Dewa Arak - Si Linglung Sakti

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Si Linglung Sakti Karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak - Si Linglung Sakti

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
Malam itu langit kelihatan cerah. Tidak ada awan yang menggantung. Bulan yang bersinar penuh di angkasa menambah terang suasana persada. Terang dan hening.

Namun keheningan itu tidak berlangsung lama. Bunyi lecutan cambuk, derap kaki kuda, dan gemeretak roda kereta telah mengganggu malam yang begitu indah. Sesaat kemudian, muncullah sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda.

Beberapa lelaki gagah berkuda mengiringi kereta. Mereka berjumlah dua belas orang. Enam di depan, empat di belakang, dan masing-masing satu orang di kanan dan kiri kereta. Semuanya menunggangi kuda-kuda pilihan.

"Hooop...!"

Penunggang kuda terdepan yang berkumis melintang, tiba-tiba mengangkat tangan kanannya ke atas. Sedangkan tangan kirinya menarik tali kekang kuda hingga langkahnya terhenti. Iring-iringan yang berada di belakangnya jadi ikut berhenti.

"Kita beristirahat di sini dulu," ujar lelaki berkumis melintang yang menjadi kepala rombongan. Binatang tunggangannya dibalikkan menghadap rombongan.

Usai lelaki berkumis melintang mengeluarkan perintah, kesibukan pun langsung terjadi. Belasan lelaki gagah yang mengenakan seragam prajurit berlompatan dari punggung kuda. Gerakan mereka cukup gesit dan lincah. Terutama lelaki berkumis melintang.

Tanpa banyak bicara, rombongan prajurit itu segera bertindak. Kereta mereka ditaruh di tempat yang terlindung, di tengah-tengah. Sedangkan di empat penjuru, mereka berjaga. Ini dimaksudkan agar bila ada serangan dari arah mana pun, akan berhadapan dengan para prajurit terlebih dahulu. Kusir kereta itu seorang pemuda yang bertubuh kekar dan tegap. Ia ikut berjaga-jaga meskipun dia bukan seorang prajurit.

Setelah mengawasi semua persiapan rombongannya, lelaki berkumis melintang lalu masuk ke sebuah tenda kecil untuk beristirahat. Tapi, baru saja sepasang matanya dipejamkan, tiba-tiba dibukanya kembali dengan cepat. Lelaki itu melompat dari pembaringan dan melesat ke luar tenda.

"Ada apa, Sancaka?" tanya seorang prajurit yang merasa heran melihat lelaki berkumis melintang itu keluar dari tendanya kembali.

"Kau dengar bunyi burung hantu saling bersahutan?" lelaki berkumis melintang malah mengajukan pertanyaan.

Prajurit itu mengangguk.

"Celaka!" seru lelaki berkumis melintang yang bernama Sancaka. "Musuh telah berada di sekeliling kita. Semuanya waspada!"

Baru saja ucapan Sancaka selesai, terdengar bunyi berkerosakan. Dari atas pohon dan semak-semak di sekitar tempat itu keluarlah sosok-sosok bayangan. Senjata telanjang terhunus di tangan mereka.

Tanpa memberikan kesempatan sedikit pun, sosok-sosok yang keluar dari tempat tersembunyi itu segera menyerbu. Para prajurit di bawah pimpinan Sancaka langsung menyambutnya. Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi.

Malam yang semula hening kini riuh rendah oleh bunyi dentang senjata beradu, yang dibarengi dengan teriakan-teriakan keras. Sesaat kemudian, jeritan menyayat pun terdengar. Seorang anak buah Sancaka telah menjadi korban.

Kelompok penyerang yang meskipun hanya berjumlah empat orang, namun rata-rata berkepandaian tinggi. Mereka tidak mengalami kesulitan untuk membunuh lawan-lawannya. Padahal, masing-masing dari mereka paling sedikit menghadapi tiga orang lawan.

Hanya dalam waktu singkat yang masih bisa bertahan cuma lelaki berkumis melintang. Meskipun demikian, pimpinan rombongan itu tidak gentar. Ia terus mengadakan perlawanan sengit. Tapi, tetap saja Sancaka terdesak.

Sementara tiga orang penyerbu yang sudah tidak mendapat lawan lagi, dengan langkah tenang dan tertawa-tawa menghampiri kereta. Kereta itu sudah tidak ada yang menjaga lagi. Kecuali si Kusir kereta yang sejak pertempuran terjadi menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan. Ia tidak berani menyaksikan jalannya pertarungan.

"Keparat! Pengecut-pengecut hina. Jangan ganggu kereta itu. Kalau kalian berani, hadapi aku!" seru Sancaka kalap melihat tiga lawannya bergerak mendekati kereta.

Tindakan itu harus dibayar mahal oleh lelaki berkumis melintang. Perhatiannya jadi terpecah meskipun hanya sebentar. Tapi karena kedudukannya yang tengah terjepit, sebuah sabetan pisau lawan merobek lehernya. Nyawa Sancaka pun langsung melayang.

Kemudian, tanpa mempedulikan korbannya, lawan Sancaka yang mengenakan pakaian berkembang-kembang seperti pakaian wanita itu berjalan menghampiri kereta.

Salah seorang dari tiga lelaki berpakaian kembang, mengulurkan tangan kiri, mencengkeram baju sang Kusir kemudian melemparkannya dengan mudah laksana membuang kain basah, membuat sang Kusir pingsan seketika.

Tiba-tiba lelaki berwajah hitam itu berlari mengejar dua orang penumpang kereta. Memang, di saat belasan prajurit pengawal bertarung dengan empat lelaki berpakaian kembang-kembang, penumpang kereta yang adalah dua orang wanita itu mengintai jalannya pertarungan dari dalam kereta kuda. Melihat kenyataan kalau para penyerang jauh lebih kuat, mereka keluar dari kereta dan melarikan diri.

"He he he...! Mau lari ke mana, Manis?!" tanya lelaki berwajah hitam ketika berhasil menghadang mereka.

"He he he...!" tiga orang kawan lelaki berwajah hitam yang tidak ikut mengejar hanya memperhatikan dengan tertawa-tawa.

"Keparat busuk!"

Salah seorang wanita, yang muda dan cantik, menusukkan pedangnya yang dipegang dengan tangan kiri. Tangan kanannya menuntun wanita yang lebih tua. Senjata tajam itu cepat ditusukkan ke arah leher.

"Rupanya kau memiliki kepandaian juga, Manis? Tapi jangan harap kau dapat menang dariku?"

Sambil berkata demikian, lelaki berwajah hitam memiringkan kepala. Serangan itu berhasil dielakkan. Lalu secepatnya tendangan kaki kanannya meluncur menuju perut lawan.

Buk! Telak dan keras sekali kaki lelaki berwajah hitam mendarat di sasaran. Tubuh wanita cantik berpakaian indah itu sampai terlempar dan jatuh bergulingan di tanah.

"Jangan sakiti dia...!" seru wanita yang lebih tua. Ia bergerak menghadang langkah lelaki berwajah hitam yang akan menghampiri si Wanita muda.

"Minggir kau, Tua Bangka Jelek!"

Tanpa menaruh rasa kasihan sedikit pun, lelaki berwajah hitam mengulurkan tangan menangkap tubuh wanita tua itu, lalu dibantingnya dengan keras hingga terdengar bunyi berdebuk.

"Ibuuu...!" Wanita muda berwajah cantik dengan agak terbungkuk karena masih merasakan sakit pada perutnya berlari mendekati ibunya. Tapi, sebelum maksudnya terlaksana, sebuah tangan kuat telah menarik pakaiannya.

"Rupanya kau tidak sabar menunggu giliran, Anak Manis?!" ucap lelaki berwajah hitam sambil mendekatkan wajah si Gadis ke wajahnya. Setelah mengangkat tubuh gadis itu dengan sebelah tangan, karena lelaki berwajah hitam itu mempunyai tubuh yang jauh lebih tinggi dan kuat.

"Jangan makan sendirian saja, Dusena!" seru salah seorang dari tiga lelaki berpakaian kembang-kembang yang bertubuh pendek kekar.

"Jangan khawatir," ucap lelaki berwajah hitam. "Tapi, kalian makan saja dulu ini!"

Dusena mengayunkan kaki menendang tubuh wanita setengah baya yang masih meringkuk kesakitan di tanah. Tubuh wanita malang itu pun melayang ke arah tiga lelaki berpakaian kembang. Untung, Dusena tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

"Siapa sudi daging yang sudah alot!" sergah lelaki pendek kekar sambil mendengus. Tangannya memapaki tubuh yang meluncur ke arahnya. Terdengar bunyi berderak keras ketika kepala wanita setengah baya itu pecah berantakan terkena hantaman tangannya.

"Ibuuu...!" Wanita cantik jelita itu menjerit keras melihat nasib yang menimpa ibunya. Tapi jeritannya hanya sampai di situ saja. Mulutnya telah ditutup dengan buas oleh mulut lelaki berwajah hitam, yang menciuminya dengan penuh nafsu. Tidak hanya mulut saja, tapi juga pipi dan hidungnya.

Brettt!

Bunyi kain robek terdengar ketika tangan lelaki berwajah hitam merenggut baju si Wanita cantik hingga robek dari leher sampai ke pusar.

Dengan napas memburu Dusena mencampakkan tubuh wanita cantik itu ke tanah, ia segera melepas bajunya dan bersiap untuk menggagahi. Namun mendadak terdengar bunyi geraman yang sangat keras, seperti auman harimau.

Akibatnya hebat bukan main! Dusena dan ketiga kawannya merasakan sekujur tubuh mereka tergetar hebat. Bahkan, kedua kaki mereka menggigil keras. Tanpa dapat ditahan lagi ketiga orang itu ambruk ke tanah.

Sebelum Dusena sempat berbuat sesuatu, terasa angin dingin berdesir. Di sebelahnya telah berdiri si kusir kereta yang tadi dicampakkannya. Kali ini sikap dan keadaan lelaki bertubuh kekar itu amat jauh berbeda dengan sebelumnya. Wajahnya tampak beringas. Sepasang matanya menatap liar penuh nafsu membunuh!

Kusir kereta itu mengangkat tubuh wanita cantik jelita dengan cara luar biasa. Cepat bukan main gerakannya, sehingga Dusena yang berada di dekatnya tidak melihat bagaimana lelaki kekar itu bergerak. Tahu-tahu tubuh wanita itu telah berada di bahu kanannya.

"Sukaesih...Ah, Sukaesih," desah kusir kereta seraya mengelus-elus tubuh wanita cantik yang ada di pondongannya dengan penuh kasih.

Tentu saja tindakan kusir kereta itu membuat wanita cantik jelita yang sudah hampir pingsan akibat tindakan Dusena, jadi tak sadarkan diri.

Tapi si Kusir kereta tidak mempedulikan hal itu. Perhatiannya dialihkan pada Dusena yang masih setengah berlutut di tanah karena belum dapat menghilangkan pengaruh geraman tadi. Lelaki kekar itu mengayunkan kakinya ke arah kepala Dusena dengan telak dan keras. Maka, tanpa dapat bersambat lagi, nyawa lelaki berwajah hitam itu melayang ke akherat dengan kepala pecah.

"Dusena...!" Ketiga rekan lelaki berwajah hitam berseru kaget. Dengan teriakan-teriakan marah, ketiganya bangkit dan meluruk ke arah sang Kusir dengan senjata di tangan. Saat itu, pengaruh teriakan yang membuat sekujur tubuh mereka lemas telah berangsur lenyap.

Desir angin tajam mengiringi tibanya serangan golok ketiga orang berpakaian kembang. Tapi, sang Kusir yang dijadikan sasaran serangan hanya mendengus tanpa memberikan tanggapan. Ia tidak mengelak maupun menangkis serangan itu.

Tak, tak, tak!

Tiga rekan Dusena memekik kaget. Mata-mata golok yang berhasil mendarat di tubuh sang Kusir tidak mampu melukai kulitnya, hanya merobek pakaian. Bahkan, golok-golok itu terpental balik dan tangan mereka terasa sakit. Tubuh lelaki kekar itu bagaikan terbuat dari karet yang keras dan kenyal.

Kenyataan itu membuat tiga lelaki berpakaian kembang-kembang kaget bukan main. Mereka tidak tahu kalau sang Kusir memiliki tenaga dalam sangat kuat kulit tubuhnya tidak mampu tertembus golok. Namun, perasaan itu hanya sebentar saja menghinggapi mereka.

Saat berikutnya, ketiganya mengeluarkan jeritan menyayat ketika dengan kecepatan yang luar biasa, sang Kusir mendaratkan jari telunjuknya pada dahi mereka, hingga berlubang. Nyawa tiga rekan Dusena itu pun melayang.

* * *

"Suhita...! Suhita, bangun...! Jangan mati, Suhita...! Aku takut...!"

Wanita cantik jelita berpakaian jingga yang tadi hampir menjadi korban kebiadan nafsu Dusena, mengguncang-guncang tubuh kusir kereta yang tergolek di tanah. Suara wanita itu terdengar penuh ketakutan. Kepalanya ditolehkan ke sana kemari dengan sepasang mata liar menatap ke sekelilingnya.

"Uhhh...," terdengar keluhan dari mulut kusir kereta. Matanya mengerjap-ngerjap, membuat wanita berpakaian jingga tersenyum lega.

"Apa yang terjadi, Nona? Ah, kau tidak apa-apa? Syukurlah.... Aku khawatir sekali tadi. Mereka jahat dan kejam sekali. Dan... eh..., siapa yang membunuh mereka, Nona?" tanya Suhita linglung, kusir kereta itu kelihatan kaget sekali melihat tubuh-tubuh lelaki berpakaian kembang-kembang bergeletakan di tanah tidak bernyawa.

Wanita berpakaian jingga mengerutkan alisnya yang indah mendengar jawaban itu. "Kau tidak usah berpura-pura, Suhita. Bukankah kau yang telah membunuh mereka?!"

"Aku?!" Suhita membelalakkan sepasang matanya yang masih kelihatan linglung. "Aku yang membunuh mereka, Nona? Apakah kau tidak main-main? Bagaimana mungkin aku bisa membunuh mereka yang berkepandaian tinggi? Sedangkan para prajurit saja dapat mereka kalahkan, apalagi aku yang tidak memiliki kepandaian apa pun. Bukankah kau melihat sendiri aku juga pingsan? Orang yang berwajah hitam itu telah melempar aku seperti membuang sehelai kain basah. Tapi...."

"Tapi apa, Suhita?" tanya wanita berpakaian jingga melihat Suhita menghentikan ucapannya dengan wajah kelinglungan.

"Ti... tidak ada apa-apa, Nona," Suhita menggeleng-gelengkan kepala cepat. "Tapi yang jelas, bukan aku yang telah membunuh mereka. Percayalah, Nona. Aku tidak mempunyai kepandaian silat sedikit pun."

Wanita berpakaian jingga tidak mendesak lagi. Dia hanya menghela napas berat untuk menghempaskan kekecewaannya karena Suhita tidak mau berterus terang.

"Baiklah, Suhita. Kalau kau tidak percaya padaku, tidak mengapa. Yang penting, sekarang temani aku pulang."

"Tapi, Nona.... Bukankah Tuan Besar menyuruh Nona pergi, dan tidak usah kembali ke sana lagi karena sangat berbahaya? Tujuan kita adalah tempat kediaman paman Nona," Suhita mencoba membantah.

"Untuk apa aku ke sana kalau hanya sendirian, Suhita? Lagi pula aku harus mengabarkan kejadian ini pada ayahku. Setidaknya Ayah harus tahu kalau pelaku kekejian ini adalah Perguruan Lembah Seribu Bunga," wanita berpakaian jingga bersikeras pada keinginannya.

"Tapi...."

"Sudahlah, Suhita. Kau tinggal pilih, mau ikut atau tidak? Jika tidak, biar aku pergi sendiri!" tandas wanita berpakaian jingga agak kesal.

"Tentu saja aku akan ikut denganmu, Nona. Tapi, perjalanan yang telah kita tempuh cukup jauh. Akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali. Paling tidak kita akan sampai di rumah menjelang siang. Dan...."

"Aku tidak peduli!" ujar wanita berpakaian jingga. "Yang penting, kita harus beritahukan kejadian ini pada Ayah!"

Suhita mengangkat bahu mendengar kata-kata majikan mudanya. Sesaat kemudian, Suhita dan wanita berpakaian jingga telah memacu kudanya kembali ke arah semula. Tentu saja setelah terlebih dulu mengubur mayat-mayat para prajurit dan ibunya.

* * *

Matahari telah bergeser mendekati tengah hari. Sinarnya memancar cukup terik. Tapi semua itu tidak dipedulikan sesosok tubuh ramping berpakaian hijau. Ia berdiri tegak dan bertolak pinggang di sebuah jalan tanah berdebu di kaki gunung. Pada kanan kiri jalan terdapat tebing yang menjulang tinggi ke atas bagai tiang-tiang alam yang hendak menggapai langit.

Sosok berpakaian hijau yang ternyata seorang wanita muda berwajah cantik dan berambut dikuncir itu menatap ke depan tanpa berkedip. Sepasang matanya berseri ketika melihat sesuatu bergerak di depan sana. Pedang yang tergantung di punggung segera dicabutnya.

Srat!

Sinar yang menyilaukan mata berpendar ketika pedang itu keluar dari sarungnya. Tidak terlihat bentuk senjata itu, hanya seleret sinar putih menyilaukan. Bentuk sesuatu di depan sana semakin lama semakin tampak jelas. Ternyata serombongan orang yang terdiri dari para prajurit dan orang-orang rimba persilatan. Sebagian di antara mereka berkuda, sisanya berjalan kaki.

Rombongan yang terdiri dari pasukan kerajaan dan orang-orang persilatan itu melihat wanita berpakaian hijau yang berdiri menghadang jalan. Seorang berpakaian panglima segera memberi tanda pada anggota rombongan untuk berhenti. Mereka berada lima tombak dari wanita berpakaian hijau.

"Menyingkirlah, Gadis Kecil! Kami ingin lewat. Apakah kau telah mempunyai nyali demikian besar sehingga berani menghadang perjalanan pasukan kerajaan?" ujar panglima bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat.

"Aku tidak akan menyingkir sebelum kalian membebaskan ayahku. Dan membalas dendam atas kekejian yang telah kalian lakukan pada keluargaku!" tandas wanita berpakaian hijau seraya menudingkan jari telunjuknya pada sesosok tubuh tegap lelaki setengah baya, yang duduk di atas punggung kuda. Kedua tangannya diikat ke belakang. Lelaki setengah baya itu berada di tengah-tengah rombongan. Jelas, ia adalah tawanan.

"Ha ha ha...!" Panglima bercambang bauk lebat tertawa bergelak hingga dadanya berguncang-guncang. "Jadi... kau putri pemberontak keparat ini? Sungguh kebetulan. Kami tidak perlu repot-repot mencarimu. Tangkap dia!" seru lelaki tinggi besar itu dari atas punggung kudanya.

Tanpa menunggu perintah dua kali, para prajurit yang tidak menunggang kuda meluruk ke arah wanita berpakaian hijau dengan senjata di tangan. Hanya dalam sekejap wanita berpakaian hijau sudah terkurung.

Teriakan-teriakan keras yang dikeluarkan enam orang prajurit terdengar saat mengayunkan golok ke berbagai bagian tubuh wanita berpakaian hijau. Tapi, serangan-serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Wanita berpakaian hijau itu berhasil mengelakkan setiap serangan. Tubuhnya menyelinap di antara hujan serangan lawan.

Kemudian, sekali pedang di tangannya digerakkan, terdengar jeritan kesakitan lawan. Para prajurit itu berjatuhan satu persatu. Hingga dalam waktu singkat saja sudah tiga orang prajurit tergeletak di tanah tanpamampu bangun lagi untuk selamanya.

"Keparat! Wanita liar itu ternyata lihai juga!" geram panglima bercambang bauk lebat marah.

"Tidak akan lama lagi tiga orang prajuritmu itu pun akan menyusul rekan-rekannya, Panglima," ucap kakek berambut panjang putih dan memiliki wajah mirip kuda. Ia duduk di atas punggung kuda di sebelah kiri panglima. Nada ucapannya terdengar penuh keyakinan dan kesombongan.

"He he he...!" Lelaki pendek gemuk dan berperut gendut yang mukanya selalu tampak tersenyum, terkekeh-kekeh. Sungguh pun demikian, terlihat kalau dia mendukung ucapan kakek berwajah mirip kuda. Lelaki pendek gemuk yang perutnya tidak tertutup rompi coklat yang dikenakannya itu, duduk di atas punggung kuda di sebelah kanan panglima. Usianya sekitar empat puluh lima tahun.

