Kilat Pedang Membela Cinta Jilid 07

Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo. Kilat Pedang Membela Cinta Jilid 07
Sonny Ogawa
KARENA sukar melakukan penyelidikan dari wuwungan, Darmini melayang turun ke sebuah taman kecil di dalam lingkungan bangunan itu. Baru saja ia turun, ia melihat bayangan orang berjalan dan cepat ia menyelinap di balik sebuah pot kembang yang besar. Untuk tempat itu agak gelap sehingga mudah baginya untuk bersembunyi.
Cerita Silat Indonesia Karya Kho Ping Hoo
Jantungnya berdebar keras. Wiratama yang lewat itu! Laki-laki jangkung kurus yang pernah dilihatnya bersama Bi Kwi mengunjungi Ki Demang Bragolo, juga dia yang bicara dengan Kwee Lok tadi, dan yang menyambut kedatangan Empu Kebondanu.  Agaknya tuan rumah ini baru saja selesai bercakap-cakap menyambut tamunya, dan kini hendak ke kamarnya! Di situlah Bi Kwi berada!

Dengan hati-hati Darmini menyelinap di antara thiang-thiang membayangi Wiratama yang menuju ke sebelah dalam. Ketika Wiratama tiba di depan pintu kamarnya yang istimewa, kamar yang biasa di pergunakan untuk menggilir selir-selirnya, dia berhenti di ambang pintu yang sudah dibukanya, kemudian menggerak-gerakkan kedua tangannya ke arah dalam kamar, mulutnya berkemak-kemik.

Melihat ini tiba-tiba Darmini merasakan suatu hal yang aneh telah terjadi. Ia merasa bulu tengkungnya meremang dan ada hawa dingin menyelinap. Alisnya berkerut dan sepasang matanya yang bening mengeluarkan cara mencorong.

Tahulah ia bahwa Wiratama sedang mengerahkan suatu kekuatan yang aneh, semacam sihir dan aji yang mengandung kekuatan tersembunyi. Wiratama seorang ahli sihir dan tiba-tiba terbuka mata Darmini. Tak percuma ia selama lima tahun digembleng oleh seorang sakti di puncak Bromo.

Ia tidak pernah diajar melakukan sihir atau ilmu aneh untuk menguasai orang, akan tetapi gurunya telah mengajarkan ilmu untuk menolak kekuatan sihir dan ia sudah memiliki kepekaan terhadap kekuatan yang tidak wajar itu sehingga kini ia tahu pasti bahwa Wiratama sedang mempergunakan kekuatan sihir.

Ketika tuan rumah itu masuk dan menutupkan daun pintu kamarnya. Darmini cepat menyelinap dan mendekati jendela. Ia mengintai dari celah-celah antara dua daun jendela setelah mempergunakan aji Bayu Sakti untuk merenggangkan dua daun jendela itu.

Kamar itu cukup terang. Wiratama mendekati pembaringan dan di atas pembaringan itu rebah terlentang seorang berpakaian pria. Gadis yang pernah ditemuinya itu. Ong Bi Kwi, tidak salah lagi! Agaknya gadis itu tidur pulas, atau dalam keadaan tidak sadar yang tidak sewajarnya. Sejenak Wiratama berdiri di dekat pembaringan, mengamati wajah gadis itu sambil tersenyum menyeringai. Gigi hitamnya berkilat tertimpa sinar lampu dalam kamar.

Dengan gerakan halus Wiratama menyentuh dahi Bi Kwi dengan telapak tangan kirinya, dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan setelah selesai membaca mantera, dia meniup tiga kali ke arah muka Bi Kwi sambil berkata dengan suara lirih, namun cukup jelas untuk tertangkap oleh pendengaran Darmini.

"Ong Bi Kwi, ingat baik-baik bahwa aku, Raden Wiratama adalah satu-satunya orang yang baik kepadamu, satu-satunya pria yang mencintamu. Engkau sepenuh hatimu percaya kepadaku, menerima cintaku dan membalas cintaku, karena hanya di dalam cintaku engkau memperoleh kebahagiaan. Engkau akan menyerahkan jiwa ragamu kepadaku, setiap saat aku memintanya tanpa perlawanan, dengan penuh kerelaan karena aku mencintamu dan engkau mencintaku."

"Hemm, jahanam ini sedang mempergunakan aji pengasihan," pikir Darmini kaget. Ia melihat Wiratama mengusap wajah Bi Kwi dan seketika gadis itu mengeluh dan menggeliat membuka matanya. Begitu membuka matanya, gadis itu terkejut dan bangkit duduk. Nalurinya agaknya menjebol jaringan kekuatan aneh itu.

"Aihhhh... Raden Wiratama, kenapa aku berada disini...? Ini bukan kamarku...!"

Wiratama mengusap rambut di kepala gadis itu. "Tentu saja, Bi Kwi, karena ini adalah kamarku, yang berarti juga kamarmu. Engkau mencintaku, dan aku mencintamu, dan malam ini aku ingin engkau melayaniku, tidur bersamaku...!"

 Di dalam suara ini terkandung kekuatan yang membuat Darmini merasa bulu tengkuknya meremang.

"Ya... ya... Raden Wiratama..." Ong Bi Kwi berbisik, seolah-olah tidak kuasa atas dirinya sendiri, dan iapun diam saja ketika tangan yang tadi membelai rambut kepalanya itu kini turun, membelai mukanya, lehernya, kemudian mulai menanggalkan kancing bajunya!

"Engkau akan menaati segala perintahku, melakukan apa saja yang kuhendaki darimu karena aku cinta padamu, dan engkau cinta padaku..." Kata Wiratama dengan suara menggetar, jari-jari tangannya berhasil membuka hampir semua kancing baju di dada Bi Kwi.

"Ya..., ya... Raden Wiratama..."

Darmini memejamkan mata sejenak, memusatkan kekuatan batinnya, lalu membentak dengan suara melengking. "Tidak, Ong Bi Kwi! Sadarlah, engkau berada dalam cengkeram ilmu hitam!"

Lalu Darmini berkemak-kemik membaca mantera untuk mengusir hawa jahat yang mengotori kamar itu. Raden Wiratama terkejut. Bi Kwi juga terkejut mendengar suara melengking itu, akan tetapi tiba-tiba ia meloncat ketika untuk sedetik tirai kekuatan sihir yang menyelimuti dirinya itu terpecah dan terkuak oleh pengaruh mantera yang dibaca oleh Darmini.

Ia lebih terkejut lagi melihat betapa jari-jari tangan Raden Wiratama masih memegang bajunya yang sudah terbuka bagian atasnya, dan tangan kiri orang itu bahkan merangkul pundaknya yang telanjang. Raden Wiratama tengah berusaha menanggalkan baju atasnya.

"Aihhh...!" Ia mendorong tubuh Wiratama dengan kaget dan meloncat turun, dengan Jari-jari tangan gementar, ia mengancingkan kembali bajunya dan memandang dengan mata terbelalak kepada Wiratama, masih bingung karena separuh semangatnya masih terpengaruh sihir.

   "Brakkkkk!"

Daun pintu jendela pecah di dobrak dari luar dan sesosok bayangan putih meloncat masuk. Akan tetapi Wiratama yang sudah menguasai hatinya, meloncat dan menyambut dengan tusukan keris pusakanya yang sudah dipersiapkan. Melihat serangan hebat ini, Darmini terpaksa meloncat keluar dari dalam kamar itu.

"Keparat, hendak lari ke mana kau?" Bentak Wiratama dengan marah karena ada orang berani menghalangi kesenangannya.

Bagaikan makanan daging lunak hangat, daging itu sudah berada di bibirnya, tinggal menggigit, mengunyah dan menelannya. Akan tetapi tiba-tiba daging kenyal itu direnggut orang. Hati siapa yang tidak menjadi mengkal dan marah? Diapun meloncat keluar dari kamar melakukan pengejaran.

Kini Darmini sudah siap. Ruangan di luar kamar itu luas dan lebih leluasa untuk bertanding di situ. Pedang Lian-Hwa-Kiam telah berada di tangannya ketika Wiratama melompat dan berhadapan dengannya. Mereka berdiri saling pandang dibawah sinar lampu-lampu yang tergantung di sepanjang dinding ruangan itu.

Wiratama merasa pernah melihat pemuda yang berpakaian serba putih ini, akan tetapi dia lupa lagi dimana. Memang dia hanya berpapasan saja dengan Darmini keika mengunjungi rumah kediaman Ki Demang Bragolo.

"Babo-babo, keparat yang bosan hidup. Siapa engkau? berani sekali memasuki rumah kami tanpa ijin? Apakah engkau seorang pencuri?"

Bentak Wiratama, diam-diam terkejut karena dia merasa heran bagaimana ada orang dapat masuk kesitu tanpa diketahui para petugas keamanan yang banyak berjaga di luar dan dalam rumah.

"Wiratama, engkaulah yang jahanam keparat, hendak memperkosa wanita dengan menggunakan ilmu hitam!"

Bentak Darmini dan tentu saja Bi Kwi mendengar suara mereka. Gadis ini bergidik. Kini iapun sadar sepenuhnya. Ia tidur di kamar Wiratama, dan tadi... Meremang bulu kuduknya teringat betapa ia hampir ditelanjangi oleh Wiratama. Tentu saja ia tahu apa artinya ini dan mendengar suara melengking itu bahwa ia hampir diperkosa dengan pengaruh ilmu sihir, iapun mengerti sepenuhnya.

Ketika ia meloncat keluar kamar, Wiratama telah menyerang pemuda berpakaian putih itu dengan kerisnya. Serangan-serangan Wiratama dahsyat dan amat kuat namun dengan lincahnya Darmini mengelak dengan loncatan ke samping dan pedangnya membalas dengan tusukan dari samping mengarah dada lawan.

Melihat gerakan lawan yang cepat itu, diam-diam Wiratama terkejut dan diapun menghindarkan diri dengan tangkisan kerisnya dan cepat ia berteriak memanggil anak buahnya! Tanpa dipanggilpun, para pengawal sudah mendengar keributan itu dan kini belasan orang telah berada di situ, dan melihat majikan mereka bertanding melawan seorang pemuda berpakaian putih, merekapun tanpa diperintah lagi mengepung dan menghujankan serangan dengan parang, tombak dan keris.

