Perempuan Pembawa Maut
SATU
SUARA senandung gembira keluar dari mulut seorang kakek bertubuh tinggi kurus, dan berpakaian longgar berwarna putih. Kakek ini tengah duduk di pinggir sungai. Sebatang joran tergenggam di tangan kanannya.
Mendadak kakek tinggi kurus itu menarik jorannya. Tampak seekor ikan berkelojotan. Sebetulnya, joran milik kakek ini tidak layak disebut joran karena tanpa tali, pelampung bahkan mata kail. Hanya sebatang kayu yang dibuat mirip joran.
Sambil bersiul-siul, kakek tinggi kurus itu meraih ikan yang menggeliat di ujung joran, Lalu dimasukkannya ke dalam keranjang kecil yang telah berisi ikan hasil tangkapannya. Ketika dia bermaksud memasukkan jorannya ke dalam air, mendadak gerakan tangannya dihentikan, lalu ditolehkan kepalanya ke belakang.
"Sumini...," desah kakek tinggi kurus itu dengan tarikan wajah menyiratkan kecemasan.
Belum juga gema ucapannya lenyap, kakek itu sudah bangkit secara cepat. Joran dan keranjang berisi ikan tangkapannya tidak dipedulikan lagi. Kemudian dengan sekali lesatan, dia telah berada dalam jarak belasan tombak dari tepi sungai.
Dengan kecepatan yang tidak mengendur, kakek tinggi kurus itu melesat Tubuhnya yang terbalut pakaian putih sekejap saja telah lenyap. Kini yang tampak hanya kelebatan bayangan putih melesat menuju sebuah bangunan yang berada tak jauh dari sungai tempatnya memancing.
"Sumini...," untuk yang kedua kalinya si Kakek tinggi kurus menyebutkan nama itu. Namun kali ini dengan sorot mata menyiratkan keterkejutan. Beberapa tombak di hadapan kakek tinggi kurus itu tampak empat sosok yang tengah menuju ke arahnya.
"Kakek...!" Salah seorang dari keempat sosok, berseru memanggil si Kakek tinggi kurus. Dia seorang gadis berusia sekitar tujuh belas tahun. Wajahnya cantik. Tubuhnya yang ramping terbalut pakaian kuning.
"Sumini...!" Kakek tinggi kurus berseru penuh kecemasan seraya melangkah maju. Namun langkahnya langsung terhenti karena salah satu dari tiga orang yang berada bersama Sumini segera menariknya ke belakang, dan dua sosok lagi melangkah ke depan. Ketiganya menunjukkan sikap bermusuhan, bahkan siap bertarung.
"Selangkah lagi kau maju, gadis ini akan kehilangan nyawanya, Jaya Katwang!" ancam lelaki berkepala botak dan beralis tebal. Dadanya yang terbuka memperlihatkan bulu tebal dan hitam.
"Siapa kalian? Dan apa maksud kalian dengan semua ini?"
Kakek tinggi kurus yang bernama Jaya Katwang tidak berani bergeming dari tempatnya karena menyadari kesungguhan ancaman itu. Matanya dengan tajam merayapi tiga lelaki berwajah kasar itu satu persatu, terutama sekali kepada lelaki berkepala botak dan rekannya yang bertubuh pendek kekar. Karena kedua orang inilah yang berdiri paling depan.
"He he he...!" lelaki pendek kekar yang mengenakan rompi merah tertawa terkekeh. "Tindakanmu memang bijaksana, Jaya Katwang. Kau langsung berbicara pada pokok persoalan. Maka kami pun tidak mau berpanjang kata lagi. Cepat, serahkan pusaka peninggalan Raja Pedang Langit Bumi, kalau ingin gadis ini selamat!"
Wajah Jaya Katwang langsung berubah hebat. "Apakah aku tidak salah dengar? Mengapa kalian meminta padaku? Apa hubungannya aku dengan Raja Pedang Langit Bumi?"
Brettt!
"Awww...!" Sumini memekik ketakutan ketika lelaki bermuka hitam yang menyanderanya, merenggut pakaiannya sehingga sobek! Dua buah bukit kembar pun mencuat menantang. Indah dan menggiurkan.
"Kau lihat, Jaya Katwang?!" tanya lelaki berkepala botak, tenang tapi penuh ancaman. "Kami tidak hanya bergurau! Apabila tak kau serahkan pusaka-pusaka itu, gadis ini akan ditelanjangi oleh kawanku dan diperkosanya sampai mati di depanmu!"
Jaya Katwang tidak langsung memberikan tanggapan. Ditatapnya Sumini dan tiga lelaki kasar itu sesaat dengan sorot mata menyiratkan kebingungan yang tidak dapat disembunyikan.
"Hhh.... Baiklah," ujar Jaya Katwang setelah menghembuskan napas berat. Disadari tidak ada lagi pilihan lain baginya. "Aku akan memberikan pusaka itu pada kalian. Tapi, harap bebaskan gadis itu dulu."
"Kau bersumpah tak akan mengingkari janjimu, Jaya Katwang?" ujar lelaki pendek kekar, tidak percaya "Aku bersumpah demi arwah leluhurku, dan majikanku yang mulia, Raja Pedang Langit Bumi!" tandas Jaya Katwang mantap.
Wajah ketiga lelaki kasar langsung berseri. Mereka tahu Jaya Katwang tidak akan berani mengingkari janjinya. Maka tanpa ragu-ragu, lelaki berwajah hitam segera membebaskan totokannya pada Sumini dan mendorong tubuh gadis itu.
Jaya Katwang bergegas melangkah maju dan menangkap tubuh Sumini. Namun, gadis berpakaian kuning itu langsung melepaskan diri. Dan setelah merapikan pakaiannya sebentar, dipukulkan tinju kanannya ke perut lelaki berkepala botak yang kebetulan berada paling dekat dengannya.
Blegkh!
"Heh...?!" Tangan Sumini mengenai perut yang lunak seolaholah tenaganya amblas ke dalam air. Dan sekali, lelaki berkepala botak itu mengibaskan tangan secara sembarangan, tubuh Sumini terhuyung-huyung ke belakang seperti dihempaskan angin badai! Untung Jaya Katwang bertindak cepat menangkap tubuh Sumini yang meluncur ke arahnya.
"Ha ha ha...!" lelaki berkepala botak tertawa bergelak bernada meremehkan. "Itulah akibatnya bagi orang yang berani menyerang Kerbau Bertenaga Raksasa! Ha ha ha...!"
Seketika wajah Jaya Katwang berubah. Pernah didengarnya julukan Kerbau Bertenaga Raksasa. Seorang tokoh penting golongan hitam yang dulu pernah dikalahkan Raja Pedang Langit Bumi!
"Hm.... Lelaki berkepala botak ini yang mempunyai julukan seperti itu," gumam Jaya Katwang dalam hati.
Berbeda dengan Jaya Katwang, Sumini tidak pernah mendengar julukan Kerbau Bertenaga Raksasa, maka dia tidak merasa kaget sama sekali. Meskipun demikian, dari serangan yang dilakukan tadi telah menyadarkannya kalau lelaki berkepala botak itu memiliki kepandaian yang tak bisa diremehkan. Dirinya jelas bukan apa-apanya jika dibandingkan tokoh ini. Maka, begitu berhasil ditangkap Jaya Katwang, dia langsung menyerang lelaki berompi merah.
"Sumini! Lihat baik-baik siapa aku! Engkau takut dan lemas, berlututlah!" seru lelaki berompi merah ketika gedoran kedua tangan Sumini hampir mengenai dadanya.
Akibatnya benar-benar seperti yang dikatakan. Sumini merasakan sekujur tubuhnya lemas. Tanpa dapat ditahan lagi tubuhnya ambruk, dan berlutut di depan lelaki berompi merah. Sebagai seorang yang telah memiliki kepandaian tinggi, Jaya Katwang tahu kalau lelaki berompi merah itu pasti seorang yang ahli dalam ilmu sihir. Dia sadar kalau dalam ucapan itu terkandung kekuatan aneh yang mampu mempengaruhi orang yang dituju. Maka sebelum kejadian lebih buruk menimpa Sumini, dia langsung berkelebat dan berdiri di depan gadis itu, bersiap untuk memberikan perlindungan.
"Aku telah berjanji untuk memberikan pusaka-pusaka yang kalian minta. Untuk apa kalian masih mencelakainya. Jangan kalian lakukan kalau tak ingin aku terpaksa menjilat ludahku sendiri!" tandas Jaya Katwang, tegas.
"Ha ha ha...!" Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa terbahak-bahak. "Jangan salah duga, Jaya Katwang! Kami tidak bermaksud mencelakai gadis ini. Dan kurasa kau pun mengetahuinya pula. Gadis itu sendiri yang telah menyerang kami. Kami tidak melakukan apa pun yang membahayakan nyawanya. Dan tentu saja akan dapat kami cabut dengan mudah kalau dikehendaki...."
Jaya Katwang tidak bisa berkata apa-apa lagi karena dia pun tahu kalau Sumini yang melakukan penyerangan terlebih dahuhi. Sedangkan lelaki berkepala botak dan lelaki berompi merah yang diduganya sebagai Raja Sihir Berbaju Merah, hanya membela diri. Karena itu, tanpa banyak cakap ditariknya Sumini agar bangun.
"Tidak ada gunanya melawan mereka, Sumini," ujar Jaya Katwang dengan suara perlahan, memberi tahu Sumini. Sumini tidak memberikan jawaban sama sekali. Namun dari sikapnya yang hanya diam, jelas kalau gadis itu pun menyadari kebenaran ucapan Jaya Katwang. Hanya tarikan wajah dan sorot matanya yang menyiratkan kebencian. Rasa penasaran dan sakit hati masih bersarang di hatinya.
"Cepat berikan pusaka-pusaka itu, Jaya Katwang!Kami sudah tak sabar lagi menunggu. Jangan tunggu sampai kami kehilangan kesabaran!" tandas lelaki berwajah hitam yang berjuluk Setan Ular Karang.
Jaya Katwang menghela napas berat seraya menatap wajah Setan Ular Karang sesaat. "Kalau begitu, mari ikut aku!"
Dengan sikap waspada dan agak bergegas tiga pentolan golongan hitam itu mengikuti Jaya Katwang dan Sumini yang melangkah lebih dulu. Sesampainya di depan pintu sebuah bangunan sederhana tempat kediamannya, Jaya Katwang menghentikan langkah.
"Kalian tunggu sebentar di sini! Karena tempat tinggal pusaka majikanku tidak boleh dimasuki orang lain kecuali keturunannya. Dan kalau kalian memaksa, biarlah aku bertindak bodoh dengan melawan kalian, setelah terlebih dulu kubunuh dia!" ucap kakek tinggi kurus itu seraya meletakkan tangan kanannya di ubun-ubun Sumini.
Kerbau Bertenaga Raksasa, Setan Ular Karang, dan Raja Sihir Berbaju Merah saling pandang sejenak. Lalu, perlahan Kerbau Bertenaga Raksasa menganggukkan kepala, menyetujui. Rupanya, lelaki berkepala botak ini secara tidak langsung telah didaulat rekan-rekannya untuk menjadi juru bicara.
"Kami tidak keberatan dengan usulmu itu, Jaya Katwang. Tapi, Sumini tidak boleh kau ajak serta! Ingat, kalau kau berani bertindak macam-macam gadis ini menerima akibatnya!" tandas Kerbau Bertenaga Raksasa mengancam.
Tanpa memberikan tanggapan sedikit pun, Jaya Katwang melangkah masuk. "Kau tunggu di sini, Sumini!" ujar Jaya Katwang sambil menoleh ke arah Sumini.
Sebelum Sumini memberikan jawaban, Setan Ular Karang telah berdiri di sebelahnya, bersiap untuk mencegah gadis berpakaian kuning itu melarikan diri. Sumini tidak berani berkutik. Dia menyadari tiga tokoh golongan hitam itu tidak segan-segan melakukan tindakan mengerikan apabila berani melakukan sesuatu yang mencurigakan mereka.
"Lepaskan gadis itu dulu, baru pusaka ini akan kuserahkan," seru Jaya Katwang begitu muncul di ambang pintu dengan sebuah buntalan kain lusuh berwarna kuning. Tanpa memberikan bantahan sedikit pun, Setan Ular Karang langsung mendorong tubuh Sumini. Gadis berpakaian kuning itu pun menghambur ke arah Jaya Katwang.
"Terima ini...!" Sambil berkata demikian, Jaya Katwang melemparkan buntalan kuning yang dijinjingnya. Lalu tangannya digunakan untuk memeluk Sumini.
Mereka saling berlomba, Setan Ular Karang, Kerbau Bertenaga Raksasa, dan Raja Sihir Berbaju Merah mengururkan tangan untuk menyambuti. Namun, karena Setan Ular Karang yang berada paling dekat dengan Jaya Katwang, dialah yang berhasil menangkapnya. Tapi....
"Setan Ular Karang berikan padaku!"
Pada saat yang bersamaan dengan itu, Kerbau Bertenaga Raksasa mengirimkan serangan berupa sapuan kaki kanan ke arah sepasang kaki Setan Ular Karang. Namun rupanya tokoh sesat bermuka hitam itu telah menduga. Dia segera melompat ke atas, kemudian ujung kakinya menendang ke arah tenggorokan Kerbau Bertenaga Raksasa.
"Ukh...!" Lelaki botak bertelanjang dada itu terpekik kaget. Kemudian melompat ke belakang untuk menghindarkan serangan itu.
Setan Ular Karang memang berhasil memaksa Kerbau Bertenaga Raksasa untuk mundur. Namun saat itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Sihir Berbaju Merah untuk merampas buntalan kain kuning.
Brettt!
"Keparat!" Setan Ular Karang memaki penuh perasaan geram melihat buntalan yang berisi pusaka peninggalan Raja Pedang Langit Bumi berpindah tangan.
Namun, di saat tubuh Raja Sihir Berbaju Merah masih berada di udara, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih memapaki. Lelaki berompi merah ini langsung mengetahui adanya ancaman terhadap buntalan di tangannya. Dan karena dua rekannya masih belum mungkin melakukan hal itu, pelakunya pasti Jaya Katwang. Maka dipercepat cekalannya terhadap buntalan kain itu.
Brettt!
Kain yang telah rapuh itu langsung robek-robek tak mampu menahan tarikan dua tangan bertenaga dalam tinggi yang memperebutkannya. Isi yang ada di dalam buntalan itu pun berjatuhan ke tanah.
Untuk yang kedua kalinya perlombaan memperebutkan isi buntalan kain kuning itu terjadi. Setan Ular Karang dan Kerbau Bertenaga Raksasa yang berada dalam kedudukan lebih menguntungkan, langsung meluruk ke arah jatuhnya isi buntalan kain kuning.
Kerbau Bertenaga Raksasa langsung melompat ke depan dan menggulingkan tubuhnya untuk mendekati pusaka yang diincarnya. Sedangkan Setan Ular Karang melesat ke atas laksana seekor burung garuda, dan dari sana menukik ke bawah!
"Ikhhh...!" Kerbau Bertenaga Raksasa yang hampir saja berhasil mencekal kitab, langsung menarik kembali tangannya sambil mengeluarkan pekik kengerian.
Karena Setan Ular Karang tahu kalau dirinya akan kalah, langsung melemparkan senjata andalannya. Seekor ular belang yang besarnya selengan manusia! Sehingga tidak ada satu pun yang berhasil mengambil kitab dan pedang yang tergolek di tanah. Karena masing-masing pihak tidak berani melakukannya, takut akan menjadi korban yang penyerang pihak lain. Beberapa saat keempat tokoh itu saling mengawasi satu sama lain sambil sesekali memperhatikan pusaka yang tergeletak di tanah.
"Mengapa kau hendak mengambil kembali pusaka yang telah kau berikan, Jaya Katwang! Apa kau hendak mengingkari janji yang telah kau ucapkan?!" lantang suara Kerbau Bertenaga Raksasa tanpa mengalihkan perhatian dari pusaka dan dua orang rekannya. Dirinya khawatir mereka akan mendahului mengambil pusaka itu, kalau sampai lengah sekejap saja.
"Aku telah memenuhi janjiku, menyerahkan pusaka itu pada kalian. Tapi, karena kulihat kalian memperebutkannya, kurasa tidak ada salahnya kalau aku ikut serta dalam perebutan ini!" jawab Jaya Katwang, kalem.
Kerbau Bertenaga Raksasa langsung terdiam karena menyadari kebenaran ucapan kakek tinggi kurus itu. Sekilas diliriknya tempat Sumini tadi berada. Ternyata tempat itu telah kosong. Rupanya ketika dia dan rekannya memperebutkan pusaka ini, Jaya Katwang yang cerdik telah menyuruhnya kabur.
Setan Ular Karang dan Raja Sihir Berbaju Merah pun tampaknya mengetahui siasat Jaya Katwang. Setelah ketiganya saling pandang sejenak, masing-masing menganggukkan kepala seperti telah mengambil sebuah persetujuan.
"Kau cerdik, Jaya Katwang! Rupanya kau bermaksud mencari kesempatan di dalam kesempitan! Mencoba memanfaatkan keadaan untuk mengambil keuntungan di saat kami tengah saling terpecah. Sayang, kami tidak sebodoh yang kau duga, Jaya Katwang! Hhh.... Ternyata kami harus menyingkirkanmu lebih dulu, Tua Bangka! Bukankah demikian, Setan Ular Karang, Raja Sihir Berbaju Merah?!"
"Tidak salah!" sahut Setan Ular Karang dan Raja Sihir Berbaju Merah hampir berbarengan seraya menganggukkan kepala.
"Aku sudah siap untuk kemungkinan itu! Majulah kalian semua!" tantang Jaya Katwang, mantap.
"Ha ha ha...!" Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa terbahak-bahak. "Kami bukan pengecut-pengecut yang hanya berani melakukan pengeroyokan, Jaya Katwang! Bukankah demikian, Setan Ular Karang?!"
Setan Ular Karang yang tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu, buru-buru menganggukkan kepala.
"Nah! Kau lihat sendiri kan, Jaya Katwang? Setan Ular Karang berani menghadapimu sendirian! Kalau begitu biar aku dan Raja Sihir Berbaju Merah yang menjadi saksi pertarungan kalian!" ujar Kerbau Bertenaga Raksasa lagi.
Setan Ular Karang menggertakkan gigi karena geram, merasa telah tertipu oleh Kerbau Bertenaga Raksasa. Dia diadu domba dengan Jaya Katwang! Tapi, apa boleh buat? Tidak mungkin dia mundur sekarang kalau tak ingin dicap pengecut!
Begitu melihat kesediaan Setan Ular Karang, Jaya Katwang segera mencabut pedangnya. Pelayan kepercayaan tokoh yang terkenal sebagai rajanya ilmu pedang itu merasa lebih berbesar hati bertarung mempergunakan senjata.
"Hm...! Bedebah...!" gumam Setan Ular Karang dalam hati. Setelah menarik napas, perlahan-lahan kedua tangannya yang terbuka disilangkan di depan wajah, lalu ditarik ke sisi pinggang. Bunyi berdesis dan menggetarkan, seperti suara belasan ekor ular yang tengah murka terdengar.
Sesaat kemudian, kedua tangan lelaki berwajah hitam legam ini mulai dari ujung jari sampai pergelangan tangan berubah menghitam! Inilah ilmu 'Ular Karang' yang menjadi andalannya.
Jaya Katwang tahu kalau lawan telah menggunakan ilmu andalan. Namun tak tampak perasaan gentar di wajahnya. Kakek tinggi kurus ini lalu menggerakkan pedangnya. Suara deru angin dari kibasannya terdengar seiring dengan berubahnya pedang itu menjadi sinar. Meluncur deras ke depan.
"Heaaa...!"
Tak! Tak! Tak!
"Heh...!"
Bunyi berdetak seperti benturan logam keras terdengar ketika Setan Ular Karang memapak serangan mata pedang lawan dengan tangan telanjang. Karuan saja hal ini membuat Jaya Katwang kaget bukan kepalang. Hatinya hampir tak percaya, melihat kedua tangan lawan tak mempan bacokan senjata tajam.
Walaupun demikian, Jaya Katwang tetap melanjutkan serangan. Sebagai seorang yang telah banyak makan asam garam, dia tahu kalau bagian lainnya belum tentu akan kebal juga. Maka segera dialihkan serangannya agar tidak berbenturan dengan kedua tangan lawan. Pertarungan sengit pun berlangsung.
Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat, maka pertarungan itu berlangsung cepat. Tubuh kedua tokoh berkelebatan ke sana kemari. Hanya bayangan putih dan coklat yang tampak saling belit, dengan sesekali terpisah. Namun kemudian telah saling gempur dengan kecepatan tinggi.
Tak terasa pertarungan telah berlangsung empat puluh jurus. Dan selama itu belum nampak adanya tandatanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Keduanya masih seimbang.
Kerbau Bertenaga Raksasa dan Raja Sihir Berbaju Merah menyaksikan jalannya pertarungan dengan penuh minat. Kedua tokoh ini merasa kagum akan kepandaian Jaya Katwang dan Setan Ular Karang. Keduanya tidak yakin kalau kepandaian yang dimiliki berada di atas tokoh-tokoh yang tengah bertarung itu.
"Heaaa...!"
"Hih!"
Pada jurus keenam puluh, Setan Ular Karang tiba-tiba mengibaskan tangannya. Seleret sinar kehitaman pun meluncur ke arah lawan, Jaya Katwang tampak tersentak kaget, tahu kalau sinar-sinar kehitaman itu ternyata ular-ular hitam yang mempunyai racun ganas. Dengan cepat pedangnya diputar untuk memapak!
"Heaaa...!"
Cra, crat, crat!
Ular-ular hitam kelam itu terbelah hingga menjadi beberapa potong ketika pedang Jaya Katwang menebasnya. Namun, Setan Ular Karang tidak mempedulikannya. Pada saat yang bersamaan dengan meluncurnya ular-ular itu kedua telapak tangannya dipukulkan bertubi-tubi ke dada Jaya Katwang!
Jaya Katwang kembali terkejut bukan kepalang. Namun sebisa-bisanya laki-laki itu berusaha mengandaskan serangan lawan dengan pedangnya.
"Hih...!"
Tak, tak, tak!
Bugkh!
"Akh!" Jaya Katwang menjerit tertahan ketika tangan kiri Setan Ular Karang menghantam telak dadanya, setelah beberapa pukulan sebelumnya berhasil ditangkis. Tubuh kakek tinggi kurus ini pun terjengkang ke belakang kemudian ambruk di tanah untuk selama-lamanya.
"Kakek...!" Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan ketakutan dari dalam pondok. Sesosok ramping berpakaian kuning menghambur lalu bersimpuh di dekat tubuh Jaya Katwang yang tergolek.
Setan Ular Karang, Kerbau Bertenaga Raksasa, dan Raja Sihir Berbaju Merah tersenyum gembira melihat kehadiran Sumini. Semula mereka menyangka gadis itu telah kabur.
Sebenarnya Sumini telah disuruh pergi oleh Jaya Katwang. Namun dirinya tak sampai hati meninggalkan kakek yang sangat disayanginya itu, menantang maut sendirian. Sumini tidak pergi justru mengintip semua kejadian itu dari dalam! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Sumini ketika melihat Jaya Katwang tewas. Sehingga dia tidak bisa menahan diri dan berlari keluar.
"Anak itu akan menjadi ancaman kelak, biar kuhabisi dia sekalian! Toh, kurasa janji kita telah tidak berlaku lagi karena Jaya Katwang sendiri telah membatalkannya!" ucap Setan Ular Karang seraya mengayunkan kaki menghampiri Sumini yang masih duduk bersimpuh.
"Tunggu, Setan Ular Karang!" cegah Raja Sihir Berbaju Merah sambil melompat menghadang. "Daripada kau bunuh percuma, lebih baik aku yang melakukannya!"
"Sesukamulah!" Setan Ular Karang mengangkat bahu. Lalu kembali ke tempat semula. Dia tahu, mengapa lelaki berompi merah itu mau mengambil alih tugas. Apalagi kalau bukan karena tertarik pada tubuh montok menggiurkan Sumini?
Raja Sihir Berbaju Merah mempunyai sifat mata keranjang. Jadi, sudah dapat diperkirakan kejadian yang akan menimpa Sumini sebelum dibunuh. Sambil tertawa terkekeh, Raja Sihr Berbaju Merah terus menghampiri Sumini. Sementara, gadis berpakaian kuning itu telah berhasil menguasai perasaan sedihnya. Perlahan-lahan tubuhnya berbalik dengan wajah beringas menatap Raja Sihir Berbaju Merah yang tengah mendekatinya.
"Lihat siapa aku, Sumini? Aku Jaya Katwang!" ucap Raja Sihir Berbaju Merah seraya menatap kedua bola mata Sumini dengan sorot mata mengandung suatu kekuatan aneh.
Wajah Sumini yang semula bengis dan penuh kebencian mendadak berubah redup dan memperlihatkan kesedihan. "Kakek...!" seru Sumini. Gadis itu langsung menghambur ke arah Raja Sihir Berbaju Merah yang telah menjelma menjadi Jaya Katwang. Kedua tangan terkembang menyambut Sumini.
Raja Sihir Berbaju Merah tersenyum gembira menyambut tubuh Sumini dengan pelukan erat. Dengan napas memburu Jaya Katwang penjelmaan itu menciumi dengan buas pipi, leher, dan bibir mungil Sumini.
Karuan saja Sumini kelabakan. Dia meronta tapi sia-sia. Pelukan kedua tangan Raja Sihir Berbaju Merah terlalu erat. Sumini semakin keras meronta ketika melihat orang yang memeluk dan menciuminya secara rakus ini bukan Jaya Katwang melainkan Raja Sihir Berbaju Merah. Sumini tiba-tiba tersadar, karena Raja Sihir Berbaju Merah tidak terus menekankan ilmu sihirnya. Lelaki berompi merah itu larut dalam amukan nafsu birahinya.
Brettt!
"Aaakh...!" Pakaian Sumini mulai dari bagian dada sampai pusar langsung koyak ketika tangan Raja Sihir Berbaju Merah merenggutnya. Sumini menjerit penuh perasaan ngeri.
Tubuhnya pun semakin kuat meronta-ronta. Namun tindakan Sumini tidak berarti sama sekali. Tanpa menemui kesulitan, Raja Sihir Berbaju Merah terus menjarah tubuh Sumini. Sekarang ciuman-ciumannya mulai turun ke leher. Ciuman campur gigitan gemas.
Satu tangan Raja Sihir Berbaju Merah memeluk tubuh Sumini. Sedangkan yang lain digunakan untuk melucuti pakaian calon korbannya diselingi dengan remasan-remasan terhadap dua bukit kembar di dada Sumini yang telah menyembul keluar.
Sumini memekik tertahan. Tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh telentang di tanah ketika Raja Sihir Berbaju Merah mendorongnya. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh lelaki berompi merah untuk membuka pakaian lalu menubruk Sumini.
"Binatang...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras diiringi angjn kencang menderu dan menghantam tubuh Raja Sihir Berbaju Merah yang tengah menindih Sumini. Tubuh lelaki berompi merah itu terpental ke samping dan terguling-guling di tanah. Namun dengan manis Raja Sihir Berbaju Merah mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar. Dengan cepat dia bangkit berdiri.
"Keparat! Orang gila dari mana yang berani mengganggu kesenanganku?!" seru Raja Sihir Berbaju Merah penuh perasaan geram.
"Menyingkirlah, Dik," terdengar suara memerintah Sumini agar menyingkir.
Dengan raut wajah merah padam dan sorot mata penuh kebencian terhadap Raja Sihir Berbaju Merah, Sumini bangkit dan bergegas lari ke dalam rumah. Sekilas matanya melihat orang yang telah memberikan pertolongan atas dirinya. Penolong Sumini ternyata seorang pemuda tampan berambut putih keperakan hingga ke pinggang. Tubuhnya yang kekar terbungkus pakaian warna ungu.
"Siapa kau, Anjing Kecil? Cepat katakan! Pantang bagiku membunuh orang yang tidak kukenal!" seru Raja Sihir Berbaju Merah dengan nada tinggi.
"Aku Arya, dan kesenanganku membunuh orang yang gemar bertindak biadab sepertimu! Memperkosa wanita tak berdaya!"
"Sombong! Kaulah yang akan mampus di tanganku, Pemuda Gila! Heaaa...!" Raja Sihir Berbaju Merah langsung mengirimkan tusukan dengan tangan kiri ke arah mata pemuda berambut keperakan itu.
Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Dewa Arak itu masih bersikap tenang. Padahal dia tahu lawannya memiliki kepandaian tinggi. Dari serangannya yang menimbulkan angin menderu keras menandakan terkandung tenaga dalam kuat Tanpa menggeser kaki, didoyongkan tubuhnya ke kiri sehingga serangan itu lewat di sebelah kanan wajahnya.
Tangan kanannya bergerak cepat menangkap pergelangan tangan lawan. Gerakan Dewa Arak yang sangat cepat membuat Raja Sihir Berbaju Merah tersentak kaget. Matanya membelalak dengan kening mengkerut, seakan tak percaya. Kemudian dengan gerak cepat, tapi terlambat, pergelangan tangannya telah lebih dulu tercekal oleh Dewa Arak. Meskipun demikian, lelaki berompi merah tetap tegar. Tak tampak sedikit pun perasaan gugup.
"Hih…!" Tangan kanannya dipukulkan ke dada Dewa Arak yang terbuka.
Deb!
"Heh...?!" Kali ini Raja Sihir Berbaju Merah tidak kuasa untuk menahan keluarnya jeritan. Tangannya menempel di dada lawan dan tak dapat ditarik kembali. Namun Raja Sihir Berbaju Merah tidak kehilangan akal.
"Arya, lihat siapa aku? Berani kau melakukan hal seperti ini pada gurumu?" ucap lelaki berompi merah ini seraya mengerahkan seluruh kekuatan ilmu sihir yang dimilikinya. Dia menyadari kalau lawan kali ini tidak akan dapat dipengaruhi segampang Sumini.
"Hah...?!" Dewa Arak tersentak kaget ketika melihat yang dicekal ternyata lengan gurunya. Bagai disengat ular berbisa, pemuda beramput putih keperakan itu segera melepaskan cekalan dan kekuatan menyedotnya, lalu melompat ke belakang. Kesempatan itu pun segera dipergunakan Raja Sihir Berbaju Merah untuk melompat ke belakang pula.
Sekarang Arya baru melihat kalau yang berdiri di belakangnya bukan Ki Gering Langit, gurunya, melainkan Raja Sihir Berbaju Merah. Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang pengalaman, dia segera sadar kalau lawannya menggunakan ilmu sihir. Maka dia berusaha untuk tidak menatap mata lawannya.
Sementara itu, Kerbau Bertenaga Raksasa dan Setan Ular Karang yang telah memperhatikan jalannya pertarungan segera tahu kalau pemuda berambut putih keperakan itu merupakan lawan yang amat tangguh.
Mendadak Setan Ular Karang melesat ke arah kitab milik Raja Pedang Langit Bumi yang masih tergeletak di tanah, dan menyambarnya. Kemudian membawanya kabur. Kerbau Bertenaga Raksasa tentu saja tidak mau membiarkan hal itu.
"Setan licik! Jangan harap niatmu yang busuk itu akan berhasil!" seru lelaki berkepala botak itu seraya melesat mengejar.
Tindakan yang sama dilakukan Raja Sihir Berbaju Merah. Namun, hanya dengan sekali menggerakkan tubuh, Dewa Arak telah berdiri menghadangnya.
"Jangan harap aku akan membiarkan orang sepertimu hidup lebih lama di dunia!" ujar Dewa Arak penuh tekanan.
Raja Sihir Berbaju Merah menggeram karena tahu tak akan dapat meloloskan diri dari Dewa Arak. Dia memutuskan untuk melakukan perlawanan mati-matian. Namun, mendadak mulutnya menyeringai seperti merasa kesakitan. Lalu, kedua tangannya saling menggaruk. Yang kanan menggaruk telapak tangan kiri dan sebaliknya.
Karuan saja Dewa Arak merasa heran melihat tindakan Raja Sihir Berbaju Merah. Dia merasa curiga kalau hal ini hanya merupakan siasat lawan, maka kewaspadaannya tetap tak ditinggalkan. Namun, kecurigaannya semakin memupus ketika melihat garukan Raja Sihir Berbaju Merah tidak hanya pada bagian itu, tapi juga mengarah pada mulutnya.
"Ah...!" Tanpa sadar Arya mengeluarkan jeritan bernada kaget ketika melihat kedua telapak tangan dan mulut Raja Sihir Berbaju Merah mulai menghitam. Gosong! Seakan-akan terbakar sesuatu. Dan sekarang, lelaki berompi merah itu mulai mengerang-erang sambil terus menggaruk tubuhnya yang lain.
Tindakan Raja Sihir Berbaju Merah tak berlangsung lama. Sesaat kemudian tubuhnya ambruk ke tanah. Nyawanya melayang seketika. Setelah menunggu beberapa saat tubuh Raja Sihir Berbaju Merah tidak bergerak lagi, Dewa Arak menghampirinya. Memeriksanya dari jarak dua tombak.
Hanya sekilas hal itu dilakukannya. Dewa Arak segera bisa mengetahui kalau Raja Sihir Berbaju Merah tewas karena racun yang amat ganas. Tapi, siapa yang telah melakukan hal keji ini?
"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas berat. Lalu diarahkan pandangannya ke pondok dibelakangnya, tempat Sumini tadi masuk. Ditunggunya beberapa saat agar gadis berpakaian kuning itu keluar. Namun tidak nampak adanya tanda-tanda kalau Sumini akan keluar.
"Sumini...!" panggil Dewa Arak pelan seraya mengawasi pintu pondok.
Tidak ada tanggapan sama sekali. Jangankan muncul, sahutan pun tidak. Perasaan tidak enak pun menyeruak di hati Arya. Khawatir kalau-kalau di saat dia tengah terlibat pertarungan, ada orang yang memanfaatkan kesempatan untuk mencelakai gadis itu. Padahal, dia telah berjanji pada Raja Pedang Langit Bumi untuk menjaga Sumini hingga gadis itu kembali seperti sedia kala.
Setelah menunggu beberapa saat Sumini tidak juga muncul, Dewa Arak tidak sabar. Dengan sekujur urat-urat syaraf menegang waspada, dilangkahkan kakinya menuju pondok.
"Sumini...!" Untuk yang kedua kalinya, Arya memanggil putri Raja Pedang Langit Bumi itu. Kali ini dengan perasaan cemas karena ruang tengah dan kamar-kamar yang diperiksanya kosong. Tidak terlihat adanya tanda-tanda keberadaan Sumini.
"Sumini...! Aku Arya! Disuruh ayahmu untuk menyampaikan hal penting. Keluarlah dan jangan bersembunyi!" seru Arya lagi dengan suara lebih keras, sambil menyinggung-nyinggung nama Raja Pedang Langit Bumi. Karena ada sekelumit dugaan menyelinap di hati Arya kalau Sumini takut menjumpainya dengan alasan dirinya termasuk orang yang bermaksud jahat.
Setelah mencari akal lagi dan tidak juga menjumpai Sumini, Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu. Pantang baginya meremehkan amanat yang diberikan orang. Apalagi orang yang memberikan amanat itu telah meninggal dunia!
Dugaan Arya tidak keliru. Sumini memang menghindarinya. Sumini mengira kalau Arya sama dengan tiga tokoh golongan hitam yang hendak merampas pusaka.
Namun banyak alasan yang membuatnya menghindari pemuda berambut putih keperakan itu. Rasa malu karena Arya telah melihatnya dalam keadaan tanpa pakaian adalah penyebab utamanya. Sedangkan hal lainnya, keinginannya untuk menjumpai sang Ayah dan menceritakan nasib yang menimpa Jaya Katwang.
Sumini kabur melalui pintu belakang karena khawatir bentrokan dengan Dewa Arak. Mula-mula dia mengendap-endap. Ketika telah melewati jalan setapak yang di kanan kirinya tumbuh pepohonan dan semak-semak cukup lebat, Sumini mulai mempergunakan ilmu lari cepatnya.
Namun beberapa kali, larinya harus diperlambat karena keadaan jalan yang licin dan harus menembus kelebatan pepohonan. Memang, tempat tinggal Raja Pedang Langit Bumi dekat dengan hutan.
Sumini berlari dengan sepenuh tenaga karena keinginan untuk cepat-cepat menjauhkan diri dari Dewa Arak untuk segera bertemu dengan ayahnya. Namun, mendadak larinya dihentikan, sepasang matanya menatap tajam ke depan.
Tampak oleh Sumini, dari jarak sekitar tiga puluh tombak belasan orang mengenakan pakaian seragam prajurit. Sumini memperhatikan lebih teliti untuk mencari ketegasan kalau rombongan prajurit itu berasal dari Kerajaan Samodra.
Seragam yang mereka kenakan diketahuinya betul. Sebuah keberuntungan bagi Sumini karena dia berada di tempat yang tinggi, sedangkan belasan orang prajurit itu berada di dataran rendah. Tempat putri Raja Pedang Langit Bumi berada merupakan sebuah hamparan tanah berumput. Pada beberapa bagian terdapat pepohonan dan semak-semak lebat. Sehingga memungkinkan baginya bersembunyi untuk mengawasi mereka.
Wajah Sumini berubah ketika melihat arah yang ditempuh rombongan prajurit itu adalah tempat yang ditinggalkannya. Jadi dia dan rombongan prajurit itu akan berpapasan di tengah jalan, Sumini tidak menghendaki hal itu terjadi karena dia tahu prajurit-prajurit Kerajaan Samodra itu akan menangkap apabila melihatnya.
Hatinya yakin kehadiran rombongan prajurit itu karena hendak menangkap ayahnya dan dia. Memang, keluarganya telah menjadi buronan sejak sang Ayah memutuskan untuk memihak kaum Brahmana!
Itulah sebabnya, Sumini bergegas melesat ke salah satu kerimbunan semak yang ada di sebelah kirinya, dan bersembunyi di sana. Dia tahu kalau rombongan prajurit itu bukan orang-orang rendahan. Hiasan-hiasan pada bagian leher dan seragam yang dikenakan, menunjukkan kalau rombongan itu terdiri dari orang-orang pilihan. Terutama sekali dua orang yang berada paling depan.
Sumini tidak berani bertindak gegabah. Diusahakannya untuk tidak menimbulkan bunyi yang dapat menimbulkan kecurigaan. Bahkan bernapas pun dia berhati-hati sekali, khawatir terdengar rombongan prajurit Kerajaan Samodra yang semakin dekat jaraknya.
"Tak lama lagi selesailah tugas kita. Hanya tinggal menangkap hidup atau mati putri Raja Pedang Langit Bumi," ucap salah soerang dari rombongan prajurit yang berjalan paling depan. Dia bertubuh kecil kurus, tapi memiliki sepasang mata tajam, berkilat.
"Benar," sahut sosok yang berjalan di sebelahnya, bertubuh tegap dan berkulit kemerahan. "Sayang, mayatnya tidak dapat kita bawa ke istana sebagai bukti kepada Gusti Prabu Pancanala. Pemuda berambut putih keperakan itu terlalu cepat untuk dapat kita kejar. Aku jadi penasaran padanya."
"Hukh!" Sumini merasakan dadanya sesak bukan kepalang seakan-akan telah habis diseruduk seekor kerbau liar. Percakapan kedua orang yang ada dalam rombongan Kerajaan Samodralah yang menjadi penyebabnya. Percakapan kedua orang itu memang sampai ke telinganya, karena tepat berada di dekatnya.
Keterkejutan akibat mendengar berita ini membuat Sumini tanpa sadar menginjak dedaunan kering. Pelan saja bunyinya, tapi cukup keras bagi dua orang yang menjadi pemimpin rombongan Kerajaan Samodra itu.
"Maling hina, tunjukkan dirimu!" Sambil berkata demikian, lelaki kecil kurus mengibaskan tangan kanannya. Seketika beberapa bilah benda berkilat meluncur ke arah semak-semak tempat persembunyian Sumini.
Srak! Srak! Srak!
Tiga bilah pisau berkilat yang dilemparkan lelaki kecil kurus itu amblas ke dalam semak-semak. Namun tidak terdengar jeritan apa pun karena Sumini telah lebih dulu melompat keluar dari situ.
"Ha ha ha...!" lelaki kecil kurus itu tertawa terbahak-bahak ketika melihat sosok yang sekarang telah berada di hadapannya. "Sungguh tak kusangka kalau kami akan menemukanmu di sini. Tak perlu bersusah payah ke rumahmu.... Menyerahlah, Pemberontak Hina sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan!"
"Jangan mimpi, Anjing Penjilat! Kaulah yang harus melepaskan kepalamu sekarang!"
Sumini melompat menerjang seraya menusukkan pedangnya ke arah ulu hati lelaki kecil kurus. Lelaki kecil kurus itu menangkisnya dengan pisau putih berkilat yang sejak tadi memang telah dipegangnya.
Trang!
Bunyi berdentang keras terdengar ketika pedang dan pisau berbenturan menimbulkan percikan bunga api. Tubuh Sumini terjengkang ke belakang. Senjatanya terlepas dari pegangan karena sekujur tangannya dirasakan bagaikan lumpuh seketika.
Kesempatan itu dipergunakan oleh seorang prajurit untuk meringkus Sumini. Rupanya dia tak ingin menyianyiakan tubuh Sumini yang ramping dan menggiurkan. Maka prajurit yang mata keranjang itu meluruk dan memeluk tubuh Sumini erat-erat. Namun....
