Golok Bulan Sabit Jilid 27

Cerita Silat Mandarin Golok Bulan Sabit Jilid 27 Karya Khu Lung
Sonny Ogawa
Estimated read time: 36 min

Golok Bulan Sabit Jilid 27

Cerita silat Mandarin Karya Khu Lung
KAKEK itu menghembuskan napas panjang dan tak bisa menyangkal lagi.

Setelah tertawa, Liu Yok siong berkata lagi: "Cuma memang masih ada sebuah alasan lagi yakni aku cukup memahami watak Ting Peng, aku tahu kalau Ting Peng telah mengawasi cucu perempuan cianpwe, juga mempelajari ilmu golok maut dari cianpwe aku dapat merasakan kalau kepandaianku sudah tak mampu lagi untuk menandinginya. Kalau toh tak sanggup menandinginya, terpaksa aku hanya bisa mengaku kalah saja!"

Kakek itu memandang sekejap ke arahnya, lalu berkata. "Tapi pengakuan kalahmu ini harus kau bayar dengan mahal sekali."

Dengan cepat Liu Yok siong menggelengkan kepalanya berulang kali. "Aku tidak merasakan akan hal itu, apa lagi aku toh tidak menderita kerugian kelewat banyak, bahkan aku tak pernah meninggalkan perkampungan Siang siong san cengku, selama ini aku masih tetap berdiam di situ!"

"Tapi bagaimana pun bagi orang lain terhadap dirimu? Ciang siong kiam khek adalah julukan yang berhasil kuciptakan dengan mengandalkan permainan pedangku, oleh sebab itu asal kau dapat bangkit kembali, mereka masih tetap akan menghormati dan menyanjung diriku!"

"Toh bukan setiap orang akan berbuat demikian!"

"Liu Yok siong tertawa. "Ada sementara orang yang tidak pernah memandang sebelah matapun terhadap diriku, aku sendiripun tidak butuh mereka memandang tinggi diriku!"

Kakek itu tidak berbicara lagi, sesudah berpikir sebentar, ia baru berkata: "Darimana kau bisa tahu kalau kau pasti dapat hidup lebih lanjut?"

"Aku tidak tahu!"

Seandainya bacokan golok Ting Peng membelahmu menjadi dua bagian..?"

"Bahaya ini harus kuserempet, lagi pula merupakan satu-satunya jalan yang bisa ku tempuh, sebab waktu itu sekalipun kuterjang ia dengan sekuat tenaga pun tak nanti akan mampu menahan terjangan goloknya, kalau toh memang tak mampu, terpaksa aku harus bertaruh, di dunia ini memang tiada persoalan yang bisa dijamin keberhasilannya secara seratus persen, paling tidak kita harus beradu nasib juga."

"Kelihatannya nasibmu memang cukup baik."

Liu Yok siong tertawa. "Benar, aku tahu kalau Ting Peng tak akan membunuhku, sebab dia tidak sejenis dengan ku, tapi tindakannya bersedia menerimaku sebagai murid benar diluar dugaanku, dan akibat dari tindakan yang tak terduga ini membuat rencanaku yang semula untuk melepaskan perkampungan Siang siong san ceng pun menjadi dibatalkan kembali, bukan hal ini merupakan suatu kemujuran bagiku?"

"Kau anggap perkampungan Siang siong sanceng masih menjadi milikmu..?"

"Benar, aku adalah cengcu perkampungan tersebut kemudian berganti menjadi congkoan, meski nama sebutannya saja yang berbeda, namun orangnya gedungnya, kebunnya sama sekali tidak berubah, aku masih tetap dapat menikmatinya!"

Congkoan sama sekali berbeda dengan Cengcu! Tapi dalam hati mereka mengerti, kalau aku masih tetap menjadi cengcu mereka.

Akhirnya kakek itu menghela napas panjang. "Liu Yok siong, sebenarnya kau adalah manusia macam apa?"

Liu Yok siong mengangkat bahunya. "Aku sendiripun tidak tahu, sebab didunia ini belum pernah muncul seorang manusia macam aku, mungkin disaat mendatangpun tak akan terlalu banyak."

Sekali lagi kakek itu berpikir sebentar, lalu tanyanya lagi: "Jadi kau menginginkan Ilmu golokku?"

"Benar, semoga cianpwe sudi mempersembahkannya untukku!"

"Sekalipun kau pelajari ilmu golok tersebut, tak nanti akan berhasil melebihi Ting Peng!"

"Aku tahu tentang hal ini, kalau tidak aku pun tak akan datang kemari untuk memohonmu, seandainya aku dapat menang-kan Ting Peng, tak mungkin cianpwe akan mewariskan ilmu tersebut kepadaku"

"Sekalipun kuberikan ilmu golok itu kepadamu, bagiku tak akan ada manfaatnya"

"Ada, aku bisa membalaskan dendam bagi cianpwe!"

"Membalaskan dendam bagiku?"

"Benar, Hujin Cianpwe dengan membawa Tong tou tianglo beserta segenap jago inti perguruanmu telah menyerbu Thian bi kuncu, aku tahu mereka pasti tak akan bisa pulang dalam keadaan hidup!"

Tergerak hati si kakek sesudah mendengar perkataan itu.

Terdengar Liu Yok siong berkata lebih jauh: "Mungkin saja satu dua orang diantaranya dapat melarikan diri, tapi perguruan Mo-kau pun akan tumpas dan berakhir sampai disini saja..."

"Darimana kau bisa tahu kalau mereka pasti akan kalah!"

"Bukan cuma aku yang tahu, si Singa emas sekalian pun tahu, mereka memang sengaja membocorkan jejaknya agar memancing cianpwe sekalian menyerbu kesana"

"Tapi bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk menumpas orang-orangku itu"

"Cianpwe jangan lupa, berbagai perguruan besar menganggap cianpwe sebagai duri dalam daging, bila mereka mengetahui ada kesempatan sebaik ini untuk menumpas sisa kekuatan dari cianpwe, adakah mereka akan melepaskan kesempatan tersebut dengan begitu saja?"

Kini, paras muka si kakek baru nampak agak berubah, tapi dengan cepat ia sudah tertawa hambar: "Biarkan saja mereka semua terbunuh, lohu memang berniat untuk membiarkan mereka mati ditumpas orang"

Liu Yok siong segera tertawa tergelak: "Aku tahu, untuk menciptakan Ting Peng cianpwe telah mengorbankan banyak pikiran dan tenaga, tapi cianpwe berpikir, tanpa tunjangan kekuatan secara diam-diam dari cianpwe, apakah Ting kongcu tidak merasa kelewat terpencil dan kesepian?"

"Dengan tenaga kekuatannya seorang, dia sudah cukup untuk menandingi seluruh kolong langit!"

"Perkataan itu memang benar, tapi Ting Kongcu bukan seorang manusia yang gemar membunuh, bila dia mempunyai musuh sebanyak itu, sesungguhnya hal ini bukan sesuatu yang menguntungkan baginya!"

Kakek itu hanya mendengus dingin tanpa berbicara. Sambil tertawa kembali Liu Yok siong berkata:

"Aku sendiri pun merasa amat membenci terhadap orang-orang itu, aku dapat mewakili cianpwe untuk membasmi orang-orang itu, cuma saja kemampuanku mungkin tidak cukup"

"Kelihatannya aku harus mewariskan ilmu golok iblis tersebut kepadamu."

