Dewa Arak - Irama Maut

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Irama Maut Karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak - Irama Maut

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
Seorang pemuda berpakaian ungu dengan tenang menggeragoti potongan daging panggang di tangannya. Kelihatannya nikmat sekali. Beberapa batang ranting bekas tusukan daging panggang berserakan di sekitar tempatnya duduk.

"Sedap sekali baunya...!"

Ucapan nyaring yang diiringi dengusan bunyi hidung membuat pemuda berpakaian ungu menghentikan makannya. Dengan tangan masih menggenggam ranting tempat daging panggang, kepalanya ditolehkan ke arah asal suara. Sayang, pemilik suara itu tidak terlihat. Kerimbunan semak-semak yang lebat menghalangi pandangan pemuda berpakaian ungu.

"Kau lapar, Sahabat?!"

Suara yang sama dengan sebelumnya kembali terdengar. Kali ini nadanya seperti tengah bertanya pada seseorang.

"Ternyata kita sama. Aku pun lapar. Sayang aku tidak punya sesuatu yang bisa dimakan. Tahan sebentar laparmu. Atau, kau ingin daging panggang yang berbau enak itu? Oh, tidak. Jadi apa yang kau mau? Buah-buahan? Baik. Akan kucarikan untukmu."

Suara itu tidak terdengar lagi. Yang ada hanya bunyi senandung tanpa kata. Pemuda berpakaian ungu mengernyitkan dahi. Meski belum bisa melihat, dia bisa memperkirakan pemilik suara itu orang yang telah berusia lanjut. Tepatnya lagi salah satu diantaranya. Pemilik suara itu tengah bercakap-cakap. Berarti dia tidak sendirian. Pemuda berpakaian ungu yang memiliki wajah tampan tapi berambut putih keperakan itu bangkit dari duduknya. Dia adalah Arya Buana atau yang berjuluk Dewa Arak.

"Aha...! Lihat, Sahabat. Rupanya peruntungan kita baik sekali hari ini. Jambu-jambu air telah matang. Mari, Sahabat. Kita sikat sampai tuntas!"

Pemuda berambut putih keperakan tersenyum. Geli mendengar perkataan itu. Didengarnya jelas langkah-langkah kaki yang menghantam bumi. Agaknya pemilik suara tengah berlari. Kendati perasaan geli melanda hati, dia tidak mampu mengusir perasaan herannya. Langkah-langkah yang terdengar hanya sepasang! Lalu, orang yang diajak bicara itu?

Rasa heran menumbuhkan rasa ingin tahu. Arya mengayunkan kaki menuju tempat pemilik suara. Mungkinkah orang yang di ajak bicara memiliki ilmu meringankan tubuh yang demikian tinggi sehingga bunyi langkahnya tidak terdengar?

Begitu menerobos kerimbunan semak, pemuda itu telah bisa melihat apa yang terjadi. Sepasang alisnya berkerut menyaksikan pemandangan yang terpampang di depan matanya. Di hadapan pemuda berpakaian ungu, sampai jarak belasan tombak, tidak terhalang apa pun. Tanah di situ hanya ditumbuhi rerumputan pendek dan kering.

Sepasang mata Arya yang mencorong tajam hanya melihat sesosok tubuh. Bukan dua seperti yang diduganya semula. Seorang kakek bertubuh bungkuk berjalan dibantu tongkat butut. Pakaiannya penuh tambalan. Ia kelihatan ringkih dan miskin. Pemuda berambut putih keperakan menggelengkan kepala seraya mengembangkan senyum di bibir ketika melihat tingkah kakek bungkuk.

"Sabar, Sahabat. Biar kuambilkan buah-buah itu untukmu," ucap kakek itu sambil menoleh ke sebelah kiri.

Kakek bungkuk lalu mendongak. Buah yang dimaksudnya memang banyak bergantungan di dahan. Daun pohon yang lebat tidak terlihat karena banyaknya buah jambu berwarna merah segar.

Senyuman geli Arya buyar ketika kakek bungkuk tidak segera mengambil buah-buah segar itu. Ia hanya mendongak ke atas, memperhatikan buah-buah yang letaknya tak kurang tiga tombak dari tanah.

Apakah kakek bungkuk itu kebingungan untuk mengambilnya? Kakek bungkuk lalu mengalihkan pandangannya ke bawah. Tingkahnya menunjukkan ada sesuatu yang tengah dicarinya. Pemuda berambut putih keperakan mengurut dada melihat kakek itu memungut sebongkah batu sebesar kepalan bayi. Rasa iba menyergap harinya, dia bisa mengira tindakan yang akan dilakukan kakek bungkuk. Kakek itu agaknya tidak memiliki ilmu silat.

Kakek bungkuk melemparkan batu ke arah buah-buah jambu bergantungan. Bunyi berkerosakan terdengar ketika batu menerobos dedaunan dan jatuh kembali ke tanah. Beberapa helai daun berhamburan. Namun, tak satu pun buah jambu yang jatuh. Kakek bungkuk mengulangi tindakannya sampai beberapa kali. Hasilnya tetap nihil. Kendati demikian dia tidak putus asa. Batu itu tetap dipungutnya kembali.

"Sabar, Sahabat. Percayalah. Tak lama lagi buah-buah itu akan jatuh. Kita akan menikmatinya sampai puas...!"

Terdengar agak memburu napas kakek bungkuk. Rupanya perbuatan yang dilakukannya cukup melelahkan. Pemuda berambut putih keperakan tak kuat lagi menahan rasa kasihan. Dia segera melesat menghampiri kakek bungkuk.

"Istirahatlah, Sobat. Biar kucoba mengambilkannya untukmu," ujar Arya seraya menyentuh bahu kakek bungkuk.

Kakek bungkuk itu tersenyum melihat keberadaan pemuda berpakaian ungu di belakangnya. "Terima kasih. Terima kasih atas bantuan yang kau berikan padaku dan sahabatku," kakek bungkuk menoleh ke sebelahnya seakan-akan di situ ada seseorang yang disebutnya sebagai sahabat.

Arya tidak merasa heran lagi melihat kelakuan kakek bungkuk. Kakek itu berwajah kehijauan. Sepasang matanya selalu berputar liar seperti mata orang tak waras. Arya menolehkan kepala ke tempat kakek berwajah kehijauan itu menoleh.

"Boleh kutahu siapa kau dan..., sahabatmu ini, Kek?" Pemuda berpakaian ungu mengulurkan tangan. "Namaku Arya. Arya Buana. Seorang pengelana."

Kakek bungkuk terkekeh memperlihatkan gigi-giginya yang kuning dan sebagian menghitam. "Namaku? Aku sudah tidak ingat lagi, Anak Muda. Atau, jangan-jangan orang tuaku tak memberikan nama padaku. Tapi, panggil saja aku Muka Hijau. Ya, si Muka Hijau! Adapun sahabatku ini.., panggil saja si Tak Punya Bentuk. Tapi...." Kakek bermuka hijau tercenung bingung.

"Sepertinya terlalu panjang nama-nama yang kuberikan." Arya tersenyum.

"Kalau begitu panggil saja aku, Hijau. Dan kawanku ini, Sahabat. Lebih pendek dan enak diucapkan."

Arya mengangguk. Lalu katanya, "Sekarang bagaimana, Hijau. Dan juga kau, Sahabat? Bolehkah aku membantu kalian. Kebetulan aku pun hendak menikmati jambu-jambu yang kelihatannya enak itu."

"Tentu saja!" Hijau mengangguk "Bukankah demikian, Sahabat? Tidak usah ragu-ragu, Anak Muda. Ambilkan jambu-jambu itu untuk kami."

"Gunakan bajumu untuk menadahi jatuhnya jambu-jambu, Hijau."

Tanpa banyak cakap, si kakek segera melakukan perintah Arya. Pemuda berambut putih keperakan itu menjulurkan tangannya ke arah batang pohon jambu. Si kakek terjingkat ke belakang sambil menjulurkan tangan ke sebelahnya, seperti layaknya tengah membawa seseorang untuk melompat ke belakang. Kelihatan jelas Hijau terkejut Sepasang mata Hijau membelalak lebar memperhatikan pohon jambu yang bergetar keras bagai diguncang-guncangkan tenaga raksasa.

Guncangan itu demikian keras sehingga jambu-jambu berjatuhan dari tangkainya. Buah-buhan berguguran ke bawah. Tidak hanya pada bagian di mana Hijau dan Arya berada, tapi juga di bagian lain. Kendati demikian, semua jambu yang jatuh meluncur ke tempat Hijau berdiri dengan baju dikembangkan. Pemandangan yang menakjubkan. Buah-buahan merah menggiurkan itu meluncur menyerong, seakan baju Hijau mempunyai daya tarik yang amat kuat.

"Luar biasa...! Tidak salahkah yang kita lihat ini, Sahabat? Jambu-jambu itu semuanya menuju kita. Luar biasa...! Kita akan kenyang, Sahabat. Kita akan kenyang...!" seru Hijau sambil tertawa kegirangan.

Arya tersenyum melihat tingkah Hijau. Kakek itu tertawa-tawa gembira sebagaimana seorang anak kecil yang menemukan mainan. Dia berkali-kali menoleh ke sebelahnya. "Cukupkah itu, untuk kau, Sahabat, dan aku?" tanya Arya.

"Cukup. Cukup, Anak Muda. Bukankah demikian, Sahabat?" Lagi-lagi kakek bungkuk itu menoleh ke sebelahnya. "Anak muda, Sahabat mengatakan sudah cukup. O ya, bisa kau beritahu bagaimana cara melakukan keajaiban seperti itu?"

Arya tercenung s esaat. "Sulit untuk mengat akannya, Hijau," katanya kemudian.

"Katakan saja, Anak Muda. Aku ingin memiliki kemampuan seperti itu. Ah, betapa senangnya. Aku tidak perlu takut kelaparan lagi. Katakan saja, Arya," desak Hijau.

Arya membisu. Bagaimana mungkin kakek itu bisa mempelajarinya. Yang dilakukannya tadi membutuhkan tenaga dalam amat kuat. Tidak sembarang tokoh persilatan mampu melakukan hal itu. Tenaga dalam sekuat dirinya membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dipelajari. Apalagi orang selemah Hijau yang tidak memiliki tenaga dalam sama sekali.

"Ayolah, Arya. Jangan pelit padaku. Kalau kau tidak mau mengajarinya, pandanglah Sahabat, pandanglah muka kawanku ini. Kuharap kau bersedia mengajariku, Arya. Aku ingin memiliki kemampuan seperti yang kau lakukan agar Sahabat tidak kelaparan."

Arya tidak punya pilihan lagi untuk mengelak. "Baiklah, Hijau. Aku akan memberitahu caranya. Tapi, bagaimana kalau kau tidak bisa melakukannya? Kau membutuhkan tenaga dalam untuk melakukan hal seperti yang kulakukan."

"Tenaga dalam?!" Hijau menyelak "Apa itu, Arya?"

"Sesuatu yang tersimpan di pusar. Seperti angin, berput aran di sana," jelas Arya. "Tenaga dalam ini dengan kekuatan pikiran kita arahkan ke mana yang kita mau. Tangan, kaki, atau apa saja yang diingini. Karena memiliki tenaga dalam kupusatkan perhatian pada tangan kananku yang kujulurkan ke pohon. Dan, itulah hasilnya, Hijau."

Hijau membisu. Sepasang matanya berputaran liar. Dahinya yang berkernyit dalam menjadi pertanda kakek ini tengah berpikir. "Jadi, semuanya berpokok pada sesuatu yang berputaran di pusar?" Hijau meminta penjelasan.

Arya mengangkat bahu.

"Di pusarku tidak ada sesuatu yang kau maksudkan itu, Arya. Tidak ada yang berputaran. Bagaimana aku bisa mengarahkannya ke tangan atau kaki?" tanya Hijau lagi sambil menatap Arya penuh rasa ingin tahu.

Arya tidak merasa heran mendengar pertanyaan itu. Ia telah menduga sebelumnya. Orang seaneh Hijau sulit untuk diberi pengertian. "Pusatkan pikiranmu pada pusar. Bayangkan seakan-akan di dalamnya ada tali. Lalu tali di pusar itu berputar. Kalau tidak timbul putaran sesuatu, berarti kau tidak bisa melakukan seperti yang aku lakukan tadi," jelas Arya.

Hijau tertegun. Ia mengangguk-anggukkan kepala seperti mengerti apa yang disampaikan Arya. Sepasang matanya lalu dipejamkan. Wajahnya ditundukkan. Agaknya dia tengah memusatkan pikiran untuk melaksanakan anjuran Arya.

Arya menggeleng-gelengkan kepala. Timbul rasa kasihan dalam hatinya. Bagaimana mungkin akan ada putaran di pusarnya kalau tenaga dalam saja tidak dimiliki?

"Ah...!"

Jeritan kaget Hijau mengejutkan Arya. Pandangannya segera dialihkan pada Hijau yang tampak bingung bercampur gembira. Matanya yang berputaran liar terlihat berbinar-binar.

"Apa yang terjadi, Hijau?!" tanya Arya. Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

Hijau tidak mempedulikan pertanyaan Arya. Dia malah menoleh ke sebelahnya, tempat Sahabat berada. Sepasang mata kakek bungkuk ini berbinar-binar. Suaranya sarat dengan kegembiraan.

"Sahabat, kau tahu apa yang kualami? Di dalam pusarku tengah berputaran. Ah, tidak tepat. Maksudku bergejolak sesuatu yang amat dahsyat. Aku dan kau tidak akan kelaparan lagi. Menyenangkan bukan? Kau setuju? Bagus!"

"Benarkah yang kau katakan itu, Hijau?" tanya Arya, buru-buru.

"Tentu saja, Arya! Untuk apa aku berbohong?!" tandas Hijau. "Bagaimana caraku untuk membuktikannya?"

Arya berpikir sejenak. "Pusatkan pikiranmu untuk mengarahkan tenaga dalam pada tangan kanan. Aku akan melemparkan batu kepadamu. Kau harus menerimanya. Setelah itu, pusatkan pikiranmu ke jari-jari untuk meremas. Jelas?!"

Hijau mengiyakan. Arya mengibaskan tangan kanannya. Batu sebesar kepatan yang ada di tanah meluncur ke arah Hijau. Arya tentu saja tidak bertindak gegabah. Tenaga yang dikerahkan hanya untuk membuat batu mempunyai bobot seekor kambing.

Pemuda ini baru merasa yakin dengan ucapan Hijau ketika melihat dia dengan enak saja menerima batu. Seakan batu itu tak ubahnya daun kering, ketika jari-jari Hijau digerakkan untuk meremas, batu pun hancur berantakan! Wajah Arya berubah hebat. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bukankah tadi telah dilihatnya sendiri Hijau tidak memiliki tenaga dalam.

Hijau seperti tidak mengetahui keterkejutan Arya. Dia terlalu gembira dengan hasil yang dicapainya. Kakek ini terkekeh-kekeh sambil sesekali berbicara pada Sahabat. Arya menatap wajah Hijau lekat-lekat. Untuk kedua kalinya dia terperanjat. Sepasang mata Hijau tajam mencorong dan bersinar kehijauan. Demikian tajamnya sehingga Arya kaget sekali. Sorot seperti itu hanya keluar dari orang yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi.

Hijau terus tertawa-tawa dengan biji mata berputaran liar. Ia lalu menjulurkan tangannya ke batang pohon jambu. Pohon itu terguncang-guncang hebat dan menjatuhkan buah-buahnya, seperti yang Arya lakukan tadi. Buah-buah itu semua meluncur ke arah si kakek.

Arya terbengong-bengong. Dia belum bisa berkata-kata ketika Hijau sibuk menyantapi buah-buah merah segar itu. Sesekali Hijau memberikannya pada Sahabat. Bertindak seakan-akan Sahabat menerima dan memakannya. Padahal, dia sendiri yang menyantap buah-buah itu. Tak sedikit pun keluar kata-kata yang ditujukan pada Arya. Baik itu berupa tawaran maupun basa-basi karena makan sendirian.

Cukup lama Arya menunggu Hijau selesai dengan santapannya. Sambil berdesah-desah kekenyangan dan mengusap-usap perutnya, kakek itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada Arya.

"Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan, Arya. Kemampuan yang kumiliki ini akan membuatku tidak kelaparan lagi. Begitu juga Sahabat. Terima kasih, Arya. Dan..., tunggu sebentar."

Tanpa peduli pada keheranan Arya melihatnya menghentikan ucapan, Hijau memejamkan mata. Arya yang telah tertarik dengan kakek ini jadi memperharikan gerak-gerik Hijau. Hanya sebentar saja Hijau memejamkan mata. Lalu dengan biji mata berputaran ditatapnya wajah pemuda berpakaian ungu lekat-lekat.

"Kau harus berhati-hati, Arya. Aku melihat bahaya akan menimpamu. Maut berkeliling di sekitarmu. Hanya yang mengherankan, asal bahaya itu datang dari orang-orang yang kau kenal. Berhati-hatilah."

"Aku tidak mengerti maksudmu, Hijau? Bahaya apa? Mengapa kau bisa mengetahuinya?" tanya Arya kebingungan.

Hijau tidak segera menjawab. Dia tercenung beberapa saat. "Aku juga semula tidak mengetahuinya, Arya. Mungkin inilah keanehanku. Setiap kali akan terjadi bahaya baik padaku atau orang di dekatku, telinga sebelah kananku akan berdenging nyaring. Mata kupejamkan. Dan aku mencoba bercakap-cakap dengan Sahabat. Dari Sahabatlah aku mengetahuinya. Katanya, ada bahaya yang mengancammu. Berhati-hatilah, Arya. Maaf, aku tidak bisa menemanimu lama-lama. Aku mempunyai urusan yang sangat penting. Sekali lagi terima kasih atas pelajaranmu. Apabila ada kesempatan pasti kita akan bertemu lagi. Selamat tinggal! Mari, Sahabat...!"

Tanpa memberi kesempat an pada Arya untuk memberikan tanggapan, kakek bungkuk melesat meninggalkan tempat itu. Ucapannya masih bergema, tapi tubuhnya sudah berada jauh.

Arya menghela napas berat sebelum mengyunkan kaki, pergi. Tubuh Hijau sudah tidak terlihat lagi. Tapi, benak Arya masih dipenuhi pikiran mengenai Hijau yang penuh rahasia.

DUA

Arya menghentikan langkahnya. Pemuda itu tengah berlari cepat melintasi hamparan pasir. Sejauh mata memandang yang kelihatan hanya pasir belaka. Tapi, ada sesuatu di sana. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam. Seluruh tubuhnya terbungkus. Mulai dari kepala sampai ujung kaki. Yang terlihat oleh Arya hanya bagian belakang tubuhnya. Sosok jangkung ini yang menyebabkan pemuda berpakaian ungu itu menghentikan langkah.

Arya mengerutkan sepasang alisnya. Dia mengenai bentuk tubuh sosok serba hitam ini. Sosok ini meninggalkan kenangan yang mendalam. Pertemuannya dengan sosok serba hitam amat membekas dalam jiwanya. Di tangan sosok inilah nyawanya pernah hampir melayang.

"Iblis Hitam...!" desis Arya, agak keras.

Sosok serba hitam seperti mendengar ucapan Arya. Tubuhnya dibalikkan. Sosok ini terlihat terjingkat kaget melihat keberadaan Dewa Arak delapan tombak di depannya. Sosok ini angker bukan main. Sekujur tubuhnya terlihat hitam. Ada dua lubang tepat di bagian mata untuk melihat. Tangannya terbungkus sarung tangan hitam. Kakinya juga tertutup sepatu hitam. Julukan Iblis Hitam memang sesuai untuknya.

"Dewa Arak...!" Iblis Hitam berseru. Terasa jelas nada kegembiraan dan keterkejutan di dalamnya.

Arya tersenyum lebar. Dia ikut melesat ketika Iblis Hitam menghambur ke arahnya. (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk Iblis Hitam ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: Peninggalan Iblis Hitam).

