SATU
"Haaattt...!"
"Hiyaaa...!"
Teriakan-teriakan keras menggelegar memecah kesunyian pagi di lereng Gunung Randu Alas. Beberapa burung yang bertengger di sebuah cabang pohon di dekat tempat itu terkejut dan bergegas terbang menjauh.
Memang hebat bukan main akibat yang ditimbulkan teriakan-teriakan itu. Sekitar tempat itu bergetar hebat. Pertanda pemilik suara teriakan itu memiliki tenaga dalam tinggi!
Bunyi riuh-rendah itu ternyata berasal dari dua sosok tubuh tengah terlibat pertarungan. Ciri-ciri mereka tidak tampak jelas. Sebab, keduanya sama-sama bergerak cepat.
Yang terlihat hanya bayangan coklat dan kuning, yang tidak jelas bentuknya. Namun yang pasti, kedua bayangan yang saling belit dan sesekali terpisah sesaat itu mewakili sosok yang tengah bertarung.
Sungguh hebat pertarungan itu. Bunyi mendecit, mengaung, dan menderu, menyemaraki suasana pertempuran. Suara-suara itu tcrdengar setiap kali sosok bayangan coklat dan kuning mclancarkan serangan. Tanah pun terbongkar di sana-sini. Dan debu mengepul tinggi ke udara.
Sementara itu, tak jauh dari kancah pertarungan tampak dua sosok tubuh berdiri tegak dengan pandangan tertuju ke arah pertempuran. Keduanya telah berusia lanjut.
Yang seorang adalah kakek berpakaian putih dan berkepala botak. Tangan kanannya menggenggam sebatang kipas. Sesekali kipas yang terlipat itu dikembangkan, kemudian digunakan untuk mengipasi wajahnya.
Sosok yang satunya lagi bertubuh kecil kurus dan berpakaian biru. Jenggot panjang kekuningan menghias dagunya. Berkali-kali tangan keriput itu mengusap-usap jenggotnya seraya menggeleng-gelengkan kepala. Semua itu dilakukannya tanpa melepaskan pandangan dari kancah pertarungan. Terlihat jelas kalau kakek itu sedang dilanda rasa kagum. Itu terbukti beberapa saat kemudian.
"Kau kini patut berbangga hati, Kidang Loka. Murid-muridmu ternyata tidak mengecewakanmu. Tampaknya mereka telah mewarisi seluruh kepandaianmu," ujar kakek berpakaian biru.
"He he he...!" Kakek berpakaian putih yang dipanggil Kidang Loka terkekeh. Kipasnya dikembangkan, dan dikebut-kebutkan ke wajah. "Kau terlalu memuji, Kerta. Apa artinya kepandaian yang dimiliki murid-muridku, bila dibandingkan dengan kemampuan murid-muridmu?!"
"He he he...!" Kakek berjenggot kuning yang dipanggil Kerta dengan nama sebenarnya Ganda Kerta itu tertawa pelan, tapi penuh kekuatan. Tawa itu jelas mengandung tenaga dalam. "Kau tidak berubah, Kidang Loka. Masih tetap rendah hati seperti dulu. Benarlah kata pepatah, orang yang berilmu tak ubahnya padi... semakin berisi semakin merunduk."
"He he he...! Kau bisa saja, Kerta," sambut Kidang Loka di tengah tawanya.
Ganda Kerta tidak memberikan sambutan. Hanya tawa terkekeh yang dikeluarkannya. Hingga di tengah-tengah riuh-rendahnya pertarungan, terdengar tawa-tawa lembut menyeruak. Tawa-tawa pelan yang penuh getaran kuat.
Tawa itu baru terhenti ketika dari kancah pertarungan terdengar teriakan-teriakan panjang. Itu terjadi ketika dua sosok bayangan yang tengah bertempur sama-sama melompat menerjang dengan kedua tangan dihentakkan! Akibatnya....
Blam!
Bunyi keras seperti halilintar menyambar terdengar ketika dua pasang tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan. Sesaat kemudian, tubuh dua sosok bayangan itu terjengkang ke belakang.
"Hup!"
Berbeda halnya dengan sosok kuning yang mampu mendarat di tanah, sosok coklat terhuyung-huyung hampir jatuh. Untung, dia segera dapat memperbaiki kedudukan.
Dari sini dapat diketahui kalau tenaga dalam sosok coklat berada di bawah lawan. Tapi, sosok coklat tidak menjadi gentar. Begitu berhasil memperbaiki kedudukan, secepat itu pula dia bersiap melancarkan serangan. Sosok kuning pun tidak tinggal diam. Tampak jelas kalau dia telah siap menghadapi serangan lawan. Tapi....
"Cukup!"
Seketika itu pula, seluruh otot sosok kuning dan coklat yang telah menegang kaku mengendur kembali. Mereka tidak berani membangkang cegahan itu karena tahu siapa pemiliknya. Ya! Kidang Loka!
Tanpa diberi perintah, sosok coklat dan kuning yang ternyata dua orang pemuda berusia dua puluh tahunan itu menghampiri Kidang Loka. Lalu, keduanya memberi hormat.
"Hhh...!" Setelah menatap wajah murid-muridnya berganti-ganti, Kidang Loka menghela napas berat. Sementara di sebelahnya, Ganda Kerta berdiri diam dengan tangan kanan mengelus-elus jenggot.
"Sekali lagi perlu kutekankan. Kalian berdua adalah saudara seperguruan. Pertarungan yang kuperintahkan tadi agar kalian tahu kemajuan masing-masing dan tingkat yang dimiliki. Jadi bukan untuk saling bunuh! Ingat, kalian saudara seperguruan yang seharusnya saling membantu. Mengerti?"
"Mengerti, Guru, jawab pemuda berpakaian kuning dan coklat serempak sambil menganggukkan kepala.
"Bagus! Aku gembira kalau kalian menyadari hal itu," ucap Kidang Loka gembira. "Nah! Denta! Apa yang bisa kau simpulkan dari pertarungan tadi?"
Braja Denta, pemuda berpakaian coklat, mengangkat kepalanya yang sejak tadi ditundukkan. Sorot matanya penuh dengan pertanyaan. "Maafkan aku, Guru. Aku masih belum mengerti maksudmu.... Maksudku..., aku belum mengerti hal yang harus kusimpulkan."
"Aku ingin mendengar kesimpulanmu, mengenai pertarunganmu dengan Salya," jelas Kidang Loka.
"Oh itu, Guru," Braja Denta mulai mengerti. "Salya lebih unggul dariku. Terutama dalam hal tenaga dalam."
"Bagus kalau kau menyadarinya, Denta. Kau tahu mengapa bisa demikian?" tanya Kidang Loka.
"Tahu, Guru," jawab Braja Denta mantap. "Karena Salya lebih rajin berlatih dibandingkan aku."
"Nah! Itulah sebabnya. Salya lebih rajin berlatih. Dan sebagai imbalannya, dia mampu mengunggulimu. Padahal dia terhitung adik seperguruanmu. Karena kau lebih dulu menjadi muridku, di samping usiamu yang sedikit lebih tua darinya. Sebagai kakak seperguruan, seharusnya kau memiliki kemampuan di atasnya. Kau mengerti kekuranganmu, Denta?!"
"Mengerti, Guru," jawab Braja Denta sambil menundukkan kepala. Pemuda berpakaian coklat itu merasa malu mendapat teguran. Itu berarti Kidang Loka menuduhnya telah bersikap lalai! Apalagi teguran itu di ucapkan di depan Ganda Kerta.
Meskipun Ganda Kerta bersikap tidak peduli, tapi Braja Denta tahu kalau kakek berjenggot kuning itu mendengarkan. Dan seiring dengan timbulnya rasa malu, menyeruak pula perasaan marah. Marah pada Salya yang telah menyebabkannya mendapat malu. Kalau Salya bersikap sedikit mengalah, tentu tidak akan terjadi hal memalukan seperti ini. Diam-diam rimbul rasa dendam di hati Braja Denta pada adik seperguruannya.
Tidak ada seorang pun yang tahu perasaan yang berkecamuk dalam dada Braja Denta. Sebab, pemuda berpakaian coklat itu menundukkan kepala sehingga perubahan wajahnya tidak terlihat.
Sementara itu, Kidang Loka telah mengalihkan perhatiannya pada Salya yang masih menundukkan kepala. "Salya...," sapa kakek berpakaian putih itu. "Aku bangga terhadapmu. Jerih payahmu tidak sia-sia. Kau telah mencapai tingkat yang lumayan. Bahkan, kau telah mampu mengalahkan kakak seperguruanmu. Aku sungguh bangga, Salya."
"Ah! itu karena Kakang Braja Denta terlalu mengalah padaku, Guru. Kalau tidak, mana mungkin aku bisa mendesaknya? Mengimbanginya saja aku tidak akan mampu," jawab Salya merendahkan diri. Tidak enak rasanya mendapat pujian gurunya sedangkan Braja Denta menerima teguran.
Deggg!
Bagian dalam dada Braja Denta terguncang keras mendengar ucapan Salya. Rasa marah yang tengah melanda membuatnya menganggap sikap rendah diri Salya sebagai sindiran! Salya, dirinya, guru, dan Ganda Kerta tahu kalau Salya memang lebih unggul. Lalu, mengapa pemuda berpakaian kuning itu mengatakan kalau dirinya mengalah padanya?
Ini berarti Salya bermaksud mengejeknya! Hingga rasa dendam dan sakit hati yang timbul pun mulai membesar. Harus dibalasnya penghinaan ini! Demikian keputusan yang diambil Braja Denta. Dan kebencian Braja Denta terhadap adik seperguruannya itu semakin memuncak, ketika mendengar sambutan Kidang Loka atas ucapan Salya.
"Tidak, Salya. Braja Denta tidak melakukan tindakan seperti yang kau katakan. Kau tidak perlu menutup-nutupinya. Kau dan Braja Denta telah mendapatkan apa yang kalian usahakan," jelas Kidang Loka.
Salya langsung terdiam. Pemuda itu tidak berkata apa-apa lagi. Disadarinya kalau ucapan gurunya benar!
"Salya! Denta! Dengar baik-baik!" kata Kidang Loka lagi. Kali ini ucapan itu ditujukan pada kedua muridnya.
Mau tidak mau panggilan itu membuat Braja Denta mengangkat wajah. Untung pemuda berpakaian coklat itu telah berhasil menekan perasaannya. Sehingga tidak nampak ada gambaran perasaan apa pun pada wajahnya.
''Perlu kalian ketahui..., waktu sepuluh tahun yang kujanjikan telah kupenuhi. Berarti telah tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Kalian harus meninggalkan tempat ini."
Kidang Loka menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh kedua muridnya.
"Guru...!"
Hampir bersamaan Salya dan Braja Denta berseru kaget. Mereka tidak menyangka akan secepat ini berpisah. Kidang Loka memberi isyarat pada kedua muridnya untuk tenang. Terpaksa, meskipun berat, kedua orang muda itu menahan diri untuk tidak berbicara lagi.
"Keputusan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi," potong kakek berpakaian putih itu cepat sebelum Salya dan Braja Denta melanjutkan keberatannya. "Tapi sebelum kalian pergi, ada sesuatu yang ingin kuberikan."
Salya dan Braja Denta saling pandang. Sementara Ganda Kerta hanya mengangguk-anggukkan kepala seraya melanjutkan kegemarannya mengelus-elus jenggot Sikapnya menunjukkan kalau dia telah mengetahui keputusan yang akan diucapkan Kidang Loka. Kidang Loka tersenyum lebar melihat kedua muridnya berpandangan.
"Sebelum sesuatu itu kuberikan pada kalian, perlu sedikit kujelaskan asal-usulnya. Yang harus kalian ketahui, sesuatu itu berupa benda yang kudapatkan dalam petualanganku mengarungi dunia persilatan."
Kembali kakek berpakaian putih itu menghentikan ucapannya. Mungkin dia sengaja bertindak demikian agar murid-muridnya dapat mencerna cerita yang akan dikemukakan Dan memang, begitu Kidang Loka selesai berbicara, baik Salya maupun Braja Denta langsung bisa menebak benda yang dimaksudkan.
Mereka memang telah mengetahui kalau kakek berpakaian putih itu memiliki dua buah pusaka. Yang satu berupa golok dan dinamakan Golok Api. Sedangkan yang lain berupa pedang, yaitu Pedang Embun.
"Kira-kira lima belas tahun lalu, di dunia persilatan muncul seorang tokoh sesat yang amat sakti! Dia berjuluk Raja Sihir Berhati Hitam. Sesuai dengan julukannya, dia memang memiliki ilmu sihir yang luar biasa di samping ilmu silat. Tak terhitung lagi orang yang tewas di tangannya, terutama tokoh-tokoh aliran putih."
Sampai di sini, Kidang Loka menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas. Ganda Kerta yang berdiri di sampingnya, mengangguk-anggukkan kepala membenarkan cerita kakek berpakaian putih itu.
"Merasa tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkannya, tokoh sesaat itu semakin menjadi-jadi dalam keangkara-murkaannya. Tiga tokoh aliran putih tidak tinggal diam. Mereka mencari Raja Sihir Berhati Hitam. Ketika bertemu, pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi."
Kidang Loka menghentikan ceritanya sejenak. Ditelannya air liur untuk memulihkan suaranya yang ]menjadi serak. Tampak jelas kalau cerita itu penyebabnya. Hingga Salya dan Braja Denta menjadi heran. Tapi meskipun demikian, mereka tidak memotong cerita itu. Dengan sabar ditunggunya hingga kakek berpakaian putih itu melanjutkan ceritanya kembali.
''Ternyata Raja Sihir Berhati Hitam memang amat tangguh. Tiga tokoh golongan putih itu menghadapi perlawanan yang amat sengit. Ratusan jurus mereka bertarung. Baru ketika pertarungan melewati tiga ratus jurus, datuk sesat itu dapat ditewaskan. Itu pun harus ditebus dengan mahal. Dua dari tiga tokoh golongan putih itu tewas."
"Hah..?!"
Hampir berbarengan seruan kaget itu keluar dari mulut Salya dan Braja Denta. Kini mereka mengerti, mengapa Kidang Loka tampak begitu terpengaruh dengan ceritanya. Kedua pemuda itu menduga kalau guru mereka termasuk salah satu di antara tiga tokoh golongan putih itu. Tapi sebagai pendengar yang baik Salya maupun Braja Denta tidak langsung mengajukan dugaan itu. Mereka berdiam diri menunggu kelanjutan cerita Kidang Loka.
"Sebelum tewas dua tokoh golongan putih itu sempat meninggalkan amanat pada rekannya yang masih hidup. Dengan sangat kedua tokoh itu meminta agar rekan mereka bersedia memelihara dan mendidik anak mereka. Tokoh yang masih hidup itu bersedia memenuhi permintaan itu. Keturunan dua rekannya yang saat itu masih berusia empat tahun dipelihara dan dididiknya."
Seketika itu pula Salya dan Braja Denta saling bertukar pandang. Sebuah dugaan kembali muncul di benak mereka. Dugaan tentang siapa sebenarnya keturunan tokoh-tokoh golongan putih yang meninggal itu.
"Bagaimana? Apakah sudah ada kesimpulan yang dapat kalian tarik dari ceritaku itu?" tanya Kidang Loka seraya menatap wajah muridnya satu persatu.
Untuk kedua kalinya Salya dan Braja Denta bertukar pandang sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Hanya ada dua kesimpulan yang kudapatkan, Guru," jawab Salya.
"Hm...," Kidang Loka menggumam sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Kau bagaimana, Braja Denta?"
"Aku juga hanya dapat menarik dua kesimpulan, Guru," sahut pemuda berpakaian coklat itu.
"Katakanlah, Braja Denta. Aku ingin tahu kesimpulan yang kau dapatkan dari ceritaku tadi."
Braja Denta tercenung sejenak. Agaknya, pemuda itu tengah memikirkan kata-kata yang tepat untuk menyatakan kesimpulannya. "Pertama, tiga tokoh golongan putih yang Guru maksudkan adalah Guru sendiri bersama dua orang kawan, Guru."
"Hm.„. Lalu...?!" desak Kidang Loka setelah mengernyitkan kening sesaat.
"Kedua, dua orang anak dari kawan-kawan Guru itu adalah aku dan Salya," sambung Braja Denta.
Kidang Loka mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian perhatiannya dialihkannya pada Salya. "Bagaimana denganmu, Salya?"
"Kesimpulan yang kudapat sama dengan kesimpulan, Kang Braja Denta, Guru," jawab pemuda berpakaian kuning itu pelan.
Kembali Kidang Loka mengangguk-angguk. Entah sudah berapa kali kakek berpakaian putih itu berlaku seperti itu. Sepertinya, mengangguk-angguk merupakan kebiasaannya.
"Kesimpulan yang kalian dapatkan memang tidak salah," ujar Kidang Loka.
"Kalau begitu..., boleh kami tahu nama atau julukan ayah kami, Guru?! Kalau bisa juga dengan kuburannya. Kami…, ingin berziarah ke makam mereka," pinta Braja Denta.
''Tentu saja, Denta. Tanpa kau minta pun aku akan menceritakan segalanya tentang ayah kalian. Itu sudah merupakan hak kalian berdua," ujar Kidang Loka pelan.
"Maafkan aku, Guru. Aku telah bersikap terlalu lancang terhadapmu."
"Lupakan, Denta. Aku bisa memakluminya," sahut Kidang Loka bijaksana. "Sekarang kalian dengar baik-baik. Kedua kawanku itu. Ayah-ayah kalian adalah tokoh sakti dan terkenal di dunia persilatan. Tentu sudah pasti mereka memiliki julukan. Yang pertama berjuluk Raja Pedang. Sedangkan yang satu lagi berjuluk Dewa Tangan Sakti. Orang yang kusebutkan pertama kali adalah ayahmu, Denta."
"Jadi... ayahku berjuluk Dewa Tangan Sakti, Guru?!" tanya Salya meminta kepastian.
"Benar, Salya," Kidang Loka menganggukkan kepala.
"Mereka dikuburkan di tempat yang terpisah. Ini atas permintaan mereka sendiri. Masing-masing ingin dikuburkan di sebelah makam istri mereka, yaitu ibu-ibu kalian."
Salya dan Braja Denta kembali saling pandang. Sungguh tidak disangka mereka sama-sama yatim piatu.
