Dewa Arak - Petualangan Petualangan dari Nepal

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Petualangan Petualangan dari Nepal Karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak

Petualangan Petualangan Dari Nepal

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
Crakkk, crakkk, crakkk!

Tanah bergumpal-gumpal berhamburan ke udara ketika tangan sosok tinggi kurus mencungkili sebuah gundukan tanah, mempergunakan sebatang ranting. Sosok yang ternyata seorang laki-laki setengah baya berhidung ke bawah mirip burung betet ini bekerja cepat bukan main. Tangannya yang memegang ranting sebesar ibu jari kaki seakan lenyap buntuknya. Yang terlihat hanya sekelebatan bayangan tak jelas!

Tapi dalam waktu yang tak lama saja telah terlihat sebuah lubang menganga. Sebentar kemudian, tampak sebuah peti mati terbujur di dasar lubang, walaupun belum nampak seluruhnya. Gundukan tanah yang digali sosok berhidung melengkung ini ternyata sebuah kuburan!

Laki-laki setengah baya berkulit hitam kecoklatan itu kemudian menghentikan pekerjaannya. Ranting yang tergenggam dilemparkan begitu saja. Lalu dengan perasaan tidak sabar, dia melompat ke dalam lubang. Dan kedua tangannya tampak gemetar ketika mencengkeram sisi-sisi bagian atas peti mati berukir indah berwarna hitam.

Brakkk!

Tutup peti mati indah itu langsung copot, menimbulkan suara cukup gaduh yang memecah keheningan malam, begitu kedua tangan yang panjang dan kurus itu menyentakkannya. Begitu matanya tertumbuk pada isi peti, tampak sesosok tubuh yang telah rusak, terbaring di dalam peti. Bau yang tidak sedap pun menyebar ke segala arah, terbawa angin malam yang hanya diterangi bulan sepotong.

"Keparat!" Laki-laki setengah baya berhidung melengkung itu memaki-maki penuh geram sambil meludah ke sana kemari, begitu bau busuk yang menyengat menyergap lubang hidungnya. Beberapa percikan cairan ludah yang menjijikkan, ada yang mengenai mayat di dalam peti.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, sosok berkulit hitam kecoklatan itu melompat ke atas. Tidak dipedulikannya peti maupun mayat dalam lubang kuburan. Namun baru saja kakinya menjejak tanah....

"Maling Hina! Sungguh berani kau mengusik tempat suci ini! Apakah nyawamu rangkap?!"

Mendadak terdengar bentakan keras menggelegar, begitu sepasang kaki sosok berkulit hitam kecoklatan itu hendak melangkah. Bentakan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu, membuatnya terjingkat kaget bagai disengat kelabang.

Belum juga gema suara sentakan itu lenyap, mendadak sesosok tubuh melesat menuju ke arah sosok berkulit hitam kecoklatan. Gerakannya cepat sehingga dalam sekejapan saja, sosok itu telah berita dalam jarak tiga tombak di depan sosok berkulit hitam kecoklatan.

Dengan wajah penuh kemarahan, laki-laki berkulit hitam kecoklatan itu memandang ke arah orang yang membentak tadi. Sikapnya yang semula menjadi gugup, langsung dibuat setenang mungkin.

"Rupanya maling hina ini adalah seorang asing!" desis sosok yang baru datang. Ternyata, dia adalah seorang kakek berbadan kekar. Tubuhnya yang bongkok, terbungkus pakaian longgar coklat. Sepasang matanya yang tajam langsung merayapi sekujur tubuh sosok berkulit hitam kecoklatan dengan sorot memancarkan kemarahan besar.

"Apa yang kau cari di sini, Orang Asing?!" lanjut kakek bongkok itu, masih mendesis.

"Pusaka leluhurku!" jawab sosok hitam kecoklatan dengan bahasa terpatah-patah. Singkat sekali jawabannya.

"Cepat berikan padaku. Dan aku berjanji akan segera pergi dari sini, tanpa harus membunuhmu!"

Wajah kakek bongkok itu kontan berubah hebat mendengar ucapan laki-laki setengah baya berkulit hitam kecoklatan ini. Perkataan dan sikap orang itu terlihat jelas merendahkan dirinya! Dan membuatnya tidak senang.

"Di sini tidak ada pusaka yang kau maksudkan. Pergilah! Jangan sampai kesabaranku hilang dan terpaksa membunuhmu, Orang Asing!" tandas kakek bongkok ini tak mau kalah gertak.

"Bohong!" sergah sosok berkulit hitam kecoklatan itu dengan suara keras dan logat aneh. Gatal rasanya didengar telinga. "Aku tidak percaya! Aku yakin pusaka leluhurku berada di sini. Cepat berikan padaku! Dan, jangan tunggu sampai seluruh pekuburan ku obrak-abrik!"

"Keparat! Tulikah kau, Orang Asing?!" suara kakek bongkok kian meninggi karena amarah yang semakin menggelegak. "Sekali kukatakan tidak berarti tidak! Dan, cepatlah tinggalkan tempat suci ini! Ingat! Sekali lagi kau berkata seperti itu, aku tidak akan bisa tinggal diam! Atau... Kau sengaja menunggu kesabaranku habis?!"

"Kaulah yang membuat kesabaranku habis, Orang Tua! Rupanya kau memang sudah bosan hidup!" ancam sosok berkulit hitam kecoklatan itu. Nada suaranya tanpa adanya nada mengancam. Karena logatnya yang aneh, tidak mampu memberi tekanan pada ucapannya. "Kalau begitu mampuslah!"

Sosok berkulit hitam kecoklatan itu segera mengirimkan serangan. Kedua tangannya yang terkepal melepaskan pukulan bertubi-tubi ke arah dada lawannya. Begitu cepat gerakannya, hingga bentuk kedua tangan sampai lenyap. Dan yang terlihat hanya dua bayangan tidak jelas, meluruk ke arah kakek bongkok disertai bunyi angin berkesiutan nyaring. Serangan ini membuat kakek bongkok terperanjat. Saat itu juga, disadari kalau sosok berkulit hitam kecoklatan ini memiliki kepandaian tinggi.

Duk, dukk, dukkk!

Bunyi keras berulang-ulang seperti ada benturan benda keras terdengar ketika kakek bongkok itu memapak dengan sikap jari-jari terkepal. Tubuh kedua orang itu sama-sama terhuyung-huyung ke belakang. Hanya saja, kakek bongkok lebih jauh dua langkah.

Kakek bongkok itu menggertakkan gigi, merasa penasaran melihat keunggulan tenaga dalam lawannya. Tanpa menunggu lebih lama, senjata andalannya segera dikeluarkan berupa sebuah kipas. Kipas lebar dan besar yang gagangnya terbuat dari gading gajah itu kelihatannya tidak bisa dianggap sembarangan. Permukaan kipas itu terbuat dari kulit harimau loreng besar yang telah direndam dalam suatu ramuan. Sehingga menjadi kuat, tidak bisa sobek. Wuttt!

Begitu kakek bongkok itu mengibaskan kipasnya, bertiup angin yang luar biasa keras. Sehingga membuat batu-batu sebesar kerbau yang terletak beberapa tombak dari tempat itu, terguling-guling jauh. Sekujur pakaian dan rambut sosok berkulit hitam kecoklatan berkibaran keras.

Tapi, tubuhnya sama sekali tidak bergeming, karena telah lebih dulu mengerahkan tenaga dalam untuk membuat ke dua kakinya seperti berakar dalam tanah. Meski demikian, kenyataan ini menyadarkan sosok berkulit hitam kecoklatan, kalau kakek bongkok tidak bisa dianggap remeh. Maka buru-buru sebatang suling yang terbuat dari ular mati yang dikeringkan dikeluarkannya dari selipan pinggang. Dan dengan senjata itu di tangan, dihadapinya amukan kakek bongkok ini.

Maka pertarungan dahsyat yang menggariskan pun berlangsung. Tak heran kalau suasana di sekitar tempat itu kontan porak-poranda. Batu-batu besar dan kecil beterbangan tak tentu arah. Pohon pohon yang agak kecil tumbang. Sedangkan pohon yang besar, daun-daun dan ranting-rantingnya berguguran.

Kedua senjata tokoh yang bertarung bagaikan telah berubah. Deru angin yang keluar dari gerakan kipas, laksana badai. Sedangkan kelebatan suling sosok berkulit hitam kecoklatan bagaikan kilat yang melejit-lejit di antara gemuruh angin keras itu, Tapi, kakek bongkok itu harus mengakui keunggulan lawannya. Buktinya begitu pertarungan menginjak tiga puluh jurus, keadaannya mulai terdesak.

Dukkk!

"Hukh!" Tubuh kakek bongkok itu terjengkang ke belakang ketika tendangan kaki kanan lawannya mendarat telak di perut. Tubuhnya kontan terbanting keras di tanah, setelah melayang sejauh beberapa tombak. Namun, rupanya hatinya sekeras baja. Dan dia tetap berusaha bangkit. Padahal, darah segar telah memancur deras dari mulutnya, ketika hendak bangkit. Bahkan tubuhnya kembali ambruk tanpa dapat berbuat apa-apa. Setelah mengejang beberapa saat, tubuh kakek bongkok itu pun terkulai. Nyawanya langsung melawat ke akherat.

Sementara sosok berkulit hitam kecoklatan itu menatap lawannya sesaat. Kemudian suling berbentuk ular kembali diselipkan ke pinggang. Lalu, pekerjaannya yang tadi tertunda, kembali diteruskan.

* * *

Seorang pemuda tampan berwajah jantan, perlahan-lahan mengayuh perahu dengan dayungnya kearah pinggir seberang sungai. Begitu telah sampai di tepi, dia melompat turun. Kemudian perahunya ditarik dan diikatkan pada sebuah tonggak yang dibuatnya sendiri.

"Anak Muda!"

Baru saja pemuda tampan itu mengayunkan kaki beberapa tindak, terdengar seruan dari belakang. Terpaksa langkahnya dihentikan, dan langsung berbalik. Dan dia langsung melihat sebuah perahu yang ditumpangi seorang kakek, tengah meluncur laksana anak panah. Kelihatannya, perahu itu seperti membelah permukaan air sungai menuju ke arahnya.

Pemuda tampan itu langsung bisa mengetahui kalau kakek berpakaian penuh tambalan dan berjenggot kasar tidak terawat yang menuju ke arahnya memiliki kepandaian tinggi. Meluncurnya perahu yang demikian cepat. Padahal, dikayuhnya tanpa mempergunakan dayung, melainkan hanya sebelah tangannya. Dan ini telah menunjukkan kalau tenaga dalam kakek itu amat tinggi.

Pemuda tampan yang memiliki rambut panjang itu hanya berdiri diam di tempatnya, seperti menunggu. Dia tidak tahu, apakah kakek berpakaiai penuh tambalan ini bermaksud baik atau malah sebaliknya. Tapi yang jelas sikapnya tetap waspada.

Begitu mencapai pinggir sungai, kakek berpakaian penuh tambalan itu langsung melompat ke darat, tanpa mempedulikan perahunya lagi. Dan seketika tubuhnya melesat cepat mendekati pemuda berwajah tampan itu.

"Kau memanggilku, Kek?!" tanya pemuda tampan itu. Sopan suaranya. Begitu pula sikapnya. Jelas tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kalau merasa terganggu sama sekali.

"Benar, Anak Muda," jawab kakek berpakaian penuh tambalan itu seraya menganggukkan kepala. "Aku terpaksa memanggilmu, karena merasakan adanya firasat yang tidak baik begitu melihatmu. Maaf, aku memiliki naluri yang tajam, sehingga dapat mengetahui akan adanya sebuah bahaya, meski hanya melihatnya dari kejauhan. Aku yakin, kau tengah terlibat persoalan!"

"Boleh kutahu, persoalan apakah itu, Kek?!" tanya pemuda tampan ini, dengan raut wajah sungguh-sungguh.

"Aku sendiri belum tahu, Anak Muda. Tapi aku yakin betul. Untuk jelasnya..., maukah kau menunggu sebentar, Anak Muda?!"

"Kurasa tidak ada salahnya, Kek," jawab peminta tampan itu, setelah termenung sejenak.

"Terima kasih."

Kakek berpakaian penuh tambalan ini segera menurunkan buntalan kumal penuh tambalan yang berada di punggungnya tadi. Dari dalamnya, dikeluarkan beberapa macam benda. Dan ini membuat pemuda tampan itu mengernyitkan alis, agak bingung.

Tapi, kakek berpakaian penuh tambalan itu sepertinya tidak tahu dengan sikap pemuda berambut panjang ini. Peralatan yang berupa, pedupaan, serbuk putih, kemenyan, dan sebuah benda semacam alat untuk pengusir lalat. Benda itu terbuat dari batang rotan sepanjang setengah depa yang pada ujungnya terdapat bulu-bulu ayam yang diikatkan. Segera benda-benda itu ditata dengan cepat.

Kemudian duduk bersila di depan pedupaan yang telah mengepulkan asap berbau harum. Tanpa sadar pemuda tampan itu mundur. Dia tahu, kakek berpakaian penuh tambalan ini hendak melakukan sebuah upacara kebatinan.

"Wahai Penguasa Kegelapan...! Roh-roh di alam Gaib...! Arwah-arwah Penasaran...! Hadir di sini...! Aku mempunyai sebuah permintaan...!"

Terdengar gumaman aneh yang keluar dari mulut kakek berpakaian penuh tambalan itu. Dan pemuda tampan ini merasakan adanya sebuah kekuatan aneh yang kasatmata, di dalam ucapan demi ucapan kakek berpakaian penuh tambalan itu. Maka, dia tahu kalau dalam ucapan-ucapan itu terkandung kekuatan gaib yang tidak masuk akal. Tampak kakek itu duduk bersila dengan kedua mata meram dan sepasang tangan dirangkapkan di depan dada.

"Ah...!" Tanpa sadar, pemuda tampan berambut panjang itu menjerit kaget ketika melihat rotan yang ujungnya terdapat bulu-bulu. Benda yang semula tergolek di tanah itu perlahan-lahan mulai bergerak. Mula-mula pelan, tapi kian lama tampak jelas. Malah beberapa saat kemudian, rotan kecil pendek itu berdiri di atas bulu-bulunya yang tidak menegang kaku.

"Bagus...! Bagus...! Kau mau hadir untuk memenuhi panggilanku...," gumam kakek berpakaian penuh tambalan. Suaranya terdengar aneh, tidak seperti biasanya. "Aku lihat anak muda berambut panjang ini mempunyai persoalan. Benarkah itu, Wahai Arwah Penasaran...?!"

Sesaat kemudian, sebuah kejadian yang hampir membuat pemuda berambut panjang itu terjingkat kaget, mulai nampak rotan yang telah berdiri di atas bulu-bulunya yang lemas, mulai bergerak-gerak. Dan ketika akhirnya berhenti bergerak, tampak adanya sederet tulisan. Tidak hanya kakek berpakaian penuh tambalan itu saja yang membacanya. Tapi, juga pemuda berambut panjang ini.

Benar!

"Apakah persoalan itu, Wahai Arwah Penasaran?! Berikan jawabannya!"

Lagi-lagi kebutan itu bergerak-gerak, seperti menari-nari. Tapi kini, pemuda tampan ini tahu kalau rotan itu tengah menulis untuk memberikan jawaban. Maka dengan penuh rasa tertarik diperhatikannya tulisan itu. Dan ketika rotan itu berhenti bergerak, kembali tertera tulisan.

Orang-orang persilatan dari berbagai penjuru datang untuk mencari pusaka-pusaka mengerikan. Ada tokoh-tokoh dari negeri jauh dari sini, yang menganggap pusaka itu milik leluhur mereka. Dan tokoh persilatan itu banyak yang akan mendatangi guru pemuda ini Ki Gering Langit.

"Terima kasih atas bantuanmu, Roh-roh Penasaran. Sekarang, kembalilah ke tempatmu. Aku sudah tidak membutuhkan bantuanmu lagi."

Seketika itu pula rotan yang semula berdiri itu jatuh kembali ke tanah, dan tergolek. Meski tidak diberitahu, pemuda berambut panjang itu tahu kalau roh yang dipanggil kakek berpakaian penuh tambalan telah meninggalkan rotan.

"Itukah masalahnya, Kek?!" tanya pemuda berambut panjang ini ketika kakek berpakaian penuh tambalan itu telah merapikan peralatannya kembali dan memasukkannya ke dalam buntalan.

Kakek itu mengangguk seraya menghapus peluh yang membasahi wajah dengan punggung tangan. Rupanya permainan memanggil roh itu membutuhkan tenaga cukup besar.

"Kalau demikian aku pergi dulu, Kek. Aku khawatir terjadi apa-apa atas diriku. Dan, terima kasih banyak atas pertolongan yang kau berikan. Kalau tidak ada dirimu, aku tentu tidak akan tahu peristiwa ini."

"Lupakanlah, Dewa Arak...," sambut kakek berpakaian penuh tambalan ini tak acuh. Pernyataan terima kasih pemuda berambut panjang itu sama sekali tidak membuatnya merasa bangga.

"Ah...! Rupanya kau telah tahu julukanku, Kek?" tanya pemuda berambut panjang ini tanpa adanya nada kaget.

Angin yang berhembus dan kebetulan agak keras, membuat pakaian ungu dan rambut putih krperakannya berkibaran cukup keras. Pemuda tampan ini memang Dewa Arak yang mempunyai nama asli Arya Buana.

"Sejak tadi pun, aku sudah menduga demikian, Dewa Arak," timpal kakek berpakaian penuh tambalan ini sambil senyum dikulum. Rupanya dia merasa senang, karena berhasil membuat Dewa Arak agak kaget.

Pemuda berambut putih keperakan itu terdiam. "Dengan permainan yang kau miliki tadi, Kek. Apa pun dapat kau ketahui," kata Dewa Arak, memecahkan kebisuannya.

"He he he...!" Kakek berpakaian penuh tambalan hanya terkekeh pelan. Dan dia tidak merasa bangga sama sekali akan kemampuan anehnya.

Dan di saat kakek berpakaian penuh tambalan itu tertawa terkekeh-kekeh, Arya melesat meninggalkan tempat itu. Dia tidak berkata apa-apa, selain menatap kepergian pemuda berambut putih keperakan tadi.

* * *

"Khreak...! Khreaak...! Celaka...! Celaka...!"

Terdengar seruan-seruan keras berlogat aneh. Tak lama, melesat keluar sesosok bayangan abu-abu dari dalam sebuah pondok sederhana. Setibanya di luar, sosok berpakaian abu-abu ini langsung menengadahkan kepalanya ke atas, tempat asal seruan tadi. Sinar matanya tampak menyiratkan rasa cemas.

Sebentar saja, dari atas meluruk turun bayangan putih kecil yang langsung hinggap di tangan kanan sosok berpakaian abu-abu, yang ternyata seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun. Sebaris kumis melintang yang berada di bawah hidung, semakin menampakkan kegagahan kakek itu.

"Ada apa, Sakala?! Apa yang terjadi?! Mengapa kau kemari?!" tanya kakek berpakaian abu-abu tanpa menyembunyikan rasa cemasnya.

"Khreakaak...! Khaaak…! Celaka! Celaka sekali, Pendekar Tangan Sepuluh! Celaka...! Khreakk!" tutur sosok putih kecil yang hinggap di tangan kakek berkumis melintang.

Sosok kecil itu ternyata seekor burung kakaktua berbulu putih. Dan kakek berkumis melintang yang berjuluk Pendekar Tangan Sepuluh ini menyebutkan Sakala.

"Cepat katakan, Sakala! Apa yang telah terjadi?!" desak Pendekar Tangan Sepuluh, tidak sabar.

"Tuan Burisrawa dibunuh orang! Khraaak..! Khaaak...!"

"Astaga...!" Kakek berbaju abu-abu dan berkumis melintang ini terperanjat. Semula memang sudah diduga akan adanya hal yang tidak diinginkan, mengingat keberadaan burung kakaktua di situ. Tapi, tak urung berita itu membuatnya terkejut juga.