"Boanpwe pasti tak akan mengingkari janji, bahkan cianpwe pun boleh berlega hati" kata Liu Yok siong sambil tertawa, "dihadapan orang banyak aku telah mengangkat Ting kongcu sebagai guruku, entah hubungan antara guru dan murid ini ada didalam kenyataan atau tidak, sudah pasti aku tak akan menjadi seorang penghianat yang main bunuh guru sendiri!"

Kakek itu berpikir sejenak, kemudian berkata: "Liu Yok siong, seandainya kemarin ada orang mengatakan aku bakal mewariskan rahasia ilmu golok tersebut kepadamu, lohu pasti akan kegelian sampai copot semua gigiku, tapi hari ini lohu benar-benar telah melakukan suatu perbuatan brutal!"

Dia membalikkan badan menuju ke kamarnya, tapi dengan cepat sudah muncul kembali dan menyerahkan sejilid kitab tipis kepada Liu Yok siong:

"Nah, ambilah berapa banyak yang bisa kau pelajari tergantung kemampuan sendiri, lagi pula asal kau cuma melatih ilmu golok ini, toh sama sekali tiada hubungannya dengan Mo-kau kami."

"Liu Yok siong menerima kitab itu dan dipandang sekejap, lalu dengan wajah dingin segera membungkukkan memberi hormat, tapi saat itulah sebilah pedang menyambar keluar dari balik bajunya menusuk tenggorokan kakek itu.

Si kakek tidak menghindar, malah justru menyambut tusukan, lalu serunya sambil tertawa: "Bagus sekali Liu Yok siong, bila tiada tusukan ini, Liu Yok siong bukan Liu Yok siong!"

Agaknya kejadian ini sudah diduga olehnya.

* * *

PENUMPASAN

Si Unta tembaga dengan seluruh tubuh berlepotan darah dan memegang sebilah golok besar menyerbu keluar dari lembah itu bagaikan orang kalap. Dari atas lapisan baju tembaganya nampak darah meleleh keluar, sebagian besar darah musuh, tapi sebagian kecil adalah darah sendiri....

Dibawah kerubutan para jago pilihan dari berbagai perguruan besar, bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk menyerbu ke luar dari kepungan. Namun si Unta tembaga dapat melakukannya, dari dalam tubuhnya seakan-akan muncul segulung kekuatan yang selalu menunjang dirinya. Membuat dia tangguh bagaikan malaikat dari langit, dengan melindungi Cubonya menyerbu keluar dari kepungan tersebut.

Selama ini dia selalu mempergunakan tubuhnya untuk membendung tusukan musuh kemudian menggunakan goloknya untuk membacok tubuh lawan menjadi dua bagian. Lapisan baju tembaga yang dikenakan itu, bisa digunakan untuk menahan tusukan senjata, tapi musuh-musuh yang dihadapinya rata-rata merupakan jagoan lihay yang bertenaga dalam amat sempurna, senjata yang mereka gunakan juga rata-rata merupakan senjata tajam yang luar biasa sekali.

Oleh sebab itu mereka dapat menusuk baju tembaganya dan melukai tubuhnya sebelum terjungkal ke atas tanah dalam keadaan terbelah menjadi dua bagian. Oleh sebab itu, tatkala mereka berdua berhasil menerjang keluar dari kepungan, walaupun pihak lawan masih mempunyai separuh bagian jago yang terbaik, namun tak seorangpun berani melakukan pengejaran.

Jagoan yang lebih tangguh pun akan dibikin keder dan bergidik oleh sistim pertarungan seperti ini, sebab pertarungan semacam ini sudah bukan suatu pertarungan lagi. Jurus serangan, ilmu pedang, hampir semuanya tidak digunakan, bahkan seorang bocah berusia tiga tahun pun asal dia punya pedang maka ia pun dapat ikut menusuk tubuh si Unta tembaga.

Sebab perawakan tubuh si Unta tembaga dua kali lebih tinggi dari perawakan manusia biasa, tubuhnya juga satu kali lebih lebar dari orang biasa, dengan sasaran yang begitu besar, siapakah yang tak mampu untuk menusuknya?

Tapi, jagoan yang bagaimana tangguh pun pasti akan roboh setelah berada dihadapannya. Karena goloknya tanpa tandingan, kekuatan yang disertakan dalam setiap bacokan sudah tak bisa ditandingi lagi, ditambah pula disana masih ada seorang nenek tangguh.

Orang-orang itu belum pernah berjumpa dengan nenek itu, mereka juga tidak tahu siapakah dia. Ditangannya tidak nampak golok, yang ada hanya sebuah toya baja berkepala naga tapi kedahsyatan yang dipancarkan dari toya baja tersebut tak berbeda jauh dengan kedahsyatan yang dipancarkan dari bacokan golok atau pedang.

Jika bacokan golok maut bisa membelah tubuh orang menjadi dua bagian, maka tongkat iblis itu dapat menyapu pinggang orang hingga putus menjadi dua bagian, mulut mukanya rata seperti babatan, tak seorang korban pun bisa selamat.

Ketika dua orang itu berhasil menerjang keluar dari kepungan mereka, berpaling dan memandang sekejap lembah tersebut. Lembah itu letaknya tidak jauh dari tempat mereka berdiam, paling banter cuma tiga puluh li lebih, bahkan belum keluar dari wilayah pegunungan tersebut.

Namun mereka telah berjumpa dengan para jago lihay dari berbagai partai dan perguruan yang ditunjang dengan kawanan penghianat dari Mo kau dimasa lalu. Orang-orang itu seperti sudah menduga kalau mereka akan melalui jalanan tersebut sehingga jauh sebelumnya sudah menantikan kedatangan mereka disana.

Hujan anak panah dan batu cadas telah membunuh separuh bagian dari orang-orang mereka, kemudian disusul dengan suatu pembantaian secara besar-besaran yang mendekati suatu serangan kalap. Berada didalam keadaan seperti ini, siapa pun akan turut menjadi gila, siapapun akan mencari seorang sasaran dan berusaha untuk merobobkan lawan, kemudian mencari sasaran yang berikutnya.

Akhirnya di dalam pertarungan yang tiada berimbang itulah, semua anggota yang mereka bawa satu persatu roboh di atas tanah, akan tetapi pihak musuh yang melancarkan serangan juga tidak berhasil meraih keuntungan apa-apa, sebab jumlah mereka yang roboh hampir tiga kali lipat lebih banyak. Tapi apa gunanya kesemuanya itu?

Jumlah musuh enam tujuh kali lipat lebih banyak dari pada jumlah mereka, sekalipun menderita kerugian tiga kali lipat, tapi jumlah mereka masih tetap ada separuh bagian, sebaliknya dari pihak mereka sendiri telah tumpas semua kecuali dua orang yang berhasil lolos.

Memandang kobaran api yang membara didalam lembah dengan sedih nenek itu menggelengkan kepalanya: "Unta tembaga bagaimana keadaan lukamu?"

Tidak tahan lagi si unta tembaga segera menjatuhkan diri berlutut: "Hamba tidak becus, hamba ingin sekali mati di medan laga."

Nenek itu menghela napas panjang: "Aaaai, kau harus tahu kita tak boleh mati, kita masih mempunyai pekerjaan yang jauh lebih penting untuk diselesaikan, aaaaaai... kali ini kita benar-benar dibikin menderita kekalahan total, jauh lebih mengenaskan daripada yang lalu. Kasihan murid-murid itu, sudah banyak tahun mereka setia kepada kita, tapi sekarang semuanya sudah habis!"

