Dyah Ratna Wulan Jilid 05

Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo. Dyah Ratna Wulan Jilid 05
Sonny Ogawa
TIGA orang cabang atas dari Madura itu saling pandang dengan heran, kemudian mereka lalu melangkah maju dan memukul tubuh Ratna Wulan. Aneh sekali! Semua pukulan mereka itu seakan-akan mengenai segumpal karet mentah yang membuat pukulan-pukulan mereka mental kembali. Ke mana saja mereka memukul, tak sebuahpun pukulan mereka dapat menggoyangkan tenaga yang disertai ilmu dalam, akan tetapi tak ada kesaktian yang dapat mengalahkan kekebalan pemuda ini.

Seorang diantara mereka lalu melakukan kecurangan dan mengirim pukulan ke arah kepala pemuda itu. Sebetulnya Ratna Wulan tidak takut akan pukulan ini dan kepalanya takkan terluka oleh pukulan orang, akan tetapi, ia tidak sudi kepalanya tersentuh tangan lawannya, maka sambil berseru keras ia mengerahkan tangannya ke arah sambungan siku lawan.

“Krek!” ketika pukulan orang itu melayang ke arah kepalanya, lengan tangan yang besar itu telah didahului dan disambar oleh jari-jari tangan Ratna Wulan yang dibuka dan dipukulkan miring ke arah tulang siku sehingga tulang siku itu patah! Orang itu menjerit kesakitan dan membungkuk-bungkuk sambil memgangi sikunya yang telah lumpuh dan patah. Ratna Wulan tak mau memberi hati lagi.

“Coba pergunakan kekebalanmu!” serunya sambil menggerakkan tubuh menyerang dua orang yang lainnya.

Mereka masih mencoba menangkis dan mempertahankan diri, akan tetapi percuma saja Ratna Wulan terlalu gesit dan cepat bagi mereka sehingga ketika dada mereka kena ditepak oleh telapak tangan gadis itu mereka mencelat dan roboh tunggang-langgang di atas panggung. Ratna Wulan menyepak tiga kali tubuh yang tinggi besar itu melayang turun ke bawah panggung, di mana mereka merangkak-rangkak bangun lalu berlari sipat kuping bagaikan sedang adu balap lari!
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
Bukan main riuhnya orang-orang yang menyaksikan kehebatan ini. Tadi mereka tak bersuara sedikitpun menyaksikan sepak terjang yang luar biasa gagahnya itu, dan pecahlah tampik sorak dan tepuk tangan memuji. Raden Indrajaya sendiri lalu menghampiri Ratna Wulan dan dengan mesra ia memegang lengan tangan dara perkasa itu, yang disangkanya seorang pria.

“Kesatria yang gagah perkasa tanpa tanding!” katanya memuji sambil memandang dengan penuh kasih sayang. “Jangankan melihat dengan mata sendiri, mendengarpun belum pernah bahwa di dunia ini ada seorang muda teruna sehebat engkau! Sungguh mentakjubkan! Tubuhmu begini kecil, tanganmu begini halus dan lunak, akan tetapi tenagamu dapat menggugurkan Mahameru!”

Sambil berkata demikian, dengan kagum dipandangnya lengan tangan Ratnwulan yang berkulit putih kuning dan amat halus itu. Indrajaya benar-benar tertegun karena lengan itu begitu halus dan sentuhannya membuat dadanya berdebar aneh. Ia melihat sebuah tahi lalat hitam bulat di dekat pergelangan tangan Ratna Wulan, jelas kelihatan di atas kulit yang putih kuning dan bersih itu.

“Adikku yang gagah, adiku yang elok. Siapakah gerangan adik yang gagah perkasa ini? Marilah kita duduk bercakap-cakap di sana!”

Akan tetapi, digandeng dan dipegang lengannya sedemikian rupa dan melihat sikap Indrajaya yang amat mesra itu, tiba-tiba muka Ratna Wulan menjadi merah sekali merenggutkan tangannya, maka terlepaslah tangannya dari pegangan Indrajaya.

“Aku... Aku harus pergi sekarang juga!” katanya seperti pada diri sendiri dan tubuhnya melompat, hanya merupakan bayangan berkelebat dan lenyaplah ia dari hadapan Indrajaya dan lain-lain tamu yang memandang dengan bengong.

Indrajaya menghela napas. “Sayang sekali ia pergi tanpa mau memperkenalkan diri. Dia gagah perkasa!”

Sementara itu, Mas Ngabei Bajrabumi dengan langkah sempoyongan menghampiri Raden Indrajaya dan dengan muka merah ia berkata, “Raden Indra, harap kau sudi memaafkan padaku. Aku tadi entah mengapa kepalaku pening dan tidak ingat sesuatu. Setelah perampok-perampok tadi datang dan melihat kau dikeroyok, barulah aku sadar dan menyesal...!”

Raden Indrajaya mencibirkan bibirnya dan kemudian tersenyum menghina. “Pergilah dari depanku!” katanya dan Mas Bei yang gemuk itu lalu pergi seperti seekor anjing kena gebuk.

Akan tetapi peristiwa yang menggegerkan itu disambung oleh peristiwa lain yang cukup menimbulkan keributan besar. Tiba-tiba terdengar para yogo berteriak-teriak.

“Tangkap, tangkap! Tahan penculik itu...!”

Indrajaya dan lain-lain orang cepat memandang dan alangkah heran dan kaget mereka ketika melihat Puspamirah ledek yang cantik itu, meronta-ronta dalam pondongan seorang pemuda tampan. Indrajaya marah sekali dan selagi ia hendak mengejar, pemuda yang menculik ledek itu sekali melompat telah berada ditempat jauh dan kemudian menghilang ke dalam gelap dengan kecepatan yang membuat semua orang tertinggal jauh dan hanya dapat saling pandang dengan terheran-heran.

“Bukan main!” Indrajaya berkata perlahan. “Hebat sekali pemuda itu, hampir sama cepatnya dengan pemuda yang tadi menolong aku! Akan terjadi apakah di Kota Raja ini? Tiba-tiba saja muncul orang-orang muda sakti mendraguna yang bersikap aneh. Mengapa pula Puspamirah diculik?”

Setelah mengalahkan tiga orang cabang atas yang mengeroyok Indrajaya, kemudian melarikan diri karena hatinya merasa tidak karuan ketika ia dipeluk dan digandeng oleh pemuda yang tampan itu, Ratna Wulan tidak pergi jauh dari tempat pesta dan bersembunyi di bawah sebatang pohon. Hatinya masih berdebar-debar kalau ia mengingat betapa lengannya dipegang dengan erat dan mesra oleh Indrajaya.

Ia tahu bahwa pemuda itu tidak sengaja melakukan hal itu karena menganggap bahwa ia seorang pria. Ah, kalau saja Indrajaya tahu bahwa ia seorang dara. Wajahnya makin merah kalau membayangkan hal itu dan ia makin bingung merasa betapa hatinya amat tertarik oleh Indrajaya. Ia teringat akan pesan ibunya agar supaya berhati-hati menghadapi godaan asmara dan ia merasa ragu-ragu.

Ia teringat pula keadaan Adiprana, pemuda lain yang juga amat menarik hatinya, bahkan yang telah menyatakan cinta kasih kepadanya. Ia diam-diam membuat perbandingan antara Adiprana dan Indrajaya. Biarpun ia maklum dan sadar bahwa tak baik seorang dara seperti dia untuk memikirkan dua orang pemuda itu, akan tetapi hati dan perasaannya, kedewasaannya tak dapat ditahan lagi dan sambil duduk termenung ia membayangkan wajah kedua orang muda itu.

Adiprana lebih sakti dari pada Indrajaya, pikirnya. Akan tetapi Indrajaya juga memiliki sifat kesatria utama, seorang pemuda gagah berani dan harus ia akui bahwa tentang keelokan wajah, Indrajaya lebih menarik hatinya. Adiprana sudah terang mencintainya, dan Indrajaya. Ah, dari pandang mata pemuda inipun akan jatuh cinta kepadanya kalau saja ia tahu bahwa penolongnya adalah seorang dara. Hal ini ia telah merasa yakin.