"Makam orangtuamu di Desa Alas Ngampar, Denta. Sedangkan makam orangtua Salya di Desa Randu. Tanyalah pada penduduk di sana. Mereka pasti tahu," jelas Kidang Loka.
"Akan kami lakukan, Guru," jawab Salya dan Braja Denta bersamaan.
Kidang Loka mengangguk-angguk. Kemudian, kakek itu berdiam diri. Demikian pula Salya dan Braja Denta. Kedua pemuda itu larut dalam alun pikiran masing-masing. Suasana di tempat itu pun menjadi hening. Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama.
"Ah. Rupanya ada hal yang terlewatkan, yaitu mengenai sesuatu yang ingin kuberikan pada kalian. Benda itu berupa senjata pusaka, yang terdiri dari pedang dan golok! Yang pertama bernama Pedang Embun. Sedangkan yang lain Golok Api. Inilah kedua pusaka itu!"
Hampir bersamaan Salya dan Braja Denta memandang. Mereka pun melihatnya. Entah dari mana mengambilnya, tahu-tahu di kedua tangan kakek berpakaian putih itu tergenggam sebatang golok dan pedang.
"Pusaka ini akan kuwariskan pada kalian berdua. Masing-masing senjata pusaka ini mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Aku harap kalian puas dengan keputusan yang akan kuambil nanti. Jelas?!"
"Jelas, Guru," jawab Salya dan Braja Denta sambil menganggukkan kepala.
"Bagus! Nah, sekarang akan kuberikan pusaka-pusaka ini pada kalian. Tapi, sebelum itu akan kuceritakan sedikit mengenai keistimewaan masing-masing senjata. Apa kalian mau mendengarkannya?!"
"Mau, Guru," jawab Salya dan Braja Denta serempak.
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik."
Tanpa diminta dua kali, Salya dan Braja Denta langsung memusatkan perhatian pada cerita yang akan dlkemukakan Kidang Loka.
DUA
"Golok ini memiliki banyak keistimewaan," ucap Kidang Loka memulai ceritanya, sambil mengangkat ke atas tangan kirinya yang menggenggam senjata itu. "Senjata ini sangat berbahaya bila berada di tangan seorang tokoh sesat. Sebab, golok ini memiliki kemampuan dahsyat. Di samping memang dirancang untuk menimbulkan keonaran."
Kidang Loka menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. "Golok ini dinamakan Golok Api karena memang mampu mengeluarkan api. Tentu saja bila orang yang menggunakannya memiliki tenaga dalam yang mengandung hawa panas, dan cukup tinggi tingkatannya. Sebagai senjata pusaka, tentu Golok Api terbuat dari bahan-bahan yang amat kuat. Jarang ada senjata yang tidak putus bila berbenturan dengannya. Yang lebih mengerikan, Golok Api ini seperti mampu mengisap darah. Maksudku, bila golok ini ditusukkan pada tubuh seseorang dan didiamkan beberapa saat lamanya, maka orang itu akan mati kehabisan darah!"
"Ck ck ck...!"
Tanpa sadar, Salya dan Braja Denta berdecak kagum mendengar penuturan Kidang Loka tentang kedahsyatan Golok Api. Tentu saja Kidang Loka mengetahui, tapi kakek itu mengacuhkannya. Lalu tangan kirinya diturunkan. Kini tangan kanannya yang diangkat, untuk mengunjukkan Pedang Embun.
"Pedang Embun ini kalau dibandingkan dengan Golok Api seperti tidak mempunyai kegunaan sama sekali. Karena senjata ini memang bukan dirancang untuk penyerangan."
Sampai di sini kakek berpakaian putih itu menghentikan keterangannya. Dan seperti yang sudah diduganya, baik Salya maupun Braja Denta kelihatan tidak begitu tertarik mendengarnya. Tapi Kidang Loka bersikap seolah-olah tidak mengetahuinya. Dengan nada suara sama keterangannya segera dilanjutkan.
"Walaupun demikian, pedang ini tetap merupakan senjata ampuh! Hanya saja Pedang Embun tidak memiliki kemampuan mengerikan seperti yang dimiliki Golok Api. Tapi meskipun demikian, bila berhadapan dengan Pedang Embun, Golok Api akan kehilangan kemampuannya. Nah! Itulah keampuhan kedua pusaka itu. Ada pertanyaan?!" tutur Kidang Loka menutup uraiannya.
Salya dan Braja Denta hampir bersamaan menggelengkan kepala.
"Kalau demikian sudah tiba saatnya bagiku untuk memberikan pusaka ini pada kalian. Tapi, ada satu hal yang perlu kalian camkan! Aku tidak ingin ada yang merasa tidak puas bila pusaka-pusaka ini kubagikan! Untuk menentukan siapa yang berhak memiliki pusaka-pusaka ini aku tidak bertindak sembrono. Semuanya telah kuperhitungkan masak-masak. Dan aku yakin keputusan yang kuambil tidak salah! Kalian mengerti?!"
"Mengerti, Guru," jawab Salya dan Braja Denta dengan suara bergetar karena perasaan tegang.
"Bagus! Aku gembira kalian menyadari hal itu. Sekarang, bersiaplah untuk menerima pusaka-pusaka ini."
Lagi-lagi Kidang Loka menghentikan ucapannya. Ditatapnya wajah kedua muridnya berganti-ganti. "Denta...!" panggil Kidang Loka dengan suara dan sikap penuh wibawa. "Kemari...!"
"Baik, Guru," jawab Braja Denta seraya menghampiri Kidang Loka. Pemuda berpakaian coklat itu merasakan jantungnya berdetak kencang. Agaknya, Braja Denta dilanda perasaan tegang. Braja Denta menginginkan Golok Api jatuh ke tangannya.
Kidang Loka tersenyum lebar. Kemudian, diangsurkannya Pedang Embun pada pemuda berpakaian coklat itu. "Kupercayakan Pedang Embun ini padamu, Denta. Aku berharap kau menggunakannya untuk menegakkan keadilan di dunia persilatan."
Deggg!
Untuk kedua kalinya Braja Denta merasakan pukulan keras di dalam dadanya. Rasa kecewa yang sangat mendera hati pemuda itu. Tapi, dengan pandainya pemuda berpakaian coklat itu menyembunyikan perasaannya. Bahkan, dia menunjukkan seri gembira di wajahnya ketika mengangsurkan tangan untuk menerima pemberian itu. ''Terima kasih, Guru!"
Kidang Loka menganggukkan kepala seraya tersenyum. "Salya...!"
Tanpa menunggu diperintah dua kali, pemuda berpakaian kuning itu melangkah maju. "Kupercayakan Golok Api ini padamu. Pesanku, jangan sembarangan mempergunakan senjata ini, Tapi, pergunakan hanya pada saat-saat kau memerlukannya. Kau mengerti?"
"Mengerti, Guru. Kuucapkan terima kasih atas kepercayaan yang telah Guru limpahkan padaku," jawab Salya. Disambutnya uluran tangan Kidang Loka yang mengangsurkan Golok Api.
Kembali Kidang Loka mengangguk-anggukkan kepala. "Nah! Sekarang kalian boleh melanjutkan latihan. Aku dan Ganda Kerta mempunyai urusan lain yang perlu dibicarakan. Kami pergi dulu."
"Baik, Guru," jawab Salya dan Braja Denta berbarengan seraya membungkuk memberi hormat.
Tapi Kidang Loka dan Ganda Kerta tidak sempat melihatnya. Kedua kakek itu telah membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, tubuh mereka lenyap di balik gundukan batu besar. Kini tinggal Salya dan Braja Denta di tempat itu.
* * *
"Pembagian ini tidak adil!" desis Braja Denta tidak puas. Sepasang matanya menatap Salya penuh perasaan iri.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kang?" ucap Salya bingung.
"Tidak mengerti?!" sinis pertanyaan Braja Denta. "Kau jangan berpura-pura dungu, Salya! Aku yakin kau tahu ketidakadilan tindakan guru!"
"Guru bertindak tidak adil?! Ah! Mengapa kau sampai hati dan melancarkan tuduhan seperti itu, Kang?!" sergah Salya tidak senang mendengar ucapan Braja Denta. "Aku yakin guru telah bertindak seadil-adilnya!"
"Tentu saja kau beranggapan demikian. Sebab kau selalu dibela guru!" tandas Braja Denta dengan suara semakin meninggi karena terbakar emosi.
"Jaga mulutmu, Kang!" sentak Salya juga dengan nada tinggi. ''Tidak sepantasnya kau melancarkan fitnah seperti itu!"
"Aku tidak memfitnah! Semua yang kukatakan ini kenyataan. Ada buktinya!"
"Pembagian pusaka ini maksudmu?!"
"Ini baru salah satu bukti!" ujar Braja Denta keras. "Masih banyak hal lainnya yang menjadi bukti ketidak-adilan guru!"
"Bisa kau membuktikannya?!" tantang Salya.
"Mengapa tidak?!" timpal Braja Denta dengan cepat. "Kau ingat ucapan guru kan ketika kita selesai bertarung tadi, hehhh?! Di depan Ganda Kerta dia memuji-mujimu setinggi langit. Tapi terhadapku?! Aku malah dibodoh-bodohi! Apa itu bukan bukti nyata kalau guru bertindak tidak adil?"
"Kau salah duga, Kang! Guru tidak bermaksud demikian. Aku yakin betul mengenai hal itu. Apa yang dikatakannya memang tidak salah! Aku malah berani mengatakan kalau dia amat menyayangimu. Terbukti, beliau memberi nasihat padamu. Dan...."
"Omong kosong!" potong Braja Denta keras. "Kalau guru hendak memberi nasihat, tidak sepatutnya dilakukan di depan Ganda Kerta. Lagi pula, ucapan yang dikeluarkannya tidak patut dikatakan nasihat! Aku yakin guru memang sengaja merendahkanku di depan Ganda Kerta. Aku tahu apa maksudnya!"
"Kakang! Hentikan fitnahan keji itu! Tak pantas tuduhan-tuduhan itu kau alamatkan pada guru! Ingat! Dia yang mendidik dan membimbing kita.... Dan...!"
"Cukup, Salya! Aku tidak mau mendengar ucapan seperti itu lagi! Aku hanya ingin mengatakan ketidak-adilan tindakan guru! Aku pun tahu, mengapa dia memuji-mujimu dan menjatuhkanku di depan Ganda Kerta! Aku tahu itu memang disengaja! Dan, aku yakin kau juga mengetahuinya!"
"Kau boleh mengutarakan fitnah sesukamu, Kang. Tapi, aku tidak mau mendengarnya!"
Setelah berkata begitu, Salya membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah lebar. Pemuda berpakaian kuning itu sadar kalau Braja Denta saat itu tidak mungkin bisa disadarkan, karena amarah yang masih marajelela dalam jiwanya. Maka, pemuda itu pun memutuskan untuk meninggalkannya. Tapi baru beberapa tindak kakinya melangkah....
"Salya! Berhenti!"
Salya tahu kalau kakak seperguruannya yang menyuruhnya berhenti. Tapi Salya menulikan telinga. Dan terus saja melangkahkan kaki.
"Keparat!" maki Braja Denta geram, melihat panggilannya tidak dihiraukan. Lalu, kakinya dijejakkan. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas dan berputaran beberapa kali melewati kepala Salya. Dan....
Jliggg.
Ringan laksana jatuhnya sehelai daun kering, Braja Denta mendarat di tanah dalam jarak dua tombak di depan Salya.
"Apa maumu sebenarnya, Kang?!" tanya Salya seraya menghentikan langkah. Nada suaranya menunjukkan kalau pemuda berpakaian kuning itu mulai kehilangan kesabaran.
"Tidak banyak! Aku hanya ingin mengungkapkan ketidakadilan guru terhadap kita berdua. Titik!" tandas Braja Denta.
"Kalau aku tidak mau mendengarnya?!" tanya Salya, ingin tahu kelanjutan tindakan Braja Denta.
"Berarti dugaanku benar! Kau telah mengetahui ketidakadilan guru, dan mencoba menutupinya dariku!"
Terdengar bunyi gemeretak dari mulut Salya mendengar alasan yang jelas dicari-cari itu. "Sejak tadi pun aku sudah mendengarnya!" keras dan bergetar suara Salya. Pertanda pemuda berpakaian kuning itu tengah dilanda amarah yang menggelegak.
''Tapi kau belum mendengar alasanku menguraikan ketidakadilan guru. Atau... kau sengaja menginginkan persoalan ini mengambang?!"
''Terserah!" Usai berkata demikian, Salya melesat meninggalkan tempat itu. Rupanya, pemuda berpakaian kuning itu sudah tidak ingin mendengarkan ucapan Braja Denta.
"Keparat!" Braja Denta hanya bisa memaki! Disadarinya kalau tidak ada gunanya melakukan pengejaran. Salya akan terus menghindar. Akhirnya, Braja Denta melesat ke arah yang ditempuh gurunya.
Braja Denta tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan Kidang Loka dan Ganda Kerta berada. Pemuda itu tahu betul tempat yang disukai gurunya untuk bercakap-cakap, di dekat air terjun. Maka, ke sanalah dia menuju.
Braja Denta tahu gurunya akan duduk di baru besar yang menonjol di pinggir sungai, tak jauh dari jatuhnya air terjun. Dan Braja Denta pun tahu ada celah di bawah baru besar itu. Yang lebih penting lagi, dia tahu jalan menuju tempat itu tanpa diketahui gurunya. Rupanya, Braja Denta bermaksud mencuri dengar pembicaraan Kidang Loka dan Ganda Kerta. Sebab, dia mempunyai dugaan hal yang akan dibicarakan gurunya.
Braja Denta mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Hasilnya memang tidak mengecewakan. Bentuk tubuh pemuda berpakaian coklat itu lenyap. Yang terlihat hanya kelebatan bayangan coklat yang melesat seperti melayang.
Tak lama kemudian, Braja Denta telah melihat Kidang Loka dan Ganda Kerta tengah duduk bersisian sambil menatap air terjun. Dengan mengendap-endap dan mengambil jalan memutar, Braja Denta mendekati tempat mereka. Rupanya nasib baik berpihak pada Braja Denta.
Pemuda itu berhasil tiba di tempat yang diinginkan tanpa diketahui Kidang Loka dan Ganda Kerta. Meskipun demikian, pemuda berpakaian coklat itu tetap bertindak hati-hati. Braja Denta tahu betapa tinggi kepandaian gurunya. Bahkan Ganda Kerta pun bukan tokoh sembarangan. Lagi-lagi keberuntungan menyertai Braja Denta. Di saat dia memasang pendengarannya, terdengar Kidang Loka membicarakan hal yang diduganya.
"Sekarang, ada baiknya kita masuk ke pokok pembicaraan. Bagaimana kabarnya Wardani? Apakah dia sudah menentukan pilihannya? Maksudku, siapa di antara muridku yang akan dipilihnya, Salya atau Braja Denta?!"
"He he he...!" Ganda Kerta terkekeh sambil mengelus-elus jenggot. "Wardani menyerahkan seluruh keputusannya padaku. Terserah, katanya. Dijodohkan dengan Salya atau Braja Denta dia bersedia. Sebab, mereka sama-sama gagah. Wardani merasa sulit untuk menentukan pilihan."
"Ooo..., begitu?! Lalu... keputusanmu sendiri bagaimana, Kerta?!" tanya Kidang Loka setelah mengangguk-anggukkan kepala sebentar.
"Kuserahkan keputusanku padamu, Kidang Loka. Aku yakin kau lebih mengetahui mana di antara mereka yang lebih cocok untuk putriku," jawab Ganda Kerta terlihat pasrah.
"Hehhh...?! Mengapa demikian, Kerta?! Apa tidak ingin mempunyai calon menantu pilihanmu sendiri?!"
"Kuserahkan pilihanku itu padamu, Kidang Loka. Siapa pun di antara mereka yang kau pilih, aku setuju. Aku yakin pilihanmu tidak keliru!"
"Hm...!" Kidang Loka menggumam pelan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Kakek itu tidak segera memberikan jawaban. Kelihatan jelas kalau dia tengah mempertimbangkannya.
Sementara Kidang Loka dan Ganda Kerta tidak menduga bahwa tepat di bawah mereka, Braja Denta tengah menanti jawaban gurunya dengan perasaan tegang. Memang beralasan kalau Braja Denta merasa tegang. Sebab dirinya seperti juga Salya, menyenangi Wardani, putri Ganda Kerta! Telah beberapa kali Wardani dibawa ke tempat ini oleh kakek berjenggot kuning itu.
"Hhh...!" Kidang Loka menghembuskan napas sebelum menentukan pilihan. "Kalau begitu, Wardani kujodohkan dengan Salya. Dia lebih baik dibandingkan Braja Denta."
"Kalau itu pilihanmu, aku setuju saja. Jika demikian, besok aku akan pulang untuk mempersiapkan segala sesuatunya," ucap Ganda Kerta setelah tercenung sesaat.
"Aku pun akan memberitahukan hal ini pada Salya. Agar dia mempersiapkan semua yang diperlukan," timpal Kidang Loka.
"Kalau begitu, kita cukupkan pembicaraan ini. Bukankah begitu Kidang Loka?!"
Lalu, Ganda Kerta bangklt. Diikuti kemudian oleh Kidang Loka. Dengan langkah perlahan, mereka meninggalkan tempat itu. Kedua kakek itu tidak mengetahui kalau tepat di bawah mereka dan hanya terhalang sebuah batu, Braja Denta tertegun. Kedua tangan pemuda berpakaian coklat itu mengepal keras penuh kekuatan. Braja Denta tengah menahan luapan perasaan.
Dan memang demikian yang terjadi. Saat itu batin Braja Denta tengah dilanda berbagai macam perasaan. Kecewa, marah, terpukul, dan sedih bercampur jadi satu. Semua itu menyebabkannya tertegun bingung. Tak tahu harus berbuat apa!
Cukup lama juga Braja Denta berlaku seperti itu. Rupanya batin pemuda berpakaian coklat itu terguncang hebat. Kekecewaan demi kekecewaan yang bertubi-tubi melanda, membuatnya tidak kuat bertahan. Mendadak....
"Oooh...!" Sebuah keluh keputusasaan keluar dari mulut Braja Denta. Sekujur tubuhnya mendadak lemas. Perlahan-lahan tubuh pemuda itu melorot turun. Hingga akhirnya....
Brukkk!
