MAHAPATI menubruk dan dengan mudah dapat meringkusnya, Ratna Wulan lalu dibelenggu tangannya. Sebagai seorang tawanan, Ratna Wulan hendak diseret kegedung Kadipaten, akan tetapi Raden Mas Indrajaya lalu menghampiri Mahapati serta membisikkan sesuatu kepada telinga bagawan itu. Bagawan Mahapati tersenyum dan mengangguk, kemudian ia berkata kepada Kartika.
“Kartika, biar kita serahkan tawanan gadis liar ini kepada Raden Indrajaya!”
Adipati Kartika memandang heran, akan tetapi ia tidak berani menenentang kehendak Gurunya dan demikianlah dengan cekatan Indrajaya memondong tubuh Ratna Wulan, di naikkan ke atas kuda, kemudian ia larikan kudanya ke arah rumah gedungnya sendiri.
“Bapa bagawan, mengapa gadis yang berbahaya itu diserahkan kepada Raden Indrajaya?” Tanya Kartika kepada gurunya setelah mereka kembali ke Kadipaten.
Mahapati tersenyum penuh arti. “Raden Indrajaya tergila-gila kepada gadis yang cantik itu dan ingin membujuknya menjadi selirnya. Besok pagi Raden indrajaya hendak menghadap sang prabu untuk minta perkenan beliau. Kau maklum sendiri akan pengaruh pemuda itu dan apabila kita tidak menuruti permintaannya, tentu kita akan mengalami kesukaran.”
“Akan tetapi, bapa Bagawan, gadis itu adalah puteri dari Nagawisena. Ia sengaja datang untuk mencari dan membunuh hamba. Anak itu amat sakti dan amat berbahaya bagi hamba, kalau sekarang tidak di binasakan, apakah kelak takkan mendatangkan malapetaka?”
“Jangan Khawatir, muridku! Betapapun digdayanya, selama masih ada gurumu di sini, ia takan dapat melakukan sesuatu. Apalagi kalau ia sudah berhasil di petik oleh Raden Indrajaya, tentu putera pangeran itu takkan membiarkan dia melakukan keributan, karena hal itu akan mencemarkan nama Raden Indrajaya sendiri. Kalau kita berkeras membinasakan gadis itu, tentu Raden Indrajaya akan merasa sakit hati dan marah, dan hal ini akan jauh lebih berbahaya daripada kemarahan atau sakit hati gadis liar itu kepadamu.”
Kartika memandang dengan penasaran. “Apakah berbahayanya seorang seperti Indrajaya? Kepandaiannya tidak berapa hebat, jauh lebih rendah daripada kepandaian gadis itu.”
“Kau tidak tahu, Kartika. Kau sendirilah yang berlaku ceroboh, menyuruh seorang bodoh dan tidak becus seperti Bajrabumi itu! Tahukah kau bahwa Raden Indrajaya telah tahu akan usahamu membinasakannya dengan menyuruh Bajrabumi dan tiga orang cabang atas dari Madura yang terjadi malam kemarin? Bukan itu saja, Indrajaya bahkan telah tahu akan maksud-maksud kita menggulingkan raja!”
Kartika menjadi pucat mukanya mendengar ini. Memang, penyerangan atas diri Indrajaya yang terjadi di dalam pesta itu sebenarnya adalah dia sendiri yang mendalanginya. Indrajaya terlalu besar pengaruhnya kepada raja dan pemuda ini amat setia dan berpengaruh, oleh karena itu, sesuai dengan rencana mereka untuk melemahkan pemerintahan Jayanagara, pemuda itu harus dibinasakan!
Dengan diam-diam dan secara rahasia, ia dan gurunya telah mengadakan kontrak dengan pemimpin pemberontak Semi, untuk membantu pemberontak itu menggulingkan Jayanagara! Kalau Indrajaya benar-benar telah tahu akan rahasia ini, maka tentu saja tentu baik menyerahkan Ratna Wulan kepadanya, karena urusan dara itu tak berarti apabila dibandingkan dengan urusan pemberontakan yang lebih besar!
Memang benar, Indrajaya sungguhpun belum mendapatkan bukti-bukti, namun ia telah merasa curiga kepada Mahapati dan Kartika dan ia selalu berlaku waspada untuk menjaga keselamatan junjungannya. Tadi ia melihat betapa Ratna Wulan tertawan dan karena ia memang jatuh cinta kepda dara perkasa ini, juga melihat kesaktian dara itu ia ingin menarik dara itu sebagai sekutunya, maka ia lalu menggunakan akal, minta tawanan itu sambil membisikkan kata-kata kepada Mahapati.
Yang ia bisikkan itu adalah janji bahwa ia takkan mengadukan sesuatu yang ia ketahui tentang mereka kepada sang prabu! Ini hanya kira-kira dan dugaan saja, akan tetapi Mahapati kena tertipu dan mengira bahwa pemuda itu telah mengetahui segala rahasianya!
“Karena aku telah mengetahui siapa maka memperkuat alasanku untuk membantumu. Menolong orang yang tak diketahui siapa adanya dan tanpa alasan sesuatu mengapa ia menolong orang itu adalah hal yang lebih aneh lagi. Aku menolongmu karena dasar-dasar yang lebih suci dan yang keluar dari lubuk hatiku.”
“Dasar-dasar apakah?” Tanya Ratna Wulan memandang tajam.
“Dasar perasaan hatiku yang penuh kagum padamu, karena kau seorang yang berbakti kepada orang tua sehingga biarpun kau hanya seorang wanita akan tetapi kau bertekad untuk membalas sakti hati mendiang ayahmu tanpa memperdulikan bahaya. Aku kagum kepadamu, kagum melihat kegagahanmu dan aku. Aku suka kepadamu, timbul kasih sayangku kepadamu. Inilah yang memaksaku untuk menolongmu, Ratna Wulan!”
Ratna Wulan melangkah mundur dua tindak dengan kaget. “Apa... apa maksudmu?”
“Aku cinta kepadamu!” pengakuan Indrajaya ini seakan-akan merupakan pengakuan yang sudah sewajarnya, dengan suara yang amat tenang dan meyakinkan. “Aku cinta kepadamu seperti juga perasaan cinta yang mulai tumbuh dalam hatimu terhadap aku!”
“Kau... kau gila!”
Indrajaya mengangkat tangan kanannya seakan-akan menahan gadis itu berkata terlebih lanjut. “Ratna Wulan, semenjak kau melompat ke atas panggung dan menolongku, pandang matamu telah membuataku bingung dan heran. Pandang matamu itu menyatakan perasaan hatimu kepadaku. Aku telah mempelajari ilmu membaca muka orang, membaca perasaan hati yang timbul dari sinar matanya. Aku yakin bahwa kau mencinta atau setidaknya, merasa suka kepadaku!”
Pening kepala Ratna Wulan mendengar ini. Betapapun juga, ucapan pemuda ini ada benarnya. Ia memang amat tertarik kepada Indrajaya, tertarik dan merasa suka. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mengaku begitu saja, tidak mau menyerah demikian mudahnya. Ia memandang marah dan membentak.
“Tutup mulutmu! Kau kira aku ini wanita macam apakah? Kau kira aku begitu mudah tunduk dan jatuh hati melihat ketampananmu?”
“Kau adalah seorang wanita pilihan! Seorang puteri sejati yang selain gagah perkasa, juga cantik jelita. Seorang srikandi tulen! Seorang wanita yang patut di cinta dengan hati suci. Ratna Wulan, jangan kau mencoba menyembunyikannya dari padaku. Bahkan dalam kemarahannya ini, sinar matamu tidak hanya memancarkan api kemarahan, akan tetapi jelas kulihat api yang berasal dari Dewi Ratih memancar keluar!”
“Tidak, tidak! Diam kau! Aku tidak sudi bicara tentang hal itu sebelum tercapai cita-citaku, sebelum terpenuhi tugasku. Aku harus membunuh Kartika! Ah. keris pusakaku telah hilang. Akan tetapi, tidak apa, dengan kedua tangan ini akan kurenggutkan nyawa Kartika dari tubuhnya. Biarkan aku pergi, Indrajaya, dan lupakanlah kata-katamu yang gila tadi!”
“Tak mungkin Ratna Wulan. Tak mungkin kau dapat pergi dari sini. Kau harus tinggal di rumahku ini, dan jangan kau tinggalkan Kota Raja!”
Kini sinar mata Ratna Wulan memandang dengan marah sekali. “Hmm begitukah? Untuk itukah gerangan maka kau menolongku terlepas dan tangan mereka agar supaya aku selamanya tinggal di sini menurut segala kehendakmu?”
Indrajaya tersenyum. “Tidak ada lain kesenangan dan kebahagiaan di dunia ini bagiku yang melebihi kenyataan kata-katamu tadi, Ratna Wulan. Akan bahagialah hidupku kalau kau mau tinggal selama hidup di sampingku. Tak ada cita-cita yang lebih mulia terkandung di dalam hatiku. Akan tetapi kau salah sangka. Bukan untuk itulah sesungguhnya aku membawamu kemari. Dan bukan untuk itu pula aku melarangmu pergi dari sini begitu saja. Aku bukan manusia serendah itu. Aku tidak sudi memaksa seorang dara untuk menyerahkan diri kepadaku. Tidak. Ratna Wulan, aku hanya menerima sebagai kawan hidup selamanya apabila kau datang dengan sukarela, dengan hati mencinta.”
“Cukup!” Ratna Wulan merasa khawatir untuk mendengar rayuan ini lebih lama, khawatir akan kelemahan hatinya sendiri. Pemuda ini demikian pandai mencumbu rayu, lebih manis daripada madu, lebih merdu daripada gamelan Surgaloka segala kata-katanya. “Kalau bukan untuk itu, mengapa kau melarangku keluar dari sini?”
“Cinta kasihku jualah yang memaksa aku melarangnya. Ketahuilah, Kartika dan Bagawan Mahapati bukanlah orang-orang demikian bodoh untuk menyerahkan kau kepadaku begitu saja. Mereka tentu telah berjaga-jaga dan mungkin sekarang juga rumahku telah di intai oleh banyak mata para penyelidik mereka. Kau takkan dapat keluar dengan selamat dan kalau kau sampai tertangkap kembali, sukarlah begiku untuk menolongmu.”
“Aku tidak takut! Aku akan mencari dan menyerang Kartika, biarpun untuk usaha itu aku harus tewas!”
“Aku percaya akan kegagahanmu akan tetapi akulah yang merasa khawatir akan bahaya itu, Ratna Wulan. Percayalah mungkin tak ada orang lain yang akan menyedihi kematianmu, akan tetapi aku takan dapat menikmati hidup lagi kalau kau sampai tewas.”
Ratna Wulan merasa terharu juga mendengar ucapan ini.
“Ratna Wulan, akupun maklum bahwa kau tentu tak sudi untuk tinggal di sini bersamaku hanya untuk menyelamatkan dirmu. Akan tetapi kalau kau hendak keluar dari sini, harus mencari jalan yang baik dan aman, jangan secara sembrono saja. Kalau kau keluar dari sini, lalu hendak pergi ke mana?”
“Aku hendak mengumpulkan kawan-kawanku dan kemudian menyerbu Kadipaten dan Menyerang Kartika.” Jawab Ratna Wulan terus terang.
“Hanya satu jalan bagimu untuk dapat keluar dari Kota Raja dan itupun belum tentu berhasil pula. Jalan itu ialah aku harus mengawani keluar dari kota ini, bukan pada siang hari, melainkan pada malam Hari nanti.”
“Kalau kita bertemu dengan Kartika dan Mahapati bagaimana?” Tanya Ratna Wulan, sesungguhnya pertanyaan ini bukan menyatakan bahwa ia merasa takut, akan tetapi tanpa disengaja ia menyatakan kekhawatiran terhadap nasib pemuda itu.
Indrajaya tersenyum. “Terima kasih atas perhatianmu terhadap diriku, Ratna Wulan. Kalau kita bertemu dengan mereka, aku akan memberi alasan. Kalau mereka tidak percaya, tidak ada jalan lain bagiku selain membantumu mengamuk dan menyerang mereka.”
“Kau.? Bukankah kau sahabat baik dari mereka?”
Indrajaya tersenyum dan menggeleng kepala. “Kau kira aku ini sederajat orang-orang macam mereka? ketahuilah, Ratna Wulan. Ayahku seorang pangeran yang setia kepada keluarga raja. Akupun seorang yang setia dan aku bersedia mengorbankan nyawa untuk membela Kerajaan Majapahit. Adapun mereka itu, mereka adalah manusia-manusia dengan hati dengki, khianat, berhati palsu. Mereka kini telah mengadakan persekutuan dengan diam-diam bersama pemimpin-pemimpin pemberontak di luar kota. Mereka berniat menjatuhkan kerajaan agar mereka mendapat kedudukan yang lebih tinggi dan kuat. Hal ini terjadi oleh karena sang prabu mulai merasa curiga kepada Bagawan Mahapati yang mulai renggang perhubungannya.”
Bukan main terkejutnya hati Ratna Wulan mendengar penuturan ini. Mahapati dan Kartika bersekutu dengan pemberontak. Padahal pemberontak-pemberontak adalah kawannya sendiri. Buktinya Pasukan Candrasa Bayu yang dilatihnya, bukankah mereka juga akan menggabungkan kepada barisan induk pemberontak. Bagaimana pulakah itu akan tetapi ia tidak mau ambil pusing. Urusan pemberontakan bukanlah urusannya. Yang terpenting baginya adalah membalas dendam kepada Kartika. Habis perkara. Di pihak manapun Kartika berdiri, ia tetap musuh besarnya, penghianatan yang telah membunuh ayahnya secara curang.
“Dengarlah, Ratna Wulan, sebelum kita keluar dari Kota Raja, lebih dahulu aku akan memberitahukan hal ini kepada sang prabu. Sesunggunya sang prabu belum tahu akan hal ini, hanya akulah seorang yang mengetahuinya. Inipun baru dugaan saja, akan tetapi dugaannya berdasarkan kenyataan, dan telah kubuktikan pula. Ketahuilah, kalau saja aku tidak menggunakan ancaman bahwa aku telah mengetahui rahasia mereka, tak mungkin kau akan diserahkan kepadaku.”
“Penuturanmu membuat aku merasa bingung sekali, Indrajaya. Menurut penuturan ibuku, Mahapati adalah orang yang membantu Sang Prabu Jayanagara, bahkan bagawan inilah yang memukul hancur semua panglima yang memberontak. Mengapa pula sekarang bagawan itu mengadakan persekutuan dengan pemberontak?”
“Panjang ceritanya, Ratna Wulan.” kata Indrajaya yang diam-diam merasa girang melihat dara perkasa itu agaknya telah menaruh kepercayaan padanya. “Sementara itu, lebih baik kau makan dulu, dan nanti akan kulanjutkan penuturanku. Juga, kalau kau percaya kepadaku, ingin sekali aku mendengar riwayat ayahmu yang terbunuh oleh Kartika itu.”
Pelayan dipanggil dan Indrajaya lalu memerintahkan untuk menyediakan hidangan. Ia tidak mau memperkenalkan Ratna Wulan kepada ibunya oleh karena dalam keadaan seperti sekarang, kurang baiklah kalau Ratna Wulan di perkenalkan. Gadis itupun tidak malu-malu lagi dan ketika hidangan telah di keluarkan, ia makan bersama pemuda itu dengan enak karena perutnya memang amat lapar. Setelah Ratna Wulan menuturkan riwayatnya secara singkat, Indrajaya menghela napas dan merasa amat terharu.
“Memang, tak dapat disalahkan ayahmu dan para penglima yang dahulu memberontak, oleh karena memang di keraton Majapahit terdapat pengaruh jahat dari Bagawan Mahapati. Pernah ayahku dahulu bercerita betapa ketika sang prabu masih amat muda, Bagawan Mahapati makin besar. Ayahku merasa curiga bahwa bagawan itu telah memasang sihir kepada sang prabu dan semenjak saati itu, ayahku jatuh sakit berat sampai meninggalkan dunia ini. Aku menduga bahwa penyakit ayah itupun hasil tenung dari bagawan itu, akan tetapi oleh karena tidak ada bukti, aku tidak berani melanjutkan sangkaan itu. Betapapun juga, ayah tetap setia kepada raja, dan demikianpun aku. Sebagai seorang keturunan keluarga raja, aku harus bersetia dan membela kerajaan, apapun juga yang akan terjadi!”