Ratna Wulan mengeluh didalam hatinya. Mengapa ia selalu menghadapi godaan ini? Baru saja turun gunung ia telah bertemu dengan Adiprana anak Bromo itu. Dan kini, baru saja tiba di Kota Raja, ia bertemu pula dengan seorang teruna yang menarik hatinya. Padahal ia masih belum menunaikan tugas cita-citanya, bahkan bertemu dengan musuh besarnyapun belum.

Ia harus mengusir bayangan dua orang pemuda yang menggoda pikirannya itu. Ratna Wulan menghela napas berulang-ulang. Ia akan menanti sampai datangnya hari baru untuk segera mencari musuh besarnya dan membalas dendam.

Setelah itu, ia akan segera kembali ke Mahameru karena ia baru akan merasa aman dan tenteram hatinya apabila ia berada di dekat ibunya, di dekat gurunya. Ia tidak ingin merusak hati dan mengganggu pikirannya dengan segala lamunan yang muluk-muluk dan sambil mengertak gigi dan ia berkeras mengusir bayangan wajah Indrajaya dan Adiprana.

Tiba-tiba ia mendengar teriakan-teriakan dari tempat keramaian itu dan ketika ia bangun berdiri, ia melihat bayangan orang berlari cepat sambil mengendong tubuh seorang wanita. Melihat pakaian wanita itu, ia tahu bahwa ia adalah Puspamirah, ledek yang tadi yang telah menimbulkan keributan di atas panggung.

Ratna Wulan cepat bersiap menolong ledek itu, karena maklum bahwa wanita itu tentu diculikdan dibawa lari orang. Akan tetapi, ketika ia melihat orang yang memondong Puspamirah dan yang berlari berdiri bagaikan patung. Ia merasa seakan-akan telapak kedua kakinya melekat pada tanah dan tak dapat diangkat lagi. Hatinya berdebar keras dan matanya terbelalak. Bukan main kagetnya karena ia melihat bahwa penculik ledek itu bukan lain ialah Adiprana.

Tiba-tiba ia menjadi marah dan sebal. Beginikah akhlak pemuda dari Gunung bromo yang gagah itu? Hanya sebagai seorang rendah penculik ledek? Dan pemuda ini pernah menyatakan cinta kasih kepadanya. Tanpa disadarinya, Ratna Wulan menggerakkan kedua kakinya dan mengikuti bayangan pemuda yang memondong ledek dan berlari cepat itu.

Ia terus mengikuti di belakang, karena tidak ada niatnya untuk mengejar. Ia hanya ingin tahu apakah yang hendak diperbuat oleh Adiprana terhadap ledek itu dan kalau memang pemuda itu berniat buruk, ia harus menolong perempuan itu!

Kalau perlu ia akan membunuh Adiprana, karena, sudah menjadi orang-orang jahat, tak perduli siapapun juga orang itu. Siapakah pemuda yang menculik Puspamirah itu? Apakah benar-benar dia itu Adiprana, murid Bromo yang gagah perkasa?

Memang benar! Pemuda itu adalah Adiprana, akan tetapi jangan mengira bahwa ia adalah sebangsa pemogoran yang suka bermain gila dengan wanita, terutama yang suka menculik seorang penari umum. Sebagaimana pernah ia ceritakan kepada Ratna Wulan, Adiprana mempunyai seorang ibu yang telah janda dan yang amat cantik rupanya. Ketika ia turun dari perguruannya, ia bermaksud kembali ke Kota Raja mencari ibunya, akan tetapi ia tertahan di hutan randu setelah pertemuannya dengan Ratanwulan.

Ia telah berjanji kepada Ratna Wulan, gadis yang dicintainya itu, untuk tinggal di dalam hutan mewakili Ratna Wulan dan melatih kepada Pasukan Candra Bayu. Akan tetapi, seperginya Ratna Wulan dari situ, ia merasa sunyi sekali dan rindunya kepada ibu datang lagi menggangu hatinya. Oleh karena itu, ia lalu berpamit kepada kawan-kawannya untuk pergi ke Kota Raja dan menjemput ibunya yang hendak dibawah pindah ke hutan randu.

Pak Waluyo sebagai ketua dari Pasukan Candrasa Bayu, maklum akan perasaan pemuda ini, maka iapun menyatakan persetujuannya. Demikianlah, oleh karena Ratna Wulan sebelum berangkat ke Kota Raja singgah dulu di puncak Mahameru, maka keberangkatan Adiprana ini hampir berbareng dengan Ratna Wulan. Kalau Ratna Wulan tiba di kota pada malam hari, adalah Adiprana datang pada senja tinggal ibunya.

Alangkah terkejut, heran dan kecewanya ketika ia mendengar bahwa ibunya kini menjadi ledek dan pada malam hari itu sedang menari di gedung seorang tumenggung yang mengadakan pesta tayuban. Hatinya merasa sedih dan perih sekali mendengar betapa nama ibunya sekarang adalah Puspamirah. Adiprana tak dapat menahan sabar lagi, terutama ketika ia mendengar keterangan penduduk di situ bahwa sekarang ibunya telah menjadi selir dari seorang pembesar keraton.

Panaslah hatinya dan ia segera menyusul ke tempat pesta dengan hati penuh amarah. Bagaimana ibunya sampai merendahkan diri semacam itu? Ketika Adiprana tiba ditempat pesta, pertempuran antara tiga cabang atas dari madura melawan Ratna Wulan telah pergi dari situ. Melihat keributan yang masih terlihat pada muka para penonton, Adiprana lalu bertanya kepada seorang penonton apakah gerangan yang telah terjadi?

“Aah, kau datang terlambat, kawan.” kata orang itu. “Baru saja terjadi perang tanding yang amat hebat dan ramainya. Raden Mas Indrajaya yang gagah bertanding melawan Mas Bei Bajrabumi! Ah, mana Mas Bei bisa menang? Raden Mas Indrajaya adalah seorang ahli pencak yang pandai. Akan tetapi tiba-tiba muncul tiga orang cabang atas yang mengeroyok Raden Mas Indrajaya. Bukan main hebat dan serunya pertempuran itu. Dan tahukah kau? Cabang atas itu kebal. Coba bayangkan! Keris Raden Indrajaya diterima dengan dada terbuka begitu saja dan kerisnya sampai bengkok ketika bertemu dengan dada cabang atas itu! Hebat tidak? Akan tetapi, itu masih belum seberapa tiba-tiba muncul diatas panggung seorang yang luar biasa, menghadapi tiga cabang atas itu dengan tangan kosong! Ya, dengan tangan kosong, kawan, sedangkan tiga cabang atas itu mempergunakan golok! Kemudian pemuda ajaib itu mencabut kerisnya dan sekali gerak. trang! Tiga batang golok itu sapat! Kemudian yang terhebat terjadilah. Tiga orang cabang atas itu menghujani pukulan kepada tubuh orang sakti itu, akan tetapi pemuda itu tanpa mengelak menerima semua pukulan sambil tersenyum, seakan-akan pukulan-pukulan itu di anggapnya seperti tangan puteri-puteri yang memijat tubunya yang kelelahan!”

Adiprana tidak sabar lagi mendengar dongeng orang ini, maka ia menyela, “Mengapa terjadi perkelahian-perkelahian?”

Orang itu kecewa karena ceritanya diganggu. “Dengarlah dulu ceritaku. Kukatakan kau terlambat dan hal ini amat sayang karena kalau kau menyaksikan pertempuran antara pemuda itu dengan tiga cabang atas tadi, benar-benar kau akan melongo terheran-heran dan kagum. Dengan amat tangkasnya pemuda yang seperti Arjuna itu, bukan, bukan seperti Arjuna, akan tetapi pantas disebut Raden Angkawijaya putera Sang arjuna, menghadapi tiga orang lawannya yang merupakan tiga orang raksasa jahat. Kemudian dengan amat tenang dan mudahnya sama mudahnya seperti aku sendiri menghadapi tiga orang juadah manis, ia melalap tiga orang lawannya yang ketiganya dilontarkan ke bawah panggung! Bukan main!”

“Apa sebabnya terjadi perkelahian?“ Tanya Adiprana sambil memandang ke atas panggung, mencari-cari ledeknya.