"Wuaaa...!" Prajurit itu menjerit keras dan menyayat ketika kedua lengannya melingkari tubuh Sumini yang ramping. Tubuh montok itu langsung dilepaskannya. Dan wajahnya yang tadi menciumi sekujur wajah Sumini dengan buas tampak menghitam seperti terbakar.
Sambil mengerang-erang kesakitan prajurit itu menggunakan kedua tangan untuk menggaruki wajahnya yang gosong. Karena di samping hangus, rasa gatal yang hebat menggerayangi sekujur wajahnya. Akibat yang lebih mengerikan pun terjadi, kedua tangannya yang dipakai menggaruk, berubah hitam! Sesaat kemudian, tubuhnya ambruk dalam keadaan tanpa nyawa.
Kejadian ini membuat rombongan prajurit kerajaan terkejut bukan kepalang. Mereka terlongong bengong seperti melihat hantu, dengan sorot mata memanearkan kengerian.
"Menyingkir semua...! Biar aku yang membunuh iblis keji ini...!"
Saat itulah terdengar bunyi meledak-ledak keras, disusul dengan meluncurnya sinar kemerahan ke arah ubun-ubun Sumini. Padahal saat itu putri Raja Pedang Langit Bumi ini tengah merasa heran melihat kejadian yang menimpa prajurit mata keranjang itu.
Ctarrr!
Sinar kemerahan yang ternyata sebuah cambuk, langsung meledak di udara. Tidak pada sasaran yang dituju. Ketika ujung cambuk hampir mengenai ubun-ubun Sumini, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan ungu. Dengan kecepatan luar biasa hingga tak tertangkap pandangan mata biasa, sosok itu menyambar titbuh Sumini.
"Keparat!" Lelaki bermuka kemerahan menggeram murka mengetahui ada orang yang menyelamatkan calon korbannya. Dengan geram pandangannya dialihkan ke arah sosok ungu itu melesat. Dan baik dia maupun rombongan langsung melihatnya. Orang yang baru saja mereka percakapkan, Dewa Arak.
"Menyingkirlah, Sumini! Biar aku yang menghadapinya," ucap Arya seraya menurunkan tubuh gadis berpakaian kuning itu. Lalu tanpa mempedulikan Sumini, Dewa Arak segera menghadapi rombongan prajurit Kerajaan Samodra yang telah mengurungnya dengan senjata di tangan.
"Siapa kau, Anak Muda? Apakah kau salah satu dari para pemberontak itu?! Jangan harap dapat lolos dari tangan kami!" ancam lelaki berkulit kemerahan.
"Menyingkirlah dari sini! Dan serahkan mayat Raja Pedang Langit Bumi, baru keselamatanmu akan kami pertimbangkan," tambah lelaki kecil kurus seraya menimang-nimang dua bilah pisau di tangannya.
"Manusia-manusia berhati binatang!" ucap Arya dengan suara berat karena amarah yang bergolak, menyaksikan ketelengasan sikap lelaki berkulit kemerahan itu. Sekejap saja tadi dia terlambat, nyawa Sumini pasti melayang. Kekejaman tindakan orang-orang Kerajaan Samodra ini membuat Dewa Arak memutuskan untuk menentang. "Jangan harap aku akan memenuhi permintaan gila kalian! Lebih baik menyingkirlah, sebelum aku terpaksa mengusir kalian dari sini dengan kekerasan!"
"Pemberontak Hina, mampuslah kau!"
Ctar, ctar, ctar...!
Cambuk merah panjang di tangan lelaki berkulit kemerahan melecut, seperti halilintar menyambar-nyambar ke arah kepala Dewa Arak.
"Hea!"
Trap!
Unjung cambuk itu tersambar di tangan Dewa Arak yang memapaknya. Dengan cepat dicengkeramnya ujung cambuk, lalu ditarik. Tentu saja lelaki berkulit kemerahan itu tidak membiarkan senjata andalannya itu dirampas oleh lawan yang telah membetotnya. Keduanya saling bersitegang. Cambuk yang terbuat dari bahan ulet dan dapat mulur itu meregang, dan tiba-tiba Arya melepaskannya.
Sing!
"Heh...?!" Bunyi berdesing nyaring terdengar ketika ujung cambuk itu menyambar ke arah muka pemiliknya sendiri. Lelaki berkulit kemerahan terkejut bukan kepalang. Dengan cepat dia merendahkan tubuh sehingga lesatan ujung cambuk itu lewat di atas kepalanya.
"Serang...!"
"Bunuh dia...!"
Sebelum Dewa Arak melancarkan serangan susulan, lelaki kecil kurus dan anak buahnya langsung melancarkan serangan. Sehingga pemuda berambut putih keperakan itu mengalihkan perhatiannya. Karena dihujani berbagai macam senjata yang memburu tubuhnya.
Melihat keadaan yang sangat berbahaya, Dewa Arak langsung mempertunjukkan kemampuannya. Semua serangan yang mengancam, dipapaknya dengan tangan telanjang. Bunyi berdetak nyaring mengiringi berbenturannya tangan dan kaki Dewa Arak dengan senjata-senjata pengeroyoknya.
Setiap kali tangan atau kakinya menangkis, selalu membuat penyerangnya sendiri yang terpental ke belakang. Namun, kekerasan hati para prajurit Kerajaan Samodra itu memang patut diacungi jempol. Setiap kali mereka terlempar, setiap kali pula kembali menerjang, meskipun untuk itu tubuhnya kembali terlempar.
Karena tahu kalau di antara rombongan itu hanya lelaki kecil kurus dan lelaki berkulit kemerahan yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi, Dewa Arak terus mencecar dengan melancarkan serangan yang lebih keras pada keduanya.
Meskipun demikian, pemuda berambut putih keperakan itu tidak mau menjatuhkan tangan kejam pada lawan-lawannya. Disadari kalau mereka hanya orang-orang yang melakukan perintah pimpinan. Lagi pula tidak terbukti kalau mereka melakukan tindakan kejam, kecuali lelaki berkulit kemerahan. Itulah sebabnya, Dewa Arak selalu menjaga agar tangkisan atau serangannya tidak terlalu keras untuk mereka.
Pertarungan berlangsung kurang menarik karena keadaan para prajurit Kerajaan Samodra itu bagaikan sekelompok semut yang menerjang api. Mereka roboh sebelum sempat mencapai sasaran. Tak sampai tiga puluh jurus, tubuh-tubuh mereka telah bergelimpangan di tanah, tak mampu bangkit lagi hanya bisa mengeluarkan keluhan kesakitan.
"Aku tak punya urusan dengan kalian. Maka menyingkirlah dari sini!" ucap Dewa Arak penuh perasaan wibawa, seraya menatap sosok-sosok yang bergelimpangan di sekelilingnya.
Lelaki kecil dan lelaki berkulit kemerahan tahu kalau Dewa Arak terlalu kuat untuk dilawan. Maka setelah berhasil bangkit, meskipun dengan agak payah, segera memberi isyarat agar mundur pada rombongannya. Dihampirinya lelaki berkulit kemerahan itu, lalu dipapahnya untuk meninggalkan tempat Lelaki itulah yang menderita luka paling parah.
Arya hanya menatap rombongan prajurit Kerajaan Samodra yang melangkah terseok-seok meninggalkannya. Dan ketika pandangannya dialihkan, tampak Sumini tengah menatapnya. Kemudian diayunkan langkahnya mendekati gadis itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap Sumini seraya menundukkan kepala. Dia masih malu mengingat Arya telah menjumpainya dalam keadaan tanpa berpakaian.
"Lupakanlah, Sumini!" ujar Arya perlahan, tidak merasa heran mengetahui Sumini telah mengenalnya. Dia menduga gadis itu telah mendengar percakapannya dengan Kerbau Bertenaga Raksasa dan rekan-rekannya.
"Dewa Arak...," ucap Sumini tersendat-sendat dengan sepasang mata merembang berkaca-kaca. "Aku ingin mengajukan pertanyaan padamu. Boleh?"
"Silakan, Sumini," jawab Arya agak terharu. Dia bisa memperkirakan pertanyaan Sumini melihat sikapnya yang sedih.
"Be..., benarkah ayahku telah tewas...?" tanya Sumini lagi dengan suara yang semakin terbata-bata. Bahkan sepasang bibirnya pun tampak bergetar.
"Hhh...!" Setelah terlebih dulu menghembuskan napas berat, Dewa Arak menganggukkan kepalanya secara perlahan-lahan. Dia tahu tidak ada gunanya menyimpan rahasia itu. Lebih cepat Sumini mengetahui nasib ayahnya, lebih baik.
"Ayaaah...!" desah Sumini seraya mendekapkan kedua tangan di dengan wajahnya yang tertunduk. Ada air bening mengalir keluar dari celah-celah jarinya.
Arya membiarkan saja gadis itu menangis. Bahkan dia memberinya kesempatan dengan membalikkan tubuhnya membelakangi agar gadis itu tidak malu. Namun sempat dilihatnya tubuh Sumini terguncang-guncang karena tangis yang ditahan.
Setelah beberapa saat lamanya tidak terdengar bunyi tangisan, Arya membalikkan tubuh. Dilihatnya Sumini masih seperti semula, tubuhnya terguncang-guncang dan air mata bercucuran dari celah-celah jari kedua tangan. Rupanya gadis itu berusaha keras untuk menahan agar tangisnya tidak keluar. Arya melangkah menghampiri. Pelan-pelan karena khawatir mengejutkan Sumini.
"Jangan kau tahan tangismu, Sumini! Keluarkanlah! Karena dengan menangis tekanan batin yang menghimpitmu akan berkurang. Tak usah kau menahannya," ucap Arya lembut.
Ucapan Arya bagaikan minyak menyambar api. Seketika tangis Sumini langsung meledak. Memang, saat itu Sumini membutuhkan orang yang dapat dijadikannya tempat mencurahkan perasaan sedih dan mengasihi kemalangannya. Setelah beberapa saat lamanya Dewa Arak menunggu, akhirnya tangis Sumini mulai mereda.
"Maafkan aku, Dewa Arak. Aku telah merepotkan dirimu...," ucap Sumini serak karena cukup lama menangis.
"Tidak usah kau pikirkan itu, Sumini. Aku merasa gembira dapat menolongmu karena dapat memenuhi amanat yang diberikan ayahmu sebelum meninggal. Beliau memintaku membawamu kepada Empu Pradaga. Beliau berdiam di salah satu goa di sebelah selatan Gunung Anjasmoro ini."
Sumini tidak langsung memberikan tanggapan. Ditatapnya wajah Dewa Arak yang tengah menatapnya karena menunggu jawaban dari mulutnya.
"Terima kasih atas jerih payahmu, Dewa Arak. Tapi.... Sebelum aku pergi dan ikut denganmu ke tempat ringgal Empu Pradaga, aku ingin mendengar secara jelas bagaimana kematian ayahku. Beliau memiliki kepandaian amat tinggi, Dewa Arak. Dan, belum pernah terkalahkan. Aku tidak percaya ada orang yang mampu membunuhnya!"
Dewa Arak menatap wajah Sumini lekat-lekat. Sikapnya terlihat sungguh-sungguh. "Kuakui. Aku percaya kepandaian ayahmu amat tinggi, dan jarang ada yang dapat menandinginya. Tapi, asal kau tahu saja, banyak tokoh dari persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Dan mungkin ayahmu harus menghadapi tokoh yang lebih tinggi ilmu dan kedigdayaannya. Sehingga ayahmu menemui ajalnya...."
"Jadi.... Kau tidak tahu orang yang telah membunuh ayahku, Dewa Arak?" tanya Sumini, tanpa menyembunyikan rasa kecewanya. Semula disangkanya Dewa Arak tahu pembunuh ayahnya.
"Sayang sekali, begitu kutemukan ayahmu tengah sekarat. Dan dia hanya menyebut namamu. Tak jauh dari tempat kejadian kutemukan segulung surat yang berisikan pesan agar.... Maaf, Sumini aku telah lancang membukanya. Untuk jelasnya silakan kau baca saja surat ini!" ujar Arya seraya menyerahkan gulungan daun lontar pada Sumini.
Tanpa bicara apa pun, Sumini menerima surat itu dan membacanya.
Sumini, Anakku....
Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap diriku, kuharap kau pergi dan meminta perlindungan pada Empu Pradaga di sebelah selatan Gunung Anjasmoro ini.
Ayahmu,
Raja Pedang Langit Bumi.
"Ayah...!" seru Sumini dengan suara serak karena rasa sedih yang menyeruak ke dalam hatinya. Gadis itu tak tahan mengenangkan sang Ayah yang telah pergi untuk selamanya.
Dewa Arak membiarkan Sumini tenggelam dalam alun kesedihannya beberapa saat. "Sekarang kau mengerti mengapa aku harus membawamu kepada Empu Pradaga, Sumini? Dan, o ya..., ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Apakah kau tahu kalau dalam tubuhmu tersembunyi racun ganas yang membahayakan orang lain, tapi anehnya tidak berpengaruh sedikit pun pada dirimu?!"
"Jadi.... Itulah sebabnya prajurit kerajaan itu tewas setelah memeluk diriku?" sahut Sumini masih serak suaranya. "Aku..., aku sama sekali tidak mengetahui hal itu, Arya."
"Bukan hanya prajurit itu, Sumini. Tapi juga Raja Sihir Berbaju Merah. Hanya saja karena tenaga dalam Raja Sihir Berbaju Merah lebih kuat, dia mampu bertahan lebih lama," jelas Arya, panjang lebar. "Kalau saja aku tidak melihat sendiri nasib prajurit yang tewas secara mengerikan tadi, mungkin teka-teki kematian Raja Sihir Berbaju Merah, tidak akan terjawab olehku. Ada apa..., Sumini?"
"Ah..., eh... tidak ada apa-apa, Dewa Arak," jawab Sumini agak gugup, seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Dewa Arak diam, tidak ingin mendesak lagi setelah mendengar jawaban itu. Tadi dia menanyakan hal itu karena dilihatnya Sumini tengah termenung. Seperti ada sesuatu yang dipikirkannya. Namun, tentu saja meskipun yakin ada yang disembunyikan, Arya tidak mengajukan ketidakpercayaannya atas jawaban yang diberikan Sumini.
"Kau tahu, mengapa racun ganas itu bisa berada di dalam dirimu tanpa mencelakaimu, Sumini?"
"Tidak, Dewa Arak," jawab Sumini.
Lagi-lagi jawaban yang diberikan Sumini membuat kecurigaan Dewa Arak semakin besar. Sebab dia tahu, meskipun tidak mengatakannya, Sumini tidak memusatkan perhatian pada percakapan mereka. Ada sesuatu yang tengah mengganggu pikiran gadis itu. Namun yang jelas masalah ayahnya.
"Tapi, kurasa ayahmu tahu, Sumini," lanjut Arya dengan sikap seolah-olah tidak tahu kalau Sumini tidak memperhatikan percakapan yang tengah berlangsung. "Itulah sebabnya dia bermaksud membawa pada Empu Pradaga. Aku yakin, kakek itu yang diandalkan ayahmu untuk mengobati penyakitmu yang aneh ini. Hhh...! Kalau tak melihatnya sendiri aku tidak percaya ada racun yang bersarang di tubuh orang dan mampu melukai orang lain. Tanpa melukai tubuh orang tempatnya bersarang. Seakan-akan kau ini ular atau binatang berbisa lainnya."
Usai berkata demikian, Dewa Arak menolehkan kepala ke belakang karena mendadak mendengar adanya bunyi mencurigakan. Pendengarannya ternyata tidak salah. Dalam jarak sekitar lima tombak di belakangnya, berdiri dengan bersandar pada sebatang pohon, seorang nenek berpakaian serba hitam. Tubuhnya terbalut pakaian hitam, mengenakan topi berbentuk kerucut dan sebatang payung terkepit di ketiak kanannya.
"Hik hik hik...!" nenek berpakaian hitam itu tertawa mengikik. "Tak kusangka di tempat seperti ini akan menemukan seorang hidung belang yang tengah merayu korbannya!"
Wajah Dewa Arak kontan berubah. Meskipun nenek itu tidak menunjukkan ucapannya, tapi bisa diketahuinya kalau dirinyalah yang dimaksud.
"Mulutmu ternyata tajam sekali, Nek. Tidak sepantasnya ucapan seperti itu keluar dari mulut orang setua dirimu!" sahut Dewa Arak berusaha sekuat tenaga untuk menahan amarah, agar ucapannya tidak menandakan kemarahan.
"Kau masih mau menyangkal, Hidung Belang?! Rupanya kau ingin dihajar dulu baru mengaku?! Baiklah kalau itu yang kau mau!"
Belum lagi lenyap ucapannya, nenek berpakaian hitam itu telah menubruk Dewa Arak dengan sebuah tusukan payung ke arah perut. Namun, dengan melompat ke belakang, Dewa Arak telah berhasil membuat serangan itu mengenai tempat kosong. Kemudian, dengan cepat mengirimkan tendangan kaki kanan ke leher perempuan tua itu.
"Akh!" Dewa Arak mengeluarkan pekikan tertahan. Kakinya membalik ketika nenek berpakaian hitam itu membuka payung untuk menangkal serangan lawan. Ketika tubuh pemuda berambut putih keperakan agak terhuyung, nenek itu kembali melancarkan serangan dengan sebuah tusukan ke ulu hati, pusar, dan dada secara bertubi-tubi.
Meskipun berada dalam keadaan kurang menguntungkan, Dewa Arak masih berhasil mengelakkan serangan itu. Bahkan cepat mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat.
Beberapa saat kemudian kedua belah pihak telah terlibat dalam pertarungan sengit. Pada jurus-jurus awal Dewa Arak mengalami sedikit kesukaran menghadapi nenek berpakaian hitam itu. Senjata payung itulah yang membuatnya kelabakan, karena dengan cepat menguncup dan membuka seiring dengan serangan yang dilancarkan Dewa Arak. Dengan jurus seperti itu seakan memiliki pasangan senjata pedang dan perisai.
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh, mulai terlihat adanya perimbangan kekuatan. Kedua belah pihak mampu melancarkan serangan jumlah serangan yang sama. Saling serang dan menangkis. Padahal Dewa Arak belum mengeluarkan ilmu andalannya. Baik nenek bersenjata payung maupun Dewa Arak tampak berusaha saling mendesak pertahanan lawan. Hingga pada jurus kelima puluh, pertarungan belum berubah. Imbang. Belum tampak adanya tanda-tanda siapa yang bakal menang.
Mendadak nenek berpakaian hitam melancarkan tusukan beruntun dengan ujung payungnya. Sehingga memaksa Dewa Arak melompat menjauh. Namun, nenek berpakaian hitam itu tidak melancarkan serangan lanjutan. Dia melompat jauh ke belakang dan melesat meninggalkan Dewa Arak. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
Dewa Arak yang memang tidak bemiat mencari permusuhan tidak menghalangi. kepergian nenek itu. Setelah yakin musuhnya tidak kembali lagi untuk melancarkan serangan, ditolehkan kepalanya untuk membagi perhatian pada Sumini,
"Heh...?!" Namun, betapa terkejutnya Dewa Arak ketika mendapati Sumini tidak berada di tempat. Rasa penasaran membuat pemuda berambut putih keperakan itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Namun tetap saja tidak menemukan adanya gadis berpakaian kuning itu.
"Sumini...!" seru Dewa Arak seraya melangkahkan kakinya secara serampangan, karena tidak tahu ke mana Sumini lenyap. Lagi pula dia tidak tahu apakah Sumini pergi sendiri atau diculik orang lain.
Sambil terus berseru, tanpa tujuan yang jelas Dewa Arak mencari-cari Sumini. Dia merasa bertanggung jawab atas nasib gadis itu, meskipun Raja Pedang Langit Bumi tidak memesannya secara langsung. Namun, demi ketenteraman roh Raja Pedang Langit Bumi, dirinya berniat menyelamatkan Sumini sampai berada di tangan Empu Pradaga.
Sementara itu Sumini telah berada jauh dari tempat Dewa Arak. Gadis itu melarikan diri ketika Dewa Arak tengah terlibat pertarungan dengan nenek berpakaian hitam. Dia menunggu sampai pemuda berpakaian ungu itu benar-benar lengah. Dengan mengendap-endap dia meninggalkan tempat itu. Ketika telah berjarak cukup jauh baru berlari dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya.
Entah berapa lama berlari, Sumini tidak mengetahuinya. Namun yang jelas, larinya terhenti ketika mendengar bunyi tawa mengikik yang dikenalnya, karena tawa itu baru saja didengar. Tawa nenek berpakaian hitam.
Sumini bermaksud menolehkan kepala ke belakang, arah asal suara itu. Namun, maksudnya diurungkan karena melihat kelebatan bayangan hitam melesat dari belakang, melewatinya. Dan ketika diarahkan pandangannya ke depan, tepat di hadapannya telah berdiri nenek berpakaian hitam yang tadi bertarung dengan Dewa Arak.
"Syukurlah kau dapat bertindak cepat, Sumini," ucap nenek berpakaian hitam dengan nada suara seperti orang yang telah lama mengenal gadis berpakaian kuning itu.
"Bukankah ini semua sesuai dengan siasatmu pula, Nek?!" Sumini balas memuji. "O ya, bagaimana dengan Dewa Arak? Apakah kau berhasil merobohkannya?"
"Hik hik hik...!" Nenek berpakaian hitam tertawa mengikik dan tersenyum menggoda karena merasakan adanya nada kekhawatiran dalam ucapan Sumini.
"Kau tidak usah khawatir, Cucuku. Dewa Arak tidak apa-apa. Dia lihai sekali. Lagi pula, andaikata aku mampu merobohkannya, tak akan mungkin kulukai orang yang telah berjasa menolongmu berkali-kali itu," ucap nenek berpakaian hitam bernada menghibur.
"Kau..., kau mengetahui semua itu, Nek?" tanya Sumini setengah tidak percaya.
"Tentu saja!" sahut nenek berpakaian hitam, tegas. "Sayang, kedatanganku terlambat hingga tidak sempat mencegah mereka membunuh Jaya Katwang, suamiku! Tapi, aku sempat melihat tindakan Raja Sihir Berbaju Merah terhadap dirimu, hanya saja aku sengaja membiarkannya. Sebab aku mempunyai sebuah rencana terhadapmu!"
"Rencana?!" ulang Sumini dengan alis ber-kerut.
"Rencana apa, Nek?!"
"Baiknya kuceritakan secara lengkap saja agar kau tidak terus bertanya-tanya dan masalahnya menjadi jelas," ucap nenek berpakaian hitam yang ternyata nenek Sumini.
Sebab nenek itu ibu kandung Raja Pedang Langit Bumi. Kemudian secara singkat tapi jelas, nenek berpakaian hitam itu menceritakan semuanya. Berkali-kali Sumini yang mendengarkan cerita itu mengeluarkan jeritan kaget karena tidak menyangka akan seperti itu berita yang didengarnya.
"Nah, begitulah ceritanya, Sumini," ujar nenek berpakaian hitam menutup ceritanya. "Sekarang, tibalah saatnya untuk merampungkan rencana yang telah lama kususun. Kau akan kujadikan orang sakti! Hik hik hik…!"
Sumini berlari cepat meninggalkan tempat pertemuannya dengan nenek berpakaian hitam itu yang ternyata nenek kandungnya sendiri. Sungguh pun demikian, gadis berpakaian kuning itu tidak lupa untuk bertindak hati-hati karena jalan yang ditempuhnya menurun. Sumini memang bermaksud turun gunung.
Selama ini Sumini tidak pernah turun gunung. Tinggal di Gunung Anjasmoro itu pun karena ikut ayahnya melarikan diri dari kejaran pasukan kerajaan, dan untuk yang pertama kalinya. Tambahan lagi, dia turun melewati jalan yang belum dikenal. Akibatnya dia tersesat karena tidak tahu arah. Sampai akhirnya tiba di sebuah anak bukit yang merupakan tanah pekuburan yang amat luas.
Sumini berlari terus dengan maksud hendak melewati bukit tanah kuburan itu. Namun tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri, dan kedua kakinya menggigil. Seolah sengaja dia berhenti. Hatinya terkejut merasa takut, mendengar suara tawa berkakakan, sedang orangnya belum tampak. Suara tawa itu tidak seperti biasa. Seolah-olah bukan suara manusia. Ibliskah atau suara mayat!
Meskipun bukan gadis yang penakut, mendengar suara tawa mengerikan seperti itu Sumini tak dapat menahan. Tubuhnya merinding ketakutan. Apalagi tempat itu merupakan kuburan. Hampir saja gadis berpakaian kuning itu berlari tunggang langgang kalau tidak ingat bahwa saat itu siang hari. Dia yakin setan atau hantu takkan muncul di siang hari.
Keyakinan itulah yang menumbuhkan keberanian di hati Sumini. Sekarang dia menduga kalau suara tawa itu keluar dari mulut seorang tokoh persilatan yang mempunyai tenaga dalam cukup kuat. Maka, tanpa ragu-ragu dilangkahkan kakinya menuju asal suara.
Sebelum Sumini sampai di tempat yang dituju, dari balik salah satu kuburan tampak sesosok tubuh. Rupanya dia sejak tadi merebahkan diri sehingga tidak terlihat oleh Sumini. Dan ketika Sumini melihatnya, kontan dia menggeram. Dikenalinya betul sosok itu sebagai Setan Ular Karang! Orang yang hampir membuatnya menjadi orang terhina selamanya!
"Iblis keji! Sekarang kau harus terima balasan atas kejadian yang kau lakukan!" seru Sumini keras penuh kemarahan. Dia teringat akan nasib yang hampir menimpa dirinya. Juga kematian Jaya Katwang, kakeknya.
Setan Ular Karang terperanjat mendengar bentakan gadis itu. Buru-buru tubuhnya dibalikkan! Ketika melihat siapa yang barusan membentaknya lelaki berpakaian coklat itu merasa lega.
"Ah.... Kebetulan sekali kau datang kemari, Anak Manis. Aku memang tengah ingin menggeluti tubuh seorang wanita. Kemarilah, Anak Manis! Kita bermain cinta," ucap Setan Ular Karang sambil melambaikan tangan.
Terlihat gembira sekali tokoh sesat yang berwajah hitam ini. Bukan hanya karena dia ingin bermain cinta dengan Sumini. Harinya merasa lega ketika mengetahui orang yang menegurnya ternyata Sumini. Semula disangkanya orang yang datang Raja Sihir Berbaju Merah atau Kerbau Bertenaga Raksasa untuk merampas pusaka Raja Pedang Langit Bumi dari tangannya.
Memang, pusaka Raja Pedang Langit Bumi berada di tangan Setan Ular Karang. Tokoh sesat yang licik itu berhasil melarikan diri dengan membawa pusaka itu. Sedangkan Kerbau Bertenaga Raksasa yang mengejarnya, tidak berhasil karena telah kehilangan jejak lelaki berwajah hitam ini.
Di tempat pekuburan yang letaknya tersembunyi ini, Setan Ular Karang tinggal dan mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Raja Pedang Langit Bumi. Dia berlatih keras agar cepat dapat mempelajari ilmu-ilmu Raja Pedang Langit Bumi.
Namun baru dua hari, tempat persembunyiannya yang terpencil berhasil diketemukan Sumini. Sementara itu Sumini menatap penuh kebengisan pada Setan Ular Karang. Kemarahan seketika terbangkit melihat lelaki berwajah hitam itu.
"Temuilah setan-setan di neraka, Iblis Keji!" dengus Sumini sambil menubruk maju dengan jari-jari tangan kiri terbuka meluncur ke arah muka Setan Ular Karang.
Gerakannya begitu cepat mengarah kedua bola mata lawan. Dan dari sambaran tangannya terasa hawa pukulan yang kuat! Setan Ular Karang terkejut melihat serangan cepat Sumini. Namun dengan cepat pula tokoh berwajah hitam itu menarik tubuhnya ke belakang.
Plak!
Rrrt!
"Hey! Kembalikan kitabku!" Setan Ular Karang berseru marah dan kaget ketika melihat Sumini dengan tenangnya memasukkan sebuah kitab ke balik baju. Setan Ular Karang tidak tahu bagaimana kitab milik Raja Pedang Langit Bumi yang berada di pinggangnya bisa diambilnya dengan begitu cepat. Dia hanya merasa ketika menarik tubuh kebelakang, kitab itu diserobot dengan kecepatan kilat. Dan tahu-tahu kitab itu telah lenyap dari pinggangnya.
Dengan sepasang mata terbelalak marah bercampur kaget Setan Ular Karang menatap wajah Sumini lekat-lekat. Benarkah gadis ini telah menjadi demikian lihainya? Padahal, beberapa hari yang lalu, dengan sebelah tangan pun dia sanggup mengalahkan gadis itu. Tapi sekarang? Ataukah dia tadi yang bertindak terlalu memandang rendah? Pikiran-pikiran seperti itu berkecamuk di benak Setan Ular Karang.
Memang dugaan Setan Ular Karang ada benarnya. Keberhasilan Sumini merampas kitab itu dari pinggangnya, sebagian besar terjadi karena Setan Ular Karang menganggap remeh. Di samping itu, tak jelas kalau Sumini ternyata memiliki gerakan yang sangat cepat.
Sumini tersenyum tenang bercampur gembira melihat keberhasilan usahanya. Dia tidak merasa heran sama sekali meskipun telah berhasil merampas kitab dengan cara cukup menakjubkan.
"Kitabmu? Lupakah kau kalau engkau mencuri kitab ini dari tempat tinggalku? Kitab ini milikku! Enak saja kau mengaku-aku...!"
"Keparat! Rupanya kau ingin mati secara mengerikan, Wanita Sundal? Akan kuperkosa sampai mati!"
Belum habis gema ucapan itu, Setan Ular Karang telah meluruk maju melancarkan serangan. Karena marah, dan tahu kalau Sumini telah memiliki kepandaian lebih hebat dari sebelumnya, dia langsung mengeluarkan ilmu 'Ular Karang' yang diandalkannya. Kedua tangannya hingga sebatas pergelangan berubah warna hitam legam. Suara berdesit dan menderu nyaring mengiringi tibanya serangannya.
Tapi Sumini sekarang bukankah Sumini beberapa hari yang lalu, yang dapat dengan mudah dirobohkan. Laksana bayangan tubuhnya berkelebat ke sana kemari di antara sambaran-sambaran kedua tangan Setan Ular Karang.
Setan Ular Karang menggeram. Beberapa jurus sudah dilancarkan untuk menyerang, tapi tak satu pun yang mengenai sasaran. Serangan-serangan yang dilancarkan pun semakin dahsyat.
Sejauh itu Sumini belum memperlihatkan perlawanan yang berarti. Dia hanya mengelakkan setiap serangan Setan Ular Karang dengan menggunakan kelincahannya. Hati Sumini merasa gembira sekali ketika melihat serangan-serangan lawan, tidak satu pun yang dapat menyentuh tubuhnya. Hal ini memang pertanda kalau kepandaiannya telah meningkat pesat.
Pada jurus kedua belas, untuk kesekian kalinya kedua tangan Setan Ular Karang meluncur ke arah leher. Dengan cepat Sumini memiringkan kepalanya sedikit, dan bersamaan dengan itu tangannya menampar.
Plak!
Sumini menampar dengan menggunakan sebagian tenaganya, dan mengenai pipi kiri Setan Ular Karang. Namun akibatnya cukup untuk membuat tubuh lelaki berwajah hitam itu terbanting dan bergulingan. Ketika Setan Ular Karang meloncat bangun, pipinya telah bengkak membiru, dan beberapa giginya di pinggir kiri copot! Sesaat Setan Ular Karang menggetarkan kepala, karena dirasakan pening sekali, sambil tangannya mengusap darah di mulut.
"Cuhhh!" Sambil meludahkan gigi dan darah, Setan Ular Karang menatap Sumini yang berdiri tenang, dengan amarah berkobar-kobar. Sekarang, tokoh sesat berwajah hitam ini tahu kalau entah dengan cara bagaimana Sumini telah mampu menguasai kepandaian tinggi. Diam-diam dia merasa gentar. Disadari kalau dirinya bukan tandingan Sumini. Meskipun demikian Setan Ular Karang tidak rela meninggalkan kitab Raja Pedang Langit Bumi yang baru sedikit dipelajarinya. Dia bertekad untuk melakukan perlawanan.
Setan Ular Karang mengeluarkan sebatang suling kecil dari pinggangnya dan bermaksud meniupnya. Ini adalah salah satu keistimewaan ilmu yang dimilikinya. Dengan meniup suling kecil dari bambu itu dia mampu memanggil dan memerintahkan ular-ular agar membantu dirinya.
"Heaaakh...!"
Namun sebelum suling bambu kecil itu menempel di mulut mendadak Setan Ular Karang melolong menyayat hati sambil memegang dan kemudian menggeruk-garuk pipi kirinya yang telah menghitam. Sesaat kemudian tubuh Setan Ular Karang ambruk dan sampailah ajalnya.
Sumini menatap tubuh lawannya yang tergolek di tanah setelah menabrak sebuah kuburan. Kemudian gadis berpakaian kuning ini mendongakkan kepalanya ke atas.
"Tenanglah di alam baka, Kakek! Satu pembunuhmu telah berhasil kubinasakan! Aku berjanji akan mencari yang dua orang lagi...."
Setelah menundukkan kepala beberapa saat untuk mengheningkan cipta atas arwah Jaya Katwang, Sumini melesat meninggalkan tempat itu. Tujuannya mencari dan membalas dendam terhadap pembunuh-pembunuh kakek dan ayahnya.
Hari telah senja ketika Sumini memasuki mulut sebuah desa di kaki Gunung Anjasmoro. Rasa lapar membuatnya melangkahkan kaki menuju sebuah kedai yang terletak di pinggir jalan.
Namun baru sebelah kakinya memasuki ambang pintu kedai, dia terperanjat melihat sosok-sosok tubuh yang bergelimpangan tak tentu arah di lantai. Meja dan kursi berserakan. Begitu pula perabotan kedai itu pecah dan berantakan.
"Uhhh...!" Suara rintihan dari dalam kedai membuat Sumini melangkah masuk dan menghampiri seorang lelaki bertubuh kekar yang tengah berusaha bangkit. Lelaki inilah yang lukanya tidak terlalu parah.
"Apa yang terjadi, Ki? Siapa yang melakukan hal ini?" tanya Sumini, ketika tubuhnya sudah berjongkok di dekat lelaki kekar itu. Bunyi gemeretak keras dari mulutnya menandakan kalau gadis berpakaian kuning ini dilanda perasaan geram.
"Seorang lelaki berkepala botak datang menanyakan tentang seorang lelaki berpakaian serba coklat dan bermuka hitam pada kami semua. Begitu mendapat jawaban tidak tahu, karena kami semua memang tidak mengetahuinya, dia mengamuk dan menganiaya kami semua. Beberapa orang yang mempunyai kemampuan mencoba untuk melawan, tapi dia lihai sekali. Dan juga kebal! Dengan mudah perlawanan orang-orang itu dipatahkannya," tutur lelaki kekar itu panjang lebar.
"Sekarang ke mana perginya orang itu?" tanya Sumini. Dia dapat menduga kalau orang yang melakukan kekejian itu Kerbau Bertenaga Raksasa yang tengah mencari-cari Setan Ular Karang.
"Dia baru saja pergi ke arah barat," jelas lelaki kekar itu.
Sumini tersenyum gembira mendengar jawaban yang jelas itu. "Bukankah lelaki berkepala botak itu bertelanjang dada. Dan mempunyai bulu-bulu tebal di dadanya?" tanya Sumini untuk mencari kepastian.
"Benar!" sahut lelaki kekar seraya mengangguk.
Tanpa mengucapkan terima kasih lagi, Sumini melesat kabur meninggalkan kedai. Dan berlari cepat ke arah perginya lelaki berkepala botak yang diduganya Kerbau Bertenaga Raksasa itu. Lelaki kekar itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat gadis di hadapannya tahu-tahu lenyap. Dia hanya melihat kelebatan bayangan kuning melesat keluar kedai dan seterusnya lenyap.
Sumini terus berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Pemberitahuan kalau Kerbau Bertenaga Raksasa belum lama meninggalkan kedai, membuatnya ingin segera memburunya. Gadis berpakaian kuning itu telah lupa niatnya semula untuk makan di kedai.
Ternyata pemberitahuan yang didapat tidak salah. Belum lama berlari, Sumini telah melihat sesosok tubuh di kejauhan. Kenyataan ini membuat Sumini semakin bersemangat, dan larinya pun semakin cepat. Sehingga jarak antara sosok di depan dengan dirinya semakin dekat. Betapa girang hatinya ketika mengetahui kalau sosok yang dikejarnya itu ternyata Kerbau Bertenaga Raksasa.
"Berhenti kau, Iblis Keji!" seru Sumini sambil terus berlari.
Kerbau Bertenaga Raksasa terkejut tersentak kaget mendengar bentakan itu. Belum juga kepalanya sempat ditolehkan tahu-tahu sosok bayangan kuning telah melesat melewati atas kepala, lalu berdiri menghadang di depannya. Laksana sehelai daun kering Sumini menjejak tanah.
"Ha ha ha...!" Setelah tertegun sejenak, memperhatikan sosok yang berdiri di hadapannya, Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa bergelak. "Kiranya kau, Bocah Cilik?! Sungguh berani mati kau menghadang jalanku! Apakah kau telah mempunyai nyawa rangkap? Kudengar kau jadi buronan kerajaan..., biarlah kau kutangkap untuk kuserahkan pada mereka. Siapa tahu aku mendapat ganjaran kedudukan tinggi!"
Sambil berkata demikian, Kerbau Bertenaga Raksasa melangkah menghampiri Sumini dengan sikap memandang rendah. Dia benar-benar tak menyadari bagaimana gadis berpakaian kuning itu mampu menghadang di depannya tanpa menimbulkan suara. Yang teringat olehnya, Sumini adalah seorang gadis lemah. Baru Kerbau Bertenaga Raksasa melangkah beberapa tindak, sambil tersenyum sinis, Sumini mengambil sesuatu dari balik pakaiannya.
"Apakah kau tidak tertarik dengan ini, Kerbau Gila?" tanya Sumini seraya mengacung-acungkan kitab milik ayahnya di depan wajah.
Kerbau Bertenaga Raksasa terkejut dengan mata terbelalak melihat kitab yang amat diinginkannya berada di tangan Sumini. Keterkejutan ini membuatnya tak sempat marah mendengar sapaan Sumini tadi
"Dari mana kau dapatkan kitab itu?" tanya Kerbau Bertenaga Raksasa dengan suara bergetar karena perasaan tegang dan heran melanda hatinya.
Kerbau Bertenaga Raksasa tidak langsung merampas kitab di tangan Sumini karena masih merasa heran dari mana dan bagaimana pusaka Raja Pedang Langit Bumi itu berada di tangan Sumini. Bukankah kitab itu berada di tangan Setan Ular Karang. Ataukah kitab yang diberikan kepada tokoh sesat berwajah hitam itu palsu belaka. Dan di tangan gadis inilah yang asli?
"Tidak usah kau tahu dari mana aku mendapatkannya, Kerbau! Yang penting apakah kau tidak menginginkannya? Kalau kau mau cepatlah sebelum aku membakarnya!" tantang Sumini tenang.
Ucapan Sumini menyadarkan Kerbau Bertenaga Raksasa akan hal yang harus dilakukannya. Maka sambil melangkah maju dengan cepat tangan kanannya bergerak merampas kitab yang ditimang-timang Sumini.
Wuttt!
Tangkapan Kerbau Bertenaga Raksasa mengenai angin ketika Sumini menarik tubuh bagian atasnya ke belakang tanpa menggeser kaki. Karuan saja hal itu membuat lelaki berkepala botak penasaran. Kembali tangannya diayunkan untuk merampas, tapi tidak hanya sekali digerakkan melainkan berkali-kali.
Seperti juga sebelumnya, usaha Kerbau Bertenaga Raksasa mengalami kegagalan. Padahal Sumini sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Dia hanya menggerak-gerakkan kedua tangan dan tubuh bagian atasnya, kadang ke kiri dan kadang ke kanan, serta sesekali ke belakang. Kenyataan ini menyadarkan Kerbau Bertenaga Raksasa kalau Sumini ternyata memiliki kepandaian tinggi. Gadis itu memiliki kecepatan gerak yang menakjubkan.
"Hanya sampai di situ sajakah kemampuanmu, Kerbau?" ejek Sumini yang memang bermaksud mempermainkan Kerbau Bertenaga Raksasa sebelum membunuhnya.
Kerbau Bertenaga Raksasa mendengus keras, karena kemarahan yang menggelegak. Kemudian serangan-serangan lanjutan dengan pengerahan seluruh kemampuan pun dilancarkan.
Melihat serangan lawan semakin ganas, Sumini pun tak tinggal diam. Dan, sesaat kemudian, kedua belah pihak telah terlibat dalam pertarungan sengit. Namun hanya beberapa jurus saja Kerbau Bertenaga Raksasa mampu melakukan perlawanan sengit. Menginjak jurus ketiga belas, serangan-serangan yang dilakukannya semakin berkurang.
Dia lebih banyak mengelak, bahkan menangkis pun jarang dilakukan karena selalu mengakibatkannya bergetar hebat. Kerbau Bertenaga Raksasa kalah dalam hal tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Dengan keunggulan itulah Sumini dapat mendesaknya.
Pada jurus ketujuh belas Sumini melancarkan tendangan lurus ke arah leher. Kerbau Bertenaga Raksasa mengelakkannya dengan menundukkan tubuh. Namun secepat kilat, Sumini menarik kakinya, dan meluncurkan lagi dengan sebuah tendangan ke arah kepala.
