Dewa Arak - Lorong Batas Dunia
Karya : AjisakaSATU
"BENARKAH apa yang kulihat ini?!" Pertanyaan itu dilontarkan Begawan Narasoma dengan suara bergetar. Pandang matanya tidak beralih dari langit yang berwarna kuning emas. "Apakah aku tengah bermimpi?!"
Lagi-lagi pertanyaan yang mengandung ketidak-percayaan keluar dari mulut Begawan Narasoma. Dirgantara dan Tulini masih terkesima menatap pemandangan menakjubkan itu.
"Tidak, Kak Nara," Tulini memberikan tanggapan. Kepalanya menggeleng tanpa melepaskan perhatian dari langit.
"Benar, Ayah." Dirgantara menimpali. "Ayah tidak bermimpi. Apa yang kita lihat itu benar-benar terjadi."
"Ular Emas telah keluar ke dunia ramai, Kak Nara. Ular yang akan membuat Telur Elang Perak kehilangan kemampuannya," sambung Tulini.
"Kalian benar." Begawan Narasoma mengangguk-angguk "Alangkah adilnya Yang Maha Kuasa. Begitu Telur Elang Perak terjatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, Ular Emas dikeluarkan dari alamnya."
"Dapatkah Ayah mencari di mana Ulas Emas itu keluar?" tanya Dirgantara penuh minat.
"Entahlah, Dirga." Begawan Narasoma menghela napas berat. "Aku tidak yakin. Apalagi keadaanku sekarang tidak mengizinkan."
"Tapi, tidak ada salahnya kau mencoba, Kak Nara?" desak Tulini. "Barangkali sudah menjadi garis Dirgantara anugerah ini."
"Akan kucoba, Tulini. Tapi, ingat! Aku tidak berani memastikan usahaku akan berhasil. Kalian jangan terlalu berharap."
Tulini tersenyum gembira. Demikian pula Dirgantara. Tulini yakin suaminya akan berhasil. Dia tahu betul kesaktian kakek berpakaian putih ini. Terutama dalam hal ilmu gaib. Maka, perkataan Begawan Narasoma yang terakhir tidak diperhatikannya.
"Ayah, apakah cerita tentang Ular Emas dan mustikanya ini banyak diketahui orang?"
Tulini menatap Begawan Narasoma dengan hati kaget. Pertanyaan Dirgantara menimbulkan kekhawatiran dalam hatinya. Kalau banyak orang yang tahu, mereka pasti akan melakukan pencarian. Ini berarti banyak saingan. Kemungkinan Dirgantara mendapatkan Mustika Ular Emas menjadi kecil. Begawan Narasoma tidak segera menjawab. Dia tercenung beberapa saat. Dirgantara dan Tulini hampir kehilangan kesabaran.
"Kalau menurut pendapatku, jarang bahkan hampir tidak ada orang yang mengetahui cerita mengenai Ular Emas. Tapi, perlu kalian sadari, peristiwa langit berwarna kuning emas ini terlalu menyolok. Aku yakin ini akan berakibat panjang. Tokoh-tokoh persilatan pasti akan mencari tahu mengapa alam menjadi seperti ini. Bila itu terjadi, apalagi sampai tokoh-tokoh ahli kebatinan turun tangan, aku yakin masalah Ular Emas ini terungkap."
"Kita harus bertindak cepat, Kak Nara. Mumpung tokoh-tokoh lainnya belum tahu. Kau yang menjadi andalan kami, Kak Nara. Hanya kau yang bisa melacak di mana munculnya binatang ajaib itu."
Begawan Narasoma tersenyum getir. Ucapan Tulini tidak salah. Tapi, dia sudah tidak berhasrat lagi ikut campur dalam urusan seperti ini. Kalau saja tidak ada Dirgantara amat menginginkan pusaka itu, mungkin dia akan lepas tangan.
"Mari kita cari tempat untuk menyembuhkan lukaku dan mencari tahu di mana adanya ular itu. Aku punya firasat tempat ini sudah tidak aman lagi."
"Pindah ke mana, Kak Nara?"
"Aku pun belum tahu, Tulini. Yang jelas pindah dari sini. Aku merasa tidak enak. Aku yakin ada bahaya besar tengah mengancam. Sayang, aku tidak tahu!"
Dirgantara bingung. Tapi, tidak demikian dengan Tulini. Wanita ini tahu betul siapa Begawan Narasoma. Kakek itu mempunyai indera keenam yang sangat tajam. Tanpa membuang-buang waktu lagi dibopongnya tubuh Begawan Narasoma.
"Mari, Dirga. Cepat..!" Tulini melesat cepat meninggalkan tempat itu. Dirgantara tidak mempunyai kesempatan untuk menanggapi ucapan ibunya. Dia pun melesat mengikuti wanita itu.
"Arya...! Lihat...!"
Arya yang tengah berlari di sebelah Linggar mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk gadis berpakaian hitam itu. Sepasang mata Arya membelalak seperti halnya Linggar. Pemuda berambut putih keperakan ini memperlambat larinya. Linggar mengikuti.
"Apa yang terjadi, Arya? Mengapa langit berwarna keemasan?"
"Aku tidak mengerti, Linggar. Tapi, aku merasa tidak enak. Sepertinya akan terjadi sesuatu yang menyeramkan," jawab Arya sungguh-sungguh. Pemuda berambut putih keperakan ini memang mempunyai naluri tajam. Dia bisa tahu bila bahaya mengancam dirinya. Keistimewaan itu didapatnya setelah belalang raksasa dari alam gaib beberapa kali masuk ke dalam dirinya. (Untuk jelasnya mengenai belalang raksasa, silakan baca episode: Dalam Cengkeraman Biang Iblis).
"Bahaya menyeramkan? Bahaya apa itu, Arya?" tanya Linggar, penuh rasa ingin tahu.
"Aku tidak tahu, Linggar. Tapi, aku yakin betul hal itu. Perasaan ini tidak pernah menipuku." Arya mengedarkan pandangan ke sana kemari. Urat-urat sarafnya menegang Siap menghadapi segala kemungkinan.
"Bagaimana dengan maksud kita untuk menemui Begawan Narasoma alias Iblis Buta?" Linggar mengingatkan Arya akan tujuan mereka.
“Kurasa hal itu bisa diurus belakangan, Linggar. Aku yakin dia sudah tidak berada di tempatnya.”
“Apakah ini ada hubungannya dengan warna langit itu?”
"Aku tidak tahu. Menurut pendapatku, mungkin ada hubungannya. Tak mungkin alam menunjukkan tanda-tanda aneh kalau tidak akan terjadi sesuatu yang luar biasa," jelas Arya.
Linggar diam. Gadis ini merasakan adanya kebenaran dalam ucapan pemuda berambut putih keperakan itu. "Terserah kau saja, Arya. Aku hanya mengikuti." Gadis berpakaian hitam ini tersenyum manis.
Jawaban Linggar langsung mendapat tanggapan Arya. Larinya dipercepat, Linggar melakukan hal yang sama. Muda-mudi ini bagaikan dua sosok bayangan berkejaran menuju kaki gunung. Kekhawatiran Arya ternyata beralasan. Begitu mereka hampir tiba di kaki gunung, bumi yang dipijak bergetar. Semakin lama semakin keras.
"Apa yang terjadi, Arya?!" Linggar terkejut. Wajah gadis itu tampak sedikit pias.
"Entahlah, Linggar. Mungkin gunung ini hendak meletus! Tidakkah kau lihat keriuhan di sana. Binatang berbondong-bondong menuju kaki gunung."
Wajah Arya juga memperlihatkan ketegangan Linggar tidak memberikan sambutan. Membayangkan gunung meletus membuat nyali gadis ini ciut. Rasa takut dan cemas mendera hatinya. Perasaan itu mendorongnya ingin berlari secepat mungkin agar bisa berada sejauh-jauhnya dari tempat ini.
Tiba-tiba, terdengar bunyi menggelegar. Arya maupun Linggar merasakan tanah yang mereka pijak bergetar cepat. Tubuh keduanya terlempar jauh ke atas. Beruntung mereka memiliki ketenangan yang cukup. Itu pulalah yang menyelamatkan nyawa orang-orang muda ini. Keduanya bersalto beberapa kali untuk mematahkan kekuatan yang membuat lubuh mereka terlontar. Sesaat kemudian, keduanya menjejak tanah dengan mantap.
Keberhasilan tindakan mereka tidak membuat bahaya yang mengancam lenyap. Bunyi menggelegar yang ternyata berasal dari gunung meletus membuat keadaan di sekitar tempat itu bagai kiamat! Batu-batu besar dan kecil saling berlomba menggelinding ke kaki gunung. Di belakangnya mengalir lava panas bagai tangan-tangan maut. Menghanguskan apa saja yang dilandanya.
Arya dan Linggar berusaha sekuat tenaga menyelamatkan selembar nyawa. Dengan susah payah akhirnya mereka berhasil menjauhi tempat itu. Keduanya terus berlari kencang. Baru ketika berada di tempat yang dirasa aman mereka menghentikan langkah dan berbalik memperhatikan gunung yang tadi mereka pijak. Wajah mereka tampak diliputi kengerian.
Penunggang kuda berpakaian coklat itu memacu binatang tunggangannya bagai dikejar setan. Jalan berbatu yang menanjak tidak membuatnya memperlambat kecepatan kuda. Terpaan angin kencang mengibarkan rambut dan pakaiannya. Panas menyengat dari sang surya berada tepat di atas kepala.
"Uh...!" Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda itu mengeluarkan keluhan kaget. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi berdesing nyaring. Dia melihat beberapa batang anak panah meluncur ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Si pemuda melompat dari punggung kuda seraya menggebah binatang tunggangannya. Bersamaan dengan tubuhnya yang melayang ke atas, kuda hitam itu melesat ke depan. Tindakan pemuda itu membuat anak-anak panah meluncur lewat di bawah kakinya. Pemuda berpakaian coklat bersalto ke depan beberapa kali dan mendarat di punggung kuda hitamnya yang masih terus berlari.
Bagai tidak terjadi perisriwa apa pun, digepraknya tali kekang hingga kuda hitam itu berlari semakin cepat Baru beberapa tombak terdengar bunyi bergemuruh dari tempat yang tengah dituju si pemuda. Wajah pemuda berpakaian coklat berubah hebat. Dia bisa memperkirakan apa yang tengah terjadi. Kuda hitam itu pun demikian. Nalurinya memperingatkan adanya bahaya mengancam.
Binatang ini menghentikan lari dan meringkik keras-keras. Kedua kaki depannya diangkat tinggi ke udara. Pemuda berpakaian coklat mengerti maksud binatang tunggangannya. Kuda itu gelisah dan ingin melemparkan tuannya dari punggung, lalu dia berlari meninggalkan tempat itu untuk mencari selamat Si pemuda tidak menginginkan hal itu terjadi. Ditepuk-tepuknya leher dan punggung binatang itu untuk menenangkannya.
Tapi, kuda hitam ternyata telah benar-benar ketakutan. Usaha yang dilakukan pemuda berpakaian coklat sia-sia. Kuda hitam terus meringkik, kalap. Bahkan sekarang melonjak-lonjak tak karuan. Tapi, usaha kuda hitam tidak membuahkan hasil. Pemuda berpakaian coklat bagai lintah, melekat erat di punggungnya.
Betapapun punggungnya telah dilekukkan sedemikian rupa tetap saja tubuh si pemuda tidak terlontar. Saat itulah batu-batu sebesar kerbau muncul. Tidak hanya satu. Tapi beberapa buah. Yang paling kecil mempunyai ukuran sebesar kambing.
Kuda hitam semakin kalap. Binatang itu menggulingkan tubuhnya. Pemuda berpakaian coklat terperanjat. Tubuhnya akan tertindih dan terus terguling. Si pemuda tentu saja tidak menginginkan itu terjadi. Di saat kuda hitam baru memiringkan tubuh pemuda berpakaian coklat mengerahkan tenaga untuk menahan. Sementara baru sebesar kerbau yang lebih dulu meluncur akan menabrak kuda hitam berikut penunggangnya.
Pemuda berpakaian coklat mengeluarkan pekikan nyaring. Wajahnya menegang. Sesaat kemudian, tubuh kuda hitam terangkat ke udara. Si pemuda menjepit perut kuda dengan kedua kakinya. Kuda hitam terangkat dari tanah tak kurang dari satu tombak. Batu sebesar kerbau meluncur lewat di bawahnya. Demikian pula dengan batu-batu lainnya. Kuda hitam itu baru menjejak tanah dengan keempat kakinya ketika luncuran batu-batu telah usai.
"Wahai orang yang berada di atas! Tahan serangan...! Aku datang tidak dengan maksud jahat... Pemuda berpakaian coklat berteriak, keras. Kemudian hening sejenak setelah si pemuda mengeluarkan seruan. Pemuda itu tidak memacu kudanya lagi. Dalam keadaan masih duduk di atas punggung kuda, dia mengedarkan pandangan ke depan.
"Kalau kau memang tidak berniat jahat, kami sarankan untuk meninggalkan tempat ini!" sambut sebuah suara dari bagian atas bukit tempat pemuda berpakaian coklat berada. Bagian itu terlindung gundukan baru yang agak besar.
"Aku tidak bisa memenuhi permintaan itu!" lantang jawaban pemuda berpakaian coklat. "Aku mempunyai urusan penting. Karena itu, aku berada di tempat ini!"
"Kami ulangi peringatan kami...! Kalau kau memang mempunyai kepentingan, harap tunda dulu sehingga beberapa hari. Kalau tidak, kau terpaksa akan berhadapan dengan kami!” timpal suara dari balik gundukan baru.
“Urusanku ini tidak bisa ditunda! Aku tidak ingin perjalananku sia-sia! Pemuda berpakaian coklat memperkeras suaranya. "Apakah kalian prajurit-prajurit kerajaan...?"
Tidak ada tanggapan.
"Ketahuilah, kedatanganku kemari menyangkut keselamatan Panglima Anggar Bayu! Ada seorang sakti yang dendam terhadapnya. Ia akan melakukan pembalasan. Kuharap kalian bersedia memberitahukan dan memintanya untuk meninggalkan tempat ini sesegera mungkin!"
Si pemuda menyambung ucapannya. Dia yakin ucapannya di dengarkan kendati tidak diterimanya sambutan dari atas. Kembali suasana menjadi hening ketika pemuda berpakaian coklat menyelesaikan perkataannya. Sesaat kemudian, sebelum pemuda berpakaian coklat kehilangan kesabaran itu bergerak ke atas, pendengarannya yang tajam menangkap bunyi gerakan. Ia segera mengurungkan maksudnya.
Sekejap kemudian dua sosok tubuh muncul. Mereka mengenakan seragam pasukan kerajaan. Yang seorang bertubuh pendek kekar, sedang yang lain tinggi kurus. Di tangan kedua prajurit ini tergenggam tombak panjang.
"Siapa kau, Anak Muda? Apa maksud ucapanmu tadi? Kami tidak mengerti!" Prajurit tinggi kurus mengernyitkan dahi seperti orang kebingungan.
"Sikap kalian untuk merahasiakan keberadaan Panglima Anggar Bayu di sini memang bagus. Tapi, terhadapku kalian tidak perlu bermain sandiwara. Masalah ini sangat penting. Harap kalian beritahukan kedatanganku. Katakan saja adik seperguruannya, I Made Sangkara murid Eyang Brihaspati, datang menjenguknya," beritahu pemuda berpakaian coklat, buru-buru.
Prajurit tinggi kurus saling berpandangan dengan rekannya. Nama Eyang Brihaspati memang telah mereka dengar dari Panglima Anggar Bayu. Beliau adalah guru dari panglima mereka. Panglima Anggar Bayu sedang berada di tempat ini untuk berburu macan putih.
"Tunggu apa lagi? Cepat sampaikan kedatanganku sebelum semuanya terlambat dan kalian akan menyesal!" desak I Made Sangkara.
Melihat sikap I Made Sangkara yang kelihatan bersungguh-sungguh dan penuh rasa khawatir, dua prajurit kerajaan ini pun terpengaruh. Lelaki yang bertubuh pendek kekar membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu. Tapi, baru beberapa langkah ia berhenti. Tubuhnya segera dibalikkan. "Aku lupa lagi. Namamu siapa tadi, Anak Muda? I Made.... ”
“I Made Sangkara,” lanjut I Made Sangkara, tidak sabar. “Aku dari Pulau Dewata!”
Prajurit pendek kekar mengangguk-angguk. Kemudian, dengan bibir komat-kamit mengingat nama itu dia meneruskan maksudnya untuk menemui Panglima Anggar Bayu. Sekarang yang tinggal di tempat itu hanya prajurit tinggi kurus dan I Made Sangkara. Si prajurit tampak bersikap waspada. Sepasang matanya tak lepas dari I Made Sangkara. Tombak di tangannya digenggam dengan kedua tangan, siap untuk digunakan.
I Made Sangkara sendiri seakan tidak peduli. Dia duduk di atas punggung kuda dengan perasaan gelisah yang tidak bisa disembunyikan. Pandangannya tertuju ke belakang prajurit tinggi kurus. Arah di mana prajurit yang hendak melapor pada Panglima Anggar Bayu itu lenyap.
I Made Sangkara sampai melompat turun dari punggung kuda ketika melihat kedatangan prajurit pendek kekar. Bias kecewa tampak pada wajahnya. Prajurit itu datang sendirian. Tidak nampak orang lain di sebelahnya.
“Bagaimana? Apakah kau sudah sampaikan kedatanganku pada Panglima Anggar Bayu? Bagaimana tanggapannya? Mengapa beliau tidak datang kemari? Atau, aku yang harus datang ke sana?" Dengan sikap tidak sabar I Made Sangkara mengajkan pertanyaan bertubi-tubi.
Prajurit pendek kekar malah tersenyum mengejek. "Lebih baik kau segera pergi dari sini, Penipu Muda. Jika kau tidak mempedulikan peringatan ini dengan sangat menyesal kami akan menjadikanmu sate manusia!"
"Apa artinya ini? Mana Panglima Anggar Bayu...?!" I Made Sangkara maju selangkah.
Karena sebelum kakinya terus diayunkan, prajurit pendek kekar telah mengeluarkan ancaman. "Selangkah lagi kau maju, anak-anak panah akan menyate tubuhmu!"
Pemuda berpakaian coklat melihat prajurit pendek kekar menjentikkan jari. Seketika itu pula di belakangnya muncul belasan prajurit dengan busur terentang!
"Rupanya kau masih juga mau berpura-pura, Penipu Busuk! Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Rupanya kebohonganmu ingin ditelanjangi. Dengar, Panglima Anggar Bayu tidak pernah mempunyai adik seperguruan. Apalagi orang yang mempunyai nama aneh sepertimu. Nah, sekarang menyingkirlah dari sini! Mengingat kau masih muda, aku mau bertindak sabar. Tapi, ini yang terakhir kali"
I Made Sangkara tertegun sebentar. Dia tengah berpikir keras. "Kalian terlalu memaksa. Aku tidak punya pilihan lain!" Usai berkata, tanpa merasa gentar sedikit pun I Made Sangkara melangkah maju.
"Pemuda gila! Kau memang sudah bosan hidup. Serang...!" Berbarengan dengan selesainya seruan prajurit pendek kekar, belasan prajurit di belakangnya melepaskan anak panah. Belasan anak panah meluncur ke arah I Made Sangkara. Terdengar bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan telinga.
I Made Sangkara tidak melakukan gerakan apa pun. Dia terus mengayunkan kaki. Kendati demikian, karena tidak ingin mati konyol, pemuda ini mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi sekujur tubuhnya. Prajurit pendek kekar dan semua yang ada di tempat itu sudah membayangkan betapa tubuh I Made Sangkara penuh ditembusi belasan anak panah. Bila ini terjadi, sulit rasanya bagi pemuda itu untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tapi, mata mereka membelalak lebar. Anak-anak panah runtuh semua ke tanah sebelum berhasil mengenai tubuh I Made Sangkara. Seakan di sekeliling tubuh pemuda itu terdapat benteng yang tidak tampak! Kenyataan yang terpampang di depan mata itu terlalu mengejutkan para prajurit kerajaan.
Mereka tidak percaya. Ketika prajurit pendek kekar kembali memberi aba-aba, belasan anak panah meluncur siap merajam I Made Sangkara. Tapi, seperti juga sebelumnya, anak-anak panah runtuh sebelum mengenai sasaran. I Made Sangkara tetap melangkah dengan tenang. Para prajurit kerajaan tidak putus asa dengar kegagalan serangan mereka. Sambil berseru nyaring, mereka menghunus golok. Senjata tajam itu digenggam dengan tangan kanan. Sedangkan di tangan kiri tercekal tameng.
Dengan pasangan senjata ini kelompok pasukan kerajaan menyerbu I Made Sangkara. I Made Sangkara menghela napas berat. Sikapnya menyesali kejadian yang sama sekali tidak diharapkan ini. Sambil terus melangkah maju, kedua tangannya berulang kali didorongkan ke depan.
Prajurit-prajurit kerajaan bagai bulu-bulu dihembus angin. Mereka berpentalan ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah. Untungnya I Made Sangkara tidak berniat jahat. Mereka tidak mengalami luka parah. Hanya lecet-lecet karena kulit mereka bergesekan dengan batu-batu.
I Made Sangkara tidak menghiraukan keadaan lawan-lawannya. Dia terus saja mengayunkan kaki. Kelihatannya hanya langkah biasa. Pendek-pendek dan lambat-lambat. Tapi, belasan prajurit kerajaan yang mengejarnya dengan mempergunakan ilmu lari cepat tidak mampu menyusul.
Suasana jadi gaduh. Prajurit-prajurit itu melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Kegaduhan ini yang menyebabkan sebuah tenda yang tampak didepannya tersingkap. Dari dalam tenda keluar seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk lebat dan berpakaian seragam panglima kerajaan.
Di kanan kirinya tampak dua orang yang tidak berpakaian prajurit. Sepasang mata mereka tajam menusuk. Dua prajurit yang menjaga bagian depan tenda segera memberi hormat dan berjalan di belakang sang panglima. Panglima itu sendiri dengan tenangnya melangkah lebar menghampiri I Made Sangkara.
"Kaukah orang yang mengaku murid Eyang Brihaspati yang menjadi guruku?" tanya sang panglima yang bukan lain Anggar Bayu. Sikap panglima ini demikian tenang dan penuh percaya diri.
"Benar. Namaku I Made Sangkara. Benarkah aku tengah berhadapan dengan Panglima Anggar Bayu yang terkenal lihai baik ilmu perang maupun ilmu silatnya?" puji I Made Sangkara penuh hormat.
Panglima Anggar Bayu mengangguk. Tanpa merasa curiga sedikit pun. Padahal, itu amat berbahaya. Kalau orang bermaksud tidak baik dan jauh lebih lihai, dia akan celaka.
"Bisa lolos dari kepungan prajuritku menjadi pertanda kau memiliki kepandaian cukup. Hanya, yang kusayangkan, mengapa dalam usia semuda ini kau berada di jalan sesat? Mencatut nama orang lain untuk kepentingan sendiri?!"
Ucapan Panglima Anggar Bayu terdengar tegas dan penuh wibawa. Menunjukkan kalau dia orang yang telah kenyang pengalaman hidup. "Kalau tidak mengingat usiamu yang masih sangat muda itu, pencatutan nama terhadap guruku telah cukup untuk kujadikan alasan menindakmu!"
"Maafkan aku, Panglima." I Made Sangkara memberi hormat. "Aku tidak berbicara dusta. Eyang Brihaspati memang guruku. Selama lima tahun ini aku menjadi muridnya."
"Hmmm...!" Panglima Anggar Bayu menggumam. Ditatapnya I Made Sangkara penuh selidik. Dengan matanya lelaki gagah yang telah berusia empat puluh lima tahun ini ingin mencari kebenaran ucapan I Made Sangkara.
"Panglima mungkin meragukan keteranganku, ingatkah Panglima akan cerita Eyang Brihaspati? Eyang pernah mengatakan padaku kalau beliau telah menceritakan pada Panglima mengenai sahabatnya di Pulau Dewata."
"Maksudmu..., I Nyoman Tirta? Pembuat keris nomor satu di Pulau Dewata itu?!" seru Panglima Anggar Bayu, kaget.
"Benar, Panglima. Saya adalah putranya. Lima tahun yang lalu Bapa membawa saya untuk menemui Eyang Brihaspati. Beliau menerima saya menjadi muridnya. Atas perintah Ida, saya memberanikan diri datang kemari, Panglima," beritahu I Made Sangkara. Ia mempergunakan dialek daerahnya untuk lebih meyakinkan hati Panglima Anggar Bayu.
Panglima Anggar Bayu tersenyum lebar. Dia tiak merasa ragu lagi, I Made Sangkara tidak berniat jahat. Nama Nyoman Tirta telah sering didengarnya. Tokoh itu sahabat gurunya. Eyang Brihaspati memang telah merantau ke berbagai tempat. Salah satunya adalah Pulau Dewata.
"Kiranya kau bukan orang lain. Siapa namamu tadi, Adi? I Made Sangkara?" Panglima Anggar Bayu meminta kepastian. Panglima yang rupanya cukup menguasai bahasa I Made Sangkara ikut-ikutan berbicara dalam dialek tersebut.
"Benar, Panglima. Itu memang nama saya," jawab I Made Sangkara dengan hati lega.
"Mari. Mari, Adi. Masuk ke tendaku. Kita berbincang-bincang. Aku ingin tahu masalah yang membuat guruku mengutus Adi kemari," ajak Panglima Anggar Bayu. Ia mendahului membalikkan tubuh dan melangkah menuju tendanya. I Made Sangkara mengikuti di belakang.
"Sayang sekali, Adi. Aku tidak bisa memenuhi anjuran Guru. Aku bukan seorang pengecut. Apa kata orang nanti bila aku lebih dulu melarikan diri sebelum bertanding? Panglima Anggar Bayu bangkit dari duduk bersilanya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam tenda.
I Made Sangkara tetap duduk bersila. Di sisi kanan dan kiri dua lelaki gagah berdiri dengan sikap waspada. Mereka tidak mencampuri urusan antara Panglima Anggar Bayu dengan I Made Sangkara.
“Melihat, Panglima Anggar Bayu yang ditakuti lawan dan disegani kawan, lari lintang-pukang dari seorang musuh yang belum diketahui kepandaiannya! Bila itu terjadi, mau ditaruh di mana mukaku, Adi?”
“Maafkan saya, Panglima. Bukan maksud saya membuat marah Panglima. Saya hanya menyampaikan amanat Eyang Brihaspati. Beliau amat berharap Saya dapat melunakkan hati Panglima."
"Penasaran!" Panglima Anggar Bayu memukulkan tangan kanan pada telapak tangan kirinya. Terdengar bunyi benturan keras. "Mengapa Guru terlalu memandang remeh padaku? Begitu yakinkah beliau musuh keparat itu akan berhasil mengalahkanku?!"
"Maafkan saya, Panglima. Menurut beliau, musuh besar Panglima memang tak akan mungkin di kalahkan oleh siapa pun! Dia telah menelan pusaka yang bernama Telur Elang Perak. Pusaka itu menyebabkan tidak ada seorang tokoh pun akan dapat mengalahkan apalagi membunuhnya!"
"Telur Elang Perak?!" Panglima Anggar Bayu berteriak, kaget. "Aku memang sudah lama mendengar pusaka itu. Tapi, menurut berita Telur Elang Perak berada di tangan Iblis Buta. Ia sudah lama tidak kedengaran beritanya lagi. Lenyap bagai ditelan bumi!"
I Made Sangkara diam. Panglima Anggar Bayu kembali berjalan mondar-mandir. Kali ini bukan karena rasa penasaran melainkan resah. Berapa kali dia menghela napas berat.
"Sungguh tidak kusangka Panglima Sabu yang berkhianat itu memiliki seorang anak. Hhh...! Aku kecolongan!"
"Eyang Brihaspati mencari tahu melalui semadinya. Musuh besar Panglima bernama Lanang. Dia lolos ketika Panglima menumpas pemberontakan Panglima Sabu belasan tahun lalu," Beritahu I Made Sangkara. "Lanang tidak akan bisa dikalahkan. Kecuali...."
“Kecuali apa, Adi?” sambar Panglima Anggar Bayu, cepat.
"Kecuali oleh Mustika Ular Emas. Orang yang berhasil mendapatkan mustika itu berkesempatan untuk menamatkan riwayat Lanang. Telah belasan tokoh persilatan dibunuh Lanang. Sebagian besar merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi.”
“Mustika Ular Emas?” ulang Panglima Anggar Bayu. “Rasanya aku belum pernah mendengarnya.... “
“Tak aneh, Panglima. Eyang Brihaspati sendiri mengetahuinya belum lama. Menurut beliau, Ular Emas itu telah keluar ke dunia persilatan. Ida telah mendapatkan tanda-tandanya. Kemudian, dengan singkat I Made Sangkara menceritakan semua yang diketahuinya.
Panglima Anggar Bayu mendengarkan dengan perasaan tertarik. Tak sedikit pun dia memotong hingga I Made Sangkara selesai menceritakan semuanya.
“Lanang mencari berita mengenai Panglima. Saya yakin akhirnya ia akan menemukan Panglima. Sebelum itu terjadi, lebih baik Panglima tinggalkan tempat ini. Sementara itu, saya akan mencoba mencari Mustika Ular Emas. Apabila sudah berhasil saya dapatkan, Panglima tidak perlu bersembunyi lagi. Lanang akan kita bunuh!"
Panglima Anggar Bayu tersenyum pahit. Dengan pandang mata sungguh-sungguh ditatapnya I Made Sangkara lekat-lekat. "Kuucapkan terima kasih atas jerih payahmu, Adi. Sampaikan salam hormatku pada Guru. Perhatian beliau dan kau amat kuhargai. Tapi, sayang aku tidak bisa memenuhi permintaan itu. Aku bukan seorang pengecut. Tidak, Adi! Aku tidak takut mati. Kuharap kau mau menyampaikan hal ini pada Guru!" jawab Panglima Anggar Bayu dengan suara lantang dan sikap gagah.
Made Sangkara tidak berkata-kata lagi. Di merasakan nada kesungguhan dalam sikap dan ucapan Panglima Anggar Bayu. Dia tahu tidak ada gunanya berusaha membujuk. Orang yang memiliki pendirian seperti sang panglima ini tak akan mudah dibujuk!
"Ha ha ha...!" Tawa bergelak yang penuh nada ejekan menguak keheningan.
Semua orang yang berada di situ langsung bersikap waspada. I Made Sangkara langsung berdiri dan berjalan keluar tenda. Ia mengedarkan pandangan mencari-cari sumber suara. Demikian juga dengan Panglima Anggar Bayu. Dua lelaki berpakaian ringkas yang menjadi pengawal pribadi Panglima Anggar Bayu telah melesat dari tempatnya dan berdiri di kanan kiri sang panglima. Mereka bersikap melindungi.
Panglima Anggar Bayu dan I Made Sangkara bertukar pandang sesaat ketika mengetahui sumber suara itu tidak bisa mereka lacak. Ini berarti si pemilik suara memiliki ilmu "Memindahkan Suara". Sebuah ilmu yang hanya dikuasai orang-orang berilmu tinggi.
Sekarang, kakak dan adik seperguruan ini mulai mengerti mengapa Eyang Brihaspati begitu khawatir. Pemilik suara yang diduga I Made Sangkara dan Panglima Anggar Bayu sebagai sang musuh besar terbukti memiliki kepandaian tinggi.
“Benar-benar seorang panglima yang gagah perkasa...” Kembali suara itu terdengar.
“Siapa kau, Pengecut? Tunjukkan dirimu kalau kau memang berhati jantan, Jangan beraninya hanya bersembunyi seperti nenek-nenek keriput!" pancing Panglima Anggar Bayu.
"Siapa bilang aku bersembunyi? Aku berada di sini sejak tadi..."
Hampir bersamaan Panglima Anggar Bayu, I Made Sangkara, dan dua orang pangawal pribadi sang panglima membalikkan tubuh. Tidak seperti sebelumnya, kali ini suara itu terdengar jelas dan bisa ditebak dari mana asalnya. Si pemilik suara tidak menggunakan ilmu 'Memindahkan Suara'-nya lagi.
Hanya berjarak satu tombak dari Panglima Anggar Bayu duduk sesosok tubuh dengan cara yang amat luar biasa. Panglima Anggar Bayu dan teman-temannya membelalakkan mata karena kaget. Sosok itu duduk bersila di ujung sebuah tambang yang berdiri kaku. Tambang yang biasa dipergunakan untuk mengikat oleh sosok yang baru datang ini digunakan untuk tempat duduk!
Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya merasa tegang. Tindakan yang dilakukan sosok berpakaian mewah itu membutuhkan ilmu meringankan tubuh sangat tinggi. Panglima Anggar Bayu dan I Made Sangkara tahu pasti mereka tidak mampu melakukan hal itu!
"Bagaimana, Panglima? Sudah puas melihatku? Aku bukan pengecut, bukan?" Sosok berpakaian mewah yang ternyata seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun itu kembali membuka suara. Lantang dan keras. Padahal Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya tidak melihat bibir pemuda itu berkemik sedikit pun. Pertanyaan itu membuat Panglima Anggar Bayu sadar dari kesimanya.
"Kau memang hebat, Anak Muda. Tapi, jangan harap mampu menakut-nakutiku dengan permainan anak-anakmu itu!" tandas sang panglima, mantap dan gagah.
"Ha ha ha...!" Pemuda berpakaian mewah tertawa. Ucapan Panglima Anggar Bayu membuatnya merasa geli. Kembali Panglima Anggar Bayu dan yang lain-lain tercekat. Bibir pemuda itu tidak terbuka walau sedang tertawa.
Keterkejutan yang melanda Panglima Anggar Bayu dengan kejadian itu sebenarnya sudah cukup besar. Namun, masih tidak sebesar rasa kaget yang dialaminya kemudian. Tawa pemuda berpakaian mewah ternyata bukan main-main Panglima Anggar Bayu, I Made Sangkara, dan dua lelaki berpakaian ringkas merasakan telinga mereka seperti kemasukan beduk berbunyi. Terasa sakit dan nyeri bukan main. Bagian dalam telinga mereka bagai disentak-sentak.
Ditambah lagi dengan getaran hebat yang melanda sekujur tubuh. Seperti ada tangan tak nampak yang mengguncang-guncangkan tubuh keempat orang itu. Panglima Anggar Bayu dan yang lain-lain segera tahu pemuda berpakaian mewah itu melakukan serangan tenaga dalam melalui suara tawa.
Bagai telah disepakati sebelumnya, keempat orang ini segera mengambil senjata masing-masing. Dua lelaki berpakaian ringkas melemparkan pisau-pisau putih berkilat. Sedangkan Panglima Anggar Bayu mempergunakan mata panah. I Made Sangkara meluncurkan logam berbentuk bintang segi tiga.
Tiga macam senjata rahasia yang berjumlah belasan itu meluncur dengan mengeluarkan bunyi berdesing nyaring. Tapi, pemuda berpakaian mewah tetap duduk tenang di tempatnya. Tidak terlihat hendak menangkis atau mengelakkannya. Pemuda berpakaian mewah bahkan semakin mengeraskan tawa. Belasan senjata rahasia itu runtuh ke tanah seperti terpukul serangan jarak jauh.
Kejadian ini benar-benar luar biasa. Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya sampai terkesima. Sungguh luar biasa lawan yang tengah mereka hadapi. Hanya dengan suara tawa mampu meruntuhkan serangan senjata. Tawa itu ternyata tidak hanya mampu digunakan untuk menyerang, tapi juga dipakai untuk menggantikan tangan atau kaki!
"Apakah kau orang yang hendak membunuhku?! Kaukah keturunan Panglima Sabu yang berkhianat itu?" tanya Panglima Anggar Bayu, mencoba bersikap tenang. Namun, getar kegentaran pada suaranya tetap tidak bisa ditutupi. Pemuda berpakaian mewah terkekeh.
"Apa yang kau duga tidak salah. Aku memang putra Panglima Sabu. Namaku Lanang! Akulah orang yang diceritakan adik seperguruanmu itu!" jawab pemuda berpakaian indah dengan sikap memandang remeh.
