Dewa Arak - Raja Iblis Tanpa Tanding
SATU
"Brakkk...!" Pintu sebuah rumah besar berdinding papan hancur berantakan, saat sebuah kaki kokoh menghantamnya. Diiringi bunyi hiruk-pikuk, kepingan-kepingan pintu itu jatuh berderai di tanah.
Seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang tengah berbaring di dipan bambu tersentak kaget. Ia bangkit, dan langsung bersikap waspada. Untung saja senjatanya tidak pernah lepas, walaupun sedang berbaring.
"Mana Singa Hitam Tangan Sepuluh?! Cepat suruh keluar! Atau..., kepalamu kuremukkan!" bentak lelaki tinggi besar berkepala botak yang tadi menendang pintu. Pandangannya seketika beredar ke seluruh penjuru ruangan yang tak begitu luas ini.
Dia berdiri paling depan. Di belakangnya, berdiri dua lelaki yang juga berwajah kasar. Mereka berpakaian sama, berwarna hitam. Menilik sikapnya, rasanya lelaki tinggi besar itu bertindak sebagai pemimpin.
"Maaf. Kurasa Ki sanak semua keliru. Di sini tidak ada orang yang bernama Singa Hitam Tangan Sepuluh. Yang ada hanya aku, Prataksa," jawab si pemilik rumah yang bertubuh tegap dan berpakaian coklat.
"Keparat! Kau berani berdusta, Prataksa?! Rupanya sudah bosan hidup, heh?! Rangkuti, Panca! Geledah rumah ini!" perintah lelaki tinggi besar pada dua anak buahnya.
Tanpa banyak cakap lagi, dua orang berpakaian hitam yang bernama, Rangkuti dan Panca bergegas melaksanakan perintah itu. Tapi sebelum maksud mereka terkabul, laki-laki tua bernama Prataksa telah menggeser tubuh menutupi satu-satunya pintu yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan yang lainnya.
"Kalian hanya dapat melakukannya, apabila aku telah menjadi mayat!" tandas Prataksa mantap.
"Keparat! Rupanya kau sudah ingin mampus, Tua Bangka! Hih...!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Rangkuti yang bertubuh pendek kekar, menerjang Prataksa. Goloknya langsung ke arah perut lelaki berpakaian coklat itu.
Wuttt!
Serangan Rangkuti mengenai tempat kosong, ketika Prataksa menarik kaki kanannya ke belakang sambil doyong ke belakang. Dan begitu serangan Rangkuti berhasil dielakkan, tangan kirinya langsung dikibaskan. Sungguh suatu serangan tak terduga, sehingga...
Prattt!
"Akh...!" Rangkuti memekik keras ketika tangan Prataksa menghantam telak tangan kanannya. Mulutnya kontan meringis, merasakan sakit bukan kepalang. Seakan-akan tulang-belulang remuk-remuk. Begitu ke-rasnya hantaman lelaki berpakaian coklat itu, sehingga golok Rangkuti pun sampai terlempar.
Tapi sebelum Prataksa melancarkan serangan susulan terhadap Rangkuti, Panca telah lebih dulu menyerang dengan sebuah bacokan ke arah leher.
Wuttt, wuttt!
Kembali serangan anak buah lelaki tinggi besar itu hanya menemukan tempat kosong. Prataksa ru-panya lebih cepat melompat mundur, sehingga semua serangan hanya lewat di hadapannya.
"Keparat!" geram lelaki tinggi besar itu sambil mengepalkan tangannya melihat kegagalan serangan anak buahnya.
Rupanya lelaki berkepala botak itu tidak bisa menahan sabar lagi. Belum lagi gema ucapannya lenyap, dia telah melompat menerjang Prataksa. Dengan kelincahan dan kekuatan pergelangan tangan, goloknya diputar beberapa saat, kemudian diluncurkan ke arah leher Prataksa.
Wungngng!
Kali ini Prataksa tidak berani bertindak sembarangan. Buru-buru sepasang pedang yang tergantung di punggung dicabutnya. Dan seketika dipapaknya luncuran golok itu dengan sepasang pedangnya yang saling menyilang.
Trangngng!
Bunga api berpijar, ketika senjata yang berbeda jenis dan ukuran itu saling berbenturan. Begitu kuatnya benturan itu, mengakibatkan tubuh Prataksa terhuyung-huyung ke belakang. Sementara, laki-laki botak itu langsung melenting ke belakang.
Tepat ketika kedua kaki lelaki tinggi besar itu mendarat di tanah, Prataksa pun telah berhasil memperbaiki keseimbangan tubuhnya. Dan secepat itu pula kedua belah pihak saling gebrak kembali.
Kedua orang yang bertarung itu memang memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang ringan. Tentu saja mereka tidak berani bertindak main-main. Maka dalam gebrakan selanjutnya, seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan.
Tak heran kalau di ruangan yang tak begitu luas ini, semua jadi begitu ramai di sekitar tempat itu. Desing dan dentang senjata beradu meningkahi teriakan-teriakan pertarungan. Meja dan kursi bermentalan ke sana kemari. Dinding dan langit-langit ruangan pun tergetar hebat, akibat angin-angin serangan. Untung ruangan itu cukup, untuk sebuah pertarungan satu lawan satu.
Namun ketika pertarungan sudah memakai jurus-jurus tinggi, mereka agaknya kurang merasa leluasa di ruangan ini. Dan seperti telah disepakati bersama, mereka melesat keluar. Sehingga kini pertarungan sengit pun berlanjut di halaman.
Sementara Rangkuti dan Panca juga bergegas ke luar. Mereka tidak ingin ketinggalan menyaksikan pertarungan yang menarik ini. Sehingga mereka mengundurkan diri dari kancah pertarungan, dan lebih tertarik untuk menjadi penonton saja. Meskipun demikian golok telanjang tetap tercekal di tangan. Mereka memang harus bersiap-siap, apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas pemimpin mereka.
Sementara itu, tanpa diketahui seorang pun, sepasang mata lain tampak menyaksikan semua pertarungan itu secara sembunyi-sembunyi. Sepasang mata yang memiliki bulu mata lentik itu mengintai dari balik dedaunan di atas cabang pohon tinggi yang tak jauh dari situ. Menilik dari sorot matanya, jelas dia sangat menaruh perhatian atas pertarungan itu.
Pertarungan telah berlangsung lebih dari lima puluh jurus. Namun tidak nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pada kenyataannya, pertarungan memang berlangsung seimbang. Meskipun demikian, tidak berarti kepandaian satu sama lain berimbang. Sebenarnya tenaga dalam Prataksa masih lebih unggul sedikit daripada lelaki tinggi besar itu. Tapi dia masih harus mengakui keunggulan ilmu meringankan tubuh lawannya.
Sekarang, pertarungan telah menginjak jurus ketujuh puluh dua. Tapi, keadaan masih tetap berlangsung seimbang. Namun, justru keadaan ini membuat kesabaran lelaki tinggi besar itu hilang. Disadari kalau tidak membuat sebuah perubahan, pertarungan akan tetap berlangsung alot. Maka tanpa terlalu lama memutar otak, lelaki berkepala botak ini telah menemukan suatu cara yang dianggapnya jitu.
Meskipun demikian, lelaki tinggi besar tidak terlalu terburu-buru untuk melaksanakan rencananya, karena hasilnya nanti kurang baik. Maka dengan sabar ditunggunya sampai keadaan menguntungkan.
"Hih!" Di jurus kedelapan puluh dua, lelaki tinggi besar baru mulai melancarkan rencananya. Pada kesempatan yang tepat, dilepaskannya satu tendangan berputar ke kepala Prataksa. Mendapat serangan ini, Prataksa cepat melenting ke belakang, berusaha menghindari. Tepat ketika Prataksa berada di udara, jari-jari tangan kanan memijit satu benjolan yang ada di gagang goloknya. Dan...
Trekkk!
Mengerikan! Mata golok yang semula menempel pada gagangnya, tiba-tiba meluncur ke arah Prataksa yang tengah berada di udara. Munculnya serangan itu membuat Prataksa kelabakan bukan kepalang. Tambahan lagi tibanya serangan itu terlalu mendadak. Sulit baginya untuk menghindar dalam keadaan begini. Dan....
Cappp!
"Akh...!" Lolong kesakitan terdengar dari mulut Prataksa, ketika mata golok lelaki tinggi besar itu menancap di dada sebelah kirinya. Dan sebelum Prataksa sempat berbuat sesuatu, lelaki tinggi besar kembali memijit benjolan lain pada gagang goloknya. Dan....
Brettt!
Seketika mata golok yang semula tertancap di dada kiri Prataksa, kembali meluncur ke arah lelaki tinggi besar ini. Ternyata antara gagang dengan batang golok, terdapat pegas yang dapat memanjang dan memendek, apabila benjolan pada gagang golok dipencet.
"Hugh!" Dengan agak sempoyongan, Prataksa hinggap di tanah. Dan tanpa mempedulikan keadaannya yang terhuyung-huyung, pedang yang terpegang di tangan kanan disimpannya ke punggung. Kemudian, tangan kanannya yang kosong menotok jalan darah di sekitar luka yang cukup besar dan dalam. Sehingga tidak ada lagi darah yang mengalir dari lukanya. Tapi....
"Aaakh...!" Mendadak tubuh Prataksa kembali terhuyung-huyung ke belakang, dengan pedang terlempar dari tangannya. Kedua tangannya langsung digunakan untuk mendekap luka di perutnya.
"Ha ha ha...!" Lelaki tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak melihat keadaan Prataksa.
"Manusia Licik!" maki Prataksa dengan suara berdesis. Bibirnya menyeringai, menderita sakit yang amat sangat. "Kau membubuhi racun di senjatamu. Hhh...! Kini aku mengerti, mengapa kau tidak melancarkan serangan susulan di saat keadaanku tadi tidak memungkinkan. Aku kenal betul orang macam kau! Segala macam cara akan digunakan untuk mencapai kemenangan."
"Ha ha ha...!" Tawa keras bernada ejekan dari lelaki tinggi besar itu yang menyambuti ucapan Prataksa. "Syukurlah kalau kau sudah mengerti, Prataksa! Selagi masih ada kesempatan, cepat beritahukan di mana Singa Hitam Tangan Sepuluh! Cepat katakan, sebelum terlambat. Apabila racun itu sudah menjalar lebih jauh, jangan harap nyawamu akan tertolong!"
Prataksa mengeretakkan gigi, menahan geram. Juga ditahannya sekuat tenaga rasa panas yang membakar di bagian perut. "Aku tidak tahu, Manusia Keji! Dan bila tahu pun, jangan harap akan kukatakan padamu! Kau pikir aku takut mati heh?! Kau salah sangka!" cibir Prataksa cukup lantang meskipun terdengar bergetar.
Lelaki tinggi besar itu mendengus geram mendengar anggapan sepele Prataksa. "Baik kalau itu maumu, Keparat! Aku tahu, kau tidak takut mati. Tapi, apakah kau mampu menanggung siksa racun yang bersarang di tubuhmu?!"
"Apa?! Bangsat! Licik, kau!" Prataksa seketika merasakan dadanya berdebar tegang. Sudah bisa diduga, maksud kata-kata berbau ancaman dari lelaki tinggi besar ini. Dirinya akan mati secara perlahan-lahan, diiringi siksaan yang memilu-kan. Siapa yang sanggup mendapat kematian seperti itu?
Lelaki tinggi besar itu menyunggingkan senyum kemenangan. Sambil melipat tangan di depan dada, dia terus memperhatikan wajah Prataksa. "Ha ha ha...!"
Lelaki tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak melihat keadaan Prataksa.
"Manusia licik!" maki Prataksa dengan suara berdesis. Bibirnya menyeringai, menahan rasa panas yang membakar bagian perutnya. "Kau membubuhi racun di senjatamu. Hhh...!"
"Apabila racun itu telah menyebar dalam darahmu, kau akan menerima penderitaan yang hebat sebelum mati! Rasa panas dan gatal-gatal akan menyertai kematianmu!"
Prataksa merasakan bulu kuduknya meremang! Disadari benar kalau lelaki tinggi besar ini tidak hanya sekadar mengertaknya. Perlahan-lahan rasa ngeri mulai merasuki hatinya. Semakin lama perasaan ngeri itu semakin membesar. Sampai akhirnya, perasaan nekatlah yang meledak!
"Keparat! Manusia keji! Mampuslah kau! Hiyaaa..., ugh!"
Tubuh Prataksa kontan limbung sebelum berhasil menyerang lelaki tinggi besar itu. Kedua tangannya yang semula mengepal keras penuh kekuatan, kini didekapkan di perut. Seringai kesakitan yang tampak menggurat di wajahnya. Tubuh Prataksa membungkuk, merasakan rasa sakit yang menghebat.
"Ha ha ha...!" Lelaki tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak. Dengan mulut menyunggingkan senyum sinis, ditatapnya wajah Prataksa lekat-lekat. "Perlu kau ketahui, Prataksa. Racun itu akan menjalar sangat cepat, apabila kau mengerahkan tenaga dalam. Kau telah merasakannya sendiri, bukan?"
Prataksa sama sekali tidak menanggapi. Di samping rasa sakit yang tengah mendera, dia juga tak merasa perlu menanggapi. Dan tubuhnya terus membungkuk sambil memegang bagian yang dilanda sakit. Perutnya bagai diseruduk seekor kerbau ketika hendak menyerang lelaki berkepala botak tadi.
Tapi dekapan kedua tangan Prataksa pun tidak berlangsung lama. Sebentar saja tangannya sudah sibuk menggaruk-garuk, begitu rasa gatal mulai melanda sekujur tubuhnya, yang disertai rasa panas membakar. Bahkan kini rasa panas dan gatal itu makin lama semakin menjadi-jadi.
Prataksa terus menggaruk-garuk. Dan begitu digaruk, rasa gatal yang melanda malah semakin men-jadi-jadi. Bahkan, bagian tubuh yang terasa gatal se-makin meluas.
"Ha ha ha...! Kau boleh menggaruk terus sampai kulit dan dagingmu habis tercakar, Manusia Bo-doh! Ha ha ha...!" ejek lelaki tinggi besar itu.
"Ha ha ha...!" Rangkuti dan Panca juga ikut menyemaraki. Kedua orang ini sepertinya ikut merasa senang melihat penderitaan Prataksa. Sedikit pun tak ada be-las kasihan di hati mereka. Namun mendadak...
"Bontang! Manusia terkutuk! Jangan harap kuampuni nyawamu!"
Suara makian keras, membuat tawa lelaki tinggi besar dan dua anak buahnya itu berhenti. Dengan wajah berubah, mereka berpaling ke arah asal suara. Sikap mereka tampak penuh kewaspadaan, karena mengenali suara itu.
Wusss!
Diiringi hembusan angin yang cukup keras, sosok bayangan hitam berkelebat. Kemudian tanpa me-nimbulkan suara berarti, sesosok bayangan hitam mendarat di tanah, di depan laki-laki tinggi besar yang dipanggil Bontang.
"Rupanya kau masih berani menemui kami, Singa Hitam?! Kukira akan tetap bersembunyi sampai kami meninggalkan tempat ini!" ejek lelaki tinggi besar bernama Bontang, tajam.
Bontang menyunggingkan seulas senyum penuh ejekan di bibirnya. Dengan sikap memandang rendah ditatapnya sosok berpakaian hitam yang berdiri di hadapannya.
Sosok yang baru tiba itu memang pantas dipanggil Singa Hitam. Wajahnya mirip singa. Kulitnya hitam seperti pakaian yang membungkus tubuhnya yang pendek kekar! Dialah yang dijuluki Singa Hitam Tangan Sepuluh!
"Mulutmu terlalu kotor, Bontang! Kau harus dihajar!" Lelaki bermuka singa yang berjuluk Singa Hi-tam Tangan Sepuluh menggeram. Wajahnya merah padam menyiratkan kemarahan hatinya.
Usai berkata demikian Singa Hitam Tangan Sepuluh mengambil kantong kecil dari kain hitam di pinggangnya. Lalu dilemparkannya kantong itu ke belakang, tanpa mengalihkan pandangan dari Bontang.
"Telan itu untuk menghilangkan rasa gatal yang kau derita, Prataksa," ujar Singa Hitam Tangan Sepuluh.
"Singa Hitam Tangan Sepuluh! Kedatanganku kemari, karena Raja Iblis Tanpa Tanding menginginkan nyawamu! Bersiaplah menghadapi maut!" ungkap Bontang.
Srattt!
Sinar terang tampak memendar ketika Bontang mencabut golok pendeknya. Melihat hal ini, Rangkuti dan Panca pun melangkah maju dengan golok sudah terhunus.
"Kalian mundur! Biar aku yang akan mencoba menjinakkan anjing liar ini," cegah Bontang yang men-getahui tindakan dua anak buahnya.
Mendengar ucapan pemimpin mereka, Rangkuti dan Panca kembali ke tempat semula. Meskipun demikian, golok-golok telanjang masih tetap tergenggam, siap digunakan. Sikap mereka pun tetap waspada. Sementara itu, diawali teriakan nyaring, Bontang melompat menerjang Singa Hitam Tangan Sepuluh. Pada saat tubuhnya masih berada di udara, golok di tangannya dikelebatkan secara mendatar, mengarah tepat ke leher lelaki bermuka singa itu.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan menjadi pertanda, betapa hebatnya tenaga dalamnya. Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu betul tokoh yang bernama Bontang ini cukup lihai. Tak heran kalau Bontang kini menguasai perkumpulan kecil yang bernama Perkumpulan Iblis Merah. Maka, ditunggunya serangan itu hingga menyambar dekat. Kemudian kakinya melangkah ke belakang, seraya mencondongkan tubuhnya.
Wusss!
Mata golok Bontang menyambar, lewat beberapa jengkal dari leher Singa Hitam Tangan Sepuluh. Namun, Bontang memang sudah memperhitungkannya. Maka begitu serangan pertamanya gagal, segera disusulinya dengan sebuah tusukan. Masih leher Singa Hitam Tangan Sepuluh yang dijadikan sasaran.
Tapi untuk yang kesekian kalinya, serangan Bontang hanya menggapai angin. Singa Hitam Tangan Sepuluh lebih cepat merendahkan tubuhnya, dengan menekuk lutut. Sehingga serangan itu meluncur beberapa jari di atas kepalanya.
Ternyata, kali ini Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak hanya bertahan saja melayani serangan lawannya. Secepat tusukan golok Bontang berhasil dielakkan, secepat itu pula dikirimkan serangan balasan.
Lelaki bermuka singa ini melancarkan gedoran dua telapak tangan terbuka ke arah dada. Cepat bukan kepalang gerakannya, sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan yang tidak jelas. Tak aneh kalau tokoh ini mendapat julukan Tangan Se-puluh, di samping julukan Singa Hitam!
"Hehhh...?!" Bontang langsung terpekik kaget, mendapat serangan cepat dan sama sekali tidak disangka-sangka. Namun sebagai tokoh yang sudah terbiasa menghadapi pertarungan, otaknya dengan cepat memberi perintah untuk membuat gerakan kilat. Patut dipuji kecepatan gerak Bontang. Dalam waktu yang demikian singkat, dia melompat dengan kedua kaki tertekuk untuk melindungi dada.
Dukkk!
Benturan keras antara sepasang tangan dan kaki itu tidak bisa dielakkan lagi. Seketika tubuh Bontang terjengkang ke belakang. Rupanya pertahanan lelaki bermuka singa ini lebih menguntungkan daripada lawannya. Kedudukan kakinya cukup kokoh, sehingga hanya terjajar.
Jliggg!
Dengan mulut menyeringai, Bontang mendarat di tanah. Dan secepat itu pula kembali diserangnya Singa Hitam Tangan Sepuluh. Rupanya serangan itu mendapat perlawanan gigih dari lelaki bermuka singa ini. Maka kembali pertarungan sengit tidak bisa dielakkan lagi. Kali ini Singa Hitam Tangan Sepuluh telah pula mengeluarkan senjatanya, sebuah tombak pendek berwarna hitam mengkilat!
Menarik dan begitu sengit pertarungan antara Bontang dengan Singa Hitam Tangan Sepuluh. Apalagi masing-masing telah mengeluarkan seluruh kemam-puan sejak gebrakan-gebrakan awal.
Sementara itu, walau sulit melihat jelas jalannya pertarungan, Rangkuti dan Panca terus berusaha memelototkan mata untuk menyaksikan. Memang gerakan Bontang dan Singa Hitam Tangan Sepuluh terlalu cepat untuk bisa dilihat secara jelas. Yang bisa terlihat hanyalah kelebatan bayangan merah dan hitam yang saling belit, dan sesekali terpisah.
Tidak terasa, pertarungan telah berlangsung hampir empat puluh jurus. Dan selama itu, belum nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Melihat jalannya pertarungan yang demikian lama, Rangkuti dan Panca tidak bisa tinggal diam lagi.
Padahal, Raja Iblis Tanpa Tanding yang merupakan pucuk pimpinan tertinggi telah memerintahkan untuk melenyapkan Singa Hitam Tangan Sepuluh secepatnya. Atas dasar pemikiran itulah, Rangkuti dan Panca ikut terjun dalam kancah pertarungan.
"Hiaaat...!"
Rangkuti mendahului serangan dari arah sebelah kiri, disusul Panca dari kanan.
Singa Hitam Tangan Sepuluh terkejut bukan kepalang. Apalagi saat itu, Bontang tengah melancarkan serangan dari atas kepala. Itu pun masih ditambah lagi dengan kedudukannya yang tidak menguntungkan, ketika baru saja menghindari serangan bertubi-tubi dari Bontang.
Dalam waktu yang demikian singkat, Singa Hi-tam Tangan Sepuluh memutar otak mencari cara un-tuk menyelamatkan diri. Disadari keadaannya memang amat berbahaya!
"Hih!" Singa Hitam Tangan Sepuluh bertindak nekat. Seketika kakinya menjejak tanah, lalu tubuhnya dilemparkan kebelakang. Pada saat yang sama pula tombaknya diayunkan untuk menangkis serangan Bontang!
Trangngng!
Srattt!
"Akh!" Singa Hitam Tangan Sepuluh memekik tertahan. Memang serangan Bontang berhasil dipatahkan. Sementara babatan golok Rangkuti juga berhasil dielakkan. Tapi sayang, babatan Panca gagal dihindarkan. Ujung golok anak buah Bontang itu sempat merobek lebar kulit perutnya. Darah pun langsung menyembur deras dari bagian yang terluka.
Meskipun agak terhuyung-huyung, begitu berhasil menjejak tanah, Singa Hitam Tangan Sepuluh langsung menotok sekitar lukanya. Sehingga darah langsung berhenti mengalir. Dan sebelum Bontang dan anak buahnya melancarkan serangan susulan, lelaki bermuka singa telah lebih dulu melemparkan sebuah benda berwarna coklat berbentuk telur itik.
Darrr!
Untung saja Bontang, Panca, dan Rangkuti telah lebih dulu melempar tubuh ke belakang, menjauhi benda yang langsung meledak menghantam tanah mengepul menghalangi pandangan. Dan begitu asap lenyap disapu angin, Singa Hitam Tangan Sepuluh sudah tidak berada di situ lagi. Demikian pula tubuh Prataksa yang tadi tergolek. Jelas, lelaki bermuka singa itulah yang membawanya kabur.
"Keparat!" Bontang memaki kalang-kabut menyadari buruannya berhasil meloloskan diri. Kini yang terlihat hanya titik hitam yang semakin mengecil di kejauhan, dan akhirnya lenyap. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bontang, Rangkuti dan Panca melesat mengejar.
"Hhh...!" Disertai helaan napas berat, Singa Hitam Tangan Sepuluh menatap Prataksa yang tengah tergolek di tanah berumput yang dikelilingi semak-semak dan pepohonan lebat, sehingga sulit terlihat Raut wajahnya menyiratkan kelesuan bercampur penyesalan.
"Maafkan aku, Prataksa. Aku tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Racun itu telah menyebar di seluruh aliran darahmu, sebelum obat kuberikan," ucap Singa Hitam Tangan Sepuluh bernada penyesalan.
Lelaki bermuka singa itu memang menyesal sekali, karena tidak dapat menolong Prataksa lebih jauh lagi. Sepasang matanya yang tertuju pada Prataksa, menyorotkan penyesalan yang mendalam.
"Kau tidak usah menyesali apa yang terjadi, Singa Hitam. Malah, akulah yang justru berterima kasih padamu. Pertolongan yang kau berikan pada ku, lebih dari cukup. Obatmu telah mengusir perasaan gatal pada sekujur tubuhku. Sehingga, aku tidak mati secara tersiksa. Hhh...! Sulit kubayangkan. Kalau saja kau tidak menolongku, pasti aku akan tewas dalam keadaan daging hancur tercacah!"
Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak menyahuti. Meski pun kata-kata Prataksa benar adanya, tapi tetap saja penyesalan yang bersemayam di hati tidak mampu diusirnya.. Andaikata dia tiba lebih cepat, tentu Prataksa tidak akan bernasib seperti ini. Ditatapnya sekujur kulit tubuh Prataksa yang telah memerah dengan sorot mata iba.
Memang obat Singa Hitam Tangan Sepuluh berhasil melenyapkan rasa gatal-gatal yang menyiksa Prataksa. Tapi, ternyata hawa panas membakar akibat pengaruh racun itu, tidak bisa ditanggulangi. Yang lebih gila lagi, semakin lama hawa panas itu semakin menyengat.
Tak aneh kalau kulit tubuh Prataksa jadi merah seperti udang rebus. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya hawa panas yang membakar. Namun, Pra-taksa mampu menerimanya tanpa mengeluh sedikit pun. Jelas hatinya benar-benar teguh.
"Tidak usah dipusingkan tentang keadaan diriku lagi, Singa Hitam! Percayalah, aku telah siap mati. Dan karena aku tidak ingin mati penasaran, maukah kau memenuhi permintaan terakhir ku?" pinta Prataksa semakin lirih suaranya.
"Katakan, apa permintaan terakhirmu, Prataksa. Aku berjanji akan memenuhinya," sambut Singa Hitam Tangan Sepuluh lembut.
''Terima kasih, Singa Hitam. Kau memang sahabatku yang baik. Aku yakin, kau mampu memenuhinya. Permintaanku sama sekali tidak sulit."
"Apa permintaanmu, Prataksa? Cepat katakan," ujar Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak sabar. Dia memang khawatir, lelaki berpakaian coklat ini keburu tewas!
"Jaga dan lindungilah anakku, Singa Hitam...."
"Wintari?!" Singa Hitam Tangan Sepuluh tersentak, "Mengapa aku demikian pelupa? Ya! Tadi aku tidak melihatnya. Di mana dia sekarang, Prataksa?!"
Prataksa tersenyum kaku melihat tanggapan Singa Hitam Tangan Sepuluh yang demikian penuh keikhlasan.
''Katanya, dia tadi akan pergi ke hutan untuk mencari binatang buruan. Dia ingin makan daging kelinci," jawab Prataksa terbata-bata. "Cari dan temukanlah dia, Singa Hitam. Anggaplah Wintari anakmu sendiri. Syukur-syukur, jika kau bersedia mengantarkannya pada kakek gurunya."
"Akan kujalankan permintaanmu, Prataksa. Ah...! Aku menyesal sekali! Kalau saja aku tidak singgah di rumahmu, mungkin kau tidak akan mendapat musibah seperti ini...."
"Lupakankah, Singa Hitam. Kau tidak bersalah. O, ya. Mengapa kau kembali lagi?"
Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak langsung menjawab pertanyaan. Dia tercenung sejenak. "Aku kembali karena bermaksud memintamu untuk menjadi perantara yang menjelaskan bahaya ini pada para guru-guru dan semua saudara seperguruanku. Karena kalau aku sendiri yang melaksanakannya khawatir tidak akan sampai. Kau tahu kan sebabnya?"
Prataksa mengangguk-angguk. Namun menda-dak saja perutnya terasa mual yang kemudian merayap cepat ke atas. Dan....
"Huaaakh...!" Prataksa memuntahkan darah kental berwarna kehitaman dari mulutnya.
"Prataksa...!" pekik Singa Hitam Tangan Sepuluh cemas. Dia tahu, hidup lelaki berpakaian coklat ini tidak akan lama lagi.
Prataksa berusaha tersenyum untuk menunjukkan kalau tidak apa-apa. Tapi karena saat itu ten-gah merasakan sakit yang amat sangat pada dadanya, senyum yang ditunjukkannya jadi lebih mirip seringai kesakitan.
"Hhh..., hhh.... Aku..., aku tidak ta.... Akh...!" Prataksa menghembuskan napas terakhir sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya. Namun meskipun demikian, sudah bisa diduga oleh Singa Hitam Tangan Sepuluh kelanjutannya.
Singa Hitam Tangan Sepuluh menatap mayat sahabatnya penuh rasa duka. Meskipun memang tidak ada pekik atau air mata kedukaan, tapi hatinya benar-benar sedih bukan kepalang. Dia lantas berdiri, sambil tetap menundukkan kepala sebagai penghormatan terakhir pada rekannya.
Sang Surya sudah sejak tadi menampakkan diri. Cahayanya yang lembut menerangi persada. Bias-bias sinarnya menembus hutan, melalui celah-celah daun. Sehingga, membentuk garis-garis sinar yang terlihat indah dipandang mata.
Kicau burung dan teriakan penghuni hutan lainnya menyemaraki suasana pagi yang hampir be-ranjak siang. Di saat seperti itu tampak seorang gadis cantik berpakaian kuning tengah melangkah melewati deretan pepohonan.
Kulitnya yang putih, halus, dan mulus dijilati sinar-sinar matahari pagi yang menye-jukkan. Dengan rambutnya yang berwarna hitam mengkilat dan berkepang, dia semakin cantik untuk dinikmati. Usianya tak akan lebih dari dua puluh tahun.
"Hhh..., sial! Sejak tadi tak terlihat kijang see-kor pun. Hhh...! Bisa-bisa aku pulang dengan tangan kosong," keluh gadis berpakaian kuning itu dengan wajah muram, seraya menghenyakkan pantatnya di rerumputan.
Mendadak gadis berpakaian kuning menoleh ke belakang, ketika pendengarannya yang tajam menangkap adanya langkah-langkah kaki dari arah belakang. Seketika itu pula, jantungnya berdebar tegang. Namun secercah harapan timbul di hatinya. Dia berharap, mudah-mudahan saja itu adalah langkah kijang!
Ternyata, harapan gadis berpakaian kuning itu langsung pupus, ketika mendapatkan di belakangnya hanya berdiri serombongan orang yang memiliki wajah dan penampilan kasar. Pakaian yang mereka kenakan seragam, yakni rompi terbuat dari kulit beruang. Bergegas gadis berpakaian kuning bangkit. Disadari kalau orang-orang yang baru datang itu tidak bermaksud baik. Seketika dipasangnya sikap waspada.
"Siapa kalian? Dan, apa maksud kalian datang kemari?!" tanya gadis berpakaian kuning itu berusaha bersikap tenang. Namun jari-jari tangan kanannya sudah meraba pinggang sebelah kanan, yang terselip sebuah kipas hitam. Rupanya dia telah siap bertempur.
"Ha ha ha...!"
Namun pertanyaan gadis berpakaian kuning itu malah disambut tawa bergelak dari orang-orang ber-tampang beringas ini. Karuan saja gadis berpakaian kuning itu jadi merasa heran bercampur marah. Dia telah bertanya baik-baik, tapi malah dijawab dengan tawa keras dan tidak sedap didengar. Meskipun demikian, dicobanya untuk tetap bersabar.
"Kau keliru, Ni sanak! Seharusnya bukan kau yang mengajukan pertanyaan, tapi kami!" sahut seorang yang berdiri paling depan, setelah terlebih dulu mengangkat tangan kanannya ke atas. Sehingga, suara gelak tawa itu langsung terhenti. Agaknya, orang ini adalah pemimpin dari orang-orang ini.
Si pemimpin ini bertubuh kekar, penuh otot melingkar. Kepalanya botak. Di tangan kanannya tergenggam sebuah gada panjang dan berduri. Melihat dari bentuknya, sekali lihat saja orang tahu kalau gada itu berat sekali! Namun hebatnya, lelaki kekar berotot itu tidak terlihat keberatan sama sekali. Dari sini saja mudah bisa diketahui kalau tenaga dalamnya tinggi.
"Aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu, Kisanak?" kata gadis berpakaian kuning dengan alis berkernyit dalam.
"Kau memang bodoh atau berpura-pura goblok, Ni sanak. Perlu kuberitahu kami tengah mempunyai sebuah persoalan. Dan kami tidak suka kau malah meruwetkan persoalan itu. Maka jangan berpura-pura, sebelum nasibmu kuserahkan kepada anak buahku!"
Seiring selesai ucapannya, lelaki kekar berotot itu menudingkan jari telunjuknya ke belakang. Bagai diperintah, gadis berpakaian kuning itu mengikuti arah tudingan jari telunjuk itu. Dan seketika itu pula, hatinya mengkelap. Belasan orang yang berpakaian dari kulit beruang itu memandangi dengan tatapan bagai menjilati tubuhnya. Sorot mata mereka bagai serigala melihat anak domba gemuk! Liar dan penuh nafsu!
Agaknya lelaki kekar berotot itu memang kenyang pengalaman. Maka dia langsung tahu perasaan yang tengah berkecamuk dalam hati gadis berpakaian kuning yang sepertinya masih polos dan lugu.
"Nah! Sekarang kuceritakan persoalannya," lanjut lelaki kekar berotot penuh nada kemenangan. "Kami tengah mengejar-ngejar seorang lelaki setengah tua berwajah mirip singa. Dia berpakaian hitam dan bertubuh pendek. Aku yakin, kau melihatnya. Karena kami tahu jelas, kalau arah larinya adalah kemari. Sekarang, katakanlah. Di mana dia sekarang?"
"Ke arah sana!" jawab gadis berpakaian kuning itu seraya menudingkan jari telunjuknya ke selatan, ke arah rumahnya sendiri. "Semula dia berada di rumah yang ada di sana. Tapi, terus menempuh perjalanan ke selatan".
''Terima kasih atas keteranganmu, Ni sanak. Sekarang, kemarilah. Mendekat padaku," ujar lelaki kekar berotot dengan pandang mata menyiratkan gairah.
"Aku tidak mau! Aku ingin pergi!" sergah gadis berpakaian kuning itu keras, karena menyadari akan adanya bahaya mengerikan yang siap mengancam.
"Bukankah kau telah berjanji?!" Laki-laki kekar berpakaian kulit beruang itu terkekeh.
"Rupanya kau tuli, Ni sanak! Janjiku itu hanya menyangkut anak buahku! Bukan denganku. Kau mendengarnya, kan?!"
"Kau curang! Licik!" maki gadis berpakaian kuning itu kalap sambil melangkah mundur.
Wajah lelaki kekar berotot itu berubah kelam. "Rupanya kau lebih suka diperlakukan kasar, Wanita Dungu! Baik! Kalau itu maumu, akan ku turuti!"
Setelah berkata demikian, lelaki kekar berotot itu melangkah maju. Kedua tangannya seketika diulurkan untuk memeluk tubuh gadis berpakaian kuning.
Wuttt!
Namun lelaki kekar berotot itu hanya memeluk angin, karena sasarannya telah melangkah mundur sambil menghunuskan senjatanya.
Trekkk!
Di tangan kanan gadis berpakaian kuning telah tergenggam sebuah kipas berwarna hitam, yang rangkanya terbuat dari baja-baja berujung runcing.
"Keparat! Berani kau mempermainkan Beruang Kepala Baja?" bentak lelaki kekar berotot, marah. Lelaki kekar berotot yang ternyata berjuluk Be-ruang Kepala Baja kembali melancarkan serangan. Hanya saja kali ini serangan yang dikirimkan tidak selunak sebelumnya. Disadari kalau gadis berpakaian kuning itu bukan orang lemah.
Wut, wut, wut!
Beruang Kepala Baja melancarkan sampokan bertubi-tubi ke arah bahu gadis berpakaian kuning ini. Namun rupanya meskipun tengah dilanda amarah, le-laki kekar berotot itu masih merasa sayang untuk membunuh korbannya yang demikian cantik.
Gadis berpakaian kuning gugup menghadapi serangan lawannya. Dalam pandangan matanya, tangan Beruang Kepala Baja seperti berubah puluhan banyaknya. Sehingga membuat pandangannya berkunang-kunang
Meskipun demikian, gadis berpakaian kuning itu tidak pasrah begitu saja menerima nasib yang akan menimpa dirinya. Memang, dia tidak bisa melihat jelas serangan yang tengah meluncur ke arahnya. Tapi keinginan untuk menyelamatkan diri, membuatnya berusaha sekuat tenaga menjegal serangan Beruang Kepala Baja. Kipas bajanya seketika dikibas-kibaskan untuk menjegal serangan yang akan meluncur ke arahnya. Namun...
Wut, wut, wuttt!
Tappp!
Tukkk!
"Akh...!" Rentetan kejadian yang berlangsung sukar untuk bisa diikuti mata biasa. Tahu-tahu, gadis berpakaian kuning itu memekik pelan, kemudian tubuhnya roboh di tanah. Memang, dengan kecepatan luar biasa, Beruang Kepala Baja telah menangkap pergelangan tangan gadis berpakaian kuning, lalu membuatnya tertotok lemas.
"Ha ha ha...! Sekarang kau baru tahu kesaktian Beruang Kepala Baja, Wanita Bodoh! Dan atas penolakanmu tadi, kau akan mendapat hukumannya. Kau akan kuperkosa sampai aku puas. Kemudian, digilir oleh semua anak buahku sampai kau mati!"
"Manusia iblis! Lebih baik kau bunuh saja aku!" teriak gadis berpakaian kuning itu penuh rasa takut.
Kalau saja mampu bergerak, tentu lelaki kekar berotot itu akan diserangnya mati-matian. Tapi, sayang hal itu tidak bisa dilakukan. Sekujur tubuhnya terasa lemas bukan kepalang. Jangankan menyerang, untuk menggerakkan ujung jarinya pun tidak mampu.
"Ha ha ha...! Membunuhmu? Hanya orang bodoh yang akan membunuh seorang dara cantik sepertimu, tanpa memanfaatkannya lebih dulu! Dan aku bukan orang bodoh! Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa yang belum putus, Beruang Kepala Baja membungkuk. Kemudian tangannya pun bergerak.
Brettt!
"Auw...!"
Bunyi kain yang terobek terdengar ketika ta-ngan Beruang Kepala Baja yang berotot dan penuh bu-lu, menjambret baju gadis berpakaian kuning itu di bagian dada. Seketika, dua bukit kembar indah me-nantang pun menyembul keluar.
''Iblis keji! Bunuh saja aku!'' jerit gadis berpa-kaian kuning dengan suara mengandung isak, karena rasa takutnya.
"Ha ha ha...!"