Prak!
"Aaakh...!" Kerbau Bertenaga Raksasa meraung keras ketika kepalanya remuk. Darah bercampur otak berhamburan dari kepala yang pecah. Tubuhnya ambruk saat itu juga.
"Hhh…!" Sumini menghela napas lega melihat lawannya telah tewas berlumuran darah. Dihapus peluh yang membasahi dari pipi dan leher dengan lengan bajunya.
"Bagus sekali...!"
Tiba-tiba terdengar suara pelan tanpa pengerahan tenaga dalam. Meski begitu tetap membuat Sumini terperanjat dan menolehkan kepala ke belakang. Tampak seorang kakek berpakaian abu-abu, dan bermuka merah berdiri di belakang dengan melipat kedua tangan di dada.
Jantung Sumini langsung berdebar keras ketika melihat sosok berpakaian abu-abu. Tubuh yang tinggi kekar dan sebuah penutup kepala berbentuk setengah tempurung kelapa berwarna hitam yang bertengger di atas kepala. Sosok hitam itu mengingatkannya akan cerita ayahnya.
"Inikah Barnaba, petapa di lereng Gunung Welirang yang turun gunung karena ingin membaktikan diri pada Kerajaan Samodra dengan menangkap ayahku? Setelah bertahun-tahun para prajurit tak berhasil menangkap Raja Pedang Langit Bumi. Hm.... Inikah tokoh sakti yang telah membunuh Ayah...?"
pertanyaan-pertanyaan seperti itu seketika berkecamuk di benak Sumini. "Kaukah tokoh yang bernama Barnaba?" tanya Sumini dengan suara bergetar karena perasaan tegang yang melanda. Raja Pedang Langit Bumi pernah cerita pada Sumini akan seorang tokoh sakti yang mempunyai ciri-ciri seperti ini.
"Dan kau putri Raja Pedang Langit Bumi?!" sosok abu-abu itu malah balas mengajukan pertanyaan. "Kalau dirimu bukan seorang bocah ingusan, mungkin sudah kubawa ke kerajaan karena telah berani memberontak!"
Sumini menggertakkan gigi menahan amarah yang menggelegak di dadanya. Dia tak heran sama sekali kalau kakek berpakaian abu-abu ini bisa menebak dirinya dengan tepat. Sebab hatinya yakin kakek ini telah menyaksikan pertarungannya tadi dengan Kerbau Bertenaga Raksasa.
"Kaukah pembunuh ayahku?!" tanya Sumini lagi dengan suara parau dan bergetar. Kemarahannya seakan sudah tak mampu dibendung lagi. Dan sekali saja, kakek berpakaian abu-abu itu menganggukkan kepala atau mengiyakan Sumini akan menerjangnya dengan hebat Kakek berpakaian abu-abu yang bernama Barnaba itu hanya tertawa terkekeh, tidak mengiyakan atau membantah pertanyaan Sumini. Kemudian dibalikkan tubuhnya, bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Berhenti, Keparat! Heaaa...!" Sumini melompat menerjang dan langsung melancarkan serangan. Deru angin keras berhawa dingin yang menusuk tulang mengiringi ribanya serangan, dengan kedua tangan terbuka gadis itu menghantam ke arah dada Barnaba.
"Hmh!" Sambil mendengus dibalikkan tubuhnya. Barnaba menyambut pukulan Sumini dengan dorongan kedua tangannya seraya mengeluarkan seluruh tenaga dalam. Tak pelak lagi, hawa panas yang menyengat melingkupi sekitar tempat itu ketika pertapa Gunung Welirang itu menghentakkan kedua tangannya.
Bresss!
Tumbukan keras antara dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat dan mengandung hawa berlawanan itu tak terelakkan. Sumini terjengkang kembali ke belakang dengan hawa panas menjalari sekujur badan. Sedangkan Barnaba hanya bergoyang-goyang tubuhnya.
"Berhenti, Keparat! Heaaa...!" Sumini melompat dan langsung melancarkan serangan.
"Hmh!" Sambil mendengus, Barnaba membalikkan tubuhnya. Lalu, kedua tangannya didorongkan menyambut pukulan Sumini.
Bresss!
Kemudian, tanpa mempedulikan Sumini yang masih berusaha untuk mengusir hawa panas di tubuhnya, Barnaba melesat meninggalkan tempat itu sambil mengerahkan tenaga panas untuk mengusir hawa dingin yang menjalar ke dalam tubuhnya.
Sumini hanya bisa menggertakkan gigi penuh perasaan kesal, sambil menatap tubuh Barnaba yang semakin menjauh. Dia tidak mampu mencegah kepergian Barnaba karena hawa panas masih dirasakan menyengat di tubuhnya. Andaikata dibiarkan bagian tubuhnya akan terluka dalam.
Yang bisa dilakukan sekarang harus segera mengusir hawa panas itu keluar dari tubuhnya, sambil berusaha untuk memulihkan tenaga. Dirinya sadar dalam keadaan seperti ini tidak mungkin mampu menandingi Barnaba yang sakti. Tenaganya telah berkurang jauh setelah bertarung menghadapi Kerbau Bertenaga Raksasa.
Oleh karena itu, setelah berhasil mengusir hawa panas yang menyergap sekujur tubuh, dilangkahkan kakinya menghampiri semak-semak yang berada di sekitar tempat itu. Sumini bermaksud menjalankan semadi guna memulihkan tenaga dalamnya. Hatinya sudah tak sabar untuk menghadapi Barnaba.
"Itu dia orangnya!"
Tiba-tiba terdengar seruan keras yang membuat Sumini menghentikan semadi dan membuka sepasang matanya. Gadis berpakaian kuning ini tidak tahu berapa lama dia bersemadi, tapi yang jelas hari telah malam. Untung saja ada sang Dewi Malam bersinar cukup terang, sehingga keadaan di persada tidak gelap pekat.
Dalam siraman sinar bulan terlihat oleh Sumini serombongan orang-orang berpakaian seragam prajurit kerajaan. Sumini buru-buru bangkit begitu rombongan prajurit Kerajaan Samodra itu bergerak mengepungnya. Sepasang matanya memancarkan kebengisan ketika melihat seorang pemuda tampan berkumis tipis berada di belakang rombongan prajurit itu.
Sosok itu begitu dikenalinya. Dialah Pranacitra. Kakak seperguruan Sumini yang ketika terjadi pertikaian antara para Brahmana dengan kerajaan, justru memihak kerajaan. Meskipun harus bermusuhan dengan gurunya, Raja Pedang Langit Bumi.
Pranacitra mengayunkan langkah menyibak beberapa orang prajurit yang menghalangi jalan. Sekarang dia berdiri paling depan, berhadapan dengan Sumini. Dalam sekilas saja, pemuda berkumis tipis ini telah mengenali Sumini.
"Apakah kau tidak keliru?" Pranacitra menoleh ke arah prajurit pendek kekar yang tadi menunjukkan keberadaan Sumini. "Benarkah gadis ini yang tadi berkelahi dengan Kerbau Bertenaga Raksasa, dan dia memegang sebuah kitab berwarna kuning?"
"Benar, Panglima. Dialah yang telah membunuh Kerbau Bertenaga Raksasa," tegas prajurit pendek kekar penuh kesungguhan karena merasakan adanya nada ketidakpercayaan dalam pertanyaan Pranacitra.
Sumini yang mendengar percakapan itu melongo. Pranacitra telah menjadi Panglima Kerajaan Samodra? Luar biasa? Kalau tidak mendengar dan menyaksikan sendiri, dia tidak akan percaya.
Sumini tidak tahu kalau Pranacitra diangkat menjadi salah satu Panglima Kerajaan Samodra atas jasanya Pranacitra selalu ikut campur dan membantu pasukan Kerajaan Samodra dalam menghadapi perlawanan orang-orang yang tidak mau menuruti perintah Raja Pancawala.
Penguasa Kerajaan Samodra memerintahkan kepada semua orang di lingkungan kerajaan untuk menganggap dirinya sebagai dewa dan menyembahnya. Saat itu, para prajurit kerajaan kewalahan harus menghadapi banyak orang pandai. Dan karena jasa Pranacitra itulah rombongan prajurit kerajaan memperoleh kemenangan. Maka Pranacitra mendapat anugerah sebagai Panglima Kerajaan Samodra. Dia memimpin pasukan Kerajaan Samodra dalam menumpas orang-orang yang menentang perintah raja.
Karena keheranan melihat Pranacitra menjadi Panglima Kerajaan Samodra, Sumini tampak tercengang keheranan. Dia masih berdiri dengan pikiran melayang ke sana kemari.
Sementara itu, begitu mendengar jawaban bernada sungguh-sungguh dari prajurit pendek kekar, Pranacitra langsung mengerutkan alis. Dia bingung bukan kepalang. Benarkah Sumini yang telah membunuh Kerbau Bertenaga Raksasa? Rasanya mustahil! Dia tahu betul sampai di mana kemampuan ilmu gadis berpakaian kuning itu.
Tapi, mungkinkah prajurit pendek kekar itu berbohong? Rasanya tidak mungkin juga. Karena tahu, tak akan dapat menjawab pertanyaan itu dengan berpikir. Pranacitra membuang jauh-jauh pertanyaan yang menggayut di benaknya itu.
"Menyerahlah Sumini! Tidak ada gunanya melawan. Percuma! Kau tidak bisa menang...! Kalau dulu kau dan ayahmu menuruti kehendak kerajaan, nasibmu tak akan sengsara seperti ini. Menyerahlah, Sumini! Biar bagaimanapun kau tetap adik seperguruanku. Kau tahu, aku tak ingin dirimu harus tersiksa. Percayalah, aku akan memohon ampunan kepada Baginda Raja Pancawala. Ya. Setidak-tidaknya agar hukuman yang akan dijatuhkan kepadamu, dapat diperingan.... Ayolah, Sumini!" dengan sopan dan lemah lembut Panglima Kerajaan Samodra itu berusaha membujuk Sumini.
Mendengar bujuk rayu yang lembut itu Sumini tercenung. Pikirannya tiba-tiba merenung ke masa silam. Beberapa tahun lalu Pranacitra begitu baik kepadanya. Suatu masa-masa indah yang sulit dilupakannya. Pranacitralah yang sering membimbingnya. Diakui, memang pemuda tampan itulah yang sangat diakrabinya. Bahkan lebih erat dibanding terhadap ayahnya sendiri.
Namun kenangan tinggallah kenangan. Hal itu terjadi jauh sebelum Pranacitra tergiur kedudukan dan mabuk jabatan. Kini Pranacitra telah menjadi pengkhiahat perguruan. Murid murtad yang tidak mendukung kesetiaan pada gurunya. Mengingat sikap yang menyakitkan itu Sumini menggertakkan gigi menahan geram.
"Tutup mulutmu, Pengkhianat...!" sahut Sumini dengan geram, "Aku bukan orang bejat sepertimu yang sudi menjilat pantat raja lalim itu. Kau telah mabuk kemewahan dan kedudukan, Prana! Kau telah lupa tanggung jawabmu sebagai seorang murid perguruan...!"
Mendengar ucapan yang menyindir itu Panglima Pranacitra tersenyum sinis. "Hhh.... Dasar keras kepala...!"
"Heaaa...!" Dengan diawali teriakan melengking nyaring, Sumini melompat meneriang bekas kakak seperguruannya.
"Ah!" Pranacitra terpekik kaget tanpa sadar ketika merasakan adanya sambaran angin keras berhawa dingin keluar dari serangan Sumini. Meskipun demikian, dia tetap menganggap remeh. Sebab, dulu dia paham benar beberapa ilmu yang dimiliki Sumini. Tanpa ragu-ragu dipapaknya terjangan Sumini seraya mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki. Pranacitra bermaksud segera merobohkan Sumini dalam segebrakan!
Bresss!
"Aaakh...!" Panglima Kerajaan Samodra itu terpekik keras. Tubuhnya terlontar deras ke belakang seperti daun kering ditiup angin, lalu terbanting dan bergulingan di tanah. Dan ketika akhirnya berhasil bangkit, pemuda berkumis tipis ini menggigil karena adanya aliran hawa dingin menyerangnya.
Belum juga rasa kaget yang melandanya lenyap, Sumini telah melancarkan serangan susulan. Dengan cepat sekali tangannya menampar pelipis, sambil mencengkeram dengan tangan kiri ke pusar Pranacitra! Dua buah serangan maut yang dilancarkan secara cepat dan bersamaan. Pranacitra mengenal serangan maut itu. Maka buru-buru tubuhnya dibanting ke tanah dan bergulingan menjauh.
Namun Sumini mengejarnya. Untung saja belasan prajurit Kerajaan Samodra yang melihat adanya ancaman bahaya maut, segera bertindak cepat menghadang Sumini. Mereka langsung menghujaninya dengan serangan secara bersamaan.
Sumini marah, melihat tindakannya terhalang. Serangannya terhadap Pranacitra terpaksa dibatalkan. Dan sekarang kedua tangannya digunakan untuk menangkis hujan senjata yang mengancam keselamatan nyawanya.
Seketika para prajurit tersentak kaget. Mata mereka terbelalak, seakan tidak percaya melihat senjatanya berpatahan tersambar tangan Sumini. Bahkan para penyerangnya langsung terjengkang dan berjatuhan ke tanah.
Lagi-lagi Sumini tidak sempat meneruskan tindakannya. Karena Pranacitra telah lebih dulu melancarkan serangan. Pedang yang menjadi senjata andalannya ditusukkan ke leher Sumini. Namun tanpa menemui kesulitan putri Raja Pedang Langit Bumi ini mengelakkannya. Pertarungan semrawut pun berlangsung.
Sekarang Pranacitra percaya akan keterangan prajurit pendek kekar, bahwa Sumini telah membunuh Kerbau Bertenaga Raksasa. Bekas adik seperguruannya itu ternyata sekarang telah memiliki kemampuan yang hebat. Padahal, dia dan prajurit kerajaan telah mengeroyoknya. Namun sedikit pun Sumini tidak terdesak. Bahkan pihak Pranacitra yang kewalahan.
Beberapa prajurit telah bergelimpangan tanpa nyawa di tanah akibat amukan putri Raja Pedang Langit Bumi itu. Pranacitra menyadari bahwa saat ini ilmu yang dimiliki Sumini bahkan berada di atas ayahnya. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, Pranacitra merasa tak habis pikir.
Pranacitra mengeluarkan siulan nyaring dari mulutnya, seraya terus melakukan perlawanan. Sumini tahu kalau bekas kakak seperguruannya itu akan mempergunakan siasat, tapi sedikit pun dia tak gentar, bahkan seakan tidak mempedulikannya. Terus saja dilancarkan desakan, meskipun empat orang prajurit yang ikut mengeroyok, berlari meninggalkan kancah pertarungan.
Perginya empat orang prajurit membuat kekuatan Pranacitra dan sisa anak buahnya semakin melemah. Namun, Panglima Kerajaan Samodra itu terus melakukan perlawanan, sungguhpun korban di pihaknya terus berjatuhan.
Mendadak Pranacitra melemparkan serbuk dari tangan kirinya ke arah Sumini Terpaksa gadis ini melempar tubuh ke belakang khawatir serbuk itu beracun. Namun rupanya tindakan itu hanya merupakan siasat belaka. Karena begitu Sumini melompat mundur, Pranacitra melarikan diri. Menyusul empat prajuritnya.
Melihat hal itu sisa dua prajurit yang mendampingi Pranacitra, ikut melarikan diri. Namun hanya dengan sekali lesatan, Sumini telah melewati mereka. Dengan cepat Sumini melancarkan serangan yang membuat nyawa kedua prajurit sial itu tewas seketika.
Sumini tidak mempedulikan hal itu dan terus melakukan pengejaran terhadap Pranacitra. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang berada di atas Pranacitra, bekas kakak seperguruannya itu disusul. Mendadak...
Rrrttt!
"Heh...?!" Hati Sumini tersentak kaget. Tubuhnya terangkat dengan kaki di atas, ketika pergelangan kaki kanan terjerat sesuatu. Dan sebelum gadis berpakaian kuning itu sadar, tubuhnya telah tergantung dengan kepala di bawah.
"Ha ha ha...!" Pranacitra membalikkan tubuh dan berlari mendekatinya ketika melihat tubuh Sumini tergantung di atas cabang pohon besar. Sumini tidak berdaya untuk melepaskan diri karena pedangnya telah terjatuh saat tubuhnya tergantung. Sedangkan tali jerat sangat kuat dan tidak bisa diputuskan dengan pengerahan tenaga dalam.
Sumini menggertakkan gigi karena marah dan geram melihat kelicikan lawan. Dia tahu sekarang, empat prajurit yang pergi lebih dulu telah diperintahkan untuk membuat perangkap ini. Dan ternyata usaha mereka tidak sia-sia Sumini masuk perangkap! Kemenangan pun berada di tangan Panglima Pranacitra.
"Pranacitra, Pengecut Hina! Penjilat pantat raja lalim, pengkhianat busuk! Kalau kau mau, lekas bunuh! Kau kira aku takut mati?! Bunuhlah aku, Pengecut Hina!" maki Sumini, sejadi-jadinya karena kesal. Hal itu hanya ditanggapi Pranacitra dengan tawa bergelak.
Sumini yang semakin meluap amarahnya, segera melancarkan serangan dengan pukulan-pukulan jarak jauh kedua tangannya yang bebas. Namun dengan mudah serangan itu dielakkan oleh Pranacitra seraya terus tertawa-tawa penuh ejekan.
"Tak semudah itu akan menghabisi nyawamu, Sumini. Kau akan kusiksa sampai setengah mati, baru kuhadapkan pada raja untuk menerima hukuman sebagaimana layaknya seorang pemberontak!"
"Keparat!" Sumini hanya bisa memaki-maki penuh perasaan geram karena lelah melancarkan serangan tanpa hasil.
Sing...!
"Heh...?!" Mendadak Pranacitra menghentikan tawanya secara mendadak, karena mendengar bunyi mendesing nyaring. Belum sempat dia berbuat sesuatu....
Brettt!
Tali yang menjerat kaki Sumini, putus tersambar sebuah kerikil tajam. Sehingga tubuh gadis berpakaian kuning itu melayang turun. Dan yang membuat Pranacitra semakin kelabakan, Sumini langsung bisa mempergunakan peluang itu sebaik-baiknya. Gadis itu melancarkan cengkeraman ke arah ubun-ubun Pranacitra.
"Heaaa...!"
Wuttt...!
Meskipun dengan agak geragapan, Pranacitra mampu mengelakkan serangan tiba-tiba itu. Namun, serangan lanjutan Sumini yang berupa tendangan kaki kanan ke arah dada, tidak mampu dielakkannya dan mendarat secara telak. Sehingga membuat dadanya hancur. Saat itu nyawa Pranacitra melayang ke alam baka.
"Bagus...! Bagus...! Kau dapat mempergunakan kesempatan yang kuberikan."
Sumini mengalihkan pandangan ke arah asal suara. Di belakangnya telah berdiri dengan anggun seorang kakek berpakaian putih. Wajahnya yang bersih bercahaya terhias jenggot panjang sampai ke leher. Di tangannya tergantung menjuntai sebuah tasbih putih. Matanya tampak merah seakan kurang tidur. Dia tersenyum manis memandangi Sumini yang masih terbengong.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan, sehingga aku dapat membunuh orang terkutuk itu, Kek," ucap Sumini penuh hormat seraya menganggukkan kepala.
Tak dipedulikannya empat prajurit anak buah Pranacitra yang melarikan diri ketika melihat pemuda pimpinan mereka tewas. "Kalau boleh kutahu siapa kau, Kek?"
"He he he...!" kakek berpakaian putih itu tertawa lembut "Akulah orang yang tertulis di dalam surat dari ayahmu itu, Sumini."
"Ah...! Jadi..., jadi... kau.... Eyang Pradaga?!" Sumini tersentak kaget bercampur gembira.
"He he he...!" kakek berjubah putih yang ternyata Eyang Pradaga tertawa seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang, tunggu apa lagi, Sumini?! Bukankah semua urusanmu sudah beres? Mari, pergi bersamaku untuk memenuhi permintaan ayahmu! Tempatku terpencil, dan tak mungkin pasukan kerajaan akan menemukannya! Kalau tidak mengingat kau adalah putri sahabat kentalku, tak mungkin aku bersusah payah turun gunung untuk membawamu ke tempatku."
"Tapi, Kek...," Sumini meragu. "Aku belum berhasil menemukan pembunuh ayahku, tak mungkin aku bisa ikut denganmu. Hatiku tak akan pernah tenang."
"Tidak usah repot-repot, Sumini," sahut Empu Pradaga, tetap dengan senyum lebar. "Aku baru saja bertemu dengan pembunuh ayahmu dalam perjalanan ke sini."
"Benarkah itu, Kek?!" tanya Sumini dengan sepasang mata membelalak lebar. "Siapakah orang yang telah membunuh ayahku itu?"
"Barnaba," jawab Eyang Pradaga, kalem. "Cepatlah! Nanti dia keburu pergi."
Tapi sebelum Empu Pradaga dan Sumini melesat meninggalkan tempat itu, terdengar seruan keras.
"Sumini...! Tunggu sebentar...!"
Seruan itu berasal dari tempat yang jauh, di belakang Sumini dan Empu Pradaga. Tapi bunyinya seakan berada dekat. Dan begitu Sumini dan Empu Pradaga menoleh mereka melihat sebuah titik kecil di kejauhan tengah melesat cepat ke arah mereka. Hanya satu tarikan napas saja sosok itu telah sampai di dekat mereka.
"Ah...! Kiranya kau, Dewa Arak," ucap Sumini dengan raut wajah memerah, teringat akan perjumpaannya pertama kali dengan permuda berambut putih keperakan itu.
"Maaf mengganggu sebentar, Kek!" ucap Arya sopan pada Empu Pradaga. "Tapi bolehkan kutahu kemana kalian berdua akan pergi? Bukan bermaksud ikut campur, tapi aku telah mendapat amanat dari Raja Pedang Langit Bumi untuk mengantarkannya pada seorang yang bernama Empu Pradaga."
'Terima kasih atas jerih payahmu, Anak Muda. Kau tak perlu repot-repot lagi mengantarkannya. Akulah Empu Pradaga yang kau maksudkan itu."
"Ah...! Sungguh kebetulan sekali...!" seru Arya dengan nada gembira. "Jadi, sekarang kalian akan pergi ke pertapaanmu, Empu?!"
"Tidak, Arya," Sumini menyelak. "Aku akan membalaskan kematian ayahku dulu pada Barnaba."
Kemudian secara singkat tapi jelas, Sumini menerangkan semua percakapannya dengan Empu Pradaga.
"Maaf, Anak Muda!" ujar Empu Pradaga ketika Sumini telah menghentikan ceritanya. "Kami hendak pergi dulu. Mari, Sumini. Kita harus bergegas sebelum dia pergi lebih jauh."
Dewa Arak pun tidak bisa menahan keduanya. Dia hanya bisa menganggukkan kepala ketika kedua orang itu melesat meninggalkannya. Diam-diam hatinya merasa bersyukur karena tugas yang dibebankan kepadanya meski tanpa sengaja telah tuntas. Dengan hati lega dia melangkah menempuh arah berlawanan dengan yang ditempuh Sumini dan Empu Pradaga.
"Barnaba...! Berhenti, kau...!"
Kakek berpakaian abu-abu yang tengah berjalan di sebuah hamparan tanah lapang berumput, menghentikan langkah. Kemudian ditolehkan kepalanya ke belakang. Dilihatnya sosok bayangan melesat cepat dari kejauhan. Hanya dalam sekejapan saja telah berada di dekatnya.
"Siapa kau, Anak Muda? Mengapa kau memberhentikan langkahku...?! Sungguh besar nyalimu melakukan hal itu! Dan, dari mana kau tahu namaku?!" tanya kakek berpakaian abu-abu yang ber-nama Barnaba memberondong.
Pemuda berwajah tampan itu tersenyum. Meskipun, tengah mempunyai sebuah urusan yang sungguh-sungguh, tapi menghadapi pertanyaan bertubi-tubi seperti itu, mau tidak mau dia agak merasa geli. Itulah sebabnya dia menyunggingkan senyum walaupun getir.
"Aku Arya. Aku tahu namamu dari seseorang gadis yang ayahnya kau bunuh. Aku tidak mempermasalahkan ayah kawanku yang telah kau bunuh itu. Aku hanya ingin meminta pertanggungjawabanmu atas nasib kawanku dan orang yang dipercayakan menjadi ayah angkatnya," jelas Arya panjang lebar.
"Lebih baik kau tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah pikiran dan membunuhmu, Anak Muda! Aku tak mengerti maksud ucapanmu. Aku tidak kenal siapa kawanmu apalagi ayah kandungmu!"
Usai berkata demikian, Barnaba membalikkan tubuh dan bersiap melangkahkan kaki meninggalkan Dewa Arak.
"Tunggu, Barnaba!" sentak Dewa Arak. "Ayah kawanku itu bernama Raja Pedang Langit Bumi!"
"Dan kawanmu yang kau maksudkan itu pasti putri Raja Pedang Langit Bumi yang cantik itu, bukan?" timpal Barnaba dengan suara dan sikap yang membuat Dewa Arak berubah dengan wajah memerah. Dia merasakan adanya sindiran dalam ucapan kakek berpakaian abu-abu itu.
"Benar!" sahut Arya, pura-pura tidak mengetahui sindiran Barnaba. "Dan dia bersama ayah angkatnya hendak menemuimu. Aku yakin kau telah bertemu dengan mereka berdua. Katakan apa yang telah kau lakukan terhadap mereka, Barnaba?!" desak Dewa Arak dengan suara berat.
"Keparat!" Barnaba yang rupanya telah kehilangan kesabaran, langsung menerjang dengan menghantamkan pukulan telapak tangan kiri. Kelihatannya hanya sembarangan saja, tapi ada hembusan angin keras yang mengiringi tibanya serangan kakek berpakaian abu-abu itu.
Dewa Arak sadar kalau pukulan tangan kosong Barnaba amat dahsyat. Dia tahu sebatang pohon yang amat besar pun akan tumbang apabila terhantam. Namun Dewa Arak tanpa ragu-ragu memapak-serangan Barnaba dengan gerakan yang sama. Hal itu dilakukan karena rasa jengkel melihat sikap Barnaba yang meremehkannya.
Plak!
Dua buah tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berhawa panas berbenturan. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung beberapa langkah ke belakang.
"Kiranya kau lihai juga, Anak Muda," puji Barnaba sejujurnya. "Pantas kau membuat nama besar di dunia persilatan. Tapi, aku belum kalah!"
"Kau benar hebat, Barnaba," timpal Arya, dengan pujian yang sama.
Memang, kedua belah pihak sama-sama kagum akan kelihaian lawan. Meskipun telah menduga sebelumnya mereka tak urung merasa terkejut merasakan kehebatan lawan masing-masing. Rasa penasaran membuat Barnaba tak sungkan-sungkan langsung melancarkan serangan lanjutan. Diterjangnya Dewa Arak. Pemuda beramput putih keperakan itu segera menyambutnya dengan sikap lebih hati-hati.
Bentuk tubuh keduanya lenyap, yang terlihat kini hanya dua bayangan kelabu dan ungu. Dalam bentuk tidak jelas mereka saling belit, hanya kadang-kadang saja saling pisah, itu pun sebentar karena sesaat kemudian keduanya telah saling serang. Bahkan terkadang sukar untuk dibedakan saking cepatnya gerakan masing-masing pihak.
Karena begitu cepatnya, tak terasa pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Namun sejauh itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Kedua belah pihak masih saling melancarkan serangan dahsyat. Beberapa kali benturan tangan dan kaki terjadi namun keduanya memang sama-sama tangguh.
Kenyataan ini rupanya membuat kedua belah pihak jadi penasaran bercampur tidak sabar. Bagai telah disepakati sebelumnya, baik Barnaba maupun Dewa Arak pada jurus ke seratus tiga puluh lima, sama-sama mengeluarkan ilmu andalan. Barnaba mengeluarkan sebilah pedang batangnya berwarna kehijauan. Sedangkan Dewa Arak mengambil guci arak yang tersampir di punggung, lalu dituangkan ke mulut.
Setelah terdengar bunyi tegukan, Dewa Arak merasakan adanya hawa hangat menjalar naik ke kepala setelah arak itu sampai di lambungnya. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu mulai limbung karena kedua kakinya tidak menapak secara tetap di tanah.
Barnaba tidak merasa heran melihat tingkah laku lawannya. Sebagai seorang tokoh persilatan yang telah kenyang pengalaman dia tahu, banyak orang memiliki ilmu aneh, tapi mengandung kedahsyatan luar biasa. Dia yakin Dewa Arak memiliki ilmu seperti itu. Maka, tanpa membuang-buang waktu dia melompat menerjang Dewa Arak. Pedangnya diputar seperti kitiran dan menyambar ganas ke arah dada lawan. Sedangkan tangan kiri bersiap untuk melancarkan serangan susulan.
"Heaaa...!"
Klang!
Suara berdentang nyaring disertai percikan bunga api, ketika Dewa Arak menangkis tusukan pedang lawan dengan ayunan guci araknya. Pada saat yang hampir bersamaan, tangan kiri Barnaba meluncur dengan sebuah totokan ke arah leher Dewa Arak.
Namun pemuda berambut putih keperakan itu berhasil mengelakkannya dengan memiringkan kepala. Bahkan langsung mengirimkan tendangan kaki kanan ke arah pusar yang memaksa Barnaba melompat mundur!
Kesempatan yang sebentar di saat berada cukup jauh dari lawan dipergunakan kedua belah pihak untuk memeriksa senjata masing-masing. Hati mereka lega ketika mengetahui tak ada kerusakan sedikit pun pada masing-masing pusaka. Kembali keduanya saling gebrak.
Pertarungan yang lebih menggiriskan dan menyeramkan dari sebelumnya kembali berlangsung. Sinar kehijauan pedang Barnaba berkelebatan ke sana kemari seperti halilintar menyambar-nyambar, terkadang meliuk-liuk mirip ular.
Memang, tak dapat diremehkan kehebatan ilmu pedang kakek tua berpakaian abu-abu ini. Setiap serangan yang dilancarkan selalu mengarah pada bagian-bagian mematikan. Sehingga apabila tergores sedikit saja sudah cukup untuk mengirim nyawa orang ke alam baka, karena racun yang terkandung di dalam batang pedang itu.
Klang!
"Heaaa...!"
Pada jurus kedua ratus tujuh puluh, Dewa Arak menangkis dengan guci. Kemudian mempergunakan tenaga tangkisan itu untuk bersalto ke atas melewati kepala Bemaba, ketika serangan pedang kakek itu meluncur ke arah leher.
Barnaba yang dapat menduga maksud Dewa Arak, segera membalikkan tubuh sambil menyabetkan senjatanya ke belakang menangkal serangan susulan yang akan dilakukan Dewa Arak.
Trikkk!
"Heh...!" Barnaba memekik kaget ketika dengan perhitungan matang Dewa Arak berhasil mempergunakan batang pedang sebagai tempat landasan gucinya. Pemuda itu tidak berani mempergunakan tangan atau kaki mendarat di batang pedang Barnaba yang beracun.
Ketika itulah, sebelum Barnaba sempat berbuat sesuatu, tangan kiri Dewa Arak telah memukul bahu kanannya. Sehingga tubuh lelaki tua itu terjengkang ke belakang dengan darah menetes di sudut bibirnya.
Dan, sebelum kakek berpakaian abu-abu itu sempat berbuat sesuatu, Dewa Arak telah melesat ke arahnya. Dan tahu-tahu tangannya telah menempel di ubun-ubun Barnaba. Sekali saja Barnaba melakukan suatu gerakan yang mencurigakan, nyawanya akan lebih dulu melayang ke alam baka.
"Aku tidak ada permusuhan denganmu, Barnaba. Tapi, tolong katakan padaku, apa yang telah kau lakukan pada diri Sumini dan Empu Pradaga?!" tanya pemuda berambut putih keperakan itu dengan nada ancaman.
"Ha ha ha...!" Barnaba tertawa terkekeh. "Kau keliru, kalau mengira dengan ancaman ini aku takut dan mengatakan hal-hal yang ingin kau ketahui, Dewa Arak. Kau keliru. Mau bunuh silakan bunuh, siapa yang takut mati?"
Mendengar ucapan ini Dewa Arak segera menarik kembali tangannya karena tahu kalau Barnaba bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Arya tahu bagi orang seperti Barnaba, dan bahkan dia sendiri, mati bukan hal yang perlu ditakuti! Setiap saat nyawa bisa melayang tanpa bisa dicegah.
"Barnaba, seperti yang telah kukatakan tadi, di antara kita tidak ada permusuhan, dan aku tidak mau menciptakannya. Aku tidak ikut campur, dan bahkan tidak peduli dengan pembunuhan yang telah kau lakukan terhadap Raja Pedang Langit Bumi. Tapi, aku wajib tahu akan nasib yang menimpa Sumini dan Empu Pradaga!"
Wajah Barnaba berubah hebat seketika. Karuan saja hal itu membuat Arya merasa heran. Apakah ada yang salah pada ucapannya sehingga mebuat kakek berpakaian abu-abu itu merasa terkejut.
"Itukah nama dua orang yang kau khawatirkan keselamatannya?" tanya Barnaba dengan suara bergetar.
Tanpa bisa menyembunyikan keterkejutan yang membayang jelas di wajahnya. "Benar," Arya menganggukkan kepala. "Sumini adalah putri Raja Pedang Langit Bumi sedangkan Empu Pradaga, orang yang akan menjadi ayah angkatnya."
"Bisa kau berikan sedikit ciri-cirinya padaku, Dewa Arak? Maksudku, ciri-ciri Empu Pradaga itu! Dan, mengapa kau menyangka mereka berdua kucelakai?"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera menceritakan pertemuannya dengan Sumini dan Empu Pradaga. Juga ciri-ciri kakek berpakaian putih tadi. Pendekar muda itu merasakan ada hal-hal yang pelik di sini. Sehingga segera diceritakannya secara gamblang, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Sikap Barnaba yang seperti itu membuatnya merasa yakin ada hal-hal hebat yang tersembunyi di sini.
"Celaka! Putri Raja Pedang Langit Bumi itu sekarang berada dalam bahaya, Dewa Arak!" desah Barnaba setelah mendengar penuturan Arya sampai selesai.
Kemudian, kakek berpakaian abu-abu ini menceritakan hal-hal sebenarnya yang diketahuinya. Hal itu membuat Dewa Arak merasa heran dan terkejut setengah mati mendengarnya.
"Kalau begitu, sekarang juga aku akan menyusulnya, Barnaba. Maafkan atas kesalahanku!"
"Lupakanlah, Dewa Arak. Aku tidak menganggap kau melakukan sebuah kesalahan padaku. Bahkan sebaliknya kau memberikan keuntungan. Karena dengan terjadinya pertarungan di antara kita dan kesalah-pahaman ini, aku jadi mengetahui di mana adanya Empu Pradaga itu."
Namun, Dewa Arak tidak bisa menyambuti ucapan Barnaba. Begitu mendengar kakek berpakaian abu-abu itu tidak menganggap kesalahannya sebagai hal yang perlu dipersoalkan, tubuhnya telah melesat. Dewa Arak ingin secepatnya bertemu dengan Sumini dan Empu Pradaga.
Sementara itu Sumini tengah berlari cepat dengan napas terengah-engah. Tanpa mempedulikan semak belukar dan rumput ilalang yang dilaluinya, gadis itu terus berlari. Bahkan onak berduri pun diterjangnya, sehingga pakaiannya banyak yang ko yak-koyak. Saat itu, Sumini berada di dalam sebuah hutan yang tampaknya masih perawan, belum terjamah orang.
Sumini baru menghentikan larinya dan bersembunyi, ketika menemukan sebuah semak-semak belukar yang lebat. Di sini, gadis berpakaian kuning itu berjongkok dan menenangkan deru napasnya yang memburu karena rasa takut dan tegang. Dengan menggeleng-gelengkan kepala, putri Raja Pedang Langit Bumi itu teringat kembali kejadian yang baru saja dialaminya. Kejadian bersama Empu Pradaga.
"Di mana penjahat keji itu, Kek?!" tanya Sumini. Hatinya tak sabar setelah beberapa saat lamanya dia dan Empu Pradaga, berlari cepat untuk menuju tempat Barnaba, tidak juga bertemu. Bahkan tanda-tanda keberadaannya pun tidak terlihat.
"Penjahat keji?!" Empu Pradaga malah balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan, berlari di sebelah Sumini dengan tatapan tertuju ke depan. Kakek ini ternyata cukup lihai, mampu menjajari Sumini. Padahal putri Raja Pedang Langit Bumi itu telah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk berlari cepat.
"Lho...?!" Sumini terperanjat mendengar jawaban yang tidak disangka-sangka itu. Tanpa sadar kecepatan larinya mengendur hingga dia tertinggal. Namun keadaan kembali seperti semula karena Empu Pradaga menghentikan lari dan membalikkan tubuh, menghadap Sumini. "Bukankah kau hendak mengajakku menemui Barnaba, orang yang telah membunuh ayahku, Kek?!"
"Sayang sekali, Sumini," jawab Empu Pradaga seperti menyesalkan keadaan. "Sebenarnya dengan senang hati aku akan membawamu pada Barnaba, dan bahkan membunuhnya untukmu. Tapi..., bagaimana aku mempunyai urusan yang jauh lebih penting denganmu. Kau akan kubawa ke tempat tinggalku."
"Aku tidak mau!" sentak Sumini keras sambil mengayunkan kaki ke belakang, mundur-mundur. "Jangan harap aku sudi ke tempat tinggalmu sebelum aku berhasil membalaskan dendam atas kematian ayahku! Bahkan menjumpai kuburnya pun belum kulakukan!"
Empu Pradaga menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau saja aku mempunyai waktu lebih banyak lagi, mungkin aku akan membantumu mendapatkan Barnaba dan bahkan membunuhnya, Sumini. Tapi... sayang, waktu yang kumiliki terbatas. Tapi, percayalah aku akan mencari Barnaba dan membunuhnya setelah urusan ini selesai! Dan...."
"Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai kapan pun tetap tidak. Bukankah kau mengatakan kalau Barnaba telah kau jumpai beberapa saat yang lalu?! Mengapa repot-repot mencarinya lagi?! Atau..., kau telah berbohong padaku?!"
"Kau cerdik, Sumini! Memang, aku tidak bertemu dengan Barnaba. Tadi kukatakan telah bertemu hanya agar kau mau ikut pergi deriganku. Cepatlah, Sumini! Aku tidak punya banyak waktu, jangan sampai aku terpaksa membawamu dengan kekerasan."
"Keparat! Lakukan kalau kau mampu, Empu Pembohong!" ujar Sumini, tegas.
"He he he...!" Empu Pradaga tertawa bergelak merasa lucu melihat Sumini yang telah bersiap-siap melakukan perlawanan. Seakan-akan kakek ini tengah melihat seorang anak kecil yang tengah menantangnya. "Tidak ada gunanya kau melawan, Sumini. Aku tahu kau memiliki kepandaian tinggi, dan hal itu kuketahui dari keberhasilanmu membunuh Pranacitra secara mudah. Tapi, tidak ada gunanya. Tak akan ada satu pun tokoh persilatan yang dapat menghadapiku, Sumini! Camkan itu! Tidak juga Dewa Arak! Kalau aku mau, saat bertemu dengannya, telah kukirim nyawanya ke neraka!"
Belum juga Empu Pradaga menutup mulutnya, Sumini telah melancarkan serangan. Kakinya menendang bertubi-tubi ke arah lambung yang mengeluarkan bunyi menderu keras karena didorong tenaga dalam kuat.
Hanya dengan melangkahkan kaki kanan dan ke belakang, Empu Pradaga telah membuat semua serangan Sumini kandas. Kemudian kakek berpakaian putih itumengulurkan kedua tangan ke arah pinggang Sumini seperti hendak memeluk.
Tappp!
"Ikh!" Sumini memekik tertahan ketika pergelangan tangan kanannya tercekal Empu Pradaga yang bergerak demikian cepat. Hal itu dilakukan ketika Sumini menarik tubuhnya mengelak dari pelukannya.
Meskipun demikian, Sumini tidak gugup. Buru-buru ditarik tangannya. Namun kalah cepat! Karena begitu tangannya tercekal Empu Pradaga, langsung melakukan gerakan lanjutan. Entah dengan cara bagaimana tahu-tahu kedua tangan kakek berpakaian putih itu telah menangkap kedua pinggang Sumini.
Kelanjutan kejadian yang tidak tersangka-sangka ini membuat Sumini gugup. Sungguh pun demikian, karena telah dapat menduga tindakan yang akan dilakukan lawan, Sumini mengerahkan tenaga untuk memperberat tubuhnya. Untuk kesekian kalinya Sumini harus menelan kenyataan pahit. Usahanya gagal. Tubuh gadis itu terangkat ke atas dan Empu Pradaga memutar-mutarnya sambil tertawa bergelak.
Sumini tidak berdaya untuk berbuat apa pun ketika tubuhnya diputar-putar beberapa saat. Akhirnya kakek berpakaian putih itu melemparkannya ke depan dengan mengerahkan tenaga dalam. Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh Sumini meluncur jauh ke depan akibat tenaga lemparan yang kuat itu.
