Golok Bulan Sabit Jilid 01
Rembulan ada kalanya berbentuk sabit ada kalanya berbentuk bulat, yang kita kisahkan sekarang adalah sewaktu bulan purnama, karena kisah ini terjadi didalam bulan purnama.
Rembulan pada malam ini jauh lebih indah, jauh lebih mempesona daripada hari-hari sebelumnya. rembulan itu tampak begitu indah, indah dan membawa kemisteriusan, indah yang menggetarkan sukma dan membuat hati orang hancur luluh.
Demikian pula dengan kisah cerita ini, penuh mengandung kemisteriusan dan keindahan yang menarik. Membuat orang merasa heran, bertanya tanya dan benak penuh khayalan.
Konon menurut cerita kuno, setiap bulan terang purnama, selalu akan muncul siluman siluman binatang atau siluman pepohonan bahkan juga siluman rase dari bawah bumi yang bermunculan untuk menyembah rembulan serta menghisap inti kekuatan dari rembulan.
Ada kalanya, mereka akan muncul dalam bentuk manusia, muncul dengan aneka wajah untuk melakukan segala macam perbuatan yang di luar dugaan setiap orang.
Perbuatan-perbuatan mereka ada kalanya menimbulkan rasa kaget, ada kalanya menimbulkan rasa seram, ada kalanya menimbulkan rasa girang, dan ada kalanya menimbulkan perasaan sedih.
Mereka dapat menyelamatkan nyawa seseorang yang terjatuh ke dalam jurang yang beribu ribu kaki dalamnya, dapat pula mendorong seseorang dari atas puncak gunung.
Mereka dapat membuat kau memperoleh kedudukan serta harta kekayaan yang luar biasa, tapi dapat pula membuat kau kehilangan segala galanya.
Walaupun belum pernah ada orang yang menjumpai raut wajah mereka, tapi tiada seorang juga yang bisa menentukan dimana mereka berada.
Golok ada yang lurus ada pula yang melengkung, yang kita ceritakan sekarang adalah sebilah golok yang melengkung, melengkung bagaikan alis mata Cing cing. Golok lengkung itu memang milik Cing cing.
Cing cing adalah seorang gadis cantik tapi misterius, seperti pula rembulan yang sedang purnama di langit. Golok adalah senjata pembunuh yang ampuh...
Demikian juga dengan golok lengkung milik Cing cing, dikala kau menyaksikan cahaya golok lengkung itu berkelebat lewat, biasanya bencana segera akan tiba.
Siapapun juga di dunia, ini tak seorangpun dapat menghindari cahaya golok yang lengkung itu. Cahaya golok itu tidak terlalu cepat, seperti pula sinar rembulan, dikala kau melihatnya, cahaya itu sudah menimpa di atas tubuhmu.
Di langit hanya ada sebuah bulan yang purnama, di bumi ada sebilah golok yang lengkung. Dikala ia muncul di dunia, bukan selalu bencana yang dibawa, ada kalanya diapun bisa membawa kebahagiaan serta keadilan bagi umat manusia.
Kali ini dia akan muncul kembali di jagad, tapi apa yang bakal dia bawa untuk umat manusia...? Tiada seorangpun yang tahu.
Golok lengkung Cing cing berwarna hijau, hijau bagaikan gunung dikejauhan, hijau seperti daun pohon, hijau seperti air mata ke kasih. Di atas golok lengkung Cing cing tertera sebaris tulisan yang berbunyi:
"Siau lo it ya teng cun yu"
Artinya: Mendengar rintihan hujan di sebuah loteng pada suatu malam.
Rembulan pada malam ini jauh lebih indah, jauh lebih mempesona daripada hari-hari sebelumnya. rembulan itu tampak begitu indah, indah dan membawa kemisteriusan, indah yang menggetarkan sukma dan membuat hati orang hancur luluh.
Demikian pula dengan kisah cerita ini, penuh mengandung kemisteriusan dan keindahan yang menarik. Membuat orang merasa heran, bertanya tanya dan benak penuh khayalan.
Konon menurut cerita kuno, setiap bulan terang purnama, selalu akan muncul siluman siluman binatang atau siluman pepohonan bahkan juga siluman rase dari bawah bumi yang bermunculan untuk menyembah rembulan serta menghisap inti kekuatan dari rembulan.
Ada kalanya, mereka akan muncul dalam bentuk manusia, muncul dengan aneka wajah untuk melakukan segala macam perbuatan yang di luar dugaan setiap orang.
Perbuatan-perbuatan mereka ada kalanya menimbulkan rasa kaget, ada kalanya menimbulkan rasa seram, ada kalanya menimbulkan rasa girang, dan ada kalanya menimbulkan perasaan sedih.
Mereka dapat menyelamatkan nyawa seseorang yang terjatuh ke dalam jurang yang beribu ribu kaki dalamnya, dapat pula mendorong seseorang dari atas puncak gunung.
Mereka dapat membuat kau memperoleh kedudukan serta harta kekayaan yang luar biasa, tapi dapat pula membuat kau kehilangan segala galanya.
Walaupun belum pernah ada orang yang menjumpai raut wajah mereka, tapi tiada seorang juga yang bisa menentukan dimana mereka berada.
Golok ada yang lurus ada pula yang melengkung, yang kita ceritakan sekarang adalah sebilah golok yang melengkung, melengkung bagaikan alis mata Cing cing. Golok lengkung itu memang milik Cing cing.
Cing cing adalah seorang gadis cantik tapi misterius, seperti pula rembulan yang sedang purnama di langit. Golok adalah senjata pembunuh yang ampuh...
Demikian juga dengan golok lengkung milik Cing cing, dikala kau menyaksikan cahaya golok lengkung itu berkelebat lewat, biasanya bencana segera akan tiba.
Siapapun juga di dunia, ini tak seorangpun dapat menghindari cahaya golok yang lengkung itu. Cahaya golok itu tidak terlalu cepat, seperti pula sinar rembulan, dikala kau melihatnya, cahaya itu sudah menimpa di atas tubuhmu.
Di langit hanya ada sebuah bulan yang purnama, di bumi ada sebilah golok yang lengkung. Dikala ia muncul di dunia, bukan selalu bencana yang dibawa, ada kalanya diapun bisa membawa kebahagiaan serta keadilan bagi umat manusia.
Kali ini dia akan muncul kembali di jagad, tapi apa yang bakal dia bawa untuk umat manusia...? Tiada seorangpun yang tahu.
Golok lengkung Cing cing berwarna hijau, hijau bagaikan gunung dikejauhan, hijau seperti daun pohon, hijau seperti air mata ke kasih. Di atas golok lengkung Cing cing tertera sebaris tulisan yang berbunyi:
"Siau lo it ya teng cun yu"
Artinya: Mendengar rintihan hujan di sebuah loteng pada suatu malam.
* * * * *
SEORANG GADIS BUGIL
FAJAR baru saja menyingsing, kabut menyelimuti seluruh permukaan bumi, kabut yang sangat tebal. Ting Peng mendorong daun jendela ruangannya, kabut tebal yang putih melayang masuk dan menerpa di atas wajahnya.
Ia berparas tampan, bertubuh gagah, sehat, penuh semangat hidup dan perkasa, sewaktu tertawa, seringkali memperlihatkan kepolosan seorang bocah, seakan akan seorang bocah lelaki yang baru tumbuh menjadi dewasa. Tapi Ting Peng sudah bukan kanak-kanak.
Pada bulan tiga, secara beruntun dia telah mengalahkan tiga orang jago pedang yang paling tersohor dalam dunia persilatan.
Bila sinar matahari dan air membuat tumbuhan tumbuh dengan subur, maka kemenangan serta keberhasilan membuat seorang bocah laki-laki cepat tumbuh menjadi dewasa dan matang. Sekarang bukan saja ia telah menjadi seorang lelaki yang sejati, lagi pula amat mantap, tegas dan penuh dengan kepercayaan pada diri sendiri.
Dia dilahirkan pada bulan tiga, tahun ini genap sudah dua puluh tahun, pada ulang tahunnya yang kedua puluh itulah, dengan sebuah jurus Thian gwa liu song (bintang meluncur dari luar angkasa) ia berhasil mengalahkan Si Teng seorang jago pedang kenamaan dari kota Po-teng.
Si Tong adalah seorang jago lihay dari Cing-peng-kiam aliran utara, dengan kemenangan tersebut ia memberi hadiah ulang tahun dirinya sendiri.
Pada bulan empat, sekali lagi ia berhasil mengalahkan Tui-hong-kiam (pedang pengejar angin) Kek Khi dengan jurus Thian-gwa liu seng.
Kek Khi adalah murid tertua dari partai Hoa-san, ilmu pedangnya cepat lagi ganas, setiap kali melepaskan serangan tentu buas dan mematikan, dia adalah seorang laki-laki yang angkuh.
Tapi setelah pertarungan itu, dia dapat dikalahkan dengan hati yang puas, kepada umum dia mengakui:
"Sekalipun aku berlatih sepuluh tahun lagi, belum! tentu bisa kuhadapi serangan tersebut"
Bulan lima, ciangbunjin dari Thi-kiam bun, (perguruan pedang baja), Siong Yang kiam kek, (jago pedang dari siong yang) Kwik Tin-peng dikalahkan pula dengan jurus Thian-gwa liu-song. Terhadap jurus pedang serta manusianya itu, Kwik Tin peng memberi komentar:
"Dia betul-betul seorang pemuda yang jarang ditemukan dikolong langit, dalam setahun mendatang, pemuda ini pasti akan tersohor dalam dunia persilatan dan merupakan seorang pemimpin yang cakap"
Walaupun perguruan Thi-kiam-bun tidak terhitung suatu perguruan yang besar dan ternama, namun mereka mempunyai sejarah yang cukup lama. Kwik Tin-peng sebagai seorang ciangbunjin ternyata mengucapkan kata-kata tersebut, sudah barang tentu ucapannya sangat berbobot. Hingga sekarang, acapkali Ting Peng merasa bangga dan gembira setiap kali teringat akan perkataan tersebut.
"Tersohor dalam dunia persilatan, sebagai seorang pemimpin yang cakap"
Sudah lima belas tahun ia melatih diri secara tekun, setiap hari berlatih selama hampir tujuh jam lamanya, membuat telapak tangan maupun telapak kakinya menjadi lecet-lecet dan terluka.
Apalagi dimalam musim salju yang dingin, untuk membangkitkan semangatnya kerapkali ia mempersiapkan segumpal bongkahan es, bila merasakan dirinya menjadi malas, maka gumpalan es itu disusupkan ke dalam celana sendiri. Tentu saja siksaan seperti itu tak akan bisa dibayangkan oleh orang lain.
Ia begitu menyiksa dirinya. karena ia bertekad hendak menjadi terkenal, melampiaskan kekecewaan dari ayahnya yang sepanjang hidupnya tak pernah berhasil.
Ayahnya adalah seorang piausu yang tak ternama, dalam suatu ketika tanpa di sengaja ia telah menemukan selembar kitab ilmu pedang yang sudah koyak-koyak.
Bukan sejilid, melainkan hanya selembar. Di atas lembaran kertas itu, tercantumlah rahasia dari jurus Thian gwa liu seng tersebut.
Bintang yang meluncur datang dari luar angkasa, tiba-tiba meluncur tiba, tiba-tiba meluncur pergi, kecepatan dan kerlipan cahaya tersebut tak bisa dibandingkan dengan kejadian apapun, pula tak seorangpun yang bisa membendungnya.
Tapi waktu itu ayahnya sudah tua, kecerdasan otaknya sudah mundur, reaksinya juga makin lamban, tak mungkin lagi baginya untuk melatih ilmu pedang semacam itu, maka selembar catatan ilmu pedang itupun telah diwariskan kepada putranya.
Sebelum menghembuskan napas yang penghabisan, ia sempat meninggalkan pesan, Katanya:
"Kau harus berhasil melatih ilmu pedang itu, kau harus melampiaskan semua kekecewaan dan keputus-asaanku, agar orang lain tahu bahwa aku orang she Ting pun memiliki keturunan yang bisa menonjol"
Setiap kali teringat akan persoalan ini, Ting Peng akan merasakan darah panas dalam rongga dadanya bergolak keras, bahkan air matapun hampir saja jatuh bercucuran.
Sekarang ia tak perlu melelehkan air mata lagi. Air mata hanya dilelehkan oleh mereka yang lemah, dan seorang lelaki sejati tak boleh melelehkan air mata, darah yang harus meleleh keluar....
Dia menarik napas panjang-panjang menghirup udara pagi yang segar dan dingin, dari bawah bantal ia mencabut keluar sebilah pedang. Hari ini, kembali dia akan mempergunakan pedang ini untuk meraih kemenangan sekali lagi baginya. Jika hari ini pertarungannya berakhir dengan kemenangan, ia baru akan benar-benar berhasil dengan sukses.
"Si Tong, Kok Khi, Kwik Tin peng meski terhitung jago-jago kenamaan dalam dunia persilatan, tapi bila dibandingkan dengan pertarungan yang akan berlangsung hari ini kemenangan yang tiga kali secara beruntun itu masih belum terhitung seberapa.
Sebab lawan tandingannya hari ini adalah Liu Yok-siong. Cing siong kiam kek (jago pedang pohon cemara) Liu Yok siong yang merupakan salah satu dari antara Sui han sam yu (tiga serangkai cemara, bambu dan bwe) jago-jago kenamaan dalam kolong langit dewasa ini.
Liu Yok siong yang merupakan kepala kampung Cing siong san ceng. Liu Yok siong yang merupakan satu satunya murid preman dari Thian It cin jin, seorang imam saleh dari kuil Lip tin koan di bukit Bu tong san.
Sejak banyak tahun berselang ia sudah mendengar akan nama besar orang ini. Ketika itu nama tersebut baginya bagaikan bukit Tay san yang sangat tinggi, jauh tinggi di atas dan tak mungkin tergoyahkan. Tapi keadaan sekarang jauh berbeda. Sekarang ia mempunyai keyakinan untuk mengalahkan orang ini.
Ia menggunakan cara yang paling jujur dan cara yang paling terbuka untuk memohon petunjuk dari Bu lim cianpwe kenamaan ini. Membuat Liu Yok siong tak sanggup untuk menampik tantangannya itu.
Sebab dia harus berhasil merobohkan orang itu bila ingin maju ke depan, maju ke lingkungan orang-orang ternama dalam dunia persilatan. Baik waktu maupun tempat diselenggarakannya pertarungan itu ditentukan sendiri oleh Liu Yok siong.
"Bulan enam tanggal lima belas, tengah hari tepat, di perkampungan Cing siong san ceng"
Hari ini adalah bulan enam tanggal lima belas. Hasil dari pertarungan hari ini, akan menentukan nasib serta masa depannya di kemudian hari.
Pakaian yang semalam ia cuci sendiri digantungkan pada tiang jemuran di mulut jendela, kini sudah hampir kering. Walaupun belum mengering sama sekali, setelah dikenakan di badan, dengan cepat akan mengering sendiri.
Pakaian ini merupakan satu satunya pakaian yang dia miliki, pakaian yang dibuat oleh ibunya sendiri menjelang kepergiannya dulu, sekarang warnanya sudah luntur, bahkan di sana sini penuh dengan tambalan, tapi asal selalu dicuci dan kering, Ia masih bisa mengenakannya untuk berjumpa dengan siapapun.