"Apa yang terjadi, Iblis Hitam? Mengapa kau bisa berada di tempat ini? Tempat yang amat jauh dari asalmu. Apakah ada keperluan penting? Kau seperti tengah menungguku. Kau tahu aku lewat tempat ini dan sengaja hendak memberikan kejutan?" tanya Arya bertubi-tubi setelah berjabatan tangan dengan Iblis Hitam.

Iblis Hitam menghela napas berat. Tindakannya membuat Arya menjadi heran. Perasaan tidak enak mulai muncul dalam hatinya. "Mungkinkah ini ada hubungannya dengan Pendekar Golok Baja yang menjadi kakak kandung Iblis Hitam? Apakah telah terjadi sesuatu terhadap Pendekar Golok Baja?" tanya Arya dalam hati.

"Kalau kukatakan hal yang sebenarnya mungkin kau tidak percaya, Arya," ucap Iblis Hitam hampir berupa keluhan. "Aku merasa seperti orang bodoh."

"Tidak ada salahnya kau menceritakan, Iblis Hitam," ujar Arya memberi semangat. "Apakah ini ada hubungannya dengan kakakmu?"

Iblis Hitam menggeleng. "Ini menyangkut diriku sendiri. Aku merasa aneh mengapa bisa berada di tempat ini. Bahkan, berdiri saja di tempat ini. Seperti ada yang kutunggu. Padahal, tidak tahu apa yang tengah kutunggu-tunggu. Dan...."

Arya heran melihat Iblis Hitam menghentikan ucapannya. Tokoh angker ini seperti terkesima. Kekagetan Arya berganti kecurigaan melihat kilatan maut dalam pandangan Iblis Hitam. Kecurigaan inilah yang menyelamatkan Dewa Arak dari maut. Dengan kecepatan yang menakjubkan Iblis Hitam telah mencabut sepasang kapaknya dan mengayunkan ke leher Dewa Arak. Yang kiri menyambar dari kanan, sedangkan yang di tangan kanan membabat dari kiri, saling bersilang!

Untung Arya telah lebih dulu melompat sebelum sepasang kapak Iblis Hitam yang berwarna hitam pekat dan mengeluarkan hawa dingin menyambar. Kalau tidak, pemuda berambut putih keperakan itu telah ambruk tak bernyawa.

"Iblis Hitam! Apa artinya ini?!" Dewa Arak berseru kaget ketika berhasil menjejak tanah. Sikap Iblis Hitam bisa berubah demikian cepat.

Tapi, pertanyaan Dewa Arak dijawab oleh Iblis Hitam dengan serangan sepasang kapaknya. Susul-menyusul dengan diiringi bunyi kesiutan angin menderu-deru. Mengerikan! Hal ini menyadarkan Dewa Arak kalau ucapannya tidak akan berguna. Kalau dia masih sayang nyawa, memberikan perlawananlah yang harus dilakukan. Kalau tidak dia akan mati konyol. Pemuda berambut putih keperakan ini segera meraih guci arak dan menenggak isinya.

Dewa Arak tahu betapa besar pengaruh sepasang kapak hitam di tangan lawan Kapak itu mengeluarkan hawa dingin yang dapat membekukan otot-otot. Arya pernah mengal aminya dulu. Maka, dia tidak berani bertindak gegabah. Pemuda ini bertarung dengan membuat jarak, tidak berani terl alu dekat. Arya terpaksa menggunakan pukulan-pukulan jarak jauh.

Iblis Hitam mengetahui siasat yang dipergunakan Dewa Arak. Dia pun berusaha sedapat mungkin memperpendek jarak. Pertarungan jadi terlihat aneh, seperti orang yang tengah berkejaran. Dewa Arak bertarung secara mundur, sedangkan lawannya terus mendesak maju. Jalannya pertarungan membuat tempat berlaga bergeser jauh.

Buk! Des!

Hampir berbarengan dua serangan yang dilancarkan kedua petarung itu bersarang di sasaran. Guci Dewa Arak menghantam dada Iblis Hitam dengan telak. Sebaliknya, tendangan Iblis Hitam mengenai pangkal lengan kiri pemuda berambut putih keperakan.

Tubuh keduanya terlempar ke belakang. Iblis Hitam mampu bangkit dengan cepat setelah bergulingan di tanah. Namun, Dewa Arak tak mampu bangkit lagi. Tubuh pemuda itu tergolek diam tidak bergerak-gerak.

Iblis Hitam yang semula sudah bersiap melancarkan serangan kembali segera mengurungkannya. Sepasang matanya menatap penuh selidik pada Dewa Arak yang tergolek di tanah. Hanya sebentar Iblis Hitam bersikap seperti itu. Sesaat kemudian, dengan diawali teriakan melengking nyaring, tokoh angker itu melompat. Sepasang kapaknya diayunkan.

Hal ini sudah diperhitungkan Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini tiba-tiba menghentakkan kedua tangannya secara bergantian. Dewa Arak melancarkan pukulan jarak jauh dengan jurus 'Pukulan Belalang'.

Iblis Hitam menggeram penuh perasaan kaget dan marah. Ia merasakan sambaran hawa panas menyengat. Tapi, tokoh ini memang memiliki kemampuan luar biasa. Sambaran angin berhawa panas dipapakinya dengan kedua kapak Iblis Hitam memang luar biasa! Tenaga benturan itu digunakan untuk salto ke depan. Setelah beberapa kali berputaran di udara, tubuhnya menukik turun ke arah Arya dengan sambaran sepasang kapaknya.

Dewa Arak menggulingkan tubuh untuk menyelamatkan diri. Iblis Hitam yang rupanya sudah bertekad membunuh pemuda berambut putih keperakan itu memburunya dengan serangan kapak Cepat dan bertubi-tubi. Ini membuat Arya tidak mempunyai kesempatan untuk bertindak apa pun selain bergulingan di tanah.

"Uhhh...!" Dewa Arak mengeluarkan keluhan tertahan. Gulingan tubuhnya terhenti. Ada sebuah benda yang tertabrak sehingga gulingannya tertahan. Pemuda ini mengerling. Sebatang pohon besar. Sekejap pemuda itu memutar benaknya mencari jalan untuk menyelamarkan diri.

Arya ternyata tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Sepasang kapak Iblis Hitam telah lebih dulu meluruk ke arahnya. Pemuda berpakaian ungu itu belum mau mati. Dewa Arak memutuskan untuk menangkis dengan menghantam pergelangan tangan Iblis Hitam. Sebuah tindakan yang amat berbahaya. Bagi seorang ahli kapak seperti Iblis Hitam mudah saja menggerakkan kapak, meski hanya dengan berporos pada pergelangan tangan. Kedua tangan Arya bisa terpapas buntung!

Trang, trang!

Terdengar bunyi nyaring dibarengi berpercikannya bunga api. Itu terjadi setelah ada bunyi berdesing yang mengiringi melesatnya sinar-sinar gelap memapaki sepasang kapak Iblis Hitam. Benda-benda berwarna gelap yang ternyata dua butir kerikil itu langsung hancur, begitu berbenturan dengan sepasang kapak. Tubuh Iblis Hitam tampak terhuyung-huyung ke belakang. Iblis Hitam meraung seperti binatang terluka. Tokoh angker ini marah bercampur kaget merasakan getaran kuat pada tangannya.

Dengan kilatan maut pada sepasang matanya, Iblis Hitam mengarahkan pandangan ke arah belakang Arya. Dalam jarak sekitar tiga tombak dari pemuda berambut putih keperakan berdiri seorang kakek berpakaian penuh tambalan. Anehnya, sobekan pakaian yang ditempelkan masih baru! Dalam model pakaian aneh itu terbungkus tubuh tua renta. Kelihatan ringkih dan lemah. Tidak hanya rambutnya yang telah memutih, tapi juga kumis, jenggot, dan alisnya. Tubuh kakek itu pun agak bungkuk.

"Tua bangka gila! Rupanya kau sudah ingin mati. Mampuslah!" Iblis Hitam tidak terlihat menjejakkan kaki untuk melakukan lompatan. Tubuhnya melayang cepat ke arah kakek berpakaian tambalan.

Dalam keadaan tubuhnya di udara, lelaki itu menyelipkan kedua kapaknya di pinggang. Rupanya, meski amat geram dan bermaksud membunuh, Iblis Hitam masih memiliki rasa malu untuk menyerang lawan tak bersenjata dengan pusaka andalannya.

Iblis Hitam melancarkan serangan dengan dorongan kedua telapak tangan terbuka. Si kakek tidak menunjukkan gambaran perasaan apa pun pada wajahnya. Tidak kelihatan kaget atau gentar meski dorongan kedua tangan Iblis Hitam menimbulkan bunyi seperti suara geledek.

Malah, si kakek memberikan tanggapan menakjubkan. Dia ikut melompat dan melakukan gerakan yang sama. Tak pelak lagi, benturan dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tidak bisa dihindarkan lagi. Tubuh keduanya lalu terjengkang ke belakang.

Iblis Hitam maupun si kakek seperti telah bersepakat sebelumnya. Mereka bersalto di udara kemudian kembali melakukan serangan seperti sebelumnya. Benturan kembali terjadi. Kali ini mereka melakukan dengan cara lain.

Iblis Hitam dan si kakek mengerahkan tenaga dalam menarik. Iblis Hitam yang melakukan pertama kali. Si kakek hanya mengikuti. Akibatnya, tangan mereka saling melekat satu sama lain. Dalam keadaan seperti itu, tubuh keduanya melayang turun hingga menjejak tanah.

Di sini pertarungan yang lebih menegangkan terjadi. Masing-masing berusaha sekuat tenaga memenangkan tarik-menarik itu. Yang kalah kuat akan mati lemas kehabisan tenaga karena tersedot lawan. Beberapa saat lamanya tidak terlihat siapa yang berada di atas angin. Tapi kemudian kedua kaki dan tangan Iblis Hitam menggigil. Semakin lama semakin keras. Si kakek masih belum menampakkan gejala seperti Iblis Hitam, meski wajahnya telah memerah.

Dewa Arak yang memperhatikan serangan Iblis Hitam pertama kali terhadap si kakek sudah tahu keadaan tokoh itu kurang menguntungkan. Apabila pertempuran terus berlangsung, nyawa Iblis Hitam bisa melayang. Arya bergegas menghampiri tempat pertarungan. Melalui ilmu mengirim suara dari jauh, dilontarkan pemberitahuan pada kakek berpakaian tambalan.

"Maafkan aku, Kek. Bukannya tidak menghargai pertolonganmu. Tapi, kuharap kau bersedia mengampuni lawanmu. Dia kawanku. Aku sendiri tidak mengira mengapa tiba-tiba dia hendak membunuhku. Aku yakin ada hal yang tidak wajar di sini. Maka, kuharap kau menyudahi persoalan ini. Sekali lagi aku minta maaf atas kelancanganku ini. Tak lupa kuucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas pertolongan yang kau berikan."

Si kakek menatap wajah Arya. Arya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kakek itu tidak memberikan tanggapan sama sekali. Tapi, hal ini tidak membuat Arya berkecil hati. Pemuda berambut putih keperakan ini merasakan kakek berpakaian tambalan menyetujui permintaannya.

Tanpa ragu-ragu Dewa Arak menghampiri Iblis Hitam. Hanya dengan sekali menggerakkan jari menotok bahu kanan, pemuda ini berhasil membuat Iblis Hitam lemas. Tak ubahnya sehelai kain basah tubuh Iblis Hitam terkulai ke tanah.

Pada saat yang bersamaan dengan tertotoknya Iblis Hitam si kakek menghentikan aliran tenaga dalamnya. Kalau itu tidak dilakukan nyawa Iblis Hitam akan melayang!

Dewa Arak membiarkan tubuh Iblis Hitam ambruk ke tanah. Ia buru-buru melompat ke samping ketika mendengar bisikan yang jelas di telinganya. Bisikan yang dikirim melalui ilmu mengirim suara dari jauh. Bisikan yang berupa perintah.

Baru saja Dewa Arak melompat si kakek telah memutar rambutnya yang panjang. Itu terjadi hanya dengan sedikit menggerakkan leher. Dari putaran rambut putih itu meluncur angin keras. Demikian kerasnya angin yang timbul sehingga tubuh Iblis Hitam sampai terguling-guling ke belakang. Cukup jauh. Tak kurang dari sepuluh tombak.

Arya memperhatikan saja tindakan kakek itu. Si kakek tidak hendak mencelakai Iblis Hitam. Hanya membuat tubuh Iblis Hitam terpental. Dugaan Arya tidak keliru. Begitu kekuat an yang menggulingkan tubuh Iblis Hitam telah habis, tokoh itu mampu bangkit berdiri.

Dewa Arak terkejut bukan main. Bukan karena Iblis Hitam yang menatap kakek berpakaian tambalan dengan sorot penuh ancaman. Tapi, karena Iblis Hitam telah berhasil bebas dari pengaruh totokan. Iblis Hitam tidak akan mampu bebas dari totokan secepat itu. Berarti si kakek yang membebaskannya.

Kenyataan ini menyadarkan Dewa Arak akan ketinggian ilmu si kakek. Dalam putaran rambut untuk melemparkan Iblis Hitam, dia bisa membebaskan totokannya. Arya sendiri tidak yakin akan dapat melakukan hal itu.

Iblis Hitam rupanya menyadari keadaannya yang tidak menguntungkan. Setelah melempar pandang penuh kebencian pada kakek berpakaian tambalan dan melayangkan tatapan penuh ancaman pada Dewa Arak, dia membalikkan tubuh lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu.

Arya diam saja. Begitu juga si kakek. Hanya kalau saja Dewa Arak menatap hingga tubuh Iblis Hitam lenyap di kejauhan, si kakek tidak mempedulikannya sama sekali. Wajahnya ditundukkan menekuri tanah.

Beberapa kali helaan napas berat keluar dari mulutnya. Dewa Arak yang tidak ingin menggangu keasyikan si kakek membiarkan saja. Arya hanya memperhatikan tanpa berani mengusik. Baru ketika si kakek mengangkat wajah dan menatap ke arahnya, Dewa Arak menyunggingkan senyum lebar.

Kembali si kakek tidak memberikan tanggapan. Wajahnya tetap dingin. Sinar matanya pun tidak terlihat beriak. Arya tidak merasa tersinggung. Pemuda ini malah memakluminya. Banyak tokoh persilatan yang memiliki watak aneh. Terutama yang telah memiliki kepandaian sukar diukur dan berusia lanjut. Meski Arya tidak mengerti mengapa seperti itu, tapi dia bisa memahaminya.

"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan, Kek. Kalau tidak ada kau mungkin aku sudah tidak ada di dunia ini," Arya membuka pembicaraan dengan wajah penuh persahabatan.

"Kau Dewa Arak, bukan?" tanya kakek itu tanpa mempedulikan ucapan terima kasih Arya.

"Begitulah orang-orang persilatan menjulukiku, Kek," Arya mengangguk. "Tapi, aku lebih suka dipanggil dengan namaku. Arya Buana namaku, Kek. Orang biasa menyapaku Arya."

"Apalah artinya panggilan nama atau julukan?" si kakek menggumam sendiri.

Tapi, Arya yang memiliki pendengaran tajam dapat menangkapnya. Kakek berpakaian tambalan lalu menatap ke langit. "Aku sendiri sudah lupa namaku. Malah, aku merasa benci dengan diriku sendiri. Yang kutahu, aku adalah ketua perkumpulan yang menjijikkan. Perkumpulan yang telah dibawa oleh orang-orang asuhanku ke jalan sesat Ahhh...! Betapa memalukan bila mengingatnya...."

Kembali Dewa Arak tidak mengusik keasyikan si kakek. Arya malah menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan keadaan penolongnya. Hati pemuda ini tercekat ketika melihat tangan si kakek yang berwarna merah darah. Merah sampai sebatas pergelangan tangan!

Tanda ini membuat Arya yang semula tidak bisa menduga siapa kakek itu kini mempunyai gambaran sedikit. Dia telah mendengar kabar yang tesiar di dunia persilatan mengenai perkumpulan pengemis yang memiliki ciri-ciri demikian pada setiap anggotanya. Perkumpulan Pengemis Tangan Merah demikian namanya.

"Apakah kau ketua perkumpulan Pengemis Tangan Merah, Kek?" tanya Arya ketika si kakek mengalihkan pandangan ke arahnya.

Kakek berpakaian tambalan mengangguk sambil menghela napas berat setelah beberapa saat menatap Dewa Arak lekat-lekat. "Mungkin pertanyaanmu perlu sedikit kuperbaiki, Anak Muda. Aku bukan lagi seorang ketua, melainkan orang buangan. Semua ini memang kesalahanku. Aku telah membuat perkumpulan itu jatuh ke dalam lumpur kehinaan. Entah bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan semua ini pada saudara seperguruanku...."

Kakek itu menggantung perkataannya. Wajahnya yang dingin terbias kabut kedukaan. Tampaknya kakek itu menderita tekanan batin.

"Mengapa kau tidak berusaha meluruskan kembali perkumpulan itu, Kek? Aku yakin dengan kemampuanmu tidak sulit melakukannya," Arya mengajukan saran.

"Apa yang kau ketahui tentang perkumpulan kami, Anak Muda?" tanya si kakek, dingin.

"Maaf, Kek. Bukannya maksudku untuk menggurui. Tentu saja bila dibandingkan denganmu sebagai tokoh puncak perkumpulan itu, pengetahuan yang kumiliki mengenai perkumpulanmu amatlah sedikit," kilah Arya buru-buru untuk meredakan suasana yang mulai memanas. Kakek berpakaian tambalan ini kelihatannya terlalu pemarah.

"Syukurlah kalau kau menyadari hal itu," suara si kakek melunak. "Tapi karena kau telah telanjur bicara dan membuat rasa ingin tahuku muncul, aku ingin kau kemukakan hal-hal yang kau ketahui tentang Perkumpulan Pengemis Tangan Merah."

Arya tidak punya pilihan lain kecuali menuruti kehendak si kakek. Dia merasakan adanya tekanan yang tidak menghendaki bantahan dalam ucapan kakek itu. "Yang kuketahui tidak banyak, Kek. Kalau kau bersikeras memaksa, aku tidak punya pilihan lain. Kuharap apabila yang kukemukakan ini berlainan dengan kenyataan kau tidak menjadi gusar karenanya. Dan...."

"Lupakan basa-basi itu! Aku bukan anak kecil yang mudah marah oleh hal-hal yang tidak berarti. Katakan saja apa yang kau ingin sampaikan!" potong si kakek tidak sabar.

TIGA

"Sepanjang pengetahuanku, Perkumpulan Pengemis Tangan Merah berjalan di jalur sesat. Telah banyak kudengar perbuatan tidak patut yang dilakukan anggota-anggotanya. Di samping banyak melakukan tindak kejahatan, perkumpulan itu pun telah banyak menewaskan para pendekar. Karena hendak mencegah merajalelanya Perkumpulan Pengemis Tangan Merah itulah aku berada di sini."

Arya menghentikan ucapannya. Dengan penuh selidik pemuda berambut putih keperakan ini mengawasi wajah kakek di depannya. Arya berusaha membaca perasaan yang tersirat di wajah si kakek Tapi, Arya tidak bisa menyimpulkan apa pun. Wajah kakek itu tidak berubah sedikit pun.Tetap dingin bagai tertutup topeng.

"Dan...," Arya melanjutkan ucapannya. "Menurut berita yang kudapat, Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan Merah adalah tokoh yang berjuluk Pengemis Tua Berbulu Putih. Itulah yang bisa kukatakan padamu."

"Semua yang kau katakan itu benar, Anak Muda," lesu ucapan kakek berpakai an tambalan. Selesu sinar matanya yang kuyu. "Memang demikianlah keadaan Perkumpulan Pengemis Tangan Merah, mengacau dunia persilatan. Patut kuacungi jempol pengetahuanmu mengenai perkumpulan itu. Kau tahu pula mengenai tokoh yang berjuluk Pengemis Tua Berbulu Putih. Apakah kau tidak bisa mengira-ngira siapa tokoh yang kau sebutkan itu?"

