Golok Bulan Sabit Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Golok Bulan Sabit Jilid 03 karya Khu Lung
Sonny Ogawa

Golok Bulan Sabit Jilid 03

Cerita silat Mandarin Karya Khu Lung
PERTANYAAN itu diajukan dengan nada yang menggelikan tapi entah siapapun itu orangnya, bila berada dalam keadaan seperti ini, mereka pasti akan mengajukan pertanyaan tersebut.

Kembali gadis itu tertawa, malah sinar matanya pun terdapat senyuman, tiba-tiba ia balik bertanya: "Kau tahu, hari ini adalah hari apa?"

"Bulan tujuh, tanggal lima belas!"

Bidadari cantik yang seakan-akan baru turun dari lukisan itu kembali berkata: "Tahukah kau bulan tujuh tanggal lima belas adalah hari apa?"

Akhirnya Ting Peng teringat kembali bahwa hari ini adalah Tiong-goan, harinya setan dan arwah penasaran. Konon pada hari ini, pintu akherat yang disebut Kui bun koan sengaja dibuka, malam itu, segenap setan dan arwah penasaran yang menghuni di akherat berbondong-bondong akan datang ke alam semesta.

"Kau adalah setan?" Ting Peng segera menjerit dengan suara amat terkejut.

Bidadari cantik itu segera tersenyum. "Menurut penglihatanmu, apakah aku mirip dengan setan?"

Dia memang tidak mirip. "Kalau begitu kau adalah bidadari dari sorga loka?" tak tahan Ting Peng berseru kembali.

Senyuman bidadari cantik itu tampak lebih lembut dan halus, sahutnya pelan: "Akupun sangat ingin mendengar kau menganggap diriku sebagai bidadari dari kahyangan, tapi akupun tak berani berbohong, sebab bila aku berani mencatut nama bidadari dari kahyangan, pasti arwahku akan dijebloskan ke dalam neraka untuk dicabut lidahnya."

"Entah bagaimanapun juga, kau sudah pasti bukan manusia"

"Tentu saja aku bukan manusia"

Tanpa sadar Ting Peng mundur dua langkah lagi ke belakang: "Lantas kau... siapa....kau?"

"Aku adalah rase!"

"Rase?"

"Apakah kau tak pernah mendengar kalau di dunia ini terdapat Rase?"

Tentu saja Ting Peng pernah mendengar, sudah banyak cerita tentang "rase" yang pernah ia dengar, ada yang cantik, ada pula yang menakutkan, karena "rase" adalah makhluk yang tak bisa diraba. Bila mereka senang kepadamu, kau akan memperoleh kejayaan dan harta kekayaan di dunia, ia akan memberi kebahagiaan yang tak pernah kau impikan. Tapi merekapun dapat memikat dirimu, memikatmu setengah mati sehingga sukma pun ikut terbetot.

Meskipun belum pernah ada orang yang bisa berjumpa dengan mereka, tapi tiada orang yang membantah atas kehadiran mereka di alam semesta ini.....

Di dalam dongeng yang tersebar dalam masyarakat, hanya ada satu persamaan antara cerita yang satu dengan yang lain. "Rase" kerapkali menampakkan diri dalam bentuk manusia, lagi pula senang menampakkan diri dalam wujud seorang perempuan yang cantik.

Dengan perasaan terkejut Ting Peng memperhatikan gadis cantik di hadapannya, pakaian yang baru saja kering kembali basah oleh keringat dingin... Sekarang, ia benar-benar telah bertemu dengan "rase"

Sinar rembulan yang tipis memancar di atas wajahnya, membuat paras mukanya yang cantik kelihatan agak putih memucat, putih yang menerawang dan berkilap, seperti mutiara.

Hanya manusia yang tak pernah melihat sinar matahari, baru akan memiliki paras muka seperti ini. Tentu saja "rase" tak pernah mendapat sorot sinar matahari. Tiba-tiba Ting Peng tertawa.

Gadis ini tampaknya merasa sedikit keheranan, belum pernah ada orang yang bertemu dengan Dewi rase manis bisa memperdengarkan gelak tertawanya. Maka dengan perasaan keheranan dia tertawa.

"Adakah suatu persoalan yang membuatmu merasa kegelian?"

"Sesungguhnya peristiwa semacam ini memang tidak menggelikan, tapi kau pun jangan harap bisa membuatku ketakutan"

"Oooh!"

"Karena aku sama sekali tidak takut padamu, entah kau ini setan atau rase, pokoknya aku tidak akan takut kepadamu"

"Setiap orang tentu merasa takut bila bertemu dengan setan atau rase, mengapa kau justru merasa tidak takut?"

"Karena bagaimanapun juga, aku toh bakal mati!" " Ia masih tertawa, terusnya: "Seandainya kau ini setan, setelah aku mati maka akupun akan berubah menjadi setan juga, mengapa aku musti takut kepadamu?"

Bidadari cantik itu segera menghela napas panjang, katanya: "Bila seseorang telah mati, dia memang tak usah takut lagi kepada siapapun"

"Tepat sekali perkataanmu itu"

"Tapi aku lihat kau masih muda, kenapa ingin lekas-lekas mati?"

Ting Peng ikut menghela napas panjang. "Anak muda pun kadangkala ingin mati juga"

"Kau benar-benar ingin mati?"

"Benar!"

""Kau harus mati?"

"Yaa, aku harus mati!"

"Sayang kau telah melupakan satu hal!"

"Soal apa?"

"Sekarang kau belum mati, kau masih seorang manusia"

Ting Peng mengakuinya.

Kembali perempuan cantik itu berkata lagi: "Sebaliknya aku adalah rase, seorang dewi rase, aku memiliki kekuatan gaib, sedang kau tak punya, itulah sebabnya bila aku tidak menginginkan kematian, kau tak akan mati, kecuali...."

"Kecuali bagaimana?"

"Kecuali kau memberitahu dulu kepadaku, persoalan apakah yang membuat kau bertekad untuk menghabisi jiwamu sendiri?"

Tiba-tiba Ting Peng melompat bangun, teriaknya keras-keras: "Mengapa aku harus memberitahu kepadamu? Dengan dasar apa aku harus memberitahukan soal ini kepadamu?"

Asal menyinggung kembali persoalan itu, hatinya terasa sedih bercampur marah, teriak lagi: "Aku justru tak mau memberitahu kepadamu, apa yang kau bisa lakukan terhadap diriku ini?"

Kecuali mati, memang tiada masalah lain yang lebih besar lagi! Bila seorang telah bertekad untuk mati, masakah dia masih takut bakal diapakan orang lain? Dengan terkejut gadis cantik itu memandang ke arahnya, tiba-tiba ia tertawa lagi.

"Sekarang aku percaya penuh, agaknya kau memang betul- betul kepingin mati"

"Aku memang kepingin mati!"

"Siapakah namamu?" tiba-tiba gadis cantik itu bertanya lagi.

"Mengapa kau musti menanyakan soal namaku?"

"Agar setelah mati nanti dan menjadi setan, kita bisa menjadi tetangga yang baik, siapa tahu kita bakal sering berjumpa, tentu saja aku harus mengetahui siapa namamu"

"Kenapa kau tidak memberi tahukan lebih dulu siapa namamu? Sekalipun dewi rase tentunya kau juga punya nama"

Gadis cantik itu segera tersenyum manis. "Yaa, aku memang punya nama, kalau kau ingin tahu, aku bersedia memberitahukan kepadamu" Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan: "Aku bernama Cing-cing!"

