DARMINI tadinya hendak memondong Ibunya untuk diajak lari. Akan tetapi melihat Bi Kwi dikeroyok Walet Hitam dan Empu Kebondanu, dua orang lawan yang tangguh sedangkah di situ masih ada Ki Bragolo dan banyak perajurit pengawal, tentu saja ia menjadi tidak tega. Tidak mungkin ia membiarkan Bi Kwi seorang diri saja tertimpa malapetaka di tempat itu.
Maka, terpaksa ia melepaskan Ibunya dan sambil berseru nyaring iapun terjun membantu Bi Kwi, memutar pedangnya dan menyerang Empu Kebondanu. Nyi Demang Bragolo yang bernama Puriwati itu memandang penuh kekhawatiran, lalu menjauhkan diri sampai disudut ruangan itu di mana ia berdiri dengan muka pucat dan tidak berdaya.
Sementara itu, Demang Bragolo sudah menerjang lagi ke dalam medan pertempuran, membantu Empu Kebondanu dan Walet Hitam, dan ternyata kakek yang bertubuh kurus namun berperawakan tinggi besar ini bukan seorang lemah! Dia memegang sebatang penggada dan tenaganya kuat sekali ketika penggada itu diputar-putar dan senjata yang berat ini menyambar-nyambar dahsyat kearah dua orang gadis itu.
Perkelahian dua lawan tiga yang amat seru dan ternyata orang gadis itu memang benar-benar hebat, perkasa seperti dua ekor singa betina mengamuk. Biarpun tiga orang pengeroyok mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun mereka sama sekali tidak merasa gentar, bahkan tidak sampai terdesak biarpun kini Ki Demang Bragolo membantu, dan ikut mengeroyok mereka.
Sinar pedang di tangan dua orang gadis ini menyambar-nyambar bagaikan kilat, kadang-kadang bergulung-gulung sinarnya, rapat dan sukar ditembus senjata tiga orang pengeroyok mereka. Para perajurit pengawal yang ternyata adalah anak buah Raden Wiratama yang datang bersama Empu Kebondanu dan sudah siap siaga mengepung dua orang gadis itu menurut siasat yang sudah direncanakan mereka bersama, kini hanya menonton dengan kagum dan tidak ada yang berani turun tangan.
Memang amat sukar bagi mereka, para perajurit ini yang tentu saja kalah jauh tingkat kepandaian mereka dibanding dengan mereka yang sedang berkelahi itu. Kalau mereka maju, mungkin mereka bahkan akan mengacaukan pengeroyokan, dan sukar bagi mereka mengikuti gerakan dua orang gadis itu yang kadang-kadan hanya nampak bayangannya saja.
Darmini dan Bi Kwi memang cerdik. Mereka maklum bahwa di antara tiga orang pengeroyok mereka, terdapat Walet Hitam yang pandai mempergunakan senjata rahasia, oleh karena itu, mereka berdua selalu bergerak berloncatan ke sana sini dan mengajak para pengeroyok itu berputaran. Demikian cepat gerakan mereka berdua, lincah dan gesit sehingga tiga orang pengeroyoknya terpaksa ikut pula berputaran.
Dan hal ini membuat Walet Hitam sukar untuk mempergunakan senjata rahasianya. Besar sekali bahayanya akan mengenai teman sendiri. Pula, agaknya Walet Hitam juga enggan mempergunakan senjata gelapnya, kecuali kalau dia memang terhimpit dan terdesak seperti waktu dia dikeroyok dua oleh gadis itu dan terancam bahaya.
Kini, besarlah hatinya karena dia dibantu oleh Empu Kebondanu yang tangguh, juga Demang Bragolo yang bertenaga besar, sedangkan diluar pendopo itu masih ada dua puluh orang lebih perajurit yang siap untuk membantunya. Pedang di tangan Walet Hitam inilah yang paling hebat, dapat mengimbangi kecepatan gerakan dua orang gadis itu.
Masih untung bagi Darmini dan Bi Kwik karena tiga orang yang mengeroyok mereka itu agaknya berhati-hati dan selalu menjaga agar tidak sampai kesalahan tangan membunuh mereka berdua karena mereka itu ingin menangkap hidup-hidup Darmini dan Bi Kwi, terutama sekali Bi Kwi karena Raden Wiratama memperingatkan mereka agar jangan sampai membunuh gadis itu atau melukainya dengan parah.
Namun, Darmini dan Bi Kwi bukanlah dua ekor domba jinak yang mudah ditangkap begitu saja. Sama sekali bukan! Mereka lebih menyerupai dua ekor singa betina yang liar dan buas, pantang menyerah dan agaknya hanya akan menyerah kalau sudah roboh tak bernyawa lagi. Mereka gigih membela diri dan akan melawan sampai titik darah terakhir!
Melihat kenekatan ini, tiba-tiba Ki Demang Bragolo mendapatkan akal licik. Dia meloncat keluar dari kalangan perkelahian dan cepat dia lari menghampiri Nyi Demang. Sebelum isteri pertamanya itu tahu apa yang akan terjadi, Ki Demang sudah memegang lengan tangannya dan ditelikungnya ke belakang, menggunakan tangan kiri saja sedangkan tangan kanan yang memegang penggada itu mendekatkan penggada di kepala wanita itu, kemudian di dorongnya isterinya itu mendekati tempat pertempuran.
"Darmini, hentikan perlawananmu, kalau tidak... kepala Ibumu ini akan kuhancurkan lebih dulu!"
Mendengar ucapan itu, Darmini terkejut sekali dan cepat meloncat ke luar medan perkelahian dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa Ibunya telah ditangkap dan diancam oleh Ayah tirinya. Mukanya yang tadi merah berubah pucat, lalu merah lagi.
"Jaham keparat Bragolo!" Bentaknya dengan suara melengking tinggi. "Pengecut engkau! Hayo lepaskan Ibuku dan mari kita bertanding sampai seorang diantara kita binasa!"
Tangan kirinya menuding dengan telunjuk, sedangkan tangan kanan yang memegang pedang agak gemetar karena hatinya cemas sekali melihat keadaan Ibunya.
"Anakku, jangan menyerah... Biar dia membunuhku, jangan menyerah..." Ibunya berteriak, akan tetapi Ki Demang Bragolo mendorong lengan yang ditelikung itu ke atas sehingga kata-kata itu diakhiri dengan jerit kesakitan dari wanita itu.
Melihat ini, Darmini menjadi tidak tega. Bagaimana mungkin ia dapat melihat Ibunya disiksa dan dibunuh. "Adik Bi Kwi, engkau larilah!" Tiba-tiba ia berteriak untuk memperingatkan Bi Kwi.
Akan tetapi, gadis itu tetap saja mengamuk. "Tidak, Mbak-Ayu Darmini, akan kubunuh iblis-iblis ini!"
Dan Bi Kwi mengamuk semakin nekat. Akan tetapi, Darmini tidak berani bergerak lagi karena takut kalau Ibunya disiksa dan dibunuh. Ia tahu bahwa Ayah tirinya yang kini sudah kelihatan belangnya, tidak akan segan-segan membunuh Ibunya, bukan sekedar omong kosong belaka.
"Bragolo, lepaskan Ibuku, aku menyerah!" Katanya sambil melempar pedangnya ke atas lantai.
"Ha-ha-ha, begitulah baru anak baik namanya!" Kata Bragolo yang mendorong tubuh isterinya kearah Darmini dan diapun membungkuk dan mengambil pedang Lian-Hwa-Kiam, kemudian memerintahkan perajurit untuk membelenggu kedua tangan Darmini. Dengan takut-takut, empat orang perajurit maju menghampiri Darmini yang sudah memeluk Ibunya yang menangis tersedu-sedu.
Akan tetapi demi keselamatan Ibunya, Darmini tidak melawan dan menyerah saja ketika kedua lengannya ditelikung ke belakang di belenggu dengan tali kulit kerbau yang amat kuat. Juga kedua kakinya dan kini Ibunya merangkul dan menangisi gadis yang terpaksa jatuh terduduk di sudut ruangan itu ketika didorong oleh Demang Bragolo yang menjadi girang sekali.
Bi Kwi masih mengamuk dengan hebat. Kini Ki Demang Bragolo ikut pula mengeroyoknya dan memerintahkan beberapa orang perajurit untuk mengambil tali-tali yang kuat, kemudian dengan tali-tali yang dibentuk seperti laso, gadis yang dikeroyok itu diserang dari kanan kiri dan belakang dan akhirnya tubuhnya terjerat dan amukannya terhenti. Walet Hitam menubruk dari belakang dan menotoknya, menghentikan semua perlawanannya dan tak lama kemudian, iapun sudah terikat kaki tangannya seperti keadaan Darmini.
"Ha-ha-ha, akhirnya berhasil juga kerja sama kita, Walet Hitam!" Kata Ki Demang Bragolo sambil merangkul pundak orang bertopeng hitam itu. Terdengar orang itu tertawa saja, tanpa menjawab.
"Juga berkat bantuan Kakang Empu Kebondanu maka kita berhasil menangkap dua ekor singa betina ini. Tentu Kakang akan memperoleh hadiah besar dari Raden Wiratama!" Kata pula Demang Bragolo.
"Ah, aku memang telah menjadi pembantunya. Yang jelas memperoleh hadiah besar tentulah Walet Hitam," Kata Empu Kebondanu sambil tertawa pula.
"Silahkan Kakang Empu Kebondanu untuk beristirahat dan menerima pelayanan dari para dayang, aku dan Walet Hitam masih ada urusan dengan dua orang gadis itu. Marilah, Walet Hitam, mari kita berpesta berdua untuk merayakan kemenangan kita, ha-ha-ha!"
Ki Demang Bragolo dengan kasar lalu menyeret Nyi Demang Bragolo dan menyerahkannya kepada seorang pengawal. "Jebloskan ia ke dalam kamar tahanan dan jaga jangan sampai lolos!" Perintahnya.
Nyi Demang Bragolo yang tadinya merangkul puterinya, menjerit-jerit dan tidak mau melepaskan anaknya, akan tetapi karena diseret dan dijambak rambutnya, pegangannya terlepas dan ia hanya dapat menangis. Melihat ini, Darmini menggigil bibirnya dan mukanya menjadi merah sekali, kedua matanya menjadi basah.
"Anjing Bragolo, tunggu saja! Sekali kau jatuh ke tanganku, aku tidak akan memberi ampun padamu!"
"Ha-ha-ha, engkau boleh mengeluarkan semua omonganmu, Darmini. Engkau sudah terjatuh ketanganku, takut apa? Marilah, Walet Hitam!"
Dan tanpa banyak cakap lagi, Demang Bragolo mengangkat dan memondong tubuh Darmini, sedangkan Walet Hitam memondong tubuh Bi Kwi. Kedua orang gadis itu hanya dapat saling pandang, tidak meronta karena maklum bahwa merontapun tidak ada gunanya.
Mereka berdua diam-diam mencoba kekuatan tali kulit kerbau yang mengikat kaki tangan mereka karena bagaimanapun juga, mereka harus dapat meloloskan diri dan melepaskan ikatan, atau mereka tahu bahwa mereka akan mengalami malapetaka hebat dalam tangan dua orang manusia iblis ini!
Ki Demang Bragolo dan Walet Hitam membawa dua orang gadis itu memasuki sebuah kamar yang besar, dimana terdapat sebuah pembaringan dan Ki Bragolo melempar tubuh Darmini ke atas pembaringan, dan menyuruh Walet Hitam berbuat serupa dengan Bi Kwi. Walet Hitam juga melempar tubuh Bi Kwi keatas pembaringan kemudian berkata kepada Ki Bragolo.
"Ki Demang Bragolo, sebaiknya kalau aku segera membawa gadis itu ke rumah Raden Wiratama. Dia tentu sudah menanti-nanti dengan tidak sabar."
"Ha-ha-ha, engkau tetap saja tamak seperti dahulu ya? Gadis itu sudah dapat kita tawan, mengapa tergesa-gesa? Engkau ingin segera menerima hadiah dari Raden Wiratama? Nanti dulu, kawan. Mari kita makan minum, berpesta merayakan kemenangan kita berdua. Bukankah kita selalu berhasil kalau bekerja sama? Ha-ha, kini lenyap sudah semua ancaman. Aku percaya Raden Wiratama akan mampu mematahkan semangat gadis Cina itu, seperti aku mematahkan semangat Darmini. Mari kita minum!"
Ki Bragolo bertepuk tangan dan dua orang pelayan wanita segera muncul membawa hidangan, arak dan buah-buahan segar. Sementara itu, Darmini menggeser tubuhnya mendekati Bi Kwi, lalu berbisik.
"Kita berusaha melepaskan ikatan... Dan aku akan mengorek rahasia dari mereka..."
Bi Kwi mengangguk dan kedua orang gadis itu menghadap kearah dua orang itu, sambil diam-diam berusaha melepaskan ikatan pada kedua pergelangan tangan mereka. Darmini melihat betapa dua orang gadis pelayan sudah keluar lagi dan kini dua orang itu makan minum.
Walet Hitam membuka topengnya bagian bawah sehingga mulutnya nampak, akan tetapi karena dia duduk membelakangi dua orang gadis itu, mereka tidak dapat melihat mukanya bagian bawah. Ingin sekali Darmini melihat mukanya, maka iapun berkata dengan suara dibuat tenang.
"Walet Hitam, kami sudah kalah dan tertawan, tidak mampu melawan lagi. Akan tetapi, apakah engkau masih demikian pengecut untuk tidak berani mengaku bahwa engkau telah membunuh Ong Cun? Benarkah engkau yang telah membunuh Ong Cun enam tahun yang lalu?"
Walet Hitam hanya mengangguk tanpa menoleh dan Ki Bragolo tertawa lebar.
"Ha-ha-ha, Darmini, engkau boleh tahu sekarang bahwa memang benar Walet Hitam yang telah membunuh Ong Cun."
"Akan tetapi kenapa?" Bi Kwi berteriak dalam Bahasa Cina.
"Apa? Aku tidak mengerti maksudmu!" Kata Ki Bragolo yang mengira gadis Cina itu bicara kepadanya.
"Maksudku, mengapa dia membunuh Kakakku? Walet Hitam, jawablah mengapa engkau membunuh Kakakku? Jelaskan alasanmu agar kami tidak menjadi penasaran." Bi Kwi berkata pula dalam bahasa daerah.
"Itu... itu urusanku sendiri!" Hanya demikian Walet Hitam menjawab, dan agaknya dia tidak mau memberi penjelasan.
"Engkau... pengecut! Engkau tidak berani mengaku! Engkau laki-laki tak tahu malu, pengecut keparat! Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita mampus, kalau engkau memang laki-laki! Engkau memalukan nama Siauw-Lim-Pai saja!"
Bi Kwi memaki-maki marah, akan tetapi Walet Hitam tetap makan minum tanpa memperdulikan kata-kata Bi Kwi. Darmini menyuruh Bi Kwi untuk memberi isyarat agar gadis itu dapat menenangkan dirinya dan tidak menurutkan hati yang panas.
"Walet Hitam," Kata Darmini, suaranya tenang walaupun agak menggetar. "Engkau sudah mengaku bahwa engkau yang telah membunuh Ong Cun. Ada satu pertanyaan lagi dariku yang kuharap engkau cukup jantan untuk mengakuinya pula. Pada hari kematian Ong Cun itu, pada malam harinya, engkaukah yang telah memasuki kamarku dan... yang telah memperkosaku?"
Bi Kwi mengeluarkan jerit tertahan dan matanya terbelalak memandang kepada Darmini, kemudian mata itu menjadi basah. Hal ini tidak pernah diceritakan Darmini kepadanya dan baru sekarang ia mendengarnya. Kasihan gadis yang sedianya menjadi Kakak iparnya ini. Sudah kematian kekasih dibunuh orang, malamnya malah diperkosa orang pula! Iapun ikut menanti jawaban Walet Hitam. Tanpa menoleh, terdengar suara Walet Hitam.
"Tanya saja kepada Ki Demang Bragolo."
Pandang mata Darmini kini ditujukan kepada Ayah tirinya itu, dengan alis berkerut karena ia tidak mengira bahwa Ayah tirinya tahu pula akan peristiwa perkosaan atas dirinya itu.
"Ki Bragolo, dengan siasat busuk engkau telah menawan aku dan Bi Kwi. Aku sudah kalah, akan tetapi aku menuntut penjelasan akan semua ini. Tahukah engkau siapa yang telah memperkosa aku malam itu?"
Tiba-tiba Ki Bragolo tertawa bergelak. Mukanya yang merah karena pengaruh arak dan ketika dia bergelak itu cambang bauknya bergerak-gerak bersama kepalanya, berdongak ke atas lalu memandang kepada Darmini. "Darmini, masih belum dapatkah engkau menduga siapa orangnya? Ha-ha-ha, akulah yang melakukannya!"
Darmini menjerit dan mukanya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak menatap wajah kakek bercambang bauk yang masih tertawa-tawa itu. Kalau saja pada saat itu kaki tangannya tidak terbelengu, tentu ia akan menerjang dan membunuh Ayah tirinya itu!
"Ha-ha-ha, engkau sepatutnya mengetahui bahwa sejak engkau berangkat dewasa, aku telah tergila-gila kepadamu. Aku yang setiap hari melihat engkau bagaikan kuncup bunga yang makin lama semakin mekar menggairahkan, tentu tidak rela engkau hendak di petik pemuda asing itu. Malam itu... Aku tidak dapat lagi menahan diri, dan aku puas sudah dapat memiliki dirimu sebagai laki-laki pertama... ha-ha-ha. Dan sekarang, aku akan memilikimu sepuasnya untuk kemudian kupertimbangkan apakah engkau patut dibunuh atau tidak. Kalau engkau mau bersikap baik, menurut dan dengan suka rela menjadi seorang selirku tersayang mungkin engkau tidak akan kubunuh..."
"Keparat jahanam, iblis berwajah manusia. Kiranya Ayah tiriku seorang manusia berwatak iblis berhati binatang!"
Kini wajah Darmini menjadi merah sekali, matanya beringas dan bibirnya yang bawah sampai berdarah sedikit karena tergigit sendiri olehnya. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya. Kiranya Ki Demang Bragolo yang telah memperkosanya! Padahal dahulu orang ini kelihatan demikian sayang kepadanya! Dia dipangku, ditimang seperti anak kandung sendiri!
Ketika memperkosanya, orang ini membisik seolah-olah dia yang membunuh Ong Cun, tentu hanya untuk menghilangkan jejaknya, agar ia mengira bahwa pembunuh Ong Cun dan pemerkosanya adalah satu orang saja. Mengerti ia kini mengapa Ki Bragolo tidak bertindak sesuatu ketika mendengar dari Gagak Ireng bahwa Empat Bajul hendak membunuh Ong Cun.