Akan tetapi, tanpa merasa gentar sedikitpun juga, Darmini memutar pedangnya menangkis dan terdengar seruan-seruan kaget, ketika beberapa buah parang dan ujung tombak terbabat putus bertemu dengan Lian-Hwa-Kiam. Akan tetapi, belasan orang itu mendesak terus, bahkan kini muncul empat orang tinggi besar yang menjadi kepala pengawal di situ dan memiliki ilmu kepandaian yang paling di antara para perajurit pengawal. Mereka berempat itu memegang senjata ruyung besar yang berat dan kuat dan ketika menangkis ruyung itu, pedang Lian-Hwa-Kiam tidak mampu merusaknya.

Sementara itu, melihat betapa si baju putih sudah terkepung rapat, Raden Wiratama merasa lega. Dia sendiri sudah terbebas dari ancaman pemuda berbaju putih yang amat tangguh itu, dan kini dia berteriak-teriak untuk mengerahkan semua pasukan pengawalnya.

"Tangkap dia! Mati atau hidup!" Bentaknya berkali-kali dan diapun memanggil Empu Kebondanu yang baru tiba tadi dan kini sedang beristirahat di dalam kamarnya.

Empu Kebondanu mendengar keributan dan panggilan itu. Dia keluar dari kamarnya, membawa tongkat bambu gadingnya dan melihat betapa seorang pemuda berpakaian putih dikeroyok oleh belasan orang pengawal yang dipimpin oleh empat orang perwira tinggi besar, diapun melompat dekat dan berseru dengan suara seperti gerengan harimau.

"Mundurlah kalian semua dan biarkan aku menghadapinya!"

Melihat munculnya Empu Kebondanu, besarlah rasa hati Wiratama dan diapun berseru agar anak buahnya mundur. Mereka membuat kepungan besar dan membiarkan Kakek berkulit hitam itu menghadapi pemuda berpakaian putih. Kedua orang itu kini saling berhadapan, Darmini berdiri tegak dengan pedang melintang di depan data, sepasang matanya mencorong menatap wajah Empu Kebondanu.

Teringat ia betapa ketika pertama kali mencari guru, ia pernah mengangkat orang ini menjadi gurunya, akan tetapi ia bahkan di dorong ke dalam jurang kehinaan oleh orang ini, disuruh bertapa di dalam guha da seolah-olah dikorbankan menjadi mangsa seorang laki-laki keji yang memakai topeng. Apalagi setelah ia mendengar dari Sridenta tentang Empu Kebondanu, lenyaplah perasaan hormat dari dalam hatinya terhadap Pertapa itu.

Di lain pihak, Empu Kebondanu terbelalak dengan alis berkerut memandang pemuda berpakaian putih yang berdiri dengan sikap tegak menantang di depannya itu. Seorang pemuda hitam manis yang memiliki sepasang mata lebar dan mencorong, dengan mulut yang indah dan membayangkan kekerasan di balik kelembutan sikapnya. Wajah yang pernah dikenalnya.

"Orang muda ini siapakah dan mengapa ia membikin ribut di sini, Raden?" Tanya Empu Kebondanu kepada Raden Wiratama.

"Dia seorang mata-mata, tangkap dan bunuh dia, Paman Empu!" Kata Raden Wiratama yang sejak tadi juga memandang wajah Darmini penuh perhatian. Dia tidak pernah bertemu... ah, nanti dulu. Terbayanglah pertemuan selewat saja dengan seorang pemuda pakaian putih di dalam gedung Ki Demang Bragolo! Benarkah pemuda ini yang dilihatnya di rumah demang itu?

"Engkaukah orang yang kulihat berada di rumah Ki Demang Bragolo?" Bentak Wiratama dengan penasaran. Ki Demang Bragolo termasuk sekutunya yang boleh dipercaya, tidak mungkin kalau kini dia mengirim orang yang berkepandaian tinggi untuk mematai-matainya!

"Siapakah andika, anak muda?" Empu Kebondanu juga bertanya.

"Empu Kebondanu, tak perlu aku memperkenalkan diri. Ketahuilah saja bahwa aku selalu menentang kejahatan dan di dalam rumah ini terjadi kejahatan yang besar sekali, kejahatan yang terkutuk! Wiratama ini mempergunakan sihir untuk menguasai seorang gadis dan memperkosanya, karena itu aku datang menentangnya!"

Sepasang mata Darmini mencorong dan menantang Kakek itu, sama sekali tidak gentar walaupun Empu Kebondanu memiliki muka yang bengis dan menakutkan. Kulit tubuhnya dari muka sampai ke kaki, hitam arang dan tebal seperti kulit buaya, matanya besar melotot, sikap dan suaranya kasar, dan biarpun usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, namun tubuhnya masih nampak Kokok kuat.

"Babo-babo, keparat! Bocah sombong, engkau dan agaknya memang sudah bosa hidup, bersiaplah untuk mampus di ujung tongkatku!"

Kakek itu marah sekali dan cepat menyerang. Tongkat bambu gading di tangannya tergetar dan ketika dia menggerakkan senjata itu, maka lenyaplah bentuk tongkatnya, berubah menjadi sinar kuning yang mengeluarkan suara berdengung dan bercicit ketika dilecutkan ke arah kepala Darmini.

Gadis itu maklum bahwa lawannya tentu memiliki kepandaian tinggi, maka ia tidak berani memandang ringan. Cepat ia meloncat ke samping sambil menarik kepalanya ke belakang, menghindarkan lecutan tongkat, dan dari samping ia mengirim tusukan dengan Lian-Hwa-Kiam.

Gerakannya tidak kalah cepatnya sehingga Empu Kebondanu terkejut. Tongkatnya digerakkan ke samping untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga, dengan maksud memukul pedang itu dengan kuat agar terlepas dari pegangan tangan lawan.

   "Tranggggg...!"

Empu Kebondanu terkejut. Pedang lawan bukan terpental lepas, bahkan dia sendiri merasa betapa tongkatnya terguncang hebat setelah bertemu pedang dan kini pedang lawan sudah berkelebat lagi, menjadi sinar menyambar ke arah kepalanya.

"Auuuummmm...!" Tiba-tiba Kakek itu mengeluarkan suara mengaum garang sehingga menggetarkan semua orang yang berada di situ, dan ketika tongkat bambu kuningnya menangkis, tongkat itu menempel pada pedang!

Darmini terkejut sekali karena ketika ia berusaha menarik kembali pedangnya, pedang itu telah melekat pada tongkat lawan dan pada saat itu, tangan kiri Kakek itu sudah mencengkeram ke arah kepalanya! Darmini terkejut dan cepat mengerahkan tenaga Bayu sakti untuk menangkis dengan tangan kirinya pula, menyerong ke kanan.

   "Dukkk...!"

Kembali Empu Kebondanu terkejut, apa lagi melihat betapa pukulan atau cengkeraman tangan kirinya yang amat kuat tadi hanya mampu membuat kain pengikat rambut dan penutup kepala pemuda itu putus terlepas dan kini terurailah rambut yang panjang hitam dan halus sampai ke pinggul! Kiranya pemuda berpakaian putih itu seorang wanita dan Empu Kebondanu segera teringat.

"Ah, kiranya engkau!" Bentaknya dan diapun agak gentar karena tahu bahwa gadis yang pernah minta menjadi muridnya itu telah menjadi murid Panembahan Ganggamurti yang bertapa di puncak Bromo. Hal inipun dibuktikan dengan ampuhnya tenaga Bayu sakti yang dipergunakan gadis itu ketika menangkisnya tadi.

"Dia seorang wanita...!" Raden Wiratama berseru kaget dan kini diapun maju bersama para anak buahnya untuk memperketat kepungan. "Tangkap gadis ini! Tangkap hidup-hidup, Paman Empu!"

Darmini dikeroyok. Biarpun gadis itu tidak merasa gentar dan dengan rambut terurai panjang ia memutar pedang Lian-Hwa-Kiam untuk melindungi dirinya, namun menghadapi pengeroyokan orang-orang yang berilmu tinggi tentu saja ia mulai terdesak.

Sementara itu, sejak tadi Bi Kwi bengong saja. Ia masih merasa terlalu kaget dan ngeri. Tak disangkanya sama sekali bahwa Raden Wiratama yang amat baik terhadap ia dan Kwee Lok itu ternyata adalah seorang laki-laki keji yang memiliki niat kotor terhadap dirinya. Jelaslah bahwa orang itu sudah lama mengetahui bahwa ia seorang wanita dan seperti seekor laba-laba yang memasang perangkap dengan sarangnya untuk menjebak seekor lalat.

Selama ini mengatur siasat untuk menguasai dirinya. Ia bergidik kalau teringat betapa hampir saja ia celaka! Ia sudah berada di bawah pengaruh sihir. Baru saat ini terbuka matanya dan ia selamat. Semua ini berkat pertolongan gadis yang menyamar pria berpakaian putih itu. Saking heran, kaget dan ngerinya, Bi Kwi hanya bengong terlongong menonton Darmini dikeroyok.

Barulah ketika rambut gadis itu terlepas dan terurai, dan terutama sekali melihat pedang Lian-Hwa-Kiam, ia merasa yakin siapa adanya gadis perkasa itu dan jantungnya berdebar penuh keharuan. Darmini! Kekasih mendiang Kakaknya, tunangan atau calon isterinya! Calon Kakak iparnya, sekarang telah menjadi seorang gadis perkasa yang menyamar pria seperti dirinya sendiri!

"Mbak-Ayu, jangan khawatir, aku membantumu. Mari kita basmi tikus-tikus busuk ini!"

Tiba-tiba Bi Kwi yang seperti baru sadar dari mimpi buruk, telah meloncat dan menerjang para pengeroyok itu.  Menggerakkan pedang Liong-Cu-Kiam yang mengeluarkan gulungan sinar putih seperti perak!

Terdengar jeritan kesakitan dan dua orang perajurit pengawal roboh mandi darah. Pengepungan atas diri Darmini menjadi kacau dan dengan mudah Bi Kwi sudah dapat membobolkan kepungan, masuk ke dalam dan sambil membelakangi punggung Darmini ia menjaga pengeroyok yang berada di belakang Darmini.