Arya membisu. Pemuda ini memperhatikan sekujur tubuh si kakek. Tatapannya beberapa kali berhenti pada rambut, kumis, alis, dan jenggot kakek berpakaian tambalan yang putih bersih.

"Benar, Anak Muda," seperti mengetahui dugaan dalam benak Dewa Arak, si kakek mengangguk. "Akulah orang yang kau sebutkan itu. Akulah Pengemis Tua Berbulu Putih. Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. Tapi itu dulu. Sudah lama jabatan itu kuserahkan pada orang yang kupercaya. Sungguh tidak kusangka kalau akhirnya akan seperti ini."

Arya tidak merasa kaget mendengar penjelasan kakek itu. Dia sudah menduga sebelumnya. Perasaan iba menyeruak di hati Dewa Arak. Dia bisa merasakan kehancuran hati Pengemis Tua Berbulu Putih.

"Maaf, Kek. Bukannya aku lancang atau menggurui. Tapi seperti yang kukatakan tadi, mengapa kau tidak berusaha meluruskan jalan perkumpulan itu? Aku yakin kau mampu. Apalagi mengingat jabatan yang dulu kau sandang."

Pengemis Tua Berbulu Putih mengurut dada dengan sikap prihatin. Dia tidak kelihatan gembira mendengar usul Arya. "Seperti juga yang kukatakan tadi, Anak Muda. Kau hanya tahu kulitnya saja mengenai perkumpulan kami. Mungkin perlu kujelaskan kalau Perkumpulan Pengemis Tangan Merah mempunyai aturan yang amat keras. Setiap anggotanya harus taat sepenuhnya pada orang yang memegang pusaka lambang perkumpulan. Pusaka itu dipegang oleh sang ketua. Baik buruknya perkumpulan ditentukan oleh dia. Apabila sang ketua telah bertitah dengan mengangkat tongkat lambang perkumpulan, tidak boleh ada bantahan apa pun dari para anggota. Itu sudah merupakan aturan mati. Anggota yang membantah akan dihukum dengan jalan bunuh diri di hadapan semua anggota perkumpulan!"

"Tidak terkecuali kau, Kek?" tanya Arya, ingin tahu.

"Tidak ada kecualinya, Anak Muda!" tandas Pengemis Tua Berbulu Putih. "Karena tidak tahan melihat kesesatan yang terjadi, aku memilih pergi meninggalkan perkumpulan. Aku hanya bisa mendengar dan menyaksikan semuanya dengan batin merintih sedih."

"Yang kuherankan, mengapa kau bisa salah memilih orang untuk menjadi ketua? Dan, mengapa kau mengundurkan diri dari jabatan itu kalau kau tahu malapetaka akan terjadi? Menurutku kau belum terlalu tua untuk menjabat pimpinan perkumpulan."

"Mungkin menurut penilaianmu belum terlalu tua, Anak Muda. Tapi, aku merasa sebaliknya. Aku sudah jenuh mengurus perkumpulan. Aku ingin menyepi dan bebas dari urusan. Kupilih muridku yang terbaik. Aku tidak salah memilih orang. Tapi karena ada orang yang berhati keji, semua ini terjadi. Ketua yang kuangkat terpengaruh ilmu hitam yang dilancarkan seseorang. Dia lalu bertindak bukan dari hatinya sendiri," jelas Pengemis Tua Berbulu Putih.

Arya mengeluarkan seruan kaget mendengarnya. Dia sungguh tidak menyangka hal itu. Meski demikian, dia tidak merasa heran. Banyak ilmu-ilmu aneh di dunia ini. Hal yang wajar jika Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan Merah terkena pengaruh ilmu hitam seseorang.

"Apakah kau tahu siapa orangnya, Kek?" desak Arya penuh rasa ingin tahu.

Pengemis Tua Berbulu Putih mengangguk pelan "Seorang musuh besarku. Ia dendam padaku karena pernah kukalahkan belasan tahun yang lalu. Seorang tokoh sesat yang berjuluk Penunggu Alam Kubur."

"Penunggu Alam Kubur?!" ulang Arya dengan alis berkerut.

"Kau mengenalnya, Anak Muda?" tanya Pengemis Tua Berbulu Putih penuh gairah, berbeda dengan sebelumnya yang dingin dan tak acuh.

Arya menggeleng. "Aku hanya mendengar beritanya saja, Kek. Kudengar dia seorang tokoh sesat yang amat sakti. Kabarnya dia telah mengundurkan diri dari dunia persilatan. Lenyap begitu saja tanpa ada yang tahu ke mana. Tokoh itu tidak pernah terlihat wajah maupun tubuhnya karena selalu berada di dalam peti mati. Ketika bertarung pun dia tetap tidak keluar dari tempatnya. Apa benar demikian, Kek?"

"Benar, Anak Muda. Tapi ketika bentrok denganku, peti matinya berhasil kuhancurkan! Dia dapat lolos dengan menyebarkan uap beracun. Karena kekalahannya itu dia tidak pernah muncul lagi ke dunia persilatan. Kendati demikian, aku kenal semua ilmu-ilmunya. Karena itu aku yakin kejadian yang menimpa perkumpulanku adalah ulahnya"

Suasana hening ketika Pengemis Tua Berbulu Putih menyelesaikan ceritanya. Kedua orang itu tenggelam dalam alun pikiran sendiri-sendiri.

"Lalu, apa tindakan yang akan kau lakukan, Kek?"

"Mencari dan membunuhnya, Anak Muda. Hanya itulah satu-satunya jalan agar Perkumpulan Pengemis Tangan Merah berhenti melakukan tindak kekejian!" jawab Pengemis Tua Berbulu Putih.Tegas dan mantap suaranya.

"Kau mempunyai dugaan di mana Penunggu Alam Kubur itu berada?"

Sorot mata yang semula berbinar-binar penuh semangat itu kini redup. Arya segera tahu jawaban yang akan didapatkannya. Kakek berpakaian tambalan menggelengkan kepala. Arya menghembuskan napas berat. Bagaimana mungkin mencari seseorang di dunia yang begini luas? Tanpa ada perkiraan sama sekali! Kapan akan bisa ditemukan? Sebulan? Setahun? Selama itu Perkumpulan Pengemis Tangan Merah akan merajalela tanpa dapat dicegah.

"Aku mempunyai seorang kenalan, Kek. Seorang tokoh aneh yang dapat meramalkan keberadaan seseorang hanya dengan kita menyebutkan ciri-cirinya. Dia berjuluk Peramal Gendeng. Sayang, tokoh itu sudah meninggalkan tempat kediamannya. Mengungsi ke tempat lain, karena tempat pengasingannya sudah diketahui orang," beritahu Arya setengah mengeluh.

(Untuk lebih jelasnya silahkan baca episode "Iblis Buta". Setelah bertempur dengan Jerangkong Penjagal Nyawa yang berakibat tokoh aneh itu celaka kalau tidak ditolong Dewa Arak, Peramal Gendeng pergi meninggalkan tempatnya).

Pengemis Tua Berbulu Putih tidak memberikan tanggapan.

"Meski demikian, bukan berarti aku tinggal diam, Kek. Aku akan berusaha menemukan Penunggu Alam Kubur," janji Arya.

Bekas Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan Merah menatap wajah Arya lekat-lekat. "Benarkah kau ingin membantu kami, Anak Muda?"

"Tentu saja, Kek!" tandas Arya.

"Mungkin kau tidak perlu bersusah-susah mencarinya. Meski tidak berani mengaku pandai dalam hal ilmu gaib, aku mampu merasakan getaran-getaran bila seseorang memiliki ilmu gaib. Kemampuan yang kumiliki hanya sampai di situ. Tapi itu kurasa lebih dari cukup. Perlu kau ketahui, Anak Muda. Pada dirimu kurasakan getaran-getaran itu. Kau memiliki ilmu gaib. Apakah dugaanku ini benar?"

"Maaf, Kek. Kurasa kau salah alamat. Aku tidak memiliki ilmu gaib!" bantah Arya.

"Benarkah demikian, Anak Muda?" Pengemis Tua Berbulu Putin tidak percaya. "Kurasakan getaran-getaran itu. Kuat bukan main. Ingat-ingatlah. Mungkin kau tidak menyadarinya. Andaikata benar kau tidak memiliki ilmu gaib, tak mungkin getarannya kurasakan. Apalagi demikian kuat!"

Keyakinan yang sangat dalam pernyataan Pengemis Tua Berbulu Putih membuat Arya merenung. Pemuda berambut putih keperakan ini kemudian teringat sesuatu. Dia memang tidak memiliki ilmu gaib. Tapi, pernah berhubungan dengan hal-hal gaib. Lebih tepatnya lagi dengan makhluk dari alam gaib. Beberapa kali makhluk yang berupa belalang raksasa itu masuk ke dalam tubuhnya.

"Mungkinkah yang kau maksudkan itu pernah masuknya makhluk dari alam gaib ke dalam tubuhku, Kek?" tanya Arya, meminta kepastian.

"Makhluk alam gaib masuk ke dalam tubuhmu, Anak Muda? Mungkinkah itu?! Kalau benar demi kian tidak aneh getaran-getaran yang kualami demikian besar. Ini benar-benar luar biasa! Bisa kau ceritakan mengapa makhluk alam gaib itu bisa masuk ke dalam dirimu? Boleh kutahu berbentuk apakah makhluk itu? Jin, raksasa, binatang, atau roh orang yang meninggal?"

Arya menghembuskan napas berat. Suaranya terdengar penuh penyesalan ketika berbicara. "Sayang sekali, Kek. Aku tidak bisa menceritakannya. Ini merupakan rahasia diriku. Maafkan aku. Bukannya aku tidak percaya padamu. Aku tidak bisa menceritakannya pada orang lain..."

"Aku bisa mengerti, Anak Muda. Kau tidak usah khawatir aku akan tersinggung. Kau tidak perlu meminta maaf. Itu hakmu!" sambut Pengemis Tua Berbulu Putih dengan nada dat ar. "Tapi, boleh aku mengajukan pertanyaan padamu?"

"Kemukakan saja, Kek. Barangkali aku bisa menjawabnya," jawab Arya, hah hati. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak berani langsung menyanggupi.

"Makhluk alam gaib itu masuk ke dalam dirimu sekehendak hatinya atau karena kau inginkan? Misalnya, kau panggil begitu?"

"Dia masuk apabila kupanggil."

"Sudah cukup, Anak Muda! Hanya itu pertanyaanku! Kalau kau benar-benar hendak membantuku, kuharap kau mau memanggil makhluk itu. Dari jawaban makhluk alam gaib itu kita bisa tahu di mana Penunggu Alam Kubur."

Arya termenung. Tidak langsung mengiyakan atau menolak.

"Bagaimana, Anak Muda? Kalau kau setuju cepat berikan jawaban. Aku bukan termasuk orang yang sabar. Jika tidak, aku akan pergi dan mencarinya sendiri," desak si kakek.

"Aku setuju, Kek." Arya segera mengambil keputusan. "Tapi, aku masih tidak tahu rencanamu."

"Sederhana saja," timpal Pengemis Tua Berbulu Putih. "Kau panggil makhluk itu dan perintahkan masuk ke dalam batu ini. Setelah itu tanyakan di mana Penunggu Alam Kubur. Nanti makhluk itu akan memberikan jawaban berupa tulisan di tanah!"

Tanpa menunggu jawaban Arya, si kakek menaruh sebuah batu yang tadi dipungutnya dari tanah. Sebutir batu sebesar kepalan tangan yang berujung runcing.

Arya masih bingung. Pemuda ini tidak yakin akan keberhasilan rencana Pengemis Tua Berbulu Putih. Memang diakui dia beberapa kali pernah memanggil belalang raksas a. Tapi untuk masuk ke dalam dirinya. Bukan ke dalam batu seperti yang dipinta si kakek Namun Arya sudah menyanggupi. Segera dipusatkan pikirannya dan memanggil belalang raksasa di alam gaib agar masuk ke dalam batu.

Beberapa saat kemudian angin berhembus. Pelan tapi dingin. Perasaan gembira bercampur lega muncul di hati Arya ketika melihat batu yang semula diam kini bergerak-gerak. Gerakan itu terhenti ketika batu berdiri dengan ujungnya yang runcing menempel di tanah.

"Sekarang perintahkan padanya untuk memberitahukan di mana Penunggu Alam Kubur, Anak Muda." Pengemis Tua Berbulu Putih segera berkata.

Kembali, Dewa Arak memusatkan pikiran. Dia berbicara di dalam hati untuk memerintahkan belalang raksasa yang telah berada di dalam batu. Begitu Arya selesai berbicara, batu itu bergerak-gerak. Ujungnya yang runcing menggurat-gurat tanah seperti ada tangan tak nampak yang menggerakkannya.

Arya dan Pengemis Tua Berbulu Putih memperhatikannya dengan penuh minat. Mata mereka seperti menempel pada gerakan batu. Ketika gerakan batu berhenti, di tanah terdapat sebaris tulisan. Arya dan Pengemis Tua Berbulu Putih membacanya cukup keras.

"Penunggu Alam Kubur berada di pegunungan kapur. Di salah satu gua yang dindingnya berupa tebing berbentuk gambar kepala harimau!"

Hampir berbarengan Arya dan si kakek menyelesaikan ucapannya. Arya menatap bekas pemimpin Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. Tapi, si kakek tak mempedulikan. Dia malah mengeluarkan sehelai kain hitam sepanjang dua jengkal. Cepat batu runcing diikat dengan kain hitam.

Arya mengernyitkan alisnya. Tidak mengerti dengan tindakan Pengemis Tua Berbulu Putih. "Apa yang hendak kau lakukan, Kek?" tanya Arya.

"Membawa batu ini, Anak Muda. Batu bekas tempat makhluk gaibmu akan menuntunku ke tempat yang benar. Apabila aku salah jalan, dengan adanya batu ini aku bisa merasakan getaran-getaran yang menunjukkan kesalahanku," beritahu Pengemis Tua Berbulu Putih.

"Apakah keterangan itu sudah cukup, Kek?" tanya Arya setelah mengangguk-anggukkan kepala memahami penjelasan si kakek.

"Petunjuk itu cukup jelas, Anak Muda."

"Kalau begitu, sudah saatnya makhluk gaib itu kuminta pergi."

Arya segera memejamkan mata untuk memusatkan perhatian. Tapi, segera dibukanya lagi ketika mendengar ucapan Pengemis Tua Berbulu Putih.

"Kau benar-benar buta dengan ilmu-ilmu gaib, Anak Muda?!"

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kek?" jawab Arya.

"Makhluk gaib itu sudah pergi!" tegas Pengemis Tua Berbulu Putih. "Makhluk itu pergi begitu selesai menuliskan petunjuk. Kukira kau mengetahuinya...."

"Aku tidak mengetahuinya, Kek. Aku tidak tahu makhluk itu telah pergi. Aku tahu kepergiannya kalau makhluk itu masuk ke dalam tubuhku."

Pengemis Tua Berbulu Putih menatap Arya lekat-lekat. Dia tengah mencari kesungguhan ucapan Arya dalam wajahnya.

"Kalau tidak mendengar sendiri, aku tidak akan percaya orang yang buta ilmu gaib sepertimu bisa memanggil makhluk dari alam gaib. Sulit untuk dipercaya," ujar si kakek kemudian.

Arya tersenyum simpul. Dia tidak memberikan jawaban. Di samping memang tidak perlu, pemuda berambut putih keperakan ini pun tidak tahu apa yang harus dikatakannya. "Sekarang apa yang akan kau lakukan, Kek? Mengejar Penunggu Alam Kubur?"

"Begitulah, Anak Muda. Tapi sebelum itu aku ingin menengok perkumpulanku!" ujar si kekek.

"Aku ikut, Kek!" Arya mengajukan diri. "Barangkali tenagaku yang kurang berarti ini dapat kusumbangkan untuk membantumu."

Pengemis Tua Berbulu Putih tidak memberikan jawaban. Yang dilakukan kakek berpakaian tambalan itu malah melesat pergi. Arya mengangkat kedua bahunya kemudian melesat menyusul si kakek. Meski tidak ada jawaban sedikit pun, menurut perkiraan Arya, kakek itu tidak keberatan dia ikut serta.

* * *

Dewa Arak merasakan kehebatan Pengemis Tua Berbulu Putih. Betapapun Arya telah mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya, jarak antara dia dan kakek itu tidak berubah. Sekitar delapan tombak. Arya yang terus menujukan pandangan ke depan jadi mengerutkan sepasang alisnya ketika melihat di kejauhan tampak beberapa orang tengah terlibat pertarungan. Seorang kakek yang tidak terlihat jelas ciri-cirinya karena cukup jauh tengah menghadapi lima orang lelaki berpakaian penuh tambalan.

Tangan kelima lelaki yang merah menunjukkan kalau mereka anggota Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. Arya bertambah heran melihat gerakan ilmu golok lawan kelompok pengemis. Ilmu golok kakek itu tidak asing bagi Arya.

Ternyata bukan hanya Arya yang tertarik dengan pertarungan itu. Pengemis Tua Berbulu Putih pun demikian. Kakek itu menghentikan larinya ketika jarak dengan kancah pertarungan tinggal lima tombak.

Arya menghentikan langkah di sebelah kiri kakek berpakaian tambalan itu. Dikerlingnya sejenak Pengemis Tua Berbulu Putih sebelum mengarahkan perhatian pada pertarungan. Dilihatnya wajah bekas Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan Merah itu biasa saja. Napasnya pun tidak memburu walau ada sedikit keringat di keningnya. Sementara Arya wajahnya agak memerah. Keringat pun tidak hanya di dahi, melainkan juga di leher dan di bawah hidung!

Ketika Arya mengalihkan perhatian pada kakek yang tengah bertarung, dia bertambah heran. Tidak salah dugaannya. Ilmu golok itu pernah dikenalnya. Kakek itu pun dikenalnya dengan cukup baik. Kakek yang wajahnya berbintik-bintik putih itu tidak lain Pandora. Pelayan kepercayaan Pendekar Golok Baja yang menjadi kakak kandung Iblis Hitam alias Kala Sunggi!

Yang menjadi pertanyaan Arya, mengapa Pandora berada di tempat ini? Adakah hubungannya dengan keberadaan Iblis Hitam? Padahal tempat tinggal kedua orang itu cukup jauh dari sini! Meski tengah memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh minat, Pengemis Tua Berbulu Putih sempat melihat ke arah Arya. Kakek itu menolehkan kepala menatap wajah Dewa Arak penuh selidik.

"Kau kenal kakek bergolok itu, Anak Muda?"

"Benar, Kek," Arya mengangguk. "Dia kawan baikku."

Pengemis Tua Berbulu Putih tidak mengajukan pertanyaan lagi. Dia segera mengalihkan perhatian pada jalannya pertarungan. Arya pun demikian.

EMPAT

Arya mengerutkan alis. Pemuda ini khawatir dengan keselamatan Pandora. Jika pertarungan ini terus berlangsung, keselamatan pelayan Pendekar Golok Baja itu terancam. Terlihat jelas oleh Arya gulungan sinar golok Pandora semakin menyempit, terdesak oleh gulungan sinar tongkat lawan-lawannya. Memang kepandaian Pandora berada di atas lawan-lawannya, tapi lima orang terlalu berat bagi Pandora. Apalagi kelima Iawannya itu mampu bekerja sama dengan baik.

Kekhawatiran Dewa Arak beralasan. Dengan sebuah gerak tipu yang baik dua orang anggota Pengemis Tangan Merah berhasil menjepit golok Pandora. Sebelum kakek berwajah bintik-bintik putih itu sempat berbuat sesuatu, tiga batang tongkat lawannya telah meluruk datang.

Pandora tidak punya pilihan lain. Jika dia bersikeras mempertahankan golok, nyawanya akan melayang. Maka meski dengan berat hati senjata andalannya itu dilepaskan. Kakek ini lalu melempar tubuhnya ke belakang. Gerakan Pandora ternyata kurang cepat! Salah satu tongkat lawan tetap bersarang di tubuhnya. Pangkal lengan kanan Pandora kena gebuk.