I Made Sangkara hanya bisa mengepalkan tinju. Dia menyesalkan kekerasan hati Panglima Anggar Bayu. Kalau saja sang panglima tidak berkeras hati, mereka tentu tidak perlu bertemu dengan Lanang.
"Tanpa kujelaskan lagi pun kau sudah tahu maksud kedatanganku kemari, Panglima Anggar Bayu! Aku ingin membunuhmu! Bukan hanya kau, tapi juga semua orang yang mempunyai hubungan denganmu!" desis Lanang dengan sinar mata berkilat-kilat.
"Kau terlalu, Lanang! Yang bertanggung jawab atas kematianmu adalah aku. Pasukanku mungkin bisa kau bawa-bawa pula. Tapi, I Made Sangkara tidak ada hubungannya dengan dendammu. Kuharap kau mau membiarkan dia pergi dari sini!" Panglima Anggar Bayu mencoba menawar.
Lanang menggeleng. "Aku telah bersumpah untuk membunuh setiap orang yang mempunyai hubungan denganmu, Anggar Bayu! Siapa pun mereka. Juga I Made Sangkara. Gurumu dan semua sahabat gurumu. Istrimu, pelayan-pelayanmu, dan juga anak-anakmu!"
"Manusia keji! Aku akan mengadu nyawa denganmu!" Panglima Anggar Bayu mencabut pedang yang menjadi tanda pangkatnya. Kemudian, disertai terjangan dibabatnya pedang itu ke leher Lanang!
Dua lelaki berpakaian ringkas yang merupakan pengawal pribadi sang panglima ikut mengirimkan serangan. Dua orang ini menggunakan tombak pendek. I Made Sangkara menyerang belakangan. Pemuda gagah ini menggunakan keris berlekuk enam. Gabungan serangan keempat orang itu yang melancarkan serangan susul-menyusul, dahsyat bukan main.
Tapi, seperti semula Lanang tidak bergeming dari kedudukannya. Tawanya segera dihentikan. Pemuda ini kemudian malah menangis. Kelihatan aneh sekali tingkah Lanang. Mendapat serangan maut kok malah menangis. Apakah pemuda ini ketakutan sekali? Ternyata tidak demikian. Tangis Lanang bukan tangisan sembarangan. Tangis yang dialirkan dengan menggunakan tenaga dalam.
Dirancang sedemikian rupa. Suara tangis itu menyelusup melalui telinga dan singgah di kepala. Akibat suara tangisan itu dahsyat dan mengerikan. Panglima Anggar Bayu dan ketiga orang lainnya menghentikan serangan. Wajah mereka membiaskan rasa sakit yang sangat. Bunyi tangisan seperti mengiris-iris bagian dalam kepala mereka, menimbulkan rasa sakit dan nyeri.
Semakin lama rasa sakit dan nyeri semakin dahsyat. Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya tidak tahan untuk berdiam diri. Mereka memegangi kepala dengan kedua tangan. Seluruh tenaga dalam dikerahkan untuk menghilangkan rasa yang menyiksa. Usaha keempat orang gagah yang malang ini sia-sia belaka. Rasa sakit tidak mau hilang. Malah, semakin menghebat. Mereka menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan. Dari mulut mereka keluar erangan menyayat hati.
Semakin Lanang memperhebat tangisnya semakin tersiksalah mereka. Ketika akhirnya Lanang menangis menggerung terdengarlah bunyi letupan. Pelan tapi menggidikkan hati. Darah bercampur otak muncrat ketika letupan itu terdengar. Letupan itu terjadi akibat meletusnya kepala dua orang pengawal pribadi Panglima Anggar Bayu!
Disusul dengan kepala panglima itu sendiri. Lanang menghentikan tangisnya. Seketika itu pula pengaruh yang menggiriskan lenyap. I Made Sangkara yang masih hidup dan sejak tadi menggelepar-gelepar kini terdiam.
"Aku sengaja tidak membunuhmu, Monyet!" Tanpa peduli pada I Made Sangkara yang masih belum sadar sepenuhnya, Lanang berkata dengan suara dingin. I Made Sangkara masih berdiri limbung dengan pandangan nanar. "Aku memberimu kesempatan untuk memberitahukan musibah ini pada gurumu. Barangkali kau ingin mengajak gurumu mengungsi ke tempat yang aman. Tapi ingat, aku tidak akan tinggal diam. Aku bermaksud menjumpai gurumu. Kita berlomba untuk lebih dulu sampai di sana. Kalau kau tiba lebih dulu, kalian mempunyai kesempatan menghirup udara dunia ini lebih lama. Sebaliknya, bila aku yang lebih dulu tiba... kau hanya akan menjumpai mayat gurumu yang mungkin tidak akan bisa kau kenali lagi!"
Ucapan Lanang sebenarnya keras dan lantang, tapi pengaruh serangan dahsyat pemuda ini membuat I Made Sangkara hanya mendengarnya samar-samar. Pemuda berpakaian coklat ini mendengarnya antara sadar dan tidak. Lanang tanpa menunggu jawaban dari I Made Sangkara segera melesat pergi. Bertepatan dengan perginya Lanang tubuh I Made Sangkara bergerak limbung. Kemudian, ambruk bagai sehelai kain basah. Pemuda ini jatuh pingsan. Pengaruh serangan Lanang memang luar biasa!
Seorang kakek berambut awut-awutan dan bermata buta menghela napas berat. Wajahnya yang penuh dibasahi peluh membuat keadaannya terlihat mengenaskan. Kakek ini tengah duduk bersila di atas batu karang hitam di pinggir laut.
"Benar-benar luar biasa...," ucap kakek berambut awut-awutan seraya menggeleng-gelengkan kepala. Ucapannya meski pelan tapi mampu mengatasi riuhnya bunyi di sekelilingnya.
Sekitar tempat kakek itu berada memang penuh kegaduhan. Ombak besar bergulung-gulung datang dari tengah laut menghantam karang dekat pantai. Termasuk batu karang di mana kakek buta itu berada. Apalagi batu karang itu berada agak menjorok ke laut. Hanya, ada kejadian yang aneh. Setiap kali ombak besar menghantam karang di mana si kakek berada, percikan-percikan airnya tak setetes pun mengenai tubuh kakek itu. Percikan air berpentalan kembali ke laut. Pada karang lainnya tidak demikian.
Kendati sebagian besar air yang menghantam karang kembali ke laut, tapi sebagian lagi memercik ke atas batu karang dan membasahinya. Pada celah-celah karang tertinggal keong-keong laut dan ikan-ikan kecil yang tadi ikut terbawa ombak. Tempat kakek buta itu berada sebenarnya sepi. Meski di pinggir laut tak satu pun tampak perahu nelayan. Sejauh mata memandang yang kelihatan hanya gugusan batu karang. Desa yang paling dekat jaraknya amat jauh dari tempat ini.
Tapi, kali ini ada sesosok tubuh melesat cepat menuju tempat kakek buta itu berada. Sosok itu seorang kakek jangkung berwajah mirip kuda. Meski telah tua kakek ini memiliki kecepatan lari yang mengagumkan. Kaki-kakinya seperti tidak menginjak tanah. Dengan lompatan-lompatan luar biasa kakek bermuka kuda melalui karang-karang licin yang banyak ditempeli lumut. Kakek ini melompat-lompat tanpa merasa khawatir akan tergelincir. Karang demi karang dilalui dengan enaknya, seperti orang berlari di tempat rata.
Kakek buta rupanya mendengar seseorang mendatangi tempatnya. Kepalanya segera ditelengkan. Sekejap kemudian, dia melakukan tindakan luar biasa. Dalam keadaan masih duduk bersila tubuhnya perlahan-lahan naik ke atas. Setelah mencapai ketinggian sepinggang, kedua kakinya diturunkan. Sekarang dia berdiri dengan kedua kaki. Seperti orang yang mempunya mata normal pandangannya diarahkan pada tempat di mana kakek berwajah kuda melesat ke arahnya.
Sementara itu kakek berwajah kuda sadar kalau kakek buta telah mengetahui kedatangannya. Pada batu karang yang berhadapan dengan batu karang tempat kakek buta berdiri larinya dihentikan. Kakek berwajah kuda berdiri menghadap kakek buta di pinggir batu karang yang dipisahkan oleh celah laut selebar tiga tombak.
"Siapa kau? Apa maksud kedatanganmu ke tempat ini?" Kakek buta bertanya tanpa menyembunyikan perasaan tidak senangnya.
Kakek berwajah kuda tidak memberikan jawaban. Setelah memperhatikan kakek buta sesaat dia lalu tertawa. Suara tawanya tidak layak keluar dari mulut manusia. Lebih mirip suara kuda! Wajah kakek buta beriak. Terlihat jelas dia merasa kaget.
"Kukira siapa. Kiranya kau si muka kuda yang berani bergelar Raja Sihir Penyebar Maut! Apa maksud kedatanganmu kemari, Muka Kuda?!"
Raja Sihir Penyebar Maut kembali meringkik. Suaranya melengking nyaring mengatasi gemuruh umbak laut pasang. "Syukur kau masih mengenaliku, Dewa Mata Putih," ujar kakek bermuka kuda. "Kukira sudah lupa. Ingatanmu ternyata masih kuat. Pendengaranmu pun semakin tajam sehingga bisa mengetahui kedatanganku."
Kakek buta yang bergelar Dewa Mata Putih mengibaskan tangan dengan sikap mencela. "Tidak usah memuji-mujiku, Muka Kuda!" sergah kakek itu, lantang. "Kalau kau bersikap seperti ini pasti ada sesuatu yang diinginkan dariku. Aku tahu betul dengan tingkahmu!"
Raja Sihir Penyebar Maut hanya meringkik. "Perasaanmu pun semakin tajam, Buta. Kau tahu maksud kedatanganku kemari sebelum kuutarakan. Luar Biasa!"
Dewa Mata Putih mendengus. Tidak terlihat kemarahan, kendati Raja Sihir Penyebar Maut menyapanya dengan cacat yang dimilikinya.
"Aku datang kemari untuk sebuah keperluan. Tapi, itu tidak terlalu penting." Raja Sihir Penyebar Maut mulai mengutarakan maksudnya. Dia tidak kecil hati meski Dewa Mata Putih tersenyum mengejek. "Yang lebih penting adalah apakah kau mendapatkan kemajuan setelah belasan tahun kita tidak bersua. Aku ingin menguji kemampuanmu, Buta!"
"Mengapa berbelit-belit, Muka Kuda? Katakan saja maksudmu itu. Tidak usah plintat-plintut seperti perawan dilamar!" sergah Dewa Mata Putih, tak sabar.
"Aku mempunyai urusan lain yang jauh lebih penting. Kau ingin menguji bagaimana? Pertarungan sampai selaksa jurus! Mengadu kekuatan tenaga dalam sampai di antara kita ada yang menggeletak? Aku siap menghadapinya!"
"Sayang sekali, Buta! Pertarungan semacam itu tidak menarik hatiku lagi. Aku sudah terlalu tua. Urat-uratku telah kaku," kilah Raja Sihir Penyebar Maut sambil tertawa.
"Lalu, pertarungan bagaimana yang kau inginkan?"
"Bukan pertarungan. Aku hanya ingin menguji kemampuanmu. Katakan dulu kau berani atau tidak? Kalau tidak berani, aku akan segera pergi dari sini!" Raja Sihir Penyebar Maut membakar keangkuhan Dewa Mata Putih. Kakek muka kuda ini tahu benar kakek buta memiliki penghargaan yang tinggi terhadap dirinya sendiri. Pantang baginya dianggap takut atau pengecut.
Dewa Mata Putih tertawa mengejek "Aku membaui adanya maksud untuk mencari keuntungan diri sendiri dalam tantanganmu, Muka Kuda. Kau hendak menipuku! Tapi, jangan kira aku menjadi gentar. Pantang bagiku menolak tantangan! Sekarang, katakan maksudmu secara jelas!"
"Aku yakin kau telah melihat keanehan di langit beberapa hari yang lalu, Buta. Selama tiga hari tiga malam warna langit tetap demikian." Raja Sihir Penyebar Maut berkata seraya memperhatikan wajah Dewa Mata Putih. Ia ingin melihat setiap riak sekecil apa pun di wajah tua itu. Maksud kakek muka kuda ini terkabul. Wajah Dewa Mata Putih terlihat beriak.
"Bukankah kau melihatnya, Buta?"
Dewa Mata Putih mengangguk pelan seperti merasa berat untuk menjawab.
"Dan, aku yakin kau tahu penyebabnya. Iya, kan?" desak Raja Sihir Penyebar Maut.
Perubahan pada wajah Dewa Mata Putih semakin terlihat jelas. Agaknya, pertanyaan yang di ajukan Raja Sihir Penyebar Maut merupakan rahasia.
"Bagaimana, Buta? Kau bermaksud menarik lagi ucapanmu yang mengatakan akan bersedia memenuhi ujian dariku?" Raja Sihir Penyebar Maut mengeluarkan kata-kata kuncinya.
Dewa Mata Putih menggertakkan gigi. Wajahnya mengelam. Beberapa saat hal ini berlangsung sebelum akhirnya memudar seiring dengan helaan napas dari mulutnya. "Sudah kuduga kau menyimpan maksud licik, Muka Kuda! Sejak dulu watakmu tidak juga berubah!" desis Dewa Mata Putih, geram. Tapi, di dalamnya terkandung ketidak berdayaan dan penyesalan.
"Apakah kau hendak menjilat ludah yang sudah kau keluarkan, Buta?" gertak Raja Sihir Penyebar Maut.
"Katakan apa yang ingin kau tanyakan. Setelah itu, enyahlah dari sini! Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!" ketus ucapan Dewa Mata Putih.
Raja Sihir Penyebar Maut sebenarnya merasa tersinggung. Tapi, dia menahan amarahnya. Kakek muka kuda ini memiliki keangkuhan yang besar. Pantang baginya diremehkan orang. Kalau tidak mengingat pentingnya masalah yang tengah dihadapi, sudah diterjangnya Dewa Mata Putih. Sayang, Raja Sihir Penyebar Maut terlalu terbawa rasa tersinggungnya. Kalau saja ditelaahnya kata-kata Dewa Mata Putih dia pasti akan merasa geli. Mana mungkin Dewa Mata Putih yang buta melihat wajahnya?
"Aku hanya ingin kau memberikan jawaban di mana Ular Emas itu? Maksudku, di mana tempat binatang aneh itu keluar! Sejak tiga hari yang lalu aku telah berusaha mencari tahu, Muka Kuda. Tapi, aku tidak mampu mengetahuinya. Ada tabir yang menutupi. Batas pengetahuanku kurasa sama denganmu. Aku yakin kau belum mengeluarkan seluruh kemampuanmu, Buta," ujar Raja Sihir Penyebar Maut setengah mengingatkan.
"Bagaimana mungkin aku bisa mengerahkan seluruh kemampuanku? Aku tidak ingin meninggalkan tempat ini. Harus kuakui kalau seluruh kemampuanku kukeluarkan, mungkin tabir itu bisa kuungkap. Jadi, bukannya aku tidak mampu lulus dari ujianmu. Tapi, tidak ada bantuan alat-alat yang dapat membuatku mengerahkan seluruh kemampuan."
Raja Sihir Penyebar Maut tersenyum penuh rahasia. Dia tidak kelihatan kecewa. Kakek muka kuda ini berdiam diri. Dewa Mata Putih yang tidak bisa melihat jadi kebingungan. Kakek buta ini gelisah mendengar tidak adanya tanggapan Raja Sihir Penyebar Maut.
"Apakah kau masih di situ, Muka Kuda?" tanya Dewa Mata Putih, kepalanya ditelengkan ke kiri kanan untuk dapat lebih jelas menangkap bunyi-bunyi halus.
Sebenarnya kakek buta itu tahu pertanyaannya kedengaran bodoh. Tapi, dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya ketika beberapa saat lamanya menunggu tidak juga mendengar suara. Bahkan desah napas Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda itu seperti sudah tidak berada di hadapannya lagi... Raja Sihir Penyebar Maut tertawa melihat kegelisahan kakek buta di depannya.
"Tentu saja aku masih di sini, Buta. Mana mungkin kutinggalkan tempat ini sebelum kudapat keterangan tentang Ular Emas itu?!"
"Bukankah sudah kukatakan kalau...."
"Kerahkanlah seluruh kemampuanmu, Buta! Semua bahan-bahan yang kau perlukan sudah kusediakan!" potong Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda melemparkan buntalan kecil yang sejak tadi dijinjing dengan tangan kirinya. Sembarangan dan kelihatan tanpa tenaga kakek ini melemparkannya.
Dewa Mata Putih menyeringai. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi menderu keras. Kakek ini tidak bodoh. Meski matanya buta, tapi dengan kepandaiannya dia tahu yang tengah meluncur ke arahnya hanya sebuah buntalan kecil.
Kakek buta ini tidak mau kalah gertak. Dengan sikap seperti orang malas tangan kirinya diulurkan menyambut buntalan kecil. Dan buntalan itu dapat diterimanya tanpa kesulitan sama sekali. Tanpa berkata apa pun kakek buta itu membuka buntalan. Mudah sekali. Seakan matanya tidak buta. Dengan mempergunakan tangan kanan diperiksanya isi buntalan. Dikeluarkan satu persatu dan dirabanya serta diciumnya.
"Kiranya kau telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan rapi, Muka Kuda. Semua alat-alat yang kubutuhkan tersedia. Tak kusangka. Aku hampir tidak percaya orang setua kau masih saja tamak dengan pusaka. Bukankah lebih enak menyepi di tempat yang sunyi, menunggu ajal tiba dengan batin bersih?"
"Kau tidak usah mengajariku, Buta!" bentak Raja Sihir Penyebar Maut. "Kau boleh mempraktekkan ajaranmu itu untuk dirimu sendiri. Tidak untukku!"
"Sungguh tidak kusangka kau masih ingat peralatan yang kuperlukan. Tak ada yang kurang satu pun." Dewa Mata Putih tidak mempedulikan ucapan Raja Sihir Penyebar Maut.
"Apa susahnya mengingat benda-benda menjijikkan itu?!" ejek Raja Sihir Penyebar Maut. "Rambut mayat, hati kelelawar, kepala burung hantu, dan darah ayam hitam."
"Menjauhlah dariku, Muka Kuda! Aku ingin mulai bekerja. Keberadaanmu di sini hanya akan mengacaukan pemusatan pikiranku. Nanti apabila telah kutemukan hasilnya, kuberitahukan padamu!" usir Dewa Mata Putih, caranya memutuskan pembicaraan terdengar kasar.
Sepasang mata Raja Sihir Penyebar Maut seperti memancarkan api. Tapi, orang yang dipandang tidak mengetahuinya. Dia duduk bersila dan mulai sibuk dengan pekerjaannya. Raja Sihir Penyebar Maut tidak berani menurutkan hawa nafsu. Saat ini kemampuan si kakek buta amat diperlukan. Jadi, dia harus mengalah. Dengan kemarahan yang bergolak ditinggalkannya tempat itu.
Raja Sihir Penyebar Maut tidak pergi jauh. Dia duduk menanti dengan perasaan tidak sabar. Lima-puluh tombak dari tempat Dewa Mata Putih. Kakek muka kuda ini memilih sebuah gundukan karang yang agak tinggi sehingga dapat mengawasi pekerjaan Dewa Mata Putih. Tanpa sadar, ingatan kakek muka kuda ini melayang pada masa belasan tahun silam, saat dia pertama kali bertemu Dewa Mata Putih.
Saat itu dia sedang haus-hausnya mengadu kesaktian dengan tokoh-tokoh persilatan baik dari golongan hitam maupun putih. Dewa Mata Putih pun demikian. Bedanya, kalau Raja Sihir Penyebar Maut beraliran hitam, Dewa Mata Putih beraliran putih. Perbedaan golongan ini menyebabkan terjadinya pertarungan antara mereka. Pertarungan dimenangkan oleh Raja Sihir Penyebar Maut. Tapi, kakek muka kuda ini tidak membunuh lawannya. Ia ingin mengajak Dewa Mata Putih melakukan pertarungan ilmu gaib.
Dalam bidang ini Raja Sihir Penyebar Maut harus mengakui keunggulan lawan. Kakek muka kuda ini jadi mengetahui alat-alat yang dibutuhkan Dewa Mata Putih untuk mengeluarkan ilmu gaibnya. Itulah sebabnya ketika tidak berhasil mencari tahu keberadaan Ular Emas, Raja Sihir Penyebar Maut mencari Dewa Mata Putih. Dia yakin kakek buta itu bisa mengetahuinya. (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk Raja Sihir Penyebar Maut, silakan baca episode: Pembantai Dari Mongol).
"Muka Kuda, cepat kemari! Aku telah menemukan sesuatu!"
Pemberitahuan Dewa Mata Putih yang dikirim lewat Ilmu 'Mengirim Suara Dari Jauh', menyadarkan Raja Sihir Penyebar Maut dari lamunan. Bergegas dia bangkit dan melesat ke arah kakek buta.
"Kau telah tahu di mana Ular Emas itu, Buta? Ternyata kemampuan ilmu gaibmu tidak berkurang. Kau memang luar biasa...!" puji Raja Sihir Penyebar Maut, tanpa menyembunyikan perasaan gembiranya.
"Telan dulu pujian berbisamu itu, Muka Kuda. Lebih baik kau dengarkan penjelasanku," sergah Dewa Mata Putih.
Raja Sihir Penyebar Maut terdiam. Wajahnya mengelam. Sinar matanya berapi-api. Kalau menuruti perasaan sudah diterjangnya kakek buta yang berkali-kali menyakiti hatinya ini.
"Ular Emas memang telah keluar. Tempat di mana keluarnya tidak dapat kupastikan. Aku hanya melihat adanya lorong panjang dan gelap. Lorong yang merupakan jalan menuju batas dunia kasar dan halus. Asal mula lorong ini adalah Gunung Cikuray. Rupanya, itulah yang menyebabkan gunung ini meletus. Aku melihat seseorang berjalan melalui lorong. Seorang perempuan muda dan cantik. Mungkin dia yang akan mendapatkan mustika yang tengah kau cari", beritahu Dewa Mata Putih.
"Apakah gadis itu yang akan mendapatkannya, Buta?" Dalam ketegangan, Raja Sihir Penyebar Maut mengajukan pertanyaan yang semestinya tidak dikeluarkan karena kakek buta telah mengatakannya. "Bisakah kau beritahukan ciri-ciri tempat Ular Emas itu akan keluar?"
Dewa Mata Putih menggeleng. "Samar-samar aku mendengar bisikan bahwa yang berjodoh dengan mustika itu hanya orang yang masih suci. Dalam arti, belum pernah mengadakan hubungan badan. Jadi, kurasa kau lebih baik mengurungkan maksudmu untuk mendapatkan mustika itu."
Raja Sihir Penyebar Maut menggertakkan gigi. Jauh-jauh dia datang ke tempat ini dengan membawa bahan-bahan yang dibutuhkan Dewa Mata Putih. Sekarang disuruh melupakan mustika itu. Sebuah usul yang benar-benar gila! "Kau telah berusaha keras, Buta. Sepantasnya kalau kuberikan tanda mata untukmu. Terimalah!"
Raja Sihir Penyebar Maut menutup ucapannya yang sarat dengan perasaan kecewa melalui lemparan sebuah benda bulat lonjong sebesar telur angsa. Warnanya putih kecoklatan. Kakek muka kuda ini melemparkannya ke atas. Diperkirakan benda ini akan jatuh di depan Dewa Mata Putih.
Dewa Mata Putih bukan tokoh hijau yang baru pertama kali menghadapi hal-hal aneh. Memang kakek ini buta matanya. Tapi, justru karena itu perasaannya tajam bukan main. Dewa Mata Putih tahu siapa Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda ini seorang pentolan dunia hitam. Yang ada di benaknya hanyalah mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Tidak peduli orang lain dirugikan. Tak ada dalam hidup Raja Sihir Penyebar Maut untuk mengingat kebaikan orang! Apalagi memberikan hadiah tanda mata. Pikiran semacam ini membuat curiga Dewa Mata Putih. Ditambah lagi dengan bisikan hatinya yang mengatakan adanya bahaya mengancam.
Maka kakek buta ini tidak berani menyambuti benda yang dilemparkan Raja Sihir Penyebar Maut. Khawatir benda itu mengandung racun keji! Kakek buta melompat ke belakang. Inderanya yang tajam dapat mengetahui pinggir tebing karang hanya dengan mempergunakan telinga untuk menangkap bunyi ombak. Dewa Mata Putih tidak terjeblos ke dalam laut. Kakek buta ini berdiri tepat di pinggir batu karang.
Blarrr...!
Nyawa Dewa Mata Putih bagai melayang alam baka ketika mendengar bunyi berdentum nyaring. Dirasakannya karang bergetar hebat. Kaki kakinya kehilangan keseimbangan karena tempat yang dipijaknya lenyap. Karang tempatnya berdiri hancur berantakan! Untungnya Dewa Mata Putih cepat bertindak.
Saat tubuhnya dirasakan terlempar ke udara akibat ledakan dahsyat itu, kakek buta ini bersalto beberapa kali di udara. Kemampuan pendengarannya dikerahkan untuk mendengarkan bunyi-bunyi yang terdengar di sekelilingnya. Sekecil apa pun. Salah sedikit saja kakinya akan menjejak lautan lepas dan nyawanya lenyap di perairan yang maha luas itu.
Raja Sihir Penyebar Maut mendengus. Dia tahu maksud gerakan Dewa Mata Putih. Dengan senyum keji menghias bibir dikirimkannya pukulan jarak jauh berupa hentakan kedua tangan. Hembusan angin keras yang mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring menghambur ke arah tubuh Dewa Mata Putih.
Dewa Mata Putih mendengar bahaya besar itu. Di dalam hati dia memaki kelicikan Raja Sihir Penyebar Maut! Kedudukannya yang berada di udara dan ketiadaan pijakan membuatnya tidak bisa mengelak.
Blarrr!
Untuk kedua kalinya terjadi bunyi ledakan keras. Kali ini terjadi akibat benturan dua pukulan jarak jauh. Tubuh Raja Sihir Penyebar Maut maupun Dewa Mata Putih terpental ke belakang. Raja Sihir Penyebar Maut tidak mempunyai kesulitan untuk mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar. Dengan ringan kedua kakinya dijejakkan pada batu karang lain.
Tapi, tidak demikian dialami oleh Dewa Mata Putih. Betapapun berhasil mematahkan kekuatan yang melontarkan tubuhnya, tak urung tubuhnya jatuh ke hamparan air laut biru. Bunyi benturan yang diiringi muncratnya air menimbulkan seringai keji di wajah Raja Sihir Penyebar Maut. Dengan hati puas kakek bermuka kuda melesat meninggalkan tempat itu. Sementara Dewa Mata Putih tenggelam ke dalam laut yang memiliki kedalaman tak terukur.
Bunyi nyaring yang cukup merdu di telinga terdengar berkali-kali dengan irama tetap. Bunyi benda kecil yang tidak begitu berat jatuh ke permukaan air. Bunyi itu tercipta karena keisengan sesosok tubuh ramping berpakaian kuning yang duduk di pinggir sungai. Pandangannya tertuju lurus ke depan. Sinar matanya tampak kosong. Tapi, tangannya tak henti-henti memungut batu sebesar kepalan bayi yang ada di sekitarnya dan dilemparkan ke tengah sungai.
Sosok berpakaian kuning ini ternyata seorang gadis berwajah sangat cantik. Meskipun saat itu kemurungan menyelimuti wajahnya, namun tidak mengurangi kecantikannya. Kembali gadis berpakaian kuning ini mengulurkan tangan. Kali ini sudah tidak ada lagi batu yang bisa diambil. Sudah habis. Di depannya ada tapi jaraknya cukup jauh untuk bisa dijangkau tangan. Gadis ini duduk di bagian tabing pinggir sungai. Menurun ke depan sedikit terhampar sungai dengan sedikit daratan di pinggirnya.
Tangan gadis berpakaian kuning itu tidak dapat menjangkau batu-batu yang berserakan di depannya. Jaraknya tak kurang dari satu setengah tombak. Tapi, ketika si gadis menggetarkan tangannya, salah satu batu yang berada di bawah sana melayang ke arahnya dan mendarat tepat di telapak tangan!
Dengan wajah dan sinar mata orang kehilangan semangat gadis itu melemparkan batu ke tengah sungai. Begitu seterusnya. Ketika kesekian kalinya, gadis berpakaian kuning ini mengalami kejadian mengejutkan. Batu yang melayang ke arahnya terus meluncur melewatinya dengan kecepatan yang mendadak bertambah. Si gadis menggertakkan gigi. Sinar matanya berkilat-kilat. Ada orang yang telah bertindak usil padanya.
Gadis berpakaian kuning membalikkan tubuh seraya bangkit berdiri. Dugaannya tidak salah. Di belakangnya berdiri seorang kakek dalam jarak tiga tombak. Kakek itu berwajah kuning. Di tangan kanannya tergenggam batu yang tadi hampir berhasil ditangkap si gadis.
"Tua bangka usilan!" maki gadis berpakaian kuning dengan suara lantang penuh kemarahan. Rupanya kau ingin menerima gebukanku!"
Kakek bermuka kuning tertawa. Tanpa sadar bulu kuduk si gadis meremang. Tawa kakek itu melengking tinggi seperti suara tawa seorang wanita. Nadanya pun tidak menyenangkan hati. Terkesan dibuat-buat.
Gadis berpakaian kuning saat itu tengah uring-uringan. Maka mendapat gangguan, apalagi si pengganggu mempunyai tingkah menyebalkan, seperti menemukan tempat untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Jari telunjuknya yang runcing dan lentik ditudingkan.
"Ayo, Kakek Penyakitan! Kembalikan batuku. Sebelum mukamu yang kuning itu kujadikan hitam!"
Wajah kakek muka kuning mengelam. Biasan wajahnya menyiratkan ancaman. "Kambing betina! Kau berani menghinaku. Di lain keadaan mungkin kau sudah kubunuh! Tapi karena tengah mengemban urusan penting, biar kucicipi saja keperawananmu! Sudah hampir dua puluh tahun aku tidak bersenang-senang dengan wanita. Apalagi dengan gadis liar sepertimu. Pasti menyenangkan sekali!"
"Keparat!" Gadis berpakaian kuning semakin kalap. Sorot matanya memancarkan hawa maut mendengar ucapan yang jelas-jelas kurang ajar itu. "Tua bangka seperti mu lebih baik dilenyapkan dari muka bumi!"
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian kuning mencabut pedang. Dia melompat seraya membacokkan pedangnya dari atas ke bawah. Apabila mengenai sasaran, tubuh kakek itu akan terbelah menjadi dua bagian sama. Kakek muka kuning tertawa dengan nada aneh. Ia seperti tengah melihat kejadian lucu. Kakek itu tidak berusaha mengelak atau pun menangkis.
"Pedang tumpul seperti itu mana mungkin dapat membelah kepalaku? Membelah tahu saja kukira tidak akan mempan!"
Takkk!
Belum juga gema ucapannya habis, mata pedang si gadis telah menghantam kepalanya dengan keras. Tapi, seperti sesumbar yang dikeluarkan si kakek pedang gadis berpakaian kuning tidak mampu membelah kepalanya. Pedang itu terpental balik. Gadis berpakaian kuning bersalto beberapa kali di udara untuk mematahkan kekuatan yang mementalkan tubuh ke belakang.
Perasaan kaget yang sangat melanda hatinya. Ia seperti bukan membacok kepala, tapi gumpalan baja amat keras. Sekujur tubuhnya tergetar hebat. Tangannya yang menggenggam pedang hampir lumpuh. Wajah si gadis masih belum bebas dari keterkejutan ketika kedua kakinya menjejak tanah.
"Betulkan yang kukatakan, Denok?" ejek si kakek dengan suara genit.
"Tutup mulutmu, Tua Bangka Cabul!" Gadis berpakaian kuning semakin marah. Ia kembali mengirimkan serangan mematikan. Kali ini melalui tusukan cepat ke arah jantung.
Kakek bermuka kuning tertawa. Ketika serangan menyambar dekat, telunjuk dan jari tengahnya digerakkan ke depan untuk memapaki. Si gadis mengeluarkan pekikan tertahan. Pedangnya terjepit di antara dua jari si kakek. Dicobanya melepaskan pedang dengan menarik atau mendorong. Dia yakin cara ini akan berhasil. Gesekan mata pedang dan jari tangan akan membuat jari kakek itu terluka!
Ternyata rencana itu hanya mudah untuk dilaksanakan dalam angan-angan. Gadis berpakaian kuning itu harus menelan kenyataan pahit. Pedangnya tidak bergeming sedikit pun. Gadis berpakaian kuning ini ternyata memiliki watak keras kepala. Dia tidak mau melepaskan pedangnya kendati telah dibuat mati kutu oleh lawan. Dengan tangan kiri dilancarkannya tusukan dua jari tangan ke arah ubun-ubun si kakek.
"Uh...!" Kakek berwajah kuning mengeluh, kaget. Serangan jari-jari tangan gadis berpakaian kuning memang menggiriskan. Bunyi bercicitan nyaring mengiringi luncuran serangan itu. "Apa hubunganmu dengan Pendekar Jari Maut?!"
Berbarengan dengan dikeluarkannya pertanyaan itu kakek bermuka kuning memapaki dengan telapak tangan kiri. Dua jari si gadis yang mampu melubangi karang paling keras itu bertemu dengan telapak tangan tua yang kelihatan lunak. Wajah si gadis memucat.
Jari-jarinya tidak mampu melukai tangan lawan. Malah, ujung-ujung jarinya melekat dengan telapak tangan itu. Gadis berpakaian kuning bersikeras menariknya. Tapi, sia-sia. Dari telapak tangan kakek bermuka kuning seolah ada kekuatan dahsyat yang menyedot jari-jari tangannya hingga tetap menempel.
Dengan sendirinya sekarang si gadis tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Kedua tangannya telah dikunci. Namun dia masih berusaha keras untuk membebaskan diri! Rontaannya mulai melemah ketika merasakan hawa panas merayap dari kedua tangannya. Hawa panas itu semakin lama semakin dahsyat. Si gadis berusaha keras mengurangi kekuatan hawa yang menyiksa dengan mengerahkan tenaga dalam.
Lagi-lagi usaha gadis berpakaian kuning ini tidak membuahkan hasil. Lawan terlalu kuat. Dia kalah dalam segalanya. Peluh membasahi sekujur wajah dan tubuh. Wajah gadis ini sampai merah padam seperti udang rebus.
"Katakan apa hubunganmu dengan Pendekar Jari Maut? Cepat! Sebelum kau kubuat pingsan karena tak kuat dengan siksaan ini!" Kakek berpakaian kuning berteriak dengan tidak sabar.
"Aku putrinya, Tua Bangka tak tahu malu! Kalau ayahku tahu, kau akan dihajarnya sampai mukamu yang kuning itu luntur warnanya!" jawab gadis berpakaian kuning dengan terengah. Serangan hawa panas membuat si gadis sulit bernapas.
"Hi hi hi...!" Kakek bermuka kuning tertawa dengan suara nyaring. Jawaban si gadis yang penuh ancaman dianggapnya hal yang lucu. "Kau mengancamku, Denok? Lucu sekali. Kau kira aku takut dengan ayahmu si Pendekar Jari Maut itu? Dan, kau bilang dia akan menghajarku? Kau salah besar, Montok. Malah, kalau tahu kau dicelakai olehku dia akan menutup mata!"
"Bohong! Kau bohong, Tua Bangka bau. Memangnya kau siapa sehingga ayahku takut padamu? Sekarang kau berani membuka mulut karena ayahku tidak ada! Coba kalau beliau ada, kau akan terberak-berak di celana karena takut!" Si gadis balas mengejek, tak kalah keras dan kasar.
"Wanita liar! Mulutmu terlalu tajam!" Kakek bermuka kuning yang kalah pintar berdebat menjadi berang bukan main. Dia tahu tak akan menang adu mulut dengan gadis yang pintar bicara ini. "Kau ingin tahu siapa aku? Aku dijuluki Raja Racun Sakti. Kau pernah mendengar julukan ini dari ayahmu, bukan? Aku yakin ayahmu telah menceritakan betapa takutnya dia padaku!"
