Golok Bulan Sabit Jilid 10
BEKAS bacokan golok berbentuk melengkung seperti bulan sabit di atas wajah mereka itu tiba-tiba mulai merekah, dagingnya merekah bagaikan bunga yang sedang mekar, sehingga terlihat tulang putih dibalik daging itu.
Golok yang berada dalam genggaman merekapun secara tiba-tiba terjatuh ke tanah, terjatuh berikut tangan yang menggenggam golok tersebut. Namun di atas wajah mereka sama sekali tidak memperlihatkan rasa menderita atau sakit, sebab rasa takut yang luar biasa telah membuat mereka melupakan penderitaan dan rasa sakit yang menyelimuti tubuhnya.
Tiada orang yang bisa membayangkan perasaan takut yang ditampilkan lewat sorot mata mereka. Sekalipun semua orang telah menyaksikan mereka membabat kutung tubuh seseorang tadi, namun rasa ngeri yang diperlihatkan mereka ketika itu tak akan sehebat rasa takut mereka sekarang.
Agaknya rasa Ah-ku yang mencekam hati mereka sudah melampaui batas-batas rasa takut seseorang. Yang mereka takut bukanlah orang yang sanggup menghancurkan mereka dalam sekali bacokan itu, yang mereka takuti adalah golok yang berada ditangan orang itu.
Sebilah golok yang melengkung bagaikan bulan sabit. Golok pun bukan suatu benda yang menakutkan. Bila seseorang takut dengan sebilah golok, biasanya hal ini disebabkan karena mereka takut dengan orang yang mempergunakan golok tersebut, takut dengan ilmu golok orang itu, takut orang itu membunuhnya dengan mempergunakan golok.
Tapi yang mereka takuti sekarang adalah golok tersebut. Golok itu sendiri seakan-akan telah membawa semacam keseraman atau kengerian yang bisa merobek-robek sukma mereka. Rasa seram dan ngeri itu bukan saja dapat membuat mereka melupakan penderitaan, bahkan membangkitkan pula semacam kekuatan aneh yang tertanam dalam hati mereka.
Oleh karena itu, meski kulit muka mereka telah merekah, walaupun tangan sebelah mereka telah kutung, namun mereka belum juga roboh ke atas tanah. Mereka seakan-akan tidak tahu kalau dirinya sudah terluka, tidak tahu kalau tangan mereka sudah kutung.
Rasa takut dan seram yang mencekam perasaan mereka sekarang ibaratnya sebuah tangan tak berwajah yang mencekik leher setiap orang. Tiada orang yang bersuara, bahkan tiada orang yang bernapas dengan suara keras.
Orang yang buka suara ternyata adalah Thi yan tianglo yang selama ini tak terlalu banyak berbicara, dia sedang mengawasi golok ditangan Ting Peng lekat-lekat, kemudian secara tiba-tiba berkata:
"Golok yang kau pergunakan adalah sebilah golok lengkung"
"Yaa, lengkung sedikit"
"Bukan hanya sedikit saja, golok yang kau pergunakan benar-benar adalah sebilah golok lengkung"
"Ooh...!"
"Di atas langit dari dulu sampai sekarang, hanya seorang yang dapat mempergunakan golok semacam ini"
"Oooh...!"
"Tapi kau bukan orang itu"
"Aku memang sesungguhnya aku, aku bukan orang lain, aku adalah aku sendiri"
"Golok yang kau pergunakan juga bukan golok miliknya"
"Ini memang milikku!"
"Di atas golokmu itu juga tak ada tulisannya!" kembali Thi yan tianglo berkata. Dia sudah mengawasi golok tersebut sampai lama sekali, matanya jauh lebih tajam daripada burung elang.
"Apakah di atas golok ini sebenarnya ada tulisan?" kata Ting Peng.
"Yaa, di atas golok itu memang seharusnya ada tujuh huruf!"
"Tujuh huruf yang mana?"
"Siau-lo-it ya-teng-cun-hi (Mendengar rintik hujan ditengah malam di sebuah loteng kecil)!" kata Thi-yan tianglo sepatah demi sepatah.
Di atas golok lengkung milik Cing-cing memang terdapat ke tujuh huruf itu. Sesungguhnya, ke tujuh huruf itu merupakan sebaris syair, sebaris syair yang sangat indah artinya, membawa suatu kelembutan, hati yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Namun, ketika Thi-yan tianglo mengucapkan ke tujuh patah kata itu, suaranya diliputi oleh perasaan ngeri, seram dan takut, semacam rasa takut yang disertai dengan perasaan hormat. Semacam rasa hormat yang timbul dihati manusia hanya khusus terhadap malaikat atau dewa.
Padahal makna dari bait syair itu tiada yang mengandung sesuatu keseraman. Tanpa terasa Ting Peng teringat kembali kejadian sewaktu pertama kali bertemu dengan Cing-cing ketika berjumpa dengan kakek berjubah emas yang berjenggot panjang.
Sewaktu dia mengucapkan bait syair tersebut, wajahnyapun seakan-akan memperlihatkan mimik wajahnya seperti apa yang diperlihatkan Thi-yan tianglo sekarang. Mengapa mereka memperlihatkan reaksi yang begitu istimewa terhadap sebait syair yang amat sederhana itu! Mungkinkah diantara kedua orang itu mempunyai suatu rangkaian hubungan yang amat misterius! Darimana mereka bisa tahu kalau di atas golok lengkung Cing-cing terdapat sebait syair seperti ini!
Kembali Thi-yan tianglo bertanya: "Dulu, pernah kau mendengar tentang ke tujuh patah kata tersebut...?"
"Yaa, aku pernah mendengar, itulah sebait syair yang sudah kuno sekali"
"Tahukah kau makna yang sebenarnya dari ke tujuh patah kata tersebut?"
"Aku tahu"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Thi yan tianglo, serunya tanpa terasa. "Kau benar-benar tahu?"
"Yaa, arti dari bait syair itu adalah pada suatu malam musim semi ada seorang yang sedang kesepian duduk seorang diri di atas loteng sambil mendengarkan suara rintikan hujan semalam suntuk"
Thi yan tianglo segera menggelengkan kepalanya berulang kali, gumamnya kemudian: "Tidak benar, tidak benar, sama sekali tidak benar"
"Apakah dibalik syair tersebut masih mengandung arti lain?"
"Ke tujuh patah itu membicarakan tentang seseorang"
"Siapa?"
"Seorang malaikat yang tiada tandingannya dikolong langit, sebilah golok sakti yang tiada keduanya di dunia ini"
Kembali dia menggelengkan kepalanya berulang kali serunya lebih lanjut: "Tidak benar, tidak benar kau pasti tak akan kenal dengan orang ini"
"Dari mana kau bisa tahu kalau aku tidak kenal dengan dirinya?"
"Sebab dia sudah lama tak ada di dunia ini lagi, waktu kau belum dilahirkan, dia sudah tidak berada lagi di dunia ini"
Setelah berhenti sejenak, mendadak bentaknya lagi keras-keras. "Tapi ilmu golok yang kau pergunakan barusan sudah pasti ilmu goloknya!"
"Ooooh...?"
"Di atas langit, didalam bumi, dari dulu sampai sekarang hanya dia seorang yang dapat mempergunakan ilmu golok tersebut"
"Kecuali dia seorang agaknya masih ada satu orang lagi"
"Siapa?"
"Aku..."
Thi yan tianglo segera menghela napas panjang sahutnya: "Yaa, benar, kecuali dia masih ada kau, sebenarnya siapa dirinya? Mengapa kau bisa mempergunakan ilmu goloknya!"
"Mengapa aku harus memberitahukan kepadamu?"
"Kau harus memberitahukan kepadaku, asal kau bersedia memberitahukan kepadaku aku rela mati"
"Sekalipun aku tidak mengutarakannya keluar, toh sama saja bisa kubunuh dirimu"
"Kau tak dapat membunuhku"
"Mengapa tak dapat?"
"Bukan saja kau tak dapat membunuhku, dikolong langit dewasa ini, siapa pun tak dapat membunuhku!"
Dia masih mempunyai sebuah tangan. Tiba-tiba tangan itu merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan sebuah lencana besi yang berwarna hitam, sambil mengangkatnya tinggi-tinggi serunya keras-keras: "Coba kau lihat, benda apakah ini?"
Benda tersebut tak lebih hanya sebuah lencana besi belaka, Ting Peng tidak dapat mengenali dimanakah letak keistimewaan dari benda tersebut.
Tapi paras muka Lamkiong Hoa su segera berubah hebat, sorot matanya segera memancarkan rasa kaget, tercengang bercampur kagum, seakan-akan seorang pemuja dewa yang secara tiba-tiba berjumpa dengan dewanya.
"Tentunya kau tahu bukan, benda apakah ini?" tanya Thi-yan tianglo kemudian.
Ternyata Lamkiong Hoa-su mengakuinya. "Aku tahu, tentu saja aku tahu jawabnya"
"Katakanlah!"
"Benda itu adalah lencana besi pengampunan dari kematian yang diakui oleh setiap orang gagah dikolong langit, benda itu dibuat oleh Sin kiam-san-ceng beserta tiga partai, tujuh perguruan serta empat keluarga persilatan di dunia ini, barang siapa memiliki lencana tersebut, maka entah perbuatan apapun yang dilakukan, setiap umat persilatan harus mengampuni selembar jiwanya!"
"Benda itu pasti palsu, sudah pasti benda itu palsu!" teriak Sun Hu-hou keras-keras.
"Pasti tidak palsu, sudah pasti tidak palsu" seru Lamkiong Hoa-su melotot.
Sin kiam san ceng maupun tujuh partai pedang adalah musuh-musuh bebuyutan dari Mo kau, mana mungkin lencana besi pengampunan kematian bisa berada ditangan seorang tianglo dari Mo kau?
"Tentu saja dibalik kejadian itu terdapat alasan tertentu"
"Apa alasannya?"
"Aku tak dapat mengutarakannya keluar, tapi aku tahu lencana besinya itu tidak palsu." Dengan wajah pias seperti mayat, sepatah demi sepatah dia melanjutkan:
"Hari ini, bila ada orang berani membunuhnya, maka orang itu akan menjadi musuh bebuyutannya Sin kiam san ceng, tiga perguruan besar, tujuh partai pedang serta empat keluarga persilatan, dalam tujuh hari ia pasti mampus"
Selesai mengucapkan perkataan itu mendadak tubuhnya melejit ke angkasa dan menyusup lewat jendela, tanpa berpaling lagi ia pergi meninggalkan tempat itu.
Thi yan suami istri maupun Ting Peng tidak menghalangi kepergiannya, tentu saja orang lain lebih-lebih tak ada yang menghalanginya. Tubuhnya berlompatan beberapa kali di atas telaga yang membeku jadi salju dan kemudian lenyap dibalik kegelapan.
Dia, seperti merasa kuatir bahwa ada orang yang memaksanya untuk mengutarakan rahasia tersebut, sebab bagaimanapun juga rahasia tersebut tak mungkin akan di utarakan keluar.
Terdengar Thi yan tianglo berkata: "Selama hidup, aku sudah banyak membunuh orang, sekarangpun aku masih mempunyai sebuah tangan, untuk membunuh orang, bila hari aku tidak mati, cepat atau lambat setiap orang yang berada di sini akan kubunuh satu persatu, siang dan malam kalian biar merasa kuatir, merasa gelisah karena harus berjaga-jaga atas kedatanganku, siapa tahu dikala kalian sadar dari impian, kamu semua telah berubah menjadi setan penasaran"
Perkataan itu diucapkan amat lambat, sepatah demi sepatah di utarakan keluar, dalam setiap patah kata itu seakan-akan terkandung sumpah keji dari setan iblis.
Ketika sepatah demi sepatah kata yang dia utarakan itu mendengung di sisi telinga semua orang, tanpa terasa bulu kuduk mereka pada bangun berdiri. Setiap orang tahu, dia adalah seorang yang bisa berkata bisa pula untuk melaksanakannya.
Kembali Thi yan tianglo berkata: "Oleh sebab itu, hari ini tidak seharusnya kalian membiarkan aku meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup, cuma sayang kalian justru tak mampu membunuh aku!"
Siapapun tak dapat menyangkal akan hal ini, siapapun tak berani bermusuhan dengan pihak Sin kiam san ceng dan tujuh partai pedang.
"Namun aku sendiri masih dapat membunuh diriku sendiri" ucap Thi yan tianglo jauh-jauh. Ditatapnya wajah Ting Peng lekat-lekat, lalu sambungnya: "Asal kau bersedia menerangkan kepadaku bagaimana caramu mempelajari ilmu golok yang barusan kau pergunakan, seketika itu juga aku akan mati di sini"
Ternyata dia rela mengorbankan selembar jiwanya untuk memperoleh ganti rahasia tersebut. Bagaimanakah cara Ting Peng melatih ilmu golok tersebut? Apa hubungannya antara persoalan ini dengannya? Mengapa dia ingin semua orang berharap Ting Peng bersedia untuk mengatakannya secara terus terang.
Setiap orang segera diliputi perasaan ingin tahu, sebab persoalan itu sendiri memang cukup menimbulkan rasa ingin tahu setiap orang. Selain itu, setiap orangpun berharap Thi yan bisa cepat-cepat mampus.
"Kau bersedia untuk mengatakannya atau tidak?" Thi yan tianglo menegaskan.
"Tidak!" Jawaban dari Ting Peng pun cukup sederhana dan ringkas, bagaikan sebatang paku saja.
"Kau benar-benar tak akan berbicara?" bentak Thi yan tianglo semakin lantang.
"Kau tak akan mampu membunuh aku, sebaliknya setiap saat aku dapat membunuhmu, hari ini mungkin saja ku ampuni selembar jiwamu, tapi lain waktu, jika kau berani membunuh satu orang saja, segera kurenggut nyawamu."
Kemudian pelan-pelan dia melanjutkan: "Sekeping lencana besi Bian si thi leng paling banter cuma bisa menyelamatkan jiwamu sekali, kujamin lain waktu tak seorang manusiapun yang sanggup menolong dirimu, sekalipun Sin kiam san-ceng mendatangkan Cia cengcu sendiripun, akan kubunuh dirimu lebih dulu sebelum memperbincangkannya."
Semua perkataan itupun diucapkan dengan suara pelan, diutarakan sepatah demi sepatah, dalam setiap patah kata itu terbawa suatu kekuatan tak bisa tidak untuk mengakuinya, semacam kekuatan yang tak mungkin bisa dilawan. Dalam sekejap mata, dari seorang pemuda yang lembut tahu-tahu sudah berubah seperti seorang raksasa yang tinggi besar.
