Kilat Pedang Membela Cinta Jilid 06

Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo. Kilat Pedang Membela Cinta Jilid 06
Sonny Ogawa
MELIHAT sikap tiga orang itu, Darmini maklum bahwa untuk memenangkan kepercayaan mereka, ia harus memperlihatkan kepandaiannya. Pula, iapun ingin sekali memberi hajaran kepada tiga orang yang pernah hampir memperkosanya itu.

"Hemm, kalian ini tiga orang perampok cilik berani memandang rendah kepadaku, ya? Mari keluar dan kita boleh menguji ketangkasan masing-masing. Gagak Ireng, kau nyalakan obor untuk menerangi halaman depan itu!"
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
"Baik, Den bagus, ha-ha-ha!"

Gagak Ireng tertawa-tawa, menyalakan obor dan merekapun keluar dari pondok itu, ke halaman rumah yang luas dan sunyi itu. Tiga orang perampok itu tidak merasa gentar. Menghadapi seorang pemuda hijau seperti itu, takut apa? Mereka bertiga, dan telah ditantang.

"Asal engkau berjanji, Kakang Gagak Ireng, bahwa engkau tidak akan membantunya menghadapi kami!" Kata si muka hitam yang memang takut kepada Gagak Ireng!

 "Hidungmu!" Gagak Ireng memaki.

"Biar kalian bertiga ditambah lagi menjadi tiga puluh, masih tidak akan mampu mengatasi Den Bagus ini! Perlu apa aku mengeroyok?"

Mereka bertiga sudah siap menghadapi Darmini, tentu saja tidak percaya akan ucapan Gagak Ireng. Darmini juga sudah siap siaga walaupun kelihatan tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri tegak dengan kedua lengan tergantung lepas di sisi tubuh.

"Nah, kalian majulah dan jangan sungkan. Boleh pukul boleh tendang, boleh kalian coba untuk merobohkan aku!" Tantangnya.

Tiga orang itu lalu menyerang sambil mengeluarkan teriakan-teriakan seperti tiga ekor harimau kelaparan yang memperebutkan seekor domba muda. Mereka menubruk dari depan dan kanan kiri. Akan tetapi tiba-tiba lawan mereka itu lenyap dan mereka hanya melihat bayangan berkelebat, tubrukan mereka mengenai tempat kosong dan ketika mereka membalikkan tubuh, ternyata pemuda pakaian putih itu sudah berada di belakang mereka!

"Eh, cepat juga gerakanmu!" Kata si muka hitam, lalu dia menerjang dengan pukulan tangannya yang besar, disusul pukulan-pukulan kedua orang temannya.

Namun, Darmini tidak mau memberi hati kepada tiga orang yang pernah menculiknya ini. "Terimalah hajaran ini!"

Bentaknya sambil mengelak dan kini ia menggerakkan kaki tangannya, sedemikian cepatnya sehingga tiga orang itu tidak melihat apa-apa, hanya tahu-tahu tubuh mereka telah menjadi sasaran tamparan dan tendangan yang demikian kerasnya sehingga tubuh mereka terpelanting, dan setiap kali mereka bangkit kembali, mereka segera di buat roboh oleh tamparan atau tendangan susulan.

Mula-mula mereka merasa penasaran dan ingin melawan terus akan tetapi tubuh mereka semakin babak belur dan sakit semua. Dan di sana Gagak Ireng tertawa-tawa bergelak, obor di tangannya sampai menari-nari.

"Ha-ha-ha-ha, rasakan kalian sekarang, tikus-tikus buta!" Katanya, girang sekali karena dia sendiri pernah menjadi bulan-bulan kaki tangan pemuda halus itu.

Memang demikianlah watak orang yang sepenuhnya dikuasai aku dan segala nafsunya. Kalau diri celaka, dia akan merasa nelangsa dan sengsara, akan tetapi melihat orang lain lebih celaka dari dirinya, hal itu mendatangkan rasa senang dan terhibur! Sebaliknya, melihat orang lain lebih mujur, hal ini mendatangkan rasa iri dan benci!

Darmini yang sengaja hendak menghajar mereka lebih keras daripada yang dilakukannya terhadap Gagak Ireng tempo hari, akan tetapi tidak terlalu keras sehingga tidak akan membunuh mereka. Akhirnya tiga orang itu tidak malu-malu lagi untuk melolong-lolong minta ampun.

"Tobat... tobaaatt, kami menyerah...!" Teriak si muka hitam yang mengalami hajaran paling hebat sehingga bibirnya pecah-pecah dan hidung berdarah.

"Ampuunn..., ampunkan kami..." Dua orang temannya juga menyembah-nyembah sambil berlutut di atas tanah.

Darmini mengebut-ngebutkan ujung pakaiannya yang terkena debu. "Nah, kalau kalian sudah menyerah, mari kita bicara di dalam. Mari Gagak Ireng, bawa mereka ke dalam!"

Ia mendahului masuk ke dalam pondok itu. Sambil mentertawakan mereka, Gagak Ireng mengajak tiga orang perampok itu masuk dan membiarkan mereka bertiga duduk bersimpuh di atas lantai sedangkan dia sendiri duduk di kursi lain agak jauh dari Darmini.

"Harap paduka ampunkan kami yang benar-benar telah buta tidak mengenal orang sakti," Kata si muka hitam dengan ketakutan. "Setelah kami menghadap paduka, ada keperluan apakah paduka memanggil kami bertiga?"

Diam-diam Darmini merasa girang karena ia merasa yakin bahwa mereka sekali ini telah takluk dan tentu tidak akan berbohong. Juga hatinya merasa puas telah dapat menghajar mereka.

"Hajaran tadi agar menjadi peringatan bagi kalian agar tidak terlalu mengandalkan kekuatan sendiri dan menghina orang lain. Aku ingin bertanya, apakah benar kalian lima tahun yang lalu pernah merampok rumah Ki Demang Bragolo?"

Tiga orang itu saling pandang dengan kaget dan merekapun teringat akan peristiwa itu. Mereka telah merampok, membawa barang-barang berharga sedangkan si muka hitam itu sendiri melarikan perawan cantik puteri Ki Demang!

"Benar, akan tetapi perbuatan itu gagal seluruhnya, Raden Bagus. Di tengah jalan kami ketahuan orang, lalu kami diserang dan terpaksa kami melarikan diri tanpa membawa apapun. Semua barang rampokan itu kami tinggalkan."

Darmini tersenyum, "Berapa orangkah yang telah menyerang kalian ketika itu?"

Kembali mereka bertiga saling pandang dan dengan suara berat si muka hitam menjawab, "Hanya... satu orang saja, Den Bagus..."

Tiba-tiba Gagak Ireng tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, kiranya kalian bertiga ini memang hanya perampok-perampok coro, oleh satu orang saja kalah!"

"Kakang Gagak Ireng, engkau tidak tahu, orang itu adalah seorang Cina yang tangguh bukan main!"

Mendengar ini, suara tawa Gagak Ireng menjadi semakin terbahak sehingga Darmini membentaknya.

"Diamlah, Gagak Ireng dan biarkan aku bicara!"

"Maaf, Den Bagus," Kata Gagak Ireng.

"Justeru orang itulah yang ingin kutanyakan kepada kalian!" Kata Darmini.

"Aku... Bermusuhan dengan orang itu. Tahukah kalian di mana mereka? Katakan di mana dia, dan aku akan memberi hadiah kepada kalian bertiga."

Tiga orang itu saling pandang dan Darmini mengamati mereka dengan pandang mata penuh selidik. Ia sengaja mengatakan bermusuhan kepada Ong Cun agar mereka tidak ragu-ragu mengaku kalau saja mereka itu membunuh Ong Cun atau mengetahui tentang pembunuhan itu.

"Ah, Raden, agaknya percuma saja paduka mencari orang Cina itu!" Kata si muka hitam.

Darmini pura-pura terkejut. "Hemm, apa maksudmu? Mengapa kau katakan percuma aku mencari musuhku itu?"

"Sungguh sayang sekali, kalau dia masih ada tentu akan ramai sekali bertanding dengan paduka, saya akan menjagoi paduka! Akan tetapi dia telah tidak ada lagi""

"Maksudmu? Dia sudah pulang ke negerinya?"

"Sudah pulang ke alam baka, Raden. Sudah mati."

"Ahh...!!" Darmini pura-pura kaget lagi. Bahkan dia bangkit berdiri dari kursinya, lalu duduk kembali. "Sudah mati? Bagaimana kalian bisa tahu? Kenapa dia mati?"

"Setelah dia menghalangi dan menggagalkan kami, tentu saja kami merasa sakit hati dan kami merencanakan untuk membalas dendam. Akan tetapi karena dia amat tangguh, kami harus berhati-hati. Akan tetapi ternyata kami didahului orang, Raden. Pada suatu malam kami mendengar bahwa dia telah dibunuh orang! Dia mati di taman tempat tinggal Ki Demang Bragolo."

Mendengar ini, kecewalah rasa hati Darmini. Akan tetapi ia mendesak. "Tahukah kalian siapa yang telah membunuh musuh besarku itu? Sungguh membuat aku merasa penasaran, akan tetapi juga berterima kasih kepada pembunuhnya!"

"Sayang, kami tidak mengetahuinya, Raden." Kata si muka hitam.

Tiba-tiba Gagak Ireng yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, bangkit dari duduknya dan menghampiri Darmini, "Ah, jadi dia itukah yang kau cari Raden? Bukankah pemuda Cina yang tadinya akan menjadi mantu Ki Demang Bragolo dan kemudian tewas terbunuh di taman itu?"

Darmini yang tadinya sudah hilang harapan karena tiga orang perampok itu tidak mengetahui lebih banyak tentang pembunuhan atas diri Ong Cun, kini terkejut dan girang. Ia memandang kepada Gagak Ireng dengan penuh perhatian. "Engkau mengenalnya?"

"Mengenai orang Cina itu memang tidak, bahkan belum pernah jumpa. Akan tetapi karena Ki Demang Bragolo adalah pelindungku, tentu saja aku mengetahui apa yang terjadi pada keluarga itu."

Diam-diam Darmini merasa terkejut dan heran sekali mendengar pengakuan Gagak Ireng? Sungguh aneh sekali! Akan tetapi mungkin saja Gagak Ireng hanya membual karena orang macam ini sungguh tak dapat dipercaya sepenuhnya. Kalau memang orang ini dahulu dekat dengan Ayahnya, mengapa ia tidak pernah melihatnya?

"Apakah engkau pernah menjadi perajuritnya atau pengawalnya?" Ia bertanya.