Dua batang pedang mereka di putar membentuk payung yang amat kuat, dan dari gulungan sinar itu kadang-kadang mencuat sinar tajam yang merobohkan setiap orang pengeroyok yang terlalu dekat atau lengah. Melihat majunya Bi Kwi yang membantunya, dan mendapat sebutan "Mbak-Ayu,"

Darmini merasa terharu sekali akan tetapi juga gembira. Adik Ong Cun ini adalah seorang gadis yang perkasa dan cerdik, dan untunglah bahwa ia berhasil menyelamatkan adik kandung kekasihnya itu dari bencana yang bagi seorang gadis merupakan malapetaka yang dapat menghancurkan kehidupannya. Iapun merasa khawatir. Biarpun Bi Kwi tangguh dan ia sendiripun dapat membela diri, namun mereka tetap berada di dalam gedung seorang bangsawan tinggi yang tentu akan mampu mengerahkan pasukan yang lebih banyak lagi.

Dan belum lagi bermunculan orang-orang sakti yang tentu banyak dimiliki Raden Wiratama sebagai pembantunya. Apalagi kalau muncul Walet Hitam yang sudah ia ketahui ketangguhannya, dapat membuat mereka berdua terancam bahaya. Ia datang bukan untuk berkelahi dengan golongan Wiratama, melainkan untuk menolong Bi Kwi.

"Adik Bi Kwi, mari kita pergi saja!" Katanya sambil memutar pedangnya.

Bwi Kwi juga bukan seorang bodoh. Ia tahu betapa besar bahayanya kalau melanjutkan perkelahian di tempat itu. Ia harus pergi dari Wiratama yang ternyata jahat sekali itu. Tentang Kakak angkatnya, atau Kakak misannya Kwee Lok, terserah. Kakaknya itu agaknya sudah gila judi dan sudah terjatuh ke dalam cengkeraman Wiratama dan kawan-kawannya. Dan sikap Kakaknya tadipun menunjukkan bahwa Kakaknya tidak perduli lagi padanya.

Baiklah, ia akan mengambil jalan sendiri mencari pembunuh Kakaknya, dan kebetulan sekali kini ia bertemu dengan kekasih Kakak kandungnya yang sudah menjadi seorang wanita perkasa pula. Ia mengerti ajakan Darmini. Dan memang sebaiknya kalau melarikan diri sebelum Wiratama berhasil mendatangkan bala bantuan.

"Baik, Mbak-Ayu, mari kita pergi!" Katanya dan gadis inipun memutar pedangnya yang membuat para pengeroyoknya silau dan gentar. Kedua orang gadis itu dipimpin oleh Darmini lalu meloncat ke luar ruangan, dan terus berloncatan melalui pagar tembok.

"Kejar! Tangkap mereka!" Wiratama membentak marah.

Empu Kebondanu dan para pengawal melakukan pengejaran, namun Kakek hitam itupun maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang gadis yang tidak boleh dipandang ringan. Melawan seorang diantara mereka saja, belum tentu dia akan dapat memperoleh kemenangan dengan mudah. Pedang mereka itu benar-benar sukar dilawan. Karena itu, melihat bahwa dia tidak mempunyai teman yang boleh diandalkan.

Empu Kebondanu hanya setengah hati melakukan pengejaran, tidak berani mendahului para pengawal karena dia seorang diri merasa gentar kalau harus melawan dua orang gadis itu. Pengejaran itupun gagal dan Raden Wiratama menjadi kesal dan mengkal hatinya. Kemarahannya diluapkannya kepada Ki Demang Bragolo yang dipanggilnya menghadap malam itu juga ke dalam gedungnya.

Dengan rambut kusut dan pakaian tidak rapi, Ki Demang Bragolo menghadap Raden Wiratama yang menjadi atasannya dalam gerakan menentang keluarga Majapahit. Dia merasa heran dan terkejut menerima panggilan tengah malam buta seperti itu dan lebih khawatir lagi hatinya ketika ia melihat Raden Wiratama duduk menantinya dengan alis berkerut dan sikap marah. Keheranannya bertambah ketika dia melihat Empu Kebondanu berada pula di ruangan itu, menemani Raden Wiratama.

"Ah, kiranya Kakang Empu Kebondanu juga sudah berada di sini. Kapankah Kakang Empu datang?" Katanya sambil memberi hormat.

"Aku baru saja datang sore tadi, adi Bragolo,"  Jawab Empu Kebondanu.

"Demang Bragolo!" Raden Wiratama sudah membentak marah. Hatinya memang penuh kekecewaan dan kemarahan. Daging segar lunak yang sudah diujung bibirnya, tinggal mengunyah dan menelan, tergelincir lepas! Bi Kwi telah dapat melarikan diri, dan tentu tidak akan sudi lagi tinggal di rumahnya, dan semua ini gara-gara gadis yang menyamar sebagai pemuda berpakaian putih yang dia dapat menduga siapa orangnya! "Bagus sekali perbuatanmu, ya!"

Tentu saja Ki Demang Bragolo terkejut dan dia memandang sambil mengerutkan alisnya. "Raden, apakah artinya kemarahan padaku ini?"

"Engkau masih pura-pura? Demang Brogolo lupakah engkau apa yang kau ceritakan kepadaku tadi pagi tentang anak tirimu yang bernama Darmini itu? Engkau menceritakan bahwa ia telah menjadi gila dan berkeliaran di Pegunungan Bromo, benarkah demikian?"

Wiratama mengamati wajah bawahannya itu dengan penuh selidik. Ki Demang Bragolo mengela napas panjang.

"Memang tidak sepenuhnya demikian, Raden. Akan tetapi, ia sudah saya anggap gila semenjak ia pergi mencari guru di Pegunungan Bromo. Bahkan, ketika ia berangkat, ia bermaksud untuk berguru kepada Kakang Empu Kebondanu dan saya tidak tahu apa jadinya dengan maksudnya berguru itu. Tiba-tiba saja ia muncul di rumah saya dan ia marah kepada saya karena urusan Ibunya. Baru saja ia tiba dan sedang bicara dengan saya paduka datang bersama pemuda Cina itu, dan iapun pergi lagi. Karena itu, ketika ditanya oleh pemuda adik Ong Cun itu, saya katakan saja bahwa Darmini telah menjadi gila. Sungguh saya tidak tahu mengapa kini tahu-tahu paduka marah kepada saya..."

"Engkau mau tahu? Ataukah pura-pura tidak tahu? Baru saja puterimu yang kau katakan gila itu datang mengacau di sini, tentu ia mematai-matai kami dan siapa lagi kalau bukan engkau yang mengutusnya? Engkau menjadi pengkhianat, ya?"

Sepasang mata Ki Demang Bragolo terbelalak dan mukanya berubah pucat, kedua tangannya mengepal tinju. "Benarkah? Keparat, berani benar dia! Sungguh mati, saya tidak tahu menahu soal itu, Raden. Ketika ia datang, ia marah-marah tentang Ibunya yang saya tinggalkan di Lumajang, dan ia hanya bicara tentang ingin mencari pembunuh kekasihnya yang dahulu terbunuh si Ong Cun itu."

"Tidak perduli engkau tersangkut atau tidak, akan tetapi ia adalah anak tirimu dan engkau harus bertanggung jawab! Aku perintahkan engkau yang mencarinya dan menangkap dan menyeretnya ke sini, hidup atau mati, barulah aku yakin bahwa engkau setia kepada golongan kami dan tidak menjadi pengkhianat."

Ki Demang Brogolo mengepal tinju, diam-diam marah sekali kepada Darmini. "Akan saya usahakan untuk mencarinya Raden. Dan saya akan mengerahkan segala kemampuan aya untuk menangkapnya."

"Bagus, aku masih percaya padamu, kalau tidak, sekarang juga tentu engkau sudah kusuruh bunuh! Nah, pulanglah dan tangkaplah puterimu itu sampai dapat!"

Ki Demang Bragolo pulang dengan hati mendongkol bukan main. Biarpun Raden Wiratama menjadi tokoh besar dari keluarga Lumajang yang kini memimpin gerakan anti Kerajaan Majapahit, namun tidak sepatutnya bersikap demikian menghinanya, apalagi di depan Empu Kebondanu, pikirnya. Dia sendiri bukan orang lemah dan tidak takut kepada Wiratama atau Empu Kebondanu sekalipun. Hanya karena kedudukan dalam gerakan itu saja maka dia menjadi bawahan. Dia mengepal tinju. Darmini menjadi gara-gara ini semua.

Kenapa mencari pembunuh Ong Cun berkeliaran sampai ke gedung Raden Wiratama? Hemm, dia harus menangkap gadis itu! Harus! Kalau tidak, dia akan mendapat kesukaran dengan Raden Wiratama, dan terutama Darmini sendiri sekarang dapat menimbulkan banyak urusan. Gadis itu harus ditangkap, dan dialah yang mengatur agar Darmini dapat ditangkap dan dibawanya kepada Raden Wiratama.

Selagi dia berjalan tergesa-gesa menuju pulang dan tiba di sebuah tikungan jalan yang pada waktu tengah malam itu sunyi sekali, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang yang berpakaian hitam dan memakai topeng. Ki Demang Bragolo sudah meraba gagang kerisnya, siap melakukan perlawanan, akan tetapi ketika dia melihat bayangan itu dibawah sinar bulan sepotong, dia menyarungkan kembali keris yang sudah setengah dicabut itu dan berseru girang.

"Walet Hitam! Kiranya engkau sudah datang? Aku sedang menanti-nanti kemunculanmu!"

Topeng hitam itu tertawa kecil. "Ki Demang Bragolo, dari manakah engkau pada waktu begini? Dan tergesa-gesa benar nampaknya. Menanti munculku, apakah ada benar rencana kerja sama seperti dulu?"

"Sialan, aku baru saja mendapat marah dari Raden Wiratama! Kau tahu, anak tiriku si Darmini itu, baru saja mengacau di gedungnya, dan kini aku diberi tugas untuk menangkapnya. Tentu saja, kita dapat bekerja sama, asal engkau tidak tamak seperti dulu, meminta terlampau banyak."