* * * * *

CING-CING

CING-CING mengenakan baju berwarna hijau pupus ia tampak begitu cerah secerah udara di musim semi secerah air telaga yang bening di cuaca yang segar. Bayangan bukit tampak membias di atas permukaan air telaga, begitu indah dan menawan membuat orang terpesona.

Pinggang Cing cing ramping lagi halus bagaikan pohon liu yang tinggi semampai bergoyang terhembus angin. Di atas pinggang Cing cing terikat sebuah ikat pinggang berwarna hijau, sebilah golok tersoren di pinggangnya Sebilah golok melengkung.

Golok lengkung Cing cing disoren dalam sebuah sarung golok yang terbuat dari perak, di ujung gagang golok tertera sebiji mutiara yang besar dan memancarkan cahaya berkilauan. Biji mata Cing-cing lebih tajam dari sinar mutiara tampak lebih lembut dan mempesona hati.

Ting Peng tidak takut kepadanya walau hanya sedikitpun, entah dia itu manusia atau rase? Dia tak pernah merasa takut.

Seandainya Cing cing adalah manusia tentu saja dia adalah seorang manusia cantik sebaliknya jika Cing cing adalah rase dia adalah seekor rase yang cantik lemah lembut dan berhati bajik makhluk berbudi luhur seperti ini tak nanti akan pergi melukai siapapun juga.

Golok lengkung yang tersoren di pinggangnya itu agaknya juga bukan sebilah golok yang dipakai untuk melukai orang. Tiba-tiba Ting Peng bertanya: "Kau juga mempergunakan golok?"

"Mengapa aku tak boleh mempergunakan golok?"

""Kau pernah membunuh orang?"

Cing-cing segera menggeleng. "Orang yang pandai mempergunakan golok bukan berarti dia harus pernah membunuh orang" katanya.

Ting Peng kembali menghela napas: "Orang yang pernah membunuh orangpun belum tentu harus pandai mempergunakan golok!" tambahnya.

Sekarang ia baru tahu, ada sementara manusia tanpa golokpun sama saja bisa membunuh orang, bahkan cara yang digunakan untuk membunuh orang jauh lebih kejam daripada mempergunakan golok.

"Kau pernah menjumpai manusia semacam itu?" Cing cing bertanya.

"Ehmm....!"

"Maka dari itu walaupun ia tidak membunuhmu dengan golok, kau toh harus mati juga"

Ting Peng tertawa getir.."Tapi aku lebih rela kalau mampus di ujung goloknya"

"Dapatkah kau menuturkan kisah peristiwa yang telah menimpa dirimu itu? Agar aku bisa turut menilai, pantaskah kau untuk mati atau tidak.....?"

Persoalan semacam ini sebenarnya tidak pantas untuk diceritakan kepada orang lain, sebab sekalipun kau mengutarakannya keluar juga tak ada orang yang mau percaya.

Tapi Cing cing bukan manusia, dia adalah rase. Rase lebih cerdik daripada manusia, dia pasti dapat membedakan apakah pernyataannya itu adalah kata-kata yang sejujurnya ataukah bukan...?

Ting Peng sedikitpun tidak kuatir bakal ditertawakan orang karena kebodohannya, maka ia menuturkan semua peristiwa yang telah menimpa dirinya itu secara gamblang dan terang.

Bila seorang dapat melampiaskan keluar seluruh rahasia hati yang sebenarnya tak dapat diutarakan kepada orang lain, sekalipun harus mati, ia akan mati dengan hati yang puas.

Ting Peng menghembuskan napas panjang, katanya: "Bila seseorang sampai tertimpa musibah sebesar ini, coba katakanlah apakah lebih baik mampus saja?"

Dengan tenang Cing cing mendengarkan penuturan tersebut, kemudian ia menghembuskan napas panjang. "Benar"

"Sekarang, apakah aku sudah boleh mati?"

"Matilah!"

Entah dia itu manusia atau rase, kedua-duanya beranggapan bahwa dia mana pantas untuk mati, bila harus hidup menanggung derita, memang lebih enak mati saja agar beres. Kembali Ting Peng menghela napas. "Pergilah kau!" katanya.

"Mengapa kau suruh aku pergi?"

"Bila seseorang hampir mati, tampaknya pasti jelek untuk dilihat, kenapa kau mesti berada di sini untuk melihat keadaanku?"

"Tapi matipun ada banyak ragamnya, kau musti memilih cara mati yang agak sedap dipandang!"

"Aaah...! Mati yaa mati dengan cara apapun sama saja, kenapa aku mesti memilih semacam kematian yang sedap dilihat?"

"Demi aku!"

"Demi kau?"

"Selama hidup belum pernah ku saksikan kematian orang lain, kumohon kepadamu matilah dengan wajah yang sedikit baik, agar aku bisa ikut menyaksikannya, mau bukan?"

Ting Peng tertawa, tentu saja tertawa yang getir. Belum pernah ia menyangka kalau ada orang bakal mengajukan permintaan yang begini brutal, tapi dia tidak menampik keinginan orang, katanya kemudian: "Bagaimanapun juga aku toh bakal mati, mampus dengan cara apapun tidak menjadi persoalan bagiku".

"Oooh... kau baik sekali?" kata Cing cing sambil tersenyum.

"Sayang sekali aku benar-benar tidak tahu kematian dengan cara yang bagaimana kah baru bisa dikatakan suatu kematian yang baik"

"Aku tahu!"

"Baik, kau ingin aku mati dengan cara yang bagaimana, aku akan mati dengan cara yang bagaimana pula?"

"Tak jauh dari sini terdapat sebuah lembah yang dinamakan lembah Yu ciu kok (lembah kemurungan), dalam lembah itu terdapat sejenis rumput yang dinamakan Wong yu cau (rumput pelupa kemurungan), jika orang bisa makan selembar saja dari daun rumput pelupa kemurungan itu, maka semua kemurungan yang mencekam perasaannya akan sama sekali terlupakan"

Ditatapnya Ting Peng tajam-tajam, kemudian melanjutkan: "Orang yang hidup di dunia ini sungguh teramat bodoh, siapa pula yang benar-benar dapat melupakan semua kemurungan yang memenuhi di dalam benaknya?"

"Cuma orang yang sudah mampus"

Cing cing menghela napas ringan, sahutnya: "Perkataanmu itu tepat sekali, hanya orang mati baru akan melupakan semua kemurungan"

"Apakah cara kematian semacam itu paling bagus dilihat?" "Menurut apa yang kuketahui, entah di atas langit ataupun di bawah bumi, cara itu memang terhitung sejenis cara kematian yang paling bagus"

"Jauhkah tempat itu letaknya dari sini."

"Tidak terlalu jauh"

Dia membalikkan badan dan pelan-pelan berjalan menuju ke bagian yang paling gelap dari gua itu, biasanya antara kemurungan dan kegelapan memang susah ditemukan perbedaannya.

Lembah yang dinamakan lembah kemurungan tersebut, sudah barang tentu terletak di tengah kegelapan. Kegelapan yang tiada ujung pangkalnya, seakan akan menyelimuti seluruh jagad.

Ting Peng tidak melihat Cing-cing, pun tidak mendengar langkah kakinya, dia hanya bisa mendengus bau khas yang tersiar dari tubuhnya, segulung bau harum yang tipis sekali. Dengan bau harum tersebut sebagai "penunjuk jalan", diapun mengikuti terus ke mana saja perempuan itu pergi.

Gua tersebut ternyata jauh lebih dalam daripada apa yang dibayangkan semula, entah sudah berapa lama dia berjalan, juga tak tahu kemana dia pergi. Yang pasti bau harum yang terendus sekarang makin lama semakin tebal.