Hanya tawa gelak dari Beruang Kepala Baja dan anak buahnya yang menyambuti jerit ketakutan gadis berpakaian kuning ini. Tawa penuh nafsu birahi yang telah menyelimuti hati dan pikiran, begitu melihat kulit tubuh gadis berpakaian kuning ini, yang putih mulus!
Gadis berpakaian kuning ini semakin ketakutan saja. Apalagi ketika tangan Beruang Kepala Baja kembali terulur ke pakaian bagian bawah. Tapi sebelum jari-jari tangan itu mencapai sasaran...
Wuttt! Tukkk!
"Akh!" Beruang Kepala Baja menjerit kesakitan ketika sebuah batu sebesar ibu jari tangan menghantam telak punggung tangannya. Seketika rasa sakit yang amat sangat menyerang bagian yang terkena timpukan tadi itu. Sehingga, maksud untuk menjarah sekujur tubuh gadis berpakaian kuning diurungkannya.
"Keparat! Orang gila dari mana yang berani mengganggu Beruang Kepala Baja?!" teriak lelaki kekar berotot ini keras bernada ancaman. Seketika pandangan ditujukan ke arah batu tadi berasal. Sementara seluruh anak buahnya juga menoleh ke arah yang sama. Dengan sendirinya, gadis berpakaian kuning terlupakan.
Kini dalam jarak kira-kira empat tombak dari mereka, terlihat sepasang anak muda. Yang seorang adalah pemuda tampan berpakaian ungu. Wajahnya yang jantan memiliki rambut berwarna putih keperakan! Mirip rambut yang dimiliki orang berusia lanjut! Rambutnya yang seperti benang-benang perak itu terurai sampai ke pinggang. Sehingga guci yang terletak di punggung jadi tertutupi.
Sementara di sebelahnya berdiri seorang gadis cantik dengan kulit putih dan halus. Pakaiannya putih. Rambutnya panjang terurai sampai ke pinggang. Sehingga semakin menambah keelokan wajahnya. Namun bertenggernya sebatang pedang di punggung, menandakan kalau gadis berpakaian putih ini bukan wanita lemah.
Dan dengan langkah tenang menyorotkan kepercayaan diri yang besar, sepasang anak muda yang sama-sama berwajah elok ini menghampiri Beruang Kepala Baja dan gerombolannya.
Sementara Beruang Kepala Baja yang memang tengah murka bukan kepalang kontan menggeram. "Gggrrrhhh...! Akan kuhancurkan seluruh tu-lang-belulang kalian," desis lelaki kekar berotot ini sambil menyambar gada berduri yang tadi dititipkan pada salah seorang anak buahnya, ketika hendak memaksakan kehendaknya pada gadis berpakaian kuning.
"Kau selamatkan gadis itu, Melati," ujar pemuda berambut putih keperakan itu pada gadis berpakaian putih itu.
"Baik, Kang," sahut gadis yang dipanggil Melati, patuh. Memang, gadis berpakaian putih itu bukan lain dari Melati, putri angkat Raja Bojong Gading. Sementara pemuda berambut putih keperakan itu tak lain dari Arya Buana yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak.
Dengan sikap tenang, Dewa Arak menghampiri Beruang Kepala Baja yang juga tengah melangkah ke arahnya. Ketika jarak antara mereka tinggal beberapa langkah lagi, Beruang Kepala Baja berhenti. Dengan senyum terkembang di bibir, Dewa Arak juga berhenti.
"Kau... kau... Apakah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya Beruang Kepala Baja setengah terbata-bata. Entah bagaimana, lelaki kekar berotot ini mendadak teringat akan selentingan kabar mengenai tokoh muda yang julukannya menggemparkan dunia persilatan.
"Kalau benar, mengapa? Dan kalau tidak, kenapa, Kisanak?" Dewa Arak malah balas bertanya.
"Keparat! Tutup mulutmu, Bangsat kecil! Siapa pun adanya kau, apabila aku tengah bertanya, haram hukumnya mengajukan pertanyaan pula! Dan kau wajib menjawab, tahu?!" sergah Beruang Kepala Baja berang.
"Tidak usah banyak cakap, Kisanak! Majulah cepat! Aku sudah tidak sabar lagi untuk mematahkan tanganmu yang kurang ajar itu!" sambut Dewa" Arak, tak kalah marah. Pemuda berambut putih keperakan ini memang mudah marah, apabila melihat penjahat yang suka memperkosa wanita. Dia memang sudah bertekad untuk membasmi penjahat semacam itu! Maka tak heran kalau dia tidak ragu-ragu lagi mengajukan tantangan.
"Keparat! Siapa pun adanya kau, rupanya perlu merasakan kerasnya gada Beruang Kepala Baja! Barangkali saja kau bisa bersikap lebih sopan! Hiyaaat...!"
Tanpa memberi kesempatan lagi pada Dewa Arak untuk bersiap-siap, Beruang Kepala Baja lang-sung melancarkan serangan. Gada berduri yang ter-genggam di tangan kanannya langsung diayunkan ke arah kepala Dewa Arak.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengawali meluncurnya serangan, menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam dikerahkannya. Begitu kuatnya, sehingga hanya sekali hantam saja, sebongkah batu karang sebesar kerbau bunting mampu diluncurkan dengan hanya sekali pukul. Maka bisa dibayangkan apabila menimpa diri manusia.
Tapi orang yang dihadapi adalah Dewa Arak! Seorang tokoh sakti yang sungguhpun memiliki usia demikian muda, namun memiliki pengalaman amat luas. Maka menghadapi serangan itu, Arya sama sekali tidak menjadi gugup.
"Hup!"
Wusss!
Hanya melangkahkan kaki kanan ke belakang sambil mendoyongkan tubuh, Dewa Arak telah mem-buat serangan gada berduri Beruang Kepala Baja hanya mengenai tempat kosong. Senjata yang mengerikan itu lewat beberapa jari dari wajahnya. Sehingga, sambaran anginnya yang keras, membuat sekujur pakaian dan rambut pemuda berambut putih keperakan itu berkibar keras.
Sementara Dewa Arak tidak hanya sampai di situ. Begitu gada lawan telah bergerak meluncur lewat di depan wajahnya, tangan kanannya cepat digerakkan untuk menangkap pergelangan tangan kanan lawan.
Tappp!
Cepat bukan kepalang gerakan tangan Dewa Arak. Sehingga sebelum Beruang Kepala Baja menyadari, pergelangan tangan kanannya telah tercekal.
"Heh?!" Beruang Kepala Baja berseru kaget, namun tidak menjadi gugup. Berkat pengalamannya bertempur selama ratusan kali, langsung disambutnya cekalan tangan Dewa Arak. Tangannya seketika ditarik agar bisa lepas dari cekalan tangan Dewa Arak. Tapi maksudnya ternyata sia-sia. Jangankan melepas, untuk mengguncangkannya tidak mampu.
Meskipun tahu kalau usahanya sama sekali ti-dak membuahkan hasil, Beruang Kepala Baja tidak menyerah begitu saja. Apalagi dia terhitung orang ke-ras kepala yang sukar menyadari kalau orang lain ternyata memiliki kemampuan di atasnya. Itulah sebabnya dia terus memaksakan diri untuk membebaskan tangannya dari cekalan Dewa Arak. Namun saking memaksakan diri, sampai-sampai terdengar suara melenguh dari mulutnya.
Sementara itu, wajah Dewa Arak tampak malah biasa-biasa saja. Apalagi tangannya yang sedikit pun tidak terlihat ada tanda-tanda kalau sedang mengerahkan tenaga.
"Sekarang giliranku, Kisanak," kata Dewa Arak setelah membiarkan Beruang Kepala Baja berusaha keras untuk membebaskan diri dari cekalannya beberapa saat. Usai berkata demikian jari-jari tangan Dewa Arak bergerak meremas.
Krrrkkk!
"Aaakh...!" Beruang Kepala Baja menjerit kesakitan, seiring terdengarnya suara berderak pelan tulang pergelangan tangannya yang hancur. Seketika itu pula, genggaman jari tangannya pada gada mengendur. Sehingga senjata berat itu pun jatuh berdebuk di tanah.
Tindakan Dewa Arak tidak hanya sampai di situ saja. Sehabis mencengkeram, tangannya langsung bergerak membetot.
"Akh...!" Untuk yang kedua kali Beruang Kepala Baja mengeluarkan jerit tertahan. Tulang sambungan siku dan bahunya langsung terlepas, ketika Dewa Arak melancarkan betotan. Akibatnya, tubuhnya tertarik ke arah Dewa Arak. Maka saat itulah kaki kanan Dewa Arak mencuat ke arah perutnya, dan tidak bisa dihindari lagi. Sehingga....
Wuttt! Bukkk!
"Hughk!" Beruang Kepala Baja kontan menjerit tertahan, begitu kaki Dewa Arak menghantam telak perutnya. Tubuh lelaki kekar berotot itu langsung terlipat ke depan. Wajahnya merah padam, dan sepasang matanya melotot. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar saja.
Sesaat kemudian, tubuhnya terkulai dan ambruk di tanah. Tendangan Dewa Arak yang telah menghancurkan seluruh bagian dalam tubuhnya, membuatnya harus pergi untuk selama-lamanya meninggalkan dunia ini.
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat, sehingga gerombolan anak buah Beruang Kepala Baja tidak sempat berbuat apa-apa. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, Beruang Kepala Baja telah keburu tewas! Sehingga, anak buahnya tak sempat membantu.
Tarikan wajah kebingungan dan sorot mata penuh perasaan tidak percaya memancar jelas dari seluruh anak buah gerombolan Beruang Kepala Baja. Nyatanya mereka memang belum menerima kalau Beruang Kepala Baja telah tewas hanya dalam beberapa gebrakan saja! Sulit dipercaya!
Untuk beberapa saat, anak buah Beruang Kepala Baja hanya terpaku. Namun ketika kesadaran telah kembali, mereka yang berjumlah tak kurang dari dua belas orang itu kontan murka!
Srat, srattt, sringngng!
Suara denting dan gerakan senjata kontan ter-dengar begitu belasan anak buah Beruang Kepala Baja mengeluarkan senjata masing-masing. Lalu diiringi teriakan keras memekakkan telinga, mereka menyerbu Dewa Arak. Maka seketika itu pula belasan senjata tajam yang terdiri dari pedang dan golok berkelebatan menyambar berbagai bagian tubuh Arya.
Tapi, ternyata Dewa Arak tetap bersikap tenang. Malah sedikit pun tidak nampak adanya tanda-tanda akan menangkis atau mengelakkan serangan. Tentu saja hal ini membuat anak buah Beruang Kepala Baja heran. Meskipun demikian, mereka tetap saja melanjutkan serangan pada Dewa Arak disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
Tak, tak, takkk!
Bunyi keras terdengar ketika mata senjata-senjata itu menghantam berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Namun hasilnya? Nyatanya tubuh Dewa Arak, seperti tidak terdiri atas kulit dan daging, melainkan, tersusun dari logam keras!
"Hehhh...?!"
Suara keterkejutan langsung terdengar susul-menyusul dari mulut belasan orang anak buah Be-ruang Kepala Baja. Dengan mata kepala sendiri, mere-ka melihat senjata-senjata itu mendarat di tubuh Dewa Arak. Tapi apa yang terjadi? Bahkan sebaliknya tangan yang menggenggam senjata jadi terasa lumpuh. Dan yang lebih gila lagi, mata senjata mereka sudah gompal! Berganti-ganti mereka memandang Dewa Arak, lalu kembali memandang senjata masing-masing.
"Puas?!" tanya Dewa Arak tanpa nada ejekan.
Ucapan Dewa Arak menyadarkan belasan orang bertampang kasar yang masih terpaku takjub disertai rasa sakit pada tangan. Dan seiring timbulnya kesadaran, belasan orang itu saling berpandang satu sama lain. Lalu sebentar saja mereka telah membuat kata sepakat dalam tatapan tadi.
Sing, sing, sing!
Suara berdesingnya senjata-senjata kembali mengiringi meluncurnya serangan. Dan seperti juga sebelumnya, anak buah Beruang Kepala Baja menerjang Dewa Arak dari berbagai penjuru. Namun kali ini Dewa Arak tidak berdiam diri saja. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang berada jauh di atas lawan-lawannya, mudah saja semua serangan yang tertuju ke arahnya dielakkan. Bagaikan bayangan, tubuhnya menyelinap di antara sambaran senjata-senjata lawannya.
Sambil mengelak, Dewa Arak mengirimkan serangan ke arah lawan-lawannya. Kedua kaki dan tangannya berkelebat cepat! Ke mana pun tangan dan kaki tokoh muda yang menggemparkan itu meluncur, pasti ada satu tubuh yang terpental ke belakang diiringi jerit kesakitan.
Satu persatu anak buah Beruang Kepala Baja roboh ke tanah dan tidak mampu bangkit lagi. Meskipun demikian, tidak ada satu pun yang mati! Dewa Arak hanya membuat mereka tidak mampu melanjutkan pertarungan saja.
Hanya dalam waktu singkat, tak ada lagi satu pun anak buah Beruang Kepala Baja yang masih berdiri tegak di tanah. Mereka semua tergolek di tanah dalam keadaan pingsan. Namun ada juga yang merintih-rintih kesakitan karena luka-lukanya. Sementara, senjata-senjata mereka bergeletakan di sana-sini.
Tentu saja sekarang hanya tinggal Dewa Arak seorang yang berdiri tegak di kancah pertarungan. Setelah merayapi keadaan lawan-lawannya sejenak, perhatiannya dialihkan pada Melati yang baru saja selesai berbincang-bincang dengan gadis berpakaian kuning yang ditolong Dewa Arak tadi.
Tadi, waktu Dewa Arak sibuk menghadapi la-wan-lawannya, Melati telah membebaskan gadis ber-pakaian kuning ini dari totokan. Bahkan Melati rupanya telah memberi pakaian ganti pada gadis itu. Dengan langkah tenang, Arya menghampiri Melati dan gadis berpakaian kuning ini.
"Apa yang terjadi, Melati?" tanya Arya pada kekasihnya.
"Aku juga belum tahu, Kang," sahut Melati sambil menggelengkan kepala. "Nah, Wintari! Sekarang, ceritakan mengapa kau bisa bentrok dengan mereka?"
Gadis berpakaian kuning yang ternyata bernama Wintari, tidak langsung menjawab. Ditatapnya wajah Arya dan Melati berganti-ganti.
"Sebelum kuceritakan masalahnya, kuucapkan banyak terima kasih atas pertolongan yang kalian be-rikan. Hhh..., entah apa jadinya kalau tidak ada kalian berdua."
"Lupakanlah, Wintari," ujar Melati, seperti mewakili Dewa Arak "Orang hidup memang saling membutuhkan. Saat ini memang kami yang menolongmu. Tapi lain kali, bukan tidak mungkin kau yang ganti menolong kami. Jadi, jangan dipikirkan masalah budi. Dan sekarang, ceritakan saja semua kejadian yang kau alami."
"Baiklah," desah Wintari, sambil menelan liur sejenak untuk membasahi tenggorokannya. Baru setelah itu, semua kejadian yang menimpa diceritakannya.
Arya dan Melati mendengarkan semua cerita Wintari penuh perhatian. Sama sekali tidak diselak, hingga gadis berpakaian kuning itu mengakhiri penuturannya.
"Singa Hitam Tangan Sepuluh?" tanya Arya, alisnya tampak bertaut, karena merasa heran. Dan sebenarnya, meskipun belum pernah bertemu langsung, tapi pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau Singa Hitam Tangan Sepuluh adalah seorang tokoh golongan hitam. Tapi, mengapa dikejar-kejar oleh Beruang Kepala Baja dan anak buahnya yang juga berasal dari golongan sama?
Dewa Arak jadi termenung memikirkan. Sementara Melati juga ikut berpikir, karena pernah mendengar selentingan kabar mengenai tokoh yang berjuluk Singa Hitam Tangan Sepuluh itu. Itulah sebabnya, seperti juga Dewa Arak, dia pun merasa bingung mendengar penuturan Wintari.
Tapi Dewa Arak dan Melati terpaksa berhenti memikirkannya, begitu mendengar banyak bunyi langkah kaki yang menuju tempat ini. Hanya dalam seke-jap saja, sepasang pendekar muda ini langsung dapat menduga kalau jumlah mereka banyak dan berkepandaian beragam.
Dewa Arak dan Melati saling berpandangan sebentar. Tapi dalam waktu sesingkat itu, masing-masing telah bisa menebak kalau satu sama lain sama-sama heran. Mengapa demikian banyak orang yang tengah menuju tempat ini?
Karena semakin lama terdengar semakin jelas dan mendekat, Wintari pun mendengar langkah-langkah itu pula. Tak bisa dipungkiri kalau para pemi-lik langkah itu benar-benar menuju tempat ini.
"Apakah kalian tidak mendengar sesuatu?" Wintari yang tidak kuasa menahan rasa ingin tahunya, langsung mengajukan pertanyaan.
Hampir berbarengan, Dewa Arak dan Melati menganggukkan kepala. Sebuah senyum lebar tersungging di mulut sepasang pendekar muda itu, untuk menenangkan hati Wintari.
"Rasa-rasanya jumlahnya lebih banyak dari mereka," kata Wintari lagi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah gerombolan Beruang Kepala Baja yang masih bergeletakan di tanah.
Dewa Arak menganggukkan kepala. Kemudian, jari telunjuknya menuding ke depan, yang berarti ke belakang Wintari. Gadis itu menoleh ke belakang. Dan seketika itu pula, dia terjingkat kaget ketika melihat rombongan orang yang sudah berjarak sekitar sepuluh tombak darinya.
Sementara Dewa Arak dan Melati sebenarnya juga terkejut. Hanya saja sepasang pendekar muda itu mampu menguasai diri, sehingga tidak tampak pada wajahnya. Memang wajar kalau Dewa Arak, Melati, dan Wintari sampai terkejut. Jumlah orang yang tengah bergerak mendekati tempat ini tidak kurang dari seratus orang!
Menilik dari macam-macam pakaian yang dikenakan, bisa diperkirakan kalau mereka terdiri dari para tokoh persilatan. Lantas apa tujuan orang-orang itu datang ke sini? Itulah yang bergayut di hati Dewa Arak dan Melati.
Belum lagi rasa kaget sirna, Dewa Arak kembali terkejut bercampur khawatir begitu melihat gerakan-gerakan beberapa orang yang rata-rata berwajah kasar. Memang sebagian memiliki ilmu meringankan tu-buh tingkat rendahan. Tapi, ternyata ada beberapa orang yang membuat Dewa Arak tercekat.
Terutama sekali, sosok yang berada paling depan. Gerakannya ringan bukan kepalang. Bahkan ketika berlari, kedua kakinya seperti tidak menyentuh tanah. Jelas, ilmu meringankan tubuhnya sudah hampir mencapai tingkat kesempurnaan.
Sosok yang berlari paling depan ini mendapat perhatian khusus dari Dewa Arak. Sosok itu berpakaian dari kulit ular berwarna kuning keemasan. Tubuh kekar berotot, selaras wajahnya yang kasar dan dipenuhi cambang bauk lebat. Sepasang mata yang terletak jauh di dalam rongga, tampak tajam berkilat.
Ada pengaruh aneh yang mengerikan dari sepasang mata yang terkadang mencorong kehijauan seperti mata harimau dalam gelap. Dan kini orang-orang yang berjumlah lebih kurang seratus itu telah berada di hadapan Dewa Arak, Melati, dan Wintari. Menilik dari tindak-tanduknya, bisa diketahui kalau laki-laki berpakaian kulit ular itu bertindak sebagai pemimpin, Dan kini dia berdiri berjarak dua tombak di hadapan Dewa Arak dan rekan-rekannya.
"Ikh...!" Jerit tertahan bernada kengerian keluar dari mulut Melati dan Wintari ketika melihat mata lelaki berpakaian kulit ular itu. Tanpa sadar, keduanya melangkah mundur. Sehingga, Dewa Araklah yang berdiri paling depan.
Sikap ngeri Melati dan Wintari terlihat jelas. Namun raut wajah lelaki bermata mengerikan itu sama sekali tidak menampilkan kemarahan. Tarikan wajahnya tetap seperti biasa. Dingin tanpa gambaran perasaan apa pun di sana.
Tetap dengan raut wajah dingin, dirayapinya satu persatu wajah-wajah yang berdiri di hadapannya. Mula-mula Dewa Arak, kemudian Melati, dan terakhir Wintari. Hal ini membuat kedua gadis itu merinding bulu kuduknya. Ngeri!
Hanya Dewa Arak yang masih tetap terlihat tenang. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu balas menatap dan memperhatikan, sungguhpun ada perasaan tegang menggayuti hati.
"Ha ha ha...!"
Mendadak lelaki bermata mengerikan itu tertawa keras menggelegar, sehingga membuat suasana jadi bergetar hebat bagai ada halilintar menyambar. Bisa dirasakan kalau suara tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam sempurna.
Dan yang lebih mengejutkan seketika kedua lutut sebagian besar orang yang berada di situ langsung terasa lemas. Bahkan mereka langsung jatuh terduduk. Hanya beberapa orang saja yang mampu bertahan, yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka adalah Dewa Arak, Melati, dan beberapa orang anak buah lelaki bermata mengerikan ini.
''Tidak salahkah penglihatanku? Benarkah kau Dewa Arak, Pemuda Sombong?!" tegur lelaki bermata mengerikan itu dengan suara keras menggelegar.
"Itulah julukan yang diberikan orang kepadaku, Kisanak. Kalau boleh tahu, siapa dirimu? Dan mengapa kau membawa demikian banyak orang kemari?!" masih dengan sikap tenang, Dewa Arak balas mengajukan pertanyaan.
"Aku? Ha ha ha...! Kau ingin mengenalku, Dewa Arak? Ha ha ha...! Rupanya julukan yang kau sandang telah membuatmu besar kepala, heh?! Kau tahu, dengan siapa berhadapan sekarang?! Akulah si Raja Iblis Tanpa Tanding! Aku adalah raja dari semua tokoh golongan hitam yang ada di seluruh permukaan bumi ini! Kau dengar?!" jawab lelaki bermata mengerikan itu, dengan suara keras dan mengguntur.
Meskipun tidak ada perubahan pada parasnya, namun ia sebenarnya merasa terkejut bukan kepalang mendengar jawaban orang yang mengaku berjuluk Ra-ja Iblis Tanpa Tanding. Baru pertama kali Arya mendengar ada tokoh yang berani memiliki julukan Tanpa Tanding! Sombong bukan kepalang! Dan lagi, sepengetahuannya, raja dari golongan hitam itu empat orang. Mereka memang datuk-datuk sesat yang merajai di tiap penjuru mata angin!
Arya sebenarnya tidak tahu kalau datuk-datuk sesat yang masing-masing merajai satu mata angin itu, telah berhasil dikalahkan oleh Raja Iblis Tanpa Tand-ing! Malah satu di antara mereka terpaksa dibunuh oleh tokoh hitam bermata mengerikan ini, karena tidak bersedia takluk! Memang, itulah ganjaran bagi tokoh yang tidak bersedia menjadi taklukan Raja Iblis Tanpa Tanding!
"Dan sekarang kau telah melukai anak buahku. Berarti, kau telah mengajukan tantangan terhadapku. Bersiaplah menerima balasannya, Dewa Arak!" sambung Raja Iblis Tanpa Tanding, membuyarkan lamu-nan Dewa Arak.
"Tidak usah berbasa-basi, Raja Iblis! Aku memang bermaksud melenyapkanmu untuk selama-lamanya, agar dunia menjadi tenang!" tegas Dewa Arak, mantap.
"Tutup mulutmu, Dewa Arak!" bentak Raja Iblis Tanpa Tanding keras. "Ayo! Kalian tangkap kelinci-kelinci muda itu."
Usai memberi perintah pada anak buahnya, Raja Iblis Tanpa Tanding langsung menerjang Dewa Arak. Jari-jari kedua tangannya disusun sedemikian rupa, sehingga berbentuk setengah mengepal. Dan dengan buku-buku jarinya dilancarkannya serangan ke arah leher dan bawah hidung Dewa Arak Dua buah jalan darah kematian!
Wut, wut, wut!
Deru angin keras yang terdengar bersama me-luncurnya serangan itu, menjadi pertanda kuatnya te-naga dalam yang terkandung di dalamnya. Dan ini membuat Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Maka buru-buru tubuhnya dilemparkan ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara. Sehingga, serangan Raja Iblis Tanpa Tanding hanya mengenai tempat kosong.
Tapi melihat serangannya berhasil dielakkan, Raja Iblis Tanpa Tanding tidak berdiam diri saja. Dalam keadaan masih berada di udara, tubuhnya masih mampu melenting ke depan. Padahal, tidak ada landasan bagi kakinya untuk menotol. Raja Iblis Tanpa Tanding langsung menyusul Dewa Arak. Dan pada saat itu pula, kembali kedua tangannya diluncurkan ke arah dada Dewa Arak.
Dewa Arak terkejut melihat serangan susulan lawannya. Disadari kalau sebelum kedua kakinya hinggap di tanah, serangan lawan akan terlebih dulu mengenai sasaran. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menangkis serangan.
"Hih!" Dewa Arak cepat menghentakkan kedua ta-ngannya ke depan, untuk memapak serangan yang tengah meluncur ke arahnya. Dan...
Prattt!
Bunyi seperti ada dua benda berat beradu lang-sung terdengar, ketika dua pasang tangan berbenturan. Begitu dahsyatnya, sehingga udara di sekitar tempat itu sampai bergetar hebat!
Sementara, tubuh Dewa Arak dan Raja Iblis Tanpa Tanding sama-sama terjengkang ke belakang. Namun berkat kepandaian yang sudah mencapai tingkatan tinggi, luncuran itu tidak sulit untuk dipatahkan.
Baik Dewa Arak maupun Raja Iblis Tanpa Tanding, berjumpalitan beberapa kali di udara, mempergunakan kekuatan yang melemparkan tubuh mereka. Lalu....
Hampir bersamaan, Dewa Arak dan Raja Iblis Tanpa Tanding mendarat di tanah, ringan laksana daun kering. Dan kini, mereka berdiri berhadapan dalam jarak enam tombak.
Di saat Dewa Arak dan Raja Iblis Tanpa Tanding saling menatap tajam seperti sedang mengukur kemampuan masing-masing Melati dan Wintari mulai diganggu anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding. Tapi tidak semua menuju ke arah Melati dan Wintari, karena sebagian harus menolong yang terluka.
Melati tahu, Wintari sedikit banyak punya kepandaian. Tapi kalau kepandaian yang sekadarnya saja, mana mungkin mampu menghadapi tiga orang anggota gerombolan yang memiliki tingkat kepandaian sekadarnya juga? Maka Melati segera melangkah maju. Sehingga, dia kini berada di depan Wintari, bermaksud melindungi.
"He he he...! Mimpi apa aku semalam, sehingga bisa bertemu dua orang bidadari yang molek-molek ," kata salah seorang dari dua anggota gerombolan di ba-risan terdepan.
Orang itu bertubuh pendek, gemuk. Kepalanya botak dan berperut gendut. Saking gendutnya, rompi abu-abu yang dikenakan tidak mampu menutupi pe-rutnya. Ciri-ciri tubuhnya setidak-tidaknya mirip see-kor katak. Laki-laki dengan wajah selalu berseri-seri ini berjuluk Dewa Sesat Pemetik Bunga. Disebut Dewa Sesat karena siapa sangka kalau wajah yang senantiasa ramah itu memiliki hati yang demikian kejam.
"Kau memang tidak bisa diam kalau melihat wajah cantik, Dewa Sesat," ledek orang yang berdiri di sebelah Dewa Sesat Pemetik Bunga. Orang itu bertubuh tinggi kurus, laksana bambu. Berbeda dengan Dewa Sesat Pemetik Bunga, tokoh ini memiliki raut wajah muram. Sehingga, seakan-akan tengah dililit kesulitan.
"Itulah sebabnya aku berjuluk Dewa Sesat Pe-metik Bunga, Siluman Pencabut Nyawa?!" sahut Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Semua pembicaraan itu dilakukan dengan sua-ra keras. Maka tentu saja seluruh orang yang berada di situ mendengarnya. Tak terkecuali, Melati dan Wintari. Dan mendengar pembicaraan itu Melati jadi terperanjat. Bukan karena isi pembicaraan, tapi karena mendengar sapaan mereka satu sama lain.
Julukan-julukan mereka sudah pernah didengarnya seba-gai datuk golongan hitam di berbagai penjuru mata angin. Dewa Sesat Pemetik Bunga adalah datuk kaum hitam di wilayah timur. Sedangkan Siluman Pencabut Nyawa di barat!
Kedua tokoh itu seperti yang lain, terkenal akan kesaktian dan kekejamannya di wilayah masing-masing selama belasan tahun, tanpa ada yang mampu mengalahkan. Dan karena kekejamannya itu masing-masing dianggap menjadi datuk sesat di wilayahnya.
Begitu tahu secara pasti tokoh-tokoh yang akan menjadi lawannya, Melati semakin meningkatkan kewaspadaannya. Dengan sendirinya, seluruh urat sarafnya menegang, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Dia tahu, dua orang ini memiliki kepandaian amat tinggi!
Melati menyadari bila salah satu datuk sesat ini mendapat kesempatan menyerang Wintari, maka akan mudah sekali gadis itu ditundukkan. Dan Melati tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka sebelum mereka bertindak, dia yang melancarkan serangan lebih dulu.
"Hih!" Diiringi pekikan keras yang menyakitkan telinga, putri angkat Raja Bojong Gading itu melompat, melancarkan serangan pada Dewa Sesat Pemetik Bunga yang berdiri lebih dekat dengan Wintari. Melati membuka serangan dengan jurus 'Naga Merah Kibaskan Ekor'. Dan selagi berada di udara, tubuhnya berbalik sambil mengibaskan kaki. Sasaran yang dituju Melati adalah pelipis, salah satu bagian yang mematikan.
Wuttt!
"Hebat," puji Dewa Sesat Pemetik Bunga, girang bercampur kagum. Sesungguhnya datuk pendek gemuk ini mengagumi serangan Melati. Dia tahu, serangan itu tidak bisa dipandang ringan. Dari deru angin keras yang mengiringi tibanya serangannya, sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga yang terkandung.
Meskipun demikian, bukan berarti Dewa Sesat Pemetik Bunga gentar. Malahan tanpa ragu-ragu dipa-paknya kibasan kaki Melati, mempergunakan tangan kirinya dengan arah gerakan kilat dari dalam ke luar. Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi pun tidak bisa dielakkan lagi. Sehingga....
Plak!
Melati yang berada di udara kontan terpental balik ke belakang. Sedangkan Dewa Sesat Pemetik Bunga terhuyung-huyung. Namun dengan gerakan manis, kedua tokoh yang berbeda jenis kelamin dan golongan ini berhasil mematahkan daya dorong itu. Dan hampir bersamaan mereka sama-sama hinggap di tanah tanpa suara.
"Kau hebat, Wanita Liar!" maki Dewa Sesat Pemetik Bunga bernada memuji.
Pujian ini bukan tanpa alas an. Tangan kanannya yang berbenturan dengan kaki Melati memang terasa kesemutan. Agaknya tenaga dalam kekasih Dewa Arak ini ampuh juga. Walaupun disadari keadaan Melati mungkin lebih parah, tapi memang sesuatu yang mengagumkan bila semuda itu sudah mampu memiliki tenaga dalam sedemikian tingginya.
Usai berkata demikian, Dewa Sesat Pemetik Bunga langsung mengirimkan cengkeraman ke arah ubun-ubun Melati.
Cit, cit, cit!
Decit angin tajam dari udara yang terobek oleh serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga, menjadi bukti nyata kalau serangan yang dikirimkannya amat berbahaya. Tapi Melati bukan wanita sembarangan. Bahkan dulu sewaktu terjun dalam dunia persilatan, julukan yang dimilikinya telah mampu mengguncangkan dunia persilatan.
Maka menghadapi serangan seperti itu, dia tidak gugup. Buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Sehingga, serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga hanya mengenai tempat kosong, beberapa jari di depan sasaran.
Dewa Sesat Pemetik Bunga menduga kalau Melati akan berhasil memunahkan serangannya. Maka begitu berhasil dielakkan, kembali dikirimkannya serangan susulan. Tentu saja Melati pun tidak tinggal diam. Dan kini pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
Menggiriskan dan menarik sekali pertarungan yang berlangsung antara Melati melawan Dewa Sesat Pemetik Bunga. Sehingga, Siluman Pencabut Nyata jadi sampai lupa dengan maksudnya semula, yaitu menangkap Wintari Segera dijauhinya kancah pertarungan dan menonton seperti halnya yang lain.
Melati yang tahu kalau keadaan sama sekali tidak menguntungkan pihaknya, tanpa ragu-ragu lagi mengeluarkan seluruh kemampuan. Demikian pula Dewa Sesat Pemetik Bunga. Hal ini membuat pertarungan yang berlangsung semakin enak ditonton.
Sementara itu di pertarungan lain yang berlangsung antara Dewa Arak melawan Raja Iblis Tanpa Tanding, juga tidak kalah menarik. Kedua tokoh yang sama-sama berkepandaian amat tinggi itu sudah bertarung hampir lima puluh jurus. Namun sampai selama itu, masing-masing pihak belum ada yang mengeluarkan ilmu andalan.
Tak terasa, sepuluh jurus kembali telah berlalu. Jurus demi jurus yang digelar berlangsung cepat, karena gerakan dua tokoh yang bertarung memang cepat. Bahkan jalannya pertarungan pun hampir tidak bisa dilihat secara jelas oleh orang-orang berkepandaian rendah. Yang terlihat hanya kelebatan bayangan kuning dan ungu yang saling belit tapi terkadang saling pisah.
Meskipun sibuk menghadapi Raja Iblis Tanpa Tanding, Dewa Arak masih sempat mengalihkan perhatian pada Melati dan Wintari sesekali. Dan ini menumbuhkan perasaan khawatir begitu melihat keadaan mereka yang tidak menguntungkan.
Jelas sekali Dewa Arak melihat Melati tetap saja belum mampu mendesak lawannya. Padahal, jelas-jelas gadis berpakaian putih itu telah mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ini membuktikan kalau lawan yang dihadapi memiliki kepandaian mengagumkan.
Hal ini tentu saja membuat Dewa Arak gelisah. Dia dan Melati masing-masing menghadapi satu orang lawan saja, namun belum mampu berbuat banyak setelah semakin lama. Padahal di belakang masih menunggu calon lawan-lawan lain yang memiliki kepandaian tidak kalah hebat. Kalau saja mereka turun bersama-sama, entah apa jadinya bagi Dewa Arak, Melati, dan Wintari.
Menyadari akan keadaan ini, Dewa Arak memutuskan mencari saat yang tepat untuk menyelamatkan Melati dan Wintari.
"Hih!" Pada sebuah kesempatan, Dewa Arak melempar tubuh ke belakang kemudian bersalto. Dan saat itulah pemuda berambut putih keperakan ini menghentakkan kedua tangannya ke arah Raja Iblis Tanpa Tanding.
Wusss!
Deru angin keras berhawa panas menyengat meluruk ke arah Raja Iblis Tanpa Tanding. Lelaki yang bermata mengerikan ini terkejut bukan kepalang. Tapi dengan ketenangan mengagumkan tubuhnya dibanting ke tanah, kemudian bergulingan. Sehingga, serangan Dewa Arak mengenai tempat kosong.
Namun Dewa Arak memang tidak memikirkan keberhasilan serangannya yang memang dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian lawan. Dan di saat tubuh Raja Iblis Tanpa Tanding masih bergulingan di tanah, dia melompat menerjang Dewa Sesat Pemetik Bunga.
"Minggir, Melati!"
Selagi tubuhnya masih berada di udara, Dewa Arak mengirimkan sebuah serangan. Laksana seekor garuda menerkam mangsa, diserangnya Dewa Sesat Pemetik Bunga dengan sebuah sergapan.
Dewa Sesat Pemetik Bunga terkejut bukan kepalang. Padahal, saat itu dia baru saja menghindari serangan maut Melati. Sehingga, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk mengelak. Terpaksa dipapaknya serangan yang dilancarkan Dewa Arak dengan sampokan kedua tangan.
Prattt!
"Aaakh...!" Dewa Sesat Pemetik Bunga memekik kaget. Tubuhnya terhuyung, dengan kedua tangan terasa sakit akibat benturan barusan. Hanya Dewa Sesat Pemetik Bunga seorang yang merasakan akibat benturan itu, karena bagi Dewa Arak benturan itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan ketika kedua kakinya hinggap di tanah, Dewa Arak langsung menggenjotnya. Sehingga tubuhnya kembali melenting. Hanya saja, kali ini arahnya tertuju ke arah Melati dan Wintari.
"Cepat, Melati!" seru Dewa Arak. Dan....
Tappp! Tappp!
Secepat pergelangan tangan Melati dan Wintari tercekal, secepat itu pula dibawanya meninggalkan tempat itu. Pergelangan tangan Melati dicekal dengan tangan kanan, sedangkan Wintari dengan tangan kiri.
Siluman Pencabut Nyawa, Dewa Sesat Pemetik Bunga, serta semua anak buah gerombolan Raja Iblis Tanpa Tanding bergerak mengejar. Tapi baru juga beberapa langkah....
"Tahan!"
Seketika itu pula, semua ayunan langkah kaki terhenti, begitu tahu siapa orang yang membentak. Siapa lagi kalau bukan Raja Iblis Tanpa Tanding?
"Biarkan mereka pergi," kata Raja Iblis Tanpa Tanding lagi. "Tak usah dikejar. Kita masih punya urusan yang lebih penting."
Begitu kata-katanya selesai, Raja Iblis Tanpa Tanding mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu, diikuti Dewa Sesat Pemetik Bunga dan Siluman Pencabut Nyawa. Baru di belakang kedua orang ini rombongan anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding lainnya.
Sementara itu Dewa Arak terus berlari. Baru ketika diyakini telah jauh dan lawan tidak mengejar, larinya dihentikan. Lalu cekalannya pada tangan Wintari dilepaskan.
"Berbahaya sekali...," ucap pemuda berambut putih keperakan itu setelah menghembuskan napas berat.
"Kau benar, Kang," sambut Melati. Gadis berpakaian putih ini juga telah menghentikan larinya. "Kalau tidak mengalami sendiri, aku tidak akan percaya. Persekutuan tokoh aliran hitam dalam jumlah yang besar, pergi berbondong-bondong. Entah apa yang dicari."
"Sepanjang yang kuketahui, mereka mencari-cari orang yang berjuluk Singa Hitam Tangan Sepuluh," celetuk Wintari.
"Mungkin kau benar, Wintari. Tapi, mengapa mereka pergi secara bergerombolan begitu? Menurut pemikiranku, seharusnya membuat kelompok-kelompok. Karena dengan cara seperti itu, buruan akan lebih mudah diketemukan," bantah Arya kurang setuju.
