Dewa Arak - Satria Sinting
Karya : AjisakaSATU
SEORANG pemuda tampan mengayunkan langkah seenaknya menyusuri sebuah hutan di kaki Gunung Arjuno. Sambil melangkahkan kaki, sesekali ditarik napas dalam-dalam dengan mengembangkan dadanya untuk menghirup udara pagi. Mendadak pemuda itu menghentikan langkah. Pendengarannya yang tajam menangkap ada bunyi langkah kaki menuju ke arahnya.
"Hih!" Hanya dengan sekali jejak, tubuh pemuda itu telah melayang ke atas dan hinggap di atas cabang pohon yang melintang di atas jalan berumput. Di kanan kiri jalan itu memang ditumbuhi berbagai pepohonan. Dari tempat ini, pemuda yang tak lain Arya atau lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak, mengintai.
Beberapa saat kemudian, Dewa Arak telah melihat sosok tubuh ramping berpakaian kuning. Seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun, dan berwajah cantik jelita.
"Hhh... hhh...!"
Desah napas memburu, terdengar oleh Arya ketika gadis berpakaian kuning itu lewat di bawah cabang pohon tempatnya bertengger. Lari gadis itu agak terhuyung-huyung, menjadi pertanda jelas kalau dia telah merasa lelah.
Semua ini menarik perhatian Arya. Dia yakin gadis berpakaian kuning itu tengah melarikan diri dari sesuatu yang ditakutinya. Itulah sebabnya, Dewa Arak memutuskan untuk menunggu. Dibiarkannya gadis itu lewat.
Baru saja gadis berpakaian kuning lewat, dikejauhan, dari arah yang sama dengan kedatangan si gadis, tampak tiga sosok yang bergerak ke tempatnya secara cepat. Hanya dalam sekejapan, tiga sosok itu telah berada di dekat tempat Arya berada. Di sini mereka menghentikan langkah.
Arya pun memperhatikan mereka tanpa berani bergerak sedikit pun. Disadari kalau orang-orang yang berada di bawahnya memiliki tingkat kepandaian tinggi, karena mereka memiliki gerakan yang gesit. Kalau tidak hati-hati, keberadaannya bisa diketahui mereka.
"Bagaimana, Setan Hitam? Mana arah yang harus kita tempuh? Kanan, kiri, atau depan?" tanya lelaki bertubuh pendek gemuk, berkepala botak, dan berperut gendut.
Setan Hitam yang julukan lengkapnya Setan Hitam Muka Kuda tidak langsung menjawab pertanyaan kawannya. Lelaki bertubuh tinggi besar dan berbahu lebar itu memperhatikan ke sekitarnya sejenak. Wajahnya yang mirip kuda menoleh ke sana kemari.
"Kukira dia menempuh jalan ke kiri," jawab Setan Hitam Muka Kuda dengan suara khasnya yang parau. "Bagaimana menurutmu, Iblis Pemburu Nyawa?"
"Aku setuju, Setan Hitam! Bukankah jalan itu akan menuju tempat kediaman sahabat Eyang Dipayana, kakeknya?!" sahut Iblis Pemburu Nyawa. Lelaki bertubuh kecil dengan pinggang terlilit rantai baja yang berujung bola berduri sebesar kepalan tangan orang dewasa.
Yakin pada dugaannya, tiga lelaki berwajah kasar dan rata-rata memiliki mata tajam itu melesat ke kiri. Hanya dalam beberapa lesatan saja, tubuh mereka telah jauh. Yang tampak hanya bayangan hitam yang semakin mengecil dan akhirnya lenyap.
Semua percakapan itu didengar Dewa Arak. Dan meskipun belum jelas persoalannya, pemuda berambut putih keperakan itu condong berpihak pada gadis berpakaian kuning. Maka, Arya pun melesat mengejar.
"Mau lari ke mana, Bangsat Kecil?!"
Gadis berpakaian kuning terkejut bukan kepalang mendengar bentakan itu. Dan sebelum dia sempat menoleh, dirasakan ada hembusan angin. Tahu-tahu di depannya berdiri sesosok tubuh pendek gemuk. Seketika gadis berpakaian kuning menghentikan larinya.
Dibalikkan tubuhnya untuk melarikan diri. Namun ayunan kakinya tertahan begitu melihat di depan telah berdiri Iblis Pemburu Nyawa dan Setan Hitam Muka Kuda. Menyadari kalau jalan untuk melarikan diri sudah tertutup, gadis itu nekat.
Srattt! Dengan cepat gadis berpakaian kuning mencabut pedangnya!
"Ha ha ha...!" Lelaki pendek gemuk yang berjuluk Gajah Kecil Bertangan Maut, tertawa tergelak. "Bagus! Rupanya kau ingin melawan?! Majulah! Kulihat sampai di mana kelihaian ilmu yang kau terima dari Dipayana keparat itu!"
"Tutup mulutmu, Kerbau Gundul!" Usai berkata demikian, gadis berpakaian kuning melancarkan serangan pada Gajah Kecil Bertangan Maut. Sepasang pedang di tangannya langsung dibabatkan. Yang di kanan diayunkan ke arah leher, sedangkan yang di tangan kiri menebas kaki dengan arah gerakan berlawanan.
Sing, sing!
Bunyi berdesing nyaring yang terdengar, menandakan kalau tenaga dalam gadis berpakaian kuning cukup kuat.
"Sebuah serangan yang bagus," puji Gajah Kecil Bertangan Maut seraya melompat ke atas untuk menghindari serangan yang mengancam kaki. Ada pun yang menuju ke leher, dipapaknya dengan sampokan tangan kanan.
Lelaki pendek gemuk ini tidak khawatir tangannya akan terluka karena telah mengenakan sarung tangan yang menjadi senjata andalannya. Sebuah sarung tangan pusaka berwarna hitam yang tahan bacokan senjata tajam.
Takkk!
"Hah...?!" Tubuh gadis berpakaian kurung langsung terhuyung-huyung ke belakang begitu terjadi benturan. Sedangkan Gajah Kecil Bertangan Maut tampak tenang saja. Dari sini saja, gadis itu tahu kalau tenaga dalam lawan berada jauh di atasnya. Sungguhpun demikian, gadis berpakaian kuning tidak merasa gentar. Setelah berhasil memperbaiki kedudukan, langsung dikirimkan serangan susulan kembali.
Dewa Arak yang menyaksikan jalannya pertarungan, mengernyitkan alis. Hanya dengan memperhatikan sebentar, dia sudah dapat mengetahui kalau gadis berpakaian kuning bukan tandingan Gajah Kecil Bertangan Maut yang lihai!
Setiap serangan gadis itu selalu berhasil dipatahkan lawan. Sebaliknya, serangan balasan yang dikirimkan Gajah Kecil Bertangan Maut, membuatnya kerepotan. Beberapa kali dia terpontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan diri.
"Hih!" Menginjak jurus ketiga belas, sambil menggertakkan gigi, Gajah Kecil Bertangan Maut merangsek maju. Tangannya pun disampokkan seraya memutar tubuhnya laksana kitiran. Serangan itu memaksa gadis berpakaian kuning terus melangkah mundur sambil memutar-mutarkan pedangnya di depan dada untuk bertahan.
Prattt!
"Ih...!" Gadis berpakaian kuning memekik kesakitan ketika sampokan Gajah Kecil Bertangan Maut menghantam pergelangan tangannya. Seperti terhantam sebatang baja yang amat keras, tangannya dirasakan nyeri sekali. Pedangnya terlepas dari tangan. Tubuhnya pun terhuyung-huyung ke belakang.
Saat itulah, Gajah Kecil Bertangan Maut merendahkan tubuhnya, mengambil sikap seperti seekor katak. Kemudian, kedua tangannya dihentakkan ke depan.
"Kok kok kok...!"
Bunyi berkokok seperti ayam habis bertelur terdengar dari kerongkongan Gajah Kecil Bertangan Maut. Dan dari kedua tangan yang dihentakkan, keluar angin keras berputar mirip angin topan.
Wajah gadis berpakaian kuning memucat. Disadari adanya ancaman maut. Namun sayang dia tidak berdaya untuk berbuat sesuatu karena masih terbawa kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Di saat yang amat gawat itulah, Arya segera melesat menyambar tubuh gadis berpakaian kuning.
Brakkk!
Pohon besar di belakang gadis berpakaian kuning tumbang dan hancur berantakan, terhantam pukulan jarak jauh Gajah Kecil Bertangan Maut. Kepingan-kepingan kayu beterbangan dan berputaran seperti digulung angin topan!
Kejadian itu bukan hanya membuat Gajah Kecil Bertangan Maut yang merasa terkejut. Namun juga kedua rekannya, Iblis Pemburu Nyawa dan Setan Hitam Muka Kuda. Bagai diberi perintah, mereka bergerak bersama. Sehingga ketika Dewa Arak menjejak tanah, tiga tokoh berpakaian hitam itu telah mengurungnya.
"Menyingkirlah. Mereka bukan tandinganmu!" ujar Arya seraya menurunkan tubuh gadis berpakaian kuning dari pondongannya.
Gadis berpakaian kuning segera melaksanakan perintah Dewa Arak. Dia memperhatikan dari jauh dengan hati berdebar tegang. Mampukah pemuda berambut putih keperakan itu menghadapi lawan-lawannya yang memiliki kepandaian sangat menggiriskan?
Sementara itu, Gajah Kecil Bertangan Maut mengangguk-anggukkan kepala setelah memperhatikan Arya dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan penuh selidik.
"Hm...! Rupanya kau yang berjuluk Dewa Arak. Memang, julukanmu telah mampir ke telingaku. Kau terkenal sebagai tokoh yang berkepandaian luar biasa. Mari, Dewa Arak! Kita bermain-main sebentar."
Dewa Arak tidak memberikan tanggapan sama sekali. Dengan sikap tenang, diperhatikannya gerak-gerik Gajah Kecil Bertangan Maut. Meskipun tidak terlihat berwaspada, seluruh uraturat saraf pemuda berambut putih keperakan ini menegang, siapsiap menghadapi kemungkinan yang tidak diinginkan. Disadari kalau lelaki pendek gemuk itu merupakan tokoh berkepandaian tinggi. Terutama sekali pukulan jarak jauhnya yang dilakukan denganmerendahkan tubuh mirip katak.
"Haaat...!" Diawali teriakan keras yang membuat sekitar tempat itu tergetar hebat, Gajah Kecil Bertangan Maut melancarkan serangan. Jari tangan kirinya bergerak menusuk kemata lawan. Sedangkan tangan kanannya mencengkeram lambung.
Dewa Arak sudah terbiasa bertindak hati-hati. Meskipun serangan seperti ini bisa dipatenkannya dengan tangkisan, dia tidak melakukannya. Kekuatan tenaga dalam lawan, belum diketahuinya. Begitu pula perkambangan serangan itu. Maka dilemparkan tubuhnya ke belakang dan bergulingan di tanah menjauh.
Gajah Kecil Bertangan Maut melihat adanya kesempatan baik untuk melancarkan serangan susulan. Keadaan Dewa Arak amat menguntungkan pihaknya. Maka buru-buru dia meluruk menerjang pemuda berambut putih keperakan itu.
Gerakan lelaki gemuk berkepala botak itu begitu cepat. Namun dengan gerakan yang tak kalah cepatnya Dewa Arak melenting ke atas mengelakkan serangan lawan. Gajah Kecil Bertangan Maut menggereng bagai macan luka.
Kegagalannya memanfaatkan kesempatan di saat kedudukan lawan tidak menguntungkan, tidak membuatnya putus asa. Dikejarnya Dewa Arak. Kemudian dengan kedua tangan terbuka dihantamnya dada pemuda berambut putih keperakan itu.
Plak! Plak!
Bunyi keras terdengar ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Memang, Dewa Arak memapak serangan lawannya dengan sikap jari-jari tangan yang sama.
Akibatnya, tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut dan tubuh Dewa Arak pun sama-sama terjengkang ke arah belakang. Hanya saja, lelaki pendek berbadan gemuk itu terhu yung tiga langkah lebih jauh daripada Dewa Arak yang hanya terhuyung satu langkah.
Kenyataan yang menunjukkan kekalahannya membuat Gajah Kecil Bertangan Maut penasaran bercampur geram. Untuk yang kedua kalinya direndahkan tubuhnyamirip seekor katak. Lalu, secara bergantian tangan kanan dan kirinya digerakkan ke atas dan ke bawah. Bunyi seperti ayam habis bertelur terdengar seiring dengan gerakan kedua tangannya. Kemudian kedua tangannya segera dihentakkan.
Wusss!
Hembusan angin keras berputar keluar dari kedua tangan yang dihentakkan. Kali ini Dewa Arak tidak mengelak. Dipapaknya serangan itu dengan kedua tangan yang dihentakkan pula.
Blarrr!
Bunyi keras terdengar memekakkan telinga dan membuat sekitar tempat itu tergetar hebat, ketika dua pukulan jarak jauh saling beradu. Tubuh keduanya tampak terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Dewa Arak terkejut ketika menyadari ada sebuah kekuatan yang membuat tubuhnya berputar. Namun berkat kelihaiannya, pemuda berpakaian ungu itu segera mampu memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
Dewa Arak masih tetap keheranan. Entah dengan cara bagaimana, ilmu pukulan yang dilancarkan dengan tubuh setengah berjongkok mirip katak tadi mengandung tenaga berlipat ganda. Terbukti, dirinya sempat terhuyung-huyung beberapa langkah. Sementara itu Gajah Kecil Bertangan Maut pun demikian.
Meskipun begitu, dia tahu kalau ilmu pukulan mukjizatnya cukup membuahkan hasil. Maka setelah kekuatan yang membuat tubuhnya sempoyongan berhasil dipatahkan, langsung dikirimkan serangan susulan dengan cara seperti tadi.
Namun kali ini Dewa Arak tidak mau meladeninya. Dengan kecepatan yang mengagumkan, pemuda berambut putih keperakan itu melenting. Dan dari atas dilancarkan serangan bertubi-tubi. Tentu saja yang menjadi sasaran bagian kepala dan punggung lawan.
Tindakan yang diambil Dewa Arak membuat lelaki bertubuh gemuk pendek itu tampak kelabakan. Sama sekali tidak disangka kalau lawan akan melakukan perlawanan di atas. Cara perlawanan seperti ini membuat kedahsyatan ilmunya tak berfungsi.
Karena dia tidak mampu melancarkan serangan ke atas kepalanya. Tambahan lagi kecepatan gerakan Dewa Arak jauh di atasnya, sehingga setiap serangan yang dilancarkannya selalu mengenai tempat kosong. Tak pelak lagi, Gajah Kecil Bertangan Maut kian kewalahan. Dia dibuat kerepotan untuk tetap berada di hadapan lawan. Namun, karena dirinya kalah cepat bergerak, selalu berada dalam keadaan dicecar.
Melihat keadaan rekannya, Iblis Pemburu Nyawa dan Setan Hitam Muka Kuda pun tidak tinggal diam. Keduanya terjun kedalam kancah pertarungan dan mengeroyok Dewa Arak. Maka pertarungan yang jauh lebih sengit pun berlangsung.
Melihat keadaan itu Dewa Arak tidak bisa bertindak setengah-setengah. Setan Hitam Muka Kuda dan Iblis Pemburu Nyawa ternyata memiliki kepandaian lebih tinggi dibanding Gajah Kecil Bertangan Maut. Seperti juga lelaki pendek gemuk itu, kedua tokoh golongan hitam ini pun memiliki ilmu-ilmu yang aneh dan dahsyat Setan Hitam Muka Kuda memiliki keistimewaan dalam penggunaan sepasang kakinya. Itulah jurus 'Sepak Kuda'. Sedangkan Iblis Pemburu Nyawa mempunyai ilmu yang membuat tangannya seperti berjumlah puluhan pasang.
Tidak hanya dalam satu jurus Iblis Pemburu Nyawa mampu melancarkan serangan dalam beberapa bentuk gerakan jari. Inilah ilmu andalan tokoh kecil kurus itu, 'Satu Tangan Seribu Serangan'. Menghadapi keroyokan lawan yang memiliki ilmu khas beraneka ragam, Dewa Arak semakin sibuk. Apalagi karena lawan menyerang dari tiga penjuru. Serangan-serangan dahsyat silih bergantimeluncur ke arahnya.
Dewa Arak sadar kalau ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya tidak segera dikeluarkan, dia akan menghadapi kesulitan besar. Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' yang sejak tadi digunakan tampaknya tak mampu menanggulangi pengeroyokan tiga lawannya.
"Hih!" Dewa Arak menjejakkan kaki. Dengan cepat tubuhnya melenting, kemudian bersalto beberapa kali di udara sambil mengambil guci araknya dan menuangkan ke mulut.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Arya mengalir ke perut. Hawa hangat berputar di sekitar perut dan kemudian secara perlahanmerayap ke atas.
Jliggg!
Kedua kakinya menjejak tanah dalam kedudukan yang tidak tetap karena pengaruh arak dan ilmu 'Belalang Sakti'. Sementara tiga orang musuhnya telah melancarkan serangan susulan. Malah, sekarang di tangan mereka tergenggam senjata.
"Kok kok kok...!" Untuk yang kesekian kali, Gajah Kecil Bertangan Maut yang berada di depan, merendahkan tubuh dan melancarkan serangan khasnya. Kali ini sebelum kedua tangan dihentakkan, lehernya telah dikembungkan mirip leher katak.
Pada saat yang hampir bersamaan, dari belakang Iblis Pemburu Nyawa menyerang dengan rantainya yang mengikat bola baja berduri. Sedangkan dari samping kanan, Setan Hitam Muka Kuda menusukkan tombak berujung logam bulan sabitnya ke arah pinggang.
Dewa Arak tidak berani bertindak lambat. Dalam waktu yang demikian singkat, benaknya bekerja keras. Sehingga dia tahu kalau di antara semua serangan itu yang akan tiba lebih dulu adalah serangan Gajah Kecil Bertangan Maut, satu-satunya lawan yang tidak menggunakan senjata. Maka diputuskan untuk mematahkan serangan lelaki pendek gemuk itu lebih dulu.
Wusss!
Dewa Arak langsung menghentakkan kedua tangannya menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'. Deru angin keras berhawa panas menyengat, meluruk menyambuti pukulan jarak jauh Gajah Kecil Bertangan Maut.
Glarrr...!
Ledakan keras seperti halilintar menyambar langsung terdengar ketika dua buah pukulan jarak jauh itu berbenturan. Tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut terjengkang ke belakang dan bergulingan di tanah. Dan ketika akhirnya bangkit, wajah lelaki pendek gemuk itu pucat pasi!
Begitu pula Dewa Arak. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Namun hal itu sudah diperhitungkan. Sehingga dengan sendirinya serangan Setan Hitam Muka Kuda kandas, lewat beberapa jari di depan tubuhnya. Sedangkan tusukan Iblis Pemburu Nyawa dipapaknya dengan ayunan guci ke belakang.
Krakkk!
Klang...!
Serangan Iblis Pemburu Nyawa pun kandas. Bahkan tubuhnya yang kecil kurus melayang kembali ke belakang akibat benturan itu. Dewa Arak yang cerdik menambahkan tenaga pada tangkisan sehingga membuat daya dorongnya jadi berlipat ganda.
Tindakan Dewa Arak tidak terhenti sampai di situ. Kaki kirinya langsung mencuat ke arah leher Setan Hitam Muka Kuda. Hal ini memaksa tokoh tinggi besar itu melompat ke belakang.
Kepungan terhadap Dewa Arak mengendur. Namun keadaan itu hanya berlangsung sesaat, karena kemudian ketiga lawannya kembali mehiruk ke arah Dewa Arak. Dan pertarungan sengit pun kembali berkobar.
Bunyi mencicit, mengaung, dan menderu mengiringi setiap gerakan mereka. Sesekali terdengar bunyi dentang senjata masing-masing yang beradu, atau ledakan ketika pukulan jarak jauh berbenturan di tengah jalan.
Tanah berhamburan di sana-sini sehingga menimbulkan kepulan debu tebal. Pepohonan beterbangan terhantam pukulan jarak jauh mereka. Keadaan tanah di sekitar tempat itu seperti habis diinjak puluhan ekor kerbau liar.
Gadis berpakaian kuning, satu-satunya orang yang menyaksikan jalannya pertarungan memandang penuh perasaan takjub. Hatinya diliputi perasaan kagum terutama terhadap Dewa Arak. Seorang tokoh yang meskipun masih belia mesti menghadapi keroyokan tokoh-tokoh hitam yang berkemampuan tinggi.
Sementara, tokoh-tokoh yang dikagumi sama sekali tidak mempedulikan. Kedua belah pihak sibuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk mengalahkan lawan masing-masing.
Tak terasa pertarungan telah berlangsung delapan puluh jurus. Dan selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagi pemenang. Pertarungan masih berlangsung seimbang. Dan kedua belah pihak masih saling bergantian melancarkan serangan.
Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan Setan Hitam Muka Kuda kian penasaran. Memang kesaktian Dewa Arak telah mereka dengar. Namun merupakan sebuah berita yang memalukan apabila dengan mengeroyok bertiga, mereka tetap tidak mampu mencapai kemenangan. Apalagi ketika melihat Dewa Arak beberapa kali bertindak seperti merendahkan mereka.
Sambil mengelak, pemuda berambut putih keperakan itu menenggak araknya, membuat ketiga tokoh sesat ini semakin kalap. Serangan-serangan yang mereka lancarkan pun semakin dahsyat. Namun Dewa Arak tetap mampu menanggulanginya, bahkan sempat mengirimkan serangan yang tidak kalah dahsyat.
"Anjing-anjing Kurap! Berani kalian mengacau tempat ini?!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggetarkan. Belum lagi hilang gema teriakan itu, sesosok bayangan melesat ke dalam kancah pertarungan. Dan begitu terjun, sosok berpakaian abu-abu itu langsung mengirimkan serangan!
Setan Hitam Muka Kuda yang berada paling dekat dengan sosok abu-abu itu yang menjadi sasaran. Buru-buru digerakkan tombak bulan sabitnya untuk memapak ayunan tasbih yang mengancam pelipisnya.
Cririggg!
Setan Hitam Muka Kuda terperanjat ketika merasakan tangannya bergetar hebat begitu benturan terjadi. Apalagi ketika tasbih itu langsung melibat logam bulan sabitnya. Namun lelaki berkulit legam ini tidak menjadi gugup. Dengan cepat ditarik tombaknya dengan maksud agar tasbih itu putus.
Tapi dia tak berhasil ketika melihat senjata yang kelihatannya rapuh itu tidak putus! Tombaknya bahkan tidak bergeming dari belitan tasbih. Setan Hitam Muka Kuda pun sadar kalau dia tengah berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Walaupun demikian, Setan Hitam Muka Kuda tidak kehilangan akal. Tombaknya dengan cepat disodorkan ke arah leher lawan.
"Uh!"
Wuttt!
Sosok berpakaian abu-abu memekik kaget. Buru-buru dilepaskan belitan tasbihnya seraya menarik kaki ke belakang, sehingga tombak lawan menyambar angin.
"Kiranya kau, Eyang Ranggalawe," desah Setan Hitam Muka Kuda begitu melihat wajah lawannya secara jelas.
Kakek berpakaian abu-abu itu tersenyum sinis. Ditatapnya wajah calon lawannya yang tidak langsung melancarkan serangan begitu berhasilmembebaskan senjatanya. "Rupanya kau masih mengenaliku, Setan Hitam," ucap Eyang Ranggalawe, menyindir.
"Ha ha ha...!" Setan Hitam Muka Kuda tertawa bergelak "Siapa yang bisa lupa padamu, Ranggalawe?! Apalagi sebentar lagi kita semua akan mengadakan pertemuan!"
"Tidak usah banyak cakap, Setan Hitam!" tandas Eyang Ranggalawe yang tidak bisa berbasa-basi, "Sekarang katakan, apa urusanmu berada di tempat ini! Jangan katakan kalau kau bermaksud mengunjungi tempatku yang buruk!"
"Dia mengejar-ngejarku, Paman! Ayah telah dicelakainya. Bahkan Gusti Prabu Paso Pati!" seru gadis berpakaian kuning, menyela sebelum Setan Hitam Muka Kuda menjawab.
"Apa?!" Eyang Ranggalawe tersentak seperti disambar petir. "Kalau begitu, kau harus mampus untuk menebus perbuatan-perbuatanmu yang keji itu, Setan Hitam!"
Wungngng!
Usai berkata demikian, Eyang Ranggalawe mengayunkan tasbihnya menyambar pelipis Setan Hitam Muka Kuda, setelah terlebih dahulu memutarnya laksana kitiran sehingga menimbulkan bunyi mengaung.
"Kaulah yang akan mampus, Tua Bangka...! Hea...!" Setan Hitam Muka Kuda menarik kaki kanan ke belakang, sehingga sambaran tasbih itu lewat beberapa jari di depan wajahnya.
Kemudian, tombak bulan sabit di tangannya ditusukkan ke perut lawan. Daya jangkau senjatanya yang panjang memungkinkan lelaki berkulit legam ini untuk melakukan hal seperti itu.
Wuttt!
"Ah...!" Eyang Ranggalawe mengeluarkan pekik tertahan karena merasa kaget melihat serangan lawan. Buru-buru dijejakkan kaki sehingga tubuhnya melayang ke atas. Kemudian disabetkan tasbihnya ke ubun-ubun lawan. Namun, Setan Hitam Muka Kuda dapat mengelakkannya sambil mengirimkan serangan yang tidak kalah dahsyat. Pertarungan sengit pun berlanjut.
Dengan terjadinya pertarungan antara Eyang Ranggalawe menghadapi Setan Hitam Muka Kuda, Dewa Arak jadi kehilangan satu lawannya. Dan hal itu membuat kedudukannya segera berubah. Perlahan-lahan pemuda berambut putih keperakan itu berhasil mendesak kedua lawannya.
Berkali-kali Gajah Kecil Bertangan Maut dan Iblis Pemburu Nyawa dibuat terhuyung-huyung ke belakang dalam benturan. Terutama sekali si Gajah Kecil Bertangan Maut. Tubuhnya beberapa kali bergulingan di tanah ketika pukulan mukjizatnya berbenturan dengan jurus 'Pukulan Belalang' Dewa Arak.
Padahal, seluruh tenaga mukjizatnya telah dikeluarkan dengan cara menggembungkan leher. Namun usahanya sia-sia! Dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak pun mengalami kekuatan tenaga yang bertambah, sehingga tetap saja Gajah Kecil Bertangan Maut kewalahan manghadapinya.
Sementara Eyang Ranggalawe pun demikian. Setelah bertarung ketat dalam tiga puluh jurus, kakek berpakaian abu-abu ini berhasil mendesak lawannya. Kenyataan ini disadari oleh tiga tokoh golongan hitam itu. Mereka tampaknya tidak mau bertindak bodoh dengan melakukan perlawanan terus. Maka bagai telah disepakati, ketiganya melemparkan tubuh menjauh. Lalu melarikan diri.
"Mau lari ke mana, Keparat?!" seru Eyang Ranggalawe seraya melesat mengejar. Namun hanya beberapa langkah Eyang Ranggalawe melakukannya. Pengejarannya langsung dihentikan. Lalu kepalanya ditolehkan ke belakang. Dilihatnya Dewa Arak tidak melakukan pengejaran, hanya berdiam diri menatap kepergian lawannya.
"Mengapa kau tidak mengejar mereka, Anak Muda?" tanya Eyang Ranggalawe seraya melangkah menghampiri.
"Untuk apa, Ki?" Arya balik bertanya, "Aku tidak punya urusan dengan mereka."
"Mereka orang-orang jahat, Anak Muda. Tokoh-tokoh golongan hitam! Andaikata dibiarkan, akan banyak orang tak bersalah yang akan jadi korban!" jelas Eyang Ranggalawe setengah memberitahukan.
"Tapi aku tidak melihat sendiri tindak kekejaman yang mereka lakukan, Ki. Tanpa itu aku tak dapat sembarangan menjatuhkan tangan. Sudah terlalu banyak aku menanam permusuhan dengan tokoh-tokoh persilatan. Aku tak ingin menambahnya dengan masalah-masalah yang tidak jelas."
"He he he...!" Eyang Ranggalawe tertawa lunak. "Aku kagum mendengar jawabanmu, Anak Muda. Kau memiliki pandangan yang luas. Kalau mataku masih belum lamur, kau pastilah orang yang berjuluk Dewa Arak."
"Ah, hanya sebuah julukan kosong, Ki," jawab Arya merendah.
"Kalau begitu lupakanlah, Dewa Arak. Mungkin perlu bagimu mendengarkan sedikit ceritaku. Barangkali saja keputusanmu untuk tidak melenyapkan tiga tokoh golongan hitam itu dapat kau rubah."
Dewa Arak tidak menjawab ucapan Eyang Ranggalawe. Hanya kepalanya terlihat mengangguk kecil seraya menatap lelaki tua itu.
"Kalau begitu, mari kita singgah di gubukku! Sepanjang perjalanan menuju ke sana akan kuceritakan mengenai tokoh-tokoh yang tadi bertarung denganmu. Mari, Dewa Arak!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Arya segera mengayunkan langkah, mengikuti Eyang Ranggalawe dan gadis berpakaian kuning yang telah melangkah lebih dulu.
Kriiit...! Bunyi bergerit pelan terdengar ketika pintu pondok Eyang Ranggalawe bergerak membuka. Dari dalamnya keluar sesosok tubuh ramping. Sikapnya terlihat demikian hati-hati, baik ketika melangkahkan kaki maupun menutupkan daun pintu.
Kemudian sosok ramping itu melesat keluar. Sinar rembulan yang cukup terang di langit, menampakkan sosok ramping itu cukup jelas. Dia ternyata Nawangsih, murid Eyang Dipayana.
Nawangsih semakin mempercepat larinya ketika telah cukup jauh dari pondok. Sekejap kemudian bentuk tubuhnya lenyap. Yang terlihat sekarang hanya sekelebatan bayangan kuning dalam bentuk tidak jelas, melesat cepat menuju ke puncak.
Meskipun yakin kalau kepergiannya tidak diketahui orang, Nawangsih tetap tidak meninggalkan kewaspadaan. Sesekali kepalanya ditolehkan ke belakang untuk memastikan kalau tidak ada orang yang mengikutinya.
Hati gadis berpakaian kuning itu lega ketika tidak melihat hal yang dikhawatirkan. Kenyataan ini membuat semangatnya semakin bergelora. Kecepatan larinya pun bertambah. Laksana kera kedua kakinya menotok ke sana kemari membuat tubuhnya melayang ke atas secara cepat.
Nawangsih baru memperlambat larinya ketika telah melihat sebuah goa yang berjarak sekitar sepuluh tombak di hadapannya. Kini dirinya berada di sebuah hamparan tanah datar berumput. Dengan langkah satu-satu Nawangsih mendekati mulut goa.
Wusss!
Tiba-tiba serentetan angin dahsyat berasal dari dalam goa, meluruk ke arah Nawangsih, ketika gadis itu telah berjarak sekitar tiga tombak dari mulut goa. Nawangsih tersentak kaget. Hatinya menyadari ada bahaya maut yang tengah mengancam. Buru-buru dia menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan menjauh. Ketika akhirnya dia bangkit berdiri, di mulut goa telah berdiri sesosok tubuh kekar berpakaian compang-camping.
Rambutnya pun awut-awutan. Namun bukan hal itu yang menyebabkan Nawangsih merasa ngeri, melainkan sorot mata lelaki muda berpakaian compang-camping itu. Sinar yang keluar dari sepasang matanya mengingatkan Nawangsih akan tatapan seekor harimau dalam kegelapan.
Mencorong dan bersinar kehijauan. Sepertinya ada kekuatan aneh terkandung di dalam diri lelaki muda berpakaian gembel itu. Dengan langkah lambat-lambat dan sikap mengancam, lelaki berpakaian compang-camping itu menghampiri Nawangsih.
"Pemberontak Keparat! Sungguh berani kau mendekati istanaku!" seru lelaki muda berpakaian compang-camping itu keras. "Kalau pengawal-pengawalku tahu kau akan dipancung!"
Nawangsih tidak merasa heran sama sekali melihat sikap dan ucapan lelaki berpakaian compang-camping itu. Dirinya telah mendapat pemberitahuan kalau penghuni goa itu orang tidak waras.
Hampir dia tertawa mendengarnya, tapi dengan sekuat tenaga ditahannya. Bahkan Nawangsih yang berwatak lincah ini bermaksud meladeni kegilaan lelaki berpakaian compang-camping itu.
"Apakah kau sudah tak mengenaliku lagi, Kang? Aku bukan pemberontak. Aku istrimu! Aku bermaksud ikut membantumu membasmi pemberontak-pemberontak itu. Lihat, aku telah mendapatkan pedang sri baginda. Beliau telah memberikan kepercayaan pada kita untuk membasmi para pengkhianat!" seru Nawangsih seraya mencabut pedang yang diberikan Eyang Dipayana dan mengacungkannya tinggi-tinggi ke atas.
"Ah! Sungguhkah...?! Kalau begitu, mari kita basmi pemberontak-pemberontak itu sekarang, Istriku!" sambut lelaki berpakaian compang-camping merasa gembira. Kakinya melangkah menghampiri Nawangsih.
Nawangsih terbelalak kaget bercampur kagum ketika melihat pemuda berpakaian compang-camping itu tahu-tahu berada di dekatnya. Padahal, dia hanya melihat lelaki itu mengayunkan kaki selangkah secara sembarangan.
Nawangsih bertambah kaget ketika melihat pemuda berpakaian compang-camping itu mengembangkan kedua lengan hendak memeluk. Rasa jijik melanda hati gadis berpakaian kuning ini, apalagi ketika hidungnya mencium bau apek, asem, dan pengak! Bau orang yang lama tidak mandi!
Didorong oleh rasa jjik, dan tentu saja Nawangsih sebagai seorang gadis, tidak mau dipeluk oleh sembarangan orang. Dia pun berusaha mengelak. Gadis berpakaian kuning ini melangkahkan kakinya ke belakang seraya mendoyongkan tubuh. Namun entah bagaimana, Nawangsih sendiri tidak mengetahuinya, tahu-tahu tangan lelaki gila itu melingkari tubuhnya.
Kenyataan ini membuat Nawangsih gugup. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, lelaki berpakaian compang-camping itu telah memperketat pelukan, lalu menciumi Nawangsih dengan buasnya. Hampir Nawangsih pingsan menerima perlakuan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Dia berusaha meronta dan kalau perlu membunuh lelaki gila ini. Namun hanya dengan sebuah sentuhan pada bahu kanannya tubuh Nawangsih telah dibuat lemas tidak berdaya.
"Keparat!" lelaki berpakaian compang-camping itu menggeram keras penuh kemarahan, dan bahkan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. "Rupanya benar berita yang kudengar bahwa kau telah bermain gila dengan Gusti Pangeran Laksana dewa! Buktinya kau sekarang tidak mau kucium!"
Nawangsih mengeluh dalam hati. Tidak disangkanya sama sekali kalau sandiwara yang dilakukannya akan berlanjut seperti itu. Dia harus bertindak cepat kalau ingin nyawanya selamat. Orang gila yang tengah murka itu telah merenggangkan pelukan, dan tangan kirinya sekarang telah berada di ubun-ubun Nawangsih. Sekali saja lelaki gila itu mengerahkan sedikit tenaga dalam, Nawangsih akan tewas dengan ubun-ubun pecah!
"Kau salah, Kakang! Bukannya aku tak mau, tapi Gusti Prabu memerintahkan agar kita bergegas! Kau harus buru-buru berkemas agar kita dapat segera pergi! Toh, nanti di perjalanan masih banyak waktu bagi kita untuk melakukannya," ucap Nawangsih dengan raut wajahmemerah ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir.
"Ah...! Kau benar...! Benar sekali..! Mengapa aku demikian pelupa?"
Sambil mengangguk-anggukkan kepala lelaki gila itu melepaskan pelukannya, dan membebaskan totokan terhadap Nawangsih. Kemarahan yang tadi membayang jelas di wajahnya telah menguap pergi. Bahkan sorot matanya telah melembut kembali, meskipun tetap aneh.
Nawangsih menghela napas. Hatinya lega melihat keberhasilan ucapannya. Sudah kepalang, pikirnya, lebih baik dilanjutkan saja sandiwara ini!
"Benar kan? Lebih baik kau mandi dulu, bersihkan tubuh, ganti pakaianmu dan kita berangkat," ucap Nawangsih, yang bingung memikirkan bagaimana dia akan tahan melakukan perjalanan dengan orang yang memiliki bau seperti itu!
Lelaki berpakaian compang-camping itu mengangguk-anggukkan kepala menyetujui permintaan Nawangsih. Tubuhnya berbalik lalu melangkah. Namun mendadak ayunan kakinya terhenti. Karuan saja hal ini membuat Nawangsih yang sudah merasa lega jadi khawatir kembali.
"Mengapa harus, aku saja, Istriku? Bukankah lebih baik kalau kau ikut mandi juga? Kita mandi bersama seperti sewaktu kita belum mempunyai anak? Anak... anakku.... Di mana anak kita, Nawangsih?"
Lelaki berpakaian compang-camping itu tertegun. Seolah dia teringat sesuatu, anaknya, bahkan sekaligus nama istrinya. Kepalanya ditolehkan ke sana kemari dengan sepasang mata liar.
Ucapan-ucapan lelaki gila itu membuat Nawangsih merasa kaget. Sebagai seorang dara yang cerdik, dia dapat memperkirakan kalau sandiwara yang dilakukannya ternyata mempunyai persamaan dengan riwayat hidup lelaki berpakaian compang-camping itu. Setidak-tidaknya membuat lelaki itu teringat akan masa lalunya.