Selain bau harum dari tubuhnya, terendus pula bau harumnya bunga, tapi bila di bandingkan dengan bau harum dari badannya, maka bau harumnya bunga itu terasa begitu hambar dan biasa.

"Benarkah dia adalah rase?" demikian Ting Peng mencoba untuk berpikir. Tapi tidak percaya diapun enggan percaya, gadis itu masih begitu muda, kalau dia adalah seorang manusia: "Aai....! Bagaimanapun aku sudah hampir mati, dia seorang manusia juga boleh mau rase juga tak menjadi soal, apa pula sangkut pautnya denganku?"

Ting Peng menghela napas dalam hati, ia tak ingin memikirkan persoalan itu lagi. "Apakah dalam lembah kemurungan juga ada bunga?" ia bertanya.

"Tentu saja ada, aneka macam bunga terdapat di sana, aku jamin kau belum pernah menyaksikan bunga sebanyak itu"

Suara Cing cing kedengaran lembut dan merdu seolah-olah angin musim semi yang berhembus datang dari pegunungan nan jauh di sana. "Ku jamin kau belum pernah mengunjungi tempat yang begitu indahnya seperti tempat itu"

Ia tidak bohong, juga tidak sengaja mengibul. Dalam lembah kemurungan memang terdapat aneka macam bunga yang indah, tempat itu sungguh-sungguh merupakan suatu tempat yang sangat indah, terutama di bawah sinar rembulan, tampak lebih indah dan menarik, indah bagaikan dalam impian.

Bila seseorang baru keluar dari kegelapan yang tak bertepian, tiba-tiba sampai di suatu tempat yang indah, sedikit banyak ia pasti akan menjadi sangsi apakah dirinya sedang bermimpi atau tidak.

"Apakah aku bukan lagi bermimpi?" tak tahan Ting Peng bertanya.

"Bukan?"

"Mengapa tempat ini dinamakan lembah Kemurungan?"

"Karena tempat ini adalah perbatasan antara dunianya manusia dengan dunianya para dewa, bukan saja manusia biasa tak boleh masuk ke sini secara sembarangan, dewa pun tak boleh sembarangan berkunjung kesini"

"Mengapa?"

"Sebab bila dewa berkunjung kemari , dia akan turun pangkatnya menjadi manusia, sedangkan manusia yang berkunjung kemari bisa berubah menjadi setan".

"Itu berarti cuma manusia yang hampir mati serta dewa yang sudah turun pangkat nya menjadi manusia bare akan berkunjung kemari?"

"Benar!"

Setelah berhenti sejenak, Cing cing berkata lagi: "Perduli dia itu dewa atau manusia, asal sudah sampai di sini maka dia akan mengalami suatu kejadian yang luar biasa, hanya kami bangsa rase yang manusia bukan manusia setan bukan setan yang bisa sembarangan berjalan di sini sekehendak hati sendiri"

Ucapannya itu selalu aneh, terlalu misterius. Tapi Ting Peng mau tak mau harus mempercayainya. Tempat itu memang bukan alam manusia, kaki manusia biasa memang belum pernah tiba di sini. Tapi bagaimana pun juga, bila seseorang bisa mati di sini, ia memang sudah tidak perlu menggerutu atau merasa menyesal lagi.

"Dimanakah rumput pelupa kemurungan itu?" tanya Ting Peng kemudian.

Cing cing tidak menjawab pertanyaannya itu. Cing cing sedang memperhatikan sebuah batu karang dikejauhan sana, sebuah batu karang berwarna putih mulus seperti susu, susu itu bagaikan raksasa yang berdiri seorang diri di bawah sinar rembulan. Di atas batu karang itu tiada bunga, Di sana hanya ada sebatang rumput berwarna hijau, lebih cantik daripada bunga, lebih hijau daripada daun.

"Itukah rumput pelupa kemurungan?" Ting Peng bertanya.

Akhirnya Cing cing mengangguk juga. "Benar!" Dia membawa pemuda itu mendekati batu karang tersebut, kemudian berkata: "Daun dari rumput pelupa kemurungan ini hanya tumbuh sekali dalam setahun, setiap kali cuma tiga lembar, bila kau datang agak terlambat, daunnya akan menjadi layu dan mengering"

"Rumput itu tak lebih hanya sekuntum rumput beracun, sungguh tak nyana begitu tinggi nilainya"

"Rumput tersebut bukan rumput beracun inilah rumput pelupa kemurungan, bila ingin menghilangkan segala kemurungan, hal tersebut bukan suatu pekerjaan yang amat sukar"

Ia lantas berpaling ke arah Ting Peng sambil bertanya: "Menurut kau, benar atau tidak?"

"Benar!"

Pada saat itulah, tiba-tiba muncul selapis bayangan hitam yang menyambar datang dan menutupi cahaya rembulan, persis seperti selapis awan hitam. Tapi bayangan awan itu bukan awan hitam. Dia adalah seekor burung elang, burung elang yang berwarna gelap.

Elang itu terbang berputar di bawah sinar rembulan, berputar-putar di atas batu karang berwarna putih susu itu, persis seperti selapis awan hitam. Di atas wajah Cing cing yang pucat tiba-tiba terpancar suatu mimik wajah yang aneh sekali, sambil berkerut kening, ia berkata:

"Agaknya yang ingin mencari rumput pelupa kemurungan pada hari ini bukan cuma kau seorang"

"Apakah dia adalah malaikat?" "tanya Ting Peng, sambil memandang elang yang sedang terbang di angkasa itu.

Cing cing segera menggeleng. "Bukan dia tak lebih cuma seekor burung elang"

"Mengapa elang juga mencari rumput pelupa kemurungan? Apakah elangpun mempunyai kemurungan?"

Cing cing belum sempat menjawab, tiba-tiba burung elang itu sudah menerjang ke atas batu karang persis di atas rumput pelupa kemurungan itu dengan kecepatan tinggi. Gerakan tubuh elang tersebut jauh lebih cepat dari siapapun, bahkan lebih cepat...

Sungguh tak disangka gerakan tubuh Cing cing jauh lebih cepat lagi. Ia membentak nyaring: "Enyah kau dari sini!"

Bersamaan dengan menggelegarnya bentakan tersebut, tubuhnya secepat kilat meluncur ke udara dan melayang turun di atas batu karang tersebut. Ujung bajunya dengan membawa desingan angin tajam dikebutkan ke atas mata burung elang itu. Si elang menjerit keras dan terbang kembali ke udara, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dibalik kegelapan sana.

Rembulan yang purnama pulih kembali dalam kejernihan warna yang lembut, berdiri di bawah sinar rembulan, di atas batu karang diantara kibaran ujung bajunya ia kelihatan seperti seorang bidadari dari kahyangan.

Diam-diam Ting Peng menghela napas panjang. Andaikata ia memiliki gerakan tubuh seperti itu, ia tak usah kuatir kepada Liu Yok-siong lagi, diapun tak usah mati. Sayang sekali gerakan tubuh semacam itu tak mungkin bisa dilakukan oleh manusia biasa dari manapun.

Tampak Cing-cing sedang menggapai ke arahnya sambil berseru: "Dapatkah kau naik kemari?"

"Akan kucoba!" Batu karang itu licin seperti cermin, mana tak bisa dipegang lagi, ia merasa benar-benar tak sanggup untuk naik ke atas. Tapi dia harus mencobanya. Entah dia manusia atau rase, yang pasti dia adalah seorang perempuan, ia tak ingin dipandang rendah olehnya. Dia mencoba sekali demi sekali, sekujur tubuhnya sudah hijau membengkak karena seringnya terjatuh ke tanah.

