gigi untuk menguatkan hati melihat kematian Sekardati yang berada dalam bopongannya. Dadanya terasa sesak oleh isak yang tertahan di tenggorokan. Sepasang matanya berkaca-kaca. Kalau saja tidak malu dan lupa akan pantangan, pemuda berambut putih keperakan ini sudah menangis melolong-lolong mengingat nasib buruk Sekardati.

"Sangkuni...!" Arya berteriak dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya, menyalurkan keinginan untuk menangis dalam teriakan keras. "Aku bersumpah untuk meluluh lantakkan tubuhmu!"

Kemudian dengan hati penuh gelora amarah, Dewa Arak melesat cepat menuju tempat Rongga. Hatinya merasa khawatir kalau kakek kecil itu tidak mampu menanggulangi Barureksa yang memiliki ilmu tinggi dan kekebalan tubuh yang luar biasa.

Sementara itu pertarungan Rongga melawan kakek kurus kering masih terus berlangsung sengit. Baik, Rongga maupun Barureksa tahu kalau lawan yang dihadapi merupakan tokoh amat tangguh. Maka masing-masing pihak segera mengeluarkan seluruh kemampuannya. Beberapa kali kedua tokoh tua itu saling melakukan gebrakan.

Setiap gebrakan selalu mengakibatkan tubuh keduanya terhuyung-huyung ke belakang. Namun segera berdiri berhadapan dalam jarak lima tombak. Kini tampak masing-masing pihak menggerakkan tangan, melakukan pukulan dan tangkisan tapi tanpa bergeser dari tempatnya.

Kelihatannya aneh dan menggelikan, bahkan mungkin apabila ada orang yang menyaksikan akan merasa heran. Namun sebenarnya pertarungan dengan cara ini tidak kalah berbahayanya dengan saling serang dari jarak dekat dan berbenturan satu sama lain. Bunyi angin menderu dan berdesing mengiringi setiap gerakan tangan, baik sewaktu melakukan serangan maupun tangkisan.

Beberapa saat lamanya kedua belah pihak ber-tarung seperti ini. Kemudian, seperti telah disepakati sebelumnya, masing-masing saling lompat menerjang lawan, dengan kedua tangan terbuka dan terjulur ke depan.

Plakkk!

Di udara, kedua pasang tangan itu berbenturan dan saling melekat. Dengan kedua tangan saling menempel, tubuh kedua tokoh tua itu meluncur turun dan menjejak tanah. Dan di sini pertarungan yang lebih menegangkan kembali berlangsung. Sekarang, Rongga dan Barureksa mengadu tenaga dalam secara langsung.

Sebuah pertarungan yang diakui oleh kedua belah pihak sebagai pertarungan sangat berbahaya. Karena, baik yang kalah maupun yang menang akan mengalami kerugian. Yang kalah tewas, sedangkan yang menang pun tidak akan luput dari luka dalam amat parah, paling tidak cacat seumur hidup! Ini disebabkan kedua kakek sakti itu memiliki tenaga dalam hampir setaraf.

Semula keadaan kedua belah pihak sama. Namun beberapa saat kemudian terlihat wajah Rongga penuh dibanjiri keringat sebesar biji-biji jagung. Uap tebal mengepul dari atas kepalanya. Sementara itu Ba-rureksa, meskipun juga penuh keringat di wajah, tapi uap yang mengepul di kepalanya hanya tipis!

Pada saat menegangkan ini, Dewa Arak yang membopong Sekardati, tiba di tempat pertarungan. Dan hanya dengan sekali lihat, dirinya langsung tahu kalau kekhawatirannya terbukti. Rongga ternyata tetap tidak mampu menghadapi Barureksa yang mengerikan.

Dengan perasaan gelisah, Dewa Arak menurunkan tubuh Sekardati dan menyaksikan jalannya pertarungan. Dia tahu tidak ada yang bisa dilakukannya saat ini. Pertarungan yang terjadi berupa adu tenaga dalam antara dua tokoh yang memiliki tenaga dalam di atasnya.

Apabila memaksakan untuk memisahkan pun hanya akan mencelakai dirinya sendiri. Tenaga dalam kedua kakek itu akan menghantamnya, dan akibatnya dia akan tewas dengan seluruh isi dada hancur berantakan.

Kecemasan Arya semakin menjadi-jadi ketika melihat kedua tangan Rongga tampak mulai menggigil. Uap yang menguap di atas kepalanya semakin menebal. Barureksa rupanya tahu hal itu. Dia berniat memberikan pukulan terakhir yang mematikan lawan, atau paling tidak terluka dalam amat parah sedangkan dirinya tidak mengalami kerugian sedikit pun.

Kalau pukulan terakhir tidak dilakukan, dan adu tenaga ini diteruskan, memang dirinya akan keluar sebagai pemenang dengan menewaskan Rongga. Namun dia tetap tidak akan terhindar dari luka dalam yang parah, karena Barureksa merasakan tenaganya mulai mengendur.

"Grrrhhh...!"

Barureksa mengeluarkan suara menggereng keras dari tenggorokannya. Dan seketika terdengar bunyi menggelogok dari mulut Rongga disusul dengan menyemburnya darah segar. Tapi sialnya, semburan darah itu justru mengancam wajah Barureksa.

Karuan saja Barureksa kelabakan karena tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Ditariknya tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan semburan darah dari mulut lawan. Dia khawatir semburan darah itu mengenai mata. Meskipun hanya percikan tapi darah yang keluar dari mulut Rongga tidak ubahnya sambaran senjata rahasia. Apabila mengenai mata bisa mengakibatkan kebutaan seketika.

Pada saat yang bersamaan tubuh Rongga pun terjengkang ke belakang akibat pengaruh gerengan menggelegar tadi. Namun, kakek kecil ini memang memiliki banyak ilmu aneh yang mengandung gerakan-gerakan tidak lumrah. Tubuhnya yang terjengkang ke belakang, justru dimanfaatkan untuk membarengi dengan totokan kedua ibu jari kakinya ke arah wajah lawan.

Barureksa mengeluarkan keluhan tertahan. Serangan Rongga sama sekali tidak disangkanya. Selain itu gerakannya berlangsung begitu cepat, sehingga Barureksa yang tengah kelabakan mengelakkan semburan darah, tak sempat menangkis dan menghindar. Meskipun demikian, Barureksa masih berusaha keras untuk mengelak. Namun....

Jrot, jrot...!

Barureksa meraung laksana binatang buas terluka, ketika ibu jari kaki Rongga, mengenai biji matanya. Tak pelak lagi, kedua matanya langsung pecah. Seketika itu pula tubuh Barureksa yang hanya mengenakan celana pendek kumal itu terhuyung-huyung. Darah segar membasahi kedua pipinya. Kepalanya tergetar-getar seperti menahan rasa sakit yang hebat.

"Cepat sudahi riwayatnya...! Jangan biarkan dia lolos...!" seru Rongga pada Dewa Arak.

Dewa Arak tidak mau membuang waktu lagi. Dia sadar kakek kecil itu lebih tahu daripada dirinya mengenai keadaan Barureksa. Perintah itu tanpa ragu-ragu langsung dilaksanakannya. Pemuda berambut putih keperakan itu segera mengirimkan serangan dengan sebuah sampokan ke arah pelipis.

Barureksa yang masih meraung-raung menahan rasa sakit, rupanya sempat juga merasakan adanya bahaya mengancam. Maka tangan kirinya digerakkan untuk menangkis.

Prattt!

Tubuh Arya terpelanting ke belakang. Tapi, kakek kurus kering itu pun terhuyung-huyung dan hampir jatuh. Dan hal ini membuat Dewa Arak girang dalam hati. Kenyataan itu menunjukkan padanya kalau Barureksa tidak setangguh sebelumnya. Mungkin karena pengaruh luka, dan karena telah terkuras tenaga dalamnya selama pertarungan habis-habisan melawan Rongga. Sekarang Arya mengerti mengapa Rongga menyuruhnya segera bertindak.

