SATU
"Keparat! Monyet Busuk! Kadal Buntung!"Sambil mengeluarkan makian-makian kotor penuh kemarahan, seorang kakek yang mengenakan pakaian terbuat dari benang emas menyeret perahunya ke pinggir pantai. Pakaiannya tampak kuning berkilauan. Apalagi, saat itu tertimpa sinar matahari pagi.
Dengan masih mengeluarkan makian, diikatnya perahu itu pada sebuah karang es yang ada di situ. Lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Dan yang tampak jelas hanya es!
"Akhirnya berhasil juga aku sampai di sini. Hhh...! Selamat bertemu denganku, Pulau Es. Mudah-mudahan aku tidak kedahuluan Raja Monyet Muka Hitam. Kalau tidak, dia akan lebih dulu mendapatkan pusaka-pusaka Pulau Es," gumam kakek berpakaian kuning itu khawatir.
Kakek itu mengayunkan langkah, setelah sesaat mengawasi keadaan sekitar pulau. Langkahnya tampak Sepasang matanya yang tajam berkilau dan terkadang mencorong seperti mata seekor harimau dalam gelap, diedarkan ke sana kemari. Agaknya, kakek berpakaian kuning itu telah siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Mendadak....
Blosss! Wusss!
"Hei...!"
Kakek berpakaian kuning berseru kaget ketika tanah ber-es yang diinjaknya amblas. Apalagi ketika dari rekahan tanah itu menyembur api. Untung dia telah waspada sejak semula. Sehingga kakek itu dapat menghindar dengan melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri. Api itu menyembur di depannya.
"Gila!" ujar kakek berpakaian kuning penuh kengerian. Tarikan wajahnya kelihatan menyiratkan ketegangan. Kejadian itu rupanya telah mengejutkan hatinya.
"Apa aku tidak salah lihat?!" tanya kakek berpakaian kuning. Sepasang matanya tertuju ke arah api yang menyembur keluar laksana air mancur! Untuk beberapa saat, kakek itu terpaku di tempatnya. Rasa tidak percaya terlihat jelas pada wajah dan sorot matanya.
"Aneh...," untuk yang ke sekian kali, ucapan tidak percaya keluar dari mulut kakek itu. Bahkan, kali ini disertai dengan gelengan kepalanya. "Sulit kupercaya tempat ini mengandung api alam. Luar biasa! Tak masuk akal!"
Setelah cukup lama tenggelam dalam perasaan kagum dan telah mampu menguasai diri, kakek itu kembali melangkah memasuki pulau. Langkah kakek itu kelihatan lebih berhati-hati dari sebelumnya. Selangkah demi selangkah, dia berjalan menjauhi pantai. Tapi pemandangan yang ditemuinya tetap sama. Tanah yang tertutup es, gundukan-gundukan es dan bukit-bukit es. Semua es. Di mana-mana es.
"Hm...!" Kakek berpakaian kuning menggumam pelan sambil mengangguk-anggukkan kepala, ketika melihat dua buah tiang es setinggi dua tombak. Tiang itu mengapit sebuah jalan sekitar lima tombak di depannya. Dan bentuk dan keadaannya, agaknya dua buah tiang itu merupakan pintu gerbang.
Tanpa ragu-ragu dan tetap waspada, kakek itu mengayunkan langkah menghampiri. Tapi ketika jarak dirinya dengan kedua tiang es tinggal dua tombak lagi, mendadak muncul sosok-sosok tubuh berpakaian merah.
Kakek berpakaian kuning tampak tidak terkejut. Sebab, dia sudah menduga sebelumnya kalau pulau ini berpenghuni. Dengan tenang, langkahnya terus diayunkan. Demikian pula sosok-sosok berpakaian merah. Kedua pihak terlihat saling mengawasi dengan penuh selidik. Dan kakek itu tidak kelihatan kaget melihat ciri-ciri sosok-sosok berpakaian merah yang berjumlah lima orang itu. Padahal, ciri-ciri mereka cukup aneh. Kulit mereka kemerahan!
Begitu jarak antara mereka tinggal tiga tombak, lima sosok berpakaian merah yang tidak lain para penghuni Pulau Api, melepaskan lilitan cambuk berduri pada pinggangnya. Jelas, mereka telah siap bertarung!
Tentu maksud orang-orang berpakaian merah itu telah diketahui kakek berpakaian kuning. Tapi, dia tidak kelihatan gentar. Dan dengan tetap tenang kakinya diayunkan seperti tidak terjadi apa-apa.
Sementara itu, kelima penghuni Pulau Api sudah menyebar. Dalam waktu singkat, kakek berpakaian kuning telah terkurung di tengah-tengah. Hingga, terpaksa kakek itu menghentikan langkahnya. Lalu sepasang matanya yang tajam berkilat merayapi sosok-sosok tubuh pengeroyoknya. Tampak olehnya, wajah mereka bersih dan bulu. Tidak ada seorang pun, yang berkumis dan berjenggot, apalagi bercambang!
"Siapa kalian? Dan apa maksud kalian mencegat perjalananku?!" tanya kakek berpakaian kuning tanpa rasa takut sedikit pun. Dan jawaban pertanyaannya adalah....
Ctar, ctar, ctar!
Bunyi keras menggelegar terdengar ketika lima orang berpakaian merah melecutkan cambuknya. Dan sebelum gema bunyi itu lenyap, ujung-ujung cambuk itu telah meluncur ke berbagai bagian berbahaya di tubuh kakek berpakaian kuning.
"Hih!" Kakek berpakaian kuning segera menjejakkan kaki. Dan sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas. Hingga, lecutan-lecutan cambuk mengenai tempat kosong di bawah kakinya.
Jliggg!
Mantap dan terlihat gagah kakek itu mendarat-kan kakinya di luar kepungan. Tapi, itu hanya ber-langsung sesaat. Sebentar kemudian, dengan sekali gerak kelima penghuni Pulau Api berhasil mengurungnya kembali. Kini kakek berpakaian kuning tidak mau bertindak ceroboh lagi. Cepat dicabutnya senjata andalannya yang selalu terselip di pinggang. Sebuah suling emas!
Dan secepat itu pula senjatanya diputar di depan dada. Luar biasa! Terdengar bunyi berirama. Nikmat didengar telinga. Seakan-akan kakek berpakaian kuning itu meniupnya. Tapi, kelima orang berpakaian merah tidak mempedulikannya. Kemball mereka melecutkan cambuk.
Ctar, ctar, ctar!
Kakek berpakaian kuning tidak segera bertindak. Dengan tenang, dibiarkannya ujung-ujung cambuk menyambar lebih dekat. Baru setelah itu, suling di tangannya diputar sedemikian rupa hingga lenyap bentuknya. Yang terlihat hanya segulungan sinar keemasan yang mengelilingi sekujur tubuh kakek itu, seperti sebuah benteng yang memancarkan sinar!
Trak, trak, trak!
Terdengar bunyi benturan keras berkali-kali ketika suling itu berbenturan dengan ujung lima batang cambuk. Akibatnya sungguh hebat! Tubuh kelima penghuni Pulau Api langsung terhuyung-huyung ke belakang dengan telapak tangan terasa panas dan pedas. Sementara kakek berpakaian kuning tidak terpengaruh sedikit pun! Tenaga dalam kakek itu agaknya jauh lebih unggul dari lawan-lawannya.
Hal ini diketahui para penghuni Pulau Api. Tapi mereka tidak menjadi gentar. Dengan cepat mereka segera melancarkan serangan-serangan susulan. Bunyi meledak-ledak terdengar dari lecutan cambuk mereka. Serangan itu langsung mendapat sambutan hangat dari kakek berpakaian kuning. Tak pelak lagi, pertarungan pun kembali berlangsung. Sebuah pertarungan yang penuh dengan bunyi riuh rendah.
Mengetahui kalau kakek berpakaian kuning itu bukan lawan yang ringan, maka tanpa ragu-ragu lagi orang-orang berpakaian merah membentuk penyerangan secara teratur. Dengan taktik seperti itu, mereka kelihatan seperti menjadi satu! Dengan kata lain, seperti seorang yang memiliki tangan dan kaki lima pasang!
Dan hasilnya langsung dirasakan kakek berpakaian kuning! Semula dia bersikap memandang rendah, ketika dalam segebrakan telah membuat kepungan mereka berantakan. Tapi sekarang? Hasil seperti itu sulit didapatkannya kembali.
Memang, kerja sama yang dilakukan orang-orang berpakaian merah itu sungguh luar biasa! Terkadang, serangan dilakukan secara bersamaan. Tiga di antara mereka bertindak sebagai penyerang, sedangkah sisanya bertugas memusnahkan serangan balasan kakek berpakaian kuning.
Tapi, tak jarang serangan dilakukan perorangan. Dengan taktik susul-menyusul tanpa henti seperti gelombang laut. Yang lebih hebat, model serangan perorangan itu berbeda-beda. Seorang melaktikan serangan dengan lucutan, yang lain dengan cambuk menegang kaku, dan sisanya membuat senjata lemas dan mati itu seperti hidup! Mereka dapat membuat cambuk itu meliuk-liuk dan mematuk-matuk seperti seekor ular!
Banyaknya model-model serangan, membuat kakek berpakaian kuning sulit untuk menentukan lanjutan serangan itu. Selain itu juga banyak menguras tenaga dan pikiran. Baik serangan secara bersamaan atau perorangan, semua memaksa kakek berpakaian kuning untuk memusatkan perhatian menghindarinya.
Suling emasnya dikelebatkan ke sana kembari mematahkan setiap serangan, dan sekaligus melancarkan serangan balasan. Menarik dilihat dan gaduh di telinga, pertarungan itu berlangsung. Bunyi meledak-ledak dad cambuk, thingkahi bunyi melengking nyaring seperti suling ditiup, senantiasa terdengar.
Jurus demi jurus terus berlalu. Kini pertarungan memasuki jurus kedua puluh. Meskipun demikian, tetap belum bisa dipastikan pihak mana yang akan keluar sebagai pemenang. Sebab, pertarungan masih berlangsung sengit.
Rupanya, kenyataan ini membuat kakek berpakaian kuning murka! Betapa tidak? Tenaga dan ilmu meringankan tubuhnya berada jauh di atas lawan-lawannya. Tapi, kenyataannya dirinya sulit untuk merobohkan mereka. Dan semua itu disebabkan oleh kerja sama yang baik dari lawan-lawannya.
Hingga begitu pertarungan memasuki jurus ke-dua puluh lima, namun tetap saja belum mampu menguasai keadaan, kakek berpakaian kuning kehilangan kesabaran. Maka diputuskannya untuk menggunakan cara lain. Padahal, semula dia tidak bermaksud untuk mengeluarkannya. Sebab, tingkat ketnampuan lawan-lawannya berada jauh di bawahnya.
"Hih!"
Kakek itu melempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali. Tampaknya kakek itu hen-dak menjauhkan diri dari lawan-lawannya. Melihat hal itu, lima orang penghuni Pulau Api tidak tinggal diam. Mereka tahu, hanya ada dua kemungkinan yang menyebabkan lawan menjauhkan diri.
Pertama, melarikan diri. Dan kedua, hendak menggunakan ilmu andalan! Kedua-duanya tidak dikehendaki mereka. Maka, pengejaran pun langsung dilakukan! Jangankan melarikan diri, memperba,iki kedudukan pun tidak akan mereka biarkan!
Tapi karena kakek berpakaian kuning memiliki ilmu meringankan tubuh jauh di atas orang-orang berpakaian merah, maka dia berhasil menjauhkan diri dari lawan-lawannya.
Jliggg!
Ringan tanpa suara kakek itu mendaratkan ke-dua kakinya di tanah. Kemudian segera menempel-kan sulingnya di mulut. Ujung jari-jari tangannya ditutupkan ke lubang-lubang yang terdapat pada badan suling. Terdengar bunyi melengking ketika kakek berpakaian kuning meniupnya. Sedang pada saat itu, lima orang penghuni Pulau Api tengah meluruk he arah kakek itu.
Semula suara suling memang cukup nikmat didengar. Tapi sekejap kemudian nadanya berubah tinggi. Melengking nyaring. Kelihatannya sepele saja. Tapi akibatnya bénar-benar menakjubkan!
Lima penghuni Pulau Api yang tengah meluruk ke arahnya langsung mengurungkan maksud mereka. Betapa tidak?, Bunyi tiupan suling kakek berpakaian kuning terasa sakit di telinga dan dada kelima orang itu. Semakin lama bunyi suling semakin tinggi dan tidak enak didengar telinga! Dan semakin lama, guncangan pada dada dan rasa sakit yang melanda telinga makin menjadi-jadi.
Akibatnya, kelima penghuni Pulau Api tidak bisa melanjutkan perlawanan lagi. Mereka segera duduk bersila, mengambil sikap semadi. Punggung diluruskan dan kedua tangan dipertemukan di depan dada. Tampaknya kelima orang itu berusaha melawan pengaruh suara suling dengan pengerahan tenaga dalam.
Dengan sendirinya bentuk pertarungan berubah. Dan kelihatan tidak menarik lagi. Satu pihak berdiri sambil meniup suling, dan lawannya duduk bersila. Kedua belah pihak sibuk dengan urusan masing-masing dalam jarak satu tombak!
Di awal-awal pertarungan yang menitik beratkan pada kekuatan tenaga dalam itu, belum dapat dipastikan pihak mana yang akan menang. Tapi sebentar kemudian tanda-tanda keunggulan mulai terlihat!
Wajah lima orang penghuni Pulau Api tampak semakin memerah. Bahkan dari atas kepala mereka mengepul uap putih. Mula-mula tipis, tapi semakin lama semakin banyak dan tebal. Mereka mengeluarkan tenaga dalam di luar batas kemampuan mereka. Tidak hanya itu saja yang terjadi. Dari kedua telinga dan lubang hidung orang-orang berpakaian merah mengalir darah segar.
Jelas, mereka telah terluka dalam! Darah yang keluar tampak semakin banyak dan deras. Hingga dapat dipastikan robohnya mereka tinggal menunggu waktu saja. Dan dugaan itu itu memang tidak salah! Sesaat kemudian....
"Akh!" Jeritan menyayat hati keluar dari mulut salah seorang penghuni Pulau Api. Tubuh orang itu mengejang sesaat. Kemudian terkulai lemas! Orang itu tewas dalam keadaan masih duduk bersila. Belum lagi gema teriakan orang malang itu lenyap, jeritan menyayat lainnya segera menyusul. Berturut-turut empat orang berpakaian merah mengalami nasib yang sama.
"Ha ha ha...!"
Kakek berpakaian kuning tertawa terbahak-bahak melihat lawan-lawannya terkulai tanpa nyawa. Masih dengan tawa yang belum putus, diselipkannya suling itu di pinggang. "Itulah ganjaran bagi orang yang berani menentang Raja Iblis Baju Emas! Ha ha ha...!"
Setelah menatap mayat kelima lawannya sesaat, kakek berpakaian kuning yang ternyata berjuluk Raja Iblis Baju Emas, mengayunkan langkah untuk meneruskan maksudnya yang sempat tertunda. Tapi belum jauh ia melangkah.
"Benar, Ketua. Sekelompok orang berpakaian hitam yang dipimpin seorang kakek berwajah hitam dan mirip monyet tiba-tiba datang," sambung temannya. "Di samping jumlah mereka banyak, tiba-tiba kakek, itu menyelinap ke celah-celah dinding tebing yang ada di dekatnya. Rupanya, kakek itu mendengar ada suara orang berbincang-bincang.
"Bodoh! Tolol! Mengapa kalian bisa gagal mendapatkan pusaka-pusaka itu?! Sia-sia saja aku bersusah payah memancing Sangga Buana keluar dari sarangnya!"
Terdengar jelas oleh Raja Iblis Baju Emas ucapan bemada kemarahan itu. Kepalanya dikeluarkan sedikit dan tempat persembunyiannya untuk melihat pemilik suara itu. Tampak tiga sosok berpakaian merah tengah melangkah tergesa-gesa. Dua di antara mereka mengenakan sabuk lebar merah menyala. Sedangkan yang seorang lagi, di samping mengenakan sabuk juga ikat kepala. Dan berwama merah pula.
"Maafkan kami, Ketua," jawab salah seorang yang pinggangnya dililit sabuk. "Kalau tidak terjadi hal-hal di luar dugaan itu, karni mungkin sudah membawa pusaka-pusaka itu ke hadapan Ketua. kakek berwajah hitam itu hebat bukan main. Padahal, saat itu kami tengah direpotkan oleh orang-orang Pulau Es...."
"Singkatnya, kalian gagal mendapatkan pusaka-pusaka itu kan?" potong kakek berikat kepala merah, yang ternyata pimpinan orang-orang berpakaian merah.
"Benar, Ketua. Pusaka-pusaka itu dilarikan orang berwajah monyet itu," jelas dua lelaki berikat pinggang lebar sambil menundukkan kepala. Tampak jelas kalau mereka merasa bersalah.
"Hhh...!" kakek berwajah kelimis itu, menghela napas berat. "Sia-sia saja aku susah-payah memancing Sangga Buana meninggalkan istananya."
Ada nada kekecewaan yang sangat dalam suara pimpinan orang-orang berpakaian merah itu. Ucapan itu tidak mendapatkan tanggapan dan dua orang berikat pinggang merah. Mereka hanya menundukkan kepala.
Sementara, di tempat persembunyiannya Raja Iblis Baju Emas kelihatan terperanjat. Meskipun hanya itu pembicaraan yang tertangkap telinganya, karena ketiga orang itu telah semakin jauh meninggalkannya, tapi kakek itu sudah mengerti. Banyak keterangan yang didapatkannya dari pembicaraan tiga orang berpakaian merah itu.
Dan kesimpulan yang berhasil ditarik dari pembicaraan itu membuatnya terperanjat! Betapa tidak? Ternyata tempat yang didatanginya ini bukan Pulau Es! Sungguh kenyataan yang mengagetkan hati!
Kejutan yang kedua adalah pusaka-pusaka Pulau Es telah dicuri orang! Dan semua itu mencapai puncaknya ketika mendengar ciri-ciri orang yang berhasil membawa lari pusaka-pusaka itu. Meskipun hanya mendengar ciri-cirinya, tapi kakek itu langsung bisa menebak siapa orang itu. Ya! Raja Monyet Muka Hitam.
"Keparat! Tak kusangka Raja Monyet Muka Hitam berhasil mendahuluiku...," ucap Raja Iblis Baju Emas dalam hati. "Kecil sekali kemungkinannya aku berhasil merebutnya kembali. Meskipun demikian, apa pun yang terjadi aku harus berusaha merebutnya. Rupanya, dia dan gerombolannya masih di Pulau Es. Tunggulah, Raja Monyet! Aku akan datang dan merebut pusaka-pusaka itu!"
Setelah mengambil keputusan seperti itu, Raja Iblis Baju Emas bermaksud kembali ke perahunya. Tapi....
"Ah! Aku lupa menyembunyikan mayat kelima orang tadi. Tiga orang itu pasti akan melihatnya. Dan mereka akan tahu kalau ada orang yang telah menyelundup kemari. Lebih baik aku bersembunyi dulu," ucap Raja Iblis Baju Emas dalam hati.
Dan kakek itu memang tidak perlu menunggu terlalu lama untuk membukiikan kebenaran dugaannya. Karena sesaat kemudian, dari kejauhan terdengar suara pekikan keras penuh kemarahan. Pekikan keras yang membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, keluar dari mulut Pemimpin Pulau Api. Dan penyebabnya adalah mayat kelima orang anak buahnya.
"Keparat! Jahanam! Orang gila dari mana yang telah melakukan semua ini?! Dia akan mendapatkan balasannya! Bonggol! Sangora! Cari orang gila itu! Dan cincang sampai hancur tubuhnya bila ketemu! Aku yakin dia masih berada di sini! Lihat, perahunya masih ada!" perintah Pemimpin Pulau Api pada dua lelaki berikat pinggang merah.
