Dewa Arak - Malaikat Tanpa Wajah
Karya : AjisakaSATU
SEBUAH perahu kecil bergerak lambat mendekati pinggir sungai. Satu-satunya penumpang di perahu itu adalah seorang pemuda tampan berpakaian ungu. Ketika perahu sudah mencapai tepi sungai, ditariknya agak ke darat lalu ditambatkan pada sebatang tonggak.
Pemuda yang memiliki wajah jantan dan bertubuh tegap kekar itu kemudian mengambil keranjang rotan berisi ikan dari lantai perahu. Sejenak pandangannya diedarkan berkeliling. Arah tatapannya terhenti pada pohon yang tergolek di tanah, sekitar sepuluh tombak dari tempatnya berada.
Langkahnya terayun begitu cepat. Sekejap saja pemuda yang mengenakan caping dan menjinjing keranjang rotan itu telah berada di dekat pohon meranggas yang tergolek di tanah. Pemuda itu melepas capingnya.
Rambutnya yang digelung ke atas pun diuraikan. Panjang mencapai pinggang dan benwarna putih keperakan! Rambut yang mempunyai warna tidak seperti rambut pemuda pada umumnya itu diayunkannya ke arah batang pohon.
Crasss!
Batang pohon sepanjang satu tombak dengan besar sepelukan tangan orang dewasa itu terbelah dua. Rambut yang telah menegang kaku karena aliran tenaga dalam, hingga tak ubahnya sebilah pedang, menghantamnya dengan telak.
Pemuda berpakaian ungu tampaknya bukan orang sembarangan. Dia memiliki ilmu cukup tinggi. Terbukti, dapat menggerakkan rambutnya untuk membelah pohon. Ketika rambutnya kembali menghantam, batang pohon terbelah menjadi puluhan potongan kayu sebesar pergelangan tangan.
Si pemuda lalu menghempaskan pantatnya pada belahan batang pohon yang lain. Dengan bantuan batu api dia membuat perapian dari potongan-potongan kayu yang tadi dibelahnya! Beberapa saat kemudian, dia sibuk memanggang ikan-ikan hasil tangkapannya.
Bau sedap menyebar ke sekitar tempat itu. Pemuda berambut putih keperakan ini mendengar bunyi langkah kaki mendekati tempatnya berada. Datangnya dari arah belakang. Karena, saat ini dia tengah duduk menghadap sungai.
Tapi meskipun tahu akan adanya orang yang menuju ke tempatnya, si pemuda bersikap biasa saja. Dia tetap meneruskan kesibukannya. Hanya indera pendengarannya lebih dipertajam. Sikapnya pun terlihat sedikit waspada untuk rnenjaga segala kemungkinan yang tak diinginkan.
"Ayah...!" Tertangkap oleh telinga pemuda tampan itu nada ucapan yang halus dan merdu. Suara itu begitu lirih. Kalau saja ia tak memiliki pendengarannya yang luar biasa tajam, tak akan terdengar sapaan itu.
"Menurut pendapatku, tak perlu kita mencari tahu siapa pemilik perahu itu. Lagi pula, andai kata benar pemiliknya adalah orang yang tengah memanggang ikan, tak perlu kita minta izinnya...."
"Maksudmu kita mencurinya. Begitu, Pringgani?!" timpal orang yang disapa ayahnya.
"Tidak seperti itu, Ayah," bantah suara seorang gadis. "Maksudku, kita bawa saja dulu perahu itu. Kelak kita akan kembalikan ke sini dan sekaligus memberikan ganti rugi yang berlipat ganda. Kau tahu sendiri Ayah, waktu kita sangat sempit. Aku khawatir...."
"Lupakan saja maksudmu itu, Pringgani," potong sang ayah, tak sabar. "Aku tak setuju dengan usulmu. Aku lebih baik mati daripada harus melakukan kejahatan yang memalukan ini! Mencuri perahu. Huh! Betapa rendahnya!"
Pringgani tak memberikan tanggapan lagi. Ia tahu pendirian ayahnya tak mungkin dapat berubah. Dia hanya menghela napas berat dan menampakkan sikap tak puasnya. Dengan roman wajah seperti itu, diikutinya ayahnya yang tengah menghampiri pemuda berpakaian ungu.
"Maaf, Kisanak...." Sapaan yang dikeluarkan ayahnya Pringgani membuat pemuda berpakaian ungu tak dapat terus berpura-pura tidak mengetahui kehadiran mereka.
"Ada apa, Paman?" pemuda itu bangkit berdiri setelah meletakkan ikan panggangnya.
Diperhatikannya dua sosok tubuh yang berdiri di hadapannya. Terlihatlah seorang lelaki setengah baya, berkumis tebal, dan berpakaian putih. Lelaki ini mengembangkan senyum ramah di bibir. Sebaliknya, di sebelahnya dengan wajah cemberut berdiri seorang gadis jelita bertubuh montok dan berpinggang ramping.
Hanya sekilas pemuda berpakaian ungu memperhatikan Pringgani. Perhatiannya kini lebih ditunjukkan pada wayah gadis itu. Di samping tak nyaman menatap wajah yang cemberut, juga ayahnya Pringgani mengajaknya berbicara.
