Bunga Penyebar Maut

Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali episode Bunga Penyebar Maut Karya A. Rahman
Sonny Ogawa

Jodoh Rajawali - Bunga Penyebar Maut

SATU

MENJELANG tengah hari, Tua Usil yang dikenal sebagai Manusia Kabut itu, berlari-lari menuju pondoknya. Ia membawa dua ekor kelinci hutan sebagai hasil buruannya. Tetapi kedatangan Tua Usil bukan untuk serahkan dua ekor kelinci buruannya itu kepada Pendekar Rajawali Putih, melainkan karena sesuatu hal yang membuatnya menjadi tegang.

Di pembaringan dalam pondoknya, Tua Usil temui Lembayung Senja yang masih belum sembuh betul dari lukanya akibat serangan lawan. Di sana Lembayung Senja berbaring sesuai dengan perintah Lili, si Pendekar Rajawali Putih itu. Tua Usil segera menyapa Lembayung Senja dengan nada tegang,

"Nona mana...?! Nona Li mana?!" belum terjawab, ia sudah lari ke dapur dan ke sumur. Ia kembali lagi temui Lembayung Senja setelah di sana ia tidak temukan Lili yang dicarinya.

"Nona Li manaaa...?!" sentaknya tampak panik.

"Mungkin masih di lembah. Ada apa, Tua Usil?!"

"Dari tadi pagi masih di lembah?"

"Setahuku dari tadi pagi Nona Li belum pulang. Pasti masih duduk termenung di sana! Cobalah cari dia ke sana!" kata Lembayung Senja sambil berusaha bangkit dari rebahannya.

Tua Usil bergegas keluar sambil masih menenteng kelinci buruannya. Ia lupa menaruh hasil buruannya yang telah mati itu.

Lembayung Senja keraskan suara, "Hai, ada apa sebenarnya? Mengapa kau mencari Nona Li, Tua Usil?! Kalau hanya untuk memasak kelinci itu, aku pun bisa! Tak perlu dia!"

Dengan sikap tergopoh-gopoh, Tua Usil kembali temui Lembayung Senja, padahal dia sudah sampai di luar rumah. Ia masuk ke dalam dan berkata, "Ada tiga orang menuju kemari!"

"Bermaksud jahat atau tidak?"

"Entahlah. Tapi yang satu orang kukenal. Dia adalah Gandaloka, utusan dari Pulau Keramat yang waktu itu anak buahnya bertarung melawan Yoga!"

"Gandaloka?!" Lembayung Senja mulai menegang. "Apakah dua orang lainnya juga bertubuh tinggi besar seperti raksasa?"

"Benar! Dilihat dari langkahnya yang cepat, agaknya mereka akan menuntut balas atas kematian kelima anak buahnya tempo hari Mereka pasti menuju kemari dan mencari Tuan Yoga!"

"Gawat! Cepat susul Nona Li di lembah dan beritahukan hal ini. Kalau mereka tiba di sini sebelum kalian datang, aku akan menahan mereka dl depan rumah!"

Tua Usil manggut-manggut. Kemudian ia segera keluar sambil masih menenteng kelinci buruannya. Ia tak sadar dengan apa yang ditentengnya. Sementara itu, Lembayung Senja kuatkan diri dan segera ambil pedang barunya yang diperoleh dari sesosok mayat tak dikenal. Tubuhnya memang masih lemas, tapi Lembayung Senja merasa cukup mampu untuk melangkah keluar rumah dan menghadang tamu bertubuh tinggi besar menyerupai raksasa.

Lembayung Senja tak merasa heran jika Gandaloka datang lagi bersama orang-orangnya, karena layak ia menuntut balas atas kematian kelima orang-nya di tangan Pendekar Rajawali Merah, atau si tampan bernama Yoga itu, (Baca episode: "Utusan Pulau Keramat"). Tetapi Lembayung Senja tidak tahu, apakah kali ini Lili tetap akan membela dan membantu Yoga? Sebab Lembayung Senja tahu, Lili sedang kecewa dan marah kepada Yoga akibat Yoga akrab dengan gadis cantik bernama Kencana Ratih, (Baca episode: "Ge-rombolan Bidadari Sadis").
Cerita Silat Serial Jodoh Rajawali Karya A. Rahman

Lili memang kecewa dan hatinya terluka melihat Yoga yang dicintai itu berhubungan akrab dengan Kencana Ratih. Susah payah Lili waktu itu mencari Yoga, bertarung dengan para bidadari sadis demi membela Yoga, ternyata Yoga justru menyelamatkan Kencana Ratih dan menyerang Lili yang ingin membunuh Kencana Ratih. Rasa cemburu di hati Lili membuat ia murung sepanjang hari.

Lili ingin memutuskan untuk pergi jauh meninggalkan Yoga, tetapi Pendekar Rajawali Merah itu selalu membayang di pelupuk matanya sehingga sulit bagi Lili untuk meninggalkannya. Padahal Yoga sendiri selama ini seakan tidak mau tahu perasaan dan rindu yang ada pada hati Lili. Kini dara cantik yang kecantikannya melebihi bidadari itu berada di ambang kebimbangan; untuk tetap menunggu Yoga kembali atau pergi tinggalkan pendekar tampan pemikat hati wanita itu?

"Nona Li...! Nona Liiiii...!" panggil Tua Usil dari ketinggian sana ia berlari-lari mendekati Lili ketika Pendekar Rajawali Putih itu berpaling memandanginya. Buru-buru air mata yang masih membasah di pelupuknya itu dikeringkan, karena Lili tak ingin Tua Usil mengetahui bahwa dirinya sedang menangis.

Sehela napas panjang ditarik dalam-dalam oleh Lili sebagai penahan duka di hatinya. Pandangannya mulai bernada heran melihat Tua Usil berlari-lari dengan tergopoh-gopoh. Lili tahu, pasti bukan karena Tua Usil ingin tunjukkan hasil buruannya, melainkan ada sesuatu hal yang cukup menegangkan hati lelaki tua itu.

Napas Tua Usil terengah-engah ketika ia sampai di depan Pendekar Rajawali Putih. Mulutnya cengap-cengap, ingin melontarkan kata namun didesak oleh napas yang memburu. Lili segera menegur dengan suara datar berkesan dingin, "Ada apa?"

Setelah mengendalikan nafasnya sejenak, Tua Usil pun menjawab, "Tiga orang Pulau Keramat sedang menuju kemari, Nona Li!"

"Mau apa mereka?"

"Entahlah, yang jelas mereka tidak bermaksud belajar berdiri di atas ilalang seperti keinginan saya yang belum pernah terkabulkan itu. Yang saya tahu, mereka melangkah cepat, seperti terburu-buru. Satu di antara ketiganya adalah Gandaloka, yang waktu itu datang dengan membawa lima anak buahnya dan bertarung dengan Tuan Yo!"

"Katakan kepada mereka, aku sudah tidak ada urusan dengan Tuan Yo! Jangan usik aku jika mereka ingin panjang umur!"

"Ba... baik. Saya akan sampaikan," kata Tua Usil dengan gemetar, karena ia tahu Nona Li sedang marah, dan ia takut jika Nona Li dalam keadaan tak mau senyum sedikit pun begitu.

Dalam sikap berdiri yang menerawang, hati Lili berkata, "Mau apa mereka datang lagi kemari? Tetap ingin memaksa Yoga dibawa ke Pulau Keramat? Apakah Kembang Mayat yang akan dinobatkan sebagai ratu di pulau itu, tetap memilih Yoga sebagai calon suaminya? Haruskah kubiarkan hal itu terjadi? Atau haruskah ku halangi niat mereka? Ah, sepertinya sia-sia saja aku menghalangi maksud mereka, toh Yoga sendiri sedang terbuai indah oleh gadis yang bernama Kencana Ratih itu! Biar sajalah apa yang ingin dilakukan mereka kepada Yoga, aku tak akan ikut campur lagi!"

Sementara Tua Usil dalam perjalanan pulang ke pondoknya, Gandaloka yang berwajah tampan namun berbadan tinggi besar itu telah datang bersama dua anak buahnya. Kali ini dua anak buahnya juga berwa-jah tampan, namun berkesan dingin. Sorot matanya bagai membekukan darah orang yang dipandangnya.

"Kalau tak salah ingat, kau yang bernama Lembayung Senja?" sapa Gandaloka tetap dengan sikapnya yang sopan dan menghargai lawan bicaranya.

Lembayung Senja pun menjawab dengan sopan walau tanpa senyum, "Benar. Aku Lembayung Senja. Ada perlu apa kau datang kemari, Gandaloka?"

"Aku ingin bertemu dengan Pendekar Rajawali Merah."

"Dia tidak ada di sini!" jawab Lembayung Senja kalem.

Waktu itu, Tua Usil muncul dan terperanjat kaget memandang Gandaloka dengan dua anak buahnya itu. Wajah Tua Usil menjadi cemas ketika Gandaloka menatap ke arahnya, juga kedua anak buahnya itu menatap ke arah Tua Usil. Kemudian Gandaloka berkata kepada Tua Usil,

"Benarkah Pendekar Rajawali Merah tidak ada di pondokmu ini, Pak Tua?" sambil Gandaloka sedikit bungkukkan badan sebagai tanda menghormat kepada yang diajak bicara.

"Bbe... benar... benar, Tuan! Pendekar Rajawali Merah tidak ada di sini. Beliau sedang pergi."

"Bagaimana dengan Pendekar Rajawali Putih? Apakah ada di sini?"

Karena mata Gandaloka tertuju kepada Tua Usil, maka Tua Usil pun menjawab dengan gugup, "Tid... tid... tidak ada! Nona Lili tidak ada di rumah. Dia... dia ada di lembah sana!"

"Boleh kami menemuinya?"

Lembayung Senja yang menjawab, "Dia sedang berduka hati. Sebaiknya jangan sekarang jika ingin bicara dengannya."

"Kami tidak bermaksud mengganggunya, Lembayung Senja. Kami hanya ingin membicarakan sesuatu padanya."

Tutur kata yang lemah lembut dan penuh kesopanan itu membuat hati Lembayung Senja tidak menaruh kebencian atau kecemasan sedikit pun terhadap Gandaloka. Tapi ada sesuatu yang sedang dipertimbangkan dalam benak gadis berambut poni dengan kecantikan yang cukup menawan itu. Maka, sesaat kemudian Lembayung Senja berkata pelan kepada Gandaloka dan tidak didengar oleh Tua Usil.

"Aku ingin bicara berdua denganmu, Gandaloka!"

"O, baik. Di mana kita akan bicara?"

"Hmmm...." Lembayung Senja memandang sekeliling, kemudian matanya tertuju ke pohon yang ada dl pojok rumah. "Di sana saja!"

Gandaloka setuju, dan ia menyuruh anak buahnya tinggal di tempat, sementara dia sendiri mengikuti langkah Lembayung Senja ke bawah pohon yang ada di pojok halaman rumah. Tindakan itu timbulkan rasa aneh pada diri Tua Usil, karenanya ia memandangi Lembayung Senja dengan dahi berkerut. Tetapi kedua teman Gandaloka itu hanya diam saja, tetap membisu dan berwajah dingin. Keduanya sama-sama melipat tangan di depan dada, satu memandang ke arah Gandaloka, satunya lagi memandang ke arah Tua Usil, bagai sedang mengawasi.

"Gandaloka, pernahkah aku mengatakan tentang hubungan ku dengan ratu mu yang kau sebut Gusti Kembang Mayat itu?"

Gandaloka diam sejenak karena mengingat-ingat, lalu ia menjawab, "Aku lupa! Apakah kau punya hubungan dengan Gusti Kembang Mayat?"

"Aku adalah bekas muridnya."

"Ooo...," Gandaloka manggut-manggut.

"Bagaimana keadaan beliau?"

"Tujuh hari lagi jika beliau belum menikah juga, maka kami akan membunuhnya karena kami anggap beliau adalah orang yang datang atau dibawa ke Pulau Kana dalam kesialan. Kami tidak ingin ikut sial seperti nasib Gusti Kembang Mayat."

"Bagaimana jika aku ingin bergabung kesana? Apakah kira-kira beliau bisa menerimaku sebagai muridnya lagi?"

"Aku perlu bicarakan dulu hal itu! Aku tak berani membawa orang lain kecuali Pendekar Rajawali Merah. Hanya itu yang diinginkan Gusti Kembang Mayat. Dan kami dibekali amanat tinggi dari beliau."

"Amanat apa maksudmu?"

"Bawa Pendekar Rajawali Merah, jika menentang, bunuh dia!"

Lembayung Senja menyimpan kecemasan. Diam-diam masih merasa kasihan jika Yoga sampai dibunuh oleh para utusan Pulau Keramat atau Pulau Kana itu. Sebab dalam hati Lembayung Senja punya raga kagum terhadap ketampanan Yoga. Selama ini ia sengaja mengikuti Lili karena dua alasan; pertama supaya bisa mencuri jurus-jurus mautnya Lili, kedua supaya bisa tetap berdekatan dengan pendekar pemikat hati wanita itu. Siapa tahu kelak di lain waktu, dialah yang mendapatkan cinta kasih dari Pendekar Rajawali Merah.

"Apakah benar Pendekar Rajawali Merah tidak ada?" Gandaloka mengulang pertanyaannya untuk mencari kemungkinan berubahnya pikiran Lembayung Senja. Dan gadis cantik berhidung mancung itu berkata,

"Memang tidak ada di sini! Aku berani bersumpah dengan jaminan nyawaku sendiri. Sebaiknya, cobalah bicara dengan Lili, tapi hati-hati, dia sedang dalam keadaan menahan murka!"

"Baiklah. Kami akan temui dia."

"Gandaloka...!" panggil Lembayung Senja ketika Gandaloka mau meninggalkan tempat. "Ingat pesanku, kalau kau sampai pulang kembali ke Pulau Keramat itu, katakan kepada Gusti mu Kembang Mayat bahwa aku; Lembayung Senja, masih hidup dan ingin bergabung kembali dengan beliau."

"Baik. Nanti akan kami sampaikan pesanmu itu. Tapi terlebih dulu, maukah kau membantu tugas kami?"

"Aku tidak bisa banyak berbuat, karena aku masih dalam keadaan terluka! Aku perlu waktu untuk sembuhkan diri dengan tidak banyak lakukan apa-apa."

"O, begitu? Baik, aku bisa memahami. Sekarang aku akan temui Pendekar Rajawali Putih."

"Silakan. Ingat, hati-hati... jangan sampai memancing amarahnya!"

Lembayung Senja segera temui Tua Usil dan berkata, "Antarkan mereka untuk menemui Nona Li!"

"Aku tidak berani! Nona Li melarang orang-orang itu datang kepadanya!" bisik Tua Usil dengan cemas. masih saja menenteng dua ekor kelinci buruannya.

"Tunjukkan saja arahnya, kau tak perlu ikut ke sana!"

Tua Usil akhirnya mau menerima perintah itu. Ia menjadi penunjuk jalan bagi Gandaloka dan dua orang berwajah dingin itu. Ia tetap menenteng dua ekor kelinci buruannya karena tak terpikir dalam otaknya untuk meletakkan hasil buruannya tersebut. Yang ada dalam otaknya hanya rasa takut menghadapi tiga orang bertubuh tinggi dan berbadan besar itu.

Hal yang membuat Tua Usil menjadi ketakutan adalah sikap mereka yang seakan siap tempur. Ketiganya menyandang pedang besar di punggung masing-masing, menandakan mereka siap lakukan pertarungan dengan siapa pun.

Lembayung Senja sempat termenung beberapa saat setelah Gandaloka pergi. Hatinya bimbang antara kembali kepada Kembang Mayat yang dulu sebagai ketua perguruannya, atau tetap memihak Lili dan Yoga. Pada satu sisi, hati Lembayung Senja ingin memiliki Racun Bunga Asmara. Dan hanya Kembang Mayat yang mempunyai jurus 'Racun Bunga Asmara'.

Tapi sasaran yang akan dituju adalah Yoga. Lembayung Senja menjadi bimbang juga; mungkinkah Kembang Mayat mau berikan jurus 'Racun Bunga Asmara' jika ia sendiri menganggap jurus itu sebagai jurus andalan untuk menaklukkan hati Pendekar Rajawali Merah?

"Aku harus mencurinya dengan suatu kelicikan! Tapi kelicikan yang bagaimana, aku belum tahu! Untuk sementara ini, biarlah aku ikut saja ke mana arah angin membawaku pergi, yang penting tak jauh dari pendekar tampan itu!" pikir Lembayung Senja sambil langkahkan kaki pelan-pelan menuju ke arah lembah, karena ia ingin tahu apa yang dilakukan Gandaloka bersama kedua orang andalannya itu terhadap Pendekar Rajawali Putih.

Tua Usil tak berani tampakkan diri. Ia segera menghilang setelah Gandaloka melihat di mana Lili berada. Gandaloka dan kedua orangnya itu segera hampiri Pendekar Rajawali Putih yang tengah memunggunginya, memandang jauh dalam terawang hatinya yang gundah.

Begitu mendengar suara langkah kaki mendekati, Lili segera palingkan wajah ke belakang. Ia tidak terlalu terkejut melihat tiga orang bertubuh besar itu datang mendekatinya. Ia hanya menggerutu dalam hati dan ditujukan kepada Tua Usil. Ia tahu, pasti si Tua Usil itulah yang menjadi pemandu ketiga orang besar tersebut.

Gandaloka memberi hormat sederhana sebagai sikap sopannya terhadap orang yang akan diajaknya bicara. Tetapi dua orangnya yang ada di belakang itu hanya pandang wajah Lili dengan sorot pandangan mata yang cukup dingin dan bersikap kurang bersahabat. Lili pun pasang sikap tak kalah dingin dengan kedua orang tersebut. Ia lebih dulu perdengarkan sua-ra ketusnya kepada Gandaloka,

"Mau apa kau datang kemari?"

"Kami diutus kembali oleh Gusti Ratu Kembang Mayat untuk menemui Pendekar Rajawali Merah," jawab Gandaloka dengan kalem.

"Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan orang berlengan buntung itu!" jawab Lili dengan kasar dan ketus, sebagai cermin hatinya yang sedang marah kepada Pendekar Rajawali Merah.

"Setidaknya kau bisa kasih tahu kami, di mana Pendekar Rajawali Merah berada, Nona Lili?"

"Aku tidak tahu."

"Terlalu aneh jika kau tidak tahu, karena kau adalah juga Pendekar Rajawali, hanya berbeda warna dengan Tuan Yoga!"

"Aku memang tidak tahu di mana dia sekarang! Mungkin sudah kabur bersama gadis bernama Kencana Ratih!"

"Kencana Ratih...?! Orang perguruan manakah dia?"

"Jangan tanya padaku!" sentak Lili. "Aku sendiri tak tahu gadis liar mana dia itu? Yang ku tahu, Yoga sedang kasmaran dengan Kencana Ratih. Mungkin dia akan menikah dengan gadis itu!"

Gandaloka terperanjat kaget. "O, itu tidak boleh terjadi! Kalau begitu kami harus segera mencari gadis bernama Kencana Ratih itu!"

"Cari saja sana!" ketus Lili sambil melengos. "Terakhir kali aku jumpa mereka di Gua Bidadari, di lereng Gunung Tambak Petir! Setelah itu, ke mana mereka berdua, aku tidak tahu!"

"Gunung Tambak Petir...?!" Gandaloka menggumam bagai bicara pada diri sendiri, tetapi matanya menatap kepada kedua orang bawaannya itu. Yang ditatap hanya diam saja, tapi kelihatan manggut-manggut kecil, nyaris tak kentara.

"Apakah Kembang Mayat masih inginkan Yoga?" tanya Lili ingin tahu.

"Benar! Kami bahkan mendapat amanat tinggi; membawa pulang Pendekar Rajawali Merah, atau membunuhnya jika beliau menolak!"

Terkesiap mata Lili mendengar kata-kata terakhir itu. Ia ingin berontak dalam hatinya, tapi ia tak mau tunjukkan sikapnya itu. Ia justru bersikap tenang-tenang saja dengan wajah tetap murung. Bahkan ia lebih kelihatan acuh tak acuh dengan ucapan Gandaloka tadi.

"Baiklah, kami akan berangkat mencari mereka berdua di Gunung Tambak Petir," kata Gandaloka kemudian.

"Percuma," kata Lili sengaja memancing panas hati Gandaloka dan kedua temannya itu. "Kalian tidak akan berhasil membawa Yoga ke Pulau Keramat itu, karena Kencana Ratih pasti akan mempertahankan Yoga. Dia berilmu tinggi dan sangat sakti!"

"Kami akan bunuh dia demi tugas dari Gusti Ratu kami! Saya sudah dibekali dua pendekar Pulau Kana ini; Ayodya dan Loga."

"Hrnm...!" Lili hanya mendengus sambil buang muka lagi, lalu berkata makin memancing nafsu Gandaloka, "Aku ingin lihat seberapa kehebatan pendekar dari Pulau Keramat itu. Mampukah mereka berdua membunuh Kencana Ratih?"

"Kita buktikan saja nanti!" jawab Gandaloka dengan tegas.

DUA

KEPERGIAN Gandaloka membuat Lili menjadi kian merenung. Kini yang ada dalam benaknya adalah tugas yang diemban oleh Gandaloka. Membawa Yoga atau membunuh pendekar tampan itu? Dan haruskah Lili diam saja jika ada orang yang ingin membunuh Pendekar Rajawali Merah itu?

Hati Lili semakin perih dan sakit manakala ia bayangkan Yoga mati terbunuh oleh Gandaloka. Jelas jika hal itu terjadi maka ia tidak akan bisa bertemu dengan Yoga untuk selamanya. Perpisahan dengan Yoga seumur hidup agaknya adalah sesuatu hal yang belum mampu diterima oleh hati Lili. Karena itu, nalurinya segera berontak dan ingin menggagalkan maksud dan tujuan dari tiga utusan Pulau Keramat itu. Pendekar Rajawali Putih segera melesat pergi menyusul langkah Gandaloka.

Sebenarnya dalam waktu singkat Gandaloka bisa tersusul olehnya tapi tanpa disangka tiba-tiba saja dua orang berperawakan angker menghadang langkah Lili dan bikin ulah yang menyebalkan. Dua lelaki brewok yang mempunyai wajah ganas turun dari atas pohon dan berdiri tepat di depan Lili dalam jarak tiga langkah.

Jleeg..!

"Ha, ha, ha, ha..,!" keduanya sama-sama tertawa dengan lagak yang benar-benar membuat Pendekar Rajawali Putih hampir saja lepaskan pukulan mautnya. Untung ia masih sempat bertahan diri dan bersikap tenang menghadapi dua orang tak dikenalnya itu.

"Mau ke mana kau, Nona Manis? Mengapa jalan sendirian, hmm...?" si brewok kurus mulai membuka rayuan yang memuakkan. Matanya tampak nakal.

Sementara temannya yang agak gemuk itu memandangi Lili sambil mengelilinginya. Orang itu berkata kepada si kurus, "Carok Alas, rasa-rasanya kita ketiban rezeki nomplok hari ini! Yang kita cari selembar daun kering, tapi yang kita dapatkan ternyata emas permata! Ha, ha, ha, ha...! Rasa-rasanya nona ini tidak keberatan jika kita ajak ke semak-semak rindang di seberang sana, Carok Alas!"

Yang kurus berkata, "Mengapa harus ke semak-semak sana? Di sini pun jadilah. Toh tidak ada orang yang berkeliaran di tempat sesepi ini, Balung Kuwuk!"

"Tapi hati-hatilah, agaknya si cantik menggiurkan ini tidak hanya sekadar keindahan tanpa isi! Kulihat gagang pedangnya melambangkan bobot ilmu yang dimiliki, Carok Alas!"

"Oho, ho, ho, ho...! Aku sudah punya penangkalnya, Balung Kuwuk. Jurus 'Setan Gentayangan' tidak akan ada yang bisa menandingi. Dan si cantik ini pasti akan tunduk dengan perintahku! Tak akan segan-segan membelai kita secara bergantian! He, he, he, he...!"