“Apalagi sebabnya? Tentu memperebutkan di cantik jelita Puspamirah, ledek yang menggairahkan hati tiap laki-laki itu!”

“Di mana ledek itu. Puspamirah itu...?” Tanya pula Adiprana dengan hati kecut dan telinga panas.

“Eh, eh, agaknya kau bukan orang sini, kawan. Itu dia yang duduk didekat tukang gendang. Coba saja Kau lihat, alangkah molek bantuk tubuhnya, alangkah cantik jelita wajahnya. Ia sudah agak tua, kawan, akan tetapi, mau aku menukarnya dengan tiga belas orang perawan! Siapa yang takkan tergila-gila melihat betapa lemas dan luwes ia menari? Siapa yang takan merasa bimbang rindu mendengar suaranya yang seperti madu manisnya? Aah, mau usiaku dikurangi lima tahun asalkan aku dapat memetik Puspamirah.”

“Plak!” Tangan kanan Adiprana menyambar dan menampar muka orang itu yang tiba-tiba merasa seakan-akan ribuan binatang di langit jatuh berhamburan dari atas. Kedua manik matanya mendekati hidung dan kepalanya bergoyang-goyang bagaikan terhuyung-huyung karena kedua kakinya lemas dan akhirnya ia jatuh pingsan bagaikan kena sambar petir.

Adiprana lalu melompat ke atas panggung, langsung menyerbu ketempat duduk para yogo dan menubruk Puspamirah yang terus dipondongnya. Ledek itu terkejut sekali dan meronta-ronta, akan tetapi di dalam pondongan lengan tangan Adiprana, ia tak berdaya sama sekali. Tukang kendang melihat hal ini lalu bangun berdiri hendak menghalangi, akan tetapi sebuah tendangan kaki Adiprana yang menyambut dadanya membuat ia terlempar dan menubruk kawan-kawan di belakangnya.

Keadaan geger dan terdengar teriakan orang-orang. Akan tetapi Adiprana telah melompat jauh dan berlari cepat pergi dari tempat itu. Ia sebelumnya telah mencari keterangan di mana adanya rumah Puspamirah, maka kini ia langsung menuju ke rumah ledek itu. Kemarahannya memuncak dan ia merasa terhina sekali setelah mendengar penuturan orang tadi.

Ibunya menjadi ledek umum sudah merupakan hal yang amat memalukannya, apalagi kini mendengar betapa ibunya menjadi rebutan orang-orang kasar dan bahkan orang orang yang menceritakan peristiwa tadipun mengeluarkan kata-kata yang amat menghina! Ia dapat membayangkan perasaan orang-orang terhadap ibunya. Dalam kemarahannya, Adiprana tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan lain yang mengikuti larinya, dan lebih-lebih tidak menyangka bahwa yang mengikuti adalah Ratna Wulan!

Dara pendekar ini dengan hati marah dan juga amat sebelnya, mengikuti terus dan ketika ia melihat Adiprana membawa ledek itu ke dalam sebuah rumah sederhana, Ratna Wulan lalu melompat ke belakang rumah itu dan mengintai! Ia melihat Adiprana membawa Puspamirah ke dalam sebuah kamar dan menurunkan wanita itu lalu berdiri memandang dengan mata merah. Puspamirah berdiri dengan marah dan membentak.

“Bangsat kurang ajar! Siapakah kau berani mati melakukan perbuatan terkutuk ini, menculik aku dan membawaku ke rumah kusendiri dengan paksa? Apakah kau sudah bosan hidup barangkali? Kalau kakangmas adipati mendengar akan hal ini, tentu kepalamu akan dihancurkan! Kau masih muda, lagi tampan, mengapa kau melakukan ini? Melarikan seorang ledek, cih! Tak tahu malu!”

Mendengar ucapan ini, diam-diam Ratna Wulan merasa girang dan memuji ledek itu. Kalau memang ledek itu berbatin rendah. Tentu ia akan jatuh hati kepada penculiknya yang masih muda dan rupawan pula. Sebaliknya, Adiprana lalu menjawab dengan kata-kata yang amat pedas dan di luar dugaan Puspamirah maupun Ratna Wulan yang mendengar diluar bilik.

“Puspamirah, kau menyeret dirimu sendiri ke dalam berpura-pura menasehati orang lain? Apakah kau lupa bahwa kepada anakmu yang semenjak kecil kau kirimkan kepada Eyang Bromosakti? Aku adalah Adiprana, atau sudah lupa lagikah kau kepada nama itu?”

Puspamirah tiba-tiba menjadi pucat bagaikan mayat. Sepasang matanya memandang wajah Adiprana dengan terbuka lebar, seakan-akan tak percaya kepada pandang matanya sendiri. Sampai lama ia berdiri bagaikan patung, tak kuasa mengeluarkan suara bahkan hampir tak dapat bernapas, kemudian keluarlah keluhan dari mulutnya.

“Ya Dewata Agung. Adiprana. Kau.. kaukah ini, Adiprana.? Anakku...!” Dengan isak tangis yang tak dapat ditahannya lagi, Puspamirah menubruk maju hendak memeluk pemuda itu, akan tetapi Adiprana mengulurkan kedua tangan dan menahan ibunya dengan memegang kedua pundak ledek itu.

“Jangan memeluk aku! Jangan menyentuh aku! Aku bukanlah seorang di antara laki-laki yang tergila-gila kepada ledek Puspamirah!”

“Adiprana...!” Puspamirah menjerit ngeri sambil memandang kepada wajah puteranya dengan air mata membanjir keluar dari kedua matanya. Tubuhnya menjadi lemas, tangisnya mengguguk membuat dadanya serasa akan meledak, kepalanya pening dan ia hanya dapat mengeluh berkali-kali,

“Adiprana... ampun Gusti. Kau... kau Adiprana anakku sendiri...” dan akhirnya ia tak dapat mengeluarkan keluhan lagi, bahkan tak dapat bergerak sama sekali, ia berdiri dengan pundak terpegang oleh pemuda itu dan lehernya mejadi lemas sehingga kepalanya menunduk ke bawah. Puspamirah telah roboh pingsan karena tikaman pada batinnya yang amat hebat.

Untuk sesaat Adiprana memandang dengan muka marah, akan tetapi lambat laun kemarahannya terganti kekhawatiran melihat keadaan ibunya. Ia mulai mengoyang-goyang pundak ibunya dan memanggil.

“Ibu...” Akan tetapi tubuh wanita itu masih saja menyandar pada pegangan kedua tangannya dan tak menajwab. “Ibu...! Ibu...!” Suara Adiprana mulai mengandung kekhawatiran. Kemudian ia memondong tubuh ibunya dan mengangkatnya keatas pembaringan yang berada didalam kamar itu. “Ibu... sadarlah. Ampunkan anakmu, ibu.”

Sampai lama Puspamirah pingsan, sedangkan Ratna Wulan yang mengintai di luar bilik menjadi demikian terkejut sehingga tak dapat bergerak, hanya berdiri bagaikan patung. Tak disangka-sangkanya sama sekali bahwa Adiprana adalah putera ledek Puspamirah ini. Ia merasa terharu melihat keadaan mereka, akan tetapi juga timbul rasa penasaran di dalam hatinya.

Betapapun juga, ia tadi telah menyaksikan lagak Puspamirah dihadapan para tamu dan betapa ledek itu telah menjadi pujaan semua laki-laki yang berada disana. Benarkah ini ibu dari Adiprana, pemuda yang gagah perkasa itu? Hampir tak dapat ia mempercayainya! Akhirnya Puspamirah siuman dari pingsannya. Ia bangun dan duduk, memandang kepada Pemuda yang telah berdiri dihadapannya itu dengan mata sayu.

“Adiprana, tak kusangka sama sekali bahwa kita akan berjumpa dalam keadaan begini.”