"Kau tahu pemilik perahu itu?" tanya laki-laki berpakaian putih seraya menunjuk ke arah sungai.
"Tahu, Paman. Akulah pemiliknya."
"Sungguh kebetulan sekali!" sahut ayahnya Pringgani, gembira. "Saat ini aku sangat membutuhkan perahu untuk menyeberangi sungai ini bersama anakku, Kisanak. Sayang, kami telah kehabisan uang, jadi tak bisa membeli atau menyewanya. Tapi percayalah, aku Paksi Dilaga, bukan seorang penipu. Kelak kami akan kembali dan memberikan ganti rugi yang berlipat ganda. Bagaimana, Anak Muda?"
Pemuda berpakaian ungu meneliti wajah lelaki setengah baya yang tengah menatapnya. Dia sedang menunggu jawaban atas permintaannya. "Ambil saja, Paman. Tampaknya kau lebih memerlukannya daripada aku," jawab pemuda itu kemudian.
Wajah Paksi Dilaga langsung berseri-seri. Lelaki ini kelihatan gembira sekali. Ditatapnya sang pemuda penuh rasa terima kasih, kemudian mengalihkannya pada putrinya. "Bagaimana, Pringgani? Bukankah keputusan yang Ayah ambil jauh lebih tepat? Kita tak perlu melakukan tindakan yang tercela untuk mendapatkan sebuah perahu."
Pringgani hanya tersenyum pahit. Kendati demikian, kilatan pada sepasang matanya yang bening dan indah menyiratkan kegembiraan pula. Betapapun juga, dia lebih gembira mendapatkan perahu itu tanpa perlu mencurinya. Pringgani sama sekali tidak mengira akan demikian mudah memintanya. Hasil yang menyenangkan ini membuatnya agak memperhatikan pemilik perahu. Namun, dengan diam-diam dia melakukannya. Sebagai seorang gadis, dia merasa malu untuk memperhatikan seorang pemuda secara terang-terangan.
Dalam pandangan yang hanya sekilas itu Pringgani harus mengakui kalau sang pemilik perahu tersebut cukup menarik. Tubuhnya tegap dan kekar. Sayang, wajahnya tak terlihat jelas karena terhalang oleh caping yang bertengger di kepalanya.
"Terima kasih, Anak Muda. Kau baik sekali. Kami tak akan melupakan budi baik ini. Bila Tuhan mengizinkan, kami akan kembali untuk membalas jasamu. Siapa kau, Anak Muda? Dan di mana tempat tinggalmu?" tanya Paksi Dilaga.
Pemuda berpakaian ungu ini tersenyum. "Lupakan saja, Paman. Aku tak menganggap hal ini sebagai budi yang harus dibalas. Namaku Arya," sahut pemuda ini, masih dengan tersenyum.
"Aku Paksi Dilaga, Arya. Dan ini putiku. Pringgani," Paksi Dilaga balas memperkenalkan diri. Dia tak mendesak ketika Arya tak mengatakan di mana tempat tinggalnya.
"Tapi apa pun pendapatmu kami tak akan bisa melupakan budi baik ini. Kalau saja waktu mengizinkan, kami suka berbincang-bincang denganmu. Sayang, kami mempunyai urusan penting yang harus segera diselesaikan. Sekali lagi terima kasih atas kebaikan hatimu, Arya."
Pemuda berpakaian ungu yang bernama Arya Buana alias Dewa Arak ini, hanya tersenyum. Dan senyum pemuda ini semakin lebar ketika melihat Pringgani melempar senyum pula padanya. Senyum tipis yang mengutarakan perasaan terima kasih.
Arya menatap kepergian Paksi Dilaga dan putrinya yang bergegas menuju tepi sungai. Baru ketika ayah dan anak itu telah menghanyutkan perahu ke sungai, pemuda ini meneruskan kesibukannya yang tadi tertunda. Diraih ikan panggangnya yang telah matang dan hampir dingin. Perutnya telah sejak tadi menjerit-jerit minta diisi.
Arya merebahkan tubuhnya di tanah. Punggungnya disandarkan pada batang pohon yang tadi didudukinya. Perut kenyang dan angin bertiup lembut yang bertiup membuatnya mengantuk.
Saat itu cuaca sudah tidak pagi lagi. Matahari telah naik cukup tinggi. Namun, awan-awan yang menggantung di angkasa membuat keadaan dipersada tidak terasa panas. Malah Arya merasa cukup nyaman sehingga jatuh tertidur.
Baru beberapa saat terlena, pemuda berpakaian ungu ini terbangun. Dia mendengar bunyi derap kaki kuda bertubi-tubi menghantam bumi. Dari bunyinya yang semakin keras, agaknya binatang itu berlari cepat menuju ke arahnya.
Arya tak bergeming dari sikapnya. Bahkan ketika bunyi derap kaki kuda tidak terdengar lagi, dan sekitar dua tombak di hadapannya telah berdiri tiga ekor kuda perkasa dengan tiga orang penunggang di atasnya. Ketiga orang penunggang kuda itu menatap Arya yang masih merebahkan tubuh dengan bersandarkan pada batang pohon.