Karena itu, tanpa mempedulikan rasa sakit yang mendera tangannya Dewa Arak langsung melontarkan serangan gencar bertubi-tubi dengan kedua kakinya. Namun seperti semula, meskipun telah buta, Barureksa masih mampu melakukan tangkisan secara tepat. Sayangnya satu di antara serangan itu tidak dapat ditangkis, dan mengenai pangkal paha kanannya.

Hampir Arya bersorak penuh perasaan gembira ketika melihat tubuh Barureksa terpental ke belakang. Bukan terpentalnya itu yang membuatnya gembira, melainkan jeritan kesakitan yang keluar dari mulut kakek kurus kering itu. Ini menandakan kalau Barureksa sudah tidak kebal lagi, sehingga tendangan Dewa Arak membuatnya merasa sakit.

Hasil serangannya membuat Dewa Arak semakin bersemangat. Tanpa membuang-buang waktu segera digunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Kemudian pemuda berambut putih keperakan itu mengamuk se-cara dahsyat.

Namun, meskipun sepasang matanya telah buta dan keadaan tubuhnya telah lelah sehingga tenaga dalamnya merosot jauh, Barureksa tetap merupakan lawan yang amat tangguh. Apalagi ilmunya aneh-aneh. Karena itu, meski Dewa Arak telah menggunakan ilmu andalan 'Belalang Sakti', tetap mengalami kesulitan untuk merobohkannya.

Wuttt!

Ketika Barureksa melemparkan tubuh ke belakang untuk mengelakkan serangan ayunan guci Dewa Arak, pemuda berambut putih keperakan itu segera menyusulinya dengan serangan jurus 'Pukulan Belalang'. Tidak hanya sekali, melainkan bertubi-tubi dan gencar sekali. Dewa Arak tidak ingin serangannya gagal.

Bresss!

Barureksa mengeluarkan jeritan menyayat hati, ketika salah satu dari beberapa pukulan jarak jauh yang dilepaskan Dewa Arak menghantam telak dadanya. Seketika, samar-samar pada bagian yang terhantam, seperti timbul nyala api. Tubuh kakek kurus kering itu pun melayang ke belakang. Kemudian tercium bau amis seperti daging terbakar. Tokoh tua yang memiliki daya kekebalan tubuh serta ilmu tinggi itu seketika tewas. Tubuhnya yang kurus tanpa baju menggelepar sesaat di atas tanah berumput.

Arya menghapus keringat yang membasahi wajahnya dengan punggung tangan. Sekilas dipandan-ginya mayat Barureksa sebelum mengalihkan perha-tiannya pada si Kakek Kecil, Rongga.

"Kau hebat, Dewa Arak. Tidak mengecewakan," ucap kakek kecil itu tanpa bangkit dari bergoleknya di tanah.

"Kalau tidak ada kau, mana mungkin aku bisa membunuhnya, Kek," ujar Arya memuji seraya melangkah menghampiri Rongga. Dewa Arak tahu kalau guru Sekardati itu bukannya tidak mau bangkit, tapi karena memang tidak mampu.

Luka-lukanya terlampau parah. Bahkan untuk berbicara pun dia kelihatan sangat parah. Arya tahu, nyawa kakek kecil ini tidak akan bisa diselamatkan. Meskipun demikian, dia segera menghampirinya dan menyalurkan hawa murni untuk mengurangi penderitaan Rongga, di samping untuk menguatkannya.

"He he he...! Bagus...! Bagus...! Memang ini yang kutunggu darimu, Dewa Arak. Aku belum ingin mati. Bukankah kita belum menuntaskan permainan tempo hari?!"

Arya tidak bisa menyambutnya karena segera tenggelam dalam kesibukan menyalurkan hawa murninya. Cukup lama juga, sebelum akhirnya usaha itu dihentikan. Kemudian dihapusnya peluh yang memba-sahi kening dan lehernya.

"Kau memang pendekar tulen, Dewa Arak. Sekarang agak lega rasanya dadaku."

Arya tahu kalau kakek kecil ini tidak berbohong. Dilihatnya sendiri Rongga sudah tidak begitu payah lagi ketika berbicara, bahkan dia telah mampu untuk duduk. Namun Arya tahu, seperti juga kakek kecil itu tahu, kalau hal ini hanya berlangsung sebentar saja. Kakek kecil itu tetap akan pergi ke alam baka.

"Ada satu hal yang masih merupakan teka-teki bagiku, Kek," ucap Arya cepat menyadari waktu yang dimiliki kakek kecil itu terbatas. "Mengapa kekebalan Barureksa tidak terlihat lagi. Apakah ini karena dia terluka atau lelah?"

"He he he...!" Rongga tertawa terkekeh. Rupanya tawa merupakan bagian dari kebiasaannya. "Bukan, Dewa Arak.

Rahasia kekebalannya ada pada mata. Apabila matanya terluka, atau buta, kekebalannya pun musnah. Sudahlah, untuk apa kau pusingkan masalah itu. Lebih baik kita teruskan permainan yang tertunda. Ah, sama sekali tidak kusangka kalau aku pergi bersamaan dengan muridku."

Rongga menoleh ke arah mayat Sekardati. Arya tahu, kakek kecil ini amat berduka dengan kematian muridnya yang demikian mengenaskan, meskipun kesedihannya itu tersembunyi dalam sikapnya yang selalu dipenuhi gelak tawa.

"Aku mempunyai dua buah tebakan, Dewa Arak. Apabila kau berhasil menebak, aku tidak akan mengajukan permohonan apa pun padamu. Tapi, kalau kau tidak bisa menjawab, kau harus memenuhi permintaanku. Bagaimana, adil kan, peraturan yang kubuat?"

Dewa Arak hampir tertawa mendengar peraturan Rongga. Bagaimana bisa adil kalau taruhannya hanya sepihak? Tapi, karena mengetahui watak kakek kecil yang memang aneh, tambahan lagi usianya yang sudah tidak lama lagi, Arya tidak sampai hati untuk membantah.

"Sangat adil, Kek," jawab Arya dengan suara sungguh-sungguh.

"Bagus! Sekarang dengarkan pertanyaanku baik-baik! Apa bedanya kacang panjang dengan celana panjang?! Ayo, cepat jawab!" ucap kakek kecil itu dengan sepasang mata tampak berbinar-binar laksana seorang anak kecil yang merasa gembira karena yakin kalau pertanyaannya tak akan bisa terjawab.

TUJUH

Arya mengerutkan alis. Hampir dia tertawa mendengar pertanyaan yang dianggapnya aneh dan remeh untuk dipermasalahkan oleh orang dewasa, apalagi tokoh persilatan seperti mereka. Namun ketika teringat kalau Rongga memiliki watak tak ubahnya anak kecil, Arya kembali memusatkan pikiran untuk memecahkan jawaban bagi pertanyaan yang kelihatannya remeh itu.

"Sebuah pertanyaan sederhana dan mudah jawabannya, Kek," ucap Arya tenang dan penuh keyakinan. "Kau pasti kalah. Nah, dengarkan jawabanku baik-baik! Perbedaan antara kacang panjang dengan celana panjang adalah, kalau kacang panjang bisa dimakan sedangkan celana panjang tidak."

"He he he...!" Rongga terkekeh penuh kemenangan. "Jawabanmu memang benar, Dewa Arak tapi tidak tepat untuk jawaban bagi pertanyaan ini."

"Kalau begitu, pasti karena celana panjang nama pakaian sedangkan kacang panjang jenis sayuran," jawab Arya lagi.

"Masih salah!"

"Habis... apa jawabannya, Kek? Aku menyerah," ucap Arya, mengalah.

Dengan sikap penuh kemenangan, Rongga menatap Arya. "Dengarkan jawaban pertanyaan ini, Dewa Arak. Beda antara celana panjang dengan kacang panjang. Kalau kacang panjang sungguhpun dipotong pendek-pendek tetap bernama kacang panjang, sedangkan celana panjang apabila dipotong menjadi celana pendek. Jawabannya tepat dan sesuai dengan pertanyaannya kan?"

Mau tidak mau Arya mengangguk-anggukkan kepala membenarkan jawaban yang diberikan kakek kecil itu.