"Ha-ha-ha!" Gagak Ireng memutar kumis kanannya. "Bukan pengawal di dalam gedung, melainkan seorang kepercayaan di luar, Raden, diluar gedung."

"Dan kau tahu apa tentang pembunuhan atas diri musuh besarku itu? Siapa yang membunuhnya dan bagaimana terjadinya?"

"Hal itu aku tidak tahu dengan pasti, Raden. Akan tetapi beberapa hari sebelum terjadi peristiwa pembunuhan itu, aku bertemu dengan empat orang kawan baikku dan mereka membawa sebatang keris pusaka yang indah dan ampuh, keris yang biasa menjadi pegangan seorang bangsawan tinggi, dan mereka bicara tentang niat mereka membunuh seorang pemuda Cina. Tadinya aku tidak mengira bahwa pemuda calon mantu Ki Demang Bragolo yang akan dibunuh, setelah peristiwa itu terjadi, barulah aku tahu..."

"Siapakah empat orang kawanmu itu?" Darmini bertanya, sedapat mungkin menekan perasaan hatinya yang terguncang dan jantungnya yang berdebar keras.

"Mereka adalah empat Bajul, yaitu Bajul Sengoro, Bajul Sengkolo, Bajul Paruso, dan Bajul Kanisto, yang amat terkenal di Lumajang, Raden."

"Hemm, yakin benarkah engkau bahwa mereka itu yang membunuh musuhku, pemuda Cina itu?"

"Aku tidak melihat sendiri pembunuhan itu, akan tetapi mengingat akan pembicaraan mereka hendak membunuh seorang pemuda Cina, agaknya merekalah yang telah membunuhnya. Setelah terjadi pembunuhan langsung saja aku memberitahukan kepada Ki Demang Bragolo, tentang pembicaraan mereka beberapa hari yang lalu."

"Hemm, kau memberitahukan kepada Ki Demang? Lalu apa yang dilakukan Ki Demang?"

Gagak Ireng tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, tidak apa-apa, Raden! Bahkan dia memesan agar aku menyimpan saja rahasia ini! Ha-ha, siapa orangnya yang mau mengawinkan anak perempuannya dengan seorang pemuda asing? Tentu diam-diam Ki Demang tidak setuju dengan pertunangan itu dan merasa lega bahwa calon suami puterinya itu terbunuh orang."

Kalau saja Darmini belum mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi di puncak Bromo, tentu akan nampak pada wajahnya betapa kaget rasa batinnya mendengar ucapan Gagak Ireng itu. Ayahnya, Ki Demang Bragolo, telah mendengar tentang siapa pembunuh Ong Cun dan Ayahnya itu diam saja, bahkan memesan kepada Gagak Ireng agar jangan bercerita kepada orang lain? Benarkah ini? Padahal Ayahnya dulu tidak menyatakan keberatan atas pertunangannya dengan Ong Cun, dan tidak kelihatan membenci pemuda itu, bahkan sebaliknya selalu menerima Ong Cun dengan Ramah!

"Gagak Ireng, dimana adanya Empat Bajul itu sekarang? Aku ingin menemui mereka dan mengetahui dengan pasti bahwa musuh besarku itu terbunuh oleh mereka. Kalau benar demikian, aku harus memberi hadiah kepada mereka!"

"Mereka telah pindah ke Kotaraja Majapahit, Raden, terbawa oleh keluarga Raden Panji Sarono yang menjadi pelindung mereka."

Kembali rasa kaget menyelinap dalam dada Darmini. Debar jantungnya semakin mengencang. Kiranya Empat Bajul itu adalah anak buah Panji Sarono! Sungguh tepat karena Panji Sarono adalah orang pertama yang dicurigainya, sebagai pembunuh tunangannya!

"Hem, jadi mereka adalah kaki tangan orang yang bernama Raden Panji Sarono? Apakah kalau begitu pembunuhan itu atas perintahnya?"

Gagak Ireng bersikap hati-hati karena dia mengenal siapa keluarga Empu Tanding, maka tidak berani dia mengaitkan nama keluarga itu dengan pembunuhan atas diri pemuda Cina itu.

"Aku sungguh tidak tahu, Raden. Yang kuceritakan hanya yang kuketahui saja."

"Baik, engkau telah memberi keterangan yang memuaskan hatiku, Gagak Ireng. Nah, terimalah hadiah ini, dan kalian juga!"

Kata Darmini memberi uang dua puluh reyal kepada Gagak Ireng yang menjadi girang bukan main, dan tiga orang perampok yang tadi dihajar oleh Darmini juga menerima hadiah masing-masing satu reyal. Darmini lalu menyuruh mereka pergi, dan malam itu juga ia meninggalkan pondok sewaannya untuk pergi ke Majapahit. Petunjuk yang diperolehnya sudah amat jelas.

Darmini tidak mau tergesa-gesa dalam penyelidikannya di Majapahit. Ia tahu bahwa ia harus berhati-hati sekali dan harus dapat menemui Empat Bajul itu, memaksa mereka mengaku terus terang. Karena kalau sampai diketahui oleh Panji Sarono bahwa ia melakukan penyelidikan tentang kematian Ong Cun.

Semua rencananya dalam penyelidikan itu dapat gagal dan mungkin saja Empat Bajul itu akan disuruhnya tutup mulut. Ia tidak boleh memperlihatkan diri kepada Panji Sarono atau Uwaknya, Empu Tanding. Selain itu, iapun dibuat penasaran oleh pengakuan Gagak ireng mengenai sikap Ayah tirinya. Ia harus menanyakan hal itu kepada Ayah tirinya dengan terang-terangan!

Selain bertanya tentang sikapnya mengenai pembunuhan atas diri Ong Cun, juga hendak menegur Ayah tirinya itu tentang Ibunya. Biarpun Ibunya yang kini meninggalkan Ayahnya, namun yang menjadi penyebab adalah selir terbaru Ayahnya itu, yang bersikap kurang aja dan menghina. Kalau perlu ia akan menghajar pula selir itu! Akan tetapi, ketika ia tiba di Majapahit, ia teringat akan pesan Ibunya, Raden Gajah, Senopati di Majapahit!

Benar, sebaiknya ia menghadap Kakak misan Ibunya itu. Di gedung seorang Senopati, ia akan terlidung dan dapat bersembunyi, dan kalau malam ia dapat melakukan penyelidikannya. Tentu saja ia harus mengenal dulu keluarga Raden Gajah dan melihat bagaimana sikap bangsawan itu. Setidaknya, ia akan dapat minta petunjuk dan keterangan dari pamannya itu.

Sore hari itu ia berdiri di depan gedung besar tempat tinggal Senopati Raden Gajah. Rumah itu besar dan kuno, nampak menyeramkan. Di depan nampak sebuah gardu dimana terdapat beberapa orang perajurit penjaga. Sebagai seorang Senopati, tentu saja rumah Raden Gajah terjaga oleh perajurit pengawal. Darmini yang menggendong buntalan pakaian itu memasuki halaman dan segera dua orang perajurit menghadangnya dengan tombak melintang di tangan.

"Andika siapa? Ada keperluan apa masuk kesini?" Tanya seorang di antara mereka dan pandang mata mereka tajam penuh selidik.

"Namaku Darmono dan aku adalah keponakan dari Paman Senopati Raden Gajah. Aku ingin menghadap Paman Senopati."

Dua orang penjaga itu memandang dengan heran dan curiga. Mereka tidak pernah mendengar seorang keponakan dari atasan mereka ini, akan tetapi mereka itu tidak berani bersikap kasar dan lancang, apalagi melihat bahwa pemuda berpakaian putih itu memang tampan sekali dan pantas kalau menjadi sanak keluarga Raden Gajah. Maka Darmini dipersilahkan menanti sebentar di dalam gardu, dan dua orang diantara para penjaga itu lalu melapor kedalam.

"Harap laporkan bahwa aku adalah putera dari Ki Demang Bragolo, dari Lumajang."

Darmini memesan ketika dua orang itu hendak memasuki gedung. Tak lama kemudian, dua orang petugas itu datang lagi memasuki gardu dan Darmini dipersilahkan masuk, dikawal oleh mereka berdua. Sang Senopati menerima Darmini di dalam ruangan tamu yang besar dan setelah berhadapan dengan seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berusia lebih tua sedikit dari Ibunya, Darmini segera memberi hormat dengan sembah. Dua orang perajurit itu disuruh keluar oleh Raden Gajah dan kini dia memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian.

"Siapakah sebenarnya andika, Ki Sanak? Andika mengaku bernama Darmono putera Ki Demang Bragolo, padahal setahuku, Ki Demang Bragolo tidak mempunyai seorang putera! Apa artinya ini?"

Darmini menyembah dengan sikap hormat. Setelah mendapatkan gemblengan dari gurunya, Sang Panembahan Ganggamurti, sedikit banyak ia dapat menilai watak seseorang dari wajah dan sikapnya. Ia melihat perbedaan besar antara Raden Gajah dan Empu Tanding, dua orang saudara misan Ibunya, dan ia percaya kepada Senopati ini.

"Sebelumnya saya mohon maaf sebesarnya, Paman Senopati. Sesungguhnya saya adalah anak tiri dari Kanjeng Rama Ki Demang Bragolo, saya adalah puteri tunggal Kanjeng Ibu Puriwati yang memesan agar saya menghadap paduka Paman kalau berada di Majapahit. Maafkan penyamaran saya sebagai seorang pria karena hal itu memudahkan perjalanan saya."

Raden Gajah memandang dengan mata terbelalak, mengamati wajah "pemuda" itu, kemudian tertawa lebar. "Ha-ha, pandai engkau mengelabui seorang Paman, kiranya engkau adalah puteri dari Diajeng Puriwati! Siapakah namamu, Nini?"

"Nama saya Darmini, Kanjeng Paman."

"Ha-ha, Darmono Darmini, engkau sungguh pandai, Darmini... Ya, pernah aku mendengar namamu ini, engkau anak tunggal Diajeng Puriwati. Ketika aku bertemu dengan Ibumu yang terakhir kali, sebelum Ayah tirimu pindah ke Majapahit, ia pernah bercerita. Bukankah engkau puterinya yang tadinya bertunangan dengan seorang pemuda Cina yang kemudian terbunuh, dan engkau pergi berguru kepada Empu Kebondanu di kaki Gunung Bromo!"

"Benar, Kanjeng Paman. Saya sudah selesai belajar dan pulang ke Lumajang, ternyata Kanjeng Rama telah pindah ke Majapahit, akan tetapi Kanjeng Ibu..."

