Dewa Arak - Perguruan Kera Emas

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Perguruan Kera Emas Karya Ajisaka
Sonny Ogawa
SATU
"Hm..., harumnya...! Aku yakin masakanmu ini nikmat, Kang," ucap seorang gadis berpakaian putih sambil mengembang-kempiskan hidung. Wajahnya yang cantik jelita, laksana bidadari dari khayangan.

Sosok yang ditegur gadis berpakaian putih, ternyata seorang pemuda tampan. Wajahnya yang memperlihatkan kejantanan, menoleh seraya tersenyum. Pakaian lengan panjang berwarna ungu yang membalut tubuh kekar itu, tampak sangat mencolok dengan rambut putih keperakan di kepalanya. Semua itu makin memperjelas kematangan pemuda tampan itu.

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
"Jangan terlalu yakin, Melati," sambut pemuda berambut putih keperakan itu tetap dengan senyumnya yang menawan. "Walau baunya nikmat, bisa saja rasanya tidak enak...."

"Aku yakin, Kang! Aku yakin masakanmu nikmat," ujar gadis cantik berambut panjang itu, yang ternyata bernama Melati. Suaranya kali ini lebih keras dan penuh tekanan. Tampak jelas adanya kepercayaan yang dalam pada ucapan gadis itu.

Kini Melati mengalihkan matanya, melihat potongan-potongan daging ayam di tangan pemuda berambut putih keperakan itu. Daging ayam itu ditusuk kayu-kayu runcing dan diputar-putar di atas onggokan bara api.

Bau daging ayam panggang yang telah matang itulah penyebab keluarnya pujian dari mulut Melati. Hidungnya menangkap rasa nikmat daging yang telah mulai berubah kecoklatan itu.

Pemuda berambut putih keperakan yang ternyata Arya Buana atau lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak ini,masihmembolak-balikkan potongan potongan ayam itu di atas bara api.

"Nah, Melati! Sekarang boleh kau buktikan dugaanmu. Dan... bersiap-siaplah untuk kecewa!" ujar Arya seraya menyodorkan satu tusuk kepada Melati yang berjongkok di sampingnya.

"Kau ini selalu saja merendah, Kang! Hm..., ayam ini pasti nikmat!" ujar Melati seraya menyambut daging panggang itu.

Kemudian setelah membiarkan potongan ayam panggang itu tertiup angin, sehingga tak terlalu panas, Melati mendekatkannya kemulut danmenggigitnya. Lalu, pelan-pelan dikunyahnya.

Semua tingkah Melati diperhatikan Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu belum mencicipi masakannya. Dibiarkan Melati yang mencobanya lebih dulu. Ingin didengar apa tanggapan kekasihnya setelah merasakan ayam panggangnya.

"Bagaimana, Melati?" tanya Arya, seperti tak sabar menunggu ucapan kekasihnya. Karena dilihatnya Melati telah menelan bagian yang digigitnya.

Melati seakan-akan tak mendengar pertanyaan Dewa Arak. Dibiarkan saja kekasihnya itu dalam ketidaksabaran. Sambil menyembunyikan senyum, mulutnya kembali menggigit panggang ayam yang masih hangat itu.

"Hm..., krukkk!" karuan saja hal itu membuat Arya penasaran. Tidak mendengarkah Melati? Mustahil! Arya yakin ucapan yang dikeluarkannya cukup keras untuk didengar!

"Bagaimana, Melati? Enak?" Pertanyaan kali ini dikeluarkan dengan suara lebih keras dari sebelumnya.

"Hi hi hik...!" Tidak juga terdengar jawaban. Melati hanya tertawa mengikik, terpingkal-pingkal seakanakan merasa geli sekali. Hal itu terlihat dari tubuhnya yang sampai terbungkuk-bungkuk!

Mendengar tawa panjang itu, Dewa Arak langsung sadar kalau dirinya telah menjadi korban permainan Melati. Gadis itu pasti telah mempermainkannya! Arya hafal betul dengan sikap kekasihnya.

"Rupanya kau telah mempermainkanku, Melati. Sekarang, cepat katakan padaku! Bagaimana? Tidak enak, kan?!"

"Enak! Enak sekali, Kang!" jawab Melati seraya memasang wajah sungguh-sungguh. Itu pun masih ditambah lagi dengan acungan ibu jari tangannya.

Namun, Melati tiba-tiba merasa keheranan melihat sikap Arya. Dilihatnya wajah pemuda berambut putih keperakan itu menunjukkan keterkejutan, tapi tanpa suara dari mulutnya. Sebagai seorang yang telah bergaul lama, Melati tahu ada sesuatu yang menyebabkan kekasihnya bersikap demikian.

"Mengapa, Kang? Ada apa?" tanya Melati, penuh rasa ingin tahu.

"Tadi..., sepertinya kudengar ada suara jeritan menyayat. Tapi sekarang sudah tak terdengar lagi. Apa telingaku salah dengar?!" ujar Dewa Arak dengan kening agak berkerut.

Melati langsung terdiam setelah mendengar jawaban Dewa Arak. Lalu, gadis berpakaian putih itu segera memasang pendengarannya.

"Aaakh...!" Jeritan menyayat hati itu kembali terdengar.

"Heh...! Kau benar, Kang! Ada sesuatu yang tengah terjadi. Kita harus bertindak!" terdengar mantap dan penuh semangat ucapan Melati.

"Mari, kita ke sana!" ajak Dewa Arak tanpa membuang-buang waktu. Ayam panggangnya ditancapkan di tanah.

Melati pun melakukan hal yang sama. Namun, sebelum itu disempatkan untuk menggigit lagi ayam panggang itu. Kemudian, dengan mulut mengunyah masakan itu, tubuhnya melesat mengikuti Dewa Arak.

Dengan berpatokan pada jeritan yang mereka dengar, Dewa Arak dan Melati melesat menuju tempat asal suara. Pasangan pendekar muda itu harus menempuh jalan setapak yang licin dan berkelok-kelok. Saat itu keduanya memang tengah berada di atas lereng sebuah bukit.

Sehingga perjalanan itu membutuhkan kehati-hatian yang cukup. Sekali terpeleset, mereka akan terpelanting ke jurang yang cukup dalam. Cukup lama Dewa Arak dan Melati harus melalui jalan menurun dan berbahaya, sebelum akhirnya sampai di bagian tanah datar berumput pendek yang membentang luas.

Pasangan pendekar muda itu tak perlu membuang-buang waktu untuk mencari. Karena begitu mencapai tempat itu keduanya segera melihat apa yang mereka cari.

"Hhh...! Biadab!" dengus Dewa Arak dan Melati hampir bersamaan. Kemudian dengan sikap waspada, keduanya bergerak menghampiri. Tampaknya pasangan pendekar muda itu bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang tak diharapkan.

Pemandangan yang terpampang memang cukup menggiriskan hati. Di atas jalan berumput tampak bergelimpangan mayat-mayat manusia bercampur beberapa ekor kuda yang telah terkapar berlumuran darah. Dua kuda tampak masih terikat dengan keretanya. Sungguh menggiriskan!

Arya dan Melati berjongkok untuk dapat melihat lebih jelas sosok-sosok tubuh berlumuran darah itu. Di samping untuk mengenali, keduanya berharap ada di antara mereka yang masih hidup.

Dewa Arak dan Melati memeriksa sosok-sosok tubuh itu satu persatu. Setiap kali mereka memeriksa, tampak keduanya menahan napas, menghindari bau amis darah, kemudian menghembuskannya kuat-kuat. Ternyata semua telah tewas. Dan di antara mayat itu ada yang terpenggal lehernya hingga putus.

"Mereka berasal dari perguruan yang sama," ujar Dewa Arak bernada keluh seraya bangkit berdiri. Kepalanya menggeleng-geleng pelan.

"Kukira juga demikian, Kang." Sambil bangkit berdiri, Melati mengajukan pendapatnya yang membenarkan pernyataan Dewa Arak.

"Apakah kau tahu, perguruan yang mempunyai tanda seperti itu, Melati?"

Melati tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dilayangkan pandangannya ke arah dada kiri salah satu mayat. Tampak sebuah tanda tertera di dada kiri mayat berlumur darah itu. Sebuah gambar kepala seekor kera yang disulam dengan benang emas. Sehingga tampak sangat mencolok di atas kain hitam pakaian mayat lelaki itu.

"Tidak, Kang." sahut Melati seraya menggeleng perlahan. Matanya belum beralih dari gambar kepala kera itu.

"Yang menjadi pertanyaan, apakah isi kereta kuda ini. Kalau tidak karena membawa sesuatu, tak mungkin kereta itu diikutsertakan," ujar Dewa Arak mencoba menduga-duga.

"Hm..., kurasa kereta itu berisi sesuatu, Kang?! Mungkin orang-orang itu bertugas mengawalnya," timpal Melati. "Rasanya kalau bukan karena sesuatu yang sangat penting dan menempuh perjalanan cukup jauh, tak akan mungkin perlu pengawal sebanyak ini, Kang."

Arya mengernyitkan dahi. Dirasakan ucapan Melati benar. Jumlah mayat yang kemungkinan besar sebagai pengawal berjumlah sembilan orang berikut kusir kereta.

Ketika tengah berpikir keras begitu, tiba-tiba Dewa Arak mendengar adanya bunyi langkah-langkah kaki. Dari bunyinya yang semakin keras, bisa diketahui kalau pemilik langkah itu tengah menuju ke tempat mereka.

"Bersiap-siaplah, Melati! Sebentar lagi, akan muncul orang hebat di sini," ujar Dewa Arak memberitahukan Melati dengan suara lirih.

Melati menoleh. Wajahnya tampak berubah seketika, mendengar ucapan Dewa Arak. "Aku belum mendengar bunyi apa pun, Kang," sahut Melati, dengan suara berbisik pula.

"Oleh karena itu berhari-hatilah! Orang ini memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa. Bersikaplah biasa saja! Ingat, bukan tak mungkin kalau orang ini pelaku semua kekejian itu,"

Dewa Arak terus memperingatkan Melati yang sama sekali belum mendengar suara itu. Melati menganggukkan kepala. Tampak keningnya berkerut. Kepalanya perlahan-lahan ditelengkan seakan hendakmemastikan pendengaran terhadap suara yang dikatakan Dewa Arak.

Ternyata benar apa yang dikatakan Dewa Arak. Beberapa saat kemudian, telinga Melati pun telah mendengar suara langkah itu, disusul dengan munculnya sesosok bayangan kuning melangkah mendekat.

Pemilik langkah itu ternyata seorang pemuda tampan berpakaian kuning. Kulit wajahnya yang putih semakin memperlihatkan bentuk alis yang tebal dan hitam. Ketika sampai di dekat mayat-mayat yang bergelimpangan, mendadak langkahnya berhenti. Sepasang matanya terbelalak menatap pemandangan menggiriskan di hadapannya.

Seperti juga Dewa Arak dan Melati, pemuda berpakaian kuning itu larut dalam perasaan kagetnya. Dan seiring dengan timbulnya kesadaran, kakinya dilangkahkan mendekati mayat-mayat itu.

"Hah....?!" Seruan kaget keluar dari mulut pemuda berpakaian kuning, ketika melihat tanda yang tertera di bagian dada kiri pakaian mayat-mayat itu. "Biadab!" makian geram terdengar. Pemuda berpakaian kuning itu segera melayangkan pandangan pada Dewa Arak dan Melati yang masih berdiri di dekat mayat-mayat itu.

Dewa Arak dan Melati saling pandang. Meskipun pemuda berpakaian kuning itu tak meneruskan pernyataannya, sepasang pendekar muda ini tahu, kalau mereka telah dituduh sebagai pelaku pembunuhan keji itu.

Menyadari jika kesalahpahaman ini dibiarkan akan mengkhawatirkan, Dewa Arak memutuskan untuk menjelaskan masalahnya. Maka buru-buru disunggingkan sebentuk senyum di bibirnya.

"Tenang, Kisanak! Kami bukan pelaku pembunuhan keji ini. Seperti juga kau, sewaktu kami tiba keadaan sudah seperti ini. Dan....."

"Tutup mulutmu, Bangsat!" bentak pemuda berpakaian kuning itu sebelum Dewa Arak sempat menyelesaikan ucapannya, "Jangan harap bisa membohongiku! Kau harus menerima ganjaran atas tindakan kejimu ini! Hiyaaat...!"

Pemuda berpakaian kuning itu mengakhiri ucapannya dengan sebuah lengkingan seraya bergerak hendak melancarkan serangan kepada Dewa Arak. Kemudian dengan begitu cepat tubuhnya telah melompat. Lesatan cepat itu disertai dengan gerakan tangannya yang telah membuka dengan jemari membentuk cakar. Laksana harimau lapar sosok berpakaian kuning itu berkelebat.

Wuttt!

Deru angin keras mengiringi tibanya serangan itu. Hal ini menjadi pertanda kalau serangan itu dikerahkan dengan tenaga dalam yang tidak sembarangan, Dewa Arak rupanya menyadari kedahsyatan serangan lawan. Maka dia tidak bertindak gegabah.

"Hih!" Sambil menggertakkan gigi, Dewa Arak bergerak cepat ke samping kanan dengan lompatan harimau. Dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya bergulingan cepat terus mengelakkan serangan lawan. Tindakan Dewa Arak ternyata tak sia-sia. Serangan cepat yang dilancarkan pemuda berpakaian kuning itu kandas.

"Hup!"

Bersamaan dengan kembalinya kedudukan Dewa Arak, pemuda berpakaian kuning itu telah mendaratkan kaki. Dan secepat itu pula pemuda itu telah kembali siap melancarkan serangan susulan.Tentu saja Dewa Arak mengetahuinya. Maka buru-buru pemuda berambut putih keperakan ini mengulurkan kedua tangannya untuk mencegah.

"Tahan dulu, Kisanak! Kau salah menuduh orang. Kami bukan...."

"Haaat...!"

Teriakan keras pemuda berpakaian kuning itu membuat Dewa Arak menghentikan ucapannya. Pemuda beralis tebal itu telah melancarkan serangan dengan sebuah tendangan terbang!

Wuttt!

"Hhh...!" Dewa Arak mengeluh dalam hati. Disadari, kalau pemuda berpakaian kuning itu tak bisa ditenangkan lagi. Jadi, tidak ada gunanya lagi diberikan penjelasan. Sia-sia! Hanya ada satu pilihan bagi Dewa Arak kalau tetap ingin memberikan penjelasan. Robohkan dulu, setelah itu baru diberi penjelasan.

Dewa Arak mengambil keputusan untuk melakukan perlawanan. Itulah sebabnya, kali ini dirinya tidak mengelakkan serangan lawan, melainkan berupaya melakukan gerakan untuk memapaknya.

Sebenarnya, menangkis tendangan terbang, apalagi dari seorang yang ulung, merupakah tindakan berbahaya! Masalahnya, dengan siasat seperti itu kekuatan serangan berlipat karena ditambah tenaga luncuran!

Bukan hanya itu saja. Apabila serangan kaki yang satu berhasil dipapak, masih ada kaki lainnya yang dapat dipergunakan untuk menyerang. Dalam jarak yang demikian dekat serangan susulan itu sangat berbahaya!

Meskipun tahu hal itu, Dewa Arak tetap bersikeras memapaknya. Ditunggunya hingga serangan itu menyambar dekat. Benar, ketika serangan itu sampai, kedua tangannya diangkat ke depan wajah, sambil mengerahkan hampir seperempat kekuatan tenaga dalamnya. Dan...,

"Hiaaa...!"

Plakkk!

Suara keras seperti benturan dua logam terdengar, ketika tangan dan kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu beradu.

Tubuh Dewa Arak tampak tak bergeming sedikit pun. Padahal, dirinya berada pada pihak yang kurang menguntungkan. Dari sini dapat diketahui kalau tenaga yang dikerahkannya cukup untuk mengatasi tenaga lawan!

Namun, serangan pemuda berpakaian kuning ternyata tak hanya terhenti sampai di situ. Setelah kaki kanan tertangkis, dan membuat luncurannya tertahan, kaki kirinya langsung disabetkan ke dada Dewa Arak.

Namun serangan susulan itu telah diduga sebelumnya oleh Dewa Arak. Sehingga meskipun gerakan itu datang begitu cepat dirinya telah mempersiapkan tangkisan.

Takkk!

"Hih...!"

Untuk kedua kalinya benturan keras terjadi. Serangan susulan lewat kaki kiri pemuda berpakaian kuning itu kandas. Dengan cepat tubuhnya dilontarkan ke belakang, memanfaatkan tenaga dorongan akibat benturan tadi. Dan setelah bersalto bebe-rapa kali di udara kedua kakinya meluncur dengan manis ke bawah.

Jliggg!

Laksana daun kering, pemuda berpakaian kuning mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tidak ada halangan sama sekali baginya melakukan hal itu, karena Dewa Arak tak menggunakan kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya berdiam diri di tempatnya, bersikap menunggu.

Pemuda berpakaian kuning menggeram karena tersinggung. Dianggapnya Dewa Arak memandang remeh dirinya dengan tidak mempergunakan kesempatan itu untuk melancarkan serangan.

"Jangan kau berbesar hati dulu, Keparat! Aku belum kalah!" dengus pemuda berpakaian kuning keras. Lalu....

Srattt!

Tiba-tiba pemuda berpakaian kuning itu mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Seberkas cahaya putih berkilatan keluar dari senjata tajam itu.

Wuk! Wuk! Wuk!

Deru angin yang menyakitkan telinga langsung terdengar, ketika pemuda berpakaian kuning itu memutar-mutarkan goloknya. Satu gerakan yang luar biasa. Karena gerakan yang begitu cepat, golok bagaikan lenyap. Yang tampak hanya cahaya putih yang melingkar di seputar tubuh pemuda berpakaian kuning itu.

"Keluarkan senjatamu, Keparat!" seru pemuda berpakaian kuning, ditengah kesibukannya memutar-mutarkan golok.

"Hm...!" Dewa Arak menggumam mengisyaratkan rasa kagum terhadap pertunjukan ilmu golok lawan. Dan penyakitnya sebagai seorang ahli silat pun muncul, ingin menguji kepandaian pemuda berpakaian kuning itu.

Tampak Dewa Arak mengedarkan pandangan ke tanah, seakan-akan ada sesuatu yang dicarinya. Benar, matanya langsung berbinar ketika melihat sebatang ranting sebesar ibu jari kaki di dekatnya. Kayu yang panjangnya hampir sedepa itu segera dipunggutnya. Kemudian Dewa Arak melintangkan ranting itu di depan dada.

"Inilah senjataku, Kisanak," ucap Dewa Arak, tanpa bermaksud menyombongkan diri.

"Sombong!" pemuda berpakaian kuning memekik keras, dengan suara bergetar karena perasaan marahnya. Tindakan Dewa Arak itu dianggapnya sebagai sikap meremehkan lawan. "Kau telah menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan! Jangan salahkan kalau akhirnya kau mampus di tanganku karena kesombonganmu! Hiyaaat...!"

Pemuda berpakaian kuning melompat menerjang Dewa Arak. Dan ketika tubuhnya telah berada di udara, di atas lawan, goloknya langsung dibabatkan ke leher Dewa Arak.

Dewa Arak tentu saja tak ingin kepalanya terpisah dari tubuh karena serangan lawan. Dengan cepat ditariknya kaki kanan sambil mendoyongkan tubuh ke belakang.

Wuttt!

Golok pemuda berpakaian kuning menyambar tempat kosong, hanya beberapa jari dari sasaran.Namun, sebelum pemuda berpakaian kuning kembali mengirimkan serangan lanjutan, Dewa Arak telah lebih dulu bertindak. Kayu kecil di tangannya ditusukkan ke leher lawan.

"Hea...!"

Wuttt!

"Heh!"

Tampaknya pemuda berpakaian kuning tak berani bertindak sembarangan. Dirinya tahu meskipun yang dipergunakan lawan hanya sebatang ranting, tak kalah ampuh dari senjata golok atau pedang. Kalau sampai kayu itu mengenai sasaran, bukan tak mungkin nyawa lawan akan melayang.

Tanpa menunggu lebih lama, segera ditangkisnya serangan itu dengan sarung golok yang tergenggam di tangan kiri. Dikerahkan seluruh tenaga dalam pada tangkisan itu dengan harapan dapat mematahkan senjata lawan. Pemuda berpakaian kuning itu tahu, senjata Dewa Arak tidak bisa dibandingkan dengan sarung goloknya yang terbuat dari bahan pilihan.

DUA

Trakkk!

"Akh...!" Pemuda berpakaian kuning itu terpekik. Benturan yang terjadi membuat tangannya kesemutan. Kenyataan ini sungguh di luar dugaan. Hatinya benar-benar terkejut, hingga tanpa sadar melontarkan jeritan tertahan.

Bukan hal itu saja yang membuatnya kaget bukan kepalang. Ranting kayu di tangan Dewa Arak tetap utuh. Padahal menurut dugaannya kayu itu pasti akan hancur kalau tersambar sarung goloknya. Namun, pemuda berpakaian kuning tak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun perasaan itu. Hal itu karena serangan lawan tidak terhenti sampai di situ saja.

Setelah tusukan ranting kayunya terpapas dengan cepat dibelokkan dan langsung meluncur ke pelipis. Serangan yang dilakukan Dewa Arak benar-benar diluar dugaan. Begitu cepat dan susul menyusul laksana ombak samudera.

Pemuda berpakaian kuning sadar kalau kedudukannya sangat mengkhawatirkan. Kalau tidak cepat-cepat memperbaiki kedudukan, bukan tak mungkin dirinya akan tewas di tangan pemuda berambut putih keperakan itu. Diputuskan untuk melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Maka...

Wuttt!

Trakkk!

Dengan secepat kilat golok di tangan pemuda berpakaian kuning berkelebat memapak serangan lawan. Benturan keras pun terjadi.

"Hih!" Dengan memanfaatkan tenaga dari benturan itu, pemuda berpakaian kuning melempar tubuh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Dan sebagai penjagaan atas serangan lanjutan, goloknya diputar cepat sehingga tampak membungkus seluruh tubuhnya. Sehingga ke mana pun serangan diarahkan, akan berbenturan dengan golok!

Tindakan penyelamatan yang dilakukan pemuda berpakaian kuning ternyata tak sia-sia. Dewa Arak pun tampaknya menyadari rapatnya pertahanan itu sehingga mengurungkan serangan yang akan dilancarkan. Sehingga kalaupun tetap melakukan serangan, pasti akan terpapas putaran golok lawan.

"Hih!"

Jiiggg.

Dengan ringan pemuda berpakaian kuning itu mendarat. Kemudian dengan cepat disilangkan goloknya di depan dada siap menghadapi serangan lawan.