Sambil tertawa memuakkan, orang yang bernama Carok Alas itu maju mendekati Lili, tangannya segera mencolek dagu Lili. Tetapi dengan cepat jari tangan Lili mematuk pergelangan tangan itu.

Deeb...!

"Auh...!" Carok Alas segera tarik tangannya dengan cepat sambil memekik. Matanya terbelalak kaget memandang Lili dan Balung Kuwuk secara bergantian. Ia ditertawakan oleh Balung Kuwuk, sudah tentu hatinya menjadi panas.

"Tutup bacotmu, Balung Kuwuk!" sentaknya dengan kasar sambil masih pegangi tangannya. "Patukan tangannya seperti patukan seekor burung rajawali yang ganas! Sekujur tubuhku seperti disengat ribuan lebah liar!"

"Sudah kubilang, hati-hati! Dia tidak ubahnya seperti macan betina, Carok Alas! Kalau kau tak hati-hati, bisa habis kau dimakannya!"

"Persetan! Mungkin itu hanya kebetulan saja!"

"Minggirlah. Biar aku yang menjinakkan macan betina ini!" kata Balung Kuwuk yang bersenjatakan tulang besar seukuran lengan orang dewasa.

"Nona manis, kalau kau ingin tubuhmu tetap mulus, wajahmu tetap cantik menggiurkan, nyawamu tetap utuh di tempatnya, jangan sekali-sekali bersikap kasar kepada kami! Brewok Kembar Iblis bukan orang yang mudah dibuat main-main. Brewok Kembar Iblis jarang kasih kebijaksanaan kepada lawannya. Terlebih seorang wanita, jika tak mau tunduk, kami tak segan-segan merajang habis tubuhnya dan melumat lembut kepalanya. Karena itu...."

Wuuut...! Taang...!

Tiba-tiba sekali mata Balung Kuwuk menjadi mendelik. Lehernya bagai dihantam memakai kayu yang amat besar. Padahal saat itu Lili hanya mengelebatkan tangannya dan dua jarinya mematuk leher Balung Kuwuk bagian samping. Tetapi patukan Jari itu membuat wajah Balung Kuwuk berubah menjadi merah bagai habis terbakar.

"Bangsat...! Dia menyerangku!" katanya dengan suara sangat serak, seakan tak mampu lagi tenggorokannya dipakai untuk bicara. Ia menelan ludah beberapa kali dengan mata mendelik.

Carok Alas yang tangannya kini membengkak biru itu serukan suara geram sambil bergerak ke samping, "Anak setan! Rupanya kau tak bisa dikasih hati!"

Wulzzt...! Carok Alas bagaikan melemparkan sesuatu dengan tangan kirinya yang dikebatkan. Benda yang dilemparkan itu tidak terlihat, namun tiba-tiba bagian bawah leher Lili terasa seperti dihantam dengan ujung bambu kecil.

Hantaman itu cukup keras, sempat membuat Lili tersentak mundur satu tindak. Namun setelah itu, Lili tidak bisa gerakkan tangannya sedikit pun. Bahkan kedua kakinya bagaikan tidak bertulang lagi. Ia jatuh terkulai lemas seperti tidak mempunyai urat lagi. Beruntung ia ada di dekat gugusan tanah berbatu, sehingga ia bisa jatuh dengan punggung bersandar. Mulutnya pun tidak bisa digunakan untuk bicara.

Mungkin itulah yang dimaksud jurus 'Setan Gentayangan' dari Carok Alas. Dan keadaan Lili yang terkulai tak berdaya itu membuat hati kedua orang brewok sangar itu menjadi kegirangan. Tetapi ketika kedua orang itu berusaha menerkam Lili secara berebutan, tiba-tiba seberkas sinar jingga menerpa tubuh mereka dengan sangat cepat dan kuat.

Blaaar...!

Carok Alas dan Balung Kuwuk terpental secara bersamaan. Tubuh mereka melayang tiga tombak jauhnya dari tempat Lili terkulai. Mereka sama-sama meraung karena tubuh mereka dalam keadaan terbakar api yang cukup besar. Tubuh yang terbungkus api itu berusaha memadamkan diri dengan berguling-guling. Namun semakin mereka bergerak banyak, semakin berkobar nyala api yang membakar diri mereka.

Lili melihat jelas kejadian itu. Lili sadar apa yang terjadi di depan matanya. Tapi ia tidak bisa menengok ke kiri atau ke kanan, bahkan untuk ucapkan sepatah kata pun ia tak mampu. Akhirnya ia hanya bi-sa menjadi penonton yang baik dan diliputi penuh perasaan kagum melihat jurus pembakar tubuh yang begitu hebat itu. Sampai akhirnya kedua orang bertampang angker itu diam tak berkutik dalam keadaan hangus, nyala api itu masih saja membakar mayat me-reka. Tak sedikit pun susut dari kobarannya.

Kejap berikutnya Pendekar Rajawali Putih yang mengenakan pakaian merah jambu itu melihat kilatan sinar putih terang berkilauan yang menghantam tubuh hangus tersebut. Zraab...! Sinar putih berkilauan itu bagaikan menyergap kedua mayat hangus, dan nyala apinya tiba-tiba padam seketika. Bluub ...! Kini kedua mayat hangus itu tinggal mengepulkan asap yang kian lama kian menipis habis.

"Siapa orang sakti yang mempunyai ilmu sedahsyat itu?" pikir Lili dalam keadaan tetap terkulai lemas tak bertenaga itu. "Jurusnya tadi begitu hebat dan sukar ditangkis oleh lawan. Jurus ganas itu pasti dimiliki oleh tokoh tua yang sakti dan jarang menampakkan diri di rimba persilatan. Hmm..., mengapa orang itu tidak segera tampakkan diri di depanku?"

Baru saja batin Lili bertanya begitu, tiba-tiba muncul sesosok tubuh berpakaian kuning dari arah belakangnya. Orang berpakaian kuning itu berjalan tenang mendekati dua mayat hangus tersebut. Ia memeriksa mayat itu sebentar, kemudian balikkan badan dan menatap Lili dari kejauhan.

Hati Lili sangat terkejut namun wajahnya tak bisa pancarkan rasa kagetnya itu, karena ia bagaikan tidak berurat sama sekali. Hal yang membuat Lili terkejut ternyata orang berbaju kuning itu adalah seorang pemuda berusia sebaya dengan Lili. Rambutnya ikal bergelombang diikat kain merah, berwarna hitam mengkilap halus. Wajahnya tampan tanpa kumis, tapi memancarkan ketegasan, keberanian, dan kejantanannya. Matanya bening dan teduh. Bibirnya merah segar dan seakan selalu menyunggingkan senyum. Dan hati Lili berdebar-debar kala pemuda itu sengaja lebarkan senyumannya sambil mendekati Lili.

"Sebenarnya akulah yang mereka cari!" kata pemuda itu kepada Lili sambil jongkok di depannya. "Mereka mengejarku sejak beberapa hari ini! Aku tidak mau melawan mereka, karena mereka adalah paman-paman ku. Tetapi kali ini mereka sudah kelewat batas, jadi aku terpaksa membunuh mereka daripada harus saksikan mereka memperkosa mu, Nona. Brewok Kembar Iblis adalah anggota keluarga kami yang sudah lama dikucilkan, dan karena tindakan sesatnya itu, keluarga kami menjadi cemar! Mereka membunuh kakekku, yaitu ayah tiri mereka sendiri. Ibuku dan mereka berdua satu ibu kandung tapi lain ayah. Ibuku pernah wanti-wanti agar aku jangan bikin persoalan dengan kedua paman ku itu. Tetapi mereka sendiri yang bikin persoalan denganku, dan aku berulang kali menghindar dari mereka namun akhirnya tak bisa juga. Mereka menghendaki pedang pusaka warisan guruku yang ada di punggungku ini dan ingin merebutnya karena mereka tahu kesaktian pedang perunggu ini. Dan tugasku adalah menyelamatkan serta mempertahankan pedang perunggu ini dari jamahan tangan-tangan sesat."

Pemuda itu bicara sendiri panjang lebar tanpa peduli yang diajak bicara bisa menyahut atau tidak, tanpa peduli yang diajak bicara mau mendengarkan atau tidak. Setelah bicara begitu, pemuda tampan itu berkata lagi,

"Kau terkena jurus 'Setan Gentayangan', Nona. Jurus itu adalah jurus andalan Paman Carok Alas. Tak ada perempuan yang bisa menghindari jurus 'Setan Gentayangan', sehingga Paman Carok Alas itu dikenal sebagai Pawang Perawan. Artinya, tukang memperkosa perempuan dengan amat lihainya membuat perempuan itu tidak berkutik."

Dalam hati Lili menggerutu, "Setan orang ini! Kerjanya bicara saja tapi tidak ambil tindakan untuk menyelamatkan aku dari pengaruh jurus 'Setan Gentayangan' ini?! Apakah memang dia tidak mampu me-mulihkan keadaanku menjadi seperti sediakala? Cela-ka! Jangan-jangan dialah yang akan memanfaatkan keadaanku seperti ini?! Jangan-jangan dia yang mau memperkosaku?!"

Pemuda sopan itu seolah mendengar ucapan batin Lili, karena tepat saat Lili selesai berkata batin, pemuda itu sunggingkan senyumnya lagi. Hati Lili menjadi semakin tak enak, karena menduga pemuda itu tahu apa yang dikatakan dalam hatinya tadi. Padahal apa yang dilakukan pemuda itu hanya bersifat kebetulan saja. Kebetulan juga pemuda itu segera meraih sebatang ranting kering, lalu ia memegang tangan kiri Lili dengan sebelumnya berkata,

"Maaf, aku bukan bermaksud tidak sopan padamu. tapi karena aku harus sembuhkan dirimu dari pengaruh jurus 'Setan Gentayangan' ini!"

Tangan Lili dipegangnya, telapak tangan itu di-buka pelan-pelan, seakan dilakukan dengan penuh hati-hati. Bahkan telapak tangan itu sempat dirabanya sebentar dengan gerakan lembut. Mata pemuda itu memperhatikan garis-garis tangan Lili beberapa saat. Ia berkata seperti ditujukan kepada dirinya sendiri.

"Hebat sekali kau sebenarnya, Nona. Ilmumu cukup tinggi dan di telapak tanganmu ini tergenggam kesaktian yang sungguh dahsyat dan mengagumkan. Tak kusangka ternyata kau orang berilmu juga. Tapi agaknya ilmumu ini punya pasangan sendiri, jika bertemu dengan ilmu pasangan mu, akan membentuk satu ilmu yang lebih dahsyat dan lebih sakti lagi...."

Pemuda itu masih memandangi garis tangan Lili. Tapi kemudian ia segera alihkan pandangan matanya kepada Lili dan kembali tersenyum.

"Jangan takut, kau akan pulih seperti sediakala. Aku tahu kunci membebaskan jurus 'Setan Gentayangan'...."

Kemudian pemuda tampan bersenjatakan pe-dang perunggu di punggungnya itu segera memegang jari tengah tangan Lili. Ranting yang tadi diambilnya dari tanah itu sekarang digunakan untuk menusuk ja-ri tengah tersebut. Tees...! Begitu ujung jari tengah ditusuk ranting tak sampai berdarah, tubuh Lili tersentak keras seketika, sampai tak sengaja tangan yang dipegangi pemuda itu berkelebat kuat dan menampar wajah pemuda itu.

Plook...!

Terjengkang hebat pemuda tersebut terkena tamparan tak sengaja dari Lili. Kini ia ganti yang terkapar di rerumputan sambil mengerang kesakitan. Tulang pipinya memar seketika akibat hantaman telapak tangan Lili, sebab telapak tangan itu mempunyai tena-ga dalam besar yang tersimpan di sana dan sewaktu-waktu bisa keluar dalam satu sentakan kuat.

Pemuda itu tidak bisa bicara untuk beberapa saat. Wajahnya yang berkulit kuning langsat dan bersih itu menjadi merah. Lili yang telah terlepas dari pengaruh ilmu 'Setan Gentayangan' itu menjadi salah tingkah. Semua anggota tubuhnya sudah bisa digerakkan, ia kembali seperti sediakala, tapi ia harus berhadapan dengan pemuda tampan yang menderita sakit di wajahnya.

Mata Lili menjadi serba salah dalam memandang. Gerakannya pun menjadi serba kikuk. Tapi ia paksakan mendekati pemuda yang terkapar itu seraya berkata gugup, "Ma., maa... maafkan aku. Aak... akku... aku tidak sengaja menamparmu! Ak... aku... oh, ya... aku akan sembuhkan kamu!"

Dengan hati berdebar-debar, tangan Lili pun segera meraba lembut wajah itu. Ia pejamkan mata karena ia curahkan hawa mumi ke dalam tangannya. Hawa murni itu meresap masuk melalui tulang pipi pemuda itu. Rasanya sejuk dan lembut. Dalam beberapa kejap berikutnya, wajah pemuda itu sudah tidak merah lagi, rasa sakit di tulang pipinya menjadi berkurang, lalu hilang. Warna memarnya pun sedikit demi sedikit menjadi sirna dan kembali ke warna aslinya.

Tapi Lili masih tempelkan tangannya ke wajah itu karena ia melakukannya dengan mata terpejam, jadi ia tidak tahu kalau pemuda itu sudah berubah seperti sediakala. Bahkan ia tak sengaja telah menyentuh bibir pemuda itu yang terasa hangat di permukaan kulit tangannya. Pemuda itu sedikit nakal, ia membuka mulutnya dan menggigit kecil ibu jari tangan Lili. Tersentak kaget Lili seketika. Ditarik mundur tangannya.

Pemuda itu tersenyum dan segera bangkit untuk duduk. Lili berdiri dengan perasaan malu pada diri sendiri. Ia palingkan wajah, sembunyikan senyum tersipu agar tak diketahui pemuda itu. Maka, pemuda itu pun segera bangkit berdiri sambil berkata, "Maaf, aku hanya ingin bercanda sedikit denganmu. Jika gigitan ku itu kau anggap tindakan tak sopan dan memalukan, hukumlah aku, Nona!"

Lili palingkan wajah, kembali memandang pemuda tampan yang menggetarkan hati itu. Lili gelengkan kepala sambil berkata pelan, "Tak ada yang perlu dimaafkan, tak ada yang perlu dihukum."

"Terima kasih." ucap pemuda itu dengan lembut dan kalem. "Yang kuperlukan adalah namamu."

"Namaku.... Wisnu Patra," jawab pemuda berbadan tegap itu. "Tapi orang-orang banyak yang menjulukiku: Dewa Tampan." Lalu, pemuda itu tertawa geli sendiri, membuat Lili pun jadi ikut tertawa geli.

"Kau sudah mengetahui namaku, bolehkah aku mengetahui namamu?" tanyanya kemudian.

"Namaku.... Lili!"

"Hanya itu?"

"Ya."

"Bohong. Kau pasti punya nama julukan, karena kau bukan orang sembarangan! Garis tanganmu menunjukkan kau orang berilmu tinggi. Biasanya orang berilmu tinggi mempunyai julukan sendiri. Sebutkan julukanmu, jangan malu. Karena aku pun tak malu menyebutkan julukanku sendiri, yaitu Dewa Tampan!"

"Julukanku... rasa-rasanya tak penting. Yang penting aku ingin tahu dari mana asalmu, Wisnu Patra?"

"Sebutkan dulu nama julukanmu, Lili."

Lili menarik napas dan berkata, "Baiklah kalau kau memaksa. Aku tidak punya nama julukan, tapi aku mempunyai gelar dari guruku."

"Sebutkan!"

"Pendekar Rajawali Putih."

"Hahh...?!" Wisnu Patra tersentak kaget, matanya sampai terbelalak lebar, mulutnya ternganga seketika. Wajah pemuda itu menjadi pucat pasi dengan gerak langkah mundur dua tindak. Mata itu segera menatap ke gagang pedang di punggung Lili yang mempunyai hiasan kepala burung rajawali yang saling bertolak belakang dari bahan logam perak putih yang mengkilat dan anti karat.

Melihat perubahan sikap Wisnu Patra, dahi Lili menjadi berkerut tajam-tajam. Pandangan matanya pun memancarkan keheranan, sehingga terlontarlah tanya, "Kenapa? Apa yang membuatmu terkejut begitu, Dewa Tampan?!"

Wisnu Patra bagai kelu lidahnya. Ia ingin ucapkan sesuatu, namun terasa sulit, sehingga ia hanya bisa gerak-gerakkan bibirnya dengan napas mulai tak teratur.

TIGA

WISNU Patra berkelebat lari dari hadapan Pendekar Rajawali Putih. Karena hati Lili menjadi semakin penasaran, maka ia pun mengejar Wisnu Patra dengan jurus 'Langkah Bayu'. Weesst...! Dan dalam waktu singkat, Lili sudah berada di depan langkah Dewa Tampan, ia berdiri bagai menghadang, dan Dewa Tampan terhenti dengan rasa dongkol tertahan. "Mengapa kau tiba-tiba lari dariku, Wisnu Patra?"

"Aku tidak mau bertemu denganmu lagi," jawab Wisnu Patra.

"Kau membenci ku?"

Wisnu Patra bingung menjawab. Matanya menatap Lili sebentar, lalu terlempar jauh memandang ke arah tak tentu. Sikapnya yang serba salah tingkah itu membuat Lili kian bertambah penasaran. Kemudian, Lili pun mendesak dalam tanya,

"Katakan apa adanya, Wisnu Patra! Jangan kau buat aku menjadi penasaran seperti ini! Sikapmu terlalu aneh buatku!"

Wisnu Patra melangkah pelan-pelan sambil tundukkan wajah. Ia sedang pertimbangkan jawaban yang harus diberikan kepada gadis cantik itu. Tetapi, di luar dugaan Lili, tiba-tiba Wisnu Patra sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melayang cepat ke atas pohon. Kemudian dengan gerakan lincahnya ia melarikan diri melalui dahan-dahan pohon yang ada di atas sana.

Pendekar Rajawali Putih tidak mau kehilangan Wisnu Patra sebelum pemuda tampan itu menjawab keanehan sikapnya. Maka ia pun juga sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melenting di udara mencapai dahan pohon. Ia segera mengejar Dewa Tampan itu melalui pohon ke pohon, mengikuti jejak langkah si Wisnu Patra yang tampan itu.

Rupanya kali ini Pendekar Rajawali Putih terpaksa kehilangan jejak Wisnu Patra. Mungkin ia salah arah dalam mengejar pemuda yang mampu mempunyai gerakan lari begitu cepat, hampir menyamai jurus "Langkah Bayu'. "Ke mana dia larinya? Atau aku salah arah dalam mengejarnya?" ucap Lili sendirian ketika ia berada di lereng perbukitan.

Tetapi tiba-tiba Lili merasakan hembusan angin panas datang mendekatinya dari belakang. Gerakan gelombang angin panas itu sangat cepat, sehingga Lili tak sempat berpaling memandang ke belakang. Ia lekas sentakkan kakinya melesat ke atas dan bersalto dua kali, sehingga hembusan angin panas yang berbahaya itu lewat di bawah kakinya, tak sampai menyentuh tubuhnya sedikit pun.

Duaar...!

Gelombang angin panas itu menghantam pohon, dan pohon tersebut roboh seketika. Pada saat itu Pendekar Rajawali Putih memandang ke arah datangnya pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi itu. Ternyata di sana tampak seorang perempuan muda bersenjatakan seruling besar.

"Siapa kau!" seru Pendekar Rajawali Putih.

"Aku Seruni! Kau masih ingat peristiwa di Gua Bidadari itu?!"

"Seruni...?" ucap Lili pelan. "Mungkin dia salah satu orang Gua Bidadari yang sempat lolos dan mela-rikan diri bersama beberapa orang lainnya itu?" (Baca episode: "Gerombolan Bidadari Sadis").

"Aku masih ingat tampang liar mu!" kata Seruni dengan sengitnya. "Kau memihak pemuda tampan yang sering di panggil dengan nama Yoga itu! Kau berjaya jika bersamanya. Tapi sekarang kau sendirian dan aku sendirian! Aku ingin menebus kekalahan ku tempo hari. Ingin kubuktikan sejauh mana kehebatanmu jika dalam keadaan sendirian seperti ini!"

"Seruni, urusan itu adalah urusan Yoga dengan perempuan busuk yang bernama Kencana Ratih! Aku tidak ikut campur lagi dalam urusan itu!"

"Tapi waktu itu kau ikut campur, dan kau sempat lukai aku dengan tenaga dalam dari tangan kirimu! Aku merasa terdesak dan harus segera lari untuk cari kesempatan lain membalas kalian. Dan sekarang kesempatan itu datang, aku akan pergunakan sebaik mungkin. Karena itu, bersiaplah menebus kekalahan ku waktu itu!"

"Tidak. Aku tidak mau terlibat lagi urusan Yoga!"

"Kalau kau tak bersedia melawanku, lakukan bunuh diri di depanku sekarang juga. Lekas!"

Lili membatin dalam hatinya, "Wah, orang ini benar-benar cari penyakit! Mau tak mau aku terpaksa turun tangan juga jika caranya begitu! Padahal aku sudah tidak mau tahu lagi dengan urusan Yoga! Tapi jika dia mengancam nyawaku, aku berhak membela diriku sendiri!"

"Lekas lakukan, Keparat!" bentak Seruni.

"Aku akan layani tantanganmu, Seruni!"

"Bagus! Bersiaplah, Perempuan Busuk! Heaaah...!"

Seruni segera sodokkan serulingnya ke depan dengan satu sentakan cukup kuat. Dan dari ujung lubang bambu seruling itu melesatlah sinar biru berbentuk garis lurus sebesar lubang seruling itu.

Wuuuts...!

Lili cepat sentakkan tangan kirinya yang tadi diramal oleh Wisnu Patra itu. Dari tangan tersebut muncul sinar putih keperakan yang menyebar lebar. Sinar itu dihantam oleh sinar birunya Seruni dan menggelegarlah bunyi benturan dua sinar bertenaga dalam tinggi itu.

Blaaar...!

Bumi berguncang sekejap. Pohon-pohon pun mulai rontokkan daun-daun kuningnya yang melayu. Tubuh Seruni terpental mundur sampai terguling-guling akibat gelombang ledakan tersebut, sedangkan tubuh Lili hanya mundur satu tindak dengan tangan masih siap serang lagi.

"Keparat! Rupanya kau cukup tangguh juga, Gadis Bangkai!" geram Seruni. Ia segera bangkit, lalu serulingnya ditiup dengan suara keras dan nadanya tak beraturan. Suara seruling itu mempunyai getaran yang mampu membuat kulit pohon mengelupas sendiri-sendiri. Tentunya tiupan seruling kali ini disertai tenaga dalam penghancur yang sungguh hebat.

Hal itu membuat telinga Lili merasa bagai sedang ditusuk oleh ribuan jarum yang amat menyakitkan. Lili menutup kedua telinganya kuat-kuat, sampai wajahnya menyeringai menahan sakit dan ia jatuh berlutut karenanya. Tiba-tiba suara seruling itu berhenti seketika setelah sekelebat sinar jingga menerpa tubuh Seruni. Sinar jingga itu membias dan menghantam tubuh Seruni, lalu api pun membungkus tubuh itu.

Bbaab!

"Aaaaa...!" Seruni memekik keras-keras dengan berusaha memadamkan api yang membungkus tubuhnya. Ia berguling-guling agar api padam karena rerumputan yang basah itu. Tetapi api justru menjadi berkobar besar dan makin memekikkan suara memilukan dari mulut Seruni.

Lili segera lepaskan kedua tangan yang menutup telinganya. ia memandangi tubuh lawannya yang tak bisa lepas dari kurungan api membara itu. Lekas-lekas ia bangkit dan memandang sekeliling. Karena ia yakin cahaya jingga yang berkelebat menghantam tubuh Seruni tadi pasti datang dari tangan Dewa Tampan. Keadaan Seruni sama persis dengan nasib yang dialami oleh dua orang brewok yang menamakan diri mereka Brewok Kembar Iblis tadi.