DUA

Panglima bercambang bauk lebat menggeram keras. "Rupanya wanita liar itu ingin merasakan kelihaian pasukan khusus kerajaan!" usai berkata demikian, lelaki tinggi besar itu menoleh ke belakang untuk memberi perintah pada para perwira yang berada di belakangnya.

"Tidak usah, Panglima," cegah kakek bermuka kuda tenang. "Biar aku yang menghadapi dan menangkap kuda betina liar itu. Bukankah kita harus segera tiba di istana untuk menghukum mati pemberontak keparat itu?!"

Tanpa menunggu jawaban panglima bercambang bauk lebat, kakek bermuka kuda melompat dari punggung kuda. Tubuhnya bersalto beberapa kali di udara, dan mendarat di tanah satu tombak di hadapan wanita berpakaian hijau yang masih mengamuk.

"Mundurlah kalian!" ucap kakek bermuka kuda seraya menjulurkan kedua tangannya ke depan.

Akibatnya membuat para prajurit, panglima, dan perwira-perwira pasukan khusus kerajaan terkejut serta takjub. Tubuh tiga prajurit yang tengah bertarung, tiba-tiba tertarik ke belakang seperti ada tangan tidak nampak yang menarik tubuh mereka. Tapi ini malah menguntungkan tiga prajurit itu. Karena di saat yang bersamaan wanita berpakaian hijau membabatkan pedangnya.

Kalau tubuh mereka tidak tertarik ke belakang oleh tindakan kakek bermuka kuda, nyawa mereka pasti telah melayang ke alam baka. Pedang wanita berpakaian hijau akan merobek perut mereka. Tanpa membantah sedikit pun, tiga prajurit itu berlari kembali ke kelompoknya dengan menyeret kawan-kawan mereka yang tewas. Kini, wanita berpakaian hijau berdiri berhadapan dengan kakek bermuka kuda.

"Srini...! Cepat lari...! Tinggalkan tempat ini. Jangan coba-coba menolongku.... Cepat, tinggalkan tempat ini!"

Lelaki setengah baya yang menjadi tawanan berteriak-teriak khawatir. Melihat putrinya hendak bertarung dengan kakek bermuka kuda yang diketahui berilmu sangat tinggi, ia merasa cemas akan keselamatan anaknya itu.

Tapi wanita berpakaian hijau yang bernama Srini ternyata mempunyai sifat keras kepala. Sambil menyilangkan pedangnya di depan dada, kepalanya digelengkan. "Tidak, Ayah! Aku tidak akan pergi dari sini kalau tidak bersama denganmu. Aku tidak takut mati!"

Srini lalu meluruk maju dengan tusukan pedang ke arah leher kakek bermuka kuda. Angin bercicit tajam mengiringi tibanya serangan itu. Tapi, kakek bermuka kuda hanya mendengus mengejek. Dia menjejakkan kaki hingga tubuhnya melayang ke atas. Dan begitu meluncur turun, kedua kakinya mendarat di batang pedang Srini!

Srini terkejut melihat pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang menakjubkan itu. Seluruh tenaganya dikerahkan untuk membuat tubuh lawan terpental. Pedangnya disentakkan secara tiba-tiba ke atas. Namun, usahanya sia-sia. Jangankan membuat kakek bermuka kuda terpental, pedangnya bergeming pun tidak. Tubuh kakek itu ternyata berat sekali. Pedang Srini sampai tertekan ke bawah.

Rupanya, kakek bermuka kuda itu mengerahkan tenaga dalam untuk memberatkan tubuhnya. Srini sadar tidak ada gunanya meneruskan maksudnya. Maka, sarung pedang yang tersampir di punggung diambil dan ditusukkan ke arah selangkangan kakek bermuka kuda ini.

Kakek bermuka kuda menggenjot kakinya seraya mengerahkan tenaga dalam. Tubuhnya terlonjak ke atas. Dan, tubuh Srini terhuyung ke depan terbawa genjotan kaki lawan. Saat itu, kakek bermuka kuda melancarkan tendangan kaki kanan ke kepala Srini.

Buk!

Meskipun Srini telah berusaha mengelak, namun karena serangan itu meluncur dengan cepat, tidak urung pundak kanannya kena tendangan juga. Tak pelak lagi, sambungan tulang bahunya pun lepas. Pedang yang tergenggam di tangan terlempar. Malah, saking kerasnya serangan itu mendarat, tubuh Srini sampai terbanting ke tanah dan bergulingan.

Kakek bermuka kuda yang bermaksud melenyapkan nyawa Srini bergegas memburu untuk melancarkan serangan susulan. Tapi....

"Branta Wali...! Sungguh kau tidak tahu malu. Beraninya hanya menghadapi gadis ingusan. Ayo, hadapi aku! Tua berhadapan dengan tua!"

Seruan keras yang dikeluarkan dengan mengerahkan tenaga dalam bergema ke sekitar tempat itu. Tidak hanya kakek bermuka kuda bernama Branta Wali saja yang terkejut, tapi juga semua anggota rombongan. Termasuk Srini, gadis berpakaian hijau.

Sepuluh tombak dari tempat itu tampak berdiri dengan tenang seorang kakek kecil kurus bermata satu. Di tangan kanannya tergenggam sebuah kebutan.

"Guru...!" seru Srini kaget bercampur gembira melihat orang yang telah menyelamatkannya dari ancaman maut Branta Wali. Gadis berpakaian hijau itu menghambur ke arah gurunya dan memberi hormat.

"Kau terlalu gegabah Srini!" tegur kakek bermata satu. Dibelai-belainya rambut Srini dengan penuh sayang. "Kenapa tidak menungguku?"

"Aku tidak sabar lagi, Guru. Lagi pula, kupikir Guru masih lama selesai dari semadinya. Jadi aku pergi lebih dulu dan meninggalkan surat untukmu."

Kakek bermata satu menggeleng-gelengkan kepala. Diam-diam dia bersyukur karena segera menyusul ketika melihat muridnya tidak ada, dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang isinya memberitahukan kepergiannya untuk membebaskan ayahnya. Terlambat sedikit saja, nyawa Srini tentu sudah melayang ke akherat.

"Kiranya kau, Resi Sindu Laga," ujar Branta Wali mengenali kakek bermata satu, setelah memperhatikannya beberapa saat.

"Benar, Branta Wali." Resi Sindu Laga mengangguk. "Rupanya meskipun telah menjadi penjilat pantat raja lalim, kau masih mempunyai mata yang cukup awas."

"Tutup mulutmu, Sindu Laga!" sergah Branta Wali keras. Sepasang matanya membelalak marah mendengar ejekan kakek bermata satu. "Terimalah ajalmu!"

Branta Wali menerjang Resi Sindu Laga dengan pukulan kedua tangannya secara bertubi-tubi. Sasarannya adalah dada, ulu hati, dan perut. Angin serangan ke luar dari dorongan tenaga dalam cukup tinggi.

Srini yang melihat serangan berbahaya itu segera menjauh. Sedangkan Resi Sindu Laga cepat menyimpan kebutannya di pinggang. Ia memapaki serangan itu dengan jari-jari tangan terkepal.

Buk, buk, buk!

Benturan terdengar berkali-kali ketika dua pasang tangan terkepal itu bertemu. Setiap kali terjadi benturan, tubuh Branta Wali tergetar hebat. Malah, pada benturan terakhir dia terhuyung-huyung ke belakang dengan mulut menyeringai kesakitan.

Branta Wali menggeram keras karena marah dan penasaran. Dia tahu Resi Sindu Laga memiliki tenaga dalam di atasnya. Itu diketahui dari benturan yang terjadi. Begitu berhasil memperbaiki kedudukan tubuhnya yang terhuyung-huyung, senjatanya yang unik berupa sepasang sumpit dari gading gajah segera dikeluarkan.

Resi Sindu Laga yang tahu kelihaian lawan tidak mau kalah. Dengan kebutan di tangan kanan disambutnya serangan Branta Wali. Pertarungan sengit pun kembali berlangsung. Branta Wali yang tengah dilanda rasa penasaran mengerahkan seluruh kemampuannya untuk melakukan penyerangan. Sepasang sumpit di tangannya berubah menjadi sinar-sinar putih berkitaran, menyambar-nyambar ke berbagai bagian tubuh Resi Sindu Laga.

Tapi Resi Sindu Laga bukan orang sembarangan. Tanpa kesulitan, setiap serangan sumpit Branta Wali dapat dipatahkannya. Bahkan dia mampu mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat.

Kebutan di tangannya terkadang lemas, hingga dapat dipergunakan untuk melibat maupun mengebut. Tapi, tak jarang bulu-bulu kebutan itu menegang kaku memapaki serangan sumpit lawan.

Hanya dalam waktu singkat pertarungan telah berlangsung lima puluh jurus lebih. Menginjak jurus kelima puluh lima Branta Wali mulai terdesak. Kakek bermuka kuda itu sekarang hanya dapat bermain mundur. Serangan-serangan jauh berkurang. Yang banyak dilakukan Branta Wali hanya mengelak dan menghindar. Menangkis jarang dilakukannya.

Prat!

"Akh!" Branta Wali memekik kesakitan ketika kebutan Resi Sindu Laga menampar pundak kanannya. Baju dan kulit di bagian itu pun koyak. Darah mengalir ke luar. Seketika itu pula tangan kanan kakek bermuka kuda lumpuh. Sumpit di tangannya terlepas.

Khawatir akan ada serangan susulan di saat keadaannya tidak menguntungkan, Branta Wali melempar tubuhnya ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara menjauhi lawan. Pada saat yang bersamaan, lelaki pendek gemuk yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan dengan wajah cerah dan mulut tersenyum, melompat dari punggung kuda.

"Akulah lawanmu, Resi Sindu Laga," ujar lelaki pendek gemuk sambil tertawa terkekeh. Lelaki berperut gendut itu berada di antara Resi Sindu Laga dan Branta Wali.

Keberadaan lelaki pendek gemuk membuat Resi Sindu Laga mengurungkan niatnya untuk melancarkan serangan lanjutan pada Branta Wali.

"Siapa kau?" tanya Resi Sindu Laga. Kebutannya ditudingkan ke arah lawan. Dengan mengerahkan tenaga dalam, bulu-bulu kebutannyamenegang kaku.

"He he he...!" Lelaki pendek gemuk kembali terkekeh hingga perut gendutnya bergoyang-goyang. Tawanya kelihatan biasa saja. Tapi tidak demikian halnya yang dirasakan Resi Sindu Laga. Dadanya tergetar hebat seperti kena pukul.

Kenyataan ini membuat kakek bermata satu itu berdebar tegang. Dia tahu, lelaki pendek gemuk ini memiliki kepandaian amat tinggi dan kemungkinan besar berada di atasnya. Suara tawanya saja mampu mengguncangkan dadanya. Perasaan khwatir pun berkecamuk di hati Resi Sindu Laga. Bukan mencemaskan keselamatannya, tapi muridnya. Rombongan pasukan kerajaan itu ternyata memiliki banyak orang pandai.

"Srini...! Pergilah kau...! Tinggalkan tempat ini. Biar aku yang akan membebaskan ayahmu!" seru kakek bermata satu pada muridnya.

Srini merasa heran mendengar perintah itu. Tapi, dia tahu gurunya tidak akan berkata begitu kalau tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkannya. Maka, Srini tidak berani membantah. Dia pun tadi sempat merasakan kedua kakinya menggigil ketika lelaki pendek gemuk tertawa. Padahal, suara tawa yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam itu tidak ditujukan kepadanya, tapi pada gurunya.

Srini membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu. Tapi, panglima bercambang bauk tidak membiarkan hal itu terjadi. Diperintahnya para perwira untuk mencegah Srini kabur. Resi Sindu Laga tidak berpangku tangan ketika melihat para perwira kerajaan dan juga Branta Wali mencegat perjalanan muridnya. Dia segera bergerak untuk menahan mereka. Tapi tiba-tiba terdengar bunyi tawa terkekeh. Dan, di depannya telah berdiri lelaki pendek gemuk.

"Mau ke mana, Sindu Laga?" tanya lelaki itu tanpa meninggalkan kebiasaan tertawanya. "Bukankah kau belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang kau ajukan padaku?"

Resi Sindu Laga menggertakkan gigi menahan perasaan geramnya. Apalagi ketika dilihatnya, Srini gagal melarikan diri karena Branta Wali telah mencegat jalannya. Wanita berpakaian hijau itu tengah menghadapi keroyokan tiga orang perwira kerajaan yang merupakan anggota pasukan khusus.

Resi Sindu Laga sadar kalau lelaki pendek gemuk tidak segera dirobohkan, dia tidak akan pernah bisa menolong muridnya. Tanpa menunggu lebih lama, kakek itu melompat menerjang lelaki pendek gemuk dengan tusukan kebutannya ke arah ubun-ubun dan sepasang mata lawan.

Lelaki pendek gemuk tertawa terkekeh. Kedua tangannya yang terbuka didorongkan ke depan. Maka, serangkum hembusan angin kuat pun menyerbu Resi Sindu Laga, membuat bulu-bulu kebutan yang semula menegang kaku melemas kembali. Dengan sendirinya, serangan Resi Sindu Laga pun pupus.

Tidak hanya itu saja yang diderita Resi Sindu Laga. Dadanya terasa sesak bukan main. "Ilmu 'Pukulan Gelombang Laut'," desah Resi Sindu Laga terkejut.

"Kaget, Sindu Laga?" tanya lelaki gemuk tetap dengan wajah cerah. "Memang. Aku salah seorang ahli waris Perguruan Laut Mati."

"Tidak mungkin. Perguruan Laut Mati sudah lama musnah. Aku tahu betul tentang itu. Ramuji, keturunan terakhir Perguruan Laut Mati tidak memiliki ilmu itu. Ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' musnah sejak generasi di atas Ramuji tidak ada!" bantah Resi Sindu Laga yang yakin tahu betul tentang Perguruan Laut Mati.

"Ramuji memang tidak memiliki ilmu khas Perguruan Laut Mati, Sindu Laga. Tapi aku memilikinya. Akulah ahli waris Perguruan Laut Mati. Menyerahlah. Tidak ada gunanya kau melakukan perlawanan. Kau bukan lawanku!" jawab lelaki pendek gemuk.

"Tak kusangka ahli waris Perguruan Laut Mati sudi menjadi penjilat pantat raja lalim!" ujar Resi Sindu Laga menyesalkan.

"Tidak perlu banyak bicara, Sindu Laga. Nenek moyangku turun-temurun adalah abdi-abdi setia kerajaan. Maka aku pun mengikuti jejak mereka. Menyerahlah sebelum kau menerima perlakuan yang tidak sepantasnya!"

"Jangan harap! Aku lebih baik mati daripada menyerah! Hih!"

Resi Sindu Laga menerjang maju. Kebutan di tangannya yang menegang kaku ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai bagian berbahaya tubuh lelaki pendek gemuk. Tapi dengan kecepatan yang mengagumkan, ahli waris Perguruan Laut Mati itu berkelebat di antara serangan-serangan lawan. Ke mana pun serangan Resi Sindu Laga meluncur, hanya akan menjumpai tempat kosong.

Tubuh lelaki pendek gemuk sudah lebih dulu lenyap. Sebaliknya, setiap kali ahli waris Perguruan Laut Mati melancarkan serangan, Resi Sindu Laga kelabakan. Jangankan terkena langsung, angin serangannya saja sudah cukup membuat tubuh kakek bermata satu itu terhuyunghuyung.

Tak sampai dua puluh lima jurus, Resi Sindu Laga terdesak hebat. Di jurus kedua puluh tujuh, di saat Resi Sindu Laga kembali terhuyung-huyung, tangan lelaki pendek gemuk bergerak cepat merampas kebutan kakek itu. Sedangkan tangan yang lain menampar dada kiri lawan.

Plak!

Resi Sindu Laga mengeluarkan seruan tertahan. Serangan lelaki pendek gemuk tepat mengenai sasaran. Tubuhnya terhuyung dengan darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Kakek bermata satu itu tewas seketika dengan dada pecah.

Di saat yang bersamaan, Srini berhasil diringkus lawan-lawannya. Pedang di tangannya telah terlepas. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, beberapa bilah pedang telah tertuju ke lehernya dan siap ditusukkan. Wanita berpakaian hijau itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Guru...," Srini merintih lirih, meskipun sebenarnya wanita itu ingin berteriak sekerasnya. Tapi rasa sedih yang sangat membuat suaranya tercekat di kerongkongan.

Kalau saja Branta Wali tidak cepat melumpuhkannya dengan totokan dan segera membelenggunya, mungkin Srini akan menerobos kepungan para perwira kerajaan untuk menghambur ke arah gurunya, walau nyawanya akan melayang. Tapi, keadaan menghendaki lain.

Panglima bercambang bauk lebat tersenyum gembira melihat kerusuhan itu berhasil ditanggulangi. Setelah mendudukkan Srini yang telah dibebaskan dari totokan di atas punggung kuda, rombongan kerajaan itu kembali bergerak melanjutkan perjalanan. Di tempat itu yang tinggal hanya mayat Resi Sindu Laga. Debu mengepul tinggi ke udara ketika rombongan kerajaan bergerak pergi.

* * *

"Rasanya akan ada hambatan lagi di depan," ujar panglima bercambang bauk lebat sedikit khawatir. Pandangan matanya menatap lurus ke depan.

"Aku tidak sependapat denganmu, Panglima," ucap Branta Wali.

"Aku sependapat dengan Branta Wali, Panglima," lelaki pendek gemuk ikut bicara. "Sosok-sosok yang di depan itu bukankah hanya mayat-mayat yang tidak berarti?"

"Lagi pula, andaikata benar ada hambatan pun, apa yang harus kami takutkan? Dengan adanya kalian berdua yang memiliki kepandaian tinggi, siapa yang dapat menghambat rombongan kita?" sambut panglima yang mulai menemukan ketenangannya kembali ketika teringat di dalam rombongannya ada dua orang tokoh tingkat tinggi.

Rombongan yang dipimpin panglima bercambang bauk lebat akhirnya tiba di tempat itu. Ucapan lelaki pendek gemuk memang benar. Yang ada hanya sosok-sosok tubuh tak bernyawa yang bergeletakan di sana-sini.

Rombongan kerajaan itu menghentikan perjalanan sejenak karena panglima, Baranta Wali, dan lelaki pendek gemuk menyempatkan diri memperhatikan sosok-sosok mayat itu.

"Tindakan seperti ini hanya dapat dilakukan tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi," gumam Branta Wali dengan kening berkerut seraya mengelus-elus dagunya yang tidak ditumbuhi jenggot.

Lelaki pendek gemuk mengangguk-angguk membenarkan pendapat rekannya. "Kalau aku tidak salah, mereka adalah perampok-perampok yang berdiam di hutan-hutan," ucap lelaki pendek gemuk dengan sinar mata menyiratkan keterkejutan.

"Hey...?!" Sambil berseru kaget, lelaki pendek gemuk menjulurkan kedua tangannya ke atas pohon yang berada tak jauh di sebelah kanannya.

"Keluar kau, Pengkhianat Hina...!"

Dari kedua tangan yang dijulurkan itu berhembus angin keras. Disusul dengan terdengarnya bunyi gemerisik riuh daun-daun pepohonan dan ranting-ranting berguguran ke tanah.

Pada saat itulah dari atas pohon melesat sesosok bayangan yang kemudian mendarat di tanah setelah bersalto beberapa kali di udara. Seketika rombongan prajurit kerajaan bergerak melindungi tawanan. Mereka khwatir sosok itu orang yang ingin membebaskan tawanan.

"Siapa kau, Anak Muda?" tanya lelaki pendek gemuk tidak melanjutkan serangannya. Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, dia langsung mengetahui kalau sosok yang baru saja lolos dari serangannya itu berkepandaian tinggi. Maka, dia tidak berani sembarangan menyerang lagi. Tampaknya lelaki gemuk pendek tidak ingin menanam permusuhan. Lagi pula, dia tidak yakin sosok itu bermaksud ingin membebaskan tawanan.

Sosok yang ternyata seorang pemuda tampan bertubuh kekar tersenyum lebar. "Maaf. Bukannya aku tidak mau memperkenalkan diri, Sobat. Tapi.... memang demikian adanya. Sekali lagi, maaf."

"Keparat!" Panglima bercambang bauk lebat menggeram keras. Jawaban itu dianggap menujukkan kesombongan. Dia sudah bersiap memberikan perintah untuk menangkap si Pemuda tampan. Tapi lelaki pendek gemuk memberikan isyarat agar tindakan itu tidak perlu dilakukan.

Terpaksa, dengan hati tidak puas, panglima tinggi besar mengurungkan niat Dia merasa heran mengapa lelaki pendek gemuk tidak marah menerima perlakuan seperti itu. Padahal, dia saja tidak kuat menahan sabar.