Namun, kali ini Sumini mampu mempertujukkan kalau dirinya tidak mudah dijadikan pecundang. Dengan manis diaberjungkir balik di udara, kemudian membalik dengan tenaga lontaran yang masih mendorongnya. Sehingga tubuhnya meluncur ke arah lawan, dan berdiri di depannya.
Empu Pradaga membelalakkan sepasang mata heran melihat lawan mampu menggagalkan lemparannya. Sama sekali tidak disangka kalau Sumini mampu melakukan hal seperti itu. Semula kakek berpakaian putih ini menduga kalau tubuh Sumini akan melayang jauh dan akhirnya menumbuk pohon yang berada tak jauh dari situ.
"Ha ha ha...! Bagus...! Bagus...! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian juga, Anak Manis?! Baik, kita bersenang-senang dulu sebelum kau terpaksa ikut pergi denganku!" ucap Empu Pradaga, penuh perasaan gembira.
Sumini yang telah berhasil memperbaiki kedudukannya, dan berdiri tegak berhadapan dengan kakek berpakaian putih itu, tidak mempedulikan ucapan yang tertuju padanya. Menyadari kalau lawan kali ini memiliki kepandaian tinggi, dicabut pedangnya. Sebagai seorang putri raja pedang, dengan pedang di tangannya itu Sumini tidak ubahnya seekor harimau bersayap.
Serangan-serangan Sumini, benar-benar menakjubkan. Bentuk pedangnya lenyap. Yang terlihat sekarang hanya sinar-sinar berkilauan laksana halilintar menyambar-nyambar ke arah Empu Pradaga. Kadang-kadang, sinar itu memecah seperti membuat jalan sendiri-sendiri, tapi semuanya menuju ke satu arah, Empu Pradaga!
"Hebat..!" Di sela-sela kesibukannya mengelakkan serangan, Empu Pradaga masih sempat mengeluarkan pujian. Kakek berpakaian putih ini sebenarnya merasa kagum menyaksikan permainan ilmu pedang Sumini.
Dengan ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam yang luar biasa, Sumini benar-benar menggiriskan hati. Namun, toh Empu Pradaga mampu menangkal setiap serangannya. Tubuh kakek itu bagaikan asap, berkelebatan ke sana kemari di antara sambaran pedang Sumini. Ke mana saja pedang lawan menyambar, selalu berhasil dielakkan.
Sumini menggertakkan gigi karena kesal ketika sampai empat puluh jurus melancarkan serangan, tak satu pun mengenai sasaran. Dan yang lebih menjengkelkan hatinya, kakek berpakaian putih itu belum melancarkan serangan sama sekali.
Tiba-tiba Empu Pradaga menggeram keras laksana seekor harimau tengah murka. Getaran suaranya membuat Sumini terkejut. Dadanya terasa tergetar hebat, bahkan kedua kakinya menggigil. Sebelum dia sempat berbuat lebih jauh, tangan kakek itu telah bergerak.
Sumini memekik tertahan ketika merasakan tangannya yang menggenggam pedang terasa lumpuh. Dia tidak mampu mencegah sama sekali ketika Empu Pradaga mengulurkan tangan merampas pedangnya.
Wajah Sumini seketika pucat. Kenyataan ini menyadarkannya kalau Empu Pradaga benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Dia mulai merasa gentar. Baru sekali ini ditemukannya lawan yang memiliki kepandaian tinggi.
"Bagaimana, Anak Manis?" tanya Empu Pradaga dengan senyum mengejek sambil menimang-nimang pedang Sumini.
Sumini mundur-mundur ketika Empu Pradaga melangkah perlahan ke arahnya. Dengan pedang di tangan saja dia tidak mampu menghadapi kakek yang luar biasa ini, apalagi tanpa senjata. Dia akan dapat dikalahkan secara mudah.
"Subranta,..! Sungguh kau tidak tahu malu berani mengganggu seorang bocah ingusan...."
Mendadak terdengar suara seseorang yang membuat Empu Pradaga terkejut. Begitu juga Sumini. Diam-diam perasaan gembira menyeruak di hati gadis berpakaian kuning ini karena mengenai pemilik suara itu. Pemilik suara inilah yang dulu membuatnya lolos dari Dewa Arak.
Seorang perempuan tua berpakaian hitam yang sebenarnya nenek kandung Sumini. Tiba-tiba pula terdengar angin berkesiutan, dan di tengah-tengah antara Sumini dan Empu Pradaga, berdiri seorang nenek berpakaian hitam.
"Kau...?!" Empu Pradaga membelalakkan mata keheranan. "Kau masih hidup?! Kau tidak mati?! Kau selamat, Durgandini?"
"Ya," sahut nenek berpakaian hitam yang ternyata bernama Durgandini. "Tapi tidak dengan cara seperti yang kau lakukan, Subranta?! Mengorbankan banyak nyawa tidak berdosa! Dan sekarang kalau aku tidak segera datang, mungkin cucuku pun akan menjadi korban kebiadabanmu!"
"Ah...!" Subranta alias Empu Pradaga terperanjat. "Jadi, bocah ini cucumu?! Kalau begitu Raja Pedang Langit Bumi anakmu?!"
"Mengapa? Kaget?"
"Terus terang kukatakan iya, Durgandini. Tapi, aku tidak mau mengurus hal-hal kecil semacam itu. Yang penting, sekarang aku butuh cucumu ini! Menyingkirlah kau, Durgandini, jangan sampai aku lupa kalau kita pernah mempunyai hubungan baik!"
"Lupakanlah hal itu, Subranta! Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan cucuku jadi korban kebiadabanmu!" tegas Durgandini mantap. "Sumini! Cepat kau pergi dari sini! Selamatkan dirimu!"
"Tapi, Nek...!" Sumini masih mencoba membantah.
"Cepat pergi kataku!" sergah Durgandini. Ketika Sumini hendak memberikan tanggapan lagi, Empu Pradaga alias Subranta telah menggeram hebat dan menubruk Durgandini dengan kedua tangan terpentang, seperti layaknya seekor harimau menerkam mangsanya.
Kedahsyatan serangan ini membuat Sumini melompat mundur, tapi tidak demikian halnya dengan Durgandini. Dengan gagah berani nenek berpakaian hitam itu memapak datangnya serangan dengan kedua tangan hendak mencengkeram.
Jglarrr...!
Ledakan keras menggelegar seketika terdengar memekakkan telinga. Suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat. Bahkan Sumini yang berada jauh dari tempat pertarungan pun merasakan sendiri kedahsyatan getarannya.
Hal ini memaksa gadis berpakaian kuning itu untuk terus menjauhi dari tempat pertarungan karena menyadari bahayanya. Kini Sumini mulai mengetahui kekhawatiran neneknya, ketika melihat Durgandini terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang akibat benturan itu. Sumini tahu, tenaga dalam neneknya kalah kuat jika dibandingkan dengan Empu Pradaga.
Sementara itu, Empu Pradaga tampaknya tidak main-main dengan ancamannya. Tanpa memberi kesempatan pada Durgandini untuk memperbaiki kedudukan, dia melakukan serangan susulan. Namun, Durgandini pun bukan orang yang gampang dipecundangi. Dengan cepat dia dapat mengelak, dan bahkan segera melancarkan serangan tidak kalah dahsyat. Dia mulai mempergunakan payung yang menjadi senjata andalannya.
Sesaat kemudian bentuk tubuh kedua tokoh sakti yang sama-sama tua itu lenyap. Sehingga yang tampak hanya bayangan hitam dan putih saling berkelebatan saling membelit. Pandangan mata Sumini yang tajam dapat melihat kalau Empu Pradaga memang terlalu tangguh untuk dilawan.
Menginjak jurus ketiga puluh, dilihatnya Durgandini telah dapat bermain mundur. Serangan-serangan yang dilakukannya sudah mulai berkurang. Hanya mengelak dan menangkis yang dilakukan, bahkan menangkis pun sesekali saja karena merugikannya.
Dalam keadaan terdesak, rupanya Durgandini masih sempat melihat kalau Sumini belum meninggalkan tempat itu. Maka dikeluarkan seruan-seruan untuk memaksa Sumini meninggalkan tempat itu secepatnya.
Hal itu amat berbahaya, dan hampir saja tindakan yang cukup membagi perhatian ini membuatnya kehilangan nyawa. Sumini tahu kalau dia tetap di sini, neneknya akan menghadapi bahaya besar karena selalu mengkhawatirkannya. Maka meskipun tidak sampai hati, dikeraskan perasaan untuk meninggalkan tempat ini.
Sungguhpun demikian, karena rasa khawatirnya yang masih berkecamuk, Sumini berkali-kali menolehkan kepala berusaha melihat keadaan neneknya. Tindakan itu dihentikan ketika tubuh kedua orang yang bertempur tidak terlihat lagi. Sampai akhirnya gadis berpakaian kuning itu tiba di kerimbunan semak-semak belukar.
Baru saja deru napas Sumini mereda, terdengar bunyi berkerosakan yang semakin lama semakin keras pertanda ada sesuatu yang tengah mendekati tempatnya dengan menerobos kerimbunan semak-semak. Sumini merasakan jantungnya berdetak cepat lagi.
"Mau lari ke mana, Bangsat Kecil?! Jangan harap dapat lolos dari tanganku! Aku tahu kau bersembunyi di sekitar tempat ini. Aku mencium baumu! Keluarlah, cepat! Sebelum aku kehilangan kesabaran dan merobek-robek tubuhmu sampai hancur...!"
Sumini bukan seorang gadis penakut. Namun mendengar ancaman itu kakinya menggigil keras karena ngeri. Apalagi ketika didengarnya bunyi mendengus-dengus, seperti seekor anjing pelacak tengah mencari jejak. Kekhawatiran Sumini semakin memuncak! Suara dan bunyi mengendus-endus itu terdengar demikian dekat.
"Keluarlah kau, Bangsat Kecil!"
Berbareng keluarnya teriakan itu, serentak angin keras berhembus. Semak-semak tempat sembunyi Sumini tercabut sampai ke akar-akarnya, bagai ditarik oleh tangantangan raksasa gaib.
Hampir Sumini copot jantungnya ketika melihat tempat persembunyiannya dihancurkan. Apalagi ketika melihat Empu Pradaga dengan wajah dan sepasang mata yang semakin merah telah berdiri beberapa tombak di depannya.
Meskipun demikian, Sumini tidak kehilangan akal untuk bertindak di saat-saat genting, dia masih ingat untuk menghentakkan tangannya melancarkan pukulan jarak jauh. Namun hanya dengan kibasan tangan kiri, Empu Pradaga yang tengan kalap membuat pupus serangan Sumini yang dahsyat itu.
Sumini seakan tidak kuat berdiri karena hatinya ngeri. Dia tahu tidak ada jalan lolos lagi baginya untuk menyelamatkan selembar nyawa. Dan, Empu Pradaga yang tengah murka langsung menubruknya. Sumini tidak bisa bergerak lagi. Dengan rasa putus asa matanya terpejam, pasrah pada kenyataan yang akan menimpanya. Tapi, serangan Empu Pradaga tidak kunjung datang. Bahkan dia mendengar adanya seruan keras diikuti dengan berdesirnya angin keras.
"Pradaga...! Keparat keji, terimalah ajalmu! Heaaa...!"
Sebuah benturan keras langsung terdengar ketika teriakan itu belum lenyap gemanya. Benturan yang membuat tempat berpijak Sumini tergetar hebat seperti terlanda gempa. Dan ketika gadis berpakaian kuning itu membuka mata dilihatnya sesosok tubuh berpakaian abu-abu melayang deras ke belakang, bahkan melewati kepalanya. Sementara Empu Pradaga hanya terhuyung-huyung beberapa langkah.
Namun sosok berpakaian abu-abu itu rupanya bukan tokoh sembarangan. Dia mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlontar, lalu meluruk kembali ke arah Empu Pradaga yang baru saja hendak menerkam Sumini lagi.
"Keparat jahanam!" Empu Pradaga menggeram seperti harimau luka yang membuat dada Sumini tergetar keras. "Siapa kau, Anjing Kudisan! Sungguh berani mati kau mencampuri urusanku!"
"Kaulah yang harus mati di tanganku, Pradaga! Demi membalas kematian murid-muridku yang telah kau bantai dan jadikan korban kebiadanmu yang terkutuk itu!" sahut kakek berpakaian abu-abu. Ingatkah kau akan perguruan kecil wanita di leher Gunung Welirang? Nah, akulah guru mereka. Kau telah melakukan kekejian iblis di saat aku tak ada di sana! Sekarang terimalah balasanku, Iblis Keji!"
"Jadi, kau Barnaba?! Rupanya kau ingin menyusul murid-muridmu, heh?! Baiklah, terimalah kematianmu, Barnaba!"
Empu Pradaga melancarkan serangan berturut-turut dengan kedua tangannya yang terkepal keras. Tapi, Barnaba mengelakkan serangan dengan membanting tubuh ke tanah dan bergulingan menjauh.
''Menyingkirlah, Sumini! Pergi, tinggalkan tempat ini! Cari Dewa Arak dan minta perlindungan padanya! Iblis keji ini akan menjadikanmu korban kebiadaban nafsunya!" seru Barnaba sambil terus menggulingkan tubuh.
Sumini tidak langsung mematuhi seruan itu. Hatinya berperang antara mengikuti perintah itu atau menyerang orang yang telah membunuh ayahnya.
Dan Barnaba pun rupanya mengetahi keragu-raguan Sumini. Maka sambil bergulingan mengelakkan serangan maut Empu Pradaga, dia kembali berseru, "Pergilah, Sumini! Cepat! Percayalah, bukan aku yang membunuh ayahmu! Kalau kau tidak percaya, tanya saja pada Dewa Arak. Dia tahu pembunuhnya!"
Kali ini Sumini tidak berani membuang waktu lebih lama. Dia merasakan adanya kesungguhan dalam ucapan kakek berpakaian abu-abu itu. Maka sambil menggertakkan gigi untuk lebih menambah kekuatan tenaga dalamnya, tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya ingin menjumpai Dewa Arak untuk meminta pertolongan sekaligus keterangan mengenai ayahnya.
Barnaba harus berjuang keras untuk menanggulangi serangan gencar Empu Pradaga. Harus diakuinya kalau saat ini kepandaiannya belum dapat diandalkan untuk dapat membalas dendam. Empu Pradaga memang seperti bukan manusia lagi. Serangan-serangan Barnaba baik pukulan maupun tendangan tidak dirasakan sama sekali. Beberapa kali serangannya mendarat di berbagai bagian tubuh lawan, tapi hanya mampu membuat Empu Pradaga terhuyung-huyung sebentar, kemudian kembali sigap seperti sediakala.
Tidak terlihat kalau pukulan dan tendangannya berpengaruh. Sebaliknya, Barnaba harus berhati-hati menghadapi setiap serangan balasan Empu Pradaga. Karena, jangankan terkena secara telak, baru terserempet angin serangannya saja sudah cukup untuk membuat tubuh Barnaba terhuyung-huyung seperti diseruduk seekor banteng.
Sadar akan ketinggian ilmu lawannya Barnaba tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan pedangnya yang beracun. Dan setelah pedang itu dikeluarkan Empu Pradaga tidak berani menerima serangan. Rupanya dia telah mengetahui kalau pedang Barnaba mengandung racun yang tidak terkira ganasnya.
Dengan pedang beracun di tangan, Barnaba dapat bernapas lebih lega. Empu Pradaga tidak bisa bersikap seperti sebelumnya, mengacuhkan setiap serangan. Sekarang, kakek berpakaian putih itu bertarung seperti layaknya, terkadang mengelak dan sesekali melancarkan serangan balasan.
Lima puluh jurus telah berlalu. Selama itu Empu Pradaga tidak bisa melakukan tindakan berarti. Barnaba masih mampu melakukan perlawanan sengit. Empu Pradaga tidak mampu melakukan desakan karena lawan mampu mempergunakan pedang beracunnya di saat yang tepat.
Wajah Empu Pradaga merah padam karena geram. Sambil mendengus segera dikeluarkan senjata andalannya, berupa seuntai tasbih. Kehebatannya tidak terperikan. Bentuk tasbih itu lenyap ketika digerakkan. Yang tampak kini hanya segulungan sinar putih yang meluncur ke arah Barnaba.
Hanya dengan beberapa gerakan, dihitung dari Empu Pradaga menggunakan senjata, Barnaba dibuat kelabakan. Permainan tasbih Empu Pradaga benar-benar membuatnya bingung. Tasbih itu terkadang lepas dari tangan memburu dan menyambar tubuh lawan tapi kemudian bisa kembali lagi ke pemiliknya.
Trakkk!
"Aaakh...!" Barnaba mengeluarkan jeritan tertahan ketika tasbih Empu Pradaga membelit batang pedangnya. Dicobanya untuk melepaskan senjata andalan itu dari belitan senjata lawan.
Tapi sia-sia. Sebelum Barnaba sempat berbuat sesuatu, Empu Pradaga mengirimkan serangan maut ke arah ulu hati dengan tusukan jari-jari tangan kirinya.
Barnaba segera melangkah mundur seraya melakukan tarikan terhadap senjatanya agar dapat lepas dari belitan senjata lawan. Tindakan ini membuat tubuh, terutama bagian atas tergeser ke belakang sejauh beberapa kaki. Ini membuat jari-jari tangan Empu Pradaga tidak akan bisa menyentuh sasaran.
Namun perhitungan Barnaba meleset sama sekali. Tangan Empu Pradaga terus mengejar dan akhirnya berhasil menembus ulu hatinya. Padahal Barnaba telah berusaha keras untuk mengelakkannya. Ternyata tangan Empu Pradaga bisa memanjang hampir dua kali lipat ukurannya.
Inilah yang menyebabkan elakan Barnaba sia-sia. Dan kakek berpakaian abu-abu itu menjerit keras, ketika jari-jari tangan Empu Pradaga menembus dadanya hingga menimbulkan muncratan darah segar membasahi tubuhnya. Tanpa mempedulikan lawannya lagi, Empu Pradaga segera melesat untuk mengejar Sumini.
Empu Pradaga yang sudah kalap itu berlari secepat-cepatnya sehingga kedua kakinya seperti tidak menapak tanah. Namun setelah beberapa saat lamanya berlari, kakek berpakaian putih ini mengerutkan alis ketika melihat ada sesosok tubuh yang juga bergerak cepat. Hanya saja arah yang ditempuh sosok itu berlawanan dengannya.
Karena kedua belah pihak bergerak saling mendekati, hanya dalam waktu sesaat saja, jaraknya telah semakin dekat. Dan Empu Pradaga menggeram hebat ketika melihat secara jelas kalau sosok yang bergerak cepat mendekatinya ternyata, Dewa Arak. Dan kegeraman Empu Pradaga semakin menjadi-jadi ketika melihat Dewa Arak sepertinya sengaja menghadang perjalanannya.
"Hendak ke mana, Empu?! Dan mengapa terburu-buru sekali?!" tanya Dewa Arak yang telah berdiri menghadangnya di jalan. "Ke mana Sumini?"
Jawaban bagi pertanyaan Dewa Arak sebuah hentakkan kedua telapak tangan yang menimbulkan bunyi angin keras. Apabila mengenai sasaran mampu membuat tubuh hancur lebur, dan itu diketahui secara pasti oleh Dewa Arak. Pendekar muda itu segera melompat ke atas, sehingga serangan lewat di bawah kakinya.
Empu Pradaga benar-benar tengah mengejar waktu. Begitu melihat Dewa Arak melompat ke atas, dia langsung melesat lari menerobos tempat Dewa Arak semula berada.
Namun Dewa Arak tidak kalah cerdik. Ketika tubuhnya masih berada di atas langsung berputar tepat di saat Empu Pradaga tengah melewati tempatnya. Kedua tangannya diayunkan ke arah ubun-ubun kepala kakek berpakaian putih itu.
Dewa Arak langsung melancarkan serangan maut. Dan itu bukan tanpa alasan karena dia telah mengetahui secara pasti siapa sebenarnya Empu Pradaga ini!
Begitu meninggalkan Barnaba yang saat itu tengah terluka. Dewa Arak memacu larinya secepat mungkin. Maksudnya agar segera tiba di tempat pertapaan Empu Pradaga di sebelah selatan lereng Gunung Anjasmoro.
Cukup lama Dewa Arak berlari cepat ketika pendengarannya yang tajam menangkap adanya bunyi rintihan dari sebelah kanannya. Semula, pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud membiarkannya saja mengingat dia sendiri tengah mengejar waktu. Namun, naluri kependekarannya tidak bisa diajak melakukan hal seperti itu.
Maka, Arya membelokkan arah, dan berlari menuju tempat suara rintihan itu berasal. Hanya beberapa kali lesatan, Dewa Arak telah berhasil mengetahui asal dan pemilik suara rintihan itu. Dan begitu melihatnya, Arya sempat terperanjat. Langkahnya seketika terhenti di tengah jalan. Pemilik suara rintihan itu dikenalinya betul, nenek berpakaian hitam yang telah menyebabkan Sumini terpisah darinya, Durgandini.
Durgandini juga melihat kedatangan Dewa Arak meskipun tubuhnya saat itu terkapar berlumur darah. Pendengarannya yang tajam, menangkap bunyi langkah kaki Dewa Arak dan ditolehkan kepalanya. Begitu dilihatnya pemuda itu, wajahnya tampak berseri gembira.
"Dewa Arak...! Syukur kau datang, cepat selamatkan Sumini! Dia terancam bahaya mengerikan!"
Seruan Durgandini membuat Dewa Arak mengernyitkan kening karena heran. Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang makan asam garam dunia persilaan, dia dapat merasakan adanya nada kekhawatiran dalam ucapan nenek berpakaian hitam ini. Dan hal itu membuatnya merasa heran. Mengapa, Durgandini merasa khawatir akan nasib Sumini.
Dewa Arak tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun pertanyaan seperti itu. Begitu mendengar nama Sumini disebut, dia langsung melupakan tindakan Durgandini yang waktu itu telah menyebabkan Sumini lolos darinya? Keselamatan Sumini saat itu jauh lebih penting daripada meributkan masalah yang telah lalu!
"Apa yang terjadi dengan Sumini? Aku tahu kalau Sumini pergi dengan Empu Pradaga yang berhati keji! Lalu, sekarang di mana dia?" tanya Dewa Arak tak sabar.
"Kau sudah tahu hal itu, Dewa Arak?" tanya Durgandini setengah tidak percaya.
"Aku sudah tahu dari Barnaba! Jangan buang-buang waktu, cepat katakan ke mana Sumini dibawa pergi!"
"Sumini berhasil kuselamatkan dari tangan jahat Empu Pradaga itu. Aku bertarung dengannya dan kalah. Untung saja karena dia tengah terburu-buru aku tidak sempat dibunuhnya. Dia lebih mementingkan mengejar Sumini berlari ke arah sana!"
"Siapakah kau ini, Nek?" tanya Dewa Arak tak kuasa menahan perasaan ingin tahunya.
"Aku nenek kandung Sumini. Raja Pedang Langit Bumi adalah anakku!"
"Ah...!" Dewa Arak kaget karena hal itu benar-benar tidak disangkanya. "Bisa kutinggalkan kau sebentar, Nek?! Kalau saja aku tidak tengah beradu cepat dengan waktu, dan Sumini tidak berada dalam keadaan gawat, aku akan menungguimu di sini sampai keadaanmu pulih seperti sediakala."
"Tidak usah kau pedulikan aku, Dewa Arak! Aku tidak apa-apa. Yang penting, selamatkan Sumini."
Dewa Arak sudah tidak sempat lagi mendengar sambutan Durgandini karena langsung melesat cepat meninggalkannya. Dan ternyata arah yang ditunjukkan nenek berpakaian hitam itu tidak keliru sama sekali. Baru beberapa saat berlari, di kejauhan dilihatnya sesosok tubuh tengah melesat cepat mendekati tempatnya berada. Dan tak lama kemudian Arya tahu kalau sosok itu Sumini adanya.
"Sumini! Syukurlah kau selamat!" seru Arya seraya menghadang di depan Sumini yang tampak pucat pasi. "Di mana Empu Pradaga itu?! Dan mengapa kau lari kembali ke tempat semula. Cepat kau tolong nenekmu!"
"Em... pu Pra... da... ga tengah berta... rung dengan Bar... naba...," jawab Sumini dengan suara terputus-putus karena napasnya yang terengah disebabkan rasa takut dan tegang.
Perasaan takut dan tegang membuat Sumini tidak bisa memperhatikan arah lagi. Yang dipikirkannya berlari sejauh-jauhnya dari Empu Pradaga yang mengerikan. Sama sekali tidak sempat diingat kalau dia menuju ke tempat yang semula ditinggalkannya. Sehingga dia berpapasan dengan Dewa Arak.
"Kau mau ke mana, Dewa Arak?" tanya Sumini ketika melihat Dewa Arak melesat ke tempat yang baru ditinggalkannya. Tempat Empu Pradaga dan Barnaba tengah bertarung keras.
"Menjumpai Empu Pradaga dan menghentikan perbuatan kejinya yang telah merenggut nyawa tidak berdosa," jawab Arya pelan, tapi mantap.
"Lebih, baik kau urungkan niatmu, Dewa Arak!" ujar Sumini tanpa dapat menyembunyikan rasa khawatir atas keselamatan Dewa Arak. "Akan sangat berbahaya bagi keselamatanmu. Empu Pradaga bukan manusia lagi, dia iblis! Kepandaian yang dimilikinya benar-benar tidak lumrah manusia! Kau akan tewas di tangannya, Dewa Arak!"
"Biarlah kalau itu memang sudah nasibku, Sumini! Aku rela mempertaruhkan nyawa demi membasmi orang seperti Empu Pradaga!"
Kemudian, tanpa menunggu jawaban Sumini, Dewa Arak melesat menuju tempat yang baru ditinggalkan Sumini. Dan akhirnya dia melihat Empu Pradaga yang tengah berlari cepat ke arahnya. Dari kenyataan ini saja dia sudah bisa menduga nasib yang diterima Barnaba.
Tanpa membuang-buang waktu lagi dan tanpa pikir panjang, Dewa Arak segera mengirimkan serangan maut. Sudah bisa diperkirakannya ketinggian ilmu Empu Pradaga dengan keberhasilannya mengalahkan Durgandini dan Barnaba.
Namun serangan Dewa Arak kandas ketika Empu Pradaga dengan cepat merendahkan tubuhnya. Bahkan kakek berpakaian putih itu mampu mengirimkan serangan tidak terduga. Kaki kanannya ditendangkan ke belakang, seperti seekor kuda yang tengah menyepak! Karena tidak ada kesempatan untuk mengelak, Dewa Arak pun menangkisnya dengan kedua tangannya disilangkan.
Dukkk!
"Eh...!" Dewa Arak menyeringai ketika sekujur tangannya terasa lumpuh, dan tubuhnya tergetar hebat. Di samping itu dia terpental kembali ke udara. Namun, Dewa Arak tak mudah untuk ditundukkan, pertarungan sengit pun berlangsung.
Baru beberapa jurus saja, Dewa Arak telah mengetahui kebenaran Sumini mengkhawatirkan nasibnya. Empu Pradaga ternyata benar-benar lihai! Setiap kali terjadi benturan antara mereka, baik kaki maupun tangan selalu membuat tubuh Arya terhuyung-huyung ke belakang dengan rasa sakit yang menjalar ke sekujur tubuh. Sementara lawan hanya tergetar saja tubuhnya.
Namun hal itu belum membuat Dewa Arak merasa takjub. Yang membuat pemuda berambut putih keperakan itu merasa kagum hanya ketika mengetahui lawan tidak pernah mengelakkan setiap serangan yang mengarah berbagai bagian tubuhnya. Setiap serangan baik pukulan maupun tendangan yang mengenai berbagai bagian tubuhnya, tidak berpengaruh banyak. Tubuh Empu Pradaga hanya tergetar sedikit.
Setelah itu kakek berpakaian putih ini langsung melancarkan serangan dahsyat. Hanya dalam beberapa jurus, Dewa Arak sudah dipaksa untuk mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'. Pendekar muda itu merasa kewalahan. Setiap serangan tidak berarti bagi lawan, sedangkan serangan lawan membuatnya terpontang-panting.
Dan setelah Dewa Arak mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' keadaannya jauh lebih menguntungkan daripada sebelumnya. Setidak-tidaknya dia tidak terlalu terpontang-panting dalam mengelakkan serangan. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', serangan-serangan Empu Pradaga tidak terlalu sulit untuk dipupuskan.
Namun Dewa Arak tetap saja terdesak ketika Empu Pradaga mulai menggunakan tasbihnya. Tasbih itu mampu saling bantu dengan tangan kiri yang senantiasa mengirimkan serangan berupa pukulan jarak jauh. Pukulan dahsyat yang membuat tanah, batu, dan pohon yang terkena sasaran hancur be-rantakan.
"Hea...!"
Duk!
"Heaps...!"
Tubuh Arya terdorong jauh ke belakang ketika menangkis dengan guci tendangan Empu Pradaga yang mengarah ke perut. Kesempatan baik itu tidak disia-siakan Empu Pradaga. Dengan sinar mata bengis, dia bersiap melancarkan serangan mematikan. Namun, tindakannya mendadak tertahan ketika terdengar bunyi berdesing nyaring diikuti meluncurnya beberapa bilah pisau ke arah mata, tenggorokan, dan ulu hati.
"Heh...! Haits...!"
Sambil mengeluarkan pekikan tertahan, Empu Pradaga cepat menundukkan tubuh. Sehingga serangan dua bilah pisau yang mengarah sepasang mata lewat di atas kepalanya. Yang mengancam tenggorokan langsung tertangkap mulutnya. Sedangkan yang mengarah ulu hati disampokkan sehingga kembali ke tempat semula.
Empu Pradaga belum sempat berbuat sesuatu, sesosok bayangan kuning melesat diiringi bunyi berdesing nyaring. Seleret sinar berkilauan yang ternyata sebilah pedang meluncur ke tenggorokan Empu Pradaga.
Trak!
Dengan kecepatan yang mengagumkan Empu Pradaga berhasil menangkis pedang sosok bayangan kuning dengan tasbih, dan membelitnya. Tidak hanya sampai di situ, dengan satu sentakan, Empu Pradaga membuat tubuh sosok bayangan kuning itu tertarik ke depan. Kemudian disambutnya dengan gedoran telapak tangan kiri terbuka.
"Uh...!" Sosok bayangan kuning yang ternyata Sumini terpekik. Namun berkat kelihaiannya, dia mampu menghentakkan kaki sehingga tubuhnya melenting ke atas dan serangan itu pun lewat di bawahnya.
Sebelum keadaan Sumini semakin buruk Dewa Arak telah melesat menyelamatkannya dengan mengirimkan serangan yang membuat Empu Pradaga mengalihkan perhatian dari Sumini. Pertarungan yang jauh lebih sengit berlanjut. Empu Pradaga kini menghadapi dua orang lawan.
Meskipun dikeroyok oleh Dewa Arak dan Sumini, Empu Pradaga tidak terdesak Perlawanan sengit tetap dapat diberikan. Bahkan Dewa Arak diam-diam kaget karena merasakan kepandaian Empu Pradaga sepertinya bertambah.
Kalau semula, serangan-serangan pedang Sumini tidak ditangkisnya dengan tangan, sekarang dilakukan hal itu. Begitu juga terhadap serangan-serangan yang dikirimkan.
"Ikh!" Sumini menjerit tertahan ketika pedangnya berhasil dicengkeram tangan kiri Empu Pradaga. Semula meskipun beberapa kali tertangkis, tak pernah di tercengkeram karena Sumini bertindak lebih cepat.
Jeritan pendek Sumini kembali terdengar ketika Empu Pradaga menarik tangannya sehingga tubuh gadis itu ikut tertarik ke depan. Kemudian dengan kecepatan yang sulit untuk diikuti mata, kakek berpakaian putih itu mengirimkan totokan ke arah bahu kanan. Sumini yang tidak sempat mengelak langsung roboh lemas.
Melihat hal itu Dewa Arak yang tadi dipaksa mundur menjauh oleh serangan jarak jauh Empu Pradaga segera melesat untuk menolong Sumini. Namun dia kalah cepat, kakek berpakaian putih itu telah lebih dulu menyambar tubuh Sumini dan memondongnya. Kemudian dengan sekali menjejakkan kaki, tubuh Empu Pradaga telah lewat di atas kepala Dewa Arak dan terus melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Dewa Arak tidak tinggal diam, dan langsung melakukan pengejaran. Namun ternyata untuk kesekian kalinya, pemuda berambut putih keperakan itu harus menelan pil pahit. Kecepatan lari Empu Pradaga benar-benar tidak terjangkau olehnya. Kedua kaki kakek berpakaian putih itu seperti tidak bersentuhan dengan tanah, melainkan melayang. Dewa Arak meskipun telah mengerahkan seluruh kecepatan lari, tetap saja tertinggal, dan semakin lama semakin jauh.
Sungguhpun demikian, Dewa Arak tidak putus asa. Dia terus melakukan pengejaran. Di dalam hati, dirinya menyayangkan tindakan Sumini yang datang untuk menolongnya. Meskipun diakui tanpa adanya Sumini mungkin nyawanya sudah melayang ke alam baka.
Semangat Dewa Arak untuk melakukan pengejaran, semakin membara ketika melihat sosok tubuh tengah terlibat dalam pertarungan. Memang masih terlalu kecil untuk diketahui, tapi menilik gerakan-gerakan yang dilakukan, bisa diketahui kalau sosok yang tengah terlibat dalam pertarungan sengit itu Empu Pradaga dan Durgandini.
Sesaat kemudian, Arya telah bisa membuktikan kebenaran dugaannya. Durgandini dan Empu Pradaga tengah terlibat dalam pertarungan. Namun dalam sekilas dia tahu kalau keadaan nenek berpakaian hitam itu amat gawat. Tubuhnya terpontang-panting ke sana kemari. Dia tidak sempat melakukan serangan balasan, hanya mampu mengelak dengan susah payah.
"Hih!" Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya, melakukan serangan jarak jauh dengan jurus 'Pukulan Belalang'. Seketika itu pula angin berhawa panas menyengat, meluruk ke arah Empu Pradaga yang tengah memburu dan menghujani Durgandini dengan serangan-serangan maut.
Glarrr!
Ledakan keras laksana petir menyambar terdengar ketika Empu Pradaga menghentakkan kedua tangan pula untuk memapak serangan Dewa Arak. Akibatnya tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang dan terguling-guling dengan dada dirasakan sesak. Bahkan, dari sudut bibirnya mengalir darah segar tanda kalau dia terluka dalam. Sementara tubuh Empu Pradaga hanya tergetar. Saat itulah Durgandini melompat bangun dan menusukkan payungnya ke perut Empu Pradaga. Begitu cepat, payung itu dikembangkan.
Pyarrr!
Payung Durgandini langsung hahcur berantakan ketika tangan Empu Pradaga menangkisnya. Padahal, payung itu bukan senjata sembarangan melainkan pusaka yang sangat ampuh. Tubuh Durgandini pun terpental ke belakang.
"Bertahanlah, Dewa Arak!" ujar Durgandini sambil mengerling Arya yang berada di sebelahnya. "Sebentar lagi kita akan memperoleh kemenangan."
"Bagaimana kita akan memperolehnya, Nek?!" tanya Dewa Arak penuh perasaan tidak percaya. "Dia lihai sekali! Aku tidak pernah menyangka akan ada orang yang memiliki kepandaian setangguh ini!"
"Lupakanlah hal itu, Dewa Arak!" sergah Durgandini cepat. "Sekarang yang penting kita harus memberikannya kejutan terakhir yang membuatnya pergi ke alam baka.... Kita gabungkan kekuatan! Kau siap?!"
Tanpa menunggu persetujuan, Durgandini berdiri di belakang Dewa Arak dan menempelkan kedua tangannya ke punggung pemuda berambut putih keperakan itu. Seketika Dewa Arak merasakan aliran kekuatan dahsyat yang menjalar dari kedua tangan yang menempel di punggung. Pendekar muda itu pun memusatkan kekuatan untuk mengalirkan tenaga dahsyat Durgandini ke pusar.
"Hih!" Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan segulungan angin dahsyat yang jauh lebih keras hembusannya dari sebelumnya, menyambar ke arah Empu Pradaga yang tengah terhuyung-huyung akibat serbuk-serbuk yang menyebar dari payung Durgandini yang hancur.
Nenek berpakaian hitam itu menaruh serbuk-serbuk di payungnya. Serbuk yang mampu membuat orang pingsan seketika itu. Tapi, Empu Pradaga ternyata hanya terhuyung-huyung dan pusing beberapa saat karena begitu serangan Dewa Arak meluncur dia sudah sadar. Seperti semula, tanpa ragu dipapaknya serangan itu dengan hentakan kedua tangannya pula.
Glarrr!
Bunyi yang jauh lebih keras dari sebelumnya pun terdengar ketika dua hembusan angin dahsyat bertabrakan di udara. Tubuh Dewa Arak dan Durgandini serta Empu Pradaga sama-sama terhempas deras ke belakang seperti daun diterbangkan angin. Mereka jatuh terguling-guling, tapi segera bangkit meski dengan kepala digeleng-gelengkan akibat rasa pusing yang melanda.
"Aaakh...!" Empu Pradaga mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan menyayat hati. Tubuhnya ambruk ke tanah. Sekujur tubuhnya basah bersimbah darah yang keluar dari hidung, mulut, telinga, dan matanya. Lelaki tua berjubah putih itu seketika tewas dengan tubuh berubah merah bagai udang rebus.
"Apa yang terjadi?! Mengapa dia tewas, Nek?!" tanya Dewa Arak, heran.
"Ilmu yang dituntutnya, Dewa Arak," jawab Durgandini kalem.
Kemudian secara singkat Durgandini menceritakan pada Dewa Arak. Empu Pradaga yang nama sebenarnya Subranta adalah kakak seperguruannya. Dulu, puluhan tahun lalu, bersama-sama dengan Durgandini menuntut ilmu mukjizat yang mampu membuat tenaga dalam meningkat pesat dan memiliki penciuman setajam anjing pelacak.
Sehingga tahu di mana adanya orang yang dicari. Selain itu tubuhnya akan kebal segala macam senjata. Sayang, ilmu itu menuntut adanya pengorbanan manusia. Korban yang dibutuhkan adalah wanita dan lelaki muda belia. Empu Pradaga membutuhkan wanita, sedang Durgandini membutuhkan lelaki. Korban-korban itu diambil darahnya.
"Aku berhasil melepaskan diri dari ketergantungan terhadap lelaki dengan bantuan suamiku. Tidak demikian halnya dengan Subranta. Akhirnya dia sial sendiri. Korban yang baru dicicipinya ternyata sudah tidak perawan lagi, akibatnya nyawanya terancam. Itulah sebabnya dia mencari'cari Sumini. Seorang gadis sesakti Sumini mempunyai darah yang bagus! Puluhan bahkan ratusan kali lebih bagus dari darah wanita lain."
"Kini aku mengerti, Nek. Sepasang mata dan wajah Empu Pradaga yang merah tidak terjadi secara sewajarnya."
"Benar. Semakin merah, berarti waktu hidupnya semakin sedikit, karena semakin banyak bagian tubuhnya keracunan akibat darah wanita yang tidak suci itu."
"Pantas dia begitu bersemangat untuk mendapatkan Sumini," Arya mengangguk-anggukkan kepala seraya menatap tubuh Sumini tergolek di sebatang bawah pohon. "Sayang," desah Arya. "Dengan matinya Empu Pradaga tidak ada yang tahu siapa pembunuh Raja Pedang Langit Bumi."
"Empu Pradaga pembunuhnya. Dia mengakuinya padaku, Dewa Arak. Raja Pedang Langit Bumi memergokinya ketika tengah melakukan tindakan biadab terhadap wanita korbannya. Itulah sebabnya ayah Sumini bermaksud merobek surat yang dibuat sebelumnya. Rupanya anakku baru tahu kalau Subranta menginginkan Sumini untuk dikorbankan. Subranta memang selalu menginginkan korban yang tidak dalam keadaan cemas dan ketakutan. Karena korban yang dalam keadaan tenteram batinnya lebih mampu menimbulkan kekuatan yang hebat, berlipat kali daripada yang tengah ketakutan...."
Kemudian Durgandini pun tak lupa menceritakan kepada Dewa Arak, bahwa selama beberapa hari ini kemampun Sumini telah mengalami kemajuan pesat. Hal itu terjadi karena adanya perubahan dari kekuatan racun aneh yang bersarang di tubuh Sumini menjadi tenaga dalam yang hebat.
Dahulu ketika Sumini masih kecil, Durgandini sengaja menyuntikkan racun aneh ke tubuh cucunya itu. Maksudnya untuk melindungi tubuh Sumini. Sebab jika batin gadis itu mengalami rasa takut dan cemas, dengan sendirinya racun akan bekerja, bahkan mampu membunuh lawan secara mengerikan.
Namun ketika mengetahui cucunya dalam bahaya, Durgandini dengan keahliannya telah mengubah racun di tubuh Sumini menjadi suatu kekuatan. Agar Sumini mampu menghadapi lawan yang akan menangkapnya.
Kini Dewa Arak baru memahami keheranannya melihat Sumini dalam beberapa hari saja telah menguasai ilmu kemampuan tinggi. Juga tentang racun aneh yang telah menewaskan beberapa tokoh sakti secara mengerikan.
Usai menjelaskan demikian, Durgandini menghampiri tubuh Sumini yang masih tergolek dalam keadaan pingsan. Rasa takut yang hebat telah menyebabkannya pingsan. Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk melesat pergi.