"O ya, Dewa Arak." Kali ini sikap kakek kecil ini tampak sungguh-sungguh sehingga Dewa Arak menjadi tertarik dan memperhatikan baik-baik. "Andaikata sekarang kita berdua berjalan bersama kemudian di tengah perjalanan bertemu dengan setumpuk tai kuda maukah kau membagi dua denganku?"

"Tentu saja tidak, Kek!" jawab Arya, cepat.

"Astaga...! Tidak kusangka kau penggemar tai kuda, Dewa Arak, sehingga mau menyerakahinya sendiri," ucap kakek kecil itu kalem tapi dengan nada geli dan penuh kemenangan.

Arya melongo, berpikir sejenak sebelum berhasil mendapatkan jawaban kalau pertanyaan kakek itu dimaksudkan untuk menjebaknya. Dan pemuda berambut putih keperakan itu ikut tertawa geli karenanya.

Sesaat kemudian, suasana di tempat itu dipecahkan oleh dua buah tawa, tawa Arya dan Rongga. Namun tak berapa lama, tawa kakek kecil diganggu oleh batuk-batuk kecil. Napasnya kemudian memburu secara cepat. Baik Arya maupun kakek kecil itu tahu kalau saat perpisahan antara mereka untuk selama-lamanya akan segera tiba.

Arya pun menghentikan tawa. "Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan, Kek?" tanya Arya hati-hati.

"Seperti yang pernah kukatakan tadi, Dewa Arak. Kuharap kau berhati-hati, karena kau akan terlibat salah paham dengan kakak seperguruan Sekardati. Kau mengenalnya, kan? Dan apabila mungkin kuingin kau membantunya untuk mendapatkan obat yang dapat menyembuhkannya. Kau tahu kan penyakit dia?"

Dewa Arak menggelengkan kepala.

"Hhh...!" Rongga menghela napas berat. "Karena kesalahan dalam mempelajari sebuah ilmu, dia berubah menjadi seorang nenek. Tapi wujudnya akan kembali seperti sediakala apabila memakan otak manusia. Kasihan dia.... Padahal, dulu, sebelum mempelajari ilmu itu pernah aku memperingatkannya, bahwa tingkatan ilmunya belum cukup. Tapi dia memang berkeras hati. Sifatnya hampir mirip dengan Sekardati. Dan itulah hasilnya.... Maklumlah, ilmu-ilmu ciptaanku memang bukan ilmu-ilmu bersih. Kau mengerti...?"

Dewa Arak hanya mengangguk-anggukkan kepala.

"Nah! Dengan obat yang berhasil diciptakan oleh Kencana Wungu, penyakitnya akan dapat disembuhkan. Tapi sayangnya, bukan hanya dia yang menginginkan obat itu. Banyak tokoh persilatan lain mencarinya. Seperti halnya Kencana Wungu sendiri maupun Sangkuni. Obat-obatan buatan Kencana Wungu itu memang banyak gunanya. Itulah sebabnya aku dan Barureksa keluar dari tempat persembunyian untuk mendapatkan obat itu. Obat panjang usia.... Selamat tinggal, Dewa Arak...!"

Tiba-tiba.kepala kakek kecil yang lucu dan berilmu tinggi ini pun terkulai ketika nyawanya melayang meninggalkan raga.

Arya menghela napas berat. Kemudian dibuatnya dua buah lubang kuburan untuk Rongga dan Barureksa berdampingan. Kemudian setelah itu dibopongnya Sekardati untuk dikuburkan di pemakaman keluarga gadis ini. Akan dibaringkannya Sekardati berdekatan dengan ayah dan adiknya.

Sebuah perjalanan yang membutuhkan waktu cukup lama, bahkan mungkin lebih dari dua hari. Untung Arya memiliki obat untuk mengawetkan tubuh Sekardati agar tidak keburu berbau di tengah jalan.

Baru sehari melakukan perjalanan, ketika melintasi sebuah hamparan padang pasir yang luas dan berbukit-bukit, Dewa Arak melihat dua sosok tengah terlibat dalam pertarungan sengit. Meskipun jaraknya masih cukup jauh, tapi karena ciri-ciri salah satu pihak amat menyolok, Arya langsung dapat memperkira-kannya.

Sosok yang satu itu kakak seperguruan Sekardati. Pakaian merah yang dikenakan langsung membuat pemuda berambut putih keperakan itu bisa mengenalinya.

Dewa Arak pun semakin mempercepat larinya. Meskipun jaraknya masih jauh, dirinya tahu kalau lawan yang dihadapi kakak seperguruan Sekardati yang bernama Anyelir itu memiliki kepandaian tinggi. Hal itu bisa diketahui Arya dari serunya pertarungan yang berlangsung di kejauhan.

Begitu semakin dekat, Dewa Arak tidak merasa heran mengapa lawan Anyelir memiliki kepandaian tinggi. Ternyata lawan kakak seperguruan Sekardati itu tidak lain Kencana Wungu, pimpinan gerombolan Pasukan Iblis Neraka yang dulu pernah mengganas, melihat hal ini, Arya pun semakin mempercepat larinya.

Tak lama kemudian, pemuda yang tanpa men-genakan baju ini telah berada dekat dengan mereka. Dan sekarang dia bisa melihat adanya sosok yang semula tidak dilihatnya.

"Sosok itu tak lain si Kakek Berkepala Botak, tapi kenapa dia tergeletak di tanah?" tanya Arya dalam hati. "Tewaskah dia? Kalau tewas siapa yang telah membunuhnya? Bukankah kakek botak itu memiliki kepandaian tinggi pula? Bahkan mungkin tidak kalah dengan Kencana Wungu."

Plak, plakkk!

Benturan keras yang terjadi ketika kedua belah pihak saling beradu tangan secara keras membuat tubuh kedua wanita yang berbeda usia itu sama-sama terhuyung ke belakang. Kejadian itu membuat Kencana Wungu dan Anyelir melihat keberadaan Dewa Arak di situ.

Baik Kencana Wungu maupun Anyelir tampak kaget melihat kehadiran pemuda itu. Perasaan geram dan kebencian pun tercampur di sana.

"Sekardati...!" seru Anyelir ketika melihat sosok yang dipondong Dewa Arak yang bertelanjang baju. Nada suara gadis berpakaian merah itu menyiratkan keterkejutan dan kekagetan, juga kemarahan.

"Benar, dia Sekardati...."

"Kalau begitu, kau harus tujuh kali mampus untuk menebus semua dosa-dosamu, Manusia Keji!"

Setelah berkata demikian, memotong ucapan Arya, Anyelir langsung menubruk maju. Kedua tangannya meluncur deras ke arah Dewa Arak dengan sampokan bertubi-tubi ke arah kepala dari kanan kiri dengan mengeluarkan bunyi mengaung keras.

"Anyelir...! Tunggu dulu...! Aku...!" Arya terpaksa menghentikan ucapannya karena serangan Anyelir telah meluncur ke arahnya. Dia tak ingin mati konyol, maka langsung merendahkan tubuh hingga serangan bertubi-tubi Anyelir lewat di atas kepalanya.

Namun Anyelir memang hebat, dia langsung mengirimkan serangan susulan dengan sebuah tendangan kanan-kiri secara gencar ke arah kepala Arya yang tengah menunduk.

Kali ini Arya terpaksa melempar tubuh ke belakang, bersalto beberapa kali di udara untuk terus menjauh karena Anyelir tidak memberikan kesempatan dan terus mengejarnya sambil menghujani dengan serangan-serangan berbahaya. Untuk ketiga kalinya, pemuda berambut putih keperakan ini bertarung dengan Anyelir.

Dewa Arak benar-benar kerepotan. Adanya tubuh Sekardati dipondongan membuatnya kurang leluasa. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak mungkin mengirimkan serangan dengan kedua tangan. Yang dapat dilakukannya hanya mengelak.

Memang, dapat melancarkan serangan dengan mempergunakan kaki, tapi menghadapi Anyelir dengan kaki saja sama dengan mencari mati konyol! Akibatnya hanya dalam beberapa gebrakan, Dewa Arak sudah terdesak hebat.