Sementara itu Melati yang menyaksikan pertarungan dari jarak sekitar sepuluh tombak tampak tersenyum kecut. Ada rasa geli dalam hatinya melihat sang Kekasih bertingkah aneh dengan memilih senjata berupa sebatang kayu kecil.

Dewa Arak tampaknya tak ingin membuang-buang waktu percuma. Dengan cepat tubuhnya bergerak meluruk melakukan serangan. Senjata istimewa di tangannya diputar siap memburu tubuh lawan.

Pemuda berpakaian kuning pun tak tinggal diam. Dengan kedudukan mantap disambutnya terjangan Dewa Arak. Tak terelakkan lagi, pertarungan seru berlangsung kembali.

Diam-diam pemuda berpakaian kuning itu mengeluh dalam hati. Sama sekali tak disangka kalau lawannya akan selihai ini. Meskipun hanya bersenjatakan sebatang kayu serangan-serangannya dahsyat, begitu cepat, dan susul-menyusul laksana gelombang laut!

Pemuda berpakaian kuning itu tidak tahu kalau Dewa Arak menggunakan ilmu warisan ayahnya, 'Ilmu Pedang Pembunuh Naga'. Bagi tokoh yang memiliki kemampuan tinggi seperti Dewa Arak bukan merupakan hal yang sulit untuk merubah sedikit dan mencoba menyesuaikannya dengan senjata yang dipergunakan. Secepat kilat, golok di tangan pemuda berpakaian kuning berkelebat memapak serangan ranting Dewa Arak.

Wurtt!

Trakkk!

"Akh...!" Pemuda berpakaian kuning terpekik. Benturan yang terjadi membuat tangannya kesemutan, dan benar-benar terkejut! Beberapa kali pemuda berpakaian kuning itu tampak tercengang, melihat serangan yang dilancarkan lawan.

Hebatnya, penyesuaian yang dilakukan Dewa Arak tak sampai mengurangi kedahsyatnya dan ciri utama 'Ilmu Pedang Pembunuh Naga' yang menekankan pada gerakan untuk melakukan penyerangan. Tak aneh kalau pemuda berpakaian kuning itu tampak kelabakan karenanya.

Serangan yang meluncur bagai tak pernah habis, membuatnya terus bergerak mundur. Semula pemuda berpakaian kuning merasa mendapat keuntungan dari senjata yang dipergunakan lawanya. Menurut perhitungannya, dengan mudah senjata Dewa Arak akan dapat dihancurkannya. Namun, harapan tinggal harapan. Beberapa kali telah terjadi benturan antara ranting kayu Dewa Arak dengan golok pusakanya. Dan ternyata senjata istimewa lawan tidak patah!

Semua dapat terjadi karena kecerdikan Dewa Arak. Setiap kali senjatanya menghadapi benturan dengan golok lawan, dirinya menggunakan tenaga lembutnya. Dewa Arak berusaha menghindari pengerahan tenaga yang kuat. Sehingga tak terjadi beradunya tenaga keras dengan keras. Dengan taktik inilah, keutuhan senjatanya bisa dipertahankan.

Pertarungan satu lawan satu itu tampak semakin seru. Beberapa kali serangan keduanya yang melesat membentur tanah, hingga berhamburan. Bahkan banyak rumput yang terpapas akibat sambaran angin serangan kedua tokoh sakti itu. Suara berdesing, teriakan keduanya, dan benturan senjata, seakan-akan hendak memecahkan suasana sepi lembah itu.

Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat, hanya dalam waktu sebentar, pertarungan telah berlangsung lima puluh jurus. Dan selama itu, pemuda berpakaian kuning terus-menerus didesak mundur.

Pertarungan yang telah bergeser menjauh dari tempat semula tetap tak lepas dari perhatian Melati. Dari jarak sekitar tiga puluh tombak mata gadis cantik berambut panjang itu terus mengawasi jalannya pertarungan. Seakan-akan dirinya tidak ingin kehilangan satu jurus pun yang tengah mereka keluarkan. Padahal pertarungan itu berjalan begitu cepat. Sehingga kedua pemuda itu tampak seperti dua bayangan kuning dan ungu yang saling berkelebatan.

Namun dengan jelas mata Melati melihat, kalau sang Kekasih mampu mendesak pertahanan lawan. Sehingga, cepat atau lambat pemuda berpakaian kuning itu pasti akan roboh. Perkiraan Melati memang beralasan. Kedudukan pemuda berpakaian kuning tampak semakin terjepit.

"Hiaaa...!"

"Heaaa...!"

Pada jurus keenam puluh tiga, Dewa Arak melancarkan tusukan mengarah ke ulu hati lawan. Melihat serangan cepat itu, tanpa membuang waktu, pemuda berpakaian kuning segera menggerakkan golok untuk menangkis.

Wuttt!

Trakkk!

Begitu tertangkis, ranting kayu di tangan Dewa Arak, berputar. Lalu dengan kecepatan tinggi senjata aneh itu meluncur ke ubun-ubun pemuda berpakaian kuning!

Pemuda berpakaian kuning itu terkejut bukan kepalang. Terlihat jelas betapa wajahnya gugup. Meskipun demikian, pemuda tampan beralis tebal itu masih sanggup mempertunjukkan kalau dirinya tidak semudah itu dapat dipecundangi. Dengan cepat dirundukkan tubuhnya.

"Halts...!"

Wuttt!

Ternyata gerakan Dewa Arak hanya merupakan serangan tipuan untuk mengalihkan perhatian lawan dari serangan yang sebenarnya. Babatan ranting itu tak berlanjut. Sebaliknya kaki kanan Dewa Arak dengan cepat bergerak menyapu.

"Haaa...!"

Dukkk!

"Akh!" Pemuda berpakaian kuning terpekik kesakitan, ketika tendangan Dewa Arak mendarat telak di perutnya. Seketika itu tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh terlentang di rerumputan. Dan sebelum dirinya sempat bangkit, ujung senjata Dewa Arak telah menempel di ubun-ubunnya. Sekali saja ranting kayu itu dihentakkan pasti amblas di kepala lawan. Dan melayanglah nyawanya!

"Tunggu apa lagi, Biadab...?! Ayo, bunuhlah aku! Kau kira aku takut mati?!" ujar pemuda berpakaian kuning, lantang. Tak nampak adanya perasaan gentar, sekalipun maut telah berada di depan mata.

"Siapa yang ingin membunuhmu, Kisanak?" jawab Dewa Arak, kalem, "Aku tahu kau salah paham. Dengar, bukan aku atau kawanku yang telah melakukan kekejian ini."

"Mana ada maling ngaku?!" sahut pemuda berpakaian kuning, seraya menyunggingkan senyum sinis.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat. Disadari tak ada gunanya lagi memberikan penjelasan. Pemuda berpakaian kuning itu terlalu keras kepala. Mungkin amarahnya akan meluap dan Dewa Arak akan kesalahan tangan.

Dewa Arak tak ingin hal itu terjadi. Maka segera ditariknya kembali ranting itu. Kemudian, tanpa menggerakkan sedikit pun jemari tangannya dihancurkan ranting kayu itu. Lalu dibalikkan tubuhnya menghampiri Melati yang tengah melangkah mendekatinya.

"Keparat! Mengapa tak kau bunuh aku, Bangsat?! Kau kira aku takut mati?! Ayo, bunuh aku!" teriak pemuda berpakaian kuning kalap bercampur heran melihat lawan malah meninggalkan dirinya.

Dewa Arak tak mempedulikan caci-maki itu. Tanpa menoleh kakinya terus melangkah meninggalkan pemuda itu. Hal itu tentu saja membuat pemuda berpakaian kuning semakin kalap, karena merasa diremehkan sekali. Dengan cepat tubuhnya bangkit berdiri sambil menyambar goloknya. Apa yang bakal dilakukannya kalau bukan hendak membokong Dewa Arak dengan senjata tajam itu. Namun sebelum hal itu dilakukannya....

"Tutup mulutmu yang busuk!" bentak Melati dengan suara keras, karena tak mampu menahan kemarahan, "Hai, Manusia Berotak Udang...! Kau tahu, siapa yang telah kau tuduh dan caci-maki dengan mulutmu yang kotor itu?!"

Pemuda berpakaian kuning langsung tersentak, mendengar bentakan keras Melati. Sama sekali tak diduga kalau yang menjadi kalap karena makian dan tindakannya justru gadis cantik itu. Bukan pemuda berambut keperakan yang telah mengalahkannya!

"Sudahlah, Melati!" ujar Dewa Arak mencoba menyabarkan kekasihnya.

Namun, kali ini Melati benar-benar tak bisa ditahan. Rupanya kemarahan yang melanda hati gadis berpakaian putih itu terlalu besar. "Tidak, Kang! Biar si dungu itu tahu dengan siapa dia berhadapan! Kalau tidak, dia akan semakin membabi buta dan berlarut-larut dalam ketololan!"

Ucapan Melati berpengaruh hebat sekali. Wajah pemuda berpakaian kuning seketika berubah-ubah, pucat dan merah silih berganti. Sungguh pun demikian, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya terpaku dengan mulut kelu, bagai terkunci.

"Kau tahu siapa yang kau maki-maki ini, Manusia Dungu? Dengar baik-baik! Pasang kupingmu! Dia si Dewa Arak! Kau dengar...?! Dewa Arak...!" ujar Melati dengan suara semakin meninggi.

"Hahhh...?!" pemuda berpakaian kuning itu tersentak kaget. Matanya terbelalak, seakan-akan tak percaya mendengar ucapan gadis di depannya. Kemudian dengan jantung berdebar keras ditolehkan wajahnya menatap Dewa Arak yang masih membelakanginya meski telah berhenti melangkah.

"Be... benarkah dia, Dewa Arak?!" tanya pemuda berpakaian kuning menggeragap. Matanya tetap terbelalak menyiratkan perasaan gentar di hatinya.

"Terserah, mau percaya atau tidak! Aku hanya mengatakan kenyataan sebenarnya!" tandas Melati masih dengan nada tinggi!

Sekali lagi pemuda berpakaian kuning mengalihkan pandang menatap Dewa Arak. Diperhatikannya sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan yang masih membelakanginya itu. Tampak sebuah guci tergantung di punggungnya.

"Kalau begitu..., maafkan aku, Dewa Arak! Sungguh aku tak tahu. Aku telah bertindak demikian bodoh...," ucap pemuda berpakaian kuning itu, terbata-bata.

Meskipun sebenarnya pemuda beralis tebal itu tak begitu mempercayai kata-kata Melati, hatinya yakin kalau lelaki muda yang telah mengalahkannya itu Dewa Arak. Hal itu setelah dengan seksama memperhatikannya. Dirinya pernah mendengar kalau Dewa Arak memang seorang pemuda berambut putih keperakan dan mengenakan pakaian ungu. Selain itu ciri khasnya selalu membawa guci arak. Semua ciri-ciri itu dimiliki orang di depannya.

Itulah sebabnya pemuda berpakaian kuning itu yakin kalau tokoh yang baru saja mengalahkannya pasti Dewa Arak. Seorang tokoh begitu kesohor di dunia persilatan. Dewa Arak perlahan-lahan membalikkan tubuh, setelah mendengar ucapan pemuda itu.

"Lupakanlah, Kisanak! Aku maklum kalau kau salah paham lalu menjatuhkan tuduhan kepada kami sebagai pelaku pembunuhan ini. E..., tapi ada hal yang membuatku heran melihat sikapmu. Kau tampak begitu dendam menyaksikan kejadian ini. Apakah kau mempunyai hubungan dengan orang-orang itu?" ujar Dewa Arak seraya menuding mayat-mayat yang tampak sudah mulai kaku.

"Hhh...! Apa yang kau katakan tidak salah, Dewa Arak. Memang, ada hubungan antara diriku dengan mereka," jawab pemuda berpakaian kuning, bernada sedih. Sesaat matanya menatap nanar mayat-mayat itu.

Wajah Dewa Arak tiba-tiba berseri, menyadari satu titik terang telah didapatnya. Sementara Melati, tetap berdiam diri. Rupanya, gadis berpakaian putih itu lebih suka menjadi pendengar.

"Apa hubunganmu dengan mereka, Kisanak?!" tanya Dewa Arak, ingin tahu.

Pemuda berpakaian kuning itu tidak langsung menjawab pertanyaan Arya. Ditatapnya wajah Dewa Arak, kemudian Melati. "Hm..., rasanya janggal mendengar panggilanmu terhadapku, Dewa Arak. Namaku Handaka," ujarnya seraya mengangguk perlahan.

"Itu memang lebih baik, Handaka," sahut Dewa Arak gembira. "Kuminta kau pun jangan memanggilku Dewa Arak. Panggil saja Arya! Karena itulah namaku. Dan kawanku ini Melati. Sekarang, jelaskan semuanya, Handaka."

Handaka mengalihkan pandang ke wajah Melati sebentar. "Baiklah, Arya," sambut Handaka. "Orang-orang itu adalah murid Perguruan Kera Emas. Dan Ketua Perguruan Kera Emas adalah ayahku. Ki Tapaksi Mandragunta, namanya. Beliau menyediakan jasa pengawalan atas barang maupun orang yang membutuhkannya."

Dewa Arak dan Melati menganggukkan kepala. Keduanya mulai mengerti akan sikap dendam yang tadi ditunjukkan pemuda bernama Handaka itu.

"Berarti..., kemungkinan besar rombongan murid-murid ayahmu ini dihadang gerombolan perampok yang menghendaki barang kawalan mereka. Dan tampaknya pihak perampok lebih kuat...," ujar Dewa Arak mencoba mengajukan dugaannya.

"Jika dugaanmu benar, aku akan berusaha keras mencari mereka. Akan kuambil kembali barang yang telah mereka rampas. Jika tidak, usaha ayahku akan hancur. Tidak akan ada orang yang mau menyewa jasa kami," urai Handaka mengungkapkan kekhawatirannya.

Melati dan Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. Mereka tahu, Handaka tidak berbohong. Memang, usaha Perguruan Kera Emas akan hancur apabila barang kawalan itu tak dapat ditemukan kembali. Di dalam hati, sepasang pendekar muda ini bertekad untuk membantu Handaka.

Namun, Handaka tak tahu suara hati Dewa Arak, dan Melati. Setelah mengutarakan tekadnya, Handaka melangkah menghampiri sembilan mayat murid Perguruan Kera Emas. Diperiksanya satu persatu tubuh mereka. Hal yang sama pun dilakukan terhadap kuda-kuda dan kereta.

Sewaktu memeriksa kuda penarik kereta, tampak Handaka tercenung. Tentu saja hal itu membuat Dewa Arak dan Melati merasa heran. Keduanya saling pandang. Ada suatu pertanyaan dalam tatapan mata mereka. Namun tak sepatah kata pun terucap di mulut keduanya. Kemudian Dewa Arak mengalihkanmatanya, memperhatikan Handaka.

Pemuda berpakaian kuning itu mencabut pisau-pisau yang bersarang di tubuh dua ekor kuda penarik kereta. Kemudian setelah dibersihkan dari darah yang melekat, pisau itu disimpannya di pinggang. Setelah menghela napas berat, Handaka mengayunkan langkah menuju sebatang pohon yang hanya satu-satunya di tempat itu.

Sampai di dekat pohon itu Handaka mengeluarkan salah satu pisau yang tadi disimpannya. Lalu, tubuhnya dibungkukkan. Sesaat kemudian, tampak tangannya mulai sibuk menggali tanah.

Dewa Arak dan Melati yang semula belum tahu tindakan Handaka, sekarang mengerti. Rupanya pemuda berpakaian kuning itu hendak membuat lubang untuk menguburkan mayat-mayat itu. Maka, tanpa diminta pasangan pendekar muda ini menghampiri dan membantu. Dengan mempergunakan pedang-pedang yang berserakan di tempat itu, Dewa Arak dan Melati menggali tanah, membantu Handaka.

"Terima kasih, Arya, Melati!" ucap Handaka terharu melihat sikap pasangan pendekar muda ini. "Aku jadi malu dengan tindakanku tadi terhadap kalian...."

"Lupakanlah, Handaka!" sahut Dewa Arak seraya terus mengayunkan pedang untuk membuat lubang.

Suasana langsung hening ketika.Dewa Arak menghentikan ucapannya. Tak satu pun di antara mereka bertiga yang berbicara. Mereka sibuk meneruskan pekerjaan tanpa berbincang-bincang. Sehingga yang terdengar hanya bunyi pedang dan pisau yang berbenturan dengan tanah. Karena ketiga orang penggali itu memiliki tenaga dalam tinggi, dalam waktu yang tidak terlalu lama, telah terbentuk sebuah lubang yang besar dan dalam. Cukup untuk mengubur semua mayat yang ada di situ. Tak berapa lama kemudian, semua mayat itu telah dimasukkan ke lubang itu. Tempat istirahat mereka yang terakhir.

"Sekarang..., apa yang hendak kau lakukan, Handaka?" tanya Dewa Arak.

"Aku harus kembali ke perguruan dan memberitahukan kejadian ini pada ayahku. Lalu, setelah itu aku akan mencari pelaku kekejian ini!" jawab Handaka, "Dan kalian sendiri, hendak ke mana?"

Dewa Arak dan Melati saling pandang dengan mulut mengertibangkan senyum. "Kami tak pernah punya tujuan yang tetap, Handaka. Kami hanya menuruti ke mana kaki ini melangkah," jelas Dewa Arak seraya tersenyum.

Handaka mengangguk-anggukkan kepala. Bisa diterimanya jawaban itu. "Bagaimana, kalau kalian ikut aku? Aku yakin ayah akan senang sekali. Bagaimana, Arya, Melati? Kalian setuju?" ajak Handaka.

Dewa Arak tidak langsung memberikan jawaban. Dia tercenung sebentar. "Bagaimana, Melati?"

"Terserah padamu, Kang," sahut Melati.

"Baiklah, Handaka. Kami ikut denganmu," jawab Dewa Arak tersenyum pada Handaka.

Sebenarnya, Dewa Arak tahu kalau Melati selalu menyerahkan keputusan kepadanya. Meskipun demikian, dirinya selalu memberi kesempatan pada kekasihnya itu untuk memberikan pendapat.

"Kalau begitu, mari kita berangkat!" ajak Handaka.

Usai berkata demikian pemuda berpakaian kuning itu lalu melesat ke depan. Tanpa ragu-ragu lagi dikerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Dalam sekejap mata yang terlihat hanya sekelebatan bayangan kuning telah berada belasan tombak di depan.

Dewa Arak dan Melati saling pandang. Kemudian, mereka pun melesat, mengejar putra Ketua Perguruan Kera Emas itu. Handaka merasa yakin kalau Dewa Arak terutama sekali Melati tidak akan mampu menyusulnya. Dan ternyata keyakinan itu meleset, ketika kepalanya ditolehkan ke belakang, terlihat Dewa Arak dan Melati telah berada sekitar enam tombak di belakang.

Melihat hal ini Handaka merasa penasaran bukan kepalang. Digertakkan gigi, dan dikerahkan seluruh ilmu lari cepatnya agar tak tersusul pasangan pendekar muda itu. Namun usaha pemuda berpakaian kuning hanya membuahkan kegagalan. Sesaat kemudian, Dewa Arak dan Melati telah berada di kanan kirinya. Dan sekarang, mereka bertiga berlari berjajar.

Handaka terpukau melihat kenyataan ini. Dirinya tahu kalau dalam ilmu lari cepat, kemampuannya di bawah pasangan pendekar muda. Dan kalau mereka mau, pemuda berpakaian kuning itu sudah tertinggal di belakang. Sama sekali tak disangka kalau Melati, memiliki kemampuan setinggi itu.

"O ya, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, Handaka," ucap Dewa Arak, di tengah-tengah ayunan kakinya. Suaranya terdengar biasa saja, seperti tidak tengah berlari cepat.

"Katakanlah, Arya," jawab Handaka mempersilakan.

"Begini, Handaka. Mengapa kau bisa berada di tempat itu tadi? Apakah kau diutus ayahmu untuk mengawasi rombongan pengawal barang atau karena ada urusan lain?"

Handaka tersenyum getir. "Keberadaanku di tempat itu sama sekali tidak karena kusengaja, Arya."

"Aneh?! Maksudmu..., kau hanya secara kebetulan berada di sana?!"

Pemuda berpakaian kuning itu menganggukkan kepala, membenarkan dugaan itu. "Mengapa bisa begitu, Handaka? Lalu..., sebenarnya hendak ke manakah tujuanmu?" desak Dewa Arak ingin tahu lebih jauh.

Bukan hanya Dewa Arak yang merasa penasaran mendengarnya. Melati pun demikian. Meskipun kelihatan acuh, sebenarnya gadis berpakaian putih itu pun menaruh perhatian besar.

"Aku tengah menuju markas Perguruan Kera Emas," jawab Handaka, kalem.

"Hehhh...?!" Dewa Arak tersentak kaget, "Menuju markas Perguruan Kera Emas?! Kalau begitu..., kau dari mana?"

"Dari hutan," jawab Handaka. "Berburu."

Arya dan Melati menganggukkan kepala. Mereka tidak mengajukan pertanyaan lagi. Rupanya semua dirasakan telah jelas. Kini ketiga orang muda itu berlari cepat tanpa berbicara lagi.

* * *

TIGA

"Terkutuk!"

Suara makian yang menggelegar keras terdengar memekakkan telinga, membuat atap dan dinding ruangan terasa bergetar hebat. Jelas suara bentakan itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

Sosok yang memaki itu ternyata seorang kakek bertubuh tinggi besar dan kekar berpakaian hitam. Wajahnya yang saat itu merah padam, dihiasi kumis dan jenggot yang telah berwarna dua. Jelas, saat itu kakek tinggi besar itu tengah dilanda kemarahan yang hebat.

"Jadi..., mereka semuanya tewas, Handaka?!" tanya kakek tinggi besar itu, dengan suara keras mengguntur. Sepasang matanya menatap tajam pada seorang pemuda berpakaian kuning yang tak lain Handaka.

"Hhh...!" Handaka menghela napas berat. Kemudian perlahan-lahan kepalanya dianggukkan, pertanda membenarkan dugaan kakek tinggi besar itu.

"Benar, Ayah! Tak satu pun yang selamat. Mereka semua tewas," jawab Handaka dengan suara lirih.

"Keparat..!" Kakek tinggi besar yang ternyata ayahnya Handaka kembali mengumpat dengan suara keras. Ketua Perguruan Kera Emas yang bernama Ki Tapaksi Mandragunta murka setelah mendengar kabar dari Handaka. Betapa tidak! Para muridnya yang bertugas mengawal barang mengalami nasib yang mengenaskan.

Mengetahui kemurkaan sang Ayah, Handaka menundukkan kepala. Dirinya tahu betul watak ayahnya. Apabila tengah murka, sering melampiaskan pada orang-orang yang berada di dekatnya. Itulah sebabnya, Handaka berdiam diri.