Miskin bukan sesuatu yang memalukan, malas dan dekil baru sesuatu yang memalukan.
Setelah berpakaian, dari bawah bantalnya kembali ia mengeluarkan sebuah kocek terbuat pula dari kain biru. Dalam kocek hanya tinggal sekeping kecil hancuran perak. Inilah seluruh harta yang dimiliki, setelah dibuat untuk membayar ongkos penginapan, yang tersisapun paling cuma beberapa puluh rence uang tembaga.
Biasanya ia selalu tidur di tempat-tempat yang tak perlu membayar uang sewa, seperti dikolong meja altar dalam kuil atau rumput di tengah hutan...
Tapi demi keberhasilannya dalam pertempuran hari ini, dengan perasaan terpaksa dia memasuki penginapan kecil itu, sebab dia membutuhkan tidur yang nyenyak dan nyaman, dengan begitu badannya baru akan memiliki semangat serta kekuatan yang segar, dalam kondisi seperti ini dia baru akan berhasil menangkan pertarungan.
Setelah membayar rekening penginapan sambil menggigit bibir kembali ia membeli setengah kati daging sapi, sepuluh potong tahu kering, sebungkus besar kacang tanah dan lima bakpao besar dengan menggunakan sisa uang yang dimilikinya.
Baginya makanan tersebut bukan saja merupakan suatu makanan yang mewah dan berlebihan, lagi pula ia menganggap sebagai suatu pemborosan yang tak boleh diampuni, sebab dihari hari biasa dia hanya dahar kuah keras yang cukup dibeli dengan uang tiga rence tembaga tapi cukup untuk mengisi perut selama sehari penuh.
Tapi hari ini, ia bertekad untuk memaafkan dirinya satu kali, hari ini ia membutuhkan tenaga yang besar, hanya makan makanan yang lezat baru akan timbul kekuatan yang segar. Apalagi setelah lepas hari ini, besar kemungkinan keadaannya akan sama sekali berbeda.
Nama besar bukan saja dapat mendatangkan kebanggaan serta martabat, dapat pula mendatangkan banyak hal yang biasanya tak pernah kau duga. Harta kekayaan, kedudukan mungkin juga akan turut berdatangan semua.
Dia sangat memahami hal ini, sehingga dia selama ini terus menerus menggertakkan rahangnya kuat-kuat untuk menahan kemiskinan dan kelaparan ini. Dia tidak akan pernah membiarkan dirinya tercemar oleh perbuatan yang tidak terhormat, dia telah membulatkan tekad untuk mencapai kesuksesan lewat jalan yang normal.
Sekarang masih ada waktu dua jam sebelum waktu tengah hari tiba, dia memutuskan untuk mencari sebuah tempat agar dapat menikmati makanan ini.
Di kaki bukit dekat Villa Bukit Wan Song dia menemukan sebuah tempat yang memiliki sumber air, padang rumput, kembang merah, dan pemandangan yang indah, ke empat penjurunya dilingkari oleh kembang dan pepohonan, sekali mata memandang tampaklah langit yang membiru.
Pada saat ini kabut tebal sudah memudar, matahari baru saja naik meninggi, di atas daun-daun yang hijau bulir-bulir embun berkilauan, cemerlang bagaikan mutiara. Dia duduk di atas rumput yang empuk, merobek dendeng daging, aroma dendeng daging ternyata jauh lebih harum daripada yang dia bayangkan. Dia merasa sangat gembira.
Pada saat inilah seorang perempuan berjalan masuk ke dalam tempat rahasia kecilnya ini, seperti seekor kambing antelope yang sedang dikejar oleh pemburu. Bocah perempuan ini berparas cantik dan masih belia.
Ting Peng sudah merasakan napasnya seperti berhenti, debar jantungnya bertambah cepat tiga kali lipat dari biasanya. Dia belum pernah sebelumnya berdekatan dengan perempuan. Di kampung halamannya, bukannya tidak ada gadis belia, dia juga bukannya tidak pernah melihat mereka.
Dia selalu saja mati-matian mengendalikan dirinya, semua cara sudah dia gunakan, dia memasukkan bongkahan es ke balik celananya, memasukkan kepalanya ke dalam air sungai, menusuk kakinya sendiri dengan jarum, berlari, mendaki gunung, bersalto...
Sebelum dia mencapai ketenaran, dia tidak akan membuat hal-hal ini memecah konsentrasinya, dia tidak akan membiarkan dirinya kehilangan tenaga oleh apa pun juga.
Tetapi sekarang, dia tiba-tiba melihat ada seorang wanita yang telanjang, seorang wanita cantik yang tidak mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya. Kulitnya yang putih itu, payudaranya yang tinggi menjulang, matanya yang bulat dan indah. Dia harus menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya sebelum akhirnya dapat memalingkan kepalanya.
Perempuan ini malah mendekat, menariknya dan berkata dengan napas yang terengah-engah: "Tolong, tolong aku, kau harus menolongku."
Wanita itu begitu berdekatan dengannya, napasnya terasa hangat dan harum, dia bahkan bisa mendengar detak jantungnya. Mulutnya terasa kering, sehingga tidak satu patah kata pun diucapkannya.
Gadis ini sudah menyadari perubahan yang terjadi dalam tubuhnya, sehingga wajahnya berubah menjadi merah merona, dia menggunakan sepasang tangannya untuk menutupi tubuhnya, "Kau... kau... bisakah kau melepaskan pakaianmu untuk dipinjamkan padaku?"
Pakaian itu, adalah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, namun dia tanpa berpikir panjang lagi langsung menanggalkannya.
Setelah gadis itu mengenakan pakaiannya, barulah dia merasa agak tenang sedikit, setelah itu dia berkata dengan penuh rasa hormat: "Terima kasih!"
Ting Peng akhirnya juga merasa lebih tenang sedikit, akhirnya dia juga bisa mengutarakan kata-kata: "Apakah ada orang yang sedang mengejarmu?"
Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya, di matanya juga terdapat air mata.
Ting Peng berkata: "Tempat ini sangat terpencil, orang lain akan sulit menemukannya, kalau pun ada orang yang mengejar, kau tidak perlu takut."
Dia adalah seorang pria yang jantan, sejak lahir dia sudah punya sifat melindungi wanita, apalagi gadis ini memiliki wajah yang begitu cantik. Dia menggenggam tangan gadis itu: "Selama ada aku dan golok ini, maka kau tidak perlu takut."
Gadis itu kembali merasa tenang, dia berkata dengan lirih: "Terima kasih." Dia sepertinya sudah pernah mengatakan kedua kata itu. setelah selesai berkata seperti itu dia lalu menundukkan kepalanya dan menutup mulutnya.
Ting Peng semakin tidak tahu harus berkata apa. Meskipun tubuh gadis itu hanya ditutupi oleh sehelai pakaian, namun sehelai pakaian yang pendek sama sekali tidak dapat menutupi dan menyembunyikan seluruh bagian tubuh seorang gadis yang telah matang itu.
Tubuh seorang gadis yang seperti dia ini, benar-benar memiliki terlalu banyak bagian yang menarik perhatian orang. Jantungnya masih terus berdebar kencang, deburan jantungnya pun sangat cepat.
Setelah beberapa lama kemudian, barulah dia menyadari kalau mata gadis itu sedang terus memandangi bungkusan dendeng sapinya itu. Makanan ini mungkin sekali adalah makanan terakhir yang akan dilahapnya, uang terakhir yang dimilikinya hanyalah berjumlah satu tong saja. Namun dia tanpa berpikir panjang berkata:
"Makanan ini semuanya bersih, kau makan saja sedikit."
Gadis itu kembali berkata: "Terima kasih!"
Ting Peng berkata: "Tidak usah sungkan-sungkan."
Gadis itu lalu benar-benar tidak sungkan-sungkan lagi. Belum pernah Ting peng menyangka kalau seorang gadis muda seperti dia ternyata cara makannya seperti seekor serigala. Ia pasti sudah lama menderita kelaparan, sudah banyak siksaan dan penderitaan yang dialaminya. Bahkan ia sudah dapat membayangkan tragedi yang telah menimpa dara ayu ini.
Seorang gadis yang sendirian, ditelanjangi oleh sekawanan manusia jahat dan dikurung dalam sebuah penjara bawah tanah tanpa dl beri makan, rupanya gadis itu telah mempergunakan segala macam cara yang dimilikinya untuk melarikan diri dari situ.
Dikala ia sedang menghela napas panjang mengenang tragedi yang menimpa gadis itu, si nona telah menyikat habis segenap harta yang dimilikinya itu. Bukan saja daging sapi dan tahunya disikat ludas bahkan beberapa biji bakpao pun ikut dilahap, yang tersisa sekarang tinggal empat puluh biji kacang tanah.
Tampaknya dara itupun merasa agak rikuh dengan kejadian itu, pelan-pelan ia mendorong kacang tanah tersebut ke hadapannya sambil berbisik amat lirih: "Kacang ini makanlah untukmu!"
Ting Peng segera tertawa. Sebenarnya bukan saja ia tak bisa tertawa, bahkan mau menangispun tak bisa, tapi kenyataannya justru dia tak tahan untuk tertawa terbahak bahak. Dara ayu itupun turut tertawa, tertawa dengan pipi yang berubah menjadi merah karena jengah, merahnya pipi bagaikan sekuntum bunga di bawah sorotan cahaya matahari.
Tertawa, bukan saja dapat membuat dirinya bertambah cantik, membuat orang lain gembira, dapat pula memperpendek jarak antara seseorang dengan orang yang lain.
Tiba-tiba saja mereka merasa jauh lebih leluasa, jauh lebih bebas untuk bergerak, akhirnya dara ayu itupun mengisahkan tragedi yang telah dialaminya. Apa yang dilamunkan Ting Peng tadi ternyata memang tidak terpaut jauh dibandingkan dengan kenyataan.
Dara ayu itu memang benar-benar ditangkap oleh segerombolan orang jahat, ditelanjangi dan disekap dalam sebuah kamar yang gelap, sudah beberapa hari lamanya ia tak diberi makan sebutir beraspun, kawanan penjahat itu mengira dia sudah kelaparan sehingga tak mampu berkutik, sebab itu penjaga batu agak mengendor, dan iapun memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri.
Gadis itu merasa amat berterima kasih sekali kepadanya, dengan dada terharu kembali ia berkata: "Bisa bersua dengan orang baik seperti kau, sungguh hal ini merupakan suatu kemujuran bagiku"
"Dimanakah orang-orang itu sekarang? Akan kubalaskan dendam sakit hatimu itu!"
""Kau, tak boleh kesana..."
"Mengapa?"
Dara ayu itu ragu-ragu sejenak, kemudian sahutnya, "Ada sementara persoalan tak ingin kukatakan pada saat ini, tapi di kemudian hari aku pasti akan memberitahukan kepada mu"
Dibalik persoalan itu tampaknya masih ada rahasia lain, tapi setelah berkata demikian, tentu saja ia merasa enggan untuk bertanya lebih jauh.
Gadis itu kembali berkata: "Sekarang. asal aku dapat menemukan seseorang, legalah hatiku"
"Siapa yang hendak kau cari?"
"Seorang cianpwe ku, dia telah berusia enam tujuh puluh tahunan, tapi gemar mengenakan baju berwarna merah menyala, asal kau berjumpa dengannya pasti dapat segera kau kenali"
la mendongakkan kepalanya dan memandang dengan sorot mata penuh permohonan tanyanya lirih: "Bersediakah kau membantuku untuk menemukan jejaknya?"
Tentu saja Ting Peng tak bisa pergi, benar-benar tak bisa pergi dan tak mungkin pergi sekarang" jaraknya dengan saat pertarungan yang bakal menentukan nasibnya itu tinggal kurang dari dua jam. Ia masih lapar, masih belum berlatih ilmu pedangnya. Ia harus baik-baik memupuk kekuatannya, menjaga kondisi badannya daripada pergi mencari seorang kakek yang belum pernah dijumpainya.
Tapi, apa lacur justru dia tak sanggup untuk mengucapkan kata "tak bisa" itu dari mulutnya. Mengucapkan kata "tidak" di hadapan seorang gadis yang cantik jelita memang bukan suatu pekerjaan yang terlalu gampang. Bukan saja harus memiliki keberanian yang sangat besar, kaupun harus memiliki kulit muka yang cukup tebal.
Seorang pria harus mengalami banyak percobaan dan penderitaan lebih dulu, sebelum dapat belajar mengucapkan kata "tidak" di hadapan seorang gadis cantik. Ting Peng menghela napas panjang di hatinya, iapun bertanya:
"Entah lo-siansing itu tinggal dimana?"
"Kau bersedia membantuku untuk mencari dirinya?" mencorong sinar tajam dari balik mata gadis itu.
Terpaksa Ting Peng harus manggut-manggut. Dengan luapan rasa gembira, gadis itu melompat bangun dan memeluknya erat-erat,
"Oooh, kau betul-betul seorang yang baik, selama hidup aku tak akan melupakan dirimu"
Ting Peng sendiripun percaya, untuk melupakan gadis ini dalam sejarah hidupnya memang bukan suatu pekerjaan yang gampang,
"Ikuti sungai ini dan berjalanlah menuju ke hulu, bila kau sampai di ujung sungai ini akan kau jumpai sebuah pohon kuno yang aneh sekali bentuknya, jika kebetulan udara sedang bersih, ia pasti sedang bermain catur di sana"
Kebetulan cuaca hari ini sangat bersih dan segar.
"Setelah bertemu dengannya, kau harus mengobrak-abrik papan caturnya lebih dahulu, sebab hanya didalam keadaan demikian ia baru akan menuruti perkataan mu, dan mengikuti kau datang kemari"
Seorang pecandu catur memang begitulah sikapnya, sekalipun langit bakal ambruk, dia akan berbicara setelah permainan yang satu babak diselesaikan.
"Aku akan menunggu kedatanganmu di sini, entah kau berhasil menemukannya atau tidak, kau harus cepat-cepat kembali ke sini"
AIR sungai itu amat bersih. Dengan menelusuri sungai, Ting Peng berjalan menuju ke hulu, ia berjalan dengan langkah cepat. Tentu saja dia harus cepat-cepat pulang, dia masih ada banyak urusan yang harus diselesaikan, sang surya makin meninggi, tiba-tiba ia merasa lapar. Lapar setengah mati.
Hari ini, mungkin merupakan hari yang terpenting sepanjang hidupnya, saat yang akan menentukan nasibnya di kemudian hari. Tapi sekarang, keadaannya seperti seorang tolol, mana perut lapar, bertelanjang dada, harus menelusuri sungai pula untuk mencari seorang kakek berbaju merah untuk seorang dara muda.
Bila orang lain yang melakukan perbuatan semacam ini dia pasti tak akan percaya. Satu satunya kenyataan adalah gadis itu memang sangat cantik, bukan cuma cantik saja, lagi pula mempunyai suatu sikap yang istimewa sekali, membuat orang tak bisa menampik permohonannya dan tak tega untuk menolaknya.