Menyadari keanehan seperti itu, Lili pun segera berseru, "Wisnu! Keluarlah kau! Kita perlu bicara, Wisnu...! Jangan pergi dariku!"

Tak ada suara lain kecuali suara api yang berkobar-kobar menghabiskan tubuh Seruni. Tubuh itu akhirnya diam, kaku, dan hitam tanpa nyawa lagi. Lili tak tega memandangnya. Ia lebih cenderung memandang sekeliling mencari sosok Wisnu Patra atau si Dewa Tampan itu.

"Wisnuuu...!" panggilnya lagi dengan nada jengkel. "Jangan memancing kemarahanku, Wisnu! Keluarlah dari persembunyianmu! Aku tahu kau ada di sekitar sini, Wisnu...!"

Tetap tak ada suara, tak ada gerak, bahkan detak jantung pun tak terdengar oleh panca Indera Lili yang terpeka sekalipun. Api masih menyala tiada kun-jung padam. Padahal Lili menunggu datangnya sinar putih yang akan memadamkan api seperti saat api itu datang dan padam membungkus tubuh Brewok Kembar Iblis. Tapi ternyata sinar putih yang berfungsi se-bagai pemadam itu tidak kunjung tiba juga.

Pendekar, Rajawali Putih segera sentakkan kaki, tubuhnya melesat naik ke dahan sebuah pohon tinggi. Dari sana ia memandang ke bawah, mencari tempat persembunyian Wisnu Patra. Tetapi cukup lama ia tidak menemukan apa yang dicarinya. Hanya sa-ja, beberapa waktu setelah Lili melompati dahan ke dahan, ia melihat gerakan orang berlari cepat dengan pakaian kuning. Orang itu ada di seberang sana, cukup jauh dari tempat Lili berada. Tak salah lagi, orang itu adalah Wisnu Patra. Maka, Lili pun segera menge-jar ke arah bayangan kuning tersebut.

Wisnu Patra seorang pemuda yang licin bagaikan belut, menurut Lili. Kali ini ia kembali kehilangan jejak Wisnu Patra. Padahal alam mulai remang dan sebentar lagi gelap akan datang. Sekalipun demikian, Lili yang masih penasaran terhadap keanehan sikap Wisnu Patra itu tetap mencari pemuda tersebut, sampai akhirnya ia tiba di sebuah desa di mana ada sebuah kedai besar yang punya pengunjung cukup banyak. Lili sempatkan diri singgah ke kedai itu.

Lalu ia bertanya kepada pemilik kedai tersebut, "Apakah di sini ada penginapan, Pak Tua?"

Pak Tua itu menjawab. "Di sini tidak ada penginapan, Nona. Tapi kalau Nona mau bermalam, Nona bisa gunakan kamar kosong di belakang kedai saya ini! Sesekali kamar itu memang saya sewakan untuk para pendatang yang kemalaman di desa kami."

"Berapa sewanya satu malam?"

"Tidak terlalu mahal untuk kamar yang sederhana, Nona."

"Baiklah. Saya akan sewa kamar itu, Pak Tua. Hanya untuk satu malam saja!"

"Baik. Saya akan suruh pelayan saya untuk membersihkan kamar itu!"

Kehadiran Lili di kedai itu menjadi pusat perha-tian beberapa pasang mata lelaki. Kecantikan Lili sungguh memukau mereka. Namun tamu yang menempati meja sudut itu nampak tidak tertarik sama sekali dengan kecantikan Lili. Dua tamu berperawakan tegap dan berusia antara empat puluh tahun itu, sibuk membicarakan masalahnya sendiri.

Dengan memusatkan perhatian dan memasang pendengarannya baik-baik, Lili sempat mendengar percakapan kedua orang tersebut. Yang berbaju biru mengatakan kepada si baju merah,

"Kurasa tidak semudah dugaanmu untuk mendapatkan bunga Teratai Hitam itu! Pasti beberapa orang upahan saling berlomba untuk mendapatkannya. Dan itu berarti kita akan berhadapan dengan mereka!"

"Itu sudah pasti," kata yang mengenakan baju merah. "Tapi tentunya kita pun sudah siap siaga dengan lawan yang bakal kita hadapi. Kalau kau takut, sebaiknya kau tak usah ikut saja. Biarlah aku sendiri yang pergi ke Gua Mulut Iblis untuk mendapatkan bunga Teratai Hitam itu!"

Rupanya, tiga tamu di belakang Lili itu pun sedang mempercakapkan tentang bunga Teratai Hitam. Salah seorang terdengar berkata, "Seberapa pun besar bahayanya, aku tak akan mundur dalam usaha mendapatkan bunga Teratai Hitam. Rugi besar kalau aku harus mundur, karena ini kesempatan baik untuk menjadi menantu seorang adipati. Apalagi putri adipati yang bernama Galuh Ajeng itu seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi, rasa-rasanya mati pun sanggup kujalani demi mendapatkan perempuan secantik dia."

"Kalau dari kita bertiga ini ada yang mendapatkan bunga teratai tersebut, apakah kita bertiga juga akan saling bunuh sendiri?"

"Seharusnya kita bikin kesepakatan dulu sebelum hal itu terjadi. Jika bunga teratai itu ada di tangan kita, siapa yang berhak maju sebagai suami Galuh Ajeng. Kalau sudah kita sepakati, maka kita tidak akan merasa iri satu dengan yang lainnya."

"Aku hanya mengejar kedudukan saja," kata seseorang yang persis duduknya beradu punggung dengan Lili. "Kabarnya, yang berhasil mendapatkan bunga Teratai Hitam sebagai obat penyembuh sakit sang Adipati itu, juga akan mendapatkan kedudukan, yaitu menjadi penguasa di salah satu tanah kekuasaan sang Adipati. Nah, aku memilih menjadi penguasa saja."

"Kalau begitu, aku lebih baik memilih harta yang juga dijanjikan akan diberikan kepada orang yang berhasil membawa bunga teratai itu kepada pihak kadipaten. Lebih baik aku memperkaya diri, soal istri bisa cari yang sesuai dengan seleraku. Lagi pula, aku kurang selera punya istri yang masih semuda Galuh Ajeng. Pengalaman bercintanya masih belum matang, sehingga masih harus mendidiknya dulu!"

Mereka tertawa bersama, sementara Lili hanya diam saja memperhatikan suara-suara di sana-sini. Ternyata mereka banyak yang membicarakan tentang bunga Teratai Hitam. Kesimpulan yang diperoleh Lili adalah, bahwa seorang adipati sedang sakit parah. Sang Adipati itu bisa selamat jiwanya dan sembuh jika mendapatkan obat dari bunga Teratai Hitam. Lalu, pihak keluarga adipati sepakat keluarkan sayembara, bahwa barang siapa berhasil serahkan bunga Teratai Hitam.

Maka mereka akan mendapat berbagai hadiah dari pihak kadipaten; antara lain menjadi penguasa dl tanah wilayah kadipaten, mendapat kekayaan yang jumlahnya tidak sedikit, dan jika lelaki akan dinikahkan dengan putri sang Adipati yang bernama Galuh Ajeng. Konon, Galuh Ajeng sendiri sudah bersedia menjadi istri siapa pun asalkan ayahandanya bisa sembuh dari sakit parahnya itu.

"Teratai Hitam...?" gumam Pendekar Rajawali Putih dalam hatinya. "Kalau tak salah, Yoga pernah singgung-singgung soal bunga Teratai Hitam untuk sembuhkan Mahligai, keponakan Tabib Perawan itu. Atau mungkin Yoga sudah dengar tentang adanya sayembara yang dapat hadiah putri adipati yang cantik jelita itu? Ah, kurasa sayembara itu baru-baru ini saja diumumkannya. Dan... dan apakah sekarang Yoga sedang mencari bunga Teratai Hitam itu? Kudengar tadi orang di sudut sana menyebutkan nama Gua Mulut Iblis. Apakah Yoga sedang berada dalam perjalanan ke Gua Mulut Iblis untuk mendapatkan Teratai Hitam? Jika benar dia ke sana, berarti dia akan berhadapan dengan banyak orang yang bernafsu untuk menjadi menantu sang Adipati. Tentunya mereka bukan orang-orang berilmu rendah! Jadi, kesimpulannya Yoga pasti dalam bahaya! Ah, biar saja! Toh dia sudah dalam lindungan si Ganjen Kencana Ratih!" Lili bersungut-sungut sendiri menahan kecemburuannya.

Padahal Yoga sendiri tidak tahu kalau bunga Teratai Hitam itu disayembarakan oleh pihak kadipaten. Tujuan Yoga mendapatkan bunga itu hanya untuk sembuhkan Mahligai. Tetapi usahanya ke Gua Mulut Iblis itu sedikit terganggu oleh keadaan Kencana Ratih yang terluka akibat penggempuran Gua Bidadari tempo hari.

Kalau saja Pendekar Rajawali Merah itu tidak membawa Kencana Ratih, pasti ia sudah sampai di Gua Mulut Iblis sebelum orang-orang mencapai tempat itu. Tetapi hati Yoga tidak tega meninggalkan Kencana Ratih yang terluka, atau membiarkan Kencana Ratih pulang dengan membawa luka.

Baik luka di tubuhnya maupun luka di hati akibat kematian kakaknya, sung-guh merupakan beban kejiwaan tersendiri bagi Kenca-na Ratih. Itulah sebabnya Yoga merasa perlu merawat gadis cantik yang kalau tersenyum punya lesung pipit di kedua belah pipinya itu.

Sebuah pondok, tempat seorang tokoh sakti mengasingkan diri dalam usia tuanya, menjadi persinggahan bagi Yoga dan Kencana Ratih. Pondok itu terletak di sebuah tebing bertangga batu. Mulanya Yoga tidak tahu bahwa pondok itu milik Resi Gumarang. Kencana Ratih sendiri tidak mengenal nama Resi Gumarang. Tetapi lelaki berusia sekitar delapan puluh tahun lebih itu ternyata sengaja menyambut kedatangan Yoga dan Kencana Ratih di ujung tangga jalan ke pondoknya. Mulanya Yoga terkejut ketika Resi Gumarang menyapanya dalam sikap menghadang langkah.

"Aku mendengar jeritan batin seorang anak muda. Ternyata gadis itulah yang menjerit dalam hatinya. Pasti ia terluka cukup parah. Jika kau tak keberatan, Anak Muda... singgahlah ke pondokku sebentar untuk merawat gadis itu."

"Terima kasih, Eyang. Bolehkah saya tahu siapa Eyang sebenarnya?"

"Namaku Resi Gumarang. Gurumu pasti tahu, karena mendiang gurumu yang berjuluk Dewa Geledek itu adalah sahabat karib ku, juga kakekmu yang bernama Gentar Swara itu temanku semasa kecil."

Saat itu, Yoga terkejut mendengar Resi Gumarang bisa sebutkan nama guru dan nama kakeknya. Lalu Yoga pun bertanya, "Dari mana Eyang tahu bahwa aku murid Dewa Geledek dan cucu dari Ki Gentar Swara?"

"Nadi ku bergetar jika berdekatan dengan pedang pusaka mu yang bernama Pedang Lidah Guntur itu. Jika nadi ku bergetar, berarti aku berada tak jauh dari Pedang Lidah Guntur. Jika seseorang membawa Pedang Lidah Guntur, berarti dia murid dari Ki Dirgantara yang bergelar Dewa Geledek. Dan aku tahu persis, Dewa Geledek hanya punya satu murid yang diambilnya sejak masih bayi. Bahkan dulu aku ingin mengambil bayi itu untuk kujadikan muridku, tapi Dewa Geledek menolak, terpaksa aku mengalah demi persahabatan kami! Dan bayi itu rupanya sekarang sudah tumbuh menjadi dewasa dan tampan."

Resi Gumarang bukan saja bisa menandai akan bertemu dengan si pembawa pusaka Pedang Lidah Guntur, namun kesaktiannya mampu mengetahui apa maksud dan tujuan yang terkandung dalam hati sanubari orang yang dihadapinya. Seperti kala itu, Resi Gumarang selesai mengobati luka-luka di tubuh Kencana Ratih, bahkan luka bagian dalam pun telah terobati, ia sengaja mengajak Yoga untuk menikmati pemandangan di samping pondoknya.

Hanya berdua mereka ada di sana, sementara Kencana Ratih diperintahkan untuk tetap berbaring demi memulihkan tenaganya yang tersita habis pada waktu melakukan pertempuran dengan orang-orang Partai Gadis Pujaan yang tinggal di Gua Bidadari itu.

Pada saat Resi Gumarang hanya berdua dengan Pendekar Rajawali Merah itulah, apa yang terkandung di dalam hati sanubari Yoga diungkapkan keluar oleh Resi Gumarang. Orang berkepala gundul dengan jenggot putih itu berkata, "Tujuanmu mencari bunga Teratai Hitam itu memang mulia...."

Yoga sempat kaget, karena dia belum pernah kemukakan maksud dan tujuannya ke Gunung Tambak Petir itu. Tetapi ia segera maklum karena Resi Gumarang adalah tokoh tua yang sakti, semakin tua semakin tinggi ilmunya. Karena itu, Yoga hanya diam dan menjadi pendengar yang baik. Resi Gumarang pun lanjutkan ucapannya,

"Menolong orang adalah perbuatan yang mulia. Tapi ingatlah agar pertolonganmu tidak menjadikan malapetaka bagi orang lain juga."

"Saya kurang paham dengan maksud Eyang," kata Yoga.

"Jika kau dapatkan bunga Teratai Hitam itu, maka seseorang yang dalam keadaan sakit dapat menjadi sembuh. Sebab memang bunga itu yang dicari sebagai penawar racun dalam tubuhnya. Tetapi apabila orang itu sudah sembuh, dapatkah kau mengendalikan jiwanya?"

Pendekar Rajawali Merah membungkam mulut, merenungkan apa maksud kata-kata orang tua berbadan kurus itu. Karena lama sekali Yoga tidak berikan jawaban atas kata-kata tadi, maka Resi Gumarang berkata,

"Sejujurnya kukatakan padamu, Pendekar Rajawali Merah, bahwa usahamu menyembuhkan seorang gadis itu bisa saja tercapai. Tapi gadis itu mencintaimu dan akan mengejarmu ke mana saja. Dia akan memusuhi setiap wanita yang ingin dekat denganmu. Cintanya menjadikan suatu permusuhan dan dapat menghadirkan bencana bagi orang lain."

"Jika begitu, haruskah saya batalkan niat saya untuk mencari bunga Teratai Hitam itu, Eyang?"

"Jangan! Itu namanya kau menyerah sebelum bertarung," kata Resi Gumarang dengan senyum tuanya yang bijaksana. "Yang perlu kau kendalikan adalah jiwa gadis itu. Redam cintanya agar jangan menjadi sifat angkara murka."

"Bagaimana harus meredamnya, Eyang?"

"Aku tidak tahu. Tapi aku yakin kau pasti punya cara sendiri untuk meredam cinta gadis itu. Apalagi bibinya juga jatuh cinta padamu."

Yoga kembali terperanjat dan menjadi malu, karena Resi Gumarang seakan menelanjangi rahasia pribadinya, sampai dibeberkan tentang perasaan cinta Sendang Suci, si Tabib Perawan yang juga adalah bibi dari Mahligai.

"Bisa-bisa gadis itu membunuh bibinya sendiri jika ia tahu bibinya jatuh cinta padamu! Dan... memang perjalanan hidupmu ditakdirkan tak jauh dari masalah cinta dan dendam. Hati-hatilah mengarungi perjalanan hidupmu, Yoga!"

Yoga terbungkam lagi mendengar ramalan nasib hidupnya mendatang.

* * *

EMPAT

GUA Mulut Iblis berudara dingin. Ketinggiannya di lereng Gunung Tambak Petir itu sering hadirkan salju yang menggumpal putih di dedaunan. Tapi untuk kali ini, salju tak ada di sekeliling Gua Mulut Iblis itu. Hanya sesekali kabut melintasi gua tersebut dan pada saat itu hawa dingin naik mencekam tulang manusia.

Tetapi seseorang yang sudah lama tinggal di dalam gua tersebut hampir tidak pernah mengenal rasanya hawa dingin. Kulit dan tulangnya sudah terbiasa dan menjadi kebal terhadap hawa dingin pegunungan. Orang tersebut adalah tokoh tua yang dikenal cukup sakti, bernama Nyai Kubang Darah. Ia bertapa di dalam gua tersebut untuk mencapai suatu ilmu maha dahsyat yang akan mengalahkan kesaktian Malaikat Gelang Emas.

Sebab, Nyai Kubang Darah punya dendam terhadap tokoh sesat yang tak kenal belas kasihan itu. Ia yakin suatu saat nanti ia akan dapat kalahkan Malaikat Gelang Emas jika ilmu yang ditekuninya di dalam Gua Mulut Iblis itu sudah berhasil diperolehnya.

Gua tersebut dikatakan Gua Mulut Iblis karena pintu masuk gua itu seperti mulut iblis yang sedang menganga lebar. Tonjolan-tonjolan bebatuan di bagian tebing luar atas gua itu, mirip seperti mata dan hidung iblis yang mengerikan. Di dalam sana, terdapat sebuah telaga berair keruh. Di telaga itulah terdapat bunga Teratai Hitam, yang hanya satu-satunya bunga tumbuh di telaga beraroma busuk, sehingga dinamakan Telaga Bangkai.

Konon bunga itu sendiri memberikan kekuatan gaib bagi udara yang ada di dalam gua tersebut, sehingga para pertapa yang dulu sering menyepi di situ tidak pernah mau merusak tumbuhnya bunga tersebut. Bahkan Nyai Kubang Darah merasa hilang seluruh penyakit yang dideritanya selama bertahun-tahun, dan tubuhnya menjadi segar, kekuatan tenaga dalamnya terasa makin bertambah.

Itulah sebabnya ketika seorang sahabatnya datang menemuinya di Gua Mulut Iblis itu, Nyai Kubang Darah seperti berada dalam kebimbangan jiwa. Orang yang sengaja datang menemuinya itu adalah Leak Parang, seorang tokoh sakti yang usianya sebaya dengan Nyai Kubang Darah. Semasa mudanya mereka adalah sepasang kekasih.

Namun karena perbedaan aliran dalam ilmu mereka, Leak Parang dan Nyai Kubang Darah terpaksa harus berpisah. Nyai Kubang Darah cenderung untuk menganut aliran hitam, sedangkan Leak Parang, sekali pun berwatak keras, namun ia penganut aliran putih.

"Hanya kau orangnya yang berani mengganggu masa bertapa ku, Leak Parang!" kata perempuan lanjut usia yang berambut putih rata itu.

"Jika kau anggap suatu gangguan, aku minta maaf. Tapi aku perlu bertemu denganmu untuk satu masalah yang amat penting," kata Leak Parang dengan tegas.

Lelaki berusia antara tujuh puluh tahun itu dipandangi oleh Nyai Kubang Darah yang bermata cekung dan bertubuh kurus, namun belum berkulit keriput. Pipinya pun belum terlalu kempot. Mungkin juga akibat cukup lamanya ia berada di dalam gua itu dan menghirup udara gaib yang ditimbulkan dari bunga Teratai Hitam tersebut.

"Kalau bukan kau, sudah kubunuh orang yang berani mengusik masa bertapa ku ini!" kata Nyai Kubang Darah yang saat itu ada di luar gua.

"Kau tahu sendiri, Kubang Darah, kalau bukan karena urusan penting aku jarang keluar dari pondokku!"

"Ya, aku tahu. Kau memang tokoh tua yang jarang muncul di rimba persilatan jika bukan karena ada urusan penting. Hmmm...! Lalu apa maksudmu datang kemari menemuiku? Ada urusan penting apa yang kau hadapi, Leak Parang?"

"Aku mau minta bantuanmu, Kubang Darah!"

"Bantuan...?" gumam Nyai Kubang Darah seperti bicara sendiri, sambil ia melangkah memunggungi Leak Parang, tangannya bertopang pada tongkat panjang yang terbuat dari kayu hitam. "Ceritakan apa kesulitanmu, baru kupertimbangkan apakah aku perlu membantumu atau tidak!"

"Kau harus membantuku, Kubang Darah. Ini demi menjaga agar hubungan kita tidak berubah menjadi permusuhan besar."

"Ceritakan dulu semuanya!" bentak Nyai Kubang Darah sambil melirik Leak Parang.

Yang dibentak kelihatan tenang-tenang saja. Leak Parang tidak tersinggung, sebab ia tahu betul watak Nyai Kubang Darah yang suka membentak-bentak begitu. "Seorang sahabatku yang menjadi adipati dalam keadaan sakit parah. Ia terkena racun yang amat berbahaya. Ia tidak akan bisa sembuh jika tidak melalui pengobatan khusus, yaitu pengobatan dari bunga Teratai Hitam!"

Wuuut...! Kepala Nyai Kubang Darah berpaling dengan cepat. Wajahnya menjadi tambah angker dengan mata tajam menatap Leak Parang. Tapi yang ditatap tetap tenang dan hanya melipat tangan di dada. Berdirinya tetap tegap walau sudah berusia lanjut, namun masih kelihatan gagah dan sigap.

"Aku tahu maksudmu sekarang," kata Nyai Kubang Darah dengan nada pelan, namun menahan geram. "Kau ingin mengambil bunga teratai yang ada di dalam gua ini, bukan?"

"Ya. Untuk menolong seseorang yang sangat menderita!"

"Aku tak peduli apa alasanmu! Sekarang gua ini dalam kekuasaanku, Leak Parang. Dan aku tidak izinkan siapa pun mengambil bunga itu!"

"Dengar dulu, Kubang Darah!" potong Leak Parang. "Adipati itu sudah membuka sayembara untuk dapatkan bunga Teratai Hitam. Mereka yang mendapatkan bunga tersebut akan dikawinkan dengan putri sang Adipati yang amat cantik jelita dan...."

"Dan kau ingin kawin dengan putri cantik itu, hah?! Ngacalah dulu, Leak Parang! Berapa usiamu sekarang?"

"Aku tidak bermaksud begitu, Kubang Darah! Aku hanya ingin menyelamatkan jiwa sahabatku itu! Tanpa ada pamrih apa-apa dari usaha penyelamatan ku nantinya!"

"Manusia mana yang bekerja tanpa pamrih?" Nyai Kubang Darah menyipitkan matanya. "Pertolongan tanpa pamrih itu pertolongan yang benar-benar bodoh! Dan aku tahu kau bukan orang bodoh, Leak Parang!"

"Kau terlalu merendahkan diriku, Kubang Darah!"

"Terserah apa katamu, yang jelas aku menghalangi niatmu yang ingin mengambil bunga teratai itu!" kata Nyai Kubang Darah dengan tegas dan bersikap menantang.

"Haruskah aku memaksamu dengan kasar, Kubang Darah?!"

"Kalau kau mampu, lakukanlah!"

Mereka saling pandang dengan mata sama tajamnya. Lalu dengan gerakan cepat, kaki Leak Parang sentakkan ke tanah. Duuhg...! Tumit yang menghentak ke tanah itu ternyata memercikkan sinar merah yang melesat ke arah dada Nyai Kubang Darah. Tetapi Nyai Kubang Darah hanya memiringkan tongkatnya menyilang ke dada, dan sinar itu menghantam tongkat ter-sebut dengan menimbulkan ledakan keras.

Duaaar...!

Angin berhembus dalam satu hempasan kuat. Tapi kedua tokoh tua itu tetap berdiri. Hanya pakaian mereka yang tersapu angin, sebagian ada yang menjadi robek. Jubah hitam Leak Parang pun menjadi robek bagian tepinya karena kencangnya angin ledakan tadi. Sedangkan rambut Nyai Kubang Darah ada yang ron-tok sebagian dan terbang tersapu angin besar.

"Ketahuilah, Kubang Darah... sebentar lagi tempat ini akan disatroni banyak orang yang memburu hadiah dari sang Adipati! Kau akan berhadapan dengan banyak orang dan itu akan merepotkan dirimu yang sudah setua ini! Tapi jika bunga itu kubawa pergi, maka mereka akan mengejarku dan biarlah aku yang menghadapi mereka nantinya!"