Senopati itu menggerakkan tangan dan menarik napas panjang. "Aku tahu, Ibumu tidak mau ikut ke Majapahit. Ibumu memang sejak dulu keras hati, Nini Darmini. Akan tetapi itu adalah urusan pribadi dan aku tidak mau mencampurinya. Apakah yang kau cari di Majapahit? Apakah hanya ingin berkunjung kepadaku, ataukah ada keperluan lain?"

"Kanjeng Paman, ketika saya pergi ke Bromo untuk berguru, saya dikawal oleh tukang kebun kami bernama Nala, dan dikaki Bromo, dalam hutan, ada anak panah gelap menyambar ke arah saya. Akan tetapi saya terluput dan anak panah itu membunuh Paman Nala. Kematian tunangan saya terbunuh orang, juga kematian Paman Nala, mendatangkan keinginan dalam hati saya untuk mencari si pembunuh dan menghukum mereka. Karena jejak yang saya ikuti menuju ke Majapahit, maka sayapun datang ke sini dan mohon petunjuk dan nasihat dari Paman."

Senopati itu memandang dengan hati tertarik. "Engkau seorang wanita hendak menyelidiki pembunuhan dan menangkap pembunuhnya, Nini? Hemm, apakah hal itu tidak berbahaya bagimu?"

"Selama lima tahun saya telah mempelajari ilmu membela diri, Kanjeng Paman."

Senopati itu mengangguk-angguk, masih meragukan apakah gadis yang bertubuh ramping ini cukup kuat menghadapi penjahat-penjahat kejam. "Engkau menjadi murid Empu Kebondanu?"

"Tidak, Kanjeng Paman. Memang tadinya saya berkeinginan demikian karena tidak ada nama lain yang saya kenal. Akan tetapi kemudian di puncak Bromo saya bertemu dengan Eyang Panembahan Ganggamurti dan menjadi murid beliau."

"Panembahan Ganggamurti di puncak Bromo? Jagad Dewa Bathara...! Sungguh luar biasa sekali, Nini. Engkau menjadi muridnya! Padahal dahulu pernah aku menghadap beliau untuk belajar ilmu, akan tetapi beliau menolaknya. Tidak sembarang orang dapat menjadi murid beliau dan engkau telah menjadi muridnya selama lima tahun? Bukan main! Mari, mari, Nini, kuperkenalkan dengan bibimu dan keluarga kami."

Darmini diajak masuk dan diperkenalkan dengan isteri dan keluarga Raden Gajah yang menyambutnya dengan gembira dan ramah membuat kelakar-kelakar sopan ketika melihat bahwa "pemuda" Itu ternyata adalah seorang gadis!

"Karena Nini Darmini sedang betugas mencari pembunuh-pembunuh kejam, maka ia mengenakan pakaian pria."

Raden Gajah menerangkan kepada isterinya. Keluarga itupun menganjurkan agar Darmini tinggal di rumah mereka selama berada di Majapahit dan tentu saja Darmini merasa gembira bukan main. Keluarga itu amat ramah terhadap dirinya. Malam itu Darmini rebah di dalam kamarnya dan ia gelisah tak dapat tidur. Ia masih belum menceritakan kepada Raden Gajah tentang hasil penyelidikannya.

Bagaimanapun juga, keluarga Empu Tanding masih sanak dengan keluarga Raden Gajah. Tidak, ia akan merahasiakan dulu hasil penyelidikannya dan hanya akan mencari dan menyelidiki Empat Bajul. Tiba-tiba pendengarannya yang tajam terlatih mendengar sesuatu.

Darmini sedang duduk bersila dalam samadhi karena tadi dalam keadaan gelisah ia lalu bersila dan bersamadhi untuk menenteramkan batin. Ia membuka matanya dan mencurahkan perhatiannya. Tak salah lagi. Ada suara lirih di atas gedung! Seperti seekor kucing besar sedang melangkah atau bergerak di atas genteng!

Cepat ia menyambar ikat kepala, membungkus rambut kepalanya dan ia memang masih mengenakan pakaian pria, maka ia meloncat turun dari pembaringan. Ia mengambil pedang dari buntalan pakaiannya. Siapapun orangnya yang dapat bergerak seringan itu di atas genteng, tentu bukanlah seorang lawan yang ringan, maka ia berhati-hati dan membawa pedang Lian-Hwa-Kiam peninggalan Ong Cun.

Ia mengikatkan tali sarung pedang di pinggangnya, kemudian membuka jendela kamarnya dan meloncat keluar. Ketika ia menyelinap di antara tihang-tihang gedung itu menuju ke ruangan tengah di mana terdapat kamar Raden Gajah, tiba-tiba saja nampak sesosok bayangan hitam berkelebat. Sebelum ia bergerak, tiba-tiba pula daun pintu kamar Raden Gajah terbuka dari dalam dan Senopati itu meloncat keluar dengan keris di tangan!

"Siapa engkau!" Bentak Raden Gajah sambil meloncat ke depan bayangan hitam yang tidak sempat melarikan diri.

Akan tetapi bayangan hitam itu tidak menjawab, melainkan cepat menyerang dengan pedang di tangan. Serangannya dahsyat sekali. Akan tetapi Raden Gajah adalah seorang Senopati yang digdaya. Menghadapi serangan pedang yang berkelebat ke arah lehernya itu, meloncat ke kiri sambil menangkis dengan kerisnya. Akan tetapi, kembali pedang sudah berkelebat cepat menyambar pinggangnya! Raden Gajah terkejut bukan main melihat ketangkasan penyerangnya, dan diapun menangkis dengan keris.

"Cringggg...!"

Nampak bunga api berpijar dan tubuh Raden Gajah agak terhuyung. Kiranya penyerang itu kuat bukan main selain memiliki gerakan yang amat lincah. Namun Raden Gajah tidak menjadi gentar dan diapun cepat dapat menguasai dirinya, lalu balas menyerang. Terjadilah perkelahian seru dan mati-matian. Melihat betapa Pamannya terdesak, Darmini yang sejak tadi memperhatikan penyerang Pamannya itu, kini meloncat maju.

"Tahan dulu!" Bentaknya dan pedang Lian-Hwa-Kiam sudah berkelebat, merupakan sinar kilat menangkis pedang di tangan penyerang itu.

   "Trangg...!"

Orang itu terkejut dan melangkah mundur, menatap tajam kepada Darmini. Sebaliknya Darmini juga mengamati orang itu. Seorang yang bertubuh sedang, mengenakan pakaian serba hitam dengan kepala dan muka tertutup topeng hitam pula! Tangannya memegang sebatang pedang yang berkilauan dan orang itu memandang kepada Darmini dengan mata berkilat-kilat dari balik topeng itu, kemudian memandang kepada pedang di tangan Darmini.

"Siapakah engkau dan mengapa engkau hendak membunuh Kanjeng Paman Raden Gajah?" Bentak Darmini sambil melangkah maju. Akan tetapi, jawaban orang itu hanya tusukan pedang secara kilat ke arah perut Darmini.

   "Trangggg...!"

Kembali bunga api berpijar ketika dua batang pedang saling bertemu dan Darmini melanjutkan tangkisannya dengan serangan balasan. Namun, si topeng hitam itu bergerak cepat sekali menghindar dan pada saat itu, Raden Gajah juga menerjang dengan kerisnya. Biarpun dikeroyok dua, topeng hitam itu dapat berloncatan seperti seekor burung saja lincahnya. Biarpun demikian, sambaran pedang di tangan Darmini membuat dia repot juga.

Kemudian bermunculan perajurit-perajurit penjaga dengan tombak di tangan dan melihat dirinya dikepung, tiba-tiba si topeng hitam ini menerjang ke belakang, merobohkan dua orang pengepung dan meloncat ke belakang gedung.

"Hendak lari ke mana kau!" Darmini mengejar dan meloncat pula, akan tetapi gerakan orang bertopeng itu cepat sekali dan dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam dikebun belakang.

"Jangan kejar dia!" Raden Gajah yang juga meloncat ke belakang Darmini, memperingatkan gadis itu. "Dia berbahaya sekali, tidak perlu mengejarnya. Biarkan para perajurit melakukan pengejaran dan penyelidikan."

Senopati itu lalu memerintahkan kepala pengawal untuk memimpin pasukan melakukan pengejaran dan penyelidikan, dia sendiri mengajak Darmini masuk kembali ke dalam rumah. Keluarganya sudah terbangun semua dan gegerlah seisi rumah itu ketika mendengar betapa ada maling bertopeng masuk dan menyerang sang Senopati.

"Aku sudah mendengarnya dan siap menyambutnya. Ternyata dia tangguh sekali dan untung engkau keluar, Nini. Kalau tidak, agaknya aku tidak akan mampu menahan serangan pedangnya," Kata Raden Gajah, kagum memandang keponakannya. Dia tadi melihat sendiri betapa keponakan perempuan itu ternyata memiliki ilmu berkelahi yang amat kuat, dapat mengimbangi kecepatan dan kekuatan si topeng hitam.

"Akan tetapi saya merasa penasaran, Kanjeng Paman. Siapakah penjahat itu dan mengapa pula dia menyerang Kanjeng Paman?"

"Nanti dulu, Nini. Engkau sudah memiliki ilmu yang tinggi dan bahkan engkau pernah bertunangan dengan seorang pendekar Cina, dan pedangmu itupun pedang Cina. Coba katakan, menurut pendapatmu, bagaimana ilmu silat dari penyerang tadi?"

Darmini mengingat-ingat. "Dia memang lincah dan kuat sekali, Kanjeng Paman. Dan kalau tidak salah, gerakan-gerakannya bersilat seperti silat Cina."

Raden Gajah mengangguk-angguk. "Tidak keliru, memang dia seorang Cina rahasia yang pernah muncul lima tahun yang lalu. Dia adalah orang yang dijuluki Walet Hitam. Kami belum pernah melihat mukanya, akan tetapi kami menduga keras bahwa dia tentu seorang Cina, melihat dari gerakannya ketika memainkan senjata pedang. Ketika kami melakukan penyerbuan ke Lumajang dan hendak menangkap pemberontak Wirabumi, pemberontak itu dapat lolos dari Istana berkat pertolongan Walet Hitam itulah!"

"Ah, begitukah, Paman?" Darmini bertanya, heran dan juga kaget mendengar bahwa penyerang tadi ternyata mempunyai hubungan dengan mendiang Wirabumi.