Gadis itu berdiri tegap di atas batu karang, sekalipun menyaksikan pemuda itu sekali demi sekali terbanting ke bawah, akan tetapi ia tidak berusaha untuk menolongnya, dia pun tidak berniat untuk menolongnya.

"Bila kau ingin mendapatkan sesuatu, maka kau harus berusaha dengan kepandaian serta kemampuanmu"

"Seseorang yang tidak memiliki kemampuan, bukan saja tak bisa hidup secara baik-baik, bahkan ingin matipun tak bisa mati secara baik-baik." Sambil menggertak gigi dia merangkak terus ke atas, kali ini ia berhasil mencapai di atas, satu jangkauan lagi dia pasti akan tiba di puncak tebing karang itu.

Sungguh tak disangka pada saat itulah tiba-tiba burung elang tadi menyambar lagi ke bawah, sepasang sayapnya dikebaskan ke bawah dengan disertai tenaga yang sangat kuat. Sekali lagi ia terjatuh ke bawah, kali ini ia terjatuh lebih keras lagi, semakin tinggi ia memanjat, semakin parah pula bila terbanting ke bawah. Sebelum ingatannya hilang, lamat-lamat ia mendengar elang itu sedang tertawa dingin.

"Hmm... Manusia macam kau juga ingin mendapatkan rumput pelupa kemurungan?"

Elang itu tak lebih, hanya seekor elang biasa, bukan malaikat..! Elang tak bisa tertawa dingin, apalagi berbicara ialah seorang manusia yang duduk di punggung elang tersebut.

Elang itu masih berputar-putar di udara, tapi orangnya sudah melayang turun ke bawah, Bayangan selembar daun melayang turun di atas batu karang tersebut. Manusia biasa tak mungkin akan memiliki ilmu meringankan tubuh yang begini sempurna.

Di bawah cahaya rembulan, orang itupun memancarkan sinar keemas-emasan, tubuhnya mengenakan sebuah jubah lebar yang terbuat dari serat emas murni. Satu stel jubah panjang yang mencapai tiga depa panjangnya. Karena orang itu justru hanya tiga jengkal tinggi badannya, ketika jubah yang tiga jengkal itu dikenakan dibadan, bagian bawah jubah itupun sudah mencapai tanah.

Jenggotnya jauh lebih panjang dari jubah emasnya, pedangnya juga lebih panjang daripada jenggotnya. Seorang manusia yang ketinggian badannya, cuma tiga jengkal ternyata menggembol pedang sepanjang empat jengkal, sarung pedang yang terbuat pula dari emas itu tentu saja mencapai di atas tanah.

Orang ini tampaknya sama sekali tidak mirip seperti dengan seorang manusia. Mungkin ia sama sekali bukan manusia melainkan, malaikat tempat itu memang bukan suatu tempat yang dapat dikunjungi oleh manusia biasa.

Seorang manusia yang didalam manusia sendiripun tiada tempat berpijak mengapa harus datang ke situ?

Seorang manusia untuk melawan manusia pun tak mampu mana mungkin bisa menangkan pertarungannya melawan rase?

Tiba-tiba Ting Peng merasa sangat menyesal karena ia seharusnya tidak pantas berkunjung ke situ.

Jubah yang berwarna emas, jenggot yang berwarna emas, pedang yang berwarna emas semuanya memancarkan sinar keemas-emasan yang menyilaukan mata. Sekalipun perawakan kakek itu tidak mencapai empat jengkal tapi sikapnya ataupun gayanya seakan-akan dia itu manusia raksasa yang tinggi badannya mencapai sepuluh jengkal lebih. Tiba-tiba ia bertanya:

"Barusan kaukah yang telah mengejutkan putraku?"

Dia sedang bertanya kepada cing cing, namun sepasang matanya tak pernah menengok ke arah Cing cing barang sekejappun? Seolah-olah di dunia ini tidak terdapat manusia yang berharga untuk dilihatnya dengan pandangan mata.

"Putramu?" Cing cing tertawa, "burung itu adalah putramu?"

"Dia bukan burung tapi elang, seekor elang sakti, dewa dari sekalian elang!"

Mimik wajahnya ketika berbicara adalah begitu serius dan bersungguh-sungguh, sebab ucapannya bukan kata-kata bohong, bukan pula kata-kata gurauan.

Tapi Cing cing masih tertawa, katanya: "Elang juga burung, kalau putramu seekor burung tentunya kau juga seekor burung bukan?"

Kakek itu naik pitam, rupanya yang setengah botak itu berdiri tegak semua bagaikan kawat, kemarahan yang membuat rambutnya berdiri bagaikan duri. Konon bila tenaga khikang yang dilatih seseorang telah mencapai puncak kesempurnaan, dalam gusarnya rambut di atas kepalanya benar-benar bisa berdiri semua bagaikan duri.

Tapi tak akan ada seorang manusiapun di dunia ini yang sanggup melatih ilmu khikangnya hingga mencapai puncak setinggi itu, tenaga dalam semacam itu tak akan bisa di jangkau oleh manusia manapun juga.

Cing cing seperti tidak merasa takut barang sedikitpun juga, karena dia sendiri juga bukan manusia. Dia adalah rase, konon rase tidak takut terhadap apapun.

Hawa kegusaran si kakek itu ternyata bisa dipadamkan kembali dengan cepat, katanya dingin: "Kau sanggup membuat kagetnya putra elangku berarti tenaga dalammu tidak lemah"

"Oooh..."

"Tapi aku tak akan membunuhmu!" Dengan angkuh kakek itu menambahkan. "Sebab dalam dunia saat ini hanya tinggal dua gelintir manusia saja yang berhak bagiku untuk membunuhnya sendiri!"

"Aduh mak!"

"Apa artinya aduh mak?"

"Aduh mak artinya bila kau ingin membunuhku, kau masih bisa membunuhku...!"

"Mengapa?"

"Sebab aku bukan manusia"

"Lantas makhluk apakah kau?"

"Aku juga bukan makhluk, aku adalah rase!"

Kakek itu segera tertawa dingin. "Siluman rase termasuk jenis setan, semakin tidak berharga bagi aku orang tua untuk meloloskan pedang!"

Dia bukan cuma besar dalam perkataan, nyalinya juga cukup besar. Ternyata ia masih tidak pandang sebelah matapun terhadap Cing-cing, sambil bergendong tangan ia berjalan menuju ke arah rumput pelupa kemurungan itu.

"Masakah manusia semacam dia juga ingin melupakan segala kemurungan yang mencekam dalam benaknya?"

Tiba-tiba Cing cing menghalangi jalan perginya, ia berkata: "Kau tak dapat mengusik rumput pelupa kemurungan itu, menyentuhpun tak boleh!"

Ternyata kakek itu tidak bertanya kepadanya: "Mengapa?"

Sekarang ia sudah berada di hadapannya, ia sudah tak bisa tidak untuk memandang ke arahnya, tapi ia tetap tidak mendongakkan kepala untuk memandang wajahnya. Ia sedang menatap golok yang tersoren di pinggangnya itu. Golok lengkung milik Cing cing. Golok lengkung milik cing cing memancarkan cahaya keperak-perakan di bawah cahaya rembulan.

Tiba-tiba kakek itu menjulurkan tangannya yang kurus kering macam cakar setan itu, seraya berseru: "Bawa kemari!"