Mendadak kakek tinggi kurus itu menarik jorannya. Tampak seekor ikan berkelojotan. Sebetulnya, joran milik kakek ini tidak layak disebut joran karena tanpa tali, pelampung bahkan mata kail. Hanya sebatang kayu yang dibuat mirip joran.
Sambil bersiul-siul, kakek tinggi kurus itu meraih ikan yang menggeliat di ujung joran, Lalu dimasukkannya ke dalam keranjang kecil yang telah berisi ikan hasil tangkapannya. Ketika dia bermaksud memasukkan jorannya ke dalam air, mendadak gerakan tangannya dihentikan, lalu ditolehkan kepalanya ke belakang.
"Sumini...," desah kakek tinggi kurus itu dengan tarikan wajah menyiratkan kecemasan.
Belum juga gema ucapannya lenyap, kakek itu sudah bangkit secara cepat. Joran dan keranjang berisi ikan tangkapannya tidak dipedulikan lagi. Kemudian dengan sekali lesatan, dia telah berada dalam jarak belasan tombak dari tepi sungai.
Dengan kecepatan yang tidak mengendur, kakek tinggi kurus itu melesat Tubuhnya yang terbalut pakaian putih sekejap saja telah lenyap. Kini yang tampak hanya kelebatan bayangan putih melesat menuju sebuah bangunan yang berada tak jauh dari sungai tempatnya memancing.
"Sumini...," untuk yang kedua kalinya si Kakek tinggi kurus menyebutkan nama itu. Namun kali ini dengan sorot mata menyiratkan keterkejutan. Beberapa tombak di hadapan kakek tinggi kurus itu tampak empat sosok yang tengah menuju ke arahnya.
"Kakek...!" Salah seorang dari keempat sosok, berseru memanggil si Kakek tinggi kurus. Dia seorang gadis berusia sekitar tujuh belas tahun. Wajahnya cantik. Tubuhnya yang ramping terbalut pakaian kuning.
"Sumini...!" Kakek tinggi kurus berseru penuh kecemasan seraya melangkah maju. Namun langkahnya langsung terhenti karena salah satu dari tiga orang yang berada bersama Sumini segera menariknya ke belakang, dan dua sosok lagi melangkah ke depan. Ketiganya menunjukkan sikap bermusuhan, bahkan siap bertarung.
"Selangkah lagi kau maju, gadis ini akan kehilangan nyawanya, Jaya Katwang!" ancam lelaki berkepala botak dan beralis tebal. Dadanya yang terbuka memperlihatkan bulu tebal dan hitam.
"Siapa kalian? Dan apa maksud kalian dengan semua ini?"
Kakek tinggi kurus yang bernama Jaya Katwang tidak berani bergeming dari tempatnya karena menyadari kesungguhan ancaman itu. Matanya dengan tajam merayapi tiga lelaki berwajah kasar itu satu persatu, terutama sekali kepada lelaki berkepala botak dan rekannya yang bertubuh pendek kekar. Karena kedua orang inilah yang berdiri paling depan.
"He he he...!" lelaki pendek kekar yang mengenakan rompi merah tertawa terkekeh. "Tindakanmu memang bijaksana, Jaya Katwang. Kau langsung berbicara pada pokok persoalan. Maka kami pun tidak mau berpanjang kata lagi. Cepat, serahkan pusaka peninggalan Raja Pedang Langit Bumi, kalau ingin gadis ini selamat!"
Wajah Jaya Katwang langsung berubah hebat. "Apakah aku tidak salah dengar? Mengapa kalian meminta padaku? Apa hubungannya aku dengan Raja Pedang Langit Bumi?"
Brettt!
"Awww...!" Sumini memekik ketakutan ketika lelaki bermuka hitam yang menyanderanya, merenggut pakaiannya sehingga sobek! Dua buah bukit kembar pun mencuat menantang. Indah dan menggiurkan.
"Kau lihat, Jaya Katwang?!" tanya lelaki berkepala botak, tenang tapi penuh ancaman. "Kami tidak hanya bergurau! Apabila tak kau serahkan pusaka-pusaka itu, gadis ini akan ditelanjangi oleh kawanku dan diperkosanya sampai mati di depanmu!"
Jaya Katwang tidak langsung memberikan tanggapan. Ditatapnya Sumini dan tiga lelaki kasar itu sesaat dengan sorot mata menyiratkan kebingungan yang tidak dapat disembunyikan.
"Hhh.... Baiklah," ujar Jaya Katwang setelah menghembuskan napas berat. Disadari tidak ada lagi pilihan lain baginya. "Aku akan memberikan pusaka itu pada kalian. Tapi, harap bebaskan gadis itu dulu."
"Kau bersumpah tak akan mengingkari janjimu, Jaya Katwang?" ujar lelaki pendek kekar, tidak percaya "Aku bersumpah demi arwah leluhurku, dan majikanku yang mulia, Raja Pedang Langit Bumi!" tandas Jaya Katwang mantap.
Wajah ketiga lelaki kasar langsung berseri. Mereka tahu Jaya Katwang tidak akan berani mengingkari janjinya. Maka tanpa ragu-ragu, lelaki berwajah hitam segera membebaskan totokannya pada Sumini dan mendorong tubuh gadis itu.
Jaya Katwang bergegas melangkah maju dan menangkap tubuh Sumini. Namun, gadis berpakaian kuning itu langsung melepaskan diri. Dan setelah merapikan pakaiannya sebentar, dipukulkan tinju kanannya ke perut lelaki berkepala botak yang kebetulan berada paling dekat dengannya.
Blegkh!
"Heh...?!" Tangan Sumini mengenai perut yang lunak seolaholah tenaganya amblas ke dalam air. Dan sekali, lelaki berkepala botak itu mengibaskan tangan secara sembarangan, tubuh Sumini terhuyung-huyung ke belakang seperti dihempaskan angin badai! Untung Jaya Katwang bertindak cepat menangkap tubuh Sumini yang meluncur ke arahnya.
"Ha ha ha...!" lelaki berkepala botak tertawa bergelak bernada meremehkan. "Itulah akibatnya bagi orang yang berani menyerang Kerbau Bertenaga Raksasa! Ha ha ha...!"
Seketika wajah Jaya Katwang berubah. Pernah didengarnya julukan Kerbau Bertenaga Raksasa. Seorang tokoh penting golongan hitam yang dulu pernah dikalahkan Raja Pedang Langit Bumi!
"Hm.... Lelaki berkepala botak ini yang mempunyai julukan seperti itu," gumam Jaya Katwang dalam hati.
Berbeda dengan Jaya Katwang, Sumini tidak pernah mendengar julukan Kerbau Bertenaga Raksasa, maka dia tidak merasa kaget sama sekali. Meskipun demikian, dari serangan yang dilakukan tadi telah menyadarkannya kalau lelaki berkepala botak itu memiliki kepandaian yang tak bisa diremehkan. Dirinya jelas bukan apa-apanya jika dibandingkan tokoh ini. Maka, begitu berhasil ditangkap Jaya Katwang, dia langsung menyerang lelaki berompi merah.
"Sumini! Lihat baik-baik siapa aku! Engkau takut dan lemas, berlututlah!" seru lelaki berompi merah ketika gedoran kedua tangan Sumini hampir mengenai dadanya.
Akibatnya benar-benar seperti yang dikatakan. Sumini merasakan sekujur tubuhnya lemas. Tanpa dapat ditahan lagi tubuhnya ambruk, dan berlutut di depan lelaki berompi merah. Sebagai seorang yang telah memiliki kepandaian tinggi, Jaya Katwang tahu kalau lelaki berompi merah itu pasti seorang yang ahli dalam ilmu sihir. Dia sadar kalau dalam ucapan itu terkandung kekuatan aneh yang mampu mempengaruhi orang yang dituju. Maka sebelum kejadian lebih buruk menimpa Sumini, dia langsung berkelebat dan berdiri di depan gadis itu, bersiap untuk memberikan perlindungan.
"Aku telah berjanji untuk memberikan pusaka-pusaka yang kalian minta. Untuk apa kalian masih mencelakainya. Jangan kalian lakukan kalau tak ingin aku terpaksa menjilat ludahku sendiri!" tandas Jaya Katwang, tegas.
"Ha ha ha...!" Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa terbahak-bahak. "Jangan salah duga, Jaya Katwang! Kami tidak bermaksud mencelakai gadis ini. Dan kurasa kau pun mengetahuinya pula. Gadis itu sendiri yang telah menyerang kami. Kami tidak melakukan apa pun yang membahayakan nyawanya. Dan tentu saja akan dapat kami cabut dengan mudah kalau dikehendaki...."
Jaya Katwang tidak bisa berkata apa-apa lagi karena dia pun tahu kalau Sumini yang melakukan penyerangan terlebih dahuhi. Sedangkan lelaki berkepala botak dan lelaki berompi merah yang diduganya sebagai Raja Sihir Berbaju Merah, hanya membela diri. Karena itu, tanpa banyak cakap ditariknya Sumini agar bangun.
"Tidak ada gunanya melawan mereka, Sumini," ujar Jaya Katwang dengan suara perlahan, memberi tahu Sumini. Sumini tidak memberikan jawaban sama sekali. Namun dari sikapnya yang hanya diam, jelas kalau gadis itu pun menyadari kebenaran ucapan Jaya Katwang. Hanya tarikan wajah dan sorot matanya yang menyiratkan kebencian. Rasa penasaran dan sakit hati masih bersarang di hatinya.
"Cepat berikan pusaka-pusaka itu, Jaya Katwang!Kami sudah tak sabar lagi menunggu. Jangan tunggu sampai kami kehilangan kesabaran!" tandas lelaki berwajah hitam yang berjuluk Setan Ular Karang.
Jaya Katwang menghela napas berat seraya menatap wajah Setan Ular Karang sesaat. "Kalau begitu, mari ikut aku!"
Dengan sikap waspada dan agak bergegas tiga pentolan golongan hitam itu mengikuti Jaya Katwang dan Sumini yang melangkah lebih dulu. Sesampainya di depan pintu sebuah bangunan sederhana tempat kediamannya, Jaya Katwang menghentikan langkah.
"Kalian tunggu sebentar di sini! Karena tempat tinggal pusaka majikanku tidak boleh dimasuki orang lain kecuali keturunannya. Dan kalau kalian memaksa, biarlah aku bertindak bodoh dengan melawan kalian, setelah terlebih dulu kubunuh dia!" ucap kakek tinggi kurus itu seraya meletakkan tangan kanannya di ubun-ubun Sumini.
Kerbau Bertenaga Raksasa, Setan Ular Karang, dan Raja Sihir Berbaju Merah saling pandang sejenak. Lalu, perlahan Kerbau Bertenaga Raksasa menganggukkan kepala, menyetujui. Rupanya, lelaki berkepala botak ini secara tidak langsung telah didaulat rekan-rekannya untuk menjadi juru bicara.
"Kami tidak keberatan dengan usulmu itu, Jaya Katwang. Tapi, Sumini tidak boleh kau ajak serta! Ingat, kalau kau berani bertindak macam-macam gadis ini menerima akibatnya!" tandas Kerbau Bertenaga Raksasa mengancam.
Tanpa memberikan tanggapan sedikit pun, Jaya Katwang melangkah masuk. "Kau tunggu di sini, Sumini!" ujar Jaya Katwang sambil menoleh ke arah Sumini.
Sebelum Sumini memberikan jawaban, Setan Ular Karang telah berdiri di sebelahnya, bersiap untuk mencegah gadis berpakaian kuning itu melarikan diri. Sumini tidak berani berkutik. Dia menyadari tiga tokoh golongan hitam itu tidak segan-segan melakukan tindakan mengerikan apabila berani melakukan sesuatu yang mencurigakan mereka.
"Lepaskan gadis itu dulu, baru pusaka ini akan kuserahkan," seru Jaya Katwang begitu muncul di ambang pintu dengan sebuah buntalan kain lusuh berwarna kuning. Tanpa memberikan bantahan sedikit pun, Setan Ular Karang langsung mendorong tubuh Sumini. Gadis berpakaian kuning itu pun menghambur ke arah Jaya Katwang.
"Terima ini...!" Sambil berkata demikian, Jaya Katwang melemparkan buntalan kuning yang dijinjingnya. Lalu tangannya digunakan untuk memeluk Sumini.
Mereka saling berlomba, Setan Ular Karang, Kerbau Bertenaga Raksasa, dan Raja Sihir Berbaju Merah mengururkan tangan untuk menyambuti. Namun, karena Setan Ular Karang yang berada paling dekat dengan Jaya Katwang, dialah yang berhasil menangkapnya. Tapi....
"Setan Ular Karang berikan padaku!"
Pada saat yang bersamaan dengan itu, Kerbau Bertenaga Raksasa mengirimkan serangan berupa sapuan kaki kanan ke arah sepasang kaki Setan Ular Karang. Namun rupanya tokoh sesat bermuka hitam itu telah menduga. Dia segera melompat ke atas, kemudian ujung kakinya menendang ke arah tenggorokan Kerbau Bertenaga Raksasa.
"Ukh...!" Lelaki botak bertelanjang dada itu terpekik kaget. Kemudian melompat ke belakang untuk menghindarkan serangan itu.
Setan Ular Karang memang berhasil memaksa Kerbau Bertenaga Raksasa untuk mundur. Namun saat itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Sihir Berbaju Merah untuk merampas buntalan kain kuning.
Brettt!
"Keparat!" Setan Ular Karang memaki penuh perasaan geram melihat buntalan yang berisi pusaka peninggalan Raja Pedang Langit Bumi berpindah tangan.
Namun, di saat tubuh Raja Sihir Berbaju Merah masih berada di udara, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih memapaki. Lelaki berompi merah ini langsung mengetahui adanya ancaman terhadap buntalan di tangannya. Dan karena dua rekannya masih belum mungkin melakukan hal itu, pelakunya pasti Jaya Katwang. Maka dipercepat cekalannya terhadap buntalan kain itu.
Brettt!
Kain yang telah rapuh itu langsung robek-robek tak mampu menahan tarikan dua tangan bertenaga dalam tinggi yang memperebutkannya. Isi yang ada di dalam buntalan itu pun berjatuhan ke tanah.
Untuk yang kedua kalinya perlombaan memperebutkan isi buntalan kain kuning itu terjadi. Setan Ular Karang dan Kerbau Bertenaga Raksasa yang berada dalam kedudukan lebih menguntungkan, langsung meluruk ke arah jatuhnya isi buntalan kain kuning.
Kerbau Bertenaga Raksasa langsung melompat ke depan dan menggulingkan tubuhnya untuk mendekati pusaka yang diincarnya. Sedangkan Setan Ular Karang melesat ke atas laksana seekor burung garuda, dan dari sana menukik ke bawah!
"Ikhhh...!" Kerbau Bertenaga Raksasa yang hampir saja berhasil mencekal kitab, langsung menarik kembali tangannya sambil mengeluarkan pekik kengerian.
Karena Setan Ular Karang tahu kalau dirinya akan kalah, langsung melemparkan senjata andalannya. Seekor ular belang yang besarnya selengan manusia! Sehingga tidak ada satu pun yang berhasil mengambil kitab dan pedang yang tergolek di tanah. Karena masing-masing pihak tidak berani melakukannya, takut akan menjadi korban yang penyerang pihak lain. Beberapa saat keempat tokoh itu saling mengawasi satu sama lain sambil sesekali memperhatikan pusaka yang tergeletak di tanah.
"Mengapa kau hendak mengambil kembali pusaka yang telah kau berikan, Jaya Katwang! Apa kau hendak mengingkari janji yang telah kau ucapkan?!" lantang suara Kerbau Bertenaga Raksasa tanpa mengalihkan perhatian dari pusaka dan dua orang rekannya. Dirinya khawatir mereka akan mendahului mengambil pusaka itu, kalau sampai lengah sekejap saja.
"Aku telah memenuhi janjiku, menyerahkan pusaka itu pada kalian. Tapi, karena kulihat kalian memperebutkannya, kurasa tidak ada salahnya kalau aku ikut serta dalam perebutan ini!" jawab Jaya Katwang, kalem.
Kerbau Bertenaga Raksasa langsung terdiam karena menyadari kebenaran ucapan kakek tinggi kurus itu. Sekilas diliriknya tempat Sumini tadi berada. Ternyata tempat itu telah kosong. Rupanya ketika dia dan rekannya memperebutkan pusaka ini, Jaya Katwang yang cerdik telah menyuruhnya kabur.
Setan Ular Karang dan Raja Sihir Berbaju Merah pun tampaknya mengetahui siasat Jaya Katwang. Setelah ketiganya saling pandang sejenak, masing-masing menganggukkan kepala seperti telah mengambil sebuah persetujuan.
"Kau cerdik, Jaya Katwang! Rupanya kau bermaksud mencari kesempatan di dalam kesempitan! Mencoba memanfaatkan keadaan untuk mengambil keuntungan di saat kami tengah saling terpecah. Sayang, kami tidak sebodoh yang kau duga, Jaya Katwang! Hhh.... Ternyata kami harus menyingkirkanmu lebih dulu, Tua Bangka! Bukankah demikian, Setan Ular Karang, Raja Sihir Berbaju Merah?!"
"Tidak salah!" sahut Setan Ular Karang dan Raja Sihir Berbaju Merah hampir berbarengan seraya menganggukkan kepala.
"Aku sudah siap untuk kemungkinan itu! Majulah kalian semua!" tantang Jaya Katwang, mantap.
"Ha ha ha...!" Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa terbahak-bahak. "Kami bukan pengecut-pengecut yang hanya berani melakukan pengeroyokan, Jaya Katwang! Bukankah demikian, Setan Ular Karang?!"
Setan Ular Karang yang tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu, buru-buru menganggukkan kepala.
"Nah! Kau lihat sendiri kan, Jaya Katwang? Setan Ular Karang berani menghadapimu sendirian! Kalau begitu biar aku dan Raja Sihir Berbaju Merah yang menjadi saksi pertarungan kalian!" ujar Kerbau Bertenaga Raksasa lagi.
Setan Ular Karang menggertakkan gigi karena geram, merasa telah tertipu oleh Kerbau Bertenaga Raksasa. Dia diadu domba dengan Jaya Katwang! Tapi, apa boleh buat? Tidak mungkin dia mundur sekarang kalau tak ingin dicap pengecut!
Begitu melihat kesediaan Setan Ular Karang, Jaya Katwang segera mencabut pedangnya. Pelayan kepercayaan tokoh yang terkenal sebagai rajanya ilmu pedang itu merasa lebih berbesar hati bertarung mempergunakan senjata.
"Hm...! Bedebah...!" gumam Setan Ular Karang dalam hati. Setelah menarik napas, perlahan-lahan kedua tangannya yang terbuka disilangkan di depan wajah, lalu ditarik ke sisi pinggang. Bunyi berdesis dan menggetarkan, seperti suara belasan ekor ular yang tengah murka terdengar.
Sesaat kemudian, kedua tangan lelaki berwajah hitam legam ini mulai dari ujung jari sampai pergelangan tangan berubah menghitam! Inilah ilmu 'Ular Karang' yang menjadi andalannya.
Jaya Katwang tahu kalau lawan telah menggunakan ilmu andalan. Namun tak tampak perasaan gentar di wajahnya. Kakek tinggi kurus ini lalu menggerakkan pedangnya. Suara deru angin dari kibasannya terdengar seiring dengan berubahnya pedang itu menjadi sinar. Meluncur deras ke depan.
"Heaaa...!"
Tak! Tak! Tak!
"Heh...!"
Bunyi berdetak seperti benturan logam keras terdengar ketika Setan Ular Karang memapak serangan mata pedang lawan dengan tangan telanjang. Karuan saja hal ini membuat Jaya Katwang kaget bukan kepalang. Hatinya hampir tak percaya, melihat kedua tangan lawan tak mempan bacokan senjata tajam.
Walaupun demikian, Jaya Katwang tetap melanjutkan serangan. Sebagai seorang yang telah banyak makan asam garam, dia tahu kalau bagian lainnya belum tentu akan kebal juga. Maka segera dialihkan serangannya agar tidak berbenturan dengan kedua tangan lawan. Pertarungan sengit pun berlangsung.
Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat, maka pertarungan itu berlangsung cepat. Tubuh kedua tokoh berkelebatan ke sana kemari. Hanya bayangan putih dan coklat yang tampak saling belit, dengan sesekali terpisah. Namun kemudian telah saling gempur dengan kecepatan tinggi.
Tak terasa pertarungan telah berlangsung empat puluh jurus. Dan selama itu belum nampak adanya tandatanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Keduanya masih seimbang.
Kerbau Bertenaga Raksasa dan Raja Sihir Berbaju Merah menyaksikan jalannya pertarungan dengan penuh minat. Kedua tokoh ini merasa kagum akan kepandaian Jaya Katwang dan Setan Ular Karang. Keduanya tidak yakin kalau kepandaian yang dimiliki berada di atas tokoh-tokoh yang tengah bertarung itu.
"Heaaa...!"
"Hih!"
Pada jurus keenam puluh, Setan Ular Karang tiba-tiba mengibaskan tangannya. Seleret sinar kehitaman pun meluncur ke arah lawan, Jaya Katwang tampak tersentak kaget, tahu kalau sinar-sinar kehitaman itu ternyata ular-ular hitam yang mempunyai racun ganas. Dengan cepat pedangnya diputar untuk memapak!
"Heaaa...!"
Cra, crat, crat!
Ular-ular hitam kelam itu terbelah hingga menjadi beberapa potong ketika pedang Jaya Katwang menebasnya. Namun, Setan Ular Karang tidak mempedulikannya. Pada saat yang bersamaan dengan meluncurnya ular-ular itu kedua telapak tangannya dipukulkan bertubi-tubi ke dada Jaya Katwang!
Jaya Katwang kembali terkejut bukan kepalang. Namun sebisa-bisanya laki-laki itu berusaha mengandaskan serangan lawan dengan pedangnya.
"Hih...!"
Tak, tak, tak!
Bugkh!
"Akh!" Jaya Katwang menjerit tertahan ketika tangan kiri Setan Ular Karang menghantam telak dadanya, setelah beberapa pukulan sebelumnya berhasil ditangkis. Tubuh kakek tinggi kurus ini pun terjengkang ke belakang kemudian ambruk di tanah untuk selama-lamanya.
DUA
"Kakek...!" Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan ketakutan dari dalam pondok. Sesosok ramping berpakaian kuning menghambur lalu bersimpuh di dekat tubuh Jaya Katwang yang tergolek.
Setan Ular Karang, Kerbau Bertenaga Raksasa, dan Raja Sihir Berbaju Merah tersenyum gembira melihat kehadiran Sumini. Semula mereka menyangka gadis itu telah kabur.
Sebenarnya Sumini telah disuruh pergi oleh Jaya Katwang. Namun dirinya tak sampai hati meninggalkan kakek yang sangat disayanginya itu, menantang maut sendirian. Sumini tidak pergi justru mengintip semua kejadian itu dari dalam! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Sumini ketika melihat Jaya Katwang tewas. Sehingga dia tidak bisa menahan diri dan berlari keluar.
"Anak itu akan menjadi ancaman kelak, biar kuhabisi dia sekalian! Toh, kurasa janji kita telah tidak berlaku lagi karena Jaya Katwang sendiri telah membatalkannya!" ucap Setan Ular Karang seraya mengayunkan kaki menghampiri Sumini yang masih duduk bersimpuh.
"Tunggu, Setan Ular Karang!" cegah Raja Sihir Berbaju Merah sambil melompat menghadang. "Daripada kau bunuh percuma, lebih baik aku yang melakukannya!"
"Sesukamulah!" Setan Ular Karang mengangkat bahu. Lalu kembali ke tempat semula. Dia tahu, mengapa lelaki berompi merah itu mau mengambil alih tugas. Apalagi kalau bukan karena tertarik pada tubuh montok menggiurkan Sumini?
Raja Sihir Berbaju Merah mempunyai sifat mata keranjang. Jadi, sudah dapat diperkirakan kejadian yang akan menimpa Sumini sebelum dibunuh. Sambil tertawa terkekeh, Raja Sihr Berbaju Merah terus menghampiri Sumini. Sementara, gadis berpakaian kuning itu telah berhasil menguasai perasaan sedihnya. Perlahan-lahan tubuhnya berbalik dengan wajah beringas menatap Raja Sihir Berbaju Merah yang tengah mendekatinya.
"Lihat siapa aku, Sumini? Aku Jaya Katwang!" ucap Raja Sihir Berbaju Merah seraya menatap kedua bola mata Sumini dengan sorot mata mengandung suatu kekuatan aneh.
Wajah Sumini yang semula bengis dan penuh kebencian mendadak berubah redup dan memperlihatkan kesedihan. "Kakek...!" seru Sumini. Gadis itu langsung menghambur ke arah Raja Sihir Berbaju Merah yang telah menjelma menjadi Jaya Katwang. Kedua tangan terkembang menyambut Sumini.
Raja Sihir Berbaju Merah tersenyum gembira menyambut tubuh Sumini dengan pelukan erat. Dengan napas memburu Jaya Katwang penjelmaan itu menciumi dengan buas pipi, leher, dan bibir mungil Sumini.
Karuan saja Sumini kelabakan. Dia meronta tapi sia-sia. Pelukan kedua tangan Raja Sihir Berbaju Merah terlalu erat. Sumini semakin keras meronta ketika melihat orang yang memeluk dan menciuminya secara rakus ini bukan Jaya Katwang melainkan Raja Sihir Berbaju Merah. Sumini tiba-tiba tersadar, karena Raja Sihir Berbaju Merah tidak terus menekankan ilmu sihirnya. Lelaki berompi merah itu larut dalam amukan nafsu birahinya.
Brettt!
"Aaakh...!" Pakaian Sumini mulai dari bagian dada sampai pusar langsung koyak ketika tangan Raja Sihir Berbaju Merah merenggutnya. Sumini menjerit penuh perasaan ngeri.
Tubuhnya pun semakin kuat meronta-ronta. Namun tindakan Sumini tidak berarti sama sekali. Tanpa menemui kesulitan, Raja Sihir Berbaju Merah terus menjarah tubuh Sumini. Sekarang ciuman-ciumannya mulai turun ke leher. Ciuman campur gigitan gemas.
Satu tangan Raja Sihir Berbaju Merah memeluk tubuh Sumini. Sedangkan yang lain digunakan untuk melucuti pakaian calon korbannya diselingi dengan remasan-remasan terhadap dua bukit kembar di dada Sumini yang telah menyembul keluar.
Sumini memekik tertahan. Tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh telentang di tanah ketika Raja Sihir Berbaju Merah mendorongnya. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh lelaki berompi merah untuk membuka pakaian lalu menubruk Sumini.
"Binatang...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara bentakan keras diiringi angjn kencang menderu dan menghantam tubuh Raja Sihir Berbaju Merah yang tengah menindih Sumini. Tubuh lelaki berompi merah itu terpental ke samping dan terguling-guling di tanah. Namun dengan manis Raja Sihir Berbaju Merah mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar. Dengan cepat dia bangkit berdiri.
"Keparat! Orang gila dari mana yang berani mengganggu kesenanganku?!" seru Raja Sihir Berbaju Merah penuh perasaan geram.
"Menyingkirlah, Dik," terdengar suara memerintah Sumini agar menyingkir.
Dengan raut wajah merah padam dan sorot mata penuh kebencian terhadap Raja Sihir Berbaju Merah, Sumini bangkit dan bergegas lari ke dalam rumah. Sekilas matanya melihat orang yang telah memberikan pertolongan atas dirinya. Penolong Sumini ternyata seorang pemuda tampan berambut putih keperakan hingga ke pinggang. Tubuhnya yang kekar terbungkus pakaian warna ungu.
"Siapa kau, Anjing Kecil? Cepat katakan! Pantang bagiku membunuh orang yang tidak kukenal!" seru Raja Sihir Berbaju Merah dengan nada tinggi.
"Aku Arya, dan kesenanganku membunuh orang yang gemar bertindak biadab sepertimu! Memperkosa wanita tak berdaya!"
"Sombong! Kaulah yang akan mampus di tanganku, Pemuda Gila! Heaaa...!" Raja Sihir Berbaju Merah langsung mengirimkan tusukan dengan tangan kiri ke arah mata pemuda berambut keperakan itu.
Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Dewa Arak itu masih bersikap tenang. Padahal dia tahu lawannya memiliki kepandaian tinggi. Dari serangannya yang menimbulkan angin menderu keras menandakan terkandung tenaga dalam kuat Tanpa menggeser kaki, didoyongkan tubuhnya ke kiri sehingga serangan itu lewat di sebelah kanan wajahnya.
Tangan kanannya bergerak cepat menangkap pergelangan tangan lawan. Gerakan Dewa Arak yang sangat cepat membuat Raja Sihir Berbaju Merah tersentak kaget. Matanya membelalak dengan kening mengkerut, seakan tak percaya. Kemudian dengan gerak cepat, tapi terlambat, pergelangan tangannya telah lebih dulu tercekal oleh Dewa Arak. Meskipun demikian, lelaki berompi merah tetap tegar. Tak tampak sedikit pun perasaan gugup.
"Hih…!" Tangan kanannya dipukulkan ke dada Dewa Arak yang terbuka.
Deb!
"Heh...?!" Kali ini Raja Sihir Berbaju Merah tidak kuasa untuk menahan keluarnya jeritan. Tangannya menempel di dada lawan dan tak dapat ditarik kembali. Namun Raja Sihir Berbaju Merah tidak kehilangan akal.
"Arya, lihat siapa aku? Berani kau melakukan hal seperti ini pada gurumu?" ucap lelaki berompi merah ini seraya mengerahkan seluruh kekuatan ilmu sihir yang dimilikinya. Dia menyadari kalau lawan kali ini tidak akan dapat dipengaruhi segampang Sumini.
"Hah...?!" Dewa Arak tersentak kaget ketika melihat yang dicekal ternyata lengan gurunya. Bagai disengat ular berbisa, pemuda beramput putih keperakan itu segera melepaskan cekalan dan kekuatan menyedotnya, lalu melompat ke belakang. Kesempatan itu pun segera dipergunakan Raja Sihir Berbaju Merah untuk melompat ke belakang pula.
Sekarang Arya baru melihat kalau yang berdiri di belakangnya bukan Ki Gering Langit, gurunya, melainkan Raja Sihir Berbaju Merah. Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang pengalaman, dia segera sadar kalau lawannya menggunakan ilmu sihir. Maka dia berusaha untuk tidak menatap mata lawannya.
Sementara itu, Kerbau Bertenaga Raksasa dan Setan Ular Karang yang telah memperhatikan jalannya pertarungan segera tahu kalau pemuda berambut putih keperakan itu merupakan lawan yang amat tangguh.
Mendadak Setan Ular Karang melesat ke arah kitab milik Raja Pedang Langit Bumi yang masih tergeletak di tanah, dan menyambarnya. Kemudian membawanya kabur. Kerbau Bertenaga Raksasa tentu saja tidak mau membiarkan hal itu.
"Setan licik! Jangan harap niatmu yang busuk itu akan berhasil!" seru lelaki berkepala botak itu seraya melesat mengejar.
Tindakan yang sama dilakukan Raja Sihir Berbaju Merah. Namun, hanya dengan sekali menggerakkan tubuh, Dewa Arak telah berdiri menghadangnya.
"Jangan harap aku akan membiarkan orang sepertimu hidup lebih lama di dunia!" ujar Dewa Arak penuh tekanan.
Raja Sihir Berbaju Merah menggeram karena tahu tak akan dapat meloloskan diri dari Dewa Arak. Dia memutuskan untuk melakukan perlawanan mati-matian. Namun, mendadak mulutnya menyeringai seperti merasa kesakitan. Lalu, kedua tangannya saling menggaruk. Yang kanan menggaruk telapak tangan kiri dan sebaliknya.
Karuan saja Dewa Arak merasa heran melihat tindakan Raja Sihir Berbaju Merah. Dia merasa curiga kalau hal ini hanya merupakan siasat lawan, maka kewaspadaannya tetap tak ditinggalkan. Namun, kecurigaannya semakin memupus ketika melihat garukan Raja Sihir Berbaju Merah tidak hanya pada bagian itu, tapi juga mengarah pada mulutnya.
"Ah...!" Tanpa sadar Arya mengeluarkan jeritan bernada kaget ketika melihat kedua telapak tangan dan mulut Raja Sihir Berbaju Merah mulai menghitam. Gosong! Seakan-akan terbakar sesuatu. Dan sekarang, lelaki berompi merah itu mulai mengerang-erang sambil terus menggaruk tubuhnya yang lain.
Tindakan Raja Sihir Berbaju Merah tak berlangsung lama. Sesaat kemudian tubuhnya ambruk ke tanah. Nyawanya melayang seketika. Setelah menunggu beberapa saat tubuh Raja Sihir Berbaju Merah tidak bergerak lagi, Dewa Arak menghampirinya. Memeriksanya dari jarak dua tombak.
Hanya sekilas hal itu dilakukannya. Dewa Arak segera bisa mengetahui kalau Raja Sihir Berbaju Merah tewas karena racun yang amat ganas. Tapi, siapa yang telah melakukan hal keji ini?
"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas berat. Lalu diarahkan pandangannya ke pondok dibelakangnya, tempat Sumini tadi masuk. Ditunggunya beberapa saat agar gadis berpakaian kuning itu keluar. Namun tidak nampak adanya tanda-tanda kalau Sumini akan keluar.
"Sumini...!" panggil Dewa Arak pelan seraya mengawasi pintu pondok.
Tidak ada tanggapan sama sekali. Jangankan muncul, sahutan pun tidak. Perasaan tidak enak pun menyeruak di hati Arya. Khawatir kalau-kalau di saat dia tengah terlibat pertarungan, ada orang yang memanfaatkan kesempatan untuk mencelakai gadis itu. Padahal, dia telah berjanji pada Raja Pedang Langit Bumi untuk menjaga Sumini hingga gadis itu kembali seperti sedia kala.
Setelah menunggu beberapa saat Sumini tidak juga muncul, Dewa Arak tidak sabar. Dengan sekujur urat-urat syaraf menegang waspada, dilangkahkan kakinya menuju pondok.
"Sumini...!" Untuk yang kedua kalinya, Arya memanggil putri Raja Pedang Langit Bumi itu. Kali ini dengan perasaan cemas karena ruang tengah dan kamar-kamar yang diperiksanya kosong. Tidak terlihat adanya tanda-tanda keberadaan Sumini.
"Sumini...! Aku Arya! Disuruh ayahmu untuk menyampaikan hal penting. Keluarlah dan jangan bersembunyi!" seru Arya lagi dengan suara lebih keras, sambil menyinggung-nyinggung nama Raja Pedang Langit Bumi. Karena ada sekelumit dugaan menyelinap di hati Arya kalau Sumini takut menjumpainya dengan alasan dirinya termasuk orang yang bermaksud jahat.
Setelah mencari akal lagi dan tidak juga menjumpai Sumini, Dewa Arak melesat meninggalkan tempat itu. Pantang baginya meremehkan amanat yang diberikan orang. Apalagi orang yang memberikan amanat itu telah meninggal dunia!
Dugaan Arya tidak keliru. Sumini memang menghindarinya. Sumini mengira kalau Arya sama dengan tiga tokoh golongan hitam yang hendak merampas pusaka.
Namun banyak alasan yang membuatnya menghindari pemuda berambut putih keperakan itu. Rasa malu karena Arya telah melihatnya dalam keadaan tanpa pakaian adalah penyebab utamanya. Sedangkan hal lainnya, keinginannya untuk menjumpai sang Ayah dan menceritakan nasib yang menimpa Jaya Katwang.
Sumini kabur melalui pintu belakang karena khawatir bentrokan dengan Dewa Arak. Mula-mula dia mengendap-endap. Ketika telah melewati jalan setapak yang di kanan kirinya tumbuh pepohonan dan semak-semak cukup lebat, Sumini mulai mempergunakan ilmu lari cepatnya.
Namun beberapa kali, larinya harus diperlambat karena keadaan jalan yang licin dan harus menembus kelebatan pepohonan. Memang, tempat tinggal Raja Pedang Langit Bumi dekat dengan hutan.
Sumini berlari dengan sepenuh tenaga karena keinginan untuk cepat-cepat menjauhkan diri dari Dewa Arak untuk segera bertemu dengan ayahnya. Namun, mendadak larinya dihentikan, sepasang matanya menatap tajam ke depan.
Tampak oleh Sumini, dari jarak sekitar tiga puluh tombak belasan orang mengenakan pakaian seragam prajurit. Sumini memperhatikan lebih teliti untuk mencari ketegasan kalau rombongan prajurit itu berasal dari Kerajaan Samodra.
Seragam yang mereka kenakan diketahuinya betul. Sebuah keberuntungan bagi Sumini karena dia berada di tempat yang tinggi, sedangkan belasan orang prajurit itu berada di dataran rendah. Tempat putri Raja Pedang Langit Bumi berada merupakan sebuah hamparan tanah berumput. Pada beberapa bagian terdapat pepohonan dan semak-semak lebat. Sehingga memungkinkan baginya bersembunyi untuk mengawasi mereka.
Wajah Sumini berubah ketika melihat arah yang ditempuh rombongan prajurit itu adalah tempat yang ditinggalkannya. Jadi dia dan rombongan prajurit itu akan berpapasan di tengah jalan, Sumini tidak menghendaki hal itu terjadi karena dia tahu prajurit-prajurit Kerajaan Samodra itu akan menangkap apabila melihatnya.
Hatinya yakin kehadiran rombongan prajurit itu karena hendak menangkap ayahnya dan dia. Memang, keluarganya telah menjadi buronan sejak sang Ayah memutuskan untuk memihak kaum Brahmana!
Itulah sebabnya, Sumini bergegas melesat ke salah satu kerimbunan semak yang ada di sebelah kirinya, dan bersembunyi di sana. Dia tahu kalau rombongan prajurit itu bukan orang-orang rendahan. Hiasan-hiasan pada bagian leher dan seragam yang dikenakan, menunjukkan kalau rombongan itu terdiri dari orang-orang pilihan. Terutama sekali dua orang yang berada paling depan.
Sumini tidak berani bertindak gegabah. Diusahakannya untuk tidak menimbulkan bunyi yang dapat menimbulkan kecurigaan. Bahkan bernapas pun dia berhati-hati sekali, khawatir terdengar rombongan prajurit Kerajaan Samodra yang semakin dekat jaraknya.
"Tak lama lagi selesailah tugas kita. Hanya tinggal menangkap hidup atau mati putri Raja Pedang Langit Bumi," ucap salah soerang dari rombongan prajurit yang berjalan paling depan. Dia bertubuh kecil kurus, tapi memiliki sepasang mata tajam, berkilat.
"Benar," sahut sosok yang berjalan di sebelahnya, bertubuh tegap dan berkulit kemerahan. "Sayang, mayatnya tidak dapat kita bawa ke istana sebagai bukti kepada Gusti Prabu Pancanala. Pemuda berambut putih keperakan itu terlalu cepat untuk dapat kita kejar. Aku jadi penasaran padanya."
"Hukh!" Sumini merasakan dadanya sesak bukan kepalang seakan-akan telah habis diseruduk seekor kerbau liar. Percakapan kedua orang yang ada dalam rombongan Kerajaan Samodralah yang menjadi penyebabnya. Percakapan kedua orang itu memang sampai ke telinganya, karena tepat berada di dekatnya.
Keterkejutan akibat mendengar berita ini membuat Sumini tanpa sadar menginjak dedaunan kering. Pelan saja bunyinya, tapi cukup keras bagi dua orang yang menjadi pemimpin rombongan Kerajaan Samodra itu.
"Maling hina, tunjukkan dirimu!" Sambil berkata demikian, lelaki kecil kurus mengibaskan tangan kanannya. Seketika beberapa bilah benda berkilat meluncur ke arah semak-semak tempat persembunyian Sumini.
Srak! Srak! Srak!
Tiga bilah pisau berkilat yang dilemparkan lelaki kecil kurus itu amblas ke dalam semak-semak. Namun tidak terdengar jeritan apa pun karena Sumini telah lebih dulu melompat keluar dari situ.
"Ha ha ha...!" lelaki kecil kurus itu tertawa terbahak-bahak ketika melihat sosok yang sekarang telah berada di hadapannya. "Sungguh tak kusangka kalau kami akan menemukanmu di sini. Tak perlu bersusah payah ke rumahmu.... Menyerahlah, Pemberontak Hina sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan!"
"Jangan mimpi, Anjing Penjilat! Kaulah yang harus melepaskan kepalamu sekarang!"
Sumini melompat menerjang seraya menusukkan pedangnya ke arah ulu hati lelaki kecil kurus. Lelaki kecil kurus itu menangkisnya dengan pisau putih berkilat yang sejak tadi memang telah dipegangnya.
Trang!
Bunyi berdentang keras terdengar ketika pedang dan pisau berbenturan menimbulkan percikan bunga api. Tubuh Sumini terjengkang ke belakang. Senjatanya terlepas dari pegangan karena sekujur tangannya dirasakan bagaikan lumpuh seketika.
Kesempatan itu dipergunakan oleh seorang prajurit untuk meringkus Sumini. Rupanya dia tak ingin menyianyiakan tubuh Sumini yang ramping dan menggiurkan. Maka prajurit yang mata keranjang itu meluruk dan memeluk tubuh Sumini erat-erat. Namun....
"Wuaaa...!" Prajurit itu menjerit keras dan menyayat ketika kedua lengannya melingkari tubuh Sumini yang ramping. Tubuh montok itu langsung dilepaskannya. Dan wajahnya yang tadi menciumi sekujur wajah Sumini dengan buas tampak menghitam seperti terbakar.