Dalam keadaan tegang, menghadapi kemurkaan Ketua Perguruan Kera Emas, ketika semua yang ada di ruangan itu membisu, tiba-tiba ada suara...,

"Kurasa pembunuhan ini tak akan terungkap hanya dengan makian. Daripada menghambur-hamburkan tenaga dengan mulut, lebih baik melakukan penyelidikan...."

Wajah Ki Tapaksi Mandragunta seketika berubah, karena terperanjat. Wajah tua itu tampak kian angker dan tegang. Tampaknya hati lelaki tua itu tersinggung mendengar ucapan bernada menasihati barusan. Ketua Perguruan Kera Emas ini paling pantang menerima nasihat. Apalagi ketika disadari orang yang telah mengeluarkan ucapan itu. Seorang gadis muda!

Untung saja Ki Tapaksi Mandragunta ingat akan keberadaan orang berada di sebelah gadis berpakaian putih, Dewa Arak! Maka ditahan keinginan untuk mengeluarkan sambutan keras terhadap gadis berpakaian putih yang tak lain Melati itu. Dewa Arak merupakan tokoh persilatan yang amat dikaguminya.

Dan sebagai seorang yang telah banyak makan asam garam kehidupan dirinya tahu, antara Dewa Arak dan Melati ada hubungan istimewa. Dan kalau Melati mendapat sambutan keras darinya, kemungkinan besar Dewa Arak akan tersinggung.

Ternyata bukan hanya Ki Tapaksi Mandragunta saja yang merasa kaget atas ucapan itu. Dewa Arak pun demikian. Meskipun perasaan yang melanda hati, tak nampak pada wajahnya.

"Harap kau memakluminya, Ki! Kawanku ini memang mempunyai sifat terbuka. Apa yang ada di hati langsung dikeluarkannya. Maaf, kalau menyinggung perasaanmu!"

Seketika mereda kemarahan Ki Tapaksi Mandragunta. Seorang tokoh besar seperti Dewa Arak memohon maaf padanya! Jangankan hanya kesalahan seperti itu, sekalipun lebih besar akan dimaafkannya!

"E..., tidak apa-apa, Arya. Di antara kawan segolongan, tak ada gunanya terlalu terpaku pada adat. Hanya akan membuat keadaan menjadi kaku," sahut Ki Tapaksi Mandragunta dengan senyum terkembang dan wajah berseri-seri. "Seharusnya kau merasa bangga dengan kawanmu ini. Tidak banyak orang yang mempunyai keberanian seperti ini. Terima kasih, Melati! Nasihatmu telah membuka mataku."

"Rasanya kurang patut kalau ucapan terima kasih itu diberikan padaku, Ki," ujar Melati, sambil mengulurkan tangan di depan dada. "Masalahnya, ucapan seperti itu tidak kudapatkan sendiri. Tapi berasal dari Kakang Arya."

"Ha ha ha...!" tawa Ki Tapaksi Mandragunta langsung meledak begitu mendengar tanggapan Melati. "Bagus! Kau seorang wanita yang amat jujur, Melati."

Kemudian kakek tinggi besar itu mengalihkan perhatian pada Handaka kembali. "Kau dengar ucapan Melati, Handaka?! Cepat selidiki peristiwa ini. Ingat, usahakan untuk mendapatkan barang kiriman itu kembali. Kalau tidak, usaha kita akan ambruk! Carilah hal-hal yang dapat membawamu ke penyelesaian teka-taki ini. Kau mengerti, Handaka?!"

"Mengerti, Ayah!" jawab pemuda berpakaian kuning itu seraya menganggukkan kepala.

"Bagus!" ucap Ki Tapaksi Mandragunta, gembira.

"Handaka...!"

"Ya. Ada apa, Arya?" tanya pemuda berpakaian kuning itu seraya menolehkan kepala kepada Dewa Arak, orang yang telah menyapanya.

"Bukankah kau membawa pisau-pisau yang telah menewaskan kuda-kuda penarik kereta. Apa tak sebaiknya kau perlihatkan pada ayahmu. Barangkali saja beliau mengenalnya."

"Kau benar, Arya. Mengapa aku sampai lupa?!"

Usai berkata demikian, pemuda berpakaian kuning itu mengambil pisau yang diselipkan di pinggangnya. Hanya satu. Karena yang lain telah dibuangnya setelah dipergunakan untuk membuat lubang pekuburan.

"Pisau ini menancap di punggang kuda penarik kereta, Ayah. Rasanya aku mengenalnya. Namun aku lupa, kapan dan di mana pernah melihatnya. Itulah sebabnya kubawa, barangkali saja nanti akan timbul kembali ingatanku," ucap Handaka sambil mengangsurkan pisau itu.

Ki Tapaksi Mandragunta menerima, dan langsung memeriksanya. "Mustahil!" seru kakek tinggi besar ini penuh perasaan kaget. Gambaran perasaan yang sama, membayang jelas di wajah dan sinar matanya.

"Mengapa, Ayah? Apakah kau mengenalinya?" tanya Handaka, ingin tahu.

Meskipun hanya Handaka yang menanyakannya, tapi Dewa Arak, dan Melati pun ikut memasang telinga. Seperti juga Handaka, pasangan pendekar muda ini pun ingin tahu jawaban Ki Tapaksi Mandragunta. Mereka tahu, menilik dari tanggapannya, Ketua Perguruan Kera Emas jelas mengenal pisau itu dengan baik. Ini berarti, sebuah titik terang mulai mereka dapatkan.

"Mengenalnya?!" Ki Tapaksi Mandragunta tersenyum pahit. "Bukan hanya mengenalnya, Handaka. Aku tahu betul siapa pemiliknya! Jadi.,., kau benar-benar tidak ingat?!"

Handaka menggelengkan kepala. "Aku tidak ingat, Ayah. Padahal, sepanjang perjalanan pulang, telah kuusahakan untuk mengingat-ingatnya."

"Hhh...!" Ki Tapaksi Mandragunta menghela napas berat. Kemudian dengan sikap sungguh-sungguh ditatapnya wajah Handaka. "Kau tidak keliru, Handaka?! Benarkah pisau ini kau ambil dari tubuh kuda itu?! Masalahnya, keliru sedikit berarti akibatnya gawat!"

"Aku tidak bohong, Ayah! Pisau itu kuambil dari tubuh kuda penarik kereta. Sebenarnya ada dua, Ayah. Tapi, hanya sebuah yang kubawa. Arya dan Melati pun melihatnya!" ujar Handaka dengan mantap dan penuh keyakinan.

"Apa yang dikatakan Handaka benar, Ki. Pisau itu dari kedua kuda penarik kereta. Aku dan kawanku pun melihatnya," ujar Dewa Arak memberi dukungan terhadap Handaka.

Ki Tapaksi Mandragunta mengangguk-anggukkan kepala begitu mendengar pernyataan Dewa Arak. Hatinya percaya penuh akan kebenaran ucapan itu. Meskipun demikian, kernyitan dahinya tetap belum lenyap. Jelas, perasaan bimbang tetap bersarang di hatinya.

"Sebenarnya..., siapakah pemilik pisau itu, Ayah?! Sehingga kau sepertinya berat untuk percaya," tanya Handaka merasa penasaran.

Ki Tapaksi Mandragunta tak menjawab pertanyaan itu. Matanya memandang jauh lewat jendela rumah. Sekali terdengar, lelaki tua itu menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Seakan-akan hendak menghempaskan beban yang mengganjal di hatinya.

"Ini persoalan pelik sekali, Handaka. Aku tak berani bertindak gegabah," hanya itu jawaban yang diberikan Ki Tapaksi Mandragunta.

"Tapi..., kau belum memberikan jawabannya, Ayah! Kau belum mengatakan pemilik pisau itu?!" desak Handaka dengan nada penuh tuntutan.

Ki Tapaksi Mandragunta menatap lekat-lekat wajah putranya. "Kau mau berjanji untuk tidak bertindak gegabah?! Maksudku..., jangan melakukan tindakan apa pun sebelum persoalan ini menjadi jelas?! Kalau kau berani berjanji, aku akan mengatakannya padamu. Bagaimana?!"

Handaka tercenung mendapat tawaran seperti itu. Kernyitan pada dahinya, menjadi pertanda kalau pemuda itu tengah mempertimbangkannya. "Baiklah, Ayah. Aku berjanji," ujarnya kemudian.

"Bagus! Dan, kau bersedia menyimpan rahasia ini rapat-rapat? Tidak memberitahukan pada siapa pun?!"

"Pasti, Ayah! Biar aku disambar geledek apabila membocorkannya!" ujar Handaka, mantap.

"Kalau begitu, sekarang dengarlah baik-baik. Pisau ini tidak dimiliki oleh seseorang, melainkan sebuah perguruan seperti kita. Kau tahu kan, kalau setiap senjata perguruan kita, selalu mempunyai ukiran kepala kera?!"

Handaka menganggukkan kepala pertanda membenarkan. Tak lupa diliriknya pisau temuan yang kini telah tergeletak di meja. Gagang pisau itu berwarna hitam dengan ukiran kepala seekor burung.

"Sekarang aku ingat, Ayah. Bukankah ukiran itu merupakan lambang Perguruan Camar Sakti?!" sentak Handaka, kaget.

Ki Tapaksi Mandragunta tersenyum pahit. Kemudian perlahan-lahan kepalanya dianggukkan. Jelas, kakek tinggi besar ini membenarkan dugaan putranya.

Semua pembicaraan itu tak luput dari perhatian Dewa Arak, dan Melati. Dan hal ini membuat pasangan pendekar muda ini kaget. Mereka berdua telah mendengar banyak mengenai Perguruan Camar Sakti! Sebuah perguruan silat beraliran putih yang cukup besar.

Dan seperti juga Perguruan Kera Emas, perguruan ini memberikan jasa pengawalan atas barang danmanusia. Benarkah Perguruan Camar Sakti yang telah melakukan kekejian ini?!

Sekarang Dewa Arak dan Melati baru mengerti, mengapa Ki Tapaksi Mandragunta masih bimbang dengan hasil yang mereka dapatkan. Diam-diam perasaan kagum bersemi di hati Dewa Arak, terhadap Ketua Perguruan Kera Emas ini. Ya! Kakek tinggi besar ini bertindak demikian bijaksana dan hati-hati. Buktinya, dia mencegah Handaka mengambil tindakan apa pun selama persoalan ini belum jelas.

"Lalu..., apa yang harus kita lakukan sekarang, Ayah?! Apakah tindakan orang-orang Perguruan Camar Sakti itu harus kita biarkan saja?!"

Pertanyaan lanjutan Handaka membuat lamunan Dewa Arak dan Melati buyar. Kembali mereka memusatkan perhatian pada percakapan yang tengah berlangsung.

"Tentu saja tidak, Handaka," sahut Ki Tapaksi Mandragunta, berusaha bersikap tenang, "Aku sendiri yang akan datang ke Perguruan Camar Sakti. Akan kuberitahukan semua kejadian yang menimpa perguruan kita sambil membawa pisau ini sebagai bukti!"

"Apakah tindakan itu tidak terlalu berbahaya, Ayah?! Bagaimana kalau mereka mempergunakan kesempatan itu untuk membunuh Ayah?" dengan penuh kekhawatiran, Handaka mengermukakan dugaannya.

"Buang jauh-jauh kekhawatiran itu, Handaka! Aku tahu betul sifat Ketua Perguruan Camar Sakti, Ki Liwung Perkasa. Dia tak akan bertindak sepengecut itu. Lagi pula, kau ada di sampingku. Apa lagi yang harus kita takutkan?!"

"Jadi..., kau akan membawaku serta, Ayah?!" tanya Handaka setengah tak percaya.

"Apakah kau tak ingin ikut serta?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta dengan bibir menyunggingkan senyum lebar.

"Tentu saja aku mau, Ayah. Kapan kita akan berangkat?!" tanya Handaka, penuh gairah.

"Lebih cepat kita menyelesaikan urusan ini lebih baik," hanya itu jawaban yang diberikan Ketua Perguruan Kera Emas.

"Jadi...?!" Handaka menggantung ucapannya di tengah jalan.

"Kita berangkat sekarang!" tandas Ki Tapaksi Mandragunta, tegas.

Handaka kontan terdiam. Terlihat jelas adanya keraguan pada sikapnya. Tentu saja hal itu membuat Ki Tapaksi Mandragunta merasa heran. Tapi sebelum Ketua Perguruan Kera Emas ini sempat mengajukan pertanyaan, Handaka telah lebih dulu mengutarakan keberatannya.

"Bagaimana dengan Dewa Arak dan Melati, Ayah?!"

"Kau benar, Handaka! Mengapa aku menjadi demikian pelupa?!" ucap Ki Tapaksi Mandragunta sambil menepak dahinya, "Maaf! Maafkan aku yang demikian pelupa ini, Arya, Melati!"

"Tidak mengapa, Ki. Kami memakluminya. Lagi pula, rasanya telah cukup lama di sini. Jadi, kami hendak mohon diri. Lain kali, apabila ada waktu, kami akan singgah di sini," ujar Dewa Arak kalem.

"Tidak, Arya! Kalian tak boleh pergi sekarang!" tandas Ki Tapaksi Mandragunta, tegas. "Kalian berdua tamu-tamuku. Dan kuharap dengan sangat, kalian sudi menginap di sini."

"Tapi..., kami jadi tidak enak, Ki. Keberadaan kami di sini hanya menyebabkan urusanmu terganggu. Dan...."

"Hentikan segala basa-basi yang tak ada gunanya itu, Arya," potong Ki Tapaksi Mandragunta, "Kami tak merasa terganggu dengan keberadaanmu di sini. Atau..,, kalian yang tidak suka berada di sini berlama-lama? Kalau memang demikian, tentu saja kami lepas tangan. Tapi, asal kau tahu saja. Kami akan menuju Perguruan Camar Sakti besok pagi! Kalau kalian berniat menginap, besok kita berangkat bersama-sama. Bagaimana, Arya, Melati?"

Dewa Arak dan Melati saling pandang sejenak. Lalu.... "Baiklah, Ki. Kuterima tawaranmu," jawab Dewa Arak seraya menganggukkan kepala.

"Maksudmu...," kemudian Ki Tapaksi Mandragunta menghentikan ucapannya sebelum selesai, untuk memberi kesempatan pada Dewa Arak memberikan jawaban.

"Kita berangkat bersama-sama besok!" tandas Dewa Arak mantap.

"Ha ha ha...! Itu lebih baik, Arya! Ha ha ha...!" Ki Tapaksi Mandragunta melepas tawa gembira.

Dewa Arak dan Melati, serta Handaka hanya tersenyum lebar melihat kegembiraan kakek tinggi besar itu. Mendadak Ki Tapaksi Mandragunta menghentikan tawa. Kemudian ditolehkan kepalanya ke wajah Handaka.

"Panggil Gulimang dan Gembong kemari!"

"Baik, Ayah!" Handaka menganggukkan kepala. Lalu....

Plok! Plok! Plok!

Pemuda berpakaian kuning itu bertepuk tangan tiga kali. Nyaring dan cukup memekakkan telinga karena tampaknya dikerahkan tenaga dalamnya pada tepukan itu. Sesaat kemudian...,

Kriiittt!

Diiringi bunyi bergerit pelan, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pemuda bertubuh kekar, berkulit wajah hitam, dan berpakaian hitam melangkah masuk kemudian memberi hormat pada Ki Tapaksi Mandragunta.

"Apa yang harus kulakukan, Ketua?!" tanya pemuda berwajah hitam itu penuh hormat.

"Panggil Gulimang dan Gembong kemari!" perintah Ki Tapaksi Mandragunta penuh wibawa."

"Baik, Ketua!"

Setelah berkata demikian, pemuda berwajah hitam membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan tempat itu. Tak lupa ditutupnya kembali pintu ruangan.

"Kelak, seandainya kau telah kuanggap pantas untuk menjadi Ketua Perguruan Kera Emas, kau harus mampu meniru sikapku ini, Handaka," ujar Ki Tapaksi Mandragunta memberitahu putranya.

"Akan aku perhatikan semua nasihatmu, Ayah," jawab Handaka, patuh.

Ki Tapaksi Mandragunta hanya mengangguk-anggukkan kepala. Entah, apa maksud anggukannya itu, tak ada seorang pun yang tahu secara persis kecuali dirinya. Tak lama kemudian, terdengar bunyi langkah-langkah kaki mendekati tempat mereka. Sesaat kemudian, daun pintu terkuak, dan pemuda berwajah hitamitu muncul di ambang pintu.

"Aku telah memanggil Kakang Gulimang dan Kakang Gembong, Ketua. Sekarang, mereka berdua menunggu di luar," ucap pemuda berwajah hitam itu mantap.

"Bagus! Suruh mereka masuk, dan kau tunggu di luar!"

"Baik, Ketua!"

Setelah berkata demikian, pemuda berwajah hitam itu membalikkan tubuh, dan melangkah keluar. Sesaat kemudian, dua sosok tubuh melangkah masuk ke dalam, dan memberi hormat pada Ki Tapaksi Mandragunta.

"Ketua memanggil kami?" tanya salah seorang di antara mereka yang bertubuh pendek kekar.

"Benar, Gembong," Ki Tapaksi Mandragunta menganggukkan kepala.

"Apa yang harus kami lakukan, Ketua?!" tanya sosok yang satu lagi. Dia seorang lelaki tinggi kurus bermata sipit.

"Majulah kemari! Dan duduk di sini, Gulimang. Kau juga Gembong."

Tanpa menunggu perintah dua kali, Gulimang dan Gembong menghampiri tempat Ki Tapaksi Mandragunta. Kemudian, keduanya duduk di kursi yang mengelilingi meja bundar besar.

"Kalian sudah mengenal dua tamu istimewa ini?" tanya Ki Tapaksi Mandragunta, seraya menunjuk Dewa Arak dan Melati.

Gulimang dan Gembong menatap wajah pasangan muda-mudi itu sekilas. Kemudian hampir berbarengan, menganggukkan kepala.

"Sudah, Ketua. Mereka tentunya Dewa Arak dan Melati. Keduanya kawan Handaka," jawab Gembong.

"Bagaimana dengan kalian?"

Kali ini pertanyaan Ketua Perguruan Kera Emas ini ditujukan pada Dewa Arak dan Melati.

"Kami juga telah mengenal mereka, Ki," jawab Dewa Arak, tenang. "Bukankah mereka berdua ketua murid-muridmu, Gulimang dan Gembong?!"

"Ha ha ha...!" Ki Tapaksi Mandragunta tertawa tergelak. "Syukurlah kalau kalian telah saling mengenal! Sekarang dengar baik-baik, Gulimang, Gembong!"

"Ya, Ketua," sahut Gulimang dan Gembong, hampir bersamaan.

"Besok aku dan Handaka akan meninggalkan perguruan untuk menyelesaikan sebuah urusan. Mungkin untuk beberapa hari. Yahhh...! Paling lama tiga hari. Dan selama itu, semua urusan mengenai Perguruan Kera Emas kuserahkan pada kalian. Mengerti?!"

"Mengerti, Ketua."

"Bagus! Sekarang, kalian siapkan dua buah kamar untuk tamu-tamu istimewa kita. Mereka akan menginap di sini untuk semalam. Apabila siap, beritahukan padaku. Mengerti?!"

"Mengerti, Ketua."

"Kalau begitu, cepat siapkan! Mungkin dua tamu istimewa ini telah ingin istirahat!"

"Baik, Ketua!"

Gulimang dan Gembong bangkit dari duduknya. "Mari, Dewa Arak, Melati, ikut kami!" ajak Gulimang yang lebih pintar bicara.

"Terima kasih," sambut Dewa Arak seraya bangkit berdiri. Melati pun mengikutinya. "Kami permisi dulu, Ki!" Dewa Arak menoleh pada Ki Tapaksi Mandragunta.

"Silakan, Arya!" jawab Ketua Perguruan Kera Emas itu, mempersilakan.

* * *

EMPAT

Malam itu langit kelihatan kelam. Bulan yang hanya sepotong tampak tak berdaya menembus awan hitam dan tebal yang bergumpal-gumpal menutupinya. Angin yang sesekali berhembus agak kencang meniupkan hawa dingin, kian menambah seram suasana malam. Dan dalam keadaan seperti itu, orang-orang merasa lebih suka tinggal di dalam rumah. Mereka lebih menikmati buaian mimpi di peraduannya, daripada berkeliaran di luar.

Salah seorang di antara mereka yang tengah terbaring di peraduan adalah Dewa Arak. Tampak tubuh pemuda berambut putih keperakan ini tergolek di balai-balai bambu. Telentang dengan kedua mata terpejam.

Mendadak kedua kelopak mata Dewa Arak terbuka. Tubuhnya menggeliat lalu bangkit dan duduk di tepi tempat tidurnya. Sesaat kemudian, sambil menghembuskan napas berat, ia bangkit dari balai-balai bambu dan berdiri. Kemudian berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Seperti ada sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya.

"Aneh...," desisnya dalam hati, Dewa Arak tiba-tiba merasa ada sesuatu yang aneh. Matanya menatap langit-Iangit ruangan tempat tidurnya. "Mengapa sejak tadi perasaanku tak enak. Gelisah. Bahkan sekarang, perasaan ini terasa kian membesar.... Apa ada bahaya yang tengah mengintai?! Tapi kalau benar, dari mana datangnya?"

Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti benak Dewa Arak. Setelah beberapa kali dicoba, tak mampu dirinya menjawab dugaan itu. Kakinya melangkah kembali ke tempat tidur. Perlahan-lahan direbahkan tubuhnya, lalu dipejamkan kedua mata.

Dewa Arak berusaha tidur untuk menghilangkan kegelisahan yang melanda. Namun setelah cukup lama Dewa Arak memejamkan mata dan mengosongkan pikirannya, berusaha untuk tidur, tetap sia-sia! Kegelisahan terus berkecamuk, padahal malam telah semakin larut. Suasana semakin sepi, hingga hanya napasnya sendiri yang terdengar.

Saat itulah, pendengaran Dewa Arak yang tajam menangkap ada bunyi langkah mendekati ruangannya. Langkah itu demikian halus. Hampir tak terdengar. Tentu saja hal itu membuat jantungnya berdetak kencang. Dewa Arak menyadari kalau pemilik langkah ini bukan tokoh sembarangan. Pasti memiliki kepandaian tidak rendah. Setidak-tidaknya, ilmu meringankan tubuh luar biasa!

Meskipun demikian, Dewa Arak berpura-pura tidak mengetahuinya. Sepasang matanya tetap dipejamkan. Bahkan napasnya pun diatur, hingga mirip pernapasan orang yang telah tertidur. Tenang dan berirama tetap!