“Lebih-lebih aku, ibu. Kau tidak tahu betapa hancur hatiku melihat ibu menjadi ledek yang dipuja-puja oleh banyak lelaki. Sakit hatiku melihat ibuku menjadi seorang ledek umum yang di perebutkan oleh orang-orang kasar dan rendah, menjadi bahan cemooh, menjadi alasan perkelahian, menjadi bahan ucapan-ucapan kotor. Ibu, mengapa ibu tersesat sampai demikian jauh? Mengapa ibu menjadi ledek? Apa akan kata ayah apabila ia masih hidup? Ibu. ibu, kau mengecewakan hati anakmu!”

Puspamirah menghela napas dan mengerakkan ujung selendangnya yang merah itu untuk menghapus air matanya. “Adiprana, kau terburu nafsu dan keras hati seperti mendiang ayahmu. Dengarlah, nak, ibu tidak sehina sebagaimana yang banyak orang kira. Tak perlu dihiraukan apa kata orang-orang, makin kotor ucapan yang keluar dari mulut seseorang, berarti makin rendahlah jiwa orang itu. Aku menjadi ledek bukan untuk menjadi bahan hiburan orang. Jangan anggap bahwa ibumu telah berlaku sesat, karena aku masih mempunyai kesucian hati. Biarkan mereka menghina, mereka menganggap apa saja, akan tetapi buktinya ibumu tidak melakukan perbuatan hina. Ketahuilah, Adiprana, aku menjadi ledek, menjadi penari dan penyanyi karena dua sebab. Pertama, memang aku terdorong oleh bakatku dan senangku akan tarian dan nyanyian. Ke dua, dan ini jauh lebih kuat, karena aku harus mencari uang. Kau tentu masih ingat, bahwa ibumu masih mempunyai orang tua, yaitu kakek dan nenekmu, mereka itu orang-orang miskin di dusun Tagen. Siapakah pula yang akan membantu mereka yang sudah tua kecuali ibumu ini? Jadi, aku menjadi ledek untuk mencari uang, untuk memberi makan kepada tiga orang, yaitu kakek nenekmu dan aku sendiri. Aku pun seorang manusia biasa yang harus makan, yang harus memakai pakaian.”

“Alasan ibu memang kuat, akan tetapi, mengapa pula ibu menyerahkan diri kepada seseorang adipati? Mengapa pula ibu sudi diambil selir oleh adipati itu? Bukankah hal ini tidak cocok dengan ucapan ibu tadi?”

“Adiprana, kau duduklah, nak. Tega hati benar terhadap ibumu. Telah bertahun-tahun, setiap hari aku rindu sekali kepadamu, kepada anak tunggalku. Dan sekarang. setelah kau pulang. Aku seakan-akan merasa berhadapan dengan seorang hakim yang hendak memberi hukuman kepadaku...! Adiprana, benar-benarkah kau sekejam itu?” Kembali Puspamirah menangis.

“Ibu sendiri yang membuat hatiku beku. Keadaan ibu yang membuat hati anakmu demikian kecewa sehingga menjadi keras laksana karang. Ibu, jawablah pertanyaanku tadi. Mengapa ibu sudi menjadi selir adipati itu?”

“Anakku Adiprana, sebelum aku menceritakan hal ini, agar kau dapat percaya, biarlah aku bersumpah kepada Hyang Maha Agung bahwa yang akan kuceritakan ini bukan bohong. Ketahuilah bahwa aku menerima menjadi selir adipati itu karena mengingat akan kepentingan dan nasibmu, nak.”

Adiprana mengangkat muka dan memandang wajah ibunya dengan tajam. “Apa maksud ibu? Mengapa pula aku dibawa-bawa dalam hal penerimaan menjadi selir ini?” tanyanya penasaran.

“Sesungguhnya, anakku Adiprana. Tadinya ibumu telah mengambil keputusan untuk hidup menjanda sampai hari akhir. Akan tetapi, ketika datang pinangan dari adipati itu, aku memikirkan nasibmu kelak. Adipati itu adalah seorang yang amat berpengaruh dan besar kekuasaannya di Majapahit. Dengan perantaraan dan pertolongannya, akan mudah bagiku untuk menduduki pangkat yang tinggi di kerajaan! Oleh karena itu, nak, aku sengaja mengorbankan diriku agar kemudian kau akan dapat ditolongnya, diberi pangkat yang tinggi sesuai dengan pengharapanku!”

“Siapa sudi menjadi pembesar di Majapahit! Ibu, perlu kiranya aku berpanjang cerita. Pendeknya aku tidak setuju sama sekali akan kehendak ibu ini. Yang sudah lewat biarlah lalu. Lebih baik ibu turut aku saja pergi ke kaki Gunung Mahameru di mana aku tinggal bersama kawan-kawanku.”

“Siapakah kawan-kawanmu itu, nak?”

“Ibu, aku telah menjadi pelatih dari pasukan orang-orang gagah yang bercita-cita luhur. Mereka Adalah bekas anak buah Bupati Rangga Lawe, dan lain-lain penglima yang telah gugur dalam pemberontakan mereka melawan tentara Majapahit. Mereka membuat persiapan untuk mengadakan pemberontakan.”

“Apa...?! Kau. kau menjadi anggota pemberontak? Kau, anakku yang kucita-citakan menjadi seorang pembesar di Majapahit, kau bahkan menjadi pelatih pemberontak? Ya Jagat Dewa Batara!” Puspamirah menjadi pucat sekali dan memandang kepada anaknya dengan kedua mata dibuka lebar.

“Semoga Dewa Agung mengampuni kita! Aduh, bagaimana kalau sampai kangmas adipati mendengar tentang ini? Ah, Adiprana, lemparlah jauh-jauh pikiran itu, nak. Insyaflah, bahwa seorang yang sehina-hinanya. Dan pula, apakah yang akan kau andalkan? Majapahit adalah Negara yang besar dan yang memiliki banyak panglima sakti mandraguna. Ketahuilah, anakku, adipati yang mengambil ibumu menjadi selir adalah seorang yang amat sakti mendraguna dan kau akan dapat banyak belajar ilmu kesaktian daripadanya. Kau akan senang tinggal disini dan menjadi seorang yang benar-benar cocok dengan harapan ibumu, dengan harapan mendiang ayahmu.”

“Siapakah adipati itu, ibu? Agaknya ibu telah jatuh hati benar-benar kepadanya,” kata Adiprana dengan suara menyindir sehingga dari luar bilik Ratna Wulan merasa gemas dan benci sekali kepada pemuda itu.

Tak pernah disangkanya bahwa Adiprana dapat bersikap semacam itu kepada ibunya sendiri. Bagi Ratna Wulan, betapapun juga keadaannya, seorang itu tetap merupakan seorang ibu, orang yang paling suci di dunia ini, yang harus paling di hormat, di cinta dan di belanya. Akan tetapi, Adiprana yang dianggapnya sebagai laki-laki gagah dan baik itu, dapat bersikap demikian kasar terhadap ibunya, sungguhpun ada alasannya untuk bersikap demikian.

“Adipati yang mengambil selir kepadaku, yang sekarang telah menjadi ayah tirimu itu, bukan lain adalah Adipati Kartika, seorang yang menjadi tangan kanan Sang Bagawan Mahapati, bahkan menjadi muridnya yang tersayang, oleh karena itu kesaktiannya telah terkenal di mana-mana!” kata Puspamirah dengan bangga.

Terkejutlah Adiprana mendengar ini sedangkan Ratna Wulan yang mendengarkan nama ini juga terkejut sekali dan tak terasa pula tangan kanannya memegang kerisnya. Jadi ibu Adiprana ini telah menjadi bini muda musuh besarnya, Kartika!

Adiprana teringat akan cerita Ratna Wulan, maka hatinya menjadi amat gelisah mendengar bahwa ibunya telah diambil selir oleh Kartika yang menjadi musuh besar Ratna Wulan itu.

“Aduh, ibu. Orang itu pula yang menjadi suami ibu! Celaka benar! Ibu, hal ini memperkuat niat hatiku. Ibu harus ikut aku ke hutan randu, berkumpul dengan kawan-kawanku, karena aku tidak sudi melihat ibu menjadi selir keparat Kartika itu!”

“Adiprana.!” Puspamirah menjerit, “Jangan kau sekurang ajar itu!”