Sementara Kencana Wungu yang melihat Anyelir telah terlibat dalam pertarungan dengan Dewa Arak, segera mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk melesat kabur. Mumpung kedua lawan tangguh itu tengah sibuk cakar-cakaran. Menunggu lebih lama di tempat itu hanya mencari penyakit.

Kencana Wungu tahu banyak tokoh yang menginginkan-nya untuk mendapatkan ramuan-ramuan hasil cip-taannya. Dia tidak takut, baik pada Anyelir maupun Dewa Arak tapi dia terlalu cerdik untuk menuruti kekerasan hatinya. Karena sikap itu akan membuatnya kemungkinan besar kehilangan ramuan-ramuannya.

Kencana Wungu tahu, pertarungan dengan salah seorang di antara mereka saja akan membutuhkan waktu cukup lama baginya untuk memperoleh kemenangan, itu andaikata berhasil menang. Dan waktu lama itu cukup untuk membuat banyak lawan tangguh berdatangan. Kencana Wungu ngeri kalau memikirkan kakek kurus kering, Barureksa. Dia merasa kapok. Itulah sebabnya, di saat Arya dan Anyelir sibuk bertarung, dia melarikan diri.

Hanya dalam beberapa kali lesatan, tempat Dewa Arak dan murid Rongga bertarung, sudah tidak terlihat lagi. Namun Kencana Wungu tidak menjadi besar hati, melainkan terus berlari. Tak lama kemudian, dia telah memasuki daerah yang berbatu-batu cadas.

"Terburu-buru sekali, Kencana Wungu? Hendak ke mana, sih?!"

Sebuah suara membuat Kencana Wungu yang tengah gelisah, terjingkat kaget bagai disengat kalajengking. Segera ditolehnya kepalanya ke arah kiri tempat banyak gundukan batu-batu besar. Beberapa di antaranya sebesar rumah!

Dan di salah satu gundukan batu yang besar-nya tak kalah dengan seekor gajah besar, tampak ber-tengger duduk berjongkok sesosok tubuh berpakaian biru. Pemuda berwajah tirus, Sangkuni!

"Kau...?!" Ucapan Kencana Wungu tercekat di tenggorokan, penuh perasaan gentar dan jerih. Sepasang matanya beredar berkeliling, seperti mencari-cari sesuatu di situ.

"Tidak usah khawatir, Kencana Wungu. Guruku tak ada di sini. Di tempat ini yang ada hanya kita berdua, kau dan aku!" ujar Sangkuni yang tahu penyebab sikap nenek berhidung melengkung itu.

Mendengar ucapan ini, dan tahu kalau ucapan itu bisa dipercaya, Kencana Wungu berbesar hati. Memang, dia tidak merasa takut terhadap Sangkuni. Yang ditakutinya hanya Barureksa seorang. Dia tahu, apabila ada kakek kurus kering di sini, dirinya tak akan bisa berdaya sama sekali.

"Sungguh berani mati kau menghadang jalanku, Anak Muda!" tandas Kencana Wungu, yakin kalau dirinya akan bisa mengungguli murid Barureksa itu.

Nenek berhidung melengkung itu mengeluarkan ucapan sambil mengayunkan kaki menuju sebuah gundukan batu sebesar rumah, meletakkan mayat kakek botak yang sejak tadi dipanggulnya.

"Rupanya kau merasa yakin akan dapat mengalahkanku dengan keberhasilanmu tempo hari, Nenek Sombong?!"

Bersamaan keluarnya ucapan itu, Sangkuni melompat dari atas gundukan batu. Untuk sesaat tu-buhnya melayang-layang di udara laksana seekor burung sebelum akhirnya turun dan menjejak tanah.

"Kali ini kau tidak akan seberuntung dulu, Anak Muda!"

Belum hilang gema ucapannya, Kencana Wungu telah melancarkan serangan terhadap Sangkuni. Sepasang anak panah di tangannya meluncur bertubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh pemuda berpakaian biru itu dengan mengeluarkan bunyi bercicitan nyaring.

Namun Sangkuni bukan lawan lemah. Golok merah di pinggang segera dikeluarkan, diputar laksana kitiran untuk memapas perjalanan anak-anak panah itu.

Trak, trakkkk!

Kencana Wungu menggeram keras ketika serangannya berhasil dipatahkan. Dengan tak kalah ganas serangan susulan segera dilancarkan. Dan anak panahnya seakan lenyap berubah sinar kecoklatan yang tidak jelas bentuknya. Kedua panah itu meluncur ke berbagai bagian tubuh Sangkuni laksana kilat menyambar.

Pertarungan sengit pun berlangsung begitu dahsyat Kencana Wungu melancarkan serangan sambil memekik-mekik nyaring penuh kemarahan. Tindakannya mencerminkan dendam terpendam terhadap Sangkuni. Terbayang kembali di benak nenek berhidung melengkung itu kejadian yang menyebabkan kakek botak, yang tak lain suaminya, tewas.

* * *

"Keparat! Siapa pun adanya orang itu, apabila bertemu akan merasakan sendiri hukuman dariku, Sangkuni! Dia akan menyesal seumur hidup berani mencampuri urusanku!" tandas nenek berhidung melengkung penuh perasaan geram ketika melihat sosok berpakaian hijau lenyap. Hal itu terjadi setelah benda bulat yang dilemparkan itu meledak dan menimbulkan asap tebal.

Sangkuni mengalihkan pandangan ke arah Kencana Wungu. Pada saat yang bersamaan nenek berhidung melengkung itu tengah menatapnya pula. Mereka berdua saling tatap sejenak.

"Biarlah...!" Sangkuni mengeluarkan ucapan yang lebih mirip desahan. "Biarlah sekarang Dewa Arak lolos dari tanganku, tapi ada orang yang akan menggantikannya menerima kematian saat ini. Kau, Kencana Wungu!"

Kencana Wungu seketika melangkah mundur. Nenek berhidung melengkung itu langsung memasang sikap waspada dan siap tempur.

"Sebenarnya..., mengapa kau demikian membenciku, Anak Muda?! Sepanjang pengetahuanku, aku tak pernah bermusuhan denganmu. Jangankan bertarung bertemu pun baru kali ini! Lalu, bagaimana mungkin kita bisa bermusuhan. Mungkinkah kau salah mengenal orang!"

"Tidak, Kencana Wungu!" Sangkuni menggelengkan kepala, keras. "Aku tidak salah. Kau memang salah satu di antara sekian banyak musuh besarku. Salah seorang yang telah menyebabkan seseorang yang kusayangi tewas! Kau harus menerima akibatnya."

Sangkuni langsung melompat menerjang Kencana Wungu. Golok merah di tangannya ditusukkan cepat ke arah leher. Namun, kandas karena nenek berhidung melengkung itu berhasil menangkalnya dengan jepitan batang anak panahnya.

Sangkuni menyusulinya dengan sebuah ten-dangan kaki kanan ke arah dada agar Kencana Wungu melepaskan jepitan terhadap goloknya. Dan usahanya tidak sia-sia. Kencana Wungu melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan tendangan yang mampu menghancurkan tulang-belulang dan juga isi dadanya itu. Sangkuni memburu, hingga pertarungan sengit berlangsung secara cepat.

Berbeda dengan Sangkuni, Kencana Wungu bertarung dengan adanya beban batin di hatinya. Dia tidak ingin bertempur dengan siapa pun saat-saat sekarang ini. Jangankan bertempur, bertemu pun diusahakannya tidak terjadi. Nenek berhidung melengkung ini mengkhawatirkan keselamatan ramuan-ramuannya.

Maka begitu bertarung beberapa gebrakan, dia melarikan diri setelah terlebih dulu melemparkan jarum-jarum beracun untuk menghadang pengejaran Sangkuni. Dengan mengandalkan lebatnya hutan dan dipenuhi pepohonan dan semak-semak belukar, Kencana Wungu berhasil meloloskan diri dari pengejaran Sangkuni.