"Mengapa kau demikian pelupa, Kang?" ucap Nawangsih ketika menemukan jawaban yang akan digunakannya untuk melepaskan diri dari keadaannya yang terjepit. "Anak kita diculik pemberontak-pemberontak keparat itu. Dan kita akan membebaskannya setelahmelenyapkan mereka."
"Diculik?!" lelaki berpakaian compang-camping mengernyitkan alis, membuat hati Nawangsih berdebar-debar.
Namun kekhawatiran Nawangsih langsung pupus ketika lelaki berpakaian compang-camping tidak mempedulikan hal itu lagi.
"Lebih baik kau pergi mandi sendiri, Kang. Bukannya aku tidak mau menemani. Aku hanya khawatir kalau kita pergi berdua, istana kita akan diserbu pemberontak."
"Kau benar..., kau benar...!" lagi-lagi lelaki berpakaian compang-camping itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, masih dengan kepala terangguk-angguk, lelaki gila itu membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan Nawangsih.
Mendadak langkahnya dihentikan. Sepasang matanya menatap tajam ke depan. Nawangsih yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, ikut pula mengarahkan pandangan ke arah yang sama. Seketika dia merasa gelisah.
Di kejauhan, tampak dua sosok tubuh tengah melesat cepat ke arah mereka. Namun bukan gerakan mereka yang menyebabkan Nawangsih gelisah, melainkan karena mengenali siapa dua sosok yang tengah menuju ke arahnya. Salah seorang di antara keduanya benar-benar jelas dari kejauhan. Pakaian ungu dan rambutnya putih panjang terurai. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak?
"Kang...! Kembali kemari...! Cepat, kita tinggalkan tempat ini...!" seru Nawangsih penuh perasaan gelisah.
Namun lelaki berpakaian compang-camping itu seperti tidak mendengar teriakan Nawangsih. Dia menatap dua sosok yang tengah menuju tempatnya, dengan sepasang mata membelalak lebar laksana melihat hantu. Sikap lelaki berpakaian compang-camping itu membuat Nawangsih semakin gelisah.
"Kang...! Cepat...! Nanti pemberontak-pemberontak itu keburu kabur...!" seru Nawangsih lagi dengan kegelisahan yang kian memuncak.
Namun lelaki berpakaian compang-camping tetap tidak memberikan tanggapan sama sekali. Nawangsih ingin menghampiri dan mengajaknya kabur, tapi khawatir karena dia tahu lelaki itu memiliki sikap yang tidak bisa ditebak. Apalagi ketika dilihatnya tubuh lelaki itu sekarang menggigil. Bunyi berkerotokan terdengar dari sekujur tubuhnya, seakan tulang-tulangnya berpatahan!
Padahal, lelaki itu tidak menggerakkan tangan atau kaki. Nawangsih bergidik karena tahu kalau bunyi itu timbul akibat tenaga dalam yang bergolak sendiri. Tenaga dalam yang amat dahsyat!
Nawangsih tahu, tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dia hanya menunggu dengan jantung berdetak kencang. Tidak ada gunanya lagi melarikan diri karena dua sosok yang tidak lain Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe telah melihatnya. Nawangsih hanya berdiri di tempatnya dengan pasrah.
Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe memang telah melihat keberadaan Nawangsih dan lelaki berpakaian compang-camping itu. Keduanya langsung menghentikan langkah berjarak empat tombak dari lelaki berpakaian compang-camping itu dan memasang sikap waspada.
Sebagai orang-orang yang telah kenyang pengalaman. Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe tahu kalau lelaki berpakaian compangcamping itu tengah dalam keadaan murka. Hanya saja, mereka tidak tahu penyebabnya. Namun baik Eyang Ranggalawe maupun Dewa Arak tahu, kemarahan lelaki berpakaian compang-camping itu tertuju pada mereka.
"Kau...?!" ucapan bernada penuh geram dan kemarahan keluar dari mulut lelaki berpakaian compang-camping dengan pandangan tertuju ke arah Dewa Arak. "Iblis Jahanam...! Nawangsih..! Tidak,..! Kubunuh kau, Jahanam!"
Belum lenyap gema ucapannya, lelaki berpakaian compang-camping itu telah melompat menerjang Dewa Arak. Di udara, tubuhnya berputar, kemudian kaki kanannya dikibaskan ke arah pelipis Dewa Arak.
Dewa Arak yang memang sudah sejak tadi bersikap waspada langsung melompat ke belakang, sehingga serangan itu menyambar di depan wajahnya. Namun betapa kaget hatinya ketika melihat, dengan sebuah gerakan aneh, lelaki berpakaian compang-camping itu mampu melancarkan serangan susulan berupa kibasan kaki yang satu lagi.
Dewa Arak hampir tidak percaya dengan pandang matanya sendiri. Meskipun demikian dia tidak tampak gugup. Dengan gerakan cepat ia segeramengelak.
Bukkk!
Meskipun tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, tindakan Arya cukup berhasil menyelamatkan selembar nyawanya. Serangan kaki lawan tidak menghantam kepalanya, tapi menyerempet bahunya. Sungguhpun begitu, karena tenaga dalam yang terkandung pada serangan itu kuat, tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung ke belakang. Wajahnya tampak menyeringai menahan sakit.
Saat itu, lelaki berpakaian compang-camping telah melancarkan serangan susulan dengan gedoran kedua tangannya. Terpaksa Arya menyambutinya lagi karena keadaan tidak memungkinkan.
Plakkk!
Benturan keras antara dua tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tak dapat dielakkan ketika Dewa Arak memapak dengan menggunakan tapak tangan kanan terbuka. Lelaki gila itu menggunakan tenaga tangkisan untuk bersalto di udara, melewati kepala lawan. Ketika berada di belakang Dewa Arak mengirimkan totokan dahsyat dan bertubi-tubi ke arah tengkuk pemuda berambut putih keperakan.
Dewa Arak yang merasakan ada desir angin tajam di belakangnya, tidak berani bertindak lambat. Dia melompat ke depan dan bergulingan menjauh. Ketika telah berhasil bangkit, lawan telah menjejak tanah dan menghadap ke arahnya. Arya pun langsung bersiap sedia. Dia tahu, lelaki berpakaian compang-camping itu memiliki kepandaian tinggi.
Lelaki berpakaian compang-camping itu menggeram keras hingga membuat sekitar tempat itu seakan bergetar hebat. Rupanya dia merasa penasaran dan marah melihat serangannya gagal. Lalu, setelah mengeluarkan gerengan keras seperti harimau, tubuhnya melompat tinggi. Kemudian meluncur ke arah Dewa Arak dengan kedua kakinya bergerak melakukan tendangan maut bertubi-tubi menuju tengkuk, ubun-ubun, pelipis, dan tenggorokan. Sekali saja terkena tendangan ini betapa pun kuatnya tenaga dalam Dewa Arak, mungkin tak akan mampu bertahan.
Dewa Arak tahu hal itu. Dengan cepat dia melompat mundur, ke kanan, dan ke kiri menghindarkan diri dari serangan gencar lawannya. Bentuk serangan yang demikian aneh membuat Dewa Arak tidak berani bertindak sembrono dengan melakukan tangkisan.
Untuk beberapa jurus lamanya pemuda berambut putih keperakan itu hanya mengelak ke sana kemari. Bukan karena takut, tapi untuk mempelajari perkembangan ilmu lawan yang aneh dan tidak dikenalnya. Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang pengalaman, Arya tahu kalau lelaki berpakaian compang-camping itu memiliki ilmu tendangan dahsyat. Dia juga menduga ilmu itu dari aliran putih. Ini bisa diketahuinya dari serangan-serangan yang jarang menggunakan tipuan.
Dewa Arak harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya untuk dapat mengelakkan serangan lawannya yang bertubi-tubi. Sebab serangan-serangan itu meluncur secara cepat. Sebentar saja, telah tampak pemuda berambut putih keperakan itu terdesak hebat, karena hanya mengelak ke sana kemari dan terus-menerus mundur.
Sementara itu, Eyang Ranggalawe yang tadi segera menghindar ketika melihat lelaki berpakaian compang-camping itu menerjang Dewa Arak, segera menghampiri Nawangsih.
"Apa arti perbuatanmu ini, Nawangsih?" tegur Eyang Ranggalawe kepada Nawangsih yang hanya menundukkan kepala.
Nawangsih tidak memberikan jawaban sama sekali. Kepalanya tetap ditundukkan sementara kaki kanannya digores-goreskan ke tanah.
"Kau bius aku dengan makanan dan minuman yang kau sediakan. Untung saja Dewa Arak telah menaruh curiga padamu, hingga dia telah lebih dulu menyiapkan penangkalnya sebelum mencicipi makanan dan minuman yang kau sediakan. Dialah yang mengetahui kepergianmu dan membangunkanku begitu dilihatnya kau bertemu dengan Satria Sinting," ujar Eyang Ranggalawe masih bernada teguran.
"Satria Sinting?!" ulang Nawangsih dengan alis berkerut.
"Memang begitulah julukan yang kami berikan padanya. Memang tidak cocok, tapi itu lebih baik daripada kami berikan julukan Pendekar Gila padanya. Sebuah julukan yang kasar dan bernada penghinaan, meskipun memang benar adanya. Apa maksud tindakanmu ini, Nawangsih?! Tidakkah kau sadari kalau perbuatan yang kau lakukan ini amat berbahaya?! Satria Sinting memiliki sifat yang tidak dapat diduga. Meskipun serba sedikit aku cukup mengenalnya. Dia memiliki kepandaian yang amat tinggi. Terus terang saja, kalau dibandingkan dengannya aku bukan apa apa. Jelaskan, Nawangsih...!"
"Aku tidak bermaksud buruk, Eyang," jawab Nawangsih masih tetap menundukkan kepala. "Aku hanya ingin membalaskan kematian Eyang Dipayana dan ayahku dengan bantuan Satria Sinting."
"Apa?! Sepasang mata Eyang Ranggalawe membelalak lebar. "Kau tidak main-main, Nawangsih?! Kau gila! Kau bercanda dengan maut kalau begitu! Satria Sinting, seperti yang kukatakan tadi memiliki sifat yang tidak bisa diduga. Meskipun demikian aku tahu masa lalunya. Masa lalunya penuh dengan gelimangan darah. Itulah sebabnya, meskipun dia telah menolong kami, aku, dan gurumu... kami tidak berani bergaul terlalu dekat dengannya. Asal kau tahu saja, Nawangsih... aku hampir mati di tangannya. Untung saja datang gurumu yang berhasil menjinakkan sifat liarnya."
Eyang Ranggalawe menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Sementara Nawangsih yang telanjur tertarik dengan cerita itu menunggunya dengan perasaan tidak sabar. Dia jadi ingin mengetahui riwayat hidup tokoh yang berjuluk Satria Sinting itu.
"Mungkin sedikit kuberitahukan padamu, Nawangsih. Sifat liar dan lembutnya timbul karena ada hal-hal yang dilihatnya. Dalam keadaan biasa dia bertingkah laku seperti orang kurang waras. Kadang-kadang dia bermain-main seperti anak kecil. Namun aku tidak tahu pasti kapan sifat lembut dan ganasnya muncul...," sambung Eyang Ranggalawe lagi agak tersendat-sendat menjelaskannya karena kesulitan mencari kata-kata untuk dikeluarkan.
"Aku juga menduga demikian, Eyang," tukas Nawangsih mendukung dugaan kakek berpakaian abu-abu itu.
"Kau..?!" seru Eyang Ranggalawe setengah tak percaya. "Dari mana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?"
"Dari kejadian yang telah kualami bersamanya akibat aku mencoba meladeni kegilaannya," jawab Nawangsih kalem.
Kemudian secara singkat tapi jelas diceritakan semua kejadian yang dialaminya. Berkali-kali Eyang Ranggalawe mengeluarkan seruan-seruan kaget begitu mendengar cerita Nawangsih. Bahkan kepalanya digeleng-gelengkan ketika gadis berpakaian kuning itu mengakhiri ceritanya.
"Kau, ahhh..., kalau tadi tidak melihat kau berdua dengannya, sedikit pun mungkin aku tidak akan percaya. Lalu., kesimpulan apa yang kau dapatkan, Nawangsih?"
Nawangsih mengangkat wajah, dan menatap Eyang Ranggalawe tepat pada kedua bola matanya. "Satria Sinting termasuk orang penting kerajaan, entah kerajaan mana. Punya istri dan anak serta telah siap untuk berperang menghadapi pemberontak," Nawangsih menghentikan ucapannya sejenak. "Tapi anehnya, nama istri yang disebut-sebutkan sama dengan namaku."
"Ah...!" sepasang mata Eyang Ranggalawe membelalak lebar saking kagetnya. "Nawangsih?! Kini aku mengerti, mengapa tadi sebelum menerjang Dewa Arak, dia menyebutkan nama Nawangsih. Kukira tadi dia menyebut namamu."
Kakek berpakaian abu-abu ini lalu mengalihkan perhatian ke arah pertarungan yang tengah berlangsung dan semakin sengit. Dewa Arak melakukan perlawanan begitu telah dapat mengetahui perkembangan ilmu lawan meskipun hanya sedikit.
Pemuda berambut putih keperakan itu belum mempergunakan ilmu andalannya. Hanya ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Panakluk Naga' yang terus dikerahkannya menghadapi Satria Sinting.
"Kalau begitu... Dewa Arak mengingatkannya akan kejadian buruk yang telah dialaminya," ucap Eyang Ranggalawe dengan suara bergumam. "Dan menilik dari sikapnya yang demikian membenci, sepertinya Satria Sinting amat membenci orang yang memiliki ciri-ciri mirip dengan Dewa Arak."
"Bukan tidak mungkin kalau orang mirip Dewa Arak itulah yang menjadi musuhnya, Eyang," sambut Nawangsih memberikan dugaan.
Eyang Ranggalawe mengangguk-anggukkan kepala membenarkan dugaan yang diajukan Nawangsih. "Berarti dengan kejadian yang kau alami misteri yang menyelimuti rahasia Satria Sinting mulai terungkap. Hhh...! Sudah bisa kubayangkan kalau masa lalu Satria Sinting sangat menarik dan luar biasa untuk diketahui."
Usai berkata demikian, karena tidak ada pembicaraan lagi, Eyang Ranggalawe mengalihkan perhatian pada pertarungan antara Dewa Arak dengan Satria Sinting. Memang, tidak ada kesenangan yang lebih menarik perhatian seorang tokoh persilatan kecuali memperhatikan sebuah pertarungan. Apalagi pertarungan antara tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi seperti Dewa Arak dengan Satria Sinting.
Menggiriskan hati jalannya pertarungan antara Dewa Arak dengan Satria Sinting. Bentuk tubuh kedua tokoh bagaikan lenyap. Yang terlihat hanya dua bayangan yang saling belit dan hanya kadang-kadang saja saling pisah. Bahkan terkadang kedua bayangan itu seperti jadi satu karena begitu cepat gerakan yang dilakukan.
Tak terasa pertarungan telah berlangsung empat puluh jurus. Namun selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Jalannya pertarungan masih seimbang. Kedua belah pihak masih saling melancarkan serangan.
Beberapa kali terjadi benturan antara tangan atau kaki yang menyebabkan masing-masing pihak terdorong ke belakang. Namun dengan cepat keduanya saling terjang kembali.
"Haaat...!" Pada jurus kelima puluh delapan, Satria Sinting menerjang Dewa Arak dengan sebuah pukulan tangan terbuka ke arah dada. Serangan dahsyat itu mampu menimbulkan bunyi menderu, yang membuat Dewa Arak sempat terbelalak kaget ketika menyadari kalau deru angin yang meluruk ke arahnya berlainan rasanya. Yang kanan berhawa panas sedangkan yang kiri dingin.
Meskipun demikian, Dewa Arak tidak gentar untuk memapakinya dengan gerakan yang sama. Pemuda berambut putih keperakan ini tampaknya bermaksud mengadu keras lawan keras.
Bresss!
Benturan keras dari dua buah tenaga dalam yang sangat dahsyat membuat tubuh Dewa Arak dan Satria Sinting sama-sama terjengkang ke belakang. Bahkan getarannya terasa oleh Eyang Ranggalawe dan Nawangsih yang berada cukup jauh dari tempat pertarungan. Keduanya segera menyingkir untuk menjauh dari tempat pertarungan agar lebih aman.
Namun, rupanya Satria Sinting tidak bergairah untuk melanjutkan pertarungan. Kekuatan yang membuat tubuhnya terpental dipergunakan untuk menambah tenaga lesatannya menuju tempat Nawangsih berada.
Tindakan ini tidak hanya mengejutkan Dewa Arak yang tidak menyangka hal itu melainkan juga Eyang Ranggalawe dan Nawangsih. Dan karena merasa khawatir terhadap keselamatan Nawangsih, lelaki tua itu berusaha menghadang gerakan Satria Sinting yang meluncur ke arah Nawangsih dari sebelah kiri dengan melancarkan tatokan ke arah pelipis dan ubun-ubun.
Prattt!
"Uh...?!" Eyang Ranggalawe memekik tertahan ketika tubuhnya terlempar ke belakang begitu Satria Sinting mengibaskan tangan memapak serangannya.
Sementara, luncuran tubuh Satria Sinting sama sekali tidak terlambat. Meskipun akibat serangan Eyang Ranggalawe membuat kecepatan luncurannya berkurang, namun dengan sedikit menggerakkan tubuh di udara, dia telah kembali meluncur ke arah Nawangsih.
"Hea...!"
Tuk! Tuk!
"Aaaa...!" Meskipun Nawangsih telah berusaha menghindar dan melakukan perlawanan lelaki berpakaian gembel itu akhirnya berhasil melumpuhkan. Dengan gerakan yang cepat sekali tangannyameluncur menotok tubuh Nawangsih.
Melihat kejadian itu Dewa Arak tidak tinggal diam. Dengan gerakan cepat sekali tubuhnya melesat memburu Satria Sinting yang berhasil membawa kabur Nawangsih. Namun rupanya lelaki berpakaian gembel itu cukup cerdik. Selain memiliki ilmu lari cepat, dia mampu mencari tempat-tempat yang tersembunyi untuk dapat lolos dari pengejaran Dewa Arak.
Dewa Arak akhirnya tak melanjutkan pengejaran. Dia berbalik untuk melihat keadaan Eyang Ranggalawe yang sempat terlempar ketika beradu tenaga dengan Satria Sinting.
"Kau tidak apa-apa. Eyang?" tanya Arya, meskipun telah bisa memperkirakan kalau kakek berpakaian abu-abu itu tidak mengalami luka apa pun.
"Dia masih hebat seperti dulu, bahkan mungkin sekarang ilmunya telah banyak mengalami kemajuan...," jawab Eyang Ranggalawe serayamenggeleng-gelengkan kepala.
"Mengapa kau tidak mengejarnya, Dewa Arak?" tanya Eyang Ranggalawe merasa heran.
"Kurasa lebih baik kita melakukan pengejaran bersama-sama Eyang."
Eyang Ranggalawe tidak memberikan tanggapan. Namun dalam hati dia menyetujui ucapan pemuda berambut putih keperakan itu. Sesaat kemudian kedua tokoh itu melesat meninggalkan tempat itu untuk mengejar Satria Sinting yang membawa kabur Nawangsih.
"Kang...! Kang, turunkan aku, Kang...! Aku bisa berlari sendiri...!" seru Nawangsih ketika tidak melihat adanya Dewa Arak atau Eyang Ranggalawe mengejarnya.
Satria Sinting menghentikan lari dan menurunkan tubuh Nawangsih dari panggulannya, setelah membebaskan totokannya. Nawangsih langsung merapikan pakaiannya yang agak kusut karena panggulan Satria Sinting.
"Uhhh...!" Tiba-tiba terdengar lenguhan yang membuat Nawangsih kaget dan menoleh ke arah datangnya suara itu.
"Kang...! Ada apa, Kang?"
Nawangsih terkejut ketika melihat tubuh Satria Sinting limbung sambil tangannya memegangi dahi. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari Satria Sinting. Lelaki gila itu tetap memegangi dahi dengan kedua tangan sambil merintih seperti menahan rasa sakit. Tubuhnya semakin terhuyung huyung ke sana kemari. Mulutnya meringis menyiratkan sakit yang tengah dirasakannya.
Nawangsih yang merasa heran bercampur khawatir segera menghampiri Satria Sinting. Tubuh lelaki berpakaian compang-camping jatuh terkulai lemas seraya mengeluarkan lenguhan panjang. Kalau Nawangsih tidak segera mengulurkan tangan, menangkap, tentu Satria Sinting terbanting keras di tanah.
"Kang..! Apa yang terjadi?" tanya Nawangsih kebingungan. Diguncang-guncangnya Satria Sinting yang telah berada dalam pelukannya. Namun tetap tidak ada tanggapan sama sekali. Tubuh berpakaian compang-camping itu terkulai lemas di pelukannya.
Satria Sinting telah pingsan secara aneh. Nawangslh menghentikan usahanya untuk mengguncang-guncangkan tubuh Satria Sinting. Dia menyadari kalau tindakannya akan sia-sia. Ditolehkan kepalanya ke sana kemari mencari tempat yang enak untuk merebahkan tubuh Satria Sinting yang tak sadarkan diri.
Untung tak jauh dari situ tumbuh sebatang pohon besar berdaun rimbun. Bergegas Nawangsih memapah tubuh Satria Sinting dan merebahkannya di bawah pohon. Dengan hati gelisah, Nawangsih menunggu hingga lelaki berpakaian compang-camping itu sadar. Karena meskipun telah diusahakan untuk menyadarkan, Satria Sinting tetap pingsan.
"Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba...! Rupanya keberuntungan masih berpihak pada kami, sehingga di tempat seperti ini berhasil menemukanmu, Cah Ayu! Ha ha ha...! Sekarang siapa yang akan menolongmu lagi? Ha ha ha...!"
Nawangsih tersentak kaget mendengar suara tawa itu. Wajahnya berubah pucat ketika menoleh ke arah suara itu. Dikenalinya betul siapa pemilik suara yang khas barusan. Dugaannya tidak keliru, berjarak lima tombak dari tempatnya berdiri tiga sosok lelaki yang amat dikenalnya. Mereka tak lain Setan Hitam Muka Kuda, Iblis Pemburu Nyawa, dan Gajah Kecil Bertangan Maut Tokoh-tokoh hitam yang terus memburunya entah untuk keperluan apa.
Sing! Sing!
Tanpa pikir panjang Nawangsih langsung melolos sepasang pedang yang tersampir di pundaknya. Tak ada jalan lain baginya kecuali melakukan perlawanan. Gadis berpakaian kuning ini telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Dia terpaksa memberikan perlawanan mati-matian karena menyadari untuk melarikan diri merupakan hal yang tidak mungkin sama sekali.
"Ho ho ho...!" Gajah Kecil Bertangan Maut yang berwatak gembira dan lucu tertawa bergelak melihat tindakan Nawangsih. Perlawanan yang akan dilakukan gadis cantik itu dianggapnya bukan suatu persoalan berat. Telah diketahuinya sendiri tingkat kepandaian Nawangsih berada jauh di bawahnya.
"Biar aku yang menangkapnya, Gajah Kecil!" pinta Iblis Pemburu Nyawa seraya melangkah maju.
Baru saja ucapan itu berhenti, Nawangsih telah melompat menerjang Iblis Pemburu Nyawa yang berada paling depan. Hal itu membuat Gajah Kecil Bertangan Maut dan Setan Hitam Muka Kuda melompat mundur menjauhi kancah pertarungan.
Hal yang sama dilakukan Iblis Pemburu Nyawa. Namun kalau kedua rekannya menjauhi tempat pertarungan, lelaki kurus bersenjata rantai dengan bola baja berdiri itu melompat guna mengelakkan serangan Nawangsih.
Serangan gadis berpakaian kuning itu ternyata tidak bisa dianggap remeh juga. Bentuk sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar menyilaukan mata laksana halilintar menyambar. Namun gerakan Iblis Pemburu Nyawa pun tak kalah cepat. Sehingga serangan-serangan Nawangsih beberapa kali hanya menyambar tempat kosong.
Melihat serangannya gagal Nawangsih tak tinggal diam. Dengan gerakan cepat diluncurkannya kembali serangan-serangan gencar dan dahsyat. Sepasang pedangnya mengaung, berputar dan menyambar, memburu sasaran dalam bentuk sinar-sinar kilat yang menyilaukan mata.
Dalam hati Iblis Pemburu Nyawa memuji kedahsyatan permainan pedang Nawangsih. Namun dengan mudah serangan-serangan itu dielakkannya. Lelaki tua bertubuh kecil kurus ini memang tidak percuma mendapat julukan Iblis Pemburu Nyawa. Gerakannya sangat cepat, bahkan seakan berubah menjadi bayangan yang melesat ke sana kemari dalam mengelakkan serangan lawan.
Kenyataan ini membuat Nawangsih menggertakkan gigi menahan kegeraman. Dia merasa seolah menyerang bayangannya sendiri, sehingga ke mana pun pedangnya meluncur, tak satu pun yang mengenai sasaran. Padahal, telah hampir sepuluh jurus serangan dilancarkannya.
"Hih...!"
Bukkk!
"Uh...!"
Sebuah tamparan tangan kanan Iblis Pemburu Nyawa mendarat telak di pundak Nawangsih. Untung saja, kakek tinggi kurus itu tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Meskipun demikian tubuh Nawangsih terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Darah menetes dari mulutnya bersamaan dengan terlemparnya pedang di tangan kanan.
Namun Nawangsih tampak tak merasa gentar sedikit pun. Dia bergegas bangkit. Walaupun sekarang hanya memegang sebatang pedang, dengan gerakan mantap gadis itu masih berani menerjang Iblis Pemburu Nyawa dengan sebuah tusukan ke arah leher.
Iblis Pemburu Nyawa tertawa terkekeh. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa, dia menyelinap ke belakang Nawangsih. Dengan cepat tangannya bergerak menotok punggung Nawangsih. Seketika tubuh gadis berpakaian kuning itu terkulai di tanah.
"Ha ha ha...!"
Iblis Pemburu Nyawa, Gajah Kecil Bertangan Maut, dan Setan Hitam Muka Kuda sama-sama tertawa bergelak menyaksikan robohnya tubuh Nawangsih. Dan masih dengan tawa berderai, Iblis Pemburu Nyawa menghampiri tubuh Nawangsih yang terkulai tak berdaya.
"Hey...! Apa yang hendak kalian lakukan?"
Sebuah bentakan keras membuat kedua tangan Iblis Pemburu Nyawa yang terjulur hendak meraih tubuh Nawangsih terhenti di tengah jalan. Seketika kepala Iblis Pemburu Nyawa dan dua rekannya menoleh ke arah asal suara. Dengan langkah setengah berlari, sesosok tubuh menghampiri tempat Nawangsih tergolek
Iblis Pemburu Nyawa yang merasa diganggu urusannya, menggeram penuh kemarahan. Sepasang matanya menatap lelaki berpakaian compang-camping itu yang ternyata Satria Sinting adanya. Kemudian dengan secara sembarangan dikibaskan tangan kanannya.
Wusss!
Segundukan angin keras meluruk ke arah Satria Sinting, dan menghantamnya secara telak. Sehingga tubuhnya terlontar deras ke belakang. Luncuran itu baru terhenti ketika punggung Satria Sinting menghantam batang pohon tempatnya berteduh tadi. Tanpa mempedulikan keadaan Satria Sinting, Iblis Pemburu Nyawa mengangkat tubuh Nawangsih dan meletakkan di bahu kanannya.
"Apa yang hendak kau lakukan terhadapnya?!" Seruan ini membuat Iblis Pemburu Nyawa terjingkat kaget bagai disengat kalajengking. Bahkan tubuh Nawangsih yang berada di bahunya hampir terlempar. Masih dalam keadaan diliputi rasa terkejut dialihkan pandangannya ke tempat lelaki berpakaian gembel yang tadi terlempar oleh serangannya.
Sepasang mata Iblis Pemburu Nyawa terbelalak kaget. Seperti tak percaya melihat Satria Sinting kembali mengayunkan langkah mendekatinya. Tidak tampak tanda-tanda kalau pukulan jarak jauh yang menghantamnya, berpengaruh terhadap tubuh lelaki berpakaian gembel itu. Dan kenyataan ini tidak hanya membuat kaget Iblis Pemburu Nyawa. Setan Hitam Muka Kuda, dan Gajah Kecil Bertangan Maut sama-sama terlongo bengong.
Menurut perhitungan mereka pukulan jarak jauh Iblis Pemburu Nyawa telah cukup untuk mengirim nyawa lelaki berpakaian compang-camping itu ke akherat. Ketiga tokoh hitam itu melihat langkah Satria Sinting yang berat dan tidak lincah. Sungguh suatu gambaran dari seorang yang tidak memiliki ilmu silat.
Itulah sebabnya ketika melihat Satria Sinting tidak mengalami kejadian apa pun, Iblis Pemburu Nyawa dan dua rekannya terkejut bukan kepalang. Namun kekagetan yang menyelimuti tiga tokoh hitam itu hanya berlangsung sesaat, karena segera berubah menjadi rasa penasaran dan geram. Dan karena dorongan perasaan itulah Iblis Pemburu Nyawa tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak. Dengan pengerahan tenaga dalam tangan kanannya dihentakkan.
Wrrrs!
Seketika gelombang angin pukulan meluruk ke arah Satria Sinting. Sebuah pukulan yang jauh lebih dahsyat daripada sebelumnya. Bunyi menderu keras seperti badai langsung terdengar ketika Iblis Pemburu Nyawa menghentakkan tangan.
Glarrr...!
Bunyi ledakan keras terdengar ketika dari arah samping meluruk pula segundukan angin dahsyat, memapaki pukulan jarak jauh Iblis Pemburu Nyawa. Sehingga serangan lelaki tua itu pun kandas. Bahkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang akibat pengaruh benturan yang dahsyat.
"Keparat!" Iblis Pemburu Nyawa memaki penuh kemarahan. Dengan wajah bengis, dialihkan pandangannya ke arah asal pukulan jarak jauh yang memapaknya.
Dalam jarak sekitar empat tombak, berdiri seorang kakek berpakaian serba merah. Sikapnya terlihat angker dan penuh wibawa.
"Siapa kau?!" tanya Iblis Pemburu Nyawa setengah membentak setelah beberapa saat lamanya mengawasi kakek berpakaian merah.
"Siapa adanya aku, tidak penting. Yang jelas, kau dan dua kawanmu kuminta segera meninggalkan tempat ini, dan jangan coba-coba mengganggu dia!" tandas kakek berpakaian merah sambil menuding Satria Sinting.
"Keparat! Berani benar kau berkata begitu pada Iblis Pemburu Nyawa?!" teriak Iblis Pemburu Nyawa penuh ancaman.
"Hhh...!" Kakek berpakaian merah menghembuskan napas berat seperti menyesali Iblis Pemburu Nyawa yang mengucapkan perkataan seperti itu.
"Kau menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan! Sayang sekali! Terpaksa aku akan membunuhmu dan juga kedua rekanmu! Asal kalian tahu saja, aku mempunyai alasan kuat untuk melakukannya karena kalian telah berani lancang membunuh Eyang Dipayana. Padahal, akulah yang akan membunuhnya karena dia musuh besarku! Bersiaplah menerima kematian...!"
"Sombong...! Kaulah yang akan mati di tanganku atas kelancangan sikapmu itu!"
Iblis Pemburu Nyawa melemparkan tubuh Nawangsih ke tanah. Lalu tubuhnya melesat menerjang kakek berpakaian merah. Tangan kanannya yang mengepal keras, dipukulkan ke arah dada lawan hinggamenimbulkan bunyi menderu karena kekuatan tenaga dalam yang dikerahkannya. Kakek berpakaian merah tetap bersikap tenang. Tanpa menunjukkan sikap gugup dia melompat ke atas dan mengirimkan tendangan kilat ke arah kepala lawan.
Iblis Pemburu Nyawa terkejut melihat serangan balasan yang tidak disangka-sangkanya. Namun, tidak percuma dia mendapat julukan Pemburu Nyawa karena gerakannya memang cepat. Dalam kesempatan yang begitu sempit dia masih mampu mengelakkan serangan dengan melompat ke belakang.
Iblis Pemburu Nyawa menggereng keras karena marah. Sambil menggeretakkan gigi dia segera melolos rantai yang berujung bola berduri di pinggangnya. Kemudian diputar-putarkannya di atas kepala.
Wukkk! Wukkk!
Diiringi bunyi menderu keras, rantai berujung bola berduri itu melesat ke arah kepala kakek berpakaian merah. Kakek berpakaian merah tidak berani bertindak main-main. Dia sadar Iblis Pemburu Nyawa memiliki kepandaian tinggi. Maka segera ditariknya senjatanya yang tersimpan di balik pakaian. Ternyata sebuah sabuk berwarna hitam. Tanpa ragu-ragu disambutnya luncuran bola berduri denganmenyabetkan cambuk itu.
Wuttt!
Prattt!
"Ehh...!" Kakek berpakaian merah terhuyung-huyung ke belakang akibat benturan itu. Hal ini terjadi karena tenaga Iblis Pemburu Nyawa jadi berlipat ganda setelah mendapat tambahan dari tenaga luncuran senjatanya.
Kakek berpakaian merah mengeluh dalam hati. Disadari kalau keadaan ini terus berlangsung, dirinya dapat dilumpuhkan lawan. Dia sadar kalau jarak yang terlalu jauh sangat menguntungkan lawan. Karena senjata lawan memiliki jangkauan yang panjang. Dengan jarak seperti itu dia akan mengalami kesulitan untuk melancarkan serangan balasan.
Digertakkan gigi seraya mengerahkan seluruh kepandaian, terutama sekali kecepatan geraknya agar dapat mendekati Iblis PemburuNyawa. Namun sampai dua puluh lima jurus pertarungan berlangsung, keadaan tetap seperti semula. Usahanya untuk memperpendek jarak selalu kandas, karena lawanmemiliki ilmumeringankan tubuh cukup handal.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang berada di atas lawannya Iblis Pemburu Nyawa terus menjauhkan diri setiap kali kakek berpakaian merah berusaha mendekat. Pada jurus ketiga puluh dua, kakek berpakaian merah habis kesabarannya. Ketika mencoba melompat lagi untuk mendekati lawan, tangan kirinya dihentakkan berkai-kali!
"Heh...!" Iblis Pemburu Nyawa terkejut juga melihat serangan jarak jauh yang bertubi-tubi. Buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan menjauh, karena tidak mungkin menangkis serangan itu dengan tindakan serupa. Sebab, kedua tangannya memegang senjata andalannya. Kesempatan baik itu dipergunakan oleh kakek berpakaian merah. Dikejarnya lawan yang tengah bergulingan dengan menyabetkan senjatanya.
Glarrr!
Debu bercampur bongkahan tanah berhamburan ke sana kemari ketika pecut kakek berpakaian merah yang ditujukan pada tubuh Iblis Pemburu Nyawa menghantam tanah..Melihat ancaman bahaya terhadap rekannya, Setan Hitam Muka Kuda tidak bisa tinggal diam. Tubuhnya melesat cepat dengan tongkat bulan sabit di tangan.
Trangngng!
Bunga api berpercikan ke sana kemari ketika tongkat bulan sabit Setan Hitam Muka Kuda membentur pecut kakek berpakaian merah yang dihantamkan ke arah kepala Iblis Pemburu Nyawa. Pada saat yang hampir bersamaan, Gajah Kecil Bertangan Maut merendahkan tubuhnya untuk melancarkan pukulan jarak jauh dengan kedua tangan terbuka.
"Kok.. Kok... Kok...!"
Bunyi seperti ayam habis bertelur terdengar seiring meluncurnya pukulan jarak jauh ke arah dada kakek berpakaian merah. Kakek itu buru-buru melemparkan tubuh ke samping melakukan lompatan harimau, lalu melenting dan menyambar Satria Sinting. Kemudian melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Iblis Pemburu Nyawa, Gajah Kecil Bertangan Maut, dan Setan Hitam Muka Kuda hanya dapat menatap kepergian kakek berpakaian merah dengan hati dongkol. Mereka tak melakukan pengejaran sama sekali karena tahu akan sia-sia. Kakek itu telah jauh sebelum mereka sempat berbuat sesuatu.
Dengan hati kesal ketiganya meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Nawangsih. Masing-masing berjanji dalam hati setelah berhasil menunaikan tugas terhadap Nawangsih, akan membuat perhitungan dengan kakek berpakaian merah itu.
"Tunggu, Eyang...!" Sambil mengucapkan seruan demikian, Dewa Arak menghentikan larinya. Eyang Ranggalawe yang berlari di sebelahnya pun terpaksamelakukan hal yang sama.
"Ada apa, Dewa Arak?" tanya Eyang Ranggalawe keheranan.
"Kau lihat keadaan tempat ini, Eyang?!" ujar Arya seraya meneliti tanah tempatnya berpijak saat itu.
Eyang Ranggalawe mengedarkan pandangan sebentar. "Bekas-bekas pertempuran...," desis kakek berpakaian abu-abu itu.
"Benar," Dewa Arak menganggukkan kepala. "Dan bukankah itu pedang milik Nawangsih?" lanjutnya seraya menunjuk dua buah pedang tergeletak tak jauh dari tempat mereka.
Eyang Ranggalawe mengikuti arah tudingan tangan Arya. Dia pun menganggukkan kepala ketika mengenali pedang-pedang Nawangsih. Lelaki tua itu bergegas menghampiri dan mengambilnya. "Celaka...!" desis Eyang Ranggalawe dengan tarikan wajah menyiratkan kecemasan. "Apa yang terjadi dengan anak itu? Mungkinkah Satria Sinting menganiaya Nawangsih? Kalau benar demikian, celaka...!"