Indrajaya menutup penuturannya. Diam-diam Ratna Wulan merasa kagum kepada pemuda ini, sungguhpun ia tidak menyatakan sesuatu karena ia memang tidak mau ikut mencampuri urusan kerjaan dan pemberontakan yang sama sekali tidak diketahui seluk beluknya. Ia hendak menggerakan Pasukan Candrasa Bayu bukan dengan maksud memberontak terhadap Majapahit, akan tetapi dengan maksud membalas dendamnya kepada Kartika. Mereka bercakap-cakap dengan asiknya sampai hari menjadi malam.
Maka berangkatlah mereka berdua keluar dari gedung itu. Akan tetapi, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dan sebentar saja terdengar ribut-ribut di seluruh kota.
“Tunggu dulu.” bisik Indrajaya, “Kau tunggulah di ruang depan, hendak kulihat apakah sebenarnya yang terjadi dengan rebut-ribut itu.”
Ratna Wulan mengangguk dan pemuda itu lalu berlari keluar. Dengan hati tak sabar Ratna Wulan menanti diruang depan yang besar dan indah. Alangkah bagusnya ukiran di dalam rumah gedung itu. Ia merasa suka sekali tinggal di rumah ini. Pikiran ini membuat mukanya tiba-tiba menjadi merah padam. Ah, aku telah menjadi gila, pikirnya dan di usahakan sekuat tenaga untuk mengusir pikiran itu.
Akan tetapi tetap saja ia duduk termenung dan membayangkan ketentraman dan kebahagiaan hidup. Kalau saja ia hidup sebagai seorang isteri yang mencinta dan di cinta, di dalam rumah gedung seperti ini, mengurus rumah tangga, menguasai semua pelayan, mendampingi suami yang berhati mulia. Tiba-tiba Indrajaya berlari masuk. Wajahnya yang tampan itu agak pucat.
“Apa yang terjadi, Indrajaya?” Tanya Ratna Wulan, kini nama itu disebut dengan lancar tanpa ragu-ragu, seakan-akan nama Indrajaya adalah nama seorang sahabat karib yang telah lama dikenalnya.
“Pemberontak telah mulai bergerak! Bukan main besarnya kekuatan mereka dan mereka kini telah menyerbu dan mendekati Kota Raja!”
“Kalau begitu kewajibanmulah untuk mengatur penjagaan dengan penglima-panglima lain, biar aku pergi seorang diri!”
“Tidak, Ratna Wulan. Hatiku takkan merasa tenteram sebelum melihat kau keluar dari Kota Raja dengan selamat!”
Ratna Wulan tidak menjawab sesuatu hanya sepasang matanya yang bening memandang kepada Indrajaya dengan mesra, penuh haru dan terima kasih. Indrajaya yang memiliki pengetahuan tentang kewaspadaan membaca perasaan orang dari sinar matanya, menjadi amat girang dan hatinya berdebar penuh kebahagiaan.
Keduanya lalu keluar dengan cepat dari gedung itu. Keadaan di Kota Raja mulai gampar. Tampak penduduk keluar dari rumahnya dengan amat gelisah. Indrajaya mempergunakan keadaan yang sedang ribut ini untuk membawa Ratna Wulan ke arah selatan, karena ia hendak menghantarkan dara perkasa itu keluar dari gerbang sebelah selatan. Akan tetapi tiba-tiba Ia memegang tangan Ratna Wulan dan mukanya berubah.
Juga Ratna Wulan terkejut sekali melihat datangnya dua orang diringi belasan orang prajurit, karena dua orang itu bukan lain adalah Kartika dan Bagawan Mahapati sendiri. Kartika tertawa mengejek sambil memandang kepada Indrajaya. Siang tadi Indrajaya telah menyuruh seorang pembantunya untuk menyerahkan Sepucuk surat kepada sang prabu, memberitahukan bahwa ia telah mendapat keterangan tentang maksud Bagawan Mahapati dan Kartika yang hendak membantu pemberontak.
Akan tetapi, tidak tahunya bahwa banyak sekali mata-mata dilepas oleh Kartika sehingga sebelum surat itu sampai ke tangan sri baginda, pesuruhnya telah di sergap dan suratnya di rampas. Dengan amat marah Kartika lalu berunding dengan Mahapati dan mereka berdua kini sedang menuju ke gedung putera pangeran itu untuk menangkap dan membunuhnya. Kebetulan sekali mereka bertemu di jalan.
“Indrajaya!” kata kartika. “Kau hendak lari ke mana bersama perempuan pemberontak itu?”
“Jangan menuduh secara sembrono paman adipati!” Indrajaya menjawab dengan tegas.” Siapa yang hendak memberontak telah kau ketahu baik-baik! Ratna Wulan tidak berdosa dan bukan pemberontak, aku hendak mengantarkannya ke luar dari Kota Raja agar ia dapat pulang ke tempat asalnya.”
“Ha,ha,ha! Siapa yang tidak mengetahui maksudmu?” tiba-tiba Bagawan Mahapati berkata. “Kalian tentu akan mengabungkan diri dengan para pemberontak yang menyerbu Majapahit. Kalian adalah pembantu-pembantu pemimpin pemberontak Semi.”
“Paman bagawan!” Indrajaya berkata marah. “Perlukah paman Bagawan mengeluarkan ucapan yang kosong dan membalik-balikkan kenyataan ini? Perlukah saya membuka mulut menyatakan siapa orangnya yang sebenarnya membantu Semi?”
“Jangan banyak mulut!” Kartika berseru keras dan menyerang Indrajaya. Pemuda itu cepat mencabut kerisnya dan menangkis, dan mereka lalu bertempur sengit.
Sementara itu, Ratna Wulan yang melihat betapa Kartika telah mempergunakan kerisnya Kyai Banaspati, merasa marah sekali. Ia mendahului gerakan Bagawan Mahapati dan sebelum kakek itu Sempat menyerangnya, ia menubruk maju ke arah seorang prajurit. Sekali saja ia menggerakkan tangannya, ia telah berhasil merampas pedang di tangan perajurit itu sambil memberi tendangan yang membuat perajurit itu roboh bergulingan.
“Perempuan liar, sekarang aku takkan memberi ampun kepadamu!” Bagawan Mahapati berseru keras dan menyerang dengan tongkatnya.
Akan tetapi serangannya dengan mudah ditangkis oleh Ratna Wulan dengan pedangnya dan ia membalas dengan serangan kilat. Para perajurit tidak ada yang membantu bagawan itu oleh karena mereka bertempur dengan gerakan cepat sekali sehingga bayangan mereka lenyap di telan sinar pedang di tangan Ratna Wulan dan tongkat di tangan Bagawan Mahapati.
Sementara itu, Indrajaya yang bertempur melawan Kartika, sebentar saja terdesak hebat. Bukan saja kepandaiannya memang kalah tinggi, akan tetapi keris Kyai Banaspati di tangan Kartika itu membuat orang ini menjadi makin tangguh saja. Indrajaya melakukan perlawanan sekuat tenaga dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, akan tetapi ia memang bukan lawan Kartika.
Beberapa kali ia hampir menjadi korban keris Banaspati dan pada suatu saat, pukulan tangan kiri Kartika telah menyambar pundaknya sehingga pemuda itu jatuh terhuyung ke belakang. Kartika menubruk maju untuk memberi tikaman dengan kerisnya. Ratna Wulan menjerit melihat pemuda itu berada dalam bahaya, maka secepat kilat ia lalu melompat meninggalkan Bagawan Mahapati dan dengan pedangnya ia menyerang Kartika dari samping.
Tentu saja Kartika menjadi terkejut ketika mendengar sambaran angin pedang yang menusuk ke arah lambungnya, maka terpaksa ia menunda seranganya terhadap Indrajaya dan cepat miringkan tubuh dan melompat untuk mengelakkan diri dari serangan kilat itu. Bagawan Mahapati tidak tinggal diam dan menyerang dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah leher Ratna Wulan.
Kini Indrajaya yang berseru keras, “Ratna, awas...! Biarkan aku menghadapi keparat ini sendiri. Kau baik-baiklah melawan bagawan siluman itu!”
Bukan main terharu hati Ratna Wulan mendengar seruan pemuda yang biarpun berada dalam keadaan terdesak, masih saja mengkhawatirkan keselamatannya itu. Keharuan hati ini mendatangkan semangat yang luar biasa besarnya, maka sambil mengertak gigi ia menghadapi Bagawan Mahapati dan menyerang dengan luar biasa hebatnya sehingga kakek yang sakti itu sampai melangkah mundur tiga tindak.
Pertempuran berjalan lagi dengan lebih seru dan mati-matian, sedangkan Indrajaya yang telah terlepas dari bahaya maut, kini melawan lagi serbuan Kartika yang menjadi marah sekali melihat serangannya tadi digagalkan oleh Ratna Wulan. Karena Kartika menyerang lebih ganas dan hebat daripada tadi, kembali Indrajaya terdesak hebat dan hanya dapat berkelahi sambil main mundur.
Juga Ratna Wulan kini berkelahi dengan terdesak hebat, oleh karena dara perkasa ini perhatiannya terpecah. Ia tak dapat menahan hatinya untuk tidak mengerling ke arah Indrajaya dan hatinya amat gelisah melihat betapa pemuda itu di desak hebat oleh Kartika. Pada suatu saat, ketika pertempuran sedang berjalan dengan hebatnya, tiba-tiba terdengar teriakan dan sorakan yang menggegap-gempitakan seluruh Kota Raja dan sorakan itu terdengar jauh dari luar kota.
Itulah sorak-sorai para pemberontak yang telah menyerbu makin dekat. Makin gelisahnya hati Indrajaya medengar sorakan itu oleh karena ia tidak hanya mengkhawatirkan diri sendiri dan Ratna Wulan, akan tetapi juga amat berkhawatir mengingat nasib kerajaan yang di serbu pemberontak. Bagaimanakah nasib rajanya? Sungguh celaka kalau kerajaan memiliki pembesar-pembesar macam Kartika dan Mahapati.
Di waktu kerajaan aman, mereka hanya pandai mengumpulkan harta benda, sedangkan kalau kerajaan berada dalam kekacauan dan terancam bahaya mereka mengkhianati kerajaan itu dan mengandalkan persekutuan rahasia dan dengan musuh. Kegelisahaannya membuat gerakan pemuda itu makin kalut dan ketika kembali Kartika memukulnya dengan tangan kirinya yang ampuh, ia tak dapat menangkis dan roboh dengan kerisnya terlepas dari tangannya.
Kartika menubruk maju dan keris Kyai Banaspati menembus kulit dada pemuda itu, menancap sampai ke gagangnya. Kartika tertawa bergelak dan Ratna Wulan menjerit dengan ngeri melihat betapa Indrajaya roboh mandi darah, terluka oleh keris Kyai Banaspati! Karena keris pusaka itu adalah kerisnya maka hati Ratnawulan bagaikan disayat-sayat. Ia merasa seakan-akan telapak tangannya sendiri yang menikam dada pemuda yang diam-diam telah merebut hatinya itu.
“Indrajaya...!” ia menjerit dengan hati hancur dan pada saat itulah ia mendapat kenyataan bahwa ia mencintai pemuda itu.
Kembali terdengar suara ketawa dan Kartika dan Bagawan Mahapati, membuat Ratna Wulan menjadi mata gelap dan ia mainkan pedangnya luar biasa cepat dan ganasnya. Kebenciannya terhadap Kartika memuncak.
“Jahanam berhati kejam! Kalau aku tak dapat membunuhmu, aku bersumpah tidak mau menjadi manusia lagi!” jerit Ratna Wulan dengan marah sekali dan ia lalu melompat dan menyerbu kepada Kartika dengan pedang di tangan.
Akan tetapi Kartika mendapat bantuan Bagawan Mahapati, maka untuk beberapa lama Ratna Wulan tak berdaya, bahkan amat terdesak. Sorak-sorai makin mendekat dan tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Ratna Wulan jangan takut! Aku datang membantumu!” Dan sesosok bayangan hitam melompat maju Dan menahan tongkat Bagawan Mahapati dengan pedangnya. Inilah Adiprana, anak Gunung Bromo yang tangguh itu.
“Adiprana!” Ratna Wulan berseru. Melihat betapa pemuda itu telah bertarung melawan Bagawan Mahapati, maka Ratna Wulan lalu menerjang Kartika dengan penuh kegemasan. Pedangnya menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda dan dengan amat lincahnya dara perkasa itu selalu menghindarkan pedangnya beradu dengan keris Kyai Banaspati di tangan Kartika karena ia maklum akan keampuhan keris itu.
Kartika kecut hatinya dan ia memang telah merasa jerih menghadapi dara perkasa yang haus akan darahnya itu, maka permaianan kerisnya makin kalut saja. Ratna Wulan tidak mau memberi hati dan mendesak dengan penuh keganasan.
Sementara itu, biarpun Adiprana gagah perkasa dan ilmu kepandaiannya hebat, namun menghadapi Bagawan Mahapati ia masih kalah pengaruh, terutama dalam hal tenaga batin. Tiap kali Bagawan Mahapati menggerakkan tongkatnya dengan seruan keras, Adiprana merasa betapa jantungnya berdebar gelisah dan gentar.
Akan tetapi, ia masih dapat mempertahankan hatinya dan melawan dengan gigihnya. Ratna Wulan mendesak terus dan pada saat yang tepat, ia dapat menendang pergelangan tangan Kartika yang memegang keris “Krak!” tulang pergelangan tangan itu retak terkena sambaran kaki Ratna Wulan.
Akan tetapi Kartika benar-benar kuat karena keris itu masih di pegangnya erat-erat. Setelah pedang Ratna Wulan berkelebat lagi menyambar lengannya, barulah ia berteriak kesakitan dan kerisnya terlempar. Ratna Wulan cepat menyambar Kyai Banaspati dan dengan hati penuh dendam ia menyerang bagaikan kilat cepatnya ke arah Kartika yang telah terhuyung-huyung kebelakang.
Keris menancap di dada kirinya dan terdengar jeritan menyeramkan ketika Kartika roboh sambil mendekap dadanya yang telah ditembusi oleh keris Kyai Banaspati! Ratna Wulan membalikkan tubuh hendak membantu Adiprana yang telah terdesak hebat oleh Bagawan Mahapati, akan tetapi pada saat itu ia mendengar suara Indrajaya memanggil perlahan.
“Ratna...”
Ratnawulan menengok dan cepat menghampiri lalu berjongkok di dekat tubuh pemuda itu. “Indrajaya...” katanya penuh haru dan tak dapat ditahannya lagi air mata mengalir keluar dari kedua mata Ratna Wulan, membasahi kedua pipinya.
“Ratna Wulan pujaan kalbu. Kau menyedihi aku...?”
“Indrajaya... kau, kau berkorban untukku.”
Indrajaya tersenyum, dan senyum yang membayang pada wajahnya yang amat pucat itu nampak oleh Ratna Wulan amatlah manisnya. Senyum penuh kebahagiaan dan kepuasan hati. Senyum yang takkan pernah dapat terlupa oleh mata Ratna Wulan.
“Ratna Wulan, itulah yang membahagiakan hatiku. aku rela... aku girang dapat membelamu. Dapat membela dengan nyawaku. Ratna, aku… aku cinta padamu. sama besarnya dengan cintamu padaku. Kau… kau cinta kepadaku, bukan...?”
Ratna Wulan tak dapat menjawab, hanya air matanya saja mengucur makin deras dan untuk menjawab pertanyaan terakhir dari pemuda itu ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Terdengar Indrajaya menghela napas panjang.
“Aku puas... aku puas...” dan tiba-tiba kepalanya terkulai. Pemuda itu menghembuskan napas terakhir.
“Indrajaya...” Ratna Wulan berbisik dan menggunakan tangan kirinya menutup kedua mata pemuda itu.