Si Unta tembaga termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru ujarnya: "Cubo, baru saja berlalu dari lembah, kita sudah memperoleh sergapan, ini membuktikan kalau pihak lawan sudah lama menunggu kita disana"

Nenek itu mengangguk. "Benar, kalau dilihat dari kawanan jago yang dipersiapkan lawan, hampir semuanya merupakan jago tangguh dari perguruan masing-masing, formasinya lebih kuat, jauh melampaui pertarungan pada dua puluh tahun berselang, nampaknya mereka memang ada maksud untuk membasmi kita semua!"

"Yaa, kalau dilihat pihak lawan bisa mengetahui gerak gerik kita, kalau dalam tubuh orang-orang kita terdapat penghianat yang secara sengaja membocorkan rahasia tersebut."

Si nenek menghela napas panjang. "Unta tembaga, jangan berpikir demikian, di dalam pertempuran hari ini, bukankah semua anggota yang kita bawa tak seorangpun yang berada dalam keadaan hidup!"

"Soal ini....soal ini. . .hamba tidak melihat.."

"Akupun tidak melihat ada yang hidup, mereka semua mati secara ksatria, setiap orang menemui ajalnya dihadapan kita semua. Oleh sebab itu aku percaya mereka semua adalah murid-murid kita yang paling taat dan setia."

"Mungkin pihak lawan yang tidak membiarkan mereka hidup terus, mereka hendak membasmi bukti-bukti itu!"

"Entah bagaimana pun juga mereka telah mati untuk perkumpulan kita, oleh sebab itu kesetiaan mereka tak bisa diragukan lagi!"

Si Unta terbungkam dalam seribu bahasa, selang berapa saat kemudian ia baru berkata: "Cubo, bagaimana cara kita untuk pulang menjumpai cukong?"

"Kita tak akan pulang!" Jawab si nenek dengan suara dalam.

"Tidak akan pulang?"

"Benar, sekarang kita sudah tiada rumah lagi, kalau toh pihak lawan bisa menunggu kedatangan kita di depan pintu rumah, apakah mereka tak bisa masuk kedalam sarang kita untuk melakukan pembersihan?"

"Celaka kalau begitu, semua anggota lembah yang dapat bertempur telah ikut keluar."

"Kalau dilihat dari musuh yang datang dengan persiapan matang, sekalipun kita tidak keluar juga sama saja, paling banter pihak lawan harus membayar dengan lebih mahal lagi."

"Bagaimana dengan cukong?"

"Rasa sedih segera menghiasi wajah nenek itu, selang berapa saat kemudian dia baru berkata: "Seandainya cukong tidak memberikan tenaga dalamnya untuk Ting Peng, tentu saja dia masih bisa melindungi keselamatan sendiri, tapi sekarang... sulit untuk dibicarakan."

"Kalau begitu kita harus kembali untuk melihat keadaannya!"

"Tak boleh kesana, seandainya didalam lembah sudah terjadi peristiwa, kedatangan kita juga tak ada gunanya malah bisa jadi akan terperosok sekali lagi kedalam perangkap musuh, hal ini akan mempersulit kita untuk meloloskan diri, sekalipun kita sudah dikeroyok oleh jago-jago dari berbagai perguruan, namun ciangbunjin dan para tianglo mereka belum ikut datang, coba kalau tidak kita pun jangan harap akan bisa meloloskan diri!"

"Maksud cubo, kita tak usah menggubris keadaan cukong"

"Benar, kita masih ada pekerjaan yang harus kita lakukan!"

"Seandainya cukong sampai menemui bencana kecuali kita harus membalas dendam masih ada pekerjaan apa lagi yang jauh lebih penting?"

"Unta tembaga, selama banyak tahun kau sudah berkumpul dengan cukong, mengapa kau belum bisa memahami watak serta perasaan cukong. Apakah dia adalah manusia kecil yang terlalu memikirkan dendam pribadi...?"

Unta tembaga terbungkam dalam seribu bahasa. Dengan serius si nenek berkata lagi, "Satu-satunya persoalan yang paling membuat cukong merasa menyesal adalah generasi Mo-kau kita yang harus tumpas ditangannya..."

"Kita tak bisa menyalahkan cukong!"

"Akan tetapi cukong tak boleh berpikir demikian, generasi Mo-kau yang sudah bersejarah ratusan tahun tak boleh berakhir sampai disini saja, generasi ini harus dilanjutkan dan sekarang tugas berat itu sudah terjatuh di atas pundak kau dan aku!"

Dengan perasaan tertegun dan kaget si Unta tembaga mengawasinya tanpa berkedip.

Terdengar si nenek berkata lagi: "Terhadap gerakan yang kita lakukan kali ini, Cukong telah membuat perhitungan yang paling jelek, bila kita tak bisa mempertahankan sebagian besar dari kekuatan kita, maka dia suruh kita tak usah kembali ke sana"

"Harus ke mana?"

"Menuju ke suatu tempat, disitu masih terdapat dua orang tianglo dari perkumpulan kita yang memimpin belasan orang murid-muridnya yang masih muda!"

"Mengapa hamba tidak tahu..."

"Aku sendiripun baru tahu kemarin malam, sampai pada kemarin malam cukong baru mengambil keputusan yang terakhir itu dan ia baru memberi tahukan alamat tersebut kepadaku, kedudukan kedua orang tianglo itu sangat tinggi, mereka masih terhitung susiok dari cukong"

"Tapi mereka toh belasan orang saja?"

"Belasan orang pun sudah lebih dari cukup, bila jumlahnya kelewat banyak maka sulit untuk menyembunyikan diri, dari belasan orang bocah itu masing-masing pihak memperoleh semacam ilmu dari perguruan, merekalah yang akan menjadi bibit-bibit baru kita untuk membangun kembali perguruan dimasa mendatang, kita harus kesana untuk melindungi dan mendidik mereka."

"Bukankah sudah ada dua orang tianglo?"

Aaai...! Unta tembaga, mereka adalah paman guru cukong, bayangkan saja sudah berapa usia mereka, setiap saat mereka akan meninggal dunia, padahal proyek raksasa itu tak boleh berhenti, maka kita harus kesana untuk menggantikan kedudukannya!"

Si Unta tembaga berpikir sebentar, kemudian tanyanya: "Cubo, maafkanlah kekerasan kepala hamba, hamba harus kembali dulu untuk melihat keadaan!"

Sekali lagi si nenek itu menghela napas panjang. "Baiklah, aku tahu, kalau kau sangat setia kepada cukong, sebelum meemperoleh kabar beritanya, hatimu tak akan tenteram, kalau begitu pulanglah dan tengoklah keadaannya!"

Setelah termenung dan berpikir sebentar dia berkata lagi: "ingat, jika keadaan di dalam lembah aman tenteram maka kau harus melaporkan keadaan yang sebenarnya dan katakan kalau aku akan berangkat lebih dulu tentu saja hal ini menurut pemikiran yang terbaik, cuma kemungkinannya tipis sekali!"

Tidak mungkin, cukong adalah orang baik, orang baik akan selalu dilindungi Thian..."

Dengan amat sedih si nenek berkata: "Unta tembaga, Cukong bukan hanya majikanku, diapun merupakan suamiku, apakah rasa kuatirmu bisa lebih kecil daripadaku? kita harus berotak dingin, cukong berharap kitalah yang akan meneruskan tugas dan tanggung jawabnya."