Sambil mengerang-erang kesakitan prajurit itu menggunakan kedua tangan untuk menggaruki wajahnya yang gosong. Karena di samping hangus, rasa gatal yang hebat menggerayangi sekujur wajahnya. Akibat yang lebih mengerikan pun terjadi, kedua tangannya yang dipakai menggaruk, berubah hitam! Sesaat kemudian, tubuhnya ambruk dalam keadaan tanpa nyawa.
Kejadian ini membuat rombongan prajurit kerajaan terkejut bukan kepalang. Mereka terlongong bengong seperti melihat hantu, dengan sorot mata memanearkan kengerian.
"Menyingkir semua...! Biar aku yang membunuh iblis keji ini...!"
Saat itulah terdengar bunyi meledak-ledak keras, disusul dengan meluncurnya sinar kemerahan ke arah ubun-ubun Sumini. Padahal saat itu putri Raja Pedang Langit Bumi ini tengah merasa heran melihat kejadian yang menimpa prajurit mata keranjang itu.
Ctarrr!
Sinar kemerahan yang ternyata sebuah cambuk, langsung meledak di udara. Tidak pada sasaran yang dituju. Ketika ujung cambuk hampir mengenai ubun-ubun Sumini, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan ungu. Dengan kecepatan luar biasa hingga tak tertangkap pandangan mata biasa, sosok itu menyambar titbuh Sumini.
"Keparat!" Lelaki bermuka kemerahan menggeram murka mengetahui ada orang yang menyelamatkan calon korbannya. Dengan geram pandangannya dialihkan ke arah sosok ungu itu melesat. Dan baik dia maupun rombongan langsung melihatnya. Orang yang baru saja mereka percakapkan, Dewa Arak.
"Menyingkirlah, Sumini! Biar aku yang menghadapinya," ucap Arya seraya menurunkan tubuh gadis berpakaian kuning itu. Lalu tanpa mempedulikan Sumini, Dewa Arak segera menghadapi rombongan prajurit Kerajaan Samodra yang telah mengurungnya dengan senjata di tangan.
"Siapa kau, Anak Muda? Apakah kau salah satu dari para pemberontak itu?! Jangan harap dapat lolos dari tangan kami!" ancam lelaki berkulit kemerahan.
"Menyingkirlah dari sini! Dan serahkan mayat Raja Pedang Langit Bumi, baru keselamatanmu akan kami pertimbangkan," tambah lelaki kecil kurus seraya menimang-nimang dua bilah pisau di tangannya.
"Manusia-manusia berhati binatang!" ucap Arya dengan suara berat karena amarah yang bergolak, menyaksikan ketelengasan sikap lelaki berkulit kemerahan itu. Sekejap saja tadi dia terlambat, nyawa Sumini pasti melayang. Kekejaman tindakan orang-orang Kerajaan Samodra ini membuat Dewa Arak memutuskan untuk menentang. "Jangan harap aku akan memenuhi permintaan gila kalian! Lebih baik menyingkirlah, sebelum aku terpaksa mengusir kalian dari sini dengan kekerasan!"
"Pemberontak Hina, mampuslah kau!"
Ctar, ctar, ctar...!
Cambuk merah panjang di tangan lelaki berkulit kemerahan melecut, seperti halilintar menyambar-nyambar ke arah kepala Dewa Arak.
"Hea!"
Trap!
Unjung cambuk itu tersambar di tangan Dewa Arak yang memapaknya. Dengan cepat dicengkeramnya ujung cambuk, lalu ditarik. Tentu saja lelaki berkulit kemerahan itu tidak membiarkan senjata andalannya itu dirampas oleh lawan yang telah membetotnya. Keduanya saling bersitegang. Cambuk yang terbuat dari bahan ulet dan dapat mulur itu meregang, dan tiba-tiba Arya melepaskannya.
Sing!
"Heh...?!" Bunyi berdesing nyaring terdengar ketika ujung cambuk itu menyambar ke arah muka pemiliknya sendiri. Lelaki berkulit kemerahan terkejut bukan kepalang. Dengan cepat dia merendahkan tubuh sehingga lesatan ujung cambuk itu lewat di atas kepalanya.
"Serang...!"
"Bunuh dia...!"
Sebelum Dewa Arak melancarkan serangan susulan, lelaki kecil kurus dan anak buahnya langsung melancarkan serangan. Sehingga pemuda berambut putih keperakan itu mengalihkan perhatiannya. Karena dihujani berbagai macam senjata yang memburu tubuhnya.
Melihat keadaan yang sangat berbahaya, Dewa Arak langsung mempertunjukkan kemampuannya. Semua serangan yang mengancam, dipapaknya dengan tangan telanjang. Bunyi berdetak nyaring mengiringi berbenturannya tangan dan kaki Dewa Arak dengan senjata-senjata pengeroyoknya.
Setiap kali tangan atau kakinya menangkis, selalu membuat penyerangnya sendiri yang terpental ke belakang. Namun, kekerasan hati para prajurit Kerajaan Samodra itu memang patut diacungi jempol. Setiap kali mereka terlempar, setiap kali pula kembali menerjang, meskipun untuk itu tubuhnya kembali terlempar.
Karena tahu kalau di antara rombongan itu hanya lelaki kecil kurus dan lelaki berkulit kemerahan yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi, Dewa Arak terus mencecar dengan melancarkan serangan yang lebih keras pada keduanya.
Meskipun demikian, pemuda berambut putih keperakan itu tidak mau menjatuhkan tangan kejam pada lawan-lawannya. Disadari kalau mereka hanya orang-orang yang melakukan perintah pimpinan. Lagi pula tidak terbukti kalau mereka melakukan tindakan kejam, kecuali lelaki berkulit kemerahan. Itulah sebabnya, Dewa Arak selalu menjaga agar tangkisan atau serangannya tidak terlalu keras untuk mereka.
Pertarungan berlangsung kurang menarik karena keadaan para prajurit Kerajaan Samodra itu bagaikan sekelompok semut yang menerjang api. Mereka roboh sebelum sempat mencapai sasaran. Tak sampai tiga puluh jurus, tubuh-tubuh mereka telah bergelimpangan di tanah, tak mampu bangkit lagi hanya bisa mengeluarkan keluhan kesakitan.
"Aku tak punya urusan dengan kalian. Maka menyingkirlah dari sini!" ucap Dewa Arak penuh perasaan wibawa, seraya menatap sosok-sosok yang bergelimpangan di sekelilingnya.
Lelaki kecil dan lelaki berkulit kemerahan tahu kalau Dewa Arak terlalu kuat untuk dilawan. Maka setelah berhasil bangkit, meskipun dengan agak payah, segera memberi isyarat agar mundur pada rombongannya. Dihampirinya lelaki berkulit kemerahan itu, lalu dipapahnya untuk meninggalkan tempat Lelaki itulah yang menderita luka paling parah.
Arya hanya menatap rombongan prajurit Kerajaan Samodra yang melangkah terseok-seok meninggalkannya. Dan ketika pandangannya dialihkan, tampak Sumini tengah menatapnya. Kemudian diayunkan langkahnya mendekati gadis itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak," ucap Sumini seraya menundukkan kepala. Dia masih malu mengingat Arya telah menjumpainya dalam keadaan tanpa berpakaian.
"Lupakanlah, Sumini!" ujar Arya perlahan, tidak merasa heran mengetahui Sumini telah mengenalnya. Dia menduga gadis itu telah mendengar percakapannya dengan Kerbau Bertenaga Raksasa dan rekan-rekannya.
"Dewa Arak...," ucap Sumini tersendat-sendat dengan sepasang mata merembang berkaca-kaca. "Aku ingin mengajukan pertanyaan padamu. Boleh?"
"Silakan, Sumini," jawab Arya agak terharu. Dia bisa memperkirakan pertanyaan Sumini melihat sikapnya yang sedih.
"Be..., benarkah ayahku telah tewas...?" tanya Sumini lagi dengan suara yang semakin terbata-bata. Bahkan sepasang bibirnya pun tampak bergetar.
"Hhh...!" Setelah terlebih dulu menghembuskan napas berat, Dewa Arak menganggukkan kepalanya secara perlahan-lahan. Dia tahu tidak ada gunanya menyimpan rahasia itu. Lebih cepat Sumini mengetahui nasib ayahnya, lebih baik.
"Ayaaah...!" desah Sumini seraya mendekapkan kedua tangan di dengan wajahnya yang tertunduk. Ada air bening mengalir keluar dari celah-celah jarinya.
Arya membiarkan saja gadis itu menangis. Bahkan dia memberinya kesempatan dengan membalikkan tubuhnya membelakangi agar gadis itu tidak malu. Namun sempat dilihatnya tubuh Sumini terguncang-guncang karena tangis yang ditahan.
Setelah beberapa saat lamanya tidak terdengar bunyi tangisan, Arya membalikkan tubuh. Dilihatnya Sumini masih seperti semula, tubuhnya terguncang-guncang dan air mata bercucuran dari celah-celah jari kedua tangan. Rupanya gadis itu berusaha keras untuk menahan agar tangisnya tidak keluar. Arya melangkah menghampiri. Pelan-pelan karena khawatir mengejutkan Sumini.
"Jangan kau tahan tangismu, Sumini! Keluarkanlah! Karena dengan menangis tekanan batin yang menghimpitmu akan berkurang. Tak usah kau menahannya," ucap Arya lembut.
Ucapan Arya bagaikan minyak menyambar api. Seketika tangis Sumini langsung meledak. Memang, saat itu Sumini membutuhkan orang yang dapat dijadikannya tempat mencurahkan perasaan sedih dan mengasihi kemalangannya. Setelah beberapa saat lamanya Dewa Arak menunggu, akhirnya tangis Sumini mulai mereda.
"Maafkan aku, Dewa Arak. Aku telah merepotkan dirimu...," ucap Sumini serak karena cukup lama menangis.
"Tidak usah kau pikirkan itu, Sumini. Aku merasa gembira dapat menolongmu karena dapat memenuhi amanat yang diberikan ayahmu sebelum meninggal. Beliau memintaku membawamu kepada Empu Pradaga. Beliau berdiam di salah satu goa di sebelah selatan Gunung Anjasmoro ini."
TIGA
Sumini tidak langsung memberikan tanggapan. Ditatapnya wajah Dewa Arak yang tengah menatapnya karena menunggu jawaban dari mulutnya.
"Terima kasih atas jerih payahmu, Dewa Arak. Tapi.... Sebelum aku pergi dan ikut denganmu ke tempat ringgal Empu Pradaga, aku ingin mendengar secara jelas bagaimana kematian ayahku. Beliau memiliki kepandaian amat tinggi, Dewa Arak. Dan, belum pernah terkalahkan. Aku tidak percaya ada orang yang mampu membunuhnya!"
Dewa Arak menatap wajah Sumini lekat-lekat. Sikapnya terlihat sungguh-sungguh. "Kuakui. Aku percaya kepandaian ayahmu amat tinggi, dan jarang ada yang dapat menandinginya. Tapi, asal kau tahu saja, banyak tokoh dari persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Dan mungkin ayahmu harus menghadapi tokoh yang lebih tinggi ilmu dan kedigdayaannya. Sehingga ayahmu menemui ajalnya...."
"Jadi.... Kau tidak tahu orang yang telah membunuh ayahku, Dewa Arak?" tanya Sumini, tanpa menyembunyikan rasa kecewanya. Semula disangkanya Dewa Arak tahu pembunuh ayahnya.
"Sayang sekali, begitu kutemukan ayahmu tengah sekarat. Dan dia hanya menyebut namamu. Tak jauh dari tempat kejadian kutemukan segulung surat yang berisikan pesan agar.... Maaf, Sumini aku telah lancang membukanya. Untuk jelasnya silakan kau baca saja surat ini!" ujar Arya seraya menyerahkan gulungan daun lontar pada Sumini.
Tanpa bicara apa pun, Sumini menerima surat itu dan membacanya.
Sumini, Anakku....
Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap diriku, kuharap kau pergi dan meminta perlindungan pada Empu Pradaga di sebelah selatan Gunung Anjasmoro ini.
Ayahmu,
Raja Pedang Langit Bumi.
"Ayah...!" seru Sumini dengan suara serak karena rasa sedih yang menyeruak ke dalam hatinya. Gadis itu tak tahan mengenangkan sang Ayah yang telah pergi untuk selamanya.
Dewa Arak membiarkan Sumini tenggelam dalam alun kesedihannya beberapa saat. "Sekarang kau mengerti mengapa aku harus membawamu kepada Empu Pradaga, Sumini? Dan, o ya..., ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Apakah kau tahu kalau dalam tubuhmu tersembunyi racun ganas yang membahayakan orang lain, tapi anehnya tidak berpengaruh sedikit pun pada dirimu?!"
"Jadi.... Itulah sebabnya prajurit kerajaan itu tewas setelah memeluk diriku?" sahut Sumini masih serak suaranya. "Aku..., aku sama sekali tidak mengetahui hal itu, Arya."
"Bukan hanya prajurit itu, Sumini. Tapi juga Raja Sihir Berbaju Merah. Hanya saja karena tenaga dalam Raja Sihir Berbaju Merah lebih kuat, dia mampu bertahan lebih lama," jelas Arya, panjang lebar. "Kalau saja aku tidak melihat sendiri nasib prajurit yang tewas secara mengerikan tadi, mungkin teka-teki kematian Raja Sihir Berbaju Merah, tidak akan terjawab olehku. Ada apa..., Sumini?"
"Ah..., eh... tidak ada apa-apa, Dewa Arak," jawab Sumini agak gugup, seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Dewa Arak diam, tidak ingin mendesak lagi setelah mendengar jawaban itu. Tadi dia menanyakan hal itu karena dilihatnya Sumini tengah termenung. Seperti ada sesuatu yang dipikirkannya. Namun, tentu saja meskipun yakin ada yang disembunyikan, Arya tidak mengajukan ketidakpercayaannya atas jawaban yang diberikan Sumini.
"Kau tahu, mengapa racun ganas itu bisa berada di dalam dirimu tanpa mencelakaimu, Sumini?"
"Tidak, Dewa Arak," jawab Sumini.
Lagi-lagi jawaban yang diberikan Sumini membuat kecurigaan Dewa Arak semakin besar. Sebab dia tahu, meskipun tidak mengatakannya, Sumini tidak memusatkan perhatian pada percakapan mereka. Ada sesuatu yang tengah mengganggu pikiran gadis itu. Namun yang jelas masalah ayahnya.
"Tapi, kurasa ayahmu tahu, Sumini," lanjut Arya dengan sikap seolah-olah tidak tahu kalau Sumini tidak memperhatikan percakapan yang tengah berlangsung. "Itulah sebabnya dia bermaksud membawa pada Empu Pradaga. Aku yakin, kakek itu yang diandalkan ayahmu untuk mengobati penyakitmu yang aneh ini. Hhh...! Kalau tak melihatnya sendiri aku tidak percaya ada racun yang bersarang di tubuh orang dan mampu melukai orang lain. Tanpa melukai tubuh orang tempatnya bersarang. Seakan-akan kau ini ular atau binatang berbisa lainnya."
Usai berkata demikian, Dewa Arak menolehkan kepala ke belakang karena mendadak mendengar adanya bunyi mencurigakan. Pendengarannya ternyata tidak salah. Dalam jarak sekitar lima tombak di belakangnya, berdiri dengan bersandar pada sebatang pohon, seorang nenek berpakaian serba hitam. Tubuhnya terbalut pakaian hitam, mengenakan topi berbentuk kerucut dan sebatang payung terkepit di ketiak kanannya.
"Hik hik hik...!" nenek berpakaian hitam itu tertawa mengikik. "Tak kusangka di tempat seperti ini akan menemukan seorang hidung belang yang tengah merayu korbannya!"
Wajah Dewa Arak kontan berubah. Meskipun nenek itu tidak menunjukkan ucapannya, tapi bisa diketahuinya kalau dirinyalah yang dimaksud.
"Mulutmu ternyata tajam sekali, Nek. Tidak sepantasnya ucapan seperti itu keluar dari mulut orang setua dirimu!" sahut Dewa Arak berusaha sekuat tenaga untuk menahan amarah, agar ucapannya tidak menandakan kemarahan.
"Kau masih mau menyangkal, Hidung Belang?! Rupanya kau ingin dihajar dulu baru mengaku?! Baiklah kalau itu yang kau mau!"
Belum lagi lenyap ucapannya, nenek berpakaian hitam itu telah menubruk Dewa Arak dengan sebuah tusukan payung ke arah perut. Namun, dengan melompat ke belakang, Dewa Arak telah berhasil membuat serangan itu mengenai tempat kosong. Kemudian, dengan cepat mengirimkan tendangan kaki kanan ke leher perempuan tua itu.
"Akh!" Dewa Arak mengeluarkan pekikan tertahan. Kakinya membalik ketika nenek berpakaian hitam itu membuka payung untuk menangkal serangan lawan. Ketika tubuh pemuda berambut putih keperakan agak terhuyung, nenek itu kembali melancarkan serangan dengan sebuah tusukan ke ulu hati, pusar, dan dada secara bertubi-tubi.
Meskipun berada dalam keadaan kurang menguntungkan, Dewa Arak masih berhasil mengelakkan serangan itu. Bahkan cepat mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat.
Beberapa saat kemudian kedua belah pihak telah terlibat dalam pertarungan sengit. Pada jurus-jurus awal Dewa Arak mengalami sedikit kesukaran menghadapi nenek berpakaian hitam itu. Senjata payung itulah yang membuatnya kelabakan, karena dengan cepat menguncup dan membuka seiring dengan serangan yang dilancarkan Dewa Arak. Dengan jurus seperti itu seakan memiliki pasangan senjata pedang dan perisai.
Ketika pertarungan menginjak jurus kedua puluh, mulai terlihat adanya perimbangan kekuatan. Kedua belah pihak mampu melancarkan serangan jumlah serangan yang sama. Saling serang dan menangkis. Padahal Dewa Arak belum mengeluarkan ilmu andalannya. Baik nenek bersenjata payung maupun Dewa Arak tampak berusaha saling mendesak pertahanan lawan. Hingga pada jurus kelima puluh, pertarungan belum berubah. Imbang. Belum tampak adanya tanda-tanda siapa yang bakal menang.
Mendadak nenek berpakaian hitam melancarkan tusukan beruntun dengan ujung payungnya. Sehingga memaksa Dewa Arak melompat menjauh. Namun, nenek berpakaian hitam itu tidak melancarkan serangan lanjutan. Dia melompat jauh ke belakang dan melesat meninggalkan Dewa Arak. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
Dewa Arak yang memang tidak bemiat mencari permusuhan tidak menghalangi. kepergian nenek itu. Setelah yakin musuhnya tidak kembali lagi untuk melancarkan serangan, ditolehkan kepalanya untuk membagi perhatian pada Sumini,
"Heh...?!" Namun, betapa terkejutnya Dewa Arak ketika mendapati Sumini tidak berada di tempat. Rasa penasaran membuat pemuda berambut putih keperakan itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Namun tetap saja tidak menemukan adanya gadis berpakaian kuning itu.
"Sumini...!" seru Dewa Arak seraya melangkahkan kakinya secara serampangan, karena tidak tahu ke mana Sumini lenyap. Lagi pula dia tidak tahu apakah Sumini pergi sendiri atau diculik orang lain.
Sambil terus berseru, tanpa tujuan yang jelas Dewa Arak mencari-cari Sumini. Dia merasa bertanggung jawab atas nasib gadis itu, meskipun Raja Pedang Langit Bumi tidak memesannya secara langsung. Namun, demi ketenteraman roh Raja Pedang Langit Bumi, dirinya berniat menyelamatkan Sumini sampai berada di tangan Empu Pradaga.
* * *
Sementara itu Sumini telah berada jauh dari tempat Dewa Arak. Gadis itu melarikan diri ketika Dewa Arak tengah terlibat pertarungan dengan nenek berpakaian hitam. Dia menunggu sampai pemuda berpakaian ungu itu benar-benar lengah. Dengan mengendap-endap dia meninggalkan tempat itu. Ketika telah berjarak cukup jauh baru berlari dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya.
Entah berapa lama berlari, Sumini tidak mengetahuinya. Namun yang jelas, larinya terhenti ketika mendengar bunyi tawa mengikik yang dikenalnya, karena tawa itu baru saja didengar. Tawa nenek berpakaian hitam.
Sumini bermaksud menolehkan kepala ke belakang, arah asal suara itu. Namun, maksudnya diurungkan karena melihat kelebatan bayangan hitam melesat dari belakang, melewatinya. Dan ketika diarahkan pandangannya ke depan, tepat di hadapannya telah berdiri nenek berpakaian hitam yang tadi bertarung dengan Dewa Arak.
"Syukurlah kau dapat bertindak cepat, Sumini," ucap nenek berpakaian hitam dengan nada suara seperti orang yang telah lama mengenal gadis berpakaian kuning itu.
"Bukankah ini semua sesuai dengan siasatmu pula, Nek?!" Sumini balas memuji. "O ya, bagaimana dengan Dewa Arak? Apakah kau berhasil merobohkannya?"
"Hik hik hik...!" Nenek berpakaian hitam tertawa mengikik dan tersenyum menggoda karena merasakan adanya nada kekhawatiran dalam ucapan Sumini.
"Kau tidak usah khawatir, Cucuku. Dewa Arak tidak apa-apa. Dia lihai sekali. Lagi pula, andaikata aku mampu merobohkannya, tak akan mungkin kulukai orang yang telah berjasa menolongmu berkali-kali itu," ucap nenek berpakaian hitam bernada menghibur.
"Kau..., kau mengetahui semua itu, Nek?" tanya Sumini setengah tidak percaya.
"Tentu saja!" sahut nenek berpakaian hitam, tegas. "Sayang, kedatanganku terlambat hingga tidak sempat mencegah mereka membunuh Jaya Katwang, suamiku! Tapi, aku sempat melihat tindakan Raja Sihir Berbaju Merah terhadap dirimu, hanya saja aku sengaja membiarkannya. Sebab aku mempunyai sebuah rencana terhadapmu!"
"Rencana?!" ulang Sumini dengan alis ber-kerut.
"Rencana apa, Nek?!"
"Baiknya kuceritakan secara lengkap saja agar kau tidak terus bertanya-tanya dan masalahnya menjadi jelas," ucap nenek berpakaian hitam yang ternyata nenek Sumini.
Sebab nenek itu ibu kandung Raja Pedang Langit Bumi. Kemudian secara singkat tapi jelas, nenek berpakaian hitam itu menceritakan semuanya. Berkali-kali Sumini yang mendengarkan cerita itu mengeluarkan jeritan kaget karena tidak menyangka akan seperti itu berita yang didengarnya.
"Nah, begitulah ceritanya, Sumini," ujar nenek berpakaian hitam menutup ceritanya. "Sekarang, tibalah saatnya untuk merampungkan rencana yang telah lama kususun. Kau akan kujadikan orang sakti! Hik hik hik…!"
* * *
Sumini berlari cepat meninggalkan tempat pertemuannya dengan nenek berpakaian hitam itu yang ternyata nenek kandungnya sendiri. Sungguh pun demikian, gadis berpakaian kuning itu tidak lupa untuk bertindak hati-hati karena jalan yang ditempuhnya menurun. Sumini memang bermaksud turun gunung.
Selama ini Sumini tidak pernah turun gunung. Tinggal di Gunung Anjasmoro itu pun karena ikut ayahnya melarikan diri dari kejaran pasukan kerajaan, dan untuk yang pertama kalinya. Tambahan lagi, dia turun melewati jalan yang belum dikenal. Akibatnya dia tersesat karena tidak tahu arah. Sampai akhirnya tiba di sebuah anak bukit yang merupakan tanah pekuburan yang amat luas.
Sumini berlari terus dengan maksud hendak melewati bukit tanah kuburan itu. Namun tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri, dan kedua kakinya menggigil. Seolah sengaja dia berhenti. Hatinya terkejut merasa takut, mendengar suara tawa berkakakan, sedang orangnya belum tampak. Suara tawa itu tidak seperti biasa. Seolah-olah bukan suara manusia. Ibliskah atau suara mayat!
Meskipun bukan gadis yang penakut, mendengar suara tawa mengerikan seperti itu Sumini tak dapat menahan. Tubuhnya merinding ketakutan. Apalagi tempat itu merupakan kuburan. Hampir saja gadis berpakaian kuning itu berlari tunggang langgang kalau tidak ingat bahwa saat itu siang hari. Dia yakin setan atau hantu takkan muncul di siang hari.
Keyakinan itulah yang menumbuhkan keberanian di hati Sumini. Sekarang dia menduga kalau suara tawa itu keluar dari mulut seorang tokoh persilatan yang mempunyai tenaga dalam cukup kuat. Maka, tanpa ragu-ragu dilangkahkan kakinya menuju asal suara.
Sebelum Sumini sampai di tempat yang dituju, dari balik salah satu kuburan tampak sesosok tubuh. Rupanya dia sejak tadi merebahkan diri sehingga tidak terlihat oleh Sumini. Dan ketika Sumini melihatnya, kontan dia menggeram. Dikenalinya betul sosok itu sebagai Setan Ular Karang! Orang yang hampir membuatnya menjadi orang terhina selamanya!
"Iblis keji! Sekarang kau harus terima balasan atas kejadian yang kau lakukan!" seru Sumini keras penuh kemarahan. Dia teringat akan nasib yang hampir menimpa dirinya. Juga kematian Jaya Katwang, kakeknya.
Setan Ular Karang terperanjat mendengar bentakan gadis itu. Buru-buru tubuhnya dibalikkan! Ketika melihat siapa yang barusan membentaknya lelaki berpakaian coklat itu merasa lega.
"Ah.... Kebetulan sekali kau datang kemari, Anak Manis. Aku memang tengah ingin menggeluti tubuh seorang wanita. Kemarilah, Anak Manis! Kita bermain cinta," ucap Setan Ular Karang sambil melambaikan tangan.
Terlihat gembira sekali tokoh sesat yang berwajah hitam ini. Bukan hanya karena dia ingin bermain cinta dengan Sumini. Harinya merasa lega ketika mengetahui orang yang menegurnya ternyata Sumini. Semula disangkanya orang yang datang Raja Sihir Berbaju Merah atau Kerbau Bertenaga Raksasa untuk merampas pusaka Raja Pedang Langit Bumi dari tangannya.
Memang, pusaka Raja Pedang Langit Bumi berada di tangan Setan Ular Karang. Tokoh sesat yang licik itu berhasil melarikan diri dengan membawa pusaka itu. Sedangkan Kerbau Bertenaga Raksasa yang mengejarnya, tidak berhasil karena telah kehilangan jejak lelaki berwajah hitam ini.
Di tempat pekuburan yang letaknya tersembunyi ini, Setan Ular Karang tinggal dan mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Raja Pedang Langit Bumi. Dia berlatih keras agar cepat dapat mempelajari ilmu-ilmu Raja Pedang Langit Bumi.
Namun baru dua hari, tempat persembunyiannya yang terpencil berhasil diketemukan Sumini. Sementara itu Sumini menatap penuh kebengisan pada Setan Ular Karang. Kemarahan seketika terbangkit melihat lelaki berwajah hitam itu.
"Temuilah setan-setan di neraka, Iblis Keji!" dengus Sumini sambil menubruk maju dengan jari-jari tangan kiri terbuka meluncur ke arah muka Setan Ular Karang.
Gerakannya begitu cepat mengarah kedua bola mata lawan. Dan dari sambaran tangannya terasa hawa pukulan yang kuat! Setan Ular Karang terkejut melihat serangan cepat Sumini. Namun dengan cepat pula tokoh berwajah hitam itu menarik tubuhnya ke belakang.
Plak!
Rrrt!
"Hey! Kembalikan kitabku!" Setan Ular Karang berseru marah dan kaget ketika melihat Sumini dengan tenangnya memasukkan sebuah kitab ke balik baju. Setan Ular Karang tidak tahu bagaimana kitab milik Raja Pedang Langit Bumi yang berada di pinggangnya bisa diambilnya dengan begitu cepat. Dia hanya merasa ketika menarik tubuh kebelakang, kitab itu diserobot dengan kecepatan kilat. Dan tahu-tahu kitab itu telah lenyap dari pinggangnya.
Dengan sepasang mata terbelalak marah bercampur kaget Setan Ular Karang menatap wajah Sumini lekat-lekat. Benarkah gadis ini telah menjadi demikian lihainya? Padahal, beberapa hari yang lalu, dengan sebelah tangan pun dia sanggup mengalahkan gadis itu. Tapi sekarang? Ataukah dia tadi yang bertindak terlalu memandang rendah? Pikiran-pikiran seperti itu berkecamuk di benak Setan Ular Karang.
Memang dugaan Setan Ular Karang ada benarnya. Keberhasilan Sumini merampas kitab itu dari pinggangnya, sebagian besar terjadi karena Setan Ular Karang menganggap remeh. Di samping itu, tak jelas kalau Sumini ternyata memiliki gerakan yang sangat cepat.
Sumini tersenyum tenang bercampur gembira melihat keberhasilan usahanya. Dia tidak merasa heran sama sekali meskipun telah berhasil merampas kitab dengan cara cukup menakjubkan.
"Kitabmu? Lupakah kau kalau engkau mencuri kitab ini dari tempat tinggalku? Kitab ini milikku! Enak saja kau mengaku-aku...!"
"Keparat! Rupanya kau ingin mati secara mengerikan, Wanita Sundal? Akan kuperkosa sampai mati!"
Belum habis gema ucapan itu, Setan Ular Karang telah meluruk maju melancarkan serangan. Karena marah, dan tahu kalau Sumini telah memiliki kepandaian lebih hebat dari sebelumnya, dia langsung mengeluarkan ilmu 'Ular Karang' yang diandalkannya. Kedua tangannya hingga sebatas pergelangan berubah warna hitam legam. Suara berdesit dan menderu nyaring mengiringi tibanya serangannya.
Tapi Sumini sekarang bukankah Sumini beberapa hari yang lalu, yang dapat dengan mudah dirobohkan. Laksana bayangan tubuhnya berkelebat ke sana kemari di antara sambaran-sambaran kedua tangan Setan Ular Karang.
Setan Ular Karang menggeram. Beberapa jurus sudah dilancarkan untuk menyerang, tapi tak satu pun yang mengenai sasaran. Serangan-serangan yang dilancarkan pun semakin dahsyat.
Sejauh itu Sumini belum memperlihatkan perlawanan yang berarti. Dia hanya mengelakkan setiap serangan Setan Ular Karang dengan menggunakan kelincahannya. Hati Sumini merasa gembira sekali ketika melihat serangan-serangan lawan, tidak satu pun yang dapat menyentuh tubuhnya. Hal ini memang pertanda kalau kepandaiannya telah meningkat pesat.
Pada jurus kedua belas, untuk kesekian kalinya kedua tangan Setan Ular Karang meluncur ke arah leher. Dengan cepat Sumini memiringkan kepalanya sedikit, dan bersamaan dengan itu tangannya menampar.
Plak!
Sumini menampar dengan menggunakan sebagian tenaganya, dan mengenai pipi kiri Setan Ular Karang. Namun akibatnya cukup untuk membuat tubuh lelaki berwajah hitam itu terbanting dan bergulingan. Ketika Setan Ular Karang meloncat bangun, pipinya telah bengkak membiru, dan beberapa giginya di pinggir kiri copot! Sesaat Setan Ular Karang menggetarkan kepala, karena dirasakan pening sekali, sambil tangannya mengusap darah di mulut.
"Cuhhh!" Sambil meludahkan gigi dan darah, Setan Ular Karang menatap Sumini yang berdiri tenang, dengan amarah berkobar-kobar. Sekarang, tokoh sesat berwajah hitam ini tahu kalau entah dengan cara bagaimana Sumini telah mampu menguasai kepandaian tinggi. Diam-diam dia merasa gentar. Disadari kalau dirinya bukan tandingan Sumini. Meskipun demikian Setan Ular Karang tidak rela meninggalkan kitab Raja Pedang Langit Bumi yang baru sedikit dipelajarinya. Dia bertekad untuk melakukan perlawanan.
Setan Ular Karang mengeluarkan sebatang suling kecil dari pinggangnya dan bermaksud meniupnya. Ini adalah salah satu keistimewaan ilmu yang dimilikinya. Dengan meniup suling kecil dari bambu itu dia mampu memanggil dan memerintahkan ular-ular agar membantu dirinya.
"Heaaakh...!"
Namun sebelum suling bambu kecil itu menempel di mulut mendadak Setan Ular Karang melolong menyayat hati sambil memegang dan kemudian menggeruk-garuk pipi kirinya yang telah menghitam. Sesaat kemudian tubuh Setan Ular Karang ambruk dan sampailah ajalnya.
Sumini menatap tubuh lawannya yang tergolek di tanah setelah menabrak sebuah kuburan. Kemudian gadis berpakaian kuning ini mendongakkan kepalanya ke atas.
"Tenanglah di alam baka, Kakek! Satu pembunuhmu telah berhasil kubinasakan! Aku berjanji akan mencari yang dua orang lagi...."
Setelah menundukkan kepala beberapa saat untuk mengheningkan cipta atas arwah Jaya Katwang, Sumini melesat meninggalkan tempat itu. Tujuannya mencari dan membalas dendam terhadap pembunuh-pembunuh kakek dan ayahnya.
* * *
EMPAT
Hari telah senja ketika Sumini memasuki mulut sebuah desa di kaki Gunung Anjasmoro. Rasa lapar membuatnya melangkahkan kaki menuju sebuah kedai yang terletak di pinggir jalan.
Namun baru sebelah kakinya memasuki ambang pintu kedai, dia terperanjat melihat sosok-sosok tubuh yang bergelimpangan tak tentu arah di lantai. Meja dan kursi berserakan. Begitu pula perabotan kedai itu pecah dan berantakan.
"Uhhh...!" Suara rintihan dari dalam kedai membuat Sumini melangkah masuk dan menghampiri seorang lelaki bertubuh kekar yang tengah berusaha bangkit. Lelaki inilah yang lukanya tidak terlalu parah.
"Apa yang terjadi, Ki? Siapa yang melakukan hal ini?" tanya Sumini, ketika tubuhnya sudah berjongkok di dekat lelaki kekar itu. Bunyi gemeretak keras dari mulutnya menandakan kalau gadis berpakaian kuning ini dilanda perasaan geram.
"Seorang lelaki berkepala botak datang menanyakan tentang seorang lelaki berpakaian serba coklat dan bermuka hitam pada kami semua. Begitu mendapat jawaban tidak tahu, karena kami semua memang tidak mengetahuinya, dia mengamuk dan menganiaya kami semua. Beberapa orang yang mempunyai kemampuan mencoba untuk melawan, tapi dia lihai sekali. Dan juga kebal! Dengan mudah perlawanan orang-orang itu dipatahkannya," tutur lelaki kekar itu panjang lebar.
"Sekarang ke mana perginya orang itu?" tanya Sumini. Dia dapat menduga kalau orang yang melakukan kekejian itu Kerbau Bertenaga Raksasa yang tengah mencari-cari Setan Ular Karang.
"Dia baru saja pergi ke arah barat," jelas lelaki kekar itu.
Sumini tersenyum gembira mendengar jawaban yang jelas itu. "Bukankah lelaki berkepala botak itu bertelanjang dada. Dan mempunyai bulu-bulu tebal di dadanya?" tanya Sumini untuk mencari kepastian.
"Benar!" sahut lelaki kekar seraya mengangguk.
Tanpa mengucapkan terima kasih lagi, Sumini melesat kabur meninggalkan kedai. Dan berlari cepat ke arah perginya lelaki berkepala botak yang diduganya Kerbau Bertenaga Raksasa itu. Lelaki kekar itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat gadis di hadapannya tahu-tahu lenyap. Dia hanya melihat kelebatan bayangan kuning melesat keluar kedai dan seterusnya lenyap.
Sumini terus berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Pemberitahuan kalau Kerbau Bertenaga Raksasa belum lama meninggalkan kedai, membuatnya ingin segera memburunya. Gadis berpakaian kuning itu telah lupa niatnya semula untuk makan di kedai.
Ternyata pemberitahuan yang didapat tidak salah. Belum lama berlari, Sumini telah melihat sesosok tubuh di kejauhan. Kenyataan ini membuat Sumini semakin bersemangat, dan larinya pun semakin cepat. Sehingga jarak antara sosok di depan dengan dirinya semakin dekat. Betapa girang hatinya ketika mengetahui kalau sosok yang dikejarnya itu ternyata Kerbau Bertenaga Raksasa.
"Berhenti kau, Iblis Keji!" seru Sumini sambil terus berlari.
Kerbau Bertenaga Raksasa terkejut tersentak kaget mendengar bentakan itu. Belum juga kepalanya sempat ditolehkan tahu-tahu sosok bayangan kuning telah melesat melewati atas kepala, lalu berdiri menghadang di depannya. Laksana sehelai daun kering Sumini menjejak tanah.
"Ha ha ha...!" Setelah tertegun sejenak, memperhatikan sosok yang berdiri di hadapannya, Kerbau Bertenaga Raksasa tertawa bergelak. "Kiranya kau, Bocah Cilik?! Sungguh berani mati kau menghadang jalanku! Apakah kau telah mempunyai nyawa rangkap? Kudengar kau jadi buronan kerajaan..., biarlah kau kutangkap untuk kuserahkan pada mereka. Siapa tahu aku mendapat ganjaran kedudukan tinggi!"
Sambil berkata demikian, Kerbau Bertenaga Raksasa melangkah menghampiri Sumini dengan sikap memandang rendah. Dia benar-benar tak menyadari bagaimana gadis berpakaian kuning itu mampu menghadang di depannya tanpa menimbulkan suara. Yang teringat olehnya, Sumini adalah seorang gadis lemah. Baru Kerbau Bertenaga Raksasa melangkah beberapa tindak, sambil tersenyum sinis, Sumini mengambil sesuatu dari balik pakaiannya.
"Apakah kau tidak tertarik dengan ini, Kerbau Gila?" tanya Sumini seraya mengacung-acungkan kitab milik ayahnya di depan wajah.
Kerbau Bertenaga Raksasa terkejut dengan mata terbelalak melihat kitab yang amat diinginkannya berada di tangan Sumini. Keterkejutan ini membuatnya tak sempat marah mendengar sapaan Sumini tadi
"Dari mana kau dapatkan kitab itu?" tanya Kerbau Bertenaga Raksasa dengan suara bergetar karena perasaan tegang dan heran melanda hatinya.
Kerbau Bertenaga Raksasa tidak langsung merampas kitab di tangan Sumini karena masih merasa heran dari mana dan bagaimana pusaka Raja Pedang Langit Bumi itu berada di tangan Sumini. Bukankah kitab itu berada di tangan Setan Ular Karang. Ataukah kitab yang diberikan kepada tokoh sesat berwajah hitam itu palsu belaka. Dan di tangan gadis inilah yang asli?
"Tidak usah kau tahu dari mana aku mendapatkannya, Kerbau! Yang penting apakah kau tidak menginginkannya? Kalau kau mau cepatlah sebelum aku membakarnya!" tantang Sumini tenang.
Ucapan Sumini menyadarkan Kerbau Bertenaga Raksasa akan hal yang harus dilakukannya. Maka sambil melangkah maju dengan cepat tangan kanannya bergerak merampas kitab yang ditimang-timang Sumini.
Wuttt!
Tangkapan Kerbau Bertenaga Raksasa mengenai angin ketika Sumini menarik tubuh bagian atasnya ke belakang tanpa menggeser kaki. Karuan saja hal itu membuat lelaki berkepala botak penasaran. Kembali tangannya diayunkan untuk merampas, tapi tidak hanya sekali digerakkan melainkan berkali-kali.
Seperti juga sebelumnya, usaha Kerbau Bertenaga Raksasa mengalami kegagalan. Padahal Sumini sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Dia hanya menggerak-gerakkan kedua tangan dan tubuh bagian atasnya, kadang ke kiri dan kadang ke kanan, serta sesekali ke belakang. Kenyataan ini menyadarkan Kerbau Bertenaga Raksasa kalau Sumini ternyata memiliki kepandaian tinggi. Gadis itu memiliki kecepatan gerak yang menakjubkan.
"Hanya sampai di situ sajakah kemampuanmu, Kerbau?" ejek Sumini yang memang bermaksud mempermainkan Kerbau Bertenaga Raksasa sebelum membunuhnya.
Kerbau Bertenaga Raksasa mendengus keras, karena kemarahan yang menggelegak. Kemudian serangan-serangan lanjutan dengan pengerahan seluruh kemampuan pun dilancarkan.
Melihat serangan lawan semakin ganas, Sumini pun tak tinggal diam. Dan, sesaat kemudian, kedua belah pihak telah terlibat dalam pertarungan sengit. Namun hanya beberapa jurus saja Kerbau Bertenaga Raksasa mampu melakukan perlawanan sengit. Menginjak jurus ketiga belas, serangan-serangan yang dilakukannya semakin berkurang.
Dia lebih banyak mengelak, bahkan menangkis pun jarang dilakukan karena selalu mengakibatkannya bergetar hebat. Kerbau Bertenaga Raksasa kalah dalam hal tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Dengan keunggulan itulah Sumini dapat mendesaknya.
Pada jurus ketujuh belas Sumini melancarkan tendangan lurus ke arah leher. Kerbau Bertenaga Raksasa mengelakkannya dengan menundukkan tubuh. Namun secepat kilat, Sumini menarik kakinya, dan meluncurkan lagi dengan sebuah tendangan ke arah kepala.