"Kau mulai mau memperdayai diriku, Leak Parang!"

"Aku hanya tidak ingin kau mati lebih dulu sebelum aku!"

Terdengar Nyai Kubang Darah bicara lirih, seakan merupakan ucapan hati kecilnya, "Sejak muda kau selalu berkata begitu. Tapi nyatanya kau tega memisahkan diri dariku, Leak Parang."

"Kita berbeda aliran, Kubang Darah. Tapi barangkali kita masih punya hati saling bertaut!"

"Omong kosong!" geram Nyai Kubang Darah. "Pulanglah sekarang juga sebelum murka ku tiba, Leak Parang!"

"Lepaskan murka mu padaku jika memang kematianku adalah baik bagi hidupmu selanjutnya, Kubang Darah!"

"Jangan menyesali ucapanmu sendiri, Leak Pa rang! Heaaah...!"

Nyai Kubang Darah melompat dengan kaki menendang ke depan. Tendangan itu tepat mengenai dada Leak Parang, membuat tangan Leak Parang terlepas dari sikap bersidekapnya, tubuhnya sedikit melengkung ke belakang, namun telapak kakinya tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya berpijak. Tendangan itu justru membuat Nyai Kubang Darah tersentak balik, hampir saja jatuh jika tidak cepat bertumpu pada tongkat panjangnya. Dan Leak Parang masih diam saja tanpa memberikan balasan apa pun.

"O, kau mau pamer kekuatanmu? Boleh, boleh...!" Nyai Kubang Darah manggut-manggut sambil tersenyum sinis. "Tapi belum tentu kau bisa menahan Jurus 'Naga Kubur' ini! Heaaah...!"

Nyai Kubang Darah meliuk-liukkan tongkat dengan gerakan tubuh yang indah dan lincah, lalu dalam kejap berikutnya tongkat itu menyodok ke dada Leak Parang dengan sangat kuatnya.

Duuhg...!

Tubuh Leak Parang tersentak ke belakang, tapi tak sampai membuat telapak kakinya bergeser sedikit pun. Hanya badannya yang melengkung ke belakang, kain pakaiannya yang putih menjadi hitam di bagian dada yang terkena sodokan tongkat itu. Sedangkan tubuhnya kembali tegak dan diam bagai patung. Tapi dari mulutnya yang bungkam mengalirlah cairan kental warna merah segar. itulah darah yang tersorok dan terlonjak keluar dari bagian dadanya.

Leak Parang hanya buru-buru meludahkan darah itu, lalu kembali bersikap tegak dan memandangi wajah Nyai Kubang Darah. Lelaki itu menjadi pucat dan sorot matanya sedikit sayu. Dalam hati sebenarnya Nyai Kubang Darah mencemaskan keadaan Leak Parang, tapi ia tetap tunjukkan sikap tegasnya dan berkata, "Serang aku! Serang aku kembali, Bodoh!"

"Tidak, Kubang Darah. Mati di tanganmu lebih damai bagiku daripada mati di tangan orang lain! Lakukanlah niatmu membunuhku kalau toh hal itu menyenangkan hatimu, Kubang Darah!"

"Aaagggr...!" Nyai Kubang Darah menggeram jengkel. "Aku benci kata-kata mesra seperti itu! Jangan ucapkan lagi. Kisah cinta kita sudah terkubur di dasar kerak bumi, Leak Parang!"

"Lupakan tentang cinta, dan bunuhlah aku! Tapi kau akan mengubur cinta mu juga ke dasar liang lahat!"

"Setan! Jangan lemahkan murka ku dengan omongan mu, Tikus Busuk!"

"Kau masih tetap cantik seperti dulu di mataku, Kubang Darah!"

"Jahanaaam...," suaranya makin lemah. Itulah kelemahan Nyai Kubang Darah. Kelemahan tersebut diketahui persis oleh Leak Parang, dan hanya Leak Parang yang sanggup melemahkan murka Nyai Kubang Darah, karena perempuan tua itu sesungguhnya masih terbelenggu oleh cinta lamanya yang cenderung angkuh dan congkak. Jika Leak Parang mulai bicara soal cinta, keangkuhan murka sang Nyai pun menjadi lunak dan lemas.

Tak heran jika hati perempuan tua itu terasa mengharu biru dan akhirnya lelehkan air matanya dengan sembunyi-sembunyi. Seperti kali ini, Nyai Kubang Darah terpaku dan tergores oleh kenangan indahnya bersama Leak Parang sewaktu muda, sehingga ia tak mampu membendung air mata itu lagi. Ia bergegas masuk ke dalam gua, dan menangis di sana tanpa timbulkan suara. Leak Parang tarik napas keharuannya, kemudian susul Nyai Kubang Darah masuk ke gua tersebut.

"Kubang Darah," sapa Leak Parang dengan pelan dan hati-hati. "Rasa-rasanya aku memang tak layak datang kemari. Kau amat terganggu dengan kedatanganku ini. Ada baiknya kalau aku mohon pamit sekarang saja, supaya tangismu berhenti, Kubang Darah."

Nyai Kubang Darah dongakkan kepalanya karena saat itu ia duduk di atas sebongkah batu gua. Ia pandangi wajah lelaki yang pernah dicintainya dan sampai sekarang cinta itu membekas hangus dalam hatinya. Dengan mata berkaca-kaca, Nyai Kubang Darah ucapkan kata, "Kau telah membuka luka lamaku, Leak Parang."

"Maafkan aku. Sungguh aku menyesal tanpa memperhitungkan perasaanmu dalam mencari bunga tersebut. Mulanya yang ku pikirkan hanya keselamatanmu, Kubang Darah. Aku tak ingin orang-orang itu datang menyerbu mu, apalagi sampai melukaimu. Sekalipun kau berilmu tinggi, tapi kelalaian manusia tetap saja ada, dan aku takut mereka temukan kelalaian dan kelengahan mu, jadi ku putuskan untuk membawa lari bunga itu, sehingga mereka berhadapan denganku!"

"Kau pun akan mati diserang mereka nantinya!"

"Aku punya cara sendiri menghindari mereka."

Tangan Leak Parang digenggam oleh Nyai Kubang Darah. Tangan itu ditempelkan ke pipi yang basah. Mata Nyai Kubang Darah masih menatap Leak Parang. Kejap berikutnya terdengar Nyai Kubang Darah berkata pelan, "Jika kau berhasil membawa bunga itu, apakah kau benar-benar tak akan menikah dengan putri sang Adipati itu?"

"Jernihkan pikiranmu, supaya bersih anggapan mu, Kubang Darah. Dalam usia setua ini kita tinggal menunggu saat kapan masuk ke liang kubur. Mengapa aku masih punya niat untuk kawin dengan putri sang Adipati yang berusia sejajar dengan usia cucu kita? Jangan punya prasangka seperti itu, Kubang Darah. Sama sekali tak ada niat apa pun di hatiku, kecuali niat menyelamatkan sahabatku itu!"

"Lalu bagaimana dengan hubungan kita? Tetap akan berpisah dan saling bertahan untuk tidak menikah?"

"Kalau kau bersedia untuk ikut dalam aliran ku, aku tak keberatan mengawinimu, Kubang Darah!"

"Buatku sekarang, sudah tak ada aliran putih atau hitam. Yang kuinginkan adalah hidup damai dan tenang. Dan di gua ini, sebagian kedamaian serta ketenangan telah ku peroleh, namun... namun akan menjadi lebih lengkap jika kau ada di sampingku, Sangga Buana!" kata Nyai Kubang Darah dengan menyebut nama Leak Parang semasa mudanya.

Hati Leak Parang trenyuh mendengar Nyai Kubang Darah menyebutnya Sangga Buana. Masa mudanya kembali mengalir deras dalam ingatan, sehingga Leak Parang tarik napas panjang-panjang untuk mengatasi gejolak keharuan hatinya. Maka diraihnya kepala Nyai Kubang Darah, dipeluknya dalam satu jangkauan tangan. Disandarkan kepala itu di perut dan diusap-usapnya penuh kelembutan. Hening pun tercipta melingkupi mereka, seakan menerbangkan jiwa dan pikiran mereka ke masa puluhan tahun yang lalu. Sampai akhirnya, Leak Parang pun berkata dengan suara pelan namun tetap bernada tegas,

"Ada baiknya kau tinggal di pondokku. Barangkali pondok itulah yang menanti masa-masa penyatuan jiwa dan cinta kita, Kubang Darah."

"Bawalah...," ucap Nyai Kubang Darah tiba-tiba. "Bawalah bunga itu dan bawalah pula diriku, Leak Parang!"

"Setulus hatikah kau menyuruhku?"

"Lebih tulus dari hati masa lalu kita, Sangga Buana!"

Mereka saling bertatap pandang lagi, lalu Leak Parang mulai sunggingkan senyum dan Nyai Kubang Darah pun membalas dengan senyum tuanya, yang menurut anggapan Leak Parang masih secantik senyuman masa mudanya.

"Kau sungguh masih secantik dulu, Punding Ayu!" bisik Leak Parang membuat hati Nyai Kubang Darah merasa lebih indah lagi karena mendengar nama mudanya disebutkan Sangga Buana.

Bunga Teratai Hitam berada di permukaan air telaga yang berbau busuk. Tetapi pada saat bunga Teratai Hitam itu diangkat dari permukaan air, baunya menyebar wangi memenuhi seluruh ruangan gua tersebut. Dan ketika bunga tersebut diangkat dari permukaan air telaga itu, tiba-tiba air tersebut menjadi susut.

Makin lama semakin rendah permukaannya dan dalam waktu singkat telah menjadi kering kerontang tanpa setetes air pun. Bahkan bekas-bekas lembah air pun tak ada. Telaga itu menjadi sebuah ku-bangan kering bertanah dan berbatu kering juga. Leak Parang membawanya dengan sangat hati-hati. Sementara itu, Nyai Kubang Darah berjalan lebih dulu sebagai pengawal terdepan yang siap hadapi serangan lawan yang ingin merebut bunga tersebut.

Baru saja mereka keluar dari gua, ternyata sudah dihadang dua orang lelaki berusia belum terlalu tua, sekitar tiga puluh lima tahun. Mereka berbadan gemuk, namun bukan berarti gendut. Melihat gerakan matanya yang lincah berkesan liar, dua lelaki yang sama-sama berkepala botak itu sangat bernafsu untuk mendapatkan bunga Teratai Hitam yang ada di tangan Leak Parang.

"Kebo Tamak dan Banteng Kapur, apa maksud kalian datang kemari?!" hardik Nyai Kubang Darah.

"Aku tidak mengganggumu, Nyai Kubang Darah. Aku hanya ingin mengambil bunga Teratai Hitam di tangan lelaki tua yang tak kukenal itu!" jawab Kebo Tamak.

Lalu, Banteng Kapur pun berkata, "Kalau kalian tidak menyerahkannya pada kami, kami akan merebutnya. Tapi jangan salahkan kami jika nyawa kalian menjadi lepas dari raga gara-gara pertahankan bunga itu!"

Nyai Kubang Darah menatap Leak Parang, seakan minta pendapat apa yang harus dilakukan terhadap dua orang itu. Maka, Leak Parang pun berkata kepada Nyai Kubang Darah, "Pegang bunga ini, biar ku tangani kedua orang itu!"

"Mengapa harus kau yang tangani mereka, aku pun bisa!"

Wuuut...! Crap, craap...!

Nyai Kubang Darah sentakan kibas yang sangat berubah tajam pada bagian orang botak tersebut kibaskan tongkatnya. Dalam satu cepat itu, tongkat tersebut bagaikan ujungnya dan merobek leher kedua Kebo Tamak dan Banteng Kapur tak sempat berpikir apa yang terjadi pada diri mereka saat itu.

Namun tiba-tiba mereka tumbang secara bersamaan dengan leher robek dan kejap berikutnya sama-sama telah kehilangan nyawa. Ketika Nyai Kubang Darah memandang Leak Parang, lelaki tua itu geleng-gelengkan kepala dan mengucap kata pelan,

"Seharusnya tak semudah itu kau melakukannya! Bagaimanapun juga mereka adalah manusia yang masih bisa diajak bicara!"

"Mereka bisa lukai dirimu kalau tidak segera kukirim ke neraka!"

"Aliran hitammu masih terbawa juga, Punding Ayu!"

"Jadi aku harus berbuat apa untukmu? Diam saja?!" sentak Nyai Kubang Darah dengan wajah cemberut kesal. "Sudah, pergilah sana sendiri. Aku tak perlu ikut!"

LIMA

PASANGAN tua yang masih saling memendam cinta itu baru saja tinggalkan gua tersebut. Kedua mayat lawannya tadi dibiarkan terkapar di sana sebagai tanda, bahwa siapa pun orangnya agar membatalkan niatnya untuk memiliki bunga Teratai Hitam. Namun agaknya banyak tokoh yang tidak mau tahu tentang bahayanya memburu bunga Teratai Hitam itu.

Buktinya, belum jauh Leak Parang melangkah tinggalkan gua tersebut dengan didampingi Nyai Kubang Darah, tiba-tiba langkah mereka telah dihadang oleh seorang pemuda berkumis tipis. Pemuda itu sendirian dan mempunyai wajah berkesan bengis. Ia menggenggam sebuah cambuk hitam berukuran panjang di tangan kanannya. Sikapnya terang-terangan menantang permusuhan dengan kedua tokoh tua tersebut. Nyai Kubang Darah sudah menggeram ketika pemuda itu berkata,

"Tak pantas orang setua kamu mengikuti sayembara Teratai Hitam, Pak Tua! Sebaiknya serahkan saja bunga itu padaku. Sayangilah nyawa kalian yang sebentar lagi masuk liang kubur itu!"

"Bicaralah yang sopan pada kami, Anak Muda!" kata Leak Parang yang segera melangkah maju sebelum Nyai Kubang Darah menangani anak muda itu. Dengan mendengus kesal, Nyai Kubang Darah pun segera jauhkan diri dari Leak Parang, Ia serahkan urusan itu kepada lelaki yang membawa bunga Teratai Hitam itu.

Pemuda berkumis tipis itu berkata dengan sinis, "Kurasa bicaraku sudah cukup sopan, Pak Tua. Jika kau ingin aku lebih sopan lagi padamu, berikan bunga itu kepadaku secepatnya!"

"Bunga ini untuk kesehatan sang Adipati! Akan kuserahkan sendiri, karena aku tidak masuk dalam kelompok orang yang ikut sayembara itu, Anak Muda. Sebaiknya menyingkirlah dari jalanku supaya umurmu panjang!"

"Jangan coba-coba menggertak ku, Pak Tua! Cambuk Dewa bukan orang yang mudah digertak!" sambil ia menepuk dada sendiri, mengaku bernama Cambuk Dewa.

"Baiklah kalau kau tak pernah bisa menyayangi selembar nyawamu sendiri! Terpaksa aku harus bertindak menyingkirkan dirimu agar tidak menjadi penghalang langkahku!"

"Singkirkanlah kalau memang kau bisa, Pak Tua!"

Tiba-tiba Nyai Kubang Darah sentakkan tangannya untuk melepaskan pukulan tenaga dalam bersinar kuning. Selarik sinar itu melesat dengan cepat. Wuuust...! Dan pemuda berkumis tipis itu segera lecutkan cambuknya ke arah sinar tersebut dalam satu sentakan menghentak.

Taaar...!

Ujung cambuknya melepaskan nyala cahaya hijau. Cahaya itu berbentuk seperti bola satu genggaman. Dan cahaya itulah yang terhantam oleh sinar kuningnya Nyai Kubang Darah.

Blaaar...!

Ledakan dahsyat terjadi dan membuat Nyai Kubang Darah terpelanting mundur dan Leak Parang oleng ke kiri. Sedangkan Cambuk Dewa tetap berdiri tegak dengan gagahnya, senyum sinisnya tersungging berkesan meremehkan kedua tokoh tua tersebut.

"Ku ingatkan pada kalian," kata Cambuk Dewa. "Jangan anggap remeh ilmu si Cambuk Dewa ini!" Ia menepuk dada kembali. "Baru satu jurus yang kupakai, kalian sudah terpelanting begitu, apalagi jika kugunakan sampai delapan jurus. Mungkin raga kalian lebur menjadi satu dengan debu yang kalian pijak itu!"

“Terlalu berani kau bicara di depanku begitu, Cambuk Dewa!" geram Leak Parang, kemudian ia kibaskan tangan kanannya ke samping. Wuuut...! Maka terpeciklah bunga api warna biru kemerah-merahan yang menyebar terbang bagai ribuan kunang-kunang. Percikan sinar kecil-kecil itu menggerombol dan membentuk serangan serentak ke tubuh Cambuk Dewa.

Tetapi anak muda itu segera sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melenting ke atas hindari percikan sinar tersebut Sebatang pohon menjadi sasaran berikut. Pohon itu bagai disergap oleh ribuan kunang-kunang ganas. Kurang dari setengah helaan napas, pohon itu menjadi keropos dan mati tanpa roboh. Daunnya berhamburan, kulit batangnya mengelupas kering. Bahkan beberapa dahannya ada yang jatuh ke tanah tanpa bunyi akibat terlalu ringannya.

Melihat kejadian tersebut, Cambuk Dewa hanya tersenyum. Lalu ia lecutkan cambuknya setelah me-mutar di atas kepala. Taaar...! Suara lecutannya kali ini terasa menyengat gendang telinga dan membuat Nyai Kubang Darah dan Leak Parang tersentak kesakitan. Nyala sinar ungu terlihat sekejap saat cambuk tadi melecut di atas kepala.

"Sangga Buana! Dia punya ilmu cambuk cukup tinggi!" kata Nyai Kubang Darah" dengan suara membisik. "Biarlah kuhadapi anak itu!"

"Jangan! Biar aku saja yang hadapi dia."

Tetapi sebelum Leak Parang bergerak, Cambuk Dewa kembali lecutkan senjatanya di atas kepala dan sinar ungu pun berkelebat dari ujung cambuk tersebut.

Taaar...! Zlaaap...!

"Auh...!" Nyai Kubang Darah tersentak mundur dengan tubuh mengejang dalam satu kejutan. Ia memegangi telinganya dan telinga itu sekarang telah keluarkan darah dari dalamnya. Walau tak berapa banyak, tapi darah itu sudah menjadikan tanda bahwa Nyai Kubang Darah telah terluka bagian dalam tubuhnya.

Hal yang sama dialami pula oleh Leak Parang. Bahkan Leak Parang sempat oleng dan menyeringai menahan rasa sakit yang tak bisa dikendalikan dengan ilmunya ketika Cambuk Dewa mengulang lecutan seperti itu untuk yang ketiga kalinya.

Taaar...!

"Heaaah.:.!" Nyai Kubang Darah berteriak sambil lompat ke depan dan menyerang Cambuk Dewa dengan tongkat hitamnya. Tongkat itu siap di hujamkan ke dada Cambuk Dewa. Tetapi, anak muda itu lekas melompat ke samping dalam gerakan bersalto, dan ketika mendaratkan kakinya langsung menyabetkan cambuknya ke arah tongkat itu.

Taaar...! Duaaar...!

Terjadi satu ledakan kuat manakala cambuk itu menghantam tongkat dan tongkat itu seketika menjadi patah. Nyai Kubang Darah terpental, sedangkan Cambuk Dewa tetap berdiri tegak, cambuknya tidak putus ataupun rantas sedikit pun.

"Biadab kau!" bentak Leak Parang tak bisa bersabar lagi. Maka serta-merta ia lemparkan senjata dari pinggangnya, yaitu sebuah bumerang yang berkelebat dengan cepat menyambar kepala Cambuk Dewa. Tetapi ternyata cambuk itu pun mampu berkelebat lebih cepat lagi dalam satu tarikan tangan yang menyentak.

Taaar...! Blaaar...!

Sebuah ledakan keras kembali terdengar manakala cambuk yang memercikkan sinar ungu kecil di ujungnya itu menghantam senjata bumerang milik Leak Parang. Bumerang itu terpental beda arah tujuannya namun masih tampak utuh. Tidak hancur. Sedangkan ujung cambuk itu tetap utuh. Pemiliknya hanya tersentak mundur dua tindak. Tetapi Leak Parang terpental empat langkah ke belakang akibat gelombang ledakan yang ditimbulkan dari benturan cambuk dengan bumerang tadi.

Dari tempatnya berdiri tegak, Cambuk Dewa berseru, "Kuberi kesempatan satu kali lagi, serahkan bunga itu atau kalian berdua kubunuh bersamaan?!"

"Persetan dengan ancamanmu, Bocah Edan!" geram Nyai Kubang Darah.

Kemudian perempuan tua itu sentakkan kedua tangannya ke samping dan tubuhnya tiba-tiba memancarkan cahaya kuning pada tiap bagian tepi lekuk-lekuk tubuh tersebut. Dengan cepat Nyai Kubang Darah sentakkan kaki dan tubuhnya bagai terlempar ke depan dengan sikap kedua tangan lurus ke depan, telapak tangannya mengarah pada lawan.

Cambuk Dewa segera lecutkan senjatanya ke tubuh Nyai Kubang Darah dengan cepat. Taaar...! Tubuh yang bercahaya kuning itu terhantam cambuk dengan kuatnya, memercikkan sinar merah. Tetapi tubuh itu tidak menderita luka sedikit pun. Bahkan melesat terus dan menghantam dada Cambuk Dewa dengan telaknya.

Blaaar...!

Jebol sudah dada Cambuk Dewa. Tubuh itu pun terhempas jauh ke belakang setelah terkena hantaman dua telapak tangan Nyai Kubang Darah. Sinar kuning itu pun lenyap dari tubuh perempuan tua ter-sebut, dan ia segera dekati kekasih lamanya, yaitu Leak Parang.

Zraaak...! Tubuh Cambuk Dewa terperosok jatuh ke semak-semak ilalang. Kedua tokoh tua itu memandang ke arah sana dengan tak berucap kata untuk sesaat. Mereka menunggu akibat yang akan terjadi.

Kejap berikutnya, Leak Parang berkata kepada Nyai Kubang Darah, "Agaknya jurus maut mu itu terkena telak di tubuh anak muda itu!"

"Ya. Pasti dadanya bolong membentuk dua telapak tanganku tadi!"

"Kau sendiri bagaimana? Tubuhmu tak terluka oleh cambukannya?" Leak Parang memeriksa tubuh kekasihnya, dan ia menjadi lega setelah tak ditemukan luka sedikit pun pada tubuh Nyai Kubang Darah. Pakaian hijaunya juga tak terlihat robek sedikit pun.

"Baru kulihat sekarang jurus maut mu itu, Nyai!"

Perempuan tua itu tersenyum. "Belum lama kutemukan jurus itu dan baru tujuh kali kugunakan membunuh lawan!"

Tiba-tiba dari kerimbunan semak ilalang itu melesatlah sesosok tubuh dengan cepatnya. Braasss...! Tubuh itu melayang ke arah kedua tokoh tua itu dan sekelebat benda panjang hitam menyambar mereka.

Taaar...!

Keduanya sama-sama kaget melihat Cambuk Dewa masih hidup dan tidak mengalami luka sedikit pun. Kalau saja mereka tadi tidak merunduk secara serentak, pasti salah satu akan pecah kepalanya karena terhantam ujung cambuk yang menyalakan sinar ungu tersebut. Kini keduanya hanya menyeringai dan telinga mereka kembali berdarah akibat suara lecutan cambuk yang dialiri tenaga dalam cukup tinggi.

"Setan kurap! Anak itu benar-benar berilmu tinggi rupanya!" geram Nyai Kubang Darah seperti bicara sendiri.

"Anak itu tak cukup hanya diberi pelajaran! Sudah saatnya kita gunakan ilmu kita yang handal untuk lenyapkan bocah sombong itu!" kata Leak Parang sambil tangan kirinya masih pegangi bunga teratai berwarna hitam.

Tetapi sebelum kedua tokoh tua itu bergerak, Cambuk Dewa telah lengkingkan suaranya dan kibaskan cambuknya di udara beberapa kali. "Hiaaaahhh...!"