"Kurasa tidak demikian, Eyang," ujar Arya setelah termenung sesaat. "Aku yakin bukan Satria Sinting yang telah mencelakai Nawangsih. Kau lihat pohon yang hancur di sana, Eyang? Aku yakin semua ini tindakan Gajah Kecil Bertangan Maut dan rekan-rekannya. Hancurnya pohon itu aku yakin akibat bola berduri Iblis Pemburu Nyawa!"
"Kau benar, Dewa Arak," ujar Eyang Ranggalawe setelah memperhatikan lebih teliti semua yang dikatakan pemuda berambut putih keperakan itu. Dan sekarang kecemasannya kian bertambah. "Berarti...," ujar kakek berpakaian abu-abu setelah tercenung sejenak. "Nawangsih dan Satria Sinting dibawa pergi oleh kelompok Gajah Kecil Bertangan Maut. Ini benar-benar ancaman bagi dunia persilatan! Mereka pasti akan mempergunakan Satria Sinting untuk tujuan tidak baik!"
"Kalau demikian... kita harus cepat-cepat mengejar mereka, Eyang!" tandas Dewa Arak tanggap.
"Kita ke selatan, Dewa Arak," ucap Eyang Ranggalawe seraya melesat lebih dulu.
Tanpa membuang-buang waktu, Dewa Arak segera melesat menyusul. Dan hanya dalam beberapa kali lesatan, pemuda berpakaian ungu itu telah berlari di samping Eyang Ranggalawe.
"Mengapa kau memilih selatan, Eyang?" tanya Dewa Arak sambil terus berlari.
"Gajah Kecil Bertangan Maut dan rekan-rekannya bertempat tinggal di sekitar Gunung Kidul. Dan jalan ini merupakan jalan pintas menuju ke sana. Jadi, kita bisa mendahului mereka tiba di sana!" jawab Eyang Ranggalawe.
Dewa Arak tidak memberikan pertanyaan lagi kecuali mengangguk-anggukkan kepala. Keduanya terus berlari ke selatan. Baik Dewa Arak maupun Eyang Ranggalawe berusaha keras agar segera sampai di tempat tujuan.
Namun, Dewa Arak tidak bisa mengerahkan seluruh ilmu larinya. Sebab jika hal itu dilakukan, Eyang Ranggalawe yang memiliki ilmu meringankan tubuh di bawahnya tentu akan tertinggal jauh di belakang.
Kecepatan lari Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe tidak mengendur, meskipun tempat yang dilalui cukup sulit. Kadang-kadang keduanya melewati jalan sempit yang licin, serta berkelok-kelok memutari dinding tebing yang menjulang tinggi. Terpelesat sedikit saja sudah cukup untuk mengirim nyawa mereka ke akherat, karena sebelah kiri jalan menganga jurang terjal yang sangat dalam.
Jalan pintas seperti yang dikatakan Eyang Ranggalawe ternyata amat sulit ditempuh dan penuh dengan ancaman maut. Kalau saja bukan orang-orang seperti Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe mungkin tak akan sampai tempat tujuan. Keduanya meskipun sedikit kewalahan, akhirnya berhasil melewati medan sulit itu. Kini jalan yang mereka tempuh mulai menurun.
Begitu melewati tanah berumput yang sangat luas, dan tetap menurun, baik Dewa Arak maupun Eyang Ranggalawe melihat nyala api kuning di angkasa! Api itu kemudian memecah ke sekelilingnya.
Ayunan kaki Eyang Ranggalawe yang semula hendak menuju ke timur, dibelokkan. Sehingga keduanya tidak melewati hutan lebat yang tampak di depan, melainkan menyusuri jalan yang ditumbuhi ilalang tinggi dan rapat.
"Mengapa menempuh arah ini, Eyang?" tanya Arya tak mampu menyembunyikan rasa herannya.
"Terpaksa, Dewa Arak," jawab Eyang Ranggalawe, "Karena di sana ada seorang tokoh sakti yang tak pernah menyukai orang lain datang ke tempat itu. Tanda api kuning yang memecah di angkasa itulah petunjuk nyata kalau tokoh sakti itu tengah berada di luar."
"Tapi bukankah semula kau hendak menempuh tempat itu, Eyang?" tanya Arya yang tidak puas dengan jawaban Eyang Ranggalawe.
"Semula kukira dia berada di goanya," jawab Eyang Ranggalawe ringan sambil terus mengayunkan kaki menyusuri rumput ilalang.
Arya hanya mengangkat bahu dan tidak bertanya lagi. Dia terpaksa hanya mengikuti jalan yang ditempuh Eyang Ranggalawe.
"Kau lihat itu, Dewa Arak...!" Eyang Ranggalawe mengeluarkan seruan itu sambil menudingkan telunjuk ke depan.
Sebuah perbuatan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, karena tanpa diberitahukan pun pemuda berambut putih keperakan itu dapat melihatnya. Sebuah pemandangan terpampang berjarak sekitar dua puluh tombak dari tempat Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe berada. Suatu tempat persembunyian yang cukup baik karena terlindung sebuah gundukan batu sebesar gajah.
Terlihat oleh Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe, tiga sosok yang tidak lain Gajah Kecil Bertangan Maut, Setan Hitam Muka Kuda, dan Iblis Pemburu Nyawa duduk bersimpuh di depan sebuah bangunan mirip kuil. Di depan ketiga orang itu tampak tergolek tubuh Nawangsih.
"Guru...!"
Terdengar oleh Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe, Gajah Kecil Bertangan Maut berseru tanpa mengangkat wajahnya yang tertunduk menekun tanah. Begitu pula Iblis Pemburu Nyawa dan Setan Hitam Muka Kuda, keduanya tertunduk hormat.
"Kami tidak berhasil membawa Eyang Dipayana kemari. Bukan karena ketidak mampuan kami, tapi karena telah ada orang yang mendahului kami membunuhnya. Entah siapa kami tidak tahu. Dan sebagai gantinya kami bawa murid musuh besarmu kemari untuk kami cucurkan darahnya ke hadapanmu, Guru.... Anggap saja muridnya ini sebagai ganti Eyang Dipayana! Harap kau terima persembahan kami ini, Guru!"
Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan Setan Hitam Muka Kuda bangkit.
Arya yang mendengar semua ucapan Gajah Kecil Bertangan Maut, langsung mengetahui adanya ancaman bahaya terhadap Nawangsih. Maka dia segera melesat keluar dari tempat persembunyiannya tanpa menunggu Eyang Ranggalawe.
Namun, sebelum Dewa Arak bergerak, terdengar jeritan melengking nyaring seperti pekik seekor burung garuda yang tengah murka. Dan belum lenyap suara pekikan itu, tak jauh dari tempat Gajah Kecil Bertangan Maut telah berdiri seorang pemuda berpakaian gembel. Di tangannya tergenggam sebatang pedang.
Sikapnya menunjukkan kalau dia telah siap untuk bertarung. Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan Setan Hitam Muka Kuda, serentak bangkit berdiri.
"Keparat! Lagi-lagi kau...!" geram Setan Hitam Muka Kuda, penuh kemarahan. "Kali ini nyawamu akan lenyap...!"
Bersamaan keluarnya seruan itu, Setan Hitam Muka Kuda, serta dua rekannya serentak menerjang Satria Sinting.
Singngng!
Tongkat bulan sabit di tangan Setan Hitam Muka Kuda menyambar lebih dulu ke arah leher Satria Sinting. Gerakannya yang begitu cepat sehingga yang tampak hanya seleret sinar berkilauan melesat ke arah pemuda berpakaian compang-camping itu.
Trangngng!
Tangkisan Satria Sinting dengan mempergunakan pedang yang digerakkan dengan tenaga dalam, membuat tubuh Setan Hitam Muka Kuda terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan Satria Sinting tampak hanya tergetar tangannya.
"Kok kok kok...!"
Suara Gajah Kecil Bertangan Maut yang siap menyerang membuat Satria Sinting bergegas membalikkan tubuh. Sebab lelaki gemuk berkepala botak menyerangnya dari belakang.
Ternyata Gajah Kecil Bertangan Maut telah siap melancarkan serangan. Tubuhnya telah berjongkok, tangan kiri dan kanannya dihentakkan beberapa kali ke arah Satria Sinting menimbulkan bunyi angin bercicitan. Tanpa ragu-ragu Satria Sinting melakukan tindakan serupa dengan tangan terbuka.
Glarrr...!
Dua tenaga dahsyat berbenturan di udara memperdengarkan bunyi ledakan keras, membuat sekitar tempat itu tergetar hebat. Untuk kedua kalinya tubuh Satria Sinting terguncang. Namun Gajah Kecil Bertangan Maut terjengkang ke belakang, dan bergulingan ke tanah.
Saat itulah, terdengar angin keras menderu. Walaupun tidak dapat melihat, Satria Sinting tampaknya mengetahui kalau Iblis Pemburu Nyawa telah melancarkan serangan dengan bola berduri ke arah kepalanya. Maka buru-buru direndahkan tubuhnya sehingga hantaman bola berduri itu lewat di atas kepalanya.
Belum lagi Satria Sinting sempat berbuat sesuatu, Setan Hitam Muka Kuda menyusul melancarkan serangan, diikuti Gajah Kecil Bertangan Maut. Namun semua itu dapat dipatahkan oleh pemuda berpakaian compang-camping itu. Bahkan mampu melancarkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Sesaat kemudian pertarungan sengit pun tidak dapat dielakkan lagi.
Tanah dan rerumputan berhamburan diterjang pukulan-pukulan dahsyat mereka. Bahkan bebatuan yang berdekatan pecah berantakan. Serta pepohonan di sekitar tempat itu tumbang mengeluarkan suara keras, seperti diamuk gajah-gajah liar.
"Heaaattt...!"
Pada jurus kelima puluh sambil mengeluarkan teriakan keras, Setan Hitam Muka Kuda menerjang maju. Tombak bulan sabitnya diputar laksana kiliran, kemudian ditusukkan ke arah dada Satria Sinting secara bertubi-tubi.
Pada saat yang bersamaan, Iblis Pemburu Nyawa yang berada agak jauh dari Satria Sinting mengayunkan bola berdurinya menyambar leher. Sedangkan Gajah Kecil Bertangan Maut tidak sempat mengirimkan serangan karena baru saja melompat mundur untuk mengelakkan sambaran pedang pemuda berpakaian compang-camping itu.
"Hih!" Satria Sinting melompat ke atas dan berjumpalitan beberapa kali. Gerakan itu tidak semata-mata untuk mengelakkan serangan, karena dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa, tangan kirinya mencengkeram batang tongkat di dekat logam bulan sabit yang tajam itu. Sambil menyentakkan tombak milik Setan Hitam Muka Kuda, tangan kanannya mengayunkan pedang memapak bola duri Iblis Pemburu Nyawa.
Trakkk!
"Huhhh...!" Setan Hitam Muka Kuda mengeluarkan keluhan tertahan karena tidak mampu menahan sentakan pemuda berpakaian gembel itu. Tubuhnya terseret ke depan. Bertepatan dengan itu, pedang Satria Sinting membentur senjata milik Iblis Pemburu Nyawa secara keras. Sehingga bola berduri itu meluruk ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat ganda.
Hampir tidak berselisih waktu dengan terjadinya benturan itu, Satria Sinting mengirimkan tendangan kaki kanan ke punggung Setan Hitam Muka Kuda yang tengah terhuyung-huyung ke depan.
"Aaakh...!" Tubuh Setan Hitam Muka Kuda melayang-layang ke depan seperti daun kering dihempaskan angin.
Jliggg!
Baru saja Satria Sinting menjejak tanah, Gajah Kecil Bertangan Maut yang melihat rekan-rekannya dibuat pontang-panting langsung meluruk dengan pukulan kedua tangan terbuka.
Plak! Plak!
Gajah Kecil Bertangan Maut tersenyum gembira ketika melihat serangannya mengenai dada lawan. Dikiranya Satria Sinting tidak sempat mengelakkan serangannya yang dilancarkan secara cepat. Namun sesaat kemudian senyumnya lenyap ketika melihat pemuda berpakaian compang-camping itu tidak terpengaruh sama sekali dengan serangannya. Bahkan kedua tangannya justru melekat pada dada lawan.
Gajah Kecil Bertangan Maut terbelalak kaget ketika tidak mampu menarik tangan. Dirasakan ada daya sedot yang amat kuat dari tubuh pemuda gembel itu. Ketika lelaki gemuk itu berusaha keras untuk membebaskan tangannya, tiba-tiba Satria Sinting menggedor dadanya.
Brakkk!
"Aaakh...!" Tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut terlontar ke belakang. Pukulan Satria Sinting menimbulkan suara berderak keras seperti tulang berparahan. Darah segar menyembur deras bersamaan dengan keluarnya jeritan menyayat dari mulut lelaki pendek gemuk itu.
Hampir berbarengan jeritan Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa pun mengeluarkan lolongan menyayat hati. Dia tewas dengan kepala hancur terhantam senjatanya sendiri.
Tanpa mempedulikan nasib ketiga lawannya, Satria Sinting segera mengayunkan kaki menghampiri tubuh Nawangsih yang tergolek. Sementara Dewa Arak yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan terkesiap ketika melihat Satria Sinting mendekati Nawangsih. Namun segera diurungkan niatnya untuk mencegah tindakan pemuda gembel itu, ketika Eyang Ranggalawe menyentuh tangannya, memberi isyarat agar tidak melakukan tindakan apa pun.
Arya yang tadi telah berdiri segera kembali bersembunyi di balik gundukan batu besar. Untung saja sejak tadi Satria Sinting tidak melihatnya. Rupanya pemuda berpakaian compang-camping itu sibuk menghadapi Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya.
Dari tempat terlindung dan tersembunyi Dewa Arak bersama Eyang Ranggalawe mengintai semua gerak-gerik Satria Sinting. Tampak pemuda berpakaian gembel itu telah berada di dekat tubuh Nawangsih. Bahkan kedua tangannya telah dijulurkan hendak mengangkat tubuh gadis berpakaian kurung itu. Tapi...
"Tahan...!"
Satria Sinting menggereng keras penuh kemarahan karena tahu kalau larangan itu ditujukan padanya. Tubuhnya langsung berbalik ke arah asal suara. Sikapnya bengis penuh ancaman.
"Kau berani membantah perintah raja?" seru seorang kakek berpakaian merah yang kini telah berdiri di depan Satria Sinting. Kakek itu mengacungkan sebuah pedang tinggi-tinggi di atas kepala. Sebuah pedang berkilauan yang gagangnya berhiaskan batu kemala.
Anehnya pemuda berpakaian gembel seperti orang gila itu tampak terkejut. Wajahnya yang semula garang langsung surut. Bahkan langsung menjatuhkan diri dan berlutut.
"Sebenarnya kau harus dihukum atas tindakanmu yang berani melarikan diri dariku. Tapi, atas dasar pertimbangan lain, aku atas nama raja mengampunimu. Ingat, kita hendak menghukum seorang pemberontak. Kau mengerti?!"
Satria Sinting mengangguk-anggukkan kepala mengerti maksud kakek berpakaian merah.
"Sekarang, ikut aku dan tinggalkan gadis itu di situ!"
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Satria Sinting bangkit dan menghampiri kakek berpakaian merah. Sesaat kemudian keduanya melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dengan beberapa kali lesatan tubuh mereka telah lenyap dari pandangan mata. Baru Eyang Ranggalawe memberi isyarat pada Dewa Arak agar keluar dari tempat persembunyian.
"Kau mengenalnya, Eyang?" tanya Arya seraya mengarahkah pandangan ke arah menghilangnya Satria Sinting dan kakek berpakaian merah.
"Maksudmu..., lelaki berpakaian merah itu?!" Eyang Ranggalawe balas bertanya. "Dia Kala Tungging, seorang tokoh sesat. Belasan bahkan mungkin puluhan tahun lalu dia banyak melakukan tindakan yang menggemparkan. Dia pernah mengacau pertemuan tokoh-tokoh golongan putih. Bahkan meminta seluruh tokoh persilatan agar menganggap dirinya sebagai seorang ketua rimba persilatan. Dia juga menantang tokoh-tokoh persilatan guna membuktikan kelihaiannya. Dan memang, tak satu pun tokoh yang sanggup melawannya. Mereka dibantai satu persatu."
"Lalu... bagaimana kelanjutannya, Eyang?" tanya Arya dengan perasaan tertarik.
"Hampir saja keinginan Kala Tungging terkabul. Untung saja di saat-saat terakhir muncul seorang kakek sakti bernama Ki Tambak Raga. Tokoh itulah yang memupuskan harapan Kala Tungging untuk mendapatkan julukan jago nomor satu. Dia dikalahkan oleh Ki Tambak Raga. Dengan hati penuh rasa malu Kala Tungging pergi meninggalkan tempat. Menghilang tanpa diketahui rimbanya. Namun sekitar lima tahun kemudian dia muncul lagi dan mencari Ki Tambak Raga. Rupanya, dia ingin membalas dendam. Dia menantang Ki Tambak Raga dan bahkan bermaksud membunuhnya. Tapi, usahanya sia-sia. Ki Tambak Raga memang terlalu kuat untuknya."
Eyang Ranggalawe menghentikan cerita lalu membungkukkan tubuh untuk memeriksa Nawangsih. "Dia tidak apa-apa, hanya pingsan...," jawab Eyang Ranggalawe kalem.
"Syukurlah, Eyang," sambut Arya gembira. "Kurasa sudah saatnya bagiku mohon diri untuk melanjutkan perjalananku. Kau yang lebih berhak atas Nawangsih, Eyang."
Tanpa memberikan kesempatan pada Eyang Ranggalawe untuk menanggapi, Arya telah melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dengan sekali langkah dia telah berada dalam jarak tak kurang dari tiga belas tombak.
Eyang Ranggalawe semakin bertambah kagum, dan harus mengakui kalau Dewa Arak benar-benar memiliki kepandaian menakjubkan. Kakek berpakaian abu-abu ini menatap hingga tubuh Dewa Arak lenyap di kejauhan. Setelah itu dihampirinya tubuh Nawangsih.
"Hey...!"
Seruan keras tiba-tiba terdengar membuat dua sosok yang baru saja melewati pintu gerbang sebuah bangunan mewah, menghentikan langkah.
"Siapa kau?! Apa hubunganmu dengan Ki Tambak Raga?" tanya kakek berpakaian merah, salah satu dari dua orang yang tengah memasuki halaman rumah megah itu. Suaranya keras menyiratkan ketidak senangan dalam hatinya.
"Seharusnya aku yang mengajukan pertanyaan seperti itu padamu, Ki?! Siapa kau? Dan apa maksud kedatanganmu kemari?!" jawab lelaki bertubuh kekar dan bertelanjang dada yang tadi berseru keras. Dia telah berdiri di depan kakek berpakaian merah dan lelaki berpakaian compang-camping.
"Keparat!" Kakek berpakaian merah menggeram keras, lalu mengibaskan tangan kanannya sehingga membuat tubuh lelaki bertelanjang dada itu terpental jauh ke belakang. Jeritan menyayat hati keluar dari mulut lelaki yang sial itu. Dia tak sadar apa yang dialami. Yang dirasakan hanya tubuhnya bagai diseruduk seekor kerbau liar.
Tanpa mempedulikan keadaan lelaki bertelanjang dada itu, kakek berpakaian merah mengayunkan langkah untuk meneruskan maksudnya semula. Tanpa berkata sepatah kata pun pemuda berpakaian compang-camping itu mengikuti di belakangnya.
"Keji...!" Terdengar seruan keras.
Kakek berpakaian merah yang tak lain Kala Tungging menghentikan langkahnya. Pemuda berpakaian compang-camping yang ternyata Satria Sinting pun berhenti. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Kala Tungging dan Satria Sinting berdiri seorang kakek berpakaian putih bersih. Jenggotnya yang juga putih panjang sampai ke dada.
"Tambak Raga...!" seru Kala Tungging antara rasa gembira dan kaget "Kukira kau akan bersembunyi lagi seperti biasanya...."
Kakek berjenggot panjang yang ternyata Ki Tambak Raga hanya tersenyum getir. "Kau atau aku yang mempunyai sifat seperti itu, Kala Tungging?" ejek Ki Tambak Raga. "Dan apa maksud kedatanganmu kemari? Apa kau hendak membuat perhitungan atas kejadian lalu?"
"Tidak salah!" tandas Kala Tungging, "Aku akan menebus kekalahan yang memalukan itu! Sekarang aku mengajukan jago untuk menandingimu!"
"Sudah kuduga," jawab Ki Tambak Raga, kalem. "Orang sepertimu mana mungkin berani bertindak jujur? Pasti kau akan mengajukan anak muda ini. Tidak salahkah penglihatanku atas pilihanmu ini, Tungging? Jago yang kau bawa menderita kelainan jiwa!"
"Memang itu kusengaja!" tegas Kala Tungging, "Aku ingin semua orang persilatan tahu, Ki Tambak Raga, tokoh sakti golongan putih yang diagung-agungkan, tewas di tangan orang gila...! Aku yakin dunia persilatan akan gempar!"
Ki Tambak Raga menggeleng-gelengkan kepala seakan menertawakan gagasan Kala Tungging. Meskipun di dalam hati dia merasa terkejut karena dapat mengetahui kalau jago yang diajukan Kala Tungging bukan tokoh sembarangan. Dan itu bisa diketahui Ki Tambak Raga dengan melihat sorot mata lelaki berpakaian compang-camping itu. Tajam, mencorong, dan berwarna kehijauan, seperti mata seekor harimau dalam kegelapan.
"Tidak usah berpanjang kata lagi, Tambak Raga! Bersiaplah kau!" Kala Tungging lalu mengeluarkan sebatang pedang berwarna putih berkilauan dari pinggangnya.
Karuan saja hal itu membuat Ki Tambak Raga kaget. Bukankah Satria Sinting yang akan melawannya, tapi mengapa Kala Tungging yang menghunus senjata? Meskipun demikian kakek berjenggot panjang itu bersikap hati-hati. Dilangkahkan kakinya ke belakang untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Ternyata Kala Tungging tidak menyerangnya. Dengan kedua tangan erat-erat digenggamnya pedang bergagang bulat penuh batu permata itu. Matanya menatap tajam sejenak pada Satria Sinting.
"Atas nama kerajaan, kuperintahkan kau untuk membunuh pemimpin pemberontak ini!"
Ki Tambak Raga yang sudah bersiap-siap menghadapi serangan Kala Tungging, tercekat hatinya. Sebagai seorang tokoh tua yang telah kenyang pengalaman, dia bisa merasakan adanya pengaruh aneh dalam ucapan Kala Tungging. Suara itu penuh dengan kekuatan sihir!
Namun kakek berjenggot panjang itu tidak sempat berbuat sesuatu, karena Satria Sinting yang semula mengarahkan tatapan pada Kala Tungging kini mengalihkan kepadanya. Sikap pemuda berpakaian compang-camping itu tampak penuh wibawa.
"Bersiaplah untuk menerima hukuman, Pemberontak Keparat!"
Sebelum gema ucapannya lenyap, Satria Sinting telah mengirimkan sebuah tendangan ke arah lambung Ki Tambak Raga. Gerakannya yang sangat cepat menimbulkan bunyimenderu. Ki Tambak Raga yang sudah bersiaga sejak tadi, tampak tetap tenang. Sedikit pun tak tampak kegugupan di wajahnya.
Dengan cepat dan ringan dia melompat ke samping, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. Namun Satria Sinting tidak berhenti sampai di situ. Dia langsung melanjutkan dengan serangan lainnya secara gencar dan bertubi-tubi. Kaki kanan kirinya mengincar bagian-bagian berbahaya di tubuh kakek berjenggot panjang itu.
Berkali-kali Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget setiap kali serangan lawannya meluncur, meskipun dia dapat mengelakkan secara mudah. Karuan saja hal ini membuat Kala Tungging heran. Sedangkan Satria Sinting tak mempedulikannya sama sekali akan keterkejutan lawan, dan terus melancarkan serangan susul-menyusul laksana gelombang laut.
Hampir sepuluh jurus Satria Sinting melancarkan serangan dengan kakinya. Dan selama itu Ki Tambak Raga hanya mengelak, tidak sekali pun melakukan tangkisan apalagi melancarkan serangan balasan. Dan hebatnya, kakek ini mampu terus mengelakkan setiap serangan lawan tanpa menemui kesulitan.
Kenyataan ini membuat Kala Tungging merasa khawatir, apakah Satria Sinting tetap tidak akan mampu mengalahkan Ki Tambak Raga? Sedemikian lihaikah musuh besarnya itu? Sehingga serangan-serangan pemuda gila suruhannya dapat dielakkannya dengan mudah.
"Hih!" Pada jurus kelima belas, ketika Satria Sinting melompat menerjang sambil mengirimkan serangan dengan kibasan kaki, Ki Tambak Raga melakukan hal yang sama.
Plakkk!
Benturan keras antara dua batang kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi tak dapat dielakkan. Tubuh kedua belah pihak sama-sama terpental balik ke tempat semula. Ki Tambak Raga terpental lebih jauh dua langkah dan mendarat di tanah dengan agak terhuyung-huyung. Sementara Satria Sinting dapat mendarat secara mantap.
Kala Tungging menyunggingkan senyum lebar melihat kenyataan itu, karena tahu kalau jagonya memiliki tenaga dalam jauh lebih kuat. Padahal sepengetahuannya, Ki Tambak Raga memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Namun kegembiraan hati Kala Tungging mulai berganti keterkejutan dan kekhawatiran, ketika melihat tindakan Ki Tambak Raga.
"Tahan..!" seru Ki Tambak Raga sambil menjulurkan tangan agar Satria Sinting menghentikan serangan dan mau mendengarkan ucapannya.
Lelaki berpakaian compang-camping itu tidak mempedulikan seruan Ki Tambak Raga. Tanpa berkata apa pun terus diterjangnya kakek berjenggot panjang putih itu.
"Ah...!" Untuk yang kesekian kalinya, Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget. "Bukankah itu ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'? Dari mana kau mendapatkannya, Anak Muda?"
Ki Tambak Raga mengeluarkan pertanyaan tanpa bisa menyembunyikan rasa kaget yang melanda hati. Namun tidak ada tanggapan sama sekali atas pertanyaannya. Satria Sinting tidak menghentikan terjangan dengan serangan yang membuat kedua tangannya seperti meluncur dari delapan penjuru. Ilmu yang dikatakan Ki Tambak Raga sebagai ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'.
Ternyata Ki Tambak Raga bukan hanya mengenal ilmu itu, tapi juga menguasainya. Sebab beberapa kali dia mampu mengelakkannya dengan mudah, bahkan mengirimkan serangan pada tempat-tempat yang memang merupakan kelemahan dari ilmu itu. Tidak hanya itu yang dilakukannya.
Kakek berjenggot panjang itu pun melancarkan serangan balasan dengan mempergunakan ilmu serupa. Akibatnya pertarungan berlangsung kurang menarik karena masing-masing pihak telah dapat menerka arah yang akan dituju serangan lawan.
Kala Tungging, yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan tampak semakin cemas bercampur khawatir. Hal ini timbul ketika melihat kenyataan ilmu-ilmu yang dimiliki Ki Tambak Raga dengan Satria Sinting berasal dari satu sumber. Memang ada beberapa bagian yang berlainan, tapi itu terjadi disebabkan bakat tubuh masing-masing pihak, selain kemampuan mengembangkan ilmu-ilmu yang dimiliki. Namun pada dasarnya sama, dan jelas berasal dari satu sumber.
Sekarang, kakek berpakaian merah itu sudah bisa memperkirakan, mengapa tadi sejak pertarungan dimulai Ki Tambak Raga tak henti-hentinya mengeluarkan seruan kaget. Pasti karena melihat ilmu yang dipergunakan Satria Sinting! Mengapa dirinya begitu bodoh? Kala Tungging menyalahkan dirinya dalam hati. Mengapa dia tidak melihat kalau Satria Sinting memainkan ilmu-ilmu yang dulu dipergunakan Ki Tambak Raga ketika menghadapinya.
Sudah telanjur basah, biar saja aku mandi sekalian! Pikir Kala Tungging, nekat. Diperhatikannya jalan pertarungan dengan mata tidak berkedip. Hatinya berdebar khawatir kalau-kalau antara Ki Tambak Raga dengan Satria Sinting memiliki hubungan dan mereka jadi berdamai. Bukan tidak mungkin kalau Ki Tambak Raga berhasil menyadarkan Satria Sinting dari penyakit kurang warasnya!
Plakkk! Plakkk!
Untuk kesekian kali, pada jurus ketujuh puluh terjadi benturan antara Ki Tambak Raga dengan Satria Sinting. Namun kali ini jauh lebih keras dari sebelumnya. Dan benturan itu lebih telak. Tak pelak lagi tubuh kedua belah pihak sama-sama terjengkang ke belakang. Namun berkat kemampuan masing-masing, baik Ki Tambak Raga maupun Satria Sinting mampu mematahkannya.
Kemudian kembali bersiap untuk menghadapi lawan. Terlihat jelas kalau Ki Tambak Raga yang terjengkang lebih jauh menyeringai kesakitan. Kali ini kedua belah pihak tidak langsung melanjutkan pertarungan, karena Satria Sinting tidak langsung mengirimkan serangan. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Tambak Raga.
"Anak Muda,.., sadarlah! Antara kau dan aku ada hubungan erat. Buktinya ada kesamaan ilmu yang kita miliki. Jangan kau tertipu oleh Kala Tungging yang licik dan gemar mengadu domba! Sadarlah, Anak Muda...! Sadar...!"
Ucapan-ucapan Ki Tambak Raga itu tidak keluar secara biasa, tapi mengandung pengaruh aneh yang kuat. Kakek berjenggot panjang itu sengaja melakukannya untuk memunahkan kekuatan sihir yang membelenggu Satria Sinting. Namun usahanya sia-sia.
Pemuda gila itu tidak mempedulikannya sama sekali. Walaupun demikian, Ki Tambak Raga tidak putus asa dan terus mengeluarkan ucapan-ucapan untuk memberi kesadaran pada Satria Sinting. Sebab dia tahu, lelaki berpakaian compang-camping itu pasti mempunyai hubungan dengannya. Meskipun sepengetahuannya dia tidak mempunyai hubungan lagi dengan siapa pun. Dialah orang terakhir yang menjadi pewaris tunggal ilmu-ilmu peninggalan leluhurnya....
Satria Sinting merangkapkan kedua telapak tangan ke depan dada beberapa saat lamanya. Kemudian dijulurkan ke depan tanpa melepaskan tempelan kedua telapak tangannya. Tindakan itu dilakukan secara perlahan dengan pengerahan tenaga dalam. Tampak asap putih mengepul dari sela-sela telapak tangannya yang masih merapat.
Ki Tambak Raga yang sejak tadi memperhatikan tingkah laku Satria Sinting, membelalak dengan wajah memucat. Keningnya berkerut tajam seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ti... tidak mungkin...! Mustahil...!" ucap kakek berjubah putih itu dengan suara terbata-bata karena bibirnya menggigil keras.
Kala Tungging yang memperhatikan setiap tindakan kedua belah pihak, juga melihat asap putih timbul dari kedua tangan Satria Sinting. Sebagai seorang tokoh tua yang telah berpengalaman, dia tahu kalau hal seperti itu hanya timbul karena pengaruh tenaga dalam yang menyimpang dari biasanya. Satria Sinting mempunyai jenis tenaga dalam berbeda dengan tokoh umumnya.
Pemandangan demikian membuat Kala Tungging terkejut. Apalagi ketika melihat sikap Ki Tambak Raga yang ketakutan seperti tengah melihat hantu. Apa yang terjadi dengan musuh besarnya itu?
Keheranan Kala Tungging memang beralasan. Sikap Ki Tambak Raga terlihat aneh. Bukan hanya bibirnya yang menggigil. Sekujur tubuhnya yang terbungkus jubah putih pun tampak mulai dibasahi keringat dingin. Begitu juga di keningnya yang tampak berkerut, bersembulan butiran-butiran keringat.
"Hih...!" Satria Sinting yang bersikap tidak peduli dengan keadaan lawan, memukulkan tangan kirinya dengan kuat ke arah Ki Tambak Raga, tanpa menggeser kaki. Memang jarak antara mereka terpisah hampir satu tombak saja!
"Ah...!" Tanpa sadar, Kala Tungging terpekik kaget ketika melihat dari tangan kiri Satria Sinting meluncur asap putih bergulung-gulung menuju Ki Tambak Raga. Asap putih itu menimbulkan angin dingin yang terasa membekukan tubuh Kala Tungging. Padahal kakek berpakaian merah itu berada dalam jarak belasan tombak dari Satria Sinting.
Kalau Kala Tungging saja merasakan akibatnya, apalagi Ki Tambak Raga yang menjadi sasaran serangan. Kakek berjubah putih itu merasakan sekujur tubuhnya beku. Sehingga sulit baginya untuk menggerakkan tangan atau kaki baik untuk mengelak maupun menangkis.
Tidak ada yang dapat dilakukan Ki Tambak Raga, kecuali menunggu datangnya maut! Serangan hebat Satria Sinting membuatnya tidak berdaya. Memang hal itu terjadi sebagian besar karena dirinya terlalu larut dalam alun keterkejutan. Kalau tidak, sedikit banyak akan dapat melakukan tindakan yang mampu membuat dirinya terhindar. Namun, nasi telah menjadi bubur.
"He he he...!" Kala Tungging tahu apa yang tengah dialami Ki Tambak Raga. Sudah terbayang ke benaknya betapa nyawa Ki Tambak Raga akan segera melayang.
Bresss!
"Ah...!" Seruan kaget tidak hanya keluar dari mulut Kala Tungging. Pemuda berpakaian gembel pun tersentak kaget karena serangan berupa asap bergulung-gulung itu tak mengenai tubuh Ki Tambak Raga. Asap putih yang melesat dari kedua telapak tangannya menghantam sebatang pohon besar di belakang Ki Tambak Raga. Seketika itu pula pohon itu diselimuti butiran-butiran es yang ditimbulkan oleh asap putih tadi.
Satria Sinting dan Kala Tungging mengarahkan pandangan ke tempat sosok bayangan ungu yang tadi menyambar tubuh Ki Tambak Raga, sebelum asap putih bergulung-gulung itu menghantamnya.
Beberapa tombak dari tempat Ki Tambak Raga tadi berada, berdiri Dewa Arak. Dengan sikap tenang tapi tanpa menghilangkan kewaspadaan, pemuda berambut putih keperakan itu menurunkan tubuh Ki Tambak Raga sambil menatap lekat-lekat wajah Satria Sinting.
Ki Tambak Raga yang telah berhasil menguasai perasaan kagetnya, menatap wajah Dewa Arak sejenak. "Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Tapi, cepatlah kau menyingkir dari sini. Dia pasti akan membunuhmu dengan mudah...!" ujar Ki Tambak Raga penuh rasa khawatir.
"Tenangkanlah hatimu, Ki! Percayalah aku dapat menghadapinya! Aku pernah bertarung dengannya dan dia melarikan diri," sahut Arya berusaha menenangkan hati Ki Tambak Raga.
"Ah...! Boleh kutahu siapa namamu, Anak Muda?" tanya Ki Tambak Raga setengah terkejut dan tidak percaya dengan jawaban Dewa Arak. Mungkinkah pemuda ini akan dapat mengalahkan Satria Sinting.
"Orang-orang persilatan menjulukiku Dewa Arak," jawab Arya untuk membuat kakek itu percaya dan tidak mengkhawatirkan dirinya. Dewa Arak sengaja memperkenalkan julukannya, karena tahu kalau julukan Dewa Arak lebih dikenal orang. Dan Ki Tambak Raga pasti mengenalnya! Keyakinan Arya ternyata terbukti.
Ki Tambak Raga terperanjat mendengarnya. Namun dia tidak bisa mengutarakannya karena Satria Sinting telah melancarkan serangan kembali. Kali ini kedua tangannya yang terbuka dipukulkan bertubi-tubi ke tempat Dewa Arak dan Ki Tambak Raga berada.
Wusss!
Asap putih tebal dan bergulung-gulung yang membuat keadaan sekitar tempat itu terselimut hawa dingin membekukan tubuh, meluncur ke arah Dewa Arak dan Ki Tambak Raga. Asap kali ini lebih banyak dari sebelumnya, karena Satria Sinting benar-benar marah melihat serangannya berhasil digagalkan Dewa Arak.
"Menyingkir, Dewa Arak! Asap itu berbahaya...!" teriak Ki Tambak Raga sambil melompat menghindar.
Namun Dewa Arak tidak menuruti seruan Ki Tambak Raga. Pemuda berambut putih keperakan itu justru berdiam diri di tempatnya. Dia menunggu hingga asap itu meluncur agak dekat. Meskipun demikian, tenaga dalam 'Inti Matahari'-nya langsung dikerahkan untuk melawan pengaruh hawa dingin yang telah lebih dulu melingkupi tubuhnya sebelum asap itu tiba.
Dewa Arak tidak setengah-setengah lagi dalam bertindak. Tahu betapa berbahayanya sergapan hawa dingin yang dapat membuat darahnya membeku, bahkan mampu menewaskan bila tersentuh, dia segera mengerahkan seluruh tenaga dalam 'Inti Matahari'-nya untuk bertahan. Dari sekujur tubuh Dewa Arak keluar asap tipis berwarna putih, diiringi hawa panas menyengat menyebar ke sekitarnya.
Usaha Dewa Arak ternyata tidak sia-sia. Hawa dingin luar biasa yang mampu membekukan darah dan urat sarafnya berhasil diusir pergi. Namun hal itu bukan berarti telah bebas dari maut. Karena gumpalan asap berwarna putih tebal tengah meluncur ke arahnya.
Dewa Arak tidak merasa gugup sama sekali menghadapi kenyataan ini. Seperti juga Satria Sinting, dia pun berkali-kali memukulkan kedua tangannya yang terbuka secara gencar ke depan. Dari kedua tangan yang dipukulkan keluar angin keras berhawa panas menyengat yang membuat gumpalan-gumpalan asap putih tebal seketika buyar di tengah jalan.