Kemudian, sambil mengeluarkan lengkingan keras, burung kakaktua itu melenting ke atas. Pendekar Tangan Sepuluh tidak menghalanginya sama sekali. Juga tidak memberi tanggapan apa-apa selain terkesima dengan pandangan kosong ke depan.

"Ada apa, Kak Moksa?!"

Sebuah suara halus, membuat Pendekar Tangan Sepuluh sadar dari kesimanya. Kepalanya segera menoleh ke belakang, dan di sana telah berdiri seorang wanita berusia sekitar lima puluh lima tahun. Wajahnya sabar, dan masih menampakkan tanda kalau waktu mudanya memiliki wajah cantik.

"Burisrawa dibunuh orang. Kurasa ini ada hubungannya dengan pusaka-pusaka itu," jawab Pendekar Tangan Sepuluh yang nama sebenarnya Moksa sambil menghela napas berat. Suatu pertanda belum bebas sepenuhnya dari perasaan kagetnya.

"Apa?!" pekik wanita berpakaian hijau muda itu dengan keterkejutan besar. Wanita itu tahu betul, siapa Burisrawa. Dia merupakan kakek bertubuh bongkok, tapi berbadan lebar. Pakaiannya selalu berbentuk longgar dan berwarna coklat. Dan orang ini adalah sahabat kental Pendekar Tangan Sepuluh yang menjadi suaminya. Makanya, wanita ini tidak merasa aneh melihat suaminya tadi termenung. Dia tahu, Moksa terpukul oleh berita yang didengarnya.

"Oleh karena itu, Istriku," lanjut Pendekar Tangan Sepuluh masih dengan suara mendesah. "Aku akan pergi untuk melihat-lihat tempat kediamannya. Syukur kalau berhasil menemukan pembunuhnya. Kau tinggal di sini saja. Jaga baik-baik anak kita"

"Akan kuperhatikan nasihatmu, Kak Moksa," ujar wanita berpakaian hijau muda menganggukkan kepala. Belum juga hilang gema ucapan wanita berpakaian hijau muda itu, tubuh Pendekar Tangan Sepuluh telah melesat cepat meninggalkan tempat ini. Hanya dalam beberapa kali lesatan, yang terlihat hanya titik kecil yang kemudian lenyap ditelan kejauhan.

Wanita berpakaian hijau muda menghela napas berat. Dia terus saja berdiri di situ, menatap ke arah suaminya lenyap. Beberapa lamanya dia berlaku seperti itu, sebelum akhirnya berbalik dan mengayunkan kaki masuk kembali ke dalam pondok. Tapi baru saja kakinya menindak satu langkah...

"Apa kabar, Tunjung Sari?!"

Terdengar sebuah teguran yang membuat wanita berpakaian hijau muda itu berhenti. Tubuhnya segera berbalik, dengan sikap kaget. Bukan karena teguran mendadak itu, tapi karena mengenal pemilik teguran.

"Kau... kau... Sulang...?!" desah wanita berpakaian hijau muda yang dipanggil Tunjung Sari setengah kaget dan tidak percaya.

"Kau... kau... masih hidup?!"

"Seperti yang kau lihat?!" sosok yang dipanggil Sulang mengembangkan tangan ke kanan kiri. "Aku masih hidup. Meskipun, memang kau lihat ada perubahan pada bagian-bagian tubuhku. Tapi, aku tetap Sulang. Bekas kakak seperguruanmu, kawan sepermainanmu dulu."

"Kau... kau... sekarang mengerikan sekali...!" Tunjung Sari menatap sosok bernama Sulang yang berada di hadapannya dengan sinar mata ngeri.

DUA

Wajah sosok di depan Tunjung Sari memang benar-benar menggiriskan. Sebagian wajahnya jelas tidak berdaging lagi. Sehingga tulang-tulang wajahnya kelihatan jelas. Tubuhnya pun kurus kering bagaikan tidak memiliki daging. Melihat keadaan tubuhnya, usianya sukar ditaksir. Tapi bisa diperkirakan kalau lewat dari usia setengah baya.

Di sebelah Sulang, berdiri seorang pemuda berpakaian serba merah. Rambutnya yang panjang, berikat kepala merah juga. Wajahnya tampan, namun berkesan dingin. Bahkan sepertinya menyiratkan sesuatu yang mengerikan.

"He he he...!" laki-laki berwajah mengerikan bernama Sulang tertawa terkekeh. Kelihatannya dia tidak merasa tersinggung mendengar ucapan Tunjung Sari. "Tapi kau masih mengenaliku, toh?! Kukira kau sudah lupa, karena terlalu lama berada dalam pelukan si Keparat Moksa! Mana si Keparat itu, Tunjung?! Kedatanganku untuk menebus hina dan sakit hati yang diberikannya dua puluh lima tahun lalu "

Tunjung Sari tidak merasa terkejut mendengar ucapan Sulang. Begitu tahu kalau orang yang menegurnya ternyata Sulang, wanita setengah baya ini telah dapat menduga akan maksud kedatangannya.

Sekitar dua puluh lima tahun lalu, dalam pertarungan dengan Moksa untuk memperebutkan diri wanita ini, Sulang terjatuh ke dalam sebuah jurang yang sangat dalam. Moksa dan Tunjung Sari mengira kalau Sulang telah tewas. Namun sama sekali tidak disangka kalau orang yang dianggap telah tewas ternyata masih hidup. Dan sekarang, justru datang untuk balas dendam!

"Cari keparat itu, Lingga!" perintah Sulang pada pemuda di sampingnya yang bernama Lingga.

"Baik Guru," sahut Lingga..Pemuda berpakaian merah di sebelah kiri Sulang yang sejak tadi diam dengan wajah dingin langsung melesat ke arah pondok yang didiami Tunjung Sari.

"Hendak ke mana kau?!" Tunjung Sari tentu saja tidak bisa mendiamkannya begitu saja. Wanita berpakaian hijau muda ini pun seketika melesat menghadang Lingga sambil mengirimkan pukulan dengan tangan terbuka ke arah dada.

Wutt, wuttt!

Serangan Tunjung Sari yang disertai tenaga dalam penuh itu hanya menyambar angin. Karena dengan jejakan ujung kaki kanannya, Lingga telah melenting ke atas. Sehingga serangan istri Pendekar Bertangan Sepuluh ini lewat di bawah kakinya. Begitu berada di atas kepala Tunjung Sari, Lingga berjungkir balik beberapa kali di udara. Kemudian, kedua kakinya mendarat ringan ke belakang wanita berpakaian hijau muda itu.

"Berhenti, Keparat!" Tunjung Sari yang mengkhawatirkan nasib anaknya di dalam rumah, berteriak keras seraya berlari mengejar. Tapi baru juga beberapa langkah, terdengar bunyi angin berkesiuran dibarengi suara tawa terkekeh.

Sesaat kemudian, di depan Tunjung Sari telah berdiri Sulang. Mau tidak mau istri Pendekar Tangan Sepuluh ini menghentikan niatnya. Dan dia hanya bisa menatap cemas terhadap Lingga yang telah masuk ke dalam pondoknya.

"Sulang! Manusia Keparat! Iblis Keji?! Apa maumu sebenarnya?!" jerit Tunjung Sari geram.

"Sederhana saja, Tunjung. Kedatanganku untuk membalas dendam dan sakit hati dua puluh lima tahun yang lalu. Aku hanya ingin membunuh kau dan suamimu!" tandas Sulang. Suaranya terdengar ringan.

"Iblis! Kaulah yang akan mampus di tanganku, Sulang!"

Dengan penuh kemarahan, Tunjung Sari melompat menerjang Sulang. Kedua tangannya yang dikepalkan keras, dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar Sulang dengan gerakan cepat bukan kepalang. Sehingga tangan wanita berpakaian hijau muda ini seperti berjumlah puluhan pasang.

Inilah ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat', andalan Moksa yang amat terkenal di dunia persilatan. Tak heran kalau dia mendapat julukan Pendekar Tangan Sepuluh. Dan selama hampir dua puluh lima tahun menjadi istri Pendekar Tangan Sepuluh ini, Tunjung Sari telah mempelajari ilmu andalan suaminya. Bahkan Pendekar Tangan Sepuluh itu telah membimbing istrinya dengan sungguh-sungguh, sehingga mencapai kemajuan pesat.

Menyadari kalau kepandaiannya telah meningkat pesat, Tunjung Sari merasa yakin kalau akan mampu mengalahkan Sulang, bekas kakak seperguruannya sendiri. Lagi pula, bukankah dulu Sulang pun roboh di tangan suaminya yang menggunakan ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat' ini?

"Aha...! Rupanya si Keparat Moksa tidak hanya menggeluti tubuhmu saja selama dua puluh lima tahun ini, Tunjung?! Dia masih ingat untuk melatihmu, rupanya?!" ejek Sulang. Kata-katanya benar-benar tidak senonoh, sehingga membuat kemarahan Tunjung Sari semakin bergelora. "Inikah ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat' itu?!"

Wuttt, wuttt!

Tunjung Sari heran bercampur geram. Semula, semua serangannya diyakini akan berhasil mendarat di sasaran. Tapi, ternyata hanya menyambar angin, karena Sulang berhasil mengelak dengan gerakan aneh. Tunjung Sari sampai-sampai tidak percaya dengan penglihatannya. Lelaki berwajah mengerikan itu seperti terhuyung-huyung akan jatuh, seperti tengah mabuk.

"Kaget, Tunjung?!" Sulang mengejek ketika melihat Tunjung Sari termenung keheranan serangannya dapat dielakkan secara seperti itu? Benar-benarkah Sulang mengelak? Ataukah hanya secara kebetulan saja?! Wanita berpakaian hijau muda ini jadi bertanya dalam hati.

"Itulah ilmu yang baru kuciptakan, Tunjung. Khusus untuk menghadapi serangan bagaimanapun hebat atau dahsyatnya! Apalagi, hanya ilmu 'Sepuluh Monyet Jingkrak'. Tidak ada artinya, Tunjung! Jangankan untuk mengenai tubuhku, ujung bajuku saja tidak akan tersenggol!"

"Sombong! Kau akan hancur karena kesombonganmu sendiri!" Setelah berkata demikian, Tunjung Sari melompat menerjang Sulang kembali. Dan kali ini serangan-serangannya jauh lebih dahsyat. Tentu saja masih dalam penggunaan ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat'!

Tapi, rupanya Sulang benar-benar tidak hanya sesumbar. Gerakan mengelaknya benar-benar luar biasa. Ke mana pun serangan wanita itu meluncur, selalu hanya mengenai angin. Padahal, kakek berwajah mengerikan ini bergerak seperti tengah mabuk atau bercanda. Kadang-kadang terhuyung-huyung, berjongkok, melompat-lompat, mengitari, malah terkadang seperti menyambuti datangnya serangan dengan bagian tubuh yang diserang!

"Di dalam rumah ini tidak ada orang, Guru. Hanya anjing kecil ini yang kudapatkan!"

Ketika pertarungan memasuki jurus keenan puluh dua, terdengar sebuah seruan keras yang sudah pasti dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan memang, teriakan itu mampu menyeruak keriuhan suasana ribut di dalam kancah pertarungan.

Bukan hanya Sulang saja yang melompat mundur untuk menjauhi kancah pertarungan. Tunjung Sari pun demikian. Jadi, sepertinya kedua belah pihak telah bersepakat untuk menunda pertarungan.

"Keparat! Iblis Keji! Lepaskan anakku!" seru Tunjung Sari keras.

Nada suara wanita itu terdengar khawatir dan marah, ketika melihat di depan pintu pondoknya berdiri Lingga dengan raut wajah dingin. Di tangan kanannya terjinjing seorang anak kecil berusia sekitar dua tahun, dengan kepala di bawah. Jadi, ke dua kaki anak kecil itu yang digenggam tangan Lingga. Anak kecil itu menangis keras karena ketakutan!

Tunjung Sari yang melihat ratapan anaknya, langsung menghambur hendak merebut. Dan seketika itu pula kedua telapak tangannya yang terbuka melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Sulang.

"Hiaaa...!"

Bresss!

Tubuh Tunjung Sari kontan terlempar ke belakang dan jatuh terbanting di tanah, ketika kedua tangannya dipapak Sulang dengan gerakan sama. Sulang sendiri sama sekali tidak bergeming sedikit pun. Tunjung Sari merasakan semua yang berada di sekitarnya jadi berputaran. Kepalanya pusing bukan kepalang. Pandang matanya jadi nanar. Sehingga dia tidak bisa melihat jelas Sulang dan Lingga!

Tapi, Tunjung Sari yang merasa khawatir sekali akan keselamatan anaknya, berusaha keras untuk bangkit. Dan ini membuatnya terhuyung-huyung setelah akhirnya berhasil berdiri.

"Jangan bunuh anakku...! Jangan sakiti dia...! Bunuh saja aku...! Tapi, biarkan dia hidup...!" pinta Tunjung Sari, memelas.

Wanita itu tahu, kalau dengan kekerasan tidak akan berhasil. Hanya Sulang sendiri saja, sudah tidak bisa dihadapinya. Apalagi masih ditambah Lingga yang melihat kemampuannya, pasti tidak berada di bawah Sulang.

"He he he...!" Sulang tertawa terkekeh melihat sikap Tunjung Sari. Hal inilah yang diinginkannya. Tunjung Sari, bekas adik seperguruannya, dan sekarang telah menjadi musuhnya, merengek-rengek! Dia jadi mempunyai saat yang tepat untuk menikmati balas dendamnya.

"Kau tidak ingin aku menyakiti dan membunuh anakmu?!"

Tunjung Sari langsung mengangguk, walaupun sebenarnya tidak percaya kalau Sulang akan memenuhi janjinya. Tapi kekhawatiran akan keselamatan anaknya membuatnya tidak bisa berpikir lebih jauh.

"Kau mau berjanji untuk tidak menyakiti anakku, Sulang?!" Tunjung Sari yang cerdik, berusaha memaksa Sulang memenuhi Janjinya. "Berjanji demi kehormatanmu sebagai seorang lelaki, dan seorang tokoh persilatan?! Karena hanya iblislah yang tidak menepati janjinya!"

"Aku berjanji untuk tidak menyakiti, apalagi membunuh anakmu..., Tunjung!" jawab Sulang, mantap.

"Tapi, kau harus berjanji untuk menjawab pertanyaanku. Bagaimana?!"

"Aku bersedia!" jawab Tunjung Sari, agak bergetar. Perasaan khawatir membuat istri Pendekar Tangan Sepuluh ini agak bergetar ketika menjawab. Dia tahu, orang macam apa Sulang. Licik. Makanya, saat menjawab pertanyaan, Tunjung Sari sempat tercenung sejenak dan agak bergetar suaranya.

"Di mana suamimu, si Keparat Moksa?!"

"Jangan menyebut suamiku dengan makian seperti itu! Dia jauh lebih baik daripada dirimu, Sulang!" dengus Tunjung Sari, tak senang.

"Kau teruskan makian itu, Tunjung! Dan anakmu akan kusiksa sampai mati sebelum kau mendapat giliran!" ancam Sulang. Sehingga, membuat istri Pendekar Tangan Sepuluh terpaksa berdiam diri. "Katakan, di mana si Keparat Moksa! Cepat!"

"Dia tidak berada di sini. Kau terlambat datang, Sulang. Beberapa saat sebelum kau datang, dia pergi," jawab Tunjung Sari, berusaha lembut dan tidak mempedulikan makian terhadap suaminya.

"Sudah kuduga," Sulang mengangguk-anggukkan kepala, seperti telah berhasil mendapatkan sebuah dugaan.

"Mungkin dia telah melihat kedatanganku dari kejauhan, maka pergi untuk menjauhi. Memang, sejak dulu dia memiliki watak pengecut!"

"Tutup mulutmu yang kotor itu. Sulang!" bentak Tunjung Sari, tidak kuat menahan rasa tersinggungnya, karena suaminya dimaki-maki seperti itu. "Dia bukan orang semacam kau!"

Selebar wajah Sulang yang hanya separo, berubah hebat. Kemudian kepalanya menoleh ke arah Lingga, sebelum akhirnya kepalanya mengangguk. Lingga balas mengangguk dengan wajah tidak menyiratkan perasaan apa-apa. Sesaat kemudian, tangannya yang kiri bergerak menampar pipi anak yang berada dalam jinjingannya.

Plakkk! Anak kecil berusia dua tahun yang sudah sejak tadi menangis karena rasa takut dan pusing, langsung meraung bertambah keras. Tamparan Lingga, meskipun tidak mempergunakan tenaga dalam, tapt cukup keras. Sehingga membuat bibir anak Tunjung Sari pecah-pecah dan mengeluarkan darah!

"Iblis Jahanam!" Tunjung Sari yang tidak bisa menahan perasaan lagi melihat anaknya disiksa seperti itu, meluruk maju ke arah Lingga. Tapi dorongan tangan Sulang yang mengandung hembusan angin keras, membuat tubuhnya terhuyung-huyung kembali ke belakang dan hampir jatuh terpelanting. Untung saja, kakek berwajah mengerikan itu hanya bermaksud mendorong. Kalau tidak, nyawa Tunjung Sari sudah terancam bahaya maut.

"Kalau berani bertindak macam-macam atau berkata tidak sopan lagi, nyawa anakmu tak akan bisa kau selamatkan, Tunjung!" ancam Sulang ketika melihat Tunjung Sari hendak menerjang lagi. Tunjung Sari terpaksa menghentikan gerakan. Ancaman Sulang tak bisa dianggap main-main. Telah dibuktikannya sendiri kebenaran ucapannya.

"Apa maumu sebenarnya, Sulang?!" tanya Tunjung Sari setengah menjerit karena putus asa. "Kalau mau bunuh aku, silakan! Tapi, jangan bunuh atau sakiti anakku! Dia tidak tahu apa-apa!"

"Lupakah kau, Tunjung?! Aku telah berjanji untuk tidak melukai apalagi membunuh anakmu, bukan?! Sekarang, katakan. Di mana si Keparat Moksa! Ke mana dia pergi!"

"Dia pergi untuk menjumpai sahabat karibnya. Menurut berita yang didapatkan dari burung kakaktua peliharaan temannya, kawan baiknya telah meninggal dunia karena dibunuh orang! Suamiku pergi untuk mencari tahu, siapa pembunuhnya!" jelas Tunjung Sari.

"Ke mana dia pergi?! Dan, siapa kawannya itu, Tunjung?!" desak Sulang penuh gairah.

"Burisrawa di Lembah Bukit Angsa." Dengan terpaksa Tunjung Sari memberitahukannya. Padahal, Pendekar Tangan Sepuluh telah berpesan secara keras kalau Tunjung Sari jangan menceritakan perihal Burisrawa pada siapa pun! Apalagi, tempat di mana kakek bongkok itu berada! Merupakan sebuah rahasia besar dunia persilatan!

Wajah Sulang kontan berseri. "Jadi, Burisrawa tinggal di Lembah Bukit Angsa, toh? Sungguh kebetulan!" seru Sulang tanpa bisa menyembunyikan kegembiraan di wajahnya. "Aku yakin, suamimu melarang untuk memberitahukan mengenai Burisrawa dan tempat tinggalnya. Bukankah dugaanku benar, Tunjung Sari?!"

Dengan lemah, Tunjung Sari mengangguk

"Dan tahukah kau, mengapa si Keparat Moksa itu melarangmu untuk mengatakannya, Tunjung?!" kata Sulang, seperti untuk dirinya sendiri. Senyumnya semakin melebar, karena tahu kalau hal yang disampaikannya membuat Tunjung Sari sangat terpukul.

Lagi-lagi Tunjung Sari hanya bisa menjawab dengan gerak isyarat. Kepalanya digelengkan lemah sekali. Tunjung Sari bukan orang bodoh. Kalau sampai suaminya, Pendekar Tangan Sepuluh, melarangnya untuk mengatakan pada orang lain, tentu ada sesuatu yang amat rahasia. Tapi kekhawatiran akan nasib anaknyalah yang membuat Tunjung Sari terpaksa mengatakannya.