Braja Denta berdiri di atas pasir basah dengan kedua lututnya. Punggungnya memang tegak, tapi kepalanya tertunduk dan ditutupi dengan kedua tangan. Terlihat jelas kalau Braja Denta tengah terpukul. Beberapa saat lamanya dia berlaku seperti itu, sebelum akhirnya secara mendadak sekujur tubuhnya mengejang. Kedua tangannya terkepal erat penuh kekuatan!
"Ketidakadilan ini tidak bisa kubiarkan! Akan kuambil semua yang menjadi hakku. Golok Api dan Wardani! Kalau perlu secara paksa! Ya, dengan kekerasan! Jika kau menghalangiku pula, guru, aku tidak segan-segan membunuhmu! Haaattt...!"
Braja Denta mengakhiri tekadnya dengan teriakan keras. Karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam, keadaan di sekitar tempat itu pun tergetar hebat. Braja Denta tidak berhenti sampai di situ. Sambil mengeluarkan teriakan menggeledek, kedua tangannya didorongkan ke arah batu karang yang ada di dekatnya.
Wusss!
Deru angin keras terdengar seiring dengan dorongan kedua tangan Braja Denta. Dan...
Blarrr!
Batu sebesar kerbau yang dijadikan sasaran pukulan jarak jauh Braja Denta hancur berkeping-keping. Bunyi hiruk-pikuk mengiringi berpentalannya pecahan batu-batu itu!
"Ha ha ha...!" Bagai orang gila, Braja Denta tertawa tergelak. Tampak gembira sekali. Kemudian masih dengan tawa yang belum putus, kedua tangannya kembali dihentakkan. Kali ini ditujukan pada air terjun!
Wusss! Pyarrr!
Kumpulan air yang tengah meluncur jatuh langsung buyar! Bahkan luncuran air itu terhenti sesaat. Sungguh sangat kuat tenaga dalam Braja Denta. Tapi itu belum membuat Braja Denta puas. Bagai orang tidak waras, dia menyerang semua yang ada di situ. Tidak hanya dengan pukulan jarak jauh. Tapi juga dengan hantaman tangan dan kakinya.
Akibatnya sungguh hebat! Semua benda yang berbenturan dengan kaki atau tangannya hancur berantakan. Tapi Braja Denta tidak mempedulikannya. Terus dicarinya sasaran lainnya. Braja Denta terus mengamuk. Bahkan ketika akhirnya dia bosan menggunakan tangan kosong, dicabutnya senjata yang baru diterima dari gurunya, Pedang Embun!
Srattt!
Sinar terang menyilaukan mata berpendaran ketika pedang itu keluar dari sarungnya. Sejenak suasana di tempat itu sedikit terang. Tapi Braja Denta tidak sempat memperhatikan keanehan itu. Begitu pedang itu terhunus, langsung saja dipergunakan untuk mengamuk! Dan akibatnya memang dahsyat! Semua benda yang dihantam Pedang Embun langsung putus!
Rupanya, Braja Denta bosan juga berlaku seperti itu. Sesaat kemudian, Pedang Embun kembali dimasukkan ke sarungnya. Kemudian, pemuda itu melesat meninggalkan tempat itu sambil tertawa-tawa. Untung, saat itu Kidang Loka dan Ganda Kerta telah berada amat jauh dari tempat itu sehingga tidak mendengar keributan yang ditimbulkan Braja Denta.
TIGA
Kekecewaan demi kekecewaan yang datang bertubi-tubi membuat Braja Denta terpukul. Begitu puas termenung dan tertawa-tawa, pemuda itu terdiam. Tarikan wajah dan sorot matanya berubah dingin. Tak nampak ada gambaran perasaan apa pun pada wajahnya. Dalam keadaan seperti itu, Braja Denta meninggalkan tempat gurunya. Yang ada di benaknya hanya satu, mengunjungi makam orangtuanya!
Braja Denta melakukan perjalanan dengan cepat. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, bukan hal yang sulit baginya. Di sepanjang perjalanan pemuda itu bertanya pada orang-orang yang ditemuinya, arah mana yang harus ditempuh untuk menuju Desa Alas Ngampar. Braja Denta memang tidak mengetahui letak desa itu.
Beberapa hari kemudian, pemuda itu sudah memasuki Desa Alas Ngampar. Tanpa membuang waktu lagi, Braja Denta segera mencari tempat pemakaman di desa itu. Setelah sebelumnya bertanya pada salah seorang penduduk desa. Maka, tanpa mengalami kesulitan Braja Denta berhasil menemukannya.
Tempat pemakaman itu terletak di pinggir desa. Bahkan hampir berada di daerah perbatasan dengan desa lain. Braja Denta menghentikan langkahnya di luar wilayah pemakaman.
"Hhh...!" Pemuda berpakaian coklat itu menghembuskan napas berat. Ditatapnya hamparan gundukan tanah di depannya. Dengan sepasang matanya, dicarinya letak makam ibu dan ayahnya di antara sekian banyak makam yang bertebaran. Dari salah seorang penduduk diketahui kalau makam orangtuanya terletak di dekat pohon kamboja.
Tanda-tanda itu amat membantu Braja Denta. Tak heran bila dalam sekejap pemuda berpakaian coklat itu dapat menemukan tempat orangtuanya dimakamkan. Sebab, pohon kamboja di tempat itu hanya ada satu. Lalu, Braja Denta mengayunkan kaki memasuki wilayah pemakaman itu.
Tapi baru selangkah kakinya diayunkan, tiba-tiba pemuda itu menghentikan langkahnya. Dia mendengar suara orang bercakap-cakap. Dan ketika kepalanya ditolehkan, tampak dua sosok tubuh tengah berjalan ke arahnya. Kalau saja keadaan kedua sosok itu tidak terlalu menyolok, mungkin Braja Denta tidak akan mempedulikan.
Tapi, ciri-ciri kedua sosok itu terlalu menyolok. Hingga Braja Denta jadi mengurungkan maksudnya semula. Pandangannya ditujukan ke arah dua sosok tubuh yang semakin dekat dengannya. Tidak aneh bila Braja Denta sampai meluangkan waktu untuk melihat kedua orang itu.
Betapa tidak? Yang satu seorang gadis berpakaian putih dengan wajah cantik jelita laksana bidadari. Rambutnya yang panjang dan hitam dibiarkan terurai, hingga menambah kecantikannya. Sudah dapat dipastikan tak akan ada seorang lelaki pun yang membiarkan pemandangan indah ini lewat begitu saja!
Sosok kedua mempunyai ciri-ciri yang tidak kalah menyoloknya. Sosok itu seorang pemuda tampan dan jantan. Tubuhnya yang kekar dibungkus pakaian warna ungu. Dari keadaan tubuhnya diperkirakan usianya tak lebih dari dua puluh satu tahun. Tapi anehnya, rambut yang panjang hingga sebagian menutupi guci perak yang tergantung di punggung tidak berwarna hitam seperti layaknya rambut orang muda. Rambut itu putih keperakan! Memang kelihatan indah tapi aneh!
Sepasang muda-mudi berwajah elok itu agaknya tahu ada orang yang tengah memperhatikan mereka. Sebab, Braja Denta melakukannya dengan sangat menyolok. Tapi keduanya mampu menahan diri dan bersikap tidak peduli. Kedua kaki mereka terus saja melangkah. Tak lama kemudian, sepasang muda-mudi itu melewati tempat Braja Denta. Dan meninggalkannya, semakin lama semakin jauh.
Saat itu, barulah Braja Denta melanjutkan maksudnya yang tadi tertunda. Langkahnya diayunkan memasuki wilayah pemakaman. Braja Denta tidak tahu kalau sepasang muda-mudi itu sempat melihat tindakannya sebelumnya membelok ke ujung jalan.
"Apa kau lihat orang yang berada di depan pemakaman tadi, Kang?" tanya gadis cantik itu pada pemuda tampan yang berjalan di sebelahnya.
"Ya. Lalu kenapa, Melati?" pemuda itu balas bertanya.
"Tidak apa-apa, Kang. Hanya..., eh! Apa kau tidak tahu dia memperhatikan kita?" tanya gadis cantik itu yang ternyata bernama Melati.
Dengan demikian, sudah dapat diterka siapa pemuda tampan itu. Ya! Siapa lagi kalau bukan Arya yang berjuluk Dewa Arak!
''Tentu saja tahu, Melati. Tapi apa salahnya? Dia tidak berbuat sesuatu yang merugikan kita. Lain masalahnya jika dia melakukan tindakan yang tidak kita inginkan!" urai Arya.
Melati terdiam. Disadarinya ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam ucapan pemuda itu. Mereka meneruskan perjalanan tanpa berbincang-bancang lagi. Hingga keheningan pun menyelimuti keduanya.
Sementara itu Braja Denta telah berhasii menemukan makam kedua orangtuanya. Berbeda dengan sebagian besar makam yang ada di situ, makam ayah dan ibunya terawat baik. Bahkan nisannya masih ada. Demikian pula dengan namanya.
Semua itu dilakukan oleh penduduk Desa Alas Ngampar. Secara bergilir mereka merawat makam-makam itu. Sebab, mereka merasa berhutang budi pada Raja Pedang. Berkat Raja Pedanglah Desa Alas Ngampar aman. Tidak ada seorang pun yang berani mengganggu desa itu sejak Raja Pedang tinggal di situ. Raja Pedang selalu melenyapkan orang-orang yang hendak menimbulkan keributan di Desa Alas Ngampar.
Itu sebabnya, mereka merasa kehilangan sekali ketika Raja Pedang tewas. Sebagai balas jasa atas tindakan-tindakannya dulu, para penduduk bersepakat untuk merawat makamnya dan makam istrinya.
"A… Ayah... Ibu...," ujar Braja Denta dengan terbata-bata dan bergetar. Dengan agak bergegas, pemuda berpakaian coklat itu itu menjatuhkan diri bersimpuh di makam orang-tuanya.
"Ayah...!" kembali Braja Denta menggumamkan panggilan itu. "Kalau saja kau masih hidup, mungkin aku tidak akan mengalami hal seperti ini. Kawanmu telah bertindak tidak adil, Ayah. Dia terlalu membela Salya, putra kawan Ayah yang lain. Aku sakit hati, Ayah. Sakit...!"
Braja Denta menelungkupkan wajahnya di gundukan makam Raja Pedang. Kedua bahunya berguncang-guncang. Tapi tidak terdengar isak tangis keluar dari mulutnya. Braja Denta memang tidak menangis. Pantang baginya meneteskan air mata.
Braja Denta hanya membutuhkan tempat untuk menumpahkan ganjalan di hatinya. Dengan mengutarakan hal-hal yang menekan hatinya dadanya menjadi terasa lapang. Braja Denta membutuhkan tempat untuk berbagi rasa.
"Aku tidak rela disakiti, Ayah. Aku tidak rela dihina! Akan kubalas sakit hati ini, Ayah!" sambung Braja Denta lagi.
Kemudian diam dan tidak berkata-kata lagi. Rupanya Braja Denta telah merasa cukup puas mengeluarkan ganjalan hatinya. Namun, meskipun begitu dia tidak bangkit. Pemuda berpakaian coklat itu tetap merebahkan tubuhnya dengan berbantalkan gundukan makam ayahnya.
Perasaan hati yang telah agak tenang dan suasana di bawah pohon yang cukup sejuk membuat Braja Denta mengantuk. Beberapa hari ini dia memang kurang tidur. Ditambah dengan kelelahan yang mendera karena terlalu memaksakan diri dalam melakukan perjalanan. Lebih-lebih lagi pemuda berpakaian coklat itu berbaring. Maka, tak heran jika akhirnya dia tertidur!
Perlahah-lahan kedudukan matahari pun bergeser. Semakin lama semakin dekat pada tempat terbenamnya. Dan Braja Denta tetap lelap dalam tidurnya. Pemuda itu tidak terbangun sampai sang Surya tenggelam di ufuk barat, meninggalkan bias-bias kemerahan di kaki langit.
Braja Denta baru terjaga dari tidurnya ketika sang Dewi Malam telah menampakkan diri. Tapi walaupun begitu, pemuda berpakaian coklat itu tetap bersikap tenang. Pemuda itu tidak merasa takut meskipun berada di tengah pemakaman di malam hari.
"Uuuh...!" Sambil membuka mulutnya lebar-lebar, Braja Denta menggeliatkan tubuhnya. Terasa nikmat sekali melakukan gerakan itu. Setelah itu Braja Denta bangkit berdiri. Mendadak....
Wusss!
Angin berhawa dingin berhembus keras. Berbeda dengan tiupan sebelumnya. Braja Denta pun merasakannya. Bulu kuduknya mendadak berdiri. Dengan sedikit takut, Braja Denta mengedarkan pandangan berkeliling. Sekujur otot dan urat sarafnya menegang. Braja Denta telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Tiba-tiba…
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa keras yang menggema di sekitar tempat itu membuat Braja Denta terperanjat kaget. Nada tawa itu begitu aneh. Pelan, berat dan bergaung seperti bukan keluar dari mulut manusia! Melainkan dari mulut hantu penjaga kuburan!
Dugaan itu membuat bulu-bulu di tubuh Braja Denta berdiri. Rasa takut mulai timbul di hatinya. Tapi segera ditekannya perasaan itu. Apa yang harus ditakuti? Diriku memiliki kepandaian. Hibur Braja Denta dalam hati.
"Siapa kau?!" bentak Braja Denta memberanikan diri. Setelah mengedarkan pandangan berkeliling, dan tidak menemukan pemilik tawa aneh itu.
Memang harus diakui kalau arah tawa itu tidak bisa dilacaknya. Tapi Braja Denta berani bertaruh asal suara itu amat dekat dengan tempatnya! Anehnya, mengapa dia tidak melihatnya. Padahal, suasana di tempat itu cukup terang oleh sinar dewi malam.
"Siapa kau?! Kalau berani, tunjukan dirimu!" tantang Braja Denta lagi seraya mengedarkan pandangan berkeliling.
Angin malam kembali bertiup. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Bersamaan dengan tiupan angin, mendadak di hadapan Braja Denta hadir sesosok tubuh tinggi besar!
"Ah!" Tanpa sadar Braja Denta mengeluarkan jerit kekagetan. Kakinya melangkah mundur. Kehadiran sosok tinggi besar itu terlalu mendadak hingga mengejutkannya. Tapi hanya sebentar Braja Denta larut dalam perasaan kaget.
Sesaat kemudian, pemuda itu mulai memperhatikan sosok tinggi besar di hadapannya. Dan Braja Denta bergidik ngeri. Dalam siraman sinar rembulan, terlihat jelas ciri-ciri sosok tinggi besar itu. Sosok itu berpakaian serba hitam.
Kulit wajahnya gelap. Kumis dan jenggotnya panjang dan jarang-jarang. Namun yang membuatnya ngeri adalah sorot mata sosok berpakaian hitam itu! Sorot matanya tajam mencorong dan bersinar kehijauan. Mirip sorot mata harimau dalam gelap!
"Jangan takut, Anak Muda. Percayalah, aku tidak akan menyakitimu," ucap sosok berpakaian hitam berusaha menenangkan hati Braja Denta.
Seperti juga tawanya, ucapan sosok berpakaian hitam itu terdengar aneh. Pelan, berat, dan bergaung seolah berasal dari tempat yang amat jauh. Seakan berasal dari dunia lain! Tentu saja hal itu semakin menambah rasa takut Braja Denta. Apalagi, ketika pemuda berpakaian coklat itu melihat bibir sosok itu tidak bergerak saat berbicara!
Dan perlahan-lahan rasa takut yang melanda hati Braja Denta menghilang, ketika melihat sosok berpakaian hitam tidak melakukan tindakan apa pun terhadapnya. Sosok berpakaian hitam itu memang tidak bermaksud jahat. Demikian pikir pemuda berpakaian coklat itu.
"Lalu..., apa maksud kedatanganmu kemari?" tanya Braja Denta. Suaranya masih agak bergetar karena rasa takut yang melandanya belum sepenuhnya lenyap.
"Menolongmu, Braja Denta!" jawab sosok berpakaian hitam pelan.
"Kau..., siapa sebenarnya dirimu?! Dari mana kau tahu namaku?!" tanya Braja Denta tanpa mampu menyembunyikan rasa kagetnya.
"Ha ha ha...!" sosok berpakaian hitam tergelak. "Ketahuilah, Braja Denta. Bukan hanya namamu yang aku tahu. Tapi juga ayahmu, gurumu dan adik seperguruanmu. Bahkan juga masalah yang kau hadapi saat ini. Aku tahu semuanya, Braja Denta!"
"Aku tidak percaya!" seru Braja Denta keras. "Kau bohong!"
"Ha ha ha...! Aku bohong, Denta?! Ha ha ha...! Baiklah, agar kau percaya akan kubuktikan. Ayahmu berjuluk Raja Pedang. Gurumu, Kidang Loka. Dan adik seperguruanmu bernama Salya. Saat ini kau tengah dendam pada guru dan adik seperguruanmu karena diperlakukan tidak adil! Memang kau benar, Denta. Kidang Loka terlalu menganak emaskan Salya!"
"Hahhh...?!" Braja Denta tersentak mendengar pernyataan sosok berpakaian hitam. Betapa tidak? Semua yang dikatakannya benar. Tak ada satu pun yang salah! Lalu, dari mana sosok berpakaian hitam itu mengetahuinya?
"Siapa kau? Mengapa kau mengetahui semua masalahku.,.?" tanya Braja Denta lagi penuh perasaan heran.
"Siapa adanya aku nanti kau pun akan tahu, Braja Denta. Yang terpenting kau harus tahu bahwa aku datang kemari ingin menolongmu. Tanpa bantuanku, kau tidak akan dapat membalas sakit hatimu. Jangankan menghadapi gurumu, melawan Salya saja kau tak akan menang. Tapi bila kau mau kubantu semua sakit hatimu akan terbalas. Bukan itu saja, semua yang kau inginkan akan tercapai. Tak terkecuali Golok Api dan Wardani! Bagaimana, Denta?!"
Braja Denta tertegun. Pemuda itu bingung. Kalau menuruti perasaan hati, ingin rasanya diterima bantuan yang ditawarkan sosok berpakaian hitam. Tapi, bagaimana mungkin dia menerima bantuan orang yang sama sekali tidak dikenalnya?! Bahkan tidak mau mengenalkan diri? Dan sosok berpakaian hitam agaknya tahu kalau Braja Denta merasa bimbang.