Namun bukan berarti Dewa Arak meremehkan pemilik langkah kaki itu. Meskipun sepasang matanya terpejam, seluruh otot dan urat saraf Dewa Arak menegang waspada, disiapkan guna menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan. Dengan sekuat kemampuan dipusatkan hati dan pikiran untuk terus mewaspadai hal yang mencurigakan itu.

Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Bunyi langkah kaki itu lenyap setelah sampai di depan pintu kamarnya. Rupanya si pemilik telah menghentikan langkah. Ini berarti memang dirinya yang dijadikan sasaran.

Tak pelak lagi, seluruh urat saraf dan otot di sekujur tubuh Dewa Arak semakin menegang waspada. Satu bunyi kecil saja yang mencurigakan cukup membuat pemuda berambut putih keperakan itu melesat dari tempat peraduannya.

Namun, Dewa Arak tak ingin bertindak gegabah, dengan langsung menyergap sosok yang telah berada di depan pintu itu. Dirinya khawatir lawan akan lebih dulu kabur sebelum berhasil diringkus. Oleh karena itu, Dewa Arak tetap meneruskan sikap diamnya seakan-akan tengah tertidur lelap.

Tiba-tiba telinganya menangkap bunyi berdesis. Pelan sekali. Kalau saja Dewa Arak tidak tengah memusatkan perhatian pada kedua telinganya, bunyi itu tak akan terdengarnya.

Dewa Arak kian merasa heran mendengar suara desisan pelan itu. Bunyi apakah gerangan? Hatinya yakin bunyi itu tidak keluar dari mulut ular. Bagi telinganya yang peka, desisan ular lebih tajam dan keras. Lagi pula sedikit pun tak tercium di hidungnya keberadaan binatang melata di situ. Lalu, bunyi apa gerangan?

Rasa ingin tahu itu membuat Dewa Arak memutuskan untuk membuka kelopak matanya sedikit. Dan dari balik bulu-bulu mata, diliriknya daun pintu. Seketika itu pula hatinya terperanjat bukan kepalang!

Dari celah-celah bawah daun pintu tampak asap putih tipis menyusup ke dalam ruangan. Dan sekarang asap itu telah cukup banyak yang masuk. Hanya saja belum mencapai pembaringan Dewa Arak!

Ketajaman naluri serta pikirannya langsung mengetahui kalau asap itu bukan sembarang asap, melainkan asap beracun! Kalau tidak asap yang mampu melumpuhkan saraf, dan dapat membuat orang tertidur pulas.

Menyadari keadaan yang sangat berbahaya itu, Dewa Arak segera menahan napasnya. Namun segera pula disadari, cara ini cukup berbahaya. Masalahnya, berapa lama sih dirinya mampu menahan napas?

Namun, Dewa Arak bertindak nekat. Tetap dipilihnya cara itu. Dan tentu saja pemuda berambut putih keperakan itu tidak sembarangan melakukannya. Hal itu dilaksanakan setelah dipertimbangkan masak-masak. Dewa Arak yakin, dirinya masih sanggup menahan napas sampai sosok yang bermaksud jahat itu menyerbu ke dalam kamarnya.

Karena Dewa Arak tak melakukan perlawanan sama sekali, hanya dalam waktu sebentar seisi ruangan itu telah dipenuhi asap. Tubuhnya tetap tergolek sambil menahan napas. Di dalam hatinya pemuda berambut putih keperakan itu berharap, lawan segera masuk untuk mengambil tubuhnya. Jika lawan ternyata tidak segera bertindak, terpaksa dirinya akan menerobos ke luar. Karena apabila tetap bertahan, jelas takkan sanggup!

Ternyata benar, sosok yang berada di depan pintu menempelkan telapak tangan kanannya ke daun pintu. Sosok itu ternyata mengenakan pakaian serba hitam dengan selubung kain di wajahnya. Sosok berpakaian hitam itu sepertinya sama sekali tak mengerahkan tenaga, ketika menempelkan telapak tangan. Tapi...,

Klakkk!

Kriiittt!

Bunyi berderak pelan terdengar ketika palang pintu kamar Dewa Arak patah. Maka ketika sosok berpakaian hitam itu mendorongnya lagi, daun pintu pun terkuak diiringi bunyi berderit pelan.

"Hm...!" Gumaman pelan terdengar dari mulut sosok berpakaian hitam. Matanya yang tak tertutup selubung, samar-samar melihat sesosok tubuh bergolek diam di balai-balai bambu.

Kemudian dengan langkah perlahan sosok berpakaian hitam itu menghampiri balai bambu tempat tubuh Dewa Arak tergolek. Matanya berbinar diliputi kepuasan, karena berhasil melakukan tindakannya.

Hanya dalam beberapa langkah, sosok berpakaian hitam itu telah berada di dekat balai-balai bambu. Di sini tubuhnya terdiam sejenak. Dengan sepasang matanya yang tajam berkilat, dirayapinya sekujur tubuh Dewa Arak.

"Maafkan aku, Dewa Arak! Semula kau belum termasuk dalam calon korbanku. Tapi, apa boleh buat daripada rencanaku untuk membunuh tua bangka tua bangka itu berantakan, lebih baik kau kulenyapkan! Selamat tinggal, Dewa Arak! Hih!"

Wuttt!

Tiba-tiba sosok berpakaian hitam itu mengayunkan tangan ke kepala Dewa Arak. Dengan gerakan membacok, tangannya meluncur cepat ke pelipis Dewa Arak. Namun...,

Brakkk!

"Eh...?!" Jeritan kaget keluar dari mulut sosok berpakaian hitam ketika melihat, di saat-saat tangannya nyaris mengenai sasaran, mendadak tubuh Dewa Arak berguling ke kanan. Sehingga tangannya menghantam balai bambu hingga hancur berantakan.

Dalam sekejap saja sosok berpakaian hitam itu tahu kalau rencananya telah gagal. Dirinya belum mengetahui secara pasti, tapi bisa diperkirakan kalau Dewa Arak tak terbius asap racunnya.

Pemuda berambut putih keperakan itu pasti telah berpura-pura. Menyadari keadaan yang tak menguntungkan, tanpa membuang-buang waktu, sosok berpakaian hitam itu membalikkan tubuh dan langsung melesat ke pintu keluar!

Namun Dewa Arak tampaknya telah memperhitungkan tindakan yang akan dilakukan lawan. Maka, setelah berguling untuk mengelakkan serangan maut, tubuhnya langsung melenting ke atas. Dan setelah berputar dua kali di udara tubuhnya meluncur ke bawah.

Jliggg!

Dengan begitu ringan kedua kakinya mendarat tepat di ambang pintu. Pada saat itulah, sosok berpakaian hitam melesat keluar! Namun, sosok berpakaian hitam itu kehabisan akal. Begitu dilihat Dewa Arak telah menghadang jalan, gerakannya tidak dihentikan. Sambil terus melesat, dengan jari-jari terbuka tangannya dihentakkan ke depan!

Dewa Arak agak kaget melihat gerakan itu. Mungkin hatinya tak menduga gerakan cepat itu akan dilakukan lawannya. Walaupun demikian, tidak berarti pemuda berambut putih keperakan itu gugup. Tanpa ragu-ragu, masih dalam keadaan menahan napas dipapaknya serangan sosok berpakaian hitam itu dengan hentakan kedua tangannya pula. Dewa Arak mengerahkan seperempat bagian tenaga dalamnya pada tangkisan ini! Sehingga...,

Glarrr!

Suara menggelegar keras memekakkan telinga terdengar, ketika benturan tangan keduanya terjadi. Dinding-dinding dan atap ruangan itu sampai tergetar hebat seperti dilanda gempa. Tampak keduanya terlontar ke belakang. Baik Dewa Arak maupun sosok berpakaian hitam sama-sama bergulingan di lantai ruangan itu. Untung saja kedua tubuh membentur dinding kamar. Sehingga tenaga dorongan itu terhenti.

"Aaakh...!"

Brukkk!

Brukkk!

Dewa Arak dan sosok berpakaian hitam sama-sama menyeringai ketika bangkit berdiri. Tampaknya mereka merasakan kesakitan yang hebat akibat dari benturan keras itu. Keduanya merasakan nyeri di lengan masing-masing. Bahkan dirasakan bagaikan lumpuh! Sesaat tak mampu digerakkan.

Sosok berpakaian hitam tahu keadaan tidak menguntungkan pihaknya. Suara dahsyat yang timbul akibat benturan tadi akan memancing hadirnya murid-murid Perguruan Kera Emas. Dan bila itu terjadi, kemungkinannya untuk dapat lolos semakin kecil! Maka tanpa mempedulikan keadaan dirinya, langsung saja dijejakkan kaki. Seketika itu pula tubuhnya melesat begitu cepat menembus dinding kamar....

"Hih...!"

Brakkk!

Untuk yang kesekian kalinya suara keras terdengar. Kali ini diikuti dengan hancurnya dinding kamar. Dan sosok berpakaian hitam telah berada di luar bangunan itu. Karena perasaan cemas terhadap keadaan yang bakal dihadapi jika para murid Perguruan Kera Emas datang, tubuhnya langsung melesat meninggalkan markas itu.

Melihat sosok berpakaian hitam itu melesat kabur, Dewa Arak tidak bisa berdiam diri. Dirinya pun melesat mengejar! Namun, belum juga mencapai luar ruangan, tiba-tiba tubuhnya terasa berat. Kepalanya mendadak terserang rasa pusing. Dengan pandangan agak berkunang-kunang langkahnya limbung.

Rupanya Dewa Arak tanpa sadar telah menghirup napas. Padahal, udara di dalam ruangan itu belum bebas dari pengaruh asap beracun! Tak pelak lagi, kejadian seperti itu pun menimpa Dewa Arak!

Kenyataan ini membuat Dewa Arak sadar kalau asap beracun itu telah dihisap olehnya. Maka buru-buru ditahannya lagi untuk tidak bernapas. Kemudian sambil berpegangan pada ujung balai bambu, Dewa Arak berusaha keras agar dapat berdiri.

Di saat itulah, sesosok bayangan putih melesat masuk. Hal itu langsung membuat Dewa Arak terkesiap. Dikiranya, sosok bayangan itu orang jahat lainnya. Maka dirinya bersiap untuk mengadakan perlawanan.

Namun, urat-urat sarafnya yang semula sudah menegang, langsung mengendur kembali, ketika mengenali sosok bayangan putih itu. Ya! Meskipun pandangannya telah agak kabur, Dewa Arak masih mampu mengetahui kalau sosok itu ternyata Melati, kekasihnya!

Dewa Arak pun pasrah ketika sosok bayangan putih yang memang Melati itu, memapah tubuhnya dan membawanya melesat keluar!

"Hhh...!" Begitu berada di luar pintu, baru Melati menghembuskan napas. Namun, sebelum dirinya sempat berbuat sesuatu, terdengar bunyi kaki-kaki menghampiri tempatnya. Sesaat kemudian, muncul murid-murid Perguruan Kera Emas. Di antara mereka ada pula Gulimang dan Gembong.

"Ada apa, Melati?! Apa yang terjadi dengan Dewa Arak?!" tanya Gulimang, dengan mata terbelalak kaget karena melihat Dewa Arak berada dalampapahan Melati.

"Aku sendiri belum tahu pasti, Gulimang. Yang jelas ada pihak tertentu yang menghendaki kematian kawanku. Kau lihatlah sendiri di kamarnya!" sahut Melati, setengah tak peduli.

Mendengar jawaban itu, Gulimang segera mengayunkan langkah mendekati kamar Dewa Arak yang telah terbuka lebar. Sepasang alisnya langsung berkerut ketika melihat asap yang membuat suasana kamar itu tampak remang-remang.

Gembong dan murid-murid Perguruan Kera Emas lainnya yang melihat hal itu pun merasa heran. Meskipun demikian diikuti juga tindakan Gulimang yang melangkahkan kaki masuk ke kamar Dewa Arak. Mendadak...,

"Ukh...!" Terdengar keluhan dari mulut Gulimang. Hal itu membuat Gembong dan yang lainnya terkejut, dan langsung bersikap waspada. Mereka mengira lelaki pendek kekar itu melihat sesuatu. Maka mereka, terutama sekali Gembong, bergegas menghampiri. Namun tindakan mereka langsung diurungkan ketika mendengar seruan Gulimang.

"Jangan maju! Cepat...,mundur! Kamar ini dipenuhi asap beracun!"

Setelah berseru demikian, Gulimang langsung membalikkan tubuh untuk menjauhi kamar yang mengandung asap beracun itu. Dan sebenarnya, suara keluhannya tadi pun karena merasakan kepalanya mendadak pusing begitu berada di ambang pintu kamar Dewa Arak.

Mendengar perintah Gulimang, para murid Perguruan Kera Emas dengan cepat berlompatan menjauhi kamar itu.

Brukkk!

Bunyi berdebuk keras pertanda ada sesuatu yang berat menimpa lantai, membuat Gembong dan murid-murid Perguruan Kera Emas lainnya menolehkan kepala.

"Kang Gulimang...!" teriak Gembong kaget bercampur khawatir.

Lalu, buru-buru dia membalikkan tubuh, menghampiri Gulimang. Diangkatnya tubuh itu dan dibopongnya meninggalkan kamar Dewa Arak.

Semua keributan itu tentu saja tak lepas dari perhatian Melati, yang masih berada di situ. Gadis berpakaian putih ini merasa khawatir korban akan semakin bertambah. Dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam Melati berteriak...,

"Cepat..., menyingkir! Jauhi kamar itu! Biarkan angin meniup racun berbahaya itu!"

Seruan Melati langsung mendapat sambutan. Semua murid Perguruan Kera Emas, tak terkecuali Gembong segera melesat meninggalkan tempat itu. Mereka tak berani meremehkan peringatan Melati. Telah disaksikan sendiri kehebatan racun dalamasap itu.

Bukan hanya mereka saja yang bergegas meninggalkan tempat itu. Melati pun demikian. Sambil memapah tubuh Dewa Arak, tubuhnya dengan cepat melesat menjauhi tempat itu. Sedapat mungkin mereka ingin menghirup udara malamyang alami.

Mereka semua harus melalui jalan lorong yang terapit kamar-kamar di kanan dan kiri. Panjang jalan itu tak kurang dari sepuluh tombak! Begitu sampai di halaman luar bangunan, mereka semua berpapasan dengan dua sosok yang tengah melesat cepat menuju tempat yang baru mereka tinggalkan.

"Berhenti...!" Salah satu dari dua sosok itu berseru nyaring, penuh wibawa. Seketika itu pula, langkah murid-murid Perguruan Kera Emas terhenti. Mereka tahu, siapa pemilik seruan itu. Suara itu mereka kenal betul! Siapa lagi kalau bukan Ki Tapaksi Mandragunta?

Dugaan itu tidak salah. Di hadapan mereka telah berdiri dua sosok tubuh. Yang satu Ki Tapaksi Mandragunta. Sedangkan yang lainnya Handaka, putranya!

"Mengapa kalian berlari-lari seperti anjing hendak digebuk?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta agak keheranan. Tampak jelas ada nada teguran dalam suaranya.

"Ampun, Ketua! Bukan kami bermaksud untuk menjadi pengecut! Tapi, sebuah kejadian aneh, terjadi di kamar Dewa Arak!" jawab Gembong. Kemudian secara singkat tapi jelas, diceritakan semua kejadiannya.

"Ah...!" Ki Tapaksi Mandragunta tersentak kaget. Sepasang matanya terbelalak lebar, dan tarikan wajahnya menyiratkan keterkejutan yang hebat. Hal yang sama pun dialami pula Handaka. "Lalu..., bagaimana keadaan Dewa Arak, Melati?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta, ingin tahu.

"Baru saja aku ingin memberinya pertolongan, Ki. Dia keracunan. Tapi, aku bisa mengobatinya. Ng..., bisa menyediakan arak untukku, Ki?"

Melati sengaja mengajukan permintaan seperti itu. Masalahnya, di dalam guci kekasihnya tidak terdapat arak sama sekali. Rupanya semua araknya tumpah ketika tubuh Dewa Arak terguling-guling. Gadis itu tahu, arak biasa pun akan jadi penawar racun yang ampuh apabila dimasukkan ke dalam guci pusaka Dewa Arak. Namun, betapa kecewanya hati Melati ketika mendapat jawaban Ki Tapaksi Mandragunta.

"Ah...! Sayang sekali aku tidak bisa menyediakannya, Melati! Arak merupakan barang terlarang di perguruan ini. Sekali lagi, maaf! Kalau boleh kutahu, apakah arak bisa menyembuhkan keracunan?! Rasanya..., aku belum pernah mendengarnya."

"Kalau begitu, tidak mengapa, Ki. Biarlah kucoba cara lainnya!"

Usai berkata demikian, tanpa mempedulikan Ki Tapaksi Mandragunta yang kebingungan karena pertanyaannya tak mendapatkan jawaban, Melati memapah tubuh Dewa Arak menjauhi mereka. Gadis berpakaian putih ini ingin memberikan pertolongan pada kekasihnya.

"Gembong, bagaimana keadaan Gulimang?" Ki Tapaksi Mandragunta mengalihkan pertanyaan kepada Gembong.

"Aku belum tahu, Ketua. Yang jelas, dia hanya mencium asap itu sedikit. Dan...."

"Biar kucoba mengobatinya, Ayah," selak Handaka, sebelum Gembong menyelesaikan penjelasannya.

Ki Tapaksi Mandragunta menolehkan kepala. Ditatap wajah putranya lekat-lekat. "Apa yang akan kau lakukan, Handaka?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta bernada menguji.

"Mudah saja, Ayah," jawab Handaka merasa yakin. "Hanya mengeluarkan racun yang sempat terhisap olehnya, kan?!"

"Apa yang kau katakan itu memang benar. Tapi bagaimana kau melakukannya?!" desak Ki Tapaksi Mandragunta karena belum yakin akan kemampuan Handaka.

"Kusalurkan hawa murni untuk mendorong racun itu keluar dari tubuhnya," jawab Handaka dengan suara datar. Seakan meremehkan kekuatan racun itu.

"Ah!" Ki Tapaksi Mandragunta memekik kaget. "Mengapa kau bisa menduga demikian, Handaka?"

Handaka tersenyum pahit. Dirasakan ada nada ketidakpercayaan sang Ayah atas jawaban yang diberikannya.

"Jawab secara jujur, Handaka. Dari mana kau tahu, cara itu?! Asal kau tahu saja, hanya orang-orang yang telah berpengalaman merambah dunia persilatan dapat mengetahui cara itu. Pengalaman yang menjadi guru. Aku sendiri tahu, kau belum pernah terjun ke dunia persilatan. Lalu, dari mana kau mendapatkan dugaan seperti itu?!"

Seketika itu pula wajah Handaka merah padam. "Aku mendapatkannya dari sana, Ayah," jawab pemuda berpakaian kuning itu malu-malu seraya menudingkan jari telunjuknya ke satu arah.

Ki Tapaksi Mandragunta menoleh ke tempat yang ditunjuk putranya. Lelaki tua itu segera tahu yang dimaksud Handaka, ketika melihat pemandangan yang membuatnya mengerti, mengapa putranya dapat mengajukan usul demikian cemerlang.

Di sana tampak dua sosok tubuh. Yang satu dalam keadaan telentang. Sedangkan yang satu lagi duduk bersila, seraya menempelkan kedua telapak tangan yang terbuka ke bagian dada. Kedua sosok itu tak lain dari Dewa Arak dan Melati!

Tanpa diberitahukan pun, seperti juga Handaka, Ki Tapaksi Mandragunta mengerti kalau Melati tengah berusaha mengusir hawa beracun di tubuh Dewa Arak dengan pengerahan hawa murninya.

Mula-mula memang tak tampak ada pengaruh. Namun semakin lama, terlihat ada perubahan. Ada asap kehijauan keluar dari kepala Dewa Arak. Mula-mula tipis dan sedikit, semakin lama semakin tebal dan banyak. Asap itu rupanya hawa beracun yang tadi masuk ke tubuh Dewa Arak.

Ki Tapaksi Mandragunta mengalihkan perhatiannya lagi pada Handaka. "Kalau begitu, tunggu apa lagi, Handaka?! Cepat selamatkan nyawa Gulimang!"

"Baik, Ayah," jawab Handaka, gembira. Kemudian matanya menatap wajah Gembong, "Berikan Gulimang padaku, Gembong!"

Tanpa berkata apa pun, Gembong segera melangkah maju dan menyerahkan tubuh Gulimang pada Handaka. Pemuda berpakaian kuning itu segera membawa tubuh Gulimang, menjauhi tempat itu. Sesaat kemudian, dia mulai sibuk dengan urusannya.

"Hhh...!" Ki Tapaksi Mandragunta mengalihkan perhatian pada bangunan yang hendak didatanginya. Di bangunan inilah, kamar Dewa Arak dan Melati berada. Perguruan Kera Emas tergolong sebuah perguruan besar. Di dalam lingkungan perguruan itu terdapat banyak bangunan besar yang di dalamnya berisi kamar-kamar! Kamar tempat Dewa Arak dan Melati menginap berada dalam bangunan khusus untuk tamu-tamu Perguruan Kera Emas.

LIMA

Sementara itu Handaka terus sibuk dengan usahanya untuk menyelamatkan Gulimang. Seperti juga yang terjadi pada Dewa Arak, dari kepala murid Perguruan Kera Emas itu mengepul asap. Mula-mula tipis dan sedikit. Namun kemudian semakin banyak dan tebal, meskipun tidaklah sebanyak yang keluar dari kepala Dewa Arak.

Baik wajah Melati maupun Handaka mulai dicucuri peluh seiring dengan semakin banyak dan tebalnya asap yang keluar dari kepala Dewa Arak dan Gulimang. Kenyataan ini menunjukkan kalau perbuatan itu benar-benar menguras tenaga dalam mereka.

Kejadian itu disaksikan mata semua yang berada di situ. Murid-murid Perguruan Kera Emas, Gembong, dan terutama sekali Ki Tapaksi Mandragunta tak lepas memperhatikan usaha pembebasan racun dari tubuh Dewa Arak dan Gulimang itu.

Sepasang mata Ki Tapaksi Mandragunta hampir tak berkedip sewaktu menatap Handaka dan Melati. Dirinya menyadari betapa berbahayanya tindakan kedua orang muda itu. Apabila terlalu dipaksakan akan menyebabkan luka dalam yang parah!

Itulah sebabnya, Ki Tapaksi Mandragunta tampak begitu tegang. Sepasang matanya berganti-ganti menatap Handaka, lalu Melati, serta asap yang keluar dari kepala Dewa Arak dan Gulimang.

Ki Tapaksi Mandragunta melihat asap yang mengepul mulai menipis. Dirinya tahu, hal demikian merupakan pertanda baik. Racun yang ada di dalam tubuh dua orang itu tinggal sedikit. Bahkan tak lama lagi akan lenyap. Senyum lega pun tersungging di wajahnya.