Si Unta tembaga segera menjatuhkam diri berlutut di atas tanah, ujarnya sambil menyembah: "Cubo, hamba tak dapat memiliki ketenangan seperti cubo, lagipula hamba masuk perkumpulan karena ingin mengikuti cukong, hidup hamba ini hanya untuk cukong seorang"

Sekali lagi nenek itu menghela napas. "Aku tahu, oleh sebab itu aku tidak menggunakan lencana leng hu untuk memerintahkan kau untuk pergi bersamaku, namun ada sepatah kata yang harus kau ingat, sekembalinya ke lembah nanti, entah peristiwa apapun yang bakal terjadi disana, kau harus berusaha keras untuk menyelamatkan selembar jiwamu!"

"Hamba akan mengingatnya terus, tapi bagaimana cara hamba untuk mencari cubo?"

"Bila kau telah bertemu dengan cukong, dia tentu akan mengajakmu untuk datang mencariku, seandainya tidak berhasil menemukannya, pergilah mencari nona dan selanjutnya mengikuti Ting Peng, sebab aku tak dapat memberitahukan tentang itu kepadamu, dan kaupun tak boleh kesitu mencari aku!"

"Jadi hamba selanjutnya tak dapat bertemu lagi dengan cubo?"

"Tidak, menanti partai kita sudah akan berjaya kembali, aku pasti akan datang mengundangmu, saat itu, tentu saja kita pun tak usah bersembunyi lagi."

Sekali lagi si Unta tembaga menyembah dengan hormat, tatkala dia mengangkat kepalanya kembali, nenek itu sudah membalikkan badan dan pergi, bayangan tubuhnya meski kurus dan lemah, namun langkahnya masih gagah dan tegap.

Segera muncul kembali rasa kagum dan hormat dalam hati si Unta tembaga, suatu perasaan hormat yang amat agung, entah dia lelaki entah perempuan.

* * *

Sewaktu tiba di mulut lembah, si Unta tembaga sudah mendapat firasat jelek karena para penjaga mulut lembah yang bertugas disitu ditemukan dalam keadaan tewas, tapi mereka tewas dalam keadaan yang tenang, sedikitpun tidak terasa kaget atau gugup, sebab kematiannya adalah sebuah tusukan pedang yang persis menembusi tenggorokan mereka.

Walapun tusukan itu mengenai tempat yang mematikan, tapi orang yang terkena tusukan tersebut, paling tidak tak akan merasakan penderitaan. Apalagi didalam lembah masih terdapat banyak alat rahasia, namun tak sebuahpun yang sempat digerakkan.

Hal ini segera membuktikan akan satu hal. Jumlah pembunuh itu tidak banyak, kalau tidak, para penjaga lembah sudah pasti akan meningkatkan kewaspadaannya dengan menggerakkan alat rahasia untuk melakukan penghadangan.

Pembunuh itupun pasti memahami letak lembah tersebut, paling tidak termasuk orang sendiri, karena itu dia mengetahui keadaan dalam lembah tersebut amat jelas. Sedang pihak pembunuhpun sudah pasti memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, sehingga dia bisa masuk tanpa menimbulkan suara sedikitpun.

Sudah pasti mereka menggunakan suatu tindakan yang diluar dugaan untuk menotok dulu jalan darah mereka kemudian baru menambahi dengan sebuah tusukan di atas tenggorokannya.

Terhadap seorang yang sama sekali tak berkemampuan untyuk melakukan perlawanan ternyata mereka menggunakan cara yang demikian kejinya, dari sinipun dapat diketahui kalau orang tersebut adalah seorang manusia yang berhati kejam.

Setiap orang memperoleh sebuah tusukan yang tepat menembusi tenggorokannya, tapi sasarannya amat tepat, mata pedangnya juga sama besarnya, darisini bisa disimpulkan juga kalau ilmu pedang yang dimiliki orang itu amat lihay.

Kawanan penjaga lembah itu tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, mereka belum lama masuk perguruan, sesungguhnya pihak lawan tidak seharusnya membinasakan mereka kecuali jika pembunuh itu k uatir bila raut wajah mereka dikenal orang.

Selesai memeriksa keempat puluh sembilan sosok mayat itu, si Unta tembaga sudah dapat menarik suatu garis kesimpulan terhadap latar belakang peristiwa pembunuhan itu. Jangan dilihat perawakan tubuhnya yang tinggi besar dan kekar, sebetulnya dia dia memiliki otak yang cerdas dan lincah.

Empat puluh sembilan orang, itulah jumlah murid Mo kau yang tersisa dalam lembah, tapi sekarang mereka telah tewas semua dibunuh orang, dibunuh oleh tangan yang sama.

Si Unta tembaga merasakan hatinya tenggelam ke bawah, dia memuji dugaan cubonya yang tak mau kembali kesitu untuk melakukan pemeriksaan, tampaknya dia sudah tahu kalau sekarang mereka sudah tak dapat di selamatkan lagi.

Kini, semua murid didalam lembah telah dlketemukan tewas semua, harapan hidup untuk cukongnya pun semakin bertambah tipis. Si Unta tembaga merasa sedih sekali, dia pun merasa gusar dan sakit hati, ia bersumpah akan menemukan pembunuh yang kejam dan berhati binatang itu untuk membuat perhitungan.

Jelas bukan orang orang dari lima partai besar, mereka berani melangsungkan perlawanan terbuka dengan pihak Mo kau, tidak kuatir jejaknya ketahuan orang, maka mereka pun tidak butuh melakukan pemusnahan terhadap saksi-saksi hidup.

Merekapun bukan si singa emas sekalian, mereka sudah terang-terangan berhianat, mereka tidak perlu merasa takut kalau perbuatannya diketahui orang. Berarti, orang itu harus dicari dari sekitarnya, tapi tidak mungkin bisa ditemukan dari sekitarnya, sebab orang orang Mo-kau sudah mati semua ditangan lawan.

Sedangkan lawan pun tak usah merahasiakan lagi identitasnya. Oleh sebab itu orang tersebut pasti berada disekitar Ting Peng atau Cing Cing. Tapi siapakah orang itu? Hampir tak usah membuang banyak waktu si Unta tembaga telah berhasil menemukan orang itu. Kecuali dia, tak mungkin ada orang lain lagi.

"Suatu hari, aku pasti akan mencincang tubuhnya sehingga hancur berkeping-keping, aku akan membalaskan dendan untuk orang-orang ini, sekalipun harus mengorbankan selembar jiwaku pun aku rela."

Ia tidak memasukkan dendam cukongnya kedalam sumpah tersebut, sebab dia tahu walaupun orang itu kejam, dia masih belum mampu untuk membunuh cukongnya.

Sambil berjalan masuk ke dalam, dia mulai menjalankan semua alat jebakan di dalam lembah. sebab keadaan dalam lembah tidak terlampau kacau, berarti musuh-musuh tersebut belum sampai ke sana. Murid-murid yang tewas telah mempersembahkan nyawa mereka untuk Mo-kau, dia tak dapat membiarkan jenasah mereka dianiaya atau dirusak lagi oleh kaum jahanam tersebut.

Karena dia mengerti, sejak peraturan hari ini, dendam kesumat mereka terhadap lima partai besar sudah pasti akan semakin mendalam, bila orang-orang dari lima partai dibiarkan masuk, mungkin jenasah mereka pun tak akan dilepaskan dengan begitu saja.

Semakin masuk ke dalam hatinya merasa makin tenggelam ke bawah, walaupun ia tidak menjumpai jenasah cukongnya namun ia melihat ada gumpalan darah diatas tanah. Darah itu tidak banyak, tapi tempat tersebut adalah daerah terlarang untuk murid partai, oleh karena itu bisa disimpulkan kalau darah tersebut adalah darah cukong mereka. Tidak mungkin, darah itu darah orang lain sebab noda darah tersebut memanjang hingga ke depan dan berhenti di depan sebuah dinding.