Dari balik mata Cia Siau giok kembali terpancar keluar perubahan perasaan yang sangat kalut. Berbeda sekali dengan mimik wajah dari Thi yan tianglo, dari balik matanya seakan-akan terpancar keluar sepasang api beracun, sebilah pisau beracun, seekor ular beracun dan sumpah keji dari segenap iblis buas dari langit maupun bumi.
"Kuanjurkan kepadamu, paling baik kalau sekarang juga kau pergi meninggalkan tempat ini!" terdengar Ting Peng berkata lagi.
"Tentu saja aku akan pergi, tapi aku pun mempunyai suatu persoalan yang bagaimanapun juga mau tak mau harus kusampaikan juga kepadamu!"
"Kalau begitu katakan saja!"
Pelan-pelan Thi yan tianglo menarik napas panjang, lalu berkata: "Entah dari manapun kau pelajari ilmu golok itu, di kemudian hari pasti akan mendatangkan bencana yang tiada taranya bagimu"
Kemudian dengan sorot mata yang berapi-api, memancarkan sinar kebengisan dan kebencian yang meluap-luap, dia melanjut-kan kembali kata-katanya:
"Sekalipun kau dapat mempergunakan golok tersebut untuk malang melintang di dalam dunia persilatan, sekalipun kau dapat menjagoi seluruh kolong langit, menjadi jagoan yang tak terkalahkan di dunia ini dan menguasahi seluruh dunia ini, namun bencana tersebut akan selalu mengikuti dirimu, nasib sial dan musibah tragis akan selalu menempel dirimu. Baik siang atau malam, setiap detik setiap menit, setiap saat selalu mengikuti dirimu, sekalipun kau bisa mempergunakan golok itu untuk mendapatkan nama yang besar kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang melimpah, akan tetapi selama hidupmu di dunia ini, kau pasti akan hidup di dalam penderitaan, hidup tersiksa, tersiksa raga dan batin selama hidup tak akan pernah merasakan kebahagiaan sepanjang hidup sengsara terus tersiksa terus menderita dan sedih sampai mampus! Selamanya tiada kegembiraan bagimu, tiada kesenangan yang bisa kau rasakan, kau akan menderita, menderita terus sepanjang jaman, sampai kiamatnya dirimu..."
Mendadak ia mendongakkan kepalanya menghadap langit, kemudian jeritnya dengan suara parau: "Dengan disaksikan oleh semua iblis semua setan dan semua dedemit yang ada di langit dan bumi, sumpah ini moga-moga akan terkena pada dirimu dan itulah nasibmu sepanjang masa!"
Itulah sumpah kejinya! Sumpah yang betul-betul teramat keji...
ANGIN dingin berhembus lewat di atas telaga yang beku oleh salju, dalam kegelapan entah ada berapa banyak setan iblis, ataupun dedemit yang ikut mendengarkan sumpah kejinya itu. Kemudian suami istri berdua itupun melenyapkan diri dibalik kegelapan jauh lebih pekat daripada gumpalan darah, lenyap di balik kerumunan setan iblis.
Ting Peng hanya mendengarkan saja dengan tenang, tampaknya dia seperti amat tenteram dan sama sekali tidak terpengaruh.
Tiba-tiba Cia Siau giok menerjang ke depan, menarik tangannya seraya berseru: "Jangan sekali-kali kau dengarkan perkataan setan mereka!"
Tangannya amat dingin bagaikan es, namun suaranya justru lembut dan hangat. "Jangan sekali-kali kau percayai perkataan setan semacam itu, walau hanya sepatah katapun."
Ting Peng termenung sampai lama, kemudian dia baru berkata lambat-lambat. "Kadangkala omongan setan justru akan manjur!"
Tangan Cia Siau giok makin dingin, sedemikian dinginnya sampai menggigil.
Ting Peng memperhatikan wajahnya, tiba-tiba ia tertawa: "Namun apa yang mereka ucapkan tak sepatah yang kupercayai, sebab apa yang mereka ucapkan bukan perkataan setan, mereka adalah manusia bukan setan."
Cia Siau giok turut tertawa: Suaranya berubah semakin lembut. "Sekalipun mereka benar-benar adalah setan, aku percaya kaupun tak akan takut kepada mereka, aku percaya entah di langit atau di bumi, tiada persoalan yang bisa membuatmu menjadi ketakutan!"
Dalam dunia ini masih terdapat persoalan apa lagi yang jauh lebih menarik perhatian seorang pria daripada pujian dari seorang gadis cantik?
Apalagi kalau lelaki itu kebetulan merupakan seorang pahlawan daripada orang yang dipujinya itu. Di dunia ini masih terdapat persoalan apalagi yang bisa membuat seorang pria merasa bangga daripada rasa percaya seorang gadis yang tanpa dosa kepadanya? Apalagi jika gadis itu adalah seorang gadis yang cantik jelita?
Akan tetapi Ting Peng sama sekali tidak terpengaruh oleh kesemuanya itu, dia tidak menjadi mabuk kepayang. Betul dia seorang pria tapi ia bukan seorang pria sembarangan. Dia mempunyai seorang istri "rase" Cing cing, sepintas lalu baik Cing-cing maupun Cia Siau giok sama-sama tampak cantik, sama-sama tampak suci bersih.
Kalau Cing-cing banyak memancarkan sinar mata yang penuh dengan kepercayaan serta pujian tanpa bersuara, maka Cia siau giok lebih banyak menampilkan ke semuanya itu dengan berbicara. Terhadap gejala semacam ini, selain ia sudah menjumpai dan lagi tampaknya sudah agak jenuh.
Apalagi didalam hatinya masih terdapat suatu kejadian yang membuatnya selalu sakit hati. Itulah perbuatan dari istri Liu Yok siong, si perempuan yang mengganti namanya menjadi Ko siau, seekor anjing betina yang rendah dan tak tahu malu.
Justru perempuan itulah yang benar-benar telah menipunya, menipu dengan mengandalkan kepolosan dan kelincahan seorang gadis sehingga nama baik serta martabatnya betul-betul ternoda.
Itulah sebabnya senyuman yang semula menghiasi ujung bibirnya mendadak berubah jadi beku, suaranyapun turut membeku, dengan dingin dia melepaskan diri dari cekalan Cia Siau giok, kemudian ujarnya dingin:
"Kau benar-benar adalah putrinya Cia Siau hong?"
Dengan terperanjat Cia Siau-giok mengawasinya, dia tak tahu persoalan apakah yang telah membuat lelaki tersebut berubah menjadi begitu dingin dan kaku. Terpaksa dengan nada ketakutan ia menjawab:
"Bee.... benar!"
"Akan tetapi setiap orang mengatakan kalau Cia Siau-hong tidak beristri!" kata Ting Peng lagi dingin.
Cia Siau giok segera tertawa. "Apa yang dilakukan ayahku selama ini memang jarang sekali diketahui orang lain, perkampungan Sin kiam-san-ceng pun jarang sekali dikunjungi orang. darimana mungkin orang lain bisa mengetahuinya."
Ting Peng segera tertawa dingin. "Heeeehh... heeeehhh... heeeehhh... Cia Sam-sauya yang namanya sudah termasyhur di seluruh kolong langit, sudah barang tentu tak akan sudi untuk berhubungan dengan orang- orang awam"
Tiba-tiba Cia Siau giok seperti menjadi paham, dia segera tertawa dan berkata: "Oooh.... rupanya kau menjadi marah lantaran ayahku tidak menerima undanganmu?"
"Tidak berani, aku hanya sekalian memberi kartu undangan kepadanya, aku tidak maksudkan dia benar-benar mesti datang kemari!"
"Dalam hal ini, kau harus dapat memaafkan dia, selama banyak tahun ini ayahku sudah mengundurkan diri dari keramaian dunia, jangan toh orang lain, beberapa orang sobat karibnya yang sudah dikenal banyak tahun pun selalu dihindari"
Di atas wajahnya yang tak berdosa kembali tersungging sekulum senyuman manis, lanjutnya: "Akan tetapi, ketika aku ingin kemari, ternyata dia tidak melarang, malahan suruh Sang Ceng dan Thian It hui melindungi aku, hal ini menunjukkan kalau diapun menaruh hormat kepadamu!"
Kembali Ting Peng tertawa dingin: "Memang seharusnya menaruh hormat sebab orang yang dikirim untuk melindungimu itu bukan saja tidak melindungimu, malahan sudah mendatangkan banyak kesulitan, sebaliknya aku seorang manusia yang tidak dipandang sebelah mata olehnya, justru tidak acuh untuk melakukan kesalahan terhadap tianglo Mo kau yang ditakuti setiap orang dan menyelamatkan putrinya dari tangan Thi yan siang hui"
Dari balik sorot mata Cia Siau giok kembali memancar keluar sorot mata yang tajam, katanya kemudian: "Kau bukan cuma menolong, bahkan mengalahkan Thi yan siang hui, jika ayahku tahu, dia pasti akan menganggap hal ini sebagai suatu hal yang luar biasa"
Dengan cepat dia menambahkan pula: "Sudah barang tentu, dia pun akan merasa berterima kasih sekali kepadamu!"
"Kalau dia amat berterima kasih kepadaku, berarti dia berhutang terima kasih kepadaku, jika dia menganggap aku masih lumayan juga, itu berarti pula dia berhutang satu kali kesempatan kepadaku untuk melakukan duel"
Mendengar perkataan itu, Cia Siau giok menjadi tertegun. "Kau hendak mencari ayahku untuk diajak berduel?"
Kembali Ting Peng tertawa dingin. "Semenjak Cia Sam sauya terjun ke dalam dunia persilatan, dia selalu mencari jago-jago kenamaan dunia ini" untuk diajak berduel mengalahkan setiap jago yang dijumpainya sebelum akhirnya nama Sin kiam san-ceng menjadi termasyhur di dunia ini!"
"Tapi nama besar Sin kiam san ceng bukan dimulai semenjak ayahku terjun ke dalam dunia persilatan!" buru-buru Cia Siau giok menerangkan.
"Tapi nenek moyang kalian toh tidak setenar ayahmu, justru karena dia mengalahkan orang lain maka namanya baru tenar, oleh sebab itu diapun tidak berhak untuk menampik tantangan dari orang lain"
"Ayahku tak akan berduel denganmu, karena kau bukan seorang jago pedang!"
Tampaknya gadis itu merasa perkataannya itu kurang cocok, buru-buru dia menambahkan lagi. "Sekalipun kau adalah seorang jago pedang yang sangat lihay, diapun tak akan berduel denganmu, sejak pertarungannya melawan Yan Cap sa dimasa lalu, dia sudah bilang tak akan berduel lagi dengan siapapun...!"
Meskipun Cia ciangkwee seorang yang hadir ketika Cia Siau hong melangsungkan duelnya yang terakhir melawan Yap Cap sah, akan tetapi Cia ciangkwee bukan seorang yang banyak mulut, selamanya dia tak pernah mengungkapkan siapakah yang telah memenangkan pertarungan yang luar biasa itu.
Tapi siapapun tahu dalam pertarungan itu Cia Siau honglah yang berada dipihak yang kalah. Tapi kejadian itu tidak mempengaruhi nama besar dari Cia Siau hong, juga tidak mempengaruhi nama besar dari Sin kiam san-ceng.
Sebagai seorang jago pedang, kalah satu dua kali sudah lumrah, kekalahan bukan sesuatu yang memalukan, apalagi si pemenang dalam pertarungan itu, Yan Cap sah justru telah bunuh diri sehabis pertarungan tersebut berlangsung.
Alasannya untuk bunuh diri adalah untuk memusnahkan jurus pedang yang dapat mengalahkan Cia Siau hong itu. Karena jurus pedang yang bengis dan berhawa pembunuhan itu tidak cocok bagi alam manusia.
Sejak Yan Cap sha mati, jurus pedang pun dibawanya ke alam baka, maka Cia Siau hong masih tetap merupakan seorang jago pedang yang lihay di dunia ini. Persoalan ini diungkapkan sendiri oleh Cia Siau hong kepada beberapa orang temannya setelah peristiwa itu berlangsung.
Orang yang bisa dianggap sebagai teman oleh Cia Siau hong, sudah barang tentu hanya orang-orang yang menduduki jabatan tinggi serta mempunyai nama besar di dalam dunia persilatan. Itulah sebabnya semua perkataan yang muncul dari mulut mereka tidak disangsikan lagi keasliannya.
Akan tetapi Ting Peng merasa amat tidak puas dengan penjelasan semacam itu. Sambil tertawa dingin katanya: "Di ujung pedang ayahnya telah membunuh banyak sekali jago lihay, mereka semua toh tidak memakai pedang, oleh karena itu diapun tidak beralasan untuk menampik tantanganku dengan mempersoalkan Golok bulan sabit"
Cia Siau giok tertegun, untuk sesaat lamanya dia tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Tampaknya Ting Peng juga tidak mengharapkan jawabannya, hanya dengan suara dingin ujarnya: "Kau boleh pulang dan beritahu kepada ayahmu, katakan kepadanya bahwa aku menunggunya selama sepuluh hari, dalam sepuluh hari ini dia harus datang sendiri kemari untuk menyampaikan rasa terima kasih serta meminta maaf. Kami boleh jadi bisa berteman..."
Ucapan itu kontan saja membuat paras muka semua orang berubah hebat, sebab ucapan tersebut kelewat tekebur. Selama hidupnya Cia Siau hong hanya mempunyai beberapa orang teman, bukan boleh juga di belakang tak seorang temanpun yang dimilikinya, hal ini bukan saja dikarenakan dia memang seorang yang suka menyendiri hal inipun dikarenakan dia adalah seorang jago pedang yang tiada tandingannya di dunia ini.
Pedang adalah dewa diantara pedang orangnyapun merupakan dewa diantara manusia. Biasanya orang yang berada paling di puncak paling tinggi, dia selalu hidup menyendiri. Tapi siapapun tak berani mengatakan kalau berkenalan dengan Cia Siau houg merupakan sesuatu yang terlalu dipaksakan, atau perbuatan yang merendahkan derajat sendiri.
Tapi Ting Peng telah berkata demikian dan ternyata tiada orang yang mengatakan kejadian itu sebagai suatu yang tekebur. Mereka semua telah menyaksikan kelihaian Ting Peng, hanya dalam sekali ayunan golok saja, dia sanggup mengutungi pergelangan tangan dari Thi yan siang hui tianglo dari Mo kau.
Walaupun mereka tak sempat menyaksikan permainan golok tersebut, bahkan ada diantaranya yang tidak melihat sesuatu apapun, akan tetapi mereka dapat menyaksikan golok dari Thi yan siang hui terjatuh ke tanah terlepas dari pegangan. Tak dapat disangkal lagi, jelas hal itu dikarenakan ayunan goloknya, ayunan golok dalam satu gebrakan.
Bila semula orang yang hadir di arena juga belum pernah menyaksikan Cia Siau hong mempergunakan pedangnya, tapi merekapun tak berani memastikan pedang sakti milik Cia Siau hong dapat pula melakukan hal yang sama.