Melihat serangannya kandas di tengah jalan Satria Sinting kian geram dan penasaran. Tanpa bergerak dari tempatnya segera dilancarkan serangan serupa. Karena Dewa Arak pun melakukan hal yang sama, pertarungan aneh dan tidak lazim pun terjadi.
Kedua tokoh muda itu tidak hanya melancarkan pukulan, melainkan juga tendangan-tendangan gencar. Anehnya hal itu dilakukan dalam keadaan berjauhan. Sebuah pertarungan aneh, dua tokoh yang saling serang dan tangkis dalam jarak berjauhan.
Ki Tambak Raga dan Kala Tungging menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar tegang, di samping perasaan heran dan takjub. Memang keduanya, terutama sekali Ki Tambak Raga memiliki ilmu kepandaian yang tidak bisa dianggap remeh. Namun ketika menyaksikan pertarungan seperti itu keduanya tak mampu menahan keheranannya. Belum pernah seumur hidupnya menyaksikan pertarungan seperti itu.
Baik Ki Tambak Raga maupun Kala Tungging tahu. Meskipun pertarungan berlangsung dalam jarak berjauhan seperti itu, bahaya yang mengancam tidak kalah besar dengan pertarungan biasa. Mereka yang menyaksikan jalannya pertarungan dari jarak belasan tombak merasakan hawa-hawa aneh yang membuat jantung berdebar tegang. Dari kancah pertarungan berhembus hawa panas dan dingin silih berganti.
Kejadian yang aneh pun terjadi. Ki Tambak Raga dan Kala Tungging menyaksikan jalannya pertarungan dengan jarak hampir bersebelahan tanpa sadar. Perasaan tertarik dengan pertarungan yang berlangsung seakan membuat masing-masing lupa kalau di sebelahnya lawan yang menyebabkan timbulnya pertarungan aneh itu.
"Luar Biasa...! Jadi... itukah ilmu 'Awan Putih' yang diceritakan Ayah? Luar biasa...! Entah dari mana orang gila itu menemukannya? Aku harus mengetahuinya! Bukankah kata Ayah ilmu itu telah lenyap puluhan tahun ialu? Benar-benar dahsyat!" gumam Ki Tambak Raga sambil terus memperhatikan pertarungan yang tengah berlangsung. Malah mengedip pun hampir tidak pernah dilakukan, karena khawatir tidak melihat kalau salah satu pihak roboh!
Kekaguman Ki Tambak Raga terhadap ilmu 'Awan Putih' memang bisa dimaklumi karena benar-benar dahsyat. Gumpalan awan putih tebal yang keluar dari telapak tangan Satria Sinting diakui oleh Dewa Arak terlalu kuat untuk dilawan. Bahkan dia menyadari tidak mungkin baginya menghadapi lawan dengan cara seperti itu.
Itulah sebabnya, setelah gumpalan awan putih yang semula berhasil didorongnya, kembali mendekatinya, Dewa Arak melompat ke atas. Dari udara laksana seekor garuda, dia melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah kepala Satria Sinting.
"Uh...!" Dewa Arak tanpa sadar mengeluarkan keluhan keterkejutan, ketika Satria Sinting memapak serangannya. Sebelum terjadi benturan dirasakan adanya daya tolak yang sangat kuat dari kedua tangan lawan. Sebagai seorang pendekar yang kenyang makan asam garam di rimba persilatan, Arya tahu kalau daya tolak timbul karena asap putih itu.
Hampir saja Dewa Arak celaka akibat dalam waktu sekejapan dia terkejut dan Satria Sinting melancarkan serangan. Untung di saat terakhir dia sempat melemparkan tubuh menjauh. Namun Satria Sinting tak mau membiarkannya dan memburunya dengan serangan-serangan maut. Arya mengelak dan balas menyerang sehingga membuat pertarungan berlangsung sengit.
Pertarungan kini tampak wajar, tidak seperti sebelumnya. Untuk kesekian kalinya Dewa Arak pun harus mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ilmu 'Belalang Sakti' dipergunakan sampai ke puncaknya. Bahkan telah ditenggaknya arak ketika mendapat satu kesempatan.
Satria Sinting benar-benar merupakan lawan yang tangguh. Meski Dewa Arak telah mengeluarkan seluruh kemampuan, tetap mengalami kesulitan untuk mengalahkannya. Jangankan mengalahkan, mendesaknya saja merupakan hal yang amat sukar!
Tak terasa pertarungan telah menginjak tujuh puluh jurus dan selama itu jalannya pertarungan tetap tidak berubah. Belum ada pihak yang sanggup mengalahkan pihak lainnya. Meskipun demikian, terlihat Satria Sinting berada di atas angin. Asap tebal yang keluar dari kedua tangan dan tubuhnya membuat Dewa Arak terus terdesak.
Sungguhpun begitu, Satria Sinting tetap tidak bisa berbuat lebih banyak. Dia hanya sanggup mengungguli lawan, tapi tidak dapat berbuat lebih jauh. Dewa Arak dengan ilmu 'Belalang Sakti'-nya terlalu kuat untuk dapat dirobohkannya.
Ketika Dewa Arak dan Satria Sinting terlibat dalam pertarungan sengit, dua sosok bayangan berkelebat memasuki halaman dan langsung berdiri di sebelah Kala Tungging.
"Apa yang terjadi, Tungging?" tanya Eyang Ranggalawe salah satu dari dua sosok yang baru datang, sedangkan sosok yang satu lagi adalah Nawangsih. Kakek berpakaian abu-abu itu mengajukan pertanyaan tanpa mengalihkan perhatian dari jalannya pertarungan.
"Dewa Arak dan Satria Sinting bertarung," jawab Kala Tungging tanpa menoleh. Lalu secara singkat diceritakan semua kejadiannya.
Berbeda dengan Eyang Ranggalawe yang begitu datang langsung menatap ke arah pertarungan dan lupa segala-galanya, tidak demikian halnya dengan Nawangsih. Dia ingat betul maksud Eyang Ranggalawe mengajaknya kemari. Maka dia tidak sabar ketika melihat kakek itu malah asyik menyaksikan jalannya pertarungan.
"Mana pembunuh orangtuaku, Eyang?" tanya Nawangsih bernada menuntut.
"Kakek berjenggot panjang itulah pembunuh ayahmu," jawab Eyang Ranggalawe seraya menuding Ki Tambak Raga.
Nawangsih menoleh ke arah Ki Tambak Raga dengan sorot mata beringas. Dan...
Sing! Sing!
Tanpa membuang-buang waktu lagi Nawangsih langsung melolos kedua pedangnya yang berkilauan. Namun perbuatan gadis itu tidak menarik perhatian ketiga kakek yang memperhatikan pertarungan.
"Pembunuh Biadab...! Rasakan pembalasanku!" Usai berkata demikian, Nawangsih menggenjotkan kaki sehingga tubuhnya melayang melewati atas kepala Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe. Dari atas sepasang pedangnya menyambar ganas ke arah Ki Tambak Raga.
Karuan saja Ki Tambak Raga terkejut namun tidak menjadi gugup. Dengan tenang, dikeluarkan kebutan berupa rangkaian bulu-bulu yang diselipkan di pinggang. Lalu digunakannya untuk menghadapi serangan sepasang pedang Nawangsih.
Rrrttt!
"Uh!" Nawangsih memekik tertahan ketika ujung kebutan yang lemas melibat batang pedang di tangan kanannya. Sedangkan pedang kiri yang ditusukkan ke arah leher, melesat karena Ki Tambak Raga cepat memiringkan kepalanya. Dan sebelum gadis itu sempat berbuat sesuatu, Ki Tambak Raga telah menyentakkan kebutannya, sehingga pedang Nawangsih pun terlepas dari cekalan dan terlempar jauh.
Bukan hanya pedangnya yang tertarik, tetapi juga tubuh Nawangsih yang berada di udara. Tubuh gadis berpakaian kuning itu ikut terbawa turun. Namun murid Eyang Dipayana mampu menunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya yang melayang turun digunakan untuk melancarkan serangan berupa jejakan kaki kanan ke arah dada lawan.
"Bagus...! " Ki Tambak Raga yang merasa kagum melihat kecerdikan Nawangsih, berteriak memuji. Meskipun begitu dia mampu mengelakkannya dengan mudah. Didoyongkan tubuhnya ke belakang, kemudian tangannya bergerak mencekal.
Tappp!
Pergelangan kaki kanan Nawangsih terkena cekalan. Untung saja Ki Tambak Raga tidak berniat mencelakainya karena langsung melontarkan tubuh gadis itu. Kalau mau lelaki tua itu mampu meremas pergelangan kaki Nawangsih hingga remuk!
Tidak percuma Nawangsih menjadi murid Eyang Dipayana. Di saat tubuhnya melayang, dia mampu mematahkannya dengan bersalto beberapa kali di udara, lalu meluncur turun dan menjejak tanah dengan ringan laksana seekor burung.
Ki Tambak Raga menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat begitu menjejak tanah, Nawangsih langsung mencelat dan menubruknya. Pedang yang tinggal sebatang itu, ditusukkan cepat ke arah leher!
Hati Ki Tambak Raga mulai kesal melihat kebandelan Nawangsih. Saat ini dia tengah asyik memperhatikan jalannya pertarungan. Betapapun sabarnya, dia mulai tidak senang hati karena merasa terganggu. Maka Ki Tambak Raga bermaksud memberikan sedikit pelajaran pada gadis itu, agar pertarungan seru yang tengah disaksikannya tidak keburu usai.
Itulah sebabnya tusukan pedang Nawangsih dielakkannya dengan mendoyongkan tubuh ke kanan. Dan pada saat bersamaan, kebutannya yang dengan pengerahan tenaga dalam berubah kaku laksana tombak, meluncur ke arah bahu kanan Nawangsih.
Nawangsih terkejut bukan kepalang melihat serangan itu. Dengan agak geragapan dia berusaha mengelak. Namun gerakannya kalah cepat. Ujung kebutan Ki Tambak Raga lebih dulu mengenai bahu kanannya. Seketika itu tubuh gadis berpakaian kuning itu terkulai lemas. Dan mungkin akan ambruk ke tanah kalau Eyang Ranggalawe tidak lebih dulu menangkapnya.
"Kau keji, Tambak Raga!" desis Eyang Ranggalawe. "Setelah kau bunuh ayahnya, kau hina pula anaknya!"
"Jelaskan maksud ucapanmu, Ranggalawe!" desak Ki Tambak Raga keras. Keningnya berkerut tajam dengan mata menunjukkan ketidak senangan. "Siapa yang kau maksudkan?"
"Lupakah kau pada Wiratmaja? Ataukah kau telah menjadi pikun?"
"Wiratmaja putra Eyang Dipayana?!" tanya Ki Tambak Raga meminta penegasan setelah tercenung beberapa saat.
"Benar!" Eyang Ranggalawe menganggukkan kepala. "Dan gadis yang kau lumpuhkan ini anak Wiratmaja!"
"Ah...!" desah Ki Tambak Raga terkejut. Matanya membelalak tapi mulutnya tidak berkata-kata lagi.
"Asal kau tahu saja, Tambak Raga," sambung Eyang Ranggalawe yang terlihat jelas masih merasa penasaran. "Kedatangannya kemari untuk membalaskan kematian ayahnya!"
"Gila! Ini benar-benar tidak mungkin!" sahut Ki Tambak Raga. Wajahnya menegang.
"Memang, kalau dilakukannya sendiri, tidak akan mungkin berhasil. Dia tak akan menang melawanmu, tapi masih ada aku! Akulah yang akan membalaskan dendamnya!" tandas Eyang Ranggalawe, berapi-api.
"Kau gila, Ranggalawe!" sergah Ki Tambak Raga. "Sadarkah kau akan tindakan yang akan kau lakukan? Kau tak berhak melakukannya! Masih ada Eyang Dipayana yang menjadi kakeknya! Dia lebih berhak dari padamu! Dia sendiri tidak melakukannya!"
"Bukan tidak mau melakukannya, Tambak Raga!" bantah Eyang Ranggalawe. "Dia ingin melakukannya, tapi menunggu hingga cucunya besar. Dia ingin cucunya sendiri yang melakukan. Dan dia hanya membantunya!"
"Kau dusta, Ranggalawe!" tukas Ki Tambak Raga. "Kalau benar demikian, apakah dia mengatakan sendiri hal itu padamu?"
"Memang tidak," sahut Eyang Ranggalawe. "Tapi aku yakin akan dilakukannya."
"Mana buktinya, Ranggalawe?! Kenyataannya sekarang kaulah yang mendampingi gadis,itu! Jangan-jangan kau menginginkan hal ini! Dan karena Eyang Dipayana tidak menginginkannya, kau membawanya kabur kemari!"
"Bukan itu alasannya, Tambak Raga! Dia tak mungkin bisa menemani cucunya untuk membalaskan dendam terhadapmu! Dia telah mati! Kau dengar, Tambak Raga?! Eyang Dipayana telah tewas, dan aku yakin pembunuhnya adalah... kau!"
"Apa...?!" Mata Ki Tambak Raga membelalak lebar seperti melihat hantu di siang hari, hatinya terkejut bukan main mendengar tudunan Eyang Ranggalawe.
"Tidak usah berpura-pura bodoh, Tambak Raga!" tandas Eyang Ranggalawe keras. "Akui saja kalau kau yang telah membunuh Dipayana! Hanya kau satu-satunya yang mempunyai alasan untuk melakukannya!"
"Fitnah!" bantah Ki Tambak Raga tak kalah keras. "Dan aku tak membiarkan begitu saja orang melakukan hal ini padaku!"
"Tidak usah berpura-pura suci, Tambak Raga! Aku yakin kaulah pelakunya! Bersiaplah untuk menerima kematian!"
"Kaulah yang akan mampus di tanganku, Ranggalawe!" dengus Ki Tambak Raga tak mau kalah.
Belum juga ucapan Ki Tambak Raga lenyap. Eyang Ranggalawe telah menubruk maju. Kakek berpakaian abu-abu ini telah tahu kalau lawan memiliki kepandaian amat tinggi. Maka dia tak ingin bersikap setengah-setengah. Dalam serangan pertama telah dikeluarkan senjata andalannya, tasbih, yang langsung dikibaskan ke arah pelipisKi Tambak Raga.
Kakek berjenggot panjang itu menarik tubuh ke belakang sehingga sabetan tasbih lewat di depan wajahnya. Kemudian dengan pengerahan tenaga dalam, dijadikannya bulu kebutannya menegang kaku seperti anak panah. Kemudian sambil mendoyongkan tubuh ke depan ditusukkan kebutan itu ke leher Eyang Ranggalawe.
Eyang Ranggalawe mengetahi adanya ancaman maut. Dia tahu bulu kebutan itu akan mampu menembus lehernya. Maka dia buru-buru merendahkan tubuh seraya menarik sedikit tangan kanannya. Secepat itu pula segera dilancarkan serangan susulan dengan sabetan tasbih ke wajah lawan.
Namun lagi-lagi Ki Tambak Raga berhasil mengelakkannya, bahkan seraya mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah hebat. Sesaat kemudian kedua kakek itu telah saling serang dengan mempergunakan seluruh kepandaian yang dimiliki.
Di halaman luas di depan rumah Ki Tambak Raga berlangsung dua pertarungan. Namun, pertarungan antara Dewa Arak dengan Satria Sinting sudah hampir mencapai penyelesaian.
Dalam pertarungan yang demikian lama, serangan Satria Sinting tampak mulai mengendur. Pukulan dan tendangan yang dilancarkannya tidak sekuat sebelumnya. Demikian pula gerakan-gerakan yang dilakukan, tampak telah berubah. Jelas kalau pemuda berpakaian gembel itu telah merasakan kelelahan.
Kelelahan yang dialami Satria Sinting tidak diderita Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu masih tetap seperti sediakala. Serangan-serangan yang dilancarkannya masih mengandung tenaga dalam penuh. Begitu pula gerakan-gerakannya, tetap gesit seperti semula, tidak mengalami penurunan. Hal itu karena pengaruh arak yang ditenggaknya di dalam pertempuran.
Arak yang berasal dari guci yang tersampir di punggungnya mampu membuat tenaganya yang susut dapat pulih kembali seperti sediakala. Oleh karena itu, menginjak jurus keenam puluh perlahan-lahan Dewa Arak mulai bisa mengendalikan jalannya pertarungan.
Lambat tapi pasti dia mulai berada di atas angin. Dan sekarang Satria Sinting tampak lebih banyak mengelak daripada melancarkan serangan. Beberapa kali dia mencoba menangkis karena sudah tidak mungkin lagi baginya untuk mengelak. Akibatnya pemuda berpakaian gembel itu harus terhuyung-huyung.
Semakin lama keadaan Satria Sinting semakin mengkhawatirkan. Sekarang dia mulai bermain mundur. Awan putih tebal yang keluar dari tangan dan sekujur tubuhnya sekarang hampir tidak terlihat lagi. Hal itu membuat tenaga tolakannya tidak terasa oleh Dewa Arak.
Pada pertarungan yang lain, perlahan namun pasti Ki Tambak Raga mulai berhasil menguasai pertarungan. Kakek berjenggot panjang ini memang memiliki tenaga dalam dan kelincahan di atas lawannya. Selain itu dia mampu menggunakan kelebihannya untuk melancarkan desakan terhadap lawan.
Kebutan di tangannya senantiasa berubah-ubah. Kadang lemas danmelentur, tapi kemudian bisa berubah menjadi kaku dan mengeras. Sehingga senjata itu tidak hanya dapat digunakan untuk melibat, tapi juga menusuk dan menotok. Beberapa kali Eyang Ranggalawe terhuyung-huyung mundur ketika terjadi benturan. Dan menginjak pada jurus kelima puluh kakek berpakaian abu-abu ini terdesak hebat dan hanya mampu bermain mundur.
Di saat Eyang Ranggalawe dalam keadaan seperti itu, dan pertarungan antara Dewa Arak dan Satria Sinting mulai tidak menarik, Kala Tungging masuk dalam kancah pertarungan untuk membantu Eyang Ranggalawe.
"Jangan khawatir, Ranggalawe! Aku membantumu menghadapi tua bangka sombong ini!"
Tarrr!
Kala Tungging langsung menyabetkan pecutnya ke arah pelipis Ki Tambak Raga. Serangan ini memaksa Ki Tambak Raga yang tengah mendesak lawan, mengurungkan serangannya. Segera dilemparkan tubuhnya ke samping untuk menyelamatkan diri. Tak pelak lagi pertarungan satu melawan dua pun tidak bisa dielakkan.
Brettt! Bukkk!
"Akh...!" Satria Sinting memekik tertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang ketika cakaran tangan kiri Dewa Arak yang diikuti pukulan tangan kanan menghantamnya. Tangan kiri merobek pakaiannya mulai dari leher sampai ke pusar, sedangkan tangan kanan yang terbuka mendarat di bahu kanan. Meskipun serangan itu tidak pada tempat mematikan, tapi cukup untuk membuat Satria Sinting terbanting di tanah dan jatuh pingsan.
Dewa Arak sendiri bukan tidak menderita. Sambungan lutut kirinya telepas ketika ujung kaki Satria Sinting menghantamnya. Namun, Dewa Arak tidak mempedulikan rasa sakit itu. Langsung diarahkan pandangan ke kancah pertarungan, ketika yakin kalau Satria Sinting tidak terancam bahaya karena lukanya. Pemuda berambut putih keperakan ini langsung dapat melihat keadaan Ki Tambak Raga yang terdesak hebat.
Menghadapi satu orang lawan, Ki Tambak Raga jauh lebih unggul, bahkan akan dapat memperoleh kemenangan, karena tingkat kepandaiannya berada di atas masing-masing lawannya. Namun menghadapi dua orang sekaligus, terlalu berat baginya. Itulah sebabnya ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan puluh dia terdesak hebat dan hanya mampu bertahan dan mengelak.
"Arrghh...!" Dewa Arak mengeluarkan raungan keras dari dalam perutnya. Akibat suaranya yang menggelegar tiga tokoh yang bertarung mendadak terhuyung-huyung dengan wajah memucat.
Raungan yang dikeluarkan Dewa Arak dengan pengerahan tenaga dalam itu, telah membuat mereka terpengaruh. Baik Ki Tambak Raga, Kala Tungging, maupun Eyang Ranggalawe merasakan betapa dada mereka bergetar hebat. Ketiganya buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk membuat bagian dalam tubuh mereka tidak terguncang, yang dapat mengakibatkan luka dalam.
Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk melompat masuk ke kancah pertarungan, kemudian mengibaskan kedua tangannya. Sehingga tubuh ketiga tokoh tua itu seketika berpentalan kebelakang dan bergulingan. Dan ketika Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe berhasil bangkit, Dewa Arak telah berdiri dengan sikap angker.
Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe merasa penasaran bukan kepalang, karena dapat dirobohkan Dewa Arak dengan mudah. Meskipun demikian ketiganya tahu, hal itu terjadi karena keadaan mereka yang tidak siap tarung. Kalau tidak, mustahil Dewa Arak akan mampu melakukan hal seperti itu dengan sangat mudah.
Mendadak Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget dari mulutnya. Sepasang matanya membelalak lebar seakan tengah dilanda keterkejutan yang hebat. Bahkan mulutnya terbuka lebar tanpa disadarinya.
Karuan saja sikap Ki Tambak Raga membuat semua orang yang berada di situ, tak terkecuali Dewa Arak, merasa heran. Mereka pun mengikuti arah pandangan kakek berjenggot panjang itu. Tatapan mata Ki Tambak Raga ternyata tertuju pada tubuh Satria Sinting.
Mendadak dengan diawali keluhan tertahan, Ki Tambak Raga melesat ke arah Satria Sinting. Khawatir kalau kakek berjenggot panjang itu melakukan tindakan yang tidak diinginkan, Dewa Arak bergegas mengikuti. Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe pun melakukan hal yang sama. Kedua kakek ini ingin mengetahui apa yang akan dilakukan Ki Tambak Raga.
Kecurigaan Dewa Arak ternyata tidak terbukti. Ki Tambak Raga tidak melakukan hal-hal yang dikhawatirkannya. Kakek itu tidak melancarkan serangan sedikit pun, melainkan duduk bersimpuh di dekat sosok Satria Sinting yang tergolek lemah. Pandangan Ki Tambak Raga tertuju pada gambar naga dan tengkorak kepala manusia di dada Satria Sinting.
"Ada apa, Ki?" Dewa Arak tidak tahan untuk berdiam diri melihat Ki Tambak Raga duduk bersimpuh tanpa berkata apa pun, kecuali melongo di dekat tubuh Satria Sinting.
Ki Tambak Raga tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Arya, kemudian dialihkan perhatiannya lagi pada tubuh Satria Sinting.
"Dia mempunyai hubungan denganku, Dewa Arak! Hubungan yang amat dekat, hubungan perguruan. Hanya saja, baik aku maupun dia tidak mengetahuinya," jawab Ki Tambak Raga dengan pandangan tertuju ke arah tubuh Satria Sinting.
Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe terdiam mendengar penuturan Ki Tambak Raga.
"Leluhurku...," Ki Tambak Raga mulai dengan ceritanya, "Memiliki kepandaian amat tinggi. Hanya jarang bahkan tidak ada di antara orang-orang persilatan yang mengenal mereka. Mereka selalu menyembunyikan diri. Tapi mereka senantiasa mewariskan ilmu itu pada keturunannya, sampai akhirnya tiba pada diriku sebagai keturunan terakhir. Keyakinan itulah yang kupegang, tapi sekarang pupus. Leluhurku ternyata masih mempunyai keturunan lagi selain diriku, yaitu dia! Aku tidak akan tahu jika tidak melihat tanda ini pada kedua dadanya."
Dewa Arak, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe menatap dada Satria Sinting.
"Apa artinya, Ki?" tanya Arya ingin tahu.
"Tanda gambar naga merupakan ciri khas keluarga kami. Sedangkan gambar tengkorak kepala manusia menandakan kalau dia keturunan dari leluhur kami yang telah diusir dari garis keluarga karena mempelajari ilmu larangan."
"Jadi... Satria Sinting itu keturunan dari orang buangan keluargamu, Ki?" tanya Arya lebih lanjut "Tapi mengapa kau semula tidak tahu? Bukankah ilmu-ilmu yang kau miliki mempunyai kesamaan dengannya?"
"Aku tidak tahu karena ayahku tidak menceritakan kalau leluhurku punya garis keluarga lain yang merupakan orang buangan di keluarga kami. Untung saja aku melihat tanda tengkorak itu. Dan aku pun pernah mendengar dari kakekku yang pernah menyinggung cerita tentang keluarga buangan itu. Namun aku telah lama melupakan...," ujar Ki Tambak Raga, menutup ceritanya.
Mendadak, melesat sesosok bayangan kuning ke arah Ki Tambak Raga. "Pembunuh Jahanam! Mampuslah kau...!"
Dan sosok yang tak lain Nawangsih itu mengayunkan pedangnya ke arah leher Ki Tambak Raga. Namun sebelum sempat mengenai sasaran, Dewa Arak telah lebih dulu bergerak. Hanya dengan sekali sambar, pedang Nawangsih telah pindah ke tangannya.
"Tidak baik menyerang dari belakang!" ujar Dewa Arak seraya menatap wajah gadis itu.
"Tapi..., dia pembunuh ayahku!" sahut Nawangsih.
"Aku bukan pembunuh ayahmu!" tukas Ki Tambak Raga.
"Bohong!" bentak Nawangsih dengan mata masih menyimpan dendam.
"Aku tidak bohong! Untuk apa aku membohongi cucuku sendiri?!" Ki Tambak Raga balas mengajukan pertanyaan.
"Apa?" sepasang mata Nawangsih membeliak lebar mendengar pertanyaan Ki Tambak Raga.
"Benar," Ki Tambak Raga menganggukkan kepala untuk lebih menegaskan ucapannya. "Aku tidak bohong, aku kakekmu, karena ibumu, istri ayahmu adalah anakku. Jadi Wiratmaja, ayahmu itu mantuku!"
"Tapi..., mengapa kau bunuh ayahku?!" desak Nawangsih dengan suaramelunak.
"Aku tidak pernah membunuhnya, Nawangsih. Percayalah...! Aku tak ingin kau terluka kalau mendengar cerita sesungguhnya. Apakah kau tidak diberitahukan oleh Eyang Dipayana?"
Nawangsih menggelengkan kepala.
"Lebih baik begitu, Nawangsih. Hhh..., Eyang Dipayana memang bijaksana. Dia mungkin tak ingin kau lebih terluka kalau mendengar cerita sebenarnya," jawab Ki Tambak Raga, bernada keluh.
"Tidak, Kek!" sahut Nawangsih, "Aku tidak akan terluka. Lebih baik aku mendengarnya sekarang daripada tak mengetahui sama sekali apa yang terjadi terhadap ayahku."
"Baiklah kalau kau memaksa," ucap Ki Tambak Raga dengan suara berdesah. "Dengar baik-baik! Ayahmu mati di tangan ibumu, sedangkan ibumu mati karena bunuh diri. Ibumu membunuhnya karena ayahmu mempunyai watak mata keranjang! Di mana-mana dia bergaul dengan wanita secara tidak patut! Jelas?!"
"Kakek...!" Nawangsih berseru dengan hati pilu setelah beberapa saat terpaku dengan wajah pucat pasi karena kaget mendengar cerita yang dituturkan Ki Tambak Raga. Gadis berpakaian kuning itu menubruk tubuh Ki Tambak Raga dan menangis.
Kala Tungging, Eyang Ranggalawe, dan Dewa Arak ikut merasa terharu karenanya. Dan untuk tidak mengganggu keberadaan Nawangsih dan Ki Tambak Raga, mereka mengalihkan tatapan ke arah lain. Meskipun demikian, rasa ingin tahu membuat telinga mereka dipasang untuk mendengarkan pembicaraan lebih lanjut.
"Benarkah Dipayana telah tiada, Nawangsih?!" tanya, Ki Tambak Raga setelah membiarkan Nawangsih menangis beberapa saat di dadanya.
Nawangsih menjauhkan wajah dari dada kakeknya. "Benar, Kek," jawab gadis berpakaian kuning itu dengan suara serak sambil terisak. "Dia tewas terbunuh. Semula, kukira Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya yang membunuh Eyang Dipayana, tapi ternyata bukan. Mereka pun tidak tahu siapa pembunuh Eyang Dipayana?"
"Bukankah kau tinggal bersamanya. Mengapa kau tidak tahu kematian Eyang Dipayana? Bukankah dia tewas di rumah."
"Saat itu, aku tengah pergi ke kebun untuk memetik sayuran-sayuran kegemaran Eyang, Kek. Tapi.., begitu aku pulang yang kujumpai Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya. Mereka tengah marah-marah dan di antara mereka kulihat tubuh Eyang tergolek. Aku marah, dan menyerang mereka, tapi mereka terlalu kuat untukku. Maka, aku melarikan diri dan minta pertolongan pada Eyang Ranggalawe."
"Hhh...!" Ki Tambak Raga menghembuskan napas berat sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dahinya berkerut-kerut seperti tengah berpikir keras.
"Bisa kau terangkan pada kami sebab-sebab kematiannya, Nawangsih?" Eyang Ranggalawe menyela pembicaraan itu. Memang, dia belum mendapatkan pemberitahuan apa pun dari Nawangsih tentang cara kematian sahabatnya itu.
"Em... aku tidak bisa melihat jelas dari dekat. Aku hanya dapat melihat ada tanda merah pada dadanya berupa telapak tangan. Tanda itu menghancurkan pakaian Eyang...."
Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe tersentak kaget. Mereka saling pandang dengan wajah berubah. Tampak adanya kekhawatiran yang menggurat di wajah mereka.
Dewa Arak melihat hal inimenjadi heran. "Apakah ada yang salah, Kek?" tanya Arya pada Ki Tambak Raga.
"Tidak, Dewa Arak," jawab Ki Tambak Raga dengan nada ucapan sungguh-sungguh. "Hanya saja ciri-ciri penyebab kematian Eyang Dipayana mengingatkan aku pada seorang tokoh luar biasa dari dunia hitam. Tokoh yang memiliki watak aneh, gemar memakan jantung orang yang kurang waras pikirannya. Tokoh itu memiliki ilmu 'Telapak Tangan Darah' yang menimbulkan akibat seperti yang dikatakan Nawangsih. Untuk kegunaan ilmu itulah, tokoh sesat itu memakan jantung orang kurang waras. Luwing Sewu namanya!"
"Mengapa dia membunuh Eyang Dipayana, Kek?! Apakah di antara mereka ada permusuhan?" tanya Arya, ingin tahu.
"Tidak, Dewa Arak. Tapi, semua orang tahu kalau satu-satunya orang yang mengetahui tempat Satria Sinting, hanya Eyang Dipayana. Dan mengingat Luwing Sewu gemar memakan jantung orang kurang waras, bisa ditebak sendiri kejadiannya. Mungkin, tokoh sesat itu memaksa Eyang Dipayana untuk menunjukkan tempat Satria Sinting berada. Tapi, karena tak mendapatkan jawaban yang memuaskan, Eyang Dipayana dibunuhnya. Dan...."
"Ha ha ha...!" Sebuah tawa keras tiba-tiba terdengar menyambuti ucapan Kl Tambak Raga. Kakek berjenggot putih panjang itu terjingkat kaget, dan mengalihkan tatapan ke tempat asal suara tawa. Hal yang sama dilakukan pula oleh dua kakek lainnya.
"Luwing Sewu...!" Kala Tungging berseru kaget dengan mata membelalak.
Begitu pula Eyang Ranggalawe dan Ki Tambak Raga. Semua terkejut melihat kedatangan seorang kakek bertubuh bongkok dan berpakaian kulit ular. Tangan kanannya menggenggam sebuah tongkat terbuat dari ular yang dikeringkan.
"He he he...!" kakek bongkok itu mengeluarkan tawa terkekeh sambil melangkah maju. "Rupanya kau cerdik juga, Tambak Raga. Memang, dugaanmu itu tidak keliru. Sekarang, biarkan aku mengambil Satria Sinting. Siapa yang mencoba menghalangi akan menerima kematian di tanganku...."
"Keparat!" Ki Tambak Raga menggeram. "Kau hanya dapat melakukannya setelah melangkahi mayatku!" Ki Tambak Raga melompat menerjang dengan kedua tangan terbuka dipukulkan bertubi-tubi ke arah ulu hati, perut, dan dada. Hembusan angin mengiringi tibanya serangannya yang dikerahkan dengan tenaga dalam.
"He he he...!" Luwing Sewu tertawa terkekeh. Tongkatnya segera diselipkan ke ketiak kanan. Kemudian dengan kedudukan dan gerakan tangan yang sama seperti Ki Tambak Raga, dipapaknya serangan itu.
Prattt!
"Aaakh...!" Ki Tambak Raga mengeluarkan jeritan menyayat. Tubuhnya yang memakai jubah putih terpental beberapa langkah ke belakang.
Sementara tubuh Luwing Sewu tampak hanya terguncang-guncang. Mulutnya tertawa terkekeh-kekeh melihat lawannya berhasil menjejak ke tanah dengan sempurna.
"Bedebah...!" Ki Tambak Raga mendengus kesal seraya menatap kedua telapak tangannya yang memerah sebatas pergelangan. Namun dengan cepat warna merah akibat benturan itu menjalar ke atas.
Ki Tambak Raga segera mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir hawa beracun yang diduga akibat ilmu 'Telapak Tangan Darah' lawannya. Usaha Ki Tambak Raga sia-sia. Warna merah itu tetap terus menjalar ke atas.
Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe tahu apa artinya itu. Mereka merasa tegang. Kalau Ki Tambak Raga saja dalam segebrakan dibuat terluka dan dalam keadaan terancam maut, apalagi mereka?
Namun tidak demikian halnya dengan Dewa Arak Pemuda berambut putih keperakan itu langsung melompat mengirimkan serangan mematikan ke arah Luwing Sewu. Namun hanya dengan kibasan-kibasan tangannya, kakek bongkok itu memaksa Dewa Arak untuk melompat mundur karena tak tahan mencium bau amis yang memuakkan berasal dari racun jahat yang dikeluarkan Luwing Sewu.
"He he he...!" Luwing Sewu tertawa terkekeh-kekeh. "Ayo, siapa lagi yang ingin ikut bertamasya ke akherat bersama Tambak Raga?! Silakan maju!"
"Aku, Luwing!" sambut sebuah suara dengan suara menggigil seperti merasa kedinginan, mendahului Dewa Arak dan yang lain-lain "Lagi-lagi kau, Tua Bangka Gila! Dasar nasibku yang kurang baik!"
Setelah berkata demikian dengan sikap gentar yang tidak dapat disembunyikan, Luwing Sewu melesat kabur dari situ. Dan sesaat kemudian, di tempat itu telah berdiri seorang kakek kecil kurus yang selalu tertawa cekikikan. Sepasang matanya tampak berputar-putar liar.
Dewa Arak merasakan debaran tegang dalam jantungnya. Dirinya tidak tahu sama sekali, darimana dan bagaimana kakek kecil itu muncul. Tahu-tahu saja telah berada di antara mereka. Suatu kenyataan yang membuktikan bahwa kakek yang tampak kurang waras itu memiliki ilmu peringan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Masih dengan tawa cekikan dan sepasang mata berputaran liar, kakek kecil kurus itu menghampiri Ki Tambak Raga yang tengah mengerahkan tenaga dalam menahan menjalarnya hawa beracun. Kemudian, ditepuknya punggung kakek berjenggot panjang itu sekali. Seketika warna merah yang menjalar di sekujur tangan Ki Tambak Raga, perlahan-lahan memudar dan akhirnya lenyap sama sekali.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat," ucap Ki Tambak Raga dengan perasaan kagum yang tidak dapat disembunyikan.
"He he he...! Siapa menolong siapa?! Aku hanya mencoba bertanggung jawab memberikan pertolongan pada orang yang telah berusaha menolong anakku. Kau Tambak Raga, kan? Aku telah sering mendengar namamu. Aku bersyukur kau tidak membenci anakku sekalipun dia berasal dari keluarga yang terbuang sepertiku. Memang, pesan leluhur kita tidak keliru, ilmu-ilmu larangan itu sangat berbahaya. Hanya akan membuat kesadaran kita lenyap. Ilmu larangan itu membuat orang yang mempelajarinya menjadi kurang waras. Kau lihat aku, he he he...! Juga anakku...? Kami adalah saksi nyata betapa berbahayanya ilmu-ilmu larangan itu. Keinginannya untuk menjadi prajurit kerajaan semakin membuatnya parah dalam kegilaan. Keadaan itu dipergunakan baik-baik oleh orang yang punya sifat jahat... Selamat tinggal, Tambak Raga!"
Tanpa memberi kesempatan pada Ki Tambak Raga untuk berbicara, kakek kecil kurus itu menyambar tubuh Satria Sinting, lalu melesat dari situ. Hanya dalam beberapa kali lesatan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
"Itulah orang sakti yang pernah kuceritakan, Dewa Arak. Tokoh aneh yang tempat tinggalnya tiada yang tahu...," ucap Eyang Ranggalawe lirih.
Dewa Arak hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Dia masih belum bersemangat untuk berbicara. Hatinya masih diliputi kebingungan dan heran dengan kejadian-kejadian yang baru saja dialami. Bahkan Kala Tungging pun telah kehilangan gairah untuk bertempur. Mereka mengarahkan pandangan ke arah perginya kakek kecil kurus dengan tatapan kosong....
"Hih!" Hanya dengan sekali jejak, tubuh pemuda itu telah melayang ke atas dan hinggap di atas cabang pohon yang melintang di atas jalan berumput. Di kanan kiri jalan itu memang ditumbuhi berbagai pepohonan. Dari tempat ini, pemuda yang tak lain Arya atau lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak, mengintai.