Tentu diam-diam Ki Bragolo tidak suka kepada Ong Cun dan kematian Ong Cun merupakan hal yang amat menyenangkan hatinya. Dan melihat betapa kini dia bersekutu dengan Walet Hitam, mengingat percakapan antara mereka tadi dimana Ki Bragolo mengatakan bahwa kerja sama antara mereka itu selalu berhasil, maka jelaslah bahwa Ki Bragolo agaknya dahulu sudah mengatur siasat dengan Walet Hitam yang hendak membunuh Ong Cun.
Bahkan mungkin Ki Bragolo yang membujuk Walet Hitam membunuh Ong Cun, atau setidaknya tentu memberi hadiah untuk perbuatannya itu. Setelah dapat menguasai hatinya, dengan air mata bercucuran membasahi kedua pipinya, hidung kembang kempis saking marahnya dan matanya merah liar, Darmini bertanya,
"Kalau demikian... Paman Nala..."
"Ha-ha-ha, panahku yang membunuhnya! Kasihan dia! Bukan dia yang hendak kubunuh..."
"Aku yang hendak kau bunuh, keparat!"
"Benar. Ketika engkau pergi hendak berguru, kau kira aku enak-enak saja menunggu sampai engkau pandai kemudian menyelidiki perkara itu? Aku mengejarmu dan menyerangmu dengan anak panah. Akan tetapi engkau membungkuk dan Nala menjadi korban. Kemudian engkau menjadi murid Panembahan Ganggamurti, tentu saja aku tidak dapat mengganggu dan terpaksa menantimu sampai pulang. Dan sekarang, tetap saja aku yang menang. Ha-ha-ha!"
Sekarang jelaslah sudah semuanya. Ong Cun dibunuh Walet Hitam, sebabnya belum diketahui karena orang itu tidak mau mengaku. Ia diperkosa Ki Bragolo, dan Paman Nala dibunuh pula oleh Ki Bragolo. Ki Bragolo merupakan pembantu Wiratama yang setia kepada Lumajang dan hendak memberontak terhadap Majapahit, dan agaknya Walet Hitam membantu gerakan itu karena upah yang besar.
"Brettt...!"
"Brettt...!"
Hampir berbareng, Bi Kwi dan Darmini berhasil membikin putus tali pengikat kedua tangan mereka. Akan tetapi, kedua kaki mereka masih terbelenggu dan pada saat mereka hendak merenggut putus tali yang mengikat kaki, Walet Hitam dan Ki Bragolo sudah meloncat ke dekat pembaringan sambil menodongkan senjata mereka.
Dua orang gadis itu hanya melirik ke arah meja di mana pedang mereka tadi diletakkan oleh ke dua orang yang menangkap mereka itu, dan mereka tidak berdaya karena bergerak lagi tentu senjata lawan akan menyerang.
"Brakkkkk!"
Daun pintu yang hanya ditutupkan oleh para gadis pelayan tadi, tiba-tiba terbuka lebar dan tiga sosok bayangan menerjang ke dalam kamar besar itu. Walet Hitam dan Ki Bragolo terkejut, cepat membalikkan diri dan pada saat mereka berbalik itulah, kedua orang gadis lalu cepat meloncat turun dan menjauh.
Ki Demang Bragolo terbelalak ketika melihat bahwa tiga orang yang tiba-tiba memasuki kamar itu, dua di antaranya adalah Raden Gajah dan Panji Saroto, dua orang yang tentu saja sudah dikenalnya. Kehadiran Raden Gajah membuat kedua lututnya gemetar. Akan tetapi dia tidak dapat berkata apa-apa lagi karena pada saat itu, orang ke tiga yang tidak dikenalnya, seorang pemuda berpakaian serba putih, telah menyerangnya dengan tamparan yang dahsyat.
Ki Bragolo cepat mengelak sambil mengayun senjatanya yang berat, yaitu sebatang penggada dari galih asam. Senjata itu menyambar-nyambar ke arah kepala Sridenta dan pemuda ini segera mundur untuk mencari tempat yang lebih luas. Sementara itu, melihat munculnya Raden Gajah, Walet Hitam mengeluarkan seruan nyaring dan pedangnya meluncur dan menyerang ke arah Raden Gajah.
"Cringgg...!"
Pedangnya tertangkis oleh sebatang keris dan bunga api berpijar. Kiranya yang menangkis adalah keris di tangan Panji Saroto dan kedua orang itu sudah berkelahi dengan hebat. Tiba-tiba muncul Empu Kebondanu dan melihat munculnya kakek yang memegang tongkat ini, Raden Gajah menghardik,
"Hem, Pertapa yang sesat! Andika meninggalkan tempat Pertapaan untuk menjadi kaki tangan pemberontak!" Berkata demikian, Raden Gajah sudah menghunus kerisnya dan menyerang, disambut oleh putaran tongkat Empu Kebondanu.
Baik Ki Bragolo, Walet Hitam maupun Empu Kebondanu merasa jerih, apalagi melihat betapa dua orang gadis itu telah dapat membebaskan belenggu pada kaki mereka, dan kini mereka berloncatan menyambar pedang masing-masing yang terletak di atas meja. Maklumlah mereka bahwa mereka terancam bahaya dan merekapun segera berloncatan keluar dari kamar itu untuk melarikan diri.
Akan tetapi betapa kaget rasa hati mereka melihat bahwa tempat itu telah penuh dengan perajurit Majapahit dan betapa semua anak buah mereka telah di tawan! Kini mereka berada diluar kamar yang luas, dan dibawah penerangan lampu-lampu gantung di ruangan yang luas itu, mereka melanjutkan perkelahian.
Dengan kemarahan meluap-luap, Darmini menerjang Ki Bragolo dan segera ia dibantu oleh Sridenta. Panji Saroto terdesak oleh Walet Hitam, akan tetapi Bi Kwi segera terjun ke dalam perkelahian itu membantunya sambil memaki Walet Hitam. Pedang Liong-Cu-Kiam bergulung-gulung sinarnya mendesak Walet Hitam, sedangkan keris ditangan Panji Saroto juga berbahaya sekali karena selain keris itu merupakan senjata yang ampuh, juga ternyata pemuda ini memiliki gaya dan gerakan yang indah dan cepat tangkas, serta tenaga yang cukup kuat.
Empu Kebondanu juga dihadapkan kepada seorang lawan yang tangguh, yaitu Senopati Raden Gajah yang sudah terkenal kegagahannya itu. Empu Kebondanu tidak banyak cakap lagi. Dia tahu betapa tangguhnya Raden Gajah, seorang Senopati yang terkenal di Majapahit ini, dan dia tahu pula betapa berbahaya keadaan dia dan kawan-kawannya karena tempat itu telah terkepung perajurit Majapahit. Maka dia lalu berkemak-kemik membaca mantera sambil memutar tongkat bambu gadingnya sedemikian rupa sehingga Raden Gajah harus berhati-hati menjaga diri dengan kerisnya.
"Aummmmm...!" Empu Kebondanu mengaum seperti seekor harimau dan memang ini merupakan satu diantara kesaktiannya. Auman itu mengandung kekuatan dahsyat yang dapat meruntuhkan semangat lawan, mendatangkan rasa jerih dan kaget sehingga gerakan lawan menjadi kacau atau bahkan dapat membuatnya lumpuh sama sekali seperti auman seekor harimau melumpuhkan seekor domba.
Namun, yang dihadapinya kini bukanlah seorang muda yang masih mentah, melainkan seorang tokoh kawakan yang sudah banyak sekali pengalaman pertempuran dalam dunia ini. Menghadapi aji kesaktian ini, Raden Gajah cepat mengerahkan kekuatan batinnya dan dapat menahan pengaruh auman itu, sedangkan kerisnya tidak tinggal diam, cepat diluncurkan menusuk ke arah ulu hati lawan.
Melihat betapa lawannya tidak terpengaruh oleh aumannya, bahkan menyerang dengan tusukan maut, Empu Kebondanu cepat melangkah ke kiri dan tongkatnya menghantam ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang keris, dengan maksud agar senjata itu terlepas. Namun Raden Gajah sudah menarik kembali tangannya sehingga hantaman tongkat itupun luput.
Empu Kebondanu memutar tongkat, kini tongkat bambu gading itu menyambar ke arah kepala dengan luncuran keras sekali. Raden Gajah mengelak dengan merendahkan tubuh dan memiringkan kepala, kerisnya kembali menusuk ke arah lambung.
"Trangg!"
Terpaksa Empu Kebondanu menurunkan tongkatnya menangkis sehingga tusukan itupun gagal. Mereka serang-menyerang dengan seru, dan nampak seimbang walaupun kurang leluasa melakukan perlawanan dengan senjatanya yang pendek melawan senjata lawan yang panjang.
Keuntungan ini agaknya diketahui oleh Empu Kebondanu yang segera menjaga jarak diantara mereka, jarak yang cukup jauh bagi keris di tangan Raden Gajah namun cukup dekat bagi tongkat bambu gadingnya yang panjang.
Pertempuran Walet Hitam yang dikeroyok dua oleh Bi Kwi dan Panji Saroto juga amat seru dan mati-matian. Dan ternyata bahwa Walet Hitam memang hebat. Biarpun dikeroyok dua, dia sama sekali tidak kelihatan terdesak, bahkan gerakan pedangnya yang cepat dan kuat itu membuat Bi Kwi dan Panji Saroto harus berhati-hati sekali. Ia harus mengakui bahwa kalau tidak dibantu oleh Panji Saroto, tentu ia sudah kalah sejak tadi dan mungkin ia sudah roboh.
Keris di tangan pemuda itupun hebat, mencuat kesana-sini dan kadang-kadang membuat Walet Hitam meloncat menghindar dengan kaget sekali. Akan tetapi, beberapa kali pedang Walet Hitam juga mengancam jiwa Panji Saroto. Untung bahwa Bi Kwi mengenal semua gerakan itu sehingga ia dapat melindungi Panji Saroto kalau pemuda itu didesak hebat.
"Trang-trang-cring..."
Dua kali keris di tangan Panji Saroto menangkis pedang Walet Hitam dan ketika pedang itu masih terus mengancam, dari samping pedang Liong-Cu-Kiam di tangan Bi Kwi menangkis sehingga pedang Walet Hitam terpental dan gagallah desakannya untuk ke sekian kalinya kepada Panji Saroto. Walet Hitam agaknya ingin lebih dahulu menjatuhkan Panji Saroto, baru dia akan menghadapi Bi Kwi dengan kekuatan penuhnya. Namun berkali-kali Bi Kwi dapat melindungi pemuda itu dan menggagalkan desakan Walet Hitam.
Hal ini membuat Walet Hitam menjadi marah dan tiba-tiba dia memutar pedangnya menyerang Bi Kwi! Hebat sekali serangan ini, pedangnya berkelebat menyilaukan mata dan dalam satu gerakan saja pedang itu telah membabat dari kanan, ketika dielakkan membalik dari kanan ke kiri dan begitu ditangkis, pedang itu meluncur ke depan, menusuk ke arah dada Bi Kwi dan berbareng, kaki kiri Walet Hitam menyusulkan sebuah tendangan yang keras.
Bi Kwi terkejut sekali, berhasil menangkis dengan pedangnya, akan tetapi tendangan itu membuat ia terpaksa melempar tubuh ke belakang. Walet Hitam yang melihat lawannya itu terdesak, mengejar untuk menyerang lagi dengan hebat, akan tetapi pada saat itu, Panji Saroto yang melihat betapa Bi Kwi terancam bahaya, sudah menyerang dari samping dengan kerisnya, menusuk lambung.
"Tringgg!"
Terpaksa Walet Hitam menghentikan kejarannya terhadap Bi Kwi dan mengerakkan pedang ke kanan untuk menangkis keris yang berbahaya itu, dan tentu saja kini Bi Kwi sudah dapat menguasai keadaan dan keseimbangan tubuhnya, lalu dengan marah gadis inipun membalik dan menyerang, membantu Panji Saroto mengeroyok lawan yang amat lihai itu. Walet Hitam memutar pedangnya yang menjadi sinar bergulung-gulung melindungi tubuhnya dari segenap penjuru seperti benteng sinar pedang yang kokoh kuat.
Pertempuran itu menjadi semakin seru dan mati-matian karena Walet Hitam tidak lagi melihat jalan keluar kecuali merobohkan semua lawannya, baru dia dapat membuka jalan darah menerjang keluar di antara para pengepungnya.
Perkelahian antara Ki Demang Bragolo yang dikeroyok oleh Darmini dan Sridenta merupakan perkelahian yang paling tidak ramai di antara yang lain. Biarpun Ki Demang Bragolo seorang yang memiliki tenaga raksasa, dan senjatanya yang berupa penggada besar itu amat berat dan berbahaya, namun dia menghadapi dua orang murid Sang Panembahan Ganggamurit yang memiliki gerakan yang amat ringan dan serangan-serangan yang amat cepat.
Sridenta yang maju dengan tangan kosong itu, demikian gagahnya sehingga dia berani menangkis penggada lawan dengan lengannya. Tentu saja Ki Bragolo menjadi kewalahan karena pedang Lian-Hwa-Kiam di tangan Darmini menyambar-nyambar ganas, seperti kilat yang menyilaukan mata. Kilat pedang itu seolah-olah tangan-tangan maut yang mengancamnya, membuat Ki Bragolo repot sekali.
Andaikata dia harus menghadapi Darmini seorang, atau bahkan Sridenta seorang diri saja, agaknya dia akan dapat melakukan perlawanan yang lebih seimbang. Akan tetapi kini, menghadapi pengeroyokan dua orang itu, dia benar-benar kewalahan dan setelah dia melindungi dirinya dengan memutar penggada yang amat berat itu beberapa lamanya, napasnya mulai terengah dan tubuhnya basah oleh keringat kelelahan dan keringat ketakutan.
Betapapun juga, dia harus melawan mati-matian karena maklum bahwa tidak ada jalan keluar baginya. Semua anak buah yang tadinya dibawa oleh Empu Kebondanu yaitu pasukan dari Raden Wiratama, telah ditawan oleh pasukan Majapahit yang dibawa oleh Raden Gajah. Dan kini, para pembantunya yang diandalkan, yaitu Walet Hitam dan Empu Kebondanu sendiri, juga sedang repot melindungi diri masing-masing. Dia harus melawan mati-matian dan dengan menggertak gigi, dia memutar penggadanya, memukul ke arah Sridenta dengan sekuat tenaga.
Pemuda ini maklum bahwa betapa bahayanya penggada yang menyambar ke arah kepalanya itu. Dia miringkan tubuhnya dan dari samping tangan kanannya menyambar dan menangkap pergelangan lengan yang memegang penggada. Namun, lengan itu berkeringat dan amat keras seperti besi sehingga licin dan cengkeraman tangan Sridenta meleset kini saling membetot, memperebutkan penggada. Pada saat itu, sinar pedang berkelebat dan pedang di tangan Darmini sudah datang dan menyambar ke arah leher Ki Bragolo! Kakek ini terkejut, terpaksa dia mengangkat lengan kiri menangkis.
"Crakkk...!" Lengan kiri itu putus sebatas siku dan Ki Bragolo mengeluarkan suara gerengan sedemikian dahsyatnya sambil merenggut penggadanya sehingga terlepas dari cengkeraman Sridenta, dan kakek itu membalik, dengan mata mendelik merah, mulut mengeluarkan busa saking marahnya, dia menyerang Darmini dengan penggadanya, darah bercucuran dari lengan kiri yang buntung! Namun, Darmini meloncat ke samping dan kembali pedangnya berkelebat cepat sekali.
"Crakkkk...!" Kembali darah muncrat mengiringi teriakan Bragolo dan lengan kanannya juga sudah buntung, penggada itu terlempar. Akan tetapi, kakek itu tidak roboh, dengan kedua lengan buntung yang meneteskan darah segar, dia berdiri menghadapi Darmini yang menjadi ngeri sendiri. Gadis ini, siap melakukan tusukan maut, akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Sridenta.
"Cukup, Diajeng...!"
Darmini tersadar dan iapun menahan napas untuk menindih hawa kemarahan yang berkobar. Pada saat itu, Ki Bragolo yang sudah buntung kedua lengannya itu, mengeluarkan teriakan dan menerjang ke arah Darmini dengaan tendangan kakinya. Akan tetapi, Sridenta menyambut tendangan itu dengan tangkisan lengannya sambil mengerahkan tenaga dan tubuh Ki Bragolo terbanting roboh dan kakek inipun pingsan!
Sridenta melihat betapa Raden Gajah masih bertanding mati-matian melawan Empu Kebondanu cepat meloncat dan maju membantu Senopati itu. Dia menampar dengan keras dan ketika Empu Kebondanu mengelak, tamparan itu berubah menjadi cengkeraman untuk merampas tongkat bambu gading!
Empu Kebondanu terkejut sekali dan cepat menarik tongkatnya, akan tetapi pada saat itu keris di tangan Raden Gajah sudah pula menyambar. Dia meloncat mundur dan terdesak hebat oleh kedua orang pengeroyoknya. Sementara itu Raden Gajah memerintahkan perajurit untuk membelengu kedua kaki Ki Bragolo dan mengobati luka di lengannya, dan dia berseru kepada para pembantunya untuk mengeroyok Empu Kebondanu.
"Jangan bunuh dia, tangkap hidup-hidup!" teriaknya.
Kini Empu Kebondanu dikepung banyak orang. Dia masih mencoba mengamuk dengan tongkatnya, akan tetapi ketika tongkat itu berhasil ditangkap oleh Sridenta, para perwira pembantu lalu menyerangnya, dan menelikungnya. Membelenggu kaki tangannya seperti seekor sapi yang hendak disembelih.
Kini yang bertempur mati-matian hanya tinggal Walet Hitam. Akan tetapi, dia sudah repot bukan main karena kini dia dikeroyok tiga, yaitu oleh Bi Kwi, Panji Saroto, dan Darmini! Terutama sekali Darmini dan Bi Kwi menyerangnya dengan penuh semangat. Dua buah pedang di tangan kedua orang gadis ini menyambar-nyambar bagaikan kilat, membuat Walet Hitam kewalahan sekali.
Dan semua ini masih ditambah serangan keris di tangan Panji Saroto. Betapapun lihainya, menghadapi pengeroyokan tiga orang ini, dia kewalahan sekali dan tubuhnya sudah menanggung luka-luka terkena ujung pedang dan keris. Namun, melihat bahwa tidak ada jalan keluar baginya, dia mengamuk terus.
