Dewa Arak - Titipan Berdarah

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Titipan Berdarah Karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Titipan Berdarah

SATU
Ctarrr! Ctarrr!

Bunyi lecutan cambuk mengiringi gemeretaknya roda kereta yang menggilas jalan tanah berdebu, semakin menambah tidak nyamannya suasana di persada. Siang itu matahari memancarkan sinarnya dengan garang.

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
Sementara, di angkasa tidak tampak awan sedikit pun. Ketidaknyamanan itu semakin lengkap dengan hembusan angin panas yang membawa debu. Tapi, semua itu seperti tidak dirasakan oleh orang-orang yang berada di sebuah kereta sederhana. Seekor kuda berbulu coklat keputihputihan te-seok-seok menariknya.

"Cepatlah sedikit, Ki...! Aku khawatir mereka telah mengetahui kepergianku, dan sekarang tengah menyusul...!"

Seruan itu berasal dan dalam kereta. Nada suaranya yang lembut menunjukkan kalau pemiliknya seorang wanita.

"Jangan khawatir, Ni! Aku yakin dengan si Botak, kudaku, mereka tidak akan berhasil menyusul kita…!" jawab kusir kereta, yang diajak bicara oleh wanita itu. Terasa jelas keyakinan yang kuat dalam suaranya. Dia adalah seorang kakek berkulit kemerahan.

"Syukurlah kalau begitu, Ki," timpal wanita di dalam kereta. "Maaf, mungkin aku terlalu menyusahkanmu. Tapi..., kepada siapa lagi aku harus meminta tolong kalau bukan kepadamu?!"

"Kumohon jangan kau sebut-sebut lagi hal itu, Ni! Asal kau tahu saja, untukmu... tidak ada yang berat!"

Suasana hening ketika kakek berkulit kemerahan menghentikan ucapannya, dan wanita yang berada di dalam kereta tidak menyambutinya. Hingga yang terdengar hanya langkah kaki kuda dan derak roda kereta menggilas tanah. Sekarang kereta itu mulai melalui jalan kecil yang berkelok-kelok.

Di bagian kanan jalan membentang dinding batu. Sedangkan jurang terjal yang tak tampak dasarnya menganga di sebelah kirinya. Perjalanan kereta itu menjadi lambat. Dan kakek berkulit kemerahan harus lebih memusatkan perhatiannya. Lengah sedikit saja, keretanya akan terperosok ke dalam jurang.

Mendadak wajah kakek berkulit kemerahan berubah. Telinganya menangkap bunyi bergemuruh. Secepat kilat kepalanya didongakkan ke arah dinding tebing yang hampir tegak lurus di sebelah kanannya. Seketika itu pula sepasang mata kakek itu membelalak lebar. Dilihatnya, beberapa tombak di depannya tampak menggelinding batu-batu besar dan kecil.

Kakek berkulit kemerahan tahu kalau perjalanannya diteruskan batu-batu itu akan menghantam keretanya. Maka tanpa menunggu lebih lama, kakek itu menarik tali kekang. Hingga, dengan diringi ringkikan keras kuda itu menghentikan ayunan langkahnya. Rupanya, keributan itu didengar wanita yang berada di dalam kereta. Sesaat kemudian....

"Apa yang terjadi, Ki?!"

Sebelum kakek berkulit kemerahan sempat memberikan jawaban, dari atas tebing berlompatan sosok-sosok tubuh. Kemudian dengan mantap sosok-sosok itu mendarat beberapa tombak di depan kereta. Wajah dan sikap mereka terlihat kasar.

Sekali pandang, kakek berkulit kemerahan dapat menduga kalau orang-orang kasar yang berjumlah sepuluh orang itu tidak bermaksud baik. Karena itu, dia segera bertindak cepat.

"Cepat lari, Nini Andiningsih! Biar kucoba untuk menghadang mereka!" seru kakek berkulit kemerahan. "Hih...!"

Dengan sebuah jejakan kaki, kakek berkulit kemerahan melesat ke depan dan bersalto sekali di udara. Kemudian, mendarat di tanah dengan mantap. Gerakan itu membuktikan kalau kakek berkulit kemerahan bukan orang sembarangan.

Bertepatan dengan mendaratnya kedua kaki kakek itu, tirai yang membatasi bagian dalam kereta dengan kursi kusir terkuak. Sekejap kemudian, dari dalam kereta melesat sesosok bayangan hijau. Di udara, sosok bayangan ini berjungkir balik. Dan....

Jliggg!

Tanpa menimbulkan bunyi berarti, sosok bayangan hijau itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tepat di sebelah kakek berkulit kemerahan.

"Kita hadapi mereka bersama-sama, Ki!" ucap sosok bayangan hijau mantap dan penuh keyakinan. Dia ternyata seorang wanita yang berwajah cantik jelita. Rambutnya yang hitam dan tebal digelung ke atas. Sedangkan tubuh rampingnya dibungkus pakaian hijau, membuat kecantikannya semakin menyolok.

"Kau.... Ahhh...! Mengapa ini kau lakukan, Nini Andiningsih?! Cepat kabur! Percayalah, tidak ada gunanya melakukan perlawanan!" ujar kakek berkulit kemerahan tanpa menyembunyikan kecemasan dalam suaranya.

"Aku tidak takut, Ki!" tandas wanita berpakaian hijau tegas. "Aku lebih suka mati, daripada melarikan diri seperti anjing hendak dipukul!"

Lalu, tanpa merasa takut sedikit pun, pandangannya diedarkan ke arah sosok-sosok yang berdiri sekitar dua tombak di hadapannya dan kakek berkulit kemerahan.

"Ha ha ha...! Luar biasa...! Betapa gagahnya...! Kalian dengar ucapannya?! Hebat! Dia benar-benar seekor kuda liar!" seru salah seorang penghadang Andiningsih dan kakek berkulit kemerahan.

Sosok itu terlihat paling angker. Tubuhnya tinggi besar dan berotot laksana seekor banteng. Kumis, jenggot, dan cambang bauk lebat menghiasi wajahnya. Hingga penampilannya kelihatan sangat menakutkan. Sambil berseru demikian, lelaki tinggi besar itu menoleh ke belakang ingin melihat tanggapan rekan-rekannya.

"Kami dengar, Kang," sambut seorang yang berwajah codet, seraya merayapi sekujur tubuh Andiningsih dengan sorot mata kurang ajar. "Tapi kami yakin, dia akan berhenti meringkik bila kau telah berhasil menjinakkannya!"

"Ha ha ha...!"

Seketika, semua lelaki kasar itu tertawa bergelak. Tak terkecuali lelaki tinggi besar dan lelaki berwajah codet. Nada tawa mereka menyiratkan kekurang-ajaran.

Wajah kakek berkulit kemerahan dan Andiningsih merah padam. Hanya saja, kalau wajah kusir itu menyiratkan kekhawatiran, Andiningsih tampak marah bukan main. Mereka tahu maksud ucapan lelaki berwajah codet. Tiba-tiba....

Srattt!

Sinar terang langsung berkilau ketika kakek berkulit kemerahan mencabut pedang yang ters elip di pinggangnya.

"Lari, Nini Andiningsih! Selamatkan dirimu! Biar aku yang menghadang mereka!"

Belum juga gema ucapannya lenyap, kakek berkulit kemerahan telah melesat menerjang para penghadangnya. Pedang di tangannya dikelebatkan s ecara mendatar. Tampaknya kusir yang berjiwa gagah berani ini hendak memberi kesempatan pada Andiningsih untuk melarikan diri.

Buktinya, serangan yang dilancarkan tidak ditujukan pada salah seorang lawannya. Tapi karena lelaki tinggi besar berada paling depan, maka serangan kakek berkulit kemerahan mengancamnya lebih dulu.

"Ho ho ho...! Jangan harap dapat lolos dari tangan Talipaksa! Hih!"

Lelaki tinggi bes ar yang ternyata bernama Talipaksa menj ejakkan kaki. Tubuhnya melayang ke atas melewati kepala kakek berkulit kemerahan. Lalu, bersalto beberapa kali dan mendarat di hadapan Andiningsih yang masih berdiri di tempatnya.

"Bereskan tua bangka itu, Anak-anak! Aku akan mengurus kuda liar ini!" seru Talipaksa, penuh wibawa.

Tanpa menunggu perintah dua kali, sembilan orang anak buah Talipaksa mengeluarkan s enjata masing-masing. Dengan di awali teriakanteriakan keras membahana, mereka menerjang kusir kereta Andiningsih.

Pada saat itu, kakek berkulit kemerahan sebenarnya sudah bersiap membalikkan tubuh untuk menyerang Talipaksa yang telah berada di belakangnya. Tapi, serbuan anak buah Talipaksa membuat kakek itu mengurungkan maksudnya. Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawanya, kecuali menyambut serbuan mereka. Tindakan itulah yang dilakukan kusir kereta itu. Pertarungan pun tak dapat dielakkan lagi.

"Ha ha ha...!" Talipaksa tergelak melihat kakek berkulit kemerahan dikeroyok anak buahnya. "Biarkan kakek itu berurusan dengan mereka. Sekarang mari selesaikan urusan kita, Kuda Liar! Ha ha ha...!"

"Keparat!" geram Andiningsih dengan raut wajah membesi. Wanita itu marah bukan main mendengar kata-kata yang bernada kurang ajar itu. Kemudian…. "Hiyaaa…!"

Seraya mengeluarkan teriakan melengking nyaring, Andiningsih mulai melancarkan serangan. Wanita berpakaian hijau itu melompat menerjang. Dan di saat tubuhnya berada di udara, kaki kanannya cepat dikibaskan. Gerakan itu dilakukannya sambil membalikkan tubuh.

Wusss!

Gelombang hembusan angin keras bertiup seiring mengibasnya kaki wanita berpakaian hijau itu. Bukti kalau serangan itu mengandung tenaga dalam kuat! Namun, Talipaksa bukan orang bodoh! Di a tahu serangan itu amat berbahaya. Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa akan tumbang bila terkena kibasan kaki mungil berkulit halus itu. Maka, dia tidak berani bertindak gegabah!

Tanpa membuang-buang waktu, lelaki tinggi besar itu melompat mundur. Dengan sendirinya serangan Andiningsih kandas. Kakinya menghantam tempat kosong karena Talipaksa sudah tidak berada di tempatnya lagi.

"Hey!" Talipaksa berseru kaget ketika melihat serangan susulan Andiningsih. Wanita berpakaian hijau itu mampu melancarkan serangan yang sama hanya dengan totokan ujung jari kakinya di tanah. Jelas, Andiningsih memiliki kepandaian yang tidak bisa diremehkan. Kali ini, Talipaksa terpaksa bertindak nekat. Dipapakinya serangan Andiningsih dengan melakukan gerakan serupa.

Wuttt! Dukkk!

Bunyi keras terdengar ketika dua kaki yang sama-sama di aliri tenaga dalam berbenturan. Sesaat kemudian tubuh keduanya terpental balik ke belakang.

Jliggg!

Hampir pada saat yang bersamaan, Andiningsih dan Talipaksa hinggap di tanah. Tapi, Andiningsih lebih beruntung daripada lawannya. Wanita itu mampu mendarat dengan mantap. Sedangkan Talipaksa agak terhuyung-huyung.

"Keparat!" Seruan geram yang keluar dan mulut Talipaksa menandakan kemarahan tengah melanda hatinya. Memang, lelaki tinggi besar itu marah bukan main. Dia kalah dalam bentrokan tadi. Tenaga dalam lawan ternyata lebih tinggi dari dugaannya.

Seketika itu pula keinginannya untuk bertindak tidak senonoh terhadap Andiningsih pupus. Yang ada di hatinya sekarang ingin memberi hajaran pada wanita berpakaian hijau itu atas rasa malu yang dideritanya.

Singgg!

Bunyi nyaring yang mengiris gendang telinga terdegnar ketika Talipaksa menghunus pedangnya! Tapi, lelaki tinggi besar ini tidak segera mengirimkan serangan.

"Keluarkan senjatamu, Wanita Liar!" seru Talipaksa karena merasa malu menghadapi seorang wanita dengan senj ata andalan di tangan.

Tanpa banyak bicara, Andiningsih meloloskan cambuk yang membelit pinggangnya. Inilah senjata andalannya. Wanita itu menggunakannya bukan karena mematuhi seruan Talipaksa. Tapi karena tahu kalau lelaki tinggi besar itu merupakan lawan yang tangguh. Sangatlah berbahaya menghadapi Talipaksa hanya dengan bersenjatakan tangan kosong.

"Sekarang terimalah kematianmu, Wanita Liar! Hiyaaa...!"

Talipaksa mengawali serangannya dengan sebuah tusukan lurus ke arah leher, yang dilakukannya sambil melompat. Tangan kanannya yang menggenggam pedang dijulurkan lurus ke depan. Andiningsih tentu saja tidak menginginkan lehernya ditembus senjata lawan. Maka, wanita itu bertindak cepat. Cambuknya segera diluncurkan.

Wuttt!

Laksana seekor ular t erbang, ujung cambuk meluncur ke arah Talipaksa. Karena jangkauan senjata Andiningsih lebih jauh, maka sebelum ujung pedang Talipaksa mencapai sasaran, cambuk Andi ningsih akan lebih dulu melecutnya.

Talipaksa rupanya sudah memperhitungkan hal itu. Karena itu, dipapakinya serangan Andiningsih dengan sarung pedang. Sedangkan serangannya terus dilanjutkan.

Trakkk!

Ujung cambuk terpental balik ketika membentur sarung pedang Talipaksa. Sedangkan pedang l elaki tinggi besar itu terus meluncur menuju leher Andiningsih!

Andiningsih menyadari akan bahaya besar yang tengah mengancam kesel amatannya. Tidak ada kesempat an lagi baginya untuk melakukan tangkisan. Maka, buru-buru wanita itu membanting tubuhnya ke kiri dan bergulingan di tanah. Usaha penyelamatan yang dilakukan wanita berpakaian hijau itu memang tidak sia-sia. Serangan Talipaksa hanya mengenai tempat kosong.

Talipaksa menggertakkan gigi melihat lawannya berhasil mengelakkan diri. Rasa penasaran dan geram semakin bergelora di dalam dadanya. Maka begitu berhasil memperbaiki kedudukan, serangan susulannya segera dikirimkan. Tentu saja Andiningsih tidak berdiam diri. Wanita itu memberikan sambutan hangat. Hingga, pertarungan pun kembali berlangsung.

Seru dan menarik jalannya pertarungan antara Talipaksa dan Andiningsih. Kedua belah pihak memiliki kepandaian yang hampir setingkat. Memang, Andiningsih lebih unggul dalam ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam. Tapi, tetap saja bukan hal yang mudah untuk mengalahkan Talipaksa. Lelaki tinggi besar itu mampu memberikan perlawanan sengit!

Berbeda dengan pertarungan antara Andiningsih dan Talipaksa, pertempuran kakek berkulit kemerahan dengan anak buah Talipaksa berlangsung tidak seimbang. Betapapun kakek berkulit kemerahan melakukan perlawanan mati-matian, tapi karena jumlah lawan terlalu banyak, dia terdesak hebat!

Kalau saja rombongan Talipaksa tidak melakukan pengeroyokan, belum tentu kakek berkulit kemerahan itu dapat dikalahkan. Tapi karena mereka menyerang dengan cara mengepung, kusir kereta itu dengan mudah dapat didesak.

Pertarungan baru berlangsung beberapa gebrakan, kakek berkulit kemerahan sudah tidak mampu menyerang lagi. Yang dapat dilakukannya hanya bertahan, mengel ak dan menangkis. Itu pun dengan susah payah. Tapi meskipun nyawanya terancam, kakek itu masih sempat memikirkan keselamatan Andiningsih.

"Nini Andiningsih! Cepat lari...! Selamatkan dirimu...! Cepat...! Jangan hiraukan lawanmu.... Akh!"

Kakek berkulit kemerahan itu memekik kesakitan ketika ujung pedang lawan menyerempet pinggangnya. Cairan merah kental mengalir dari bagian yang terluka. Kecemas annya akan nasib Andiningsih membuatnya agak lengah, sehingga serangan lawan mengenai sasaran. Dan, belum sempat kakek itu berbuat sesuatu, batang tombak pengeroyok lainnya melayang ke arah bahunya.

DUA

Bukkk!

"Akh!" Telak dan keras sekali serangan itu mendarat pada sasarannya, sehingga kusir kereta yang sial itu terhuyung-huyung seraya menjerit kesakitan. Di saat kakek berkulit kemerahan itu tengah terhuyung-huyung, golok lawan l ainnya meluncur deras ke arah perut. Disusul dengan ayunan gada berduri yang mengincar punggungnya. Dan....

Cappp! Bukkk!

"Hukh!"

Kakek berkulit kemerahan mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung ke depan dan ke belakang. Sedangkan sepasang matanya membelalak lebar. Tampaknya, kakek itu tengah meregang nyawa. Darah mengalir deras dari mulut, hidung, dan telinganya. Saat itulah lelaki berwaj ah codet membabatkan pedangnya secara mendatar ke arah leher!

Cappp!

Kepala kakek yang malang itu langsung terpisah dari badan! Dia tewas tanpa sempat merintih lagi. Bagai karung basah, tubuhnya ambruk ke tanah. Sedangkan kepalanya menggelinding jatuh ke lurang.

"Ki...!" Jeritan tertahan terlompat dari bibir mungil Andiningsih. Memang, wanita itu sempat melihat nasib buruk yang menimpa kusir keretanya.

Kenyataan itu membuat perhatian Andiningsih lerpecah! Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Talipaksa. Segera dikirimkannya tendangan miring ke arah dada!

Wuttt!

Deru angin keras yang mengawali tibanya serangan itu menyadarkan Andiningsih akan bahaya maut yang tengah mengancamnya. Serangan itu meluncur demikian cepat. Apalagi dilakukan dalam jarak dekat. Sementara perhatian Andiningsih masih tercurah pada nasib kakek berkulit kemerahan.

Andiningsih langsung gugup! Meskipun demikian, wanita itu masih mampu melakukan tindakan penyelamatan terakhir. Tubuhnya dilempar ke belakang dengan cara menjejakkan kaki.

Bukkk!

"Akh!" Andiningsih memekik tertahan ketika kaki Talipaksa menghantam paha kanannya. Agaknya, usaha penyelamatan yang dilakukan wanita berpakaian hijau itu agak terlambat. Akibatnya, bersamaan dengan keluarnya pekikan itu tubuh Andiningsih melayang deras ke belakang dan jatuh di tanah.

Tentu itu saja Talipaksa tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Buru-buru dikejarnya Andiningsih dan dihujaninya dengan serangan-serangan. Hingga, wanita itu harus susah-payah menyelamatkan nyawanya. Sebab, sebelah kakinya lumpuh! Hingga akhirnya Andiningsih terpojok. Dan....

Tukkk!

Tubuh Andiningsih langsung ambruk ketika Talipaksa berhasil menyarangkan totokan. Kini wanita berpakaian hijau itu terkulai lemas tak berdaya.

"Ha ha ha...!" Talipaksa tertawa memandang tubuh yang tergol ek di bawah kakinya. Kemudian, pandangannya dialihkan ke arah anak buahnya yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan.

"Lihat, Anak-anak! Kuda liar ini telah lumpuh! Sekarang aku akan menjinakkannya! Tapi, jangan khawatir. Aku akan menyisakannya untuk kalian!"