"Bagaimana Angkeran?" tanya penunggang kuda coklat putih, seraya menoleh pada penunggang kuda hitam di sebelahnya. "Perlukah kita tanyakan pada anjing kecil itu tentang kelinci-kelinci buruan kita?"
Angkeran, lelaki tinggi besar berkulit hitam dan berikat kepala loreng, mengelus-ngelus cambang bauknya yang lebat. "Kurasa tak ada salahnya kita tanyakan pada anjing kecil itu, Longga!" tandas Angkeran kemudian. Suaranya parau dan keras.
Longga, yang memiliki kepala botak dan berbibir sumbing tampak meyeringai. Dia merasa gembira mendapatkan dukungan Angkeran. Sorot sepasang matanya memancarkan maut ketika ditujukan pada Arya.
"Sudah nasibnya anjing kecil itu menjadi korban sembelihan kita!" desis Longga. Suaranya melengking tinggi, mirip ringkik kuda. Mungkin cacat pada bibirnya yang menyebabkan suaranya terdengar demikian.
Angkeran dan penunggang kuda yang lainnya tertawa bergelak mendengar ucapan Longga. Teman Angkeran ini bertubuh tinggi kurus dan berkulit kuning seperti penyakitan. Dunggul namanya.
Dengan diiringi tawa Angkeran dan Dunggul, Longga melompat dari punggung kuda. Dihampirinya tempat Dewa Arak merebahkan diri. Sekitar lima kaki dari pemuda berpakaian ungu itu, lelaki berkepala botak ini mengibasakn tangannya.
Wuuusss!
Angin luar biasa keras meluruk ke arah Arya. Longga dan kawan-kawannya telah membayangkan tubuh pemuda berambut putih keperakan itu akan terlempar jauh, lalu terbanting keras di tanah. Paling ringan Arya akan patah tulang.
Namun kenyataan yang terlihat membuat ketiga lelaki itu kebingungan. Dewa Arak memang terlempar dari tempat semula. Tapi tidak hanya pemuda itu sendiri yang benasib demikian. Batang pohon yang menjadi sandaran punggungnya pun ikut terlempar, dalam keadaan masih menempel dengan punggung Arya!
Keterkejutan Longga dan kawan-kawannya semakin besar. Arya dan batang pohon itu kembali ke tempat semula setelah melayang beberapa tombak, seakan-akan ditarik kekuatan tak nampak. Tak terdegnar suara berisik ketika mendarat di tanah.
Longga, Dunggul, dan Angkeran langsung mengetahui kalau kejadian yang menimpa Dewa Arak bukan sebuah kebetulan. Dungkul dan Angkeran tahu betul kejadian aneh itu bukan terjadi karena perbuatan Longga. Lelaki berkepala botak itu tak bermaksud demikian ketika mengibaskan tangannya.
Longga bermaksud membangunkan Arya yang dikiranya tengah tertidur. Wataknya yang keji membuat lelaki ini membangunkan tidak dengan cara baik-baik. Kibasannya hendak membuat tubuh Arya terlempar lalu jatuh terbanting. Kalaupun batang pohon ikut terlempar, karena tubuh Dewa Arak bersandar padanya, tidak akan seperti ini kejadiannya.
Setelah keterkejutan yang melanda mereka, Longga langsung naik pitam. Kejadian itu pasti disengaja oleh Dewa Arak. Dan, mereka menganggap hal itu sebagai tantangan! Longga menggeram. Tapi, bunyi yang tercipta tak ubahnya ringkik seekor kuda.
"Rupanya kau punya kepandaian juga, Anjing Kecil! Kau mau main-main denganku, heh?! Baik, kuladeni! Tapi sebelumnya kuberitahukan dulu dengan siapa kau berhadapan. Aku Longga, salah seorang dari Tiga Hantu Pantai Selatan. Nah! kalau kau bukan seorang pengecut, perkenalkan dirimu! Merupakan pantangan besar bagiku membunuh orang yang tak terkenal sama sekali!"
"Kalau begitu sekali ini kau langgarkan pantanganmu, Longga. Aku tak mau memberitahukan nama atau julukanku. Apalah artinya semua itu!" sambut Arya tanpa merubah sikapnya. "Lagi pula, untuk apa kuberi tahu. Toh, kau pun tak akan menyapa dengan namaku. Panggil saja aku sekehendak hatimu, Longga!"
"Sombong!" geram Longga. Sepasang alisnya hampir bertaut karena amarah yang melanda. "Rupanya pertunjukan tak ada artinya yang kau pamerkan tadi membuatmu besar kepala! Kau tak tahu tingginya langit dan dalamnya lautan, Anjing Buduk!"
"Jadi, kau tahu tingginya langit dan dalamnya lautan, Longga? Sungguh kebetulan sekali! Boleh aku tahu berapa tingginya langit dan dalamnya lautan? Barangkali saja nanti ada yang menanyakan hal itu padaku."
Bukan hanya Longga, Dunggul, dan Angkeran pun terkesima mendengar sambutan Arya. Terutama Longga. Mereka tak menyangka akan mendapatkan tanggapan seperti itu. Sadarlah Longga kalau dirinya menjadi korban permainan Arya.
"Anjing kecil! Mampuslah kau...!" Longga mengirimkan pukulan jarak jauh bertubi-tubi dengan kepalan tangan kanan-kirinya. Angin keras menderu saling susul, meluruk deras ke arah Dewa Arak.