Namun, senyum Ki Tapaksi Mandragunta perlahan mulai melenyap, bahkan berubah rasa khawatir. Hal itu karena tiba-tiba dilihatnya keadaan Handaka dan Melati tampak mulai mengkhawatirkan. Dari kepala, Melati dan Handaka mengepulkan asap tipis!

Sebagai seorang tokoh persilatan sakti yang telah banyak makan asam garam kehidupan Ketua Perguruan Kera Emas itu tahu, bahwa kepulan asap itu pertanda kalau Melati dan Handaka telah mengeluarkan tenaga melampaui batas. Yang jelas keadaanmuda-mudi ini mulai gawat!

"Hhh...!" Ki Tapaksi Mandragunta menghela napas berat seakan tak kuat menahan perasaan bingungnya. Dirinya tahu, ini merupakan saat-saat menegangkan! Sanggupkah Melati dan Handaka menyelesaikan pekerjaannya? Maksudnya mengusir racun yang merasuk di tubuh Dewa Arak dan Gulimang, sebelum mereka roboh kehabisan tenaga.

Ki Tapaksi Mandragunta tahu, tak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu hasil perjuangan Melati dan Handaka. Dengan pandang mata tegang, diperhatikannya kedua macam asap itu.Sementara itu, asap yang keluar dari kepala Dewa Arak dan Gulimang semakin menipis.

Sebaliknya, asap yang keluar dari kepala Melati dan Handaka semakin banyak menebal. Bahkan kedua tangan muda-mudi itu pun tampak bergetar keras. Pertanda telah melewati batas tenaga yang mereka miliki! Mendadak...,

"Huaaakh...!"

"Haaakh...!"

Hampir bersamaan Dewa Arak dan Gulimang memuntahkan cairan kental kehijauan yang mengeluarkan bau busuk. Sesaat kemudian, tubuh mereka terkulai kembali.

Melihat kejadian itu Melati dan Handaka melepaskan tempelan tangan mereka. Sekujur tubuh keduanya tampak dibanjiri peluh. Terutama sekali pada wajah. Butiran-butiran sebesar biji jagung bersembulan dan mengalir.

Namun, baik Handaka maupun Melati seakan tak peduli. Buru-buru mereka merangkapkan kedua tangan di depan dada. Sesaat kemudian, keduanya telah sibuk dalam pemusatan batin. Sementara Ki Tapaksi Mandragunta serta para murid Perguruan Kera Emas menunggu dengan sabar dan perasaan was-was.

Hari masih pagi. Matahari pun belum tinggi, ketika terlihat empat ekor kuda hitam berjalan congklang keluar dari pintu gerbang Perguruan Kera Emas. Kuda-kuda itu ternyata ditunggangi tiga orang lelaki dan seorang wanita. Mereka ternyata Ki Tapaksi Mandragunta yang berdampingan dengan Melati. Di belakang Dewa Arak berdampingan dengan Handaka.

"Aku menyesal sekali atas kejadian semalam, Arya...." Ki Tapaksi Mandragunta membuka percakapan di antara mereka dengan suara mengandung penyesalan mendalam.

"Lupakanlah, Ki!" sahut Dewa Arak bijaksana, "Aku tahu kejadian itu di luar perhitunganmu."

"Apa yang kau katakan sama sekali tak salah, Arya. Tapi..., biar bagaimanapun aku tak bisa lepas tangan begitu saja. Selama kau berada dalam lingkungan perguruanku, segala kejadian yang menimpa dirimu merupakan tanggung jawabku!" ujar Ki Tapaksi Mandragunta memperlambat langkah kudanya.

Dewa Arak terdiam. Disadari ada kebenaran dalam ucapan Ketua Perguruan Kera Emas itu. Bagaimanapun seorang tuan rumah selayaknya bertanggung jawab atas keselamatan sang Tamu.

"Bisa kau ceritakan padaku rangkaian kejadiannya, Arya?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta, setelah kuda Dewa Arak berada di sampingnya.

Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan itu. Dirinya tampak tercenung. Sementara itu kudanya, terus saja berlari congklang, seperti juga kuda-kuda yang ditunggangi Ki Tapaksi Mandragunta, Melati, dan Handaka.

"Rasanya tak menarik untuk diceritakan, Ki," ujar Dewa Arak pelan tanpa menoleh pada Ketua Perguruan Kera Emas itu.

"Hal itu tak jadi masalah, Arya. Yang penting ceritakan saja. Aku ingin mendengar rangkaian kejadiannya dari mulutmu sendiri," pinta Ki Tapaksi Mandragunta bersikeras.

Sekarang Dewa Arak tak dapat mengelak lagi. "Baiklah kalau memang itu yang kau inginkan, Ki," kemudian secara singkat tapi jelas, pemuda berambut putih keperakan itu menceritakan semua kejadian yang dialaminya tadi malam.

Ki Tapaksi Mandragunta mendengar semua cerita Dewa Arak dengan penuh perhatian. Tak sekali pun diselaknya sampai pemuda berambut putih keperakan itu menyelesaikannya.

"Sayang..., aku tak sempat mengenalinya, Ki," ujar Dewa Arak menutup ceritanya.

Ki Tapaksi Mandragunta mengangguk-angguk kepala. "Sayang sekali...!" gumam Ketua Perguruan Kera Emas, penuh penyesalan. "Padahal, tanganku sudah gatal untuk memberikan pelajaran pada penjahat tak tahu diri itu."

Suasana berubah menjadi hening seusai Ki Tapaksi Mandragunta memberikan pernyataan. Masalahnya, Arya tidak berbicara lagi. Melati dan Handaka pun rupanya lebih suka bertindak sebagai pendengar. Yang terdengar, sekarang, hanya suara derap kaki-kaki kuda menepak bumi.

"Apakah kau tak dapat mengenali penjahat itu, Arya?! Setidak-tidaknya, potongan tubuhnya?! Atau..., apa saja yang bisa dijadikan titik terang untuk mengusutnya," tanya Ki Tapaksi Mandragunta memecahkan kebisuan itu.

"Sayang sekali, Ki," Dewa Arak menggelengkan kepala dengan suara mengandung penyesalan mendalam. "Yang kutahu hanya pakaiannya, serba hitam. Sebab, semua kejadian berlangsung demikian cepat. Apalagi, keadaan kamar remang-remang karena tertutup asap...."

"Hhh...!" Ki Tapaksi Mandragunta menghembuskan napas berat bernada putus asa. Pembicaraan pun terhenti. Dan sekarang mereka memusatkan perhatian pada kuda-kuda tunggangan mereka.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Ctar! Ctarrr!

Kini keempat ekor kuda itu berpacu cepat karena para penunggangnya, saling menggebah. Debu pun mengepul ke udara. Gemuruh derap kaki kuda yang ditingkahi suara teriakan-teriakan keras terdengar. Seakan-akan hendak memecah suasana pagi yang cerah di jalanan selebar tiga tombak yang mereka lalui.

Sejauh itu keempat penunggang kuda itu tak saling mengeluarkan pembicaraan. Mereka terus saja sibuk menggebah kuda masing-masing. Hingga tanpa disadari perjalanan telah jauh dari tempat Perguruan Kera Emas.

"Kurasa..., sudah tiba saatnya kita harus berpisah, Ki," ujar Dewa Arak. Suaranya terdengar keras, untuk mengatasi riuh-rendah derap kaki-kaki kuda.

"Apa kau tak ingin mengetahui orang yang bermaksud membunuhmu, Arya?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta, juga setengah berteriak.

"Biarlah, Ki!" jawab Dewa Arak sambil menggelengkan kapala. "Kebetulan aku mempunyai urusan lain yang lebih penting."

"Kalau begitu kehendakmu, apa boleh buat, Arya? Terima kasih atas kesediaanmu memenuhi permintaanku."

"Akulah yang seharusnya menyampaikan ucapan itu, Ki. Karena aku telah mengganggu waktumu! Selamat tinggal, Ki! Mari, Melati!"

"Selamat jalan Arya!" sambut Ki Tapaksi Mandragunta seraya menganggukkan kepala.

Dan tanpa mengendurkan kecepatan lari kudanya, masing-masing pihak memilih jalan sendiri-sendiri. Kebetulan mereka menemui persimpangan. Dewa Arak dan Melati mengambil jalan ke kanan sedang Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka mengambil jalan yang terus, lurus.

Dewa Arak dan Melati terus menggebah kuda mereka. Begitu pun Ki Tapaksi Mandragunta dan putranya, sedikit pun tak mengurangi kecepatan lari kuda mereka. Sehingga dalam waktu sebentar saja mereka telah terpisah dalam ratusan tombak.

"Kang...!" Seraya terus menggeprakkan kuda, Dewa Arak menolehkan kepala melihat Melati, "Ada apa,Melati?" tanyanya lembut. "Sebenarnya hendak ke manakah kita sekarang?" tanya Melati, ingin tahu.

"Aku sendiri belum tahu, Melati," jawab Dewa Arak seraya mengangkat kedua bahunya.

"Lalu..., mengapa mesti terburu-buru?!"

"Terburu-buru?! Aku belum mengerti maksudmu, Melati?" Dewa Arak balas bertanya.

"Lho?! Kau tak merasakan kalau sikapmu jelas terburu-buru?! Kuda yang kau pacu sedemikian cepat, apakah bukan berarti kalau kau tergesa-gesa?!" ada nada kepenasaran dalam ucapan Melati.

Arya menggeleng-gelengkan kepala. "Rupanya kau salah duga, Melati," jawab Dewa Arak dengan senyum lebar menghias bibir. "Aku memacu kuda secepat-cepatnya karena ingin membuang kejengkelan yang bersarang di hati. Aku benar-benar kesal pada penjahat semalam."

"Kalau demikian..., mengapa kau tolak tawaran Ki Tapaksi? Bukankah dia telah menanyakan apa kau bermaksud mengadakan penyelidikan terhadap penjahat yang bermaksud membunuhmu?!"

"Bukannya aku menolak, Melati. Aku hanya tak ingin, penyelidikan yang kulakukan, diketahui orang lain. Bukankah lebih sedikit yang tahu akan rencana ini, akan membuat keadaan semakin aman?" seraya berputar, Dewa Arak menjelaskan alasan penolakannya.

"Jadi...." Melati menghentikan ucapannya.

Namun, Arya sudah bisa memperkirakan kelanjutannya. Terbukti..., "Benar, Melati. Aku akan melakukan penyelidikan secara diam-diam."

"Mengapa demikian, Kang?!" tanya Melati heran, "Bukankah akan lebih baik kalau Ki Tapaksi Mandragunta tahu? Maksudku..., jangan sampai nanti kalau tindakan penyelidikanmu ketahuan, timbul perasaan tidak enak dengannya."

"Justru kalau Ki Tapaksi Mandragunta mengetahui hal penyelidikanku, aku jadi tak dapat bertindak bebas, Melati. Masalahnya, aku mempunyai dugaan kuat kalau orang yang hendak membunuhku bukan orang luar...."

"Maksudmu, Kang...."

"Yahhh...," sahut Arya dengan suara berdesah, "Pelakunya orang dalam Perguruan Kera Emas sendiri."

"Ahhh...!" seru Melati, kaget, "Dari mana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu, Kang?!"

Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan itu. Dialihkan perhatiannya untuk memperlambat lari kudanya. Mau tidak mau, Melati pun melakukan tindakan yang sama. Kini kedua pendekar muda itu melintasi jalanan berdebu kering. Kedua kuda berjalan perlahan.

"Banyak, Melati," jawab Dewa Arak, dengan suara berdesah. "Misalnya..., mudahnya dia mengetahui kamarku..., penutup wajah yang dikenakan, selain itu betapa mudah dia datang dan pergi tanpa seorang pun murid Perguruan Kera Emas yang mengetahuinya."

Melati mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya gadis itu mulai menyadari kebenaran ucapan sang Kekasih.

"Hanya satu hal yang menjadi bahan pikiranku."

"Apa itu, Kang?" tanya Melati cepat, "Katakanlah! Barangkali saja aku dapat memecahkannya."

Dewa Arak menatap sejenak wajah Melati. "Orang itu memiliki tenaga dalam yang amat kuat, Melati. Padahal, aku telah mengerahkan hampir semua tenagaku, tapi akibatnya tubuhku terlempar jauh!"

"Hehhh...?!" Melati tersentak hampir tak percaya. "Kapan hal itu terjadi, Kang?! Kau yang belum menceritakannya atau aku yang kurang memperhatikannya?!"

"Aku yang belum menceritakannya, Melati," sahut Dewa Arak seraya menyunggingkan senyum lebar. Dirinya merasa geli mendengar pertanyaan Melati. "Dan memang hal itu kusengaja. Kau dengar sendiri, kan? Pada Ki Tapaksi Mandragunta pun aku menceritakan seperti itu."

"Ya...," ujar Melati membenarkan. "Kau hanya bercerita tentang datangnya penjahat yang berusaha membiusmu, namun kau sempat sadar sebelum pingsan. Lalu kau lancarkan serangan yang membuatnya terpaksa kabur. Begitu kan?!"

Sambil menyunggingkan senyum lebar, Dewa Arak menganggukkan kepala. "Maaf, Melati! Aku terpaksa berbohong. Tapi, itu kulakukan agar tak membuat Ki Tapaksi Mandragunta bingung. Masalahnya aku sendiri ragu dia akan sekuat penjahat itu. Padahal, aku yakin Ki Tapaksi Mandragunta merasa dirinya yang memiliki kepandaian tertinggi di Perguruan Kera Emas," ujar Dewa Arak menjelaskan.

Wajah Melati berubah. Tarikan wajah dan sorot matanya menyiratkan keterkejutan. "Aku tak pernah menyangka kalau penjahat itu memiliki kepandaian demikian tinggi, Kang."

"Hhh...!" Sambutan Dewa Arak hanya hembusan napas berat.

"Kang...!"

"Ya...," sambut Dewa Arak memberi kesempatan.

"Mungkinkah penjahat itu Ki Tapaksi Mandragunta?!" duga gadis berpakaian putih itu.

"Tidak, Melati. Bukan dia pelakunya," jawab Dewa Arak penuh keyakinan.

"Atau..., Handaka?! Masalahnya..., siapa lagi yang mempunyai kemampuan setinggi itu selain dari mereka berdua?!"

"Handaka pun bukan pelakunya," mantap dan penuh keyakinan kata-kata yang dikeluarkan Dewa Arak.

"Mengapa kau demikian yakin kalau bukan mereka berdua pelakunya, Kang?! Bukankah seperti ceritamu, kau tak sempat melihat perawakan penjahat itu. Apalagi wajahnya," ada nada kepenasaran dalam ucapan gadis berpakaian putih itu.

"Aku sendiri tak tahu, Melati. Yang jelas, aku yakin betul kalau Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta bukan pelakunya. Entah mengapa aku yakin sekali," jawab Dewa Arak sambil mengangkat kedua bahu. Tapi, mendadak wajahnya berubah. "Aku ingat, Melati. Ya! aku baru ingat sekarang, mengapa aku demikian yakin kalau Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka bukan pelakunya."

"Apa yang membuatmu demikian yakin, Kakang?!" tanya Melati, ingin tahu.

"Suaranya, Melati. Aku ingat betul suaranya. Dan suara itu jelas tak sama dengan suara Ki Tapaksi Mandragunta maupun Handaka."

"Rasanya alasan yang kau kemukakan kurang kuat, Kang. Bukan tidak mungkin toh, kalau penjahat itu menyamarkan suaranya," Melati mengajukan dugaan.

"Tidak mungkin Melati. Aku yakin penjahat itu menggunakan suara aslinya. Aku mempunyai alasan mengapa menduga demikian. Saat itu si penjahat mengira aku telah tidak berdaya, dan tengah menunggu ajal, untuk apa lagi dia menyamarkan suara?!"

Melati harus mengakui kebenaran alasan yang dikemukakan Dewa Arak. Maka untuk yang kesekian kali, kepalanya dianggukkan.

"Kenapa kau tidak mengatakannya pada Ki Tapaksi Mandragunta? Aku yakin, kalau kau mengemukakan kecurigaanmu, dia akan membantu hingga penjahat itu tertangkap. Aku yakin dengan kedudukannya sebagai Ketua Perguruan Kera Emas, tanpa menemui kesulitan akan berhasil mengumpulkan semua muridnya. Dan saat itu kau bisa mencocokkannya dengan suara yang telah pernah kau dengar."

"Usulmu memang bagus, Melati. Dan aku yakin, dengan cara seperti itu si penjahat berhasil ditangkap," sambut Dewa Arak.

"Kalau begitu..., mengapa kau tolak uluran tangan Ki Tapaksi Mandragunta?!" desak Melati.

"Karena aku ingin semua masalah ini tuntas!" tandas Dewa Arak seraya manatap wajah Melati, "Kau tahu, Melati? Penjahat itu tak bermaksud membunuhku. Sebenarnya dia mengincar sasaran lain. Aku dengar sendiri, dia mengatakan seperti itu di saat hendak melancarkan serangan mematikan terhadapku."

Melati mengernyitkan dahi. "Apakah ini pun tidak kau ceritakan?!"

"Benar, Melati," jawab Dewa Arak seraya mengangguk. "Tapi jangan khawatir! Aku akan memberitahukannya padamu sekarang."

Kemudian, Dewa Arak mernberitahukan ucapan yang dikeluarkan penjahat itu sebelum mengirimkan serangan maut ke arahnya.

"Kau benar, Kang! Kalau penjahat itu mengatakan demikian, berarti bukan kau yang menjadi sasaran, melainkan tua-tua bangka! Siapakah yang dimaksudkannya? Barangkali Ki Tapaksi Mandragunta, Kang," tukas Melati.

Dewa Arak kontan terperanjat. "Bukan tidak mungkin dugaanmu benar, Melati. Tapi..., kalau menilik ucapannya, penjahat itu mengincar banyak orang tua. Tapi siapa saja? Di Perguruan Kera Emas, aku yakin hanya ada satu orang tua. Dan orang itu pasti Ki Tapaksi Mandragunta. Lalu siapa yang lainnya?!"

Melati terdiam. Sepasang alisnya yang berbentuk indah berkerut. Tampaknya gadis berpakaian putih itu tengah berpikir keras. "Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian yang menimpa rombongan pengawal barang kiriman kemarin, Kang?"

"Ah... iya!" Dewa Arak terpekik kaget, "Mengapa aku bisa melupakannya?! Ya...! Pasti ada hubungannya! Aku pun yakin kalau penjahat itu hendak membunuhku karena khawatir aku campur tangan di dalam urusan ini."

Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Sekarang sikapnya terlihat demikian sungguh-sungguh. "Ini berarti keadaan Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka dalam bahaya! Aku yakin, penjahat itu punya hubungan dengan orang luar!"

"Kalau begitu...."

"Kita harus menyusul Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka, Melati!" tandas Dewa Arak cepat. Seraya berseru demikian, Dewa Arak memutar balik kudanya. Kemudian dipacunya kuda hitam itu secepat mungkin untuk menyusul Ki Tapaksi Mandragunta.

"Hiya! Hiyaaa...!"

* * *

ENAM

"Ayah...!"

Sapaan Handaka membuat Ki Tapaksi Mandragunta menolehkan kepala. Namun kecepatan kudanya tak diperlambat.

"Hm...!" hanya gumaman pelan yang diberikan sebagai tanggapan.

"Mengapa kau merasa ragu kalau pelaku pembunuhan terhadap para pengawal kemarin adalah orang-orang Perguruan Camar Sakti?! Bukankah antara perguruan kita dengan perguruan itu ada permusuhan?!" lanjut Handaka karena sapaannya mendapat tanggapan dari ayahnya.

"Siapa yang mengatakan kalau antara perguruan kita dengan Perguruan Camar Sakti ada permusuhan?!" Ki Tapaksi Mandragunta malah balas bertanya.

"Hehhh...?!" Handaka terperanjat, "Bukankah kau tak senang kalau ada murid-murid Perguruan Kera Emas yang membicarakan Perguruan Camar Sakti?! Sepertinya, membicarakan Perguruan Camar Sakti merupakan perbuatan terlarang!"

"Itu memang benar! Tapi tidak berarti antara Perguruan Kera Emas dan Perguruan Camar Sakti ada permusuhan!" bantah Ki Tapaksi Mandragunta.

Handaka terdiam sejenak. Menilik kernyitan dahinya, jelas pemuda itu merasa bingung. "Sebenarnya..., apakah persoalan yang membuat perguruan kita dengan Perguruan Camar Sakti, seperti saling bermusuhan, Ayah?! Masalahnya, kulihat sifat murid-murid Perguruan Camar Sakti pun demikian!"

"Hhh...!" Ki Tapaksi Mandragunta menghela napas berat. Seakan-akan untuk menjawab pertanyaan itu merupakan beban berat baginya.

"Aku yakin antara kau dan Ketua Perguruan Camar Sakti ada urusan pribadi yang tak pernah selesai! Dan aku yakin, Ki Liwung Perkasa bukan orang jahat!" tukas Handaka setelah melihat sang Ayah hanya diam, tanpa jawaban.

"Hehhh...?! Mengapa kau berpendapat demikian, Handaka?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta dengan suara keras. Ada perasaan heran di hati lelaki tua itu.

"Mudah saja, Ayah!" kalem jawaban Handaka, "Terbukti, Ayah tidak percaya kalau pelaku pembunuhan itu orang-orang Perguruan Camar Sakti! Padahal, bukti-bukti telah menunjukkan mereka sebagai pelakunya! Jelaskanlah Ayah, agar aku menjadi jelas terhadap persoalan yang tengah terjadi!"

Kembali Ki Tapaksi Mandragunta menolehkan kepala. Kemudian menatap wajah putranya lekat-lekat. Memang, semula pandangannya telah dialihkan ke depan.

"Dugaanmu memang benar, Handaka. Antara aku dan Ki Liwung Perkasa ada persoalan," ujar Ki Tapaksi Mandragunta bemada keluh, "Dan awalnya adalah kejadian puluhan tahun lalu."

Ki Tapaksi Mandragunta menghentikan ucapannya. Matanya menatap langit biru. Seakan-akan kejadian puluhan tahun lalu tergambar di sana.

"Aku dan Ki Liwung Perkasa sebenarnya saudara seperguruan. Dia kakak seperguruanku. Maaf, Handaka. Aku tidak bisa memberitahukan siapa guru kami. Beliau tak berkenan kalau namanya diperkenalkan pada orang. Ada sebuah kejadian yang telah membuatnya terpukul."

"Tidak mengapa, Ayah. Aku bisa mengerti," jawab Handaka mencoba bersikap bijaksana.

Ki Tapaksi Mandragunta tersenyum lebar, penuh rasa bangga mendengar pernyataan anaknya yang bersikap dewasa.