"Horeee...!" serempak terdengar teriakan gembira sembilan orang lelaki kasar itu. Sudah terbayang di benaknya, betapa mereka akan menggeluti tubuh mulus Andiningsih.

"Hidup, Kakang Talipaksa...!" teriak lelaki berwajah codet seraya mengangkat kepalan tangan kanannya ke atas.

"Hidup...!" sambut yang lainnya tak kalah keras.

Talipaksa tersenyum lebar. "Kau dengar, Kuda Liar?! Kau tahu apa yang akan kami lakukan?! Kami akan memperkosamu sampai kau mati kelelahan!" tandas lelaki tinggi besar itu tanpa mengenal rasa kasihan.

Wajah Andiningsih yang memang sudah pucat kini tampak semakin pias. "Kumohon jangan lakukan itu, Talipaksa! Lebih baik kau bunuh aku!" ucap wanita itu dengan suara bergetar karena rasa takut yang melanda.

"Ha ha ha...!" Tawa Talipaksa semakin terdengar keras mendengar permintaan Andiningsih. Orang kasar seperti dia mana mau mengabulkan permintaan itu? Baginya, rintih kepedihan calon korbannya menambah besar geloranya. Masih dengan tawa bergelak, Talipaksa mulai membuka pakaiannya.

Jelas, lelaki tinggi besar itu bermaksud memperkosa Andiningsih di tempat itu juga. Keberadaan anak buahnya yang sudah pasti akan menyaksikan perbuatannya, tidak membuatnya malu. Memang, Talipaksa sudah tidak mempunyai rasa malu! Yang ada di benaknya adalah menyalurkan hasratnya secepat mungkin!

"Jangan! Jangan lakukan itu...! Kumohon...! Bunuh saja aku...!" teriak Andiningsih dengan cems dan kalap. Tarikan wajahnya menyiratkan rasa takut yang amat sangat.

Tanggapan Talipaksa adalah tubrukan pada tubuh Andiningsih, yang tergolek tanpa daya di tanah. Dengan beringas dan kasar, diciuminya wajah Andiningsih. Talipaksa sedikit pun tidak mempedulikan rintihan Andiningsih.

Dalam cekaman rasa takut dan kengerian yang menggelegak, tanpa sadar air mata Andiningsih menetes. Padahal, meskipun diancam maut wanita berpakaian hijau itu tidak pernah menangis! Tapi sekarang keadaannya lain.

Semua kejadian itu disaksikan dengan jelas oleh lelaki berwajah codet dan delapan orang rekannya. Sepasang mata mereka hampir tidak penah berkedip, sedangkan jakun mereka turun naik.

Beberapa kali, dengan susah payah mereka menelan air liur melihat pimpinan mereka menggeluti Andiningsih dengan buas. Sampai akhirnya.

"Akh...!"

"Oaaa...!" Bertepatan dengan keluarnya pekikan dari mulut Andiningsih, terdengar suara tangisan bayi! Keras dan nyaring. Tangisan itu berasal dari dalam kereta.

Dengan senyum puas tersungging di bibir, Talipaksa mengenakan pakaiannya. Sekali lagi ditatapnya tubuh Andiningsih yang tergolek lemas di tanah dengan air mata berurai.

"Siapa yang ingin mencicipi kuda liar ini?! Silakan maju...! Aku akan menghabisi nyawa bayi sialan itu!"

Tanpa diperintah dua kali, sembilan lelaki kasar yang sejak tadi sudah menunggu-nunggu kesempatan itu segera meluruk ke arah Andiningsih. Kelakuan mereka tak ubahnya gerombolan serigala lapar yang menemukan seekor anak domba gemuk!

Tapi Talipaksa tidak menyaksikan kejadian itu. Lelaki tinggi besar itu menghampiri kereta. Tujuannya satu, membunuh bayi di dalam kereta. Sementara itu kuda coklat yang menjadi saksi semua kejadian di tempat itu tetap berdiam diri di tempatnya. Jelas, dia tidak merasa terganggu dengan keributan yang terjadi di hadapannya. Bahkan, ketika Talipaksa lewat di depannya dia tetap tidak bergeming. Juga ketika lelaki tinggi besar itu tiba di samping kiri kereta.

Brakkk!

Dinding samping kiri kereta hancur berantakan ketika tangan Talipaksa menghantamnya. Kepingan-kepingan kayu berhamburan. Sebagian mengenai tubuh bayi yang tergolek di dalam peraduan kecil. Akibatnya, tangis bayi itu terdengar semakin keras! Tapi, hati Talipaksa sedikit pun tidak tersentuh mendengar tangis makhluk Tuhan yang belum mengenal dosa itu.

Dengan sorot mata bengis, dicabutnya pedang yang tadi sudah disarungkan. Lalu, diayunkan ke arah leher si bayi!

Wuttt! Tappp!

"Eh...?!" Talipaksa berseru kaget ketika merasakan ayunan pedangnya terhenti di udara. Sebagai orang yang berpengalaman, dia segera tahu ada sesuatu yang tidak wajar! Maka buru-buru kepalanya menengadah. Ternyata batang pedangnya telah dibelit sebuah sabuk berwarna ungu!

Secepat kilat Talipaksa membalikkan tubuh. Dalam jarak dua tombak darinya, berdiri seorang pemuda tampan berpakaian ungu. Rambutnya yang putih keperakan mel ambai-lambai tertiup angin. Rupanya, pemuda inilah yang telah menggagalkan rencananya. Tangan kanan pemuda berambut putih keperakan itu menggenggam ujung sabuk yang lain.

"Manusia berhati iblis!" maki pemuda berambut putih keperakan yang tidak lain Arya Buana, yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak. Arya kemudian menarik sabuknya secara tiba-tiba. Memang, pemuda itu hanya mengerahkan sebagian tenaganya. Tapi, Dewa Arak berhasil membuat pedang lelaki tinggi besar itu terlepas.

Tidak hanya itu tindakan yang dilakukan Dewa Arak. Begitu berhasil melepaskan senjat a Talipaksa, Arya melepaskan pedang itu dari belitan sabuknya. Lalu dengan gerakan sederhana, Dewa Arak meluncurkan ujung sabuknya ke arah Talipaksa.

Ctarrr!

"Hukh!" Tubuh Talipaksa terlipat ke depan ketika ujung sabuk melecut dadanya dengan telak. Seketika itu pula rasa sesak melanda dadanya. Kejadiannya berl angsung demikian cepat dan tidak terduga-duga. Sehingga lelaki tinggi besar itu tidak sempat berbuat apa-apa.

Dan lagi-lagi sebelum Talipaksa sempat berbuat sesuatu, sabuk yang bagaikan hidup itu telah membelit betisnya. Karuan saja lelaki tinggi besar ini kelabakan. Meskipun dadanya masih terasa sesak, segera dilakukannya upaya untuk membebaskan diri. Tangan kanannya diulurkan menangkap ujung sabuk Dewa Arak.

Untuk kesekian kalinya Talipaksa menemui kegagalan. Sebelum tangannya berhasil menjangkau sasaran, Dewa Arak telah lebih dulu menyentakkan sabuknya.

"Aaa…!" Talipaksa menjerit ketika merasakan tubuhnya melayang!

Sedangkan Dewa Arak tanpa membuang-buang waktu melesat ke arah kereta. Hanya dengan sekali lesatan dia telah berada di dekat peraduan bayi itu. Kemudian, dengan hati-hati kedua tangannya diulurkan.

Ajaib! Begitu kedua tangan Arya menyentuh tubuhnya, tangis bayi itu langsung terhenti. Agaknya, nalurinya membisikkan kalau dirinya telah berada di tempat yang aman. Malah ketika Dewa Arak menggendongnya dengan tangan kiri, bayi itu tersenyum manis. Tanpa sadar Arya ikut pula tersenyum.

Tapi Dewa Arak tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam alun kegembiraan bersama bayi itu. Masih ada orang yang membutuhkan pertolongannya. Orang itu adalah Andiningsih, yang tengah mendapat perlakuan tak senonoh dari anak buah Talipaksa!

"Biadab! Orang-orang seperti kalian tidak pantas dibiarkan hidup!" Sambil berkata demikian, Dewa Arak melesat ke arah tempat Andiningsih. Wanita itu tengah dikerubuti lelaki berwajah codet dan rekan-rekannya.

Meskipun berdasarkan undian dan lelaki berwajah codet yang mendapat giliran lebih dulu, rekan-rekannya tidak mau ketinggalan. Mereka ikut mencicipi, walau hanya mencium atau meremas-remas bagian yang tidak dinikmati lelaki berwajah codet!

Di saat tubuhnya telah berada di dekat kerumunan orang-orang kasar itu, Dewa Arak segera mengibaskan tangan kanannya. Kelihatannya sembarangan saja gerakan itu dilakukan. Tapi akibatnya sungguh luar biasa!

Dari kibasan tangan itu, muncul deruan angin dahsyat yang membuat tubuh anak buah Talipaksa terlempar seperti daun-daun kering ditiup angin. Untungnya, meskipun tengah dilanda kemarahan hebat, Dewa Arak hanya mengerahkan pukulan jarak jauh yang tidak melukai lawan. Sebab, di situ ada Andiningsih. Kalau tidak, mungkin sembilan orang itu telah tewas dalam keadaan menyedihkan.

Jliggg!

Begitu berhasil mendaratkan kedua kakinya di tanah, Dewa Arak melemparkan kain yang diambil dari kereta untuk menutupi tubuh Andiningsih. Meskipun demikian, sempat dilihatnya bercak-bercak darah di tanah dekat bagian bawah tubuh wanita itu.

Kenyataan itu membuat wajah Dewa Arak merah padam. Giginya bergemel etuk. Semua karena peras aan geram yang melanda. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu wanita berpakai an hijau itu telah diperkosa. Tapi, siapa yang memperkosanya? Bukankah sembilan orang itu belum sempat melakukannya?! Pakaian mereka masih melekat di tubuh. Yang sudah setengah telanjang hanya lelaki berwajah codet. Namun Dewa Arak tidak perlu menunggu terlalu lama. Pertanyaan itu segera terjawab.

"Monyet-monyet goblok! Serbu pemuda keparat itu! Bunuh dia...!" seru Talipaksa seraya meluruk ke arah Dewa Arak. Lelaki tinggi besar itu telah menggenggam senjata andalannya.

Rupanya saat Dewa Arak sibuk menolong Andiningsih, Talipaksa mengambil senjatanya. Setelah lebih dulu berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya meluncur!

Tanpa diperintah dua kali, rombongan orang kasar itu meluruk ke arah Dewa Arak dengan s enjata terhunus. Hujan senjata tidak dapat dielakkan lagi.

Tapi Dewa Arak tetap bersikap tenang. Pemuda itu berdiri tegak di tempatnya dengan tangan kiri memondong bayi. Tak terlihat tanda-tanda pemuda berambut putih keperakan itu akan mel akukan tindakan, baik mengelak maupun menangkis.

Baru ketika serangan-serangan menyambar dekat, Dewa Arak bertindak. Dengan satu tangan, dihadapinya serbuan para pengeroyoknya. Pemuda itu mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'.

Sebenarnya ilmu-ilmu itu memerlukan dua tangan. Tapi bagi orang yang memiliki tingkat kepandaian s eperti Dewa Arak, bukan hal yang sulit menerapkan ilmu-ilmu itu dengan sebelah tangan. Dewa Arak memulai perlawanannya dengan mengelak. Cepat laksana bayangan tubuhnya berkelebatan di antara sambaran senjata lawan.

Talipaksa dan anak buahnya heran bercampur kaget melihat gerakan lawan. Padahal, mereka telah merasa yakin pemuda berambut putih keperakan itu tidak mampu meloloskan diri. Tapi, dugaan itu ternyata meleset!

Selama tiga jurus Dewa Arak hanya mengelak. Baru pada jurus keempat, pemuda itu mulai unjuk gigi. Itu terjadi ketika lawan-lawannya meluruk ke arahnya dengan kelebat an senjata masing-masing.

Sing, wung, wuttt!

Bunyi riuh rendah mengiringi luncuran senjata yang tergenggam di tangan Talipaksa dan sembilan anak buahnya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Dewa Arak tidak menghindar. Pemuda itu berdiri tegak dengan bayi tergendong di tangan kirinya.

Dan ketika serangan-serangan itu menyambar dekat, tangan kanannya digerakkan. Cepat bukan main, sehingga tangan itu tampak berubah menjadi puluhan.

Trak, trak...!

Bukkk, desss!

"Aaakh...!"

"Aaa...!"

Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Bahkan mungkin hanya dalam sekejap mata. Tahu-tahu tubuh gerombolan orang kasar itu berpentalan ke belakang sambil mengeluarkan jeritan menyayat hati.

Brukkk!

Terdengar bunyi berdebuk keras susul-menyusul ketika tubuh-tubuh itu berjatuhan di tanah. Sesaat mereka menggelepar sebelum akhirnya diam untuk selama-lamanya. Mati! Hanya Talipaksa yang selamat dari maut. Itu terjadi secara kebetulan. Karena serangan lelaki tinggi besar itu meluncur belakangan.

Meskipun demikian, Talipaksa tidak tahu apa yang terjadi dengan anak buahnya. Yang diketahuinya, tubuh mereka melayang ke belakang dan jatuh di tanah. Agaknya, gerakan Dewa Arak terl alu cepat untuk diikuti mata mereka!

Talipaksa tampak terkejut bukan main melihat kematian anak buahnya. Dengan mata terbelalak, ditatapnya mayat-mayat itu. Perasaan sedih, marah, dan tidak percaya bergolak di dalam dada lelaki tinggi besar itu.

TIGA

Talipaksa tidak tahu kalau dengan kecepatan gerak yang mengagumkan, Dewa Arak menangkis serangan-serangan yang meluncur ke arahnya. Lalu, dengan secepat itu pula melancarkan serangan balasan. Sebagian bes ar mengenai bagi an dada mereka. Hanya beberapa gelintir yang menghantam perut.

Meskipun Dewa Arak hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya, tetap saja membuat bagian dalam tubuh anak buah Talipaksa hancur! Akibatnya, seperti yang mereka alami. Tewas!

Karena Talipaksa berdiam diri, dengan sendirinya pertarungan terhenti. Dewa Arak tidak mau mempergunakan kesempatan itu untuk melancarkan serangan. Ditunggunya hingga lawan sadar dari terkesimanya.

Penantian Dewa Arak tidak membutuhkan waktu yang lama. Sebentar kemudian Talipaksa telah sadar. Dan seiring dengan itu, perasaan dendam berkobar di dalam dadanya.

"Keparat jahanam! Kucincang tubuhmu, Anjing Kecil! Hiyaaat...!"

Belum lagi yema teriakan itu lenyap, Talipaksa telah melompat menerjang Dewa Arak! Pedang yang tergenggam di tangannya diputar di depan dada. Kemudian setelah jarak ant ara mereka telah dekat, pedang itu ditusukkan ke arah leher Dewa Arak.

Tapi, Dewa Arak yang sudah dapat mengukur tingkat kemampuan lawan tidak bergeming dari tempatnya. Bahkan, tangan kanannya diulurkan untuk mencengkeram batang pedang lawan.

Kreppp!

"Ah!" Talipaksa menjerit kaget melihat pedangnya berhasil dicengkeram. Sepasang matanya membelalak lebar. Tangan pemuda berambut putih keperakan itu tidak terluka sedikit pun. Tidak salahkah penglihatannya? Benarkah orang semuda ini telah mempunyai kepandaian yang demikian tinggi?

Talipaksa tidak mau membiarkan dirinya terlibat pertanyaan yang tak terjawab. Buru-buru pedangnya ditarik. Dia bermaksud melepaskan senjata itu dari cengkeraman, sekaligus memutuskan tangan lawan.

Untuk yang kesekian kalinya Talipaksa terkejut. Jangankan menarik pedangnya dan memutuskan tangan, senjata itu bergeming pun tidak! Seakan pedang itu bukan dicengkeram jari-jari tangan manusia, melainkan catok baja! Di saat Talipaksa tengah bersitegang, Dewa Arak menekuk jari-jari tangannya!

Takkk!

Batang pedang Talipaksa patah menjadi dua bagian! Akibatnya, tubuh lelaki tinggi besar itu terjengkang kebel akang terbawa tenaga tarikannya sendiri. Saat itulah, Dewa Arak mengibaskan tangan yang masih mencengkeram patahan batang pedang Talipaksa!

Singgg! Cappp!

"Aaakh...!" Lolong menyayat hati dikeluarkan Talipaksa ketika patahan pedang menancap di dahinya. Seketika itu pula nyawanya melayang ke alam baka!

"Hhh...!" Dewa Arak menghembuskan napas berat. Ada rasa tidak nyaman merayapi hatinya. Tapi bagaimana lagi? Kalau dibiarkan hidup, mereka akan mencelakakan banyak orang! Hanya kematianlah yang dapat menghentikan tindakan mereka. Mendadak....

Ceppp!

"Hekh!"

Dewa Arak menoleh begitu mendengar jeritan tertahan. Betapa terkejutnya pemuda itu melihat Andiningsih rebah telentang dengan pedang menancap di perut hingga tembus ke punggung.

"Hih!" Dengan sekali lesatan, Dewa Arak telah berada di dekat Andiningsih, yang telah mengenakan pakaiannya. Meski banyak yang koyak, tapi cukup untuk menutupi sebagian besar tubuhnya.

Dengan penuh rasa iba, Dewa Arak berjongkok di depan Andiningsih. Sekali lihat saja, pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau menancapnya pedang itu merupakan tindakan Andiningsih. Jelas, wanita berpakaian hijau itu hendak membunuh diri. Dewa Arak tahu apa sebabnya. Meskipun dalam hati tidak setuju, pemuda itu tidak dapat menyalahkan tindakan Andiningsih.

"Aku mohon... selamatkan bayi itu.... Be... berikan pada Saudagar Jayeng Kertacundraka di Desa Bonggol.... Katakan padanya... bayi itu anak kandungnya.... Jangan berikan pada siapa pun. Apalagi, pada orang-orang Perguruan Macan Kumbang...."

Sampai di sini Andiningsih menghentikan ucapannya. Keadaannya yang sudah payah menyulitkannya untuk berbicara. Apalagi, darah terus merembes keluar dari luka lebar di perutnya.

Dewa Arak bukan orang bodoh. Dia tahu, keadaan Andiningsih amat gawat. Luka-luka yang dideritanya terlampau parah, dan tidak mungkin bisa disembuhkan lagi. Sewaktu-waktu nyawanya bisa melayang.

Padahal, ada sesuatu yang akan disampaikan. Melihat keadaannya, bukan mustahil sebelum hal itu diutarakan malaikat maut telah lebih dulu menjemputnya.

Karena itu, Dewa Arak segera bertindak. Ditotok dan diurutnya beberapa bagian tubuh Andiningsih. Semua dilakukan dengan cepat dan hanya sekejap saja. Andiningsih meras akan ada tambahan kekuatan. Kesempatan itu pun dimanfaatkannya.

"Katakan pada Saudagar Jayeng Kertacundraka, ibu bayi ini adalah Setyaning. Dia meninggal beberapa bulan setelah kelahiran bayi ini. Namun sebelum dia meninggal, aku diperintahkan untuk mengantarkan bayi ini kepadanya. Maukah kau mengantarkannya, Kisanak?" tanya Andiningsih penuh harap.

Dewa Arak menganggukkan kepala. Khawatir kalau ucapan yang dikeluarkannya gemetar karena terharu, pemuda berambut putih keperakan itu menanggapi pertanyaan Andiningsih dengan gerak isyarat.