"Karena Burisrawa merupakan orang kepercayaan, atau lebih tepatnya lagi keturunan dari orang kepercayaan pendekar yang amat terkenal di zaman ratusan tahun yang lalu. Pendekar ini berjuluk Pendekar Suling Perak, yang turun-temurun mempunyai orang kepercayaan. Dan leluhur Burisrawa bertugas untuk menjaga keturunan Pendekar Suling Perak. Karena, pendekar itu banyak menanam permusuhan dengan orang-orang persilatan, terutama sekali dari golongan hitam. Burisrawa dan leluhurnya lalu menyembunyikan diri bersama keturunan Pendekar Suling Perak yang masih kecil dan belum berdaya. Dan tempat persembunyian mereka merupakan tempat suci. Karena, di sanalah Pendekar Suling Perak turun-temurun dimakamkan. Sebuah tempat yang amat rahasia, tapi kau telah membocorkannya, Tunjung," tutur Sulang.

Tunjung Sari malah menghela napas lega, meskipun bias kekhawatiran akan keselamatan anaknya masih terlihat jelas.

"Kalau hanya demikian, aku yakin suamimu tidak akan marah kau melanggar larangannya. Tidak ada hal perlu dirahasiakan!" Sulang tertawa terkekeh. "Rupanya aku lupa menceritakan sesuatu. Di tempat Burisrawa tinggal, terdapat pula pusaka-pusaka milik Pendekar Suling Perak. Dan aku yakin, dunia persilatan mendengar hal ini. Bukan tentang kematian Burisrawa saja, tapi juga makam-makam yang dijaga susah-payah oleh kakek bungkuk itu. Pasti tempat itu akan porak-poranda karena orang menduga di sanalah pusaka-pusaka itu disembunyikan!"

"Pusaka-pusaka...?!" ulang Tunjung Sari dengan suara bergetar. Sungguh tidak disangka kalau akhirnya akan seperti ini. Wanita itu baru mengerti, mengapa suaminya sangat berpesan agar tidak menceritaka pada siapa pun.

"Benar, Tunjung. Ha ha ha...! Kau telah banyak membantu kami. Sekarang bukan hanya Pendekar Tangan Sepuluh yang akan kutemukan dan kubunuh di sana. Tapi, juga pusaka-pusaka peninggalan Pendekar Suling Perak yang amat sakti! Hal ha ha...!"

"Kau... kau...." Tunjung Sari yang bermaksud memaki-maki Sulang, menghentikan niatnya. Dia teringat kalau hal ini hanya akan membuat anaknya celaka. Anak nya? Bukankah Sulang harus membebaskan anaknya, karena dia telah memberitahukan hal yang di minta? Perasaan ingin tahu akan rahasia Burisrawa yang membuatnya agak lupa terhadap anaknya.

"He he he...!" Sulang yang tahu mengapa Tunjung Sari tidak melanjutkan ucapannya, tertawa terkekeh-kekeh. Hatinya puas karena berhasil membuat bekas adik seperguruannya yang telah menjadi musuh besarnya, tersiksa perasaannya.

"Aku telah memenuhi janji, Sulang! Sekarang, berikan anakku! Bebaskan dia...!"

"Mengapa kau memintanya padaku, Tunjung? Apakah anakmu berada di tanganku?!" jawab Sulang, tak acuh.

"Apa.... Apa maksudmu, Sulang?!" tanya Tunjung Sari, agak tergagap. "Bukankah kau telah berjanji tidak menyakiti dan membunuh anakku?! Apa kau hendak mengingkari janjimu sendiri dan menjadi Iblis Neraka?!"

"Siapa yang melanggar janji, Tunjung?! Bukankah aku berjanji tidak akan menyakiti, apalagi membunuh anakmu. Nah! Janjiku telah kupenuhi. Aku tidak akan membunuh dan menyakiti anakmu.,.."

"Kalau begitu, serahkan anakku!" potong Tunjung Sari tidak sabar.

"Itu tidak termasuk dalam perjanjian, Tunjung. Jadi dengan sangat menyesal, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu. Lagi pula kau kan tahu, anakmu tidak berada di tanganku. Lantas, bagaimamana aku bisa memenuhi permintaanmu?!"

"Iblis! Keparat Licik! Seharusnya sejak tadi aku tidak perlu percaya semua bualanmu, Sulang Berhati Binatang!"

Singng!

Sinar terang menyilaukan mata langsung mencuat, ketika Tunjung Sari yang berada dalam puncak kemarahan dan kekhawatiran serta kegeramannya mencabut pedang. Langsung dikirimkannya serangan bertubi-tubi ke arah laki-laki berwajah mengerikan itu. Dalam sekali serangan, ujung pedangnya telah mengancam berbagai bagian berbahaya di tubuh Sulang.

"Hmh...!" Sambil mengeluarkan dengusan penuh ejekan, Sulang mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Lalu dengan gerakan mengagumkan ditangkisnya serangan itu.

Trangng!

Tunjung Sari kontan terpekik tertahan ketika pedangnya melekat dengan golok Sulang. Istri Pendekar Tangan Sepuluh tidak tinggal diam. Diusahakannya untuk melepaskan senjata andalannya yang menempel di golok Sulang. Tapi, usahanya gagal. Bahkan Sulang telah menyusulinya dengan putaran goloknya. Sehingga, pedang berikut tangan Tunjung Sari ikut terbawa terputar-putar. Dan....

Bukkk!

Di saat Tunjung Sari tengah sibuk mematahkan kekuatan yang membawa tangan kanannya berputar, kaki kanan Sulang meluncur deras yang kemudian telak menghantam perutnya. Tunjung Sari langsung terpental ke tanah seketika itu juga.

Namun, istri Pendekar Tangan Sepuluh ini benar-benar merupakan seorang wanita berhati keras. Perutnya yang mulas dan sakit, tidak dirasakan sama sekali. Dengan mengeraskan hati, dia berusaha bangkit. Dan meski dengan tertatih-tatih, akhirnya dia berhasil berdiri. Namun tubuhnya agak terbungkuk karena menahan sakit yang melanda.

Sebelum Tunjung Sari mengirimkan serangan lagi, Lingga telah melakukan tindakan yang membuat nyali Tunjung Sari bagaikan terbang! Tanpa adanya perasaan apa pun di wajah, pemuda berwajah dingin itu telah memegang masing-masing kaki anak Tunjung Sari, dengan tangan kanan dan kiri tangan merentang. Dan seketika itu pula....

Brettt!

"Jahanaaamm...!" Tunjung Sari menjerit panjang menyayat hati, ketika tubuh anaknya terbelah dua mulai dari bagian bawah pusar. Seketika, jeritan tangis yang sejak tadi melingkupi tempat itu, lenyap. Nyawa anak lunjung Sari telah melawat ke alam baka! "Kubunuh kaaau...!"

Dengan air mata berlinang dan hati hancur, Tunjung Sari melompat menerjang dengan tusukan pedangnya.

Wuttt!

Ujung pedang Tunjung Sari menusuk angin. Lingga telah lebih dulu melompat, sebelum serangan maut itu bersarang di dadanya. Dan dari atas tangan Lingga yang masih memegang anak Tunjung Sari yang telah menjadi mayat, diayunkan.

Prakkk!

Bunyi berderak keras terdengar, ketika batok kepala Tunjung Sari berbenturan dengan batok kepala anaknya. Seketika masing-masing kepala hancur berantakan. Darah segar, bercampur otak langsung muncrat-muncrat. Dan tanpa sempat sambat lagi, Tunjung Sari ambruk di tanah ke alam baka!

"Ha ha ha...!" Sulang tertawa bergelak ketika melihat kematian Tunjung Sari. Diperhatikannya mayat-mayat itu penuh kebanggaan. Sementara, Lingga telah membuang mayat anak Tunjung Sari yang berada di genggamannya. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Sulang melesat meninggalkan tempat itu.

"Kau pergilah sendiri, Guru. Aku sudah tidak berkeinginan untuk mencari pusaka itu di Lembah Bukit Angsa. Aku yakin, orang yang membunuhnya telah mendapatkannya. Aku akan pergi mencari sendiri."

Sulang tetap tertawa-tawa meski beberapa tindak setelah meninggalkan tempat itu, terdengar pemberitahuan di telinganya. Pemberitahuan yang dikeluarkan hingga lewat penggunaan ilmu mengirim suara dari jauh.

Langkah Sulang tetap tidak berubah. Sama sekali tidak dipedulikan pesan yang diterima dari Lingga, pemuda berpakaian merah yang menjadi muridnya.

* * *

TIGA

Satu bayangan ungu melesat cepat, memasuki mulut sebuah hutan. Gerakannya yang cepat, membuat bentuk tubuhnya tidak terlihat jelas. Kecuali, pakaian warna ungu dan rambut panjang putih keperakan yang berkibaran ditiup angin keras. Sosok bayangan ungu yang tak lain Dewa Arak atau Arya Buana, terus melesat seperti tak ingin berhenti.

Pemberitahuan kakek berpakaian penuh tambalan itulah yang membuat Dewa Arak berlari cepat, untuk segera tiba di tempat kediaman gurunya, Ki Gering Langit. Arya tidak ingin gurunya yang sudah menarik diri dari kekerasan dunia persilatan, akan terganggu oleh persoalan pusaka-pusaka. Di tengah cepatnya lari Dewa Arak, mendadak saja....

Singng!

Terdengar bunyi berdesing nyaring yang membuat pemuda berambut putih keperakan itu terkejut. Apalagi bunyi yang semakin keras itu kian mendekati tempatnya. Sebagai tokoh persilatan yang telah kenyang pengalaman, Arya tahu pasti ada sesuatu senjata yang tengah meluncur ke arahnya. Maka Dewa Arak bertindak cepat. Seketika, ujung kaki kanannya dijejakkan, sehingga tubuhnya melenting ke atas.

Jrebbb!

Benar saja sebatang tombak kini menancap tepat, beberapa kaki di tempat Dewa Arak menjejak. Kalau saja pemuda berambut putih keperakan itu tidak bertindak cepat, ujung tombak itu pasti menyate tubuhnya!

Namun baru saja kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, beberapa sosok berkelebatan dari sekitar tempat itu. Dan sebelum Arya sempat berbuat sesuatu, tiga sosok itu telah mengurungnya dari tiga penjuru.

Dewa Arak yang tidak pernah ingin berkelahi tanpa alasan jelas segera mengedarkan pandangan merayapi tiga sosok yang mengelilinginya sambil mengembangkan senyum lebar. Kendati demikian, hatinya terkejut bukan kepalang. Ciri-ciri yang dimiliki tiga sosok yang mengurungnya inilah yang membuainya kaget.

Ketiga laki-laki tua pengurung Dewa Arak ini berkulit hitam kecoklatan. Hidung mereka melengkung, seperti paruh burung. Pakaian yang dikenakan hanya berupa sehelai kain kuning yang dibelit-belitkan ke tubuh. Di tangan ketiga orang ini tergenggam sebatang tombak berujung sebilah logam tajam, berbentuk bulan sabit.

Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau kali ini berhadapan dengan tokoh-tokoh sakti yang berasal dari tempat yang jauh. Bukankan demikian menurut jawaban yang diberikan roh penasaran yang disambat kakek berpakaian penuh tambalan?


Pertanyaan yang diucapkan secara tidak lancar dan berlogat aneh itu langsung membuat Dewa Arak yakin dengan dugaannya. Jadi, inikah tokoh-tokoh dari negeri seberang yang bermaksud mencari pusaka leluhur mereka?

"Begitulah orang memberiku julukan, Kisanak. Tapi, aku lebih suka kalau dipanggil nama saja. Namaku, Arya," kata Dewa Arak yang terkadang merasa risih bila orang memanggil julukannya.

"Tidak usah berbelit-belit. Katakan saja! Apakah kau orang yang berjuluk Dewa Arak? Atau karena merasa gentar kepada kami, kau menjadi takut untuk mengakui julukanmu?!" tanya laki-laki tua yang memiliki bibir tebal, ikut angkat bicara. Ucapannya jelas bernada ancaman.

"Maaf, Kisanak Semua," tukas Arya dengan suara bergetar. "Aku bukan pengecut. Dan telah kuakui kalau aku adalah Dewa Arak, sejak semula, tapi, baiklah. Agar kalian tidak salah duga, perlu kukatakan sekali lagi. Akulah Dewa Arak, yang kalian cari?! Nah! Sekarang, apa maksud kalian mencariku?"

"Bagus kalau langsung bicara pada pokok masalahan, Dewa Arak. Dengan demikian, dapat langsung berterus terang padamu. Cepat serahkan pusaka leluhur kami. Dan kami akan segera pergi dari sini tanpa mencelakaimu!" tegas laki-laki tua yang mempunyai rajahan bergambar bintang segi lima di punggung tangan kanannya.

"Kurasa kalian salah alamat," sahut Arya tenang. Dan sebenarnya, Dewa Arak sedikit kaget, karena tidak menyangka kalau tiga kakek berciri-ciri berbeda ini meminta pusaka padanya. Tapi, dia berusaha menyembunyikan kekagetannya.

"Apa maksudmu, Dewa Arak?!" sambut kakek bertahi lalat besar. "Apakah kau hendak mengatakan kalau pusaka leluhur kami tidak berada di tanganmu?!"

"Kalau memang tidak ada padaku, lalu apa aku harus menjawabnya ada?!" balas Arya.

"Kau berani bermain-main dengan kami, Dewa Arak?! Asal tahu saja, di negeri kami, kelompok kami yang bernama Kelompok Bulan Sabit amat ditakuti!" ancam kakek yang bertahi lalat di hidung lagi. Tangan kanannya yang sudah terkepal erat, siap mengirimkan serangan mempergunakan tongkat bulan sabitnya.

"Aku tidak ingin bermain-main, Kisanak. Tapi, kalianlah yang terlalu mendesakku. Sudah kukatakan, kalau di tanganku tidak terdapat pusaka leluhur yang dimaksudkan. Bahkan mendengarnya saja baru kali ini dari kalian!"

Suara Arya mulai meninggi, karena merasa tidak senang didesak oleh tiga orang kakek yang sebenarnya berasal dari Nepal.

"Mungkin kau kurang jelas, Dewa Arak. Pusaka itu adalah sebatang Suling Perak dan sebuah kipas terbuat dari kulit binatang!" jelas kakek berbibir tebal. Dia mempunyai watak lebih sabar dari rekannya.

"Sayang sekali, aku tidak mempunyai benda-benda yang kalian maksudkan. Aku hanya mempunyai ini," jawab Dewa Arak sambil mengangsurkan guci arak yang semula berada di punggungnya.

"Rupanya kau sudah kepingin mampus, Dewa Arak?!" sambung kakek bertahi lalat di ujung hidung. Wataknya lebih berangasan. Bahkan dia sudah tidak bisa menahan kemarahannya lagi. Dan....

"Huh!" Dewa Arak terpaksa menggeser tubuhnya ke kiri, ketika kakek bertahi lalat di hidung menusukkan tongkat bulan sabit ke arah dadanya. Maka logam tajam berbentuk bulan sabit itu pun meluncur lewat di sebelah kanan Dewa Arak.

Wukkk!

Setelah terlebih dulu memutarkan tongkat bulan sabitnya di atas kepala laksana kitirkan, kakek yang memiliki rajahan bintang segi lima membabatkan senjatanya ke leher Dewa Arak. Namun, Dewa Arak tidak kalah sigap. Seketika guci yang sudah berada di tangannya, langsung diangkat.

Klangng!

Bunyi berdentang keras diikuti percikan bunga api ke segala arah mengiringi terjadinya benturan senjata tongkat bulan sabit dengan guci Dewa Arak. Tubuh kakek berajah bintang ini terhuyung tiga langkah ke belakang, sedangkan Dewa Arak tidak bergeming sama sekali.

Namun sebelum pemuda berambut putih keperakan itu berbuat sesuatu, dua kakek dari Nepal la hanya langsung melancarkan serangan yang mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring dan mengancam bagian berbahaya.

Dewa Arak yang sudah sejak tadi memperhitungkan, menjadi gugup. Tanpa membuang-buang waktu lagi segera dikeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya. Maka pertarungan antara satu melawan tiga pun berlangsung.

Begitu menggebrak beberapa jurus, Dewa Arak hnrus mengakui kalau lawan-lawannya benar-benar amat tangguh. Kalau menghadapi seorang demi seorang, Arya yakin kalau akan dapat mengalahkan lawannya tapa kesulitan. Tapi menghadapi tiga orang sekaligus benar-benar terasa beratnya. Di samping ilmu-ilmu mereka tidak terlalu jauh di bawah Dewa Aik, kerja sama mereka juga amat rapi!

Untungnya, Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang Sakti'. Sehingga, membuatnya tidak mengalami kesulitan dalam mengelakkan serangan-serangan yang datang bertubi-tubi bagaikan hujan. Meskipun demikian, tiga tokoh dari Nepal yang mengaku berasal dari Kelompok Bulan Sabit itu tidak juga dapat mendesak Dewa Arak. Pertarungan masih berlangsung imbang. Dan keadaan tetap tidak berubah kendati telah memasuki jurus kelima puluh.

Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh satu, bumi bergetar secara berirama seperti ada sebuah benda besar yang berjalan di atasnya, itu pun masih diiringi bunyi lonceng kecil. Mendadak terjadi perubahan besar di kancah pertarungan. Tiga kakek dari Nepal itu mengeluarkan keluhan bernada kaget campur keluhan. Kemudian, masing-masing melempar tubuh ke belakang, meninggalkan kancah pertarungan bagaikan orang ketakutan.

"Lain kali kita teruskan pertarungan ini, Dewa Arak" kata kakek bertahi lalat di hidung, yang sepertinya menjadi juru bicara bagi kawan-kawannya.

Sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, tubuh ketiga tokoh dari Nepal melesat cepat meninggalkan tempat ini. Sementara Arya hanya terpaku heran, melihat tingkah tiga lawannya.

Arya tidak mengejar karena tak merasa mempunyai urusan dengan tiga tokoh dari Nepal itu. Pemuda berambut putih keperakan ini hanya menatap kepergian tiga kakek berkulit hitam kecoklatan itu, hingga lenyap di balik kerimbunan pepohonan dan semak-semak lebat.

Sebuah pertanyaan bergayut di bendak pemuda berpakaian ungu ini. Apakah ada hubungan perginya tiga tokoh dari Nepal dengan bunyi lonceng kecil dan bunyi berdebarnya di tanah yang berirama tadi? Kalau tidak, rasanya tak akan mungkin mereka akan pergi begitu saja. Bahkan pergi dengan sikap ketakutan begitu.

Karena rasa ingin tahu apa yang terjadi, Arya memutuskan untuk menunggunya siapa tahu, kalau tanah yang bergetar dan bunyi lonceng kecil itu tengah menuju ke arahnya. Apa getaran pada tanah semakin besar dan bunyi lonceng semakin nyaring.

Sesaat kemudian, dari jarak sekitar empat tombak, tampak sesosok makhluk bertubuh besar muncul dari balik kerimbunan pepohonan. Dan ini membuat sepasang mata Arya terbelalak lebar tak berkedip, begitu melihat seekor gajah yang begitu besar, ditunggangi sosok berkulit hitam kecoklatan.

Sosok laki-laki tua di atas gajah itu berpakaian dan berciri-ciri mirip tiga kakek yang baru saja bertarung dengan Dewa Arak. Hanya saja sorot matanya lembut, dan mempunyai cambang bauk tebal. Sekarang Arya baru mengerti, mengapa bumi tadi bergetar berirama. Ini tidak lain karena kaki kokoh dan kuat dari gajah berwarna putih di depannya. Dan bunyi berkerincingan nyaring, karena pada kaki gajah bagian depan dililit lonceng kecil.