Memang, lelaki pendek gemuk tidak marah dengan sambutan pemuda tampan itu. Sebagai tokoh persilatan, lelaki pendek gemuk tahu akan banyaknya tokoh-tokoh persilatan yang memiliki watak aneh dan tidak mau dikenal orang. Mungkin pemuda tampan di hadapannya termasuk orang yang demikian. Karena itu, dia memakluminya.

"Kalau begitu..., mengapa kau mengintai kami?" kejar lelaki pendek gemuk dengan sorot mata penuh selidik.

"Maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud mengintai kalian," ucap pemuda tampan itu sambil mengedarkan pandangan berkeliling. Sekilas diperhatikannya semua anggota rombongan. "Perlu kalian ketahui, terutama sekali kau, Sobat. Aku lebih dulu berada di sini daripada kalian."

"Hhh...!" lelaki pendek gemuk menghela napas berat. "Aku percaya dengan keteranganmu, Anak Muda. Tapi, sayang sekali saat ini kami sedang dalam tugas penting. Aku tidak mau mengambil risiko dengan membiarkan kau pergi. Siapa tahu kau salah satu dari pemberontak-pemberontak yang ingin menghambat perjalanan kami. Maka dengan menyesal aku terpaksa harus menangkapmu. Tapi sebelumnya aku ingin tahu, apakah kau yang telah membunuh orang-orang ini?"

Pemuda tampan itu mengalihkan tatapannya ke arah mayat-mayat yang bergeletakkan di tanah. Kemudian perlahan-lahan kepalanya digelengkan.

"Tapi kau tahu kan siapa pembunuh mereka?" desak lelaki pendek gemuk.

Pemuda tampan itu secara tidak langsung menjawab pertanyaan lelaki pendek gemuk. Dia tercenung, hingga membuat orang yang bertanya jadi tidak sabar.

"Kau tidak usah mungkir, Anak Muda!" tandas lelaki pendek gemuk keras. "Kau kira aku dapat kau bohongi? Aku tahu kau telah terlibat pertempuran yang membuatmu terluka dalam. Mungkin sekarang lukamu sudah sembuh. Tapi tetesan darah di bibirmu yang belum sempat kau bersihkan telah menjelaskan semuanya."

TIGA

Pemuda tampan itu terkejut. Tanpa sadar punggung tangan kanannya digunakan untuk menghapus sisi mulut. Di punggung tangannya tampak sedikit cairan merah kental. Darah!

"Bisa kau jelaskan apa yang telah terjadi, Anak Muda? Barangkali saja penjelasanmu itu membuatku mempertimbangkan apakah kau akan kami biarkan pergi."

"Sayang sekali," sahut pemuda tampan dengan wajah menyesal. "Aku tidak bisa mengatakannya."

"Sombong!" bentak lelaki pendek gemuk kehilangan kesabaran. "Rupanya karena memiliki sedikit kepandaian kau menjadi besar kepala. Tidakkah kau sadari kalau kejadian yang baru menimpamu akan terulang kembali bila kau bertempur denganku? Kenalkan aku Gempar, pewaris terakhir Perguruan Laut Mati!"

Wajah pemuda tampan itu berubah ketika mendengar ucapan lelaki pendek gemuk. Memang, pernah didengarnya nama Perguruan Laut Mati. Sebuah perguruan yang hanya mempunyai seorang ahli waris dalam setiap generasi. Namun hebatnya, setiap murid atau ahli waris yang turun gunung, langsung menggemparkan karena kesaktian dan ilmu-ilmunya yang tinggi.

"Kau kaget, Anak Muda Sombong?" tanya Gempar ketika melihat perubahan mimik wajah pemuda tampan di hadapannya. "Apakah kau pernah mendengar namaku?"

"Tidak," jawab pemuda tampan menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi perguruanmu, Perguruan Laut Mati telah sering kudengar."

"Bagus! Kalau begitu lebih baik kau menyerah. Percuma kau melakukan perlawanan. Kau tidak akan menang melawanku!"

"Aku bukan seorang pengecut, Gempar. Majulah. Biar kurasakan sendiri kelihaian ilmumu!" tandas pemuda tampan seraya menggertakkan gigi.

"Sombong!" seru lelaki pendek gemuk keras. Kedua tangannya yang gemuk didorong ke depan. Dari kedua tangan itu meluncurlah angin keras berputaran.

Pemuda tampan itu merasakan serbuan angin dahsyat. Dadanya terasa sesak. Bahkan, kakinya terasa lemas. Hembusan angin bergulungan itu membuat tenaga dalamnya tersedot. Tapi, pemuda itu ternyata bukan tokoh persilatan yang gampang dipecundangi. Dalam saat yang kritis dia mampu menghimpun tenaga dalam dengan menggertakkan gigi. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas. Dari sana, dikirimnya serangan berupa tendangan ke kepala lawan.

"Hmh...!" Gempar mendengus keras. Kedua tangannya digerak-gerakkan di atas kepala. Angin keras berputaran yang muncul dari kedua tangannya telah melencengkan serangan pemuda tampan. Kenyataan ini mengejutkan pemuda itu. Apalagi ketika tangan kanan lelaki pendek gemuk meluncur bagai ular terbang ke arah ulu hatinya.

Tidak ada waktu lagi untuk melakukan tangkisan. Benturan kedua tangan itu membuat tubuh keduanya terjungkal ke belakang dengan tangan tergetar hebat. Seketika itu pula mereka maklum kalau lawan yang dihadapi memiliki kepandaian yang berimbang. Namun, itu tidak menghalangi keduanya untuk saling terjang dan gempur kembali.

Branta Wali dan panglima tinggi besar serta pasukan kerajaan lainnya menyaksikan dalam jarak beberapa tombak. Mereka tidak ingin mencari bahaya dengan menyaksikan dari jarak dekat. Angin serangan kedua orang yang bertarung itu sudah cukup untuk mengirim nyawa mereka ke akherat.

Gempar menggertakkan gigi ketika pertarungan menginjak jurus kesepuluh. Dia belum juga berhasil mendesak lawannya. Padahal, ilmu andalannya telah dipergunakan. Ilmu mukjizat yang jarang ada orang mampu menandinginya. Bahkan, tokoh-tokoh tua dan tingkat atas dari dunia persilatan. Tapi sekarang? Hanya seorang pemuda telah mampu menahannya sampai sepuluh jurus. Ini membuatnya penasaran bukan main. Kedua tangannya bergerak semakin cepat.

Di lain pihak, pemuda tampan itu tidak kalah kagumnya. Ilmu yang dipergunakan lawan benar-benar dirasakan sendiri kedahsyatannya. Padahal, Gempar jarang mempergunakan sepasang kakinya. Dia menitik beratkan ilmunya pada kedua tangan. Tapi hebatnya memiliki kedahsyatan yang menggiriskan. Setiap gerakan tangan lawan membuat napasnya terasa sesak bukan main. Sekujur otot dan urat-urat saraf di tubuhnya hampir lumpuh.

Kalau saja pemuda tampan itu tidak mengerahkan tenaga dalamnya, sudah sejak tadi dia roboh di tangan lawan. Tapi tentu saja dengan terbaginya tenaga itu, tenaga yang dipergunakan untuk menghadapi Gempar jadi tidak penuh. Itu sebabnya pemuda tampan itu tidak berani menangkis.

Serangan-serangan yang dilancarkan Gempar sedapat mungkin dielakkannya. Untung saja ilmu meringankan tubuh pemuda tampan itu cukup tinggi. Dan juga, dengan hampir tidak dipergunakannya sepasang kaki Gempar, gerakan lelaki pendek gemuk itu jadi tidak terlalu cepat. Ini menguntungkan si Pemuda tampan untuk melakukan elakan.

Tapi, perlawanan yang dilakukan pemuda tampan ternyata tidak berarti. Sampai berapa lama dia dapat bertahan dari serangan tokoh tingkat tinggi seperti Gempar? Di jurus ketiga belas, pemuda tampan itu terpaksa menangkis. Dia sudah tidak sempat lagi untuk mengelak. Akibatnya, tubuh pemuda itu terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah.

Gempar tertawa bergelak melihat lawannya tak berdaya. Kemudian dia melesat memburu pemuda tampan yang masih bergulingan. Sesaat kemudian, pertarungan yang unik pun terjadi. Pemuda tampan itu terus berguling-gulingan di tanah, dan Gempar mengejarnya dengan serangan yang siap dijatuhkan. Nyawa pemuda tampan itu bagai telur di ujung tanduk.

"Ha ha ha...! Itukah ilmu 'Pukulan Gelombang Laut'? Buruk..! Buruk sekali...!"

Di saat Gempar tengah memburu si Pemuda tampan dan siap menjatuhkan serangan maut, terdengar seruan keras yang menggetarkan sekitar tempat itu. Tidak hanya Gempar saja yang terkejut. Semua yang berada di tempat itu berpaling mengedar pandangan.

Berbeda dengan rombongan kerajaan yang kelihatan bingung, Branta Wali dan Gempar segera bisa mengetahui pemilik suara itu mempergunakan ilmu tenaga dalam tingkat tinggi. Suaranya yang menggema menyulitkan orang untuk mengetahui sumber suara itu.

Gempar mengurungkan niatnya untuk terus mendesak si Pemuda tampan. Dia melempar tubuhnya ke belakang dan menjauh. Hampir pada waktu yang bersamaan Branta Wali melompat turun dari atas punggung kuda.

"Tunjukkan rupamu kalau bukan pengecut, Keparat!" teriak Branta Wali. Sepasang matanya terus berkeliaran ke sana kemari karena belum juga bisa memperkirakan asal seruan itu.

"Kau terlalu hina untuk bertemu denganku, Kuda Tua!" sambut suara tanpa wujud.

"Keparat!" Branta Wali menghentakkan kedua tangannya ke arah pohon tempat pemuda tampan berada. "Tunjukkan mukamu, Pengecut!"

Brakkk!

Batang pohon sebesar sepelukan orang dewasa itu langsung tumbang. Tapi tidak terlihat adanya sesosok tubuh yang melesat keluar ketika pohon itu ambruk ke tanah dengan mengeluarkan bunyi hiruk pikuk. Ini membuat kakek bermuka mirip kuda itu penasaran. Dia siap mengarahkan sasarannya pada pohon lain. Namun, tindakan itu diurungkan ketika Gempar mencegahnya.

"Jangan kau lakukan itu, Branta Wali. Percuma. Kau hanya menghabiskan tenagamu saja. Itulah yang diinginkan orang ini. Dia takut menghadapi kita yang saat ini masih bertenaga penuh. Karena itu, dilakukannya tindakan kucing-kucingan ini!"

"Keparat! Rupanya kau sudah ingin mampus, Gempar!" Seruan tanpa wujud itu kembali terdengar.

Ejekan Gempar rupanya termakan pemilik suara itu. Tapi, seruan kali ini tidak menggunakan tenaga dalam. Semua orang, tidak terkecuali si Pemuda tampan, mencari-cari pemilik suara. Suara tanpa wujud itu berasal dari dekat mereka. Ketika mereka menoleh untuk mempertegasnya, ternyata salah seorang dari anggota pasukan kerajaan yang digantikan oleh sesosok tubuh berpakaian serba putih.

Wajahnya tidak terlihat karena tertutup selubung yang juga berwarna putih. Rasa kaget yang melanda pasukan kerajaan hanya berlangsung sesaat. Mereka segera tersadar dan langsung berseru keras seraya mengirimkan serangan dengan senjata di tangan.

Tanpa merubah kedudukannya di atas punggung kuda, sosok berpakaian serba putih menghadapi serbuan belasan senjata yang mengancam berbagai bagian tubuhnya. Kedua tangannya bergerak cepat bukan main. Hingga, yang terlihat hanya kelebatan bayangan putih dalam bentuk yang tidak jelas.

Tahu-tahu terdengar keluhan-keluhan dari mulut pasukan kerajaan. Tubuh mereka terhuyung mundur dengan senjata terlepas dari pegangan. Sebagian senjata itu berpindah ke tangan sosok berpakaian serba putih, sedangkan sisanya bertebaran di tanah.

Para prajurit itu tidak tahu apa yang telah terjadi. Tapi tidak dengan Gempar, Branta Wali, dan pemuda tampan. Mereka melihat dengan jelas sosok berpakaian serba putih melumpuhkan tangan lawan-lawannya dengan totokan pada belakang lutut, kemudian merampas senjata mereka.

"Keparat!" Branta Wali yang berwatak berangasan, apalagi tadi diejek sosok serba putih itu, tidak bisa menahan kesabaran lagi. Dia menjejakkan kaki hingga tubuhnya melayang ke arah sosok serba putih.

Tapi, sebelum maksudnya terlaksana, sosok berpakaian serba putih telah melakukan hal yang sama. Tubuhnya melayang dari atas punggung kuda. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Srini disambarnya. Lalu, dengan kibasan tangan kiri ke bawah, sosok serba putih berhasil melewati kepala Branta Wali.

"Mau lari kemana, Keparat! Jangan harap dapat lolos dari sini!"

Seruan itu keluar dari mulut Gempar. Tubuh lelaki pendek gemuk ini melesat cepat menghadang sosok berpakaian serba putih. Kedua tangannya bergerak-gerak melancarkan serangan dengan mempergunakan ilmu 'Tangan Gelombang Laut'.

"Hmh...!" Sosok serba putih mendengus. Tangan kanannya segera dikibaskan. Letupan pelan pun terdengar. Tubuh Gempar terhuyung-huyung ke belakang, sementara tubuh sosok berpakaian serba putih hanya tergetar saja.

Gempar yang biasanya tertawa, kali ini tidak mampu tersenyum karena kagetnya. Belum pernah dalam penggunaan ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' dia dibuat terhuyung oleh lawan. Betapapun kuat tenaga dalam lawan, bila berbenturan dengan ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' pasti akan mencelakakan lawan. Andaikata dia terhuyung, lawannya akan terjengkang ke belakang dan terguling-guling.

Tapi kenyataannya sekarang sangat berbeda. Mungkinkah sosok berpakaian serba putih itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi?

Belum lagi Gempar memperbaiki kedudukannya, sosok berpakaian serba putih telah mengirimkan serangan balasan dengan tendangan bertubi-tubi. Tendangan yang mengeluarkan angin berkesiutan tajam. Sambil menggertakkan gigi Gempar menggerak-gerakkan kedua tangannya. Dia ingin membuat serangan lawan meleset, kemudian mengirimkan serangan balasan.

Tapi, lagi-lagi Gempar berteriak kaget. Kaki lawan sedikit pun tidak meleset dari sasaran. Kedahsyatan ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' tidak terlihat sama sekali. Dengan sendirinya, kedua kaki yang meluncur bertubi-tubi itu berbenturan dengan kedua tangan Gempar.

Untuk kedua kalinya tubuh Gempar terjengkang ke belakang. Benturan tangan dan kaki itu menimbulkan bunyi keras seperti beradunya logam. Celakanya lagi, serangan kedua kaki sosok berpakaian serba putih tidak berhenti sampai di situ. Dia terus melayang menyerang dada dan ulu hati Gempar.

Di saat keselamatan Gempar terancam, Branta Wali dari samping mengirimkan totokan ke arah pelipis dan lutut sosok serba putih. Apabila sosok berpakaian serba putih masih terus melanjutkan serangannya, sebelum mencapai sasaran kedua bagian tubuhnya itu akan tertembus sepasang sumpit Branta Wali.

Sosok serba putih rupanya mengetahui hal itu. Maka serangannya dibatalkan. Lalu, dikirimkannya serangan pada BrantaWali. Sekejap kemudian sosok berpakaian serta putih itu telah terlibat pertarungan menghadapi keroyokan Gempar dan Branta Wali.

Pertarungan yang menggiriskan itu disaksikan dengan penuh kagum oleh pemuda tampan, yang merupakan satu-satunya orang yang dapat melihat secara jelas jalannya pertarungan. Sedangkan rombongan pasukan kerajaan, meskipun tak kalah sungguh-sungguhnya memperhatikan, tidak melihat secara jelas. Bahkan beberapa kali pandangan mereka ditundukkan. Gerakan ketiga tokoh itu demikian cepat, hingga membuat mata mereka lelah dan panas.

Padahal yang mampu mereka saksikan hanya kelebatan bayangan putih, hijau, dan coklat. Yang saling belit dan kadang-kadang terpisah. Pemuda tampan yang hampir saja celaka di tangan Gempar menggeleng-gelengkan kepala, takjub menyaksikan jalannya pertarungan. Dia kagum bukan main kepada sosok berpakaian serba putih. Meskipun Srini di pondongannya, dia tetap mampu melakukan perlawanan sengit.

"Hhh..!" Pemuda tampan itu menghela napas berat. Sama sekali tidak disangkanya dalam sehari ini ia sudah bertemu dengan tiga orang tokoh tingkat tinggi. Bahkan satu di antara mereka telah membuatnya hampir melayang ke akherat. Kalau saja sosok berpakaian serba putih tidak muncul, bukan tidak mungkin dia telah tewas di tangan Gempar. Tanpa sadar, dengan tatapan masih tertuju pada pertarungan sosok berpakaian serba putih, Branta Wali, dan Gempar, ingatan pemuda tampan itu melayang pada kejadian pagi tadi....

Sambil mengembangkan kedua tangannya ke kanan dan kiri untuk melonggarkan rongga dada, pemuda tampan itu menarik napas dalam-dalam. Dihirupnya udara pagi yang segar dan jernih. Kedua kakinya yang kokoh melangkah ringan di tanah yang ditumbuhi rumput-rumput pendek. Pohon-pohon besar dan kecil berada di sekitarnya.

Tiba-tiba pemuda tampan itu mengarahkan pandangannya ke satu arah. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi dentang senjata beradu. Juga teriakan-teriakan orang-orang bertempur. Khawatir terjadi sesuatu tindakan sewenang-wenang, pemuda tampan itu membelokkan langkahnya dan melesat menuju asal suara.

Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, pandangan pemuda tampan itu telah tertumbuk pada sekelompok lelaki berwajah kasar. Mereka tengah mengeroyok seorang wanita berpakaian jingga. Sementara di belakang wanita itu tampak tergolek sesosok tubuh kekar.

Sekali lihat saja pemuda tampan ini tahu kalau para pengeroyok tidak bermaksud membunuh wanita berpakaian jingga. Kalau demikian tujuan mereka, sudah sejak tadi wanita itu terbunuh. Meski wanita berpakaian jingga memiliki kepandaian di atas para pengeroyoknya, tapi untuk menghadapi enam orang sekaligus dia akan kewalahan juga.

Padahal, wanita berpakaian jingga melancarkan serangan dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan lawan-lawannya melayani tanpa maksud membunuh. Serangan-serangan keenam lelaki berwajah kasar itu bukan berdasarkan hati yang baik dan tidak ingin membunuh lawan. Tapi, karena ada maksud jahat dan keji yang tersembunyi.

Ini bisa diketahui dari serangan-serangan mereka yang tertuju pada bagian terlarang di tubuh wanita berpakaian jingga. Tidak hanya leher, tapi juga dada. Terutama sekali pada bagian di mana terdapat dua buah dada, paha, serta pinggul. Sering pula serangan mereka berupa pelukan.

"Menyerah saja, Manis. Percayalah, meskipun kau musuh kami, tapi tak akan kami turunkan tangan kejam. He he he...!" ucap salah seorang di antaramereka seraya menyeringai.

"Lebih baik aku mati!" tandas wanita berpakaian jingga keras. Perlawanan lebih sengit segera dilancarkannya. Tapi sia-sia saja usaha yang dilakukan wanita itu. Saat dia kurang waspada, seorang pengeroyok berhasil menyambar pergelangan tangan kirinya.

Wanita berpakaian jingga menjerit kaget. Namun dia tidak kehilangan akal. Buru-buru dikerahkannya tenaga untuk menarik tangannya. Tapi sayang, cekalan tangan lelaki kasar tidak terlepas. Bahkan sebelum wanita berpakaian jingga berbuat sesuatu, lima orang lawannya yang lain telah menyerbu dengan tubrukan seperti seekor harimau menerkam kambing.

Kali ini wanita berpakaian jingga gugup. Ini membuatnya tidak bisa melakukan tindakan penyelamatan. Saat itulah, sebuah benda berwarna gelap meluncur, dan menghantam pergelangan tangan lelaki kasar yang mencekal tangannya.

Lelaki kasar itu menjerit keras. Pegangannya terlepas. Dengan sendirinya wanita berpakaian jingga terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri. Tapi, ini justru membuatnya lolos dari sergapan lima orang lawannya.