"Terima kasih, Kisanak. Aku yakin kau akan memenuhi permintaanku," ucap Andiningsih. "Boleh kutahu namamu?"

"Arya Buana. Panggil saja Arya," jawab Dewa Arak. Suaranya agak bergetar. Padahal, dia telah berusaha meredam gejolak perasaan harunya. "Kau sendiri siapa, Nisanak?! Apa hubunganmu dengan ibu bayi ini?!"

Andiningsih tersenyum. Tapi karena keadaannya, senyum itu lebih mirip seringai kesakitan. Butir-butir keringat sebesar jagung menghias wajahnya. "Aku Andiningsih. Setyaning adalah kakak angkatku. Dia telah mengangkatku dari seorang jembel cilik yang kotor sampai menjadi gadis terhormat. Tidak hanya itu saja jasanya padaku. Masih banyak lagi. Karena itu, aku berusaha melaksanakan pesan terakhirnya. Kalau tidak... arwahku tidak akan tenang di alam baka...," urai Andiningsih dengan suara mulai tersendat kembali.

Melihat hal ini Dewa Arak tahu kalau saat kepergian Andiningsih sudah dekat. Arya tidak ingin wanita berpakaian hijau itu meninggal dengan hati tak tenteram. Dia harus menghiburnya.

"Tenanglah, Andiningsih! Percayalah, bayi ini akan tiba di tangan Saudagar Jayeng Kertacundraka dengan selamat. Aku, Dewa Arak, akan berusaha semampuku. Bantulah aku dengan doamu...."

Sepasang mata Andiningsih mulai kehilangan sinarnya. Tapi, dia masih mampu menangkap ucapan Dewa Arak. "Kau..., Dewa Arak?! Pendekar besar yang terkenal itu?! Sekarang hatiku lega. Aku dapat menemui Setyaning dengan hati lapang. Aku yakin kau akan berhasil memenuhi tugas itu, Dewa Arak. Se... la... mat ting... akh!"

Sebelum Andiningsih berhasil menyelesaikan ucapannya, maut telah datang menjemput. Kepalanya terkulai. Wanita berpakaian hijau itu tewas dengan wajah berseri-seri dan senyum mengembang di bibir.

"Hhh...!" Kembali Dewa Arak menghel a napas berat. Sepasang mata Andiningsih yang masih membelalak dipejamkannya. Kemudian, dengan perlahan-lahan pemuda itu bangkit berdiri. Pandangannya diedarkan untuk mencari tempat yang baik sebagai tempat peristirahatan terakhir Andiningsih.

* * *

"Oa...! Oaaa...!"

Suara lengkingan tangis bayi memecah keheningan yang melingkupi jalan tanah berdebu, yang di kanan dan kirinya ditumbuhi rumput hijau segar.

Suara itu ternyata berasal dari mulut seorang bayi yang berada di gendongan pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Siapa lagi pemdua itu kalau bukan Dewa Arak?! Tangisan bayi membuat pendekar muda yang bi asanya mampu bersikap t enang itu, sekalipun menghadapi ancaman maut, menjadi kebingungan.

Memang, semula tidak ada masalah bagi Arya karena bayi itu tertidur. Tapi sekarang, setelah terbangun makhluk Allah yang kecil, dan masih suci itu menangis dengan hebatnya. Keras, melengking nyaring, dan tanpa henti.

"Cep, cep...!"

Dengan sebisanya Arya berusaha mendiamkan bayi itu. Diayun-ayunkannya tubuh sang Bayi. Seorang bayi lelaki bertubuh montok dan sehat serta berkulit putih. Tapi usaha Arya sia-sia. Tangis bayi itu tidak berhenti. Bahkan, bertambah keras. Karuan saja Arya semakin kelabakan. Benaknya diputar untuk mencari cara mendiamkan tangis bayi itu.

Dan memang, pemuda berambut putih keperakan itu akhirnya menemukannya. Digendongnya bayi itu dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya ditekapkan ke wajah.

"Ciluuuk..!" Kemudian seraya menurunkan tangan itu dari wajahnya, Arya membarenginya dengan ucapan... "Baaa...!"

Usaha Arya ternyata manjur juga. Tangis bayi itu langsung terhenti. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Sesaat kemudian, bayi itu kembali menangis. Bahkan dengan suara lebih keras dari sebelumnya. Arya pun kembali mencoba cara itu. Tapi, kali ini tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Tak sedikit pun bayi itu mempedulikannya. Pemuda berambut putih keperakan itu kelihatan putus asa.

"Oa...! Oaaa...!"

"Mengapa aku demikian pelupa?! Seharusnya tadi kutanyakan pada Andiningsih cara mendiamkan bayi ini. Ah...! Sekarang apa yang harus kulakukan?" gumam Arya pelan seraya terus mengayun-ayunkan tubuh bayi itu dengan kedua tangannya. Hanya tindakan itu yang dapat dilakukannya.

Dewa Arak terus berlari. Tapi, dia tidak dapat berlari dengan cepat. Wajah bayi itu kelihatan membiru ketika dia berlari agak cepat. Kedua tangannya yang mungil mengejang.

"Mungkinkah dia merasa takut?" tanya Arya dalam hati.

Pertanyaan itu akhirnya terjawab juga. Bukan karena Arya, namun tindakan bayi itu. Entah karena naluri, makhluk mungil itu membawa tangan kanannya ke mulut. Dan ibu jarinya dimasukkan, lalu dihisap-hisapnya.

Plakkk!

Dewa Arak menepuk dahinya sendiri. "Mengapa aku demikian bodoh?!" maki Arya dal am hati. "Pasti bayi ini lapar dan haus."

Yakin akan kesimpulan yang didapat, Dewa Arak menolehkan kepala ke sana kemari. Barangkali saja di sekitar tempat itu ada sebuah rumah yang dapat dimintai tolong untuk memberi makan bayi itu.

Harapan Dewa Arak terkabul. Beberapa belas tombak di depannya tampak sebuah rumah. Rumah sederhana itu terpisah jauh dari rumah-rumah lainnya. Ke sanalah pemuda berambut putih keperakan itu melangkah.

Beberapa saat kemudian Dewa Arak telah tiba. Daun pintu dan jendela rumah itu tertutup rapat. Arya sekilas mengamati keadaan sekitar rumah. Kemudian, tangannya diulurkan untuk mengetuk daun pintu.

Tapi gerakan tangan Dewa Arak terhenti di tengah jalan. Sebelum kepalan tangannya mencapai sasaran, daun pintu telah bergerak membuka diiringi bunyi berderit mengiris telinga. Sekejap kemudian, dari dalam rumah muncul seraut wajah seorang wanita setengah baya.

"Ah...!" Belum sempat Dewa Arak membuka mulut, wanita setengah baya itu bersuara.

"Ternyata telingaku memang tidak salah dengar. Ada seorang bayi di sini. Apa yang terjadi dengannya, Anak Muda?! Mana ibunya?!"

Seraya mengeluarkan pertanyaan yang memberondong, wanita itu melangkah ke luar. Sepasang matanya terpaku pada sosok mungil yang berada di gendongan Arya. Tampaknya, putra Saudagar Jayeng Kertacundraka itu telah menarik perhatiannya.

Sekarang Dewa Arak baru mengerti, mengapa daun pintu itu telah membuka sebelum tangannya sempat mengetuk. Ternyata tangis bayi itu sudah terdengar sampai ke dalam. Arya kemudian buru-buru mengembangkan senyumnya. Dia tahu, wani ta pemilik rumah itru tengah menunggu jawabannya.

"Ibunya telah meninggal, Nyi. Dan orang yang disuruh mengantarkan bayi ini pada ayahnya telah dibunuh orang. Dia minta tolong padaku untuk mengantarkan bayi ini pada ayahnya. Tapi, dia menangis tak henti-hentinya. Aku tidak bisa mendiamkannya. Bisa kau bantu mendiamkannya, Nyi? Mungkin dia lapar."

Wanita setengah baya itu tersenyum. Sorot matanya yang berbinar-binar menandakan kegembiraan hatinya. Terlihat jelas rasa sukanya yang besar pada putra Saudagar Jayeng Kertacundraka.

"Berikan dia padaku, Anak Muda. Percayalah, aku akan mampu mendiamkannya. Dia hanya ingin menyusu, " jawab wanita setengah baya itu, yakin.

Tanpa ragu-ragu Arya segera memberikan bayi dalam gendongannya pada wanita itu. Dia percaya kalau wanita itu tidak memendam maksud yang kurang baik. Setelah menerima bayi, wanita setengah baya itu membawanya ke dalam. Sedangkan Dewa Arak berdiri di luar, menunggu.

Keyakinan Dewa Arak memang tidak keliru. Sesaat kemudian, wanita pemilik rumah telah keluar. Di tangannya tergendong putra Saudagar Jayeng Kertacundraka yang tertidur pulas. Kekenyangan dan kelelahan!

"Kalau boleh kutahu... siapakah ayah bayi ini, Anak Muda? Dan di mana tinggalnya?" tanya wanita setengah baya itu, penuh rasa ingin tahu.

"Menurut orang yang mengantarkan bayi ini, ayahnya Saudagar Jayeng Kertacundraka dan tinggal di Desa Bonggol," jawab Arya jujur.

"Desa Bonggol?! Perjalananmu masih cukup jauh, Anak Muda. Kau harus melalui dua buah desa lagi sebelum tiba di sana. Aku yakin, selama perjalanan bayi itu akan kelaparan. Bagaimana kalau kau berikan saja padaku. Di tanganku dia akan lebih terawat. Kebetulan suami dan anakku yang baru berusia beberapa bulan meninggal beberapa hari yang lalu. Bagaimana, Anak Muda?!" ujar wanita pemilik rumah menawarkan jasa.

Dewa Arak tersenyum lebar. "Maafkan aku, Nyi. Bukannya menolak. Tapi..., aku telah berjanji untuk mengantarkan bayi ini pada Saudagar Jayeng Kertacundraka. Aku tidak bisa mengingkari amanat orang yang telah meninggal dunia. Sekali lagi..., maafkan aku, Nyi," tolak pemuda berambut putih keperakan itu dengan halus.

"Aku bisa mengerti, Anak Muda," jawab wanita setengah baya itu dengan suara berdesah. "Kalau tidak kau temukan orang yang akan menyusuinya... berikan saja susu kambing atau sapi."

"Akan kuperhatikan semua nasihatmu, Nyi."

Usai berkata demikian, Dewa Arak mengangsurkan tangan untuk menerima putra Saudagar Jayeng Kertacundraka. Lalu, setelah mengucapkan terima kasih, pemuda itu berbalik. Kemudian, kakinya terayun meninggalkan tempat itu. Tapi baru saja beberapa tindak....

"Tunggu, Anak Muda!"

"Ada apa, Nyi?!" tanya Arya seraya membalikkan tubuh.

"Aku mempunyai seekor kuda. Ambillah.... Gunakan agar perjalananmu lebih cepat."

Dewa Arak tidak segera menjawab. Arya tercenung sejenak memikirkan tawaran itu.

"Pakailah, Anak Muda," desak wanita setengah baya itu. "Di sini kuda itu tidak berguna. Aku tidak bisa menungganginya. Dulu binatang itu tunggangan suamiku."

Kini tidak ada lagi alasan bagi Dewa Arak untuk menolak. Perlahan-l ahan kepal anya dianggukkan.

EMPAT

Untuk pertama kalinya, Arya melakukan perjalanan dengan lambat. Itu terpaksa dilakukan Dewa Arak karena adanya bayi yang digendongnya di tangan kiri. Sedang tangan kanannya digunakan untuk memegang tali kekang kuda, yang melangkah pelan menyusuri jalan tanah berdebu.

Sesekali pandangan Dewa Arak yang tertuju lurus ke depan dialihkan pada sang Bayi. Ada rasa nyaman dan senang yang sulit dikatakan ketika memandang makhluk kecil yang tidak berdaya itu. Kesibukan Dewa Arak membuat perhatiannya tidak beralih, sekalipun pendengarannya menangkap bunyi derap kaki kuda di belakangnya. Dari bunyinya, Dewa Arak tahu kuda itu tidak hanya berjumlah seekor.

Semakin lama bunyi derap kaki kuda terdengar jelas. Pertanda jarak antara Dewa Arak dengan kuda-kuda itu semakin dekat. Arya memperkirakan jumlah binatang-binatang itu sekitar lima ekor. Dan tengah berpacu dengan kecepatan tinggi. Karena khawatir binatang-binatang yang akan melewatinya itu menabraknya, Arya menepikan jalan kudanya.

Dugaan Dewa Arak tidak salah. Baru saja binatang tunggangannya ditepikan, enam ekor kuda coklat putih berpacu cepat melaluinya. Debu yang mengepul tinggi membuat Dewa Arak terpaksa mengibas-ngibaskan tangan.

Kelihatannya ringan saja kibasan itu dilakukan Dewa Arak. Tapi, akibatnya debu-debu yang hendak mengepul ke arahnya tertolak jauh seperti dihembus angin keras. Tampaknya, Dewa Arak mengerahkan tenaga dalam.

Sebenarnya kalau tidak ada putra Saudagar Jayeng Kerta cundraka, Dewa Arak tidak akan melakukan tindakan itu. Cukup hanya menutupi wajahnya agar tidak terkena debu. Sementara itu, enam ekor kuda coklat putih itu terus berpacu cepat diiringi bunyi bergemuruh yang menggetarkan tanah.

Dewa Arak hanya menggeleng-gelengkan kepala. Segumpal pertanyaan bergayut di benaknya. Apakah yang akan dilakukan rombongan berkuda itu, sehingga demikian terburu-buru? Sekilas pandangannya diarahkan ke arah mereka. Sepasang alis Dewa Arak berkerut, ketika melihat tindakan yang dilakukan rombongan berkuda itu.

Dewa Arak menjumpai adanya keanehan. Ketika telah berada beberapa tombak di depannya, secara serempak enam orang itu menarik tali kekang kudanya. Demikian mendadak, sehingga kuda-kuda itu menghentikan larinya dengan tiba-tiba.

"Hieeeh...!" Seraya meringkik nyaring, kuda-kuda itu mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.

Tapi, itu hanya berlangsung sesaat. Karena keenam penunggangnya telah menarik tali kekang kuda mereka. Kuda-kuda itu tahu maksud penunggangnya. Mereka segera berbalik. Sekarang, tanpa terburu-buru enam orang penunggang kuda itu mengarahkan binatang tunggangannya menghampiri Dewa Arak.

"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. Sebagai seorang yang telah lama berkecimpung di dunia persilatan, dia langsung tahu keenam penunggang kuda itu mempunyai maksud yang tidak baik. Meskipun demikian, Arya mampu bersikap seolah-olah tidak mengetahui maksud mereka. Dengan tenang diusahakannya kuda hitamnya terus melangkah.

Kedua belah pihak mengarahkan kuda mereka ke arah yang berlawanan, dan seperti tengah saling menghampiri. Maka, dalam sekejap jarak mereka tinggal dua tombak. Mau tidak mau Dewa Arak menghentikan langkah kudanya. Sebab, kalau diteruskan pun akan percuma. Enam orang penunggang kuda itu telah menyusun diri sedemikian rupa. Sehingga tidak ada celah untuk kuda Dewa Arak lewat. Binatang-binatang tunggangan itu mereka atur berjajar.

Ternyata bukan hanya Dewa Arak yang menghentikan langkah kudanya. Enam orang penghadang itu pun demikian. Kemudian, tatapan mereka merayapi sekujur tubuh Dewa Arak penuh selidik.

Hal yang sama pun dilakukan Dewa Arak. Hanya kalau lawanlawannya dengan cara terang-t erangan, Arya hanya memperhatikan sekilas saja. Dalam kesempatan yang demikian singkat itu, dia bisa melihat cukup jelas keenam penunggang kuda itu.

"Siapa kalian?! Mengapa menghadang perjalananku?!" tanya Arya tenang.

"Akulah yang seharusnya mengajukan pertanyaan itu, Bocah!" bantah seorang di antara enam penunggang kuda, yang kudanya berada agak di depan kuda-kuda lain.

Dia seorang pemuda berwajah tampan dan berpakaian indah. Dalam usianya yang tak kurang dari tiga puluh lima tahun, lelaki itu jadi terlihat pesolek.

Dewa Arak mengernyitkan alis karena merasa heran. Penampilan lelaki berpakai an indah itulah penyebabnya. Meskipun demikian, dengan pandainya perasaan itu disembunyikan, sehingga tidak terlihat pada wajahnya.

"Kalau demikian, baik kuperkenalkan diriku. Aku hanya seorang pengelana. Namaku Arya. Cukup?! Sekarang, biarkan aku lewat," ujar Arya memperkenalkan diri dengan sabar.

"Tidak!" lelaki berpakaian indah itu menggelengkan kepala. "Berikan bayi yang ada di gendonganmu. Baru kami akan membiarkanmu lewat."

"Semudah itu, Sukrasana?! Ingat! Dia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya atas Andiningsih!" bantah orang yang tepat berada di sebelah kiri lelaki berpakaian indah.

Lelaki itu berpakaian sederhana. Malah terlalu sederhana bila dibandingkan dengan pakaian Sukrasana. Wajahnya yang buruk semakin tampak jelas karena potongan rambutnya yang dikepang sampai ke pinggang.

"Benar, Sukrasana!" sambut yang lainnya. Seorang lelaki berpakaian sederhana dan bermata picak. "Jangan begitu mudah dia dilepaskan! Dia harus menerima ganjaran atas perbuatannya terhadap Andiningsih!"

"Tahan amarah kalian. Ingat! Andiningsih tidak akan hidup kembali. Sekalipun kita bunuh pemuda aneh ini. Yang penting adalah keselamatan cucu ketua kita!" bantah Sukrasana sungguh-sungguh.

"Tapi, Sukrasana...," lelaki bermata picak masih mencoba membantah.

Sikap keras kepala lelaki bermata picak membuat kesabaran Sukrasana pupus. Terbukti dengan tanggapan yang diberikannya.

"Tidak ada tapi-tapian!" sentak Sukrasana memotong ucapan lelaki bermata picak. "Ingat! Akulah yang berhak memutuskan semua persoalan. Buka kalian! Camkan itu!"

Seketika itu pula lelaki bermata picak dan lelaki berambut kepang terdiam. Mereka tidak membuka suara l agi. Tapi dari tarikan wajah dan sepasang mata mereka terlihat rasa penasaran yang dal am. Usai berkata demikian, tanpa mempedulikan dua lelaki berpakaian sederhana itu, Sukrasana mengalihkan perhatiannya ke arah Arya.

"Serahkan bayi itu, Kisanak. Percayalah! Kau boleh pergi dari sini tanpa mendapat gangguan!" janji Sukrasana sungguh-sungguh.

Dewa Arak tersenyum hambar. "Sayang sekali, Sukrasana," sahut Arya menyebut nama lelaki berpakaian indah itu. "Aku tidak dapat memenuhi permintaan kalian."

Wajah Sukrasana langsung berubah begitu mendengar tanggapan Dewa Arak. "Rupanya kau lebih suka dikasari, Pembunuh Keji! Secara baik-baik kuberikan jalan selamat bagimu. Padahal, tindakan keji yang kau lakukan pada dua rekan kami telah cukup menjadikan alasan untuk membunuhmu! Tapi, kau malah menyia-nyiakan kesempatan yang kuberikan!"