"Coba bayangkan Denta. Kedudukanmu adalah kakak seperguruan, tapi mengapa kau justru dianak-tirikan. Wardani dijodohkan dengan Salya. Tidak hanya itu saja. Golok Api pusaka yang amat dahsyat, diberikan pada adik seperguruanmu itu. Sedangkan kau? Hanya sebuah pedang yang tidak berguna! Tidak mempunyai kedahsyatan sama sekali!" bujuk sosok berpakaian hitam.
Dan bujukan itu termakan Braja Denta. Pemuda itu mengangguk-agguk membenarkan ucapan sosok itu. "Memang aku merasa sakit hati pada mereka. Baik pada guruku maupun adik seperguruanku. Tapi apa dayaku? Mereka memiliki kepandaian di atasku. Walaupun kau bantu, belum tentu aku berhasil membalas sakit hati ini!" ucap Braja Denta. Ada nada keputusasaan dalam suaranya.
"Ha ha ha...!" sosok berpakaian hitam tertawa. "Kau meragukan kemampuanku, Denta?! Ha ha ha...! Lucu! Kau tahu, jangankan Kidang Loka dan Salya. Tiga orang semacam Kidang Loka pun jangan harap dapat mengalahkanku!" ujar sosok berpakaian hitam menyombongkan diri.
"Apa semua yang kau katakan itu bisa dipercaya?!" tanya Braja Denta ragu.
"Kau boleh membuktikannya, Denta!" tanpa ragu-ragu sosok berpakaian hitam mengajukan diri. ''Tapi aku mempunyai satu syarat!"
Sepasang alis Braja Denta langsung berkerut. Perasaan curiganya pun timbul. "Rupanya kau hendak menipuku, hehhh?! Jangan harap aku bisa kau tipu!"
"Kau terlalu curiga, Denta! Tapi kalau kau memang tidak mau kubantu tidak apa! Aku tidak merasa rugi! Kau boleh mati sengsara karena memendam sakit hati, Denta! Dan Salya akan menari-nari penuh kegembiraan di atas mayatmu! Tak lama lagi dia akan mendapat Wardani!"
Setelah berkata demikian, sosok berpakaian hitam membalikkan tubuh. Melihat tindakannya, kelihatannya sosok berpakaian hitam hendak meninggalkan tempat itu. Tapi....
"Tunggu...!" cegah Braja Denta.
"Mengapa mencegahku?! Bukankah kau ingin memendam sakit hatimu sampai mati?!" ejek sosok berpakaian hitam tanpa membalikkan tubuh.
"Aku minta maaf atas kecurigaanku yang terlalu berlebihan! Kumohon kau jangan pergi," pinta Braja Denta.
Semula Braja Denta memang merasa curiga pada sosok berpakaian hitam. Tapi, ucapan terakhir sosok itu membuat Braja Denta mengambil keputusan untuk mengetahui lebih dulu syarat yang akan diajukan sosok berpakaian hitam. Siapa tahu syarat itu tidak berat! Dan siapa tahu sosok berpakaian hitam tidak membual tentang kepandaiannya.
"Jadi kau menerima pertolonganku?!" tanya sosok berpakaian hitam seraya membalikkan tubuh.
"Benar," Braja Denta mengangguk. ''Tapi aku ingin mengetahui syaratnya lebih dahulu. Bila persyaratan itu tidak berat dan aku mampu melakukannya, maka dengan senang hati akan kuterima pertolonganmu."
"Percayalah padaku, Denta. Syarat itu sama sekali tidak berat. Bahkan amat ringan," sosok berpakaian hitam berusaha meyakinkan Braja Denta.
"Bisa kau katakan sekarang?"
''Tentu saja, Denta!" mantap dan tegas kata-kata yang keluar dari mulut sosok berpakaian hitam. "Syaratnya mudah saja. Jauhkan pedang itu dari tubuhmu,"
"Hahhh...?!" Braja Denta terperanjat mendengar syarat yang tidak disangka-sangka itu. Agak ragu-ragu dicabutnya pedang yang tergantung di punggung. "Apakah yang kau maksudkan pedang ini?!"
"Benar," jawab sosok berpakaian hitam singkat seraya menganggukkan kepala.
''Tapi, kenapa?!" tanya Braja Denta heran. Sekelebat menyelinap perasaan curiga di hati Braja Denta. Pedang yang dimaksudkan sosok berpakaian hitam itu adalah pedang pusaka warisan gurunya, Pedang Embun! Jangan-jangan sosok berpakaian hitam sengaja merancang siasat itu untuk mencuri pedang itu!
"Buang jauh-jauh perasaan curigamu, Denta," ujar sosok berpakaian hitam melihat Braja Denta tercenung. "Ada alasan kuat yang membuatku sulit untuk membantumu jika pedang itu ada pada dirimu.''
"Bisa kau jelaskan alasannya?!" tanya Braja Denta hati-hati, tidak sembarangan menuduh seperti sebelumnya.
Sosok berpakaian hitam tidak segera memberikan jawaban. Sosok itu tercenung sejenak seperti tengah mempertimbangkan pantas atau tidak pertanyaan itu dijawabnya.
"Ceritanya cukup panjang, Denta. Aku tidak yakin kau mau mendengarkannya," ujar sosok berpakaian hitam.
''Tidak apa. Aku bersedia mendengarkan. Aku sedang tidak terburu-buru. Ceritakan saja, agar semua menjadi jelas dan tidak ada keraguan padaku terhadap maksud baikmu," timpal Braja Denta.
"Hhh...! Baiklah, kalau memang itu yang kau inginkan," ujar sosok berpakaian hitam mengalah. Ada rasa enggan dan berat hati pada ucapan sosok itu. Untuk menyebutkan alasannya. "Kini dengarkanlah baik-baik ceritaku ini."
EMPAT
"Puluhan tahun yang lalu aku adalah seorang tokoh yang amat ditakuti. Sebab, kepandaian yang kumiliki sangat tinggi. Belum pernah sekali pun aku menderita kekalahan. Padahal telah ratusan kali aku terlibat pertarungan," sosok berpakaian hitam memulai ceritanya. "Kenyataan itu membuat musuh-musuhku merencanakan siasat untuk melenyapkan aku."
Sosok berpakaian hitam menghentikan ceritanya sejenak. Secara sambil lalu, ditatapnya wajah Braja Denta. Ingin diketahuinya tanggapan pemuda berpakaian coklat itu. Tapi Braja Denta diam saja. Meskipun tarikan wajah dan sorot matanya menunjukkan kalau pemuda itu mendengarkan ceritanya dengan penuh minat.
"Siasat licik mereka berhasil. Aku dapat mereka usir dari dunia ini. Tidak hanya itu saja. Mereka menciptakan sebuah pedang yang membuatku sulit untuk kembali ke dunia. Itulah pedang yang kumaksud," sosok berpakaian hitam mengakhiri kisahnya dengan menunjuk Pedang Embun yang berada di tangan Braja Denta.
Braja Denta mengernyitkan kening. Kisah yang diceritakan sosok berpakaian hitam sulit untuk diterima akal sehatnya. Banyak hal yang masih belum dimengertinya.
"Bagaimana, Denta? Apa kau sudah mengerti, mengapa aku menyuruhmu menjauhkan pedang itu dariku?" tanya sosok berpakaian hitam, tak sabar melihat Braja Denta hanya tercenung.
"Hhh...!" Hanya sedikit saja yang kumengerti. Ceritamu sulit dipahami. Aku hanya dapat menyimpulkan kalau kau takut pada pedang ini. Bisa kau ceritakan lebih jelas lagi?!"
"Tidak, Denta. Aku sudah menceritakannya dengan terperinci agar kau dapat mengerti. Rasanya memang sulit untuk dimengerti. Tapi agar kau percaya dengan kebenaran ceritaku, kau boleh menyerangku. Caranya terserah padamu, dengan syarat kau jangan mendekatiku. Jarak terdekat antara kau dan aku sejauh dua tombak. Bila kau memaksa lebih dekat lagi, aku akan celaka. Pedang Embun menyebarkan hawa yang mampu membunuhku!" jelas sosok berpakaian hitam.
Melihat sikap dan nada bicara sosok berpakaian hitam, mulai timbul rasa percaya di hari Braja Denta. Pemuda berpakaian coklat itu melihat kesungguhan dalam ucapan dan sikap sosok berpakaian hitam. Terlihat jelas betapa tokoh misterius itu amat takut pada Pedang Embun!
"Baik. Aku akan menyerangmu. Tapi ingat, kau yang mengajukan diri, bukan aku. Jadi aku tidak mau disalahkan bila terjadi apa-apa atas dirimu!"
"Jangan khawatir, Denta. Aku tidak akan menyalahkanmu bila terjadi hal yang tidak diinginkan atas diriku. Percayalah. Tidak akan terjadi hal-hal buruk padaku. Mulailah, Denta. Aku telah siap. Ingat! Jangan ragu-ragu. Keluarkan seluruh kemampuanmu!" ada nada keyakinan yang sangat dalam ucapan sosok berpakaian hitam.
"Baik!" Braja Denta segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Kemudian perlahan-lahan tapi penuh kekuatan, ditariknya kedua tangan itu ke sisi pingang. Bunyi berkerotokan keras seperti tulang-tulang patah terdengar ketika kedua tangan itu bergerak menuju tempat yang dituju. Lalu....
"Hih!" Sambil menggertakkan gigi, Braja Denta mendorong kedua tangannya ke depan. Seketika itu pula meluncur serangkum angin berhawa panas ke arah sosok berpakaian hitam.
Tapi sosok berpakaian hitam kelihatan tenang saja. Dia berdiri tegak di tempatnya. Diam. Tidak terlihat tanda-tanda sosok itu akan menanggapi serangan itu. Baik dengan mengelak atau menangkis. Dan ternyata tokoh misterius itu memang tidak melakukan tindakan apa pun. Bahkan sampai pukulan jarak jauh Braja Denta menghantamnya. Saat itulah terjadi peristiwa aneh yang membuat sepasang mata murid Kidang Loka ini membelalak lebar!
Tubuh sosok berpakaian hitam tidak bergeming dari tempatnya! Padahal, Braja Denta sangat yakin pukulan jarak jauhnya sudah mengenai sasaran. Tapi mengapa tidak terjadi akibat apa pun? Mendadak...
Brakkk!
Sebatang pohon besar yang berada tepat dibelakang sosok berpakaian hitam hancur berantakan mengeluarkan bunyi hiruk-pikuk! Apa yang telah terjadi? Mengapa pohon itu hancur berantakan? Apakah terkena pukulan jarak jauhnya? Kalau benar, mengapa sosok berpakaian hitam tidak mengalami kejadian apa pun?
Seharusnya, bila benar hancurnya pohon itu karena pukulan jarak jauh Braja Denta, sebelum mengenai pohon itu, sosok berpakaian hitamlah yang terkena lebih dulu! Karena tokoh misterius itu tepat berada di bawah pohon!
Kejadian aneh itu membuat Braja Denta kebingungan. Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu tertegun, dengan benak dipenuhi bebagai macam pertanyaan yang tidak mampu dijawabnya.
"Ha ha ha...! Mengapa kau kelihatan bingung, Denta?! Kalau ingin lebih jelas, seranglah aku dengan senjata rahasiamu. Kidang Loka telah mengajarkan cara melemparkan pisau terbang yang baik padamu, kan?!" ujar sosok berpakaian hitam penuh kemenangan.
Tanpa membantah sedikit pun, Braja Denta segera melaksanakan usul sosok berpakaian hitam. Diambilnya beberapa batang pisau dari buntalan yang selalu dibawanya. Memang, satu-satunya cara untuk mengungkapkan keanehan tadi adalah dengan menglrimkan serangan senjata. Kalau menggunakan senjata, dia bisa melihat apakah serangan itu mengenai sasaran atau tidak!
"Hih!" Sambil menggertakkan gigi, Braja Denta mengibaskan tangannya. Seketika itu pula tiga batang pisau terbang meluncur deras ke arah sosok berpakaian hitam. Semua mengarah pada bagian-bagian yang berbahaya. Ulu hati, tenggorokan, dan ubun-ubun. Ini menandakan kalau Braja Denta memang memiliki keahlian melempar pisau terbang.
Untuk kedua kalinya terjadi peristiwa menakjubkan. Tapi, kejadian kali ini justru berhasil menjawab semua pertanyaan yang menggayuti benak Braja Denta. Tampak jelas ketiga pisau terbang itu mengenai sasaran. Tapi tidak menancap ke sana, melainkan terus meluncur.
Cap, cap, cap!
Lesatan pisau-pisau itu baru berhenti ketika menancap di sebuah pohon yang terletak di belakang pohon yang tadi hancur.
Kejadian ini telah membuat Braja Denta berhasil menarik sebuah kesimpulan. Sosok berpakaian hitam ternyata tidak berwujud manusia seperti dirinya. Sosok itu tak ubahnya bayangan. Meskipun terlihat mata, tapi tidak bisa disentuh! Ataukah itu yang dinamakan roh?! Tanya Braja Denta dalam hati. Dan Braja Denta tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun pikirannya.
"Ha ha ha...! Bagaimana, Denta?! Apakah sekarang kau percaya kalau aku tidak bisa dilukai?!" ucap sosok berpakaian hitam penuh kemenangan.
"Siapa kau sebenarnya? Manusia atau siluman?!" tanya Braja Denta agak gugup. Perasaan takut yang telah lenyap perlahan-lahan timbul kembali.
"Hhh...!" Bukannya menjawab pertanyaan itu, sosok berpakaian hitam malah menghela napas berat "Sebenarnya aku manusia, Denta. Manusia seperti kau. Dapat merasakan sakit bila dipukul. Tapi sekarang tidak lagi! Dan penyebabnya seperti yang telah kuceritakan padamu, berkat siasat musuh-musuhku! Sekarang aku hanya berupa roh! Sehingga betapa pun saktinya aku, tanpa ada tempat berupa tubuh manusia, aku tidak mempunyai kemampuan apa pun."
"Tapi... mengapa kau mengatakan mampu menolongku?!" tanya Braja Denta dengan alis berkernyit dalam. Pemuda berpakaian coklat itu kembali dilanda kebingungan. Ucapan sosok berpakaian hitam berbeda dengan sebelumnya.
"Seperti telah kukatakan, kesaktianku baru akan timbul bila ada manusia yag bersedia menjadi tempat bagi rohku! Kebetulan aku bertemu denganmu. Melihat kau memendam rasa sakit hati, kuputuskan untuk memilihmu menjadi tempat rohku! Dengan adanya rohku pada dirimu, kau bisa mendapatkan yang kau mau! Golok Api?! Wardani?! Menguasai dunia persilatan?! Apa pun yang kau mau akan bisa didapatkan! Aku seorang tokoh sakti pada puluhan tahun lalu! Bagaimana, Denta?!" jelas sosok berpakaian hitam berusaha merayu.
Braja Denta tidak segera menjawab. Pemuda itu tercenung. Sungguh tidak disangka kelanjutannya akan seperti ini. Sehingga kalau semula dia sudah merasa mantap akan menerima tawaran sosok berpakaian hitam, kini diputuskannya untuk mempertimbangkan kembali. Bagaimana dia tidak bimbang? Raganya akan dipakai roh sosok berpakaian hitam! Lalu, bagaimana dengan rohnya sendiri?
"Bagaimana, Denta?" tanya sosok berpakaian hitam tidak sabar. "Kau setuju dengan usulku?"
"Sebenarnya aku setuju. Tapi bila kau telah masuk ke dalam diriku, bagaimana dengan rohku sendiri?!" Braja Denta memutuskan untuk berterus terang.
"Ha ha ha...! Jangan khawarir, Denta. Rohmu tetap ada di tubuhmu. Ragamu tetap satu. Tapi roh yang menempatinya ada dua. Rohmu dan rohku!" jelas sosok berpakaian hitam.
"Lalu..., siapa yang pegang peranan atas tubuhku? Rohmu atau rohku?!" tanya Braja Denta lagi.
''Tentu saja rohmu, Denta! Sebab kau mempunyai akal sehat. Pikiran. Dengan sendirinya, kau yang mengendalikan tubuhmu. Bukankah itu berarti rohmu yang menjadi penguasa atas tubuhmu. Sedangkan aku hanya membantu bila kau menghadapi lawan tangguh. Mengapa kau menanyakan hal itu?!" sosok berpakaian hitam balas bertanya setelah memberi penjelasan pada pemuda berpakaian coklat itu.
"Hanya ingin tahu saja. Aku khawatir jika telah memasuki ragaku, kau akan mengambil alih kepemimpinan. Kemudian kau bebas memenuhi keinginanmu dengan menggunakan ragaku. Sementara keinginanku tidak terpenuhi," jawab Braja Denta sejujurnya.
"Ha ha ha...! Rupanya itu yang membuatmu merasa bimbang, Denta?! Tidak usah khawarir. Percayalah, aku berjanji akan membalaskan semua sakit hatimu, dan mendapatkan semua yang kau inginkan!" janji sosok berpakaian hitam sungguh-sungguh.
"Apakah janjimu bisa dipercaya?!" Braja Denta meminta kepastian.
"Mengapa kau masih meragukannya, Denta. Apa kau tidak membuktikan sendiri kebenaran setiap ucapanku?" sosok berpakaian hitam balas bertanya.
"Bukannya aku tidak percaya. Aku hanya... yahhh, khawatir saja. Dan...."
"Buang jauh-jauh perasaan khawatirmu itu," potong sosok berpakaian hitam tak sabar. "Kau akan membuktikan sendiri kebenaran janjiku."
Braja Denta langsung terdiam. "Bagaimana, Denta. Bisa kita mulai? Cepatlah! Sebab bila matahari telah terbit, aku tidak akan bisa masuk ke dalam tubuhmu," terdengar jelas nada tidak sabar dalam ucapan sosok berpakaian hitam itu.
"Baiklah, aku setuju," jawab Braja Denta tidak mempunyai pilihan lain.
"Kalau begitu, singkirkan Pedang Embun dari tubuhmu," ucap sosok berpakaian hitam cepat-cepat. "Lemparkan jauh-jauh. Toh senjata itu tidak berguna sama sekali. Dibandingkan Golok Api, dia tidak mempunyai keistimewaan apa pun!"
Kali ini Braja Denta tidak membantah lagi. Meskipun sebenarnya merasa sayang, dilemparkannya Pedang Embun itu. Nanti dia pun akan mendapatkan gantinya. Sebuah pusaka yang jauh lebih ampuh, Golok Api!