Kencana Wungu berlari melalui tempat-tempat yang sulit untuk dilalui. Melalui celah-celah pohon, kerimbunan semak-semak, kumpulan anak duri yang menghadang. Itu semua diterjangnya agar Sangkuni tidak dapat menemukannya. Bukan karena Kencana Wungu takut, tapi khawatir kalau pertempurannya dengan pemuda berpakaian biru itu akan mengundang munculnya tokoh-tokoh persilatan lainnya. Dan itu berarti, bahaya bagi keselamatan ramuan-ramuannya.

"Ikh...!" Namun tanpa sadar Kencana Wungu terpekik kaget. Dia yang tengah sibuk memperhatikan kanan-kiri dan belakang karena takut ada orang yang melihatnya, jadi tanpa sadar mengeluarkan pekikan ketika pandangannya diarahkan ke depan. Dalam jarak sekitar satu tombak terpampang pemandangan yang menggetarkan hati.

Dekat pohon beringin tampak sesosok tubuh. Anehnya dia berdiri dengan kepala, tidak dengan kaki. Berdirinya pun bukan di tanah melainkan di hamparan tengkorak kepala manusia yang disusun teratur. Bagian terbawah berisi lebih banyak daripada atasnya.

Makin ke atas makin sedikit. Sampai di tempat paling atas hanya ada sebuah tengkorak kepala manusia. Dan pada tengkorak ini, kepala sosok itu bertengger. Tenang. Tidak oleng maupun bergetar sedikit pun.

Semula Kencana Wungu tidak bisa mengetahui secara persis siapa sosok yang berdiri secara aneh dan di tempat yang aneh pula itu. Kedudukan tubuh itu yang membuat nenek berhidung melengkung tidak dapat segera mengenalinya. Namun ketika akhirnya ber-hasil mengenali setelah memperhatikan lebih teliti, jantung Kencana Wungu seperti berhenti berdenyut. Tanpa sadar Kencana Wungu melangkah mundur dengan wajah berubah hebat.

Sosok yang berdiri secara aneh itu ternyata adalah kakek kurus kering yang tak lain Barureksa! Kencana Wungu sampai menahan napas agar tidak terdengar atau diketahui Barureksa keberadaannya di situ. Diam-diam dia menyesal sekali mengapa harus lari dari Sangkuni. Ini namanya kabur dari mulut anjing tapi masuk dalam mulut macan lapar!

Kencana Wungu membalikkan tubuh dengan hati-hati bermaksud melarikan diri dari kakek kurus kering yang diketahui memiliki kepandaian luar biasa itu. Dan ketika telah beberapa langkah tidak ada gerakan dari Barureksa, dia melesat cepat dari tempat itu dengan hati lega. Aman, pekiknya dalam hati.

Tapi, jantungnya yang semula telah tenang itu kembali berdetak kencang ketika melihat sesosok tubuh yang berada jauh di depannya. Sosok itu seperti juga sosok yang tadi ditemuinya, berdiri dengan kaki di atas. Hanya bedanya tidak di atas tumpukan tengkorak, melainkan sebatang tongkat kecil yang terhunjam di tanah. Ujung tongkat itu berada setengah tombak dari permukaan tanah.

Jantung Kencana Wungu berdebar keras ketika mengetahui sosok yang berdiri di atas batang tongkat itu ternyata Barureksa! Nenek berhidung melengkung itu terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Bukankah Banureksa tengah sibuk dengan dirinya yang aneh, tapi mengapa bisa berada di depannya tanpa diketahui kapan bergerak dan bagaimana hal itu dilakukan.

Perasaan penasaran membuat nenek berhidung melengkung itu kembali ke tempat semula, dilihatnya kakek kurus kering berdiri dengan kepala di atas tumpukan tengkorak. Dan hatinya terkejut bukan kepalang ketika melihat sosok itu ada!

"Apakah pandanganku tidak tertipu?" tanya Kencana Wungu di dalam hati. Berarti ada dua sosok kakek kurus kering! Sebagai tokoh yang telah banyak pengalamannya, Kencana Wungu langsung mengetahui kalau hanya ada satu sosok yang asli!

Dipertimbangkannya, masak-masak mana kemungkinan sosok yang asli dari kakek kurus kering itu. Sebagai seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, Kencana Wungu tahu kalau saat itu dia menyerang sosok yang asli, apabila mengenai sasaran kemungkinan besar Barureksa akan tewas!

Kencana Wungu cukup lama mempertimbangkannya karena tidak ingin gagal. Dia berpikir, Barureksa pasti akan memilih tempat yang lebih tersembunyi untuk melindungi keselamatannya, dan tubuh palsunya pasti terletak di tempat terbuka, yang gampang dilihat orang.

Setelah mempertimbangkannya baik-baik, Kencana Wungu menghentakkan kedua tangannya ke depan ke arah sosok Barureksa yang berada di atas tumpukan tengkorak. Hembusan angin keras meluruk ke arah tubuh kakek kurus kering itu.

Brakkk!

Pohon beringin besar yang ada di belakang tubuh kakek kurus kering itu langsung hancur berantakan terhantam pukulan jarak jauh Kencana Wungu yang luar biasa. Sedangkan tubuh Barureksa yang berada di bawah pohon itu telah lenyap entah ke mana seperti asap dihembus angin. Kencana Wungu kaget. Namun, secepat itu pula dia bertindak, menghentakkan kedua tangannya lagi ke arah sosok Barureksa yang berdiri di atas tongkat.

Bresss!

Kali ini semak-semak yang berada di belakang sosok kakek kurus kering itu hancur berantakan, porak-poranda seperti diterjang kelompok gajah liar. Seperti juga semula, pukulan jarak jauh Kencana Wungu menembus begitu saja tubuh Barureksa yang seakan-akan berupa segumpal asal.

Melihat hal ini wajah Kencana Wungu jadi seperti tidak berdarah. Hatinya menjadi kalap dan geram bukan main karena tahu kalau dua sosok yang dilihatnya hanya berupa jelmaan Barureksa. Sedangkan sosok yang asli tidak berada di situ.

"He he he...!" Suara tawa terkekeh menyambut munculnya dugaan di hati Kencana Wungu. Suara itu tidak jelas dari mana datangnya. Kencana Wungu sendiri tidak tahu dari mana asal tawa itu. Mendadak...

Brakkkk!

Tengkorak manusia yang semula tersusun rapi mendadak bergetar keras dan bergelindingan ke tanah. Seakan-akan ada sesuatu yang bergerak dari bawahnya. Kencana Wungu dengan hati berdebar tegang. Sepasang matanya menatap tak berkedip pada kumpulan tengkorak manusia yang berguguran jatuh itu. Ingin diketahuinya mengapa semua ini bisa terjadi.

DELAPAN

Hanya dalam sekejap saja tidak ada lagi tengkorak kepala manusia yang bertumpukan. Bahkan tengkorak-tengkorak kepala manusia yang berada paling bawah pun berpentalan ke sana kemari. Semula Kencana Wungu tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.

Namun ketika melihat tanah tepat di bawah tumpukan tengkorak itu retak-retak dan bergetar keras seperti ada sesuatu yang hendak keluar dari dalamnya, dia mengerti. Hanya saja yang tidak dimengertinya, apakah yang hendak keluar dari dalam tanah itu? Mayat hidup?

Brulll!

Diiringi dengan berhamburannya tanah bergumpal-gumpal dan debu mengepul tinggi, dari dalam tanah yang retak-retak itu melayang naik sebuah peti mati. Setelah berada setinggi setengah tombak dari tanah, peti itu berhenti bergerak dan turun perlahan-lahan ke tanah.

Sepasang mata Kencana Wungu hampir terlompat keluar dari rongganya melihat pemandangan mendebarkan hati ini. Kedua kakinya terasa lemas. Benarkah ia akan berhadapan dengan mayat hidup? Jantungnya memukul-mukul keras ketika peti mati itu bergerak membuka. Dan dari dalamnya keluar Barureksa!

"Jangan harap kau akan bisa membunuh Barureksa, Nenek Dungu! Kau sendiri yang akan mampus di tanganku!"

Kakek kurus kering itu mengulurkan tangan kanan hendak mencengkeram. Tentu saja, Kencana Wungu tidak membiarkannya dan segera melompat mundur. Tapi, hatinya langsung mencelos ketika melihat tangan itu tetap mengancam ubun-ubunnya. Pa-dahal, dia telah berada dalam jarak yang aman dari cengkeraman betapapun panjangnya tangan manusia.