"Trangg...!"
Pedangnya bertemu dengan pedang Darmini dan pada saat itu, pedang Bi Kwi menyambar ke bawah.
"Brettt...!"
Bukan hanya celana di bagian paha itu saja yang terobek, akan tetapi berikut juga kulit paha dan sebagian daging pahanya. Darah mengalir membasahi celananya dan luka sekali ini cukup parah membuat gerakannya menjadi kacau dan agak lambat. Perlawanan Walet Hitam menjadi lemah, apalagi darah yang mengalir keluar dari beberapa luka ditubuhnya terlalu banyak, membuat tubuhnya menjadi lemas dan tenaganya berkurang.
Kembali pedang Darmini menyambar dan melukai pundak kirinya, membuat lengan kirinya tergantung lumpuh dan tubuhnya terhuyung-huyung. Tusukan keris di tangan Panji Saroto mengenai siku kanannya dan terjatuhlah pedang yang dipegang Walet Hitam.
Saat itu dipergunakan oleh Darmini untuk mengelebatkan pedangnya. Kilat pedang berkelebat menyambar dada dan robohlah Walet Hitam, roboh mandi darah, terutama yang banyak keluar dari luka barunya di dada yang tertusuk pedang tadi. Bi Kwi dengan gemas sekali meloncat dekat dan pedangnya terayun membacok leher.
"Trangggg...!"
Darmini menangkis, membuat Bi Kwi terkejut dan heran memandang Darmini.
"Jangan bunuh dulu, aku ingin tahu mengapa dia membunuh Ong Cun!" Katanya dan Bi Kwi setuju, lalu gadis ini merengut ke arah topeng yang menutupi muka Walet Hitam.
"Brett...!" Topeng itu robek terbuka.
"Kwee Lok...!"
Darmini memekik, juga Bi Kwi meloncat ke belakang sambil menahan teriakannya saking kaget dan herannya. Walet Hitam itu memang Kwee Lok. Dengan mulut menyeringai menahan rasa nyeri di seluruh tubuhnya, dia memandang kepada Darmini dan Bi Kwi bergantian, dan pandang mata itu sudah mulai kosong seperti api kehabisan minyak.
"Kwee Lok, katakan kenapa engkau membunuh Ong Cun, Kakak misan dan Kakak seperguruanmu sendiri?" Darmini bertanya dengan nyaring dan penasaran sekali.
"Dia... dia tahu rahasiaku... membantu Wirabumi... kalau dia melapor... tentu aku celaka... Aku bertemu Bragolo. Dan... dan... bekerja sama... Aughhhh...!" Kepala kwee Lok terkulai dan diapun tewas. Tusukan terkahir tadi hampir menembus dadanya.
Darmini dan Bi Kwi saling pandang, lalu keduanya saling tubruk, saling rangkul sambil menangis. Kemudian Darmini teringat kepada Ibunya, bersama Bi Kwi lalu mencarinya dan ketika menemukan Ibunya dalam kamar tahanan di belakang, ia membebaskan Ibunya dan mengajak Ibunya pergi mengungsi ke rumah Raden Gajah.
Seluruh anak buah dan keluarga Ki Demang Bragolo ditangkap dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, raden Gajah membawa pasukan, dibantu oleh para tokoh Majapahit seperti Ki Empu Tanding dan lain-lain, menggebrek rumah Raden Wiratama dan menangkap orang ini berikut semua kaki tangannya tanpa banyak mendapat perlawanan.
Sekali ini, Wiratama dapat dituntut karena Empu Kebondanu mengaku akan semua gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Wiratama, juga Ki Bragolo yang sudah buntung kedua lengannya itu membuat pengakuan. Gegerlah Majapahit dengan digulungnya gerombolan pemberontakan ini. Wiratama, Bragolo, dan tokoh-tokoh penting pembrontakan itu dijatuhi hukuman mati.
"Sungguh tidak kusangka bahwa pembunuh Ong Cun adalah Kwee Lok sendiri!" Kata Darmini berulang kali, masih terheran-heran melihat kenyataan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu.
"Akupun heran dan tidak pernah mengira bahwa Walet Hitam adalah Kwee Lok!" Kata pula Bi Kwi.
Mereka berdua bercakap-cakap di ruangan belakang, beberapa hari kemudian dan kini mereka berdua sudah mengenakan pakaian wanita sehingga keduanya nampak cantik jelita. Bi Kwi juga mengenakan pakaian wanita daerah. Darmini yang membantunya berdandan tadi dan kini ia menjadi seorang gadis manis yang berkulit putih kuning, cantik dan nampak lemah lembut, sungguh jauh bedanya dengan Bi Kwi yang berpakaian pria memainkan pedang!
"Bi Kwi, engkau datang dari negerimu bersama Kwee Lok, bahkan disini kalian melakukan penyelidikan bersama dia, juga ketika kalian tinggal di rumah Wiratama, kalian berdua. Bagaimana engkau sampai tidak dapat menduga bahwa Walet Hitam adalah Kwee Lok?"
"Bagaimana aku dapat menduga demikian, Mbak-Ayu? Dia cerdik bukan main dan aku telah dapat dikelabuinya. Dia bertindak seolah-olah memang ada Walet Hitam di samping Kwee Lok. Sekarang aku tahu. Pengirim surat yang mengaku kawan dan memberitahu kami agar menghadap Wiratama itu tentulah perbuatannya sendiri, dan dia sendiri yang menancapkan pisau dengan surat itu di pintu. Dan kini aku dapat menduga bahwa dia memang berkenalan dengan Wiratama sebagai dua orang, yaitu sebagai Kwee Lok yang gila judi dan sebagai Walet Hitam yang penuh rahasia dan tamak akan hadiah."
Wiratama juga tidak menyangka bahwa Kwee Lok adalah Walet Hitam sehingga Wiratama dua kali mengeluarkan hadiah-hadiah kepada orang yang sama. Kwee Lok melakukan itu untuk dapat mengeruk uang sebanyaknya. Sebagai Kwee Lok dia memperoleh hadiah, sebagai Walet Hitam juga.
"Hemm, tak kusangka dia demikian licik dan jahat," Kata Darmini.
"Kebusukannya memang sudah nampak ketika Ayah meninggal dunia. Dia menguasai semua peninggalan Ayah dan dia setiap hari berjudi, sehingga habislah semua peninggalan Ayah. Kemudian, dia bahkan bermaksud menjualku untuk mengganti hutangnya yang banyak. Pada waktu itu aku sudah marah dan hendak meninggalkan dia. Akan tetapi dia dapat membujukku agar pergi bersama ke Majapahit. Aku tentu saja kena terbujuk karena aku belum pernah ke sini dan perjalanan itu begitu jauh, sebaliknya dia pernah ke sini, maka akupun mau melakukan perjalanan bersamanya."
Darmini menggangguk-angguk. "Kiranya dia membunuh Ong Cun karena hanya Ong Cun yang tahu akan rahasianya, bahwa Walet Hitam yang membantu Wiratama sehingga mengakibatkan diserangnya rombongan orang Cina yang berada di Lumajang itu adalah Kwee Lok. Tentu saja dia merasa gelisah, karena kalau Ong Cun melaporkan kepada atasan mereka, tentu Kwee Lok akan ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Bahkan kalau sudah berada di negerinya sendiripun, dia masih akan dihukum karena dialah yang menyebabkan penyerbuan terhadap rombongan orang Cina sehingga mengakibatkan gugurnya seratus tujuh puluh orang."
"Benar, Mbak-Ayu. Dan agaknya bukan hanya Kakak Cun yang tahu, melainkan juga Ki Demang Bragolo, Ayah tirimu itu..."
"Dia bukan lagi Ayah tiriku, si keparat jahanam itu!" Bentak Darmini.
Bi Kwi memegang lengan Darmini. "Kasihan engkau, Mbak-Ayu. Agaknya dia mempergunakan kesempatan selagi terjadi pembunuhan itu untuk melakukan perbuatan terkutuk itu. Akan tetapi, semua itu telah berlalu, Mbak-Ayu. Kwee Lok telah tewas di tangan kita, dan Ki Bragolo juga sudah dijatuhi hukuman mati. Semua kejahatan telah terbalas dan menerima hukuman yang setimpal dan kita terbebas sudah dari himpitan dendam."
Darmini tiba-tiba menutupi mukanya dan biarpun tidak mengeluarkan suara, Bi Kwi tahu bahwa gadis itu menangis. Ada air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya, dan ia pun mengerti, dan hanya dapat merangkul Darmini dengan terharu.
"Akan tetapi aku... aku telah kehilangan segalanya. Aku kehilangan Ong Cun, dan aku... Aku telah tertimpa aib, noda pada diriku tak dapat dihapus dan dicuci, biar dengan darah jahanam itu sekalipun..."
"Ah, Mbak-Ayu, jangan berpendapat demikian. Yang sudah lewat biarkan lewat, dan peristiwa terkutuk itu bagaimanapun juga bukanlah terjadi karena kesalahanmu. Engkau hanya menjadi korban kejahatan, tidak ada yang menyalahkan dan membencimu, Mbak-Ayu, bahkan orang akan merasa kasihan kepadamu. Pula, hanya aku yang tahu akan hal itu, dua orang lain yang mengetahuinya, yaitu Bragolo dan Kwee Lok, sudah tewas pula. Aku bersumpah bahwa dari mulutku takkan ada orang siapapun dia, yang mendengar akan halmu itu, Mbak-Ayu Darmini."
Akan tetapi Darmini tidak menghentikan tangisnya. "Adikku... biarpun begitu... bagaimana pandangan pria terhadap diriku? Bagaimana kalau ada pria ke dua sesudah Ong Cun yang mencinta diriku dan diapun pantas menerima cintaku? Dia tentu akan memandang hina padaku, aku akan dianggapnya sebagai sampah... ah...!" Darmini sekarang terisak. "... aku... aku sudah bukan perawan lagi dan semua laki-laki akan mentertawakan aku. Akan memandang rendah padaku..."
"Tidak, Mbak-Ayu. Dia tidak akan memandang rendah. Seorang laki-laki yang berjiwa ksatria, seorang pendekar sejati, akan selalu bersikap bijaksana dan berpandangan luas, tidak picik dan aku yakin bahwa dia tidak akan memandang rendah kepadamu, karena aku tahu bahwa dia seorang yang gagah perkasa, seorang ksatria yang bijaksana..."
Darmini mengangkat mukanya yang basah dan mata yang agak kemerahan itu memandang Bi Kwi dengan sinar mata penuh pertanyaan dan keheranan. "Adikku, apakah maksudmu? Siapa yang kau bicarakan itu, siapa yang kau sebut-sebut itu? Siapakah itu si dia?"
"Siapa lagi kalau bukan Raden Sridenta, Mbak-Ayu? Dan engkau benar, dia memang seorang laki-laki hebat dan pantas mendapatkan perhatianmu. Tidak perlu engkau merasa rikuh kepadaku, Mbak-Ayu. Aku tahu isi hatimu, engkau tidak perlu merasa bersalah terhadap Ong Cun. Dia sudah meninggal dunia dan engkau sudah berhasil membalaskan kematiannya yang penasaran. Tidak mungkin engkau harus selalu ingat kepadanya dan tidak mencari seorang pengganti yang tepat untuk menjadi jodohmu."
"Bi Kwi.. !" Isak Darmini semakin keras dan kembali ia menyembunyikan mukanya di balik kedua tangan.
"Mbak-Ayu Darmini, aku sayang padamu, aku kagum padamu dan aku dapat merasakan segala penderitaanmu batinmu. Percayalah, sebagai adik kandung Ong Cun, aku sungguh suka dan cinta padamu dan aku dapat melihat bahwa andaikata Ong Cun dapat memberi tanggapan, dia sendiri tentu akan setuju bahwa engkau memilih Raden Sridenta sebagai penggantinya, sebagai calon jodohmu..."
"Bi Kwi, bagaimana... bagaimana engkau bisa tahu bahwa... bahwa dia cinta padaku?"
Bi Kwi tersenyum. "Mbak-Ayu, bukankah engkau juga tahu bahwa ada seorang pria lain yang juga jatuh cinta kepadaku?"
"Dimas Panji Saroto?" Kini Darmini kembali menurunkan kedua tangannya, dan bahkan mulutnya mulai membayangkan senyum.
Bi Kwi tersenyum malu-malu dan mengangguk. Keduanya kini termenung dan Darmini sudah menghentikan tangisnya. Bi Kwi membantu menyusuti sisa air matanya dengan saputangan.
"Bi Kwi, aku masih selalu bingung. Terus terang saja, Kakang-Mas Sridenta memang cinta padaku, dan aku... Aku Kagum sekali dan suka padanya. Agaknya, dia sajalah orang kedua setelah Ong Cun yang kukagumi dan kusuka dan agaknya tidak sukar bagiku untuk membalas cintanya. Akan tetapi, keadaan diriku ini selalu menjadi seperti momok diriku. Aku sudah ternoda, bukan perawan lagi. Aku ngeri menghadapi kenyataan ini, ngeri membayangkan dia akan memandang hina kepadaku. Aku bingung bagaimana aku harus bersikap terhadap dia tentang diriku ini."
"Mbak-Ayu, satu-satunya jalan yang paling baik adalah menceritakan dengan terus terang apa yang telah terjadi dengan dirimu..."
"Apa?" Darmini terbelalak. "Ah, tidak! Kau maksudkan bahwa aku harus memberi tahu kepadanya bahwa aku bukan perawan lagi?"
"Mbak-Ayu, ceritakan saja seperti bahwa dalam keadaan tidak berdaya engkau diperkosa orang, dan siapa pemerkosa itu. Ceritakan kesemuanya padanya, betapa engkau selama ini merahasiakan hal itu dan dengan susah payah mencari orang yang memperkosamu. Dia akan dapat mempertimbangkan dan tidak akan menyalahkanmu, Mbak-Ayu. Selain itu, andaikata dia lalu menjadi tidak senang, berlawanan dengan dugaanku, andaikata dia lalu menjauhkan diri, bukankah itu masih lebih baik daripada kalau sudah menjadi isterinya lalu dia tahu dan meninggalkannya."
Darmini mengangguk-angguk dan bangkitlah semangatnya. "Engkau benar! Betapapun pahitnya, aku harus berani menghadapi segala kemungkinan. Engkau sungguh gagah perkasa, Bi Kwi, dan aku harus mencontoh dirimu. Seorang gagah harus berani menghadapi segala macam keadaan, betapa berbahayapun. Bahkan, biarlah hal ini kujadikan ujian, apakah dia benar mencintaku ataukah tidak."
"Bagus! Begitulah seharusnya, enciku yang manis!"
"Enci?"
"Kenapa tidak? Enci atau Mbak-Ayu, apa bedanya? Artinya Kakak, dan biarpun aku tidak menjadi adik iparmu, namun aku ingin menjadi adikmu selamanya dan bagiku, engkau adalah Kakakku, engkau adalah satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi keluargaku, sahabatku."
Mereka saling berpelukan dan Darmini mencium pipi Bi Kwi, merasa amat sayang dan terharu karena ia tahu bahwa gadis ini yang datang dari tempat sedemikian jauhnya, setelah kematian Kwee Lok, kini memang tidak memiliki keluarga lagi, seorang diri saja di negeri yang asing baginya ini.
Mereka berada di dalam taman yang indah dan luas itu, dibelakang gedung Senopati Raden Gajah. Duduk berhadapan di atas bangku taman. Darmini menceritakan hasil penyelidikannya terhadap pembunuhan Ong Cun sampai berhasil merobohkan Kwee Lok dan Bragolo.
Tentang betapa Kwee Lok membunuh Kakak misan dan Kakak seperguruan sendiri karena takut kalau rahasianya sebagai Walet Hitam yang membantu Wirabumi terbuka oleh Ong Cun yang mengetahuinya.
Sebaliknya, Sridenta juga menceritakan betapa dia dan Panji Saroto melakukan penyelidikan terhadap Raden Wiratama dan berhasil mengetahui rahasianya, betapa Wiratama mendatangkan pula Empu Kebondanu dan betapa Ki Bragolo juga menjadi seorang pembantu utamanya, untuk melakukan pembunuhan dan pengacauan terhadap orang-orang penting di Majapahit.
Kemudian, mereka melihat Empu Kebondanu pada sore hari itu, membawa pasukan yang menyamar dan berpencar, semua menuju ke rumah Ki Demang Bragolo dan bersembunyi sehingga tidak kentara oleh orang luar.
"Kami berdua menghubungi Paman Senopati Raden Gajah dan membuat persiapan dengan pasukan untuk menyerbu ke rumah Ki Demang Bragolo setelah kami melihat engkau dan Bi Kwi masuk dan tidak muncul kembali. Karena persiapan, itulah maka kami datang agak terlambat," Sridenta menutup ceritanya.
"Sama sekali tidak terlambat, Kakang-Mas." Kata Darmini sungguh-sungguh. "Bahkan baik sekali pertolonganmu itu datangnya agak terlambat, karena andaikata tidak, belum tentu aku dapat mendengar mereka berdua itu menceritakan rahasia mereka sendiri, karena mereka yakin bahwa kami berdua sudah tidak berdaya dan tidak akan mampu meloloskan diri. Aku dan Bi Kwi sangat berterima kasih kepadamu dan kepada Adimas Panji Saroto, karena kalau tidak ada kalian yang datang menolong, entah apa jadinya dengan kami?"
"Ah, Diajeng Darmini, kenapa engkau masih bersikap sungkan dan berterima kasih? Engkau adalah adik seperguruanku, dan untuk menolongmu, biar dengan taruhan nyawa sekalipun tentu akan kulakukan. Engkau tahu, Diajeng bahwa aku... biarlah, sekarang setelah engkau berhasil menghukum pembunuh tunanganmu dahulu, berarti telah selesai tugasmu, biarlah aku memberanikan diri menyatakan perasaan hatiku, Diajeng. Aku cinta padamu, Diajeng. Hal ini tanpa kukatakan sekalipun, tentu engkau telah mengetahuinya. Aku cinta padamu, dan kalau engkau dapat menerimanya aku akan mohon kepada orang tuaku untuk meminangmu kepada Ibumu."
Mendengar ucapan ini, wajah Darmini berubah merah, lalu pucat dan ia merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Inilah saat yang ditunggu-tunggunya dengan perasaan penuh kegelisahan! Ia tahu bahwa Sridenta mencintanya. Sejak ia belajar ilmu di puncak Bromo, dan ia sudah menduga bahwa pemuda itu tentu akan segera menyatakan cintanya dalam waktu dekat.