"Ha ha ha...!" Sosok berpakaian hitam tergelak melihat Pedang Embun melayang-layang jauh. Perasaan gembira yang sangat terlihat jelas dalam tarikan wajah dan sorot matanya. "Bagus, bagus, Denta! Sekarang, kau bersiaplah...!"
Usai berkata demikian, tiba-tiba tubuh sosok berpakaian hitam lenyap. Dan berganti dengan seberkas sinar merah. Sinar itu melesat masuk ke tubuh Braja Denta. Seketika itu pula, tubuh Braja Denta yang semula tenang menggeletar hebat. Rasa panas yang sangat merayapi sekujur tubuh pemuda itu. Ditambah dengan rasa sakit yang tidak terperikan.
"Aaa...!" Braja Denta melolong karena tak kuat menahan rasa sakit dan panas yang mendera. Dalam cekaman penderitaan yang dialami, Braja Denta mengguling-gulingkan tubuhnya ke sana kemari. Untung saja makam orangtuanya terpisah agak jauh dengan makam lainnya. Hingga tidak satu pun makam yang terlanda gulingan tubuhnya.
Karena tak kuat menahan rasa sakit yang mendera, Braja Denta jatuh pingsan! Untuk kedua kalinya, tubuhnya tergolek lemas di pemakaman itu. Kalau tadi karena tak kuat menahan rasa kantuk, kini disebabkan tak mampu menanggung rasa sakit!
Entah berapa lama dirinya pingsan, Braja Denta tidak tahu. Yang jelas, ketika terbangun kegelapan masih menyelimuti tanah pemakaman itu. Hari masih malam!
Perlahan-lahan Braja Denta bangkit. Saat itu pula rasa heran menggayuti hatinya. Tubuhnya terasa ringan sekali seperti melayang. Tidak hanya itu. Di bawah pusarnya ada hawa hangat berputar.
Semua itu mengherankan Braja Denta. Dia jadi tidak mengerti. Dicobanya untuk mengingat-ingat peristiwa yang dlalamlnya. Braja Denta pun berhasil mengingatnya. Benarkah ini semua karena masuknya sosok berpakaian hitam ke dalam dirinya?
"Benar, Denta. Semua keanehan yang kau rasakan karena aku telah masuk ke dalam tubuhmu," terdengar jelas suara sosok berpakaian hitam.
Tapi Braja Denta tidak bisa memastikan dari mana datangnya. Seperti dari dalam dadanya. Tapi mengapa terdengar jelas di telinga?
"Sekarang kau telah menjadi orang sakti, Denta! Seluruh ilmu yang kumiliki dapat kau pergunakan sesuka hatimu," lagi-lagi terdengar suara sosok berpakaian hitam. "Kau lihat batu besar di sebelah kananmu itu, Denta?"
Braja Denta mengalihkan pandangan ke arah yang dimaksud sosok berpakaian hitam. Pemuda itu pun melihatnya. Sebuah batu yang kelihatan kokoh bukan main. Besarnya tak kalah dengan seekor kerbau!
"Nah! Sekarang dekati batu itu, Denta," ucap suara itu lagi.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Braja Denta bingung. Meskipun demikian, tetap diikutinya perintah sosok berpakaian hitam. Dan Braja Denta tersentak kaget. Ketika dia melesat ke sana, kecepatan gerakannya tidak bisa diatur. Tubuhnya seperti didorong keras ke depan. Buru-buru dihentikannya larinya.
"Apa... apa yang terjadi?" tanya Braja Denta bingung. Bagaimana pemuda berpakaian coklat itu tidak gugup? Dia tidak mampu menguasai diri!
''Tenang, Denta. Tidak apa-apa. Kau hanya belum terbiasa dengan kemampuan barumu. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membiasakan diri dengan tingkatanmu sekarang. Lebih baik kau pergunakan sebagian kecil tenagamu. Yang penting kau harus tenang. Mengerti, Denta?"
Braja Denta mengangguk.
"Nah! Sekarang hampiri batu itu. Tenang saja. Tidak usah tergesa-gesa," nasihat sosok berpakaian hitam.
Braja Denta tidak berani membantah. Diikutinya saran sosok berpakaian hitam. Sesaat kemudian, dia telah berada di depan batu besar itu. "Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya Braja Denta bingung. "Sebenarnya, apa maksudmu mengajakku ke batu besar ini?"
"Aku ingin menunjukkan kedahsyatan ilmuku, Denta. Tapi rasanya sulit juga kalau aku terus-menerus memberitahumu. Bagaimana kalau kau biarkan aku yang melakukannya untukmu?" ujar sosok berpakaian hitam menawarkan diri. Braja Denta tercenung.
"Aku jadi bingung. Semula kau bilang seluruh kesaktianmu akan menjadi milikku bila kau telah masuk ke dalam diriku. Tapi mana buktinya? Kalau untuk mengeluarkan ilmumu harus mendengarkan petunjukmu, aku bisa tewas lebih dulu!" ucap pemuda berpakaian coklat itu berapi-api.
"Ha ha ha...! Itu semua tergantung padamu, Denta. Aku tidak berbohong sewaktu mengatakan kesaktian yang kumiliki akan menjadi milikmu bila aku masuk ke dalam ragamu! Tapi tentu saja kau tidak langsung menjadi sakti begitu aku berada dalam ragamu! Ada kesaktianku yang langsung bisa kau dapatkan, tapi ada pula yang tidak!"
Sosok berpakaian hitam menghentikan ucapannya. Rupanya dia ingin memberi kesempatan pada Braja Denta untuk mencerna kata-katanya.
"Kesaktianku yang langsung kau dapatkan adalah tenaga dalam dan meringankan tubuh. Tanpa perlu kuberi petunjuk, kau telah memiliki keduanya berlipat kali milikmu semula," lanjut sosok berpakaian hitam. "Sedangkan kesaktianku yang tidak dapat langsung kau rasakan berupa ilmu-ilmu kesaktian. Baik ilmu tangan kosong maupun yang menggunakan senjata. Juga ilmu-ilmu gaib. Tapi tanpa kuberitahu gerakannya, kau tidak akan dapat melakukannya. Untuk itu, berikan kesempatan padaku untuk melakukannya. Kau hanya perlu mengosongkan pikiran dan membiarkan anggota tubuhmu bergerak sendiri. Bagaimana?" sosok berpakaian hitam mengajukan tawaran.
Braja Denta mengerutkan alis. "Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, boleh aku mengajukan pertanyaan?"
"Tentu saja boleh, Denta," jawab sosok berpakaian hitam kalem. "Aku bersedia menjawab semua pertanyaanmu,"
''Terima kasih. Aku hanya ingin mengajukan dua buah pertanyaan. Siapakah kau sebenarnya? Dan siapa musuh-musuhmu?"
Untuk sesaat tidak ada jawaban dari sosok berpakaian hitam. Hingga Braja Denta kebingungan. Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian, pemuda berpakaian coklat itu mendapatkan jawaban.
"Sebenarnya berat hatiku untuk mengatakan. Tapi kuputuskan untuk memberitahukannya padamu. Sebab aku tahu tanpa adanya kejujuran tidak akan ada kerjasama yang baik antara kita. Ketahuilah, aku adalah tokoh yang diceritakan gurumu. Akulah yang berjuluk Raja Sihir Berhati Hitam!"
"Apa?!"
LIMA
Braja Denta sampai terlonjak ke belakang ketika mengetahui siapa sosok berpakaian hitam itu. Sungguh tidak disangka dirinya akan bersekongkol dengan musuh ayahnya! Sekarang dia dapat menduga siapa musuh-musuh sosok berpakaian hitam itu. Siapa lagi kalau bukan ayahnya. Dewa Tangan Sakti dan Kidang Loka!
"Jadi... kau manusia terkutuk itu?!" tanya Braja Denta terbata-bata.
"Jangan ulangi makian itu, Denta. Jangan membuatku marah. Akibatnya akan sangat tidak menyenangkan bagimu!" ancam sosok berpakaian hitam yang ternyata Raja Sihir Berhati Hitam.
"Oooh...! Ayaaah..., maafkan aku! Sungguh tidak kusangka masalahnya akan serumit ini," keluh Braja Denta penuh penyesalan. Didekapnya wajahnya dengan kedua tangan.
"Hentikan segala kecengengan itu, Denta. Aku paling benci dengan orang yang cengeng!" tegas Raja Sihir Berhati Hitam penuh wibawa.
''Tutup mulutmu!" bentak Braja Denta keras. Tarikan wajahnya menyiratkan kebencian yang sangat. Kalau saja Raja Sihir Berhati Hitam ada di depannya, mungkin sudah diterjangnya. "Aku bukan orang semacam itu! Aku bukan orang cengeng! Aku hanya menyesali, mengapa begitu mudah tertipu oleh manusia terkutuk sepertimu!"
"Kuperingatkan sekali lagi, Denta. Jangan coba-coba memakiku! Apa kau tidak ingat dengan janji yang telah kita sepakati?!"
"Tidak ada perjanjian di antara kita! Aku tidak sudi membantumu melaksanakan niat busuk itu! Ayahku tidak akan tenang di alam baka bila tahu aku bekerjasama denganmu!" semakin meninggi kata-kata yang dikeluarkan Braja Denta.
"Jadi..., maksudmu perjanjian di antara kita batal? Boleh! Kalau itu yang kau inginkan, aku setuju. Asal kau tahu saja, Denta. Batalnya perjanjian itu justru menguntungkan diriku. Aku jadi tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi keinginanmu!" beritahu Raja Sihir Berhati Hitam.
''Tidak apa! Dengan begitu, aku pun jadi dapat menggagalkan maksud busukmu!" tegas Braja Denta mantap.
"Ha ha ha...! Kau keliru, Denta! Meskipun perjanjian kita telah kau batalkan, bukan berarti aku tidak bisa melaksanakan keinginanku sebab aku sudah mempunyai tempat! Dengan demikian, kesaktian yang kumiliki dapat kupergunakan kembali. Ha ha ha...! Kau keliru, Denta!"
"Kuakui kau telah berhasil masuk ke dalam ragaku. Tapi rohku masih ada. Aku masih hidup. Aku bukan benda mati! Tak akan kubiarkan kau mempergunakan ragaku seenakmu!" tegas dan mantap ucapan Braja Denta.
"Ha ha ha...! Lagi-lagi kau keliru, Denta. Kuakui saat ini rohmu yang berkuasa atas ragamu. Tapi itu tidak akan bertahan lama. Kalau aku mau, dengan mudah telah kuambil alih kekuasaan ragamu sejak pertama kali masuk! Tapi itu tidak kulakukan! Kau tahu apa sebabnya?"
Raja Sihir Berhati Hitam menghentikan ucapannya, seperti hendak memberikan kesempatan pada Braja Denta untuk memikirkan jawabannya. Tapi ketika sampai beberapa saat tidak ada tanggapan dari pemuda berpakaian coklat itu, Raja Sihir Berhati Hitam menjawabnya sendiri.
"Karena meskipun aku dikenal sebagai tokoh sesat, pantang bagiku untuk mengingkari janji yang telah kubuat! Maka kubiarkan rohmu yang memegang peranan atas ragamu. Tapi sekarang lain masalahnya. Kau telah memutuskan perjanjian. Jadi jangan salahkan bila kekuasaan atas ragamu kuambil alih!"
"Tidak akan kubiarkan kau melakukan itu, Manusia Iblis!" tandas Braja Denta tegas.
"Ha ha ha...! Percuma, Denta. Apa yang bisa kau lakukan!? Kalau aku mau, sekarang juga kekuasaan atas ragamu kuambil alih. Tapi aku tidak ingin melakukannya sekarang. Anggaplah itu sebagai tanda terima kasihku. Maka pergunakanlah waktumu sebaik-baiknya, Denta. Aku bersedia menjawab semua pertanyaan yang kau ajukan. Utarakanlah. Sebanyak-banyaknya pun tidak apa," ujar Raja Sihir Berhati Hitam penuh perasaan gembira.
Braja Denta menggertakkan gigi. Memang tidak ada yang dapat dilakukannya sekarang. Kalau menuruti perasaan, ingin diterjangnya Raja Sihir Berhati Hitam. Tapi bagimana bisa? Tempat tokoh sesat itu berada dalam tubuhnya!
Akhirnya Braja Denta memutuskan untuk menenangkan hati. Dan mengatur pernapasan berulang-ulang. Usahanya ternyata tidak sia-sia. Sedikit demi sedikit amarahnya berhasil diredakan.
Lalu, Braja Denta memutuskan untuk menerima tawaran Raja Sihir Berhati Hitam. Setidak-tidaknya dia jadi tahu, mengapa Raja Sihir Berhati Hitam yang menurut Kidang Loka telah mati, ternyata masih mampu hidup lagi. Meskipun dengan menggunakan raga orang lain.
"Kuberi kesempatan sekali lagi padamu, Denta. Barangkali ada hal-hal yang mengganjal hatimu. Katakanlah. Atau... kau telah mengerti semuanya?!"
Raja Sihir Berhati Hitam mengajukan tawarannya kembali setelah menunggu beberapa saat tidak ada tanggapan dari Braja Denta. Memang meskipun rohnya berada di dalam raga Braja Denta. Tapi apa yang dipikirkan dan terpendam di hati pemuda berpakaian coklat itu tidak diketahuinya. Sebab walaupun berada dalam satu raga, pikiran mereka tidak bersatu.
Ini sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Walaupun sebenarnya, Raja Sihir Berhati Hitam ingin dapat mengetahui semua yang terbentuk di hati dan pikiran Braja Denta. Tapi itulah kehebatan Raja Sihir Berhati Hitam! Dia tidak mau mengingkari perjanjian yang telah dibuat.
"Memang banyak hal yang tidak kumengerti," ucap Braja Denta pelan.
"Kalau begitu, utarakanlah. Aku akan menjawab dengan sejujurnya," janji Raja Sihir Berhati Hitam.
Braja Denta menarik napas dan menghembuskannya, seakan-akan tengah membuang beban berat yang mengganjal dadanya.
"Guruku bercerita kalau dia bersama dua orang kawannya telah berhasil menewaskanmu. Tapi mengapa kau dapat hidup kembali, meskipun dengan menggunakan raga orang lain? Padahal sepanjang yang kutahu, orang yang telah mati tidak akan dapat hidup kembali," ujar Braja Denta datar.
"Ha ha ha...! Itulah kehebatanku, Denta. Umumnya orang yang telah tewas tidak akan bisa hidup kembali, meskipun menggunakan raga orang lain. Tapi aku adalah Raja Sihir Berhati Hitam! Sebagaimana seorang raja sihir, tentu aku banyak memiliki ilmu-ilmu gaib yang menurut pendapat orang mustahil untuk dilakukan."
Sampai di sini Raja Sihir Berhati Hitam menghentikan penjelasannya. Itu disengajanya agar Braja Denta bisa mengerti. Sebab hal yang akan diuraikannya tidak mudah untuk dicerna akal sehat.
"Ilmu-ilmu gaib itu sebagian besar kudapatkan dengan cara tidak wajar. Tak jarang aku menggunakan korban persembahan berupa manusia. Sebagai imbalannya, aku mendapat ilmu-ilmu aneh yang tidak masuk akal. Satu di antara ilmu yang kudapatkan adalah keampuhan ucapanku. Semua ucapanku, apalagi yang berupa sumpah, akan dapat terwujud! Entah bagaimana caranya, dan kapan terjadinya."
Sejenak Raja Sihir Berhati Hitam menghentikan ucapannya. "Ilmu itulah yang kupergunakan saat aku menjelang ajal karena keroyokan gurumu, ayahmu, dan Dewa Tangan Sakti. Di saat sekarat itu kuucapkan sumpahku."
"Apa yang kau katakan saat itu, Raja Sihir?" tanya Braja Denta tak sabar lagi memendam rasa ingin tahunya.
Raja Sihir Berhati Hitam tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dia tercenung sejenak seperti tengah mengingat ucapan yang dulu dikeluarkannya. "Begini, Denta. Kuakui kali ini aku kalah. Tapi, suatu saat aku akan bangkit dan menebus kekalahanku. Aku akan menitis pada salah seorang keturunan kalian yang bertindak murtad!"
Suasana langsung hening ketika Raja Sihir Berhati Hitam menyelesaikan ucapannya. Braja Denta termenung. Tarikan wajah dan sorot mata pemuda berpakaian coklat itu menyiratkan penyesalan yang sangat. Dalam hati disayangkannya kecerobohan Kidang Loka. Kalau saja kakek berpakaian putih itu memberitahu mengenai sumpah Raja Sihir Berhati Hitam, mungkin semua peristiwa ini tidak akan terjadi. Tapi nasi telah menjadi bubur! Tidak akan mungkin bisa diubah lagi!
"Karena sumpahku itu, rohku melayang-layang ke sana kemari. Puluhan tahun aku harus menahan diri. Selama itu kuikuti kehidupanmu, Kidang Loka, dan Salya. Sungguh tidak kusangka kalau akhirnya jalan terbuka bagiku. Tak lama lagi dendam puluhan tahun akan kutuntaskan! Ha ha ha...!"
Raja Sihir Berhati Hitam menutup ucapannya dengan tawa panjang. Sebuah tawa kemenangan.
"Bagaimana, Denta?! Apakah masih ada pertanyaan lainnya? Kalau ada, keluarkan saja. Biar semua yang mengganjal di benak dan dadamu dapat tuntas saat ini. Kalau tidak... sudah saatnya bagiku untuk mengambil alih kekuasaan atas ragamu...!"
"Tidak! Tak akan kubiarkan kau melakukannya!" jerit Braja Denta kalap. Dalam cekaman perasaan takut dan cemas yang menggelegak, Braja Denta melesat pergi. Seluruh ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan untuk secepatnya meninggalkan tempat itu.
Padahal, saat itu di dalam diri Braja Denta tengah bergolak suatu kekuatan hebat Braja Denta tidak dapat mengatur keseimbangan lesatannya. Baru sekali melesat dia hampir terjatuh. Tapi pemuda berpakaian coklat itu tidak peduli. Kakinya tetap diayunkan. Yang ada di benaknya hanya satu, berlari-lari sejauh-jauhnya dari tempat itu!
Tapi baru beberapa lesatan, Braja Denta memutuskan untuk menghentikan larinya. Setelah beberapa kali dia hampir menabrak pohon karena tidak mampu mengatur kecepatannya. Pemuda berpakaian coklat itu membanting tubuhnya, dan bergulingan di tanah untuk mematahkan sisa lesatannya.
"Hup!"