"Ha-ha, andika tahu bahwa sifat Walet Hitam hanya mau bekerja sama kalau ada imbalan yang pantas. Ada pekerjaan apakah sekarang, Ki Demang?"

"Pekerjaan untuk kepentingan kita berdua. Hayo, kita bicara dirumahku saja."

Mereka lalu berjalan cepat menghilang di dalam kegelapan malam menuju ke rumah gedung Ki Demang Bragolo.

* * *

Hari telah menjelang pagi dan sinar matahari telah mulai mengusir kegelapan malam ketika dua orang gadis itu berhenti berjalan di luar Kotaraja, di tepi sebuah hutan yang sunyi. Darmini berhenti melangkah dan Bi Kwi juga ikut berhenti. Semenjak mereka berdua melarikan diri dari gedung tempat tinggal Raden Wiratama tadi, mereka tak pernah bicara. Darmini yang memimpin pelarian itu, membawa Bi Kwi keluar Kotaraja.

Ia tidak berani mengajak gadis itu pergi bersembunyi atau berlindung ke rumah Raden Gajah, pertama karena ia tidak ingin melibatkan keluarga Raden Gajah ke dalam pertentangan secara terbuka terhadap Wiratama, dan kedua karena akan terasa tidak enaklah kalau ia mengajak seorang lain, apalagi seorang wanita Cina ke dalam rumah Senopati yang menjadi saudara misan Ibu kandungnya itu. Ia meragukan kesediaan keluarga itu menerima Bi Kwi.

Kini mereka berhenti melangkah, berdiri saling berhadapan dalam jarak dua meter di tepi hutan itu, di dalam cuaca subuh yang cerah, saling pandang dengan penuh perhatian. Bentuk tubuh mereka hampir bersamaan. Sama ramping dan sama tinggi, dan Darmini cepat menguatkan perasaannya ketika ia merasa betapa sepasang matanya menjadi panas karena wajah itu kembali mengingatkannya kepada Ong Cun.

"Engkau... engkau adik Ong Bi Kwi..." Akhirnya ia berkata lirih, seperti hendak meyakinkan hatinya sendiri.

"Dan engkau... Mbak-Ayu Darmini..." Bi Kwi juga berkata dan suaranya mengandung isak haru. Mendengar suara ini, Darmini tidak dapat menahan dirinya lagi.

"Adikku...!"

Dan iapun melangkah maju, disambut Bi Kwi dan keduanya saling rangkul, dan keduanya tidak dapat menahan lagi air mata yang mengalir turun membasahi pipi, tanda keharuan yang wajar dua orang wanita muda. Beberapa saat lamanya mereka saling peluk dan saling bersentuhan pipi, yang basah, kemudian Darmini dapat menguasai hatinya, memegang kedua pundak Bi Kwi dan memandang wajah itu dengan senyum di antara basahnya kedua pipi oleh air mata.

"Engkau Bi Kwi... ah, sekali melihat saja aku sudah tahu, wajahmu mirip sekali dengan wajah Ong Cun...!" Kata Darmini sambil tersenyum girang setelah keharuan dapat ia tundukkan. "Ong Cun banyak bercerita tentang dirimu, dia... dia amat sayang kepadamu, Bi Kwi."

"Dan aku pernah mendengar tentang dirimu dari Toako Kwee Lok, dan sungguh aku merasa berbahagia sekali dapat bertemu denganmu, Mbak-Ayu Darmini. Tahulah aku sekarang mengapa mendiang Ong Cun demikian mencintamu, karena engkau memang seorang wanita yang pantas mendapatkan cintanya. Telah sejak aku tiba di Lumajang, aku mencari-carimu, Mbak-Ayu, siapa mengira bahwa kini engkau malah yang telah menyelamatkan diriku dari ancaman malapetaka!"

Kembali Bi Kwi merangkul. Masih ngeri kalau ia membayangkan betapa hampir saja ia menjadi korban kekejian Wiratama, dan ia berterima kasih sekali kepada bekas kekasih Kakaknya ini. "Terima kasih, Mbak-Ayu Darmini."

"Tidak perlu berterima kasih, adikku. Agaknya semangat Ong Cun yang menuntun kita untuk saling menolong dan saling berjumpa. Engkau sendiri telah menolongku ketika aku malam kemarin menyelidiki rumah Wiratama dengan sambitan kerikil itu. Kalau engkau berniat buruk, tentu aku telah tertangkap. Mari kita masuk ke hutan ini dan bicara agar jangan sampai nampak oleh orang lain."

Keduanya lenyap di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar, menemukan petak rumput yang gemuk dan bersih diantara pohon-pohon besar dan merekapun duduk di atas rumput, bertilamkan daun kering yang bersih. Keduanya duduk berhadapan dan saling berpegang tangan, terdapat rasa sayang di dalam hati masing-masing.

"Sekarang ceritakan tentang dirimu, tentang kedatanganmu kesini." Kata Darmini.

Bi Kwi bercerita tentang berita yang diterimanya dari Kwee Lok bahwa Ong Cun telah tewas terbunuh orang, dan tentang pertunangan Ong Cun. Kemudian tentang kematian Ayahnya, tentang ia belajar ilmu silat di Kuil Siauw-Lim-Pai, dan tentang bujukan Kwee Lok agar ia menikah sampai peristiwa yang terjadi di rumah keluarga Cu Hok Sim.

"Aku mengambil banyak emas dari orang yang berniat buruk terhadap diriku itu, kemudian bersama Kakak Kwee Lok meninggalkan kampung halaman untuk pergi ke Jawa. Ketika orang she Cu itu bersama anak buahnya mengejar dan menyusul kami di tengah perjalanan, kami melawan dan menghajar mereka, kemudian melanjutkan perjalanan dengan perahu dagang ke selatan. Dan kamipun sampai di Lumajang, kemudian terus ke Majapahit."

"Jadi engkau datang bersama Kwee Lok? Aku sudah mengenal baik adik seperguruan Ong Cun itu. Dimana dia?"

Bi Kwi menarik napas panjang. "Di negara kami, dia pernah gila judi dan gara-gara dia gila judi maka sampai dia membujuk aku menikah dengan orang she Cu itu. Setelah kami tiba di Majapahit dan bertemu dengan Raden Wiratama, kami berdua tanpa kami sadari terjatuh ke dalam cengkeramannya dan kembali dia menjadi gila judi, bahkan melupakan tugas kami untuk mencari pembunuh Kakakku Ong Cun. Sungguh menjengkelkan sekali."

Bi Kwi lalu menceritakan betapa ia dan Kwee Lok sudah berusaha mencari Darmini namun tidak berhasil dan sebelum ia dan Kakak angkatnya itu dapat melanjutkan penyelidikan mereka, mereka telah terjatuh ke dalam cengkeraman Wiratama.

"Untung ada engkau, Mbak-Ayu Darmini. Kalau tidak, tentu aku telah binasa dan dendam kematian Kakakku tidak akan terbalas."

"Akupun tidak tinggal diam, adikku. Semenjak kematian Ong Cun, aku lalu berguru dan mempelajari ilmu kesaktian. Aku juga sedang melakukan penyelidikan, karena pembunuh Ong Cun harus dapat kutemukan untuk mendapat hukuman atas kejahatannya. Akan tetapi akupun belum berhasil. Kalau menurut penyelidikanmu dan Kwee Lok, sudah sejauh mana hasilnya? Apakah sudah ada petunjuk untuk menemukan pembunuh itu?"

Bi Kwi menarik napas panjang. "Menurut Kwee-Toako, ada orang bernama Panji Sarono yang dulu kelihatan membenci Cun-Koko dan dia patut dicurigai. Juga ada tiga orang perampok yang pernah menculikmu dan mereka dihajar oleh Cun-Koko, maka mungkin saja mereka itupun mendendam kepada Cun-Koko. Akan tetapi, kami belum sempat menyelidiki mereka dan kami telah lebih dulu bertemu dengan Wiratama. Kwee-Toako sendiri tidak pernah menceritakan apakah dia sudah melakukan penyelidikan, agaknya setelah gila judi dia tidak perduli lagi atas urusan itu."

Darmini mengangguk-angguk. "Memang merekapun menjadi orang-orang yang kucurigai, Bi Kwi. Bahkan tiga orang perampok itu telah kutemukan dan kuhajar mereka, kupaksa mengaku, akan tetapi mereka sama sekali tidak melakukan pembunuhan atas diri Ong Cun. Kita harus mencari ke arah lain, dan memang keadaan keluarga Raden Panji Sarono cukup mencurigakan. Terus terang saja, Raden Panji Sarono itu masih saudara misanku, karena Ayahnya Uwa Empu Tanding, adalah Kakak misan Ibuku. Akan tetapi kita perlu menyelidiki dan kalau benar dia yang membunuh Ong Cun, aku pasti akan turun tangan menghukumnya. Sekarang kita sudah berkumpul dan hal ini baik sekali karena kita dapat bekerja sama sehingga keadaan kita lebih kuat. Sebaiknya kalau Kwee Lok dapat kita temui dan ajak bicara. Dimana dia? kalau dia membantu kita, tentu akan lebih mudah menemukan pembunuh itu."

Bi Kwi menggeleng kepala. "Entah bagaimana, aku mulai tidak percaya kepadanya, Mbak-Ayu, bahkan ada rasa tidak suka. Semenjak dia setengah memaksaku menikah dengan orang she Cu dikampung halaman kami, kemudian dia ikut bersamaku ke selatan, aku tidak begitu percaya lagi padanya. Apa lagi setelah disini dia kembali gila judi dan agaknya melupakan tugas kami, aku tidak suka lagi dia membantuku mencari Cun-Koko. Mbak-Ayu, urusan ini adalah urusan kita berdua, juga dia adalah Kakak kandungku satu-satunya. Mari kita berdua saja bekerja untuk membengkuk batang leher pembunuhnya dan tidak memperdulikan lagi Kwee Lok yang mata duitan itu."