"Ini berarti orang yang terluka sudah sampai disitu, kemudian lenyap di balik dinding sana."

Tak tahan lagi si Unta tembaga menjatuhkan diri berlutut, hanya dia seorang yang mengerti tempat apakah dibalik dinding tersebut. Sebab kakek itu pernah mengajaknya seorang diri untuk berkunjung kesana bahkan sambil menunjuk ke arah sebuah tombak rahasia yang tidak begitu terlihat bentuknya, ia berpesan:

"Unta tembaga, seandainya pada suatu hari kau tak menemukan aku, datanglah kemari dan carilah aku disini, atau seandainya disebabkan alasan lain aku tewas ditempat lain, kau harus ingat, tubuhku harus kau hantar ke tempat ini!"

Waktu itu si Unta tembaga tidak bertanya apa alasannya, tapi ia sudah tahu tempat apakah itu, sebab setiap kali mereka harus berpindah rumah, cukong akan selalu menggendong sebuah peti yang besar, sebuah peti yang besar lagi berat. Setelah sampai di tempat itu, dia pasti akan mengatur sebuah ruang rahasia dan menyimpan peti tersebut disana.

Apa isi peti itu? Hanya si Unta tembaga yang tahu, karena ia pernah membantu cukongnya mengatur ruangan rahasia tersebut, membakar barang yang berada dalam peti dan satu persatu diatur di atas tempat yang telah disediakan.

Dalam pandangan orang lain, barang-barang tersebut sama sekali tak ada harganya bila terlihat oleh mereka yang bernyali kecil pasti akan membuat orang itu ketakutan setengah mati. Sebab benda-benda tersebut adalah tulang tengkorak kepala manusia, seluruhnya berjumlah dua belas dan diatas tiap tulang kepala itu tercantum huruf yang amat aneh.

Huruf itu berasal dari tulisan negeri Thian tok, hanya sedikit orang yang bisa membacanya, tapi si Unta tembaga adalah salah seorang dianatara mereka yang berjumlah sedikit ini. Dia memang asalnya orang dari negeri Thian tok. Tentu saja dia mengenal huruf Thian tok, dan tulisan tersebut hanya melambangkan sebuah nama, tulang-tulang kepala itu merupakan tulang kepala dari kepala kaucu Mo-kau secara turun temurun.

Ruang rahasia itupun merupakan tempat suci dari perguruan, sebab disitulah semua cousu Mo-kau generasi demi generasi berkumpul disana, hanya orang mati saja yang mempunyai hak untuk menempati ruangan ini. Tiada orang mengetahui ruangan rahasia ini kecuali cukong, hanya dia seorang yang tahu.

Noda darah berakhir disana, berarti ada orang telah memasuki ruang rahasia itu, tentu saja orang itu bukan orang lain. Si Unta tembaga berlutut di atas tanah dan menyembah sebanyak tiga kali dengan hormat, kemudian dia menekan sebuah batu kecil yang terjepit diantara dua buah lembaran batu cadas.

Tempat dimana ia berlutut tadipun berputar ke depan lalu berputar kebalik dinding, dari atas dinding terbuka sebuah mulut gua. Tatkala tubuhnya sudah berputar ke dalam, pintu rahasia itupun merapat kembali.

Suasana didalam gua itu amat gelap lagi pengap, lama kemudian si unta tembaga baru dapat menyesuaikan diri dengan suasana dalam kegelapan, pelan-pelan dia meraba ke sudut ruangan dan mengambil batu api untuk menyulut lentera.

Lentera itu mereka bawa dari negeri Thian tok, demikian juga dengan minyaknya, begitu di sulut, cahaya api berwarna hijau segera menerangi seluruh ruangan. Sinar berwarna hijau itu segera menyelimuti meja altar dalam ruangan dan menyinari kepala tengkorak manusia yang berjajar di sana.

Dengan amat pelan si Unta tembaga mencari satu demi satu, akhirnya pada kotak yang terakhir dia berhenti, tempat itu amsih berada dalamm keadaan kosong.

Buat setiap orang yang menjabat sebagai kaucu, maka pekerjaan pertama setelah dia dilantik menjadi kaucu adalah menyiapkan sebuah tempat dalam ruangan suci itu sebagai tempat penyimpanan tulang belulangnya, karena yang boleh terletak diatas meja altar hanya tengkorak kepalanya.

Dalam ruangan suci juga tak akan dietmukan ruang kotak kedua, hal ini menandakan kalau kaucu dari Mo kau hanya bisa disambung jabatannya oleh orang lain bila kaucu itu sudah mati.

Dalam ruangan itupun tak boleh terdapat sebuah tempat kosongpun sekalipun dia hanya menjadi seorang kaucu dalam seharipun, ia harus menyiapkan tempatnya. Oleh sebab itu, selama sejarah Mo kau berlangsung, walaupun beberapa orang diantaranya yang mati dibunuh prang sendiri tapi batok kepala mereka toh tetap disimpan dalam ruangan ini.

Peraturan ini sudah merupakan ketetapan yang tak boleh dilanggar, tercantum pada halaman pertama dari kitab agama Mo-kau, peraturan yang tak bisa ditentang oleh siapa pun.

Akhirnya si Unta tembaga menemukan kakek itu sedang duduk dikotak tempat yang tersedia bagi jenazahnya, seluruh tubuhnya yang memancarkan sinar hijau tampak begitu keren begini berwibawa, begitu tenang.

Unta tembsga telah menjatuhkan diri berlutut, dia bersujud dengan penuh rasa hormat tiada air mata, tiada isak tangis. Setiap anggota Mo-kau dilarang untuk mengucurkan air mata, sepanjang hidup mereka hanya boleh melelehkan air matanya satu kali, entah lelaki ataupun wanita.

Lelehan air mata pun tak akan dipergunakan menghadapi suatu kematian, sebab kematian untuk orang Mo-kau bukan merupakan kesedihan, sebaliknya merupakan semacam kegembiraan, kegembiraan yang sangat besar.

Justru karena mereka menganggap kematian sebagai kejadian yang menggembirakan maka setiap anggota Mo-kau dapat bersikap begitu pemberani, dalam setiap pertempuran selalu tangguh dan berani menentang maut, sebab mereka percaya bahwa kematian bukanlah suatu kejadian yang perlu ditakuti. Setiap anggota perkumpulan selalu menggunakan senyumannya untuk merangkul kedatangan malaikat elmautnya.

"Unta tembaga, ternyata kau dapat menyusul kemari, hatiku benar-benar sangat gembira..." Suaranya amat datar dan tenang.

Hampir melonjak-lonjak si unta tembaga saking gembiranya. "Cukong, kau belum mati?"

Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. "Haaahhh... haaahhh... haaahhh... tenggorokanku sudah ditembusi pedang, kematian sudah pasti akan tiba. Cuma aku tak tega untuk mati sebelum meninggalkan beberapa pesan. Sekarang aku gembira sekali atas kedatanganmu, kau masih sempat mengantar keberangkatanku!"

"Cukong, siapakah dia...? Siapakah dia?"

"Dia orang kecuali kemauanku sendiri, coba pikirlah siapa yang bisa menembusi tenggorokanku dengan pedangnya?"

"Cukong, kau..."

"Tentu saja aku tidak bunuh diri, aku masih belum ingin mati, tapi berada dalam situasi dan kondisi seperti itu, bila aku tidak menerima tusukan tersebut berarti aku tidak bisa bertahan sampai sekarang, apalagi mempertahankan batok kepalaku sehingga memperoleh kematian yang berjiwa."