Lelaki yang bisa mengucapkan kata "tidak" di hadapan gadis cantik seperti ini pasti tidak banyak jumlahnya Untung saja sungai itu tidak terlalu panjang, betul juga di ujung sungai terdapat sebatang pohon kuno, di bawah pohon tampak dua orang sedang bermain catur, salah seorang diantaranya adalah seorang kakek berambut putih yang memakai jubah warna merah.
Ting Peng menghembuskan napas lega dengan langkah lebar dia maju ke depan dan mengobrak abrik permainan catur mereka. Dia memang seorang pemuda yang sangat penurut.
Siapa tahu belum lagi tangannya dijulurkan ke depan tiba-tiba kakinya menginjak tempat kosong, rupanya di atas tanah terdapat sebuah liang, kakinya persis masuk ke dalam liang tersebut.
Untung saja liang itu tidak terlalu besar sehingga ia tak sampai tertelungkup ke tanah. Tapi tidak untungnya, baru saja kaki itu dicabut keluar dari dalam liang, kaki yang lain telah terjirat tali.
Ternyata di atas tanah terdapat seutas lingkaran tali, begitu kakinya melangkah ke dalam tali itu, serta merta tali tersebut menyusut kecil dan membelenggunya kencang kencang. Padahal waktu itu kakinya yang lain masih berada ditengah udara, begitu kaki yang satu terikat tali, kontan saja hilanglah keseimbangan badannya.
Yang lebih parah lagi, ternyata kolongan tali itu diikat pada sebatang dahan pohon, dahan itu sebetulnya melengkung di atas tanah, begitu kolongan tali tersebut bergerak, serta merta dahan pohon tadi melenting ke udara, otomatis badannya ikut pula tertarik ke tengah udara.
Dasar sial lagi, sewaktu badannya mencelat ke tengah udara kebetulan badannya menumbuk di atas dahan pohon yang lain, tempat yang tertumbukpun kebetulan adalah jalan darah lemas dekat pinggangnya, sedikit saja terbentur, kontan saja segenap tenaganya lenyap tak berbekas.
Maka tanpa diketahui ujung pangkalnya, tahu-tahu pemuda itu sudah tergantung di atas pohon dengan kepala di bawah kaki di atas, persis seperti seekor ikan asin yang dijemur di bawah teriknya matahari.
Liang di atas tanah, kolongan tali disamping liang dan dahan pohon tersebut, apakah semuanya diatur secara sengaja?
Gadis ayu itu suruh dia datang ke situ, apakah ia sengaja membiarkannya masuk perangkap ini? Tapi mereka toh tiada dendam sakit hati apa-apa, kenapa ia harus mencelakainya?
Dua orang manusia yang berada di bawah pohon itu masih bermain catur dengan asyik. Jangan toh menolongnya, berpaling dan memandang sekejap ke arahnyapun tidak, seakan akan mereka sama sekali tak tahu kalau ada satu orang yang datang ke situ dan kena terjirat oleh tali sehingga tergantung di atas dahan pohon.
Dua orang ini benar-benar pecandu catur. Orang yang sedang asyik bermain catur, apalagi pemainnya adalah pecandu-pecandu catur biasanya paling tak senang kalau diusik orang lain. Mereka sengaja mengatur jebakan tersebut mungkin hanya berjaga juga terhadap gargguan orang lain, bukan sengaja dipasang untuk menghadapi seorang.
Gadis itu tentu saja tak akan tahu kalau di sana telah dipasang jebakan semacam itu. Berpikir sampai ke situ, sedikit banyak Ting Peng merasa hatinya agak tenteram sedikit, sambil menahan diri segera teriaknya:
"Lo-sianseng berdua, tolong turunkan aku dari sini"
Tapi pemain-pemain catur itu sama sekali tidak menggubris, mengulangi kembali ucapannya sampai tiga kali namun menggubris seolah-olah tak sepotong perkataanpun yang didengar oleh mereka berdua.
Habislah kesabaran Ting Peng, dengan suara menggeledek ia berteriak semakin keras "Hey...!"
Ia cuma meneriakkan sepatah kata saja, sebabnya kata pembukaan itu saja yang sanggup diutarakan olehnya. Baru saja mulutnya dibuka, sebuah benda telah meluncur datang dan menyumbat bibirnya. Semacam benda yang bau, lunak, lembab dan amis, entah lumpur? Entah benda yang jauh lebih kotor dan najis daripada lumpur?
Benda itu meluncur datang dari atas dahan pohon di seberang sana, dimana seekor monyet kecil berbaju merah sedang bergelantungan di pohon dan memandangnya sambil mencicit. Benda yang disambit seekor monyet tentu saja bukan benda yang baik, kalau benda itu cuma lumpur, nasibnya masih terhitung lumayan.
Hampir pingsan Ting Peng saking gusarnya. Setelah melewati perjuangan yang penuh sengsara dan penderitaan, dikala kesuksesan sudah hampir tiba di depan mata. ternyata dia harus mengalami peristiwa semacam ini.
Ia berparas tampan, bertubuh gagah, sehat, penuh semangat hidup dan perkasa, sewaktu tertawa, seringkali memperlihatkan kepolosan seorang bocah, seakan akan seorang bocah lelaki yang baru tumbuh menjadi dewasa. Tapi Ting Peng sudah bukan kanak-kanak.
Pada bulan tiga, secara beruntun dia telah mengalahkan tiga orang jago pedang yang paling tersohor dalam dunia persilatan.
Bila sinar matahari dan air membuat tumbuhan tumbuh dengan subur, maka kemenangan serta keberhasilan membuat seorang bocah laki-laki cepat tumbuh menjadi dewasa dan matang. Sekarang bukan saja ia telah menjadi seorang lelaki yang sejati, lagi pula amat mantap, tegas dan penuh dengan kepercayaan pada diri sendiri.
Dia dilahirkan pada bulan tiga, tahun ini genap sudah dua puluh tahun, pada ulang tahunnya yang kedua puluh itulah, dengan sebuah jurus Thian gwa liu song (bintang meluncur dari luar angkasa) ia berhasil mengalahkan Si Teng seorang jago pedang kenamaan dari kota Po-teng.
Si Tong adalah seorang jago lihay dari Cing-peng-kiam aliran utara, dengan kemenangan tersebut ia memberi hadiah ulang tahun dirinya sendiri.
Pada bulan empat, sekali lagi ia berhasil mengalahkan Tui-hong-kiam (pedang pengejar angin) Kek Khi dengan jurus Thian-gwa liu seng.
Kek Khi adalah murid tertua dari partai Hoa-san, ilmu pedangnya cepat lagi ganas, setiap kali melepaskan serangan tentu buas dan mematikan, dia adalah seorang laki-laki yang angkuh.
Tapi setelah pertarungan itu, dia dapat dikalahkan dengan hati yang puas, kepada umum dia mengakui:
"Sekalipun aku berlatih sepuluh tahun lagi, belum! tentu bisa kuhadapi serangan tersebut"
Bulan lima, ciangbunjin dari Thi-kiam bun, (perguruan pedang baja), Siong Yang kiam kek, (jago pedang dari siong yang) Kwik Tin-peng dikalahkan pula dengan jurus Thian-gwa liu-song. Terhadap jurus pedang serta manusianya itu, Kwik Tin peng memberi komentar:
"Dia betul-betul seorang pemuda yang jarang ditemukan dikolong langit, dalam setahun mendatang, pemuda ini pasti akan tersohor dalam dunia persilatan dan merupakan seorang pemimpin yang cakap"
Walaupun perguruan Thi-kiam-bun tidak terhitung suatu perguruan yang besar dan ternama, namun mereka mempunyai sejarah yang cukup lama. Kwik Tin-peng sebagai seorang ciangbunjin ternyata mengucapkan kata-kata tersebut, sudah barang tentu ucapannya sangat berbobot. Hingga sekarang, acapkali Ting Peng merasa bangga dan gembira setiap kali teringat akan perkataan tersebut.
"Tersohor dalam dunia persilatan, sebagai seorang pemimpin yang cakap"
Sudah lima belas tahun ia melatih diri secara tekun, setiap hari berlatih selama hampir tujuh jam lamanya, membuat telapak tangan maupun telapak kakinya menjadi lecet-lecet dan terluka.
Apalagi dimalam musim salju yang dingin, untuk membangkitkan semangatnya kerapkali ia mempersiapkan segumpal bongkahan es, bila merasakan dirinya menjadi malas, maka gumpalan es itu disusupkan ke dalam celana sendiri. Tentu saja siksaan seperti itu tak akan bisa dibayangkan oleh orang lain.
Ia begitu menyiksa dirinya. karena ia bertekad hendak menjadi terkenal, melampiaskan kekecewaan dari ayahnya yang sepanjang hidupnya tak pernah berhasil.
Ayahnya adalah seorang piausu yang tak ternama, dalam suatu ketika tanpa di sengaja ia telah menemukan selembar kitab ilmu pedang yang sudah koyak-koyak.
Bukan sejilid, melainkan hanya selembar. Di atas lembaran kertas itu, tercantumlah rahasia dari jurus Thian gwa liu seng tersebut.
Bintang yang meluncur datang dari luar angkasa, tiba-tiba meluncur tiba, tiba-tiba meluncur pergi, kecepatan dan kerlipan cahaya tersebut tak bisa dibandingkan dengan kejadian apapun, pula tak seorangpun yang bisa membendungnya.
Tapi waktu itu ayahnya sudah tua, kecerdasan otaknya sudah mundur, reaksinya juga makin lamban, tak mungkin lagi baginya untuk melatih ilmu pedang semacam itu, maka selembar catatan ilmu pedang itupun telah diwariskan kepada putranya.
Sebelum menghembuskan napas yang penghabisan, ia sempat meninggalkan pesan, Katanya:
"Kau harus berhasil melatih ilmu pedang itu, kau harus melampiaskan semua kekecewaan dan keputus-asaanku, agar orang lain tahu bahwa aku orang she Ting pun memiliki keturunan yang bisa menonjol"
Setiap kali teringat akan persoalan ini, Ting Peng akan merasakan darah panas dalam rongga dadanya bergolak keras, bahkan air matapun hampir saja jatuh bercucuran.
Sekarang ia tak perlu melelehkan air mata lagi. Air mata hanya dilelehkan oleh mereka yang lemah, dan seorang lelaki sejati tak boleh melelehkan air mata, darah yang harus meleleh keluar....
Dia menarik napas panjang-panjang menghirup udara pagi yang segar dan dingin, dari bawah bantal ia mencabut keluar sebilah pedang. Hari ini, kembali dia akan mempergunakan pedang ini untuk meraih kemenangan sekali lagi baginya. Jika hari ini pertarungannya berakhir dengan kemenangan, ia baru akan benar-benar berhasil dengan sukses.
"Si Tong, Kok Khi, Kwik Tin peng meski terhitung jago-jago kenamaan dalam dunia persilatan, tapi bila dibandingkan dengan pertarungan yang akan berlangsung hari ini kemenangan yang tiga kali secara beruntun itu masih belum terhitung seberapa.
Sebab lawan tandingannya hari ini adalah Liu Yok-siong. Cing siong kiam kek (jago pedang pohon cemara) Liu Yok siong yang merupakan salah satu dari antara Sui han sam yu (tiga serangkai cemara, bambu dan bwe) jago-jago kenamaan dalam kolong langit dewasa ini.
Liu Yok siong yang merupakan kepala kampung Cing siong san ceng. Liu Yok siong yang merupakan satu satunya murid preman dari Thian It cin jin, seorang imam saleh dari kuil Lip tin koan di bukit Bu tong san.
Sejak banyak tahun berselang ia sudah mendengar akan nama besar orang ini. Ketika itu nama tersebut baginya bagaikan bukit Tay san yang sangat tinggi, jauh tinggi di atas dan tak mungkin tergoyahkan. Tapi keadaan sekarang jauh berbeda. Sekarang ia mempunyai keyakinan untuk mengalahkan orang ini.
Ia menggunakan cara yang paling jujur dan cara yang paling terbuka untuk memohon petunjuk dari Bu lim cianpwe kenamaan ini. Membuat Liu Yok siong tak sanggup untuk menampik tantangannya itu.
Sebab dia harus berhasil merobohkan orang itu bila ingin maju ke depan, maju ke lingkungan orang-orang ternama dalam dunia persilatan. Baik waktu maupun tempat diselenggarakannya pertarungan itu ditentukan sendiri oleh Liu Yok siong.
"Bulan enam tanggal lima belas, tengah hari tepat, di perkampungan Cing siong san ceng"
Hari ini adalah bulan enam tanggal lima belas. Hasil dari pertarungan hari ini, akan menentukan nasib serta masa depannya di kemudian hari.
Pakaian yang semalam ia cuci sendiri digantungkan pada tiang jemuran di mulut jendela, kini sudah hampir kering. Walaupun belum mengering sama sekali, setelah dikenakan di badan, dengan cepat akan mengering sendiri.
Pakaian ini merupakan satu satunya pakaian yang dia miliki, pakaian yang dibuat oleh ibunya sendiri menjelang kepergiannya dulu, sekarang warnanya sudah luntur, bahkan di sana sini penuh dengan tambalan, tapi asal selalu dicuci dan kering, Ia masih bisa mengenakannya untuk berjumpa dengan siapapun.
Miskin bukan sesuatu yang memalukan, malas dan dekil baru sesuatu yang memalukan.
Setelah berpakaian, dari bawah bantalnya kembali ia mengeluarkan sebuah kocek terbuat pula dari kain biru. Dalam kocek hanya tinggal sekeping kecil hancuran perak. Inilah seluruh harta yang dimiliki, setelah dibuat untuk membayar ongkos penginapan, yang tersisapun paling cuma beberapa puluh rence uang tembaga.
Biasanya ia selalu tidur di tempat-tempat yang tak perlu membayar uang sewa, seperti dikolong meja altar dalam kuil atau rumput di tengah hutan...
Tapi demi keberhasilannya dalam pertempuran hari ini, dengan perasaan terpaksa dia memasuki penginapan kecil itu, sebab dia membutuhkan tidur yang nyenyak dan nyaman, dengan begitu badannya baru akan memiliki semangat serta kekuatan yang segar, dalam kondisi seperti ini dia baru akan berhasil menangkan pertarungan.
Setelah membayar rekening penginapan sambil menggigit bibir kembali ia membeli setengah kati daging sapi, sepuluh potong tahu kering, sebungkus besar kacang tanah dan lima bakpao besar dengan menggunakan sisa uang yang dimilikinya.
Baginya makanan tersebut bukan saja merupakan suatu makanan yang mewah dan berlebihan, lagi pula ia menganggap sebagai suatu pemborosan yang tak boleh diampuni, sebab dihari hari biasa dia hanya dahar kuah keras yang cukup dibeli dengan uang tiga rence tembaga tapi cukup untuk mengisi perut selama sehari penuh.
Tapi hari ini, ia bertekad untuk memaafkan dirinya satu kali, hari ini ia membutuhkan tenaga yang besar, hanya makan makanan yang lezat baru akan timbul kekuatan yang segar. Apalagi setelah lepas hari ini, besar kemungkinan keadaannya akan sama sekali berbeda.
Nama besar bukan saja dapat mendatangkan kebanggaan serta martabat, dapat pula mendatangkan banyak hal yang biasanya tak pernah kau duga. Harta kekayaan, kedudukan mungkin juga akan turut berdatangan semua.