Kencana Wungu kian tegang dan kebingungan. Tangan itu tetap mengancamnya. Dia baru menyadari kini, bahwa Barureksa memiliki ilmu yang membuat tangannya mampu memanjang sampai dua kali panjang semula.

Namun kesadaran Kencana Wungu datang terlambat, tangan Barureksa tak akan tertahan lagi menyambar ubun-ubunnya. Saat itu, sesosok benda hitam meluncur deras dan....

Takkk!

Benda hitam yang ternyata sebuah tongkat besar dan berat dengan bentuk batang melingkar-lingkar itu terpental kembali ketika berbenturan dengan tangan. Sungguhpun demikian, tindakan itu telah cukup untuk membuat nyawa nenek berhidung melengkung lepas dari cengkeraman malaikat maut.

Kakek kurus kering menggeram. Pandangannya langsung dialihkan ke arah dari mana tongkat berat dan besar itu berasal. Dari sana tampak melesat sosok tubuh. Barureksa perlu memperhatikan beberapa saat untuk mengenali sosok yang telah mengacaukan rencananya itu.

Namun tidak demikian halnya dengan nenek berhidung melengkung, tongkat berat dan besar itu telah memberitahukan padanya kalau pemiliknya adalah kakek botak, suaminya.

Dan memang, ketika akhirnya sosok itu berada dekat, Barureksa yang ternyata matanya tidak dapat melihat jauh, baru dapat mengenali kalau sosok itu kakek botak. Dulu, bersama-sama dengan Kencana Wungu, kakek botak ini berhasil mendesaknya. Tapi, Barureksa tidak akan membiarkan mereka bertindak begitu untuk kedua kalinya.

"Ke mana saja kau, Wungu?" Begitu tiba kakek botak itu langsung mengajukan pertanyaan. "Lenyap begitu saja. Susah payah kucari kau, untung kali ini berhasil bertemu. Kalau tidak, nyawamu tentu sudah melayang."

Kencana Wungu yang tersenyum getir, tidak memberikan jawaban sama sekali karena dirinya memang bermaksud meninggalkan kakek botak itu. Namun kedua orang ini tidak mempunyai waktu lama untuk berbincang-bincang karena Barureksa telah kembali melancarkan serangan.

Kali ini yang dituju si Kakek Botak. Meskipun demikian, Kencana Wungu langsung turun tangan membantu. Pertarun-gan dua lawan satu untuk yang kedua kalinya pun berlangsung.

Kencana Wungu berusaha menyerang dengan anak-anak panahnya. Sedangkan kakek botak dengan tongkatnya yang besar dan berat terus menggempur lawan. Sementara Barureksa menghadapi mereka de-ngan tangan kosong.

Meskipun tanpa senjata, tapi keampuhan tangan Barureksa itu tidak kalah dengan kekuatan senjata yang bagaimanapun. Kedua tangan yang kurus kering dan seperti tidak memiliki daging itu, mampu menjadi pedang, golok, bahkan tongkat, malah terkadang menjadi catut baja!

Bunyi berdetak keras senantiasa terdengar se-tiap kali tangan kurus kering itu berbenturan dengan tongkat atau anak-anak panah. Tanpa terluka sedikit pun. Bahkan jarum-jarum beracun Kencana Wungu roboh sendiri ketika menancap di tubuh Barureksa.

Kencana Wungu dan kakek botak mengeluh dalam hati, karena kemampuan kakek itu seperti meningkat dibanding beberapa waktu lalu. Mereka tidak tahu kalau itu karena Barureksa baru saja selesai mengubur diri hidup-hidup di dalam tanah. Dan ketika pertarungan telah berlangsung belasan jurus, Kencana Wungu dan kakek botak harus mengakui kalau mereka tak akan bisa menang terhadap Barureksa.

Tubuh kakek itu yang kebal menyulitkan keduanya untuk memperoleh kemenangan. Beberapa kali senjata-senjata mereka mengenai sasaran, tapi tanpa hasil sama sekali. Sedangkan terhadap setiap serangan Ba-rureksa keduanya harus berhati-hati kalau tidak ingin mati konyol.

Mendadak Barureksa menggeram keras sehingga membuat tubuh Kencana Wungu dan kakek botak tergetar hebat. Bahkan kaki mereka menggigil. Saat itu, Barureksa yang rupanya merasa geram terhadap kakek botak segera melesat menyerang.

Kakek botak kaget, tapi cepat melemparkan tubuh dan bergulingan untuk menyelamatkan nyawa. Barureksa mengejarnya. Sementara Kencana Wungu yang melihat ancaman maut terhadap suaminya, bukan membantu malah melarikan diri. Nenek yang cerdik ini tahu kalau tidak ada gunanya lagi pertarungan itu diteruskan, karena suaminya itu tetap tidak akan pernah menang terhadap Barureksa.

Kencana Wungu terus berlari meskipun samar-samar didengarnya jeritan menyayat hati dari mulut kakek botak. Tanpa melihat pun, nenek berhidung melengkung ini tahu kalau nasib suaminya itu telah berakhir di tangan Barureksa.

Setelah menunggu hingga hari menjadi gelap, baru Kencana Wungu datang dan mengambil mayat kakek botak. Saat itu Barureksa sudah tidak berada di situ. Namun, dasar nasibnya sedang sial, di tengah perjalanan setelah sehari melakukan perjalanan, dia bertemu dengan Anyelir yang membuat mereka terlibat dalam pertarungan. Anyelir ingin mengambil mayat yang berada di tangan Kencana Wungu.

Kencana Wungu menggertakkan gigi karena perasaan geram bercampur penasaran. Kini dia tahu mengapa Sangkuni begitu yakin akan dapat mengalahkannya. Kepandaian Sangkuni telah meningkat dibanding beberapa hari lalu ketika pertarungan antara mereka terjadi.

Kencana Wungu tidak tahu kalau dalam waktu beberapa hari, pemuda berpakaian biru itu mendapat tambahan ilmu dari Barureksa. Gurunya itu memang luar biasa, meski dalam waktu sehari, dia sanggup membuat kepandaian Sangkuni meningkat cukup pesat.

Sekarang, Sangkuni tidak mengalami kesulitan sama sekali meskipun Kencana Wungu berusaha menekannya dengan mempergunakan senjata andalan yang jumlahnya lebih banyak. Bahkan nenek berhidung melengkung ini yang terdesak hebat.

Trakkk!

Lagi-lagi Kencana Wungu yang ingin mendapatkan kemenangan, menggunting golok Sangkuni yang tengah meluncur ke arah lehernya. Namun kali ini Sangkuni tidak kalah cepat bergerak. Begitu lawannya bergerak hendak memutar-mutarkan senjata, dia pun melakukan hal yang sama, dengan arah berlawanan. Akibatnya, tidak terjadi putaran sama sekali karena gerak yang saling berlawanan itu membuat keduanya saling mematikan.

Kencana Wungu menggertakkan gigi karena merasa geram melihat lawan mempergunakan cara sendiri untuk melawannya. Dikerahkan seluruh tenaga dalam untuk memenangkan adu putaran ini. Kencana Wungu tercekat hatinya ketika merasakan putaran yang dilakukannya tidak mendapatkan perlawanan sama sekali.

Rupanya pada saat yang bersamaan Sangkuni malah mengendurkan tenaga. Akibatnya putaran yang dilakukan Kencana Wungu terlalu cepat, dan hampir tidak terkuasai lagi. Saat itu, Sangkuni bertindak cepat mengerahkan tenaga untuk menambah kekuatan pada perputaran, sehingga membuat putaran pun semakin cepat.

Crottt!

Kencana Wungu membelalakkan sepasang mata ketika golok Sangkuni menghujam perutnya hingga tembus ke punggung. Di saat, nenek berhidung melengkung itu kehilangan kendali, Sangkuni langsung menusuknya. Darah pun menyembur deras dari bagi-an yang terluka.