Taaar, taaar, taaar, taaar, taaar...!

Ia bagaikan membabi buta. Kilatan cahaya ungu menyambar ke mana-mana. Suara lecutannya membuat telinga kedua tokoh sakti itu bagai terasa ingin meledak. Darah bercucuran dari telinga mereka. Tubuh pun menjadi lemas dan gemetar. Ilmu cambuk itu benar-benar hebat dan tak bisa dikuasai gemanya.

"Heaaah...!" Cambuk Dewa masih mengamuk. Kemana saja ia kibaskan cambuknya hingga keluarkan suara yang menyakitkan gendang telinga dan pancarkan sinar ungunya beberapa kali.

Jurus cambuk yang sukar dilawan itu sudah hampir memecahkan gendang telinga kedua tokoh tua tersebut. Bahkan kepala Leak Parang terasa hampir meledak karena menahan suara lecutan yang beruntun itu. Tetapi, tiba-tiba suara lecutan itu hilang. Suara pekik tertahan itu terdengar samar-samar oleh mereka. Walau sebenarnya suara pekik itu cukup keras, tapi karena telinga mereka sedang mengalami luka dan mendengung-dengung, maka suara pekikan itu terdengar samar-samar.

Sesosok tubuh melesat dari samping dan menendang kepala Cambuk Dewa dengan gerakan yang teramat cepat, melebihi melesatnya anak panah. Gerakan cepat itu adalah gerakan jurus 'Petir Selaksa'. Dan jurus itu yang mempunyai hanya Pendekar Rajawali Merah serta Pendekar Rajawali Putih.

Jleeg...!

Ternyata seorang pemuda tampan bertangan satu mengenakan baju selempang dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di dalamnya telah berdiri di antara mereka. Di samping pemuda bertangan satu adalah gadis cantik berpakaian merah longgar dengan kain pelapis dada yang panjang sebatas lutut warna kuning. Mereka tak lain adalah Yoga; si Pendekar Rajawali Merah bersama Kencana Ratih.

"Paman...!" seru Kencana Ratih kepada Leak Parang.

Orang tua itu terkejut dan segera berseru pula, "Ratih...?! Kaukah Kencana Ratih?!"

"Betul, Paman! Aku Kencana Ratih!" sambil Kencana Ratih berlari menghampirinya. Ia segera menolong Leak Parang yang jatuh terduduk akibat menahan rasa sakit di telinganya itu.

Mereka tak sempat banyak bicara, karena Cambuk Dewa sudah berdiri dan lekas-lekas lecutkan cambuknya lagi. Namun sebelum cambuk itu melepaskan bunyi yang menyakitkan, Yoga sudah lebih dulu bergerak menyambar cambuk itu dengan tangan kanannya.

Wuuut...! Srreet...!

Kini cambuk itu tergenggam ujungnya oleh tangan kanan Yoga. Dan Cambuk Dewa berusaha menarik senjatanya namun dipertahankan oleh Pendekar Rajawali Merah. Akibatnya, kedua pemuda itu saling beradu tenaga untuk mempertahankan dan menarik cambuk tersebut. Tapi cambuk terentang keras bagaikan sebatang besi baja. Keduanya sama-sama memusatkan kekuatannya pada tangan. Keduanya sama-sama rendahkan kaki dan gemetar.

Melihat keadaan demikian, Nyai Kubang Darah yang telah kehilangan tongkatnya itu segera melompat dengan terlebih dulu menyambar senjata bumerang milik Leak Parang yang tadi menancap di sebuah pohon.

"Hiaaahhh...!"

Wuuut...!

Daaar...!

Dari mata Cambuk Dewa keluar dua larik sinar merah yang bertemu menjadi satu dan menghantam Nyai Kubang Darah. Tetapi perempuan tua itu menahan sinar merah tersebut menggunakan permukaan bumerang. Akibatnya, timbul ledakan dan tubuh perempuan tua itu terlempar jauh.

"Punding Ayu...!" pekik Leak Parang dengan cemas. Kemudian ia berlari hampiri Nyai Kubang Darah dan segera menolongnya.

Senjata bumerang tidak pecah, namun sentakan sinar merah itu teramat kuat dan besar, sehingga membuat Nyai Kubang Darah memuntahkan darah segar dari mulutnya. Hal itulah yang membuat Leak Parang menjadi sangat cemas. Tetapi ketika ia tiba di samping Nyai Kubang Darah, perempuan tua itu berkata,

"Tak apa! Aku tak apa-apa, Leak Parang...!"

"Jangan menyerang lagi! Pemuda itu punya kekuatan yang sukar dilawan! Biarkan dia bertarung melawan teman dari keponakanku itu!"

Yoga masih beradu kekuatan dengan Cambuk Dewa. Tanah yang dipijak Cambuk Dewa sampai kepulkan asap dan menjadi hitam. Sementara itu, dengan menggunakan satu tangan Yoga bertahan untuk merebut cambuk tersebut. Wajahnya menjadi merah karena banyak kerahkan tenaga. Keringatnya mulai bergulir membasahi wajah. Urat-urat di tangannya tampak keluar bertonjolan.

Tiba-tiba tali cambuk itu membara merah bagaikan besi terpanggang api. Ada kepulan asap tipis yang menandakan tali cambuk itu sangat panas. Tetapi Yoga tetap menggenggamnya dan berusaha menariknya. Genggaman tangannya itu pun mengepulkan asap putih tipis, namun ia sendiri tidak mengalami luka bakar pada bagian tangannya.

Begitu kuatnya Cambuk Dewa berusaha menarik senjatanya, hingga dalam keadaan tenaga terkuras penuh. Yoga tiba-tiba lepaskan cambuk itu. Wuuurrt...! Tubuh Cambuk Dewa tersentak mundur dan terguling guling bagai dihantam dengan tenaganya sendiri.

Bruuus...! Cambuk Dewa kembali terperosok di semak berduri. Tapi dalam waktu sekejap ia sudah melenting tinggi dan bersalto dua kali, ia pun mendaratkan kakinya dengan sigap dalam jarak tujuh langkah dari depan Pendekar Rajawali Merah itu. Sambil terengah-engah, Cambuk Dewa membentak, "Kaukah murid kedua orang jompo itu?!"

"Bukan! Tapi aku ada di pihaknya! Kalau kau ingin membunuh mereka, bunuhlah aku lebih dulu!" tantang Yoga, lalu dengan cepat ia mencabut pedang dari punggung.

Sreet...! Blaaar...! Petir menggelegar di langit siang.

Cambuk Dewa terkesiap memandang pedang yang memancarkan cahaya merah itu. Mata Leak Parang dan Nyai Kubang Darah pun terkesiap setelah mengetahui pedang pemuda tampan bertangan satu itu memancarkan sinar merah. Bagian tepi pedang berlompatan cahaya merah tua bagai cacing-cacing yang kepanasan.

Cambuk Dewa berseru, "Kau pikir aku gentar dengan permainan milik anak kecil itu, hah?! Terimalah jurus 'Cambuk Seribu Naga' ini! Heaah...!" Senjata panjang berwarna hitam itu segera dilecutkan ke angkasa. Tetapi sebelum terdengar suara lecutannya, pedang Yoga berkelebat cepat menebas dari arah kanan ke kiri.

Wuuut...!

Dan seberkas sinar merah melesat dari ujung pedangnya. Zlaaap...! Sinar merah itu menghantam tali cambuk tersebut. Blaaar...! Bunyi ledakannya tak beraturan. Tetapi cahaya merah segera berpencar ketika menghantam cambuk tersebut. Kejap berikutnya, cambuk itu telah terpotong menjadi tiga bagian dan berjatuhan sendiri-sendiri ke tanah sebagai benda biasa tanpa kekuatan apa pun.

Pluk, pluk, pluk...!

Hal itu membuat mata Cambuk Dewa terbelalak tegang, demikian pula mata Leak Parang dan Nyai Kubang Darah. Saat itu, Leak Parang sempat menggumam bagai bicara pada dirinya sendiri, "Luar biasa! Siapa anak muda yang tampan itu?"

"Dia adalah Pendekar Rajawali Merah, Paman!" tutur Kencana Ratih menjelaskan dengan hati bangga.

"Rajawali Merah...? Muridnya Dewa Geledek?"

"Benar, Paman!"

"Pantas...!" Hanya itu ucapan terakhir Leak Parang sebelum ia saling beradu pandang dengan Nyai Kubang Darah.

Terdengar suara, Cambuk Dewa berseru keras dalam kegusaran hati, "Keparat kau! Kau telah memutuskan cambuk pusakaku! Terimalah ajalmu sekarang juga! Heaaah...!"

Tetapi dengan gerakan cepat Pendekar Rajawali Merah sentakkan pedangnya ke depan. Sebelum pedang itu menyentuh lawan, sinar merahnya telah melesat lebih dulu dan menembus tubuh Cambuk Dewa.

Jrab!

"Ahhg...!" mata Cambuk Dewa terbelalak dengan mulut ternganga. Gerakannya terhenti seketika. Semua mata melihat jelas dada Cambuk Dewa menjadi bolong akibat ditembus sinar merah dari ujung pedang Yoga. Kemudian, kejap berikutnya Cambuk Dewa pun roboh dan tak bernyawa lagi. Ia mati tanpa darah tapi punya luka bundar sebesar uang logam di bagian dadanya. Tepat di ulu hati.

Pendekar Rajawali Merah segera masukkan kembali pedang itu ke sarungnya. Matanya memandang damai kepada Leak Parang dan Nyai Kubang Darah. Kencana Ratih memperkenalkan Yoga dengan menceritakan pertempurannya di Gua Bidadari. Leak Parang sendiri menjelaskan kepada keponakannya siapa Nyai Kubang Darah sebenarnya.

Tetapi mata Yoga sejak tadi memperhatikan bunga teratai berwarna hitam yang ada di tangan kiri Leak Parang. Hati Yoga berdebar-debar, karena ternyata bunga yang selama ini dicari ada di tangan pamannya Kencana Ratih. Apakah itu pertanda bahwa ia harus bertarung dengan Leak Parang untuk merebut bunga Teratai Hitam?

ENAM
ANGIN badai tiba-tiba berhembus menyapu mereka berempat. Leak Parang, Nyai Kubang Darah, Kencana Ratih, dan Yoga, terpental saling terpisah dihempas angin badai. Bunga teratai berwarna hitam itu pun terlepas dari genggaman Leak Parang, terbang terbawa deru angin gila-gilaan itu. Beruntung sekali jatuhnya di dada Nyai Kubang Darah, sehingga bunga itu berhasil diselamatkan dari amukan badai yang nyaris membawanya pergi.

Nyai Kubang Darah segera merapatkan jubah hijaunya untuk menutup bunga tersebut. Ketika angin badai itu berhenti, mereka saling berkumpul kembali. Leak Parang berkata seperti bicara pada diri sendiri,

"Angin badai itu bukan sembarang badai! Pasti ada seseorang yang sengaja mendatangkan badai!"

"Setahuku tokoh sakti yang mampu keluarkan badai sedahsyat tadi hanyalah si Parit Beliung," kata Nyai Kubang Darah.

"Parit Beliung sudah mati!"

"Berarti muridnya yang mewarisi ilmu 'Hempas Badai' ini."

Leak Parang memandangi Nyai Kubang Darah dengan berkerut dahi. Yoga dan Kencana Ratih pun menatap perempuan tua itu. Lalu, terdengar suara Leak Parang berucap kata, "Murid Parit Beliung adalah Jala Tunggal!"

"Benar," jawab Nyai Kubang Darah.

"Tapi Jala Tunggal sudah punya anak dan punya istri. Untuk apa dia memburu bunga teratai hiam? Apakah dia ingin kawin lagi dengan putri sang Adipati?"

"Mungkin saja! Laki-laki biasanya memang begitu!" jawab Nyai Kubang Darah sambil bersungut-sungut.

"Barangkali Jala Tunggal tidak bermaksud mengambil bunga itu!" sela Kencana Ratih.

"Tidak mungkin! Untuk apa dia bermaksud menyerang kita dengan ilmu 'Hempas Badai' kalau bukan dengan maksud ingin merebut bunga ini!" kata Nyai Kubang Darah. Kemudian ia pandangi bunga tersebut, dan di sisi lain hati Yoga menjadi kian berdebar-debar karena melihat bunga itu enak untuk disambar dan dibawa lari. Kejap berikutnya, Nyai Kubang Darah serahkan bunga itu kepada Leak Parang tanpa berkata apa pun, karena tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya seseorang dari balik pohon besar.

Jala Tunggal memang muncul. Tujuannya seperti apa yang dikatakan Nyai Kubang Darah, yaitu merebut bunga Teratai Hitam yang sejak tadi di incarnya itu. Ia berharap angin badai yang didatangkan dapat menerbangkan bunga tersebut, lalu ia bisa mengejar untuk mengambilnya. Tapi usahanya itu gagal.

Melihat gerakan Jala Tunggal cukup hebat dalam bertarung melawan Nyai Kubang Darah, akhirnya Pendekar Rajawali Merah segera turun tangan. Karena ia tak ingin Jala Tunggal berhasil merebut bunga teratai berwarna hitam itu. Hanya dengan tiga jurus Yoga menyerang Jala Tunggal, dan akhirnya Jala Tunggal terluka, lalu ia melarikan diri dan mengakui keunggulan Pendekar Rajawali Merah.

Kepergian Jala Tunggal bukan berarti keamanan yang terjamin bagi mereka berempat. Namun muncul lagi dua tokoh yang sudah tidak asing di rimba persilatan. Mereka adalah Watu Geni dan Banyu Api. Tetapi lagi-lagi karena niat mereka ingin merebut bunga teratai warna hitam itu, maka Pendekar Rajawali Merah segera membabat habis kedua tokoh berilmu tinggi itu. Keduanya lari tunggang langgang setelah Yoga keluarkan jurus pedang mautnya yang mampu mengejar lawan dengan kilatan cahaya merahnya itu.

Pada akhirnya, Yogalah yang menjadi sang pelindung bunga tersebut. Ia telah berhasil mengusir lebih dari sepuluh orang yang ingin merebut bunga Teratai Hitam itu. Mereka yang tidak segera melarikan diri dan bersikeras dapatkan bunga itu akhirnya mati di tangan Pendekar Rajawali Merah.

"Bunga ini akhirnya menjadi bunga penyebar maut," kata Leak Parang. "Tak baik jika kita melayani mereka terus-menerus. Kita harus lekas-lekas sampaikan bunga ini kepada keluarga sang Adipati."

"Maaf, Paman...," sela Yoga dengan bersikap sopan. "Mengapa harus diserahkan kepada sang Adipati?"

"Karena aku mengambil bunga ini untuk menyembuhkan penyakitnya. Dia sahabatku dan sekarang nyawanya terancam. Dulu aku pernah diselamatkan olehnya. Pada waktu itu aku hampir saja mati, lalu dia datang dan bertarung mengalahkan lawanku dengan tipu muslihatnya. Aku merasa berhutang budi, juga berhutang nyawa padanya. Sekarang pada saat dia membutuhkan obat yang tak ada di tempat lain kecuali di Gua Mulut Iblis, yaitu bunga ini, maka aku berusaha membalas hutang nyawaku kepadanya. Aku harus selamatkan dia dari ancaman maut yang sebentar lagi merenggut nyawanya."

"Jadi, bunga itu tak bisa dicari penggantinya, Paman?" tanya Yoga.

"Tidak ada, Yo. Hanya bunga inilah pemunah racun yang bersarang dalam dirinya. Tak ada obat lainnya lagi."

Pendekar Rajawali Merah terangguk-angguk kepalanya. Seraut wajah tampan itu berubah murung. Ia melangkah sedikit menjauh dari mereka. Kencana Ratih memandanginya dengan gelisah, sebab ia tahu apa yang dipikirkan Yoga pada saat itu. Kencana Ratih tahu, bahwa Yoga jauh-jauh datang ke Gunung Tambak Petir hanya untuk mencari bunga itu.

Tapi sekarang bunga itu ada di tangan pamannya Kencana Ratih. Tentu saja Kencana Ratih dapat bayangkan betapa gundahnya hati Yoga menghadapi kenyataan itu. Pasti pendekar tampan itu bingung mengambil sikap dan tak tahu harus berbuat bagaimana baiknya.

Kencana Ratih tahu, bahwa kalau saja bunga itu bukan di tangan pamannya. pasti Yoga sudah merebutnya dengan pertarungan sengit. Tapi agaknya kali ini Yoga tidak mau bertindak demikian. Sedangkan dalam penilaian Kencana Ratih, kalau saja Yoga merebut bunga itu dari tangan pamannya, pasti pamannya akan kalah dan tak mampu melawan jurus-jurus maut dari Pendekar Rajawali Merah.

Jika sampai sekarang Yoga tidak mau melakukannya, itu lantaran Yoga ingin menjaga hubungan baik dengan Kencana Ratih Sean-dainya Yoga menyerang pamannya, Kencana Ratih pun akan bingung dalam mengambil sikap; harus memihak ke mana ia pada saat seperti itu.

"Kencana Ratih...," sapa Leak Parang. "Sepertinya ada yang tak beres di antara kalian berdua?"

Dengan agak sulit, akhirnya Kencana Ratih berkata, "Hmm... iya! Begini, Paman... Sebenarnya, Yoga datang ke Gua Mulut Iblis memang untuk mengambil bunga Teratai Hitam itu."

"Hah...?!" Leak Parang terkejut, demikian pula Nyai Kubang Darah. Kedua orang tua itu memandang Yoga dengan mata sedikit lebar dan tidak berkedip. Saat itu Yoga berdiri di bawah pohon dengan punggung bersandar dan tangan merapat di dada. Wajahnya tertunduk karena merenungkan langkah yang harus diambilnya. Leak Parang segera dekati Yoga, Nyai Kubang Darah mendampinginya. Lalu dengan tegas Leak Parang menatap dan bertanya, "Kau inginkan bunga ini juga?!"

Yoga mengangkat wajah sambil menarik nafasnya, dipandanginya Leak Parang beberapa saat, lalu dengan jelas ia menjawab, "Ya. Saya memang sedang mencari bunga itu untuk menyembuhkan seorang sahabat juga, Paman. Agaknya kita punya kesamaan dalam hal ini. Sama-sama ingin membalas budi kepada seseorang lewat bunga itu!"

Nyai Kubang Darah cepat menyahut kata, "Tidak bisa! Kami lebih dulu mendapatkan bunga ini. Dan urusan kami lebih penting daripada urusanmu. Sahabatmu apakah seorang adipati?"

"Memang bukan, Nyai. Tapi sahabatku juga punya nyawa yang harus diselamatkan! Apalah artinya kedudukan tinggi jika orang itu tanpa nyawa, Nyai! Jadi, ku mohon jangan pandang kedudukan seseorang, tapi pandanglah hak dari tiap manusia, bahwa setiap manusia punya hak yang sama, yaitu hak untuk pertahankan nyawanya!"

"Kau tak perlu menggurui ku, Yoga!" geram Nyai Kubang Darah. "Apa pun dalihmu, kami tetap tak akan serahkan bunga ini kepadamu! Bukankah begitu, Leak Parang?!"

"Ya. Tapi kau terlalu kasar bersikap di depannya!" bisik Leak Parang kepada Nyai Kubang Darah. Kemudian ia berkata kepada Yoga, "Yoga, menurutmu, apakah kita harus bertarung demi memperebutkan bunga ini?"

Pendekar Rajawali Merah tak bisa menjawab untuk sesaat, matanya memandang ke arah jauh dengan wajah penuh kegelisahan. Kejap berikutnya terdengar lagi suara Leak Parang, "Jika menurutmu itu hal yang baik, aku akan layani pertarungan denganmu, walau aku tahu kau akan mudah membunuhku!"

Kini mata Kencana Ratih yang menjadi pusat pandangan Yoga. Seolah-olah pendekar tampan pemikat hati wanita itu meminta pertimbangan kepada Kencana Ratih selaku keponakan dari Leak Parang.

Tetapi pada saat itu, Nyai Kubang Darah menyela kata dengan suara tegasnya, "Jika kau ingin bunuh Leak Parang, maka kau harus bunuh aku dulu!"

Leak Parang menyahut, "Ini urusanku, Punding Ayu! Kau jangan ikut campur! Ini urusan lelaki!"

Tiba-tiba Kencana Ratih berlutut dan memeluk kaki pamannya dengan hati sedih. Kencana Ratih berkata, "Tidak! Tidak, Paman! Kuharap jangan lakukan pertarungan dengan Yoga! Ku mohon Paman mau mengalah untuk hal satu ini! Berikanlah bunga itu kepada Yoga, karena dia membutuhkannya sudah sejak lama!"

"Aku yang mendapatkannya, dia harus merebut dan membunuhku kalau memang membutuhkan bunga ini!" kata Leak Parang.

Mendengar kata-kata itu, Yoga pun tak punya pilihan lain kecuali cepat pergi dan tinggalkan mereka bertiga. Kencana Ratih terkejut melihat kepergian Yoga yang berlari cepat itu. Ia sempat memekik memanggil pendekar tampan itu,

"Yo...! Yo, jangan tinggalkan aku di sini, Yo...!"

Tetapi Yoga tak mau berpaling sedikit pun. Larinya justru semakin cepat dan hal itu membuat Ken-cana Ratih sempat panik. Hatinya bertambah sedih dan memendam kemarahan kepada pamannya.

"Paman tega memisahkan aku dengan dia!" ketus Kencana Ratih.

"Aku... aku tidak memisahkan kalian!"

"Dia pergi! Dia kecewa sekali mendengar kata-kata Paman dan kekerasan hati Paman! Dia sangat kecewa karena tidak bisa dapatkan bunga yang sudah lama di cari-carinya itu! Dia tak bisa ambil keputusan! Kalau saja dia mau berbuat keji, dia bisa bunuh Paman dalam satu gebrakan! Tapi dia tidak mau, Paman. Dia pandang saya sebagai keponakan Paman Leak Parang yang sudah lama ingin jumpa dengan Paman!"

Leak Parang sendiri menjadi gusar karena diombang-ambingkan oleh kebimbangan. Berulang kali ia menatap Nyai Kubang Darah, tapi perempuan itu hanya cemberut dan tak mau bicara sedikit pun.

"Paman, tolonglah... berikan bunga itu kepadanya! Aku tak tega kalau melihatnya kecewa, Paman! Dia telah menyelamatkan nyawaku beberapa kali! Dia pula yang menyelamatkan Bujang Lola, pelayan Paman itu dari ancaman maut Dewi Sukesi! Kalau tak ada dia, Bujang Lola mungkin sudah mati di ujung pedangku, karena kusangka dia orang Gua Bidadari yang memata-matai kami!"

"Apa hubungannya kau membawa-bawa Bujang Lola!" sentak Leak Parang. "Urusan ini tidak ada hubungannya dengan pelayanku itu!"

"Aku hanya memberi tahu Paman, bahwa Yoga punya jasa padaku dan aku berhutang nyawa padanya! Sekarang dari pihakku membuat dia kecewa! Oooh... aku malu kepadanya, Paman. Malu sekali!"

"Kalau malu ya sudah... tinggalkan saja dia dan jangan bertemu dia lagi!" ujar Nyai Kubang Darah dengan bersungut-sungut. Kencana Ratih menjadi panas hatinya dan segera menyahut, "Nyai jangan ikut campur urusan pribadiku!"

"Aku yang memberi izin pamanmu mengambil bunga itu!" sentak Nyai Kubang Darah.

"Sejak kapan Nyai menjadi pemilik bunga itu?!" sambil Kencana Ratih menuding bunga di tangan kiri Leak Parang. "Nyai bukan pemilik bunga ini! Bunga ini sudah ada sebelum Nyai lahir! Bunga ini sudah tumbuh di Telaga Bangkai pada saat Nyai masih ingusan! Mengapa sekarang Nyai seolah-olah menjadi pemilik bunga itu dan merasa berhak memberikan izin kepada siapa pun untuk memetik bunga itu?!"