Telak dan keras. Tubuh Pandora terjengkang dan terbanting di tanah. Kakek ini memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sebelum sempat bangkit, lima lawannya telah meluruk maju dengan tongkat diayunkan. Pandora hanya bisa membelalakkan mata untuk menghadapi maut.

Pada kejadian ini, Arya tidak bisa tinggal diam lagi. Betapapun tidak diketahui penyebab pertarungan itu, tapi sudah jelas pihak yang diketahui Dewa Arak berada di jalan benar tengah terancam. Laksana seekor burung, pemuda berambut putih keperakan ini melayang ke dalam kancah pertarungan. Tubuhnya menyelinap di antara lima orang pengemis dan Pandora.

Bunyi berdentang nyaring beberapa kali terdengar ketika guci Dewa Arak berbenturan dengan tongkat para pengemis. Tongkat-tongkat itu langsung berlepasan dari pegangan. Tubuh pemiliknya terjengkang ke belakang. Tanpa mempedulikan lawan-lawannya, Arya segera membalikkan tubuh dan berjongkok memeriksa keadaan Pandora. Terlihat wajah kakek itu berseri-seri gembira. Bibirnya berkemik menyebut satu nama.

"Dewa Arak! Tidak kusangka bisa berjumpa di sini...."

"Selamat bertemu lagi, Pandora. Aku pun tidak menyangka akan bertemu denganmu. Biar kuperiksa dulu lukamu."

Cepat Arya memeriksa bagian tangan yang terkena pukulan tongkat. Ternyata tidak terlalu parah. Dengan beberapa totokan napas sesak Pandora pulih kembali. Bahkan, rasa sakit di dadanya pun langsung lenyap.

Walau sibuk mengurusi Pandora, Arya tidak meninggalkan kewaspadaannya. Pendengarannya dipertajam untuk mengetahui gerak-gerik lima pengemis di belakangnya. Karena itulah dia tahu mereka telah menggenggam tongkat masing-masing dan siap melancarkan serangan.

"Dewa Arak! Awas di belakangmu...!" seru Pandora ketika Pengemis-pengemis Tangan Merah menerjang Dewa Arak dengan ayunan tongkat.

Sebenarnya, Pandora tidak perlu memberi peringatan. Arya telah mengetahuinya. Pemuda berambut putih keperakan ini segera membalikkan tubuh seraya mengembangkan kedua t angannya. Akibatnya benar-benar menakjubkan. Kelima Pengemis Tangan Merah tak ubahnya terhantam angin badai. Tubuh mereka berpental an ke sana kemari seperti daun-daun kering.

Beruntung Dewa Arak masih memandang Pengemis Tua Berbulu Putih. Betapapun telah didengarnya tindak-tanduk anggota Perkumpulan Pengemis Tangan Merah yang keji, namun dengan adanya Pengemis Tua Berbulu Putih di situ kakek inilah yang lebih berhak untuk bertindak.

Biar bagaimanapun kakek ini sesepuh perkumpulan pengemis itu. Memberikan hajaran t erhadap mereka dengan adanya Pengemis Tua Berbulu Putih sama artinya tidak menganggap keberadaan beliau.

Seperti yang diduga Dewa Arak, lima Pengemis Tangan Merah tidak mempunyai pikiran sama sekali. Mereka tidak tahu Arya telah berlaku sangat mengalah. Begitu berhasil bangkit dari bergulingannya, mereka langsung bersiap untuk menerjang kembali.

Arya memutar benaknya. Pemuda ini jadi serba salah. Pengemis Tua Berbulu Putih belum juga melakukan tindakan. Di saat Arya telah mengambil keputusan untuk memberikan hajaran lebih keras, pendengarannya menangkap kesiuran angin dingin. Arya merasa lega. Pengemis Tua Berbulu Putih telah siap untuk bertindak.

Sekejap kemudian, di antara lima pengemis dan Arya, berdiri Pengemis Tua Berbulu Putih dengan kedua tangan di pinggang. Sikapnya kelihatan penuh wibawa. Lima Pengemis Tangan Merah terperanjat kaget. Tangan-tangan yang semula menegang siap melancarkan serangan, melemas kembali. Mereka saling berpandangan satu sama lain dengan sikap serba salah.

"Pengemis Tua, mengapa menghalangi maksud kami? Dia telah lancang mencampuri urusan kami?" tanya pengemis yang berhidung besar, suaranya terdengar pelan.

"Siapa yang hendak menghalangi maksud kalian? Aku malah menawarkan diri untuk kalian serang. Tidak usah tanggung-tanggung kalau bertindak. Ayo! Sekalian serang aku!"

Tongkat-tongkat yang tergenggam di tangan dijatuhkan ke tanah. Salah satu ujungnya menyentuh tanah, sedangkan ujung lainnya tetap berada di cekalan. Terlihat jelas kelima pengemis itu tidak berani meladeni tantangan Pengemis TuaBerbulu Putih.

"Mana kami berani?" lagi-lagi pengemis berhidung besar yang memberikan jawaban. Rupanya, kawan-kawannya telah memilihnya sebagai juru bicara mereka.

"Kalau begitu lekas kalian pergi dari sini. Sampaikan pada murid durhaka itu kalau aku akan mengunjunginya dan mencabut nyawanya! Cepat! Jangan tunggu kesabaranku hilang dan kalian kubunuh!" teriak Pengemis Tua Berbulu Putih dengan suara menggeledek.

Lima pengemis itu kembali saling berpandangan. Dalam adu pandang itu satu kesepakatan telah mereka capai. Setelah mengangguk hormat pada Pengemis Tua Berbulu Putih, mereka membalikkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Tak lupa sebelum melesat pandangan penuh kebencian dan ancaman dilayangkan pada Dewa Arak dan Pandora.

Tapi, kedua orang itu tidak mempedulikannya. Arya mengalihkan perhatian pada Pandora. Kakek itu telah berdiri tegak. Goloknya yang tergeletak di tanah telah disarungkan kembali dan diletakkan di belakang punggungnya. Pengemis Tua Berbulu Putih tidak mempedulikan Arya dan Pandora. Dia masih terpaku menatap kepergian lima Pengemis Tangan Merah.

"Mengapa kau bisa berada di sini, Kek? Apa pula masalahnya sehingga kau bentrok dengan para Pengemis Tangan Merah itu?" tanya Arya.

"Panjang sekali ceritanya, Dewa Arak," jawab Pandora. Dihelanya napas berat. Kakek itu lalu menengadahkan wajah menatap angkasa. Kemudian katanya setel ah menatap Arya sejenak, "Beberapa waktu yang lalu Tuan Prajasena mendapat kiriman surat melalui seekor burung. Surat itu berisikan pesan agar Tuan Prajasena segera datang ke sebuah tempat. Ada masalah penting yang harus dibicarakan segera. Tuan Prajasena pun pergi. Dia berpesan agar aku menyampaikan berita kepergiannya pada Tuan Kala Sunggi. Katakan saja ada masalah penting dengan kawan lama, pesan Tuan Prajasena padaku untuk disampaikan pada Tuan Kala Sunggi."

"Kau tidak tahu di mana tempat yang dimaksud kawan lama Tuan Prajasena itu, Kek?"

Pandora menggeleng.

"Barangkali kau tahu orang yang akan ditemuinya?" tanya Arya lagi.

"Sayang sekali, Dewa Arak," keluh Pandora "Tuan Prajasena tidak memberitahuku. Mungkin masalah yang tengah dihadapinya amat rahasia. Kalau tidak pasti akan diceritakannya padaku."

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sekarang, dia sudah bisa mengira-ngira apa yang tengah lerjadi. Pandora dan Iblis Hitam berada di tempat ini ada hubungannya dengan Prajasena alias Pendekar Golok Baja.

"Setelah batas waktu yang ditentukan Tuan Prajasena terlewat, kutemui Tuan Kala Sunggi yang tengah menyepi untuk mengasah batin. Kusampaikan surat Tuan Prajasena padanya. Tuan Kala Sunggi segera pergi menyusul."

Arya bertambah yakin kini. Sesuatu telah menimpa Iblis Hitam. Telah dilihatnya sendiri keanehan sikap Iblis Hitam. Berarti, sesuatu telah terjadi pula atas diri Pendekar Golok Baja.

"Tuan Kala Sunggi pergi," lanjut Pandora. "Beberapa hari kemudian dia kembali. Sikapnya berbeda sekali, Dewa Arak. Aku jadi khawatir dan cemas."

"Berubah bagaimana, Kek? Apakah dia menjadi jahat?" Arya teringat percobaan pembunuhan yang dilakukan Iblis Hitam terhadapnya.

"Tidak sampai separah itu," Pandora menggelengkan kepala. "Dia jadi sering termenung. Ketika kutanyakan mengenai nasib Tuan Prajasena, dijawabnya dia tidak pernah bertemu. Tempat yang dimaksud dalam surat ternyata kosong. Beberapa hari kemudian dia pergi. Tuan Kala Sunggi pamit padaku. Aku yang khawatir dengan keadaan Tuan Kala Sunggi serta mencemaskan kesel amatan Tuan Prajasena, memutuskan untuk pergi. Niatku hanya satu, Dewa Arak. Mencarimu dan meminta bantuanmu untuk menyelamatkan nasib tuan-tuanku itu."

Arya tercenung sebentar. "Ada rahasia besar di sini, Kek. Semua itu aku yakin berawal dari surat yang datang. Apakah kau sempat membacanya?"

"Tidak, Dewa Arak. Aku tidak berani bertindak selancang itu. Kalau tuan-tuanku memberi izin, mungkin keadaannya akan menjadi lain. Tapi ini tidak," keluh Pandora. Terasa benar nada penyesalan dalam suaranya.

"Aku telah berjumpa dengan Kala Sunggi, Kek," beritahu Arya dengan suara pelan, takut memberi kejutan.

"Benarkah?!" Pandora setengah terpekik. Dia kelihatan kaget dan gembira. "Lalu..., bagaimana, Dewa Arak?"

"Seperti yang kau ceritakan padaku. Kala Sunggi menjadi manusia baru."

Dengan singkat, Dewa Arak menceritakan pengal amannya berjumpa dengan Iblis Hitam. Pandora menarik napas berulang-ulang dengan sikap prihatin yang tidak bisa disembunyikan. Di dekat mereka, Pengemis Tua Berbulu Putih masih menatap ke tempat lima Pengemis Tangan Merah pergi.

"Hampir aku lupa, Kek," ucap Arya setelah menyelesaikan ceritanya. "Mengapa kau bentrok dengan Pengemis-pengemis Tangan Merah?"

"Mana mungkin aku berdiam diri melihat mereka membawa seorang wanita muda, Dewa Arak?" ujar Pandora dengan geram. "Meski nyawaku hampir melayang, tapi wanita muda itu bisa kusel amatkan. Dia telah pulang ke tempat tinggalnya."

"Hm...!"

Arya dan Pandora menoleh menatap Pengemis Tua Berbulu Putih. Kakek ini baru menggumam ketika mendengar percakapan Pandora dan Arya sampai pada permasalahan Perkumpulan Pengemis Tangan Merah.

Kakek ini merasa terusik. Pandora mengernyitkan alis, tak senang melihat pakaian Pengemis Tua Berbulu Putih. Dia baru menyadari kakek yang datang bersama Arya mengenakan pakaian sama dengan lawan-lawannya tadi. Pandora meraba hulu goloknya ketika tatapannya sampai pada tangan Pengemis Tua Berbulu Putih yang berwarna merah. Tidak keliru lagi, kakek ini pasti ada hubungannya dengan Perkumpulan Pengemis Tangan Merah, pikir Pandora.

Arya buru-buru menyentuh pergelangan tangan Pandora yang menggenggam golok. Kepalanya digelengkan memberi isyarat untuk tidak meneruskan maksud Pandora.

"Jangan samakan dia dengan para pengeroyokmu, Kek. Dia berbeda. Aku dan dia akan pergi ke perkumpulan itu untuk mencegah terjadinya kejahatan baru," jelas Arya.

Pandora menurunkan tangannya. Sekujur urat-urat syaraf yang menegang kaku mel emas kembali. Dia percaya penuh pada kejujuran Dewa Arak.

"Apakah kau akan ikut bersama kami?" Arya menawarkan.

"Sayang sekali, Dewa Arak. Aku lebih suka mencari Tuan Prajasena. Mudah-mudahan dia belum pergi jauh. Syukur kalau beliau mau mendengar ucapanku," tolak Pandora.

"Mungkin lebih baik demikian, Kek," timpal Arya setelah berpikir sebentar. "Kita berpencar untuk memecahkan masalah ini. Aku yakin, semua ini ada hubungannya dengan Perkumpulan Pengemis Tangan Merah."

"Terima kasih atas bantuanmu, Dewa Arak. Kalau ada umur pasti kita bertemu lagi. Selamat tinggal!"

Pandora lalu melesat meninggalkan tempat itu. Sebelumnya dianggukkan kepalanya sedikit, meski dengan kaku, ke arah Pengemis Tua Berbulu Putih. Rasa kurang senang Pandora semakin menjadi ketika melihat anggukannya tidak mendapat balasan. Kejengkelan itu dilampiaskan dengan mempercepat larinya. Di dalam hati kakek berwajah bintik-bintik putih ini memaki-maki.

* * *

"Sehabis hutan kecil ini beberapa ratus tombak di depan, di balik sebuah bukit kecil, tempat yang menjadi markas Perkumpulan Pengemis Tangan Merah," beritahu Pengemis Tua Berbulu Putih, tanpa menoleh.

Saat itu Pengemis Tua Berbulu Putih dan Dewa Arak tengah berlari cepat agar bisa sesegera mungkin tiba di Perkumpulan Pengemis Tangan Merah.

"Tak lama lagi kita harus bekerja keras. Bukankah demikian, Kek?" timpal Arya.

Pengemis Tua Berbulu Putih tidak memberi jawaban. Tapi sebentar kemudian, ketika pandangannya membentur sesuatu di depan, mulutnya bergerak membuka. "Tak perlu nanti. Sekarang juga kurasa kita sudah harus bekerja keras!"

Di mulut hutan sana berdiri tiga sosok tubuh. Sikap mereka kelihatan penuh ancaman. Jantung Arya berdetak lebih cepat ketika mengenali salah satu di antara mereka adalah Iblis Hitam! Dua sosok lainnya tidak dikenalnya. Melihat sorot mata mereka yang mencorong tajam, Dewa Arak tahu sosok-sosok yang berdiri di kanan-kiri Iblis Hitam memiliki kepandaian tinggi.

"Kau mengenail mereka, Kek? Salah satu dari mereka, yang berpakaian serba hitam, kukenal. Entah yang dua lagi," ujar Arya sambil terus berlari di sebelah Pengemis Tua Berbulu Putih. Jarak mereka dengan para penghadang masih berkisar lima belas tombak.

"Mereka bukan tokoh-tokoh sembarangan, Dewa Arak. Yang bertangan sebelah berjuluk Naga Berekor Tiga. Sedangkan yang berkulit hitam Macan Kumbang Maut!"

Arya kaget juga mendengar keterangan itu. Pengemis Tua Berbulu Putih memang tidak berlebih-lebihan. Dua tokoh di sebelah Iblis Hitam memang tokoh-tokoh besar. Naga Berekor Tiga merupakan datuk golongan putih. Dia amat terkenal. Nama besarnya tidak kalah tenar dengan julukan Iblis Hitam yang telah melegenda. Telah puluhan tokoh hitam roboh di tangan Naga Berekor Tiga.

Tokoh yang berjuluk Macan Kumbang Maut tak kalah hebat. Kalau Naga Berekor Tiga merupakan pentolan kaum putih, Macan Kumbang Maut merupakan dedengkot kaum sesat. Tak terhitung tokoh-tokoh golongan putih yang dibantainya. Bahkan, pentolan-pentolan kaum hitam yang menentangnya pun banyak yang tewas di tangannya. Menurut kabar yang tersiar di rimba persilatan, Naga Berekor Tiga dan Macan Kumbang Maut telah bentrok. Namun tidak ada yang kalah ataupun yang menang. Keduanya sama-sama menderita luka berat.

Sekarang, tiga tokoh besar itu bergabung menghadang perjalanan Dewa Arak dan Pengemis Tua Berbulu Putih. Arya menghentikan larinya ketika Pengemis Tua Berbulu Putih berhenti. Jarak mereka delapan tombak dengan para penghadang. Mengapa Naga Berekor Tiga dan Macan Kumbang Maut bergabung? Bukankah dua tokoh itu saling bertentangan? Tanya Arya dalam hati. Tidak pernah terdengar mereka bisa bersatu. Dua tokoh itu bagai minyak dan air. Teka-teki itu semakin besar ketika melihat para penghadang tidak bertindak apa pun. Mereka berdiri saja seperti orang kebingungan.

"Dewa Arak...!"

Seruan penuh kegembiraan Iblis Hitam membuat Arya heran bukan main. Sebagai orang yang telah kenyang makan asam garam dunia persilatan, Arya tahu panggilan penuh kegembiraan itu keluar dari lubuk hati yang tulus. Bukan tipuan. Bersamaan dengan dikeluarkannya panggilan itu, Iblis Hitam menghambur ke arah Dewa Arak. Tingkahnya seperti kawan lama yang tak menyangka akan dapat berjumpa. Arya terkesima. Dia bingung hendak bertindak bagaimana. Pemuda ini diam di tempatnya seperti orang dungu.

"Dewa Arak..?!" Ucapan penuh keheranan itu dikeluarkan Naga Berekor Tiga. Sepasang mata tokoh ini yang bersinar kehijauan menatap Arya penuh selidik.

"Inikah tokoh yang menggemparkan dunia persilatan itu? Masih begini muda. Luar biasa! Semuda ini sudah membuat nama besar...!"

Lain lagi sikap Macan Kumbang Maut. Dia tidak mempedulikan Dewa Arak. Pandangannya tertuju pada Pengemis Tua Berbulu Putih. Sinar matanya kelihatan garang.

"Kiranya kau di sini, Gembel Busuk? Sekaranglah saatnya bagiku untuk membuat perhitungan!" geram Macan Kumbang Maut seraya melangkah mendekati Pengemis Tua Berbulu Putih.

Baru beberapa tindak, langkah Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut terhenti. Tiba-tiba mereka terpaku. Lalu, kilatan hawa maut memancar pada sepasang mata mereka.

Arya yang sudah waspada sejak tadi langsung melompat ke belakang melihat keanehan pada Iblis Hitam. Tindakan ini membuat Dewa Arak lolos dan maut. Pada saat yang bersamaan dengan melompatnya dia ke belakang, Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut melancarkan serangan terhadapnya.

Iblis Hitam yang lebih dulu menyerang. Tokoh berpakaian serba gelap ini menggulingkan tubuh dan begitu bangkit berdiri langsung mengirimkan pukulan kedua tangan ke arah pusar Arya.

Tindak Macan Kumbang Maut lebih menakjubkan lagi. Tokoh sesat berkulit hitam legam ini mengeluarkan geraman keras seperti harimau murka. Sesaat kemudian, dia melompat dan mengirimkan sampokan tangan ke arah pelipis Dewa Arak.

LIMA

Arya menghembuskan napas lega. Bersyukur karena tidak meninggalkan kewaspadaan. Kalau tidak nyawanya pasti sudah melayang ke alam baka. Serangan mendadak tokoh-tokoh seperti Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut tidak bisa dibuat main-main!

Dewa Arak segera menenggak araknya. Sesaat kemudian tubuhnya mulai limbung. Kedua kakinya tidak menapak tanah dengan t etap. Pertanda ilmu 'Belalang Sakti' telah siap untuk dipergunakan.

Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut tidak tinggal diam. Keduanya langsung menerjang Dewa Arak. Iblis Hitam dengan sepasang kapak, sedangkan Macan Kumbang Maut mempergunakan sepasang cakar baja yang mempunyai pegangan. Pertarungan sengit pun segera pecah.