Tubuh Kencana Wungu mengejang sesaat, meregang maut sebelum akhirnya ambruk dan tidak bangun lagi untuk selamanya. Baru, Sangkuni mencabut goloknya yang tertinggal di perut Kencana Wungu, setelah yakin kalau nenek itu sudah tidak bernyawa lagi.

Sangkuni memang cerdik. Dia khawatir kalau Kencana Wungu akan melakukan serangan dengan menggunakan sisa-sisa tenaga terakhir. Maka begitu goloknya berhasil menembus perut lawan, lalu dia langsung melompat menjauh.

"Ha ha ha...!" Sangkuni tertawa bergelak penuh kegembiraan sambil menyeka goloknya yang berlumuran darah dengan pakaian lawan. Ditatapnya tubuh nenek berhidung melengkung itu dengan sorot mata puas.

"Arum, lihatlah...!" seru Sangkuni sambil menengadahkan kepala ke langit seakan-akan orang yang disebutnya berada di sana. "Salah seorang dari penyebab terbunuhnya kau telah berhasil kutumpas. Kini tinggal satu orang lagi. Musuh terbesar, Dewa Arak! Dia akan mengalami kematian yang lebih mengerikan daripada Sekardati! Ha ha ha...!"

Tiba-tiba Sangkuni menghentikan tawa karena pandangan matanya menangkap adanya dua titik di kejauhan. Mula-mula kecil tapi semakin lama, secara cepat sekali menjadi besar. Sepasang mata Sangkuni yang telah terlatih langsung bisa mengetahui kalau titik itu merupakan dua tokoh persilatan yang bergerak cepat menuju tempatnya berada. Menilik dari keadaan mereka, Sangkuni dapat menduga kalau dua sosok itu tengah saling berkejaran.

Jantung Sangkuni berdetak lebih cepat dari biasa karena perasaan tegang dan gembira ketika melihat kalau sosok yang berada di depan mengenakan pakaian ungu, sedangkan yang di belakangnya berpakaian merah.

Sangkuni tidak terlalu memperhatikan sosok berpakaian merah. Seluruh perhatiannya ditumpahkan pada sosok yang satu lagi. Rambutnya yang putih keperakan dan berkibar-kibar itu mengingatkan Sang-kuni kepada Dewa Arak. Mungkinkah sosok itu Dewa Arak, musuh terbesarnya?

Sangkuni gembira sekali ketika melihat sosok itu benar Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu bertelanjang baju karena pakaiannya dipergu-nakan untuk menutupi tubuh Sekardati yang berada di bopongannya.

Begitu tahu kalau sosok itu ternyata Dewa Arak, tanpa membuang-buang waktu lagi, Sangkuni segera melesat menyambuti. Tak tanggung-tanggung lagi, golok merahnya dicabut dan ditusukkan ke arah leher pemuda berambut putih keperakan itu.

Bukan hanya Sangkuni saja yang merasa gembira dengan pertemuan itu, Arya pun demikian. Ketika pemuda berpakaian biru itu menyambutnya dengan tusukan, kakinya dijejakkan. Sehingga tubuh Dewa Arak melayang melewati kepala Sangkuni. Kemudian kaki kanannya dijejakkan ke arah kepala.

Sangkuni yang melihat adanya ancaman bahaya itu langsung melompat ke depan dan bergulingan. Ketika akhirnya berhasil bangkit, wajahnya agak pucat karena dalam segebrakan saja nyawanya hampir melayang.

Pada saat yang sama dengan bangkitnya Sangkuni, sosok berpakaian merah yang ternyata Anyelir telah tiba di sebelah Sangkuni. Dia merasa heran melihat pemuda berpakaian biru itu menyerang Dewa Arak.

Namun sebelum pertanyaan sempat diajukan, pemuda berpakaian biru itu telah lebih dulu meluruk ke arah Dewa Arak dengan golok di tangan mengeluarkan bunyi mengaung keras di saat diputar-putarkan sebelum dihunjamkan ke tubuh lawan. Untung saja saat itu, Arya telah meletakkan tubuh Sekardati di tempat yang aman. Maka terjangan Sangkuni langsung disambutnya.

"Sangkuni...! Sekarang juga akan kuhancur leburkan tubuhmu!"

"Kaulah yang akan mati atas tindakanmu yang menyebabkan kematian Sekar Arum!" teriak Sangkuni tak mau kalah.

Klangngng!

Bunga api berpijar ketika golok Sangkuni berbenturan dengan guci di tangan lawan. Seketika itu juga Dewa Arak ternyata langsung menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'-nya, serta dengan guci menangkis babatan yang mengancam leher.

Tubuh kedua tokoh muda yang sama berkemampuan tinggi itu terhuyung-huyung ke belakang. Dan sebelum keduanya saling gebrak kembali, Anyelir telah lebih dulu menyelak melakukan serangan dengan melontarkan pisau-pisau terbangnya. Gadis berpakaian merah ini memang memiliki kemampuan melempar pisau.

Dewa Arak agak terkejut ketika melihat lima buah pisau terbang meluncur ke arahnya. Masing-masing menuju ke bagian yang berbahaya. Pemuda berambut putih keperakan ini sempat terkejut ketika melihat kehebatan ilmu melempar pisau Anyelir. Mula-mula pisau itu berkelompok tapi ketika berada di tengah perjalanan langsung berpencar menjadi tiga bagian.

Meskipun demikian, Dewa Arak masih sempat membanting tubuh ke tanah dan bergulingan menjauh. Sangkuni segera menyusulinya dengan serangan goloknya begitu pisau-pisau terbang Anyelir tak menemui sasaran. Kini tanpa direncanakan lebih dulu, Anyelir dan Sangkuni sama-sama melakukan penyerangan terhadap Dewa Arak.

Dewa Arak kaget bukan kepalang. Jangankan pengeroyokan, menghadapi satu orang di antara mereka saja, agak sulit baginya untuk mencapai kemenangan. Sambil terus mengerahkan seluruh kemampuan menghadapi pengeroyokan, Dewa Arak memutar pikiran untuk mencari penyelesaian yang baik atas pertarungan ini.

Masalahnya, Dewa Arak hanya mempunyai urusan dengan Sangkuni. Sedangkan Anyelir hanya salah paham. Itulah sebabnya, pemuda berambut putih keperakan itu mengirimkan serangan-serangan mematikan hanya pada Sangkuni.

Sedangkan pada Anyelir sekadar mengimbangi serangan gadis itu. Tentu saja Anyelir mengetahuinya tapi dia tidak peduli. Yang ada di benaknya adalah melancarkan serangan mematikan terhadap Dewa Arak.

Menghadapi perlawanan sengit dari Anyelir dan Sangkuni yang seperti tak kenal ampun itu Dewa Arak tampak kewalahan juga. Apalagi dirinya tidaklah sepenuh hati melayani gempuran dari Anyelir kakak seperguruan Sekardati. Sementara wanita itu seperti kesetanan terus merangseknya. Dewa Arak pun kian terdesak hebat menghadapi gempuran bertubi-tubi itu.

Untung saja Dewa Arak mempunyai jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Jurus ini cukup membantunya dalam mengelakkan setiap serangan yang datang. Dirinya lebih banyak mengelak daripada melakukan penyerangan.

Tukkk!

Dewa Arak mengeluarkan pekikan tertahan ketika tangan kiri Sangkuni berhasil hinggap di bahu kanannya dalam sebuah totokan dua jari. Seketika tubuh pemuda berambut putih keperakan ini terkulai di tanah seperti sehelai karung basah.

"Ha ha ha...!"

Sangkuni tertawa bergelak mempertunjukkan kegembiraan melihat Dewa Arak yang menjadi musuh besarnya itu roboh tidak berdaya. Pertarungan langsung berhenti.

"Biarkan aku yang menghukum keparat ini!" ujar Anyelir menyelak Sangkuni yang berdiri di depannya. Gadis berpakaian merah itu meskipun kelihatannya sembarangan saja bertindak namun sebenarnya bersikap hati-hati. Dirinya tetap khawatir akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan dari Sangkuni.