Prak!
"Aaakh...!" Kerbau Bertenaga Raksasa meraung keras ketika kepalanya remuk. Darah bercampur otak berhamburan dari kepala yang pecah. Tubuhnya ambruk saat itu juga.
"Hhh…!" Sumini menghela napas lega melihat lawannya telah tewas berlumuran darah. Dihapus peluh yang membasahi dari pipi dan leher dengan lengan bajunya.
"Bagus sekali...!"
Tiba-tiba terdengar suara pelan tanpa pengerahan tenaga dalam. Meski begitu tetap membuat Sumini terperanjat dan menolehkan kepala ke belakang. Tampak seorang kakek berpakaian abu-abu, dan bermuka merah berdiri di belakang dengan melipat kedua tangan di dada.
Jantung Sumini langsung berdebar keras ketika melihat sosok berpakaian abu-abu. Tubuh yang tinggi kekar dan sebuah penutup kepala berbentuk setengah tempurung kelapa berwarna hitam yang bertengger di atas kepala. Sosok hitam itu mengingatkannya akan cerita ayahnya.
"Inikah Barnaba, petapa di lereng Gunung Welirang yang turun gunung karena ingin membaktikan diri pada Kerajaan Samodra dengan menangkap ayahku? Setelah bertahun-tahun para prajurit tak berhasil menangkap Raja Pedang Langit Bumi. Hm.... Inikah tokoh sakti yang telah membunuh Ayah...?"
pertanyaan-pertanyaan seperti itu seketika berkecamuk di benak Sumini. "Kaukah tokoh yang bernama Barnaba?" tanya Sumini dengan suara bergetar karena perasaan tegang yang melanda. Raja Pedang Langit Bumi pernah cerita pada Sumini akan seorang tokoh sakti yang mempunyai ciri-ciri seperti ini.
"Dan kau putri Raja Pedang Langit Bumi?!" sosok abu-abu itu malah balas mengajukan pertanyaan. "Kalau dirimu bukan seorang bocah ingusan, mungkin sudah kubawa ke kerajaan karena telah berani memberontak!"
Sumini menggertakkan gigi menahan amarah yang menggelegak di dadanya. Dia tak heran sama sekali kalau kakek berpakaian abu-abu ini bisa menebak dirinya dengan tepat. Sebab hatinya yakin kakek ini telah menyaksikan pertarungannya tadi dengan Kerbau Bertenaga Raksasa.
"Kaukah pembunuh ayahku?!" tanya Sumini lagi dengan suara parau dan bergetar. Kemarahannya seakan sudah tak mampu dibendung lagi. Dan sekali saja, kakek berpakaian abu-abu itu menganggukkan kepala atau mengiyakan Sumini akan menerjangnya dengan hebat Kakek berpakaian abu-abu yang bernama Barnaba itu hanya tertawa terkekeh, tidak mengiyakan atau membantah pertanyaan Sumini. Kemudian dibalikkan tubuhnya, bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Berhenti, Keparat! Heaaa...!" Sumini melompat menerjang dan langsung melancarkan serangan. Deru angin keras berhawa dingin yang menusuk tulang mengiringi ribanya serangan, dengan kedua tangan terbuka gadis itu menghantam ke arah dada Barnaba.
"Hmh!" Sambil mendengus dibalikkan tubuhnya. Barnaba menyambut pukulan Sumini dengan dorongan kedua tangannya seraya mengeluarkan seluruh tenaga dalam. Tak pelak lagi, hawa panas yang menyengat melingkupi sekitar tempat itu ketika pertapa Gunung Welirang itu menghentakkan kedua tangannya.
Bresss!
Tumbukan keras antara dua pasang tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat dan mengandung hawa berlawanan itu tak terelakkan. Sumini terjengkang kembali ke belakang dengan hawa panas menjalari sekujur badan. Sedangkan Barnaba hanya bergoyang-goyang tubuhnya.
"Berhenti, Keparat! Heaaa...!" Sumini melompat dan langsung melancarkan serangan.
"Hmh!" Sambil mendengus, Barnaba membalikkan tubuhnya. Lalu, kedua tangannya didorongkan menyambut pukulan Sumini.
Bresss!
Kemudian, tanpa mempedulikan Sumini yang masih berusaha untuk mengusir hawa panas di tubuhnya, Barnaba melesat meninggalkan tempat itu sambil mengerahkan tenaga panas untuk mengusir hawa dingin yang menjalar ke dalam tubuhnya.
Sumini hanya bisa menggertakkan gigi penuh perasaan kesal, sambil menatap tubuh Barnaba yang semakin menjauh. Dia tidak mampu mencegah kepergian Barnaba karena hawa panas masih dirasakan menyengat di tubuhnya. Andaikata dibiarkan bagian tubuhnya akan terluka dalam.
Yang bisa dilakukan sekarang harus segera mengusir hawa panas itu keluar dari tubuhnya, sambil berusaha untuk memulihkan tenaga. Dirinya sadar dalam keadaan seperti ini tidak mungkin mampu menandingi Barnaba yang sakti. Tenaganya telah berkurang jauh setelah bertarung menghadapi Kerbau Bertenaga Raksasa.
Oleh karena itu, setelah berhasil mengusir hawa panas yang menyergap sekujur tubuh, dilangkahkan kakinya menghampiri semak-semak yang berada di sekitar tempat itu. Sumini bermaksud menjalankan semadi guna memulihkan tenaga dalamnya. Hatinya sudah tak sabar untuk menghadapi Barnaba.
* * *
"Itu dia orangnya!"
Tiba-tiba terdengar seruan keras yang membuat Sumini menghentikan semadi dan membuka sepasang matanya. Gadis berpakaian kuning ini tidak tahu berapa lama dia bersemadi, tapi yang jelas hari telah malam. Untung saja ada sang Dewi Malam bersinar cukup terang, sehingga keadaan di persada tidak gelap pekat.
Dalam siraman sinar bulan terlihat oleh Sumini serombongan orang-orang berpakaian seragam prajurit kerajaan. Sumini buru-buru bangkit begitu rombongan prajurit Kerajaan Samodra itu bergerak mengepungnya. Sepasang matanya memancarkan kebengisan ketika melihat seorang pemuda tampan berkumis tipis berada di belakang rombongan prajurit itu.
Sosok itu begitu dikenalinya. Dialah Pranacitra. Kakak seperguruan Sumini yang ketika terjadi pertikaian antara para Brahmana dengan kerajaan, justru memihak kerajaan. Meskipun harus bermusuhan dengan gurunya, Raja Pedang Langit Bumi.
Pranacitra mengayunkan langkah menyibak beberapa orang prajurit yang menghalangi jalan. Sekarang dia berdiri paling depan, berhadapan dengan Sumini. Dalam sekilas saja, pemuda berkumis tipis ini telah mengenali Sumini.
"Apakah kau tidak keliru?" Pranacitra menoleh ke arah prajurit pendek kekar yang tadi menunjukkan keberadaan Sumini. "Benarkah gadis ini yang tadi berkelahi dengan Kerbau Bertenaga Raksasa, dan dia memegang sebuah kitab berwarna kuning?"
"Benar, Panglima. Dialah yang telah membunuh Kerbau Bertenaga Raksasa," tegas prajurit pendek kekar penuh kesungguhan karena merasakan adanya nada ketidakpercayaan dalam pertanyaan Pranacitra.
Sumini yang mendengar percakapan itu melongo. Pranacitra telah menjadi Panglima Kerajaan Samodra? Luar biasa? Kalau tidak mendengar dan menyaksikan sendiri, dia tidak akan percaya.
Sumini tidak tahu kalau Pranacitra diangkat menjadi salah satu Panglima Kerajaan Samodra atas jasanya Pranacitra selalu ikut campur dan membantu pasukan Kerajaan Samodra dalam menghadapi perlawanan orang-orang yang tidak mau menuruti perintah Raja Pancawala.
Penguasa Kerajaan Samodra memerintahkan kepada semua orang di lingkungan kerajaan untuk menganggap dirinya sebagai dewa dan menyembahnya. Saat itu, para prajurit kerajaan kewalahan harus menghadapi banyak orang pandai. Dan karena jasa Pranacitra itulah rombongan prajurit kerajaan memperoleh kemenangan. Maka Pranacitra mendapat anugerah sebagai Panglima Kerajaan Samodra. Dia memimpin pasukan Kerajaan Samodra dalam menumpas orang-orang yang menentang perintah raja.
Karena keheranan melihat Pranacitra menjadi Panglima Kerajaan Samodra, Sumini tampak tercengang keheranan. Dia masih berdiri dengan pikiran melayang ke sana kemari.
Sementara itu, begitu mendengar jawaban bernada sungguh-sungguh dari prajurit pendek kekar, Pranacitra langsung mengerutkan alis. Dia bingung bukan kepalang. Benarkah Sumini yang telah membunuh Kerbau Bertenaga Raksasa? Rasanya mustahil! Dia tahu betul sampai di mana kemampuan ilmu gadis berpakaian kuning itu.
Tapi, mungkinkah prajurit pendek kekar itu berbohong? Rasanya tidak mungkin juga. Karena tahu, tak akan dapat menjawab pertanyaan itu dengan berpikir. Pranacitra membuang jauh-jauh pertanyaan yang menggayut di benaknya itu.
"Menyerahlah Sumini! Tidak ada gunanya melawan. Percuma! Kau tidak bisa menang...! Kalau dulu kau dan ayahmu menuruti kehendak kerajaan, nasibmu tak akan sengsara seperti ini. Menyerahlah, Sumini! Biar bagaimanapun kau tetap adik seperguruanku. Kau tahu, aku tak ingin dirimu harus tersiksa. Percayalah, aku akan memohon ampunan kepada Baginda Raja Pancawala. Ya. Setidak-tidaknya agar hukuman yang akan dijatuhkan kepadamu, dapat diperingan.... Ayolah, Sumini!" dengan sopan dan lemah lembut Panglima Kerajaan Samodra itu berusaha membujuk Sumini.
Mendengar bujuk rayu yang lembut itu Sumini tercenung. Pikirannya tiba-tiba merenung ke masa silam. Beberapa tahun lalu Pranacitra begitu baik kepadanya. Suatu masa-masa indah yang sulit dilupakannya. Pranacitralah yang sering membimbingnya. Diakui, memang pemuda tampan itulah yang sangat diakrabinya. Bahkan lebih erat dibanding terhadap ayahnya sendiri.
Namun kenangan tinggallah kenangan. Hal itu terjadi jauh sebelum Pranacitra tergiur kedudukan dan mabuk jabatan. Kini Pranacitra telah menjadi pengkhiahat perguruan. Murid murtad yang tidak mendukung kesetiaan pada gurunya. Mengingat sikap yang menyakitkan itu Sumini menggertakkan gigi menahan geram.
"Tutup mulutmu, Pengkhianat...!" sahut Sumini dengan geram, "Aku bukan orang bejat sepertimu yang sudi menjilat pantat raja lalim itu. Kau telah mabuk kemewahan dan kedudukan, Prana! Kau telah lupa tanggung jawabmu sebagai seorang murid perguruan...!"
Mendengar ucapan yang menyindir itu Panglima Pranacitra tersenyum sinis. "Hhh.... Dasar keras kepala...!"
"Heaaa...!" Dengan diawali teriakan melengking nyaring, Sumini melompat meneriang bekas kakak seperguruannya.
"Ah!" Pranacitra terpekik kaget tanpa sadar ketika merasakan adanya sambaran angin keras berhawa dingin keluar dari serangan Sumini. Meskipun demikian, dia tetap menganggap remeh. Sebab, dulu dia paham benar beberapa ilmu yang dimiliki Sumini. Tanpa ragu-ragu dipapaknya terjangan Sumini seraya mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki. Pranacitra bermaksud segera merobohkan Sumini dalam segebrakan!
Bresss!
"Aaakh...!" Panglima Kerajaan Samodra itu terpekik keras. Tubuhnya terlontar deras ke belakang seperti daun kering ditiup angin, lalu terbanting dan bergulingan di tanah. Dan ketika akhirnya berhasil bangkit, pemuda berkumis tipis ini menggigil karena adanya aliran hawa dingin menyerangnya.
Belum juga rasa kaget yang melandanya lenyap, Sumini telah melancarkan serangan susulan. Dengan cepat sekali tangannya menampar pelipis, sambil mencengkeram dengan tangan kiri ke pusar Pranacitra! Dua buah serangan maut yang dilancarkan secara cepat dan bersamaan. Pranacitra mengenal serangan maut itu. Maka buru-buru tubuhnya dibanting ke tanah dan bergulingan menjauh.
Namun Sumini mengejarnya. Untung saja belasan prajurit Kerajaan Samodra yang melihat adanya ancaman bahaya maut, segera bertindak cepat menghadang Sumini. Mereka langsung menghujaninya dengan serangan secara bersamaan.
Sumini marah, melihat tindakannya terhalang. Serangannya terhadap Pranacitra terpaksa dibatalkan. Dan sekarang kedua tangannya digunakan untuk menangkis hujan senjata yang mengancam keselamatan nyawanya.
Seketika para prajurit tersentak kaget. Mata mereka terbelalak, seakan tidak percaya melihat senjatanya berpatahan tersambar tangan Sumini. Bahkan para penyerangnya langsung terjengkang dan berjatuhan ke tanah.
Lagi-lagi Sumini tidak sempat meneruskan tindakannya. Karena Pranacitra telah lebih dulu melancarkan serangan. Pedang yang menjadi senjata andalannya ditusukkan ke leher Sumini. Namun tanpa menemui kesulitan putri Raja Pedang Langit Bumi ini mengelakkannya. Pertarungan semrawut pun berlangsung.
LIMA
Sekarang Pranacitra percaya akan keterangan prajurit pendek kekar, bahwa Sumini telah membunuh Kerbau Bertenaga Raksasa. Bekas adik seperguruannya itu ternyata sekarang telah memiliki kemampuan yang hebat. Padahal, dia dan prajurit kerajaan telah mengeroyoknya. Namun sedikit pun Sumini tidak terdesak. Bahkan pihak Pranacitra yang kewalahan.
Beberapa prajurit telah bergelimpangan tanpa nyawa di tanah akibat amukan putri Raja Pedang Langit Bumi itu. Pranacitra menyadari bahwa saat ini ilmu yang dimiliki Sumini bahkan berada di atas ayahnya. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, Pranacitra merasa tak habis pikir.
Pranacitra mengeluarkan siulan nyaring dari mulutnya, seraya terus melakukan perlawanan. Sumini tahu kalau bekas kakak seperguruannya itu akan mempergunakan siasat, tapi sedikit pun dia tak gentar, bahkan seakan tidak mempedulikannya. Terus saja dilancarkan desakan, meskipun empat orang prajurit yang ikut mengeroyok, berlari meninggalkan kancah pertarungan.
Perginya empat orang prajurit membuat kekuatan Pranacitra dan sisa anak buahnya semakin melemah. Namun, Panglima Kerajaan Samodra itu terus melakukan perlawanan, sungguhpun korban di pihaknya terus berjatuhan.
Mendadak Pranacitra melemparkan serbuk dari tangan kirinya ke arah Sumini Terpaksa gadis ini melempar tubuh ke belakang khawatir serbuk itu beracun. Namun rupanya tindakan itu hanya merupakan siasat belaka. Karena begitu Sumini melompat mundur, Pranacitra melarikan diri. Menyusul empat prajuritnya.
Melihat hal itu sisa dua prajurit yang mendampingi Pranacitra, ikut melarikan diri. Namun hanya dengan sekali lesatan, Sumini telah melewati mereka. Dengan cepat Sumini melancarkan serangan yang membuat nyawa kedua prajurit sial itu tewas seketika.
Sumini tidak mempedulikan hal itu dan terus melakukan pengejaran terhadap Pranacitra. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang berada di atas Pranacitra, bekas kakak seperguruannya itu disusul. Mendadak...
Rrrttt!
"Heh...?!" Hati Sumini tersentak kaget. Tubuhnya terangkat dengan kaki di atas, ketika pergelangan kaki kanan terjerat sesuatu. Dan sebelum gadis berpakaian kuning itu sadar, tubuhnya telah tergantung dengan kepala di bawah.
"Ha ha ha...!" Pranacitra membalikkan tubuh dan berlari mendekatinya ketika melihat tubuh Sumini tergantung di atas cabang pohon besar. Sumini tidak berdaya untuk melepaskan diri karena pedangnya telah terjatuh saat tubuhnya tergantung. Sedangkan tali jerat sangat kuat dan tidak bisa diputuskan dengan pengerahan tenaga dalam.
Sumini menggertakkan gigi karena marah dan geram melihat kelicikan lawan. Dia tahu sekarang, empat prajurit yang pergi lebih dulu telah diperintahkan untuk membuat perangkap ini. Dan ternyata usaha mereka tidak sia-sia Sumini masuk perangkap! Kemenangan pun berada di tangan Panglima Pranacitra.
"Pranacitra, Pengecut Hina! Penjilat pantat raja lalim, pengkhianat busuk! Kalau kau mau, lekas bunuh! Kau kira aku takut mati?! Bunuhlah aku, Pengecut Hina!" maki Sumini, sejadi-jadinya karena kesal. Hal itu hanya ditanggapi Pranacitra dengan tawa bergelak.
Sumini yang semakin meluap amarahnya, segera melancarkan serangan dengan pukulan-pukulan jarak jauh kedua tangannya yang bebas. Namun dengan mudah serangan itu dielakkan oleh Pranacitra seraya terus tertawa-tawa penuh ejekan.
"Tak semudah itu akan menghabisi nyawamu, Sumini. Kau akan kusiksa sampai setengah mati, baru kuhadapkan pada raja untuk menerima hukuman sebagaimana layaknya seorang pemberontak!"
"Keparat!" Sumini hanya bisa memaki-maki penuh perasaan geram karena lelah melancarkan serangan tanpa hasil.
Sing...!
"Heh...?!" Mendadak Pranacitra menghentikan tawanya secara mendadak, karena mendengar bunyi mendesing nyaring. Belum sempat dia berbuat sesuatu....
Brettt!
Tali yang menjerat kaki Sumini, putus tersambar sebuah kerikil tajam. Sehingga tubuh gadis berpakaian kuning itu melayang turun. Dan yang membuat Pranacitra semakin kelabakan, Sumini langsung bisa mempergunakan peluang itu sebaik-baiknya. Gadis itu melancarkan cengkeraman ke arah ubun-ubun Pranacitra.
"Heaaa...!"
Wuttt...!
Meskipun dengan agak geragapan, Pranacitra mampu mengelakkan serangan tiba-tiba itu. Namun, serangan lanjutan Sumini yang berupa tendangan kaki kanan ke arah dada, tidak mampu dielakkannya dan mendarat secara telak. Sehingga membuat dadanya hancur. Saat itu nyawa Pranacitra melayang ke alam baka.
"Bagus...! Bagus...! Kau dapat mempergunakan kesempatan yang kuberikan."
Sumini mengalihkan pandangan ke arah asal suara. Di belakangnya telah berdiri dengan anggun seorang kakek berpakaian putih. Wajahnya yang bersih bercahaya terhias jenggot panjang sampai ke leher. Di tangannya tergantung menjuntai sebuah tasbih putih. Matanya tampak merah seakan kurang tidur. Dia tersenyum manis memandangi Sumini yang masih terbengong.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan, sehingga aku dapat membunuh orang terkutuk itu, Kek," ucap Sumini penuh hormat seraya menganggukkan kepala.
Tak dipedulikannya empat prajurit anak buah Pranacitra yang melarikan diri ketika melihat pemuda pimpinan mereka tewas. "Kalau boleh kutahu siapa kau, Kek?"
"He he he...!" kakek berpakaian putih itu tertawa lembut "Akulah orang yang tertulis di dalam surat dari ayahmu itu, Sumini."
"Ah...! Jadi..., jadi... kau.... Eyang Pradaga?!" Sumini tersentak kaget bercampur gembira.
"He he he...!" kakek berjubah putih yang ternyata Eyang Pradaga tertawa seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang, tunggu apa lagi, Sumini?! Bukankah semua urusanmu sudah beres? Mari, pergi bersamaku untuk memenuhi permintaan ayahmu! Tempatku terpencil, dan tak mungkin pasukan kerajaan akan menemukannya! Kalau tidak mengingat kau adalah putri sahabat kentalku, tak mungkin aku bersusah payah turun gunung untuk membawamu ke tempatku."
"Tapi, Kek...," Sumini meragu. "Aku belum berhasil menemukan pembunuh ayahku, tak mungkin aku bisa ikut denganmu. Hatiku tak akan pernah tenang."
"Tidak usah repot-repot, Sumini," sahut Empu Pradaga, tetap dengan senyum lebar. "Aku baru saja bertemu dengan pembunuh ayahmu dalam perjalanan ke sini."
"Benarkah itu, Kek?!" tanya Sumini dengan sepasang mata membelalak lebar. "Siapakah orang yang telah membunuh ayahku itu?"
"Barnaba," jawab Eyang Pradaga, kalem. "Cepatlah! Nanti dia keburu pergi."
Tapi sebelum Empu Pradaga dan Sumini melesat meninggalkan tempat itu, terdengar seruan keras.
"Sumini...! Tunggu sebentar...!"
Seruan itu berasal dari tempat yang jauh, di belakang Sumini dan Empu Pradaga. Tapi bunyinya seakan berada dekat. Dan begitu Sumini dan Empu Pradaga menoleh mereka melihat sebuah titik kecil di kejauhan tengah melesat cepat ke arah mereka. Hanya satu tarikan napas saja sosok itu telah sampai di dekat mereka.
"Ah...! Kiranya kau, Dewa Arak," ucap Sumini dengan raut wajah memerah, teringat akan perjumpaannya pertama kali dengan permuda berambut putih keperakan itu.
"Maaf mengganggu sebentar, Kek!" ucap Arya sopan pada Empu Pradaga. "Tapi bolehkan kutahu kemana kalian berdua akan pergi? Bukan bermaksud ikut campur, tapi aku telah mendapat amanat dari Raja Pedang Langit Bumi untuk mengantarkannya pada seorang yang bernama Empu Pradaga."
'Terima kasih atas jerih payahmu, Anak Muda. Kau tak perlu repot-repot lagi mengantarkannya. Akulah Empu Pradaga yang kau maksudkan itu."
"Ah...! Sungguh kebetulan sekali...!" seru Arya dengan nada gembira. "Jadi, sekarang kalian akan pergi ke pertapaanmu, Empu?!"
"Tidak, Arya," Sumini menyelak. "Aku akan membalaskan kematian ayahku dulu pada Barnaba."
Kemudian secara singkat tapi jelas, Sumini menerangkan semua percakapannya dengan Empu Pradaga.
"Maaf, Anak Muda!" ujar Empu Pradaga ketika Sumini telah menghentikan ceritanya. "Kami hendak pergi dulu. Mari, Sumini. Kita harus bergegas sebelum dia pergi lebih jauh."
Dewa Arak pun tidak bisa menahan keduanya. Dia hanya bisa menganggukkan kepala ketika kedua orang itu melesat meninggalkannya. Diam-diam hatinya merasa bersyukur karena tugas yang dibebankan kepadanya meski tanpa sengaja telah tuntas. Dengan hati lega dia melangkah menempuh arah berlawanan dengan yang ditempuh Sumini dan Empu Pradaga.
"Barnaba...! Berhenti, kau...!"
Kakek berpakaian abu-abu yang tengah berjalan di sebuah hamparan tanah lapang berumput, menghentikan langkah. Kemudian ditolehkan kepalanya ke belakang. Dilihatnya sosok bayangan melesat cepat dari kejauhan. Hanya dalam sekejapan saja telah berada di dekatnya.
"Siapa kau, Anak Muda? Mengapa kau memberhentikan langkahku...?! Sungguh besar nyalimu melakukan hal itu! Dan, dari mana kau tahu namaku?!" tanya kakek berpakaian abu-abu yang ber-nama Barnaba memberondong.
Pemuda berwajah tampan itu tersenyum. Meskipun, tengah mempunyai sebuah urusan yang sungguh-sungguh, tapi menghadapi pertanyaan bertubi-tubi seperti itu, mau tidak mau dia agak merasa geli. Itulah sebabnya dia menyunggingkan senyum walaupun getir.
"Aku Arya. Aku tahu namamu dari seseorang gadis yang ayahnya kau bunuh. Aku tidak mempermasalahkan ayah kawanku yang telah kau bunuh itu. Aku hanya ingin meminta pertanggungjawabanmu atas nasib kawanku dan orang yang dipercayakan menjadi ayah angkatnya," jelas Arya panjang lebar.
"Lebih baik kau tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah pikiran dan membunuhmu, Anak Muda! Aku tak mengerti maksud ucapanmu. Aku tidak kenal siapa kawanmu apalagi ayah kandungmu!"
Usai berkata demikian, Barnaba membalikkan tubuh dan bersiap melangkahkan kaki meninggalkan Dewa Arak.
"Tunggu, Barnaba!" sentak Dewa Arak. "Ayah kawanku itu bernama Raja Pedang Langit Bumi!"
"Dan kawanmu yang kau maksudkan itu pasti putri Raja Pedang Langit Bumi yang cantik itu, bukan?" timpal Barnaba dengan suara dan sikap yang membuat Dewa Arak berubah dengan wajah memerah. Dia merasakan adanya sindiran dalam ucapan kakek berpakaian abu-abu itu.
"Benar!" sahut Arya, pura-pura tidak mengetahui sindiran Barnaba. "Dan dia bersama ayah angkatnya hendak menemuimu. Aku yakin kau telah bertemu dengan mereka berdua. Katakan apa yang telah kau lakukan terhadap mereka, Barnaba?!" desak Dewa Arak dengan suara berat.
"Keparat!" Barnaba yang rupanya telah kehilangan kesabaran, langsung menerjang dengan menghantamkan pukulan telapak tangan kiri. Kelihatannya hanya sembarangan saja, tapi ada hembusan angin keras yang mengiringi tibanya serangan kakek berpakaian abu-abu itu.
Dewa Arak sadar kalau pukulan tangan kosong Barnaba amat dahsyat. Dia tahu sebatang pohon yang amat besar pun akan tumbang apabila terhantam. Namun Dewa Arak tanpa ragu-ragu memapak-serangan Barnaba dengan gerakan yang sama. Hal itu dilakukan karena rasa jengkel melihat sikap Barnaba yang meremehkannya.
Plak!
Dua buah tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berhawa panas berbenturan. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung beberapa langkah ke belakang.
"Kiranya kau lihai juga, Anak Muda," puji Barnaba sejujurnya. "Pantas kau membuat nama besar di dunia persilatan. Tapi, aku belum kalah!"
"Kau benar hebat, Barnaba," timpal Arya, dengan pujian yang sama.
Memang, kedua belah pihak sama-sama kagum akan kelihaian lawan. Meskipun telah menduga sebelumnya mereka tak urung merasa terkejut merasakan kehebatan lawan masing-masing. Rasa penasaran membuat Barnaba tak sungkan-sungkan langsung melancarkan serangan lanjutan. Diterjangnya Dewa Arak. Pemuda beramput putih keperakan itu segera menyambutnya dengan sikap lebih hati-hati.
Bentuk tubuh keduanya lenyap, yang terlihat kini hanya dua bayangan kelabu dan ungu. Dalam bentuk tidak jelas mereka saling belit, hanya kadang-kadang saja saling pisah, itu pun sebentar karena sesaat kemudian keduanya telah saling serang. Bahkan terkadang sukar untuk dibedakan saking cepatnya gerakan masing-masing pihak.
Karena begitu cepatnya, tak terasa pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Namun sejauh itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Kedua belah pihak masih saling melancarkan serangan dahsyat. Beberapa kali benturan tangan dan kaki terjadi namun keduanya memang sama-sama tangguh.
Kenyataan ini rupanya membuat kedua belah pihak jadi penasaran bercampur tidak sabar. Bagai telah disepakati sebelumnya, baik Barnaba maupun Dewa Arak pada jurus ke seratus tiga puluh lima, sama-sama mengeluarkan ilmu andalan. Barnaba mengeluarkan sebilah pedang batangnya berwarna kehijauan. Sedangkan Dewa Arak mengambil guci arak yang tersampir di punggung, lalu dituangkan ke mulut.
Setelah terdengar bunyi tegukan, Dewa Arak merasakan adanya hawa hangat menjalar naik ke kepala setelah arak itu sampai di lambungnya. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu mulai limbung karena kedua kakinya tidak menapak secara tetap di tanah.
Barnaba tidak merasa heran melihat tingkah laku lawannya. Sebagai seorang tokoh persilatan yang telah kenyang pengalaman dia tahu, banyak orang memiliki ilmu aneh, tapi mengandung kedahsyatan luar biasa. Dia yakin Dewa Arak memiliki ilmu seperti itu. Maka, tanpa membuang-buang waktu dia melompat menerjang Dewa Arak. Pedangnya diputar seperti kitiran dan menyambar ganas ke arah dada lawan. Sedangkan tangan kiri bersiap untuk melancarkan serangan susulan.
"Heaaa...!"
Klang!
Suara berdentang nyaring disertai percikan bunga api, ketika Dewa Arak menangkis tusukan pedang lawan dengan ayunan guci araknya. Pada saat yang hampir bersamaan, tangan kiri Barnaba meluncur dengan sebuah totokan ke arah leher Dewa Arak.
Namun pemuda berambut putih keperakan itu berhasil mengelakkannya dengan memiringkan kepala. Bahkan langsung mengirimkan tendangan kaki kanan ke arah pusar yang memaksa Barnaba melompat mundur!
Kesempatan yang sebentar di saat berada cukup jauh dari lawan dipergunakan kedua belah pihak untuk memeriksa senjata masing-masing. Hati mereka lega ketika mengetahui tak ada kerusakan sedikit pun pada masing-masing pusaka. Kembali keduanya saling gebrak.
Pertarungan yang lebih menggiriskan dan menyeramkan dari sebelumnya kembali berlangsung. Sinar kehijauan pedang Barnaba berkelebatan ke sana kemari seperti halilintar menyambar-nyambar, terkadang meliuk-liuk mirip ular.
Memang, tak dapat diremehkan kehebatan ilmu pedang kakek tua berpakaian abu-abu ini. Setiap serangan yang dilancarkan selalu mengarah pada bagian-bagian mematikan. Sehingga apabila tergores sedikit saja sudah cukup untuk mengirim nyawa orang ke alam baka, karena racun yang terkandung di dalam batang pedang itu.
Klang!
"Heaaa...!"
Pada jurus kedua ratus tujuh puluh, Dewa Arak menangkis dengan guci. Kemudian mempergunakan tenaga tangkisan itu untuk bersalto ke atas melewati kepala Bemaba, ketika serangan pedang kakek itu meluncur ke arah leher.
Barnaba yang dapat menduga maksud Dewa Arak, segera membalikkan tubuh sambil menyabetkan senjatanya ke belakang menangkal serangan susulan yang akan dilakukan Dewa Arak.
Trikkk!
"Heh...!" Barnaba memekik kaget ketika dengan perhitungan matang Dewa Arak berhasil mempergunakan batang pedang sebagai tempat landasan gucinya. Pemuda itu tidak berani mempergunakan tangan atau kaki mendarat di batang pedang Barnaba yang beracun.
Ketika itulah, sebelum Barnaba sempat berbuat sesuatu, tangan kiri Dewa Arak telah memukul bahu kanannya. Sehingga tubuh lelaki tua itu terjengkang ke belakang dengan darah menetes di sudut bibirnya.
Dan, sebelum kakek berpakaian abu-abu itu sempat berbuat sesuatu, Dewa Arak telah melesat ke arahnya. Dan tahu-tahu tangannya telah menempel di ubun-ubun Barnaba. Sekali saja Barnaba melakukan suatu gerakan yang mencurigakan, nyawanya akan lebih dulu melayang ke alam baka.
"Aku tidak ada permusuhan denganmu, Barnaba. Tapi, tolong katakan padaku, apa yang telah kau lakukan pada diri Sumini dan Empu Pradaga?!" tanya pemuda berambut putih keperakan itu dengan nada ancaman.
"Ha ha ha...!" Barnaba tertawa terkekeh. "Kau keliru, kalau mengira dengan ancaman ini aku takut dan mengatakan hal-hal yang ingin kau ketahui, Dewa Arak. Kau keliru. Mau bunuh silakan bunuh, siapa yang takut mati?"
Mendengar ucapan ini Dewa Arak segera menarik kembali tangannya karena tahu kalau Barnaba bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Arya tahu bagi orang seperti Barnaba, dan bahkan dia sendiri, mati bukan hal yang perlu ditakuti! Setiap saat nyawa bisa melayang tanpa bisa dicegah.
"Barnaba, seperti yang telah kukatakan tadi, di antara kita tidak ada permusuhan, dan aku tidak mau menciptakannya. Aku tidak ikut campur, dan bahkan tidak peduli dengan pembunuhan yang telah kau lakukan terhadap Raja Pedang Langit Bumi. Tapi, aku wajib tahu akan nasib yang menimpa Sumini dan Empu Pradaga!"
Wajah Barnaba berubah hebat seketika. Karuan saja hal itu membuat Arya merasa heran. Apakah ada yang salah pada ucapannya sehingga mebuat kakek berpakaian abu-abu itu merasa terkejut.
"Itukah nama dua orang yang kau khawatirkan keselamatannya?" tanya Barnaba dengan suara bergetar.
Tanpa bisa menyembunyikan keterkejutan yang membayang jelas di wajahnya. "Benar," Arya menganggukkan kepala. "Sumini adalah putri Raja Pedang Langit Bumi sedangkan Empu Pradaga, orang yang akan menjadi ayah angkatnya."
"Bisa kau berikan sedikit ciri-cirinya padaku, Dewa Arak? Maksudku, ciri-ciri Empu Pradaga itu! Dan, mengapa kau menyangka mereka berdua kucelakai?"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera menceritakan pertemuannya dengan Sumini dan Empu Pradaga. Juga ciri-ciri kakek berpakaian putih tadi. Pendekar muda itu merasakan ada hal-hal yang pelik di sini. Sehingga segera diceritakannya secara gamblang, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Sikap Barnaba yang seperti itu membuatnya merasa yakin ada hal-hal hebat yang tersembunyi di sini.
"Celaka! Putri Raja Pedang Langit Bumi itu sekarang berada dalam bahaya, Dewa Arak!" desah Barnaba setelah mendengar penuturan Arya sampai selesai.
Kemudian, kakek berpakaian abu-abu ini menceritakan hal-hal sebenarnya yang diketahuinya. Hal itu membuat Dewa Arak merasa heran dan terkejut setengah mati mendengarnya.
"Kalau begitu, sekarang juga aku akan menyusulnya, Barnaba. Maafkan atas kesalahanku!"
"Lupakanlah, Dewa Arak. Aku tidak menganggap kau melakukan sebuah kesalahan padaku. Bahkan sebaliknya kau memberikan keuntungan. Karena dengan terjadinya pertarungan di antara kita dan kesalah-pahaman ini, aku jadi mengetahui di mana adanya Empu Pradaga itu."
Namun, Dewa Arak tidak bisa menyambuti ucapan Barnaba. Begitu mendengar kakek berpakaian abu-abu itu tidak menganggap kesalahannya sebagai hal yang perlu dipersoalkan, tubuhnya telah melesat. Dewa Arak ingin secepatnya bertemu dengan Sumini dan Empu Pradaga.
* * *
Sementara itu Sumini tengah berlari cepat dengan napas terengah-engah. Tanpa mempedulikan semak belukar dan rumput ilalang yang dilaluinya, gadis itu terus berlari. Bahkan onak berduri pun diterjangnya, sehingga pakaiannya banyak yang ko yak-koyak. Saat itu, Sumini berada di dalam sebuah hutan yang tampaknya masih perawan, belum terjamah orang.
Sumini baru menghentikan larinya dan bersembunyi, ketika menemukan sebuah semak-semak belukar yang lebat. Di sini, gadis berpakaian kuning itu berjongkok dan menenangkan deru napasnya yang memburu karena rasa takut dan tegang. Dengan menggeleng-gelengkan kepala, putri Raja Pedang Langit Bumi itu teringat kembali kejadian yang baru saja dialaminya. Kejadian bersama Empu Pradaga.
"Di mana penjahat keji itu, Kek?!" tanya Sumini. Hatinya tak sabar setelah beberapa saat lamanya dia dan Empu Pradaga, berlari cepat untuk menuju tempat Barnaba, tidak juga bertemu. Bahkan tanda-tanda keberadaannya pun tidak terlihat.
"Penjahat keji?!" Empu Pradaga malah balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan, berlari di sebelah Sumini dengan tatapan tertuju ke depan. Kakek ini ternyata cukup lihai, mampu menjajari Sumini. Padahal putri Raja Pedang Langit Bumi itu telah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk berlari cepat.
"Lho...?!" Sumini terperanjat mendengar jawaban yang tidak disangka-sangka itu. Tanpa sadar kecepatan larinya mengendur hingga dia tertinggal. Namun keadaan kembali seperti semula karena Empu Pradaga menghentikan lari dan membalikkan tubuh, menghadap Sumini. "Bukankah kau hendak mengajakku menemui Barnaba, orang yang telah membunuh ayahku, Kek?!"
"Sayang sekali, Sumini," jawab Empu Pradaga seperti menyesalkan keadaan. "Sebenarnya dengan senang hati aku akan membawamu pada Barnaba, dan bahkan membunuhnya untukmu. Tapi..., bagaimana aku mempunyai urusan yang jauh lebih penting denganmu. Kau akan kubawa ke tempat tinggalku."
"Aku tidak mau!" sentak Sumini keras sambil mengayunkan kaki ke belakang, mundur-mundur. "Jangan harap aku sudi ke tempat tinggalmu sebelum aku berhasil membalaskan dendam atas kematian ayahku! Bahkan menjumpai kuburnya pun belum kulakukan!"
Empu Pradaga menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau saja aku mempunyai waktu lebih banyak lagi, mungkin aku akan membantumu mendapatkan Barnaba dan bahkan membunuhnya, Sumini. Tapi... sayang, waktu yang kumiliki terbatas. Tapi, percayalah aku akan mencari Barnaba dan membunuhnya setelah urusan ini selesai! Dan...."
"Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai kapan pun tetap tidak. Bukankah kau mengatakan kalau Barnaba telah kau jumpai beberapa saat yang lalu?! Mengapa repot-repot mencarinya lagi?! Atau..., kau telah berbohong padaku?!"
"Kau cerdik, Sumini! Memang, aku tidak bertemu dengan Barnaba. Tadi kukatakan telah bertemu hanya agar kau mau ikut pergi deriganku. Cepatlah, Sumini! Aku tidak punya banyak waktu, jangan sampai aku terpaksa membawamu dengan kekerasan."
"Keparat! Lakukan kalau kau mampu, Empu Pembohong!" ujar Sumini, tegas.
"He he he...!" Empu Pradaga tertawa bergelak merasa lucu melihat Sumini yang telah bersiap-siap melakukan perlawanan. Seakan-akan kakek ini tengah melihat seorang anak kecil yang tengah menantangnya. "Tidak ada gunanya kau melawan, Sumini. Aku tahu kau memiliki kepandaian tinggi, dan hal itu kuketahui dari keberhasilanmu membunuh Pranacitra secara mudah. Tapi, tidak ada gunanya. Tak akan ada satu pun tokoh persilatan yang dapat menghadapiku, Sumini! Camkan itu! Tidak juga Dewa Arak! Kalau aku mau, saat bertemu dengannya, telah kukirim nyawanya ke neraka!"
Belum juga Empu Pradaga menutup mulutnya, Sumini telah melancarkan serangan. Kakinya menendang bertubi-tubi ke arah lambung yang mengeluarkan bunyi menderu keras karena didorong tenaga dalam kuat.
Hanya dengan melangkahkan kaki kanan dan ke belakang, Empu Pradaga telah membuat semua serangan Sumini kandas. Kemudian kakek berpakaian putih itumengulurkan kedua tangan ke arah pinggang Sumini seperti hendak memeluk.
Tappp!
"Ikh!" Sumini memekik tertahan ketika pergelangan tangan kanannya tercekal Empu Pradaga yang bergerak demikian cepat. Hal itu dilakukan ketika Sumini menarik tubuhnya mengelak dari pelukannya.
Meskipun demikian, Sumini tidak gugup. Buru-buru ditarik tangannya. Namun kalah cepat! Karena begitu tangannya tercekal Empu Pradaga, langsung melakukan gerakan lanjutan. Entah dengan cara bagaimana tahu-tahu kedua tangan kakek berpakaian putih itu telah menangkap kedua pinggang Sumini.
Kelanjutan kejadian yang tidak tersangka-sangka ini membuat Sumini gugup. Sungguh pun demikian, karena telah dapat menduga tindakan yang akan dilakukan lawan, Sumini mengerahkan tenaga untuk memperberat tubuhnya. Untuk kesekian kalinya Sumini harus menelan kenyataan pahit. Usahanya gagal. Tubuh gadis itu terangkat ke atas dan Empu Pradaga memutar-mutarnya sambil tertawa bergelak.
Sumini tidak berdaya untuk berbuat apa pun ketika tubuhnya diputar-putar beberapa saat. Akhirnya kakek berpakaian putih itu melemparkannya ke depan dengan mengerahkan tenaga dalam. Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh Sumini meluncur jauh ke depan akibat tenaga lemparan yang kuat itu.