Arya tahu, Longga tak main-main lagi. Serangan-serangan jarak jauhnya mengandung pengerahan tenaga dalam kuat. Maka, dia pun tak bisa bertindak sembarangan seperti sebelumnya. Dewa Arak membuka kelopak mata, lalu tangannya dikibaskan bagaikan orang mengusir lalat. Batang pohon yang menjadi tempat sandaran punggungnya bergeser ke belakang seperti didorong, membawa serta tubuh pemuda berambut putih keperakan itu.
Serangan-serangan Longga pun kembali kandas. Dan hanya mengenai tanah beberapa tombak di depan sasaran yang dituju. Bunyi riuh-rendah terdengar ketika pukulan-pukulan jarak jauh itu menghantam. Debu mengepul tinggi. Ketika telah sirna tertiup angin, terlihat lubang-lubang cukup besar di tanah.
"Nasibmu cukup baik, Anjing Cilik! Dua kali kau lolos dari seranganku. Tapi, jangan besar kepala! Belum pernah ada seorang pun yang mampu menandingiku selama belasan tahun aku merajalela di dunia persilatan. Jangan mimpi kau bisa selamat dari tanganku!"
Longga menutup ucapannya dengan sebuah terkaman. Kegagalan berturut-turut membuat lelaki botak ini memutuskan untuk mengadakan pertarungan jarak dekat. Dewa Arak bangkit berdiri. Dipapaknya kedua cakar lawan yang mengancam dada. Jari-jari tangan pemuda berambut putih keperakan ini terkembang membentuk cakar pula.
Prattt!
Tubuh Longga terpental ke belakang ketika benturan itu terjadi. Namun, dengan gerakan yang ringan lelaki ini berhasil mematahkannya. Dijejaknya tanah dengan kedua kaki, kendati agak terhuyung. Arya sendiri tak mengalami akibat yang berarti. Angkeran dan Dunggul terdengar mengeluarkan seruan kaget. Kalau tak melihat sendiri, kedua orang ini tak akan percaya. Mana mungkin Longga dibuat terlempar dalam satu benturan seperti itu.
"Apakah Longga tidak bersungguh-sungguh dengan serangannya, sehingga dengan begitu mudah dapat dipatahkan?!" pikir Angkeran dan Dunggul. "Tapi, rasanya tak mungkin. Lubang besar pada tanah telah menjadi bukti kalau Longga mengeluarkan seluruh tenaganya."
Tak hanya Angkeran dan Dunggul yang menduga, Dewa Arak memiliki kepandaian tinggi. Longga pun demikian. Kejadian terakhir membuatnya yakin kalau Arya bukan lawan yang dapat dengan mudah dirobohkan. Meskipun demikian, keyakinannya akan kepandaian dirinya membuat lelaki botak ini tak bisa menerima kekalahannya. Dengan didahului pekikan melengking, dia kembali menyerang Dewa Arak.
Pertarungan jarak dekat pun berlangsung begitu Arya menyambuti. Longga demikian bersemangat. Dia menyerang kalang kabut, seperti harimau terluka. Setiap serangannya tak ubahnya tangan-tangan malaikat maut yang siap merenggut nyawa. Angin keras dan bunyi bersiutan senantiasa mengiringi setiap gerakan Longga.
Dewa Arak kelihatan demikian tenang. Pemuda itu hanya mengelak ke sana kemari. Dia belum melancarkan serangan balasan. Dunggul dan Angkeran yang memperhatikan jalannya pertarungan segera mengetahui kalau Dewa Arak terlalu tangguh. Kalau dibiarkan, Longga akan roboh di tangan lawannya.
Longga sendiri belakangan baru menyadari kalau Dewa Arak benar-benar terlalu tangguh baginya. Setiap serangannya dengan mudah ditangkal Arya. Sebaliknya, dia selalu terpontang-panting setiap kali pemuda berambut putih keperakan itu balas menyerang. Beberapa kali tokoh tiga Hantu Pantai Selatan itu jatuh terjengkang.
Dalam belasan jurus saja Longga telah terdesak hebat. Serangan-serangannya sekarang tak terlihat lagi. Lelaki botak ini hanya bisa bermain mundur dan terus-menerus mengelak. Hanya sesekali dia menangkis. Itu pun karena tak ada pilihan lain.
Keadaan Longga membuat Dunggul dan Angkeran tak bisa tinggal diam. Setelah saling pandang sejenak, kedua tokoh Tiga Hantu Pantai Selatan ini melompat dari punggung kuda. Mereka lalu melesat ke kancah pertarungan untuk membantu Longga. Di saat berada di udara, Dunggul dan Angkeran mengeluarkan senjata andalan masing-masing. Dengan senjata di tangan kedua tokoh ini menyerang Dewa Arak.
Dunggul dan Angkeran ternyata turun tangan pada waktu yang tepat. Saat itu Longga terjengkang ke belakang, setelah menangkis serangan Dewa Arak. Ikut campurnya kedua rekan Longga membuat Arya membatalkan maksudnya untuk melancarkan serangan susulan.