Namun pemuda berpakaian biru itu tersenyum, kemudian menggeser kaki seperti hendak menyingkir dan memberi jalan pada Anyelir. Hal ini membuat gadis berpakaian merah ini merasa lega. Tiba-tiba Sangkuni mengirimkan babatan goloknya ke arah leher Anyelir. Tentu saja hal ini membuat gadis berpakaian merah itu kaget karena tidak menyangkanya.

Semua ini terjadi begitu cepat. Sungguhpun demikian, Anyelir masih sanggup membuktikan kalau dirinya bukan orang yang mudah dipecundangi. Bergegas dilemparkan tubuhnya ke belakang.

Namun, Sangkuni yang cerdik memang sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Dia pun melompat mengejar. Dengan cepat dilancarkan totokan bertubi-tubi melalui tangan kirinya. Beberapa di antaranya dapat dielakkan oleh Anyelir. Namun, akhirnya satu di antaranya berhasil membuat tubuh gadis itu roboh lemas. Ambruk seperti orang yang dilolosi tulang-belulangnya.

"Ha ha ha...!" Untuk yang kedua kalinya Sangkuni melepas tawa bergelak. Sepasang matanya menatap berganti-ganti pada Anyelir dan Dewa Arak yang sama-sama tergolek di tanah.

"Keparat! Pengecut, ayo bebaskan aku, Pengecut! Kita bertarung, sampai di antara kita ada yang tergeletak di tanah!" tantang Anyelir penuh kemarahan.

"Ha ha ha...! Aku bukan seorang anak kecil yang gampang kau tipu, Anak Manis! Untuk apa aku bercapai lelah, kalau dengan cara mudah dapat menangkapmu. Melihat ilmumu aku yakin kau murid Rongga si Pendek. Kau akan mengalami nasib seperti adik seperguruanmu. Bukankah wanita yang dipondong-pondong Dewa Arak itu adik seperguruanmu? Kau mau tahu apa yang dialaminya? Dia mati kelelahan setelah kuperkosa! Kau dengar, kuperkosa! Dan setelah kenyang, kuberikan tubuhnya yang mulus pada semut-semut merah yang gigitannya mengandung racun mematikan! Kau pun akan mengalami nasib serupa, Anak Manis!"

Wajah Anyelir berubah pucat pasi seperti mayat. Dia merasa ngeri mendengar ucapan Sangkuni yang diketahuinya bukan ancaman kosong belaka. Di samping itu timbul perasaan bersalah terhadap Dewa Arak. Dia telah salah menuduh. Perasaan geram pun muncul terhadap Sangkuni. Kalau saja bebas, akan diterjangnya Sangkuni mati-matian.

"Sekarang kau tenang-tenanglah dulu, Manis! Aku akan berurusan dengan Dewa Arak dulu." Kemudian, Sangkuni mengalihkan perhatian pada Dewa Arak. "Kau mungkin bertanya-tanya mengapa aku memusuhimu, Dewa Arak? Kau ingat, Arum. Sekar Arum!"

Dewa Arak tidak menjawab hanya kepalanya yang mengangguk perlahan.

"Asal kau tahu saja, aku adalah tunangan Arum. Aku dendam karena kau telah menyebabkan Arum yang kusayangi tewas...."

''Tapi bukan aku yang telah membunuhnya, Sangkuni," bantah Arya tenang. "Dia tewas karena perbuatan orang-orang dari gerombolan Pasukan Iblis Neraka!"

"Aku tahu!" tandas Sangkuni, beringas. "Tapi kaulah yang menyebabkan kematiannya. Pokoknya, siapa pun yang telah menyebabkan kematiannya aka mendapatkan balasan dariku!"

Arya terdiam. Disadari bahwa tidak ada gunanya berdebat dengan Sangkuni. Pemuda berpakaian biru itu telah mempunyai pikiran tidak waras. Dan mendadak dia teringat akan ucapan Salaban. Diperhatikannya tubuh Sangkuni.

"Sekarang aku mengerti, kaulah yang telah membunuh Salaban!" tandas Arya yakin.

"Ha ha ha...!" Sangkuni tertawa bergelak. "Syukur kalau kau telah mengetahuinya, Dewa Arak. Orang tua gila itu kubunuh karena dia tidak mau membalaskan dendam Arum kepadamu! Aku pula yang telah membunuh guru dan saudara-saudara seperguruan Arum, karena mereka pun lepas tangan atas kematian Arum! Begitu pula Kencana Wungu, dan tinggal kau yang belum kubunuh! Bersiaplah, Dewa Arak!"

Ucapan demi ucapan Sangkuni membuat wajah Anyelir semakin menampakkan kekagetan. Sama sekali tidak disangka kalau dia benar-benar salah duga terhadap Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu ternyata tidak bersalah sama sekali. Sangkuni pelaku semua kekejian yang disangkanya dilakukan oleh Dewa Arak.

"Tapi, sebelum kuhukum, kau harus menyaksikan sebuah pertunjukan menarik, Dewa Arak. Kau akan melihat bagaimana aku mempermainkan anak manis itu!"

Kemudian Sangkuni menghampiri Anyelir yang langsung menjadi pucat wajahnya karena menyadari adanya bahaya mengerikan akan mengancam. Dike-rahkan seluruh tenaga dalam yang tersisa untuk membebaskan diri. Tapi, sia-sia.

Brettt!

Anyelir tidak bisa menyembunyikan kengerian di wajahnya ketika tangan Sangkuni merobek bajunya di bagian dada hingga salah satu bukit kembarnya yang montok dan mulus mencuat keluar. Gadis berpakaian merah itu menjerit kecil penuh perasaan takut, tapi Sangkuni malah tertawa-tawa gembira.

"Lepaskan dia, Sangkuni!" Seruan yang amat dikenal Sangkuni itu membuatnya menoleh, tanpa bisa menghilangkan keterkejutan di wajahnya. Ternyata telinganya tidak salah dengar. Tepat di belakangnya berdiri Dewa Arak dengan guci di tangan dan siap dengan ilmu 'Belalang Sakti'-nya.

"Kau... kau mampu bebas dari totokanku?!" tanya Sangkuni terbata-bata.

"Aku sengaja mengecohmu, Sangkuni. Sejak tadi pun sebenarnya aku tidak apa-apa. Aku berpura-pura saja. Hal ini kulakukan agar bisa menyadarkan Anyelir dari kekeliruannya. Aku punya ilmu yang dapat memindahkan jalan darah, Sangkuni!"

"Keparat!" Sangkuni menggeram, dan kemudian dengan golok merahnya melancarkan penyerangan.

Arya menyambutnya, sehingga pertarungan sengit pun terjadi. Mereka saling serang dengan hebatnya. Jurus demi jurus berlangsung cepat. Bahkan bayangan kedua tokoh muda itu pun lenyap karena cepatnya bergerak. Yang terdengar hanya bunyi men-gaung dan mendesing nyaring dari gerakan-gerakan kedua belah pihak.

Untuk kesekian kalinya, pada jurus ketujuh puluh, golok merah Sangkuni menghantam guci Dewa Arak. Hanya saja kali ini langsung menempel. Sangkuni yang tidak menyangka tampak gugup bukan main. Dan kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak untuk melancarkan gedoran tangan kiri ke dada pemuda berpakaian biru itu.

Seketika Sangkuni mengeluarkan jeritan mengerikan yang menyayat hati, ketika tubuhnya melayang dengan darah menyembur deras dari mulut. Pemuda berpakaian biru itu pun te-was setelah tubuhnya terbanting ke tanah.

Tanpa berkata apa pun Dewa Arak segera membebaskan totokan di tubuh Anyelir. Gadis berpakaian merah itu hampir menangis karena merasa terharu. Hampir dia memeluk Arya untuk mengucapkan terima kasihnya yang tidak terhingga.

"Ambillah ramuan yang ada pada Kencana Wungu, Anyelir! Menurut gurumu, obat itu dapat menyembuhkan penyakitmu. Aku pergi dulu. Aku akan membawa Sekardati dan menguburkan di tengah-tengah keluarganya."

"Aku ikut, Dewa Arak!"

Arya hanya mengangkat bahu, lalu melangkah diikuti Anyelir meninggalkan tempat itu....

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.