"Apanya yang bawa kemari?"

"Golokmu itu...!"

"Mengapa aku harus serahkan golok itu kepadamu?"

"Sebab aku mau melihat"

"Sekarang toh kau sudah melihat"

"Aku hendak melihat golokmu, bukan sarung golokmu!"

"Kunasehati dirimu lebih baik melihat sarung goloknya saja, sebab itu sudah lebih dari cukup, janganlah melihat golok ini lagi"

"Mengapa?"

"Sebab golok ini paling pantang untuk diperhatikan" Sesudah menghela napas, gadis itu melanjutkan: "Sebab setiap orang yang pernah melihat golok ini, pasti akan mampus di ujung golok tersebut"

Tiba-tiba kakek itu mendongakkan kepala memandang wajahnya. Gadis itu berwajah pucat tapi cantik, kecantikannya begitu membuat orang terkesima dan misterius, cantiknya membuat setiap orang yang memandangnya tentu tergetar perasaannya...

Ternyata sikap dari kakek itu sama sekali berbeda. Mendadak kelopak matanya berkerut kencang, lalu sinar mata kengerian dan ketakutan terpancar keluar dari balik matanya itu. Tiba-tiba ia menjerit tertahan: "Haaah, kau?!"

Mungkinkah dulu kakek itu pernah berjumpa dengan Cing-cing? Apakah dulu ia pernah kenal dengan Cing-cing?

Mendadak kakek itu menggelengkan kepalanya berulang kali. "Bukan, sudah pasti bukan, kau masih muda, kau masih terlampau muda!"

Cing-cing pun merasa agak keheranan, dia lantas bertanya: "Apakah kau pernah kenal dengan seseorang yang amat mirip wajahnya denganku?"

"Aku tidak kenal denganmu, aku hanya kenal dengan golok itu, aku tak bakal salah melihat, tak bakal....."

Tiba-tiba ia bertanya lagi kepada Cing-cing: "Bukankah di atas golok itu tertera tujuh buah huruf?"

"Tujuh huruf yang mana?" Cing-cing balik bertanya.

"Siau-lo-it-ya-teng-cun-hi!"

Siau-lo-it-ya-teng-cun-hi! "Mendengar rintikan hujan di sebelah loteng pada suatu malam..."

Jelas kata-kata tersebut merupakan sebait syair, sebait syair yang sangat indah, keindahannya begitu mempesona, keindahannya membuat hati orang terkoyak-koyak.

Ting Peng pernah membaca syair tersebut, juga memahami arti dari syair tersebut. Saban kali membaca bait syair tersebut atau dikala mendengar bait syair itu, entah mengapa perasaan masgul selalu akan muncul dan menyelimuti seluruh perasaannya.

Semacam kemasgulan yang tak terungkapkan dengan kata-kata, semacam perasaan aneh yang susah dilukiskan dengan ucapan selalu akan muncul dan menyelimuti perasaan nya.

Tapi reaksi dari Cing cing maupun kakek itu sama sekali berbeda, reaksi mereka aneh sekali. Dikala mengucapkan ke tujuh patah kata itu tiba-tiba saja sekujur badan kakek itu menggigil keras, tangannya gemetaran keras bahkan paras mukanya juga turut berubah hebat.

Sebaliknya... ketika mendengar ke tujuh patah kata itu paras muka Cing-cing juga berubah, tiba-tiba ia melemparkan keranjang bunga di tangannya dengan menggenggam gagang golok yang tersoren di pinggangnya itu. Gagang golok dari golok lengkung itu..... Itulah golok lengkung milik Cing-cing.

Gagang goloknya ternyata juga melengkung meliuk-liuk seperti tubuh ular. Cahaya gemerlapan memancar diangkasa, tiba-tiba saja Ting Peng merasakan sekujur tubuhnya menjadi dingin, suatu perasaan dingin yang aneh dan menggidikkan hati.

* * * * *

SYAIR HUJAN RINTIK

ANEKA bunga indah yang memenuhi keranjang bunga, bergelinding jatuh dari atas batu karang, bebungaan itu segera tersebar kemana-mana bagaikan hujan rintik.

Tentu saja hujan bunga, bukan hujan rintik. Tempat itu tiada hujan, yang ada cuma rembulan. Rembulan yang purnama. Di bawah sinar bulan purnama, mendengarkan sebait syair yang begitu indah, mengapa mereka bisa memperlihatkan reaksi yang begitu aneh?

Tangan Cing Cing menggenggam gagang golok lengkungnya erat-erat. Sedang si kakek mengawasi tangannya itu tanpa berkedip. Ia sudah tidak perlu banyak bertanya lagi, seandainya di atas golok itu tiada ke tujuh huruf tersebut, tak mungkin dia akan memperlihatkan reaksi seperti itu.

Mimik wajah kakek itu paling aneh, saat itu entah dia sedang merasa tercengang? Atau girang? Atau takut? Tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya dan tertawa seram. "Haaahh... haaahh... haaahh... ternyata benar-benar adalah golok itu. Thian sungguh punya mata, akhirnya aku berhasil menemukan golok itu."

Ditengah gelak tertawa yang keras, pedangnya telah diloloskan dari sarungnya. Sekalipun tubuhnya tiga jengkal tingginya sedang pedang itu empat jengkal panjangnya tapi setelah pedang itu berada ditangannya, semuanya itu berubah menjadi tidak menggelikan lagi.

Setelah pedang itu diloloskan dari sarung nya, tak akan seorang manusiapun yang akan memperhatikan bahwa dia adalah seorang manusia kerdil. Sebab begitu pedang tersebut diloloskan dari sarungnya, terasalah ada selapis hawa nyaring yang menyengat badan memancar keluar dari sekeliling tubuhnya.

Bahkan Ting Peng yang berada di bawah tebing batupun ikut merasakan hawa pedang itu, hawa pedang yang dingin dan tajam memaksa sepasang matanya yang tak mampu di pentangkan kembali. Menanti ia membuka kembali matanya hawa pedang telah menyelimuti seluruh langit dan menari-nari, sekujur badan Cing cing telah terkurung di bawah cahaya pedang tersebut.

Hawa pedang menembusi angkasa, sedang pedang itu menyambar kesana kemari dengan tajamnya. Suara si kakek kedengaran masih amat jelas sekali ditengah desingan angin pedang yang tajam itu, kedengaran sepatah demi, sepatah kata dia berseru: "Mengapa kau tidak meloloskan golokmu?"

Cing cing masih belum juga mencabut goloknya. Golok lengkung milik Cing cing masih tersoren dalam sarungnya yang melengkung.

Tiba-tiba kakek itu membentak keras: "Mampus kau!"

Bentakan keras bagaikan geledek, cahaya pedang berkilauan bagaikan halilintar, sekalipun halilintar juga tak akan seterang itu, tak akan secepat itu.

Ketika pedang berkelebat lewat Cing Cing terjatuh dari atas batu karang bagaikan se ikat bunga segar yang tiba-tiba layu dan terkulai ke bawah. Batu karang itu hampir sepuluh kaki tingginya ketika tiba di atas tanah tubuhnya segera terkapar.

Kakek itu sama sekali tidak melepaskannya. Kakek itupun melayang turun dari atas batu karang yang sepuluh kaki tingginya itu seenteng selembar daun, pelan-pelan melayang turun. Dalam genggaman kakek itu masih ada pedang, Pedangnya telah diloloskan dari sarungnya. Ujung pedang si kakek yang tajam sedang diarahkan ke jantung Cing Cing.