Saat wanita berpakaian jingga hendak melompat bangun dan mengadakan perlawanan di depan telah berdiri membelakangi sesosok tubuh kekar seorang pemuda berambut panjang tergerai.

"Keparat! Kadal bunting! Kecoak busuk!" Lelaki kasar yang tadi mencekal tangan wanita berpakaian jingga berteriak memaki-maki. Tatapannya penuh kemarahan tertuju lurus ke wajah pemuda tampan berambut panjang yang berdiri di hadapannya.

"Keluarkan seluruh makian yang kau miliki sebelum kukirim kalian semua ke neraka!" tandas pemuda tampan itu tegas.

Ucapan pemuda tampan ini membuat lelaki kasar itu semakin murka. Begitu juga kelima temannya. Bagai diberi perintah mereka mencabut senjata masing-masing, golok pendek berwarna merah membara seperti besi dibakar.

"Rupanya kau ingin mampus, Kambing!" seru lelaki kasar keras. Sebelum gema makiannya lenyap, dia melompat menerjang pemuda tampan dengan golok dibabatkan mendatar ke arah leher.

Tindakan ini diikuti kelima rekannya. Dalam sekejap, pemuda tampan itu telah menghadapi hujan serangan enam lawannya. Sinar-sinar kemerahan bagai malaikat maut menyambar-nyambar ke arahnya.

Tapi, pemuda berambut panjang itu tidak menjadi gugup. Tanpa menggeser kedudukannya dipapakinya semua serangan dengan sentilan-sentilan jari tangan. Bunyi berdenting nyaring terdengar berkali-kali ketika jari telunjuk pemuda itu berbenturan dengan mata-mata golok, yang kemudian langsung gompal. Tubuh orang-orang kasar itu pun terhuyung-huyung ke belakang.

Namun, mereka ternyata tidak mudah ciut nyalinya. Meski telah merasakan sendiri sentilan tangan lawan mampu membuat tubuh mereka terhuyung dan batang golok gompal, mereka tidak gentar dan siap untuk melancarkan serangan kembali.

"Grrrhhh...!" Tiba-tiba terdengar geraman keras seperti keluar dari mulut binatang buas. Sekitar tempat itu tergetar hebat, kedua kaki keenam lelaki kasar yang telah siap melancarkan serangan menggigil oleh geraman yang dikeluarkan dengan tenaga dalam tinggi itu.

Tidak hanya mereka saja yang menerima akibatnya. Pemuda berambut panjang pun demikian. Hanya saja, begitu merasakan getaran kuat yang membuat kedua kakinya menggigil, pemuda itu segera mengerahkan tenaga dalam. Dan, usahanya berhasil sehingga dia tidak mengalami kejadian seperti yang diderita enam lelaki kasar. Mereka ambruk di tanah dan tidak mampu bangun lagi.

EMPAT

Pemuda berambut panjang itu mengalihkan pandangannya dengan raut wajah berubah. Dia kaget bukan main ketika melihat seorang pemuda bertubuh kekar menatap ke arahnya dengan sorot mata bengis. Sepasang mata pemuda itu merah membara. Wajahnya beringas penuh ancaman.

"Sabar, Sobat. Aku tidak bermaksud buruk...," pemuda berambut panjang tergerai itu mengenali pemuda bertubuh kekar sebagai orang yang tadi tergeletak di tanah. Tapi ia tidak bisa berkata lebih lama karena pemuda bertubuh kekar menubruknya dengan kedua tangan terkembang. Jari-jari tangannya membentuk cakar.

"Suhita...! Jangan...!" gadis berpakaian jingga berseru kaget melihat pemuda bertubuh kekar menyerang orang yang telah menolongnya.

Tapi seruan gadis berpakaian jingga sudah terlambat. Pemuda bertubuh kekar telah melancarkan serangan dahsyat yang tidak mungkin dapat ditarik lagi. Serangan dahsyat yang cepat dan memaksa pemuda berambut panjang memapaki dengan jari-jari terbuka.

Blarrr!

Benturan yang terjadi menimbulkan bunyi keras seperti halilintar. Tubuh kedua pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan, pemuda tampan berambut panjang meriap lebih sial lagi. Dia tidak hanya terhuyung, tapi terjengkang ke belakang dan terguling-guling. Dadanya terasa sesak bukan main. Tangannya sakit. Dan dari sudut bibirnya meleleh cairan merah. Benturan itu menyebabkan pemuda berambut panjang menderita luka dalam.

Kenyataan ini mengejutkan pemuda itu. Apalagi, ketika melihat pemuda bertubuh kekar itu tidak mengalami luka-luka. Malah, ia segera mengirimkan serangan susulan yang memaksa pemuda berambut panjang tergerai, menggulingkan tubuhnya menjauhi serangan. Pada saat yang bersamaan, enam orang lelaki kasar menyerbu gadis berpakaian jingga. Rupanya mereka berhasil melepaskan diri dari pengaruh teriakan pemuda bertubuh kekar.

"Suhita...! Tolong...!" wanita berpakaian jingga berteriak seraya memutar pedangnya untuk mencegah maksud enam orang lawannya.

Pemuda bertubuh kekar yang memang tidak lain Suhita kembali menggeram. Kali ini ia tidak mengerahkan tenaga dalam seperti sebelumnya. Laksana terbang, dia melesat ke arah wanita berpakaian jingga yang tengah menghadapi keroyokan enam lelaki. Mereka rupanya menyadari akan adanya bahaya. Maka begitu mendengar bunyi geraman, mereka langsung membalikkan tubuh dan menyambut kedatangan pemuda bertubuh dengan ayunan senjata.

Tak, tak, tak...!

Bunyi berdetak keras seperti logam beradu terdengar. Disusul dengan jeritan menyayat hati dari mulut keenam lelaki kasar. Senjata berikut tubuh mereka berpentalan ke sana kemari seperti daun-daun kering ditiup angin. Mereka tewas dengan dahi berlubang!

Pemuda tampan berambut panjang tidak sempat lagi berbuat sesuatu. Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tahu-tahu tubuh keenam lelaki kasar telah berterbangan tak tentu arah. Dan, sebelum pemuda berambut panjang itu sadar sepenuhnya dari terkesimanya, Suhita telah menyambar tubuh wanita berpakaian jingga dan membawanya melesat meninggalkan tempat itu.

Pemuda berambut panjang ingin mengejarnya, tapi baru beberapa langkah segera diurungkan. Dadanya terasa sakit bukan main. Dia tahu ini terjadi karena luka dalam yang dideritanya. Terpaksa dibiarkan Suhita berlari. Dalam waktu singkat ia telah lenyap di kejauhan.

Sesaat kemudian, pemuda berambut panjang menggenjot kakinya dan hinggap di salah satu cabang pohon yang rimbun. Ia bersemadi untuk mengobati luka dalamnya sampai kemudian Gempar membuatnya keluar dari tempat persembunyiannya.

Pemuda berambut panjang tergerai itu menghela napas berat. Lamunannya buyar. Dia kagum dengan kepandaian Suhita. Namun lebih kagum lagi pada sosok berpakaian serba putih ini. Ketinggian ilmunya benar-benar membuat pemuda berambut panjang takjub. Terutama ilmu meringankan tubuhnya. Sosok berpakaian serba putih berkelebat ke sana kemari di antara serangan-seranga Gempar dan Branta Wali.

"Akh...!" Tiba-tiba terdengar jeritan melengking. Disusul dengan terlemparnya tubuh Branta Wali dari kancah pertarungan. Ia jatuh berdebuk di tanah tanpa mampu bangun lagi. Kakek berwajah mirip kuda itu tewas dengan dahi berlubang!

Tampak tubuh Gempar pun terhuyung-huyung. Wajahnya menyeringai kesakitan. Mendadak, sosok berpakaian serba putih melesat meninggalkan tempat itu.

"Kejar...!" Panglima bercambang bauk lebat segera mengeluarkan perintah.

"Tidak usah dikejar...!" seru Gempar keras dengan mulut masih menyeringai.

Tapi peringatan Gempar terlambat. Tiga orang perwira anggota pasukan khusus telah melemparkan pisau-pisau terbang yang sejak tadi mereka genggam. Seketika itu pula, sembilan batang pisau menyambar ke arah sosok serba putih yang tengah berlari.

Kembali sosok itu mendengus menghina. Tangan kirinya diputar seraya menolehkan kepala. Akibatnya, sungguh menakjubkan. Pisau-pisau itu berputar balik ke arah semula dengan kecepatan berlipat ganda.

Kejadian yang tidak disangka-sangka ini membuat rombongan kerajaan kelabakan. Pisau-pisau itu tidak hanya mengarah pada tiga perwira, tapi juga anggota rombongan yang lain. Tidak terkecuali panglima tinggi besar. Sebisanya mereka mengelakkan serangan itu.

Tapi tak urung, jeritan-jeritan kesakitan terdengar susul-menyusul ketika dua perwira dan lima prajurit kerajaan tewas tertembus pisau di dahinya! Panglima bercambang bauk lebat dapat menangkis serangan pisau itu. Sedangkan perwira yang satu lagi telah lebih dulu melompat dari punggung kuda.

"Keparat!" Panglima tinggi besar menggeram keras menyaksikan kematian anggota rombongannya. Sementara Gempar menghampiri dengan wajah lesu. Terlihat jelas lelaki pendek gemuk itu terpukul sekali.

"Belum pernah kutemui tokoh persilatan yang memiliki kepandaian setinggi ini," ucap Gempar tanpa mengumandangkan tawanya. "Tapi aku belum kalah. Satu waktu akan kucari dia dan kuajak bertarung sampai salah seorang di antara kami menggeletak di tanah."

Panglima tinggi besar menghela napas berat. Dia tidak menanggapi ucapan Gempar. Di perintahkannya anggota rombongan untuk mengurus kawan-kawan mereka yang terluka dan tewas.

"Aku mempunyai sebuah gagasan, Gempar," ujar panglima tinggi besar kemudian dengan sungguh-sungguh. "Apakah tidak lebih baik kalau pemberontak hina ini kita pancung saja?"

Gempar tidak segera memberikan jawaban. Ditatapnya wajah panglima bercambang bauk lebat lekat-lekat.

"Aku khawatir ada penyerbuan lagi. Dan pemberontak ini berhasil dibebaskan. Lalu...."

"Cukup...!" Gempar memotong. Tangannya kemudian bergerak cepat. Terdengar bunyi berdesing, lalu bunyi benda jatuh ke tanah. Tahu-tahu di depan panglima tinggi besar telah tergeletak kepala lelaki setengah baya berwajah gagah, yang menjadi tawanannya.

Panglima bercambang bauk lebat menelan ludah membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. Dia kenal betul dengan pedang yang berada di tangan Gempar. Itu adalah pedangnya! Kenyataan lelaki pendek gemuk itu mampu mengambilnya tanpa diketahui, lalu membabat leher tawanannya menunjukkan betapa lihainya Gempar. Gempar tampaknya tersinggung dengan ucapannya yang bernada meremehkan kemampuannya.

Dengan keringat dingin membasahi dahi, panglima bercambang bauk lebat menerima pedang yang diangsurkan Gempar. Dan, memanggil anak buahnya untuk membersihkan senjatanya.

Kemudian, tanpa peduli pada tubuh lelaki setengah baya yang tanpa kepala mereka meneruskan perjalanan. Perjalanan jauh yang memakan waktu berhari-hari untuk sampai di pusat kerajaan. Tidak seorang pun yang teringat pada pemuda berambut panjang.

Pemuda tampan itu memang sudah tidak berada di situ. Begitu melihat sosok berpakaian serba putih melesat kabur, dia segera mengejarnya. Naluri kependekarannya mengatakan, kepergian sosok berpakaian serba putih bertujuan tidak baik!

* * *

Jliggg!

"Ha ha ha...!" Tawa keras yang bergema di sekitar tempat itu, menyambut kedatangan sepasang kaki sosok berpakaian serba putih yang menjejakkan kakinya di lembah curam itu. Tapi sosok berpakaian serba putih tidak tampak terkejut sedikit pun. Sikapnya terlihat sangat tenang. Dia berdiri tegak di tempatnya. Sikapnya masih tetap tenang ketika dari sekelilingnya bermunculan sosok-sosok yang berpakaian kembang-kembang.

Semula sosok berpakaian serba putih agak kecut juga ketika melihat sosok-sosok berpakaian kembang muncul begitu saja. Padahal, tidak ada tempat persembunyian baik berupa semak, pohon, atau pun batu-batu besar. Paling-paling hanya rumput-rumput kecil.

Tapi, pandangannya yang tajam dapat melihat kalau sosok-sosok itu muncul dari dalam tanah.Mereka rupanya telah membuat lubang lalu menutupinya dengan tanah berumput.

"Akhirnya kau masuk juga dalam perangkap kami, Manusia Sombong!" seru salah seorang dari sosok berpakaian kembang. Dia adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan memiliki luka melintang di pipinya. "Sudah sejak lama aku ingin mencincang jantungmu!" lanjutnya.

Sosok serba putih hanya memperhatikan kakek berpakaian kuning lusuh sekilas. Kemudian diperhatikannya orang-orang yang berada di sekeliling nya. Mereka berjumlah dua belas orang. Sebagian besar mengenakan pakaian kembang-kembang berwarna hijau muda. Berarti masih lebih rendah dari tingkat kepandaian Branta Wali yang mengenakan pakaian hijau tua.

"Apakah ini ada hubungannya dengan tewasnya Branta Wali di tanganku?" tanya sosok berpakaian serba putih tanpa nada gentar sedikit pun.

"Syukur kalau kau mengetahuinya, pengecut yang berlindung di balik selubung!" sahut kakek berpakaian kuning. Warna pakaian tingkat tertinggi dari Perguruan Lembah Seribu Bunga, yang memiliki aturan tingkatan sebagaimana usia dedaunan. "Telah tiga hari kami mencarimu tanpa hasil. Syukur, sekarang kau dapat kami pancing kemari!"

"Kau mencari mati, Kakek Tua!" dengus sosok berpakaian serba putih.

"Kaulah yang akan tewas di tanganku, Pengecut!" Usai berkata demikian, kakek berpakaian kuning mengirimkan serangan dengan sebuah sampokan ke arah kepala lawan. Hembusan angin keras bertiup mengiringi tibanya serangan.

Sosok berpakaian serba putih hanya mendengus. Sekali kakinya dilangkahkan ke belakang, serangan lawan menyambar lewat di depan wajahnya. Lalu, dia mengirimkan tendangan kaki kanan ke arah pusar.

Duk!

Tubuh kakek berpakaian kuning terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang ketika menangkis serangan dengan tangan kanannya. Sedangkan lawan terdorong mundur satu langkah. Kenyataan ini membuat Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga murka. Sepasang sumpit terbuat dari gading gajah yang menjadi senjata andalannya dikeluarkan. Dengan senjata unik itu disambutnya serbuan sosok berpakaian serba putih.

Tapi, lagi-lagi kakek berpakaian kuning kecewa. Lawannya itu ternyata sungguh luar biasa. Ia gesit sekali hingga tubuhnya dapat berkelebatan di antara tusukan-tusukan sepasang sumpitnya. Sebaliknya, setiap serangan balasan sosok berpakaian serba putih membuat Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga pontang-panting menyelamatkan selembar nyawanya.

Sebelas orang murid-murid Perguruan Lembah Seribu Bunga pun tahu kalau pimpinan mereka menghadapi bahaya. Maka, tanpa diberi perintah lagi, mereka mencabut senjata dan menyerbu ke dalam kancah pertarungan. Tapi ternyata masuknya sebelas orang murid-murid pilihan itu tidak membuat keadaan berubah jauh.

Sosok berpakaian serba putih tetap tidak bisa didesak. Meskipun demikian, kedudukan kakek berpakaian kuning tidak kewalahan lagi. Sosok berpakaian serba putih memang menggiriskan. Betapapun lawan-lawannya telah berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan, namun tetap saja sulit.

Gerakannya terlalu cepat sehingga tak ubahnya bayangan. Tiba-tiba muncul sinar terang yang sangat menyilaukan. Lawan-lawan sosok berpakaian serba putih terpaksa memejamkan mata. Sebagian di antara mereka mengalihkan pandangan.

Tapi, kakek berpakaian kuning yang telah kenyang pengalaman ini tidak berbuat seperti yang dilakukan murid-muridnya. Dia melompat ke belakang seraya memutar sepasang sumpitnya di depan dada. Tindakan yang diambil Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga mamang tepat. Sosok berpakaian serba putih telah melakukan tindakan licik untuk mencapai kemenangan dalam waktu singkat.

Dia telah mengeluarkan perisai berbentuk bulat sebesar lingkaran kepala. Perisai dari logam putih berkilat itu tentu saja memantulkan sinar matahari. Secepatnya tangan sosok berpakaian serba putih berkelebat. Dan, terdengarlah jeritan menyayat ketika jari telunjuk sosok yang berjiwa telengas itu mendarat di dahi empat orang murid Perguruan Lembah Seribu Bunga. Dahi mereka berlubang yang mengakibatkan nyawa mereka melayang ke alam baka.

Tidak hanya itu saja tindakan sosok berpakaian serba putih. Sekali tangannya bergerak seorang murid yang masih muda dan cantik telah kena cekal dan dipondong di bahu kanan. Kemudian, ia melesat melarikan diri dengan kecepatan luar biasa.

"Keparat!" Kakek berpakaian kuning menggeram keras. Tanpa pikir panjang lagi dikejarnya sosok berpakaian serba putih.

"Sudah kubilang, jangan coba-coba memancingku. Tidak ada gunanya. Sekarang kubawa umpan kalian!"

Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga semakin geram mendengar seruan itu. Sambil menggertakkan gigi, kakek berpakaian kuning itu mengerahkan seluruh kemampuan lari cepatnya agar tidak kehilangan buruannya.

Tapi usaha kakek berpakaian kuning sia-sia. Semakin lama jarak antara mereka semakin jauh. Sosok berpakaian serba putih telah hilang di kejauhan membawa murid wanita Perguruan Lembah Seribu Bunga. Wanita yang semula digunakan kakek berpakaian kuning untuk memancing sosok berpakaian serba putih agar turun ke dalam lembah.

Murid wanita itu disuruhnya berlatih di bagian lembah yang agak tinggi. Ia belajar silat sambil berteriak-teriak nyaring. Dan seperti yang sudah direncanakan, sosok berpakaian serba putih yang diduganya akan segera melihat wanita itu.

Sosok berpakaian serba putih pun turun ke dalam lembah. Rupanya, ia tertarik melihat seorang wanita cantik berlatih silat seorang diri di dalam lembah. Pengeroyokan di lembah itu dimaksudkan agar sosok berpakaian serba putih sulit untuk meloloskan diri. Ternyata dugaan itu keliru.

* * *

"Keparat!"

Begitu tiba di depan pondok sederhana yang terletak jauh di dalam hutan, sosok berpakaian serba putih mengeluarkan makian penuh kegeraman. Sepasang matanya mencorong tajam dan berwarna kehijauan seperti mata harimau dalam gelap. Dengan sepasang mata tertuju ke pondok, dilemparkannya tubuh wanita dalam pondongannya. Tubuh wanita itu dicampakkan begitu saja, sehingga jatuh berdebuk di tanah.

Seringai di wajahnya menunjukkan betapa sakit tubuhnya. Tanpa mempedulikan wanita itu yang menggeletak di tanah karena telah ditotok, sosok berpakaian serba putih mengayunkan langkah menuju pintu pondok. Jari-jari kedua tangannya mengepal keras.

"Pengecut Hina...! Keluar kau...! Jangan bersembunyi seperti maling!"

Seiring dengan seruan itu sosok berpakaian serba putih mendorong tangan kanannya ke depan. Tidak terdengar bunyi menderu seperti pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam tinggi. Tapi kesudahannya benar-benar mengejutkan. Daun pintu pondok yang tertutup rapat hancur berkeping-keping mengeluarkan bunyi bergemuruh.

Begitu hiruk-pikuk itu reda, di ambang pintu telah berdiri tegak seorang pemuda tampan berambut panjang tergerai. Sikap pemuda itu kelihatan tenang sekali.

"Rupanya kau malingnya...," ujar sosok berpakaian serba putih marah. "Apa yang kau lakukan terhadap tawananku, Maling Hina? Tidakkah kau ingat, kalau aku tidak turun tangan, nyawamu sudah melayang di tangan Gempar!"

"Tidak kusangkal sedikit pun hal itu," ucap pemuda tampan tenang. "Tapi..., aku tahu kau tidak berniat menolongku. Jadi andaikata masuk hitunganku pun nilainya tidak besar. Sementara perbuatan yang akan kau lakukan memiliki kesalahan besar. Jadi, pertolonganmu itu tidak berarti sama sekali!"