"Baik, Ketua!" jawab dua orang berikat pinggang merah yang ternyata bernama Bonggol dan Sangora.
"Aku pergi lebih dulu, Bonggol! Kau urus orang gila yang berani mati memasuki tempat kita dan melakukan penghinaan ini. Jangan lupa, perintahkan beberapa orang pilihan untuk menyusulku ke Pulau Es. Barangkali saja tenaga mereka cukup berguna untuk menghadapi cecoro-cecoro pencuri pusaka itu. Kau mengerti?!"
"Mengerti, Ketua. Perintahmu akan segera kami laksanakan," jawab Bonggol, yang mempunyai bibir tebal.
"Bagus! Sekarang aku pergi!"
Lalu tanpa menoleh lagi, Pemimpin Pulau Api menghanyutkan perahu miliknya ke laut. Sesaat kemudian, perahu itu meluncur cepat membelah permukaan air. Sebab, kakek bertompel itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengayuh dayung. Bonggol dan Sangora mengawasi hingga perahu pimpinan mereka lenyap. Setelah itu, baru mereka mengalihkan perhatian ke sekitar tempat itu. Keduanya sibuk mengira-ngira di mana pembunuh kawan-kawan mereka berada?
"Kita harus berhati-hati, Sangora," beritahu Bonggol. "Aku yakin orang gila itu memiliki kepandaian tinggi. Kau lihat mayat lima rekan kita, bukan?"
"Tak perlu mengajariku, Bonggol!" sergah Sangora tidak senang. "Tanpa kau beritahu pun aku sudah tahu. Kematian rekan-rekan kita telah membuktikan kekuatan tenaga dalam orang itu! Tapi, harus kau ingat! Kita tidak sama dengan kelima orang itu! Paham?!"
"Hm...!" Tanggapan yang diberikan Bonggol hanya dengusan. Entah apa maksudnya, hanya dia sendiri yang tahu!
DUA
Tentu saja Sangora mengetahui tindakan rekannya. Tapi dia bersikap tidak peduli. Pandangannya dilayangkan ke sekitar tempat itu. Demikian pula dengan Bonggol.
Namun, seketika itu pula keduanya tersentak kaget. Bahkan tanpa sadar melangkah mundur. Sekitar delapan tombak di hadapan mereka tampak berdiri seorang kakek berpakaian kuning! Dengan tenang, kakek yang tidak lain Raja Iblis Baju Emas melangkah menuju ke arah mereka.
"Keparat!" Makian marah itu keluar dari mulut Bonggol. Memang sudah sejak tadi, laki-laki berbibir tebal itu merasa geram bukan main pada orang yang telah membunuh rekan-rekannya.
"Bangsat!" Sangora tak mau ketinggalan mengumbar kemarahan. "Kaukah yang telah melakukan semua ini, Kadal Buntung?!"
"Tidak salah!" jawab Raja Iblis Baju Emas Iantang, tanpa menghentikan langkahnya. Sikap kakek berpakaian kuning itu tampaknya demikian tenang. Bahkan juga terkesan meremehkan. Hingga Bonggol dan Sangora semakin kalap. Seperti kakek-kakek kebakaran jenggot.
"Kalau begitu, kau harus menebusnya dengan nyawa busukmu! Hiyaaat...!"
Tanpa menunggu Raja Iblis Baju Emas berada lebih dekat lagi, Bonggol melompat menerkam. Tindakannya mengingatkan orang pada seekor harimau yang menerkam mangsanya.
Raja Iblis Baju Emas tetap bersikap tenang, meskipun bahaya maut tengah mengancamnya. Ditunggunya hingga serangan itu dekat. Lalu, kakek itu melakukan lompatan harimau ke kanan. Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya digulingkan. Hasilnya memang tidak sia-sia. Serangan Bonggol mengenai tempat kosong. Tapi sebelum Raja Iblis Baju Emas sempat bangkit, Sangora telah meluruk ke arahnya. Lalu....
Srattt!
Sinar terang memancar ketika golok besar yang tergantung di pinggang dicabutnya. Dan secepat itu pula diayunkan ke arah leher Raja Iblis Baju Emas. Agaknya, Sangora bermaksud memisahkan kepala kakek berpakaian kuning itu dan tubuhnya.
Raja Iblis Baju Emas terkejut bukan main menerima serangan mendadak itu. Apalagi, saat itu dia berada pada kedudukan yang tak menguntungkan. Meskipun demikian, kakek itu masih mampu menunjukkan kepiawaiannya sebagai seorang datuk kaum sesat. Dengan kecepatan gerak yang sulit diikuti mata, tangannya bergerak ke arah pinggang.
Trakkk!
Terdengar bunyi berdetak keras ketika Raja Iblis Baju Emas menggerakkan tangan memapaki babatan golok besar Sangora. Akibatnya, tubuh Sangora terhuyung ke belakang.
Kesempatan yang hanya sekejap itu, dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Raja Iblis Baju Emas. Tubuhnya dilentingkan, dan berputaran beberapa kali. Lalu mendarat mantap dengan sikap waspada. Tangan kanannya yang menyilang di depan dada menggenggam sebatang suling.
Rupanya, suling itulah yang dipergunakan Raja Iblis Baju Emas untuk memapaki babatan golok Sangora. Senjata andalannya itu diambil dari selipan ikat pinggangnya.
Kakek berpakaian kuning itu tidak perlu menunggu lama. Dengan diiringi teriakan menggeledek yang membuat tempat itu bergetar hebat, Bonggol kembali melancarkan serangan. Kali ini lelaki itu tidak bertangan kosong lagi. Tangan kanannya menggenggam sebatang golok besar.
Wungngng!
Bunyi mengaung keras seperti segerombolan lebah tengah murka terdengar, ketika Bonggol memutar senjatanya di atas kepala. Kemudian dengan kecepatan menakjubkan, lelaki itu mengayunkan goloknya mendatar ke arah batang leher Raja Iblis Baju Emas.
Belum juga serangan itu tiba, serangan Sangora telah meluncur. Sangora melompat tinggi ke atas. Dan saat tubuhnya berada tepat di atas Raja Iblis Baju Emas, ia menukik turun dengan ujung golok mengarah ke kepala bagian atas kakek itu! Menggiriskan sekali bentuk serangannya.
Lagi-lagi Raja Iblis Baju Emas mempertunjukkan sikap tenangnya. Meskipun dua serangan dahsyat berbau maut tengah meluncur ke arahnya, kakek itu tidak kelihatan gugup. Otaknya berputar untuk memusnahkan kedua serangan lawan dengan cara yang paling menguntungkan.
Dan hanya dalam sekejap, kakek berpakaian kuning telah mendapatkannya. Raja Iblis Baju Emas menarik mundur kaki kanannya sambil mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Dan mengayunkan sulingnya ke atas memapaki luncuran golok lawan!
Wuttt! Wusss! Trakkk!
Rentetan kejadian itu berlangsung dalam waktu sangat singkat. Babatan golok Bonggol menyambar lewat beberapa jari di depannya, hampir bersamaan dengan berbenturannya suling Raja Iblis Baju Emas dengan golok Sangora! Kedua serangan penghuni Pulau Api itu berhasil dikandaskan Raja Iblis Baju Emas!
Tapi pertarungan tidak berhenti sampai di sini. Begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan, Bonggol segera melancarkan serangan susulan dengan sebuah tendangan kaki kanan ke arah dada kakek itu. Sementara Sangora terpental ke atas akibat tangkisan suling Raja Iblis Baju Emas. Dengan sebuah gerakan manis, Sangora bersalto. Kemudian sambil berputar, goloknya dibabatkan ke kuduk kakek berpakaian kuning itu.
Cepat dan mendadak datangnya kedua serangan itu. Tapi, Raja Iblis Baju Emas mampu bergerak lebih cepat lagi. Sebab, kakek itu telah rnemperhitungkan akan mendapat serangan susulan. Tendangan Bonggol dipapaki dengan tendangan kaki kanannya pula. Itu dilakukannya dengan memutar tubuh sambil merendahkan diri.
Wusss! Blakkk!
Untuk yang kedua kalinya, babatan golok Sangora mengenai tempat kosong! Dan dengan selisih waktu yang amat singkat, terdengar benturan keras kaki Raja Iblis Baju Emas dengan kaki Bonggol.
Akhirnya memang cukup menakjubkan. Tubuh Bonggol langsung terdorong ke belakang. Rasa sakit yang sangat mendera kakinya. Demikian pula Raja Iblis Baju Emas. Hanya jarak dorong kakek berpakaian kuning itu lebih dekat, dan tidak menderita sakit.
Dan sini bisa diketahui kalau kekuatan tenaga dalam Raja Iblis Baju Emas berada di atas lawan. Meskipun demikian, baik Bonggol maupun Raja Iblis Baju Emas berhasil mematahkan kekuatan daya dorong tubuh mereka. Sesaat kemudian, pertarungan sengit kembali berlangsung!
Raja Iblis Baju Emas tampaknya harus menguras seluruh kepandaiannya jika ingin selamat. Lawan-lawannya ternyata bukan orang sembarangan. Kalau dilihat secara perorangan, Bonggol dan Sangora memang memiliki kemampuan di bawahnya. Baik dalam ilmu meringankan tubuh maupun tenaga dalam.
Tapi karena orang-orang Pulau Api itu menghadapinya secara bersama-sama, maka tak urung Raja Iblis Baju Emas kerepotan menghadapinya. Tambahan lagi selisih kepandaian dirinya dengan mereka tidak terlalu jauh.
Akibatnya sudah dapat diduga. Pertarungan berlangsung sengit dan menggiriskan hati. Betapa tidak? Bunyi mengaung, mendesing, menderu dan bunyi seperti suling ditiup, selalu terdengar setiap kali kedua belah pihak melancarkan serangan.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Hal itu tidak aneh. Sebab, kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat. Hingga dalam waktu singkat lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu kedudukan masih berimbang. Masing-masing pihak silih berganti melancarkan serangan.
Raja Iblis Baju Emas menggertakkan gigi karena penasaran bercampur geram. Dirinya adalah seorang datuk kaum sesat yang telah ratusan kali bertarung, dengan selalu keluar sebagai pemenang. Tapi kali ini, sampai demikian lamanya belum mampu mendesak lawan. Kenyataan ini benar-benar memukul hatinya!
Kalau menghadapi dua orang ini saja dia tidak mampu menang, bagaimana bisa keluar dari pulau ini dengan selamat? Sebab, di pulau ini masih banyak orang-orang berbaju merah lainnya.
Rasa penasaran itu membuat Raja Iblis Baju Emas semakin meningkatkan serangan. Hingga serangan-serangan yang dilancarkannya pun semakin dahsyat! Meskipun demikian, hasil yang dicapai tetap sama. Kakek itu belum juga mampu mendesak lawan-lawannya. Sejujurnya kakek berpakaian kuning ini harus mengakui kalau kedua lawannya memang orang-orang yang tangguh.
Hal yang menyulitkan Raja Iblis Baju Emas untuk merobohkan Sangora dan Bonggol adalah kemampuan kedua orang itu untuk bekerja sama. Dua orang Pulau Api itu mampu saling bantu. Mereka saling mengisi dalam penyerangan maupun pertahanan. Dalam kerja sama itu, Sangora dan Bonggol seperti dua orang yang dikendalikan oleh satu otak. Hingga Raja Iblis Baju Emas mengalami kesulitan untuk merobohkan mereka.
Meskipun demikian, bukan berarti dua orang Pulau Api itu dapat dengan mudah merobohkan Raja Iblis Baju Emas. Sama sekali tidak! Kakek itu terlalu tangguh untuk dapat dikalahkan dengan mudah! Itulah sebabnya pertarungan berlangsung sengit dan menarik.
Karena terlau memusatkan perhatian pada pertarungan, kedua belah pihak tampak tidak sadar kalau pertarungan telah bergeser jauh dari tempat semula. Yang ada di benak mereka adalah menyelesaikan pertarungan sedapat mungkin. Tidak hanya senjata di tangan saja yang dipergunakan, pukulan-pukulan jarak jauh pun dikeluarkan.
"Hih!" Pada jurus kesembilan puluh tiga, di saat memperoleh sebuah kesempatan, Raja Iblis Baju Emas melepaskan pukulan jarak jauh. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Dan sasaran yang dituju tidak hanya Sangora. Bonggol pun dikirimkan pula.
Tapi seperti juga kejadian sebelumnya, dua penghuni Pulau Api itu mampu menunjukkan kalau mereka, bukan orang-orang yang dapat dengan mudah dipecundangi! Tanpa menemui kesulitan, Sangora dan Bonggol berhasil mengelakkan serangan-serangan itu. Hingga pukulan jarak jauh kakek itu menghantam sasaran yang tidak diharapkan, tanah!
Blarrr! Wusss!
Batu-batu es berpentalan ke sana kemari terhantam pukulan jarak jauh Raja Iblis Baju Emas. Dan kejadian selanjutnya benar-benar tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dan dalam lubang yang terbentuk akibat serangan nyasar itu, memancarkan api! Dan tidak hanya satu, sebab lubang yang terbentuk lebih dan itu.
Seketika itu pula pertarungan terhenti. Kedua belah pihak sama-sama terkejut. Pandangan mata mereka tertuju ke arah api yang menyembur tinggi ke udara. Tapi kelakuan mereka tidak berlangsung lama. Ketiganya segera tersadar, dan melanjutkan pertarungan lagi.
Suasana hiruk-pikuk kembali menyemarakkan kancah pertarungan. Tapi, kali ini kedua belah pihak tidak bisa bertarung seperti sebelumnya. Dari kejauhan tampak menghampiri tujuh sosok berpakaian merah. Rupanya kegaduhan itu telah sampai ke telinga mereka.
Dalam beberapa kali lesatan, tujuh sosok berpakaian merah itu telah berada dalam jarak sepuluh tombak dan kancah pertarungan. Mereka tidak berani bergerak lebih dekat lagi, takut terkena serangan nyasar. Kedatangan tujuh sosok berpakaian merah itu agaknya diketahui pihak-pihak yang telah bertarung. Tapi mereka tidak peduli, dan terus memusatkan perhatian pada lawan masing-masing.
Ketujuh sosok berpakaian merah itu berkulit kemerahan. Wajah mereka kelimis. Tapi ada ciri-ciri khusus yang memisahkan mereka menjadi dua kelompok kecil! Empat di antara mereka, paha kanannya terbelit kain merah. Sedangkan sisanya kedua paha mereka dilibat kain merah.
Ciri-ciri itu tidak luput dan pandangan Raja Iblis Baju Emas. Seketika itu pula, sebagai seorang datuk yang telah luas pengalamannya, dia langsung tahu kalau keberadaan kain merah itu mempunyai arti tersendiri. Dengan kata lain, letak kain merah itu menjadi tanda tingkatan orang yang bersangkutan.
Tapi hanya sebentar saja, Raja Iblis Baju Emas membiarkan pikirannya mengembara ke arah itu. Selanjutnya, ia memusatkan seluruh perhatiannya pada pertarungan yang dihadapinya.
Tak terasa lima puluh jurus telah berlalu. Dengan demikian, kedua belah pihak telah bertarung hampir seratus lima puluh jurus. Dan selama itu belum tampak ada tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Bahkan, tanda-tanda yang akan terdesak pun belum terlihat.
Melihat kenyataan ini, Bonggol dan Sangora sadar kalau tidak ada perubahan pertarungan akan sulit berakhir. Dan andaikata berakhir pun akan membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan saat itu mereka masih mempunyai urusan lain. Pemimpin Pulau Api tadi menyuruh mereka untuk segera menyusul bila Raja Iblis Baju Emas sudah berhasil diringkus! Bukan tidak mungkin saat ini ketua mereka tengah menunggu-nunggu.
Pikiran itu membuat Sangora memutuskan untuk secepatnya melakukan perubahan. Bagaimana caranya tidak menjadi soal. Yang penting, Raja Iblis Baju Emas harus secepatnya diringkus. Setelah mantap dengan keputusan itu, Sangora melempar tubuhnya ke belakang menjauhi kancah pertarungan. Tubuhnya berputaran beberapa kali di udara.
Jliggg!
Ringan laksana daun kering, Sangora mendarat di tanah. Mantap, tak goyah sedikit pun. Lalu tanpa menunggu lebih lama, kepalanya ditolehkan ke arah tujuh orang rekannya.
"Apa lagi yang kalian tunggu?! Cepat bantu kami meringkusnya! Dia telah membunuh lima orang rekan kita!" seru Sangora dengan mengerahkan dalam, hingga suaranya terdengar menggeledek.
Usai berkata demikian, Sangora kembali melesat memasuki kancah pertarungan. Sebab begitu dia menjauh, Bonggol langsung kewalahan. Kawannya itu terus-menerus bergerak mundur menghadapi cecaran serangan Raja Iblis Baju Emas.
"Hiaaat...!"
Diiringi teriakan menggeledek, Sangora menyeruak ke dalam arena pertempuran. Begitu tiba, serangan dahsyat dan bertubi-tubi langsung dikirimnya ke arah Raja Iblis Baju Emas. Mau tidak mau kakek berpakaian kuning itu mengendurkan desakannya pada Bonggol, kalau tidak ingin celaka tersambar golok besar Sangora.
Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Bonggol untuk memperbaiki kedudukan. Sesaat kemudian, lelaki itu telah dapat membantu Sangora. Hingga, Raja Iblis Baju Emas harus kembali berjuang keras menghadapi kerjasama kedua orang itu. Tapi, tidak hanya mereka saja yang harus di hadapi. Ketujuh orang Pulau Api yang tadi hanya sebagai penonton, kini ikut bertarung.
Begitu ketujuh orang itu memasuki arena pertempuran, keadaan langsung berubah total. Raja Iblis Baju Emas segera terdesak. Hanya dalam beberapa gebrakan, kakek itu dibuat pontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Sekarang kakek itu hanya mempu bermain mundur.
Memang tidak tanggung-tanggung pertolongan yang diterima Sangora dan Bonggol. Ketujuh orang itu, seperti juga Sangora dan Bonggol, ternyata juga mampu bekerjasama. Mereka memecah menjadi dua kelompok. Yang satu beranggotakan empat orang, sedangkan sisanya tiga. Masing-masing kelompok ini menggunakan kerjasama yang berlainan dengan kelompok lainnya.
Meskipun demikian, antara kelompok itu bisa saling bantu dan isi. Itu yang menyebabkan Raja lblis Baju Emas tidak berdaya dalam beberapa gebrakan saja. Kakek itu bingung. la harus menghadapi keroyokan tiga kelompok yang menggunakan kerjasama berbeda. Dirasakan betapa berat gelombang serangan mereka. Susul-menyusul, dan berat laksana hantaman gelombang laut.
Sebagai datuk yang telah berpengalaman luas, Raja Iblis Baju Emas tahu kalau keadaan itu tidak menguntungkan dirinya. Kalau dia memaksakan diri terus mengadakan perlawanan, sudah dapat dipastikan nyawanya akan melayang. Padahal, saat ini Raja Iblis Baju Emas belum ingin mati. Jalan satu-satunya agar tetap hidup adalah melarikan diri!
Saat itu, keadaan Raja Iblis Baju Emas memang amat mengkhawatirkan. Betapa tidak? Serangan-serangan yang datang terlalu bertubi-tubi. Belum juga serangan yang satu diatasi, serangan lainnya datang menyusul. Demikian seterusnya. Hingga, kakek berpakaian kuning itu tidak mempunyai kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Dia telah disibukkan dengan mengelak dan menangkis serangan yang tidak kunjung habis.
Jadi, bukan tindakan keliru kalau Raja Iblis Baju Emas memutuskan untuk meninggalkan kancah pertarungan. Sambil terus mengelak dan menangkis serangan lawan, otaknya berputar keras mencari kesempatan untk melarikan diri.