Kakek bermuka kuning lalu meniup. Serangkum angin yang tidak keras, menyambar. Gadis berpakaian kuning mengeluh tertahan. Bahu kanannya seperti terkena sodokan tongkat besi. Pengerahan tenaga dalamnya pun terhenti. Tubuh si gadis ambruk ke tanah. Raja Racun Sakti telah menotoknya dengan cara yang luar biasa.
"Nah! Apakah ayahmu mampu melakukan hal seperti ini? Tidak bukan?" tanya Raja Racun Sakti dengan penuh kebanggaan.
Gadis berpakaian kuning yang memang putri Pendekar Jari Maut dan tidak lain Jumini hanya tersenyum mengejek. Sikapnya memandang rendah sekali. "Kemampuan seperti itu saja kau banggakan, Kakek Bau! Ayahku tanpa melakukan tindakan apa pun mampu membuat puluhan orang yang memiliki kepandaian lebih dariku roboh tidak berkutik. Yang kau pamerkan padaku ini tidak ada artinya sama sekali!"
Wajah Raja Racun Sakti semakin kuning karena rasa tersinggung. Diam-diam dia memaki kebodohannya yang masih saja mengajak si gadis berdebat. Dia tadi sudah berjanji tidak akan mengadu mulut dengan Jumini! Jumini yang memang memiliki kepintaran berbicara tentu saja melihat perubahan wajah Raja Racun Sakti. Gadis ini yakin kalau kakek itu tersinggung. Kesempatan itu segera digunakannya untuk mengobati sakit hatinya.
"Ayahku memang telah menceritakan tentang seorang tokoh yang berjuluk Raja Racun Sakti, bahkan terlalu sering. Menurut Ayah, dia seorang tokoh hitam yang memiliki kepandaian rendah. Anehnya, tokoh itu memiliki watak sombong. Dia juga seorang pengecut! Begitu mendengar berita ayahku akan datang, dia lari terbirit-birit dan hampir pingsan!"
Dengan beraninya Jumini mengarang cerita. Padahal, sebenarnya tidak demikian. Ayahnya memang pernah menceritakan tentang Raja Racun Sakti. Tapi, tidak dengan cerita seperti yang diuraikan Jumini. Pendekar Jari Maut menceritakan apa adanya dan mengatakan kalau Raja Racun Sakti merupakan salah seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal pada masa puluhan tahun lalu. Tokoh itu bersama Raja Sihir Penyebar Maut hampir mengundurkan diri dari dunia persilatan.
"Keparat! Sepasang mata Raja Racun Sakti bagai hendak keluar. Kau terlalu lancang, Wanita Liar! Berani mempermainkan Raja Racun Sakti. Sekarang akan kubuat kau menyesal seumur hidup!"
Jumini yang sejak tadi memasang sikap angkuh dan tak henti-hentinya tersenyum mengejek, mulai memucat wajahnya. Naluri kewanitaannya membisikkan adanya bahaya besar. Bahaya yang lebih dahsyat dari maut. Rasa takut pun mulai menyeruak di hatinya.
Kakek bermuka kuning mulai dengan ancamannya. Dia tetap berdiri di tempatnya. Kedua tangannya digerak-gerakkan di depan dada seperti sedang membolang-balingkan pedang. Jumini tidak tahan untuk tidak menjerit. Angin tajam menyambar. Pakaiannya tersayat-sayat seperti digurat-gurat pedang. Padahal, kakek muka kuning tidak bergerak menghampiri.
Jarak antara tangan si kakek dengan tubuhnya tak kurang dari satu tombak. Jumini tidak sempat kaget atau kagum dengan kejadian ini. Perasaan yang paling berperan saat ini adalah rasa takut yang sangat.
Di lain pihak, Raja Racun Sakti tertawa-tawa seraya terus melanjutkan tindakannya. Sayatan-sayatan pada pakaian Jumini semakin banyak. Anehnya, kulit tubuh gadis itu sedikit pun tidak terluka! Raja Racun Sakti tersenyum keji. Gerakan tangannya dihentikan ketika dirasanya telah cukup. Kakek yang telah puluhan tahun tidak mencicipi tubuh wanita, apalagi seorang perawan, mulai bangkit gairahnya. Sudah terbayang di benaknya nikmatnya menggeluti Jumini!
Memang, semula Raja Racun Sakti berniat merenggut keperawanan Jumini bukan dengan maksud menyalurkan hasrat birahi. Tapi, karena ketidak inginan Mustika Ular Emas jatuh ke tangan orang lain. Kakek ini bersembunyi di celah-celah batu karang ketika Raja Sihir Penyebar Maut menemui Dewa Mata Putih.
Kakek muka kuning ini melihat semua kejadian di sana. Itulah sebabnya ia berniat menghilangkan keperawanan dan keperjakaan setiap pendekar muda! Bila itu terjadi, Mustika Ular Emas tidak akan berhasil didapatkan siapa pun. Sekarang gairah Raja Racun Sakti malah bangkit! Nafsu alami yang ada pada setiap manusia dewasa yang normal mulai menyerangnya.
"Nah, Wanita Liar, sekarang permainan bisa kita mulai!" Raja Racun Sakti menutup ucapannya dengan kibasan tangan kiri perlahan. Angin yang cukup keras berhembus. Seketika itu pakaian Jumini yan sudah tersayat-sayat tapi masih menempel di badan beterbangan.
Jumini menjerit-jerit dan memaki-maki melihat tubuhnya telanjang bulat. Tidak ada penutup tubuhnya lagi. Rasa takut dan geram bercampur pada wajah dan sorot matanya. Kalau saja dapat menggerakkan tangan sedikit saja, Jumini akan menggunakannya untuk menutupi dada dan bagian bawah tubuhnya. Raja Racun Sakti menatap tanpa berkedip. Kakek itu menjilati bibirnya. Matanya yang membelalak lebar menyapu sekujur tubuh Jumini. Tubuh yang putih, halus, dan mulus.
Dengan pandangan melekat erat pada dada Jumini yang indah, Raja Racun Sakti melangkah menghampiri Jumini. Raja Racun Sakti tiba-tiba menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa, persis seekor ayam membersihkan tubuhnya dari abu. Luar biasa! Pakaian dan celana yang dikenakannya langsung terlepas. Kakek ini telah bugil sebagaimana layaknya bayi yang baru lahir!
Jumini memejamkan mata. Tak kuat menahan rasa ngeri mengingat malapetaka yang akan menimpa dirinya. Perasaan ngeri dan jijik melihat tubuh bugil Raja Racun Sakti membuatnya hampir muntah! Jantung Jumini berdetak cepat, membuat dadanya bergerak-gerak.
Raja Racun Sakti rupanya tak kuat menahan gairah yang menggelora. Diiringi lengkingan bagai seekor kucing dilanda birahi, kakek ini menubruk tubuh Jumini. Dengan nafsu menggelora diselipkan wajahnya di dada Jumini. Tangannya pun tak tinggal diam. Jumini yang berada dalam puncak rasa takut berteriak-teriak kalap. Makian sampai permohonan agar Raja Racun Sakti menghentikan tindakan kejinya dilontarkan gadis itu.
Tapi, hal itu justru membuat Raja Racun Sakti semakin liar. Jeritan dan makian Jumini menjadi semangat baginya. Raja Racun Sakti seakan kembali muda. Tindakannya tak kalah dengan orang yang masih muda. Sekujur tubuh Jumini tak luput dari jarahannya. Tidak hanya dengan jari-jari tangan, tapi juga dengan mulut.
Jumini hanya bisa menangis. Dia jijik bukan main. Perutnya mual dan ingin muntah melihat tingkah Raja Racun Sakti. Teringatlah gadis itu pada Dirgantara. Pemuda yang telah menaklukkan hatinya. Karena satu sebab terjadi pertengkaran antara dirinya dan pemuda berpakaian kulit harimau itu. (Untuk jelasnya, silakan baca episode: Mustika Ular Emas). Jumini akhirnya pasrah. Malapetaka besar akan menimpa dirinya. Dia berjanji dalam hati untuk membalas perlakuan kakek ini sebelum membunuh diri!
"Dirga...," keluh Jumini lirih dengan hati hancur.
"Kakek bejat! Mampuslah kau...!"
Bentakan keras yang diiringi bunyi mengaung membuat Raja Racun Sakti kaget bukan main. Dia terlalu larut dengan kesibukannya sehingga tidak mengetahui kehadiran orang lain. Kakek bermuka kuning ini merasakan sambaran angin keras ke arah ubun-ubunnya. Salah satu bagian terlemah di tubuh manusia. Dia tidak berani bertindak sembrono. Tubuhnya segera dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali untuk menjauhkan diri.
Si pemilik bentakan tidak melanjutkan serangannya lagi. Dia berdiri terpaku. Matanya menatap sosok Jumini yang dalam keadaan polos. Jakunnya tampak bergerak turun naik.
"Apa yang kau lihat?!" bentak Jumini dengan muka merah padam karena malu dan marah. Memang, ada perasaan lega karena miliknya yang paling berharga tidak terenggut Raja Racun Sakti. Tapi, rasa malu dan terhina melingkupi hatinya.
Pemuda tampan, sosok yang telah menyelamatkan Jumini, kelabakan mendapat teguran itu. Wajahnya merah padam. Tampak jelas dia merasa malu dan jengah. "Maaf. Maafkan aku, Nona. Aku Brawijaya, tidak bermaksud kurang ajar. Tapi...."
"Cepat bebaskan aku!" potong Jumini.
"Iya... ya...." Brawijaya yang bukan lain putra Naga Sakti Berwajah Hitam kelihatan gugup. Dengan kaki menggigil karena guncangan perasaan melihat tubuh indah yang selama ini belum pernah dilihatnya, Brawijaya melangkah ke arah Jumini.
Karena tidak ingin melihat tubuh Jumini, bukan karena tidak ingin tapi karena takut disemprot si gadis, Brawijaya membebaskan totokan Jumini dengan mengalihkan pandangan ke arah lain. Tanpa melihat Brawijaya menepuk-nepuk dan mengurut-urut untuk membebaskan totokan. Tapi karena tidak memperhatikan, yang ditepuk dan diurut adalah dada Jumini! Tentu saja Jumini bertambah kalap.
"Hey! Rupanya matamu buta ya?!"
"Ah... maaf. Maaf, Nona. Tidak sengaja," kilah Brawijaya dengan suara bergetar karena jantungnya memukul dengan keras. Pemuda ini sampai khawatir Jumini mendengar bunyi detak jantungnya. Mau tidak mau Brawijaya terpaksa melihat tubuh Jumini. Baru kemudian mengurut-urut dan menepuk-nepuknya untuk membebaskan totokan.
Wukkk!
"Hey!" Brawijaya mengeluarkan seruan kaget. Jumini mengirimkan sampokan ke arah pelipisnya. Itu dilakukan gadis berpakaian kuning begitu pengaruh totokan hilang. Brawijaya melempar tubuhnya ke belakang lalu bergulingan. Begitu bangkit peluh membasahi dahinya. Keringat dingin! Brawijaya bergidik. Kalau tadi dia tidak bertindak cepat, nyawanya telah melayang meninggalkan tubuh.
Sementara Jumini begitu selesai melancarkan serangan langsung berlari mengambil buntalannya. Gadis itu hendak berpakaian. Brawijaya kembali menelan ludah melihat tubuh menggiurkan itu. Apalagi ketika melihat dada yang menggantung indah itu bergoyang-goyang seperti akan jatuh ketika Jumini berlari. Darah kelelakian Brawijaya bergolak hebat. Brawijaya menggeleng-gelengkan kepala. Bahkan menepak dahinya ketika pikirannya mulai membayangkan ia bermain cinta dengan gadis itu.
"Mengapa aku mempunyai pikiran kotor seperti ini?" Brawijaya bergumam. Perasaan heran dan bingung melandanya. Brawijaya tambah kelabakan ketika semakin lama dia membayangkan tentang permainan cinta itu. Darahnya terasa panas. Ada gairah aneh yang muncul. Gairah untuk bermesraan dengan wanita!
Putra Naga Sakti Berwajah Hitam ini tidak tahu kalau sebelum Raja Racun Sakti meninggalkan tempat itu, kakek ini melemparkan sekantung bubuk halus. Bubuk yang demikian ringannya sehingga terbawa angin. Bubuk itu adalah obat perangsang. Udara yang dihirup Brawijaya telah terpengaruh bubuk, lalu dengan cepat mengalir dalam darah pemuda itu. Brawijaya tidak melihat tindakan Raja Racun Sakti. Yang diketahuinya, kakek itu melesat kabur sambil menyambar pakaiannya. Semula dia merasa heran melihat tingkah kakek itu. Brawijaya yakin dirinya bukan tandingan Raja Racun Sakti.
Jantung Brawijaya berdetak jauh lebih kencang ketika melihat Jumini melesat keluar dari tempat persembunyiannya. Gadis ini telah berpakaian lagi. "Mengapa kau hendak membunuhku?" tanya Brawijaya dengan suara hampir berupa keluhan. Ada perasaan heran melanda hatinya. Jumini terlihat semakin cantik.
Brawijaya tidak tahu kalau itu terjadi karena pengaruh bubuk perangsang. Sepasang mata Jumini mendelik. Dengan ujung pedang ditudingnya wajah Brawijaya. Karena kaget, pemuda itu melompat mundur. Padahal, tanpa bertindak demikian pun ujung pedang Jumini tidak akan mengenai wajahnya.
"Mengapa? Setelah apa yang kau lakukan terhadapku, kau masih berkata mengapa?!" tanya Jumini dengan suara mengandung kemarahan besar.
Gadis berpakaian kuning itu tidak menerjang atau mengirimkan serangan. Sewaktu berpakaian tadi Jumini mulai bisa berpikir jernih. Brawijaya tidak bersalah. Bahkan, pemuda tampan itu telah berjasa. Kalau tidak ada dia tentu Raja Racun Sakti berhasil melaksanakan niatnya. Tadi seandainya serangannya berhasil Jumini akan menyesal seumur hidup. Serangan itu meluncur di luar kesadarannya. Rasa malu yang mendorongnya bertindak demikian.
"Aku... aku yakin kau tahu hal yang sebenarnya, Nona. Aku tidak bermaksud kurang ajar," sahut Brawijaya terbata. "Kalau kau merasa itu salahku, biar aku meminta maaf."
"Sudahlah." Jumini mengibaskan tangannya. Terasa oleh Brawijaya nada suara gadis berpakaian kuning telah melunak. Ini membuatnya gembira. Brawijaya berharap akan terjalin hubungan antara dirinya dengan Jumini. Di saat Brawijaya yang telah terpengaruh bubuk perangsang tengah diliputi kegembiraan, Jumini dihinggapi perasaan aneh. Gadis ini merasa darahnya beredar cepat. Tubuhnya terasa panas. Ada rangsangan aneh yang membuatnya membayangkan kenikmatan bermesraan dengan seorang pria!
"Brawijaya," sapa Jumini. "Kuharap kau mau melupakan kejadian ini. Anggap saja tidak pernah terjadi. Untuk itu, aku Jumini, akan sangat berterima kasih padamu...."
"Jumini...?!" ulang Brawijaya dengan nada kaget. Pemuda perkasa ini teringat akan tugas dari ayahnya. Ia diperintahkan mencari tunangannya yang bernama Jumini. Inikah tunangannya itu?
Melihat ciri-cirinya, Brawijaya yakin sekali gadis ini yang dicalonkan untuk menjadi istrinya. Menurut berita, Jumini ditangkap oleh Naga Sakti Berwajah Hitam palsu? Lalu, mengapa bisa berada di sini? Hati Brawijaya seketika berbunga-bunga. Kalau semula dia tidak setuju, sekarang pemuda ini diam-diam merasa bersyukur. Hatinya telah terpikat pada gadis berpakaian kuning yang cantik jelita ini.
"Apa ada yang aneh dengan namaku, Brawijaya?" tanya Jumini. Ia melihat pemuda itu demikian kaget mendengar namanya. Bahkan, pemuda itu tercenung seperti ada yang dipikirkan.
"Tidak. Tidak ada apa-apa, Non..., eh, Jumini," jawab Brawijaya. Ia gugup mendapat pertanyaan penuh selidik itu. Di dalam hati pemuda tampan ini merasa heran. Apakah Jumini belum tahu dirinya telah dijodohkan? Tapi, ketika teringat gadis berpakaian kuning itu belum pernah berjumpa dengannya, bahkan ayahnya sendiri baru bertemu satu kali, Brawijaya jadi mengerti. Brawijaya tidak berani memberitahukan tentang perjodohan itu. Biarlah nanti Pendekar Jari Maut, ayah Jumini, yang akan memberitahukannya.
"Kalau memang tidak ada apa-apa, aku akan pergi. Ingat baik-baik, Brawijaya. Aku tidak mau mendengar kejadian ini tersiar. Kau harus tutup mulut. Kalau tidak, pedangku akan berbicara...!"
Brawijaya menggeleng-gelengkan kepala. Dia sudah dapat mengenal sedikit watak Jumini. Gadis itu memiliki watak keras hati. Tapi, Brawijaya malah suka. Cinta memang buta! Brawijaya tercenung beberapa saat lamanya setelah Jumini melesat pergi. Gairah aneh yang sukar dilawan semakin kuat menyerangnya. Dia bersyukur Jumini segera meninggalkannya. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi! Brawijaya tidak yakin akan dapat mengatasi serangan pengaruh aneh ini.
Perasaan resah meledak-ledak itu membuat Brawijaya bagai cacing dalam abu panas. Dia menggeliat-geliat. Peluh membasahi sekujur wajah dan tubuhnya. "Apa yang terjadi pada diriku?" keluh Brawijaya. Suaranya berdesah bagai orang kepanasan. Kemudian, dengan langkah gontai pemuda ini melesat meninggalkan tempat itu. Arah yang ditempuhnya berlawanan dengan arah yang dituju Jumini. Sepanjang perjalanan Brawijaya terus mengeluh. "Gila...! Apa yang terjadi dengan diriku...?"
Keadaan Jumini tidak berbeda dengan Brawijaya. Setelah beberapa puluh tombak meninggalkan putra Naga Sakti Berwajah Hitam itu, gairah aneh yang melandanya bergolak semakin dahsyat. Jumini merasakan sekujur tubuhnya panas. Benaknya yang biasanya tidak pernah membayangkan bermesraan dengan seorang lelaki, kini mulai melamunkannya. Dia merasakan betapa nikmatnya belaian seorang pria. Dorongan perasaan itu membuat Jumini tersiksa. Keadaannya tak ubahnya ikan yang dilempar ke darat.
Beberapa kali gadis ini menghentikan lari dan ingin kembali menjumpai Brawijaya. Pemuda itu satu-satunya lelaki yang ada. Tapi, setitik kesadaran yang tersisa membuat Jumini menghentikan keinginannya. Beberapa kali Jumini menggigit bibirnya kuat-kuat. Jumini berlari tak mengenal arah.
Ketika tiba di suatu daerah yang terdapat pepohonan dan kerimbunan semak, mata Jumini terlihat nyalang. Pendengarannya yang tajam mendengar bunyi mencurigakan. Suara lenguh dan desahan seorang manusia. Kesadaran yang tersisa mendorong Jumini untuk menghampiri asal suara. Gelora nafsu yang telah memuncak membuat gadis itu berharap semoga suara itu milik seorang lelaki.
Beberapa tindak mengayunkan kaki Jumini akhirnya mengetahui penyebab bunyi gaduh itu. Kerimbunan semak-semak memang tidak terlalu rapat. Gadis ini bisa melihat ke dalamnya. Sepasang mata Jumini langsung berbinar. Sesosok tubuh tegap terbungkus rompi kulit harimau dengan asyik memeluk sebatang pohon.
Tidak hanya memeluk, tapi juga menciumi dan meraba-rabanya. Dari mulut sosok itu keluar lengu dan desahan. Sosok tegap itu ternyata merasakan adanya kehadiran orang di dekatnya. Tindakannya dihentikan dan tubuhnya dibalikkan. Sepasang mata yang merah membara itu tampak berbinar.
"Jumini...." Diantara desah napasnya yan memburu, pemuda itu memanggil dengan suara serak.
"Dirgantara... Dirga...," Jumini menyahuti. Hanya sekejap kedua muda-mudi itu saling berpandangan.
Entah siapa yang memulai lebih dulu mereka saling menghambur dengan kedua tanga terkembang. Mereka berpelukan erat. Kemudian saling cium dan rangkul. Tidak ada lagi akal sehat yang bekerja. Yang ada hanya menyalurkan hasrat yang bergolak. Bagai orang tak mengenal malu, Jumini dan Dirgantara saling berlomba melucuti pakaian masing-masing. Sesaat keduanya telah tidak berpakaian dan saling gelut di semak-semak.
Dirgantara bagai macan lapar mendapatkan kambing muda yang gemuk. Sekujur tubuh Jumini mulai dari rambut sampai ujung kaki dijarahnya. Jumini mengerang-erang penuh perasaan nikmat. Gadis ini hampir histeris. Dirgantara semakin buas. Beberapa lama sepasang muda-mudi ini sibuk dengan keasyikannya sebelum akhirnya dari mulut Jumini keluar pekikan halus. Pekik yang mengandung rasa puas dan juga kesakitan! Darah memercik membasahi rerumputan!
Pergumulan itu pun berakhir. Mereka memisahkan diri. Di mulut keduanya tersungging senyum kepuasan. Sesaat kemudian keduanya terlelap. Pingsan! Entah berapa lama mereka tak sadarkan diri. Yang pertama kali sadar lebih dulu adalah Jumini. Gadis ini memang memiliki tenaga dalam lebih kuat dari pada Dirgantara.
Jumini membuka sepasang matanya. Dia tidak langsung bangkit. Pusing di kepala, pegal di sekujur tubuh serta rasa perih pada pangkal paha membuatnya bingung. Namun, Jumini enggan untuk memeriksa. Baru setelah mendengar bunyi lirih di dekatnya, Jumini menoleh. Gadis ini memekik tertahan. Dirgantara tergolek di dekatnya dalam keadaan tanpa pakaian. Perasaan kaget dan risih mendorong Jumini bertindak cepat. Tubuhnya digulingkan ke samping menjauhi Dirgantara.
Tapi, baru segulingan dirasakan ada yang aneh. Sekujur tubuh terasa dingin. Jumini meneliti. Dan, dia pun menjerit ketika mengetahui sekujur tubuhnya tidak tertutup! Jumini hampir pingsan mendapati kenyataan ini. Benaknya berputar keras mencoba mengingat-ingat. Samar-samar gadis ini teringat semua perbuatan yang dilakukannya.
Mendadak dia menjadi seorang gadis tak tahu malu! Berzinah dengan Dirgantara. Pakaiannya yang berserakan telah menjelaskan semuanya. Jumini tak kuasa untuk tidak mengeluarkan keluhan ketika melihat bukti paling mutlak. Pada tanah berumput tampak bercak-bercak darah. Bercak yang sama ada pada pangkal pahanya.
"Oooh... tidak...! Tidak...!" Jumini mendekapkan kedua tangannya ke wajah. Goncangan hatinya membuat Jumini tidak segera mengenakan pakaian.
Dirgantara saat itu samar-samar mulai teringat kejadian yang dialaminya. Seperti juga Jumini, pemuda ini pun menyesal. Tapi, hanya sedikit. Yang lebih besar lagi adalah perasaan puasnya. Sungguhpun demikian sebagai orang yang punya perasaan, dia bisa mengetahui betapa hancurnya hati Jumini. Apalagi ketika melihat gadis yang biasanya keras hati dan pandai bicara itu menangis tersedu-sedu. Hati Dirgantara luluh. Dia harus bertanggung jawab.
"Sudahlah, Jumini. Hentikan tangismu. Aku juga tidak mengerti mengapa bisa terjadi seperti ini. Tapi, biar bagaimanapun aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu, Jumini. Kita akan menjadi suami-istri. Aku akan meminta Guru untuk melamar pada ayahmu. Kau bersedia kan menjadi istriku?"
Jumini menurunkan kedua tangan dari wajahnya. Tampak wajah yang manis itu dibasahi air mata. Sepasang mata Jumini berbinar-binar mendengar ucapan Dirgantara. "Benarkah itu, Dirga? Bukankah kau membenciku? Katamu, aku seorang pelacur," Jumini teringat kembali pada ucapan pemuda berompi kulit harimau itu. Dirgantara tersenyum lebar.
"Maafkan aku, Jumini. Aku yang salah. Kau adalah bidadari khayangan yang suci. Aku bersedia menerima hukuman darimu atas kebodohanku waktu itu." Tanpa ragu-ragu lagi Dirgantara bangkit dan mencium ujung kaki Jumini.
Jumini tertawa. Perasaan sedihnya lenyap. Diam-diam dia bersyukur karena saat tengah dimabuk birahi berhubungan badan dengan Dirgantara, pemuda yang dicintainya. Kalau bukan, tentu dia terpaksa membunuh diri setelah terlebih dulu membunuh orang yang merenggut kesuciannya!
"Mengapa kau bisa demikian cepat berubah pendirian, Dirga?" tanya Jumini dengan bibir mengembangkan senyum. Sikapnya telah kembali seperti semula. Lincah dan gembira.
"Aku bertemu dengan Dewa Arak dan Linggar. Dari Linggar aku tahu kejadian sebenarnya. Kau tidak bersalah. Tapi, aku masih tidak yakin. Sekarang aku yakin kau gadis yang suci. Aku telah membuktikannya sendiri!" jawab Dirgantara tanpa ragu-ragu.
"Enak betul! Membuktikan kebenaran seseorang dengan menyetubuhinya!" rungut Jumini, pura-pura marah.
"Tentu saja enak!" jawab Dirgantara, membuat wajah Jumini merah padam. Ia agak risih dengan pembicaraan mereka. Jumini beringsut mengambil pakaiannya. Demikian pula Dirgantara, tapi belum juga maksud mereka terlaksana, terdengar suara bentakan keras. Bentakan yang sarat dengan kemarahan.
"Dirgantara! Apa yang tengah kau lakukan?!"
"Jumini! Kau sudah gila?!"
"Guru...!" Wajah Dirgantara pucat pasi. Dengan tergesa pemuda ini mengambil pakaian dan mengenakannya.
Sebenarnya mudah saja. Tapi, karena Dirgantara tengah malu dan takut berkali-kali pemuda ini salah mengenakan. Hal yang sama pun melanda Jumini. Gadis ini kaget bukan main mendengar teguran yang dikenal baik pemiliknya. Jumini bagai disengat ular berbisa. Wajahnya memucat ketika melihat ayahnya berdiri dengan sikap angker.
"Ayah...," sapa Jumini dengan suara bergetar. Jumini segera mengenakan pakaian.
"Jumini! Apa yang telah kau lakukan? Gilakah kau sehingga berzinah dengan begitu tak mengenal malu?!" tegur Pendekar Jari Maut. Kakek yang memiliki watak berangasan ini marah bukan main. Jumini yang diharapkan menjadi jodoh Brawijaya malah berzinah dengan Dirgantara. Siapa yang tidak menjadi kalap?
"Ayah, aku cinta padanya. Kakak Dirgantara ingin menjadikanku istrinya. Dia akan melamarku Ayah," beritahu Jumini.
Kalau saja ada halilintar menyambar dekat tempatnya berdiri, Pendekar Jari Maut tidak sekaget seperti mendengar ucapan putri semata wayangnya itu. "Jumini! Kau gila! Kau tidak bisa menjadi istrinya atau istri siapa pun. Kau telah kutunangkan sejak kecil dengan putra Naga Sakti Berwajah Hitam. Namanya Brawijaya. Dia seorang pemuda yang hebat. Tampan dan berkepandaian tinggi. Dia tidak merampas kehormatan perempuan seperti pemuda itu!"
Jumini melongo mendengar berita yang dibawa ayahnya. Berita itu terlampau mengejutkan. Untuk beberapa saat lamanya gadis ini terpaku dengan mulut terbuka. "Aku tidak mau!" Itulah jawaban yang dikeluarkan Jumini begitu sadar dari terkesimanya. Jawaban yang dikeluarkan dengan suara lantang.
"Aku hanya mau berjodoh dengan Dirgantara. Aku hanya ingin menjadi istrinya. Aku telah bertemu dengan Brawijaya. Aku tidak cinta padanya, Ayah!"
Wajah Pendekar Jari Maut menegang. Sepasang matanya berkilat tajam ketika menatap wajah putrinya!
"Anak tak tahu diuntung!! Kau ingin mencoreng mukaku dengan kotoran? Mau kutaruh di mana mukaku ini, Jumini?!! Aku yang mengusulkan perjodohan antara kau dengan putra sahabatku Naga Sakti Berwajah Hitam. Sekarang aku juga yang mengingkarinya. Lebih baik aku kehilanganmu, Jumini, daripada kehormatanku kau injak-injak!"
Lantang dan keras ucapan Pendekar Jari Maut. Jumini sejak kecil tinggal dengan ayahnya. Karena itu, dia hafal betul dengan sifat ayahnya. Pendekar Jari Maut amat sayang padanya. Tapi, lebih sayang lagi pada kehormatan. Sungguh pun demikian Jumini tidak menjadi gentar.
Gadis ini memang memiliki watak aneh. Semakin dikerasi semakin besar perlawanan yang diberikan. Terlebih jika sudah mempunyai keinginan, apa pun yang menghalangi akan diterjangnya. Mendapat tekanan dari ayahnya, Jumini malah meninggikan leher. Ditentangnya pandang mata Pendekar Jari Maut.
"Bukan hanya Ayah saja yang mengutamakan kehormatan! Aku pun demikian. Aku telah berjanji untuk menjadi istri Kak Dirgantara. Aku tak mungkin menjilat ludah yang telah kukeluarkan! Lebih baik mati daripada menarik kembali ucapanku!"
Sekujur tubuh Pendekar Jari Maut menggigil karena amarah. Bunyi berkerotokan terdengar. Padahal, kakek ini tidak menggerakkan anggota tubuhnya. Pergolakan tenaga dalam yang menyebabkan terciptanya bunyi itu.
"Kuberikan kesempatan untuk menarik kembali ucapanmu, Jumini. Atau, aku akan bertindak!"
"Ayah, aku mempunyai keyakinan hidup yang selama ini kupegang teguh. Sekali aku berkata hitam, tak akan nanti aku berkata putih!" tegas Jumini.
"Kalau begitu, mampuslah kau, Jumini!" Kemarahan yang menggelegak membuat Pendekar Jari Maut lupa diri. Tangan kanannya diayunkan ke arah kepala Jumini. Sekali saja mengenai sasaran, nyawa Jumini melayang.
Jumini tidak bergeming dari tempatnya. Gadis ini berdiri tenang dengan tatapan lurus ke depan. Sikapnya kelihatan tenang dan gagah. Memang, Jumini tidak mau melawan. Rasa hormatnya terhadap sang ayah menyebabkannya berlaku demikian.
Dirgantara yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran ayah dan anak itu terkejut bukan main. Dia merasa bangga dan terharu melihat keteguhan Jumini. Sekarang, gadis itu terancam bahaya maut! Ia tidak akan membiarkan kekasih yang dicintainya dibunuh orang. Pemuda berompi kulit harimau itu langsung melesat memapaki serangan Pendekar Jari Maut.
Prattt!
Benturan dua tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat tidak bisa dihindarkan lagi. Dirgantara memekik kesakitan. Tubuhnya terpental ke belakang dan berputar seperti gasing. Kendati demikian, Dirgantara berhasil mematahkan kekuatan yang melemparkan tubuhnya dan menjejak tanah walau agak terhuyung. Seringai tampak di wajahnya. Pemuda kekar ini kelihatan tidak menyesal. Tindakannya berhasil menyelamatkan nyawa Jumini.
"Kau berani campur tangan dalam urusan keluarga," Pemuda kurang ajar! Mampuslah!" Pendekar Jari Maut yang tengah kalap mengalihkan serangannya. Tidak lagi pada Jumini, tapi pada Dirgantara.
"Kau keterlaluan, Jari Maut! Di depan mataku kau hendak mencelakai muridku! Langkahi dulu mayatku!" Petani Berambut Putih menjejakkan kaki. Tubuhnya melayang dan berdiri di antara Dirgantara dan Pendekar Jari Maut.
Mau tidak mau ayah Jumini menghentikan gerakannya. "Rupanya kau ingin bertarung denganku, Petani?!" Pendekar Jari Maut berkata dengan menantang. Ditatapnya lekat-lekat wajah Petani Berambut Putih untuk melihat kesungguhan sikap guru Dirgantara itu.
"Apakah harus kubiarkan saja kau mencelakai muridku? Begitu, Jari Maut?" Petani Berambut Putih balas mengajukan pertanyaan.
Pendekar Jari Maut terdiam.
"Menurut pendapatku, lupakan dulu masalah anakmu. Yang lebih penting sekarang adalah kita coba melenyapkan angkara murka yang merajalela di dunia persilatan."
"Kau tahu sendiri, Petani." Pendekar Jari Maut berkata dengan suara berat. "Jumini telah kujodohkan dengan Brawijaya. Sudah merupakan kewajiban bagiku untuk memenuhinya. Apalagi setelah Naga Sakti Berwajah Hitam tewas akibat meletusnya gunung. Aku jadi lebih berkewajiban lagi."
Petani Berambut Putih mengangguk-angguk. "Kau mau mendengar pendapatku?" Pendekar Jari Maut tidak memberikan jawaban. Tapi dari sikap kakek itu, Petani Berambut Putih tahu pendekar pemarah itu setuju. "Menurut pendapatku, perjodohan ini adalah urusan orang-orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Jumini. Lebih baik kita selaku orang tua hanya berdiri di luar garis. Biarkan dia memilih. Kita hanya memberikan pendapat apabila perlu. Bagaimana apabila tidak hanya Jumini yang menentang perjodohan itu, tapi juga Brawijaya? Apakah kau akan tetap memaksakan kehendakmu?"
Pendekar Jari Maut mengernyitkan dahi. Dia tidak berpikir sampai ke situ. Pendekar pemarah ini tidak pernah memikirkan kemungkinan pihak-pihak yang berkepentingan tidak setuju. Dia terlalu asyik bermain dengan rencananya.
"Sebenarnya, aku sudah lama ingin membicarakan masalah ini. Beberapa hari yang lalu Dirgantara memintaku untuk melamarkan Jumini. Katanya, dia jatuh cinta pada putrimu. Aku tidak berani mengutarakannya. Aku tahu kau telah menjodohkan Jumini dengan Brawijaya."
"Aku tidak mau menjodohkan putriku dengan orang yang asal-usulnya tidak jelas," sergah Pendekar Jari Maut dengan nada tidak senang.
"Dirgantara mempunyai asal-usul yang jelas, Jari Maut. Ibunya sendiri yang memintaku untuk mendidiknya. Ayahnya berjuluk Iblis Buta. Sedangkan ibunya...."
"Iblis Buta?!" Alis Pendekar Jari Maut berkerut. "Kau harapkan aku berbesan dengan tokoh sesat itu, Petani?!"
"Iblis Buta hanya samaran saja. Beliau sebenarnya orang yang dikenal dengan nama Begawan Narasoma," beritahu Dirgantara, buru-buru. Dengan singkat pemuda berompi kulit harimau ini kemudian menceritakan tentang keluarganya. Berkali-kali Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih berseru kaget. Nama begawan itu telah lama mereka dengar.
"Kau bilang ibumu bernama Tulini?" tanya Pendekar Jari Maut.
"Benar, Kek. Mengapa?" Dirgantara balas bertanya.
"Tidak apa-apa. Sekarang aku mengerti mengapa Guntar yang merupakan salah seorang dari Sepasang Setan Penghilang Nyawa tidak dibunuh oleh Begawan Narasoma. Pasti atas permintaan Tulini. Wanita itu saudara seperguruan Guntar. Tulini bersembunyi di balik selubung dan memakai gelar Tengkorak Darah. Dia membenciku karena aku telah merobek pakaian bagian atasnya hingga terlihat. Dia marah sekali. Itu sebabnya dia menyembunyikan wajahnya." Pendekar Jari Maut malah bercerita.
"Pantas Tengkorak Darah sangat membenciku begitu tahu aku putrimu, Ayah." Jumini mengangguk-angguk.
"Sekarang dia tidak membencimu lagi, Jumini. Bahkan, dia mendukung ketika kukatakan aku hendak menikahimu. Beliau minta maaf atas perlakuannya padamu."