Kini, biarpun ia sudah siap menghadapi peristiwa ini, ketika Sridenta menyatakan cintanya dengan kata-kata dan sikap sederhana, ingin rasanya ia menangis! Lenyaplah semua keberaniannya, semua persiapan jawabannya membuyar dan ia menjadi ketakutan. Takut membayangkan betapa pandang yang kini menatapnya penuh cinta kasih dan kagum itu akan segera berubah menjadi pandang mata yang mencemoohkan, menghina dan membenci kalau ia sudah membuka rahasia pribadinya!
Melihat Darmini menundukkan mukanya saja yang menjadi agak pucat, jari-jari tangannya mempermainkan ujung kemben, Sridenta terpesona. Gadis ini sungguh cantik jelita dan manis sekali dalam pakaian wanita, kelihatan lembut keibuan.
"Diajeng, kenapa engkau kelihatan ragu-ragu? Jawablah sejujurnya, Diajeng, pergunakan kegagahan yang ada padamu untuk berterus terang. Percayalah, aku akan menerima dengan hati tabah andaikata engkau menolak cintaku, berlawanan dengan dugaanku bahwa engkau juga mencintaku. Jawablah, karena kebimbanganlah yang dapat menyiksa hatiku, bukan ketegasanmu."
Kata-kata ini menghidupkan kembali semangat Darmini yang tadinya melemah karena gelisah dan takut. Ia mengangkat mukanya dan kini dua pasang mata itu bertemu pandang, dan keduanya demikian tajam penuh selidik seolah-olah mereka sedang bertanding dengan sinar mata mereka. Akhirnya, Darmini menundukkan kembali mukanya dan terdengar ia berkata lirih namun jelas karena ia telah dapat menguasai perasaannya dan mengusir rasa takutnya.
"Kakang-Mas Sridenta, aku merasa terharu dan berterima kasih kepadamu yang telah sudi melimpahkan cinta kasih dan perhatian kepada seorang seperti aku. Akan tetapi, Kakang-Mas Sridenta, ketahuilah bahwa aku adalah seorang wanita yang sungguh tidak pantas untuk menjadi jodohmu, menjadi calon isteri seorang ksatria seperti engkau, putera seorang pangeran yang mulia dan terhormat. Aku tidak pantas menjadi sisihanmu untuk selamanya, Kakang-Mas..."
"Diajeng Darmini! Bagaimana engkau dapat berkata demikian, Diajeng? Bukankah Eyang Panembahan sudah memberitahukan kepada kita bahwa manusia tidak diukur nilainya dari keadaan lahiriah, melainkan keadaan batinnya? Kedudukan, harta benda, kepandaian, kebangsawanan, hanyalah keadaan lahiriah belaka, Diajeng. Kita adalah dua orang manusia, pria dan wanita dan dimana ada cinta, maka semua keadaan lahiriah yang hanya menjadi embel-embel hidup itu tidak masuk hitungan lagi. Aku cinta padamu, Diajeng, apa dan bagaimanapun juga keadaanmu. Yang kuperlukan saat ini hanyalah jawabanmu, apakah engkau sudi menerima uluran cintaku dan memperbolehkan aku mengajukan pinangan kepada orang tuamu?"
Darmini mengangkat mukanya dan terkejutlah hati Sridenta melihat betapa sepasang mata yang bening itu kini dibasahi air mata, dan betapa pandang mata itu menjadi sayu dan penuh duka, betapa wajah yang tadinya cantik dan cerah bagaikan setangkai bunga mawar bermandikan embun, kini menjadi keruh.
"Diajeng Darmini! Ada... ada apakah?" Tanyanya gugup dan khawatir kalau-kalau gadis ini sebetulnya tidak membalas cintanya, seperti yang di duga dan diharapkannya.
Dengan mata masih basah dan masih ditujukan kepada pemuda itu dengan pandangan sayu dan duka, Darmini berkata, "Kakang-Mas Sridenta, dengarlah baik-baik. Aku bukanlah seorang gadis suci seperti yang kau kira, aku... aku bukan perawan lagi!"
"Jagad Dewa Batara...!" Sridenta berseru dan matanya terbelalak, mukanya berubah agak pucat.
"Engkau... Engkau telah mendengarnya, dan engkau tentu memandang rendah kepadaku...!"
"Tidak, Diajeng, sama sekali tidak. Aku hanya terkejut saja, karena sama sekali tidak menyangka engkau akan berkata seperti itu."
"Engkau tidak menyesal? Tidak menganggap aku hina?"
"Tidak sama sekali...!"
Darmini menatap tajam, melalui genangan air matanya, penuh selidik dan memang ia tidak melihat perubahan pada sinar mata pemuda itu, kecuali kekejutan saja.
"Diajeng Darmini, kalau boleh, aku ingin mendengar ceritamu tentang pengakuanmu tadi."
Karena tidak melihat pandang mata merendahkan dari pemuda itu. Darmini merasa lega. Andaikata ada sedikit saja pandang mata merendahkan, tentu ia sudah meninggalkan Sridenta. Ia lalu menundukkan mukanya, mengusap air matanya sebelum menjawab.
Kemudian dengan suara lirih, diceritakanlah peristiwa di malam jahanam itu, dimana ia dalam keadaan penuh dukacita karena kematian Ong Cun, diperkosa orang tanpa ia dapat melawan sama sekali. Hanya karena dendam terhadap kematian Ong Cun, dan juga terhadap perkosaan atas dirinya yang disangkanya dilakukan oleh orang yang sama, ia tidak membunuh diri.
"Aku merasa kehidupanku sudah hancur dan hanya dendam yang dapat menguatkan aku untuk melanjutkan hidup, Kakang-Mas. Karena itulah aku lalu berangkat ke Gunung Bromo untuk berguru ilmu. Setelah turun gunung aku bertekad menemukan orang yang memperkosaku itu disamping menyelidiki tentang pembunuhan Ong Cun."
Kini Sridenta juga sudah dapat menguasai hatinya yang diguncangkan rasa kaget tadi. "Dan apakah engkau telah berhasil menemukannya?" Tanyanya.
Darmini mengangguk. "Dia... adalah Ayah tiriku sendiri, Ki Demang Bragolo..."
"Ahhh...!" Kembali Sridenta terkejut dan teringatlah dia betapa ganasnya Darmini menyerang Ki Bragolo, membuntungi kedua lengannya dan hampir membunuhnya kalau tidak ia halangi.
"Nah, Kakang-Mas Sridenta, sekarang engkau telah mengetahui dan hatiku terasa lega. Sejak aku berjumpa denganmu, aku dibayangi rasa takut karena aku harus menyampaikan kenyataan pahit ini kepadamu. Engkau tahu sekarang bahwa aku adalah seorang wanita yang sudah ternoda, bukan perawan lagi, karena itu tidak patut menjadi calon jodohmu..."
Tak dapat menahan lagi rasa dukanya, Darmini menangis terisak-isak. Ia sudah siap, takkan mengangkat mukanya kalau mendengar Sridenta pergi meninggalkannya. Akan tetapi, dua buah lengan yang kuat melingkari pundak dan lehernya dan suara yang halus berbisik di dekat telinganya.
"Diajeng, mengapa engkau masih meragukan cintaku padamu? Aku mencinta engkau! Engkau mengerti? Aku mencinta dirimu, lahir batin, bukan mencinta keperawanan, bukan mencinta kedudukan. Dan apapun keadaan dirimu, tidak akan merobah cintaku kepadamu. Apalagi dalam hal ini, hilangnya keperawanmu bukanlah karena kehendakmu, Diajeng. Engkau tidak berdaya dan diperkosa. Engkau tidak bersalah!"
Air mata makin deras bercucuran dari kedua mata Darmini. "Tapi... Kau... Kau tidak membenciku... karena itu, Kakang-Mas...?"
"Membenci? Ah, sebaliknya malah. Aku semakin kasihan kepadamu, semakin kagum karena keberanianmu membuat pengakuan itu. Cintaku kepadamu semakin mendalam, Diajeng..."
"Kakang-Mas...!" Darmini menjerit lirih dan balas merangkul sambil menyembunyikan mukanya di dada Sridenta.
"Aku... aku.. perempuan hina ini, aku... merasa berbahagia karena aku... akupun cinta padamu, Kakang-Mas Sridenta..."
Sridenta mendekap kepala di dadanya itu, ketika merasa betapa air mata gadis itu membasahi dadanya, dia menengadah, seolah-olah hendak menghaturkan puji syukur yang dipanjatkan ke angkasa. Air mata di dadanya itu seperti menembus kulitnya, menyirami taman hatinya sehingga seperti tanah yang kering merekah, tiba-tiba disiram air hujan, menjadi sejuk nyaman segar dan subur, siap untuk menumbuhkan bunga-bunga cinta.
Sementara itu, disudut lain dari taman itu, agak jauh dan tidak nampak oleh mereka, terdapat pula pasangan lain yang sedang duduk bercakap-cakap, di atas rumput hijau dikelilingi bunga mawar dan melati yang semerbak harum. Mereka adalah Bi Kwi dan Panji Saroto.
Memang, pemuda ini datang bersama Sridenta, berkunjung ke gedung Senopati Raden Gajah, dan diterima oleh dua orang gadis itu yang membawa mereka berjalan-jalan di dalam taman dan kemudian dua pasangan itu berpencar.
"Nona Bi Kwi, kebetulan kita sekarang berdua saja. Kesempatan ini akan kupergunakan untuk membicarakan sesuatu yang selama ini memenuhi seluruh batinku..."
"Raden, kita sudah menjadi sahabat, kenapa engkau masih begitu sungkan menyebut nona kepadaku?" Kata Bi Kwi sambil tersenyum, menatap wajah pemuda yang sejak pertama kali berjumpa telah menarik hatinya itu.
"Habis, apakah aku harus menyebutmu, Diajeng? Diajeng Bi Kwi, ah, betapa lucunya...?"
"Sebut saja Kwi-moi."
"Apa artinya?"
"Moi berarti adik perempuan atau juga Diajeng, maka kalau engkau menyebut Kwi-moi, sama saja dengan Diajeng Kwi, begitu."
"Baiklah, Kwi-moi... Hemm enak juga sebutan ini. Akan tetapi engkaupun jangan menyebut aku Raden lagi."
"Habis, bagaimana? Engkau adalah putera seorang putera bangsawan..."
"Sebut aku Kakang-Mas Panji Saroto, bagaimana?"
"Kakang-Mas Panji Saroto..."
"Nah, begitu baru enak di hati, Kwi-moi." Keduanya tertawa gembira.
"Oya, apakah yang hendak kau bicarakan tadi, Kakang-Mas?" Panji Saroto dapat bersikap jenaka, akan tetapi kini dia memandang dengan sinar mata bersungguh.
"Kwi-moi, terus terang saja, sejak aku merasakan pondonganmu dahulu itu, aku... rasanya aku ingin kau pondong terus...!"
"Ihhh"!" Wajah gadis itu berubah merah.
"Engkau memang nakal dan genit, suka menggoda orang, Kakang-Mas."
"Sungguh, Kwi-moi. Semenjak kita saling berjumpa, hatiku tertarik kepadamu dan wajahmu tak pernah dapat kulupakan. Sekarang aku yakin bahwa aku telah jatuh cinta padamu, Kwi-moi. Aku... Aku ingin agar engkau suka menjadi isteriku. Bagaimana, Kwi-moi? Sukakah engkau menerimaku sebagai suamimu?"
Wajah yang manis itu menjadi semakin merah dan Panji Saroto memandang terpesona. Gadis ini berpakaian daerah, sungguh manis dan memiliki kecantikan yang lucu dan aneh, namun menarik sekali. Matanya yang agak sipit itu dapat mengerling tajam seperti membetot kalbunya, dan senyum dimulut kecil itu amat menggairahkan.
Bi Kwi menundukkan mukanya sampai lama, tidak mampu menjawab. Pikirannya melayang-layang dan hanya dengan kekerasan hatinya ia tidak sampai mengeluarkan air mata. Teringatlah ia betapa ia hidup sebatangkara dinegeri orang yang jauh, betapa ia tidak punya orang tua lagi, tiada sanak kadang, satu-satunya sahabat yang dianggap sebagai saudaranya sendiri hanyalah Darmini seorang. Dan pemuda ini memang sejak semula telah menarik hatinya.
"Bagaimana, Kwi-moi? Aku tidak main-main, jawablah sejujurnya."
Bi Kwi mengangkat mukanya dan dua pasang mata mereka saling bertemu, bertaut sampai beberapa lamanya, kemudian Bi Kwi berkata, "Kakang-Mas, sudah kau pikirkan benar-benar ucapanmu tadi? Mungkinkah seorang pemuda seperti engkau mencinta seorang gadis seperti aku?"
"Kenapa tidak? Aku seorang pria yang sehat lahir batin, dan engkau seorang wanita yang sehat lahir batin, mengapa tidak mungkin aku mencintamu?"
"Bukan begitu maksudku, Kakang-Mas. Akan tetapi engkau adalah putera seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi, sedangkan aku..."
"Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan manis, memiliki kepandaian yang tinggi pula!"
"Aku hanyalah seorang gadis sebatangkara, tidak mempunyai keluarga lagi, tidak mempunyai apa-apa..."
"Kalau sudah menjadi isteriku, keluargamu menjadi besar, dan engkau memiliki segala-galanya, Kwi-moi, dirimu itu, pribadimu itu, bagaimana engkau bilang tidak memiliki apa-apa?"
Bi Kwi kewalahan, "Akan tetapi, Kakang-Mas, aku... aku adalah seorang gadis Cina..."
"Apa salahnya? Engkau gadis Cina, aku pemuda Jawa, apa bedanya? Cina juga manusia, Jawa juga manusia. Perbedaannya hanya pada kulit dan lahiriah belaka. Mungkin kulitmu agak lebih putih dari pada aku, mungkin matamu agak lebih sipit daripada mataku, mungkin Bahasa aselimu berbeda dengan bahasaku, akan tetapi engkaupun pandai dalam bahasaku. Perbedaan tidak ada artinya dibandingkan persamaan antara kita sejak lahir sampai kelak kalau sudah mati."
"Eh? Persamaan yang bagaimana?"
"Ketika lahir, kita sama-sama dilahirkan oleh seorang Ibu, dan begitu terlahir kita sama-sama menangis, bukan? Ataukah barangkali ketika terlahir, engkau terbahak-bahak?"
Bi Kwi tersenyum geli. "Ih, aneh-aneh saja engkau ini, Kakang-Mas. Bagaimana aku bisa tahu ketika terlahir aku menangis atau tertawa?"
"Akan tetapi aku yakin bahwa Bangsa Cina pun kalau bayinya terlahir, bayi itu tentu menangis. Kemudian lihat seluruh anggauta tubuh kita. Sama, bukan? Matamu dua, seperti mataku, biarpun matamu jauh lebih indah. Hidungmu satu, seperti hidungku, biarpun hidungmu kecil mancung dan lucu. Telingamu dua seperti telingaku, tangan dan kakimu sepasang seperti..."
Bi Kwi tertawa. "Sudahlah, Kakang-Mas. Tentu saja semuanya sama karena memang kita berdua ini manusia yang lumrah."
"Nah, kalau sudah sama, apa lagi? Cina atau Jawa sama saja. Yang saling mencinta itu orangnya, hatinya, bukan bangsanya. Aku cinta padamu, Kwi-moi. Sekali lagi, aku cinta padamu. Sekarang, tidak perlu engkau menjawab dengan segala macam urusan tentang Cina dan Jawa, bangsawan atau bukan, kaya atau miskin. Jawab saja, engkau cinta padaku atau tidak? kalau tidak, terpaksa aku mundur teratur, akan tetapi kalau engkaupun cinta padaku, kita kawin, menjadi suami-isteri dan hidup berbahagia, punya anak selusin!"
"Ih, banyaknya!"
"Aku senang banyak anak, enam perempuan enam laki-laki!"
"Enaknya! Aku yang repot mengurusnya!"
"Aku akan membantumu!"
"Eh, apa-apaan kita bicara tentang anak-anak?" Bi Kwi merasa geli sendiri.
"Kwi-moi, kalau kita saling mencinta dan menikah, tentu kita mempunyai banyak anak. Kwi-moi, katakanlah apakah engkau menyambut uluran cintaku? Apakah engkau juga mencintaku seperti aku mencintamu?"
Bi Kwi tersenyum. Tak dapat disangkal lagi bahwa ia mencinta pemuda ini. Akan tetapi ia masih ragu-ragu melihat perbedaan antara mereka, terutama sekali mengenai kebangsaan. "Kakang-Mas, terus terang saja, aku ingin sekali mengetahui karena aku khawatir sekali, yaitu apakah orang tuamu sudi menerima aku sebagai mantu mereka?"
"Aku yakin mereka akan menerima dengan gembira sekali!"
"Bagaimana engkau bisa begitu yakin, Kakang-Mas Panji Saroto?"
"Karena aku sudah membicarakan hal ini dengan Ayah dan Ibuku, dan mereka sangat setuju! Ayahku juga kagum kepadamu dan engkau akan diterima sebagai seorang mantu yang terhormat dan dikagumi. Nah, tidak ada lagi aral melintang bukan? Sekarang katakan, apakah engkau juga cinta padaku?"
Bi Kwi memandang dengan wajah berseri dan sinar mata cerah, penuh kebahagiaan mendengar itu, lalu ia tersenyum. Manis sekali, "Kakang-Mas Panji Saroto, masih perlukah aku harus mengucapkan pengakuan cinta? Apakah engkau tidak mendengar bisikan hatiku, dan tidak melihat pancaran sinar mataku?"
"Kwi-moi...!" Panji Saroto maju merangkul dan di lain saat, gadis itu telah berada dalam dekapannya. Bi Kwi menyembunyikan muka di dada yang bidang itu dan tubuh kedua orang itu menggetar penuh perasaan.
"Kwi-moi, bagaimanapun juga, aku ingin mendengar suaramu mengaku cinta padaku..."
Bi Kwi mengangkat mukanya dan mereka saling berpandangan, dekat sekali, lalu ia berbisik lirih dalam Bahasa Cina, "Aku cinta padamu..."
Tentu saja Panji Saroto tidak mengerti ucapan ini, akan tetapi cinta memang merupakan sesuatu yang ajaib. Biarpun tidak mengenal kata-kata Cina itu, namun Panji Saroto mengerti dan diapun menunduk dan dua buah mulut itu saling cium dengan mesra, seolah-olah menjadi materai yang mengesahkan berpadunya dua hati yang saling mencinta, dimana tidak ada lagi halangan-halangan remeh berupa perbedaan suku atau bangsa, perbedaan kedudukan dan lain-lain lagi.