Angkeran yang bersenjatakan golok besar berbatang lebar mengirimkan bacokan ke arah leher. Sedangkan Dunggul menusukkan trisulanya ke arah perut. Dua serangan yang mematikan itu meluncur dalam waktu yang bersamaan!
Serangan rekan-rekan Longga meluncur cepat. Tapi, gerakan Dewa Arak masih lebih cepat lagi. Pemuda ini mengelakkannya dengan melakukan lompatan harimau ke samping. Dilanjutkan dengan bergulingan di tanah, lalu melenting ke udara, dan menjejak tanah dengan mantap.
Dunggul dan Angkeran menggertakkan gigi karena geram. Mereka tak segera menyerbu Dewa Arak kembali. Yang dilakukan kedua tokoh ini adalah menatap Arya. Sepasang mata mereka seperti hendak menelan pemuda itu bulat-bulat.
Longga segera bergabung bersama kedua rekannya. Dia mengeluarkan sebuah gada berduri! Senjata yang mengerikan itu diamang-amangkannya di atas kepala. Tanpa bersepakat lebih dulu, Tiga Hantu Pantai Selatan ini mendekati Dewa Arak dengan cara berpencar.
Arya tetap berdiri diam di tempatnya. Pemuda ini tak bergeming sama sekali, seakan tak peduli akan tindakan lawan-lawannya. Sepasang bola matanya saja yang bergerak ke sana kemari. Siap menghadapi serbuan Tiga Hantu Pantai Selatan. Setindak demi setindak Angkeran dan rekan-rekannya semakin mendekati Dewa Arak. Senjata di tangan mereka putar-putarkan dan siap diluncurkan pada sasaran. Sementara Arya belum mengambil gucinya yang tersampir di punggung.
Tiga Hantu Pantai Selatan terkenal sebagai tokoh-tokoh sesat tingkat tinggi. Julukan mereka telah sampai ke telinga Arya. Tapi, baru kali ini dia berhadapan langsung dengan mereka. Arya tak berani memastikan akan dapat mengalahkan tokoh-tokoh sesat itu!
"Itu putri si keparat Paksi Dilaga!"
Seruan itu sebenarnya tak perlu dikeluarkan Longga. Angkeran dan Dunggul pun telah melihatnya. Hanya Arya yang tak melihat. Pemuda itu berdiri membelakangi sungai. Seruan tersebut membuat Arya menyempatkan diri menoleh ke belakang. Memang, ada sepercik dugaan kalau seruan itu sengaja dikeluarkan untuk mengalihkan perhatiannya. Bagi tokoh-tokoh sesat seperti Tiga Hantu Pantai Selatan, cara apa pun bukan merupakan masalah untuk mencapai kemenangan. Tidak ada istilah curang. Yang penting adalah menang!
Sekelebatan Arya menoleh. Waktu yang hanya sekejap itu telah cukup untuk membuktikan kebenaran seruan Longga. Pringgani tengah berenang menuju pinggir sungai!
"Mengapa Pringgangi berenang? Ke mana perahunya? Mana ayahnya?" pikir Arya bingung. Pandangannya kembali diarahkan pada Tiga Hantu Pantai Selatan. Arya tidak berani berlama-lama mengalihkan perhatian dari mereka, khawatir akan adanya serangan bokongan.
Kemunculan Pringgani menimbulkan pengaruh yang cukup besar. Bukan hanya pada Dewa Arak. Tapi, juga pada Angkeran dan rekan-rekannya. Arya melihat perhatian mereka terpecah. Pemuda berambut putih keperakan ini adalah seorang yang cerdik. Dari percakapan Tiga Hantu Pantai Selatan tadi, dia tahu kalau mereka tengah mengejar-ngejar gadis itu.
"Kau urus gadis liar itu, Longga. Biar anjing kecil yang usilan ini kami yang bereskan!" seru Angkeran, keras.
Belum juga gema seruan itu lenyap, Angkeran melesat menerjang Dewa Arak. Dunggul segera mengikuti tindakan Angkeran. Longga sendiri melesat cepat menuju pinggir sungai.
Di dalam hati Dewa Arak memuji kecerdikan Angkeran. Lelaki tinggi besar itu mampu berpikir cepat, sehingga Arya tak mempunyai kesempatan untuk menolong Pringgani, jika hal itu memang akan dilakukannya.
Dewa Arak sendiri memang bermaksud untuk menolong Pringgani. Kendati dia belum mengetahu urusan ketiga lawannya dengan gadis itu, tapi melihat Tiga Hantu Pantai Selatan, Arya dapat memperkirakan pihak mana yang harus dibantunya.
Arya tak mau bertindak ayal-ayalan karena Pringgani tengah terancam. Diambil guci araknya lalu diputarputarkan. Benteng sinar keperakan melindungi sekujur tubuh Arya. Demikian cepatnya putaran guci sehingga tubuh Dewa Arak terbungkus gulungan sinar.
Trang...! Trang...!
Bunyi nyaring berkali-kali terdengar. Diikuti dengan berpercikannya bunga-bunga api ke udara. Bunyi itu tercipta ketika golok dan trisula berbenturan dengan guci. Angkeran dan Dunggul memekik tertahan. Tubuh mereka terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang.