Tusukan tersebut jelas adalah sebuah tusukan yang mematikan, selain tepat, ganas cepat dan lagi tak berperasaan. Entah dia manusia atau rase, jika tertembus oleh pedang tersebut, ia pasti akan mati.

Tak pernah terpikirkan oleh Ting Peng bahwa di dunia ini masih terdapat ilmu pedang yang begini hebatnya, kakek itu pasti bukan manusia, dia tentu seorang malaikat. "Malaikat elmaut!"

Cing-cing sudah tergeletak disampingnya, Cing cing sudah tak mampu untuk menghindar atau menangkis serangan tersebut.. Menyaksikan pedang itu menyambar ke bawah, tiba-tiba Ting Peng menubruk ke depan, menubruk ke atas badan Cing cing.

"Aku toh sudah hampir mati, mengapa aku biarkan ia yang musti menjadi korban?"

Tiba-tiba semacam tenaga dorongan yang tak terlukiskan dengan kata-kata berkobar dalam dadanya, entah bagaimanapun juga, dia ingin mati bersama Cing cing. Perduli apakah Cing-cing itu manusia atau rase, yang pasti gadis itu sangat baik kepadanya. Ia mana tega membiarkan Cing Cing mati di ujung pedang orang lain?

Sebaliknya ia sendiri toh ingin mati, apa salahnya untuk mati di ujung pedang orang? Mati di ujung pedang atau mati dengan cara lain, akhirnya toh sama-sama matinya juga? Ia menubruk ke atas badan Cing cing, Ia rela mewakili Cing Cing untuk menerima tusukan itu.

Cahaya pedang berkelebat lewat, ujung pedang itu telah menembusi punggungnya. Tapi ia tidak merasa kesakitan. Rasa sakit yang sesungguhnya, malahan tak akan memberikan rasa tersiksa bagi yang merasakannya. Ia cuma merasa kedinginan, semacam kekuatannya, tiba-tiba saja hawa dingin itu merasuk ke dalam punggungnya dan menembusi tulang belulangnya.

Pada saat itulah, ia menyaksikan Cing cing telah meloloskan goloknya itu. Golok lengkung Cing cing berwarna hijau mulus. Ketika cahaya golok Cing Cing menyambar ke udara, mata Ting Peng terasa tak mampu dibuka kembali.

Ia tidak menyaksikan golok lengkung dari Cing cing itu, dia hanya mendengar kakek itu tiba-tiba memperdengarkan jeritan ngeri yang menyayatkan hati. Kemudian pemuda itu merasakan segalanya gelap gulita, ia merasa tubuhnya terjatuh ke dalam lembah kegelapan yang tiada tara dalamnya, suatu kegelapan yang sangat aneh sekali.

* * * * *

DITENGAH kegelapan tiba-tiba muncul setitik cahaya, cahaya rembulan bulan yang sedang purnama. Ketika Ting Peng membuka matanya kembali, dia menyaksikan rembulan yang sedang purnama. Juga melihat sepasang mata Cing-cing yang lebih indah daripada sinar rembulan itu.

Tidak terkecuali di langit, juga di bumi, tak akan dijumpai mata yang lebih indah daripada sepasang matanya. Ia masih berada di sisi Cing Cing. Entah dia akan mati atau masih hidup? Entah dia sudah berada di langit atau masih di atas bumi, Cing cing telah berada di sisinya. Dalam kelopak mata Cing Cing masih ada air mata. Ternyata gadis itu telah melelehkan air mata baginya.

Tiba tiba Ting Peng tertawa, katanya: "Rupanya sekarang aku tak usah membutuhkan rumput pelupa kemurungan lagi, tapi aku merasa mati dalam cara begini jauh lebih baik"

Ia mengeluarkan tangannya dan menyeka air mata di atas pipinya, kemudian melanjutkan. "Akupun belum pernah menyangka dikala aku hendak mati ternyata ada orang yang bakal melelehkan air mata bagiku"

Tiba-tiba paras muka Cing-cing berubah hebat, bahkan sekujur badannya mulai menggigil keras, tiba-tiba ia berseru: "Aku benar-benar sedang melelehkan air mata?"

"Yaa, benar! Kau benar-benar sedang melelehkan air mata, bahkan melelehkan air mata bagiku"

Paras muka Cing-cing berubah menjadi sedemikian anehnya, seakan-akan ia menjadi ketakutan setengah mati, baginya melelehkan air mata agaknya merupakan suatu kejadian yang paling menakutkan. Tapi ditengah rasa takut yang menyelimuti wajahnya itu, diapun seolah-olah merasakan suatu kegembiraan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.

Reaksi tersebut adalah semacam reaksi yang aneh sekali, Ting Peng benar-benar tidak habis mengerti, mengapa ia dapat memperlihatkan reaksi semacam ini? Tak tahan lagi dia bertanya: "Perduli bagaimanapun juga, aku adalah mati demi kau, sedang kau melelehkan air mata bagiku..."

Mendadak Cing Cing menukas perkataannya itu: "Kau belum mati, kaupun tak akan mati"

"Kenapa?"

"Sebab kau sudah mati sekali, sekarang kau telah berada di sini, berarti kau tak akan mati lagi"

Akhirnya Ting Peng menjumpai bahwa tempat itu bukanlah lembah kemurungan yang cantik tersebut. Tempat di sini jauh lebih indah berlipat-lipat ganda. Rembulan yang purnama masih berada di luar jendela, aneka bunga berada di sekeliling daun jendela, ia berbaring diatas sebuah pembaringan yang lebih lunak dari pada mega, di depan pembaringan tergantung sebutir mutiara, cahaya mutiara itu lebih tajam dan lembut dari pada sinar rembulan.

Ia merasa seolah-olah pernah berkunjung kesana. Tapi iapun tahu, kalau ia pernah berkunjung ke sana, sudah pasti hal ini terjadi sewaktu berada dalam impian. Sebab di alam semesta tak mungkin terdapat ruang istana yang begini megah dan mewah, tidak terdapat pula mutiara yang begitu besar dan bercahaya tajam.

"Dimanakah aku berada sekarang?"

Cing cing menundukkan kepalanya dan menjawab dengan lirih: "Di rumahku!"

Akhirnya Ting Peng teringat, barusan mengapa ia merasa seakan akan pernah kenal dengan tempat ini. Ia memang pernah menjumpai tempat itu, tapi menjumpainya di dalam lukisan. Seluruh dinding didalam gua penuh dengan lukisan, yang terlukis di sana bukan pemandangan di alam semesta, melainkan pemandangan di atas langit. Tak tahan kembali ia bertanya: "Hanya kau seorangkah yang berdiam di sini?"

Cing Cing tidak menjawab, tapi dari balik pintu kecil yang tertutup tirai di depan sana terdengar seseorang menjawab: "Tak seorang manusia yang berada di sini!"

Seorang nenek berambut putih menggunakan ujung tongkat berkepala naganya untuk menyingkap tirai, kemudian pelan-pelan berjalan masuk ke dalam ruangan. Ia mempunyai perawakan tubuh yang tinggi besar, sikapnya keren, anggun dan berwibawa. Walaupun rambutnya telah beruban semua, namun pinggangnya masih tegap dan lurus seperti pena, sepasang matanya masih memancarkan sinar yang amat tajam.

Dengan kepala tertunduk, Cing-cing telah bangkit berdiri, kemudian serunya lirih: "Nenek!"

Ternyata nenek tua itu adalah neneknya Cing cing. Seorang gadis rase yang masih muda dan cantik, membawa seorang pemuda yang hampir masak kembali ke sarang rasenya dan bertemu dengan sang nenek yang berwatak aneh dan bersifat keras hati.