Sampai disini, berakhirlah sudah kisah Kilat Pedang Membela Cinta ini, dan ditutup dengan harapan pengarang semoga di samping memberi hiburan di kala senggang, juga kisah ini mengandung manfaat bagi para pembaca.
Maka, terpaksa ia melepaskan Ibunya dan sambil berseru nyaring iapun terjun membantu Bi Kwi, memutar pedangnya dan menyerang Empu Kebondanu. Nyi Demang Bragolo yang bernama Puriwati itu memandang penuh kekhawatiran, lalu menjauhkan diri sampai disudut ruangan itu di mana ia berdiri dengan muka pucat dan tidak berdaya.
Sementara itu, Demang Bragolo sudah menerjang lagi ke dalam medan pertempuran, membantu Empu Kebondanu dan Walet Hitam, dan ternyata kakek yang bertubuh kurus namun berperawakan tinggi besar ini bukan seorang lemah! Dia memegang sebatang penggada dan tenaganya kuat sekali ketika penggada itu diputar-putar dan senjata yang berat ini menyambar-nyambar dahsyat kearah dua orang gadis itu.
Perkelahian dua lawan tiga yang amat seru dan ternyata orang gadis itu memang benar-benar hebat, perkasa seperti dua ekor singa betina mengamuk. Biarpun tiga orang pengeroyok mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun mereka sama sekali tidak merasa gentar, bahkan tidak sampai terdesak biarpun kini Ki Demang Bragolo membantu, dan ikut mengeroyok mereka.
Sinar pedang di tangan dua orang gadis ini menyambar-nyambar bagaikan kilat, kadang-kadang bergulung-gulung sinarnya, rapat dan sukar ditembus senjata tiga orang pengeroyok mereka. Para perajurit pengawal yang ternyata adalah anak buah Raden Wiratama yang datang bersama Empu Kebondanu dan sudah siap siaga mengepung dua orang gadis itu menurut siasat yang sudah direncanakan mereka bersama, kini hanya menonton dengan kagum dan tidak ada yang berani turun tangan.
Memang amat sukar bagi mereka, para perajurit ini yang tentu saja kalah jauh tingkat kepandaian mereka dibanding dengan mereka yang sedang berkelahi itu. Kalau mereka maju, mungkin mereka bahkan akan mengacaukan pengeroyokan, dan sukar bagi mereka mengikuti gerakan dua orang gadis itu yang kadang-kadan hanya nampak bayangannya saja.
Darmini dan Bi Kwi memang cerdik. Mereka maklum bahwa di antara tiga orang pengeroyok mereka, terdapat Walet Hitam yang pandai mempergunakan senjata rahasia, oleh karena itu, mereka berdua selalu bergerak berloncatan ke sana sini dan mengajak para pengeroyok itu berputaran. Demikian cepat gerakan mereka berdua, lincah dan gesit sehingga tiga orang pengeroyoknya terpaksa ikut pula berputaran.
Dan hal ini membuat Walet Hitam sukar untuk mempergunakan senjata rahasianya. Besar sekali bahayanya akan mengenai teman sendiri. Pula, agaknya Walet Hitam juga enggan mempergunakan senjata gelapnya, kecuali kalau dia memang terhimpit dan terdesak seperti waktu dia dikeroyok dua oleh gadis itu dan terancam bahaya.
Kini, besarlah hatinya karena dia dibantu oleh Empu Kebondanu yang tangguh, juga Demang Bragolo yang bertenaga besar, sedangkan diluar pendopo itu masih ada dua puluh orang lebih perajurit yang siap untuk membantunya. Pedang di tangan Walet Hitam inilah yang paling hebat, dapat mengimbangi kecepatan gerakan dua orang gadis itu.
Masih untung bagi Darmini dan Bi Kwik karena tiga orang yang mengeroyok mereka itu agaknya berhati-hati dan selalu menjaga agar tidak sampai kesalahan tangan membunuh mereka berdua karena mereka itu ingin menangkap hidup-hidup Darmini dan Bi Kwi, terutama sekali Bi Kwi karena Raden Wiratama memperingatkan mereka agar jangan sampai membunuh gadis itu atau melukainya dengan parah.
Namun, Darmini dan Bi Kwi bukanlah dua ekor domba jinak yang mudah ditangkap begitu saja. Sama sekali bukan! Mereka lebih menyerupai dua ekor singa betina yang liar dan buas, pantang menyerah dan agaknya hanya akan menyerah kalau sudah roboh tak bernyawa lagi. Mereka gigih membela diri dan akan melawan sampai titik darah terakhir!
Melihat kenekatan ini, tiba-tiba Ki Demang Bragolo mendapatkan akal licik. Dia meloncat keluar dari kalangan perkelahian dan cepat dia lari menghampiri Nyi Demang. Sebelum isteri pertamanya itu tahu apa yang akan terjadi, Ki Demang sudah memegang lengan tangannya dan ditelikungnya ke belakang, menggunakan tangan kiri saja sedangkan tangan kanan yang memegang penggada itu mendekatkan penggada di kepala wanita itu, kemudian di dorongnya isterinya itu mendekati tempat pertempuran.
"Darmini, hentikan perlawananmu, kalau tidak... kepala Ibumu ini akan kuhancurkan lebih dulu!"
Mendengar ucapan itu, Darmini terkejut sekali dan cepat meloncat ke luar medan perkelahian dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa Ibunya telah ditangkap dan diancam oleh Ayah tirinya. Mukanya yang tadi merah berubah pucat, lalu merah lagi.
"Jaham keparat Bragolo!" Bentaknya dengan suara melengking tinggi. "Pengecut engkau! Hayo lepaskan Ibuku dan mari kita bertanding sampai seorang diantara kita binasa!"
Tangan kirinya menuding dengan telunjuk, sedangkan tangan kanan yang memegang pedang agak gemetar karena hatinya cemas sekali melihat keadaan Ibunya.
"Anakku, jangan menyerah... Biar dia membunuhku, jangan menyerah..." Ibunya berteriak, akan tetapi Ki Demang Bragolo mendorong lengan yang ditelikung itu ke atas sehingga kata-kata itu diakhiri dengan jerit kesakitan dari wanita itu.
Melihat ini, Darmini menjadi tidak tega. Bagaimana mungkin ia dapat melihat Ibunya disiksa dan dibunuh. "Adik Bi Kwi, engkau larilah!" Tiba-tiba ia berteriak untuk memperingatkan Bi Kwi.
Akan tetapi, gadis itu tetap saja mengamuk. "Tidak, Mbak-Ayu Darmini, akan kubunuh iblis-iblis ini!"
Dan Bi Kwi mengamuk semakin nekat. Akan tetapi, Darmini tidak berani bergerak lagi karena takut kalau Ibunya disiksa dan dibunuh. Ia tahu bahwa Ayah tirinya yang kini sudah kelihatan belangnya, tidak akan segan-segan membunuh Ibunya, bukan sekedar omong kosong belaka.
"Bragolo, lepaskan Ibuku, aku menyerah!" Katanya sambil melempar pedangnya ke atas lantai.
"Ha-ha-ha, begitulah baru anak baik namanya!" Kata Bragolo yang mendorong tubuh isterinya kearah Darmini dan diapun membungkuk dan mengambil pedang Lian-Hwa-Kiam, kemudian memerintahkan perajurit untuk membelenggu kedua tangan Darmini. Dengan takut-takut, empat orang perajurit maju menghampiri Darmini yang sudah memeluk Ibunya yang menangis tersedu-sedu.
Akan tetapi demi keselamatan Ibunya, Darmini tidak melawan dan menyerah saja ketika kedua lengannya ditelikung ke belakang di belenggu dengan tali kulit kerbau yang amat kuat. Juga kedua kakinya dan kini Ibunya merangkul dan menangisi gadis yang terpaksa jatuh terduduk di sudut ruangan itu ketika didorong oleh Demang Bragolo yang menjadi girang sekali.
Bi Kwi masih mengamuk dengan hebat. Kini Ki Demang Bragolo ikut pula mengeroyoknya dan memerintahkan beberapa orang perajurit untuk mengambil tali-tali yang kuat, kemudian dengan tali-tali yang dibentuk seperti laso, gadis yang dikeroyok itu diserang dari kanan kiri dan belakang dan akhirnya tubuhnya terjerat dan amukannya terhenti. Walet Hitam menubruk dari belakang dan menotoknya, menghentikan semua perlawanannya dan tak lama kemudian, iapun sudah terikat kaki tangannya seperti keadaan Darmini.
"Ha-ha-ha, akhirnya berhasil juga kerja sama kita, Walet Hitam!" Kata Ki Demang Bragolo sambil merangkul pundak orang bertopeng hitam itu. Terdengar orang itu tertawa saja, tanpa menjawab.
"Juga berkat bantuan Kakang Empu Kebondanu maka kita berhasil menangkap dua ekor singa betina ini. Tentu Kakang akan memperoleh hadiah besar dari Raden Wiratama!" Kata pula Demang Bragolo.
"Ah, aku memang telah menjadi pembantunya. Yang jelas memperoleh hadiah besar tentulah Walet Hitam," Kata Empu Kebondanu sambil tertawa pula.
"Silahkan Kakang Empu Kebondanu untuk beristirahat dan menerima pelayanan dari para dayang, aku dan Walet Hitam masih ada urusan dengan dua orang gadis itu. Marilah, Walet Hitam, mari kita berpesta berdua untuk merayakan kemenangan kita, ha-ha-ha!"
Ki Demang Bragolo dengan kasar lalu menyeret Nyi Demang Bragolo dan menyerahkannya kepada seorang pengawal. "Jebloskan ia ke dalam kamar tahanan dan jaga jangan sampai lolos!" Perintahnya.
Nyi Demang Bragolo yang tadinya merangkul puterinya, menjerit-jerit dan tidak mau melepaskan anaknya, akan tetapi karena diseret dan dijambak rambutnya, pegangannya terlepas dan ia hanya dapat menangis. Melihat ini, Darmini menggigil bibirnya dan mukanya menjadi merah sekali, kedua matanya menjadi basah.
"Anjing Bragolo, tunggu saja! Sekali kau jatuh ke tanganku, aku tidak akan memberi ampun padamu!"
"Ha-ha-ha, engkau boleh mengeluarkan semua omonganmu, Darmini. Engkau sudah terjatuh ketanganku, takut apa? Marilah, Walet Hitam!"
Dan tanpa banyak cakap lagi, Demang Bragolo mengangkat dan memondong tubuh Darmini, sedangkan Walet Hitam memondong tubuh Bi Kwi. Kedua orang gadis itu hanya dapat saling pandang, tidak meronta karena maklum bahwa merontapun tidak ada gunanya.
Mereka berdua diam-diam mencoba kekuatan tali kulit kerbau yang mengikat kaki tangan mereka karena bagaimanapun juga, mereka harus dapat meloloskan diri dan melepaskan ikatan, atau mereka tahu bahwa mereka akan mengalami malapetaka hebat dalam tangan dua orang manusia iblis ini!
Ki Demang Bragolo dan Walet Hitam membawa dua orang gadis itu memasuki sebuah kamar yang besar, dimana terdapat sebuah pembaringan dan Ki Bragolo melempar tubuh Darmini ke atas pembaringan, dan menyuruh Walet Hitam berbuat serupa dengan Bi Kwi. Walet Hitam juga melempar tubuh Bi Kwi keatas pembaringan kemudian berkata kepada Ki Bragolo.
"Ki Demang Bragolo, sebaiknya kalau aku segera membawa gadis itu ke rumah Raden Wiratama. Dia tentu sudah menanti-nanti dengan tidak sabar."
"Ha-ha-ha, engkau tetap saja tamak seperti dahulu ya? Gadis itu sudah dapat kita tawan, mengapa tergesa-gesa? Engkau ingin segera menerima hadiah dari Raden Wiratama? Nanti dulu, kawan. Mari kita makan minum, berpesta merayakan kemenangan kita berdua. Bukankah kita selalu berhasil kalau bekerja sama? Ha-ha, kini lenyap sudah semua ancaman. Aku percaya Raden Wiratama akan mampu mematahkan semangat gadis Cina itu, seperti aku mematahkan semangat Darmini. Mari kita minum!"
Ki Bragolo bertepuk tangan dan dua orang pelayan wanita segera muncul membawa hidangan, arak dan buah-buahan segar. Sementara itu, Darmini menggeser tubuhnya mendekati Bi Kwi, lalu berbisik.
"Kita berusaha melepaskan ikatan... Dan aku akan mengorek rahasia dari mereka..."
Bi Kwi mengangguk dan kedua orang gadis itu menghadap kearah dua orang itu, sambil diam-diam berusaha melepaskan ikatan pada kedua pergelangan tangan mereka. Darmini melihat betapa dua orang gadis pelayan sudah keluar lagi dan kini dua orang itu makan minum.
Walet Hitam membuka topengnya bagian bawah sehingga mulutnya nampak, akan tetapi karena dia duduk membelakangi dua orang gadis itu, mereka tidak dapat melihat mukanya bagian bawah. Ingin sekali Darmini melihat mukanya, maka iapun berkata dengan suara dibuat tenang.
"Walet Hitam, kami sudah kalah dan tertawan, tidak mampu melawan lagi. Akan tetapi, apakah engkau masih demikian pengecut untuk tidak berani mengaku bahwa engkau telah membunuh Ong Cun? Benarkah engkau yang telah membunuh Ong Cun enam tahun yang lalu?"
Walet Hitam hanya mengangguk tanpa menoleh dan Ki Bragolo tertawa lebar.
"Ha-ha-ha, Darmini, engkau boleh tahu sekarang bahwa memang benar Walet Hitam yang telah membunuh Ong Cun."
"Akan tetapi kenapa?" Bi Kwi berteriak dalam Bahasa Cina.
"Apa? Aku tidak mengerti maksudmu!" Kata Ki Bragolo yang mengira gadis Cina itu bicara kepadanya.
"Maksudku, mengapa dia membunuh Kakakku? Walet Hitam, jawablah mengapa engkau membunuh Kakakku? Jelaskan alasanmu agar kami tidak menjadi penasaran." Bi Kwi berkata pula dalam bahasa daerah.
"Itu... itu urusanku sendiri!" Hanya demikian Walet Hitam menjawab, dan agaknya dia tidak mau memberi penjelasan.
"Engkau... pengecut! Engkau tidak berani mengaku! Engkau laki-laki tak tahu malu, pengecut keparat! Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita mampus, kalau engkau memang laki-laki! Engkau memalukan nama Siauw-Lim-Pai saja!"
Bi Kwi memaki-maki marah, akan tetapi Walet Hitam tetap makan minum tanpa memperdulikan kata-kata Bi Kwi. Darmini menyuruh Bi Kwi untuk memberi isyarat agar gadis itu dapat menenangkan dirinya dan tidak menurutkan hati yang panas.
"Walet Hitam," Kata Darmini, suaranya tenang walaupun agak menggetar. "Engkau sudah mengaku bahwa engkau yang telah membunuh Ong Cun. Ada satu pertanyaan lagi dariku yang kuharap engkau cukup jantan untuk mengakuinya pula. Pada hari kematian Ong Cun itu, pada malam harinya, engkaukah yang telah memasuki kamarku dan... yang telah memperkosaku?"
Bi Kwi mengeluarkan jerit tertahan dan matanya terbelalak memandang kepada Darmini, kemudian mata itu menjadi basah. Hal ini tidak pernah diceritakan Darmini kepadanya dan baru sekarang ia mendengarnya. Kasihan gadis yang sedianya menjadi Kakak iparnya ini. Sudah kematian kekasih dibunuh orang, malamnya malah diperkosa orang pula! Iapun ikut menanti jawaban Walet Hitam. Tanpa menoleh, terdengar suara Walet Hitam.
"Tanya saja kepada Ki Demang Bragolo."
Pandang mata Darmini kini ditujukan kepada Ayah tirinya itu, dengan alis berkerut karena ia tidak mengira bahwa Ayah tirinya tahu pula akan peristiwa perkosaan atas dirinya itu.
"Ki Bragolo, dengan siasat busuk engkau telah menawan aku dan Bi Kwi. Aku sudah kalah, akan tetapi aku menuntut penjelasan akan semua ini. Tahukah engkau siapa yang telah memperkosa aku malam itu?"
Tiba-tiba Ki Bragolo tertawa bergelak. Mukanya yang merah karena pengaruh arak dan ketika dia bergelak itu cambang bauknya bergerak-gerak bersama kepalanya, berdongak ke atas lalu memandang kepada Darmini. "Darmini, masih belum dapatkah engkau menduga siapa orangnya? Ha-ha-ha, akulah yang melakukannya!"
Darmini menjerit dan mukanya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak menatap wajah kakek bercambang bauk yang masih tertawa-tawa itu. Kalau saja pada saat itu kaki tangannya tidak terbelengu, tentu ia akan menerjang dan membunuh Ayah tirinya itu!
"Ha-ha-ha, engkau sepatutnya mengetahui bahwa sejak engkau berangkat dewasa, aku telah tergila-gila kepadamu. Aku yang setiap hari melihat engkau bagaikan kuncup bunga yang makin lama semakin mekar menggairahkan, tentu tidak rela engkau hendak di petik pemuda asing itu. Malam itu... Aku tidak dapat lagi menahan diri, dan aku puas sudah dapat memiliki dirimu sebagai laki-laki pertama... ha-ha-ha. Dan sekarang, aku akan memilikimu sepuasnya untuk kemudian kupertimbangkan apakah engkau patut dibunuh atau tidak. Kalau engkau mau bersikap baik, menurut dan dengan suka rela menjadi seorang selirku tersayang mungkin engkau tidak akan kubunuh..."
"Keparat jahanam, iblis berwajah manusia. Kiranya Ayah tiriku seorang manusia berwatak iblis berhati binatang!"
Kini wajah Darmini menjadi merah sekali, matanya beringas dan bibirnya yang bawah sampai berdarah sedikit karena tergigit sendiri olehnya. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya. Kiranya Ki Demang Bragolo yang telah memperkosanya! Padahal dahulu orang ini kelihatan demikian sayang kepadanya! Dia dipangku, ditimang seperti anak kandung sendiri!
Ketika memperkosanya, orang ini membisik seolah-olah dia yang membunuh Ong Cun, tentu hanya untuk menghilangkan jejaknya, agar ia mengira bahwa pembunuh Ong Cun dan pemerkosanya adalah satu orang saja. Mengerti ia kini mengapa Ki Bragolo tidak bertindak sesuatu ketika mendengar dari Gagak Ireng bahwa Empat Bajul hendak membunuh Ong Cun.