Tak lama kemudian, kakek yang berada di atas punggung gajah itu telah berjarak satu tombak kurang dengan Arya. Dan sampai di sini, punggung binatang dahsyat itu ditepuk sekali. Maka gajah putih itu pun menghentikan langkahnya. Bumi tenang kembali. Bunyi kerincingan pun lenyap. Keadaan menjadi sunyi. Bahkan terasa sunyi.

"Selamat berjumpa, Pemuda Gagah," ucap kakek bercambang bauk lebat, dengan logat aneh tapi sopan. Malah kepalanya dianggukkan lebih dulu sebelum berbicara.

"Senang berkenalan dengan pemuda gagah dan sakti sepertimu."

"Akulah yang seharusnya bangga bisa berkenalan dengan orang sepertimu, Kek," jawab Dewa Arak merendah.

"Tidak pernah kutemukan seorang kakek yang mampu menunggangi seekor gajah, kecuali kau, Kek. Kau membuatku yang muda merasa kagum sekali."

"Kau memang seorang pemuda luar biasa, Dewa Arak! Tidak hanya berkepandaian tinggi, tapi juga pandai membawa diri. Jarang ada seorang pemuda sakti yang pandai merendah sepertimu," puji kakek bercambang bauk lebat lagi.

"Rupanya kau telah mengenalku, Kek. Sungguh tidak enak dan tidak adil rasanya keadaan kita sekarang. Kau telah mengenalku, sedangkan aku belum mengenalmu sama sekali."

"Itu suatu tanda kalau kau merupakan seorang tokoh terkenal, Dewa Arak. Dan aku merupakan seorang kakek tua bangka yang sudah hampir mati dan tidak patut dikenal. Apalagi terkenal," kilah kakek bercambang bauk lebat.

"Kurasa kau terlalu merendahkan diri, Kek. Jawaban yang tepat bukan seperti itu. Tapi karena kau memiliki pengetahuan luas. Sedangkan aku tidak mempunyai pengalaman cukup, sehingga tidak mengenalimu. Buktinya, lawan-lawan tangguh yang tadi kuhadapi, demikian takut. Sehingga meski kau belum muncul dan masih sangat jauh, mereka sudah berlari tunggang-langgang ketakutan. Sekali lagi, kuharap kau bersedia memperkenalkan dirimu, Kek."

"Lawan-lawan tangguhmu melarikan diri karena ketakutan terhadapku?! Kau mengada-ada, Dewa Arak! Mana ada tokoh persilatan di daerah ini yang mengenalku? Andaikata mengenal pun, apa yang harus ditakuti dari seorang kakek yang sudah hampir mati?!" bantah kakek di atas punggung gajah bernada tidak percaya.

"Mereka bukan dari daerah ini, Kek. Bahkan bukan berasal dari negeri ini. Mereka, kurasa berasal dari negeri yang sama denganmu," jelas Arya.

"Ah, begitukah...?!" Kakek bercambang bauk lebat itu menyembunyikan keterkejutannya dalam ucapannya.

"Benar, Kek," Arya mengangguk. "Mereka menghadang perjalananku untuk urusan sebuah pusaka yang sama sekali tidak kuketahui. Kalau tidak salah..."

"Suling Perak dan kipas terbuat dari bulu binatang, yang dikatakan orang-orang itu, Dewa Arak?!" potong kakek bercambang bauk lebat, cepat Arya mengangguk. "Apakah mereka menyebutkan asal kelompok mereka, Dewa Arak?" tanya kakek bercambang bauk lebat, lebih jauh.

"Benar, Kek Mereka menyebutkan Kelompok Bulan Sabit," jawab Arya setelah tercenung sejenak

"Tidak mungkin!" bantah kakek bercambang bauk kaget dengan wajah tidak percaya.

Arya terjingkat seperti disengat kelabang, mendengar bantahan keras dari kakek bercambang bauk lebat itu. "Apanya yang tidak mungkin, Kek?! Aku tidak berbohong! Demikian berita yang kudapatkan dari mulut mereka. Tentu saja kalau kenyataannya mereka bukan berasal dari Kelompok Bulan Sabit, aku nama sekali tidak tahu menahu."

"Maaf, Dewa Arak. Bukan maksudku tidak mempercayaimu. Tapi, ketahuilah Kelompok Bulan Sabit sudah tidak ada lagi. Semua pengikutnya tewas. Dan yang tinggal hanya ketuanya saja. Itu pun berhasil selamat, karena kebetulan tidak berada di tempat. Di sana telah terjadi bentrokan antar kelompok yang mengakibatkan Kelompok Bulan Sabit musnah. Dan Ketua Kelompok Bulan Sabit adalah seorang kakek sakti yang sekarang sudah tidak mempunyai semangat untuk bertindak kekerasan lagi. Dia tidak membalas dendam atas kejadian yang menimpa kelompoknya. Kakek itu bernama Tayatonga. Dan orangnya, sekarang tengah bercakap-cakap denganmu, Dewa Arak" tutur kakek bercambang bauk lebat, sambil menghela napas berat.

"Ah...! Maafkan aku, Kek Aku telah membuatmu teringat kembali akan masa lalumu yang tidak enak, dan bahkan menyakitkan untuk dikenang. Sekarang aku yakin, para pengeroyokku bukan tokoh-tokoh sakti dari Kelompok Bulan Sabit," ujar Arya tidak yakin akan dugaan yang didapatnya.

"Aku lebih condong untuk menyelidiki masalah ini, Dewa Arak," desah Tayatonga.

"Kau memang berkewajiban untuk membersihkan nama kelompokmu dari aib yang mereka corengkan, Kek. Meskipun sekarang, Kelompok Bulan Sabit sudah musnah dan kau bukan lagi bertindak sebagai ketua," dukung Arya atas keputusan yang diambil Tayatonga. Kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu menceritakan ciri-ciri para pengeroyoknya.

Tayatonga tercenung setelah Arya selesai ceritanya. "Melihat ciri-ciri yang kau sebutkan itu, aku menjadi sedikit kaget, Dewa Arak. Masalahnya, ciri-ciri yang kau sebutkan mengingatkan aku pada tiga tokoh utama Kelompok Bulan Sabit yang menjadi anak buahku. Sayang, mereka semuanya telah tewas dalam pertarungan melawan kelompok lain. Tapi ada kemungkinan, mereka melakukan tindakan curang. Yahhh... misalnya..., orang-orang yan meninggal dalam pertempuran itu adalah orang-orang tiruan, samaran."

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Entah, apa artinya anggukannya. Hanya pemuda berambut putih keperakan itu saja yang tahu. "Kalau boleh tahu..., apa maksud kedatanganmu ke negeri ini, Kek?!" tanya Arya setelah tercenung sebentar.

"Kau memang berhak mengajukan pertanyaan itu, Dewa Arak" Tayatonga mengelus-elus jenggotnya yang sedikit. Beda dengan cambang bauknya yang lebat, jenggot kakek dari Nepal ini hanya sedikit.

"Karena bagaimanapun juga, tempatku berada sekarang ini merupakan negerimu. Tempat tinggalmu. Tapi, percayalah. Aku tidak bermaksud buruk" lanjut Tayatonga.

"Apakah kedatanganmu tidak ada hubungannya dengan pusaka-pusaka yang konon katanya berasal dari leluhurmu itu, Kek?!" Dewa Arak langsung mengemukakan dugaannya.

"Ada hubungannya, Dewa Arak" jawab Tayatonga tanpa ragu-ragu. "Tapi tidak sama niatku dengan orang-orang yang baru saja bertarung denganmu tadi."

"Aku masih belum mengerti akan maksudmu, Kek?!" Arya mengernyitkan kening, tidak mengerti. Jawaban Tayatonga memang tidak mudah dicerna.

"Hhh...!" Tayatonga menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan Dewa Arak.

EMPAT

"Aku merasa berat menceritakannya. Karena sebenarnya, penyebab aku ke sini adalah urusan keluarga," Tayatonga memulai ceritanya.

"Kalau begitu, tidak usah kau ceritakan, Kek," cegah Arya, buru-buru dengan rasa tidak enak. "Maafkan, aku terlalu mendesakmu."

Tayatonga mengembangkan senyum. Tapi Arya tahu, senyum yang terkembang seperti dipaksakan. Ini membuktikan kalau kakek bercambang bauk lebat itu tidak berada dalam keadaan gembira. Setidak-tidaknya benaknya tengah dilibat suatu masalah.

"Aku memang bermaksud menceritakannya, Dewa Arak. Terkecuali, bila kau tidak bersedia mendengarkan," kata Tayatonga.

"Aku tidak keberatan sama sekali, Kek," sahut Arya sambil menggeleng. "Tapi..., apakah pantas masalah keluarga diceritakan pada orang lain?!"

"Terkadang pantas saja. Dewa Arak. Bahkan malah perlu," timpal Tayatonga. "O, ya. Lebih baik kumulai saja sebelum kau menjadi bosan mendengar petuah-petuah yang tidak berarti dariku, Dewa Arak."

Kali ini Dewa Arak tidak memberi tanggapan. Dia terdiam membisu. Sedangkan Tayatonga tengah tercenung seperti memikirkan kata-kata yang akan dikeluarkannya.

"Aku kemari untuk mengejar istriku. Dia telah kemari lebih dulu. Seperti juga kelompok-kelompok lain, istriku yang bernama Gangga Nanda pergi untuk mencari pusaka-pusaka seperti yang tadi kau sebutkan. Suling Perak dan kipas yang terbuat dari anggota tubuh binatang. Mereka semua menganggap pusaka-pusaka itu milik leluhur mereka. Padahal, sebenarnya tidak demikian."

"Tapi, pasti istrimu dan kelompok-kelompok itu mempunyai alasan kuat mengapa menduga seperti itu. Tak mungkin mereka bertindak ceroboh, sembarangan mengaku-aku kalau tidak benar," duga Arya bernada membela, ketika melihat Tayatonga menghentikan cerita.

"Ucapanmu memang tidak keliru, Dewa Arak. Mereka mempunyai alasan kuat. Dan aku pun tidak menyalahkan kalau mereka sampai mempunyai dugaan seperti itu. Sayang, mereka semua tidak mau tahu penjelasan yang kuberikan.... Maksudku, istriku."

Ada nada keluhan dalam ucapan Tayatonga. Nada ketidakberdayaan dan hampir pasrah. Dan meskipun tidak diceritakan, Arya tahu kalau kehidupan rumah tangga kakek bercambang bauk lebat ini tidak terlalu bahagia. Keluhannya menjadi pertanda kalau istri kakek bercambang bauk lebat ini tergolong orang yang tidak mau diatur!

"Adapun cerita sebenarnya begini, Dewa Arak. Sekitar seratus tahun lebih yang lalu, di negeri kami muncul seorang pendekar besar dari negerimu ini, Dewa Arak. Kalau tidak salah, julukannya Pendekar Suling Perak. Semula kami, terutama aku, tidak tahu sama sekali maksud kedatangannya. Ternyata kedatangan Pendekar Suling Perak untuk memenuhi undangan guru kami. Dan saat itu, istri guru kami sedang sakit keras. Menurut penuturan ahli nujum, dia akan tewas kalau tidak segera mendapatkan kipas dari anggota tubuh binatang dan Suling Perak. Jadi, keberadaan Pendekar Suling Perak di tempat kami itu adalah untuk meminjamkan benda-benda yang merupakan pusaka andalannya. Guru mengutus banyak murid untuk mencari Pendekar Suling Perak waktu itu."

Setelah Tayatonga bercerita sampai di sini, Dewa Arak sudah bisa menebak dan mengerti kalau pusaka itu bukan milik leluhur tokoh-tokoh dari Nepal, melainkan milik tokoh besar dari negeri ini. Nama Pendekar Suling Perak dikenal Dewa Arak sebagai tokoh persilatan besar ratusan tahun yang lalu.

"Semula karena pusaka-pusaka itu amat penting dan merupakan peninggalan leluhurnya, Pendekar Suling Perak tidak meninggalkan negeri kami. Tapi, karena sampai beberapa hari pengobatan itu tidak kunjung selesai, Pendekar Suling Perak memutuskan untuk meninggalkan dan meminjamkan saja pusaka itu. Pendekar itu percaya, seorang ketua kelompok besar seperti guru kami, tidak akan bertindak curang dan mengangkangi pusaka-pusaka miliknya. Setidak-tidaknya, menurut pemikiran Pendekar Suling Perak, guru kami akan mengingat budi yang telah ditanamkannya."

Wajah Arya mulai berubah. Sekarang sudah bisa diraba kejadian yang akan berlangsung.

"Perkiraan Pendekar Suling Perak ternyata keliru. Guru kami menjadi mata gelap, dan lupa budi baik orang. Pendekar Suling Perak yang berpesan amat sangat agar pusaka miliknya diantarkan kepadanya apabila telah selesai dipergunakan, hanya menunggu-nunggu tanpa hasil. Memang, sewaktu Pendekar Suling Perak akan pergi, guru kami berjanji akan mengembalikannya. Bahkan guru sendiri yang akan menyerahkannya disertai ucapan terima kasih. Tapi, rupanya janjinya sendiri diingkari. Dia tidak pernah mengembalikan Suling Perak dan kipas dari anggota tubuh binatang "itu. Bahkan murid-murid yang semula diutus untuk mencari Pendekar Suling Perak, dibunuh semua oleh guru. Tentu saja tanpa sepengetahuan kami."

Tanpa sadar, Arya yang mendengarkan semua cerita penuh perhatian menggelengkan kepala, pertanda tidak mengerti oleh jalan pikiran Tayatonga.

"Tapi sekitar sepuluh tahun lalu, muncul seorang pendekar yang bersenjata Suling Perak dan kipas terbuat dari anggota tubuh binatang. Kedatangannya ke tempat kami langsung mengajukan tantangan terhadap guru sambil menyebut-nyebut kalau guru kami merupakan orang yang tidak mengenal budi orang! Dalam pertarungan, baik guru maupun pendekar yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu tewas. Namun sebelumnya, kedua belah pihak terlibat dalam pembicaraan. Dan hanya aku seorang yang tahu, apa pembicaraan yang berlangsung di saat-saat terakhir hidup mereka. Karena saat itu aku nekat mencuri dengar dari tempat yang tersembunyi. Tapi untungnya, kenekatanku ternyata malah mendapatkan pujian. Guru lalu menyuruhku mengembalikan pusaka-pusaka Pendekar Suling Perak ke tempat semula. Dan orang yang bertarung dengan guru ternyata keturunan dari Pendekar Suling Perak yang meminjamkan pusaka-pusaka itu. Pendekar Suling Perak yang menjadi ayahnya, telah tewas di tangan lawan tangguh, karena tidak berbekal senjata andalannya. Tewasnya Pendekar Suling Perak itulah yang menyebabkan guru sadar. Apalagi menyadari kalau usianya tidak akan lama lagi. Maka akulah yang mendapat tugas untuk mengembalikan pusaka-pusaka itu. Begitu ceritanya, Dewa Arak!"

"Lalu..., bukankah pendekar yang bertarung melawan gurumu berbekal Suling Perak dan kipas dari anggota tubuh binatang?" tanya Arya, heran.

"Senjata itu bukan buatan leluhur Pendekar Suling Perak. Hanya tiruannya, sebagai tanda kalau pemegangnya merupakan keturunan Pendekar Suling Perak. Dan pusaka-pusaka itu diberikan pada Burisrawa, di tempat yang diketahui guru dari lawan tarungnya," jawab Tayatonga dengan lancar.

"Jadi..., ke manakah kau akan pergi sekarang, Kek?!" tanya Arya, ingin tahu.

"Ke tempat di mana aku menyerahkan pusaka pada Burisrawa. Aku khawatir, istriku akan ke sana karena telah berhasil memancingku untuk memberitahu ke mana pusaka-pusaka itu lenyap," jelas Tayatonga, panjang lebar.

"Eh...?! Untuk apa lagi pusaka-pusaka itu bagi istrimu, Kek?!" Arya merasa tidak mengerti.

"Untuk menjadikan dirinya pemimpin bermacam-macam kelompok yang ada di tempat kami," jawab Tayatonga, dengan suara berat seperti batinnya tengah terhimpit. "Waktu guru masih hidup, dia mengatakan kalau pusaka-pusaka itu didapatkan dari hasilnya bersemadi. Dan itu menjadi tanda atau bukti buat seseorang yang memegangnya, untuk menjadi ketua kelompok. Maka ketika meninggal, dan masing-masing tokoh ingin menjadi ketua kelompok, kelompok yang susah-payah dibentuk dan dibangun guru terpecah-pecah. Itulah sebabnya, banyak kelompok yang berasal dari kelompok yang dibangun guruku, berusaha mendapatkan pusaka-pusaka itu agar dapat menjadi pimpinan kelompok!"

"Dan keberadaanmu di sini untuk mencegah kelompok-kelompok itu mengambil pusaka-pusaka milik Pendekar Suling Perak Kek?!"

"Begitulah rencanaku, Dewa Arak," desah Tayatonga. "Aku tidak ingin mereka mengulang kesalahan guru. Bahkan menyusahkan orang yang telah bertindak demikian baik."

"Kalau demikian, selamat bertugas, Kek. Aku mempunyai urusan yang sama pentingnya dengan mu," Arya pamit.

"Selamat jalan, Dewa Arak" balas Tayatonga tersenyum sambil menganggukkan kepala. "Kau sekarang tak ubahnya Pendekar Suling Perak ratusan tahun lalu. Nama besarnya terdengar di mana-mana, terkenal sebagai pendekar pembasmi kejahatan dan penangkal angkara murka. Persis sama dengan Pendekar Suling Perak ratusan tahun yang lalu."

"Kau terlalu memuji, Kek."

Ucapan itu masih bergema keras di tempat Tayatonga masih berada. Tapi, tubuh Dewa Arak sudah tidak berada di situ lagi. Tayatonga menggeleng-gelengkan kepala pertanda kagum. Bukti ini saja sudah menunjukkan kalau Dewa Arak telah memiliki tingkat tenaga dalam yang sukar diukur. Meski demikian, Tayatonga masih sangsi kalau Dewa Arak mampu mengimbangi tingkat Pendekar Suling Perak.

* * *

Sesosok bayangan kuning tampak berlompatan ke sana kemari. Ujung kakinya menotok tonjolan batu di sana-sini, agar tubuhnya dapat melambung ke atas dan hinggap di tempat yang lebih tinggi. Sosok itu tengah mendaki lereng sebuah bukit yang cukup terjal.

"Hup!" Hanya dalam waktu sebentar saja, sosok bayangan kuning ini telah tiba di bagian lereng gunung yang memiliki dataran rata. Dan dia berhenti di sini sambil mengarahkan pandangan ke depan. Wajah sosok bayangan kuning itu tampak berseri-seri meski napasnya agak memburu. Dia ternyata seorang wanita yang masih muda. Usianya tak lebih dari dua puluh tahun.

Tapi bentuk tubuhnya sangat menggiurkan. Sehingga membuat para lelaki terutama yang mata keranjang, akan menelan liur. Dada gadis berpakaian kuning itu demi kian membusung, menantang. Dan lagi wajahnya yang cantik jelita dengan kulit putih halus kekuningan.

"Ayah...! Ibu..! Betapa aku telah amat rindu pada kalian," desah gadis berpakaian kuning itu sambil menatap kosong ke depan. "Sambutlah ke datanganku, Ayah, Ibu..."

Gadis berpakaian kuning ini lalu melesat ke depan. Larinya cepat bukan kepalang. Sehingga, yang terlihat hanya sekelebatan bayangan kuning dalam bentuk tidak jelas. Tapi baru juga beberapa kali melesat, dahi mulus gadis berpakaian kuning ini jadi berkernyit, begitu tanpa sengaja pandangannya terarah ke atas.

"Burung-burung pemakan bangkai," desah gadis berpakaian kuning itu, heran campur cemas. "Mengapa burung celaka itu datang berbondong-bondong. Dan lagi, arahnya ke sana! Ataukah ada sesuatu yang terjadi di sana? Apakah Ayah atau Ibu...."