"Ha ha ha...!" Suara tawa keras yang menggema terdengar ketika Braja Denta bangkit dari bergulingnya. Suara tawa itu seperti memenuhi isi kepalanya, sehingga kedua telinganya tidak dapat mendengar suara-suara lain. Yang terdengar hanya suara tawa itu. Tawa Raja Sihir Berhati Hitam.
Menghadapi kenyataan ini, Braja Denta semakin kalap. Kedua tangannya dikepalkan. Dan semua kekuatannya dikumpulkan. Lalu dia berteriak sekuat-kuatnya! Itu dilakukan Braja Denta untuk menghalau suara tawa yang memenuhi kepalanya.
Sebenarnya, keras bukan main teriakan yang dikeluarkan Braja Denta. Bahkan menggelegar seperti halilintar menyambar. Tapi aneh, Braja Denta tidak mendengarnya. Yang terdengar tetap tawa keras Raja Sihir Berhati Hitam! Hingga Braja Denta bertambah kalap. Sambil mengeluarkan teriakan sekeras-kerasnya, tangannya didekapkan ke telinga. Pemuda itu berusaha membendung pengaruh tawa Raja Sihir Berhati Hitam.
Sayang sekali usaha Braja Denta sia-sia. Bahkan suara tawa itu terdengar semakin keras! Dengan diliputi rasa panik yang menggelegak, Braja Denta mengamuk!
"Mampus kau, Manusia Siluman! Hih!" Braja Denta menghentakkan kedua tangannya ke sana kemari. Tidak hanya tangan. Juga kedua kakinya. Pemuda itu terus bergerak seperti orang sedang bertarung.
Hebat bukan main amukan Braja Denta. Bunyi menderu, mengaung dan mencicit mengiringi setiap gerakannya. Tanah terbongkar di sana-sini. Kalau saja saat itu siang hari, mungkin debu tebal akan mengepul tinggi ke udara. Untung saja Braja Denta mengamuk di sebuah tanah lapang berumput yang cukup luas. Sehingga tidak terjadi hal-hal yang membahayakan. Sebab Braja Denta tidak mempedulikan keadaan sekitarnya.
Yang ada di benak Braja Denta hanya satu, menghilangkan suara tawa yang memenuhi kepalanya. Dan ternyata setelah mengamuk sejadi-jadinya, pengaruh suara tawa itu agak berkurang. Kenyataan ini membuat semangat Braja Denta bangkit. Hingga amukannya semakin diperhebat Braja Denta mengeluarkan seluruh ilmunya. Dari ilmu-ilmu dasar, sampai ilmu andalan. Dan kini pemuda berpakaian coklat itu tengah menggunakan ilmu andalannya, jurus 'Kalajengking'!
Braja Denta menyusun kedua tangannya membentuk cakar aneh. Dengan kedudukan jari-jari seperti itu, dia mengamuk. Bunyi cicitan senantiasa terdengar setiap kali tangannya bergerak. Jurus 'Kalajengking' ternyata memang sebuah jurus yang dahsyat. Tidak hanya kedua tangan itu saja yang berbahaya. Kedua kakinya pun bisa mencuat melakukan serangan yang tidak terduga.
Tapi baru beberapa jurus Braja Denta memainkan jurus 'Kalajengking', mendadak terjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan. Di saat pemuda berpakaian coklat itu tengah mengayunkan tangan untuk melancarkan sebuah serangan ke arah pelipis kiri, ayunan tangan itu terhenti di udara. Seperti tertahan suatu kekuatan yang tidak nampak.
Braja Denta terkejut bukan main melihat kenyataan ini. Sebuah kekuatan aneh memaksa tangannya bergerak ke arah lain. Demikian kuat, sehingga Braja Denta yang memaksakan diri untuk meneruskan penggunaan jurus 'Kalajengking' terpaksa mengerahkan seluruh tenaganya.
Suara ah-ah-uh-uh keluar dari mulutnya, ketika Braja Denta berusaha meneruskan jurus 'Kalajengking'nya. Tapi betapa pun telah diusahakan, hasilnya tetap sama. Bahkan perlahan-lahan tangan itu bergerak ke arah yang berlawanan.
Ke kanan! Dan terus terbawa ke sana. Meskipun demikian, Braja Denta tidak putus asa. Sisa-sisa tenaganya terus dikerahkan untuk mengarahkan tangannya pada tujuan semula. Tapi tetap saja sia-sia! Tangan itu terus terbawa ke kanan. Akhirnya, Braja Denta tidak sanggup lagi bertahan. Pemuda itu pasrah. Dibiarkan saja tangannya dibawa oleh kekuatan tak nampak itu.
Kepasrahan Braja Denta berakibat fatal! Kekuatan yang menarik tangannya ternyata demikian dahsyat! Begitu tidak ada perlawanan, tangan Braja Denta terbawa tarikan itu. Karena arahnya terus ke kanan, tubuh Braja Denta pun berputar. Bahkan demikian cepat!
Kini tubuh Braja Denta berputar seperti gasing. Cukup lama juga, sebelum akhirnya berhenti secara mendadak. Dan seiring dengan terhentinya putaran itu, Braja Denta memasang kuda-kuda sejajar. Kedua kakinya agak dibungkukkan, sedangkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka lurus dijulurkan di depan dada. Mendadak....
"Ha ha ha...!"
Braja Denta tertawa bergelak. Keras, berat, dan bergaung, seperti tawa hantu kuburan. Jelas tawa itu bukan milik Braja Denta. Ini terbukti beberapa saat kemudian.
"Kidang Loka! Tunggulah...! Sebentar lagi dendam kesumat puluhan tahun lalu akan kutuntaskan! Tidak hanya kau yang akan kubunuh! Tapi juga semua orang yang mempunyai hubungan denganmu! Baru setelah itu, dunia persilatan akan kukuasai. Ha ha ha...!"
Roh Braja Denta sudah tidak mempunyai kekuasaan lagi atas raganya. Sekarang yang berkuasa di sana roh Raja Sihir Berhati Hitam! Tokoh sesat yang mahir berbagai ilmu gaib itu telah membuktikan kebenaran sesumbarnya, bahwa tidak sulit baginya untuk menguasai raga Braja Denta!
Braja Denta, yang telah ditunggangi Raja Sihir Berhati Hitam, terus tertawa-tawa. Terlihat jelas kalau dia sedang gembira. Tawanya baru berhenti ketika langit di ufuk timur memancarkan bias kemerahan. Pertanda tak lama lagi sang Surya akan muncul! Pagi akan datang menggantikan malam. Saat itulah, Braja Denta melesat meninggalkan tempat itu.
* * *
ENAM
"Hiya! Hiyaaa...!"
Ctarrr!
Bunyi lecutan cambuk, bentakan-bentakan keras penunggang kuda dan derap langkah binatang itu membelah suasana pagi. Saat itu cuaca sangat cerah. Sang Surya yang belum lama menampakkan diri, memancarkan sinarnya yang lembut ke bumi. Angin berhembus pelan. Lembut membelai kulit.
Tapi suasana seperti itu tidak menarik perhatian penunggang kuda. Dia seorang pemuda berpakaian kuning. Berwajah tampan dan gagah. Tapi saat itu teriihat kusut dan penuh debu. Agaknya, pemuda berpakaian kuning itu telah menempuh perjalanan jauh dan melelahkan.
Ctarrr!
Pemuda berpakaian kuning kembali melecutkan cambuknya ke bagian belakang kuda. Rupanya, pemuda itu menginginkan binatang tunggangannya berlari lebih cepat. Padahal kuda berwarna coklat mulus itu telah berlari sangat cepat. Bahkan seperti tidak menginjak tanah. Debu yang mengepul tinggi ke udara menjadi tanda betapa cepat binatang itu berlari.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan bentakan-bentakan, entah untuk yang keberapa kali, pemuda berpakaian kuning melecutkan cambuknya kembali. Pandangannya di arahkan ke depan.
Tiba-tiba sepasang mata pemuda itu membelalak lebar. Sekitar lima belas tombak di depannya tampak berdiri sesosok tubuh. Melihat letak berdirinya yang berada tepat di tengah jalan, pemuda berpakaian kuning itu dapat menduga sosok itu sengaja menghadang perjalanannya.
Menyadari hal ini, pemuda itu memperlambat laju kudanya. Sementara pandangannya tetap di arahkan pada sosok yang menghadang jalannya. Ingin diketahuinya, siapa sosok yang begitu usil itu! Semakin lama jarak antara mereka semakin dekat. Hingga ciri-ciri sosok itu semakin jelas terlihat.
"Ahhh...!" Jeritan kaget keluar dari mulut pemuda berpakaian kuning ketika melihat jelas sosok yang menghadang perjalanannya. Sosok itu ternyata seorang pemuda berusia dua puluh tahun dan berpakaian coklat. Dari sikapnya dapat diketahui kalau pemuda berpakaian kuning itu mengenal penghadangnya. Terbukti beberapa saat kemudian.
"Kakang Braja Denta! Mengapa berada di sini, Kang?! Guru amat mencemaskan keadaanmu," ujar pemuda berpakaian kuning itu pelan. Sambil berkata demikian, pemuda berpakaian kuning melompat turun dari punggung kuda. Kemudian, dituntunnya binatang itu menghampiri sosok itu yang ternyata Braja Denta.
"Hm...!" Tanggapan yang diberikan pemuda berpakaian coklat hanya dengusan. Hingga pemuda berpakaian kuning terkejut. Itu terlihat jelas pada riak di wajahnya. Tapi cepat-cepat ditutupinya dengan senyuman lebar. Sedangkan kakinya terus diayunkan mendekati Braja Denta.
''Tidak usah berpura-pura ramah, Salya!" sentak Braja Denta kasar. "Kehadiranku di sini bukan untuk beramah-tamah denganmu. Tapi untuk menuntaskan masalah kita!"
Seketika itu pula, pemuda berpakaian kuning yang tidak lain Salya, menghentikan langkah. Pemuda itu segera menyadari akan terjadinya peristiwa yang tidak diharapkan. Maka dia bersikap waspada. Kini dirinya berdiri di hadapan Braja Denta dalam jarak tiga tombak!
"Apa maksudmu, Kang? Aku tidak mengerti?" tanya Salya berpura-pura tidak tahu. Pemuda berpakaian kuning itu sengaja mengajukan pertanyaan seperti itu untuk memastikan kebenaran dugaannya. Dia menduga, Braja Denta sengaja mencegatnya untuk mencari keributan.
"Tidak usah berpura-pura, Salya!" sergah Braja Denta. "Kau dan guru telah bersekongkol mengucilkan aku. Guru menganak emaskan dirimu, sedangkan aku dianak tirikan! Kau diberikan Golok Api dan Wardani! Tapi aku?! Sekarang aku akan menuntut hak-hakku! Berikan Golok Api padaku, Salya! Atau... aku akan mengambilnya secara paksa!"
Sekarang Salya yakin kalau keributan antara dia dan kakak seperguruannya tidak bisa dielakkan lagi. Maka tali kekang kudanya dilepaskan.
"Pergilah, Kilat! Cari makanan!" perintah Salya pada binatang tunggangannya.
Seperti mengerti perintah majikannya, kuda coklat itu berlari mencongklang meninggalkan tuannya. Binatang itu menuju hamparan rumput hijau yang terletak di kanan kiri jalan.
Braja Denta menatap kuda coklat itu sesaat. Mulutnya menyunggingkan senyum keji. "Seekor kuda yang baik, hehhh...?! Sayang sekali dia harus mati...!" datar ucapan Braja Denta.
Hati Salya langsung tercekat. Dia merasakan ada ancaman atas diri kudanya dalam ucapan kakak seperguruannya. "Apa... apa maksudmu, Kang...?" tanya Salya.
"Sederhana saja," jawab Braja Denta tenang. "Aku ingin membunuh kuda itu."
"Apa?!" sentak Salya kaget. "Kau gila, Kang! Jangan harap aku akan membiarkanmu melakukan tindakan keji itu!"
"Ha ha ha...!" Tanggapan atas pernyataan Salya adalah tawa gelak Braja Denta. Tawa itu terdengar menyeramkan karena nadanya yang aneh, keras, berat, tapi bergaung. Bahkan tanpa sadar bulu kuduk Salya merinding.
"Kau ingin mencegahnya, Salya?! Ha ha ha...! Cobalah kalau kau mampu...!" Setelah berkata demikian, Braja Denta mengeluarkan siulan. Nadanya terdengar aneh.
Tindakan Braja Denta membuat Salya heran. Apa yang hendak dilakukan Braja Denta? Tanya pemuda berpakaian kuning itu dalam hati. Ternyata Salya tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui maksud siulan Braja Denta. Karena sesaat kemudian, terdengar ringkikan kudanya. Ringkik ketakutan dan kegelisahan.
Salya tampak keheranan. Apa yang terjadi dengan binatang tunggangannya sehingga gelisah begitu? Dengan agak terburu-buru, tanpa melepaskan perhatiannya pada Braja Denta karena takut dibokong, Salya memandang sekilas ke arah kudanya berlari.
Salya langsung terkejut! Binatang tunggangannya tampak sangat ketakutan! Kudanya itu berlari cepat meninggalkan tempat itu sambil mengeluarkan ringkikan nyaring.
"Kilat...! Kembali...!" seru Salya keras.
Tapi kuda coklat itu tidak mempedulikan panggilannya. Binatang itu terus berlari. Hingga Salya bingung bercampur heran. Sebab, sebelumnya tidak pernah sekali pun kuda itu membangkang perintahnya. Tapi sebelum Salya berbuat sesuatu, terdengar bunyi mendesis. Tidak hanya satu. Tapi banyak. Dan diiringi dengan tersibaknya rerumputan di sekitar tempat itu.
"Aaakh...!" Tanpa sadar Salya mengeluarkan jeritan kaget. Karena pemandangan mengerikan yang tampak di hadapannya. Ratusan, bahkan mungkin ribuan ular dari berbagai jenis dan ukuran merayap cepat mengejar kudanya!
Untuk sesaat Salya melupakan kehadiran Braja Denta. Pemandangannya terpaku pada ribuan ekor ular itu. Berbagai pertanyaan bergayut di benaknya. Mengapa ular-ular itu datang berbondong-bondong? Mengapa mereka seperti mencecar kudanya?
"Kuda bagus itu tidak akan selamat." Ucapan Braja Denta membuat Salya sadar dari ketertegunannya. Segera perhatiannya dialihkan pada Braja Denta. Pemuda berpakaian coklat itu balas menatapnya. "Kuda itu akan mati dengan seluruh daging di tubuhnya lenyap. Ular-ular itu akan berpesta pora," terdengar sangat yakin ketika Braja Denta mengemukakan pernyataannya.
Salya tersenyum untuk menutupi perasaan cemasnya akan keselamatan kudanya. "Kau keliru, Kang. Kuda itu bukan binatang sembarangan. Di samping cerdik, larinya pun cepat. Dengan mudah dia akan meninggalkan ular-ular yang memburunya."
"Jangan terlalu yakin, Salya," bantah Braja Denta. "Apa kau tidak melihat hamparan rumput itu? Tempat berakhirnya padang rumput ini tak kurang dua ratus tombak dari sini. Sebelum kudamu yang cerdik itu tiba, ular-ular itu telah berada di sana. Apakah kau masih berkeyakinan kuda itu akan lolos dari maut?!"
Ada nada ejekan dalam ucapan Braja Denta. Apalagi saat pernyataan itu ditutup dengan gelak tawanya yang aneh.
Tapi Salya tidak sempat memperhatikan semua itu. Pandangannya telah dialihkan pada tempat hamparan rumput itu berakhir. Seketika itu pula hatinya tercekat. Kudanya baru mencapai setengah perjalanan. Padahal Salya berani bertaruh kalau saat itu di ujung sana telah berkumpul ratusan bahkan mungkin ribuan ekor ular. Binatang melata itu telah siap menjarah tubuh kudanya.
"Kilat...!" teriak Salya bingung. Pemuda berpakaian kuning itu menyadari kalau nyawa kudanya tidak akan tertolong lagi. Jalan keluar bagi binatang itu sudah tidak ada lagi. Di ujung ular-ular lain menunggu, sedangkan di belakangnya mengejar. Kuda coklat itu telah terkepung.
Salya tahu keberadaan ular-ular itu bukan terjadi secara kebetulan. Ada sebuah kekuatan aneh yang memaksa ular-ular itu berkumpul di situ dan mengejar Kilat. Tanpa perlu berpikir lama, pemuda itu tahu siapa yang telah mengumpulkan binatang melata itu. Siapa lagi kalau bukan Braja Denta? Siulan itulah yang telah mendatangkan ular-ular!
Sadar akan bahaya maut yang tengah mengancam kudanya, Salya memutuskan untuk memberikan pertolongan. Meskipun rasanya sulit untuk dilakukan, tapi setidak-tidaknya tidak ada penyesalan di hatinya bila telah diusahakan untuk memberikan pertolongan. Setelah mengambil keputusan demikian, Salya bergegas membalikkan tubuh dan melesat menuju arah yang ditempuh kudanya. Tapi....
"Mau ke mana, Salya?!" Seiring dengan keluarnya pertanyaan bernada bentakan itu, sesosok bayangan coklat berkelebat melewati kepala Salya. Dan....
Jliggg!
Ringan laksana sehelai daun kering Braja Denta mendaratkan kedua kakinya di depan Salya. Jarak antara mereka terpisah sekitar dua tombak.
Salya tampak tersentak kaget. Dirinya telah mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya, tapi mengapa dengan demikian mudah Braja Denta berhasil mencegatnya? Padahal Salya yakin Braja Denta tidak mungkin dapat melakukan tindakan seperti itu!
Mungkinkah hanya dengan lenyap beberapa hari kepandaian Braja Denta dalam ilmu meringankan tubuh bisa meningkat sepesat itu? Rasanya mustahil! Salya lebih condong pada dugaan kalau tadi dia bergerak kurang cepat!
Perasaan cemas akan keselamatan Kilat membuat Salya tidak dapat berpikir jernih. Tadi dia telah menduga ular-ular itu datang karena siulan Braja Denta. Mengapa itu tidak menjadi pertanyaan baginya? Karena bukankah Kidang Loka tidak pernah mengajarkan ilmu seperti itu?
"Kumohon kau bersedia menyingkir dari situ, Kang?" pinta Salya.
"Dan membiarkan kau membantai ular-ular itu, Salya?" ejek Braja Denta sinis. "Jangan harap!"