Beberapa saat kemudian, Dewa Arak telah melihat sosok tubuh ramping berpakaian kuning. Seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun, dan berwajah cantik jelita.
"Hhh... hhh...!"
Desah napas memburu, terdengar oleh Arya ketika gadis berpakaian kuning itu lewat di bawah cabang pohon tempatnya bertengger. Lari gadis itu agak terhuyung-huyung, menjadi pertanda jelas kalau dia telah merasa lelah.
Semua ini menarik perhatian Arya. Dia yakin gadis berpakaian kuning itu tengah melarikan diri dari sesuatu yang ditakutinya. Itulah sebabnya, Dewa Arak memutuskan untuk menunggu. Dibiarkannya gadis itu lewat.
Baru saja gadis berpakaian kuning lewat, dikejauhan, dari arah yang sama dengan kedatangan si gadis, tampak tiga sosok yang bergerak ke tempatnya secara cepat. Hanya dalam sekejapan, tiga sosok itu telah berada di dekat tempat Arya berada. Di sini mereka menghentikan langkah.
Arya pun memperhatikan mereka tanpa berani bergerak sedikit pun. Disadari kalau orang-orang yang berada di bawahnya memiliki tingkat kepandaian tinggi, karena mereka memiliki gerakan yang gesit. Kalau tidak hati-hati, keberadaannya bisa diketahui mereka.
"Bagaimana, Setan Hitam? Mana arah yang harus kita tempuh? Kanan, kiri, atau depan?" tanya lelaki bertubuh pendek gemuk, berkepala botak, dan berperut gendut.
Setan Hitam yang julukan lengkapnya Setan Hitam Muka Kuda tidak langsung menjawab pertanyaan kawannya. Lelaki bertubuh tinggi besar dan berbahu lebar itu memperhatikan ke sekitarnya sejenak. Wajahnya yang mirip kuda menoleh ke sana kemari.
"Kukira dia menempuh jalan ke kiri," jawab Setan Hitam Muka Kuda dengan suara khasnya yang parau. "Bagaimana menurutmu, Iblis Pemburu Nyawa?"
"Aku setuju, Setan Hitam! Bukankah jalan itu akan menuju tempat kediaman sahabat Eyang Dipayana, kakeknya?!" sahut Iblis Pemburu Nyawa. Lelaki bertubuh kecil dengan pinggang terlilit rantai baja yang berujung bola berduri sebesar kepalan tangan orang dewasa.
Yakin pada dugaannya, tiga lelaki berwajah kasar dan rata-rata memiliki mata tajam itu melesat ke kiri. Hanya dalam beberapa lesatan saja, tubuh mereka telah jauh. Yang tampak hanya bayangan hitam yang semakin mengecil dan akhirnya lenyap.
Semua percakapan itu didengar Dewa Arak. Dan meskipun belum jelas persoalannya, pemuda berambut putih keperakan itu condong berpihak pada gadis berpakaian kuning. Maka, Arya pun melesat mengejar.
"Mau lari ke mana, Bangsat Kecil?!"
Gadis berpakaian kuning terkejut bukan kepalang mendengar bentakan itu. Dan sebelum dia sempat menoleh, dirasakan ada hembusan angin. Tahu-tahu di depannya berdiri sesosok tubuh pendek gemuk. Seketika gadis berpakaian kuning menghentikan larinya.
Dibalikkan tubuhnya untuk melarikan diri. Namun ayunan kakinya tertahan begitu melihat di depan telah berdiri Iblis Pemburu Nyawa dan Setan Hitam Muka Kuda. Menyadari kalau jalan untuk melarikan diri sudah tertutup, gadis itu nekat.
Srattt! Dengan cepat gadis berpakaian kuning mencabut pedangnya!
"Ha ha ha...!" Lelaki pendek gemuk yang berjuluk Gajah Kecil Bertangan Maut, tertawa tergelak. "Bagus! Rupanya kau ingin melawan?! Majulah! Kulihat sampai di mana kelihaian ilmu yang kau terima dari Dipayana keparat itu!"
"Tutup mulutmu, Kerbau Gundul!" Usai berkata demikian, gadis berpakaian kuning melancarkan serangan pada Gajah Kecil Bertangan Maut. Sepasang pedang di tangannya langsung dibabatkan. Yang di kanan diayunkan ke arah leher, sedangkan yang di tangan kiri menebas kaki dengan arah gerakan berlawanan.
Sing, sing!
Bunyi berdesing nyaring yang terdengar, menandakan kalau tenaga dalam gadis berpakaian kuning cukup kuat.
"Sebuah serangan yang bagus," puji Gajah Kecil Bertangan Maut seraya melompat ke atas untuk menghindari serangan yang mengancam kaki. Ada pun yang menuju ke leher, dipapaknya dengan sampokan tangan kanan.
Lelaki pendek gemuk ini tidak khawatir tangannya akan terluka karena telah mengenakan sarung tangan yang menjadi senjata andalannya. Sebuah sarung tangan pusaka berwarna hitam yang tahan bacokan senjata tajam.
Takkk!
"Hah...?!" Tubuh gadis berpakaian kurung langsung terhuyung-huyung ke belakang begitu terjadi benturan. Sedangkan Gajah Kecil Bertangan Maut tampak tenang saja. Dari sini saja, gadis itu tahu kalau tenaga dalam lawan berada jauh di atasnya. Sungguhpun demikian, gadis berpakaian kuning tidak merasa gentar. Setelah berhasil memperbaiki kedudukan, langsung dikirimkan serangan susulan kembali.
Dewa Arak yang menyaksikan jalannya pertarungan, mengernyitkan alis. Hanya dengan memperhatikan sebentar, dia sudah dapat mengetahui kalau gadis berpakaian kuning bukan tandingan Gajah Kecil Bertangan Maut yang lihai!
Setiap serangan gadis itu selalu berhasil dipatahkan lawan. Sebaliknya, serangan balasan yang dikirimkan Gajah Kecil Bertangan Maut, membuatnya kerepotan. Beberapa kali dia terpontang-panting ke sana kemari untuk menyelamatkan diri.
"Hih!" Menginjak jurus ketiga belas, sambil menggertakkan gigi, Gajah Kecil Bertangan Maut merangsek maju. Tangannya pun disampokkan seraya memutar tubuhnya laksana kitiran. Serangan itu memaksa gadis berpakaian kuning terus melangkah mundur sambil memutar-mutarkan pedangnya di depan dada untuk bertahan.
Prattt!
"Ih...!" Gadis berpakaian kuning memekik kesakitan ketika sampokan Gajah Kecil Bertangan Maut menghantam pergelangan tangannya. Seperti terhantam sebatang baja yang amat keras, tangannya dirasakan nyeri sekali. Pedangnya terlepas dari tangan. Tubuhnya pun terhuyung-huyung ke belakang.
Saat itulah, Gajah Kecil Bertangan Maut merendahkan tubuhnya, mengambil sikap seperti seekor katak. Kemudian, kedua tangannya dihentakkan ke depan.
"Kok kok kok...!"
Bunyi berkokok seperti ayam habis bertelur terdengar dari kerongkongan Gajah Kecil Bertangan Maut. Dan dari kedua tangan yang dihentakkan, keluar angin keras berputar mirip angin topan.
Wajah gadis berpakaian kuning memucat. Disadari adanya ancaman maut. Namun sayang dia tidak berdaya untuk berbuat sesuatu karena masih terbawa kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Di saat yang amat gawat itulah, Arya segera melesat menyambar tubuh gadis berpakaian kuning.
Brakkk!
Pohon besar di belakang gadis berpakaian kuning tumbang dan hancur berantakan, terhantam pukulan jarak jauh Gajah Kecil Bertangan Maut. Kepingan-kepingan kayu beterbangan dan berputaran seperti digulung angin topan!
Kejadian itu bukan hanya membuat Gajah Kecil Bertangan Maut yang merasa terkejut. Namun juga kedua rekannya, Iblis Pemburu Nyawa dan Setan Hitam Muka Kuda. Bagai diberi perintah, mereka bergerak bersama. Sehingga ketika Dewa Arak menjejak tanah, tiga tokoh berpakaian hitam itu telah mengurungnya.
"Menyingkirlah. Mereka bukan tandinganmu!" ujar Arya seraya menurunkan tubuh gadis berpakaian kuning dari pondongannya.
Gadis berpakaian kuning segera melaksanakan perintah Dewa Arak. Dia memperhatikan dari jauh dengan hati berdebar tegang. Mampukah pemuda berambut putih keperakan itu menghadapi lawan-lawannya yang memiliki kepandaian sangat menggiriskan?
Sementara itu, Gajah Kecil Bertangan Maut mengangguk-anggukkan kepala setelah memperhatikan Arya dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan penuh selidik.
"Hm...! Rupanya kau yang berjuluk Dewa Arak. Memang, julukanmu telah mampir ke telingaku. Kau terkenal sebagai tokoh yang berkepandaian luar biasa. Mari, Dewa Arak! Kita bermain-main sebentar."
Dewa Arak tidak memberikan tanggapan sama sekali. Dengan sikap tenang, diperhatikannya gerak-gerik Gajah Kecil Bertangan Maut. Meskipun tidak terlihat berwaspada, seluruh uraturat saraf pemuda berambut putih keperakan ini menegang, siapsiap menghadapi kemungkinan yang tidak diinginkan. Disadari kalau lelaki pendek gemuk itu merupakan tokoh berkepandaian tinggi. Terutama sekali pukulan jarak jauhnya yang dilakukan denganmerendahkan tubuh mirip katak.
"Haaat...!" Diawali teriakan keras yang membuat sekitar tempat itu tergetar hebat, Gajah Kecil Bertangan Maut melancarkan serangan. Jari tangan kirinya bergerak menusuk kemata lawan. Sedangkan tangan kanannya mencengkeram lambung.
Dewa Arak sudah terbiasa bertindak hati-hati. Meskipun serangan seperti ini bisa dipatenkannya dengan tangkisan, dia tidak melakukannya. Kekuatan tenaga dalam lawan, belum diketahuinya. Begitu pula perkambangan serangan itu. Maka dilemparkan tubuhnya ke belakang dan bergulingan di tanah menjauh.
Gajah Kecil Bertangan Maut melihat adanya kesempatan baik untuk melancarkan serangan susulan. Keadaan Dewa Arak amat menguntungkan pihaknya. Maka buru-buru dia meluruk menerjang pemuda berambut putih keperakan itu.
Gerakan lelaki gemuk berkepala botak itu begitu cepat. Namun dengan gerakan yang tak kalah cepatnya Dewa Arak melenting ke atas mengelakkan serangan lawan. Gajah Kecil Bertangan Maut menggereng bagai macan luka.
Kegagalannya memanfaatkan kesempatan di saat kedudukan lawan tidak menguntungkan, tidak membuatnya putus asa. Dikejarnya Dewa Arak. Kemudian dengan kedua tangan terbuka dihantamnya dada pemuda berambut putih keperakan itu.
Plak! Plak!
Bunyi keras terdengar ketika dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Memang, Dewa Arak memapak serangan lawannya dengan sikap jari-jari tangan yang sama.
Akibatnya, tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut dan tubuh Dewa Arak pun sama-sama terjengkang ke arah belakang. Hanya saja, lelaki pendek berbadan gemuk itu terhu yung tiga langkah lebih jauh daripada Dewa Arak yang hanya terhuyung satu langkah.
Kenyataan yang menunjukkan kekalahannya membuat Gajah Kecil Bertangan Maut penasaran bercampur geram. Untuk yang kedua kalinya direndahkan tubuhnyamirip seekor katak. Lalu, secara bergantian tangan kanan dan kirinya digerakkan ke atas dan ke bawah. Bunyi seperti ayam habis bertelur terdengar seiring dengan gerakan kedua tangannya. Kemudian kedua tangannya segera dihentakkan.
Wusss!
Hembusan angin keras berputar keluar dari kedua tangan yang dihentakkan. Kali ini Dewa Arak tidak mengelak. Dipapaknya serangan itu dengan kedua tangan yang dihentakkan pula.
Blarrr!
Bunyi keras terdengar memekakkan telinga dan membuat sekitar tempat itu tergetar hebat, ketika dua pukulan jarak jauh saling beradu. Tubuh keduanya tampak terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Dewa Arak terkejut ketika menyadari ada sebuah kekuatan yang membuat tubuhnya berputar. Namun berkat kelihaiannya, pemuda berpakaian ungu itu segera mampu memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
Dewa Arak masih tetap keheranan. Entah dengan cara bagaimana, ilmu pukulan yang dilancarkan dengan tubuh setengah berjongkok mirip katak tadi mengandung tenaga berlipat ganda. Terbukti, dirinya sempat terhuyung-huyung beberapa langkah. Sementara itu Gajah Kecil Bertangan Maut pun demikian.
Meskipun begitu, dia tahu kalau ilmu pukulan mukjizatnya cukup membuahkan hasil. Maka setelah kekuatan yang membuat tubuhnya sempoyongan berhasil dipatahkan, langsung dikirimkan serangan susulan dengan cara seperti tadi.
Namun kali ini Dewa Arak tidak mau meladeninya. Dengan kecepatan yang mengagumkan, pemuda berambut putih keperakan itu melenting. Dan dari atas dilancarkan serangan bertubi-tubi. Tentu saja yang menjadi sasaran bagian kepala dan punggung lawan.
Tindakan yang diambil Dewa Arak membuat lelaki bertubuh gemuk pendek itu tampak kelabakan. Sama sekali tidak disangka kalau lawan akan melakukan perlawanan di atas. Cara perlawanan seperti ini membuat kedahsyatan ilmunya tak berfungsi.
Karena dia tidak mampu melancarkan serangan ke atas kepalanya. Tambahan lagi kecepatan gerakan Dewa Arak jauh di atasnya, sehingga setiap serangan yang dilancarkannya selalu mengenai tempat kosong. Tak pelak lagi, Gajah Kecil Bertangan Maut kian kewalahan. Dia dibuat kerepotan untuk tetap berada di hadapan lawan. Namun, karena dirinya kalah cepat bergerak, selalu berada dalam keadaan dicecar.
Melihat keadaan rekannya, Iblis Pemburu Nyawa dan Setan Hitam Muka Kuda pun tidak tinggal diam. Keduanya terjun kedalam kancah pertarungan dan mengeroyok Dewa Arak. Maka pertarungan yang jauh lebih sengit pun berlangsung.
Melihat keadaan itu Dewa Arak tidak bisa bertindak setengah-setengah. Setan Hitam Muka Kuda dan Iblis Pemburu Nyawa ternyata memiliki kepandaian lebih tinggi dibanding Gajah Kecil Bertangan Maut. Seperti juga lelaki pendek gemuk itu, kedua tokoh golongan hitam ini pun memiliki ilmu-ilmu yang aneh dan dahsyat Setan Hitam Muka Kuda memiliki keistimewaan dalam penggunaan sepasang kakinya. Itulah jurus 'Sepak Kuda'. Sedangkan Iblis Pemburu Nyawa mempunyai ilmu yang membuat tangannya seperti berjumlah puluhan pasang.
Tidak hanya dalam satu jurus Iblis Pemburu Nyawa mampu melancarkan serangan dalam beberapa bentuk gerakan jari. Inilah ilmu andalan tokoh kecil kurus itu, 'Satu Tangan Seribu Serangan'. Menghadapi keroyokan lawan yang memiliki ilmu khas beraneka ragam, Dewa Arak semakin sibuk. Apalagi karena lawan menyerang dari tiga penjuru. Serangan-serangan dahsyat silih bergantimeluncur ke arahnya.
Dewa Arak sadar kalau ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya tidak segera dikeluarkan, dia akan menghadapi kesulitan besar. Ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' yang sejak tadi digunakan tampaknya tak mampu menanggulangi pengeroyokan tiga lawannya.
"Hih!" Dewa Arak menjejakkan kaki. Dengan cepat tubuhnya melenting, kemudian bersalto beberapa kali di udara sambil mengambil guci araknya dan menuangkan ke mulut.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Arya mengalir ke perut. Hawa hangat berputar di sekitar perut dan kemudian secara perlahanmerayap ke atas.
Jliggg!
Kedua kakinya menjejak tanah dalam kedudukan yang tidak tetap karena pengaruh arak dan ilmu 'Belalang Sakti'. Sementara tiga orang musuhnya telah melancarkan serangan susulan. Malah, sekarang di tangan mereka tergenggam senjata.
"Kok kok kok...!" Untuk yang kesekian kali, Gajah Kecil Bertangan Maut yang berada di depan, merendahkan tubuh dan melancarkan serangan khasnya. Kali ini sebelum kedua tangan dihentakkan, lehernya telah dikembungkan mirip leher katak.
Pada saat yang hampir bersamaan, dari belakang Iblis Pemburu Nyawa menyerang dengan rantainya yang mengikat bola baja berduri. Sedangkan dari samping kanan, Setan Hitam Muka Kuda menusukkan tombak berujung logam bulan sabitnya ke arah pinggang.
Dewa Arak tidak berani bertindak lambat. Dalam waktu yang demikian singkat, benaknya bekerja keras. Sehingga dia tahu kalau di antara semua serangan itu yang akan tiba lebih dulu adalah serangan Gajah Kecil Bertangan Maut, satu-satunya lawan yang tidak menggunakan senjata. Maka diputuskan untuk mematahkan serangan lelaki pendek gemuk itu lebih dulu.
Wusss!
Dewa Arak langsung menghentakkan kedua tangannya menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'. Deru angin keras berhawa panas menyengat, meluruk menyambuti pukulan jarak jauh Gajah Kecil Bertangan Maut.
Glarrr...!
Ledakan keras seperti halilintar menyambar langsung terdengar ketika dua buah pukulan jarak jauh itu berbenturan. Tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut terjengkang ke belakang dan bergulingan di tanah. Dan ketika akhirnya bangkit, wajah lelaki pendek gemuk itu pucat pasi!
Begitu pula Dewa Arak. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Namun hal itu sudah diperhitungkan. Sehingga dengan sendirinya serangan Setan Hitam Muka Kuda kandas, lewat beberapa jari di depan tubuhnya. Sedangkan tusukan Iblis Pemburu Nyawa dipapaknya dengan ayunan guci ke belakang.
Krakkk!
Klang...!
Serangan Iblis Pemburu Nyawa pun kandas. Bahkan tubuhnya yang kecil kurus melayang kembali ke belakang akibat benturan itu. Dewa Arak yang cerdik menambahkan tenaga pada tangkisan sehingga membuat daya dorongnya jadi berlipat ganda.
Tindakan Dewa Arak tidak terhenti sampai di situ. Kaki kirinya langsung mencuat ke arah leher Setan Hitam Muka Kuda. Hal ini memaksa tokoh tinggi besar itu melompat ke belakang.
Kepungan terhadap Dewa Arak mengendur. Namun keadaan itu hanya berlangsung sesaat, karena kemudian ketiga lawannya kembali mehiruk ke arah Dewa Arak. Dan pertarungan sengit pun kembali berkobar.
Bunyi mencicit, mengaung, dan menderu mengiringi setiap gerakan mereka. Sesekali terdengar bunyi dentang senjata masing-masing yang beradu, atau ledakan ketika pukulan jarak jauh berbenturan di tengah jalan.
Tanah berhamburan di sana-sini sehingga menimbulkan kepulan debu tebal. Pepohonan beterbangan terhantam pukulan jarak jauh mereka. Keadaan tanah di sekitar tempat itu seperti habis diinjak puluhan ekor kerbau liar.
Gadis berpakaian kuning, satu-satunya orang yang menyaksikan jalannya pertarungan memandang penuh perasaan takjub. Hatinya diliputi perasaan kagum terutama terhadap Dewa Arak. Seorang tokoh yang meskipun masih belia mesti menghadapi keroyokan tokoh-tokoh hitam yang berkemampuan tinggi.
Sementara, tokoh-tokoh yang dikagumi sama sekali tidak mempedulikan. Kedua belah pihak sibuk mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk mengalahkan lawan masing-masing.
Tak terasa pertarungan telah berlangsung delapan puluh jurus. Dan selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagi pemenang. Pertarungan masih berlangsung seimbang. Dan kedua belah pihak masih saling bergantian melancarkan serangan.
Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan Setan Hitam Muka Kuda kian penasaran. Memang kesaktian Dewa Arak telah mereka dengar. Namun merupakan sebuah berita yang memalukan apabila dengan mengeroyok bertiga, mereka tetap tidak mampu mencapai kemenangan. Apalagi ketika melihat Dewa Arak beberapa kali bertindak seperti merendahkan mereka.
Sambil mengelak, pemuda berambut putih keperakan itu menenggak araknya, membuat ketiga tokoh sesat ini semakin kalap. Serangan-serangan yang mereka lancarkan pun semakin dahsyat. Namun Dewa Arak tetap mampu menanggulanginya, bahkan sempat mengirimkan serangan yang tidak kalah dahsyat.
DUA
"Anjing-anjing Kurap! Berani kalian mengacau tempat ini?!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras menggetarkan. Belum lagi hilang gema teriakan itu, sesosok bayangan melesat ke dalam kancah pertarungan. Dan begitu terjun, sosok berpakaian abu-abu itu langsung mengirimkan serangan!
Setan Hitam Muka Kuda yang berada paling dekat dengan sosok abu-abu itu yang menjadi sasaran. Buru-buru digerakkan tombak bulan sabitnya untuk memapak ayunan tasbih yang mengancam pelipisnya.
Cririggg!
Setan Hitam Muka Kuda terperanjat ketika merasakan tangannya bergetar hebat begitu benturan terjadi. Apalagi ketika tasbih itu langsung melibat logam bulan sabitnya. Namun lelaki berkulit legam ini tidak menjadi gugup. Dengan cepat ditarik tombaknya dengan maksud agar tasbih itu putus.
Tapi dia tak berhasil ketika melihat senjata yang kelihatannya rapuh itu tidak putus! Tombaknya bahkan tidak bergeming dari belitan tasbih. Setan Hitam Muka Kuda pun sadar kalau dia tengah berhadapan dengan seorang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Walaupun demikian, Setan Hitam Muka Kuda tidak kehilangan akal. Tombaknya dengan cepat disodorkan ke arah leher lawan.
"Uh!"
Wuttt!
Sosok berpakaian abu-abu memekik kaget. Buru-buru dilepaskan belitan tasbihnya seraya menarik kaki ke belakang, sehingga tombak lawan menyambar angin.
"Kiranya kau, Eyang Ranggalawe," desah Setan Hitam Muka Kuda begitu melihat wajah lawannya secara jelas.
Kakek berpakaian abu-abu itu tersenyum sinis. Ditatapnya wajah calon lawannya yang tidak langsung melancarkan serangan begitu berhasilmembebaskan senjatanya. "Rupanya kau masih mengenaliku, Setan Hitam," ucap Eyang Ranggalawe, menyindir.
"Ha ha ha...!" Setan Hitam Muka Kuda tertawa bergelak "Siapa yang bisa lupa padamu, Ranggalawe?! Apalagi sebentar lagi kita semua akan mengadakan pertemuan!"
"Tidak usah banyak cakap, Setan Hitam!" tandas Eyang Ranggalawe yang tidak bisa berbasa-basi, "Sekarang katakan, apa urusanmu berada di tempat ini! Jangan katakan kalau kau bermaksud mengunjungi tempatku yang buruk!"
"Dia mengejar-ngejarku, Paman! Ayah telah dicelakainya. Bahkan Gusti Prabu Paso Pati!" seru gadis berpakaian kuning, menyela sebelum Setan Hitam Muka Kuda menjawab.
"Apa?!" Eyang Ranggalawe tersentak seperti disambar petir. "Kalau begitu, kau harus mampus untuk menebus perbuatan-perbuatanmu yang keji itu, Setan Hitam!"
Wungngng!
Usai berkata demikian, Eyang Ranggalawe mengayunkan tasbihnya menyambar pelipis Setan Hitam Muka Kuda, setelah terlebih dahulu memutarnya laksana kitiran sehingga menimbulkan bunyi mengaung.
"Kaulah yang akan mampus, Tua Bangka...! Hea...!" Setan Hitam Muka Kuda menarik kaki kanan ke belakang, sehingga sambaran tasbih itu lewat beberapa jari di depan wajahnya.
Kemudian, tombak bulan sabit di tangannya ditusukkan ke perut lawan. Daya jangkau senjatanya yang panjang memungkinkan lelaki berkulit legam ini untuk melakukan hal seperti itu.
Wuttt!
"Ah...!" Eyang Ranggalawe mengeluarkan pekik tertahan karena merasa kaget melihat serangan lawan. Buru-buru dijejakkan kaki sehingga tubuhnya melayang ke atas. Kemudian disabetkan tasbihnya ke ubun-ubun lawan. Namun, Setan Hitam Muka Kuda dapat mengelakkannya sambil mengirimkan serangan yang tidak kalah dahsyat. Pertarungan sengit pun berlanjut.
Dengan terjadinya pertarungan antara Eyang Ranggalawe menghadapi Setan Hitam Muka Kuda, Dewa Arak jadi kehilangan satu lawannya. Dan hal itu membuat kedudukannya segera berubah. Perlahan-lahan pemuda berambut putih keperakan itu berhasil mendesak kedua lawannya.
Berkali-kali Gajah Kecil Bertangan Maut dan Iblis Pemburu Nyawa dibuat terhuyung-huyung ke belakang dalam benturan. Terutama sekali si Gajah Kecil Bertangan Maut. Tubuhnya beberapa kali bergulingan di tanah ketika pukulan mukjizatnya berbenturan dengan jurus 'Pukulan Belalang' Dewa Arak.
Padahal, seluruh tenaga mukjizatnya telah dikeluarkan dengan cara menggembungkan leher. Namun usahanya sia-sia! Dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak pun mengalami kekuatan tenaga yang bertambah, sehingga tetap saja Gajah Kecil Bertangan Maut kewalahan manghadapinya.
Sementara Eyang Ranggalawe pun demikian. Setelah bertarung ketat dalam tiga puluh jurus, kakek berpakaian abu-abu ini berhasil mendesak lawannya. Kenyataan ini disadari oleh tiga tokoh golongan hitam itu. Mereka tampaknya tidak mau bertindak bodoh dengan melakukan perlawanan terus. Maka bagai telah disepakati, ketiganya melemparkan tubuh menjauh. Lalu melarikan diri.
"Mau lari ke mana, Keparat?!" seru Eyang Ranggalawe seraya melesat mengejar. Namun hanya beberapa langkah Eyang Ranggalawe melakukannya. Pengejarannya langsung dihentikan. Lalu kepalanya ditolehkan ke belakang. Dilihatnya Dewa Arak tidak melakukan pengejaran, hanya berdiam diri menatap kepergian lawannya.
"Mengapa kau tidak mengejar mereka, Anak Muda?" tanya Eyang Ranggalawe seraya melangkah menghampiri.
"Untuk apa, Ki?" Arya balik bertanya, "Aku tidak punya urusan dengan mereka."
"Mereka orang-orang jahat, Anak Muda. Tokoh-tokoh golongan hitam! Andaikata dibiarkan, akan banyak orang tak bersalah yang akan jadi korban!" jelas Eyang Ranggalawe setengah memberitahukan.
"Tapi aku tidak melihat sendiri tindak kekejaman yang mereka lakukan, Ki. Tanpa itu aku tak dapat sembarangan menjatuhkan tangan. Sudah terlalu banyak aku menanam permusuhan dengan tokoh-tokoh persilatan. Aku tak ingin menambahnya dengan masalah-masalah yang tidak jelas."
"He he he...!" Eyang Ranggalawe tertawa lunak. "Aku kagum mendengar jawabanmu, Anak Muda. Kau memiliki pandangan yang luas. Kalau mataku masih belum lamur, kau pastilah orang yang berjuluk Dewa Arak."
"Ah, hanya sebuah julukan kosong, Ki," jawab Arya merendah.
"Kalau begitu lupakanlah, Dewa Arak. Mungkin perlu bagimu mendengarkan sedikit ceritaku. Barangkali saja keputusanmu untuk tidak melenyapkan tiga tokoh golongan hitam itu dapat kau rubah."
Dewa Arak tidak menjawab ucapan Eyang Ranggalawe. Hanya kepalanya terlihat mengangguk kecil seraya menatap lelaki tua itu.
"Kalau begitu, mari kita singgah di gubukku! Sepanjang perjalanan menuju ke sana akan kuceritakan mengenai tokoh-tokoh yang tadi bertarung denganmu. Mari, Dewa Arak!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Arya segera mengayunkan langkah, mengikuti Eyang Ranggalawe dan gadis berpakaian kuning yang telah melangkah lebih dulu.
* * *
Kriiit...! Bunyi bergerit pelan terdengar ketika pintu pondok Eyang Ranggalawe bergerak membuka. Dari dalamnya keluar sesosok tubuh ramping. Sikapnya terlihat demikian hati-hati, baik ketika melangkahkan kaki maupun menutupkan daun pintu.
Kemudian sosok ramping itu melesat keluar. Sinar rembulan yang cukup terang di langit, menampakkan sosok ramping itu cukup jelas. Dia ternyata Nawangsih, murid Eyang Dipayana.
Nawangsih semakin mempercepat larinya ketika telah cukup jauh dari pondok. Sekejap kemudian bentuk tubuhnya lenyap. Yang terlihat sekarang hanya sekelebatan bayangan kuning dalam bentuk tidak jelas, melesat cepat menuju ke puncak.
Meskipun yakin kalau kepergiannya tidak diketahui orang, Nawangsih tetap tidak meninggalkan kewaspadaan. Sesekali kepalanya ditolehkan ke belakang untuk memastikan kalau tidak ada orang yang mengikutinya.
Hati gadis berpakaian kuning itu lega ketika tidak melihat hal yang dikhawatirkan. Kenyataan ini membuat semangatnya semakin bergelora. Kecepatan larinya pun bertambah. Laksana kera kedua kakinya menotok ke sana kemari membuat tubuhnya melayang ke atas secara cepat.
Nawangsih baru memperlambat larinya ketika telah melihat sebuah goa yang berjarak sekitar sepuluh tombak di hadapannya. Kini dirinya berada di sebuah hamparan tanah datar berumput. Dengan langkah satu-satu Nawangsih mendekati mulut goa.
Wusss!
Tiba-tiba serentetan angin dahsyat berasal dari dalam goa, meluruk ke arah Nawangsih, ketika gadis itu telah berjarak sekitar tiga tombak dari mulut goa. Nawangsih tersentak kaget. Hatinya menyadari ada bahaya maut yang tengah mengancam. Buru-buru dia menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingan menjauh. Ketika akhirnya dia bangkit berdiri, di mulut goa telah berdiri sesosok tubuh kekar berpakaian compang-camping.
Rambutnya pun awut-awutan. Namun bukan hal itu yang menyebabkan Nawangsih merasa ngeri, melainkan sorot mata lelaki muda berpakaian compang-camping itu. Sinar yang keluar dari sepasang matanya mengingatkan Nawangsih akan tatapan seekor harimau dalam kegelapan.
Mencorong dan bersinar kehijauan. Sepertinya ada kekuatan aneh terkandung di dalam diri lelaki muda berpakaian gembel itu. Dengan langkah lambat-lambat dan sikap mengancam, lelaki berpakaian compang-camping itu menghampiri Nawangsih.
"Pemberontak Keparat! Sungguh berani kau mendekati istanaku!" seru lelaki muda berpakaian compang-camping itu keras. "Kalau pengawal-pengawalku tahu kau akan dipancung!"
Nawangsih tidak merasa heran sama sekali melihat sikap dan ucapan lelaki berpakaian compang-camping itu. Dirinya telah mendapat pemberitahuan kalau penghuni goa itu orang tidak waras.
Hampir dia tertawa mendengarnya, tapi dengan sekuat tenaga ditahannya. Bahkan Nawangsih yang berwatak lincah ini bermaksud meladeni kegilaan lelaki berpakaian compang-camping itu.
"Apakah kau sudah tak mengenaliku lagi, Kang? Aku bukan pemberontak. Aku istrimu! Aku bermaksud ikut membantumu membasmi pemberontak-pemberontak itu. Lihat, aku telah mendapatkan pedang sri baginda. Beliau telah memberikan kepercayaan pada kita untuk membasmi para pengkhianat!" seru Nawangsih seraya mencabut pedang yang diberikan Eyang Dipayana dan mengacungkannya tinggi-tinggi ke atas.
"Ah! Sungguhkah...?! Kalau begitu, mari kita basmi pemberontak-pemberontak itu sekarang, Istriku!" sambut lelaki berpakaian compang-camping merasa gembira. Kakinya melangkah menghampiri Nawangsih.
Nawangsih terbelalak kaget bercampur kagum ketika melihat pemuda berpakaian compang-camping itu tahu-tahu berada di dekatnya. Padahal, dia hanya melihat lelaki itu mengayunkan kaki selangkah secara sembarangan.
Nawangsih bertambah kaget ketika melihat pemuda berpakaian compang-camping itu mengembangkan kedua lengan hendak memeluk. Rasa jijik melanda hati gadis berpakaian kuning ini, apalagi ketika hidungnya mencium bau apek, asem, dan pengak! Bau orang yang lama tidak mandi!
Didorong oleh rasa jjik, dan tentu saja Nawangsih sebagai seorang gadis, tidak mau dipeluk oleh sembarangan orang. Dia pun berusaha mengelak. Gadis berpakaian kuning ini melangkahkan kakinya ke belakang seraya mendoyongkan tubuh. Namun entah bagaimana, Nawangsih sendiri tidak mengetahuinya, tahu-tahu tangan lelaki gila itu melingkari tubuhnya.
Kenyataan ini membuat Nawangsih gugup. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, lelaki berpakaian compang-camping itu telah memperketat pelukan, lalu menciumi Nawangsih dengan buasnya. Hampir Nawangsih pingsan menerima perlakuan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Dia berusaha meronta dan kalau perlu membunuh lelaki gila ini. Namun hanya dengan sebuah sentuhan pada bahu kanannya tubuh Nawangsih telah dibuat lemas tidak berdaya.
"Keparat!" lelaki berpakaian compang-camping itu menggeram keras penuh kemarahan, dan bahkan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. "Rupanya benar berita yang kudengar bahwa kau telah bermain gila dengan Gusti Pangeran Laksana dewa! Buktinya kau sekarang tidak mau kucium!"
Nawangsih mengeluh dalam hati. Tidak disangkanya sama sekali kalau sandiwara yang dilakukannya akan berlanjut seperti itu. Dia harus bertindak cepat kalau ingin nyawanya selamat. Orang gila yang tengah murka itu telah merenggangkan pelukan, dan tangan kirinya sekarang telah berada di ubun-ubun Nawangsih. Sekali saja lelaki gila itu mengerahkan sedikit tenaga dalam, Nawangsih akan tewas dengan ubun-ubun pecah!
"Kau salah, Kakang! Bukannya aku tak mau, tapi Gusti Prabu memerintahkan agar kita bergegas! Kau harus buru-buru berkemas agar kita dapat segera pergi! Toh, nanti di perjalanan masih banyak waktu bagi kita untuk melakukannya," ucap Nawangsih dengan raut wajahmemerah ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir.
"Ah...! Kau benar...! Benar sekali..! Mengapa aku demikian pelupa?"
Sambil mengangguk-anggukkan kepala lelaki gila itu melepaskan pelukannya, dan membebaskan totokan terhadap Nawangsih. Kemarahan yang tadi membayang jelas di wajahnya telah menguap pergi. Bahkan sorot matanya telah melembut kembali, meskipun tetap aneh.
Nawangsih menghela napas. Hatinya lega melihat keberhasilan ucapannya. Sudah kepalang, pikirnya, lebih baik dilanjutkan saja sandiwara ini!
"Benar kan? Lebih baik kau mandi dulu, bersihkan tubuh, ganti pakaianmu dan kita berangkat," ucap Nawangsih, yang bingung memikirkan bagaimana dia akan tahan melakukan perjalanan dengan orang yang memiliki bau seperti itu!
Lelaki berpakaian compang-camping itu mengangguk-anggukkan kepala menyetujui permintaan Nawangsih. Tubuhnya berbalik lalu melangkah. Namun mendadak ayunan kakinya terhenti. Karuan saja hal ini membuat Nawangsih yang sudah merasa lega jadi khawatir kembali.
"Mengapa harus, aku saja, Istriku? Bukankah lebih baik kalau kau ikut mandi juga? Kita mandi bersama seperti sewaktu kita belum mempunyai anak? Anak... anakku.... Di mana anak kita, Nawangsih?"
Lelaki berpakaian compang-camping itu tertegun. Seolah dia teringat sesuatu, anaknya, bahkan sekaligus nama istrinya. Kepalanya ditolehkan ke sana kemari dengan sepasang mata liar.
Ucapan-ucapan lelaki gila itu membuat Nawangsih merasa kaget. Sebagai seorang dara yang cerdik, dia dapat memperkirakan kalau sandiwara yang dilakukannya ternyata mempunyai persamaan dengan riwayat hidup lelaki berpakaian compang-camping itu. Setidak-tidaknya membuat lelaki itu teringat akan masa lalunya.
"Mengapa kau demikian pelupa, Kang?" ucap Nawangsih ketika menemukan jawaban yang akan digunakannya untuk melepaskan diri dari keadaannya yang terjepit. "Anak kita diculik pemberontak-pemberontak keparat itu. Dan kita akan membebaskannya setelahmelenyapkan mereka."
"Diculik?!" lelaki berpakaian compang-camping mengernyitkan alis, membuat hati Nawangsih berdebar-debar.
Namun kekhawatiran Nawangsih langsung pupus ketika lelaki berpakaian compang-camping tidak mempedulikan hal itu lagi.
"Lebih baik kau pergi mandi sendiri, Kang. Bukannya aku tidak mau menemani. Aku hanya khawatir kalau kita pergi berdua, istana kita akan diserbu pemberontak."