Darmini mengangguk-angguk setuju. "Baiklah adikku. Dan sekarang mari kuajak engkau pergi menghadap Raden Gajah, masih Pamanku sendiri. Di sanalah untuk sementara aku tinggal dan aku yakin dia akan mau menerimamu kalau kuceritakan siapa adanya engkau. Kurasa, tidak ada tempat yang lebih aman bagi kita kecuali di dalam rumahnya dan dari sana kita dapat melakukan penyelidikan kita."

"Baiklah, Mbak-Ayu. Mulai sekarang, engkaulah yang memimpin, aku hanya membantumu."

Dua orang "pemuda" itu lalu bergandeng tangan meninggalkan hutan. Matahari mulai muncul dan pagi itu cerah sekali, secerah wajah keduanya karena pertemuan itu sungguh mendatangkan kegembiraan luar biasa dalam hati mereka.

* * *

"Kwee Lok, engkau tahu betapa selama engkau dan adikmu tinggal disini, aku telah melimpahkan hadiah dan bahkan semua keperluan berjudi aku cukupi. Karena itu sudah sepatutnya kalau engkau kini bertanggung jawab atas larinya adikmu itu!" Kata Raden Wiratama kepada Kwee Lok yang duduk sambil menundukkan muka di depannya.

"Akan tetapi, Raden. Bukankah engkau sendiri yang mengatakan bahwa ia telah setuju untuk menjadi selirmu? Bahkan ia telah tidur di dalam kamarmu? Bagaimana ia sekarang dapat melarikan diri dari sini dan apa sebabnya?"

"Semalam datang seorang yang mengajaknya pergi melarikan diri, bahkan mereka berdua menggunakan kekerasan melawan pasukan pengawal!"

"Siapa orang itu? Siapa yang mengajaknya pergi, Raden?" Tanya Kwee Lok dengan heran.

"Engkau takkan dapat menduga. Orang itu adalah Darmini."

"Ahhh...!" Kwee Lok membelalakkan matanya, membayangkan wajah Darmini, gadis hitam manis yang dulu pernah menjadi kekasih Ong Cun, yang sudah dikenalnya dengan baik. Darmini mampu melakukan itu? Dan apa maksudnya mengajak pergi Bi Kwi? "Akan tetapi... Kwi-moi belum pernah berkenalan dengannya. Bagaimana kini mereka dapat lari bersama?"

Tentu saja Raden Wiratama tidak dapat menceritakan hal yang sebenarnya, dan dia hanya berkata, "Darmini datang dan mengingatkan kepada Bi Kwi bahwa ia tidak patut menjadi selirku dan berhasil membujuknya untuk melarikan diri. Ketika aku mengerahkan pasukan untuk menghalangi mereka pergi, mereka berdua melawan. Sekarang, engkau harus mencari Bi Kwi dan membawanya kembali kepadaku. Kalau tidak, engkau harus mengembalikan semua uang yang pernah kau pinjam dan mengembalikan pula semua barang hadiah yang pernah kuberikan kepadamu, atau kalau tidak, terpaksa kusuruh orang-orangku membunuhmu! Ingat, aku tidak mau dipermainkan, dan aku tahu bahwa engkau tangguh. Akan tetapi ketahuilah, aku mempunyai orang-orang yang juga amat tangguh, seperti Empu Kebondanu, dan juga Walet Hitam yang tentu akan dapat membunuhmu dengan mudah!"

Kwee Lok mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. "Baiklah Raden. Kita adalah sahabat, mengapa harus menggunakan kekerasan? Tentu saja aku mau pergi mencari adikku itu sampai dapat. Memang ia banyak menyusahkan aku saja. Aku pasti dapat mencari mereka, dan sekalian mencari Darmini!"

"Tidak perlu. Bawa saja Bi Kwi ke sini! Mengenai Darmini, Ki Demang Bragolo sudah sanggup untuk menangkapnya."

"Baik, baik... Akan kucari anak bandel itu!" Kwee Lok merasa jengkel terhadap Bi Kwi karena gadis itu dianggapnya hanya membuat dia repot saja.

Tadinya dia sudah merasa senang hidup di dalam rumah Wiratama yang kaya raya, dan dia boleh bersenang-senang sesuka hatinya. Bi Kwi juga akan menjadi selir tokoh yang kaya raya dan berkuasa itu. Mau apa lagi? Siapa kira, semua itu kini hancur, bahkan dia terancam pembalasan Wiratama gara-gara ulah Bi Kwi.

Gadis itu dibawa pergi Darmini, dan mengingat bahwa Ki Demang Bragolo yang menjadi anak buah Wiratama sudah berjanji akan menangkap Darmini, maka sebaiknya kalau dia bekerja sama dengan Ki Demang Bragolo yang sudah dikenalnya sejak dahulu. Demi kepentingan mereka bersama, tentu mereka berdua dapat bekerja bersama dengan baik, dan kedua orang gadis itu akan lebih mudah untuk diketemukan dan ditangkap.

Sementara itu, Darmini mengajak Bi Kwi menghadap Raden Gajah. Raden Gajah menerima mereka di ruangan tamu, dan Senopati itu memandang kepada Bi Kwi dengan alis berkerut dan hati dipenuhi keheranan, juga kecurigaan. Mengapa keponakannya membawa tamu seorang pemuda Cina, pikirnya.

Bagaimanapun juga ada perasaan yang tidak enak dalam hati Raden Gajah terhadap bangsa Cina. Hal itu adalah karena peristiwa lima tahun yang lalu, betapa ada seorang tokoh rahasia Cina, yaitu Walet Hitam, membantu pelarian Wirabumi. Biarpun akhirnya dia berhasil menangkap dan membunuh pemberontak itu dan memaksa Walet Hitam melarikan diri, namun Cina rahasia itu sempat membunuh banyak anak buahnya.

Dan akibat dari perbuatan Walet Hitam, para tamu Cina di Lumajang diserbu sehingga terjadi pertempuran yang akhirnya amat merugikan Kerajaan Majapahit sendiri karena harus mengganti kerugian kepada negeri Cina. Hal itu menimbulkan rasa tidak suka di hatinya melihat kini Darmini datang bersama seorang pemuda Cina, walaupun dia tahu bahwa Darmini pernah bertunangan dengan seorang pemuda Cina yang akhirnya terbunuh.

"Nini Darmini, siapakah orang muda yang kau ajak menghadapku ini?" Tanyanya dan dari suaranya saja tahulah Darmini bahwa Pamannya merasa tidak suka.

"Maafkan saya, Kanjeng Paman Senopati," Katanya penuh hormat. "Adik ini adalah seorang gadis yang menyamar pria seperti saya. Ia bernama Ong Bi Kwi dan ia adalah adik mendiang Ong Cun yang datang dari negerinya untuk menuntut balas atas kematian Kakak kandungnya. Kami berdua telah bersepakat untuk bekerja sama mencari pembunuh Ong Cun. Karena itu, tanpa lebih dahulu memberitahukan Kanjeng Paman, saya mengajaknya ke sini. Kalau ia boleh tinggal di sini selama kami melakukan penyelidikan, sukurlah. Andaikata Paman berkeberatan, saya akan mencarikan tempat pondokan untuknya dan saya akan menemaninya."

Raden Gajah mengamati tajam wajah Bi Kwi, diam-diam kagum hatinya. Seorang gadis begitu muda datang jauh dari negeri Cina seorang diri saja, menyamar sebagai pria untuk menuntut balas atas kematian Kakaknya. Tentu gadis ini bukan orang sembarangan seperti halnya Darmini.

"Raden, maafkan kalau saya mengganggu dan merepotkan saja," Kata Bi Kwi.

Raden Gajah semakin kagum. Biarpun masih agak kaku, gadis ini telah pandai berbahasa daerah dan pandai pula membawa diri. Dia mengangguk-angguk, "Tidak mengapa, nona. Engkau bukan hanya sahabat, melainkan juga tadinya akan menjadi adik Darmini, maka terhitung keluarga juga. Tinggalah disini bersama Nini Darmini, kami tidak merasa keberatan."

Tentu saja dua orang gadis itu merasa girang bukan main dan keduanya cepat menghaturkan terima kasih kepada Senopati yang gagah perkasa itu. Raden Gajah lalu memperkenalkan mereka dengan keluarganya dan mulai hari itu tinggallah Bi Kwi bersama Darmini di rumah Senopati Raden Gajah.

Mulailah Bi Kwi dan Darmini melakukan penyelidikan. Mereka sudah sama sepakat bahwa pertama-tama mereka akan menyelidiki keadaan keluarga Empu Tanding, terutama sekali Panji Sarono yang pernah bentrok dengan Ong Cun. Apalagi karena Darmini telah mendengar keterangan Gagak Ireng bahwa empat jagoan yang terkenal dengan nama Empat Bajul pernah menyatakan hendak membunuh Ong Cun, dan menurut keterangan itu, Empat Bajul kini berada di Kotaraja dan menjadi anak buah Panji Sarono!

"Kwee-Toako juga pernah bercerita kepadaku tentang Panji Sarono dan Ayahnya, Empu Tanding itu, Mbak-Ayu Darmini. Kurasa memang sebaiknya kalau menyelidik ke sana dan mencari mereka, terutama Empat Bajul itu. Andaikata bukan mereka yang membunuh Cun Koko, setidaknya mereka tahu siapa yang melakukannya."

Demikianlah, pada suatu malam, malam yang gelap karena sore tadi hujan turun dengan derasnya, dua orang gadis menuju ke rumah gedung tempat kediaman Empu Tanding. Darmini menggunakan sebuah mantel hitam untuk menutupi pakaiannya yang serba putih dan mereka tidak lupa membawa pedang masing-masing. Malam itu gelap dan dingin sekali sehingga penduduk kota sudah tidak menampakkan diri di luar rumah mereka.

Memang lebih enak tidur dikamar yang hangat daripada berkeliaran diluar rumah dalam malam yang gelap dan dingin itu, demikian pendapat semua orang. Namun bagi mereka yang berada diluar rumah, kalau mau membuka mata dengan waspada, akan nampaklah keindahan malam yang khas, malam sehabis hujan.