Sukrasana kemudian menoleh pada lima orang rekannya. Sesaat kemudian, kepalanya dianggukkan sedikit. Tanpa menunggu lebih lama, lelaki berambut kepang melangkah maju. Jelas, dia telah menunggu-nunggu kesempatan ini sejak tadi.

"Tunggu, Kisanak!" Sebelum lelaki berambut kepang mulai melancarkan serangan, Dewa Arak telah menjulurkan tangannya berusaha mencegah.

Seketika lelaki berambut kepang mengurungkan maksudnya. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya.

"Kalian salah paham! Aku bukan pembunuh Andiningsih!" tegas Arya mantap. "Dia tewas oleh sekelompok orang kasar yang menghadangnya."

Lalu, dengan singkat pemuda berambut putih keperakan itu menceritakan semua kejadi annya. Sementara Sukrasana dan rekan-rekannya mendengarkan dengan penuh perhatian hingga Dewa Arak menyel esaikan ceritanya.

"Sudah selesai?!" tanya lelaki berambut kepang mengejek.

"Benar," jawab Dewa Arak seraya menganggukkan kepala.

"Kalau demikian..., sekarang bersiaplah kau!" Sambil menggertakkan gigi, lelaki berambut kepang melompat menerjang Dewa Arak. Dan begitu berada di udara, tubuhnya dijungkir-balikkan. Kemudian, meluruk turun seraya melancarkan serangan ke arah pelipis dengan jari-jari tangan terkem-bang membentuk cakar.

Cit, cit, cit!

Bunyi mencicit nyaring seperti tikus terjepit mengiringi tibanya serangan. Bunyi ini menandakan kalau cengkeraman itu didukung pengerahan tenaga dalam tinggi.

Dewa Arak mengenal serangan berbahaya. Dia tahu, jangankan terkena secara telak, terserempet saja sudah cukup untuk mengirim nyawanya ke alam baka. Maka, pemuda itu tidak berani bertindak ceroboh.

Apalagi dengan keberadaan putra Saudagar Jayeng Kertacundraka di tangannya. Ternyata Dewa Arak mengambil keputusan untuk menangkisnya. Sebuah tindakan yang jarang dilakukannya terhadap serangan awal lawan. Pemuda berambut putih keperakan itu menggerakkan tangan ke atas memapaki.

Prattt!

"Akh!" Jerit keterkejutan langsung keluar dari mulut lelaki berambut kepang, begitu dua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam berbenturan. Akibatnya, tubuh lelaki iiu terpent al kembali ke atas seraya menyeringai kesakitan.

Sementara Dewa Arak tidak bergeming. Sedikit pun tak ada guncangan pada binatang tunggangannya. Tampaknya, tenaga dalam Dewa Arak jauh lebih kuat dibandingkan lawannya.

Jliggg!

Setelah bersalto sekali di udara, lelaki berambut kepang berhasil mendarat di tanah dengan kedua kaki lebih dulu. Hampir pada saat yang bersamaan, kedua kaki Dewa Arak menjejak tanah. Pemuda itu memutuskan untuk melompat dari atas punggung kuda. Disadari kalau tetap berada di atas kuda, keselamatan putra Saudagar Jayeng Kertacundraka terancam.

"Kau tidak apa-apa, Limbong?!" tanya Sukrasana seraya mendekati lelaki berambut kepang.

Lelaki yang ternyata bernama Limbong menggelengkan kepala. Lalu, tanpa memberi kesempat an pada Sukrasana untuk mengajukan pertanyaan lebih lanjut, Limbong mengirimkan serangan susulan. Kali ini Limbong tidak mempergunakan tangan. Dia mengirimkan tendangan kaki kanan lurus ke arah dada Dewa Arak.

Wukkk!

Serangan Limbong mengenai tempat kosong. Karena sewaktu hampir mengenai sasaran, Dewa Arak telah mendoyongkan tubuh ke kiri. Hasilnya serangan itu menyambar lewat beberapa jari di sebelah kanannya. Tindakan Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ. Tangan kanannya diayunkan membacok pergelangan kaki Limbong.

Limbong terkejut bukan main melihat serangan ini. Memang, dia sudah menduga akan terjadi serangan balasan. Namun sungguh tidak menyangka akan secepat ini datangnya. Kecepatan gerak Dewa Arak benar-benar hampir tidak terlihat mata. Sungguhpun demikian, tentu saja Limbong tidak membiarkan kakinya dihantam. Buru-buru kakinya ditarik.

Takkk!

"Akh!" Limbong memekik kesakitan. Bacokan sisi tangan kanan Dewa Arak menghantam telak sasarannya. Usaha penyel amatan yang dilakukan lelaki berambut kepang ternyata terlambat. Seketika itu pula tubuh Limbong limbung.

Serempak empat orang rekan Limbong, kecuali Sukrasana, melompat turun dari punggung kuda. Wajah dan sorot mata mereka menggambarkan kekagetan yang amat sangat. Mereka tahu betul tingkat kepandai an yang dimiliki Limbong. Secara kasar, setingkat dengan mereka.

Kenyataan betapa dalam segebrakan Dewa Arak telah berhasil menyarangkan serangan telah membuktikan ketinggian ilmu pemuda itu. Karena itu, lelaki bermata pi cak dan tiga rekannya maju berbarengan. Sekarang, mereka berdiri di sebelah Limbong. Sudah dapat diperkirakan pertarungan tak akan dapat dielakkan lagi.

Sukrasana menyadari hal itu. Maka, bergegas dia menjauhi tempat itu. Hal yang sama pun dilakukan kuda mereka. Rupanya, binatang-binatang itu pun menyadari bahaya yang tengah mengancam.

Dewa Arak sadar kalau kelima rekan Sukrasana akan melakukan pengeroyokan. Namun, hal itu tidak membuatnya gentar. Pemuda itu tetap tenang. Sepasang matanya berputaran ke sana kemari, mengawasi gerak-gerik pengeroyoknya.

Dan memang, Limbong dan empat kawannya telah mulai bergerak menyebar. Jelas, mereka bermaksud menyerang Dewa Arak dari berbagai penjuru."

Sing, wuk, wunggg!

Begitu berhasil mengurung Dewa Arak, kelima orang itu memutar senjata mereka yang tel ah tergenggam di tangan. Sementara Dewa Arak masih berrangan kosong.

"Haaat..!" Didahului teriakan melengking nyaring yang menggetarkan tempat itu, Limbong yang berada di depan Dewa Arak mulai membuka serangan.

Tombak yang berujung mata golok dibolang-balingkan di depan dada hingga lenyap bentuknya. Dan di saat senjata itu sudah tidak terlihat lagi, secara tidak terduga-duga ditusukkan ke arah perut Dewa Arak.

Wukkk!

Memang bagi mata Limbong dan rekan-rekannya tombak itu tidak terlihat lagi. Tapi tidak demikian dengan Dewa Arak. Secara jelas sekali, dia dapat melihat senjata itu. Bahkan, ketika ditusukkan ke arahnya.

Karena itu, Arya tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk mengelakkannya. Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke kiri, dia telah membuat tombak itu meluncur lewat di sebelah kanan pinggangnya.

Namun belum sempat Dewa Arak melancarkan serangan balasan, serangan dari lelaki bermata picak telah meluncur. Rupanya, di saat serangan Limbong datang, dia pun mengirimkan serangan pula. Akibatnya, begitu serangan Limbong gagal serangannya meluncur datang.

Bahkan, bila diperbandingkan, serangan yang dikirimkan lelaki bermata pi cak jauh lebih berbahaya. Golok besar yang menjadi senjata andalannya diayunkan deras ke arah leher Dewa Arak dengan mendatar.

Padahal, lelaki bermata picak itu melakukan serangan dari belakang! Bila mengenai sasaran, sudah dapat dipastikan kepala Dewa Arak akan terpisah dari tubuhnya.

Tapi lagi-lagi Dewa Arak tidak mengalami kesulitan mengelakkan serangan itu. Tubuhnya agak dibungkukkan ke depan sehingga babatan lelaki bermata picak hanya menyabet angin, beberapa jari di atas kepala Dewa Arak.

Dan kejadian selanjutnya pun berulang. Sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, serangan lainnya datang bertubi-tubi bagai gelombang lautan. Meskipun demikian, semua dapat dipunahkan Dewa Arak. Memang, dengan tingkat ilmu meringankan tubuh yang berada jauh di atas lawan, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengel akkan serangan lawan.

Sampai sekian jauh hanya mengelak yang dapat dilakukan Dewa Arak. Sebab, kelima lawannya tidak memberikan kesempatan sedikit pun untuk melancarkan s erangan balasan. Mereka melancarkan serangan silih berganti.

Tapi sampai sepuluh jurus berlangsung tak satu pun dari serangan itu yang mengenai sasaran. Karuan saja kenyataan itu semakin membuat Libong dan kawan-kawannya penas aran! Sebagai akibatnya, serangan yang mereka lancarkan semakin dahsyat. Namun, semua itu tetap saja dapat dipunahkan Dewa Arak.

Kejadian itu tidak lepas dari pengamatan Sukrasana. Diam-diam dia terkejut bukan main. Lelaki itu tahu betul tingkat kepandaian Limbong dan empat rekannya. Diakui kepandaian mereka di bawahnya. Tapi, untuk menghadapi keroyokan mereka, dia tidak akan mampu. Apalagi dengan menggendong bayi seperti yang dilakukan Dewa Arak.

Dari kenyataan itu saja dia bisa memperkirakan kalau tingkat kepandaian Dewa Arak berada di atasnya. Dan hal ini membuatnya khawatir. Tapi meskipun demikian, Sukrasana tidak mau segera bertindak. Dia mengambil keputusan untuk melihat perkembangan selanjutnya.

LIMA

Di kancah pertarungan Dewa Arak mulai menyadari keadaannya yang tidak menguntungkan. Dia tahu kalau keadaan terus seperti ini akhirnya dia akan roboh di tangan lawan-lawannya. Untuk mencegah hal itu, tentu saja Dewa Arak harus membebaskan diri dari kepungan lawan.

Dan hal itu yang akan dilakukannya. Begitu menginjak jurus ketiga belas, Dewa Arak melaksanakan rencananya. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh yang berada jauh di atas lawan-lawannya.

"Hih!" Pemuda berambut putih keperakan itu menjejakkan kaki. Sesaat kemudian tubuhnya melesat ke atas. Di udara dia bersalto beberapa kali sebelum mendaratkan kedua kakinya di tanah.

"Mau lari ke mana, Keparat?! Jangan harap dapat lolos dari kami!" seru Limbong keras ketika melihat Dewa Arak telah berada di luar kepungan. Seiring keluarnya ucapan itu, Limbong meluruk ke arah Dewa Arak. Tindakan yang dilakukan Limbong segera diikuti rekan-rekannya.

Tapi kali ini Dewa Arak tidak tinggal diam. Meskipun hanya menggunakan sebelah tangan, pemuda itu tidak mengalami kesulitan untuk mempergunakan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau', yang diwarisi dari ayahnya.

(Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode perdananya, 'Pedang Bintang').

Memang, bagi orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti Dewa Arak, bukan hal yang sulit mengadakan perubahan sedikit pada ilmunya sesuai dengan keadaan. Meski tidak dapat dipungkiri, dengan penggunaan s ebelah tangan ada pengurangan dalam kedahsyatan ilmu-ilmu itu.

Limbong dan kawan-kawannya langsung tercekat melihat Arya memberikan perlawanan. Mereka bagai tengah menggempur ombak sebesar bukit. Ada dorongan yang amat keras ketika Arya menggerakkan tangan. Dorongan yang mampu membuat tubuh mereka terlempar laksana terlanda badai.

Untungnya, Limbong dan rekan-rekannya bukan orang yang memiliki tenaga dalam rendah. Kalau tidak, sejak tadi tubuh mereka sudah terlempar. Kelima orang ini mampu bertahan.

Tak terasa empat puluh jurus telah berlalu. Dan sel ama itu, Limbong dan kawan-kawannya belum mampu mendesak Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu terlalu tangguh untuk dapat didesak. Meskipun demikian, mereka tidak putus asa. Kelima orang itu terus berusaha keras.

Mereka tampaknya tidak tahu kalau Dewa Arak telah bersikap mengalah. Di samping pemuda itu hanya menggunakan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' dan 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau', kemampuan kedua ilmu itu pun tidak sepenuhnya dikeluarkan. Sebab, Dewa Arak yakin keenam orang ini tidak bermaksud jahat. Mereka hanya salah paham saja.

Tapi ketika menginjak jurus kelima puluh, tidak ada tanda-tanda lawannya menyadari sikapnya itu, Dewa Arak jadi kehilangan kesabaran. Diputuskannya untuk memberi sedikit pelajaran agar mereka mengerti. Dan tindakan itu segera dilakukan Dewa Arak pada jurus kelima puluh lima.

Limbong dan kawan-kawannya kelabakan ketika lawan yang mereka hadapi tahu-tahu lenyap dari pandangan. Entah bagaimana terj adinya, mereka tidak tahu. Sebelum rasa kaget itu sirna, tangan mereka yang menggenggam senjata mendadak lemas. Mereka tidak tahu kalau dengan ilmu meringankan tubuhnya Dewa Arak mengelakkan setiap serangan, kemudian menotok bagian belakang sikut. Totokan inilah yang menjadikan tangan mereka lumpuh sejenak!

Ketika akhirnya Dewa Arak berdiri di tengah-tengah kepungan lagi, di tangan pemuda berambut putih keperakan itu tergenggam beraneka ragam senjata.

"Bagaimana?! Masih ingin melanjutkan pertarungan?!" tanya Dewa Arak seraya mengacungkan senjata-senjata itu tinggi-tinggi.

Kemudian, dilemparkannya secara sembarangan di tanah. Kenyataan ini mengejutkan Limbong dan kawan-kawannya. Tapi, hal itu tidak membuat mereka mengerti dan menyerah. Bagai diberi perintah, mereka menerjang Dewa Arak secara bersamaan.

Sekarang kesabaran Dewa Arak benar-benar habis. Tampaknya, orang-orang seperti Limbong dan empat kawannya tidak dapat diperlakukan dengan lembut. Mereka tidak akan pernah bisa mengerti. Hanya kekalahan secara telak yang dapat menyadarkan mereka. Maka, Dewa Arak pun memutuskan untuk melakukan hal itu.

Buk, buk, bukkk!

Pukulan-pukulan yang dilancarkan Limbong dan kawan-kawannya mendarat dengan t elak di sas aran yang dituju. Keberhasilan ini membuat hati mereka gembira. Sudah terbayang di benak kelima orang itu pemuda berambut putih keperakan ini akan roboh ke tanah. Setidak-tidaknya akan menjerit-jerit kesakitan.

Tapi kenyataan yang terjadi benar-benar mengejutkan mereka. Tubuh Dewa Arak tidak bergeming sekalipun serangan-serangan itu mendarat di berbagai bagian tubuhnya. Yang lebih mengejutkan, tangan yang telah mengenai tubuh Dewa Arak menempel! Tidak bisa ditarik kembali!

Limbong dan kawan-kawannya terkejut bukan main. Tapi mereka tidak menyerah begitu saja. Seluruh tenaga yang dimiliki dikerahkan untuk menarik tangan mereka dari tubuh Dewa Arak.

Tindakan kelima orang itu ternyata sia-sia. Tangan mereka seperti berakar di tubuh Arya. Melekat erat! Limbong dan keempat kawannya tampak kalap. Apalagi ketika menyadari tenaga mereka mulai tersedot, seperti masuk ke dalam tubuh Dewa Arak!

Tapi, mereka bukan orang bodoh. Mereka tahu kalau dibiarkan tenaga dalam mereka akan tersedot semua. Dengan sebisanya mereka melakukan berbagai macam tindakan. Tanpa pikir panjang lagi, tangan yang masih bebas dipukulkan ke berbagai bagian tubuh Dewa Arak, terutama pada tempat-tempat yang lemah. Pelipis, ulu hati, leher, dan ubun-ubun.

Tentu saja Arya tidak membiarkan bagian-bagian itu terpukul. Dengan mengegoskan tubuh, dia berhasil membuat serangan-serangan lawan mendarat di sasaran yang salah.

Bukkk! Bukkk!

"Akh, akh...!"

Limbong dan kawan-kawannya menjerit kaget. Tangan yang lain pun melekat di tubuh Dewa Arak. Dan, kejadian yang menimpa tangan sebelumnya berulang. Hingga, tenaga yang ters edot ke tubuh Dewa Arak mengalir jauh lebih banyak.

Hanya dalam waktu singkat wajah kelima rekan Sukrasana telah memucat. Mereka terlihat lemah sekali. Melihat hal itu, Dewa Arak menghentikan tindakannya. Seketika itu pula tubuh Limbong dan teman-temannya ambruk ke tanah.

Semua kejadian itu tidak lepas dari perhatian Sukrasana. Tanpa mencoba lagi pun lelaki berpakaian indah itu tahu kalau Dewa Arak terlalu tangguh untuk dihadapinya. Maka, dia tidak mau bertindak bodoh. Melakukan tindak kekerasan terhadap pemuda itu merupakan perbuatan bodoh.

"Kuakui kami tidak dapat memenuhi perintah ketua. Kami telah gagal. Kau menang, Kisanak. Tapi ingat, ini tidak berarti tindakan kami berhenti sampai di sini. Sampai ke mana pun selama bayi itu berada di tanganmu, pihak kami akan mengejarmu," ucap Sukrasana mengancam.

"Mungkin perlu kau tahu, Kisanak. Ketua kami adalah kakek bayi itu. Karena ibu bayi itu putrinya. Dia tinggal di perguruan kami!"

Tentu saja Sukrasana salah kalau menganggap Dewa Arak merasa gentar karena ancamannya. Bahkan, pemuda berambut putih keperakan itu menyunggingkan senyum lebar.

"Bukannya bermaksud menyombongkan diri, Kisanak. Tapi percayalah, selama nyawaku masih ada tak akan kuberikan bayi ini pada siapa pun. Pantang bagiku mengingkari amanat orang yang telah meninggal. Apa pun yang terjadi, bayi ini harus tiba di tangan orang yang berhak."

Usai berkata demikian, Dewa Arak menghentakkan tangan kanannya ke depan.

Wusss! Brakkk!

Bunyi riuh rendah seketika terdengar. Angin keras yang keluar dari tangan Dewa Arak menghantam sebatang pohon hingga hancur berantakan.

Tidak hanya sekali hal itu dilakukan, tapi berkali-kali. Tindakan itu dilakukannya untuk membuang tenaga-tenaga yang tadi masuk ke dalam tubuhnya. Tenaga-tenaga itu berkeliaran ke berbagai bagian tubuh Arya. Kalau dibiarkan, tenaga liar itu akan berbahaya. Dewa Arak kemudian memutuskan untuk membuangnya.

Tindakan Dewa Arak membuat Sukrasana terpaksa menunda ucapannya. Dengan tidak sabar ditunggunya hingga pemuda berambut putih keperakan itu rnenyelesaikan perbuatannya.

"Siapa yang kau maksud dengan orang yang berhak itu, Kisanak?!" tanya Sukrasana penasaran.

"Ayah bayi ini," jawab Dewa Arak singkat.

"Ayah bayi itu?!" sepasang alis Sukrasana berkerut dalam. "Siapa yang kau maksudkan?!"

"Jayeng Kertacundraka. Saudagar di Desa Bonggol," jawab Dewa Arak mantap.