Wintari langsung diam. Disadari adanya kebenaran dalam ucapan Dewa Arak Melati pun terlihat mengangguk-anggukkan kepala pertanda menyetujui pendapat itu.
"Lalu..., apa yang akan dikerjakan mereka?" tanya Wintari, ingin tahu.
"Aku sendiri tidak tahu, Wintari. Tapi aku khawatir keamanan dunia persilatan. Dengan jumlah sebanyak itu, dan dengan adanya Raja Iblis Tanpa Tanding dan datuk-datuk kaum sesat, gerombolan itu bisa berbuat banyak. Jelas, malapetaka akan timbul di mana-mana!"
"Kau benar, Kang," sambut Melati membenarkan. Dirasakan kekhawatiran kekasihnya mempunyai alasan kuat.
"Kunci satu-satunya hanya pada Singa Hitam Tangan Sepuluh. Aku yakin, dia mengetahui rencana Raja Iblis Tanpa Tanding, sehingga dicari-cari."
"Mungkin kau benar, Kang. Apakah tidak sebaiknya kita mencari Singa Hitam Tangan Sepuluh?"
Dewa Arak tersenyum sabar. "Pemikiran seperti itu sudah masuk dalam benakku, Melati. Tapi, bagaimana dengan rombongan Raja Iblis Tanpa Tanding? Haruskah kita mencari Singa Hitam Tangan Sepuluh, dan kita biarkan gerombolan Raja Iblis Tanpa Tanding merajalela?!"
Kontan Melati menutup mulutnya dengan wajah memerah. Sungguh hal seperti itu sama sekali tidak dipikirkan. "Lalu.., apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati, lirih dan putus asa. "Apa harus menguntit Raja Iblis Tanpa Tanding dan anak buahnya? Lalu, bagaimana dengan Wintari? Apakah dia ikut dengan kita?"
Wajah Wintari kontan memerah mendengar ucapan Melati. Dirasakan adanya nada keberatan dalam ucapan gadis berpakaian putih tadi. "Kalian tidak usah terlalu memikirkan. Aku bisa kembali sendiri. Toh, rumahku tak terlalu jauh dari sini. Terima kasih atas pertolongan kalian. Selamat tinggal!"
Setelah terbata-bata mengucapkan kata-katanya Wintari berbalik, dan kemudian berlari meninggalkan Dewa Arak dan Melati. Melihat hal ini, Arya tidak tinggal diam.
"Wintari! Tunggu sebentar!" cegah pemuda berambut putih keperakan itu.
Sementara, Melati hanya diam saja. Gadis ber-pakaian putih itu masih merasa bingung untuk melakukan tindakan tepat.
"Cegah dia pergi, Melati," pinta Arya ketika melihat Wintari sama sekali tidak mempedulikan panggilannya dan terus berlari.
Melati tidak langsung melaksanakan permintaan kekasihnya. Malah sebaliknya, ditatapnya wajah Dewa Arak. Ada sorot keheranan di sana.
"Mengapa harus mengejarnya?! Bukankah lebih baik demikian?" tandas Melati. Hatinya tiba-tiba panas terbakar cemburu melihat kekasihnya terlihat mengkhawatirkan keselamatan Wintari.
"Heh?! Mengapa kau berkata demikian, Melati? Kau ingin pertolongan kita sia-sia? Bagaimana kalau dia bertemu gerombolan Raja Iblis Tanpa Tanding lagi? Percayalah, Melati. Wintari tidak akan lama bersama kita. Kita hanya akan mengantarkannya, hingga selamat ke rumah. Maukah mencegahnya pergi, Melati?"
Pelan dan lembut Arya memberi penjelasan pada Melati. Tapi Melati masih tetap diam. Meskipun kata-kata Dewa Arak ada benarnya tapi perasaan cemburu membuatnya tidak langsung mengiyakan kata-kata Arya. Sambil berkata begitu, Arya mengulurkan tangannya membelai rambut Melati.
"Huh! Kau memang paling pintar membujuk orang!" dengus Melati, pura-pura marah. Kemudian tubuhnya melesat mengejar Wintari yang sudah jauh.
"Ha ha ha...!" Arya hanya tertawa dengan lunak. Dipandanginya punggung Melati yang telah berada beberapa tombak di depan.
Kening Melati jadi berkerut ketika tidak men-jumpai adanya Wintari. Padahal, jelas-jelas tadi gadis berpakaian kuning itu menerobos bagian semak-semak yang lebat, karena tertutup akar gantung pohon beringin. Melati merayapi sekitarnya yang banyak ditumbuhi semak dan pepohonan di sana-sini.
Kembali Melati mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun tetap saja tidak melihat keberadaan Wintari. Mustahil gadis itu bisa lenyap demikian cepat. Tak jauh di depannya melintang sebuah sungai. Sementara kanan-kirinya penuh pohon-pohon berduri. Melati yakin, jika Wintari terus melarikan diri jelas akan terlihat. Jadi kesimpulannya, gadis itu sengaja menyembunyikan diri!
Yakin akan dugaannya, Melati segera memusatkan perhatian pada pendengarannya. Dia yakin, apabila Wintari masih berada di situ, setidak-tidaknya akan terdengar desah napasnya. Sebentar saja, Melati sudah mendengar desa-han napas yang asalnya dari..., atas pohon!
Kenyataan ini tidak mengejutkan hati Melati, kalau saja desah napas yang didengarnya hanya dari satu orang. Dan kenyataannya paling sedikit ada tiga desahan napas yang berasal dari tiga orang.
Penasaran akan pendengarannya, membuat Melati mengarahkan pandangan ke arah pohon tempat suara desah napas berasal. Tapi baru saja menengadah....
Brrr!
Debu-debu halus menyambar ke arah wajah Melati. Seketika gadis berpakaian putih ini membuang mukanya ke samping, dan melindungi bagian wajah dengan kedua tangan. Belum lagi Melati sempat berbuat sesuatu, hidungnya mencium bau amis yang memualkan perut. Bahkan membuat kepala pening dan seluruh tubuh lemas. Jelas, debu yang disebarkan bukan sembarangan.
"Racun...," desis Melati penuh perasaan geram. "Manusia-manusia licik"
Tapi Melati tidak bisa terus-terusan marah, karena tangannya masih terasa sakit. Malah rasa pusing dan lemas membuatnya terhuyung-huyung ke sana kemari.
Jliggg!
Ketika Melati masih terhuyung-huyung, penyerang-penyerang gelap yang mengirimkan benda-benda beracun itu berlompatan ke tanah. Ketika akhirnya berhasil berdiri, meskipun tidak tegak, Melati berusaha melebarkan sepasang matanya. Dia ingin tahu, orang-orang yang telah membokong dirinya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Melati ketika ternyata tidak mampu melihat jelas para penyerangnya. Wajah mereka tampak hanya terlihat samar-samar. Bahkan jumlah mereka pun sukar dihitung.
"Celaka," desis Melati dalam hati. Disadari kalau hal itu terjadi akibat pengaruh racun orang-orang itu. Dan hal ini membuat Melati cemas. Apalagi ketika tubuhnya terasakan semakin melemas.
Perasaan penasaran mendorongnya untuk mengerahkan tenaga dalam. Tapi, hasilnya malah membuat kecemasannya bertambah. Rasa pusing yang melanda semakin membesar. Keadaan di sekitarnya seperti berputar, sehingga tanpa sadar gadis berpa-kaian putih itu memegangi kepalanya.
"Ha ha ha...! Lihat! Kuda betina liar yang ini pun sudah hampir jinak."
Terdengar salah seorang dari para pembokong-nya berbicara, yang langsung disambut suara tawa rekan-rekannya.
"Betapa beruntungnya kita. Yang diburu singa yang telah ompong giginya, tapi yang didapat malah dua ekor kuda betina liar! Ha ha ha...!" sambung suara lain.
Ucapan-ucapan para pembokongnya membuat Melati mengerti, mengapa Wintari bisa raib begitu saja. Rupanya, gadis itu telah ditangkap oleh gerombolan pembokong yang berada di atas pohon.
Sementara itu para pembokong Melati yang ternyata berjumlah tiga orang, terus menghampiri. Sikap mereka tampak tidak terburu-buru, dan tanpa kewas-padaan sama sekali. Hal ini menandakan kalau mereka sudah tidak menganggap Melati sebagai gadis yang berbahaya. Ketiga orang yang rata-rata berpakaian coklat dan berwajah mirip satu sama lain, memang merasa telah yakin akan keampuhan racun yang dimiliki.
Memang, pada kenyataannya semakin lama keadaan Melati semakin parah. Bahkan gadis berpakaian putih itu sudah tidak mampu berdiri tegak lagi. Tubuhnya oleng ke kanan dan ke kiri. Sudah dapat dipastikan, tanpa diserang pun tak lama lagi dia akan roboh sendiri, melihat pengaruh racun yang merasuki tubuhnya. Dan tiba-tiba....
"Manusia-manusia keji! Lepaskan wanita-wanita itu!"
Di saat kesadaran yang dimilikinya mulai melenyap, Melati masih sempat mendengar bentakan keras. Dengan pandangan yang telah semakin mengabur, Melati mencoba mengenali pemilik suara.
Dan kalau menilik dari ucapannya orang itu bermaksud menolong dirinya dan Wintari. Tapi Melati tidak mampu memastikan wajah orang itu. Yang terlihat hanyalah sosok tubuh tidak jelas berwarna kehitaman. Tak lama kemudian semuanya gelap pekat. Dan Melati sudah tak ingat apa-apa lagi.
Sementara, sosok bayangan hitam itu telah ber-diri berhadapan dengan tiga orang berpakaian coklat yang memiliki wajah dan potongan tubuh mirip kera.
"Rupanya kau, Singa Hitam Tangan Sepuluh!" kata salah seorang dari tiga sosok berpakaian coklat. Orang ini mempunyai sebuah tahi lalat besar di dahinya. "Mimpi apa kami semalam, sehingga bisa mendapat keberuntungan yang bertubi-tubi ini."
Usai berkata demikian, laki-laki bertahi lalat di dahi itu meletakkan di tanah, tubuh Wintari yang se-jak tadi dibopong dengan kedua tangan. Baru setelah itu perhatiannya dialihkan lagi ke arah Singa Hitam Tangan Sepuluh. Sosok bayangan coklat itu memang tidak lain dari Singa Hitam Tangan Sepuluh. Dengan sorot mata garang, ditatapnya tiga sosok di hadapannya.
"Sama sekali tidak kusangka kalau Tiga Kera dari Akherat adalah penjahat-penjahat hina yang hanya berani pada wanita tidak berdaya," geram Singa Hitam Tangan Sepuluh sambil merayapi tubuh Melati dan Wintari.
"Tutup mulutmu, Singa Hitam! Apakah kau hendak mengatakan kalau dirimu lebih baik dari kami?!" bentak salah satu yang bergigi tonggos, marah.
"Memang aku bukan orang baik-baik. Tapi sampai mati pun, aku tidak sudi berbuat hina seperti yang kalian lakukan!" tandas Singa Hitam Tangan Sepuluh, tegas.
"Keparat! Bersiaplah untuk menerima kematianmu, Singa Hitam. Raja Iblis Tanpa Tanding menginginkan kepalamu!" tegas Kera Akherat yang bertahi lalat.
"Aku ragu, apakah kalian mampu melakukannya! Setahuku, perbuatan yang bisa kalian lakukan hanyalah menjilat pantat Raja Iblis Tanpa Tanding!" ejek Singa Hitam Tangan Sepuluh, keras.
"Keparat! Mampuslah kau!"
Tiga Kera dari Akherat yang bergigi tonggos ru-panya sudah tidak bisa menahan sabar lagi. Dia cepat melompat ke depan. Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya bergulingan di tanah. Lalu....
Wuttt!
Ketika telah berada dekat dengan Singa Hitam Tangan Sepuluh, lelaki bergigi tonggos itu berhenti berguling. Langsung dilancarkannya serangan berupa sapuan kaki kanan.
Benar-benar mengagumkan serangan ini meskipun kakinya kecil, tapi kekuatan yang terkandung di dalam sapuan laki-laki tonggos itu sanggup mematahkan batang pohon yang besarnya tidak kurang dari dua pelukan orang dewasa! Bisa dibayangkan, bagaimana akibatnya kalau kaki manusia yang dijadikan sasaran.
Singa Hitam Tangan Sepuluh pun tahu kedahsyatan serangan lawan. Itulah sebabnya, dia tak berani bertindak main-main. Buru-buru kakinya dijejakkan sehingga tubuhnya melayang ke atas. Hingga, serangan lawan menyambar tempat kosong.
Tapi lelaki bergigi tonggos telah memperhitungkannya. Maka ketika Singa Hitam Tangan Sepuluh mengelak seperti itu langsung saja dikirimkan serangan susulan berupa tendangan lurus ke atas mem-pergunakan kaki kiri.
Zebbb!
Singa Hitam Tangan Sepuluh tercekat melihat serangan lanjutan ini. Apalagi ketika mengetahui kalau bagian yang terancam adalah selangkangan. Padahal, saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Rasanya, sulit baginya untuk dapat mengelak. Hanya ada satu jalan yang dapat menyelamatkan nyawanya, menang-kis serangan. Maka....
"Hih!"
Singa Hitam Tangan Sepuluh menghentakkan kakinya ke bawah.
Blakkk!
Seketika benturan antara dua telapak kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat tidak bisa dielakkan lagi. Akibatnya, kedua batang kaki itu sama-sama terhentak balik.
"Hup!"
Begitu kedua kaki Singa Hitam Tangan Sepuluh mendarat di tanah, lelaki bergigi tonggos pun telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Dan tanpa menunda-nunda lagi, diterjangnya Singa Hitam Tangan Sepuluh kembali.
Tapi dalam serangan kali ini, lelaki bergigi tong-gos itu tidak bertangan kosong. Di tangan kanannya telah tergenggam sebuah pedang pendek berwarna hitam kelam. Dan dengan senjata di tangan, Singa Hitam Tangan Sepuluh dilabrak habis-habisan.
Melihat lawan telah menggunakan senjata, Si-nga Hitam Tangan Sepuluh tidak berani bertindak ge-gabah. Disadari kalau kepandaian lawan belum tentu berada di bawah tingkatannya. Itulah sebabnya, dia pun mencabut senjata andalannya yang berupa sebuah tombak pendek hitam.
Maka kini pertarungan yang terjadi jauh lebih mendebarkan. Bunyi decit angin tajam dari udara yang terobek oleh setiap gerakan dua senjata itu, menyema-raki berlangsungnya pertarungan. Beberapa kali bunyi berdentang nyaring yang diiringi berpercikannya bunga api terjadi manakala senjata-senjata itu berbenturan.
Dan benturan itu selalu mengakibatkan anggota Tiga Kera dari Akherat ini terhuyung-huyung ke belakang, karena kalah tenaga. Tak aneh kalau dalam lima belas jurus, Singa Hitam Tangan Sepuluh berhasil mendesaknya.
Kenyataan ini membuat sisa dari Tiga Kera dari Akherat khawatir. Kedua orang ini tahu, kalau dibiarkan, kemungkinan besar Singa Hitam Tangan Sepuluh akan berhasil merobohkan saudara mereka. Diiringi pekikan yang menyakitkan telinga, keduanya terjun dalam kancah pertarungan. Bahkan langsung menggunakan senjata andalan masing-masing, berupa sebuah pedang pendek!
Terjunnya dua anggota Tiga Kera dari Akherat yang tersisa langsung merubah keadaan. Sebaliknya Singa Hitam Tangan Sepuluh jadi kelabakan. Memang menghadapi seorang dari Tiga Kera dari Akherat, dia bisa di atas angin. Tapi menghadapi tiga orang? Apalagi mereka dapat bekerja sama dengan saling isi dan melindungi. Maka hanya dalam sepuluh jurus, Singa Hitam Tangan Sepuluh sudah terdesak.
Gulungan sinar senjata cakar Singa Hitam Tangan Sepuluh yang semula luas dan mengungkungi sekujur tubuhnya laksana sebuah benteng, kini perlahan mulai menyempit. Dan itu sudah menjadi tanda kalau keadaan Singa Hitam Tangan Sepuluh semakin terjepit!
Serangan-serangan Singa Hitam Tangan Sepu-luh semakin berkurang. Sebaliknya, elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan yang dilakukannya semakin bertambah. Dan dia hanya bertarung mundur. Sudah dapat dipastikan apabila dibiarkan terus, Singa Hitam Tangan Sepuluh akan roboh.
Kini pertarungan telah menginjak jurus kedua puluh. Dan sekarang, Singa Hitam Tangan Sepuluh sama sekali tidak mampu mengirimkan serangan balasan. Lagi pula bagaimana lelaki bermuka singa ini dapat mengirimkan serangan kalau sudah kerepotan sendiri menghadapi serangan-serangan silih berganti yang ditujukan padanya.
Begitu asyiknya mereka bertarung, sehingga tak menyadari kalau di tempat itu hadir seseorang. Semula orang itu hanya memperhatikan jalannya pertarungan. Tapi ketika melihat sosok tubuh ramping berpakaian putih yang tergolek di tanah, segera perhatiannya dialihkan. Dan dengan sekali ayunkan kaki, sosok yang tak lain Arya alias Dewa Arak telah berada di dekat tubuh Melati. Padahal, jarak antara Dewa Arak dengan kekasihnya semula tak kurang dari sepuluh tombak.
Sementara itu, begitu telah berada di dekat kekasihnya, Dewa Arak langsung saja membungkuk. Dan dengan tarikan wajah penuh perasaan khawatir, diperiksanya keadaan Melati. Tidak berapa lama Dewa Arak memeriksa keadaan Melati.
Dan kini sorot kecemasan sudah tidak terlihat lagi di wajahnya karena mengetahui Melati sama sekali tidak menderita luka yang berarti. Kekasihnya itu hanya terkena racun pembius yang membuatnya tidak sadar diri untuk beberapa lama. Dan hanya dengan dorongan hawa murni, racun itu bisa diusir keluar.
Dewa Arak sendiri tidak terburu-buru dalam menyembuhkan Melati. Kini pandangannya dialihkan kembali ke arah pertarungan. Beberapa saat matanya terpaku di sana dengan dahi berkernyit. Tampaknya, dia tengah berpikir keras.
Memang ada sesuatu yang mengganggu benak Dewa Arak, melihat pertarungan yang tengah berlangsung. Pemuda berambut putih keperakan ini rupanya tengah menebak pihak mana yang menjadi kawan dan mana lawan.
Sempat juga pemuda berambut putih keperakan itu melihat tubuh Wintari yang tergolek di tempat yang terpisah agak jauh darinya. Arya tidak khawatir terhadap Wintari, karena dipastikannya Wintari pasti masih hidup. Kini Dewa Arak kembali memperhatikan jalannya pertarungan.
Sementara itu, keadaan Singa Hitam Tangan Sepuluh semakin bertambah gawat dan sudah semakin terpojok! Bahkan beberapa kali ujung pedang pendek lawan berhasil menggores kulitnya. Sehingga cukup membuat darah keluar membasahi pakaiannya. Dan karena luka-luka yang tercipta cukup banyak, sekujur tubuh Singa Hitam Tangan Sepuluh dibanjiri ali-ran darah!
Sebenarnya, luka-luka yang diderita Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak parah. Tapi karena lelaki bermuka singa ini tidak mempunyai kesempatan menghentikan aliran darahnya, tenaganya jadi berkurang cepat, karena kehilangan banyak darah.
Sebagai akibatnya, perlawanan yang diberikan pun mengendur. Sebaliknya, lawan-lawannya semakin bersemangat melihat keadaan Singa Hitam Tangan Sepuluh yang semakin payah. Tidak sampai tiga jurus lagi, lelaki bermuka singa ini akan roboh di tangan lawan.
"Sebentar lagi nyawamu akan kami kirim ke neraka, Singa Hitam. Ha ha ha...!" ejek lelaki bergigi tonggos penuh bernada kemenangan.
Ucapan dan tawa lelaki bertubuh kecil ini segera disambut oleh tawa bergelak dari kedua rekannya, menyuarakan nada kemenangan. Masih dengan tawa yang belum putus, mereka terus merangsek Singa Hitam Tangan Sepuluh.
Dari kata-kata laki-laki bergigi tonggos itu, Dewa Arak kini tahu pihak yang harus dibantu. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak langsung melesat ke arah pertarungan. Jarak antara pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan ini dengan kancah pertarungan, tidak kurang dari tujuh tombak. Namun hanya sekali genjot dan berjumpalitan di udara, dia telah berhasil menjangkau kancah pertarungan.
Dari atas, laksana seekor burung garuda yang tengah menerkam mangsa, Dewa Arak meluruk ke arah Tiga Kera dari Akherat. Kebetulan saat itu, keti-ganya tengah merangsek Singa Hitam Tangan Sepuluh yang telah semakin terpojok.
Wuttt!
Deru angin keras mengawali tibanya serangan Dewa Arak. Akibatnya Tiga Kera dari Akherat menyadari akan adanya ancaman bahaya, terpaksa membatalkan serangan terhadap Singa Hitam Tangan Sepuluh. Dan sebagai gantinya, pedang pendek di tangan mereka digunakan untuk memapak serangan Dewa Arak.
Wut, wut, wuttt!
Tak, tak, takkk!
Tubuh Tiga Kera dari Akherat langsung terhuyung-huyung ke belakang ketika senjata mereka berbenturan dengan tangan Dewa Arak. Tangan-tangan mereka pun terasa sakit-sakit, dan seperti lumpuh. Sehingga, hampir saja cekalan terhadap senjata itu terlepas.
Berbeda dengan Tiga Kera dari Akherat yang terhuyung-huyung dengan mulut menyeringai kesaki-tan, Dewa Arak malah dengan enaknya hinggap di depan Singa Hitam Tangan Sepuluh.
"Beristirahatlah sebentar, Kisanak. Biar aku yang menghadapi mereka. Dan...."
Dewa Arak tidak bisa meneruskan ucapannya lagi, karena Tiga Kera dari Akherat sudah keburu melancarkan serangan. Tiga lelaki setengah tua bertubuh cebol ini meluncurkan pedang pendek ke bagian-bagian tubuh Dewa Arak yang mematikan.
Sing, sing, sing!
Bunyi berdesing nyaring mengiringi tibanya serangan. Namun, Dewa Arak tetap bersikap tenang. Di-tunggunya serangan itu hingga dekat. Baru setelah itu, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, dia menyelinap di antara kelebatan senjata lawan. Laksana bayangan, tubuhnya berkelebat di antara kelebatan sinar pedang.
Lima jurus lamanya Dewa Arak hanya mengelak dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh tanpa sekali pun balas menyerang. Seketika itu pula, tubuhnya lenyap dari pandangan. Sementara tiga lawannya kelabakan. Dan sebelum mereka sadar, tahu-tahu tubuh mereka telah menjadi lemas.
"He he he...! Kau beruntung sekali, Singa Hitam. Ada orang tak tahu penyakit berani menolongmu."
Terdengar suara begitu tubuh Tiga Kera dari Akherat jatuh tertotok. Meskipun hanya Singa Hitam Tangan Sepuluh yang ditegur, tapi Dewa Arak pun ikut mengalihkan perhatian ke arah asal suara. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini terkejut bukan kepalang. Begitu lihaikah orang itu sehingga kedatangannya pun tidak tertangkap telinga.
"Ah...!" Jeritan kaget itu keluar dari mulut Singa Hitam Tangan Sepuluh. Tampak di salah satu cabang pohon yang besarnya tak lebih dari ibu jari kaki, duduk bersila sesosok tubuh tinggi besar dengan wajah cerah. Cabang pohon itu sampai melengkung karena tak kuat menahan beban tubuhnya yang kekar berotot. Tapi anehnya, dia enak saja duduk hampir di ujung cabang!
"Dedemit Tawa...," desah Singa Hitam Tangan Sepuluh, bernada kaget. Tarikan wajah dan sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang sangat.
Wajah Dewa Arak berubah begitu mendengar julukan Dedemit Tawa disebut. Meskipun belum pernah bertemu, tapi telah kerap didengar kalau Dedemit Tawa adalah salah satu dari empat datuk kaum sesat. Apakah tokoh ini pun telah menjadi anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding? Kalau menilik ucapannya terhadap Singa Hitam Tangan Sepuluh, rasanya dugaan itu tidak salah.
"Ha ha ha...!" Sosok yang duduk di atas cabang pohon, yang memang Dedemit Tawa itu, membuka mulutnya. Suara tawanya mula-mula biasa. Tapi sesaat kemudian, tawanya semakin keras. Dan seiring se-makin mengerasnya tawa itu, Singa Hitam Tangan Sepuluh mulai merasakan pengaruhnya.
Tawa yang mula-mula hanya menyakitkan telinga itu mulai mempengaruhi kepala dan dadanya yang menjadi pusing dan dada sesak! Singa Hitam Tangan Sepuluh buru-buru menutup telinganya itu. Bahkan Dewa Arak pun diam-diam mulai mengerahkan tenaga dalam untuk melawannya.
Dewa Arak untuk sementara membiarkan tindakan Dedemit Tawa. Dia ingin tahu, sampai di mana serangan tawa tokoh ini. Tapi ketika melihat keadaan Singa Hitam Tangan Sepuluh yang sampai duduk bersila dalam mengerahkan seluruh kemampuan untuk melawan pengaruh tawa, Dewa Arak mulai bertindak. Maka tenaga dalamnya segera dipusatkan. Kemudian dikeluarkannya lewat siulan!
Sesaat kemudian, terjadi pertarungan menegangkan yang mengandalkan kekuatan tenaga dalam! Tawa dari Dedemit Tawa dan siulan Dewa Arak, saling berusaha tindih-menindih. Luar biasa! Siulan Dewa Arak ternyata mampu mengimbangi tawa Dedemit Tawa. Meskipun tidak dapat menindihnya, siulan itu mampu membuat tawa Dedemit Tawa kehilangan pengaruhnya. Dan ini membuat Singa Hitam Tangan Sepuluh dapat menarik napas lega kembali.
Namun Dedemit Tawa, tertawa bukan orang bodoh. Begitu tahu kalau tawanya tidak dapat diandalkan lagi, dia memutuskan untuk melompat dari cabang yang didudukinya. Laksana daun kering jatuh di tanah, Dedemit Tawa mendarat di tanah.
"He he he...! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian, Anak Muda! Tapi jangan harap dapat mengungguli Dedemit Tawa! He he he...!"
Terdengar jelas ada nada meremehkan dalam kata-kata Dedemit Tawa. Tapi Dewa Arak tidak mempedulikannya, dan tetap bersikap tenang.
"Dedemit Tawa...! Aku tidak mengenalmu. Dan mungkin pula sebaliknya. Tapi, tindakan kejimu telah lama kudengar. Dan demi menjaga ketenangan dunia persilatan, terpaksa kau akan kulenyapkan!" kata Dewa Arak, tegas.
"Ha ha ha...!" Dedemit Tawa tertawa terbahak-bahak. "Luar biasa! Betapa sombongnya! Rupanya kau belum mengenal siapa aku, Anak Muda?!"
"Siapa yang tidak mengenal julukan Dedemit Tawa? Datuk sesat yang amat sakti, tapi memiliki watak keji!" jawab Dewa Arak lantang.
"He he he...! Kau benar, Anak Muda. Ha ha ha...! Tak pernah kusangka akan ada seorang pemuda yang selihai dan seberani dirimu! Eh, tunggu dulu! Aku juga mendengar kalau sekarang ini telah muncul seorang tokoh sakti yang masih muda. Dia berjuluk Dewa Arak. Ciri-cirinya..., ah sama denganmu. Jadi, rupanya kau Dewa Arak.... He he he.... Sama sekali tidak kusangka akan bertemu denganmu. Mari, Dewa Arak. Ingin kubuktikan kebenaran berita yang telah menggembar-gemborkan julukanmu itu!"
Usai berkata demikian, Dedemit Tawa mulai bersiap-siap melancarkan serangan. Dia berteriak den-gan sepasang mata terpejam. Sementara, kedua tan-gannya disilangkan di depan dada.
Melihat sikap Dedemit Tawa, Dewa Arak pun ti-dak berani bertindak gegabah. Buru-buru diambilnya guci arak yang tergantung di punggung, kemudian dituangkannya ke mulut.
Gluk.... Gluk... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak, dalam perjalanannya menuju lambung. Sesaat kemudian, terasa hawa hangat mulai merayap naik ke kepala, sehingga membuat kaki Dewa Arak tidak menapak secara tetap di tanah. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu oleng sana oleng sini.
Namun justru pada saat seperti inilah Dewa Arak berada dalam puncak kemampuannya. Semua ci-ri-ciri ini menunjukkan kalau ilmu 'Belalang Sakti' andalan Dewa Arak, siap dipergunakan.
Dedemit Tawa sempat tertegun melihat ilmu yang dikeluarkan Dewa Arak. Tapi hanya sekejap saja dia terkejut, karena buru-buru dibuangnya. Lalu.... "Hiyaaat..!"
Diawali teriakan keras yang membuat sekitar tempat itu tergetar hebat, Dedemit Tawa melompat menerjang Dewa Arak! Di saat tubuhnya tengah berada di udara dengan jari setengah mengepal, tangan kanan dihantamkannya ke ubun-ubun Dewa Arak.
Wuttt!
Dedemit Tawa kecelik! Serangannya langsung mengenai tempat kosong, karena tubuh Dewa Arak sudah tidak berada lagi di situ. Karuan saja hal itu membuatnya heran bukan kepalang. Kelihatan kalau Dewa Arak tidak mengelak. Bahkan justru dengan langkah seperti akan jatuh, Dewa Arak malah menyambut serangan. Tapi, mengapa malah serangannya tidak mengenai sasaran?
Hanya sebentar saja pertanyaan itu bergayut di benak Dedemit Tawa. Sesaat kemudian, sebagai datuk sesat yang telah mempunyai pengalaman luas, lang-sung diketahui kalau Dewa Arak menggunakan sebuah ilmu aneh.
Meskipun demikian, dia tidak menjadi putus asa. Dikeluarkan seluruh kemampuan yang dimili-kinya untuk mencecar Dewa Arak. Tapi, selalu saja setiap serangannya mengenai tempat kosong. Sebalik-nya, setiap serangan balasan Dewa Arak membuat Dedemit Tawa kelabakan! Sungguhpun demikian, kakek tinggi besar ini mampu memberi perlawanan berarti.
Seru dan menarik bukan kepalang pertarungan berlangsung. Masing-masing pihak mengeluarkan seluruh kemampuan. Dewa Arak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'-nya. Dan perpaduan serangan kedua tangan, guci, dan semburan araknya menjadi satu kesatuan yang dapat menggilas habis pertahanan lawan!
Tapi lawan yang dihadapinya adalah seorang datuk yang amat sakti! Malah, kali ini Dedemit Tawa mengeluarkan ilmu andalannya jurus 'Macan Tutul'. Jurus demi jurus berlalu cepat karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat. Bahkan tempat di sekitar pertarungan menjadi tak karuan. Tanah terbongkar di sana-sini. Pohon-pohon bertumbangan, mendapat pukulan nyasar. Debu pun mengepul tinggi di udara.
Tak terasa pertarungan telah menginjak seratus lima jurus. Dan sampai pada jurus ini, Dedemit Tawa mulai terdesak dan terhimpit!
Dedemit Tawa menggeretakkan giginya. Rasa penasaran yang amat sangat langsung menggelora dalam dada ketika menyadari kenyataan kalau lawannya jauh lebih unggul. Terpaksa senjata andalannya yang berupa sepasang kecer dikeluarkan.
Blammm, blammm!
Bunyi berdentam keras langsung terdengar begitu Dedemit Tawa membenturkan sepasang kecernya. Keras bukan kepalang laksana ledakan halilintar. Sehingga, mampu membuat Singa Hitam Tangan Sepuluh yang telah berdiri tegak untuk menyaksikan pertarungan jadi terkulai lemas.
Dan kini, pertarungan kembali berlangsung lebih seru, dan sengit. Karena, sekarang Dedemit Tawa telah menggunakan senjata andalan. Kembali jurus demi jurus berlangsung cepat. Tak terasa, empat puluh lima jurus lagi telah berlalu. Dan kalau dihitung dari pertama kali bertempur, mereka telah menghabiskan seratus lima puluh jurus.
Sampai jurus ini, Dewa Arak mulai menguasai pertarungan. Malah beberapa kali Dedemit Tawa dibuat terhuyung-huyung ketika benturan terjadi. Dedemit Tawa yang merajai wilayah utara itu sebenarnya memang kalah tenaga.
Di jurus keseratus enam puluh satu, Dedemit Tawa menyerang kepala Dewa Arak dengan kedua kecernya yang saling diadukan.
Blammm...!
Untuk yang kesekian kalinya serangan Dedemit Tawa mengenai tempat kosong, karena Dewa Arak te-lah merendahkan tubuhnya. Kedua kecer itu saling berbenturan beberapa jari di atas kepala, menimbul-kan bunyi keras memekakkan telinga.
Namun Dewa Arak tidak mempedulikannya. Saat itu banyak celah-celah terbuka dalam pertahanan Dedemit Tawa. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Secepat kilat, kedua tangannya dihentakkan ke dada Dedemit Tawa.
Wuttt!
Hembusan angin dahsyat menderu, seiring meluncurnya kedua tangan Dewa Arak menuju sasaran. Dedemit Tawa terkejut bukan kepalang, melihat serangan Dewa Arak yang mengandung ancaman besar. Maka dengan sebisa-bisanya dicoba untuk mengegos. Tapi, terlambat. Karena....
Bukkk!
"Aaa...!"
Jeritan menyayat keluar dari mulut Dedemit Tawa seiring melayang tubuhnya ke belakang, ketika kedua tangan Dewa Arak mendarat telak di sasaran. Darah segar kontan menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinga Dedemit Tawa. Sehingga, membasahi tanah sepanjang tubuhnya meluncur.
Brukkk!
Diiringi bunyi berdebuk keras, tubuh Dedemit Tawa jatuh ke tanah setelah melayang-layang sejauh beberapa tombak. Datuk sesat yang cukup terkenal itu tewas dengan tulang dada hancur berantakan!
"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas lega. Ditatapnya tubuh Dedemit Tawa sebentar, sebelum mengayunkan langkah menghampiri Melati. Tapi baru juga beberapa langkah, ayunan kakinya berhenti. Karena, Singa Hitam Tangan Sepuluh telah menghadang langkahnya.
"Kuucapkan terima kasih atas bantuan yang kau berikan, Dewa Arak. Tanpa bantuanmu mungkin aku sudah tewas di tangan Dedemit Tawa," ucap lelaki bermuka singa itu.
"Lupakanlah, Singa Hitam. Ng... bolehkah kutahu, mengapa dia mengejar-ngejarmu? Apa urusannya dengan Raja Iblis Tanpa Tanding?!" Arya mengeluarkan uneg-uneg yang mengganjal hatinya.
"Panjang ceritanya, Dewa Arak," jawab Singa Hitam Tangan Sepuluh.
"Kalau begitu, biar kusadarkan mereka dulu." Arya menghampiri tubuh Melati, kemudian langsung duduk bersila. Kedua telapak tangannya ditempelkan di punggung kekasihnya. Pemuda berambut putih keperakan ini akan mengusir hawa beracun yang berada dalam tubuh Melati dengan dorongan tenaga dalamnya.
Berkat tenaga dalamnya yang memang amat kuat, tak berapa lama hawa beracun itu sudah terusir pergi. Asap hitam mulai mengepul dari atas kepala Melati, hingga akhirnya lenyap sama sekali. Hal yang sama dilakukan Dewa Arak pada Wintari.
Semua kejadian itu disaksikan Singa Hitam Tangan Sepuluh dengan penuh kagum. Dia tahu, untuk melakukan apa yang diperbuat Dewa Arak, apalagi dalam waktu yang demikian singkat, memang membutuhkan tenaga dalam kuat!
Di saat Dewa Arak tengah sibuk mengusir hawa beracun di tubuh Melati, Singa Hitam Tangan Sepuluh sadar. Sesaat sepasang matanya terpaku pada Dewa Arak, tapi kemudian segera berpaling ke arah sosok tubuh ramping berpakaian kuning!
"Singa Hitam," ucap Wintari begitu sadar.
"Benar, Wintari Kau baik-baik saja?" Singa Hitam Tangan Sepuluh balas bertanya setelah terlebih dulu menyunggingkan senyum pahit.
Wintari mengangguk. Sementara, Dewa Arak dan Melati berdiri diam memperhatikan, tanpa mengusik urusan kedua orang itu.
"Aku membawa berita yang tidak menyenangkan untukmu, Wintari," ujar Singa Hitam Tangan Sepuluh setelah beberapa kali menghela napas berat. "Sebenarnya, aku takut menyampaikannya. Tapi ini harus kukatakan agar hatiku tenang."
"Apakah mengenai ayahku?" terka Wintari.
Wajah Singa Hitam Tangan Sepuluh berubah. Tapi dengan pasti walaupun lambat-lambat, kepala dianggukkan untuk membenarkan dugaan itu. Seketika itu pula, Wintari kalap! Dicekalnya kedua tangan Singa Hitam Tangan Sepuluh dan diguncang-guncangkannya. Sementara lelaki bermuka singa ini malah menundukkan kepala.
"Katakan, Singa Hitam! Apa yang terjadi pada ayahku?!" seru Wintari kalap. "Katakan!"
Meskipun belum dikemukakan, tapi menilik sikap Singa Hitam Tangan Sepuluh, Wintari sudah bisa memperkirakan berita yang akan diterimanya.
"Ayahmu..., telah tewas, Wintari," akhirnya keluar juga jawaban itu.
"Apa?!" Sepasang mata gadis berpakaian kuning itu terbelalak. Tarikan wajah dan sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan, Walaupun sudah menduga sebelumnya, tetap saja berita itu mengejutkannya. "Ayah..., tewas...?" ucap Wintari lemah, seperti kehilangan semangat.
Singa Hitam Tangan Sepuluh mengangkat wajah dan mengangguk. Kemudian secara jelas semua kejadiannya diceritakan. "Semua ini salahku, Wintari. Hukumlah aku! Kalau aku tidak singgah, mungkin ayahmu tidak akan tewas," ujar Singa Hitam Tangan Sepuluh menutup ceritanya.
Tapi tak ada tanggapan apa-apa dari Wintari atas ucapan itu. Dia terpaku kaku, dengan air mata bercucuran. Tampak jelas kalau gadis ini amat terpukul. Kemudian disertai keluhan panjang, tubuhnya roboh. Kalau saja Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak buru-buru menyangga, tentu kepalanya akan terbentur tanah.
Siang baru saja merambat menuju senja, ketika sosok bayangan ungu dan putih berkelebat cepat menyusuri jalan tanah berdebu. Kedua sosok ini terus berlari dengan kecepatan tinggi.