"Ya, bahkan nyaris Adipati Wirabumi dapat menyelamatkan diri dengan naik perahu, setelah Walet Hitam itu meloloskannya dari Istana dan membunuh banyak perajurit Majapahit yang sudah menyerbu ke Istana. Untunglah aku dan pasukanku keburu tiba dan berhasil menangkap dan membunuh Wirabumi dan menghadapi banyak lawan, Walet Hitam tidak mampu menyelamatkannya, bahkan dia sendiri melarikan diri."

"Kalau begitu, dia seorang yang menjadi musuh Majapahit. Kenapa malam ini dia datang menyerang Kanjeng Paman?"

Senopati itu menarik napas panjang. "Engkau baru pulang dari Pertapaan, agaknya belum tahu banyak akan apa yang sedang terjadi disini, Nini. Ketahuilah, sekarang ini banyak sekali orang-orang yang menganggap diri mereka sanak atau juga pengikut Wirabumi, bersekutu dan melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap tokoh-tokoh Majapahit. Sudah banyak tokoh yang diam-diam tewas begitu saja dan agaknya satu diantara algojo mereka adalah Walet Hitam tadi."

"Ah, berbahaya sekali kalau begitu. Kenapa pemerintah tidak membasmi dan menangkap saja para pemberontak itu?"

"Itulah sekarang. Mereka tidak terang-terangan memusuhi kerajaan, dan pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan secara sembunyi dan rahasia. Tanpa bukti bahwa mereka yang mengirim pembunuh-pembunuh, bagaimana dapat menangkap mereka?"

"Lalu siapa kiranya yang menjadi pimpinan mereka, Kanjeng Paman? Siapa pula kiranya yang mengirim Walet Hitam itu datang malam ini untuk membunuh Kanjeng Paman?"

"Sukar diketahui siapa kepalanya, akan tetapi tokoh-tokoh diantara mereka banyak sekali. Bahkan mungkin ada persekutuan di antara mereka dengan orang-orang Daha dan Wengker yang mempunyai kecenderungan memberontak. Sekarang Walet Hitam terang-terangan mulai bergerak menyerangku, aku harus memperkuat penjagaan disini."

"Kalau begitu, Kanjeng Paman... Ketika terjadi penyerbuan ke Lumajang dan orang-orang Cina banyak yang dibunuh, apakah ada hubungannya dengan perbuatan Walet Hitam itu?"

"Tepat sekali dugaanmu! Itulah penyebab kesalahpahaman itu. Sebenarnya, rombongan orang Cina itu tidak mau campur dalam perang saudara itu, akan tetapi muncul Walet Hitam yang tentu seorang diantara mereka, jelas dan terang-terangan membela Wirabumi. Karena itu tentu saja pasukan Majapahit menuduh bahwa rombongan orang Cina itu membantu musuh dan terjadilah penyerbuan yang mengakibatkan pertempuran sehingga menewaskan banyak orang Cina itu. Walet Hitam itulah penyebabnya. Akan tetapi hal itu diketahui atau tidak oleh pimpinan rombongan karena tidak ada buktinya."

"Sungguh sayang tadi saya tidak dapat menangkapnya, Kanjeng Paman. Saya ingin sekali melihat siapa sesungguhnya orang bertopeng itu. Dengan munculnya orang itu dan apa yang dilakukannya lima tahun yang lalu sehingga mengorbankan banyak orang Cina dalam rombongan itu, saya mendapatkan bahan baru lagi. Siapa tahu pembunuhan atas diri Ong Cun tunangan saya itupun ada hubungannya dengan orang ini."

"Hemm, segala mungkin saja terjadi lima tahun yang lalu itu, karena perang mendatangkan segala macam kekacauan. Akan tetapi orang itu memang tangguh sekali. Gerakannya cepat dan kuat, bagaimana dapat menangkapnya? Apalagi kita tidak tahu di mana dia bersembunyi."

"Begini, Kanjeng Paman. Harap paduka pertimbangkan baik-baik, siapa kiranya yang pantas menjadi pesuruh Walet Hitam untuk melakukan penyerbuan malam ini, dan sayalah yang akan melakukan penyelidikan ke sana. Sudah dapat dipastikan bahwa dia, seperti seekor anjing, setelah dipukul akan lari kembali kepada tuannya."

Raden Gajah memandang kagum. Keponakannya ini, biarpun perempuan, tadi sudah membuktikan ketangkasannya, dan kini membuktikan lagi kecerdikan jalan pikirannya. Diapun mengingat-ingat.

"Sudah kukatakan, banyak tokoh yang masih setia kepada pemberontak Wirabumi. Dan karena aku merupakan orang yang menangkap dan membunuh Wirabumi, tentu banyak diantara mereka yang mendendam dan membenciku. Akan tetapi diantara sekian banyaknya tokoh, yang jelas menentangku, tidak menyukai bahkan membenciku adalah Raden Wiratama."

Dia lalu menjelaskan siapa adanya Raden Wiratama, seorang yang masih sanak dekat dengan Wirabumi, dan yang kini pindah pula ke Majapahit.

Darmini memperhatikan baik-baik gambaran tentang orang itu, kemudian iapun bertanya, "Bagaimana dengan Kanjeng Rama, Ki Demang Bragolo, yang dahulu juga menjadi ponggawa Lumajang? Apakah dia termasuk seorang diantara mereka itu, Kanjeng Paman?"

Senopati itu menarik napas panjang, "Itulah yang mengkhawatirkan hatiku, Nini. Agaknya Ayah tirimu itu condong pula dekat dengan mereka, dan hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa dahulu dia merupakan seorang ponggawa yang setia di Lumajang. Kalau sehabis perang dia diampuni hanya karena Ibu kandungmu masih dekat dengan aku, juga masih sanak dari Kakang-Mas Empu Tanding yang menjabat sebagai penguasa dari Majapahit di Lumajang."

Disebutnya nama Empu Tanding memberi alasan bagi Darmini untuk bertanya mengenai keluarga itu pula. "Ah, Uwak Empu Tanding? Beliau sekeluarga tentu seperti juga paduka, menentang para pemberontak itu, bukan, Kanjeng Paman?"

Ditanya demikian, tiba-tiba Senopati itu mengamati wajah Darmini dan dua pasang mata itu bertemu. Diam-diam Senopati itu kagum melihat sepasang mata yang mencorong demikian tajamnya, membayangkan kecerdikan luar biasa. Diapun bukan orang bodoh. Kalau gadis ini menanyakan tentang Empu Tanding, hal itu hanya berarti bahwa gadis ini meragukan kesetiaan orang tua itu terhadap Majapahit dan tentu ada alasannya mengapa ia bersikap demikian! Diapun tahu bahwa Kakak misannya itu tidak mempunyai nama yang terlalu harum, walaupun dia sendiri tidak meragukan akan kesetiaan Empu Tanding kepada Majapahit.

"Tentu saja, Kakang-Mas Empu Tanding selalu menentang pemberontak, dan aku yakin seperti juga aku, dia dimusuhi oleh para pemberontak."

"Kanjeng Paman, bagaimanapun juga, usaha pembunuhan atas diri Paman ini tidak boleh didiamkan begitu saja. Saya yang akan menyelidiki Wiratama, kalau dapat saya buktikan bahwa Walet Hitam berada disana..."

"Kalau benar Walet Hitam berada disana, jangan turun tangan sendiri, Nini. Hal itu berbahaya karena tentu dia memiliki kaki tangan yang pandai. Lebih baik malapor ke sini dan aku sendiri yang akan membawa pasukan melakukan penyerbuan dan membasmi gerombolan pemberontak. Dengan adanya Walet Hitam di sana, sudah cukuplah buktinya."

Pada keesokan malamnya. Darmini melakukan penyelidikan ke sekitar rumah gedung Raden Wiratama. Ia mempergunakan kepandaiannya untuk menyelinap di antara pohon-pohon di luar pagar tembok gedung itu, dengan hati-hati sekali karena ia sudah mendengar dari Raden Gajah bahwa tempat itu terjaga ketat dan memiliki banyak orang pandai.

Dilihatnya banyak perajurit penjaga di pintu gerbang dan juga ada pula yang hilir mudik melakukan perondaan. Malam itu bulan bersinar terang sehingga menyulitkan Darmini untuk dapat meloncat masuk, apalagi dia selalu mengenakan pakaian putih, warna pakaian perguruannya. Seperti juga Sridenta dan guru mereka, Panembahan Ganggamurti, Darmini kini selalu mengenakan pakaian serba putih.

Ia merasa menyesal mengapa ia tidak membawa jubah atau mantel yang warnanya gelap untuk menutupi pakaiannya yang serba putih. Malam terlalu terang sehingga kalau ia nekat meloncat ke atas tembok, banyak bahayanya akan ketahuan. Ia baru mencurigai saja Raden Wiratama sebagai pengirim pembunuh malam kemarin ke rumah Raden Gajah, belum ada buktinya.

Rugilah kalau sampai ia ketahuan sebelum ia mendapatkan bukti bahwa benar Walet Hitam berada di gedung besar dan angker itu. Beberapa kali sudah ia mengitari sekeliling tembok pagar gedung itu. Memang banyak dilihatnya tempat yang baik untuk meloncat masuk, seperti pohon asem yang tumbuh di luar tembok itu dapat dipergunakan sebagai tempat loncatan yang tidak nampak dari luar. Ada pula pintu kecil tembusan di sebelah belakang.

Namun ia tidak tahu apakah di balik tembok itu terdapat penjaga atau tidak! Akhirnya, di bagian yang agak gelap karena tertutup bayangan pohon, ia mengambil keputusan untuk menjenguk ke dalam dan iapun menggunakan kepandaiannya untuk meloncat ke atas pagar tembok. Akan tetapi begitu kakinya menginjak pagar tembok, ia mendengar suara berdesir dan melihat berkelebatnya sebuah benda kecil yang menyambar ke arah dadanya!

Tentu saja Darmini terkejut sekali dan cepat ia menggunakan tangan kirinya menangkis benda kecil itu. Benda itu terlempar dan kembali Darmini terkejut karena merasa betapa benda kecil yang ternyata hanya sebutir kerikil itu mengenai tangkisan tangannya dengan amat kuatnya. Tahulah ia bahwa ada orang pandai yang usil dan menyerangnya dengan kerikil. Darmini tahu akan bahaya dan iapun meloncat turun kembali ke luar tembok, lalu menjauh.