Kejadian semacam ini sebenarnya hanya bisa terjadi dalam cerita hikayat lama, tapi sekarang Ting Peng telah mengalaminya sendiri. Selanjutnya apa yang bakal terjadi? Apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirinya?

Ting Peng sama sekali tak bisa menduga. Bila seorang manusia biasa macam dia tiba ditempat semacam ini, maka segala sesuatunya akan terkekang. Dengan pandangan dingin nenek itu menatap sekejap ke arahnya, kemudian berkata lagi:

"Kau harus tahu di sini tak ada seorang manusiapun, sebab kami bukan manusia, melainkan siluman rase"

"Aku tahu!" Ting Peng mengakuinya.

"Tahukah kau bahwa manusia biasa sebenarnya tidak pantas untuk datang kemari?"

"Aku tahu"

"Sekarang kau sudah datang kemari, tidak menyesalkah kau?"

"Aku tidak menyesal...!"

Itupun suatu jawaban sesungguhnya. Seorang manusia yang sebenarnya sudah hampir mati, apa pula yang musti disesalkan lagi? Selama hidup di alam semesta, dia hanya akan dianiaya orang difitnah dan di cemoohkan orang, mengapa ia tidak berusaha untuk pindah ke dunia yang lain? Sekalipun mereka adalah rase, tapi sikap serta kejujuran jauh lebih baik dari pada manusia.

Terdengar nenek itu berkata lagi: "Seandainya kami bersedia untuk menerima mu, bersediakah kau berdiam di sini?"

""Aku bersedia!"

"Kau benar-benar sudah bosan dengan kehidupan di alam semesta?"

"Yaa, benar!"

"Kenapa?"

"Di.... di alam semesta aku tak bersanak, tak punya keluarga, sekalipun mampus dalam pecomberan juga tak akan ada orang yang mengurusi jenasahku, apalagi meneteskan air mata bagi kematianku" Semakin berbicara hatinya semakin putih sehingga suaranya juga ikut sesenggukan.

Sorot mata nenek itu bertambah lembut dan halus, katanya kemudian: "Ketika kau menerima tusukan pedang itu untuk Cing Cing, apakah kau juga melakukannya dengan tulus hati...?"

"Tentu saja aku melakukannya dengan tulus hati. Sekalipun sekarang ia minta aku mati baginya, aku tetap akan mati untuknya!"

"Kenapa?"

"Aku juga tak tahu mengapa, aku hanya tahu setelah aku mati, paling tidak ia masih akan melelehkan air matanya lagi untuk ku!"

Mendadak dari balik mata nenek itu memancar keluar suatu sinar mata yang aneh sekali, tiba-tiba ia bertanya kepada Cing cing: "Apakah kau telah melelehkan air mata baginya?"

Dengan mulut membungkam Cing Cing menganggukkan kepalanya, di atas wajahnya yang pucat tiba-tiba terlintas warna semu merah.

Si nenek memandangnya tajam-tajam, ia memandang lama sekali, kemudian baru berpaling memandang ke arah Ting Peng, ia pun memandang pemuda itu lama sekali. Sorot matanya yang keren tadi lambat laun berubah menjadi lembut, tiba-tiba ia menghela napas panjang, gumamnya: "Aaai.... Jodohkah ini? Ataukah suatu pertanda dari akan terjadinya suatu tragedi"

Ia mengulangi kata-kata tersebut sampai beberapa kali, entah berapa banyak sudah dia mengulangi ucapan tersebut, jelas dia sendiripun tak tahu apa jawabannya. Ia menghela napas panjang, kembali akhirnya berkata: "Sekarang kau telah mati satu kali untuknya, dan iapun telah melelehkan air mata untukmu"

"Tapi aku...."

Si nenek tidak membiarkan ia berkata lebih jauh, tiba-tiba serunya dengan lantang: "Ikutilah aku!"

Ting Peng beranjak, ia baru mengetahui bahwa mulut lukanya telah dibalut, bau harumnya obat memancar keluar dari balik kain putih pembalut luka itu. Tusukan itu sesungguhnya merupakan suatu tusukan yang mematikan, tapi sekarang bukan saja ia sudah bisa bangkit, bahkan sama sekali tidak terasa sakit. Ia mengikuti si nenek itu berjalan keluar melalui pintu kecil yang bertirai itu, tapi tak tahan pemuda itu berpaling kembali.

Cing cing juga sedang melirik, ke arahnya, mimik wajah serta sorot matanya memancar suatu keanehan, entah sedang merasa jengah ataukah sedang merasa girang.

Diluar kamar adalah sebuah kebun bunga, sebuah kebun bunga yang besar sekali. Bulan purnama masih bersinar terang aneka bunga mekar dengan indahnya. Aneka bunga yang seharusnya baru berkembang pada bulan ke tujuh, banyak terdapat pula di situ bahkan semuanya sedang mekar, dengan indahnya bunga-bunga yang tidak seharusnya mekar di bulan ke tujuh di sanapun terdapat, bahkan sedang mekar pula.

Sebuah jalan setapak yang berlapiskan batu bulatan berwarna putih terbentang ditengah bebungaan itu, ujung dari jalan kecil tersebut adalah sebuah loteng kecil.

Si nenek membawa Ting Peng naik ke atas loteng kecil itu. Ruangan di atas loteng kecil itu tenang dan megah, seorang manusia berbaju hijau sedang memandang sebuah lian yang tergantung di atas dinding dengan termangu-mangu.

Di atas lian tersebut hanya tertera tujuh huruf yang ditulis dengan indahnya, ke tujuh huruf itu berbunyi: "Siau lo it ya teng cun hi!"

Menjumpai bayangan punggung orang berbaju hijau itu, sinar mata si nenek berubah makin lembut. Tapi menanti orang berbaju hijau itu telah membalikkan badannya, Ting Peng baru merasa terkejut.

Seandainya dia bukan seorang lelaki, seandainya usianya tidak terlalu besar, Ting Peng pasti akan mengira dia sebagai Cing-cing. Alis matanya, matanya, bibirnya, hidungnya, dan gerak geriknya pada hakekatnya persis sama dengan Cing-cing.

Ting Peng segera berpikir: "Jika orang ini bukan ayah Cing-cing, sudah pasti adalah kakaknya Cing cing."

Tapi kalau dibilang dia adalah kakaknya Cing-cing rasanya usia orang itu agak terlalu tua, sebaliknya kalau dibilang dia adalah ayahnya Cing cing maka usianya terasa agak kecilan. Padahal Ting Peng tak bisa menilai berapa besarnya usia orang itu. Paras muka orang inipun persis seperti Cing cing, pucat pias sehingga hampir bening warnanya.

Berjumpa dengan nenek itu, ternyata dia tidak menunjukkan sikap menghormat seperti yang diperlihatkan Cing cing, hanya sambil tertawa hambar katanya: "Bagaimana?"

Nenek itu menghela napas panjang, sahutnya: "Aku sendiripun tak tahu bagaimana mesti berbuat, lebih baik kau saja yang mengambil keputusan!"

Orang berbaju hijau itu segera tertawa: "Aku sudah tahu kalau kau pasti akan melimpahkan persoalan ini ke atas badanku"

Nenek itu turut tertawa. "Kalau tidak kulimpahkan ke atas tubuhmu lantas harus dilimpahkan ke tubuh siapa?"