Tentu diam-diam Ki Bragolo tidak suka kepada Ong Cun dan kematian Ong Cun merupakan hal yang amat menyenangkan hatinya. Dan melihat betapa kini dia bersekutu dengan Walet Hitam, mengingat percakapan antara mereka tadi dimana Ki Bragolo mengatakan bahwa kerja sama antara mereka itu selalu berhasil, maka jelaslah bahwa Ki Bragolo agaknya dahulu sudah mengatur siasat dengan Walet Hitam yang hendak membunuh Ong Cun.
Bahkan mungkin Ki Bragolo yang membujuk Walet Hitam membunuh Ong Cun, atau setidaknya tentu memberi hadiah untuk perbuatannya itu. Setelah dapat menguasai hatinya, dengan air mata bercucuran membasahi kedua pipinya, hidung kembang kempis saking marahnya dan matanya merah liar, Darmini bertanya,
"Kalau demikian... Paman Nala..."
"Ha-ha-ha, panahku yang membunuhnya! Kasihan dia! Bukan dia yang hendak kubunuh..."
"Aku yang hendak kau bunuh, keparat!"
"Benar. Ketika engkau pergi hendak berguru, kau kira aku enak-enak saja menunggu sampai engkau pandai kemudian menyelidiki perkara itu? Aku mengejarmu dan menyerangmu dengan anak panah. Akan tetapi engkau membungkuk dan Nala menjadi korban. Kemudian engkau menjadi murid Panembahan Ganggamurti, tentu saja aku tidak dapat mengganggu dan terpaksa menantimu sampai pulang. Dan sekarang, tetap saja aku yang menang. Ha-ha-ha!"
Sekarang jelaslah sudah semuanya. Ong Cun dibunuh Walet Hitam, sebabnya belum diketahui karena orang itu tidak mau mengaku. Ia diperkosa Ki Bragolo, dan Paman Nala dibunuh pula oleh Ki Bragolo. Ki Bragolo merupakan pembantu Wiratama yang setia kepada Lumajang dan hendak memberontak terhadap Majapahit, dan agaknya Walet Hitam membantu gerakan itu karena upah yang besar.
"Brettt...!"
"Brettt...!"
Hampir berbareng, Bi Kwi dan Darmini berhasil membikin putus tali pengikat kedua tangan mereka. Akan tetapi, kedua kaki mereka masih terbelenggu dan pada saat mereka hendak merenggut putus tali yang mengikat kaki, Walet Hitam dan Ki Bragolo sudah meloncat ke dekat pembaringan sambil menodongkan senjata mereka.
Dua orang gadis itu hanya melirik ke arah meja di mana pedang mereka tadi diletakkan oleh ke dua orang yang menangkap mereka itu, dan mereka tidak berdaya karena bergerak lagi tentu senjata lawan akan menyerang.
"Brakkkkk!"
Daun pintu yang hanya ditutupkan oleh para gadis pelayan tadi, tiba-tiba terbuka lebar dan tiga sosok bayangan menerjang ke dalam kamar besar itu. Walet Hitam dan Ki Bragolo terkejut, cepat membalikkan diri dan pada saat mereka berbalik itulah, kedua orang gadis lalu cepat meloncat turun dan menjauh.
Ki Demang Bragolo terbelalak ketika melihat bahwa tiga orang yang tiba-tiba memasuki kamar itu, dua di antaranya adalah Raden Gajah dan Panji Saroto, dua orang yang tentu saja sudah dikenalnya. Kehadiran Raden Gajah membuat kedua lututnya gemetar. Akan tetapi dia tidak dapat berkata apa-apa lagi karena pada saat itu, orang ke tiga yang tidak dikenalnya, seorang pemuda berpakaian serba putih, telah menyerangnya dengan tamparan yang dahsyat.
Ki Bragolo cepat mengelak sambil mengayun senjatanya yang berat, yaitu sebatang penggada dari galih asam. Senjata itu menyambar-nyambar ke arah kepala Sridenta dan pemuda ini segera mundur untuk mencari tempat yang lebih luas. Sementara itu, melihat munculnya Raden Gajah, Walet Hitam mengeluarkan seruan nyaring dan pedangnya meluncur dan menyerang ke arah Raden Gajah.
"Cringgg...!"
Pedangnya tertangkis oleh sebatang keris dan bunga api berpijar. Kiranya yang menangkis adalah keris di tangan Panji Saroto dan kedua orang itu sudah berkelahi dengan hebat. Tiba-tiba muncul Empu Kebondanu dan melihat munculnya kakek yang memegang tongkat ini, Raden Gajah menghardik,
"Hem, Pertapa yang sesat! Andika meninggalkan tempat Pertapaan untuk menjadi kaki tangan pemberontak!" Berkata demikian, Raden Gajah sudah menghunus kerisnya dan menyerang, disambut oleh putaran tongkat Empu Kebondanu.
Baik Ki Bragolo, Walet Hitam maupun Empu Kebondanu merasa jerih, apalagi melihat betapa dua orang gadis itu telah dapat membebaskan belenggu pada kaki mereka, dan kini mereka berloncatan menyambar pedang masing-masing yang terletak di atas meja. Maklumlah mereka bahwa mereka terancam bahaya dan merekapun segera berloncatan keluar dari kamar itu untuk melarikan diri.
Akan tetapi betapa kaget rasa hati mereka melihat bahwa tempat itu telah penuh dengan perajurit Majapahit dan betapa semua anak buah mereka telah di tawan! Kini mereka berada diluar kamar yang luas, dan dibawah penerangan lampu-lampu gantung di ruangan yang luas itu, mereka melanjutkan perkelahian.
Dengan kemarahan meluap-luap, Darmini menerjang Ki Bragolo dan segera ia dibantu oleh Sridenta. Panji Saroto terdesak oleh Walet Hitam, akan tetapi Bi Kwi segera terjun ke dalam perkelahian itu membantunya sambil memaki Walet Hitam. Pedang Liong-Cu-Kiam bergulung-gulung sinarnya mendesak Walet Hitam, sedangkan keris ditangan Panji Saroto juga berbahaya sekali karena selain keris itu merupakan senjata yang ampuh, juga ternyata pemuda ini memiliki gaya dan gerakan yang indah dan cepat tangkas, serta tenaga yang cukup kuat.
Empu Kebondanu juga dihadapkan kepada seorang lawan yang tangguh, yaitu Senopati Raden Gajah yang sudah terkenal kegagahannya itu. Empu Kebondanu tidak banyak cakap lagi. Dia tahu betapa tangguhnya Raden Gajah, seorang Senopati yang terkenal di Majapahit ini, dan dia tahu pula betapa berbahaya keadaan dia dan kawan-kawannya karena tempat itu telah terkepung perajurit Majapahit. Maka dia lalu berkemak-kemik membaca mantera sambil memutar tongkat bambu gadingnya sedemikian rupa sehingga Raden Gajah harus berhati-hati menjaga diri dengan kerisnya.
"Aummmmm...!" Empu Kebondanu mengaum seperti seekor harimau dan memang ini merupakan satu diantara kesaktiannya. Auman itu mengandung kekuatan dahsyat yang dapat meruntuhkan semangat lawan, mendatangkan rasa jerih dan kaget sehingga gerakan lawan menjadi kacau atau bahkan dapat membuatnya lumpuh sama sekali seperti auman seekor harimau melumpuhkan seekor domba.
Namun, yang dihadapinya kini bukanlah seorang muda yang masih mentah, melainkan seorang tokoh kawakan yang sudah banyak sekali pengalaman pertempuran dalam dunia ini. Menghadapi aji kesaktian ini, Raden Gajah cepat mengerahkan kekuatan batinnya dan dapat menahan pengaruh auman itu, sedangkan kerisnya tidak tinggal diam, cepat diluncurkan menusuk ke arah ulu hati lawan.
Melihat betapa lawannya tidak terpengaruh oleh aumannya, bahkan menyerang dengan tusukan maut, Empu Kebondanu cepat melangkah ke kiri dan tongkatnya menghantam ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang keris, dengan maksud agar senjata itu terlepas. Namun Raden Gajah sudah menarik kembali tangannya sehingga hantaman tongkat itupun luput.
Empu Kebondanu memutar tongkat, kini tongkat bambu gading itu menyambar ke arah kepala dengan luncuran keras sekali. Raden Gajah mengelak dengan merendahkan tubuh dan memiringkan kepala, kerisnya kembali menusuk ke arah lambung.
"Trangg!"
Terpaksa Empu Kebondanu menurunkan tongkatnya menangkis sehingga tusukan itupun gagal. Mereka serang-menyerang dengan seru, dan nampak seimbang walaupun kurang leluasa melakukan perlawanan dengan senjatanya yang pendek melawan senjata lawan yang panjang.
Keuntungan ini agaknya diketahui oleh Empu Kebondanu yang segera menjaga jarak diantara mereka, jarak yang cukup jauh bagi keris di tangan Raden Gajah namun cukup dekat bagi tongkat bambu gadingnya yang panjang.
Pertempuran Walet Hitam yang dikeroyok dua oleh Bi Kwi dan Panji Saroto juga amat seru dan mati-matian. Dan ternyata bahwa Walet Hitam memang hebat. Biarpun dikeroyok dua, dia sama sekali tidak kelihatan terdesak, bahkan gerakan pedangnya yang cepat dan kuat itu membuat Bi Kwi dan Panji Saroto harus berhati-hati sekali. Ia harus mengakui bahwa kalau tidak dibantu oleh Panji Saroto, tentu ia sudah kalah sejak tadi dan mungkin ia sudah roboh.
Keris di tangan pemuda itupun hebat, mencuat kesana-sini dan kadang-kadang membuat Walet Hitam meloncat menghindar dengan kaget sekali. Akan tetapi, beberapa kali pedang Walet Hitam juga mengancam jiwa Panji Saroto. Untung bahwa Bi Kwi mengenal semua gerakan itu sehingga ia dapat melindungi Panji Saroto kalau pemuda itu didesak hebat.
"Trang-trang-cring..."
Dua kali keris di tangan Panji Saroto menangkis pedang Walet Hitam dan ketika pedang itu masih terus mengancam, dari samping pedang Liong-Cu-Kiam di tangan Bi Kwi menangkis sehingga pedang Walet Hitam terpental dan gagallah desakannya untuk ke sekian kalinya kepada Panji Saroto. Walet Hitam agaknya ingin lebih dahulu menjatuhkan Panji Saroto, baru dia akan menghadapi Bi Kwi dengan kekuatan penuhnya. Namun berkali-kali Bi Kwi dapat melindungi pemuda itu dan menggagalkan desakan Walet Hitam.
Hal ini membuat Walet Hitam menjadi marah dan tiba-tiba dia memutar pedangnya menyerang Bi Kwi! Hebat sekali serangan ini, pedangnya berkelebat menyilaukan mata dan dalam satu gerakan saja pedang itu telah membabat dari kanan, ketika dielakkan membalik dari kanan ke kiri dan begitu ditangkis, pedang itu meluncur ke depan, menusuk ke arah dada Bi Kwi dan berbareng, kaki kiri Walet Hitam menyusulkan sebuah tendangan yang keras.
Bi Kwi terkejut sekali, berhasil menangkis dengan pedangnya, akan tetapi tendangan itu membuat ia terpaksa melempar tubuh ke belakang. Walet Hitam yang melihat lawannya itu terdesak, mengejar untuk menyerang lagi dengan hebat, akan tetapi pada saat itu, Panji Saroto yang melihat betapa Bi Kwi terancam bahaya, sudah menyerang dari samping dengan kerisnya, menusuk lambung.
"Tringgg!"
Terpaksa Walet Hitam menghentikan kejarannya terhadap Bi Kwi dan mengerakkan pedang ke kanan untuk menangkis keris yang berbahaya itu, dan tentu saja kini Bi Kwi sudah dapat menguasai keadaan dan keseimbangan tubuhnya, lalu dengan marah gadis inipun membalik dan menyerang, membantu Panji Saroto mengeroyok lawan yang amat lihai itu. Walet Hitam memutar pedangnya yang menjadi sinar bergulung-gulung melindungi tubuhnya dari segenap penjuru seperti benteng sinar pedang yang kokoh kuat.
Pertempuran itu menjadi semakin seru dan mati-matian karena Walet Hitam tidak lagi melihat jalan keluar kecuali merobohkan semua lawannya, baru dia dapat membuka jalan darah menerjang keluar di antara para pengepungnya.
Perkelahian antara Ki Demang Bragolo yang dikeroyok oleh Darmini dan Sridenta merupakan perkelahian yang paling tidak ramai di antara yang lain. Biarpun Ki Demang Bragolo seorang yang memiliki tenaga raksasa, dan senjatanya yang berupa penggada besar itu amat berat dan berbahaya, namun dia menghadapi dua orang murid Sang Panembahan Ganggamurit yang memiliki gerakan yang amat ringan dan serangan-serangan yang amat cepat.
Sridenta yang maju dengan tangan kosong itu, demikian gagahnya sehingga dia berani menangkis penggada lawan dengan lengannya. Tentu saja Ki Bragolo menjadi kewalahan karena pedang Lian-Hwa-Kiam di tangan Darmini menyambar-nyambar ganas, seperti kilat yang menyilaukan mata. Kilat pedang itu seolah-olah tangan-tangan maut yang mengancamnya, membuat Ki Bragolo repot sekali.
Andaikata dia harus menghadapi Darmini seorang, atau bahkan Sridenta seorang diri saja, agaknya dia akan dapat melakukan perlawanan yang lebih seimbang. Akan tetapi kini, menghadapi pengeroyokan dua orang itu, dia benar-benar kewalahan dan setelah dia melindungi dirinya dengan memutar penggada yang amat berat itu beberapa lamanya, napasnya mulai terengah dan tubuhnya basah oleh keringat kelelahan dan keringat ketakutan.
Betapapun juga, dia harus melawan mati-matian karena maklum bahwa tidak ada jalan keluar baginya. Semua anak buah yang tadinya dibawa oleh Empu Kebondanu yaitu pasukan dari Raden Wiratama, telah ditawan oleh pasukan Majapahit yang dibawa oleh Raden Gajah. Dan kini, para pembantunya yang diandalkan, yaitu Walet Hitam dan Empu Kebondanu sendiri, juga sedang repot melindungi diri masing-masing. Dia harus melawan mati-matian dan dengan menggertak gigi, dia memutar penggadanya, memukul ke arah Sridenta dengan sekuat tenaga.
Pemuda ini maklum bahwa betapa bahayanya penggada yang menyambar ke arah kepalanya itu. Dia miringkan tubuhnya dan dari samping tangan kanannya menyambar dan menangkap pergelangan lengan yang memegang penggada. Namun, lengan itu berkeringat dan amat keras seperti besi sehingga licin dan cengkeraman tangan Sridenta meleset kini saling membetot, memperebutkan penggada. Pada saat itu, sinar pedang berkelebat dan pedang di tangan Darmini sudah datang dan menyambar ke arah leher Ki Bragolo! Kakek ini terkejut, terpaksa dia mengangkat lengan kiri menangkis.
"Crakkk...!" Lengan kiri itu putus sebatas siku dan Ki Bragolo mengeluarkan suara gerengan sedemikian dahsyatnya sambil merenggut penggadanya sehingga terlepas dari cengkeraman Sridenta, dan kakek itu membalik, dengan mata mendelik merah, mulut mengeluarkan busa saking marahnya, dia menyerang Darmini dengan penggadanya, darah bercucuran dari lengan kiri yang buntung! Namun, Darmini meloncat ke samping dan kembali pedangnya berkelebat cepat sekali.
"Crakkkk...!" Kembali darah muncrat mengiringi teriakan Bragolo dan lengan kanannya juga sudah buntung, penggada itu terlempar. Akan tetapi, kakek itu tidak roboh, dengan kedua lengan buntung yang meneteskan darah segar, dia berdiri menghadapi Darmini yang menjadi ngeri sendiri. Gadis ini, siap melakukan tusukan maut, akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Sridenta.
"Cukup, Diajeng...!"
Darmini tersadar dan iapun menahan napas untuk menindih hawa kemarahan yang berkobar. Pada saat itu, Ki Bragolo yang sudah buntung kedua lengannya itu, mengeluarkan teriakan dan menerjang ke arah Darmini dengaan tendangan kakinya. Akan tetapi, Sridenta menyambut tendangan itu dengan tangkisan lengannya sambil mengerahkan tenaga dan tubuh Ki Bragolo terbanting roboh dan kakek inipun pingsan!
Sridenta melihat betapa Raden Gajah masih bertanding mati-matian melawan Empu Kebondanu cepat meloncat dan maju membantu Senopati itu. Dia menampar dengan keras dan ketika Empu Kebondanu mengelak, tamparan itu berubah menjadi cengkeraman untuk merampas tongkat bambu gading!
Empu Kebondanu terkejut sekali dan cepat menarik tongkatnya, akan tetapi pada saat itu keris di tangan Raden Gajah sudah pula menyambar. Dia meloncat mundur dan terdesak hebat oleh kedua orang pengeroyoknya. Sementara itu Raden Gajah memerintahkan perajurit untuk membelengu kedua kaki Ki Bragolo dan mengobati luka di lengannya, dan dia berseru kepada para pembantunya untuk mengeroyok Empu Kebondanu.
"Jangan bunuh dia, tangkap hidup-hidup!" teriaknya.
Kini Empu Kebondanu dikepung banyak orang. Dia masih mencoba mengamuk dengan tongkatnya, akan tetapi ketika tongkat itu berhasil ditangkap oleh Sridenta, para perwira pembantu lalu menyerangnya, dan menelikungnya. Membelenggu kaki tangannya seperti seekor sapi yang hendak disembelih.
Kini yang bertempur mati-matian hanya tinggal Walet Hitam. Akan tetapi, dia sudah repot bukan main karena kini dia dikeroyok tiga, yaitu oleh Bi Kwi, Panji Saroto, dan Darmini! Terutama sekali Darmini dan Bi Kwi menyerangnya dengan penuh semangat. Dua buah pedang di tangan kedua orang gadis ini menyambar-nyambar bagaikan kilat, membuat Walet Hitam kewalahan sekali.
Dan semua ini masih ditambah serangan keris di tangan Panji Saroto. Betapapun lihainya, menghadapi pengeroyokan tiga orang ini, dia kewalahan sekali dan tubuhnya sudah menanggung luka-luka terkena ujung pedang dan keris. Namun, melihat bahwa tidak ada jalan keluar baginya, dia mengamuk terus.
"Trangg...!"
Pedangnya bertemu dengan pedang Darmini dan pada saat itu, pedang Bi Kwi menyambar ke bawah.
"Brettt...!"