Dia sangat memahami hal ini, sehingga dia selama ini terus menerus menggertakkan rahangnya kuat-kuat untuk menahan kemiskinan dan kelaparan ini. Dia tidak akan pernah membiarkan dirinya tercemar oleh perbuatan yang tidak terhormat, dia telah membulatkan tekad untuk mencapai kesuksesan lewat jalan yang normal.
Sekarang masih ada waktu dua jam sebelum waktu tengah hari tiba, dia memutuskan untuk mencari sebuah tempat agar dapat menikmati makanan ini.
Di kaki bukit dekat Villa Bukit Wan Song dia menemukan sebuah tempat yang memiliki sumber air, padang rumput, kembang merah, dan pemandangan yang indah, ke empat penjurunya dilingkari oleh kembang dan pepohonan, sekali mata memandang tampaklah langit yang membiru.
Pada saat ini kabut tebal sudah memudar, matahari baru saja naik meninggi, di atas daun-daun yang hijau bulir-bulir embun berkilauan, cemerlang bagaikan mutiara. Dia duduk di atas rumput yang empuk, merobek dendeng daging, aroma dendeng daging ternyata jauh lebih harum daripada yang dia bayangkan. Dia merasa sangat gembira.
Pada saat inilah seorang perempuan berjalan masuk ke dalam tempat rahasia kecilnya ini, seperti seekor kambing antelope yang sedang dikejar oleh pemburu. Bocah perempuan ini berparas cantik dan masih belia.
Ting Peng sudah merasakan napasnya seperti berhenti, debar jantungnya bertambah cepat tiga kali lipat dari biasanya. Dia belum pernah sebelumnya berdekatan dengan perempuan. Di kampung halamannya, bukannya tidak ada gadis belia, dia juga bukannya tidak pernah melihat mereka.
Dia selalu saja mati-matian mengendalikan dirinya, semua cara sudah dia gunakan, dia memasukkan bongkahan es ke balik celananya, memasukkan kepalanya ke dalam air sungai, menusuk kakinya sendiri dengan jarum, berlari, mendaki gunung, bersalto...
Sebelum dia mencapai ketenaran, dia tidak akan membuat hal-hal ini memecah konsentrasinya, dia tidak akan membiarkan dirinya kehilangan tenaga oleh apa pun juga.
Tetapi sekarang, dia tiba-tiba melihat ada seorang wanita yang telanjang, seorang wanita cantik yang tidak mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya. Kulitnya yang putih itu, payudaranya yang tinggi menjulang, matanya yang bulat dan indah. Dia harus menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya sebelum akhirnya dapat memalingkan kepalanya.
Perempuan ini malah mendekat, menariknya dan berkata dengan napas yang terengah-engah: "Tolong, tolong aku, kau harus menolongku."
Wanita itu begitu berdekatan dengannya, napasnya terasa hangat dan harum, dia bahkan bisa mendengar detak jantungnya. Mulutnya terasa kering, sehingga tidak satu patah kata pun diucapkannya.
Gadis ini sudah menyadari perubahan yang terjadi dalam tubuhnya, sehingga wajahnya berubah menjadi merah merona, dia menggunakan sepasang tangannya untuk menutupi tubuhnya, "Kau... kau... bisakah kau melepaskan pakaianmu untuk dipinjamkan padaku?"
Pakaian itu, adalah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, namun dia tanpa berpikir panjang lagi langsung menanggalkannya.
Setelah gadis itu mengenakan pakaiannya, barulah dia merasa agak tenang sedikit, setelah itu dia berkata dengan penuh rasa hormat: "Terima kasih!"
Ting Peng akhirnya juga merasa lebih tenang sedikit, akhirnya dia juga bisa mengutarakan kata-kata: "Apakah ada orang yang sedang mengejarmu?"
Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya, di matanya juga terdapat air mata.
Ting Peng berkata: "Tempat ini sangat terpencil, orang lain akan sulit menemukannya, kalau pun ada orang yang mengejar, kau tidak perlu takut."
Dia adalah seorang pria yang jantan, sejak lahir dia sudah punya sifat melindungi wanita, apalagi gadis ini memiliki wajah yang begitu cantik. Dia menggenggam tangan gadis itu: "Selama ada aku dan golok ini, maka kau tidak perlu takut."
Gadis itu kembali merasa tenang, dia berkata dengan lirih: "Terima kasih." Dia sepertinya sudah pernah mengatakan kedua kata itu. setelah selesai berkata seperti itu dia lalu menundukkan kepalanya dan menutup mulutnya.
Ting Peng semakin tidak tahu harus berkata apa. Meskipun tubuh gadis itu hanya ditutupi oleh sehelai pakaian, namun sehelai pakaian yang pendek sama sekali tidak dapat menutupi dan menyembunyikan seluruh bagian tubuh seorang gadis yang telah matang itu.
Tubuh seorang gadis yang seperti dia ini, benar-benar memiliki terlalu banyak bagian yang menarik perhatian orang. Jantungnya masih terus berdebar kencang, deburan jantungnya pun sangat cepat.
Setelah beberapa lama kemudian, barulah dia menyadari kalau mata gadis itu sedang terus memandangi bungkusan dendeng sapinya itu. Makanan ini mungkin sekali adalah makanan terakhir yang akan dilahapnya, uang terakhir yang dimilikinya hanyalah berjumlah satu tong saja. Namun dia tanpa berpikir panjang berkata:
"Makanan ini semuanya bersih, kau makan saja sedikit."
Gadis itu kembali berkata: "Terima kasih!"
Ting Peng berkata: "Tidak usah sungkan-sungkan."
Gadis itu lalu benar-benar tidak sungkan-sungkan lagi. Belum pernah Ting peng menyangka kalau seorang gadis muda seperti dia ternyata cara makannya seperti seekor serigala. Ia pasti sudah lama menderita kelaparan, sudah banyak siksaan dan penderitaan yang dialaminya. Bahkan ia sudah dapat membayangkan tragedi yang telah menimpa dara ayu ini.
Seorang gadis yang sendirian, ditelanjangi oleh sekawanan manusia jahat dan dikurung dalam sebuah penjara bawah tanah tanpa dl beri makan, rupanya gadis itu telah mempergunakan segala macam cara yang dimilikinya untuk melarikan diri dari situ.
Dikala ia sedang menghela napas panjang mengenang tragedi yang menimpa gadis itu, si nona telah menyikat habis segenap harta yang dimilikinya itu. Bukan saja daging sapi dan tahunya disikat ludas bahkan beberapa biji bakpao pun ikut dilahap, yang tersisa sekarang tinggal empat puluh biji kacang tanah.
Tampaknya dara itupun merasa agak rikuh dengan kejadian itu, pelan-pelan ia mendorong kacang tanah tersebut ke hadapannya sambil berbisik amat lirih: "Kacang ini makanlah untukmu!"
Ting Peng segera tertawa. Sebenarnya bukan saja ia tak bisa tertawa, bahkan mau menangispun tak bisa, tapi kenyataannya justru dia tak tahan untuk tertawa terbahak bahak. Dara ayu itupun turut tertawa, tertawa dengan pipi yang berubah menjadi merah karena jengah, merahnya pipi bagaikan sekuntum bunga di bawah sorotan cahaya matahari.
Tertawa, bukan saja dapat membuat dirinya bertambah cantik, membuat orang lain gembira, dapat pula memperpendek jarak antara seseorang dengan orang yang lain.
Tiba-tiba saja mereka merasa jauh lebih leluasa, jauh lebih bebas untuk bergerak, akhirnya dara ayu itupun mengisahkan tragedi yang telah dialaminya. Apa yang dilamunkan Ting Peng tadi ternyata memang tidak terpaut jauh dibandingkan dengan kenyataan.
Dara ayu itu memang benar-benar ditangkap oleh segerombolan orang jahat, ditelanjangi dan disekap dalam sebuah kamar yang gelap, sudah beberapa hari lamanya ia tak diberi makan sebutir beraspun, kawanan penjahat itu mengira dia sudah kelaparan sehingga tak mampu berkutik, sebab itu penjaga batu agak mengendor, dan iapun memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri.
Gadis itu merasa amat berterima kasih sekali kepadanya, dengan dada terharu kembali ia berkata: "Bisa bersua dengan orang baik seperti kau, sungguh hal ini merupakan suatu kemujuran bagiku"
"Dimanakah orang-orang itu sekarang? Akan kubalaskan dendam sakit hatimu itu!"
""Kau, tak boleh kesana..."
"Mengapa?"
Dara ayu itu ragu-ragu sejenak, kemudian sahutnya, "Ada sementara persoalan tak ingin kukatakan pada saat ini, tapi di kemudian hari aku pasti akan memberitahukan kepada mu"
Dibalik persoalan itu tampaknya masih ada rahasia lain, tapi setelah berkata demikian, tentu saja ia merasa enggan untuk bertanya lebih jauh.
Gadis itu kembali berkata: "Sekarang. asal aku dapat menemukan seseorang, legalah hatiku"
"Siapa yang hendak kau cari?"
"Seorang cianpwe ku, dia telah berusia enam tujuh puluh tahunan, tapi gemar mengenakan baju berwarna merah menyala, asal kau berjumpa dengannya pasti dapat segera kau kenali"
la mendongakkan kepalanya dan memandang dengan sorot mata penuh permohonan tanyanya lirih: "Bersediakah kau membantuku untuk menemukan jejaknya?"
Tentu saja Ting Peng tak bisa pergi, benar-benar tak bisa pergi dan tak mungkin pergi sekarang" jaraknya dengan saat pertarungan yang bakal menentukan nasibnya itu tinggal kurang dari dua jam. Ia masih lapar, masih belum berlatih ilmu pedangnya. Ia harus baik-baik memupuk kekuatannya, menjaga kondisi badannya daripada pergi mencari seorang kakek yang belum pernah dijumpainya.
Tapi, apa lacur justru dia tak sanggup untuk mengucapkan kata "tak bisa" itu dari mulutnya. Mengucapkan kata "tidak" di hadapan seorang gadis yang cantik jelita memang bukan suatu pekerjaan yang terlalu gampang. Bukan saja harus memiliki keberanian yang sangat besar, kaupun harus memiliki kulit muka yang cukup tebal.
Seorang pria harus mengalami banyak percobaan dan penderitaan lebih dulu, sebelum dapat belajar mengucapkan kata "tidak" di hadapan seorang gadis cantik. Ting Peng menghela napas panjang di hatinya, iapun bertanya:
"Entah lo-siansing itu tinggal dimana?"
"Kau bersedia membantuku untuk mencari dirinya?" mencorong sinar tajam dari balik mata gadis itu.
Terpaksa Ting Peng harus manggut-manggut. Dengan luapan rasa gembira, gadis itu melompat bangun dan memeluknya erat-erat,
"Oooh, kau betul-betul seorang yang baik, selama hidup aku tak akan melupakan dirimu"
Ting Peng sendiripun percaya, untuk melupakan gadis ini dalam sejarah hidupnya memang bukan suatu pekerjaan yang gampang,
"Ikuti sungai ini dan berjalanlah menuju ke hulu, bila kau sampai di ujung sungai ini akan kau jumpai sebuah pohon kuno yang aneh sekali bentuknya, jika kebetulan udara sedang bersih, ia pasti sedang bermain catur di sana"
Kebetulan cuaca hari ini sangat bersih dan segar.
"Setelah bertemu dengannya, kau harus mengobrak-abrik papan caturnya lebih dahulu, sebab hanya didalam keadaan demikian ia baru akan menuruti perkataan mu, dan mengikuti kau datang kemari"
Seorang pecandu catur memang begitulah sikapnya, sekalipun langit bakal ambruk, dia akan berbicara setelah permainan yang satu babak diselesaikan.
"Aku akan menunggu kedatanganmu di sini, entah kau berhasil menemukannya atau tidak, kau harus cepat-cepat kembali ke sini"
* * * * *
AIR sungai itu amat bersih. Dengan menelusuri sungai, Ting Peng berjalan menuju ke hulu, ia berjalan dengan langkah cepat. Tentu saja dia harus cepat-cepat pulang, dia masih ada banyak urusan yang harus diselesaikan, sang surya makin meninggi, tiba-tiba ia merasa lapar. Lapar setengah mati.
Hari ini, mungkin merupakan hari yang terpenting sepanjang hidupnya, saat yang akan menentukan nasibnya di kemudian hari. Tapi sekarang, keadaannya seperti seorang tolol, mana perut lapar, bertelanjang dada, harus menelusuri sungai pula untuk mencari seorang kakek berbaju merah untuk seorang dara muda.
Bila orang lain yang melakukan perbuatan semacam ini dia pasti tak akan percaya. Satu satunya kenyataan adalah gadis itu memang sangat cantik, bukan cuma cantik saja, lagi pula mempunyai suatu sikap yang istimewa sekali, membuat orang tak bisa menampik permohonannya dan tak tega untuk menolaknya.
Lelaki yang bisa mengucapkan kata "tidak" di hadapan gadis cantik seperti ini pasti tidak banyak jumlahnya Untung saja sungai itu tidak terlalu panjang, betul juga di ujung sungai terdapat sebatang pohon kuno, di bawah pohon tampak dua orang sedang bermain catur, salah seorang diantaranya adalah seorang kakek berambut putih yang memakai jubah warna merah.
Ting Peng menghembuskan napas lega dengan langkah lebar dia maju ke depan dan mengobrak abrik permainan catur mereka. Dia memang seorang pemuda yang sangat penurut.
Siapa tahu belum lagi tangannya dijulurkan ke depan tiba-tiba kakinya menginjak tempat kosong, rupanya di atas tanah terdapat sebuah liang, kakinya persis masuk ke dalam liang tersebut.
Untung saja liang itu tidak terlalu besar sehingga ia tak sampai tertelungkup ke tanah. Tapi tidak untungnya, baru saja kaki itu dicabut keluar dari dalam liang, kaki yang lain telah terjirat tali.
Ternyata di atas tanah terdapat seutas lingkaran tali, begitu kakinya melangkah ke dalam tali itu, serta merta tali tersebut menyusut kecil dan membelenggunya kencang kencang. Padahal waktu itu kakinya yang lain masih berada ditengah udara, begitu kaki yang satu terikat tali, kontan saja hilanglah keseimbangan badannya.
Yang lebih parah lagi, ternyata kolongan tali itu diikat pada sebatang dahan pohon, dahan itu sebetulnya melengkung di atas tanah, begitu kolongan tali tersebut bergerak, serta merta dahan pohon tadi melenting ke udara, otomatis badannya ikut pula tertarik ke tengah udara.
Dasar sial lagi, sewaktu badannya mencelat ke tengah udara kebetulan badannya menumbuk di atas dahan pohon yang lain, tempat yang tertumbukpun kebetulan adalah jalan darah lemas dekat pinggangnya, sedikit saja terbentur, kontan saja segenap tenaganya lenyap tak berbekas.
Maka tanpa diketahui ujung pangkalnya, tahu-tahu pemuda itu sudah tergantung di atas pohon dengan kepala di bawah kaki di atas, persis seperti seekor ikan asin yang dijemur di bawah teriknya matahari.