"Bicaramu memerahkan telingaku, Kencana Ratih! Bisa kurobek mulutmu jika sekali lagi berkata begitu!"

"Robeklah!" bentak Kencana Ratih menantang.

"Cukup!" kali ini Leak Parang membentak lebih keras lagi. Ia benar-benar menjadi gusar dan hanya bisa menarik napas dengan berat saat kedua perempuan itu saling membisu.

Hening tercipta sejenak, kemudian Leak Parang berkata kepada Kencana Ratih, "Kencana, maafkan Paman. Kali ini agaknya Paman terpaksa sekali harus mengecewakan dirimu! Bunga ini tetap akan Paman serahkan kepada pihak kadipaten!"

"Paman bukan hanya mengecewakanku, tapi memutuskan hubungan batin ku dengan Pendekar Rajawali Merah! Paman kejam!"

"Kencana... dengarlah dulu...!"

"Aku lebih suka mati bunuh diri daripada harus mengecewakan dia!"

"Kencana...!"

Gadis itu melangkah mundur pelan-pelan den-gan napas terengah-engah. Ia berkata penuh perasaan benci dan desakan amarahnya, "Aku akan ceritakan masalah ini di depan Ibu, dan aku akan bunuh diri saat itu juga di depan Ibu...!"

"Tunggu...!"

Wuuut...! Kencana Ratih cepat melarikan diri sambil membawa tangis di perjalanan.

"Kencana Ratih...! Tunggu dulu! Jangan sepicik itu, Kencana! Kasihan ibumu!" seru Leak Parang sam-bil berusaha mengejarnya, tapi Kencana Ratih berlari dengan cepatnya, sehingga Leak Parang merasa sia-sia mengejarnya. Ia tahu persis watak keponakannya yang cantik itu, sungguh sukar dirubah jika sudah punya kemauan.

"Lupakan tentang bocah-bocah itu! Kencana Ratih hanya menggertak mu, Leak Parang."

"Dari sekian banyak keponakanku, hanya dia yang punya ketegasan dalam bersikap. Kalau dia bilang bunuh diri, maka apa pun yang terjadi dia tetap akan bunuh diri! Dan kalau dia bunuh diri di depan ibunya mampuslah aku!"

"Mengapa mampus?"

"Adikku, ibu Kencana Ratih itu, adalah satu-satunya saudara yang sangat sayang kepadaku. Sejak kecil, kami tak pernah bertengkar, tak pernah bermusuhan. Tetapi kepada kakak kami, permusuhan dan pertengkaran sering kami lakukan. Aku sangat sayang kepada adik bungsu ku, Ibunya Kencana Ratih itu. Ji-ka Kencana Ratih benar-benar lakukan bunuh diri di depan ibunya setelah dia mengadukan perkara ini, maka hancurlah persaudaraan ku dengannya. Hilang sudah rasa saling menyayangi antara aku dan dia. Tak ada lagi saudara yang menyayangi ku, yang tahu per-sis gaya hidupku dan bisa kujadikan tempat bertukar pendapat! Celaka betul aku kalau begini! Kencana Ratih tidak pernah ingkari ancamannya sendiri!"

"Kurasa itu hanya luapan kekecewaan yang tak terkendali saja!" Nyai Kubang Darah menenangkan hati kekasihnya, tapi sang kekasih masih saja gundah dan resah. Kecemasan membayang jelas di wajah.

Ternyata dari tempat mereka tadi, ada sungai tak begitu jauh jaraknya. Sungai itu berair dangkal, dan berbatu-batu. Kencana Ratih ingin melintasi sungai itu, tapi langkahnya terhenti karena melihat seseorang duduk di tepi sungai, di atas sebuah batu.

"Yooo...!" panggilnya dengan berseru. Kencana Ratih cepat hampiri pendekar tampan yang sedang termenung di sana. Air matanya cepat-cepat dikeringkan, karena ia tak mau Yoga melihat dirinya menangis.

"Yo... mengapa kau pergi meninggalkan aku di sana?"

Mata Pendekar Rajawali Merah menatap gadis yang segera duduk di depannya dengan kaki masih menapak di tanah. Jaraknya sangat dekat, sehingga tangan Yoga bisa meraih pipi Kencana Ratih. Pipi itu basah, dan Yoga tahu Kencana Ratih menangis. Tetapi ia tidak terlalu pikirkan hal itu. Wajah Yoga menjadi dingin, walau akhirnya ia pun berkata dengan nada pelan,

"Aku tak tahan berhadapan dengan pamanmu! Semakin dia menantangku. semakin besar keinginanku untuk membunuhnya!"

"Mengapa tidak kau lakukan?"

Yoga geleng-gelengkan kepala dengan berusaha tetap tenang dan mata memandang lurus ke bola mata Kencana Ratih. "Aku tidak mau melayani tantangannya! Aku tidak mau membunuhnya, sebab aku tahu dia sayang kepadamu, Kencana!"

"Tapi kau kecewa terhadapnya, bukan?"

"Ya. Sangat kecewa! Yang membuatku kecewa karena aku tidak bisa berbuat apa-apa terhadapnya, sementara aku tahu bunga itu ada di tangannya Lebih baik bunga itu ada di tangan orang lain, jadi aku tidak akan kecewa andai orang itu bisa kalahkan aku!"

Kencana Ratih diam termenung. Tangannya menggenggam jemari Yoga. Tiba-tiba ia menatap dan berkata, Tetaplah di sini, aku akan kembali lagi mem-bawa bunga itu!"

Kencana Ratih cepat berdiri dan Yoga kerutkan dahi. "Mau ke mana kau?"

"Merebut bunga itu dari tangan Paman!"

Yoga pun berdiri. Tangan Kencana Ratih ditahannya. "Jangan senekat itu, Kencana. Kau bisa dibunuh oleh pamanmu sendiri!"

"Itu lebih baik daripada aku melihatmu kecewa!"

"Tidak, Kencana! Kau tidak boleh lakukan hal itu! Jangan menjadi bermusuhan dengan pamanmu gara-gara kau membela diriku!"

"Karena Paman sendiri tega melihat aku tinggalkan dirimu. Paman sudah tidak sayang lagi padaku, Yo! Aku tak perlu menyayanginya lagi. Aku akan me-lawannya dan bila perlu membunuhnya."

"Kencana, kau durhaka jika membunuh saudara dari ibumu sendiri!"

"Persetan dengan hubungan saudara!" sentak Kencana Ratih sambil melompat pergi meninggalkan Yoga.

"Kencana...! Jangan lakukan itu!"

Sekarang ganti Kencana Ratih yang tak mau dengar seruan Yoga. Maka, Yoga pun segera mengejar Kencana Ratih. Ia takut pertarungan itu benar-benar terjadi. ia tak yakin Kencana Ratih dapat kalahkan ilmu pamannya. Apalagi pamannya dibantu oleh Nyai Kubang Darah, sudah pasti Kencana Ratih hanya akan mati konyol jadinya. Dalam pemikiran Yoga hanya ada dua kemungkinan; mencegah pertarungan itu, atau membantu Kencana Ratih melawan pamannya?

* * *

TUJUH

PADA saat itu, di tempat lain dua orang juga sedang membicarakan tentang bunga Teratai Hitam itu. Orang tersebut adalah Gerah Wojo, dari Perguruan Macan Terbang dan Ubayana, anak seorang lurah. Mereka bekerja sama untuk mendapatkan bunga Teratai Hitam. Pada dasarnya, Ubayana mengupah Gerah Wo-jo untuk dampingi dirinya dalam mengikuti sayembara dari pihak kadipaten itu.

Mereka mendengar kabar dari beberapa orang yang telah gagal mendapatkan bunga tersebut, bahwa bunga teratai berwarna hitam itu sekarang sudah be-rada di tangan tokoh tua yang bernama Leak Parang. Dari kedai tempat Lili bermalam, mereka sudah bicarakan hal itu dengan matang. Lili pun menyimak pembicaraan mereka secara diam-diam.

"Aku kenal dengan Leak Parang," kata Gerah Wojo. "Dia memang berilmu tinggi, tetapi dia mudah dikelabui karena ketuaannya. Kurasa memang ada baiknya bunga itu ada di tangan Leak Parang daripada di tangan tokoh lain, karena dengan adanya bunga di tangan Leak Parang, kita punya harapan bisa merebutnya. Aku nanti akan mengatur siasat untuk mengelabuinya! Jangan khawatir, bunga itu pasti akan kita dapatkan, Ubayana!"

"Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat sekarang.”

"Itu gagasan terbaik menurutku!"

Ubayana dan Gerah Wojo segera tinggalkan kedai. Sesaat kemudian, Lili pun tinggalkan kedai dan mengikuti langkah mereka dengan sembunyi-sembunyi. Dalam hatinya Lili berkata,

"Aku ingin tahu, seperti apa kehebatan Leak Parang itu? Benarkah dia bisa mempertahankan bunga tersebut? Dan jika ia bertemu dengan Yoga, apakah ia bisa dikalahkan Yoga? Apakah Yoga berhasil merebut bunga itu? Dan... dan apakah Kencana Ratih bisa membantu Yoga dalam pertarungannya nanti? Hmmm...! Bisa apa perempuan itu sebenarnya! Aku jadi ingin tahu kehebatan ilmunya dalam membantu Yoga!"

Gerakan Lili yang mengikuti langkah mereka ternyata dapat dirasakan oleh Ubayana. Ketika mereka melewati tanah datar berpohon rapat, Ubayana menahan lengan Gerah Wojo. Ia berbisik pelan,

"Sepertinya ada orang yang mengikuti langkah kita!"

"Ya. Aku sudah tahu sejak kita memasuki hutan ini. Tetapi aku diamkan saja, karena kulihat dia tidak berbahaya!"

"Jangan kau bilang tidak berbahaya! Siapa tahu dia ingin merebut bunga itu juga! Dia numpang arah dengan kita."

"Jadi, bagaimana maksudmu? Harus kusingkirkan orang itu?"

"Singkirkan saja!"

"Baik! Kau jalanlah lebih dulu, dan kalau aku tiba-tiba menghilang di balik pohon besar, kau pura-pura tidak mengetahui kepergianku. Dia akan ku cegat di pohon besar itu!"

"Akan kulakukan seperti perintahmu."

"Kita jalan biasa saja!" sambil Gerah Wojo yang berbadan besar tapi bukan gemuk itu mendahului melangkah.

Ubayana yang masih berusia antara dua puluh lima tahun itu bertubuh tegap dan kekar. Tapi agaknya ia punya ilmu tak seberapa tinggi. Buktinya untuk memburu bunga Teratai Hitam saja ia harus menyewa orang Perguruan Macan Terbang sebagai pengawal dan pembantunya. Hanya sebatas perawakan saja Ubayana kelihatan gagah dan meyakinkan. Rambutnya pendek diikat dengan ikat kepala dari logam kuningan berlapis kain sejenis beludru merah. Pakaiannya pun berkesan mewah.

Berbeda dengan Gerah Wojo yang hanya mengenakan pakaian serba hitam dengan baju longgar tak pernah dikancingkan bagian depannya. Ia menyelipkan sebilah golok di pinggangnya yang bergagang hitam membentuk kepala burung gagak.

Karena hanyut dengan percakapan batinnya yang mengecam dan meremehkan Kencana Ratih, Lili tak menyadari bahwa ia sudah mendekat ke arah bahaya. Untung saja waktu itu Gerah Wojo yang sudah bersembunyi di balik pohon besar itu segera mengetahui bahwa penguntitnya adalah seorang gadis cantik yang punya daya tarik luar biasa itu.

Goloknya dimasukkan kembali ke sarungnya dengan pelan-pelan. Lalu ketika Lili tinggal beberapa langkah mencapai pohon besar itu, Gerah Wojo segera melompat keluar dari persembunyiannya, dan menghentakkan suara keras yang sengaja membuat Lili terkejut,

"Huaaa...!" Lili terpekik dengan suara tertahan. Ia melangkah mundur dalam satu lompatan kecil sambil memegangi dadanya karena merasa jantungnya hampir copot. Suara sentakan keras tersebut juga membuat Ubayana berpaling ke belakang. Begitu melihat Gerah Wojo berhadapan dengan seorang gadis cantik, Ubayana buru-buru menghampirinya sambil tersenyum-senyum kegirangan. "Rupanya dia seorang gadis cantik bak bidadari, Gerah Wojo!"

"Benar, Ubayana. Mungkin dia menguntit kita karena dia naksir kamu. Ha, ha, ha, ha...!"

Lili cepat kuasai diri dan bersikap tenang. Matanya memandang angkuh dengan dagu sedikit naik. Kedua tangannya dikebelakangkan, dan kakinya berdiri sedikit merenggang dalam kuda-kuda tegak. Ia membiarkan kedua lelaki itu memandanginya dengan sorot pandangan mata dan senyuman nakal.

Gerah Wojo sempat menjilat bibirnya sendiri dengan mata liarnya yang berkesan rakus. Tangannya mengusap-usap jenggot pendek yang keriting itu sambil berkata kepada Ubayana, "Mimpi apa kau semalam, sehingga perjalanan kita diikuti oleh bidadari secantik dia, ha?! He, he, he...!"

Ubayana juga berbisik, walau bisikan mereka didengar oleh Lili, "Menurutmu, cantik mana dia dengan Galuh Ajeng, putri sang Adipati itu?"

"Oh, kalau menurut selera mataku, ya cantik gadis ini! Tapi kalau menurut selera matamu, mungkin cantik Galuh Ajeng! Sudahlah, kau tetap bersama Galuh Ajeng saja, aku akan menikmati keindahan cinta bersama gadis ini saja!"

"Gerah Wojo, mengapa kau tak berikan kesem-patan padaku lebih dulu? Bukankah kau dapat bagian kekayaan dari hadiah yang akan kita peroleh setelah menyerahkan bunga itu?"

"Hmm... jadi... jadi kau ingin juga dengan gadis itu?"

"Aku sangat bergairah memandang kecantikannya, kemulusan kulit lehernya dan... dan kurasa kulit tubuh yang lainnya pun akan lebih mulus serta lebih lembut lagi, Gerah Wojo!"

"Memang! Memang lebih mulus dan lebih lembut, bahkan lebih hangat dari sepiring ketan di pagi hari. He, he, he, he...!"

Ubayana mau mendekat, tapi ia ragu-ragu. Malahan sempat berbisik kepada Gerah Wojo, "Dia menyandang pedang di punggung! Kelihatannya dia berilmu juga, Gerah Wojo!"

"Aku juga beranggapan begitu. Tapi aku yakin ilmunya tak setinggi ilmuku! Dia hanya bisa tebaskan pedangnya tanpa arah yang pasti."

"Kalau begitu, cobalah kau dulu yang mendekatinya. Kalau sekiranya membahayakan, tinggalkan saja daripada kita mati sebelum mendapatkan bunga itu!"

"Tenanglah di sini! Aku akan mendekatinya."

Lalu, Gerah Wojo melangkah dekati Lili. Kira-kira tinggal dua langkah lagi ia menyentuh Lili, tangan Lili sudah lebih dulu berkelebat bagai membuang sesuatu. Ternyata tenaga dalam yang cukup besar ia lepaskan dalam gerakan tangan yang gemulai.

Wuuut...! Buuhg...!

Tubuh Gerah Wojo bagai dihantam sebatang kayu pohon kelapa. Tubuh itu terpental jauh ke belakang dan terguling-guling. Ubayana segera lebarkan mata dan menjadi tegang karenanya.

"Gadis ini benar-benar berilmu tinggi," pikir Ubayana. "Hanya dengan mengelebatkan tangannya begitu saja, Gerah Wojo yang badannya seperti kerbau bisa tunggang-langgang dibuatnya. Edan! Murid siapa dia? Dapat ilmu dari mana? Agaknya gadis ini tak bisa dibuat main-mainan!"

Gerah Wojo bangkit dan berjalan cepat kembali ke tempatnya. Wajahnya memerah karena marah, pakaiannya kotor, pundaknya robek sampai di bagian kulit tubuh dan keluarkan darah sedikit, rambutnya yang panjang sepundak bercampur dengan tanah dan daun kering. Wajah Gerah Wojo menjadi berang dan berkesan angker.

"Gerah Wojo, tinggalkan saja gadis itu! Dia berbahaya!" Ubayana mencegah gerakan Gerah Wojo.

Tapi tubuh Ubayana disingkirkan begitu saja sambil Gerah Wojo berkata, "Gadis itu harus kuberi pelajaran, supaya dia tahu bahwa aku orang Perguruan Macan Terbang...! Keparat dia!"

Tetapi sebelum Gerah Wojo mencapai jarak empat langkah di depan Pendekar Rajawali Putih itu, tiba-tiba seberkas sinar berkelebat bagaikan menghantam sekujur tubuh Gerah Wojo. Sinar itu adalah sinar jingga dan begitu menghantam langsung membakar tubuh Gerah Wojo.

Wuuuss...! Blaaar...!

"Gerah Wojo...!" teriak Ubayana.

"Auh...! Aaah...! Tolong...! Tolong aku, Ubayanaaa...!"

Gerah Wojo dibakar oleh api yang berkobar-kobar. Ubayana bergegas mengambil dedaunan apa saja dan dijadikan alat pemadam yang digebuk-gebukkan ke tubuh Gerah Wojo. Tapi kobaran api itu justru semakin bertambah besar. Teriakan Gerah Wojo kian menggema ke mana-mana. Ketika ia jatuh dan berguling-guling, kobaran api makin besar lagi dan tetap membungkus tubuhnya. Ubayana ketakutan, memandangi Lili sebentar, karena menyangka api itu kiriman dari Lili, kemudian ia cepat melarikan diri ke arah datangnya tadi. Ia pulang dengan wajah tegang.

"Wisnu Patra...," gumam Lili dalam hatinya. "Pasti si Dewa Tampan itu ada di sini! Rupanya dia selalu membayang-bayangi ku terus!"

Seperti korban yang sudah-sudah, Gerah Wojo pun akhirnya mati dalam keadaan menjadi arang karena nyala apinya tidak dipadamkan oleh Wisnu Patra. Sementara itu, Lili yakin bahwa Wisnu Patra tidak akan muncul menemuinya. Maka ia pun segera gunakan akalnya.

Lili kembali ke arah semula untuk mengejar Ubayana. Pemuda itu dalam waktu singkat telah tersusul dan dihadang oleh Lili. Ubayana terkejut melihat gadis cantik itu sudah berada di dekatnya. Langkahnya menjadi serba salah, dan pada waktu itu Lili membentak,

"Kau tak akan bisa lari, Tikus! Hadapi aku kalau kau memang seorang lelaki yang jantan!"

"Ak... aku... aku...."

"Heaaat...!" Lili melompat dengan satu tendangan ke arah dada Ubayana. Tendangan itu sengaja tidak dalam gerakan cepat, sehingga Ubayana bisa menangkisnya, lalu menghentakkan tangannya ke dada Lili. Hentakan itu tidak ditangkis oleh Lili, melainkan hanya dihadang oleh perutnya. Tak seberapa berat pu-kulan Ubayana menandakan pemuda itu benar-benar berilmu rendah. Tetapi Lili berlagak jatuh dan terkapar pingsan. Ubayana mendekat dengan perasaan bangga, tapi ketika itu ia mendengar suara Lili berkata pelan dalam geram,

"Kalau kau tak lari kau akan mati terbakar seperti tadi!"

Mendengar ucapan yang menyerupai bisikan itu, Ubayana menjadi takut, kemudian segera larikan diri cepat-cepat. Sementara itu, Lili tetap membiarkan diri terkapar di tanah dan kepalanya tergolek ke samping bagaikan pingsan. Ternyata akalnya itu berhasil memancing kemunculan Wisnu Patra.

Pemuda tampan yang mempunyai mata teduh itu muncul dari persembunyiannya. Ia cepat-cepat mendekati Lili dengan wajah cemas. Ia menyentak-nyentakkan pundak Lili sambil berseru, "Lili....! Lili...!" suaranya terdengar tegang.

Taab...!

Tangan itu dipegang oleh Lili kuat-kuat. Mata Lili pun membuka. Claap...! Wajah pemuda tampan itu tercengang. Lili tersenyum dan pemuda tampan tersipu. Sadarlah ia bahwa dirinya telah terkecoh oleh permainan Lili yang dipujinya cukup licik itu. Lili cepat bangkit sambil masih pegangi lengan Wisnu Patra sedangkan pemuda itu berlagak acuh tak acuh dengan sikapnya yang kecele tadi. Matanya me-mandangi daun-daun pohon sambil menahan rasa geli dan malu ditertawakan oleh Lili.

"Sial! Akhirnya dia berhasil juga menangkapku!" pikir si Dewa Tampan itu. Kemudian, ia segera mendengar suara Lili bertanya,

"Mengapa kau lari dariku, Dewa Tampan?"

"Tidak apa-apa!"

"Kau bohong! Rupanya ketampanan mu itu menyimpan segudang kebohongan yang menyebalkan!"

"Kau sudah tahu aku pembohong, mengapa kau harapkan bertemu denganku lagi?"

"Karena kau membuat hatiku penasaran!"

Wisnu Patra mendengus sambil kibaskan tangannya pertanda tidak mau peduli dengan kata-kata Lili itu. Tapi Lili segera mengejarnya ketika Wisnu Patra melangkah hendak meninggalkannya.

"Wisnu Patra, katakan dulu apa yang ada dalam hatimu sebenarnya! Mengapa kau menjadi kaget dan takut setelah kusebutkan bahwa diriku bergelar Pendekar Rajawali Putih?!"

"Aku tak sanggup!"

Lili menarik lengan Wisnu Patra sehingga si Dewa Tampan itu berhenti dari langkahnya. Lili mendesaknya dengan kata-kata, "Kau harus sanggup! Kau harus bisa menjelaskan padaku!"

Wisnu Patra diam, menarik napas panjang-panjang. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada pelan, "Aku tak mau melihatmu kecewa."

"Aku siap untuk menerima apa saja tanpa harus kecewa!"

"Baiklah," kata Wisnu Patra akhirnya menyerah juga. Ia berjalan mendekati tempat yang teduh, di bawah sebuah pohon berbuah ungu. Di sana ia berkata dalam keadaan berdiri dan satu tangannya bersandar pada batang pohon tersebut. "Aku mempunyai ibu seorang peramal, namanya: Arum Bumi."

"Arum Bumi?" gumam Lili. "Sepertinya aku pernah mendengar nama Arum Bumi itu! Kapan dan di mana, aku lupa!"

"Kau pasti mendengarnya dari mulut gurumu, yaitu Dewi Langit Perak!" kata Wisnu Patra, dan kata-kata itu membuat Lili tercengang.

"Dari mana kau tahu bahwa guruku Dewi Langit Perak?"

"Ibuku adalah sahabat baik gurumu!"

"Ooo..., ya, ya, ya.... Guru memang pernah bercerita tentang peramal sakti yang bernama Arum Bumi. Tapi waktu itu aku masih berusia antara empat belas tahun."

"Kita pun pernah saling jumpa pada usia sekitar empat belas tahun. Pertemuan itu terjadi saat pemakaman kakekku di Bukit Renta."

Lili berkerut dahi mengingat-ingat peristiwa itu. Tapi ingatannya terasa lemah, terutama sejak ia banyak menyerap ilmu dari gurunya. Maka Lili pun berkata, "Aku tidak ingat lagi."

"Aku pun kala itu tidak banyak perhatikan kamu. Aku hanya melihatmu sebagai gadis yang angkuh dan sombong."

"Lalu, karena masa lalu kita itu kau jadi takut padaku?"

"Bukan karena itu. Singkat cerita, antara ibuku dan gurumu tidak menghendaki persahabatannya menjadi putus ataupun renggang. Mereka bersepakat untuk menjalin hubungan persaudaraan yang lebih erat lagi. Maka ketika kita berusia kurang lebih sepuluh tahun, ibuku bermaksud ingin menjodohkan aku denganmu."

"Haah...?!" Lili terkejut bukan kepalang tanggung. Hampir saja tubuhnya terlonjak ketika itu.