Pada saat itu terdengar pekik kesakitan dan suara ini menyadarkan Ratna Wulan. Ia cepat melompat berdiri dan memandang ke belakang. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat Adiprana terhuyung-huyung kebelakang dengan kepala berlumur darah! Ternyata bahwa pemuda murid Eyang Bromosakti itu telah terkena pukulan tongkat Bagawan Mahapati!
“Keparat jahanam!” Ratna Wulan berseru marah dan ia meloncat dengan Kyai Banaspati di tangannya menyerang Bagawan Mahapati yang hendak memberi pukulan terakhir kepada Adiprana yang telah roboh di atas tanah. Dengan hati penuh dendam dan kedukaan karena tewasnya Indrajaya dan melihat Adiprana yang telah roboh di atas tanah. Dengan hati penuh dendam dan kedukaan karena tewasnya Indrajaya dan melihat Adiprana terluka hebat pula, Ratna Wulan lalu menyerang dengan amat ganasnya.
Bagawan Mahapati terpaksa terdesak mundur oleh serangan yang bertubi-tubi datangnya dan yang di lakukan dengan nekad itu. Akan tetapi, sebelum Ratna Wulan dapat mebalaskan dendam karena kematian Indrajaya dan dirobohkannya Adiprana, tiba-tiba terdengar seruan keras.
“Jeng Ratna Wulan.!” Suara ini dibarengi dengan datangnya serombongan pasukan. Pasukan Candrasa Bayu! Ternyata bahwa pasukan istimewa ini telah dapat menyerbu sampai ke Kota Raja dan bersama dengan pasukan-pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Kuti dan Semi, telah menggempur mundur tentara Majapahit!
Mendengar seruan ini dan melihat datangnya pasukan pedang yang istimewa itu, Bagawan Mahapati lalu meloncat dan menghilang di dalam gelap!
Ratna Wulan tak dapat mengejarnya dan Dara perkasa ini segera menghampiri Adiprana yang masih rebah di atas tanah. Alangkah terkejut, sakit hati, dan sedihnya ketika mendapat kenyataan bahwa Adiprana telah tewas pula oleh pukulan tongkat Mahapati! Gadis ini menubruk Adiprana sambil menangis. Hatinya merasa perih bagaikan disayat-sayat.
Dua orang teruna perkasa yang mencintainya telah tewas di tempat itu, tewas dalam pertempuran untuk membelanya. Kalau diwaktu mereka masih hidup, mereka mendatangkan kebimbangan di dalam hatinya, berat untuk memilih yang mana di antara kedua orang ksatria ini, sekarang kematian mereka mendatangkan rasa sedih dan haru yang amat besar. Ia menjadi beringas dan ketika semua anggota Pasukan Candrasa Bayu mengelilingi jenazah Adiprana untuk menyatakan bela sungkawa, ia bangkit berdiri dengan muka pucat, lalu berkata.
“Kawan-kawan, aku minta beberapa orang untuk mengurus jenazah Adiprana dan Indrajaya. Uruslah baik-baik dan kuburkan jenazah mereka sebagai ksatria-ksatria utama. Yang lain-lain, hayo menyerbu terus! Hancurkan bala tentara Majapahit, runtuhkan kekuasaan raja dan mari kita basmi Bagawan Mahapati yang mendatangkan segala kejahatan!”
Ucapannya ini disambut oleh sorak-sorai semua anggota Pasukan Candrasa Bayu. Di bawah pimpinan Ratna Wulan, mereka menyerbu terus, menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan pemberontak lain dibawah pimpinan Kuti dan Semi terus menyerbu dan mengamuk di medan perang, bertempur melawan pasukan-pasukan Majapahit yang masih mempertahankan kota itu.
Bukan main hebatnya peperangan itu dan Pasukan Candrasa Bayu membuat jasa yang bukan kecil dalam pertempuran ini. Di mana saja mereka bergerak, bergelimpanganlah perajurit-perajurit musuh. Namun pasukan-pasukan Majapahit melakukan perlawanan sengit sehingga kurban yang jatuh di kedua fihak amat besarnya.
Semi, pemimpin pasukan pemberontak tewas pula dalam peperangan itu, dan demikian pula beberapa orang pemimpin lain. Bahkan beberapa orang anggota Pasukan Candrasa Bayu juga gugur. Ratna Wulan sendiri mengamuk bagaikan seekor banteng terluka. Ia di dampingi oleh Bejo, Raksasa muda yang amat kuat itu, dan Parta, ahli panah yang pandai.
Di dalam pertempuran yang terjadi amat serunya di depan keraton, di pihak Majapahit muncul senopati-senopati yang gagah perkasa dan tangguh. Tiga orang panglima musuh yang amat gagah menyambut serbuan Ratna Wulan, Bejo dan Parta.
Yang menjadi lawan Bejo adalah seorang tinggi besar pula, seorang panglima Majapahit yang bernama Demang kandangan. Ia adalah seorang berpangkat demang didusun Kandangan dan Kepandaiannya tinggi, karena ia memiliki kekebalan. Kulitnya keras tak tertembus oleh senjata tajam.
Bukan main hebatnya pertandingan yang terjadi antara Demang Kandangan dan Bejo. Pukul-memukul, tendang-menendang, hempas-menghempas! Ilmu lawan ilmu, tenaga bertemu tenaga, dan entah sudah berapa kali mereka saling terkena pukulan lawan.
Terdengar, “Bak! Buk! Bak! Buk!” kepalan mereka mengenai tubuhl awan, akan tetapi keduanya kebal dan kuat. Terkena pukulan keduanya merasa dihinggapi lalat saja.
Demang Kandangan menjadi penasaran dan marah sekali. Ia mencabut senjatanya yang ampuh, sebuah lembing dengan ronce-ronce benang lawe merah. “Babo-babo!” sumbarnya. “Kau mengamuk seperti setan kelaparan. Mampuslah di bawah lembingku!”
Bejo tertawa terbahak-bahak sambil mencabut pedangnya. “Aku sudah bosan mempergunakan pukulan tangan. Rasakanlah pedang Candrasa Bayu!” Sambil berkata demikian ia menyerang dengan sebuah tusukan hebat.
Biarpun ia kebal, namun menghadapi tusukan pedang yang dilakukan dengan tenaga yang melebihi tenaga banteng besarnya. Demang Kandangan tidak berani menerima ujung pedang dengan dadanya. Bahayanya terlalu besar, maka ia lalu menggerakkan lembingnya untuk menangkis.
Kemudian ia membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya, namun dengan mudah Bejo dapat menangkis pula. Pertempuran ini benar-benar hebat. Tak seorangpun perajurit dari kedua pihak berani membantu. Dua orang telah tewas ketika mencoba untuk membantu kawan, yaitu seorang dari pemberontak.
Oleh karena itu, perajurit-perajurit lain kini hanya menonton saja, lupa untuk bertempur saking kagum dan tertariknya menyaksikan pertempuran yang luar biasa ini. Pada suatu saat Demang Kandangan berlaku agak lambat sehingga pedang Bejo dapat menyerempet pundaknya. Ia berteriak keras, tak sempat mempergunakan aji kekebalan dan kulit pundaknya berikut daging terbabat mengeluarkan darah.
Kawan-kawan Bejo bersorak girang, membuat Demang Kandangan marah sekali. Ia berseru keras dan pada saat Bejo memandangnya dengan mata penuh ejekan dan mulut tertawa melihat hasil babatannya, ia mempergunakan lembingnya untuk menyerampang kaki Bejo. Bejo melompat untuk mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga lembing yang berat itu masih dapat mengetuk tulang keringnya.
“Aduh! Bangsat kurang ajar!” Bejo memaki dan terpincang-pincang karena betapapun kuatnya, tulang kering yang dihantam lembing dengan tenaga yang amat besarnya itu sakit sekali seakan-akan remuk. Sambil berloncat-loncat dan terpincang-pincang menahan sakit ia memaki-maki.
Kawan-kawan Demang Kandangan bersorak girang. Keduanya telah terluka dan keduanya telah menjadi marah sampai gelap mata. Dengan nekad Bejo menubruk dengan pedang ditangan. Demang Kandangan menyambut. Pedang Bejo menembus dada lawan, akan tetapi perutnya juga ditembus oleh lembing Demang Kandangan. Keduanya menjerit, akan tetapi masih cukup mempunyai tenaga untuk saling terkam.
Pergulatan terjadi, saling cekik, saling jambak dan akhirnya roboh terguling, bergulingan sebentar ke kanan kiri, saling menghempas, kemudian. Mereka tak bergerak lagi. Keduanya tewas dalam keadaan masih saling cekik. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Dua orang muda dan kuat, dua orang perajurit sejati yang sedianya akan dapat menjadi perajurit-perajurit gagah perkasa pembela Negara dan bangsa, karena bersimpangan jalan hidup, harus mengakhiri hidup dengan saling bunuh.
Untuk sesaat, perajurit-perajurit kedua belah pihak tak dapat bergerak, masih terpesona oleh kehebatan perkelahian antara Demang Kandangan dan Bejo. Akan tetapi, setelah kedua pahlawan itu tewas, barulah mereka bergerak. Sorak-sorai terdengar lagi dan pertempuran di langsungkan, seakan-akan kedua orang gagah tadi memberi contoh kepada kawan-kawannya.
Ratna Wulan dan Parta masih mengamuk terus, memimpin anak buah Pasukan Candrasa Bayu maju terus menyerbu kedepan. Pak Waluya, anggota tertua dari pasukan itu, telah gugur sebelum pasukan berhasil memasuki Kota Raja. Sampai keesokan harinya pertempuran masih terjadi di sana-sini. Semalam suntuk pasukan Majapahit mempertahankan istana, akan tetapi pihak pemberontak lebih kuat.
Akhirnya pertahanan dapat dibobol, sisa-sisa tentara Majapahit melarikan diri atau menyerah. Penyerbuan ke dalam istana dikepalai oleh Kuti sendiri, pemimpin besar pemberontak. Ternyata bahwa Sang Prabu Jayanagara tidak berada di dalam istana, telah pergi mengungsi. Memang, setelah melihat bahwa pertahanan dapat dipukul hancur oleh pasukan-pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Kuti, Sang Prabu Jayanagara terpaksa melarikan diri, mengungsi ke Badander.
Dengan diperlindungi oleh pasukan istana yang dikepalai oleh Gajah Mada, Sang Prabu Jayanagara dapat menyelamatkan diri dan meninggalkan istana. Ini adalah jasa Gajah Mada yang gagah perkasa dan setia. Kuti dapat merampas istana dan menduduki singgasana Majapahit.
Akan tetapi, alangkah kecewa dan penasaran hati para pembantunya, terutama para panglima yang ingin melihat pengaruh Bagawan Mahapati dilenyapkan dari Majapahit, ketika melihat bahwa Kuti bukan saja tidak menghukum atau menyuruh tangkap bagawan itu, bahkan sebaliknya Bagawan Mahapati diberi kedudukan oleh raja baru ini!
Juga Ratna Wulan menjadi kecewa sekali, akan tetapi seperti juga lain-lain panglima yang tadinya membantu Kuti, apakah yang dapat ia lakukan? Kuti telah menduduki singgasana dan kedudukannya kuat sekali.
Dara perkasa ini masih merasa sedih karena tewasnya Indrajaya dan Adiprana. Hatinya menjadi lemah dan semangatnya menipis. Ia telah dapat membinasakan musuh besarnya, yaitu Kartika maka ia dapat merasa puas. Namun, bukan kepuasan hati yang ia dapat karena sempurnanya tugas ini, bahkan perjalanannya itu menimbulkan patah hati karena dua orang teruna yang menjadi harapan hatinya tewas dalam membelanya.
Ia tiada nafsu lagi untuk ikut mencampuri urusan kerajaan, maka setelah peperangan itu selesai, Ratna Wulan lalu kembali ke Mahameru. Ia disambut oleh ibunya dengan pelukan mesra dan setelah berada dalam pelukan ibunya, barulah Ratna Wulan dapat menangis sepuasnya. Ia terisak-isak di dalam pelukan ibunya, merasa betapa hatinya hancur dan luka, betapa hidupnya seakan-akan sunyi senyap.
“Wulan, anakku, apakah yang terjadi, nak? Tak berhasilkan kau membalas dendam ayahmu?”
Ratna Wulan tak dapat menjawab untuk beberapa lama, hanya menangis makin sedih. Terbayang di antara air matanya wajah Indrajaya. Ia melihat senyum di bibir yang sudah pucat dari Indrajaya, senyum yang mengantar kematian pemuda itu. Ia merasa seakan-akan pemuda itu menanti-nantinya di seberang sana! Kemudian, di antara isak tangisnya, Ratna Wulan mencurahkan seluruh isi hatinya kepada ibunya.
Dara Lasmi ikut mencucurkan air matanya mendengar kisah anak tunggalnya itu. Diam-diam ia menyebut nama Yang Maha agung, mengucapkan syukur bahwa musuh besar itu telah dapat di tewaskan oleh anaknya, akan tetapi juga ia membumbungkan doa semoga kehancuran hati puterinyaitu akan dapat terhibur.
Ketika ia menanyakan tentang gurunya, ibunya memberitahu bahwa Eyang Mahameru telah lama meninggalkan puncak Mahameru, entah kemana perginya pertapa sakti itu. Ratna Wulan lalu tinggal bersama ibunya di puncak Mahameru, hidup dengan aman dan tenteram, menjauhi dunia ramai.
Setelah pemerintahan berada di tangan Kuti yang dibantu oleh Bagawan Mahapati, barulah semua orang menjadi menyesal. Ternyata bahwa pemberontak ini tak lebih baik daripada Sang Prabu Jayanagara, bahkan lebih buruk dalam menjalankan kemudi pemerintahan.
Apa lagi para panglima yang tadinya memberontak, baru terbuka mata mereka menyaksikan betapa Bagawan Mahapati yang dibenci itu bahkan menduduki tempat yang tak kurang tingginya daripada ketika pemerintahan berada di tangan Sang Prabu Jayanagara!
Mulailah timbul bisikan-bisikan dan pertemuan-pertemuan rahasia di antara para pembesar negara, membicarakan dan menyesalkan kesalahan tindakan ini. Mulailah mereka mengenangkan kembali Sang Prabu Jayanagara yang kini entah berada di mana.
Sementara itu, Sang Prabu Jayanegara mengungsi ke Badander, dan diiringkan dengan setia oleh Gajah Mada dan kawan-kawannya. Gajah Mada yang setia dan bijaksana ini tiada hentinya mencari keterangan tentang keadaan Majapahit setelah singgasana diduduki oleh Kuti. Ia mendengar tentang kekecewaan dan penyesalan para pembesar negara, maka dengan amat cerdiknya Gajah Mada lalu menjalankan sebuah siasat.
Setelah mendapat perkenan dari Sang Prabu Jayanagara, Gajah Mada diam-diam masuk ke dalam Kota Raja menemui para pembesar-pembesar negara yang berkedudukan tinggi dan yang menguasai pasukan-pasukan Majapahit. Setibanya Gajah Mada di Majapahit, maka para pembesar negara menghujankan pertanyaan kepadanya tentang Sang Prabu Jayanagara yang dahulu diperlindungi Bhayangkari (Pasukan Pengawal Istana) di bawah pimpinan Gajah Mada itu. Dengan wajah muram Gajah Mada menjawab.
“Mengapa pula saudara-saudara bertanya tentang yang telah kalian khianati itu? Karena merasa amat berduka melihat betapa dahulu mengabdi kepada keturunan Majapahit tiba-tiba membantu para pemberontak, beliau menjadi gering dan akhirnya meninggal dunia dalam keadaan yang amat sengsara.”
Sambil berkata demikian, Gajah Mada mengerling tajam kepada para pembesar negara itu dengan penuh perhatian. Bukan main terkejutnya para pembesar itu demi mendengar keterangan ini. Banyak di antara mereka yang mengucurkan air mata karena sedih dan menyesal. Hal ini amat membesarkan hati Gajah Mada.
“Mengapa kalian berduka? Bukankah hal ini yang kalian kehendaki? Apa artinya hidup atau matinya sang prabu bagi kalian?”