Sampai di sini, gadis itu tidak berani meneruskan gumamannya. Justru larinya malah lebih dipercepat. Sementara di atasnya sosok-sosok kecil berwarna hitam menempuh arah yang sama dengannya. Yang lebih membuat hati gadis ini semakin galau, ketika melihat di depan sana telah banyak sosok hitam kecil yang tak lain dari burung-burung pemakan bangkai. Yang menyebabkannya gelisah, di tempat burung-burung itu berada justru terletak tempat tinggalnya. Tempat tinggal ayah dan ibunya.

Tapi raut kekhawatiran gadis itu mulai berkurang ketika melihat burung-burung pemakan bangkai itu berjatuhan ke bawah, setelah terlebih dulu terlempar sedikit ke atas bagaikan terpukul dari bawah. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, dia tahu kalau burung-burung itu terhantam pukulan jarak jauh yang dilakukan orang yang berada di bawah. Siapa lagi kalau bukan orangtuanya, terutama sekali ayahnya yang memang memiliki ilmu pukulan jarak jauh luar biasa.

Keyakinan akan dugaannya, membuat lari gadis berpakaian kuning semakin cepat. Tapi, sepasang mata yang berbinar-binar dan sinar kegembiraan wajah gadis berpakaian kuning itu langsung lenyap, ketika melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya pada jarak tiga tombak.

Tampak di depannya sesosok tubuh kekar seorang pemuda berpakaian serba merah dan berikat kepala merah, tengah duduk di atas sebongkah batu sebesar kambing sambil memukul-mukulkan kedua tangannya secara bergantian ke udara. Dan pukulan-pukulan itulah yang menyebabkan burung-burung pemakan bangkai bergeletakkan di tanah tanpa nyawa. Tubuh binatang itu telah remuk begitu terhantam pukulan jarak jauh yang mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring ketika diluncurkan.

Gadis berpakaian kuning itu sudah terkejut ketika melihat keberadaan pemuda berpakaian merah yang sama sekali tidak dikenalnya. Kebetulan pemuda itu duduk dengan sikap menyamping, sehingga wajahnya terlihat dari samping. Tapi dia lebih terkejut lagi ketika melihat pemandangan di belakang pemuda berpakaian merah itu. Ternyata di depan pondok sederhana milik orangtuanya telah tergolek dua sosok di atas tanah dalam keadaan bersimbah darah.

Salah satu sosok bertubuh kecil. Sedangkan satunya lagi, dewasa. Sesosok yang sukar dikenali! kepala kedua sosok itu telah hancur. Hanya rambutnya yang panjang dan bentuk tubuhnya yang membuktikan kalau sosok yang tewas dalam keadaan mengerikan adalah seorang wanita! Yang telah berusia cukup lanjut.

Gadis berpakaian kuning itu sampai menghentikan larinya, dan langsung menatap dua sosok yang terbujur di tanah dengan sorot mata tidak percaya. Kedua tangannya yang terkepal keras menandakan ketegangan hatinya. Sepasang matanya yang indah, seperti melekat dengan sosoksosok yang tergolek. Terutama sekali, sosok wanita dewasa yang berpakaian hijau muda.

"I... Ibu...," desah gadis berpakaian kuning itu. Suaranya tersendat-sendat, sedangkan sepasang matanya berkaca-kaca siap memuntahkan air-air bening.

Pemuda berpakaian merah yang tak lain dari Lingga terus sibuk membunuh burung-burung pemakan bangkai dengan pukulan-pukulan jarak jauhnya. Sambil terus bertindak demikian, kepalanya menoleh ke arah gadis itu. Telah belasan ekor burung yang malang itu tergeletak dalam keadaan tewas.

"Apa hubunganmu dengan monyet betina yang baru kubunuh itu, Gadis Montok?!" tanya Lingga. Sikapnya tampak kurang ajar sambil mengarahkan kepala pada tubuh wanita berpakaian hijau muda yang tergolek.

"Keparat!" gadis berpakaian kurung menggelam seperti seekor macan luka. "Jadi, kau yang telah melakukan pembunuhan keji itu, Jahanam?!"

"Benar," Lingga mengangguk sambil bangkit berdiri. Tidak lagi dipedulikannya kerumunan burung pemakan bangkai yang tadi dibantainya. "Sebenarnya, aku ingin membunuh pula suami wanita busuk ini, yang kalau tidak salah bernama Moksa dan berjuluk Pendekar Tangan Sepuluh. Tapi karena dia telah lebih dulu kabur sebelum kubunuh, yaah...! Apa boleh buat...? Istrinya pun tidak mengapa."

"Terkutuk!" Sekujur tubuh gadis berpakaian kuning ini menggigil hebat karena amarah bergolak. "Kau akan merasakan pembalasanku!" lanjut gadis itu.

Singng!

Sinar menyilaukan mata langsung mencuat, ketika gadis berpakaian kuning ini mencabut senjata yang terselip di pinggangnya.

"Ah...! Suling Perak...!" seru Lingga kaget dengan tarikan wajah berubah. Tampang yang senantiasa dingin itu mulai beriak, sebagai bukti kalau sangat terkejut. "Apa hubunganmu dengan Pendekar Suling Perak, Gadis Montok?!"

Wungng!

Jawaban yang diberikan gadis berpakaian kuning itu adalah tusukan ujung suling peraknya ke arah tenggorokan Lingga, setelah didahului gulungan sinar berwarna keperakan.

"Uh!" Namun serangan gadis yang sepertinya putri dari Pendekar Tangan Sepuluh hanya mengenai angin, karena Lingga telah lebih dulu mendoyongkan tubuh ke belakang sambil melangkahkan kaki. Namun, gadis itu tidak tinggal diam. Serangan susulan kembali dilayangkan dengan penggunaan tendangan lurus-kaki kanan ke arah dada.

"Hmh!" Pemuda berpakaian merah hanya mendengus, melihat serangan ini. Sekarang, dia tidak lagi mengelak. Maka langsung dipapakinya serangan itu dengan tendangan kaki kanan pula.

Bresss!

Dua buah kaki beradu keras. Dan seketika tubuh gadis berpakaian kuring itu langsung terjengkang ke belakang dan terguling-guling. Begitu berhasil bangkit, wajahnya langsung menyeringai menahan kesakitan. Kaki kanannya terasa ngilu bukan kepalang.

Tapi, putri Pendekar Tangan Sepuluh itu benar-benar bukan gadis yang gampang menyerah. Tanpa mempedulikan sakit yang masih menggigit, dia melompat melancarkan serangan dengan suling. Serangannya langsung menimbulkan bunyi seperti bukan digerakkan, melainkan ditiup. Hanya saja bunyinya tidak terlalu enak didengar.

Pertarungan pun berlangsung cukup sengit, kendati Lingga tidak mempergunakan senjata. Pemuda berpakaian merah ini hanya bertangan kosong. Meski demikian jalannya pertarungan cukup imbang. Namun menginjak jurus ke lima belas, Lingga mulai dapat menekan lawannya. Memang, Lingga harus mengakui kalau kepandaian gadis berpakaian kuning ini cukup hebat. Tenaga dalam dan kelincahannya tidak terlalu jauh di bawah tingkatannya.

Namun permainan sulingnya benar-benar luar biasa Sayang, betapapun hebatnya permainan suling gadis berpakaian kuning ini, tak satu pun yang mampu mengenai tubuh Lingga. Ujung baju pemuda berpakaian merah itu saja tidak pernah tersentuh. Lingga dengan langkah-langkah anehnya yang terkadang terhuyung-huyung seperti akan jatuh, melompat-lompat di tempat, atau bahkan berlarian mengelilingi lawan. Dan tindakannya selalu berhasil mengelakkan setiap serangan.

Rrrttt!

Di jurus ketujuh belas, tusukan suling gadis berpakaian kuning yang meluncur ke arah dada, berhasil dilibat sehelai kain merah di tangan Lingga. Gadis itu kaget bukan kepalang. Maka secepat kilat senjatanya ditarik. Tapi, suling itu tidak bergeming sama sekali!

Gadis berpakaian kuning yang memiliki watak keras tentu saja tidak mau mengalah. Seluruh tenaga yang dimiliki dikerahkan untuk menarik sulingnya yang terlibat kain merah, yang ternyata ikat kepala Lingga. Entah kapan, pemuda berpakaian merah itu mengambilnya dari kepala.

Di saat gadis berpakaian kuning tengah bersitegang, Lingga mengendurkan belitannya. Tentu saja tindakan tak terduga-duga ini membuat tubuh gadis ini terjengkang ke belakang, terbawa tarikan tenaganya sendiri. Kesempatan baik itu segera dimanfaatkan Lingga sebaik-baiknya. Ikat kepalanya disalurkan tenaga dalan, hingga menegang kaku laksana sebatang tongkat. Bahkan terus meluncur ke arah bahu kanan lawannya.

Tukkk!

Gadis berpakaian kuning hanya sempat mengeluh tertahan, ketika jalan darah pada tubuhnya tertotok. Bagaikan sehelai kain basah, tubuhnya langsung ambruk ke tanah. Sekarang gadis berpakaian kuning hanya bisa menatap Lingga dengan sinar mata penuh kebencian. Sedangkan Lingga bagaikan tidak tahu, terus saja melangkah mendekati tempat tubuh gadis itu tergolek, langsung duduk bersimpuh.

"Sejak kecil aku sudah dididik untuk melakukan tindakan yang sejahat-jahatnya terhadap lawan. Dan aku paling suka bertindak untuk menyakitkan hati orang lain. Dan tindakan itulah yang kulakukan terhadap istri Pendekar Tangan Sepuluh. Batinnya lebih dulu kusiksa, sebelum nyawanya kulenyapkan. Dan tindakan serupa akan kulakukan terhadapmu, Gadis Montok!"

Gadis berpakaian kuning merasakan sekujur tubuhnya meremang. Sekarang hatinya ngeri bukan kepalang, karena dapat memperkirakan bahaya apa yang akan mengancamnya. Napas Lingga yang memburu hebat dan sepasang mata yang menatap ke arahnya, telah menjadi tanda. Dan rasa takut yang amat sangat pun melandanya.

LIMA

"Apa... apa yang hendak kau lakukan...?!" tanya gadis berpakaian kuning dengan perasaan ngeri. Suaranya pun terdengar bergetar, karena gejolak rasa takut.

"Tunggu saja. Nanti pun kau akan tahu sendiri" Kemudian diiringi seringai kejam, Lingga mengulurkan tangan. Langsung dicengkeramnya baju bagian dada gadis berpakaian kuning itu. Lalu....

Brettt!

"Awww...!" Gadis berpakaian kuning tidak sanggup berbuat apaapa lagi. Perasaan ngeri yang amat sangat tampak jelas pada wajahnya. "Jangan...! Kumohon jangan kau lakukan padaku.... Lebih baik bunuh saja aku. Dan aku akan sangat berterima kasih apabila kau langsung membunuhku. Jangan...! Jangan lakukan ini padaku...," rintih putri Pendekar Tangan Sepuluh.

Pakaian gadis itu mulai dari bagian dada sampai perut robek lebar. Maka dua bukit kembar yang padat membusung terbungkus kulit putih halus dan mulus pun membentang jelas. Lingga menelan ludahnya sendiri sebagai laki-laki waras, pemandangan demikian membuatnya seperti silau.

Keluhan-keluhan menyayat hati dari gadis berpakaian kuning ini tidak tertangkap pendengarannya sama sekali. Yang ada dalam pikirannya hanya satu. Menyalurkan keinginan yang menggebu-gebu!

"Apakah kau tidak mendengar ucapanku tadi Cah Ayu?" kata Lingga dengan suara mulai bergetar, karena napas yang memburu terdorong keinginan menggebu-gebu.

"Sejak kecil aku dididik, untuk melakukan tindakan kejahatan yang paling menyakitkan hati orang lain. Dan setelah dewasa, aku jadi orang yang ingin melihat orang lain tewas secara menyakitkan pula. Dan bagi orang sepertimu, aku tahu kematjan yang paling ditakutkan."

Lingga menutup ucapannya dengan sebuah tubrukan ke arah gadis berpakaian kuning yang sudah tidak berdaya kecuali pasrah menerima nasib. Sedangkan gadis ini hanya bisa menangis, membayangkan kehancuran hatinya.

Sementara Lingga dengan beringas terus menggeluti dan menciumi sekujur tubuh gadis itu yang bugil. Dan kedua tangannya ke sana kemari, meremas apa saja secara kasar dan brutal. Lingga benar-benar berhati batu. Dia bisa tertawa terkekeh-kekeh di saat gadis berpakaian kuning merintih-rintih, menangis, dan meratap-ratap memohon belas kasihan. Di tengah hawa nafsu yang menggelegak, tiba-tiba....

"Iblis Keji...! Binatang Bermuka Manusia...!"

Terdengar keras penuh kemarahan, membuat Lingga yang belum sempat melucuti pakaiannya sendiri, terjingkat kaget bagai disengat kalajengking. Dengan kecekatan seorang ahli silat tingkat atas, pemuda berpakaian serba merah ini melenting ke atas.

Ketika menjejak tanah secara mantap, di belakangnya dalam jarak tiga tombak telah berdiri seorang pemuda berpakaian ungu. Rambutnya yang berwarna putih keperakan melambai-lambai tertiup angin. Siapa lagi orang itu kalau bukan Arya Buana ilias Dewa Arak Sekarang Lingga dan Dewa Arak berdiri berhadapan dalam jarak sekitar lima tombak.

"Anjing Kurap! Jadi, kau yang tadi melemparkan makian?!" Dengan muka merah padam, dan sinar mata memancarkan hawa maut, Lingga menuding ke arah Arya.

"Benar! Karena kau memang orang semacam itu. Penjahat Berhati Binatang! Orang semacam dirimu tidak pernah mendapat ampunan dariku! Bersiaplah untuk menerima kematian!" teriak Arya tidak kalah keras. Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan ini mencorong tajam, memperlihatkan kemarahannya yang mencapai ubun-ubun.

"Hih!" Dari jarak lima tombak, Lingga memukulkan tinju kanannya ke arah Dewa Arak. Dalam kemarahannya, segenap tenaga dalam yang dimiliki telah dikeluarkan. Bunyi berkesiutan nyaring mengiringi meluncurnya angin pukulan berhawa panas ke arah Dewa Arak.

Arya yang sangat pantang melihat tindakan pemerkosaan di depan matanya, tanpa pikir panjang lagi memapak pula dengan pukulannya. Maka dua buah angin pukulan yang sama-sama dahsyat meluncur dalam arah berlawanan. Lalu...

Blarrr!

Udara seperti bergetar ketika dua angin pukulan berbenturan di tengah jalan, hingga menimbulkan bunyi keras menggelegar. Tubuh kedua tokoh ini sama-sama terhuyung ke belakang. Tapi, Lingga terhuyung lebih jauh dua langkah.

Pemuda berbaju serba merah itu menggeram. Hatinya penasaran bukan kepalang melihat hasil benturan tadi. Selama ini belum pernah ada tokoh muda yang pernah mengalahkannya. Baik dalam adu tenaga, kecepatan lari, maupun kelincahan. Maka kekalahan kali ini benar-benar membuat menjadi naik darah!

"Arrrggghhh...!" Diawali teriakan keras seperti macan luka, Lingga melompat menerjang. Tubuhnya bagaikan sehelai bulu ketika meluncur menuju Dewa Arak. Namun Arya yang tengah marah menyambutinya tak kalah sigap. Sehingga, terjadilah pertarungan mati-matian.

Dewa Arak yang tengah dilanda amarah, tanpa tanggung-tanggung lagi segera mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya. Namun, betapa kagetnya hati pemuda berambut putih keperakan ini, ketika melihat lawannya menyambutinya dengan ilmu serupa. Pertarungan aneh pun berlangsung. Kedua belah pihak melakukan gerakan-gerakan sama anehnya. Tapi terlihat jelas kalau setiap kali terjadi benturan, tubuh Lingga selalu terhuyung ke belakang.

Lingga pun akhirnya menyadari kelebihan pemuda berambut putih keperakan itu. Setelah bertarung sampai lima puluh jurus, benaknya mulai diputar untuk menyelamatkan diri. Lingga tahu, Dewa Arak tidak mau melepaskannya hidup-hidup, bahkan mungkin berniat membunuhnya!

Jliggg!

Pada sebuah kesempatan, Lingga menendang sebuah kerikil yang diarahkan kepala gadis berpakaian kuning yang masih terduduk tak berdaya. Dengan mengeluarkan bunyi menyeramkan, kerikil itu melayang ke arah sasaran.

Dewa Arak terkejut melihat serangan licik itu. Tidak ada jalan lain, mengirimkan kibasan tangan kanan dan kiri berurutan, untuk membuat arah kerikil menyeleweng.

Kesempatan inilah yang ditunggu-tunggu Lingga. Begitu melihat Dewa Arak mengalihkan perhatian, buru-buru tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan dia telah berada cukup jauh dari tempat semula.

Sementara Dewa Arak tidak melakukan pengejaran sama sekali. Arya tahu, tidak ada gunanya pengejaran orang selihai Lingga, apabila jarak telah demikian jauh. Maka perhatiannya dialihkan pada gadis berpakaian kuning yang telah berhasil diselamatkan nyawanya.

Namun begitu Dewa Arak melengos ke arah gadis itu, wajahnya langsung berubah merah padam. Demikian pula gadis berpakaian kuning ini. Wajahnya juga panas, karena saking malunya. Maka dengan gerakan cepat, Arya melengos ke arah lain. Dan dia berusaha sedapat mungkin untuk tidak melihat pemandangan indah yang terpampang di depan mata, sambil menghampiri tempat gadis berpakaian kuning itu tergolek.

Dan setelah membebaskan totokan yang membelenggu gadis berpakaian kuning. Dewa Arak buru-buru berbalik. Diberikannya kesempatan pada gadis itu untuk membenahi pakaiannya. Dan putri Pendekar Tangan Sepuluh itu menggunakan kesempatan ini untuk pergi ke pondoknya dan berganti pakaian.

"Aku sudah selesai," ucap putri Pendekar Tangan Sepuluh ketika telah berganti pakaian dan kembali ke tempat semula. Maka dua pasang matanya menatap sebentar. Dua raut wajah saling meneliti sejenak. Ada nada kekaguman dalam pandangan masing-masing.

"Sayang aku datang terlambat, Nisanak. Kalau tidak, mungkin tidak perlu ada yang harus meninggal secara mengerikan seperti itu. Arya yang lebih dulu memecahkan suasana hening dengan ucapan bernada penyesalan. Sementara matanya menatap penuh kengerian pada tubuh Tunjung Sari dan anaknya yang tergolek di tanah.

"Tidak ada yang terlambat, Dewa Arak. Oh, maaf.... Kau Dewa Arak, bukan?!" tanya gadis berpakaian kuning ini menatap wajah Arya dengan muka merah padam.

Putri pertama dari Tunjung Sari dan Pendekar Tangan Sepuluh ini masih merasa malu besar, mengingat betapa Arya telah melihat tubuhnya yang dalam keadaan bugil. Kalau menuruti perasaan, ingin ditinggalkannya saja Dewa Arak. Karena setiap kali melihat wajah Arya, setiap kali itu pula seperti berada dalam keadaan telanjang bulat!

"Maksudmu bagaimana, Nisanak?!" tanya Arya, tidak mengerti. Pemuda itu menatap gadis berpakaian kuning ini sekilas. Jawaban putri Pendekar Tangan Sepuluh membuatnya lupa untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.

"Kau tidak terlambat datang untuk memberi pertolongan, Dewa Arak. Karena dua mayat yang kau maksudkan memang sudah lama tewas. Maksudku, aku saja tidak memiliki kesempatan untuk menolong mereka. Apalagi, kau yang datang belakangan," jelas gadis berpakaian kuning ini, mulai sedih kembali, teringat lagi akan nasib yang menimpa ibunya.