"Aku yakin kita belum terlambat, Kang?" tanya sosok bayangan putih yang tak lain Melati tanpa menghentikan larinya.
"Berharap saja demikian, Melati. Mudah-mudahan saja, Raja Iblis Tanpa Tanding dan gerombolannya lebih memusatkan perhatian pada Singa Hitam Tangan Sepuluh," jawab Arya alias Dewa Arak kalem.
Sampai di sini, pembicaraan terhenti. Sepasang anak muda itu baru memperlambat larinya ketika mendekati bangunan dengan beberapa anak bangunan yang berhalaman luas. Pagar dari kayu bulat kokoh kuat tampak mengelilingi kelompok bangunan dan ha-laman itu. Di atas pintu gerbang terpampang sebuah papan tebal yang berukir indah. Di situ tertulis huruf-huruf yang berbunyi 'Perguruan Lembah Dewa'!
Dewa Arak dan Melati menghentikan larinya, dua tombak di depan pintu gerbang Perguruan Lembah Dewa. Kemudian dihampirinya dua penjaga yang berdiri di kanan kiri pintu gerbang dengan sikap was-pada. Penjaga-penjaga ini memang sudah sejak tadi memperhatikan Dewa Arak dan Melati.
"Maaf, Kisanak. Bisa kami bertemu Ki Rancang?" tanya Arya sopan. "Ada hal sangat penting yang perlu dibicarakan. Namaku Arya. Dan kawanku ini, Melati."
Dua penjaga pintu gerbang tidak langsung menjawab permintaan itu. Dirayapinya sekujur tubuh Dewa Arak dan Melati.
"Silakan menunggu sebentar. Kami akan lapor dulu," ucap penjaga yang berambut kecoklatan. Usai berkata demikian, dia berlari ke dalam. Tak lama kemudian kembali lagi keluar.
"Ki Rancang bersedia menerima kedatangan kalian berdua. Mari kuantarkan!"
"Terima kasih," ucap Arya, gembira. Kemudian bersama penjaga berambut kemerahan itu, Dewa Arak dan Melati masuk ke dalam. Mereka melewati halaman yang luas, menuju sebuah bangunan yang paling besar.
"Silakan menunggu di sini sebentar," ujar penjaga berambut kemerahan itu. Kemudian dia berlari cepat ke dalam bangunan tanpa menunggu tanggapan sepasang pendekar yang diantarnya.
Dewa Arak dan Melati patuh, berdiri menunggu. Pandangan mereka beredar ke sekeliling tempat itu. Sunyi sepi. Tidak tampak seorang pun tengah berlatih.
"Waspadalah, Melati," bisik Arya, "Perasaanku tidak enak."
"Jangan-jangan kita dijebak, Kang," tukas Melati, "Barangkali saja gerombolan Raja Iblis Tanpa Tanding telah merebut tempat ini!"
Belum sempat Dewa Arak memberi tanggapan....
Sing! Sing! Sing!
Bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan te-linga terdengar seiring melesatnya ratusan anak panah ke arah Dewa Arak dan Melati. Serangan yang datang dari segala penjuru ini, mengarah pada sepasang pen-dekar muda yang berada di tengah-tengah halaman.
Dewa Arak dan Melati langsung mengadu punggung. Kemudian dengan tangan telanjang, dipapaknya hujan anak panah itu dengan pengerahan te-naga dalam. Sehingga, telapak tangan mereka tidak sampai terluka.
Tak, tak, tak!
Bunyi berdetak keras terdengar, ketika anak-anak panah itu berjatuhan dalam keadaan patah-patah, setelah dihantam tangan sepasang pendekar itu. Malah sebagian di antaranya roboh sebelum sempat tertangkis!
Tapi hujan anak panah itu ternyata tidak berhenti sampai di situ. Tapi untung saja semuanya dapat dikandaskan Dewa Arak dan Melati.
Sadar kalau serangan dengan anak panah tidak berarti, para penyerang pun keluar dari tempatnya. Dan dengan senjata di tangan, mereka menyerbu seraya mengeluarkan teriakan-teriakan keras. Dan ternyata, mereka memang anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding. Namun orang yang dihadapi kali ini adalah Dewa Arak dan Melati! Menghadapi serangan semacam itu sama sekali mereka tidak menjadi gugup.
Tak, tak!
Detak keras seperti dua logam kuat berbentu-ran, terdengar ketika serangan tokoh-tokoh aliran hi-tam itu dipapak sepasang tangan Dewa Arak. Yang le-bih gila lagi, mata senjata-senjata itu malah berpatahan. Itu pun masih diselingi jerit kesakitan dari mulut tokoh-tokoh aliran hitam itu. Bahkan tangan yang menggenggam pedang terasa sakit bukan kepalang. Beberapa di antaranya malah tak kuat menggenggam senjata hingga terjatuh!
Meskipun demikian, tokoh-tokoh aliran hitam lain tidak menjadi gentar. Diiringi pekikan nyaring yang memekakkan telinga, mereka menerjang Dewa Arak dan Melati dalam jumlah yang lebih banyak. Hal ini disebabkan anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding yang lain telah berdatangan, begitu mendengar keributan.
Tapi tindakan tokoh-tokoh aliran hitam itu tak ubahnya segerombolan semut menerjang api. Mereka semua roboh tanpa daya, sebelum sempat menyarang-kan sebuah serangan pun. Suara desing senjata menyambar dan dentang senjata berbenturan, menyemaraki jalannya pertarungan.
Itu pun masih ditingkahi jerit kesakitan dan juga berjatuhannya tubuh tokoh-tokoh aliran hitam ke tanah. Sudah dapat dipastikan, semua tokoh aliran hitam akan berhasil dirobohkan Dewa Arak dan Melati. Tapi sebelum hal itu terjadi....
"Menyingkir semua...!"
Sebuah bentakan keras menggelegar seketika terdengar, sehingga membuat suasana di sekitar tem-pat itu bergetar keras. Tampaknya, bentakan itu dike-luarkan disertai pengerahan tenaga dalam. Maka seketika tokoh-tokoh aliran hitam yang masih tersisa langsung menghentikan serangan. Me-reka tahu, orang yang membentak itu adalah pimpinan mereka.
Tapi ternyata orang yang membentak adalah Dewa Sesat Pemetik Bunga! Sementara di belakangnya berdiri belasan orang tokoh hitam berpakaian seragam. Rupanya, datuk pendek gemuk ini telah mendengar adanya keributan.
"Kiranya Dewa Arak! Ha ha ha...! Betapa gagahnya tindakanmu dengan menjatuhkan tangan pada tokoh-tokoh rendahan! Ha ha ha.... Hebat! Hebat!" lanjut Dewa Sesat Pemetik Bunga, penuh ejekan.
Datuk wilayah timur ini sebenarnya memendam penasaran pada Dewa Arak, karena dirinya telah dibuat malu ketika dikalahkan oleh Dewa Arak beberapa waktu lalu. Ingin dicobanya sekali lagi kesaktian pemuda berambut putih keperakan itu.
"Ah! Betapa gagahnya ucapanmu, Dewa Sesat! Apakah kau ingin dibuat terjerembab lagi oleh Dewa Arak?!" ejek Melati.
"Tutup mulutmu, Wanita Liar!" maki Dewa Sesat Pemetik Bunga, geram. "Atau aku yang akan menutupnya dengan kekerasan!"
"Hi hi hi...!" Hanya tawa mengikik dari Melati yang menyambuti ancaman Dewa Sesat Pemetik Bunga. Tampak jelas kalau gadis berpakaian putih itu tidak menganggap ancaman datuk pendek gemuk itu sebagai suatu ancaman.
"Kau akan menutup mulutku dengan kekerasan?! Hi hi hi...! Apakah aku tidak salah dengar? Ingin kulihat, bagaimana kau membuktikan ucapanmu, Kerbau Pendek Gemuk?!"
"Mampus kau, Wanita Sombong!" Belum juga gema ucapan itu lenyap, Dewa Sesat Pemetik Bunga telah melancarkan serangan pada gadis berpakaian putih itu. Serangannya dimulai dengan sebuah tendangan kaki kanan lurus ke arah perut. Agar serangan yang dikirimkan dapat mencapai sasaran, terpaksa Dewa Sesat Pemetik Bunga bergerak mendekat terlebih dahulu.
Wuttt!
Serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga hanya mengenai tempat kosong, karena Melati telah lebih dulu melompat menghindar, seraya melancarkan serangan berupa sampokan ke arah pelipis.
Cittt!
Deru angin tajam terdengar dari udara yang terobek oleh sampokan tangan Melati yang berbentuk cakar. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kedahsyatan serangannya yang disertai pengerahan tenaga dalam.
Dewa Sesat Pemetik Bunga yang sudah bisa membaca kekuatan gadis itu, tidak berani membuang-buang waktu. Apalagi serangan itu datangnya terlalu tiba-tiba. Apabila terlambat sedikit saja akan gawat akibatnya.
Karena kesempatan yang tidak memungkinkan inilah Dewa Sesat Pemetik Bunga hanya sempat menarik kepalanya ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Meskipun hanya demikian, tapi cukup membuat serangan itu mengenai tempat kosong. Sampokan cakar Melati hanya lewat beberapa jari di depan wajah Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Namun tak urung rambut dan sekujur pakaian Dewa Sesat Pemetik Bunga berkibaran keras. Dari sini saja sudah bisa diketahui betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu. Melati jadi geram karena penasaran melihat lawannya berhasil mengelakkan serangan. Dan seiring munculnya perasaan itu, diputuskan untuk semakin memperhebat serangannya.
Tapi, ternyata Dewa Sesat Pemetik Bunga bukan termasuk lawan yang mudah dirobohkan. Setiap serangan Melati berhasil dipatahkan. Bahkan datuk pendek gemuk ini mampu mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Maka kini pertarungan sengit tidak bisa dielakkan lagi.
Karena masing-masing memiliki gerakan cepat, maka dalam waktu sebentar saja lima belas jurus telah terlewati. Dan selama itu, belum nampak tanda-tanda ada yang menang. Agaknya pertarungan itu disaksikan penuh perhatian oleh Dewa Arak dan anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding. Tapi tentu saja di antara mereka semua, hanya Dewa Arak yang dapat melihat jelas pertarungan yang tengah berlangsung.
Memang, kecepatan gerak Melati dan Dewa Sesat Pemetik Bunga tidak dapat tertangkap oleh pandangan mata anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan putih dalam bentuk tidak jelas, yang saling belit dan kadang-kadang saling pisah.
Dengan penuh perhatian Dewa Arak menyaksikan jalannya pertarungan antara Melati melawan Dewa Sesat Pemetik Bunga yang berlangsung semakin seru. Apalagi ketika masing-masing telah mengeluarkan ilmu andalan. Lima puluh jurus telah terlewat, namun selama itu belum nampak adanya tanda-tanda yang bakal jadi pemenang.
Kini alis Dewa Arak berkernyit. Disadarinya kalau pertarungan akan berjalan alot. Jelas sudah kalau Dewa Sesat Pemetik Bunga memang lawan tangguh bagi Melati!
Kontan perasaan cemas melilit hati Dewa Arak. Menghadapi Dewa Sesat Pemetik Bunga saja, Melati sudah dibuat kewalahan. Padahal di tempat ini masih ada dua orang lagi yang memiliki kesaktian tinggi pula. Bahkan satunya memiliki kepandaian menggiriskan! Dan orang itu adalah Raja Iblis Tanpa Tanding.
Itulah yang membuat gelisah Dewa Arak. Yang dicemaskannya kini hanyalah Melati! Paling tidak, gadis itu harus diajak keluar dari sini! Tapi sebelum Dewa Arak melaksanakan maksudnya....
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa bergelak, yang membuat sekitar tempat itu bergetar hebat. Tawa siapa lagi kalau bukan Raja Iblis Tanpa Tanding? Tampak tokoh sesat itu tertawa dari dalam bangunan paling besar, bersama Siluman Pencabut Nyawa.
"Pucuk dicinta ulam tiba!" kata kakek bermata mengerikan itu setelah menghentikan tawanya. "Sama sekali tidak kusangka! Tanpa bersusah payah mencari, kau datang ke hadapanku, Dewa Arak! Ha ha ha...! Berarti, pertarungan kita yang belum selesai dapat dilanjutkan."
Setelah berkata demikian, Raja Iblis Tanpa Tanding mengibaskan tangan kanannya. "Ringkus wanita itu! Dia bahan yang baik sekali untuk penyempurnaan ilmu yang kumiliki!"
"Baik," kata Siluman Pencabut Nyawa, cepat. Kemudian kakinya terayun menghampiri kancah pertarungan antara Melati dan Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Dewa Arak terkejut bukan kepalang mendengar perintah Raja Iblis Tanpa Tanding. Dan ini berarti keselamatan Melati tengah terancam!
"Tunggu!" cegah Dewa Arak cepat sambil melesat maju. Hanya sekali lesatan saja, Dewa Arak telah berada di hadapan Siluman Pencabut Nyawa yang tengah menuju kancah pertarungan antara Melati dan Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Siluman Pencabut Nyawa terpaksa menghentikan langkahnya, karena Dewa Arak berdiri menghadang jalan.
"Raja Iblis Tanpa Tanding! Persoalan sebenarnya adalah antara kau dan aku! Bukan dengan gadis itu. Lepaskan gadis itu. Dan, mari bertarung sampai di antara kita ada yang menggeletak tanpa nyawa!" tantang Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan ini mencoba membuat Raja Iblis Tanpa Tanding merubah keputusannya.
"He he he...! Tidak usah mengajariku, Dewa Arak. Sekalipun tidak ada urusan, kalau aku mau siapa yang berhak melarang?! Apalagi gadis itu! Dia telah banyak menanam persoalan denganku. Telah cukup banyak anak buahku yang terluka olehnya. Kau mengerti?! Kini berhati-hatilah, kalau kau tidak ingin mati percuma di tanganku!"
Seiring selesainya ucapan itu, Raja Iblis Tanpa Tanding bergerak menghampiri Dewa Arak dengan langkah satu-satu. Terlihat jelas kalau sikapnya sangat waspada, karena telah merasakan sendiri kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu.
Tepat ketika Raja Iblis Tanpa Tanding bergerak menghampiri Dewa Arak, Siluman Pencabut Nyawa melanjutkan maksudnya yang tertunda. Datuk tinggi kurus ini kembali menghampiri kancah pertarungan antara Melati dan Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Tentu saja semua ini tak luput dari pengawasan Dewa Arak. Dan dalam waktu yang hanya sekejap saja, pemuda berambut putih keperakan ini memutar otak untuk memperhitungkan tindakan yang harus dilakukannya.
"Hih!" Dewa Arak seketika menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya melayang, menuju kancah pertarungan yang terjadi antara Melati dan Dewa Sesat Pemetik Bunga. "Melati! Cepat pergi!"
Di saat tubuhnya tengah meluruk ke dalam kancah pertarungan, Dewa Arak menyerukan perintah pada kekasihnya. Karuan saja seruan Dewa Arak membuat Melati kaget, karena perhatiannya tengah terpusat untuk mengalahkan Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Sehingga gadis berpakaian putih ini tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya. Namun meskipun demikian, Melati tidak berani membantah perintah Dewa Arak. Dia tahu, Arya memberi perintah seperti itu pasti berdasarkan alasan kuat.
Maka, tanpa ragu-ragu lagi, Melati segera melempar tubuh ke belakang, menjauhi kancah pertarungan. Tubuhnya yang ramping berputaran di udara, dalam usahanya menjauhi lawan.
Tentu saja Dewa Sesat Pemetik Bunga tidak mau memberi kesempatan pada gadis itu. Maka tubuhnya pun melesat mengejar. Sekarang, Melati benar-benar berada dalam bahaya besar. Ini karena maksudnya dilaksanakan saat keadaannya tidak menguntungkan.
Tapi sebelum Dewa Sesat Pemetik Bunga sempat melancarkan serangan, Dewa Arak telah lebih dulu melesat memotong jalur lompatannya. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu juga langsung melayangkan kedua tangannya untuk memapak serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga. Kali ini, Arya tidak ragu-ragu lagi mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Akibatnya, benturan antara dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat pun tidak terelakkan lagi. Dan....
Plakkk, plakkk!
"Aih...!" Terdengar jeritan tertahan dari mulut Dewa Sesat Pemetik Bunga ketika tubuhnya melayang deras ke belakang. Kedua tangannya kontan terasakan sakit-sakit. Bahkan dadanya pun terasa sesak bukan kepalang. Kini datuk pendek gemuk itu baru menyadari kalau tenaga dalamnya kalah jauh dibanding Dewa Arak.
Meskipun demikian, Dewa Sesat Pemetik Bunga masih bisa menunjukkan kelihaiannya selaku seorang datuk golongan hitam pada orang-orang yang menyak-sikan. Dan tanpa menemui kesulitan, kekuatan yang membuat tubuhnya melayang ke belakang dipatahkannya. Lalu....
"Hup!" Dengan gerakan indah dan manis, Dewa Sesat Pemetik Bunga menjejak tanah. Sementara Dewa Arak sudah sejak tadi berada di tanah, karena hanya terjajar beberapa langkah ke belakang.
Dan belum sempat Dewa Arak berbuat sesuatu, tiba-tiba Siluman Pencabut Nyawa telah meluruk ke arahnya. Datuk yang bertubuh tinggi kurus ini melancarkan serangan berupa tendangan ke arah perut!
Terpaksa Dewa Arak melompat mundur. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu, Dewa Sesat Pemetik Bunga telah membantu Siluman Pencabut Nyawa. Tak pelak lagi, Dewa Arak pun sibuk menghadapi dua pengeroyok yang berkepandaian amat tinggi! Sementara itu baru saja kedua kaki Melati hinggap di tanah,
"He he he....'" Terdengar sebuah suara tawa bergetar yang mengandung pengerahan tenaga dalam. Dan ini membuat Melati terjingkat bagai disengat ular berbisa. Cepat kepalanya menoleh ke kanan, tempat suara tawa terkekeh itu berasal.
Melati terkejut bukan kepalang ketika pandangannya tertumbuk pada sepasang mata Raja Iblis Tanpa Tanding yang bersorot aneh. Terang menyilaukan, mengandung pengaruh mengerikan!
"He he he...!" Raja Iblis Tanpa Tanding kembali terkekeh melihat Melati terkesima. Dan belum juga Melati sadar dari keterpakuannya, tokoh sesat mengerikan itu melesat melepaskan totokan ke arah dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga.
Tuk! Tuk!
Melati kontan ambruk tak berdaya di tanah. Sementara, Dewa Arak sebenarnya ingin menolong Melati. Tapi apa daya, dia sendiri juga sedang melayani serangan lawan-lawannya. Untung saja dia cepat mendapat kesempatan. Sehingga pemuda berambut putih keperakan ini melesat ke tempat Melati.
Dewa Sesat Pemetik Bunga dan Siluman Pencabut Nyawa tentu saja tidak membiarkan Dewa Arak meloloskan din dari kepungan. Maka begitu melihat pemuda berambut putih keperakan itu melesat, mereka juga melesat untuk mencegah. Dan di antara kedu-anya, hanya Siluman Pencabut Nyawa yang mempunyai peluang lebih baik untuk menghadang Dewa Arak.
Menyadari kalau Dewa Arak merupakan seorang lawan yang amat tangguh, Siluman Pencabut Nyawa tidak berani bertindak main-main. Segera di-uraikan cambuk berujung dua yang semula membelit pinggang. Lalu, cambuk itu dilecutkan ke arah Dewa Arak.
Siuttt, siuttt!
Diiringi berkesiutan nyaring, ujung-ujung cam-buk itu meluncur. Begitu mengagumkan gerakan masing-masing ujung cambuk itu. Yang satu menuju ke arah ubun-ubun, sedangkan yang satu lagi ke bawah hidung. Pada saat yang bersamaan dengan meluncurnya serangan Siluman Pencabut Nyawa, Dewa Sesat Pemetik Bunga meluruk ke arah Dewa Arak.
Hambatan ini membuat Dewa Arak geram se-tengah mati. Kalau menuruti perasaan, ingin ditang-kapnya ujung-ujung cambuk yang tengah meluncur ke arahnya. Dia tahu, dengan kelebihan tenaga dalam yang dimiliki, cambuk itu dapat ditangkapnya tanpa harus terluka.
Namun Dewa Arak tidak mau terlarut oleh perasaan. Pengalaman demi pengalaman telah mengajarkan kepadanya kalau kebanyakan senjata tokoh golongan hitam mengandung racun mematikan.
Karena khawatir akan kebenaran dugaannya, Dewa Arak tidak mau menangkap cambuk itu. Dan dalam waktu yang hanya sedikit itu, diambilnya guci arak yang tergantung di punggungnya. Kemudian, disampoknya lecutan cambuk itu.
Ctarrr, ctarrr!
Ledakan keras seperti sambaran halilintar terdengar, ketika ujung-ujung cambuk itu beradu dengan badan guci milik Dewa Arak. Maka kesudahannya, lesatan Dewa Arak jadi terhambat. Dan...
"Hup!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sementara, Siluman Pencabut Nyawa sendiri terhuyung-huyung ke belakang. Hal ini saja cukup menjadi bukti kalau tenaga dalam Siluman Pencabut Nyawa berada di bawah Dewa Arak.
Tapi sebelum Dewa Arak meneruskan maksudnya serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga telah tiba. Terpaksa perhatian Dewa Arak beralih. Dewa Sesat Pemetik Bunga melancarkan serangan berupa sampokan tangan kanan dengan jari-jari terkembang, ke arah pelipis Dewa Arak. Tepat pada saat yang sama ujung-ujung cambuk Siluman Penca-but Nyawa meluncur ke arah ulu hati!
Wuttt!
Pemuda berambut putih keperakan itu merendahkan tubuhnya. Untuk menghindari sampok Dewa Sesat Pemetik Bunga sedangkan guci yang sejak tadi terpegang di tangan, langsung dipalangkan di depan dada untuk mematahkan serangan Siluman Pencabut Nyawa.
Wuttt! Blangngng!
Rentetan kejadian berlangsung demikian cepat. Sampokan tangan Dewa Sesat Pemetik Bunga yang hanya menyambar angin di atas kepala Dewa Arak, dan cambuk Siluman Pencabut Nyawa membentur guci berlangsung dalam selisih waktu yang demikian singkat.
Tapi kesudahannya, baik Siluman Pencabut Nyawa maupun Dewa Arak sama-sama terhuyung ke belakang. Hanya saja, Siluman Pencabut Nyawa terhuyung tiga langkah, sementara Dewa Arak hanya satu langkah. Itu pun sebagian besar disebabkan karena kedudukan pemuda berambut putih keperakan itu yang kurang menguntungkan.
Belum juga Dewa Arak sempat memperbaiki kedudukannya, kembali datang serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga dari arah belakang. Sedangkan cambuk Siluman Pencabut Nyawa kembali mematuk-matuk ke arah ubun-ubun. Kali ini, Dewa Arak diserang dari dua arah.
"Hih!" Dewa Arak melompat ke kanan. Dan selagi tu-buhnya berada di udara, guci yang sudah kembali ter-sampir di punggung diambilnya. Kemudian diangkatnya ke atas kepala....
Gluk... Gluk... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu mele-wati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya menuju ke perut. Sesaat kemudian, terasa hawa hangat berputar di dalam perut. Lalu, merayap naik ke atas kepala.
"Hup!" Tubuh Dewa Arak limbung ke kanan dan ke kiri ketika mendarat di tanah. Ini menjadi pertanda ka-lau ilmu 'Belalang Sakti' telah siap dipergunakan.
Siluman Pencabut Nyawa dan Dewa Sesat Pemetik Bunga langsung tertegun ketika melihat tingkah laku Dewa Arak. Sehingga untuk sementara mereka menghentikan pertarungan. Kedua datuk golongan hi-tam ini benar-benar merasa heran melihat tingkah Dewa Arak. Padahal, mereka telah mendengar tentang ilmu 'Belalang Sakti' milik Dewa Arak. Tapi begitu melihat sendiri, tetap saja merasa heran.
Untung, hanya sebentar saja Siluman Pencabut Nyawa dan Dewa Sesat Pemetik Bunga tertegun. Selanjutnya, mereka kembali melancarkan serangan.
Sementara itu di arena lainnya, Melati benar-benar telah tak berdaya sehabis tertotok oleh Raja Iblis Tanpa Tanding. Dia terbujur lemas tak berdaya, dalam keadaan mata terpejam.
"Ha ha ha...!" Seketika tawa Raja Iblis Tanpa Tanding meledak. Nada kemenangan dan kegembiraan tampak dalam suaranya. Kemudian, Raja Iblis Tanpa Tanding sama sekali tidak mempedulikan Melati lagi. Pandangannya dialihkan ke arah pertarungan yang berlangsung antara Dewa Arak menghadapi Dewa Sesat Pemetik Bunga dan Siluman Pencabut Nyawa.
Dengan penuh perhatian, Raja Iblis Tanpa Tanding menyaksikan jalannya pertarungan itu. Sepasang matanya yang bersinar kehijauan hampir tidak pernah berkedip sama sekali. Beberapa kali kepalanya terangguk-angguk.
"Ternyata berita yang terdengar di dunia persilatan tentang keanehan dan kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti', tidak berlebihan. Ilmu itu benar-benar dahsyat...," desah Raja Iblis Tanpa Tanding bernada kekaguman, setelah memperhatikan jalannya pertarungan beberapa saat.
Kekaguman Raja Iblis Tanpa Tanding atas kepandaian Dewa Arak memang beralasan. Tokoh muda yang menggemparkan itu dikeroyok dua datuk golongan hitam. Namun tidak tampak kalau pemuda berambut putih keperakan itu berada di pihak yang terdesak. Padahal, pertarungan telah berlangsung lebih dari lima puluh jurus!
Sementara itu, orang yang dikagumi Raja Iblis Tanpa Tanding tengah memusatkan seluruh perhatian untuk menghadapi lawan-lawannya. Segenap kemampuannya dikerahkan, karena serbuan gabungan dari lawan-lawannya memang dahsyat bukan kepalang.
Kepandaian masing-masing dua datuk golongan hitam itu saja sudah demikian hebat. Dan kini, mereka secara berbarengan maju menghadapi Dewa Arak. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya serangan gabungan itu. Tambahan lagi kedua datuk ini mampu saling mengisi. Sehingga meskipun terlihat jelas kalau mereka terdiri dari dua orang, tapi seperti dikendalikan satu pikiran. Dengan demikian kedahsyatan serangan mereka pun semakin bertambah.
Dan kedahsyatan serangan itu dirasakan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini merasakan tekanan yang amat kuat dari setiap serangan la-wan. Bahkan datangnya silih berganti dan bertubi-tubi. Tentu saja Dewa Arak tidak mempunyai kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Hanya sesekali Dewa Arak mendapat kesempatan melancarkan serangan balasan. Dan itu pun selalu berhasil dikandaskan lawan-lawannya yang bekerja sama dengan baik.
Namun itu bukan berarti Dewa Arak tidak berdaya. Meskipun kelihatannya kerepotan, tapi sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak terdesak. Dan ini pun diketahui Raja Iblis Tanpa Tanding. Sehingga kekagumannya semakin menebal ketika melihat tingkah tokoh muda yang menggemparkan itu.
Di kancah pertarungan itu Raja Iblis Tanpa Tanding melihat betapa Dewa Arak masih sempat meminum araknya! Padahal, serangan demi serangan datang bertubi-tubi. Yang lebih gila lagi, beberapa kali sewaktu serangan tengah meluncur, Dewa Arak malah dengan seenaknya menenggak araknya! Baru ketika serangan hampir mengenai sasaran, dia mengelak dengan gerakan seperti orang akan jatuh. Maka..., serangan itu pun lolos!
Karuan saja hal itu membuat lawan-lawan Dewa Arak semakin kalap! Dan akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkan pun semakin dahsyat. Menginjak jurus keenam puluh lima, Dewa Arak mulai kewalahan. Tak bisa dipungkiri kalau lawan-lawan yang dihadapi Dewa Arak adalah tokoh-tokoh utama dunia persilatan. Itu sebabnya dia keteter.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan seiring semakin lamanya pertarungan, semakin terlihat jelas keadaan Dewa Arak yang terus dihimpit. Sudah bisa diketahui kalau pertarungan terus berlanjut, keadaan Dewa Arak akan semakin sulit.
"Ha ha ha...!" Raja Iblis Tanpa Tanding tertawa terbahak-bahak melihat perubahan pada jalannya pertarungan. Sebagai seorang tokoh persilatan tingkat tinggi, tentu saja dia bisa menilai akhir dari sebuah pertarungan se-telah memperhatikannya, baik sebentar maupun agak lama.
"Sekarang kau baru tahu kelihaian kami, Dewa Arak! Jangan coba-coba menentang tingkah kami. Karena siapa pun yang mencoba menghambat, akan hancur! Ha ha ha...!"
Raja Iblis Tanpa Tanding mengakhiri ucapan bernada kemenangannya dengan sebuah tawa keras menggelegar. Rupanya kakek bermata mengerikan ini merasa gembira, karena yakin betul Dewa Arak akan roboh. Walaupun demikian, di hati kecilnya timbul perasaan kagum terhadap Dewa Arak. Sukar dipercaya orang semuda Dewa Arak, mampu menghadapi dua datuk golongan hitam sekaligus! Bahkan hingga bertarung sekian lamanya. Padahal, dia sendiri tidak yakin akan mampu!
Tapi di saat-saat menentukan itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras yang disusul berkelebatannya banyak sosok tubuh ke dalam bangunan Perguruan Lembah Dewa ini. Tentu saja hal ini mengejutkan Raja Iblis Tanpa Tanding dan anak buahnya. Apalagi ketika mengetahui jumlah penyerbu yang demikian banyak.
Dan yang lebih mengejutkan lagi ketika melihat sosok-sosok yang menjadi pimpinan penyerbu mereka adalah Ki Rancang, Ki Cupang, dan masih ada tiga orang lagi yang merupakan ketua-ketua partai besar golongan putih.
Raja Iblis Tanpa Tanding pun seketika gentar! Betapa tidak? Satu di antara mereka saja, memiliki kepandaian tak berada di bawah datuk-datuk sesat yang menjadi anak buahnya. Dan lagi, bagaimana mereka bisa bersatu? Disadari kalau keadaan sudah tidak menguntungkan pihaknya. Meskipun demikian, diputuskan untuk mengadakan perlawanan lebih dulu!
"Sambut mereka...!" seru Raja Iblis Tanpa Tanding pada anak buahnya!
Seketika itu pula, anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding yang berjumlah tak kurang dari seratus orang, menyambut kedatangan para penyerbu. Dan penyerbu yang berjumlah lebih dari seratus orang itu memiliki gerakan gesit. Dan mereka langsung merangsek, sehingga pertempuran besar-besaran pun berkobar!
Tiga di antara lima kakek yang menjadi pemimpin para penyerbu segera melesat ke arah Raja Iblis Tanpa Tanding dan mengurungnya.
"Kau harus mempertanggung-jawabkan kekejian tindakanmu, Lakadewa! Nyawa murid-muridku harus ditebus dengan nyawamu!" bentak salah seorang dari tiga kakek berpakaian putih dengan jenggot panjang sampai ke perut! Dialah Ki Rancang, Ketua Perguruan Lembah Dewa. Sedangkan dua orang di sebelahnya adalah adik-adik seperguruannya.
"Ha ha ha...!" Raja Iblis Tanpa Tanding yang ternyata bernama Lakadewa tertawa tergelak, untuk menutupi kegentaran hatinya. Apalagi ketika melihat anak buahnya kocar-kacir. Disaksikannya pula betapa Dewa Sesat Pemetik Bunga dan Siluman Pencabut Nyawa belum juga berhasil merobohkan Dewa Arak. Malah, pemuda berambut putih keperakan itu terlihat masih segar-bugar, seakan-akan tenaganya tidak pernah habis. Keadaan benar-benar tidak menguntungkan pihaknya!
"Tidak pernah kusangka kalau kau akan bertindak seperti ini, Lakadewa! Apakah sekarang kau akan membunuh kami, yang juga kakak-kakak seperguruanmu?!" ucap Ki Rancang lagi.
Sepasang mata Raja Iblis Tanpa Tanding yang ternyata adik seperguruan Ki Rancang, seperti menyinarkan api. Sesaat kemudian.... "Diam...!"
Raja Iblis Tanpa Tanding membentak keras bukan kepalang, penuh kekuatan aneh. Akibatnya benar-benar dahsyat! Bukan hanya Ki Rancang saja yang terdiam. Semua tokoh-tokoh yang bertempur pun terdiam pula.
Kesempatan yang hanya sekejap itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Iblis Tanpa Tanding. Hanya sekali menggenjot kakinya tubuhnya telah melesat! Datuk sesat yang menggiriskan ini kabur!
Saat itulah Ki Rancang dan dua adik seperguruannya yang telah memiliki tenaga dalam tinggi, langsung sadar dari pengaruh ilmu sihir Raja Iblis Tanpa Tanding. Mereka segera melesat mengejar. Namun, Lakadewa yang sudah memperhitungkannya segera mengibaskan tangannya. Langsung dilemparkannya debu-debu beracun ke arah tiga orang kakak seperguruannya.
Ki Rancang dan dua adik seperguruannya tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru tubuhnya dilemparkan ke samping kanan dan bergulingan. Tapi ketika keduanya bangkit, tubuh Raja Iblis Tanpa Tanding telah jauh. Tidak mungkin dikejar lagi. Sambil menghela napas berat, ketiganya kembali ke tempat semula.
Sekarang ini tempat pertarungan pun telah bergeser, dan sudah tidak terbagi-bagi lagi. Tapi terlihat kalau kelompok yang dibawa Ki Rancang berada di atas angin. Maka tiga Pimpinan Perguruan Lembah Dewa dan dua kakek lainnya pun tidak ikut campur. Mereka kemudian hanya menyaksikan jalannya pertarungan antara Dewa Arak menghadapi dua lawannya yang telah berlangsung hampir dua ratus dua puluh lima jurus.
"Mampuslah kau, Dewa Arak!" Tanpa menunggu lebih lama lagi, Siluman Pencabut Nyawa langsung menerjang Dewa Arak! Serangannya dibuka dengan sebuah tendangan kaki kanan miring ke arah leher, selagi Dewa Arak terhuyung selangkah akibat beradu tenaga dengan Dewa Sesat Pemetik Bunga yang terhuyung lima langkah. Terhuyungnya Dewa Sesat Pemetik Bunga karena memang telah lelah bukan kepalang!
Wuttt!
Sementara, pemuda berambut putih keperakan itu tidak berani bertindak sembrono. Buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Sehingga, kaki Siluman Pencabut Nyawa hanya mengenai tempat kosong.
Tapi tindakan Dewa Arak tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu serangan lawan berhasil dikandaskan, tangan kirinya diluncurkan untuk menangkap pergelangan kaki Siluman Pencabut Nyawa yang belum sempat ditarik kembali!
Tappp!
Tangkapan Dewa Arak mengenai tempat kosong, karena Siluman Pencabut Nyawa telah lebih dulu menarik kakinya. Saat itu, Dewa Arak cepat menghentakkan tangan kirinya ke arah Dewa Sesat Pemetik Bunga yang tengah melompat menerjang.
Wusss!
Deru angin keras berhawa panas menyengat memapak serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga. Datuk wilayah timur ini kaget bukan kepalang. Sedapat-dapatnya diusahakan untuk mengelak, tapi terlambat. Karena....
Bresss!
"Aaa...!" Dewa Sesat Pemetik Bunga memekik memilukan, ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak bersarang tepat di dadanya. Seketika itu pula tubuhnya melayang jauh ke belakang, dan jatuh berdebuk di tanah dalam keadaan tubuh hangus. Dewa Sesat Pemetik Bunga tewas, tanpa sempat bergerak sedikit pun.
Karuan saja hal ini membuat Siluman Pencabut Nyawa geram. Maka seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkan untuk mengadu nyawa! "Hiaaat..!"
"Hiyaaat...!" Ternyata pada jurus kedua ratus sepuluh, baik Siluman Pencabut Nyawa maupun Dewa Arak sama-sama saling terjang. Dan begitu berada di udara, Siluman Pencabut Nyawa langsung melecutkan cambuknya.
Wuttt..!
Dengan deras, cambuk itu meluncur ke arah pelipis Dewa Arak. Namun kali ini dia mengambil tindakan berbahaya. Dengan perhitungan matang seorang tokoh silat tingkat tinggi, ditangkisnya sabetan cambuk Siluman Pencabut Nyawa dengan guci di tangan kiri.
Tappp! Rrrttt!
Cambuk Siluman Pencabut Nyawa membelit di guci Dewa Arak. Namun lilitan pada guci arak itu tidak terlalu erat. Dan di saat itulah Dewa Arak menghantamkan guci araknya ke dada Siluman Pencabut Nyawa.
Wuttt, Bukkk!
Telak dan keras sekali dada Siluman Pencabut Nyawa terhantam guci Dewa Arak. Kontan tubuhnya melayang ke belakang disertai semburan darah segar dari mulut, hidung, dan telinganya. Begitu ambruk di tanah nyawa Siluman Pencabut Nyawa melayang seketika itu pula.
Ringan laksana daun kering Dewa Arak mendarat di tanah. Kemudian langsung disambarnya tubuh Melati dan dibawanya kabur meninggalkan tempat itu. Dewa Arak tidak merasa heran atas munculnya bala bantuan itu, karena memang sudah direncanakannya bersama Singa Hitam Tangan Sepuluh.
Dari cerita Singa Hitam Tangan Sepuluh itu pula Dewa Arak tahu, mengapa lelaki bermuka singa itu dikejar-kejar. Singa Hitam Tangan Sepuluh yang mengenal Raja Iblis Tanpa Tanding, sebenarnya berasal dari perguruan yang sama yang bernama Perguruan Lembah Dewa. Hanya saja Singa Hitam Tangan Sepuluh murid biasa, dan Raja Iblis Tanpa Tanding adalah murid utama.
Kedua orang itu ternyata jatuh cinta pada putri Ketua Perguruan Lembah Dewa. Dan persaingan itu menimbulkan perselisihan yang dalam. Hingga ketika mereka berdua diusir dari perguruan, Raja Iblis Tanpa Tanding berniat melenyapkan Singa Hitam Tangan Sepuluh. Dan dendam itu terus dibawa oleh Raja Iblis Tanpa Tanding sampai nanti bertemu Singa Hitam Tangan Sepuluh kembali.
Seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun yang tengah berbaring di dipan bambu tersentak kaget. Ia bangkit, dan langsung bersikap waspada. Untung saja senjatanya tidak pernah lepas, walaupun sedang berbaring.