Akan tetapi, segera ia melihat bayangan orang, sesosok tubuh yang kecil ramping sudah berada di atas tembok dimana tadi ia berada. Melihat ini, mengertilah Darmini bahwa kehadirannya telah ketahuan orang, maka iapun cepat melarikan diri. Ia tidak mau menimbulkan keributan di rumah Raden Wiratama karena bukan ini yang menjadi tujuan kunjungannya. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba ada orang membentak di belakangnya,

   "Berhenti."

Ketika ia membalikkan tubuhnya, kiranya orng yang tadi dilihatnya meloncat ke atas tembok pagar sudah berada di depannya! Betapa cepat gerakan orang ini, pikirnya.

"Siapa engkau dan mau apa berkeliaran di sana tadi?"

Orang itu menunjuk ke arah gedung Raden Wiratama. Suaranya jelas, akan tetapi Darmini merasakan keanehan dalam suara dan logat bicara orang itu.

"Bukan urusanmu!" Ia pun membentak.

"Eh, kau seorang wanita!" Kata orang itu yang ternyata merupakan seorang pemuda tampan sekali, dengan sepasang mata yang bening dan muka yang bersih. Sayang bahwa ia tidak dapat melihat dengan jelas karena hanya sinar bulan yang pada saat itu teraling mega putih yang menerangi. Ia terkejut, akan tetapi lalu tersenyum mengejek.

"Engkaupun seorang wanita."

"Menyerahlah untuk kutangkap!"

Orang itu menubruk dan berusaha menangkap lengan Darmini, akan tetapi tentu saja Darmini mengelak. Orang itu lalu melanjutkan gerakannya dengan menyerang. Darmini melihat serangan yang cepat dan kuat, maka iapun mengelak, dan menangkis serangan ke dua lalu balas menyerang. Demikian cepat gerakan mereka sehingga dalam beberapa gebrakan saja mereka telah saling serang dengan dahsyat.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan muncul seorang laki-laki jangkung kurus yang diikuti oleh lima orang perajurit penjaga. Melihat ini, Darmini maklum bahwa ia berada dalam bahaya. Maka iapun lalu meloncat jauh ke belakang lalu melarikan diri ke dalam kegelapan malam.

 "Kejar dia...!" Raden Wiratama, orang yang baru muncul itu, berseru dan para perajurit lalu bersebaran mencari, namun Darmini telah lari jauh dan telah lenyap ditelan kegelapan malam.

Darmini langsung kembali ke rumah Raden Gajah. Kepada Senopati itu ia menceritakan betapa kuatnya penjagaan di rumah Raden Wiratama. "Hampir saja saya tertangkap, Kanjeng Paman. Ternyata di sana terdapat seorang yang amat tangguh. Ketika saya akan dikeroyok, saya melarikan diri."

Senopati itu mengangguk-angguk. "Sudah kuduga, disana tentu dijaga kuat sekali. Dan, tanpa bukti bahwa Walet Hitam benar berada di sana atau menjadi kaki tangannya, aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa, terhadap dirinya. Dia bukan orang sembarangan, melainkan seorang bangsawan yang masih sanak dekat dengan mendiang Adipati Wirabumi, berarti masih ada hubungan keluarga dengan Kerajaan Majapahit. Tanpa bukti, sukar untuk menuduhnya walaupun semua orang tahu belaka bahwa dia masih setia kepada mendiang Wirabumi."

Pada keesokan harinya, Darmini pergi mengunjungi rumah Ayah tirinya. Ia tetap mengenakan pakaian pria. Ketika Ki Demang Bragolo akhirnya menyambutnya di ruang tamu, Darmini merasa agak terharu juga. Laki-laki yang berdiri di depannya itu sudah nampak tua sekarang. Tubuhnya tinggi kurus dan cambang bauknya sudah bercampur putih. Kurang lebih enam tahun ia berpisah dari orang ini dan teringat betapa dahulu Ki Demang Bragolo ini bersikap amat baik terhadap dirinya.

Biarpun kenangan akan Ibu kandungnya membuat hatinya tawar, namun berhadapan dengan orang yang pernah dianggapnya sebagai Ayah kandung sendiri ini mendatangkan rasa haru. Dengan Ramah seperti yang telah menjadi sikapnya selama ini, Ki Demang Bragolo menyambut tamu muda itu.

"Andika siapakah dan ada keperluan apakah mencari saya?"

Tanyanya setelah mempersilahkan tamu mudanya mengambil tempat duduk. Kalau saja, ia tidak ingat akan keadaan Ibunya, tentu Darmini tidak ragu-ragu lagi akan berlutut dan menyembah. Akan tetapi, bayangan keadaan Ibunya membuat ia mengeraskan hati dan tidak melakukan sembah sujud.

"Kanjeng Rama, apakah lupa dengan saya? Saya adalah Darmini," Katanya tenang.

Ki Demang Bragolo meloncat bangkit dari kursinya, terbelalak memandang kepada Darmini. "Jagad Dewa Bathara...! Kau... Kau... ah, benar, engkau Nini Darmini...!"

Katanya, tadinya gagap dan kaget lalu nampak gembira sekali. "Ah, sungguh aku pangling dan engkau mengejutkan aku, Nini. Mari masuk saja ke dalam rumah!"

Dia memandang wajah anak tirinya itu penuh selidik, kemudian melanjutkan dengan wajah cerah, "Aih, selama ini...! Dan engkau sudah mempelajari ilmu, Nini? Apakah engkau menjadi murid Kakang Empu Kebondanu?"

Darmini mengeleng kepala. "Tidak, Kanjeng Rama. Tidak belajar ilmu kepadanya..."

"Marilah masuk, kita bicara di dalam..."

"Tidak, Kanjeng Rama. Di sini saja sudah cukup. Saya hanya singgah sebentar saja untuk bertanya kepada kepada Kanjeng Rama tentang Kanjeng Ibu."

Mereka saling pandang dan melihat sinar mata yang mencorong dari anak tirinya itu, memandang kepadanya penuh selidik, Ki Demang Bragolo menundukkan pandang matanya dan menarik napas panjang, "Yaaah, Ibumu telah meninggalkan aku, Nini..."

"Kenapa Kanjeng Ibu meninggalkan paduka?" Tanya Darmini dengan suara mendesak.

Kakek itu kelihatan bingung, akan tetapi kembali dia menghela napas untuk menenteramkan hatinya. "Aku tidak tahu, hanya ketika kami sekeluarga pindah dari Lumajang ke Majapahit, Ibumu tidak mau ikut, katanya ingin hidup menyepi di dusun."

Sejenak Darmini tidak mampu membantah. Memang Ibunya sendiri sudah menceritakan bahwa Ibunya tinggal di dusun bukan karena diusir atau tidak diajak ke Majapahit oleh Ayahnya, melainkan atas kehendak sendiri karena Ibunya tidak tahan lagi hidup serumah dengan seorang diantara para selir Ayahnya.

"Kanjeng Rama, sudah berapa lama Kanjeng Ibu hidup bersama paduka dan tak pernah Kanjeng Ibu ingin hidup terpisah dan menyepi. Kalau sekarang Kanjeng ingin hidup menyepi adalah karena tidak tahan hidup di dalam rumah paduka yang menyiksa batin Ibu. Paduka mendiamkan saja seorang selir paduka yang suka menghina Kanjeng Ibu!" Kini Darmini menatap wajah Ayah tirinya dengan sinar mata penuh tuduhan dan penasaran.

"Ah, Nini, engkau tahu bagaimana kalau wanita-wanita tinggal serumah dan..."

Tiba-tiba nampak seorang perajurit penjaga menghampiri mereka sehingga Ki Demang menghentikan pembicaraannya. Perajurit itu melaporkan bahwa di luar ada tamu.

"Raden Wiratama dan seorang temannya datang berkunjung," Kata penjaga itu.

"Silahkan mereka masuk," Kata Ki Demang Bragolo, lega hatinya karena kedatangan tamu itu menghentikan percakapan dengan puteri tirinya yang mendatangkan perasaan tidak enak dalam hatinya.

Sementara itu, mendengar disebutnya nama Raden Wiratama, Darmini terkejut sekali. Baru semalam ia melakukan penyelidikan ke rumah orang itu dan nyaris tertangkap. Kini orang itu malah datang berkunjung ke sini selagi ia berada di situ!

"Kanjeng Rama, tidak perlu memperkenalkan saya dengan mereka, dan saya juga mohon pamit!"

"Mengapa tergesa, Nini...?"

Ki Demang hendak menahan, akan tetapi pada saat itu, kedua orang tamunya sudah masuk sehingga terpaksa ia menyongsong kedatangan dua orang tamunya itu, sedangkan Darmini lalu melangkah untuk keluar. Tanpa dapat dicegah lagi, Darmini berpapasan dengan dua orang tamu itu. Hampir saja ia mengeluarkan seruan kaget ketika ia melihat dua orang tamu itu.

Yang seorang adalah si jangkung kurus yang semalam muncul, dan orang kedua adalah seorang pemuda tampan yang dari wajahnya sudah diketahui bahwa dia seorang pemuda Cina. Yang membuat Darmini hampir mengeluarkan seruan kaget adalah karena wajah pemuda itu serupa benar dengan wajah Ong Cun! Hanya lebih muda, akan tetapi... seperti itulah wajah Ong Cun ketika bertunangan dengannya lima tahun yang lalu! Juga pemuda itu memandang kepadanya.

Dua pasang mata bertemu, saling bertaut sebentar, keduanya penuh keraguan dan Darmini sudah meninggalkan mereka. Raden Wiratama hanya memandang sepintas lalu saja kepadanya, akan tetapi di dalam pandang mata pemuda mirip Ong Cun itu ada keraguan dan juga keheranan. Setelah tiba di luar, tiba-tiba Darmini berhenti dan wajahnya berubah pucat,

 "Ahhh... Jagad Dewa Bathara"! Benar ialah orangnya semalam! Gadis yang menyamar pria!"

Dan iapun cepat keluar dan menyelinap di tempat yang agak jauh untuk mengintai. Gadis yang menyamar semalam, yang berilmu tinggi dan hampir dapat menangkapnya. Gadis yang wajahnya seperti Ong Cun! Teringatlah ia betapa sudah beberapa kali Ong Cun bercerita kepadanya bahwa kekasihnya itu di negeri Cina mempunyai seorang adik perempuan.

Pernah pula disebutnya nama adiknya itu, akan tetapi ia sudah lupa lagi siapa. Dan kini muncul seorang gadis berpakaian pria yang mukanya mirip sekali dengan Ong Cun! Jangan-jangan... Gadis ini adik Ong Cun, gadis berpakaian pria yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan hampir menangkapnya semalam.