"Aku telah lama melupakannya, Dirga," sahut Jumini seraya tersenyum.
"Bagaimana, Jari Maut?" tagih Petani Berambut Putih. "Apakah muridku masih tidak pantas menjadi calon suami putrimu?"
Pendekar Jari Maut tersenyum pahit. "Bukan hanya pantas, Petani. Tapi lebih dari pantas. Sekarang masalahnya, biar bagaimanapun putriku masih terikat jodoh dengan Brawijaya. Tidak semudah itu aku menerima pinanganmu. Aku harus bertemu dulu dengan Brawijaya dan mendengar langsung dari mulutnya akan ketidak-bersediaannya menerima Jumini."
"Kurasa..., kalau kukatakan hal yang sebenarnya Brawijaya tidak akan mau menerimaku, Ayah." Jumini segera menimpali setelah saling bertukar pandang dengan Dirgantara.
Pemuda itu mengangguk. Jumini lalu menceritakan kejadian yang menimpa dirinya. Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih kelihatan jelas terperanjat kaget. Kedua kakek ini langsung bisa mengetahui penyebab gairah aneh yang memaksa terjadinya hubungan badan antara Jumini dan Dirgantara. Raja Racun Sakti seorang datuk sesat yang ahli dalam segala macam racun.
"Apakah kau juga bertemu dengan kakek seperti yang diceritakan Jumini, Dirgantara?" tanya Petani Berambut Putih.
Dirgantara mengangguk. "Aku berpapasan dengan kakek itu di pertengahan jalan, Guru. Dia lari cepat sekali. Tapi, aku masih sempat melihatnya melemparkan bubuk ke udara. Bubuk itu mempunyai hubungan dengan pengaruh aneh itu, Guru?"
"Kemungkinan besar demikian," jawab Peta Berambut Putih, tak yakin.
Keadaan menjadi hening ketika Petani Berambut Putih selesai berbicara. Tidak ada lagi yan membuka percakapan. Mereka tenggelam dalam alur pikiran masing-masing.
"Sekarang ke mana lagi tujuan, Guru?" Dirgatara iseng-iseng bertanya ketika tidak ada yang berusaha memulai percakapan. Guntar telah tewas akibat meletusnya gunung. Tidak ada lagi yang akan dilakukan kakek berambut putih itu.
"Kau sendiri hendak ke mana, Dirga? Kalau aku ingin kembali ke tempat tapaku. Aku sudah bosan berkeliaran di dunia persilatan. Kalau kau hendak menikah, jangan lupa mengundangku."
Pendekar Jari Maut menghela napas berat. "Aku pun demikian, Dirga, Jumini. Aku harap kalian nanti datang ke tempat pengasinganku dengan membawa Brawijaya. Aku tidak bisa menikahkan kalian kalau syarat itu tidak dipenuhi!"
"Akan kami coba memenuhi permintaan itu Kek," jawab Dirgantara dengan sopannya.
"Kau sendiri hendak ke mana, Dirga?" tanya Petani Berambut Putih. "Apakah kau mendapat tugas dari ayahmu?"
Dirgantara jadi bingung. Dia memang hendak mencari Ular Emas, ayahnya berpesan agar jangan memberitahu siapa pun. Sekarang gurunya sendiri yang bertanya. Haruskah dirahasiakan pula? Dirgantara bimbang. Apalagi ketika dilihatnya Pendekar Jari Maut menunggu jawabannya.
"Kalau memang tugas rahasia tidak usah kau katakan, Dirga." Petani Berambut Putih yang melihat kebingungan muridnya segera mengambil jalan tengah.
"Apakah Guru tidak melihat tanda-tanda aneh di langit?" Akhirnya, Dirgantara tak kuat menyimpan rahasia itu. Ketika dilihatnya Petani Berambut Putih mengangguk, kata-katanya langsung dilanjutkan. Tapi, Dirgantara kecewa. Petani Berambut Putih maupun Pendekar Jari Maut sedikit pun tidak tampak tertarik dengan ceritanya.
"Aku sudah rindu tempatku yang dulu, Dirga. Aku ingin suasana tenang. Bosan terlibat pertarungan terus-menerus. Kau saja usahakan cari Mustika Ular Emas itu. Aku tidak berminat sedikit pun. Selamat tinggal, Dirga. Baik-baiklah menjaga diri!" ujar Petani Berambut Putih ketika Dirgantara menyelesaikan kisahnya.
"Aku juga akan pergi, Jumini. Ingat! Datang lagi bersama Brawijaya!" pesan Pendekar Jari Maut.
Dirgantara dan Jumini menatap kepergian ke dua kakek itu hingga lenyap di kejauhan. Kemudian, dengan hati berbunga-bunga keduanya segera melanjutkan perjalanan.
Kau dengar suara itu, Linggar? Sepertinya ada pertarungan Ucapan itu dikeluarkan seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Pemuda itu adalah Arya Buana alias Dewa Arak.
"Benar, Arya," jawab Linggar setelah mendengarkan sejenak. Arya tidak menyambuti lagi. Pemuda ini bergegas melesat ke depan. Tubuhnya meluncur bagai anak panah lepas dari busur. Tidak terlihat bentuk tubuhnya. Hanya bayangan ungu yang tak jelas. Linggar tidak mau ketinggalan. Ia ikut melesat menyusul Arya.
Dalam waktu sebentar saja sepasang muda-mudi itu telah melihat penyebab bunyi gaduh. Seorang pemuda berpakaian coklat tengah dikeroyok tiga orang lelaki berpakaian pasukan kerajaan. Arya yang tiba lebih dulu daripada Linggar tidak bertindak ceroboh. Dia terlebih dulu memperhatikan jalannya pertarungan. Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan itu baru bisa menilai.
Pemuda berpakaian coklat sebenarnya memiliki kemampuan di atas lawan-lawannya. Sehingga, dia tidak akan terdesak oleh lawan. Tapi, kenyataannya pemuda berpakaian coklat yang bersenjatakan keris terdesak hebat. Arya segera mengetahui penyebabnya. Pemuda berpakaian coklat tidak melawan dengan sungguh-sungguh.
Serangannya selalu ditujukan pada bagian-bagian yang tidak mematikan. Itu pun jarang sekali dilakukan. Pemuda ini lebih banyak mengelak atau menangkis. Di lain pihak, ketiga lawannya menyerang dengan maksud untuk membunuh. Serangan mereka tertuju pada bagian-bagian mematikan. Kenyataan ini membuat perasaan tidak suka muncul di hati Arya.
"Tidak melihatkah prajurit-prajurit kerajaan itu kalau lawan yang dihadapi terlalu banyak mengalah?" tanya Arya dalam hati. Meskipun demikian, Arya berusaha tidak memihak. Dia belum tahu siapa yang benar dan salah dalam persoalan ini.
Namun, pemuda berpakaian coklat membuat Arya merasa heran. Pemuda itu berkali-kali meringis dan memegang kepalanya. "Percayalah, Kawan-kawan. Bukan aku yang melakukan pembunuhan terhadap Panglima Anggar Bayu dan pengawalnya. Panglima itu merupakan saudara tua. Dia terhitung kakak sepergurun saya," beritahu pemuda berpakaian coklat sambil mengelakkan sebuah serangan.
"Tidak usah banyak bicara. Kalau bukan kau siapa lagi? Hanya kau orang luar yang datang ke tempat itu. Tidak ada gunanya berdusta. Bersiaplah untuk mati guna menebus dosamu."
Pasukan kerajaan yang bersenjatakan golok mengirimkan babatan ke arah leher. Tapi, pemuda yang tidak lain I Made Sangkara berhasil mengelakkannya.
"Sudah kukatakan pembunuhnya adalah Lanang. Dia memiliki kemampuan sangat tinggi. Harap kalian menyingkir. Aku tengah memburu waktu. Iblis itu hendak membunuh guruku. Berilah aku jalan." pinta I Made Sangkara berkali-kali.
"Uh…!!" Arya terperanjat. Lagi-lagi ia melihat I Made Sangkara menyeringai sambil mendekap belakang kepalanya. Kali ini tubuhnya sampai limbung. Saat itu tombak salah seorang lawannya meluncur datang!
Crattt!
Tidak terdengar keluhan sedikit pun kendati tombak menembus belakang paha kanan I Made Sangkara. Darah segar langsung muncrat keluar. Saat itu dua lawannya yang lain mengirimkan serangan pula. Yang satu ke arah dada dan yang lain menuju leher. Nyawa I Made Sangkara bagai telur di ujung tanduk. Kali ini Arya tidak menahan diri lagi. Dari percakapan yang terdengar telah bisa diketahui penyebab pertarungan itu. Arya yakin I Made Sangkara tidak bersalah.
Pemuda berambut putih keperakan itu bisa mengira Lanang yang telah melakukan pembunuhan terhadap Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya. Tapi, I Made Sangkara yang jadi tertuduh. Arya segera melesat ke dalam kancah pertarungan sebelum nyawa I Made Sangkara yang terlalu mengalah itu melayang. Begitu tiba Arya langsung mengulurkan tangan.
Dua orang prajurit kerajaan merasakan tangan mereka mendadak lumpuh tanpa diketahui penyebabnya. Belum sempat mereka berbuat sesuatu, Arya telah bergerak cepat merampas senjata mereka. Tiga orang prajurit kerajaan itu terperanjat. Arya segera mengibaskan tangan. Akibatnya sungguh mengejutkan! Tubuh ketiga orang itu berpentalan ke belakang bagai daun kering diterbangkan angin.
Beruntung bagi ketiga prajurit itu. Arya tidak menurunkan tangan kejam. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya mengerahkan tenaga dalam untuk mementalkan tubuh mereka tanpa melukainya.
Tiga orang prajurit kerajaan yang telah kehilangan senjata itu bangkit berdiri dengan wajah pucat. Mereka tahu tengah berhadapan dengan tokoh yang memiliki kepandaian dahsyat. Kendati demikian, rupanya mereka tergolong orang yang tidak mudah mengalah. Mereka adalah anggota pasukan istimewa kerajaan. Pasukan kelas satu.
"Siapa kau? Mengapa mencampuri urusan kami?" bentak prajurit yang tadi bersenjata golok. Suaranya terdengar lantang.
"Aku tidak bermaksud untuk ikut campur. Hanya mencegah terjadinya pembunuhan terhadap orang yang tidak bersalah! Namaku Arya. Dunia persilatan lebih suka menyebutku Dewa Arak!"
"Dewa Arak...?!" Hampir berbarengan mereka mengulang julukan Arya. Sesaat kemudian ketiganya saling berpandangan. Julukan Dewa Arak telah lama mereka dengar. Tapi, baru sekarang bertemu muka dan merasakan kelihaiannya.
"Apa maksudmu, Dewa Arak? Kami tidak mengerti," ujar prajurit yang tadi bersenjatakan tombak. "Orang ini bukan pembunuh Panglima Anggar Bayu. Pembunuhnya adalah Lanang. Dia seorang pemuda yang jahat!" jawab Arya dengan sikap pasti.
Ketiga prajurit kembali saling bertukar pandang. Mereka belum mau pergi meninggalkan tempat itu. Arya tahu orang-orang seperti ini perlu digertak. Dewa Arak mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan. Saat itu senjata ketiga orang prajurit masih berada di kedua tangannya. Terdengar bunyi gemeretak nyaring. Tiga senjata itu berpatahan kemudian hancur berkeping-keping. Padahal, Arya tidak meremasnya.
Mata ketiga prajurit kerajaan membelalak lebar. Mereka takjub sekali melihat pameran tenaga dalam Dewa Arak. Perasaan gentar merayapi hati ketiganya. Baru pertama kali mereka melihat senjata dari baja pilihan itu dipatah-patahkan tanpa diremas. Tanpa banyak cakap lagi ketiganya segera membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Arya tidak mengejarnya. Bahkan memperhatikannya pun tidak. Arya lebih suka menujukan perhatiannya pada I Made Sangkara. Pemuda dari Pulau Dewata itu telah mengobati lukanya dengan bubuk yang dibawanya. Terlebih dulu ditotoknya daerah sekitar luka untuk menghentikan aliran darah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak. Kau memang hebat. Persis dengan berita yang kudengar," ujar I Made Sangkara sambil mengulurkan tangan. "Namaku I Made Sangkara."
Arya menyambut uluran tangan itu. "Aku Arya Buana. Dan ini kawanku, Linggar."
I Made Sangkara tersenyum pada Linggar. Gadis berpakaian hitam itu membalasnya.
"Kudengar tadi kau bicara tentang Lanang. Kau tahu di mana dia sekarang? Dan, boleh kutahu mengapa kau bisa jadi tertuduh pembunuhan Panglima Anggar Bayu?" tanya Arya.
"Panjang ceritanya, Arya." I Made Sangkara menghela napas berat. Kemudian, ia menceritakan pertemuannya dengan panglima itu dan Lanang. Arya serta Linggar mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Tak sekali pun cerita I Marie Sangkara dipotong sampai pemuda itu mengakhirinya.
"Lanang bagai malaikat pencabut nyawa saja, desah Arya sambil menggelengkan kepala. Telur Elang Perak membuatnya bertindak sewenang-wenang. Hhh...!! Sukar kubayangkan kekuatan tenaga dalamnya. Rasanya tidak akan ada yang menyamai. Dia telah dapat mempergunakan tenaga dalam melalui cara apa pun. Benar-benar berbahaya... "
"Apakah kau bermaksud melenyapkannya, Arya?" tanya I Made Sangkara, ingin tahu. Pemuda ini telah banyak mendengar kalau Dewa Arak selalu menumpas kebatilan."
"Begitulah niatku, Sangkara." Arya mengangguk. "Tapi, aku tidak yakin akan berhasil. Kepandaiannya telah sukar untuk diukur."
"Tapi, tidak ada salahnya kita berusaha," ujar Linggar.
"Tentu saja!" sahut Arya, cepat.
"Kalau begitu..., mari kita bergegas. Saya khawatir Eyang Brihaspati dan Bapa telah dibunuhnya!" ajak I Made Sangkara.
Pemuda ini kelihatan cemas sekali. Arya mengangguk. I Made Sangkara pun segera melesat mendahului. Arya serta Linggar mengikuti di belakang. Pemuda dari Pulau Dewata itu rupanya mempunyai obat luka yang manjur. Larinya tampak biasa. Tidak terpincang-pincang. Padahal, luka pada kakinya cukup parah.
"Ha ha ha...! Tua bangka bau tanah. Sudah saatnya kalian pergi ke alam baka! Ha ha ha...!"
Suara lantang penuh dengan nada kesombongan memecah suasana sepi yang melingkupi dataran cukup luas di puncak gunung itu. Suara tadi dikeluarkan oleh seorang pemuda berpakaian indah. Dia berdiri bertolak pinggang di hadapan dua orang kakek. Yang seorang mengenakan selembar kain putih yang dilibat-libatkan ke sekujur tubuh. Di tangan kanan kakek berwajah cerah ini tergenggam sebatang tongkat.
Kakek yang satunya lagi tidak kalah aneh dandanannya. Dia mengenakan kain lurik yang dibelitkan ke tubuh. Kain itu hanya sampai ke dada bagian atas. Bagian bawah kain mencapai sedikit di bawah lutut. Pada kepalanya terikat kain bercorak dan berwarna sama. Tapi pada bagian depan, di dahi, kain itu dibentuk sedemikian rupa sehingga mirip sehelai daun yang didirikan. Pada pergelangan tangan dan kaki serta pangkal lengan terlilit gelang putih dari tulang macan. Dan, di selipan kain pada punggungnya tampak sebilah keris.
"Manusia takabur!" Kakek berikat kepala lurik menggumam. Tapi, gemanya terdengar sampai jauh. "Asal kau tahu saja, di atas langit masih ada langit. Mungkin kami berdua akan tewas di tanganmu. Tapi, kau pun nanti akan tewas di tangan orang lain. Sang Hyang Widhi Wasa Maha Adil. Tidak akan diturunkan sebuah pusaka kalau tidak ada penangkalnya. Saat kejayaanmu sudah hampir pudar!"
"Ha ha ha...! Kau boleh bicara sesukamu, I Nyoman Tirta! Puaskanlah berbicara karena sebentar lagi kau akan meninggalkan dunia ini. Kau dan si peot Eyang Brihaspati. Kalian tak akan kuberi kesempatan hidup lebih lama. Ha ha ha...!" Pemuda yang bukan lain Lanang itu tertawa dengan sombongnya. Dia yakin betul dapat menamatkan riwayat kedua kakek itu yang adalah Eyang Brihaspati dan I Nyoman Tirta.
"Kau keliru, Lanang! Pemuda yang sombong!" Kali ini Eyang Brihaspati yang berbicara. Tongkat yang tergenggam di tangan diketukkan sekali. Kelihatan pelan saja. Tapi, menancap di tanah sampai setengahnya lebih! "Mungkin kau akan berhasil membunuh kami. Namun, kau tidak akan lolos dari kematian. Pusaka yang dapat mengirim nyawamu ke alam baka berhasil diperoleh seorang pendekar. Dia sedang dalam perjalanan kemari. Kau tidak dapat mengingkari takdir, Lanang."
"Tutup mulutmu, Peot!" Lanang yang geram bukan main mendengar ucapan Eyang Brihaspati segera menjulurkan tangan kanannya. Lima jarinya terkembang. Dari tiap-tiap ujung jari keluar sinar-sinar kemerahan! Semua menuju ke arah Eyang Brihaspati. Menuju kelima tempat di tubuh kakek itu.
Eyang Brihaspati tahu kedahsyatan sinar kemerahan itu. Dia segera bertindak cepat menyelamatkan diri. Kakek ini memilliki cara yang luar biasa. Tanpa menjejakkan kaki atau menekuk lutut, Eyang Brihaspati mampu membuat tubuhnya melayang ke atas dalam keadaan tegak! Akibat yang menggiriskan menimpa tebing di belakang kakek berpakaian putih itu.
Begitu lima larik sinar kemerahan menyentuh, dinding tebing langsung berlubang dan hangus. Eyang Brihaspati tidak tinggal diam. Masih dalam keadaan tubuh kaku seperti tombak dia melenting ke arah Lanang. Tepat di atas tubuh pemuda pesolek itu tongkatnya dihantamkan ke arah kepala! Lanang tidak mengelak sedikit pun. Tak pelak lagi, tongkat mendarat telak di sasaran. Lanang bagai dipantek oleh palu raksasa. Tubuhnya langsung amblas ke dalam bumi sampai tak tampak kepalanya!
Eyang Brihaspati bertukar pandang dengan I Nyoman Tirta begitu kakinya menjejak tanah. Jantung mereka berdetak lebih cepat. Apakah Lanang berhasil mereka tewaskan dan sekarang terkubur di dasar bumi? Kedua kakek itu mempunyai alasan untuk menduga demikian. Senjata yang mereka gunakan telah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk melumpuhkan ilmu kebal seseorang. Senjata itu telah dimanterai.
Tapi, kegembiraan itu hanya berlangsung sekejap. Keduanya mendengar bunyi aneh dan getaran keras pada tanah. Seperti ada bor di dalam bumi. Tak lama kemudian, tubuh Lanang melesat keluar dari dalam tanah dalam keadaan berpusing. Bunyi mengaung keras mengiringi putaran tubuhnya.
I Nyoman Tirta segera bertindak. Kakek ini menghunus kerisnya dan menudingkan ke arah tubuh Lanang yang masih berpusing di udara.
Wusss!
Dari ujung keris I Nyoman Tirta melesat serangkum sinar biru. Bentuknya mirip kilat. Sinar biru itu meluncur dengan kecepatan menakjubkan ke tubuh Lanang!
Blarrr!
Ledakan keras terdengar ketika sinar biru menghantam tubuh Lanang. Asap tebal membumbung tinggi. I Nyoman Tirta dan Eyang Brihaspati tidak bisa melihat apa yang terjadi. Hancurkah tubuh Lanang? Kedua kakek itu menanti dengan harap-harap cemas.
Ketika asap buyar tertiup angin, biasan kecewa tampak pada wajah Eyang Brihaspati dan I Nyoman Tirta. Lanang berdiri dengan angkuhnya. Tak kurang suatu apa! Eyang Brihaspati dan I Nyoman Tirta diam-diam bergidik ngeri. Sukar untuk dibayangkan betapa mengerikan kekuatan yang dimiliki Lanang. Bukit kecil saja hancur lebur dan menjadi abu ketika terkena sambaran sinar biru!
Saat sinar biru dari keris menyambar dan terjadi ledakan, Dewa Arak, I Made Sangkara, dan Linggar telah berada di tempat itu. Ketiga orang muda ini melihat peristiwa yang mampu mendirikan bulu kuduk itu. Hati Dewa Arak tercekat. Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak menyangka Lanang akan sedahsyat ini. Benar-benar mengerikan.
Arya tidak mau berpangku tangan. Sambil memekik keras sebagai isyarat pada Lanang kalau dia mengirimkan serangan, pemuda berambut putih keperakan ini tidak ragu-ragu lagi mengirimkan pukulan jarak jauh dengan jurus maut 'Pukulan Belalang'!
Wusss!
Begitu angin keras berhawa panas menyengat keluar dari kedua tangan Dewa Arak, Lanang mendengus. Pemuda pesolek ini melakukan gerakan yang sama. Dari kedua telapak tangannya berhembus angin keras berhawa panas. Dewa Arak terperanjat bukan main. Lanang memiliki pukulan jarak jauh yang mirip dengan 'Pukulan Belalang'. Malah lebih dahsyat!
Blarrr!
Pertemuan dua tenaga dalam berhawa panas itu membuat tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang. Tubuhnya melayang jauh seperti daun kering ditiup angin. Arya merasa seakan-akan ditabrak seekor gajah liar. Sekujur tubuhnya terasa lumpuh. Tidak ada yang bisa digerakkan. Arya terbanting di tanah setelah melayang beberapa tombak. Pemuda perkasa ini tidak mampu bangkit lagi. "Arya...!" Linggar dan I Made Sangkara berseru kaget. Mereka segera meluruk ke arah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Ha ha ha... Lanang yang tidak terpengaruh benturan itu tertawa berkakakan. Bagaimana, Dewa Arak? Sekarang kau tidak berarti apa-apa bagiku!" Baru saja Lanang mengatupkan mulutnya, Eyang Brihaspati dan I Nyoman Tirta melompat menerjang. Guru Panglima Anggar Bayu mengayunkan tongkat ke kepala Lanang. Sedangkan ayah I Made Sangkara menusukkan kerisnya ke jantung lawan.
Tapi, Lanang dengan berani memapaki dua buah senjata pusaka itu dengan tangan telanjang. Kembali bunyi berdetak keras terdengar. Lanang tetap seperti semula. Kokoh kuat laksana batu karang. Sebaliknya, kedua penyerangnya terjengkang ke belakang dan terguling-guling. Lanang kembali mengumbar tawa kemenangan. Dengan sepasang mata congkak ditatapnya lawan-lawan yang tidak berdaya itu. Linggar dan I Made Sangkara yang masih berdiri tegak. Keduanya tidak berbuat apa pun karena tahu tak akan ada artinya. Lanang benar-benar menggiriskan!
"Sekarang saatnya bagiku untuk mengirim kalian semua ke alam kubur!" seru Lanang. Ia melangkah meninggalkan tempatnya. Yang pertama kali dihampiri adalah Dewa Arak. Lanang memang sangat membenci pemuda berambut putih keperakan itu.
"Tahan...!" Lengkingan nyaring membuat Lanang menghentikan ayunan kakinya. Pemuda pesolek ini kelihatan tidak senang. Tubuhnya segera dibalikkan. Dilihatnya seorang gadis cantik berpakaian putih. Gadis itu tidak dikenalnya. Hanya Arya yang mengenal gadis cantik jelita itu. Gadis yang melangkah mendekati Lanang dengan sikap tenang.
"Melati.... Pergi jauh-jauh...." Arya ingin berteriak keras, tapi yang keluar hanya panggilan lirih.
Namun, tertangkap juga oleh telinga Melati. Gadis berpakaian putih itu tersenyum. "Tenanglah, Kakang. Biar kulenyapkan penjahat ini.... !"
Arya melongo. Tidak main-mainkah, Melati? Lawan yang dihadapinya tokoh berkepandaian tak masuk di akal. Jangankan Melati, Arya sendiri yang memiliki kepandaian jauh di atas gadis itu tidak mampu menanggulangi Lanang. Apakah Melati hendak mencari penyakit? Jangan-jangan gadis itu tidak melihat peristiwa yang baru saja terjadi.
Arya keliru kalau berpikir demikian. Semua dugaan pemuda berambut putih keperakan itu tidak ada yang mengenai sasaran. Melati berani menghadapi Lanang karena keyakinannya akan kemenangan. Dengan langkah mantap dihampirinya Lanang. Sungguh aneh sekali. Lanang kehilangan rasa percaya dirinya. Pemuda ini mundur-mundur ketakutan.
Tiap Melati maju selangkah Lanang berjalan mundur selangkah. Jarak antara mereka menjadi jauh. Karena langkah Lanang lebih besar. Terngiang-ngiang ucapan di telinga Melati ketika kakinya bergerak mendekati Lanang. Kata-kata yang terdengar tanpa kelihatan siapa yang berbicara. Melati teringat kembali pengalamannya beberapa waktu lalu di Gunung Cikuray.
"Aaa...!" Melati tidak kuasa menahan jeritan. Tubuhnya meluncur turun ke dasar lubang. Gadis yang tengah khawatir akan keadaan Arya ini berlari secepatnya. Bahkan, beberapa kali melakukan lompatan-lompatan panjang. Terjeblosnya Melati ke dalam lubang karena secara tiba-tiba tanah tempat kedua kakinya hendak menjejak muncul lubang besar.
Saat itu kedua kakinya hanya tinggal beberapa jengkal dari tanah. Tak pelak lagi, gadis itu tak mampu berbuat apa pun untuk menyelamatkan diri. Melati merasa ngeri bukan main. Tubuhnya melayang lama sekali. Sudah terbayang di benak gadis ini tubuhnya akan hancur di dasar lubang. Kengerian Melati berganti dengan keheranan ketika luncuran tubuhnya melambat. Semakin lama semakin lambat. Seakan ada kekuatan tak nampak yang menahan luncuran tubuhnya.
"Wahai, Wanita Muda. Rupanya kau yang terpilih menjadi pencegah angkara murka yang tengah terjadi di dunia persilatan. Keselamatan orang banyak berada di tanganmu. Nyawa mereka tergantung dari usahamu ini. Kalau kau berhasil mereka semua akan selamat."
Melati mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tidak terlihat apa pun. Suara itu seakan muncul begitu saja. Tempat di sekitar Melati tidak terlalu luas. Di belakangnya dinding batu. Jalan satu-satunya yang ada hanya lorong di depan.
"Kau tak usah mencari tahu siapa aku, Wanita Muda. Percuma, Lebih baik kuperlihatkan padamu angkara murka yang tengah terjadi di dunia persilatan karena pusaka Telur Elang Perak terjatuh ke tangan orang tak bertanggung jawab."
Kemudian, suara tanpa wujud itu menceritakan tentang Telur Elang Perak sampai Melati merasa jelas. Begitu penjelasan itu berakhir, di tanah terlihat gambar seorang pemuda berpakaian indah merajalela membunuhi orang-orang. Melati merasa ngeri melihatnya. Dia bisa memperkirakan betapa dahsyatnya kemampuan yang dimiliki pemuda pengacau itu.
"Kejadian ini yang akan menimpa apabila kau gagal dengan tugasmu."
Melati hampir terpekik. Di tanah tampak gambar Dewa Arak bersama dua orang kakek tengah bertarung mati-matian melawan Lanang. Seperti gambar sebelumnya, Melati melihat Lanang berhasil memporak-porandakan lawan-lawannya. Arya dan dua kakek itu dibuat tidak berdaya. Lanang menghampiri Dewa Arak, siap untuk membunuh!
"Kejadian itu akan terjadi, Wanita Muda. Dewa Arak mungkin akan tewas. Usahamu di sini untuk mendapatkan Mustika Ular Emas. Apabila pusaka itu berhasil kau dapatkan, kau bisa mencegah terjadinya hal itu."
"Bagaimana aku bisa mendapatkan mustika itu?" tanya Melati.
"Ikuti saja Lorong Batas Dunia ini. Di ujung lorong akan kau temukan makhluk Ular Emas. Ular yang tidak terdapat di dunia. Hanya perlu kau ingat, Wanita Muda. Perjalanan melalui lorong ini tidak mudah. Banyak halangan menghadang. Mudah-mudahan kau mampu mengatasinya. Waktu yang kau miliki terbatas. Kau harus bergegas."
Begitu suara itu lenyap, Melati segera melesat ke depan. Karena Melati tidak ingin celaka, dia bertindak sangat hati-hati. Baru beberapa tindak Melati mendengar bunyi mencurigakan di atasnya. Melati masih sempat menoleh sebelum buru-buru melompat ke depan dan menggulingkan tubuh menjauh.
Atap lorong runtuh membawa batu-batu sebesar kerbau. Melati menghela napas lega. Dia baru saja selamat dari bahaya. Sekarang Melati melangkah dengan lebih hati-hati lagi. Sepasang matanya diedarkan berkeliling. Tidak hanya tanah yang ditelitinya, tapi juga dinding dan atap.
"Uh...!" Melati terkejut ketika kakinya amblas ke dalam tanah. Tanah yang diinjaknya ternyata tidak keras, melainkan lunak seperti lumpur. Yang lebih mengejutkan, ada tarikan amat kuat dari dasar tanah. Melati langsung tahu sebelah kakinya terperangkap dalam lumpur hidup.
Gadis berpakaian putih ini menelan ludah dengan susah payah. Nyawanya hampir saja tidak bisa terselamatkan. Apabila kedua kakinya terjebak dalam lumpur hidup tidak mungkin dia dapat menariknya keluar. Beruntung hanya satu kakinya yang terjeblos hingga dengan mudah ditariknya keluar. Melati berpikir keras mencari jalan untuk melalui tempat mengerikan ini. Lorong yang lebarnya tak lebih dari dua tombak ini buntu terhadang hamparan lumpur hidup.
Kendati demikian, hamparan lumpur hidup itu tidak terlalu panjang. Hanya, Melati belum tahu di mana batasnya. Sebentar kemudian, Melati mendapatkan sebuah cara. Dia kembali ke tempat di mana terdapat runtuhan. Diambilnya beberapa belas batu sebesar kepala bayi. Dengan mempergunakan baru ini Melati berusaha mengetahui akhir hamparan lumpur hidup.
Mula-mula gadis ini melemparkan batu ke depan sejauh lima tombak. Ternyata begitu menyentuh tanah batu itu langsung amblas Melati mengulanginya beberapa kali sampai batu yang dilemparkan tidak tenggelam. Itu berarti telah mencapai tempat yang aman. Tempat yang di bawahnya tidak tersembunyi lumpur hidup.
Karena jarak tempat itu tak kurang dua puluh tombak, jarak yang tidak mungkin untuk dilompati, Melati menggunakan batu-batu kecil sebagai penolong. Batu itu dilemparkannya ke depan lalu dia melompat memijak batu sebagai landasan, melemparkan batu yang lain dan menjadikannya sebagai landasan. Begitu seterusnya hingga akhirnya berhasil tiba di ujung hamparan lumpur hidup dengan selamat. Melati melangkah maju lagi. Jantungnya berdetak jauh lebih cepat. Sinar kuning keemasan tampak di kejauhan.
"Itukah Ular Emas?" tanya Melati dalam hati.
Seiring dengan semakin dekatnya jarak Melati, sinar itu terlihat semakin membesar. Melati mencium aronga wangi yang aneh. Melati terhuyung ketika aroma wangi semakin menyengat hidung dan membuatnya pusing. Gadis ini berusaha bertahan. Cukup lama keadaan itu menyiksa Melati. Pengaruhnya semakin menghebat sebelum akhirnya berkurang dan kemudian lenyap.
Melati meneruskan langkahnya lagi. Kali ini tidak ada hambatan sama sekali sampai ia berhadapan dengan pemilik sinar keemasan. Seekor ular yang amat besar dan panjang. Tak kurang dari lima tombak. Sekujur tubuh binatang itu mengeluarkan sinar kuning keemasan.
"Ular Emas...?!" desis Melati dalam perasaan takjub yang tak terkira. Dengan pandang mata terpaku pada binatang menakjubkan Melati mengayunkan kaki mendekat. Ketika tinggal dua tombak lagi terdengar bunyi letupan kecil. Asap tebal menyelimuti sekujur tubuh ular. Melati terlompat ke belakang saking kagetnya. Begitu asap sirna, di tempat ular berada tergeletak sebuah benda bulat sebesar buah salak. Benda itu berwarna kehijauan. Sinarnya benar-benar luar biasa. Sekitar tempat itu jadi bersemu kehijauan.
"Kuucapkan selamat atas keberhasilanmu, Wanita Muda. Kaulah yang akan mencegah angkara murka akibat Telur Elang Perak. Itulah Mustika Ular Emas. Kau berhasil lolos dari hambatan terakhir kendati tidak terlalu mulus."
"Mengenai lumpur hidup itu...?" duga Melati sekenanya.
"Bukan. Aroma wangi, Wanita Muda. Wangi-wangian itu bukan sembarangan. Tapi, ujian yang paling penting. Apabila yang menciumnya orang yang berwatak jahat dia akan tewas seketika. Pendekar yang berhati bersih tidak akan terkena pengaruh itu. Kau terpengaruh cukup berat. Berarti masa lalumu penuh dengan gelimang darah orang yang tidak bersalah. Hanya saja kau telah lama sadar hingga tidak tewas."
Tanpa sadar Melati bergidik. Mustika itu tidak bisa didapat oleh tokoh sesat. "Apa yang harus kulakukan dengan benda itu?" tanya Melati kemudian.
"Ambil saja. Begitu kau pegang mustika itu akan lenyap. Dia masuk ke dalam tubuhmu secara aneh. Kau tidak usah bingung mencari penjahat keji itu. Mustika di dalam tubuhmu akan menuntun langkahmu menuju ke arahnya. Begitu berhadapan, mustika itu sendiri yang akan melaksanakan tugas. Dia akan mengejar ke mana pun penjahat keji itu pergi. Sedikit tambahan bagimu, bukan hanya mustika ini saja yang seperti hidup, tapi juga Telur Elang Perak. Penjahat keji itu akan tahu bahaya mengancam begitu kau berada di dekatnya. Telur Elang Perak yang memberi tahu."
Sampai di sini ingatan Melati buyar. Dilihatnya Lanang terus mundur dengan wajah menampakkan rasa takut.
"Sudah saatnya kau melihat akhirat, Lanang!" ucap Melati dengan suara berwibawa. Kemudian, mulutnya dibuka lebar-lebar.
Lanang yang sejak tadi takut bukan main semakin pucat pasi wajahnya. Dilihatnya benda bulat berwarna kehijauan keluar dari mulut Melati. Sambil mengeluarkan jerit ketakutan yang memilukan hati, Lanang membalikkan tubuh dan berlari lintang pukang. Benda bulat kehijauan itu meluncur dan mengejarnya. Kecepatannya tak kalah dengan kecepatan lari Lanang!
"Aaa...!" Semua yang berada di situ bergidik ngeri mendengar jeritan yang mendirikan bulu roma itu. Jeritan orang yang menderita kesakitan hebat. Jeritan itu panjang, lalu lenyap.
"Tamatlah riwayat Lanang," desah Eyang Brihaspati, lega. Tidak hanya kakek itu yang merasa lega, tapi semuanya. Terutama Arya. Melati yang dikhawatirkannya celaka justru yang menamatkan riwayat Lanang.
Melati membalikkan tubuh menatap Arya. Kemudian, dia mengayunkan kaki menghampiri. Melati melihat Arya tersenyum. Gadis itu balas tersenyum dan terus melangkahkan kaki. Ada kerinduan yang dalam pada sepasang mata bening indah itu.
Di lain tempat nun jauh di sana, Dirgantara dan Jumini tersenyum bahagia, penuh rasa cinta. Kendati di lubuk hati mereka masih ada ganjalan bila teringat Brawijaya. Keduanya ingin cepat-cepat bertemu pemuda itu dan menerangkan maksud hati mereka.