Oleh karena itu, Ting Peng dinilai cukup berhak untuk mengucapkan perkataan tersebut. Oleh sebab itu ucapan yang disampaikan Ting Peng selanjutnya juga tidak membuat semua orang merasa terkejut.
Terdengar Ting Peng berkata. "Dalam sepuluh hari kemudian, bila dia belum juga datang, itu berarti dia berteriak mengadakan duel denganku, maka akupun akan membawa golokku untuk mendatangi perkampungan Sin kiam san-ceng untuk mencari dirinya!"
Cia Siau giok menelan air liurnya lalu berbisik lirih: "Ting... Ting kongcu, Ting tayhiap... mengenai persoalan ini, aku..."
Ting Peng sama sekali tidak memberi kesempatan lagi baginya untuk banyak berbicara, segera tukasnya. "Kau cukup membawa pulang kata-kata itu dan menyampaikan kepadanya, sekarang aku yakin tiada orang yang dapat melakukan lagi, oleh karenanya kaupun boleh pergi."
Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan berjalan pergi, berjalan menuju ke belakang, meninggalkan semua tamu yang memenuhi ruangan, meninggalkan pula Cia Siau giok yang berdiri tertegun di tempat itu.
Pelayan yang mengenakan seragam rapi mulai memberesi meja perjamuan dari sisa mangkuk serta cawan. Walaupun perjamuan baru berlangsung setengah jalan, sayurpun baru muncul berapa macam, tapi perjamuan dalam pagoda Ang bwee kek telah berakhir.
Liu Yok siong dengan kedudukan sebagai seorang murid berdiri di depan pintu untuk mengantar tamu, memberi hormat kepada setiap orang dan mengucapkan beberapa kata yang sopan. Tapi sebagian besar juga yang di sapanya tidak menggubris, memandang sekejap ke arahnya pun tidak.
Bagaimanapun juga Liu Yok siong adalah seorang jagoan yang pernah termasyhur dikolong langit, tapi sekarang dia seakan-akan sudah dilupakan oleh setiap orang. Akan tetapi Liu Yok siong seolah-olah tidak acuh terhadap sikap dingin orang lain, senyuman manisnya masih menghiasi ujung bibirnya, sikapnya masih sungkan dan ramah terhadap setiap orang, termasuk mereka yang dikenal maupun tidak di kenal.
Dia seolah-olah merasa puas sekali dengan kedudukannya sekarang. Seakan-akan menjadi muridnya Ting Peng jauh lebih terhormat daripada sewaktu dia menjadi seorang tayhiap, seorang cengcu tempo hari.
Sekalipun dia bukan seorang yang agung, seorang yang luar biasa, namun tak dapat disangkal lagi, dia memang merupakan seorang manusia yang luar biasa sekali. Sepanjang seribu tahun, belum tentu akan dijumpai seorang manusia semacam dia.
"Untung saja hanya ada seorang!"
Itulah sudut pandangan setiap orang yang meninggalkan ruangan tersebut, terhadap Liu Yok siong dibalik cemoohan juga terlintas perasaan kagum. Sebagai seorang lelaki sejati harus menyesuaikan diri dengan keadaan, setiap orang dapat mengucapkan perkataan itu, setiap orang juga pernah menyaksikan keadaan Liu Yok siong ketika masih jaya-jayanya dulu.
Tapi mereka sama sekali tak menyangka kalau Liu Yok siong benar-benar dapat menyesuaikan diri sehingga sedemikian rendahnya.
"Manusia semacam Liu Yok siong, benarkah dia akan memendam dirinya dengan begitu saja, sepanjang masa hidup dalam suasana yang rendah dan penuh cemoohan?"
Jawabannya hanya satu dan seratus persen sudah pasti benar.
"Orang ini benar-benar menakutkan, jauh lebih menakutkan daripada Sam sauya Cia Siau hong dari Sin kiam san-ceng, jauh lebih menakutkan daripada golok maut dari Ting Peng"
Itulah perkataan yang diucapkan delapan puluh persen orang yang hadir didalam ruangan itu. Sedangkan sisanya yang dua puluh persen segera merasa mual dan ingin muntah setelah meninggalkan dari hadapan Liu Yok siong. Cuma mereka tidak sungguh-sungguh muntah, sebab selama berada di Ang bwe kek, mereka tidak makan apa-apa.
Namun setiap orang merasa puas, merasa girang karena perjalanan mereka kali ini tidak sia-sia belaka, hasil yang diperoleh mereka didalam perjamuan ini bukan makanan, walaupun semua sayur yang dihidangkan dalam perjamuan itu adalah hidangan-hidangan paling lezat yang dibuat oleh koki kenamaan.
Tapi tak seorangpun yang tahu bagaimanakah rasanya. Perut semua orang sudah di isi kenyang oleh ketegangan serta rangsangan yang hebat. Setiap orang merasa amat puas, bahkan tidak terkecuali pula bagi mereka yang mati dalam Ang bwe kek. Terhadap mereka yang mati, Ting Peng kongcu sekali lagi memperlihatkan keroyalannya.
SEPULUH hari sudah berlalu, setiap hari pasti ada orang yang menanti di tepi telaga Say cu ou, menjulurkan lehernya sambil menengok tanggul Soti yang panjang dab sempit dengan harapan bisa melihat Sam Sauya dari keluarga Cia datang ke situ.
Banyak orang berharap bisa berjumpa dengan menyaksikan sendiri macam apakah wajah dari si jago pedang lihay yang tiada taranya di dunia ini. Bahkan diantara mereka terdapat pula banyak sekali kaum perempuan, mereka pernah mendengar orang berkata bahwa dulu Cia Sam sauya adalah seorang jago pedang romantis yang selalu membuat affair cinta dimana-mana.
Walaupun sekarang usianya agak lanjut, tapi watak manusia sukar dirubah, siapa tahu kalau mereka mendapat kesempatan yang baik untuk dipikat olehnya. Tapi kecuali perempuan-perempuan genit itu, sebagian besar orang, terutama jago persilatan selalu berharap agar jangan melihat kehadiran Cia Siau hong.
Bila Cia Sam sauya tidak datang, Ting kongcu pasti akan pergi mencarinya, mencarinya untuk diajak berduel. Suatu pertarungan, tentu saja jauh lebih menarik daripada permintaan maaf, jauh lebih memuaskan. Apalagi jika pedang sakti bertemu dengan golok maut, hal itu pasti akan merupakan suatu peristiwa yang menarik hati.
Cia Siau-hong memang tidak membuat semua orang kecewa. Dia tidak datang. Dalam kenyataan setiap orangpun menganggap kemungkinan dia tak datang jauh lebih besar. Cia Siau hong bukan seorang yang berhati pengecut, sekalipun ada orang yang mengatakan bahwa dia telah berubah menjadi amat bersahaja.
Tapi bagaimanapun juga Cia Siau hong tetap Cia Siau hong, adalah seorang yang tinggi hati. Walaupun dia bukan seorang yang tidak tahu aturan, juga bukan seorang yang tak tahu berterima kasih kepada orang, tapi dia pun bukan seseorang yang mudah mengucapkan terima kasih kepada orang lain.
Mungkin hal ini disebabkan dia she Cia, leluhurnya she Cia semua, demi pantangan, dia tak ingin mempergunakan kata tersebut untuk menyampaikan perasaannya kepada orang lain. Seseorang yang enggan mengucapkan kata "Cia" atau terima kasih kepada orang lain, tentu saja makin mustahil kalau dia mau meminta maaf.
Jangan toh Ting Peng baru menolong putrinya, sekalipun menyelamatkan jiwanyapun belum tentu dia akan menyampaikan rasa terima kasihnya itu. Apalagi kalau suruh dia datang meminta maaf hanya dikarenakan dia menampik undangan dari Ting Peng, hal ini lebih-lebih tak mungkin akan dilakukannya.
Jika Cia Siau hong sampai berbuat demikian maka dia bukan Cia Siau hong lagi, dia pastilah seorang anak jadah yang lebih rendah daripada anjing-anjing geladak. Kini terbukti Cia Siau hong tidak datang apakah Ting Peng akan pergi untuk mencarinya?
Selama sepuluh hari ini, Cing-cing selalu merasa murung, entah mengapa dia selalu saja bermuram durja. Tapi Ting Peng tidak merasakan hal itu. Ting Peng sedang merasa gembira karena kepandaian silat yang dimilikinya, sekarang dia tahu, semenjak pertempuran di Ang Bwee kek, namanya sudah makin tersohor di seantero dunia.
Tapi dia bukanlah seorang yang begitu tekebur sehingga lupa diri, diapun tahu bahwa ucapan yang disampaikan kepada Cia Siau giok merupakan ucapan yang terlampau tekebur. Tapi diapun mengerti, pedang Cia Siau hong sudah pasti jauh lebih lihay daripada ilmu Siang to hap pit dari Thi yan suami istri.
Diapun tahu Cia Siau hong tak akan datang, tapi pertarungan tak bisa dihindari dengan begitu saja, apalagi kalau pertarungan tersebut merupakan apa yang didambakannya selama ini. Dalam sepuluh hari ini, dia tidak menerima seorang tamupun, bahkan kamar Cing-cing pun jarang sekali di datangi, sebagian besar waktunya di habiskan di dalam kamar rahasianya untuk mendalami kepandaian silat yang dimilikinya.
Mendalami ilmu golok bulan sabit tersebut, melatih ilmu golok yang luar biasa itu. Sebenarnya dia bukan seorang yang berambisi besar, tapi sukses yang dialaminya dalam Ang bwe kek membuat kepercayaannya pada diri sendiri makin bertambah besar, hal itu membuat ambisinya pun semakin berkobar.
Dia telah menyusun sendiri serangkaian tindakan yang akan diambilnya selama ini, yang dipikirkan semakin banyak, semakin repot, ambisinyapun makin lama semakin besar.
Setiap orang yang sanggup mengalahkan Cia Siau hong, dia pasti akan berhasil mencapai puncak kedudukan yang paling top di dunia ini, setiap orang berharap bisa mencapainya, demikian juga keadaannya dengan Ting Peng. Dia hanya menjadikan kejadian tersebut sebagai suatu permulaan belaka.
Sedang didalam hatinya dia sudah mempunyai banyak sekali rangka pikiran yang hendak dikerjakannya. Rangka pikiran tersebut amat hebat, dia ingin membuat suatu ketenaran yang melebihi ketenaran Sin kiam san ceng, lebih menggetarkan seluruh dunia persilatan. Oleh karena itu dia bertekad, langkahnya yang pertama ini harus sukses.
Akhirnya sepuluh hari sudah lewat. Ternyata Cia Siau hong benar-benar tidak muncul di situ, dia benar-benar tidak datang untuk meminta maaf.
Hari ini adalah hari yang ke sebelas. Hari ini langit terasa amat cerah, angin berhembus sepoi-sepoi dan sejauh mata memandang udara amat bersih, tiada awan, tiada mega. Udara se cerah ini merupakan saat yang paling cocok untuk berpergian jauh.
Ting Kongcu telah bersiap-siap untuk berangkat meninggalkan perkampungannya. Dia telah bersiap sedia untuk mendatangi perkampungan Sin kiam san-ceng untuk menantang Cia Siau hong berduel.
Bila dia berhasil menangkan duel tersebut, berhasil mengalahkan Cia Siau hong yang amat tenar itu, maka dengan cepatnya nama besarnya akan memanjat ke langit, dia akan termasyhur dan menjadi tenar di seluruh dunia.
Sebelum berangkat, ia pergi menjumpai Cing-cing, baru saja dia hendak mempertimbangkan bagaimana caranya untuk berbicara, Cing-cing berkata lebih dulu.
"Semoga Long kun sukses sepanjang jalan dan kembali dengan membawa hasil yang diharapkan..."
Mula-mula Ting Peng agak tertegun, menyusul kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh. "Heeehh... heeehh... heeehh... istriku, kau memang hebat sekali, kemauan serba tahumu makin menghebat tampaknya sehingga apa yang kupikirkan didalam hati tak pernah dapat mengelabuhi dirimu!"
Begitulah dia pergi meninggalkan Cing-cing tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
TING PENG berangkat dengan mempergunakan sebuah kereta kencana yang berwarna kuning emas. Kereta itu dihela oleh empat ekor kuda jempolan berwarna putih, ke empat ekor kuda itu merupakan kuda pilihan.
Bagi orang biasa untuk mendapatkan seekor saja sudah sukarnya bukan kepalang, sekarang ternyata ia mempunyai empat ekor yang dipakai untuk menarik kereta. Kuda jempolan hanya cocok dipakai untuk melakukan perjalanan jauh, bukan untuk naik kereta, sebab hal itu merupakan suatu persoalan... merupakan suatu perbuatan yang tidak benar.
Tampaknya ke empat ekor kuda jempolan itupun tidak terbiasa dengan suasana yang dihadapinya, bahkan mereka kelihatan sekali tidak tenang. Namun kusir kereta tersebut adalah seorang kusir yang ahli, dia adalah seorang suku asing bertubuh hitam pekat, kepalanya gundul dengan mengenakan celana panjang bersulamkan bunga, tubuh bagian atasnya telanjang dan mengenakan sebuah handuk kecil saja sehingga tampak bahu dan dadanya yang kekar.
Pada lehernya dia mengenakan sebuah gelang besar terbuat dari emas, ketika duduk di atas kereta persis seperti sebuah pagoda kecil saja. Tangannya yang kuat dan berpengalaman memegang tali les kuda kencang-kencang, sementara cambuknya diayunkan berulang kali memaksa ke empat ekor kuda jempolan itu harus berlarian menurut arah yang dituju. Keadaan seperti ini terasa amat menyolok bahkan sedikit berbau pameran kekayaan.
Tapi Ting toa sauya memang paling gemar dengan permainan semacam ini, sejak ia muncul dalam dunia persilatan, ia sudah senang memamerkan kekayaannya. Padahal sewaktu kecil dulu dia bukanlah seorang yang kaya, tapi sekarang setelah memiliki harta kekayaan tak ternilai banyaknya, dia seperti tak tahu bagaimana musti mempergunakannya.
Di belakang keretanya mengikuti serombongan besar manusia, Ting Peng merasa puas sekali, dia tahu orang-orang yang datang tanpa diundang, mereka bagaikan anak buah yang paling setia saja, dari situ terus mengikuti sampai ke perkampungan Sin kiam san-ceng.
Ting Peng menengok ke belakang, dia saksikan rombongan manusia itu sudah berubah menjadi suatu barisan yang amat memanjang, ada yang berombongan, ada pula yang sendirian, tapi semuanya merupakan jago-jago, kenamaan dalam dunia persilatan.