Bukan hanya Dewa Arak yang mendapat serangan. Pengemis Tua Berbulu Putih pun demikian. Naga Berekor Tiga meluruk ke arahnya dengan totokan bertubi-tubi. Tokoh bertangan satu ini mempergunakan lengan bajunya yang kosong. Mematuk-matuk bak seekor ular!

Pengemis Tua Berbulu Putih melompat jauh ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Di samping untuk mengelakkan serangan juga untuk membentuk kancah pertarungan lain yang tidak terlalu dekat dengan pertarungan Dewa Arak.

Dalam sekejap hutan yang semula hening berubah hingar-bingar. Bunyi berdesing, dan mengaung serta teriakan menyentakkan kesunyian. Kelompok penghadang memang memiliki kemampuan menggiriskan. Pengemis Tua Berbulu Putih, terutama Dewa Arak, dibuat kewalahan.

Merupakan hal yang wajar kalau Dewa Arak terdesak hebat. Kedua lawannya memiliki kepandaian yang dibilang sejajar dengannya. Sepasang kapak Iblis Hitam yang mengeluarkan hawa dingin benar-benar membuatnya kerepotan. Hawa yang mampu membekukan otot-otot itu anehnya tidak berpengaruh terhadap Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut. Mungkin karena dirinya yang diserang, duga Arya.

Sergapan hawa dingin dan serangan lawan-lawannya membuat Arya bertarung mundur. Dalam waktu singkat kancah pertarungan bergeser jauh Beruntung Dewa Arak memiliki langkah ajaib jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Sambil terus mengadakan perlawanan, lebih tepatnya bertahan, serangan Dewa Arak semakin lama semakin berkurang. Ia kini lebih sering mengelak atau menangkis, kalau dia nekat mau mengadu nyawa, bisa membawa salah satu lawannya ke akherat. Tapi Arya tidak mau melakukan hal itu. Mereka tidak ada urusan sama sekali. Jadi, tidak perlu membahayakan nyawa.

Apalagi terhadap Iblis Hitam. Tokoh ini tidak membencinya. Iblis Hitam terlihat gembira dengan pertemuan mereka. Sebelum mengambil keputusan yang diyakininya benar, Dewa Arak mengerling ke tempat pertarungan Pengemis Tua Berbulu Putih dan Naga Berekor Tiga. Kedua tokoh itu sudah tidak berada di situ lagi. Jalannya pertarungan telah membawa mereka terpisah dengan pertarungan Dewa Arak.

Arya menemukan akal yang bagus ketika pertarungan bergeser ke lapangan rumput yang luas. Lapangan yang ditumbuhi rumput setinggi pinggang. Pemuda ini menggulingkan tubuh setelah terlebih dulu membanting diri ke tanah mengelakkan serangan lawan.

Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut terus memburu. Tapi, sambil mengeluarkan keluhan kaget, mendadak keduanya melempar tubuh ke belakang. Gulingan tubuh Dewa Arak di rumput membuat tanaman itu meluncur ke arah mereka.

Bresss...!

Meski hanya rumput dan serangan itu tercipta berkat kemampuan Dewa Arak yang luar biasa, Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut tidak berani memandang remeh. Rumput-rumput itu mampu menembus dinding karang yang paling keras sekali pun.

Karena menangkis serbuan rumput yang demikian banyak bisa berakibat fatal, mengelaklah yang mereka pilih. Tindakan yang sudah diduga Dewa Arak itu segera dimanfaatkan sebaik-baiknya Pemuda itu melesat meninggalkan lawan-lawannya. Arya mengerahkan kemampuan larinya yang tertinggi. Hanya dalam beberapa lesatan tubuhnya telah berada belasan tombak di depan.

Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut tidak tinggal diam. Sambil menggeram marah mereka melesat, mengejar. Dewa Arak tidak mau menanggung akibat buruk. Dicarinya tempat -tempat yang penuh ditumbuhi pepohonan dan semak-semak agar para pengejarnya kehilangan jejak. Dia memang yakin ilmu larinya tidak kalah dari lawan-lawannya. Tapi, kalau diikuti terus membuatnya tidak nyaman.

Meski telah yakin Macan Kumbang Maut dan Iblis Hitam sudah tidak mengejar lagi, Dewa Arak tidak mengurangi kecepatan larinya. Kerimbunan semak-semak diterobos. Kerimbunan semak menguak membuat jalan setapak ketika Dewa Arak telah berjarak dua tombak. Semak-semak itu rebah ke kanan dan kiri.

Sambil terus berlari, Dewa Arak menyayangkan terjadinya penghadangan itu. Ini membuatnya gagal untuk mengunjungi Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. Sekarang dia telah kehilangan arah menuju tempat itu.

Krusak...!

Arya memperlambat lari. Perhatiannya dipusatkan pada pendengaran. Telinganya menangkap bunyi bergemerisik. Ada seseorang di tempat ini! Arya meningkatkan kewaspadaan. Siapa tahu Iblis Hitam atau Macan Kumbang Maut. Dugaan itu membuat Arya menghentikan lari dan melangkah hati-hati mendekati sumber suara. Arya tahu betapa lihainya dua pengeroyoknya. Bunyi yang lirih pun telah cukup untuk membuat mereka mendengar.

Arya mengernyitkan alis ketika mendengar bunyi itu semakin jelas. Pendengarannya yang amat peka bisa memperkirakan bunyi yang timbul, bukan dari langkah kaki, melainkan bunyi yang tercipta bila seseorang memetik buah atau daun! Arya terus bergerak. Bunyi itu berasal dari balik kerimbunan semak. Melalui celah-celah semak pemuda ini mengintai.

Tampak sosok ramping terbungkus pakaian serba merah. Sosok yang diyakini Arya milik seorang wanita muda berwajah cantik jelita. Tidak mungkin rasanya seorang yang memiliki bentuk tubuh seindah itu terdapat pada orang yang tidak berwajah cantik.

Sosok berpakaian merah yang berdiri membelakangi itu tengah memetik daun-daun. Arya tidak tahu nama daunnya, tapi biasa dipergunakan untuk pengobatan. Jari-jari lentik serta halus itu meletakkan daun-daun yang telah dipetiknya ke dalam keranjang rotan yang terjinjing di tangan kiri. Keranjang itu hampir penuh oleh berbagai macam akar-akaran, daun-daunan, serta biji-bijian.

"Ehem...!" Arya berdehem pelan untuk memberitahukan keberadaannya di tempat itu. Tapi, pemuda ini tidak menyangka sosok itu demikian terkejut. Dia sampai kaget dan bergegas berjingkat membalikkan tubuh.

"Maafkan kalau aku telah mengejutkanmu, Nona. Tapi, percayalah. Aku bukan orang jahat," ujar Arya buru-buru sambil menyibak semak dan memunculkan diri.

Sosok berpakaian merah memperbaiki sikapnya yang telah siap tarung. Kendati demikian, sinar kecurigaan tidak hilang dari sepasang matanya yang bening indah. "Apa maksudmu datang ke tempat ini? Apakah kau tidak tahu kalau di sini jarang didatangi orang? Tempat ini terpencil dan jarang orang tahu."

Suara itu demikian lembut dan merdu. Seindah bentuk tubuhnya. Sayang, wajahnya tidak demikian. Wajah itu buruk. Penuh totol-totol hitam. Bopeng!

"Tidak ada maksud apa pun, Nona," jawab Arya. Di dalam hatinya pemuda ini merasa kasihan dengan wanita muda berpakaian merah. Wajahnya itu pasti yang menyebabkan dia menyepi. "Aku hanya kebetulan lewat di sini. Aku dikejar-kejar orang jahat. Namaku Arya "

Sepasang mata bening indah itu membelalak kaget. "Arya?! Arya Buanakah namamu?" tanya gadis berpakaian merah.

"Benar, Nona. Apakah Nona pernah mengenalku? Atau, barangkali kita pernah bertemu?"

"Tidak!" Gadis bopeng itu menggelengkan kepala. "Kita tidak pernah bertemu. Aku pun belum pernah mengenalmu. Kau berjuluk Dewa Arak, bukan?"

Arya tersenyum seraya menganggukkan kepala.

"Kalau begitu cepat ikuti aku, Dewa Arak!" Seperti terhadap kenalan lama, gadis bopeng itu mengajak Arya. Dia berlari lebih dulu. Kelihatan terburu-buru.

Meski tidak mengerti dengan tindakan si gadis, tapi melihat sikapnya yang bersungguh-sungguh, Arya jadi tertarik. Dia ingin tahu apa yang akan ditunjukkan gadis itu.

"Kau hebat, Dewa Arak!" puji gadis berpakaian merah ketika dengan sekali lesatan Arya berhasil mensejajarinya. Padahal, pemuda ini telah ketinggalan sepuluh tombak. "Tidak aneh kakek yang tengah terluka itu menyebut-nyebut dirimu terus."

"Kakek?! Tengah terluka?" Arya mengernyitkan alisnya.

Sekelebatan dia teringat pada Pengemis Tua Berbulu Putih. Mungkinkah kakek itu terluka? Bukankah Naga Berekor Tiga terkenal memiliki kepandaian yang amat tinggi. Lagi pula, siapa lagi kalau bukan kakek itu.

"Apakah dia mengenakan pakaian penuh tambalan yang bahannya masih baru...?"

Si gadis cepat berpaling menatap Arya tajam-tajam dan penuh selidik. "Kakek yang kau sebutkan itu sahabatmu?!" tanyanya kemudian.

"Bisa dikatakan begitu."

"Kalau begitu, kau harus mampus!" Bersamaan dengan keluarnya ucapan penuh kebenci an itu, si gadis melompat menerjang Dewa Arak. Sekali menyerang gadis itu telah mengirimkan serangan mematikan. Tusukan tangan bertubi-tubi dilancarkan ke ulu hati Dewa Arak.

Arya memuji dalam hati begitu merasakan kekuat an serangan. Diakui kecepatan dan kekuat an tenaga dalam gadis bopeng itu mengagumkan. Tidak berada di bawah kepandaian Melati. Walaupun begitu, Arya tidak menemui kesulitan untuk menangkalnya. Dikerahkannya tenaga dalam seraya menarik tubuhnya ke belakang se-hingga serangan mengenai perut.

Akibatnya, sangat mengejutkan si gadis. Jari-jari tangannya seperti bukan membentur kulit manusia, melainkan besi baja yang sangat keras. Meski sakit si gadis ternyata memiliki kekerasan hati. Dia tidak mengeluh. Hanya seringai kesakitan menghiasi wajahnya.

"Kau benar-benar hebat, Penjahat Keji! Tapi jangan kira aku, Suliasih, akan gentar karenanya. Aku akan mengadu nyawa denganmu!" geram gadis bopeng sambil menghunus pedangnya yang tersampir di pinggang.

"Hiaaat...!" Diawali teriakan melengking nyaring gadis itu membabatkan pedangnya ke leher Arya. Sebuah serangan yang terlalu sadis untuk dilakukan seorang wanita. Apabila mengenai sasaran, kepala Dewa Arak akan terlepas dari tubuhnya!

Arya menggeleng-gelengkan kepala melihat serangan si gadis. Bisa diperkirakan besarnya kebencian gadis itu pada Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. Apa yang telah dilakukan mereka terhadap gadis ini? Tanya Arya dalam hati.

Seperti juga terhadap serangan sebelumnya, menghadapi serangan kali ini pun Dewa Arak bersikap tenang. Pemuda itu menunggu datangnya serangan. Ketika serangan menyambar dekat, Dewa Arak menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang putih keperakan dan panjang melayang ke depan, menegang kaku bagai sebat ang tongkat.

Prat!

Begitu mata pedang si gadis bertemu rambut Dewa Arak, rambut itu melemas kembali. Kemudian, melilit batang pedang. Gadis bopeng tidak tinggal diam. Dikerahkannya tenaga untuk menarik agar rambut Dewa Arak putus terbabat mata pedang. Tapi, usahanya sia-sia. Jangankan memutuskan rambut, membuat pedang itu bergeming saja tidak mampu!

Rasa penasaran membuat gadis itu bersikeras untuk menarik. Dewa Arak mengeluh dalam hati melihat sikap keras kepala si gadis. Lilitan rambutnya dikendurkan. Tak pelak lagi, tubuh gadis bopeng terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya. Di saat tubuh si gadis melayang, dengan kemampuannya yang luar biasa Dewa Arak melecutkan ujung rambutnya tiga kali.

Tuk! Tuk! Tuk!

Terdengar bunyi ketukan cukup keras. Si gadis mengeluh tertahan. Bahu kanannya bagai ditotok jari tangan. Padahal, Dewa Arak mengirimkan totokan jarak jauh dengan mempergunakan ujung rambutnya. Akibat totokan itu sekujur tubuh si gadis langsung lemas. Tenaganya lenyap entah ke mana. Dia tidak bisa berbuat apa pun untuk mengatur jatuh tubuhnya. Gadis itu terjengkang dan jatuh terbanting keras di tanah. Gadis bopeng menyeringai kesakitan.

Arya mengembangkan senyum persahabatan. Dengan langkah lebar diayunkan kaki mendekati si gadis. Gadis bopeng memasang wajah perang! Sinar matanya menyambar wajah Arya dengan kebencian.

"Maafkan kalau tindakanku agak kasar, Nona." Arya berkata dengan suara lunak. "Aku terpaksa melakukan hal ini. Hanya dengan cara inilah aku bisa menjelaskan duduk permasalahannya padamu."

Gadis bopeng tidak memberikan tanggapan yang mengenakkan hati. Pandangan dan biasan wajahnya tetap seperti semula, penuh permusuhan.

"Kuakui aku telah bersahabat dengan kakek itu. Tapi perlu kau ketahui, Nona, sahabatku itu tidak bisa disamakan dengan orang-orang Perkumpulan Pengemis Tangan Merah lainnya. Dia berbeda dengan yang lain."

"Belum pernah kudengar ada anggota Perkumpulan Pengemis Tangan Merah memiliki watak lain. Mereka semuanya bajingan! Penjahat-penjahat berkedok pengemis!" tandas gadis bopeng.

"Mungkin kau benar. Tapi, aku juga yakin kalau diriku tidak salah menilai. Telah kusaksikan sendiri sepak terjangnya. Kakek itu bekas pimpinan Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. Dia mengundurkan diri karena sudah merasa tua..."

Wajah gadis bopeng beriak. Terlihat jelas pemberitahuan Arya mempunyai pengaruh. "Apakah aku tidak salah dengar?" katanya.

"Tidak!" tegas Arya. "Kau tahu Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan Merah yang dulu?"

"Tentu saja!" tandas si gadis. "Beliau seorang yang memiliki watak mulia. Di bawah pimpinannya, Perkumpulan Pengemis Tangan Merah berada di jalan lurus. Beliau berjuluk Pengemis Tua...."

"Berbulu Putih," sambung Arya, cepat. "Nah! Beliaulah kakek yang kumaksudkan!"

"Bohong! Kau bohong, Dewa Arak! Kau penipu...!" geram gadis bopeng "Beliau telah lenyap dari dunia persilatan. Menurut kabar, beliau tewas di tangan Penunggu Alam Kubur!"

"Lalu, siapa yang kujumpai, Nona?" tanya Arya. "Mungkinkah ada orang yang iseng mengaku-aku sebagai Pengemis Tua Berbulu Putih? Kulihat sendiri pengemis-pengemis tersesat itu gentar ketika bertemu dengan beliau."

Arya lalu menceritakan semua yang dial aminya dengan Pengemis Tua Berbulu Putih sampai akhirnya bertemu Pandora. Gadis bopeng mengernyitkan alis ketika Arya menyelesaikan ceritanya. Dia kelihatan takjub.

"Seorang kakek bersenjatakan golok, Dewa Arak?" tanya si gadis, meminta penegasan.

"Benar!"

"Wajahnya penuh bintik-bintik putih?"

"Kau mengenalnya, Nona? Asal kau tahu saja, dia adalah kenalanku," beritahu Arya. Kemudian, menyambung ucapannya dengan gurauan. "Mudah-mudahan kau tidak menyerangku lagi karena tahu kakek itu adalah kawanku."

Gadis bopeng tersenyum. Arya harus mengakui senyum itu manis sekali. "Bagaimana mungkin aku bisa menyerangmu dengan keadaan seperti ini, Dewa Arak? Lagi pula andaikata bisa pun tak akan kulakukan. Mana mungkin aku menyerang kenalan baik penolongku."

Arya membelalakkan mata. Pemuda ini kaget mendapat jawaban yang tidak disangka-sangka itu. "Kalau begitu...," Arya menggantung ucapannya. "Kurasa sudah saatnya kau menanggalkan penyamaranmu, Nona. Tidak sepantasnya menyembunyikan wajah yang cantik di balik wajah menyeramkan itu."

Gadis bopeng kelihatan gelagapan. Wajahnya merah padam. Malu. Bukannya memberikan jawaban atau melaksanakan permintaan Arya, dia malah terdiam. "Dari mana kau bisa menduga wajah burukku ini hanya samaran, Dewa Arak? Kau sudah menduganya sejak tadi?" ujar gadis itu kemudian. Suaranya agak terbata.

"Tidak, Nona. Aku tidak tahu kalau wajahmu hanya bikinan. Samaranmu baik sekali sehingga mampu mengecohku. Aku dapat menduga demikian karena keteranganmu."

"Keteranganku?" si gadis mengerutkan alisnya.

"Benar. Keteranganmu yang mengatakan kalau kau adalah gadis yang ditolong Kakek Pandora. Yakin Pengemis-pengemis Tangan Merah tak akan mau mengganggumu kalau wajahmu buruk!" jelas Arya.

Gadis bopeng mengangguk-anggukkan kepala. Dia kelihatan puas mendengar jawaban Arya.

"Kurasa sudah saatnya aku membebaskanmu, Nona. Aku yakin kau tidak akan menyerangku lagi."

Arya menutup ucapannya dengan senyum. Si gadis ikut tersenyum. Arya menjentikkan jari. Gadis bopeng merasakan sesuatu menyentuh bagian tubuhnya. Aliran darahnya yang semula tertahan mulai mengalir lancar.

Si gadis mengerahkan tenaga dalam untuk membantu mempercepat aliran jalan darahnya. Sekarang, dengan wajah berseri-seri dan penuh persahabatan dia bangkit berdiri. "Maafkan tindakanku yang tidak patut, Dewa Arak!" ujarnya.

ENAM

"Lupakanlah, Nona. Aku justru kagum melihat sikapmu. Kau seorang pendekar wanita yang lihai!"

Kembali wajah gadis bopeng menyemburat merah. "Kau memang pandai memuji, Dewa Arak. Apalah artinya kemampuan yang kumiliki bila dibandingkan denganmu. Tidak ada apa-apanya. O ya, hampir lupa. Namaku Suliasih. Kau boleh memanggilku Suli atau Asih."

"Kuharap kau memanggilku dengan nama pula, Asih," ujar Arya tidak mau ketinggalan.

"Baiklah kalau begitu. Mari, De..., eh, Buana. Kita temui kakek yang selalu menyebut-nyebut namamu."

Suliasih melesat, mendahului. Arya menyusul setelah tersenyum geli mendengar sapaan Suliasih. Sapaan itu mengingatkannya pada Targoutai, tokoh Mongol yang amat sakti. Dewa Arak agaknya harus mengakui kebenaran ucapan Suliasih. Tempat ini memang tersembunyi dan jarang didatangi orang. Dia melihat sendiri buktinya. Suliasih berlari tidak menuruti jalan yang ada. Terkadang dia menerobos kerimbunan tanaman berduri. Gadis itu berlari melalui bawah tebing sungai. Sungguh sebuah tempat persembunyian yang amat bagus! Setelah melalui jalan yang berliku-liku, akhirnya Arya melihat sebuah pondok sederhana.

"Paman...! Aku datang!" Suliasih berseru nyaring begitu tiba di depan pondok. Suliasih mendorong pintu pondok. Kemudian melangkah masuk, diikuti Arya.