"Mana Singa Hitam Tangan Sepuluh?! Cepat suruh keluar! Atau..., kepalamu kuremukkan!" bentak lelaki tinggi besar berkepala botak yang tadi menendang pintu. Pandangannya seketika beredar ke seluruh penjuru ruangan yang tak begitu luas ini.
"Maaf. Kurasa Ki sanak semua keliru. Di sini tidak ada orang yang bernama Singa Hitam Tangan Sepuluh. Yang ada hanya aku, Prataksa," jawab si pemilik rumah yang bertubuh tegap dan berpakaian coklat.
"Keparat! Kau berani berdusta, Prataksa?! Rupanya sudah bosan hidup, heh?! Rangkuti, Panca! Geledah rumah ini!" perintah lelaki tinggi besar pada dua anak buahnya.
Tanpa banyak cakap lagi, dua orang berpakaian hitam yang bernama, Rangkuti dan Panca bergegas melaksanakan perintah itu. Tapi sebelum maksud mereka terkabul, laki-laki tua bernama Prataksa telah menggeser tubuh menutupi satu-satunya pintu yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan yang lainnya.
"Kalian hanya dapat melakukannya, apabila aku telah menjadi mayat!" tandas Prataksa mantap.
"Keparat! Rupanya kau sudah ingin mampus, Tua Bangka! Hih...!"
Seiring keluarnya ucapan itu, Rangkuti yang bertubuh pendek kekar, menerjang Prataksa. Goloknya langsung ke arah perut lelaki berpakaian coklat itu.
Wuttt!
Serangan Rangkuti mengenai tempat kosong, ketika Prataksa menarik kaki kanannya ke belakang sambil doyong ke belakang. Dan begitu serangan Rangkuti berhasil dielakkan, tangan kirinya langsung dikibaskan. Sungguh suatu serangan tak terduga, sehingga...
Prattt!
"Akh...!" Rangkuti memekik keras ketika tangan Prataksa menghantam telak tangan kanannya. Mulutnya kontan meringis, merasakan sakit bukan kepalang. Seakan-akan tulang-belulang remuk-remuk. Begitu ke-rasnya hantaman lelaki berpakaian coklat itu, sehingga golok Rangkuti pun sampai terlempar.
Tapi sebelum Prataksa melancarkan serangan susulan terhadap Rangkuti, Panca telah lebih dulu menyerang dengan sebuah bacokan ke arah leher.
Wuttt, wuttt!
Kembali serangan anak buah lelaki tinggi besar itu hanya menemukan tempat kosong. Prataksa ru-panya lebih cepat melompat mundur, sehingga semua serangan hanya lewat di hadapannya.
"Keparat!" geram lelaki tinggi besar itu sambil mengepalkan tangannya melihat kegagalan serangan anak buahnya.
Rupanya lelaki berkepala botak itu tidak bisa menahan sabar lagi. Belum lagi gema ucapannya lenyap, dia telah melompat menerjang Prataksa. Dengan kelincahan dan kekuatan pergelangan tangan, goloknya diputar beberapa saat, kemudian diluncurkan ke arah leher Prataksa.
Wungngng!
Kali ini Prataksa tidak berani bertindak sembarangan. Buru-buru sepasang pedang yang tergantung di punggung dicabutnya. Dan seketika dipapaknya luncuran golok itu dengan sepasang pedangnya yang saling menyilang.
Trangngng!
Bunga api berpijar, ketika senjata yang berbeda jenis dan ukuran itu saling berbenturan. Begitu kuatnya benturan itu, mengakibatkan tubuh Prataksa terhuyung-huyung ke belakang. Sementara, laki-laki botak itu langsung melenting ke belakang.
Tepat ketika kedua kaki lelaki tinggi besar itu mendarat di tanah, Prataksa pun telah berhasil memperbaiki keseimbangan tubuhnya. Dan secepat itu pula kedua belah pihak saling gebrak kembali.
Kedua orang yang bertarung itu memang memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang ringan. Tentu saja mereka tidak berani bertindak main-main. Maka dalam gebrakan selanjutnya, seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan.
Tak heran kalau di ruangan yang tak begitu luas ini, semua jadi begitu ramai di sekitar tempat itu. Desing dan dentang senjata beradu meningkahi teriakan-teriakan pertarungan. Meja dan kursi bermentalan ke sana kemari. Dinding dan langit-langit ruangan pun tergetar hebat, akibat angin-angin serangan. Untung ruangan itu cukup, untuk sebuah pertarungan satu lawan satu.
Namun ketika pertarungan sudah memakai jurus-jurus tinggi, mereka agaknya kurang merasa leluasa di ruangan ini. Dan seperti telah disepakati bersama, mereka melesat keluar. Sehingga kini pertarungan sengit pun berlanjut di halaman.
Sementara Rangkuti dan Panca juga bergegas ke luar. Mereka tidak ingin ketinggalan menyaksikan pertarungan yang menarik ini. Sehingga mereka mengundurkan diri dari kancah pertarungan, dan lebih tertarik untuk menjadi penonton saja. Meskipun demikian golok telanjang tetap tercekal di tangan. Mereka memang harus bersiap-siap, apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas pemimpin mereka.
Sementara itu, tanpa diketahui seorang pun, sepasang mata lain tampak menyaksikan semua pertarungan itu secara sembunyi-sembunyi. Sepasang mata yang memiliki bulu mata lentik itu mengintai dari balik dedaunan di atas cabang pohon tinggi yang tak jauh dari situ. Menilik dari sorot matanya, jelas dia sangat menaruh perhatian atas pertarungan itu.
Pertarungan telah berlangsung lebih dari lima puluh jurus. Namun tidak nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Pada kenyataannya, pertarungan memang berlangsung seimbang. Meskipun demikian, tidak berarti kepandaian satu sama lain berimbang. Sebenarnya tenaga dalam Prataksa masih lebih unggul sedikit daripada lelaki tinggi besar itu. Tapi dia masih harus mengakui keunggulan ilmu meringankan tubuh lawannya.
Sekarang, pertarungan telah menginjak jurus ketujuh puluh dua. Tapi, keadaan masih tetap berlangsung seimbang. Namun, justru keadaan ini membuat kesabaran lelaki tinggi besar itu hilang. Disadari kalau tidak membuat sebuah perubahan, pertarungan akan tetap berlangsung alot. Maka tanpa terlalu lama memutar otak, lelaki berkepala botak ini telah menemukan suatu cara yang dianggapnya jitu.
Meskipun demikian, lelaki tinggi besar tidak terlalu terburu-buru untuk melaksanakan rencananya, karena hasilnya nanti kurang baik. Maka dengan sabar ditunggunya sampai keadaan menguntungkan.
"Hih!" Di jurus kedelapan puluh dua, lelaki tinggi besar baru mulai melancarkan rencananya. Pada kesempatan yang tepat, dilepaskannya satu tendangan berputar ke kepala Prataksa. Mendapat serangan ini, Prataksa cepat melenting ke belakang, berusaha menghindari. Tepat ketika Prataksa berada di udara, jari-jari tangan kanan memijit satu benjolan yang ada di gagang goloknya. Dan...
Trekkk!
Mengerikan! Mata golok yang semula menempel pada gagangnya, tiba-tiba meluncur ke arah Prataksa yang tengah berada di udara. Munculnya serangan itu membuat Prataksa kelabakan bukan kepalang. Tambahan lagi tibanya serangan itu terlalu mendadak. Sulit baginya untuk menghindar dalam keadaan begini. Dan....
Cappp!
"Akh...!" Lolong kesakitan terdengar dari mulut Prataksa, ketika mata golok lelaki tinggi besar itu menancap di dada sebelah kirinya. Dan sebelum Prataksa sempat berbuat sesuatu, lelaki tinggi besar kembali memijit benjolan lain pada gagang goloknya. Dan....
Brettt!
Seketika mata golok yang semula tertancap di dada kiri Prataksa, kembali meluncur ke arah lelaki tinggi besar ini. Ternyata antara gagang dengan batang golok, terdapat pegas yang dapat memanjang dan memendek, apabila benjolan pada gagang golok dipencet.
"Hugh!" Dengan agak sempoyongan, Prataksa hinggap di tanah. Dan tanpa mempedulikan keadaannya yang terhuyung-huyung, pedang yang terpegang di tangan kanan disimpannya ke punggung. Kemudian, tangan kanannya yang kosong menotok jalan darah di sekitar luka yang cukup besar dan dalam. Sehingga tidak ada lagi darah yang mengalir dari lukanya. Tapi....
"Aaakh...!" Mendadak tubuh Prataksa kembali terhuyung-huyung ke belakang, dengan pedang terlempar dari tangannya. Kedua tangannya langsung digunakan untuk mendekap luka di perutnya.
"Ha ha ha...!" Lelaki tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak melihat keadaan Prataksa.
"Manusia Licik!" maki Prataksa dengan suara berdesis. Bibirnya menyeringai, menderita sakit yang amat sangat. "Kau membubuhi racun di senjatamu. Hhh...! Kini aku mengerti, mengapa kau tidak melancarkan serangan susulan di saat keadaanku tadi tidak memungkinkan. Aku kenal betul orang macam kau! Segala macam cara akan digunakan untuk mencapai kemenangan."
"Ha ha ha...!" Tawa keras bernada ejekan dari lelaki tinggi besar itu yang menyambuti ucapan Prataksa. "Syukurlah kalau kau sudah mengerti, Prataksa! Selagi masih ada kesempatan, cepat beritahukan di mana Singa Hitam Tangan Sepuluh! Cepat katakan, sebelum terlambat. Apabila racun itu sudah menjalar lebih jauh, jangan harap nyawamu akan tertolong!"
Prataksa mengeretakkan gigi, menahan geram. Juga ditahannya sekuat tenaga rasa panas yang membakar di bagian perut. "Aku tidak tahu, Manusia Keji! Dan bila tahu pun, jangan harap akan kukatakan padamu! Kau pikir aku takut mati heh?! Kau salah sangka!" cibir Prataksa cukup lantang meskipun terdengar bergetar.
Lelaki tinggi besar itu mendengus geram mendengar anggapan sepele Prataksa. "Baik kalau itu maumu, Keparat! Aku tahu, kau tidak takut mati. Tapi, apakah kau mampu menanggung siksa racun yang bersarang di tubuhmu?!"
"Apa?! Bangsat! Licik, kau!" Prataksa seketika merasakan dadanya berdebar tegang. Sudah bisa diduga, maksud kata-kata berbau ancaman dari lelaki tinggi besar ini. Dirinya akan mati secara perlahan-lahan, diiringi siksaan yang memilu-kan. Siapa yang sanggup mendapat kematian seperti itu?
Lelaki tinggi besar itu menyunggingkan senyum kemenangan. Sambil melipat tangan di depan dada, dia terus memperhatikan wajah Prataksa. "Ha ha ha...!"
Lelaki tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak melihat keadaan Prataksa.
"Manusia licik!" maki Prataksa dengan suara berdesis. Bibirnya menyeringai, menahan rasa panas yang membakar bagian perutnya. "Kau membubuhi racun di senjatamu. Hhh...!"
"Apabila racun itu telah menyebar dalam darahmu, kau akan menerima penderitaan yang hebat sebelum mati! Rasa panas dan gatal-gatal akan menyertai kematianmu!"
Prataksa merasakan bulu kuduknya meremang! Disadari benar kalau lelaki tinggi besar ini tidak hanya sekadar mengertaknya. Perlahan-lahan rasa ngeri mulai merasuki hatinya. Semakin lama perasaan ngeri itu semakin membesar. Sampai akhirnya, perasaan nekatlah yang meledak!
"Keparat! Manusia keji! Mampuslah kau! Hiyaaa..., ugh!"
Tubuh Prataksa kontan limbung sebelum berhasil menyerang lelaki tinggi besar itu. Kedua tangannya yang semula mengepal keras penuh kekuatan, kini didekapkan di perut. Seringai kesakitan yang tampak menggurat di wajahnya. Tubuh Prataksa membungkuk, merasakan rasa sakit yang menghebat.
"Ha ha ha...!" Lelaki tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak. Dengan mulut menyunggingkan senyum sinis, ditatapnya wajah Prataksa lekat-lekat. "Perlu kau ketahui, Prataksa. Racun itu akan menjalar sangat cepat, apabila kau mengerahkan tenaga dalam. Kau telah merasakannya sendiri, bukan?"
Prataksa sama sekali tidak menanggapi. Di samping rasa sakit yang tengah mendera, dia juga tak merasa perlu menanggapi. Dan tubuhnya terus membungkuk sambil memegang bagian yang dilanda sakit. Perutnya bagai diseruduk seekor kerbau ketika hendak menyerang lelaki berkepala botak tadi.
Tapi dekapan kedua tangan Prataksa pun tidak berlangsung lama. Sebentar saja tangannya sudah sibuk menggaruk-garuk, begitu rasa gatal mulai melanda sekujur tubuhnya, yang disertai rasa panas membakar. Bahkan kini rasa panas dan gatal itu makin lama semakin menjadi-jadi.
Prataksa terus menggaruk-garuk. Dan begitu digaruk, rasa gatal yang melanda malah semakin men-jadi-jadi. Bahkan, bagian tubuh yang terasa gatal se-makin meluas.
"Ha ha ha...! Kau boleh menggaruk terus sampai kulit dan dagingmu habis tercakar, Manusia Bo-doh! Ha ha ha...!" ejek lelaki tinggi besar itu.
"Ha ha ha...!" Rangkuti dan Panca juga ikut menyemaraki. Kedua orang ini sepertinya ikut merasa senang melihat penderitaan Prataksa. Sedikit pun tak ada be-las kasihan di hati mereka. Namun mendadak...
"Bontang! Manusia terkutuk! Jangan harap kuampuni nyawamu!"
Suara makian keras, membuat tawa lelaki tinggi besar dan dua anak buahnya itu berhenti. Dengan wajah berubah, mereka berpaling ke arah asal suara. Sikap mereka tampak penuh kewaspadaan, karena mengenali suara itu.
Wusss!
Diiringi hembusan angin yang cukup keras, sosok bayangan hitam berkelebat. Kemudian tanpa me-nimbulkan suara berarti, sesosok bayangan hitam mendarat di tanah, di depan laki-laki tinggi besar yang dipanggil Bontang.
"Rupanya kau masih berani menemui kami, Singa Hitam?! Kukira akan tetap bersembunyi sampai kami meninggalkan tempat ini!" ejek lelaki tinggi besar bernama Bontang, tajam.
Bontang menyunggingkan seulas senyum penuh ejekan di bibirnya. Dengan sikap memandang rendah ditatapnya sosok berpakaian hitam yang berdiri di hadapannya.
Sosok yang baru tiba itu memang pantas dipanggil Singa Hitam. Wajahnya mirip singa. Kulitnya hitam seperti pakaian yang membungkus tubuhnya yang pendek kekar! Dialah yang dijuluki Singa Hitam Tangan Sepuluh!
"Mulutmu terlalu kotor, Bontang! Kau harus dihajar!" Lelaki bermuka singa yang berjuluk Singa Hi-tam Tangan Sepuluh menggeram. Wajahnya merah padam menyiratkan kemarahan hatinya.
Usai berkata demikian Singa Hitam Tangan Sepuluh mengambil kantong kecil dari kain hitam di pinggangnya. Lalu dilemparkannya kantong itu ke belakang, tanpa mengalihkan pandangan dari Bontang.
"Telan itu untuk menghilangkan rasa gatal yang kau derita, Prataksa," ujar Singa Hitam Tangan Sepuluh.
"Singa Hitam Tangan Sepuluh! Kedatanganku kemari, karena Raja Iblis Tanpa Tanding menginginkan nyawamu! Bersiaplah menghadapi maut!" ungkap Bontang.
Srattt!
Sinar terang tampak memendar ketika Bontang mencabut golok pendeknya. Melihat hal ini, Rangkuti dan Panca pun melangkah maju dengan golok sudah terhunus.
"Kalian mundur! Biar aku yang akan mencoba menjinakkan anjing liar ini," cegah Bontang yang men-getahui tindakan dua anak buahnya.
Mendengar ucapan pemimpin mereka, Rangkuti dan Panca kembali ke tempat semula. Meskipun demikian, golok-golok telanjang masih tetap tergenggam, siap digunakan. Sikap mereka pun tetap waspada. Sementara itu, diawali teriakan nyaring, Bontang melompat menerjang Singa Hitam Tangan Sepuluh. Pada saat tubuhnya masih berada di udara, golok di tangannya dikelebatkan secara mendatar, mengarah tepat ke leher lelaki bermuka singa itu.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengiringi tibanya serangan menjadi pertanda, betapa hebatnya tenaga dalamnya. Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu betul tokoh yang bernama Bontang ini cukup lihai. Tak heran kalau Bontang kini menguasai perkumpulan kecil yang bernama Perkumpulan Iblis Merah. Maka, ditunggunya serangan itu hingga menyambar dekat. Kemudian kakinya melangkah ke belakang, seraya mencondongkan tubuhnya.
DUA
Wusss!
Mata golok Bontang menyambar, lewat beberapa jengkal dari leher Singa Hitam Tangan Sepuluh. Namun, Bontang memang sudah memperhitungkannya. Maka begitu serangan pertamanya gagal, segera disusulinya dengan sebuah tusukan. Masih leher Singa Hitam Tangan Sepuluh yang dijadikan sasaran.
Tapi untuk yang kesekian kalinya, serangan Bontang hanya menggapai angin. Singa Hitam Tangan Sepuluh lebih cepat merendahkan tubuhnya, dengan menekuk lutut. Sehingga serangan itu meluncur beberapa jari di atas kepalanya.
Ternyata, kali ini Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak hanya bertahan saja melayani serangan lawannya. Secepat tusukan golok Bontang berhasil dielakkan, secepat itu pula dikirimkan serangan balasan.
Lelaki bermuka singa ini melancarkan gedoran dua telapak tangan terbuka ke arah dada. Cepat bukan kepalang gerakannya, sehingga yang terlihat hanya sekelebatan bayangan yang tidak jelas. Tak aneh kalau tokoh ini mendapat julukan Tangan Se-puluh, di samping julukan Singa Hitam!
"Hehhh...?!" Bontang langsung terpekik kaget, mendapat serangan cepat dan sama sekali tidak disangka-sangka. Namun sebagai tokoh yang sudah terbiasa menghadapi pertarungan, otaknya dengan cepat memberi perintah untuk membuat gerakan kilat. Patut dipuji kecepatan gerak Bontang. Dalam waktu yang demikian singkat, dia melompat dengan kedua kaki tertekuk untuk melindungi dada.
Dukkk!
Benturan keras antara sepasang tangan dan kaki itu tidak bisa dielakkan lagi. Seketika tubuh Bontang terjengkang ke belakang. Rupanya pertahanan lelaki bermuka singa ini lebih menguntungkan daripada lawannya. Kedudukan kakinya cukup kokoh, sehingga hanya terjajar.
Jliggg!
Dengan mulut menyeringai, Bontang mendarat di tanah. Dan secepat itu pula kembali diserangnya Singa Hitam Tangan Sepuluh. Rupanya serangan itu mendapat perlawanan gigih dari lelaki bermuka singa ini. Maka kembali pertarungan sengit tidak bisa dielakkan lagi. Kali ini Singa Hitam Tangan Sepuluh telah pula mengeluarkan senjatanya, sebuah tombak pendek berwarna hitam mengkilat!
Menarik dan begitu sengit pertarungan antara Bontang dengan Singa Hitam Tangan Sepuluh. Apalagi masing-masing telah mengeluarkan seluruh kemam-puan sejak gebrakan-gebrakan awal.
Sementara itu, walau sulit melihat jelas jalannya pertarungan, Rangkuti dan Panca terus berusaha memelototkan mata untuk menyaksikan. Memang gerakan Bontang dan Singa Hitam Tangan Sepuluh terlalu cepat untuk bisa dilihat secara jelas. Yang bisa terlihat hanyalah kelebatan bayangan merah dan hitam yang saling belit, dan sesekali terpisah.
Tidak terasa, pertarungan telah berlangsung hampir empat puluh jurus. Dan selama itu, belum nampak adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Melihat jalannya pertarungan yang demikian lama, Rangkuti dan Panca tidak bisa tinggal diam lagi.
Padahal, Raja Iblis Tanpa Tanding yang merupakan pucuk pimpinan tertinggi telah memerintahkan untuk melenyapkan Singa Hitam Tangan Sepuluh secepatnya. Atas dasar pemikiran itulah, Rangkuti dan Panca ikut terjun dalam kancah pertarungan.
"Hiaaat...!"
Rangkuti mendahului serangan dari arah sebelah kiri, disusul Panca dari kanan.
Singa Hitam Tangan Sepuluh terkejut bukan kepalang. Apalagi saat itu, Bontang tengah melancarkan serangan dari atas kepala. Itu pun masih ditambah lagi dengan kedudukannya yang tidak menguntungkan, ketika baru saja menghindari serangan bertubi-tubi dari Bontang.
Dalam waktu yang demikian singkat, Singa Hi-tam Tangan Sepuluh memutar otak mencari cara un-tuk menyelamatkan diri. Disadari keadaannya memang amat berbahaya!
"Hih!" Singa Hitam Tangan Sepuluh bertindak nekat. Seketika kakinya menjejak tanah, lalu tubuhnya dilemparkan kebelakang. Pada saat yang sama pula tombaknya diayunkan untuk menangkis serangan Bontang!
Trangngng!
Srattt!
"Akh!" Singa Hitam Tangan Sepuluh memekik tertahan. Memang serangan Bontang berhasil dipatahkan. Sementara babatan golok Rangkuti juga berhasil dielakkan. Tapi sayang, babatan Panca gagal dihindarkan. Ujung golok anak buah Bontang itu sempat merobek lebar kulit perutnya. Darah pun langsung menyembur deras dari bagian yang terluka.
Meskipun agak terhuyung-huyung, begitu berhasil menjejak tanah, Singa Hitam Tangan Sepuluh langsung menotok sekitar lukanya. Sehingga darah langsung berhenti mengalir. Dan sebelum Bontang dan anak buahnya melancarkan serangan susulan, lelaki bermuka singa telah lebih dulu melemparkan sebuah benda berwarna coklat berbentuk telur itik.
Darrr!
Untung saja Bontang, Panca, dan Rangkuti telah lebih dulu melempar tubuh ke belakang, menjauhi benda yang langsung meledak menghantam tanah mengepul menghalangi pandangan. Dan begitu asap lenyap disapu angin, Singa Hitam Tangan Sepuluh sudah tidak berada di situ lagi. Demikian pula tubuh Prataksa yang tadi tergolek. Jelas, lelaki bermuka singa itulah yang membawanya kabur.
"Keparat!" Bontang memaki kalang-kabut menyadari buruannya berhasil meloloskan diri. Kini yang terlihat hanya titik hitam yang semakin mengecil di kejauhan, dan akhirnya lenyap. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bontang, Rangkuti dan Panca melesat mengejar.
* * *
"Hhh...!" Disertai helaan napas berat, Singa Hitam Tangan Sepuluh menatap Prataksa yang tengah tergolek di tanah berumput yang dikelilingi semak-semak dan pepohonan lebat, sehingga sulit terlihat Raut wajahnya menyiratkan kelesuan bercampur penyesalan.
"Maafkan aku, Prataksa. Aku tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Racun itu telah menyebar di seluruh aliran darahmu, sebelum obat kuberikan," ucap Singa Hitam Tangan Sepuluh bernada penyesalan.
Lelaki bermuka singa itu memang menyesal sekali, karena tidak dapat menolong Prataksa lebih jauh lagi. Sepasang matanya yang tertuju pada Prataksa, menyorotkan penyesalan yang mendalam.
"Kau tidak usah menyesali apa yang terjadi, Singa Hitam. Malah, akulah yang justru berterima kasih padamu. Pertolongan yang kau berikan pada ku, lebih dari cukup. Obatmu telah mengusir perasaan gatal pada sekujur tubuhku. Sehingga, aku tidak mati secara tersiksa. Hhh...! Sulit kubayangkan. Kalau saja kau tidak menolongku, pasti aku akan tewas dalam keadaan daging hancur tercacah!"
Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak menyahuti. Meski pun kata-kata Prataksa benar adanya, tapi tetap saja penyesalan yang bersemayam di hati tidak mampu diusirnya.. Andaikata dia tiba lebih cepat, tentu Prataksa tidak akan bernasib seperti ini. Ditatapnya sekujur kulit tubuh Prataksa yang telah memerah dengan sorot mata iba.
Memang obat Singa Hitam Tangan Sepuluh berhasil melenyapkan rasa gatal-gatal yang menyiksa Prataksa. Tapi, ternyata hawa panas membakar akibat pengaruh racun itu, tidak bisa ditanggulangi. Yang lebih gila lagi, semakin lama hawa panas itu semakin menyengat.
Tak aneh kalau kulit tubuh Prataksa jadi merah seperti udang rebus. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya hawa panas yang membakar. Namun, Pra-taksa mampu menerimanya tanpa mengeluh sedikit pun. Jelas hatinya benar-benar teguh.
"Tidak usah dipusingkan tentang keadaan diriku lagi, Singa Hitam! Percayalah, aku telah siap mati. Dan karena aku tidak ingin mati penasaran, maukah kau memenuhi permintaan terakhir ku?" pinta Prataksa semakin lirih suaranya.
"Katakan, apa permintaan terakhirmu, Prataksa. Aku berjanji akan memenuhinya," sambut Singa Hitam Tangan Sepuluh lembut.
''Terima kasih, Singa Hitam. Kau memang sahabatku yang baik. Aku yakin, kau mampu memenuhinya. Permintaanku sama sekali tidak sulit."
"Apa permintaanmu, Prataksa? Cepat katakan," ujar Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak sabar. Dia memang khawatir, lelaki berpakaian coklat ini keburu tewas!
"Jaga dan lindungilah anakku, Singa Hitam...."
"Wintari?!" Singa Hitam Tangan Sepuluh tersentak, "Mengapa aku demikian pelupa? Ya! Tadi aku tidak melihatnya. Di mana dia sekarang, Prataksa?!"
Prataksa tersenyum kaku melihat tanggapan Singa Hitam Tangan Sepuluh yang demikian penuh keikhlasan.
''Katanya, dia tadi akan pergi ke hutan untuk mencari binatang buruan. Dia ingin makan daging kelinci," jawab Prataksa terbata-bata. "Cari dan temukanlah dia, Singa Hitam. Anggaplah Wintari anakmu sendiri. Syukur-syukur, jika kau bersedia mengantarkannya pada kakek gurunya."
"Akan kujalankan permintaanmu, Prataksa. Ah...! Aku menyesal sekali! Kalau saja aku tidak singgah di rumahmu, mungkin kau tidak akan mendapat musibah seperti ini...."
"Lupakankah, Singa Hitam. Kau tidak bersalah. O, ya. Mengapa kau kembali lagi?"
Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak langsung menjawab pertanyaan. Dia tercenung sejenak. "Aku kembali karena bermaksud memintamu untuk menjadi perantara yang menjelaskan bahaya ini pada para guru-guru dan semua saudara seperguruanku. Karena kalau aku sendiri yang melaksanakannya khawatir tidak akan sampai. Kau tahu kan sebabnya?"
Prataksa mengangguk-angguk. Namun menda-dak saja perutnya terasa mual yang kemudian merayap cepat ke atas. Dan....
"Huaaakh...!" Prataksa memuntahkan darah kental berwarna kehitaman dari mulutnya.
"Prataksa...!" pekik Singa Hitam Tangan Sepuluh cemas. Dia tahu, hidup lelaki berpakaian coklat ini tidak akan lama lagi.
Prataksa berusaha tersenyum untuk menunjukkan kalau tidak apa-apa. Tapi karena saat itu ten-gah merasakan sakit yang amat sangat pada dadanya, senyum yang ditunjukkannya jadi lebih mirip seringai kesakitan.
"Hhh..., hhh.... Aku..., aku tidak ta.... Akh...!" Prataksa menghembuskan napas terakhir sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya. Namun meskipun demikian, sudah bisa diduga oleh Singa Hitam Tangan Sepuluh kelanjutannya.
Singa Hitam Tangan Sepuluh menatap mayat sahabatnya penuh rasa duka. Meskipun memang tidak ada pekik atau air mata kedukaan, tapi hatinya benar-benar sedih bukan kepalang. Dia lantas berdiri, sambil tetap menundukkan kepala sebagai penghormatan terakhir pada rekannya.
* * *
Sang Surya sudah sejak tadi menampakkan diri. Cahayanya yang lembut menerangi persada. Bias-bias sinarnya menembus hutan, melalui celah-celah daun. Sehingga, membentuk garis-garis sinar yang terlihat indah dipandang mata.
Kicau burung dan teriakan penghuni hutan lainnya menyemaraki suasana pagi yang hampir be-ranjak siang. Di saat seperti itu tampak seorang gadis cantik berpakaian kuning tengah melangkah melewati deretan pepohonan.
Kulitnya yang putih, halus, dan mulus dijilati sinar-sinar matahari pagi yang menye-jukkan. Dengan rambutnya yang berwarna hitam mengkilat dan berkepang, dia semakin cantik untuk dinikmati. Usianya tak akan lebih dari dua puluh tahun.
"Hhh..., sial! Sejak tadi tak terlihat kijang see-kor pun. Hhh...! Bisa-bisa aku pulang dengan tangan kosong," keluh gadis berpakaian kuning itu dengan wajah muram, seraya menghenyakkan pantatnya di rerumputan.
Mendadak gadis berpakaian kuning menoleh ke belakang, ketika pendengarannya yang tajam menangkap adanya langkah-langkah kaki dari arah belakang. Seketika itu pula, jantungnya berdebar tegang. Namun secercah harapan timbul di hatinya. Dia berharap, mudah-mudahan saja itu adalah langkah kijang!
Ternyata, harapan gadis berpakaian kuning itu langsung pupus, ketika mendapatkan di belakangnya hanya berdiri serombongan orang yang memiliki wajah dan penampilan kasar. Pakaian yang mereka kenakan seragam, yakni rompi terbuat dari kulit beruang. Bergegas gadis berpakaian kuning bangkit. Disadari kalau orang-orang yang baru datang itu tidak bermaksud baik. Seketika dipasangnya sikap waspada.
"Siapa kalian? Dan, apa maksud kalian datang kemari?!" tanya gadis berpakaian kuning itu berusaha bersikap tenang. Namun jari-jari tangan kanannya sudah meraba pinggang sebelah kanan, yang terselip sebuah kipas hitam. Rupanya dia telah siap bertempur.
"Ha ha ha...!"
Namun pertanyaan gadis berpakaian kuning itu malah disambut tawa bergelak dari orang-orang ber-tampang beringas ini. Karuan saja gadis berpakaian kuning itu jadi merasa heran bercampur marah. Dia telah bertanya baik-baik, tapi malah dijawab dengan tawa keras dan tidak sedap didengar. Meskipun demikian, dicobanya untuk tetap bersabar.
"Kau keliru, Ni sanak! Seharusnya bukan kau yang mengajukan pertanyaan, tapi kami!" sahut seorang yang berdiri paling depan, setelah terlebih dulu mengangkat tangan kanannya ke atas. Sehingga, suara gelak tawa itu langsung terhenti. Agaknya, orang ini adalah pemimpin dari orang-orang ini.
Si pemimpin ini bertubuh kekar, penuh otot melingkar. Kepalanya botak. Di tangan kanannya tergenggam sebuah gada panjang dan berduri. Melihat dari bentuknya, sekali lihat saja orang tahu kalau gada itu berat sekali! Namun hebatnya, lelaki kekar berotot itu tidak terlihat keberatan sama sekali. Dari sini saja mudah bisa diketahui kalau tenaga dalamnya tinggi.
"Aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu, Kisanak?" kata gadis berpakaian kuning dengan alis berkernyit dalam.
"Kau memang bodoh atau berpura-pura goblok, Ni sanak. Perlu kuberitahu kami tengah mempunyai sebuah persoalan. Dan kami tidak suka kau malah meruwetkan persoalan itu. Maka jangan berpura-pura, sebelum nasibmu kuserahkan kepada anak buahku!"
Seiring selesai ucapannya, lelaki kekar berotot itu menudingkan jari telunjuknya ke belakang. Bagai diperintah, gadis berpakaian kuning itu mengikuti arah tudingan jari telunjuk itu. Dan seketika itu pula, hatinya mengkelap. Belasan orang yang berpakaian dari kulit beruang itu memandangi dengan tatapan bagai menjilati tubuhnya. Sorot mata mereka bagai serigala melihat anak domba gemuk! Liar dan penuh nafsu!
Agaknya lelaki kekar berotot itu memang kenyang pengalaman. Maka dia langsung tahu perasaan yang tengah berkecamuk dalam hati gadis berpakaian kuning yang sepertinya masih polos dan lugu.
"Nah! Sekarang kuceritakan persoalannya," lanjut lelaki kekar berotot penuh nada kemenangan. "Kami tengah mengejar-ngejar seorang lelaki setengah tua berwajah mirip singa. Dia berpakaian hitam dan bertubuh pendek. Aku yakin, kau melihatnya. Karena kami tahu jelas, kalau arah larinya adalah kemari. Sekarang, katakanlah. Di mana dia sekarang?"
"Ke arah sana!" jawab gadis berpakaian kuning itu seraya menudingkan jari telunjuknya ke selatan, ke arah rumahnya sendiri. "Semula dia berada di rumah yang ada di sana. Tapi, terus menempuh perjalanan ke selatan".
''Terima kasih atas keteranganmu, Ni sanak. Sekarang, kemarilah. Mendekat padaku," ujar lelaki kekar berotot dengan pandang mata menyiratkan gairah.
"Aku tidak mau! Aku ingin pergi!" sergah gadis berpakaian kuning itu keras, karena menyadari akan adanya bahaya mengerikan yang siap mengancam.
"Bukankah kau telah berjanji?!" Laki-laki kekar berpakaian kulit beruang itu terkekeh.
"Rupanya kau tuli, Ni sanak! Janjiku itu hanya menyangkut anak buahku! Bukan denganku. Kau mendengarnya, kan?!"
"Kau curang! Licik!" maki gadis berpakaian kuning itu kalap sambil melangkah mundur.
Wajah lelaki kekar berotot itu berubah kelam. "Rupanya kau lebih suka diperlakukan kasar, Wanita Dungu! Baik! Kalau itu maumu, akan ku turuti!"
Setelah berkata demikian, lelaki kekar berotot itu melangkah maju. Kedua tangannya seketika diulurkan untuk memeluk tubuh gadis berpakaian kuning.
Wuttt!
Namun lelaki kekar berotot itu hanya memeluk angin, karena sasarannya telah melangkah mundur sambil menghunuskan senjatanya.
Trekkk!
Di tangan kanan gadis berpakaian kuning telah tergenggam sebuah kipas berwarna hitam, yang rangkanya terbuat dari baja-baja berujung runcing.
"Keparat! Berani kau mempermainkan Beruang Kepala Baja?" bentak lelaki kekar berotot, marah. Lelaki kekar berotot yang ternyata berjuluk Be-ruang Kepala Baja kembali melancarkan serangan. Hanya saja kali ini serangan yang dikirimkan tidak selunak sebelumnya. Disadari kalau gadis berpakaian kuning itu bukan orang lemah.
Wut, wut, wut!
Beruang Kepala Baja melancarkan sampokan bertubi-tubi ke arah bahu gadis berpakaian kuning ini. Namun rupanya meskipun tengah dilanda amarah, le-laki kekar berotot itu masih merasa sayang untuk membunuh korbannya yang demikian cantik.
Gadis berpakaian kuning gugup menghadapi serangan lawannya. Dalam pandangan matanya, tangan Beruang Kepala Baja seperti berubah puluhan banyaknya. Sehingga membuat pandangannya berkunang-kunang
Meskipun demikian, gadis berpakaian kuning itu tidak pasrah begitu saja menerima nasib yang akan menimpa dirinya. Memang, dia tidak bisa melihat jelas serangan yang tengah meluncur ke arahnya. Tapi keinginan untuk menyelamatkan diri, membuatnya berusaha sekuat tenaga menjegal serangan Beruang Kepala Baja. Kipas bajanya seketika dikibas-kibaskan untuk menjegal serangan yang akan meluncur ke arahnya. Namun...
Wut, wut, wuttt!
Tappp!
Tukkk!
"Akh...!" Rentetan kejadian yang berlangsung sukar untuk bisa diikuti mata biasa. Tahu-tahu, gadis berpakaian kuning itu memekik pelan, kemudian tubuhnya roboh di tanah. Memang, dengan kecepatan luar biasa, Beruang Kepala Baja telah menangkap pergelangan tangan gadis berpakaian kuning, lalu membuatnya tertotok lemas.
"Ha ha ha...! Sekarang kau baru tahu kesaktian Beruang Kepala Baja, Wanita Bodoh! Dan atas penolakanmu tadi, kau akan mendapat hukumannya. Kau akan kuperkosa sampai aku puas. Kemudian, digilir oleh semua anak buahku sampai kau mati!"
"Manusia iblis! Lebih baik kau bunuh saja aku!" teriak gadis berpakaian kuning itu penuh rasa takut.
Kalau saja mampu bergerak, tentu lelaki kekar berotot itu akan diserangnya mati-matian. Tapi, sayang hal itu tidak bisa dilakukan. Sekujur tubuhnya terasa lemas bukan kepalang. Jangankan menyerang, untuk menggerakkan ujung jarinya pun tidak mampu.
"Ha ha ha...! Membunuhmu? Hanya orang bodoh yang akan membunuh seorang dara cantik sepertimu, tanpa memanfaatkannya lebih dulu! Dan aku bukan orang bodoh! Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa yang belum putus, Beruang Kepala Baja membungkuk. Kemudian tangannya pun bergerak.
Brettt!
"Auw...!"
Bunyi kain yang terobek terdengar ketika ta-ngan Beruang Kepala Baja yang berotot dan penuh bu-lu, menjambret baju gadis berpakaian kuning itu di bagian dada. Seketika, dua bukit kembar indah me-nantang pun menyembul keluar.
''Iblis keji! Bunuh saja aku!'' jerit gadis berpa-kaian kuning dengan suara mengandung isak, karena rasa takutnya.
TIGA
"Ha ha ha...!"
Hanya tawa gelak dari Beruang Kepala Baja dan anak buahnya yang menyambuti jerit ketakutan gadis berpakaian kuning ini. Tawa penuh nafsu birahi yang telah menyelimuti hati dan pikiran, begitu melihat kulit tubuh gadis berpakaian kuning ini, yang putih mulus!
Gadis berpakaian kuning ini semakin ketakutan saja. Apalagi ketika tangan Beruang Kepala Baja kembali terulur ke pakaian bagian bawah. Tapi sebelum jari-jari tangan itu mencapai sasaran...
Wuttt! Tukkk!