Seorang adipati yang sudah berusia lanjut berkata. “Gajah Mada, kau tak tahu! Kami bukan membenci Sang Prabu Jayanagara, akan tetapi Mahapatilah yang mendatangkan rasa benci di hati kami. Telah berkali-kali kami mengajukan usul kepada sang prabu agar supaya bagawan yang berhati palsu itu di enyahkan dari istana, akan tetapi sang prabu yang agaknya telah berada di bawah pengaruh bagawan itu, tak pernah mendengarkan usul kami. Maka, setelah melihat gerakan Kuti yang demikian kuat, timbul harapan kami untuk mengenyahkan kekuasaan Mahapti dari Kerajaan Majapahit. Siapa kira, setelah Kuti berhasil menduduki singgasana, Mahapati tidak digangu, bahkan diberi kedudukan tinggi!”
Gajah Mada tersenyum. “Kalau sekiranya Sang Prabu Jayanagara masih hidup, kalian hendak berbuat apakah?”
“Kalau sang prabu masih hidup, kami sanggup untuk menggulingkan kedudukan raja baru ini dan mengangkat sang prabu menjadi raja dan menduduki singgasana kembali.” kata mereka.
Maka dengan wajah berseri-seri Gajah Mada lalu menerangkan bahwa sesungguhnya Prabu Jayanagara masih hidup dan kini berada di Badander, bahwa ia sengaja datang untuk melihat sikap para pembesar dan panglima. Bersuka citalah semua orang mendengar ini dan mereka lalu mengadakan rencana dan perundingan untuk melakukan pemberontakan dari dalam.
Setelah mengadakan perundingan dengan masak, Gajah Mada lalu kembali ke Badander dengan hati girang dan segera melaporkan segala pengalamannya kepada Sang Prabu Jayanagara. Sambil bercucuran air mata, Sang Prabu Jayanagara berkata.
“Memang aku telah terbujuk oleh kemahiran Mahapatih bermanis mulut. Aku telah melakukan salah tindak, akan tetapi aku berjanji bahwa apabila Yang Maha Agung memberi kesempatan kepadaku untuk memegang tampuk kerajaan lagi, aku akan mengusahakan sekuat tenaga agar Majapahit menjadi sebuah negara yang besar dan makmur di mana rakyatku dapat hidup dengan aman sentaosa dan penuh damai bahagia.”
Maka terjadilah pemberontakan yang hebat akan tetapi cepat. Karena pemberontakan dilakukan dari dalam, didukung oleh sebagaian besar panglima dan pembesar negara berserta pasukan-pasukan pilihan, maka perlawanan yang amat lemah dari Kuti dan anak buahnya hanya dapat bertahan sebentar saja. Kuti ikut bertempur dengan mati-matian, akan tetapi akhirnya ia tewas juga dalam perang tanding itu.
Ketika hal ini terjadi, Mahapati berada di dalam gedungnya yang baru. Ia tidak ikut berperang, dan hanya memuja Samadhi di dalam sanggar pemujan. Pasukan Majapahit datang dan hendak menangkapnya, akan tetapi tak seorang panglimapun berani secara sembrono memasuki sanggar pemujan itu, karena mereka telah maklum akan kesaktian Bagawan Mahapati.
Mereka hanya berteriak-teriak menyuruh Bagawan itu keluar dan menyerahkan diri untuk ditangkap. Tiba-tiba pintu pemujaan itu terbuka dari dalam dan Bagawan Mahapati sendiri keluar dari situ. Ia berpakaian lengkap seperti seorang pendeta, bahkan di tangan kirinya ia memegang sebuah lembing pusaka yang berkilat-kilat cahayanya, dan di tangan kanan ia memegang tongkatnya yang ampuh.
Sepasang matanya berapi-api memandangi seluruh pasukan yang mengepung tempat itu. Kemudian ia turun perlahan-lahan dari tangga sanggar pamujaan. Semua suara sorakan dan teriakan dari pasukan itu tiba-tiba berhenti dan keadaan menjadi hening seperti terkena sirap. Benar-benar hebat pengaruh dan hawa gaib yang keluar dari Bagawan Mahapati ini.
“Siapa yang mau menangkap aku? Majulah kalau ada yang berani melakukan hal itu!”
Tantangan ini terdengar menggema dan mendebarkan hati setiap orang. Akan tetapi, akhirnya ada seorang panglima muda yang melangkah maju dan mencabut pedangnya.
“Pertapa palsu! Akulah yang akan menangkapmu, mati atau hidup!” teriaknya dan menyerbu ke depan. Akan tetapi Mahapati tertawa mengejek dan sebelum panglima itu sempat menyerang, tongkatnya telah melayang dan tepat sekali menghantam kepala panglima itu sehingga pecah dan tubuh panglima itu terkapar diatas rumput, mati.
Semua orang tertegun dan merasa ngeri. Akan tetapi jiwa setia kawan membuat beberapa orang perajurit dan panglima serentak maju mengepung. Bagawan Mahapati menggerakkan tongkatnya secara luar biasa sekali sehingga kembali beberapa orang terpukul. Sekali saja terpukul tongkat bagawan itu, kurbannya mengelimpang tak bernyawa lagi.
Kini para pengeroyok mulai menjadi gentar dan banyak yang mundur dengan ketakutan. Sambil tertawa bergelak-gelak, Bagawan mahapati mengamuk terus dan makin banyak darah yang ditumpahkan lawan oleh pukulan-pukulannya, makin liar dan ganaslah dia.
Sambil mengamuk ia mengejar para perajurit yang melarikan diri dan akhirnya Bagawan Mahapati berdiri di tengah alun-alun, mengangkat tongkatnya yang berlumur darah itu tinggi-tinggi sambil menantang.
“Hayo, orang-orang Majapahit! Jangan maju seorang demi seorang, majulah bersama-sama. Tandinglah kedigdayaan Bagawan Mahapati! Ha,ha,ha!”
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Mahapati, pendeta palsu! Akulah lawanmu!”
Mahapati menengok dan terkejutlah hatinya ketika ia melihat bahwa yang muncul itu adalah Ratna Wulan, dara perkasa yang telah dikenal kesaktiannya itu! Bagaimana Ratna Wulan tiba-tiba dapat muncul di situ? Dan pendekar ini biarpun berada di puncak Mahameru, akan tetapi ia masih dapat mendengar berita dari para penduduk di sekeliling Mahameru tentang keadaan di Majapahit.
Ketika ia mendengar bahwa di Majapahit terjadi peperangan lagi oleh karena panglima tua memberontak terhadap Kuti dan Mahapati, dara perkasa ini amat tertarik hatinya. Ia teringat akan hutang bagawan itu yang masih belum terbayar, hutang karena membunuh Adiprana. Maka ia lalu berpamit kepada ibunya untuk membantu pergerakan para panglima itu dan membinasakan kekuasaan Mahapati.
“Anakku, aku takkan dapat melarang kehendak hatimu ini, sungguhpun aku akan selalu memikirkan dan mendoakan agar supaya kau selalu diberkahi dan dilindungi oleh Yang Maha Agung.”
Ratna Wulan lalu pergi ke gua pertapaan gurunya. Akan tetapi gurunya masih belum kembali dan di dalam gua itu ia melihat sebuah anak panah yang agaknya baru di buat oleh gurunya. Ia amat tertarik melihat anak panah yang mengeluarkan cahaya gemilang itu, maka ia lalu mengambilnya. Alangkah herannya ketika ia melihat sehelai kain putih itu ternyata ditulisi huruf-huruf kecil. Ia segera membaca tulisan gurunya itu yang berbunyi,
“Anak panah Margapati ini kubikin untuk Ratna Wulan. Jangan sekali-kali dipergunakan kalau tidak amat terpaksa, karena khasiat anak panah ini satu kali, dan sekali ia dipergunakan, ia akan mengambil nyawa seorang!”
Ratna Wulan menjadi girang mendapatkan anak panah ini yang lalu disimpannya di dalam tempat anak panah. Demikianlah, setelah mendapat doa restu dari ibunya ia lalu berangkat ke Majapahit dan ketika ia tiba disana, kebetulan sekali Mahapati sedang mengamuk hebat. Banyak panglima yang maju telah tewas dalam tangan Bagawan Mahapati sehingga akhirnya pendeta itu menantang-nantang dialun-alun tanpa ada yang berani menyambut tantangannya.
Ratna Wulan menjadi panas hati dan segera maju menghadapi pendeta yang amat dibencinya itu. Di antara para panglima, banyak yang telah tahu akan Ratna Wulan atau setidaknya mendengar nama dara perkasa itu, maka kini melihat seorang dara jelita yang gagah muncul menghadapi pendeta itu, mereka lalu maju mendekat untuk menyaksikan pertandingan ini. Diantara mereka itu terdapat seorang bekas anak buah Pasukan Candrasa Bayu, maka begitu ia melihat Ratna Wulan, ia segera bersorak keras.
“Hidup Dara Perkasa Ratna Wulan...!”
Ratna Wulan menengok dan ketika melihat Jayun, anak buahnya dulu, berdiri diantara para panglima kerajaan, ia tersenyum dan melambaikan tangan. Kini semua orang yang berada di situ saking gembiranya bersorak gemuruh.
“Hidup Dara Perkasa Ratna Wulan...!”
Bagawan Mahapati marah sekali mendengar ini dan ia berseru. “Ratna Wulan, saat inilah yang kutunggu-tunggu! Kau akan mampus di dalam tanganku!”
“Cobalah, Mahapati!” jawab Ratna Wulan dengan tenang.
Mahapati menyerbu dengan lembing di tangan kiri dan tongkat di tangan kanan, akan tetapi dengan tangkas Ratna Wulan mengelak dan balas menyerang dengan pedangnya. Ia bersenjata pedang di tangan kiri dan keris Kyai Banaspati di tangan kanan untuk mengimbangi kedua senjata lawannya itu. Pertandingan maha hebat terjadilah ditengah alun-alun itu, disaksikan oleh ratusan orang prajurit yang sebentar saja telah meningkat jumlahnya menjadi ribuan.
Keduanya sakti dan digdaya, dan keduanya memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya sehingga bagi para penonton yang tidak memiliki kepandaian tinggi, kedua orang yang bertempur itu lenyap dari pandangan mata dan nampak hanyalah berkelebatnya empat senjata yang menyambar-nyambar laksana kilat. Bagi yang berkepandian tinggi, mereka mengangguk-angguk dengan kagumnya menyaksikan ilmu kepandaian yang jarang terlihat itu.
Baik Mahapati maupun Ratna Wulan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk menjatuhkan lawan. Mahapati menang pengalaman dan menang tenaga, akan tetapi Ratna Wulan lebih unggul dalam hal keterampilan dan kecepatan, maka boleh dibilang keadaan mereka seimbang. Pada saat mereka telah bertempur sampai ratusan jurus lamanya, Mahapati mengayun tongkatnya dengan sepenuh tenaga kearah kepala Ratna Wulan sambil menusukkan lembingnya ke arah dada dara perkasa itu.
Ratna Wulan paling takut kepada lembing itu, karena ia teringat akan nasihat gurunya dahulu bahwa ia harus berlaku waspada terhadap lembing Mahapati yang bernama Ratna Wulan ini! Maka ia selalu memperhatikan lembing itu dan ketika lembing menusuk ke dadanya, ia cepat mengelak. Pukulan tongkat kearah kepalanya ditangkis dengan pedang.
“Trang!” dan kedua senjata itu terpental dan terlepas dari pegangan masing-masing.
Kini pertempuran dilanjutkan dengan lembing dan keris. Ratna Wulan mulai terdesak karena kerisnya yang hanya pendek itu amat sukar untuk digunakan melawan serangan lembing yang panjang. Semua penonton menahan napas ketika melihat betapa Ratna Wulan main mundur seakan-akan takut menghadapi lembing itu. Akan tetapi, tiba-tiba Ratna Wulan mengambil busurnya yang tergantung di punggung dan kini dara perkasa itu mempergunakan senjata keris dan busur.
Bukan main riuhnya para penonton menyaksikan kehebatan gadis pendekar itu. Bagaimana sebatang busur dapat dipergunakan sebagai senjata yang demikian hebatnya? Memang busur di tangan Ratna Wulan bukanlah busur biasa, akan tetapi busur buatan Eyang Semeru, buah senjata yang ampuh dan sakti.
Benar saja setelah kini bersenjatakan busur dan keris, Ratna Wulan mulai mendesak lawannnya. Ia mengirim serangan bertubi-tubi dengan busurnya yang sekali saja mengenal tubuh lawan, akan berarti malapetaka besar bagi Mahapati. Dan pada saat yang amat tepat, dara pendekar ini mengeluarkan ilmu tendangannya yang amat dahsyat. Bagawan Mahapati tidak menyangka datangnya tendangan ini, maka ia kena tertendang dadanya sehingga tubuhnya terpental sampai jauh. Terdengar sorak-sorai yang amat riuh menyambut hasil tendangan ini.
Sungguhpun ia sama sekali merasa sakit oleh tendangan Ratna Wulan, namun Bagawan Mahapati merasa malu sekali. Ia mengertak giginya, lalu bibirnya berkemak-kemik membaca mantra. Kemudian ia tiba-tiba melompat bangun, dan sekali tangannya terayun, lembingnya meluncur cepat melebihi kecepatan anak panah.
Ratna Wulan hanya melihat berkelebatnya cahaya dari depan seakan-akan ada kilat menyambarnya dan sebelum ia dapat mengelak, lembing pusaka itu telah menancap di ulu hatinya. Dara perkasa membayangkan gurunya, ia membaca mantra. Benar-benar luar biasa sekali.
Sungguhpun lembing itu telah menancap di ulu hatinya dan darah mengucur keluar membasahi seluruh dadanya, bahkan kini tangan kirinya bergerak kebelakang mencabut anak panah pusaka pemberian gurunya. Ia membuka mata, memasang anak panah itu pada busurnya.
Sementara itu, Bagawan Mahapati ketika melihat betapa lembingnya dengan jitu telah menancap ke Ulu hati lawannya, tertawa bergelak. Mulutnya terbuka lebar dan mukanya menengadah keatas, tubuhnya bergoyang-goyang dan suara ketawanya amat menyeramkan seperti suara ketawa iblis.
Akan tetapi tiba-tiba anak panah pusaka Margapati meluncur dari busur di tangan Ratna Wulan dan... cepp.! Anak panah itu tepat sekali menancap di dada kiri Mahapati dan menembus jantungnya. Bagawan Mahapati mengeluarkan jerit seperti bunyi burung gaok lalu tubuhnya terhuyung-huyung dan roboh menelungkup dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Ratna Wulan tersenyum, dan ketika semua orang berlari-lari menghampiri untuk menolongnya, mereka melihat dara perkasa itu jatuh berlutut dan terdengar oleh mereka gadis itu mengeluh.
“Indrajaya, Adiprana... tunggu...!”
Kemudian tubuhnya terguling dan ketika mereka mengangkatnya, ternyata bahwa dara perkasa itu telah meninggalkan dunia ini! Suasana haru meliputi alun-alun dan bahkan terdengar isak tangis para anggota Candrasa Bayu yang menyedihi kematian pemimpin atau pelatih mereka.
Sementara itu, kerajaan telah dapat dibersihkan dari pengaruh para dorna dan pembesar jahat, dan dengan segala kehormatan, diiringi oleh suara gamelan dan sorak-sorai penduduk, Sang Prabu Jayanagara lalu kembali ke Kota Raja untuk menduduki singgasana lagi. Semua rakyat menyambut kemenangan ini dengan girang dan bahagia.
Dan semenjak saat itu, Jayanagara memerintah dengan tenang dan damai sampai tiba saatnya ia mangkat dalam tahun 1328. Kalau semua orang sedang bergembira menyambut kembalinya Sang Prabu Jayanagara, terdapat seorang wanita di puncak Mahameru yang duduk bersila di hadapan Panembahan Mahendraguna atau Eyang Semeru dengan wajah pucat.
Dia ini adalah Dara Lasmi yang telah diberitahu tentang tewasnya Ratna Wulan, dan hanya kata-kata bijaksana wejangan-wejangan Eyang Semeru jualah yang dapat menghibur hatinya. Semenjak hari itu, Dara Lasmi makin tekun dalam tapanya di puncak Mahameru, menanti datangnya panggilan Yang Maha agung untuk kembali kealam asalnya.