Bukan hanya celana di bagian paha itu saja yang terobek, akan tetapi berikut juga kulit paha dan sebagian daging pahanya. Darah mengalir membasahi celananya dan luka sekali ini cukup parah membuat gerakannya menjadi kacau dan agak lambat. Perlawanan Walet Hitam menjadi lemah, apalagi darah yang mengalir keluar dari beberapa luka ditubuhnya terlalu banyak, membuat tubuhnya menjadi lemas dan tenaganya berkurang.
Kembali pedang Darmini menyambar dan melukai pundak kirinya, membuat lengan kirinya tergantung lumpuh dan tubuhnya terhuyung-huyung. Tusukan keris di tangan Panji Saroto mengenai siku kanannya dan terjatuhlah pedang yang dipegang Walet Hitam.
Saat itu dipergunakan oleh Darmini untuk mengelebatkan pedangnya. Kilat pedang berkelebat menyambar dada dan robohlah Walet Hitam, roboh mandi darah, terutama yang banyak keluar dari luka barunya di dada yang tertusuk pedang tadi. Bi Kwi dengan gemas sekali meloncat dekat dan pedangnya terayun membacok leher.
"Trangggg...!"
Darmini menangkis, membuat Bi Kwi terkejut dan heran memandang Darmini.
"Jangan bunuh dulu, aku ingin tahu mengapa dia membunuh Ong Cun!" Katanya dan Bi Kwi setuju, lalu gadis ini merengut ke arah topeng yang menutupi muka Walet Hitam.
"Brett...!" Topeng itu robek terbuka.
"Kwee Lok...!"
Darmini memekik, juga Bi Kwi meloncat ke belakang sambil menahan teriakannya saking kaget dan herannya. Walet Hitam itu memang Kwee Lok. Dengan mulut menyeringai menahan rasa nyeri di seluruh tubuhnya, dia memandang kepada Darmini dan Bi Kwi bergantian, dan pandang mata itu sudah mulai kosong seperti api kehabisan minyak.
"Kwee Lok, katakan kenapa engkau membunuh Ong Cun, Kakak misan dan Kakak seperguruanmu sendiri?" Darmini bertanya dengan nyaring dan penasaran sekali.
"Dia... dia tahu rahasiaku... membantu Wirabumi... kalau dia melapor... tentu aku celaka... Aku bertemu Bragolo. Dan... dan... bekerja sama... Aughhhh...!" Kepala kwee Lok terkulai dan diapun tewas. Tusukan terkahir tadi hampir menembus dadanya.
Darmini dan Bi Kwi saling pandang, lalu keduanya saling tubruk, saling rangkul sambil menangis. Kemudian Darmini teringat kepada Ibunya, bersama Bi Kwi lalu mencarinya dan ketika menemukan Ibunya dalam kamar tahanan di belakang, ia membebaskan Ibunya dan mengajak Ibunya pergi mengungsi ke rumah Raden Gajah.
Seluruh anak buah dan keluarga Ki Demang Bragolo ditangkap dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, raden Gajah membawa pasukan, dibantu oleh para tokoh Majapahit seperti Ki Empu Tanding dan lain-lain, menggebrek rumah Raden Wiratama dan menangkap orang ini berikut semua kaki tangannya tanpa banyak mendapat perlawanan.
Sekali ini, Wiratama dapat dituntut karena Empu Kebondanu mengaku akan semua gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Wiratama, juga Ki Bragolo yang sudah buntung kedua lengannya itu membuat pengakuan. Gegerlah Majapahit dengan digulungnya gerombolan pemberontakan ini. Wiratama, Bragolo, dan tokoh-tokoh penting pembrontakan itu dijatuhi hukuman mati.
"Sungguh tidak kusangka bahwa pembunuh Ong Cun adalah Kwee Lok sendiri!" Kata Darmini berulang kali, masih terheran-heran melihat kenyataan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu.
"Akupun heran dan tidak pernah mengira bahwa Walet Hitam adalah Kwee Lok!" Kata pula Bi Kwi.
Mereka berdua bercakap-cakap di ruangan belakang, beberapa hari kemudian dan kini mereka berdua sudah mengenakan pakaian wanita sehingga keduanya nampak cantik jelita. Bi Kwi juga mengenakan pakaian wanita daerah. Darmini yang membantunya berdandan tadi dan kini ia menjadi seorang gadis manis yang berkulit putih kuning, cantik dan nampak lemah lembut, sungguh jauh bedanya dengan Bi Kwi yang berpakaian pria memainkan pedang!
"Bi Kwi, engkau datang dari negerimu bersama Kwee Lok, bahkan disini kalian melakukan penyelidikan bersama dia, juga ketika kalian tinggal di rumah Wiratama, kalian berdua. Bagaimana engkau sampai tidak dapat menduga bahwa Walet Hitam adalah Kwee Lok?"
"Bagaimana aku dapat menduga demikian, Mbak-Ayu? Dia cerdik bukan main dan aku telah dapat dikelabuinya. Dia bertindak seolah-olah memang ada Walet Hitam di samping Kwee Lok. Sekarang aku tahu. Pengirim surat yang mengaku kawan dan memberitahu kami agar menghadap Wiratama itu tentulah perbuatannya sendiri, dan dia sendiri yang menancapkan pisau dengan surat itu di pintu. Dan kini aku dapat menduga bahwa dia memang berkenalan dengan Wiratama sebagai dua orang, yaitu sebagai Kwee Lok yang gila judi dan sebagai Walet Hitam yang penuh rahasia dan tamak akan hadiah."
Wiratama juga tidak menyangka bahwa Kwee Lok adalah Walet Hitam sehingga Wiratama dua kali mengeluarkan hadiah-hadiah kepada orang yang sama. Kwee Lok melakukan itu untuk dapat mengeruk uang sebanyaknya. Sebagai Kwee Lok dia memperoleh hadiah, sebagai Walet Hitam juga.
"Hemm, tak kusangka dia demikian licik dan jahat," Kata Darmini.
"Kebusukannya memang sudah nampak ketika Ayah meninggal dunia. Dia menguasai semua peninggalan Ayah dan dia setiap hari berjudi, sehingga habislah semua peninggalan Ayah. Kemudian, dia bahkan bermaksud menjualku untuk mengganti hutangnya yang banyak. Pada waktu itu aku sudah marah dan hendak meninggalkan dia. Akan tetapi dia dapat membujukku agar pergi bersama ke Majapahit. Aku tentu saja kena terbujuk karena aku belum pernah ke sini dan perjalanan itu begitu jauh, sebaliknya dia pernah ke sini, maka akupun mau melakukan perjalanan bersamanya."
Darmini menggangguk-angguk. "Kiranya dia membunuh Ong Cun karena hanya Ong Cun yang tahu akan rahasianya, bahwa Walet Hitam yang membantu Wiratama sehingga mengakibatkan diserangnya rombongan orang Cina yang berada di Lumajang itu adalah Kwee Lok. Tentu saja dia merasa gelisah, karena kalau Ong Cun melaporkan kepada atasan mereka, tentu Kwee Lok akan ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Bahkan kalau sudah berada di negerinya sendiripun, dia masih akan dihukum karena dialah yang menyebabkan penyerbuan terhadap rombongan orang Cina sehingga mengakibatkan gugurnya seratus tujuh puluh orang."
"Benar, Mbak-Ayu. Dan agaknya bukan hanya Kakak Cun yang tahu, melainkan juga Ki Demang Bragolo, Ayah tirimu itu..."
"Dia bukan lagi Ayah tiriku, si keparat jahanam itu!" Bentak Darmini.
Bi Kwi memegang lengan Darmini. "Kasihan engkau, Mbak-Ayu. Agaknya dia mempergunakan kesempatan selagi terjadi pembunuhan itu untuk melakukan perbuatan terkutuk itu. Akan tetapi, semua itu telah berlalu, Mbak-Ayu. Kwee Lok telah tewas di tangan kita, dan Ki Bragolo juga sudah dijatuhi hukuman mati. Semua kejahatan telah terbalas dan menerima hukuman yang setimpal dan kita terbebas sudah dari himpitan dendam."
Darmini tiba-tiba menutupi mukanya dan biarpun tidak mengeluarkan suara, Bi Kwi tahu bahwa gadis itu menangis. Ada air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya, dan ia pun mengerti, dan hanya dapat merangkul Darmini dengan terharu.
"Akan tetapi aku... aku telah kehilangan segalanya. Aku kehilangan Ong Cun, dan aku... Aku telah tertimpa aib, noda pada diriku tak dapat dihapus dan dicuci, biar dengan darah jahanam itu sekalipun..."
"Ah, Mbak-Ayu, jangan berpendapat demikian. Yang sudah lewat biarkan lewat, dan peristiwa terkutuk itu bagaimanapun juga bukanlah terjadi karena kesalahanmu. Engkau hanya menjadi korban kejahatan, tidak ada yang menyalahkan dan membencimu, Mbak-Ayu, bahkan orang akan merasa kasihan kepadamu. Pula, hanya aku yang tahu akan hal itu, dua orang lain yang mengetahuinya, yaitu Bragolo dan Kwee Lok, sudah tewas pula. Aku bersumpah bahwa dari mulutku takkan ada orang siapapun dia, yang mendengar akan halmu itu, Mbak-Ayu Darmini."
Akan tetapi Darmini tidak menghentikan tangisnya. "Adikku... biarpun begitu... bagaimana pandangan pria terhadap diriku? Bagaimana kalau ada pria ke dua sesudah Ong Cun yang mencinta diriku dan diapun pantas menerima cintaku? Dia tentu akan memandang hina padaku, aku akan dianggapnya sebagai sampah... ah...!" Darmini sekarang terisak. "... aku... aku sudah bukan perawan lagi dan semua laki-laki akan mentertawakan aku. Akan memandang rendah padaku..."
"Tidak, Mbak-Ayu. Dia tidak akan memandang rendah. Seorang laki-laki yang berjiwa ksatria, seorang pendekar sejati, akan selalu bersikap bijaksana dan berpandangan luas, tidak picik dan aku yakin bahwa dia tidak akan memandang rendah kepadamu, karena aku tahu bahwa dia seorang yang gagah perkasa, seorang ksatria yang bijaksana..."
Darmini mengangkat mukanya yang basah dan mata yang agak kemerahan itu memandang Bi Kwi dengan sinar mata penuh pertanyaan dan keheranan. "Adikku, apakah maksudmu? Siapa yang kau bicarakan itu, siapa yang kau sebut-sebut itu? Siapakah itu si dia?"
"Siapa lagi kalau bukan Raden Sridenta, Mbak-Ayu? Dan engkau benar, dia memang seorang laki-laki hebat dan pantas mendapatkan perhatianmu. Tidak perlu engkau merasa rikuh kepadaku, Mbak-Ayu. Aku tahu isi hatimu, engkau tidak perlu merasa bersalah terhadap Ong Cun. Dia sudah meninggal dunia dan engkau sudah berhasil membalaskan kematiannya yang penasaran. Tidak mungkin engkau harus selalu ingat kepadanya dan tidak mencari seorang pengganti yang tepat untuk menjadi jodohmu."
"Bi Kwi.. !" Isak Darmini semakin keras dan kembali ia menyembunyikan mukanya di balik kedua tangan.
"Mbak-Ayu Darmini, aku sayang padamu, aku kagum padamu dan aku dapat merasakan segala penderitaanmu batinmu. Percayalah, sebagai adik kandung Ong Cun, aku sungguh suka dan cinta padamu dan aku dapat melihat bahwa andaikata Ong Cun dapat memberi tanggapan, dia sendiri tentu akan setuju bahwa engkau memilih Raden Sridenta sebagai penggantinya, sebagai calon jodohmu..."
"Bi Kwi, bagaimana... bagaimana engkau bisa tahu bahwa... bahwa dia cinta padaku?"
Bi Kwi tersenyum. "Mbak-Ayu, bukankah engkau juga tahu bahwa ada seorang pria lain yang juga jatuh cinta kepadaku?"
"Dimas Panji Saroto?" Kini Darmini kembali menurunkan kedua tangannya, dan bahkan mulutnya mulai membayangkan senyum.
Bi Kwi tersenyum malu-malu dan mengangguk. Keduanya kini termenung dan Darmini sudah menghentikan tangisnya. Bi Kwi membantu menyusuti sisa air matanya dengan saputangan.
"Bi Kwi, aku masih selalu bingung. Terus terang saja, Kakang-Mas Sridenta memang cinta padaku, dan aku... Aku Kagum sekali dan suka padanya. Agaknya, dia sajalah orang kedua setelah Ong Cun yang kukagumi dan kusuka dan agaknya tidak sukar bagiku untuk membalas cintanya. Akan tetapi, keadaan diriku ini selalu menjadi seperti momok diriku. Aku sudah ternoda, bukan perawan lagi. Aku ngeri menghadapi kenyataan ini, ngeri membayangkan dia akan memandang hina kepadaku. Aku bingung bagaimana aku harus bersikap terhadap dia tentang diriku ini."
"Mbak-Ayu, satu-satunya jalan yang paling baik adalah menceritakan dengan terus terang apa yang telah terjadi dengan dirimu..."
"Apa?" Darmini terbelalak. "Ah, tidak! Kau maksudkan bahwa aku harus memberi tahu kepadanya bahwa aku bukan perawan lagi?"
"Mbak-Ayu, ceritakan saja seperti bahwa dalam keadaan tidak berdaya engkau diperkosa orang, dan siapa pemerkosa itu. Ceritakan kesemuanya padanya, betapa engkau selama ini merahasiakan hal itu dan dengan susah payah mencari orang yang memperkosamu. Dia akan dapat mempertimbangkan dan tidak akan menyalahkanmu, Mbak-Ayu. Selain itu, andaikata dia lalu menjadi tidak senang, berlawanan dengan dugaanku, andaikata dia lalu menjauhkan diri, bukankah itu masih lebih baik daripada kalau sudah menjadi isterinya lalu dia tahu dan meninggalkannya."
Darmini mengangguk-angguk dan bangkitlah semangatnya. "Engkau benar! Betapapun pahitnya, aku harus berani menghadapi segala kemungkinan. Engkau sungguh gagah perkasa, Bi Kwi, dan aku harus mencontoh dirimu. Seorang gagah harus berani menghadapi segala macam keadaan, betapa berbahayapun. Bahkan, biarlah hal ini kujadikan ujian, apakah dia benar mencintaku ataukah tidak."
"Bagus! Begitulah seharusnya, enciku yang manis!"
"Enci?"
"Kenapa tidak? Enci atau Mbak-Ayu, apa bedanya? Artinya Kakak, dan biarpun aku tidak menjadi adik iparmu, namun aku ingin menjadi adikmu selamanya dan bagiku, engkau adalah Kakakku, engkau adalah satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi keluargaku, sahabatku."
Mereka saling berpelukan dan Darmini mencium pipi Bi Kwi, merasa amat sayang dan terharu karena ia tahu bahwa gadis ini yang datang dari tempat sedemikian jauhnya, setelah kematian Kwee Lok, kini memang tidak memiliki keluarga lagi, seorang diri saja di negeri yang asing baginya ini.
Mereka berada di dalam taman yang indah dan luas itu, dibelakang gedung Senopati Raden Gajah. Duduk berhadapan di atas bangku taman. Darmini menceritakan hasil penyelidikannya terhadap pembunuhan Ong Cun sampai berhasil merobohkan Kwee Lok dan Bragolo.
Tentang betapa Kwee Lok membunuh Kakak misan dan Kakak seperguruan sendiri karena takut kalau rahasianya sebagai Walet Hitam yang membantu Wirabumi terbuka oleh Ong Cun yang mengetahuinya.
Sebaliknya, Sridenta juga menceritakan betapa dia dan Panji Saroto melakukan penyelidikan terhadap Raden Wiratama dan berhasil mengetahui rahasianya, betapa Wiratama mendatangkan pula Empu Kebondanu dan betapa Ki Bragolo juga menjadi seorang pembantu utamanya, untuk melakukan pembunuhan dan pengacauan terhadap orang-orang penting di Majapahit.
Kemudian, mereka melihat Empu Kebondanu pada sore hari itu, membawa pasukan yang menyamar dan berpencar, semua menuju ke rumah Ki Demang Bragolo dan bersembunyi sehingga tidak kentara oleh orang luar.
"Kami berdua menghubungi Paman Senopati Raden Gajah dan membuat persiapan dengan pasukan untuk menyerbu ke rumah Ki Demang Bragolo setelah kami melihat engkau dan Bi Kwi masuk dan tidak muncul kembali. Karena persiapan, itulah maka kami datang agak terlambat," Sridenta menutup ceritanya.
"Sama sekali tidak terlambat, Kakang-Mas." Kata Darmini sungguh-sungguh. "Bahkan baik sekali pertolonganmu itu datangnya agak terlambat, karena andaikata tidak, belum tentu aku dapat mendengar mereka berdua itu menceritakan rahasia mereka sendiri, karena mereka yakin bahwa kami berdua sudah tidak berdaya dan tidak akan mampu meloloskan diri. Aku dan Bi Kwi sangat berterima kasih kepadamu dan kepada Adimas Panji Saroto, karena kalau tidak ada kalian yang datang menolong, entah apa jadinya dengan kami?"
"Ah, Diajeng Darmini, kenapa engkau masih bersikap sungkan dan berterima kasih? Engkau adalah adik seperguruanku, dan untuk menolongmu, biar dengan taruhan nyawa sekalipun tentu akan kulakukan. Engkau tahu, Diajeng bahwa aku... biarlah, sekarang setelah engkau berhasil menghukum pembunuh tunanganmu dahulu, berarti telah selesai tugasmu, biarlah aku memberanikan diri menyatakan perasaan hatiku, Diajeng. Aku cinta padamu, Diajeng. Hal ini tanpa kukatakan sekalipun, tentu engkau telah mengetahuinya. Aku cinta padamu, dan kalau engkau dapat menerimanya aku akan mohon kepada orang tuaku untuk meminangmu kepada Ibumu."
Mendengar ucapan ini, wajah Darmini berubah merah, lalu pucat dan ia merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Inilah saat yang ditunggu-tunggunya dengan perasaan penuh kegelisahan! Ia tahu bahwa Sridenta mencintanya. Sejak ia belajar ilmu di puncak Bromo, dan ia sudah menduga bahwa pemuda itu tentu akan segera menyatakan cintanya dalam waktu dekat.
Kini, biarpun ia sudah siap menghadapi peristiwa ini, ketika Sridenta menyatakan cintanya dengan kata-kata dan sikap sederhana, ingin rasanya ia menangis! Lenyaplah semua keberaniannya, semua persiapan jawabannya membuyar dan ia menjadi ketakutan. Takut membayangkan betapa pandang yang kini menatapnya penuh cinta kasih dan kagum itu akan segera berubah menjadi pandang mata yang mencemoohkan, menghina dan membenci kalau ia sudah membuka rahasia pribadinya!