Raja Iblis Baju Emas tidak mau bertindak sembarangan. Dengan sabar ditunggunya kesempatan untuk kabur sebab dia tahu kalau sekali usahanya gagal, maka akan sulit baginya untuk mendapatkan kesempatan kedua, karena lawan akan lebih waspada.
Akhirnya, kesempatan yang ditunggu-tunggu Raja Iblis Baju Emas datang juga. Dengan sebuah hentakan tubuhnya melambung ke udara. Dan sambil bersalto beberapa kali, suling, tangan, dan kedua kakinya dipergunakan untuk mengirimkan serangan-serangan yang dapat menghambat lawan.
"Hei...!"
Sangora dan Bonggol yang baru menyadari maksud lawannya menjerit kaget. Tapi semua sudah terlambat. Karena....
Jliggg!
Dengan susah payah, akhirnya Raja Iblis Baju Emas berhasil keluar dari kepungan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, kakek itu melesat meninggalkan tempat itu. Karena untuk menuju pantai tak dapat dilakukan, sebab lawan-lawannya menghalangi, terpaksa kakek berpakaian kuning itu melesat masuk ke dalam pulau.
"Kejar dia! Jangan sampai lolos!" seru Sangora dan Bonggol bersamaan, sambil melesat mengejar.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tujuh rekannya segera ikut mengejar. Kejar-kejaran pun tidak dapat dielakkan lagi. Tapi, mana mampu orang-orang Pulau Api itu mengejar Raja Iblis Baju Emas. Kakek itu memiliki kecepatan lari yang berada jauh di atas mereka. Hingga, tidak heran jika jarak antara mereka semakin jauh.
Meskipun demikian, para penghuni Pulau Api itu tidak berputus asa. Mereka terus melakukan pengejaran. Sangora dan Bonggol berada paling depan. Disusul kelompok yang berjumlah tiga orang. Sedangkan kelompok yang berjumlah empat, berada paling belakang. Mereka memang memiliki kemampuan paling rendah.
Sangora dan Bonggol tampak penasaran bukan main. Sudah berturut-turut mereka bertemu dengan tokoh yang tidak dapat mereka kalahkan. Pertama, Raja Monyet Muka Hitam. Dan yang kedua, Raja Iblis Baju Emas! Bahkan sewaktu menghadapi Raja Monyet Muka Hitam, yang datang bersama rombongannya, beberapa anak buahnya tewas. Padahal, saat itu lima orang rekannya telah datang membantu setelah mendapat panggilan darinya.
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 'Geger. Pulau Es').
* * *
TIGA
Dengan agak tergesa-gesa, dua sosok berpakaian putih dan ungu mengayunkan langkah. Yang berpakaian ungu seorang pemuda tampan berambut putih keperakan. Sebuah guci arak terbuat dan perak mengganduli punggungnya. Sedangkan yang seorang lagi seorang wanita berpakaian putih. Wajahnya cantik jelita. Apalagi, dengan rambut yang dibiarkan tergerai lepas.
Sekarang sudah dapat diduga, siapa pasangan muda berwajah elok itu. Ya! Mereka adalah Arya, yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak. Sedangkan gadis cantik itu Melati. Saat ini, Dewa Arak dan Melati tengah terburu-buru menuju pantai.
"Mengapa harus menuju pantai, Kang?" tanya Melati, memecah keheningan. "Kau yakin mereka telah meninggalkan pulau ini?"
Arya langsung menghentikan langkah. Hingga Melati jadi ikut-ikutan menghentikan langkahnya. Kemudian gadis itu membalas tatapan Arya.
"Sebenarnya, aku sendiri tidak yakin orang-orang itu telah meninggalkan pulau. Tapi demi keamanan, kuputuskan untuk melihat pantai lebih dulu. Siapa tahu mereka tengah berkemas-kemas untuk meninggalkan tempat ini?" sahut Arya mengemukakan alasannya.
"Tapi., cara itu membutuhkan waktu yang lama dan terlalu membuang tenaga, Kang! Apakah kita harus mengelilingi pulau yang tidak kecil ini untuk membuktikan kebenaran dugaanmu?"
"Jangan khawatir, Melati. Hal itu telah aku pikirkan. Kita tidak perlu mengelilingi pulau ini. Kita hanya menuju pantai yang dekat dari sini. Itu pun hanya untuk memastikan saja. Bila perahu mereka tidak kita temukan, maka kita akan pergi ke Pulau Api untuk meminta pertanggungjawaban atas semua yang terjadi di Pulau Es ini!" mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut Arya.
Melati langsung diam, tidak membantah lagi. Gadis itu mendengar ada tekanan yang tidak ingin dibantah lagi dalam ucapan kekasihnya. Walaupun belum melihat ada kebenaran di dalamnya, Melati tidak memberikan bantahan. Dan karena Arya tidak berkata-kata suasana pun menjadi hening. Tapi keadaan itu hanya berlangsung beberapa saat. Karena....
"Kakang! Mengapa kita demikian pelupa?!" tanya Melati kaget, setengah mengingatkan.
"Apa maksudmu, Melati? Aku tidak mengerti?!" tanya Arya, tanpa menyembunyikan rasa heran dan ingin tahunya.
Ucapan Melati yang tiba-tiba, dan sikap gadis itu yang demikian bersungguh-sungguh, membuat hati Arya agak berdebar. Apa gerangan yang dimaksudkan Melati?
"Akh! Kiranya kau benar-benar telah lupa, Kang! Luar biasa!"
"Tdak usah berteka-teki, Melati. Cepat katakan maksudmu," desak Arya, tidak sabar melihat tanggapan kekasihnya.
"Baiklah, Kang," Melati terpaksa mengalah. "Sungguh tidak kusangka kau bisa lupa. Padahal, hal itulah yang menjadi alasan kita mendatangi Pulau Es ini."
"Ahhh...!" desah Arya kaget. "Kau benar, Melati. Rupanya aku telah pikun! Mengapa aku bisa melupakannya?!"
"Sekarang kau ingat, Kang?!"
"Ya." Dewa Arak menganggukkan kepala. "Mencari Abimanyu dan Patih Juminta beserta rombongannya kan?!"
"Tepat!" sambut Melati cepat.
"Kalau begitu..., sekarang tugas kita bertambah. Di samping mencari pusaka Pulau Es yang ada di tangan Raja Monyet Muka Hitam dan mencari orang-orang Pulau Api, kita juga harus menemukan Patih Juminta dan rombongannya, serta Abimanyu," putus Arya, mengambil jalan tengah. "Bagaimana? Setuju?"
Melati mengernyitkan alisnya yang melengkung indah. Tampak jelas gadis itu tengah mempertimbangkan ucapan Arya. Dan sesaat kemudian, suaranya yang nyaring dan melengking terdengar menyeruak keheningan.
"Aku setuju saja, Kang. Tapi perasaanku mengatakan mereka tidak berada di sini."
"Hehhh?! Apa maksudmu, Melati? Omongan macam apa itu?! Bukankah Gusti Prabu Nalanda yang telah memberitahukan kepergian Abimanyu, Patih Juminta serta rombongan prajurit Kerajaan Bojong Gading?!" bantah Arya penasaran.
"Ucapanmu memang tidak salah, Kang," sambut Melati. "Tapi..., kau yakin mereka berhasil tiba di Pulau Es?!"
Kata-kata Melati membuat Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan gadis itu. Benar! Bukan tidak mungkin mereka tidak pernah tiba di Pulau Es!
Melihat pemuda berambat putih keperakan tercenung dengan kepala terangguk-angguk, Melati kembali melanjutkan ucapannya yang belum selesai.
"Bagaimana, Kang? Apakah kita perlu menanyakannya pada Kakek Sangga Buana?!" usul Melati hati-hati.
"Saranmu baik juga, Melati," puji Arya sejujurnya. "Nanti kita tanyakan pada Kakek Sangga Buana. Sekarang, lebih baik kita lanjutkan pekerjaan kita. Setelah itu, baru kita temui Kakek Sangga Buana untuk menanyakannya."
"Begitu pun baik, Kang," sambut Melati, gembira mengetahui usulnya diterima.
Sepasang muda-mudi berwajah elok itu kembali meneruskan perjalanannya menuju pantai. Tentu saja dengan kepala ditolehkan ke sana kemari. Harapan mereka, mudah-mudahan dapat melihat orang-orang yang tengah mereka cari. Tapi harapan itu tidak terkabulkan. Tidak ada sesosok tubuh pun yang mereka lihat selain kesunyian. Yang mereka temui hanya gundukan-gundukan es dan bukit es. Segalanya serba es.
Tak berapa lama kemudian, pantai telah tampak terbentang di hadapan sepasang muda-mudi berwajah elok itu. Malah bukan hanya pantai mereka lihat. Tapi....
"Kau lihat itu, Melati?!" tanya Arya setengah memberitahu. Jari telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke depan.
"Sebuah perahu layar besar, Kang," jawab Melati dengan suara berdesah.
"Benar." Arya menganggukkan kepala. "Kau lihat bendera yang berkibar di tiang perahu itu, Melati?!"
"Mereka..., komplotan bajak laut, Kang?!" tanya Melati, meminta kepastian ketika melihat bendera yang berkibar gagah di tiang perahu.
Tentu saja bukan bendera itu yang dimaksudkan Arya. Tetapi, gambar yang tertera di atasnya. Gambar tulang tengkorak manusia yang terletak di atas dua potong tulang saling menyilang.
"Tepat!" jawab Arya mantap.
"Kalau begitu, mari kita usir mereka dari pulau ini, Kang. Aku yakin, kedatangan mereka kemari untuk mendapatkan pusaka-pusaka leluhurmu!" ujar Melati penuh semangat.
"Kau benar, Melati," ucapan Arya hanya sampai di situ.
Sebab, Melati telah meluruk untuk menyambut kedatangan rombongan bajak laut itu. Dan pemuda berambut putih keperakan itu tidak ingin membiarkan kekasihnya menghadapi gerombolan bajak laut seorang diri. Bila gadis berpakaian putih itu tidak ingin dibantu, setidak-tidaknya keberadaannya di dekat Melati akan lebih mudah dan cepat untuk memberikan bantuan.
Dalam beberapa kali lesatan, Dewa Arak dan Melati telah berada dalam jarak lima tombak dengan pantai. Kehadiran mereka tampaknya bertepatan dengan berlompatannya keluar rombongan bajak laut itu dari atas perahu.
Jliggg! Jliggg!
Berturit-turut rombongan bajak laut itu mendaratkan kaki di tanah yang tertutup es. Seperti sudah diduga Arya dan Melati, rombongan itu terdiri dari orang-orang yang berperangai kasar. Dalam waktu tak lama, tidak ada lagi anggota rombongan bajak taut yang melompat turun. Pertanda jumlah mereka hanya itu saja.
Arya dan Melati menghitung dengan pandangan mata. Dua puluh enam orang. Jumlah yang cukup banyak. Berdiri paling depan seorang laki-laki tinggi besar yang mempunyai rajahan tengkorak manusia di dada. Tampak jelas, sebab orang itu tidak berbaju.
"Ha ha ha...! Tidak salahkan penglihatanku?! Benarkah di hadapan kita ada seorang bidadari?!" ujar lelaki bertato dengan suara mengguntur. Ada sifat kasar dalam suara dan tindak-tanduknya. Malah sambil mengajukan pertanyaan itu, telunjuknya ditudingkan ke depan.
"Ha ha ha...!"
Suasana di sekitar tempat itu menjadi riuh rendah, ketika sosok-sosok tubuh kasar yang berdiri di belakang lelaki bertato ikut tertawa.
"Kau bisa saja, Tuan Besar. Tapi, ucapan Tuan Besar memang tidak salah. Di depan kita ada bidadari," timpal seorang lelaki kasar yang berkepala botak.
Sementara itu, Arya dan Melati, tidak melakukan tindakan apa pun. Meskipun mendengar pembicaraan yang berlangsung di depan mereka, tapi dibiarkan saja. Yang mereka lakukan hanya mengamati. Dari pengamatan itu, Dewa Arak dan Melati tahu kalau lelaki bertato itu adalah pemimpin gerombotan bajak laut.
Mendadak, lelaki bertato mengangkat tangannya ke atas. Seketika itu pula kegaduhan langsung lenyap. Tawa mereka segera terhenti. Agaknya, rombongan orang kasar itu amat menghargai lelaki bertato itu.
Begitu kegaduhan lenyap, lelaki bertato menghampiri Dewa Arak dan Melati. Sikap sepasang pendekar muda berwajah elok itu terlihat tenang. Tidak nampak ada perasaan gentar atau ngeri. Tarikan wajah mereka kelihatan biasa saja.
"Siapa kalian, Anak Muda? Mengapa berada di sini? Kau! Cepat tinggakan tempat ini sebelum aku kehilangan kesabaran!" ujar lelaki bertato dengan suara keras. Ucapan itu ditujukan pada Dewa Arak.
"Siapa sebenarnya kami, kau tidak perlu tahu, Kisanak. Tapi agar kau tidak penasaran, biar kami beritahukan sedikit. Kami adalah pemilik pulau ini. Jadi, tidak mungkin kami meningggalkan tempat ini. Lebih baik kalian yang cepat pergi dari sini sebelum terlambat!" balas Arya tak kalah berwibawa.
"Apa kau bilang?!" tanya lelaki bertato tidak percaya. "Coba ulangi. Aku ingin tahu, apakah telingaku tidak salah dengar?!"
Dewa Arak tersenyum getir. Pemuda itu tahu, mengapa lelaki bertato bersikap demikian. Orang itu terlalu membanggakan kepandaiannya, dan menganggap remeh lawan. Hingga, dia merasa tidak yakin dengan pendengarannya saat mendengar ucapan yang berbau tantangan atau ancaman.
Kalau Arya tidak terpengaruh dengan ucapan lelaki bertato, tidak demikian halnya dengan Melati. Gadis berpakaian putih itu kelihatan jengkel. "Kawanku bilang, kau dan gerombolanmu harus segera meninggalkan tempat ini, Kalau tidak, jangan salahkan dia jika bertindak kasar terhadap kalian."
"Ha ha ha...!" Seketika, meledaklah tawa gerombolan orang kasar itu. Tak terkecuali lelaki bertato. Bahkan, tawanya jauh lebih keras dibanding yang lain. Menggelegar seperti halilintar.
Dan, lagi-lagi tawa itu segera lenyap ketika lelaki bertato mengangkat tangannya ke atas sambil menghentikan tawa. Wajahnya kini tampak beringas. Sepasang matanya yang besar dan kemerahan menyorot marah! Pandangan itu tertuju pada Arya.
"Sungguh berani kau mengucapkan kata-kata seperti itu padaku, Anjing Buduk?! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa sekarang?! Aku Panggala! Pemimpin Gerombolan Ular Laut! Kelancangan itu harus kau tebus mahal!" seru lelaki bertato yang ternyata bernama Panggala dengan suara mengguntur.
"Sayang sekali. Aku belum pernah mendengar namamu atau nama gerombolanmu. Lagi pula andaikata kukenal pun kami akan meneruskan maksud semula, yaitu mengusir kalian pergi dari sini. Dan...."
"Diam!" potong Panggala tidak kuat menahan amarah lagi. Pandangannya kemudian dialihkan pada anak buahnya yang berada di belakangnya. "Cincang dia!"
Tanpa menunggu perintah dua kali. Gerombolan Ular Laut menyerbu Dewa Arak dengan, diiringi teriakan keras. Sesaat kemudian, puluhan senjata tajam yang terdiri dari bermacam jenis dan ukuran meluncur ke arah Dewa Arak.
"Terimalah kematianmu, Anjing Buduk! Ha ha ha...!"
Di sela-sela meluruknya serbuan anak buahnya, Panggala melepaskan ucapan dan tawa gembira. Tampaknya, lelaki itu merasa yakin pemuda berambut putih keperakan yang membuatnya murka itu akan habis dicincang.
Sementara, Dewa Arak tetap bersikap tenang, Meskipun maut tengah meluruk ke arahnya, tapi pemuda itu tidak menjadi gentar. Ditunggunya hingga lawan-lawannya dekat. Sedangkan Melati sudah sejak tadi menjauh, begitu mendapat isyarat Arya.
Dengan sendirinya, hanya Arya yang menyambut serbuan Gerombolan Ular Laut. Begitu serangan-serangan itu meluncur dekat, pemuda berambut putih keperakan itu segera bertindak. Tanpa menemui kesulitan, tubuhnya menyelinap di antara kelebatan senjata-senjata lawan. Terlihat lincah laksana bayangan dan gesit tak ubahnya gerakan kera.
Dan tindakannya tidak hanya sampai di situ. Begitu serangan-serangan lawan berhasil dielakkan, serangan susulannya meluncur. Hasilnya langsung terlihat. Jeritan kesakitan terdengar silih berganti. Diiringi dengan berpentalannya tubuh Gerombolan Ular Laut keluar dan kancah pertarungan.
Brukkk, brukkk!
Berturut-turut tubuh anak buah Panggala berjatuhan, tidak bangkit lagi. Tapi tak mati, pingsan! Kejadian ini tidak membuat anggota Gerombolan Ular Laut yang lain menjadi gentar. Bahkan sebaliknya. Serangan yang mereka lancarkan semakin bertubi-tubi. Di samping karena rasa penasaran, mereka juga ingin membalas penderitaan yang dialami rekan-rekan mereka.
Tapi keinginan mereka lebih mudah untuk dipikirkan dan dikatakan daripada dilaksanakan. Dewa Arak bukan orang yang dapat mereka taklukan dengan mudah. Semua serangan mereka selalu kandas. Tak satu pun mengenai sasaran.
Sebuah keuntungan sebenarnya berada di pihak Gerombolan Ular Laut. Dewa Arak tidak bersungguh-sungguh menghadapi mereka. Di samping pemuda berambut putih keperakan itu tidak mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya, kemampuannya pun tidak dikerahkan seluruhnya.
Pemuda itu lebih banyak mengelak daripada melancarkan serangan. Andaikata sebuah serangan dilancarkan pun hanya mengerahkan sebagian kecil tenaganya. Dewa Arak tidak ingin membuat lawannya tewas atau terluka berat.
Memang, Dewa Arak tidak bermaksud membunuh mereka. Sebab, pemuda itu belum menyaksikan kekejaman mereka. Jadi, tidak ada alasan yang kuat untuk membunuh mereka. Maka, pemuda berambut putih keperakan itu bermaksud memberi peringatan pada Gerombolan Ular Laut!
Hingga, dapat dibayangkan, betapa mendongkolnya hati Dewa Arak ketika melihat lawan-lawannya tetap melancarkan serangan. Bahkan jauh lebih menggebu-gebu dari sebelumnya. Tidakkah mereka tahu kalau dirinya telah bersikap mengalah?
"Akh, akh...!"
Dua jeritan menyayat kembali terdengar, ketika dua anggota Gerombolan Ular Laut terlempar keluar kancah pertarungan. Mereka terkena kibasan tangan Dewa Arak. Dan seperti rekan-rekan mereka sebelumnya, kedua orang itu langsung jatuh pingsan! Tapi seperti yang sudah-sudah, sisa Gerombolan Ular Laut masih tegak berdiri tetap tak menjadi gentar. Bahkan serangan mereka makin dahsyat!
Kini, kesabaran Arya habis. Disadari kalau tindakannya tak membuahkan hasil yangdiharapkan. Maka, segera diputuskan melakukan tindakan yang lebih menunjukkan kepandaiannya. Barangkali, bila hal itu dilakukannya mereka akan gentar dan menghentikan pertarungan. Setelah merasa pasti dengan keputusan itu, Arya segera melaksanakannya.
"Hih!" Pemuda berambut putih keperakan itu menjejakkan kaki. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke belakang. Dewa Arak bersalto beberapa kali sebelum mendarat di tanah.