“Kartika, biar kita serahkan tawanan gadis liar ini kepada Raden Indrajaya!”
Adipati Kartika memandang heran, akan tetapi ia tidak berani menenentang kehendak Gurunya dan demikianlah dengan cekatan Indrajaya memondong tubuh Ratna Wulan, di naikkan ke atas kuda, kemudian ia larikan kudanya ke arah rumah gedungnya sendiri.
“Bapa bagawan, mengapa gadis yang berbahaya itu diserahkan kepada Raden Indrajaya?” Tanya Kartika kepada gurunya setelah mereka kembali ke Kadipaten.
Mahapati tersenyum penuh arti. “Raden Indrajaya tergila-gila kepada gadis yang cantik itu dan ingin membujuknya menjadi selirnya. Besok pagi Raden indrajaya hendak menghadap sang prabu untuk minta perkenan beliau. Kau maklum sendiri akan pengaruh pemuda itu dan apabila kita tidak menuruti permintaannya, tentu kita akan mengalami kesukaran.”
“Akan tetapi, bapa Bagawan, gadis itu adalah puteri dari Nagawisena. Ia sengaja datang untuk mencari dan membunuh hamba. Anak itu amat sakti dan amat berbahaya bagi hamba, kalau sekarang tidak di binasakan, apakah kelak takkan mendatangkan malapetaka?”
“Jangan Khawatir, muridku! Betapapun digdayanya, selama masih ada gurumu di sini, ia takan dapat melakukan sesuatu. Apalagi kalau ia sudah berhasil di petik oleh Raden Indrajaya, tentu putera pangeran itu takkan membiarkan dia melakukan keributan, karena hal itu akan mencemarkan nama Raden Indrajaya sendiri. Kalau kita berkeras membinasakan gadis itu, tentu Raden Indrajaya akan merasa sakit hati dan marah, dan hal ini akan jauh lebih berbahaya daripada kemarahan atau sakit hati gadis liar itu kepadamu.”
Kartika memandang dengan penasaran. “Apakah berbahayanya seorang seperti Indrajaya? Kepandaiannya tidak berapa hebat, jauh lebih rendah daripada kepandaian gadis itu.”
“Kau tidak tahu, Kartika. Kau sendirilah yang berlaku ceroboh, menyuruh seorang bodoh dan tidak becus seperti Bajrabumi itu! Tahukah kau bahwa Raden Indrajaya telah tahu akan usahamu membinasakannya dengan menyuruh Bajrabumi dan tiga orang cabang atas dari Madura yang terjadi malam kemarin? Bukan itu saja, Indrajaya bahkan telah tahu akan maksud-maksud kita menggulingkan raja!”
Kartika menjadi pucat mukanya mendengar ini. Memang, penyerangan atas diri Indrajaya yang terjadi di dalam pesta itu sebenarnya adalah dia sendiri yang mendalanginya. Indrajaya terlalu besar pengaruhnya kepada raja dan pemuda ini amat setia dan berpengaruh, oleh karena itu, sesuai dengan rencana mereka untuk melemahkan pemerintahan Jayanagara, pemuda itu harus dibinasakan!
Dengan diam-diam dan secara rahasia, ia dan gurunya telah mengadakan kontrak dengan pemimpin pemberontak Semi, untuk membantu pemberontak itu menggulingkan Jayanagara! Kalau Indrajaya benar-benar telah tahu akan rahasia ini, maka tentu saja tentu baik menyerahkan Ratna Wulan kepadanya, karena urusan dara itu tak berarti apabila dibandingkan dengan urusan pemberontakan yang lebih besar!
Memang benar, Indrajaya sungguhpun belum mendapatkan bukti-bukti, namun ia telah merasa curiga kepada Mahapati dan Kartika dan ia selalu berlaku waspada untuk menjaga keselamatan junjungannya. Tadi ia melihat betapa Ratna Wulan tertawan dan karena ia memang jatuh cinta kepda dara perkasa ini, juga melihat kesaktian dara itu ia ingin menarik dara itu sebagai sekutunya, maka ia lalu menggunakan akal, minta tawanan itu sambil membisikkan kata-kata kepada Mahapati.
Yang ia bisikkan itu adalah janji bahwa ia takkan mengadukan sesuatu yang ia ketahui tentang mereka kepada sang prabu! Ini hanya kira-kira dan dugaan saja, akan tetapi Mahapati kena tertipu dan mengira bahwa pemuda itu telah mengetahui segala rahasianya!
“Karena aku telah mengetahui siapa maka memperkuat alasanku untuk membantumu. Menolong orang yang tak diketahui siapa adanya dan tanpa alasan sesuatu mengapa ia menolong orang itu adalah hal yang lebih aneh lagi. Aku menolongmu karena dasar-dasar yang lebih suci dan yang keluar dari lubuk hatiku.”
“Dasar-dasar apakah?” Tanya Ratna Wulan memandang tajam.
“Dasar perasaan hatiku yang penuh kagum padamu, karena kau seorang yang berbakti kepada orang tua sehingga biarpun kau hanya seorang wanita akan tetapi kau bertekad untuk membalas sakti hati mendiang ayahmu tanpa memperdulikan bahaya. Aku kagum kepadamu, kagum melihat kegagahanmu dan aku. Aku suka kepadamu, timbul kasih sayangku kepadamu. Inilah yang memaksaku untuk menolongmu, Ratna Wulan!”
Ratna Wulan melangkah mundur dua tindak dengan kaget. “Apa... apa maksudmu?”
“Aku cinta kepadamu!” pengakuan Indrajaya ini seakan-akan merupakan pengakuan yang sudah sewajarnya, dengan suara yang amat tenang dan meyakinkan. “Aku cinta kepadamu seperti juga perasaan cinta yang mulai tumbuh dalam hatimu terhadap aku!”
“Kau... kau gila!”
Indrajaya mengangkat tangan kanannya seakan-akan menahan gadis itu berkata terlebih lanjut. “Ratna Wulan, semenjak kau melompat ke atas panggung dan menolongku, pandang matamu telah membuataku bingung dan heran. Pandang matamu itu menyatakan perasaan hatimu kepadaku. Aku telah mempelajari ilmu membaca muka orang, membaca perasaan hati yang timbul dari sinar matanya. Aku yakin bahwa kau mencinta atau setidaknya, merasa suka kepadaku!”
Pening kepala Ratna Wulan mendengar ini. Betapapun juga, ucapan pemuda ini ada benarnya. Ia memang amat tertarik kepada Indrajaya, tertarik dan merasa suka. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mengaku begitu saja, tidak mau menyerah demikian mudahnya. Ia memandang marah dan membentak.
“Tutup mulutmu! Kau kira aku ini wanita macam apakah? Kau kira aku begitu mudah tunduk dan jatuh hati melihat ketampananmu?”
“Kau adalah seorang wanita pilihan! Seorang puteri sejati yang selain gagah perkasa, juga cantik jelita. Seorang srikandi tulen! Seorang wanita yang patut di cinta dengan hati suci. Ratna Wulan, jangan kau mencoba menyembunyikannya dari padaku. Bahkan dalam kemarahannya ini, sinar matamu tidak hanya memancarkan api kemarahan, akan tetapi jelas kulihat api yang berasal dari Dewi Ratih memancar keluar!”
“Tidak, tidak! Diam kau! Aku tidak sudi bicara tentang hal itu sebelum tercapai cita-citaku, sebelum terpenuhi tugasku. Aku harus membunuh Kartika! Ah. keris pusakaku telah hilang. Akan tetapi, tidak apa, dengan kedua tangan ini akan kurenggutkan nyawa Kartika dari tubuhnya. Biarkan aku pergi, Indrajaya, dan lupakanlah kata-katamu yang gila tadi!”
“Tak mungkin Ratna Wulan. Tak mungkin kau dapat pergi dari sini. Kau harus tinggal di rumahku ini, dan jangan kau tinggalkan Kota Raja!”
Kini sinar mata Ratna Wulan memandang dengan marah sekali. “Hmm begitukah? Untuk itukah gerangan maka kau menolongku terlepas dan tangan mereka agar supaya aku selamanya tinggal di sini menurut segala kehendakmu?”
Indrajaya tersenyum. “Tidak ada lain kesenangan dan kebahagiaan di dunia ini bagiku yang melebihi kenyataan kata-katamu tadi, Ratna Wulan. Akan bahagialah hidupku kalau kau mau tinggal selama hidup di sampingku. Tak ada cita-cita yang lebih mulia terkandung di dalam hatiku. Akan tetapi kau salah sangka. Bukan untuk itulah sesungguhnya aku membawamu kemari. Dan bukan untuk itu pula aku melarangmu pergi dari sini begitu saja. Aku bukan manusia serendah itu. Aku tidak sudi memaksa seorang dara untuk menyerahkan diri kepadaku. Tidak. Ratna Wulan, aku hanya menerima sebagai kawan hidup selamanya apabila kau datang dengan sukarela, dengan hati mencinta.”
“Cukup!” Ratna Wulan merasa khawatir untuk mendengar rayuan ini lebih lama, khawatir akan kelemahan hatinya sendiri. Pemuda ini demikian pandai mencumbu rayu, lebih manis daripada madu, lebih merdu daripada gamelan Surgaloka segala kata-katanya. “Kalau bukan untuk itu, mengapa kau melarangku keluar dari sini?”
“Cinta kasihku jualah yang memaksa aku melarangnya. Ketahuilah, Kartika dan Bagawan Mahapati bukanlah orang-orang demikian bodoh untuk menyerahkan kau kepadaku begitu saja. Mereka tentu telah berjaga-jaga dan mungkin sekarang juga rumahku telah di intai oleh banyak mata para penyelidik mereka. Kau takkan dapat keluar dengan selamat dan kalau kau sampai tertangkap kembali, sukarlah begiku untuk menolongmu.”
“Aku tidak takut! Aku akan mencari dan menyerang Kartika, biarpun untuk usaha itu aku harus tewas!”
“Aku percaya akan kegagahanmu akan tetapi akulah yang merasa khawatir akan bahaya itu, Ratna Wulan. Percayalah mungkin tak ada orang lain yang akan menyedihi kematianmu, akan tetapi aku takan dapat menikmati hidup lagi kalau kau sampai tewas.”
Ratna Wulan merasa terharu juga mendengar ucapan ini.
“Ratna Wulan, akupun maklum bahwa kau tentu tak sudi untuk tinggal di sini bersamaku hanya untuk menyelamatkan dirmu. Akan tetapi kalau kau hendak keluar dari sini, harus mencari jalan yang baik dan aman, jangan secara sembrono saja. Kalau kau keluar dari sini, lalu hendak pergi ke mana?”
“Aku hendak mengumpulkan kawan-kawanku dan kemudian menyerbu Kadipaten dan Menyerang Kartika.” Jawab Ratna Wulan terus terang.
“Hanya satu jalan bagimu untuk dapat keluar dari Kota Raja dan itupun belum tentu berhasil pula. Jalan itu ialah aku harus mengawani keluar dari kota ini, bukan pada siang hari, melainkan pada malam Hari nanti.”
“Kalau kita bertemu dengan Kartika dan Mahapati bagaimana?” Tanya Ratna Wulan, sesungguhnya pertanyaan ini bukan menyatakan bahwa ia merasa takut, akan tetapi tanpa disengaja ia menyatakan kekhawatiran terhadap nasib pemuda itu.
Indrajaya tersenyum. “Terima kasih atas perhatianmu terhadap diriku, Ratna Wulan. Kalau kita bertemu dengan mereka, aku akan memberi alasan. Kalau mereka tidak percaya, tidak ada jalan lain bagiku selain membantumu mengamuk dan menyerang mereka.”
“Kau.? Bukankah kau sahabat baik dari mereka?”
Indrajaya tersenyum dan menggeleng kepala. “Kau kira aku ini sederajat orang-orang macam mereka? ketahuilah, Ratna Wulan. Ayahku seorang pangeran yang setia kepada keluarga raja. Akupun seorang yang setia dan aku bersedia mengorbankan nyawa untuk membela Kerajaan Majapahit. Adapun mereka itu, mereka adalah manusia-manusia dengan hati dengki, khianat, berhati palsu. Mereka kini telah mengadakan persekutuan dengan diam-diam bersama pemimpin-pemimpin pemberontak di luar kota. Mereka berniat menjatuhkan kerajaan agar mereka mendapat kedudukan yang lebih tinggi dan kuat. Hal ini terjadi oleh karena sang prabu mulai merasa curiga kepada Bagawan Mahapati yang mulai renggang perhubungannya.”
Bukan main terkejutnya hati Ratna Wulan mendengar penuturan ini. Mahapati dan Kartika bersekutu dengan pemberontak. Padahal pemberontak-pemberontak adalah kawannya sendiri. Buktinya Pasukan Candrasa Bayu yang dilatihnya, bukankah mereka juga akan menggabungkan kepada barisan induk pemberontak. Bagaimana pulakah itu akan tetapi ia tidak mau ambil pusing. Urusan pemberontakan bukanlah urusannya. Yang terpenting baginya adalah membalas dendam kepada Kartika. Habis perkara. Di pihak manapun Kartika berdiri, ia tetap musuh besarnya, penghianatan yang telah membunuh ayahnya secara curang.
“Dengarlah, Ratna Wulan, sebelum kita keluar dari Kota Raja, lebih dahulu aku akan memberitahukan hal ini kepada sang prabu. Sesunggunya sang prabu belum tahu akan hal ini, hanya akulah seorang yang mengetahuinya. Inipun baru dugaan saja, akan tetapi dugaannya berdasarkan kenyataan, dan telah kubuktikan pula. Ketahuilah, kalau saja aku tidak menggunakan ancaman bahwa aku telah mengetahui rahasia mereka, tak mungkin kau akan diserahkan kepadaku.”
“Penuturanmu membuat aku merasa bingung sekali, Indrajaya. Menurut penuturan ibuku, Mahapati adalah orang yang membantu Sang Prabu Jayanagara, bahkan bagawan inilah yang memukul hancur semua panglima yang memberontak. Mengapa pula sekarang bagawan itu mengadakan persekutuan dengan pemberontak?”
“Panjang ceritanya, Ratna Wulan.” kata Indrajaya yang diam-diam merasa girang melihat dara perkasa itu agaknya telah menaruh kepercayaan padanya. “Sementara itu, lebih baik kau makan dulu, dan nanti akan kulanjutkan penuturanku. Juga, kalau kau percaya kepadaku, ingin sekali aku mendengar riwayat ayahmu yang terbunuh oleh Kartika itu.”
Pelayan dipanggil dan Indrajaya lalu memerintahkan untuk menyediakan hidangan. Ia tidak mau memperkenalkan Ratna Wulan kepada ibunya oleh karena dalam keadaan seperti sekarang, kurang baiklah kalau Ratna Wulan di perkenalkan. Gadis itupun tidak malu-malu lagi dan ketika hidangan telah di keluarkan, ia makan bersama pemuda itu dengan enak karena perutnya memang amat lapar. Setelah Ratna Wulan menuturkan riwayatnya secara singkat, Indrajaya menghela napas dan merasa amat terharu.
“Memang, tak dapat disalahkan ayahmu dan para penglima yang dahulu memberontak, oleh karena memang di keraton Majapahit terdapat pengaruh jahat dari Bagawan Mahapati. Pernah ayahku dahulu bercerita betapa ketika sang prabu masih amat muda, Bagawan Mahapati makin besar. Ayahku merasa curiga bahwa bagawan itu telah memasang sihir kepada sang prabu dan semenjak saati itu, ayahku jatuh sakit berat sampai meninggalkan dunia ini. Aku menduga bahwa penyakit ayah itupun hasil tenung dari bagawan itu, akan tetapi oleh karena tidak ada bukti, aku tidak berani melanjutkan sangkaan itu. Betapapun juga, ayah tetap setia kepada raja, dan demikianpun aku. Sebagai seorang keturunan keluarga raja, aku harus bersetia dan membela kerajaan, apapun juga yang akan terjadi!”