Tampak di ruangan tengah sesosok tubuh berpakaian putih terbaring di balai-balai bambu. Seorang lelaki gagah berusia lima puluhan. Wajahnya yang keras dihiasi cambang bauk lebat. Wajah Arya seketika berubah hebat. Ia mengenali lelaki yang tergolek itu. Lelaki gagah itu pun tampak terkejut melihat Arya. Seulas senyum lega tersungging di bibirnya.

Suliasih tersenyum melihat sikap lelaki berpakaian putih. Dia tidak merasa kecil hati meski keberadaannya seperti tidak dipedulikan.

"Dewa Arak, syukurlah kau datang kemari. Aku sudah hampir putus asa," ucap lelaki bercambang lebat.

"Pendekar Golok Baja...!" sahut Arya. Suaranya agak bergetar. Rasa haru menguasai perasaannya, membuat Arya tidak mampu mengendalikan suara.

Lelaki gagah yang bukan lain Pendekar Golok Baja, tersenyum getir. "Mengapa kau seperti ini, Pendekar Golok Baja? Apa yang terjadi pada dirimu?"

"Ceritanya cukup panjang, Dewa Arak," hampir berbisik Pendekar Golok Baja yang memiliki nama asli Prajasena itu berkata.

"Kurasa sebaiknya kau istirahat saja, Pendekar Golok Baja," usul Arya ketika melihat Suliasih datang membawa baki berisi godokan akar, daun dan biji-bijian. Arya menyingkir dari tepi balai-balai bambu, memberi tempat untuk Suliasih.

Arya sempat tercengang melihat wajah asli Suliasih. Cantik bukan main! Totol-totol di wajahnya sudah lenyap. Wajah itu kini putih dan halus. Dugaan Arya tidak meleset. Sosok yang memiliki bentuk tubuh menggiurkan itu memang berwajah jelita. Suliasih mengerling ke arah Arya. Sempat ditangkapnya sorot kekaguman pemuda itu. Suliasih merasakan jantungnya berdegup kencang.

Gadis itu segera menghapus bopeng buatannya agar Arya melihat kecantikannya. Suliasih telah jatuh hati pada Dewa Arak. Karena itu, dia berusaha mengeluarkan seluruh daya tariknya. Suliasih memberikan godokan obat-obatan pada Pendekar Golok Baja. Lelaki gagah itu segera meminumnya. Dengan langkah gemulai Suliasih lalu membawa bokor yang telah kosong ke dalam. Arya sempat melirik pinggul Suliasih yang bergoyang-goyang.

"Apa yang diceritakan Pandora memang tidak salah, Dewa Arak." Prajasena membuka suara setelah beristirahat cukup lama. Arya telah menceritakan semua pengalamannya pada lelaki gagah itu.

"Mengapa kau bisa jadi seperti ini, Pendekar Golok Baja?" Arya mengulang pertanyaannya yang tadi belum mendapat jawaban.

"Aku tertipu, Dewa Arak." Pendekar Golok Baja mulai bercerita. "Seperti yang diceritakan Pandora, aku mendapat kiriman surat. Kukira seorang sahabat baik yang mengirimkannya."

"Jadi..., bukan sahabat baikmu yang mengirim surat itu, Paman?" Arya mengubah panggilannya agar lebih akrab.

"Benar." Pendekar Golok Baja mengangguk. "Di tempat yang tersebut dalam surat tidak kujumpai kawanku itu. Yang ada hanya sebuah peti mati hitam berukir."

"Peti mati?!" Arya teringat tokoh yang selalu bersembunyi dalam peti mati. Tokoh yang diceritakan Pengemis Tua Berbulu Putih. "Tokoh itu yang berjuluk Penunggu Alam Kubur?"

"Siapa lagi?!" Pendekar Golok Baja menyambuti. "Dia mempunyai maksud buruk terhadapku. Kami terlibat pertarungan. Ternyata dia memang lihai. Tanpa menemui kesulitan aku dirobohkannya. Kemudian, dia keluar dari peti. Kau tahu, Arya. Tokoh itu ternyata memiliki ciri-ciri yang mengerikan. Sekujur tubuhnya dibalut kain kuning sebesar sabuk. Yang kelihatan hanya sepasang matanya saja. Matanya hijau dan mencorong seperti mata harimau dalam gelap!"

"Kau beruntung, Paman. Kau bisa melihat Penunggu Alam Kubur di luar peti matinya. Menurut berita yang kudengar, dia tidak pernah keluar dari tempatnya itu," timpal Arya.

"Dengan suaranya yang menyeramkan tokoh mengerikan itu memintaku menyerahkan titipan yang diberikan sahabat baikku. Tentu saja aku merasa heran. Meski bersahabat baik, kawanku itu tidak pernah menitipkan apa pun padaku," sambung Pendekar Golok Baja. "Penunggu Alam Kubur tidak percaya. Dia menyiksaku sampai hampir mati. Setelah itu aku ditinggalkannya."

"Kau tahu titipan yang dimaksudnya itu, Paman?"

"Semula tidak. Tapi belakangan, karena dikiranya aku pura-pura tidak mengerti, diberitahu oleh Penunggu Alam Kubur. Sebuah ilmu aneh yang tertulis dalam lembaran daun lontar. Menurut iblis itu pada lembaran daun tertulis pelajaran ilmu 'Perampas Sukma'. Ilmu yang diciptakan sahabat baikku. Entah mengapa Penunggu Alam Kubur tidak mencarinya langsung pada kawanku. Hhh...! Aku juga tidak mengerti mengapa kawanku lenyap."

"Boleh kutahu siapa kawanmu?" Arya tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

"Pengemis Tua Berbulu Putih."

"Ah...! Beliaukah orang yang kau maksudkan? Aku belum lama ini melakukan perjalanan bersamanya. Pertemuanku dengan pelayan setiamu justru di saat aku melakukan perjalanan dengannya!"

"Begitukah, Arya?!" Pendekar Golok Baja setengah tak percaya.

"Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja?"

"Dia sehat, Paman."

"Sekarang aku bisa mengira-ngira mengenai ilmu 'Perampas Sukma' itu, Arya." Pendekar Golok Baja mengelus-elus cambangnya.

Arya menatap lelaki gagah itu. Sejak tadi dia sebenarnya ingin menanyakan mengenai ilmu 'Perampas Sukma'. "Bagaimana, Paman?" tanya Arya kemudian.

"Kau sendiri bagaimana?" Pendekar Golok Baja balik bertanya.

Arya tidak segera memberikan jawaban. Dia tercenung sebentar. "Sejak semula aku sudah menduga Iblis Hitam menyerangku karena dipengaruhi sesuatu, ilmu gaib atau ilmu hitam. Pengemis Tua Berbulu Putih pun menduga demikian. Sayang, aku tidak tahu ilmu apa yang menyebabkan Iblis Hitam lupa segalanya. Aku hanya menduga pikirannya dikuasai seseorang. Itulah pendapatku, Paman."

"Pendapatku juga demikian, Arya," sahut Pendekar Golok Baja sambil tersenyum "Jelas sudah kalau penyebab semua itu adalah ilmu 'Perampas Sukma'. Hanya yang masih menjadi teka-teki, bagaimana hal itu bisa terjadi."

"Itulah yang membingungkan, Paman," sambut Arya, membenarkan. "Sebelum menyerangku dengan membabi buta Iblis Hitam masih sempat menegurku. Dia kelihatan gembira. Sekejap kemudian dia seperti terkesima, setelah itu menyerangku dengan kalap."

"Berarti..., di saat dia terkesima itu perintah untuk membunuhmu datang, Arya."

"Itu sudah pasti, Paman. Tapi, bagaimana hal itu terjadi? Apakah melalui ilmu mengirimkan suara dari jauh?" kilah Arya.

"Pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab kalau kita hanya berdiam diri di sini. Kita harus melakukan sesuatu. Menyelidiki rahasia besar ini."

"Kurasa bukan kita, Paman. Tapi aku!" timpal Arya, memperbaiki perkataan Pendekar Golok Baja. "Kau masih perlu beristirahat agar segera pulih seperti sedia kala. Biar aku yang menyelidiki masalah itu!"

"Aku sudah pulih, Arya! Aku telah sehat. Kita pergi bersama!" tandas Pendekar Golok Baja.

"Tapi, Paman...."

"Tidak ada tapi-tapian! Aku telah sehat. Obat-obatan yang diberikan Suliasih benar-benar menakjubkan. Tidak percuma gadis itu menjadi keturunan terakhir Malaikat Penyembuh yang terkenal sebagai tukang obat jempolan!"

Arya tidak membantah lagi. Pemuda berambut putih keperakan ini lebih memusatkan perhatian pada ucapan Pendekar Golok Baja mengenai Suliasih. Gadis itu keturunan seorang ahli pengobatan. Pantas demikian ahli mencari dan meramu bahan-bahan obat. Sayang, Arya tidak pernah mendengar tokoh yang berjuluk Malaikat Penyembuh.

"Kau hendak ikut dengan kami atau tinggal di sini saja, Suliasih?" tanya Pendekar Golok Baja ketika gadis itu muncul kembali di ruang tengah.

"Paman hendak pergi ke mana? Apakah sudah merasa sehat kembali?" Suliasih ganti bertanya, bukannya memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan padanya.

"Berkat kepandaianmu dalam pengobatan aku telah sehat kembali!" jawab Pendekar Golok Baja seraya tersenyum lebar. "Mengenai kepergian kami, aku sendiri belum tahu. Kau bagaimana, Arya?"

"Kurasa kita akan pergi ke pegunungan kapur. Mencari sebuah gua yang dinding tebingnya berbentuk kepala harimau. Itulah tempat tinggal Penunggu Alam Kubur," jawab Arya setelah tercenung sebentar.

"Mengapa menemui Penunggu Alam Kubur?"

"Karena, tokoh itu yang menjadi kunci rahasia ini," jelas Arya.

"Nah! Bagaimana, Suliasih? Kau mau ikut?" tanya Pendekar Golok Baja lagi.

"Sayang sekali, Paman," terdengar penuh penyesalan ucapan Suliasih. "Nanti malam aku akan memberikan penghormatan dua belas purnama kematian ayahku. Aku tidak bisa ikut. Tapi, seusai urusanku nanti aku akan menyusul ke tempat itu."

Arya dan Pendekar Golok Baja saling berpandangan.

"Kalau begitu urusan kami bisa dilakukan belakangan. Biar kami ikut menghadiri peringatan itu. Anggaplah sebagai tanda penghormatan kami terhadap mendiang ayahmu. Asih. Bagaimana, Paman?" ujar Arya.

"Sebuah usul yang bagus! Aku setuju sekali! Nah, Suli kepergian kami diundur. Kau bisa ikut!"

"Maaf kalau aku harus mengecewakan kau dan Paman. Bukahnya aku tidak suka. Tapi, menurut tradisi turun-temurun peringatan ini hanya dihadiri anggota keluarga. Tidak boleh ada orang luar. Aku tidak berani merubah tradisi itu. Aku pribadi senang apabila Paman dan Arya mau ikut. Tapi bagaimana? Aku khawatir dianggap tidak menghormati tradisi."

"Kalau begitu lupakan ucapan kami. Anggap saja tidak pernah ada. Kami berdua memaklumi alasanmu. Kau tidak perlu merasa bersalah," hibur Pendekar Golok Baja.

"Benar, Asih. Lupakan usulanku tadi. Tidak baik merubah tradisi," timpal Arya.

"Terima kasih atas pengertian Paman dan Arya. Aku hanya bisa mendoakan agar urusan kalian lancar."

Arya dan Pendekar Golok Baja menyunggingkan senyum lebar.

* * *

"Di seberang sungai ini tempat yang kau maksudkan itu, Arya. Memang, masih harus melalui hamparan padang rumput yang tingginya tak kurang dari dua meter. Tapi, tak jauh dari situ akan terlihat dinding kapur berbentuk kepala harimau!" jelas Pendekar Golok Baja seraya menudingkan jari telunjuknya.

Arya melayangkan pandangan ke depan. Menatap deretan gunung kapur yang membentang. Jantungnya berdebar tegang mengingat di tempat itu bercokol tokoh sesat yang menggiriskan hati.

"Kelihatannya sepi-sepi saja." Lagi-lagi, Pendekar Golok Baja yang berbicara.

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sekitar tempat itu memang tidak terlihat sepotong makhluk hidup pun.

"Siapa sangka kalau di balik kesunyian ini tersembunyi tokoh yang luar biasa," gumam Arya, pelan.

Pendekar Golok Baja menghela napas berat. Ia kelihatan resah. Lelaki ini teringat nasib adik kandungnya. Kala Sunggi alias Iblis Hitam berada dalam pengaruh Penunggu Alam Kubur.

"Paman, lihat...! Siapa yang bergerak mendatangi? Bukankah itu adik kandungmu?" Arya yang tanpa sengaja menoleh ke belakang, berseru agak keras.

Laksana disengat ular berbisa Pendekar Golok Baja membalikkan tubuh. Apa yang dikatakan Arya memang tidak salah. Sesosok tubuh serba hitam melesat ke tempat dia dan Arya berada. Pendekar Golok Baja merasa tegang bukan main. Meski jaraknya masih seratus tombak, dia tahu sosok yang tengah berlari cepat itu adalah Iblis Hitam alias Kala Sunggi, adik kandungnya.

Seperti juga Pendekar Golok Baja, Arya dililit perasaan yang sama. Sebuah pertanyaan bergayut di benaknya. Bagaimana keadaan pikiran Iblis Hitam saat ini?

"Dewa Arak...? Kakang Prajasena...!" Seruan yang terdengar keras sekali membuat Arya dan Pendekar Golok Baja saling bertukar pandang dengan perasaan lega. Iblis Hitam terus berlari mendekati mereka.

"Kurasa kita tidak boleh membuang-buang waktu, Paman," bisik Arya. "Mumpung pikirannya sedang normal. Mungkin kita bisa mencari tahu penyebab kejadian yang menimpa dirinya."

"Aku pun tengah menimbang-nimbang hal itu, Arya. Syukur kalau kau berpendapat sama. Aku merasa lebih mantap melakukannya."

Begitu Pendekar Golok Baja selesai dengan ucapannya, Iblis Hitam telah berada di hadapan mereka. Sepasang mata tokoh yang luar biasa ini tampak berbinar-binar.

"Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan kau dan Dewa Arak, Kakang. Adakah urusan yang amat penting sehingga kalian berdua bisa melakukan perjalanan bersama?"

"Mengenai hal itu bisa kuberitahukan belakangan, Sunggi," kilah Pendekar Golok Baja, buru-buru. "Sekarang, katakan tujuanmu datang ke tempat ini!"

Iblis Hitam terdiam. Meski wajahnya tidak terlihat, tapi dari gerakan dan sinar matanya kelihatan kalau tokoh ini kebingungan. "Tujuanku, Kakang?" ulang Iblis Hitam dengan suara mengambang. "Aku..., tidak tahu. Yang jelas aku ingin pergi ke deretan pegunungan kapur di sana."

Arya dan Pendekar Golok Baja saling berpandangan sesaat. Jelas, pegunungan itu tempat tinggal Penunggu Alam Kubur. Perubahan sikap Iblis Hitam bertalian erat dengan Penunggu Alam Kubur.

"Apakah kau tidak merasakan hal ini sebagai sesuatu keanehan, Kala Sunggi?" ujar Arya, cepat. Khawatir tokoh yang dulu menjadi lawan beratnya ini keburu lupa ingatan. "Kau menuju ke sana tanpa alasan! Ingat-ingatlah, Kala Sunggi. Aku yakin kau mampu mengingatnya."

Kala Sunggi membisu. Pandang matanya menatap tajam pada satu titik.Tokoh ini tampaknya tengah berpikir.

"Mengapa sejak tadi aku tidak merasakan keanehan ini? Kau benar, Dewa Arak. Ini terasa ganjil?"

"Ingat-ingatlah, Sunggi," ucap Pendekar Golok Baja. "Kau pergi ke tempat itu atas dasar keinginan hatimu atau bukan?"

Arya mengangguk-anggukkan kepala mendengar pertanyaan yang diajukan lelaki gagah itu. Sebuah pertanyaan yang tepat.

"Keinginan hati?" gumam Iblis Hitam setelah berdiam cukup lama dengan kepala tertunduk. "Rasanya tidak, Kakang. Benar. Tidak! Keinginanku pergi ke tempat itu muncul tiba-tiba. Ya, mengapa aku tidak memperhatikan keanehan-keanehan ini?"

"Selama ini pikiranmu tertutup oleh ilmu langka yang dikuasai seorang tokoh hitam yang berjuluk Penunggu Alam Kubur!" jelas Pendekar Golok Baja.

"Kau sering bertindak tanpa sadar, Kala Sunggi" Arya menambahkan. "Dua kali kau berusaha membunuhku."

"Ahhh...!" Kala Sunggi berseru kaget. "Benarkah itu , Dewa Arak, Kakang Prajasena? Benarkah aku telah menjadi demikian pikun?"

"Aku sendiri tidak melihatmu melakukan tindakan itu. Tapi mungkinkah Dewa Arak berbohong, Sunggi? Lagi pula, kulihat sendiri sekarang keanehan sikapmu. Kau pun telah menyadari keanehan itu," urai Pendekar Golok Baja.

Iblis Hitam membisu. Telah dibuktikannya sendiri keanehan sikapnya. Sesuatu yang mengerikan telah terjadi pada dirinya. Dia telah menjadi budak seseorang!

TUJUH

"Aku menyesal sekali atas kejadian itu, Dewa Arak," ujar Iblis Hitam dengan suara berat. Aku merasa tidak pernah menyerangmu. Aku tidak ingat sama sekali kejadian itu."

"Lupakanlah, Kala Sunggi. Waktu itu kau berada dalam keadaan tidak sadar. Kau berada di bawah pengaruh seseorang," sahut Arya, bijaksana.

"Yang penting sekarang," Pendekar Golok Baja menambahi. "Kau ingat-ingat semua kejadian yang telah kau alami. Mulailah dengan peristiwa yang kau temui setelah Pandora memberitahukan kepergianku."

"Aku ingat, Kakang!" sentak Iblis Hitam setelah tercenung sebentar. "Begitu menerima kabar dari Pandora, dengan berbekal surat yang dikirimkan Pengemis Tua Berbulu Putih, aku pergi menyusulmu. Ternyata di sana tidak kujumpai siapa pun.Tidak sahabatmu juga dirimu, Kakang."

"Mungkin saat itu aku sudah mendapat pertolongan," jawab Pendekar Golok Baja.

"Setelah mencari sekitar tempat itu, aku berniat kembali. Pencarianku gagal. Kupikir kau mungkin telah kembali ke rumah. Mungkin saja di tengah jalan berselisihan karena kita berdua menempuh arah yang berlainan."

Iblis Hitam menghentikan ceritanya untuk menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang kering. Pendekar Golok Baja dan Dewa Arak menunggu kelanjutan ceritanya dengan sabar.

"Tapi, di tengah perjalanan kembali aku dicegat sebuah peti yang melayang-layang di udara dan mendarat di depanku," lanjut Iblis Hitam.

Arya dan Pendekar Golok Baja menganggukkan kepala. Dugaan mereka ternyata tidak keliru. Penunggu Alam Kubur mempunyai andil besar dalam rahasia ini.

"Aku terlibat pertarungan dengan peti hitam berukir itu. Penghuni peti mati itu ternyata lihai bukan main. Ahhh...! Sekarang aku ingat!"

"Apa yang kau ingat, Sunggi?" tanya Pendekar Golok Baja, penuh harap.

"Aku menangkap bunyi mendenging tinggi yang hampir tidak terdengar telingaku. Saat itu aku merasa pusing sekali. Aku berusaha melawan dengan mengerahkan tenaga dalam. Usahaku sia-sia."

"Apa yang terjadi setelah itu, Kala Sunggi?" Arya tidak kuasa menahan perasan tertariknya.