"Gila! Apakah aku tidak salah dengar?! Kau ini orang pintar yang berpura-pura bodoh. Atau memang kau telah diperalat orang-orang yang tidak bermaksud baik?!"

"Apa maksudmu, Kisanak?!" tanya Dewa Arak ingin tahu.

Pernyataan Sukrasana membuat pikirannya agak terbuka. Sekarang, berbagai pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak. Benarkah bayi yang dititipkan orang yang mengaku bernama Andiningsih itu putra Jayeng Kertacundraka? Mungkinkah cerita Andiningsih hanya bualan belaka? Barangkali saja bayi ini hasil culikannya? Tapi, bukankah telah jelas kalau Sukrasana dan rombongannya pengejar-pengejar Andiningsih?

"Jadi kau masih belum mengerti, Kisanak?! Bayi itu adalah cucu ketua perkumpulan kami. Andiningsih sengaja menculiknya untuk diberikan pada Jayeng Kertacundraka. Tentu saja dia mengharapkan imbalan uang!" jelas Sukrasana. "Dasar manusia tidak kenal budi! Asal kau tahu saja, Kisanak. Andiningsih dulunya adalah seorang jembel kecil yang kotor. Berkat belas kasih istri ketua perkumpulan kami, Setyaning, dia menjadi gadis terhormat. Sungguh tidak kami sangka kalau kekejian seperti ini diberikannya sebagai balas budi kebaikan yang telah diterimanya."

Penjelasan itu membuat rasa bimbang Dewa Arak atas kebenaran cerita Andiningsih semakin besar. Sebab, penjelasan Sukrasana bisa diterima akal sehat. Dengan sendirinya, kejanggalan cerita Andiningsih mulai dapat dirasakan. Apakah mungkin suami istri tinggal di tempat yang terpisah demikian jauh?

"Kalau benar ceritamu..., untuk apa bayi yang diculik Andiningsih ini bagi Jayeng Kertacundraka?!" tanya Dewa Arak ingin tahu lebih jelas. Karena pada bagian ini cerita Sukrasana terasa agak janggal.

"Untuk menjadi korban sia-sia atas ilmu yang tengah dituntutnya. Perlu kau ketahui, Kisanak. Jayeng Kertacundraka seorang penganut ilmu hitam. Dia membutuhkan darah bayi-bayi lelaki. Terutama bayi yang mempunyai waktu lahir istimewa. Di malam bulan purnama, misalnya."

Sampai di sini Sukrasana menghentikan ceritanya. Ditelannya air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

"Darah seorang bayi yang lahir di malam jum’at wage sama khasiatnya dengan darah dua puluh lima bayi yang lahir di malam biasa. Dan bayi yang tengah kau gendong itu lahir di malam bulan purnama. Itu sebabnya Jayeng Kertacundraka amat menyukainya. Jelas, Kisanak?! Sekarang, serahkan bayi itu kepadaku!"

Tidak ada alasan lagi bagi Dewa Arak untuk meragukan keterangan Sukrasana. Semua cerita yang dikatakannya masuk akal. Tapi, haruskah bayi ini diserahkan pada lelaki itu? Lalu, bagaimana janjinya dengan Andiningsih? Haruskah janji itu diingkari? Dewa Arak dilanda peras aan bimbang.

Di saat Dewa Arak tengah mempertimbangkan permintaan Sukrasana, lelaki itu menghampirinya dengan kedua tangan terulur. Selangkah demi seangkah jarak antara mereka semakin dekat. Sementara Dewa Arak masih tercenung.

Dua tindak lagi kaki Sukrasana melangkah, maka bayi itu akan berpindah tangan. Tapi sebelum itu terjadi, Dewa Arak segera teringat ucapan terakhir Andiningsih. Wanita itu menyatakan tidak akan mati tenteram bila bayi ini tidak sampai di tempat tujuannya. Seketika itu pula Dewa Arak melangkahkan kaki kanannya ke belakang. Dan....

Wuttt!

Sukrasana kecewa ketika tangannya hanya menangkap angin. Dewa Arak sudah tidak berada lagi di tempatnya.

"Keparat! Kau berani mempermainkan aku?! Jangan harap kau akan selamat, Kisanak. Tak seorang pun bisa lolos hidup-hidup bila telah membuat Sukrasana marah!"

Usai berkata demikian, lelaki berpakaian indah itu melancarkan tusukan ke arah leher Dewa Arak. Serangan itu dilancarkan dengan tangan telanjang. Sikap jari-jari tangannya menegang, lurus, dan kaku, seperti jurus 'Ular'.

"Hm...!" Dewa Arak menggumam pelan menutupi rasa kagetnya. Serangan Sukrasana jauh lebih dahsyat dari serangan Limbong dan yang lainnya. Dari bunyi mencicit yang mengiringi tibanya serangan itu, Dewa Arak bisa memperkirakan kekuatannya. Batu yang paling keras pun akan dapat ditembus jari-jari tangan Sukrasana.

Meskipun demikian, serangan itu tidak membuat Dewa Arak gugup. Dengan tenang, pemuda berambut putih keperakan itu mendoyongkan tubuhnya ke samping kiri. Serangan itu lewat beberapa jari di sebelah kanan Dewa Arak. Tidak hanya itu. Sebelum Sukrasana sempat melancarkan serangan susulan, Arya telah lebih dulu mengirimkan kaki kanannya mencuat ke arah perut lawan.

Wuttt!

Sukrasana tidak berani bertindak gegabah. Buru-buru dia melompat ke belakang. Serangan Dewa Arak pun menyambar tempat kosong di depan lelaki berpakai an indah itu.

Tapi, Dewa Arak tidak mempedulikan hal itu. Begitu melihat serangannya gagal, serangan lanjutannya tidak dikirimkan. Pemuda berambut putih keperakan itu malah membalikkan tubuh dan melangkah pergi. Tampaknya Arya tidak ingin memperpanj ang urusannya dengan Sukrasana.

Tindakan Dewa Arak membuat Sukrasana berang bukan main. Meskipun dia yakin Dewa Arak terlalu tangguh untuk dihadapi, tapi melihat sikap pemuda itu, Sukrasana menjadi tersinggung. Dia merasa di remehkan.

Amarahnya langsung meluap. Dan seiring dengan itu akal sehatnya pun lenyap. Yang ada di benaknya adalah melampiaskan kemarahannya pada Dewa Arak.

"Tunggu dulu, Kisanak!" Sambil berkata demikian, Sukrasana mengibaskan tangannya.

Singgg!

Bunyi mendesing nyaring yang menyakitkan telinga langsung terdengar. Tampak benda berkilat meluncur deras ke arah kuduk Dewa Arak. Benda itu berasal dari tangan Sukrasana! Benda berkilat itu sebenarnya sebilah pisau yang putih berkilauan.

Meskipun tengah melangkah menghampiri kudanya, Dewa Arak tahu ada bahaya yang tengah mengancam. Dengan berpatokan pada bunyi desingan itu, Arya dapat mengetahui bagian yang tengah diancam. Maka, sambil membalikkan tubuh, tangan kanannya diayunkan.

Takkk!

Dengan telak pisau Sukrasana berbenturan dengan kibasan tangan telanjang Dewa Arak. Akibatnya, benar-benar menggiriskan hati. Senjata tajam itu meluruk balik ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat ganda.

Mendapat serangan balik yang tidak disangka-sangka itu, Sukrasana gugup. Dengan agak tergesa-gesa tubuhnya dibungkukkan. Pisau itu meluncur lewat beberapa jari di atas kepala Sukrasana.

Sementara itu, tanpa mempedulikan akibat sampokannya, Dewa Arak melompat ke atas punggung kuda. Dan sekali menghentakkan tali kekangnya, binatang tunggangan itu melangkah lambat meninggalkan tempat itu.

Kali ini, Sukrasana tidak berani mengirimkan serangan lagi. Disadarinya tindakan itu malah akan membahayakan dirinya. Masih untung Dewa Arak tidak melayani kemauannya. Kalau tidak, tentu dia akan celaka. Tingkat kepandaian pemuda berambut putih keperakan itu ternyata sulit diukur.

Yang dapat dilakukan lelaki berpakaian indah itu hanya menatap kepergian Arya. Entah perasaan apa yang berkecamuk di hatinya, melihat buruannya lolos begitu saja di depan matanya sendiri. Mendadak langkah kuda Dewa Arak terhenti. Sesaat kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu menoleh.

"Boleh kutahu nama bayi ini, Kisanak?!" tanya Dewa Arak ingin tahu.

"Hmh!" Hanya dengus penuh rasa kesal dari Sukrasana yang menyambuti pertanyaan Dewa Arak.

Melihat hal itu, Dewa Arak pun mengerti. Tidak ada gunanya lagi mengajukan pertanyaan. Lelaki berpakaian indah itu tidak akan mau menjawabnya. Maka, disentaknya tali kekang untuk menyuruh kuda coklatnya meninggalkan tempat itu.

Tatapan Sukrasana mengiringi kepergian pemuda berambut putih keperakan itu hingga tidak terlihat lagi ditelan kejauhan. Baru setelah itu, Sukrasana mengalihkan perhatian pada rekan-rekannya yang tergolek tak berdaya di tanah.

ENAM

"Hhh...!"

Dewa Arak menghela napas berat. Tampak tiga sosok tubuh berdiri dalam jarak sepuluh tombak di depannya. Mereka berjajar di depan sebuah jembatan yang melintas di atas sungai yang jauh di bawah sana. Saat itu Arya berada di sebuah tebing yang cukup curam.

Dewa Arak merasakan ada sesuatu yang tidak enak di dalam dadanya. Tiga sosok tubuh itulah penyebabnya. Arya tahu mengapa mereka berdiri berjajar di sana. Jelas, mereka tidak akan membiarkan orang-orang melewati jembatan tanpa seizin mereka.

Itu berarti perjal anannya akan mengalami hambatan lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu yakin betul akan kesimpulannya. Meskipun demikian, dia berpura-pura tidak tahu. Dibiarkannya kudanya terus melangkah.

Semakin lama jarak Arya dengan tiga sosok itu semakin dekat. Sambil lalu, pemuda berambut putih keperakan itu memperhatikan tiga sosok di depannya. Dewa Arak dapat melihat ciri-ciri mereka. Kecurigaan Dewa Arak agaknya tidak keliru. Saat kudanya semakin dekat, tidak ada tanda-tanda mereka akan memberikan jalan.

Tampaknya, mereka tidak mau membiarkan Dewa Arak melalui jembatan itu. Terpaksa Arya mengalah. Begitu jarak antara mereka tinggal tiga tombak, tali kekang kudanya ditarik. Kuda hitam itu pun menghentikan langkahnya. Masih dengan pandangan tertuju pada ketiga sosok itu, Dewa Arak melompat turun dari punggung kuda. Dan mendarat dengan ringan di tanah seperti daun kering jatuh ke bumi.

"Maaf, Kisanak. Bisa menyingkir sebentar?! Aku hendak melalui jembatan ini," ujar Arya sopan.

Tiga sosok yang memiliki potongan tubuh berbeda-beda itu saling berpandangan sejenak. Kemudian...

"Ha ha ha...!

Serempak, bagai diberi perintah ketiganya tertawa. Tentu saja tindakan mereka membuat Dewa Arak mengerutkan alis. Perasaan tidak senang langsung menyeruak hatinya. Tidak ada hal lucu yang patut ditertawakan pada pernyataannya tadi. Meskipun demikian, pemuda itu tetap bersikap tenang.

"Rupanya aku salah mengenali orang. Semula kukira kalian orang waras. Ah...! Siapa dapat menduga...?!" ujar Dewa Arak setengah berdesah seraya menggeleng-gelengkan kepala. Sikapnya memperlihatkan kalau dia merasa prihatin dengan kejadian itu.

Tawa keras bergelak dari tiga sosok itu langsung terhenti. Wajah mereka merah padam. Dan sepasang matanya membelalak penuh kemarahan menatap Dewa Arak.

"Sungguh berani kau mengucapkan kata-kata itu pada kami, Anjing Kecil?! Apakah kau tidak tahu siapa kami?! Kau pernah mendengar julukan Raja Monyet Tenaga Raksasa?! Nah! Akulah orangnya!" ucap salah seorang di antara ketiga sosok itu penuh kemarahan.

Sosok itu seorang manusia yang mirip gorilla. Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya kekar, tapi agak bungkuk. Ciri khas seekor kera. Ciri-ciri itu semakin jelas dengan adanya bulu-bulu lebat berwarna hitam yang menghias sekujur tubuhnya, yang hanya dibungkus rompi hitam dan celana sebatas lutut. Kedua tangannya pun mempunyai ukuran lebih dari manusia biasa. Tangan itu menggelantung hingga melampaui lutut.

"Dan aku Buaya Emas Berekor Tiga," sambung sosok yang berada di sebelah Raja Monyet Tenaga Raksasa. Buaya Emas Berekor Tiga seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya pendek kekar dan dibungkus rompi terbuat dari kulit buaya.

"Aku... Raja Hiu Terbang," timpal sosok kecil kurus yang bermata sipit dan berpakaian rompi coklat.

Arya mengangguk-anggukkan kepala. "Tak kusangka di tempat seperti ini aku akan berjumpa dengan tokoh-tokoh tenar seperti kalian...." Dewa Arak berkata sejujurnya. Julukan tiga tokoh itu memang telah sampai ke telinganya. Mereka adalah para pimpinan kelompok orang-orang sesat.

Raja Monyet Tenaga Raksasa seorang kepala perampok yang merajai tempat-tempat berupa daratan. Setiap kelompok perampok yang berdiam di hutan atau gunung harus tunduk di bawah kekuasaannya. Bagi yang menentang akan dihancurkan. Tokoh ini amat ditakuti.

Berbeda dengan Raja Monyet Tenaga Raksasa, Buaya Emas Berekor Tiga merajai wilayah sungai. Sementara Raja Hiu Terbang menguasai lautan. Hingga, lengkaplah sudah pimpinan orang sesat di seluruh permukaan bumi. Mereka merajai kelompok-kelompok itu selama bertahun-tahun.

"Bagus, kalau kau telah mengenal kami. Sekarang sebelum kami membunuhmu, lebih baik perkenalkan diri. Sebab, kami tidak mau membunuh orang yang tidak mempunyai nama," ujar Raja Monyet Tenaga Raksasa, yang lebih pandai bicara daripada dua kepala perampok lainnya.

Dewa Arak tidak segera memberikan jawaban. Perhatiannya dialihkan pada putra Saudagar Jayeng Kertacundraka. Diayun-ayunnya tubuh bayi mungil itu.

"Apa untungnya kalian mengetahui namaku?!" tanya Arya dengan sikap tidak peduli.

"Bagi kami memang tidak penting. Tidak ada keuntungan yang kami dapat. Keuntungan itu hanya kau yang peroleh. Karena dengan menyebutkan namamu, mungkin kami tidak memanggilmu dengan sebutan anjing cilik lagi. Itu yang pertama," urai Raja Monyet Tenaga Raksasa.

"Ha ha ha...!" Buaya Emas Berekor Tiga dan Raja Hiu Terbang tertawa terbahak-bahak mendengar olok-olok rekan mereka terhadap Dewa Arak.

Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu kelihatan tidak terpengaruh sedikit pun. Dia tetap mengayun-ayunkan tubuh putra Saudagar Jayeng Kertacundraka.

Melihat hal ini, Raja Monyet Tenaga Raksasa menjadi penasaran. Amarahnya bangkit perlahan. "Tapi yang lebih penting adalah yang kedua. Dengan memperkenalkan diri, berarti kau bukan seorang pengecut!" tandas Raja Monyet Tenaga Raksasa dengan bergetar.

Seketika itu pula Dewa Arak menolehkan kepala. Ditatapnya tajam-tajam Raja Monyet Tenaga Raksasa. Memang, pemuda berambut putih keperakan itu paling pantang mendapat makian seperti itu.

"Baiklah. Namaku Arya. Kalian puas?!" ujar Arya dengan suara bergetar menahan marah.

"Arya?!"

Hampir bersamaan Raja Monyet Tenaga Raksasa, Buaya Emas Berekor Tiga, dan Raja Hiu Terbang mengucapkannya. Ketiganya bertukar pandang dengan dahi berkernyit dalam. Rupanya ada sesuatu yang menarik perhatian mereka.

"Apakah nama lengkapmu Arya Buana?!" tanya Raja Monyet Tenaga Raksasa sungguh-sungguh. Tatapan mat anya merayapi sekujur tubuh Dewa Arak.

"Benar," jawab Arya tegas. Dia sudah menduga ketiga kepala perampok itu telah mengetahui perihal dirinya.

"Kalau begitu..., kau adalah Dewa Arak?!" sentak Raja Hiu Terbang tanpa dapat menyembunyikan rasa kagetnya.

"Itulah julukan yang diberikan orang-orang persilatan kepadaku," ringan jawaban Dewa Arak.

Seketika itu pula sikap ketiga kepala rampok itu berubah. Mereka langsung melangkah mundur dan agak menyebar. Kenyataan bahwa pemuda berambut putih keperakan itu adalah Dewa Arak, membuat ketiganya tersentak kaget.

"Kami memang telah mendengar kabar kalau tokoh yang berjuluk Dewa Arak itu masih muda. Tapi tidak pernah kami sangka kalau semuda ini. Sungguh suatu kebetulan. Aku sudah lama bermaksud menantangmu bertarung, Dewa Arak! Ingin kurasakan sendiri sampai di mana kepandaianmu. Bersiap-siaplah kau, Dewa Arak!" ucap Raja Monyet Tenaga Raksasa keras. Kemudian menyiapkan jurusnya untuk melancarkan serangan. Tapi....

"Tunggu, Raja Monyet!" cegah Buaya Emas Berekor Tiga. Tangan kanannya dijulurkan menghadang. "Bukan hanya kau yang ingin bertarung dengannya. Aku juga demikian! Akan kubuktikan pada dunia persilatan kalau aku, Buaya Emas Berekor Tiga, tidak terkalahkan oleh siapa pun. Tak terkecuali Dewa Arak!"

"Jangan terburu nafsu, Buaya Emas! Akulah yang akan mengalahkan Dewa Arak! Karena itu, aku yang akan menghadapinya lebih dulu!" Raja Hiu Terbang tidak mau kalah.

Kesempatan di saat ketiga kepala rampok itu terlibat perdebatan sengit, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak. Sekali menjejakkan kaki, pemuda itu telah melayang melewati kepala Raja Monyet Tenaga Raksasa. Memang, tokoh yang merajai semua perampok daratan itu berada tepat di depan jembatan yang membentang.

"Hey!"

Hampir bersamaan ketiganya berteriak kaget melihat tindakan yang dilakukan Dewa Arak. Mereka segera mel esat mengejar. Tapi sudah terlambat! Dewa Arak telah mendarat di ujung jembatan. Kemudian, melesat cepat menuju ke seberang.

Sementara di belakangnya Raja Monyet Tenaga Raksasa, Buaya Emas Berekor Tiga, dan Raja Hiu Terbang melesat mengejar. Seketika perselisihan yang tengah berlangsung terhenti. Mereka harus mencegah Dewa Arak sampai di seberang jembatan.

Tapi maksud itu hanya mudah untuk direncanakan. Dewa Arak melesat cepat di depan mereka. Terlebih, pemuda berambut putih keperakan itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang jauh berada di atas ketiganya. Pengejaran ketiga kepala perampok itu sia-sia. Tanpa menemui kesulitan, Dewa Arak berhasil mencapai seberang jembatan.

"Hup!"