Namun, kali ini Sumini mampu mempertujukkan kalau dirinya tidak mudah dijadikan pecundang. Dengan manis diaberjungkir balik di udara, kemudian membalik dengan tenaga lontaran yang masih mendorongnya. Sehingga tubuhnya meluncur ke arah lawan, dan berdiri di depannya.
Empu Pradaga membelalakkan sepasang mata heran melihat lawan mampu menggagalkan lemparannya. Sama sekali tidak disangka kalau Sumini mampu melakukan hal seperti itu. Semula kakek berpakaian putih ini menduga kalau tubuh Sumini akan melayang jauh dan akhirnya menumbuk pohon yang berada tak jauh dari situ.
"Ha ha ha...! Bagus...! Bagus...! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian juga, Anak Manis?! Baik, kita bersenang-senang dulu sebelum kau terpaksa ikut pergi denganku!" ucap Empu Pradaga, penuh perasaan gembira.
Sumini yang telah berhasil memperbaiki kedudukannya, dan berdiri tegak berhadapan dengan kakek berpakaian putih itu, tidak mempedulikan ucapan yang tertuju padanya. Menyadari kalau lawan kali ini memiliki kepandaian tinggi, dicabut pedangnya. Sebagai seorang putri raja pedang, dengan pedang di tangannya itu Sumini tidak ubahnya seekor harimau bersayap.
ENAM
Serangan-serangan Sumini, benar-benar menakjubkan. Bentuk pedangnya lenyap. Yang terlihat sekarang hanya sinar-sinar berkilauan laksana halilintar menyambar-nyambar ke arah Empu Pradaga. Kadang-kadang, sinar itu memecah seperti membuat jalan sendiri-sendiri, tapi semuanya menuju ke satu arah, Empu Pradaga!
"Hebat..!" Di sela-sela kesibukannya mengelakkan serangan, Empu Pradaga masih sempat mengeluarkan pujian. Kakek berpakaian putih ini sebenarnya merasa kagum menyaksikan permainan ilmu pedang Sumini.
Dengan ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam yang luar biasa, Sumini benar-benar menggiriskan hati. Namun, toh Empu Pradaga mampu menangkal setiap serangannya. Tubuh kakek itu bagaikan asap, berkelebatan ke sana kemari di antara sambaran pedang Sumini. Ke mana saja pedang lawan menyambar, selalu berhasil dielakkan.
Sumini menggertakkan gigi karena kesal ketika sampai empat puluh jurus melancarkan serangan, tak satu pun mengenai sasaran. Dan yang lebih menjengkelkan hatinya, kakek berpakaian putih itu belum melancarkan serangan sama sekali.
Tiba-tiba Empu Pradaga menggeram keras laksana seekor harimau tengah murka. Getaran suaranya membuat Sumini terkejut. Dadanya terasa tergetar hebat, bahkan kedua kakinya menggigil. Sebelum dia sempat berbuat lebih jauh, tangan kakek itu telah bergerak.
Sumini memekik tertahan ketika merasakan tangannya yang menggenggam pedang terasa lumpuh. Dia tidak mampu mencegah sama sekali ketika Empu Pradaga mengulurkan tangan merampas pedangnya.
Wajah Sumini seketika pucat. Kenyataan ini menyadarkannya kalau Empu Pradaga benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Dia mulai merasa gentar. Baru sekali ini ditemukannya lawan yang memiliki kepandaian tinggi.
"Bagaimana, Anak Manis?" tanya Empu Pradaga dengan senyum mengejek sambil menimang-nimang pedang Sumini.
Sumini mundur-mundur ketika Empu Pradaga melangkah perlahan ke arahnya. Dengan pedang di tangan saja dia tidak mampu menghadapi kakek yang luar biasa ini, apalagi tanpa senjata. Dia akan dapat dikalahkan secara mudah.
"Subranta,..! Sungguh kau tidak tahu malu berani mengganggu seorang bocah ingusan...."
Mendadak terdengar suara seseorang yang membuat Empu Pradaga terkejut. Begitu juga Sumini. Diam-diam perasaan gembira menyeruak di hati gadis berpakaian kuning ini karena mengenai pemilik suara itu. Pemilik suara inilah yang dulu membuatnya lolos dari Dewa Arak.
Seorang perempuan tua berpakaian hitam yang sebenarnya nenek kandung Sumini. Tiba-tiba pula terdengar angin berkesiutan, dan di tengah-tengah antara Sumini dan Empu Pradaga, berdiri seorang nenek berpakaian hitam.
"Kau...?!" Empu Pradaga membelalakkan mata keheranan. "Kau masih hidup?! Kau tidak mati?! Kau selamat, Durgandini?"
"Ya," sahut nenek berpakaian hitam yang ternyata bernama Durgandini. "Tapi tidak dengan cara seperti yang kau lakukan, Subranta?! Mengorbankan banyak nyawa tidak berdosa! Dan sekarang kalau aku tidak segera datang, mungkin cucuku pun akan menjadi korban kebiadabanmu!"
"Ah...!" Subranta alias Empu Pradaga terperanjat. "Jadi, bocah ini cucumu?! Kalau begitu Raja Pedang Langit Bumi anakmu?!"
"Mengapa? Kaget?"
"Terus terang kukatakan iya, Durgandini. Tapi, aku tidak mau mengurus hal-hal kecil semacam itu. Yang penting, sekarang aku butuh cucumu ini! Menyingkirlah kau, Durgandini, jangan sampai aku lupa kalau kita pernah mempunyai hubungan baik!"
"Lupakanlah hal itu, Subranta! Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan cucuku jadi korban kebiadabanmu!" tegas Durgandini mantap. "Sumini! Cepat kau pergi dari sini! Selamatkan dirimu!"
"Tapi, Nek...!" Sumini masih mencoba membantah.
"Cepat pergi kataku!" sergah Durgandini. Ketika Sumini hendak memberikan tanggapan lagi, Empu Pradaga alias Subranta telah menggeram hebat dan menubruk Durgandini dengan kedua tangan terpentang, seperti layaknya seekor harimau menerkam mangsanya.
Kedahsyatan serangan ini membuat Sumini melompat mundur, tapi tidak demikian halnya dengan Durgandini. Dengan gagah berani nenek berpakaian hitam itu memapak datangnya serangan dengan kedua tangan hendak mencengkeram.
Jglarrr...!
Ledakan keras menggelegar seketika terdengar memekakkan telinga. Suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat. Bahkan Sumini yang berada jauh dari tempat pertarungan pun merasakan sendiri kedahsyatan getarannya.
Hal ini memaksa gadis berpakaian kuning itu untuk terus menjauhi dari tempat pertarungan karena menyadari bahayanya. Kini Sumini mulai mengetahui kekhawatiran neneknya, ketika melihat Durgandini terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang akibat benturan itu. Sumini tahu, tenaga dalam neneknya kalah kuat jika dibandingkan dengan Empu Pradaga.
Sementara itu, Empu Pradaga tampaknya tidak main-main dengan ancamannya. Tanpa memberi kesempatan pada Durgandini untuk memperbaiki kedudukan, dia melakukan serangan susulan. Namun, Durgandini pun bukan orang yang gampang dipecundangi. Dengan cepat dia dapat mengelak, dan bahkan segera melancarkan serangan tidak kalah dahsyat. Dia mulai mempergunakan payung yang menjadi senjata andalannya.
Sesaat kemudian bentuk tubuh kedua tokoh sakti yang sama-sama tua itu lenyap. Sehingga yang tampak hanya bayangan hitam dan putih saling berkelebatan saling membelit. Pandangan mata Sumini yang tajam dapat melihat kalau Empu Pradaga memang terlalu tangguh untuk dilawan.
Menginjak jurus ketiga puluh, dilihatnya Durgandini telah dapat bermain mundur. Serangan-serangan yang dilakukannya sudah mulai berkurang. Hanya mengelak dan menangkis yang dilakukan, bahkan menangkis pun sesekali saja karena merugikannya.
Dalam keadaan terdesak, rupanya Durgandini masih sempat melihat kalau Sumini belum meninggalkan tempat itu. Maka dikeluarkan seruan-seruan untuk memaksa Sumini meninggalkan tempat itu secepatnya.
Hal itu amat berbahaya, dan hampir saja tindakan yang cukup membagi perhatian ini membuatnya kehilangan nyawa. Sumini tahu kalau dia tetap di sini, neneknya akan menghadapi bahaya besar karena selalu mengkhawatirkannya. Maka meskipun tidak sampai hati, dikeraskan perasaan untuk meninggalkan tempat ini.
Sungguhpun demikian, karena rasa khawatirnya yang masih berkecamuk, Sumini berkali-kali menolehkan kepala berusaha melihat keadaan neneknya. Tindakan itu dihentikan ketika tubuh kedua orang yang bertempur tidak terlihat lagi. Sampai akhirnya gadis berpakaian kuning itu tiba di kerimbunan semak-semak belukar.
Baru saja deru napas Sumini mereda, terdengar bunyi berkerosakan yang semakin lama semakin keras pertanda ada sesuatu yang tengah mendekati tempatnya dengan menerobos kerimbunan semak-semak. Sumini merasakan jantungnya berdetak cepat lagi.
"Mau lari ke mana, Bangsat Kecil?! Jangan harap dapat lolos dari tanganku! Aku tahu kau bersembunyi di sekitar tempat ini. Aku mencium baumu! Keluarlah, cepat! Sebelum aku kehilangan kesabaran dan merobek-robek tubuhmu sampai hancur...!"
Sumini bukan seorang gadis penakut. Namun mendengar ancaman itu kakinya menggigil keras karena ngeri. Apalagi ketika didengarnya bunyi mendengus-dengus, seperti seekor anjing pelacak tengah mencari jejak. Kekhawatiran Sumini semakin memuncak! Suara dan bunyi mengendus-endus itu terdengar demikian dekat.
"Keluarlah kau, Bangsat Kecil!"
Berbareng keluarnya teriakan itu, serentak angin keras berhembus. Semak-semak tempat sembunyi Sumini tercabut sampai ke akar-akarnya, bagai ditarik oleh tangantangan raksasa gaib.
Hampir Sumini copot jantungnya ketika melihat tempat persembunyiannya dihancurkan. Apalagi ketika melihat Empu Pradaga dengan wajah dan sepasang mata yang semakin merah telah berdiri beberapa tombak di depannya.
Meskipun demikian, Sumini tidak kehilangan akal untuk bertindak di saat-saat genting, dia masih ingat untuk menghentakkan tangannya melancarkan pukulan jarak jauh. Namun hanya dengan kibasan tangan kiri, Empu Pradaga yang tengan kalap membuat pupus serangan Sumini yang dahsyat itu.
Sumini seakan tidak kuat berdiri karena hatinya ngeri. Dia tahu tidak ada jalan lolos lagi baginya untuk menyelamatkan selembar nyawa. Dan, Empu Pradaga yang tengah murka langsung menubruknya. Sumini tidak bisa bergerak lagi. Dengan rasa putus asa matanya terpejam, pasrah pada kenyataan yang akan menimpanya. Tapi, serangan Empu Pradaga tidak kunjung datang. Bahkan dia mendengar adanya seruan keras diikuti dengan berdesirnya angin keras.
"Pradaga...! Keparat keji, terimalah ajalmu! Heaaa...!"
Sebuah benturan keras langsung terdengar ketika teriakan itu belum lenyap gemanya. Benturan yang membuat tempat berpijak Sumini tergetar hebat seperti terlanda gempa. Dan ketika gadis berpakaian kuning itu membuka mata dilihatnya sesosok tubuh berpakaian abu-abu melayang deras ke belakang, bahkan melewati kepalanya. Sementara Empu Pradaga hanya terhuyung-huyung beberapa langkah.
Namun sosok berpakaian abu-abu itu rupanya bukan tokoh sembarangan. Dia mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlontar, lalu meluruk kembali ke arah Empu Pradaga yang baru saja hendak menerkam Sumini lagi.
"Keparat jahanam!" Empu Pradaga menggeram seperti harimau luka yang membuat dada Sumini tergetar keras. "Siapa kau, Anjing Kudisan! Sungguh berani mati kau mencampuri urusanku!"
"Kaulah yang harus mati di tanganku, Pradaga! Demi membalas kematian murid-muridku yang telah kau bantai dan jadikan korban kebiadanmu yang terkutuk itu!" sahut kakek berpakaian abu-abu. Ingatkah kau akan perguruan kecil wanita di leher Gunung Welirang? Nah, akulah guru mereka. Kau telah melakukan kekejian iblis di saat aku tak ada di sana! Sekarang terimalah balasanku, Iblis Keji!"
"Jadi, kau Barnaba?! Rupanya kau ingin menyusul murid-muridmu, heh?! Baiklah, terimalah kematianmu, Barnaba!"
Empu Pradaga melancarkan serangan berturut-turut dengan kedua tangannya yang terkepal keras. Tapi, Barnaba mengelakkan serangan dengan membanting tubuh ke tanah dan bergulingan menjauh.
''Menyingkirlah, Sumini! Pergi, tinggalkan tempat ini! Cari Dewa Arak dan minta perlindungan padanya! Iblis keji ini akan menjadikanmu korban kebiadaban nafsunya!" seru Barnaba sambil terus menggulingkan tubuh.
Sumini tidak langsung mematuhi seruan itu. Hatinya berperang antara mengikuti perintah itu atau menyerang orang yang telah membunuh ayahnya.
Dan Barnaba pun rupanya mengetahi keragu-raguan Sumini. Maka sambil bergulingan mengelakkan serangan maut Empu Pradaga, dia kembali berseru, "Pergilah, Sumini! Cepat! Percayalah, bukan aku yang membunuh ayahmu! Kalau kau tidak percaya, tanya saja pada Dewa Arak. Dia tahu pembunuhnya!"
Kali ini Sumini tidak berani membuang waktu lebih lama. Dia merasakan adanya kesungguhan dalam ucapan kakek berpakaian abu-abu itu. Maka sambil menggertakkan gigi untuk lebih menambah kekuatan tenaga dalamnya, tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya ingin menjumpai Dewa Arak untuk meminta pertolongan sekaligus keterangan mengenai ayahnya.
Barnaba harus berjuang keras untuk menanggulangi serangan gencar Empu Pradaga. Harus diakuinya kalau saat ini kepandaiannya belum dapat diandalkan untuk dapat membalas dendam. Empu Pradaga memang seperti bukan manusia lagi. Serangan-serangan Barnaba baik pukulan maupun tendangan tidak dirasakan sama sekali. Beberapa kali serangannya mendarat di berbagai bagian tubuh lawan, tapi hanya mampu membuat Empu Pradaga terhuyung-huyung sebentar, kemudian kembali sigap seperti sediakala.
Tidak terlihat kalau pukulan dan tendangannya berpengaruh. Sebaliknya, Barnaba harus berhati-hati menghadapi setiap serangan balasan Empu Pradaga. Karena, jangankan terkena secara telak, baru terserempet angin serangannya saja sudah cukup untuk membuat tubuh Barnaba terhuyung-huyung seperti diseruduk seekor banteng.
Sadar akan ketinggian ilmu lawannya Barnaba tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan pedangnya yang beracun. Dan setelah pedang itu dikeluarkan Empu Pradaga tidak berani menerima serangan. Rupanya dia telah mengetahui kalau pedang Barnaba mengandung racun yang tidak terkira ganasnya.
Dengan pedang beracun di tangan, Barnaba dapat bernapas lebih lega. Empu Pradaga tidak bisa bersikap seperti sebelumnya, mengacuhkan setiap serangan. Sekarang, kakek berpakaian putih itu bertarung seperti layaknya, terkadang mengelak dan sesekali melancarkan serangan balasan.
Lima puluh jurus telah berlalu. Selama itu Empu Pradaga tidak bisa melakukan tindakan berarti. Barnaba masih mampu melakukan perlawanan sengit. Empu Pradaga tidak mampu melakukan desakan karena lawan mampu mempergunakan pedang beracunnya di saat yang tepat.
Wajah Empu Pradaga merah padam karena geram. Sambil mendengus segera dikeluarkan senjata andalannya, berupa seuntai tasbih. Kehebatannya tidak terperikan. Bentuk tasbih itu lenyap ketika digerakkan. Yang tampak kini hanya segulungan sinar putih yang meluncur ke arah Barnaba.
Hanya dengan beberapa gerakan, dihitung dari Empu Pradaga menggunakan senjata, Barnaba dibuat kelabakan. Permainan tasbih Empu Pradaga benar-benar membuatnya bingung. Tasbih itu terkadang lepas dari tangan memburu dan menyambar tubuh lawan tapi kemudian bisa kembali lagi ke pemiliknya.
Trakkk!
"Aaakh...!" Barnaba mengeluarkan jeritan tertahan ketika tasbih Empu Pradaga membelit batang pedangnya. Dicobanya untuk melepaskan senjata andalan itu dari belitan senjata lawan.
Tapi sia-sia. Sebelum Barnaba sempat berbuat sesuatu, Empu Pradaga mengirimkan serangan maut ke arah ulu hati dengan tusukan jari-jari tangan kirinya.
Barnaba segera melangkah mundur seraya melakukan tarikan terhadap senjatanya agar dapat lepas dari belitan senjata lawan. Tindakan ini membuat tubuh, terutama bagian atas tergeser ke belakang sejauh beberapa kaki. Ini membuat jari-jari tangan Empu Pradaga tidak akan bisa menyentuh sasaran.
Namun perhitungan Barnaba meleset sama sekali. Tangan Empu Pradaga terus mengejar dan akhirnya berhasil menembus ulu hatinya. Padahal Barnaba telah berusaha keras untuk mengelakkannya. Ternyata tangan Empu Pradaga bisa memanjang hampir dua kali lipat ukurannya.
Inilah yang menyebabkan elakan Barnaba sia-sia. Dan kakek berpakaian abu-abu itu menjerit keras, ketika jari-jari tangan Empu Pradaga menembus dadanya hingga menimbulkan muncratan darah segar membasahi tubuhnya. Tanpa mempedulikan lawannya lagi, Empu Pradaga segera melesat untuk mengejar Sumini.
TUJUH
Empu Pradaga yang sudah kalap itu berlari secepat-cepatnya sehingga kedua kakinya seperti tidak menapak tanah. Namun setelah beberapa saat lamanya berlari, kakek berpakaian putih ini mengerutkan alis ketika melihat ada sesosok tubuh yang juga bergerak cepat. Hanya saja arah yang ditempuh sosok itu berlawanan dengannya.
Karena kedua belah pihak bergerak saling mendekati, hanya dalam waktu sesaat saja, jaraknya telah semakin dekat. Dan Empu Pradaga menggeram hebat ketika melihat secara jelas kalau sosok yang bergerak cepat mendekatinya ternyata, Dewa Arak. Dan kegeraman Empu Pradaga semakin menjadi-jadi ketika melihat Dewa Arak sepertinya sengaja menghadang perjalanannya.
"Hendak ke mana, Empu?! Dan mengapa terburu-buru sekali?!" tanya Dewa Arak yang telah berdiri menghadangnya di jalan. "Ke mana Sumini?"
Jawaban bagi pertanyaan Dewa Arak sebuah hentakkan kedua telapak tangan yang menimbulkan bunyi angin keras. Apabila mengenai sasaran mampu membuat tubuh hancur lebur, dan itu diketahui secara pasti oleh Dewa Arak. Pendekar muda itu segera melompat ke atas, sehingga serangan lewat di bawah kakinya.
Empu Pradaga benar-benar tengah mengejar waktu. Begitu melihat Dewa Arak melompat ke atas, dia langsung melesat lari menerobos tempat Dewa Arak semula berada.
Namun Dewa Arak tidak kalah cerdik. Ketika tubuhnya masih berada di atas langsung berputar tepat di saat Empu Pradaga tengah melewati tempatnya. Kedua tangannya diayunkan ke arah ubun-ubun kepala kakek berpakaian putih itu.
Dewa Arak langsung melancarkan serangan maut. Dan itu bukan tanpa alasan karena dia telah mengetahui secara pasti siapa sebenarnya Empu Pradaga ini!
Begitu meninggalkan Barnaba yang saat itu tengah terluka. Dewa Arak memacu larinya secepat mungkin. Maksudnya agar segera tiba di tempat pertapaan Empu Pradaga di sebelah selatan lereng Gunung Anjasmoro.
Cukup lama Dewa Arak berlari cepat ketika pendengarannya yang tajam menangkap adanya bunyi rintihan dari sebelah kanannya. Semula, pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud membiarkannya saja mengingat dia sendiri tengah mengejar waktu. Namun, naluri kependekarannya tidak bisa diajak melakukan hal seperti itu.
Maka, Arya membelokkan arah, dan berlari menuju tempat suara rintihan itu berasal. Hanya beberapa kali lesatan, Dewa Arak telah berhasil mengetahui asal dan pemilik suara rintihan itu. Dan begitu melihatnya, Arya sempat terperanjat. Langkahnya seketika terhenti di tengah jalan. Pemilik suara rintihan itu dikenalinya betul, nenek berpakaian hitam yang telah menyebabkan Sumini terpisah darinya, Durgandini.
Durgandini juga melihat kedatangan Dewa Arak meskipun tubuhnya saat itu terkapar berlumur darah. Pendengarannya yang tajam, menangkap bunyi langkah kaki Dewa Arak dan ditolehkan kepalanya. Begitu dilihatnya pemuda itu, wajahnya tampak berseri gembira.
"Dewa Arak...! Syukur kau datang, cepat selamatkan Sumini! Dia terancam bahaya mengerikan!"
Seruan Durgandini membuat Dewa Arak mengernyitkan kening karena heran. Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang makan asam garam dunia persilaan, dia dapat merasakan adanya nada kekhawatiran dalam ucapan nenek berpakaian hitam ini. Dan hal itu membuatnya merasa heran. Mengapa, Durgandini merasa khawatir akan nasib Sumini.
Dewa Arak tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun pertanyaan seperti itu. Begitu mendengar nama Sumini disebut, dia langsung melupakan tindakan Durgandini yang waktu itu telah menyebabkan Sumini lolos darinya? Keselamatan Sumini saat itu jauh lebih penting daripada meributkan masalah yang telah lalu!
"Apa yang terjadi dengan Sumini? Aku tahu kalau Sumini pergi dengan Empu Pradaga yang berhati keji! Lalu, sekarang di mana dia?" tanya Dewa Arak tak sabar.
"Kau sudah tahu hal itu, Dewa Arak?" tanya Durgandini setengah tidak percaya.
"Aku sudah tahu dari Barnaba! Jangan buang-buang waktu, cepat katakan ke mana Sumini dibawa pergi!"
"Sumini berhasil kuselamatkan dari tangan jahat Empu Pradaga itu. Aku bertarung dengannya dan kalah. Untung saja karena dia tengah terburu-buru aku tidak sempat dibunuhnya. Dia lebih mementingkan mengejar Sumini berlari ke arah sana!"
"Siapakah kau ini, Nek?" tanya Dewa Arak tak kuasa menahan perasaan ingin tahunya.
"Aku nenek kandung Sumini. Raja Pedang Langit Bumi adalah anakku!"
"Ah...!" Dewa Arak kaget karena hal itu benar-benar tidak disangkanya. "Bisa kutinggalkan kau sebentar, Nek?! Kalau saja aku tidak tengah beradu cepat dengan waktu, dan Sumini tidak berada dalam keadaan gawat, aku akan menungguimu di sini sampai keadaanmu pulih seperti sediakala."
"Tidak usah kau pedulikan aku, Dewa Arak! Aku tidak apa-apa. Yang penting, selamatkan Sumini."
Dewa Arak sudah tidak sempat lagi mendengar sambutan Durgandini karena langsung melesat cepat meninggalkannya. Dan ternyata arah yang ditunjukkan nenek berpakaian hitam itu tidak keliru sama sekali. Baru beberapa saat berlari, di kejauhan dilihatnya sesosok tubuh tengah melesat cepat mendekati tempatnya berada. Dan tak lama kemudian Arya tahu kalau sosok itu Sumini adanya.
"Sumini! Syukurlah kau selamat!" seru Arya seraya menghadang di depan Sumini yang tampak pucat pasi. "Di mana Empu Pradaga itu?! Dan mengapa kau lari kembali ke tempat semula. Cepat kau tolong nenekmu!"
"Em... pu Pra... da... ga tengah berta... rung dengan Bar... naba...," jawab Sumini dengan suara terputus-putus karena napasnya yang terengah disebabkan rasa takut dan tegang.
Perasaan takut dan tegang membuat Sumini tidak bisa memperhatikan arah lagi. Yang dipikirkannya berlari sejauh-jauhnya dari Empu Pradaga yang mengerikan. Sama sekali tidak sempat diingat kalau dia menuju ke tempat yang semula ditinggalkannya. Sehingga dia berpapasan dengan Dewa Arak.
"Kau mau ke mana, Dewa Arak?" tanya Sumini ketika melihat Dewa Arak melesat ke tempat yang baru ditinggalkannya. Tempat Empu Pradaga dan Barnaba tengah bertarung keras.
"Menjumpai Empu Pradaga dan menghentikan perbuatan kejinya yang telah merenggut nyawa tidak berdosa," jawab Arya pelan, tapi mantap.
"Lebih, baik kau urungkan niatmu, Dewa Arak!" ujar Sumini tanpa dapat menyembunyikan rasa khawatir atas keselamatan Dewa Arak. "Akan sangat berbahaya bagi keselamatanmu. Empu Pradaga bukan manusia lagi, dia iblis! Kepandaian yang dimilikinya benar-benar tidak lumrah manusia! Kau akan tewas di tangannya, Dewa Arak!"
"Biarlah kalau itu memang sudah nasibku, Sumini! Aku rela mempertaruhkan nyawa demi membasmi orang seperti Empu Pradaga!"
Kemudian, tanpa menunggu jawaban Sumini, Dewa Arak melesat menuju tempat yang baru ditinggalkan Sumini. Dan akhirnya dia melihat Empu Pradaga yang tengah berlari cepat ke arahnya. Dari kenyataan ini saja dia sudah bisa menduga nasib yang diterima Barnaba.
Tanpa membuang-buang waktu lagi dan tanpa pikir panjang, Dewa Arak segera mengirimkan serangan maut. Sudah bisa diperkirakannya ketinggian ilmu Empu Pradaga dengan keberhasilannya mengalahkan Durgandini dan Barnaba.
Namun serangan Dewa Arak kandas ketika Empu Pradaga dengan cepat merendahkan tubuhnya. Bahkan kakek berpakaian putih itu mampu mengirimkan serangan tidak terduga. Kaki kanannya ditendangkan ke belakang, seperti seekor kuda yang tengah menyepak! Karena tidak ada kesempatan untuk mengelak, Dewa Arak pun menangkisnya dengan kedua tangannya disilangkan.
Dukkk!
"Eh...!" Dewa Arak menyeringai ketika sekujur tangannya terasa lumpuh, dan tubuhnya tergetar hebat. Di samping itu dia terpental kembali ke udara. Namun, Dewa Arak tak mudah untuk ditundukkan, pertarungan sengit pun berlangsung.
Baru beberapa jurus saja, Dewa Arak telah mengetahui kebenaran Sumini mengkhawatirkan nasibnya. Empu Pradaga ternyata benar-benar lihai! Setiap kali terjadi benturan antara mereka, baik kaki maupun tangan selalu membuat tubuh Arya terhuyung-huyung ke belakang dengan rasa sakit yang menjalar ke sekujur tubuh. Sementara lawan hanya tergetar saja tubuhnya.
Namun hal itu belum membuat Dewa Arak merasa takjub. Yang membuat pemuda berambut putih keperakan itu merasa kagum hanya ketika mengetahui lawan tidak pernah mengelakkan setiap serangan yang mengarah berbagai bagian tubuhnya. Setiap serangan baik pukulan maupun tendangan yang mengenai berbagai bagian tubuhnya, tidak berpengaruh banyak. Tubuh Empu Pradaga hanya tergetar sedikit.
Setelah itu kakek berpakaian putih ini langsung melancarkan serangan dahsyat. Hanya dalam beberapa jurus, Dewa Arak sudah dipaksa untuk mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'. Pendekar muda itu merasa kewalahan. Setiap serangan tidak berarti bagi lawan, sedangkan serangan lawan membuatnya terpontang-panting.
Dan setelah Dewa Arak mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' keadaannya jauh lebih menguntungkan daripada sebelumnya. Setidak-tidaknya dia tidak terlalu terpontang-panting dalam mengelakkan serangan. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', serangan-serangan Empu Pradaga tidak terlalu sulit untuk dipupuskan.
Namun Dewa Arak tetap saja terdesak ketika Empu Pradaga mulai menggunakan tasbihnya. Tasbih itu mampu saling bantu dengan tangan kiri yang senantiasa mengirimkan serangan berupa pukulan jarak jauh. Pukulan dahsyat yang membuat tanah, batu, dan pohon yang terkena sasaran hancur be-rantakan.
"Hea...!"
Duk!
"Heaps...!"
Tubuh Arya terdorong jauh ke belakang ketika menangkis dengan guci tendangan Empu Pradaga yang mengarah ke perut. Kesempatan baik itu tidak disia-siakan Empu Pradaga. Dengan sinar mata bengis, dia bersiap melancarkan serangan mematikan. Namun, tindakannya mendadak tertahan ketika terdengar bunyi berdesing nyaring diikuti meluncurnya beberapa bilah pisau ke arah mata, tenggorokan, dan ulu hati.
"Heh...! Haits...!"
Sambil mengeluarkan pekikan tertahan, Empu Pradaga cepat menundukkan tubuh. Sehingga serangan dua bilah pisau yang mengarah sepasang mata lewat di atas kepalanya. Yang mengancam tenggorokan langsung tertangkap mulutnya. Sedangkan yang mengarah ulu hati disampokkan sehingga kembali ke tempat semula.
Empu Pradaga belum sempat berbuat sesuatu, sesosok bayangan kuning melesat diiringi bunyi berdesing nyaring. Seleret sinar berkilauan yang ternyata sebilah pedang meluncur ke tenggorokan Empu Pradaga.
Trak!
Dengan kecepatan yang mengagumkan Empu Pradaga berhasil menangkis pedang sosok bayangan kuning dengan tasbih, dan membelitnya. Tidak hanya sampai di situ, dengan satu sentakan, Empu Pradaga membuat tubuh sosok bayangan kuning itu tertarik ke depan. Kemudian disambutnya dengan gedoran telapak tangan kiri terbuka.
"Uh...!" Sosok bayangan kuning yang ternyata Sumini terpekik. Namun berkat kelihaiannya, dia mampu menghentakkan kaki sehingga tubuhnya melenting ke atas dan serangan itu pun lewat di bawahnya.
Sebelum keadaan Sumini semakin buruk Dewa Arak telah melesat menyelamatkannya dengan mengirimkan serangan yang membuat Empu Pradaga mengalihkan perhatian dari Sumini. Pertarungan yang jauh lebih sengit berlanjut. Empu Pradaga kini menghadapi dua orang lawan.
Meskipun dikeroyok oleh Dewa Arak dan Sumini, Empu Pradaga tidak terdesak Perlawanan sengit tetap dapat diberikan. Bahkan Dewa Arak diam-diam kaget karena merasakan kepandaian Empu Pradaga sepertinya bertambah.
Kalau semula, serangan-serangan pedang Sumini tidak ditangkisnya dengan tangan, sekarang dilakukan hal itu. Begitu juga terhadap serangan-serangan yang dikirimkan.
"Ikh!" Sumini menjerit tertahan ketika pedangnya berhasil dicengkeram tangan kiri Empu Pradaga. Semula meskipun beberapa kali tertangkis, tak pernah di tercengkeram karena Sumini bertindak lebih cepat.
Jeritan pendek Sumini kembali terdengar ketika Empu Pradaga menarik tangannya sehingga tubuh gadis itu ikut tertarik ke depan. Kemudian dengan kecepatan yang sulit untuk diikuti mata, kakek berpakaian putih itu mengirimkan totokan ke arah bahu kanan. Sumini yang tidak sempat mengelak langsung roboh lemas.
Melihat hal itu Dewa Arak yang tadi dipaksa mundur menjauh oleh serangan jarak jauh Empu Pradaga segera melesat untuk menolong Sumini. Namun dia kalah cepat, kakek berpakaian putih itu telah lebih dulu menyambar tubuh Sumini dan memondongnya. Kemudian dengan sekali menjejakkan kaki, tubuh Empu Pradaga telah lewat di atas kepala Dewa Arak dan terus melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Dewa Arak tidak tinggal diam, dan langsung melakukan pengejaran. Namun ternyata untuk kesekian kalinya, pemuda berambut putih keperakan itu harus menelan pil pahit. Kecepatan lari Empu Pradaga benar-benar tidak terjangkau olehnya. Kedua kaki kakek berpakaian putih itu seperti tidak bersentuhan dengan tanah, melainkan melayang. Dewa Arak meskipun telah mengerahkan seluruh kecepatan lari, tetap saja tertinggal, dan semakin lama semakin jauh.
Sungguhpun demikian, Dewa Arak tidak putus asa. Dia terus melakukan pengejaran. Di dalam hati, dirinya menyayangkan tindakan Sumini yang datang untuk menolongnya. Meskipun diakui tanpa adanya Sumini mungkin nyawanya sudah melayang ke alam baka.
Semangat Dewa Arak untuk melakukan pengejaran, semakin membara ketika melihat sosok tubuh tengah terlibat dalam pertarungan. Memang masih terlalu kecil untuk diketahui, tapi menilik gerakan-gerakan yang dilakukan, bisa diketahui kalau sosok yang tengah terlibat dalam pertarungan sengit itu Empu Pradaga dan Durgandini.
Sesaat kemudian, Arya telah bisa membuktikan kebenaran dugaannya. Durgandini dan Empu Pradaga tengah terlibat dalam pertarungan. Namun dalam sekilas dia tahu kalau keadaan nenek berpakaian hitam itu amat gawat. Tubuhnya terpontang-panting ke sana kemari. Dia tidak sempat melakukan serangan balasan, hanya mampu mengelak dengan susah payah.
"Hih!" Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya, melakukan serangan jarak jauh dengan jurus 'Pukulan Belalang'. Seketika itu pula angin berhawa panas menyengat, meluruk ke arah Empu Pradaga yang tengah memburu dan menghujani Durgandini dengan serangan-serangan maut.
Glarrr!
Ledakan keras laksana petir menyambar terdengar ketika Empu Pradaga menghentakkan kedua tangan pula untuk memapak serangan Dewa Arak. Akibatnya tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang dan terguling-guling dengan dada dirasakan sesak. Bahkan, dari sudut bibirnya mengalir darah segar tanda kalau dia terluka dalam. Sementara tubuh Empu Pradaga hanya tergetar. Saat itulah Durgandini melompat bangun dan menusukkan payungnya ke perut Empu Pradaga. Begitu cepat, payung itu dikembangkan.
Pyarrr!
Payung Durgandini langsung hahcur berantakan ketika tangan Empu Pradaga menangkisnya. Padahal, payung itu bukan senjata sembarangan melainkan pusaka yang sangat ampuh. Tubuh Durgandini pun terpental ke belakang.
"Bertahanlah, Dewa Arak!" ujar Durgandini sambil mengerling Arya yang berada di sebelahnya. "Sebentar lagi kita akan memperoleh kemenangan."
"Bagaimana kita akan memperolehnya, Nek?!" tanya Dewa Arak penuh perasaan tidak percaya. "Dia lihai sekali! Aku tidak pernah menyangka akan ada orang yang memiliki kepandaian setangguh ini!"
"Lupakanlah hal itu, Dewa Arak!" sergah Durgandini cepat. "Sekarang yang penting kita harus memberikannya kejutan terakhir yang membuatnya pergi ke alam baka.... Kita gabungkan kekuatan! Kau siap?!"
Tanpa menunggu persetujuan, Durgandini berdiri di belakang Dewa Arak dan menempelkan kedua tangannya ke punggung pemuda berambut putih keperakan itu. Seketika Dewa Arak merasakan aliran kekuatan dahsyat yang menjalar dari kedua tangan yang menempel di punggung. Pendekar muda itu pun memusatkan kekuatan untuk mengalirkan tenaga dahsyat Durgandini ke pusar.
"Hih!" Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan segulungan angin dahsyat yang jauh lebih keras hembusannya dari sebelumnya, menyambar ke arah Empu Pradaga yang tengah terhuyung-huyung akibat serbuk-serbuk yang menyebar dari payung Durgandini yang hancur.
Nenek berpakaian hitam itu menaruh serbuk-serbuk di payungnya. Serbuk yang mampu membuat orang pingsan seketika itu. Tapi, Empu Pradaga ternyata hanya terhuyung-huyung dan pusing beberapa saat karena begitu serangan Dewa Arak meluncur dia sudah sadar. Seperti semula, tanpa ragu dipapaknya serangan itu dengan hentakan kedua tangannya pula.
Glarrr!
Bunyi yang jauh lebih keras dari sebelumnya pun terdengar ketika dua hembusan angin dahsyat bertabrakan di udara. Tubuh Dewa Arak dan Durgandini serta Empu Pradaga sama-sama terhempas deras ke belakang seperti daun diterbangkan angin. Mereka jatuh terguling-guling, tapi segera bangkit meski dengan kepala digeleng-gelengkan akibat rasa pusing yang melanda.
"Aaakh...!" Empu Pradaga mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan menyayat hati. Tubuhnya ambruk ke tanah. Sekujur tubuhnya basah bersimbah darah yang keluar dari hidung, mulut, telinga, dan matanya. Lelaki tua berjubah putih itu seketika tewas dengan tubuh berubah merah bagai udang rebus.
"Apa yang terjadi?! Mengapa dia tewas, Nek?!" tanya Dewa Arak, heran.
"Ilmu yang dituntutnya, Dewa Arak," jawab Durgandini kalem.
Kemudian secara singkat Durgandini menceritakan pada Dewa Arak. Empu Pradaga yang nama sebenarnya Subranta adalah kakak seperguruannya. Dulu, puluhan tahun lalu, bersama-sama dengan Durgandini menuntut ilmu mukjizat yang mampu membuat tenaga dalam meningkat pesat dan memiliki penciuman setajam anjing pelacak.
Sehingga tahu di mana adanya orang yang dicari. Selain itu tubuhnya akan kebal segala macam senjata. Sayang, ilmu itu menuntut adanya pengorbanan manusia. Korban yang dibutuhkan adalah wanita dan lelaki muda belia. Empu Pradaga membutuhkan wanita, sedang Durgandini membutuhkan lelaki. Korban-korban itu diambil darahnya.
"Aku berhasil melepaskan diri dari ketergantungan terhadap lelaki dengan bantuan suamiku. Tidak demikian halnya dengan Subranta. Akhirnya dia sial sendiri. Korban yang baru dicicipinya ternyata sudah tidak perawan lagi, akibatnya nyawanya terancam. Itulah sebabnya dia mencari'cari Sumini. Seorang gadis sesakti Sumini mempunyai darah yang bagus! Puluhan bahkan ratusan kali lebih bagus dari darah wanita lain."
"Kini aku mengerti, Nek. Sepasang mata dan wajah Empu Pradaga yang merah tidak terjadi secara sewajarnya."
"Benar. Semakin merah, berarti waktu hidupnya semakin sedikit, karena semakin banyak bagian tubuhnya keracunan akibat darah wanita yang tidak suci itu."
"Pantas dia begitu bersemangat untuk mendapatkan Sumini," Arya mengangguk-anggukkan kepala seraya menatap tubuh Sumini tergolek di sebatang bawah pohon. "Sayang," desah Arya. "Dengan matinya Empu Pradaga tidak ada yang tahu siapa pembunuh Raja Pedang Langit Bumi."
"Empu Pradaga pembunuhnya. Dia mengakuinya padaku, Dewa Arak. Raja Pedang Langit Bumi memergokinya ketika tengah melakukan tindakan biadab terhadap wanita korbannya. Itulah sebabnya ayah Sumini bermaksud merobek surat yang dibuat sebelumnya. Rupanya anakku baru tahu kalau Subranta menginginkan Sumini untuk dikorbankan. Subranta memang selalu menginginkan korban yang tidak dalam keadaan cemas dan ketakutan. Karena korban yang dalam keadaan tenteram batinnya lebih mampu menimbulkan kekuatan yang hebat, berlipat kali daripada yang tengah ketakutan...."
Kemudian Durgandini pun tak lupa menceritakan kepada Dewa Arak, bahwa selama beberapa hari ini kemampun Sumini telah mengalami kemajuan pesat. Hal itu terjadi karena adanya perubahan dari kekuatan racun aneh yang bersarang di tubuh Sumini menjadi tenaga dalam yang hebat.
Dahulu ketika Sumini masih kecil, Durgandini sengaja menyuntikkan racun aneh ke tubuh cucunya itu. Maksudnya untuk melindungi tubuh Sumini. Sebab jika batin gadis itu mengalami rasa takut dan cemas, dengan sendirinya racun akan bekerja, bahkan mampu membunuh lawan secara mengerikan.
Namun ketika mengetahui cucunya dalam bahaya, Durgandini dengan keahliannya telah mengubah racun di tubuh Sumini menjadi suatu kekuatan. Agar Sumini mampu menghadapi lawan yang akan menangkapnya.
Kini Dewa Arak baru memahami keheranannya melihat Sumini dalam beberapa hari saja telah menguasai ilmu kemampuan tinggi. Juga tentang racun aneh yang telah menewaskan beberapa tokoh sakti secara mengerikan.
Usai menjelaskan demikian, Durgandini menghampiri tubuh Sumini yang masih tergolek dalam keadaan pingsan. Rasa takut yang hebat telah menyebabkannya pingsan. Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk melesat pergi.
SELESAI
Selanjutnya,