Iblis Hitam terdiam. Wajahnya yang tertutup selubung menekuri tanah. "Entahlah, Dewa Arak" Tokoh menggiriskan hati ini menggeleng kepala. "Aku tidak ingat apa-apa lagi setelah itu."

Pendekar Golok Baja menatap Arya. Lelaki ini tidak bisa menarik kesimpulan apa pun. Semuanya masih diliputi rahasia. Iblis Hitam lupa diri setelah mendengar lengkingan tinggi. Mungkinkah itu ilmu 'Perampas Sukma'?

"Sekarang aku sedikit mengerti, Paman." Arya membuka suara.

Pendekar Golok Baja menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu "Bagaimana, Arya?"

"Kemungkinan besar nada yang melengking tinggi itu merupakan cara untuk menguasai pikiran Iblis Hitam."

"Mungkin itu benar, Arya. Tapi bagaimana dengan perintah-perintahnya? Tak mungkin bila lengkingan itu mengandung pengertian yang beragam. Menyerangmu, pergi ke tempat ini, menunggu di mulut hutan, dan sebagainya." Pendekar Golok Baja membantah. Agaknya dia kurang setuju dengan pendapat Arya.

"Apa yang kau kemukakan memang tidak salah, Paman. Namun, mungkin perlu kujelaskan sedikit. Lengkingan itu tidak berisikan perintah...."

"Aku mengerti maksudmu, Arya." Pendekar Golok Baja tak sabar menunggu Arya selesai dengan ucapannya. "Lengkingan tinggi itu hanya untuk menghilangkan kesadaran sebelum orang itu dipengaruhi. Perintahnya diberikan kemudian. Dengan demikian, tidak ada hal yang diingat oleh Iblis Hitam. Karena, kejadian atau hal-hal yang dilakukannya terjadi di saat dia sedang tidak sadar."

"Begitulah maksudku, Paman," ujar Arya. "Perintah-perintah dilakukan dengan cara mengirim suara dari jauh. Atau melalui pikiran. Ini bisa terjadi karena sudah ada hubungan sebelumnya antara mereka."

"Apakah saat diserang Kala Sunggi kau mendengar bunyi lengkingan itu, Arya?" tanya Pendekar Golok Baja.

Arya mengernyitkan kening. Perlahan-lahan kepalanya digelengkan. "Kurasa setelah berhasil mempengaruhi seseorang dengan lengkingan pertama kali bunyi itu tidak diperlukan lagi."

"Mengapa?"

"Karena tidak memberikan hasil yang cukup memuaskan!" tandas Arya. "Berapa jauh jarak yang bisa dicapai seorang manusia, betapapun tinggi kepandaiannya kalau hanya mempergunakan lengkingan?"

Pendekar Golok Baja merenung. Sesaat kemudian, meski dengan kaku dan pelan-pelan, kepalanya dianggukkan. "Berarti untuk mencapai hasil yang memuaskan cara yang digunakan adalah melalui pikiran."

"Tepat sekali. Aku pun berpendapat demikian. Seperti yang kukatakan tadi, bukankah telah terbentuk semacam hubungan batin antara Iblis Hitam dengan pelaku kekejian itu! Jadi, melalui pikiran perintah-perintah dapat dengan mudah diberikan."

"Satu masalah telah teratasi, Arya," ujar Pendekar Golok Baja, gembira. "Tinggal masalah yang besarnya. Setelah ini kau akan terbebas dari pengaruh tokoh keji itu, Sunggi."

Senyum yang menghias bibir Pendekar Golok Baja langsung buyar ketika menoleh pada Iblis Hitam. Adik kandungnya tengah terkesima seperti memikirkan sesuatu. Pendekar Golok Baja segera tahu perintah-perintah untuk Ibiis Hitam sedang diberikan.

Pendekar Golok Baja mengerling pada Dewa Arak. Pemuda itu pun tengah memperhatikan Iblis Hitam. Arya lalu menoleh menatap Pendekar Golok Baja. Lelaki gagah itu mengerti arti tatapan Dewa Arak. Dia pun sadar tidak ada yang bisa dilakukannya, kecuali menunggu peristiwa yang akan terjadi.

* * *

"Mau ke mana, Sunggi?"

Hanya dengan sedikit menggeser kaki, Pendekar Golok Baja telah berdiri di hadapan Iblis Hitam Tokoh berpakaian serba hitam ini hendak meninggalkan tempat itu. Pendekar Golok Baja yang memperhatikan gerak-geriknya cepat bertindak.

Arya dan Pendekar Golok Baja melihat sepasang mata Iblis Hitam seperti mengeluarkan api. Terlihat sorot tidak senang yang sangat.

"Siapa pun kau, menyingkirlah! Jangan halangi jalanku. Jangan tunggu sampai kesabaranku habis!"

Pendekar Golok Baja menghela napas berat. Resah hatinya melihat Iblis Hitam tidak mengenalinya lagi. Perkataan yang ditujukan padanya sarat dengan ancaman. Pendekar Golok Baja meraba hulu golok. Iblis Hitam mulai mencekal gagang sepasang kapaknya. Arya yang melihat ketegangan mulai tercipta segera bertindak. Disentuhnya pergelangan tangan Pendekar Golok Baja, kemudian digelengkan kepalanya.

"Kurasa tidak perlu kekerasan seperti ini, Paman," ujar Arya pelan. "Bagaimanapun juga dia adikmu, tambahan lagi tengah berada dalam pengaruh tokoh jahat. Selama dia tidak menyerang kurasa tidak menjadi masalah. Yang penting, kita harus cepat mengirim biang keladi semua ini ke alam baka!"

Otot-otot Pendekar Golok Baja melemas kembali. Disadarinya kebenaran ucapan Arya. Memang, yang penting adalah Penunggu Alam Kubur. Apa bila tokoh itu telah dilenyapkan dengan sendirinya pengaruh ilmu kejinya akan pupus.

Seperti mengetahui kalau Pendekar Golok Baja menyelesaikan persoalan, Iblis Hitam menjauhkan jari-jarinya dari sepasang kapaknya. Ketika lelaki bercambang lebat itu menyingkir untuk memberi jalan, Iblis Hitam melompat melewati kepala Pendekar Golok Baja! Rupanya dia sudah tidak sabar lagi.

Bagai tengah melompat-lompat di tanah datar yang keras, Iblis Hitam menotok permukaan air sungai dengan kakinya. Beberapa kali hal itu dilakukan agar bisa sampai di seberang sungai yang cukup lebar. Semua tingkah Iblis Hitam hanya bisa dipandang dengan sorot mata duka oleh Pendekar Golok Baja dan Arya.

"Mengapa dia tidak menyerang kita, Arya?" tanya Pendekar Golok Baja kemudian setelah Iblis Hitam menjauh. Beberapa kali Iblis Hitam hendak membunuh Arya. Bukankah itu berarti orang yang menguasai Iblis Hitam mempunyai dendam terhadap Dewa Arak. Tapi, mengapa kali ini ia tidak menyerang pemuda itu?

"Aku sendiri tidak mengerti, Paman." Arya menggelengkan kepala. "Padahal biasanya dia menyerangku. Mungkin karena keberadaanmu di sini."

"Apa hubungannya?" bantah Pendekar Golok Baja. "Aku lebih condong dan menduga orang yang menguasai Iblis Hitam mempunyai urusan lain yang lebih penting!"

Wajah Arya beriak. "Kurasa kau benar, Paman," timpal Arya dengan bersungguh-sungguh. "Mungkin Penunggu Alam Kubur telah menemukan lawan yang tangguh."

"Siapa orang yang kau maksudkan, Arya?"

"Pengemis Tua Berbulu Putih!" jawab Arya. "Beliau memang bermaksud menyatroni Penunggu Alam Kubur untuk membuat anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Tangan Merah tidak terus melakukan kejahatan."

"Kalau begitu.., mari kita bergegas !" sambut Pendekar Golok Baja penuh gairah. "Aku sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengannya. Belasan tahun lamanya tidak berjumpa."

"Aku pun sudah tidak sabar lagi menyaksikan jalannya pertarungan mereka. Kabarnya, Penunggu Alam Kubur dan Pengemis Tua Berbulu Putih telah terlibat pertarungan beberapa waktu yang lalu."

"Aku pun mendengar beritanya, Arya. Bahkan menurut kabar yang kudengar, karena pertarungan itu Pengemis Tua Berbulu Putih lenyap dari dunia persilatan. Banyak suara-suara mengatakan dia tewas di tangan Penunggu Alam Kubur. Tapi nyatanya? Kau sendiri melihat Pengemis Tua Berbulu Putih sehat walafiat."

Arya mengangguk.

"Ada hal yang aneh di sini, Arya," ujar Pendekar Golok Baja setelah terdiam sesaat.

"Apa itu, Paman?"

"Mengenai Penunggu Alam Kubur. Sepengetahuanku, dia memiliki kesombongan luar biasa. Mungkin karena merasa dirinya seorang dedengkot kaum hitam. Belum pernah kudengar dia mencari bantuan untuk menghadapi lawannya. Keangkuhannya membuat dia lebih rela mati daripada mengeroyok lawan. Apalagi dia amat percaya akan kesaktiannya."

"Mungkin saja dia tahu Pengemis Tua Berbulu Putih seorang lawan yang amat tangguh. Karena tidak yakin dapat mengalahkan lawannya kali ini, diputuskan memanggil tokoh-tokoh yang telah dikuasai pikirannya." Arya memberikan pemikiran lain.

Pendekar Golok Baja mengangkat kedua bahunya. Ia tidak memberikan tanggapan. Alasan yang diajukan Arya agaknya masuk pemikirannya juga, meski tidak menggoyahkan pendapatnya.

"Untuk jelasnya, sebaiknya kita segera ke sana. Benarkah Penunggu Alam Kubur melakukan pengeroyokan untuk memperoleh kemenangannya?" ujar Arya.

"Memang itu satu-satunya cara, Arya," jawab Pendekar Golok Baja.

Arya dan Pendekar Golok Baja memandang dengan tatapan membelalak. Sepuluh tombak dari tempat mereka berada terlihat pemandangan yang cukup mengejutkan. Mereka segera menghentikan ayunan kaki. Dua sosok tubuh tergolek di tanah. Dan, sebuah peti mati hitam berukir!

Berbeda dengan Arya, Pendekar Golok Baja tidak mengenali dua sosok tubuh yang tergolek. Lelaki gagah itu hanya menatap sebentar. Kemudian perhatiannya lebih ditujukan pada peti mati. Peti yang beberapa waktu lalu dijumpainya. Tempat tinggal tokoh menggiriskan yang berjuluk Penunggu Alam Kubur.

Arya mengenai dua sosok yang tergolek di tanah. Naga Berekor Tiga dan Macan Kumbang Maut. Menilik keadaannya, mereka berdua telah tewas. Arya dan Pendekar Golok Baja lalu mengedarkan pandangan berkeliling. Mereka mencari Iblis Hitam. Bukankah Iblis Hitam bersekongkol dengan Penunggu Alam Kubur? Serta Macan Kumbang Maut dan Naga Berekor Tiga?

Perasaan khawatir yang berkecamuk mulai berkurang ketika tidak menemukan sosok Iblis Hitam. Berarti, tokoh serba hitam itu selamat.

"Tak kusangka kau akan keluar dari tempat persembunyianmu, Penunggu Alam Kubur! Sudah kukatakan tidak ada gunanya mengeluarkan segala macam keroco untuk menghadapiku. Mereka semua akan kukirim ke neraka!"

Seruan lantang itu mengejutkan Arya dan Pendekar Golok Baja. Asalnya dari belakang mereka. Hampir berbarengan Arya dan Pendekar Golok Baja menoleh.

Pada sebuah cabang pohon sebesar paha manusia dewasa, berdiri sesosok tubuh ringkih berpakaian putih penuh tambalan bahan yang masih baru. Cara berdiri sosok yang tidak lain Pengemis Tua Berbulu Putih sangat unik. Kakek berpakaian penuh tambalan ini berdiri di bagian bawah cabang pohon. Kedua telapak kaki di atas dan kepala di bawah. Kekek ini berdiri bergantung bagai seekor kelelawar.

Pertunjukan ini tidak terlalu mengherankan bagi tokoh-tokoh selihai Dewa Arak atau Pendekar Golok Baja. Dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat tidak terlalu sulit melakukan hal itu.

"Pengemis Tua...!" tegur Pendekar Golok Baja, penuh perasaan gembira.

"Selamat berjumpa lagi, Pendekar Golok," balas Pengemis Tua Berbulu Putih. Kakek ini kemudian melayang berputaran meninggalkan tempat bertenggernya. Dengan kepal anya didaratkan tubuhnya di tanah. Tepat di depan peti mati berukir.

"Tidak usah banyak berbasa-basi! Aku sudah tidak sabar lagi bertemu denganmu. Kita ulangi pertarungan waktu lalu. Kupikir kau sudah meninggalkan dunia ini, Gembel Tua...!" terdengar gaung ucapan Penunggu Alam Kubur dari dalam peti.

Arya memperhatikan peti mati dengan penuh selidik. Pengemis Tua Berbulu Putih segera menggerakkan sedikit kakinya. Tubuhnya berjungkir balik. Sekarang dia berdiri tegak di tanah dengan kedua kaki. Tidak terlihat kakek ini mengayunkan kaki, tapi tubuhnya melayang mendekati peti mati berukir. Arya dan Pendekar Golok Baja melangkah mundur Sebentar lagi akan terjadi pertarungan sengit.

"Apakah tidak sebaiknya kita membantu Pengemis Tua, Arya?" tanya Pendekar Golok Baja.

"Kita lihat saja dulu, Paman. Kalau terbukti Pengemis Tua tidak bisa menanggulanginya, mungkin kita harus menghadapinya bersama-sama. Demi tenangnya dunia persilatan kurasa tindakan kita tidak terlalu jelek!" sahut Arya.

Pendekar Golok Baja mengiyakan. Dia setuju dengan usul pemuda berambut putih keperakan itu. Perhatiannya kini dicurahkan pada pertarungan yang akan berlangsung.

"Uhhh...!" Keluhan tertahan Pengemis Tua Berbulu Putih yang diikuti dengan limbungnya tubuh kakek itu, membuat Arya dan Pendekar Golok Baja terkejut. Apalagi ketika melihat kakek itu mendekapkan kedua tangannya di dada.

"Rupanya kali ini aku tidak bisa bertempur denganmu, Penunggu. Dalam keadaan seperti ini kau dengan mudah bisa membantaiku," ujar Pengemis Tua Berbulu Putih dengan sedikit terbata.

Arya dan Pendekar Golok Baja bagai berlomba melesat ke depan. Mereka keheranan melihat wajah Pengemis Tua Berbulu Putih bersemu kehijauan. Wajah orang yang keracunan hebat. Peluh membasahi selebar wajahnya yang putih laksana kertas.

"Kurasa sebaiknya kau mundur, Kek. Biar aku yang menghadapi iblis keji ini!" ujar Arya.

"Kita bersama-sama, Dewa Arak!" Tawaran Pendekar Golok Baja yang penuh semangat ditanggapi Arya dengan gelengan kepala.

"Biar aku menghadapinya sendiri, Paman. Apabila aku sudah tidak sanggup, baru kau turun tangan. Kita tumpas bersama-sama pengacau dunia persilatan ini. Sekarang, lebih baik kau bawa kawanmu ini ke tempat yang aman."

Pendekar Golok Baja mengalah. Disadari betul seorang tokoh besar seperti Dewa Arak tidak mungkin mau melakukan pengeroyokan sebelum membuktikan sendiri lawan yang dihadapinya terlalu tangguh. Dengan hati-hati, mengingat keadaan Pengemis Tua Berbulu Putih, dibawanya kakek itu ke tempat yang sekiranya tak akan terjangkau bahaya pertempuran.

Dewa Arak segera menurunkan guci yang berada di punggungnya. Dengan tenang, meski jantungnya berdebar kencang, ditenggaknya arak yang menjadi sumber tenaganya. Ketegangan menyelimuti hati pemuda berpakaian ungu. Lawan yang akan dihadapi sangat tangguh. Kalau tidak, Iblis Hitam tak akan mungkin kena dipecundangi!

DELAPAN

"Tikus-tikus menjemukan! Kalau tidak diberikan hajaran kalian akan terus mengganggu ketenteramanku. Perkenalkan dirimu, Pemuda Berambut Setan! Aku tidak ingin membunuh orang yang tidak memperkenalkan nama atau julukannya!"

"Kalau itu maumu, kuturuti. Namaku Arya Buana. Dunia persilatan memberikan julukan Dewa Arak!" jawab Arya.

"Dewa Arak?!" gaung suara dari dalam peti mati. "Julukan yang aneh. Mungkin karena guci murahan yang selalu kau bawa ke mana-mana itu."

"Mungkin," jawab Arya sambil menyembunyikan kekagetan yang melilit hatinya. Bagaimana mungkin tokoh dalam peti mati itu bisa melihatnya? Lalu cara bertempurnya nanti?

"Rupanya kau sudah siap masuk liang kubur, Dewa Arak. Berani-beraninya kau menantangku bertarung. Sayangilah usiamu yang masih muda. Kau bisa pergi dari sini. Kelancanganmu kuampuni. Pergilah sebelum kesabaranku habis!"

"Sayang sekali, Penunggu Alam Kubur. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku lebih suka mati daripada membiarkan kejahatan terus berlangsung!" jawab Arya tanpa rasa gentar.

Dari dalam peti mati terdengar suara tawa, berat dan bergaung. Mirip tawa hantu kuburan. "Gagah sekali! Ucapanmu mengingatkan aku pada Pengemis Tua. Sayang sekali pendirianmu akan membuat kau cepat melihat alam kubur."

"Kurasa percakapan yang bertele-tele ini telah cukup. Atau, kau nenek-nenek bawel yang lebih suka mengoceh daripada berbicara dengan tangan atau kaki?" sindir Arya.

"Kau yang merasa lelaki perkasa, maju dan serang aku! Pantang bagiku menyerang lawan lebih dulu. Apalagi terhadap anak yang masih belum lepas dari tetek ibunya sepertimu, Dewa Arak!"

"Jaga seranganku, Penunggu! Heaaat...!" Arya mengirimkan serangan pendahuluan berupa pukulan jarak jauh dengan jurus 'Pukulan Belalang'. Arah yang ditujunya peti mati berukir.

Brak!

Tebing batu kapur berguguran ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak yang panas menyengat menghantamnya. Sebelum pukulan itu mengenai sasaran, peti mati berukir telah melayang naik dan mengambang di udara satu tombak dari tanah!

Belum sempat Arya mengirimkan serangan susulan, peti telah meluncur dalam kecepatan tinggi ke arahnya. Deru angin keras mengiringi. Apabila peti menghantamnya, sekujur tubuh Arya akan hancur luluh. Hantaman peti tak ubahnya serudukan sepuluh ekor gajah liar.

Dewa Arak tidak berani gegabah menyambuti. Dia belum tahu kekuatan lawan. Diputuskan untuk melompat ke samping, mengelakkan serangan itu. Tapi, betapa kagetnya pemuda ini. Tubuhnya malah tertarik ke depan, ke arah peti yang tengah meluncur keras. Saat itu tubuh Arya melayang di udara. Arya tidak bisa bertahan. Dia Tidak mempunyai tempat berpijak.

Tambahan lagi, daya tarik peti demikian kuat. Guci yang tercekal di tangan segera dihantamkannya ke arah peti. Dengan cara itu diharapkan tubuh Arya Tidak akan tertumbuk peti!

"Ukh...!" Arya merasakan dadanya bagai menumbuk dinding kokoh. Sebelum mengenai peti, guci yang diayunkan membalik seperti membentur dinding tidak nampak. Dinding itu mengeluarkan hawa mendorong yang amat kuat. Dewa Arak terjengkang ke belakang dan melayang-layang bagai daun kering diterbangkan angin. Pemuda ini terkejut bukan main. Dadanya dirasakan sesak. Sekujur otot-otot dan urat sarafnya lumpuh.