"Siapakah pihak lawan?"

"Unta tembaga, kau seharusnya mengetahui siapakah orang itu, kalau tidak kau tak pantas menjadi tianglo kami, sia-sia saja mengikuti aku selama banyak tahun."

Si Unta tembaga tercenung sebentar, kemudian serunya: "Apakah tua keparat itu? Mana mungkin?"

Si kakek segera menghela napas panjang. "Kita semua mengira dia tak mungkin, sesungguhnya kita sudah menilai dia kelewat rendah, inilah kesalahan besar yang kita lakukan, setiap manusia hanya boleh melakukan satu kali kesalahan besar, tiga puluh tahun berselang aku telah melakukan kesalahan besar, aku tidak dapat mengenali keadaan Thian bi yang sebenarnya, dua puluh tahun berselang akupun melanggar lagi suatu kesalahan besar dengan tidak mengenal si singa emas sekalian, dua kali kesalahan besar yang kuperbuat sudah cukup membuatku mati, apalagi kesalahan yang kulakukan kali ini merupakah kesalahanku yang ketiga, mengapa aku tak boleh mati."

Si Unta tembaga tak dapat berbicara, dia hanya bisa membungkan diri dalam seribu bahasa.

"Kalian menderita kekalahan?" kakek itu kembali bertanya.

"Benar, belum lagi keluar dari bukit ini, para jago dari lima partai besar sudah melancarkan sergapan maut, yang berhasil kabur hanya Cubo dengan hamha dua orang!"

"Oooh, dimana Cubo?"

"Ia telah pergi ke tempat yang cukong beritahukan!"

Kakek itu tertawa dan manggut-manggut. "Bagus sekali, dia amat tenang dan pandai bekerja. dia memang seorang perempuan yang agung. Dia telah menyerahkan seluruh hidupnya untukku, membantu banyak sekali kepadaku, walaupun dalam hidupku ini sudah salah menilai tiga orang, pertama adalah dia, kedua adalah Ting Peng dan ketiga adalah kau. Dengan gantinya kalian bertiga, hal ini membuat hidupku tidak sampai menderita kerugian yang kelewat besar, aku pun dapat beristirahat di ruangan ini dengan tenang tanpa perasaan sedih atau menyesal!"

Si Unta tembaga tidak berbicara, dia sedang berada dalam gejolak emosi yang paling memuncak, dalam hatinya kakek itu adalah dewanya, malaikatnya, dan ternyata dia mempunyai kedudukan yang begitu penting dalam hati kecil malaikatnya, kenyataan ini sudah cukup membuatnya merasa lega, merasa tidak sia-sia sama pengorbanan dan pengabdiannya selama ini.

Kembali si kakek bertanya: "Apakah cubo menyuruh kau pergi mengikutinya?"

"Benar, tapi hamba bersikeras hendak pulang dulu untuk menjenguk keadaan cukong"

"Kau terlampau bodoh, perasanmu lebih lemah dari seorang wanita, tapi.. aaai... memang tak bisa disalahkan, jarang ada yang bisa melebihi dia, aku sendiripun terpaut jauh sekali bila dibandingkan dengannya, apakah Cubo tidak menyuruh kau pergi mencarinya?"

Tidak, ia menyuruh hamba mendampingi Ting kongcu dan nona!"

"Bagus sekali, tindakan ini memang jauh lebih baik bagimu, disamping Ting Peng memang harus terdapat seorang manusia seperti kau, kalau tidak dia tentu akan merasa kesepian...."

Mendadak paras muka kakek itu berubah menjadi amat serius, terusnya lebih jauh: "Cuma saja, setibanya disana kau jangan menceritakan keadaan ditempat ini"

"Mengapa? Apakah cukong hendak membiarkan kawanan tikus itu bertahan lebih jauh?"

Kakek itu segera tertawa. "Benar, bukan saja aku akan membiarkan hidup bahkan akan mewujudkan impiannya, aku telah mewariskan pula ilmu golok maut tersebut!"

Si Unta tembaga amat terperanjat, jarang sekali dia bisa terperanjat seperti saat ini"

"Cukong, mengapa? Mengapa kau berbuat demikian?"

"Tidak karena apa-apa, walaupun perkumpulan kita tidak mempunyai dendam pribadi, tapi perkumpulan kita pun mempunyai peraturan emas yakni dengan mata membayar mata, dengan gigi membayar gigi terhadap mereka yang telah berhianat dan memusnahkan perguruan kita, aku tak bisa melepaskannya dengan begitu saja, aku hendak mempergunakan ilmu golok perkumpulan kita dan meminjam tangannya untuk menghadapi oreng-orang tersebut!"

"Sanggupkah dia?"

"Aku tahu kalau dia sanggup, untuk melakukan tugas semacam itu, dia lebih cocok dan mampu daripada Ting peng!"

Si Unta tembaga tidak membantah lagi, dia tahu apa yang diputuskan oleh cukongnya selalu benar. "Tapi bagaimana selanjutnya?" dia hanya bertanya kemudian dengan nada kuatir.

"Walaupun dia telah mendapatkan ilmu golok perguruuan kita, namun bukan anggota perkumpulan kita, ilmu goloknya tak pernah akan bisa melampaui kehebatan Ting Peng, suatu hari diapun akan terbelah menjadi dua termakan golok Ting Peng dan selanjutnya pun tak ada lagi."

Si Unta tembaga termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba terlintas rasa kagum dan hormat di atas wajahnya. "Cukong memang bertindak dengan tepat sekali, kali ini kau tidak salah mencari orang!"

Kakek itu tertawa. "Selang beberapa saat kemudian dengan suara yang lebih santai dia berkata lagi: "Unta tembaga, hanya kau seorang yang mengetahui letak tempat ini, oleh sebab itu generasi penerus dari perkumpulan kita pun tergantung pada kemampuanmu untuk mengembangkan dan melindunginya, kau harus hidup terus, hidup sampai menantikan datangnya orang itu, dan menyerahkan segala sesuatunya kepada orang tadi."

"Apakah cukong tidak akan menitipkan pesan apa-apa untuk cubo?"

"Tidak, dia hanya bertugas untuk mengiring munculnya murid kita dari generasi mendatang, tugas yang paling pentirg telah kuserahkan kepadamu dan tergantung pada kemampuanmu sendiri."

"Hamba harus menyerahkan kepada siapa? Apakah cukong bisa memberikan petunjuk?"

"Tidak usah, aku sendiripun tak dapat memberikan dugaan apa-apa, karena aku tidak menentukan pilihan sebagai penerusku, cuma kau tak usah kuatir, sampai waktunya kau tentu akan mengetahui dengan sendirinya, setiap kaucu dari perkumpulan kita akan muncul karena dorongan alam, asal waktunya sudah tiba, serta merta dia akan menampakkan diri dan memancarkan sinar gemerlapannya ke seantero jagad."

Sekali lagi si unta tembaga terbungkam dalam seribu bahasa.

"Waktu sudah sampai...", ucap kakek itu kemudian dengan suara dalam dan penuh wibawa.

Si Unta tembaga menjadi sangsi dan berdiri tertegun.

Dengan gusar kakek itu segera membentak: "Ayo cepat turun tangan, jangan berhati lembek seperti perempuan sehingga mengacaukan rencanaku, gagalnya rencana akan membuatku menyesal sepanjang masa."

Akhirnya si Unta berlutut dan menyembah beberapa kali, kemudian dari sakunya mencabut keluar sebilah pisau kecil, pisau yang memancarkan cahaya hijau yang gemerlapan. Cahaya tersebut begitu tajam, begitu hijau hingga mendatangkan suatu perasaan yang mengerikan bagi yang memandangnya, hijau yang membawa hawa siluman.