"Kalau begitu... terpaksa aku mencabut nyawamu!" geram sosok berpakaian serba putih. "Tapi..., terlebih dahulu aku ingin tahu dua hal."

"Silakan," sambut pemuda tampan. "Untuk menghargai pertolonganmu, aku bersedia memberikan jawaban. Asal pertanyaanmu tidak bertentangan dengan kebenaran dan aku sanggup menjawabnya."

LIMA

Sosok berpakaian serba putih tersenyum mengejek. "Pertama, apa yang telah kau lakukan terhadap tawananku? Mencicipi tubuhnya? Dan... siapa kau sebenarnya?"

"Dugaanmu keliru, Sobat. Aku tidak melakukan hal serendah itu. Justru aku menolongnya dari perlakukan keji yang akan kau lakukan. Selanjutnya, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Arya. Tepatnya Arya Buana...."

"Dan kau terkenal dengan julukan Dewa Arak yang sakti?" potong sosok berpakaian serba putih dengan nada mengejek.

Diperhatikannya sosok berpakaian ungu dan berambut panjang putih keperakan itu. "Sejak tadi aku sudah menduga demikian. Hanya aku tidak yakin. Baru setelah kau menyebutkan namamu, aku percaya kau memang Dewa Arak."

"Dan kau siapakah, Sobat?" tanya pemuda tampan yang ternyata Arya Buana. "Kepandaianmu luar biasa. Tapi, sayang kau tersesat. Menggunakan ketinggian ilmumu untuk melakukan hal yang tidak baik."

"Tutup mulutmu! Kau boleh berbangga hati dan merasa sakti di hadapan orang lain. Tapi di hadapanku jangan coba-coba bersikap seperti itu. Kau bukan lawanku, Dewa Arak! Bersiaplah menerima kematian atas tindakan lancangmu!"

"Hih!" Sosok berpakaian serba putih meluruk ke arah Dewa Arak dengan mengirimkan tusukan mematikan ke dahi. Bunyi mendesing yang menyakitkan telinga mengiringi serangan itu.

"Heh...?!" Tanpa sadar Arya mengeluarkan seruan kaget. Dia pernah melihat gerakan penyerangan seperti itu sebelumnya. Tapi kapan dan di mana dia lupa. Yang jelas, bentuk serangan itu tidak dilihatnya dari sosok berpakaian serba putih, melainkan orang lain!

Sosok berpakaian serba putih menggeram keras melihat serangannya mengenai tempat kosong, karena Arya telah melompat melewati atas kepala. Tapi dengan kecerdikan luar biasa. Dia segera memalangkan kedua tangannya di atas kepala, berjaga-jaga terhadap serangan yang akan dilancarkan lawan. Tindakan itu membuat Dewa Arak tidak bisa melakukan serangan.

Bertepatan dengan Dewa Arak menjejakkan kaki di tanah, sosok berpakaian serba putih telah membalikkan tubuh. Hingga, mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak tiga tombak. Sepasang mata sosok berpakaian serba putih merah membara ketika menatap wajah Arya. Sekilas sempat dilihatnya keadaan di dalam pondok. Tidak dijumpainya Srini yang menjadi tawanannya. Dia tahu, Srini telah kabur. Ini menjadikan kemarahannya semakin bertambah.

Sosok berpakaian serba putih lalu memalangkan kedua tangannya di depan dada sebelum menariknya ke sisi pinggang. Kemudian perlahan-lahan kedua tangan itu didorong ke depan bergantian. Terdengar bunyi angin bertiup sangat lemah. Bahkan, hampir tidak tertangkap telinga.

Arya kelihatan terkejut. Sebagai tokoh persilatan yang telah cukup punya nama, dia tahu betapa berbahayanya serangan lawan. Semakin halus bunyi yang terdengar berarti semakin kuat tenaga dalam yang terkandung. Kesadaran akan adanya bahaya membuat Arya tidak berani menangkis. Dia belum mengetahui kekuatan tenaga dalam itu.

Tapi, wajah pemuda berambut putih keperakan itu langsung pucat ketika menyadari kedua kakinya tidak mampu digeser dari tempatnya. Ada kekuatan dahsyat yang tidak tampak telah membelenggunya. Betapapun Arya memaksa, tetap saja sia-sia. Maka, dengan sangat terpaksa dipapaknya serangan itu dengan jurus 'Pukulan Belalang'.

Bresss!

Keluhan tertahan dikeluarkan Dewa Arak ketika benturan terjadi. Tubuh pemuda itu terpental jauh ke belakang dan melayang-layang, lalu jatuh terguling-guling di tanah. Sementara lawannya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang, dan mampu memperbaiki kedudukannya kembali.

Gulingan tubuh Arya terhenti ketika menabrak sepasang kaki bulat pendek yang berdiri menjejak tanah. Dengan pandangan mata nanar pemuda itu menengok ke atas. Dilihatnya dua raut wajah. Salah satu di antaranya dikenalinya. Pemilik kaki bulat pendek itu adalah Gempar!

Sementara sosok yang satu tidak diketahui Arya. Tapi pemuda yang cerdik itu tahu kalau sosok yang berdiri di sebelah Gempar dan memiliki sikap tidak kalah angker mempunyai hubungan dengan Branta Wali. Ini bisa diketahui pakaian kakek itu yang berkembang-kembang, meskipun berwarna kuning.

Tanpa mempedulikan keadaan Arya, Gempar, dan Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga melewati tubuh pemuda berambut putih keperakan itu. Dihampirinya sosok berpakaian serba putih yang masih berdiri di tempatnya dengan sikap tenang.

"He he he...!" Sosok berpakaian serba putih tertawa terkekeh. "Rupanya kalian sudah ingin melayat ke akherat, heh? Sehingga tidak sabar lagi untuk segera kubunuh."

"Manusia terkutuk! Kaulah yang harus mati atas tindakan kejimu yang telah membunuh murid-muridku!" tandas kakek berpakaian kuning marah.

"Serahkan tawanan itu padaku, Penculik Hina!" ujar Gempar tak kalah keras sambil tersenyum lebar yang merupakan ciri khasnya.

"Barangkali saja dengan tindakan itu aku bisa mengampunimu. Tapi, tentu saja dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu!"

"Kalian singa-singa ompong. Berani benar memamerkan mulut yang bau di hadapanku? Mumpung aku masih bersikap baik, cepatlah pergi dari sini! Jangan tunggu sampai aku berubah pikiran!"

"Sombong!" maki Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga. "Kaulah yang harus mampus!"

Seperti telah disepakati sebelumnya, kedua tokoh itu melompat menerjang sosok berpakaian serba putih. Gempar menyerang dari kanan, sementara kakek berpakaian kuning dari arah kiri. Masing-masing mengeluarkan ilmu andalannya.

Namun lawan yang memang memiliki kepandaian tinggi. Sekali kakinya digerakkan dia telah membuat serangan kedua tokoh itu mengenai tempat kosong. Bahkan, mampu mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Dalam sekejap ketiga tokoh tingkat tinggi itu telah terlibat pertarungan sengit.

Jalannya pertarungan sempat disaksikan Arya. Meskipun hanya sebentar karena kemudian pemuda itu memutuskan untuk menyembuhkan luka di dada. Arya yakin dia tidak terluka dalam yang parah. Pemuda berambut putih keperakan itu tenggelam dalam semadinya, setelah sempat merasa bingung memikirkan mengapa Gempar bisa berada di sini bersama seorang kawan yang memiliki kepandaian tinggi pula.

Pertarungan berlangsung secara cepat. Yang terlihat hanya kelebatan bayangan hitam, kuning, dan coklat. Dalam waktu singkat pertarungan telah berlangsung sepuluh jurus. Dan, selama itu belum satu pun serangan Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga dan ahli waris Perguruan Laut Mati mendarat di sasaran. Tusukan-tusukan sumpit kakek berpakaian kuning selalu mengenai tempat kosong.

Kenyataan ini membuat Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga penasaran bukan main. Dan perasaan itu pula yang melanda Gempar, karena ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' yang menjadi andalannya mati kutu. Kedahsyatan ilmu itu lenyap seperti api termakan air.

Bahkan beberapa kali ketika sosok berpakaian serba putih mengayunkan tangan memapak, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan dada terasa sesak.

"Hiaaat...!"

Hampir bersamaan kakek berpakaian kuning dan Gempar mengeluarkan teriakan keras. Belum lagi gema teriakan itu pupus, tubuh kedua tokoh itu melesat ke arah sosok berpakaian putih. Dalam puncak kegeramannya, Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga maupun Gempar mengeluarkan ilmu andalan untuk mengadu nyawa. Serangan yang mereka lakukan menutup jalan keluar bagi lawan. Tapi tidak memiliki pertahanan sama sekali. Agaknya, kedua tokoh tingkat tinggi itu mulai putus asa.

"Uhhh...!" Seruan kaget terlontar dari mulut sosok berpakaian serba putih. Dia tahu kedua lawannya telah bertindak nekat, sedangkan dia sendiri bingung mencari jalan keluar. Maka....

Tuk, plak, desss!

"Akh...!"

Jerit kesakitan pun terdengar. Ketiga tokoh persilatan itu terjengkang ke belakang. Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga jatuh terguling-guling di tanah. Dia diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Nyawanya telah melayang saat itu juga. Dada kiri kakek itu pecah terkena hantaman tangan kanan sosok berpakaian serba putih.

Gempar terhuyung-huyung dan hampir jatuh, namun masih dapat bertahan. Walaupun demikian, dari sudut-sudut mulutnya mengalir darah segar. Dia terluka dalam karena serangan kedua tangannya berhasil ditangkis lawan. Tenaga dalam Gempar masih di bawah sosok berpakaian serba putih.

Sedangkan sosok itu hanya terhuyung-huyung dengan agak terpincang-pincang. Sepasang sumpit kakek berpakaian kuning mendarat di tubuhnya meskipun meleset dari tujuan semula. Sasarannya pada pelipis hanya mengenai pangkal bahu kanan. Sementara yang tertuju ke arah ulu hati menghantam pangkal paha kiri. Kedua bagian itu langsung terasa lumpuh.

Rupanya sosok berpakaian serba putih menyadari keadaannya yang tidak menguntungkan. Walau keadaannya masih lebih baik dari kedua lawannya. Tapi kalau Dewa Arak sampai ikut campur tangan, dia bisa celaka. Maka, segera sosok berpakaian serba putih itu melesat pergi menyambar tubuh murid wanita Perguruan Lembah Seribu Bunga yang tadi dilemparkannya di atas tanah.

Arya tahu maksud sosok berpakaian putih melarikan wanita bertubuh montok itu. Pemuda itu tidak membiarkannya kabur. Kebetulan saat itu dia telah selesai dengan semadinya. Buru-buru Arya melesat mengejar.

Gempar yang menyadari keadaannya sangat lemah hanya bisa menatap kepergian Dewa Arak. Kemudian, dicarinya tempat yang tersembunyi dan aman untuk mengobati lukanya seraya memanggul tubuh Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga. Sempat terbayang pertemuannya dengan Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga yang menyebabkan mereka bekerja sama. Gempar penasaran bukan main atas kejadian yang menimpa rombongannya sewaktu mengawal tawanan beberapa hari yang lalu.

Maka, begitu rombongan telah sampai di kerajaan, dia mohon diri untuk mencari sosok berpakaian serba putih guna membuat perhitungan. Pada saat yang sama, beberapa prajurit kerajaan diutus untuk menyampaikan berita kematian Branta Wali ke Perguruan Lembah Seribu Bunga.

Baru tiga hari kemudian, dia melihat kakek berpakaian kuning tengah berlari cepat sambil menampakkan sikap marah. Setelah disusul dan ditanya, mereka bersepakat akan menghadapi sosok berpakaian serba putih bersama-sama.

Semula kedua tokoh itu yakin sekali akan dapat menamatkan riwayat tokoh tingkat tinggi itu. Tapi, ternyata harapan hanya tinggal harapan. Usaha mereka kandas. Entah bagaimana lagi cara membinasakan sosok berpakaian serba putih. Gempar menggeleng-gelengkan kepalanya.

* * *

"Hup...!" Dengan melompat tinggi melewati kepala sosok berpakaian serba putih, Arya bersalto beberapa kali di udara, kemudian mendarat beberapa tombak di depannya. Dewa Arak berhasil menghadang lari sosok berpakaian serba putih. Itu pun setelah terjadi kejar-mengejar yang cukup lama dan melelahkan.

Sosok berpakaian serba putih itu terpaksa menghentikan larinya. Dengan sorot mata beringas ditatapnya pemuda berambut putih keperakan yang berada di depannya.

"Kau merasa yakin mampu mengalahkanku, Dewa Arak? Begitu beraninya kau menghadang perjalananku. Apakah karena luka yang kuderita? Kau keliru kalau begitu. Meskipun terluka, aku masih mampu membunuhmu!"

Usai berkata demikian, tanpa menunggu tanggapan Arya, sosok berpakaian serba putih menurunkan tubuh yang terpanggul di bahu kanannya. Arya segera bersiap. Dia tahu lawannya luar biasa tangguh meski telah terluka.

"Eh...?!" Arya tidak tahan untuk menahan jeritan ketika sosok berpakaian serba putih dengan tidak disangka-sangka melemparkan tubuh yang dipanggulnya ke arah Dewa Arak. Tentu saja pemuda itu kelabakan karena tidak menyangkanya. Tanpa pikir panjang lagi diulurkannya kedua tangan untuk menerima, agar tubuh wanita cantik itu tidak terluka bila jatuh ketanah.

Tappp!

Baru saja tubuh wanita itu berhasil ditangkapnya, sosok berpakaian serba putih melakukan gerakan mendorong dengan tangan kiri. Untuk kedua kalinya Dewa Arak kewalahan. Tapi meskipun demikian, pemuda berambut putih keperakan itu tidak kehilangan akal. Dia melakukan gerakan yang sama. Sayang, Arya tidak sempat mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Blarrr!

Tubuh Arya terlempar jauh. Murid wanita Perguruan Lembah Seribu Bunga yang berada di bahunya terjatuh.

Byurrr!

Setelah meluncur beberapa lama Arya jatuh ke dalam sebuah sungai yang berada sepuluh tombak di belakangnya. Dan, tubuh yang tak sadarkan diri itu segera dibawa arus sungai yang deras.

Sepasang mata sosok berpakaian serba putih berbinar gembira. Tapi, kemudian tubuhnya agak terbungkuk seraya menekan dada. Kalau saja tidak ada selubung yang menutup wajahnya akan terlihat ada seringai di sana. Sebenarnya, benturan dengan Dewa Arak tidak akan mempengaruhinya kalau saja saat itu dia tidak sedang terluka.

Dengan langkah agak terhuyung sosok berpakaian serba putih menghampiri tubuh murid wanita Perguruan Lembah Seribu Bunga. Dipondongnya tubuh itu dan dibawa pergi meninggalkan tempat itu.

* * *

"Tolong...! Tolooong...!"

Jeritan melengking penuh ketakutan dan suara derap langkah kaki, memecah kesunyian di dalam hutan lebat itu. Tampak seorang wanita muda yang berusia sekitar dua puluh tahun berlari kencang. Napasnya terdengar memburu. Namun, kakinya terus saja diayunkan. Beberapa tombak di belakang wanita cantik yang berpakaian biru itu berlari beberapa lelaki berwajah kasar. Sambil tertawa-tawa mereka mengejar.

"Larilah terus, Manis. Lari...," ucap lelaki berkumis tebal yang berlari paling depan.

Sementara itu, wanita berpakaian biru terus saja berlari sambil menjerit-jerit minta tolong. Tapi rupanya dia telah merasa lelah. Beberapa kali tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh. Sehingga mengundang gelak tawa para pengejarnya.

Namun, ayunan kaki wanita itu mendadak cepat dan bersemangat ketika melihat dua sosok tubuh di depannya. Mereka tengah berjalan, ke arahnya.

"Tolooong...!" seru wanita berpakaian, biru sambil melambaikan tangan.

Rupanya, orang yang dimintai tolong mendengar jeritan itu. Langkah mereka yang hanya semula bergerak lambat menjadi cepat. Bahkan, terlihat mereka berlari. Sosok yang berpakaian jingga dan bertubuh ramping tampak lebih lihai dari rekannya. Dengan cepat dia meninggalkan rekannya, seorang pemuda bertubuh kekar. Ini memaksa wanita berpakaian jingga beberapa kali memperlambat larinya agar dapat mensejajari langkah kawannya.

"Ah...!" Wanita berpakaian biru mengeluarkan seruan tertahan. Sepasang matanya menatap tidak percaya pada pemuda kekar yang berada di sebelah wanita berpakaian jingga.

"Tuan Muda Bandawa...!"

Seruan dan sikap wanita berpakaian biru membuat kedua orang yang hendak menolongnya terkejut bercampur heran. Tanpa sadar keduanya menoleh ke belakang karena mengira ada orang yang berlari di belakang mereka. Orang itulah yang dipanggil wanita berpakaian biru sebagai Tuan Muda Bandawa. Tapi, tidak ada seorang pun yang terlihat. Di belakang mereka tidak ada siapa-siapa.

Jadi, siapa yang dipanggil wanita berpakaian biru itu? Pertanyaan itu baru terjawab ketika wanita berpakaian biru segera memberi hormat di hadapan pemuda bertubuh kekar. "Tuan Muda...! Syukur, aku dapat bertemu denganmu di sini. Ah.... Ke mana Tuan Muda dan Tuan Besar pergi? Perkebunan tidak terurus sejak tidak ada Tuan Muda dan Tuan Besar...," ucap wanita itu penuh hormat.

Pemuda bertubuh kekar yang diajak bicara tampak kebingungan. Kepalanya menoleh menatap wanita berpakaian jingga yang berdiri di sebelahnya. Wanita itu segera bertindak.

"Maaf.... Kalau boleh aku tahu siapa Anda, Nona? Mengapa memanggil kawanku dengan sebutan seperti itu? Perlu Nona ketahui, nama kawanku ini bukan Bandawa, apalagi dengan embel-embel Tuan Muda segala. Namanya adalah Suhita. Dan aku sendiri Kemboja."

"Ah...! Maaf, maafkan sikapku yang tidak pantas, Nona Kemboja. Namaku Sukaesih. Panggil saja Esih. Mengenai kawanmu ini, aku yakin sekali kalau dia adalah Tuan Muda Bandawa, majikan kami. Semuanya mengenai dirinya persis sekali," ujar wanita berpakaian biru.

Wanita berpakaian jingga yang ternyata bernama Kemboja, dan pemuda bertubuh kekar yang tidak lain Suhita kembali saling berpandangan.

"Maaf. Dik," Suhita terpaksa turun tangan. "Kurasa perkataan Nona Kemboja tidak salah. Aku memang bukan orang yang kau maksud. Namaku bukan Bandawa, tapi Suhita."

"Tapi...," Sukaesih bimbang. "Mengapa potongan tubuh, wajah, dan ucapanmu mirip betul dengan Tuan Muda Bandawa? Aku yakin kau Tuan Muda Bandawa yang telah lama hilang."

Kemboja mengernyitkan kening. Dia percaya Sukaesih tidak berbohong. Tapi, benarkah Suhita ternyata bernama Bandawa, dan seorang juragan muda berkebunan yang memiliki banyak anak buah? Rasanya mungkin saja. Kemboja teringat kembali saat kedatangan Suhita di tempatnya untuk meminta kerja. Pemuda kekar itu mengatakan dia hanya ingat bernama Suhita dan lupa asal-usulnya. Maka, ketika dilihatnya Suhita hendak membantah ucapan Sukaesih, dia memberi isyarat pada pemuda itu untuk diam.

"Kau yakin kawanku ini memang juragan mudamu yang bernama Bandawa?" tanya Kemboja seraya menatap Sukaesih penuh selidik.

"Yakin sekali!" jawab Sukaesih mantap.

"Bisa kau tunjukkan buktinya? Yah.... Misalnya ciri-ciri khususnya."

Sukaesih terdiam. Dia tidak segera menjawab pertanyaan itu. Tampak semburat merah menyergap wajahnya. Sukaesih kelihatan malu-malu. "Juragan Bandawa mempunyai tanda khusus di kedua pangkal lengannya. Itu kuketahui ketika beliau berlatih silat. Maaf, aku memergokinya secara tak sengaja. Tuan Muda Bandawa memiliki kepandaian silat amat tinggi."

"Coba ceritakan tanda khusus yang kau maksudkan itu," desak Kemboja dengan suara bergetar. Dia merasakan misteri kehidupan kusir keretanya itu akan terungkap. Sekarang Kemboja mulai merasa yakin kalau Suhita sebenarnya adalah Tuan Muda Bandawa. Telah disaksikan sendiri pemuda bertubuh kekar itu memiliki kepandaian tinggi, seperti yang dikatakan Sukaesih.