"Akh!" Beruang Kepala Baja menjerit kesakitan ketika sebuah batu sebesar ibu jari tangan menghantam telak punggung tangannya. Seketika rasa sakit yang amat sangat menyerang bagian yang terkena timpukan tadi itu. Sehingga, maksud untuk menjarah sekujur tubuh gadis berpakaian kuning diurungkannya.
"Keparat! Orang gila dari mana yang berani mengganggu Beruang Kepala Baja?!" teriak lelaki kekar berotot ini keras bernada ancaman. Seketika pandangan ditujukan ke arah batu tadi berasal. Sementara seluruh anak buahnya juga menoleh ke arah yang sama. Dengan sendirinya, gadis berpakaian kuning terlupakan.
Kini dalam jarak kira-kira empat tombak dari mereka, terlihat sepasang anak muda. Yang seorang adalah pemuda tampan berpakaian ungu. Wajahnya yang jantan memiliki rambut berwarna putih keperakan! Mirip rambut yang dimiliki orang berusia lanjut! Rambutnya yang seperti benang-benang perak itu terurai sampai ke pinggang. Sehingga guci yang terletak di punggung jadi tertutupi.
Sementara di sebelahnya berdiri seorang gadis cantik dengan kulit putih dan halus. Pakaiannya putih. Rambutnya panjang terurai sampai ke pinggang. Sehingga semakin menambah keelokan wajahnya. Namun bertenggernya sebatang pedang di punggung, menandakan kalau gadis berpakaian putih ini bukan wanita lemah.
Dan dengan langkah tenang menyorotkan kepercayaan diri yang besar, sepasang anak muda yang sama-sama berwajah elok ini menghampiri Beruang Kepala Baja dan gerombolannya.
Sementara Beruang Kepala Baja yang memang tengah murka bukan kepalang kontan menggeram. "Gggrrrhhh...! Akan kuhancurkan seluruh tu-lang-belulang kalian," desis lelaki kekar berotot ini sambil menyambar gada berduri yang tadi dititipkan pada salah seorang anak buahnya, ketika hendak memaksakan kehendaknya pada gadis berpakaian kuning.
"Kau selamatkan gadis itu, Melati," ujar pemuda berambut putih keperakan itu pada gadis berpakaian putih itu.
"Baik, Kang," sahut gadis yang dipanggil Melati, patuh. Memang, gadis berpakaian putih itu bukan lain dari Melati, putri angkat Raja Bojong Gading. Sementara pemuda berambut putih keperakan itu tak lain dari Arya Buana yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak.
Dengan sikap tenang, Dewa Arak menghampiri Beruang Kepala Baja yang juga tengah melangkah ke arahnya. Ketika jarak antara mereka tinggal beberapa langkah lagi, Beruang Kepala Baja berhenti. Dengan senyum terkembang di bibir, Dewa Arak juga berhenti.
"Kau... kau... Apakah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?" tanya Beruang Kepala Baja setengah terbata-bata. Entah bagaimana, lelaki kekar berotot ini mendadak teringat akan selentingan kabar mengenai tokoh muda yang julukannya menggemparkan dunia persilatan.
"Kalau benar, mengapa? Dan kalau tidak, kenapa, Kisanak?" Dewa Arak malah balas bertanya.
"Keparat! Tutup mulutmu, Bangsat kecil! Siapa pun adanya kau, apabila aku tengah bertanya, haram hukumnya mengajukan pertanyaan pula! Dan kau wajib menjawab, tahu?!" sergah Beruang Kepala Baja berang.
"Tidak usah banyak cakap, Kisanak! Majulah cepat! Aku sudah tidak sabar lagi untuk mematahkan tanganmu yang kurang ajar itu!" sambut Dewa" Arak, tak kalah marah. Pemuda berambut putih keperakan ini memang mudah marah, apabila melihat penjahat yang suka memperkosa wanita. Dia memang sudah bertekad untuk membasmi penjahat semacam itu! Maka tak heran kalau dia tidak ragu-ragu lagi mengajukan tantangan.
"Keparat! Siapa pun adanya kau, rupanya perlu merasakan kerasnya gada Beruang Kepala Baja! Barangkali saja kau bisa bersikap lebih sopan! Hiyaaat...!"
Tanpa memberi kesempatan lagi pada Dewa Arak untuk bersiap-siap, Beruang Kepala Baja lang-sung melancarkan serangan. Gada berduri yang ter-genggam di tangan kanannya langsung diayunkan ke arah kepala Dewa Arak.
Wuttt!
Deru angin keras yang mengawali meluncurnya serangan, menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam dikerahkannya. Begitu kuatnya, sehingga hanya sekali hantam saja, sebongkah batu karang sebesar kerbau bunting mampu diluncurkan dengan hanya sekali pukul. Maka bisa dibayangkan apabila menimpa diri manusia.
Tapi orang yang dihadapi adalah Dewa Arak! Seorang tokoh sakti yang sungguhpun memiliki usia demikian muda, namun memiliki pengalaman amat luas. Maka menghadapi serangan itu, Arya sama sekali tidak menjadi gugup.
"Hup!"
Wusss!
Hanya melangkahkan kaki kanan ke belakang sambil mendoyongkan tubuh, Dewa Arak telah mem-buat serangan gada berduri Beruang Kepala Baja hanya mengenai tempat kosong. Senjata yang mengerikan itu lewat beberapa jari dari wajahnya. Sehingga, sambaran anginnya yang keras, membuat sekujur pakaian dan rambut pemuda berambut putih keperakan itu berkibar keras.
Sementara Dewa Arak tidak hanya sampai di situ. Begitu gada lawan telah bergerak meluncur lewat di depan wajahnya, tangan kanannya cepat digerakkan untuk menangkap pergelangan tangan kanan lawan.
Tappp!
Cepat bukan kepalang gerakan tangan Dewa Arak. Sehingga sebelum Beruang Kepala Baja menyadari, pergelangan tangan kanannya telah tercekal.
"Heh?!" Beruang Kepala Baja berseru kaget, namun tidak menjadi gugup. Berkat pengalamannya bertempur selama ratusan kali, langsung disambutnya cekalan tangan Dewa Arak. Tangannya seketika ditarik agar bisa lepas dari cekalan tangan Dewa Arak. Tapi maksudnya ternyata sia-sia. Jangankan melepas, untuk mengguncangkannya tidak mampu.
Meskipun tahu kalau usahanya sama sekali ti-dak membuahkan hasil, Beruang Kepala Baja tidak menyerah begitu saja. Apalagi dia terhitung orang ke-ras kepala yang sukar menyadari kalau orang lain ternyata memiliki kemampuan di atasnya. Itulah sebabnya dia terus memaksakan diri untuk membebaskan tangannya dari cekalan Dewa Arak. Namun saking memaksakan diri, sampai-sampai terdengar suara melenguh dari mulutnya.
Sementara itu, wajah Dewa Arak tampak malah biasa-biasa saja. Apalagi tangannya yang sedikit pun tidak terlihat ada tanda-tanda kalau sedang mengerahkan tenaga.
"Sekarang giliranku, Kisanak," kata Dewa Arak setelah membiarkan Beruang Kepala Baja berusaha keras untuk membebaskan diri dari cekalannya beberapa saat. Usai berkata demikian jari-jari tangan Dewa Arak bergerak meremas.
Krrrkkk!
"Aaakh...!" Beruang Kepala Baja menjerit kesakitan, seiring terdengarnya suara berderak pelan tulang pergelangan tangannya yang hancur. Seketika itu pula, genggaman jari tangannya pada gada mengendur. Sehingga senjata berat itu pun jatuh berdebuk di tanah.
Tindakan Dewa Arak tidak hanya sampai di situ saja. Sehabis mencengkeram, tangannya langsung bergerak membetot.
"Akh...!" Untuk yang kedua kali Beruang Kepala Baja mengeluarkan jerit tertahan. Tulang sambungan siku dan bahunya langsung terlepas, ketika Dewa Arak melancarkan betotan. Akibatnya, tubuhnya tertarik ke arah Dewa Arak. Maka saat itulah kaki kanan Dewa Arak mencuat ke arah perutnya, dan tidak bisa dihindari lagi. Sehingga....
Wuttt! Bukkk!
"Hughk!" Beruang Kepala Baja kontan menjerit tertahan, begitu kaki Dewa Arak menghantam telak perutnya. Tubuh lelaki kekar berotot itu langsung terlipat ke depan. Wajahnya merah padam, dan sepasang matanya melotot. Namun, hal itu hanya berlangsung sebentar saja.
Sesaat kemudian, tubuhnya terkulai dan ambruk di tanah. Tendangan Dewa Arak yang telah menghancurkan seluruh bagian dalam tubuhnya, membuatnya harus pergi untuk selama-lamanya meninggalkan dunia ini.
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat, sehingga gerombolan anak buah Beruang Kepala Baja tidak sempat berbuat apa-apa. Hanya dalam beberapa gebrakan saja, Beruang Kepala Baja telah keburu tewas! Sehingga, anak buahnya tak sempat membantu.
Tarikan wajah kebingungan dan sorot mata penuh perasaan tidak percaya memancar jelas dari seluruh anak buah gerombolan Beruang Kepala Baja. Nyatanya mereka memang belum menerima kalau Beruang Kepala Baja telah tewas hanya dalam beberapa gebrakan saja! Sulit dipercaya!
Untuk beberapa saat, anak buah Beruang Kepala Baja hanya terpaku. Namun ketika kesadaran telah kembali, mereka yang berjumlah tak kurang dari dua belas orang itu kontan murka!
Srat, srattt, sringngng!
Suara denting dan gerakan senjata kontan ter-dengar begitu belasan anak buah Beruang Kepala Baja mengeluarkan senjata masing-masing. Lalu diiringi teriakan keras memekakkan telinga, mereka menyerbu Dewa Arak. Maka seketika itu pula belasan senjata tajam yang terdiri dari pedang dan golok berkelebatan menyambar berbagai bagian tubuh Arya.
Tapi, ternyata Dewa Arak tetap bersikap tenang. Malah sedikit pun tidak nampak adanya tanda-tanda akan menangkis atau mengelakkan serangan. Tentu saja hal ini membuat anak buah Beruang Kepala Baja heran. Meskipun demikian, mereka tetap saja melanjutkan serangan pada Dewa Arak disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
Tak, tak, takkk!
Bunyi keras terdengar ketika mata senjata-senjata itu menghantam berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Namun hasilnya? Nyatanya tubuh Dewa Arak, seperti tidak terdiri atas kulit dan daging, melainkan, tersusun dari logam keras!
"Hehhh...?!"
Suara keterkejutan langsung terdengar susul-menyusul dari mulut belasan orang anak buah Be-ruang Kepala Baja. Dengan mata kepala sendiri, mere-ka melihat senjata-senjata itu mendarat di tubuh Dewa Arak. Tapi apa yang terjadi? Bahkan sebaliknya tangan yang menggenggam senjata jadi terasa lumpuh. Dan yang lebih gila lagi, mata senjata mereka sudah gompal! Berganti-ganti mereka memandang Dewa Arak, lalu kembali memandang senjata masing-masing.
"Puas?!" tanya Dewa Arak tanpa nada ejekan.
Ucapan Dewa Arak menyadarkan belasan orang bertampang kasar yang masih terpaku takjub disertai rasa sakit pada tangan. Dan seiring timbulnya kesadaran, belasan orang itu saling berpandang satu sama lain. Lalu sebentar saja mereka telah membuat kata sepakat dalam tatapan tadi.
Sing, sing, sing!
Suara berdesingnya senjata-senjata kembali mengiringi meluncurnya serangan. Dan seperti juga sebelumnya, anak buah Beruang Kepala Baja menerjang Dewa Arak dari berbagai penjuru. Namun kali ini Dewa Arak tidak berdiam diri saja. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang berada jauh di atas lawan-lawannya, mudah saja semua serangan yang tertuju ke arahnya dielakkan. Bagaikan bayangan, tubuhnya menyelinap di antara sambaran senjata-senjata lawannya.
Sambil mengelak, Dewa Arak mengirimkan serangan ke arah lawan-lawannya. Kedua kaki dan tangannya berkelebat cepat! Ke mana pun tangan dan kaki tokoh muda yang menggemparkan itu meluncur, pasti ada satu tubuh yang terpental ke belakang diiringi jerit kesakitan.
Satu persatu anak buah Beruang Kepala Baja roboh ke tanah dan tidak mampu bangkit lagi. Meskipun demikian, tidak ada satu pun yang mati! Dewa Arak hanya membuat mereka tidak mampu melanjutkan pertarungan saja.
Hanya dalam waktu singkat, tak ada lagi satu pun anak buah Beruang Kepala Baja yang masih berdiri tegak di tanah. Mereka semua tergolek di tanah dalam keadaan pingsan. Namun ada juga yang merintih-rintih kesakitan karena luka-lukanya. Sementara, senjata-senjata mereka bergeletakan di sana-sini.
Tentu saja sekarang hanya tinggal Dewa Arak seorang yang berdiri tegak di kancah pertarungan. Setelah merayapi keadaan lawan-lawannya sejenak, perhatiannya dialihkan pada Melati yang baru saja selesai berbincang-bincang dengan gadis berpakaian kuning yang ditolong Dewa Arak tadi.
Tadi, waktu Dewa Arak sibuk menghadapi la-wan-lawannya, Melati telah membebaskan gadis ber-pakaian kuning ini dari totokan. Bahkan Melati rupanya telah memberi pakaian ganti pada gadis itu. Dengan langkah tenang, Arya menghampiri Melati dan gadis berpakaian kuning ini.
"Apa yang terjadi, Melati?" tanya Arya pada kekasihnya.
"Aku juga belum tahu, Kang," sahut Melati sambil menggelengkan kepala. "Nah, Wintari! Sekarang, ceritakan mengapa kau bisa bentrok dengan mereka?"
Gadis berpakaian kuning yang ternyata bernama Wintari, tidak langsung menjawab. Ditatapnya wajah Arya dan Melati berganti-ganti.
"Sebelum kuceritakan masalahnya, kuucapkan banyak terima kasih atas pertolongan yang kalian be-rikan. Hhh..., entah apa jadinya kalau tidak ada kalian berdua."
"Lupakanlah, Wintari," ujar Melati, seperti mewakili Dewa Arak "Orang hidup memang saling membutuhkan. Saat ini memang kami yang menolongmu. Tapi lain kali, bukan tidak mungkin kau yang ganti menolong kami. Jadi, jangan dipikirkan masalah budi. Dan sekarang, ceritakan saja semua kejadian yang kau alami."
"Baiklah," desah Wintari, sambil menelan liur sejenak untuk membasahi tenggorokannya. Baru setelah itu, semua kejadian yang menimpa diceritakannya.
Arya dan Melati mendengarkan semua cerita Wintari penuh perhatian. Sama sekali tidak diselak, hingga gadis berpakaian kuning itu mengakhiri penuturannya.
"Singa Hitam Tangan Sepuluh?" tanya Arya, alisnya tampak bertaut, karena merasa heran. Dan sebenarnya, meskipun belum pernah bertemu langsung, tapi pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau Singa Hitam Tangan Sepuluh adalah seorang tokoh golongan hitam. Tapi, mengapa dikejar-kejar oleh Beruang Kepala Baja dan anak buahnya yang juga berasal dari golongan sama?
Dewa Arak jadi termenung memikirkan. Sementara Melati juga ikut berpikir, karena pernah mendengar selentingan kabar mengenai tokoh yang berjuluk Singa Hitam Tangan Sepuluh itu. Itulah sebabnya, seperti juga Dewa Arak, dia pun merasa bingung mendengar penuturan Wintari.
Tapi Dewa Arak dan Melati terpaksa berhenti memikirkannya, begitu mendengar banyak bunyi langkah kaki yang menuju tempat ini. Hanya dalam seke-jap saja, sepasang pendekar muda ini langsung dapat menduga kalau jumlah mereka banyak dan berkepandaian beragam.
Dewa Arak dan Melati saling berpandangan sebentar. Tapi dalam waktu sesingkat itu, masing-masing telah bisa menebak kalau satu sama lain sama-sama heran. Mengapa demikian banyak orang yang tengah menuju tempat ini?
Karena semakin lama terdengar semakin jelas dan mendekat, Wintari pun mendengar langkah-langkah itu pula. Tak bisa dipungkiri kalau para pemi-lik langkah itu benar-benar menuju tempat ini.
"Apakah kalian tidak mendengar sesuatu?" Wintari yang tidak kuasa menahan rasa ingin tahunya, langsung mengajukan pertanyaan.
Hampir berbarengan, Dewa Arak dan Melati menganggukkan kepala. Sebuah senyum lebar tersungging di mulut sepasang pendekar muda itu, untuk menenangkan hati Wintari.
"Rasa-rasanya jumlahnya lebih banyak dari mereka," kata Wintari lagi sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah gerombolan Beruang Kepala Baja yang masih bergeletakan di tanah.
Dewa Arak menganggukkan kepala. Kemudian, jari telunjuknya menuding ke depan, yang berarti ke belakang Wintari. Gadis itu menoleh ke belakang. Dan seketika itu pula, dia terjingkat kaget ketika melihat rombongan orang yang sudah berjarak sekitar sepuluh tombak darinya.
Sementara Dewa Arak dan Melati sebenarnya juga terkejut. Hanya saja sepasang pendekar muda itu mampu menguasai diri, sehingga tidak tampak pada wajahnya. Memang wajar kalau Dewa Arak, Melati, dan Wintari sampai terkejut. Jumlah orang yang tengah bergerak mendekati tempat ini tidak kurang dari seratus orang!
Menilik dari macam-macam pakaian yang dikenakan, bisa diperkirakan kalau mereka terdiri dari para tokoh persilatan. Lantas apa tujuan orang-orang itu datang ke sini? Itulah yang bergayut di hati Dewa Arak dan Melati.
Belum lagi rasa kaget sirna, Dewa Arak kembali terkejut bercampur khawatir begitu melihat gerakan-gerakan beberapa orang yang rata-rata berwajah kasar. Memang sebagian memiliki ilmu meringankan tu-buh tingkat rendahan. Tapi, ternyata ada beberapa orang yang membuat Dewa Arak tercekat.
Terutama sekali, sosok yang berada paling depan. Gerakannya ringan bukan kepalang. Bahkan ketika berlari, kedua kakinya seperti tidak menyentuh tanah. Jelas, ilmu meringankan tubuhnya sudah hampir mencapai tingkat kesempurnaan.
Sosok yang berlari paling depan ini mendapat perhatian khusus dari Dewa Arak. Sosok itu berpakaian dari kulit ular berwarna kuning keemasan. Tubuh kekar berotot, selaras wajahnya yang kasar dan dipenuhi cambang bauk lebat. Sepasang mata yang terletak jauh di dalam rongga, tampak tajam berkilat.
Ada pengaruh aneh yang mengerikan dari sepasang mata yang terkadang mencorong kehijauan seperti mata harimau dalam gelap. Dan kini orang-orang yang berjumlah lebih kurang seratus itu telah berada di hadapan Dewa Arak, Melati, dan Wintari. Menilik dari tindak-tanduknya, bisa diketahui kalau laki-laki berpakaian kulit ular itu bertindak sebagai pemimpin, Dan kini dia berdiri berjarak dua tombak di hadapan Dewa Arak dan rekan-rekannya.
"Ikh...!" Jerit tertahan bernada kengerian keluar dari mulut Melati dan Wintari ketika melihat mata lelaki berpakaian kulit ular itu. Tanpa sadar, keduanya melangkah mundur. Sehingga, Dewa Araklah yang berdiri paling depan.
Sikap ngeri Melati dan Wintari terlihat jelas. Namun raut wajah lelaki bermata mengerikan itu sama sekali tidak menampilkan kemarahan. Tarikan wajahnya tetap seperti biasa. Dingin tanpa gambaran perasaan apa pun di sana.
Tetap dengan raut wajah dingin, dirayapinya satu persatu wajah-wajah yang berdiri di hadapannya. Mula-mula Dewa Arak, kemudian Melati, dan terakhir Wintari. Hal ini membuat kedua gadis itu merinding bulu kuduknya. Ngeri!
Hanya Dewa Arak yang masih tetap terlihat tenang. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu balas menatap dan memperhatikan, sungguhpun ada perasaan tegang menggayuti hati.
EMPAT
"Ha ha ha...!"
Mendadak lelaki bermata mengerikan itu tertawa keras menggelegar, sehingga membuat suasana jadi bergetar hebat bagai ada halilintar menyambar. Bisa dirasakan kalau suara tawa itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam sempurna.
Dan yang lebih mengejutkan seketika kedua lutut sebagian besar orang yang berada di situ langsung terasa lemas. Bahkan mereka langsung jatuh terduduk. Hanya beberapa orang saja yang mampu bertahan, yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka adalah Dewa Arak, Melati, dan beberapa orang anak buah lelaki bermata mengerikan ini.
''Tidak salahkah penglihatanku? Benarkah kau Dewa Arak, Pemuda Sombong?!" tegur lelaki bermata mengerikan itu dengan suara keras menggelegar.
"Itulah julukan yang diberikan orang kepadaku, Kisanak. Kalau boleh tahu, siapa dirimu? Dan mengapa kau membawa demikian banyak orang kemari?!" masih dengan sikap tenang, Dewa Arak balas mengajukan pertanyaan.
"Aku? Ha ha ha...! Kau ingin mengenalku, Dewa Arak? Ha ha ha...! Rupanya julukan yang kau sandang telah membuatmu besar kepala, heh?! Kau tahu, dengan siapa berhadapan sekarang?! Akulah si Raja Iblis Tanpa Tanding! Aku adalah raja dari semua tokoh golongan hitam yang ada di seluruh permukaan bumi ini! Kau dengar?!" jawab lelaki bermata mengerikan itu, dengan suara keras dan mengguntur.
Meskipun tidak ada perubahan pada parasnya, namun ia sebenarnya merasa terkejut bukan kepalang mendengar jawaban orang yang mengaku berjuluk Ra-ja Iblis Tanpa Tanding. Baru pertama kali Arya mendengar ada tokoh yang berani memiliki julukan Tanpa Tanding! Sombong bukan kepalang! Dan lagi, sepengetahuannya, raja dari golongan hitam itu empat orang. Mereka memang datuk-datuk sesat yang merajai di tiap penjuru mata angin!
Arya sebenarnya tidak tahu kalau datuk-datuk sesat yang masing-masing merajai satu mata angin itu, telah berhasil dikalahkan oleh Raja Iblis Tanpa Tand-ing! Malah satu di antara mereka terpaksa dibunuh oleh tokoh hitam bermata mengerikan ini, karena tidak bersedia takluk! Memang, itulah ganjaran bagi tokoh yang tidak bersedia menjadi taklukan Raja Iblis Tanpa Tanding!
"Dan sekarang kau telah melukai anak buahku. Berarti, kau telah mengajukan tantangan terhadapku. Bersiaplah menerima balasannya, Dewa Arak!" sambung Raja Iblis Tanpa Tanding, membuyarkan lamu-nan Dewa Arak.
"Tidak usah berbasa-basi, Raja Iblis! Aku memang bermaksud melenyapkanmu untuk selama-lamanya, agar dunia menjadi tenang!" tegas Dewa Arak, mantap.
"Tutup mulutmu, Dewa Arak!" bentak Raja Iblis Tanpa Tanding keras. "Ayo! Kalian tangkap kelinci-kelinci muda itu."
Usai memberi perintah pada anak buahnya, Raja Iblis Tanpa Tanding langsung menerjang Dewa Arak. Jari-jari kedua tangannya disusun sedemikian rupa, sehingga berbentuk setengah mengepal. Dan dengan buku-buku jarinya dilancarkannya serangan ke arah leher dan bawah hidung Dewa Arak Dua buah jalan darah kematian!
Wut, wut, wut!
Deru angin keras yang terdengar bersama me-luncurnya serangan itu, menjadi pertanda kuatnya te-naga dalam yang terkandung di dalamnya. Dan ini membuat Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Maka buru-buru tubuhnya dilemparkan ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara. Sehingga, serangan Raja Iblis Tanpa Tanding hanya mengenai tempat kosong.
Tapi melihat serangannya berhasil dielakkan, Raja Iblis Tanpa Tanding tidak berdiam diri saja. Dalam keadaan masih berada di udara, tubuhnya masih mampu melenting ke depan. Padahal, tidak ada landasan bagi kakinya untuk menotol. Raja Iblis Tanpa Tanding langsung menyusul Dewa Arak. Dan pada saat itu pula, kembali kedua tangannya diluncurkan ke arah dada Dewa Arak.
Dewa Arak terkejut melihat serangan susulan lawannya. Disadari kalau sebelum kedua kakinya hinggap di tanah, serangan lawan akan terlebih dulu mengenai sasaran. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menangkis serangan.
"Hih!" Dewa Arak cepat menghentakkan kedua ta-ngannya ke depan, untuk memapak serangan yang tengah meluncur ke arahnya. Dan...
Prattt!
Bunyi seperti ada dua benda berat beradu lang-sung terdengar, ketika dua pasang tangan berbenturan. Begitu dahsyatnya, sehingga udara di sekitar tempat itu sampai bergetar hebat!
Sementara, tubuh Dewa Arak dan Raja Iblis Tanpa Tanding sama-sama terjengkang ke belakang. Namun berkat kepandaian yang sudah mencapai tingkatan tinggi, luncuran itu tidak sulit untuk dipatahkan.
Baik Dewa Arak maupun Raja Iblis Tanpa Tanding, berjumpalitan beberapa kali di udara, mempergunakan kekuatan yang melemparkan tubuh mereka. Lalu....
Hampir bersamaan, Dewa Arak dan Raja Iblis Tanpa Tanding mendarat di tanah, ringan laksana daun kering. Dan kini, mereka berdiri berhadapan dalam jarak enam tombak.
Di saat Dewa Arak dan Raja Iblis Tanpa Tanding saling menatap tajam seperti sedang mengukur kemampuan masing-masing Melati dan Wintari mulai diganggu anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding. Tapi tidak semua menuju ke arah Melati dan Wintari, karena sebagian harus menolong yang terluka.
Melati tahu, Wintari sedikit banyak punya kepandaian. Tapi kalau kepandaian yang sekadarnya saja, mana mungkin mampu menghadapi tiga orang anggota gerombolan yang memiliki tingkat kepandaian sekadarnya juga? Maka Melati segera melangkah maju. Sehingga, dia kini berada di depan Wintari, bermaksud melindungi.
"He he he...! Mimpi apa aku semalam, sehingga bisa bertemu dua orang bidadari yang molek-molek ," kata salah seorang dari dua anggota gerombolan di ba-risan terdepan.
Orang itu bertubuh pendek, gemuk. Kepalanya botak dan berperut gendut. Saking gendutnya, rompi abu-abu yang dikenakan tidak mampu menutupi pe-rutnya. Ciri-ciri tubuhnya setidak-tidaknya mirip see-kor katak. Laki-laki dengan wajah selalu berseri-seri ini berjuluk Dewa Sesat Pemetik Bunga. Disebut Dewa Sesat karena siapa sangka kalau wajah yang senantiasa ramah itu memiliki hati yang demikian kejam.
"Kau memang tidak bisa diam kalau melihat wajah cantik, Dewa Sesat," ledek orang yang berdiri di sebelah Dewa Sesat Pemetik Bunga. Orang itu bertubuh tinggi kurus, laksana bambu. Berbeda dengan Dewa Sesat Pemetik Bunga, tokoh ini memiliki raut wajah muram. Sehingga, seakan-akan tengah dililit kesulitan.
"Itulah sebabnya aku berjuluk Dewa Sesat Pe-metik Bunga, Siluman Pencabut Nyawa?!" sahut Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Semua pembicaraan itu dilakukan dengan sua-ra keras. Maka tentu saja seluruh orang yang berada di situ mendengarnya. Tak terkecuali, Melati dan Wintari. Dan mendengar pembicaraan itu Melati jadi terperanjat. Bukan karena isi pembicaraan, tapi karena mendengar sapaan mereka satu sama lain.
Julukan-julukan mereka sudah pernah didengarnya seba-gai datuk golongan hitam di berbagai penjuru mata angin. Dewa Sesat Pemetik Bunga adalah datuk kaum hitam di wilayah timur. Sedangkan Siluman Pencabut Nyawa di barat!
Kedua tokoh itu seperti yang lain, terkenal akan kesaktian dan kekejamannya di wilayah masing-masing selama belasan tahun, tanpa ada yang mampu mengalahkan. Dan karena kekejamannya itu masing-masing dianggap menjadi datuk sesat di wilayahnya.
Begitu tahu secara pasti tokoh-tokoh yang akan menjadi lawannya, Melati semakin meningkatkan kewaspadaannya. Dengan sendirinya, seluruh urat sarafnya menegang, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Dia tahu, dua orang ini memiliki kepandaian amat tinggi!
Melati menyadari bila salah satu datuk sesat ini mendapat kesempatan menyerang Wintari, maka akan mudah sekali gadis itu ditundukkan. Dan Melati tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka sebelum mereka bertindak, dia yang melancarkan serangan lebih dulu.
"Hih!" Diiringi pekikan keras yang menyakitkan telinga, putri angkat Raja Bojong Gading itu melompat, melancarkan serangan pada Dewa Sesat Pemetik Bunga yang berdiri lebih dekat dengan Wintari. Melati membuka serangan dengan jurus 'Naga Merah Kibaskan Ekor'. Dan selagi berada di udara, tubuhnya berbalik sambil mengibaskan kaki. Sasaran yang dituju Melati adalah pelipis, salah satu bagian yang mematikan.
Wuttt!
"Hebat," puji Dewa Sesat Pemetik Bunga, girang bercampur kagum. Sesungguhnya datuk pendek gemuk ini mengagumi serangan Melati. Dia tahu, serangan itu tidak bisa dipandang ringan. Dari deru angin keras yang mengiringi tibanya serangannya, sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga yang terkandung.
Meskipun demikian, bukan berarti Dewa Sesat Pemetik Bunga gentar. Malahan tanpa ragu-ragu dipa-paknya kibasan kaki Melati, mempergunakan tangan kirinya dengan arah gerakan kilat dari dalam ke luar. Benturan antara tangan dan kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi pun tidak bisa dielakkan lagi. Sehingga....
Plak!
Melati yang berada di udara kontan terpental balik ke belakang. Sedangkan Dewa Sesat Pemetik Bunga terhuyung-huyung. Namun dengan gerakan manis, kedua tokoh yang berbeda jenis kelamin dan golongan ini berhasil mematahkan daya dorong itu. Dan hampir bersamaan mereka sama-sama hinggap di tanah tanpa suara.
"Kau hebat, Wanita Liar!" maki Dewa Sesat Pemetik Bunga bernada memuji.
Pujian ini bukan tanpa alas an. Tangan kanannya yang berbenturan dengan kaki Melati memang terasa kesemutan. Agaknya tenaga dalam kekasih Dewa Arak ini ampuh juga. Walaupun disadari keadaan Melati mungkin lebih parah, tapi memang sesuatu yang mengagumkan bila semuda itu sudah mampu memiliki tenaga dalam sedemikian tingginya.
Usai berkata demikian, Dewa Sesat Pemetik Bunga langsung mengirimkan cengkeraman ke arah ubun-ubun Melati.
Cit, cit, cit!
Decit angin tajam dari udara yang terobek oleh serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga, menjadi bukti nyata kalau serangan yang dikirimkannya amat berbahaya. Tapi Melati bukan wanita sembarangan. Bahkan dulu sewaktu terjun dalam dunia persilatan, julukan yang dimilikinya telah mampu mengguncangkan dunia persilatan.
Maka menghadapi serangan seperti itu, dia tidak gugup. Buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Sehingga, serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga hanya mengenai tempat kosong, beberapa jari di depan sasaran.
Dewa Sesat Pemetik Bunga menduga kalau Melati akan berhasil memunahkan serangannya. Maka begitu berhasil dielakkan, kembali dikirimkannya serangan susulan. Tentu saja Melati pun tidak tinggal diam. Dan kini pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
Menggiriskan dan menarik sekali pertarungan yang berlangsung antara Melati melawan Dewa Sesat Pemetik Bunga. Sehingga, Siluman Pencabut Nyata jadi sampai lupa dengan maksudnya semula, yaitu menangkap Wintari Segera dijauhinya kancah pertarungan dan menonton seperti halnya yang lain.
Melati yang tahu kalau keadaan sama sekali tidak menguntungkan pihaknya, tanpa ragu-ragu lagi mengeluarkan seluruh kemampuan. Demikian pula Dewa Sesat Pemetik Bunga. Hal ini membuat pertarungan yang berlangsung semakin enak ditonton.
Sementara itu di pertarungan lain yang berlangsung antara Dewa Arak melawan Raja Iblis Tanpa Tanding, juga tidak kalah menarik. Kedua tokoh yang sama-sama berkepandaian amat tinggi itu sudah bertarung hampir lima puluh jurus. Namun sampai selama itu, masing-masing pihak belum ada yang mengeluarkan ilmu andalan.
Tak terasa, sepuluh jurus kembali telah berlalu. Jurus demi jurus yang digelar berlangsung cepat, karena gerakan dua tokoh yang bertarung memang cepat. Bahkan jalannya pertarungan pun hampir tidak bisa dilihat secara jelas oleh orang-orang berkepandaian rendah. Yang terlihat hanya kelebatan bayangan kuning dan ungu yang saling belit tapi terkadang saling pisah.
Meskipun sibuk menghadapi Raja Iblis Tanpa Tanding, Dewa Arak masih sempat mengalihkan perhatian pada Melati dan Wintari sesekali. Dan ini menumbuhkan perasaan khawatir begitu melihat keadaan mereka yang tidak menguntungkan.
Jelas sekali Dewa Arak melihat Melati tetap saja belum mampu mendesak lawannya. Padahal, jelas-jelas gadis berpakaian putih itu telah mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ini membuktikan kalau lawan yang dihadapi memiliki kepandaian mengagumkan.
Hal ini tentu saja membuat Dewa Arak gelisah. Dia dan Melati masing-masing menghadapi satu orang lawan saja, namun belum mampu berbuat banyak setelah semakin lama. Padahal di belakang masih menunggu calon lawan-lawan lain yang memiliki kepandaian tidak kalah hebat. Kalau saja mereka turun bersama-sama, entah apa jadinya bagi Dewa Arak, Melati, dan Wintari.
Menyadari akan keadaan ini, Dewa Arak memutuskan mencari saat yang tepat untuk menyelamatkan Melati dan Wintari.
"Hih!" Pada sebuah kesempatan, Dewa Arak melempar tubuh ke belakang kemudian bersalto. Dan saat itulah pemuda berambut putih keperakan ini menghentakkan kedua tangannya ke arah Raja Iblis Tanpa Tanding.
Wusss!
Deru angin keras berhawa panas menyengat meluruk ke arah Raja Iblis Tanpa Tanding. Lelaki yang bermata mengerikan ini terkejut bukan kepalang. Tapi dengan ketenangan mengagumkan tubuhnya dibanting ke tanah, kemudian bergulingan. Sehingga, serangan Dewa Arak mengenai tempat kosong.
Namun Dewa Arak memang tidak memikirkan keberhasilan serangannya yang memang dimaksudkan untuk mengalihkan perhatian lawan. Dan di saat tubuh Raja Iblis Tanpa Tanding masih bergulingan di tanah, dia melompat menerjang Dewa Sesat Pemetik Bunga.
"Minggir, Melati!"
Selagi tubuhnya masih berada di udara, Dewa Arak mengirimkan sebuah serangan. Laksana seekor garuda menerkam mangsa, diserangnya Dewa Sesat Pemetik Bunga dengan sebuah sergapan.
Dewa Sesat Pemetik Bunga terkejut bukan kepalang. Padahal, saat itu dia baru saja menghindari serangan maut Melati. Sehingga, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk mengelak. Terpaksa dipapaknya serangan yang dilancarkan Dewa Arak dengan sampokan kedua tangan.
Prattt!
"Aaakh...!" Dewa Sesat Pemetik Bunga memekik kaget. Tubuhnya terhuyung, dengan kedua tangan terasa sakit akibat benturan barusan. Hanya Dewa Sesat Pemetik Bunga seorang yang merasakan akibat benturan itu, karena bagi Dewa Arak benturan itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan ketika kedua kakinya hinggap di tanah, Dewa Arak langsung menggenjotnya. Sehingga tubuhnya kembali melenting. Hanya saja, kali ini arahnya tertuju ke arah Melati dan Wintari.
"Cepat, Melati!" seru Dewa Arak. Dan....
Tappp! Tappp!
Secepat pergelangan tangan Melati dan Wintari tercekal, secepat itu pula dibawanya meninggalkan tempat itu. Pergelangan tangan Melati dicekal dengan tangan kanan, sedangkan Wintari dengan tangan kiri.
Siluman Pencabut Nyawa, Dewa Sesat Pemetik Bunga, serta semua anak buah gerombolan Raja Iblis Tanpa Tanding bergerak mengejar. Tapi baru juga beberapa langkah....
"Tahan!"
Seketika itu pula, semua ayunan langkah kaki terhenti, begitu tahu siapa orang yang membentak. Siapa lagi kalau bukan Raja Iblis Tanpa Tanding?
"Biarkan mereka pergi," kata Raja Iblis Tanpa Tanding lagi. "Tak usah dikejar. Kita masih punya urusan yang lebih penting."
Begitu kata-katanya selesai, Raja Iblis Tanpa Tanding mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu, diikuti Dewa Sesat Pemetik Bunga dan Siluman Pencabut Nyawa. Baru di belakang kedua orang ini rombongan anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding lainnya.
* * *
Sementara itu Dewa Arak terus berlari. Baru ketika diyakini telah jauh dan lawan tidak mengejar, larinya dihentikan. Lalu cekalannya pada tangan Wintari dilepaskan.
"Berbahaya sekali...," ucap pemuda berambut putih keperakan itu setelah menghembuskan napas berat.
"Kau benar, Kang," sambut Melati. Gadis berpakaian putih ini juga telah menghentikan larinya. "Kalau tidak mengalami sendiri, aku tidak akan percaya. Persekutuan tokoh aliran hitam dalam jumlah yang besar, pergi berbondong-bondong. Entah apa yang dicari."
"Sepanjang yang kuketahui, mereka mencari-cari orang yang berjuluk Singa Hitam Tangan Sepuluh," celetuk Wintari.
"Mungkin kau benar, Wintari. Tapi, mengapa mereka pergi secara bergerombolan begitu? Menurut pemikiranku, seharusnya membuat kelompok-kelompok. Karena dengan cara seperti itu, buruan akan lebih mudah diketemukan," bantah Arya kurang setuju.
Wintari langsung diam. Disadari adanya kebenaran dalam ucapan Dewa Arak Melati pun terlihat mengangguk-anggukkan kepala pertanda menyetujui pendapat itu.
"Lalu..., apa yang akan dikerjakan mereka?" tanya Wintari, ingin tahu.