Melihat Darmini menundukkan mukanya saja yang menjadi agak pucat, jari-jari tangannya mempermainkan ujung kemben, Sridenta terpesona. Gadis ini sungguh cantik jelita dan manis sekali dalam pakaian wanita, kelihatan lembut keibuan.
"Diajeng, kenapa engkau kelihatan ragu-ragu? Jawablah sejujurnya, Diajeng, pergunakan kegagahan yang ada padamu untuk berterus terang. Percayalah, aku akan menerima dengan hati tabah andaikata engkau menolak cintaku, berlawanan dengan dugaanku bahwa engkau juga mencintaku. Jawablah, karena kebimbanganlah yang dapat menyiksa hatiku, bukan ketegasanmu."
Kata-kata ini menghidupkan kembali semangat Darmini yang tadinya melemah karena gelisah dan takut. Ia mengangkat mukanya dan kini dua pasang mata itu bertemu pandang, dan keduanya demikian tajam penuh selidik seolah-olah mereka sedang bertanding dengan sinar mata mereka. Akhirnya, Darmini menundukkan kembali mukanya dan terdengar ia berkata lirih namun jelas karena ia telah dapat menguasai perasaannya dan mengusir rasa takutnya.
"Kakang-Mas Sridenta, aku merasa terharu dan berterima kasih kepadamu yang telah sudi melimpahkan cinta kasih dan perhatian kepada seorang seperti aku. Akan tetapi, Kakang-Mas Sridenta, ketahuilah bahwa aku adalah seorang wanita yang sungguh tidak pantas untuk menjadi jodohmu, menjadi calon isteri seorang ksatria seperti engkau, putera seorang pangeran yang mulia dan terhormat. Aku tidak pantas menjadi sisihanmu untuk selamanya, Kakang-Mas..."
"Diajeng Darmini! Bagaimana engkau dapat berkata demikian, Diajeng? Bukankah Eyang Panembahan sudah memberitahukan kepada kita bahwa manusia tidak diukur nilainya dari keadaan lahiriah, melainkan keadaan batinnya? Kedudukan, harta benda, kepandaian, kebangsawanan, hanyalah keadaan lahiriah belaka, Diajeng. Kita adalah dua orang manusia, pria dan wanita dan dimana ada cinta, maka semua keadaan lahiriah yang hanya menjadi embel-embel hidup itu tidak masuk hitungan lagi. Aku cinta padamu, Diajeng, apa dan bagaimanapun juga keadaanmu. Yang kuperlukan saat ini hanyalah jawabanmu, apakah engkau sudi menerima uluran cintaku dan memperbolehkan aku mengajukan pinangan kepada orang tuamu?"
Darmini mengangkat mukanya dan terkejutlah hati Sridenta melihat betapa sepasang mata yang bening itu kini dibasahi air mata, dan betapa pandang mata itu menjadi sayu dan penuh duka, betapa wajah yang tadinya cantik dan cerah bagaikan setangkai bunga mawar bermandikan embun, kini menjadi keruh.
"Diajeng Darmini! Ada... ada apakah?" Tanyanya gugup dan khawatir kalau-kalau gadis ini sebetulnya tidak membalas cintanya, seperti yang di duga dan diharapkannya.
Dengan mata masih basah dan masih ditujukan kepada pemuda itu dengan pandangan sayu dan duka, Darmini berkata, "Kakang-Mas Sridenta, dengarlah baik-baik. Aku bukanlah seorang gadis suci seperti yang kau kira, aku... aku bukan perawan lagi!"
"Jagad Dewa Batara...!" Sridenta berseru dan matanya terbelalak, mukanya berubah agak pucat.
"Engkau... Engkau telah mendengarnya, dan engkau tentu memandang rendah kepadaku...!"
"Tidak, Diajeng, sama sekali tidak. Aku hanya terkejut saja, karena sama sekali tidak menyangka engkau akan berkata seperti itu."
"Engkau tidak menyesal? Tidak menganggap aku hina?"
"Tidak sama sekali...!"
Darmini menatap tajam, melalui genangan air matanya, penuh selidik dan memang ia tidak melihat perubahan pada sinar mata pemuda itu, kecuali kekejutan saja.
"Diajeng Darmini, kalau boleh, aku ingin mendengar ceritamu tentang pengakuanmu tadi."
Karena tidak melihat pandang mata merendahkan dari pemuda itu. Darmini merasa lega. Andaikata ada sedikit saja pandang mata merendahkan, tentu ia sudah meninggalkan Sridenta. Ia lalu menundukkan mukanya, mengusap air matanya sebelum menjawab.
Kemudian dengan suara lirih, diceritakanlah peristiwa di malam jahanam itu, dimana ia dalam keadaan penuh dukacita karena kematian Ong Cun, diperkosa orang tanpa ia dapat melawan sama sekali. Hanya karena dendam terhadap kematian Ong Cun, dan juga terhadap perkosaan atas dirinya yang disangkanya dilakukan oleh orang yang sama, ia tidak membunuh diri.
"Aku merasa kehidupanku sudah hancur dan hanya dendam yang dapat menguatkan aku untuk melanjutkan hidup, Kakang-Mas. Karena itulah aku lalu berangkat ke Gunung Bromo untuk berguru ilmu. Setelah turun gunung aku bertekad menemukan orang yang memperkosaku itu disamping menyelidiki tentang pembunuhan Ong Cun."
Kini Sridenta juga sudah dapat menguasai hatinya yang diguncangkan rasa kaget tadi. "Dan apakah engkau telah berhasil menemukannya?" Tanyanya.
Darmini mengangguk. "Dia... adalah Ayah tiriku sendiri, Ki Demang Bragolo..."
"Ahhh...!" Kembali Sridenta terkejut dan teringatlah dia betapa ganasnya Darmini menyerang Ki Bragolo, membuntungi kedua lengannya dan hampir membunuhnya kalau tidak ia halangi.
"Nah, Kakang-Mas Sridenta, sekarang engkau telah mengetahui dan hatiku terasa lega. Sejak aku berjumpa denganmu, aku dibayangi rasa takut karena aku harus menyampaikan kenyataan pahit ini kepadamu. Engkau tahu sekarang bahwa aku adalah seorang wanita yang sudah ternoda, bukan perawan lagi, karena itu tidak patut menjadi calon jodohmu..."
Tak dapat menahan lagi rasa dukanya, Darmini menangis terisak-isak. Ia sudah siap, takkan mengangkat mukanya kalau mendengar Sridenta pergi meninggalkannya. Akan tetapi, dua buah lengan yang kuat melingkari pundak dan lehernya dan suara yang halus berbisik di dekat telinganya.
"Diajeng, mengapa engkau masih meragukan cintaku padamu? Aku mencinta engkau! Engkau mengerti? Aku mencinta dirimu, lahir batin, bukan mencinta keperawanan, bukan mencinta kedudukan. Dan apapun keadaan dirimu, tidak akan merobah cintaku kepadamu. Apalagi dalam hal ini, hilangnya keperawanmu bukanlah karena kehendakmu, Diajeng. Engkau tidak berdaya dan diperkosa. Engkau tidak bersalah!"
Air mata makin deras bercucuran dari kedua mata Darmini. "Tapi... Kau... Kau tidak membenciku... karena itu, Kakang-Mas...?"
"Membenci? Ah, sebaliknya malah. Aku semakin kasihan kepadamu, semakin kagum karena keberanianmu membuat pengakuan itu. Cintaku kepadamu semakin mendalam, Diajeng..."
"Kakang-Mas...!" Darmini menjerit lirih dan balas merangkul sambil menyembunyikan mukanya di dada Sridenta.
"Aku... aku.. perempuan hina ini, aku... merasa berbahagia karena aku... akupun cinta padamu, Kakang-Mas Sridenta..."
Sridenta mendekap kepala di dadanya itu, ketika merasa betapa air mata gadis itu membasahi dadanya, dia menengadah, seolah-olah hendak menghaturkan puji syukur yang dipanjatkan ke angkasa. Air mata di dadanya itu seperti menembus kulitnya, menyirami taman hatinya sehingga seperti tanah yang kering merekah, tiba-tiba disiram air hujan, menjadi sejuk nyaman segar dan subur, siap untuk menumbuhkan bunga-bunga cinta.
Sementara itu, disudut lain dari taman itu, agak jauh dan tidak nampak oleh mereka, terdapat pula pasangan lain yang sedang duduk bercakap-cakap, di atas rumput hijau dikelilingi bunga mawar dan melati yang semerbak harum. Mereka adalah Bi Kwi dan Panji Saroto.
Memang, pemuda ini datang bersama Sridenta, berkunjung ke gedung Senopati Raden Gajah, dan diterima oleh dua orang gadis itu yang membawa mereka berjalan-jalan di dalam taman dan kemudian dua pasangan itu berpencar.
"Nona Bi Kwi, kebetulan kita sekarang berdua saja. Kesempatan ini akan kupergunakan untuk membicarakan sesuatu yang selama ini memenuhi seluruh batinku..."
"Raden, kita sudah menjadi sahabat, kenapa engkau masih begitu sungkan menyebut nona kepadaku?" Kata Bi Kwi sambil tersenyum, menatap wajah pemuda yang sejak pertama kali berjumpa telah menarik hatinya itu.
"Habis, apakah aku harus menyebutmu, Diajeng? Diajeng Bi Kwi, ah, betapa lucunya...?"
"Sebut saja Kwi-moi."
"Apa artinya?"
"Moi berarti adik perempuan atau juga Diajeng, maka kalau engkau menyebut Kwi-moi, sama saja dengan Diajeng Kwi, begitu."
"Baiklah, Kwi-moi... Hemm enak juga sebutan ini. Akan tetapi engkaupun jangan menyebut aku Raden lagi."
"Habis, bagaimana? Engkau adalah putera seorang putera bangsawan..."
"Sebut aku Kakang-Mas Panji Saroto, bagaimana?"
"Kakang-Mas Panji Saroto..."
"Nah, begitu baru enak di hati, Kwi-moi." Keduanya tertawa gembira.
"Oya, apakah yang hendak kau bicarakan tadi, Kakang-Mas?" Panji Saroto dapat bersikap jenaka, akan tetapi kini dia memandang dengan sinar mata bersungguh.
"Kwi-moi, terus terang saja, sejak aku merasakan pondonganmu dahulu itu, aku... rasanya aku ingin kau pondong terus...!"
"Ihhh"!" Wajah gadis itu berubah merah.
"Engkau memang nakal dan genit, suka menggoda orang, Kakang-Mas."
"Sungguh, Kwi-moi. Semenjak kita saling berjumpa, hatiku tertarik kepadamu dan wajahmu tak pernah dapat kulupakan. Sekarang aku yakin bahwa aku telah jatuh cinta padamu, Kwi-moi. Aku... Aku ingin agar engkau suka menjadi isteriku. Bagaimana, Kwi-moi? Sukakah engkau menerimaku sebagai suamimu?"
Wajah yang manis itu menjadi semakin merah dan Panji Saroto memandang terpesona. Gadis ini berpakaian daerah, sungguh manis dan memiliki kecantikan yang lucu dan aneh, namun menarik sekali. Matanya yang agak sipit itu dapat mengerling tajam seperti membetot kalbunya, dan senyum dimulut kecil itu amat menggairahkan.
Bi Kwi menundukkan mukanya sampai lama, tidak mampu menjawab. Pikirannya melayang-layang dan hanya dengan kekerasan hatinya ia tidak sampai mengeluarkan air mata. Teringatlah ia betapa ia hidup sebatangkara dinegeri orang yang jauh, betapa ia tidak punya orang tua lagi, tiada sanak kadang, satu-satunya sahabat yang dianggap sebagai saudaranya sendiri hanyalah Darmini seorang. Dan pemuda ini memang sejak semula telah menarik hatinya.
"Bagaimana, Kwi-moi? Aku tidak main-main, jawablah sejujurnya."
Bi Kwi mengangkat mukanya dan dua pasang mata mereka saling bertemu, bertaut sampai beberapa lamanya, kemudian Bi Kwi berkata, "Kakang-Mas, sudah kau pikirkan benar-benar ucapanmu tadi? Mungkinkah seorang pemuda seperti engkau mencinta seorang gadis seperti aku?"
"Kenapa tidak? Aku seorang pria yang sehat lahir batin, dan engkau seorang wanita yang sehat lahir batin, mengapa tidak mungkin aku mencintamu?"
"Bukan begitu maksudku, Kakang-Mas. Akan tetapi engkau adalah putera seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi, sedangkan aku..."
"Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan manis, memiliki kepandaian yang tinggi pula!"
"Aku hanyalah seorang gadis sebatangkara, tidak mempunyai keluarga lagi, tidak mempunyai apa-apa..."
"Kalau sudah menjadi isteriku, keluargamu menjadi besar, dan engkau memiliki segala-galanya, Kwi-moi, dirimu itu, pribadimu itu, bagaimana engkau bilang tidak memiliki apa-apa?"
Bi Kwi kewalahan, "Akan tetapi, Kakang-Mas, aku... aku adalah seorang gadis Cina..."
"Apa salahnya? Engkau gadis Cina, aku pemuda Jawa, apa bedanya? Cina juga manusia, Jawa juga manusia. Perbedaannya hanya pada kulit dan lahiriah belaka. Mungkin kulitmu agak lebih putih dari pada aku, mungkin matamu agak lebih sipit daripada mataku, mungkin Bahasa aselimu berbeda dengan bahasaku, akan tetapi engkaupun pandai dalam bahasaku. Perbedaan tidak ada artinya dibandingkan persamaan antara kita sejak lahir sampai kelak kalau sudah mati."
"Eh? Persamaan yang bagaimana?"
"Ketika lahir, kita sama-sama dilahirkan oleh seorang Ibu, dan begitu terlahir kita sama-sama menangis, bukan? Ataukah barangkali ketika terlahir, engkau terbahak-bahak?"
Bi Kwi tersenyum geli. "Ih, aneh-aneh saja engkau ini, Kakang-Mas. Bagaimana aku bisa tahu ketika terlahir aku menangis atau tertawa?"
"Akan tetapi aku yakin bahwa Bangsa Cina pun kalau bayinya terlahir, bayi itu tentu menangis. Kemudian lihat seluruh anggauta tubuh kita. Sama, bukan? Matamu dua, seperti mataku, biarpun matamu jauh lebih indah. Hidungmu satu, seperti hidungku, biarpun hidungmu kecil mancung dan lucu. Telingamu dua seperti telingaku, tangan dan kakimu sepasang seperti..."
Bi Kwi tertawa. "Sudahlah, Kakang-Mas. Tentu saja semuanya sama karena memang kita berdua ini manusia yang lumrah."
"Nah, kalau sudah sama, apa lagi? Cina atau Jawa sama saja. Yang saling mencinta itu orangnya, hatinya, bukan bangsanya. Aku cinta padamu, Kwi-moi. Sekali lagi, aku cinta padamu. Sekarang, tidak perlu engkau menjawab dengan segala macam urusan tentang Cina dan Jawa, bangsawan atau bukan, kaya atau miskin. Jawab saja, engkau cinta padaku atau tidak? kalau tidak, terpaksa aku mundur teratur, akan tetapi kalau engkaupun cinta padaku, kita kawin, menjadi suami-isteri dan hidup berbahagia, punya anak selusin!"
"Ih, banyaknya!"
"Aku senang banyak anak, enam perempuan enam laki-laki!"
"Enaknya! Aku yang repot mengurusnya!"
"Aku akan membantumu!"
"Eh, apa-apaan kita bicara tentang anak-anak?" Bi Kwi merasa geli sendiri.
"Kwi-moi, kalau kita saling mencinta dan menikah, tentu kita mempunyai banyak anak. Kwi-moi, katakanlah apakah engkau menyambut uluran cintaku? Apakah engkau juga mencintaku seperti aku mencintamu?"
Bi Kwi tersenyum. Tak dapat disangkal lagi bahwa ia mencinta pemuda ini. Akan tetapi ia masih ragu-ragu melihat perbedaan antara mereka, terutama sekali mengenai kebangsaan. "Kakang-Mas, terus terang saja, aku ingin sekali mengetahui karena aku khawatir sekali, yaitu apakah orang tuamu sudi menerima aku sebagai mantu mereka?"
"Aku yakin mereka akan menerima dengan gembira sekali!"
"Bagaimana engkau bisa begitu yakin, Kakang-Mas Panji Saroto?"
"Karena aku sudah membicarakan hal ini dengan Ayah dan Ibuku, dan mereka sangat setuju! Ayahku juga kagum kepadamu dan engkau akan diterima sebagai seorang mantu yang terhormat dan dikagumi. Nah, tidak ada lagi aral melintang bukan? Sekarang katakan, apakah engkau juga cinta padaku?"
Bi Kwi memandang dengan wajah berseri dan sinar mata cerah, penuh kebahagiaan mendengar itu, lalu ia tersenyum. Manis sekali, "Kakang-Mas Panji Saroto, masih perlukah aku harus mengucapkan pengakuan cinta? Apakah engkau tidak mendengar bisikan hatiku, dan tidak melihat pancaran sinar mataku?"
"Kwi-moi...!" Panji Saroto maju merangkul dan di lain saat, gadis itu telah berada dalam dekapannya. Bi Kwi menyembunyikan muka di dada yang bidang itu dan tubuh kedua orang itu menggetar penuh perasaan.
"Kwi-moi, bagaimanapun juga, aku ingin mendengar suaramu mengaku cinta padaku..."
Bi Kwi mengangkat mukanya dan mereka saling berpandangan, dekat sekali, lalu ia berbisik lirih dalam Bahasa Cina, "Aku cinta padamu..."
Tentu saja Panji Saroto tidak mengerti ucapan ini, akan tetapi cinta memang merupakan sesuatu yang ajaib. Biarpun tidak mengenal kata-kata Cina itu, namun Panji Saroto mengerti dan diapun menunduk dan dua buah mulut itu saling cium dengan mesra, seolah-olah menjadi materai yang mengesahkan berpadunya dua hati yang saling mencinta, dimana tidak ada lagi halangan-halangan remeh berupa perbedaan suku atau bangsa, perbedaan kedudukan dan lain-lain lagi.
Sampai disini, berakhirlah sudah kisah Kilat Pedang Membela Cinta ini, dan ditutup dengan harapan pengarang semoga di samping memberi hiburan di kala senggang, juga kisah ini mengandung manfaat bagi para pembaca.
Selanjutnya,