"Kau benar..., kau benar...!" lagi-lagi lelaki berpakaian compang-camping itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, masih dengan kepala terangguk-angguk, lelaki gila itu membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan Nawangsih.
Mendadak langkahnya dihentikan. Sepasang matanya menatap tajam ke depan. Nawangsih yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, ikut pula mengarahkan pandangan ke arah yang sama. Seketika dia merasa gelisah.
Di kejauhan, tampak dua sosok tubuh tengah melesat cepat ke arah mereka. Namun bukan gerakan mereka yang menyebabkan Nawangsih gelisah, melainkan karena mengenali siapa dua sosok yang tengah menuju ke arahnya. Salah seorang di antara keduanya benar-benar jelas dari kejauhan. Pakaian ungu dan rambutnya putih panjang terurai. Siapa lagi kalau bukan Dewa Arak?
"Kang...! Kembali kemari...! Cepat, kita tinggalkan tempat ini...!" seru Nawangsih penuh perasaan gelisah.
Namun lelaki berpakaian compang-camping itu seperti tidak mendengar teriakan Nawangsih. Dia menatap dua sosok yang tengah menuju tempatnya, dengan sepasang mata membelalak lebar laksana melihat hantu. Sikap lelaki berpakaian compang-camping itu membuat Nawangsih semakin gelisah.
"Kang...! Cepat...! Nanti pemberontak-pemberontak itu keburu kabur...!" seru Nawangsih lagi dengan kegelisahan yang kian memuncak.
Namun lelaki berpakaian compang-camping tetap tidak memberikan tanggapan sama sekali. Nawangsih ingin menghampiri dan mengajaknya kabur, tapi khawatir karena dia tahu lelaki itu memiliki sikap yang tidak bisa ditebak. Apalagi ketika dilihatnya tubuh lelaki itu sekarang menggigil. Bunyi berkerotokan terdengar dari sekujur tubuhnya, seakan tulang-tulangnya berpatahan!
Padahal, lelaki itu tidak menggerakkan tangan atau kaki. Nawangsih bergidik karena tahu kalau bunyi itu timbul akibat tenaga dalam yang bergolak sendiri. Tenaga dalam yang amat dahsyat!
Nawangsih tahu, tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dia hanya menunggu dengan jantung berdetak kencang. Tidak ada gunanya lagi melarikan diri karena dua sosok yang tidak lain Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe telah melihatnya. Nawangsih hanya berdiri di tempatnya dengan pasrah.
* * *
Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe memang telah melihat keberadaan Nawangsih dan lelaki berpakaian compang-camping itu. Keduanya langsung menghentikan langkah berjarak empat tombak dari lelaki berpakaian compang-camping itu dan memasang sikap waspada.
Sebagai orang-orang yang telah kenyang pengalaman. Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe tahu kalau lelaki berpakaian compangcamping itu tengah dalam keadaan murka. Hanya saja, mereka tidak tahu penyebabnya. Namun baik Eyang Ranggalawe maupun Dewa Arak tahu, kemarahan lelaki berpakaian compang-camping itu tertuju pada mereka.
"Kau...?!" ucapan bernada penuh geram dan kemarahan keluar dari mulut lelaki berpakaian compang-camping dengan pandangan tertuju ke arah Dewa Arak. "Iblis Jahanam...! Nawangsih..! Tidak,..! Kubunuh kau, Jahanam!"
Belum lenyap gema ucapannya, lelaki berpakaian compang-camping itu telah melompat menerjang Dewa Arak. Di udara, tubuhnya berputar, kemudian kaki kanannya dikibaskan ke arah pelipis Dewa Arak.
Dewa Arak yang memang sudah sejak tadi bersikap waspada langsung melompat ke belakang, sehingga serangan itu menyambar di depan wajahnya. Namun betapa kaget hatinya ketika melihat, dengan sebuah gerakan aneh, lelaki berpakaian compang-camping itu mampu melancarkan serangan susulan berupa kibasan kaki yang satu lagi.
Dewa Arak hampir tidak percaya dengan pandang matanya sendiri. Meskipun demikian dia tidak tampak gugup. Dengan gerakan cepat ia segeramengelak.
Bukkk!
Meskipun tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan, tindakan Arya cukup berhasil menyelamatkan selembar nyawanya. Serangan kaki lawan tidak menghantam kepalanya, tapi menyerempet bahunya. Sungguhpun begitu, karena tenaga dalam yang terkandung pada serangan itu kuat, tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung ke belakang. Wajahnya tampak menyeringai menahan sakit.
Saat itu, lelaki berpakaian compang-camping telah melancarkan serangan susulan dengan gedoran kedua tangannya. Terpaksa Arya menyambutinya lagi karena keadaan tidak memungkinkan.
Plakkk!
Benturan keras antara dua tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tak dapat dielakkan ketika Dewa Arak memapak dengan menggunakan tapak tangan kanan terbuka. Lelaki gila itu menggunakan tenaga tangkisan untuk bersalto di udara, melewati kepala lawan. Ketika berada di belakang Dewa Arak mengirimkan totokan dahsyat dan bertubi-tubi ke arah tengkuk pemuda berambut putih keperakan.
Dewa Arak yang merasakan ada desir angin tajam di belakangnya, tidak berani bertindak lambat. Dia melompat ke depan dan bergulingan menjauh. Ketika telah berhasil bangkit, lawan telah menjejak tanah dan menghadap ke arahnya. Arya pun langsung bersiap sedia. Dia tahu, lelaki berpakaian compang-camping itu memiliki kepandaian tinggi.
Lelaki berpakaian compang-camping itu menggeram keras hingga membuat sekitar tempat itu seakan bergetar hebat. Rupanya dia merasa penasaran dan marah melihat serangannya gagal. Lalu, setelah mengeluarkan gerengan keras seperti harimau, tubuhnya melompat tinggi. Kemudian meluncur ke arah Dewa Arak dengan kedua kakinya bergerak melakukan tendangan maut bertubi-tubi menuju tengkuk, ubun-ubun, pelipis, dan tenggorokan. Sekali saja terkena tendangan ini betapa pun kuatnya tenaga dalam Dewa Arak, mungkin tak akan mampu bertahan.
Dewa Arak tahu hal itu. Dengan cepat dia melompat mundur, ke kanan, dan ke kiri menghindarkan diri dari serangan gencar lawannya. Bentuk serangan yang demikian aneh membuat Dewa Arak tidak berani bertindak sembrono dengan melakukan tangkisan.
Untuk beberapa jurus lamanya pemuda berambut putih keperakan itu hanya mengelak ke sana kemari. Bukan karena takut, tapi untuk mempelajari perkembangan ilmu lawan yang aneh dan tidak dikenalnya. Sebagai seorang pendekar yang telah kenyang pengalaman, Arya tahu kalau lelaki berpakaian compang-camping itu memiliki ilmu tendangan dahsyat. Dia juga menduga ilmu itu dari aliran putih. Ini bisa diketahuinya dari serangan-serangan yang jarang menggunakan tipuan.
Dewa Arak harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya untuk dapat mengelakkan serangan lawannya yang bertubi-tubi. Sebab serangan-serangan itu meluncur secara cepat. Sebentar saja, telah tampak pemuda berambut putih keperakan itu terdesak hebat, karena hanya mengelak ke sana kemari dan terus-menerus mundur.
Sementara itu, Eyang Ranggalawe yang tadi segera menghindar ketika melihat lelaki berpakaian compang-camping itu menerjang Dewa Arak, segera menghampiri Nawangsih.
"Apa arti perbuatanmu ini, Nawangsih?" tegur Eyang Ranggalawe kepada Nawangsih yang hanya menundukkan kepala.
Nawangsih tidak memberikan jawaban sama sekali. Kepalanya tetap ditundukkan sementara kaki kanannya digores-goreskan ke tanah.
"Kau bius aku dengan makanan dan minuman yang kau sediakan. Untung saja Dewa Arak telah menaruh curiga padamu, hingga dia telah lebih dulu menyiapkan penangkalnya sebelum mencicipi makanan dan minuman yang kau sediakan. Dialah yang mengetahui kepergianmu dan membangunkanku begitu dilihatnya kau bertemu dengan Satria Sinting," ujar Eyang Ranggalawe masih bernada teguran.
"Satria Sinting?!" ulang Nawangsih dengan alis berkerut.
"Memang begitulah julukan yang kami berikan padanya. Memang tidak cocok, tapi itu lebih baik daripada kami berikan julukan Pendekar Gila padanya. Sebuah julukan yang kasar dan bernada penghinaan, meskipun memang benar adanya. Apa maksud tindakanmu ini, Nawangsih?! Tidakkah kau sadari kalau perbuatan yang kau lakukan ini amat berbahaya?! Satria Sinting memiliki sifat yang tidak dapat diduga. Meskipun serba sedikit aku cukup mengenalnya. Dia memiliki kepandaian yang amat tinggi. Terus terang saja, kalau dibandingkan dengannya aku bukan apa apa. Jelaskan, Nawangsih...!"
"Aku tidak bermaksud buruk, Eyang," jawab Nawangsih masih tetap menundukkan kepala. "Aku hanya ingin membalaskan kematian Eyang Dipayana dan ayahku dengan bantuan Satria Sinting."
"Apa?! Sepasang mata Eyang Ranggalawe membelalak lebar. "Kau tidak main-main, Nawangsih?! Kau gila! Kau bercanda dengan maut kalau begitu! Satria Sinting, seperti yang kukatakan tadi memiliki sifat yang tidak bisa diduga. Meskipun demikian aku tahu masa lalunya. Masa lalunya penuh dengan gelimangan darah. Itulah sebabnya, meskipun dia telah menolong kami, aku, dan gurumu... kami tidak berani bergaul terlalu dekat dengannya. Asal kau tahu saja, Nawangsih... aku hampir mati di tangannya. Untung saja datang gurumu yang berhasil menjinakkan sifat liarnya."
Eyang Ranggalawe menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Sementara Nawangsih yang telanjur tertarik dengan cerita itu menunggunya dengan perasaan tidak sabar. Dia jadi ingin mengetahui riwayat hidup tokoh yang berjuluk Satria Sinting itu.
"Mungkin sedikit kuberitahukan padamu, Nawangsih. Sifat liar dan lembutnya timbul karena ada hal-hal yang dilihatnya. Dalam keadaan biasa dia bertingkah laku seperti orang kurang waras. Kadang-kadang dia bermain-main seperti anak kecil. Namun aku tidak tahu pasti kapan sifat lembut dan ganasnya muncul...," sambung Eyang Ranggalawe lagi agak tersendat-sendat menjelaskannya karena kesulitan mencari kata-kata untuk dikeluarkan.
"Aku juga menduga demikian, Eyang," tukas Nawangsih mendukung dugaan kakek berpakaian abu-abu itu.
"Kau..?!" seru Eyang Ranggalawe setengah tak percaya. "Dari mana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu?"
"Dari kejadian yang telah kualami bersamanya akibat aku mencoba meladeni kegilaannya," jawab Nawangsih kalem.
Kemudian secara singkat tapi jelas diceritakan semua kejadian yang dialaminya. Berkali-kali Eyang Ranggalawe mengeluarkan seruan-seruan kaget begitu mendengar cerita Nawangsih. Bahkan kepalanya digeleng-gelengkan ketika gadis berpakaian kuning itu mengakhiri ceritanya.
"Kau, ahhh..., kalau tadi tidak melihat kau berdua dengannya, sedikit pun mungkin aku tidak akan percaya. Lalu., kesimpulan apa yang kau dapatkan, Nawangsih?"
TIGA
Nawangsih mengangkat wajah, dan menatap Eyang Ranggalawe tepat pada kedua bola matanya. "Satria Sinting termasuk orang penting kerajaan, entah kerajaan mana. Punya istri dan anak serta telah siap untuk berperang menghadapi pemberontak," Nawangsih menghentikan ucapannya sejenak. "Tapi anehnya, nama istri yang disebut-sebutkan sama dengan namaku."
"Ah...!" sepasang mata Eyang Ranggalawe membelalak lebar saking kagetnya. "Nawangsih?! Kini aku mengerti, mengapa tadi sebelum menerjang Dewa Arak, dia menyebutkan nama Nawangsih. Kukira tadi dia menyebut namamu."
Kakek berpakaian abu-abu ini lalu mengalihkan perhatian ke arah pertarungan yang tengah berlangsung dan semakin sengit. Dewa Arak melakukan perlawanan begitu telah dapat mengetahui perkembangan ilmu lawan meskipun hanya sedikit.
Pemuda berambut putih keperakan itu belum mempergunakan ilmu andalannya. Hanya ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Panakluk Naga' yang terus dikerahkannya menghadapi Satria Sinting.
"Kalau begitu... Dewa Arak mengingatkannya akan kejadian buruk yang telah dialaminya," ucap Eyang Ranggalawe dengan suara bergumam. "Dan menilik dari sikapnya yang demikian membenci, sepertinya Satria Sinting amat membenci orang yang memiliki ciri-ciri mirip dengan Dewa Arak."
"Bukan tidak mungkin kalau orang mirip Dewa Arak itulah yang menjadi musuhnya, Eyang," sambut Nawangsih memberikan dugaan.
Eyang Ranggalawe mengangguk-anggukkan kepala membenarkan dugaan yang diajukan Nawangsih. "Berarti dengan kejadian yang kau alami misteri yang menyelimuti rahasia Satria Sinting mulai terungkap. Hhh...! Sudah bisa kubayangkan kalau masa lalu Satria Sinting sangat menarik dan luar biasa untuk diketahui."
Usai berkata demikian, karena tidak ada pembicaraan lagi, Eyang Ranggalawe mengalihkan perhatian pada pertarungan antara Dewa Arak dengan Satria Sinting. Memang, tidak ada kesenangan yang lebih menarik perhatian seorang tokoh persilatan kecuali memperhatikan sebuah pertarungan. Apalagi pertarungan antara tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi seperti Dewa Arak dengan Satria Sinting.
Menggiriskan hati jalannya pertarungan antara Dewa Arak dengan Satria Sinting. Bentuk tubuh kedua tokoh bagaikan lenyap. Yang terlihat hanya dua bayangan yang saling belit dan hanya kadang-kadang saja saling pisah. Bahkan terkadang kedua bayangan itu seperti jadi satu karena begitu cepat gerakan yang dilakukan.
Tak terasa pertarungan telah berlangsung empat puluh jurus. Namun selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Jalannya pertarungan masih seimbang. Kedua belah pihak masih saling melancarkan serangan.
Beberapa kali terjadi benturan antara tangan atau kaki yang menyebabkan masing-masing pihak terdorong ke belakang. Namun dengan cepat keduanya saling terjang kembali.
"Haaat...!" Pada jurus kelima puluh delapan, Satria Sinting menerjang Dewa Arak dengan sebuah pukulan tangan terbuka ke arah dada. Serangan dahsyat itu mampu menimbulkan bunyi menderu, yang membuat Dewa Arak sempat terbelalak kaget ketika menyadari kalau deru angin yang meluruk ke arahnya berlainan rasanya. Yang kanan berhawa panas sedangkan yang kiri dingin.
Meskipun demikian, Dewa Arak tidak gentar untuk memapakinya dengan gerakan yang sama. Pemuda berambut putih keperakan ini tampaknya bermaksud mengadu keras lawan keras.
Bresss!
Benturan keras dari dua buah tenaga dalam yang sangat dahsyat membuat tubuh Dewa Arak dan Satria Sinting sama-sama terjengkang ke belakang. Bahkan getarannya terasa oleh Eyang Ranggalawe dan Nawangsih yang berada cukup jauh dari tempat pertarungan. Keduanya segera menyingkir untuk menjauh dari tempat pertarungan agar lebih aman.
Namun, rupanya Satria Sinting tidak bergairah untuk melanjutkan pertarungan. Kekuatan yang membuat tubuhnya terpental dipergunakan untuk menambah tenaga lesatannya menuju tempat Nawangsih berada.
Tindakan ini tidak hanya mengejutkan Dewa Arak yang tidak menyangka hal itu melainkan juga Eyang Ranggalawe dan Nawangsih. Dan karena merasa khawatir terhadap keselamatan Nawangsih, lelaki tua itu berusaha menghadang gerakan Satria Sinting yang meluncur ke arah Nawangsih dari sebelah kiri dengan melancarkan tatokan ke arah pelipis dan ubun-ubun.
Prattt!
"Uh...?!" Eyang Ranggalawe memekik tertahan ketika tubuhnya terlempar ke belakang begitu Satria Sinting mengibaskan tangan memapak serangannya.
Sementara, luncuran tubuh Satria Sinting sama sekali tidak terlambat. Meskipun akibat serangan Eyang Ranggalawe membuat kecepatan luncurannya berkurang, namun dengan sedikit menggerakkan tubuh di udara, dia telah kembali meluncur ke arah Nawangsih.
"Hea...!"
Tuk! Tuk!
"Aaaa...!" Meskipun Nawangsih telah berusaha menghindar dan melakukan perlawanan lelaki berpakaian gembel itu akhirnya berhasil melumpuhkan. Dengan gerakan yang cepat sekali tangannyameluncur menotok tubuh Nawangsih.
Melihat kejadian itu Dewa Arak tidak tinggal diam. Dengan gerakan cepat sekali tubuhnya melesat memburu Satria Sinting yang berhasil membawa kabur Nawangsih. Namun rupanya lelaki berpakaian gembel itu cukup cerdik. Selain memiliki ilmu lari cepat, dia mampu mencari tempat-tempat yang tersembunyi untuk dapat lolos dari pengejaran Dewa Arak.
Dewa Arak akhirnya tak melanjutkan pengejaran. Dia berbalik untuk melihat keadaan Eyang Ranggalawe yang sempat terlempar ketika beradu tenaga dengan Satria Sinting.
"Kau tidak apa-apa. Eyang?" tanya Arya, meskipun telah bisa memperkirakan kalau kakek berpakaian abu-abu itu tidak mengalami luka apa pun.
"Dia masih hebat seperti dulu, bahkan mungkin sekarang ilmunya telah banyak mengalami kemajuan...," jawab Eyang Ranggalawe serayamenggeleng-gelengkan kepala.
"Mengapa kau tidak mengejarnya, Dewa Arak?" tanya Eyang Ranggalawe merasa heran.
"Kurasa lebih baik kita melakukan pengejaran bersama-sama Eyang."
Eyang Ranggalawe tidak memberikan tanggapan. Namun dalam hati dia menyetujui ucapan pemuda berambut putih keperakan itu. Sesaat kemudian kedua tokoh itu melesat meninggalkan tempat itu untuk mengejar Satria Sinting yang membawa kabur Nawangsih.
* * *
"Kang...! Kang, turunkan aku, Kang...! Aku bisa berlari sendiri...!" seru Nawangsih ketika tidak melihat adanya Dewa Arak atau Eyang Ranggalawe mengejarnya.
Satria Sinting menghentikan lari dan menurunkan tubuh Nawangsih dari panggulannya, setelah membebaskan totokannya. Nawangsih langsung merapikan pakaiannya yang agak kusut karena panggulan Satria Sinting.
"Uhhh...!" Tiba-tiba terdengar lenguhan yang membuat Nawangsih kaget dan menoleh ke arah datangnya suara itu.
"Kang...! Ada apa, Kang?"
Nawangsih terkejut ketika melihat tubuh Satria Sinting limbung sambil tangannya memegangi dahi. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari Satria Sinting. Lelaki gila itu tetap memegangi dahi dengan kedua tangan sambil merintih seperti menahan rasa sakit. Tubuhnya semakin terhuyung huyung ke sana kemari. Mulutnya meringis menyiratkan sakit yang tengah dirasakannya.
Nawangsih yang merasa heran bercampur khawatir segera menghampiri Satria Sinting. Tubuh lelaki berpakaian compang-camping jatuh terkulai lemas seraya mengeluarkan lenguhan panjang. Kalau Nawangsih tidak segera mengulurkan tangan, menangkap, tentu Satria Sinting terbanting keras di tanah.
"Kang..! Apa yang terjadi?" tanya Nawangsih kebingungan. Diguncang-guncangnya Satria Sinting yang telah berada dalam pelukannya. Namun tetap tidak ada tanggapan sama sekali. Tubuh berpakaian compang-camping itu terkulai lemas di pelukannya.
Satria Sinting telah pingsan secara aneh. Nawangslh menghentikan usahanya untuk mengguncang-guncangkan tubuh Satria Sinting. Dia menyadari kalau tindakannya akan sia-sia. Ditolehkan kepalanya ke sana kemari mencari tempat yang enak untuk merebahkan tubuh Satria Sinting yang tak sadarkan diri.
Untung tak jauh dari situ tumbuh sebatang pohon besar berdaun rimbun. Bergegas Nawangsih memapah tubuh Satria Sinting dan merebahkannya di bawah pohon. Dengan hati gelisah, Nawangsih menunggu hingga lelaki berpakaian compang-camping itu sadar. Karena meskipun telah diusahakan untuk menyadarkan, Satria Sinting tetap pingsan.
"Ha ha ha...! Pucuk dicinta ulam tiba...! Rupanya keberuntungan masih berpihak pada kami, sehingga di tempat seperti ini berhasil menemukanmu, Cah Ayu! Ha ha ha...! Sekarang siapa yang akan menolongmu lagi? Ha ha ha...!"
Nawangsih tersentak kaget mendengar suara tawa itu. Wajahnya berubah pucat ketika menoleh ke arah suara itu. Dikenalinya betul siapa pemilik suara yang khas barusan. Dugaannya tidak keliru, berjarak lima tombak dari tempatnya berdiri tiga sosok lelaki yang amat dikenalnya. Mereka tak lain Setan Hitam Muka Kuda, Iblis Pemburu Nyawa, dan Gajah Kecil Bertangan Maut Tokoh-tokoh hitam yang terus memburunya entah untuk keperluan apa.
Sing! Sing!
Tanpa pikir panjang Nawangsih langsung melolos sepasang pedang yang tersampir di pundaknya. Tak ada jalan lain baginya kecuali melakukan perlawanan. Gadis berpakaian kuning ini telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Dia terpaksa memberikan perlawanan mati-matian karena menyadari untuk melarikan diri merupakan hal yang tidak mungkin sama sekali.
"Ho ho ho...!" Gajah Kecil Bertangan Maut yang berwatak gembira dan lucu tertawa bergelak melihat tindakan Nawangsih. Perlawanan yang akan dilakukan gadis cantik itu dianggapnya bukan suatu persoalan berat. Telah diketahuinya sendiri tingkat kepandaian Nawangsih berada jauh di bawahnya.
"Biar aku yang menangkapnya, Gajah Kecil!" pinta Iblis Pemburu Nyawa seraya melangkah maju.
Baru saja ucapan itu berhenti, Nawangsih telah melompat menerjang Iblis Pemburu Nyawa yang berada paling depan. Hal itu membuat Gajah Kecil Bertangan Maut dan Setan Hitam Muka Kuda melompat mundur menjauhi kancah pertarungan.
Hal yang sama dilakukan Iblis Pemburu Nyawa. Namun kalau kedua rekannya menjauhi tempat pertarungan, lelaki kurus bersenjata rantai dengan bola baja berdiri itu melompat guna mengelakkan serangan Nawangsih.
Serangan gadis berpakaian kuning itu ternyata tidak bisa dianggap remeh juga. Bentuk sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar menyilaukan mata laksana halilintar menyambar. Namun gerakan Iblis Pemburu Nyawa pun tak kalah cepat. Sehingga serangan-serangan Nawangsih beberapa kali hanya menyambar tempat kosong.
Melihat serangannya gagal Nawangsih tak tinggal diam. Dengan gerakan cepat diluncurkannya kembali serangan-serangan gencar dan dahsyat. Sepasang pedangnya mengaung, berputar dan menyambar, memburu sasaran dalam bentuk sinar-sinar kilat yang menyilaukan mata.
Dalam hati Iblis Pemburu Nyawa memuji kedahsyatan permainan pedang Nawangsih. Namun dengan mudah serangan-serangan itu dielakkannya. Lelaki tua bertubuh kecil kurus ini memang tidak percuma mendapat julukan Iblis Pemburu Nyawa. Gerakannya sangat cepat, bahkan seakan berubah menjadi bayangan yang melesat ke sana kemari dalam mengelakkan serangan lawan.
Kenyataan ini membuat Nawangsih menggertakkan gigi menahan kegeraman. Dia merasa seolah menyerang bayangannya sendiri, sehingga ke mana pun pedangnya meluncur, tak satu pun yang mengenai sasaran. Padahal, telah hampir sepuluh jurus serangan dilancarkannya.
"Hih...!"
Bukkk!
"Uh...!"
Sebuah tamparan tangan kanan Iblis Pemburu Nyawa mendarat telak di pundak Nawangsih. Untung saja, kakek tinggi kurus itu tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Meskipun demikian tubuh Nawangsih terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Darah menetes dari mulutnya bersamaan dengan terlemparnya pedang di tangan kanan.
Namun Nawangsih tampak tak merasa gentar sedikit pun. Dia bergegas bangkit. Walaupun sekarang hanya memegang sebatang pedang, dengan gerakan mantap gadis itu masih berani menerjang Iblis Pemburu Nyawa dengan sebuah tusukan ke arah leher.
Iblis Pemburu Nyawa tertawa terkekeh. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa, dia menyelinap ke belakang Nawangsih. Dengan cepat tangannya bergerak menotok punggung Nawangsih. Seketika tubuh gadis berpakaian kuning itu terkulai di tanah.
"Ha ha ha...!"
Iblis Pemburu Nyawa, Gajah Kecil Bertangan Maut, dan Setan Hitam Muka Kuda sama-sama tertawa bergelak menyaksikan robohnya tubuh Nawangsih. Dan masih dengan tawa berderai, Iblis Pemburu Nyawa menghampiri tubuh Nawangsih yang terkulai tak berdaya.
"Hey...! Apa yang hendak kalian lakukan?"
Sebuah bentakan keras membuat kedua tangan Iblis Pemburu Nyawa yang terjulur hendak meraih tubuh Nawangsih terhenti di tengah jalan. Seketika kepala Iblis Pemburu Nyawa dan dua rekannya menoleh ke arah asal suara. Dengan langkah setengah berlari, sesosok tubuh menghampiri tempat Nawangsih tergolek
Iblis Pemburu Nyawa yang merasa diganggu urusannya, menggeram penuh kemarahan. Sepasang matanya menatap lelaki berpakaian compang-camping itu yang ternyata Satria Sinting adanya. Kemudian dengan secara sembarangan dikibaskan tangan kanannya.
Wusss!
Segundukan angin keras meluruk ke arah Satria Sinting, dan menghantamnya secara telak. Sehingga tubuhnya terlontar deras ke belakang. Luncuran itu baru terhenti ketika punggung Satria Sinting menghantam batang pohon tempatnya berteduh tadi. Tanpa mempedulikan keadaan Satria Sinting, Iblis Pemburu Nyawa mengangkat tubuh Nawangsih dan meletakkan di bahu kanannya.
"Apa yang hendak kau lakukan terhadapnya?!" Seruan ini membuat Iblis Pemburu Nyawa terjingkat kaget bagai disengat kalajengking. Bahkan tubuh Nawangsih yang berada di bahunya hampir terlempar. Masih dalam keadaan diliputi rasa terkejut dialihkan pandangannya ke tempat lelaki berpakaian gembel yang tadi terlempar oleh serangannya.
Sepasang mata Iblis Pemburu Nyawa terbelalak kaget. Seperti tak percaya melihat Satria Sinting kembali mengayunkan langkah mendekatinya. Tidak tampak tanda-tanda kalau pukulan jarak jauh yang menghantamnya, berpengaruh terhadap tubuh lelaki berpakaian gembel itu. Dan kenyataan ini tidak hanya membuat kaget Iblis Pemburu Nyawa. Setan Hitam Muka Kuda, dan Gajah Kecil Bertangan Maut sama-sama terlongo bengong.
Menurut perhitungan mereka pukulan jarak jauh Iblis Pemburu Nyawa telah cukup untuk mengirim nyawa lelaki berpakaian compang-camping itu ke akherat. Ketiga tokoh hitam itu melihat langkah Satria Sinting yang berat dan tidak lincah. Sungguh suatu gambaran dari seorang yang tidak memiliki ilmu silat.
Itulah sebabnya ketika melihat Satria Sinting tidak mengalami kejadian apa pun, Iblis Pemburu Nyawa dan dua rekannya terkejut bukan kepalang. Namun kekagetan yang menyelimuti tiga tokoh hitam itu hanya berlangsung sesaat, karena segera berubah menjadi rasa penasaran dan geram. Dan karena dorongan perasaan itulah Iblis Pemburu Nyawa tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak. Dengan pengerahan tenaga dalam tangan kanannya dihentakkan.
Wrrrs!
Seketika gelombang angin pukulan meluruk ke arah Satria Sinting. Sebuah pukulan yang jauh lebih dahsyat daripada sebelumnya. Bunyi menderu keras seperti badai langsung terdengar ketika Iblis Pemburu Nyawa menghentakkan tangan.
EMAPAT
Glarrr...!
Bunyi ledakan keras terdengar ketika dari arah samping meluruk pula segundukan angin dahsyat, memapaki pukulan jarak jauh Iblis Pemburu Nyawa. Sehingga serangan lelaki tua itu pun kandas. Bahkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang akibat pengaruh benturan yang dahsyat.
"Keparat!" Iblis Pemburu Nyawa memaki penuh kemarahan. Dengan wajah bengis, dialihkan pandangannya ke arah asal pukulan jarak jauh yang memapaknya.
Dalam jarak sekitar empat tombak, berdiri seorang kakek berpakaian serba merah. Sikapnya terlihat angker dan penuh wibawa.
"Siapa kau?!" tanya Iblis Pemburu Nyawa setengah membentak setelah beberapa saat lamanya mengawasi kakek berpakaian merah.
"Siapa adanya aku, tidak penting. Yang jelas, kau dan dua kawanmu kuminta segera meninggalkan tempat ini, dan jangan coba-coba mengganggu dia!" tandas kakek berpakaian merah sambil menuding Satria Sinting.
"Keparat! Berani benar kau berkata begitu pada Iblis Pemburu Nyawa?!" teriak Iblis Pemburu Nyawa penuh ancaman.
"Hhh...!" Kakek berpakaian merah menghembuskan napas berat seperti menyesali Iblis Pemburu Nyawa yang mengucapkan perkataan seperti itu.
"Kau menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan! Sayang sekali! Terpaksa aku akan membunuhmu dan juga kedua rekanmu! Asal kalian tahu saja, aku mempunyai alasan kuat untuk melakukannya karena kalian telah berani lancang membunuh Eyang Dipayana. Padahal, akulah yang akan membunuhnya karena dia musuh besarku! Bersiaplah menerima kematian...!"
"Sombong...! Kaulah yang akan mati di tanganku atas kelancangan sikapmu itu!"
Iblis Pemburu Nyawa melemparkan tubuh Nawangsih ke tanah. Lalu tubuhnya melesat menerjang kakek berpakaian merah. Tangan kanannya yang mengepal keras, dipukulkan ke arah dada lawan hinggamenimbulkan bunyi menderu karena kekuatan tenaga dalam yang dikerahkannya. Kakek berpakaian merah tetap bersikap tenang. Tanpa menunjukkan sikap gugup dia melompat ke atas dan mengirimkan tendangan kilat ke arah kepala lawan.
Iblis Pemburu Nyawa terkejut melihat serangan balasan yang tidak disangka-sangkanya. Namun, tidak percuma dia mendapat julukan Pemburu Nyawa karena gerakannya memang cepat. Dalam kesempatan yang begitu sempit dia masih mampu mengelakkan serangan dengan melompat ke belakang.
Iblis Pemburu Nyawa menggereng keras karena marah. Sambil menggeretakkan gigi dia segera melolos rantai yang berujung bola berduri di pinggangnya. Kemudian diputar-putarkannya di atas kepala.
Wukkk! Wukkk!
Diiringi bunyi menderu keras, rantai berujung bola berduri itu melesat ke arah kepala kakek berpakaian merah. Kakek berpakaian merah tidak berani bertindak main-main. Dia sadar Iblis Pemburu Nyawa memiliki kepandaian tinggi. Maka segera ditariknya senjatanya yang tersimpan di balik pakaian. Ternyata sebuah sabuk berwarna hitam. Tanpa ragu-ragu disambutnya luncuran bola berduri denganmenyabetkan cambuk itu.
Wuttt!
Prattt!
"Ehh...!" Kakek berpakaian merah terhuyung-huyung ke belakang akibat benturan itu. Hal ini terjadi karena tenaga Iblis Pemburu Nyawa jadi berlipat ganda setelah mendapat tambahan dari tenaga luncuran senjatanya.
Kakek berpakaian merah mengeluh dalam hati. Disadari kalau keadaan ini terus berlangsung, dirinya dapat dilumpuhkan lawan. Dia sadar kalau jarak yang terlalu jauh sangat menguntungkan lawan. Karena senjata lawan memiliki jangkauan yang panjang. Dengan jarak seperti itu dia akan mengalami kesulitan untuk melancarkan serangan balasan.
Digertakkan gigi seraya mengerahkan seluruh kepandaian, terutama sekali kecepatan geraknya agar dapat mendekati Iblis PemburuNyawa. Namun sampai dua puluh lima jurus pertarungan berlangsung, keadaan tetap seperti semula. Usahanya untuk memperpendek jarak selalu kandas, karena lawanmemiliki ilmumeringankan tubuh cukup handal.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang berada di atas lawannya Iblis Pemburu Nyawa terus menjauhkan diri setiap kali kakek berpakaian merah berusaha mendekat. Pada jurus ketiga puluh dua, kakek berpakaian merah habis kesabarannya. Ketika mencoba melompat lagi untuk mendekati lawan, tangan kirinya dihentakkan berkai-kali!
"Heh...!" Iblis Pemburu Nyawa terkejut juga melihat serangan jarak jauh yang bertubi-tubi. Buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan menjauh, karena tidak mungkin menangkis serangan itu dengan tindakan serupa. Sebab, kedua tangannya memegang senjata andalannya. Kesempatan baik itu dipergunakan oleh kakek berpakaian merah. Dikejarnya lawan yang tengah bergulingan dengan menyabetkan senjatanya.
Glarrr!
Debu bercampur bongkahan tanah berhamburan ke sana kemari ketika pecut kakek berpakaian merah yang ditujukan pada tubuh Iblis Pemburu Nyawa menghantam tanah..Melihat ancaman bahaya terhadap rekannya, Setan Hitam Muka Kuda tidak bisa tinggal diam. Tubuhnya melesat cepat dengan tongkat bulan sabit di tangan.
Trangngng!
Bunga api berpercikan ke sana kemari ketika tongkat bulan sabit Setan Hitam Muka Kuda membentur pecut kakek berpakaian merah yang dihantamkan ke arah kepala Iblis Pemburu Nyawa. Pada saat yang hampir bersamaan, Gajah Kecil Bertangan Maut merendahkan tubuhnya untuk melancarkan pukulan jarak jauh dengan kedua tangan terbuka.
"Kok.. Kok... Kok...!"
Bunyi seperti ayam habis bertelur terdengar seiring meluncurnya pukulan jarak jauh ke arah dada kakek berpakaian merah. Kakek itu buru-buru melemparkan tubuh ke samping melakukan lompatan harimau, lalu melenting dan menyambar Satria Sinting. Kemudian melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Iblis Pemburu Nyawa, Gajah Kecil Bertangan Maut, dan Setan Hitam Muka Kuda hanya dapat menatap kepergian kakek berpakaian merah dengan hati dongkol. Mereka tak melakukan pengejaran sama sekali karena tahu akan sia-sia. Kakek itu telah jauh sebelum mereka sempat berbuat sesuatu.
Dengan hati kesal ketiganya meninggalkan tempat itu sambil membawa tubuh Nawangsih. Masing-masing berjanji dalam hati setelah berhasil menunaikan tugas terhadap Nawangsih, akan membuat perhitungan dengan kakek berpakaian merah itu.
* * *
"Tunggu, Eyang...!" Sambil mengucapkan seruan demikian, Dewa Arak menghentikan larinya. Eyang Ranggalawe yang berlari di sebelahnya pun terpaksamelakukan hal yang sama.
"Ada apa, Dewa Arak?" tanya Eyang Ranggalawe keheranan.
"Kau lihat keadaan tempat ini, Eyang?!" ujar Arya seraya meneliti tanah tempatnya berpijak saat itu.
Eyang Ranggalawe mengedarkan pandangan sebentar. "Bekas-bekas pertempuran...," desis kakek berpakaian abu-abu itu.
"Benar," Dewa Arak menganggukkan kepala. "Dan bukankah itu pedang milik Nawangsih?" lanjutnya seraya menunjuk dua buah pedang tergeletak tak jauh dari tempat mereka.
Eyang Ranggalawe mengikuti arah tudingan tangan Arya. Dia pun menganggukkan kepala ketika mengenali pedang-pedang Nawangsih. Lelaki tua itu bergegas menghampiri dan mengambilnya. "Celaka...!" desis Eyang Ranggalawe dengan tarikan wajah menyiratkan kecemasan. "Apa yang terjadi dengan anak itu? Mungkinkah Satria Sinting menganiaya Nawangsih? Kalau benar demikian, celaka...!"
"Kurasa tidak demikian, Eyang," ujar Arya setelah termenung sesaat. "Aku yakin bukan Satria Sinting yang telah mencelakai Nawangsih. Kau lihat pohon yang hancur di sana, Eyang? Aku yakin semua ini tindakan Gajah Kecil Bertangan Maut dan rekan-rekannya. Hancurnya pohon itu aku yakin akibat bola berduri Iblis Pemburu Nyawa!"