Indrajaya menutup penuturannya. Diam-diam Ratna Wulan merasa kagum kepada pemuda ini, sungguhpun ia tidak menyatakan sesuatu karena ia memang tidak mau ikut mencampuri urusan kerjaan dan pemberontakan yang sama sekali tidak diketahui seluk beluknya. Ia hendak menggerakan Pasukan Candrasa Bayu bukan dengan maksud memberontak terhadap Majapahit, akan tetapi dengan maksud membalas dendamnya kepada Kartika. Mereka bercakap-cakap dengan asiknya sampai hari menjadi malam.
Maka berangkatlah mereka berdua keluar dari gedung itu. Akan tetapi, tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dan sebentar saja terdengar ribut-ribut di seluruh kota.
“Tunggu dulu.” bisik Indrajaya, “Kau tunggulah di ruang depan, hendak kulihat apakah sebenarnya yang terjadi dengan rebut-ribut itu.”
Ratna Wulan mengangguk dan pemuda itu lalu berlari keluar. Dengan hati tak sabar Ratna Wulan menanti diruang depan yang besar dan indah. Alangkah bagusnya ukiran di dalam rumah gedung itu. Ia merasa suka sekali tinggal di rumah ini. Pikiran ini membuat mukanya tiba-tiba menjadi merah padam. Ah, aku telah menjadi gila, pikirnya dan di usahakan sekuat tenaga untuk mengusir pikiran itu.
Akan tetapi tetap saja ia duduk termenung dan membayangkan ketentraman dan kebahagiaan hidup. Kalau saja ia hidup sebagai seorang isteri yang mencinta dan di cinta, di dalam rumah gedung seperti ini, mengurus rumah tangga, menguasai semua pelayan, mendampingi suami yang berhati mulia. Tiba-tiba Indrajaya berlari masuk. Wajahnya yang tampan itu agak pucat.
“Apa yang terjadi, Indrajaya?” Tanya Ratna Wulan, kini nama itu disebut dengan lancar tanpa ragu-ragu, seakan-akan nama Indrajaya adalah nama seorang sahabat karib yang telah lama dikenalnya.
“Pemberontak telah mulai bergerak! Bukan main besarnya kekuatan mereka dan mereka kini telah menyerbu dan mendekati Kota Raja!”
“Kalau begitu kewajibanmulah untuk mengatur penjagaan dengan penglima-panglima lain, biar aku pergi seorang diri!”
“Tidak, Ratna Wulan. Hatiku takkan merasa tenteram sebelum melihat kau keluar dari Kota Raja dengan selamat!”
Ratna Wulan tidak menjawab sesuatu hanya sepasang matanya yang bening memandang kepada Indrajaya dengan mesra, penuh haru dan terima kasih. Indrajaya yang memiliki pengetahuan tentang kewaspadaan membaca perasaan orang dari sinar matanya, menjadi amat girang dan hatinya berdebar penuh kebahagiaan.
Keduanya lalu keluar dengan cepat dari gedung itu. Keadaan di Kota Raja mulai gampar. Tampak penduduk keluar dari rumahnya dengan amat gelisah. Indrajaya mempergunakan keadaan yang sedang ribut ini untuk membawa Ratna Wulan ke arah selatan, karena ia hendak menghantarkan dara perkasa itu keluar dari gerbang sebelah selatan. Akan tetapi tiba-tiba Ia memegang tangan Ratna Wulan dan mukanya berubah.
Juga Ratna Wulan terkejut sekali melihat datangnya dua orang diringi belasan orang prajurit, karena dua orang itu bukan lain adalah Kartika dan Bagawan Mahapati sendiri. Kartika tertawa mengejek sambil memandang kepada Indrajaya. Siang tadi Indrajaya telah menyuruh seorang pembantunya untuk menyerahkan Sepucuk surat kepada sang prabu, memberitahukan bahwa ia telah mendapat keterangan tentang maksud Bagawan Mahapati dan Kartika yang hendak membantu pemberontak.
Akan tetapi, tidak tahunya bahwa banyak sekali mata-mata dilepas oleh Kartika sehingga sebelum surat itu sampai ke tangan sri baginda, pesuruhnya telah di sergap dan suratnya di rampas. Dengan amat marah Kartika lalu berunding dengan Mahapati dan mereka berdua kini sedang menuju ke gedung putera pangeran itu untuk menangkap dan membunuhnya. Kebetulan sekali mereka bertemu di jalan.
“Indrajaya!” kata kartika. “Kau hendak lari ke mana bersama perempuan pemberontak itu?”
“Jangan menuduh secara sembrono paman adipati!” Indrajaya menjawab dengan tegas.” Siapa yang hendak memberontak telah kau ketahu baik-baik! Ratna Wulan tidak berdosa dan bukan pemberontak, aku hendak mengantarkannya ke luar dari Kota Raja agar ia dapat pulang ke tempat asalnya.”
“Ha,ha,ha! Siapa yang tidak mengetahui maksudmu?” tiba-tiba Bagawan Mahapati berkata. “Kalian tentu akan mengabungkan diri dengan para pemberontak yang menyerbu Majapahit. Kalian adalah pembantu-pembantu pemimpin pemberontak Semi.”
“Paman bagawan!” Indrajaya berkata marah. “Perlukah paman Bagawan mengeluarkan ucapan yang kosong dan membalik-balikkan kenyataan ini? Perlukah saya membuka mulut menyatakan siapa orangnya yang sebenarnya membantu Semi?”
“Jangan banyak mulut!” Kartika berseru keras dan menyerang Indrajaya. Pemuda itu cepat mencabut kerisnya dan menangkis, dan mereka lalu bertempur sengit.
Sementara itu, Ratna Wulan yang melihat betapa Kartika telah mempergunakan kerisnya Kyai Banaspati, merasa marah sekali. Ia mendahului gerakan Bagawan Mahapati dan sebelum kakek itu Sempat menyerangnya, ia menubruk maju ke arah seorang prajurit. Sekali saja ia menggerakkan tangannya, ia telah berhasil merampas pedang di tangan perajurit itu sambil memberi tendangan yang membuat perajurit itu roboh bergulingan.
“Perempuan liar, sekarang aku takkan memberi ampun kepadamu!” Bagawan Mahapati berseru keras dan menyerang dengan tongkatnya.
Akan tetapi serangannya dengan mudah ditangkis oleh Ratna Wulan dengan pedangnya dan ia membalas dengan serangan kilat. Para perajurit tidak ada yang membantu bagawan itu oleh karena mereka bertempur dengan gerakan cepat sekali sehingga bayangan mereka lenyap di telan sinar pedang di tangan Ratna Wulan dan tongkat di tangan Bagawan Mahapati.
Sementara itu, Indrajaya yang bertempur melawan Kartika, sebentar saja terdesak hebat. Bukan saja kepandaiannya memang kalah tinggi, akan tetapi keris Kyai Banaspati di tangan Kartika itu membuat orang ini menjadi makin tangguh saja. Indrajaya melakukan perlawanan sekuat tenaga dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, akan tetapi ia memang bukan lawan Kartika.
Beberapa kali ia hampir menjadi korban keris Banaspati dan pada suatu saat, pukulan tangan kiri Kartika telah menyambar pundaknya sehingga pemuda itu jatuh terhuyung ke belakang. Kartika menubruk maju untuk memberi tikaman dengan kerisnya. Ratna Wulan menjerit melihat pemuda itu berada dalam bahaya, maka secepat kilat ia lalu melompat meninggalkan Bagawan Mahapati dan dengan pedangnya ia menyerang Kartika dari samping.
Tentu saja Kartika menjadi terkejut ketika mendengar sambaran angin pedang yang menusuk ke arah lambungnya, maka terpaksa ia menunda seranganya terhadap Indrajaya dan cepat miringkan tubuh dan melompat untuk mengelakkan diri dari serangan kilat itu. Bagawan Mahapati tidak tinggal diam dan menyerang dengan tongkatnya yang ditusukkan ke arah leher Ratna Wulan.
Kini Indrajaya yang berseru keras, “Ratna, awas...! Biarkan aku menghadapi keparat ini sendiri. Kau baik-baiklah melawan bagawan siluman itu!”
Bukan main terharu hati Ratna Wulan mendengar seruan pemuda yang biarpun berada dalam keadaan terdesak, masih saja mengkhawatirkan keselamatannya itu. Keharuan hati ini mendatangkan semangat yang luar biasa besarnya, maka sambil mengertak gigi ia menghadapi Bagawan Mahapati dan menyerang dengan luar biasa hebatnya sehingga kakek yang sakti itu sampai melangkah mundur tiga tindak.
Pertempuran berjalan lagi dengan lebih seru dan mati-matian, sedangkan Indrajaya yang telah terlepas dari bahaya maut, kini melawan lagi serbuan Kartika yang menjadi marah sekali melihat serangannya tadi digagalkan oleh Ratna Wulan. Karena Kartika menyerang lebih ganas dan hebat daripada tadi, kembali Indrajaya terdesak hebat dan hanya dapat berkelahi sambil main mundur.
Juga Ratna Wulan kini berkelahi dengan terdesak hebat, oleh karena dara perkasa ini perhatiannya terpecah. Ia tak dapat menahan hatinya untuk tidak mengerling ke arah Indrajaya dan hatinya amat gelisah melihat betapa pemuda itu di desak hebat oleh Kartika. Pada suatu saat, ketika pertempuran sedang berjalan dengan hebatnya, tiba-tiba terdengar teriakan dan sorakan yang menggegap-gempitakan seluruh Kota Raja dan sorakan itu terdengar jauh dari luar kota.
Itulah sorak-sorai para pemberontak yang telah menyerbu makin dekat. Makin gelisahnya hati Indrajaya medengar sorakan itu oleh karena ia tidak hanya mengkhawatirkan diri sendiri dan Ratna Wulan, akan tetapi juga amat berkhawatir mengingat nasib kerajaan yang di serbu pemberontak. Bagaimanakah nasib rajanya? Sungguh celaka kalau kerajaan memiliki pembesar-pembesar macam Kartika dan Mahapati.
Di waktu kerajaan aman, mereka hanya pandai mengumpulkan harta benda, sedangkan kalau kerajaan berada dalam kekacauan dan terancam bahaya mereka mengkhianati kerajaan itu dan mengandalkan persekutuan rahasia dan dengan musuh. Kegelisahaannya membuat gerakan pemuda itu makin kalut dan ketika kembali Kartika memukulnya dengan tangan kirinya yang ampuh, ia tak dapat menangkis dan roboh dengan kerisnya terlepas dari tangannya.
Kartika menubruk maju dan keris Kyai Banaspati menembus kulit dada pemuda itu, menancap sampai ke gagangnya. Kartika tertawa bergelak dan Ratna Wulan menjerit dengan ngeri melihat betapa Indrajaya roboh mandi darah, terluka oleh keris Kyai Banaspati! Karena keris pusaka itu adalah kerisnya maka hati Ratnawulan bagaikan disayat-sayat. Ia merasa seakan-akan telapak tangannya sendiri yang menikam dada pemuda yang diam-diam telah merebut hatinya itu.
“Indrajaya...!” ia menjerit dengan hati hancur dan pada saat itulah ia mendapat kenyataan bahwa ia mencintai pemuda itu.
Kembali terdengar suara ketawa dan Kartika dan Bagawan Mahapati, membuat Ratna Wulan menjadi mata gelap dan ia mainkan pedangnya luar biasa cepat dan ganasnya. Kebenciannya terhadap Kartika memuncak.
“Jahanam berhati kejam! Kalau aku tak dapat membunuhmu, aku bersumpah tidak mau menjadi manusia lagi!” jerit Ratna Wulan dengan marah sekali dan ia lalu melompat dan menyerbu kepada Kartika dengan pedang di tangan.
Akan tetapi Kartika mendapat bantuan Bagawan Mahapati, maka untuk beberapa lama Ratna Wulan tak berdaya, bahkan amat terdesak. Sorak-sorai makin mendekat dan tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Ratna Wulan jangan takut! Aku datang membantumu!” Dan sesosok bayangan hitam melompat maju Dan menahan tongkat Bagawan Mahapati dengan pedangnya. Inilah Adiprana, anak Gunung Bromo yang tangguh itu.
“Adiprana!” Ratna Wulan berseru. Melihat betapa pemuda itu telah bertarung melawan Bagawan Mahapati, maka Ratna Wulan lalu menerjang Kartika dengan penuh kegemasan. Pedangnya menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda dan dengan amat lincahnya dara perkasa itu selalu menghindarkan pedangnya beradu dengan keris Kyai Banaspati di tangan Kartika karena ia maklum akan keampuhan keris itu.
Kartika kecut hatinya dan ia memang telah merasa jerih menghadapi dara perkasa yang haus akan darahnya itu, maka permaianan kerisnya makin kalut saja. Ratna Wulan tidak mau memberi hati dan mendesak dengan penuh keganasan.
Sementara itu, biarpun Adiprana gagah perkasa dan ilmu kepandaiannya hebat, namun menghadapi Bagawan Mahapati ia masih kalah pengaruh, terutama dalam hal tenaga batin. Tiap kali Bagawan Mahapati menggerakkan tongkatnya dengan seruan keras, Adiprana merasa betapa jantungnya berdebar gelisah dan gentar.
Akan tetapi, ia masih dapat mempertahankan hatinya dan melawan dengan gigihnya. Ratna Wulan mendesak terus dan pada saat yang tepat, ia dapat menendang pergelangan tangan Kartika yang memegang keris “Krak!” tulang pergelangan tangan itu retak terkena sambaran kaki Ratna Wulan.
Akan tetapi Kartika benar-benar kuat karena keris itu masih di pegangnya erat-erat. Setelah pedang Ratna Wulan berkelebat lagi menyambar lengannya, barulah ia berteriak kesakitan dan kerisnya terlempar. Ratna Wulan cepat menyambar Kyai Banaspati dan dengan hati penuh dendam ia menyerang bagaikan kilat cepatnya ke arah Kartika yang telah terhuyung-huyung kebelakang.
Keris menancap di dada kirinya dan terdengar jeritan menyeramkan ketika Kartika roboh sambil mendekap dadanya yang telah ditembusi oleh keris Kyai Banaspati! Ratna Wulan membalikkan tubuh hendak membantu Adiprana yang telah terdesak hebat oleh Bagawan Mahapati, akan tetapi pada saat itu ia mendengar suara Indrajaya memanggil perlahan.
“Ratna...”
Ratnawulan menengok dan cepat menghampiri lalu berjongkok di dekat tubuh pemuda itu. “Indrajaya...” katanya penuh haru dan tak dapat ditahannya lagi air mata mengalir keluar dari kedua mata Ratna Wulan, membasahi kedua pipinya.
“Ratna Wulan pujaan kalbu. Kau menyedihi aku...?”
“Indrajaya... kau, kau berkorban untukku.”
Indrajaya tersenyum, dan senyum yang membayang pada wajahnya yang amat pucat itu nampak oleh Ratna Wulan amatlah manisnya. Senyum penuh kebahagiaan dan kepuasan hati. Senyum yang takkan pernah dapat terlupa oleh mata Ratna Wulan.
“Ratna Wulan, itulah yang membahagiakan hatiku. aku rela... aku girang dapat membelamu. Dapat membela dengan nyawaku. Ratna, aku… aku cinta padamu. sama besarnya dengan cintamu padaku. Kau… kau cinta kepadaku, bukan...?”
Ratna Wulan tak dapat menjawab, hanya air matanya saja mengucur makin deras dan untuk menjawab pertanyaan terakhir dari pemuda itu ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Terdengar Indrajaya menghela napas panjang.
“Aku puas... aku puas...” dan tiba-tiba kepalanya terkulai. Pemuda itu menghembuskan napas terakhir.
“Indrajaya...” Ratna Wulan berbisik dan menggunakan tangan kirinya menutup kedua mata pemuda itu.
Pada saat itu terdengar pekik kesakitan dan suara ini menyadarkan Ratna Wulan. Ia cepat melompat berdiri dan memandang ke belakang. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat Adiprana terhuyung-huyung kebelakang dengan kepala berlumur darah! Ternyata bahwa pemuda murid Eyang Bromosakti itu telah terkena pukulan tongkat Bagawan Mahapati!