Begitu kedua kakinya menjejak tanah di ujung jembatan, tanpa ragu-ragu Dewa Arak menghentakkan tangan kanannya.

Wusss!

Bunyi menderu keras langsung terdengar ketika serangkum angin keras menghembus dari tangan Dewa Arak. Agaknya, Arya melancarkan pukulan jarak jauh. Dan, arah yang dituju adalah ujung jembatan yang tengah dituju ketiga pengejarnya.

Brakkk!

Terdengar bunyi berderak keras. Jembatan yang terbuat dari papan itu hancur berkeping-keping. Hubungan dengan daratan di tempat Dewa Arak berada langsung terputus! Padahal saat itu Raja Monyet Tenaga Raksasa, Buaya Emas Berekor Tiga, dan Raja Hiu Terbang masih berada di tengah-tengah jembatan. Akibatnya, bersamaan dengan runtuhnya jembatan, ketiga kepala perampok itu terjatuh ke bawah.

"Aaa...!"

Jeritan panjang menyayat mengiringi luncuran tubuh Raja Monyet Tenaga Raksasa, Buaya Emas Berekor Tiga, Raja Hiu Terbang. Kejadian itu tidak lepas dari pandangan Dewa Arak. Wajah tampan pemuda berambut putih keperakan itu tampak muram. Arya, kelihatan terpukul.

"Hhh...!" Seraya menghembuskan napas berat, Dewa Arak membalikkan tubuh. Mendadak....

Sing, sing, sing!

Bunyi mendesing tajam yang menyakitkan telinga mengejutkan Dewa Arak. Belasan batang anak panah melesat cepat ke arahnya. Rupanya, kedatangannya di tempat ini tidak disukai.

Namun bukan Dewa Arak kalau menghadapi sambutan seperti itu menjadi gugup. Ditunggunya hingga serangan-serangan itu menyambar dekat. Baru setelah itu, tangan kanannya diputar.

Dari putaran tangan pemuda berambut putih keperakan itu berhembus angin keras. Hingga anak panah yang hampir mencapai sasaran melenceng arahnya. Bahkan sebagian besar jatuh di tengah jalan. Seakan-akan ada tembok tak nampak melindungi pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan itu.

Namun, kejadian itu tidak membuat pemiliknya menjadi jera. Terbukti, puluhan anak panah terus meluncur deras. Tapi seperti juga sebelumnya, hujan anak panah itu pun hanya membuahkan kegagalan. Sebelum mencapai sasaran, anak-anak panah itu berjatuhan bagai semut-semut menerjang api.

Sadar kalau tidak ada gunanya lagi melakukan penyerangan, pemilik-pemiliknya berlompatan keluar dari semak-semak yang menjadi tempat persembunyiannya.

Srak, srak, srak!

Dan hanya dalan sekejapan s aja, di depan Dewa Arak tel ah berdiri belasan lel aki kekar. Tangan mereka menggenggam pedang telanjang yang kelihatan berkilat-kilat diterpa sinar matahari.

"Tahan!" Sebelum belasan lelaki kasar itu menyerang, Dewa Arak telah lebih dulu berseru. "Apakah kalian anak buah Saudagar Jayeng Kertacundraka?! Kalau benar, harap katakan padanya aku datang membawa putranya."

Tanggapan atas ucapan Dewa Arak adalah ayunan pedang belasan lelaki kekar. Mereka tidak mempedulikan perkataan Arya. Tindakan itu mereka lakukan setelah mendapat isyarat dari seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk yang menjadi pimpinan kelompok.

Dewa Arak menggertakkan gigi. Tidak ada gunanya lagi berbicara. Orang-orang kas ar ini hanya mau diajak bercakap-cakap dengan kepalan tangan dan kaki. Karena itu, Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak.

Begitu senjata para pengeroyoknya berkelebat ke berbagai bagian tubuhnya, Arya memberikan sambutan hangat. Karena keberadaan putra Jayeng Kert acundraka di tangan kiri, terpaksa Dewa Arak menghadapi keroyokan itu dengan sebelah tangan. Namun, itu pun telah lebih dari cukup untuk menghadapi serbuan lawan-lawannya.

Bunyi berderak keras senantiasa terdengar setiap kali tangan Dewa Arak berbenturan dengan senjata lawan. Tidak sedikit pun tangan pemuda itu terluka. Bahkan sebaliknya, tangan-tangan lawannya yang terasa hampir lumpuh. Patut dipuji kekerasan hati rombongan lelaki kasar itu. Tanpa mengenai takut mereka terus menerjang Dewa Arak. Tapi usaha mereka sia-sia.

Setiap serangan yang dilakukan dapat dengan mudah dipatahkan Arya. Sebaliknya, setiap Dewa Arak melakukan serangan balasan sudah dapat dipastikan akan ada lawan yang roboh dan tidak bangkit lagi. Pingsan!

Semakin lama jumlah para pengeroyoknya semakin berkurang. Jerit kesakitan mengiringi tumbangnya tubuh-tubuh mereka. Sampai akhirnya tidak ada seorang pun lagi yang berdiri tegak. Semua bergeletakan di tanah. Tak terkecuali pemimpin rombongan itu.

Tanpa mempedulikan para pengeroyoknya, Dewa Arak melesat untuk melanjutkan perjalanan. Sekilas perhatiannya dialihkan pada putra Jayeng Kertacundraka. Timbul rasa kagum dan sukanya karena bayi itu tidak pernah menangis meskipun beberapa kali terancam maut.

Dan sekarang Dewa Arak tengah menuju sebuah bangunan besar dan megah. Bangunan itu terkurung dinding baru tinggi. Arya melihat tidak ada apa pun yang menghalanginya.

Dalam beberapa lesatan saja pemuda itu tel ah hampir mencapai pintu gerbang yang tertutup rapat. Tapi, di saat pemuda berambut putih keperakan itu hampir tiba, daun pintu gerbang bergerak membuka diiringi bunyi berderit nyaring.

Dewa Arak menghentikan ayunan langkahnya. Kini dia berdiri tegak di tempatnya dengan pandangan tertuju lurus ke arah pintu gerbang. Sementara itu pintu gerbang terus terkuak. Dari dalam berjalan keluar beberapa sosok tubuh. Tapi, Dewa Arak tidak terlalu memperhatikan semuanya.

Pandangannya langsung tertuju pada sosok yang berada di tengah. Sosok itu mengenakan pakaian amat indah dan mewah. Sikapnya terlihat agung dan sedikit congkak. Pasti inilah orang yang bernama Jayeng Kertacundraka!

"Kudengar kau mencariku, Kisanak?! Benarkah demikian?!" tanya sosok berpakaian indah itu.

Dewa Arak tidak segera menjawab. Pemuda itu meneliti sekujur tubuh orang yang diduganya sebagai Saudagar Jayeng Kertacundraka. Lelaki itu berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Sebagaimana halnya seorang kaya raya, tubuhnya gemuk dan perutnya agak buncit.

"Tulikah kau, Jembel Hina! Tuan besarmu mengajukan pertanyaan! Cepat jawab!" hardik seorang lelaki bertelanjang dada yang berdiri di sebelah lelaki berpakaian indah. Lelaki bertelanjang dada itu marah melihat pertanyaan tuannya tidak segera mendapat jawaban.

Ternyata bukan hanya lelaki itu yang marah melihat sikap Dewa Arak. Delapan orang kasar yang bersenjatakan tombak dan berdiri di kanan kiri Saudagar Jayeng Kertacundraka pun murka. Bahkan, tombak yang berada di tangan mereka telah siap untuk digunakan.

Namun, tangan-tangan yang telah menegang kaku itu langsung mengendur ketika melihat Saudagar Jayeng Kertacundraka mengangkat tangan kanannya ke atas.

TUJUH

Tepat di saat Saudagar Jayeng Kertacundraka menurunkan tangannya, Dewa Arak angkat bicara.

"Apakah kau orang yang bernama Jayeng Kertacundraka? Kalau benar demikian, mari kita bercakap-cakap sebentar." Tenang dan tanpa rasa takut pemuda berambut putih keperakan itu mengutarakannya.

Terdengar bunyi bergemeretak ketika lelaki bertelanjang dada dan delapan orang bersenjata tombak mendengar sambutan Dewa Arak. Mereka murka bukan main melihat sikap pemuda itu, yang dianggapnya terlalu meremehkan Jayeng Kertacundraka.

Kalau menuruti perasaan, mungkin mereka sudah menerjang Dewa Arak. Tapi karena Jayeng Kertacundraka belum memberikan isyarat, mereka tidak berani bertindak. Takut kalau majikan mereka murka. Berbeda dengan sembilan orang kaki tangannya, Jayeng Kertacundraka tetap bersikap tenang. Malah di bibirnya tersungging senyuman lebar.

"Dugaanmu tidak salah, Anak Muda. Aku Jayeng Kertacundraka. Kalau kau memang mempunyai urusan denganku... mari kita membicarakanya di dalam," ajak lelaki itu ramah.

"Terima kasih, Tuan Saudagar. Kurasa lebih baik di sini saja," tolak Arya halus.

"Terserah kalau itu yang kau mau." Jayeng Kertacundraka mengangkat kedua bahunya. "Tapi ingat, jangan lama-lama. Aku tidak tahan berdiri terlalu lama di tempat panas seperti ini."

"Jangan khawatir, Tuan Saudagar," jawab Dewa Arak cepat. Arya agak jengkel merasakan adanya kesombongan dalam ucapan lelaki berpakaian indah itu. "Aku akan langsung pada pokok pembicaraan."

"Bagus sekali kalau kau berpikir seperti itu, Anak Muda," tanggap Jayeng Kertacundraka tak peduli. "Sekarang katakanl ah. Jangan buang-buang wakru lagi."

Dewa Arak tidak segera memenuhi permintaan Jayeng Kertacundraka. Pemuda itu tercenung sebentar, memikirkan ucapan yang akan dikeluarkannya.

"Aku datang kemari atas permintaan seseorang yang tengah menjelang ajal. Menurut pengakuannya dia disuruh oleh seorang wanita yang kau kenal, Tuan Saudagar," Dewa Arak memulai ceritanya.

"Kalau ingin ceritamu kudengarkan, tidak usah berteka-teki, Anak Muda. Langsung saja! Atau..., aku terpaksa menyuruh orang-orangku mengusirmu dari sini!" tegas Jayeng Kertacundraka tidak sabar.

"Kau kenal wanita yang bernama Setyaning, Tuan Saudagar?!"

Tanpa peduli sikap Jayeng Kertacundraka, Dewa Arak meneruskan ucapannya. Itu sengaja dilakukan Dewa Arak karena tidak ingin bayi lucu titipan Andiningsih jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Penjelasan Sukrasana menyebabkannya mengambil keputusan untuk berhati-hati.

"Apa?!" seru Jayeng Kertacundraka terkejut. "Setyaning? Kau bilang Setyaning, Anak Muda?!"

Dewa Arak mengangguk. "Nama itulah yang kudengar dari mulut orang yang tengah sekarat itu, Tuan Saudagar. Apakah kau mengenalnya?!"

"Mengenalnya?!" tanya Jayeng Kertacundraka setengah menjerit. "Apakah orang yang sekarat itu tidak menceritakannya padamu?!"

"Memang dia menceritakannya, Tuan Saudagar. Tapi, alangkah baiknya kalau kudengar sendiri dari mulutmu," sahut Dewa Arak kalem.

Seketika itu pula wajah Jayeng Kertacundraka berubah. "Tidak usah berbelit-belit, Anak Muda! Aku bukan anak kecil yang dapat dibohongi. Katakan saja kau mencurigaiku, bukan?!"

"Tidak sampai sejauh itu, Tuan Saudagar," timpal Arya tetap tenang. "Aku hanya berhati-hati. Sebab, perintah yang diberikan Setyaning menjadi tanggung jawabku setelah orang suruhannya tewas. Kuharap kau bisa memakluminya, Tuan Saudagar...."

Jayeng Kertacundraka tidak memberikan tanggapan. Ditatapnya Dewa Arak lekat-lekat. Lalu menghembuskan napasnya perlahan-lahan.

"Kau tidak memberikan pilihan lain, Anak Muda. Tapi... baiklah. Agar kau puas dan yakin, kukatakan hal yang sebenarnya. Setyaning adalah istriku. Dia kunikahi dua tahun yang lalu. Kami hidup berbahagia sampai akhirnya timbul sebuah masalah."

Sampai di sini Jayeng Kertacundraka menghentikan ucapannya. Wajahnya yang semula cerah mendadak muram. Meskipun belum mendengar rangkaian ceritanya dengan jelas, Dewa Arak telah dapat menduga kalau kelanjutannya bukan hal yang menyenangkan.

"Sebuah peristiwa membuatku terpisah dari Setyaning," lanjut Jayeng Kertacundraka dengan wajah semakin kel am. "Kakak Setyaning, yang kelak menggantikan kedudukan ayahnya, tewas terbunuh. Celakanya, menurut saksi-saksi akulah pembunuh kakak Setyaning."

Kembali Jayeng Kertacundraka menghentikan ceritanya. Lelaki itu menarik napas panjang, dan menghembuskannya. Sepertinya dia tengah membuang beban berat yang mengganjal dadanya. Sementara Dewa Arak menunggunya dengan sabar. Tidak dipergunakannya kesempatan itu untuk memberikan tanggapan.

"Tak pelak lagi, Ayah Setyaning marah besar. Dia mencariku untuk mengadakan perhitungan. Untung aku telah pergi. Kalau tidak, mungkin aku sudah tewas di tangannya. Aku pergi dengan hati penasaran. Kalau saja Setyaning tidak terus-menerus memaksaku, aku pasti tidak akan pergi. Padahal, aku ingin membuktikan kalau bukan aku pelaku pembunuhan itu. Tapi, tidak ada yang percaya kecuali Setyaning." Jayeng Kertacundraka menutup ceritanya dengan mendesah.

Suasana seketika hening ketika Jayeng Kertacundraka menghentikan ucapannya. Tampaknya, ceritanya telah selesai. Tapi keheningan itu tidak berlangsung lama.

"Apakah Ayah Setyaning tidak melakukan pengejaran?!" tanya Dewa Arak ingin tahu.

"Tidak katamu, Anak Muda?! Rupanya kau belum tahu siapa Ki Windu Paksi. Dia ketua perkumpulan yang mempunyai watak keras. Mudah marah dan tersinggung. Hal sepele saja sudah cukup untuk membuatnya menghajar orang sampai setengah mati. Bisa kau bayangkan betapa kalapnya Ki Windu Paksi menghadapi kematian putra satu-satunya. Asal kau tahu saja, Anak Muda. Putranya itu amat disayanginya. Bahkan, melebihi rasa sayangnya pada diri sendiri."

Jayeng Kertacundraka menelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang kering. "Itu sebabnya Ki Windu Paksi amat terpukul. Apalagi, putranya itu diharapkan dapat menggantikan kedudukannya sebagai Ketua Perkumpulan Macan Kumbang, yang disegani semua tokoh persilatan."

"Jadi...," Arya menggantung kalimatnya.

"Ki Windu Paksi tidak tinggal diam. Aku dikejarnya. Bahkan sampai ke tempat ini. Aku tidak punya pilihan selain menghadapinya. Tapi ayahku, pemilik tempat ini, mencegahnya. Seperti juga Setyaning, ayahku tidak percaya dengan tuduhan yang ditimpakan kepadaku. Maka dia yang keluar menghadapi Ki Windu Paksi. Dia percaya Ki Windu Paksi akan dapat ditenangkan. Memang, ayahku dan Ki Windu Paksi telah puluhan tahun bersahabat."

"Tak kusangka akan mendengar cerita semenarik ini, Tuan Saudagar," ucap Arya ketika Jayeng Kertacundraka menghentikan ceritanya.

"Terima kasih atas pujianmu, Anak Muda. Sekarang hatiku merasa lega. Semula kupikir kau akan bosan mendengar cerita ini."

"Sama sekali tidak, Tuan Saudagar."

"Kalau begitu biar kulanjutkan," tanggap Jayeng Kertacundraka. "Ternyata Ki Windu Paksi tidak bisa disabarkan. Dia tetap bersikeras ingin membalaskan kematian putranya. Karena ayahku pun bersikeras dengan pendiriannya, adu mulut pun tak dapat di elakkan. Dalam kemarahannya Ki Windu Paksi menyerang ayahku."

Jayeng Kertacundraka menutup wajahnya dengan kedua tangan, seakan-akan peristiwa itu tengah terjadi di depannya. Sedangkan Dewa Arak sudah dapat menduga akhir cerita panjang ini.

"Karena ayahku tidak memberikan perlawanan, serangan Ki Windu Paksi mengenainya dengan telak. Ki Windu Paksi yang tidak menyangka demi kian, berusaha membat alkan serangan. Tapi sayang tidak berhasil. Dia hanya mampu mengurangi tenaga serangannya. Hingga, ayahku tidak langsung tewas. Dia sekarat. Hhh...!"

Sambil menghela napas berat Jayeng Kertacundraka menurunkan kedua tangannya. Kemudian, mengarahkan pandangannya ke angkasa seakan di sana tergambar lanjutan cerita yang akan diutarakannya.

"Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, beliau meminta agar semua urusan diselesaikan. Aku dan Ki Windu Paksi memang memenuhinya. Tapi pedang yang telah patah tak akan mungkin utuh kembali. Demikain pula dengan hubungan kami. Sejak saat itu antara kami terjadi perang dingin. Itu berlangsung sampai sekarang," tutur Jayeng Kertacundraka menutup ceritanya.

"Hhh...!" Lagi-lagi terdengar helaan napas berat. Kali ini bukan berasal dari Jayeng Kertacundraka, melainkan dari Dewa Arak!

"O, ya. Hampir aku lupa. Bisa kau beri tahu perintah istriku?!" ujar Jayeng Kertacundraka.

Kini Dewa Arak tidak mempunyai alasan untuk mengelak. Jayeng Kertacundraka mempunyai hak untuk itu. "Seperti yang telah kuceritakan, sebenarnya bukan istrimu yang menyuruhku. Aku hanya mendapat amanat dari orang suruhan istrimu."

"Apa amanat itu, Anak Muda?!" sentak Jayeng Kertacundraka tak sabar.

"Inilah amanat itu, Tuan Saudagar!" Dewa Arak mengangsurkan tangan yang menggendong putra Jayeng Kertacundraka.

"Anakku...!" seru Jayeng Kertacundraka seraya mengulurkan kedua tangannya untuk mengambil bayi itu. Tindakan Jayeng Kertacundraka membuat Dewa Arak merasa heran. Buru-buru tangannya ditarik pulang. Kemudian dengan dahi berkernyit ditatapnya lelaki berpakaian mewah itu. "Dari mana kau tahu kalau bayi ini adalah anakmu, Tuan Saudagar?!" tanya Dewa Arak curiga.

Belum sempat Jayeng Kertacundraka memberikan jawaban. Tiba-tiba....

"Jangan berikan bayi itu kepadanya, Anak Muda! Orang itu bukan Jayeng Kertacundraka!"

Keras bukan main teri akan itu. Apalagi kejadiannya demikian mendadak dan tidak terduga-duga. Akibatnya, bukan hanya Dewa Arak yang terkejut, Jayeng Kertacundraka dan yang lainnya pun demikian pula. Tapi, tentu saja yang mengalami keterkejutan paling besar adalah Dewa Arak. Sebab, dialah orang yang dituju.