"Kau benar, Dewa Arak," ujar Eyang Ranggalawe setelah memperhatikan lebih teliti semua yang dikatakan pemuda berambut putih keperakan itu. Dan sekarang kecemasannya kian bertambah. "Berarti...," ujar kakek berpakaian abu-abu setelah tercenung sejenak. "Nawangsih dan Satria Sinting dibawa pergi oleh kelompok Gajah Kecil Bertangan Maut. Ini benar-benar ancaman bagi dunia persilatan! Mereka pasti akan mempergunakan Satria Sinting untuk tujuan tidak baik!"
"Kalau demikian... kita harus cepat-cepat mengejar mereka, Eyang!" tandas Dewa Arak tanggap.
"Kita ke selatan, Dewa Arak," ucap Eyang Ranggalawe seraya melesat lebih dulu.
Tanpa membuang-buang waktu, Dewa Arak segera melesat menyusul. Dan hanya dalam beberapa kali lesatan, pemuda berpakaian ungu itu telah berlari di samping Eyang Ranggalawe.
"Mengapa kau memilih selatan, Eyang?" tanya Dewa Arak sambil terus berlari.
"Gajah Kecil Bertangan Maut dan rekan-rekannya bertempat tinggal di sekitar Gunung Kidul. Dan jalan ini merupakan jalan pintas menuju ke sana. Jadi, kita bisa mendahului mereka tiba di sana!" jawab Eyang Ranggalawe.
Dewa Arak tidak memberikan pertanyaan lagi kecuali mengangguk-anggukkan kepala. Keduanya terus berlari ke selatan. Baik Dewa Arak maupun Eyang Ranggalawe berusaha keras agar segera sampai di tempat tujuan.
Namun, Dewa Arak tidak bisa mengerahkan seluruh ilmu larinya. Sebab jika hal itu dilakukan, Eyang Ranggalawe yang memiliki ilmu meringankan tubuh di bawahnya tentu akan tertinggal jauh di belakang.
Kecepatan lari Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe tidak mengendur, meskipun tempat yang dilalui cukup sulit. Kadang-kadang keduanya melewati jalan sempit yang licin, serta berkelok-kelok memutari dinding tebing yang menjulang tinggi. Terpelesat sedikit saja sudah cukup untuk mengirim nyawa mereka ke akherat, karena sebelah kiri jalan menganga jurang terjal yang sangat dalam.
Jalan pintas seperti yang dikatakan Eyang Ranggalawe ternyata amat sulit ditempuh dan penuh dengan ancaman maut. Kalau saja bukan orang-orang seperti Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe mungkin tak akan sampai tempat tujuan. Keduanya meskipun sedikit kewalahan, akhirnya berhasil melewati medan sulit itu. Kini jalan yang mereka tempuh mulai menurun.
Begitu melewati tanah berumput yang sangat luas, dan tetap menurun, baik Dewa Arak maupun Eyang Ranggalawe melihat nyala api kuning di angkasa! Api itu kemudian memecah ke sekelilingnya.
Ayunan kaki Eyang Ranggalawe yang semula hendak menuju ke timur, dibelokkan. Sehingga keduanya tidak melewati hutan lebat yang tampak di depan, melainkan menyusuri jalan yang ditumbuhi ilalang tinggi dan rapat.
"Mengapa menempuh arah ini, Eyang?" tanya Arya tak mampu menyembunyikan rasa herannya.
"Terpaksa, Dewa Arak," jawab Eyang Ranggalawe, "Karena di sana ada seorang tokoh sakti yang tak pernah menyukai orang lain datang ke tempat itu. Tanda api kuning yang memecah di angkasa itulah petunjuk nyata kalau tokoh sakti itu tengah berada di luar."
"Tapi bukankah semula kau hendak menempuh tempat itu, Eyang?" tanya Arya yang tidak puas dengan jawaban Eyang Ranggalawe.
"Semula kukira dia berada di goanya," jawab Eyang Ranggalawe ringan sambil terus mengayunkan kaki menyusuri rumput ilalang.
Arya hanya mengangkat bahu dan tidak bertanya lagi. Dia terpaksa hanya mengikuti jalan yang ditempuh Eyang Ranggalawe.
"Kau lihat itu, Dewa Arak...!" Eyang Ranggalawe mengeluarkan seruan itu sambil menudingkan telunjuk ke depan.
Sebuah perbuatan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, karena tanpa diberitahukan pun pemuda berambut putih keperakan itu dapat melihatnya. Sebuah pemandangan terpampang berjarak sekitar dua puluh tombak dari tempat Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe berada. Suatu tempat persembunyian yang cukup baik karena terlindung sebuah gundukan batu sebesar gajah.
Terlihat oleh Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe, tiga sosok yang tidak lain Gajah Kecil Bertangan Maut, Setan Hitam Muka Kuda, dan Iblis Pemburu Nyawa duduk bersimpuh di depan sebuah bangunan mirip kuil. Di depan ketiga orang itu tampak tergolek tubuh Nawangsih.
"Guru...!"
Terdengar oleh Dewa Arak dan Eyang Ranggalawe, Gajah Kecil Bertangan Maut berseru tanpa mengangkat wajahnya yang tertunduk menekun tanah. Begitu pula Iblis Pemburu Nyawa dan Setan Hitam Muka Kuda, keduanya tertunduk hormat.
"Kami tidak berhasil membawa Eyang Dipayana kemari. Bukan karena ketidak mampuan kami, tapi karena telah ada orang yang mendahului kami membunuhnya. Entah siapa kami tidak tahu. Dan sebagai gantinya kami bawa murid musuh besarmu kemari untuk kami cucurkan darahnya ke hadapanmu, Guru.... Anggap saja muridnya ini sebagai ganti Eyang Dipayana! Harap kau terima persembahan kami ini, Guru!"
Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan Setan Hitam Muka Kuda bangkit.
Arya yang mendengar semua ucapan Gajah Kecil Bertangan Maut, langsung mengetahui adanya ancaman bahaya terhadap Nawangsih. Maka dia segera melesat keluar dari tempat persembunyiannya tanpa menunggu Eyang Ranggalawe.
Namun, sebelum Dewa Arak bergerak, terdengar jeritan melengking nyaring seperti pekik seekor burung garuda yang tengah murka. Dan belum lenyap suara pekikan itu, tak jauh dari tempat Gajah Kecil Bertangan Maut telah berdiri seorang pemuda berpakaian gembel. Di tangannya tergenggam sebatang pedang.
Sikapnya menunjukkan kalau dia telah siap untuk bertarung. Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa, dan Setan Hitam Muka Kuda, serentak bangkit berdiri.
"Keparat! Lagi-lagi kau...!" geram Setan Hitam Muka Kuda, penuh kemarahan. "Kali ini nyawamu akan lenyap...!"
Bersamaan keluarnya seruan itu, Setan Hitam Muka Kuda, serta dua rekannya serentak menerjang Satria Sinting.
Singngng!
Tongkat bulan sabit di tangan Setan Hitam Muka Kuda menyambar lebih dulu ke arah leher Satria Sinting. Gerakannya yang begitu cepat sehingga yang tampak hanya seleret sinar berkilauan melesat ke arah pemuda berpakaian compang-camping itu.
Trangngng!
Tangkisan Satria Sinting dengan mempergunakan pedang yang digerakkan dengan tenaga dalam, membuat tubuh Setan Hitam Muka Kuda terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan Satria Sinting tampak hanya tergetar tangannya.
"Kok kok kok...!"
Suara Gajah Kecil Bertangan Maut yang siap menyerang membuat Satria Sinting bergegas membalikkan tubuh. Sebab lelaki gemuk berkepala botak menyerangnya dari belakang.
Ternyata Gajah Kecil Bertangan Maut telah siap melancarkan serangan. Tubuhnya telah berjongkok, tangan kiri dan kanannya dihentakkan beberapa kali ke arah Satria Sinting menimbulkan bunyi angin bercicitan. Tanpa ragu-ragu Satria Sinting melakukan tindakan serupa dengan tangan terbuka.
Glarrr...!
Dua tenaga dahsyat berbenturan di udara memperdengarkan bunyi ledakan keras, membuat sekitar tempat itu tergetar hebat. Untuk kedua kalinya tubuh Satria Sinting terguncang. Namun Gajah Kecil Bertangan Maut terjengkang ke belakang, dan bergulingan ke tanah.
Saat itulah, terdengar angin keras menderu. Walaupun tidak dapat melihat, Satria Sinting tampaknya mengetahui kalau Iblis Pemburu Nyawa telah melancarkan serangan dengan bola berduri ke arah kepalanya. Maka buru-buru direndahkan tubuhnya sehingga hantaman bola berduri itu lewat di atas kepalanya.
Belum lagi Satria Sinting sempat berbuat sesuatu, Setan Hitam Muka Kuda menyusul melancarkan serangan, diikuti Gajah Kecil Bertangan Maut. Namun semua itu dapat dipatahkan oleh pemuda berpakaian compang-camping itu. Bahkan mampu melancarkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Sesaat kemudian pertarungan sengit pun tidak dapat dielakkan lagi.
Tanah dan rerumputan berhamburan diterjang pukulan-pukulan dahsyat mereka. Bahkan bebatuan yang berdekatan pecah berantakan. Serta pepohonan di sekitar tempat itu tumbang mengeluarkan suara keras, seperti diamuk gajah-gajah liar.
"Heaaattt...!"
Pada jurus kelima puluh sambil mengeluarkan teriakan keras, Setan Hitam Muka Kuda menerjang maju. Tombak bulan sabitnya diputar laksana kiliran, kemudian ditusukkan ke arah dada Satria Sinting secara bertubi-tubi.
Pada saat yang bersamaan, Iblis Pemburu Nyawa yang berada agak jauh dari Satria Sinting mengayunkan bola berdurinya menyambar leher. Sedangkan Gajah Kecil Bertangan Maut tidak sempat mengirimkan serangan karena baru saja melompat mundur untuk mengelakkan sambaran pedang pemuda berpakaian compang-camping itu.
"Hih!" Satria Sinting melompat ke atas dan berjumpalitan beberapa kali. Gerakan itu tidak semata-mata untuk mengelakkan serangan, karena dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa, tangan kirinya mencengkeram batang tongkat di dekat logam bulan sabit yang tajam itu. Sambil menyentakkan tombak milik Setan Hitam Muka Kuda, tangan kanannya mengayunkan pedang memapak bola duri Iblis Pemburu Nyawa.
Trakkk!
"Huhhh...!" Setan Hitam Muka Kuda mengeluarkan keluhan tertahan karena tidak mampu menahan sentakan pemuda berpakaian gembel itu. Tubuhnya terseret ke depan. Bertepatan dengan itu, pedang Satria Sinting membentur senjata milik Iblis Pemburu Nyawa secara keras. Sehingga bola berduri itu meluruk ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat ganda.
Hampir tidak berselisih waktu dengan terjadinya benturan itu, Satria Sinting mengirimkan tendangan kaki kanan ke punggung Setan Hitam Muka Kuda yang tengah terhuyung-huyung ke depan.
"Aaakh...!" Tubuh Setan Hitam Muka Kuda melayang-layang ke depan seperti daun kering dihempaskan angin.
Jliggg!
Baru saja Satria Sinting menjejak tanah, Gajah Kecil Bertangan Maut yang melihat rekan-rekannya dibuat pontang-panting langsung meluruk dengan pukulan kedua tangan terbuka.
Plak! Plak!
Gajah Kecil Bertangan Maut tersenyum gembira ketika melihat serangannya mengenai dada lawan. Dikiranya Satria Sinting tidak sempat mengelakkan serangannya yang dilancarkan secara cepat. Namun sesaat kemudian senyumnya lenyap ketika melihat pemuda berpakaian compang-camping itu tidak terpengaruh sama sekali dengan serangannya. Bahkan kedua tangannya justru melekat pada dada lawan.
Gajah Kecil Bertangan Maut terbelalak kaget ketika tidak mampu menarik tangan. Dirasakan ada daya sedot yang amat kuat dari tubuh pemuda gembel itu. Ketika lelaki gemuk itu berusaha keras untuk membebaskan tangannya, tiba-tiba Satria Sinting menggedor dadanya.
LIMA
Brakkk!
"Aaakh...!" Tubuh Gajah Kecil Bertangan Maut terlontar ke belakang. Pukulan Satria Sinting menimbulkan suara berderak keras seperti tulang berparahan. Darah segar menyembur deras bersamaan dengan keluarnya jeritan menyayat dari mulut lelaki pendek gemuk itu.
Hampir berbarengan jeritan Gajah Kecil Bertangan Maut, Iblis Pemburu Nyawa pun mengeluarkan lolongan menyayat hati. Dia tewas dengan kepala hancur terhantam senjatanya sendiri.
Tanpa mempedulikan nasib ketiga lawannya, Satria Sinting segera mengayunkan kaki menghampiri tubuh Nawangsih yang tergolek. Sementara Dewa Arak yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan terkesiap ketika melihat Satria Sinting mendekati Nawangsih. Namun segera diurungkan niatnya untuk mencegah tindakan pemuda gembel itu, ketika Eyang Ranggalawe menyentuh tangannya, memberi isyarat agar tidak melakukan tindakan apa pun.
Arya yang tadi telah berdiri segera kembali bersembunyi di balik gundukan batu besar. Untung saja sejak tadi Satria Sinting tidak melihatnya. Rupanya pemuda berpakaian compang-camping itu sibuk menghadapi Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya.
Dari tempat terlindung dan tersembunyi Dewa Arak bersama Eyang Ranggalawe mengintai semua gerak-gerik Satria Sinting. Tampak pemuda berpakaian gembel itu telah berada di dekat tubuh Nawangsih. Bahkan kedua tangannya telah dijulurkan hendak mengangkat tubuh gadis berpakaian kurung itu. Tapi...
"Tahan...!"
Satria Sinting menggereng keras penuh kemarahan karena tahu kalau larangan itu ditujukan padanya. Tubuhnya langsung berbalik ke arah asal suara. Sikapnya bengis penuh ancaman.
"Kau berani membantah perintah raja?" seru seorang kakek berpakaian merah yang kini telah berdiri di depan Satria Sinting. Kakek itu mengacungkan sebuah pedang tinggi-tinggi di atas kepala. Sebuah pedang berkilauan yang gagangnya berhiaskan batu kemala.
Anehnya pemuda berpakaian gembel seperti orang gila itu tampak terkejut. Wajahnya yang semula garang langsung surut. Bahkan langsung menjatuhkan diri dan berlutut.
"Sebenarnya kau harus dihukum atas tindakanmu yang berani melarikan diri dariku. Tapi, atas dasar pertimbangan lain, aku atas nama raja mengampunimu. Ingat, kita hendak menghukum seorang pemberontak. Kau mengerti?!"
Satria Sinting mengangguk-anggukkan kepala mengerti maksud kakek berpakaian merah.
"Sekarang, ikut aku dan tinggalkan gadis itu di situ!"
Bagai kerbau dicocok hidungnya, Satria Sinting bangkit dan menghampiri kakek berpakaian merah. Sesaat kemudian keduanya melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dengan beberapa kali lesatan tubuh mereka telah lenyap dari pandangan mata. Baru Eyang Ranggalawe memberi isyarat pada Dewa Arak agar keluar dari tempat persembunyian.
"Kau mengenalnya, Eyang?" tanya Arya seraya mengarahkah pandangan ke arah menghilangnya Satria Sinting dan kakek berpakaian merah.
"Maksudmu..., lelaki berpakaian merah itu?!" Eyang Ranggalawe balas bertanya. "Dia Kala Tungging, seorang tokoh sesat. Belasan bahkan mungkin puluhan tahun lalu dia banyak melakukan tindakan yang menggemparkan. Dia pernah mengacau pertemuan tokoh-tokoh golongan putih. Bahkan meminta seluruh tokoh persilatan agar menganggap dirinya sebagai seorang ketua rimba persilatan. Dia juga menantang tokoh-tokoh persilatan guna membuktikan kelihaiannya. Dan memang, tak satu pun tokoh yang sanggup melawannya. Mereka dibantai satu persatu."
"Lalu... bagaimana kelanjutannya, Eyang?" tanya Arya dengan perasaan tertarik.
"Hampir saja keinginan Kala Tungging terkabul. Untung saja di saat-saat terakhir muncul seorang kakek sakti bernama Ki Tambak Raga. Tokoh itulah yang memupuskan harapan Kala Tungging untuk mendapatkan julukan jago nomor satu. Dia dikalahkan oleh Ki Tambak Raga. Dengan hati penuh rasa malu Kala Tungging pergi meninggalkan tempat. Menghilang tanpa diketahui rimbanya. Namun sekitar lima tahun kemudian dia muncul lagi dan mencari Ki Tambak Raga. Rupanya, dia ingin membalas dendam. Dia menantang Ki Tambak Raga dan bahkan bermaksud membunuhnya. Tapi, usahanya sia-sia. Ki Tambak Raga memang terlalu kuat untuknya."
Eyang Ranggalawe menghentikan cerita lalu membungkukkan tubuh untuk memeriksa Nawangsih. "Dia tidak apa-apa, hanya pingsan...," jawab Eyang Ranggalawe kalem.
"Syukurlah, Eyang," sambut Arya gembira. "Kurasa sudah saatnya bagiku mohon diri untuk melanjutkan perjalananku. Kau yang lebih berhak atas Nawangsih, Eyang."
Tanpa memberikan kesempatan pada Eyang Ranggalawe untuk menanggapi, Arya telah melesat meninggalkan tempat itu. Hanya dengan sekali langkah dia telah berada dalam jarak tak kurang dari tiga belas tombak.
Eyang Ranggalawe semakin bertambah kagum, dan harus mengakui kalau Dewa Arak benar-benar memiliki kepandaian menakjubkan. Kakek berpakaian abu-abu ini menatap hingga tubuh Dewa Arak lenyap di kejauhan. Setelah itu dihampirinya tubuh Nawangsih.
* * *
"Hey...!"
Seruan keras tiba-tiba terdengar membuat dua sosok yang baru saja melewati pintu gerbang sebuah bangunan mewah, menghentikan langkah.
"Siapa kau?! Apa hubunganmu dengan Ki Tambak Raga?" tanya kakek berpakaian merah, salah satu dari dua orang yang tengah memasuki halaman rumah megah itu. Suaranya keras menyiratkan ketidak senangan dalam hatinya.
"Seharusnya aku yang mengajukan pertanyaan seperti itu padamu, Ki?! Siapa kau? Dan apa maksud kedatanganmu kemari?!" jawab lelaki bertubuh kekar dan bertelanjang dada yang tadi berseru keras. Dia telah berdiri di depan kakek berpakaian merah dan lelaki berpakaian compang-camping.
"Keparat!" Kakek berpakaian merah menggeram keras, lalu mengibaskan tangan kanannya sehingga membuat tubuh lelaki bertelanjang dada itu terpental jauh ke belakang. Jeritan menyayat hati keluar dari mulut lelaki yang sial itu. Dia tak sadar apa yang dialami. Yang dirasakan hanya tubuhnya bagai diseruduk seekor kerbau liar.
Tanpa mempedulikan keadaan lelaki bertelanjang dada itu, kakek berpakaian merah mengayunkan langkah untuk meneruskan maksudnya semula. Tanpa berkata sepatah kata pun pemuda berpakaian compang-camping itu mengikuti di belakangnya.
"Keji...!" Terdengar seruan keras.
Kakek berpakaian merah yang tak lain Kala Tungging menghentikan langkahnya. Pemuda berpakaian compang-camping yang ternyata Satria Sinting pun berhenti. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Kala Tungging dan Satria Sinting berdiri seorang kakek berpakaian putih bersih. Jenggotnya yang juga putih panjang sampai ke dada.
"Tambak Raga...!" seru Kala Tungging antara rasa gembira dan kaget "Kukira kau akan bersembunyi lagi seperti biasanya...."
Kakek berjenggot panjang yang ternyata Ki Tambak Raga hanya tersenyum getir. "Kau atau aku yang mempunyai sifat seperti itu, Kala Tungging?" ejek Ki Tambak Raga. "Dan apa maksud kedatanganmu kemari? Apa kau hendak membuat perhitungan atas kejadian lalu?"
"Tidak salah!" tandas Kala Tungging, "Aku akan menebus kekalahan yang memalukan itu! Sekarang aku mengajukan jago untuk menandingimu!"
"Sudah kuduga," jawab Ki Tambak Raga, kalem. "Orang sepertimu mana mungkin berani bertindak jujur? Pasti kau akan mengajukan anak muda ini. Tidak salahkah penglihatanku atas pilihanmu ini, Tungging? Jago yang kau bawa menderita kelainan jiwa!"
"Memang itu kusengaja!" tegas Kala Tungging, "Aku ingin semua orang persilatan tahu, Ki Tambak Raga, tokoh sakti golongan putih yang diagung-agungkan, tewas di tangan orang gila...! Aku yakin dunia persilatan akan gempar!"
Ki Tambak Raga menggeleng-gelengkan kepala seakan menertawakan gagasan Kala Tungging. Meskipun di dalam hati dia merasa terkejut karena dapat mengetahui kalau jago yang diajukan Kala Tungging bukan tokoh sembarangan. Dan itu bisa diketahui Ki Tambak Raga dengan melihat sorot mata lelaki berpakaian compang-camping itu. Tajam, mencorong, dan berwarna kehijauan, seperti mata seekor harimau dalam kegelapan.
"Tidak usah berpanjang kata lagi, Tambak Raga! Bersiaplah kau!" Kala Tungging lalu mengeluarkan sebatang pedang berwarna putih berkilauan dari pinggangnya.
Karuan saja hal itu membuat Ki Tambak Raga kaget. Bukankah Satria Sinting yang akan melawannya, tapi mengapa Kala Tungging yang menghunus senjata? Meskipun demikian kakek berjenggot panjang itu bersikap hati-hati. Dilangkahkan kakinya ke belakang untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Ternyata Kala Tungging tidak menyerangnya. Dengan kedua tangan erat-erat digenggamnya pedang bergagang bulat penuh batu permata itu. Matanya menatap tajam sejenak pada Satria Sinting.
"Atas nama kerajaan, kuperintahkan kau untuk membunuh pemimpin pemberontak ini!"
Ki Tambak Raga yang sudah bersiap-siap menghadapi serangan Kala Tungging, tercekat hatinya. Sebagai seorang tokoh tua yang telah kenyang pengalaman, dia bisa merasakan adanya pengaruh aneh dalam ucapan Kala Tungging. Suara itu penuh dengan kekuatan sihir!
Namun kakek berjenggot panjang itu tidak sempat berbuat sesuatu, karena Satria Sinting yang semula mengarahkan tatapan pada Kala Tungging kini mengalihkan kepadanya. Sikap pemuda berpakaian compang-camping itu tampak penuh wibawa.
"Bersiaplah untuk menerima hukuman, Pemberontak Keparat!"
Sebelum gema ucapannya lenyap, Satria Sinting telah mengirimkan sebuah tendangan ke arah lambung Ki Tambak Raga. Gerakannya yang sangat cepat menimbulkan bunyimenderu. Ki Tambak Raga yang sudah bersiaga sejak tadi, tampak tetap tenang. Sedikit pun tak tampak kegugupan di wajahnya.
Dengan cepat dan ringan dia melompat ke samping, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong. Namun Satria Sinting tidak berhenti sampai di situ. Dia langsung melanjutkan dengan serangan lainnya secara gencar dan bertubi-tubi. Kaki kanan kirinya mengincar bagian-bagian berbahaya di tubuh kakek berjenggot panjang itu.
Berkali-kali Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget setiap kali serangan lawannya meluncur, meskipun dia dapat mengelakkan secara mudah. Karuan saja hal ini membuat Kala Tungging heran. Sedangkan Satria Sinting tak mempedulikannya sama sekali akan keterkejutan lawan, dan terus melancarkan serangan susul-menyusul laksana gelombang laut.
Hampir sepuluh jurus Satria Sinting melancarkan serangan dengan kakinya. Dan selama itu Ki Tambak Raga hanya mengelak, tidak sekali pun melakukan tangkisan apalagi melancarkan serangan balasan. Dan hebatnya, kakek ini mampu terus mengelakkan setiap serangan lawan tanpa menemui kesulitan.
Kenyataan ini membuat Kala Tungging merasa khawatir, apakah Satria Sinting tetap tidak akan mampu mengalahkan Ki Tambak Raga? Sedemikian lihaikah musuh besarnya itu? Sehingga serangan-serangan pemuda gila suruhannya dapat dielakkannya dengan mudah.
"Hih!" Pada jurus kelima belas, ketika Satria Sinting melompat menerjang sambil mengirimkan serangan dengan kibasan kaki, Ki Tambak Raga melakukan hal yang sama.
Plakkk!
Benturan keras antara dua batang kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi tak dapat dielakkan. Tubuh kedua belah pihak sama-sama terpental balik ke tempat semula. Ki Tambak Raga terpental lebih jauh dua langkah dan mendarat di tanah dengan agak terhuyung-huyung. Sementara Satria Sinting dapat mendarat secara mantap.
Kala Tungging menyunggingkan senyum lebar melihat kenyataan itu, karena tahu kalau jagonya memiliki tenaga dalam jauh lebih kuat. Padahal sepengetahuannya, Ki Tambak Raga memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Namun kegembiraan hati Kala Tungging mulai berganti keterkejutan dan kekhawatiran, ketika melihat tindakan Ki Tambak Raga.
"Tahan..!" seru Ki Tambak Raga sambil menjulurkan tangan agar Satria Sinting menghentikan serangan dan mau mendengarkan ucapannya.
Lelaki berpakaian compang-camping itu tidak mempedulikan seruan Ki Tambak Raga. Tanpa berkata apa pun terus diterjangnya kakek berjenggot panjang putih itu.
"Ah...!" Untuk yang kesekian kalinya, Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget. "Bukankah itu ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'? Dari mana kau mendapatkannya, Anak Muda?"
Ki Tambak Raga mengeluarkan pertanyaan tanpa bisa menyembunyikan rasa kaget yang melanda hati. Namun tidak ada tanggapan sama sekali atas pertanyaannya. Satria Sinting tidak menghentikan terjangan dengan serangan yang membuat kedua tangannya seperti meluncur dari delapan penjuru. Ilmu yang dikatakan Ki Tambak Raga sebagai ilmu 'Tangan Delapan Penjuru Angin'.
Ternyata Ki Tambak Raga bukan hanya mengenal ilmu itu, tapi juga menguasainya. Sebab beberapa kali dia mampu mengelakkannya dengan mudah, bahkan mengirimkan serangan pada tempat-tempat yang memang merupakan kelemahan dari ilmu itu. Tidak hanya itu yang dilakukannya.
Kakek berjenggot panjang itu pun melancarkan serangan balasan dengan mempergunakan ilmu serupa. Akibatnya pertarungan berlangsung kurang menarik karena masing-masing pihak telah dapat menerka arah yang akan dituju serangan lawan.
Kala Tungging, yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan tampak semakin cemas bercampur khawatir. Hal ini timbul ketika melihat kenyataan ilmu-ilmu yang dimiliki Ki Tambak Raga dengan Satria Sinting berasal dari satu sumber. Memang ada beberapa bagian yang berlainan, tapi itu terjadi disebabkan bakat tubuh masing-masing pihak, selain kemampuan mengembangkan ilmu-ilmu yang dimiliki. Namun pada dasarnya sama, dan jelas berasal dari satu sumber.
Sekarang, kakek berpakaian merah itu sudah bisa memperkirakan, mengapa tadi sejak pertarungan dimulai Ki Tambak Raga tak henti-hentinya mengeluarkan seruan kaget. Pasti karena melihat ilmu yang dipergunakan Satria Sinting! Mengapa dirinya begitu bodoh? Kala Tungging menyalahkan dirinya dalam hati. Mengapa dia tidak melihat kalau Satria Sinting memainkan ilmu-ilmu yang dulu dipergunakan Ki Tambak Raga ketika menghadapinya.
Sudah telanjur basah, biar saja aku mandi sekalian! Pikir Kala Tungging, nekat. Diperhatikannya jalan pertarungan dengan mata tidak berkedip. Hatinya berdebar khawatir kalau-kalau antara Ki Tambak Raga dengan Satria Sinting memiliki hubungan dan mereka jadi berdamai. Bukan tidak mungkin kalau Ki Tambak Raga berhasil menyadarkan Satria Sinting dari penyakit kurang warasnya!
Plakkk! Plakkk!
Untuk kesekian kali, pada jurus ketujuh puluh terjadi benturan antara Ki Tambak Raga dengan Satria Sinting. Namun kali ini jauh lebih keras dari sebelumnya. Dan benturan itu lebih telak. Tak pelak lagi tubuh kedua belah pihak sama-sama terjengkang ke belakang. Namun berkat kemampuan masing-masing, baik Ki Tambak Raga maupun Satria Sinting mampu mematahkannya.
Kemudian kembali bersiap untuk menghadapi lawan. Terlihat jelas kalau Ki Tambak Raga yang terjengkang lebih jauh menyeringai kesakitan. Kali ini kedua belah pihak tidak langsung melanjutkan pertarungan, karena Satria Sinting tidak langsung mengirimkan serangan. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Tambak Raga.
"Anak Muda,.., sadarlah! Antara kau dan aku ada hubungan erat. Buktinya ada kesamaan ilmu yang kita miliki. Jangan kau tertipu oleh Kala Tungging yang licik dan gemar mengadu domba! Sadarlah, Anak Muda...! Sadar...!"
Ucapan-ucapan Ki Tambak Raga itu tidak keluar secara biasa, tapi mengandung pengaruh aneh yang kuat. Kakek berjenggot panjang itu sengaja melakukannya untuk memunahkan kekuatan sihir yang membelenggu Satria Sinting. Namun usahanya sia-sia.
Pemuda gila itu tidak mempedulikannya sama sekali. Walaupun demikian, Ki Tambak Raga tidak putus asa dan terus mengeluarkan ucapan-ucapan untuk memberi kesadaran pada Satria Sinting. Sebab dia tahu, lelaki berpakaian compang-camping itu pasti mempunyai hubungan dengannya. Meskipun sepengetahuannya dia tidak mempunyai hubungan lagi dengan siapa pun. Dialah orang terakhir yang menjadi pewaris tunggal ilmu-ilmu peninggalan leluhurnya....
ENAM
Satria Sinting merangkapkan kedua telapak tangan ke depan dada beberapa saat lamanya. Kemudian dijulurkan ke depan tanpa melepaskan tempelan kedua telapak tangannya. Tindakan itu dilakukan secara perlahan dengan pengerahan tenaga dalam. Tampak asap putih mengepul dari sela-sela telapak tangannya yang masih merapat.
Ki Tambak Raga yang sejak tadi memperhatikan tingkah laku Satria Sinting, membelalak dengan wajah memucat. Keningnya berkerut tajam seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ti... tidak mungkin...! Mustahil...!" ucap kakek berjubah putih itu dengan suara terbata-bata karena bibirnya menggigil keras.
Kala Tungging yang memperhatikan setiap tindakan kedua belah pihak, juga melihat asap putih timbul dari kedua tangan Satria Sinting. Sebagai seorang tokoh tua yang telah berpengalaman, dia tahu kalau hal seperti itu hanya timbul karena pengaruh tenaga dalam yang menyimpang dari biasanya. Satria Sinting mempunyai jenis tenaga dalam berbeda dengan tokoh umumnya.
Pemandangan demikian membuat Kala Tungging terkejut. Apalagi ketika melihat sikap Ki Tambak Raga yang ketakutan seperti tengah melihat hantu. Apa yang terjadi dengan musuh besarnya itu?
Keheranan Kala Tungging memang beralasan. Sikap Ki Tambak Raga terlihat aneh. Bukan hanya bibirnya yang menggigil. Sekujur tubuhnya yang terbungkus jubah putih pun tampak mulai dibasahi keringat dingin. Begitu juga di keningnya yang tampak berkerut, bersembulan butiran-butiran keringat.
"Hih...!" Satria Sinting yang bersikap tidak peduli dengan keadaan lawan, memukulkan tangan kirinya dengan kuat ke arah Ki Tambak Raga, tanpa menggeser kaki. Memang jarak antara mereka terpisah hampir satu tombak saja!
"Ah...!" Tanpa sadar, Kala Tungging terpekik kaget ketika melihat dari tangan kiri Satria Sinting meluncur asap putih bergulung-gulung menuju Ki Tambak Raga. Asap putih itu menimbulkan angin dingin yang terasa membekukan tubuh Kala Tungging. Padahal kakek berpakaian merah itu berada dalam jarak belasan tombak dari Satria Sinting.
Kalau Kala Tungging saja merasakan akibatnya, apalagi Ki Tambak Raga yang menjadi sasaran serangan. Kakek berjubah putih itu merasakan sekujur tubuhnya beku. Sehingga sulit baginya untuk menggerakkan tangan atau kaki baik untuk mengelak maupun menangkis.
Tidak ada yang dapat dilakukan Ki Tambak Raga, kecuali menunggu datangnya maut! Serangan hebat Satria Sinting membuatnya tidak berdaya. Memang hal itu terjadi sebagian besar karena dirinya terlalu larut dalam alun keterkejutan. Kalau tidak, sedikit banyak akan dapat melakukan tindakan yang mampu membuat dirinya terhindar. Namun, nasi telah menjadi bubur.
"He he he...!" Kala Tungging tahu apa yang tengah dialami Ki Tambak Raga. Sudah terbayang ke benaknya betapa nyawa Ki Tambak Raga akan segera melayang.
Bresss!
"Ah...!" Seruan kaget tidak hanya keluar dari mulut Kala Tungging. Pemuda berpakaian gembel pun tersentak kaget karena serangan berupa asap bergulung-gulung itu tak mengenai tubuh Ki Tambak Raga. Asap putih yang melesat dari kedua telapak tangannya menghantam sebatang pohon besar di belakang Ki Tambak Raga. Seketika itu pula pohon itu diselimuti butiran-butiran es yang ditimbulkan oleh asap putih tadi.
Satria Sinting dan Kala Tungging mengarahkan pandangan ke tempat sosok bayangan ungu yang tadi menyambar tubuh Ki Tambak Raga, sebelum asap putih bergulung-gulung itu menghantamnya.
Beberapa tombak dari tempat Ki Tambak Raga tadi berada, berdiri Dewa Arak. Dengan sikap tenang tapi tanpa menghilangkan kewaspadaan, pemuda berambut putih keperakan itu menurunkan tubuh Ki Tambak Raga sambil menatap lekat-lekat wajah Satria Sinting.
Ki Tambak Raga yang telah berhasil menguasai perasaan kagetnya, menatap wajah Dewa Arak sejenak. "Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Tapi, cepatlah kau menyingkir dari sini. Dia pasti akan membunuhmu dengan mudah...!" ujar Ki Tambak Raga penuh rasa khawatir.
"Tenangkanlah hatimu, Ki! Percayalah aku dapat menghadapinya! Aku pernah bertarung dengannya dan dia melarikan diri," sahut Arya berusaha menenangkan hati Ki Tambak Raga.
"Ah...! Boleh kutahu siapa namamu, Anak Muda?" tanya Ki Tambak Raga setengah terkejut dan tidak percaya dengan jawaban Dewa Arak. Mungkinkah pemuda ini akan dapat mengalahkan Satria Sinting.
"Orang-orang persilatan menjulukiku Dewa Arak," jawab Arya untuk membuat kakek itu percaya dan tidak mengkhawatirkan dirinya. Dewa Arak sengaja memperkenalkan julukannya, karena tahu kalau julukan Dewa Arak lebih dikenal orang. Dan Ki Tambak Raga pasti mengenalnya! Keyakinan Arya ternyata terbukti.
Ki Tambak Raga terperanjat mendengarnya. Namun dia tidak bisa mengutarakannya karena Satria Sinting telah melancarkan serangan kembali. Kali ini kedua tangannya yang terbuka dipukulkan bertubi-tubi ke tempat Dewa Arak dan Ki Tambak Raga berada.
Wusss!
Asap putih tebal dan bergulung-gulung yang membuat keadaan sekitar tempat itu terselimut hawa dingin membekukan tubuh, meluncur ke arah Dewa Arak dan Ki Tambak Raga. Asap kali ini lebih banyak dari sebelumnya, karena Satria Sinting benar-benar marah melihat serangannya berhasil digagalkan Dewa Arak.
"Menyingkir, Dewa Arak! Asap itu berbahaya...!" teriak Ki Tambak Raga sambil melompat menghindar.
Namun Dewa Arak tidak menuruti seruan Ki Tambak Raga. Pemuda berambut putih keperakan itu justru berdiam diri di tempatnya. Dia menunggu hingga asap itu meluncur agak dekat. Meskipun demikian, tenaga dalam 'Inti Matahari'-nya langsung dikerahkan untuk melawan pengaruh hawa dingin yang telah lebih dulu melingkupi tubuhnya sebelum asap itu tiba.
Dewa Arak tidak setengah-setengah lagi dalam bertindak. Tahu betapa berbahayanya sergapan hawa dingin yang dapat membuat darahnya membeku, bahkan mampu menewaskan bila tersentuh, dia segera mengerahkan seluruh tenaga dalam 'Inti Matahari'-nya untuk bertahan. Dari sekujur tubuh Dewa Arak keluar asap tipis berwarna putih, diiringi hawa panas menyengat menyebar ke sekitarnya.
Usaha Dewa Arak ternyata tidak sia-sia. Hawa dingin luar biasa yang mampu membekukan darah dan urat sarafnya berhasil diusir pergi. Namun hal itu bukan berarti telah bebas dari maut. Karena gumpalan asap berwarna putih tebal tengah meluncur ke arahnya.
Dewa Arak tidak merasa gugup sama sekali menghadapi kenyataan ini. Seperti juga Satria Sinting, dia pun berkali-kali memukulkan kedua tangannya yang terbuka secara gencar ke depan. Dari kedua tangan yang dipukulkan keluar angin keras berhawa panas menyengat yang membuat gumpalan-gumpalan asap putih tebal seketika buyar di tengah jalan.