Kenyataan ini membuat hatinya merasa girang sekali. Mungkin nama Cia Siau hong lebih termasyhur daripada namanya, tapi sanggupkah Cia Siau hong untuk menciptakan pula suasana seperti apa yang dialaminya sekarang?
Dia memejamkan matanya sambil bersandar dengan santai, ia membiarkan kereta berjalan seenaknya, sementara senyuman menghiasi ujung bibirnya. Ia tersenyum karena merasa gembira oleh suatu persoalan yang lain. Itulah sikap Cing-cing terhadap setiap persoalan yang sedang dihadapinya.
Sebelum berangkat, dia merasa sukar untuk mengutarakan maksud hatinya itu kepada Cing-cing, dia menginginkan agar kali ini Cing-cing jangan ikut serta, namun perkataan semacam itu sulit untuk diutarakan. Ia telah memikirkan beribu macam alasan, namun tak sebuah pun yang dirasakan cocok.
Cing-cing amat cantik, berada bersamanya tak mungkin akan membuatnya menjadi malu. Ilmu silat yang dimiliki Cing-cing pun sangat tinggi, dulu jauh lebih tinggi banyak daripada kepandaiannya, sekarang dia mungkin jauh lebih tinggi sedikit, tapi yang pasti kehadiran gadis tersebut bukan merupakan suatu beban baginya.
Cing-cing amat menuruti setiap perkataannya, belum pernah menampik permintaannya, juga tak pernah mengikat kebebasannya untuk bergerak serta melakukan sesuatu. Tiada sesuatu alasan pun yang menyatakan agar Cing-cing jangan turut dalam perjalanan ini.
Tapi dia tahu ada satu alasan yang membuatnya tak bisa membawa serta istrinya, hanya alasan itu sukar untuk diutarakan. Dia adalah rase, ilmu rasenya sudah mencapai pada puncaknya, betul dia amat lihay, namun sifatnya tetap rase, dia merasa canggung, untuk muncul di suatu tempat yang terdapat banyak orang.
Namun hal ini bukan merupakan alasan Ting Peng mengapa dia tidak membawa serta Cing-cing. Entah karena alasan apa, dia hanya ingin meninggalkan Cing-cing untuk sementara waktu. Tentu saja hal ini bukan suatu alasan, tapi justru hal itu menjadi suatu dorongan hatinya, menjadi suatu yang diharapkan olehnya.
Dia mengira Cing-cing pasti akan mengikutinya, maka dia harus memutar otak untuk menemukan sesuatu alasan agar Cing-cing jangan turut di dalam perjalanan kali ini. Gara-gara persoalan itu, hampir saja dia menghabiskan waktu selama satu hari untuk memikirkannya, meski kemudian hasilnya tetap nihil.
Sungguh tak disangka, sebelum dia berangkat dan sebelum mengucapkan sesuatu, Cing-cing telah berbicara lebih dulu. Dia menyampaikan salam perpisahannya dan mendoakan kepadanya moga-moga pulang dengan sukses. Dia seakan-akan sudah merasa kalau dirinya lebih baik jangan turut serta didalam perjalanan itu.
Hal mana bukan sesuatu yang aneh, karena dia adalah rase. Rase selalu mempunyai kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang akan datang, terutama untuk menilai suara hati manusia. Tanpa terasa Ting Peng berpikir lagi.
Bila mengawini seorang gadis rase sebagai istri, sesungguhnya hal ini merupakan suatu kejadian yang amat menguntungkan. Maka sepanjang perjalanan, Ting kongcu merasa puas sekali. Itulah sebabnya walaupun kereta berjalan dengan goncangan yang sangat keras, dia masih dapat tidur.
Goncangan dalam kereta bukan disebabkan jalanan yang tidak rata. Mereka sedang berjalan di atas jalan raya yang datar, lebar dan rata, roda kereta pun besar dan kuat. Kereta itu memang sebuah kereta yang istimewa, jauh lebih istimewa dari pada kereta kencana Raja sewaktu melakukan perondaan.
Yang tidak stabil jalannya adalah kuda yang menghela kereta, langkah mereka tak bisa bersama, dan lagi kuda-kuda itupun belum pernah terlatih untuk menarik kereta. Itulah sebabnya walaupun terdapat seorang kusir yang begitu baik, namun dalam waktu singkat kereta itu belum juga bisa berjalan dengan tenang dan mantap.
Ah-ku adalah nama dari suku asing yang menjadi kusir kereta, dia dibawa datang oleh Cing-cing dari dalam sarang rasenya. Ah-ku boleh dibilang merupakan seorang yang serba bisa, mulai dari jahit menjahit sampai urusan mencabut pohon besar, semuanya dapat dilakukan dengan sempurna. Sulaman bunga di atas celananyapun merupakan hasil sulamannya sendiri.
Kereta kencana yang amat megah itu pula merupakan hasil karyanya, yang tak dapat dilakukan Ah-ku cuma dua hal. Pertama adalah melahirkan anak, karena ia lelaki. Yang kedua berbicara karena dia tak punya lidah. Untung saja kedua hal tersebut tidak berpengaruh besar bagi dirinya. Tentu saja Ting Peng tak akan menyuruh Ah-ku untuk melahirkan seorang anak baginya.
Ah-ku pun tak pernah mengemukakan pendapatnya, dia hanya mendengarkan, lalu melaksanakan menurut perintah. Oleh karena itu Ah-ku merupakan seorang pembantu serta yang paling cocok untuk dibawa serta kemanapun pergi. Sekalipun Ting Peng, meninggalkan Cing-cing dirumah, namun dia harus membawa serta Ah-ku.
Setelah berjalan keluar dari kota Hang-ciu, orang yang berlalu lalang makin sedikit, hal ini hanya tertuju pada orang-orang yang datang dari depan. Sebab di belakang keretanya justru mengikuti rombongan manusia yang amat besar, sebagian besar adalah jago-jago persilatan.
Mendadak Ting Peng seperti mempunyai suatu keinginan, suatu dorongan hati yang kuat untuk menggoda pengikut-pengikutnya itu. Kepada Ah-ku segera perintahnya: "Larikan kereta itu kencang-kencang"
Ah-ku memang seorang pembantu yang patuh pada perintah, mendadak dia mengayunkan cambuknya dan kereta itupun meluncur ke depan seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Memandang kawanan manusia di belakang kereta yang berdiri kaget bercampur tercengang, Ting Peng terbahak-bahak dengan riang gembira.
SEMENJAK Ting Peng keluar rumah, suasana Poan kian-tong menjadi sunyi senyap. Kawanan jago persilatan yang semula berkumpul di sana, kini sudah pergi mengikuti Ting Peng, bahkan tamu-tamu yang di undang Ting Peng pun sudah pada berangkat duluan.
Mereka semua tak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik untuk menyaksikan pertarungan antara Ting Peng melawan Cia Siau hong, hanya saja mereka tidak seperti kawanan jago persilatan lainnya yang mengikuti di belakang kereta Ting Peng. Ada sementara orang diantaranya malah mengambil arah yang berlawanan dengan kereta itu.
Andaikata mereka memang tak ingin melepaskan kesempatan untuk menyaksikan pertarungan antara Ting Peng melawan Cia Siau hong, mengapa mereka tidak segera untuk menyusul kesana?
Apakah mereka mempunyai keyakinan bahwa sekalipun Ting Peng bisa mencapai ke perkampungan Sin kiam san ceng, toh pertarungan tersebut tak mungkin bisa dilangsungkan?
Ada beberapa orang diantaranya malahan menyewa sampan di telaga Say Cu ou, dan bersenang-senang dengan para pelacur, kemudian mereka memencarkan diri dan secara diam-diam di bawah lamat-lamatnya cuaca, dalam suasana tidak memperhatikan orang memasuki kuil Leng in-si.
Dalam ruang tamu, mereka seperti pergi menyambangi seseorang. Tapi seperti juga untuk menerima sesuatu petunjuk, karena mereka menaruh hormati kepada orang itu setelah masuk ke dalam ruang tamu, tak seorangpun diantara mereka yang berbicara lagi.
Kecuali mengucapkan kata "yaa" dengan suara rendah dan hormat, mereka tak pernah lagi mengucapkan kata kedua. Apakah tujuan dari orang-orang itu? Apa pula yang hendak mereka lakukan!
Dewasa ini kecuali mereka sendiri mungkin hanya tamu misterius yang berdiam dalam kuil Leng in si saja yang mengetahuinya.
Satu satunya orang dalam ruang Poan kian tong yang belum pergi meninggalkan tempat itu hanyalah Liu Yok siong. Kalau orang lain sedikit banyak adalah tamu, maka mereka bisa pergi sekehendak hatinya, berbeda dengan dirinya, sebab sekarang adalah murid Ting Peng.
Betul selama ini Ting Peng tak pernah mengajarkan kepandaian silat kepadanya, melainkan hanya menyuruhnya melakukan pelbagai pekerjaan yang hanya dilakukan orang rendahan. Tapi Liu toa cengcu tidak ambil perduli, ia tetap menunjukkan kehangatan, kerajinan yang luar biasa.
Ketika Ting Peng akan pergi, diapun tidak disuruh turut serta. Oleh karena itu, terpaksa dia mesti tinggal di sana dan diapun menunjukkan perasaan amat gembira. Setelah melakukan pekerjaan di sana sini, diapun pergi ke halaman belakang.
Halaman belakang merupakan tempat tinggal Cing-cing, di sana hanya ada dua orang dayang yang melayani kebutuhannya, yang seorang bernama Cun hoa yang lain bernama Ciu gwat.
Cun hoa dan Siu gwat merupakan dua macam benda yang sangat indah bagi para penyair.. Demikian pula dengan dua orang dayang tersebut. Bila Cun hoa sedang tertawa, maka kecantikannya melebihi bunga-bunga yang sedang mekar di musim semi. Kulit Ciu gwat jauh lebih putih, bersih dan halus daripada sinar rembulan di musim gugur.
Kedua orang dayang itu baru berusia tujuh delapan belas tahunan, itu masa remaja dari para gadis sedang kedua orang gadis itu, selain berada pada usia remaja, agaknya mereka pun pandai sekali melayani kaum lelaki, menarik perhatian kaum lelaki.
Sebab asal mulanya mereka adalah sepasang pelacur yang ternama di sungai Chin huay-hoo di kota Kim-leng, Ting Peng telah menebus mereka berdua dengan nilai tiga ribu tahil perak. Sekalipun mereka adalah orang rendahan namun selama hidup tak pernah melakukan pekerjaan kasar, yang mereka lakukan sekarang adalah menemani Cing-cing.
Usia Liu Yok siong meski sudah menanjak agak tua, namun wajahnya masih tampan, yaa, Liu cengcu dari perkampungan Siang-siong-san-ceng memang merupakan seorang pendekar pedang tampan yang amat termasyhur didalam dunia persilatan.
Betul Liu Yok-siong sudah tak bernilai lagi dalam pandangan umat persilatan dewasa ini, namun didalam pandangan Cun-hoa dan Ciu gwat, dia tetap merupakan seorang lelaki yang mempunyai daya tarik amat besar.
Itulah sebabnya setelah dia melangkah masuk ke halaman belakang, dua orang dayang itu bagaikan dua ekor kupu-kupu segera datang menyambut kedatangannya dan seorang menggandeng tangan kirinya yang lain menggandeng tangan kanannya mengajaknya masuk.
Kalau dulu, Liu Yok siong pasti akan merasa gembira, bisa jadi dia akan pergunakan kesempatan itu untuk mencubit pantat mereka atau mungkin juga akan menowel pipinya. Sayang itu dulu, ketika dia masih menjadi Liu toa cengcu, sewaktu masih menjadi Liu toa kiam kek, ketika nama Siong, Tiok dan Bwee tiga sahabat masih tenar dalam dunia persilatan.
Sekarang dia tak lebih hanya seorang muridnya Ting Peng. Bahkan dia tinggal dirumah suhunya. Bila seorang murid berdiam di rumah suhunya, dia musti jujur tahu diri dan tingkah lakunya sopan santun.
Sewaktu menjadi pendekar besar dulu, Liu Yok siong bisa memberikan penampilan yang luar biasa, maka sekarang ketika semenjak seorang murid diapun menunjukkan suatu penampilan yang luar biasa. Buru-buru dia mundur selangkah ke belakang dan mendorong tubuh kedua orang dayang tersebut, setelah itu dengan amat hormat dia bertanya pelan.
"Subo berada dimana?"
Cun Hoa segera tertawa cekikikan. "Kau datang untuk menjenguk sau hujin?" serunya.
Sikap Liu Yok siong masih tetap sopan dan hormat. "Benar, aku ingin bertanya apakah subo mempunyai sesuatu petunjuk, suatu perintah?"
Ciu gwat turut tertawa, katanya pula: "Ada urusan apa kau mencarinya? Jika ada urusan dia bisa mengutus orang ke depan sana untuk memberitahukan kepadamu, tuan muda telah berpesan, bila kau tak ada urusan dilarang sembarangan datang ke halaman belakang"
"Baik, cuma itu kalau suhu ada di rumah, sekarang suhu sedang pergi, aku yang menjadi muridnya ingin memperlihatkan sedikit, rasa baktiku kepadanya."
Kembali Cun Hoa tertawa cekikikan. "Berbakti? Kau benar-benar mirip seorang anak yang alim saja, pagi dan malam harus datang memberi hormat?"
"Aku memang bersiap untuk berbuat demikian!" kata Liu Yok siong sambil mengangguk jujur.
"Sekarang sudah tengah hari" kata Ciu Gwat tertawa. ""kalau ingin memberi salam rasanya sudah kelewat siang, bila ingin menyampaikan selamat malam, rasanya rada kepagian, bukan begitu?"
Agak memerah paras muka Liu Yok siong lantaran jengah, buru-buru katanya lagi: "Aku hanya mempunyai tujuan untuk menyampaikan salam belaka, tidak mempersoalkan pagi atau malam"
Cun Hoa segera tertawa. "Memandang pada rasa bakti mu itu, rasanya mau tak mau aku musti membantumu untuk melaporkan kunjunganmu kepada sau hujin, cuma kalau dilaporkan sekarang, sudah pasti akan terbentur pada batunya sebab sau hujin lagi tak senang hati, barusan dia telah berpesan, dia hendak berada dalam ketenangan seorang diri dan melarang siapa saja untuk mengusiknya, jika kau ingin menjumpai dirinya, paling baik kalau datang lagi dikala dia sedang baik."
"Tapi....kapan.. kapankah perasaan hatinya baru agak baikkan...?"
"Sulit untuk dikatakan, beberapa hari belakangan ini dia selalu cemberut tidak senang hati, cuma bila malam sudah tiba, dikala rembulan sudah terbit, dia akan keluar untuk menikmati keindahannya rembulan, waktu itu kendatipun perasaan hatinya kurang baik, dia akan merasa kesepian dan amat membutuhkan seseorang untuk menemaninya berbincang-bincang....!"