"Ketika kami tamat belajar, guru memerintahkan kami bertarung, untuk mengetahui siapa di antara kami yang berhak mendapatkan senjata pusaka guru! Sebuah pedang berkepala burung hitam," lanjut Ketua Perguruan Kera Emas itu. "Kami pun bertarung. Baik aku maupun Ki Liwung Perkasa sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, agar dapat memenangkan pertarungan dan mendapatkan pedang itu."

Sampai di sini Ki Tapaksi Mandragunta menghentikan cerita. Wajahnya terlihat muram. Hal itu membuat Handaka mempunyai dugaan yang tidak-tidak.

"Jadi kau kalah, Ayah?!" tanya Handaka tak sabar.

"Tidak," Ki Tapaksi Mandragunta menggelengkan kepala. "Pertarungan berlangsung seimbang. Tak ada yang menang atau pun kalah. Selayaknya tak ada seorang pun yang berhak, mendapatkan pedang itu. Tapi, Ki Liwung Perkasa dengan cerdiknya berhasil mendapatkan pedang itu. Dia mengajukan alasan yang masuk akal pada guru."

"Apa alasannya, Ayah?!" tanya Handaka penasaran.

"Meskipun tak mampu memenangkan pertarungan, karena dia merupakan kakak seperguruan, sudah sepatutnya kalau pedang itu jatuh ke tangannya. Begitu katanya," ujar Ki Tapaksi Mandragunta, tanpa dapat menyembunyikan perasaan yang mengganjal di dalam hatinya.

"Hhh...!" Handaka menghela napas berat. Sama sekali tak disangka kalau yang menjadi penyebab keributan hanya sebuah persoalan sepele!

"Mungkin kau menganggapnya sebagai sebuah hal yang remeh! Tapi bagi kami, hal itu merupakan harga diri. Sejak saat itulah antara aku dengan Ki Liwung Perkasa terjadi perang dingin!" jelas Ki Tapaksi Mandragunta seraya menutup ceritanya.

Handaka diam, tidak berkata-kata lagi. Bahkan perhatian pemuda itu seperti dialihkan pada kudanya. Hal yang sama pun dilakukan Ki Tapaksi Mandragunta. Kini yang terdengar hanyalah bunyi kaki kuda. Mendadak....

Brrrlll!

"Haaah...!"

Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta tersentak kaget. Keduanya mendongakkan kepala dengan mata terbelalak, ketika tiba-tiba terdengar suara aneh dari atas. Ternyata suara itu berasal dari sebuah jala lebar terkembang hendak mengurung mereka.

Wrettt!

"Hiaaa...!"

Meskipun serangan rahasia itu datang secara mendadak, ayah dan anak itu dengan sigap segera melompat. Keduanya tak ingin terperangkap jaring yang terbuat dari tali besar dan kuat itu.

Brrrlll!

Brettt!

Gerakan cepat yang dilakukan Ki Tapaksi Mandragunta dan anaknya, tak sia-sia. Keduanya berhasil melompat jauh dari kuda mereka, hingga terhindar dari renggutan jala besar itu. Namun malang bagi kuda tunggangan mereka. Jaring yang telah terkembang lebar itu mengurung kedua binatang yang tak tahu menghindarkan diri dari bahaya yang mengancam.

"Hieeeh...!"

"Hieeeh...!"

Kedua kuda hitam itu tampak meronta-ronta ketakutan.

Sementara itu, Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka yang masih melayang di udara kembali tersentak kaget. Mata mereka terbelalak ketika melihat ada beberapa benda panjang melesat memburu ke atas.

Sing! Sing! Sing!

Diiringi suara berdesing nyaring yang memekakkan tclinga, beberapa benda yang ternyata tombak itu meluncur cepat memburu tubuh Handaka dan ayahnya. Keduanya kian merasa kaget ketika mengetahui serangan itu datang dari berbagai arah. Karuan saja Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka semakin kebingungan.

Namun, ayah dan anak dari Perguruan Kera Emas ini mampu mempertunjukkan kelihaian. Di saat yang tak memungkinkan untuk mengelak, tangan mereka cepat bergerak ke pinggang! Dan....

Srat! Srat! Srat!

Mendadak....

Brrrlll!

"Haaah...?!" Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta tersentak kaget Keduanya mendongakkan kepala dengan mata terbelalak, ketika tiba-tiba terdengar suara aneh dari atas. Ternyata, suara itu berasal dari sebuah jala lebar terkembang yang hendak mengurung mereka!

Dengan cepat Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta mencabut golok. Kemudian segera diputar-putarkan ke sekeliling tubuh. Sebuah kecepatan gerak yang luar biasa. Kedua ayah dan anak ini tampaknya memiliki kemampuan yang sama dalam memainkan golok. Putaran golok yang begitu cepat itu mampu membungkus rapat tubuh mereka. Tak ada celah sedikit pun. Jangankan tombak atau pedang! Hujan pun tampaknya tak mampu memba-sahi tubuh keduanya. Sehingga...,

Wuttt! Wuttt!

Trang! Trang! Trang!

Tombak-tombak yang meluncur ke tubuh mereka langsung terpapas. Dentangan keras pun terdengar, disertai percikan bunga api dari benturan golok dan tombak-tombak itu.

"Hah...!"

"Gila...!"

Seketika terdengar desahan keheranan bercampur kagum dari balik semak-semak dan pepohonan di kanan kiri jalan, tempat kejadian itu. Tombak-tombak yang tadi meluncur cepat memburu sasaran di udara, kini berpentalan jatuh ke tanah. Bahkan beberapa di antaranya ada yang patah menjadi dua.

"Hiaaa...!"

Jliggg! Jliggg!

Laksana daun kering jatuh di tanah, Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka mendaratkan kedua kaki di tanah. Keduanya langsung memasang sikap waspada penuh. Bahkan golok yang tergenggam pun, telah disilangkan di depan dada. Siap-siap menghadapi serangan lanjutan yang mungkin bakal datang.

"Berdiri saling membelakangi, Handaka," perintah Ki Tapaksi Mandragunta kepada putranya yang berdiri di samping kanan.

Tanpa banyak membantah, Handaka segera melaksanakan perintah ayahnya. Disadari kalau perintah itu mengandung kebenaran bagi perlawanan yang akan dilakukan. Cara yang dikatakan Ketua Perguruan Kera Emas itu memang paling cocok jika dipergunakan untuk menghadapi banyak lawan.

Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka langsung mengedarkan pandangan ke bagian depan mereka, tempat hamparan pepohonan dan semak-semak lebat.

"Keluar kalian, Pengecut!" seru Ki Tapaksi Mandragunta, keras penuh kemarahan. Bahkan lelaki tua itu tanpa ragu-ragu telah mengerahkan tenaga dalam pada teriakannya. Sehingga teriakan itu terdengar jelas sampai ke tempat yang jauh.

Namun tak terdengar tanggapan apa pun dari balik semak-semak dan pepohonan yang ada di situ. Karuan saja hal itu membuat Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka penasaran bukan kepalang.

"Kuberi kesempatan sampai tiga hitungan. Apabila tak juga menampakkan diri, jangan salahkan bila tempat ini kubakar!" ancamKi Tapaksi Mandragunta.

"Satu...!" Ki Tapaksi Mandragunta mulai menghitung. "Dua...! Ti...!"

Di saat hitungan ketiga hampir selesai, terdengar bunyi siulan nyaring. Pendek dan hanya sekali. Sesaat kemudian terdengar bunyi berkerosakan.

Sekujur urat-urat saraf Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka semakin menegang, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Keduanya tahu, penyerang-penyerang gelap mereka sebentar lagi akan tiba dengan serangan mereka.

Dugaan dua tokoh penting Perguruan Kera Emas ini sama sekali tak salah. Sesaat kemudian, bermunculan sosok-sosok berpakaian hitam dari balik pepohonan dan semak-semak.

Setelah keluar dari tempat persembunyian sosok-sosok berpakaian hitam itu langsung menyebar. Hanya dalam sekejap Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka telah terkepung rapat. Tak ada jalan keluar untuk meloloskan diri.

Terdengar bunyi bergemeletuk dari mulut Ki Tapaksi Mandragunta dan putranya ketika tahu kalau keduanya tak bisa mengenali para pengeroyok. Wajah gerombolan itu berselubung sehelai kain hitam yang menutup mulai dari bawah mata sampai ke leher.

Anehnya, bagai telah disepakati sebelumnya. Handaka dan Ki Tapaksi Mandragunta langsung mengarahkan pandangan pada pedang yang tergenggam di tangan para pengepung mereka. Dan seketika itu pula kedua ayah dan anak itu tersentak kaget. Mata mereka terbelalak lebar ketika mengetahui pedang lawan mempunyai gagang yang berukir kepala burung hitam.

Namun, baik Handaka maupun ayahnya sama-sama berpikir bahwa mereka tak bisa hanya berdiam diri dan menunggu. Para pengeroyok bergerak terus mengepung dan semakin dekat. Wajah mereka meskipun tertutup kain hitam, dapat dilihat jelas dari mata yang berkilat. Mereka tampaknya sudah tak sabar untuk merencah tubuh lawan.

"Hiaaat...!"

"Hiyaaat..!"

Teriakan keras terdengar susul-menyusul, ketika gerombolan sosok berpakaian hitam itu saling melompat dan menerjang Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka. Rupanya, mereka tahu kesaktian lawan. Sehingga serangan itu dilakukan secara serempak! Seketika itu pula kilatan-kilatan menyilaukan mata dari pedang mereka, seperti saling berebut untuk menyambar tubuh lawan.

Namun, Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka sama sekali tidak gugup. Keduanya tetap bersikap tenang. Ditunggunya hingga serangan itu menyambar dekat.

Wuttt! Wuttt!

Trang! Trang! Trang!

Bunyi berdentang nyaring terdengar, ketika pedang-pedang itu berbenturan dengan golok di tangan Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka. Semuanya tertangkis, tak satu pun yang lolos!

Ternyata tangkisan yang dilakukan kedua ayah dan anak itu mampu membuat tubuh lawan-lawan mereka terhuyung sambil memegangi tangan. Mulut mereka meringis-ringis dengan mata terbelalak. Bahkan beberapa di antara mereka takmampu lagi menggenggam pedangnya. Hal itu semua menandakan bahwa gerakan menangkis itu dikerahkan dengan tenaga dalam yang kuat.

Meskipun demikian, tidak berarti Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka akan dapat merobohkan sosok-sosok berpakaian hitam itu dengan mudah. Kedua tokoh penting Perguruan Kera Emas itu terus disibukkan dengan tangkisan. Sehingga tak sempat memburu lawan yang telah terhuyung-huyung.

Kesempatan yang sedikit itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh sosok-sosok berpakaian hitam itu. Dua buah siulan pendek yang terdengar susul-menyusul langsung terdengar. Jelas, ini merupakan isyarat untuk melakukan penyerangan dengan cara lainnya lagi.

Dan benar, kali ini siasat penyerangan tampak berubah. Gerombolan terpecah dua bagian. Sepuluh orang memusatkan perhatian pada Handaka. Dan sisanya, yang juga berjumlah sepuluh orang bersiap untuk meringkus Ki Tapaksi Mandragunta.

Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka membiarkan saja semua tindakan lawan. Keduanya sengaja memberikan kesempatan untuk melihat kelanjutan tindakan sosok-sosok berpakaian hitam itu.

"Hiyaaat..!"

"Hiaaa...!"

Seraya mengeluarkan teriakan-teriakan keras, masing-masing kelompok menyerang Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka. Dan serbuan kedua puluh sosok berpakaian hitam ini pun segera mendapatkan sambutan hangat dari kedua lawan. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun berlangsung.

Berbeda dengan Ki Tapaksi Mandragunta yang telah berpengalaman, Handaka semula menganggap remeh lawan-lawannya. Apalagi karena pada gebrakan pertama telah membuat sosok-sosok berpakaian hitam itu terhuyung-huyung.

Handaka baru terperanjat ketika merasakan kemampuan sepuluh orang lawannya ini tidak seremeh yang dibayangkan semula. Kelompok ini ternyata tidak melakukan penyerangan secara serampangan, melainkan teratur. Serangan-serangan yang dilakukan tak pernah dilakukan perorangan, paling tidak dilakukan dua orang! Serbuan itu dilancarkan secara beruntun dan susul-menyusul.

Begitu kelompok pertama selesai, kelompok berikutnya telah menyusul, tanpa memberi kesempatan lawan melakukan serangan balasan. Yang lebih hebat lagi, ketika melakukan penangkisan. Setiap kali Handaka melancarkan serangan balasan, selalu ditangkis secara bersamaan oleh lima orang. Tentu saja kekuatan gabungan lima orang itu mampu membuat Handaka terhuyung-huyung karena kalah tenaga.

Handaka mulai kewalahan, karena setiap serangannya selalu dapat dikandaskan dengan tangkisan gabungan lima orang. Sebaliknya, serangan lawan susul-menyusul tiada henti, bagai gelombang laut! Cepat, bertubi-tubi dan mengandung kekuatan yang besar.

Keadaan yang dialami Handaka, diderita pula Ki Tapaksi Mandragunta. Hanya saja keadaan lelaki tua itu tidak terlalu mengkhawatirkan. Di samping karena tingkat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi daripada putranya, dia pun memiliki pengalaman yang amat luas dalam pertarungan. Sedikit banyak hal itu berguna saat ini.

Meskipun begitu, bukan berati Handaka dapat dipermainkan lawan-lawannya. Sama sekali tidak! Dia nasih mampu mengadakan pertarungan dengan gigih. Tak terhindarkan suasana hiruk-pikuk pertempuran semakin seru terdengar. Bunyi desing senjata-senjata meluncur, dan benturan keras dalam tangkisan, serta teriakan-teriakan keras yang mengawali serangan, seakan memecah suasana siang itu.

Perlahan-lahan namun pasti, kancah pertarungan pun tampak bergeser dari tempat semula. Jarak pertarungan antara Handaka dan sang Ayah pun semakin terpisah jauh. Hal itu terjadi karena pemuda berpakaian kuning itu terus didesak mundur.

"Haaat..!"

Wuttt!

Sambil mengeluarkan teriakan keras, tiga sosok berpakaian hitam melompat, menerkam Handaka dengan pedang ditudingkan lurus ke arah leher.

Handaka kaget. Namun dia masih sempat memberikan tangkisan. Hanya sebelum goloknya membentur pedang lawan, dua sosok berpakaian hitam lain telah menggulingkan tubuh dan melancarkan serangan ke bagian bawah tubuh Handaka.

Tentu saja serangan itu membuat Handaka kelabakan. Disadari kalau serangan dari atas yang akan mencapai sasaran lebih dulu. Tapi selisih waktunya demikian singkat. Kalau ditangkis serangan atas, sebelum dirinya sempat berbuat sesuatu, serangan bawah akan memangsanya.

Hal inilah yang membuat Handaka kebingungan. Namun, disadari kalau kesempatan baginya untuk berpikir tak ada. Akhirnya, Handaka memutuskan untuk bertindak nekat. Pemuda berpakaian kuning itu bertekad memapak serangan dari atas.

"Hih!" Sambil menggertakkan gigi, putra Ketua Perguruan Kera Emas ini memutar-mutarkan golok di depan tubuh. Dan....

Trangngng!

Bunyi berdentang keras langsung terdengar, ketika golok Handaka berbenturan dengan tiga barang pedang sekaligus. Akibatnya, baik Handaka maupun tiga sosok berpakaian hitam sama-sama terhuyung-huyung ke belakang.

Saat itulah serangan susulan dari sosok-sosok berpakaian hitam yang berada di bawah, meluncur. Pedang-pedang mereka meluncur ke pusar dan lutut. Yang satu menusuk pusar, sedangkan yang lain membabat lutut. Handaka memang sudah memperhitungkan hal seperti ini. Maka dengan sebisa-bisanya dicoba menggeliatkan tubuh. Dan....

Crat! Crat! Crattt!

"Akh!" Handaka memekik kesakitan, ketika pedang lawan-lawannya berhasil mengoyak paha dan lutut. Untung keduanya tidak putus! Hanya tergurat. Tapi tak urung darah segar mengalir keluar dari luka itu.

Seketika itu pula Handaka terhuyung-huyung ke belakang. Dan di saat seperti itulah, dua di antara lima orang lawannya yang belum kebagian menyerang melemparkan beberapa buah benda bulat ke tanah!

TUJUH

"Glarrr!"

Ledakan keras terdengar ketika benda-benda coklat sebesar telur bebek itu menghantam tanah. Seketika itu pula asap tebal kebiruan menyelimuti tempat itu.

Asap itu ternyata bukan asap sembarangan. Terbukti ketika tanpa sengaja Handaka menghirupnya, langsung merasakan kepalanya mendadak pusing. Pandangannya pun berkunang-kunang disertai sekujur tubuh terasa gemetaran.

Namun, tampaknya Handaka tahu kalau asap yang dihisapnya mengandung racun! Maka buru-buru ditahan napas untuk mencegah terhisapnya racun itu.

Handaka berhasil. Namun sayangnya, asap yang sudah terhirup, meski hanya sedikit, telah mampu mempengaruhi keseimbangan tubuhnya. Rasa pusing dan pandangan berkunang-kunang yang melandanya semakin menghebat. Sampai akhirnya....

Brukkk!

"Ukh...!" Tubuh Handaka ambruk ke tanah dan mengeluarkan keluhan lirih. Saat itu juga, putra Ketua Perguruan Kera Emas yang gagah perkasa ini tak sadarkan diri.

Melihat hal ini, sepuluh orang sosok berpakaian hitam itu langsung bertindak cepat. Mereka bergegas menghampiri tubuh Handaka. Tak lupa, asap yang masih menyelimuti tempat itu mereka halau dengan menggunakan kibasan-kibasan tangan.

Hanya dalam beberapa saat, asap yang menyelubungi tempat itu langsung sirna! Sekarang yang tinggal hanya tubuh Handaka tergolek di tanah. Pemuda berpakaian kuning ini telah pingsan!

"Berhenti, Ki Tapaksi!" seru salah satu sosok berpakaian hitam itu lantang, "Hentikan pertarungan! Atau..., nyawa anakmu akan melayang ke alam baka!"

Seruan itu membuat Ketua Perguruan Kera Emas terkejut bukan kepalang. Namun rasa curiga membuatnya khawatir kalau seruan itu hanya gertakan belaka. Ki Tapaksi Mandragunta takut kalau di saat perhatiannya dialihkan, lawan akan mempergunakan kesempatan itu untuk membokong.

Meskipun demikian, di lubuk hati Ki Tapaksi Mandragunta ada rasa khawatir kalau ucapan sosok berpakaian hitam itu benar. Maka, ketika mendapat kesempatan luang, dia melempar tubuh ke belakang, dan berjumpalitan beberapa kali untuk menjauhi lawan-lawannya.

Begitu kedua kakinya mendarat ringan di tanah, kepalanya langsung ditolehkan ke asal suara. Seketika tubuh Ki Tapaksi Mandragunta merasa lemas! Dilihatnya, Handaka telah tergeletak tak berdaya. Sementara lawan-lawannya berkeliling mengepung. Dua di antara mereka meletakkan pedang di dada dan leher. Sikap mereka menunjukkan keadaan siap melaksanakan ancaman yang dikeluarkan.

Untung saja di saat Ki Tapaksi Mandragunta tengah kebingungan menghadapi masalah ini, kelompok yang menjadi lawannya tak menggunakan kesempatan itu. Mereka berdiri diam menunggu. Rupanya, sepuluh sosok berpakaian hitam itu yakin kalau Ki Tapaksi Mandragunta akan melaksanakan perintah rekan-rekan mereka!

"Bagaimana, Ki?! Apa kau tak sayang nyawa anakmu?! Asal kau tahu saja, aku tidak termasuk orang yang sabar. Kuberi kau kesempatan sampai hitungan ketiga. Apabila hal ini kau abaikan, nyawa pemuda ini tak bisa diselamatkan lagi!" ancam sosok berpakaian hitam yang meletakkan pedangnya di leher Handaka.

Ki Tapaksi Mandragunta masih tetap diam. Masalahnya sebagai orang yang telah mempunyai pengalaman luas dirinya tahu, ancaman itu tak bisa dipercaya. Masalahnya, kalau dia menyerah, Handaka tetap dibunuh. Demikian pula dirinya.

Atas dasar pemikiran itulah, Ki Tapaksi Mandragunta merasa bimbang. Dirinya berada dalam sebuah pilihan sulit, bagai dihadapkan dengan buah simalakama. Apabila dimakan bapak mati, tak dimakan ibu yang mati. Keduanya serba repot!

"Satu! Dua...! Ti...!"

"Tahan! Baik! Aku menyerah...!" akhirnya Ki Tapaksi Mandragunta mengalah.

"Bagus! Kalau begitu tunggu apa lagi? Cepat lemparkan senjatamu!"

Ki Tapaksi Mandragunta tercengang sejenak. Namun, kemudian sambil menggertakkan gigi dilemparkan senjatanya ke tanah.

Cappp!

Golok yang mempunyai gagang berukiran kepala kera itu menancap di tanah.

"Ha ha ha...!" sosok-sosok berpakaian hitam itu tertawa terbahak-bahak, gembira melihat Ki Tapaksi Mandragunta memenuhi perintah mereka.

Mendadak terdengar suara siulan. Mula-mula pelan. Namun semakin lama semakin nyaring. Melengking tinggi sehingga mampu mengatasi suara tawa mereka. Anehnya, suara siulan itu mulai menyakitkan telinga mereka. Bahkan mampu membuat dada tergetar dan kepala pusing. Hal itu membuat sosok-sosok berpakaian hitam terpaksa menutup kedua telinga untuk mencegah suara-suara itu masuk.

Di antara mereka hanya Ki Tapaksi Mandragunta yang belum terpengaruh. Ketua Perguruan Kera Emas itu tampak masih berdiam diri. Tidak menggunakan kedua tangan untuk menutup telinganya. Dirinya hanya mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk memunahkan pengaruh siulan itu.

Sementara itu, suara siulan itu sepertinya masih jauh dari batas tertingginya. Masalahnya, nada siulan itu terus semakin meninggi. Dan akibatnya, yang harus menderita sosok-sosok berpakaian hitam itu. Kalau semula mereka hanya mendekap kedua telinga, sekarang mereka berguling-guling di tanah.

Ki Tapaksi Mandragunta sekarang mulai duduk bersila. Punggungnya diluruskan. Kedua tangan dirangkapkan di depan dada. Ketua Perguruan Kera Emas ini tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melawan pengaruh suara lengkingan itu.

Namun, baru sebentar hal itu dilakukan, suara siulan itu berhenti. Sungguhpun demikian, Ketua Perguruan Kera Emas ini tetap meneruskan semadi. Dia khawatir pemilik siulan itu belum menghentikan tindakannya.