Terdengar bunyi gemeretak keras dari mulut Jayeng Kertacundraka, ketika mengetahui kegagalannya mengambil bayi di tangan Dewa Arak. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sebuah tendangan miring kaki kanan segera dikirimkan ke arah dada Dewa Arak.

Wuttt!

"Hey!" Dewa Arak berseru kaget. Bukan karena serangan itu didahului bunyi angin keras yang menandakan kekuatan tenaga dalam pengirimnya. Tapi melihat sasaran yang dituju! Serangan Jayeng Kertacundraka membahayakan keselamatan putranya.

Kenyataan itu membuat benak Dewa Arak diganggu pertanyaan. Apakah Jayeng Kertacundraka tidak menyadari tindakannya? Rasanya tidak mungkin! Alasan yang masuk akal adalah lelaki berpakaian mewah itu tidak mempedulikan keselamatan putranya! Kalau begitu, orang yang memberitahukannya tadi benar. Lelaki berpakaian mewah ini memang bukan Jayeng Kertacundraka! Kalau demikian siapa? Dewa Arak segera menghentikan pertanyaan-pertanyaan itu.

Serangan orang yang mengaku Jayeng Kertacundraka tengah meluncur datang. Kalau tidak segera memberikan tanggapan, keadaannya akan berbahaya! Maka, tanpa membuang-buang waktu Dewa Arak menarik kaki kirinya mundur seraya mencondongkan tubuhnya ke bel akang. Pada saat yang bersamaan tangan kanannya memapaki serangan. Pemuda berambut putih keperakan itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Plakkk!

Bunyi seperti beradunya dua benda keras terdengar ketika tangan dan kaki mereka saling berbenturan. Tubuh orang yang mengaku Jayeng Kertacundraka terhuyung-huyung empat langkah, sedangkan Dewa Arak hanya selangkah. Itu terjadi karena kedudukan lelaki berpakaian mewah itu tak menguntungkan. Dia berdiri dengan satu kaki.

Meskipun demikian, dengan gerakan sederhana kedua tokoh itu berhasil mematahkan daya dorong tubuh mereka. Rupanya, akibat benturan itu mengejutkan keduanya. Mereka saling berpandangan dengan mata penuh selidik.

"Rupanya kau orang yang berjuluk Dewa Arak. Pendekar muda yang terkenal itu. Ternyata berita itu benar. Kau memang lihai!" ucap Jayeng Kertacundraka palsu seraya mengangguk-anggukkan kepala.

Dewa Arak tersenyum pahit. "Tidak usah mengejek, Kisanak. Aku yakin kau pun bukan orang sembarangan. Namun, aku lebih yakin kalau kau mengaku sebagai penipu. Kau bukan ayah dari anak yang kugendong. Kau bukan Jayeng Kertacundraka!"

"Tak kusangka seorang pendekar besar seperti Dewa Arak mudah dipengaruhi. Sekalipun orang tak dikenal yang memberitahukan, dia langsung saja menelannya. Kau lebih percaya padaku atau pada tua bangka itu!" Jayeng Kertacundraka menudingkan jari telunjuknya ke arah kakek bertubuh pendek kekar yang berada beberapa tombak di belakang Dewa Arak.

Arya mengalihkan perhatiannya kembali setelah melihat orang yang telah memberitahukannya. Ditatapnya wajah lelaki berpakaian indah itu dengan penuh selidik.

"Kau keliru, Kisanak. Aku yakin kau bukan Jayeng Kertacundraka, berdasarkan kesimpulan yang kudapat. Tindakan yang kau lakukan telah menjelaskan semuanya. Aku hampir saja menyerahkan bayi tak berdosa ini untuk menghadapi malaikat maut! Hhh...!"

"Kau tidak mengatakan alasan yang menyebabkanmu berani menduga kalau aku bukan Jayeng Kertacundraka, Dewa Arak!" seru lelaki berpakaian indah itu.

"Rupanya telingamu tidak pernah kau bersihkan, Kisanak! Buktinya kau tidak mendengar ucapanku. Padahal dengan jelas dan terang telah kukatakan padamu."

"Keparat! Kau berani mempermainkan aku, Dewa Arak. Orang lain boleh takut padamu. Tapi, aku tidak. Cepat katakan! Aku tidak ingin mendengar kesimpulanmu tanpa adanya penjelasan."

"Ooo..., begitu." Kalem tanggapan Dewa Arak. "Sederhana saja. Pertama, kau langsung menyebut kalau bayi di tanganku ini adalah anakmu. Padahal, aku belum menceritakannya sama sekali. Kedua, kau menyerangku tanpa merasa khawatir serangan itu akan mengenai bayi ini. Rasanya tidak mungkin seorang ayah akan bertindak seperti itu. Jelas?!" sentak Dewa Arak.

Lelaki berpakaian indah itu mengangguk-angguk seraya tersenyum tipis. "Kau cerdik, Dewa Arak! Tapi, itu tidak berarti banyak. Kau akan segera mati di tanganku!"

Usai berkata demikian, Jayeng Kertacundraka palsu melompat menerjang Dewa Arak. Selagi berada di udara, kaki kanannya dikibaskan. Serangan itu dilakukannya sambil membalikkan tubuh.

Wusss!

Lagi-lagi serangan tokoh gadungan itu mengenai tempat kosong. Rupanya, di saat yang menentukan Dewa Arak telah lebih dulu menundukkan kepala. Kibasan kaki itu menyambar beberapa jari di atas kepalanya. Keras bukan main, sehingga mampu membuat rambut dan pakaian Dewa Arak berkibar keras terbawa angin serangan.

Namun, Dewa Arak tidak bisa menghela napas lega. Begitu kakinya menjejak tanah, Jayeng Kertacundraka palsu melancarkan serangan susulan. Kaki kirinya digunakan untuk mengirimkan tendangan lurus ke arah perut. Tentu saja Dewa Arak tidak bisa tinggal diam. Pemuda itu segera mengi rimkan sambutan hangat. Akibatnya, pertarungan sengit tidak bisa dihindari lagi.

Ternyata bukan hanya Dewa Arak yang terlibat pertarungan. Kakek pendek kekar pun demikian. Dia diserbu anak buah Jayeng Kertacundraka palsu. Pemimpin penyerbuan itu adalah lelaki bertelanjang dada.

DELAPAN

Dewa Arak mengeluh dalam hati. Sedikit pun tidak disangkanya kalau Jayeng Kert acundraka palsu ini demikian lihai.Tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuhnya hanya terpaut sedikit di bawahnya.

Dengan sendirinya, untuk mendesak apalagi mengalahkan Jayeng Kertacundraka palsu adalah hal yang sulit. Terlebih dengan keberadaan bayi di gendongannya. Mau tidak mau hal ini mengurangi kemampuannya.

Hingga pertarungan jadi berlangsung seimbang. Meskipun demikian, Dewa Arak tahu bila putra Jayeng Kertacundraka tetap berada di tangannya nyawanya akan terancam.

Mungkin dengan kepandaiannya Jayeng Kertacundraka palsu tidak akan dapat menyarangkan serangannya terhadap bayi itu. Tapi, bayi itu tetap berada dalam bahaya maut. Angin s erangan lawan sudah cukup untuk mengirim nyawanya ke alam baka.

Dewa Arak tahu betul akan hal itu. Maka, diputuskan untuk meletakkan putra Jayeng Kertacundraka di tempat yang aman, sebelum pertarungan berlangsung semakin sengit. Tanpa bayi itu, dia dapat bertarung dengan hati lega.

Namun, pemuda berambut putih keperakan itu tidak terlalu terburu-buru melaksanakan maksudnya. Kalau Jayeng Kertacundraka palsu mengetahui maksudnya, pasti akan dihalangi. Itu berarti usahanya akan mengalami kesulitan. Dengan sabar Dewa Arak menunggu kesempatan yang tepat.

Begitu pertarungan menginjak jurus kelima, pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan serangan bertubi-tubi yang memaksa Jayeng Kertacundraka palsu melompat j auh ke belakang. Kesempatan ini tidak dilewatkan oleh Dewa Arak. Dengan bergegas Arya melempar tubuhnya ke belakang.

Jliggg!

Begitu mendarat Dewa Arak meletakkan putra Jayeng Kertacundraka di tanah. Tentu saja letaknya agak jauh dari kancah pertarungan, agar terhindar dari ancaman maut.

Tindakan Dewa Arak tidak lepas dari pengamatan Jayeng Kertacundraka palsu. Lelaki berpakaian mewah itu menjadi geram bukan main. Rupanya, dirinya telah tertipu. Maka sambil mengeluarkan teriakan keras yang menggetarkan tempat itu, diterjangnya Dewa Arak.

Kali ini, Arya tidak ragu-ragu lagi menyambut serangan lawan. Ketidak beradaan putra Jayeng Kertacundraka membuatnya leluasa untuk bertindak. Pertarungan sengit pun berlangsung.

Di kancah pertarungan lainnya, kakek pendek kekar tengah berjuang keras menghadapi lawan-lawannya. Ternyata kakek itu bukan orang sembarangan. Kepandaiannya tidak bisa dianggap ringan. Terbukti meskipun dikeroyok sembilan orang, kakek itu mampu mengadakan perlawanan sengit. Bahkan, dia tidak terdesak sama sekali. Pertarungan yang berlangsung pun tidak kalah serunya dengan pertarungan Dewa Arak dengan Jayeng Kertacundraka palsu.

Dewa Arak yang sempat memperhatikan jalannya pertarungan menjadi tenang. Arya tahu keadaan kakek pendek kekar itu tidak perlu dikhawatirkan. Setidak-tidaknya sampai puluhan jurus anak buah Jayeng Kertacundraka palsu belum bisa merobohkannya. Maka, pemuda berambut putih keperakan itu memusatkan perhatian pada lawannya.

Di jurus-jurus awal, baik Dewa Arak maupun Jayeng Kertacundraka palsu tidak mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Seperti biasanya, Dewa Arak lebih dulu menggunakan ilmu warisan ayahnya. Ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'.

Hebat dan menggiriskan ilmu-ilmu warisan Pendekar Ruyung Sakti itu. Serangan demi serangan bertubi-tubi meluncur ke arah Jayeng Kertacundraka palsu bagaikan tak pernah henti. Hal ini tidak aneh. Kedua ilmu yang dipergunakan Dewa Arak adalah ilmu-ilmu yang menitik-beratkan pada penyerangan.

Tapi, Jayeng Kertacundraka palsu pun bukan orang sembarangan. Meski serbuan Dewa Arak dahsyat dan susul-menyusul laksana gelombang laut, dia dapat mengandaskannya. Bagai batu karang kokoh, lelaki berpakaian indah itu memupuskan setiap serangan Dewa Arak. Malah, dia dapat melancarkan serangan balas an yang tidak kalah dahsyatnya.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Yang terlihat hanya sosok-sosok bayangan dalam bentuk yang tidak jelas. Mereka saling belit dan sesekali keduanya menjauh. Bunyi menderu, mengaung, dan mencicit menyemaraki jalannya pert arungan. Tanah di sana-sini terbongkar akibat gerakan kedua tokoh itu. Debu tampak mengepul tinggi ke udara.

Karena pertarungan berlangsung dengan cepat, hanya dalam waktu singkat lima puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih berlangsung seimbang.

Mengjnjak jurus kelima puluh lima, kedua belah pihak tidak sabar lagi untuk segera menyelesaikan pertarungan. Mereka memutuskan untuk menggunakan ilmu andalan. Bagai telah disepakati sebelumnya, Dewa Arak dan Jayeng Kertacundraka palsu melempar tubuhnya ke belakang. Di saat berada di udara, Dewa Arak segera mengambil gucinya dan menuangkan ke mulut.

Gluk.... Gluk.... Gluk..!

Bunyi tegukan terdengar ketika arak itu mel ewati tenggorokan Arya. Sesaat kemudian, ada hawa hangat merayap ke kepala Dewa Arak.

"Hup!"

Dengan agak terhuyung-huyung, Arya mendaratkan kedua kakinya di tanah. Tampaknya, ilmu 'Belalang Sakti'nya telah siap untuk dipergunakan. Ternyata bukan hanya Dewa Arak yang telah siap. Jayeng Kertacundraka palsu pun demikian. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, dia segera mempersiapkan jurus.

Mula-mula kedua tangannya yang mengejang keras, dengan jari-jari terbuka, disilangkan di depan dada. Lalu, dengan perl ahan-lahan tapi penuh tenaga ditariknya ke sisi pinggang. Masih dengan perlahan kemudian kedua tangannya didorongkan ke depan.

Begitu telah terjulur habis, tampak punggung tangannya yang tidak tertutup baju berwarna hitam mengkilat. Samar-samar dari kedua tangannya mengepul asap tipis. Inilah ilmu 'Tangan Besi' yang menjadi andalannya. Sejenis ilmu yang membuat kedua tangannya tak kalah kuat dengan besi baja sekalipun!

Dewa Arak bukan orang bodoh. Sekali lihat saja dia bisa mengetahui kedahsyatan jurus lawan. Telah beberapa kali Arya berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu seperti itu. Dengan terhuyung-huyung seperti akan jatuh dan sesekali menenggak arak, dihampirinya Jayeng Kertacundraka palsu.

Semula lelaki berpakai an indah itu bersikap menunggu. Dibiarkan saja Dewa Arak menghampirinya. Tapi ketika melihat kenyataannya dia menjadi tidak sabar. Sampai kapan pertarungan akan berlangsung kalau menunggu Dewa Arak mendekatinya?

Pemuda berambut putih keperakan itu maju selangkah tapi mundur tiga langkah! Karena langkah kakinya yang terhuyung.

"Hiaaat...!"

Diawali teriakan keras membahana, Jayeng Kertacundraka palsu menerjang Dewa Arak. Tangan kanannya dengan sikap jari-jari terbuka dihantamkan ke arah dada Dewa Arak.

Wusss!

Bunyi angin menderu berhawa panas mengiringi tibanya serangan lelaki berpakai an indah itu. Sungguh dahsyat serangan yang dilancarkannya.

Tapi Dewa Arak tetap bersikap biasa. Bahkan, dengan tidak peduli ditenggaknya arak. Kedua kakinya yang tidak menapak dengan mantap di tanah membuat tubuhnya oleng ke sana kemari. Dan ketika serangan Jayeng Kertacundraka palsu telah menyambar dekat, Dewa Arak memapakinya dengan tangan kanan.

Prattt!

Bunyi seperti beradunya dua logam keras terdengar saat kedua tangan yang mengandung tenaga dalam kuat itu berbenturan. Keras dan memekakkan telinga. Akibatnya, Dewa Arak maupun Jayeng Kertacundraka palsu terhuyung-huyung ke bel akang. Namun, Dewa Arak lebih unggul. Jayeng Kertacundraka palsu terdorong selangkah lebih jauh.

Akibat benturan itu tidak selesai sampai di situ. Dewa Arak merasakan betapa tangannya teras a sakit. Otaknya yang cerdas segera dapat menebak. Dal am penggunakan ilmu 'Tangan Besi', Jayeng Kertacundraka palsu jadi memiliki tangan yang amat kuat.

Lelaki berpakaian indah itu segera melancarkan serangan susulan. Tidak ada jalan lain bagi Dewa Arak kecuali menyambutnya. Pertarungan yang jauh lebih sengit pun berkobar.

Memang, ilmu 'Tangan Besi' milik Jayeng Kertacundraka palsu sangat hebat. Namun Dewa Arak dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya dapat mengimbangi. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', semua serangan Jayeng Kert acundraka palsu berhasil dielakkan. Kemudian, dengan mempergunakan jurus 'Belalang Mabuk' dan 'Pukulan Belalang', dilancarkan serangan balasan yang membuat Jayeng Kertacundraka palsu kelabakan.

Namun, itu bukan berarti Dewa Arak dapat menundukkan lawannya dengan mudah. Lelaki berpakaian indah itu mampu melakukan perlawanan sengit. Kedua belah pihak silih berganti melancarkan serangan. Sampai hampir seratus jurus pertarungan berlangsung. Baru ketika menginjak jurus keseratus, Dewa Arak berhasil menguasai keadaan.

Perlahan-lahan tapi pasti Jayeng Kert acundraka palsu berhasil didesak. Serangan-serangan lawan mulai berkurang. Lelaki berpakaian indah itu lebih banyak mengelak dan menangkis.

Memang tangan, kaki, guci, dan arak dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakri' merupakan satu kesatuan yang dapat menggilas habis pertahanan lawan. Ini dialami sendiri oleh Jayeng Kertacundraka palsu.

Ternyata bukan hanya lelaki itu yang terdesak. Sembilan anak buahnya yang menghadapi kakek pendek kekar pun demikian. Bahkan, dua di antara mereka telah tergeletak tewas. Sisanya berjuang keras agar tidak ikut menyusul rekannya ke alam baka.

Akhir dari pertarungan-pertarungan itu sudah dapat ditebak. Jayeng Kertacundraka palsu dan anak buahnya akan roboh di tangan Dewa Arak dan kakek pendek kekar. Hanya kalau dibuat perbandingan, keadaan Jayeng Kertacundraka palsu masih lebih baik daripada anak buahnya.

Kakek pendek kekar yang tahu kemenangannya hanya tinggal menunggu waktu, semakin bersemangat melancarkan serangan. Sepasang tombak pendek putih berkilat yang tergenggam di tangan, dikelebatkan ke sana kemari mencari sasaran di tubuh lawan.

Tentu saja lelaki bertelanjang dada dan enam orang rekannya tidak tinggal diam. Dengan senjata terhunus perlawanan sengit mereka lakukan. Tapi usaha mereka sia-sia. Kecepatan gerak kakek itu tidak bisa mereka imbangi. Lagi-Iagi tanpa dapat dicegah, dua di antara mereka mengeluarkan lolong kesakitan. Ujung tombak kakek pendek kekar menyobek leher dan lambung mereka.

Dengan tewasnya kedua orang itu, keadaan anak buah Jayeng Kertacundraka palsu semakin berantakan. Kematian keduanya menyebabkan perlawanan mereka semakin berkurang. Tak heran beberapa gebrakan kemudian, jeritan kematian terdengar saling susul. Sampai akhirnya, tidak ada satu pun yang berdiri tegak.

Kakek pendek kekar tersenyum penuh kemenangan. Ditatapnya sejenak mayat-mayat anak buah Jayeng Kertacundraka palsu. Setelah itu, perhatiannya dialihkan pada pertarungan Dewa Arak dan orang yang mengaku Jayeng Kert acundraka.

"Hebat! Tak pernah kusangka ada seorang pemuda memiliki kepandaian setinggi itu," gumam kakek pendek kekar penuh kekaguman.

Kakek itu bisa melihat jelas jalannya pertarungan. Dia tahu tak akan lama lagi Dewa Arak akan keluar sebagai pemenang. Sebab, orang yang mengaku sebagai Jayeng Kertacundraka terdesak hebat dan hanya bisa bertarung mundur.

"Menyingkirlah, Anak Muda! Biar aku yang membereskan Jayeng Kertacundraka palsu ini! Aku lebih berkepentingan terhadap dirinya!" seru kakek pendek kekar, seraya bersiap-siap terjun ke dalam kancah pertarungan.

Seruan kakek itu keras bukan main, sehingga mampu mengatasi hiruk-pikuk pertarungan. Hal ini tidak aneh, karena kakek itu mengerahkan tenaga dalamnya.

Dewa Arak terlihat ragu-ragu. Haruskah dituruti seruan itu? Ataukah dibiarkannya saja dan diteruskan serangannya terhadap Jayeng Kertacundraka palsu? Bukankah tak lama lagi lelaki berpakaian indah itu akan dapat dirobohkannya?