"Di pangkal lengan kanan bergambar naga. Sedangkan di sebelah kiri bergambar harimau," jelas Sukaesih.

"Coba kulihat, Suhita." Sambil berkata demikian, Kemboja mengeluarkan pedangnya. Lalu disentaknya dengan sekali gerakan. Pakaian Suhita pada kedua pangkal lengannya tersayat dan jatuh ke tanah tanpa meninggalkan luka sedikit pun di kulitnya. Tiga pasang mata itu langsung terbelalak. Terlihat jelas gambar yang dimaksud Sukaesih tertera di kedua pangkal lengan Suhita.

"Tuan Muda...!" seru Sukaesih keras. Wajahnya tampak berseri. "Aku bersyukur sekali dapat menemukan Tuan. Dan.... Akh....!"

"Esih...!" Kemboja memekik kaget melihat tubuh Esih tiba-tiba terkulai. Mata Kemboja yang tajam dapat melihat seleret sinar terang melesat sebelum wanita berpakaian biru itu memekik kesakitan. Secepat kilat Kemboja menarik tubuh Sukaesih dan memeriksanya. Kemboja mengeluh dalam hati menemukan di punggung Sukaesih tertancap sebatang pedang yang menembus dada kirinya. Tanpa memeriksa lebih jauh dia segera bisa mengetahui pedang itu menembus jantung Sukaesih.

"Esih...!" Suhita alias Tuan Muda Bandawa ikut berseru. Sejak tadi pemuda bertubuh kekar itu mematung dengan sorot mata linglung. Hanya dahinya berkerut yang menjadi pertanda kalau Suhita tengah berpikir.

"Tu....Tuan.... Mu... mu.... Muda...." Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, Sukaesih terkulai karena nyawanya telah melayang meninggalkan raga. Wanita berpakaian biru itu tewas.

Kemboja menggertakkan gigi. Dia marah bukan main melihat kematian Sukaesih yang mengenaskan. Ini menyebabkan asal-usul Suhita kembali tertutup. Sebab, hanya Sukaesih yang dapat menunjukkan di mana tempat tinggal Bandawa alias Suhita. Siapa gurunya dan mengapa Bandawa bisa jadi seperti ini. Juga, dari mana dia mendapatkan nama Suhita. Dengan hati-hati Kemboja membaringkan tubuh Sukaesih.

Kemudian pandangannya dilayangkan pada tempat melesatnya pedang. Di sana dilihatnya sesosok tubuh ramping berpakaian hijau tengah bertarung menghadapi rombongan lelaki kasar yang tadi mengejar-ngejar Sukaesih.

Kemboja menggertakkan gigi. Dia merasa sangat menyesal, mengapa bisa melupakan pengejar-pengejar Sukaesih. Dia sampai tak tahu kalau para pengejar itu telah bertarung dengan wanita berpakaian hijau.

Kemboja tidak tahu kalau di saat dia, Suhita, dan Sukaesih terlibat pembicaraan, rombongan pengejar sudah hampir tiba. Namun sebelum maksud rombongan itu terlaksana....

"Anjing-anjing kelaparan! Tindakan kalian sungguh menjijikkan!"

Bersamaan dengan teriakan itu, sesosok tubuh ramping berpakaian hijau bersalto beberapa kali di atas kepala mereka dan mendarat ringan di depan laki-laki itu. Sebuah pedang telanjang tergenggam di tangannya. Rombongan lelaki kasar itu langsung menghentikan lari. Ditatapnya sosok di hadapan mereka sejenak sebelum akhirnya mengumbar tawa gembira penuh ejekan.

"Luar biasa sekali, Kawan-kawan," seru lelaki berkumis tebal yang menjadi pimpinan sambil menoleh ke belakang. "Hari ini kita amat beruntung. Belum juga kelinci lunak berhasil kita dapatkan, sudah ada lagi kuda betina liar yang minta dijinakkan! Ha ha ha...!"

Jawaban bagi ucapan lelaki berkumis tebal itu adalah tusukan pedang wanita cantik berpakaian hijau yang mengarah ke lehernya. Kenyataan ini membuat pimpinan lelaki kasar terkejut bukan main. Namun cepat dia bertindak dengan melempar tubuhnya ke belakang.

"Keparat!" Lelaki berkumis tebal menggeram keras ketika berhasil lolos dari maut. Hampir saja nyawanya melayang ke alam baka. "Kuda liar ini cukup alot juga rupanya.Mari kita taklukan dia, Kawan-kawan...!"

Lelaki berkumis tebal mencabut senjatanya. Lalu, bersama dengan lima rekannya mereka meluruk maju menerjang gadis berpakaian hijau. Tak pelak lagi pertarungan sengit pun terjadi.

Wanita berpakaian hijau ternyata memiliki kepandaian mengagumkan. Pedang di tangannya menyabar-nyambar laksana halilintar. Kalau saja orang-orang kasar itu tidak melakukan pengeroyokan, dengan mudah wanita berpakaian hijau akan dapat merobohkan mereka. Namun kenyataan menghendaki lain.

Tambahan lagi, orang-orang kasar itu telah terbiasa bertarung untuk menyabung nyawa, sehingga penuh pengalaman dan tipu daya. Ini menjadikan keunggulan wanita berpakaian hijau tertutupi.

Setelah pertarungan berlangsung sepuluh jurus, dengan gerak luar biasa wanita berpakaian hijau melakukan gerakan mengait, sehingga pedang di tangan lelaki berkumis tebal terlepas. Tapi sayangnya, dia kurang memperhitungkan keberadaan orang di belakangnya. Maka, pedang lelaki berkumis tebal itu pun meluncur deras menembus punggung Sukaesih.

ENAM

Diawali teriakan melengking nyaring, dengan pedang di tangan, Kemboja melompat memasuki arena pertarungan. Tapi, sebelum gadis berpakaian jingga itu berhasil masuk, terdengar geraman keras yang telah sering didengarnya. Geraman seperti seekor binatang buas murka. Walaupun sebenarnya keluar dari mulut Suhita alis Tuan Muda Bandawa.

Dan sebelum Kemboja sempat menoleh, di sebelahnya bertiup angin dingin. Kelebatan sosok yang tidak jelas melesat memasuki arena pertempuran. Sosok yang tidak lain Suhita langsung bertindak. Kedua tangannya yang terkepal kecuali jari telunjuk, melancarkan totokan-totokan dahsyat.

Tentu saja keenam lelaki kasar itu tidak membiarkan begitu saja serangan Suhita mendarat di tubuh mereka. Maka, sedapat mungkin dipapakinya. Bahkan mengirimkan serangan balasan. Tapi, sayang sebagian dari mereka gagal. Gerakan tangan Suhita alias Bandawa terlalu cepat untuk dapat diikuti mata mereka. Jari telunjuk Bandawa telah lebih dulu membuat lubang di dahi mereka. Dengan jeritan menyayat hati tubuh orang-orang kasar itu pun roboh ke tanah. Tewas.

Tiga di antara orang-orang kasar yang berhasil menangkis mengalami keterkejutan tidak kalah hebat. Golok yang dipakai untuk menangkis jadi berlubang. Bahkan senjata itu sampai terlempar dari genggaman. Sebelum ketiga orang itu tersadar dari keterkejutannya, tangan-tangan Bandawa telah kembali meluncur. Dan, ketiga orang itu pun menyusul rekan-rekannya yang telah lebih dulu melayat ke akherat.

Kejadian itu hanya berlangsung satu gebrakan saja. Sehingga wanita berpakaian hijau tidak sempat berbuat sesuatu. Dia terkejut bukan main melihat lawan-lawannya telah bergeletakan tanpa nyawa. Dan sebelum wanita itu menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, Suhita telah menerjang ke arahnya dengan jari telunjuk lurus terbuka.

Wanita berpakaian hijau tidak melihat dengan jelas jari telunjuk yang meluncur ke arah dahinya. Tapi, dia sempat melihat kelebatan sesosok bayangan. Wanita itu segera tahu ada bahaya yang tengah mengancamnya. Maka, dengan untung-untungan pedang dibabatkan ke arah sosok yang berkelebat itu.

Takkk!

Babatan pedang wanita berpakaian hijau membentur pergelangan tangan Bandawa. Pedang itu pun langsung terlepas dari pegangan dan terlempar jauh. Sedang tangan pemiliknya tergetar hebat. Tapi akibat tangkisan itu jari telunjuk Bandawa tertahan sejenak. Dan ketika meluncur lagi, wanita berpakaian hijau telah mempunyai kesempatan untuk mengelak dengan melempar tubuhnya ke belakang.

Namun Bandawa benar-benar mempunyai kepandaian menggiriskan dan tidak masuk akal. Meski lawannya telah melempar tubuh ke belakang, jari telunjuk Bandawa terus meluncur mengikuti ke mana wanita itu pergi!

"Bandawa...! Tahan...!"

Seruan keras dan tinggi yang diucapkan dengan penuh kekhawatiran itu membuat Bandawa, yang jari telunjuknya baru saja akan menembus dahi wanita berpakaian hijau, tertahan di udara. Dengan pandang mata masih beringas ditatapnya wanita berpakaian hijau kelinglungan.

Tapi rupanya pemilik suara itu cukup mempunyai pengaruh terhadap dirinya, hingga Bandawa tidak berani melanjutkan serangannya. Jika pemuda bertubuh kekar ini meneruskan, nyawa wanita berpakaian hijau itu pasti akan melayang. Ini disadari oleh lawan Bandawa. Karena itu dahinya dipenuhi keringat dingin sebesar biji-biji jagung. Sedangkan pemilik seruan tadi yang ternyata Kemboja, mengayunkan langkah mendekati.

Tiba-tiba Bandawa mengeluarkan keluhan tertahan. Kedua tangannya sibuk memegangi kepala. Tubuhnya limbung ke sana kemari. Karuan saja wanita berpakaian hijau sangat heran. Meskipun wajahnya menyiratkan kelegaan karena nyawanya telah lolos dari lubang jarum, dia bingung melihat keadaan lawannya yang mendadak seperti orang sakit. Dengan disertai keluhan panjang tubuh Bandawa ambruk ke tanah. Wanita berpakaian hijau itu pun tahu Bandawa jatuh pingsan.

"Srini...!"

Sapaan itu membuat wanita berpakaian hijau menolehkan kepala. Dia merasakan ada getaran aneh pada suara itu. Ditatapnya lekat-lekat wajah Kemboja.

"Kemboja...!" pekik wanita berpakaian hijau. "Kaukah itu? Ah! Sungguh tidak disangka kau berada di sini. Lalu..., mana yang lainnya?"

Kemboja tidak menjawab. Kedua tangannya terkembang hendak memeluk wanita berpakaian hijau. Srini segera menyambutnya, kedua wanita itu pun saling berpelukan erat.

"Panjang ceritanya, Srini," jawab Kemboja setelah melepaskan pelukannya. Kemboja dan Srini adalah anak kandung lelaki setengah baya yang dipenggal kepalanya oleh Gempar. Mereka berdua anak kembar.

"Aku akan sabar mendengarkannya, Kemboja. Ceritakanlah," ujar Srini penuh minat.

"Aku sendiri tidak tahu pasti cerita sebenarnya. Ayah tidak pernah memberitahukannya padaku," ujar Kemboja memulai ceritanya setelah menghela napas berat. "Tapi, suatu malam Ayah menyuruhku membawa Ibu pergi meninggalkan rumah. Pasukan kerajaan akan datang untuk menangkap atau membunuh Ayah sekeluarga dengan tuduhan melakukan pemberontakan. Dengan berat hati aku terpaksa memenuhi permintaannya. Kami berangkat dengan pengawalan dua belas orang prajurit dan kusir kereta yang bernama Suhita alias Bandawa."

"Dia?!" Srini menunjuk Bandawa yang tergolek di tanah.

Kemboja mengangguk. "Di tengah jalan rombongan kami dicegat oleh orang-orang Perguruan Lembah Seribu Bunga. Kami kalah kuat. Semua para pengawal binasa, begitu juga Ibu. Sedangkan aku akan dijadikan pemuas nafsu mereka. Untung, Suhita yang semula tidak memiliki kepandaian, entah dengan cara bagaimana ia mendapat kepandaian luar biasa, mampu membinasakan orang-orang Perguruan Lembah Seribu Bunga. Kejadian itu membuatku merasa tidak ada gunanya lagi melanjutkan perjalanan. Maka, kuputuskan untuk kembali pada Ayah. Sayang sekali...."

"Mengapa, Kemboja?" tanya Srini tak sabar.

Kemboja tidak segera menjawab. Dia tercenung teringat pengalamannya beberapa hari yang lalu. Terbayang kembali di benaknya ketika dia mengajak Suhita kembali ke rumah ayahnya.

"Cepat, Suhita...!" Kemboja tidak sabar di tengah derap kaki binatang tunggangannya. Wanita berpakaian jingga itu menoleh ke belakang karena Suhita agak tertinggal.

Seruan Kemboja membuat Suhita berusaha keras mensejajari lari binatang tunggangan wanita itu. Tapi, tetap saja sia-sia. Hingga Kemboja beberapa kali terpaksa memperlambat lari kudanya untuk menunggu Suhita.

Hari menjelang fajar ketika Suhita dan Kemboja berada di mulut sebuah hutan. Menurut perhitungan Suhita, menjelang petang mereka akan tiba di tempat kediaman ayah Kemboja. Itu kalau perjalanan terus dilakukan dengan cepat.

Tapi sebelum kuda-kuda Suhita dan Kemboja berhasil keluar dari hutan, terdengar bunyi berdesing nyaring. Tahu-tahu di depan mereka telah menancap sebatang tombak yang pada gagangnya dililit rantai baja berhias tulang tengkorak manusia. Melihat besarnya yang tidak wajar, agaknya tengkorak itu adalah tengkorak anak kecil.

Kejadian yang tidak disangka-sangka ini membuat Suhita dan Kemboja menarik tali kekang untuk menghentikan lari binatangbinatang itu. Baru saja kuda-kuda itu berhenti, terdengar bunyi berkerosak. Di sekeliling mereka telah berdiri banyak orang-orang berwajah kasar. Suhita dan Kemboja segera tahu mereka tengah berhadapan dengan gerombolan perampok.

"He he he...!" Seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan berotot kuat laksana seekor banteng tertawa terkekeh menatap Kemboja dengan kurang ajar.

"Mimpi apa aku semalam sehingga sekarang bertemu dengan seorang bidadari? Turunlah, Manis. Dan mari ikut aku. Percayalah. Kau akan bahagia bila bersama denganku. Tinggalkan orang jelek itu!" Ucapan lelaki tinggi besar langsung disambut dengan tawa kurang ajar lelaki kasar lainnya. Seperti juga lelaki tinggi besar, mereka memandang Kemboja dengan penuh minat.

Kemboja yang menjadi sasaran kekaguman penuh nafsu birahi laki-laki kasar itu jadi mual perutnya. Dia kesal bukan main. Sejak tadi dia sudah menghunus pedangnya. Tapi ditahannya karena menunggu tindakan Suhita. Dia yakin Suhita memiliki kepandaian, namun sengaja disembunyikan. Ingin diketahui, apakah pemuda itu akan tetap berpura-pura tidak bisa bersilat bila gerombolan perampok mulai menyerang.

"Harap kalian sudi menyingkir dan memberi jalan pada kami," ucap Suhita serayamemajukan kuda hingga berdekatan dengan lelaki tinggi besar yang menjadi pimpinan orang-orang kasar. "Kami sedang buru-buru. Atas pengertian kalian kuucapkan terima kasih yang tak terhingga."

"Ah, begitu kiranya?" sambut lelaki tinggi besar dengan mengulum senyum. Sinar matanya penuh ejekan. "Tentu saja aku tidak akan menghalangi kepergianmu. Pergilah. Kami tidak akan menghalangi."

"Ah.... Terima kasih atas kebaikanmu, Sobat. Sudah kuduga kau adalah orang yang bijaksana," ucap Suhita sambil memberi hormat.

"Mari, Nona. Kita tinggalkan tempat ini. Kita harus bergegas agar tiba di sana pada waktunya."

Kemboja pun bersiap-siap akan menggebah kudanya. Tapi....

"Tunggu dulu, Anak Muda!" sergah lelaki tinggi besar membuat Suhita mengalihkan pandangan ke arahnya. "Rupanya kau tidak menyimak ucapanku. Kukatakan, kau boleh meninggalkan tempat ini. Tapi mengapa harus mengajaknya? Dia akan tetap tinggal di sini karena harus menjadi istriku."

"Keparat!" Kemboja sudah tidak tahan lagi menahan sabar. Dihunus pedangnya hingga menimbulkan kilatan sinar yang menyilaukan mata. Sambil memegang tali kekang kuda dengan tangan kiri, senjata itu ditusukkan ke leher lelaki tinggi besar.

"Lihai!" Lelaki itu berteriak memuji. Tapi dia tidak berdiam diri. Tangannya bergerak cepat. Tahu-tahu di tangan kirinya tergenggam sebuah perisai berbentuk bulat. Dengan alat pertahanan itu dipapaknya serangan Kemboja.

Trang!

Kemboja menyeringai ketika merasakan tangannya tergetar hebat. Dia tahu tenaga dalam lawan jauh lebih kuat. Dan sebelum gadis berpakaian jingga itu melancarkan serangan kembali, tangan kanan lelaki tinggi besar telah bergerak meraih sehelai cambuk. Senjata itu langsung dilecutkan pada Kemboja. Meluncurlah ujung cambuk ke arah bahu kanan gadis itu.

Rupanya, lelaki tinggi besar ingin melumpuhkan perlawanan Kemboja. Serangan ini memaksa Kemboja untuk melompat dari punggung kudanya dan mendarat di tanah. Sangat sulit baginya bertarung di atas punggung binatang itu. Sesaat kedua kakinya menjejak tanah, Suhita yang melihat majikannya diserang segera bertindak.

Pemuda bertubuh kekar itu memajukan kudanya menghalangi langkah lelaki tinggi besar. Karuan saja pemimpin orang-orang kasar itu marah. Serangan susulan cambuk yang semula ditujukan pada Kemboja kini dikarahkan pada Suhita.

Ctarrr!

Suhita linglung melihat kelebatan sinar hitam kemerahan meluncur ke arah kepalanya. Dia tidak tahu kalau yang diserang lawan adalah ubun-ubunnya, bagian yang mematikan. Yang dilakukan Suhita hanya tertegun. Tak tahu harus berbuat apa.

Rupanya, malaikat maut belum berminat mengambil nyawa Suhita. Di saat yang gawat itu muncullah binatang penolong. Kuda tunggangan Suhita yang kaget dan ketakutan mendengar bunyi ledakan cambuk merasakan bahaya mengancam bila orang yang berada di punggungnya tetap di situ. Ia meringkik panjang seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi ke udara.

Tindakan kuda itu membuat tubuh Suhita jatuh berdebuk ke tanah. Maka, dia pun selamat dari bahaya maut. Tapi, pemuda itu benar-benar tidak mampu berbuat apa pun. Saat tubuhnya jatuh ke tanah dia tidak melakukan gerakan yang membuat kedua kakinya mendarat lebih dulu. Akibatnya, belakang kepalanya lebih dulu membentur tanah. Seketika itu juga Suhita tak sadarkan diri.

Kemboja menggeram keras melihat Suhita tidak berdaya. Dia khawatir pemuda bertubuh kekar yang diyakininya pandai bermain silat itu tewas. Maka, dengan kemarahan yang memuncak diserangnya lelaki tinggi besar itu.

Seperti juga sebelumnya, pimpinan perampok itu langsung menyambutnya. Pertarungan pun kembali berlangsung. Kemboja berjuang keras mengirimkan serangan-serangan maut. Sedangkan lelaki tinggi besar melayani dengan sikap tenang.

Serangan-serangan yang dikirimkannya tidak ada yang mematikan, karena memang ingin menangkap Kemboja hidup-hidup. Ujung cambuknya selalu meluncur menuju tempat-tempat yang tidak berbahaya.

Tindakan yang dilakukan lelaki tinggi besar membuatnya rugi sendiri. Karena sikap mengalahnya, perisai dan cambuknya dapat dijatuhkan Kemboja. Sehingga ia terpaksa mengeluarkan golok dan memerintahkan anak buahnya untuk membantu. Kemboja pun dikeroyok enam orang lelaki kasar. Dalam beberapa gebrakan saja dia sudah terdesak hebat.

"Tapi karena mereka ingin menangkapku hidup-hidup, jalannya pertarungan jadi lama," ujar Kemboja terus melanjutkan ceritanya. "Pertarungan berlangsung hingga matahari muncul. Saat itulah pertolongan tidak terduga-duga datang. Seorang pemuda berambut aneh muncul dan langsung menghadapi mereka...."