Sekujur tangan mereka sakit dan ngilu, bahkan hampir lumpuh. Cekalan terhadap senjatanya pun hampir terlepas. Mereka merasakan trisula dan goloknya seperti bukan membentur guci, melainkan tembok baja yang amat tebal, sehingga membuat tenaga mereka berbalik.
Di lain pihak, Dewa Arak tak terpengaruh dengan benturan yang terjadi. Kesempatan di saat kedua lawannya tengah terhuyung-huyung dipergunakannya untuk bersalto ke belakang. Kemudian, melesat ke pinggir sungai untuk menolong Pringgani dari ancaman Longga.
Angkeran dan Dunggul tak membiarkan tindakan Dewa Arak. Sambil memaki-maki kalang kabut, keduanya lalu melesat mengejar.
Sementara itu, di pinggir sungai. Pringgani yang melihat melesatnya Longga ke arahnya segera menyadari akan adanya bahaya. Dia mengenal Longga sebagai salah seorang di antara pengejar-pengejar dirinya dan ayahnya.
Maka, putri Paksi Dilaga ini pun mempercepat berenangnya. Dia berhasil tiba lebih dulu di pinggir sungai daripada Longga. Pringgani langsung mencabut pedang yang tersampir di punggung. Diterjangnya Longga yang baru tiba dengan sebuah tusukan ke arah leher. Menghadapi serangan maut itu, Longga hanya menyeringai meremehkan. Diayunkan gadanya untuk menangkis.
Trang...!
Pedang di tangan Pringgani terlepas dari pegangan, karena kuatnya benturan yang terjadi. Tubuh gadis itu pun terpental ke belakang. Longga tak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, dia melesat mengejar. Dikirimkannya tendangan kanan-kiri bertubi-tubi yang dilakukan dengan tubuh berputaran seperti gasing.
Pringgani terlihat gugup. Kedudukannya saat itu tidak menguntungkan. Tapi, dia tak ingin nyawanya yang hanya selembar itu melayang. Sebisa-bisanya dia mengelak.
Desss... !
Tubuh Pringgani terlempar ketika tendangan Longga menyerempet bahunya. Sepasang bibir yang merah membasah dan berbentuk indah itu mengeluarkan pekik kesakitan. Tapi, Longga belum puas! Lelaki botak ini mengirimkan serangan susulan dengan tendangan terbang. Saat itu tubuh Pringgani masih melayang di udara.
Bresss!
Jeritan menyayat hati keluar dari mulut Longga! Lelaki botak ini terlempar kembali ke belakang. Beberapa kaki sebelum serangannya mengenai sasaran, dari belakang Pringgani melesat dengan kecepatan tinggi si Dewa Arak! Pemuda berpakaian ungu itu memapak serangan Longga dengan tendangan terbang pula. Kemarahan besar yang melanda, melihat kekejaman Longga terhadap Pringgani, membuat Arya mengeluarkan seluruh tenaganya.
"Longga…!" Jeritan penuh rasa kaget dikeluarkan hampir berbarengan Angkeran dan Dunggul. Bagaikan telah disepakati sebelumnya, Dunggul melesat menuju ke arah melayangnya tubuh Longga. Sedangkan Angkeran dengan kemarahan meluap-luap menyerbu Dewa Arak.
Arya yang saat itu hendak menangkap tubuh Pringgani terpaksa mengurungkan niatnya. Dia memutushan untuk lebih dulu menghadapi serangan Angkaran. Serangan yang tertuju ke arah dada itu dihadapinya dengan mengegoskan kepala.
Wung…!
Caping yang sejak tadi bertengger di kepala Arya melesat dengan kecepatan tinggi, memapaki serangan golok Angkeran. Caping meluncur bagaikan dilontarkan tangan yang memiliki tenaga dalam tinggi. Di saat caping meluncur, Dewa Arak memutar-mutarkan rambutnya di atas kepala. Angin keras berhembus searah dengan luncuran caping.
Pyarrr...!
Caping hancur berkeping-keping ketika berbenturan dengan golok Angkeran. Tapi, Angkeran sendiri terjengkang ke belakang. Tangannya bergetar hebat dan senjata hampir terlepas dari pegangan. Belum lagi tokoh Tiga Hantu Pantai Selatan ini berhasil meredakan rasa terkejutnya, hancuran-hancuran caping yang semula berpencaran ke berbagai penjuru meluncur deras ke arah Angkeran. Putaran rambut Dewa Arak yang menjadi penyebabnya! Putaran yang mengandung tenaga dalam kuat itu mengarahkan kepingan-kepingan caping ke arah Angkeran.
Crap, Crap, Crappp...!
"Aaakh...!" Angkeran menjerit kesakitan. Kepingan-kepingan caping menancap di paha, bahu, dada, dan perutnya. Padahal lelaki tinggi besar ini telah berusaha mengelakkannya. Tapi karena banyaknya kepingan, usahanya tak sepenuhnya berhasil. Darah pun mengucur dari bagian tubuh yang terluka. Bahkan, sebelah tangan dan kakinya yang terhujam kepingan caping sukar untuk digerakkan.
Dewa Arak tak mempergunakan kesempatan itu untuk melancarkan serangan. Dia malah menatap Angkeran dengan sorot tajam. Angkeran balas menatap penuh dendam. Dia tak menyerang lagi. Tak ada gunanya hal itu ditakukan. Lawan terlalu lihai untuknya. Apalagi setelah sebelah kaki dan tangannya lumpuh.