Kesemuanya bersih segar, baru saja mandi air hujan yang mencuci semua debu dari daun-daun pohon. Tanah yang mengeluarkan bau yang khas, sedap dan sehat ketika hawa keluar dari dalam tanah yang tersiram air hujan. Langit juga bersih karena semua mendung telah tercurahkan ke bumi menjadi air, langit yang hitam legam karena bulan muda sudah sejak tadi menghilang dan bintang-bintang hanya menurunkan sinar yang lemah dan lembut saja.

Sunyi sekali, angin pun agaknya beristirahat di malam itu, membiarkan daun-daun pohon tidur nyenyak tanpa gangguan tangan angin nakal. Setelah mereka tiba di luar pagar tembok di luar gedung tempat tinggal keluarga Empu Tanding, dua orang gadis itu menyelinap ke bawah pohon besar. Masih ada air menetes kadang-kadang dari ujung daun, sisa air hujan.

"Kita menyelidiki dengan berpencar dan kembali ke pohon ini." Kata Darmini.

"Kalau ada bahaya, beri tanda dengan suara burung hantu seperti yang sudah kita pelajari tadi."

Bi Kwi mengangguk dan keduanya lalu meloncat naik ke atas pohon dan dari pohon besar itu, setelah celingukan dan tidak melihat adanya penjaga di tempat itu, mereka melompat ke atas pagar tembok, lalu turun ke sebelah dalam pagar. Para penjaga memang sedang berkumpul di gardu penjagaan yang berada di pintu gerbang pagar tembok, karena malam terlalu dingin membuat mereka malas berjaga di luar atau meronda.

Dan lagi, siapa berani bermain gila mengganggu rumah Empu tanding yang terkenal sakti dan memiliki putera-putera yang sakti pula, belum lagi dihitung pasukan pengawal dan penjaga yang memperkuat penjagaan rumah itu? Karena merasa aman, para penjaga menjadi lengah. Setelah mempelajari keadaan gedung yang besar dan luar itu dari atas, dua orang gadis itu lalu berpencar.

Darmini meloncat ke kiri dan Bi Kwi membelok ke kanan. Dengan hati-hati sekali Bi Kwi berloncatan ke atas wuwungan rumah, kemudian ia meloncat turun ke sebuah taman kecil yang berada di kanan bangunan induk. Perumahan itu luas sekali, dengan gedung induk di tengah, dan dibagian belakang terdapat pula beberapa bangunan lain.

Ia tahu bahwa memasuki bangunan induk amat berbahaya. Ia sudah mendengar dari Darmini bahwa Empu Tanding adalah seorang yang sakti, dan disitu terdapat pula putera-puteranya, juga pengawal-pengawal pilihan. Yang penting melakukan penyelidikan apakah Empat Bajul tinggal di kompleks perumahan itu, maka iapun menyelinap ke belakang, menuju ke deretan bangunan kecil.

Ketika ia melihat sebuah pondok masih terang menandakan bahwa penghuninya masih belum tidur, iapun cepat menyelinap ke pondok itu dan mengintai dari balik jendela yang daunnya masih terbuka. Ruangan di balik jendela itu tidak berapa luas, merupakan ruangan duduk yang cukup mewah. Seorang pemuda nampak duduk di atas bangku, membaca kitab yang didekatkan pada lampu penerangan yang terletak di atas meja. Bi Kwi memperhatikan pemuda itu.

Seorang pemuda yang usianya dua puluh tahun lebih, bertubuh tegap dan berwajah tampan, wajahnya bersih dan cerah, dengan sepasang mata yang tajam dan mulut yang membayangkan keramahan dan kelembutan. Pemuda itu agaknya asyik sekali dengan bacaannya, atau memang gerakan Bi kwi yang terlalu ringan dan tidak mengeluarkan suara apapun sehingga dia tidak tahu bahwa ada sepasang mata yang mencorong memperhatikannya.

Bahkan dia lalu bertembang dengan suara merdu dan lirih, namun cukup menembus jendela yang terbuka memasuki malam gelap, menyusup di antara daun-daun pohon lalu membumbung ke udara bercampur denga segala suara malam itu. Sejenak Bi Kwi terpesona dan ia merasa jantungnya berdebar keras. Hatinya amat tertarik dan pria di dalam itu baginya kelihatan demikian tampan, ganteng, gagah dan lemah lembut.

Dan suara tembang yang asing itu terdengar aneh bagi telinganya, aneh akan tetapi lembut dan anggun, agung. Bi Kwi menekan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya ini dan iapun sudah sadar lagi, siap untuk melakukan penyergapan. Tanpa menangkap seorang diantara mereka dan bertanya dengan ancaman, mustahil ia akan dapat mengetahui apakah Empat Bajul berada di situ ataukah tidak.

Dengan gerakan seperti seekor burung murai terbang, ia meloncat ke dalam ruangan itu dan sebelum pemuda itu sempat melakukan sesuatu, tahu-tahu Bi Kwi sudah berada di belakangnya dan menodongkan pedangnya menempel pada leher si pemuda! Pemuda itu menengok dan nampak terkejut, juga heran sekali melihat betapa tahu-tahu dia telah ditodong pedang oleh seorang pemuda asing!

"Jangan berteriak kalau tidak ingin pedangku menembus lehermu!"

Bi Kwi membentak lirih dan diam-diam ia merasa kagum dan heran melihat betapa pemuda yang ditodongnya itu sama sekali tidak kelihatan ketakutan, walaupun nampak kaget dan heran. Sikap pemuda itu tetap tenang saja dan hal ini mengagumkan karena orang lain tentu sudah menjadi pucat ketakutan ditodong seperti itu.

Mendengar kata-kata Bi kwi, pemuda itu kelihatan semakin heran karena dia kini yakin bahwa yang menodongnya adalah seorang asing. "Sobat, engkau agaknya seorang Cina, akan tetapi kenapa menodongku? Kalau engkau seorang pencuri, tidak perlu menodongku. Kalau engkau benar dalam keadaan susah dan ingin harta benda, aku dapat membantumu tanpa kau todong. Nah, duduklah dan ceritakan apa kesusahanmu, aku pasti akan menolongmu, sobat?"

Kini Bi Kwi yang tercengang dan melongo. Orang ini ditodong malah menawarkan bantuan! "Jawab, dimana adanya Empat Bajul?"

Bi Kwi berbisik dan mengancam. Pemuda itu tersenyum dan kembali Bi Kwi kagum. Dalam keadaan begitu, selain menawarkan bantuan, malah masih dapat tersenyum demikian wajarnya, bukan senyum buatan. Bukan main pemuda ini, pikirnya.

"Sobat, engkau ini aneh dan mengajukan pertanyaan yang aneh pula. Empat Bajul? Siapa itu? Mendengar nama itupun baru sekarang? Di sini tempat manusia, bukan tempat Bajul (Buaya)."

"Jangan cengengesan!" Bentak Bi Kwi dan pemuda itu memperlebar senyumnya mendengar kata "cengengesan" Itu yang diucapkan dengan lidah kaku.

"Katakan saja di mana adanya Bajul Sengoro, Bajul Sengkolo, Bajul Puruso dan Bajul kanisto itu!"

Pemuda itu tidak menghentikan senyumnya, "Wah, wah, penudah dengan Bajul! Heran sekali, kalau engkau yang mengenal segala macam Bajul itu, kenapa engkau datang kesini dan bertanya kepadaku? Aku tidak mengenal mereka , walaupun aku tahu bahwa mereka adalah penjahat-penjahat tersohor dari Lumajang. Aku bahkan tidak tahu bahwa mereka berada di Majapahit. Sobat, sungguh sayang sekali kalau engkau yang merupakan pendatang dari jauh, disini hanya bergaul dengan penjahat-penjahat macam mereka. Agaknya engkau ini seperti si Walet Hitam yang mau melakukan apa saja asal di beri hadiah banyak, begitukah?"

Wajah Bi Kwi berubah merah karena marah. Ingin ia menampar muka orang yang menghinanya itu, dan karena orang itu mengatakan tidak tahu tentang Empat Bajul, walaupun mungkin berbohong, ia hendak meninggalkannya. Akan tetapi orang ini harus dibuat tidak berdaya agar jangan berteriak setelah ia pergi. Tangan kirinya sudah bergerak hendak menampar, akan tetapi ia teringat akan sesuatu dan tamparannya diurungkan.

"Engkau siapakah?" Tiba-tiba ia bertanya.

"Aku bernama Panji Saroto dan tidak pernah bergaul dengan segala macam Bajul..."

"Tukkk!"

Tiba-tiba jari tangan kiri Bi Kwi menotok jalan darah di pundak dan lehernya secara cepat sekali dan pemuda itupun terkulai lemas karena sudah tertotok lumpuh dan tidak mampu bersuara lagi. Bi Kwi lalu menyimpan pedangnya dan memanggul tubuh yang lemas itu. Ia harus menawan orang ini, pikirnya karena jelas bahwa orang ini membohong.

Darmini tentu akan setuju dengan perbuatannya ini karena orang ini merupakan orang pertama dan terpenting untuk dicurigai sebagai pembunuh Ong Cun atau setidaknya orang yang mengutus si pembunuh. Dengan ringan biarpun kini memanggul tubuh seorang pemuda, Bi Kwi meloncat keluar dan terus ke atas genteng, kembali ke pohon besar yang tumbuh diluar pagar tembok itu. Pohon trembesi itu besar dan melalui cabangnya yang tumbuh di atas pagar tembok, mereka tadi dengan mudah memasuki tempat itu.

Sambil berlompatan, Bi Kwi mengeluarkan suara seperti suara burung hantu dan segera memperoleh jawaban. Ia harus memanggil Darmini karena telah mendapatkan tawanan penting. Hampir berbareng mereka tiba di pohon trembesi itu dan melihat Bi Kwi memanggul tubuh seorang, Darmini merasa heran dan bertanya.

"Bi Kwi, siapakah dia?"

"Mbak-Ayu, aku telah menangkap Panji Sarono!" Kata Bi Kwi dan mendengar ini, Darmini merasa terkejut akan tetapi juga girang.

"Engkau setuju, bukan?"

"Tentu saja!" Jawab Darmini. "Mari kita bawa dia ke gubuk itu!"