Liang di atas tanah, kolongan tali disamping liang dan dahan pohon tersebut, apakah semuanya diatur secara sengaja?
Gadis ayu itu suruh dia datang ke situ, apakah ia sengaja membiarkannya masuk perangkap ini? Tapi mereka toh tiada dendam sakit hati apa-apa, kenapa ia harus mencelakainya?
Dua orang manusia yang berada di bawah pohon itu masih bermain catur dengan asyik. Jangan toh menolongnya, berpaling dan memandang sekejap ke arahnyapun tidak, seakan akan mereka sama sekali tak tahu kalau ada satu orang yang datang ke situ dan kena terjirat oleh tali sehingga tergantung di atas dahan pohon.
Dua orang ini benar-benar pecandu catur. Orang yang sedang asyik bermain catur, apalagi pemainnya adalah pecandu-pecandu catur biasanya paling tak senang kalau diusik orang lain. Mereka sengaja mengatur jebakan tersebut mungkin hanya berjaga juga terhadap gargguan orang lain, bukan sengaja dipasang untuk menghadapi seorang.
Gadis itu tentu saja tak akan tahu kalau di sana telah dipasang jebakan semacam itu. Berpikir sampai ke situ, sedikit banyak Ting Peng merasa hatinya agak tenteram sedikit, sambil menahan diri segera teriaknya:
"Lo-sianseng berdua, tolong turunkan aku dari sini"
Tapi pemain-pemain catur itu sama sekali tidak menggubris, mengulangi kembali ucapannya sampai tiga kali namun menggubris seolah-olah tak sepotong perkataanpun yang didengar oleh mereka berdua.
Habislah kesabaran Ting Peng, dengan suara menggeledek ia berteriak semakin keras "Hey...!"
Ia cuma meneriakkan sepatah kata saja, sebabnya kata pembukaan itu saja yang sanggup diutarakan olehnya. Baru saja mulutnya dibuka, sebuah benda telah meluncur datang dan menyumbat bibirnya. Semacam benda yang bau, lunak, lembab dan amis, entah lumpur? Entah benda yang jauh lebih kotor dan najis daripada lumpur?
Benda itu meluncur datang dari atas dahan pohon di seberang sana, dimana seekor monyet kecil berbaju merah sedang bergelantungan di pohon dan memandangnya sambil mencicit. Benda yang disambit seekor monyet tentu saja bukan benda yang baik, kalau benda itu cuma lumpur, nasibnya masih terhitung lumayan.
Hampir pingsan Ting Peng saking gusarnya. Setelah melewati perjuangan yang penuh sengsara dan penderitaan, dikala kesuksesan sudah hampir tiba di depan mata. ternyata dia harus mengalami peristiwa semacam ini.
* * * * *
SUDAH JATUH TERTIMPA TANGGA
SEBUAH liang, seutas tali dan sebatang dahan pohon telah membuat seorang pemuda yang telah berlatih diri selama tiga belas tahun tak berkutik lantaran tergantung, Ting Peng sungguh amat membenci kepada diri sendiri, kenapa begitu tidak berhati hati.
Kenapa begitu ceroboh dan tak berguna padahal liang itu, tali itu dan dahan pohon itu diatur dalam jarak serta letak yang sangat tepat, tak mungkin hal itu bisa dilakukan tanpa suatu perencanaan yang matang, bukan saja seorang harus memiliki otak yang cerdas, diapun harus memiliki pengalaman yang matang untuk bisa menyusun rencana secermat ini.
Kakek berjubah merah itu mempunyai kepala yang jauh lebih besar dari kepala manusia biasa, rambutnya telah beruban, mukanya merah seperti bayi dan badannya gemuk pendek seperti bocah cilik. Kakek yang lain berbadan kurus dan lebih muda, mukanya dingin menyeramkan tanpa emosi, dia mengenakan jubah panjang berwarna hitam yang mengerikan sehingga sekilas pandangan menyerupai sebuah buah kering yang mulai berkeriput.
Seluruh perhatian dari kedua orang itu sedang tertuju ke meja catur, sebelum melakukan langkah-langkah caturnya, mereka selalu berpikir dan merenung sampai lama sekali.
Matahari makin lama semakin tinggi, kemudian, sang surya pun mulai tenggelam di langit barat, andaikata tiada peristiwa ini, sekarang Ting Peng pasti telah berhasil mengalahkan Liu Yok siong, nama besarnya pasti sudah termasyhur dalam dunia persilatan.
Sayang, saat ini dia masih tergantung di atas pohon bagaikan seekor ikan kering. Sampai kapan permainan catur mereka akan berakhir? Kemudian apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirinya?
Si kakek berjubah hitam yang menyeramkan itu bermain catur dengan cars yang amat lamban, sambil memegang biji catur, ia termenung sampai lama sekali sebelum biji catur itu pelan-pelan dan lambat-lambat diletakkan di atas papan catur.
Kakek berjubah merah itu melototkan sepasang matanya lebar-lebar, memandang apakah catur tersebut, butiran keringat sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
Siapapun juga yang menyaksikan mimik wajahnya itu segera akan tahu kalau permainan catur kali ini kekalahan berada di pihaknya. Dalam memainkan catur, ia selalu gegabah dalam permainan ini pikirannya harus bercabang, dalam permainan ini dia sengaja mengalah.
Orang yang kalah dalam permainan, selalu akan berusaha untuk mencari banyak alasan guna memberi penjelasan kepada diri sendiri, ia tak sudi mengaku kalah dengan begitu saja tentu saja dia menuntut hendak bermain satu babak lagi.
Sayang kakek berjubah hitam itu telah bangkit berdiri, kemudian tanpa berpaling telah angkat kaki meninggalkan tempat itu.
Kakek berjubah merah itu segera mencak-mencak sambil berkaok kaok, sambil menyusul dari belakangnya ia berteriak teriak: "Kau tak boleh pergi, kita harus bermain satu babak lagi!"
Begitulah, yang satu lari di depan sedangkan yang lain mengejar dari belakang, mereka seakan akan sama sekali tidak mengerahkan ilmu meringankan tubuh, jalannya pun tidak terlalu cepat, tapi dalam waktu singkat bayangan tubuh kedua orang itu sudah lenyap dari pandangan. Si monyet kecil berbaju merah yang berada di dahan pohon seberang sanapun lenyap tak berbekas.
Hari semakin senja, udara makin gelap ternyata mereka pergi untuk tak kembali lagi, seakan akan mereka sama sekali tak tahu kalau di situ masih ada seseorang yang tergantung. Sejak awal sampai akhir mereka sama sekali tidak memandang Ting Peng barang sekejappun.
Malam sudah menjelang tiba, udara serasa dingin, suasanapun semakin sepi, didalam keadaan seperti ini, sudah barang tentu tidak mungkin ada orang lain yang bakal ke situ. Bila seseorang tergantung di tempat seperti ini sekalipun di gantung selama tujuh delapan hari tak nanti ada orang yang bakal datang untuk melepaskannya.
Sekalipun akhirnya mati lantaran tergantung, juga bukan sesuatu yang aneh. Berada dalam keadaan begitu, bukan saja ia merasa gelisah, lagi pula kedinginan dan kelaparan ditambah lagi wajahnya seperti membengkak. Ke empat anggota badannya kaku dan kesemutan.
Tiba-tiba ia merasa dirinya bagaikan seekor babi, seekor babi yang paling dungu di dunia ini, seekor babi paling sial dikolong langit. Bahkan dia sendiripun tidak tahu mengapa ia sesial ini. Hingga saat ini dia belum tahu siapa nama gadis itu, tetapi dia telah memberikan satu satunya pakaian yang dia miliki, memberikan seluruh harta kekayaannya untuk mengisi perut gadis itu, bahkan demi dia ia digantung seperti seekor ikan kering di sana, malah belum diketahui dia bakal digantung sampai kapan.
Saking sedih dan gemasnya, dia ingin sekali menampar diri sendiri sebanyak tujuh delapan puluh kali, kemudian menangis tersedu sedu. Tak disangka pada saat itulah, mendadak tali itu putus dan tubuhnya terjatuh dari tengah udara, meskipun tidak enteng jatuhnya, tapi justru telah membebaskan jalan darahnya yang tertotok. Mungkinkah kejadian inipun sudah berada dalam perhitungan orang lain...?
Mereka hanya menginginkan ia merasakan sedikit penderitaan, dan sama sekali tidak berharap untuk menggantungnya sampai mati? Tapi, antara ia dengan mereka, dimasa lalu tiada dendam, dimasa sekarang tiada sakit hati, mengapa mereka harus Menggunakan cara ini untuk mempermainkannya?
Ia memikirkannya juga tidak mengerti. Sekarang, perbuatan pertama yang langsung dilakukan adalah mengorek keluar lumpur yang menyumbat mulutnya. Perbuatan kedua yang harus dilakukan adalah memburu kembali ke tempat tadi dan mencari gadis itu untuk ditanya sampai jelas.
Sayang gadis itu telah pergi. pergi sambil membawa satu satunya pakaian yang dia miliki. Sejak kini, besar kemungkinannya mereka tak akan berjumpa lagi, tentu saja diapun tak akan berjumpa lagi dengan kakek berjubah merah itu.
Sesungguhnya apa yang telah terjadi? Mungkin sampai tuapun dia tak akan mengerti atas duduk persoalan yang sebenarnya. Sekarang, satu satunya pekerjaan yang bisa dilakukan adalah dengan tubuh setengah telanjang, perut kosong, ditambah lagi mulut yang bau dan serta rasa dongkol berangkat ke perkampungan Ciang siong san ceng untuk mohon maaf.
Sekarang walaupun terlalu lambat kedatangannya. tapi lebih-baik terlambat daripada sama sekali tidak datang. Seandainya orang lain bertanya kepadanya mengapa datang terlambat, dia akan mengarang suatu cerita untuk menjelaskannya. Sebab bila ia bicara terus terang, belum tentu orang lain akan mempercayainya.
Ketenaran perkampungan Cing siong san ceng ternyata jauh lebih hebat daripada apa yang dibayangkan semula. Bahwa si penjaga pintu gerbangpun mengenakan jubah panjang dari sutera yang halus dan mahal harganya.
Begitu tahu kalau dia adalah "Ting Peng Ting tayhiap" sikap penjaga pintu itu menjadi amat sungkan. sedemikian sungkannya sehingga sepasang matanya sama sekali tidak memandang dadanya yang tak berpakaian. juga tidak memandang ke wajahnya yang penuh berlumpur.
"Biasanya, penjaga pintu dari suatu keluarga besar atau keluarga kenamaan selalu adalah seorang manusia yang tahu sopan santun, dan sangat tahu akan peraturan. Tapi justru sikapnya yang sopan santun dan tahu aturan ini, seringkali membuat orang merasa tidak tahan.
Dengan kata-kata yang halus dan gerak gerik yang sopan, penjaga pintu itu berkata: "Kedatangan Ting sauya tidak terhitung terlalu lambat! Hari ini masih tanggal lima belas, belum tanggal enam belas, cengcu kami serta kawan-kawan yang diundang cengcu sebenarnya juga menanti kedatangan Ting sauya di sini. sekalipun menunggu tiga lima hari juga tidak apa-apa"
Agak merah paras muka Ting Peng karena jengah, agak tergagap ia berkata: "Sebenarnya aku akan datang sedari pagi tadi."
Ia telah mempersiapkan sebuah cerita yang menarik, sayang si penjaga pintu yang sopan itu seperti enggan untuk mendengarkan, dengan cepatnya ia menyambung kembali.
"Sayang sekali hari ini cengcu kami masih ada sedikit urusan dia harus segera berangkat ke kota"
Ia sedang tertawa, tertawa dengan amat sopannya: "Berulang kali cengcu telah berpesan kepadaku, agar aku mohonkan maaf kepada Ting sauya, sebab dia hanya bisa menunggu selama tiga setengah jam, setelah itu mau dia harus pergi meninggalkan rumah"
Ting Peng tertegun, ia tak dapat menyalahkan Liu Yok siong, siapapun yang sedang di tunggu bisa menunggu selama tiga jam lebih sudah terhitung sesuatu yang hebat.
Tapi, bagaimana selanjutnya. Sekarang, dalam sakunya tinggal uang tembaga sekeping, pakaian bagian atasnya telah hilang, sedang perutnya tak karuan laparnya. Kemana dia bisa pergi?
Meskipun senyum si penjaga pintu masih amat sungkan, namun tidak terlintas keinginan orang untuk mempersilahkan dia masuk ke dalam.
Akhirnya Ting Peng berseru: "Dapatkah aku menunggu di sini sampai kedatangannya?"
Si penjaga pintu itu segera tertawa. "Bila Ting sauya ingin menunggu di sini, sudah barang tentu boleh saja?"
Baru saja Ting Peng menghembuskan napas lega, mendadak si penjaga pintu itu melanjutkan: "Tapi kami tak dapat mempersilahkan Ting sauya untuk tinggal ditempat ini"
Ia masih tertawa sambungnya: "Sebab kepergian cengcu paling tidak akan makan waktu sampai dua tiga puluh hari lamanya, bagaimana mungkin kami dapat mempersilahkan Ting sauya untuk berdiam selama dua tiga puluh hari di sini?"
Perasaan Ting Peng seakan akan tenggelam, ia merasa tertegun dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Kembali si penjaga pintu itu berkata: "Namun cengcu telah meninggalkan pesan, katanya sebelum tanggal lima belas bulan mendatang ia pasti sudah pulang, waktu itu pekerjaannya pasti sudah beres, sekalipun hendak menunggu tiga lima hari juga tak menjadi soal"
"Baik!" ucap Ting Peng kemudian sambil menahan sabar, "tanggal lima belas bulan mendatang, tengah hari tepat aku pasti akan datang lagi kemari"
Kembali penjaga pintu itu tertawa: "Aku toh bisa bilang, hari itu cengcu tak ada urusan, sekalipun Ting sauya datang sedikit lambatpun tidak mengapa katanya."
Suara tertawanya masih begitu sungkan, cara berbicaranya juga masih sungkan-sungkan. Tapi Ting Peng telah membalikkan badannya, tanpa berpaling lagi pergi meninggalkan tempat itu, Dia benar-benar tak ingin menyaksikan selembar wajah penuh senyuman yang begitu sungkan, begitu tahu aturan itu. Ia sudah tak tahan.
Dia bersumpah dalam hatinya, bila suatu hari berhasil mendapat nama besar ia pasti akan kembali lagi ke situ agar si penjaga pintu inipun menyaksikan senyumannya. Itu adalah kejadian kemudian hari, sekarang dia tak sanggup tertawa, ia masih belum tahu dengan cara apa hendak melewatkan sebulan ini.
Tapi bagaimanapun juga sekarang dia masih mempunyai sekeping uang tembaga. Dengan sekeping uang tembaga, ia masih dapat membeli sebuah kueh keras, asal minum air agak banyak, sudah pasti perutnya akan menjadi kenyang. Tapi, menanti ia hendak mengeluarkan sisa uang tembaga yang dimilikinya itu, ia baru menjumpai bahwa uang itupun sudah lenyap tak berbekas....