Akan tetapi, andaikata benar demikian, mengapa gadis yang tinggal di Tiongkok itu kini tiba-tiba berada di sini dan bahkan menjadi pengawal atau teman Raden Wiratama? Ia menjadi bingung, merasa heran dan juga hatinya terasa tegang. Ia harus menyelidiki hal ini! Tidak lagi sehubungan dengan rahasia rencana pembunuhan terhadap Raden Gajah, melainkan sehubungan dengan penyelidikannya terhadap pembunuh Ong Cun dan Nala.

Sementara itu, ketika saling berjumpa dengan Darmini, Bi Kwi juga terkejut sekali, ketika ia berada di dalam taman bunga, ia melihat bayangan putih berkelebat di atas pagar tembok. Melihat gerakan yang cepat dari orang itu, Bi Kwi merasa curiga dan iapun menyambit dengan sebutir kerikil untuk menguji dan ternyata bayangan putih itu dapat menangkis kerikilnya! Ia lalu berlari dan meloncat ke atas pagar tembok, melakukan pengejaran.

Ketika berhadapan dengan pemuda tampan berpakaian putih, dan mendengar suaranya, Bi Kwi segera dapat mengerti bahwa ia berhadapan dengan seorang gadis yang menyamar pria, seperti dirinya. Dan ternyata gadis itupun tahu akan rahasianya sehingga mereka telah bertanding. Diam-diam Bi Kwi terkejut melihat kenyataan betapa gadis berpakaian pria berwarna putih itu tangguh bukan main!

Kemudian muncul Raden Wiratama dari dalam bersama perajurit dan si pakaian putih itu berhasil melarikan diri. Setelah beberapa hari tinggal di gedung Raden Wirata, Bi Kwi merasa senang sekali. Tuan rumah itu baginya kini kelihatan amat baik hati, Ramah dan juga selalu nampak menyenangkan baginya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa perlahan-lahan ia mulai terjatuh ke dalam pengaruh kekuatan sihir yang diterapkan perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit oleh Raden Wiratama.

Bangasawan ini amat tertarik kepada Bi Kwi, bahkan tergila-gila dan dia ingin gadis Cina ini menyerah kepadanya dengan suka rela, menyerahkan jiwa raga kepadanya dan untuk ini dia harus lebih dahulu menundukkannya dengan sihir. Kakak gadis itu, Kwee Lok, juga sudah dicengkeramnya dengan pengaruh uang, minuman, pelesiran lain seperti perjudian dan pelacuran. Pemuda itu kini mulai nampak acuh terhadap adik angkatnya dan agaknya akan dapat dengan mudah dikuasainya.

Hari itu, memenuhi janjinya, Raden Wiratama mengajak Ong Bi Kwi berkunjung kepada Ki Demang Bragolo. Semalam gadis itu telah memergoki pencuri atau seorang yang berniat jahat dan hal ini saja menunjukkan bahwa mulai ada kesetiaan dalam hati gadis itu terhadap dirinya.

Ketika bertemu dengan Darmini, Bi Kwi merasa terkejut karena merasa seperti sudah mengenal pemuda berpakaian putih itu. Ingatannya menjadi lemah sekarang, ia lupa lagi bahwa semalam, orang yang mencurigakan yang berilmu tinggi itu, gadis yang menyamar pria dan secara mencurigakan mendatangi rumah Raden Wiratama, juga mengenakan pakaian serba putih.

Akan tetapi karena perjumpaan dengan Darmini di rumah Ki Demang itu hanya selewatan saja, iapun sudah melupakannya lagi setelah diperkenalkan kepada Ki Demang Bragolo. Ki Demang Bragolo juga melihat persamaan wajah "pemuda" itu dengan wajah mendiang Ong Cun, dan dia tidak merasa heran lagi ketika diperkenalkan bahwa "pemuda" itu adalah saudara dari Ong Cun yang datang dari negeri Cina untuk menyelidiki tentang pembunuhan atas diri Ong Cun!

"Karena dahulu Kakaknya pernah bertunangan dengan puterimu, maka dia ingin berkenalan denganmu, Kakang Demang Bragolo," Kata Wiratama. "Dia ingin tahu lebih banyak tentang Kakaknya."

Bi Kwi yang sama sekali tidak tahu bahwa Raden Wiratama sudah tahu akan rahasianya sebagai seorang gadis, kini memberi hormat kepada Ki Demang Bragolo, lalu berkata, "Benar sekali, Paman. Saya ingin tahu pendapat Paman sendiri, mengapa Kakakku Ong Cun dibunuh orang dan siapa pula kiranya yang melakukan perbuatan keji itu."

Ki Demang Bragolo saling pandang dengan Raden Wiratama, lalu menarik napas panjang, "Ah, peristiwa itu sudah terlalu lama terjadi, Saudara Ong Bi Kwi, sudah lebih dari lima tahun. Menurut pendapatku, karena yang membunuh Ong Cun adalah orang rahasia yang tidak diketahui siapa, tentu dia itu seorang di antara musuh-musuh Ong Cun. Maklumlah, ketika itu baru saja terjadi perang dan sebagai seorang anggauta rombongan dari Cina, Ong Cun juga bertempur melawan pasukan Majapahit. Mungkin saja pembunuhnya seorang tokoh Majapahit yang membenci para pendatang Cina itu. Kukira itu sebabnya, dan siapa pelakunya, sungguh aku tidak tahu dan tidak dapat menduga siapa."

"Paman, bolehkah saya berkenalan dengan bekas tunangan Kakakku itu? Nona Darmini, saya ingin berkenalan dan bicara dengannya."

Untung Darmini baru saja pergi, pikir Ki Demang Bragolo. Dia sudah merasa lega akan kepergian anak angkatnya itu karena terbebas dari pembicaraan tentang Ibu kandung gadis itu yang membuat dia merasa tidak enak sekali.

"Ah, Nini Darmini? Kasihan sekali anak itu, semenjak kematian Ong Cun, ia merana dan otaknya menjadi miring..."

"Ahhhhh...!!" Ong Bi kwi berseru kaget bukan main dan hampir ia menitikkan air matanya ketika keharuan mencengkeram hatinya. Kekasih dan tunangan Kakaknya itu sampai menjadi gila karena kematian Ong Cun!

"Ia menjadi gila...?" Tanyanya dengan leher seperti dicekik rasanya. Ki Demang Bragolo mengangguk.

 "Sejak itu ia pergi, menjauhi dunia famai dan bertapa di puncak Gunung Bromo. Ah, sudahlah hatiku menjadi sedih kalau bicara tentang anakku itu..."

Melihat keadaan membayang di wajah tuan rumah, Bi Kwi tidak berani mendesak lagi. Kasihan Darmini, pikirnya. Ah, pantas ia dicinta oleh Kakaknya, dan ternyata Darmini memang seorang gadis yang amat mencinta Ong Cun.

"Jangan berduka, engkau Darmini," Bisik hatinya.

"Aku akan mencari pembunuh kekasihmu itu sampai dapat dan membalas dendam ini!"

Melihat betapa pemuda itu berdiam diri dan termenung, Ki Demang Bragolo yang ingin mengalihkan percakapan, segera menghadapi Raden Wiratama dan bertanya, "Bagaimana kabarnya dengan gerakan kita, adimas Wiratama?"

Raden Wiratama menggeleng kepala. "Tidak begitu baik, Kakang demang. Pihak sana agaknya lebih siap siaga sehingga usahaku menggunakan Walet Hitam yang terakhir ini gagal."

"Walet Hitam? Dimana dia kini? Saya ingin bertemu dan bicara dengannya, adimas."

"Hemm, siapa tahu di mana dia berada? Seperti engkau tidak tahu saja, Kakang. Dia datang dan pergi seperti iblis, melakukan sesuatu, menerima upahnya, pergi lagi. Dia liar dan sukar dikurung, seperti seekor burung walet. Akan tetapi melihat kenyataan seperti sekarang ini, dimana pihak sana makin siap siaga dan memperkuat kedudukan, kurasa kita harus mendatangkan orang-orang yang lebih sakti lagi. Aku sedang berusaha mengutus orang-orang untuk dapat membeli tenaga Empu Kebondanu."

 "Ahhh...!" Ki Demang Bragolo memandang terbelalak.

"Mungkinkah itu? Kakang Empu Tanding?"

"Hanya dia seorang yang menjadi penghalang, akan tetapi dia paling takut dan tunduk kepada Empu Kebondanu, jadi, tidak perlu diragukan. Aku yakin dengan hadiah yang cukup, dia mau meninggalkan Pertapaan dan membantu kita."

Bi Kwi mendengarkan percakapan itu, akan tetapi ia tidak mengerti apa yang mereka maksudkan. Siapakah Walet Hitam? Dan siapa pula Empu Kebondanu, dan siapa pula yang dimaksud dengan "pihak sana?"

Apakah yang dimaksud adalah tokoh-tokoh Majaphit yang ia tahu dimusuhi oleh Raden Wiratama seperti pernah diceritakan kepada ia dan Kwee Lok? Ia harus menemui Kwee Lok. Jarang ia bertemu dengan Kakak angkatnya itu sehingga ia belum mendengar keterangannya tentang penyelidikannya terhadap keluarga Empu Tanding dan Panji Sarono yang dicurigai.

Ia merasa heran mendengar dari Raden Wiratama bahwa kini Kwee Lok lebih suka bermain judi dan bermalam di rumah pelacuran! Sukar ia membayangkan Kakak angkatnya seperti itu! Padahal dahulu ia menganggap Kakak angkatnya itu seorang pendekar sejati. Rasa tidak senangnya kembali muncul.

Pernah ia merasa tidak suka kepada Kwee Lok ketika Kakak angkatnya itu membujuknya untuk menjadi selir Cu Hok Sim putera Jaksa Cu itu, dan mendengar bahwa Kakaknya ini banyak hutangnya karena gila judi. Dan sekarang, agaknya Kakak angkatnya ini kumat lagi penyakit gila judi sehingga seolah-olah sudah lupa akan tugas mereka mencari pembunuh Ong Cun di negeri yang jauh sekali ini. Ketika Raden Wiratama berpamit dan mengajak Bi Kwi pulang, gadis ini lemas dan termenung.

Penyelidikan ke rumah keluarga Darmini itu gagal. Ia tidak dapat memperoleh keterangan penting, bahkan tidak bertemu dengan Darmini. Mereka berdua menunggang kereta, dan mereka tidak tahu betapa ada sepasang mata yang jernih dan tajam mengamati mereka, bahkan kemudian pemilik mata itu membayangi mereka dari jauh sampai mereka tiba di rumah gedung Raden Wiratama dan masuk ke dalam. Bayangan itu adalah Darmini.