Kemudian dengan cepat dia mengayunkan tangannya, batok kepala kakek itu segera terlepas dari tubuhnya dan melayang di udara, dengan cepat si Unta tembaga menyambut kepala tersebut. Jenazah kakek itu segera roboh kedalam kotak, tapi si unta tidak menggubrisnya. Dengan sikap yang amat menghormat dia meletakkan kepala itu diatas meja altar.

Sepasang mata kakek itu segera terpejamkan rapat-rapat, sekulum senyuman puas pun menghias bibirnya, ternyata dia masih mampu mengucapkan kata yang terakhir. "Terima kashi, Unta tembaga."

Ternyata batok kepala itu masih mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hidupnya. Benar orang yang menyaksikan hal itu mereka pasti akan ketakutan setengah mati. Namun Si unta tembaga menganggap segala sesuatunya itu adalah kejadian yang wajar, kejadian yang lumrah, suatu kejadian yang tidak perlu ditakuti atau dikagetkan."

Baginya, kakek itu adalah malaikat, malaikat suci yang telah menuntunnya dan mendidiknya selama ini. Baginya, kakek itu merupakan dewa kebenaran, dewa yang menunjukkan jalan kebenaran baginya. Sebagai malaikat suci, sebagai dewa yang mulia, tidak heran bila dia mampu untuk melakukan segala sesuatunya, termasuk apa yang baru saja terjadi dihadapannya.

Sebab itu dia tidak merasa heran, dia menyambut kejadian tersebut sebagai suatu pemantulan sinar kekuatan dari dewanya. Dan sekarang, dia harus pergi dari ruang suci tersbut, dia harus melaksanakan tugas dan memikul beban serta tanggung jawab yang telah dilimpahkan dan dibebankan oleh malaikat sucinya itu keatas bahunya. Dia tak boleh membuat malaikan sucinya merasa kecewa dan sedih di alam baka.

* * *

AHLI WARIS GOLOK SAKTI

TATKALA si Unta tembaga menampakkan diri dihadapan Ting Peng dan Cing cing, kehadiran telah membuat mereka merasa amat terperanjat. Sebab si Unta tembaga telah melepaskan baju tembaganya yang sepanjang tahun tak pernah dilepas itu, sekarang dia tak lebih hanya seorang kakek biasa, sama sekali tidak mempunyai keangkeran dan kegagahan seperti dahulu, bahkan perawakan tubuhnya nampak jauh lebih pendek.

Yang paling terkejut adalah Cing Cing, dia tahu andaikata di rumahnya tidak terjadi suatu perubahan yang luar biasa, si Unta Tembaga tidak akan meninggalkan majikannya..Namun dia masih mampu untuk menahan diri setelah menyambut kedatangan si Unta tembaga, dengan tenang ia bertanya:

"Paman tembaga, yayakah yang menyuruh kau datang kemari?"

Si Unta tembaga mengangguk.

"Berapa lama kau akan berada disini?" kembali Cing-cing bertanya.

Si Unta tembaga ragu sebentar, kemudian sahutnya. "Majikan menitahkan kepada hamba untuk datang mendampingi Ting kongcu dan nona, hamba tak usah kembali lagi!"

Paras muka Cing-cing segera berubah menjadi amat sedih, tentu saja hanya dalam suatu keadaan saja si Unta tembaga tak usah pulang lagi, dia tak ingin mencari bukti atas berita tersebut, namun tak tahan juga dia bertanya lagi.

"Apakah pertapaan yaya sudah mencapai titik akhir?"

"Benar," sahut si Unta tembaga dengan mata bercucuran, "pertapaan majikan telah selesai dan kini sudah melepsakan jasad kasarnya untuk menuju ke Nirwana...!"

"Cing-cing sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan?" tak tahan Ting Peng bertanya.

"Kami sedang membicarakan soal latihan pertapaan..."

"Aku tahu melepaskan jasad kasar untuk menuju ke Nirwana berarti sudah menjadi dewa, apakah yaya telah menjadi dewa?"

"Benar, yaya telah berhasil melepaskan diri dari wujud raganya dan menjadi dewa" Cing-cing mengangguk sambil menahan isak tangisnya yang amat pilu.

Paras muka Ting Peng turut berubah menjadi sedih: "Bisa menyelesaikan pertapaan untuk menjadi dewa merupakan suatu peristiwa yang patut dirayakan dengan gembira, mengapa kalian malahan nampak bersedih hati?"

Cing cing segera memaksakan sekulum senyuman. "Benar, ya, peristiwa ini memang pantas untuk dirayakan dengan gembira, memang tidak banyak yang bisa menyelesaikan pertapaannya secara sukses, tidak sia-sia jerih payah yaya selama ini, cuma dewa dan manusia dibatasi oleh dunia yang berbeda, mungkin... mungkin kita tak berjodoh untuk saling bertemu lagi!"

Mendadak Ting Peng berpaling ke arah si Unta tembaga dan berseru: "Tong cianpwe..."

"Hamba tidak berani menerima panggilan semacam itu." buru-buru si Unta tembaga menukas.

"Tempat kediamanku bukan perguruan ataupun suatu perkumpulan, sedangkan aku sendiri juga tidak turut menjadi anggota perkumpulan apa-apa, jadi aku pikir bahasa "hamba" tak usah kau pergunakan lagi di tempatku ini!"

"Budak tua mendapat perintah untuk melayani kongcu, lebih baik kongcu memanggil dengan nama sebutan si Unta tembaga saja!"

Ting Peng berpikir, kemudian manggut-manggut. "Baiklah! Unta tembaga, aku tahu kalau kau adalah seseorang yang amat teliti dan tahu aturan, oleh sebab itu akupun tak ingin berbasa basi terus menerus, aku ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu sekarang, harap kau suka menjawab dengan sebaiknya."

"Silahkan kongcu tanyakan!"

"Unta tembaga, kau harus pertimbangkan baik-baik sebelum menjawab, sebab pertanyaanku ini harus dijawab secara nyata, bila kau tidak tahu, jawab saja tidak tahu, tapi bila tahu, kau tak boleh mengelabuhi diriku!"

Tanpa terasa, si Unta tembaga menjadi sangsi, dia berpaling ke arah Cing-cing seperti mohon pertimbangannya.

Cing cing segera mengobarkan semangatnya dengan berkata. "Paman Tong, tuan amat menghormatimu, dia tak akan menyusahkan dirimu..."

"Baiklah, apa yang budak tua ketahui sudah pasti tak akan kurahasiakan..."

"Bagus sekali!" seru Ting Pang sambil manggut-manggut, "aku dengar orang bilang, sewaktu berada didepan lembah Say mo kok, pihak lima partai besar telah mengirimkan sejumlah jago untuk melakukan penghadangan dan sudah membunuh banyak orang, tahukah kau akan peristiwa tersebut."

Sekilas rasa pedih dan sedih menghiasi wajah si Unta tembaga, sahutnya dengan suara rendah. "Yaa, budak tua tahu!"

"Orang-orang yang terbunuh itu, apakah mempunyai hubungan yang dalam sekali denganmu?"

Unta tembaga memandang sekejap ke arahnya dengan perasaan tercengang, selang berapa saat kemudian dia baru berkata. "Yaa, hubungan kami bagaikan sesama saudara kandung, dan hubungan batin seperti anggota keluarga sendiri!"