"Kakang...!" Salya masih berusaha memohon kesediaan kakak seperguruannya.
"Tutup mulutmu, Salya! Biarkan binatang-binatang itu dengan urusannya. Kita pun mempunyai urusan sendiri!" potong Braja Denta keras.
"Kalau begitu, terpaksa aku akan menolongnya setelah mengurusmu lebih dulu!" terdengar penuh kegeraman ucapan Salya.
"Itu lebih baik!" sahut Braja Denta gembira. Karena memang itu yang ditunggu-tunggunya.
Wuttt!
Salya mengawali jurus 'Kalajengking'nya dengan sebuah sampokan ke arah pelipis!
"Hmh...!" dengus Braja Denta perlahan. Pemuda itu tetap berdiri di tempatnya. Namun, begitu serangan menyambar dekat, tangan kirinya segera digerakkan untuk memapak. Hingga....
Takkk!
Dan pemuda berpakaian coklat itu segera menghentikan ucapannya. Saat itu, Salya telah melancarkan serangan ke arahnya. Tak tanggung-tanggung lagi, pemuda berpakaian kuning itu menggunakan jurus 'Kalajengking'nya! Salya mempunyai alasan kuat untuk langsung menggunakan ilmu andalan itu. Diketahuinya kalau Braja Denta memiliki tingkat kepandaian tinggi, yang hanya berselisih sedikit dengannya. Bertindak setengah-setengah hanya akan membuang tenaga dan waktu dengan sia-sia.
Wuttt!
Deru angin keras terdengar ketika serangan Salya meluncur. Pemuda berpakaian kuning itu mengawalinya dengan sebuah sampokan tangan kanan ke arah pelipis!
"Hmh...!" Braja Denta mendengus melihat serangan itu. Sikapnya tampak tenang. Pemuda itu tetap berdiri di tempatnya. Tak ada tanda-tanda dia akan menangkis atau mengelakkan serangan itu.
Baru ketika serangan itu menyambar dekat, tangan kirinya digerakkan memapaki datangnya serangan. Dan itu dilakukannya sambil lalu! Sikapnya menunjukkan kalau serangan Salya bukan hal yang patut dihadapi sungguh-sungguh.
Meskipun heran, Salya tak mempedulikannya. Saat itu yang ada di benaknya hanya satu, merobohkan Braja Denta secepatnya agar bisa menolong Kilat. Hingga....
Takkk!
"Akh...!" Jeritan kesakitan terdengar ketika tangannya berbenturan dengan tangan Braja Denta. Rasa sakit dan ngilu mendera bagian yang beradu! Tidak hanya itu. Tubuh pemuda berpakaian kuning itu terhuyung ke belakang.
Itu cukup untuk membuat Salya kaget. Benarkah tenaga Braja Denta demikian kuat sehingga mampu membuatnya terhuyung-huyung? Bukankah selama ini tenaganya yang lebih kuat? Adakah sebuah kesalahan di sini? Pertanyaan-pertanyaan itu menggayuti benak Salya.
Dan belum lagi kekagetan hatinya lenyap, dengan kecepatan yang menakjubkan tangan kiri Braja Denta yang tadi memapaki tangannya telah meluncur cepat. Dan....
Tappp!
Tahu-tahu pergelangan tangan kanan Salya berhasil dicekal! Hingga pemuda berpakaian kuning itu menjadi gugup. Segera Salya berusaha membebaskan dengan cara menariknya. Tapi usaha itu hanya mudah direncanakan dan dipikirkan, daripada dilaksanakan. Betapapun ia telah berusaha sekuat tenaga menariknya, tetap saja tidak bergeming.
"Keluarkan semua tenagamu, Salya," ujar Braja Denta dengan senyum mengejek.
Untuk kesekian kalinya Salya harus menerima kenyataan yang mengejutkan. Kini disadarinya Braja Denta telah berubah. Braja Denta kini memiliki kepandaian yang amat tinggi! Terbukti dia tak berhasil melepaskan tangannya dari Braja Denta!
"Ha ha ha...!"
Berbeda dengan Salya yang mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh dari mulutnya, Braja Denta tertawa-tawa. Padahal bagi Salya, jangankan untuk tertawa, mengeluarkan ucapan pun sulit! Dari sini saja bisa diketahui kalau tenaga dalam Braja Denta berada jauh di atas Salya.
"Sekarang giliranku, Salya!" Setelah berkata begitu, Braja Denta meremas tangan Salya.
"Akh!" Salya melolong kesakitan seiring dengan terdengarnya bunyi berkerotokan tulang-tulang hancur berpatahan. Dan sebelum Salya sempat berbuat sesuatu, mendadak Braja Denta menarik tangannya. Sehingga tubuh pemuda berpakaian kuning itu tertarik ke depan. Sambungan tulang bahunya terlepas karena kerasnya sentakan itu. Tindakan Braja Denta tidak hanya sampai di situ. Tangannya bergerak mengibas.
"Aaa...!" Salya menjerit ngeri ketika tubuhnya melayang deras ke belakang. Meskipun demikian, dia masih mampu menunjukkan kalau dirinya bukan orang yang mudah dipecundangi. Dengan satu gerakan manis, pemuda itu berhasil mematahkan daya dorong tubuhnya, dan mendarat di tanah dengan kedua kaki lebih dulu.
Memang tidak begitu mantap, karena dia sempat terhuyung-huyung. Namun begitu telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Salya langsung mencabut senjatanya yang terselip di pinggang, Golok Api!
Srattt! Secercah sinar kemerahan mencuat ketika golok pusaka itu keluar dari sarungnya.
"Golok Api," desis Braja Denta dengan perasaan tertarik. Dengan penuh minat pemuda berpakaian coklat itu menatap golok yang berada di tangan Salya. Tampak tersirat kekaguman yang mendalam pada sorot mata Braja Denta. Itu memang wajar. Sebab Golok Api memang patut untuk dikagumi. Ada perbawa mengerikan yang memancar dari badan golok merah membara seperti besi dibakar itu!
Salya tidak mempedulikan sikap Braja Denta. Semua perhatiannya dipusatkan pada golok yang tergenggam di tangan kirinya. Sebab jari-jari tangan kanannya telah hancur?
Wuk wuk wuk!
Brrrlll...! Api menyembur ketika Salya memutar golok itu. Memang hanya kecil, tapi cukup untuk mengundang decak kagum Braja Denta.
"Salya...! Mengapa kau memegang ular?!" ucap Braja Denta dengan suara bergetar penuh kekuatan gaib. "Apa kau tidak takut dipatuk?!"
TUJUH
Salya merasa heran mendengar ucapan Braja Denta. Tapi anehnya ada suatu kekuatan yang memaksanya untuk melihat golok yang tergenggam di tangannya.
"Ah...!" Salya berseru kaget melihat yang tergenggam di tangannya, seekor ular kobra! Yang lebih mengerikan, ular itu telah siap mematuknya. Melihat ada bahaya maut tengah mengancam dirinya, tanpa pikir panjang Salya melemparkan ular itu!
Keanehan kembali terjadi. Begitu ular kobra itu jatuh di tanah, tiba-tiba berubah menjadi Golok Api! Salya pun sadar kalau dirinya telah ditipu. Braja Denta pasti telah menggunakan ilmu sihir untuk membuatnya melepaskan Golok Api! Tapi dari mana Braja Denta mempelajari ilmu sihir itu? Salya tidak habis mengerti.
Seiring dengan timbulnya kesadaran itu, cepat Salya melesat ke tempat Golok Apinya tergolek. Pemuda berpakaian kuning itu bermaksud mengambil kembali senjatanya. Tapi Braja Denta tidak membiarkan hal itu terjadi. Pemuda itu melesat menuju tempat Golok Api berada.
Kreppp! Tappp!
Bertepatan dengan tergenggamnya gagang Golok Api itu oleh Salya, kaki Braja Denta menginjak gagangnya. Padahal letak golok itu lebih dekat dengan Salya. Dan lagi pemuda berpakaian kuning itu lebih dulu bergerak. Tapi Braja Denta mampu menggagalkan tindakan Salya.
Tentu saja kenyataan itu membuat Salya terkesiap. Tidak mungkin lagi baginya mendapatkan Golok Api. Apalagi saat itu kedudukannya sangat tidak menguntungkan. Dia berada dalam sikap merangkak. Sedangkan Braja Denta berdiri tegak. Kedudukannya membuat lawan mudah menjatuhkan serangan maut.
Menyadari akan kedudukannya yang berbahaya, Salya tidak ragu-ragu lagi melepaskan senjata pusaka. Buru-buru cekalannya dilepaskan. Lalu, tubuhnya dilempar ke belakang. Dan pada saat yang bersamaan Braja Denta mengirimkan tendangan ke arah kepala dengan kaki kirinya.
Wuttt!
Bukkk!
"Hukh!" Keuntungan masih berpihak pada Salya. Berkat tindakan cepatnya, tendangan Braja Denta tidak mendarat di sasaran. Tapi mengenai dada kanan sebelah atas. Cukup keras! Hingga Salya mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Dan tubuhnya melayang jauh ke belakang seperti layang-layang putus.
Saat itulah Braja Denta yang bermaksud melenyapkan Salya, melompat menyusul. Kedua tangannya dengan jari-jari tangan terbuka dihentakkan ke depan. Sudah dapat dipastikan nyawa Salya akan melayang ke alam baka. Sebab pemuda berpakaian kuning itu sudah tidak berdaya. Dia tidak mampu berbuat sesuatu.
Tapi rupanya Tuhan masih belum mau mencabut nyawa Salya. Di saat yang amat gawat itu melesat dua sosok bayangan. Putih dan ungu. Sosok bayangan putih menangkap tubuh Salya. Sedangkan sosok bayangan ungu memapaki hentakan kedua tangan Braja Denta dengan cara yang sama!
Blarrr!
Benturan keras yang menggetarkan sekitar tempat itu terdengar ketika dua pasang tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan. Sesaat kemudian, tubuh Braja Denta dan sosok bayangan ungu terjengkang ke belakang. Tapi dengan gerakan manis yang indah dilihat, Braja Denta dan sosok bayangan itu berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah dengan mantap. Kemudian saling pandang dengan sorot mata penuh selidik.
"Ah...!" Hampir bersamaan jeritan kaget keluar dari mulut Braja Denta dan sosok bayangan ungu. Bahkan sosok bayangan putih pun mengeluarkan jeritan kaget pula, meskipun agak terlambat.
Ternyata mereka bertiga sudah pernah bertemu sebelumnya. Di depan tanah pemakaman di pinggir Desa Alas Ngampar. Sekarang dapat diketahui siapa sosok bayangan putih dan ungu itu. Ya! Dewa Arak dan Melati!
"Siapa kau? Mengapa mencampuri urusanku?" tanya Braja Denta tidak senang.
"Aku Arya. Aku tidak bermaksud ikut campur dalam urusan ini. Hanya aku tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan berlangsung di depan mataku!" jawab Dewa Arak mantap.
"Sombong! Rupanya kau sudah ingin mampus, hehhh...?! Hih...!"
Usai berkata demikian, Braja Denta langsung menerjang! Pemuda berpakaian coklat itu membuka serangannya dengan sebuah tendangan terbang ke arah dada Arya.
Wuttt!
Dewa Arak tidak berani bertindak sembrono. Disadarinya betapa berbahaya serangan semacam ini. Dia tahu kalau ditangkisnya akan menimbulkan banyak kerugian. Tenaga yang terkandung dalam serangan itu saja sudah dahsyat. Apalagi ditambah dengan tenaga luncuran.
Maka kedahsyatannya jadi berlipat ganda. Dan bila tendangan itu ditangkis kaki yang satunya pasti akan menyusul. Padahal saat itu kedudukannya tidak memungkinkan. Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk mengelak.
"Hih!" Dewa Arak mengelak dengan lompatan harimau ke samping kanan. Kemudian dengan bertumpu pada kedua tangan, tubuhnya digulingkan. Hasilnya, tendangan Braja Denta mengenai tempat kosong!
"Hup!" Begitu Braja Denta mendaratkan kaki di tanah, Dewa Arak telah berhasil memperbaiki kedudukan. Sekarang mereka berdiri berhadapan dalam jarak tujuh tombak!
Masing-masing bersikap waspada karena lawan berilmu tinggi. Mendadak Braja Denta memasukkan tangan kanannya ke balik baju. Melihat hal itu Dewa Arak pun bersiap-siap menghadapi. Pemuda berambut putih keperakan itu menduga lawan akan mengeluarkan senjata rahasia.
Hanya sebentar tangan Braja Denta masuk ke balik baju. Sesaat kemudian telah keluar kembali. Di tangannya tergenggam sesuatu. Sayang Dewa Arak tidak sempat melihatnya. Karena Braja Denta sengaja menyembunyikan.
Dengan mendadak dan tidak disangka-sangka, Braja Denta melemparkan benda yang digenggamnya. Tidak dilemparkan ke tubuh Dewa Arak, tapi dilemparkan ke atas.
"Lihat, Arya! Naga peliharaanku akan menerkammu...!" ucap Braja Denta penuh wibawa. Ada getaran kuat yang mengandung kekuatan aneh di dalamnya.
Akibatnya memang hebat Dewa Arak melihat di depannya, tepatnya di udara, tampak seekor naga. Warnanya hijau. Dan ketika binatang itu membuka mulurnya, terlihat gigi-giginya yang runcing bagai pedang.
"Brrrlll!"
Segundukan api menyambar ke arah tubuh Dewa Arak ketika naga hijau itu meniup. Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Bergegas tubuhnya dilemparkan ke samping. Akibatnya, semburan api yang keluar dari mulut naga itu menjilat tanah.
Baru saja Dewa Arak menjejakkan kaki di tanah, naga itu kembali melancarkan serangan. Seperti juga sebelumnya, binatang yang konon hanya ada dalam dongeng itu menyemburkan apinya ke arah Dewa Arak. Lagi-lagi Dewa Arak mengelakkan senjata itu dengan cara yang sama. Tapi, kali ini Dewa Arak mengirimkan serangan pada naga itu. Tangan kirinya dikibaskan.
Wusss!
Hampir berbarengan dengan tibanya semburan api naga hijau itu ke tanah yang semula dijadikan tempat berdiri Dewa Arak, serangan Dewa Arak telak mengenai tubuh naga!
Pyarrr!
Ajaib! Begitu terkena hantaman itu tubuh naga hijau hancur berantakan. Hingga memaksa Dewa Arak menggulingkan tubuhnya menjauh, agar tidak terkena percikan darah dan daging naga itu!
"Hup!" Setelah bergulingan beberapa kali di tanah, Dewa Arak bangkit. Pandangannya segera dilayangkan ke arah tempat naga tadi hancur terkena pukulan jarak jauhnya. Tapi tidak ada sesuatu pun dijumpainya di sana. Tidak ada percikan darah, juga potongan-potongan daging. Yang tergeletak di tanah hanya sebilah pisau yang hancur berantakan!
Dewa Arak segera sadar kalau dirinya telah tertipu. Yang dihadapinya tadi bukan naga sungguhan, melainkan naga hasil ciptaan seorang tukang sihir yang hebat. Seketika itu juga Dewa Arak teringat kembali pada Braja Denta. Tapi pemuda berpakaian coklat itu telah pergi. Rupanya di saat Dewa Arak tengah sibuk bertarung dengan naga ciptaannya, Braja Denta melarikan diri.
Yang ada hanya Melati dan Salya. Gadis berpakaian putih itu berdiri dengan sepasang mata memancarkan kebingungan. Sementara di sebelahnya, Salya tergolek pingsan.
"Sebenarnya..., apa yang terjadi, Kang?" tanya Melati ketika Arya menghampiri.
"Aku tak mengerti maksudmu, Melati?" Arya malah balas bertanya.
"Aku bingung, Kang. Tadi kulihat kau bertarung dengan seekor naga yang entah dari mana munculnya. Binatang itu menyerangmu membabi buta. Tapi tubuhnya langsung hancur berantakan ketika pukulan jarak jauhmu mengenainya. Anehnya, tidak ada potongan tubuh naga itu. Yang ada hanya sebuah pisau!" Melati mengutarakan hal-hal yang mengganjal hatinya.
"Itu sihir, Melati!" jawab Arya tanpa menggurui. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan itu memuji kedahsyatan sihir lawan. Padahal sihir itu ditujukan untuknya, tapi pandang mata Melati ternyata terpengaruh juga. Ini menunjukkan kalau sihir Braja Denta amat ampuh.
"Oooh...!" Mulut Melati membentuk bulatan. Dan kepalanya mengangguk-angguk tanda mengerti.
"O, ya. Bagaimana keadaan orang itu, Melati?" tanya Arya ketika pandang matanya tertumbuk pada tubuh Salya yang tergolek.
''Dia terluka, Kang. Cukup parah. Tapi tidak membahayakan nyawanya. Tapi sudah kuberikan obat yang dapat meringankan luka-lukanya. Aku yakin tak lama lagi dia akan sadar," jelas Melati.
"Syukur kalau begitu. Dengan demikian, pertolongan yang kita berikan tidak sia-sia. Nanti bila dia sadar kita bisa tanyakan penyebab pertempurannya dengan ahli sihir itu," ujar Arya.
Melati hanya mengangkat sebelah alisnya yang indah. Entah apa maksudnya. Hanya dia yang tahu. "Kakang...!"
"Apa, Melati?" tanya Arya sambil menatap wajah kekasihnya penuh selidik.
"Bukankah orang itu yang kita temui di dekat pemakaman di pinggir Desa Alas Ngampar?"
"Benar. Lalu, kenapa?" tanya Arya belum mengerti maksud pertanyaan kekasihnya.
"Tidak apa-apa, Kang. Aku hanya ingin menyatakan kebenaran dugaanku. Maksudku..., aku yakin orang itu tokoh sesat," ujar Melati mengemukakan dugaannya.
Dewa Arak mengangkat bahu. "Mungkin kau benar, Melati. Tapi rasanya ada yang lain pada diri orang itu. Maksudku, bila dibandingkan dengan saat pertama kali kita bertemu. Saat ini aku merasakan ada bau asing di dalam dirinya. Seperti ada makhluk dari alam lain di dalam tubuhnya."
Melati terdiam. Sedikit pun tidak diremehkannya keterangan Arya. Sebab Melati tahu kekasihnya memiliki perasaan yang peka. Sering kali dugaannya benar. Dewa Arak mempunyai naluri yang kuat. Di saat sepasang muda-mudi berwajah elok itu tengah terdiam, dan tenggelam dalam alun pikiran masing-masing. Tiba-tiba....