Pada sore hari itu, Bi Kwi membujuk Raden Wiratama untuk menyuruh panggil Kwee Lok yang hampir tak pernah dijumpainya selama mereka tinggal di rumah Raden Wiratama beberapa hari ini. kwee Lok datang dengan muka agak pucat, rambut kusut dan pakaiannya yang biasanya rapi itupun kusut. Sikapnya agak marah ketika dia bertemu dengan adik angkatnya di depan kamar Bi Kwi. Begitu melihat Bi Kwi, dia mengomel,

"Ada kepentingan apakah engkau memanggilku, Kwi-moi? Aku sedang mengejar kekalahanku semalam, engkau mengganggu saja!"

Dengan muka merah, akan tetapi masih dapat menahan kemarahannya, Bi Kwi lalu berkata, "Toako, engkau ini bagaimana sih? Setelah berada di sini, kenapa engkau lalu seperti lupa akan urusan kita? Engkau tak pernah nampak di sini, dan aku mendengar engkau hanya bersenang-senang. Lalu bagaimana dengan penyelidikanmu?"

"Kwi-moi, kenapa engkau mengomel? Bukankah aku yang membawamu ke sini dan engkau juga hidup senang di sini? Kurang apa? Bukankah Raden Wiratama bersikap manis dan baik sekali kepadamu?"

"Toako! engkau sudah lupa daratan lagi agaknya! Engkau sudah kembali seperti dulu lagi, kambuh pula penyakitmu. Mabok-mabokan, berjudi, melacur lagi!"

Kwee Lok yang memang agak mabok itu tertawa menyeringai dan Bi Kwi melihat betapa wajah Kakak angkatnya yang biasanya tampan gagah itu kini kelihatan licik dan tidak menyenangkan.

"Heh-heh, Kwi-moi, engkau ini mengomeli aku seperti seorang isteri cerewet saja! Aku bukan suamimu yang boleh kau ikat! Aku boleh berbuat sesuka hatiku. Bukankah dahulu di Tiongkok akupun sudah tidak setuju dengan niatmu pergi kesini? Kenapa dulu engkau menolak menjadi isteri putera Jaksa Cu yang kaya raya? Sudahlah, kalau engkau tidak suka di sini, kau boleh pergi. Aku masih betah disini!"

Setelah berkata demikian, Kwee Lok pergi meninggalkan adik misannya yang berdiri dengan mata terbelalak dan muka merah! Bi Kwi ingin marah-marah, akan tetapi iapun menyadari bahwa ia sama sekali tidak berhak. Kwee Lok hanyalah Kakak angkatnya dan dialah yang mempunyai kepentingan di Majapahit ini. Kakaknya hanya terbawa saja olehnya. Kakak angkat itu bukan pegawainya, bukan pula anak buahnya. Muncullah Raden Wiratama dari dalam dan dengan senyum Ramah dia menegur,

"Saudara yang baik, dari dalam aku mendengar ribut-ribut seperti orang cekcok dalam bahasamu yang tidak kumengerti. Apakah engkau cekcok dengan Kakakmu?"

Bi Kwi menarik napas panjang. Alangkah baik tuan rumah ini! "Sesungguhnya, Raden, kami telah cekcok. Aku menegur Kakakku yang hanya berjudi, mabok-mabokan dan melacur. Tugas kami belum selesai, pembunuh Kakak kandungku belum kutemukan."

"Jangan cekcok dan jangan berduka, sahabat baikku. Percayalah kepadaku, aku yang akan menemukan pembunuh itu dan menyeret ke depan kakimu. Akupun tidak tinggal diam dan sudah menyebar orang-orangku untuk menyelidiki pembunuhan lima tahun yang lalu itu. Mari, mari kita makan, sahabatku."

Raden Wiratama lalu menggandeng lengan Bi kwi dengan rangkulan akrab. Tentu saja Bi Kwi merasa kikuk dan malu sekali, akan tetapi karena ia menyamar sebagai seorang pria dan gandengan itu bermaksud baik sebagai seorang sahabat akrab yang bermaksud menghibur, iapun menurut saja dan setelah mereka tiba di kamar makan, barulah dengan lembut ia melepaskan tangannya yang digandeng.

Seperti biasa, Raden Wiratama mengajaknya makan bersama dan sekali ini Bi Kwi sudah tidak lagi merasa heran seperti yang pertama kalinya, dimana ia bertanya-tanya di dalam hatinya mengapa tuan rumah ini hanya mengajak ia makan bersama, dan tidak mengajak keluarganya.

Ia tidak tahu betapa di dalam makanan itu telah diberi ramuan oleh tuan rumah, dan dengan bantuan kekuatan sihirnya, ia membuat Bi Kwi semakin tunduk lagi di bawah pengaruhnya. Setelah selesai makan, Raden Wiratama melihat perubahan pada wajah tamunya. Sepasang mata itu semakin kehilangan cahayanya yang mencorong, dan tahulah dia bahwa calon korbannya sudah makin lemah kemauannya untuk menentang.

Sudah tiba saatnya baginya untuk bertindak! Dia bangkit dari kursinya dan melihat betapa Bi Kwi agak terhuyung ketika bangkit, dia cepat merangkul pundaknya. Dan gadis itu tidak menolak! Agaknya sudah lumpuh semua daya lawannya, dan ia membiarkan saja tuan rumah itu merangkulnya.

"Sayang, engkau kelihatan lemah dan pusing, lebih baik kau pakai tidur saja. Mari kuantar ke kamarku..."

Dan iapun menuntun Bi Kwi yang tetap dirangkulnya itu ke dalam kamar, bukan kamar gadis itu melainkan kamarnya sendiri, kamar pribadinya yang penuh rahasia. Ketika mereka memasuki kamar itu, Bi Kwi teringat bahwa itu bukan kamarnya.

"Ini bukan kamarku, Raden..." Katanya lemah.

"Ah, apa salahnya? Engkau adalah sahabatku yang terbaik, bukan? Bahkan kekasihku..." Dan Raden Wiratama mencoba lagi keadaan gadis itu dengan mencium pipi Bi Kwi dengan hidungnya.

Bi Kwi nampak terkejut, akan tetapi pandang matanya bingung dan kosong. "Aku... aku adalah seorang laki-laki... Kenapa engkau begitu, Raden Wiratama?"

Kedua pipinya berubah merah karena naluri kewanitaannya menembus tabir pengaruh sihir yang melumpuhkan itu dan ia merasa terkejut, juga malu dah hampir marah! Melihat reaksi yang lemah ini, Raden Wiratama tertawa, semakin gembira hatinya.

"Ha-ha-ha, apa salahnya itu sahabatku? Kita sama-sama pria, bukan? Dan kebetulan sekali aku memang amat sayang kepada pria tampan seperti engkau. Marilah..."

Dan diapun menuntun Bi Kwi ke pembaringan di mana gadis itu langsung merebahkan diri karena memang merasa pening dan bingung.

"Tidurlah agar kepeningan itu hilang..." Kata Raden Wiratama sambil keluar dari kamar itu dan menutupkan daun pintunya.

Dia menyeringai penuh kemenangan setelah lebih dahulu dia berdiri di dekat pembaringan tadi, berkemak-kemik dan menggerak-gerakkan kedua tangannya ke arah muka Bi Kwi, dengan sihirnya memerintahkan gadis itu tidur. Malam ini dia harus berhasil, pikirnya.

Sekali dia telah meniduri gadis itu, perlahan-lahan dia akan melepaskan pengaruh sihirnya dan wanita itu tentu sudah berhasil ditundukkan dan akan menjadi selirnya yang selain cantik dan menggairahkan, juga memiliki ketangguhan yang dapat diandalkan untuk menjadi pengawal dan pelindungnya.

Dia segera bersamadhi di kamar samadhi untuk memperkuat kekuatan sihirnya dan setelah malam mulai larut, baru dia menghentikan samadhinya dan bersiap-siap untuk memasuki kamarnya. Pada saat itu, Kwee Lok muncul dengan muka lesu.

"Dari mana saja engkau, saudara Kwee Lok?" Tanya Raden Wiratama, agak terkejut karena kehadiran pemuda ini mengingatkan dia bahwa sebelum dia dapat melanjutkan niatnya terhadap Bi Kwi, lebih dahulu dia harus menundukkan Kakak angkatnya ini. Hampir ia lupa bahwa disitu terdapat Kwee Lok yang dapat menjadi penghalang keinginan hatinya terhadap gadis Cina itu. "Duduklah!"

 Mereka duduk berhadapan.

"Raden, aku kalah lagi, sungguh sial aku hari ini. harap engkau suka memberi pinjam lagi kepadaku lima puluh reyal untuk modal berjudi malam ini."

Diam-diam tuan rumah itu tersenyum gembira. Semua usahanya berhasil baik. Dia tahu akan kegemaran Kwee Lok berjudi dan dia telah mencarikan lawan-lawan berjudi di kalangan bangsawan yang banyak uangnya, akan tetapi diam-diam dia memilihkan jago-jago perjudian yang pandai bermain sulap!

Tidak mengherankan kalau Kwee Lok lebih banyak kalah daripada menangnya. Menang sedikit dan kalau kalah banyak sampai beberapa kali berhutang kepadanya! Dan diapun sengaja meloloh pemuda itu dengan hutang!

"Lima puluh reyal? Kenapa engkau tidak pinjam kepada adikmu? Kulihat saudara Ong Bi Kwi mempunyai banyak emas." Dia memancing.

"Dia akan marah kalau tahu aku berjudi, dan pula, sejak tadi aku tidak melihatnya. Entah dia pergi ke mana!"

Sepasang mata Raden Wiratama memancarkan sinar aneh. Dia tahu bahwa dia harus berani mengambil keputusan sekarang juga. Kalau Kwee Lok dapat dibelinya, seperti pernah dikatakan oleh Walet Hitam, sukurlah. Dan melihat betapa setan perjudian telah mencengkeram batin pemuda ini, kiranya keterangan Walet Hitam itu banyak benarnya. Andaikata tidak dan sebaliknya Kwee Lok akan menentang kehendaknya.

Maka sekali dua kali bertepuk tangan saja tempat itu akan dikepung pasukan pengawal dan betapapun tangguhnya pemuda pemabokan ini, tentu dia akan berhasil membunuhnya dengan pengeroyokannya, apalagi kalau Walet Hitam muncul malam itu Bahkan besok pagi Empu Kebondanu juga akan datang untuk membunuhnya setelah para penyelidik dan kaki tangannya berhasil memikat hati Kakek Pertapa itu.