Ting Peng manggut-manggut, kemudian ujarnya lagi. "Aku dengar orang bilang, untuk mencapai tingkatan dewa, maka seorang rase langit harus mengalami Peng-ciat lebih dahulu sebelum bisa lepas raga menjadi dewa, sebab bila melewati sambaran api dan guntur maka wujud dewa akan lenyap."

"Benar, memang begitu!" sahut si Unta tembaga agak gelagapan.

"Kalau begitu, loya cu pergi melalui Peng ciat tersebut?"

Terpaksa si Unta tembaga harus mengangguk. "Ya benar!"

Mendadak nada suara dari Ting Peng berubah menjadi keras sekali, bagaikan sambaran geledek dia berseru. "Siapa? Siapa yang telah turun tangan?"

Si Unta tembaga, agak tertegun sejenak, kemudian ia baru menjawab. "Budak tua yang melakukan!"

Jawaban tersebut bukan saja sama sekali diluar dugaan Ting Peng, bahkan Cing-cing sendiripun merasa sedikit kurang percaya?"

"Paman Tong, mengapa bisa kau?"

Si Unta tembaga segera menjatuhkan diri berlutut, katanya dengan suara memilukan hati. "Benar-benar budak tua yang melakukan, sebab pada waktu itu bencana langit telah tiba, terpaksa budak tua membantu majikan tua untuk melakukan pelepasan agar cepat naik ke Nirwana!"

"Baik! Aku percaya kalau kau baru berbuat demikian karena berada di dalam keadaan terpaksa!"

Tanpa sadar si Unta tembaga mengangguk. "Benar, majikan tua adalah seorang malaikat yang gagah perkasa, siapapun tak akan bisa mengalahkan dia orang tua!"

Dengan perkataan mana, maka majikan tuanya itu menjadi tidak mirip dengan cerita pelepasan seekor rase langit menjadi dewa lagi, namun Ting Peng seolah-olah tidak memperhatikan akan hal ini, setelah menghela napas panjang katanya:

"Kalau memang begitu, bagus sekali! Sebab berita yang kuperoleh mengatakan kalau dia orang tua telah tewas di tangan Liu Yok siong, bukan saja hal ini membuatku tidak percaya, bahkan membuat hatiku amat menyesal sekali!"

Dengan perasaan terperanjat, buru-buru si Unta tembaga berseru: "Kongcu, darimana kau bisa tahu? Siapakah yang memberitahukan persoalan ini kepadamu?"

"Aku tahu Liu Yok siong bukan seorang manusia yang bisa dijinakkan, dia pun tak akan bersedia menjadi muridku dengan begitu saja, oleh sebab itu walaupun kuampuni selembar jiwanya, namun tak pernah kukendorkan pengawasanku terhadapnya, saban hari pasti ada orang yang menguntil di belakangnya, orang itu mengetahui kalau dia mendatangi lembah Say mo kok juga menyaksikan pertarungan sengit di luar lembah tersebut..."

"Oooh, jadi kongcu telah mengetahui segala sesuatunya?" seru si Unta tembaga dengan perasaan tercengang.

Kembali Ting Peng tertawa. "Benar... aku hanya mengirim seseorang untuk menguntil dibelakan Liu Yok siong, tapi kuketahui rahasia terbesar didunia saat ini!"

Cing-Cing yang mendengar perkataan itu segera bertanya tanpa terasa: "Siapakah orang itu? mengapa dia memiliki kepandaian sedemikian lihaynya? Apalagi yang dia ketahui"

"Ilmu silat yang dimiliki orang ini tidak tinggi, namun ilmu meringankan tubuh serta tehnik menguntit orang yang dimilikinya boleh dibilang nomor satu di seluruh kolong langit, aku telah membayar tiga ribu tahil emas kepadanya dengan catatan selama tiga tahun ini dia harus menguntil terus dibelakang Liu Yok siong dan melaporkan semua gerak-geriknya kepadaku, dan akhirnya orang itu telah memberitahukan suatu berita besar kepadaku!"

Sesudah hening sejenak, Cing-cing segera berseru: "Jadi kau telah mengetahui segala sesuatunya?"

"Benar semenjak aku terjun kembali ke dunia persilatan dan menggunakan sebilah golok untuk menggemparkan seluruh kolong langit, aku sudah tahu kalau kau bukan rase langit, karena rase langit hanya ada didalam khayalan manusia, padahal sebetulnya tiada kejadian seperti ini."

"Di wilayah utara, dewi rase dibilang amat cerdik, lagipula orang yang percaya akan dongeng inipun banyak sekali, bahkan dongeng tentang siluman rase tersebut banyak sekali!"

"Benar..." kata Ting Peng sambil tertawa, "selama beberapa waktu berselang, Liu Yok siong juga mempercayai akan hal ini, sebab setiap kejadian yang menimpa dirinya boleh dibilang semuanya melampaui kemampuan seorang manusia, hanya siluman atau dewa saja yang dapat menjelaskan semua masalah tersebut, tapi aku justru tahu kalau segala sesuatunya, itu dikerjakan manusia, yang dibilang paling hebat dan paling berkasiat tak lebih cuma daya tarik uang, asal ada uang menyuap beberapa orang pegawai dalam rumahnya bukan suatu pekerjaan yang sukar, apalagi kalau cuma membuat ayam terbang, anjing melompat dan kejadian kejadian seram lainnya..."

"Jadi pada waktu itu kau sudah tahu kalau aku bukan siluman rase?"

Kembali Ting Peng tertawa. "Benar, seandainya kau benar-benar rase, kau toh bisa menggunakan ilmu sihirmu untuk melakukan kesemuanya itu dan tidak usah menghambur-hamburkan uang untuk menyuap orang dan memerintahkan kepada mereka untuk melakukan permainan semacam itu"

Cing Cing tertawa getir. "Akupun tahu kalau bohongku kurang sempurna, cepat atau lambat akhirnya akan terbongkar juga, hanya tidak kusangka kalau sedemikian awalnya rahasiaku itu sudah kau ketahui!"

Ting Peng menghela napas panjang, katanya kemudian: "Walaupun aku sudah mengetahui akan rahasia itu, tapi aku selalu berharap kau benar-benar adalah siluman rase..."

"Mengapa? Apakah kau suka mempersunting seorang istri yang berasal dari siluman rase?"

"Bukan demikian, seandainya kau adalah rase, maka aku bisa mencari suatu tempat yang terpencil dari manusia untuk turut bertapa dan hidup mengasingkan diri!"

"Sekarang pun bisa kau lakukan bila kau mau, kita bisa mencari suatu tempat yang sepi dan terpencil, jauh dari kehidupan manusia banyak dan hidup bahagia disana. Tujuanku mengaku sebagai rase dulu pun tak lain untuk mewujudkan keadaan tersebut."

"Tapi sekarang tidak boleh, sudah terlalu lambat!" kata Ting Peng sambil memggelengkan kepalannya berulang kali.

"Mengapa?"

"Sebab yaya mu telah mewariskan goloknya kepadaku, diapun mewariskan ilmu golok tersebut kepadaku..."

"Kau jangan salah mengartikan maksud yaya" buru-buru Cing-cing berseru, "ia mewariskan ilmu golok tersebut kepadamu, karena kau mempunyai bakat yang bagus dan bisa menyerap sari dan inti dari ilmu golok tersebut, dia memberikan golok itu kepadamu karena kau harus menggunakan golok itu untuk menggunakan kekuatan yang sebenarnya dari ilmu golok itu, jadi sama sekali tidak mempunyai maksud dan tujuan yang lain..."

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.