Mereka tadi memang telah menentukan sebuah gubuk di tengah sawah untuk tempat persembunyian malam itu kalau terjadi sesuatu. Tempat itu sunyi dan takkan ada orang tahu atau menduga bahwa mereka berada di gubuk itu. Setelah tiba di dalam gubuk, Bi Kwi melemparkan tubuh yang lumpuh itu ke atas tanah dan Darmini lalu membuat api menyalakan sebuah lentera kecil yang memang sudah dipersiapkan di dalam gubuk. Ketika penerangan lentera itu menyinari muka pemuda itu, Darmini mengeluarkan seruan kaget.

"Adik Bi Kwi, dia bukan Panji Sarono!!" Kemudian disambungnya. "Akan tetapi diapun akan dapat memberi keterangan. Bebaskan dia, Bi Kwi!"

Bi Kwi tadi salah menangkap ketika Panji Saroto memperkenalkan namanya. Yang diingat hanyalah Panji Sarono sebagai orang pertama yang dicurigai, maka ketika Panji Saroto memperkenalkan diri, ia mengira bahwa pemuda itu adalah Panji Sarono dan langsung menotok dan menawannya. Setelah mendengar bahwa ia salah tangkap orang, Bi Kwi merasa rikuh sekali dan iapun membebaskan totokannya, akan tetapi ia meloncat mundur dan berseru,

"Aihhhh"!" Ia terbelalak. "Kau... kau... sudah bebas dari totokanku!"

Sambil tersenyum Panji Saroto bangkit berdiri dan memandang kepada Bi Kwi. Dari percakapan dua orang tadi, tahulah dia bahwa pemuda Cina yang menangkapnya ternyata seorang wanita, hal yang sudah diduganya sejak pertama kali pemuda itu memasuki kamarnya. Pemuda itu terlampau manis untuk menjadi pria!

"Nona, ilmu kepandaianmu hebat dan dengan susah payah baru aku dapat membebaskan diri dalam perjalanan tadi."

"Jadi kau... bebas sejak tadi...? Kenapa diam saja?" Bi Kwi bertanya sambil mengamati wajah yang tersenyum itu.

Panji Saroto balas memandang dengan senyum mengejek. "Nona, sudah sejak kecil aku tidak merasakan bagaimana enaknya digendong orang. Kini engkau, tanpa kuminta, telah memondongku, maka untuk apa aku ribut-ribut tadi? Lebih baik menikmati gendongan. Eh, engkau juga disini kiranya, Mbak-Ayu Darmini? Kiranya nona Cina ini adalah sahabatmu? Sungguh mengherankan sekali, apa maksudmu menawan aku, adik misanmu sendiri?"

Darmini tidak menyangkal lagi. Lima enam tahun yang lalu, Panji Saroto ini masih seorang pemuda remaja, akan tetapi kini dia telah dewasa, maka iapun menjawab dengan sungguh-sungguh,

"Adimas Panji Saroto, maafkan kalau adikku Ong Bi Kwi ini telah mengganggu dan menangkapmu. Akan tetapi hal itu memang merupakan suatu kesalahan karena ia sesungguhnya menyangka bahwa engkau adalah Kakang-Mas Panji Sarono. Sekarang engkau telah menjadi tawanan kami, dan memang terus terang saja kami sedang melakukan penyelidikan di rumah Uwa Empu Tanding!"

Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Darmini yang berpakaian pria ini, Panji Saroto tidak berani main-main lagi. Diam-diam dia mendapat kenyataan bahwa Darmini bukanlah gadis manis yang ramah dan lembut seperti dahulu lagi, melainkan seorang wanita yang gagah dan sikapnya anggun penuh wibawa.

"Mengapa engkau memusuhi kami, Mbak-Ayu? Apakah barangkali engkau telah memihak Ki Demang Bragolo, Ayah tirimu itu? Engkau telah membantu gerakan para pemberontak Lumajang!"

"Sama sekali tidak!" Jawab Darmini. "Aku melakukan ini demi urusan pribadiku. Aku sedang menyelidiki Empat Bajul yang kabarnya menjadi anak buah dari Kakang-Mas Panji Sarono, dan akupun ingin bertemu dengan Kakang-Mas panji Sarono!"

Panji Saroto adalah seorang pemuda yang cerdik sekali. Tentu saja dia sudah mendengar tentang peristiwa yang terjadi di Lumajang, tentang Darmini yang bertunangan dengan seorang pemuda Cina, betapa kemudian pemuda itu terbunuh orang dan kabarnya Darmini pergi merantau mempelajari ilmu!

Tentu untuk membalas dendam! Dan agaknya Darmini mencurigai Kakak kandungnya, Panji Sarono dan dia tidak terlalu menyalahkan gadis itu, karena dia sendiri mengenal baik siapa adanya Kakak kandungnya itu, bahkan diapun tahu bahwa Empat Bajul itu adalah kaki tangan Kakaknya!

"Mbak-Ayu Darmini, apakah urusan pribadi itu adalah urusan kematian tunanganmu dahulu itu? Dan engkau agaknya menuduh Kakakku yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu?"

Darmini menentang pandang mata pemuda itu dengan sinar mata mencorong. "Agaknya engkau bukan kanak-kanak lagi, adimas Panji Saroto, dan engkau telah mengetahuinya. Benar seperti kau katakan tadi. Kelirukah kecurigaanku kepadanya menurut pendapatmu?"

Panji Saroto mengangkat kedua pundaknya. "Aku tidak tahu, Mbak-Ayu, dan aku tidak ingin mencampuri urusan itu. Memang sebaiknya kalau Mbak-Ayu bicara sendiri dengan Kakang-Mas Panji Sarono."

"Dimana adanya Empat Bajul itu?"

"Saya tidak tahu apakah mereka itu masih bersama Kakang-Mas Panji Sarono, akan tetapi hal itupun dapat kau tanyakan sendiri kepadanya?"

"Bagaimana aku dapat bertemu dengan Kakang-Mas Panji Sarono?"

"Dia jarang berada di rumah karena Kanjeng Rama selalu marah kepadanya. Dia mempunyai sebuah rumah dimana dia menyimpan selir-selirnya, diujung Kotaraja sebelah selatan. Rumahnya bercat kuning dan di depannya penuh dengan tanaman bunga mawar, terkenal di sana dengan nama Gedung Mawar."

"Hemm, kuharap saja keteranganmu ini benar, adimas Panji Saroto."

"Kenapa tidak benar? Aku tidak pernah membohong dan ini... nona ini apa hubungannya dengan urusan pribadinya. Mbak-Ayu Darmini? Kenapa ia ikut campur pula?"

"Ong Bi Kwi adalah adik kandung mendiang tunanganku Ong Cun, jadi ia bukan orang lain."

"Wah! Jauh-jauh dari negeri Cina datang untuk membalas dendam atas kematian Kakaknya?" Panji Saroto berseru sambil memandang gadis Cina itu dengan mata terbelalak.

"Kau pikir seorang pembunuh keji harus dibiarkan saja karena dia adalah Kakakmu sendiri?" Bi Kwi balas mengejek.

Panji Saroto menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Bukan demikian maksudku, kalau memang dia bersalah, biar Kakak kandungku sendiri, dia patut menerima hukuman. Akan tetapi kalian berdua ini, wanita-wanita muda, kini telah berubah menjadi dua ekor singa betina yang haus darah. Betapa mengerikan!"

Mendengar ucapan adik misannya ini, Darmini teringat akan pesan guru, Sang Panembahan Ganggamurti, maka ia pun cepat menjawab, "Kami bukan haus darah, bukan semata-mata hendak membalas dendam sakit hati, adimas, melainkan kami sebagai orang-orang yang menjungjung tinggi keadilan, tidak dapat membiarkan seorang pembunuh keji berkeliaran tanpa dihukum!"

Kembali Panji Saroto menarik napas panjang. "Bunuh-membunuh, balas-membalas menurutkan amarah dan kebencian. Jagad Dewa Bathara... semoga para dewata mengampuni kita manusia yang lemah ini, hanya aku pesan kepadamu, Mbak-Ayu Darmini agar engkau tidak mabok dalam dendam, dan bertindak adil tidak sembarangan membunuh orang agar tidak sampai kesalahan tangan membunuh orang yang tidak berdosa."

"Aku hanya ingin menegakkan keadilan, bukan haus darah dan ingin membunuh orang, apa lagi orang tidak berdosa, adimas Panji Saroto," Jawab Darmini.

"Dan engkau, nona... siapa tadi namamu? Nona Bi Kwi, lain kali kalau engkau ingin memondong orang, tidak perlu pakai todong-todongan pedang segala!" Kata Panji Saroto kepada Bi Kwi yang menjadi merah mukanya.

Kalau saja ia tidak ingat bahwa pemuda itu adalah adik misan Darmini, tentu akan ditamparnya mulut yang mengejeknya itu. Panji Saroto lalu keluar dari gubuk dan kembali ke rumah orang tuanya. Setelah pemuda itu pergi, Darmini saling pandang dengan Bi Kwi dan gadis ini mengomel.

"Celaka, sungguh sial aku. Salah comot membuat aku menjadi bahan ejekan!"

Darmini tertawa kecil. "Jangan murung, adikku. Bagaimanapun juga, keterangan Panji Saroto tadi amat penting. Sekarang juga kita pergi ke Gedung Mawar dan mencari Empat Bajul di sana."

Mereka memadamkan lentera dan meninggalkan gubuk. Di dalam perjalanan menuju ke ujung kota bagian selatan ini, Bi Kwi sempat bertanya, "Aku merasa heran sekali, apakah yang bernama Panji Sarono itu juga seperti adiknya tadi?"

"Seperti adiknya bagaimana?"

"Dia tadi tidak kelihatan sebagai orang jahat!"

"Memang tidak sama. Panji Sarono adalah seorang pemuda mata keranjang yang sudah terkenal suka mengganggu dan merusak pagar ayu, mengejar wanita. Akan tetapi, nama Panji Saroto tidak pernah dibicarakan orang, dan agaknya dia orang yang baik dan dia... Oh, ketika memandangmu tadi, agaknya dia amat suka dan kagum padamu, adikku!"