Lagi-lagi pertanyaan yang mengandung ketidak-percayaan keluar dari mulut Begawan Narasoma. Dirgantara dan Tulini masih terkesima menatap pemandangan menakjubkan itu.
"Tidak, Kak Nara," Tulini memberikan tanggapan. Kepalanya menggeleng tanpa melepaskan perhatian dari langit.
"Benar, Ayah." Dirgantara menimpali. "Ayah tidak bermimpi. Apa yang kita lihat itu benar-benar terjadi."
"Ular Emas telah keluar ke dunia ramai, Kak Nara. Ular yang akan membuat Telur Elang Perak kehilangan kemampuannya," sambung Tulini.
"Kalian benar." Begawan Narasoma mengangguk-angguk "Alangkah adilnya Yang Maha Kuasa. Begitu Telur Elang Perak terjatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, Ular Emas dikeluarkan dari alamnya."
"Dapatkah Ayah mencari di mana Ulas Emas itu keluar?" tanya Dirgantara penuh minat.
"Entahlah, Dirga." Begawan Narasoma menghela napas berat. "Aku tidak yakin. Apalagi keadaanku sekarang tidak mengizinkan."
"Tapi, tidak ada salahnya kau mencoba, Kak Nara?" desak Tulini. "Barangkali sudah menjadi garis Dirgantara anugerah ini."
"Akan kucoba, Tulini. Tapi, ingat! Aku tidak berani memastikan usahaku akan berhasil. Kalian jangan terlalu berharap."
Tulini tersenyum gembira. Demikian pula Dirgantara. Tulini yakin suaminya akan berhasil. Dia tahu betul kesaktian kakek berpakaian putih ini. Terutama dalam hal ilmu gaib. Maka, perkataan Begawan Narasoma yang terakhir tidak diperhatikannya.
"Ayah, apakah cerita tentang Ular Emas dan mustikanya ini banyak diketahui orang?"
Tulini menatap Begawan Narasoma dengan hati kaget. Pertanyaan Dirgantara menimbulkan kekhawatiran dalam hatinya. Kalau banyak orang yang tahu, mereka pasti akan melakukan pencarian. Ini berarti banyak saingan. Kemungkinan Dirgantara mendapatkan Mustika Ular Emas menjadi kecil. Begawan Narasoma tidak segera menjawab. Dia tercenung beberapa saat. Dirgantara dan Tulini hampir kehilangan kesabaran.
"Kalau menurut pendapatku, jarang bahkan hampir tidak ada orang yang mengetahui cerita mengenai Ular Emas. Tapi, perlu kalian sadari, peristiwa langit berwarna kuning emas ini terlalu menyolok. Aku yakin ini akan berakibat panjang. Tokoh-tokoh persilatan pasti akan mencari tahu mengapa alam menjadi seperti ini. Bila itu terjadi, apalagi sampai tokoh-tokoh ahli kebatinan turun tangan, aku yakin masalah Ular Emas ini terungkap."
"Kita harus bertindak cepat, Kak Nara. Mumpung tokoh-tokoh lainnya belum tahu. Kau yang menjadi andalan kami, Kak Nara. Hanya kau yang bisa melacak di mana munculnya binatang ajaib itu."
Begawan Narasoma tersenyum getir. Ucapan Tulini tidak salah. Tapi, dia sudah tidak berhasrat lagi ikut campur dalam urusan seperti ini. Kalau saja tidak ada Dirgantara amat menginginkan pusaka itu, mungkin dia akan lepas tangan.
"Mari kita cari tempat untuk menyembuhkan lukaku dan mencari tahu di mana adanya ular itu. Aku punya firasat tempat ini sudah tidak aman lagi."
"Pindah ke mana, Kak Nara?"
"Aku pun belum tahu, Tulini. Yang jelas pindah dari sini. Aku merasa tidak enak. Aku yakin ada bahaya besar tengah mengancam. Sayang, aku tidak tahu!"
Dirgantara bingung. Tapi, tidak demikian dengan Tulini. Wanita ini tahu betul siapa Begawan Narasoma. Kakek itu mempunyai indera keenam yang sangat tajam. Tanpa membuang-buang waktu lagi dibopongnya tubuh Begawan Narasoma.
"Mari, Dirga. Cepat..!" Tulini melesat cepat meninggalkan tempat itu. Dirgantara tidak mempunyai kesempatan untuk menanggapi ucapan ibunya. Dia pun melesat mengikuti wanita itu.
* * *
"Arya...! Lihat...!"
Arya yang tengah berlari di sebelah Linggar mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk gadis berpakaian hitam itu. Sepasang mata Arya membelalak seperti halnya Linggar. Pemuda berambut putih keperakan ini memperlambat larinya. Linggar mengikuti.
"Apa yang terjadi, Arya? Mengapa langit berwarna keemasan?"
"Aku tidak mengerti, Linggar. Tapi, aku merasa tidak enak. Sepertinya akan terjadi sesuatu yang menyeramkan," jawab Arya sungguh-sungguh. Pemuda berambut putih keperakan ini memang mempunyai naluri tajam. Dia bisa tahu bila bahaya mengancam dirinya. Keistimewaan itu didapatnya setelah belalang raksasa dari alam gaib beberapa kali masuk ke dalam dirinya. (Untuk jelasnya mengenai belalang raksasa, silakan baca episode: Dalam Cengkeraman Biang Iblis).
"Bahaya menyeramkan? Bahaya apa itu, Arya?" tanya Linggar, penuh rasa ingin tahu.
"Aku tidak tahu, Linggar. Tapi, aku yakin betul hal itu. Perasaan ini tidak pernah menipuku." Arya mengedarkan pandangan ke sana kemari. Urat-urat sarafnya menegang Siap menghadapi segala kemungkinan.
"Bagaimana dengan maksud kita untuk menemui Begawan Narasoma alias Iblis Buta?" Linggar mengingatkan Arya akan tujuan mereka.
“Kurasa hal itu bisa diurus belakangan, Linggar. Aku yakin dia sudah tidak berada di tempatnya.”
“Apakah ini ada hubungannya dengan warna langit itu?”
"Aku tidak tahu. Menurut pendapatku, mungkin ada hubungannya. Tak mungkin alam menunjukkan tanda-tanda aneh kalau tidak akan terjadi sesuatu yang luar biasa," jelas Arya.
Linggar diam. Gadis ini merasakan adanya kebenaran dalam ucapan pemuda berambut putih keperakan itu. "Terserah kau saja, Arya. Aku hanya mengikuti." Gadis berpakaian hitam ini tersenyum manis.
Jawaban Linggar langsung mendapat tanggapan Arya. Larinya dipercepat, Linggar melakukan hal yang sama. Muda-mudi ini bagaikan dua sosok bayangan berkejaran menuju kaki gunung. Kekhawatiran Arya ternyata beralasan. Begitu mereka hampir tiba di kaki gunung, bumi yang dipijak bergetar. Semakin lama semakin keras.
"Apa yang terjadi, Arya?!" Linggar terkejut. Wajah gadis itu tampak sedikit pias.
"Entahlah, Linggar. Mungkin gunung ini hendak meletus! Tidakkah kau lihat keriuhan di sana. Binatang berbondong-bondong menuju kaki gunung."
Wajah Arya juga memperlihatkan ketegangan Linggar tidak memberikan sambutan. Membayangkan gunung meletus membuat nyali gadis ini ciut. Rasa takut dan cemas mendera hatinya. Perasaan itu mendorongnya ingin berlari secepat mungkin agar bisa berada sejauh-jauhnya dari tempat ini.
Tiba-tiba, terdengar bunyi menggelegar. Arya maupun Linggar merasakan tanah yang mereka pijak bergetar cepat. Tubuh keduanya terlempar jauh ke atas. Beruntung mereka memiliki ketenangan yang cukup. Itu pulalah yang menyelamatkan nyawa orang-orang muda ini. Keduanya bersalto beberapa kali untuk mematahkan kekuatan yang membuat lubuh mereka terlontar. Sesaat kemudian, keduanya menjejak tanah dengan mantap.
Keberhasilan tindakan mereka tidak membuat bahaya yang mengancam lenyap. Bunyi menggelegar yang ternyata berasal dari gunung meletus membuat keadaan di sekitar tempat itu bagai kiamat! Batu-batu besar dan kecil saling berlomba menggelinding ke kaki gunung. Di belakangnya mengalir lava panas bagai tangan-tangan maut. Menghanguskan apa saja yang dilandanya.
Arya dan Linggar berusaha sekuat tenaga menyelamatkan selembar nyawa. Dengan susah payah akhirnya mereka berhasil menjauhi tempat itu. Keduanya terus berlari kencang. Baru ketika berada di tempat yang dirasa aman mereka menghentikan langkah dan berbalik memperhatikan gunung yang tadi mereka pijak. Wajah mereka tampak diliputi kengerian.
* * *
Penunggang kuda berpakaian coklat itu memacu binatang tunggangannya bagai dikejar setan. Jalan berbatu yang menanjak tidak membuatnya memperlambat kecepatan kuda. Terpaan angin kencang mengibarkan rambut dan pakaiannya. Panas menyengat dari sang surya berada tepat di atas kepala.
"Uh...!" Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda itu mengeluarkan keluhan kaget. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi berdesing nyaring. Dia melihat beberapa batang anak panah meluncur ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Si pemuda melompat dari punggung kuda seraya menggebah binatang tunggangannya. Bersamaan dengan tubuhnya yang melayang ke atas, kuda hitam itu melesat ke depan. Tindakan pemuda itu membuat anak-anak panah meluncur lewat di bawah kakinya. Pemuda berpakaian coklat bersalto ke depan beberapa kali dan mendarat di punggung kuda hitamnya yang masih terus berlari.
Bagai tidak terjadi perisriwa apa pun, digepraknya tali kekang hingga kuda hitam itu berlari semakin cepat Baru beberapa tombak terdengar bunyi bergemuruh dari tempat yang tengah dituju si pemuda. Wajah pemuda berpakaian coklat berubah hebat. Dia bisa memperkirakan apa yang tengah terjadi. Kuda hitam itu pun demikian. Nalurinya memperingatkan adanya bahaya mengancam.
Binatang ini menghentikan lari dan meringkik keras-keras. Kedua kaki depannya diangkat tinggi ke udara. Pemuda berpakaian coklat mengerti maksud binatang tunggangannya. Kuda itu gelisah dan ingin melemparkan tuannya dari punggung, lalu dia berlari meninggalkan tempat itu untuk mencari selamat Si pemuda tidak menginginkan hal itu terjadi. Ditepuk-tepuknya leher dan punggung binatang itu untuk menenangkannya.
Tapi, kuda hitam ternyata telah benar-benar ketakutan. Usaha yang dilakukan pemuda berpakaian coklat sia-sia. Kuda hitam terus meringkik, kalap. Bahkan sekarang melonjak-lonjak tak karuan. Tapi, usaha kuda hitam tidak membuahkan hasil. Pemuda berpakaian coklat bagai lintah, melekat erat di punggungnya.
Betapapun punggungnya telah dilekukkan sedemikian rupa tetap saja tubuh si pemuda tidak terlontar. Saat itulah batu-batu sebesar kerbau muncul. Tidak hanya satu. Tapi beberapa buah. Yang paling kecil mempunyai ukuran sebesar kambing.
Kuda hitam semakin kalap. Binatang itu menggulingkan tubuhnya. Pemuda berpakaian coklat terperanjat. Tubuhnya akan tertindih dan terus terguling. Si pemuda tentu saja tidak menginginkan itu terjadi. Di saat kuda hitam baru memiringkan tubuh pemuda berpakaian coklat mengerahkan tenaga untuk menahan. Sementara baru sebesar kerbau yang lebih dulu meluncur akan menabrak kuda hitam berikut penunggangnya.
Pemuda berpakaian coklat mengeluarkan pekikan nyaring. Wajahnya menegang. Sesaat kemudian, tubuh kuda hitam terangkat ke udara. Si pemuda menjepit perut kuda dengan kedua kakinya. Kuda hitam terangkat dari tanah tak kurang dari satu tombak. Batu sebesar kerbau meluncur lewat di bawahnya. Demikian pula dengan batu-batu lainnya. Kuda hitam itu baru menjejak tanah dengan keempat kakinya ketika luncuran batu-batu telah usai.
"Wahai orang yang berada di atas! Tahan serangan...! Aku datang tidak dengan maksud jahat... Pemuda berpakaian coklat berteriak, keras. Kemudian hening sejenak setelah si pemuda mengeluarkan seruan. Pemuda itu tidak memacu kudanya lagi. Dalam keadaan masih duduk di atas punggung kuda, dia mengedarkan pandangan ke depan.
"Kalau kau memang tidak berniat jahat, kami sarankan untuk meninggalkan tempat ini!" sambut sebuah suara dari bagian atas bukit tempat pemuda berpakaian coklat berada. Bagian itu terlindung gundukan baru yang agak besar.
"Aku tidak bisa memenuhi permintaan itu!" lantang jawaban pemuda berpakaian coklat. "Aku mempunyai urusan penting. Karena itu, aku berada di tempat ini!"
"Kami ulangi peringatan kami...! Kalau kau memang mempunyai kepentingan, harap tunda dulu sehingga beberapa hari. Kalau tidak, kau terpaksa akan berhadapan dengan kami!” timpal suara dari balik gundukan baru.
“Urusanku ini tidak bisa ditunda! Aku tidak ingin perjalananku sia-sia! Pemuda berpakaian coklat memperkeras suaranya. "Apakah kalian prajurit-prajurit kerajaan...?"
Tidak ada tanggapan.
"Ketahuilah, kedatanganku kemari menyangkut keselamatan Panglima Anggar Bayu! Ada seorang sakti yang dendam terhadapnya. Ia akan melakukan pembalasan. Kuharap kalian bersedia memberitahukan dan memintanya untuk meninggalkan tempat ini sesegera mungkin!"
Si pemuda menyambung ucapannya. Dia yakin ucapannya di dengarkan kendati tidak diterimanya sambutan dari atas. Kembali suasana menjadi hening ketika pemuda berpakaian coklat menyelesaikan perkataannya. Sesaat kemudian, sebelum pemuda berpakaian coklat kehilangan kesabaran itu bergerak ke atas, pendengarannya yang tajam menangkap bunyi gerakan. Ia segera mengurungkan maksudnya.
Sekejap kemudian dua sosok tubuh muncul. Mereka mengenakan seragam pasukan kerajaan. Yang seorang bertubuh pendek kekar, sedang yang lain tinggi kurus. Di tangan kedua prajurit ini tergenggam tombak panjang.
"Siapa kau, Anak Muda? Apa maksud ucapanmu tadi? Kami tidak mengerti!" Prajurit tinggi kurus mengernyitkan dahi seperti orang kebingungan.
"Sikap kalian untuk merahasiakan keberadaan Panglima Anggar Bayu di sini memang bagus. Tapi, terhadapku kalian tidak perlu bermain sandiwara. Masalah ini sangat penting. Harap kalian beritahukan kedatanganku. Katakan saja adik seperguruannya, I Made Sangkara murid Eyang Brihaspati, datang menjenguknya," beritahu pemuda berpakaian coklat, buru-buru.
Prajurit tinggi kurus saling berpandangan dengan rekannya. Nama Eyang Brihaspati memang telah mereka dengar dari Panglima Anggar Bayu. Beliau adalah guru dari panglima mereka. Panglima Anggar Bayu sedang berada di tempat ini untuk berburu macan putih.
"Tunggu apa lagi? Cepat sampaikan kedatanganku sebelum semuanya terlambat dan kalian akan menyesal!" desak I Made Sangkara.
Melihat sikap I Made Sangkara yang kelihatan bersungguh-sungguh dan penuh rasa khawatir, dua prajurit kerajaan ini pun terpengaruh. Lelaki yang bertubuh pendek kekar membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu. Tapi, baru beberapa langkah ia berhenti. Tubuhnya segera dibalikkan. "Aku lupa lagi. Namamu siapa tadi, Anak Muda? I Made.... ”
“I Made Sangkara,” lanjut I Made Sangkara, tidak sabar. “Aku dari Pulau Dewata!”
Prajurit pendek kekar mengangguk-angguk. Kemudian, dengan bibir komat-kamit mengingat nama itu dia meneruskan maksudnya untuk menemui Panglima Anggar Bayu. Sekarang yang tinggal di tempat itu hanya prajurit tinggi kurus dan I Made Sangkara. Si prajurit tampak bersikap waspada. Sepasang matanya tak lepas dari I Made Sangkara. Tombak di tangannya digenggam dengan kedua tangan, siap untuk digunakan.
I Made Sangkara sendiri seakan tidak peduli. Dia duduk di atas punggung kuda dengan perasaan gelisah yang tidak bisa disembunyikan. Pandangannya tertuju ke belakang prajurit tinggi kurus. Arah di mana prajurit yang hendak melapor pada Panglima Anggar Bayu itu lenyap.
I Made Sangkara sampai melompat turun dari punggung kuda ketika melihat kedatangan prajurit pendek kekar. Bias kecewa tampak pada wajahnya. Prajurit itu datang sendirian. Tidak nampak orang lain di sebelahnya.
“Bagaimana? Apakah kau sudah sampaikan kedatanganku pada Panglima Anggar Bayu? Bagaimana tanggapannya? Mengapa beliau tidak datang kemari? Atau, aku yang harus datang ke sana?" Dengan sikap tidak sabar I Made Sangkara mengajkan pertanyaan bertubi-tubi.
DUA
Prajurit pendek kekar malah tersenyum mengejek. "Lebih baik kau segera pergi dari sini, Penipu Muda. Jika kau tidak mempedulikan peringatan ini dengan sangat menyesal kami akan menjadikanmu sate manusia!"
"Apa artinya ini? Mana Panglima Anggar Bayu...?!" I Made Sangkara maju selangkah.
Karena sebelum kakinya terus diayunkan, prajurit pendek kekar telah mengeluarkan ancaman. "Selangkah lagi kau maju, anak-anak panah akan menyate tubuhmu!"
Pemuda berpakaian coklat melihat prajurit pendek kekar menjentikkan jari. Seketika itu pula di belakangnya muncul belasan prajurit dengan busur terentang!
"Rupanya kau masih juga mau berpura-pura, Penipu Busuk! Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Rupanya kebohonganmu ingin ditelanjangi. Dengar, Panglima Anggar Bayu tidak pernah mempunyai adik seperguruan. Apalagi orang yang mempunyai nama aneh sepertimu. Nah, sekarang menyingkirlah dari sini! Mengingat kau masih muda, aku mau bertindak sabar. Tapi, ini yang terakhir kali"
I Made Sangkara tertegun sebentar. Dia tengah berpikir keras. "Kalian terlalu memaksa. Aku tidak punya pilihan lain!" Usai berkata, tanpa merasa gentar sedikit pun I Made Sangkara melangkah maju.
"Pemuda gila! Kau memang sudah bosan hidup. Serang...!" Berbarengan dengan selesainya seruan prajurit pendek kekar, belasan prajurit di belakangnya melepaskan anak panah. Belasan anak panah meluncur ke arah I Made Sangkara. Terdengar bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan telinga.
I Made Sangkara tidak melakukan gerakan apa pun. Dia terus mengayunkan kaki. Kendati demikian, karena tidak ingin mati konyol, pemuda ini mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi sekujur tubuhnya. Prajurit pendek kekar dan semua yang ada di tempat itu sudah membayangkan betapa tubuh I Made Sangkara penuh ditembusi belasan anak panah. Bila ini terjadi, sulit rasanya bagi pemuda itu untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tapi, mata mereka membelalak lebar. Anak-anak panah runtuh semua ke tanah sebelum berhasil mengenai tubuh I Made Sangkara. Seakan di sekeliling tubuh pemuda itu terdapat benteng yang tidak tampak! Kenyataan yang terpampang di depan mata itu terlalu mengejutkan para prajurit kerajaan.
Mereka tidak percaya. Ketika prajurit pendek kekar kembali memberi aba-aba, belasan anak panah meluncur siap merajam I Made Sangkara. Tapi, seperti juga sebelumnya, anak-anak panah runtuh sebelum mengenai sasaran. I Made Sangkara tetap melangkah dengan tenang. Para prajurit kerajaan tidak putus asa dengar kegagalan serangan mereka. Sambil berseru nyaring, mereka menghunus golok. Senjata tajam itu digenggam dengan tangan kanan. Sedangkan di tangan kiri tercekal tameng.
Dengan pasangan senjata ini kelompok pasukan kerajaan menyerbu I Made Sangkara. I Made Sangkara menghela napas berat. Sikapnya menyesali kejadian yang sama sekali tidak diharapkan ini. Sambil terus melangkah maju, kedua tangannya berulang kali didorongkan ke depan.
Prajurit-prajurit kerajaan bagai bulu-bulu dihembus angin. Mereka berpentalan ke belakang dan jatuh terguling-guling di tanah. Untungnya I Made Sangkara tidak berniat jahat. Mereka tidak mengalami luka parah. Hanya lecet-lecet karena kulit mereka bergesekan dengan batu-batu.
I Made Sangkara tidak menghiraukan keadaan lawan-lawannya. Dia terus saja mengayunkan kaki. Kelihatannya hanya langkah biasa. Pendek-pendek dan lambat-lambat. Tapi, belasan prajurit kerajaan yang mengejarnya dengan mempergunakan ilmu lari cepat tidak mampu menyusul.
Suasana jadi gaduh. Prajurit-prajurit itu melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Kegaduhan ini yang menyebabkan sebuah tenda yang tampak didepannya tersingkap. Dari dalam tenda keluar seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk lebat dan berpakaian seragam panglima kerajaan.
Di kanan kirinya tampak dua orang yang tidak berpakaian prajurit. Sepasang mata mereka tajam menusuk. Dua prajurit yang menjaga bagian depan tenda segera memberi hormat dan berjalan di belakang sang panglima. Panglima itu sendiri dengan tenangnya melangkah lebar menghampiri I Made Sangkara.
"Kaukah orang yang mengaku murid Eyang Brihaspati yang menjadi guruku?" tanya sang panglima yang bukan lain Anggar Bayu. Sikap panglima ini demikian tenang dan penuh percaya diri.
"Benar. Namaku I Made Sangkara. Benarkah aku tengah berhadapan dengan Panglima Anggar Bayu yang terkenal lihai baik ilmu perang maupun ilmu silatnya?" puji I Made Sangkara penuh hormat.
Panglima Anggar Bayu mengangguk. Tanpa merasa curiga sedikit pun. Padahal, itu amat berbahaya. Kalau orang bermaksud tidak baik dan jauh lebih lihai, dia akan celaka.
"Bisa lolos dari kepungan prajuritku menjadi pertanda kau memiliki kepandaian cukup. Hanya, yang kusayangkan, mengapa dalam usia semuda ini kau berada di jalan sesat? Mencatut nama orang lain untuk kepentingan sendiri?!"
Ucapan Panglima Anggar Bayu terdengar tegas dan penuh wibawa. Menunjukkan kalau dia orang yang telah kenyang pengalaman hidup. "Kalau tidak mengingat usiamu yang masih sangat muda itu, pencatutan nama terhadap guruku telah cukup untuk kujadikan alasan menindakmu!"
"Maafkan aku, Panglima." I Made Sangkara memberi hormat. "Aku tidak berbicara dusta. Eyang Brihaspati memang guruku. Selama lima tahun ini aku menjadi muridnya."
"Hmmm...!" Panglima Anggar Bayu menggumam. Ditatapnya I Made Sangkara penuh selidik. Dengan matanya lelaki gagah yang telah berusia empat puluh lima tahun ini ingin mencari kebenaran ucapan I Made Sangkara.
"Panglima mungkin meragukan keteranganku, ingatkah Panglima akan cerita Eyang Brihaspati? Eyang pernah mengatakan padaku kalau beliau telah menceritakan pada Panglima mengenai sahabatnya di Pulau Dewata."
"Maksudmu..., I Nyoman Tirta? Pembuat keris nomor satu di Pulau Dewata itu?!" seru Panglima Anggar Bayu, kaget.
"Benar, Panglima. Saya adalah putranya. Lima tahun yang lalu Bapa membawa saya untuk menemui Eyang Brihaspati. Beliau menerima saya menjadi muridnya. Atas perintah Ida, saya memberanikan diri datang kemari, Panglima," beritahu I Made Sangkara. Ia mempergunakan dialek daerahnya untuk lebih meyakinkan hati Panglima Anggar Bayu.
Panglima Anggar Bayu tersenyum lebar. Dia tiak merasa ragu lagi, I Made Sangkara tidak berniat jahat. Nama Nyoman Tirta telah sering didengarnya. Tokoh itu sahabat gurunya. Eyang Brihaspati memang telah merantau ke berbagai tempat. Salah satunya adalah Pulau Dewata.
"Kiranya kau bukan orang lain. Siapa namamu tadi, Adi? I Made Sangkara?" Panglima Anggar Bayu meminta kepastian. Panglima yang rupanya cukup menguasai bahasa I Made Sangkara ikut-ikutan berbicara dalam dialek tersebut.
"Benar, Panglima. Itu memang nama saya," jawab I Made Sangkara dengan hati lega.
"Mari. Mari, Adi. Masuk ke tendaku. Kita berbincang-bincang. Aku ingin tahu masalah yang membuat guruku mengutus Adi kemari," ajak Panglima Anggar Bayu. Ia mendahului membalikkan tubuh dan melangkah menuju tendanya. I Made Sangkara mengikuti di belakang.
* * *
"Sayang sekali, Adi. Aku tidak bisa memenuhi anjuran Guru. Aku bukan seorang pengecut. Apa kata orang nanti bila aku lebih dulu melarikan diri sebelum bertanding? Panglima Anggar Bayu bangkit dari duduk bersilanya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam tenda.
I Made Sangkara tetap duduk bersila. Di sisi kanan dan kiri dua lelaki gagah berdiri dengan sikap waspada. Mereka tidak mencampuri urusan antara Panglima Anggar Bayu dengan I Made Sangkara.
“Melihat, Panglima Anggar Bayu yang ditakuti lawan dan disegani kawan, lari lintang-pukang dari seorang musuh yang belum diketahui kepandaiannya! Bila itu terjadi, mau ditaruh di mana mukaku, Adi?”
“Maafkan saya, Panglima. Bukan maksud saya membuat marah Panglima. Saya hanya menyampaikan amanat Eyang Brihaspati. Beliau amat berharap Saya dapat melunakkan hati Panglima."
"Penasaran!" Panglima Anggar Bayu memukulkan tangan kanan pada telapak tangan kirinya. Terdengar bunyi benturan keras. "Mengapa Guru terlalu memandang remeh padaku? Begitu yakinkah beliau musuh keparat itu akan berhasil mengalahkanku?!"
"Maafkan saya, Panglima. Menurut beliau, musuh besar Panglima memang tak akan mungkin di kalahkan oleh siapa pun! Dia telah menelan pusaka yang bernama Telur Elang Perak. Pusaka itu menyebabkan tidak ada seorang tokoh pun akan dapat mengalahkan apalagi membunuhnya!"
"Telur Elang Perak?!" Panglima Anggar Bayu berteriak, kaget. "Aku memang sudah lama mendengar pusaka itu. Tapi, menurut berita Telur Elang Perak berada di tangan Iblis Buta. Ia sudah lama tidak kedengaran beritanya lagi. Lenyap bagai ditelan bumi!"
I Made Sangkara diam. Panglima Anggar Bayu kembali berjalan mondar-mandir. Kali ini bukan karena rasa penasaran melainkan resah. Berapa kali dia menghela napas berat.
"Sungguh tidak kusangka Panglima Sabu yang berkhianat itu memiliki seorang anak. Hhh...! Aku kecolongan!"
"Eyang Brihaspati mencari tahu melalui semadinya. Musuh besar Panglima bernama Lanang. Dia lolos ketika Panglima menumpas pemberontakan Panglima Sabu belasan tahun lalu," Beritahu I Made Sangkara. "Lanang tidak akan bisa dikalahkan. Kecuali...."
“Kecuali apa, Adi?” sambar Panglima Anggar Bayu, cepat.
"Kecuali oleh Mustika Ular Emas. Orang yang berhasil mendapatkan mustika itu berkesempatan untuk menamatkan riwayat Lanang. Telah belasan tokoh persilatan dibunuh Lanang. Sebagian besar merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi.”
“Mustika Ular Emas?” ulang Panglima Anggar Bayu. “Rasanya aku belum pernah mendengarnya.... “
“Tak aneh, Panglima. Eyang Brihaspati sendiri mengetahuinya belum lama. Menurut beliau, Ular Emas itu telah keluar ke dunia persilatan. Ida telah mendapatkan tanda-tandanya. Kemudian, dengan singkat I Made Sangkara menceritakan semua yang diketahuinya.
Panglima Anggar Bayu mendengarkan dengan perasaan tertarik. Tak sedikit pun dia memotong hingga I Made Sangkara selesai menceritakan semuanya.
“Lanang mencari berita mengenai Panglima. Saya yakin akhirnya ia akan menemukan Panglima. Sebelum itu terjadi, lebih baik Panglima tinggalkan tempat ini. Sementara itu, saya akan mencoba mencari Mustika Ular Emas. Apabila sudah berhasil saya dapatkan, Panglima tidak perlu bersembunyi lagi. Lanang akan kita bunuh!"
Panglima Anggar Bayu tersenyum pahit. Dengan pandang mata sungguh-sungguh ditatapnya I Made Sangkara lekat-lekat. "Kuucapkan terima kasih atas jerih payahmu, Adi. Sampaikan salam hormatku pada Guru. Perhatian beliau dan kau amat kuhargai. Tapi, sayang aku tidak bisa memenuhi permintaan itu. Aku bukan seorang pengecut. Tidak, Adi! Aku tidak takut mati. Kuharap kau mau menyampaikan hal ini pada Guru!" jawab Panglima Anggar Bayu dengan suara lantang dan sikap gagah.
Made Sangkara tidak berkata-kata lagi. Di merasakan nada kesungguhan dalam sikap dan ucapan Panglima Anggar Bayu. Dia tahu tidak ada gunanya berusaha membujuk. Orang yang memiliki pendirian seperti sang panglima ini tak akan mudah dibujuk!
"Ha ha ha...!" Tawa bergelak yang penuh nada ejekan menguak keheningan.
Semua orang yang berada di situ langsung bersikap waspada. I Made Sangkara langsung berdiri dan berjalan keluar tenda. Ia mengedarkan pandangan mencari-cari sumber suara. Demikian juga dengan Panglima Anggar Bayu. Dua lelaki berpakaian ringkas yang menjadi pengawal pribadi Panglima Anggar Bayu telah melesat dari tempatnya dan berdiri di kanan kiri sang panglima. Mereka bersikap melindungi.
Panglima Anggar Bayu dan I Made Sangkara bertukar pandang sesaat ketika mengetahui sumber suara itu tidak bisa mereka lacak. Ini berarti si pemilik suara memiliki ilmu "Memindahkan Suara". Sebuah ilmu yang hanya dikuasai orang-orang berilmu tinggi.
Sekarang, kakak dan adik seperguruan ini mulai mengerti mengapa Eyang Brihaspati begitu khawatir. Pemilik suara yang diduga I Made Sangkara dan Panglima Anggar Bayu sebagai sang musuh besar terbukti memiliki kepandaian tinggi.
“Benar-benar seorang panglima yang gagah perkasa...” Kembali suara itu terdengar.
“Siapa kau, Pengecut? Tunjukkan dirimu kalau kau memang berhati jantan, Jangan beraninya hanya bersembunyi seperti nenek-nenek keriput!" pancing Panglima Anggar Bayu.
"Siapa bilang aku bersembunyi? Aku berada di sini sejak tadi..."
Hampir bersamaan Panglima Anggar Bayu, I Made Sangkara, dan dua orang pangawal pribadi sang panglima membalikkan tubuh. Tidak seperti sebelumnya, kali ini suara itu terdengar jelas dan bisa ditebak dari mana asalnya. Si pemilik suara tidak menggunakan ilmu 'Memindahkan Suara'-nya lagi.
Hanya berjarak satu tombak dari Panglima Anggar Bayu duduk sesosok tubuh dengan cara yang amat luar biasa. Panglima Anggar Bayu dan teman-temannya membelalakkan mata karena kaget. Sosok itu duduk bersila di ujung sebuah tambang yang berdiri kaku. Tambang yang biasa dipergunakan untuk mengikat oleh sosok yang baru datang ini digunakan untuk tempat duduk!
Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya merasa tegang. Tindakan yang dilakukan sosok berpakaian mewah itu membutuhkan ilmu meringankan tubuh sangat tinggi. Panglima Anggar Bayu dan I Made Sangkara tahu pasti mereka tidak mampu melakukan hal itu!
"Bagaimana, Panglima? Sudah puas melihatku? Aku bukan pengecut, bukan?" Sosok berpakaian mewah yang ternyata seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun itu kembali membuka suara. Lantang dan keras. Padahal Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya tidak melihat bibir pemuda itu berkemik sedikit pun. Pertanyaan itu membuat Panglima Anggar Bayu sadar dari kesimanya.
"Kau memang hebat, Anak Muda. Tapi, jangan harap mampu menakut-nakutiku dengan permainan anak-anakmu itu!" tandas sang panglima, mantap dan gagah.
"Ha ha ha...!" Pemuda berpakaian mewah tertawa. Ucapan Panglima Anggar Bayu membuatnya merasa geli. Kembali Panglima Anggar Bayu dan yang lain-lain tercekat. Bibir pemuda itu tidak terbuka walau sedang tertawa.
TIGA
Keterkejutan yang melanda Panglima Anggar Bayu dengan kejadian itu sebenarnya sudah cukup besar. Namun, masih tidak sebesar rasa kaget yang dialaminya kemudian. Tawa pemuda berpakaian mewah ternyata bukan main-main Panglima Anggar Bayu, I Made Sangkara, dan dua lelaki berpakaian ringkas merasakan telinga mereka seperti kemasukan beduk berbunyi. Terasa sakit dan nyeri bukan main. Bagian dalam telinga mereka bagai disentak-sentak.
Ditambah lagi dengan getaran hebat yang melanda sekujur tubuh. Seperti ada tangan tak nampak yang mengguncang-guncangkan tubuh keempat orang itu. Panglima Anggar Bayu dan yang lain-lain segera tahu pemuda berpakaian mewah itu melakukan serangan tenaga dalam melalui suara tawa.
Bagai telah disepakati sebelumnya, keempat orang ini segera mengambil senjata masing-masing. Dua lelaki berpakaian ringkas melemparkan pisau-pisau putih berkilat. Sedangkan Panglima Anggar Bayu mempergunakan mata panah. I Made Sangkara meluncurkan logam berbentuk bintang segi tiga.
Tiga macam senjata rahasia yang berjumlah belasan itu meluncur dengan mengeluarkan bunyi berdesing nyaring. Tapi, pemuda berpakaian mewah tetap duduk tenang di tempatnya. Tidak terlihat hendak menangkis atau mengelakkannya. Pemuda berpakaian mewah bahkan semakin mengeraskan tawa. Belasan senjata rahasia itu runtuh ke tanah seperti terpukul serangan jarak jauh.
Kejadian ini benar-benar luar biasa. Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya sampai terkesima. Sungguh luar biasa lawan yang tengah mereka hadapi. Hanya dengan suara tawa mampu meruntuhkan serangan senjata. Tawa itu ternyata tidak hanya mampu digunakan untuk menyerang, tapi juga dipakai untuk menggantikan tangan atau kaki!
"Apakah kau orang yang hendak membunuhku?! Kaukah keturunan Panglima Sabu yang berkhianat itu?" tanya Panglima Anggar Bayu, mencoba bersikap tenang. Namun, getar kegentaran pada suaranya tetap tidak bisa ditutupi. Pemuda berpakaian mewah terkekeh.
"Apa yang kau duga tidak salah. Aku memang putra Panglima Sabu. Namaku Lanang! Akulah orang yang diceritakan adik seperguruanmu itu!" jawab pemuda berpakaian indah dengan sikap memandang remeh.
I Made Sangkara hanya bisa mengepalkan tinju. Dia menyesalkan kekerasan hati Panglima Anggar Bayu. Kalau saja sang panglima tidak berkeras hati, mereka tentu tidak perlu bertemu dengan Lanang.