Walaupun senyuman mereka begitu tawar, tapi seakan-akan membawa suatu hubungan kasih yang amat tebal. Sikap mereka itu tidak mirip hubungan antara ibu dan anak, apalagi hubungan nenek dengan cucu. Hal mana sudah membuat Ting Peng amat terkejut. Kemudian, si nenek telah menambahkan pula dengan sepatah kata yang membuat ia lebih terperanjat lagi, ia berkata:

"Kau adalah kakeknya Cing-cing, apalagi kepala rumah tangga, sudah sepantasnya kalau kaulah yang memutuskan masalah ini"

Ternyata orang yang berbaju hijau itu adalah kakeknya Cing-cing. Kelihatannya paling banter belum mencapai usia pertengahan, mimpipun Ting Peng tidak menyangka kalau dia dengan nenek itu adalah suami istri.

Orang berbaju hijau itu sedang memandang ke arahnya, seakan-akan apa yang sedang dipikir dalam hatinya pun dapat diketahui olehnya dengan jelas, sambil tersenyum katanya:

"Sekarang kau tentu sudah tahu bukan kalau kami adalah siluman rase, oleh sebab itu apa yang kau saksikan di sini tak usah lah terlampau kaget atau tercengang"

Suara tertawanya begitu lembut dan riang, terusnya: "Sebab kami memang memiliki beberapa hal yang mimpipun orang awam biasa tak akan mampu untuk melakukannya"

Ting Peng juga ikut tersenyum, agaknya lambat laun ia sudah mulai terbiasa untuk bergaul dengan mereka, ia menemukan bahwa rase-rase ini sesungguhnya tidak terlampau menakutkan daripada apa yang dikisahkan dalam hikayat-hikayat lama. Sekalipun mereka adalah rase, tapi merekapun memiliki sifat manusia. Malah jauh lebih lembut dan baik hati ketimbang kebanyakan manusia lainnya.

Terhadap sikap maupun tindak tanduknya itu, rupanya manusia berbaju hijau itu merasa sangat puas, katanya: "Sebenarnya tak pernah kuduga kalau Cing cing akan kukawinkan dengan seorang manusia biasa, tapi kalau toh kau sudah mati sekali untuknya, dan diapun telah meneteskan air mata bagimu...."

Ia berhenti sejenak, senyumannya makin lembut dan hangat, kemudian terusnya: "Kau harus tahu, rase selamanya tak pernah mengucurkan air mata, air mata rase jauh lebih berharga daripada darah, ia bisa melelehkan air mata bagimu itu menandakan kalau ia sudah menaruh perasaan cinta ke padamu, kau bisa bertemu dengannya, ini pun berarti bahwa diantara kalian berdua sebenarnya memang ada jodoh. Baik itu di alam semesta maupun di alam kehidupan rase."

"Cinta yang murni" dan masalah jodoh merupakan suatu peristiwa yang dapat ditemui tapi tak bisa diminta. Orang berbaju hijau itu kembali berkata: Oleh sebab itu akupun tak ingin untuk memisahkan hubungan cinta dan ikatan jodoh diantara kalian berdua"

Tiba-tiba si nenek menyela dari samping: "Apakah kau telah menyetujui untuk mengawinkan Cing Cing dengannya....?"

"Yaa, aku setuju!" orang berbaju hijau itu tersenyum.

Selama ini Ting Peng tak pernah bersuara karena ia sendiripun merasakan pikirannya kalut. Mimpipun ia tak pernah menyangka bakal di dunianya kaum rase, semakin tak menduga kalau ia bakal mengawini seorang gadis rase sebagai istrinya.

Bila seorang manusia biasa mengawini seorang gadis rase sebagai istrinya, mungkinkah akan mengakibatkan suatu kejadian besar?

Dapatkah seorang manusia biasa hidup langgeng dalam alam kehidupannya kaum rase. Kelihaian rase dapatkah membantu seorang manusia biasa?

Persoalan-persoalan semacam itu tak pernah terlintas dalam benaknya, apalagi dalam keadaan seperti ini, sudah barang tentu semakin mustahil untuk melintas di dalam benaknya. Dia hanya tahu, untuk selanjutnya jalan kehidupannya akan mengalami perubahan besar.

Entah di kemudian hari nasibnya bakal berubah menjadi apa, dia tak pernah akan merasa menyesal atau menggerutu. Sebab dia sebetulnya tak lebih hanya seorang manusia yang telah menemui jalan buntu dan harus mati.

Selain itu ada satu hal yang paling penting lagi, yakni ia percaya Cing-cing benar-benar menaruh hati kepadanya. Dalam kekalutan pikiran yang sedang berkecamuk dalam benaknya itu, dia seakan-akan mendengar orang berbaju hijau itu sedang berkata:

"Setelah kau menjadi menantu kami, sekalipun bisa menikmati banyak sekali hal-hal yang mimpipun tak pernah akan dialami oleh manusia biasa, walaupun selamanya kau bisa hidup bebas merdeka di sini, tapi kami mempunyai sebuah larangan"

"Bila kau telah menjadi menantu kami, maka selama hidup kau tak akan kembali lagi ke alam semesta."

"Oleh karena kami tahu kalau kau sudah bosan dengan kehidupan di alam semesta, maka kami baru memutuskan untuk menerimamu"

"Asalkan kau bersedia untuk tidak melanggar larangan kami untuk selamanya, mulai saat ini juga kau akan kami terima sebagai menantu kami"

Di alam semesta ia sudah tak berkeluarga, dalam alam semesta dia hanya dianiaya orang, dicemoohkan orang dan dipermainkan orang. Tapi gadis rase telah menaruh hati kepadanya.

"Aku bersedia!" Ting Peng mendengar suara sendiri sedang menjawab, "aku bersedia menuruti larangan itu".

Si nenek ikut tertawa, ia maju dan memeluknya sambil berkata: "Kami juga tak punya barang apa-apa untuk diberikan kepadamu, ambillah benda ini sebagai tanda mata kami atas perkawinanmu dengan Cing-cing...."

Nenek itu memberikannya sebilah golok melengkung. Golok melengkung berwarna hijau. Golok lengkung itu mirip milik Cing-cing, mata golokpun berwarna hijau mulus, hijau bagaikan tanah perbukitan nun jauh di sana, hijau seperti daun pepohonan, hijau seperti air mata kekasih.

Di atas golok lengkung yang berwarna hijau itu tertera pula tujuh huruf kecil. Tujuh huruf yang memancarkan sinar terang, itulah tujuh huruf yang merupakan sebait syair: "Siau lo it ya teng cun hi!"

"Mendengar rintikan hujan di sebuah loteng pada satu malam"

Sebait syair yang aneh kedengarannya, tapi cukup membuat hati merasakan suatu perasaan aneh. Itulah tujuh huruf yang pernah membuat berubahnya wajah si kakek kerdil yang berpedang panjang... Tujuh buah huruf yang misterius!

* * * * *

CINTA KASIH DALAM LEMBAH

TEMPAT ini adalah sebuah lembah, sebuah lembah yang amat terpencil letaknya, empat penjuru di sekeliling lembah tersebut merupakan dinding tebing berkarang yang menjulang tinggi ke angkasa. Seakan-akan lembah itu merupakan sebuah lembah yang buntu dan tiada jalan keluar. Sekalipun ada jalan keluar, juga tak mungkin buat manusia biasa untuk mengunjunginya.

Lembah itu tidak terlalu besar, sekalipun terdapat kebun, istana dan bangunan loteng, sekalipun pemandangan alamnya indah seperti lukisan di atas dinding gua, namun itupun tak lebih hanya sebagian dari lukisan tersebut...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.