Wajah Bi Kwi menjadi merah dan jantungnya berdebar kencang. "Ihh! Tertarik untuk mentertawakan dan mengejek? Heran, bagaimana dia dapat membebaskan diri sendiri dari pengaruh totokanku tadi?"

"Jangan pandang rendah padanya, Bi Kwi. Ayahnya adalah Uwa Empu Tanding yang memiliki aji kesaktian dan kabarnya Panji Saroto itu tidak kalah tangguhnya dibandingkan Kakaknya, Panji Sarono."

"Hemmm..." Bi Kwi tidak melanjutkan kata-katanya, hanya diam-diam timbul keinginan hatinya untuk menguji sampai dimana ketangguhan Panji Saroto tadi.

Rumah itu tidak sebesar kelompok bangunan tempat tinggal Empu Tanding. Akan tetapi cukup besar untuk disebut sebagai gedung, Dan taman di depan rumah yang luas itu memang penuh dengan tanaman bunga mawar beraneka warna sehingga dari luar pagar tembok saja orang sudah dapat mencium bau mawar semerbak harum. Letak gedung itu agak terpencil, di ujung selatan.

Para penjaga yang mengantuk karena malam sudah sangat larut, bahkan menjelang subuh berkumpul di dalam gardu penjagaan sehingga mudahlah bagi. Darmini dan Bi Kwi untuk melompati pagar tembok dan langsung saja mereka menyelinap di antara tihang-tihang, berindap-indap menghampiri ruangan dalam.

Sunyi sekali di situ dan gelap karena penerangan hanya terdapat di ujung depan dan belakang sehingga ruangan terbuka yang mereka masuki itu nampak remang-remang. Selagi kedua orang gadis itu merasa ragu apakah rumah ini ada penghuninya ataukah kosong, tiba-tiba saja terdengar suara bergelak disusul suara parau,

"Ha-ha-ha, dua ekor kelinci berani memasuki sarang harimau, agaknya dua orang mata-mata muda ini sudah bosan hidup!"

Darmini dan Bi Kwi terkejut, akan tetapi tetap tenang dan waspada, dan mereka sudah berdiri saling membelakangi untuk menghindarkan serangan gelap dari belakang.

Kini, nampak sinar terang bernyala-nyala dan muncullah sedikitnya dua puluh orang dan setengah jumlah mereka itu memegang obor di tangan kiri dan golok di tangan kanan sedangkan selebihnya juga sudah siap dengan senjata mereka yang bermacam-macam bentuknya.

Mereka telah mengepung ruangan terbuka itu dan kini Darmini dan Bi Kwi maklum bahwa mereka telah memasuki perangkap, bahwa pihak lawan agaknya sudah tahu akan kedatangan mereka dan mempersiapkan diri.

Namun mereka tidak takut dan keduanya lalu bergerak memutar untuk mengamati semua orang itu, dengan tetap saling membelakangi. Mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, dan akhirnya Darmini melihat empat orang seperti yang digambarkan oleh Gagak Ireng kepadanya.

Seorang tinggi besar dengan brewok hitam, memegang sebatang senjata kapak besar, disebelahnya seorang tinggi kurus yang mukanya putih penuh dengan panu, memegang sebatang arit panjang kemudian seorang yang tampan pesolek memegang golok di samping orang k empat yang bertubuh gendut pendek, mukanya buruk dan dia memegang sebatang lembing. Maka iapun berhenti bergerak menghadapi empat orang itu.

"Apakah kalian yang dijuluki Empat Bajul?" Tanya Darmini, suaranya tenang namun matanya seperti menyambar-nyambar ke arah empat orang itu.

"Ha-ha-ha, sudah tahu Empat Bajul berada disini, kalian berdua tikus-tikus cilik berani sekali masuk! Kalian tentulah mata-mata pihak musuh yang berniat buruk. Menyerah sebelum kami bergerak menghancurkan kepala kalian!" Bentak Bajul Sengoro yang tinggi besar.

"Empat Bajul, kami datang karena urusan pribadi dengan kalian berempat! Kalau memang gagah, keluarlah dan kami tidak melibatkan orang-orang lain di sini!" Kembali Darmini berkata dengan sikap gagah.

"Ha-ha, sudah masuk jangan harap dapat keluar dengan badan utuh! Percuma engkau menggunakan akal mencari jalan keluar, orang muda. Lekas berlutut dan menyerah!" Kembali Bajul Sengoro menjawab sambil mengangkat kepaknya dengan sikap mengancam.

"Hemmm, jangan harap kami berdua akan menyerah terhadap coro-coro macam kalian!" Darmini membentak dan kini terdengar suara bentakan nyaring dan parau dari belakang orang-orang itu.

"Aummmm! Kiranya kalian dua orang gadis yang nekat itu!"

Dan muncullah orangnya yang bukan lain adalah Ki Empu Kebondanu yang memegang tongkat bambu gading yang ampuh itu. Dan agak jauh dibelakangnya nampak seorang pria muda yang tampan, berkumis tipis dan matanya lincah, namun sikapnya sombong. Darmini juga segera mengenal orang itu yang bukan lain adalah Panji Sarono.

Akan tetapi orang muda itu tidak mengenal Darmini yang berpakaian pria dan masih memandang bingung dan heran mendengar betapa Empu Kebondanu mengatakan bahwa dua orang pemuda yang dikepung oleh orang-orangnya itu adalah dua orang gadis.

"Kiranya Empu Kebondanu juga berada disini! Pantas mereka semua ini jahat dan kejam!" Kata Darmini dengan marah melihat munculnya Kakek ini walaupun ia merasa heran pula.

Bukankah Kebondanu tadinya berada di rumah Wiratama pemimpin pemberontak Lumajang itu? Dan kenapa kini berada bersama Panji Sarono, padahal menurut keterangan Raden Gajah, Empu Tanding termasuk seorang yang setia kepada kerajaan? Apakah kini diam-diam diluar tahunya Raden Gajah, Empu Tanding sudah berubah dan berkhianat, ataukah hanya Panji Sarono saja yang memiliki langkah hidup yang berbeda dari Ayahnya dan menyimpang?

Akan tetapi ia tidak sempat banyak bicara karena tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring yang dipimpin oleh Empat Bajul dan para pengepung itu telah menyerbu dan menyerang mereka!

Darmini dan Bi Kwi maklum akan bahaya yang mengancam, maka hampir berbareng mereka menggerakkan tangan mencabut pedang mereka. Sinar pedang berkilat menyilaukan mata ketika pedang Lian-Hwa-Kiam dan Liong-Cu-Kiam dicabut dari sarungnya.

Dan lenyaplah bentuk kedua pedang itu ketika dua orang gadis perkasa itu memainkannya, karena telah berubah menjadi dua gulung sinar pedang yang menyambar-nyambar dan melindungi tubuh mereka dari serangan banyak senjata. Terdengar suara nyaring berkali-kali disusul teriakan beberapa orang pengeroyok yang senjatanya buntung begitu bertemu dengan kerasnya tertangkis dua gulungan sinar pedang itu.

Empu Kebondanu yang masih merasa penasaran terhadap Darmini, kini menerjang dengan tongkat bambu gadingnya dan disambut oleh pedang Darmini. Mereka segera terlibat dalam perkelahian yang seru, sedang Bi Kwi kini dikeroyok oleh Empat Bajul. Anak buah yang lain hanya mengepung dan kadang-kadang saja mengerakkan senjata mengeroyok karena perkelahian itu amat cepat jalannya sehinga mereka bingung juga bagaimana dapat membantu kawan.

Empu Kebondanu kini mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, mendesak Darmini yang harus mengakui bahwa Kakek itu hebat bukan main. Serangannya dahsyat dan kejam sifatnya, dan tongkat bambu kuning itupun merupakan senjata ampuh yang mampu menahan pedangnya dengan pukulan dari samping, tidak langsung menyambut mata pedang.

Yang hebat, dalam gerakan Kakek itu terkandung tenanga mujijat, bukan tenaga sewajarnya, bahkan dalam bentakannya yang seperti macan mengaum itu mengandung kekuatan yang akan mampu melumpuhkan atau setidaknya menggetarkan jantung mengecilkan nyali lawan.

Namun, Darmini adalah murid dari Panembahan Ganggamurti yang sudah digembleng dan diisi dengan kekuatan batin yang tangguh. Biarpun demikian, karena ia hanya selama lima tahun menjadi murid di puncak Bromo, menghadapi seorang Kakek yang sudah matang ilmunya seperti Empu Kebondanu, Darmini mulai terdesak. Ia kalah pengalaman, juga kalah matang gerakan-gerakannya disamping kalah banyak perkembangan gerakannya.

Apa lagi Kakek itu memiliki banyak sekali ilmu-ilmu pukulan yang curang dan tidak disangka-sangka. Hanya karena ia memiliki sebatang pedang ampuh saja Darmini masih dapat bertahan, dengan lindungan kilatan sinar pedang yang diputar cepat.

Bi Kwi juga mulai terdesak karena selain Empat Bajul itu merupakan ahli-ahli dalam perkelahian, juga mereka itu buas dan memiliki tenaga kuat sekali, apalagi masih dibantu kadang-kadang oleh anak buah yang mengepung. Gadis ini melawan dengan penuh semangat.

Empat orang itu adalah orang-orang yang diduga keras menjadi pembunuh Kakak kandungnya, maka iapun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melawan, tidak segan-segan kalau perlu merobohkan dan membunuh mereka karena ia maklum bahwa kalau ia kalah, ia akan menebusnya dengan nyawa pula. Sudah ada tiga orang anak buah yang ikut mengeroyok roboh oleh pedangnya.

Perkelahian antara Ki Empu Kebondanu dan Darmini berlangsung semakin seru, dan kini Darmini sudah benar-benar terdesak, bahkan pernah satu kali paha kirinya terkena pukulan tongkat bambu kuning. Tidak sampai terluka memang, namun terasa nyeri sekali sehingga permainan pedangnya agak mengendur. Hal ini dapat dilihat oleh Empu Kebondanu yang mentertawakannya dan membujuk agar mau menyerah saja.

"Heh-heh-heh, percuma saja engkau melawan. Lebih baik menyerah tanpa terluka, daripada terancam maut di ujung tongkatku, heh-heh...!"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.