"Aku sendiri tidak tahu, Wintari. Tapi aku khawatir keamanan dunia persilatan. Dengan jumlah sebanyak itu, dan dengan adanya Raja Iblis Tanpa Tanding dan datuk-datuk kaum sesat, gerombolan itu bisa berbuat banyak. Jelas, malapetaka akan timbul di mana-mana!"
"Kau benar, Kang," sambut Melati membenarkan. Dirasakan kekhawatiran kekasihnya mempunyai alasan kuat.
"Kunci satu-satunya hanya pada Singa Hitam Tangan Sepuluh. Aku yakin, dia mengetahui rencana Raja Iblis Tanpa Tanding, sehingga dicari-cari."
"Mungkin kau benar, Kang. Apakah tidak sebaiknya kita mencari Singa Hitam Tangan Sepuluh?"
Dewa Arak tersenyum sabar. "Pemikiran seperti itu sudah masuk dalam benakku, Melati. Tapi, bagaimana dengan rombongan Raja Iblis Tanpa Tanding? Haruskah kita mencari Singa Hitam Tangan Sepuluh, dan kita biarkan gerombolan Raja Iblis Tanpa Tanding merajalela?!"
Kontan Melati menutup mulutnya dengan wajah memerah. Sungguh hal seperti itu sama sekali tidak dipikirkan. "Lalu.., apa yang harus kita lakukan, Kang?" tanya Melati, lirih dan putus asa. "Apa harus menguntit Raja Iblis Tanpa Tanding dan anak buahnya? Lalu, bagaimana dengan Wintari? Apakah dia ikut dengan kita?"
Wajah Wintari kontan memerah mendengar ucapan Melati. Dirasakan adanya nada keberatan dalam ucapan gadis berpakaian putih tadi. "Kalian tidak usah terlalu memikirkan. Aku bisa kembali sendiri. Toh, rumahku tak terlalu jauh dari sini. Terima kasih atas pertolongan kalian. Selamat tinggal!"
Setelah terbata-bata mengucapkan kata-katanya Wintari berbalik, dan kemudian berlari meninggalkan Dewa Arak dan Melati. Melihat hal ini, Arya tidak tinggal diam.
"Wintari! Tunggu sebentar!" cegah pemuda berambut putih keperakan itu.
Sementara, Melati hanya diam saja. Gadis ber-pakaian putih itu masih merasa bingung untuk melakukan tindakan tepat.
"Cegah dia pergi, Melati," pinta Arya ketika melihat Wintari sama sekali tidak mempedulikan panggilannya dan terus berlari.
Melati tidak langsung melaksanakan permintaan kekasihnya. Malah sebaliknya, ditatapnya wajah Dewa Arak. Ada sorot keheranan di sana.
"Mengapa harus mengejarnya?! Bukankah lebih baik demikian?" tandas Melati. Hatinya tiba-tiba panas terbakar cemburu melihat kekasihnya terlihat mengkhawatirkan keselamatan Wintari.
"Heh?! Mengapa kau berkata demikian, Melati? Kau ingin pertolongan kita sia-sia? Bagaimana kalau dia bertemu gerombolan Raja Iblis Tanpa Tanding lagi? Percayalah, Melati. Wintari tidak akan lama bersama kita. Kita hanya akan mengantarkannya, hingga selamat ke rumah. Maukah mencegahnya pergi, Melati?"
Pelan dan lembut Arya memberi penjelasan pada Melati. Tapi Melati masih tetap diam. Meskipun kata-kata Dewa Arak ada benarnya tapi perasaan cemburu membuatnya tidak langsung mengiyakan kata-kata Arya. Sambil berkata begitu, Arya mengulurkan tangannya membelai rambut Melati.
"Huh! Kau memang paling pintar membujuk orang!" dengus Melati, pura-pura marah. Kemudian tubuhnya melesat mengejar Wintari yang sudah jauh.
"Ha ha ha...!" Arya hanya tertawa dengan lunak. Dipandanginya punggung Melati yang telah berada beberapa tombak di depan.
LIMA
Kening Melati jadi berkerut ketika tidak men-jumpai adanya Wintari. Padahal, jelas-jelas tadi gadis berpakaian kuning itu menerobos bagian semak-semak yang lebat, karena tertutup akar gantung pohon beringin. Melati merayapi sekitarnya yang banyak ditumbuhi semak dan pepohonan di sana-sini.
Kembali Melati mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun tetap saja tidak melihat keberadaan Wintari. Mustahil gadis itu bisa lenyap demikian cepat. Tak jauh di depannya melintang sebuah sungai. Sementara kanan-kirinya penuh pohon-pohon berduri. Melati yakin, jika Wintari terus melarikan diri jelas akan terlihat. Jadi kesimpulannya, gadis itu sengaja menyembunyikan diri!
Yakin akan dugaannya, Melati segera memusatkan perhatian pada pendengarannya. Dia yakin, apabila Wintari masih berada di situ, setidak-tidaknya akan terdengar desah napasnya. Sebentar saja, Melati sudah mendengar desa-han napas yang asalnya dari..., atas pohon!
Kenyataan ini tidak mengejutkan hati Melati, kalau saja desah napas yang didengarnya hanya dari satu orang. Dan kenyataannya paling sedikit ada tiga desahan napas yang berasal dari tiga orang.
Penasaran akan pendengarannya, membuat Melati mengarahkan pandangan ke arah pohon tempat suara desah napas berasal. Tapi baru saja menengadah....
Brrr!
Debu-debu halus menyambar ke arah wajah Melati. Seketika gadis berpakaian putih ini membuang mukanya ke samping, dan melindungi bagian wajah dengan kedua tangan. Belum lagi Melati sempat berbuat sesuatu, hidungnya mencium bau amis yang memualkan perut. Bahkan membuat kepala pening dan seluruh tubuh lemas. Jelas, debu yang disebarkan bukan sembarangan.
"Racun...," desis Melati penuh perasaan geram. "Manusia-manusia licik"
Tapi Melati tidak bisa terus-terusan marah, karena tangannya masih terasa sakit. Malah rasa pusing dan lemas membuatnya terhuyung-huyung ke sana kemari.
Jliggg!
Ketika Melati masih terhuyung-huyung, penyerang-penyerang gelap yang mengirimkan benda-benda beracun itu berlompatan ke tanah. Ketika akhirnya berhasil berdiri, meskipun tidak tegak, Melati berusaha melebarkan sepasang matanya. Dia ingin tahu, orang-orang yang telah membokong dirinya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Melati ketika ternyata tidak mampu melihat jelas para penyerangnya. Wajah mereka tampak hanya terlihat samar-samar. Bahkan jumlah mereka pun sukar dihitung.
"Celaka," desis Melati dalam hati. Disadari kalau hal itu terjadi akibat pengaruh racun orang-orang itu. Dan hal ini membuat Melati cemas. Apalagi ketika tubuhnya terasakan semakin melemas.
Perasaan penasaran mendorongnya untuk mengerahkan tenaga dalam. Tapi, hasilnya malah membuat kecemasannya bertambah. Rasa pusing yang melanda semakin membesar. Keadaan di sekitarnya seperti berputar, sehingga tanpa sadar gadis berpa-kaian putih itu memegangi kepalanya.
"Ha ha ha...! Lihat! Kuda betina liar yang ini pun sudah hampir jinak."
Terdengar salah seorang dari para pembokong-nya berbicara, yang langsung disambut suara tawa rekan-rekannya.
"Betapa beruntungnya kita. Yang diburu singa yang telah ompong giginya, tapi yang didapat malah dua ekor kuda betina liar! Ha ha ha...!" sambung suara lain.
Ucapan-ucapan para pembokongnya membuat Melati mengerti, mengapa Wintari bisa raib begitu saja. Rupanya, gadis itu telah ditangkap oleh gerombolan pembokong yang berada di atas pohon.
Sementara itu para pembokong Melati yang ternyata berjumlah tiga orang, terus menghampiri. Sikap mereka tampak tidak terburu-buru, dan tanpa kewas-padaan sama sekali. Hal ini menandakan kalau mereka sudah tidak menganggap Melati sebagai gadis yang berbahaya. Ketiga orang yang rata-rata berpakaian coklat dan berwajah mirip satu sama lain, memang merasa telah yakin akan keampuhan racun yang dimiliki.
Memang, pada kenyataannya semakin lama keadaan Melati semakin parah. Bahkan gadis berpakaian putih itu sudah tidak mampu berdiri tegak lagi. Tubuhnya oleng ke kanan dan ke kiri. Sudah dapat dipastikan, tanpa diserang pun tak lama lagi dia akan roboh sendiri, melihat pengaruh racun yang merasuki tubuhnya. Dan tiba-tiba....
"Manusia-manusia keji! Lepaskan wanita-wanita itu!"
Di saat kesadaran yang dimilikinya mulai melenyap, Melati masih sempat mendengar bentakan keras. Dengan pandangan yang telah semakin mengabur, Melati mencoba mengenali pemilik suara.
Dan kalau menilik dari ucapannya orang itu bermaksud menolong dirinya dan Wintari. Tapi Melati tidak mampu memastikan wajah orang itu. Yang terlihat hanyalah sosok tubuh tidak jelas berwarna kehitaman. Tak lama kemudian semuanya gelap pekat. Dan Melati sudah tak ingat apa-apa lagi.
Sementara, sosok bayangan hitam itu telah ber-diri berhadapan dengan tiga orang berpakaian coklat yang memiliki wajah dan potongan tubuh mirip kera.
"Rupanya kau, Singa Hitam Tangan Sepuluh!" kata salah seorang dari tiga sosok berpakaian coklat. Orang ini mempunyai sebuah tahi lalat besar di dahinya. "Mimpi apa kami semalam, sehingga bisa mendapat keberuntungan yang bertubi-tubi ini."
Usai berkata demikian, laki-laki bertahi lalat di dahi itu meletakkan di tanah, tubuh Wintari yang se-jak tadi dibopong dengan kedua tangan. Baru setelah itu perhatiannya dialihkan lagi ke arah Singa Hitam Tangan Sepuluh. Sosok bayangan coklat itu memang tidak lain dari Singa Hitam Tangan Sepuluh. Dengan sorot mata garang, ditatapnya tiga sosok di hadapannya.
"Sama sekali tidak kusangka kalau Tiga Kera dari Akherat adalah penjahat-penjahat hina yang hanya berani pada wanita tidak berdaya," geram Singa Hitam Tangan Sepuluh sambil merayapi tubuh Melati dan Wintari.
"Tutup mulutmu, Singa Hitam! Apakah kau hendak mengatakan kalau dirimu lebih baik dari kami?!" bentak salah satu yang bergigi tonggos, marah.
"Memang aku bukan orang baik-baik. Tapi sampai mati pun, aku tidak sudi berbuat hina seperti yang kalian lakukan!" tandas Singa Hitam Tangan Sepuluh, tegas.
"Keparat! Bersiaplah untuk menerima kematianmu, Singa Hitam. Raja Iblis Tanpa Tanding menginginkan kepalamu!" tegas Kera Akherat yang bertahi lalat.
"Aku ragu, apakah kalian mampu melakukannya! Setahuku, perbuatan yang bisa kalian lakukan hanyalah menjilat pantat Raja Iblis Tanpa Tanding!" ejek Singa Hitam Tangan Sepuluh, keras.
"Keparat! Mampuslah kau!"
Tiga Kera dari Akherat yang bergigi tonggos ru-panya sudah tidak bisa menahan sabar lagi. Dia cepat melompat ke depan. Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya bergulingan di tanah. Lalu....
Wuttt!
Ketika telah berada dekat dengan Singa Hitam Tangan Sepuluh, lelaki bergigi tonggos itu berhenti berguling. Langsung dilancarkannya serangan berupa sapuan kaki kanan.
Benar-benar mengagumkan serangan ini meskipun kakinya kecil, tapi kekuatan yang terkandung di dalam sapuan laki-laki tonggos itu sanggup mematahkan batang pohon yang besarnya tidak kurang dari dua pelukan orang dewasa! Bisa dibayangkan, bagaimana akibatnya kalau kaki manusia yang dijadikan sasaran.
Singa Hitam Tangan Sepuluh pun tahu kedahsyatan serangan lawan. Itulah sebabnya, dia tak berani bertindak main-main. Buru-buru kakinya dijejakkan sehingga tubuhnya melayang ke atas. Hingga, serangan lawan menyambar tempat kosong.
Tapi lelaki bergigi tonggos telah memperhitungkannya. Maka ketika Singa Hitam Tangan Sepuluh mengelak seperti itu langsung saja dikirimkan serangan susulan berupa tendangan lurus ke atas mem-pergunakan kaki kiri.
Zebbb!
Singa Hitam Tangan Sepuluh tercekat melihat serangan lanjutan ini. Apalagi ketika mengetahui kalau bagian yang terancam adalah selangkangan. Padahal, saat itu tubuhnya tengah berada di udara. Rasanya, sulit baginya untuk dapat mengelak. Hanya ada satu jalan yang dapat menyelamatkan nyawanya, menang-kis serangan. Maka....
"Hih!"
Singa Hitam Tangan Sepuluh menghentakkan kakinya ke bawah.
Blakkk!
Seketika benturan antara dua telapak kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam kuat tidak bisa dielakkan lagi. Akibatnya, kedua batang kaki itu sama-sama terhentak balik.
"Hup!"
Begitu kedua kaki Singa Hitam Tangan Sepuluh mendarat di tanah, lelaki bergigi tonggos pun telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Dan tanpa menunda-nunda lagi, diterjangnya Singa Hitam Tangan Sepuluh kembali.
Tapi dalam serangan kali ini, lelaki bergigi tong-gos itu tidak bertangan kosong. Di tangan kanannya telah tergenggam sebuah pedang pendek berwarna hitam kelam. Dan dengan senjata di tangan, Singa Hitam Tangan Sepuluh dilabrak habis-habisan.
Melihat lawan telah menggunakan senjata, Si-nga Hitam Tangan Sepuluh tidak berani bertindak ge-gabah. Disadari kalau kepandaian lawan belum tentu berada di bawah tingkatannya. Itulah sebabnya, dia pun mencabut senjata andalannya yang berupa sebuah tombak pendek hitam.
Maka kini pertarungan yang terjadi jauh lebih mendebarkan. Bunyi decit angin tajam dari udara yang terobek oleh setiap gerakan dua senjata itu, menyema-raki berlangsungnya pertarungan. Beberapa kali bunyi berdentang nyaring yang diiringi berpercikannya bunga api terjadi manakala senjata-senjata itu berbenturan.
Dan benturan itu selalu mengakibatkan anggota Tiga Kera dari Akherat ini terhuyung-huyung ke belakang, karena kalah tenaga. Tak aneh kalau dalam lima belas jurus, Singa Hitam Tangan Sepuluh berhasil mendesaknya.
Kenyataan ini membuat sisa dari Tiga Kera dari Akherat khawatir. Kedua orang ini tahu, kalau dibiarkan, kemungkinan besar Singa Hitam Tangan Sepuluh akan berhasil merobohkan saudara mereka. Diiringi pekikan yang menyakitkan telinga, keduanya terjun dalam kancah pertarungan. Bahkan langsung menggunakan senjata andalan masing-masing, berupa sebuah pedang pendek!
Terjunnya dua anggota Tiga Kera dari Akherat yang tersisa langsung merubah keadaan. Sebaliknya Singa Hitam Tangan Sepuluh jadi kelabakan. Memang menghadapi seorang dari Tiga Kera dari Akherat, dia bisa di atas angin. Tapi menghadapi tiga orang? Apalagi mereka dapat bekerja sama dengan saling isi dan melindungi. Maka hanya dalam sepuluh jurus, Singa Hitam Tangan Sepuluh sudah terdesak.
Gulungan sinar senjata cakar Singa Hitam Tangan Sepuluh yang semula luas dan mengungkungi sekujur tubuhnya laksana sebuah benteng, kini perlahan mulai menyempit. Dan itu sudah menjadi tanda kalau keadaan Singa Hitam Tangan Sepuluh semakin terjepit!
Serangan-serangan Singa Hitam Tangan Sepu-luh semakin berkurang. Sebaliknya, elakan-elakan dan tangkisan-tangkisan yang dilakukannya semakin bertambah. Dan dia hanya bertarung mundur. Sudah dapat dipastikan apabila dibiarkan terus, Singa Hitam Tangan Sepuluh akan roboh.
Kini pertarungan telah menginjak jurus kedua puluh. Dan sekarang, Singa Hitam Tangan Sepuluh sama sekali tidak mampu mengirimkan serangan balasan. Lagi pula bagaimana lelaki bermuka singa ini dapat mengirimkan serangan kalau sudah kerepotan sendiri menghadapi serangan-serangan silih berganti yang ditujukan padanya.
Begitu asyiknya mereka bertarung, sehingga tak menyadari kalau di tempat itu hadir seseorang. Semula orang itu hanya memperhatikan jalannya pertarungan. Tapi ketika melihat sosok tubuh ramping berpakaian putih yang tergolek di tanah, segera perhatiannya dialihkan. Dan dengan sekali ayunkan kaki, sosok yang tak lain Arya alias Dewa Arak telah berada di dekat tubuh Melati. Padahal, jarak antara Dewa Arak dengan kekasihnya semula tak kurang dari sepuluh tombak.
Sementara itu, begitu telah berada di dekat kekasihnya, Dewa Arak langsung saja membungkuk. Dan dengan tarikan wajah penuh perasaan khawatir, diperiksanya keadaan Melati. Tidak berapa lama Dewa Arak memeriksa keadaan Melati.
Dan kini sorot kecemasan sudah tidak terlihat lagi di wajahnya karena mengetahui Melati sama sekali tidak menderita luka yang berarti. Kekasihnya itu hanya terkena racun pembius yang membuatnya tidak sadar diri untuk beberapa lama. Dan hanya dengan dorongan hawa murni, racun itu bisa diusir keluar.
Dewa Arak sendiri tidak terburu-buru dalam menyembuhkan Melati. Kini pandangannya dialihkan kembali ke arah pertarungan. Beberapa saat matanya terpaku di sana dengan dahi berkernyit. Tampaknya, dia tengah berpikir keras.
Memang ada sesuatu yang mengganggu benak Dewa Arak, melihat pertarungan yang tengah berlangsung. Pemuda berambut putih keperakan ini rupanya tengah menebak pihak mana yang menjadi kawan dan mana lawan.
Sempat juga pemuda berambut putih keperakan itu melihat tubuh Wintari yang tergolek di tempat yang terpisah agak jauh darinya. Arya tidak khawatir terhadap Wintari, karena dipastikannya Wintari pasti masih hidup. Kini Dewa Arak kembali memperhatikan jalannya pertarungan.
Sementara itu, keadaan Singa Hitam Tangan Sepuluh semakin bertambah gawat dan sudah semakin terpojok! Bahkan beberapa kali ujung pedang pendek lawan berhasil menggores kulitnya. Sehingga cukup membuat darah keluar membasahi pakaiannya. Dan karena luka-luka yang tercipta cukup banyak, sekujur tubuh Singa Hitam Tangan Sepuluh dibanjiri ali-ran darah!
Sebenarnya, luka-luka yang diderita Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak parah. Tapi karena lelaki bermuka singa ini tidak mempunyai kesempatan menghentikan aliran darahnya, tenaganya jadi berkurang cepat, karena kehilangan banyak darah.
Sebagai akibatnya, perlawanan yang diberikan pun mengendur. Sebaliknya, lawan-lawannya semakin bersemangat melihat keadaan Singa Hitam Tangan Sepuluh yang semakin payah. Tidak sampai tiga jurus lagi, lelaki bermuka singa ini akan roboh di tangan lawan.
"Sebentar lagi nyawamu akan kami kirim ke neraka, Singa Hitam. Ha ha ha...!" ejek lelaki bergigi tonggos penuh bernada kemenangan.
Ucapan dan tawa lelaki bertubuh kecil ini segera disambut oleh tawa bergelak dari kedua rekannya, menyuarakan nada kemenangan. Masih dengan tawa yang belum putus, mereka terus merangsek Singa Hitam Tangan Sepuluh.
Dari kata-kata laki-laki bergigi tonggos itu, Dewa Arak kini tahu pihak yang harus dibantu. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak langsung melesat ke arah pertarungan. Jarak antara pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan ini dengan kancah pertarungan, tidak kurang dari tujuh tombak. Namun hanya sekali genjot dan berjumpalitan di udara, dia telah berhasil menjangkau kancah pertarungan.
Dari atas, laksana seekor burung garuda yang tengah menerkam mangsa, Dewa Arak meluruk ke arah Tiga Kera dari Akherat. Kebetulan saat itu, keti-ganya tengah merangsek Singa Hitam Tangan Sepuluh yang telah semakin terpojok.
Wuttt!
Deru angin keras mengawali tibanya serangan Dewa Arak. Akibatnya Tiga Kera dari Akherat menyadari akan adanya ancaman bahaya, terpaksa membatalkan serangan terhadap Singa Hitam Tangan Sepuluh. Dan sebagai gantinya, pedang pendek di tangan mereka digunakan untuk memapak serangan Dewa Arak.
Wut, wut, wuttt!
Tak, tak, takkk!
Tubuh Tiga Kera dari Akherat langsung terhuyung-huyung ke belakang ketika senjata mereka berbenturan dengan tangan Dewa Arak. Tangan-tangan mereka pun terasa sakit-sakit, dan seperti lumpuh. Sehingga, hampir saja cekalan terhadap senjata itu terlepas.
Berbeda dengan Tiga Kera dari Akherat yang terhuyung-huyung dengan mulut menyeringai kesaki-tan, Dewa Arak malah dengan enaknya hinggap di depan Singa Hitam Tangan Sepuluh.
"Beristirahatlah sebentar, Kisanak. Biar aku yang menghadapi mereka. Dan...."
Dewa Arak tidak bisa meneruskan ucapannya lagi, karena Tiga Kera dari Akherat sudah keburu melancarkan serangan. Tiga lelaki setengah tua bertubuh cebol ini meluncurkan pedang pendek ke bagian-bagian tubuh Dewa Arak yang mematikan.
Sing, sing, sing!
Bunyi berdesing nyaring mengiringi tibanya serangan. Namun, Dewa Arak tetap bersikap tenang. Di-tunggunya serangan itu hingga dekat. Baru setelah itu, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, dia menyelinap di antara kelebatan senjata lawan. Laksana bayangan, tubuhnya berkelebat di antara kelebatan sinar pedang.
Lima jurus lamanya Dewa Arak hanya mengelak dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh tanpa sekali pun balas menyerang. Seketika itu pula, tubuhnya lenyap dari pandangan. Sementara tiga lawannya kelabakan. Dan sebelum mereka sadar, tahu-tahu tubuh mereka telah menjadi lemas.
ENAM
"He he he...! Kau beruntung sekali, Singa Hitam. Ada orang tak tahu penyakit berani menolongmu."
Terdengar suara begitu tubuh Tiga Kera dari Akherat jatuh tertotok. Meskipun hanya Singa Hitam Tangan Sepuluh yang ditegur, tapi Dewa Arak pun ikut mengalihkan perhatian ke arah asal suara. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini terkejut bukan kepalang. Begitu lihaikah orang itu sehingga kedatangannya pun tidak tertangkap telinga.
"Ah...!" Jeritan kaget itu keluar dari mulut Singa Hitam Tangan Sepuluh. Tampak di salah satu cabang pohon yang besarnya tak lebih dari ibu jari kaki, duduk bersila sesosok tubuh tinggi besar dengan wajah cerah. Cabang pohon itu sampai melengkung karena tak kuat menahan beban tubuhnya yang kekar berotot. Tapi anehnya, dia enak saja duduk hampir di ujung cabang!
"Dedemit Tawa...," desah Singa Hitam Tangan Sepuluh, bernada kaget. Tarikan wajah dan sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang sangat.
Wajah Dewa Arak berubah begitu mendengar julukan Dedemit Tawa disebut. Meskipun belum pernah bertemu, tapi telah kerap didengar kalau Dedemit Tawa adalah salah satu dari empat datuk kaum sesat. Apakah tokoh ini pun telah menjadi anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding? Kalau menilik ucapannya terhadap Singa Hitam Tangan Sepuluh, rasanya dugaan itu tidak salah.
"Ha ha ha...!" Sosok yang duduk di atas cabang pohon, yang memang Dedemit Tawa itu, membuka mulutnya. Suara tawanya mula-mula biasa. Tapi sesaat kemudian, tawanya semakin keras. Dan seiring se-makin mengerasnya tawa itu, Singa Hitam Tangan Sepuluh mulai merasakan pengaruhnya.
Tawa yang mula-mula hanya menyakitkan telinga itu mulai mempengaruhi kepala dan dadanya yang menjadi pusing dan dada sesak! Singa Hitam Tangan Sepuluh buru-buru menutup telinganya itu. Bahkan Dewa Arak pun diam-diam mulai mengerahkan tenaga dalam untuk melawannya.
Dewa Arak untuk sementara membiarkan tindakan Dedemit Tawa. Dia ingin tahu, sampai di mana serangan tawa tokoh ini. Tapi ketika melihat keadaan Singa Hitam Tangan Sepuluh yang sampai duduk bersila dalam mengerahkan seluruh kemampuan untuk melawan pengaruh tawa, Dewa Arak mulai bertindak. Maka tenaga dalamnya segera dipusatkan. Kemudian dikeluarkannya lewat siulan!
Sesaat kemudian, terjadi pertarungan menegangkan yang mengandalkan kekuatan tenaga dalam! Tawa dari Dedemit Tawa dan siulan Dewa Arak, saling berusaha tindih-menindih. Luar biasa! Siulan Dewa Arak ternyata mampu mengimbangi tawa Dedemit Tawa. Meskipun tidak dapat menindihnya, siulan itu mampu membuat tawa Dedemit Tawa kehilangan pengaruhnya. Dan ini membuat Singa Hitam Tangan Sepuluh dapat menarik napas lega kembali.
Namun Dedemit Tawa, tertawa bukan orang bodoh. Begitu tahu kalau tawanya tidak dapat diandalkan lagi, dia memutuskan untuk melompat dari cabang yang didudukinya. Laksana daun kering jatuh di tanah, Dedemit Tawa mendarat di tanah.
"He he he...! Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian, Anak Muda! Tapi jangan harap dapat mengungguli Dedemit Tawa! He he he...!"
Terdengar jelas ada nada meremehkan dalam kata-kata Dedemit Tawa. Tapi Dewa Arak tidak mempedulikannya, dan tetap bersikap tenang.
"Dedemit Tawa...! Aku tidak mengenalmu. Dan mungkin pula sebaliknya. Tapi, tindakan kejimu telah lama kudengar. Dan demi menjaga ketenangan dunia persilatan, terpaksa kau akan kulenyapkan!" kata Dewa Arak, tegas.
"Ha ha ha...!" Dedemit Tawa tertawa terbahak-bahak. "Luar biasa! Betapa sombongnya! Rupanya kau belum mengenal siapa aku, Anak Muda?!"
"Siapa yang tidak mengenal julukan Dedemit Tawa? Datuk sesat yang amat sakti, tapi memiliki watak keji!" jawab Dewa Arak lantang.
"He he he...! Kau benar, Anak Muda. Ha ha ha...! Tak pernah kusangka akan ada seorang pemuda yang selihai dan seberani dirimu! Eh, tunggu dulu! Aku juga mendengar kalau sekarang ini telah muncul seorang tokoh sakti yang masih muda. Dia berjuluk Dewa Arak. Ciri-cirinya..., ah sama denganmu. Jadi, rupanya kau Dewa Arak.... He he he.... Sama sekali tidak kusangka akan bertemu denganmu. Mari, Dewa Arak. Ingin kubuktikan kebenaran berita yang telah menggembar-gemborkan julukanmu itu!"
Usai berkata demikian, Dedemit Tawa mulai bersiap-siap melancarkan serangan. Dia berteriak den-gan sepasang mata terpejam. Sementara, kedua tan-gannya disilangkan di depan dada.
Melihat sikap Dedemit Tawa, Dewa Arak pun ti-dak berani bertindak gegabah. Buru-buru diambilnya guci arak yang tergantung di punggung, kemudian dituangkannya ke mulut.
Gluk.... Gluk... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak, dalam perjalanannya menuju lambung. Sesaat kemudian, terasa hawa hangat mulai merayap naik ke kepala, sehingga membuat kaki Dewa Arak tidak menapak secara tetap di tanah. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu oleng sana oleng sini.
Namun justru pada saat seperti inilah Dewa Arak berada dalam puncak kemampuannya. Semua ci-ri-ciri ini menunjukkan kalau ilmu 'Belalang Sakti' andalan Dewa Arak, siap dipergunakan.
Dedemit Tawa sempat tertegun melihat ilmu yang dikeluarkan Dewa Arak. Tapi hanya sekejap saja dia terkejut, karena buru-buru dibuangnya. Lalu.... "Hiyaaat..!"
Diawali teriakan keras yang membuat sekitar tempat itu tergetar hebat, Dedemit Tawa melompat menerjang Dewa Arak! Di saat tubuhnya tengah berada di udara dengan jari setengah mengepal, tangan kanan dihantamkannya ke ubun-ubun Dewa Arak.
Wuttt!
Dedemit Tawa kecelik! Serangannya langsung mengenai tempat kosong, karena tubuh Dewa Arak sudah tidak berada lagi di situ. Karuan saja hal itu membuatnya heran bukan kepalang. Kelihatan kalau Dewa Arak tidak mengelak. Bahkan justru dengan langkah seperti akan jatuh, Dewa Arak malah menyambut serangan. Tapi, mengapa malah serangannya tidak mengenai sasaran?
Hanya sebentar saja pertanyaan itu bergayut di benak Dedemit Tawa. Sesaat kemudian, sebagai datuk sesat yang telah mempunyai pengalaman luas, lang-sung diketahui kalau Dewa Arak menggunakan sebuah ilmu aneh.
Meskipun demikian, dia tidak menjadi putus asa. Dikeluarkan seluruh kemampuan yang dimili-kinya untuk mencecar Dewa Arak. Tapi, selalu saja setiap serangannya mengenai tempat kosong. Sebalik-nya, setiap serangan balasan Dewa Arak membuat Dedemit Tawa kelabakan! Sungguhpun demikian, kakek tinggi besar ini mampu memberi perlawanan berarti.
Seru dan menarik bukan kepalang pertarungan berlangsung. Masing-masing pihak mengeluarkan seluruh kemampuan. Dewa Arak menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'-nya. Dan perpaduan serangan kedua tangan, guci, dan semburan araknya menjadi satu kesatuan yang dapat menggilas habis pertahanan lawan!
Tapi lawan yang dihadapinya adalah seorang datuk yang amat sakti! Malah, kali ini Dedemit Tawa mengeluarkan ilmu andalannya jurus 'Macan Tutul'. Jurus demi jurus berlalu cepat karena kedua belah pihak sama-sama memiliki gerakan cepat. Bahkan tempat di sekitar pertarungan menjadi tak karuan. Tanah terbongkar di sana-sini. Pohon-pohon bertumbangan, mendapat pukulan nyasar. Debu pun mengepul tinggi di udara.
Tak terasa pertarungan telah menginjak seratus lima jurus. Dan sampai pada jurus ini, Dedemit Tawa mulai terdesak dan terhimpit!
Dedemit Tawa menggeretakkan giginya. Rasa penasaran yang amat sangat langsung menggelora dalam dada ketika menyadari kenyataan kalau lawannya jauh lebih unggul. Terpaksa senjata andalannya yang berupa sepasang kecer dikeluarkan.
Blammm, blammm!
Bunyi berdentam keras langsung terdengar begitu Dedemit Tawa membenturkan sepasang kecernya. Keras bukan kepalang laksana ledakan halilintar. Sehingga, mampu membuat Singa Hitam Tangan Sepuluh yang telah berdiri tegak untuk menyaksikan pertarungan jadi terkulai lemas.
Dan kini, pertarungan kembali berlangsung lebih seru, dan sengit. Karena, sekarang Dedemit Tawa telah menggunakan senjata andalan. Kembali jurus demi jurus berlangsung cepat. Tak terasa, empat puluh lima jurus lagi telah berlalu. Dan kalau dihitung dari pertama kali bertempur, mereka telah menghabiskan seratus lima puluh jurus.
Sampai jurus ini, Dewa Arak mulai menguasai pertarungan. Malah beberapa kali Dedemit Tawa dibuat terhuyung-huyung ketika benturan terjadi. Dedemit Tawa yang merajai wilayah utara itu sebenarnya memang kalah tenaga.
Di jurus keseratus enam puluh satu, Dedemit Tawa menyerang kepala Dewa Arak dengan kedua kecernya yang saling diadukan.
Blammm...!
Untuk yang kesekian kalinya serangan Dedemit Tawa mengenai tempat kosong, karena Dewa Arak te-lah merendahkan tubuhnya. Kedua kecer itu saling berbenturan beberapa jari di atas kepala, menimbul-kan bunyi keras memekakkan telinga.
Namun Dewa Arak tidak mempedulikannya. Saat itu banyak celah-celah terbuka dalam pertahanan Dedemit Tawa. Maka kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Secepat kilat, kedua tangannya dihentakkan ke dada Dedemit Tawa.
Wuttt!
Hembusan angin dahsyat menderu, seiring meluncurnya kedua tangan Dewa Arak menuju sasaran. Dedemit Tawa terkejut bukan kepalang, melihat serangan Dewa Arak yang mengandung ancaman besar. Maka dengan sebisa-bisanya dicoba untuk mengegos. Tapi, terlambat. Karena....
Bukkk!
"Aaa...!"
Jeritan menyayat keluar dari mulut Dedemit Tawa seiring melayang tubuhnya ke belakang, ketika kedua tangan Dewa Arak mendarat telak di sasaran. Darah segar kontan menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinga Dedemit Tawa. Sehingga, membasahi tanah sepanjang tubuhnya meluncur.
Brukkk!
Diiringi bunyi berdebuk keras, tubuh Dedemit Tawa jatuh ke tanah setelah melayang-layang sejauh beberapa tombak. Datuk sesat yang cukup terkenal itu tewas dengan tulang dada hancur berantakan!
"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas lega. Ditatapnya tubuh Dedemit Tawa sebentar, sebelum mengayunkan langkah menghampiri Melati. Tapi baru juga beberapa langkah, ayunan kakinya berhenti. Karena, Singa Hitam Tangan Sepuluh telah menghadang langkahnya.
"Kuucapkan terima kasih atas bantuan yang kau berikan, Dewa Arak. Tanpa bantuanmu mungkin aku sudah tewas di tangan Dedemit Tawa," ucap lelaki bermuka singa itu.
"Lupakanlah, Singa Hitam. Ng... bolehkah kutahu, mengapa dia mengejar-ngejarmu? Apa urusannya dengan Raja Iblis Tanpa Tanding?!" Arya mengeluarkan uneg-uneg yang mengganjal hatinya.
"Panjang ceritanya, Dewa Arak," jawab Singa Hitam Tangan Sepuluh.
"Kalau begitu, biar kusadarkan mereka dulu." Arya menghampiri tubuh Melati, kemudian langsung duduk bersila. Kedua telapak tangannya ditempelkan di punggung kekasihnya. Pemuda berambut putih keperakan ini akan mengusir hawa beracun yang berada dalam tubuh Melati dengan dorongan tenaga dalamnya.
Berkat tenaga dalamnya yang memang amat kuat, tak berapa lama hawa beracun itu sudah terusir pergi. Asap hitam mulai mengepul dari atas kepala Melati, hingga akhirnya lenyap sama sekali. Hal yang sama dilakukan Dewa Arak pada Wintari.
Semua kejadian itu disaksikan Singa Hitam Tangan Sepuluh dengan penuh kagum. Dia tahu, untuk melakukan apa yang diperbuat Dewa Arak, apalagi dalam waktu yang demikian singkat, memang membutuhkan tenaga dalam kuat!
Di saat Dewa Arak tengah sibuk mengusir hawa beracun di tubuh Melati, Singa Hitam Tangan Sepuluh sadar. Sesaat sepasang matanya terpaku pada Dewa Arak, tapi kemudian segera berpaling ke arah sosok tubuh ramping berpakaian kuning!
"Singa Hitam," ucap Wintari begitu sadar.
"Benar, Wintari Kau baik-baik saja?" Singa Hitam Tangan Sepuluh balas bertanya setelah terlebih dulu menyunggingkan senyum pahit.
Wintari mengangguk. Sementara, Dewa Arak dan Melati berdiri diam memperhatikan, tanpa mengusik urusan kedua orang itu.
"Aku membawa berita yang tidak menyenangkan untukmu, Wintari," ujar Singa Hitam Tangan Sepuluh setelah beberapa kali menghela napas berat. "Sebenarnya, aku takut menyampaikannya. Tapi ini harus kukatakan agar hatiku tenang."
"Apakah mengenai ayahku?" terka Wintari.
Wajah Singa Hitam Tangan Sepuluh berubah. Tapi dengan pasti walaupun lambat-lambat, kepala dianggukkan untuk membenarkan dugaan itu. Seketika itu pula, Wintari kalap! Dicekalnya kedua tangan Singa Hitam Tangan Sepuluh dan diguncang-guncangkannya. Sementara lelaki bermuka singa ini malah menundukkan kepala.
"Katakan, Singa Hitam! Apa yang terjadi pada ayahku?!" seru Wintari kalap. "Katakan!"
Meskipun belum dikemukakan, tapi menilik sikap Singa Hitam Tangan Sepuluh, Wintari sudah bisa memperkirakan berita yang akan diterimanya.
"Ayahmu..., telah tewas, Wintari," akhirnya keluar juga jawaban itu.
"Apa?!" Sepasang mata gadis berpakaian kuning itu terbelalak. Tarikan wajah dan sorot matanya menyiratkan ketidakpercayaan, Walaupun sudah menduga sebelumnya, tetap saja berita itu mengejutkannya. "Ayah..., tewas...?" ucap Wintari lemah, seperti kehilangan semangat.
Singa Hitam Tangan Sepuluh mengangkat wajah dan mengangguk. Kemudian secara jelas semua kejadiannya diceritakan. "Semua ini salahku, Wintari. Hukumlah aku! Kalau aku tidak singgah, mungkin ayahmu tidak akan tewas," ujar Singa Hitam Tangan Sepuluh menutup ceritanya.
Tapi tak ada tanggapan apa-apa dari Wintari atas ucapan itu. Dia terpaku kaku, dengan air mata bercucuran. Tampak jelas kalau gadis ini amat terpukul. Kemudian disertai keluhan panjang, tubuhnya roboh. Kalau saja Singa Hitam Tangan Sepuluh tidak buru-buru menyangga, tentu kepalanya akan terbentur tanah.
* * *
TUJUH
Siang baru saja merambat menuju senja, ketika sosok bayangan ungu dan putih berkelebat cepat menyusuri jalan tanah berdebu. Kedua sosok ini terus berlari dengan kecepatan tinggi.
"Aku yakin kita belum terlambat, Kang?" tanya sosok bayangan putih yang tak lain Melati tanpa menghentikan larinya.