Jliggg!
Ringan tanpa suara laksana jatuhnya sehelai daun kering, kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah. Tapi, hanya sampai di situ saja tindakannya. Dewa Arak berdiri di tempatnya sambil melipat kedua tangan di depan dada!
Hingga membuat Gerombolan Ular Laut merasa heran. Mereka saling pandang sesaat dengan raut wajah bingung. Dan begitu rasa kaget yang melanda lenyap, mereka kembali meluruk ke arah pemuda berambut putih keperakan itu.
Wuttt, wuttt, singngng!
Untuk kesekian kalinya, senjata-senjata yang terdiri-dari beraneka ragam jenis dan ukuran itu, berkelebatan ke berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Namun pemuda berambut putih keperakan itu tetap berdiri dengan sikap semula. Tidak nampak tanda-tanda akan melakukan suatu tindakan, baik elakan maupun tangkisan. Dan memang, Dewa Arak tidak melakukan tindakan apa pun hingga senjata-senjata itu meluncur mendekati sasaran. Akibatnya....
Takkk, takkk, bukkk!
Bertubi-tubi terus hujan pedang, golok, tombak, tongkat, trisula, ruyung, dan pisau mengenai seluruh bagian tubuh Dewa Arak. Bunyi riuh seperti logam keras berbenturan terdengar, ketika senjata-senjata itu mendarat di sasaran.
Dan, akibatnya sungguh mengejutkan! Bukan hanya Gerombolan Ular Laut yang kaget, Panggala pun demikian. Semula, begitu melihat Dewa Arak tidak melakukan tindakan apa pun, Panggala sudah membayangkan tubuh pemuda berambut putih keperakan itu akan luluh-lantak. Tapi, ternyata....
Dapat dibayangkan, betapa kaget lelaki itu melihat kenyataan, yang membentang di depan matanya. Dewa Arak tidak tewas. Apalagi dengan sekujur tubuh hancur! Terluka sedikit pun tidak! Tokoh muda yang menggemparkan itu tetap berdiri seperti semula. Tarikan wajahnya pun tetap biasa. Tidak Terlihat tanda-tanda pemuda itu merasa kasakitan.
Malah sebaliknya, tubuh Gerombolan Ular Laut yang terhuyung-huyung ke belakang. Tangan mereka terasa sakit bukan main. Seperti bukan tubuh manusia yang terdiri dan daging dan tulang yang mereka jadikan sasaran, melainkan gundukan baja kuat!
EMPAT
"Bagaimana? Sudah puas? Kalau belum, kalian boleh mencoba lagi. Percayalah, aku tidak akan membalas! Kalian boleh pilih bagian yang paling empuk!" ucap Dewa Arak sambil menatap wajah Gerombolan Ular Laut satu persatu.
Jelas, ada tantangan dalam ucapan itu. Tapi Gerombolan Ular Laut tidak bergeming dan tempatnya. Mereka saling pandang satu sama lain, seakan tengah meminta pendapat rekannya yang menjadi sasaran pandangan. Tapi, tidak ada jawaban. Mereka tengah dilanda perasaan yang sama. Bingung!
Yang memberikan tanggapan atas tantangan Dewa Arak adalah... Panggala! Dengan wajah merah padam karena marah mendengar tantangan Dewa Arak, lelaki bertato itu melangkah maju.
"Apakah tantanganmu berlaku untukku, Anjing Buduk?!" tanya Panggala sambil mengamang-amangkan senjatanya di atas kepala. Senjata lelaki bertato itu memang tampak mengerikan! Sebuah kapak besar dengan gagang tongkat baja putih sepanjang setengah tombak!
Dewa Arak tidak segera menjawab pertanyaan bernada tantangan itu. Arya tidak berani bertindak ceroboh! Terhadap Gerombolan Ular Laut dia berani bertindak seperti itu, karena telah diketahui kekuatan tenaga dalam mereka. Sedangkan Panggala tidak! Dia pemimpin gerombolan, tentu tenaga dalamnya jauh lebih kuat. Apalagi dengan senjata yang terlihat demikian dahsyat dan mengerikan!
Maka, pemuda berambut putih keperakan itu membutuhkan waktu untuk memutuskan. Dan Dewa Arak tidak berlama-lama mengambil keputusan. Sejenak, pemuda itu memperhatikan Panggala. Lalu….
"Tentu, Babi Busuk! Kau pun boleh memilih bagian yang paling empuk!" tandas Dewa Arak.
"Bagus! Sekarang terimalah kematianmu, Anjing Buduk! Hih...!"
Wukkk, wuk, wuk!
Panggala memutar kapak panjangnya dengan segenap tenaga. Hasilnya memang mengagumkan! Bunyi mengaung keras terdengar ketika kapak itu berputaran. Cepat bukan main. Bahkan, mampu membuat bentuk senjata itu lenyap! Yang terlihat hanya kelebatan sinar putih berkilauan, yang membungkus tubuh lelaki bertato itu, seperti benteng sinar.
Melihat pemandangan itu, Gerombolan Ular Laut yang tinggal dua betas orang melangkah mundur. Mereka khawatir terkena sabetan kapak pimpinan mereka. Walaupun itu tidak mungkin, tapi mereka tetap khawatir.
Berbeda dengan mereka, Dewa Arak tetap bersikap tenang. Meskipun demikian, bukan berarti pemuda berambut putih keperakan itu berdiam diri melihat maut tengah mengancamnya. Tenaga dalamnya dikeluarkan semua. Dan dialirkan ke seluruh tubuhnya. Dewa Arak siap menghadapi serangan Panggala!
"Hiyaaat...!"
Wukkk!
Diawali teriakan keras mengguntur yang menggetarkan tempat itu Panggala mengayunkan kapaknya ke arah leher Dewa Arak. Sudah dapat diduga maksudnya. Lelaki bertato itu ingin memenggal kepala Arya. Dan....
Takkk!
Terdengar keras seperti beradunya dua logam keras, ketika mata kapak Panggala berbenturan dengan kulit leher Dewa Arak yang telah dilindungi tenaga dalam. Panggala memekik kesakitan! Ayunan kapaknya membalik. Tangan yang menggenggam kapak itu terasa sakit bukan main.
Tapi sebagai pemimpin gerombolan, Panggala segera dapat memperbaild keadaan. Hanya dengan sebuah gerakan sederhana, lelaki itu berhasil mematahkan kekuatan daya dorong tubuhnya. Panggala bukan orang bodoh! Disadarinya kalau pemuda berambut putih keperakan itu bukan orang sembarangan. Kalau pemuda itu mau, dirinya dan anak buahnya mungkin hanya tinggal nama sekarang. Jelas, pemuda itu telah banyak mengalah.
Kesadaran ini membuat Panggala bimbang. Haruskah dia bertindak nekat dan terus melancarkan serangan? Bagaimana kalau hal itu membuat pemuda itu habis kesabarannya? Bila itu terjadi, Panggala yakin dia dan anak buahnya tidak akan selamat! Kehebatan pemuda berambut putih keperakan itu telah disaksikannya sendiri!
Pertimbangan-pertimbangan itu membuat Panggala tertegun. Hingga anak buahnya menjadi heran. Mereka tidak mengerti, mengapa pimpinannya bersikap seperti itu? Berbeda dengan mereka, Arya mengetahui penyebab Panggala tertegun, kesempatan ini segera dipergunakan sebaik-baiknya.
"Aku masih memberi kesempatan padamu dan anak buahmu, Panggala! Tapi, kau pun tahu kesabaran ada batasnya! Pemberitahuan ini adalah peringatan terakhir. Kalau tetap kau abaikan, jangan salahkan aku bila bertindak keras terhadap kalian!" Ujar Dewa Arak dengan suara dan raut wajah garang.
Panggala tidak segera menanggapi pertanyaan itu. Lelaki bertato itu tercenung memikirkan ancaman Dewa Arak. Kemudian, pandangannya diedarkan ke arah dua belas anak buahnya. Rasa bimbang menyelimuti hail lelaki ini.
Dewa Arak tahu ancamannya mulai mengena. Maka, diputuskan untuk melancarkan ancaman terakhir. Pemuda itu ingin mengetahui, apakah Panggala menerima atau menolak tawarannya!
"Kuberi kau kesempatan berpikir sampai pada hitungan ketiga, Panggala! Bila sampai hitungan berakhir kau belum memberikan jawaban, maka kuanggap kau menolak usulku. Itu berarti telah tiba waktunya bagiku untuk menggempur gerombolanmu! Bersiaplah, Panggala! Sekarang aku akan mulai menghitung. Satu...!"
Perasaan bingung yang melanda Panggala semakin menjadi-jadi. Pandangannya berganti-ganti tertuju ke arah Dewa Arak dan anak buahnya. Tapi, baik Dewa Arak maupun anak buahnya tidak memberikan tanggapan. Dewa Arak terus saja menghitung, sedangkan anak buahnya tidak berani mencampuri keputusan yang akam diambil pemimpin mereka.
"Dua...!"
Hitungan telah mendekati batas yang ditentukan Dewa Arak, hingga Panggala semakin gugup. Lelaki itu belum bisa mengambil keputusan! Di dalam hatinya berkecamuk dua keputusan. Menerima atau menolak tawaran yang diajukan Dewa Arak. Menolak, berarti dia dan anak buahnya akan hancur di tangan Dewa Arak.
Tapi menerima pun berat, berarti ia membiarkan nama besar Gerombolan Ular Laut hancur di tangan seorang pemuda! Panggala bagai berhadapan dengan buah simalakama. Bila dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati!
Dewa Arak agaknya tahu akan kegalauan hail Panggala. Tapi pemuda itu bersikap tidak peduli. Dengan raut wajah dingin hitungannya dilanjutkan. "Ti...."
"Tunggu!" potong Panggala cepat sambil mengangkat tangan kanan ke atas.
Seruan ini membuat Dewa Arak menghentikan hitungannya.
"Bagaimana, Panggala? Kau telah mengambil keputusan?!" tanya Arya dingin.
Tak ada riak sedikit pun di wajah pemuda berambut putih keperakan itu. Seakan pilihan apa pun yang diambil Panggala tidak menjadi masalah baginya.
"Benar," jawab Panggala seraya mengangguk. Setelah lebih dulu menelan liur untuk melancarkan ucapan yang akan keluar dari mulutnya.
"Hm...." Dewa Arak menggumam pelan. "Lalu…"
"Aku telah mengambil keputusan untuk... menerima tawaranmu, Anak Muda...," ujar Panggala agak terbata-bata.
"Bagus! Kuhargai pilihanmu, Panggala! Kalau begitu, sekarang kuharap kau segera tinggalkan tempat ini!" perintah Dewa Arak penuh wibawa.
"Hhh...!" Panggala menghela napas berat. Kemudian berbalik menghadap anak buahnya. "Urus kawan-kawan yang terluka, dan tinggalkan tempat ini! Cepat!"
"Baik, Ketua," jawab Gerombolan Ular Laut serempak seraya menganggukkan kepala.
Kemudian, tanpa membantah dua belas orang itu mengurus rekan-rekan mereka yang terluka. Sementara Panggala, seusai memberi perintah, membalikkan tubuhnya menghadap Dewa Arak. Di samping pemuda berambut putih keperakan itu telah berditi Melati.
"SebeIum aku pergi, boleh kutahu siapa sebenarnya dirimu, Anak Muda?" tanpa Pemimpin Gerombolan Ular Laut pelan.
"Aku adalah ahli waris tunggal pulau ini. Dan aku bertekad tidak akan membiarkan seorang pun mengotorinya!" tandas Arya mantap.
"Tapi, sepengetahuanku pemilik pulau ini adalah Sangga Buana," ujar Panggala mengingatkan.
"Ucapanmu tidak salah, Panggala! Tapi perlu kau ketahui, dia adalah kakekku!" beritahu Dewa Arak.
Panggala mengangguk-angguk mengerti.
"Sebagai tambahan, perlu kau ketahui juga, Panggala," celetuk Melati. "Di daratan, kawanku ini seorang pendekar hebat yang ditakuti lawan dan disegani kawan!"
"Melati," tegur Dewa Arak halus.
Tapi Melati tidak mempedulikannya. Apalagi, ketika gadis berpakaian putih itu melihat Panggala tertarik. Itu terbukti dengan pertanyaan yang dilontarkan lelaki bertato itu.
"Benarkah itu? Boleh kutahu julukannya?"
"Tentu saja!" tandas Melati. "Bukan hanya boleh, tapi harus! Kawanku ini berjuluk Dewa Arak!"
"Hahhh?!" Seruan kaget itu bukan hanya keluar dan mulut Panggala. Tapi juga semua anak buahnya. Saking kagetnya, mereka menghentikan pekerjaan yang tengah dilakukan. Betapa tidak? Mereka telah mendengar kabar akan kehebatan dan keperkasaan tokoh muda yang berjuluk Dewa Arak. Meskipun demikan, mereka tidak pernah mimpi akan bertemu orangnya. Apalagi berjumpa sebagai lawan! Maka, tak aneh jika mereka sangat terkejut.
"Ya, ya.... Mengapa aku begini bodoh?!" ucap Panggala terbata-bata. "Mengapa tidak kulihat cirri-ciri yang kau miliki? Ya. Tidak salah lagi. Kaulah tokoh yang berjuluk Dewa Arak. Warna pakaian, rambut, kepandaian, dan gucimu... ya! Kaulah Dewa Arak...!"
Sementara itu, Dewa Arak yang tidak menyangka akan seperti ini jadinya kelihatan agak gugup. Tapi hanya sebentar. Sesaat kemudian, pemuda itu telah dapat menguasai perasaannya. "Kalian telah mengenal julukanku?"
"Bukan hanya kenal," jawab Panggala sambil mengembangkan senyum pahit. "Tapi amat kenal. Meskipun tidak pernah berjumpa, tapi kami tahu banyak tentang dirimu. Semua itu kami dapatkan dan kawan-kawan."
"Apa saja yang kalian ketahui mengenai diriku?" tanya Arya ingin tahu.
"Banyak," jawab Panggala cepat. "Di antaranya, dikatakan kalau kau mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Tak terhitung lagi banyaknya orang yang tewas di tanganmu. Semua tokoh-tokoh golongan hitam. Kau seorang pendekar pembela kebenaran. Begitu berita yang kudengar."
Dewa Arak dan Melati saling berpandangan. Senyuman lebar terlukis di bibir mereka.
"Lalu..., kalau kalian telah mengetahui aku Dewa Arak. Apa yang hendak kalian lakukan?!" tanya Arya.
"Melaksanakan perintah yang kau berikan," jawab Panggala segera. "Sebab kami sadar bahwa kemampuan kami tidak ada artinya bagimu. Kami pergi dulu, Dewa Arak."
"Silakan," jawab Dewa Arak dan Melati hampir bersamaan.
Setelah mendengar jawaban itu, tanpa berani membuang waktu lebih lama Pemimpin Gerombotan Ular Laut itu berbalik. Kemudian, memberikan isyarat pada anak buahnya untuk meninggalkan tempat itu.
Dewa Arak dan Melati bertukar pandang dengan perasaan lega. Keduanya merasa gembira telah berhasil mengusir Gerombolan Ular Laut, tanpa ada pertumpahan darah. Dengan sorot mata berbinar-binar, mereka menatap kepergian rombongan bajak laut itu.
Sampai rombongan tersebut bertolak meninggalkan tempat itu. Dan, sepasang muda-mudi berwajah elok itu tetap menatap. Hingga perahu besar Gerombolan Ular Laut lenyap di kejauhan. Setelah itu, mereka bare mengalihkan pandang sambil menghembuskan napas lega.
"Aku bersyukur mereka mau berpikir sehat...," ujar Arya dengan berdesah. "Dengan demikian, pertumpahan darah dapat dicegah."
Melati tidak menyahuti ucapan pemuda berambut putih keperakan itu. Gadis berpakaian putih itu hanya mengembangkan senyum manis.
"Ah! Hampir saja aku lupa!" seru Arya setengah kaget.
"Apa itu, Kang?" tanya Melati ingin tahu.
"Bukankah kita ingin mengetahui, apakah Raja Monyet Muka Hitam telah meninggalkan pantai atau belum?!"
"O, iya, Kang. Aku juga hampir lupa," sahut Melati terkejut.
"Kalau begitu..., mari kita lanjutkan tugas yang tertunda itu, Melati," ajak Arya.
"Tentu, Kang. Tapi..., apa yang harus kita lakukan?"
"Menyusuri pinggir pantai ini."
"Hahhh?! Sampai kapan pekerjaan ini akan selesai, Kang. Pulau ini tidak kecil. Sampai kapan kita mengelilinginya?!" sahut Melati mengingatkan.
"Tentu saja tidak semuanya, Melati. Menurut kakek, banyak bagian pulau ini yang pantainya tidak bisa dipergunakan perahu untuk mendarat. Contohnya, pantai-pantai sebelah kanan tempat ini. Kira-kira lima puluh tombak dari sini, dan terus ke sana," jelas Arya sambil menudingkan jari telunjuknya.
"Aku mengerti sekarang, Kang," ujar Melati gembira. "Kita akan menuju ke sana," sambil berkata demikian, Melati menudingkan jari telunjuknya ke sebelah kanan.
"Kau memang pintar, Melati," puji Arya.
Sambutan Melati hanya cibiran bibir. Tapi, sorot mata gadis cantik itu tidak bisa menyembunyikan perasaan gembiranya mendapat pujian seperti itu. Sepasang mata itu berbinar-binar! Kini sepasang muda-mudi berwajah elok itu mengayunkan langkah, menyusuri pantai sebelah kanan mereka.
LIMA
"Kakang...! Lihat...!" seru Melati menudingkan telunjuk kanannya ke tengah laut.
Sebetulnya gadis berpakaian putih itu tidak perlu berseru demikian. Arya juga telah melihatnya. Di kejauhan tampak sebuah perahu kecil yang ditumpangi seorang kakek berpakaian dan berikat kepala merah, melesat cepat membelah permukaan air laut.
Dan laju perahunya, bisa diketahui kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemilik perahu itu. Tanpa disertai pengerahan tenaga dalam kuat, perahu itu tidak akan meluncur demikian cepat. Tentu saja hal itu tidak luput dan pengamatan Dewa Arak dan Melati. "Tampaknya dia bukan orang sembarangan, Kang. Maksudku..., dia tidak dapat disamakan dengan orang-orang semacam Panggala," ucap Melati memberi penilaian.
"Memang tidak, Melati," jawab Arya seraya mengangguk. "Orang yang baru datang ini bukan orang sembarangan. Dia seorang tokoh yang amat pandai. Bukan tidak mungkin tingkat kepandaiannya berada di atas kita."
"Hehhh...?!" Melati terperanjat kaget, hingga sampai mengalihkan pandang. "Apakah ucapanmu tidak terlalu berlebihan, Kang?!"
"Tidak, Melati," jawab Arya menatap. "Kau tidak ingat cerita kakekku?!"
"Kakek Sangga Buana maksudmu, Kang?!" Melati meminta ketegasan.
"Benar," sahut Arya singkat.
Melati tercenung sejenak. Dicobanya mengingat-ingat pembicaraan Kakek Sangga Buana, pemilik Pulau Es. Sebab, Arya tidak menjelaskannya lebih jauh.
"Ucapan Kakek Sangga Buana yang mana, Kang?!" tanya Melati, tidak sabar ingin segera mengetahui jawabannya. Gadis itu agaknya malas berpikir, mengingat-ingat dan menerka.
"Tentu saja mengenai orang-orang berpakaian merah, Melati," ucap Arya. "Bukankah orang yang berada di perahu itu mengenakan pakaian merah?!"
Melati mengalihkan pandangannya kembali ke arah laut. Perahu itu kini tampak semakin jelas. Demikian Pula orang yang tengah mengayuhnya.