"Tanpa kujelaskan lagi pun kau sudah tahu maksud kedatanganku kemari, Panglima Anggar Bayu! Aku ingin membunuhmu! Bukan hanya kau, tapi juga semua orang yang mempunyai hubungan denganmu!" desis Lanang dengan sinar mata berkilat-kilat.
"Kau terlalu, Lanang! Yang bertanggung jawab atas kematianmu adalah aku. Pasukanku mungkin bisa kau bawa-bawa pula. Tapi, I Made Sangkara tidak ada hubungannya dengan dendammu. Kuharap kau mau membiarkan dia pergi dari sini!" Panglima Anggar Bayu mencoba menawar.
Lanang menggeleng. "Aku telah bersumpah untuk membunuh setiap orang yang mempunyai hubungan denganmu, Anggar Bayu! Siapa pun mereka. Juga I Made Sangkara. Gurumu dan semua sahabat gurumu. Istrimu, pelayan-pelayanmu, dan juga anak-anakmu!"
"Manusia keji! Aku akan mengadu nyawa denganmu!" Panglima Anggar Bayu mencabut pedang yang menjadi tanda pangkatnya. Kemudian, disertai terjangan dibabatnya pedang itu ke leher Lanang!
Dua lelaki berpakaian ringkas yang merupakan pengawal pribadi sang panglima ikut mengirimkan serangan. Dua orang ini menggunakan tombak pendek. I Made Sangkara menyerang belakangan. Pemuda gagah ini menggunakan keris berlekuk enam. Gabungan serangan keempat orang itu yang melancarkan serangan susul-menyusul, dahsyat bukan main.
Tapi, seperti semula Lanang tidak bergeming dari kedudukannya. Tawanya segera dihentikan. Pemuda ini kemudian malah menangis. Kelihatan aneh sekali tingkah Lanang. Mendapat serangan maut kok malah menangis. Apakah pemuda ini ketakutan sekali? Ternyata tidak demikian. Tangis Lanang bukan tangisan sembarangan. Tangis yang dialirkan dengan menggunakan tenaga dalam.
Dirancang sedemikian rupa. Suara tangis itu menyelusup melalui telinga dan singgah di kepala. Akibat suara tangisan itu dahsyat dan mengerikan. Panglima Anggar Bayu dan ketiga orang lainnya menghentikan serangan. Wajah mereka membiaskan rasa sakit yang sangat. Bunyi tangisan seperti mengiris-iris bagian dalam kepala mereka, menimbulkan rasa sakit dan nyeri.
Semakin lama rasa sakit dan nyeri semakin dahsyat. Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya tidak tahan untuk berdiam diri. Mereka memegangi kepala dengan kedua tangan. Seluruh tenaga dalam dikerahkan untuk menghilangkan rasa yang menyiksa. Usaha keempat orang gagah yang malang ini sia-sia belaka. Rasa sakit tidak mau hilang. Malah, semakin menghebat. Mereka menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan. Dari mulut mereka keluar erangan menyayat hati.
Semakin Lanang memperhebat tangisnya semakin tersiksalah mereka. Ketika akhirnya Lanang menangis menggerung terdengarlah bunyi letupan. Pelan tapi menggidikkan hati. Darah bercampur otak muncrat ketika letupan itu terdengar. Letupan itu terjadi akibat meletusnya kepala dua orang pengawal pribadi Panglima Anggar Bayu!
Disusul dengan kepala panglima itu sendiri. Lanang menghentikan tangisnya. Seketika itu pula pengaruh yang menggiriskan lenyap. I Made Sangkara yang masih hidup dan sejak tadi menggelepar-gelepar kini terdiam.
"Aku sengaja tidak membunuhmu, Monyet!" Tanpa peduli pada I Made Sangkara yang masih belum sadar sepenuhnya, Lanang berkata dengan suara dingin. I Made Sangkara masih berdiri limbung dengan pandangan nanar. "Aku memberimu kesempatan untuk memberitahukan musibah ini pada gurumu. Barangkali kau ingin mengajak gurumu mengungsi ke tempat yang aman. Tapi ingat, aku tidak akan tinggal diam. Aku bermaksud menjumpai gurumu. Kita berlomba untuk lebih dulu sampai di sana. Kalau kau tiba lebih dulu, kalian mempunyai kesempatan menghirup udara dunia ini lebih lama. Sebaliknya, bila aku yang lebih dulu tiba... kau hanya akan menjumpai mayat gurumu yang mungkin tidak akan bisa kau kenali lagi!"
Ucapan Lanang sebenarnya keras dan lantang, tapi pengaruh serangan dahsyat pemuda ini membuat I Made Sangkara hanya mendengarnya samar-samar. Pemuda berpakaian coklat ini mendengarnya antara sadar dan tidak. Lanang tanpa menunggu jawaban dari I Made Sangkara segera melesat pergi. Bertepatan dengan perginya Lanang tubuh I Made Sangkara bergerak limbung. Kemudian, ambruk bagai sehelai kain basah. Pemuda ini jatuh pingsan. Pengaruh serangan Lanang memang luar biasa!
* * *
Seorang kakek berambut awut-awutan dan bermata buta menghela napas berat. Wajahnya yang penuh dibasahi peluh membuat keadaannya terlihat mengenaskan. Kakek ini tengah duduk bersila di atas batu karang hitam di pinggir laut.
"Benar-benar luar biasa...," ucap kakek berambut awut-awutan seraya menggeleng-gelengkan kepala. Ucapannya meski pelan tapi mampu mengatasi riuhnya bunyi di sekelilingnya.
Sekitar tempat kakek itu berada memang penuh kegaduhan. Ombak besar bergulung-gulung datang dari tengah laut menghantam karang dekat pantai. Termasuk batu karang di mana kakek buta itu berada. Apalagi batu karang itu berada agak menjorok ke laut. Hanya, ada kejadian yang aneh. Setiap kali ombak besar menghantam karang di mana si kakek berada, percikan-percikan airnya tak setetes pun mengenai tubuh kakek itu. Percikan air berpentalan kembali ke laut. Pada karang lainnya tidak demikian.
Kendati sebagian besar air yang menghantam karang kembali ke laut, tapi sebagian lagi memercik ke atas batu karang dan membasahinya. Pada celah-celah karang tertinggal keong-keong laut dan ikan-ikan kecil yang tadi ikut terbawa ombak. Tempat kakek buta itu berada sebenarnya sepi. Meski di pinggir laut tak satu pun tampak perahu nelayan. Sejauh mata memandang yang kelihatan hanya gugusan batu karang. Desa yang paling dekat jaraknya amat jauh dari tempat ini.
Tapi, kali ini ada sesosok tubuh melesat cepat menuju tempat kakek buta itu berada. Sosok itu seorang kakek jangkung berwajah mirip kuda. Meski telah tua kakek ini memiliki kecepatan lari yang mengagumkan. Kaki-kakinya seperti tidak menginjak tanah. Dengan lompatan-lompatan luar biasa kakek bermuka kuda melalui karang-karang licin yang banyak ditempeli lumut. Kakek ini melompat-lompat tanpa merasa khawatir akan tergelincir. Karang demi karang dilalui dengan enaknya, seperti orang berlari di tempat rata.
Kakek buta rupanya mendengar seseorang mendatangi tempatnya. Kepalanya segera ditelengkan. Sekejap kemudian, dia melakukan tindakan luar biasa. Dalam keadaan masih duduk bersila tubuhnya perlahan-lahan naik ke atas. Setelah mencapai ketinggian sepinggang, kedua kakinya diturunkan. Sekarang dia berdiri dengan kedua kaki. Seperti orang yang mempunya mata normal pandangannya diarahkan pada tempat di mana kakek berwajah kuda melesat ke arahnya.
Sementara itu kakek berwajah kuda sadar kalau kakek buta telah mengetahui kedatangannya. Pada batu karang yang berhadapan dengan batu karang tempat kakek buta berdiri larinya dihentikan. Kakek berwajah kuda berdiri menghadap kakek buta di pinggir batu karang yang dipisahkan oleh celah laut selebar tiga tombak.
"Siapa kau? Apa maksud kedatanganmu ke tempat ini?" Kakek buta bertanya tanpa menyembunyikan perasaan tidak senangnya.
Kakek berwajah kuda tidak memberikan jawaban. Setelah memperhatikan kakek buta sesaat dia lalu tertawa. Suara tawanya tidak layak keluar dari mulut manusia. Lebih mirip suara kuda! Wajah kakek buta beriak. Terlihat jelas dia merasa kaget.
"Kukira siapa. Kiranya kau si muka kuda yang berani bergelar Raja Sihir Penyebar Maut! Apa maksud kedatanganmu kemari, Muka Kuda?!"
Raja Sihir Penyebar Maut kembali meringkik. Suaranya melengking nyaring mengatasi gemuruh umbak laut pasang. "Syukur kau masih mengenaliku, Dewa Mata Putih," ujar kakek bermuka kuda. "Kukira sudah lupa. Ingatanmu ternyata masih kuat. Pendengaranmu pun semakin tajam sehingga bisa mengetahui kedatanganku."
Kakek buta yang bergelar Dewa Mata Putih mengibaskan tangan dengan sikap mencela. "Tidak usah memuji-mujiku, Muka Kuda!" sergah kakek itu, lantang. "Kalau kau bersikap seperti ini pasti ada sesuatu yang diinginkan dariku. Aku tahu betul dengan tingkahmu!"
Raja Sihir Penyebar Maut hanya meringkik. "Perasaanmu pun semakin tajam, Buta. Kau tahu maksud kedatanganku kemari sebelum kuutarakan. Luar Biasa!"
Dewa Mata Putih mendengus. Tidak terlihat kemarahan, kendati Raja Sihir Penyebar Maut menyapanya dengan cacat yang dimilikinya.
"Aku datang kemari untuk sebuah keperluan. Tapi, itu tidak terlalu penting." Raja Sihir Penyebar Maut mulai mengutarakan maksudnya. Dia tidak kecil hati meski Dewa Mata Putih tersenyum mengejek. "Yang lebih penting adalah apakah kau mendapatkan kemajuan setelah belasan tahun kita tidak bersua. Aku ingin menguji kemampuanmu, Buta!"
"Mengapa berbelit-belit, Muka Kuda? Katakan saja maksudmu itu. Tidak usah plintat-plintut seperti perawan dilamar!" sergah Dewa Mata Putih, tak sabar.
"Aku mempunyai urusan lain yang jauh lebih penting. Kau ingin menguji bagaimana? Pertarungan sampai selaksa jurus! Mengadu kekuatan tenaga dalam sampai di antara kita ada yang menggeletak? Aku siap menghadapinya!"
"Sayang sekali, Buta! Pertarungan semacam itu tidak menarik hatiku lagi. Aku sudah terlalu tua. Urat-uratku telah kaku," kilah Raja Sihir Penyebar Maut sambil tertawa.
"Lalu, pertarungan bagaimana yang kau inginkan?"
"Bukan pertarungan. Aku hanya ingin menguji kemampuanmu. Katakan dulu kau berani atau tidak? Kalau tidak berani, aku akan segera pergi dari sini!" Raja Sihir Penyebar Maut membakar keangkuhan Dewa Mata Putih. Kakek muka kuda ini tahu benar kakek buta memiliki penghargaan yang tinggi terhadap dirinya sendiri. Pantang baginya dianggap takut atau pengecut.
Dewa Mata Putih tertawa mengejek "Aku membaui adanya maksud untuk mencari keuntungan diri sendiri dalam tantanganmu, Muka Kuda. Kau hendak menipuku! Tapi, jangan kira aku menjadi gentar. Pantang bagiku menolak tantangan! Sekarang, katakan maksudmu secara jelas!"
"Aku yakin kau telah melihat keanehan di langit beberapa hari yang lalu, Buta. Selama tiga hari tiga malam warna langit tetap demikian." Raja Sihir Penyebar Maut berkata seraya memperhatikan wajah Dewa Mata Putih. Ia ingin melihat setiap riak sekecil apa pun di wajah tua itu. Maksud kakek muka kuda ini terkabul. Wajah Dewa Mata Putih terlihat beriak.
"Bukankah kau melihatnya, Buta?"
Dewa Mata Putih mengangguk pelan seperti merasa berat untuk menjawab.
"Dan, aku yakin kau tahu penyebabnya. Iya, kan?" desak Raja Sihir Penyebar Maut.
Perubahan pada wajah Dewa Mata Putih semakin terlihat jelas. Agaknya, pertanyaan yang di ajukan Raja Sihir Penyebar Maut merupakan rahasia.
"Bagaimana, Buta? Kau bermaksud menarik lagi ucapanmu yang mengatakan akan bersedia memenuhi ujian dariku?" Raja Sihir Penyebar Maut mengeluarkan kata-kata kuncinya.
EMPAT
Dewa Mata Putih menggertakkan gigi. Wajahnya mengelam. Beberapa saat hal ini berlangsung sebelum akhirnya memudar seiring dengan helaan napas dari mulutnya. "Sudah kuduga kau menyimpan maksud licik, Muka Kuda! Sejak dulu watakmu tidak juga berubah!" desis Dewa Mata Putih, geram. Tapi, di dalamnya terkandung ketidak berdayaan dan penyesalan.
"Apakah kau hendak menjilat ludah yang sudah kau keluarkan, Buta?" gertak Raja Sihir Penyebar Maut.
"Katakan apa yang ingin kau tanyakan. Setelah itu, enyahlah dari sini! Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!" ketus ucapan Dewa Mata Putih.
Raja Sihir Penyebar Maut sebenarnya merasa tersinggung. Tapi, dia menahan amarahnya. Kakek muka kuda ini memiliki keangkuhan yang besar. Pantang baginya diremehkan orang. Kalau tidak mengingat pentingnya masalah yang tengah dihadapi, sudah diterjangnya Dewa Mata Putih. Sayang, Raja Sihir Penyebar Maut terlalu terbawa rasa tersinggungnya. Kalau saja ditelaahnya kata-kata Dewa Mata Putih dia pasti akan merasa geli. Mana mungkin Dewa Mata Putih yang buta melihat wajahnya?
"Aku hanya ingin kau memberikan jawaban di mana Ular Emas itu? Maksudku, di mana tempat binatang aneh itu keluar! Sejak tiga hari yang lalu aku telah berusaha mencari tahu, Muka Kuda. Tapi, aku tidak mampu mengetahuinya. Ada tabir yang menutupi. Batas pengetahuanku kurasa sama denganmu. Aku yakin kau belum mengeluarkan seluruh kemampuanmu, Buta," ujar Raja Sihir Penyebar Maut setengah mengingatkan.
"Bagaimana mungkin aku bisa mengerahkan seluruh kemampuanku? Aku tidak ingin meninggalkan tempat ini. Harus kuakui kalau seluruh kemampuanku kukeluarkan, mungkin tabir itu bisa kuungkap. Jadi, bukannya aku tidak mampu lulus dari ujianmu. Tapi, tidak ada bantuan alat-alat yang dapat membuatku mengerahkan seluruh kemampuan."
Raja Sihir Penyebar Maut tersenyum penuh rahasia. Dia tidak kelihatan kecewa. Kakek muka kuda ini berdiam diri. Dewa Mata Putih yang tidak bisa melihat jadi kebingungan. Kakek buta ini gelisah mendengar tidak adanya tanggapan Raja Sihir Penyebar Maut.
"Apakah kau masih di situ, Muka Kuda?" tanya Dewa Mata Putih, kepalanya ditelengkan ke kiri kanan untuk dapat lebih jelas menangkap bunyi-bunyi halus.
Sebenarnya kakek buta itu tahu pertanyaannya kedengaran bodoh. Tapi, dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya ketika beberapa saat lamanya menunggu tidak juga mendengar suara. Bahkan desah napas Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda itu seperti sudah tidak berada di hadapannya lagi... Raja Sihir Penyebar Maut tertawa melihat kegelisahan kakek buta di depannya.
"Tentu saja aku masih di sini, Buta. Mana mungkin kutinggalkan tempat ini sebelum kudapat keterangan tentang Ular Emas itu?!"
"Bukankah sudah kukatakan kalau...."
"Kerahkanlah seluruh kemampuanmu, Buta! Semua bahan-bahan yang kau perlukan sudah kusediakan!" potong Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda melemparkan buntalan kecil yang sejak tadi dijinjing dengan tangan kirinya. Sembarangan dan kelihatan tanpa tenaga kakek ini melemparkannya.
Dewa Mata Putih menyeringai. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi menderu keras. Kakek ini tidak bodoh. Meski matanya buta, tapi dengan kepandaiannya dia tahu yang tengah meluncur ke arahnya hanya sebuah buntalan kecil.
Kakek buta ini tidak mau kalah gertak. Dengan sikap seperti orang malas tangan kirinya diulurkan menyambut buntalan kecil. Dan buntalan itu dapat diterimanya tanpa kesulitan sama sekali. Tanpa berkata apa pun kakek buta itu membuka buntalan. Mudah sekali. Seakan matanya tidak buta. Dengan mempergunakan tangan kanan diperiksanya isi buntalan. Dikeluarkan satu persatu dan dirabanya serta diciumnya.
"Kiranya kau telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan rapi, Muka Kuda. Semua alat-alat yang kubutuhkan tersedia. Tak kusangka. Aku hampir tidak percaya orang setua kau masih saja tamak dengan pusaka. Bukankah lebih enak menyepi di tempat yang sunyi, menunggu ajal tiba dengan batin bersih?"
"Kau tidak usah mengajariku, Buta!" bentak Raja Sihir Penyebar Maut. "Kau boleh mempraktekkan ajaranmu itu untuk dirimu sendiri. Tidak untukku!"
"Sungguh tidak kusangka kau masih ingat peralatan yang kuperlukan. Tak ada yang kurang satu pun." Dewa Mata Putih tidak mempedulikan ucapan Raja Sihir Penyebar Maut.
"Apa susahnya mengingat benda-benda menjijikkan itu?!" ejek Raja Sihir Penyebar Maut. "Rambut mayat, hati kelelawar, kepala burung hantu, dan darah ayam hitam."
"Menjauhlah dariku, Muka Kuda! Aku ingin mulai bekerja. Keberadaanmu di sini hanya akan mengacaukan pemusatan pikiranku. Nanti apabila telah kutemukan hasilnya, kuberitahukan padamu!" usir Dewa Mata Putih, caranya memutuskan pembicaraan terdengar kasar.
Sepasang mata Raja Sihir Penyebar Maut seperti memancarkan api. Tapi, orang yang dipandang tidak mengetahuinya. Dia duduk bersila dan mulai sibuk dengan pekerjaannya. Raja Sihir Penyebar Maut tidak berani menurutkan hawa nafsu. Saat ini kemampuan si kakek buta amat diperlukan. Jadi, dia harus mengalah. Dengan kemarahan yang bergolak ditinggalkannya tempat itu.
Raja Sihir Penyebar Maut tidak pergi jauh. Dia duduk menanti dengan perasaan tidak sabar. Lima-puluh tombak dari tempat Dewa Mata Putih. Kakek muka kuda ini memilih sebuah gundukan karang yang agak tinggi sehingga dapat mengawasi pekerjaan Dewa Mata Putih. Tanpa sadar, ingatan kakek muka kuda ini melayang pada masa belasan tahun silam, saat dia pertama kali bertemu Dewa Mata Putih.
Saat itu dia sedang haus-hausnya mengadu kesaktian dengan tokoh-tokoh persilatan baik dari golongan hitam maupun putih. Dewa Mata Putih pun demikian. Bedanya, kalau Raja Sihir Penyebar Maut beraliran hitam, Dewa Mata Putih beraliran putih. Perbedaan golongan ini menyebabkan terjadinya pertarungan antara mereka. Pertarungan dimenangkan oleh Raja Sihir Penyebar Maut. Tapi, kakek muka kuda ini tidak membunuh lawannya. Ia ingin mengajak Dewa Mata Putih melakukan pertarungan ilmu gaib.
Dalam bidang ini Raja Sihir Penyebar Maut harus mengakui keunggulan lawan. Kakek muka kuda ini jadi mengetahui alat-alat yang dibutuhkan Dewa Mata Putih untuk mengeluarkan ilmu gaibnya. Itulah sebabnya ketika tidak berhasil mencari tahu keberadaan Ular Emas, Raja Sihir Penyebar Maut mencari Dewa Mata Putih. Dia yakin kakek buta itu bisa mengetahuinya. (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk Raja Sihir Penyebar Maut, silakan baca episode: Pembantai Dari Mongol).
"Muka Kuda, cepat kemari! Aku telah menemukan sesuatu!"
Pemberitahuan Dewa Mata Putih yang dikirim lewat Ilmu 'Mengirim Suara Dari Jauh', menyadarkan Raja Sihir Penyebar Maut dari lamunan. Bergegas dia bangkit dan melesat ke arah kakek buta.
"Kau telah tahu di mana Ular Emas itu, Buta? Ternyata kemampuan ilmu gaibmu tidak berkurang. Kau memang luar biasa...!" puji Raja Sihir Penyebar Maut, tanpa menyembunyikan perasaan gembiranya.
"Telan dulu pujian berbisamu itu, Muka Kuda. Lebih baik kau dengarkan penjelasanku," sergah Dewa Mata Putih.
Raja Sihir Penyebar Maut terdiam. Wajahnya mengelam. Sinar matanya berapi-api. Kalau menuruti perasaan sudah diterjangnya kakek buta yang berkali-kali menyakiti hatinya ini.
"Ular Emas memang telah keluar. Tempat di mana keluarnya tidak dapat kupastikan. Aku hanya melihat adanya lorong panjang dan gelap. Lorong yang merupakan jalan menuju batas dunia kasar dan halus. Asal mula lorong ini adalah Gunung Cikuray. Rupanya, itulah yang menyebabkan gunung ini meletus. Aku melihat seseorang berjalan melalui lorong. Seorang perempuan muda dan cantik. Mungkin dia yang akan mendapatkan mustika yang tengah kau cari", beritahu Dewa Mata Putih.
"Apakah gadis itu yang akan mendapatkannya, Buta?" Dalam ketegangan, Raja Sihir Penyebar Maut mengajukan pertanyaan yang semestinya tidak dikeluarkan karena kakek buta telah mengatakannya. "Bisakah kau beritahukan ciri-ciri tempat Ular Emas itu akan keluar?"
Dewa Mata Putih menggeleng. "Samar-samar aku mendengar bisikan bahwa yang berjodoh dengan mustika itu hanya orang yang masih suci. Dalam arti, belum pernah mengadakan hubungan badan. Jadi, kurasa kau lebih baik mengurungkan maksudmu untuk mendapatkan mustika itu."
Raja Sihir Penyebar Maut menggertakkan gigi. Jauh-jauh dia datang ke tempat ini dengan membawa bahan-bahan yang dibutuhkan Dewa Mata Putih. Sekarang disuruh melupakan mustika itu. Sebuah usul yang benar-benar gila! "Kau telah berusaha keras, Buta. Sepantasnya kalau kuberikan tanda mata untukmu. Terimalah!"
Raja Sihir Penyebar Maut menutup ucapannya yang sarat dengan perasaan kecewa melalui lemparan sebuah benda bulat lonjong sebesar telur angsa. Warnanya putih kecoklatan. Kakek muka kuda ini melemparkannya ke atas. Diperkirakan benda ini akan jatuh di depan Dewa Mata Putih.
Dewa Mata Putih bukan tokoh hijau yang baru pertama kali menghadapi hal-hal aneh. Memang kakek ini buta matanya. Tapi, justru karena itu perasaannya tajam bukan main. Dewa Mata Putih tahu siapa Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda ini seorang pentolan dunia hitam. Yang ada di benaknya hanyalah mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Tidak peduli orang lain dirugikan. Tak ada dalam hidup Raja Sihir Penyebar Maut untuk mengingat kebaikan orang! Apalagi memberikan hadiah tanda mata. Pikiran semacam ini membuat curiga Dewa Mata Putih. Ditambah lagi dengan bisikan hatinya yang mengatakan adanya bahaya mengancam.
Maka kakek buta ini tidak berani menyambuti benda yang dilemparkan Raja Sihir Penyebar Maut. Khawatir benda itu mengandung racun keji! Kakek buta melompat ke belakang. Inderanya yang tajam dapat mengetahui pinggir tebing karang hanya dengan mempergunakan telinga untuk menangkap bunyi ombak. Dewa Mata Putih tidak terjeblos ke dalam laut. Kakek buta ini berdiri tepat di pinggir batu karang.
Blarrr...!
Nyawa Dewa Mata Putih bagai melayang alam baka ketika mendengar bunyi berdentum nyaring. Dirasakannya karang bergetar hebat. Kaki kakinya kehilangan keseimbangan karena tempat yang dipijaknya lenyap. Karang tempatnya berdiri hancur berantakan! Untungnya Dewa Mata Putih cepat bertindak.
Saat tubuhnya dirasakan terlempar ke udara akibat ledakan dahsyat itu, kakek buta ini bersalto beberapa kali di udara. Kemampuan pendengarannya dikerahkan untuk mendengarkan bunyi-bunyi yang terdengar di sekelilingnya. Sekecil apa pun. Salah sedikit saja kakinya akan menjejak lautan lepas dan nyawanya lenyap di perairan yang maha luas itu.
Raja Sihir Penyebar Maut mendengus. Dia tahu maksud gerakan Dewa Mata Putih. Dengan senyum keji menghias bibir dikirimkannya pukulan jarak jauh berupa hentakan kedua tangan. Hembusan angin keras yang mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring menghambur ke arah tubuh Dewa Mata Putih.
Dewa Mata Putih mendengar bahaya besar itu. Di dalam hati dia memaki kelicikan Raja Sihir Penyebar Maut! Kedudukannya yang berada di udara dan ketiadaan pijakan membuatnya tidak bisa mengelak.
Blarrr!
Untuk kedua kalinya terjadi bunyi ledakan keras. Kali ini terjadi akibat benturan dua pukulan jarak jauh. Tubuh Raja Sihir Penyebar Maut maupun Dewa Mata Putih terpental ke belakang. Raja Sihir Penyebar Maut tidak mempunyai kesulitan untuk mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar. Dengan ringan kedua kakinya dijejakkan pada batu karang lain.
Tapi, tidak demikian dialami oleh Dewa Mata Putih. Betapapun berhasil mematahkan kekuatan yang melontarkan tubuhnya, tak urung tubuhnya jatuh ke hamparan air laut biru. Bunyi benturan yang diiringi muncratnya air menimbulkan seringai keji di wajah Raja Sihir Penyebar Maut. Dengan hati puas kakek bermuka kuda melesat meninggalkan tempat itu. Sementara Dewa Mata Putih tenggelam ke dalam laut yang memiliki kedalaman tak terukur.
* * *
Bunyi nyaring yang cukup merdu di telinga terdengar berkali-kali dengan irama tetap. Bunyi benda kecil yang tidak begitu berat jatuh ke permukaan air. Bunyi itu tercipta karena keisengan sesosok tubuh ramping berpakaian kuning yang duduk di pinggir sungai. Pandangannya tertuju lurus ke depan. Sinar matanya tampak kosong. Tapi, tangannya tak henti-henti memungut batu sebesar kepalan bayi yang ada di sekitarnya dan dilemparkan ke tengah sungai.
Sosok berpakaian kuning ini ternyata seorang gadis berwajah sangat cantik. Meskipun saat itu kemurungan menyelimuti wajahnya, namun tidak mengurangi kecantikannya. Kembali gadis berpakaian kuning ini mengulurkan tangan. Kali ini sudah tidak ada lagi batu yang bisa diambil. Sudah habis. Di depannya ada tapi jaraknya cukup jauh untuk bisa dijangkau tangan. Gadis ini duduk di bagian tabing pinggir sungai. Menurun ke depan sedikit terhampar sungai dengan sedikit daratan di pinggirnya.
Tangan gadis berpakaian kuning itu tidak dapat menjangkau batu-batu yang berserakan di depannya. Jaraknya tak kurang dari satu setengah tombak. Tapi, ketika si gadis menggetarkan tangannya, salah satu batu yang berada di bawah sana melayang ke arahnya dan mendarat tepat di telapak tangan!
Dengan wajah dan sinar mata orang kehilangan semangat gadis itu melemparkan batu ke tengah sungai. Begitu seterusnya. Ketika kesekian kalinya, gadis berpakaian kuning ini mengalami kejadian mengejutkan. Batu yang melayang ke arahnya terus meluncur melewatinya dengan kecepatan yang mendadak bertambah. Si gadis menggertakkan gigi. Sinar matanya berkilat-kilat. Ada orang yang telah bertindak usil padanya.
Gadis berpakaian kuning membalikkan tubuh seraya bangkit berdiri. Dugaannya tidak salah. Di belakangnya berdiri seorang kakek dalam jarak tiga tombak. Kakek itu berwajah kuning. Di tangan kanannya tergenggam batu yang tadi hampir berhasil ditangkap si gadis.
"Tua bangka usilan!" maki gadis berpakaian kuning dengan suara lantang penuh kemarahan. Rupanya kau ingin menerima gebukanku!"
Kakek bermuka kuning tertawa. Tanpa sadar bulu kuduk si gadis meremang. Tawa kakek itu melengking tinggi seperti suara tawa seorang wanita. Nadanya pun tidak menyenangkan hati. Terkesan dibuat-buat.
Gadis berpakaian kuning saat itu tengah uring-uringan. Maka mendapat gangguan, apalagi si pengganggu mempunyai tingkah menyebalkan, seperti menemukan tempat untuk melampiaskan kekesalan hatinya. Jari telunjuknya yang runcing dan lentik ditudingkan.
"Ayo, Kakek Penyakitan! Kembalikan batuku. Sebelum mukamu yang kuning itu kujadikan hitam!"
Wajah kakek muka kuning mengelam. Biasan wajahnya menyiratkan ancaman. "Kambing betina! Kau berani menghinaku. Di lain keadaan mungkin kau sudah kubunuh! Tapi karena tengah mengemban urusan penting, biar kucicipi saja keperawananmu! Sudah hampir dua puluh tahun aku tidak bersenang-senang dengan wanita. Apalagi dengan gadis liar sepertimu. Pasti menyenangkan sekali!"
"Keparat!" Gadis berpakaian kuning semakin kalap. Sorot matanya memancarkan hawa maut mendengar ucapan yang jelas-jelas kurang ajar itu. "Tua bangka seperti mu lebih baik dilenyapkan dari muka bumi!"
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian kuning mencabut pedang. Dia melompat seraya membacokkan pedangnya dari atas ke bawah. Apabila mengenai sasaran, tubuh kakek itu akan terbelah menjadi dua bagian sama. Kakek muka kuning tertawa dengan nada aneh. Ia seperti tengah melihat kejadian lucu. Kakek itu tidak berusaha mengelak atau pun menangkis.
"Pedang tumpul seperti itu mana mungkin dapat membelah kepalaku? Membelah tahu saja kukira tidak akan mempan!"
Takkk!
Belum juga gema ucapannya habis, mata pedang si gadis telah menghantam kepalanya dengan keras. Tapi, seperti sesumbar yang dikeluarkan si kakek pedang gadis berpakaian kuning tidak mampu membelah kepalanya. Pedang itu terpental balik. Gadis berpakaian kuning bersalto beberapa kali di udara untuk mematahkan kekuatan yang mementalkan tubuh ke belakang.
Perasaan kaget yang sangat melanda hatinya. Ia seperti bukan membacok kepala, tapi gumpalan baja amat keras. Sekujur tubuhnya tergetar hebat. Tangannya yang menggenggam pedang hampir lumpuh. Wajah si gadis masih belum bebas dari keterkejutan ketika kedua kakinya menjejak tanah.
"Betulkan yang kukatakan, Denok?" ejek si kakek dengan suara genit.
"Tutup mulutmu, Tua Bangka Cabul!" Gadis berpakaian kuning semakin marah. Ia kembali mengirimkan serangan mematikan. Kali ini melalui tusukan cepat ke arah jantung.
Kakek bermuka kuning tertawa. Ketika serangan menyambar dekat, telunjuk dan jari tengahnya digerakkan ke depan untuk memapaki. Si gadis mengeluarkan pekikan tertahan. Pedangnya terjepit di antara dua jari si kakek. Dicobanya melepaskan pedang dengan menarik atau mendorong. Dia yakin cara ini akan berhasil. Gesekan mata pedang dan jari tangan akan membuat jari kakek itu terluka!
LIMA
Ternyata rencana itu hanya mudah untuk dilaksanakan dalam angan-angan. Gadis berpakaian kuning itu harus menelan kenyataan pahit. Pedangnya tidak bergeming sedikit pun. Gadis berpakaian kuning ini ternyata memiliki watak keras kepala. Dia tidak mau melepaskan pedangnya kendati telah dibuat mati kutu oleh lawan. Dengan tangan kiri dilancarkannya tusukan dua jari tangan ke arah ubun-ubun si kakek.
"Uh...!" Kakek berwajah kuning mengeluh, kaget. Serangan jari-jari tangan gadis berpakaian kuning memang menggiriskan. Bunyi bercicitan nyaring mengiringi luncuran serangan itu. "Apa hubunganmu dengan Pendekar Jari Maut?!"
Berbarengan dengan dikeluarkannya pertanyaan itu kakek bermuka kuning memapaki dengan telapak tangan kiri. Dua jari si gadis yang mampu melubangi karang paling keras itu bertemu dengan telapak tangan tua yang kelihatan lunak. Wajah si gadis memucat.
Jari-jarinya tidak mampu melukai tangan lawan. Malah, ujung-ujung jarinya melekat dengan telapak tangan itu. Gadis berpakaian kuning bersikeras menariknya. Tapi, sia-sia. Dari telapak tangan kakek bermuka kuning seolah ada kekuatan dahsyat yang menyedot jari-jari tangannya hingga tetap menempel.
Dengan sendirinya sekarang si gadis tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Kedua tangannya telah dikunci. Namun dia masih berusaha keras untuk membebaskan diri! Rontaannya mulai melemah ketika merasakan hawa panas merayap dari kedua tangannya. Hawa panas itu semakin lama semakin dahsyat. Si gadis berusaha keras mengurangi kekuatan hawa yang menyiksa dengan mengerahkan tenaga dalam.
Lagi-lagi usaha gadis berpakaian kuning ini tidak membuahkan hasil. Lawan terlalu kuat. Dia kalah dalam segalanya. Peluh membasahi sekujur wajah dan tubuh. Wajah gadis ini sampai merah padam seperti udang rebus.
"Katakan apa hubunganmu dengan Pendekar Jari Maut? Cepat! Sebelum kau kubuat pingsan karena tak kuat dengan siksaan ini!" Kakek berpakaian kuning berteriak dengan tidak sabar.
"Aku putrinya, Tua Bangka tak tahu malu! Kalau ayahku tahu, kau akan dihajarnya sampai mukamu yang kuning itu luntur warnanya!" jawab gadis berpakaian kuning dengan terengah. Serangan hawa panas membuat si gadis sulit bernapas.
"Hi hi hi...!" Kakek bermuka kuning tertawa dengan suara nyaring. Jawaban si gadis yang penuh ancaman dianggapnya hal yang lucu. "Kau mengancamku, Denok? Lucu sekali. Kau kira aku takut dengan ayahmu si Pendekar Jari Maut itu? Dan, kau bilang dia akan menghajarku? Kau salah besar, Montok. Malah, kalau tahu kau dicelakai olehku dia akan menutup mata!"
"Bohong! Kau bohong, Tua Bangka bau. Memangnya kau siapa sehingga ayahku takut padamu? Sekarang kau berani membuka mulut karena ayahku tidak ada! Coba kalau beliau ada, kau akan terberak-berak di celana karena takut!" Si gadis balas mengejek, tak kalah keras dan kasar.
"Wanita liar! Mulutmu terlalu tajam!" Kakek bermuka kuning yang kalah pintar berdebat menjadi berang bukan main. Dia tahu tak akan menang adu mulut dengan gadis yang pintar bicara ini. "Kau ingin tahu siapa aku? Aku dijuluki Raja Racun Sakti. Kau pernah mendengar julukan ini dari ayahmu, bukan? Aku yakin ayahmu telah menceritakan betapa takutnya dia padaku!"
Kakek bermuka kuning lalu meniup. Serangkum angin yang tidak keras, menyambar. Gadis berpakaian kuning mengeluh tertahan. Bahu kanannya seperti terkena sodokan tongkat besi. Pengerahan tenaga dalamnya pun terhenti. Tubuh si gadis ambruk ke tanah. Raja Racun Sakti telah menotoknya dengan cara yang luar biasa.