Beberapa saat lamanya mereka saling bertatapan. Angkeran kemudian terlihat mengangguk-anggukkan kepala. Dia telah bisa memperkirakan siapa adanya pemuda berpakaian ungu ini. Pakaian, guci, dan terutama sekali rambutnya yang putih keperakan telah menjadi petunjuk yang jelas.
"Kau..., Dewa Arak, bukan?" tanya Angkeran meminta kepastian.
"Kalau benar, mengapa?" Arya malah balas bertanya Wajahnya tampak penuh kesungguhan. Tak lagi bermain-main seperti ketika berbicara dengan Longga.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan kalau kau adalah tokoh sombong dan usilan yang sering dibicarakan orang," kilah Angkeran. Mulutnya menyeringai oleh rasa sakit pada lukanya yang mulai menggigit.
"Aku memang tokoh yang kau maksudkan itu. Puas?!" tandas Arya.
Angkeran membuang ludah dengan sikap angkuh. Kasar dan menjijikkan sekali carannyaa. Bahkan, sepasang matanya masih tertuju pada Arya dengan sinar mata penuh tantangan.
"Pergilah, Angkeran," Dewa Arak mengalihkan pembicaraan. "Aku tak mempunyai urusan denganmu dan kawan-kawanmu. Memang nama besar kalian telah sampai ke telingaku. Tapi, kejahatan kalian belum pernah kusaksikan! Jadi sebelum pikiranku berubah, pergilah. Bawa rekan-rekanmu meninggalkan tempat ini!"
Angkeran menggertakkan gigi. Dia merasa terhina sekali. Tapi, disadarinya pula tidak ada gunanya mengikuti perasaan. Dewa Arak terlalu tangguh untuk dihadapi. "Nama besarmu pun telah lama kudengar, Dewa Arak. Gaung yang menggema di dunia persilatan memang tak terlalu berlebihan. Kau sungguh lihai. Aku dan kawan-kawanku menerima kekalahan hari ini. Tapi ingat, urusan kita belum selesai sampai di sini. Kelak kami akan datang dan mengirim nyawamu ke neraka! Camkan itu!"
Arya hanya mengangkat bahu. Seakan tak begitu peduli dengan keputusan Angkeran. Sementara Angkeran, setelah mengeluarkan ancaman itu, membalikkan tubuh dan meninggalkan Dewa Arak dengan tertatih-tatih. Kendati demikian dadanya dibusung-busungkan! Dihampirinya Dunggul yang telah memanggul tubuh Longga.
Longga tak sadarkan diri. Benturan dengan Dewa Arak berakibat terlalu dahsyat untuk dirinya. Kedua kakinya patah dan terluka dalam. Untung saja Dunggul lebih dulu menangkap tubuhnya sebelum terbanting keras di tanah. Kalau tidak, Longga akan lebih menderita lagi.
Dunggul tak bicara apa-apa ketika melihat Angkeran meninggalkan Dewa Arak. Memang, ada sedikit rasa tak puas di hatinya melihat Angkeran tak mau melanjutkan pertarungan. Namun, akal sehatnya membuat Dunggul dapat membenarkan keputusan tersebut. Karena itu, setelah melemparkan kerling penuh dendam pada Dewa Arak, dia mengikuti rekannya meninggalkan tempat itu.
"Benarkah kau Dewa Arak?!" tanya Pringgani. Nada suaranya terdengar penuh keterkejutan.
Gadis berpakaian kuning ini menatap Arya lekat-lekat. Sorot mata itu mengandung kekaguman dan ketidak-percayaan. Dia telah mendengar tentang julukan Dewa Arak. Sudah lama Pringgani mengaguminya. Tapi, sungguh dia tak pernah menyangka akan dapat bertemu.
Arya berdiri berhadapan dengan putri Paksi Dilaga itu. Dikembangkannya senyum lebar seraya menganggukkan kepala. "Benar Nona," jawab Arya kalem.
"Kalau saja tak melihat sendiri kepandaianmu dan mendengar tokoh sesat itu menyebutkannya, aku tak akan pernah tahu kau adalah Dewa Arak. Semula kukira kau seorang nelayan biasa...."
"Berita yang tersebar di dunia persilatan terlalu berlebihan, Nona," sahut Arya merendah.
"Sama sekali tidak! Persis seperti yang kudengar mengenai dirimu, Dewa Arak. Seorang pendekar muda yang sakti, rendah hati, dan budiman. Pakaian yang dikenakan berwarna ungu, rambut putih keperakan, dan guci perak yang merupakan senjata andalannya," puji Pringgani. Sepasang matanya tampak berbinar-binar. Tak dipedulikan sahutan Arya yang menyanggah pujiannya pertama tadi.
Arya hanya tersenyum tipis menanggapi pujian-pujian Pringgani. "Gembira sekali aku bisa bertemu denganmu, Dewa Arak. Tapi sayang...," desah putri Paksi Dilaga itu. Kemudian menghela napas berat. Wajahnya yang semula berseri-seri mulai tersaput awan kedukaan.