Golok yang berada dalam genggaman merekapun secara tiba-tiba terjatuh ke tanah, terjatuh berikut tangan yang menggenggam golok tersebut. Namun di atas wajah mereka sama sekali tidak memperlihatkan rasa menderita atau sakit, sebab rasa takut yang luar biasa telah membuat mereka melupakan penderitaan dan rasa sakit yang menyelimuti tubuhnya.
Tiada orang yang bisa membayangkan perasaan takut yang ditampilkan lewat sorot mata mereka. Sekalipun semua orang telah menyaksikan mereka membabat kutung tubuh seseorang tadi, namun rasa ngeri yang diperlihatkan mereka ketika itu tak akan sehebat rasa takut mereka sekarang.
Agaknya rasa Ah-ku yang mencekam hati mereka sudah melampaui batas-batas rasa takut seseorang. Yang mereka takut bukanlah orang yang sanggup menghancurkan mereka dalam sekali bacokan itu, yang mereka takuti adalah golok yang berada ditangan orang itu.
Sebilah golok yang melengkung bagaikan bulan sabit. Golok pun bukan suatu benda yang menakutkan. Bila seseorang takut dengan sebilah golok, biasanya hal ini disebabkan karena mereka takut dengan orang yang mempergunakan golok tersebut, takut dengan ilmu golok orang itu, takut orang itu membunuhnya dengan mempergunakan golok.
Tapi yang mereka takuti sekarang adalah golok tersebut. Golok itu sendiri seakan-akan telah membawa semacam keseraman atau kengerian yang bisa merobek-robek sukma mereka. Rasa seram dan ngeri itu bukan saja dapat membuat mereka melupakan penderitaan, bahkan membangkitkan pula semacam kekuatan aneh yang tertanam dalam hati mereka.
Oleh karena itu, meski kulit muka mereka telah merekah, walaupun tangan sebelah mereka telah kutung, namun mereka belum juga roboh ke atas tanah. Mereka seakan-akan tidak tahu kalau dirinya sudah terluka, tidak tahu kalau tangan mereka sudah kutung.
Rasa takut dan seram yang mencekam perasaan mereka sekarang ibaratnya sebuah tangan tak berwajah yang mencekik leher setiap orang. Tiada orang yang bersuara, bahkan tiada orang yang bernapas dengan suara keras.
Orang yang buka suara ternyata adalah Thi yan tianglo yang selama ini tak terlalu banyak berbicara, dia sedang mengawasi golok ditangan Ting Peng lekat-lekat, kemudian secara tiba-tiba berkata:
"Golok yang kau pergunakan adalah sebilah golok lengkung"
"Yaa, lengkung sedikit"
"Bukan hanya sedikit saja, golok yang kau pergunakan benar-benar adalah sebilah golok lengkung"
"Ooh...!"
"Di atas langit dari dulu sampai sekarang, hanya seorang yang dapat mempergunakan golok semacam ini"
"Oooh...!"
"Tapi kau bukan orang itu"
"Aku memang sesungguhnya aku, aku bukan orang lain, aku adalah aku sendiri"
"Golok yang kau pergunakan juga bukan golok miliknya"
"Ini memang milikku!"
"Di atas golokmu itu juga tak ada tulisannya!" kembali Thi yan tianglo berkata. Dia sudah mengawasi golok tersebut sampai lama sekali, matanya jauh lebih tajam daripada burung elang.
"Apakah di atas golok ini sebenarnya ada tulisan?" kata Ting Peng.
"Yaa, di atas golok itu memang seharusnya ada tujuh huruf!"
"Tujuh huruf yang mana?"
"Siau-lo-it ya-teng-cun-hi (Mendengar rintik hujan ditengah malam di sebuah loteng kecil)!" kata Thi-yan tianglo sepatah demi sepatah.
SIAU-LO-IT-YA-TENG-CUN HI
Di atas golok lengkung milik Cing-cing memang terdapat ke tujuh huruf itu. Sesungguhnya, ke tujuh huruf itu merupakan sebaris syair, sebaris syair yang sangat indah artinya, membawa suatu kelembutan, hati yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Namun, ketika Thi-yan tianglo mengucapkan ke tujuh patah kata itu, suaranya diliputi oleh perasaan ngeri, seram dan takut, semacam rasa takut yang disertai dengan perasaan hormat. Semacam rasa hormat yang timbul dihati manusia hanya khusus terhadap malaikat atau dewa.
Padahal makna dari bait syair itu tiada yang mengandung sesuatu keseraman. Tanpa terasa Ting Peng teringat kembali kejadian sewaktu pertama kali bertemu dengan Cing-cing ketika berjumpa dengan kakek berjubah emas yang berjenggot panjang.
Sewaktu dia mengucapkan bait syair tersebut, wajahnyapun seakan-akan memperlihatkan mimik wajahnya seperti apa yang diperlihatkan Thi-yan tianglo sekarang. Mengapa mereka memperlihatkan reaksi yang begitu istimewa terhadap sebait syair yang amat sederhana itu! Mungkinkah diantara kedua orang itu mempunyai suatu rangkaian hubungan yang amat misterius! Darimana mereka bisa tahu kalau di atas golok lengkung Cing-cing terdapat sebait syair seperti ini!
Kembali Thi-yan tianglo bertanya: "Dulu, pernah kau mendengar tentang ke tujuh patah kata tersebut...?"
"Yaa, aku pernah mendengar, itulah sebait syair yang sudah kuno sekali"
"Tahukah kau makna yang sebenarnya dari ke tujuh patah kata tersebut?"
"Aku tahu"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Thi yan tianglo, serunya tanpa terasa. "Kau benar-benar tahu?"
"Yaa, arti dari bait syair itu adalah pada suatu malam musim semi ada seorang yang sedang kesepian duduk seorang diri di atas loteng sambil mendengarkan suara rintikan hujan semalam suntuk"
Thi yan tianglo segera menggelengkan kepalanya berulang kali, gumamnya kemudian: "Tidak benar, tidak benar, sama sekali tidak benar"
"Apakah dibalik syair tersebut masih mengandung arti lain?"
"Ke tujuh patah itu membicarakan tentang seseorang"
"Siapa?"
"Seorang malaikat yang tiada tandingannya dikolong langit, sebilah golok sakti yang tiada keduanya di dunia ini"
Kembali dia menggelengkan kepalanya berulang kali serunya lebih lanjut: "Tidak benar, tidak benar kau pasti tak akan kenal dengan orang ini"
"Dari mana kau bisa tahu kalau aku tidak kenal dengan dirinya?"
"Sebab dia sudah lama tak ada di dunia ini lagi, waktu kau belum dilahirkan, dia sudah tidak berada lagi di dunia ini"
Setelah berhenti sejenak, mendadak bentaknya lagi keras-keras. "Tapi ilmu golok yang kau pergunakan barusan sudah pasti ilmu goloknya!"
"Ooooh...?"
"Di atas langit, didalam bumi, dari dulu sampai sekarang hanya dia seorang yang dapat mempergunakan ilmu golok tersebut"
"Kecuali dia seorang agaknya masih ada satu orang lagi"
"Siapa?"
"Aku..."
Thi yan tianglo segera menghela napas panjang sahutnya: "Yaa, benar, kecuali dia masih ada kau, sebenarnya siapa dirinya? Mengapa kau bisa mempergunakan ilmu goloknya!"
"Mengapa aku harus memberitahukan kepadamu?"
"Kau harus memberitahukan kepadaku, asal kau bersedia memberitahukan kepadaku aku rela mati"
"Sekalipun aku tidak mengutarakannya keluar, toh sama saja bisa kubunuh dirimu"
"Kau tak dapat membunuhku"
"Mengapa tak dapat?"
"Bukan saja kau tak dapat membunuhku, dikolong langit dewasa ini, siapa pun tak dapat membunuhku!"
Dia masih mempunyai sebuah tangan. Tiba-tiba tangan itu merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan sebuah lencana besi yang berwarna hitam, sambil mengangkatnya tinggi-tinggi serunya keras-keras: "Coba kau lihat, benda apakah ini?"
Benda tersebut tak lebih hanya sebuah lencana besi belaka, Ting Peng tidak dapat mengenali dimanakah letak keistimewaan dari benda tersebut.
Tapi paras muka Lamkiong Hoa su segera berubah hebat, sorot matanya segera memancarkan rasa kaget, tercengang bercampur kagum, seakan-akan seorang pemuja dewa yang secara tiba-tiba berjumpa dengan dewanya.
"Tentunya kau tahu bukan, benda apakah ini?" tanya Thi-yan tianglo kemudian.
Ternyata Lamkiong Hoa-su mengakuinya. "Aku tahu, tentu saja aku tahu jawabnya"
"Katakanlah!"
"Benda itu adalah lencana besi pengampunan dari kematian yang diakui oleh setiap orang gagah dikolong langit, benda itu dibuat oleh Sin kiam-san-ceng beserta tiga partai, tujuh perguruan serta empat keluarga persilatan di dunia ini, barang siapa memiliki lencana tersebut, maka entah perbuatan apapun yang dilakukan, setiap umat persilatan harus mengampuni selembar jiwanya!"
"Benda itu pasti palsu, sudah pasti benda itu palsu!" teriak Sun Hu-hou keras-keras.
"Pasti tidak palsu, sudah pasti tidak palsu" seru Lamkiong Hoa-su melotot.
Sin kiam san ceng maupun tujuh partai pedang adalah musuh-musuh bebuyutan dari Mo kau, mana mungkin lencana besi pengampunan kematian bisa berada ditangan seorang tianglo dari Mo kau?
"Tentu saja dibalik kejadian itu terdapat alasan tertentu"
"Apa alasannya?"
"Aku tak dapat mengutarakannya keluar, tapi aku tahu lencana besinya itu tidak palsu." Dengan wajah pias seperti mayat, sepatah demi sepatah dia melanjutkan:
"Hari ini, bila ada orang berani membunuhnya, maka orang itu akan menjadi musuh bebuyutannya Sin kiam san ceng, tiga perguruan besar, tujuh partai pedang serta empat keluarga persilatan, dalam tujuh hari ia pasti mampus"
Selesai mengucapkan perkataan itu mendadak tubuhnya melejit ke angkasa dan menyusup lewat jendela, tanpa berpaling lagi ia pergi meninggalkan tempat itu.
Thi yan suami istri maupun Ting Peng tidak menghalangi kepergiannya, tentu saja orang lain lebih-lebih tak ada yang menghalanginya. Tubuhnya berlompatan beberapa kali di atas telaga yang membeku jadi salju dan kemudian lenyap dibalik kegelapan.
Dia, seperti merasa kuatir bahwa ada orang yang memaksanya untuk mengutarakan rahasia tersebut, sebab bagaimanapun juga rahasia tersebut tak mungkin akan di utarakan keluar.
Terdengar Thi yan tianglo berkata: "Selama hidup, aku sudah banyak membunuh orang, sekarangpun aku masih mempunyai sebuah tangan, untuk membunuh orang, bila hari aku tidak mati, cepat atau lambat setiap orang yang berada di sini akan kubunuh satu persatu, siang dan malam kalian biar merasa kuatir, merasa gelisah karena harus berjaga-jaga atas kedatanganku, siapa tahu dikala kalian sadar dari impian, kamu semua telah berubah menjadi setan penasaran"
Perkataan itu diucapkan amat lambat, sepatah demi sepatah di utarakan keluar, dalam setiap patah kata itu seakan-akan terkandung sumpah keji dari setan iblis.
Ketika sepatah demi sepatah kata yang dia utarakan itu mendengung di sisi telinga semua orang, tanpa terasa bulu kuduk mereka pada bangun berdiri. Setiap orang tahu, dia adalah seorang yang bisa berkata bisa pula untuk melaksanakannya.
Kembali Thi yan tianglo berkata: "Oleh sebab itu, hari ini tidak seharusnya kalian membiarkan aku meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup, cuma sayang kalian justru tak mampu membunuh aku!"
Siapapun tak dapat menyangkal akan hal ini, siapapun tak berani bermusuhan dengan pihak Sin kiam san ceng dan tujuh partai pedang.
"Namun aku sendiri masih dapat membunuh diriku sendiri" ucap Thi yan tianglo jauh-jauh. Ditatapnya wajah Ting Peng lekat-lekat, lalu sambungnya: "Asal kau bersedia menerangkan kepadaku bagaimana caramu mempelajari ilmu golok yang barusan kau pergunakan, seketika itu juga aku akan mati di sini"
Ternyata dia rela mengorbankan selembar jiwanya untuk memperoleh ganti rahasia tersebut. Bagaimanakah cara Ting Peng melatih ilmu golok tersebut? Apa hubungannya antara persoalan ini dengannya? Mengapa dia ingin semua orang berharap Ting Peng bersedia untuk mengatakannya secara terus terang.
Setiap orang segera diliputi perasaan ingin tahu, sebab persoalan itu sendiri memang cukup menimbulkan rasa ingin tahu setiap orang. Selain itu, setiap orangpun berharap Thi yan bisa cepat-cepat mampus.
"Kau bersedia untuk mengatakannya atau tidak?" Thi yan tianglo menegaskan.
"Tidak!" Jawaban dari Ting Peng pun cukup sederhana dan ringkas, bagaikan sebatang paku saja.
"Kau benar-benar tak akan berbicara?" bentak Thi yan tianglo semakin lantang.
"Kau tak akan mampu membunuh aku, sebaliknya setiap saat aku dapat membunuhmu, hari ini mungkin saja ku ampuni selembar jiwamu, tapi lain waktu, jika kau berani membunuh satu orang saja, segera kurenggut nyawamu."
Kemudian pelan-pelan dia melanjutkan: "Sekeping lencana besi Bian si thi leng paling banter cuma bisa menyelamatkan jiwamu sekali, kujamin lain waktu tak seorang manusiapun yang sanggup menolong dirimu, sekalipun Sin kiam san-ceng mendatangkan Cia cengcu sendiripun, akan kubunuh dirimu lebih dulu sebelum memperbincangkannya."
Semua perkataan itupun diucapkan dengan suara pelan, diutarakan sepatah demi sepatah, dalam setiap patah kata itu terbawa suatu kekuatan tak bisa tidak untuk mengakuinya, semacam kekuatan yang tak mungkin bisa dilawan. Dalam sekejap mata, dari seorang pemuda yang lembut tahu-tahu sudah berubah seperti seorang raksasa yang tinggi besar.
Dari balik mata Cia Siau giok kembali terpancar keluar perubahan perasaan yang sangat kalut. Berbeda sekali dengan mimik wajah dari Thi yan tianglo, dari balik matanya seakan-akan terpancar keluar sepasang api beracun, sebilah pisau beracun, seekor ular beracun dan sumpah keji dari segenap iblis buas dari langit maupun bumi.