Tapi..., pemuda berambut putih keperakan itu merasa tidak enak melakukannya. Bukankah dia tidak memiliki kepentingan sama sekali. Kalau memang kakek pendek kekar itu benar mempunyai urusan, biarlah dia yang menghadapinya. Di saat Dewa Arak tengah mempertimbangkan pilihan itu, tiba-tiba....

"Ketua...!"

Karena hanya kakek pendek kekar yang tidak dilanda kesibukan, dialah yang leluasa menoleh. Sedangkan Dewa Arak dan Jayeng Kertacundraka palsu tidak dapat berbuat banyak. Mereka tengah memusatkan seluruh perhatian pada pertarungan. Kalau bertindak lengah sedikit saja, akibatnya akan sangat berbahaya.

Karena itu, mereka tidak mengetahui orang yang mengucapkan panggilan itu. Meskipun demi kian Dewa Arak sempat merasa heran. Nada suara itu seperti pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana, Arya tidak ingat lagi. Sayang, Dewa Arak tidak mempunyai kesempatan untuk melihatnya. Sulit. Karena pemilik suara itu berada di belakangnya.

Sementara itu kakek pendek kekar tampak agak terkejut melihat pemilik suara itu. "Kau... Sukrasana...?! Mengapa hanya sendirian? Mana yang lainnya?" tanya kakek pendek kekar bertubi-tubi. Tatapannya terus diarahkan pada sosok yang menghampirinya.

Sosok yang ternyata Sukrasana langsung berubah wajahnya. Kelam, penuh kesedihan yang dalam. Karuan saja kakek pendek kekar yang adalah Ki Windu Paksi menjadi kebingungan. Berbagai pikiran buruk berkecamuk di benaknya. Apakah yang telah menimpa Limbong dan empat orang rekannya?

"Katakan, Sukrasana! Apa yang terjadi pada yang lainnya?" desak Ki Windu Paksi tak sabar.

"Mereka..., mereka telah tewas, Ketua," lapor Sukrasana terbata-bata. Jelas, kesedihan masih melingkupi hatinya.

"Apa?!" selak Ki Windu Paksi kaget "Mengapa itu bisa terjadi?! Siapa yang telah melakukan kekejian itu, Sukrasana?! Katakan!"

"Dia, Ketua!" jawab Sukrasana seraya menudingkan jari telunjuknya ke arah Dewa Arak.

"Keparat!" maki Ki Windu Paksi. Ditatapnya Dewa Arak dengan sorot mata memancarkan dendam. "Akan kubalaskan semua sakit hati ini!" Usai berkat a demikian, Ketua Perguruan Macan Kumbang itu melesat menuju kancah pertarungan.

"Aku ikut, Ketua!" seru Sukrasana, melompat menyusul Ki Windu Paksi.

Ki Windu Paksi memang mendengar seruan muridnya. Tapi, kakek itu tidak menanggapinya. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada serangan yang tengah dilancarkan.

Sementara itu, Dewa Arak sedang mendesak Jayeng Kertacundraka palsu. Lelaki berpakaian indah itu tampak terhuyung-huyung setelah menangkis serangan Arya. Saat itulah Dewa Arak melancarkan serangan susulan dengan ayunan gucinya ke arah dada lawan.

Jayeng Kertacundraka palsu terkejut bukan main. Bahaya maut tengah mengancamnya. Padahal, saat itu dia berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Sedangkan untuk mengelak sudah tidak mungkin lagi.

Jalan satu-satunya untuk menyelamatkannya hanya dengan menangkis. Itu pun bukan dengan tanpa resiko. Keadaan yang tidak memungkinkan membuat tangkisannya tidak dapat dilakukan dengan tenaga penuh. Akibatnya, dia akan menderita luka dalam yang cukup parah!

Di saat Jayeng Kertacundraka palsu mengambil keputusan untuk menangkis, dari belakang Dewa Arak melesat sesosok bayangan hitam. Sosok itu bersalto melewati kepala Dewa Arak, dan memapaki serangannya. Semua berlangsung dalam sekejap mata.

Prattt!

Bunyi keras terdengar ketika tangan-tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan. Tubuh Dewa Arak maupun sosok hitam terjengkang ke arah yang berlawanan!

Jliggg!

Pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki sosok hitam itu, Dewa Arak berhasil memperbaiki kedudukan. Pemuda berambut putih keperakan itu melayangkan pandangan ke arah orang yang telah menangkis serangannya.

"Kau...?!" seru Arya kaget ketika mengenali sosok hitam itu. Siapa lagi kalau bukan Ki Windu Paksi?!

Tapi Ki Windu Paksi tidak mempedulikan sikap Dewa Arak. Pandangannya dialihkan pada Jayeng Kertacundraka palsu.

"Biar aku yang menyelesaikannya! Aku mempunyai urusan dengannya!" ucap Ki Windu Paksi pada lelaki berpakaian indah yang berdiri di dekatnya. Tak ada nada ramah dalam ucapan maupun tarikan wajah Ketua Perguruan Macan Kumbang itu. Tegas dan kaku!

Jayeng Kertacundraka palsu mengerti. Tampaknya, sesuatu telah membuat Ki Windu Paksi memusuhi Dewa Arak. Hal ini menguntungkan pihaknya. Dia tidak mau bertindak bodoh dengan merusak kesempatan yang sudah tercipta.

"Mengapa sungkan-sungkan, Ki?! Biarkan aku membantumu! Bukannya aku meremehkan kemampuanmu. Tapi, percayalah. Kau tidak akan mampu menghadapinya. Dia lihai sekali!" lelaki berpakaian indah itu menawarkan bantuan dengan ramah.

Ki Windu Paksi tidak menjawab. Kakek itu termenung sejenak. Terasa ada kebenaran dalam ucapan lelaki berpakaian indah itu. Dewa Arak memang memiliki kepandai an sangat tinggi. Tanpa perlu mengujinya dia tahu tingkat kepandaiannya masih berada di bawah pemuda berambut putih keperakan itu.

Di saat Ketua Perguruan Macan Kumbang memikirkan penawaran Jayeng Kertacundraka palsu, pertarungan mulai berkobar. Saat itu Sukrasana telah melakukan penyerangan terhadap Dewa Arak.

Tapi, mana mungkin Sukrasana mampu menghadapi Dewa Arak? Sewaktu pemuda itu belum menggunakan ilmu-ilmu andalan saja dia sudah kelabakan, apalagi kini setelah menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya. Dengan beberapa gebrakan saja dia dibuat pontang-panting!

Melihat hal ini, Ki Windu Paksi tidak tinggal diam. Buru-buru kakek itu melesat memasuki kancah pertarungan. Tak diberikannya jawaban pasti untuk Jayeng Kertacundraka palsu.

Tapi, lelaki berpakaian indah itu tidak membutuhkan jawaban Ki Windu Paksi. Dia tahu, dengan diamnya Ketua Perguruan Macan Kumbang berarti maksud baiknya diterima! Maka, tanpa menunggu lebih lama, dia pun ikut teriun ke dalam kancah pertarungan.

Pertempuran kembali berlangsung. Bahkan, kali ini jauh lebih seru. Dewa Arak menghadapi tiga orang lawan sekaligus! Hingga, pemuda berambut putih keperakan itu harus menguras seluruh kemampuannya. Sebab, dua dari tiga lawannya merupakan tokoh-tokoh berkepandaian sangat tinggi dan hanya berselisih sedikit dengannya.

Jayeng Kertacundraka palsu, Ki Windu Paksi, maupun Sukrasana diam-diam kaget bercampur kagum. Sungguh tidak disangka kepandaian Dewa Arak akan setinggi ini! Padahal, mereka telah mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi tetap saja mengalami kesulitan untuk merobohkan pemuda itu. Tanpa terasa tiga puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu belum nampak tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang.

Sungguhpun demikian, sebenarnya Dewa Arak berada di bawah angin. Hanya berkat keunikan ilmu 'Belalang Sakti' saja pemuda itu masih dapat bertahan. Di samping jurus 'Delapan Langkah Belalang', yang dengan langkah terhuyung-huyung seperti akan jatuh Dewa Arak mampu mengelakkan setiap serangan lawan. Ilmu 'Belalang Sakti' pun dapat membuat Dewa Arak melakukan gerakan dalam keadaan sesulit apa pun.

Hanya saja, karena bertubi-tubinya serangan yang datang, Arya hampir tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Hanya sesekali serangan balasan dilancarkan. Dua puluh jurus kembali terlewati. Tapi keadaan masih belum berubah. Dewa Arak tetap tidak dapat didesak. Di saat itulah mendadak terdengar seruan keras.

"Jangan khawatir, Saudara Saudagar! Kami datang membantu...!"

Belum juga gema ucapan itu lenyap, melesat tiga sosok bayangan yang langsung memasuki arena pertempuran. Kemudian, tanpa bicara sepatah pun mereka menerjang Dewa Arak.

Arya sedikit heran melihat serangan tiga sosok yang baru datang itu. Dewa Arak tahu siapa mereka. Kepala-kepal a perampok! Buaya Emas Berekor Tiga, Raja Hiu Terbang, dan Raja Kera Tenaga Raksasa! Tiga pentolan perampok yang t elah dijatuhkannya dari atas jembatan. Rupanya, mereka dapat menyelamatkan diri dan naik ke atas.

Pemuda berambut putih keperakan itu maklum melihat tiga kepala perampok berhasil tiba di sini. Seperti juga mengapa Sukrasana dan Ki Windu Paksi berhasil sampai di tempat ini meskipun tidak ada jembatan. Bagi tokoh-tokoh tingkat tinggi, hal-hal seperti itu bukan merupakan masalah.

Ikut campurnya tiga kepala perampok dalam kancah pertarungan langsung mengubah keadaan. Betapapun saktinya Dewa Arak dan hebatnya ilmu 'Belalang Sakti', tetap saja mempunyai batas kemampuan. Lawan-lawan yang dihadapinya terlampau banyak. Rata-rata berilmu tinggi pula. Tak pelak lagi, sepuluh jurus setelah tiga kepala perampok ikut campur Arya terjepit.

"Haaat..!" Di jurus kelima belas, Jayeng Kertacundraka palsu menerjang Dewa Arak dengan terkaman bagai harimau menerkam mangsa. Kesempatan yang tidak tersedia membuat Dewa Arak memutuskan untuk memapakinya.

Prattt!

Tubuh Dewa Arak langsung terhuyung ke belakang. Sedangkan Jayeng Kertacundraka palsu terjengkang. Saat itulah, sepasang tombak Ki Windu Paksi menyapu kedua kakinya. Ternyata, Dewa Arak masih sempat menjejakkan kaki. Sehingga tubuhnya melayang ke at as dan serangan itu lewat di bawah kakinya.

Buaya Emas Berekor Tiga mempergunakan kesempatan itu untuk mengibaskan kaki kanannya. Tindakan yang dilakukannya bersamaan dengan gedoran tangan kanan Raja Hiu Terbang ke arah dada kanan, dan pukulan Raja Kera Tenaga Raksasa ke arah perut.

Wusss! Wuttt! Zebbb!

Dewa Arak terkejut bukan main. Saat itu, Arya baru saja mengelakkan serangan. Menurut perhitungan merupakan hal yang mustahil bergerak di saat tubuh terapung di udara, karena tidak ada landasan sama sekali. Tapi berkat ilmu 'Belalang Sakti' Dewa Arak mampu melakukannya. Pemuda berambut putih keperakan itu menggeliatkan tubuhnya. Tapi....

Bukkk! Desss! Plakkk!

Serangan tiga kepala perampok itu masih dapat mengenai sasaran. Hanya saja tidak secara telak. Kalau tidak, nyawa Dewa Arak telah melayang ke alam baka. Meskipun demikian, itu sudah cukup untuk mendorong tubuh Dewa Arak ke belakang dan jatuh berdebuk di tanah. Dari sudut-sudut bibir pemuda berambut putih keperakan itu mengalir darah segar.

"Ha ha ha...!"

Raja Kera Tenaga Raksasa, Buaya Emas Berekor Tiga, dan Raja Hiu Terbang tertawa bergelak. Sepasang mata mereka diarahkan pada Dewa Arak yang tergolek tanpa daya. Pemuda itu tidak mampu bergerak sama sekali. Sementara itu, tanpa mempedulikan suasana di sekitarnya Ki Windu Paksi menghampiri Dewa Arak.

"Bukannya aku bermaksud tidak bertindak ksatria, Anak Muda. Tapi, terpaksa aku harus membunuhmu agar arwah lima orang muridku tenteram di alam baka!"

Usai berkata demikian, Ketua Perguruan Macan Kumbang itu mengangkat kedua tombaknya tinggi-tinggi. Siap dihunjamkan ke tubuh Dewa Arak.

Arya hanya tersenyum pahit. Dia tahu Ki Windu Paksi salah paham. Ingin dijelaskannya padanya. Tapi sayang, Arya tidak mampu melakukan hal itu. Luka-luka yang dideritanya terlampau parah. Maka yang dapat dilakukannya hanya pasrah menunggu ajal dengan mulut menyunggingkan senyum getir.

Bukkk!

"Akh!" Peristiwa yang mengejutkan pun terjadi! Sebelum ujung tombak Ki Windu Paksi mengenai sasaran, tubuhnya terjengkang ke depan karena gedoran sepasang tangan pada punggungnya. Kakek itu jatuh terguling-guling di tanah.

"Kau... kau... Sukrasana...?!" desis Ketua Perguruan Macan Kumbang tak percaya. Darah yang menetes dari sudut-sudut bibirnya tidak dipedulikan sedikit pun. Ki Windu Paksi terluka dalam. Pukulan Sukrasana yang dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga dalam mengenai sasaran dengan telak. Sukrasana tersenyum sinis.

"Kaget, Tua Bangka?! Kau tidak menyangkanya, bukan?!"

"Mengapa kau lakukan semua ini?!" tanya Ki Windu Paksi masih tidak percaya.

"Mengapa?!" Sukrasana malah balas bertanya, setengah mengejek. "Semua memang sudah kami rencanakan. Maksudku, aku dan Jayeng Kertacundraka palsu. Pertama-tama aku adu domba kau dan Jayeng Kertacundraka. Kakakku ini, Jayeng Kertacundraka palsu, menyamar sebagai Jayeng Kertacundraka! O ya, hampir lupa. Aku pula yang membunuh Limbong dan yang lainnya. Apakah kau tidak mau memperkenalkan dirimu, Kang?"

Jayeng Kertacundraka tersenyum. Tubuhnya dibalikkan. Kemudian, kedua tangannya sibuk bermain-main diwajah. Hanya sebentar saja. Tubuhnya kembali dibalikkan.

"Iblis Muka Seribu...!" desis Ki Windu Paksi begitu melihat wajah Jayeng Kertacundraka palsu. Ketua Perguruan Macan Kumbang itu kenal betul siapa Iblis Muka Seribu. Seorang tokoh sesat berkepandaian tinggi yang amat kejam. Belasan tahun dia malang-melintang tanpa ada yang mampu mengal ahkan. Entah sudah berapa ratus kali bertarung dan membunuh lawan. Julukannya sangat ditakuti.

"Rupanya kau mengenalku, Windu Paksi," ucap Iblis Muka Seribu kalem.

"Kekejian apa lagi yang akan kau ciptakan, Iblis Muka Seribu?!" tanya Ki Windu Paksi penuh amarah.

"Aku hanya ingin menciptakan kerajaan sendiri. Dan aku yang menjadi rajanya. Tempat ini bagus dan terlindung. Itu sebabnya, Sukrasana mengatur siasat seperti itu agar aku dapat menguasai tempat ini. Lalu, kukabari tiga kawanku ini untuk bergabung," jelas Iblis Muka Seribu seraya menunjuk tiga kepala perampok yang telah membantunya. "Tak lama lagi setelah anak buah mereka tiba, akan kutaklukkan kerajaan-kerajaan lain. Aku akan menjadi maharaja! Ha ha ha...!"

"Kau benar-benar iblis! Lalu..., di mana Jayeng Kertacundraka berada?!"

"Dia?! Dia telah kukirim ke alam baka! Ha ha ha...!"

"Keparat! Terkutuklah kau...!" desis Ki Windu Paksi geram. Ditatapnya Sukrasana tajam-tajam. Sedikit pun tidak menyangka kalau anak buahnya adik kandung Iblis Muka Seribu.

"He he he...!" Sukrasana tertawa terkekeh-kekeh penuh kemenangan. "Kurasa sudah saatnya membunuh mereka!"

"Biar kami yang membunuhnya!" seru Buaya Emas Berekor Tiga, Raja Hiu Terbang, dan Raja Kera Tenaga Raksasa hampir bersamaan. Belum habis gema ucapan mereka, ketiga kepala perampok itu melompat menerjang Dewa Arak.

Di saat-saat gawat bagi keselamatan nyawanya, Dewa Arak memanggil belalang raksasa di alam gaib. Seketika itu pula, seluruh bulu di tubuhnya bangkit ketika binatang kasat mata itu telah berada di dalam tubuhnya. Hawa yang amat dahsyat berputaran di dalam pusarnya.

Tanpa menunggu lebih lama, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya. Dalam waktu sekejap Dewa Arak mampu menghentakkan beberapa kali. Pemuda berambut putih keperakan itu mengirimkan jurus 'Pukulan Belalang'!

Wusss, wusss, wusss!

Serangkum angin pukulan dahsyat berhawa panas menyambar! Tidak hanya pada tiga kepala perampok. Tapi juga Jayeng Kertacundraka palsu dan Sukrasana!

Mendapat serangan yang tidak disangka-sangka, tokoh-tokoh sesat itu terkejut bukan main. Sebisa-bisanya mereka berusaha mengelak. Tapi...

Bresss!

"Aaa...!"

Lolong kematian terdengar saling susul, mengiringi melayangnya tubuh kelima tokoh sesat itu. Mereka tewas seketika itu juga dengan sekujur tubuh hangus terbakar!

* * *

"Dari mana kau tahu kalau dia Jayeng Kertacundraka palsu, Ki?!" tanya Arya, seraya menoleh ke arah Ketua Perguruan Macan Kumbang yang bejalan di sebelahnya.

Kedua orang itu telah pulih kembali seperti sediakala. Luka-luka dalam Dewa Arak langsung sembuh begitu belalang raksasa masuk ke dalam tubuhnya. Sedangkan Ki Windu Paksi karena diobati Dewa Arak sebelumnya.

Sekarang mereka melangkah meninggalkan tempat tinggal Jayeng Kertacundraka. Di tangan Ki Windu Paksi tampak bayi Jayeng Kertacundraka. Mereka berdua bercakap-cakap dengan akrab. Itu tidak aneh. Karena sebelumnya mereka telah saling memperkenalkan diri.

"Jayeng Kertacundraka saat ini tidak mungkin berada di luar gedung. Hari ini adalah hari kematian ayahnya. Dia pasti sedang berkabung. Aku tahu betul tradisi keluarganya. O,ya, maafkan aku, Dewa Arak. Aku telah bertindak keliru."

"Lupakanlah, Ki," jawab Arya seraya tersenyum.

Mereka terus melangkah pergi meninggalkan daerah perbukitan tenal tempat kediaman Jayeng Kertacundraka. Sementara putra Jayeng Kertacundraka tertidur pulas di dalam pelukan Ki Windu Paksi, kakeknya.

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.