"Nah! Apakah ayahmu mampu melakukan hal seperti ini? Tidak bukan?" tanya Raja Racun Sakti dengan penuh kebanggaan.
Gadis berpakaian kuning yang memang putri Pendekar Jari Maut dan tidak lain Jumini hanya tersenyum mengejek. Sikapnya memandang rendah sekali. "Kemampuan seperti itu saja kau banggakan, Kakek Bau! Ayahku tanpa melakukan tindakan apa pun mampu membuat puluhan orang yang memiliki kepandaian lebih dariku roboh tidak berkutik. Yang kau pamerkan padaku ini tidak ada artinya sama sekali!"
Wajah Raja Racun Sakti semakin kuning karena rasa tersinggung. Diam-diam dia memaki kebodohannya yang masih saja mengajak si gadis berdebat. Dia tadi sudah berjanji tidak akan mengadu mulut dengan Jumini! Jumini yang memang memiliki kepintaran berbicara tentu saja melihat perubahan wajah Raja Racun Sakti. Gadis ini yakin kalau kakek itu tersinggung. Kesempatan itu segera digunakannya untuk mengobati sakit hatinya.
"Ayahku memang telah menceritakan tentang seorang tokoh yang berjuluk Raja Racun Sakti, bahkan terlalu sering. Menurut Ayah, dia seorang tokoh hitam yang memiliki kepandaian rendah. Anehnya, tokoh itu memiliki watak sombong. Dia juga seorang pengecut! Begitu mendengar berita ayahku akan datang, dia lari terbirit-birit dan hampir pingsan!"
Dengan beraninya Jumini mengarang cerita. Padahal, sebenarnya tidak demikian. Ayahnya memang pernah menceritakan tentang Raja Racun Sakti. Tapi, tidak dengan cerita seperti yang diuraikan Jumini. Pendekar Jari Maut menceritakan apa adanya dan mengatakan kalau Raja Racun Sakti merupakan salah seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal pada masa puluhan tahun lalu. Tokoh itu bersama Raja Sihir Penyebar Maut hampir mengundurkan diri dari dunia persilatan.
"Keparat! Sepasang mata Raja Racun Sakti bagai hendak keluar. Kau terlalu lancang, Wanita Liar! Berani mempermainkan Raja Racun Sakti. Sekarang akan kubuat kau menyesal seumur hidup!"
Jumini yang sejak tadi memasang sikap angkuh dan tak henti-hentinya tersenyum mengejek, mulai memucat wajahnya. Naluri kewanitaannya membisikkan adanya bahaya besar. Bahaya yang lebih dahsyat dari maut. Rasa takut pun mulai menyeruak di hatinya.
Kakek bermuka kuning mulai dengan ancamannya. Dia tetap berdiri di tempatnya. Kedua tangannya digerak-gerakkan di depan dada seperti sedang membolang-balingkan pedang. Jumini tidak tahan untuk tidak menjerit. Angin tajam menyambar. Pakaiannya tersayat-sayat seperti digurat-gurat pedang. Padahal, kakek muka kuning tidak bergerak menghampiri.
Jarak antara tangan si kakek dengan tubuhnya tak kurang dari satu tombak. Jumini tidak sempat kaget atau kagum dengan kejadian ini. Perasaan yang paling berperan saat ini adalah rasa takut yang sangat.
Di lain pihak, Raja Racun Sakti tertawa-tawa seraya terus melanjutkan tindakannya. Sayatan-sayatan pada pakaian Jumini semakin banyak. Anehnya, kulit tubuh gadis itu sedikit pun tidak terluka! Raja Racun Sakti tersenyum keji. Gerakan tangannya dihentikan ketika dirasanya telah cukup. Kakek yang telah puluhan tahun tidak mencicipi tubuh wanita, apalagi seorang perawan, mulai bangkit gairahnya. Sudah terbayang di benaknya nikmatnya menggeluti Jumini!
Memang, semula Raja Racun Sakti berniat merenggut keperawanan Jumini bukan dengan maksud menyalurkan hasrat birahi. Tapi, karena ketidak inginan Mustika Ular Emas jatuh ke tangan orang lain. Kakek ini bersembunyi di celah-celah batu karang ketika Raja Sihir Penyebar Maut menemui Dewa Mata Putih.
Kakek muka kuning ini melihat semua kejadian di sana. Itulah sebabnya ia berniat menghilangkan keperawanan dan keperjakaan setiap pendekar muda! Bila itu terjadi, Mustika Ular Emas tidak akan berhasil didapatkan siapa pun. Sekarang gairah Raja Racun Sakti malah bangkit! Nafsu alami yang ada pada setiap manusia dewasa yang normal mulai menyerangnya.
"Nah, Wanita Liar, sekarang permainan bisa kita mulai!" Raja Racun Sakti menutup ucapannya dengan kibasan tangan kiri perlahan. Angin yang cukup keras berhembus. Seketika itu pakaian Jumini yan sudah tersayat-sayat tapi masih menempel di badan beterbangan.
Jumini menjerit-jerit dan memaki-maki melihat tubuhnya telanjang bulat. Tidak ada penutup tubuhnya lagi. Rasa takut dan geram bercampur pada wajah dan sorot matanya. Kalau saja dapat menggerakkan tangan sedikit saja, Jumini akan menggunakannya untuk menutupi dada dan bagian bawah tubuhnya. Raja Racun Sakti menatap tanpa berkedip. Kakek itu menjilati bibirnya. Matanya yang membelalak lebar menyapu sekujur tubuh Jumini. Tubuh yang putih, halus, dan mulus.
Dengan pandangan melekat erat pada dada Jumini yang indah, Raja Racun Sakti melangkah menghampiri Jumini. Raja Racun Sakti tiba-tiba menggerakkan tubuhnya sedemikian rupa, persis seekor ayam membersihkan tubuhnya dari abu. Luar biasa! Pakaian dan celana yang dikenakannya langsung terlepas. Kakek ini telah bugil sebagaimana layaknya bayi yang baru lahir!
Jumini memejamkan mata. Tak kuat menahan rasa ngeri mengingat malapetaka yang akan menimpa dirinya. Perasaan ngeri dan jijik melihat tubuh bugil Raja Racun Sakti membuatnya hampir muntah! Jantung Jumini berdetak cepat, membuat dadanya bergerak-gerak.
Raja Racun Sakti rupanya tak kuat menahan gairah yang menggelora. Diiringi lengkingan bagai seekor kucing dilanda birahi, kakek ini menubruk tubuh Jumini. Dengan nafsu menggelora diselipkan wajahnya di dada Jumini. Tangannya pun tak tinggal diam. Jumini yang berada dalam puncak rasa takut berteriak-teriak kalap. Makian sampai permohonan agar Raja Racun Sakti menghentikan tindakan kejinya dilontarkan gadis itu.
Tapi, hal itu justru membuat Raja Racun Sakti semakin liar. Jeritan dan makian Jumini menjadi semangat baginya. Raja Racun Sakti seakan kembali muda. Tindakannya tak kalah dengan orang yang masih muda. Sekujur tubuh Jumini tak luput dari jarahannya. Tidak hanya dengan jari-jari tangan, tapi juga dengan mulut.
Jumini hanya bisa menangis. Dia jijik bukan main. Perutnya mual dan ingin muntah melihat tingkah Raja Racun Sakti. Teringatlah gadis itu pada Dirgantara. Pemuda yang telah menaklukkan hatinya. Karena satu sebab terjadi pertengkaran antara dirinya dan pemuda berpakaian kulit harimau itu. (Untuk jelasnya, silakan baca episode: Mustika Ular Emas). Jumini akhirnya pasrah. Malapetaka besar akan menimpa dirinya. Dia berjanji dalam hati untuk membalas perlakuan kakek ini sebelum membunuh diri!
"Dirga...," keluh Jumini lirih dengan hati hancur.
"Kakek bejat! Mampuslah kau...!"
Bentakan keras yang diiringi bunyi mengaung membuat Raja Racun Sakti kaget bukan main. Dia terlalu larut dengan kesibukannya sehingga tidak mengetahui kehadiran orang lain. Kakek bermuka kuning ini merasakan sambaran angin keras ke arah ubun-ubunnya. Salah satu bagian terlemah di tubuh manusia. Dia tidak berani bertindak sembrono. Tubuhnya segera dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali untuk menjauhkan diri.
Si pemilik bentakan tidak melanjutkan serangannya lagi. Dia berdiri terpaku. Matanya menatap sosok Jumini yang dalam keadaan polos. Jakunnya tampak bergerak turun naik.
"Apa yang kau lihat?!" bentak Jumini dengan muka merah padam karena malu dan marah. Memang, ada perasaan lega karena miliknya yang paling berharga tidak terenggut Raja Racun Sakti. Tapi, rasa malu dan terhina melingkupi hatinya.
Pemuda tampan, sosok yang telah menyelamatkan Jumini, kelabakan mendapat teguran itu. Wajahnya merah padam. Tampak jelas dia merasa malu dan jengah. "Maaf. Maafkan aku, Nona. Aku Brawijaya, tidak bermaksud kurang ajar. Tapi...."
"Cepat bebaskan aku!" potong Jumini.
"Iya... ya...." Brawijaya yang bukan lain putra Naga Sakti Berwajah Hitam kelihatan gugup. Dengan kaki menggigil karena guncangan perasaan melihat tubuh indah yang selama ini belum pernah dilihatnya, Brawijaya melangkah ke arah Jumini.
Karena tidak ingin melihat tubuh Jumini, bukan karena tidak ingin tapi karena takut disemprot si gadis, Brawijaya membebaskan totokan Jumini dengan mengalihkan pandangan ke arah lain. Tanpa melihat Brawijaya menepuk-nepuk dan mengurut-urut untuk membebaskan totokan. Tapi karena tidak memperhatikan, yang ditepuk dan diurut adalah dada Jumini! Tentu saja Jumini bertambah kalap.
"Hey! Rupanya matamu buta ya?!"
"Ah... maaf. Maaf, Nona. Tidak sengaja," kilah Brawijaya dengan suara bergetar karena jantungnya memukul dengan keras. Pemuda ini sampai khawatir Jumini mendengar bunyi detak jantungnya. Mau tidak mau Brawijaya terpaksa melihat tubuh Jumini. Baru kemudian mengurut-urut dan menepuk-nepuknya untuk membebaskan totokan.
Wukkk!
"Hey!" Brawijaya mengeluarkan seruan kaget. Jumini mengirimkan sampokan ke arah pelipisnya. Itu dilakukan gadis berpakaian kuning begitu pengaruh totokan hilang. Brawijaya melempar tubuhnya ke belakang lalu bergulingan. Begitu bangkit peluh membasahi dahinya. Keringat dingin! Brawijaya bergidik. Kalau tadi dia tidak bertindak cepat, nyawanya telah melayang meninggalkan tubuh.
Sementara Jumini begitu selesai melancarkan serangan langsung berlari mengambil buntalannya. Gadis itu hendak berpakaian. Brawijaya kembali menelan ludah melihat tubuh menggiurkan itu. Apalagi ketika melihat dada yang menggantung indah itu bergoyang-goyang seperti akan jatuh ketika Jumini berlari. Darah kelelakian Brawijaya bergolak hebat. Brawijaya menggeleng-gelengkan kepala. Bahkan menepak dahinya ketika pikirannya mulai membayangkan ia bermain cinta dengan gadis itu.
"Mengapa aku mempunyai pikiran kotor seperti ini?" Brawijaya bergumam. Perasaan heran dan bingung melandanya. Brawijaya tambah kelabakan ketika semakin lama dia membayangkan tentang permainan cinta itu. Darahnya terasa panas. Ada gairah aneh yang muncul. Gairah untuk bermesraan dengan wanita!
Putra Naga Sakti Berwajah Hitam ini tidak tahu kalau sebelum Raja Racun Sakti meninggalkan tempat itu, kakek ini melemparkan sekantung bubuk halus. Bubuk yang demikian ringannya sehingga terbawa angin. Bubuk itu adalah obat perangsang. Udara yang dihirup Brawijaya telah terpengaruh bubuk, lalu dengan cepat mengalir dalam darah pemuda itu. Brawijaya tidak melihat tindakan Raja Racun Sakti. Yang diketahuinya, kakek itu melesat kabur sambil menyambar pakaiannya. Semula dia merasa heran melihat tingkah kakek itu. Brawijaya yakin dirinya bukan tandingan Raja Racun Sakti.
Jantung Brawijaya berdetak jauh lebih kencang ketika melihat Jumini melesat keluar dari tempat persembunyiannya. Gadis ini telah berpakaian lagi. "Mengapa kau hendak membunuhku?" tanya Brawijaya dengan suara hampir berupa keluhan. Ada perasaan heran melanda hatinya. Jumini terlihat semakin cantik.
Brawijaya tidak tahu kalau itu terjadi karena pengaruh bubuk perangsang. Sepasang mata Jumini mendelik. Dengan ujung pedang ditudingnya wajah Brawijaya. Karena kaget, pemuda itu melompat mundur. Padahal, tanpa bertindak demikian pun ujung pedang Jumini tidak akan mengenai wajahnya.
ENAM
"Mengapa? Setelah apa yang kau lakukan terhadapku, kau masih berkata mengapa?!" tanya Jumini dengan suara mengandung kemarahan besar.
Gadis berpakaian kuning itu tidak menerjang atau mengirimkan serangan. Sewaktu berpakaian tadi Jumini mulai bisa berpikir jernih. Brawijaya tidak bersalah. Bahkan, pemuda tampan itu telah berjasa. Kalau tidak ada dia tentu Raja Racun Sakti berhasil melaksanakan niatnya. Tadi seandainya serangannya berhasil Jumini akan menyesal seumur hidup. Serangan itu meluncur di luar kesadarannya. Rasa malu yang mendorongnya bertindak demikian.
"Aku... aku yakin kau tahu hal yang sebenarnya, Nona. Aku tidak bermaksud kurang ajar," sahut Brawijaya terbata. "Kalau kau merasa itu salahku, biar aku meminta maaf."
"Sudahlah." Jumini mengibaskan tangannya. Terasa oleh Brawijaya nada suara gadis berpakaian kuning telah melunak. Ini membuatnya gembira. Brawijaya berharap akan terjalin hubungan antara dirinya dengan Jumini. Di saat Brawijaya yang telah terpengaruh bubuk perangsang tengah diliputi kegembiraan, Jumini dihinggapi perasaan aneh. Gadis ini merasa darahnya beredar cepat. Tubuhnya terasa panas. Ada rangsangan aneh yang membuatnya membayangkan kenikmatan bermesraan dengan seorang pria!
"Brawijaya," sapa Jumini. "Kuharap kau mau melupakan kejadian ini. Anggap saja tidak pernah terjadi. Untuk itu, aku Jumini, akan sangat berterima kasih padamu...."
"Jumini...?!" ulang Brawijaya dengan nada kaget. Pemuda perkasa ini teringat akan tugas dari ayahnya. Ia diperintahkan mencari tunangannya yang bernama Jumini. Inikah tunangannya itu?
Melihat ciri-cirinya, Brawijaya yakin sekali gadis ini yang dicalonkan untuk menjadi istrinya. Menurut berita, Jumini ditangkap oleh Naga Sakti Berwajah Hitam palsu? Lalu, mengapa bisa berada di sini? Hati Brawijaya seketika berbunga-bunga. Kalau semula dia tidak setuju, sekarang pemuda ini diam-diam merasa bersyukur. Hatinya telah terpikat pada gadis berpakaian kuning yang cantik jelita ini.
"Apa ada yang aneh dengan namaku, Brawijaya?" tanya Jumini. Ia melihat pemuda itu demikian kaget mendengar namanya. Bahkan, pemuda itu tercenung seperti ada yang dipikirkan.
"Tidak. Tidak ada apa-apa, Non..., eh, Jumini," jawab Brawijaya. Ia gugup mendapat pertanyaan penuh selidik itu. Di dalam hati pemuda tampan ini merasa heran. Apakah Jumini belum tahu dirinya telah dijodohkan? Tapi, ketika teringat gadis berpakaian kuning itu belum pernah berjumpa dengannya, bahkan ayahnya sendiri baru bertemu satu kali, Brawijaya jadi mengerti. Brawijaya tidak berani memberitahukan tentang perjodohan itu. Biarlah nanti Pendekar Jari Maut, ayah Jumini, yang akan memberitahukannya.
"Kalau memang tidak ada apa-apa, aku akan pergi. Ingat baik-baik, Brawijaya. Aku tidak mau mendengar kejadian ini tersiar. Kau harus tutup mulut. Kalau tidak, pedangku akan berbicara...!"
Brawijaya menggeleng-gelengkan kepala. Dia sudah dapat mengenal sedikit watak Jumini. Gadis itu memiliki watak keras hati. Tapi, Brawijaya malah suka. Cinta memang buta! Brawijaya tercenung beberapa saat lamanya setelah Jumini melesat pergi. Gairah aneh yang sukar dilawan semakin kuat menyerangnya. Dia bersyukur Jumini segera meninggalkannya. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi! Brawijaya tidak yakin akan dapat mengatasi serangan pengaruh aneh ini.
Perasaan resah meledak-ledak itu membuat Brawijaya bagai cacing dalam abu panas. Dia menggeliat-geliat. Peluh membasahi sekujur wajah dan tubuhnya. "Apa yang terjadi pada diriku?" keluh Brawijaya. Suaranya berdesah bagai orang kepanasan. Kemudian, dengan langkah gontai pemuda ini melesat meninggalkan tempat itu. Arah yang ditempuhnya berlawanan dengan arah yang dituju Jumini. Sepanjang perjalanan Brawijaya terus mengeluh. "Gila...! Apa yang terjadi dengan diriku...?"
* * *
Keadaan Jumini tidak berbeda dengan Brawijaya. Setelah beberapa puluh tombak meninggalkan putra Naga Sakti Berwajah Hitam itu, gairah aneh yang melandanya bergolak semakin dahsyat. Jumini merasakan sekujur tubuhnya panas. Benaknya yang biasanya tidak pernah membayangkan bermesraan dengan seorang lelaki, kini mulai melamunkannya. Dia merasakan betapa nikmatnya belaian seorang pria. Dorongan perasaan itu membuat Jumini tersiksa. Keadaannya tak ubahnya ikan yang dilempar ke darat.
Beberapa kali gadis ini menghentikan lari dan ingin kembali menjumpai Brawijaya. Pemuda itu satu-satunya lelaki yang ada. Tapi, setitik kesadaran yang tersisa membuat Jumini menghentikan keinginannya. Beberapa kali Jumini menggigit bibirnya kuat-kuat. Jumini berlari tak mengenal arah.
Ketika tiba di suatu daerah yang terdapat pepohonan dan kerimbunan semak, mata Jumini terlihat nyalang. Pendengarannya yang tajam mendengar bunyi mencurigakan. Suara lenguh dan desahan seorang manusia. Kesadaran yang tersisa mendorong Jumini untuk menghampiri asal suara. Gelora nafsu yang telah memuncak membuat gadis itu berharap semoga suara itu milik seorang lelaki.
Beberapa tindak mengayunkan kaki Jumini akhirnya mengetahui penyebab bunyi gaduh itu. Kerimbunan semak-semak memang tidak terlalu rapat. Gadis ini bisa melihat ke dalamnya. Sepasang mata Jumini langsung berbinar. Sesosok tubuh tegap terbungkus rompi kulit harimau dengan asyik memeluk sebatang pohon.
Tidak hanya memeluk, tapi juga menciumi dan meraba-rabanya. Dari mulut sosok itu keluar lengu dan desahan. Sosok tegap itu ternyata merasakan adanya kehadiran orang di dekatnya. Tindakannya dihentikan dan tubuhnya dibalikkan. Sepasang mata yang merah membara itu tampak berbinar.
"Jumini...." Diantara desah napasnya yan memburu, pemuda itu memanggil dengan suara serak.
"Dirgantara... Dirga...," Jumini menyahuti. Hanya sekejap kedua muda-mudi itu saling berpandangan.
Entah siapa yang memulai lebih dulu mereka saling menghambur dengan kedua tanga terkembang. Mereka berpelukan erat. Kemudian saling cium dan rangkul. Tidak ada lagi akal sehat yang bekerja. Yang ada hanya menyalurkan hasrat yang bergolak. Bagai orang tak mengenal malu, Jumini dan Dirgantara saling berlomba melucuti pakaian masing-masing. Sesaat keduanya telah tidak berpakaian dan saling gelut di semak-semak.
Dirgantara bagai macan lapar mendapatkan kambing muda yang gemuk. Sekujur tubuh Jumini mulai dari rambut sampai ujung kaki dijarahnya. Jumini mengerang-erang penuh perasaan nikmat. Gadis ini hampir histeris. Dirgantara semakin buas. Beberapa lama sepasang muda-mudi ini sibuk dengan keasyikannya sebelum akhirnya dari mulut Jumini keluar pekikan halus. Pekik yang mengandung rasa puas dan juga kesakitan! Darah memercik membasahi rerumputan!
Pergumulan itu pun berakhir. Mereka memisahkan diri. Di mulut keduanya tersungging senyum kepuasan. Sesaat kemudian keduanya terlelap. Pingsan! Entah berapa lama mereka tak sadarkan diri. Yang pertama kali sadar lebih dulu adalah Jumini. Gadis ini memang memiliki tenaga dalam lebih kuat dari pada Dirgantara.
Jumini membuka sepasang matanya. Dia tidak langsung bangkit. Pusing di kepala, pegal di sekujur tubuh serta rasa perih pada pangkal paha membuatnya bingung. Namun, Jumini enggan untuk memeriksa. Baru setelah mendengar bunyi lirih di dekatnya, Jumini menoleh. Gadis ini memekik tertahan. Dirgantara tergolek di dekatnya dalam keadaan tanpa pakaian. Perasaan kaget dan risih mendorong Jumini bertindak cepat. Tubuhnya digulingkan ke samping menjauhi Dirgantara.
Tapi, baru segulingan dirasakan ada yang aneh. Sekujur tubuh terasa dingin. Jumini meneliti. Dan, dia pun menjerit ketika mengetahui sekujur tubuhnya tidak tertutup! Jumini hampir pingsan mendapati kenyataan ini. Benaknya berputar keras mencoba mengingat-ingat. Samar-samar gadis ini teringat semua perbuatan yang dilakukannya.
Mendadak dia menjadi seorang gadis tak tahu malu! Berzinah dengan Dirgantara. Pakaiannya yang berserakan telah menjelaskan semuanya. Jumini tak kuasa untuk tidak mengeluarkan keluhan ketika melihat bukti paling mutlak. Pada tanah berumput tampak bercak-bercak darah. Bercak yang sama ada pada pangkal pahanya.
"Oooh... tidak...! Tidak...!" Jumini mendekapkan kedua tangannya ke wajah. Goncangan hatinya membuat Jumini tidak segera mengenakan pakaian.
Dirgantara saat itu samar-samar mulai teringat kejadian yang dialaminya. Seperti juga Jumini, pemuda ini pun menyesal. Tapi, hanya sedikit. Yang lebih besar lagi adalah perasaan puasnya. Sungguhpun demikian sebagai orang yang punya perasaan, dia bisa mengetahui betapa hancurnya hati Jumini. Apalagi ketika melihat gadis yang biasanya keras hati dan pandai bicara itu menangis tersedu-sedu. Hati Dirgantara luluh. Dia harus bertanggung jawab.
"Sudahlah, Jumini. Hentikan tangismu. Aku juga tidak mengerti mengapa bisa terjadi seperti ini. Tapi, biar bagaimanapun aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu, Jumini. Kita akan menjadi suami-istri. Aku akan meminta Guru untuk melamar pada ayahmu. Kau bersedia kan menjadi istriku?"
Jumini menurunkan kedua tangan dari wajahnya. Tampak wajah yang manis itu dibasahi air mata. Sepasang mata Jumini berbinar-binar mendengar ucapan Dirgantara. "Benarkah itu, Dirga? Bukankah kau membenciku? Katamu, aku seorang pelacur," Jumini teringat kembali pada ucapan pemuda berompi kulit harimau itu. Dirgantara tersenyum lebar.
"Maafkan aku, Jumini. Aku yang salah. Kau adalah bidadari khayangan yang suci. Aku bersedia menerima hukuman darimu atas kebodohanku waktu itu." Tanpa ragu-ragu lagi Dirgantara bangkit dan mencium ujung kaki Jumini.
Jumini tertawa. Perasaan sedihnya lenyap. Diam-diam dia bersyukur karena saat tengah dimabuk birahi berhubungan badan dengan Dirgantara, pemuda yang dicintainya. Kalau bukan, tentu dia terpaksa membunuh diri setelah terlebih dulu membunuh orang yang merenggut kesuciannya!
"Mengapa kau bisa demikian cepat berubah pendirian, Dirga?" tanya Jumini dengan bibir mengembangkan senyum. Sikapnya telah kembali seperti semula. Lincah dan gembira.
"Aku bertemu dengan Dewa Arak dan Linggar. Dari Linggar aku tahu kejadian sebenarnya. Kau tidak bersalah. Tapi, aku masih tidak yakin. Sekarang aku yakin kau gadis yang suci. Aku telah membuktikannya sendiri!" jawab Dirgantara tanpa ragu-ragu.
"Enak betul! Membuktikan kebenaran seseorang dengan menyetubuhinya!" rungut Jumini, pura-pura marah.
"Tentu saja enak!" jawab Dirgantara, membuat wajah Jumini merah padam. Ia agak risih dengan pembicaraan mereka. Jumini beringsut mengambil pakaiannya. Demikian pula Dirgantara, tapi belum juga maksud mereka terlaksana, terdengar suara bentakan keras. Bentakan yang sarat dengan kemarahan.
"Dirgantara! Apa yang tengah kau lakukan?!"
"Jumini! Kau sudah gila?!"
"Guru...!" Wajah Dirgantara pucat pasi. Dengan tergesa pemuda ini mengambil pakaian dan mengenakannya.
Sebenarnya mudah saja. Tapi, karena Dirgantara tengah malu dan takut berkali-kali pemuda ini salah mengenakan. Hal yang sama pun melanda Jumini. Gadis ini kaget bukan main mendengar teguran yang dikenal baik pemiliknya. Jumini bagai disengat ular berbisa. Wajahnya memucat ketika melihat ayahnya berdiri dengan sikap angker.
"Ayah...," sapa Jumini dengan suara bergetar. Jumini segera mengenakan pakaian.
"Jumini! Apa yang telah kau lakukan? Gilakah kau sehingga berzinah dengan begitu tak mengenal malu?!" tegur Pendekar Jari Maut. Kakek yang memiliki watak berangasan ini marah bukan main. Jumini yang diharapkan menjadi jodoh Brawijaya malah berzinah dengan Dirgantara. Siapa yang tidak menjadi kalap?
"Ayah, aku cinta padanya. Kakak Dirgantara ingin menjadikanku istrinya. Dia akan melamarku Ayah," beritahu Jumini.
Kalau saja ada halilintar menyambar dekat tempatnya berdiri, Pendekar Jari Maut tidak sekaget seperti mendengar ucapan putri semata wayangnya itu. "Jumini! Kau gila! Kau tidak bisa menjadi istrinya atau istri siapa pun. Kau telah kutunangkan sejak kecil dengan putra Naga Sakti Berwajah Hitam. Namanya Brawijaya. Dia seorang pemuda yang hebat. Tampan dan berkepandaian tinggi. Dia tidak merampas kehormatan perempuan seperti pemuda itu!"
Jumini melongo mendengar berita yang dibawa ayahnya. Berita itu terlampau mengejutkan. Untuk beberapa saat lamanya gadis ini terpaku dengan mulut terbuka. "Aku tidak mau!" Itulah jawaban yang dikeluarkan Jumini begitu sadar dari terkesimanya. Jawaban yang dikeluarkan dengan suara lantang.
"Aku hanya mau berjodoh dengan Dirgantara. Aku hanya ingin menjadi istrinya. Aku telah bertemu dengan Brawijaya. Aku tidak cinta padanya, Ayah!"
Wajah Pendekar Jari Maut menegang. Sepasang matanya berkilat tajam ketika menatap wajah putrinya!
TUJUH
"Anak tak tahu diuntung!! Kau ingin mencoreng mukaku dengan kotoran? Mau kutaruh di mana mukaku ini, Jumini?!! Aku yang mengusulkan perjodohan antara kau dengan putra sahabatku Naga Sakti Berwajah Hitam. Sekarang aku juga yang mengingkarinya. Lebih baik aku kehilanganmu, Jumini, daripada kehormatanku kau injak-injak!"
Lantang dan keras ucapan Pendekar Jari Maut. Jumini sejak kecil tinggal dengan ayahnya. Karena itu, dia hafal betul dengan sifat ayahnya. Pendekar Jari Maut amat sayang padanya. Tapi, lebih sayang lagi pada kehormatan. Sungguh pun demikian Jumini tidak menjadi gentar.
Gadis ini memang memiliki watak aneh. Semakin dikerasi semakin besar perlawanan yang diberikan. Terlebih jika sudah mempunyai keinginan, apa pun yang menghalangi akan diterjangnya. Mendapat tekanan dari ayahnya, Jumini malah meninggikan leher. Ditentangnya pandang mata Pendekar Jari Maut.
"Bukan hanya Ayah saja yang mengutamakan kehormatan! Aku pun demikian. Aku telah berjanji untuk menjadi istri Kak Dirgantara. Aku tak mungkin menjilat ludah yang telah kukeluarkan! Lebih baik mati daripada menarik kembali ucapanku!"
Sekujur tubuh Pendekar Jari Maut menggigil karena amarah. Bunyi berkerotokan terdengar. Padahal, kakek ini tidak menggerakkan anggota tubuhnya. Pergolakan tenaga dalam yang menyebabkan terciptanya bunyi itu.
"Kuberikan kesempatan untuk menarik kembali ucapanmu, Jumini. Atau, aku akan bertindak!"
"Ayah, aku mempunyai keyakinan hidup yang selama ini kupegang teguh. Sekali aku berkata hitam, tak akan nanti aku berkata putih!" tegas Jumini.
"Kalau begitu, mampuslah kau, Jumini!" Kemarahan yang menggelegak membuat Pendekar Jari Maut lupa diri. Tangan kanannya diayunkan ke arah kepala Jumini. Sekali saja mengenai sasaran, nyawa Jumini melayang.
Jumini tidak bergeming dari tempatnya. Gadis ini berdiri tenang dengan tatapan lurus ke depan. Sikapnya kelihatan tenang dan gagah. Memang, Jumini tidak mau melawan. Rasa hormatnya terhadap sang ayah menyebabkannya berlaku demikian.
Dirgantara yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran ayah dan anak itu terkejut bukan main. Dia merasa bangga dan terharu melihat keteguhan Jumini. Sekarang, gadis itu terancam bahaya maut! Ia tidak akan membiarkan kekasih yang dicintainya dibunuh orang. Pemuda berompi kulit harimau itu langsung melesat memapaki serangan Pendekar Jari Maut.
Prattt!
Benturan dua tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat tidak bisa dihindarkan lagi. Dirgantara memekik kesakitan. Tubuhnya terpental ke belakang dan berputar seperti gasing. Kendati demikian, Dirgantara berhasil mematahkan kekuatan yang melemparkan tubuhnya dan menjejak tanah walau agak terhuyung. Seringai tampak di wajahnya. Pemuda kekar ini kelihatan tidak menyesal. Tindakannya berhasil menyelamatkan nyawa Jumini.
"Kau berani campur tangan dalam urusan keluarga," Pemuda kurang ajar! Mampuslah!" Pendekar Jari Maut yang tengah kalap mengalihkan serangannya. Tidak lagi pada Jumini, tapi pada Dirgantara.
"Kau keterlaluan, Jari Maut! Di depan mataku kau hendak mencelakai muridku! Langkahi dulu mayatku!" Petani Berambut Putih menjejakkan kaki. Tubuhnya melayang dan berdiri di antara Dirgantara dan Pendekar Jari Maut.
Mau tidak mau ayah Jumini menghentikan gerakannya. "Rupanya kau ingin bertarung denganku, Petani?!" Pendekar Jari Maut berkata dengan menantang. Ditatapnya lekat-lekat wajah Petani Berambut Putih untuk melihat kesungguhan sikap guru Dirgantara itu.
"Apakah harus kubiarkan saja kau mencelakai muridku? Begitu, Jari Maut?" Petani Berambut Putih balas mengajukan pertanyaan.
Pendekar Jari Maut terdiam.
"Menurut pendapatku, lupakan dulu masalah anakmu. Yang lebih penting sekarang adalah kita coba melenyapkan angkara murka yang merajalela di dunia persilatan."
"Kau tahu sendiri, Petani." Pendekar Jari Maut berkata dengan suara berat. "Jumini telah kujodohkan dengan Brawijaya. Sudah merupakan kewajiban bagiku untuk memenuhinya. Apalagi setelah Naga Sakti Berwajah Hitam tewas akibat meletusnya gunung. Aku jadi lebih berkewajiban lagi."
Petani Berambut Putih mengangguk-angguk. "Kau mau mendengar pendapatku?" Pendekar Jari Maut tidak memberikan jawaban. Tapi dari sikap kakek itu, Petani Berambut Putih tahu pendekar pemarah itu setuju. "Menurut pendapatku, perjodohan ini adalah urusan orang-orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Jumini. Lebih baik kita selaku orang tua hanya berdiri di luar garis. Biarkan dia memilih. Kita hanya memberikan pendapat apabila perlu. Bagaimana apabila tidak hanya Jumini yang menentang perjodohan itu, tapi juga Brawijaya? Apakah kau akan tetap memaksakan kehendakmu?"
Pendekar Jari Maut mengernyitkan dahi. Dia tidak berpikir sampai ke situ. Pendekar pemarah ini tidak pernah memikirkan kemungkinan pihak-pihak yang berkepentingan tidak setuju. Dia terlalu asyik bermain dengan rencananya.
"Sebenarnya, aku sudah lama ingin membicarakan masalah ini. Beberapa hari yang lalu Dirgantara memintaku untuk melamarkan Jumini. Katanya, dia jatuh cinta pada putrimu. Aku tidak berani mengutarakannya. Aku tahu kau telah menjodohkan Jumini dengan Brawijaya."
"Aku tidak mau menjodohkan putriku dengan orang yang asal-usulnya tidak jelas," sergah Pendekar Jari Maut dengan nada tidak senang.
"Dirgantara mempunyai asal-usul yang jelas, Jari Maut. Ibunya sendiri yang memintaku untuk mendidiknya. Ayahnya berjuluk Iblis Buta. Sedangkan ibunya...."
"Iblis Buta?!" Alis Pendekar Jari Maut berkerut. "Kau harapkan aku berbesan dengan tokoh sesat itu, Petani?!"
"Iblis Buta hanya samaran saja. Beliau sebenarnya orang yang dikenal dengan nama Begawan Narasoma," beritahu Dirgantara, buru-buru. Dengan singkat pemuda berompi kulit harimau ini kemudian menceritakan tentang keluarganya. Berkali-kali Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih berseru kaget. Nama begawan itu telah lama mereka dengar.
"Kau bilang ibumu bernama Tulini?" tanya Pendekar Jari Maut.
"Benar, Kek. Mengapa?" Dirgantara balas bertanya.
"Tidak apa-apa. Sekarang aku mengerti mengapa Guntar yang merupakan salah seorang dari Sepasang Setan Penghilang Nyawa tidak dibunuh oleh Begawan Narasoma. Pasti atas permintaan Tulini. Wanita itu saudara seperguruan Guntar. Tulini bersembunyi di balik selubung dan memakai gelar Tengkorak Darah. Dia membenciku karena aku telah merobek pakaian bagian atasnya hingga terlihat. Dia marah sekali. Itu sebabnya dia menyembunyikan wajahnya." Pendekar Jari Maut malah bercerita.
"Pantas Tengkorak Darah sangat membenciku begitu tahu aku putrimu, Ayah." Jumini mengangguk-angguk.
"Sekarang dia tidak membencimu lagi, Jumini. Bahkan, dia mendukung ketika kukatakan aku hendak menikahimu. Beliau minta maaf atas perlakuannya padamu."