"Kuanjurkan kepadamu, paling baik kalau sekarang juga kau pergi meninggalkan tempat ini!" terdengar Ting Peng berkata lagi.
"Tentu saja aku akan pergi, tapi aku pun mempunyai suatu persoalan yang bagaimanapun juga mau tak mau harus kusampaikan juga kepadamu!"
"Kalau begitu katakan saja!"
Pelan-pelan Thi yan tianglo menarik napas panjang, lalu berkata: "Entah dari manapun kau pelajari ilmu golok itu, di kemudian hari pasti akan mendatangkan bencana yang tiada taranya bagimu"
Kemudian dengan sorot mata yang berapi-api, memancarkan sinar kebengisan dan kebencian yang meluap-luap, dia melanjut-kan kembali kata-katanya:
"Sekalipun kau dapat mempergunakan golok tersebut untuk malang melintang di dalam dunia persilatan, sekalipun kau dapat menjagoi seluruh kolong langit, menjadi jagoan yang tak terkalahkan di dunia ini dan menguasahi seluruh dunia ini, namun bencana tersebut akan selalu mengikuti dirimu, nasib sial dan musibah tragis akan selalu menempel dirimu. Baik siang atau malam, setiap detik setiap menit, setiap saat selalu mengikuti dirimu, sekalipun kau bisa mempergunakan golok itu untuk mendapatkan nama yang besar kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang melimpah, akan tetapi selama hidupmu di dunia ini, kau pasti akan hidup di dalam penderitaan, hidup tersiksa, tersiksa raga dan batin selama hidup tak akan pernah merasakan kebahagiaan sepanjang hidup sengsara terus tersiksa terus menderita dan sedih sampai mampus! Selamanya tiada kegembiraan bagimu, tiada kesenangan yang bisa kau rasakan, kau akan menderita, menderita terus sepanjang jaman, sampai kiamatnya dirimu..."
Mendadak ia mendongakkan kepalanya menghadap langit, kemudian jeritnya dengan suara parau: "Dengan disaksikan oleh semua iblis semua setan dan semua dedemit yang ada di langit dan bumi, sumpah ini moga-moga akan terkena pada dirimu dan itulah nasibmu sepanjang masa!"
Itulah sumpah kejinya! Sumpah yang betul-betul teramat keji...
PERPISAHAN
ANGIN dingin berhembus lewat di atas telaga yang beku oleh salju, dalam kegelapan entah ada berapa banyak setan iblis, ataupun dedemit yang ikut mendengarkan sumpah kejinya itu. Kemudian suami istri berdua itupun melenyapkan diri dibalik kegelapan jauh lebih pekat daripada gumpalan darah, lenyap di balik kerumunan setan iblis.
Ting Peng hanya mendengarkan saja dengan tenang, tampaknya dia seperti amat tenteram dan sama sekali tidak terpengaruh.
Tiba-tiba Cia Siau giok menerjang ke depan, menarik tangannya seraya berseru: "Jangan sekali-kali kau dengarkan perkataan setan mereka!"
Tangannya amat dingin bagaikan es, namun suaranya justru lembut dan hangat. "Jangan sekali-kali kau percayai perkataan setan semacam itu, walau hanya sepatah katapun."
Ting Peng termenung sampai lama, kemudian dia baru berkata lambat-lambat. "Kadangkala omongan setan justru akan manjur!"
Tangan Cia Siau giok makin dingin, sedemikian dinginnya sampai menggigil.
Ting Peng memperhatikan wajahnya, tiba-tiba ia tertawa: "Namun apa yang mereka ucapkan tak sepatah yang kupercayai, sebab apa yang mereka ucapkan bukan perkataan setan, mereka adalah manusia bukan setan."
Cia Siau giok turut tertawa: Suaranya berubah semakin lembut. "Sekalipun mereka benar-benar adalah setan, aku percaya kaupun tak akan takut kepada mereka, aku percaya entah di langit atau di bumi, tiada persoalan yang bisa membuatmu menjadi ketakutan!"
Dalam dunia ini masih terdapat persoalan apa lagi yang jauh lebih menarik perhatian seorang pria daripada pujian dari seorang gadis cantik?
Apalagi kalau lelaki itu kebetulan merupakan seorang pahlawan daripada orang yang dipujinya itu. Di dunia ini masih terdapat persoalan apalagi yang bisa membuat seorang pria merasa bangga daripada rasa percaya seorang gadis yang tanpa dosa kepadanya? Apalagi jika gadis itu adalah seorang gadis yang cantik jelita?
Akan tetapi Ting Peng sama sekali tidak terpengaruh oleh kesemuanya itu, dia tidak menjadi mabuk kepayang. Betul dia seorang pria tapi ia bukan seorang pria sembarangan. Dia mempunyai seorang istri "rase" Cing cing, sepintas lalu baik Cing-cing maupun Cia Siau giok sama-sama tampak cantik, sama-sama tampak suci bersih.
Kalau Cing-cing banyak memancarkan sinar mata yang penuh dengan kepercayaan serta pujian tanpa bersuara, maka Cia siau giok lebih banyak menampilkan ke semuanya itu dengan berbicara. Terhadap gejala semacam ini, selain ia sudah menjumpai dan lagi tampaknya sudah agak jenuh.
Apalagi didalam hatinya masih terdapat suatu kejadian yang membuatnya selalu sakit hati. Itulah perbuatan dari istri Liu Yok siong, si perempuan yang mengganti namanya menjadi Ko siau, seekor anjing betina yang rendah dan tak tahu malu.
Justru perempuan itulah yang benar-benar telah menipunya, menipu dengan mengandalkan kepolosan dan kelincahan seorang gadis sehingga nama baik serta martabatnya betul-betul ternoda.
Itulah sebabnya senyuman yang semula menghiasi ujung bibirnya mendadak berubah jadi beku, suaranyapun turut membeku, dengan dingin dia melepaskan diri dari cekalan Cia Siau giok, kemudian ujarnya dingin:
"Kau benar-benar adalah putrinya Cia Siau hong?"
Dengan terperanjat Cia Siau-giok mengawasinya, dia tak tahu persoalan apakah yang telah membuat lelaki tersebut berubah menjadi begitu dingin dan kaku. Terpaksa dengan nada ketakutan ia menjawab:
"Bee.... benar!"
"Akan tetapi setiap orang mengatakan kalau Cia Siau-hong tidak beristri!" kata Ting Peng lagi dingin.
Cia Siau giok segera tertawa. "Apa yang dilakukan ayahku selama ini memang jarang sekali diketahui orang lain, perkampungan Sin kiam-san-ceng pun jarang sekali dikunjungi orang. darimana mungkin orang lain bisa mengetahuinya."
Ting Peng segera tertawa dingin. "Heeeehh... heeeehhh... heeeehhh... Cia Sam-sauya yang namanya sudah termasyhur di seluruh kolong langit, sudah barang tentu tak akan sudi untuk berhubungan dengan orang- orang awam"
Tiba-tiba Cia Siau giok seperti menjadi paham, dia segera tertawa dan berkata: "Oooh.... rupanya kau menjadi marah lantaran ayahku tidak menerima undanganmu?"
"Tidak berani, aku hanya sekalian memberi kartu undangan kepadanya, aku tidak maksudkan dia benar-benar mesti datang kemari!"
"Dalam hal ini, kau harus dapat memaafkan dia, selama banyak tahun ini ayahku sudah mengundurkan diri dari keramaian dunia, jangan toh orang lain, beberapa orang sobat karibnya yang sudah dikenal banyak tahun pun selalu dihindari"
Di atas wajahnya yang tak berdosa kembali tersungging sekulum senyuman manis, lanjutnya: "Akan tetapi, ketika aku ingin kemari, ternyata dia tidak melarang, malahan suruh Sang Ceng dan Thian It hui melindungi aku, hal ini menunjukkan kalau diapun menaruh hormat kepadamu!"
Kembali Ting Peng tertawa dingin: "Memang seharusnya menaruh hormat sebab orang yang dikirim untuk melindungimu itu bukan saja tidak melindungimu, malahan sudah mendatangkan banyak kesulitan, sebaliknya aku seorang manusia yang tidak dipandang sebelah mata olehnya, justru tidak acuh untuk melakukan kesalahan terhadap tianglo Mo kau yang ditakuti setiap orang dan menyelamatkan putrinya dari tangan Thi yan siang hui"
Dari balik sorot mata Cia Siau giok kembali memancar keluar sorot mata yang tajam, katanya kemudian: "Kau bukan cuma menolong, bahkan mengalahkan Thi yan siang hui, jika ayahku tahu, dia pasti akan menganggap hal ini sebagai suatu hal yang luar biasa"
Dengan cepat dia menambahkan pula: "Sudah barang tentu, dia pun akan merasa berterima kasih sekali kepadamu!"
"Kalau dia amat berterima kasih kepadaku, berarti dia berhutang terima kasih kepadaku, jika dia menganggap aku masih lumayan juga, itu berarti pula dia berhutang satu kali kesempatan kepadaku untuk melakukan duel"
Mendengar perkataan itu, Cia Siau giok menjadi tertegun. "Kau hendak mencari ayahku untuk diajak berduel?"
Kembali Ting Peng tertawa dingin. "Semenjak Cia Sam sauya terjun ke dalam dunia persilatan, dia selalu mencari jago-jago kenamaan dunia ini" untuk diajak berduel mengalahkan setiap jago yang dijumpainya sebelum akhirnya nama Sin kiam san-ceng menjadi termasyhur di dunia ini!"
"Tapi nama besar Sin kiam san ceng bukan dimulai semenjak ayahku terjun ke dalam dunia persilatan!" buru-buru Cia Siau giok menerangkan.
"Tapi nenek moyang kalian toh tidak setenar ayahmu, justru karena dia mengalahkan orang lain maka namanya baru tenar, oleh sebab itu diapun tidak berhak untuk menampik tantangan dari orang lain"
"Ayahku tak akan berduel denganmu, karena kau bukan seorang jago pedang!"
Tampaknya gadis itu merasa perkataannya itu kurang cocok, buru-buru dia menambahkan lagi. "Sekalipun kau adalah seorang jago pedang yang sangat lihay, diapun tak akan berduel denganmu, sejak pertarungannya melawan Yan Cap sa dimasa lalu, dia sudah bilang tak akan berduel lagi dengan siapapun...!"
Meskipun Cia ciangkwee seorang yang hadir ketika Cia Siau hong melangsungkan duelnya yang terakhir melawan Yap Cap sah, akan tetapi Cia ciangkwee bukan seorang yang banyak mulut, selamanya dia tak pernah mengungkapkan siapakah yang telah memenangkan pertarungan yang luar biasa itu.
Tapi siapapun tahu dalam pertarungan itu Cia Siau honglah yang berada dipihak yang kalah. Tapi kejadian itu tidak mempengaruhi nama besar dari Cia Siau hong, juga tidak mempengaruhi nama besar dari Sin kiam san-ceng.
Sebagai seorang jago pedang, kalah satu dua kali sudah lumrah, kekalahan bukan sesuatu yang memalukan, apalagi si pemenang dalam pertarungan itu, Yan Cap sah justru telah bunuh diri sehabis pertarungan tersebut berlangsung.
Alasannya untuk bunuh diri adalah untuk memusnahkan jurus pedang yang dapat mengalahkan Cia Siau hong itu. Karena jurus pedang yang bengis dan berhawa pembunuhan itu tidak cocok bagi alam manusia.
Sejak Yan Cap sha mati, jurus pedang pun dibawanya ke alam baka, maka Cia Siau hong masih tetap merupakan seorang jago pedang yang lihay di dunia ini. Persoalan ini diungkapkan sendiri oleh Cia Siau hong kepada beberapa orang temannya setelah peristiwa itu berlangsung.
Orang yang bisa dianggap sebagai teman oleh Cia Siau hong, sudah barang tentu hanya orang-orang yang menduduki jabatan tinggi serta mempunyai nama besar di dalam dunia persilatan. Itulah sebabnya semua perkataan yang muncul dari mulut mereka tidak disangsikan lagi keasliannya.
Akan tetapi Ting Peng merasa amat tidak puas dengan penjelasan semacam itu. Sambil tertawa dingin katanya: "Di ujung pedang ayahnya telah membunuh banyak sekali jago lihay, mereka semua toh tidak memakai pedang, oleh karena itu diapun tidak beralasan untuk menampik tantanganku dengan mempersoalkan Golok bulan sabit"
Cia Siau giok tertegun, untuk sesaat lamanya dia tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Tampaknya Ting Peng juga tidak mengharapkan jawabannya, hanya dengan suara dingin ujarnya: "Kau boleh pulang dan beritahu kepada ayahmu, katakan kepadanya bahwa aku menunggunya selama sepuluh hari, dalam sepuluh hari ini dia harus datang sendiri kemari untuk menyampaikan rasa terima kasih serta meminta maaf. Kami boleh jadi bisa berteman..."
Ucapan itu kontan saja membuat paras muka semua orang berubah hebat, sebab ucapan tersebut kelewat tekebur. Selama hidupnya Cia Siau hong hanya mempunyai beberapa orang teman, bukan boleh juga di belakang tak seorang temanpun yang dimilikinya, hal ini bukan saja dikarenakan dia memang seorang yang suka menyendiri hal inipun dikarenakan dia adalah seorang jago pedang yang tiada tandingannya di dunia ini.
Pedang adalah dewa diantara pedang orangnyapun merupakan dewa diantara manusia. Biasanya orang yang berada paling di puncak paling tinggi, dia selalu hidup menyendiri. Tapi siapapun tak berani mengatakan kalau berkenalan dengan Cia Siau houg merupakan sesuatu yang terlalu dipaksakan, atau perbuatan yang merendahkan derajat sendiri.
Tapi Ting Peng telah berkata demikian dan ternyata tiada orang yang mengatakan kejadian itu sebagai suatu yang tekebur. Mereka semua telah menyaksikan kelihaian Ting Peng, hanya dalam sekali ayunan golok saja, dia sanggup mengutungi pergelangan tangan dari Thi yan siang hui tianglo dari Mo kau.
Walaupun mereka tak sempat menyaksikan permainan golok tersebut, bahkan ada diantaranya yang tidak melihat sesuatu apapun, akan tetapi mereka dapat menyaksikan golok dari Thi yan siang hui terjatuh ke tanah terlepas dari pegangan. Tak dapat disangkal lagi, jelas hal itu dikarenakan ayunan goloknya, ayunan golok dalam satu gebrakan.
Bila semula orang yang hadir di arena juga belum pernah menyaksikan Cia Siau hong mempergunakan pedangnya, tapi merekapun tak berani memastikan pedang sakti milik Cia Siau hong dapat pula melakukan hal yang sama.