"Aku tahu, Kang!" sentak Melati gembira, merasa telah dapat menerka cerita Kakek Sangga Buana yang dimaksudkan kekasihnya.
"Bukankah cerita yang kau maksud mengenai orang-orang Pulau Api?!"
"Tepat! Bukankah kakekku telah menceritakan cukup lengkap tentang mereka?!" Arya balas mengajukan pertanyaan.
"Benar, Kang. Menurut beliau, orang-orang Pulau Api rata-rata berkepandaian tinggi. Di samping itu mereka ahli menggunakan racun dan memiliki daya tahan tubuh yang menggiriskan. Yang aneh, perbedaan tingkat di antara mereka dapat kita lihat dan hiasan yang dikenakan pada anggota tubuh atau pakaian mereka," urai Melati panjang lebar.
"Tepat sekali!" puji Arya. "Kau masih ingat hiasan masing-masing tingkat itu, Melati?!"
"Masih, Kang," jawab gadis berpakaian putih sambil menganggukkan kepala. "Orang terendah tidak memiliki tanda apa pun selain pakaian yang dikenakan. Tanda itu baru muncul pada orang yang setingkat di atas mereka, berupa sebuah belitan sabuk pada salah satu paha mereka. Tingkatan yang lebih tinggi lagi, mempunyai belitan sabuk pada masing-masing paha. Kemudian, tingkatan selanjutnya adalah orang-orang kepercayaan sang Pemimpin. Mereka mengenakan sabuk lebar yang membelit pinggang. Sedangkan sang Ketua sendiri mempunyai tanda berupa belitan kain merah di kepala. Dan..., ah!"
Mendadak Melati menghentikan ucapannya ditengah jalan. Tentu saja hal itu menarik perhatian Arya.
"Apa yang terjadi, Melati?! Mengapa kau kelihatan begitu kaget?!"
"Ng..., ti... tidak apa-apa, Kang. Hanya aku baru mengerti, mengapa kau mengatakan orang yang tengah berperahu itu seorang tokoh yang amat pandai," ujar Melati lirih.
"Sekarang kau ingat, Melati?!" tanya Arya tenang.
"Ya, Kang," Melati menganggukkan kepala. "Orang itu Pemimpin Pulau Api."
"Tepat! Orang yang tengah menuju kemari adalah tokoh terpandai di Pulau Api!" sambung Arya melengkapi pertanyaan kekasihnya.
Kali ini Melati tidak menyambuti ucapan kekasihnya. Gadis itu menganggukkan kepala sedikit. Setelah itu, pandangannya ditujukan ke arah kakek berpakaian merah yang tengah mengayuh perahunya menuju tempat mereka.
Melati merasakan betapa jantungnya berdetak amat cepat. Diakuinya kalau rasa tegang menyergap hatinya. Perasaan khawatir akan keselamatan Dewa Arak langsung menyeruak. Telah disaksikannya sendiri betapa lihainya Kakek Sangga Buana. Kalau pemimpin Pulau Api itu memiliki kepandaian setingkat dengan pemilik Pulau Es, Dewa Arak jelas bukan tandingan tokoh itu. Sebab, tingkat kepandaian pemuda berambut putih keperakan itu berada di bawah Kakek Sangga Buana!
Berbeda dengan Melati yang dihantui perasaan cemas, Dewa Arak sama sekali tidak! Pemuda berambut putih keperakan itu tetap bersikap tenang. Tidak terlihat gambaran perasaan apa pun pada wajahnya, saat menunggu mendaratnya perahu yang ditumpangi Pemimpin Pulau Api.
Tatapan penuh selidik tampaknya bukan hanya dilakukan Dewa Arak dan Melati. Pemimpin Pulau Api itu pun melakukan hal yang sama. Bahkan, sebagian alis yang tidak tertutup kain merah yang membelit kepalanya berkerut. Saat kakek itu melihat ada dua sosok tubuh yang tidak dikenalnya berdiri di pantai.
Tapi, hanya sebentar Pemimpin Pulau Api berbuat demikian. Sesaat kemudian, dia sudah bersikap tidak peduli. Apa yang perlu ditakuti dari dua orang muda itu? Andaikata mereka memiliki kepandaian, sudah sampai di mana tingginya? Berapa banyak memang pengalaman bertarung yang mereka alami?
Dengan acuh tak acuh, Pemimpin Pulau Api terus mengayuh dayung. Dan ketika jarak antara perahunya dengan pantai tak sampai sembilan tombak lagi, tanpa memperbaiki kedudukan, kakinya digenjotnya.
"Hih!" Seketika itu pula tubuh kakek berikat kepala merah itu melayang ke udara, meninggalkan perahunya yang agak bergoyang karena digunakan sebagai landasan untuk melakukan genjotan!
Semua tindakan Pemimpin Pulau Api tidak luput dan perhatian Dewa Arak dan Melati. Tampak oleh sepasang pendekar berwajah elok itu, kakek berikat kepala merah bersalto beberapa kali sebetum melayang turun ke tanah. Dan....
Plyarrr!
Air laut berpercikan ke sana kemari ketika Pemimpin Pulau Api mendaratkan sepasang kakinya di bagian pantai yang berair.
Melihat hal ini, tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Arak segera menghampiri. Setelah memberi isyarat pada Melati untuk diam di tempatnya. Hingga gadis itu dengan terpaksa memendam rasa inginnya untuk maju. Melati tidak berani membangkang perintah kekasihnya! Sebab, gadis itu yakin betul setiap tindakan yang diambil Arya hampir selalu benar!
"Siapa kau, Kisanak? Dan apa tujuanmu datang ke pulau ini?" tanya Arya berpura-pura tidak tahu. Jarak antara mereka terpisah satu tombak.
"Menyingkirlah, Monyet Kecil! Jangan coba-coba membuat amarahku bangkit. Akibatnya akan mengerikan bagimu!"
Datar dan dingin pernyataan itu. Tapi di dalamnya terkandung ancaman mengerikan. Dan bukan Dewa Arak kalau menghadapi ancaman seperti itu sudah mundur teratur. Meskipun tahu tokoh yang dihadangnya berkepandaian tinggi dan ancaman telah dikeluarkannya, tapi Arya tetap tenang.
"Sayang sekali, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu, Ki. Sebelum menjawab pertanyaanku, kau tak akan kubiarkan melangkah lebih jauh!" mantap dan tegas kata-kata yang dikeluarkan Dewa Arak.
"Keparat!" Suara kakek berikat kepala merah itu langsung meninggi. Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan kemarahan. Tapi itu tidak seberapa.
Yang mengherankan Melati dan Dewa Arak adalah bibir Pemimpin Pulau Api yang tidak bergerak. Kalau sebelumnya masih bisa dimakiumi. Sebab, kakek itu berbicara pelan. Tapi sekarang, kakek berikat kepala merah itu memaki keras! Lalu, mengapa kedua bibir itu tidak bergeming?!
Belum lagi gema makiannya lenyap, Pemimpin Pulau Api telah mengibaskan tangannya. Sembarangan saja, seperti orang mengusir lalat. Namun, akibatnya sungguh hebat. Serangkum angin keras meluncur ke arah Dewa Arak.
Arya tidak menjadi gugup melihat serangan itu. Sudah sejak tadi pemuda itu bersikap waspada. Maka begitu merasakan ada sambaran angin keras yang mampu membuat tubuhnya terlempar, tenaga dalamnya langsung dikerahkan pada kedua kaki. Dengan tindakan ini, kedua kaki Dewa Arak seperti menghunjam ke bumi.
Hasilnya memang seperti yang diharapkan! Tubuhnya tidak bergeming ketika angin keras itu melanda. Hanya rambut dan pakaiannya yang berkibaran keras menjadi tanda kalau pemuda berambut putih keperakan itu dilanda segundukan angin keras. Melihat serangannya tidak membuahkan hasil, Pemimpin Pulau Api menjadi geram bukan main.
"Keparat! Pantas kau berani kurang ajar, Monyet Kecil! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian! Baik, kulayani kemauanmu! Hih!"
Kali ini, kakek berikat kepala merah tidak segan-segan lagi melancarkan serangan. Sebuah tendangan kaki kanan lurus langsung dikirimkan ke arah dada Dewa Arak.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan itu, menandakan betapa kuat tenaga yang tersalur di dalamnya. Tapi seperti kejadian sebelumnya, Dewa Arak tetap bersikap tenang. Kaki kanannya ditarik ke belakang seraya mencondongkan tubuh. Pemuda itu tahu, meskipun hanya bertindak demikian serangan kakek berikat kepala merah telah dapat dielakkan.
Tapi, betapa kagetnya hati pemuda berambut putih keperakan itu ketika melihat kaki Pemimpin Pulau Api tetap meluncur ke arah dadanya. Padahal, pemuda itu telah melangkah mundur! Dewa Arak tampak sedikit gugup. Meskipun demikian, Arya tidak kehilangan akal sehat. Walau dengan agak tergesa-gesa, karena sempitnya waktu, Dewa Arak masih sempat menjejakkan kakinya sehingga tubuhnya terlempar ke belakang.
Wuttt!
Tendangan Pemimpin Pulau Api meluncur beberapa jari di bawah kaki Dewa Arak. Hanya berselisih waktu sekejap. Terlambat sedikit saja, kaki kakek berikat kepala merah itu akan lebih dulu bersarang di angota tubuh Dewa Arak.
Jliggg!
Setelah lebih dulu bersalto beberapa kali, Dewa Arak mendarat dengan mantap di tanah. Dan secepat itu Pula bersikap menghadapi serangan lawan selanjutnya.
Namun, Pemimpin Pulau Api tidak melancarkan serangan susulan. Kakek itu merayapi sekujur tubuh Dewa Arak dengan penuh selidik. Kini disadarinya kalau kepandaian pemuda itu tidak serendah dugaannya semula. Itu bisa diketahui dari berhasilnya pemuda berambut putih keperakan itu meloloskan diri dari serangannya. Padahal, waktunya demikian singkat!
Sementara Arya pun tidak berani bertindak ceroboh lagi. Pengalaman hampir celaka karena sikap gegabah yang ditunjukkannya telah memberinya pelajaran berharga. Dewa Arak tahu, mengapa kaki lawan tetap mengejar meski telah dielakkan. Pasti karena kakek berikat kepala merah itu memiliki ilmu yang membuat kaki atau tangannya dapat memanjang.
Kesimpulan yang didapat Dewa Arak, tidak diambil secara sembarangan. Arya tahu ada ilmu semacam itu di dunia persilatan. Bahkan, kekasihnya pun memilikinya. Gadis berpakaian putih itu dapat memanjangkan tangannya hampir dua kali lipat panjang semula. Jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku', demikian namanya.
Tapi, Arya tidak bisa terlalu lama tenggelam dalam alun pikirannya. Keadaan saat itu sangat tidak memungkinkan. Di hadapannya tengah berdiri seorang lawan yang teramat tangguh. Kalau dirinya bertindak sembrono, nyawanya akan melayang meninggalkan raga.
Sementara Pemimpin Pulau Api tampaknya sudah merasa cukup puas memperhatikan lawannya. Kini, kakek itu telah siap membuka serangan kembali.
"Kau cukup hebat, Anak Muda. Rasanya, kau pantas menjadi lawanku," puji kakek berikat kepala merah dingin. "Tapi jangan berbangga hati dulu. Tadi hanya pemanasan saja. Sekarang bersiaplah, Anak Muda. Aku akan memulai pertarungan sungguhan. Hadapilah ilmu Tinju Topan dan Geledekku ini!"
Usai berkata demikian, Pemimpin Pulau Api menyilangkah kedua tangannya yang terkepal erat di depan dada. Kemudian dengan perlahan-lahan tapi penuh tenaga, ditariknya kedua tangan itu ke sisi pinggang. Bunyi berkerotokan seperti tulang-tulang berpatahan, mengiringi gerakan tangan itu menuju tempat yang dituju.
Melihat hal itu, Dewa Arak tidak berani mengambil resiko. ilmu yang dikeluarkan lawan tampaknya amat dahsyat. Maka, diambilnya guci arak yang tergantung di punggung. Kemudian isinya dituangkan ke mulut.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak melewati tenggorokan Dewa Arak. Ada hawa hangat yang berpusat di perut. Lalu, perlahan-lahan hawa itu naik ke atas. Sesaat kemudian, sepasang kaki pemuda berambut putih keperakan itu oleng. Doyong ke sana kemari. Itu pertanda Dewa Arak telah siap mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Semua gerak-gerik Dewa Arak tidak luput dani pandangan Pemimpin Pulau Api. Terlihat ada kerutan pada kedua alis kakek berikat kepala merah itu. Kakek itu tengah dilanda perasaan heran. Ilmu aneh apa yang akan dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu? Bisik hati Pemimpin Pulau Api.
Tapi, kakek itu tidak membiarkan perasaan bingungnya terus melanda. Buru-buru diusirnya perasaan itu. Dia dapat menduga, meskipun kelihatannya demikian, past ilmu yang akan dikeluarkan Dewa Arak sebuah ilmu andalan.
Tidak sedikit ilmu-ilmu yang kelihatan aneh, tapi di dalamnya terkandung kedahsyatan yang menggiriskan hati! Dia sendiri memiliki ilmu-ilmu aneh! Seiring dengan timbulnya pikiran itu, Pemimpin Pulau Api memusatkan perhatian pada ilmu yang tengah dikeluarkannya. Kemudian....
"Haaat...!"
Diawali sebuah teriakan keras menggelegar yang menggetarkan tempat itu, Pemimpin Pulau Api melancarkan serangan pembuka. Tak tanggung-tanggung lagi tindakan kakek berikat kepala merah. Dalam gebrakan pertama, langsung dikirimkan pukulan tangan kanan-kiri bertubi-tubi ke arah dada Dewa Arak.
Bunyi ledakan keras seperti halilintar menyambar mengiringi serangan itu. Sungguh berbahaya serangan Pemimpin Pulau. Api. Di samping dialiri tenaga dalam dahsyat, juga meluncur dengan kecepatan menakjubkan.
Tapi orang yang diserang adalah Dewa Arak! Pemuda berambut putih keperakan itu telah siap dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Tanpa menemui kesulitan sedikit pun, Dewa Arak berhasil mengandaskan serangan itu dengan gerakan limbung.
Kenyataan itu membuat Pemimpin Pulau Api penasaran bukan main. Hingga, disusulinya dengan serangan lanjutan yang tidak kalah dahsyat. Dan seperti juga serangan pertamanya, bunyi meledak-ledak pun tlmbul mengiringi luncuran serangan itu. Pertarungan dahsyat dan menarik tidak bisa dihindarkan lagi.
Pemimpin Pulau Api benar-benar dipaksa untuk mengeluarkan seluruh kemampuannya. Betapa tidak? Secara bertubi-tubi dan susul-menyusul serangan dilancarkan pada Dewa Arak. Namun, semua berhasil dikandaskan lawan dengan elakan uniknya. Itu berlangsung sampai lima jurus!
Kegagalan demi kegagalan membuat kakek berikat kepala merah semakin penasaran. Apalagi sampai saat itu Dewa Arak belum melancarkan serangan balasan, hingga kakek itu merasa diremehkan. Dalam cekaman rasa penasaran dan marah, Pemimpin Pulau Api mengeluarkan jurus-jurus inti ilmu 'Tinju Topan dan Geledek'!
"Hih!" Laksana gasing tubuh Pemimpin Pulau Api berpusing. Dan ketika telah melihat sasaran, kedua tangan atau kakinya mencuat dan balik pusingan. Amat berbahaya! Karena meluncurnya tidak disangka-sangka.
Dewa Arak sangat terkejut melihat perubahan gerak lawan. Sekarang pemuda itu mengerti, mengapa kakek berikat kepala merah menamakan ilmunya 'Tinju Topan dan Geledek'. Ilmu itu memang luar biasa! Arya mengalami kesulitan menghadapinya. Kedudukan tubuh lawan yang berpusing, membuatnya sulit melancarkan serangan.
Sebaliknya, Pemimpin Pulau Api enak saja melancarkan serangan. Dengan sendirinya, maka kedudukan kakek berikat kepala merah lebih menguntungkan. Hasilnya dapat diduga, Dewa Arak selalu menjadi sasaran serangan.
Untung saja pemuda itu memiliki ilmu 'Belalang Sakti'. Sebuah ilmu yang membuatnya mampu melakukan gerakan sesulit apa pun, dan dalam keadaan bagaimanapun. Ditambah lagi jurus 'Delapan Langkah Belalang', yang merupakan kumpulan langkah-langkah unik untuk mengelakkan serangan dengan cara yang membuat heran orang yang menyaksikan.
Berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti' itulah, Dewa Arak mampu mengelakkan setiap serangan Pemimpin Pulau Api hingga lebih dari sepuluh jurus!
Kenyataan ini membuat bulu kuduk kakek berikat kepala merah meremang! Selama hidupnya, belum pernah ditemukan seorang lawan yang mampu memunahkan serangannya hanya dengan cara mengelak, selama sepuluh jurus! Bahkan Sangga Buana, pemilik Pulau Es, tidak mampu bertindak seperti ini!
Maka tidak aneh jika Pemimpin Pulau Api semakin kalap. Kedahsyatan serangannya terus ditingkatkan. Akibatnya langsung diterima oleh Dewa Arak. Dirasakannya tekanan serangan-serangan lawan semakin dahsyat. Bila diumpamakan ombak, gelombang yang kini melandanya adalah ombak-ombak setinggi bukit!
Semua kejadian di kancah pertarungan tak lepas dan penglihatan Melati. Tampak jelas ada kecemasan dalam sorot mata maupun raut wajahnya. Bagaimana Melati tidak cemas? Terlihat olehnya betapa kekasihnya pontang-panting ke sana kemari menyelamatkan diri, tanpa mampu melancarkan serangan balasan sedikit pun. Dan memang Dewa Arak berada dalam keadaan mengkhawatirkan. Yang dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu hanya terus-menerus mengelak.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tak terasa pertarungan telah berlangsung lima belas jurus. Dan selama itu Dewa Arak masih mengandalkan keistimewaan ilmu meringankan tubuh 'Belalang Sakti', dan jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk memusnahkan setiap serangan lawan.
Tapi begitu pertarungan telah lewat lima belas jurus, Dewa Arak memutuskan untuk mengadakan perubahan cara bertarung. Cara yang sekarang dilakukan tidak bisa digunakan terus. Amat berbahaya jika terus-menerus mengelak dan serangan-serangan tokoh sehebat Pemimpin Pulau Api.
Hingga, di jurus-jurus selanjutnya Dewa Arak memutuskan untuk melakukan perubahan. Toh, dirinya telah dapat mengira-ngira tingkat kemampuan lawan, berkat pengamatan yang dilakukannya selama melakukan elakan demi elakan.
ENAM
"Hih!"
Wuttt!
Diiringi bunyi menderu keras, tinju kanan Pemimpin Pulau Api mencuat dari dalam pusingan tubuhnya. Tak tanggung-tanggung sasaran yang dituju, ubun-ubun! Tempat yang mematikan di tubuh manusia! Jangan mengenai telak, terserempet saja sudah cukup untuk mengirim nyawa Dewa Arak ke alam baka!
Dewa Arak benar-benar melaksanakan keputusannya. Begitu melihat kepalan Pemimpin Pulau Api meluncur, langsung dipapakinya dengan tinju kanan. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya. Bahkan dalam pengerahan 'Tenaga Sakti Inti Matahari'!
Wuttt!
Hawa panas menyengat seiring dengan meluncurnya tinju Dewa Arak. Kepulan asap tipis tampak keluar dari sekujur tubuhnya. Sesaat kemudian....
Dukkk!