“Tidak, ibu. Hatiku telah tetap, kemauanku sudah bulat. Aku hendak membantu Pasukan Candrasa Bayu menggempur Majapahit dan apabila kekuasaan yang sekarang ini dapat memegang pangkat pula. Bahkan aku telah mempunyai calon jodoh, ibu! Dia seorang dara yang gagah perkasa, dan tinggal menunggu ibu meminangnya. Dialah yang membentuk Pasukan Candrasa Bayu. Maka marilah ibu turut aku pergi meninggalkan Kota Raja.”

“Menjadi pemberontak? Kau anakku menjadi pemberontak dan mantuku juga seorang pemberontak? Tidak, tidak! Kau tersesat anakku!”

Pada saat itu, terdengar suara seorang laki-laki yang parau di luar pondok, “Mirah.! Apakah kau telah sampai di rumah dengan selamat? Aku amat mengkhawatirkan keadaaanmu!” Pintu depan didorong dari luar dan terdengar tindakan kaki yang berat.

Puspamirah menjadi pucat. “Nah, itu dia kangmas Kartika datang. Jangan kau kurang ajar terhadap ayah tirimu, nak. Ia manis budi, akan tetapi kalau ia tersinggung dan sampai marah, celakalah kau!” katanya sambil turun dari pembaringan dan menjawab.

“Masuklah, kangmas adipati! Jangan khawatir, aku tidak apa-apa!” Sambil berkata demikian ia bergegas keluar dari kamar dan menyambut adipati itu di luar kamar. Melihat kekasihnya masih berpakaian sebagai penari, pendatang itu berkata tak senang.

“Mirah, sudah berkali-kali kukatakan jangan kau menari di muka umum lagi.Tadi kumendengar tentang keributan itu dan bahkan mendengar tentang penculikan terhadapmu. Ah, kau benar-benar membuat gelisah hatiku, manis.”

Memang tadi sebelum datang kerumah ini, Kartika telah mendengar tentang keributan di medan pesta, maka ia buru-buru pergi ke rumah tumenggungan itu. Kartika adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lebih yang bermuka gagah. Brengosnya yang tajam melintang membuat ia nampak gagah seperti Raden Gatotkaca. Ia menjadi adipati yang ditakuti karena besar kekuasannya dan tinggi ilmu kepandaiannya.

“Apa yang telah terjadi di sini?” tanyanya dengan suara yang keren ketika ia datang ke tempat pesta dan disambut dengan penghormatan oleh semua orang. Dengan singkat tuan rumah menceritakan peristiwa tadi dan mendengar betapa Mas Ngabei Bajrabumi yang mulai membuat kekacauan, ia melangkah menghadapi Bei gemuk itu. Dengan tubuh mengigil Bajrabumi memberi hormat dan berlutut.

“Kau berani mengganggu Puspamirah?” bentak Kartika kepada Bajrabumi.

“Mohon di ampukan, Raka Adipati.” Kata Bajrabumi dengan suara gemetar.

“Enyah kau!” seru Kartika dan kaki kirinya melayang mengirim sebuah tendangan. Tubuh yang gemuk itu terlempar jauh dan bergulingan, lalu merayap bangun dan pergi meninggalkan tempat itu. Ia masih merasa untung tidak dibunuh atau tidak dipecat dari kedudukannya.

“Kalau dia tidak mabok, tentu akan kusuruh buang dia!” kata Kartika. Kemudian ia menghadapi Indrajaya yang masih berada di situ.

“Raden Indrajaya, tahukah kau siapa tiga orang yang menyerangmu?”

“Tidak, paman Adipati, aku tak pernah melihat mereka sebelumnya.” Kartika memang suka dan merasa sungkan kepada pemuda ini karena dia adalah kesayangan sang prabu. Maka hubungan mereka amat baik seperti sanak keluarga saja.

Tukang kendang maju dan menceritakan dengan wajah pucat. “Dia adalah seorang pemuda yang tampan, gusti adipati. Akan tetapi, agaknya dia bukan orang sini, karena hamba belum pernah melihat atau mengenalnya.”

Dengan hati murung Kartika meninggalkan tempat itu setelah berkata keras. “Lain kali tidak boleh siapapun juga memanggil Puspamirah untuk menari. Ia kularang menari di depan umum, kecuali kalau dipanggil oleh sang prabu sendiri. Mengerti?”

Semua orang bungkam tak berani bergerak. Demikianlah, Kartika lalu menyusul ke rumah Puspamirah dan ia menjadi girang melihat kekasihnya itu telah berada di rumah. Dengan senyum manis Puspamirah berkata kepada Kartika.

“Kangmas adipati, harap kau jangan khawatir atau gelisah, karena sesungguhnya yang menculik hamba itu bukanlah orang lain, melainkan putera hamba sendiri Si Adiprana. Dia tidak suka melihat hamba menari di depan umum.”

“Bagus! Memang demikian seorang anak yang baik. Akupun tidak suka melihat kau menari dan bernyanyi di depan umum, sungguh amat merendahkan namaku. Di mana puteramu itu sekarang?”

Puspamirah lalu menjengkuk ke dalam kamarnya dan memanggil Adiprana. “Ngger, anakku Adiprana, keluarlah dan jumpailah ayahmu!”

Dengan muka merengut pemuda itu keluar. Kartika kagum melihat ketampanan wajah dan kegagahan sikap pemuda yang menjadi anak tirinya itu. Akan tetapi ia merasa tidak senang melihat pemuda itu memandangnya dengan mata bernyala dan sama sekali tidak menaruh hormat sedikitpun.

“Adiprana, berilah hormat kepada kang mas adipati, yang telah menjadi Ayahmu, nak!” Puspamirah membujuk dengan hati gelisah.

Akan tetapi, sebaliknya Adiprana memandang dengan bangis kepada Kartika dan berkata, “Tidak sudi aku memberi hormat kepada seorang pembesar berhati palsu.”

Bukan main marahnya Kartika mendengar ini. Brengosnya serasa berdiri dan sepasang matanya bernyala-nyala. “Keparat cilik! Apa dosaku maka kau datang-datang menghinaku? Kalau kau tidak lekas berlutut minta ampun, akan kuhajar kau!” Kartika melangkah maju dengan kedua tangan terkepal.

Adiprana tersenyum mengejek. “Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku Adiprana sama sekali tidak takut. Kau mau memukul? Majulah kalau kau memang jantan!”

Makin memuncak amarah di hati Kartika. Belum pernah ia ditantang orang secara begini menghina. “Jahanam!” teriaknya dengan suara keras. “Kuhancurkan kepalamu!” Ia melangkah maju hendak menyerang Adiprana yang siap menanti serbuannya dengan tenang.

Akan tetapi sambil menjerit dan menangis Puspamirah menubruk adipati itu dan merangkulnya, dan membujuk-bujuknya. “Kakangmas adipati, ampunilah dia. Ampunilah anakku.”

“Hm, kalau tidak melihat muka ibumu, sekarang kau telah menjadi mayat!” kata Adipati Kartika yang masih marah itu.

“Ha,ha! Kartika! Siapa takut akan ancamanmu? Jangan kau menggunakan nama ibu untuk menunjukkan kegagahanmu. Majulah kalau kau memang gagah, kau kira aku takut kepadamu?”

“Eh, bocah keparat!” Kartika tak dapat menahan nafsu amarahnya lagi. Sekali ia menggerakkan tangan, puspamirah terpelanting ke pinggir, kemudian dengan geraman dahsyat ia menubruk, memukul ke arah dada Adiprana. Pemuda itu cepat menangkis dan ketika tangan mereka beradu, keduanya terhuyung mundur dua tindak.

Adiprana terkejut akan tetapi tidak menjadi heran karena ia telah mendengar akan ke digdayaan adipati ini. Akan tetapi Kartika hampir saja berseru karena terkejutnya dan herannya. Bagaimana pemuda ini dengan tenaga penuh? Kalau orang lain yang menangkis pukulannya, tulang lengan lawan itu pasti akan patah!

“Keparat! Tidak tahunya kau memiliki kesaktian juga. Pantas saja kau berani berlagak! Rasakanlah pukulan Brajakastala dari tanganku!” Sambil berkata demikian, Kartika menyerang lagi dengan pukulan yang dahsyat sekali.