Oleh karena itu, Ting Peng dinilai cukup berhak untuk mengucapkan perkataan tersebut. Oleh sebab itu ucapan yang disampaikan Ting Peng selanjutnya juga tidak membuat semua orang merasa terkejut.
Terdengar Ting Peng berkata. "Dalam sepuluh hari kemudian, bila dia belum juga datang, itu berarti dia berteriak mengadakan duel denganku, maka akupun akan membawa golokku untuk mendatangi perkampungan Sin kiam san-ceng untuk mencari dirinya!"
Cia Siau giok menelan air liurnya lalu berbisik lirih: "Ting... Ting kongcu, Ting tayhiap... mengenai persoalan ini, aku..."
Ting Peng sama sekali tidak memberi kesempatan lagi baginya untuk banyak berbicara, segera tukasnya. "Kau cukup membawa pulang kata-kata itu dan menyampaikan kepadanya, sekarang aku yakin tiada orang yang dapat melakukan lagi, oleh karenanya kaupun boleh pergi."
Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan berjalan pergi, berjalan menuju ke belakang, meninggalkan semua tamu yang memenuhi ruangan, meninggalkan pula Cia Siau giok yang berdiri tertegun di tempat itu.
Pelayan yang mengenakan seragam rapi mulai memberesi meja perjamuan dari sisa mangkuk serta cawan. Walaupun perjamuan baru berlangsung setengah jalan, sayurpun baru muncul berapa macam, tapi perjamuan dalam pagoda Ang bwee kek telah berakhir.
Liu Yok siong dengan kedudukan sebagai seorang murid berdiri di depan pintu untuk mengantar tamu, memberi hormat kepada setiap orang dan mengucapkan beberapa kata yang sopan. Tapi sebagian besar juga yang di sapanya tidak menggubris, memandang sekejap ke arahnya pun tidak.
Bagaimanapun juga Liu Yok siong adalah seorang jagoan yang pernah termasyhur dikolong langit, tapi sekarang dia seakan-akan sudah dilupakan oleh setiap orang. Akan tetapi Liu Yok siong seolah-olah tidak acuh terhadap sikap dingin orang lain, senyuman manisnya masih menghiasi ujung bibirnya, sikapnya masih sungkan dan ramah terhadap setiap orang, termasuk mereka yang dikenal maupun tidak di kenal.
Dia seolah-olah merasa puas sekali dengan kedudukannya sekarang. Seakan-akan menjadi muridnya Ting Peng jauh lebih terhormat daripada sewaktu dia menjadi seorang tayhiap, seorang cengcu tempo hari.
Sekalipun dia bukan seorang yang agung, seorang yang luar biasa, namun tak dapat disangkal lagi, dia memang merupakan seorang manusia yang luar biasa sekali. Sepanjang seribu tahun, belum tentu akan dijumpai seorang manusia semacam dia.
"Untung saja hanya ada seorang!"
Itulah sudut pandangan setiap orang yang meninggalkan ruangan tersebut, terhadap Liu Yok siong dibalik cemoohan juga terlintas perasaan kagum. Sebagai seorang lelaki sejati harus menyesuaikan diri dengan keadaan, setiap orang dapat mengucapkan perkataan itu, setiap orang juga pernah menyaksikan keadaan Liu Yok siong ketika masih jaya-jayanya dulu.
Tapi mereka sama sekali tak menyangka kalau Liu Yok siong benar-benar dapat menyesuaikan diri sehingga sedemikian rendahnya.
"Manusia semacam Liu Yok siong, benarkah dia akan memendam dirinya dengan begitu saja, sepanjang masa hidup dalam suasana yang rendah dan penuh cemoohan?"
Jawabannya hanya satu dan seratus persen sudah pasti benar.
"Orang ini benar-benar menakutkan, jauh lebih menakutkan daripada Sam sauya Cia Siau hong dari Sin kiam san-ceng, jauh lebih menakutkan daripada golok maut dari Ting Peng"
Itulah perkataan yang diucapkan delapan puluh persen orang yang hadir didalam ruangan itu. Sedangkan sisanya yang dua puluh persen segera merasa mual dan ingin muntah setelah meninggalkan dari hadapan Liu Yok siong. Cuma mereka tidak sungguh-sungguh muntah, sebab selama berada di Ang bwe kek, mereka tidak makan apa-apa.
Namun setiap orang merasa puas, merasa girang karena perjalanan mereka kali ini tidak sia-sia belaka, hasil yang diperoleh mereka didalam perjamuan ini bukan makanan, walaupun semua sayur yang dihidangkan dalam perjamuan itu adalah hidangan-hidangan paling lezat yang dibuat oleh koki kenamaan.
Tapi tak seorangpun yang tahu bagaimanakah rasanya. Perut semua orang sudah di isi kenyang oleh ketegangan serta rangsangan yang hebat. Setiap orang merasa amat puas, bahkan tidak terkecuali pula bagi mereka yang mati dalam Ang bwe kek. Terhadap mereka yang mati, Ting Peng kongcu sekali lagi memperlihatkan keroyalannya.
* * *
SEPULUH hari sudah berlalu, setiap hari pasti ada orang yang menanti di tepi telaga Say cu ou, menjulurkan lehernya sambil menengok tanggul Soti yang panjang dab sempit dengan harapan bisa melihat Sam Sauya dari keluarga Cia datang ke situ.
Banyak orang berharap bisa berjumpa dengan menyaksikan sendiri macam apakah wajah dari si jago pedang lihay yang tiada taranya di dunia ini. Bahkan diantara mereka terdapat pula banyak sekali kaum perempuan, mereka pernah mendengar orang berkata bahwa dulu Cia Sam sauya adalah seorang jago pedang romantis yang selalu membuat affair cinta dimana-mana.
Walaupun sekarang usianya agak lanjut, tapi watak manusia sukar dirubah, siapa tahu kalau mereka mendapat kesempatan yang baik untuk dipikat olehnya. Tapi kecuali perempuan-perempuan genit itu, sebagian besar orang, terutama jago persilatan selalu berharap agar jangan melihat kehadiran Cia Siau hong.
Bila Cia Sam sauya tidak datang, Ting kongcu pasti akan pergi mencarinya, mencarinya untuk diajak berduel. Suatu pertarungan, tentu saja jauh lebih menarik daripada permintaan maaf, jauh lebih memuaskan. Apalagi jika pedang sakti bertemu dengan golok maut, hal itu pasti akan merupakan suatu peristiwa yang menarik hati.
Cia Siau-hong memang tidak membuat semua orang kecewa. Dia tidak datang. Dalam kenyataan setiap orangpun menganggap kemungkinan dia tak datang jauh lebih besar. Cia Siau hong bukan seorang yang berhati pengecut, sekalipun ada orang yang mengatakan bahwa dia telah berubah menjadi amat bersahaja.
Tapi bagaimanapun juga Cia Siau hong tetap Cia Siau hong, adalah seorang yang tinggi hati. Walaupun dia bukan seorang yang tidak tahu aturan, juga bukan seorang yang tak tahu berterima kasih kepada orang, tapi dia pun bukan seseorang yang mudah mengucapkan terima kasih kepada orang lain.
Mungkin hal ini disebabkan dia she Cia, leluhurnya she Cia semua, demi pantangan, dia tak ingin mempergunakan kata tersebut untuk menyampaikan perasaannya kepada orang lain. Seseorang yang enggan mengucapkan kata "Cia" atau terima kasih kepada orang lain, tentu saja makin mustahil kalau dia mau meminta maaf.
Jangan toh Ting Peng baru menolong putrinya, sekalipun menyelamatkan jiwanyapun belum tentu dia akan menyampaikan rasa terima kasihnya itu. Apalagi kalau suruh dia datang meminta maaf hanya dikarenakan dia menampik undangan dari Ting Peng, hal ini lebih-lebih tak mungkin akan dilakukannya.
Jika Cia Siau hong sampai berbuat demikian maka dia bukan Cia Siau hong lagi, dia pastilah seorang anak jadah yang lebih rendah daripada anjing-anjing geladak. Kini terbukti Cia Siau hong tidak datang apakah Ting Peng akan pergi untuk mencarinya?
Selama sepuluh hari ini, Cing-cing selalu merasa murung, entah mengapa dia selalu saja bermuram durja. Tapi Ting Peng tidak merasakan hal itu. Ting Peng sedang merasa gembira karena kepandaian silat yang dimilikinya, sekarang dia tahu, semenjak pertempuran di Ang Bwee kek, namanya sudah makin tersohor di seantero dunia.
Tapi dia bukanlah seorang yang begitu tekebur sehingga lupa diri, diapun tahu bahwa ucapan yang disampaikan kepada Cia Siau giok merupakan ucapan yang terlampau tekebur. Tapi diapun mengerti, pedang Cia Siau hong sudah pasti jauh lebih lihay daripada ilmu Siang to hap pit dari Thi yan suami istri.
Diapun tahu Cia Siau hong tak akan datang, tapi pertarungan tak bisa dihindari dengan begitu saja, apalagi kalau pertarungan tersebut merupakan apa yang didambakannya selama ini. Dalam sepuluh hari ini, dia tidak menerima seorang tamupun, bahkan kamar Cing-cing pun jarang sekali di datangi, sebagian besar waktunya di habiskan di dalam kamar rahasianya untuk mendalami kepandaian silat yang dimilikinya.
Mendalami ilmu golok bulan sabit tersebut, melatih ilmu golok yang luar biasa itu. Sebenarnya dia bukan seorang yang berambisi besar, tapi sukses yang dialaminya dalam Ang bwe kek membuat kepercayaannya pada diri sendiri makin bertambah besar, hal itu membuat ambisinya pun semakin berkobar.
Dia telah menyusun sendiri serangkaian tindakan yang akan diambilnya selama ini, yang dipikirkan semakin banyak, semakin repot, ambisinyapun makin lama semakin besar.
Setiap orang yang sanggup mengalahkan Cia Siau hong, dia pasti akan berhasil mencapai puncak kedudukan yang paling top di dunia ini, setiap orang berharap bisa mencapainya, demikian juga keadaannya dengan Ting Peng. Dia hanya menjadikan kejadian tersebut sebagai suatu permulaan belaka.
Sedang didalam hatinya dia sudah mempunyai banyak sekali rangka pikiran yang hendak dikerjakannya. Rangka pikiran tersebut amat hebat, dia ingin membuat suatu ketenaran yang melebihi ketenaran Sin kiam san ceng, lebih menggetarkan seluruh dunia persilatan. Oleh karena itu dia bertekad, langkahnya yang pertama ini harus sukses.
Akhirnya sepuluh hari sudah lewat. Ternyata Cia Siau hong benar-benar tidak muncul di situ, dia benar-benar tidak datang untuk meminta maaf.
Hari ini adalah hari yang ke sebelas. Hari ini langit terasa amat cerah, angin berhembus sepoi-sepoi dan sejauh mata memandang udara amat bersih, tiada awan, tiada mega. Udara se cerah ini merupakan saat yang paling cocok untuk berpergian jauh.
Ting Kongcu telah bersiap-siap untuk berangkat meninggalkan perkampungannya. Dia telah bersiap sedia untuk mendatangi perkampungan Sin kiam san-ceng untuk menantang Cia Siau hong berduel.
Bila dia berhasil menangkan duel tersebut, berhasil mengalahkan Cia Siau hong yang amat tenar itu, maka dengan cepatnya nama besarnya akan memanjat ke langit, dia akan termasyhur dan menjadi tenar di seluruh dunia.
Sebelum berangkat, ia pergi menjumpai Cing-cing, baru saja dia hendak mempertimbangkan bagaimana caranya untuk berbicara, Cing-cing berkata lebih dulu.
"Semoga Long kun sukses sepanjang jalan dan kembali dengan membawa hasil yang diharapkan..."
Mula-mula Ting Peng agak tertegun, menyusul kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh. "Heeehh... heeehh... heeehh... istriku, kau memang hebat sekali, kemauan serba tahumu makin menghebat tampaknya sehingga apa yang kupikirkan didalam hati tak pernah dapat mengelabuhi dirimu!"
Begitulah dia pergi meninggalkan Cing-cing tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
PERJALANAN JAUH
TING PENG berangkat dengan mempergunakan sebuah kereta kencana yang berwarna kuning emas. Kereta itu dihela oleh empat ekor kuda jempolan berwarna putih, ke empat ekor kuda itu merupakan kuda pilihan.
Bagi orang biasa untuk mendapatkan seekor saja sudah sukarnya bukan kepalang, sekarang ternyata ia mempunyai empat ekor yang dipakai untuk menarik kereta. Kuda jempolan hanya cocok dipakai untuk melakukan perjalanan jauh, bukan untuk naik kereta, sebab hal itu merupakan suatu persoalan... merupakan suatu perbuatan yang tidak benar.
Tampaknya ke empat ekor kuda jempolan itupun tidak terbiasa dengan suasana yang dihadapinya, bahkan mereka kelihatan sekali tidak tenang. Namun kusir kereta tersebut adalah seorang kusir yang ahli, dia adalah seorang suku asing bertubuh hitam pekat, kepalanya gundul dengan mengenakan celana panjang bersulamkan bunga, tubuh bagian atasnya telanjang dan mengenakan sebuah handuk kecil saja sehingga tampak bahu dan dadanya yang kekar.
Pada lehernya dia mengenakan sebuah gelang besar terbuat dari emas, ketika duduk di atas kereta persis seperti sebuah pagoda kecil saja. Tangannya yang kuat dan berpengalaman memegang tali les kuda kencang-kencang, sementara cambuknya diayunkan berulang kali memaksa ke empat ekor kuda jempolan itu harus berlarian menurut arah yang dituju. Keadaan seperti ini terasa amat menyolok bahkan sedikit berbau pameran kekayaan.
Tapi Ting toa sauya memang paling gemar dengan permainan semacam ini, sejak ia muncul dalam dunia persilatan, ia sudah senang memamerkan kekayaannya. Padahal sewaktu kecil dulu dia bukanlah seorang yang kaya, tapi sekarang setelah memiliki harta kekayaan tak ternilai banyaknya, dia seperti tak tahu bagaimana musti mempergunakannya.
Di belakang keretanya mengikuti serombongan besar manusia, Ting Peng merasa puas sekali, dia tahu orang-orang yang datang tanpa diundang, mereka bagaikan anak buah yang paling setia saja, dari situ terus mengikuti sampai ke perkampungan Sin kiam san-ceng.
Ting Peng menengok ke belakang, dia saksikan rombongan manusia itu sudah berubah menjadi suatu barisan yang amat memanjang, ada yang berombongan, ada pula yang sendirian, tapi semuanya merupakan jago-jago, kenamaan dalam dunia persilatan.
Kenyataan ini membuat hatinya merasa girang sekali. Mungkin nama Cia Siau hong lebih termasyhur daripada namanya, tapi sanggupkah Cia Siau hong untuk menciptakan pula suasana seperti apa yang dialaminya sekarang?