"Uuuh...!" Terdengar suara keluhan. Memang tidak keras. Tapi amat jelas tertangkap telinga Dewa Arak dan Melati. Serentak keduanya mengalihkan perhatian ke arah suara itu.
Tampak tubuh Salya bergerak-gerak. Kelopak matanya berkedip-kedip pertanda pemuda berpakaian coklat itu telah sadar. Salya mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan alis berkernyit dalam. Rupanya dia masih belum ingat akan kejadian yang dialaminya. Tatapan matanya berhenti ketika membentur sosok Arya dan Melati.
"Siapa kalian?" tanya Salya seraya mencoba bangkit. Mulutnya menyeringai ketika rasa sakit mendera. Dengan tatapan heran, diperhatikannya bagian-bagian yang terasa nyeri. "Mengapa aku terbaring di sini?"
"Kami pengelana yang kebetulan lewat di sini. Dan melihat kau terancam maut di tangan seorang pemuda berpakaian coklat. Kami mencoba menyelamatkanmu dari tangannya. Kini orang yang melukaimu kabur," jawab Arya.
"Ah! Aku ingat sekarang! Ya! Aku bertempur dengan kakak seperguruanku. Tapi aku kalah. Dadaku terkena tendangannya. Ya...! Tidak salah lagi," ujar Salya. Dahinya dikernyitkan untuk meng-ingat kejadian itu. ''Terima kasih atas pertolongan yang kalian berikan. Kalau tidak ada kalian mungkin saat ini aku tinggal nama saja."
"Lupakanlah, Kisanak," sahut Arya cepat. "Untung saja orang itu tidak meneruskan tindakannya. Kalau tidak, mungkin kami juga akan celaka di tangannya. O ya, apakah benar dia kakak seperguruanmu? Kalau benar, mengapa dia ingin membunuhmu, Kisanak?"
"Ceritanya cukup panjang.... Eh, boleh kutahu siapa namamu, Kisanak?! Namaku Salya."
"Aku Arya," jawab Arya menyebutkan namanya. "Dan kawanku ini Melati."
"Bagaimana, Arya? Apakah kau masih ingin mengetahui penyebab kakak seperguruanku ingin membunuhku?"
"Kalau kau tidak keberatan, dengan senang hati kami akan mendengarkan," sahut Arya tenang.
"Kalau begitu, baiklah." Salya lalu menceritakan semuanya. Tidak ada yang dilewatkan. Entah mengapa terhadap Arya dan Melati dia percaya!
"Ah! Jadi dia memendam rasa dendam terhadapmu dan gurumu?! Kalau begitu, dia pasti mendatangi gurumu!" duga Arya.
"Ah! Kau benar, Arya! Kalau memang demikian, aku harus segera kembali untuk memberitahukan beliau akan ancaman Braja Denta. Aku khawatir beliau akan celaka di tangan Braja Denta," ujar Salya penuh kecemasan.
Arya dan Melati bertukar pandang. "Apakah kekhawatiranmu tak berlebihan, Salya?" tanya Arya mengingatkan. "Mana mungkin Braja Denta mampu mencelakakan gurumu yang juga gurunya? Entah kalau dia menggunakan siasat licik."
"Kau tidak tahu, Arya. Braja Denta yang sekarang jauh berbeda dengan Braja Denta beberapa hari yang lalu."
"Aku belum mengeti maksudmu, Salya?" ujar Arya tanpa menyembunyikan perasaan heran yang membias di wajahnya. Gambaran perasaan yang sama tersirat di wajah Melati.
"Beberapa hari yang lalu, Braja Denta bukan orang yang pantas ditakuti. Aku tidak menyombongkan diri kalau kukatakan tingkat kepandaiannya berada di bawahku. Tapi..., sejak pergi tanpa pamit beberapa hari yang lalu kepandaiannya meningkat pesat. Dan memiliki ilmu-ilmu gaib. Di antaranya sihir dan ilmu memanggil ular."
Kemudian Salya mengalihkan pandangannya ke arah tulang-belulang seekor kuda yang tergeletak tak jauh dari tempat mereka.
"Semula tulang-belulang itu adalah kuda yang cerdik dan mampu berlari cepat. Tapi Braja Denta dengan kemampuannya memanggil dan menguasai ular telah membuat kuda milikku tinggal onggokan tulang yang tidak berguna," urai Salya dengan kesedihan yang mendalam.
"Kalau begitu, Braja Denta amat berbahaya. Lebih cepat kita tiba di tempat gurumu lebih baik," usul Arya.
"Kita?!" Sepasang alis Salya berkerut heran mendengar ucapan Dewa Arak.
"Oooh..., maaf. Kami memang bermaksud melihat Braja Denta. Tentu saja bila kau mengizinkannya, Salya?" ucap Arya hati-hati.
"Mengapa tidak? Mari kita berangkat!" ajak Salya.
Sesaat kemudian, ketiga orang muda itu melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuan mereka ke tempat tinggal Kidang Loka!
* * *
DELAPAN
"Guru...! Guru...!"
Jarak dirinya dengan pondok Kidang Loka masih jauh, tapi Salya yang tengah dilanda kekhawatiran yang sangat akan keselamatan kakek berpakaian putih itu telah berteriak-teriak.
Sementara Dewa Arak dan Melati yang berada di sebelah Salya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebelum akhirnya berhenti pada pondok Kidang Loka. Pondok itu berdiri di hamparan tanah lapang yang luas dan datar.
"Guru...!" Sambil memanggil-manggil Kidang Loka, Salya terus mengayunkan kaki mendekati pondok. Sikapnya terlihat tidak sabaran. Hingga Dewa Arak khawarir. Apalagi ketika melihat Salya hendak menerobos masuk ke dalam pondok.
"Hati-hati, Salya. Mungkin saja Braja Denta berada di dalam," ucap Arya mengingatkan.
Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir terjadi sesuatu yang tidak diharapkan atas diri Salya. Padahal, pemuda berpakaian kuning itu baru saja sembuh dari luka dalamnya, berkat obat mujarab Melati!
Tapi Salya seperti tidak mendengar peringatan itu. Kakinya terus diayunkan memasuki pondok. Mau tidak mau, Dewa Arak dan Melati mengikutinya. Sikap mereka terlihat waspada. Tak membutuhkan waktu yang lama bagi Salya untuk membuktikan rumah itu kosong. Tidak ada seorang pun di dalamnya.
Salya langsung kebingungan. Tapi itu hanya berlangsung sesaat. Karena sesaat kemudian, pemuda itu teringat akan tempat yang biasa dikunjungi gurunya, air terjun. Tanpa membuang waktu lagi, Salya melesat ke sana dengan mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh.
Disusul Arya dan Melati. Ketiga orang muda itu melesat cepat menuju air terjun. Salya berada di depan. Pemuda itu bertindak sebagai penunjuk jalan. Meskipun jarak pondok Kidang Loka dengan air terjun cukup jauh, tapi karena ketiga orang itu berlari cepat maka tak berapa lama tempat itu sudah terlihat.
Dan seiring dengan terlihatnya air terjun, terutama batu besar yang biasa dijadikan tempat duduk Kidang Loka, seketika itu pula tiga pasang mata muda-mudi itu membelalak lebar. Di sisi batu besar itu tampak bersandar sesosok tubuh berpakaian putih. Sebenarnya tidak pantas dikatakan bersandar karena kedua kaki sosok itu tidak menginjak tanah!
"Guru...!" Salya berseru serak memanggil sosok berpakaian putih yang seperti tengah bersandar. Perasaan khawatir berkecamuk dalam dada pemuda berpakaian kuning itu. Sikap gurunya terlihat janggal!
Dan bukan hanya Salya saja yang dilanda perasaan itu. Dewa Arak dan Melati pun demikian pula. Itu sebabnya kecepatan lari mereka ditingkatkan. Kekhawatiran ketiga orang muda ini ternyata beralasan. Kidang Loka tidak sedang bersandar, tapi ditempelkan! Empat batang pedang yang ditancapkan pada bawah bahu dan paha hingga tembus ke batu membuat tubuh Kidang Loka tidak merosot.
"Guru...!" jerit Salya pilu melihat nasib gurunya yang demikian mengenaskan.
Perlahan-lahan kelopak mata Kidang Loka membuka. Kakek ini belum mati. "Salya...," ucap Kidang Loka dengan susah payah. Pelan sekali, lebih mirip bisikan.
"Guru...!" seru Salya serak. "Akan kubalas kekejian ini! Akan kubunuh dan kurobek-robek dagingmu, Braja Denta!"
"Jangan lakukan itu, Salya. Kau bukan tandingannya. Meskipun kelihatannya Braja Denta, sebenarnya ada roh orang lain di dalam raganya. Kau ingat ceritaku mengenai Raja Sihir Berhati Hitam?!"
Salya hanya bisa mengangguk. Pemuda itu tidak mampu menjawab. Lidahnya terasa kelu melihat keadaan gurunya. Kalau menuruti perasaan, ingin dicabutnya pedang-pedang itu. Lalu menurunkan tubuh Kidang Loka. Tapi dia khawatir tindakan itu akan menambah derita gurunya. Maka diputuskannya untuk membiarkan dulu keadaan gurunya seperti itu.
"Roh Raja Sihir Berhati Hitam telah masuk ke dalam tubuh Braja Denta. Sekarang raga Braja Denta dikuasai roh jahat itu. Sumpahnya telah menjadi kenyataan. Padahal aku telah berusaha mencegah terjadinya sumpah itu dengan memberikan Pedang Embun pada Braja Denta. Sebab aku tahu Braja Denta mempunyai watak keras. Bila sedang merasa sakit hati, dia dapat dengan mudah disusupi roh Raja Sihir Berhati Hitam. Pedang Embun ditangannya, roh datuk sesat itu tidak akan bisa masuk. Tapi kenyataannya? Aku sungguh tak mengerti. Dan...."
"Ha ha ha...!"
Suara tawa keras dan berat tapi bergaung menghentikan ucapan Kidang Loka. Tiba-tiba raut wajah dan sinar mata kakek itu menyiratkan kecemasan yang sangat. Tapi ternyata bukan nasib dirinya yang dikhawatirkan, melainkan....
"Celaka! Dia datang lagi! Cepat kau sembunyi, Salya! Ajak teman-temanmu pergi dari sini. Tidak ada gunanya kau melawannya," ucap Kidang Loka dengan suara yang semakin pelan.
''Tidak, Guru. Aku tidak akan lari. Aku bukan pengecut. Harus kubalas kekejian ini! Sekalipun untuk itu aku harus mati!" tandas Salya mantap.
''Akhhh...! Kau keras kepala, Salya...," hanya itu yang bisa digumamkan Kidang Loka.
Sementara Salya sudah bangkit berlari. Dewa Arak dan Melati sudah berdiri sejak suara tawa itu terdengar. Sikap mereka berriga tampak waspada. Dewa Arak dan Melati kini sudah bisa memperkirakan duduk perkaranya. Mereka yakin Salya dan gurunya berada di pihak yang benar. Sementara Braja Denta sebaliknya. Dan dari ucapan Kidang Loka, sepasang pendekar muda berwajah elok itu tahu kalau raga Braja Denta telah ditumpangi roh seorang tokoh sesat.
Tapi Dewa Arak dan Melati tidak dapat berlama-lama tenggelam dalam pikiran itu. Sebab saat itu kembali terdengar suara tawa bergelak. Sebelum gema tawa itu lenyap, berkelebat sesosok bayangan coklat. Tahu-tahu di hadapan mereka telah berdiri Braja Denta dengan sikap pongah.
"Ha ha ha...!" Braja Denta tertawa keras. Tampak jelas dia merasa gembira bukan main. "Aku gembira sekali kau dapat hadir di sini, Salya. Jadi aku tidak repot-repot mencarimu. Saat ini juga akan kutuntaskan dendam puluhan tahun lalu. Ha ha ha...!"
"Jahanam...!" Didahului makian keras, Salya melesat menerjang Braja Denta. Golok di tangan kirinya ditusukkan ke arah kerongkongan Braja Denta. Memang bukan Golok Api karena pusaka itu telah diambil Braja Denta. Tapi meskipun demikian, golok yang dipergunakan Salya kali ini termasuk pusaka ampuh!
Wuttt!
Bunyi menderu keras mengawali tibanya serangan golok itu. Ini menjadi pertanda kalau serangan itu cukup dahsyat. Tapi Braja Denta hanya menyunggingkan senyum sinis. Ditunggunya hingga serangan itu dekat. Baru setelah itu pusaka yang dirampasnya dari tangan Salya dicabut. Golok Api! Dengan Golok Api di tangan, dipapakinya tusukan golok Salya. Nyala api tampak di sepanjang batang golok itu ketika Braja Denta menggerakkannya!
Trangngng!
Gila! Batang golok Salya langsung terbabat putus! Dan sebelum pemuda berpakaian kuning itu sempat berbuat sesuatu, Braja Denta sudah mengirimkan serangan susulan. Dengan sebuah gerakan unik, Braja Denta membuat goloknya meluncur ke arah perut Salya.
Tentu saja gerakan itu membuat Salya kelabakan. Sungguh tidak disangkanya akan mendapat serangan balasan secepat itu. Tak heran jika Melati khawarir melihatnya. Hingga akhirnya gadis itu melesat memasuki kancah pertarungan dan memapaki tusukan golok Braja Denta.
Trangngng!
Benturan yang lebih keras dari sebelumnya langsung terdengar. Diiringi dengan berpercikannya bunga-bunga api ke udara. Tubuh Melati terjengkang ke belakang dengan ujung pedang gompal!
Dan belum lagi Melati sempat memperbaiki kedudukan, Braja Denta telah melancarkan serangan susulan. Tak pelak lagi gadis itu dibuat pontang-panting menyelamatkan diri. Untung Salya segera datang membantu. Pertarungan satu melawan dua terjadi. Salya dan Melati bahu-membahu menghadapi amukan Braja Denta. Tapi tetap saja mereka terdesak.
Braja Denta memang terlalu tangguh untuk dihadapi mereka berdua. Pemuda berpakaian coklat itu unggul dalam ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam. Belum lagi dengan Golok Api yang ampuh itu. Lengkap sudah keadaan yang membuat Melati dan Salya terdesak. Mereka terus-menerus didesak mundur. Sudah dapat dipastikan, jika tidak ada perubahan dalam pertarungan, kedua orang itu akan tewas di tangan Braja Denta!
Keadaan Melati dan Salya yang terdesak tentu saja tak luput dari perhatian Dewa Arak dan Kidang Loka. Kakek berpakaian putih itu memang ikut pula memperhatikan. Dan sebagai tokoh tingkat tinggi, Dewa Arak dan Kidang Loka dapat mengetahui kalau robohnya Melati dan Salya hanya ringgal menunggu waktu.
Dewa Arak tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka diputuskannya untuk terjun dalam kancah pertarungan, menggantikan kedudukan mereka. Setelah mengambil keputusan demikian, Dewa Arak mengambil gucinya, dan menuangkan isinya ke mulut.
Gluk... Gluk... Gluk..!
Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu pula hawa hangat berputaran di bawah pusar. Kemudian perlahan-lahan naik ke atas. Sesaat kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu oleng ke kanan kiri. Pertanda ilmu 'Belalang Sakti'nya telah siap dipergunakan.
Sementara di kancah pertarungan Melati dan Salya semakin terdesak. Kedua orang itu bergulingan mundur untuk menjauhkan diri. Tapi Braja Denta tidak mau memberi kesempatan pada kedua lawannya. Sambil mengeluarkan tawa khasnya, dikejarnya lawan dengan golok siap dihunjamkan.
Saat itulah Dewa Arak melesat masuk ke dalam kancah pertarungan. Untuk mengalihkan perhatian Braja Denta dari Melati dan Salya, Dewa Arak langsung melancarkan serangan. Gucinya diayunkan ke arah dada Braja Denta.
Klangngng!
Bunyi berdentang nyaring terdengar ketika Braja Denta menganyunkan senjatanya memapaki! Kali ini Golok Api menemui pusaka yang setimpal. Guci Dewa Arak tidak punggal! Gompal pun tidak!
Tapi hanya sesaat kedua tokoh itu menghentikan gerakannya untuk memeriksa senjata mereka. Setelah melihat jelas pusaka-pusaka itu tidak rusak mereka kembali saling terjang. Hebat bukan main pertarungan yang berlangsung. Bunyi menderu, mencicit, dan mengaung menyemaraki jalannya pertarungan. Debu mengepul tinggi ke udara.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Sebentar saja, seratus lima puluh jurus telah berlalu. Namun selama itu belum nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Baru ketika pertarungan menginjak jurus kedua ratus Dewa Arak mulai dapat mendesak lawan. Gabungan guci, kedua tangan dan kaki serta semburan araknya, berhasil mengobrak-abrik pertahanan ilmu golok Braja Denta.
Bahkan entah kenapa ilmu sihir Braja Denta tidak berdaya sama sekali. Padahal beberapa kali pemuda berpakaian coklat itu menggunakannya. Mungkinkah semua itu karena ilmu 'Belalang Sakti'? Dewa Arak sendiri tidak tahu. Keluarnya Dewa Arak sebagai pemenang hanya tinggal menunggu waktu.
Di jurus kedua ratus tiga puluh tiga, sambil mengeluarkan teriakan keras yang membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, Braja Denta menusukkan goloknya ke arah perut. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak melompat ke atas. Kemudian berjungkir balik. Dan dalam keadaan kepala di bawah, gucinya dihantamkan ke arah kepala Braja Denta.
Prakkk!
Terdengar bunyi berderak keras. Kepala Braja Denta hancur berantakan! Darah bercampur otak pun bermuncratan! Seketika itu pula nyawa Braja Denta melayang meninggalkan raga.
"Hhh...!" Helaan napas lega keluar dari mulut Melati, Salya, dan Kidang Loka. Hampir bersamaan waktunya dengan mendaratnya kedua kaki Dewa Arak di tanah.
Kidang Loka yang telah berhasil dilepaskan dari pasungan pedang oleh Salya, tampak berseri-seri wajahnya. Begitu pula wajah Salya tampak berbinar-binar setelah melepaskan gurunya dari pasungan. Sebab, bahaya yang mengerikan itu telah berhasil ditumpas Dewa Arak.
SELESAI
Selanjutnya,