Kekhawatiran Ki Tapaksi Mandragunta ternyata sia-sia. Siulan itu ternyata memang telah berhenti sama sekali. Maka sepasang mata yang semula dipejamkan, langsung dibukanya kembali. Yang pertama kali dilihat Ki Tapaksi Mandragunta sosok-sosok berpakaian hitam bergeletakan di sana-sini. Mereka semua terkapar lemas tak bedaya, menyusul Handaka yang telah lebih dulu pingsan.

"Arya...! Melati...!"

Ki Tapaksi Mandragunta berseru ketika melihat dua sosok tubuh yang mengayunkan kaki dengan tenang menghampirinya. Ketua Perguruan Kera Emas ini bangkit berdiri. Dan dengan tarikan wajah memancarkan kegembiraan disambutnya kedatangan Dewa Arak dan Melati.

"Apa yang terjadi, Arya, Melati? Mengapa kalian bisa sampai ke tempat ini? Ke mana kuda kalian?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta bertubi-tubi.

Dewa Arak dan Melati saling pandang dengan bibir menyunggingkan senyum mendengar pertanyaan bertubi-tubi yang dikeluarkan Ketua Perguruan Kera Emas itu.

"Akan kami jawab pertanyaanmu satu persatu, Ki," jawab Arya seraya menyembunyikan perasaan geli yang berkecamuk di hati.

"Ah...!" Hanya ucapan demikian yang dapat dikeluarkan Ki Tapaksi Mandragunta. Masalahnya dia merasa malu mengingat pertanyaannya tadi.

"Pertama, tidak ada kejadian apa pun atas diri kami. Kedua, keberadaan kami di sini, karena memang dalam perjalanan menyusul perjalananmu dan Handaka. Ketiga, kuda-kuda sengaja kami tinggalkan. Risih rasanya menunggangi kuda, setelah terbiasa menempuh perjalanan dengan kaki," papar Dewa Arak menjelaskan.

Ki Tapaksi Mandragunta mengangguk-anggukkan kepala begitu mendengar keterangan Dewa Arak. "Sebenarnya cukup jelas keterangan yang kau berikan, Dewa Arak. Tapi..., ada hal yang masih mengganjal di hatiku. Bisa kau menjelaskannya?!"

"Andaikan aku bisa tentu kulakukan. Katakanlah, Ki! Jangan ragu-ragu!" pinta Dewa Arak memberi angin.

"Baiklah kalau memang demikian, Arya. Pertanyaan yang hendak kuajukan hanya satu. Mengapa kau menyusul perjalanan kami? Padahal, bukankah semula kau yang bersikeras untuk berpisah?"

Dewa Arak menyunggingkan senyum di bibir. "Sederhana saja, Ki," kalem jawaban Dewa Arak, "Aku khawatir kalau orang-orang Perguruan Camar Sakti benar-benar berniat jahat. Dan bila itu benar-benar terjadi kau dan Handaka berada dalam bahaya. Itulah yang menyebabkanku menyusulmu!"

"Terima kasih atas niat baikmu, Arya. Dan kurasa dugaanmu benar, Perguruan Camar Sakti telah berubah pendirian. Rupanya perguruan itu bermaksud mengajak bentrokan dengan perguruanku! Kalau itu memang kemauan Ki Liwung Perkasa sendiri, akan kuladeni! Jangan dikira aku takut!" ucap Ki TapaksiMandragunta, penuh semangat.

"Maaf, Ki! Kurasa dalam masalah ini, perasaan marah tidak perlu kita perturutkan agar hal-hal buruk tak sampai terjadi," ucap Dewa Arak berusaha menenangkan, ketika melihat Ki Tapaksi Mandragunta sudah mulai kelabakan.

Ki Tapaksi Mandragunta mengernyitkan alis. "Aku jadi heran. Sebenarnya apa maumu, Arya?! Tadi, kau bilang kau merasa khawatir akan keselamatanku dengan mengatakan, bahwa ada kemungkinannya orang-orang Perguruan Camar Sakti itu bermaksud membunuhku. Bukankah demikian?! Anehnya, begitu kunyatakan permusuhanku dengan Perguruan Camar Sakti kau sepertinya malah membela mereka. Sebenarnya, kau berdiri di pihak mana, Arya?!"

"Sabar, Ki! Tenang, dan dengarkan penjelasanku! Memang benar, yang menyebabkanku bisa sampai kemari, karena perasaan khawatirku, kalau-kalau kau dan Handaka akan menjadi korban orahg-orang Perguruan Camar Sakti..."

"Dugaanmu tidak salah! Orang-orang Perguruan Camar Sakti memang bermaksud membunuh kami. Kau lihat sendiri buktinya!" Sambil berkata demikian, Ki Tapaksi Mandragunta menudingkan jari telunjuknya ke arah sosok-sosok berpakaian hitam yang bergeletakan di tanah. "Mereka ternyata orang-orang Perguruan Camar Sakti!" tandas Ketua Perguruan Kera Emas, keras.

Dewa Arak dan Melati saling pandang sejenak. "Benarkah mereka orang-orang Perguruan Camar Sakti, Ki? Kau yakin? Apa bukan tak mungkin kalau mereka segerombolan orang yang sengaja bermaksud mengadu domba antara perguruanmu dengan Perguruan Camar Sakti?!"

Ki Tapaksi Mandragunta menatap wajah Dewa Arak lekat-lekat "Asal kau tahu saja, Arya. Aku kenal ilmu-ilmu milik Perguruan Camar Sakti seperti aku mengenal ilmu-ilmuku sendiri. Dan..., aliran ilmu milik para penyerbu ini kuketahui betul, ilmu-ilmu milik Perguruan Camar Sakti!"

Dewa Arak kontan terdiam. Pemuda berambut putih keperakan itu menyadari kalau sekarang dirinya tidak bisa membantah lagi. Masalahnya, Ki Tapaksi Mandragunta mampu menunjukkan bukti-buktinya.

"Mungkin dugaanmu mengenai para penyerbu yang berasal dari Perguruan Camar Sakti ini benar, Ki. Tapi..., apakah kau yakin kalau tindakan mereka ini sepengetahuan pimpinan mereka? Apakah bukan tak mungkin kalau tindakan-tindakan seperti ini dilakukan beberapa gelintir murid saja? Dan kalau demikian halnya, rasanya tidak adil sekali menimpakan kesalahan pada semua anggota Perguruan Camar Sakti!" kali ini Melati yang membuka suara. Terdengar berapi-api dan penuh semangat pernyataan yang diberikannya.

Ki Tapaksi Mandragunta mengangguk-anggukkan kepala seraya mengerutkan dahi. Menilik sikapnya dapat diketahui kalau dirinya menerima pendapat yang diberikan Melati.

"Apa yang kau ucapkan sama sekali tidak salah, Melati. Kuucapkan terima kasih atas saranmu yang bagus ini. Aku pun sadar kalau di perguruanku belum tentu semua murid berhati luhur. Bukan tak mungkin, kelak di antara mereka akan ada yang menjadi penjahat keji! Ahhh...! Betapa piciknya pandanganku...!"

"Lalu..., sekarang apa yang akan kau lakukan, Ki?!" tanya Dewa Arak, ingin tahu, tanpa menyembunyikan rasa gembiranya melihat sikap Ki Tapaksi Mandragunta.

"Tetap pada tujuanku semula, Arya! Mengunjungi Perguruan Camar Sakti! Akan kucoba berbincang-bincang dengan Ki Liwung Perkasa. Semua masalah yang menimpaku akan kusampaikan. Tak lupa kubawa para pengeroyok kami. Aku akan berusaha menyelesaikan masalahnya secara baik-baik!"

"Kami berada di belakangmu, Ki," sambut Dewa Arak cepat.

"Terima kasih atas dukunganmu, Arya!" ujar Ki Tapaksi Mandragunta, tulus.

"Lupakanlah, Ki!" timpal Dewa Arak dengan perasaan tidak enak.

Setelah mengobati luka-luka Handaka, rombongan yang dipimpin Ki Tapaksi Mandragunta pun bergerak menuju markas Perguruan Camar Sakti. Di dalam rombongan mereka terdapat sosok-sosok berpakaian hitam yang berhasil mereka tawan.

* * *

Tak lama kemudian, pagar yang melingkari bangunan-bangunan Perguruan Camar Sakti telah terlihat. Dari kejauhan pagar itu kelihatan demikian kokoh kuat. Berdiri tegak dan angker!

Dua orang murid Perguruan Camar Sakti yang bertugas menjaga pintu gerbang segera melihat datangnya serombongan orang yang menuju markas mereka.

"Cepat beritahukan pada Kakang Jalatunda! Katakan ada serombongan orang menuju kemari! Keadaan dan sikap mereka mencurigakan sekali!"

Tanpa menunggu perintah dua kali, murid Perguruan Camar Sakti yang berkulit hitam legam laksana arang, bergegas membalikkan tubuh dan berlari ke dalam. Sementara penjaga pintu gerbang yang satu lagi, berdiam diri di tempatnya dengan pandangan tertuju ke depan, menatap rombongan Ki Tapaksi Mandragunta.

Ki Tapaksi Mandragunta dan yang lain-lainnya pun bukan orang bodoh. Begitu melihat salah seorang penjaga pintu gerbang Perguruan Camar Sakti berlari ke dalam secara demikian tergopoh-gopoh, mereka sudah dapat menduga apa yang akan dilakukan penjaga itu. Apalagi kalau bukan melaporkan kedatangan mereka?

Meskipun telah menduga demikian, Ki Tapaksi Mandragunta beserta rombongan tetap bersikap tenang. Tidak terlihat adanya kegugupan atau pun kegelisahan, baik dalam tarikan wajah maupun sorot mata.

Dugaan mereka tidak salah. Begitu jarak antara mereka dengan pintu gerbang tinggal delapan tombak lagi, di depan pintu gerbang, berkerumun sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka semua murid Perguruan Camar Sakti.

Berdiri paling depan seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat. Menilik dari tindak-tanduknya dialah pimpinan rombongan itu. Dan dugaan demikian memang tidak salah. Lelaki bercambang bauk lebat ini murid kepala Perguruan Camar Sakti. Jalatunda, demikian namanya.

Trek! Trek! Trekkk!

Terdengar bunyi berkeretekan ketika semua murid Perguruan Camar Sakti menyentuh gagang senjata masing-masing. Menilik tindakan itu, dapat diketahui kalau mereka telah siap untuk bertempur.

Tentu saja tindakan itu membuat Ki Tapaksi Mandragunta, Dewa Arak, Melati, dan Handaka saling berpandangan satu sama lain. Hanya Handaka sendiri yang mengalami sial.

Masalahnya, dialah yang mendapat tugas untuk menjaga tawanan. Semua sosok berpakaian hitam itu dikumpulkan dan diikat menjadi satu. Kemudian tali yang mengikat mereka semua, dipegangnya.

Meskipun demikian, tidak berarti Ki Tapaksi Mandragunta dan rombongan menjadi gentar karenanya. Sama sekali tidak! Mereka mempunyai prinsip! Selama berada di jalan kebenaran, mereka tak akan pernah mengenal perasaan gentar. Apalagi hanya menghadapi keroco-keroco seperti murid-murid Perguruan Camar Sakti.

Itulah sebabnya, tetap dengan sikap dan langkah tenang mereka mengayunkan kaki. Ingin tahu apakah tindakan yang akan dilakukan murid-murid Perguruan Camar Sakti itu?!

Begitu jarak antara rombongan Ki Tapaksi Mandragunta dengan pintu gerbang Perguruan Camar Sakti tinggal beberapa tombak lagi, Jalatunda mengibaskan tangan. Seketika itu pula murid-murid Perguruan Camar Sakti bergerak menyebar. Kemudian....

Srat! Srat! Srattt!

Sinar terang menyilaukan mata langsung bekeredepan, ketika murid-murid Perguruan Camar Sakti menghunus pedang masing-masing.

"Rupanya kekhawatiranmu benar, Arya. Perguruan Camar Sakti benar-benar telah berniat memusnahkan Perguruan Kera Emas. Kau lihat sendiri, kan, kenyataannya?!" bisik Ki Tapaksi Mandragunta, bernada keluh.

"Aku masih belum yakin, Ki. Mungkin ada kesalahpahaman di sini. Kalau tidak, mana mungkin Ki Liwung Perkasa akan membiarkan murid-muridnya menghadapimu?! Sedikit banyak dia, kan bisa mengukur kalau tingkatan murid-muridnya tak bisa dibandingkan denganmu?!"

Ki Tapaksi Mandragunta menganggukkan kepala. Bisa diterimanya alasan yang dikemukakan Dewa Arak. "Jadi..., maksudmu bahwa Ki Liwung Perkasa tak tahu-menahu tentang kejadian ini?!"

"Kira-kira begitulah...," hanya demikian sambutan Dewa Arak.

* * *
DELAPAN

"Itu dia pembunuhnya...!" seru seorang murid Perguruan Camar Sakti yang bertubuh kecil kurus seraya menudingkan jari telunjuknya pada Handaka. Karuan saja Handaka kelabakan mendengarnya. Mengapa dia dituduh membunuh?! Apakah telinganya tak salah dengar? Atau..., murid Perguruan Camar Sakti itu yang sudah gila?

Bukan hanya Handaka yang merasa terkejut, Ki Tapaksi Mandragunta, Dewa Arak, dan Melati pun demikian. Mengapa Handaka dituduh membunuh? Siapa yang telah dibunuhnya? Dan kapan hal itu dilakukannya?

"Tunggu...! Harap kalian bersedia menjelaskan masalahnya," cegah Ki Tapaksi Mandragunta, seraya mengangkat tangan kanan ke atas untuk mencegah murid-murid Perguruan Camar Sakti melancarkan serangan.

Namun murid-murid Perguruan Camar Sakti tampak tak mempedulikannya. Di bawah pimpinan Jalatunda, mereka menerjang rombongan Ki Tapaksi Mandragunta. Golok-golok di tangan mereka berkelebatanmenyerang Ki Tapaksi Mandragunta dan rombongan.

"Aku yakin mereka hanya salah paham, Ki. Lebih baik kita tak usah menjatuhkan tangan keras! Agar kesalah-pahaman ini tidak menjadi berlarut-larut. Kau dengar, Melati?!"

"Kau benar, Arya," jawab Ki Tapaksi Mandragunta seraya menganggukkan kepala. Memang, Ketua Perguruan Kera Emas itu merasakan adanya kebenaran dalam ucapan Dewa Arak.

Pada saat yang hampir bersamaan dengan jawaban Ki Tapaksi Mandragunta, Melati pun memberikan tanggapan terhadap pertanyaan Dewa Arak dengan anggukan kepala pertanda mengerti.

"Heaaa...!" Saat itulah serangan murid-murid Perguruan Camar Sakti meluncur bagaikan hujan, ke arah Ki Tapaksi Mandragunta dan rombongan.

Namun, bagi Ki Tapaksi Mandragunta, Melati, dan Dewa Arak serangan keroco-keroco itu tentu saja tak banyak berarti. Hanya dengan beberapa gerakan sederhana serangan-serangan itu dapat dielakkan. Dengan cepat ketiga tokoh itu berkelebat ke sana kemari menghindari serangan lawan. Sementara Handaka hanya berdiam diri.

Handaka berada tepat di belakang tiga tokoh itu. Dengan sendirinya, apabila murid-murid Perguruan Camar Sakti itu hendak mengirimkan serangan terhadapnya, mereka harus melalui Dewa Arak, Ki Tapaksi Mandragunta, dan Melati!

Sementara itu tindakan Dewa Arak, Ki Tapaksi Mandragunta, dan Melati tidak hanya sampai pada melakukan elakan. Begitu berhasil melakukan elakan-elakan, mereka pun mulai melancarkan serangan balasan.

"Hih!"

Seperti telah disepakati saja, ketiga tokoh sakti ini melakukan tindakan sama. Mereka merampas senjata lawan-lawan mereka. Tindakan itu membuat murid-murid Perguruan Camar Sakti tampak kebingungan ketika melihat tangan mereka telah kosong. Tidak ada sesuatu pun yang tergenggam di sana. Dan ketika mereka semua termasuk Jalatunda mengalihkan pandangan ke Dewa Arak,Melati, dan Ki Tapaksi Mandragunta, tampak senjata-senjata itu di tangan mereka.

Jalatunda dan adik-adik seperguruannya terdiam dengan perasaan bingung yang mencekam. Karena sebenarnya mereka tidak sadar tadi, bagaimana caranya senjata-senjata itu berpindah tangan. Yang mereka tahu, tadi, untuk sesaat tangan mereka lumpuh. Mungkinkah pada saat itu Ki Tapaksi Mandragunta dan rombongannya merebut senjata-senjata mereka.

Pertanyaan-pertanyaan yang menggayuti benak membuat murid-murid Perguruan Camar Sakti terdiam beberapa saat lamanya. Tiba-tiba....

"Luar biasa...! Betapa gagahnya...! Tidak salahkah penglihatanku kali ini? Benarkah yang kulihat Ki Tapaksi Mandragunta, Ketua Perguruan Kera Emas.? Kalau benar demikian, mengapa begitu tak tahu malu bermain-main dengan keroco-keroco yang tidak punya arti?!"

Sebenarnya ucapan itu dikeluarkan dengan suara pelan. Namun anehnya seperti mengandung getaran kuat yang mampu menyelusup sampai ke lubuk hati. Bukan hanya Ki Tapaksi Mandragunta, Dewa Arak, dan Melati pun ikut menoleh pula.

Hanya saja di antara mereka bertiga, wajah Ki Tapaksi Mandragunta yang tampak merah padam, Ketua Perguruan Kera Emas itu malu bukan kepalang, mendengar pernyataan yang jelasjelas menyindirnya itu. Ki Tapaksi Mandragunta tahu siapa pemilik suara itu. Dirinya merasa pemilik suara itu pernah akrab dengannya, puluhan tahun yang lalu. Siapa lagi kalau bukan Ki Liwung Perkasa? Dan benar di depan mereka tampak berkelebat sosok bayangan hitam yang melesat begitu cepat.

Wusss!

Jliggg!

Laksana daun kering, sosok berpakaian hitam itu mendaratkan kaki di tanah. Hampir tak terdengar sedikit pun bunyi yang ditimbulkannya. Jelas hal ini menjadi pertanda kalau sosok berpakaian hitam ini memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi. Sosok berpakaian hitam itu ternyata seorang kakek bertubuh pendek kekar. Pada bagian dadanya yang tak tertutup tampak bulu-bulu lebat berwarna hitam.

"Ki Liwung Perkasa...," desis Ki Tapaksi Mandragunta seraya menatap sosok tubuh yang telah berdiri sekitar enamtombak di depannya.

"Ha ha ha...! Rupanya kau masih ingat denganku, Gunta?" ujar sosok berpakaian hitam yang ternyata Ki Liwung Perkasa, Ketua Perguruan Camar Sakti!

"Bagaimana mungkin aku melupakanmu, Kang Liwung? Bagaimanapun kita tetap saudara seperguruan. Kau tetap sebagai kakak seperguruanku."

Ki Liwung Perkasa tersenyum sinis. "Manis benar ucapanmu, Gunta! Di depanku kau mengatakan demikian, tapi kalau tidak ada aku, mungkin murid-muridku telah kau binasakan semua! Untung aku segera datang hingga nyawa mereka masih utuh."

"Kau salah paham, Kang Liwung! Aku tidak pernah berniat membunuh murid-muridmu. Bahkan melukainya pun tidak! Yang kulakukan hanya mencegah mereka melukaiku!" bantah Ki Tapaksi Mandragunta, agak keras.

"Bohong...!" Ki Liwung Perkasa tetap pada pendiriannya. "Kalau kau tak punya maksud tertentu, mengapa datang ke tempatku. Dengan secara berbondong-bondong lagi! Lalu..., siapa pula orang-orang berpakaian hitam itu?!"

"Itulah sebabnya aku kemari, Kang Liwung! Kau tahu murid-muridku yang bertugas mengawal barang kiriman tewas dibantai. Dan pada salah satu mayat itu terhunjam benda ini!"

Sambil berkata demikian, Ki Tapaksi Mandragunta melemparkan pisau yang mempunyai gagang berbentuk kepala burung camar.

Tanpa banyak bicara Ki Liwung Perkasa menangkap pisau itu dan memeriksanya. "Rupanya kau hendak melempar batu sembunyi tangan. Gunta! Kau hanya berani berbuat, tanpa berani bertanggung jawab. Padahal, murid Perguruan Kera Emas yang mengacau di perguruanku. Tapi kini, kau malah mengatakan sebaliknya!"

"Fitnah!" teriak Ki Tapaksi Mandragunta keras, "Tak ada seorang pun murid Perguruan Kera Emas yang melakukan kekejian seperti tuduhanmu!"

"Ooo..., begitu?! Kimpil..., kemari kau! Dan ceritakanlah pada Ki Tapaksi Mandragunta yang terhormat ini, mengenai tindak kekejianmuridnya!"

Kimpil, murid Perguman Camar Sakti yang bertubuh kecil kurus melangkah maju. "Benar, Guru. Dialah orang yang telah melakukan pembunuhan terhadap beberapa orang murid Perguruan Camar Sakti semalam. Aku sempat memergokinya. Tapi sayang, dia keburu melarikan diri!" ujar Kimpil menjelaskan.

"Fitnah! Pembohong sepertimu harus dihajar!" Karena tak mampu menahan amarahnya, Ki Tapaksi Mandragunta melesat ke arah Kimpil. Tangan kanannya digerakkan menyampok. Untungnya, Ketua Perguman Kera Emas ini masih ingat untuk tidak mengirimkan serangan yang mematikan! Maka sampokan itu ditujukan ke arah bahu.

Meski yang dituju bahu, tetap saja serangan itu amat berbahaya. Tenaga yang terkandung dalam serangan itu amat besar. Jangankan bahu manusia. Batu karang pun dapat hancur oleh pukulan Ki Tapaksi Mandragunta.

"Ki...!" Dewa Arak terkejut bukan kepalang melihat tindakan Ki Tapaksi Mandragunta yang sama sekali tak disangka-sangkanya. Namun, untuk mencegah, pemuda berambut putih keperakan itu tidak sempat lagi. Yang dapat dilakukannya hanya mengeluarkan teriakan kaget.

Ki Liwung Perkasa dan semua yang ada di situ pun demikian. Mereka tahu kalau keselamatan Kimpil terancam. Ki Tapaksi Mandragunta pun sebenarnya kaget bukan kepalang. Tapi apa daya? Dirinya sudah tak mampu lagi untuk menahan serangannya. Yang dapat dilakukan hanya mengurangi tenaga. Itu pun hanya sedikit sekali.