"Apakah yang kau maksudkan itu seorang pemuda berambut putih keperakan dan mengenakan pakaian ungu?" potong Srini tak sabar.

"Kau mengenalnya, Srini?" tanya Kemboja tak kalah kagetnya.

"Kenal sih, tidak," jawab Srini dengan wajah merah. "Tapi.... Dia pun pernah menolongku. Nanti aku ceritakan. Sekarang, teruskan saja ceritamu."

"Di saat pemuda berambut putih keperakan itu hampir merobohkan lawan-lawannya. Tiba-tiba terdengar geraman keras yang pernah kudengar sebelumnya. Suhita, telah bangkit dari tergoleknya. Dia menjelma sebagai tokoh silat berkepandaian tinggi.

Sehingga, pemuda berambut aneh itu pun tidak berdaya menghadapinya. Dengan keji Suhita membunuh keenam perampok itu. Dahi mereka semua berlubang. Kemudian, Suhita berlari dengan membawaku setelah kugagalkan maksudnya yang hampir saja membunuh pemuda penolongku itu."

Kemboja menghentikan ceritanya sejenak. Ditatapnya Srini dalam-dalam. "Setelah itu terjadilah hal yang aneh lagi, Srini," lanjut Kemboja.

"Setelah berlari dengan membawaku beberapa saat lamanya, Suhita berhenti dan memegangi kepala dengan kedua tangan. Tubuhnya terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Ketika kuperiksa dia ternyata pingsan. Tapi anehnya, begitu sadar kembali Suhita linglung melihatku selamat. Dia malah menanyakan siapa yang telah menolongku dan bersyukur aku selamat."

"Ah...!" Srini berseru kaget. "Dan kejadian seperti itu selalu terulang kembali, Kemboja?" Srini menatap wajah saudara kembarnya lekat-lekat. Sekilas diliriknya Suhita alias Bandawa yang masih tergolek pingsan. "Aku yakin ada sesuatu yang tersembunyi, Kemboja."

"Bukan tersembunyi, Srini," bantah Kemboja. "Tapi aneh. Semula aku mengira Suhita sengaja menyembunyikan kepandaiannya. Tapi ternyata tidak. Kepandaiannya yang tinggi itu hanya muncul di saat-saat tertentu saja. Aku baru menyadarinya, Srini."

"Kau bisa menarik kesimpulan mengapa terjadi hal aneh itu, Kemboja?" Srini ingin tahu.

"Kira-kira begini," jawab Kemboja setelah terdiam beberapa saat. "Suhita berubah menjadi orang yang memiliki kepandaian silat tinggi bila sedang marah. Tidakkah kau melihatnya, Srini?"

"Hhh...," Srini menarik napas berat. "Ya. Aku melihatnya. Tapi karena aku baru pertama kali berjumpa, aku tidak bisa menarik kesimpulan seperti itu. Malah, aku mempunyai dugaan yang mungkin tidak mengenakkan hatimu, Kemboja. Ini berdasarkan pengalamanku."

"Katakan Srini. Tidak usah ragu-ragu," Kemboja memberi kesempatan.

"Aku mempunyai dugaan bahwa Suhita alias Bandawa adalah seorang penjahat keji. Dia seorang tokoh alat tingkat tinggi yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik selubung putih. Aku tidak sembarangan saja melemparkan dugaan ini, Kemboja. Tokoh yang kusebutkan itu pun sengaja merahasiakan dirinya. Sosok berpakaian serba putih itu selalu membunuh lawannya dengan mempergunakan sebuah jari. Dia memiliki kepandaian yang menakjubkan. Dan, seperti yang kau katakan tadi, pemuda berambut aneh itu juga menjadi musuh besar sosok berpakaian serba putih. Cocok, bukan?"

Kemboja mengernyitkan alisnya. Gadis itu tampak berpikir. "Kurasa lebih baik kau ceritakan pengalamanmu, Srini."

"Dari kawan-kawan Guru, kudengar Ayah telah ditangkap oleh pasukan kerajaan, karena tekadnya yang ingin keluar dari kelompok pasukan khusus kerajaan. Beberapa kawan-kawan guruku berusaha membebaskan Ayah. Tapi mereka gagal dan tewas, sisanya dapat melarikan diri dengan membawa luka-luka di tubuhnya.

Kata mereka, dalam rombongan pasukan kerajaan terdapat dua tokoh tingkat tinggi. Yang seorang bernama BrantaWali, murid Perguruan Lembah Seribu Bunga yang memang telah lamamembantu kerajaan.

Yang satu lagi seorang tokoh yang lebih tinggi ilmunya dari Branta Wali. Sayang, mereka tidak tahu siapa dia. Tapi belakangan aku tahu kalau tokoh pendek gemuk itu adalah ahli waris terakhir Perguruan Laut Mati. Gempar namanya. Dia memang memiliki kepandaian yang menakjubkan.

Tapi aku tidak peduli. Demi untuk membebaskan Ayah, aku rela melepas nyawa. Kuhadang pasukan kerajaan dan kucoba membebaskan Ayah. Aku hampir celaka, tapi untung guruku cepat datang. Beliau tewas di tangan Gempar, dan aku tertawan."

"Resi Sindu Laga tewas?" tanya Kemboja hampir tidak percaya. Ia tahu betul ketinggian ilmu kakek yang menjadi gurunya Srini itu. Sehingga dia heran sekali mendengar Resi Sindu Laga tewas.

Memang, sejak sepuluh tahun yang lalu, Ayah mereka mengirim Srini pada Resi Sindu Laga, sahabat karibnya. Srini diangkat menjadi murid tokoh itu. Sedangkan Kemboja tetap tinggal bersama ayahnya. Srini menganggukkan kepala. Kemudian, melanjutkan ceritanya.

"Itulah, Kemboja," ujar wanita berpakaian hijau itu ketika sampai pada cerita tentang sosok berpakaian serba putih. "Dia membawaku kabur, dan aku yakin ia mempunyai maksud jahat dan keji, karena sepanjang perjalanan tangannya selalu menggerayangi tubuhku. Dia membawaku ke sebuah pondok. Di sana dimintainya aku menjadi istrinya.

Rupanya, dia jatuh cinta kepadaku. Katanya, kalau sampai aku tidak memberikan jawaban dalam waktu lima hari, aku akan menjadi korban seperti wanita-wanita lainnya. Diperkosa dan dibunuh setelah dia merasa puas. Untung di hari ketiga muncul pemuda berambut putih keperakan. Dia membebaskan aku dan menyuruhkku pergi setelah mendengar kedatangan sosok berpakaian serba putih."

"Lalu..., bagaimana selanjutnya, Srini?"

Srini mengangkat kedua bahunya. "Aku tidak tahu, Kemboja. Aku langsung pergi setelah mengucapkan terima kasih. Aku takut akan jatuh lagi ke tangan sosok berpakaian serba putih. Karena, pemuda berambut putih keperakan itu bukan tandingannya."

Kemboja mengangguk-anggukkan kepala membenarkan pendapat saudara kembarnya. Dari cerita Srini bisa diketahui kalau pemuda berambut putih keperakan itu memang bukan tandingan sosok berpakaian serba putih. Dan juga, bukan tidak mungkin sosok itu adalah Suhita!"

Suasana menjadi hening ketka Srini maupun Kemboja tidak berkata-kata lagi. Namun, itu tidak berlangsung lama karena dipecahkan oleh keluhan Suhita. Pemuda bertubuh kekar itu rupanya mulai sadar dari pingsannya.

"Ah...!" begitu sepasang matanya terbuka, Suhita alias Bandawa segera berseru kaget ketika melihat Kemboja. "Syukurlah kau selamat, Nona. Dan... maaf. Siapakah Nona ini?"

Srini tersenyum. "Namaku Srini, Bandawa."

"Bandawa...?!" pemuda itu mengulang ucapan Srini dengan dahi berkerut linglung. Tapi hanya sesaat saja. "O ya, aku ingat. Namaku bukan Suhita tapi Bandawa. Seseorang yang bernama Sukaesih telah memberitahukannya padaku. Ya. Mungkin itu memang benar namaku. Sepertinya nama Bandawa dan Sukaesih mempunyai arti bagiku."

Kemboja saling berpandangan dengan Srini.

"O ya, Bandawa," ucap Kemboja kemudian. "Perlu kau ketahui, Srini ini adalah saudara kembarku. Kau ingat?"

"Ah, ya...!" seru Bandawa linglung, seraya tersenyum lebar dan menepuk dahinya. "Mengapa aku begitu pelupa. Maafkan sikapku yang tidak pantas tadi, Nona Srini."

"Lupakan," ucap Srini cepat. "O ya, Kemboja. Bagaimana kalau kita pergi menjumpai pemuda berambut aneh itu, maksudku ke tempat di mana aku ditahan. Barang kali saja mereka masih ada. Setidak-tidaknya jika penolong kita itu tewas, kita dapat mengurus mayatnya. Hitung-hitung sebagai balas budi kita."

"Aku sih setuju saja, Srini. Dia memang tampan, kok," goda Kemboja. "Tapi, jauhkah tempat itu?"

"Kau ngaco, Kemboja!" sergah Srini dengan wajah memerah.

"Kalau kau mau tahu juga, perjalanan ke sana membutuhkan waktu sehari penuh."

"Jadi...," ucap Kemboja setelah tercenung. "Kita telah ketinggalan waktu sehari semalam."

Srini terdiam. Apa yang dikatakan saudara kembarnya memang benar.

"Lalu..., bagaimana kalau kita bertemu sosok berpakaian serba putih di tengah jalan? Apa yang akan kau lakukan, Srini? Menunggu pemuda berambut aneh itu menolongmu?" Kemboja kelihatan bimbang.

"Mengapa kau begini bodoh, Kemboja!" ujar Srini sambil melirik Bandawa.

Sejenak Kemboja membisu. Tapi akhirnya dia mengerti maksud lirikan Srini. "Tapi bagaimana membuatnya seperti itu, Srini? Menunggu kita celaka lebih dulu?"

"Tenang, Kemboja. Aku tahu caranya. Andaikata semua cerita yang kau tuturkan padaku benar, aku yakin caraku ini pasti berhasil!" tandas Srini yakin.

Sikap wanita berpakaian hijau ini membuat Kemboja mengangkat bahu. Dia tidak membantah lagi. Disadari kalau Srini memang jauh lebih cerdas darinya. Itu sebabnya ayahnya mengirim Srini pada Resi Sindu Laga.

Sambil masih terus bercakap-cakap tentang Bandawa tanpa yang bersangkutan mengetahui, ketiga orang muda itu melanjutkan perjalanan menuju tempat Srini pernah ditahan. Perjalanan itu sengaja dilakukan Srini dan Kemboja, untuk membuktikan apakah Suhita alias Bandawa adalah sosok berpakaian serba putih yang keji dan memiliki kepandaian tinggi itu?

TUJUH

"Kau lihat pondok di depan itu, Kemboja?" tanya Srini seraya menudingkan jari telunjuknya ke sebuah rumah sederhana tempat dulu dia disekap.

Kemboja, dan bahkan Bandawa mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Srini. Tidak hanya ke tempat itu saja, tapi juga ke sekitarnya. "Sepi saja, Srini," ucap Kemboja pelan. "Kurasa tidak ada seorang pun di sini."

Srini tidak memberikan tanggapan. Yang dilakukannya adalah mengayunkan kaki menuju pondok sederhana di depan sana. Mau tidak mau Kemboja dan Bandawa mengikuti.

"Ha ha ha...! Ternyata untungku. Nasib baikku kembali datang.... Sungguh tidak kusangka kalau di tempat seperti ini akan bisa kutemui putri keparat pemberontak. Ha ha ha...! Raja pasti akan sangat gembira melihatnya. Ha ha ha...!"

Hampir bersamaan Srini, Kemboja, serta Bandawa menolehkan ke belakang. Dari salah satu cabang pohon yang mereka lewati tadi melompat turun sesosok tubuh pendek gemuk yang berwajah senantiasa tertawa. Dialah Gempar, ahli waris terakhir Perguruan Laut Mati.

Srini yang telah mengetahui betapa lihainya lelaki pendek gemuk ini, tanpa membuang-buang waktu lagi segera menghunus pedangnya. Tindakan ini segera ditiru Kemboja. Hanya Bandawa yang berdiam diri dengan tatapan linglung.

"Ah...!" Gempar mengeluarkan seruan kaget bercampur gembira. Ternyata putri pemberontak yang telah dibunuhnya itu ada dua. "Kau pun anaknya juga, Cah Ayu?"

Lelaki pendek gemuk itu mengajukan pertanyaan pada Kemboja, seraya memperhatikan wajah Srini dan Kemboja yang mirip dengan bergantian.

"Kaukah yang telah membunuh guru saudaraku, Manusia Katak? Mampuslah!"

Kemboja meluruk ke arah Gempar dengan tusukan pedang yang bertubi-tubi. Ke arah ulu hati, pusar, dan dada. Saking cepatnya gerakan pedang, mata pedangnya seperti berubah menjadi banyak. Tapi serangan itu tidak dianggap Gempar sebagai ancaman bahaya. Diatertawa bergelak.

"Bukan hanya Resi Sindu Laga saja yang kubunuh, Anak Manis. Tapi ayahmu juga. Kepalanya telah kupenggal. Dan, tubuhnya kubuang di tengah jalan!"

Terdengar teriakan melengking nyaring. Srini menyusul saudara kembarnya melakukan serangan. Pedang di tangannya lenyap menjadi segulungan sinar menyilaukan membungkus tubuhnya. Kemudian, diluncurkan ke berbagai bagian tubuh Gempar.

Sekali lihat saja Gempar tahu serangan Srini jauh lebih berbahaya daripada serangan Kemboja. Tapi, dia pun tahu serangan Kemboja tiba lebih dulu. Maka, ditariknya napas dalam-dalam. Seketika itu pula perutnya yang memang sudah gendut menggembung seperti balon. Ketika itulah ujung pedang Kemboja menghantam sasaran dengan tepat.

"Akh...!" Kemboja memekik tertahan. Pedangnya terpental balik ketika mengenai perut Gempar. Sasaran yang dihantamnya bagaikan segundukan karet keras. Sehingga tangannya tergetar hebat. Sampai-sampai senjata andalannya terlepas dari genggaman.

Pada saat yang hampir bersamaan serangan Srini datang menyusul. Tapi sebelum mencapai sasaran, Gempar telah lebih dulu menggerakkan kedua tangannya mempergunakan ilmu 'Pukulan Gelombang Laut'. Dan seperti kejadian yang sudah-sudah, Srini merasakan tubuhnya lemas seakan-akan tulang-tulangnya dilolosi.

Tenaganya lenyap entah ke mana. Kekuatan serangannya menjadi lumpuh. Gadis itu kemudian ambruk ke tanah sebelum berhasil mengirimkan serangan.

"Srini...!" Kemboja berteriak melihat keadaan saudara kembarnya.

"Ha ha ha...!" Gempar tertawa bergelak penuh kemenangan. Keyakinannya akan dapat menangkap Srini dan Kemboja membuatnya membiarkan kedua gadis itu, dan tidak melakuan serangan susulan yang dapat melumpuhkan mereka.

Dengan susah payah Srini bangkit. Masih terhuyung-huyung karena pengaruh ilmu 'Pukulan Gelombang Laut', Srini menghampiri Bandawa. Sebelumnya ia memberikan isyarat pada Kemboja agar mengikuti.

Meski merasa heran Kemboja mengikuti kemauan Srini. Dia yakin saudara kembarnya tidak bermain-main dalam saat genting seperti ini. Begitu Kemboja telah berada di dekat Bandawa yang keheranan melihat kedua gadis itu mendekatinya. Srini memberi tanda. Kemboja bimbang meskipun dia mengerti maksud isyarat itu.

Namun ketika melihat sorot mata Srini yang begitu memaksa, mau tidak mau perintah itu dilakukannya. Kemboja tahu andaikata Srini dalam keadaan biasa, gadis itu akan melaksanakannya sendiri.

Dukkk!

"Hukh!" Bandawa mengeluarkan keluhan tertahan sebelum roboh ke tanah dan tidak sadarkan diri. Pukulan sisi tangan yang dihantamkan Kemboja mendarat telak di kuduknya.

Kelakuan kedua gadis muda yang cantik itu tidak lepas dari perhatian Gempar. Tentu saja lelaki pendek gemuk itu heran bukan main. "Apa yang dilakukan putri-putri pemberontak ini?" tanyanya dalam hati. Apakah karena rasa takut yang sangat lantas mereka menjadi gila dan tidak tahu harus berbuat apa?

"Mengapa kau menyuruhku melakukan hal ini, Srini?" tanya Kemboja tak dapat menahan rasa ingin tahunya.

Baru saja Srini hendak memberikan jawaban, Gempar telah lebih dulu menyelak. "Bersiaplah, Putri-putri Pemberontak! Kalian akan kuhadapkan pada raja!"

"Boleh aku mengajukan satu permintaan?" tanya Srini seraya menatap wajah lelaki pendek gemuk itu lekat-lekat Gempar tercenung, bingung. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Srini yang cerdik.

"Kami berdua tahu, sebagai putri-putri pemberontak tidak akan mungkin mendapatkan ampunan. Kami akan dihukum mati. Bukankah pantas kalau kami mempunyai permintaan? Sebuah saja. Untuk... yahhh... anggaplah sebagai permintaan terakhir kami."

"Baiklah. Selama tidak mengada-ada dan masuk akal aku akan mengabulkannya," jawab Gempar setelah berpikir sejenak.

"Terima kasih," jawab Srini dengan wajah gembira. "Aku hanya meminta agar kami, maksudku aku dan saudaraku diberi kesempatan berbincang-bincang untuk yang terakhir kali."

Kemudian, tanpa menunggu tanggapan Gempar, Srini kembali mengalihkan perhatiannya pada Kemboja. "Kau ingat semua ceritamu, Kemboja?" tanya Srini mengingatkan. "Bukankah Bandawa selalu berubah pandai dan beringas setelah sadar dari pingsan atau sedang murka?"

"Ahhh.... Jadi, itukah maksudmu menyuruhku memukulnya?" Kemboja kini mengerti. "Tapi, mengapa bisa seperti itu, Srini?"

"Entahlah." Srini menggelengkan kepala. "Tapi, kalau melihat tindak-tanduknya yang tidak gila dan hanya lupa pada masa lalunya, kurasa dia telah mendapatkan guncangan jiwa. Batinnya terguncang hebat hingga tak kuat ditanggung oleh sarafnya. Mungkin itu yang membuatnya lupa pada masa lalu. Hebatnya, kepandaiannya sampai dia lupakan. Dia kembali teringat akan kepandaiannya saat mendapat guncangan di kepala. Karena terpukul atau terbentur batu membuatnya linglung, misalnya."

"Tapi, mengapa setiap kali dia teringat selalu dalam keadaan beringas? Dan, perubahan itu hanya berlangsung sebentar saja? Karena guncangan jiwa yang hebat dia lupa pada masa lalunya, namanya, dan kepandaiannya. Tapi, seharusnya begitu mendapat guncangan selanjutnya, semua yang terlupa akan teringat kembali, bukankah begitu, Srini?"

"Hhh...!" Srini menghela napas berat. "Memang seharusnya demikian, Kemboja. Aku juga heran. Tapi...."

"Waktu untuk kalian sudah habis!" Teriakan Gempar membuat Srini menghentikan ucapannya. Dengan terkejut kedua gadis itu menatap Gempar yang berjalan menghampiri mereka.

Srini dan Kemboja dengan harap-harap cemas memandang Bandawa yang masih tergolek di tanah. Kedua saudara kembar itu kemudian jadi nekat. Pedang yang semula telah disimpan dikeluarkan kembali. Mereka bertekad untuk melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan.

"Haaat..!"

Sebelum Gempar mengirimkan serangan, Srini dan Kemboja telah lebih dulu menyerang. Kedua gadis itu melancarkan serangan dari arah yang berlawanan. Srini dari kanan sedangkan Kemboja dari arah kiri. Pedang di tangan mereka berkelebat cepat mengirimkan serangan-serangan mematikan.

Tapi, hanya dengan menggerakkan kedua tangannya secara sembarangan saja, Gempar telah mengkandaskan serangan Srini dan Kemboja. Bahkan, tubuh kedua gadis itu terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan tergetar.

Tidak hanya berhenti di situ saja tindakan Gempar. Dia bergerak meluruk ke arah Srini untuk melumpuhkannya. Srini berusaha sekuat tenaga menangkis serangan Gempar. Pedangnya diputar untuk melindungi diri.