Adiprana dapat merasakan betapa angin pukulan ini benar-benar hebat, maka ia tidak berani berlaku gagabah dan cepat mengelak ke samping dengan cekatan dan balas menyerang yang dapat pula ditangkis oleh adipati itu.

“Adiprana... anakku, jangan...!” Puspamirah menubruk anaknya. “Adiprana tidak taatkah kau kepada ibumu?”

Adiprana marah dan merasa sebal sekali. Ia merenggutkan diri dari pelukan ibunya dan melompat keluar dari pintu.

“Adiprana...!” Puspamirah memekik sedih. “Aku ibumu. nak...!”

Jawaban yang terdengar dari luar menyayat-nyayat hatinya. “Lebih baik aku tidak beribu...!”

“Bangsat jahanam!” Adipati Kartika memburu keluar.

Akan tetapi Adiprana telah jauh meninggalkan rumah itu, langsung keluar dari Kota Raja. Hatinya terluka dan ia membenci ibunya sendiri. Dengan hati murung dan marah pemuda itu terus berlari, kembali ke kaki Gunung Mahameru dengan hati penuh dendam.

Adipati Kartika masuk lagi dan menghibur Puspamirah, akan tetapi kini lenyaplah sikap mencinta dari wanita ini. Dengan sedih ia menangis terus, tidak memperdulikan Kartika sehingga adipati itu akhirnya kewalahan dan pergi dengan hati kecewa. Tengah malam telah jauh lewat dan Kartika dengan hati kecut berjalan pulang menuju ke gedungnya.

Bulan bersinar terang, akan tetapi hati adipati itu amat gelap dan rusuh. Ia merasa kecewa melihat putera Puspamirah memusuhi dan membencinya, oleh karena dari tangkisannya tadi ia maklum bahwa pemuda itu memiliki kepandaian cukup tinggi dan tentu akan merupakan seorang pembantu yang amat boleh diandalkan kalau saja tidak demikian membencinya.

Ayam telah mulai berkeruyuk ketika ia tiba di dekat gedungnya. Tiba-tiba ia terkejut karena dari balik pohon melompat keluar sesosok bayangan orang. Ia menyangka bahwa orang ini tentu Adiprana yang hendak menyerangnya, maka ia berlaku waspada dan menunda langkah kakinya. Akan tetapi biarpun orang inipun seorang pemuda yang lebih elok daripada Adiprana. Pemuda ini menghadang di depannya sambil bertolak pinggang dan sepasang matanya nampak berkilat di bawah sinar bulan purnama.

“Siapakah kau dan apa maksudmu menghadang di jalan? Tidak kenalkah kau kepada Adipati Kartika?” bentak Kartika dengan marah karena dalam keadaan seperti itu ia tidak suka di ganggu.

Akan tetapi pemuda itu tertawa bergelak dan menjawab, “Tentu saja aku kenal padamu, Kartika. Dan alangkah beruntungnya aku dapat mengenalmu ketika kau berada di rumah Puspamirah tadi! Kalau kau tidak di sana, mungkin bertemu di jalanpun aku takkan mengenalmu!”

Mendengar ucapan yang sama sekali tidak menaruh hormat kepadanya itu, maklumlah Kartika bahwa pemuda ini tidak mempunyai niat baik, maka ia berlaku makin waspada. “Siapakah kau pemuda kurang ajar?”

“Kartika, ketahuilah bahwa aku sengaja mencarimu dari tempat jauh untuk menangih hutangmu. Masih ingatkah kau kepada Nagawisena?”

“Apa hubunganmu dengan mendiang Nagawisena?”

Kembali pemuda itu tertawa bergelak. Biarpun suara ketawanya merdu, akan tetapi cukup membuat Kartika merasa tak enak hati dan bulu tengkuknya meremang. “Manusia Khianat! Ingatkah kau ketika membunuh Nagawinsena dengan cara yang rendah dan curang?Akulah anaknya! Ayahku telah tewas karena kecuranganmu dan ibuku menderita bertahun-tahun karena keganasanmu itu. Sekarang bersiaplah kau untuk binasa dalam tanganku!”

Kartika tertegun. Dahulu ia telah menjadi sahabat yang amat karib dari Nagawisena, bahkan ia jatuh cinta kepada Dara Lasmi, isteri sahabat karibnya itu. Ia kenal baik keluarga Nagawisena dan sering kali ia dan sahabatnya itu kunjung-mengunjungi, maka ia tahu bahwa sahabatnya tidak mempunyai anak laki-laki.

“Ha, kau bohong! Kau penipu dari manakah berani mati sekali mengaku sebagai putera Nagawisena? Aku lebih tahu bahwa Nagawisena tidak mempunyai putera laki-laki, hanya mempunyai anak perempuan seorang saja! Jangan kau hendak menipu aku!”

Ratna Wulan pernah mendengar penuturan ibunya bahwa Kartika dahulunya memang sahabat karib ayahnya, bahkan seringkali mengunjungi ayah bundanya, maka ia tidak merasa heran mendengar ini, bahkan lalu bertanya. “Kalau kau tahu bahwa Nagawisena mempunyai seorang puteri, tahukah kau siapa nama anaknya itu?”

“Tentu saja aku tahu, bukan seperti kau yang hanya mengaku-aku. Anaknya itu adalah Ratna Wulan, dan isterinya bernama Dara Lasmi puteri Malayu.”

“Kartika, buka matamu lebar-lebar jahanam! Akulah Ratna Wulan yang datang hendak mengambil nyawamu!” Sambil berkata demikian, Ratna Wulan merenggut ikat kepalanya sehingga rambutnya yang panjang hitam itu terurai di atas pundaknya. Juga jubahnya ia buka sehingga kini ia memakai baju kutang yang berwarna hitam. Sebentar saja pemuda tampan itu berubah menjadi seorang dara jelita yang amat gagah dan cantik.

Kartika berdiri melongo dan hatinya berdebar keras. Kalau tadi ia menghadapi Ratna Wulan yang masih dianggapnya seorang pemuda itu dengan hati tabah dan memandang ringan, kini ia merasa gelisah sekali oleh karena gurunya, yaitu Bagawan Mahapati, pernah berpesan kepadanya agar supaya ia berhati-hati menghadapi lawan seorang wanita.

Wanita memang seorang makhluk lemah, akan tetapi apabila wanita itu telah menjadi seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka orang itu tak boleh di pandang ringan. Sekarang Ratna Wulan telah berani masuk ke Kota Raja untuk mencarinya dan membalas dendam, maka tentu saja gadis ini telah memiliki ilmu yang tinggi.

“Ratna Wulan...! Benar, kau Ratna Wulan, karena kau mirip sekali dengan Dara Lasmi ibumu! Ratna Wulan, janganlah kau memusuiku, nak. Ketahuilah bahwa aku, pamanmu ini dahulu seringkali memondongmu dan menimang-nimangmu ketika kau masih kecil sekali. Apakah kau hendak mengangkat senjata melawan pamanmu?”

“Cih! Pandai sekali kau bermanis bibir! Mengapa kau tidak ingat akan hal itu ketika kau membunuh dan mencurangi mendiang ayahku? Hayo, cabutlah kerismu, kita membuat perhitungan sekarang dan di tempat ini juga!”

“Jangan, Ratna Wulan, jangan kita mengadu nyawa!”

“Pengecut! Jahanam! Kau yang telah berani mengkhianati ayah, demikian kecil dan pengecutkah hatimu sehingga tidak berani melawan seorang dara?”

Terbangunlah keangkuhan Kartika mendengar caci maki ini. “Ratna Wulan, siapakah yang takut kepadamu? Tidak, aku tidak takut, hanya aku merasa sayang kalau-kalau kau akan menjadi kurban pusakaku. Sampai berapa tinggikah kepandaianmu maka kau berani menantang Adipati Kartika?”

“Tutup mulut! Lebih baik membiarkan kerismu bicara daripada mulutmu yang busuk dan berbisa itu!” Setelah berkata demikian, Ratna Wulan mencabut keris pusaka Banaspati dan memasang kuda-kuda untuk membuka serangan.