"Ah...!" desah Dewa Arak. "Sebenarnya apa hubunganmu dengan mayat-mayat itu?!"

"Yang seorang adalah ibuku. Sedangkan yang satunya lagi, kemungkinan besar adikku. Aku tidak tahu pasti, karena sejak umur sepuluh tahun telah dikirim belajar pada salah seorang kenalan ayahku yang bernama Burisrawa. Aku baru saja selesai belajar, lalu pulang untuk menjumpai orangtuaku. Namun yang kudapatkan seperti ini," jelas gadis berpakaian kuning itu panjang lebar. "O, ya. Namaku, Sri Kunti. Sedangkan ibuku Tunjung Sari. Dan ayahku bernama Moksa tapi, lebih dikenal sebagai Pendekar Tangan Sepuluh."

"Pendekar Tangan Sepuluh?!" Arya agak terperanjat karena telah mendengar nama besar pendekar berkumis melintang itu, sebagai pentolan golongan putih yang berkepandaian tinggi. Julukannya telah menggemparkan dunia persilatan sejak dua puluh lima tahun yang lalu. Tapi sampai sekarang pun tetap ditakuti dan disegani, karena masih suka berkecimpung dalam kerasnya dunia persilatan.

"Benar," sahut gadis bernama Sri Kunti mengangguk. "Bukankah kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak? Julukanmu bahkan mengalahkan kebesaran julukan ayahku. Hampir setiap tokoh persilatan membicarakan tentang dirimu, Dewa Arak."

"Berita itu terlalu berlebih-lebihan, Kunti," Arya berusaha merendah.

Sri Kunti tidak memberi jawaban. Dia telah teringat kembali akan nasib ibunya. Sedangkan nasib ayahnya belum diketahuinya sama sekali. Perasaan sedih pun kembali melingkupi hatinya. Sehingga, membuat wajahnya muram dan keceriaan hatinya karena bertemu Dewa Arak kembali tertutupi. Sri Kunti menghampiri mayat ibunya. Meskipun sedih yang amat sangat, dia berusaha keras untuk tidak menangis. Apalagi, di depan Dewa Arak.

Dewa Arak kemudian membantu Sri Kunti mengurus mayat ibu dan adiknya. Kehadiran pemuda berambut putih keperakan itu memang banyak membantu. Sehingga sedikit banyak, Sri Kunti tidak terlampau dibelit rasa sedih. Keberadaan Arya sedikit banyak mampu mengisi kekosongan hatinya ditinggal Tunjung Sari, ibunya.

Setelah upacara penguburan selesai, Sri Kunti mengeluarkan semua uneg-unegnya. Baru kemudian sepasang anak muda ini melanjutkan perjalanan. Semula Arya hendak menolak keikutsertaan Sri Kunti bersamanya. Tapi karena tidak sampai hati, akhirnya gadis itu dibiarkan ikut bersamanya.

Sri Kunti mula-mula masih tenggelam dalam alam kesedihannya. Tapi karena wataknya yang lincah dan periang, tak lama rasa sedihnya lenyap. Apalagi karena berjalan bersama Dewa Arak, pemuda yang diam-diam dikaguminya. Dan sekarang gadis ini mulai jatuh hati.

* * *

"Hhh...!" Seorang kakek berpakaian abu-abu berkumis melintang putih, menghela napas berat setelah menatap sosok berpakaian coklat longgar yang tergolek di bawah kakinya, di antara kelompok kuburan yang sebagian besar telah porak-poranda. Hampir semua kuburan itu telah tidak mempunyai gundukan lagi, kecuali lubang berukuran setengah kali satu tombak yang menganga.

"Tak kusangka akhir nasibmu demikian menyedihkan, Burisrawa sahabatku. Kau tergeletak di antara makam-makam yang kau jaga dan sekarang sudah porak-poranda seperti nyawamu. Aku berjanji akan membuat perhitungan. Sahabatku," bisik sosok berpakaian abu-abu yang tak lain dari Pendekar Tangan Sepuluh, sambil duduk setengah berjongkok di dekat mayat yang ternyata Burisrawa, penjaga pusaka-pusaka peninggalan Pendekar Suling Perak.

Pendekar Tangan Sepuluh kembali bangkit berdiri. Dan pandangannya beredar sebelum akhirnya kakinya melangkah lebar-lebar mendekati salah satu lubang yang menganga. Terdengar bunyi bergemeretak keras dari gigi-gigi Pendekar Tangan Sepuluh yang beradu, ketika melihat peti yang telah kosong itu hancur berantakan.

"Biadab! Keji...!" Makian seperti itu keluar terus-menerus, ketika Pendekar Tangan Sepuluh menemukan hasil yang sama pada lubang-lubang lainnya. Benaknya pun dipenuhi pertanyaan. Apakah orang yang telah melakukan kekejian ini seorang diri? Kalau demikian, bagaimana mungkin dia bisa membawa mayat-mayat yang berada di pekuburan ini, yang jumlahnya belasan?! Lagi pula, untuk apa mayat-mayat yang pasti berbau tidak sedap itu dibawa?! Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut berputaran di benak Pendekar Tangan Sepuluh tanpa ada jawabannya.

Setelah berputar mengelilingi sekitar tempat itu tanpa menemukan sebuah peti mati yang dapat dipakai tempat tubuh Burisrawa, Pendekar Tangan Sepuluh kembali ke tempat mayat Burisrawa tergolek. Hatinya merasa geram bukan kepalang pada orang yang telah membunuh Burisrawa dan menghancurkan semua peti mati yang berada di pekuburan ini.

"Eh...?!" Pendekar Tangan Sepuluh berseru kaget ketika melihat mayat Burisrawa sudah tidak berada di tempat semula. Untuk sesaat, kakek berkumis melintang ini tertegun dan berpikir keras. Apakah dia telah lupa, di mana tubuh kawannya yang telah menjadi mayat itu berada? Ataukah telah dimasukkannya ke dalam lubang?!

Pendekar Tangan Sepuluh berdiri bingung di tempatnya. Kakek berkumis melintang itu berusaha keras untuk mengingat-ingat barangkali saja lupa kalau telah meletakkan mayat itu ke dalam lubang. Belum juga bisa menemukan jawabannya....

"He he he...!" Tiba-tiba terdengar tawa terkekeh yang keras penuh ejekan, sehingga membuat Pendekar Tangan Sepuluh terperanjat. Dan dia langsung bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan. Seketika pendekar yang telah kenyang pengalaman ini langsung bisa menduga, mengapa mayat Burisrawa bisa lenyap dari tempat semula!

"Siapa kau, Keparat! Kalau bukan pengecut, tunjukkan dirimu...!" sentak Pendekar Tangan Sepuluh sambil mengedarkan pandangan berkeliling.

Sumber suara itu memang sukar diketahui, seakan-akan dari delapan penjuru. Kenyataan ini saja sudah cukup untuk membuat Pendekar Tangan Sepuluh yakin kalau orang yang tertawa itu berkepandaian tinggi. Terutama sekali, tenaga dalamnya. Karena hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam kuatlah yang dapat membuat ucapannya tidak dapat dilacak.

"He he he...! Tidak usah terburu nafsu, Moksa. Saatnya untuk melihatku belum tiba. Lagi pula, bukankah kau tengah mencari kawan karibmu yang telah menjadi bangkai?!" sambut suara tanpa wujud lagi.

"Pengecut Hina! Keluar kau! Dan, mari hadapi aku! Kita bertarung sampai salah seorang ada yang mati! Jangan hanya berani menghadapi mayat tidak berdaya!" bentak Pendekar Tangan Sepuluh, kalap.

Dia khawatir pemilik suara yang tidak diketahui itu akan melakukan hal yang tidak diinginkan terhadap mayat Burisrawa. Dan kali ini tidak ada sambutan sama sekali, meski Pendekar Tangan Sepuluh telah cukup lama menunggu. Keheningan seketika melingkupi sekitarnya, setelah gema suara kakek berkumis melin tang ini lenyap, terasa mengerikan.

"Siapa kau sebenarnya, Pengecut?! Dari mana kau tahu namaku. Dan, lagi rasanya aku pemain mendengar suaramu. Hanya saja, aku lupa kapan dan di mana?"

Pendekar Tangan Sepuluh kembali berseru keras ketika teringat kembali akan ucapan pemilik suara tanpa wujud itu. Moksa diam-diam merasa heran, mengetahui orang itu bisa tahu nama aslinya. Karena, hampir tidak ada orang yang tahu nama aslinya lagi.

Tokoh-tokoh persilatan mengenalnya sebagai Pendekar Tangan Sepuluh! Kalau pemilik suara tanpa wujud ini tahu namanya, berarti cukup mengenal dirinya. Dan itu berarti, kemungkinan besar pemilik suara itu dikenalnya pula.

"Terimalah kawan baikmu ini, Moksa!" Seiring keluarnya kata-kata itu, dari sebatang pohon besar berdaun rimbun yang berada tak jauh dari tempat Pendekar Tangan Sepuluh berada, melesat sesosok benda besar.

"Hih!" Begitu telah mengetahui tempat persembunyian pemilik suara tanpa wujud, tanpa membuang luang waktu lagi, Pendekar Tangan Sepuluh memukulkan kedua tangannya yang dikepal kuat-kuat. Arah yang dituju adalah bagian atas batang pohon itu.

Wusss! Brakkk!

Sesaat setelah angin menderu keras yang berasal dari kedua tangan yang dihentakkan, pohon yang terkena sasaran angin pukulan Pendekar Tangan Sepuluh hancur berentakan mengeluarkan bunyi gemuruh. Tapi sebelum pohon itu sempat hancur, dari atasnya melesat sesosok bayangan yang melompat turun dengan kecepatan menakjubkan.

Pendekar Tangan Sepuluh tidak merasa heran melihat serangannya tidak membuat sosok yang berada di atas pohon terluka. Dia tahu, serangan seperti itu akan mudah dapat dielakkan oleh tokoh yang berkepandaian tinggi. Dan pemilik suara tanpa wujud ini diyakininya merupakan tokoh berkepandaian tinggi.

Makanya Pendekar Tangan Sepuluh cepat melesat mengejar hendak mengirimkan serangan susulan. Tapi, sosok yang berdiri tegak dalam jarak hampir tujuh tombak darinya sambil menundukkan kepala, mengibaskan tangan kiri dengan sikap tidak acuh.

"Lebih baik kau periksa dulu, apakah tubuh yang kuberikan itu kawanmu atau bukan?!"

Pendekar Tangan Sepuluh merupakan seorang pentolan golongan putih yang telah kenyang pengalaman. Itulah sebabnya, dia dapat mengetahui adanya pancingan dalam ucapan sosok yang beluin dapat dikenalinya.

Dan Pendekar Tangan Sepuluh memang tidak menanggapi kata-kata sosok yang belum ketahuan wajah dan jenis kelaminnya. Malah dihampiri sosok itu dengan sikap hati-hati dan sekujur urat saraf, menegang, siap mengirimkan serangan.

ENAM

"He he he...! Kau takut, Moksa?! Kau takut kalau aku menipumu? Atau kau takut, kalau-kalau aku menggunakan kesempatan saat kau memperhatikan tubuh itu, lantas aku membokongmu? He he he...! Sama sekali tidak kusangka. Ternyata Moksa yang sombong dengan julukan Pendekar Tangan Sepuluh telah berubah menjadi penakut. He he he...!"

Moksa menggertakkan gigi menahan geram. Hatinya sebagai orang gagah, tersinggung. Maka dengan langkah lebar, Pendekar Tangan Sepuluh ini mendekati mayat yang dilemparkan sosok tanpa jati diri itu. Sosok yang diduga mayat Burisrawa.

"Ah!" Pendekar Tangan Sepuluh ini terjingkat ke belakang seperti orang tersengat ular berbisa, ketika baru saja memeriksa tubuh yang tergolek di tanah.

Potongan tubuh sosok yang tergolek di tanah ini jelas sebagai tubuh Burisrawa. Pakaiannya yang longgar dan berwarna coklat pun tidak bisa disangsikan lagi. Tapi, yang membuat Pendekar Tangan Sepuluh merasa ngeri dan kaget adalah, ketika melihat wajah Burisrawa!

Wajah itu demikian mengerikan, dan sulit dikenali. Karena sepasang matanya sudah tidak ada lagi dan mungkin dicongkel keluar. Dan yang ada hanya bolongan hitam yang menjorok ke dalam. Ujung hidungnya dipotong, sedangkan mulutnya dirobek lebar sampai ke pinggir telinga kanan dan kiri!

Pendekar Tangan Sepuluh bangkit dengan kedua tangan dikepalkan keras, hingga mengeluarkan bunyi bergemeretakan seperti ada tulang-tulang patah. Sepasang matanya seperti mengeluarkan sinar berapi, ketika menatap ke arah sosok yang masih belum terlihat jelas.

"Bagaimana, Moksa?!" tanya sosok iru bernada mengejek. "Benarkah dia kawanmu?!"

"Kubunuh kau...!"

Belum hilang gema ucapannya, Pendekar Tangan Sepuluh telah melompat menerjang sosok yang belum ketahuan jati dirinya. Kedua tangannya seketika seperti berubah menjadi puluhan pasang saat meluncur ke arah sasaran. Dalam puncak kemarahan yang sejak tadi tertahan-tahan, Pendekar Tangan Sepuluh menggunakan ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat' yang menjadi andalannya.

"Inikah ilmu 'Sepuluh Cakar Anjing' yang terkenal ampuh itu? Sungguh buruk?!"

Berbareng keluarnya ucapan itu, sosok yang belum jelas jenis kelaminnya menggerakkan tangan, menyambuti datangnya serangan. Maka dua palang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat, berbenturan di udara secara keras. Akibatnya, tubuh mereka sama-sama terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah. Tapi terlihat jelas kalau sosok yang belum ketahuan jari dirinya itu lebih dulu berhasil menguasai diri dan bangkit berdiri.

"Tunggu sebentar, Moksa.'" Sosok yang sekarang dapat terlihat jelas karena sinar bulan tepat jatuh di wajahnya, cepat menjulurkan tangan kanan ke depan. Dia memberi isyarat agar Pendekar Tangan Sepuluh yang akan melancarkan serangan susulan menahan gerakannya.

Mau tidak mau. Pendekar Tangan Sepuluh menahan serangan. Dia adalah seorang tokoh besar. Pantang baginya untuk menyerang, sementara lawannya belum bersiap menghadapi serangan. Dan kesempatan ini dipergunakan Moksa untuk memperhatikan lawannya penuh selidik.

Dan diam-diam, bulu-bulu di tubuh kakek berkumis melintang ini bangun karena cekaman rasa ngeri. Keadaan sosok yang yang merusak mayat Burisrawa ini memang menggariskan hati. Sebagian wajahnya sudah tidak memiliki daging lagi, dan yang terlihat hanya tulang-tulangnya.

"Apa lagi permainanmu, Jahanam?!" sentak Pendekar Tangan Sepuluh, setelah berhasil menguasai perasaannya.

"Tidak ada permainan apa-apa, Moksa," jawab sosok berwajah mengerikan. Menilik keadaannya, orang itu telah berusia lanjut. Dan dia berusaha tersenyum. Tapi karena wajahnya mengerikan, maka senyum itu lebih mirip seringai.

"Yang ada hanya sedikit pemberitahuan pada mu. Kuharap berita ini cukup untuk membantumu sedikit gembira," lanjut sosok itu.

"Tidak usah mengulur-ulur waktu, Iblis Keji! Katakan saja, cepat! Aku tidak punya waktu untuk bermain-main denganmu lebih lama lagi!" sentak Pendekar Tangan Sepuluh bernada tidak sabar.

Moksa sebenarnya bukan hanya tak ingin segera menjatuhkan tangan keras pada lawannya yang lihai ini. Tapi dia juga lelah berpikir saat mengingat-ingat kakek berwajah mengerikan yang telah mengenalnya. Malah dia seperti pernah mendengar suaranya. Pendekar Tangan Sepuluh tidak ingat lagi.

"Sabar, Moksa. Pemberitahuan ini hanya menyangkut tentang istrimu, yang selalu mengenakan pakaian hijau muda dan anakmu yang baru berusia paling lama dua tahun. He he he...!"

Kakek berwajah mengerikan sengaja menggantung ceritanya. Ingin disiksanya dulu perasaan Pendekar Tangan Sepuluh. Dengan demikian, keterangan ini akan membuat Pendekar Tangan Sepuluh merasa sangat penasaran. Nyatanya Pendekar Tangan Sepuluh memang sampai terlonjak kaget. Sepasang mata dan mulutnya terbelalak lebar.

"Iblis Jahanaml Apa yang kau lakukan atas anak dan istriku?! Ingat! Sedikit saja mereka terganggu, tubuhmu akan kuhancur-leburkan!" desis Pendekar Tangan Sepuluh penuh ancaman.

"He he he...! Betapa gagahnya! Tapi ingin kulihat bukti kebenarannya, apakah sesumbar itu sesuai kemampuanmu, Moksa?!" ujar kakek berwajah mengerikan, terang-terangan mengajukan tantangan.

"Tidak usah berbelit-belit, Manusia Iblis! Katakan, di mana istriku dan apa yang kau lakukan terhadapnya! Bebaskan dia! Kau hanya berurusan denganku. Tidak dengan mereka!" dengus Pendekar Tangan Sepuluh yang masih merasa khawatir akan nasib anak dan istrinya.

"Kau bertanya di mana mereka, Moksa...?! Baiklah kujawab terus terang. Anak dan istrimu ada di... akherat, Moksa! Ha ha ha...! Mereka telah kukirim ke neraka melalui siksaan yang mengasyikkan. Ha ha ha...! Kau bilang tidak ada urusan, Moksa?! Sebenarnya baik kau dan Tunjung Sari mempunyai persoalan denganku! Apakah kau telah lupa peristiwa dua puluh lima tahun yang lalu! Waktu itu aku kau lemparkan ke dalam jurang dalam pertempuran kita memperebutkan Tunjung Sari...?!"

Wajah Pendekar Tangan Sepuluh kontan memucat. Dia ingat betul, peristiwa itu memang amat membekas di dalam otaknya. Dan begitu kakek berwajah mengerikan mengatakan kejadian itu. Moksa baru ingat dengan suara yang sekarang di dengarnya. Dan itu adalah suara....

"Sulang...?! Jadi, kau... Sulang?! Kau..., kau masih hidup?!" Pendekar Tangan Sepuluh terbata-bata dalam mengucapkan perkataannya. Sekarang Moksa mengerti, mengapa kakek berwajah mengerikan ini membunuh istri dan anaknya secara kejam! Ternyata Sulang melakukan balas dendam kesumat yang dipendamnya sejak dua puluh lima tahun lalu.

"Benar! Aku masih hidup, Moksa Keparat! Setan-setan di neraka menolongku hingga tidak mampus di dasar jurang. Tapi sebelah wajahku kehilangan daging, akibat tersayat-sayat dinding jurang yang tajam! Dan keberuntungan rupanya masih berteman denganku. Di dasar jurang, aku menemukan kitab ilmu-ilmu sakti milik seorang tokoh berjuluk Pemabuk Gila, tokoh yang telah lenyap hampir seratus tahun lalu. Dan ilmunya yang bernama 'Dewa Mabuk' dengan sendirinya jatuh ke tanganku. Sepuluh tahun lebih aku melatih diri untuk mempertinggi kepandaianku. Kemudian, aku mengambil seorang murid dan kudidik dengan ilmu-ilmuku. Tak lupa, sambil melatihnya, aku melatih diri pula. Asal kau tahu saja, Moksa Bangsat! Muridku itu jauh lebih kejam dan jahat daripada aku! Sejak kecil dia kudidik agar setelah dewasa menjadi orang yang paling suka melihat orang lain tersiksa! Ha ha ha...!"