"Berharap saja demikian, Melati. Mudah-mudahan saja, Raja Iblis Tanpa Tanding dan gerombolannya lebih memusatkan perhatian pada Singa Hitam Tangan Sepuluh," jawab Arya alias Dewa Arak kalem.
Sampai di sini, pembicaraan terhenti. Sepasang anak muda itu baru memperlambat larinya ketika mendekati bangunan dengan beberapa anak bangunan yang berhalaman luas. Pagar dari kayu bulat kokoh kuat tampak mengelilingi kelompok bangunan dan ha-laman itu. Di atas pintu gerbang terpampang sebuah papan tebal yang berukir indah. Di situ tertulis huruf-huruf yang berbunyi 'Perguruan Lembah Dewa'!
Dewa Arak dan Melati menghentikan larinya, dua tombak di depan pintu gerbang Perguruan Lembah Dewa. Kemudian dihampirinya dua penjaga yang berdiri di kanan kiri pintu gerbang dengan sikap was-pada. Penjaga-penjaga ini memang sudah sejak tadi memperhatikan Dewa Arak dan Melati.
"Maaf, Kisanak. Bisa kami bertemu Ki Rancang?" tanya Arya sopan. "Ada hal sangat penting yang perlu dibicarakan. Namaku Arya. Dan kawanku ini, Melati."
Dua penjaga pintu gerbang tidak langsung menjawab permintaan itu. Dirayapinya sekujur tubuh Dewa Arak dan Melati.
"Silakan menunggu sebentar. Kami akan lapor dulu," ucap penjaga yang berambut kecoklatan. Usai berkata demikian, dia berlari ke dalam. Tak lama kemudian kembali lagi keluar.
"Ki Rancang bersedia menerima kedatangan kalian berdua. Mari kuantarkan!"
"Terima kasih," ucap Arya, gembira. Kemudian bersama penjaga berambut kemerahan itu, Dewa Arak dan Melati masuk ke dalam. Mereka melewati halaman yang luas, menuju sebuah bangunan yang paling besar.
"Silakan menunggu di sini sebentar," ujar penjaga berambut kemerahan itu. Kemudian dia berlari cepat ke dalam bangunan tanpa menunggu tanggapan sepasang pendekar yang diantarnya.
Dewa Arak dan Melati patuh, berdiri menunggu. Pandangan mereka beredar ke sekeliling tempat itu. Sunyi sepi. Tidak tampak seorang pun tengah berlatih.
"Waspadalah, Melati," bisik Arya, "Perasaanku tidak enak."
"Jangan-jangan kita dijebak, Kang," tukas Melati, "Barangkali saja gerombolan Raja Iblis Tanpa Tanding telah merebut tempat ini!"
Belum sempat Dewa Arak memberi tanggapan....
Sing! Sing! Sing!
Bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan te-linga terdengar seiring melesatnya ratusan anak panah ke arah Dewa Arak dan Melati. Serangan yang datang dari segala penjuru ini, mengarah pada sepasang pen-dekar muda yang berada di tengah-tengah halaman.
Dewa Arak dan Melati langsung mengadu punggung. Kemudian dengan tangan telanjang, dipapaknya hujan anak panah itu dengan pengerahan te-naga dalam. Sehingga, telapak tangan mereka tidak sampai terluka.
Tak, tak, tak!
Bunyi berdetak keras terdengar, ketika anak-anak panah itu berjatuhan dalam keadaan patah-patah, setelah dihantam tangan sepasang pendekar itu. Malah sebagian di antaranya roboh sebelum sempat tertangkis!
Tapi hujan anak panah itu ternyata tidak berhenti sampai di situ. Tapi untung saja semuanya dapat dikandaskan Dewa Arak dan Melati.
Sadar kalau serangan dengan anak panah tidak berarti, para penyerang pun keluar dari tempatnya. Dan dengan senjata di tangan, mereka menyerbu seraya mengeluarkan teriakan-teriakan keras. Dan ternyata, mereka memang anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding. Namun orang yang dihadapi kali ini adalah Dewa Arak dan Melati! Menghadapi serangan semacam itu sama sekali mereka tidak menjadi gugup.
Tak, tak!
Detak keras seperti dua logam kuat berbentu-ran, terdengar ketika serangan tokoh-tokoh aliran hi-tam itu dipapak sepasang tangan Dewa Arak. Yang le-bih gila lagi, mata senjata-senjata itu malah berpatahan. Itu pun masih diselingi jerit kesakitan dari mulut tokoh-tokoh aliran hitam itu. Bahkan tangan yang menggenggam pedang terasa sakit bukan kepalang. Beberapa di antaranya malah tak kuat menggenggam senjata hingga terjatuh!
Meskipun demikian, tokoh-tokoh aliran hitam lain tidak menjadi gentar. Diiringi pekikan nyaring yang memekakkan telinga, mereka menerjang Dewa Arak dan Melati dalam jumlah yang lebih banyak. Hal ini disebabkan anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding yang lain telah berdatangan, begitu mendengar keributan.
Tapi tindakan tokoh-tokoh aliran hitam itu tak ubahnya segerombolan semut menerjang api. Mereka semua roboh tanpa daya, sebelum sempat menyarang-kan sebuah serangan pun. Suara desing senjata menyambar dan dentang senjata berbenturan, menyemaraki jalannya pertarungan.
Itu pun masih ditingkahi jerit kesakitan dan juga berjatuhannya tubuh tokoh-tokoh aliran hitam ke tanah. Sudah dapat dipastikan, semua tokoh aliran hitam akan berhasil dirobohkan Dewa Arak dan Melati. Tapi sebelum hal itu terjadi....
"Menyingkir semua...!"
Sebuah bentakan keras menggelegar seketika terdengar, sehingga membuat suasana di sekitar tem-pat itu bergetar keras. Tampaknya, bentakan itu dike-luarkan disertai pengerahan tenaga dalam. Maka seketika tokoh-tokoh aliran hitam yang masih tersisa langsung menghentikan serangan. Me-reka tahu, orang yang membentak itu adalah pimpinan mereka.
Tapi ternyata orang yang membentak adalah Dewa Sesat Pemetik Bunga! Sementara di belakangnya berdiri belasan orang tokoh hitam berpakaian seragam. Rupanya, datuk pendek gemuk ini telah mendengar adanya keributan.
"Kiranya Dewa Arak! Ha ha ha...! Betapa gagahnya tindakanmu dengan menjatuhkan tangan pada tokoh-tokoh rendahan! Ha ha ha.... Hebat! Hebat!" lanjut Dewa Sesat Pemetik Bunga, penuh ejekan.
Datuk wilayah timur ini sebenarnya memendam penasaran pada Dewa Arak, karena dirinya telah dibuat malu ketika dikalahkan oleh Dewa Arak beberapa waktu lalu. Ingin dicobanya sekali lagi kesaktian pemuda berambut putih keperakan itu.
"Ah! Betapa gagahnya ucapanmu, Dewa Sesat! Apakah kau ingin dibuat terjerembab lagi oleh Dewa Arak?!" ejek Melati.
"Tutup mulutmu, Wanita Liar!" maki Dewa Sesat Pemetik Bunga, geram. "Atau aku yang akan menutupnya dengan kekerasan!"
"Hi hi hi...!" Hanya tawa mengikik dari Melati yang menyambuti ancaman Dewa Sesat Pemetik Bunga. Tampak jelas kalau gadis berpakaian putih itu tidak menganggap ancaman datuk pendek gemuk itu sebagai suatu ancaman.
"Kau akan menutup mulutku dengan kekerasan?! Hi hi hi...! Apakah aku tidak salah dengar? Ingin kulihat, bagaimana kau membuktikan ucapanmu, Kerbau Pendek Gemuk?!"
"Mampus kau, Wanita Sombong!" Belum juga gema ucapan itu lenyap, Dewa Sesat Pemetik Bunga telah melancarkan serangan pada gadis berpakaian putih itu. Serangannya dimulai dengan sebuah tendangan kaki kanan lurus ke arah perut. Agar serangan yang dikirimkan dapat mencapai sasaran, terpaksa Dewa Sesat Pemetik Bunga bergerak mendekat terlebih dahulu.
Wuttt!
Serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga hanya mengenai tempat kosong, karena Melati telah lebih dulu melompat menghindar, seraya melancarkan serangan berupa sampokan ke arah pelipis.
Cittt!
Deru angin tajam terdengar dari udara yang terobek oleh sampokan tangan Melati yang berbentuk cakar. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kedahsyatan serangannya yang disertai pengerahan tenaga dalam.
Dewa Sesat Pemetik Bunga yang sudah bisa membaca kekuatan gadis itu, tidak berani membuang-buang waktu. Apalagi serangan itu datangnya terlalu tiba-tiba. Apabila terlambat sedikit saja akan gawat akibatnya.
Karena kesempatan yang tidak memungkinkan inilah Dewa Sesat Pemetik Bunga hanya sempat menarik kepalanya ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Meskipun hanya demikian, tapi cukup membuat serangan itu mengenai tempat kosong. Sampokan cakar Melati hanya lewat beberapa jari di depan wajah Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Namun tak urung rambut dan sekujur pakaian Dewa Sesat Pemetik Bunga berkibaran keras. Dari sini saja sudah bisa diketahui betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu. Melati jadi geram karena penasaran melihat lawannya berhasil mengelakkan serangan. Dan seiring munculnya perasaan itu, diputuskan untuk semakin memperhebat serangannya.
Tapi, ternyata Dewa Sesat Pemetik Bunga bukan termasuk lawan yang mudah dirobohkan. Setiap serangan Melati berhasil dipatahkan. Bahkan datuk pendek gemuk ini mampu mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Maka kini pertarungan sengit tidak bisa dielakkan lagi.
Karena masing-masing memiliki gerakan cepat, maka dalam waktu sebentar saja lima belas jurus telah terlewati. Dan selama itu, belum nampak tanda-tanda ada yang menang. Agaknya pertarungan itu disaksikan penuh perhatian oleh Dewa Arak dan anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding. Tapi tentu saja di antara mereka semua, hanya Dewa Arak yang dapat melihat jelas pertarungan yang tengah berlangsung.
Memang, kecepatan gerak Melati dan Dewa Sesat Pemetik Bunga tidak dapat tertangkap oleh pandangan mata anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan hitam dan putih dalam bentuk tidak jelas, yang saling belit dan kadang-kadang saling pisah.
Dengan penuh perhatian Dewa Arak menyaksikan jalannya pertarungan antara Melati melawan Dewa Sesat Pemetik Bunga yang berlangsung semakin seru. Apalagi ketika masing-masing telah mengeluarkan ilmu andalan. Lima puluh jurus telah terlewat, namun selama itu belum nampak adanya tanda-tanda yang bakal jadi pemenang.
Kini alis Dewa Arak berkernyit. Disadarinya kalau pertarungan akan berjalan alot. Jelas sudah kalau Dewa Sesat Pemetik Bunga memang lawan tangguh bagi Melati!
Kontan perasaan cemas melilit hati Dewa Arak. Menghadapi Dewa Sesat Pemetik Bunga saja, Melati sudah dibuat kewalahan. Padahal di tempat ini masih ada dua orang lagi yang memiliki kesaktian tinggi pula. Bahkan satunya memiliki kepandaian menggiriskan! Dan orang itu adalah Raja Iblis Tanpa Tanding.
Itulah yang membuat gelisah Dewa Arak. Yang dicemaskannya kini hanyalah Melati! Paling tidak, gadis itu harus diajak keluar dari sini! Tapi sebelum Dewa Arak melaksanakan maksudnya....
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa bergelak, yang membuat sekitar tempat itu bergetar hebat. Tawa siapa lagi kalau bukan Raja Iblis Tanpa Tanding? Tampak tokoh sesat itu tertawa dari dalam bangunan paling besar, bersama Siluman Pencabut Nyawa.
"Pucuk dicinta ulam tiba!" kata kakek bermata mengerikan itu setelah menghentikan tawanya. "Sama sekali tidak kusangka! Tanpa bersusah payah mencari, kau datang ke hadapanku, Dewa Arak! Ha ha ha...! Berarti, pertarungan kita yang belum selesai dapat dilanjutkan."
Setelah berkata demikian, Raja Iblis Tanpa Tanding mengibaskan tangan kanannya. "Ringkus wanita itu! Dia bahan yang baik sekali untuk penyempurnaan ilmu yang kumiliki!"
"Baik," kata Siluman Pencabut Nyawa, cepat. Kemudian kakinya terayun menghampiri kancah pertarungan antara Melati dan Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Dewa Arak terkejut bukan kepalang mendengar perintah Raja Iblis Tanpa Tanding. Dan ini berarti keselamatan Melati tengah terancam!
"Tunggu!" cegah Dewa Arak cepat sambil melesat maju. Hanya sekali lesatan saja, Dewa Arak telah berada di hadapan Siluman Pencabut Nyawa yang tengah menuju kancah pertarungan antara Melati dan Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Siluman Pencabut Nyawa terpaksa menghentikan langkahnya, karena Dewa Arak berdiri menghadang jalan.
"Raja Iblis Tanpa Tanding! Persoalan sebenarnya adalah antara kau dan aku! Bukan dengan gadis itu. Lepaskan gadis itu. Dan, mari bertarung sampai di antara kita ada yang menggeletak tanpa nyawa!" tantang Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan ini mencoba membuat Raja Iblis Tanpa Tanding merubah keputusannya.
"He he he...! Tidak usah mengajariku, Dewa Arak. Sekalipun tidak ada urusan, kalau aku mau siapa yang berhak melarang?! Apalagi gadis itu! Dia telah banyak menanam persoalan denganku. Telah cukup banyak anak buahku yang terluka olehnya. Kau mengerti?! Kini berhati-hatilah, kalau kau tidak ingin mati percuma di tanganku!"
Seiring selesainya ucapan itu, Raja Iblis Tanpa Tanding bergerak menghampiri Dewa Arak dengan langkah satu-satu. Terlihat jelas kalau sikapnya sangat waspada, karena telah merasakan sendiri kelihaian pemuda berambut putih keperakan itu.
Tepat ketika Raja Iblis Tanpa Tanding bergerak menghampiri Dewa Arak, Siluman Pencabut Nyawa melanjutkan maksudnya yang tertunda. Datuk tinggi kurus ini kembali menghampiri kancah pertarungan antara Melati dan Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Tentu saja semua ini tak luput dari pengawasan Dewa Arak. Dan dalam waktu yang hanya sekejap saja, pemuda berambut putih keperakan ini memutar otak untuk memperhitungkan tindakan yang harus dilakukannya.
"Hih!" Dewa Arak seketika menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya melayang, menuju kancah pertarungan yang terjadi antara Melati dan Dewa Sesat Pemetik Bunga. "Melati! Cepat pergi!"
Di saat tubuhnya tengah meluruk ke dalam kancah pertarungan, Dewa Arak menyerukan perintah pada kekasihnya. Karuan saja seruan Dewa Arak membuat Melati kaget, karena perhatiannya tengah terpusat untuk mengalahkan Dewa Sesat Pemetik Bunga.
Sehingga gadis berpakaian putih ini tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya. Namun meskipun demikian, Melati tidak berani membantah perintah Dewa Arak. Dia tahu, Arya memberi perintah seperti itu pasti berdasarkan alasan kuat.
Maka, tanpa ragu-ragu lagi, Melati segera melempar tubuh ke belakang, menjauhi kancah pertarungan. Tubuhnya yang ramping berputaran di udara, dalam usahanya menjauhi lawan.
Tentu saja Dewa Sesat Pemetik Bunga tidak mau memberi kesempatan pada gadis itu. Maka tubuhnya pun melesat mengejar. Sekarang, Melati benar-benar berada dalam bahaya besar. Ini karena maksudnya dilaksanakan saat keadaannya tidak menguntungkan.
Tapi sebelum Dewa Sesat Pemetik Bunga sempat melancarkan serangan, Dewa Arak telah lebih dulu melesat memotong jalur lompatannya. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu juga langsung melayangkan kedua tangannya untuk memapak serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga. Kali ini, Arya tidak ragu-ragu lagi mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Akibatnya, benturan antara dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat pun tidak terelakkan lagi. Dan....
Plakkk, plakkk!
"Aih...!" Terdengar jeritan tertahan dari mulut Dewa Sesat Pemetik Bunga ketika tubuhnya melayang deras ke belakang. Kedua tangannya kontan terasakan sakit-sakit. Bahkan dadanya pun terasa sesak bukan kepalang. Kini datuk pendek gemuk itu baru menyadari kalau tenaga dalamnya kalah jauh dibanding Dewa Arak.
Meskipun demikian, Dewa Sesat Pemetik Bunga masih bisa menunjukkan kelihaiannya selaku seorang datuk golongan hitam pada orang-orang yang menyak-sikan. Dan tanpa menemui kesulitan, kekuatan yang membuat tubuhnya melayang ke belakang dipatahkannya. Lalu....
"Hup!" Dengan gerakan indah dan manis, Dewa Sesat Pemetik Bunga menjejak tanah. Sementara Dewa Arak sudah sejak tadi berada di tanah, karena hanya terjajar beberapa langkah ke belakang.
Dan belum sempat Dewa Arak berbuat sesuatu, tiba-tiba Siluman Pencabut Nyawa telah meluruk ke arahnya. Datuk yang bertubuh tinggi kurus ini melancarkan serangan berupa tendangan ke arah perut!
Terpaksa Dewa Arak melompat mundur. Namun sebelum sempat berbuat sesuatu, Dewa Sesat Pemetik Bunga telah membantu Siluman Pencabut Nyawa. Tak pelak lagi, Dewa Arak pun sibuk menghadapi dua pengeroyok yang berkepandaian amat tinggi! Sementara itu baru saja kedua kaki Melati hinggap di tanah,
"He he he....'" Terdengar sebuah suara tawa bergetar yang mengandung pengerahan tenaga dalam. Dan ini membuat Melati terjingkat bagai disengat ular berbisa. Cepat kepalanya menoleh ke kanan, tempat suara tawa terkekeh itu berasal.
Melati terkejut bukan kepalang ketika pandangannya tertumbuk pada sepasang mata Raja Iblis Tanpa Tanding yang bersorot aneh. Terang menyilaukan, mengandung pengaruh mengerikan!
"He he he...!" Raja Iblis Tanpa Tanding kembali terkekeh melihat Melati terkesima. Dan belum juga Melati sadar dari keterpakuannya, tokoh sesat mengerikan itu melesat melepaskan totokan ke arah dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga.
Tuk! Tuk!
Melati kontan ambruk tak berdaya di tanah. Sementara, Dewa Arak sebenarnya ingin menolong Melati. Tapi apa daya, dia sendiri juga sedang melayani serangan lawan-lawannya. Untung saja dia cepat mendapat kesempatan. Sehingga pemuda berambut putih keperakan ini melesat ke tempat Melati.
Dewa Sesat Pemetik Bunga dan Siluman Pencabut Nyawa tentu saja tidak membiarkan Dewa Arak meloloskan din dari kepungan. Maka begitu melihat pemuda berambut putih keperakan itu melesat, mereka juga melesat untuk mencegah. Dan di antara kedu-anya, hanya Siluman Pencabut Nyawa yang mempunyai peluang lebih baik untuk menghadang Dewa Arak.
Menyadari kalau Dewa Arak merupakan seorang lawan yang amat tangguh, Siluman Pencabut Nyawa tidak berani bertindak main-main. Segera di-uraikan cambuk berujung dua yang semula membelit pinggang. Lalu, cambuk itu dilecutkan ke arah Dewa Arak.
Siuttt, siuttt!
Diiringi berkesiutan nyaring, ujung-ujung cam-buk itu meluncur. Begitu mengagumkan gerakan masing-masing ujung cambuk itu. Yang satu menuju ke arah ubun-ubun, sedangkan yang satu lagi ke bawah hidung. Pada saat yang bersamaan dengan meluncurnya serangan Siluman Pencabut Nyawa, Dewa Sesat Pemetik Bunga meluruk ke arah Dewa Arak.
Hambatan ini membuat Dewa Arak geram se-tengah mati. Kalau menuruti perasaan, ingin ditang-kapnya ujung-ujung cambuk yang tengah meluncur ke arahnya. Dia tahu, dengan kelebihan tenaga dalam yang dimiliki, cambuk itu dapat ditangkapnya tanpa harus terluka.
Namun Dewa Arak tidak mau terlarut oleh perasaan. Pengalaman demi pengalaman telah mengajarkan kepadanya kalau kebanyakan senjata tokoh golongan hitam mengandung racun mematikan.
Karena khawatir akan kebenaran dugaannya, Dewa Arak tidak mau menangkap cambuk itu. Dan dalam waktu yang hanya sedikit itu, diambilnya guci arak yang tergantung di punggungnya. Kemudian, disampoknya lecutan cambuk itu.
DELAPAN
Ctarrr, ctarrr!
Ledakan keras seperti sambaran halilintar terdengar, ketika ujung-ujung cambuk itu beradu dengan badan guci milik Dewa Arak. Maka kesudahannya, lesatan Dewa Arak jadi terhambat. Dan...
"Hup!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Sementara, Siluman Pencabut Nyawa sendiri terhuyung-huyung ke belakang. Hal ini saja cukup menjadi bukti kalau tenaga dalam Siluman Pencabut Nyawa berada di bawah Dewa Arak.
Tapi sebelum Dewa Arak meneruskan maksudnya serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga telah tiba. Terpaksa perhatian Dewa Arak beralih. Dewa Sesat Pemetik Bunga melancarkan serangan berupa sampokan tangan kanan dengan jari-jari terkembang, ke arah pelipis Dewa Arak. Tepat pada saat yang sama ujung-ujung cambuk Siluman Penca-but Nyawa meluncur ke arah ulu hati!
Wuttt!
Pemuda berambut putih keperakan itu merendahkan tubuhnya. Untuk menghindari sampok Dewa Sesat Pemetik Bunga sedangkan guci yang sejak tadi terpegang di tangan, langsung dipalangkan di depan dada untuk mematahkan serangan Siluman Pencabut Nyawa.
Wuttt! Blangngng!
Rentetan kejadian berlangsung demikian cepat. Sampokan tangan Dewa Sesat Pemetik Bunga yang hanya menyambar angin di atas kepala Dewa Arak, dan cambuk Siluman Pencabut Nyawa membentur guci berlangsung dalam selisih waktu yang demikian singkat.
Tapi kesudahannya, baik Siluman Pencabut Nyawa maupun Dewa Arak sama-sama terhuyung ke belakang. Hanya saja, Siluman Pencabut Nyawa terhuyung tiga langkah, sementara Dewa Arak hanya satu langkah. Itu pun sebagian besar disebabkan karena kedudukan pemuda berambut putih keperakan itu yang kurang menguntungkan.
Belum juga Dewa Arak sempat memperbaiki kedudukannya, kembali datang serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga dari arah belakang. Sedangkan cambuk Siluman Pencabut Nyawa kembali mematuk-matuk ke arah ubun-ubun. Kali ini, Dewa Arak diserang dari dua arah.
"Hih!" Dewa Arak melompat ke kanan. Dan selagi tu-buhnya berada di udara, guci yang sudah kembali ter-sampir di punggung diambilnya. Kemudian diangkatnya ke atas kepala....
Gluk... Gluk... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu mele-wati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanannya menuju ke perut. Sesaat kemudian, terasa hawa hangat berputar di dalam perut. Lalu, merayap naik ke atas kepala.
"Hup!" Tubuh Dewa Arak limbung ke kanan dan ke kiri ketika mendarat di tanah. Ini menjadi pertanda ka-lau ilmu 'Belalang Sakti' telah siap dipergunakan.
Siluman Pencabut Nyawa dan Dewa Sesat Pemetik Bunga langsung tertegun ketika melihat tingkah laku Dewa Arak. Sehingga untuk sementara mereka menghentikan pertarungan. Kedua datuk golongan hi-tam ini benar-benar merasa heran melihat tingkah Dewa Arak. Padahal, mereka telah mendengar tentang ilmu 'Belalang Sakti' milik Dewa Arak. Tapi begitu melihat sendiri, tetap saja merasa heran.
Untung, hanya sebentar saja Siluman Pencabut Nyawa dan Dewa Sesat Pemetik Bunga tertegun. Selanjutnya, mereka kembali melancarkan serangan.
Sementara itu di arena lainnya, Melati benar-benar telah tak berdaya sehabis tertotok oleh Raja Iblis Tanpa Tanding. Dia terbujur lemas tak berdaya, dalam keadaan mata terpejam.
"Ha ha ha...!" Seketika tawa Raja Iblis Tanpa Tanding meledak. Nada kemenangan dan kegembiraan tampak dalam suaranya. Kemudian, Raja Iblis Tanpa Tanding sama sekali tidak mempedulikan Melati lagi. Pandangannya dialihkan ke arah pertarungan yang berlangsung antara Dewa Arak menghadapi Dewa Sesat Pemetik Bunga dan Siluman Pencabut Nyawa.
Dengan penuh perhatian, Raja Iblis Tanpa Tanding menyaksikan jalannya pertarungan itu. Sepasang matanya yang bersinar kehijauan hampir tidak pernah berkedip sama sekali. Beberapa kali kepalanya terangguk-angguk.
"Ternyata berita yang terdengar di dunia persilatan tentang keanehan dan kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti', tidak berlebihan. Ilmu itu benar-benar dahsyat...," desah Raja Iblis Tanpa Tanding bernada kekaguman, setelah memperhatikan jalannya pertarungan beberapa saat.
Kekaguman Raja Iblis Tanpa Tanding atas kepandaian Dewa Arak memang beralasan. Tokoh muda yang menggemparkan itu dikeroyok dua datuk golongan hitam. Namun tidak tampak kalau pemuda berambut putih keperakan itu berada di pihak yang terdesak. Padahal, pertarungan telah berlangsung lebih dari lima puluh jurus!
Sementara itu, orang yang dikagumi Raja Iblis Tanpa Tanding tengah memusatkan seluruh perhatian untuk menghadapi lawan-lawannya. Segenap kemampuannya dikerahkan, karena serbuan gabungan dari lawan-lawannya memang dahsyat bukan kepalang.
Kepandaian masing-masing dua datuk golongan hitam itu saja sudah demikian hebat. Dan kini, mereka secara berbarengan maju menghadapi Dewa Arak. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya serangan gabungan itu. Tambahan lagi kedua datuk ini mampu saling mengisi. Sehingga meskipun terlihat jelas kalau mereka terdiri dari dua orang, tapi seperti dikendalikan satu pikiran. Dengan demikian kedahsyatan serangan mereka pun semakin bertambah.
Dan kedahsyatan serangan itu dirasakan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini merasakan tekanan yang amat kuat dari setiap serangan la-wan. Bahkan datangnya silih berganti dan bertubi-tubi. Tentu saja Dewa Arak tidak mempunyai kesempatan untuk melancarkan serangan balasan. Hanya sesekali Dewa Arak mendapat kesempatan melancarkan serangan balasan. Dan itu pun selalu berhasil dikandaskan lawan-lawannya yang bekerja sama dengan baik.
Namun itu bukan berarti Dewa Arak tidak berdaya. Meskipun kelihatannya kerepotan, tapi sebenarnya pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak terdesak. Dan ini pun diketahui Raja Iblis Tanpa Tanding. Sehingga kekagumannya semakin menebal ketika melihat tingkah tokoh muda yang menggemparkan itu.
Di kancah pertarungan itu Raja Iblis Tanpa Tanding melihat betapa Dewa Arak masih sempat meminum araknya! Padahal, serangan demi serangan datang bertubi-tubi. Yang lebih gila lagi, beberapa kali sewaktu serangan tengah meluncur, Dewa Arak malah dengan seenaknya menenggak araknya! Baru ketika serangan hampir mengenai sasaran, dia mengelak dengan gerakan seperti orang akan jatuh. Maka..., serangan itu pun lolos!
Karuan saja hal itu membuat lawan-lawan Dewa Arak semakin kalap! Dan akibatnya, serangan-serangan yang dilancarkan pun semakin dahsyat. Menginjak jurus keenam puluh lima, Dewa Arak mulai kewalahan. Tak bisa dipungkiri kalau lawan-lawan yang dihadapi Dewa Arak adalah tokoh-tokoh utama dunia persilatan. Itu sebabnya dia keteter.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan seiring semakin lamanya pertarungan, semakin terlihat jelas keadaan Dewa Arak yang terus dihimpit. Sudah bisa diketahui kalau pertarungan terus berlanjut, keadaan Dewa Arak akan semakin sulit.
"Ha ha ha...!" Raja Iblis Tanpa Tanding tertawa terbahak-bahak melihat perubahan pada jalannya pertarungan. Sebagai seorang tokoh persilatan tingkat tinggi, tentu saja dia bisa menilai akhir dari sebuah pertarungan se-telah memperhatikannya, baik sebentar maupun agak lama.
"Sekarang kau baru tahu kelihaian kami, Dewa Arak! Jangan coba-coba menentang tingkah kami. Karena siapa pun yang mencoba menghambat, akan hancur! Ha ha ha...!"
Raja Iblis Tanpa Tanding mengakhiri ucapan bernada kemenangannya dengan sebuah tawa keras menggelegar. Rupanya kakek bermata mengerikan ini merasa gembira, karena yakin betul Dewa Arak akan roboh. Walaupun demikian, di hati kecilnya timbul perasaan kagum terhadap Dewa Arak. Sukar dipercaya orang semuda Dewa Arak, mampu menghadapi dua datuk golongan hitam sekaligus! Bahkan hingga bertarung sekian lamanya. Padahal, dia sendiri tidak yakin akan mampu!
Tapi di saat-saat menentukan itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras yang disusul berkelebatannya banyak sosok tubuh ke dalam bangunan Perguruan Lembah Dewa ini. Tentu saja hal ini mengejutkan Raja Iblis Tanpa Tanding dan anak buahnya. Apalagi ketika mengetahui jumlah penyerbu yang demikian banyak.
Dan yang lebih mengejutkan lagi ketika melihat sosok-sosok yang menjadi pimpinan penyerbu mereka adalah Ki Rancang, Ki Cupang, dan masih ada tiga orang lagi yang merupakan ketua-ketua partai besar golongan putih.
Raja Iblis Tanpa Tanding pun seketika gentar! Betapa tidak? Satu di antara mereka saja, memiliki kepandaian tak berada di bawah datuk-datuk sesat yang menjadi anak buahnya. Dan lagi, bagaimana mereka bisa bersatu? Disadari kalau keadaan sudah tidak menguntungkan pihaknya. Meskipun demikian, diputuskan untuk mengadakan perlawanan lebih dulu!
"Sambut mereka...!" seru Raja Iblis Tanpa Tanding pada anak buahnya!
Seketika itu pula, anak buah Raja Iblis Tanpa Tanding yang berjumlah tak kurang dari seratus orang, menyambut kedatangan para penyerbu. Dan penyerbu yang berjumlah lebih dari seratus orang itu memiliki gerakan gesit. Dan mereka langsung merangsek, sehingga pertempuran besar-besaran pun berkobar!
Tiga di antara lima kakek yang menjadi pemimpin para penyerbu segera melesat ke arah Raja Iblis Tanpa Tanding dan mengurungnya.
"Kau harus mempertanggung-jawabkan kekejian tindakanmu, Lakadewa! Nyawa murid-muridku harus ditebus dengan nyawamu!" bentak salah seorang dari tiga kakek berpakaian putih dengan jenggot panjang sampai ke perut! Dialah Ki Rancang, Ketua Perguruan Lembah Dewa. Sedangkan dua orang di sebelahnya adalah adik-adik seperguruannya.
"Ha ha ha...!" Raja Iblis Tanpa Tanding yang ternyata bernama Lakadewa tertawa tergelak, untuk menutupi kegentaran hatinya. Apalagi ketika melihat anak buahnya kocar-kacir. Disaksikannya pula betapa Dewa Sesat Pemetik Bunga dan Siluman Pencabut Nyawa belum juga berhasil merobohkan Dewa Arak. Malah, pemuda berambut putih keperakan itu terlihat masih segar-bugar, seakan-akan tenaganya tidak pernah habis. Keadaan benar-benar tidak menguntungkan pihaknya!
"Tidak pernah kusangka kalau kau akan bertindak seperti ini, Lakadewa! Apakah sekarang kau akan membunuh kami, yang juga kakak-kakak seperguruanmu?!" ucap Ki Rancang lagi.
Sepasang mata Raja Iblis Tanpa Tanding yang ternyata adik seperguruan Ki Rancang, seperti menyinarkan api. Sesaat kemudian.... "Diam...!"
Raja Iblis Tanpa Tanding membentak keras bukan kepalang, penuh kekuatan aneh. Akibatnya benar-benar dahsyat! Bukan hanya Ki Rancang saja yang terdiam. Semua tokoh-tokoh yang bertempur pun terdiam pula.
Kesempatan yang hanya sekejap itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Iblis Tanpa Tanding. Hanya sekali menggenjot kakinya tubuhnya telah melesat! Datuk sesat yang menggiriskan ini kabur!
Saat itulah Ki Rancang dan dua adik seperguruannya yang telah memiliki tenaga dalam tinggi, langsung sadar dari pengaruh ilmu sihir Raja Iblis Tanpa Tanding. Mereka segera melesat mengejar. Namun, Lakadewa yang sudah memperhitungkannya segera mengibaskan tangannya. Langsung dilemparkannya debu-debu beracun ke arah tiga orang kakak seperguruannya.
Ki Rancang dan dua adik seperguruannya tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru tubuhnya dilemparkan ke samping kanan dan bergulingan. Tapi ketika keduanya bangkit, tubuh Raja Iblis Tanpa Tanding telah jauh. Tidak mungkin dikejar lagi. Sambil menghela napas berat, ketiganya kembali ke tempat semula.
Sekarang ini tempat pertarungan pun telah bergeser, dan sudah tidak terbagi-bagi lagi. Tapi terlihat kalau kelompok yang dibawa Ki Rancang berada di atas angin. Maka tiga Pimpinan Perguruan Lembah Dewa dan dua kakek lainnya pun tidak ikut campur. Mereka kemudian hanya menyaksikan jalannya pertarungan antara Dewa Arak menghadapi dua lawannya yang telah berlangsung hampir dua ratus dua puluh lima jurus.
"Mampuslah kau, Dewa Arak!" Tanpa menunggu lebih lama lagi, Siluman Pencabut Nyawa langsung menerjang Dewa Arak! Serangannya dibuka dengan sebuah tendangan kaki kanan miring ke arah leher, selagi Dewa Arak terhuyung selangkah akibat beradu tenaga dengan Dewa Sesat Pemetik Bunga yang terhuyung lima langkah. Terhuyungnya Dewa Sesat Pemetik Bunga karena memang telah lelah bukan kepalang!
Wuttt!
Sementara, pemuda berambut putih keperakan itu tidak berani bertindak sembrono. Buru-buru kakinya ditarik ke belakang sambil mendoyongkan tubuh. Sehingga, kaki Siluman Pencabut Nyawa hanya mengenai tempat kosong.
Tapi tindakan Dewa Arak tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu serangan lawan berhasil dikandaskan, tangan kirinya diluncurkan untuk menangkap pergelangan kaki Siluman Pencabut Nyawa yang belum sempat ditarik kembali!
Tappp!
Tangkapan Dewa Arak mengenai tempat kosong, karena Siluman Pencabut Nyawa telah lebih dulu menarik kakinya. Saat itu, Dewa Arak cepat menghentakkan tangan kirinya ke arah Dewa Sesat Pemetik Bunga yang tengah melompat menerjang.
Wusss!
Deru angin keras berhawa panas menyengat memapak serangan Dewa Sesat Pemetik Bunga. Datuk wilayah timur ini kaget bukan kepalang. Sedapat-dapatnya diusahakan untuk mengelak, tapi terlambat. Karena....
Bresss!
"Aaa...!" Dewa Sesat Pemetik Bunga memekik memilukan, ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak bersarang tepat di dadanya. Seketika itu pula tubuhnya melayang jauh ke belakang, dan jatuh berdebuk di tanah dalam keadaan tubuh hangus. Dewa Sesat Pemetik Bunga tewas, tanpa sempat bergerak sedikit pun.
Karuan saja hal ini membuat Siluman Pencabut Nyawa geram. Maka seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkan untuk mengadu nyawa! "Hiaaat..!"
"Hiyaaat...!" Ternyata pada jurus kedua ratus sepuluh, baik Siluman Pencabut Nyawa maupun Dewa Arak sama-sama saling terjang. Dan begitu berada di udara, Siluman Pencabut Nyawa langsung melecutkan cambuknya.
Wuttt..!
Dengan deras, cambuk itu meluncur ke arah pelipis Dewa Arak. Namun kali ini dia mengambil tindakan berbahaya. Dengan perhitungan matang seorang tokoh silat tingkat tinggi, ditangkisnya sabetan cambuk Siluman Pencabut Nyawa dengan guci di tangan kiri.
Tappp! Rrrttt!
Cambuk Siluman Pencabut Nyawa membelit di guci Dewa Arak. Namun lilitan pada guci arak itu tidak terlalu erat. Dan di saat itulah Dewa Arak menghantamkan guci araknya ke dada Siluman Pencabut Nyawa.
Wuttt, Bukkk!
Telak dan keras sekali dada Siluman Pencabut Nyawa terhantam guci Dewa Arak. Kontan tubuhnya melayang ke belakang disertai semburan darah segar dari mulut, hidung, dan telinganya. Begitu ambruk di tanah nyawa Siluman Pencabut Nyawa melayang seketika itu pula.
Ringan laksana daun kering Dewa Arak mendarat di tanah. Kemudian langsung disambarnya tubuh Melati dan dibawanya kabur meninggalkan tempat itu. Dewa Arak tidak merasa heran atas munculnya bala bantuan itu, karena memang sudah direncanakannya bersama Singa Hitam Tangan Sepuluh.
Dari cerita Singa Hitam Tangan Sepuluh itu pula Dewa Arak tahu, mengapa lelaki bermuka singa itu dikejar-kejar. Singa Hitam Tangan Sepuluh yang mengenal Raja Iblis Tanpa Tanding, sebenarnya berasal dari perguruan yang sama yang bernama Perguruan Lembah Dewa. Hanya saja Singa Hitam Tangan Sepuluh murid biasa, dan Raja Iblis Tanpa Tanding adalah murid utama.
Kedua orang itu ternyata jatuh cinta pada putri Ketua Perguruan Lembah Dewa. Dan persaingan itu menimbulkan perselisihan yang dalam. Hingga ketika mereka berdua diusir dari perguruan, Raja Iblis Tanpa Tanding berniat melenyapkan Singa Hitam Tangan Sepuluh. Dan dendam itu terus dibawa oleh Raja Iblis Tanpa Tanding sampai nanti bertemu Singa Hitam Tangan Sepuluh kembali.
SELESAI
Selanjutnya,