Sungguh dahsyat benturan yang terjadi antara dua kepalan yang dialiri tenaga dalam tinggi itu. Bunyi menggelegar yang memekakkan telinga terdengar! Dan tubuh dua tokoh itu terpental ke belakang. Tapi dengan gerakan manis, Dewa Arak dan Pemimpin Pulau Api mematahkan kekuatan daya dorong tubuh mereka. Dan....
Jliggg!
Ringan laksana daun kering, dua tokoh hebat yang memilild perbedaan usia menyolok itu mendarat ringan di tanah.
Untuk kedua kali Pemimpin Pulau Api tidak segera melancarkan serangan. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, kakek itu menatap Dewa Arak dengan penuh selidik. Ada sorot kekaguman dan kekagetan di sana. Kagum ketika mengetahui tenaga dalam Dewa Arak tidak berada di bawahnya, dan kaget karena kenyataan ini di luar dugaannya.
Melihat lawannya tidak melancarkan serangan, Dewa Arak pun melakukan hal yang sama. Bedanya, kalau Pemimpin Pulau Api berdiri dengan mantap, maka pemuda berambut putih keperakan itu berdiri dengan kedudukan goyah seperti akan jatuh. Dengan sikap tidak peduli, diambilnya guci arak dan dituangkan kembali ke mulutnya. Guci itu memang telah disimpannya di tempat semula, sewaktu dia akan bertarung.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Kelakuan Dewa Arak membuat alis Pemimpin Pulau Api berkerut semakin dalam. Rasa heran yang melanda hatinya semakin besar. Tingkah laku Dewa Arak terasa aneh dilihat.
"Siapa sebenamya kau, Anak Muda? Mengapa berada di tempat ini?" tanya Pemimpin Pulau Api, tak kuat menahan rasa ingin tahunya.
"Seharusnya aku yang bertanya. Bukan kau, Ki," sergah Dewa Arak.
Meskipun ucapannya terputus-putus karena pengaruh arak, Dewa Arak berhasil menyelesaikan perkataannya. Memang walaupun kelihatan mabuk, tapi pikiran pemuda berambut putih keperakan itu tetap jemih!
"Hehhh?! Apa alasanmu berkata seperti itu, Anak Muda?! Jangan katakan kau penghuni pulau ini. Aku kenal betul dengan semua penghuni tempat ini!" sergah Pemimpin Pulau Api keras.
"Memang kuakui aku bukan penghuni pulau ini, Ki. Tapi, aku terhitung pemiliknya!" sahut Dewa Arak masih dengan ucapan terputus-putus.
"Huh! Rupanya kau terlalu mabuk untuk bisa kuajak berbincang-bincang, Anak Muda!" ujar Pemimpin Pulau Api, yang merasa bingung mendengar jawaban Dewa Arak.
"Dia terlalu kuat untuk mabuk hanya karena arak, Kakek Jelek!" celetuk Melati, terpaksa ikut angkat bicara karena mendengar kekasihnya disepelekan.
"Ha ha ha...! Omonganmu pun tidak mempunyai dasar, Gadis Bau Kencur! Bagaimana kau bisa bilang dia tidak mabuk kalau ucapannya tidak bisa dimengerti?!" sahut Pemimpin Pulau Api seraya mengalihkan perhatiannya pada Melati.
"Itu karena kau mempunyai otak yang bebal, Kakek Jelek! Pernyataan yang demikian jelas kau katakan membingungkan? Lucu! Lucu sekali!" ejek Melati menggeleng-geleng.
"Keparat!" maki Pemimpin Pulau Api sangat geram mendengar hinaan Melati. "Jelaskan maksud ucapanmu, Wanita Sundal! Kalau tidak, jangan salahkan bila kepalamu kuhancurkan!"
"Kau kira aku takut padamu?!" Melati langsung naik darah mendengar ancaman itu. "Majulah! Ingin kulihat sampai di mana kehebatanmu?!"
"Keparat! Kau memang harus dihajar!" geram Pemimpin Pulau Api sambil, mengayunkan langkah menghampiri Melati.
Tapi, baru selangkah Dewa Arak telah bergerak menghadang. "Pertarungan antara kita belum selesai, Ki," ucap Dewa Arak menantang.
"Memang belum!" sambut Pemimpin Pulau Api, terpaksa membatalkan maksudnya untuk menghampiri Melati. "Tunggulah, Wanita Sundal! Setelah kubereskan pemuda pemabuk ini, kau akan menerima ganjaran atas hinaanmu itu!"
Lalu Pemimpin Pulau Api mengalihkan perhatiannya pada Dewa Arak. Dirayapinya sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan itu sebelum mulai melancarkan serangan. Otot-otot tubuhnya menegang, pertanda Kakek berikat kepala merah telah bersiap-siap melancarkan serangan.
Demikian pula Dewa Arak. Meskipun tubuhnya oleng ke sana kemari, tapi pemuda berambut putih keperakan itu telah siap bertarung. Dan sebelum kedua tokoh itu saling terjang, tanah di tempat itu bergetar hebat. Tentu saja kejadian itu mengejutkan Dewa Arak dan Pemimpin Pulau Api, juga Melati!
Apa yang tengah terjadi? Tanya ketiga orang itu dalam hati.
"Hei!" Teriakan kaget Melati membuat Dewa Arak dan Pemimpin Pulau Api mengalihkan pandangan ke arah pandangan gadis berpakaian putih itu.
Sepasang mata kedua tokoh itu tiba-tiba membelalak lebar melihat pemandangan yang membuat Melati menjerit. Raut wajah dan pandang mata mereka memancarkan keterkejutan yang sangat. Betapa tidak? Tampak oleh mereka salah satu bagian lereng gunung es longsor! Gumpalan-gumpalan batu es dalam berbagai bentuk bergelindingan ke bawah.
"Apa yang terjadi, Kang?!" tanya Melati, tanpa mampu memyembunyikan perasaan ngeri yang membalut hatinya. Kemudian, setengah berlari gadis itu menghambur ke arah kekasihnya.
"Aku juga tidak tahu, Melati. Mungkin pulau ini akan tenggelam ke dasar laut," jawab Dewa Arak dengan gugup. "Kalau hanya longsor saja tak mungkin getarannya sampai ke sini. Apalagi sampai sekuat ini! Gunung itu letaknya jauh dari sini!"
"Tenggelam, Kang?!" ada rasa ngeri yang membayang jelas di wajah gadis berpakaian putih itu ketika mengucapkannya.
"Itu hanya dugaanku saja, Melati."
Arya buru-buru memperbaiki ucapannya untuk menenangkan hati kekasihnya. Tapi usaha Dewa Arak sia-sia. Melati telah telanjur merasa ngeri. Gadis itu tidak mudah untuk ditenangkan kembali. Ini terbukti....
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?! Mari kita segera tinggalkan tempat ini, Kang! Aku tidak ingin mati terkubur di dasar laut!" ucapa Melati kalap. Dalam cengkeraman rasa ngeri yang menggelegak, tanpa sadar Melati mengguncang-guncangkan tubuh Dewa Arak.
"Tidak semudah itu, Melati. Kita harus memberitahukan kejadian ini pada kakekku. Tidak sepatutnya kita meninggalkannya begitu saja!" tandas Dewa Arak.
"Kalau begitu, mari kita pergi ke sana, Kang!" sambut Melati cepat.
Kemudian tanpa memberi kesempatan pada Dewa Arak untuk berpikir, Melati melesat menuju lstana Es. Karena gadis berpakaian putih itu tidak melepaskan pegangannya, terpaksa Dewa Arak mengikuti langkah Melati. Kalau itu tidak dilakukan, tubuhnya akan terseret-seret.
Meskipun demikian, Dewa Arak masih sempat melihat ke arah Pemimpin Pulau Api tadi berdiri. Ternyata kakek berikat kepala merah itu sudah tidak ada lagi. Pemimpin Pulau Api tengah melesat cepat ke arah gunung yang sedang longsor itu!
Tentu saja tindakan Pemimpin Pulau Api membuat Dewa Arak heran bukan main! Sudah gilakah kakek berikat kepala merah itu? Kalau tidak, mengapa di saat gunung itu longsor malah bergerak mendekati? Apakah dia ingin tertimpa gundukan-gundukan es yang rata-rata sebesar kerbau?
Tapi Dewa Arak segera membuang jauh-jauh pertanyaan-pertanyaan itu. Yang harus dilakukannya sekarang adalah secepatnya tiba di lstana Es, dan memberitahukan kejadian ini pada Kakek Sangga Buana. Mudah-mudahan kakek itu tidak mengalami kejadian yang tidak diinginkan.
Merupakan hal yang wajar bila pemuda berambut putih keperakan itu mencemaskan keselamatan Kakek Sangga Buana. Sebab getaran itu semakin terasa jelas. Bahkan, semakin lama guncangannya semakin kencang!
Rasa cemas Dewa Arak dan Melati membuat mereka berlari seperti dikejar hantu! Karena kedua orang muda itu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, maka hanya dalam beberapa lesatan saja Istana Es telah terlihat. Semangat mereka semakin besar untuk segera tiba. Hingga kecepatan lari sepasang muda-mudi itu ditambah.
"Kek...! Kakek...!"
Belum juga mencapai pintu gerbang Istana Es, Dewa Arak telah berteriak-teriak memanggil Sangga Buana. Sebab tepat di tengah-tengah pintu gerbang tampak sesosok tubuh yang dikenali Dewa Arak dan Melati sebagai Sangga Buana tengah berdiri. Kakek itu kelihatan tenang-tenang saja.
Sosok itu memang Sangga Buana! Kakek itu tampaknya tahu kalau dirinya dipanggil-panggil, tapi tetap saja dia berdiri di tempatnya. Kelihatan seperti tidak peduli. Tapi dari tatapan yang tertuju pada Dewa Arak dan Melati, agaknya dia tengah menunggu kedatangan sepasang muda-mudi itu.
"Apa yang terjadi, Arya? Mengapa kalian berlari-lari seperti dikejar hantu?" tanya Sangga Buana sebelum Dewa Arak dan Melati menghentikan lari. Rupanya, kakek itu tidak sabar lagi menunggu.
"Pulau ini akan tenggelam, Kek! Cepat kita tinggalkan tempat ini!" jawab Arya cepat begitu berada di hadapan Sangga Buana.
Lalu tanpa menunggu sambutan kakek berpakaian putih itu, Dewa Arak langsung mencekal pergelangannya. Sudah dapat diduga maksudnya. Arya ingin membawa Sangga Buana meninggalkan tempat itu.
Tapi Dewa Arak kecewa! Tubuh Sangga Buana tidak bergeming ketika ditariknya! Pemilik Pulau Es itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk memberatkan tubuh. Hingga Dewa Arak heran. Begitu pula Melati. Dengan sorot mata penuh pertanyaan, sepasang muda-mudi berwajah elok itu menatap wajah Sangga Buana.
"Tenang dulu, Arya," ujar Sangga Buana kalem. "Jelaskan, mengapa kau mengambil kesimpuIan seperti itu?"
"Tidakkah kau merasakan goncangan di seluruh penjuru pulau ini, Kek?! Bahkan, tadi kulihat jelas salah satu lereng gunung es di sana telah longsor," jelas Arya sambl menudingkan jari telunjuknya ke arah gunung yang dimaksud.
"Ooo.... Rupanya itu yang menyebabkan kau menduga demikian, Arya," ujar Sangga Buana setengah tertawa, seraya melayangkan pandangan ke arah gunung yang ditunjukkan Dewa Arak. Tampak masih terlihat banyak batu-batu besar dan batu-batu kecil berguguran.
"Benar, Kek," sahut Arya cepat.
"Kalau demikian, tenangkanlah hati kalian. Percayalah, pulau ini tidak akan tenggelam. Semua gejala-gejala yang kalin lihat hanya merupakan sebuah pertanda."
"Sebuah pertanda? Pertanda apa, Kek?" tanya Melati, setelah saling pandang sejenak dengan Dewa Arak.
Sangga Buana tidak segera menjawab. Dilemparkannya seulas senyum lebar pada sepasang muda-mudi itu. "Sebelum kujawab pertanyaan kalian, ada baiknya bila kuceritakan sebuah legenda yang kudapatkan dari ayahku. Menurut cerita beliau, ratusan tahun yang lalu Pulau Es dan Pulau Api tidak terpisah. Kedua pulau itu menjadi satu."
Sampai di sini Sangga Buana menghentikan ceritanya. Sementara Dewa Arak dan Melati mendengarkan dengan penuh minat. Meskipun saat tanah masih terguncang-guncang, Dewa Arak dan Melati tidak khawatir lagi. Mereka percaya penuh pada Sangga Buana.
"Entah karena mengapa pulau itu terpecah dua. Yang satu dinamakan Pulau Es, sedangkan yang lain Pulau Api. Sampai sekarang, kedua pulau yang terpecah itu tetap terpisah. Bahkan, jaraknya semakin jauh. Tapi menurut cerita, ada saat-saat di mana antara Pulau Es dan Pulau Api tercipta sebuah jalan yang menghubungkan kedua pulau itu. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi. Aku sendiri tidak mengerti. Yang jelas, sebelum terciptanya jalan itu, pada kedua pulau terjadi guncangan keras mirip gempa. Nah! Kurasa inilah tanda yang dimaksudkan ayahku. Jelas, Arya, Melati?" tanya Sangga Buana di akhir kisahnya.
Dewa Arak dan Melati tidak segera memberikan jawaban. Mereka saling pandang sejenak, sebelum akhimya menganggukkan kepala.
"Jadi..., kedua pulau itu bersatu kembali seperti dulu, Kek?" tanya Arya.
"Tidak, Arya," jawab Sangga Buana menggeleng. "Pulau Es dan Pulau Api tetap terpisah. Yang terjadi hanya sebuah jalan tembus mirip sebuah terowongan, yang tercipta jauh di dasar laut. Demikian, menurut cerita ayahku."
"Apakah beliau pernah mengalaminya, Kek?"
"Benar, Arya. Bahkan, beliau sempat menyelidiki keanehan itu. Tapi hanya itu yang diketahuinya. Jawaban mengapa hal seperti itu bisa terjadi, tidak ada yang bisa menjawabnya. Yahhh...! lni merupakan sebuah pertanda bahwa banyak masalah di dunia ini yang tidak bisa dipecahkan otak manusia!"
Arya mengangguk-angguk menyetujui pendapat Sangga Buana. Pemuda berambut putih keperakan itu memang percaya betul akan kekuasaan Allah, Sang Pencipta Alam Semesta.
"Lalu... di mana terciptanya jalan tembus itu, Kek?" tanya Arya lagi ingin tahu.
"Di gunung itu, Arya," Sangga Buana menudingkan jari telunjuknya ke arah gunung yang salah satu lerengnya longsor.
"Pantas...!" ujar Arya seraya mengangguk-anggukan kepala.
"Apanya yang pantas, Kang?" tanya Melati penasaran.
Bukan hanya Melati saja yang ingin tahu alasan Dewa Arak berkata seperti itu. Sangga Buana pun demikian. Kakek berpakaian putih itu menatap cucunya dengan pendang mata penuh pertanyaan.
"Tadi kulihat seorang kakek yang menurutku pemimpin orang-orang berpakaian merah berlari menuju gunung itu. Semula aku tidak mengerti, mengapa dia bertindak seperti itu. Pasti dia ingin mencari jalan tembus menuju pulaunya."
"Jadi.. kau bertemu dengan Pemimpin Pulau Api, Arya?!" tanya Sangga Buana agak kaget.
"Benar, Kek. Bahkan, antara kami telah terjadi pertempuran," jawab Arya.
Kemudian, secara singkat tapi jelas pemuda berambut putih keperakan itu menceritakan semuanya. Sementara Sangga Buana mendengarkan dengan penuh perhatian. Beberapa kali kakek berpakaian putih itu berdecak kagum mendengar cerita pertarungan Arya dengan Pemimpin Pulau Api.
"Kalau begitu... kau harus cepat menyusulnya, Arya," ujar Sangga Buana ketika Dewa Arak telah menyelesaikan ceritanya.
"Boleh kutahu, mengapa begitu, Kek?"
"Sebab, bila kau tidak segera bertindak maka pusaka-pusaka Pulau Es akan terjatuh ke tangannya. Orang-orang persilatan yang telah mendapatkan pusaka-pusaka itu, pasti akan melalui jalan itu," jelas Sangga Buana.
"Apakah sudah pasti mereka akan melalui jalan itu, Kek? Barangkali mereka melalui jalan lain, atau bahkan tidak menemukan jalan itu," bantah Arya.
Sangga Buana tersenyum lebar. "Kau yakin rombongan orang-orang persilatan itu masih berada di dalam pulau?" Sangga Buana balas bertanya.
"Yakin, Kek," mantap dan tegas jawaban Arya.
"Kalau begitu..., mereka pasti akan menuju ke sana," ujar Sangga Buana tak kalah yakin.
"Mengapa demikian, Kek?" Arya tidak mampu menyembunyikan perasaan herannya.
"Memang sulit untuk dimengerti akal, Arya. Tapi itulah kenyataannya. Setiap kali jalan tembus itu muncul, akan timbul di hati orang-orang yang berada di dalam pulau untuk menuju ke sana. Ada kekuatan aneh menarik orang untuk pergi ke sana."
Dewa Arak mengalihkan pandangan ke arah Melati yang sejak tadi hanya bertindak sebagai pendengar. Pada saat yang bersamaan, Melati pun tengah menatap ke arah Arya. Bentrok pandangan pun tidak dapat dielakkan lagi.
"Apa kau merasakan hal seperti itu, Melati?" tanya Arya ingin tahu.
"Yahhh...!" Arya menghela napas berat sebelum memberikan jawaban. "Memang ada dorongan kuat untuk menuju ke sana. Padahal, yang ada di benakku pergi meninggalkan pulau setelah memberitahukan pada kakek. Anehnya dorongan itu menyuruhku meninggalkan pulau melalui gunung itu."
"Aku pun demikian, Kang," timpal Melati.
"Itulah keajaiban yang sampai sekarang belum terpecahkan," celetuk Sangga Buana. "Sekarang kalian percaya?"
Tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak dan Melati menganggukkan kepala. Bagaimana mereka tidak percaya kalau bukti-bukti sudah demikian jelas.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Mari kita segera menyusul Pemimpin Pulau Api sebelum pusaka-pusaka itu berhasil didapatnya," ajak Sangga Buana.
Dewa Arak dan Melati kelihatan saling pandang dengan wajah bingung! Betapa tidak? Bukankah sebelumnya Sangga Buana telah memberikan kekuasaan pada Dewa Arak untuk mencari dan mendapatkan pusaka-pusaka Pulau Es yang tercuri.
Tapi hanya sebentar saja keheranan itu melanda sepasang pendekar muda ini. Mereka segera teringat akan kekuatan aneh yang dapat mempengaruhi orang. Pasti Sangga Buana pun mengalami hal yang sama seperti mereka berdua.
"Mari, Kek," sambut Dewa Arak setelah sadar.
Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, kemudian Dewa Arak, Sangga Buana, dan Melati melesat meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka jelas ke gunung es yang tengah longsor. Tanpa ragu-ragu, mereka mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Tentu Dewa Arak dan Sangga Buana tidak mengerahkan seluruh kemampuannya. Bila hal itu dilakukan, Melati akan tertinggal jauh. Terpaksa keduanya mengerahkan tenaga sebatas Iari Melati. Hingga dapat lari berjajar.
"O ya, Kek. Boleh aku bertanya sesuatu?" ujar Dewa Arak di sela-sela ayunan kakinya.
"Apa, Arya?" tanpa menghentikan lari, Sangga Buana menolehkan kepala ke arah cucunya.
"Apakah ada orang yang bernama Abimanyu, atau orang-orang yang berpakaian seragam kerajaan mendarat di sini?"
"Tidak, Arya. Aku tahu pasti hal itu. Orang-orang yang mendarat di pulau ini hanya dari Pulau Api, dan tokoh-tokoh persilatan yang telah merampas pusaka. Memangnya kenapa?"