Moksa merasa ngeri mendengar suara tawa Sulang yang sarat nafsu-nafsu kejahatan. Tapi, rasa ngeri itu masih kalah besar dengan kemarahan yang melanda akibat kematian istri dan anaknya secara mengerikan. Dan kemarahan hebat yang menggelegak dalam dada yang mendorong Pendekar Tangan Sepuluh menyerang Sulang dengan buas. Sementara laki-laki tua berwajah mengerikan yang memendam dendam dan sakit hati pun menyambutnya!

Begitu pertarungan berlangsung beberapa jurus, Pendekar Tangan Sepuluh harus mengakui kalau Sulang tidak hanya bersesumbar. Kenyataan yang dihadapinya memang demikian. Sulang telah mengalami kemajuan pesat, jauh melampaui kemajuan yang diterima Moksa.

Pendekar Tangan Sepuluh sendiri selama dua puluh lima tahun, tidak berpangku tangan saja. Dia juga berlatih. Tapi tokoh Sulang yang dulu memiliki kepandaian jauh di bawah Pendekar Tangan Sepuluh, mampu melampauinya! Sulang yang sekarang tidak hanya memiliki tenaga dalam dan kecepatan gerak di atas Pendekar Tangan Sepuluh. Tapi juga memiliki ilmu-ilmu aneh yang menyulitkan Pendekar Tangan Sepuluh dalam melancarkan serangan balasan.

Kedahsyatan ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat' yang biasanya amat ampuh untuk menjatuhkan lawan tangguh, sekarang pupus. Tidak pernah sekali pun tangan Moksa mendarat di sasaran. Bahkan perlahan Pendekar Tangan Sepuluh berhasil dihimpit lawannya. Setiap serangannya, tidak pernah mengenai sasaran. Sebaliknya serangan balasan yang dikirimkan Sulang, senantiasa merepotkan Moksa.

Desss! Bukkk!

Entah di jurus keberapa, tahu-tahu tubuh Pendekar Tangan Sepuluh dan Sulang sama-sama terjengkang ke belakang. Hanya saja, dari mulut Moksa keluar deras darah segar. Memang pada saat yang hampir bersamaan, pukulan tangan kanan terbuka Sulang mendarat di dada Pendekar Tangan Sepuluh. Sebaliknya, tendangan kaki kanan Pendekar Tangan Sepuluh menyerempet paha kanan Sulang.

* * *

"Ayaaah...!" Jeritan nyaring melengking yang sarat perasaan kaget dan khawatir menyeruak, ketika tubuh Pendekar Tangan Sepuluh dan Sulang sama-sama terjengkang ke belakang.

Dan sebelum gema ucapan itu lenyap, melesat bayangan ungu yang langsung menerjang Sulang. Sementara bayangan yang berwarna kuning melesat ke arah tubuh Pendekar Tangan Sepuluh yang melayang ke belakang. Sosok bayangan kuning cepat menghentikan melayangnya tubuh itu, sebelum berbenturan dengan batang pohon.

"Huakh!" Darah segar langsung menggelogok keluar, ketika Pendekar Tangan Sepuluh baru saja membuka mulut, saat akan berbicara.

"Ayah...!" Sosok berpakaian kuning yang tak lain seorang gadis manis bernama Sri Kanti ini, menyerukan panggilan terhadap Pendekar Tangan Sepuluh dengan penuh rasa cemas.

"Kau... terluka, Ayah?!" lanjut Sri Kunti. Pendekar Tangan Sepuluh masih berusaha tersenyum meski sepasang matanya telah sayu. Biasan wajahnya pun menyiratkan kegembiraan ketika menatap wajah gadis muda yang memapah tubuhnya, dan merebahkannya secara hati-hati di tanah.

"Kau... kau..., Sri Kunti, Anakku?!" tanya Moksa dengan suara terputus-putus karena lukanya yang parah. Hantaman Sulang memang dahsyat.

"Benar, Ayah. Aku Sri Kurti, putrimu yang kau kirim pada Kakek Burisrawa untuk menuntut ilmu," jawab Sri Kunti disertai air mata yang terus menetes. Gadis ini benar-benar tidak kuat menahan rasa sedih melihat keadaan ayahnya yang sudah sekarat. Meskipun demikian Sri Kunti berusaha tidak ingin menangis! Andaikata harus, biar hanya air mata saja yang mengalir. Tidak perlu mengeluarkan suara.

"Kau..., kau sudah menjumpai ibu dan adik mu?! Maaf, Ayah tidak sempat memberitahukan kalau kau mempunyai seorang adik lagi. Semula, Ayah menyembunyikannya agar menjadi kejutan nantinya bagimu, di kala kau pulang menemui kami," suara Moksa semakin terputus-putus.

"Ayah..., Ibu dan adik telah...."

"Aku mengerti," tukas Pendekar Tangan Sepuluh, melihat keraguan Sri Kanti untuk meneruskan ucapannya. Sekarang, kakek berkumis melintang ini yakin kalau Sulang tidak berbohong. Ada rasa nyeri yang bermain-main di hati Moksa. "Mereka telah tewas bukan?"

"Jadi, Ayah sudah tahu pula?!" tanua Sri Kunti serak Biasan wajah gadis ini menyiratkan rasa kaget. Karena sekelebatan dia teringat ucapan Lingga yang mengatakan kalau Pendekar Tangan Sepuluh telah melarikan diri, begitu Lingga datang.

"Aku tidak melihat mereka tewas. Aku hanya mendengar beritanya saja dari pembunuhnya. Dan orang yang membunuhnya adalah orang yang telah melukaiku," jelas Pendekar Tangan Sepuluh mulai tersengal-sengal.

"Kau keliru, Ayah. Pembunuhnya adalah seorang pemuda berpakaian merah. Dia sakti dan kejam bukan kepalang. Aku hampir celaka di tangannya. Untung Dewa Arak datang menolongku," ujar Sri Kunti bernada bangga, apalagi ketika menyebut tentang sosok bayangan ungu yang memang Arya Buana alias Dewa Arak.

"Tapi...," Pendekar Tangan Sepuluh ingin membantah. Tapi, sesaat kemudian, dia teringat penuturan Sulang. "Orang yang kau maksudkan itu adalah murid dari orang yang mengalahkanku, Kunti."

Sri Kunti terdiam. Gadis berpakaian kuning ini sama sekali tidak menyangka kalau Lingga yang demikian lihai, masih mempunyai seorang guru. Bisa dibayangkan, bagaimana kesaktiannya. Pantas saja ayahnya sampai terluka parah.

"Mengapa Ayah datang ke tempat ini?! Dan, mengapa tempat ini jadi demikian berantakan?" Sri Kunti menatap sekeliling, dengan pandangan heran.

"Kau tidak tahu, Kunti. Malapetaka besar menimpa gurumu. Ada seorang tokoh yang telah membunuh gurumu. Melihat tindakannya yang mengobrak-abrik tempat ini, pasti pusaka-pusaka peninggalan leluhur majikan gurumu yang dicarinya. Aku tahu hal ini, atas pemberitahuan Sakala. Entah ke mana sekarang burung itu. Kau harus.. , akh...!"

Kepala Pendekar Tangan Sepuluh terkulai, sebelum sempat menyelesaikan ucapannya. Luka dalamnya yang terlampau parah, telah mengirim nyawanya ke alam baka menyusul istri dan anaknya yang kedua.

"Ayaaah..." Sri Kunti menjerit keras sambil mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya. Gadis ini masih berharap agar ayahnya masih hidup. Tapi setelah beberapa kali diguncang-guncangkan, tubuh itu tetap tidak bergeming. Kini disadari kalau ayahnya telah pergi meninggalkannya. Pendekar yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu kini tewas.

Sri Kunti memeluk tubuh ayahnya yang telah tidak bernyawa lagi, sebentar. Tidak ada suara tangis yang keluar dari mulut mungil berbibir indah itu. Gadis itu mampu tetap tegar, kendati orang orang yang disayanginya satu persatu pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

Sri Kunti hati-hati membaringkan tubuh ayahnya di tanah seperti khawatir tubuh itu akan pecah. Kemudian pandangannya dialihkan pada tempat di mana Sulang tadi terhuyung. Namun, pandangannya yang menyiratkan dendam langsung tertumbuk pada pertarungan antara Dewa Arak melawan Sulang.

Pertarungan telah berlangsung hampir lima puluh jurus. Namun belum ada yang keluar sebagai pemenang. Pertarungan memang masih berlangsung seimbang. Kedua belah pihak sama-sama tangguh. Sama-sama memiliki ilmu aneh yang membuat tubuh mereka terkadang meliuk-liuk seperti mabuk. Tapi di lain waktu, mengejang kaku penuh kekuatan!

Bresss!

Tubuh kedua tokoh sakti yang memiliki ilmu mirip satu sama lain ini sama-sama terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah, ketika terjadi benturan tenaga dalam. Kesempatan di saat tubuh Sulang terguling-guling, dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Sri Kunti. Sambil menggertakkan gigi, tubuhnya melompat menerjang Sulang. Langsung sulingnya dibabatkan ke tubuh laki-laki berwajah menggiriskan itu.

Wusss!

Sulang memang lihai! Dalam keadaan gawat begitu, kepalanya masih sanggup diegoskan. Sehingga hantaman suling yang hampir memecahkan pelipisnya hanya menyambar angin, lewat beberapa jari dari kepala. Namun belum juga Sulang bersiap, Sri Kunti telah menyusuli serangannya. Dan....

Desss!

Tendangan kaki kanan Sri Kunti yang tidak bisa dihindarkan lagi oleh Sulang telah menghantam dadanya. Tubuh Sulang langsung jatuh terguling-guling. Dadanya terasa sesak bukan kepalang. Untung tubuhnya masih sempat terlindungi tenaga dalam. Kalau tidak, nyawanya pasti telah melayang ke akherat!

Sulang adalah seorang tokoh hitam yang cerdik. Dia tahu, keadaan sudah tidak menguntungkan dirinya lagi. Baru Dewa Arak saja sudah merupakan lawan sulit. Belum lagi ditambah Sri Kunti yang cukup lihai! Ini sungguh berbahaya!

Maka Sulang yang cerdik cepat menambah kekuatan, sehingga membuat tubuhnya yang terguling-guling menjadi lebih cepat. Kemudian, dengan sebuah gerakan indah tubuhnya melenting ke atas. Dan begitu menjejak tanah, dia cepat melarikan diri.

"Mau lari ke mana kau, Pengecut?!" Sri Kunti yang tengah sakit hati, tidak mau membiarkan lawannya lolos begitu saja. Bergegas dia mengejar. Tapi hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh Sulang sudah tidak terlihat lagi. Kecepatan lari Sulang memang jauh di atas Sri Kunti! Dengan rasa penasaran yang menggunung di dada, Sri Kunti berbalik dan berjalan ke tempat semula.

"Kau tidak berniat mengejarnya, Arya?!" tanya Sri Kunti ketika melihat Arya masih di tempat semula.

"Aku tak mau membuang tenaga sia-sia, Kunti. Dia telah cukup jauh, sebelum aku sempat berbuat apa-apa. Apalagi, dia memiliki ilmu lari cepat yang sangat tangguh," jawab Arya.

Tapi sebenarnya bukan itu alasan Dewa Arak. Arya merasa tidak senang, ketika melihat Sri Kunti melancarkan serangan di saat Sulang tengah tidak bersiap. Dan yang membuatnya semakin tidak senang, saat itu Sulang adalah lawannya. Jadi serangan yang dilancarkan Sri Kunti, sama artinya mengeroyok Sulang. Hal inilah yang mendorong Arya tak melakukan pengejaran.

Padahal, kalau pemuda berambut putih keperakan ini mau, kemungkinan besar Sulang akan berhasil dikejarnya. Karena, kakek berwajah mengerikan itu tengah terluka yang cukup parah akibat tendangan Sri Kunti.

Sri Kunti tidak mengajukan pertanyaan lagi. Dan saat itulah pandangannya tertumbuk pada sesosok tubuh yang tergolek ditanah, tak jauh dari ayahnya. Tadi, perhatiannya terlalu dipusatkan pada ayahnya dan Sulang. Sehingga, dia tidak melihat adanya sesosok mayat di situ. Seketika Sri Kunti teringat ucapan ayahnya. Dan, mengapa ayahnya berada di sini. Jantung dalam dada Sri Kunti pun berdetak jauh lebih cepat karena mendapat dugaan kalau mayat yang tergolek itu adalah Burisrawa, gurunya.

"Guru...!" Jeritan kekagetan dan ketidakpercayaan langsung terdengar ketika Sri Kunti memeriksa dan mengenali mayat yang tergolek dalam keadaan menggiriskan itu! Dan diiringi keluhan tertahan, Sri Kunti ambruk. Untung Arya cepat menangkapnya sehingga dia tidak terbanting, di tanah.

Arya hanya bisa menghela napas berat penuh perasaan kasihan ketika melihat Sri Kunti pingsan! Dia tahu, gadis berpakaian kuning ini menerima pukulan batin bertubi-tubi yang amat berat.

* * *

TUJUH

Bentakan-bentakan keras yang biasanya keluar saat terjadi pertempuran, membuat Arya terkejut. Kepalanya cepat menoleh ke arah sumber suara itu. Beberapa belas tombak dari tempatnya, berkelebatan sosok-sosok dari dalam sebuah pondok kecil. Gerakan mereka rata-rata gesit, menandakan tingginya kepandaian mereka. Perasaan tertarik membuat Arya yang masih memondong tubuh Sri Kunti, bergerak mendekati tempat itu.

Karena tidak ingin terlibat sebelum tahu masalahnya, Dewa Arak mendekati tempat itu secara hati-hati agar tidak diketahui sosok-sosok yang kelihatannya tengah bersitegang. Dengan berlindung di balik kerimbunan semak-semak serta pepohonan, Dewa Arak berhasil mendekati tempat sosok-sosok itu saling berhadapan dengan sikap saling bertentangan. Suatu tanda kalau mereka mempunyai kepentingan satu sama lain, sehingga menimbulkan perselisihan.

Jantung di dalam dada Arya berdetak kencang ketika mengenali tiga sosok, di antara enam sosok yang berada di situ. Tiga sosok yang tak lain tiga kakek dari Nepal yang mengaku sebagai Kelompok Bulan Sabit. Sedangkan sosok yang lain juga berkulit hitam kecoklatan, dan berhidung melengkung. Hanya saja sosok ini berambut panjang dan beranting-anting yang juga panjang. Sosok ini seorang wanita! Di tangan kanannya yang kurus tergenggam sebatang suling dari ular mati yang dikeringkan.

Sedangkan di sisi lainnya, berdiri dua sosok yang juga kakek-kakek dari Nepal. Tubuh mereka gemuk dan besar mirip seekor kerbau. Dan tangan mereka yang gemuk dan besar mencekal sebatang tongkat besar terbuat dari kayu melingkar. Pada bagian pangkal tongkat terdapat ukiran kepala seekor gajah. Inilah kelompok lain dari Nepal yang mengaku Kelompok Gajah Dewa!

Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, dan dua kakek dari Kelompok Gajah Dewa mengarahkan pandangan ke arah wanita beranting-anting panjang yang juga telah berusia lanjut.

"Gangga Nanda," kakek dari Kelompok Gajah Dewa membuka suara. "Memandang muka Tayatonga yang masih kami hargai, lebih baik beritahukan pada kami di mana pusaka-pusaka itu disembunyikan. Jangan kau paksa kami bertindak tidak sewajarnya terhadap dirimu!"

"Enak saja kau bicara, Bharurendra!" sentak kakek bertahi lalat di ujung hidung yang merupakan juru bicara, sekaligus orang paling berangasan dari kelompok Bulan Sabit "Kamilah yang lebih berhak atas pusaka-pusaka itu daripada kalian."

"Ha ha ha...! Lucu...! Lucu... sekali...! Atas dasar apa kalian mengatakan lebih pantas daripada ku? Bukankah aku memiliki tingkatan lebih tinggi, sewaktu kita semua masih dalam satu kelompok. Kami memiliki tingkat di atas kalian. Tak terkecuali Tayatonga!" bentak kakek yang berhidung besar seperti hidung kerbau dari Kelompok Gajah Dewa. Suaranya keras mengguntur. Dan dia lebih dikenal dengan nama Gitananda.

"Itulah sebabnya kami mengatakan lebih berhak, Bharurendra!" sambut kakek bertahi lalat di ujung hidung. "Karena merupakan murid, maka kamilah yang berhak mewarisi pusaka-pusaka itu. Kalian berdua terhitung orang luar. Dan, tidak berhak ikut campur! Urusan ini adalah urusan dalam antar murid-murid dari Guru Bahadur!"

"Ha ha ha...!" Laki-laki yang bernama Gitananda kembali tertawa bergelak. Sehingga, membuat perutnya yang gendut dan besar terguncang-guncang. "Kalian benar-benar dungu! Lupakah akan ucapan guru kalian, Bahadur sebelum meninggal? Siapa pun yang memegang pusaka-pusaka itu, berhak menjadi pimpinan. Dengan syarat, orang itu berasal dari kelompok kita. Dan kami berdua memenuhi syarat. Bahkan amat memenuhi syarat, karena kami merupakan tokoh tingkat tinggi!"

"Kalau begitu," sambung kakek bertahi lalat di ujung hidung. "Sekarang, Gangga Nanda yang berhak menjadi ketua. Karena, dialah yang telah mendapatkan pusaka-pusaka itu."

"Itu kalau Gangga Nanda berhasil membukitkan kalau pusaka-pusaka itu berada di tangannya," kata Bharurendra, menghentikan tawanya. Karena dia sangat berhasrat untuk menjadi pemimpin kelompok. "Gangga Nanda! Tunjukkan, di mana pusaka-pusaka itu!"

"Sayang sekali, aku belum berhasil mendapatkannya!" sahut Gangga Nanda menggelengkan kepala.

"Jangan bohong, Gangga Nanda!" sentak Bhorurendra, keras. "Kami melihat kau keluar tergesa-gesa dari dalam pondok itu. Kalau tidak telah mendapatkan pusaka-pusaka itu, apa lagi?! Bukankah kau pula yang telah membunuh Burisrawa?!"

"Memang aku telah membunuh Burisrawa. Dan aku telah masuk ke dalam pondok itu. Setelah memeriksa beberapa lama, aku keluar lagi tanpa hasil. Aku yakin bukan di pondok itu pusaka-pusaka tersimpan. Tidak ada ruang rahasia sedikit pun di sana. Pasti Burisrawa menyembunyikannya di tempat lain!"

Bharurendra dan kakek bertahi lalat di hidung saling berpandangan. Mereka tahu, Gangga Nanda tidak berbohong. Dapat mereka rasakan nada kejujuran dalam ucapan nenek beranting-anting panjang itu.

"Kalian dengar...?" tanya Bharurendra, jadi mempunyai kesempatan untuk mengejek kakek bertahi lalat di hidung beserta kelompoknya. "Pusaka-pusaka itu belum berhasil didapatkan. Jadi perebutan dan pencarian masih tetap berlangsung!"

"Tidak akan ada perebutan atau pencarian pusaka lagi." Mendadak saja terdengar sebuah suara tegas. Sehingga membuat enam sosok itu menoleh ke arah asal suara. Dan pandangan mata mereka langsung terbelalak ketika melihat sosok yang mengeluarkan ucapan tadi.

"Tayatonga...?!" Seruan tidak keras, tapi tertahan dan sarat perasaan kaget keluar dari enam sosok itu. Dari arah sebelah kiri tampak berjalan tenang seorang kakek bertubuh sedang bercambang bauk lebat. Sebatang tongkat berujung sebilah logam tajam berbentuk bulan sabit tampak tergenggam di tangan kanannya. Sosok ini tak lain dari Tayatonga.

"Apa arti ucapanmu itu, Tayatonga?!" sentak Bharurendra keras, penuh bernada kemarahan. "Kau hendak mengangkangi sendiri pusaka-pusaka leluhurmu?!"

"Tidak usah pura-pura bodoh, Bharurendra!" sergah Tayatonga, keras, tidak ada kesan menghormat sedikit pun. "Pusaka leluhur?! Seenaknya saja mengangkangi pusaka milik orang lain!"