Dalam keadaan melayang-layang itu Dewa Arak memutar otak. Lawannya memiliki ilmu aneh. Apabila Penunggu Alam Kubur menyerang, orang yang menjadi sasaran akan tersedot ke arahnya. Sebaliknya, jika Penunggu Alam Kubur yang diserang, muncul kekuatan dahsyat yang menolak! Tenaga tolakan itu luar biasa kuat.

Meski dalam keadaan kurang menguntungkan, Dewa Arak masih mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Pemuda ini berhasil mendarat di tanah dengan kedua kaki.

Wusss...!

Penunggu Alam Kubur benar-benar tak kenal ampun. Tanpa mendarat di tanah, peti matinya meluncur ke arah Dewa Arak lagi. Arya terpaksa menguras seluruh kemampuannya. Segenap ilmu 'Belalang Sakti' dikeluarkannya. Pertarungan sengit pun berlangsung, tapi terlihat jelas tidak seimbang. Dewa Arak dipaksa berlari ke sana kemari dikejar peti mati berukir.

Pendekar Golok Baja meremas-remas jari tangannya karena merasa tegang. Dewa Arak tengah terjepit. Tokoh muda perkasa itu kemungkinan besar akan tewas di tangan penghuni peti mati.

Di kancah pertarungan, Dewa Arak mulai menemukan cara untuk menghadapi lawannya. Daya tolak dan daya tarik lawan timbul karena Penunggu Alam Kubur memiliki ilmu gaib. Bisa pada Penunggu Alam Kubur atau pada peti matinya Arya teringat ia mempunyai penangkal ilmu-ilmu gaib. Gurunya, Ki Gering Langit, memberikan ilmu itu padanya di waktu menghadapi lawan yang memiliki ilmu tarik dan tolak raga (Untuk jelasnya, silakan baca episode: Penganut Ilmu Hiram).

Dewa Arak memutuskan untuk menggunakannya. Meski tahu akan berakibat besar terhadap dirinya, tapi tidak ada jalan lain lagi. Ketika peti meluncur ke arahnya, yang mengakibatkan tubuh Dewa Arak tertarik, pemuda itu berpura-pura melawan. Sikap pura-pura ini sengaja dilakukan. Kalau dia membiarkan saja tubuhnya tertarik ke arah lawan, akan menimbulkan kecurigaan Penunggu Alam Kubur.

Begitu tubuh hampir mencapai peti, Arya langsung mengirimkan pukulan keras. Tepat seperti yang diduga Arya, muncul hawa luar biasa yang menolak tubuhnya. Pemuda ini segera menahan napas. Kemudian, dengan pemusatan pikiran ia membuat garis di depan tubuhnya. Hasil yang dicapai Dewa Arak memang tidak mengecewakan. Tolakan itu punah! Dari dalam peti keluar lenguhan kaget.

"Kiranya kau memiliki sedikit kemampuan, Bocah!"

Bersamaan dengan keluarnya suara bergaung itu, peti berukir melayang ke atas. Serangan Dewa Arak gagal. Arya tidak putus asa. Ia terus memburu. Pertarungan sekarang kelihatan seimbang. Dewa Arak tidak bisa dibuat maju mundur seperti sebelumnya. Pemuda ini telah mampu menguasai keadaan.

Belasan jurus telah berlalu. Arya memang tidak menjadi permainan lawan seperti sebelumnya, tapi dia terdesak. Tingkat kemampuan Penunggu Alam Kubur masih berada di atasnya. Meski demikian, beberapa kali Dewa Arak berhasil menyarangkan pukulan dan tendangannya. Namun, jangankan peri hancur, retak pun tidak.

Ada sesuatu yang membuat peti mati jadi kuat. Tenaga dalam yang berasal dari Penunggu Alam Kubur. Aliran tenaga dalam Penunggu Alam Kubur yang menangkal tenaga dalam Arya lewat pukulan dan tendangannya. Keadaan ini menyebabkan jalannya pertarungan lebih timpang.

Penunggu Alam Kubur enak saja membiarkan serangan-serangan Dewa Arak menemui sasaran. Di lain pihak, Dewa Arak harus mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan lawan. Dewa Arak berkali-kali melempar tubuh ke belakang mengelakkan serangan peti. Sampai berapa lama dia bisa bertahan?

Pertarungan bergeser jauh dari tempat semula. Perlahan namun pasti Arya terus terhimpit menuju dinding kapur. Pendekar Golok Baja dan Pengemis Tua Berbulu Putih mau tidak mau ikut berpindah tempat. Mereka tidak ingin kehilangan pertarungan menarik itu.

Dewa Arak pun menyadari lama-kelamaan dia akan terhimpit. Sempat dilihat tebing kapur di belakangnya. Tapi, dia tidak memiliki kesempatan untuk melepaskan diri dari cecaran lawan. Untuk kesekian kali peti mati meluncur dengan deras ke arah Arya. Dewa Arak terpaksa memapaki dengan kedua tangan.

Bres!

Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang dan terguling-guling menabrak tebing kapur. Hantaman peti keras bukan main. Sebelum Arya sempat berbuat sesuatu, peti telah kembali meluncur datang.

Wajah Dewa Arak pucat pasi. Dia tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Menangkis pun tidak menguntungkan. Waktunya demikian singkat. Apalagi tulang-tulangnya masih terasa ngilu akibat benturan tadi. Di saat kritis itu Dewa Arak tiba-tiba merasakan hembusan angin dingin. Tubuhnya bergetar sesaat. Kemudian, seraya mengeluarkan geraman keras, Arya mendorong kedua tangannya.

Pengemis Tua Berbulu Putih dan Pendekar Golok Baja menerima akibat geraman Dewa Arak. Tubuh kedua orang itu terhuyung-huyung ke belakang. Wajah Pendekar Golok Baja tampak pucat.

Darrr...!

Hanya berselisih waktu demikian singkat, terdengar bunyi yang tidak kalah keras. Bunyi itu berasal dari benturan tangan Dewa Arak dengan peti mati Penunggu Alam Kubur. Peti mati yang sejak tadi tidak mampu dihancurkan oleh Arya, kini hancur berkeping-keping. Dari dalam peti terpental sesosok tubuh kecil seraya memperdengarkan jeritan melengking suara wanita!

Arya tidak bergeming dari tempatnya. Sesaat kemudian tubuh pemuda ini terhuyung ke belakang. Tangan kirinya mendekap dada, sedangkan tangan kanan memegangi kepala. Dewa Arak menyeringai merasakan sakit di dada dan pusing di kepalanya.

Dalam keadaan seperti itu, pemuda berambut putih keperakan itu merasa heran dan bingung dengan keberadaan belalang raksasa di alam gaib di dalam tubuhnya. Dia yakin betul tidak memanggil belalang raksasa itu. Tapi, mengapa belalang itu masuk ke dalam tubuhnya? Mungkinkah sekarang tanpa dipanggil binatang itu mampu masuk ke dalam dirinya di saat dia terancam bahaya? Pertanyaan-pertanyaan itu sempat muncul dalam pikirannya.

Kebingungan lain yang melanda Arya adalah rasa nyeri di dada dan pusing di kepala begitu belalang raksasa meninggalkannya! Arya tahu betul belalang itu penyebabnya. Bukan akibat benturan dengan peti mati Penunggu Alam Kubur. Betapapun kuat lawan apabila belalang raksasa ada dalam tubuhnya, Dewa Arak tidak akan merasakan sakit. Belalang akan langsung turun tangan!

"Kau licik, Dewa Arak. Kau mempergunakan makhluk alam gaib untuk memenangkan pertarungan ini!" kecam nenek kurus kering berwajah pucat dan berpakaian hitam. Sosok yang tadi terlempar dari dalam peti mati.

"Aku tidak bermaksud seperti itu. Nek," jawab Arya. "Kuakui memang aku memiliki makhluk gaib, aku tidak berniat menggunakannya untuk menghadapimu."

"Tapi kenyataannya?" si nenek menyeringai. "Kau memanggilnya, bukan?"

"Tidak, Nek!" Arya menggelengkan kepala. "Aku tidak memanggilnya. Aku sendiri tidak mengerti mengapa binatang itu masuk ke dalam diriku tanpa kupanggil. Biasanya aku memanggilnya!"

"Dewa Arak...!"

Seruan keras membuat Arya dan nenek berpakaian hitam menoleh ke arah Pendekar Golok Baja. Wajah lelaki ini kelihatan tegang bukan main.

"Dia bukan Penunggu Alam Kubur, Dewa Arak!"

Arya tersentak. Ini membuat rasa sakit dan nyeri yang diderita bertambah parah. Supaya tidak dilihat orang, diusahakan bersikap biasa saja. Bahkan kedua tangannya terkulai di kanan dan kiri pinggang.

"Aku tidak mengerti maksud Paman?" ujar Arya kemudian.

"Aku yakin ada kesalah-pahaman di sini. Mungkin bukan dia yang menculik adikku. Penunggu Alam Kubur yang merobohkanku tidak seperti ini!" jelas Pendekar Golok Baja. "Tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki tertutup libatan kain mirip sabuk. Yang terlihat hanya matanya. Ah! Kini aku ingat, mengapa kepandaian Penunggu Alam Kubur sekarang jauh lebih dahsyat. Kiranya bukan penunggu yang dahulu!"

Perasaan tidak enak mulai mencekam hati Arya. Dia khawatir salah tangan. Sekali lihat saja pemuda ini tahu si nenek terluka cukup parah.

"Ha ha ha...!" Pengemis Tua Berbulu Putih tertawa bergelak. Nadanya menyiratkan kegembiraan dan kemenangan besar. Arya dan Pendekar Golok Baja mengernyitkan alis. Dugaan jelek muncul di benak Arya.

"Dugaanmu benar, Pendekar Golok Baja Karatan! Rupanya kau punya otak juga. Yang mempengaruhi adikmu bukan Penunggu Alam Kubur sungguhan. Tapi, Penunggu Alam Kubur tiruan! Akulah yang telah menyamar sebagai Penunggu Alam Kubur! Ha ha ha...!"

Dewa Arak, Pendekar Golok Baja, dan si nenek berpakaian hitam geram bukan main. Mereka menggertakkan gigi menahan amarah. Sungguh tidak kusangka kau menjadi jahat, Gembel Tua! Kau berubah sama sekali! Menyesal aku menjadi kawanmu. Kau kirimi aku surat dan menyamar sebagai Penunggu Alam Kubur untuk memfitnahnya. Bajingan kau!" maki Pendekar Golok Baja, kalap.

Pengemis Tua Berbulu Putih hanya tertawa. Dia tidak marah dengan makian yang dilontarkan Pendekar Golok Baja. "Kau pun buta, Dewa Arak! Kau tidak tahu penghadang-penghadang atas dirimu karena ulahku. Tidakkah kau melihat aku termenung saat kau bercakap-cakap dengan Pandora? Saat itu melalui pikiran kuperintahkan, agar kita tidak sampai di Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. Kita terpisah. Aku pergi ke sini. Sungguh tidak kusangka kau akan demikian cepat tiba di sini. Untung aku masih bisa mengatur seakan-akan dua budakku tewas oleh Penunggu Alam Kubur. Kau tertipu lagi, Dewa Arak! Ha ha ha...!"

"Terkutuk kau, Gembel Tua!" maki Pendekar Golok Baja.

"Aku tidak yakin kau Pengemis Tua Berbulu Putih. Aku lupa kau telah menjadi botak akibat bertarung denganku. Dan, botak itu tak akan bisa diobati agar bisa ditumbuhi rambut lagi. Kau pasti bukan Pengemis Tua Berbulu Putih! Buka topengmu!" seru si nenek yang sejak tadi berdiam diri.

Pengemis Tua Berbulu Putih kembali tertawa berkakakan. "Rupanya kau belum terlalu pikun. Biarlah aku mengaku. Aku memang bukan pengemis jelek itu. Aku adalah Iblis Seribu Muka!" ujarnya usai tertawa.

Kakek itu lalu menanggalkan rambut, kumis, kulit wajah, dan yang lainnya. Sekarang di hadapan Dewa Arak, Pendekar Golok Baja, dan si nenek berpakaian hitam berdiri seorang lelaki berwajah persegi. Codet menghias pipinya. Wajahnya kelihatan menyeramkan!

"Keparat!" Lagi-lagi Pendekar Golok Baja memaki. "Mengapa kau menyamar sebagai kawanku, Iblis?!"

"Karena kawanmu si gembel busuk itu telah membunuh kakak kandungku! Iblis Bermuka Dewa telah dibunuhnya. Maka, kurusak namanya. Sekalian kupergunakan kesempatan ini untuk membunuh Penunggu Alam Kubur. Karena aku tidak mampu melakukannya, kupanas-panasi Dewa Arak. Rencanaku pun berlangsung mulus. Sebentar lagi aku akan menjadi datuk persilatan! Ha ha ha...! Kalian semua akan kubunuh!"

Dewa Arak, Pendekar Golok Baja, dan nenek berpakaian hitam sadar betul Iblis Seribu Muka akan memenuhi ancamannya. Mereka tidak mungkin bisa mencegah. Yang tidak terluka hanya Pendekar Golok Baja. Tapi, tingkat kepandaian lelaki ini masih rendah bila dibandingkan dengan Iblis Seribu Muka!

"Sedikit tambahan untukmu, Dewa Arak. Belalang raksasamu ada dalam kekuasaanku. Kukurung di dalam batu. Karena akulah belalang itu masuk ke dalam tubuhmu. Tapi sebelum kuperintahkan masuk, kutempelkan dulu serangan-serangan gaib terhadapmu. Sekarang, bersiaplah untuk menerima kematian. Kau mendapat kehormatan mendapat giliran lebih dulu!"

Dewa Arak menggertakkan gigi. Belalang raksasa pasti disiksa atau setidak-tidaknya amat tersiksa dalam kurungan Iblis Seribu Muka. Kalau tidak, tak akan binatang itu mau diperintah tokoh sesat tersebut Iblis Seribu Muka sudah bersiap untuk melancarkan serangan. Saat itulah terdengar ucapan seseorang seperti tengah berbincang-bincang dengan rekan seperjalanannya. Wajah Arya berubah begitu menyimak ucapan itu.

"Bagaimana, Sahabat? Orang yang telah berani memalsukan diriku pantasnya dijatuhi hukuman apa? Mati? Pilihan yang tepat. Sahabat. Apalagi orang itu hendak membunuh orang yang telah menyelamatkan kita dari kelaparan!"

Semua kepala menoleh. Seketika itu pula mereka termangu-mangu, kecuali Dewa Arak. Orang yang mereka kira berdua ternyata hanya sendirian. Tapi, tingkahnya seperti tengah berjal an berdua. Seorang kakek bungkuk berkepala botak dan berwajah hijau. Sepasang matanya berputaran liar, seperti mata orang kurang waras.

"Dialah Pengemis Tua Berbulu Putih yang asli," beritahu nenek berpakaian hitam pada mereka yang berada di tempat itu. "Karena pertarungan kami yang dahsyat, inilah akibatnya. Kepalanya botak, wajah menjadi hijau, dan otak kurang waras."

Iblis Seribu Muka tiba-tiba menggeram. Dia melompat seraya mengirimkan serangan maut pada kakek yang baru datang, yang ternyata Pengemis Tua Berbulu Putih yang asli. Kakek itu memperkenalkan diri sebagai Hijau saat berjumpa dengan Dewa Arak beberapa waktu yang lalu.

"Sekaranglah saatnya pengacau ini kita lenyapkan, Sahabat. Kurasa tidak sesulit membereskan kekacauan di perkumpulan!" ujar Pengemis Tua Berbulu Putih sebelum menyambuti serangan lawan.

Pertarungan mati-matian tidak bisa dihindarkan lagi. Tingkat kepandaian mereka sama-sama tinggi. Jalannya pertarungan berjalan seimbang. Hanya dalam beberapa belas jurus, Pengemis Tua Berbulu Putih dengan cepat mendesak lawannya.

Iblis Seribu Muka tampaknya harus mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menghadapi Pengemis Tua Berbulu Putih. Kakek itu tidak bisa dihadapinya dengan setengah hati. Dia tidak diberi kesempatan sama sekali untuk melancarkan serangan dengan mempergunakan ilmu andalannya. Serangan Pengemis Tua Berbulu Putih begitu beruntun dan susul-menyusul.

Pada satu kesempatan Iblis Seribu Muka mendapat peluang untuk melancarkan serangan. Dengan mempergunakan kaki kanannya ia memberikan tendangan telak ke kepala Pengemis Tua Berbulu Putih.

Namun, hanya dengan menarik kepalanya ke belakang dan memiringkan tubuhnya ke kiri, Pengemis Tua Berbulu Putih mampu mengelakkan serangan itu. Bahkan, kemudian dia menyusulinya dengan pukulan sisi telapak tangan kanan yang mengenai kaki kanan Iblis Seribu Muka.

Tubuh Iblis Seribu Muka langsung berputar. Dan karena kerasnya pukulan Pengemis Tua Berbulu Putih, keseimbangan tubuhnya tidak bisa dipertahankan. Dia terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah.

Pertempuran sengit kembali berlangsung. Iblis Seribu Muka semakin terdesak hebat. Di jurus kesembilan belas, pukulan Pengemis Tua Berbulu Putih mendarat telak di dada Iblis Seribu Muka. Pada saat yang bersamaan, kaki kanan kakek bermuka hijau ini mendarat di perut.

Buk! Des!

Iblis Seribu Muka mengeluarkan jeritan menyayat. Tubuhnya terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Sesaat dia menggelepar meregang nyawa, sebelum diam tak bergerak-gerak lagi.

"Bagaimana, Sahabat?" Kakek bungkuk menoleh ke sebelahnya. Ia bersikap seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang. "Bukankah masalah ini berhasil kita bereskan? Orang yang menjadi pengacau telah kita kirim ke neraka!"

"Pengemis Tua...," tegur Pendekar Golok Baja penuh haru melihat keadaan sahabatnya.

"Si Badut Golok rupanya! Sahabat, kau lihat. Si Badut Golok telah muncul lagi. He he he...!"

Pendekar Golok Baja sedikit pun tidak marah mendengar ucapan Pengemis Tua Berbulu Putih. Keadaan kakek ini telah kurang waras.

"Kiranya kau masih hidup, Manusia Peti...!" Pengemis Tua Berbulu Putih mengalihkan pandangan pada Penunggu Alam Kubur.

Nenek kurus kering berwajah pucat itu tersenyum. Tapi, yang terlihat justru seringai. "Akulah yang tidak menyangka kalau kau masih hidup, Gembel Busuk!" balas Penunggu Alam Kubur seraya bersandar pada sebatang pohon.

Dewa Arak dengan susah payah tersenyum. Pemuda itu merasa lega melihat masalah ini telah berhasil diselesaikan. Pengemis Tua Berbulu Putih tiruan dapat dilenyapkan. Sambil mendekap dadanya, pemuda berambut putih keperakan itu menggeleng-gelengkan kepala.

Pengemis Tua Berbulu Putih memandang Dewa Arak dengan sepasang matanya yang berputaran liar. "Sahabat, masih ingatkah kau pada pemuda berambut aneh itu? Ingat? Bagus! Mumpung bertemu lagi dengannya, bagaimana kalau kita meminta pelajaran yang lain. Jangan hanya pelajaran untuk merontokkan jambu dari pohonnya. Kau setuju? Bagus!"

Arya tersenyum. Dia teringat kembali pertemuannya dengan kakek ini. "Tentu saja dengan senang hati aku mau mengajarimu, Hijau. Kau dan Sahabat akan kuberi pelajaran baru. Menempelkan kembali jambu-jambu itu ke pohonnya. Bagus bukan?"

"Bagus..., bagus...! Segera ajari aku ilmu itu, Anak Muda."

Pendekar Golok Baja, Penunggu Alam Kubur, dan yang tidak mengerti pertemuan antara Dewa Arak dengan Pengemis Tua Berbulu Putih hanya terbengong-bengong keheranan mendengar percakapan mereka.

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.