Melihat sinar panas yang memancar keluar dari pusaka Banaspati itu, Adipati Kartika terkejut sekali dan ia maklum bahwa gadis yang menjadi musuhnya ini memilki keris pusaka yang ampuh. Maka ia lalu mencabut pula kerisnya, juga sebuah keris pusaka pemberian gurunya.

“Kaulah yang menghendaki pertumpahan darah, Ratna Wulan. Ibumu akan memaafkan aku apabila ia Tahu bahwa kaulah yang memaksaku mencabut keris untuk menghadapimu. Ini hanyalah pembelaan diri dariku!”

“Jangan banyak cakap!” teriak Ratna Wulan yang segera mulai menyerang dengan kerisnya. Serangannya ganas dan dahsyat sekali sehingga Kartika kembali merasa terkejut melihat kecepatan gerakan gadis ini. Ia tidak berani memandang rendah dan cepat menangkis dengan kerisnya. Dua bilah keris pusaka itu ketika beradu menimbulkan percikan bunga api.

Karena maklum bahwa menghadapi gadis ini tidak boleh dilakukan dengan main-main, Kartika lalu membalas dengan serangan yang cepat pula sehingga sebentar saja keduanya telah bertarung dengan seru, sengit, dan mati-matian. Hati Ratna Wulan yang penuh dendam membuat gerakannya amat dahsyat dan ganas sehingga Kartika harus berlaku hati-hati dan waspada sekali.

Ia maklum bahwa untuk mengalahkan lawannya yang tangguh ini, ia tidak boleh menaruh hati kasihan lagi dan harus berdaya mendahuluinya, merobohkan atau membinasakan gadis ini. Maka dikeluarkanlah ilmu kerisnya yang hebat, latihan dari gurunya Bagawan Mahapati. Kerisnya bergerak-gerak laksana seekor ular hidup yang menyambar-nyambar dengan bengisnya, mengarah bagian-bagian yang mematikan, leher, uluhati, lambung, perut dan pusar.

Akan tetapi, Ratna Wulan bukanlah seorang yang memiliki kepandaian biasa saja. Ia telah digembleng bertahun-tahun oleh Panembahan Mahendraguna, dan ilmu kerisnya selain cepat, juga kuat sekali sehingga ke mana saja Kartika menyerang, selalu dapat ditangkis atau di elakkannya. Jika dibuat perbandingan, Kartika menang tenaga dan menang pengalaman berkelahi, akan tetapi dalam hal gerakan, ia masih kalah cepat dan kalah tangkas.

Selagi mereka ramai bertarung, lewatlah tiga orang peronda di tempat itu. Alangkah terkejutnya hati mereka melihat Kartika sedang berperang tanding melawan seorang dara perkasa yang luar biasa tanguhnya, maka beramai-ramai mereka maju mengeroyok mereka dengan tombak mereka.

“Mundur!” teriak Kartika mencegah mereka akan tetapi terlambat. Mereka telah menerjang maju dan ketika dengan tombak, mereka menusuk dan meyerang Ratna Wulan dari tiga jurusan.

Gadis itu melompat dan meninggalkan Kartika, menyambut ketiga orang penyerangnya itu dengan keris di tangan. Tiga orang peronda itu hanya melihat bayangan cepat berkelebat dan dua orang di antara mereka menjerit dan roboh mandi darah karena yang seorang tertusuk keris Banaspati dan tewas di saat itu juga, sedangkan seorang lagi kena dirampas tombaknya dan ditusuk dengan tombaknya sendiri sehingga terluka parah dadanya! Seorang lagi mundur ketakutan lalu. berlari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu untuk memberi laporan dan minta bantuan!

Bukan main terkejutnya hati Kartika melihat kehebatan sepak terjang Ratna Wulan ini, sehingga ia menjadi gentar dan permainan kerisnya agak kalut. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ratna Wulan yang segera mendesak dengan amat hebatnya. Pada suatu saat, ketika Ratna Wulan menusuk ke arah dada Kartika dengan kerisnya, dibarengi bentakan nyaring yang amat berpengaruh, Kartika mengelak ke kanan dan tangan kirinya lalu memukul ke arah kepala lawannya dengan mengerahkan aji kesaktian yang disertai mantra ini apabila mengenai sasaran, kepala mungkin akan pecah berantakan!

Namun, Ratna Wulan sudah dapat merasakan angin pukulan yang laur biasa ini, maka dara perkasa ini menggeser kakinya ke kanan dan mengibaskan tangan kiri melakukan tangkisan sambil mengerahkan tenaga sakti dalam tangan kirinya. Betapapun juga, ia masih terhuyung mundur ketika tangannya beradu dengan tangan Kartika, tanda bahwa tenaga aji kesaktian Si Gunting itu benar-benar luar biasa kuatnya.

Ratna Wulan menjadi penasaran dan sambil memekik keras ia lalu menubruk maju, menyerang dengan keris dibarengi pukulan tangan kirinya yang melakukan tamparan dengan ajinya Astadenta (Tangan Gading), kemudian disusul pula oleh tendangan kilat yang menyambar ke arah pusat lawannya. Inilah serangan yang luar biasa hebatnya, karena ketiga-tiganya, baik tusukan kerisnya ke arah leher maupun pukulan Astadenta ke arah pusar, merupakan serangan-serangan yang dapat membawa maut.

Kartika terkejut bukan main dan cepat berusaha menyelamatkan diri. Dengan tangan kirinya ia menangkis pukulan Astadenta ke arah lambung dan mengeser kakinya untuk mengelak tendangan ke arah pusar, sedangkan tusukan keris Ratna Wulan ia tangkis dengan keris pula.

Akan tetapi ia tidak mengira bahwa pukulan Astadenta akan demikian hebatnya. Ketika tangan kirinya beradu dengan tangan kiri Ratna Wulan yang memukul, ia berseru kesakitan dan merasa betapa pergelangan tangannya sakit sekali seakan-akan seratus batang jarum ditusuk-tusukkan ke dalam tulangnya. Hal ini membuat kedudukannya menjadi lemah sekali dan sungguhpun ia dapat menghindarkan diri dari ketiga serangan itu.

Akan tetapi ia telah membuka lowongan bagi Ratna Wulan untuk mengirim serangan berikutnya tanpa berkesempatan membalas serangan itu. Ratna Wulan yang bermata tajam tidak mau membuang kesempatan baik ini, dan ia cepat sekali mengajukan kakinya, dan kerisnya menyambar bagaikan petir kearah ulu hati lawannya.

“Celaka!” Kartika berseru keras dan membuang diri ke kanan untuk mengelak dari serangan ini, akan tetapi ia kurang cepat dan “Bret!” bajunya terobek oleh ujung keris Banaspati dan darah mengalir membasahi bajunya karena dadanya yang sebelah kanan berikut sedikit dagingnya telah terbeset oleh keris itu.

“Mati aku!” Kartika menjerit dan cepat ia melompat ke belakang sambil berjungkir balik. Gerakannya ini amat cepat dan indahnya sehingga Ratna Wulan memandang kagum. Dalam keadaan terluka, Kartika masih dapat menyelamatkan diri dengan lompatan yang amat luar biasa dan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang telah tinggi ilmu kepandaiannya.

“Bangsat, jangan lari!” Ratna Wulan megejar dan mengirim serangan pula.

Akan tetapi kedudukan Kartika telah baik kembali, dan sungguhpun ia merasa betapa kulit dadanya terasa panas dan perih sekali terkena hawa yang keluar dari keris pusaka kyai Banaspati. Dan tangan kirinya juga terasa linu dan lumpuh terkena hawa pukulan Astadenta, namun ia masih dapat menggerakkan kerisnya dan melakukan perlawanan dengan amat gigihnya.

Pertempuran itu berjalan amat lama dan sementara itu, cahaya matahari mulai mengusir cahaya bulan purnama dan keadaan mejadi makin terang. Peluh telah mengucur pada keseluruh muka Kartika. Ia merasa lelah dan gelisah sekali. Tak pernah disangkanya bahwa anak Nagawisena akan demikian tangguhnya.

Sukar untuk dapat percaya bahwa seoranga anak dara yang usianya baru belasan tahun ini akan dapat memiliki ilmu kepadaian setinggi ini, sehingga tidak saja dapat menghadapi dan melawannya, bahkan berhasil melukainya dan mendesaknya dengan keris!