Mungkinkah uang itu terjatuh dikala ia tergantung tadi? Tidak mungkin? Mendadak teringat olehnya bahwa uang itu sama sekali tidak dimasukkan ke dalam koceknya, sehabis membeli daging sapi, ia masukkan sekeping uang tembaga itu ke dalam saku kecil dalam pakaian luarnya. Sekarang, pakaian itu telah dikenakan si nona, sekeping uang tembaga terakhir yang dimilikipun ikut terbawa olehnya. Padahal, siapa nama gadis itupun sampai sekarang belum diketahui.
Tiba-tiba Ting Peng tertawa, tertawa terbahak bahak, hampir saja airmatanya turut bercucuran karena gelak tawanya. Malam semakin kelam, malam ini adalah suatu malam yang berbulan.
Rembulan bersinar terang diangkasa, bintang bertaburan memenuhi langit, air selokan di bawah timpaan cahaya rembulan tampak bagaikan sebuah ikat pinggang berwarna perak, ketika angin malam berhembus lewat membawa bau bunga, suasana terasa lebih nyaman dan segar.
Malam yang kelam selalu memang indah tapi yang lebih indah tentu saja rembulan yang sedang purnama. Rembulan yang bulat besar dan terang benderang. Ting Peng berharap rembulan yang bulat itu dapat berubah menjadi sebuah kueh kering yang bulat. Ia bukannya seseorang yang tak tahu arti seni, tapi bila seseorang sedang lapar, biasanya dia akan melupakan soal seni.
Tempat ini adalah tempat perjumpaannya dengan si nona tadi, dia kembali ke situ karena ia benar-benar tak tahu ke mana dia harus pergi. Dengan mengandalkan kepandaiannya, untuk pergi mencuri, merampas, tentu saja dapat dilakukan secara mudah.
Tapi dia tak akan melakukan perbuatan semacam ini, dia tak ingin meninggalkan noda yang tak bisa dicuci bersih pada dirinya. Ia harus mencapai kesuksesan melalui jalan yang lurus dan benar.
Mungkinkah uang tembaga itu terjatuh dari bajunya? Kalau sampai terjatuh di sini besar kemungkinan ia masih bisa menemukan kembali. Belum lagi uang tembaga itu ditemukan, ia telah menemukan kembali kacang tanah miliknya tadi. Dengan sangat berhati hati dia mengumpulkan kacang itu, mematahkannya menjadi dua dan bersiap-siap melahapnya dengan penuh kenikmatan.
Siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba muncul seorang gadis muda yang menerjang datang bagaikan seekor domba yang sedang dikejar serigala, begitu sampai di sisinya, la lantas menerjang kacang di tangannya sehingga tercerai berai di atas tanah. Tapi kali ini, Ting Pang sama sekali tidak merasa kalau dirinya sedang naas, malahan saking girangnya dia sampai melompat lompat.
"Oooh, rupanya kau..." pekiknya, nona yang mencelakai orang itu ternyata telah datang kembali. Ting Peng, sama sekali tak menyangka kalau masih bisa berjumpa dengannya, di bawah sinar rembulan ia tampak jauh lebih cantik dari pada pagi tadi.
Walau pun mereka tak lebih baru bertemu untuk kedua kalinya, tapi Ting Peng yang baru bertemu dengannya, bagaikan berjumpa dengan seorang sahabatnya yang paling karib. Gadis itupun kelihatan sangat gembira, ditariknya tangan Ting Peng keras-keras, seakan akan dia kuatir kalau pemuda itu tiba-tiba kabur dari situ.
"Sebenarnya aku mengira tak mungkin akan berjumpa lagi denganmu."
Ucapan itu merupakan kata-kata yang hendak di ucapkan oleh mereka berdua, ternyata kedua orang itu mengutarakannya hampir bersamaan waktunya. Dua orang itu segera berpandangan dan tertawa. Ting Peng menggenggam pula tangannya erat-erat, seakan-akan dia kuatir kalau gadis itu pun kabur secara tiba-tiba.
Dengan sorot mata yang lembut, gadis itu menatapnya, kemudian berkata pelan: "Tadi aku selalu mengingatkan diriku, bila kali ini bisa berjumpa lagi denganmu, aku harus teringat akan suatu persoalan"
""Persoalan apa?"
"Bertanya siapa namamu?" katanya sambil tertawa.
Ting Peng ikut tertawa, barusan diapun telah mengingatkan diri sendiri bila bertemu lagi dia akan bertanya siapa namanya, ternyata gadis itu bernama Ko siau (menggelikan), "Kau maksudkan namamu adalah Ko-siau (Menggelikan)?"
"Hmmm..."
""Ko-siau yang berarti menggelikan?"
"Ehmm!"
"Aneh benar namamu itu!" seru Ting Peng sambil berusaha untuk menahan gelinya.
"Bukan cuma aneh, bahkan menggelikan sekali, bila kau tahu nama marga ku maka kau pasti akan kegelian"
""Apa nama margamu?"
"Aku she Li"
Setelah menghela napas, terusnya: "Ternyata namaku adalah Li Ko-siau (Kau amat menggelikan) coba katakanlah menggelikan atau tidak?"
Ternyata Ting Peng masih dapat menahan rasa gelinya. Kembali Li Ko-siau berkata: "Aku benar-benar tidak habis mengerti, mengapa ayahku bisa mencarikan nama seperti ini kepadaku"
"Padahal nama inipun tidak terlalu jelek" hibur Ting peng.
"Tapi sejak masih kecil dulu orang selalu bertanya kepadaku: "Hei, Li Ko-siau, sebenarnya apamu yang menggelikan? Tiap kali mendengar pertanyaan itu kepalaku langsung membesar, mana mungkin bisa tertawa lagi?"
Akhirnya Ting Peng tak tahan untuk tertawa terbahak bahak. Ko-siau sendiripun ikut tertawa. Semua keapesan yang dialaminya dalam sehari ini seketika tersapu lenyap tak berbekas bersama meledaknya gelak tertawa itu, sayang masih ada persoalan lain yang tak bisa dilupakan, sekalipun bisa dilupakan untuk sesaat tapi dengan cepatnya dapat teringat kembali. Misalnya saja lapar.
Tertawa tapi dapat mengisi perut yang kosong juga tak dapat menyelesaikan persoalan mereka. Ko siau pasti masih ada persoalan, Ia masih mengenakan pakaian dari Ting-Peng pakaian itu sama sekali tak dapat menutupi segenap potongan badannya.
Ketika cahaya rembulan menyorot di atas bagian-bagian tubuhnya yang tak tertutup pakaian itu segera timbul suatu rangsangan yang membuat orang makin terpikat. Persoalan yang dihadapi Ting Peng lebih banyak lagi. Tapi dia sendiripun tak tahu karena apa, ternyata yang paling dikuatirkan dan perhatikan saat ini bukanlah diri sendiri, melainkan adalah gadis itu.
"Aku tahu kau tentu ingin bertanya kepadaku, kenapa aku menyuruh kau pergi mencari si kakek yang berbaju merah itu?" ujar Ko siau, "kenapa aku tidak menantikan kedatanganmu di sini? Selama setengah harian ini kemana saja aku telah pergi?"
Ting Peng tidak menjawab, karena apa yang diucapkan gadis itu memang persoalan-persoalan yang ingin diketahui olehnya.
"Tapi lebih baik kau tak usah bertanya saja" kembali Ko siau berkata lirih.
"Kenapa?"
"Karena sekalipun kau bertanya kepadaku belum tentu akan kujawab pertanyaanmu itu."
Ditariknya tangan pemuda itu kemudian berkata lebih jauh: "Ada sementara persoalan lebih baik tak usah kau ketahui, sebab semakin banyak persoalan yang diketahui seseorang, biasanya semakin banyak pula kerisauan yang akan kau hadapi, aku tak ingin menambah kerisauanmu lagi!"
Tangannya begitu halus lembut dan berkilat sorot matanya, begitu halus jujur dan tulus. Walaupun Ting Peng belum pernah mendekati perempuan, namun ia dapat menyaksikan ketulusan hatinya. Bagi Ting Peng, hal itu sudah lebih dari cukup, diapun balas menggenggam tangannya sembari menjawab:
"Aku akan menuruti perkataanmu, kau tak boleh aku bertanya, akupun tak akan banyak bertanya"
Tiba-tiba Ko siau tertawa manis, katanya kemudian: "Tapi, aku masih akan menyuruh kau untuk melakukan suatu pekerjaan lagi!"
"Pekerjaan apa?"
"Bila kau menelusuri sungai ini menuju ke hilir, maka akan kau jumpai sebuah rumah berloteng yang atapnya berwarna hijau"
"Kau minta aku datang kesana?"
"Yaa, aku minta sekarang juga kau kesana! "Kemudian?"
"Setibanya ditempat itu, pasti akan muncul seseorang yang membawa pergi menjumpai tuan rumah loteng tersebut, apa yang dia kata kan harus kau turuti, apa yang ia suruh kau lakukan, kaupun harus melakukannya tanpa membantah"
Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat, kemudian terusnya: "Kau harus mempercayai diriku, aku tak akan mencelakaimu!"
"Aku percaya..."
"Bersediakah kau pergi ke sana"
Tidak pergi, tentu saja tidak pergi, bagaimanapun juga dia tak ingin pergi. Tadi ia sudah cukup banyak merasakan penderitaan dan siksaan akibat melakukan pekerjaan buatnya. Dan kini, apa yang diucapkan ternyata lebih brutal lagi, bagaimana mungkin ia dapat menyanggupi? Sayang ia justru harus memenuhi juga permintaannya itu.
Kalau tadi ia harus berjalan "menelusuri sungai menuju ke hulu" maka kali ini dia harus berjalan "menelusuri sungai menuju ke hilir", kalau tadi menjumpai "seorang kakek berbaju merah", maka sekarang dia harus menemukan "sebuah bangunan loteng yang bergenting hijau"
Kalau tadi ia mendapat sial, digantung orang seperti ikan asin dan mencicipi semulut lumpur bau, maka sekarang apa pula yang bakal dijumpai. Mungkinkah kali ini dia akan lebih sial lagi daripada pagi tadi?
Ia telah menjumpai bangunan loteng itu. Di bawah cahaya rembulan, bangunan loteng itu kelihatan begitu tenang dan penuh kedamaian. Siapapun tak akan melihat kalau didalam sana bisa terdapat sesuatu perangkap.
Kalau kau bersikeras mengatakan bahwa ditempat seperti ini ada perangkap, maka perangkap itu sudah pasti adalah suatu perangkap yang lembut, dan hangat. Bila seseorang dapat mati dalam perangkap yang halus dan hangat, paling tidak jauh lebih enak dari pada mampus di gantung di atas pohon.
Orang yang membukakan pintu adalah seorang nona cilik yang mempunyai sebuah kepang besar, ia pandai tertawa, kalau tertawa tampak sepasang lesung pipinya yang sangat dalam. Ditengah malam buta begini, tiba-tiba datang seorang lelaki asing yang bertelanjang dada mengetuk pintu, Ting Peng mengira dia pasti akan ketakutan, atau paling tidak merasa terkejut.
Siapa tahu ia sama sekali tidak tampak kaget atau ketakutan melainkan cuma tertawa cekikikan, seakan akan ia sudah tahu bakal ada seorang laki-laki berdada telanjang yang akan berkunjung ke situ. Siapa yang kau cari?" segera tegurnya.
"Aku datang mencari tuan rumah!"
"Mari kubawa kau menjumpainya!" Bukan saja jawabannya amat cepat dan lantang, malah ia segera menggandeng tangan Ting Peng dan diajak masuk ke dalam ruangan, seakan akan dengan Ting Peng sudah merupakan sahabat karib.
Tuan rumah ada di atas loteng. Ruangan di atas loteng lebih megah, lebih mewah dan lebih mentereng" selembar tirai mutiara tergantung ditengah ruangan, tuan rumah berada dibalik tirai mutiara tersebut.
Hal ini bukan disebabkan dia sengaja berlagak sok rahasia, bagaimanapun juga seorang perempuan memang harus waspada menghadapi seorang pria yang datang berkunjung ditengah malam buta seperti ini, mungkin waktu itu dia sudah bertukar pakaian dan siap-siap untuk tidur, tentu saja ia lebih tak ingin dijumpai seorang lelaki asing dalam keadaan begitu.
Walaupun Ting Peng tidak terlalu paham dengan tata pergaulan, sedikit banyak ia toh mengerti juga tentang masalah ini. Tentu saja diapun sudah tahu kalau tuan rumah adalah seorang perempuan, sebab ketika berbicara tadi meski suaranya agak parau, namun merdu dan enak didengar.
"Siapa yang menyuruh kau datang kemari mencariku?"
"Seorang nona she-Li!"
"Apa hubunganmu dengannya?"
"Dia adalah sahabatku!"
"Apa yang telah dia katakan kepadamu?"
"Ia bilang, apa yang hendak kau suruh kulakukan, aku harus melakukannya tanpa membantah"
"Dan kau akan menuruti perkataannya?"
"Aku percaya dia tak akan mencelakai diriku"
"Apakah pekerjaan apapun yang hendak kuperintahkan kepadamu, kau bersedia untuk melakukannya?"
"Kau adalah sahabatnya, akupun mempercayai dirimu"
"Tahukah kau apa yang hendak kusuruh kau lakukan?"
"Tidak tahu..."
Tiba-tiba suara tuan rumah berubah sama sekali, berubah menjadi galak dan buas serunya: "Aku hendak menceburkan badanmu ke dalam sebuah baskom berisi air panas yang amat panas, lalu menggunakan sikat besar untuk menyikat semua lumpur yang menempel di atas tubuhmu, kemudian menukar pakaian yang melekat di badanmu, menggunakan sepasang sepatu baru untuk membelenggu kakimu, lalu mendudukkan kau dikursi, dan mengisi penuh perutmu dengan beberapa macam masakan yang sudah beberapa jam dipersiapkan, agar kau tak mampu berkutik lagi"
Ting Peng segera tertawa. Ia telah mengenali kembali suara dari tuan rumah. Sambil tertawa cekikikan, orang itu munculkan diri dari balik tirai, ternyata si tuan rumah itu tak lain adalah Ko siau, Li Ko siau! Ting Peng sengaja menghela napas panjang, keluhnya:
"Aku toh bersikap sangat baik kepadamu, mengapa kau malah siap-siap mencelakai diriku dengan cara begini?"
Ko-siau pun sengaja menarik muka sambil menjawab: "Siapa suruh kau amat menuruti perkataanku? Kalau tidak mencelakaimu, lantas harus mencelakai siapa?"
"Padahal kalau cuma perbuatan-perbuatan seperti itu aku sih tak bakal takut?"
"Apa yang kau takuti?"
"Aku paling takut minum arak, kalau kau melolohku dengan beberapa kati arak wangi, maka kau benar-benar telah mencelakaiku?"
Araknya adalah arak tua yang wangi, hidangannya adalah daging sapi dimasak angsio. Kalau benar-benar ada orang mencelakai orang lain dengan cara seperti ini, pasti akan terdapat banyak sekali orang yang bersedia dicelakainya.
Sekarang, Ting Peng telah membersihkan badan dengan air panas, sekujur badannya dari atas sampai ke bawah, dari dalam sampai keluar, dari kepala sampai ke kaki, semuanya telah bertukar pakaian dengan satu stel pakaian yang masih baru.