Namun, hanya dengan tangan telanjang, entah dengan cara bagaimana, lelaki pendek gemuk itu berhasil membuat pedang Srini terlempar. Tangan Gempar terus meluncur ke bahu kanan gadis berpakaian hijau itu.

Kemboja melihat bahaya mengancam diri saudara kembarnya. Maka, dia pun melesat untuk menolong dengan sebuah tusukan ke arah ubun-ubun Gempar. Tapi, melihat jarak dan kecepatan wanita berpakaian jingga itu usahanya pasti akan gagal.

"Grrrhhh...!" Di saat tangan Gempar hampir menyentuh bahu kanan Srini, dan tubuh Kemboja tengah berada di tengah jalan, terdengar geraman keras bagai binatang buas terluka. Keras sekali sehingga Srini dan Kemboja merasakan seluruh tenaga mereka lenyap. Gempar pun merasakan dadanya tergetar hebat dan kedua kakinya menggigil.

Kalau saja dia tidak bertindak cepat mengerahkan tenaga dalam, tentu tubuhnya sudah ambruk ke tanah. Sungguh pun demikian, tak urung wajah lelaki pendek gemuk itu pucat pasi!

Gempar adalah seorang tokoh persilatan tingkat tinggi yang telah kenyang dengan pengalaman. Maka dia segera mengetahui akan ada seorang lawan tangguh yang muncul di situ. Karena itu, perhatiannya segera dialihkan ke arah asal geraman. Dan, seketika lelaki pendek gemuk itu terperanjat.

Beberapa tombak di sebelah kirinya berdiri dengan sepasang mata merah membara dan wajah menyiratkan keganasan, seorang pemuda bertubuh kekar yang tadi bersama Srini dan Kemboja. Pemuda yang tadi dipukul Kemboja hingga pingsan.

Sejenak Gempar terpaku di tempatnya. Benarkah pemuda kekar yang tadi kelihatan linglung dan tidak bisa ilmu silat memiliki tenaga dalam yang demikian dahsyat? Rasanya mustahil! Bahkan tadi dia tidak mampu mengelakkan serangan Kemboja. Apalagi melindunginya dengan tenaga dalam sehingga serangan itu tidak membuatnya pingsan. Lalu, bagaimana sekarang dia bisa mempunyai tenaga dalam demikian hebat.

Gempar tidak mempunyai waktu lebih lama untuk berpikir. Sesaat kemudian. Bandawa telah menerjangnya dengan kecepatan yang menggiriskan. Luar biasa. Tak ubahnya angin yang berhembus kencang.

Dan ketika tubuh pemuda kekar itu hampir mencapai tempatnya, kedua tangan Bandawa mengirimkan tusukan-tusukan ke dahi dengan mempergunakan jari telunjuk! Bunyi berdecit tajam dan udara yang terobek mengiringi tibanya serangan.

Wajah Gempar seketika berubah. Bukan karena kedahsyatan serangan itu, tapi karena dia pernah melihat serangan seperti itu dari seorang tokoh yang memiliki kepandaian menggiriskan hati. Seorang tokoh misterius! Mengapa Bandawa juga memiliki ilmu serupa? Adakah hubungan antara mereka? Atau... jangan-jangan keduanya adalah orang yang sama?

Prattt!

Tubuh Gempar terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling ketika memapaki serangan Bandawa. Cepatnya serangan yang dilancarkan Bandawa membuat lelaki pendek gemuk itu memaksakan diri untuk menangkis. Tidak tanggung-tanggung lagi. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan dengan memainkan ilmu 'Pukulan Gelombang Laut'. Tapi toh akibatnya tetap saja tubuhnya terguling-guling dengan dada terasa sesak dan tangan sakit-sakit.

Sementara lawannya hanya terhuyung ke belakang. Itu pun sebentar saja. Serangan lanjutan yang tidak kalah dahsyatnya kembali dilancarkan. Terpaksa Gempar mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' dikerahkan sampai ke puncak kemampuan.

Tapi untuk kesekian kalinya Gempar harus menelan kepahitan. Ilmu yang menjadi andalannya mati kutu dan tidak berguna. Seperti ketika menghadapi sosok berpakaian serba putih, ilmunya pun kembali pupus. Beberapa kali ketika terpaksa berbenturan tangan, Gempar terhuyung-huyung ke belakang. Sementara lawannya seperti tidak menderita sedikit pun. Padahal, belum pernah dalam penggunaan ilmu andalannya itu Gempar dapat dijatuhkan lawan.

Setiap kali ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' dipergunakan, angin serangannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawannya karena tenaganya terkuras. Bahkan, Dewa Arak yang terkenal itu pun mengalami kejadian yang sama. Tapi mengapa sekarang seperti ketika menghadapi sosok berpakaian serba putih? Ilmu andalannya tidak berarti. Ilmu yang dikeluarkan Bandawa dapat membuat pengaruh ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' yang dimilikinya pupus.

Hanya dalam beberapa gebrakan saja Gempar sudah kewalahan. Lelaki pendek gemuk itu terpaksa bermain mundur. Mengelak lebih banyak dilakukannya. Karena untuk menangkis akan sangat merugikan dirinya.

Plak! Plak!

Gempar terpaksa menangkis serangan Bandawa yang datang bertubi-tubi karena tidak sempat dielakkan. Akibatnya, tubuh lelaki pendek gemuk itu kembali terjungkal ke belakang. Saat itu pula dengan kecepatan yang sulit diikuti mata, Bandawa menggerakkan kedua tangannya.

Gempar yang menyadari adanya serangan maut dengan gugup menggerakkan kedua tangannya di depan wajah untuk menangkis. Beberapa kali tangkisan itu berhasil dilakukan, tapi pada totokan yang entah keberapa, jari telunjuk Bandawa berhasil membuat lubang di dahi Gempar. Pewaris terakhir Perguruan Laut Mati itu pun pergi ke akherat.

Srini dan Kemboja gembira bukan main melihat Gempar berhasil ditewaskan. Keduanya bergegas mendekati Bandawa yang tengah limbung. Kedua gadis kembar itu tahu kalau saat itu Bandawa tengah berada dalam masa lalunya. Mereka ingin mengorek keterangan tentang siapa sebenarnya Bandawa sebelum pemuda itu roboh tak sadarkan diri.

"Siapakah namamu, Sobat?" tanya Kemboja yang lebih dikenal oleh alam bawah sadar Bandawa karena telah sering didengar suaranya.

"Aku...? Namaku....Bandawa...," jawab pemuda bertubuh kekar itu dengan suara mengambang. Kedua tangannya memegangi kepala.

Srini dan Kemboja merasa cemas Bandawa akan keburu pingsan. "Kau memiliki ilmu silat ini dengan berguru pada siapa, Bandawa?"

"Ayahku," jawab Bandawa. Suaranya semakin tidak jelas.

"Siapa ayahmu? Maksudku..., nama atau julukannya?"

Tidak ada jawaban dari Bandawa. Tubuh pemuda itu mulai terhuyung-huyung. Kedua tangannya sibuk memegangi kepala. Sedangkan tarikan wajahnya menyiratkan kesakitan.

"Kenalkah kau dengan seorang gadis yang bernama Sukaesih, Bandawa?" tanya Srini hati-hati.

"Dia... calon istriku...," sampai di sini tubuh Bandawa ambruk. Tapi sebelum terjerembab ke tanah, Kemboja sudah lebih dulu menangkapnya. Bandawa telah jatuh pingsan.

Srini dan Kemboja saling bertukar pandang. Mereka cukup puas meskipun belum dapat mengorek banyak keterangan dari Bandawa. Tapi, sedikit banyak sudah dapat diketahui kalau cerita Sukaesih memang benar. Hanya yang masih menjadi tanda tanya, mengapa Bandawa memakai nama Suhita. Dari mana nama itu didapatkannya?

Pertanyaan itu hanya tinggal pertanyaan karena orang yang seharusnya memberikan jawaban tidak sadarkan diri. Dengan hati-hati Kemboja membaringkan tubuh Bandawa di tanah. Rasa kasihan kalau pemuda itu akan kepanasan oleh terik sinar matahari, Kemboja membawanya ke sebatang pohon dan membaringkannya di sana.

DELAPAN

"Rupanya kita memang berjodoh, Anak Manis. Kenyataannya kita berjumpa lagi."

Seruan yang diucapkan pelan tapi menggaung ke sekitar tempat itu mengejutkan Srini dan Kemboja. Terutama Srini yang masih ingat betul siapa pemilik suara itu. Wajah gadis berpakaian hijau itu mendadak berubah pucat.

Tiupan angin dingin berhembus. Dan, di dekat kedua gadis cantik itu berdiri sesosok tubuh berpakaian serba putih. Tokoh misterius yang menggiriskan. Seketika itu pula Srini melangkah mundur. Kemboja yang telah mendengar dari saudara kembarnya mengenai tokoh tingkat tinggi yang keji ini meremang bulu kuduknya.

Diakui kalau sosok berpakaian serba putih memilliki perbawa yang menyeramkan. Terutama sepasang matanya yang tajam mencorong dan berwarna kehijauan. Kemboja melangkah mundur seraya mengerling ke arah tempat Bandawa diletakkan. Ia berharap pemuda kekar itu segera sadar dari pingsannya.

"Ha ha ha...!" Tawa sosok berpakaian serba putih membahana melihat keberadaan Kemboja. "Sungguh besar untungku kali ini. Tidak hanya satu bidadari yang kujumpai, tapi dua. Ah.... Luar biasa...! Baru saja kunikmati tubuh empuk murid wanita Perguruan Lembah Seribu Bunga. Kini sudah ada lagi dua kuda betina liar yang minta ditunggangi. Betapa beruntungnya aku."

Sosok berpakaian serba putih kemudian mengayunkan kaki mendekati. Tanpa sadar, dalam cekaman rasa takut Srini dan Kemboja melangkah mundur, sehingga jarak antara mereka dengan sosok berpakaian serba putih tetap seperti semula. Bahkan, bertambah jauh karena kedua gadis itu melangkah lebih banyak.

"Kemarilah, Manis. Kalian berdua memang berwajah manis-manis. Bahkan, beberapa ciri-ciri kalian mirip dengan Sukaesih. Kemarilah, Sukaesih-Sukaesihku...!"

Srini dan Kemboja saling berpandangan. Sukaesih! Jadi, sosok berpakaian serba putih ini kenal dengan Sukaesih? Bukan tidak mungkin kalau sosok berpakaian serba putih juga kenal dengan Bandawa! Tapi, apa hubungannya dengan Bandawa? Dan dengan Sukaesih?

"Kau kenal dengan Sukaesih?" tanya Srini ingin tahu.

Pertanyaan Srini rupanya mengejutkan sosok berpakaian serba putih. Tubuhnya sampai terjingkat ke belakang. "Dari mana kau tahu nama Sukaesih? Apakah kau mengenalnya?" tanyanya dengan penuh ancaman.

"Aku tidak mengenalnya. Tapi tahu kalau Sukaesih adalah seorang gadis yang berhati mulia. Dan..."

"Keparat!" Sosok berpakaian serba putih menggeram. Tidak tampak kalau dia menggerakkan tangan atau kakinya. Tapi akibatnya, tubuh Srini terpental jauh ke belakang dan terbanting ke tanah. Ketika bangkit wajah gadis berpakaian hijau itu pucat pasi. Beruntung sosok berpakaian serba putih tidak bermaksud melukainya. Kalau tidak nyawa Srini tentu sudah melayang ke alam baka.

"Srini...!" Kemboja berseru kaget. Dia menghambur ke arah saudara kembarnya. Hatinya lega ketika melihat Srini tidak terluka.

Sosok berpakaian serba putih yang telah bangkit amarahnya tidak menghentikan tindakannya hanya sampai di situ. Kakinya dilangkahkan. Kelihatannya perlahan dan sembarangan saja, tapi akibatnya tubuhnya tiba-tiba telah berada di dekat kedua gadis itu.

"Kalian berdua rupanya ingin aku bertindak kasar," desis sosok berpakaian serba putih dingin.

Mendadak terdengar seruan keras menyambuti ucapan sosok berpakaian serba putih. Teriakan itu dikeluarkan dengan suara agak bergetar penuh perasaan. "Siapa kau? Rasanya aku pernah mendengar suara seperti itu...!"

Bukan hanya sosok berpakaian serba putih yang menoleh. Srini dan Kemboja pun demikian. Berbeda dengan sosok berpakaian serba putih, kedua gadis itu telah tahu siapa pemilik suara itu.

"Kau...?!" Srini dan Kemboja terkejut melihat sikap sosok berpakaian serba putih. Seruan yang dikeluarkan sosok itu begitu terkejut dan tidak percaya. Ada nada gentar di dalamnya.

"Siapa kau? Katakan...! Rasanya suaramu tidak asing di telingaku...!" suara Bandawa semakin meninggi, menuntut jawaban lawan bicaranya. Kedua kakinya kemudian melangkah menghampiri tempat sosok berpakaian serba putih berdiri.

Jawaban yang diberikan sosok itu adalah sebuah terjangan yang dilakukan dengan sangat cepat. Kedua tangannya dengan jari telunjuk teracung ditusukkan bertubi-tubi ke dahi Bandawa.

"Ihhh...!" Hampir berbarengan Kemboja dan Srini menjerit tertahan. Mereka tidak mampu memberikan pertolongan. Sementara Bandawa masih tetap melangkah dengan berkerut. Tampaknya pemuda itu tengah berpikir. Jelas, dia tidak tahu kalau dirinya diserang.

Rupanya, pertemuannya dengan sosok berpakaian serba putih membuat Bandawa teringat akan masa lalunya. Saat itu segenap ingatannya tengah berusaha masuk ke dalam benaknya.

Tapi sebelum serangan sosok berpakaian serba putih mendarat di sasaran, dari sebelah kanan terdengar bunyi angin menderu. Hawa panas dan memotong arah yang dituju penyerang Bandawa. Jadi andaikata ia bersikeras meneruskan serangannya, sebelum tiba di sasaran akan terlebih dulu dihantam pukulan jarak jauh angin berhawa panas menyengat itu.

Sosok berpakaian serba putih pun tahu akan hal itu. Maka, serangannya terhadap Bandawa dibatalkan. Tangan kanannya kemudian dikibaskan untuk memapaki serangan yang meluncur ke arahnya. Dalam kemarahannya sosok berpakaian serba putih mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Bresss!

Pemuda berambut putih keperakan yang melancarkan serangan berhawa panas itu terpental ke belakang, kemudian terguling-guling di tanah. Saat itu kedudukannya memang tidak menguntungkan. Tubuhnya berada di udara karena serangan itu dilancarkan sambil berlari mendekati. Ketika akhirnya berhasil bangkit berdiri, wajah pemuda berpakaian ungu yang tidak lain Arya Buana alias Dewa Arak itu tampak pucat. Benturan keras yang terjadi telah melukai bagian dalam tubuhnya.

Meskipun demikian ada seringai kegembiraan di mulut pemuda itu. Serangan maut yang ditujukan pada Bandawa berhasil digagalkan. Tubuh sosok berpakaian serba putih tergetar ke belakang dan agak terhuyung.

"Aku ingat... Suaramu. Rupanya kau.... Ya. Kau, Jahanam Suhita...! Kubunuh kau. Ayah...! Sukaesih...! Lihatlah, jahanam ini akan kubunuh...!"

Usai berkata demikian, Bandawa melompat menerjang sosok berpakaian serbah putih yang disebut sebagai Suhita. Jari-jari kedua tangannya meluncur cepat bagai kilat ke arah dahi Suhita.

Namun, Suhita yang tahu bahaya maut itu tidak tinggal diam. Dia segera bergerak mengelak. Bahkan mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Pertarungan sengit, pun tidak bisa dielakkan lagi.

Tidak hanya Srini dan Kemboja, Dewa Arak pun takjub melihat jalannya pertarungan. Memang kelihatannya aneh karena kedua belah pihak menggunakan ilmu yang sama. Tapi tetap saja tidak menyembunyikan kedahsyatannya. Tanah terbongkar di sana-sini hingga menimbulkan kepulan debu yang membubung tinggi ke angkasa.

Srini dan Kemboja memang heran melihat Bandawa dan sosok berpakaian serba putih menggunakan ilmu yang sama. Tapi tidak dengan Dewa Arak. Dia telah tahu semuanya setelah tercebur di sungai dan terbawa arus hingga jatuh ke sebuah air terjun. Di sana Arya bertemu dengan seorang kakek yang menceritakan tentang sosok berpakaian serba putih, begitu Arya memberitahukannya kalau dirinya terjatuh ke sungai karena ulah sosok itu yang memiliki ilmu satu jari yang sangat ampuh.

Kakek yang telah lumpuh kedua kakinya akibat terjatuh dari atas tebing itu mengaku bernama Pandulaga. Sejak ratusan tahun yang lalu leluhur Pandulaga memiliki ilmu-ilmu tinggi. Tapi mereka tidak pernah terjun ke dunia persilatan. Tujuan mereka mempelajari ilmu-ilmu silat hanyalah untuk melindungi diri dan keluarga besar Pandulaga. Karena itu Pandulaga yang tidak suka menonjolkan diri, maka dia memilih mengusahakan sebuah perkebunan.

Pandulaga memiliki seorang anak kandung yang bernama Bandawa dan seorang anak angkat bernama Suhita. Semula Suhita pandai membawa diri sehingga Pandulaga tidak segan-segan menurunkan ilmu kepadanya. Tapi, sungguh tidak disangkanya Suhita sampai hati meracuni dirinya dan Bandawa yang hanya karena ingin mendapatkan Sukaesih.

Dalam keadaan setengah sadar tubuhnya dijatuhkan dari atas tebing. Sedangkan Bandawa sempat kabur. Entah karena racun yang kurang kuat atau karena masih muda, atau mungkin kehendak Tuhan, Bandawa tidak meninggal hanya pingsan. Sebelum pingsan Pandulaga sempat melihat keadaan Bandawa yang agak aneh.

"Mungkin ada bagian sarafnya yang terpengaruh racun, sehingga yang diingat hanyalah nama Suhita," ucap Pandulaga pada Arya.

Kemudian dimintanya pemuda berambut putih keperakan itu untuk mencari Bandawa, dan kalau bisa membawanya pada Pandulaga untuk diobati, karena Suhita masih terus mencarinya. Pandulaga tidak tahu kalau sebenarnya Suhita memiliki watak yang kurang baik.

Terlebih setelah melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki Bandawa. Bandawa lebih tampan, lebih pandai darinya dan lebih disukai gadis-gadis. Karena tidak tahan menahan rasa iri yang bertumpuk-tumpuk, Bandawa pun akhirnya dijadikan pelampiasannya.

Sekarang, pertarungan antara Suhita dan Bandawa tidak bisa dihindarkan lagi. Bandawa telah teringat kembali akan masa lalunya. Dan Arya memperhatikan tanpa berkedip seperti juga Srini dan Kemboja.

"Hiyaaat...!"

"Haaat...!"

Di jurus kelima puluh Bandawa dan Suhita bersamaan mengeluarkan teriakan melengking tinggi yang membuat Srini dan Kemboja jatuh terduduk. Kedua pemuda yang berilmu tinggi itu saling terjang dengan jari-jari telunjuk menegang kaku.

Tak, tak, takkk!

"Akh...!" Beberapa kali terdengar benturan keras. Sesaat kemudian jeritan tertahan terdengar dan tubuh mereka terpental balik ke belakang.

Bandawa mendarat dengan mantap di tanah. Sedang Suhita terhuyung-huyung, kemudian ambruk dan tidak bergerak lagi untuk selamanya. Pada dahinya tampak sebuah lubang yang tercipta dari tusukan tangan Bandawa.

Srini, Kemboja, dan Dewa Arak menyambut kemenangan Bandawa dengan penuh gembira. Apalagi ketika mereka mengetahui Bandawa telah sembuh sepenuhnya. Rupanya, salah satu pembuluh darah yang berhubungan dengan syaraf ingatan masa lalu tersumbat dan menyempit akibat pengaruh racun. Akibatnya aliran darah yang menuju ke arah sana terhambat.

Baru ketika mendapat guncangan aliran darah dapat mengalir lancar. Guncangan yang agak keras hanya terjadi bila bagian kepala atau kuduknya terpukul atau terbentur. Tapi itu hanya berlangsung sesaat. Baru ketika guncangan yang terjadi akibat pertempuran dengan Suhita, aliran darah itu mengalir dengan deras karena Bandawa sibuk menguras ingatannya.

Meskipun demikian, setelah mendengar pesan ayahnya yang disampaikan Arya, Bandawa memutuskan untuk pergi menemui ayahnya. Ia akan menerima pengobatan untuk mencegah hal-hal lain yang tidak diinginkan.

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.