“Keparat jahanam!” Ratna Wulan berseru marah dan ia meloncat dengan Kyai Banaspati di tangannya menyerang Bagawan Mahapati yang hendak memberi pukulan terakhir kepada Adiprana yang telah roboh di atas tanah. Dengan hati penuh dendam dan kedukaan karena tewasnya Indrajaya dan melihat Adiprana yang telah roboh di atas tanah. Dengan hati penuh dendam dan kedukaan karena tewasnya Indrajaya dan melihat Adiprana terluka hebat pula, Ratna Wulan lalu menyerang dengan amat ganasnya.
Bagawan Mahapati terpaksa terdesak mundur oleh serangan yang bertubi-tubi datangnya dan yang di lakukan dengan nekad itu. Akan tetapi, sebelum Ratna Wulan dapat mebalaskan dendam karena kematian Indrajaya dan dirobohkannya Adiprana, tiba-tiba terdengar seruan keras.
“Jeng Ratna Wulan.!” Suara ini dibarengi dengan datangnya serombongan pasukan. Pasukan Candrasa Bayu! Ternyata bahwa pasukan istimewa ini telah dapat menyerbu sampai ke Kota Raja dan bersama dengan pasukan-pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Kuti dan Semi, telah menggempur mundur tentara Majapahit!
Mendengar seruan ini dan melihat datangnya pasukan pedang yang istimewa itu, Bagawan Mahapati lalu meloncat dan menghilang di dalam gelap!
Ratna Wulan tak dapat mengejarnya dan Dara perkasa ini segera menghampiri Adiprana yang masih rebah di atas tanah. Alangkah terkejut, sakit hati, dan sedihnya ketika mendapat kenyataan bahwa Adiprana telah tewas pula oleh pukulan tongkat Mahapati! Gadis ini menubruk Adiprana sambil menangis. Hatinya merasa perih bagaikan disayat-sayat.
Dua orang teruna perkasa yang mencintainya telah tewas di tempat itu, tewas dalam pertempuran untuk membelanya. Kalau diwaktu mereka masih hidup, mereka mendatangkan kebimbangan di dalam hatinya, berat untuk memilih yang mana di antara kedua orang ksatria ini, sekarang kematian mereka mendatangkan rasa sedih dan haru yang amat besar. Ia menjadi beringas dan ketika semua anggota Pasukan Candrasa Bayu mengelilingi jenazah Adiprana untuk menyatakan bela sungkawa, ia bangkit berdiri dengan muka pucat, lalu berkata.
“Kawan-kawan, aku minta beberapa orang untuk mengurus jenazah Adiprana dan Indrajaya. Uruslah baik-baik dan kuburkan jenazah mereka sebagai ksatria-ksatria utama. Yang lain-lain, hayo menyerbu terus! Hancurkan bala tentara Majapahit, runtuhkan kekuasaan raja dan mari kita basmi Bagawan Mahapati yang mendatangkan segala kejahatan!”
Ucapannya ini disambut oleh sorak-sorai semua anggota Pasukan Candrasa Bayu. Di bawah pimpinan Ratna Wulan, mereka menyerbu terus, menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan pemberontak lain dibawah pimpinan Kuti dan Semi terus menyerbu dan mengamuk di medan perang, bertempur melawan pasukan-pasukan Majapahit yang masih mempertahankan kota itu.
Bukan main hebatnya peperangan itu dan Pasukan Candrasa Bayu membuat jasa yang bukan kecil dalam pertempuran ini. Di mana saja mereka bergerak, bergelimpanganlah perajurit-perajurit musuh. Namun pasukan-pasukan Majapahit melakukan perlawanan sengit sehingga kurban yang jatuh di kedua fihak amat besarnya.
Semi, pemimpin pasukan pemberontak tewas pula dalam peperangan itu, dan demikian pula beberapa orang pemimpin lain. Bahkan beberapa orang anggota Pasukan Candrasa Bayu juga gugur. Ratna Wulan sendiri mengamuk bagaikan seekor banteng terluka. Ia di dampingi oleh Bejo, Raksasa muda yang amat kuat itu, dan Parta, ahli panah yang pandai.
Di dalam pertempuran yang terjadi amat serunya di depan keraton, di pihak Majapahit muncul senopati-senopati yang gagah perkasa dan tangguh. Tiga orang panglima musuh yang amat gagah menyambut serbuan Ratna Wulan, Bejo dan Parta.
Yang menjadi lawan Bejo adalah seorang tinggi besar pula, seorang panglima Majapahit yang bernama Demang kandangan. Ia adalah seorang berpangkat demang didusun Kandangan dan Kepandaiannya tinggi, karena ia memiliki kekebalan. Kulitnya keras tak tertembus oleh senjata tajam.
Bukan main hebatnya pertandingan yang terjadi antara Demang Kandangan dan Bejo. Pukul-memukul, tendang-menendang, hempas-menghempas! Ilmu lawan ilmu, tenaga bertemu tenaga, dan entah sudah berapa kali mereka saling terkena pukulan lawan.
Terdengar, “Bak! Buk! Bak! Buk!” kepalan mereka mengenai tubuhl awan, akan tetapi keduanya kebal dan kuat. Terkena pukulan keduanya merasa dihinggapi lalat saja.
Demang Kandangan menjadi penasaran dan marah sekali. Ia mencabut senjatanya yang ampuh, sebuah lembing dengan ronce-ronce benang lawe merah. “Babo-babo!” sumbarnya. “Kau mengamuk seperti setan kelaparan. Mampuslah di bawah lembingku!”
Bejo tertawa terbahak-bahak sambil mencabut pedangnya. “Aku sudah bosan mempergunakan pukulan tangan. Rasakanlah pedang Candrasa Bayu!” Sambil berkata demikian ia menyerang dengan sebuah tusukan hebat.
Biarpun ia kebal, namun menghadapi tusukan pedang yang dilakukan dengan tenaga yang melebihi tenaga banteng besarnya. Demang Kandangan tidak berani menerima ujung pedang dengan dadanya. Bahayanya terlalu besar, maka ia lalu menggerakkan lembingnya untuk menangkis.
Kemudian ia membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya, namun dengan mudah Bejo dapat menangkis pula. Pertempuran ini benar-benar hebat. Tak seorangpun perajurit dari kedua pihak berani membantu. Dua orang telah tewas ketika mencoba untuk membantu kawan, yaitu seorang dari pemberontak.
Oleh karena itu, perajurit-perajurit lain kini hanya menonton saja, lupa untuk bertempur saking kagum dan tertariknya menyaksikan pertempuran yang luar biasa ini. Pada suatu saat Demang Kandangan berlaku agak lambat sehingga pedang Bejo dapat menyerempet pundaknya. Ia berteriak keras, tak sempat mempergunakan aji kekebalan dan kulit pundaknya berikut daging terbabat mengeluarkan darah.
Kawan-kawan Bejo bersorak girang, membuat Demang Kandangan marah sekali. Ia berseru keras dan pada saat Bejo memandangnya dengan mata penuh ejekan dan mulut tertawa melihat hasil babatannya, ia mempergunakan lembingnya untuk menyerampang kaki Bejo. Bejo melompat untuk mengelak, akan tetapi kurang cepat sehingga lembing yang berat itu masih dapat mengetuk tulang keringnya.
“Aduh! Bangsat kurang ajar!” Bejo memaki dan terpincang-pincang karena betapapun kuatnya, tulang kering yang dihantam lembing dengan tenaga yang amat besarnya itu sakit sekali seakan-akan remuk. Sambil berloncat-loncat dan terpincang-pincang menahan sakit ia memaki-maki.
Kawan-kawan Demang Kandangan bersorak girang. Keduanya telah terluka dan keduanya telah menjadi marah sampai gelap mata. Dengan nekad Bejo menubruk dengan pedang ditangan. Demang Kandangan menyambut. Pedang Bejo menembus dada lawan, akan tetapi perutnya juga ditembus oleh lembing Demang Kandangan. Keduanya menjerit, akan tetapi masih cukup mempunyai tenaga untuk saling terkam.
Pergulatan terjadi, saling cekik, saling jambak dan akhirnya roboh terguling, bergulingan sebentar ke kanan kiri, saling menghempas, kemudian. Mereka tak bergerak lagi. Keduanya tewas dalam keadaan masih saling cekik. Sungguh pemandangan yang mengerikan. Dua orang muda dan kuat, dua orang perajurit sejati yang sedianya akan dapat menjadi perajurit-perajurit gagah perkasa pembela Negara dan bangsa, karena bersimpangan jalan hidup, harus mengakhiri hidup dengan saling bunuh.
Untuk sesaat, perajurit-perajurit kedua belah pihak tak dapat bergerak, masih terpesona oleh kehebatan perkelahian antara Demang Kandangan dan Bejo. Akan tetapi, setelah kedua pahlawan itu tewas, barulah mereka bergerak. Sorak-sorai terdengar lagi dan pertempuran di langsungkan, seakan-akan kedua orang gagah tadi memberi contoh kepada kawan-kawannya.
Ratna Wulan dan Parta masih mengamuk terus, memimpin anak buah Pasukan Candrasa Bayu maju terus menyerbu kedepan. Pak Waluya, anggota tertua dari pasukan itu, telah gugur sebelum pasukan berhasil memasuki Kota Raja. Sampai keesokan harinya pertempuran masih terjadi di sana-sini. Semalam suntuk pasukan Majapahit mempertahankan istana, akan tetapi pihak pemberontak lebih kuat.
Akhirnya pertahanan dapat dibobol, sisa-sisa tentara Majapahit melarikan diri atau menyerah. Penyerbuan ke dalam istana dikepalai oleh Kuti sendiri, pemimpin besar pemberontak. Ternyata bahwa Sang Prabu Jayanagara tidak berada di dalam istana, telah pergi mengungsi. Memang, setelah melihat bahwa pertahanan dapat dipukul hancur oleh pasukan-pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Kuti, Sang Prabu Jayanagara terpaksa melarikan diri, mengungsi ke Badander.
Dengan diperlindungi oleh pasukan istana yang dikepalai oleh Gajah Mada, Sang Prabu Jayanagara dapat menyelamatkan diri dan meninggalkan istana. Ini adalah jasa Gajah Mada yang gagah perkasa dan setia. Kuti dapat merampas istana dan menduduki singgasana Majapahit.
Akan tetapi, alangkah kecewa dan penasaran hati para pembantunya, terutama para panglima yang ingin melihat pengaruh Bagawan Mahapati dilenyapkan dari Majapahit, ketika melihat bahwa Kuti bukan saja tidak menghukum atau menyuruh tangkap bagawan itu, bahkan sebaliknya Bagawan Mahapati diberi kedudukan oleh raja baru ini!
Juga Ratna Wulan menjadi kecewa sekali, akan tetapi seperti juga lain-lain panglima yang tadinya membantu Kuti, apakah yang dapat ia lakukan? Kuti telah menduduki singgasana dan kedudukannya kuat sekali.
Dara perkasa ini masih merasa sedih karena tewasnya Indrajaya dan Adiprana. Hatinya menjadi lemah dan semangatnya menipis. Ia telah dapat membinasakan musuh besarnya, yaitu Kartika maka ia dapat merasa puas. Namun, bukan kepuasan hati yang ia dapat karena sempurnanya tugas ini, bahkan perjalanannya itu menimbulkan patah hati karena dua orang teruna yang menjadi harapan hatinya tewas dalam membelanya.
Ia tiada nafsu lagi untuk ikut mencampuri urusan kerajaan, maka setelah peperangan itu selesai, Ratna Wulan lalu kembali ke Mahameru. Ia disambut oleh ibunya dengan pelukan mesra dan setelah berada dalam pelukan ibunya, barulah Ratna Wulan dapat menangis sepuasnya. Ia terisak-isak di dalam pelukan ibunya, merasa betapa hatinya hancur dan luka, betapa hidupnya seakan-akan sunyi senyap.
“Wulan, anakku, apakah yang terjadi, nak? Tak berhasilkan kau membalas dendam ayahmu?”
Ratna Wulan tak dapat menjawab untuk beberapa lama, hanya menangis makin sedih. Terbayang di antara air matanya wajah Indrajaya. Ia melihat senyum di bibir yang sudah pucat dari Indrajaya, senyum yang mengantar kematian pemuda itu. Ia merasa seakan-akan pemuda itu menanti-nantinya di seberang sana! Kemudian, di antara isak tangisnya, Ratna Wulan mencurahkan seluruh isi hatinya kepada ibunya.
Dara Lasmi ikut mencucurkan air matanya mendengar kisah anak tunggalnya itu. Diam-diam ia menyebut nama Yang Maha agung, mengucapkan syukur bahwa musuh besar itu telah dapat di tewaskan oleh anaknya, akan tetapi juga ia membumbungkan doa semoga kehancuran hati puterinyaitu akan dapat terhibur.
Ketika ia menanyakan tentang gurunya, ibunya memberitahu bahwa Eyang Mahameru telah lama meninggalkan puncak Mahameru, entah kemana perginya pertapa sakti itu. Ratna Wulan lalu tinggal bersama ibunya di puncak Mahameru, hidup dengan aman dan tenteram, menjauhi dunia ramai.
Setelah pemerintahan berada di tangan Kuti yang dibantu oleh Bagawan Mahapati, barulah semua orang menjadi menyesal. Ternyata bahwa pemberontak ini tak lebih baik daripada Sang Prabu Jayanagara, bahkan lebih buruk dalam menjalankan kemudi pemerintahan.
Apa lagi para panglima yang tadinya memberontak, baru terbuka mata mereka menyaksikan betapa Bagawan Mahapati yang dibenci itu bahkan menduduki tempat yang tak kurang tingginya daripada ketika pemerintahan berada di tangan Sang Prabu Jayanagara!
Mulailah timbul bisikan-bisikan dan pertemuan-pertemuan rahasia di antara para pembesar negara, membicarakan dan menyesalkan kesalahan tindakan ini. Mulailah mereka mengenangkan kembali Sang Prabu Jayanagara yang kini entah berada di mana.
Sementara itu, Sang Prabu Jayanegara mengungsi ke Badander, dan diiringkan dengan setia oleh Gajah Mada dan kawan-kawannya. Gajah Mada yang setia dan bijaksana ini tiada hentinya mencari keterangan tentang keadaan Majapahit setelah singgasana diduduki oleh Kuti. Ia mendengar tentang kekecewaan dan penyesalan para pembesar negara, maka dengan amat cerdiknya Gajah Mada lalu menjalankan sebuah siasat.
Setelah mendapat perkenan dari Sang Prabu Jayanagara, Gajah Mada diam-diam masuk ke dalam Kota Raja menemui para pembesar-pembesar negara yang berkedudukan tinggi dan yang menguasai pasukan-pasukan Majapahit. Setibanya Gajah Mada di Majapahit, maka para pembesar negara menghujankan pertanyaan kepadanya tentang Sang Prabu Jayanagara yang dahulu diperlindungi Bhayangkari (Pasukan Pengawal Istana) di bawah pimpinan Gajah Mada itu. Dengan wajah muram Gajah Mada menjawab.
“Mengapa pula saudara-saudara bertanya tentang yang telah kalian khianati itu? Karena merasa amat berduka melihat betapa dahulu mengabdi kepada keturunan Majapahit tiba-tiba membantu para pemberontak, beliau menjadi gering dan akhirnya meninggal dunia dalam keadaan yang amat sengsara.”
Sambil berkata demikian, Gajah Mada mengerling tajam kepada para pembesar negara itu dengan penuh perhatian. Bukan main terkejutnya para pembesar itu demi mendengar keterangan ini. Banyak di antara mereka yang mengucurkan air mata karena sedih dan menyesal. Hal ini amat membesarkan hati Gajah Mada.
“Mengapa kalian berduka? Bukankah hal ini yang kalian kehendaki? Apa artinya hidup atau matinya sang prabu bagi kalian?”