"Heaaa...!"

Wuttt!

"Hah?!" Mendadak terjadilah sebuah peristiwa yang membuat semua murid Perguruan Camar Sakti, Ki Liwung Perkasa, dan Ki Tapaksi Mandragunta terkejut bukan kepalang. Dalam waktu yang demikian singkat, Kimpil mampu memutar tubuh bagian atasnya dengan bertumpu pada pinggang!

Yang menjadi penyebab keterkejutan mereka semua, jurus aneh seperti yang dilakukan Kimpil tak pernah diajarkan di Perguruan Camar Sakti. Bahkan terlihat jelas kalau gerakan itu mempunyai aliran lain.

"Dari mana kau dapatkan gerakan itu, Kimpil?!" tanya Ki Liwung Perkasa, setengah membentak.

Kimpil mundur-mundur. Pertanyaan bernada keras Ki Liwung Perkasa membuatnya sadar kalau Ketua Perguruan Camar Sakti itu merasa curiga padanya. Maka lelaki bertubuh pendek dan kekar itu tampak kebingungan. Saat itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Tapaksi Mandragunta.

"Gerakan yang dilakukannya bukan merupakan jurus milik Perguruan Camar Sakti! Jangan-jangan dia diselundupkan masuk untuk mengadu domba perguruan kita, Kang!"

Ki Liwung Perkasa tertegun ketika menyadari adanya kebenaran dalam ucapan Ki Tapaksi Mandragunta. Tentu saja Ki Tapaksi Mandragunta tahu, maka segera dipergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

"Aku punya saksi kuat akan banyaknya orang-orang Perguruan Kera Emas yang dibunuh! Kau pernah dengar julukan Dewa Arak?! Nah! Dialah yang menjadi saksi semua kejadian!"

kemudian secara singkat tapi jelas, Ketua Perguruan Kera Emas menceritakan semua kejadiannya. Ketika Ki Tapaksi Mandragunta menceritakan semua kejadiannya, Kimpil menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Tampaknya tengah mencari celah-celah untuk melarikan diri. Namun, kesempatan itu tak pernah ada. Semua orang yang berada di situ telah mengawasi, begitu Ki Tapaksi Mandragunta mengutarakan kecurigaannya.

"Ah! Jadi..., kau Dewa Arak yang terkenal itu?! Sama sekali tak kusangka akan berkenalan denganmu. Urusan apa yang menyebabkanmu kemari, Dewa Arak?!" tanya Ki Liwung Perkasa, ramah penuh bernada gembira.

"Kebetulan saja, Ki," jawab Dewa Arak, seraya menyunggingkan senyum lebar. Kemudian secara gamblang pemuda berambut putih keperakan ini menceritakan semua kejadian yang menimpanya. Kali ini dengan sebenar-benarnya.

"Aku yakin sosok yang bermaksud membunuhku menyusup sebagai orang dalam Perguruan Kera Emas. Itu dugaanku sejak semula. Sama sekali tak kusangka kalau di Perguruan Camar Sakti pun ada penyelusupnya. Jelas, maksud orang itu ingin mengadu domba!" ujar Dewa Arak mencoba menguraikan secara panjang lebar apa yang menjadi kesimpulannya sejak semalam.

Ki Tapaksi Mandragunta dan Ki Liwung Perkasa mengangguk-anggukkan kepala seakan-akan ia membenarkan kesimpulan Dewa Arak telah mereka buktikan sendiri kenyataannya.

"Sekarang tinggal kita usahakan untuk mengorek keterangan itu dari mulut Kimpil!" tandas Ki Liwung Perkasa seraya mengalihkan perhatian pada lelaki kecil kurus itu.

"Kimpil...!" Ki Liwung Perkasa menyapa dengan suara keras. "Sama sekali tak kusangka kalau kau seorang penjahat keji. Berarti masuknya kau setengah purnama yang lalu bertujuan untuk mengacau. Sekarang katakan siapa yang menjadi pemimpinmu, Kimpil! Kami berjanji akan membebaskanmu kalau kau menjawab sejujurnya!"

Kimpil tak memberikan tanggapan sama sekali. Namun sesaat kemudian tubuhnya roboh ke tanah. Mati! Semua mata yang ada di tempat itu tentu saja terbelalak kaget bercampur heran menyaksikan kejadian itu. Tiba-tiba saja tubuh Kimpil tergeletak kaku di atas tanah tanpa mereka tahu penyebabnya.

Ki Tapaksi Mandragunta dan Ki Liwung Perkasa, serta Dewa Arak segera menghambur ke sana. Mereka bergegas memeriksa mayat Kimpil. Namun ketika melihat lendir yang mengalir dari mulut lelaki kecil kurus itu, mereka pun tahu apa sebabnya. Kimpil bunuh diri dengan menelan racun.

"Hhh...!" Ki Liwung Perkasa menghela napas berat, "Sekarang masalahnya kembali gelap! Dengan tewasnya Kimpil, masalah ini sukar untuk terpecahkan. Kita tidak tahu di mana keberadaan orang yang berdiri di balik kejadian ini."

"Bukankah kita mempunyai tawanan-tawanan lainnya," tukas Ki Tapaksi Mandragunta.

Ucapan Ki Tapaksi Mandragunta membuat semua orang yang berada di situ mengalihkan perhatian pada Handaka. Karena pemuda berpakaian kuning itulah yang bertugas menjaga tawanan. Namun harapan yang memancar di wajah dan mata mereka semua mendadak pudar, ketika melihat empat tawanan yang mereka bawa pun meninggal dunia. Tak seorang pun yang tahu kejadian itu sebelumnya, sebab para tawanan itu masih tetap berdiri, tidak ambruk. Hal itu terjadi karena mereka berdiri saling menempel.

"Mengapa mereka bisa tewas juga, Ayah?" tanya Handaka, tanpa menyembunyikan herannya.

"Mengapa tak kau tanyakan pada pendekar besar yang ada di sini?!" Ki Tapaksi Mandragunta mengajukan usul pada putranya.

Pemuda berpakaian kuning itu pun menoleh kepada Dewa Arak yang hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Kau hanya membuatku malu saja, Ki. Apa artinya pengetahuan yang kumiliki bila dibanding denganmu?!" kilahnya merendah.

"Jadi..., kau juga tak tahu, Dewa Arak?!" tanya Handaka.

"Kalau yang ini tahu, Handaka. Racun itu telah berada di dalam mulut mereka. Mungkin di sela-sela gigi. Jadi, apabila diperlukan tinggal menggigit saja. Air liur akan melarutkannya. Dan racun pun langsung bekerja," urai Dewa Arak panjang lebar.

Handaka mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasan Dewa Arak. Ki Tapaksi Mandragunta dan Ki Liwung Perkasa pun di dalam hatinya memuji keluasan pandangan Dewa Arak!

"Sekarang baru masalah ini kembali gelap seperti semula, Kang Liwung. Siapa orang yang menjadi dalang kekacauan ini. Lalu..., di mana dia berada, di Perguruan Camar Sakti atau di Perguruan Kera Emas. Sulit untuk dipastikan!" keluh Ki Tapaksi Mandragunta.

Suasana berubah hening ketika ucapan Ketua Perguruan Kera Emas itu selesai. Mereka semua yang ada di tempat itu tenggelam dalam alun pikiran masing-masing.

"Ki...! Aku punya dugaan kuat di mana sang Dalang itu berada...."

"Di mana, Arya?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta tak sabar.

"Di perguruanmu. Asal tahu saja dia memiliki kepandaian yang amat tinggi. Bahkan..., maaf bukan maksudku untuk menyinggung kalian berdua, Ki. Kepandaian orang itu berada di atas kalian. Tapi anehnya, aku merasa dalang itu memiliki ilmu-ilmu yang sealiran dengan kalian," ujar Dewa Arak menjelaskan.

Bukan merupakan hal yang aneh kalau Dewa Arak dapat mengambil kesimpulan demikian, dua kali sosok yang tidak jelas itu melancarkan serangan terhadapnya.

Ki Tapaksi Mandragunta dan Ki Liwung Perkasa saling tatap sebentar. Tampaknya ada sesuatu yang mereka rahasiakan.

"Mengapa kau bisa mengambil kesimpulan demikian, Arya?!" tanya Ki Tapaksi Mandragunta, ingin tahu.

"Aku pernah bertarung dengan Handaka. Dan kulihat ada gerakan-gerakan mereka yang mirip. Tapi, yang jelas, mereka berasal dari satu aliran!"

"Kalau begitu..., mungkinkah dia Gagak Seta, Kang Liwung?!"

"Mengapa tidak?! Hanya dialah satu-satunya orang yang memiliki aliran kita."

"Gagak Seta?! Siapa dia?" tanya Dewa Arak ingin tahu.

"Kakak seperguruan kami. Tapi telah diusir sebelum tamat oleh guru kami, karena mempunyai watak yang tidak baik. Rupanya dia dendam pada kami. Karena kamilah yang melaporkan tindakan tak patutnya," jelas Ki Tapaksi Mandragunta, singkat. "Tapi, kalau dia menyelusup sebagai orang dalam di perguruanku..., rasanya sulit. Masalahnya aku pasti mengenalinya.... Astaga...! Mengapa aku begitu pikun?!"

Ucapan Ki Tapaksi Mandragunta yang kelihatan demikian kaget membuat, semua orang yang berada di situ menolehkan kepala ke arahnya.

"Ah! Sekarang aku ingat! Gagak Seta pasti Gaseta!" seru Ki Tapaksi Mandragunta, penuh perasaan kaget.

"Kakek yang pekerjaannya membersihkan halaman dan bangunan, Ayah?!" tanya Handaka.

"Benar," Ki Tapaksi Mandragunta menganggukkan kepala, "Pantas sewaktu melihatnya, aku merasa pernah bertemu dengannya. Sayangnya aku lupa kapan dan di mana. Masalahnya sedikit banyak dia menyamarkan diri."

"Kalau demikian tunggu apa lagi?! Mari kita ke sana, Ki!" ajak Dewa Arak.

"Kau benar!"

* * *

Hari telah menjelang senja ketika Ki Tapaksi Mandragunta, Handaka, Melati, dan Dewa Arak telah berada tak jauh dari Perguruan Kera Emas.

'"Kau lihat itu, Dewa Arak?!" seru Ki Tapaksi Mandragunta seraya menudingkan jari telunjuknya ke depan.

Pertanyaan itu ditujukan pada Dewa Arak. Tapi tidak hanya pemuda berambut putih keperakan itu yang langsung mengarahkan pandangan ke sana. Handaka dan Melati pun demikian.

Dari kejauhan tampak asap membumbung tinggi ke angkasa. Hitam pekat dan bergumpal-gumpal. Sesekali terlihat cahaya kemerahan di antara asap-asap tebal itu. Sekilas saja dapat diketahui kalau asap seperti ini hanya timbul dari sebuah kebakaran yang cukup besar.

"Kebakaran?!" hampir bersamaan Dewa Arak, Melati, dan Handaka berteriak kaget.

"Benar!" sambut Ki Tapaksi Mandragunta dengan suara bergetar karena menahan gejolak perasaan. "Dan kalian perhatikan letaknya!"

"Sepertinya dari...."

"Perguruan Kera Emas!" selak Ki Tapaksi Mandragunta, "Si Keparat Gagak Seta pasti telah membumi-hanguskan perguruanku!"

"Kalau begitu, mari kita bergegas!"

Tanpa menunggu tanggapan Dewa Arak Ki Tapaksi Mandragunta langsung melesat. Melihat kegusaran Ketua Perguruan Kera Emas itu, Dewa Arak segera melesat cepat. Tak tanggung-tanggung dikerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Hingga dalam sekejap saja sosok berpakaian ungu itu telah berada puluhan tombak meninggalkan ketiga kawannya yang lain.

Melihat Dewa Arak telah berada puluhan tombak di depan, Ki Tapaksi Mandragunta, Melati, dan Handaka pun melesat cepat untuk menyusul. Betapa pun Ki Tapaksi Mandragunta, Melati, dan Handaka mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, mereka tidak mampu menyusul Dewa Arak. Malah sebaliknya, jarak antara mereka semakin bertambah jauh.

Sementara itu, Dewa Arak terus berlari cepat mengerahkan seluruh kemampuannya. Disadari sekarang waktu berharga sekali. Sekejap mata saja sama harganya dengan beberapa nyawa. Masalahnya, bukan tidak mungkin di sana Gagak Seta tengah melakukan pembantaian!

Tak berapa lama kemudian, Dewa Arak telah berada di depan pintu gerbang Perguruan Kera Emas. Tanpa pikir panjang lagi, dilompatinya pagar kayu yang mengelilingi kelompok bangunan. Ini terpaksa dilakukan karena pintu gerbang tertutup dan tanpa penjaganya sama sekali!

"Heaaa...!"

Jliggg!

Begitu mendaratkan kedua kaki secara mantap di tanah, Dewa Arak langsung mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Beberapa tombak di depannya, di dekat kobaran api yang membakar bangunan-bangunan Perguruan Kera Emas, tampak seorang kakek bertubuh kecil kurus berpakaian hitam tengah dikeroyok beberapa orang murid Perguruan Kera Emas.

Hanya sekilas pandang, Dewa Arak tahu kalau terlambat sedikit saja, delapan murid Perguruan Kera Emas akan tewas di tangan kakek kecil kurus itu. Karena, meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak, jalannya pertarungan seperti sekelompok semut menerjang api. Semuanya roboh sebelum berhasil mencapai tujuan.

"Hih!" Kakek kecil kurus yang ternyata Gagak Seta ini mengibaskan tangannya. Seketika itu pula, beberapa buah benda berkilat melesat memburu delapan orang murid Perguruan Kera Emas. Terlihat jelas betapa mereka terkejut melihat serangan yang tidak disangka-sangka telah meluncur dengan kecepatan menakjubkan itu.

Sudah dapat dipastikan kalau nasib sisa murid Perguruan Kera Emas itu akan selesai sampai di situ. Untung, di saat terakhir Dewa Arak menghentakkan kedua tangan ke depan.

"Hih!"

Wusss!

Serentetan angin kencang membadai meluncur dari kedua telapak tangan Dewa Arak. Angin itu melesat begitu cepat menerjang benda-benda berkilat itu.

Srattt!

Prakkk!

Benda-benda senjata rahasia itu berpentalan jatuh ke tanah. Dan sebelum Gagak Seta bertindak lebih jauh, Dewa Arak bergerak mendahului. Pemuda berambut putih keperakan ini melompat memasuki kancah pertarungan. Dalam kesejap saja kakinya telah mendarat begitu ringan di antara murid-murid Perguruan Kera Emas dan Gagak Seta.

"Menyingkirlah...! Dia bukan tandingan kalian," ujar Dewa Arak, pelan tapi tegas. Tanpa menunggu perintah dua kali, delapan orang murid Perguruan Kera Emas, bergerak menjauh. Sekarang yang tinggal hanya Dewa Arak berhadapan dengan Gagak Seta.

"Ha ha ha...!" Gagak Seta tertawa terbahak-bahak, "Tak pernah kusangka akan berhadapan denganmu, Dewa Arak! Semula, kupikir kau akan mati pada pertemuan pertama kita kemarin!"

"Tidak usah banyak cakap, Gagak Seta!" sergah Dewa Arak. "Kejahatanmu telah melampaui batas! Hanya mautlah yang dapat menghentikan tindakan angkara murkamu! Bersiaplah kau, Seta!"

"Sombong! Kaulah yang akan mampus di tanganku, Dewa Arak! Hiyaaat..!" Seiring keluarnya teriakan, Gagak Seta melompat menerjang Dewa Arak. Kemudian, di saat tubuh kakek kecil kurus itu melayang di udara tinju kanannya dihantamkan ke dada Dewa Arak.

"Hih...!"

Wusss!

Deru angin keras yang mengiringi serangan itu menjadi pertanda kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Dewa Arak pun tak berani bertindak gegabah. Buru-buru dilemparkan tubuhnya ke samping. Dan di saat berada di udara, diambil gucinya. Kemudian dituangkan isinya ke dalam mulut. Memang, dia telah mengisi gucinya dengan arak hingga penuh ketika singgah di sebuah kedal sebelum menyusul Ki Tapaksi Mandragunta dan Handaka.

Gluk... Gluk... Gluk...!

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya menuju ke lambung. Sesaat kemudian, hawa hangat berputaran di dalam perutnya. Kemudian, hawa itu merayap ke atas menuju kepala.

Jliggg!

Begitu mendaratkan kaki di tanah, tubuh Dewa Arak langsung sempoyongan. Oleng ke sana-sini. Ini menjadi pertanda kalau ilmu 'Belalang Sakti'nya telah siap dipergunakan. Masalahnya, dia tahu kalau Gagak Seta telah mengeluarkan ilmu yang diandalkannya.

"Inikah ilmu 'Belalang Sakti' yang tersohor?! Ingin kulihat mampukah menghadapi ilmu 'Tangan Maut' ku?"

Belum jelas gema ucapannya, Gagak Seta telah menerjang Dewa Arak Kali ini kakek itu melancarkan totokan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan leher Dewa Arak dengan jari-jari tangan menegang kaku mirip pasangan jurus 'Ular'.

Tampaknya Dewa Arak tak ingin mengelak. Dipapaknya serangan bertubi-tubi yang mengancam tempat-tempat mematikan itu dengan kedua tangan setengah terbuka.

"Hiaaa...!"

Prat! Prattt!

"Uh!" Gagak Seta mengeluarkan keluhan tertahan dari mulutnya ketika menyadari tangannya terasa sakit. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, selangkah lebih jauh dari Dewa Arak. Jelas, dalam hal kekuatan tenaga dalam dirinya berada di bawah pemuda berambut putih keperakan yang amat lihai itu!

Tapi, saat itu juga Gagak Seta langsung mempertunjukkan kelihaian ilmu 'Tangan Maut'nya. Secepat tarikan napasnya kakek kurus itu memperbaiki kedudukannya, melancarkan serangan susulan dengan susunan jari berbeda. Inilah keistimewaan ilmu 'Tangan Maut'! Dalam satu kali meluncurkan tangan, dapat menciptakan berbagai serangan, sesuai dengan perubahan sikap jari.

"Hiaaaa...!"

Wuttt!

"Hih...!"

Namun, dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'nya, Dewa Arak berhasil membuat serangan lawan pupus. Bahkan dia mampu mengirimkan serangan balasan yang tak kalah dahsyat. Pertarungan sengit pun tak dapat dielakkan.

"Hih...!"

Wuttt!

Sebuah pertarungan yang hebat tengah berlangsung di sekitar kobaran api di lingkungan markas Perguruan Kera Emas. Setiap kali Dewa Arak melancarkan serangan, angin menderu terlontar dari tangannya. Begitu pula yang dilakukan Gagak Seta. Setiap pukulannya mampu menghempaskan kobaran api yang membakar bangunan itu.

Jangankan terkena langsung, angin serangan kedua tokoh itu saja telah cukup untuk membuat keadaan di sekitar pertarungan berantakan. Tanah terbongkar di sana-sini. Bahkan kobaran api yang tidak begitu besar mendadak semakin berkobar hebat. Asap hitam menyelimuti tempat pertarungan.

Jurus demi jurus berlalu cepat karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat. Yang terlihat hanyalah bayangan hitam dan ungu yang saling belit. Hanya sesekali saja kedua bayangan itu saling pisah. Tak terasa dua puluh jurus telah berlalu.

Di saat itulah, Ki Tapaksi Mandragunta, Melati, dan Handaka tiba. Dengan penuh perhatian mereka menyaksikan jalannya pertarungan. Diam-diam Ki Tapaksi Mandragunta harus mengakui kalau kepandaian Gagak Seta berada di atas dirinya. Untung, ada Dewa Arak. Kalau tidak, dia bisa tewas di tangan bekas kakak seperguruannya itu.

Sementara itu pertarungan semakin berlangsung sengit. Seratus lima puluh jurus telah lewat. Dan sekarang sudah, terlihat tanda-tanda pihak pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Dewa Arak telah menguasai keadaan.

Tampak Gagak Seta hanya mampu bermain mundur. Keistimewaan ilmu 'Tangan Maut' nya tetap tak mampu mengimbangi kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti'. Robohnya Gagak Seta hanya tinggal menunggu waktu saja.

"Hiaaat..!"

Pada jurus ke seratus enam puluh tiga, Gagak Seta mengirimkan serangan dengan menghentakkan kedua telapak tangan ke dada lawan. Melihat hal itu, dengan perhitungan matang seorang ahli silat Dewa Arak merendahkan tubuhnya. Dipasangnya kuda-kuda yang sangat rendah. Kemudian, secepat kilat kedua tangannya dihantamkan ke dada lawan. Persis apa yang dilakukan Gagak Seta.

Blakkk!

"Hukh!" Bunyi gemertak keras tulang-belulang yang berpatahan terdengar. Gagak Seta terpekik kaget. Darah seketika muncrat dari mulutnya. Hantaman kedua tangan Dewa Arak mendarat telak pada sasaran.

Seketika itu pula tubuh Gagak Seta terlontar deras sejauh beberapa tombak, sebelum akhirnya terbanting di tanah. Tapi, patut dipuji kekuatan tubuhnya. Dengan luka dalam cukup parah kakek kecil kurus itu masih mampu bertahan.

Melihat nasib yang menimpa bekas kakak seperguruannya, Ki Tapaksi Mandragunta tiba-tiba merasa kasihan. Bergegas dihampirinya. Kemudian dia berjongkok di dekat tubuhnya.

Gagak Seta menyunggingkan senyum getir. "Untuk yang kesekian kalinya aku menjadi orang yang kalah," ujar kakek kecil kurus ini terputus-putus.

"Lupakanlah itu, Kang Seta!" hibur Ki Tapaksi Mandragunta. "O ya, ada satu hal yang masih mengganggu pikiranku. Dengan tingkat kepandaianmu yang seperti ini, kurasa tidak sulit bagimu untuk membunuhku sejak kau datang kemari?"

"He he he...!" Gagak Seta tertawa terkekeh, "Kau tidak tahu, saat itu aku tengah terluka dalam. Aku pun berjuang keras mengobatinya di tempatmu. Dan luka itu sembuh beberapa hari sebelum munculnya Dewa Arak di sini. Luka itu terjadi akibat aku salah melatih ilmu. Dan.... Akh!"

Kepala Gagak Seta terkulai. Kakek kecil kurus itu tewas sebelum menyelesaikan ucapannya. Meskipun demikian, sampai di situ semua sudah cukup mengerti. Perlahan-lahan Ki Tapaksi Mandragunta bangkit, dan ditatapnya bangunan-bangunan perguruannya yang telah menjadi puing. Bara api masih memerah. Namun, asap hitam mulai menipis dihembus angin senja yang bertiup cukup kencang....

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.