Gangga Nanda dan tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terperanjat. Mereka tidak terkejut kalau pusaka-pusaka itu menurut Tayatonga bukan pusaka leluhur mereka. Karena sebelumnya Tayatonga juga sudah berkata demikian.

Tapi, sikap Tayatonga yang demikian tidak menghormat terhadap paman-paman gurunya! Yang membuat mereka terkejut. Kelompok Bulan Sabit pun, meski tadi terlibat keributan, tetap bersikap menghormat Kelompok Gajah Dewa. Mengingat Bharurendra dan Gangu Nanda, merupakan adik-adik seperguruan Bahudur, guru mereka!

"Kalianlah yang begitu tidak tahu malu berkeingnan untuk mengangkangi pusaka-pusaka orang lain! Jangan dikira aku tidak tahu semua bualan kalian!"

Semakin kaget Gangga Nanda dan tiga Kelompok Bulan Sabit mendengar kelanjutan ucapan Tayatonga yang semakin kurang ajar, terhadap Bharurendra. Sementara wajah dua dari Kelompok Gajah Dewa semakin merah padam karena maki dan marah.

"Kalian tidak perlu bingung-bingung, darimana aku tahu semua ini! Dan kau Gangga Nanda, serta kalian," ujar Tayatonga sambil mengarahkan perhatian pada istrinya, dan tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit. "Dengarkan baik-baik, ceritaku. Kalian tahu murid-murid guru kita, yang diutus untuk mencari Pendekar Suling Perak?! Mereka semuanya tewas secara aneh. Kalian tahu, siapa penyebabnya? Siapa pembunuhnya? Paman-paman guru kita yang terhormat inilah pelakunya. Mereka berdua pula yang membunuh Pendekar Suling Perak yang telah tidak bersenjata lagi. Akibat ingin mengangkangi pusaka milik orang lain, kedua paman guru kita ini sampai hati melakukan semua tindak kekejian itu. Bahkan sampai membujuk guru untuk membatalkan janjinya, dalam hal memulangkan pusaka-pusaka itu. Mereka berdualah yang telah menghasut guru agar melakukan tindakan tak pantas itu."

"Dia bohong!" sentak Bharurendra, keras sambil menuding jari telunjuk ke arah wajah Tayatonga.

"Mungkin aku berbohong, kalau perkataan itu berasal dari mulutku sendiri. Tapi asal kalian semua tahu saja. Semua keterangan yang kuberikan ini kudapatkan dari mulut guru, di saat ajal hendak menjemput," tegas Tayatonga berapi-api.

"Mampus kau, Tayatonga!" Gitananda yang memiliki sikap berangasan, langsung meluruk ke arah Tayatonga. Dia berlari seperti seekor kerbau dengan tongkat ditusukkan ke arah perut Tayatonga.

Wungngng!

Bunyi menderu keras seperti ada angin badai muncul dari serangan tongkat itu. Dan Tayatonga langsung tahu ada ancaman maut. Tapi hatinya tidak gentar. Bahkan langsung memapak dengan tombak bulan sabitnya.

Trakkk!

Tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke belakang, ketika senjata-senjata itu berbenturan. Kenyataan ini tidak hanya mengejutkan Tayatonga, tapi juga Gangga Nanda dan tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit. Karena sepengetahuan mereka, Bharurendra dan Gitananda tidak memiliki ilmu silat yang cukup. Tapi kenyataannya?! Tayatonga yang demikian lihai itu pun mampu dibuat terhuyung oleh Gitananda yang pendiam.

"Kepalang basah!" teriak Bharurendra, seraya menatap Gangga Nanda dan tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit. Sinar matanya memancarkan hawa maut. "Kalian sudah telanjur tahu rahasia ini. Biarlah kalian pun akan kulenyapkan! Hiaaatt...!"

Bharurendra memutar-mutarkan tongkatnya di atas kepala hingga mengeluarkan bunyi mengaung keras dan gelombang angin menderu keras. Kemudian diawali jeritan keras yang menggetarkan jantung, kakek tinggi besar ini menerjang tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit yang kebetulan berdiri dekat dengannya.

Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terkejut ketika merasakan adanya hembusan angin keras yang mendahului tibanya serangan tongkat Bharurendra. Bahkan hampir saja tubuh ketiga kakek itu terjengkang ke belakang, kalau tidak cepat-cepat mengerahkan tenaga dalam ke kaki untuk memberatkan tubuh. Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, seketika itu pula bermaksud memapak serangan Bharurendra.

Trakkk!

Empat batang senjata langsung berbenturan keras. Dan akibatnya, tubuh tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah, seperti daun-daun kering dihembus angin.

"Terimalah ajal kalian!" sahut Bharurendra seraya melompat memburu lawan-lawannya yang masih terguling-guling. Tongkat bergagang kepala seekor gajah, siap dihantamkan.

Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terperanjat bukan kepalang. Mereka menyadari akan adanya ancaman maut. Tapi, mereka juga tidak mampu bertindak apa-apa. Kekuatan yang mereka tangkis tadi ternyata demikian besar. Sehingga mampu membuat tubuh bagaikan daun diterbangkan angin. Sekujur tubuh mereka terasa lumpuh-lumpuh.

"Hih!" Di saat tongkat Bharurendra hampir menghancurkan kepala tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, mendadak sesosok bayangan melesat memotong jalur yang tengah ditempuh Bharurendra. Dan dalam keikut-sertaannya membela tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, sosok itu langsung mengirimkan tusukan ke arah ubun-ubun Bharurendra.

Tindakan sosok yang tak lain Gangga Nanda ini, membuat Bharurendra terpaksa mengurungkan maksudnya. Dan secepat kilat tangannya dikibaskan ke arah sosok yang tengah melesat ke arahnya.

Wuttt!

"Uh...!" Gangga Nanda mengeluarkan keluhan tertahan ketika dari kibasan tangan Bharurendra menghambur segundukan angin keras, yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung ke samping. Dengan sendirinya, serangan terhadap kakek Nepal bertubuh tinggi besar ini kandas.

Meski serangan Gangga Nanda gagal, tapi tindakannya membuat nyawa tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terselamatkan. Kesempatan yang hanya sesaat itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh mereka untuk bergulingan, menjauhi tempat itu.

Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun berlangsung. Gangga Nanda yang dibantu tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit berusaha keras untuk membendung amukan Bharurendra yang luar biasa! Sedangkan di kancah pertarungan lainnya, Gitananda tengah berjuang keras membuat Tayatonga roboh!

Kedua pertarungan dahsyat itu hanya disaksikan dua penonton. Arya dan Sri Kunti yang telah sadar dari pingsannya. Dewa Arak telah buru-buru memberi isyarat untuk tidak menimbulkan suara gaduh ketika Sri Kunti sadar dari pingsannya.

Dan sekarang, sepasang anak muda berwajah elok ini mengarahkan pandangan penuh perhatian pada kancah pertarungan. Malah Sri Kunti sampai terbelalak ngeri ketika melihat kehebatan Bharurendra dan Gitananda!

Kedua adik seperguruan Bahadur ini bertarung bagaikan macan luka. Yang ada di benak mereka hanya menyerang dan menyerang, tanpa mempedulikan pertahanan sama sekali. Dan ternyata, ketidak-pedulian mereka terhadap pertahanan mempunyai alasan kuat! Ternyata Gitananda maupun Bharurendra sama sekali tidak mampu dilukai. Senjata-senjata yang mengenai melesat, seakan-akan tubuh mereka licin laksana belut.

Hanya ketika Tayatonga, tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, dan Gangga Nanda mengirimkan seranganserangan ke bagian-bagian berbahaya, kedua orang itu mengelak atau menangkis. Makanya, lawan-lawan Gitananda dan Bharurendra selalu mengerahkan serangan pada leher, pelipis, bawah hidung, ubun-ubun, dan pusar!

Dengan terbatasnya bagian-bagian yang dijadikan sasaran serangan, Tayatonga, tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, dan Gangga Nanda sedikit mengalami kesulitan. Maka tidak heran kalau mereka semuanya terus didesak.

"Arrrggghh...!" Mendadak Bharurendra mengeluarkan geraman keras, seperti seekor singa hendak melumpuhkan korbannya. Dan akibat geraman itu memang menggiriskan hati. Untuk sesaat Gangga Nanda, dan tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit yang tenaga dalamnya di bawah Bharurendra, merasakan goyah pada kedua lututnya. Bahkan dada mereka tergetar hebat.

Kesempatan yang hanya sesaat itu tidak terbuang percuma. Bharurendra yang memang sudah merencanakannya, langsung melompat menerjang. Tongkat bergagang kepala seekor gajah diputar cepat, laksana kitiran. Tubuhnya terus melayang ke arah kepala tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit.

Prak, prak, prakkk!

Bunyi berderak keras kontan terdengar, diiringi bermuncratannya darah segar dari kepala tiga kakek yang berasal dari Kelompok Bulan Sabit, kepala tiga orang itu langsung hancur berantakan. Memang, kebetulan saat itu, ketiga orang ini yang berada lebih dekat dengan Bharurendra.

Peristiwa yang berlangsung hanya sekejap ini, cukup membuat Gangga Nanda berhasil menguasai diri. Dan dia segera menghilangkan pengaruh teriakan Bharurendra. Istri Tayatonga segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk lebih cepat memulihkan diri. Tapi, saat itu juga, Bharurendra melompat ke arahnya sambil mengayunkan tongkat.

DELAPAN

"Gangga Nanda...!"

Tayatonga yang sempat melihat adanya ancaman maut terhadap istrinya, tidak bisa tinggal diam. Cepat dia pun melompat meninggalkan Gitananda. Dalam puncak kekalapannya, dia jadi seperti memiliki tambahan tenaga. Tubuhnya melayang dalam kecepatan menakjubkan.

"Bharurendra...!"

Gitananda yang sempat terkesima melihat gerakan Tayatonga, bergerak mengejar di belakang dengan tongkat siap diayunkan. Sementara Bharurendra yang mendengar sambaran angin dari belakang, jadi kaget. Bergegas kepalanya menoleh ke belakang.

Dan begitu kepalanya bergerak menoleh ke belakang, Bharurendra kaget. Sama sekali tak disangka akan sedemikian cepat tibanya serangan. Dia sama sekali tidak tahu kalau Tayatonga seperti mendapat tambahan kemampuan baru, akibat kekhawatiran yang sangat terhadap keselamatan istrinya.

Crattt! Desss!

"Akh...!" Jeritan kesakitan langsung keluar hampir berbarengan dari mulut Tayatonga dan Bharurendra. Karena tepat pada saat ujung logam bulan sabit Tayatonga menggores pelipis, Bharurendra pun mengirimkan gedoran telapak tangan kiri yang telak menghantam dada Tayatonga!

Darah segar pun kontan tumpah dari mulut Tayatonga, seiring terlempar tubuhnya ke belakang. Dan, saat itulah Gitananda yang merasa geram bukan kepalang melihat keadaan Bharurendra yang terhuyung-huyung sambil meraung-raung, siap menusukkan tongkatnya kepada Tayatonga.

"Uh!" Namun Gitananda terpaksa mengurungkan maksudnya, karena mendengar adanya hembusan angin keras yang diiringi sambaran hawa panas. Serangan yang siap hantam itu ditarik kembali. Dan kakek tinggi besar ini pun segera melompat ke belakang.

Begitu menjejak tanah, dia menggeram keras, karena perasaan marah mengetahui ada orang yang berani menghalangi maksudnya. Seketika kepalanya menoleh ke samping. Dan tampak seorang pemuda berambut putih keperakan berdiri di situ. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak!

"Keparat! Kau mencari mampus, hah...?!" Gitananda dalam kemarahannya, tidak mempedulikan orang yang telah menghalangi maksudnya. Yang terpancang di benak hanya membunuh orang yang telah menghalangi tindakannya.

"Hiyaaa!" Dari jarak enam tombak, tanpa menggeser kakinya Gitananda menghentakkan kedua tangannya. Maka berhembuslah angin luar biasa keras.

"Hah!" Dewa Arak yang tidak ingin membuat orang asing itu menjadi sombong, tidak mau kalah gertak. Langsung kedua tangannya dihentakkan.

Blarrr!

Udara seperti bergetar ketika dua pukulan jarak jauh yang berkekuatan amat dahsyat berbenturan di tengah jalan. Tubuh kedua orang itu sama-sama terjengkang ke belakang dan terguling-guling. Namun meski pandangannya agak nanar, Dewa Arak dan Gitananda bergegas bangkit dan bersiap melanjutkan pertarungan.

"Akh...!" Mendadak Gitananda menggeliat-geliat. Dan tubuhnya langsung terhuyung-huyung dengan wajah menyiratkan rasa sakit yang hebat.

Pemandangan ini membuat Dewa Arak mula-mula curiga dan heran. Jangan-jangan, hal ini hanya akal lawannya untuk mendapatkan kemenangan secara mudah. Maka tetap ditatapnya laki-laki dari Nepal itu dengan sikap waspada.

Tapi ketika melihat keadaan Gitananda menggeliat-geliat secara dahsyat bagaikan cacing yang diletakkan di abu panas, Arya mulai menatap dengan sinar mata lain. Sekarang dia tahu kalau Gitananda tidak berpura-pura. Hanya saja yang masih menjadi pertanyaan bagi Arya, mengapa ini terjadi? Dewa Arak sadar, kalau belum melukai lawannya! Tapi, mengapa kakek tinggi besar itu kelihatan sangat menderita?

"Gitananda! Cepat bunuh Tayatonga Keparat itu!" Seruan keras yang dikeluarkan bernada mendesak itu berasal dari mulut Bharurendra. Dan kakek tinggi besar itu, saat ini tengah terhuyung-huyung sambil mendekap luka di pelipis. Luka kecilnya seperti menjadi parah bukan kepalang!

Sementara Gangga Nanda tidak mempergunakan kesempatan itu. Dia sibuk menotok beberapa bagian tubuh Tayatonga untuk sekadar menghilangkan rasa sakit dan pengobatan awal agar luka dalamnya tidak semakin parah!

Di lain tempat, tubuh Gitananda masih tampak menggigil keras. Sekujur otot-ototnya menegang bagaikan tengah menahan benda yang amat berat "Cepat! Sebelum kita mati secara mengerikan!"

"Aaarrrggghhh...!" Gitananda menggeram keras seperti mengerahkan kekuatan terakhir. Namun Arya yang sudah berwaspada sejak tadi, tidak mau membiarkan kakek tinggi besar itu melaksanakan rencananya. Cepat Dewa Arak bergerak menangkis tubrukan Gitananda terhadap Tayatonga.

Bresss!

Tubuh Dewa Arak langsung terpental dan terbanting di tanah. Begitu menyentuh tanah tubuhnya terus berguling-guling. Sedangkan tubuh Gitananda hanya bergoyang-goyang saja. Dewa Arak adalah seorang tokoh pengalaman. Begitu berhasil bangkit dengan sepasang mata berkunang-kunang, dia bersiap menghadapi serangan selanjutnya.

Sekarang Dewa Arak mengerti, pasti Gitananda dan Bharurendra telah menuntut semacam ilmu kebal dan kekuatan dahsyat melalui jalan hitam. Dan karena kelemahannya ditemukan, ilmu itu langsung pupus. Menilik dari Gitananda yang tidak terluka sama sekali, tapi mendadak seperti orang sekarat, Dewa Arak menduga ilmu mereka pasti berhubungan. Jadi bila yang satu luka, yang lain akan ikut merasakan.

Dugaan Dewa Arak memang sebagian besar benar. Gitananda dan Bharurendra menuntut ilmu pasangan yang berhubungan satu sama lain melalui jalan hitam. Dan salah satu persyaratannya adalah, keberadaan pusaka-pusaka milik Pendekar Suling Perak. Tapi sayangnya, sebelum ilmu itu dikuasai secara sempurna, pusaka-pusaka itu telah dikembalikan.

Makanya, Gitananda dan Bharurendra berusaha keras mendapatkannya untuk menyempurnakan ilmu mereka. Apabila tidak dilakukan, bagian-bagian lemah di tubuh mereka akan membahayakan keselamatan mereka! Dan untuk mencegah mati secara mengerikan, orang yang melukai bagian lemah itu harus dibunuh!

Setelah sadar kalau untuk membunuh Tayatonga masih harus berhadapan dengan Dewa Arak. Dan mungkin sebelum maksudnya berhasil, sudah lebih dulu tewas dengan mengerikan!

Tapi ada satu jalan untuk mencegah. Karena yang terluka adalah Bharurendra. Dan Gitananda bisa lolos dari maut, asalkan berada dalam jarak ribuan tombak dari Bharurendra! Setidak-tidaknya, dua ribu tombak! Dan bila jarak itu dicapai, Bharurendra akan tewas sendirian. Karena, hubungan antara mereka telah putus.

Tapi Gitananda belum ingin mati. Maka, tanpa membuang-buang waktu lagi, segera tubuhnya berbalik. Dan dengan terhuyung-huyung, dia berlari meninggalkan tempat itu.

"Gitananda...! Tunggu...!" Seru Bharurendra kaget karena tidak menyangka dengan tindakan Gitananda. Dia tahu, rekannya ingin selamat sendirian. Dan itu tidak diinginkannya. Maka meski dengan langkah terhuyung-huyung, dia berlari mengejar. Tidak akan dibiarkan Gitananda jauh meninggalkan dirinya.

Sementara itu Dewa Arak mengayunkan kaki menghampiri Tayatonga yang masih tergolek di tanah dengan napas tersengal-sengal, ditunggui Gangga Nanda. Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau nyawa Tayatonga tidak akan mungkin bisa diselamatkan. Luka yang dideritanya memang terlalu parah.

Sedangkan tanpa diberitahukan, Sri Kunti keluar dari tempat persembunyiannya dan menghampiri Tayatonga pula. Tayatonga menatap suling perak yang berada di selipan pinggang Sri Kunti. Dia tahu, itu bukan suling perak asli. Tapi, laki-laki itu tidak berkata apa-apa.

"Kau murid Burisrawa?!" tanya Tayatonga, ketika melihat suling perak itu.

"Benar, Kek," jawab Sri Kunti membenarkan.

"Dia istriku," Tayatonga menunjuk pada Gangga Nanda, setelah terlebih dulu melepas senyum pada Sri Kunti.

"Dia yang telah membunuh gurumu, dan mengobrak-abrik tempat suci ini. Kau boleh membunuhnya. Aku tidak mau melindungi orang yang bersalah."

"Biarlah, Kek. Menghargai dirimu, aku tidak mau membuat perhitungan sekarang. Biarlah, Nanti kalau aku bertemu dengannya lagi!"

Dewa Arak dan Tayatonga tersenyum mendengar jawaban itu. Dan kedua orang itu sama sekali tidak tahu kalau di saat mereka tengah tersenyum, di tempat yang cukup jauh dari situ seorang pemuda berpakaian merah tengah berdiri bertolak pinggang sambil memandang ke angkasa. Di bawah, dekat kakinya, tergolek tubuh Gitananda dan Bharurendra yang telah menjadi mayat.

Kedua kakek tinggi besar itu tewas secara biasa, karena telah mewariskan ilmu hitam yang dimilikinya pada Lingga. Dan sekarang, Lingga jadi memiliki kemampuan dahsyat! Tidak hanya memiliki kekebalan, tapi tenaga dalamnya juga berlipat ganda.

Karena, pemuda berpakaian merah itu telah mendapat operan tenaga dari Gitananda dan Bharurendra. Dan memang, perpindahan ilmu hitam itu hanya dilakukan dengan penyaluran tenaga dalam dari orang yang mempunyai ilmu kepada orang yang diberi ilmu.

"Ha ha ha..!" Lingga tertawa bergelak karena tahu kalau kemampuannya telah meningkat pesat. "Tunggulah, Dewa Arak! Kau akan mati secara mengerikan di tanganku, akibat sikap usilanmu, Ha ha ha...!"

Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode Batu Kematian...

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.