"Aku telah lama melupakannya, Dirga," sahut Jumini seraya tersenyum.
"Bagaimana, Jari Maut?" tagih Petani Berambut Putih. "Apakah muridku masih tidak pantas menjadi calon suami putrimu?"
Pendekar Jari Maut tersenyum pahit. "Bukan hanya pantas, Petani. Tapi lebih dari pantas. Sekarang masalahnya, biar bagaimanapun putriku masih terikat jodoh dengan Brawijaya. Tidak semudah itu aku menerima pinanganmu. Aku harus bertemu dulu dengan Brawijaya dan mendengar langsung dari mulutnya akan ketidak-bersediaannya menerima Jumini."
"Kurasa..., kalau kukatakan hal yang sebenarnya Brawijaya tidak akan mau menerimaku, Ayah." Jumini segera menimpali setelah saling bertukar pandang dengan Dirgantara.
Pemuda itu mengangguk. Jumini lalu menceritakan kejadian yang menimpa dirinya. Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih kelihatan jelas terperanjat kaget. Kedua kakek ini langsung bisa mengetahui penyebab gairah aneh yang memaksa terjadinya hubungan badan antara Jumini dan Dirgantara. Raja Racun Sakti seorang datuk sesat yang ahli dalam segala macam racun.
"Apakah kau juga bertemu dengan kakek seperti yang diceritakan Jumini, Dirgantara?" tanya Petani Berambut Putih.
Dirgantara mengangguk. "Aku berpapasan dengan kakek itu di pertengahan jalan, Guru. Dia lari cepat sekali. Tapi, aku masih sempat melihatnya melemparkan bubuk ke udara. Bubuk itu mempunyai hubungan dengan pengaruh aneh itu, Guru?"
"Kemungkinan besar demikian," jawab Peta Berambut Putih, tak yakin.
Keadaan menjadi hening ketika Petani Berambut Putih selesai berbicara. Tidak ada lagi yan membuka percakapan. Mereka tenggelam dalam alur pikiran masing-masing.
"Sekarang ke mana lagi tujuan, Guru?" Dirgatara iseng-iseng bertanya ketika tidak ada yang berusaha memulai percakapan. Guntar telah tewas akibat meletusnya gunung. Tidak ada lagi yang akan dilakukan kakek berambut putih itu.
"Kau sendiri hendak ke mana, Dirga? Kalau aku ingin kembali ke tempat tapaku. Aku sudah bosan berkeliaran di dunia persilatan. Kalau kau hendak menikah, jangan lupa mengundangku."
Pendekar Jari Maut menghela napas berat. "Aku pun demikian, Dirga, Jumini. Aku harap kalian nanti datang ke tempat pengasinganku dengan membawa Brawijaya. Aku tidak bisa menikahkan kalian kalau syarat itu tidak dipenuhi!"
"Akan kami coba memenuhi permintaan itu Kek," jawab Dirgantara dengan sopannya.
"Kau sendiri hendak ke mana, Dirga?" tanya Petani Berambut Putih. "Apakah kau mendapat tugas dari ayahmu?"
Dirgantara jadi bingung. Dia memang hendak mencari Ular Emas, ayahnya berpesan agar jangan memberitahu siapa pun. Sekarang gurunya sendiri yang bertanya. Haruskah dirahasiakan pula? Dirgantara bimbang. Apalagi ketika dilihatnya Pendekar Jari Maut menunggu jawabannya.
"Kalau memang tugas rahasia tidak usah kau katakan, Dirga." Petani Berambut Putih yang melihat kebingungan muridnya segera mengambil jalan tengah.
"Apakah Guru tidak melihat tanda-tanda aneh di langit?" Akhirnya, Dirgantara tak kuat menyimpan rahasia itu. Ketika dilihatnya Petani Berambut Putih mengangguk, kata-katanya langsung dilanjutkan. Tapi, Dirgantara kecewa. Petani Berambut Putih maupun Pendekar Jari Maut sedikit pun tidak tampak tertarik dengan ceritanya.
"Aku sudah rindu tempatku yang dulu, Dirga. Aku ingin suasana tenang. Bosan terlibat pertarungan terus-menerus. Kau saja usahakan cari Mustika Ular Emas itu. Aku tidak berminat sedikit pun. Selamat tinggal, Dirga. Baik-baiklah menjaga diri!" ujar Petani Berambut Putih ketika Dirgantara menyelesaikan kisahnya.
"Aku juga akan pergi, Jumini. Ingat! Datang lagi bersama Brawijaya!" pesan Pendekar Jari Maut.
Dirgantara dan Jumini menatap kepergian ke dua kakek itu hingga lenyap di kejauhan. Kemudian, dengan hati berbunga-bunga keduanya segera melanjutkan perjalanan.
* * *
Kau dengar suara itu, Linggar? Sepertinya ada pertarungan Ucapan itu dikeluarkan seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Pemuda itu adalah Arya Buana alias Dewa Arak.
"Benar, Arya," jawab Linggar setelah mendengarkan sejenak. Arya tidak menyambuti lagi. Pemuda ini bergegas melesat ke depan. Tubuhnya meluncur bagai anak panah lepas dari busur. Tidak terlihat bentuk tubuhnya. Hanya bayangan ungu yang tak jelas. Linggar tidak mau ketinggalan. Ia ikut melesat menyusul Arya.
Dalam waktu sebentar saja sepasang muda-mudi itu telah melihat penyebab bunyi gaduh. Seorang pemuda berpakaian coklat tengah dikeroyok tiga orang lelaki berpakaian pasukan kerajaan. Arya yang tiba lebih dulu daripada Linggar tidak bertindak ceroboh. Dia terlebih dulu memperhatikan jalannya pertarungan. Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan itu baru bisa menilai.
Pemuda berpakaian coklat sebenarnya memiliki kemampuan di atas lawan-lawannya. Sehingga, dia tidak akan terdesak oleh lawan. Tapi, kenyataannya pemuda berpakaian coklat yang bersenjatakan keris terdesak hebat. Arya segera mengetahui penyebabnya. Pemuda berpakaian coklat tidak melawan dengan sungguh-sungguh.
Serangannya selalu ditujukan pada bagian-bagian yang tidak mematikan. Itu pun jarang sekali dilakukan. Pemuda ini lebih banyak mengelak atau menangkis. Di lain pihak, ketiga lawannya menyerang dengan maksud untuk membunuh. Serangan mereka tertuju pada bagian-bagian mematikan. Kenyataan ini membuat perasaan tidak suka muncul di hati Arya.
"Tidak melihatkah prajurit-prajurit kerajaan itu kalau lawan yang dihadapi terlalu banyak mengalah?" tanya Arya dalam hati. Meskipun demikian, Arya berusaha tidak memihak. Dia belum tahu siapa yang benar dan salah dalam persoalan ini.
Namun, pemuda berpakaian coklat membuat Arya merasa heran. Pemuda itu berkali-kali meringis dan memegang kepalanya. "Percayalah, Kawan-kawan. Bukan aku yang melakukan pembunuhan terhadap Panglima Anggar Bayu dan pengawalnya. Panglima itu merupakan saudara tua. Dia terhitung kakak sepergurun saya," beritahu pemuda berpakaian coklat sambil mengelakkan sebuah serangan.
"Tidak usah banyak bicara. Kalau bukan kau siapa lagi? Hanya kau orang luar yang datang ke tempat itu. Tidak ada gunanya berdusta. Bersiaplah untuk mati guna menebus dosamu."
Pasukan kerajaan yang bersenjatakan golok mengirimkan babatan ke arah leher. Tapi, pemuda yang tidak lain I Made Sangkara berhasil mengelakkannya.
"Sudah kukatakan pembunuhnya adalah Lanang. Dia memiliki kemampuan sangat tinggi. Harap kalian menyingkir. Aku tengah memburu waktu. Iblis itu hendak membunuh guruku. Berilah aku jalan." pinta I Made Sangkara berkali-kali.
"Uh…!!" Arya terperanjat. Lagi-lagi ia melihat I Made Sangkara menyeringai sambil mendekap belakang kepalanya. Kali ini tubuhnya sampai limbung. Saat itu tombak salah seorang lawannya meluncur datang!
Crattt!
Tidak terdengar keluhan sedikit pun kendati tombak menembus belakang paha kanan I Made Sangkara. Darah segar langsung muncrat keluar. Saat itu dua lawannya yang lain mengirimkan serangan pula. Yang satu ke arah dada dan yang lain menuju leher. Nyawa I Made Sangkara bagai telur di ujung tanduk. Kali ini Arya tidak menahan diri lagi. Dari percakapan yang terdengar telah bisa diketahui penyebab pertarungan itu. Arya yakin I Made Sangkara tidak bersalah.
Pemuda berambut putih keperakan itu bisa mengira Lanang yang telah melakukan pembunuhan terhadap Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya. Tapi, I Made Sangkara yang jadi tertuduh. Arya segera melesat ke dalam kancah pertarungan sebelum nyawa I Made Sangkara yang terlalu mengalah itu melayang. Begitu tiba Arya langsung mengulurkan tangan.
Dua orang prajurit kerajaan merasakan tangan mereka mendadak lumpuh tanpa diketahui penyebabnya. Belum sempat mereka berbuat sesuatu, Arya telah bergerak cepat merampas senjata mereka. Tiga orang prajurit kerajaan itu terperanjat. Arya segera mengibaskan tangan. Akibatnya sungguh mengejutkan! Tubuh ketiga orang itu berpentalan ke belakang bagai daun kering diterbangkan angin.
DELAPAN
Beruntung bagi ketiga prajurit itu. Arya tidak menurunkan tangan kejam. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya mengerahkan tenaga dalam untuk mementalkan tubuh mereka tanpa melukainya.
Tiga orang prajurit kerajaan yang telah kehilangan senjata itu bangkit berdiri dengan wajah pucat. Mereka tahu tengah berhadapan dengan tokoh yang memiliki kepandaian dahsyat. Kendati demikian, rupanya mereka tergolong orang yang tidak mudah mengalah. Mereka adalah anggota pasukan istimewa kerajaan. Pasukan kelas satu.
"Siapa kau? Mengapa mencampuri urusan kami?" bentak prajurit yang tadi bersenjata golok. Suaranya terdengar lantang.
"Aku tidak bermaksud untuk ikut campur. Hanya mencegah terjadinya pembunuhan terhadap orang yang tidak bersalah! Namaku Arya. Dunia persilatan lebih suka menyebutku Dewa Arak!"
"Dewa Arak...?!" Hampir berbarengan mereka mengulang julukan Arya. Sesaat kemudian ketiganya saling berpandangan. Julukan Dewa Arak telah lama mereka dengar. Tapi, baru sekarang bertemu muka dan merasakan kelihaiannya.
"Apa maksudmu, Dewa Arak? Kami tidak mengerti," ujar prajurit yang tadi bersenjatakan tombak. "Orang ini bukan pembunuh Panglima Anggar Bayu. Pembunuhnya adalah Lanang. Dia seorang pemuda yang jahat!" jawab Arya dengan sikap pasti.
Ketiga prajurit kembali saling bertukar pandang. Mereka belum mau pergi meninggalkan tempat itu. Arya tahu orang-orang seperti ini perlu digertak. Dewa Arak mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan. Saat itu senjata ketiga orang prajurit masih berada di kedua tangannya. Terdengar bunyi gemeretak nyaring. Tiga senjata itu berpatahan kemudian hancur berkeping-keping. Padahal, Arya tidak meremasnya.
Mata ketiga prajurit kerajaan membelalak lebar. Mereka takjub sekali melihat pameran tenaga dalam Dewa Arak. Perasaan gentar merayapi hati ketiganya. Baru pertama kali mereka melihat senjata dari baja pilihan itu dipatah-patahkan tanpa diremas. Tanpa banyak cakap lagi ketiganya segera membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Arya tidak mengejarnya. Bahkan memperhatikannya pun tidak. Arya lebih suka menujukan perhatiannya pada I Made Sangkara. Pemuda dari Pulau Dewata itu telah mengobati lukanya dengan bubuk yang dibawanya. Terlebih dulu ditotoknya daerah sekitar luka untuk menghentikan aliran darah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak. Kau memang hebat. Persis dengan berita yang kudengar," ujar I Made Sangkara sambil mengulurkan tangan. "Namaku I Made Sangkara."
Arya menyambut uluran tangan itu. "Aku Arya Buana. Dan ini kawanku, Linggar."
I Made Sangkara tersenyum pada Linggar. Gadis berpakaian hitam itu membalasnya.
"Kudengar tadi kau bicara tentang Lanang. Kau tahu di mana dia sekarang? Dan, boleh kutahu mengapa kau bisa jadi tertuduh pembunuhan Panglima Anggar Bayu?" tanya Arya.
"Panjang ceritanya, Arya." I Made Sangkara menghela napas berat. Kemudian, ia menceritakan pertemuannya dengan panglima itu dan Lanang. Arya serta Linggar mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Tak sekali pun cerita I Marie Sangkara dipotong sampai pemuda itu mengakhirinya.
"Lanang bagai malaikat pencabut nyawa saja, desah Arya sambil menggelengkan kepala. Telur Elang Perak membuatnya bertindak sewenang-wenang. Hhh...!! Sukar kubayangkan kekuatan tenaga dalamnya. Rasanya tidak akan ada yang menyamai. Dia telah dapat mempergunakan tenaga dalam melalui cara apa pun. Benar-benar berbahaya... "
"Apakah kau bermaksud melenyapkannya, Arya?" tanya I Made Sangkara, ingin tahu. Pemuda ini telah banyak mendengar kalau Dewa Arak selalu menumpas kebatilan."
"Begitulah niatku, Sangkara." Arya mengangguk. "Tapi, aku tidak yakin akan berhasil. Kepandaiannya telah sukar untuk diukur."
"Tapi, tidak ada salahnya kita berusaha," ujar Linggar.
"Tentu saja!" sahut Arya, cepat.
"Kalau begitu..., mari kita bergegas. Saya khawatir Eyang Brihaspati dan Bapa telah dibunuhnya!" ajak I Made Sangkara.
Pemuda ini kelihatan cemas sekali. Arya mengangguk. I Made Sangkara pun segera melesat mendahului. Arya serta Linggar mengikuti di belakang. Pemuda dari Pulau Dewata itu rupanya mempunyai obat luka yang manjur. Larinya tampak biasa. Tidak terpincang-pincang. Padahal, luka pada kakinya cukup parah.
* * *
"Ha ha ha...! Tua bangka bau tanah. Sudah saatnya kalian pergi ke alam baka! Ha ha ha...!"
Suara lantang penuh dengan nada kesombongan memecah suasana sepi yang melingkupi dataran cukup luas di puncak gunung itu. Suara tadi dikeluarkan oleh seorang pemuda berpakaian indah. Dia berdiri bertolak pinggang di hadapan dua orang kakek. Yang seorang mengenakan selembar kain putih yang dilibat-libatkan ke sekujur tubuh. Di tangan kanan kakek berwajah cerah ini tergenggam sebatang tongkat.
Kakek yang satunya lagi tidak kalah aneh dandanannya. Dia mengenakan kain lurik yang dibelitkan ke tubuh. Kain itu hanya sampai ke dada bagian atas. Bagian bawah kain mencapai sedikit di bawah lutut. Pada kepalanya terikat kain bercorak dan berwarna sama. Tapi pada bagian depan, di dahi, kain itu dibentuk sedemikian rupa sehingga mirip sehelai daun yang didirikan. Pada pergelangan tangan dan kaki serta pangkal lengan terlilit gelang putih dari tulang macan. Dan, di selipan kain pada punggungnya tampak sebilah keris.
"Manusia takabur!" Kakek berikat kepala lurik menggumam. Tapi, gemanya terdengar sampai jauh. "Asal kau tahu saja, di atas langit masih ada langit. Mungkin kami berdua akan tewas di tanganmu. Tapi, kau pun nanti akan tewas di tangan orang lain. Sang Hyang Widhi Wasa Maha Adil. Tidak akan diturunkan sebuah pusaka kalau tidak ada penangkalnya. Saat kejayaanmu sudah hampir pudar!"
"Ha ha ha...! Kau boleh bicara sesukamu, I Nyoman Tirta! Puaskanlah berbicara karena sebentar lagi kau akan meninggalkan dunia ini. Kau dan si peot Eyang Brihaspati. Kalian tak akan kuberi kesempatan hidup lebih lama. Ha ha ha...!" Pemuda yang bukan lain Lanang itu tertawa dengan sombongnya. Dia yakin betul dapat menamatkan riwayat kedua kakek itu yang adalah Eyang Brihaspati dan I Nyoman Tirta.
"Kau keliru, Lanang! Pemuda yang sombong!" Kali ini Eyang Brihaspati yang berbicara. Tongkat yang tergenggam di tangan diketukkan sekali. Kelihatan pelan saja. Tapi, menancap di tanah sampai setengahnya lebih! "Mungkin kau akan berhasil membunuh kami. Namun, kau tidak akan lolos dari kematian. Pusaka yang dapat mengirim nyawamu ke alam baka berhasil diperoleh seorang pendekar. Dia sedang dalam perjalanan kemari. Kau tidak dapat mengingkari takdir, Lanang."
"Tutup mulutmu, Peot!" Lanang yang geram bukan main mendengar ucapan Eyang Brihaspati segera menjulurkan tangan kanannya. Lima jarinya terkembang. Dari tiap-tiap ujung jari keluar sinar-sinar kemerahan! Semua menuju ke arah Eyang Brihaspati. Menuju kelima tempat di tubuh kakek itu.
Eyang Brihaspati tahu kedahsyatan sinar kemerahan itu. Dia segera bertindak cepat menyelamatkan diri. Kakek ini memilliki cara yang luar biasa. Tanpa menjejakkan kaki atau menekuk lutut, Eyang Brihaspati mampu membuat tubuhnya melayang ke atas dalam keadaan tegak! Akibat yang menggiriskan menimpa tebing di belakang kakek berpakaian putih itu.
Begitu lima larik sinar kemerahan menyentuh, dinding tebing langsung berlubang dan hangus. Eyang Brihaspati tidak tinggal diam. Masih dalam keadaan tubuh kaku seperti tombak dia melenting ke arah Lanang. Tepat di atas tubuh pemuda pesolek itu tongkatnya dihantamkan ke arah kepala! Lanang tidak mengelak sedikit pun. Tak pelak lagi, tongkat mendarat telak di sasaran. Lanang bagai dipantek oleh palu raksasa. Tubuhnya langsung amblas ke dalam bumi sampai tak tampak kepalanya!
Eyang Brihaspati bertukar pandang dengan I Nyoman Tirta begitu kakinya menjejak tanah. Jantung mereka berdetak lebih cepat. Apakah Lanang berhasil mereka tewaskan dan sekarang terkubur di dasar bumi? Kedua kakek itu mempunyai alasan untuk menduga demikian. Senjata yang mereka gunakan telah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk melumpuhkan ilmu kebal seseorang. Senjata itu telah dimanterai.
Tapi, kegembiraan itu hanya berlangsung sekejap. Keduanya mendengar bunyi aneh dan getaran keras pada tanah. Seperti ada bor di dalam bumi. Tak lama kemudian, tubuh Lanang melesat keluar dari dalam tanah dalam keadaan berpusing. Bunyi mengaung keras mengiringi putaran tubuhnya.
I Nyoman Tirta segera bertindak. Kakek ini menghunus kerisnya dan menudingkan ke arah tubuh Lanang yang masih berpusing di udara.
Wusss!
Dari ujung keris I Nyoman Tirta melesat serangkum sinar biru. Bentuknya mirip kilat. Sinar biru itu meluncur dengan kecepatan menakjubkan ke tubuh Lanang!
Blarrr!
Ledakan keras terdengar ketika sinar biru menghantam tubuh Lanang. Asap tebal membumbung tinggi. I Nyoman Tirta dan Eyang Brihaspati tidak bisa melihat apa yang terjadi. Hancurkah tubuh Lanang? Kedua kakek itu menanti dengan harap-harap cemas.
Ketika asap buyar tertiup angin, biasan kecewa tampak pada wajah Eyang Brihaspati dan I Nyoman Tirta. Lanang berdiri dengan angkuhnya. Tak kurang suatu apa! Eyang Brihaspati dan I Nyoman Tirta diam-diam bergidik ngeri. Sukar untuk dibayangkan betapa mengerikan kekuatan yang dimiliki Lanang. Bukit kecil saja hancur lebur dan menjadi abu ketika terkena sambaran sinar biru!
Saat sinar biru dari keris menyambar dan terjadi ledakan, Dewa Arak, I Made Sangkara, dan Linggar telah berada di tempat itu. Ketiga orang muda ini melihat peristiwa yang mampu mendirikan bulu kuduk itu. Hati Dewa Arak tercekat. Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak menyangka Lanang akan sedahsyat ini. Benar-benar mengerikan.
Arya tidak mau berpangku tangan. Sambil memekik keras sebagai isyarat pada Lanang kalau dia mengirimkan serangan, pemuda berambut putih keperakan ini tidak ragu-ragu lagi mengirimkan pukulan jarak jauh dengan jurus maut 'Pukulan Belalang'!
Wusss!
Begitu angin keras berhawa panas menyengat keluar dari kedua tangan Dewa Arak, Lanang mendengus. Pemuda pesolek ini melakukan gerakan yang sama. Dari kedua telapak tangannya berhembus angin keras berhawa panas. Dewa Arak terperanjat bukan main. Lanang memiliki pukulan jarak jauh yang mirip dengan 'Pukulan Belalang'. Malah lebih dahsyat!
Blarrr!
Pertemuan dua tenaga dalam berhawa panas itu membuat tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang. Tubuhnya melayang jauh seperti daun kering ditiup angin. Arya merasa seakan-akan ditabrak seekor gajah liar. Sekujur tubuhnya terasa lumpuh. Tidak ada yang bisa digerakkan. Arya terbanting di tanah setelah melayang beberapa tombak. Pemuda perkasa ini tidak mampu bangkit lagi. "Arya...!" Linggar dan I Made Sangkara berseru kaget. Mereka segera meluruk ke arah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Ha ha ha... Lanang yang tidak terpengaruh benturan itu tertawa berkakakan. Bagaimana, Dewa Arak? Sekarang kau tidak berarti apa-apa bagiku!" Baru saja Lanang mengatupkan mulutnya, Eyang Brihaspati dan I Nyoman Tirta melompat menerjang. Guru Panglima Anggar Bayu mengayunkan tongkat ke kepala Lanang. Sedangkan ayah I Made Sangkara menusukkan kerisnya ke jantung lawan.
Tapi, Lanang dengan berani memapaki dua buah senjata pusaka itu dengan tangan telanjang. Kembali bunyi berdetak keras terdengar. Lanang tetap seperti semula. Kokoh kuat laksana batu karang. Sebaliknya, kedua penyerangnya terjengkang ke belakang dan terguling-guling. Lanang kembali mengumbar tawa kemenangan. Dengan sepasang mata congkak ditatapnya lawan-lawan yang tidak berdaya itu. Linggar dan I Made Sangkara yang masih berdiri tegak. Keduanya tidak berbuat apa pun karena tahu tak akan ada artinya. Lanang benar-benar menggiriskan!
"Sekarang saatnya bagiku untuk mengirim kalian semua ke alam kubur!" seru Lanang. Ia melangkah meninggalkan tempatnya. Yang pertama kali dihampiri adalah Dewa Arak. Lanang memang sangat membenci pemuda berambut putih keperakan itu.
"Tahan...!" Lengkingan nyaring membuat Lanang menghentikan ayunan kakinya. Pemuda pesolek ini kelihatan tidak senang. Tubuhnya segera dibalikkan. Dilihatnya seorang gadis cantik berpakaian putih. Gadis itu tidak dikenalnya. Hanya Arya yang mengenal gadis cantik jelita itu. Gadis yang melangkah mendekati Lanang dengan sikap tenang.
"Melati.... Pergi jauh-jauh...." Arya ingin berteriak keras, tapi yang keluar hanya panggilan lirih.
Namun, tertangkap juga oleh telinga Melati. Gadis berpakaian putih itu tersenyum. "Tenanglah, Kakang. Biar kulenyapkan penjahat ini.... !"
Arya melongo. Tidak main-mainkah, Melati? Lawan yang dihadapinya tokoh berkepandaian tak masuk di akal. Jangankan Melati, Arya sendiri yang memiliki kepandaian jauh di atas gadis itu tidak mampu menanggulangi Lanang. Apakah Melati hendak mencari penyakit? Jangan-jangan gadis itu tidak melihat peristiwa yang baru saja terjadi.
Arya keliru kalau berpikir demikian. Semua dugaan pemuda berambut putih keperakan itu tidak ada yang mengenai sasaran. Melati berani menghadapi Lanang karena keyakinannya akan kemenangan. Dengan langkah mantap dihampirinya Lanang. Sungguh aneh sekali. Lanang kehilangan rasa percaya dirinya. Pemuda ini mundur-mundur ketakutan.
Tiap Melati maju selangkah Lanang berjalan mundur selangkah. Jarak antara mereka menjadi jauh. Karena langkah Lanang lebih besar. Terngiang-ngiang ucapan di telinga Melati ketika kakinya bergerak mendekati Lanang. Kata-kata yang terdengar tanpa kelihatan siapa yang berbicara. Melati teringat kembali pengalamannya beberapa waktu lalu di Gunung Cikuray.
* * *
"Aaa...!" Melati tidak kuasa menahan jeritan. Tubuhnya meluncur turun ke dasar lubang. Gadis yang tengah khawatir akan keadaan Arya ini berlari secepatnya. Bahkan, beberapa kali melakukan lompatan-lompatan panjang. Terjeblosnya Melati ke dalam lubang karena secara tiba-tiba tanah tempat kedua kakinya hendak menjejak muncul lubang besar.
Saat itu kedua kakinya hanya tinggal beberapa jengkal dari tanah. Tak pelak lagi, gadis itu tak mampu berbuat apa pun untuk menyelamatkan diri. Melati merasa ngeri bukan main. Tubuhnya melayang lama sekali. Sudah terbayang di benak gadis ini tubuhnya akan hancur di dasar lubang. Kengerian Melati berganti dengan keheranan ketika luncuran tubuhnya melambat. Semakin lama semakin lambat. Seakan ada kekuatan tak nampak yang menahan luncuran tubuhnya.
"Wahai, Wanita Muda. Rupanya kau yang terpilih menjadi pencegah angkara murka yang tengah terjadi di dunia persilatan. Keselamatan orang banyak berada di tanganmu. Nyawa mereka tergantung dari usahamu ini. Kalau kau berhasil mereka semua akan selamat."
Melati mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tidak terlihat apa pun. Suara itu seakan muncul begitu saja. Tempat di sekitar Melati tidak terlalu luas. Di belakangnya dinding batu. Jalan satu-satunya yang ada hanya lorong di depan.
"Kau tak usah mencari tahu siapa aku, Wanita Muda. Percuma, Lebih baik kuperlihatkan padamu angkara murka yang tengah terjadi di dunia persilatan karena pusaka Telur Elang Perak terjatuh ke tangan orang tak bertanggung jawab."
Kemudian, suara tanpa wujud itu menceritakan tentang Telur Elang Perak sampai Melati merasa jelas. Begitu penjelasan itu berakhir, di tanah terlihat gambar seorang pemuda berpakaian indah merajalela membunuhi orang-orang. Melati merasa ngeri melihatnya. Dia bisa memperkirakan betapa dahsyatnya kemampuan yang dimiliki pemuda pengacau itu.
"Kejadian ini yang akan menimpa apabila kau gagal dengan tugasmu."
Melati hampir terpekik. Di tanah tampak gambar Dewa Arak bersama dua orang kakek tengah bertarung mati-matian melawan Lanang. Seperti gambar sebelumnya, Melati melihat Lanang berhasil memporak-porandakan lawan-lawannya. Arya dan dua kakek itu dibuat tidak berdaya. Lanang menghampiri Dewa Arak, siap untuk membunuh!
"Kejadian itu akan terjadi, Wanita Muda. Dewa Arak mungkin akan tewas. Usahamu di sini untuk mendapatkan Mustika Ular Emas. Apabila pusaka itu berhasil kau dapatkan, kau bisa mencegah terjadinya hal itu."
"Bagaimana aku bisa mendapatkan mustika itu?" tanya Melati.
"Ikuti saja Lorong Batas Dunia ini. Di ujung lorong akan kau temukan makhluk Ular Emas. Ular yang tidak terdapat di dunia. Hanya perlu kau ingat, Wanita Muda. Perjalanan melalui lorong ini tidak mudah. Banyak halangan menghadang. Mudah-mudahan kau mampu mengatasinya. Waktu yang kau miliki terbatas. Kau harus bergegas."
Begitu suara itu lenyap, Melati segera melesat ke depan. Karena Melati tidak ingin celaka, dia bertindak sangat hati-hati. Baru beberapa tindak Melati mendengar bunyi mencurigakan di atasnya. Melati masih sempat menoleh sebelum buru-buru melompat ke depan dan menggulingkan tubuh menjauh.
Atap lorong runtuh membawa batu-batu sebesar kerbau. Melati menghela napas lega. Dia baru saja selamat dari bahaya. Sekarang Melati melangkah dengan lebih hati-hati lagi. Sepasang matanya diedarkan berkeliling. Tidak hanya tanah yang ditelitinya, tapi juga dinding dan atap.
"Uh...!" Melati terkejut ketika kakinya amblas ke dalam tanah. Tanah yang diinjaknya ternyata tidak keras, melainkan lunak seperti lumpur. Yang lebih mengejutkan, ada tarikan amat kuat dari dasar tanah. Melati langsung tahu sebelah kakinya terperangkap dalam lumpur hidup.
Gadis berpakaian putih ini menelan ludah dengan susah payah. Nyawanya hampir saja tidak bisa terselamatkan. Apabila kedua kakinya terjebak dalam lumpur hidup tidak mungkin dia dapat menariknya keluar. Beruntung hanya satu kakinya yang terjeblos hingga dengan mudah ditariknya keluar. Melati berpikir keras mencari jalan untuk melalui tempat mengerikan ini. Lorong yang lebarnya tak lebih dari dua tombak ini buntu terhadang hamparan lumpur hidup.
Kendati demikian, hamparan lumpur hidup itu tidak terlalu panjang. Hanya, Melati belum tahu di mana batasnya. Sebentar kemudian, Melati mendapatkan sebuah cara. Dia kembali ke tempat di mana terdapat runtuhan. Diambilnya beberapa belas batu sebesar kepala bayi. Dengan mempergunakan baru ini Melati berusaha mengetahui akhir hamparan lumpur hidup.
Mula-mula gadis ini melemparkan batu ke depan sejauh lima tombak. Ternyata begitu menyentuh tanah batu itu langsung amblas Melati mengulanginya beberapa kali sampai batu yang dilemparkan tidak tenggelam. Itu berarti telah mencapai tempat yang aman. Tempat yang di bawahnya tidak tersembunyi lumpur hidup.
Karena jarak tempat itu tak kurang dua puluh tombak, jarak yang tidak mungkin untuk dilompati, Melati menggunakan batu-batu kecil sebagai penolong. Batu itu dilemparkannya ke depan lalu dia melompat memijak batu sebagai landasan, melemparkan batu yang lain dan menjadikannya sebagai landasan. Begitu seterusnya hingga akhirnya berhasil tiba di ujung hamparan lumpur hidup dengan selamat. Melati melangkah maju lagi. Jantungnya berdetak jauh lebih cepat. Sinar kuning keemasan tampak di kejauhan.
"Itukah Ular Emas?" tanya Melati dalam hati.
Seiring dengan semakin dekatnya jarak Melati, sinar itu terlihat semakin membesar. Melati mencium aronga wangi yang aneh. Melati terhuyung ketika aroma wangi semakin menyengat hidung dan membuatnya pusing. Gadis ini berusaha bertahan. Cukup lama keadaan itu menyiksa Melati. Pengaruhnya semakin menghebat sebelum akhirnya berkurang dan kemudian lenyap.
Melati meneruskan langkahnya lagi. Kali ini tidak ada hambatan sama sekali sampai ia berhadapan dengan pemilik sinar keemasan. Seekor ular yang amat besar dan panjang. Tak kurang dari lima tombak. Sekujur tubuh binatang itu mengeluarkan sinar kuning keemasan.
"Ular Emas...?!" desis Melati dalam perasaan takjub yang tak terkira. Dengan pandang mata terpaku pada binatang menakjubkan Melati mengayunkan kaki mendekat. Ketika tinggal dua tombak lagi terdengar bunyi letupan kecil. Asap tebal menyelimuti sekujur tubuh ular. Melati terlompat ke belakang saking kagetnya. Begitu asap sirna, di tempat ular berada tergeletak sebuah benda bulat sebesar buah salak. Benda itu berwarna kehijauan. Sinarnya benar-benar luar biasa. Sekitar tempat itu jadi bersemu kehijauan.
"Kuucapkan selamat atas keberhasilanmu, Wanita Muda. Kaulah yang akan mencegah angkara murka akibat Telur Elang Perak. Itulah Mustika Ular Emas. Kau berhasil lolos dari hambatan terakhir kendati tidak terlalu mulus."
"Mengenai lumpur hidup itu...?" duga Melati sekenanya.
"Bukan. Aroma wangi, Wanita Muda. Wangi-wangian itu bukan sembarangan. Tapi, ujian yang paling penting. Apabila yang menciumnya orang yang berwatak jahat dia akan tewas seketika. Pendekar yang berhati bersih tidak akan terkena pengaruh itu. Kau terpengaruh cukup berat. Berarti masa lalumu penuh dengan gelimang darah orang yang tidak bersalah. Hanya saja kau telah lama sadar hingga tidak tewas."
Tanpa sadar Melati bergidik. Mustika itu tidak bisa didapat oleh tokoh sesat. "Apa yang harus kulakukan dengan benda itu?" tanya Melati kemudian.
"Ambil saja. Begitu kau pegang mustika itu akan lenyap. Dia masuk ke dalam tubuhmu secara aneh. Kau tidak usah bingung mencari penjahat keji itu. Mustika di dalam tubuhmu akan menuntun langkahmu menuju ke arahnya. Begitu berhadapan, mustika itu sendiri yang akan melaksanakan tugas. Dia akan mengejar ke mana pun penjahat keji itu pergi. Sedikit tambahan bagimu, bukan hanya mustika ini saja yang seperti hidup, tapi juga Telur Elang Perak. Penjahat keji itu akan tahu bahaya mengancam begitu kau berada di dekatnya. Telur Elang Perak yang memberi tahu."
* * *
Sampai di sini ingatan Melati buyar. Dilihatnya Lanang terus mundur dengan wajah menampakkan rasa takut.
"Sudah saatnya kau melihat akhirat, Lanang!" ucap Melati dengan suara berwibawa. Kemudian, mulutnya dibuka lebar-lebar.
Lanang yang sejak tadi takut bukan main semakin pucat pasi wajahnya. Dilihatnya benda bulat berwarna kehijauan keluar dari mulut Melati. Sambil mengeluarkan jerit ketakutan yang memilukan hati, Lanang membalikkan tubuh dan berlari lintang pukang. Benda bulat kehijauan itu meluncur dan mengejarnya. Kecepatannya tak kalah dengan kecepatan lari Lanang!
"Aaa...!" Semua yang berada di situ bergidik ngeri mendengar jeritan yang mendirikan bulu roma itu. Jeritan orang yang menderita kesakitan hebat. Jeritan itu panjang, lalu lenyap.
"Tamatlah riwayat Lanang," desah Eyang Brihaspati, lega. Tidak hanya kakek itu yang merasa lega, tapi semuanya. Terutama Arya. Melati yang dikhawatirkannya celaka justru yang menamatkan riwayat Lanang.
Melati membalikkan tubuh menatap Arya. Kemudian, dia mengayunkan kaki menghampiri. Melati melihat Arya tersenyum. Gadis itu balas tersenyum dan terus melangkahkan kaki. Ada kerinduan yang dalam pada sepasang mata bening indah itu.
Di lain tempat nun jauh di sana, Dirgantara dan Jumini tersenyum bahagia, penuh rasa cinta. Kendati di lubuk hati mereka masih ada ganjalan bila teringat Brawijaya. Keduanya ingin cepat-cepat bertemu pemuda itu dan menerangkan maksud hati mereka.
SELESAI
Selanjutnya,