Kalau Kartika mulai lelah dan main mundur saja, adalah Ratna Wulan makin gagah dan makin cepat gerakannya. Dara perkasa ini makin bernafsu melihat betapa usahanya membalas dendam sudah mendekati hasil. Ia mengeluarkan seluruh kepandaian yang penah dipelajari dan mendesak tanpa mengenal ampun lagi sehingga Kartika makin ketakutan.

Sebuah tusukan telah mampir di kulit pundaknya lagi sehingga darah telah membasahi bagian dada dan pundaknya, akan tetapi adipati yang banyak pengalaman berkelahi ini masih saja dapat mempertahankan dirinya. Ia mengambil keputusan untuk mempertahankan diri sampai titik untuk mengadu nyawa dengan gadis ini!

Pada saat Ratna Wulan sudah mendesak hebat kepada musuh besarnya, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan orang dan munculah dua orang yang diringkan oleh sepasukan bersenjata tombok dan perisai. Orang yang datang ini adalah seorang kakek berjubah putih, memegang tongkat hitam dan gerakannya ketika berlari masih amat cepatnya. Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang amat tampan dan juga cepat gerak-geraknya. Mereka ini bukan lain adalah Sang Bagawan Mahapati sendiri bersama Raden Mas Indrajaya!

Kebetulan sekali Raden Mas Indrajaya mengunjungi gedung Adipati Kartika untuk membicarakan tentang kedatangan dua orang pemuda aneh di Kota Raja karena Indrajaya merasa curiga dan juga ikut merasa bertanggungjawab atas keselamatan keraton Majapahit. Dia adalah seorang pemuda yang amat setia kepada rajanya.

Ketika mendengar bahwa Kartika sedang pergi semenjak malam tadi mencari Puspamirah. Ia lalu mengadakan pertemuan dengan Bagawan Mahapati yang bertempat tinggal di gedung Kadipaten itu pula, dan bercakap-cakap karena memang Raden Indrajaya seringkali mengadakan pembicaraan dengan Bagawan yang sakti itu.

Pada saat mereka sedang bercakap-cakap, datanglah peronda yang melaporkan dengan wajah pucat bahwa Kartika sedang bertempur melawan seorang dara pendekar yang amat sakti dan luar biasa. Maka berangkatnya Mahapati bersama Indrajaya ke tempat itu, dikuti oleh sepasukan penjaga.

Kedatangan mereka tepat pada waktunya, karena dengan sebuah tendangan kakinya, Ratna Wulan telah berhasil membuat keris di tangan Kartika terpental dan ia sudah siap untuk menembusi jantung musuh besarnya itu dengan Kyai Banaspati. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan sebatang tongkat menusuk kearah pergelangan tangannya di barengi bentakan.

“Lepaskan senjata!” Namun Bagawan Mahapati terkejut sekali karena tangan yang diserangnya itu dapat mengelak cepat dan bahkan mengirim tusukan ke arah perutnya. Ia cepat melompat mundur dan Ratna Wulan berdiri memandangnya dengan mata bercahaya marah.

“Hm, tentu inilah orangnya yang disebut Bagawan Mahapati, dukun lepus itu!” Ia memaki.

“Siapakah kau, perempuan muda yang liar?” Tanya Bagawan Mahapati memandang kagum karena belum pernah ia bertemu dengan dara yang sehebat ini.

Sementara itu, dengan napas terengah-engah Kartika melangkah maju dan berdiri di belakang gurunya. Sedangkan Raden Indrajaya juga memandang dengan penuh perhatian. Ia serasa sudah pernah melihat wajah yang cantik jelita ini dan tak terasa pula hatinya berdebar aneh. Begitu melihat wajah yang ayu dan potongan tubuh yang denok itu, sekaligus ia tergila-gila dan jatuh hati.

Sementara itu, Ratna Wulan dengan amat marahnya menjawab. “Kau mau tahu siapa adanya aku? Tanyakan saja kepada si keparat Kartika itu! Kalau saja ia bukan seorang pengecut yang paling rendah dan hina-dina, suruhlah ia mengambil kerisnya untuk melanjutkan pertempuran ini! Biarlah kita sama saksikan, apakah benar-benar Adipati Kartika seorang gagah ataukah seorang pengecut besar!”

Akan tetapi semua orang dapat melihat bahwa keadaan Kertika telah amat payah, maka Bagawan Mahapati lalu berkata dengan keren karena ia marah juga melihat betapa muridnya yang tersayang itu dikalahkan dan terluka.

“Bocah! kau masih kecil akan tetapi telah besar kepala! Kau telah berani menyerang seorang adipati, berarti memberontak terhadap kerajaan. Menyerahlah baik-baik, mungkin kau masih akan dapat diampuni.”

Sementara itu, diam-diam Indrajaya berdiri terheran-heran, oleh karena semalam ini ia telah melihat dua orang muda yang luar biasa dan sakti mengacau di Kota Raja. Hati Ratna Wulan amat marah, gemas dan kecewa melihat betapa Indrajaya, pemuda yang menambat hatinya itu, ternyata datang bersama dengan Bagawan Mahapati dan agaknya menjadi sekutu Kartika, maka dengan mengacungkan kerisnya.

“Bagawan Mahapati! Enak saja kau bicara! Dengarlah, aku adalah puteri dari Nagawisena yang sengaja datang hendak membalas dendam kepada keparat Kartika! Kalau kau hendak membelas muridmu, majulah kau dan semua kaki tanganmu ini!” Ia mengerling kepada Indrajaya dengan pandang merendahkan. “Jangan maju sendiri, majulah kau berbareng, aku Ratna Wulan anak Mahameru sama sekali tidak takut menghadapi kalian!” Ratna Wulan benar-benar marah sehingga ia mengeluarkan sesumbar dan tantangan yang amat sombongnya.

“Eh, sombong dan keras kepala anak ini!” Bagawan Mahapati berkata. “Kau agaknya tak boleh diberi hati. Kau belum tahu akan kesaktian Mahapati!”

Sambil berkata demikian sepasang mata bagawan ini menatap wajah Ratna Wulan dengan amat tajamnya, seakan-akan sepasang mata itu bernyala bagaikan mata seekor harimau. Kemudian bagawan itu membaca mantra dan tiba-tiba ia membentak dengan suara yang amat berpengaruh.

“Ratna Wulan, berlututlah engkau!”

Bukan main hebatnya kesaktian ini. Pengaruh bentakan ini membawa tenaga yang gaib dan luar biasa sehingga dengan bentakan ini saja, Bagawan Mahapati telah banyak menundukkan dan mengalahkan lawan tanpa mengangkat tangannya. Seekor singa buas pun akan mendekam dan bertekuk lutut mendengar bentakan yang amat berpengaruh oleh karena mengandung tenaga batin yang amat kuat ini.

Ratna Wulan tidak kuat menerima pengaruh ini dan tiba-tiba ia bertekuk lutut. Akan tetapi hanya untuk sebentar saja, oleh karena begitu lututnya menyentuh tanah ia telah melompat lagi dan berdiri tersenyum memandang kepada Bagawan Mahapati. Kakek sakti itu terkejut sekali melihat kekebalan mantranya, maka ia berseru.

“Kartika, mari kita tangkap dia!" Kakek ini telah melihat sendiri ketangguhan dara perkasa itu, maka dengan amat licik ia memerintahkan kepada muridnya untuk mengeroyok! Ratna Wulan telah merasa lelah, dan sekarang dikeroyok dua oleh Kartika yang mempergunakan lagi kerisnya dan Bagawan Mahapati yang mainkan tongkatnya secara hebat sekali.

Hanya dengan kegigihan Ratna Wulan saja yang membuat ia masih dapat mempertahankan diri sampai lama, membuat kagum hati Indrajaya dan menggiriskan hati Kartika. Akhirnya, karena tenaga sudah mulai habis dan telapak tangan memegang gagang keris udah penuh peluh, ketika Mahapati menyerang dengan tongkat dan ia menangkis, kerisnya terlepas dari tangan...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.