Tanpa ragu-ragu, Dewa Arak menceritakannya.
"Kalau benar demikian, mereka pasti mendarat di Pulau Api. Kau tahu, Arya. Keadaan Pulau Api amat mirip dengan Pulau Es. Yang membedakan hanya satu, yaitu api yang sewaktu-waktu menyembur dan dalam tanah es!"
Kembali Dewa Arak dan Melati bertukar Pandang. Kali ini dengan sorot mata dan tarikan wajah yang memancarkan kekhawatiran. Mereka khawatir akan keselamatan Abimanyu dan rombongan Kerajaan Bojong Gading. Perasaan khawatir akan keselamatan Patih Juminta dan yang lainnya, membuat Dewa Arak dan Melati segera tiba di Pulau Api. Kecepatan lari mereka pun ditambah.
TUJUH
Apa yang dikatakan Sangga Buana ternyata benar. Dewa Arak dan Melati langsung bisa membuktikan kebenarannya. Tanah yang tadi berguncang-guncang, kini telah tenang kembali. Dan gunung es yang tengah mereka tuju tidak lagi meruntuhkan batu-batu es. Keadaan di pulau itu kembali tenang seperti sediakala.
Tanpa membutuhkan waktu lama, Sangga Buana, Dewa Arak, dan Melati telah berada di kaki gunung es itu. Dan sesampainya di sini, perjalanan yang mereka tempuh tidak mudah lagi. Sekarang mereka harus mendaki. Tidak jarang mereka melompat ke sana kemari, atau menotok tonjolan demi tonjolan batu agar tubuh mereka dapat melayang ke atas.
Dengan medan yang agak sulit, apalagi sesudah terjadi longsor itu, rombongan kecil yang dipimpin Sanwa Buana membutuhkan waktu yang agak lama untuk tiba di bagian lereng gunung yang longsor.
"Hup!"
Berturut-turut Sangga Buana, Dewa Arak, dan Melati mendarat di lereng gunung es itu. Hawa dingin menyengat kulit tubuh mereka. Di tempat ini hawa memang jauh lebih dingin. Bahkan, tiupan angin pun seperti hendak membekukan tubuh. Tapi dengan mengerahkan hawa murni, ketiga orang itu membuat serangan hawa dingin tidak berarti apa-apa.
Tanpa membuang-buang waktu lebih lama, Sangga Buana segera mengedarkan pandangan. Melihat hal ini, Arya dan Melati langsung melakukan tindakan serupa. Sepasang muda-mudi ini tahu kalau Sangga Buana mencari jalan tembus yang diceritakannya. Dengan sepasang mata berkeliaran ke sana kemari, mereka mengayunkan langkah.
"Kek...! Itukah jalan yang kau maksud?!"
Seruan Melati membuat Sangga Buana dan Arya mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Melati. Tampak sebuah goa berbentuk bulat dengan garis tengah dua tombak, tak jauh di samping kanan mereka.
"Kemungkinan besar itulah jalan yang dimaksud, Melati," jawab Sangga Buana tidak berani memastikan.
"Lalu... bagaimana cara membuktikan kebenarannya, Kek?!" tanya Melati lagi. Gadis berpakaian putih itu menanyakannya dengan alis berkerut. Melati kelihatannya tidak puas dengan jawaban yang diberikan Sangga Buana.
"Tentu dengan memasukinya, Melati," sahut Sangga Buana kalem, seperti tidak mengetahui kekesalan hati gadis berpakaian putih itu.
Sementara Dewa Arak mengetahui perasaan yang bergolak di hati kekasihnya. Maka, diputuskannya untuk ikut campur tangan. "Menurutku... memang itulah jalan tembus yang kau maksudkan, Kek."
"Hm...! Apa alasan yang mendorongmu mengambil kesimpulan demikian, Arya?" tanya Sangga Buana menguji.
"Keadaan goa itu, Kek," tegas dan mantap jawaban pemuda berambut putih keperakan itu. Terlihat ada keyakinan dalam jawabannya.
"Bisa lebih kau perjelas maksudnya, Arya?" pinta kakek berpakaian putih itu.
Dewa Arak tidak segera menjawab. Tatapannya dialihkan ke arah Melati, mencoba untuk melihat tanggapan kekasihnya. Ingin diketahuinya, apakah Melati telah mengerti. Tapi yang ditemuinya seraut wajah yang menunjukkan ketidakmengertian. Melati belum juga menangkap maksudnya.
Berbeda dengan Sangga Buana. Wajah kakek berpakaian putih itu tampak tenang. Arya berani bertaruh, Sangga Buana sebenarnya telah mengerti. Bahkan Dewa Arak yakin kakek itu telah mempunyai dugaan kuat kalau goa itu jalan tembus yang dimaksud. Sangga Buana hanya tidak mau memastikan.
"Keadaan goa ini, Kek. Terlihat jelas kalau semuanya belum lama terbentuk," jelas Arya.
"Ha ha ha...! Kau cerdik, Arya. Sudah kuduga kecerdikan Tribuana akan menurun padamu," kakek berpakaian putih itu kelihatan sangat gembira.
"Kau bisa saja, Kek," sambut Arya malu, tidak enak hati mendapat pujian seperti itu. "O, ya. Apakah tidak lebih baik bila kita segera masuk ke goa itu? Aku khawatir kita akan terlambat."
"Kau benar, Arya. Mari," timpal Sangga Buana cepat. Kakek berpakaian putih itu tahu kalau Arya sengaja mengalihkan perhatian.
Dengan didahului Dewa Arak, atas permintaan Sangga Buana mereka mengayunkan langkah menuju goa. Hanya dalam beberapa langkah ketiganya telah berada di mulut goa itu. Sampai di sini Dewa Arak tidak langsung melangkah masuk. Untuk memastikan tidak ada bahaya yang mengancam sejenak diperhatikannya keadaan goa itu.
Pemuda berambut putih keperakan itu memang selalu berhati-hati dalam tindakannya. Semua itu tidak luput dari perhatian Sangga Buana. Perasaan kagum kembali menyeruak dalam hati kakek berpakaian putih itu. Memang seharusnya demikian tindakan seorang pendekar, pujinya dalam hati.
Sementara itu, setelah yakin tidak ada bahaya yang mengancam, Dewa Arak melangkah masuk. Sangga Buana dan Melati menyusul di belakangnya. Keadaan dalam goa ternyata tidak terlalu gelap. Cukup aneh sebenarnya, tapi Dewa Arak, Melati, dan Sangga Buana tidak mempedulikannya. Andaikata teringat pun mereka tidak merasa heran. Sebab, mereka tahu didunia ini ada sejenis batu yang mampu menimbulkan cahaya dalam gelap.
Suasana yang tidak terlalu gelap menyebabkan rombongan yang dipimpin Dewa Arak tidak mengalami kesulitan melakukan perjalanan. Apalagi langit-langit goa cukup tinggi. Dan jalan dalam goa lurus tidak ada belokan satu pun.
Hanya satu hal yang sempat membuat mereka bertiga mengernyitkan alis heran, yaitu dasar goa yang terus menurun. Tapi begitu teringat kalau jalan ini melalui lorong bawah tanah yang terdapat di bawah dasar laut, keheranan mereka pun lenyap.
Setelah cukup lama menempuh jalan menurun, akhirnya dasar goa mendatar. Jalan mendatar ini ternyata tidak kalah panjangnya dengan jalan menurun. Kemudian, perlahan-lahan jalan yang ditempuh mulai menanjak. Melihat kenyataan ini, Dewa Arak, Melati, dan Sangga Buana mulai meningkatkan kewaspadaan. Jalan yang menanjak menandakan tak lama lagi mereka akan tiba di Pulau Api.
Dugaan mereka memang tidak salah. Tak lama kemudian, mereka melihat cahaya terang di depan mereka. Itu pertanda di sana ada jalan yang berhubungan dengan dunia luar. Mendadak Dewa Arak menghentikan langkah. Hingga Melati dan Sangga Buana heran. Terpaksa mereka pun berhenti.
"Mengapa berhenti, Arya?" tanya Sangga Buana pelan.
"Aku mendengar bunyi gaduh, Kek. Sepertinya ada pertempuran di depan sana. Apa kau mendengarnya, Kek?"
"Benar, Arya. Aku mendengarnya. Beberapa langkah sebelum kau berhenti, aku telah mendengarnya. Tapi kubiarkan saja. Kupikir tak lama lagi kau pun akan mendengarnya," urai Sangga Buana, tanpa ada nada kesombongan di dalamnya. Padahal, jawabannya sudah membuktikan kalau ketajaman pendengarannya berada di atas Arya.
"Aku... aku belum mendengar bunyi apa pun, Kang," celetuk Melati. Setelah beberapa saat lamanya menelengkan kepala, mencoba mendengarkan bunyi yang dimaksud kekasihnya.
"Tak lama lagi kau pun akan mendengarnya, Melati," sahut Arya kalem. "Yang penting, persiapkanlah dirimu. Sebentar lagi kita akan terlibat dalam pertarungan."
Melati hanya menganggukkan kepala menanggapi pernyataan kekasihnya.
"Sekarang mari kita lanjutkan perjalanan," Ianjut Arya seraya melangkahkan kaki.
Tanpa banyak bicara, Melati dan Sangga Buana mengayunkan kaki. Perkataan Dewa Arak memang benar. Beberapa ayunan langkah kemudian, Melati mendengar bunyi riuh rendah yang didengar Dewa Arak.
Semakin lama sinar terang benderang itu semakin jelas. Dugaan ketiga orang itu tidak keliru. Sinar terang benderang itu berasal dari dunia luar. Di depan mereka tampak mulut goa terpampang.
Kalau menuruti perasaan hati, Dewa Arak, Melati, dan Sangga Buana ingin segera menghambur ke sana. Tapi akal sehat melarang mereka melakukan itu. Yang mereka lakukan malah sebaliknya, mendekati mulut goa yang akan mengantar mereka ke dunia luar itu dengan langkah hati-hati. Tapi, kekhawatiran mereka tidak terbukti. Sampai mereka berada sangat dekat dengan mulut goa, tidak terjadi hal-hal yang dikhawatirkan.
"Dugaanmu benar, Kek. Orang-orang yang membawa lari pusaka Pulau Es melalui jalan ini. Mereka tengah terlibat pertarungan dengan orang-orang Pulau Api," ujar Arya sambil menudingkan jari telunjuknya ke luar goa.
Memang dan tempat mereka dapat terlihat jelas pemandangan di luar. Tampak sebuah bangunan besar yang terlihat kuno berdiri megah. Tapi bukan itu yang menarik perhatian mereka. Melainkan pertarungan yang terjadi di depan bangunan besar mirip istana itu. Pertarungan besar-besaran yang terjadi antara rombongan Raja Monyet Muka Hitam dengan para penghuni Pulau Api. Menarik bukan main.
"Jumlah rombongan Raja Monyet Muka Hitam jauh lebih banyak, Kang," kata Melati, setelah memperhatikan keadaan pertarungan beberapa seat lamanya.
"Benar apa yang kau katakan, Melati," jawab Arya mengangguk. "Tapi meskipun jumlah orang-orang Pulau Api lebih sedikit, kemampuan perorangan mereka lebih unggul. Apalagi, dengan kemampuan mereka bekerja sama. Rasanya, kemenangan akan diraih orang-orang Pulau Api."
Sangga Buana dan Melati mengangguk-angguk mendengar ucapan Arya. Mereka harus mengakui kesimpulan yang diberikan pemuda berambut putih keperakan itu memang benar. Kedudukan orang-orang Pulau Api jauh lebih baik. Kemenangan mereka hanya tinggal menunggu waktu saja.
"Kakang...! Bukankah itu Pemimpin Pulau Api yang telah bertarung denganmu? Siapa tokoh yang menjadi lawannya itu?" celetuk Melati lagi. Gadis berpakaian putih itu menudingkan jari telunjuknya ke kancah pertarungan. Hingga Arya mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Melati.
"Benar, Melati. Dialah Pemimpin Pulau Api. Menurut pendapatku, lawan yang dihadapinya Raja Iblis Baju Emas! Lihat saja pakaian yang dikenakannya," sahut Arya.
"Kau benar, Kang. Mengapa aku begitu pelupa? Siapa lagi tokoh yang tengah menghadapi Pemimpin Pulau Api kalau bukan Raja Iblis Baju Emas. Bukankah demikian berita yang kita dapatkan?" ucap Melati seperti menyesali diri sendiri.
"Pemimpin Pulau Api itu nama sebenarnya Gandamata," celetuk Sangga Buana, tak tahan berdiam diri.
"Ooo...!" Dewa Arak dan Melati membulatkan mulut mendengar pemberitahuan Sangga Buana.
"Kalau begitu, yang di sebelah sana pasti Raja Monyet Muka Hitam," kembali Melati membuka suara.
Gadis berpakaian putih itu menunjuk ke sebuah kancah pertarungan lain. Tampak seorang lelaki bertubuh kecil yang berpakaian hitam tengah bertarung menghadapi dua penghuni Pulau Api. Mereka tidak lain Songora dan Bonggol.
"Apakah tidak sebaiknya kita ikut terjun dalam kancah pertarungan, Kang?" usul Melati tiba-tiba.
Dewa Arak mengembangkan senyum lebar. "Sabar, Melati. Kita tunggu saat yang tepat. Jangan sampai tindakan campur tangan kita membuat mereka bersatu menghadapi kita. Keadaan akan menjadi gawat. Karena itu, saat ini biarkan saja mereka bertarung. Setelah jumlah mereka berkurang, baru kita melakukan penyerangan untuk merampas pusaka-pusaka Pulau Es dari tangan mereka," urai Dewa Arak.
Sementara itu, pertarungan terus berlangsung sengit. Meskipun terdiri dari banyak kelompok pertarungan, tapi masing-masing pertempuran menarik untuk disaksikan. Tapi tentu saja penonton, dalam hal ini Dewa Arak, Sangga Buana, dan Melati lebih menyukai pertarungan yang berlangsung antara tokoh-tokoh tingkat tinggi. Maka, perhatian mereka lebih banyak terpusat pada pertarungan Raja Iblis Baju Emas dan Gandamata, serta Raja Monyet Muka Hitam melawan Songora dan Bonggol.
Dan memang, pertarungan tokoh-tokoh itu paling dahsyat dan menarik bila dibandingkan dengan yang lainnya. Jangankah terkena serangan langsung, angin serangan mereka saja, mampu menewaskan pesilat yang kurang kuat tenaga dalamnya. Maka tidak aneh, jika pertarungan tokoh-tokoh tingkat tinggi itu terpisah cukup jauh dengan pertarungan-pertarungan lainnya.
Berbeda dengan pertarungan tokoh-tokoh itu yang terlihat berimbang, pertarungan antara rombongan Raja Monyet Muka Hitam dan penghuni Pulau Api kelihatan tidak berimbang. Para penghuni Pulau Api mampu mendesak lawan-lawannya, kendati jumlah mereka kalah banyak.
Orang-orang Pulau Api itu hanya berjumlah dua belas orang. Lima di antara mereka anggota tingkat dasar, sedangkan sisanya orang-orang yang membantu Songora dan Bonggol sewaktu menghadapi Raja Iblis Baju Emas. Perubahan lawan tarung disebabkan oleh terjadinya jalan tembus yang menghubungkan Pulau Api dan Pulau Es.
Seperti juga Pulau Es, Pulau Api mengalami hal yang sama seiring dengan terjadinya jalan tembus itu. Kejadian itu membuat kejar-mengejar antara Raja Iblis Baju Emas dan sembilan lawannya terhenti. Mereka takut Pulau Api akan tenggelam.
Maka mereka pun melarikan diri. Dan seperti juga perasaan yang dialami Pulau Api dan Melati, mereka tertarik oleh kekuatan aneh untuk datang ke tempat ini. Ketika mereka tiba di mulut goa, dari sana muncul Raja Monyet Muka Hitam dan rombongannya. Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi.
Semula orang-orang Pulau Api terdesak. Untung Gandamata segera hadir. Keadaan pun langsung berubah. Sekarang para penghuni Pulau Api berhasil mendesak anak buah Raja Monyet Muka Hitam. Meskipun jumlah mereka hanya sepertiga lawan.
Orang-orang Pulau Api memang cerdik bukan main. Mereka menggunakan kerja sama kelompok untuk menghadapi anak buah Raja Monyet Muka Hitam. Tak heran jika kancah pertarungan mereka terbagi tiga kelompok.
DELAPAN
Ctarrr!
"Akh...!" Lolong kesakitan terdengar ketika seorang anak buah Raja Monyet Muka Hitam terkena cambuk Lawan pada pelipisnya. Seketika itu pula tubuhnya terhuyung ke belakang, dan ambruk di tanah, lalu menggelepar-gelepar sejenak sebelum akhimya diam tidak bergerak. Nyawanya telah melayang meninggalkan raga.
Belum juga lenyap jeritannya, kembali terdengar lolong kematian lainnya. Juga berasal dari anak buah Raja Monyet Muka Hitam. Pemilik jeritan ini pun tewas. Setelah itu, satu persatu anak buah Raja Monyet Muka Hitam berguguran. Hingga, dengan sendirinya keadaan mereka semakin terdesak. Dengan jumlah mereka yang semakin sedikit kekuatan mereka pun makin berkurang.
Anak buah Raja Monyet Muka Hitam segera sadar kalau lawan terlalu kuat untuk mereka, dan tidak ada harapan sedikit pun untuk memenangkan pertarungan. Tapi meskipun demikian, mereka tidak ingin mati percuma. Mereka ingin mengajak para penghuni Pulau Api mati bersama-sama.
Anehnya, keinginan itu timbul secara serentak di benak pengikut Raja Monyet Muka Hitam. Mungkin karena kedudukan mereka yang sama-sama terjepit. Mereka pun menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan tindakan nekat itu.
"Suiiit...!"
Mendadak, salah seorang anak buah Raja Monyet Muka Hitam mengeluarkan siulan. Tentu saja bukan sembarangan siulan. Di dalamnya terkandung maksud tertentu yang hanya dimengerti rombongan Raja Monyet Muka Hitam. Seketika itu pula, dari tiap-tiap kelompok pertarungan, terdengar siulan balasan bemada sama. lni memberi arti kalau mereka telah mengerti maksud si pemberi siulan.
Dan semua itu didengar orang-orang Pulau Api. Mereka pun bukan orang bodoh. Siulan itu bukan keterampilan mulut belaka, tapi mengandung makmad tertentu. Sayang, mereka tidak tahu arti siulan itu, yang dapat dilakukan mereka adalah lebih bersikap hati-hati. Bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
"Suiiit...!"
Kembali terdengar siulan. Kali ini nadanya ber-beda dengan sebelumnya. Cepat, keras, dan singkat! Dan, kali ini orang-orang Pulau Api tidak perlu pusing-pusing memikirkannya. Maksud siulan itu Iangsung dibuktikan. Begitu dari masing-masing kelompok terdengar siulan. Mereka segera berlompatan menjauhi arena pertarungan.
Tindakan ini membuat penghuni Pulau Api gugup. Mereka sadar lawan tengah menggunakan sebuah siasat. Dan mereka tidak bisa menebak, siasat apa yang akan dipergunakan. Hingga, orang-orang Pulau Api tidak berani bertindak sernbrono dengan memburu lawan. Mereka hanya berdiam diri di tempat masing-masing dengan sikap waspada. Menurut mereka, inilah cara yang paling baik bila belum mengetahui siasat lawan.
Karena tidak mendapat hambatan dan lawan-lawannya, tanpa menemui kesulitan pengikut Raja Monyet Muka Hitam keluar dari kancah pertarungan. Dan dengan kecepatan yang mengagumkan Iangsung membuat lingkaran besar, mengurung semua lawan mereka.