Melihat serangannya kandas di tengah jalan Satria Sinting kian geram dan penasaran. Tanpa bergerak dari tempatnya segera dilancarkan serangan serupa. Karena Dewa Arak pun melakukan hal yang sama, pertarungan aneh dan tidak lazim pun terjadi.
Kedua tokoh muda itu tidak hanya melancarkan pukulan, melainkan juga tendangan-tendangan gencar. Anehnya hal itu dilakukan dalam keadaan berjauhan. Sebuah pertarungan aneh, dua tokoh yang saling serang dan tangkis dalam jarak berjauhan.
Ki Tambak Raga dan Kala Tungging menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar tegang, di samping perasaan heran dan takjub. Memang keduanya, terutama sekali Ki Tambak Raga memiliki ilmu kepandaian yang tidak bisa dianggap remeh. Namun ketika menyaksikan pertarungan seperti itu keduanya tak mampu menahan keheranannya. Belum pernah seumur hidupnya menyaksikan pertarungan seperti itu.
Baik Ki Tambak Raga maupun Kala Tungging tahu. Meskipun pertarungan berlangsung dalam jarak berjauhan seperti itu, bahaya yang mengancam tidak kalah besar dengan pertarungan biasa. Mereka yang menyaksikan jalannya pertarungan dari jarak belasan tombak merasakan hawa-hawa aneh yang membuat jantung berdebar tegang. Dari kancah pertarungan berhembus hawa panas dan dingin silih berganti.
Kejadian yang aneh pun terjadi. Ki Tambak Raga dan Kala Tungging menyaksikan jalannya pertarungan dengan jarak hampir bersebelahan tanpa sadar. Perasaan tertarik dengan pertarungan yang berlangsung seakan membuat masing-masing lupa kalau di sebelahnya lawan yang menyebabkan timbulnya pertarungan aneh itu.
"Luar Biasa...! Jadi... itukah ilmu 'Awan Putih' yang diceritakan Ayah? Luar biasa...! Entah dari mana orang gila itu menemukannya? Aku harus mengetahuinya! Bukankah kata Ayah ilmu itu telah lenyap puluhan tahun ialu? Benar-benar dahsyat!" gumam Ki Tambak Raga sambil terus memperhatikan pertarungan yang tengah berlangsung. Malah mengedip pun hampir tidak pernah dilakukan, karena khawatir tidak melihat kalau salah satu pihak roboh!
Kekaguman Ki Tambak Raga terhadap ilmu 'Awan Putih' memang bisa dimaklumi karena benar-benar dahsyat. Gumpalan awan putih tebal yang keluar dari telapak tangan Satria Sinting diakui oleh Dewa Arak terlalu kuat untuk dilawan. Bahkan dia menyadari tidak mungkin baginya menghadapi lawan dengan cara seperti itu.
Itulah sebabnya, setelah gumpalan awan putih yang semula berhasil didorongnya, kembali mendekatinya, Dewa Arak melompat ke atas. Dari udara laksana seekor garuda, dia melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah kepala Satria Sinting.
"Uh...!" Dewa Arak tanpa sadar mengeluarkan keluhan keterkejutan, ketika Satria Sinting memapak serangannya. Sebelum terjadi benturan dirasakan adanya daya tolak yang sangat kuat dari kedua tangan lawan. Sebagai seorang pendekar yang kenyang makan asam garam di rimba persilatan, Arya tahu kalau daya tolak timbul karena asap putih itu.
Hampir saja Dewa Arak celaka akibat dalam waktu sekejapan dia terkejut dan Satria Sinting melancarkan serangan. Untung di saat terakhir dia sempat melemparkan tubuh menjauh. Namun Satria Sinting tak mau membiarkannya dan memburunya dengan serangan-serangan maut. Arya mengelak dan balas menyerang sehingga membuat pertarungan berlangsung sengit.
Pertarungan kini tampak wajar, tidak seperti sebelumnya. Untuk kesekian kalinya Dewa Arak pun harus mengeluarkan seluruh kemampuannya. Ilmu 'Belalang Sakti' dipergunakan sampai ke puncaknya. Bahkan telah ditenggaknya arak ketika mendapat satu kesempatan.
Satria Sinting benar-benar merupakan lawan yang tangguh. Meski Dewa Arak telah mengeluarkan seluruh kemampuan, tetap mengalami kesulitan untuk mengalahkannya. Jangankan mengalahkan, mendesaknya saja merupakan hal yang amat sukar!
Tak terasa pertarungan telah menginjak tujuh puluh jurus dan selama itu jalannya pertarungan tetap tidak berubah. Belum ada pihak yang sanggup mengalahkan pihak lainnya. Meskipun demikian, terlihat Satria Sinting berada di atas angin. Asap tebal yang keluar dari kedua tangan dan tubuhnya membuat Dewa Arak terus terdesak.
Sungguhpun begitu, Satria Sinting tetap tidak bisa berbuat lebih banyak. Dia hanya sanggup mengungguli lawan, tapi tidak dapat berbuat lebih jauh. Dewa Arak dengan ilmu 'Belalang Sakti'-nya terlalu kuat untuk dapat dirobohkannya.
Ketika Dewa Arak dan Satria Sinting terlibat dalam pertarungan sengit, dua sosok bayangan berkelebat memasuki halaman dan langsung berdiri di sebelah Kala Tungging.
"Apa yang terjadi, Tungging?" tanya Eyang Ranggalawe salah satu dari dua sosok yang baru datang, sedangkan sosok yang satu lagi adalah Nawangsih. Kakek berpakaian abu-abu itu mengajukan pertanyaan tanpa mengalihkan perhatian dari jalannya pertarungan.
"Dewa Arak dan Satria Sinting bertarung," jawab Kala Tungging tanpa menoleh. Lalu secara singkat diceritakan semua kejadiannya.
Berbeda dengan Eyang Ranggalawe yang begitu datang langsung menatap ke arah pertarungan dan lupa segala-galanya, tidak demikian halnya dengan Nawangsih. Dia ingat betul maksud Eyang Ranggalawe mengajaknya kemari. Maka dia tidak sabar ketika melihat kakek itu malah asyik menyaksikan jalannya pertarungan.
"Mana pembunuh orangtuaku, Eyang?" tanya Nawangsih bernada menuntut.
"Kakek berjenggot panjang itulah pembunuh ayahmu," jawab Eyang Ranggalawe seraya menuding Ki Tambak Raga.
Nawangsih menoleh ke arah Ki Tambak Raga dengan sorot mata beringas. Dan...
Sing! Sing!
Tanpa membuang-buang waktu lagi Nawangsih langsung melolos kedua pedangnya yang berkilauan. Namun perbuatan gadis itu tidak menarik perhatian ketiga kakek yang memperhatikan pertarungan.
"Pembunuh Biadab...! Rasakan pembalasanku!" Usai berkata demikian, Nawangsih menggenjotkan kaki sehingga tubuhnya melayang melewati atas kepala Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe. Dari atas sepasang pedangnya menyambar ganas ke arah Ki Tambak Raga.
Karuan saja Ki Tambak Raga terkejut namun tidak menjadi gugup. Dengan tenang, dikeluarkan kebutan berupa rangkaian bulu-bulu yang diselipkan di pinggang. Lalu digunakannya untuk menghadapi serangan sepasang pedang Nawangsih.
Rrrttt!
"Uh!" Nawangsih memekik tertahan ketika ujung kebutan yang lemas melibat batang pedang di tangan kanannya. Sedangkan pedang kiri yang ditusukkan ke arah leher, melesat karena Ki Tambak Raga cepat memiringkan kepalanya. Dan sebelum gadis itu sempat berbuat sesuatu, Ki Tambak Raga telah menyentakkan kebutannya, sehingga pedang Nawangsih pun terlepas dari cekalan dan terlempar jauh.
Bukan hanya pedangnya yang tertarik, tetapi juga tubuh Nawangsih yang berada di udara. Tubuh gadis berpakaian kuning itu ikut terbawa turun. Namun murid Eyang Dipayana mampu menunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya yang melayang turun digunakan untuk melancarkan serangan berupa jejakan kaki kanan ke arah dada lawan.
"Bagus...! " Ki Tambak Raga yang merasa kagum melihat kecerdikan Nawangsih, berteriak memuji. Meskipun begitu dia mampu mengelakkannya dengan mudah. Didoyongkan tubuhnya ke belakang, kemudian tangannya bergerak mencekal.
Tappp!
Pergelangan kaki kanan Nawangsih terkena cekalan. Untung saja Ki Tambak Raga tidak berniat mencelakainya karena langsung melontarkan tubuh gadis itu. Kalau mau lelaki tua itu mampu meremas pergelangan kaki Nawangsih hingga remuk!
Tidak percuma Nawangsih menjadi murid Eyang Dipayana. Di saat tubuhnya melayang, dia mampu mematahkannya dengan bersalto beberapa kali di udara, lalu meluncur turun dan menjejak tanah dengan ringan laksana seekor burung.
Ki Tambak Raga menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat begitu menjejak tanah, Nawangsih langsung mencelat dan menubruknya. Pedang yang tinggal sebatang itu, ditusukkan cepat ke arah leher!
Hati Ki Tambak Raga mulai kesal melihat kebandelan Nawangsih. Saat ini dia tengah asyik memperhatikan jalannya pertarungan. Betapapun sabarnya, dia mulai tidak senang hati karena merasa terganggu. Maka Ki Tambak Raga bermaksud memberikan sedikit pelajaran pada gadis itu, agar pertarungan seru yang tengah disaksikannya tidak keburu usai.
Itulah sebabnya tusukan pedang Nawangsih dielakkannya dengan mendoyongkan tubuh ke kanan. Dan pada saat bersamaan, kebutannya yang dengan pengerahan tenaga dalam berubah kaku laksana tombak, meluncur ke arah bahu kanan Nawangsih.
Nawangsih terkejut bukan kepalang melihat serangan itu. Dengan agak geragapan dia berusaha mengelak. Namun gerakannya kalah cepat. Ujung kebutan Ki Tambak Raga lebih dulu mengenai bahu kanannya. Seketika itu tubuh gadis berpakaian kuning itu terkulai lemas. Dan mungkin akan ambruk ke tanah kalau Eyang Ranggalawe tidak lebih dulu menangkapnya.
"Kau keji, Tambak Raga!" desis Eyang Ranggalawe. "Setelah kau bunuh ayahnya, kau hina pula anaknya!"
"Jelaskan maksud ucapanmu, Ranggalawe!" desak Ki Tambak Raga keras. Keningnya berkerut tajam dengan mata menunjukkan ketidak senangan. "Siapa yang kau maksudkan?"
"Lupakah kau pada Wiratmaja? Ataukah kau telah menjadi pikun?"
"Wiratmaja putra Eyang Dipayana?!" tanya Ki Tambak Raga meminta penegasan setelah tercenung beberapa saat.
"Benar!" Eyang Ranggalawe menganggukkan kepala. "Dan gadis yang kau lumpuhkan ini anak Wiratmaja!"
"Ah...!" desah Ki Tambak Raga terkejut. Matanya membelalak tapi mulutnya tidak berkata-kata lagi.
"Asal kau tahu saja, Tambak Raga," sambung Eyang Ranggalawe yang terlihat jelas masih merasa penasaran. "Kedatangannya kemari untuk membalaskan kematian ayahnya!"
"Gila! Ini benar-benar tidak mungkin!" sahut Ki Tambak Raga. Wajahnya menegang.
"Memang, kalau dilakukannya sendiri, tidak akan mungkin berhasil. Dia tak akan menang melawanmu, tapi masih ada aku! Akulah yang akan membalaskan dendamnya!" tandas Eyang Ranggalawe, berapi-api.
"Kau gila, Ranggalawe!" sergah Ki Tambak Raga. "Sadarkah kau akan tindakan yang akan kau lakukan? Kau tak berhak melakukannya! Masih ada Eyang Dipayana yang menjadi kakeknya! Dia lebih berhak dari padamu! Dia sendiri tidak melakukannya!"
"Bukan tidak mau melakukannya, Tambak Raga!" bantah Eyang Ranggalawe. "Dia ingin melakukannya, tapi menunggu hingga cucunya besar. Dia ingin cucunya sendiri yang melakukan. Dan dia hanya membantunya!"
"Kau dusta, Ranggalawe!" tukas Ki Tambak Raga. "Kalau benar demikian, apakah dia mengatakan sendiri hal itu padamu?"
"Memang tidak," sahut Eyang Ranggalawe. "Tapi aku yakin akan dilakukannya."
"Mana buktinya, Ranggalawe?! Kenyataannya sekarang kaulah yang mendampingi gadis,itu! Jangan-jangan kau menginginkan hal ini! Dan karena Eyang Dipayana tidak menginginkannya, kau membawanya kabur kemari!"
"Bukan itu alasannya, Tambak Raga! Dia tak mungkin bisa menemani cucunya untuk membalaskan dendam terhadapmu! Dia telah mati! Kau dengar, Tambak Raga?! Eyang Dipayana telah tewas, dan aku yakin pembunuhnya adalah... kau!"
TUJUH
"Apa...?!" Mata Ki Tambak Raga membelalak lebar seperti melihat hantu di siang hari, hatinya terkejut bukan main mendengar tudunan Eyang Ranggalawe.
"Tidak usah berpura-pura bodoh, Tambak Raga!" tandas Eyang Ranggalawe keras. "Akui saja kalau kau yang telah membunuh Dipayana! Hanya kau satu-satunya yang mempunyai alasan untuk melakukannya!"
"Fitnah!" bantah Ki Tambak Raga tak kalah keras. "Dan aku tak membiarkan begitu saja orang melakukan hal ini padaku!"
"Tidak usah berpura-pura suci, Tambak Raga! Aku yakin kaulah pelakunya! Bersiaplah untuk menerima kematian!"
"Kaulah yang akan mampus di tanganku, Ranggalawe!" dengus Ki Tambak Raga tak mau kalah.
Belum juga ucapan Ki Tambak Raga lenyap. Eyang Ranggalawe telah menubruk maju. Kakek berpakaian abu-abu ini telah tahu kalau lawan memiliki kepandaian amat tinggi. Maka dia tak ingin bersikap setengah-setengah. Dalam serangan pertama telah dikeluarkan senjata andalannya, tasbih, yang langsung dikibaskan ke arah pelipisKi Tambak Raga.
Kakek berjenggot panjang itu menarik tubuh ke belakang sehingga sabetan tasbih lewat di depan wajahnya. Kemudian dengan pengerahan tenaga dalam, dijadikannya bulu kebutannya menegang kaku seperti anak panah. Kemudian sambil mendoyongkan tubuh ke depan ditusukkan kebutan itu ke leher Eyang Ranggalawe.
Eyang Ranggalawe mengetahi adanya ancaman maut. Dia tahu bulu kebutan itu akan mampu menembus lehernya. Maka dia buru-buru merendahkan tubuh seraya menarik sedikit tangan kanannya. Secepat itu pula segera dilancarkan serangan susulan dengan sabetan tasbih ke wajah lawan.
Namun lagi-lagi Ki Tambak Raga berhasil mengelakkannya, bahkan seraya mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah hebat. Sesaat kemudian kedua kakek itu telah saling serang dengan mempergunakan seluruh kepandaian yang dimiliki.
Di halaman luas di depan rumah Ki Tambak Raga berlangsung dua pertarungan. Namun, pertarungan antara Dewa Arak dengan Satria Sinting sudah hampir mencapai penyelesaian.
Dalam pertarungan yang demikian lama, serangan Satria Sinting tampak mulai mengendur. Pukulan dan tendangan yang dilancarkannya tidak sekuat sebelumnya. Demikian pula gerakan-gerakan yang dilakukan, tampak telah berubah. Jelas kalau pemuda berpakaian gembel itu telah merasakan kelelahan.
Kelelahan yang dialami Satria Sinting tidak diderita Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu masih tetap seperti sediakala. Serangan-serangan yang dilancarkannya masih mengandung tenaga dalam penuh. Begitu pula gerakan-gerakannya, tetap gesit seperti semula, tidak mengalami penurunan. Hal itu karena pengaruh arak yang ditenggaknya di dalam pertempuran.
Arak yang berasal dari guci yang tersampir di punggungnya mampu membuat tenaganya yang susut dapat pulih kembali seperti sediakala. Oleh karena itu, menginjak jurus keenam puluh perlahan-lahan Dewa Arak mulai bisa mengendalikan jalannya pertarungan.
Lambat tapi pasti dia mulai berada di atas angin. Dan sekarang Satria Sinting tampak lebih banyak mengelak daripada melancarkan serangan. Beberapa kali dia mencoba menangkis karena sudah tidak mungkin lagi baginya untuk mengelak. Akibatnya pemuda berpakaian gembel itu harus terhuyung-huyung.
Semakin lama keadaan Satria Sinting semakin mengkhawatirkan. Sekarang dia mulai bermain mundur. Awan putih tebal yang keluar dari tangan dan sekujur tubuhnya sekarang hampir tidak terlihat lagi. Hal itu membuat tenaga tolakannya tidak terasa oleh Dewa Arak.
Pada pertarungan yang lain, perlahan namun pasti Ki Tambak Raga mulai berhasil menguasai pertarungan. Kakek berjenggot panjang ini memang memiliki tenaga dalam dan kelincahan di atas lawannya. Selain itu dia mampu menggunakan kelebihannya untuk melancarkan desakan terhadap lawan.
Kebutan di tangannya senantiasa berubah-ubah. Kadang lemas danmelentur, tapi kemudian bisa berubah menjadi kaku dan mengeras. Sehingga senjata itu tidak hanya dapat digunakan untuk melibat, tapi juga menusuk dan menotok. Beberapa kali Eyang Ranggalawe terhuyung-huyung mundur ketika terjadi benturan. Dan menginjak pada jurus kelima puluh kakek berpakaian abu-abu ini terdesak hebat dan hanya mampu bermain mundur.
Di saat Eyang Ranggalawe dalam keadaan seperti itu, dan pertarungan antara Dewa Arak dan Satria Sinting mulai tidak menarik, Kala Tungging masuk dalam kancah pertarungan untuk membantu Eyang Ranggalawe.
"Jangan khawatir, Ranggalawe! Aku membantumu menghadapi tua bangka sombong ini!"
Tarrr!
Kala Tungging langsung menyabetkan pecutnya ke arah pelipis Ki Tambak Raga. Serangan ini memaksa Ki Tambak Raga yang tengah mendesak lawan, mengurungkan serangannya. Segera dilemparkan tubuhnya ke samping untuk menyelamatkan diri. Tak pelak lagi pertarungan satu melawan dua pun tidak bisa dielakkan.
Brettt! Bukkk!
"Akh...!" Satria Sinting memekik tertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang ketika cakaran tangan kiri Dewa Arak yang diikuti pukulan tangan kanan menghantamnya. Tangan kiri merobek pakaiannya mulai dari leher sampai ke pusar, sedangkan tangan kanan yang terbuka mendarat di bahu kanan. Meskipun serangan itu tidak pada tempat mematikan, tapi cukup untuk membuat Satria Sinting terbanting di tanah dan jatuh pingsan.
Dewa Arak sendiri bukan tidak menderita. Sambungan lutut kirinya telepas ketika ujung kaki Satria Sinting menghantamnya. Namun, Dewa Arak tidak mempedulikan rasa sakit itu. Langsung diarahkan pandangan ke kancah pertarungan, ketika yakin kalau Satria Sinting tidak terancam bahaya karena lukanya. Pemuda berambut putih keperakan ini langsung dapat melihat keadaan Ki Tambak Raga yang terdesak hebat.
Menghadapi satu orang lawan, Ki Tambak Raga jauh lebih unggul, bahkan akan dapat memperoleh kemenangan, karena tingkat kepandaiannya berada di atas masing-masing lawannya. Namun menghadapi dua orang sekaligus, terlalu berat baginya. Itulah sebabnya ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan puluh dia terdesak hebat dan hanya mampu bertahan dan mengelak.
"Arrghh...!" Dewa Arak mengeluarkan raungan keras dari dalam perutnya. Akibat suaranya yang menggelegar tiga tokoh yang bertarung mendadak terhuyung-huyung dengan wajah memucat.
Raungan yang dikeluarkan Dewa Arak dengan pengerahan tenaga dalam itu, telah membuat mereka terpengaruh. Baik Ki Tambak Raga, Kala Tungging, maupun Eyang Ranggalawe merasakan betapa dada mereka bergetar hebat. Ketiganya buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk membuat bagian dalam tubuh mereka tidak terguncang, yang dapat mengakibatkan luka dalam.
Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk melompat masuk ke kancah pertarungan, kemudian mengibaskan kedua tangannya. Sehingga tubuh ketiga tokoh tua itu seketika berpentalan kebelakang dan bergulingan. Dan ketika Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe berhasil bangkit, Dewa Arak telah berdiri dengan sikap angker.
Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe merasa penasaran bukan kepalang, karena dapat dirobohkan Dewa Arak dengan mudah. Meskipun demikian ketiganya tahu, hal itu terjadi karena keadaan mereka yang tidak siap tarung. Kalau tidak, mustahil Dewa Arak akan mampu melakukan hal seperti itu dengan sangat mudah.
Mendadak Ki Tambak Raga mengeluarkan seruan kaget dari mulutnya. Sepasang matanya membelalak lebar seakan tengah dilanda keterkejutan yang hebat. Bahkan mulutnya terbuka lebar tanpa disadarinya.
Karuan saja sikap Ki Tambak Raga membuat semua orang yang berada di situ, tak terkecuali Dewa Arak, merasa heran. Mereka pun mengikuti arah pandangan kakek berjenggot panjang itu. Tatapan mata Ki Tambak Raga ternyata tertuju pada tubuh Satria Sinting.
Mendadak dengan diawali keluhan tertahan, Ki Tambak Raga melesat ke arah Satria Sinting. Khawatir kalau kakek berjenggot panjang itu melakukan tindakan yang tidak diinginkan, Dewa Arak bergegas mengikuti. Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe pun melakukan hal yang sama. Kedua kakek ini ingin mengetahui apa yang akan dilakukan Ki Tambak Raga.
Kecurigaan Dewa Arak ternyata tidak terbukti. Ki Tambak Raga tidak melakukan hal-hal yang dikhawatirkannya. Kakek itu tidak melancarkan serangan sedikit pun, melainkan duduk bersimpuh di dekat sosok Satria Sinting yang tergolek lemah. Pandangan Ki Tambak Raga tertuju pada gambar naga dan tengkorak kepala manusia di dada Satria Sinting.
"Ada apa, Ki?" Dewa Arak tidak tahan untuk berdiam diri melihat Ki Tambak Raga duduk bersimpuh tanpa berkata apa pun, kecuali melongo di dekat tubuh Satria Sinting.
Ki Tambak Raga tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditatapnya wajah Arya, kemudian dialihkan perhatiannya lagi pada tubuh Satria Sinting.
"Dia mempunyai hubungan denganku, Dewa Arak! Hubungan yang amat dekat, hubungan perguruan. Hanya saja, baik aku maupun dia tidak mengetahuinya," jawab Ki Tambak Raga dengan pandangan tertuju ke arah tubuh Satria Sinting.
Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe terdiam mendengar penuturan Ki Tambak Raga.
"Leluhurku...," Ki Tambak Raga mulai dengan ceritanya, "Memiliki kepandaian amat tinggi. Hanya jarang bahkan tidak ada di antara orang-orang persilatan yang mengenal mereka. Mereka selalu menyembunyikan diri. Tapi mereka senantiasa mewariskan ilmu itu pada keturunannya, sampai akhirnya tiba pada diriku sebagai keturunan terakhir. Keyakinan itulah yang kupegang, tapi sekarang pupus. Leluhurku ternyata masih mempunyai keturunan lagi selain diriku, yaitu dia! Aku tidak akan tahu jika tidak melihat tanda ini pada kedua dadanya."
Dewa Arak, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe menatap dada Satria Sinting.
"Apa artinya, Ki?" tanya Arya ingin tahu.
"Tanda gambar naga merupakan ciri khas keluarga kami. Sedangkan gambar tengkorak kepala manusia menandakan kalau dia keturunan dari leluhur kami yang telah diusir dari garis keluarga karena mempelajari ilmu larangan."
"Jadi... Satria Sinting itu keturunan dari orang buangan keluargamu, Ki?" tanya Arya lebih lanjut "Tapi mengapa kau semula tidak tahu? Bukankah ilmu-ilmu yang kau miliki mempunyai kesamaan dengannya?"
"Aku tidak tahu karena ayahku tidak menceritakan kalau leluhurku punya garis keluarga lain yang merupakan orang buangan di keluarga kami. Untung saja aku melihat tanda tengkorak itu. Dan aku pun pernah mendengar dari kakekku yang pernah menyinggung cerita tentang keluarga buangan itu. Namun aku telah lama melupakan...," ujar Ki Tambak Raga, menutup ceritanya.
Mendadak, melesat sesosok bayangan kuning ke arah Ki Tambak Raga. "Pembunuh Jahanam! Mampuslah kau...!"
Dan sosok yang tak lain Nawangsih itu mengayunkan pedangnya ke arah leher Ki Tambak Raga. Namun sebelum sempat mengenai sasaran, Dewa Arak telah lebih dulu bergerak. Hanya dengan sekali sambar, pedang Nawangsih telah pindah ke tangannya.
"Tidak baik menyerang dari belakang!" ujar Dewa Arak seraya menatap wajah gadis itu.
"Tapi..., dia pembunuh ayahku!" sahut Nawangsih.
"Aku bukan pembunuh ayahmu!" tukas Ki Tambak Raga.
"Bohong!" bentak Nawangsih dengan mata masih menyimpan dendam.
"Aku tidak bohong! Untuk apa aku membohongi cucuku sendiri?!" Ki Tambak Raga balas mengajukan pertanyaan.
"Apa?" sepasang mata Nawangsih membeliak lebar mendengar pertanyaan Ki Tambak Raga.
"Benar," Ki Tambak Raga menganggukkan kepala untuk lebih menegaskan ucapannya. "Aku tidak bohong, aku kakekmu, karena ibumu, istri ayahmu adalah anakku. Jadi Wiratmaja, ayahmu itu mantuku!"
"Tapi..., mengapa kau bunuh ayahku?!" desak Nawangsih dengan suaramelunak.
"Aku tidak pernah membunuhnya, Nawangsih. Percayalah...! Aku tak ingin kau terluka kalau mendengar cerita sesungguhnya. Apakah kau tidak diberitahukan oleh Eyang Dipayana?"
Nawangsih menggelengkan kepala.
"Lebih baik begitu, Nawangsih. Hhh..., Eyang Dipayana memang bijaksana. Dia mungkin tak ingin kau lebih terluka kalau mendengar cerita sebenarnya," jawab Ki Tambak Raga, bernada keluh.
"Tidak, Kek!" sahut Nawangsih, "Aku tidak akan terluka. Lebih baik aku mendengarnya sekarang daripada tak mengetahui sama sekali apa yang terjadi terhadap ayahku."
"Baiklah kalau kau memaksa," ucap Ki Tambak Raga dengan suara berdesah. "Dengar baik-baik! Ayahmu mati di tangan ibumu, sedangkan ibumu mati karena bunuh diri. Ibumu membunuhnya karena ayahmu mempunyai watak mata keranjang! Di mana-mana dia bergaul dengan wanita secara tidak patut! Jelas?!"
"Kakek...!" Nawangsih berseru dengan hati pilu setelah beberapa saat terpaku dengan wajah pucat pasi karena kaget mendengar cerita yang dituturkan Ki Tambak Raga. Gadis berpakaian kuning itu menubruk tubuh Ki Tambak Raga dan menangis.
Kala Tungging, Eyang Ranggalawe, dan Dewa Arak ikut merasa terharu karenanya. Dan untuk tidak mengganggu keberadaan Nawangsih dan Ki Tambak Raga, mereka mengalihkan tatapan ke arah lain. Meskipun demikian, rasa ingin tahu membuat telinga mereka dipasang untuk mendengarkan pembicaraan lebih lanjut.
"Benarkah Dipayana telah tiada, Nawangsih?!" tanya, Ki Tambak Raga setelah membiarkan Nawangsih menangis beberapa saat di dadanya.
Nawangsih menjauhkan wajah dari dada kakeknya. "Benar, Kek," jawab gadis berpakaian kuning itu dengan suara serak sambil terisak. "Dia tewas terbunuh. Semula, kukira Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya yang membunuh Eyang Dipayana, tapi ternyata bukan. Mereka pun tidak tahu siapa pembunuh Eyang Dipayana?"
"Bukankah kau tinggal bersamanya. Mengapa kau tidak tahu kematian Eyang Dipayana? Bukankah dia tewas di rumah."
"Saat itu, aku tengah pergi ke kebun untuk memetik sayuran-sayuran kegemaran Eyang, Kek. Tapi.., begitu aku pulang yang kujumpai Gajah Kecil Bertangan Maut dan dua rekannya. Mereka tengah marah-marah dan di antara mereka kulihat tubuh Eyang tergolek. Aku marah, dan menyerang mereka, tapi mereka terlalu kuat untukku. Maka, aku melarikan diri dan minta pertolongan pada Eyang Ranggalawe."
"Hhh...!" Ki Tambak Raga menghembuskan napas berat sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dahinya berkerut-kerut seperti tengah berpikir keras.
"Bisa kau terangkan pada kami sebab-sebab kematiannya, Nawangsih?" Eyang Ranggalawe menyela pembicaraan itu. Memang, dia belum mendapatkan pemberitahuan apa pun dari Nawangsih tentang cara kematian sahabatnya itu.
"Em... aku tidak bisa melihat jelas dari dekat. Aku hanya dapat melihat ada tanda merah pada dadanya berupa telapak tangan. Tanda itu menghancurkan pakaian Eyang...."
Ki Tambak Raga, Kala Tungging, dan Eyang Ranggalawe tersentak kaget. Mereka saling pandang dengan wajah berubah. Tampak adanya kekhawatiran yang menggurat di wajah mereka.
Dewa Arak melihat hal inimenjadi heran. "Apakah ada yang salah, Kek?" tanya Arya pada Ki Tambak Raga.
"Tidak, Dewa Arak," jawab Ki Tambak Raga dengan nada ucapan sungguh-sungguh. "Hanya saja ciri-ciri penyebab kematian Eyang Dipayana mengingatkan aku pada seorang tokoh luar biasa dari dunia hitam. Tokoh yang memiliki watak aneh, gemar memakan jantung orang yang kurang waras pikirannya. Tokoh itu memiliki ilmu 'Telapak Tangan Darah' yang menimbulkan akibat seperti yang dikatakan Nawangsih. Untuk kegunaan ilmu itulah, tokoh sesat itu memakan jantung orang kurang waras. Luwing Sewu namanya!"
"Mengapa dia membunuh Eyang Dipayana, Kek?! Apakah di antara mereka ada permusuhan?" tanya Arya, ingin tahu.
"Tidak, Dewa Arak. Tapi, semua orang tahu kalau satu-satunya orang yang mengetahui tempat Satria Sinting, hanya Eyang Dipayana. Dan mengingat Luwing Sewu gemar memakan jantung orang kurang waras, bisa ditebak sendiri kejadiannya. Mungkin, tokoh sesat itu memaksa Eyang Dipayana untuk menunjukkan tempat Satria Sinting berada. Tapi, karena tak mendapatkan jawaban yang memuaskan, Eyang Dipayana dibunuhnya. Dan...."
"Ha ha ha...!" Sebuah tawa keras tiba-tiba terdengar menyambuti ucapan Kl Tambak Raga. Kakek berjenggot putih panjang itu terjingkat kaget, dan mengalihkan tatapan ke tempat asal suara tawa. Hal yang sama dilakukan pula oleh dua kakek lainnya.
"Luwing Sewu...!" Kala Tungging berseru kaget dengan mata membelalak.
Begitu pula Eyang Ranggalawe dan Ki Tambak Raga. Semua terkejut melihat kedatangan seorang kakek bertubuh bongkok dan berpakaian kulit ular. Tangan kanannya menggenggam sebuah tongkat terbuat dari ular yang dikeringkan.
"He he he...!" kakek bongkok itu mengeluarkan tawa terkekeh sambil melangkah maju. "Rupanya kau cerdik juga, Tambak Raga. Memang, dugaanmu itu tidak keliru. Sekarang, biarkan aku mengambil Satria Sinting. Siapa yang mencoba menghalangi akan menerima kematian di tanganku...."
"Keparat!" Ki Tambak Raga menggeram. "Kau hanya dapat melakukannya setelah melangkahi mayatku!" Ki Tambak Raga melompat menerjang dengan kedua tangan terbuka dipukulkan bertubi-tubi ke arah ulu hati, perut, dan dada. Hembusan angin mengiringi tibanya serangannya yang dikerahkan dengan tenaga dalam.
"He he he...!" Luwing Sewu tertawa terkekeh. Tongkatnya segera diselipkan ke ketiak kanan. Kemudian dengan kedudukan dan gerakan tangan yang sama seperti Ki Tambak Raga, dipapaknya serangan itu.
Prattt!
"Aaakh...!" Ki Tambak Raga mengeluarkan jeritan menyayat. Tubuhnya yang memakai jubah putih terpental beberapa langkah ke belakang.
Sementara tubuh Luwing Sewu tampak hanya terguncang-guncang. Mulutnya tertawa terkekeh-kekeh melihat lawannya berhasil menjejak ke tanah dengan sempurna.
"Bedebah...!" Ki Tambak Raga mendengus kesal seraya menatap kedua telapak tangannya yang memerah sebatas pergelangan. Namun dengan cepat warna merah akibat benturan itu menjalar ke atas.
Ki Tambak Raga segera mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir hawa beracun yang diduga akibat ilmu 'Telapak Tangan Darah' lawannya. Usaha Ki Tambak Raga sia-sia. Warna merah itu tetap terus menjalar ke atas.
Kala Tungging dan Eyang Ranggalawe tahu apa artinya itu. Mereka merasa tegang. Kalau Ki Tambak Raga saja dalam segebrakan dibuat terluka dan dalam keadaan terancam maut, apalagi mereka?
Namun tidak demikian halnya dengan Dewa Arak Pemuda berambut putih keperakan itu langsung melompat mengirimkan serangan mematikan ke arah Luwing Sewu. Namun hanya dengan kibasan-kibasan tangannya, kakek bongkok itu memaksa Dewa Arak untuk melompat mundur karena tak tahan mencium bau amis yang memuakkan berasal dari racun jahat yang dikeluarkan Luwing Sewu.
"He he he...!" Luwing Sewu tertawa terkekeh-kekeh. "Ayo, siapa lagi yang ingin ikut bertamasya ke akherat bersama Tambak Raga?! Silakan maju!"
"Aku, Luwing!" sambut sebuah suara dengan suara menggigil seperti merasa kedinginan, mendahului Dewa Arak dan yang lain-lain "Lagi-lagi kau, Tua Bangka Gila! Dasar nasibku yang kurang baik!"
Setelah berkata demikian dengan sikap gentar yang tidak dapat disembunyikan, Luwing Sewu melesat kabur dari situ. Dan sesaat kemudian, di tempat itu telah berdiri seorang kakek kecil kurus yang selalu tertawa cekikikan. Sepasang matanya tampak berputar-putar liar.
Dewa Arak merasakan debaran tegang dalam jantungnya. Dirinya tidak tahu sama sekali, darimana dan bagaimana kakek kecil itu muncul. Tahu-tahu saja telah berada di antara mereka. Suatu kenyataan yang membuktikan bahwa kakek yang tampak kurang waras itu memiliki ilmu peringan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Masih dengan tawa cekikan dan sepasang mata berputaran liar, kakek kecil kurus itu menghampiri Ki Tambak Raga yang tengah mengerahkan tenaga dalam menahan menjalarnya hawa beracun. Kemudian, ditepuknya punggung kakek berjenggot panjang itu sekali. Seketika warna merah yang menjalar di sekujur tangan Ki Tambak Raga, perlahan-lahan memudar dan akhirnya lenyap sama sekali.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat," ucap Ki Tambak Raga dengan perasaan kagum yang tidak dapat disembunyikan.
"He he he...! Siapa menolong siapa?! Aku hanya mencoba bertanggung jawab memberikan pertolongan pada orang yang telah berusaha menolong anakku. Kau Tambak Raga, kan? Aku telah sering mendengar namamu. Aku bersyukur kau tidak membenci anakku sekalipun dia berasal dari keluarga yang terbuang sepertiku. Memang, pesan leluhur kita tidak keliru, ilmu-ilmu larangan itu sangat berbahaya. Hanya akan membuat kesadaran kita lenyap. Ilmu larangan itu membuat orang yang mempelajarinya menjadi kurang waras. Kau lihat aku, he he he...! Juga anakku...? Kami adalah saksi nyata betapa berbahayanya ilmu-ilmu larangan itu. Keinginannya untuk menjadi prajurit kerajaan semakin membuatnya parah dalam kegilaan. Keadaan itu dipergunakan baik-baik oleh orang yang punya sifat jahat... Selamat tinggal, Tambak Raga!"
Tanpa memberi kesempatan pada Ki Tambak Raga untuk berbicara, kakek kecil kurus itu menyambar tubuh Satria Sinting, lalu melesat dari situ. Hanya dalam beberapa kali lesatan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
"Itulah orang sakti yang pernah kuceritakan, Dewa Arak. Tokoh aneh yang tempat tinggalnya tiada yang tahu...," ucap Eyang Ranggalawe lirih.
Dewa Arak hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Dia masih belum bersemangat untuk berbicara. Hatinya masih diliputi kebingungan dan heran dengan kejadian-kejadian yang baru saja dialami. Bahkan Kala Tungging pun telah kehilangan gairah untuk bertempur. Mereka mengarahkan pandangan ke arah perginya kakek kecil kurus dengan tatapan kosong....
SELESAI
Selanjutnya,