"Pada waktu itu, gurumu juga setuju bahwa antara kita kelak akan saling dijodohkan, dikawinkan dan hidup sebagai suami-istri. Perjanjian itu dipegang teguh oleh ibuku, sampai aku menjadi dewasa. Aku yang tidak tahu menahu tentang perjanjian itu,sampai aku mempunyai seorang kekasih yang bernama Rias Rembulan, teman seperguruanku sendiri. Kami sepakat untuk saling hidup bersama. Tapi Ibu melarangku mengawini gadis itu."

"Apa alasannya?"

"Pertama, karena menurut ramalan Ibu, jika aku kawin dengan Rias Rembulan, maka usiaku akan pendek. Kedua, Ibu selalu ingat perjanjian dengan Dewi Langit Perak untuk menjodohkan aku dengan murid Dewi Langit Perak itu. Kabar terakhir kudengar murid itu bergelar Pendekar Rajawali Putih, dan Dewi Langit Perak menghilang entah ke mana! Ibu menyuruhku mencari Pendekar Rajawali Putih dan mengawininya...!"

"Ooh...?!" mata Lili terbelalak lagi dengan tubuh gemetar.

"Aku memberontak dengan keputusan Ibu. Aku menentangnya mati-matian dan tetap akan mengawini Rias Rembulan. Tapi...," wajah Wisnu Patra tertunduk murung. Mata Lili tetap memandanginya dengan hati berdebar-debar. Wisnu Patra menyambung ucapannya,

"Tapi belakangan kudapatkan Rias Rembulan mati dengan tubuh memerah. Ia terkena Racun Gunung Neraka. Dan... dan aku tahu beberapa orang yang memiliki Racun Gunung Neraka itu, antara lain adalah ibuku sendiri. Tapi aku tak punya bukti kuat, sehingga tak berani menuduh ibukulah sebagai pembunuh Rias Rembulan. Aku sangat kecewa sekali. Aku seperti kehilangan separo dari hidupku. Sementara itu, Ibu mendesak ku mencari Pendekar Rajawali Putih dan mengawininya dengan segera. Aku jadi benci dengan Pendekar Rajawali Putih. Aku tahu, Ibu melakukan tindakan keji membunuh Rias Rembulan supaya aku kawin dengan Pendekar Rajawali Putih. Aku jadi ingin membunuh Pendekar Rajawali Putih itu! Dan hatiku bertekad untuk mencarinya lalu membunuhnya sebagai penebus kematian Rias Rembulan. Kepalanya ingin kupenggal dan kulemparkan ke pangkuan ibu...."

Kaki dan tangan Lili kian gemetar mendengar kata-kata itu. Wisnu Patra sendiri masih tetap tundukkan kepala. Lili segera mundur dua tindak dengan jantung berdetak-detak dan hati gundah gulana. Secepatnya Wisnu Patra dongakkan wajah dan pandangi Lili, kemudian ia lanjutkan kata-katanya,

"Ketika aku melihatmu dalam keadaan tak berdaya, timbul rasa iba dalam hatiku. Aku menolongmu, dan aku mendekatimu. Saat itu hatiku bergetar memuji kecantikanmu dan terpikat senyuman mu. Hatiku telah terjerat dengan cepat. Namun ketika kau sebut nama gelarmu sebagai Pendekar Rajawali Putih, jerat itu bagai kusut tak tentu arah. Antara benci ingin memenggal kepalamu dan menyerahkan kepada Ibu, atau memelukmu dan menyerahkan ke dasar hatiku. Aku tak tahu! Aku... aku benar-benar bingung menghadapi kenyataan ini. Separo hatiku mengecam kekerasan yang ada di dalam sifat ibuku, separo hatiku mengatakan, bahwa ternyata pilihan Ibu tidak mengecewakan hatiku...."

Wisnu Patra kembali menunduk. Lama ia membisu seribu bahasa. Lama juga Lili hanya bisa memandanginya. Setelah itu, barulah terdengar suara Lili berkata lirih,

"Mengapa kau selalu menghabisi nyawa lawanku dengan ilmu api mu itu? Bukankah aku orang yang ingin kau bunuh?"

"Aku... aku tak tahu! Aku tak bisa jelaskan mengapa aku tak izinkan orang lain menyentuh tubuhmu?! Aku sakit hati jika melihat kau diserang orang lain. Padahal... aku sedang mempertimbangkan bagaimana cara memenggal kepalamu!"

"Mengapa tak kau lakukan sekarang saja? Kulepaskan pedangku dan cabut pedangmu, lalu penggallah kepalaku, Wisnu Patra!"

Pemuda itu geleng-gelengkan kepala. Tampak gundah sekali hatinya. Akhirnya ia segera melesat pergi. Berlari dengan cepat meninggalkan gadis cantik yang meresahkan hatinya itu.

"Wisnu, mau ke mana kau!" seru Lili.

"Mencari bunga Teratai Hitam! Sebaiknya aku menikah dengan putri Adipati saja!" seru Wisnu Patra sambil lanjutkan larinya.

"Tunggu! Tunggu aku, Wisnu...!" Lili bergegas menyusulnya.

* * *

DELAPAN

TEKAD Kencana Ratih untuk merebut bunga Teratai Hitam itu sudah benar-benar membulat di hatinya. Namun pada saat ia berhasil menemui pamannya, kala itu sang paman sedang terdesak oleh serangan seorang lelaki kurus bermata cekung yang usianya sekitar empat puluh tahun lebih. Lelaki kurus itu berambut panjang dengan ikat kepala kulit ular dan pa-kaiannya serba merah. Kumisnya tipis tapi berbentuk runcing ke bawah.

Terdengar Leak Parang berseru, "Batalkan saja niatmu, Sampar Tulang! Bunga ini akan hancur jika nyawaku lepas dari raga! Sia-sia saja kau melawanku, Sampar Tulang!"

"Tak ada perbuatan yang sia-sia bagi Sampar Tulang!" seru orang kurus bermata cekung itu. Ia masih menggenggam senjatanya berupa sabit kembar. Sabit bergagang panjang yang digenggam kedua tan-gan itu dimainkan terus di sekeliling tubuhnya sambil langkahnya bergerak mengitari Leak Parang.

Sementara itu, tubuh Nyai Kubang Darah ternyata sudah terkapar di bawah gugusan batu cadas. Rupanya Nyai Kubang Darah dalam keadaan terluka di beberapa bagian tubuhnya. Luka itu beracun dan tubuh Nyai Kubang Darah pun menjadi berbintik-bintik seperti sedang dimakan racun ganas dari aliran darahnya.

Jika orang yang bernama Sampar Tulang itu bisa melukai Nyai Kubang Darah di beberapa bagian tubuhnya, maka sudah pasti ia juga bisa melukai Leak Parang yang hanya menggunakan satu tangan dalam bertarung. Tangan yang satunya memegangi bunga teratai itu dengan sangat hati-hati.

Kencana Ratih tidak langsung menghamburkan diri ke pertarungan, tapi ia diam di suatu tempat tersembunyi dan menunggu kesempatan untuk merampas bunga itu dari tangan Leak Parang. Namun tiba-tiba punggungnya dicekal oleh tangan seseorang yang membuat Kencana Ratih cepat berpaling untuk siap-siap menghantamkan tinjunya. Tetapi niat itu tertahan karena yang datang adalah Yoga.

"Diam saja di sini!" kata Kencana Ratih. "Biarkan Paman bertarung melawan Sampar Tulang. Kita cari kelengahan Paman dan kita sambar bunga itu begitu Paman lengah!"

Sambil menatap ke arah pertarungan sengit antara Leak Parang dengan Sampar Tulang, Yoga berkata dalam nada membisik, "Agaknya orang itu cukup tangguh dan gerakannya sangat cepat. Dia mempunyai dua sabit yang berbahaya. Pamanmu bisa mati karena sabit mautnya itu! Dengar saja suara kibasan sabitnya yang tak ada henti-hentinya itu."

Wuung, wuung, wuung, wuung, wuung...!

Suara kibasan sabit yang dipermainkan mengelilingi tubuh Sampar Angin itu memang tiada henti-hentinya. Seakan ia membuat benteng pertahanan yang sukar diterobos oleh Leak Parang. Bahkan ketika Leak Parang melepaskan pukulan jarak jauh bercahaya kuning, pukulan itu bagaikan benda yang dapat dipenggal oleh kedua sabit maut tersebut.

Ledakan terdengar beberapa kali tapi tidak membuat Sampar Tulang terpental, melainkan justru Leak Parang yang terpental beberapa kali. Sedangkan Sampar Tulang terus maju mendesak lawannya sambil menunggu kelengahan lawan untuk satu lompatan yang dapat membawa maut bagi Leak Parang.

Yoga memandang tubuh Nyai Kubang Darah yang terkapar. Ia berkerut dahi memperhatikan luka di tubuh Nyai Kubang Darah dan bintik-bintik merah di sekujur wajah dan tubuh Nyai Kubang Darah. Lalu ia berkata pelan kepada Kencana Ratih,

"Sebentar lagi Nyai Kubang Darah akan mati jika tidak cepat ditolong! Pasti dia dalam keadaan sekarat saat ini!"

"Biarkan saja! Dia bukan urusanmu!"

Tapi Yoga tidak bisa membiarkan keadaan seseorang seperti itu. Ia segera melompat keluar dari persembunyiannya, lalu cepat mencabut pedang pusaka dari punggungnya. Blaar...! Petir mengawali kehebatan pedang pusaka itu. Leak Parang merasa sedikit lega melihat Yoga tampil kembali. Sampar Tulang terkesima sekejap melihat pedang membara merah yang pada gagangnya terdapat ukiran kepala burung saling bertolak belakang.

Kemudian Yoga berkata, "Kalau kau usik bunga itu, kau akan mati di tanganku! Sebaiknya lekas pergi dan jangan mengusik bunga itu lagi!"

"Kau pikir aku mudah takut oleh gertakan seperti itu, Bocah Tolol! Majulah kalau kau mau mampus di ujung sabit kembar ku ini!" tantang Sampar Tulang.

Rupanya Yoga tak berhasil mengambil jalan damai dengan Sampar Tulang. Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Rajawali Merah kecuali melayani pertarungan tersebut. Maka, ia biarkan Sampar Tulang mendekatinya dengan sabit berkelebat cepat membentengi tubuhnya. Tapi ketika dalam jarak satu tombak orang itu mendekati Yoga, maka pedang yang memancarkan warna merah itu pun berkelebat menebas dari kanan atas ke kiri bawah dan dari kiri bawah naik ke pertengahan atas lagi.

Wuuut, wuuut...!

Blaar...! Craas...!

Tebasan pertama melesatkan sinar merah yang dapat ditangkis dengan kibasan sabit kembar hingga timbulkan ledakan. Tebasan kedua juga pancarkan sinar merah, namun lolos dari tangkisan dan akhirnya tubuh Sampar Tulang pun tumbang ke belakang dalam keadaan robek bagian pinggang sampai ke dahi kanan. Robekan itu cukup dalam, namun tidak keluarkan darah sedikit pun.

Bruuk...! Sampar Tulang tidak bernyawa lagi. Yoga memandanginya dengan napas terhempas lega.

Leak Parang berkata, "Terima kasih, Yo. Sekali lagi kau telah selamatkan bunga ini dari tangan mereka!"

Kencana Ratih pun muncul dari persembunyiannya, langsung berseru kepada pamannya, "Kurang baik bagaimana lagi Yoga kepada Paman! Berapa kali nyawa Paman diselamatkan olehnya, dan berapa kali Paman punya hutang nyawa kepadanya?"

Leak Parang diam dengan mata memperhatikan Kencana Ratih. Mata itu memandang tajam, sepertinya memendam kemarahan yang besar.

Tetapi Yoga segera alihkan perhatian mereka ke Nyai Kubang Darah. Ia berkata kepada Leak Parang, "Paman, keadaan Nyai sangat berbahaya! Sebaiknya kita bawa dia ke tempat aman untuk diobati luka-lukanya!"

Leak Parang menghempaskan napas panjang dengan rasa prihatin melihat keadaan Nyai Kubang Darah. Kemudian ia berkata kepada Yoga, "Sabit itu beracun. Tapi melihat jenis racunnya, aku masih bisa menyembuhkan luka-luka Nyai Kubang Darah itu! Aku tahu cara melenyapkan racun itu!"

"Jika begitu, Paman harus segera bertindak sebelum Nyai menjadi semakin parah lagi!"

"Benar katamu, Yoga!" Leak Parang segera dekati Yoga dan berkata lagi dengan nada tegasnya, "Bawa bunga ini!" Ia mengulurkan bunga tersebut kepada Yoga. Mata Yoga hanya memandang dalam keraguan menerimanya. Leak Parang berkata,

"Bawalah! Pergilah sana, dan sembuhkan sahabatmu itu dengan bunga tersebut! Aku akan membawa pulang Kubang Darah ke pondokku. Dia harus ku rawat dan kuselamatkan dari racun itu!"

Tangan Leak Parang lebih menyodorkan lagi bunga tersebut. Akhirnya Yoga pun menerimanya dengan ucapan kata, "Terima kasih, Paman!"

Leak Parang tidak menjawab. Ia segera dekati Nyai Kubang Darah, lalu mengangkat tubuh yang terluka itu. Ia memanggul tubuh calon istrinya, namun sebelum pergi ia sempat berkata kepada Yoga, "Kalau ada sisanya, tolong sembuhkan pula sahabatku di kadipaten itu! Dia juga sangat membutuhkannya!"

"Saya rasa... memang itulah satu-satunya jalan tengah yang harus kita ambil, Paman!"

Kembali Leak Parang hanya menatap sebentar, kemudian segera sentakkan kaki dan melesat pergi sambil membawa tubuh kekasihnya. Dalam waktu sekejap, Leak Parang telah lenyap dari pandangan mata Yoga. Hati Pendekar Rajawali Merah itu sempat terharu melihat kebijakan orang setua Leak Parang itu.

Kencana Ratih mendekatinya sambil sunggingkan senyum ceria. Yoga memandangi lesung pipit itu tanpa berkedip. Kemurungan di wajah Yoga telah sirna. Keceriaan di wajah tampan itu kembali memikat hati setiap wanita yang memandangnya.

"Akhirnya kau dapatkan juga dia!" ucap Kencana Ratih sambil merapatkan badan ke samping Yoga. Keduanya sama-sama pandangi bunga hitam yang menyebarkan aroma wangi itu.

"Yang membuatku lega bukan hanya karena mendapatkan bunga ini, tapi berhasil menghindari pertarungan melawan pamanmu!"

"Aku pun demikian. Tadi aku sudah bertekad membunuh Paman jika bunga itu gagal kurebut. Sekarang aku menyesal sekali mempunyai rencana jahat seperti tadi!"

"Sudahlah! Lupakan tentang itu. Sekarang aku harus lekas-lekas pergi menemui sahabatku yang sedang sakit dan sangat membutuhkan bunga ini! Kurasa bunga ini tidak semuanya akan terpakai. Masih ada sisa yang bisa dipakai menyembuhkan sang Adipati...."

Grusaaak...! Terdengar ranting dan daun diterabas gerakan tubuh manusia. Yoga berpaling ke kiri, Kencana Ratih berbisik,

"Lekas. bawa lari bunga itu! Akan ku hadang dia di sini!"

Mereka sama-sama yakin, bahwa seseorang sedang menuju ke tempat itu untuk merebut bunga Teratai Hitam. Yoga pun segera melompat larikan diri, sedangkan Kencana Ratih mencabut pedangnya, menghadang orang yang akan muncul dari balik re-rimbunan semak itu.

Ternyata orang itu bukan manusia bodoh. Ia tidak hampiri Kencana Ratih. Ia justru mengejar Yoga karena ia tahu Yoga yang membawa bunga tersebut. Melihat sekelebatan bayangan mengejar Yoga, Kencana Ratih pun segera memburunya sambil berseru, "Hai, berhenti...!"

Pendekar Rajawali Merah merasa dirinya sedang dikejar seorang. Kencana Ratih gagal menghadang orang tersebut. Maka, sambil tetap berlari cepat, Yoga berusaha memasukkan bunga itu ke balik bajunya. Dengan begitu, tangannya yang tinggal satu itu pun bisa digunakan untuk mencabut pedang jika terpaksa harus melakukan pertarungan.

Wuuut..! Wuuk, wuuk, wuuk...!

Rupanya pengejar Yoga kali ini orang berilmu tinggi. Dengan sangat ringannya ia mampu melenting di udara dan bersalto tiga kali, memotong arah pelarian Yoga, ia bahkan hinggap di dahan dan melanjutkan pelariannya, sampai akhirnya ia berhasil mendaratkan sepasang kakinya di depan langkah Yoga.

Jleeeg...!

Yoga terhenti, matanya sedikit menyipit memandangi pemuda tampan yang berpakaian kuning dan bersenjatakan pedang perunggu di punggungnya. Mereka saling diam, saling pandang, dan saling perhatikan sampai beberapa saat lamanya. Ketika Kencana Ratih tiba di tempat itu, kedua matanya menjadi terbelalak memandang dua pemuda tampan yang masing-masing mempunyai daya tarik yang hampir seimbang. Kencana Ratih terperangah dan segera masukkan pedang ke sarungnya. Hatinya pun membatin,

"Aih, gila! Mereka sama-sama berbadan tegak dan kekar. Mereka sama-sama gagah dan menawan. Tapi apakah mereka sama-sama berilmu tinggi?! Oh, aku tak boleh ikut campur jika sudah begini!"

Setelah puas saling pandang, Pendekar Rajawali Merah mendahului bicara dengan menyapa, "Siapa kau, Sobat?!"

"Wisnu Patra!" jawab si Dewa Tampan itu dengan ucapan yang tegas dan jelas. Seakan sangat bangga dengan namanya sendiri.

Yoga manggut-manggut dengan tenang. Wisnu Patra juga kalem dan tenang. Tapi matanya tajam memandang, penuh kewaspadaan, sama dengan pancaran mata Yoga juga. Lalu, Wisnu Patra berkata,

"Dua tiga orang yang kutemui di perjalanan mengatakan, bunga Teratai Hitam ada di tangan Leak Parang. Kaukah yang bernama Leak Parang, Sobat?!"

"Bukan! Namaku; Yoga!"

"O, jadi sudah pindah tangan sekarang!" ucap Wisnu Patra sambil manggut-manggut. Suaranya sedikit lebih berat dari suara Yoga.

"Dan kau ingin mengambilnya dariku?"

"Ya!" jawab Wisnu Patra dengan tegas.

"Aku akan mempertahankannya!"

"Aku akan melukaimu!"

"Aku akan membalas!" jawab Yoga dengan tak kalah tegas.

"Kalau begitu, bersiaplah menghadapiku, Yoga!"

"Sejak tadi aku sudah siap, Wisnu Patra!"

Di dalam hati Kencana Ratih ada cemas, ada tepuk sorak, ada tegang, dan ada pula girang. Baru kali ini dia melihat pertarungan yang dilakukan oleh dua orang yang sama-sama punya ketampanan dan daya pikat yang seimbang. Baru kali ini dia melihat dua orang yang sama-sama berani, sama-sama tegas dalam mengambil keputusan, serta sama-sama bersi-kap meyakinkan.

Wisnu Patra lebih dulu menjajal ilmu Yoga dengan sentakkan telapak tangan miring yang keluarkan sinar jingga dari ujung jari tengahnya itu. Zlaaap...! Sinar itu berkelebat cepat ke arah Yoga. Tetapi Yoga juga segera sentakkan telapak tangannya, dan dari pangkal tangan itu melesat sinar merah tua berbentuk seperti bola kecil. Ziaaap...! Sinar merah tua itu membentur sinar jingganya Wisnu Patra.

Glegaaar...!

Dentuman keras mengguncang bumi. Daun-daun berguguran. Kencana Ratih tersentak ke bela-kang dan oleng membentur batang pohon tidak terlalu keras. Tetapi ketika asap tebal dari benturan dua sinar tadi menghilang, tampak dua sosok pemuda tampan masih berdiri di tempatnya tanpa bergeser sedikit pun.

"Wow...! Ini baru seru namanya!" ucap hati Kencana Ratih dengan mata berbinar-binar.

Di pihak Wisnu Patra membatin, "ilmunya cukup tinggi juga! Jurus itu bisa dihancurkan dengan sinar merah tuanya. Sayang di balik bajunya ia menyimpan bunga teratai itu, kalau tidak, sudah kulepaskan 'Lidah Bara' yang pasti akan membakar tu-buhnya sampai mati!"

Sedangkan Yoga hanya membatin, "Kurasa jurus selanjutnya lebih hebat lagi dari jurus pertamanya tadi! Aku tak boleh lengah sedikit pun. Hentakan gelombang dari ledakan tadi terasa panas di kulitku. Jika bukan berilmu tinggi, tak mungkin sekuat itu daya panas yang ku rasakan."

Wisnu Patra segera mencabut pedang perunggunya. Sraang...! Clap! Ada sinar putih yang berkelebat naik dari gagang pedang merayap di permukaan pedang sampai melesat lewat ujung pedang dan hilang di angkasa. Jelas itu sebuah tanda bahwa pedang perunggu berwarna kehitam-hitaman itu bukan sembarang pedang biasa, melainkan punya kesaktian dan kekuatan tersendiri yang belum diketahui oleh Yoga.

Yoga pun tak mau kalah, ia mencabut pedang pusaka dari punggungnya. Blaaar...! Petir menggelegar kuat di angkasa. Wisnu Patra sempat mendongak ke atas sebentar. Lalu matanya terkesiap melihat pedang lawan bercahaya merah dan mempunyai percikan-percikan bunga api yang selalu bergerak mengelilingi pedang tersebut.

"Heaaat...!" Wisnu Patra berlari sambil menggenggam pedangnya dengan dua tangan, siap ditebaskan ke arah leher lawannya.

"Hiaaah...!" Yoga pun berseru dalam satu sentakan kaki dan tubuhnya melayang maju dengan cepat. Pedangnya pun segera ditebaskan ke arah lawannya. Namun pedang itu berhasil ditangkis oleh Wisnu Patra dengan gerakan cepat sekali.

Traaang...! Blaaar...!

Kini keduanya sama-sama terpental beda arah. Benturan Pedang Lidah Guntur dengan pedang perunggu itu menghasilkan satu ledakan yang cukup dahsyat. Gelombang ledakannya menyentak ke seluruh penjuru, melemparkan dua pemuda tampan yang sedang bertarung itu. Sebatang pohon tak terlalu besar tiba-tiba tumbang akibat gelombang ledakan tadi. Dua bongkah batu besar retak, sebagian hancur.

Tubuh Kencana Ratih terhempas dan jatuh di sela-sela dua pohon yang berjajar. Nyaris terjepit di sana. Ia buru-buru bangkit, mengibaskan kepalanya yang merasa pusing dan pandangan matanya yang kabur, lalu segera kembali mendekati arena pertarungan dengan perasaan kagum serta tegang.

"Keduanya ternyata sama-sama hebat!" ucapnya lirih dalam nada membisik. Kencana Ratih tak berkedip memandangi kedua pemuda tampan yang sama-sama berusaha bangkit dari kejatuhannya tadi. Kini keduanya telah kembali bersiap dalam jarak sekitar tujuh langkah.

Wuuut...! Jleeg...!

Tiba-tiba sesosok tubuh melompat dari atas pohon dan mendarat di pertengahan jarak kedua pemuda tampan itu. Sesosok tubuh yang baru saja datang itu tak lain adalah Lili, si Pendekar Rajawali Putih.

"Hentikan! Hentikan pertarungan ini!" sentak Lili dengan berang.

"Lili, minggirlah! Ini urusan lelaki!" kata Wisnu Patra.

"Guru, izinkan aku melawan dia!" ucap Yoga, membuat Wisnu Patra terperanjat karena mendengar Yoga memanggil Lili dengan sebutan guru.

Lili berkata kepada Yoga, "Kau tidak boleh melukai dia, Yo!"

"O, jadi sekarang kau sudah punya orang baru di hatimu, hah?"