Cuma ikat pinggangnya saja yang belum diganti. Seutas tali pinggang yang terbuat dari kain baru, satu inci lebarnya dan empat jengkal panjangnya. Bagi seseorang yang sudah hampir semaput karena kelaparan, arak semacam ini memang terlalu tua, daging sapi semacam inipun memang sedikit terlalu banyak. Ia benar-benar telah dibuat tak berkutik, mau berjalanpun rasanya sukar sekali.
Sambil tersenyum Ko siau segera berkata: "Sekarang, kau seharusnya tahu, kau tidak sepantasnya bersikap begitu baik kepadaku, karena orang yang makin baik kepadaku, sebaliknya aku justru semakin ingin untuk mencelakainya"
Ting Peng menghela napas panjang, katanya pula: "Padahal akupun tak bisa dikatakan terlalu baik kepadamu, aku hanya memberi satu stel pakaian kumal kepadamu, memberi sedikit daging sapi yang dingin bakpau yang dingin"
"Tidak!, yang kau berikan kepadaku bukan satu stel pakaian yang kumal, melainkan seluruh pakaian yang kau miliki. Daging sapi yang kau berikan kepadaku juga bukan sedikit daging sapi, melainkan seluruh makanan yang kau miliki"
Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat perasaan lembut dan penuh rasa terima kasih terpancar keluar dari balik matanya, kemudian ia melanjutkan lagi...
Kenapa begitu ceroboh dan tak berguna padahal liang itu, tali itu dan dahan pohon itu diatur dalam jarak serta letak yang sangat tepat, tak mungkin hal itu bisa dilakukan tanpa suatu perencanaan yang matang, bukan saja seorang harus memiliki otak yang cerdas, diapun harus memiliki pengalaman yang matang untuk bisa menyusun rencana secermat ini.
Kakek berjubah merah itu mempunyai kepala yang jauh lebih besar dari kepala manusia biasa, rambutnya telah beruban, mukanya merah seperti bayi dan badannya gemuk pendek seperti bocah cilik. Kakek yang lain berbadan kurus dan lebih muda, mukanya dingin menyeramkan tanpa emosi, dia mengenakan jubah panjang berwarna hitam yang mengerikan sehingga sekilas pandangan menyerupai sebuah buah kering yang mulai berkeriput.
Seluruh perhatian dari kedua orang itu sedang tertuju ke meja catur, sebelum melakukan langkah-langkah caturnya, mereka selalu berpikir dan merenung sampai lama sekali.
Matahari makin lama semakin tinggi, kemudian, sang surya pun mulai tenggelam di langit barat, andaikata tiada peristiwa ini, sekarang Ting Peng pasti telah berhasil mengalahkan Liu Yok siong, nama besarnya pasti sudah termasyhur dalam dunia persilatan.
Sayang, saat ini dia masih tergantung di atas pohon bagaikan seekor ikan kering. Sampai kapan permainan catur mereka akan berakhir? Kemudian apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirinya?
Si kakek berjubah hitam yang menyeramkan itu bermain catur dengan cars yang amat lamban, sambil memegang biji catur, ia termenung sampai lama sekali sebelum biji catur itu pelan-pelan dan lambat-lambat diletakkan di atas papan catur.
Kakek berjubah merah itu melototkan sepasang matanya lebar-lebar, memandang apakah catur tersebut, butiran keringat sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
Siapapun juga yang menyaksikan mimik wajahnya itu segera akan tahu kalau permainan catur kali ini kekalahan berada di pihaknya. Dalam memainkan catur, ia selalu gegabah dalam permainan ini pikirannya harus bercabang, dalam permainan ini dia sengaja mengalah.
Orang yang kalah dalam permainan, selalu akan berusaha untuk mencari banyak alasan guna memberi penjelasan kepada diri sendiri, ia tak sudi mengaku kalah dengan begitu saja tentu saja dia menuntut hendak bermain satu babak lagi.
Sayang kakek berjubah hitam itu telah bangkit berdiri, kemudian tanpa berpaling telah angkat kaki meninggalkan tempat itu.
Kakek berjubah merah itu segera mencak-mencak sambil berkaok kaok, sambil menyusul dari belakangnya ia berteriak teriak: "Kau tak boleh pergi, kita harus bermain satu babak lagi!"
Begitulah, yang satu lari di depan sedangkan yang lain mengejar dari belakang, mereka seakan akan sama sekali tidak mengerahkan ilmu meringankan tubuh, jalannya pun tidak terlalu cepat, tapi dalam waktu singkat bayangan tubuh kedua orang itu sudah lenyap dari pandangan. Si monyet kecil berbaju merah yang berada di dahan pohon seberang sanapun lenyap tak berbekas.
Hari semakin senja, udara makin gelap ternyata mereka pergi untuk tak kembali lagi, seakan akan mereka sama sekali tak tahu kalau di situ masih ada seseorang yang tergantung. Sejak awal sampai akhir mereka sama sekali tidak memandang Ting Peng barang sekejappun.
Malam sudah menjelang tiba, udara serasa dingin, suasanapun semakin sepi, didalam keadaan seperti ini, sudah barang tentu tidak mungkin ada orang lain yang bakal ke situ. Bila seseorang tergantung di tempat seperti ini sekalipun di gantung selama tujuh delapan hari tak nanti ada orang yang bakal datang untuk melepaskannya.
Sekalipun akhirnya mati lantaran tergantung, juga bukan sesuatu yang aneh. Berada dalam keadaan begitu, bukan saja ia merasa gelisah, lagi pula kedinginan dan kelaparan ditambah lagi wajahnya seperti membengkak. Ke empat anggota badannya kaku dan kesemutan.
Tiba-tiba ia merasa dirinya bagaikan seekor babi, seekor babi yang paling dungu di dunia ini, seekor babi paling sial dikolong langit. Bahkan dia sendiripun tidak tahu mengapa ia sesial ini. Hingga saat ini dia belum tahu siapa nama gadis itu, tetapi dia telah memberikan satu satunya pakaian yang dia miliki, memberikan seluruh harta kekayaannya untuk mengisi perut gadis itu, bahkan demi dia ia digantung seperti seekor ikan kering di sana, malah belum diketahui dia bakal digantung sampai kapan.
Saking sedih dan gemasnya, dia ingin sekali menampar diri sendiri sebanyak tujuh delapan puluh kali, kemudian menangis tersedu sedu. Tak disangka pada saat itulah, mendadak tali itu putus dan tubuhnya terjatuh dari tengah udara, meskipun tidak enteng jatuhnya, tapi justru telah membebaskan jalan darahnya yang tertotok. Mungkinkah kejadian inipun sudah berada dalam perhitungan orang lain...?
Mereka hanya menginginkan ia merasakan sedikit penderitaan, dan sama sekali tidak berharap untuk menggantungnya sampai mati? Tapi, antara ia dengan mereka, dimasa lalu tiada dendam, dimasa sekarang tiada sakit hati, mengapa mereka harus Menggunakan cara ini untuk mempermainkannya?
Ia memikirkannya juga tidak mengerti. Sekarang, perbuatan pertama yang langsung dilakukan adalah mengorek keluar lumpur yang menyumbat mulutnya. Perbuatan kedua yang harus dilakukan adalah memburu kembali ke tempat tadi dan mencari gadis itu untuk ditanya sampai jelas.
Sayang gadis itu telah pergi. pergi sambil membawa satu satunya pakaian yang dia miliki. Sejak kini, besar kemungkinannya mereka tak akan berjumpa lagi, tentu saja diapun tak akan berjumpa lagi dengan kakek berjubah merah itu.
Sesungguhnya apa yang telah terjadi? Mungkin sampai tuapun dia tak akan mengerti atas duduk persoalan yang sebenarnya. Sekarang, satu satunya pekerjaan yang bisa dilakukan adalah dengan tubuh setengah telanjang, perut kosong, ditambah lagi mulut yang bau dan serta rasa dongkol berangkat ke perkampungan Ciang siong san ceng untuk mohon maaf.
Sekarang walaupun terlalu lambat kedatangannya. tapi lebih-baik terlambat daripada sama sekali tidak datang. Seandainya orang lain bertanya kepadanya mengapa datang terlambat, dia akan mengarang suatu cerita untuk menjelaskannya. Sebab bila ia bicara terus terang, belum tentu orang lain akan mempercayainya.
Ketenaran perkampungan Cing siong san ceng ternyata jauh lebih hebat daripada apa yang dibayangkan semula. Bahwa si penjaga pintu gerbangpun mengenakan jubah panjang dari sutera yang halus dan mahal harganya.
Begitu tahu kalau dia adalah "Ting Peng Ting tayhiap" sikap penjaga pintu itu menjadi amat sungkan. sedemikian sungkannya sehingga sepasang matanya sama sekali tidak memandang dadanya yang tak berpakaian. juga tidak memandang ke wajahnya yang penuh berlumpur.
"Biasanya, penjaga pintu dari suatu keluarga besar atau keluarga kenamaan selalu adalah seorang manusia yang tahu sopan santun, dan sangat tahu akan peraturan. Tapi justru sikapnya yang sopan santun dan tahu aturan ini, seringkali membuat orang merasa tidak tahan.
Dengan kata-kata yang halus dan gerak gerik yang sopan, penjaga pintu itu berkata: "Kedatangan Ting sauya tidak terhitung terlalu lambat! Hari ini masih tanggal lima belas, belum tanggal enam belas, cengcu kami serta kawan-kawan yang diundang cengcu sebenarnya juga menanti kedatangan Ting sauya di sini. sekalipun menunggu tiga lima hari juga tidak apa-apa"
Agak merah paras muka Ting Peng karena jengah, agak tergagap ia berkata: "Sebenarnya aku akan datang sedari pagi tadi."
Ia telah mempersiapkan sebuah cerita yang menarik, sayang si penjaga pintu yang sopan itu seperti enggan untuk mendengarkan, dengan cepatnya ia menyambung kembali.
"Sayang sekali hari ini cengcu kami masih ada sedikit urusan dia harus segera berangkat ke kota"
Ia sedang tertawa, tertawa dengan amat sopannya: "Berulang kali cengcu telah berpesan kepadaku, agar aku mohonkan maaf kepada Ting sauya, sebab dia hanya bisa menunggu selama tiga setengah jam, setelah itu mau dia harus pergi meninggalkan rumah"
Ting Peng tertegun, ia tak dapat menyalahkan Liu Yok siong, siapapun yang sedang di tunggu bisa menunggu selama tiga jam lebih sudah terhitung sesuatu yang hebat.
Tapi, bagaimana selanjutnya. Sekarang, dalam sakunya tinggal uang tembaga sekeping, pakaian bagian atasnya telah hilang, sedang perutnya tak karuan laparnya. Kemana dia bisa pergi?
Meskipun senyum si penjaga pintu masih amat sungkan, namun tidak terlintas keinginan orang untuk mempersilahkan dia masuk ke dalam.
Akhirnya Ting Peng berseru: "Dapatkah aku menunggu di sini sampai kedatangannya?"
Si penjaga pintu itu segera tertawa. "Bila Ting sauya ingin menunggu di sini, sudah barang tentu boleh saja?"
Baru saja Ting Peng menghembuskan napas lega, mendadak si penjaga pintu itu melanjutkan: "Tapi kami tak dapat mempersilahkan Ting sauya untuk tinggal ditempat ini"
Ia masih tertawa sambungnya: "Sebab kepergian cengcu paling tidak akan makan waktu sampai dua tiga puluh hari lamanya, bagaimana mungkin kami dapat mempersilahkan Ting sauya untuk berdiam selama dua tiga puluh hari di sini?"
Perasaan Ting Peng seakan akan tenggelam, ia merasa tertegun dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Kembali si penjaga pintu itu berkata: "Namun cengcu telah meninggalkan pesan, katanya sebelum tanggal lima belas bulan mendatang ia pasti sudah pulang, waktu itu pekerjaannya pasti sudah beres, sekalipun hendak menunggu tiga lima hari juga tak menjadi soal"
"Baik!" ucap Ting Peng kemudian sambil menahan sabar, "tanggal lima belas bulan mendatang, tengah hari tepat aku pasti akan datang lagi kemari"
Kembali penjaga pintu itu tertawa: "Aku toh bisa bilang, hari itu cengcu tak ada urusan, sekalipun Ting sauya datang sedikit lambatpun tidak mengapa katanya."
Suara tertawanya masih begitu sungkan, cara berbicaranya juga masih sungkan-sungkan. Tapi Ting Peng telah membalikkan badannya, tanpa berpaling lagi pergi meninggalkan tempat itu, Dia benar-benar tak ingin menyaksikan selembar wajah penuh senyuman yang begitu sungkan, begitu tahu aturan itu. Ia sudah tak tahan.
Dia bersumpah dalam hatinya, bila suatu hari berhasil mendapat nama besar ia pasti akan kembali lagi ke situ agar si penjaga pintu inipun menyaksikan senyumannya. Itu adalah kejadian kemudian hari, sekarang dia tak sanggup tertawa, ia masih belum tahu dengan cara apa hendak melewatkan sebulan ini.
Tapi bagaimanapun juga sekarang dia masih mempunyai sekeping uang tembaga. Dengan sekeping uang tembaga, ia masih dapat membeli sebuah kueh keras, asal minum air agak banyak, sudah pasti perutnya akan menjadi kenyang. Tapi, menanti ia hendak mengeluarkan sisa uang tembaga yang dimilikinya itu, ia baru menjumpai bahwa uang itupun sudah lenyap tak berbekas....
Mungkinkah uang itu terjatuh dikala ia tergantung tadi? Tidak mungkin? Mendadak teringat olehnya bahwa uang itu sama sekali tidak dimasukkan ke dalam koceknya, sehabis membeli daging sapi, ia masukkan sekeping uang tembaga itu ke dalam saku kecil dalam pakaian luarnya. Sekarang, pakaian itu telah dikenakan si nona, sekeping uang tembaga terakhir yang dimilikipun ikut terbawa olehnya. Padahal, siapa nama gadis itupun sampai sekarang belum diketahui.
Tiba-tiba Ting Peng tertawa, tertawa terbahak bahak, hampir saja airmatanya turut bercucuran karena gelak tawanya. Malam semakin kelam, malam ini adalah suatu malam yang berbulan.
Rembulan bersinar terang diangkasa, bintang bertaburan memenuhi langit, air selokan di bawah timpaan cahaya rembulan tampak bagaikan sebuah ikat pinggang berwarna perak, ketika angin malam berhembus lewat membawa bau bunga, suasana terasa lebih nyaman dan segar.
Malam yang kelam selalu memang indah tapi yang lebih indah tentu saja rembulan yang sedang purnama. Rembulan yang bulat besar dan terang benderang. Ting Peng berharap rembulan yang bulat itu dapat berubah menjadi sebuah kueh kering yang bulat. Ia bukannya seseorang yang tak tahu arti seni, tapi bila seseorang sedang lapar, biasanya dia akan melupakan soal seni.
Tempat ini adalah tempat perjumpaannya dengan si nona tadi, dia kembali ke situ karena ia benar-benar tak tahu ke mana dia harus pergi. Dengan mengandalkan kepandaiannya, untuk pergi mencuri, merampas, tentu saja dapat dilakukan secara mudah.