Dia memejamkan matanya sambil bersandar dengan santai, ia membiarkan kereta berjalan seenaknya, sementara senyuman menghiasi ujung bibirnya. Ia tersenyum karena merasa gembira oleh suatu persoalan yang lain. Itulah sikap Cing-cing terhadap setiap persoalan yang sedang dihadapinya.
Sebelum berangkat, dia merasa sukar untuk mengutarakan maksud hatinya itu kepada Cing-cing, dia menginginkan agar kali ini Cing-cing jangan ikut serta, namun perkataan semacam itu sulit untuk diutarakan. Ia telah memikirkan beribu macam alasan, namun tak sebuah pun yang dirasakan cocok.
Cing-cing amat cantik, berada bersamanya tak mungkin akan membuatnya menjadi malu. Ilmu silat yang dimiliki Cing-cing pun sangat tinggi, dulu jauh lebih tinggi banyak daripada kepandaiannya, sekarang dia mungkin jauh lebih tinggi sedikit, tapi yang pasti kehadiran gadis tersebut bukan merupakan suatu beban baginya.
Cing-cing amat menuruti setiap perkataannya, belum pernah menampik permintaannya, juga tak pernah mengikat kebebasannya untuk bergerak serta melakukan sesuatu. Tiada sesuatu alasan pun yang menyatakan agar Cing-cing jangan turut dalam perjalanan ini.
Tapi dia tahu ada satu alasan yang membuatnya tak bisa membawa serta istrinya, hanya alasan itu sukar untuk diutarakan. Dia adalah rase, ilmu rasenya sudah mencapai pada puncaknya, betul dia amat lihay, namun sifatnya tetap rase, dia merasa canggung, untuk muncul di suatu tempat yang terdapat banyak orang.
Namun hal ini bukan merupakan alasan Ting Peng mengapa dia tidak membawa serta Cing-cing. Entah karena alasan apa, dia hanya ingin meninggalkan Cing-cing untuk sementara waktu. Tentu saja hal ini bukan suatu alasan, tapi justru hal itu menjadi suatu dorongan hatinya, menjadi suatu yang diharapkan olehnya.
Dia mengira Cing-cing pasti akan mengikutinya, maka dia harus memutar otak untuk menemukan sesuatu alasan agar Cing-cing jangan turut di dalam perjalanan kali ini. Gara-gara persoalan itu, hampir saja dia menghabiskan waktu selama satu hari untuk memikirkannya, meski kemudian hasilnya tetap nihil.
Sungguh tak disangka, sebelum dia berangkat dan sebelum mengucapkan sesuatu, Cing-cing telah berbicara lebih dulu. Dia menyampaikan salam perpisahannya dan mendoakan kepadanya moga-moga pulang dengan sukses. Dia seakan-akan sudah merasa kalau dirinya lebih baik jangan turut serta didalam perjalanan itu.
Hal mana bukan sesuatu yang aneh, karena dia adalah rase. Rase selalu mempunyai kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang akan datang, terutama untuk menilai suara hati manusia. Tanpa terasa Ting Peng berpikir lagi.
Bila mengawini seorang gadis rase sebagai istri, sesungguhnya hal ini merupakan suatu kejadian yang amat menguntungkan. Maka sepanjang perjalanan, Ting kongcu merasa puas sekali. Itulah sebabnya walaupun kereta berjalan dengan goncangan yang sangat keras, dia masih dapat tidur.
Goncangan dalam kereta bukan disebabkan jalanan yang tidak rata. Mereka sedang berjalan di atas jalan raya yang datar, lebar dan rata, roda kereta pun besar dan kuat. Kereta itu memang sebuah kereta yang istimewa, jauh lebih istimewa dari pada kereta kencana Raja sewaktu melakukan perondaan.
Yang tidak stabil jalannya adalah kuda yang menghela kereta, langkah mereka tak bisa bersama, dan lagi kuda-kuda itupun belum pernah terlatih untuk menarik kereta. Itulah sebabnya walaupun terdapat seorang kusir yang begitu baik, namun dalam waktu singkat kereta itu belum juga bisa berjalan dengan tenang dan mantap.
Ah-ku adalah nama dari suku asing yang menjadi kusir kereta, dia dibawa datang oleh Cing-cing dari dalam sarang rasenya. Ah-ku boleh dibilang merupakan seorang yang serba bisa, mulai dari jahit menjahit sampai urusan mencabut pohon besar, semuanya dapat dilakukan dengan sempurna. Sulaman bunga di atas celananyapun merupakan hasil sulamannya sendiri.
Kereta kencana yang amat megah itu pula merupakan hasil karyanya, yang tak dapat dilakukan Ah-ku cuma dua hal. Pertama adalah melahirkan anak, karena ia lelaki. Yang kedua berbicara karena dia tak punya lidah. Untung saja kedua hal tersebut tidak berpengaruh besar bagi dirinya. Tentu saja Ting Peng tak akan menyuruh Ah-ku untuk melahirkan seorang anak baginya.
Ah-ku pun tak pernah mengemukakan pendapatnya, dia hanya mendengarkan, lalu melaksanakan menurut perintah. Oleh karena itu Ah-ku merupakan seorang pembantu serta yang paling cocok untuk dibawa serta kemanapun pergi. Sekalipun Ting Peng, meninggalkan Cing-cing dirumah, namun dia harus membawa serta Ah-ku.
Setelah berjalan keluar dari kota Hang-ciu, orang yang berlalu lalang makin sedikit, hal ini hanya tertuju pada orang-orang yang datang dari depan. Sebab di belakang keretanya justru mengikuti rombongan manusia yang amat besar, sebagian besar adalah jago-jago persilatan.
Mendadak Ting Peng seperti mempunyai suatu keinginan, suatu dorongan hati yang kuat untuk menggoda pengikut-pengikutnya itu. Kepada Ah-ku segera perintahnya: "Larikan kereta itu kencang-kencang"
Ah-ku memang seorang pembantu yang patuh pada perintah, mendadak dia mengayunkan cambuknya dan kereta itupun meluncur ke depan seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Memandang kawanan manusia di belakang kereta yang berdiri kaget bercampur tercengang, Ting Peng terbahak-bahak dengan riang gembira.
* * *
SEMENJAK Ting Peng keluar rumah, suasana Poan kian-tong menjadi sunyi senyap. Kawanan jago persilatan yang semula berkumpul di sana, kini sudah pergi mengikuti Ting Peng, bahkan tamu-tamu yang di undang Ting Peng pun sudah pada berangkat duluan.
Mereka semua tak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik untuk menyaksikan pertarungan antara Ting Peng melawan Cia Siau hong, hanya saja mereka tidak seperti kawanan jago persilatan lainnya yang mengikuti di belakang kereta Ting Peng. Ada sementara orang diantaranya malah mengambil arah yang berlawanan dengan kereta itu.
Andaikata mereka memang tak ingin melepaskan kesempatan untuk menyaksikan pertarungan antara Ting Peng melawan Cia Siau hong, mengapa mereka tidak segera untuk menyusul kesana?
Apakah mereka mempunyai keyakinan bahwa sekalipun Ting Peng bisa mencapai ke perkampungan Sin kiam san ceng, toh pertarungan tersebut tak mungkin bisa dilangsungkan?
Ada beberapa orang diantaranya malahan menyewa sampan di telaga Say Cu ou, dan bersenang-senang dengan para pelacur, kemudian mereka memencarkan diri dan secara diam-diam di bawah lamat-lamatnya cuaca, dalam suasana tidak memperhatikan orang memasuki kuil Leng in-si.
Dalam ruang tamu, mereka seperti pergi menyambangi seseorang. Tapi seperti juga untuk menerima sesuatu petunjuk, karena mereka menaruh hormati kepada orang itu setelah masuk ke dalam ruang tamu, tak seorangpun diantara mereka yang berbicara lagi.
Kecuali mengucapkan kata "yaa" dengan suara rendah dan hormat, mereka tak pernah lagi mengucapkan kata kedua. Apakah tujuan dari orang-orang itu? Apa pula yang hendak mereka lakukan!
Dewasa ini kecuali mereka sendiri mungkin hanya tamu misterius yang berdiam dalam kuil Leng in si saja yang mengetahuinya.
Satu satunya orang dalam ruang Poan kian tong yang belum pergi meninggalkan tempat itu hanyalah Liu Yok siong. Kalau orang lain sedikit banyak adalah tamu, maka mereka bisa pergi sekehendak hatinya, berbeda dengan dirinya, sebab sekarang adalah murid Ting Peng.
Betul selama ini Ting Peng tak pernah mengajarkan kepandaian silat kepadanya, melainkan hanya menyuruhnya melakukan pelbagai pekerjaan yang hanya dilakukan orang rendahan. Tapi Liu toa cengcu tidak ambil perduli, ia tetap menunjukkan kehangatan, kerajinan yang luar biasa.
Ketika Ting Peng akan pergi, diapun tidak disuruh turut serta. Oleh karena itu, terpaksa dia mesti tinggal di sana dan diapun menunjukkan perasaan amat gembira. Setelah melakukan pekerjaan di sana sini, diapun pergi ke halaman belakang.
Halaman belakang merupakan tempat tinggal Cing-cing, di sana hanya ada dua orang dayang yang melayani kebutuhannya, yang seorang bernama Cun hoa yang lain bernama Ciu gwat.
Cun hoa dan Siu gwat merupakan dua macam benda yang sangat indah bagi para penyair.. Demikian pula dengan dua orang dayang tersebut. Bila Cun hoa sedang tertawa, maka kecantikannya melebihi bunga-bunga yang sedang mekar di musim semi. Kulit Ciu gwat jauh lebih putih, bersih dan halus daripada sinar rembulan di musim gugur.
Kedua orang dayang itu baru berusia tujuh delapan belas tahunan, itu masa remaja dari para gadis sedang kedua orang gadis itu, selain berada pada usia remaja, agaknya mereka pun pandai sekali melayani kaum lelaki, menarik perhatian kaum lelaki.
Sebab asal mulanya mereka adalah sepasang pelacur yang ternama di sungai Chin huay-hoo di kota Kim-leng, Ting Peng telah menebus mereka berdua dengan nilai tiga ribu tahil perak. Sekalipun mereka adalah orang rendahan namun selama hidup tak pernah melakukan pekerjaan kasar, yang mereka lakukan sekarang adalah menemani Cing-cing.
Usia Liu Yok siong meski sudah menanjak agak tua, namun wajahnya masih tampan, yaa, Liu cengcu dari perkampungan Siang-siong-san-ceng memang merupakan seorang pendekar pedang tampan yang amat termasyhur didalam dunia persilatan.
Betul Liu Yok-siong sudah tak bernilai lagi dalam pandangan umat persilatan dewasa ini, namun didalam pandangan Cun-hoa dan Ciu gwat, dia tetap merupakan seorang lelaki yang mempunyai daya tarik amat besar.
Itulah sebabnya setelah dia melangkah masuk ke halaman belakang, dua orang dayang itu bagaikan dua ekor kupu-kupu segera datang menyambut kedatangannya dan seorang menggandeng tangan kirinya yang lain menggandeng tangan kanannya mengajaknya masuk.
Kalau dulu, Liu Yok siong pasti akan merasa gembira, bisa jadi dia akan pergunakan kesempatan itu untuk mencubit pantat mereka atau mungkin juga akan menowel pipinya. Sayang itu dulu, ketika dia masih menjadi Liu toa cengcu, sewaktu masih menjadi Liu toa kiam kek, ketika nama Siong, Tiok dan Bwee tiga sahabat masih tenar dalam dunia persilatan.
Sekarang dia tak lebih hanya seorang muridnya Ting Peng. Bahkan dia tinggal dirumah suhunya. Bila seorang murid berdiam di rumah suhunya, dia musti jujur tahu diri dan tingkah lakunya sopan santun.
Sewaktu menjadi pendekar besar dulu, Liu Yok siong bisa memberikan penampilan yang luar biasa, maka sekarang ketika semenjak seorang murid diapun menunjukkan suatu penampilan yang luar biasa. Buru-buru dia mundur selangkah ke belakang dan mendorong tubuh kedua orang dayang tersebut, setelah itu dengan amat hormat dia bertanya pelan.
"Subo berada dimana?"
Cun Hoa segera tertawa cekikikan. "Kau datang untuk menjenguk sau hujin?" serunya.
Sikap Liu Yok siong masih tetap sopan dan hormat. "Benar, aku ingin bertanya apakah subo mempunyai sesuatu petunjuk, suatu perintah?"
Ciu gwat turut tertawa, katanya pula: "Ada urusan apa kau mencarinya? Jika ada urusan dia bisa mengutus orang ke depan sana untuk memberitahukan kepadamu, tuan muda telah berpesan, bila kau tak ada urusan dilarang sembarangan datang ke halaman belakang"
"Baik, cuma itu kalau suhu ada di rumah, sekarang suhu sedang pergi, aku yang menjadi muridnya ingin memperlihatkan sedikit, rasa baktiku kepadanya."
Kembali Cun Hoa tertawa cekikikan. "Berbakti? Kau benar-benar mirip seorang anak yang alim saja, pagi dan malam harus datang memberi hormat?"
"Aku memang bersiap untuk berbuat demikian!" kata Liu Yok siong sambil mengangguk jujur.
"Sekarang sudah tengah hari" kata Ciu Gwat tertawa. ""kalau ingin memberi salam rasanya sudah kelewat siang, bila ingin menyampaikan selamat malam, rasanya rada kepagian, bukan begitu?"
Agak memerah paras muka Liu Yok siong lantaran jengah, buru-buru katanya lagi: "Aku hanya mempunyai tujuan untuk menyampaikan salam belaka, tidak mempersoalkan pagi atau malam"
Cun Hoa segera tertawa. "Memandang pada rasa bakti mu itu, rasanya mau tak mau aku musti membantumu untuk melaporkan kunjunganmu kepada sau hujin, cuma kalau dilaporkan sekarang, sudah pasti akan terbentur pada batunya sebab sau hujin lagi tak senang hati, barusan dia telah berpesan, dia hendak berada dalam ketenangan seorang diri dan melarang siapa saja untuk mengusiknya, jika kau ingin menjumpai dirinya, paling baik kalau datang lagi dikala dia sedang baik."
"Tapi....kapan.. kapankah perasaan hatinya baru agak baikkan...?"
"Sulit untuk dikatakan, beberapa hari belakangan ini dia selalu cemberut tidak senang hati, cuma bila malam sudah tiba, dikala rembulan sudah terbit, dia akan keluar untuk menikmati keindahannya rembulan, waktu itu kendatipun perasaan hatinya kurang baik, dia akan merasa kesepian dan amat membutuhkan seseorang untuk menemaninya berbincang-bincang....!"
Selanjutnya,