Lili bingung menjelaskannya. Ia gundah sekali. Terdengar suara Wisnu Patra berseru, "Lili, siapa dia itu? Kau agaknya kenal baik dengannya!"

"Ya. Dia adalah Pendekar Rajawali Merah!"

"Hahh...?!" Wisnu Patra tercengang kaget. Ia pernah mendengar juga tentang kehebatan ilmu Pendekar Rajawali Merah dari gurunya. Ia tahu, bahwa Pendekar Rajawali Merah pastilah murid dari suami Dewi Langit Perak. Sedangkan Dewi Langit Perak dan suaminya yang berjuluk Dewa Geledek itu, pernah didengar cerita kesaktiannya dari guru Wisnu Patra sendiri.

"Tapi tak mungkin aku kalah dengannya," pikir Wisnu Patra. Lalu, ia berkelebat menyerang Yoga dengan melompati Lili. "Hiaaahh...!"

"Heaah...!" Yoga pun siap melompati Lili. Tetapi sebelum keduanya sama-sama bergerak maju, Pendekar Rajawali Putih cepat sentakkan kedua tangannya membentang ke kiri dan kanan bagai hempasan sayap seekor rajawali yang sedang murka.

Wuuuhgg...!

Sentakan kedua tangan itu melepaskan tenaga besar yang menghantam tubuh kedua pemuda tampan itu. Lalu, keduanya terlempar ke belakang dan saling berjumpalitan.

Kencana Ratih berseru, "Hei, mengapa kau ikut campur urusan mereka?! Biarlah urusan lelaki diurus sesama lelaki! Kau ini perempuan atau lelaki, hah?!"

"Tutup mulutmu, Gadis Jalang!" bentak Lili. "Kurang cukupkah kau membawa lari kekasih orang, hah?!"

Panas hati Kencana Ratih mendengarnya. Ia menghampiri Lili dengan langkah cepat dan berseru, "Jaga mulutmu baik-baik, Perempuan Sinting!"

Wisnu Patra yang sudah bangkit kembali itu berseru, "Lili, minggirlah. Biar ku bakar tubuh gadis itu dari sini!"

Yoga yang juga sudah bangkit berjalan cepat dekati Kencana Ratih sambil memandang si Dewa Tampan itu, "Berani kau melukai dia, kuhancurkan kepalamu!"

Lili cepat berseru kepada Yoga, "Bagus sekali pembelaan mu! Kau benar-benar seorang kekasih yang setia, Yoga," sambil ia mencibir sengit kepada Yoga.

"Guru, jangan bicara begitu! Antara kita tetap...."

"Cukup! Kau tak perlu merayu ku lagi!" sentak Lili.

"Karena kau sudah ada yang merayunya lagi, begitu maksudmu?! Dia itukah orangnya?! Kau berani bertaruh apa kalau aku bertarung melawannya pasti kau akan kehilangan dia seumur hidupmu, tahu?!"

Suasana menjadi ricuh sesaat. Mereka saling mengumbar kecemburuan antara yang satu dengan yang satunya. Lili sendiri sebenarnya dalam kebimbangan; ia harus berpihak kepada siapa. Kencana Ratih pun bimbang, haruskah ia tetap membela Yoga, sementara dia mulai tahu bahwa Yoga mencintai Lili, dan itu berarti Wisnu Patra belum tentu mencintai Lili juga. Seandainya benar begitu, pasti salah satu dari kedua pemuda tampan ini akan kalah dan mundur dari percintaan mereka itu.

Suasana ricuh terhenti setelah tiga orang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu muncul dari ba-lik semak-semak yang diterabasnya. Mereka adalah Gandaloka dan kedua anak buahnya yang berwajah dingin itu.

"Akhirnya kita bertemu di sini, Nona Lili!"

"Ayodya!" sentak Wisnu Patra. "Agaknya di sinilah tempat kita saling melampiaskan dendam lama itu! Sekaranglah saatnya kau harus menebus kematian guruku karena tanganmu itu! Heaat...!"

Gandaloka, Ayodya, dan Loga saling menyebar mengurung Wisnu Patra. Saat itu Lili berbisik pada Yoga, "Lekas tinggalkan tempat ini. Mereka datang ingin membawamu agar menikah dengan ratu mereka, atau kau mati di tangan mereka! Larilah, aku akan menahan mereka di sini. Cepat...!"

* * *

SEMBILAN

PUNCAK Gunung Rimba Gading dilapisi kabut dan hawa dingin. Sebuah gua yang ada di puncak gunung itu tertutup oleh sebongkah batu besar. Batu itu adalah pintu lubang gua Dan jika bukan orang berilmu tinggi yang menempati gua itu, tak akan bisa menggeser batu besar tersebut.

Di dalam gua tersebut terdapat seorang gadis yang sebenarnya cukup cantik. Sayang gadis itu ada dalam pasungan karena terkena Racun Edan dari lawannya yang bernama Merak Betina, teman seperguruan Lembayung Senja yang sekarang menjadi pengikut Lili karena ingin mencuri-curi jurus maut yang dimiliki Pendekar Rajawali Putih.

Mahligai, si gadis gila itu, sejak terkena Racun Edan membuatnya menjadi liar, buas, dan rakus. Ia tidak bisa makan apa-apa kecuali daging mentah. Kalau tak dipasung, ia akan lepas dan bisa-bisa bibinya sendiri, yang juga sebagai gurunya itu, dimakannya hidup-hidup. Sendang Suci, bibi dari Mahligai itu, merasa prihatin sekali melihat nasib keponakannya menderita Racun Edan yang hanya bisa disembuhkan dengan bunga Teratai Hitam itu.

Sekalipun demikian, Tabib Perawan atau Sendang Suci, masih tetap sayang dan setia merawat Mahligai. Harapan Sendang Suci hanya ada pada satu orang, yaitu Pendekar Rajawali Merah yang punya kesanggupan mencari Teratai Hitam itu.

Maka ketika Yoga datang ke Gunung Rimba Gading, hati Sendang Suci pun bersorak menyambutnya. Bukan hanya karena Yoga berhasil membawa bunga Teratai Hitam, melainkan karena rasa rindu yang selama ini terpendam di dasar hati, melonjak lepas bahkan sampai ia memeluk erat pendekar tampan yang tangannya buntung karena pedang Sendang Suci itu, (Baca episode: "Ratu Kembang Mayat" dan "Utusan Pulau Keramat").

"Kerinduan ini tidak pernah ku rasakan selama hidupku. Kerinduan ini ternyata ada pada hatiku, Yo-ga. Baru sekarang aku menderita rindu, terutama sejak ku kenal dirimu!"

"Bibi, lepaskanlah perasaan itu," kata Yoga. "Yang utama adalah, sembuhkan Mahligai terlebih dulu."

"Oh, kau sangat memperhatikan keponakanku, Yo! Aku sering iri jika kau terlalu besar memberi perhatian kepadanya!"

"Hanya orang sakit yang membutuhkan perhatian lebih. Bibi bukan orang sakit. Kuharap Bibi bisa membedakan perhatianku terhadap Mahligai dan terhadap Bibi sendiri."

Perempuan separo baya yang masih tampak cantik dan kencang tubuhnya itu tersenyum meman-dang Yoga. Perempuan yang masih perawan itu pun segera melepaskan tangannya yang sejak tadi melingkar di leher Yoga sambil mencurahkan rasa rindunya.

"Apa yang terjadi dibawah sana pada saat bunga ini kau dapatkan?" tanya Sendang Suci.

"Banyak sekali, Bibi! Satu kabar yang perlu Bibi ketahui, Gua Bidadari telah kuhancurkan."

"Kau yang menghancurkannya?"

"Ya. Aku dan Pendekar Rajawali Putih. Dan... kenalkah Bibi dengan tokoh tua yang bernama Leak Parang?"

"O, ya! Aku kenal. Semasa mudanya dia adalah kekasih Punding Ayu, yang sekarang berjuluk Nyai Kubang Darah."

Maka, Yoga pun menceritakan tentang perjala-nan bunga Teratai Hitam itu hingga sampai ke tangannya. Kemudian, Tabib Perawan itu berkata, "Demi adilnya, biarlah separo dari bunga ini untuk sang Adipati. Pemakaiannya sebenarnya tak harus utuh satu bunga. Cukup sedikit saja sudah bisa melenyapkan Racun Edan itu. Tetapi, semula aku bermaksud menyimpan sisanya, karena bunga ini hanya ada satu di muka bumi. Tak akan ada di tempat lain."

"Kalau begitu, aku harus segera membawa sebagian bunga itu ke kadipaten, Bibi. Supaya Leak Parang pun tidak kecewa, aku harus segera selamatkan jiwa sang Adipati."

"Mengapa harus terburu-buru pergi?" ucap Sendang Suci dengan nada kecewa. "Sebenarnya aku masih ingin bicara panjang-lebar denganmu di tempat sunyi ini."

"Kurasa Bibi sudah bisa kembali ke pondok, di Bukit Berhala itu. Lili sudah tidak menaruh curiga tentang siapa orang yang ada di balik topeng merah itu. Jika Bibi kembali ke Bukit Berhala, saya bisa sering-sering kunjungi Bibi ke sana."

Kemudian, Yoga juga menceritakan tentang pakaian topeng merah yang ditemukan oleh salah satu anak buahnya Bidadari Manja, yang kemudian mati di tangan Malaikat Gelang Emas. Bicara tentang topeng merah, Yoga menjadi ingat tentang Kembang Mayat, yang dulu dibabat habis dan perguruannya dibumi-hanguskan oleh Sendang Suci itu.

"Kembang Mayat sekarang menjadi ratu, Bi."

"Ratu..?"

"Ya. Dia jatuh ke jurang pada saat bertarung dengan Bibi. Tapi seorang pendeta dari Pulau Kana menyelamatkannya. Dia dibawa ke Pulau Keramat atau Pulau Kana itu untuk dijadikan ratu. Tetapi ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu ia harus kawin. Kembang Mayat memilih aku sebagai calon mempelai prianya...."

"Jahanam...!" Sendang Suci menggeram dengan wajah menjadi semburat merah karena menahan marah.

"Tempo hari, enam utusan Pulau Kana itu datang mencariku, lalu yang lima bisa kubunuh, yang satu kembali. Sekarang, mereka datang lagi dengan jumlah tiga orang, tujuannya mau memaksaku agar ikut ke Pulau Keramat dan menikah dengan Kembang Mayat. Jika aku menolak, mereka ditugaskan untuk membunuhku!"

"Siapa yang menugaskan?"

"Kembang Mayat sendiri."

"Biar aku yang menghadapi mereka!" sergah Sendang Suci.

"Tidak. Bibi tidak boleh terlibat lagi"

"Akan ku buntungi para utusan itu biar Kembang Mayat datang melabrak ku dan pertarungan yang membawa keberuntungan baginya itu akan terulang lagi!"

"Jangan, Bi! Para utusan itu sekarang sedang ditangani oleh Lili."

"Apakah Lili cukup mampu mengalahkan mereka bertiga? Aku tahu, para penghuni Pulau Keramat itu orang-orang bertubuh tinggi-besar, seperti raksasa. Dan mereka juga punya ilmu tinggi!"

"Aku percaya, Lili mampu mengatasinya. Sekarang Bibi tenang saja di sini. Sembuhkan dulu Mahligai, setelah Mahligai sembuh. kapan Bibi mau kembali ke Bukit Berhala, aku akan dampingi! Sekarang aku harus cepat temui sang Adipati, Bi!"

Pada waktu Yoga ingin keluar dari dalam gua, ia sempat melihat sekelebat bayangan yang buru-buru meninggalkan pintu gua. Rupanya percakapannya tadi ada yang mendengarkan secara diam-diam. Yoga tidak katakan hal itu kepada Sendang Suci, takut membuat murka Sendang Suci meledak-ledak. Bahkan Yoga pun tetap pergi tinggalkan gua tersebut dengan diiringi pandangan mata Sendang Suci yang menyimpan kasih di dalam hatinya.

Lewat dari tebing pertama, Yoga sengaja memperlambat langkahnya, karena ia merasa ada seseorang yang mengikutinya. Orang tersebut ternyata kini terang-terangan mengikuti langkah Yoga. Ketika Yoga berpaling ke belakang, ternyata Kencana Ratih yang mengikutinya sejak dari tempat pertarungannya dengan Wisnu Patra itu.

Pada waktu itu, Yoga tidak men-getahui bahwa Kencana Ratih menguntitnya sampai ke Gunung Rimba Gading. Dan kini agaknya semua percakapannya dengan Sendang Suci sudah banyak diketahui oleh Kencana Ratih. Karena itu, Kencana Ratih berwajah cemberut dan merasa kesal hatinya ketika Yoga menyapa dengan senyum keramahannya.

"Mengapa tak ikut masuk ke dalam gua saja tadi? Kurasa itu lebih baik daripada kau mencuri-curi begitu."

"Aku tidak mau mengganggu kemesraan mu!" ketus Kencana Ratih dalam menjawabnya.

"Ah, itu sebuah kemesraan yang wajar-wajar saja. Bukan kemesraan seorang kekasih!"

"Apanya yang wajar?! Kemesraan itu menyakitkan hatiku, tahu?!" Kencana Ratih mulai ngotot, jalannya sambil mundur dan matanya tetap menatap Yoga dengan tajam. "Bayangkan betapa tidak sakit hatiku, Yo.... Susah payah aku membantumu mendapatkan bunga teratai itu, susah payah aku merengek dan mengancam paman ku, ternyata bunga itu untuk seorang gadis. Pasti gadis itu mencintaimu, karena bibinya sendiri juga mencintaimu!"

"Aku hanya menolong dia sebatas pertolongan seorang sahabat!"

"Kalau kau mau menolong, tak perlu berkata-kata mesra dengan bibinya! Kalau dia bukan gadis simpananmu, tak mungkin kau pertaruhkan nyawa untuk mendapatkan bunga Teratai Hitam itu! Puih...! Kalau aku tahu orang yang akan kau tolong adalah orang yang mencintaimu, aku tak akan sudi membantumu! Sama saja aku menghidupkan musuh-musuhku dan para saingan ku jika begin! caranya! Puih...! Menyesal! Menyesal sekali aku jadinya!" sentak Kencana Ratih sambil berulang-ulang meludah benci.

Pendekar Rajawali Merah hentikan langkah. Kencana Ratih juga berhenti, tapi gerakan tubuhnya tak tenang, menandakan ia sangat gusar setelah melihat siapa orang yang dicarikan obat oleh Yoga.

"Kencana, dengar...!" Yoga berusaha meraih pundak gadis itu, tapi gadis itu menepiskannya. "Kencana, kau adalah seorang perempuan. Kau tentunya punya perasaan cinta atau sayang kepada lawan jenis mu. Apakah orang lain berhak melarang cinta itu tumbuh di dalam hatimu? Demikian halnya dengan mereka. Rasa-rasanya tak adil jika aku melarang mereka agar jangan mencintai ku, mereka punya hak. Seribu wanita boleh mencintai ku, tapi hanya satu yang boleh ku pilih menjadi istriku!"

"Siapa...?!" sergah Kencana Ratih. Ia berpaling menatap Yoga dengan tajam, menunggu penuh harap jawaban yang akan terlontar dari mulut Yoga.

Tetapi pendekar tampan itu hanya sunggingkan senyumnya dan berkata, "Aku ingin langsung ke kadipaten. Apakah kau mau ikut juga?"

"Jawab dulu, siapa orang yang akan kau pilih menjadi istrimu nanti? Mahligai. Lili. Tabib Perawan itu, atau aku?"

"Mudah-mudahan kita tiba di kadipaten sebelum hari menjadi gelap!"

"Yoga!" sentak Kencana Ratih sambil hentak-hentakkan kakinya dengan rasa jengkel sekali. "Jawab dulu pertanyaanku itu!"

Yoga hanya tersenyum tenang dan semakin menawan sikapnya. Lalu tangannya berkelebat merangkul Kencana Ratih dan mengajaknya berjalan bersama. Kali ini Kencana Ratih tidak dapat menolak, karena rangkulan itu bagai memeluk hatinya yang diguncang rasa penasaran.

"Suatu saat, kalau sudah waktunya tiba, aku akan tentukan pilihan ku sendiri. Sekarang masih banyak tugas yang harus kukerjakan demi kehidupan sesama manusia. Kalau aku mengutamakan pribadiku sendiri, sudah dari kemarin aku menikah dengan wanita siapa saja, yang mungkin tidak akan membuat kita saling bertemu dan berdekatan seperti ini! Jadi kurasa, siapa istriku, itu tak penting. Yang penting bagaimana kita hidup dalam suasana damai di antara sesama...."

* * *

Kadipaten bersuasana damai. Tapi belakangan ini suasana damai itu dirusak oleh tingkah laku seseorang yang sempat melukai sang Adipati, hingga sang Adipati menderita sakit karena racun berbahaya. Ra-cun itu tidak sama dengan Racun Edan yang diderita Mahligai, namun ramuan pengobatannya mempunyai kesamaan, yakni harus memakai bunga Teratai Hitam.

Kini Yoga datang menghadap pihak kadipaten dengan membawa separo bunga Teratai Hitam. Sayangnya, hanya Yoga yang boleh masuk ke ruang paseban, sementara Kencana Ratih menunggu di luar benteng. Penasihat Adipati yang menyambut kedatangan Yoga bersama istri adipati itu sendiri.

Tak lama kemudian, muncul seorang gadis berpakaian ksatria warna ungu muda, rambutnya digulung sebagian, sisanya jatuh terkulai lembut di depan dada kanannya Gadis itulah yang bernama Galuh Ajeng, putri sang Adipati yang rela menikah dengan lelaki siapa pun yang datang membawa bunga Teratai Hitam.

Galuh Ajeng mempunyai mata bulat indah dan berbulu lentik itu menatap tak berkedip wajah pendekar bertangan satu itu. Ia memandang kagum dan hatinya berdebar-debar setelah ibunya memberitahukan, Yoga itulah orang yang datang dengan membawa bunga Teratai Hitam tersebut.

Seorang tabib yang dipanggil khusus merawat sakitnya sang Adipati, membenarkan bahwa bunga itu memang asli bunga Teratai Hitam. Maka, sang Penasihat Adipati pun berkata kepada Yoga,

"Kaulah yang memenangkan sayembara ini, Yoga! Jadi, kaulah yang berhak menerima semua hadiah yang telah kami janjikan, satu di antaranya akan di-kawinkan dengan Putri Galuh Ajeng!"

Yoga kembali menatap Galuh Ajeng. Gadis berusia antara dua puluh tiga tahun itu tersipu malu dengan wajah semburat merah karena malu. Ibunya menyapa Galuh Ajeng,

"Apakah kau keberatan menikah dengan pendekar tampan ini, Anakku?"

"Ibu. jangan tanyakan hal itu kepadaku, tapi tanyakanlah kepada dia, apakah dia mau menerimaku menjadi istrinya?"

Istri adipati pun bertanya kepada Yoga, "Bagaimana Yoga?"

"Mohon seribu maaf, Gusti Ayu... kedatangan saya kemari hanya untuk menyampaikan bunga itu, supaya sang Adipati tertolong jiwanya. Sama sekali saya tidak menghendaki hadiah apa pun. Karena antara saya dengan Paman Leak Parang mempunyai hubungan baik dan saling menolong!"

Wajah Galuh Ajeng mulai pudar dari keceriaannya Ibunya berkata kepada Yoga, "Jadi, kau tidak berminat menikah dengan putri ku ini?"

"Sekali lagi, mohon seribu maaf, Gusti Ayu! Saya hanya menolong dan tanpa pamrih apa-apa!"

Galuh Ajeng kian murung. Tak tahan ia berhadapan dengan Yoga yang secara tidak langsung telah menolak dirinya. padahal dirinya sudah telanjur melonjak girang karena memang terpikat oleh ketampanan Yoga. Galuh Ajeng pun cepat-cepat tinggalkan pertemuan itu dengan wajah cemberut. Semua mata mengikuti arah kepergian Galuh Ajeng. Kemudian, terdengar suara Penasihat Adipati berkata,

"Apakah kau sudah punya istri?"

"Belum, Eyang."

"Apakah Putri Galuh Ajeng kurang cantik bagimu?"

"Tidak, Eyang. Putri Galuh Ajeng sangat cantik bagi saya. Tapi tidak seharusnya ia menikah hanya karena sayembara. Kecantikan itu terlalu mahal dan kurang tepat jika hanya dijadikan barang hadiah saja. Biarkan Putri Galuh Ajeng menemukan sendiri kekasihnya, supaya hidupnya bahagia bersama orang yang dipilih dan dicintainya."

"Bagaimana dengan hadiah-hadiah lainnya, apakah juga akan kau tolak?"

"Hadiah yang sanggup saya terima hanyalah kesembuhan dari sang Adipati sendiri! Selain itu, saya tidak ingin menerimanya."

Kalau saja mereka tahu, mereka akan bisa memaklumi. Yang ada dalam benak Yoga adalah Lili, karena wajah Galuh Ajeng punya kemiripan dengan Lili. Hati Pendekar Rajawali Merah tergugah untuk kembali memperhatikan Lili, sang Guru angkat yang selama ini kurang diperhatikan itu. Apalagi Yoga tahu, Lili sekarang sudah punya teman baru, yaitu Wisnu Patra. Yoga tidak ingin Wisnu Patra mengambil Lili dari hatinya. Sebab itulah, Yoga menolak dikawinkan dengan Galuh Ajeng, walaupun itu merupakan tanda kehormatan atas jasa Yoga yang menyelamatkan sang Adipati.

Di luar benteng, Yoga sudah ditunggu oleh Kencana Ratih. Hati Kencana Ratih pun saat itu berdebar-debar, merasa takut kalau-kalau Yoga terpikat oleh kecantikan putri adipati itu. Tetapi ketika Yoga keluar dari benteng dalam keadaan sendirian, Kencana Ratih menjadi lega dan tersenyum ceria.

Kencana Ratih sebenarnya ingin berlari menyambut kemunculan Yoga. Tetapi langkahnya terhenti ketika empat prajurit kadipaten segera mengurung Yoga, lalu muncul lagi dua prajurit bersenjata pedang, dan satu lagi perwira istana yang segera berkata,

"Kau kutangkap dan harus dipenjarakan sampai menunggu keputusan hukuman dari sang Adipati!"

"Kenapa? Apa salahku?!" kata Yoga kebingungan.

"Penolakan mu terhadap perkawinan dengan Putri Galuh Ajeng dianggap merendahkan martabat istana dan menghina keluarga sang Adipati!"

"Kurasa ini salah anggapan! Ku mohon...."

"Seret dia! Masukkan penjara dulu!" perintah perwira itu.

Kencana Ratih tertegun bengong melihat Yoga digiring masuk kembali ke dalam benteng istana. Ia ingin menolong Yoga, namun jelas tak mungkin ia bisa kalahkan banyaknya pasukan kadipaten. "Celaka! Aku harus menghubungi Paman Leak Parang dan meminta bantuannya untuk membebaskan Yoga!" kata hati Kencana Ratih, lalu ia segera larikan diri secepatnya.

Di perjalanan ia justru berpapasan dengan Pendekar Rajawali Putih yang sedang mengejar Gandaloka. Dua teman Gandaloka berhasil dibunuh oleh Wisnu Patra, tapi Wisnu Patra terdesak oleh serangan Gandaloka dan segera melarikan diri, sementara Gandaloka mengejar, Lili membayang-bayanginya agar jangan sampai Wisnu Patra terbunuh oleh Gandaloka. Tetapi begitu bertemu dengan Kencana Ratih, Lili segera kerutkan dahi dan bertanya,

"Mana Yoga?"

"Dia ditangkap oleh orang-orang kadipaten karena menolak dikawinkan dengan Galuh Ajeng!"

"Kurang ajar! Bantu aku menyerang mereka!"

Mampukah Lili membebaskan Yoga, jika hanya dibantu oleh Kencana Ratih? Bagaimana dengan Leak Parang, maukah dia menolong Pendekar Rajawali Merah? Ikuti episode selanjutnya dengan judul Mempelai Liang Kubur.

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.