Semua itu dilakukan dengan cepat. Sehingga sebelum anak buah Gandamata sadar, tahu-tahu mereka telah terkurung. Dan sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, tangan-tangan anak buah Raja Monyet Muka Hitam dikibaskan.
Wut, wut, wut!
Seketika itu pula, belasan bahkan puluhan Benda bulat sebesar telur bebek melayang ke arah para penghuni Pulau Api. Sambaran benda-benda bulat ini membuat orang-orang Pulau Api keheranan.
Sekejap mereka saling pandang dengan sorot mata menyiratkan ketidak-mengertian. Mereka tidak mengenal senjata rahasia semacam itu. Sungguh mereka tidak tahu, kalau benda yang tengah meluncur ke arah mereka jauh lebih berbahaya dari senjata rahasia mana pun.
Karena ketidaktahuan itu, masing-masing kelompok saling bertukar pandang. Hanya sekejap raja. Tapi meskipun demikian telah didapat sebuah keputusan. Dan keputusan masing-masing kelom-pok ternyata tidak sama. Ini terbukti beberapa saat kemudian.
"Hih!" Kelompok penghuni Pulau Api yang berjumlah tiga dan empat orang mengelakkan serangan itu. Sedangkan kelompok yang berjumlah lima orang dan bersenjatakan cambuk langsung memapakinya dengan lecutan senjata andalannya. Dan....
Blarrr!
Ledakan dahsyat dan keras laksana langsung terdengar ketika benda-benda sebesar telur bebek itu berbenturan, baik dengan tanah maupun ujung cambuk! Akibatnya, sungguh luar biasa!
Bongkahan-bongkahan es berpentalan ke sana kemari! Sedangkan lima anak buah Gandamata yang langsung memapaki benda bulat itu, mengalami kejadian yang menggiriskan. Tubuh mereka terjengkang ke belakang seperti diseruduk puluhan kerbau liar!
Tapi justru kejadian itulah yang membuat mereka selamat dari kematian yang mengerikan! Betapa tidak? Begitu bongkahan-bongkahan es berpencaran dari dalamnya menyembur api. Tidak kepalang tanggung lagi semburannya. Sebab, lubang yang berbentuk pun besar! Yang lebih gila lagi, lubang itu tidak hanya satu tapi banyak!
Kematian seperti itulah yang diterima tujuh orang anak buah Gandamata! Sebagian dari mereka tewas dengan tubuh hangus terbakar. Sedangkan sisanya terjeblos ke dalam lubang api. Nasib yang menimpa lima orang penghuni Pulau Api yang bercambuk memang tidak sesial rekan-rekannya.
Tapi bukan berarti mereka lepas dari bahaya. Begitu tubuh mereka melayang deras hingga keluar dari kepungan, sebagian lawan-lawan mereka segera memburu dengan senjata di tangan. Dan dalam keadaan tiga perempat mati, akibat ledakan keras itu, lima penghuni Pulau Api ini tidak mampu berbuat banyak! Maka tanpa menemui kesulitan sedikit pun, anak buah Raja Monyet Muka Hitam menyarangkan serangannya.
"Akh...!" Jeritan singkat dan menyayat keluar dari mulut mereka ketika senjata anak buah Raja Monyet Muka Hitam mendarat di tubuhnya. Bertubi-tubi, dan baru terhenti ketika tubuh mereka sudah tidak berbentuk lagi.
Tapi baru saja menyelesaikan perbuatannya, terjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan anak buah Raja Monyet Muka Hitam. Tanah yang mereka injak bergetar keras. Dan sebelum mereka bertindak sesuatu, tanah itu amblas! Tanpa bisa dicegah lagi, tubuh mereka amblas ke dalam tanah.
Ternyata semua terjadi akibat ledakan benda-benda bulat. Terlalu banyak yang dilepaskan hingga menimbulkan, getaran dahsyat. Padahal, tanah di Pulau Api tidak terlalu baik! Banyak bagian-bagian yang berongga! Hasilnya, bukan hanya para penghuni Pulau Api saja yang menjadi korban. Anak buah Raja Monyet Muka Hitam sendiri pun mengalaminya. Mereka tewas karena tanah yang mereka injak tiba-tiba amblas!
Mengerikan sekali pemandangan yang terpampang! Di tengah-tengah hamparan es tercipta danau api! Sulit untuk dipercaya! Tapi, tentu saja api-api itu tidak lagi menyembur ke atas. Lubang yang terbentuk itu ternyata tidak kecil, tapi sudah sebesar danau!
Kejadian demi kejadian yang terlalu dahsyat dan bertubi-tubi itu membuat semua yang berada di situ sangat terkejut. Bukan hanya Dewa Arak, Melati, dan Sangga Buana saja. Raja Iblis Baju Emas, Raja Monyet Muka Hitam, Gandamata, Songora, serta Bonggol pun demikian pula. Untung saja, tempat pertarungan tokoh-tokoh itu terpisah cukup jauh. Sehingga, tempat mereka bertarung tidak termasuk bagian pulau yang amblas!
Meskipun demikian, karena terlalu dahsyatnya peristiwa yang terjadi, tanpa sadar Songora dan Bonggol mengalihkan perhatian. Apalagi, ketika mendengar jeritan rekan-rekan mereka di antara hiruk-pikuk itu. Kesempatan yang hanya sejenak itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Monyet Muka Hitam. Secepat kilat tangannya dihentakkan!
Wusss! Desst!
"Aaakh...!" Jeritan menyayat keluar dan i mulut Songora ketika pukulan jarak jauh Raja Monyet Muka Hitam telak dan keras menghantam dadanya. Seketika itu pula, tubuh tokoh Pulau Api itu melayang deras kebelakang disertai jeritan menyayat. Dan hidung dan mulutnya mengalir darah segar! Nyawanya melayang ke alam baka saat itu juga.
"Songora...!"
Bonggol menjerit kaget melihat kejadian yang menimpa rekannya. Kemarahan yang sangat melanda hatinya. Diterjangnya Raja Monyet Muka Hitam.
Wungngng!
Golok besamya dibolang-balingkan di depan dada. Dan tetap dengan gerakan seperti itu, dia menyerang Raja Monyet Muka Hitam. Bonggol menyerang tanpa mempedulikan keselamatannya. Yang ada di benaknya adalah membinasakan Raja Monyet Muka Hitam. Hal-hal lain tidak dipikirkannya.
"Hm...!" Raja Monyet Muka Hitam mendengus melihat serangan itu. Tanpa ragu-ragu, dipapaki serangan Bonggol dengan tombak pendeknya.
Trangngng!
Bunga api berpercikan ke sana kemari ketika dua senjata itu berbenturan keras. Tubuh. Bonggol terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan Raja Monyet Muka Hitam yang memang memiliki tenaga dalam jauh lebih kuat, tidak mengalami kejadian apa pun. Tergetar pun tidak. Kesempatan di saat ' Bonggol terhuyung-huyung segera dimanfaatkan tokoh sesat itu. Tangan kirinya dihentakkan.
Wusss!
Serangan susulan itu terjadi sangat cepat dan tidak disangka-sangka. Bonggol, yang tengah dilanda perasaan kalap menjadi gugup. Sebisanya dicoba untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Tapi….
Desss!
"Aaakh...!" Diiringi jeritan menyayat tubuh Bonggol melayang deras ke belakang. Darah segar keluar dan mulut, hidung, dan telinganya. Nyawa tokoh Pulau Api itu pun melayang.
Dan kejadian itu tak luput dari pandangan Gandamata. Betapa geram hati kakek itu. Dengan tewasnya Bonggol, berarti dia tidak mempunyai anak buah lagi. Akibatnya, Raja Iblis Baju Emas menjadi sasaran kemarahannya. Serangan-serangan yang dilancarkan terhadap kakek berpakaian kuning itu semakin dahsyat.
"Hih!" Raja lblis Baju Emas menggertakkan gigi untuk mengeluarkan seluruh kemampuannya sampai ke puncak. Sejak tadi kakek itu memang sudah terdesak. Dalam meringankan tubuh maupun tenaga dalam Gandamata ternyata lebih unggul darinya. Hanya berkat kecerdikannya saja, hingga pertarungan berlangsung seratus jurus dia belum dapat dirobohkan.
Sementara itu, begitu berhasil menyelesaikan pertarungan Raja Monyet Muka Hitam bergegas melesat pergi dari situ. Tapi baru beberapa kali lesatan dia berlari. Mendadak....
"Raja Monyet Muka Hitam! Tunggu!"
Cegahan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, memaksa Raja Monyet Muka Hitam menghentikan langkah dan membalikkan tubuh. Dalam jarak tiga tombak tampak berdiri Dewa Arak. Raja Monyet Muka Hitam mengerutkan sepasang alisnya. Dirayapinya sekujur tubuh Dewa Arak beberapa saat. Kemudian, kepalanya mengangguk-angguk.
"Tidak salahkah mataku? Bukankah aku tengah berhadapan dengan tokoh sombong yang berjuluk Dewa Arak?!" ada nada ejekan sinis dalam ucapan Raja Monyet Muka Hitam.
"Tidak salah!" jawab Dewa Arak tegas. "Akulah tokoh yang kau maksudkan!"
"Hm...! Apa maksudmu mencegah kepergianku, Dewa Arak?!" tampak jelas Raja Monyet Muka Hitam memandang rendah lawannya.
"Tidak usah berpura-pura, Raja Monyet! Cepat serahkan pusaka-pusaka Pulau Es yang telah kau curi! Percayalah, aku tidak akan memperpanjang urusan bila kau bersedia mengembalikannya," ujar Dewa Arak tenang, berusaha tidak terpengaruh dengan sikap yang ditunjukkan calon lawannya.
"Ha ha ha...! Enak saja kau bicara, Dewa Arak! Apa hakmu meminta pusaka yang kudapatkan dengan kepandaian yang kumiliki, hehhh...?! Jangan kau pikir aku takut padamu!" tandas Raja Monyet Muka Hitam dengan suara yang bergetar marah. Datuk kaum sesaat itu murka melihat sikap Dewa Arak yang kelihatan meremehkan dirinya.
"Aku tidak mengatakan kau takut padaku, Raja Monyet! Aku hanya minta kau mengembalikan pusaka Pulau Es yang kau curi! Kau tidak berhak membawanya pergi!" tegas Dewa Arak mantap.
"Ooo...! Jadi..., menurutmu siapa yang berhak membawanya? Kau?!" ejak Raja Monyet Muka Hitam.
"Benar," jawab Dewa Arak singkat penuh kesungguhan. "Karena aku adalah keturunan terakhir pemilik Pulau Es!"
"Keparat! Jangan harap kau dapat menipuku, Dewa Arak! Kalau kau memang pemiliknya, kau boleh mengambilnya dariku! Tentu saja dengan kepandaian. Karena aku pun mendapatkannya dengan kepandaian yang kumiliki!" tantang Raja Monyet Muka Hitam.
"Kalau itu yang kau inginkan, apa boleh buat, Raja Monyet! Dengan senang hati kuterima tantanganmu!" sambut Dewa Arak tanpa merasa gentar sedikit pun.
"Kalau begitu bersiaplah kau, Dewa Arak! Hiyaaa...!"
Didahului teriakan nyaring yang menggetarkan isi dada, Raja Monyet Muka Hitam melompat menerjang Dewa Arak. Sadar kalau lawan yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan, tokoh sesat itu menggunakan senjata andalannya.
Wuk, wuk, wuk!
Tombak pendek hitam mengkilat itu dibolang-balingkan di depan dada. Cepat bukan main, hingga bentuknya lenyap. Mendadak...
"Hih!"
Wuttt!
Dengan kecepatan gerak seorang tokoh tingkat tinggi, Raja Monyet Muka Hitam menusukkan tombaknya ke arah perut Dewa Arak. Bunyi menderu keras mengiringi tibanya serangan itu. Melihat kenyataan itu, Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang. Dan di saat tubuhnya berada di udara, guci yang tersampir di punggung diambilnya dan dituangkan ke mulut.
Gluk.... Gluk…Gluk...!
Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Sesaat kemudian, ada hawa hangat merayap di dalam perutnya. Perlahan-lahan hawa itu merambat ke atas.
Jliggg!
Laksana daun kering, kedua kaki Dewa Arak ringan mendarat di tanah. Tapi, kedudukannya tidak mantap. Kedua kaki pemuda berambut putih keperakan itu tidak berdiri tegak di tanah. Tubuhnya oleng ke sana kemari. Pertanda ilmu 'Belalang Sakti'nya slap dipergunakan.
"Inikah ilmu 'Belalang Sakti' yang terkenal itu?" tanya Raja Monyet Muka Hitam mengejek. "Ingin kubuktikan sendiri sampai di mana keampuhannya!"
Usai berkata demikian, Raja Monyet Muka Hitam melancarkan serangan. Dewa Arak pun menyambutnya dengan hangat. Pertarungan tak dapat dielakkan lagi. Raja Monyet Muka Hitam mengamuk. Tombak di tangannya berkelebatan kian kemari, mengincar berbagai bagian tubuh Dewa Ar-ak. Terutama bagian-bagian yang berbahaya.
Tetapi semua dapat diatasi Dewa Arak. Dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti' dan jurus 'Delapan Langkah Belalang', bukan hal yang sulit baginya untuk mengelakkan semua serangan itu. Tidak hanya sampai di situ tindakan pemuda berambut putih keperakan itu. Serangan-serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya dilancarkan Pula. Tak pelak lagi, pertarungan sengit dan menarik pun terjadi.
"Hih!" Raja Monyet Muka Hitam menggertakkan gigi karena geram dan heran. Selama ini dirinya hanya mendengar keunikan ilmu 'Belalang Sati'. Baru kali ini dia berkesempatan mencobanya. Memang harus diakui kalau berita yang didengarnya itu benar adanya! llmu 'Belalang Sakti' benar-benar ilmu yang unik. Tak masuk akal, tapi benar-benar ampuh!
Betapa tidak? Dengan mata kepala sendiri, Raja Monyet Muka Hitam melihat serangan yang dilancarkannya disambut oleh Dewa Arak dengan tubuhnya. Tapi anehnya, justru dengan cara itu serangannya berhasil dielakkan. Bukan hanya itu saja hal-hal aneh yang disaksikannya. Tak jarang Dewa Arak menenggak minumannya di saat dia tengah melancarkan serangan. Pemuda berambut putih keperakan itu seperti tidak mempedulikan serangan lawan.
Meskipun demikian tidak berarti Raja Monyet Muka Hitam menjadi gentar. Sama sekali tidak! Bahkan, semua itu menambah semangatnya untuk segera merobohkan lawan. Kedahsyatan serangan-serangan Raja Monyet Muka Hitam semakin meningkat.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tak terasa seratus jurus telah berlalu. Dan Raja Monyet Muka Hitam berada di pihak yang terdesak. Datuk sesat yang mirip kera itu hanya dapat bermain mundur. Serangan-serangannya yang semula bertubi-tubi dan susul-menyusul laksana gelombang laut, kini jauh berkurang. Sekarang dia lebih banyak mengelak. Robohnya Raja Monyet Muka Hitam hanya tinggal menunggu waktu saja. Dan itu diketahui secara pasti oleh Raja Monyet Muka Hitam!
"Hiaaat...!" Pada jurus ke seratus tiga puluh dua, Raja Monyet Muka Hitam bertindak nekat. Tahu kalau dirinya tidak mungkin bisa menang, maka diputuskannya untuk mengadu nyawa. Dia tidak ingin mati sendirian. Tokoh sesaat itu ingin membawa Dewa Arak ikut serta ke alam baka. Karena itu diputuskan untuk melancarkan serangan balasan, tidak hanya mengelak seperti sebelumnya.
"Hih!" Sambil menggertakkan gigi, Raja Monyet Muka Hitam menusukkan tombaknya ke perut Dewa Arak. Tapi, Dewa Arak tetap bersikap tenang. Ditunggunya hingga serangan itu semakin dekat. Kemudian dengan kecekatan dan kepandaian seorang tokoh tingkat tinggi, tubuhnya didoyongkan ke kanan. Dan tangan kirinya agak sedikit diangkat. Serangan Raja Monyet Muka Hitam pun lewat di sisi kiri dadanya. Saat itulah Dewa Arak melakukan siasat, yang sejak tadi sudah diperhitungkan masak-masak.
Kreppp!
Batang tombak Raja Monyet Muka Hitam terjepit di ketiak Dewa Arak. Hingga datuk sesat mirip kera itu kelabakan. Buru-buru ditariknya kembali tombak itu untuk membebaskannya. Tapi Dewa Arak tidak membiarkan hal itu. Tenaganya dikerahkan untuk menahan. Akibatnya terjadi adu tenaga! Yang satu mengambil, sedangkan yang lain mempertahankan.
Inilah yang ditunggu-tunggu Dewa Arak. Guci yang tergenggam di tangan kanannya diayunkan ke arah dada Raja Monyet Muka Hitam. Cepat dan tidak disangka-sangka. Meskipun demikian, Raja Monyet Muka Hitam masih mencoba untuk mengelak.
Blakkk!
Telak dan sangat keras guci Dewa Arak menghantam sasaran. Seketika itu pula, tubuh Raja Monyet Muka Hitam terjengkang ke belakang. Bunyi berderak tulang-tulang berpatahan mengiringi muncratnya darah dari mulut, hidung, dan telinga Raja Monyet Muka Hitam.
Brukkk!
Setelah terhuyung-huyung beberapa tombak jauhnya Raja Monyet Muka Hitam ambruk di tanah. Tokoh itu menggelepar-gelepar. Kemudian, diam tidak bergerak. Mati.
Baru saja Dewa Arak bermaksud melepaskan tombak yang masih terselip di ketiaknya, terdengar dua jeritan menyayat. Saat itu juga pandangannya dialihkan ke arah asal suara. Tubuh Gandamata dan Raja Iblis Baju Emas ambruk di tanah. Tewas. Kepala Gandamata remuk. Sedangkan Raja Iblis Baju Emas tewas dengan sebuah pisau menghunjam jantung.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas lega, setelah berhasil menemukan pusaka-pusaka Pulau Es dari buntalan Raja Monyet Muka Hitam. Lalu perhatian dialihkan pada Sangga Buana dan Melati. Kedua orang itu tampak berlari-lari menghampiri.
"Bagaimana mereka bisa mati bersama-sama?" tanya Arya ketika kedua orang itu telah dekat dengannya. Tidak dijelaskan pada siapa pertanyaan itu ditujukan.
"Kami tidak mengetahuinya, Kang. Sebab, kami lebih memperhatikan pertarunganmu," jawab Melati.
Sangga Buana hanya mengangguk-anggukkan kepala membenarkan ucapan Melati.
"Kalau begitu, mari kita cari Abimanyu dan rombongan Patih Juminta. Mudah-mudahan mereka berada di sini," ajak Dewa Arak mengalihkan persoalan.
Tanpa membantah sedikit pun, Sangga Buana dan Melati melangkah mengikuti Dewa Arak yang telah mengayunkan kaki lebih dulu. Arah yang ditujunya bangunan besar yang sebenarnya Istana Api. Ternyata tidak sulit menemukan mereka. Dihalaman depan istana yang luas tampak terjajar Patih Juminta, Abimanyu dan rombongan pasukan Kerajaan Bojong Gading. Mereka terikat di sebuah tonggak besi.
"Gusti Ayu Melati...!" seru Patih Juminta ketika melihat Melati menghampirinya.
"Paman...!" seru Melati. Gadis itu menghambur ke tempat rombongan Kerajaan Bojong Gading yang tengah tertawan.
Dewa Arak dan Sangga Buana hanya tersenyum melihat semua itu. Akhirnya semua berakhir seperti yang diharapkan mereka. Pusaka-pusaka Pulau Es dapat mereka rebut kembali. Dan Melati dapat menemukan Abimanyu, Patih Juminta serta pasukan Kerajaan Bojong Gading.
SELESAI
Selanjutnya,