"Saudara Kwee Lok, aku akan meminjamkan bukan hanya lima puluh reyal, bahkan sampai seribu reyal akan kuberikan kepadamu, ditambah barang-barang kuno yang amat berharga. Mari kita bicara baik-baik."

Kwee Lok mengamati wajah tuan rumah dan mengerutkan alisnya. "Apa yang kau masudkan, Raden Wiratama?"

"Ketahuilah bahwa Ong Bi Kwi sekarang sedang tidur di dalam kamarku."

Kwee Lok memandang heran, akan tetapi teringat bahwa Bi Kwi menyamar pria, maka dia bertanya, "Kenapa tidur di kamarmu dan kalau begitu, mengapa?"

"Aku tahu bahwa dia adalah seorang gadis cantik."

 "Ahh...?" Kwee Lok bangkit berdiri dan matanya terbelalak.

"Tenanglah, saudara Kwee Lok dan duduklah baik-baik," Katanya dengan nada memerintah dan setelah Kwee Lok duduk kembali, dia melanjutkan. "Semenjak bertemu, aku sudah menduga bahwa adikmu itu adalah seorang gadis. Aku kagum dan suka sekali padanya dan setelah dia tinggal di sini beberapa hari lamanya, aku tahu bahwa aku telah jatuh cinta padanya. Karena itu, terus terang aja, aku minta kepadamu agar menyetujui bahwa aku akan mengambilnya sebagai seorang selirku yang tercinta!"

Berkata demikian, sepasang mata Raden Wiratama mengeluarkan cahaya yang membuat Kwee Lok tidak berani menentangnya terlalu lama.

 "Akan tetapi..."

"Saudara Kwee Lok, ingatlah baik-baik. Apakah selama ini aku tidak bersikap amat baik terhadap kalian? Dan setiap kali engkau membutuhkan uang atau apa saja, selalu aku memberi kepadamu? Kalau ia menjadi selirku, ia akan hidup berbahagia, terhormat dan serba kecukupan. Bahkan aku membantunya mencarikan musuh besarnya dan membalas dendam atas kematian Ong Cun! Dan engkau sendiri, engkau memilih benda pusaka yang kau sukai dari kumpulanku, juga uang sebanyak seribu reyal untuk biaya engkau pulang ke negerimu."

Di dasar hatinya, Kwee Lok yang suka berjudi adalah seorang yang mata duitan. Apa lagi dia sudah melihat kumpulan barang-barang pusaka dari tuan rumah, yang serba indah, kuno dan amat berharga. Keris pusaka yang diberikan kepadanya beberapa hari yang lalu itu saja sudah merupakan sejumlah modal besar! Apalagi dia masih boleh memilih dan mengambil lagi, ditambah uang seribu reyal!

"Akan tetapi, urusan perjodohan adikku itu, bagaimana aku dapat memaksanya, Raden? Kalau ia tidak mau, akupun tidak bisa berbuat sesuatu, terserah kepadanya..."

"Ha-ha-ha!" Raden Wiratama tertawa dan nampaklah giginya yang hitam mengkilap. "Apa kau kira aku akan minta persetujuanmu kalau ia tidak membalas cintaku? Ia pun suka kepadaku, saudara Kwee Lok, karena itulah ia kini tidur di dalam kamarku, ha-ha-ha!"

"Aihh! Jadi kau sudah... Sudah..."

Raden Wiratama menggeleng kepalanya, "Aku tidak tergesa-gesa seperti itu, saudaraku yang baik. Kalau engkau sudah menyetujui, maka besok atau lusa akan kuadakan pesta pernikahan dan baru aku akan benar-benar memilikinya!"

Kwee Lok termenung dan nampaknya mempertimbangkan, kemudian diapun berkata, "Kalau memang ia sudah setuju, yaaah, apa yang dapat kulakukan? Terserah saja, Raden. Akan tetapi biar besok kutanyai adikku itu, sekarang aku hanya membutuhkan lima puluh reyal, kawan-kawan sudah menunggu."

Sambil tertawa Raden Wiratama mengeluarkan lima puluh reyal dan menyerahkannya kepada Kwee Lok sambil tersenyum, senyum kemenangan. Kwee Lok menerima uang itu lalu pergi. Baik Kwee Lok maupun Raden Wiratama, sama sekali tidak tahu bahwa sejak pertama kali mereka bertemu dan bercakap-cakap tadi, ada sepasang mata bening yang mengintai. Pemilik mata bening tajam ini bukan lain adalah Darmini yang bersembunyi di atas wuwungan rumah dan mengintai ke dalam ruangan di mana dua orang laki-laki itu tadi bercakap-cakap.

Tentu saja jantung Darmini berdebar ketika dalam pengintaiannya tadi untuk pertama kalinya ia melihat Kwee Lok. Segera dikenalnya pemuda itu yang dulu selalu menemani Ong Cun, bahkan pemuda inipun ada ketika Ong Cun menolongnya dari tangan tiga orang perampok itu. Ia merasa heran dan terkejut. Lebih terkejut lagi ketika ia mendengarkan percakapan mereka, mendengar betapa Kwee Lok agaknya menyetujui bahwa adik perempuannya akan diambil selir oleh Raden Wiratama!

Dan gadis yang disebut oleh Kwee Lok itu agaknya berusaha mencari musuh besarnya, yaitu hendak membalas dendam atas kematian Ong Cun! Ah, tidak salah lagi. Yang mereka bicarakan itu adalah gadis yang menyamar pria, yang ia jumpai di rumah Ayah tirinya! Gadis yang mirip Ong Cun itu dan dugaannya tentu benar.

Gadis itu tentu adik kandung Ong Cun yang kini datang ke Majapahit untuk membalas dendam kematian Kakaknya! Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Adik Ong Cun itu kini hendak diselir oleh Raden Wiratama dan agaknya oleh Kwee Lok setengah "dijualnya" kepada bangsawan yang buruk rupa itu. Ia hampir tidak dapat menerimanya bahwa gadis itu membalas cinta kasih Raden Wiratama seperti yang didengarnya tadi.

Tidak, tidak mungkin. Tentu ada apa-apanya disini, pikirnya dan iapun sudah mengambil keputusan tetap untuk diam-diam menemui gadis Cina itu, dan mengajaknya bicara dengan serius, bukah hanya tentang kematian Ong Cun, akan tetapi juga tentang sikap Kwee Lok yang seperti menjual dirinya kepada Raden Wiratama. Kalau gadis itu benar-benar adik kandung Ong Cun, ia merasa berkewajiban untuk menjaga dan melindunginya seperti adiknya sendiri.

Adik Ong Cun hendak dijual oleh Kwee Lok seharga seribu reyal dan benda kuno berharga! Akan tetapi sebelum ia sempat mencari jalan untuk dapat bertemu dengan adik Ong Cun, setelah Kwee Lok pergi, Raden Wiratama menerima seorang tamu lain yang agaknya baru malam itu tiba di situ. Dan kembali Darmini yang masih mendekam di wuwungan melakukan pengintaian itu terkejut sekali ketika ia mengenal siapa adanya tamu yang baru datang itu.

Seorang Kakek yang usianya sekitar enam puluh lima tahun. Kulit mukanya yang hitam seperti arang itu nampak tebal dan matanya yang lebar dan besar itu mengeluarkan sinar yang aneh dan mencorong, wajahnya nampak bengis dan tangannya memegang sebatang tongkat dari bambu gading atau bambu kuning, Ki Empu Kebondanu!

Darmini semakin berhati-hati dan ia tidak dapat mengintai mereka yang memasuki sebuah ruangan yang paling dalam yang rapat. Ia tidak boleh semberono karena di situ ada Empu Kebondanu yang sakti! Ia tetap bersembunyi di wuwungan dan termenung. Raden Wiratama adalah seorang pemimpin pemberontak, demikian menurut Pamannya, yaitu Raden Gajah.

Sekarang Empu Kebondanu datang disitu, disambut penuh hormat oleh Wiratama. Berarti bahwa Empu Kebondanu agaknya membantu gerakan pemberontakan itu. Dan Walet Hitam? Ia belum melihatnya. Salahkah dugaannya, dugaan Raden Gajah bahwa Walet Hitam dikirim oleh Raden Wiratama untuk melakukan pembunuhan terhadap Senopati Majapahit itu?

Apa hubungannya Empu Kebondanu dengan Wiratama? Dan apa pula hubungannya gadis adik Ong Cun itu, siapa namanya tadi... Ia mengingat-ingat. Ong Bi Kwi, begitulah yang didengarnya dari percakapan antara Kwee Lok dan Wiratama tadi. Ong Bi Kwi, tentu saja! Adik Ong Cun, sama Ong-nya! Ah, tidak ada jalan lain. Ia harus menemui Ong Bi Kwi, dan bicara dengannya. Gadis itupun memiliki ilmu silat yang tinggi, seperti Ong Cun. Mereka berdua dapat bekerja sama membongkar rahasia pembunuhan atas diri Ong Cun!

Karena maklum bahwa tempat itu tidak boleh dibuat main-main, penuh dengan pasukan pengawal yang kuat, ditambah lagi dengan hadirnya Empu Kebondanu, Darmini tidak tergesa-gesa bertindak. Ia bersembunyi di atas wuwungan sampai larut malam, sampai keadaan menjadi sunyi dan banyak diantara lampu penerangan di dalam rumah dipadamkan orang.

Ia membiarkan peronda lewat dua kali, barulah ia bergerak di atas wuwungan mencari kamar Wiratama. Bukankah tadi Wiratama mengatakan kepada Kwee Lok bahwa gadis itu tidur di dalam kamarnya? Hal inipun membuat ia bergidik. Apa artinya itu? Seorang gadis seperti Bi Kwi tidur di dalam kamar Wiratama? Benarkah gadis itu telah menyerahkan diri kepada Wiratama? Mau dijadikan selir?

Sungguh di luar dugaannya. Adik kandung Ong Cun! Rasanya tidak mungkin. Akan tetapi siapa tahu! Cinta memang kadang-kadang aneh. Banyak sudah ia melihat seorang wanita cantik mencintai seorang suami yang buruk rupa, dan seorang wanita muda mencintai seorang suami yang tua renta. Bagaimana kalau Ong Bi Kwi mencinta Wiratama? Tentu ia tidak akan mampu berbuat apa-apa, seperti yang dikatakan Kwee Lok tadi...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.