Tapi dia tak akan melakukan perbuatan semacam ini, dia tak ingin meninggalkan noda yang tak bisa dicuci bersih pada dirinya. Ia harus mencapai kesuksesan melalui jalan yang lurus dan benar.
Mungkinkah uang tembaga itu terjatuh dari bajunya? Kalau sampai terjatuh di sini besar kemungkinan ia masih bisa menemukan kembali. Belum lagi uang tembaga itu ditemukan, ia telah menemukan kembali kacang tanah miliknya tadi. Dengan sangat berhati hati dia mengumpulkan kacang itu, mematahkannya menjadi dua dan bersiap-siap melahapnya dengan penuh kenikmatan.
Siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba muncul seorang gadis muda yang menerjang datang bagaikan seekor domba yang sedang dikejar serigala, begitu sampai di sisinya, la lantas menerjang kacang di tangannya sehingga tercerai berai di atas tanah. Tapi kali ini, Ting Pang sama sekali tidak merasa kalau dirinya sedang naas, malahan saking girangnya dia sampai melompat lompat.
"Oooh, rupanya kau..." pekiknya, nona yang mencelakai orang itu ternyata telah datang kembali. Ting Peng, sama sekali tak menyangka kalau masih bisa berjumpa dengannya, di bawah sinar rembulan ia tampak jauh lebih cantik dari pada pagi tadi.
Walau pun mereka tak lebih baru bertemu untuk kedua kalinya, tapi Ting Peng yang baru bertemu dengannya, bagaikan berjumpa dengan seorang sahabatnya yang paling karib. Gadis itupun kelihatan sangat gembira, ditariknya tangan Ting Peng keras-keras, seakan akan dia kuatir kalau pemuda itu tiba-tiba kabur dari situ.
"Sebenarnya aku mengira tak mungkin akan berjumpa lagi denganmu."
Ucapan itu merupakan kata-kata yang hendak di ucapkan oleh mereka berdua, ternyata kedua orang itu mengutarakannya hampir bersamaan waktunya. Dua orang itu segera berpandangan dan tertawa. Ting Peng menggenggam pula tangannya erat-erat, seakan-akan dia kuatir kalau gadis itu pun kabur secara tiba-tiba.
Dengan sorot mata yang lembut, gadis itu menatapnya, kemudian berkata pelan: "Tadi aku selalu mengingatkan diriku, bila kali ini bisa berjumpa lagi denganmu, aku harus teringat akan suatu persoalan"
""Persoalan apa?"
"Bertanya siapa namamu?" katanya sambil tertawa.
Ting Peng ikut tertawa, barusan diapun telah mengingatkan diri sendiri bila bertemu lagi dia akan bertanya siapa namanya, ternyata gadis itu bernama Ko siau (menggelikan), "Kau maksudkan namamu adalah Ko-siau (Menggelikan)?"
"Hmmm..."
""Ko-siau yang berarti menggelikan?"
"Ehmm!"
"Aneh benar namamu itu!" seru Ting Peng sambil berusaha untuk menahan gelinya.
"Bukan cuma aneh, bahkan menggelikan sekali, bila kau tahu nama marga ku maka kau pasti akan kegelian"
""Apa nama margamu?"
"Aku she Li"
Setelah menghela napas, terusnya: "Ternyata namaku adalah Li Ko-siau (Kau amat menggelikan) coba katakanlah menggelikan atau tidak?"
Ternyata Ting Peng masih dapat menahan rasa gelinya. Kembali Li Ko-siau berkata: "Aku benar-benar tidak habis mengerti, mengapa ayahku bisa mencarikan nama seperti ini kepadaku"
"Padahal nama inipun tidak terlalu jelek" hibur Ting peng.
"Tapi sejak masih kecil dulu orang selalu bertanya kepadaku: "Hei, Li Ko-siau, sebenarnya apamu yang menggelikan? Tiap kali mendengar pertanyaan itu kepalaku langsung membesar, mana mungkin bisa tertawa lagi?"
Akhirnya Ting Peng tak tahan untuk tertawa terbahak bahak. Ko-siau sendiripun ikut tertawa. Semua keapesan yang dialaminya dalam sehari ini seketika tersapu lenyap tak berbekas bersama meledaknya gelak tertawa itu, sayang masih ada persoalan lain yang tak bisa dilupakan, sekalipun bisa dilupakan untuk sesaat tapi dengan cepatnya dapat teringat kembali. Misalnya saja lapar.
Tertawa tapi dapat mengisi perut yang kosong juga tak dapat menyelesaikan persoalan mereka. Ko siau pasti masih ada persoalan, Ia masih mengenakan pakaian dari Ting-Peng pakaian itu sama sekali tak dapat menutupi segenap potongan badannya.
Ketika cahaya rembulan menyorot di atas bagian-bagian tubuhnya yang tak tertutup pakaian itu segera timbul suatu rangsangan yang membuat orang makin terpikat. Persoalan yang dihadapi Ting Peng lebih banyak lagi. Tapi dia sendiripun tak tahu karena apa, ternyata yang paling dikuatirkan dan perhatikan saat ini bukanlah diri sendiri, melainkan adalah gadis itu.
"Aku tahu kau tentu ingin bertanya kepadaku, kenapa aku menyuruh kau pergi mencari si kakek yang berbaju merah itu?" ujar Ko siau, "kenapa aku tidak menantikan kedatanganmu di sini? Selama setengah harian ini kemana saja aku telah pergi?"
Ting Peng tidak menjawab, karena apa yang diucapkan gadis itu memang persoalan-persoalan yang ingin diketahui olehnya.
"Tapi lebih baik kau tak usah bertanya saja" kembali Ko siau berkata lirih.
"Kenapa?"
"Karena sekalipun kau bertanya kepadaku belum tentu akan kujawab pertanyaanmu itu."
Ditariknya tangan pemuda itu kemudian berkata lebih jauh: "Ada sementara persoalan lebih baik tak usah kau ketahui, sebab semakin banyak persoalan yang diketahui seseorang, biasanya semakin banyak pula kerisauan yang akan kau hadapi, aku tak ingin menambah kerisauanmu lagi!"
Tangannya begitu halus lembut dan berkilat sorot matanya, begitu halus jujur dan tulus. Walaupun Ting Peng belum pernah mendekati perempuan, namun ia dapat menyaksikan ketulusan hatinya. Bagi Ting Peng, hal itu sudah lebih dari cukup, diapun balas menggenggam tangannya sembari menjawab:
"Aku akan menuruti perkataanmu, kau tak boleh aku bertanya, akupun tak akan banyak bertanya"
Tiba-tiba Ko siau tertawa manis, katanya kemudian: "Tapi, aku masih akan menyuruh kau untuk melakukan suatu pekerjaan lagi!"
"Pekerjaan apa?"
"Bila kau menelusuri sungai ini menuju ke hilir, maka akan kau jumpai sebuah rumah berloteng yang atapnya berwarna hijau"
"Kau minta aku datang kesana?"
"Yaa, aku minta sekarang juga kau kesana! "Kemudian?"
"Setibanya ditempat itu, pasti akan muncul seseorang yang membawa pergi menjumpai tuan rumah loteng tersebut, apa yang dia kata kan harus kau turuti, apa yang ia suruh kau lakukan, kaupun harus melakukannya tanpa membantah"
Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat, kemudian terusnya: "Kau harus mempercayai diriku, aku tak akan mencelakaimu!"
"Aku percaya..."
"Bersediakah kau pergi ke sana"
Tidak pergi, tentu saja tidak pergi, bagaimanapun juga dia tak ingin pergi. Tadi ia sudah cukup banyak merasakan penderitaan dan siksaan akibat melakukan pekerjaan buatnya. Dan kini, apa yang diucapkan ternyata lebih brutal lagi, bagaimana mungkin ia dapat menyanggupi? Sayang ia justru harus memenuhi juga permintaannya itu.
Kalau tadi ia harus berjalan "menelusuri sungai menuju ke hulu" maka kali ini dia harus berjalan "menelusuri sungai menuju ke hilir", kalau tadi menjumpai "seorang kakek berbaju merah", maka sekarang dia harus menemukan "sebuah bangunan loteng yang bergenting hijau"
Kalau tadi ia mendapat sial, digantung orang seperti ikan asin dan mencicipi semulut lumpur bau, maka sekarang apa pula yang bakal dijumpai. Mungkinkah kali ini dia akan lebih sial lagi daripada pagi tadi?
Ia telah menjumpai bangunan loteng itu. Di bawah cahaya rembulan, bangunan loteng itu kelihatan begitu tenang dan penuh kedamaian. Siapapun tak akan melihat kalau didalam sana bisa terdapat sesuatu perangkap.
LIDAH PEREMPUAN TAK BERTULANG
DALAM bangunan loteng itu tiada perangkap, yang ada cuma sinar lampu yang lembut, dekorasi yang mewah dan perabot yang serba indah menawan hati.Kalau kau bersikeras mengatakan bahwa ditempat seperti ini ada perangkap, maka perangkap itu sudah pasti adalah suatu perangkap yang lembut, dan hangat. Bila seseorang dapat mati dalam perangkap yang halus dan hangat, paling tidak jauh lebih enak dari pada mampus di gantung di atas pohon.
Orang yang membukakan pintu adalah seorang nona cilik yang mempunyai sebuah kepang besar, ia pandai tertawa, kalau tertawa tampak sepasang lesung pipinya yang sangat dalam. Ditengah malam buta begini, tiba-tiba datang seorang lelaki asing yang bertelanjang dada mengetuk pintu, Ting Peng mengira dia pasti akan ketakutan, atau paling tidak merasa terkejut.
Siapa tahu ia sama sekali tidak tampak kaget atau ketakutan melainkan cuma tertawa cekikikan, seakan akan ia sudah tahu bakal ada seorang laki-laki berdada telanjang yang akan berkunjung ke situ. Siapa yang kau cari?" segera tegurnya.
"Aku datang mencari tuan rumah!"
"Mari kubawa kau menjumpainya!" Bukan saja jawabannya amat cepat dan lantang, malah ia segera menggandeng tangan Ting Peng dan diajak masuk ke dalam ruangan, seakan akan dengan Ting Peng sudah merupakan sahabat karib.
Tuan rumah ada di atas loteng. Ruangan di atas loteng lebih megah, lebih mewah dan lebih mentereng" selembar tirai mutiara tergantung ditengah ruangan, tuan rumah berada dibalik tirai mutiara tersebut.
Hal ini bukan disebabkan dia sengaja berlagak sok rahasia, bagaimanapun juga seorang perempuan memang harus waspada menghadapi seorang pria yang datang berkunjung ditengah malam buta seperti ini, mungkin waktu itu dia sudah bertukar pakaian dan siap-siap untuk tidur, tentu saja ia lebih tak ingin dijumpai seorang lelaki asing dalam keadaan begitu.
Walaupun Ting Peng tidak terlalu paham dengan tata pergaulan, sedikit banyak ia toh mengerti juga tentang masalah ini. Tentu saja diapun sudah tahu kalau tuan rumah adalah seorang perempuan, sebab ketika berbicara tadi meski suaranya agak parau, namun merdu dan enak didengar.
"Siapa yang menyuruh kau datang kemari mencariku?"
"Seorang nona she-Li!"
"Apa hubunganmu dengannya?"
"Dia adalah sahabatku!"
"Apa yang telah dia katakan kepadamu?"
"Ia bilang, apa yang hendak kau suruh kulakukan, aku harus melakukannya tanpa membantah"
"Dan kau akan menuruti perkataannya?"
"Aku percaya dia tak akan mencelakai diriku"
"Apakah pekerjaan apapun yang hendak kuperintahkan kepadamu, kau bersedia untuk melakukannya?"
"Kau adalah sahabatnya, akupun mempercayai dirimu"
"Tahukah kau apa yang hendak kusuruh kau lakukan?"
"Tidak tahu..."
Tiba-tiba suara tuan rumah berubah sama sekali, berubah menjadi galak dan buas serunya: "Aku hendak menceburkan badanmu ke dalam sebuah baskom berisi air panas yang amat panas, lalu menggunakan sikat besar untuk menyikat semua lumpur yang menempel di atas tubuhmu, kemudian menukar pakaian yang melekat di badanmu, menggunakan sepasang sepatu baru untuk membelenggu kakimu, lalu mendudukkan kau dikursi, dan mengisi penuh perutmu dengan beberapa macam masakan yang sudah beberapa jam dipersiapkan, agar kau tak mampu berkutik lagi"
Ting Peng segera tertawa. Ia telah mengenali kembali suara dari tuan rumah. Sambil tertawa cekikikan, orang itu munculkan diri dari balik tirai, ternyata si tuan rumah itu tak lain adalah Ko siau, Li Ko siau! Ting Peng sengaja menghela napas panjang, keluhnya:
"Aku toh bersikap sangat baik kepadamu, mengapa kau malah siap-siap mencelakai diriku dengan cara begini?"
Ko-siau pun sengaja menarik muka sambil menjawab: "Siapa suruh kau amat menuruti perkataanku? Kalau tidak mencelakaimu, lantas harus mencelakai siapa?"
"Padahal kalau cuma perbuatan-perbuatan seperti itu aku sih tak bakal takut?"
"Apa yang kau takuti?"
"Aku paling takut minum arak, kalau kau melolohku dengan beberapa kati arak wangi, maka kau benar-benar telah mencelakaiku?"
Araknya adalah arak tua yang wangi, hidangannya adalah daging sapi dimasak angsio. Kalau benar-benar ada orang mencelakai orang lain dengan cara seperti ini, pasti akan terdapat banyak sekali orang yang bersedia dicelakainya.
Sekarang, Ting Peng telah membersihkan badan dengan air panas, sekujur badannya dari atas sampai ke bawah, dari dalam sampai keluar, dari kepala sampai ke kaki, semuanya telah bertukar pakaian dengan satu stel pakaian yang masih baru.
Cuma ikat pinggangnya saja yang belum diganti. Seutas tali pinggang yang terbuat dari kain baru, satu inci lebarnya dan empat jengkal panjangnya. Bagi seseorang yang sudah hampir semaput karena kelaparan, arak semacam ini memang terlalu tua, daging sapi semacam inipun memang sedikit terlalu banyak. Ia benar-benar telah dibuat tak berkutik, mau berjalanpun rasanya sukar sekali.
Sambil tersenyum Ko siau segera berkata: "Sekarang, kau seharusnya tahu, kau tidak sepantasnya bersikap begitu baik kepadaku, karena orang yang makin baik kepadaku, sebaliknya aku justru semakin ingin untuk mencelakainya"
Ting Peng menghela napas panjang, katanya pula: "Padahal akupun tak bisa dikatakan terlalu baik kepadamu, aku hanya memberi satu stel pakaian kumal kepadamu, memberi sedikit daging sapi yang dingin bakpau yang dingin"
"Tidak!, yang kau berikan kepadaku bukan satu stel pakaian yang kumal, melainkan seluruh pakaian yang kau miliki. Daging sapi yang kau berikan kepadaku juga bukan sedikit daging sapi, melainkan seluruh makanan yang kau miliki"
Ditatapnya pemuda itu lekat-lekat perasaan lembut dan penuh rasa terima kasih terpancar keluar dari balik matanya, kemudian ia melanjutkan lagi...
Selanjutnya,