Seorang adipati yang sudah berusia lanjut berkata. “Gajah Mada, kau tak tahu! Kami bukan membenci Sang Prabu Jayanagara, akan tetapi Mahapatilah yang mendatangkan rasa benci di hati kami. Telah berkali-kali kami mengajukan usul kepada sang prabu agar supaya bagawan yang berhati palsu itu di enyahkan dari istana, akan tetapi sang prabu yang agaknya telah berada di bawah pengaruh bagawan itu, tak pernah mendengarkan usul kami. Maka, setelah melihat gerakan Kuti yang demikian kuat, timbul harapan kami untuk mengenyahkan kekuasaan Mahapti dari Kerajaan Majapahit. Siapa kira, setelah Kuti berhasil menduduki singgasana, Mahapati tidak digangu, bahkan diberi kedudukan tinggi!”
Gajah Mada tersenyum. “Kalau sekiranya Sang Prabu Jayanagara masih hidup, kalian hendak berbuat apakah?”
“Kalau sang prabu masih hidup, kami sanggup untuk menggulingkan kedudukan raja baru ini dan mengangkat sang prabu menjadi raja dan menduduki singgasana kembali.” kata mereka.
Maka dengan wajah berseri-seri Gajah Mada lalu menerangkan bahwa sesungguhnya Prabu Jayanagara masih hidup dan kini berada di Badander, bahwa ia sengaja datang untuk melihat sikap para pembesar dan panglima. Bersuka citalah semua orang mendengar ini dan mereka lalu mengadakan rencana dan perundingan untuk melakukan pemberontakan dari dalam.
Setelah mengadakan perundingan dengan masak, Gajah Mada lalu kembali ke Badander dengan hati girang dan segera melaporkan segala pengalamannya kepada Sang Prabu Jayanagara. Sambil bercucuran air mata, Sang Prabu Jayanagara berkata.
“Memang aku telah terbujuk oleh kemahiran Mahapatih bermanis mulut. Aku telah melakukan salah tindak, akan tetapi aku berjanji bahwa apabila Yang Maha Agung memberi kesempatan kepadaku untuk memegang tampuk kerajaan lagi, aku akan mengusahakan sekuat tenaga agar Majapahit menjadi sebuah negara yang besar dan makmur di mana rakyatku dapat hidup dengan aman sentaosa dan penuh damai bahagia.”
Maka terjadilah pemberontakan yang hebat akan tetapi cepat. Karena pemberontakan dilakukan dari dalam, didukung oleh sebagaian besar panglima dan pembesar negara berserta pasukan-pasukan pilihan, maka perlawanan yang amat lemah dari Kuti dan anak buahnya hanya dapat bertahan sebentar saja. Kuti ikut bertempur dengan mati-matian, akan tetapi akhirnya ia tewas juga dalam perang tanding itu.
Ketika hal ini terjadi, Mahapati berada di dalam gedungnya yang baru. Ia tidak ikut berperang, dan hanya memuja Samadhi di dalam sanggar pemujan. Pasukan Majapahit datang dan hendak menangkapnya, akan tetapi tak seorang panglimapun berani secara sembrono memasuki sanggar pemujan itu, karena mereka telah maklum akan kesaktian Bagawan Mahapati.
Mereka hanya berteriak-teriak menyuruh Bagawan itu keluar dan menyerahkan diri untuk ditangkap. Tiba-tiba pintu pemujaan itu terbuka dari dalam dan Bagawan Mahapati sendiri keluar dari situ. Ia berpakaian lengkap seperti seorang pendeta, bahkan di tangan kirinya ia memegang sebuah lembing pusaka yang berkilat-kilat cahayanya, dan di tangan kanan ia memegang tongkatnya yang ampuh.
Sepasang matanya berapi-api memandangi seluruh pasukan yang mengepung tempat itu. Kemudian ia turun perlahan-lahan dari tangga sanggar pamujaan. Semua suara sorakan dan teriakan dari pasukan itu tiba-tiba berhenti dan keadaan menjadi hening seperti terkena sirap. Benar-benar hebat pengaruh dan hawa gaib yang keluar dari Bagawan Mahapati ini.
“Siapa yang mau menangkap aku? Majulah kalau ada yang berani melakukan hal itu!”
Tantangan ini terdengar menggema dan mendebarkan hati setiap orang. Akan tetapi, akhirnya ada seorang panglima muda yang melangkah maju dan mencabut pedangnya.
“Pertapa palsu! Akulah yang akan menangkapmu, mati atau hidup!” teriaknya dan menyerbu ke depan. Akan tetapi Mahapati tertawa mengejek dan sebelum panglima itu sempat menyerang, tongkatnya telah melayang dan tepat sekali menghantam kepala panglima itu sehingga pecah dan tubuh panglima itu terkapar diatas rumput, mati.
Semua orang tertegun dan merasa ngeri. Akan tetapi jiwa setia kawan membuat beberapa orang perajurit dan panglima serentak maju mengepung. Bagawan Mahapati menggerakkan tongkatnya secara luar biasa sekali sehingga kembali beberapa orang terpukul. Sekali saja terpukul tongkat bagawan itu, kurbannya mengelimpang tak bernyawa lagi.
Kini para pengeroyok mulai menjadi gentar dan banyak yang mundur dengan ketakutan. Sambil tertawa bergelak-gelak, Bagawan mahapati mengamuk terus dan makin banyak darah yang ditumpahkan lawan oleh pukulan-pukulannya, makin liar dan ganaslah dia.
Sambil mengamuk ia mengejar para perajurit yang melarikan diri dan akhirnya Bagawan Mahapati berdiri di tengah alun-alun, mengangkat tongkatnya yang berlumur darah itu tinggi-tinggi sambil menantang.
“Hayo, orang-orang Majapahit! Jangan maju seorang demi seorang, majulah bersama-sama. Tandinglah kedigdayaan Bagawan Mahapati! Ha,ha,ha!”
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Mahapati, pendeta palsu! Akulah lawanmu!”
Mahapati menengok dan terkejutlah hatinya ketika ia melihat bahwa yang muncul itu adalah Ratna Wulan, dara perkasa yang telah dikenal kesaktiannya itu! Bagaimana Ratna Wulan tiba-tiba dapat muncul di situ? Dan pendekar ini biarpun berada di puncak Mahameru, akan tetapi ia masih dapat mendengar berita dari para penduduk di sekeliling Mahameru tentang keadaan di Majapahit.
Ketika ia mendengar bahwa di Majapahit terjadi peperangan lagi oleh karena panglima tua memberontak terhadap Kuti dan Mahapati, dara perkasa ini amat tertarik hatinya. Ia teringat akan hutang bagawan itu yang masih belum terbayar, hutang karena membunuh Adiprana. Maka ia lalu berpamit kepada ibunya untuk membantu pergerakan para panglima itu dan membinasakan kekuasaan Mahapati.
“Anakku, aku takkan dapat melarang kehendak hatimu ini, sungguhpun aku akan selalu memikirkan dan mendoakan agar supaya kau selalu diberkahi dan dilindungi oleh Yang Maha Agung.”
Ratna Wulan lalu pergi ke gua pertapaan gurunya. Akan tetapi gurunya masih belum kembali dan di dalam gua itu ia melihat sebuah anak panah yang agaknya baru di buat oleh gurunya. Ia amat tertarik melihat anak panah yang mengeluarkan cahaya gemilang itu, maka ia lalu mengambilnya. Alangkah herannya ketika ia melihat sehelai kain putih itu ternyata ditulisi huruf-huruf kecil. Ia segera membaca tulisan gurunya itu yang berbunyi,
“Anak panah Margapati ini kubikin untuk Ratna Wulan. Jangan sekali-kali dipergunakan kalau tidak amat terpaksa, karena khasiat anak panah ini satu kali, dan sekali ia dipergunakan, ia akan mengambil nyawa seorang!”
Ratna Wulan menjadi girang mendapatkan anak panah ini yang lalu disimpannya di dalam tempat anak panah. Demikianlah, setelah mendapat doa restu dari ibunya ia lalu berangkat ke Majapahit dan ketika ia tiba disana, kebetulan sekali Mahapati sedang mengamuk hebat. Banyak panglima yang maju telah tewas dalam tangan Bagawan Mahapati sehingga akhirnya pendeta itu menantang-nantang dialun-alun tanpa ada yang berani menyambut tantangannya.
Ratna Wulan menjadi panas hati dan segera maju menghadapi pendeta yang amat dibencinya itu. Di antara para panglima, banyak yang telah tahu akan Ratna Wulan atau setidaknya mendengar nama dara perkasa itu, maka kini melihat seorang dara jelita yang gagah muncul menghadapi pendeta itu, mereka lalu maju mendekat untuk menyaksikan pertandingan ini. Diantara mereka itu terdapat seorang bekas anak buah Pasukan Candrasa Bayu, maka begitu ia melihat Ratna Wulan, ia segera bersorak keras.
“Hidup Dara Perkasa Ratna Wulan...!”
Ratna Wulan menengok dan ketika melihat Jayun, anak buahnya dulu, berdiri diantara para panglima kerajaan, ia tersenyum dan melambaikan tangan. Kini semua orang yang berada di situ saking gembiranya bersorak gemuruh.
“Hidup Dara Perkasa Ratna Wulan...!”
Bagawan Mahapati marah sekali mendengar ini dan ia berseru. “Ratna Wulan, saat inilah yang kutunggu-tunggu! Kau akan mampus di dalam tanganku!”
“Cobalah, Mahapati!” jawab Ratna Wulan dengan tenang.
Mahapati menyerbu dengan lembing di tangan kiri dan tongkat di tangan kanan, akan tetapi dengan tangkas Ratna Wulan mengelak dan balas menyerang dengan pedangnya. Ia bersenjata pedang di tangan kiri dan keris Kyai Banaspati di tangan kanan untuk mengimbangi kedua senjata lawannya itu. Pertandingan maha hebat terjadilah ditengah alun-alun itu, disaksikan oleh ratusan orang prajurit yang sebentar saja telah meningkat jumlahnya menjadi ribuan.
Keduanya sakti dan digdaya, dan keduanya memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya sehingga bagi para penonton yang tidak memiliki kepandaian tinggi, kedua orang yang bertempur itu lenyap dari pandangan mata dan nampak hanyalah berkelebatnya empat senjata yang menyambar-nyambar laksana kilat. Bagi yang berkepandian tinggi, mereka mengangguk-angguk dengan kagumnya menyaksikan ilmu kepandaian yang jarang terlihat itu.
Baik Mahapati maupun Ratna Wulan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk menjatuhkan lawan. Mahapati menang pengalaman dan menang tenaga, akan tetapi Ratna Wulan lebih unggul dalam hal keterampilan dan kecepatan, maka boleh dibilang keadaan mereka seimbang. Pada saat mereka telah bertempur sampai ratusan jurus lamanya, Mahapati mengayun tongkatnya dengan sepenuh tenaga kearah kepala Ratna Wulan sambil menusukkan lembingnya ke arah dada dara perkasa itu.
Ratna Wulan paling takut kepada lembing itu, karena ia teringat akan nasihat gurunya dahulu bahwa ia harus berlaku waspada terhadap lembing Mahapati yang bernama Ratna Wulan ini! Maka ia selalu memperhatikan lembing itu dan ketika lembing menusuk ke dadanya, ia cepat mengelak. Pukulan tongkat kearah kepalanya ditangkis dengan pedang.
“Trang!” dan kedua senjata itu terpental dan terlepas dari pegangan masing-masing.
Kini pertempuran dilanjutkan dengan lembing dan keris. Ratna Wulan mulai terdesak karena kerisnya yang hanya pendek itu amat sukar untuk digunakan melawan serangan lembing yang panjang. Semua penonton menahan napas ketika melihat betapa Ratna Wulan main mundur seakan-akan takut menghadapi lembing itu. Akan tetapi, tiba-tiba Ratna Wulan mengambil busurnya yang tergantung di punggung dan kini dara perkasa itu mempergunakan senjata keris dan busur.
Bukan main riuhnya para penonton menyaksikan kehebatan gadis pendekar itu. Bagaimana sebatang busur dapat dipergunakan sebagai senjata yang demikian hebatnya? Memang busur di tangan Ratna Wulan bukanlah busur biasa, akan tetapi busur buatan Eyang Semeru, buah senjata yang ampuh dan sakti.
Benar saja setelah kini bersenjatakan busur dan keris, Ratna Wulan mulai mendesak lawannnya. Ia mengirim serangan bertubi-tubi dengan busurnya yang sekali saja mengenal tubuh lawan, akan berarti malapetaka besar bagi Mahapati. Dan pada saat yang amat tepat, dara pendekar ini mengeluarkan ilmu tendangannya yang amat dahsyat. Bagawan Mahapati tidak menyangka datangnya tendangan ini, maka ia kena tertendang dadanya sehingga tubuhnya terpental sampai jauh. Terdengar sorak-sorai yang amat riuh menyambut hasil tendangan ini.
Sungguhpun ia sama sekali merasa sakit oleh tendangan Ratna Wulan, namun Bagawan Mahapati merasa malu sekali. Ia mengertak giginya, lalu bibirnya berkemak-kemik membaca mantra. Kemudian ia tiba-tiba melompat bangun, dan sekali tangannya terayun, lembingnya meluncur cepat melebihi kecepatan anak panah.
Ratna Wulan hanya melihat berkelebatnya cahaya dari depan seakan-akan ada kilat menyambarnya dan sebelum ia dapat mengelak, lembing pusaka itu telah menancap di ulu hatinya. Dara perkasa membayangkan gurunya, ia membaca mantra. Benar-benar luar biasa sekali.
Sungguhpun lembing itu telah menancap di ulu hatinya dan darah mengucur keluar membasahi seluruh dadanya, bahkan kini tangan kirinya bergerak kebelakang mencabut anak panah pusaka pemberian gurunya. Ia membuka mata, memasang anak panah itu pada busurnya.
Sementara itu, Bagawan Mahapati ketika melihat betapa lembingnya dengan jitu telah menancap ke Ulu hati lawannya, tertawa bergelak. Mulutnya terbuka lebar dan mukanya menengadah keatas, tubuhnya bergoyang-goyang dan suara ketawanya amat menyeramkan seperti suara ketawa iblis.
Akan tetapi tiba-tiba anak panah pusaka Margapati meluncur dari busur di tangan Ratna Wulan dan... cepp.! Anak panah itu tepat sekali menancap di dada kiri Mahapati dan menembus jantungnya. Bagawan Mahapati mengeluarkan jerit seperti bunyi burung gaok lalu tubuhnya terhuyung-huyung dan roboh menelungkup dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Ratna Wulan tersenyum, dan ketika semua orang berlari-lari menghampiri untuk menolongnya, mereka melihat dara perkasa itu jatuh berlutut dan terdengar oleh mereka gadis itu mengeluh.
“Indrajaya, Adiprana... tunggu...!”
Kemudian tubuhnya terguling dan ketika mereka mengangkatnya, ternyata bahwa dara perkasa itu telah meninggalkan dunia ini! Suasana haru meliputi alun-alun dan bahkan terdengar isak tangis para anggota Candrasa Bayu yang menyedihi kematian pemimpin atau pelatih mereka.
Sementara itu, kerajaan telah dapat dibersihkan dari pengaruh para dorna dan pembesar jahat, dan dengan segala kehormatan, diiringi oleh suara gamelan dan sorak-sorai penduduk, Sang Prabu Jayanagara lalu kembali ke Kota Raja untuk menduduki singgasana lagi. Semua rakyat menyambut kemenangan ini dengan girang dan bahagia.
Dan semenjak saat itu, Jayanagara memerintah dengan tenang dan damai sampai tiba saatnya ia mangkat dalam tahun 1328. Kalau semua orang sedang bergembira menyambut kembalinya Sang Prabu Jayanagara, terdapat seorang wanita di puncak Mahameru yang duduk bersila di hadapan Panembahan Mahendraguna atau Eyang Semeru dengan wajah pucat.
Dia ini adalah Dara Lasmi yang telah diberitahu tentang tewasnya Ratna Wulan, dan hanya kata-kata bijaksana wejangan-wejangan Eyang Semeru jualah yang dapat menghibur hatinya. Semenjak hari itu, Dara Lasmi makin tekun dalam tapanya di puncak Mahameru, menanti datangnya panggilan Yang Maha agung untuk kembali kealam asalnya.
TAMAT
Kisah lainnya,