Arya mengerutkan sepasang alisnya. Dia tak mengerti maksud ucapan gadis berpakaian kuning itu. Tapi, Arya tak mengutarakan ganjalan perasaannya. Pringgani telah melanjutkan ucapannya.
"Kalau saja di saat perjumpaan kita pertama kali aku tahu kau adalah Dewa Arak, mungkin sekarang aku tak perlu berpisah dengan ayahku."
"Sejak tadi pun aku bertanya-tanya sendiri mengapa kau tak bersama ayahmu, Nona. Ke mana beliau, dan mengapa kau kembali dengan berenang?" Arya mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi menggayuti benaknya.
Wajah Pringgani semakin muram. Rupanya pertanyaan Dewa Arak mengingatkannya akan pengalaman yang tak menyenangkan. "Ceritanya cukup panjang, Dewa Arak. Aku khawatir kau akan bosan mendengarkannya...."
"Mudah-mudahan saja tidak, Nona," jawab Arya, menghibur.
Pringgani mengukir senyum. Terlihat agak dipaksakan. Kendati demikian, wajahnya yang jelita tampak semakin cantik. Gadis ini menghela napas berat sebelum memulai kisahnya.
"Menurut penuturan ayahku, sewaktu berusia dua puluh tahun beliau melanglang buana di dunia persilatan untuk mengamalkan ilmunya. Membela si lemah dari tindasan sang angkara murka. Tak terhitung sudah banyaknya tokoh sesat yang tewas di tangannya. Julukan ayahku Harimau Bertangan Delapan, karena kehebatannya bermain tangan kosong beliau."
Arya tak merasa heran mendengar cerita itu. Sejak pertama kali melihat Paksi Dilaga, dia sudah bisa memperkirakan kepandaian lelaki setengah baya itu. Walaupun demikian, Arya tak yakin kalau Paksi Dilaga mampu mengalahkan Tiga Hantu Pantai Selatan yang mengejar-ngejarnya.
"Tindakan mulia itu tetap berlanjut kendati telah menikah dengan seorang gadis pendekar. Malah, bersama-sama mereka menentang tindak kejahatan. Keputusan yang mereka sepakati membuat ayah dan ibuku tak mempunyai tempat tinggal tetap. Mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain," Pringgani melanjutkan ceritanya.
Tiga tahun setelah menikah ibunya Pringgani mengandung. Paksi Dilaga yang ingin agar anaknya lahir selamat memutuskan untuk menetap di satu tempat. Mereka berdua tak melanglang buana lagi. Hanya kadang-kadang Paksi Dilaga meninggalkan rumah untuk mengamalkan ilmunya. Kebiasaan itu tak berubah sampai Pringgani lahir.
Sewaktu Pringgani berumur tiga tahun, tempat tinggal mereka disatroni tokoh-tokoh sesat yang dikenal sebagai Tiga Hantu Pantai Selatan. Kedua orang tua Pringgani menghadapi mereka, sehingga terjadi pertarungan. Ternyata tokoh-tokoh itu luar biasa tangguh. Ibunya Pringgani tewas, sementara ayahnya hanya luka ringan.
Sebelum wafat, ibunya Pringgani berpesan pada suaminya untuk memelihara anak mereka baik-baik. Pesan terakhir itu membuat Paksi Dilaga meninggalkan lawan-lawannya, meski dengan terpaksa dan berat hati. Paksi Dilaga mencari tempat yang tersembunyi untuk tempat tinggal mereka. Paksi Dilaga menjauhi kehidupan dunia persilatan dan menyambung hidupnya dengan bertani.
"Tapi, malapetaka rupanya belum berhenti menimpa kami. Beberapa bulan yang lalu Tiga Hantu Pantai Selatan berhasil menemukan tempat persembunyian kami. Kembali kami berdua menjadi orang-orang buruan. Ayah tak bermaksud mencari tempat persembunyian baru. Beliau ingin membawaku ke tempat tinggal keluarganya, yang diyakininya mempakan tempat yang aman bagiku. Sementara beliau sendiri akan membalaskan kematian Ibu pada Tiga Hantu Pantai Selatan...."
Arya tercenung ketika Pringgani menghentikan ceritanya. Sejenak diaturnya napas untuk menenangkan perasaan hatinya yang terguncang. Kisah lama yang tak menyenangkan itu membuat kesedihan Pringgani bertambah.
"Dalam pelarian menuju tempat tinggal keluarga Ayah itu, kami bertemu denganmu dan mendapatkan pinjaman perahu. Sayang, di tengah perjalanan gerombolan bajak sungai menyerbu kami, Ayah menyuruhku pergi, sementara beliau menghadapi penjahat-penjahat itu. Semula aku berkeras untuk bersamanya. Aku lebih rela mati bersama Ayah daripada meninggalkannya menghadapi bahaya maut. Tapi, beliau berkeras. Hhh...! Kalau saja Ayah memberiku pilihan, aku lebih suka bersamanya.... "
Arya ikut menghela napas berat ketika Pringgani mengakhiri ceritanya. Dia menyetujui sikap yang diambil Paksi Dilaga, yang memerintahkan putrinya untuk pergi. Di lain pihak, Pringgani pun tak bisa disalahkan. Dia tak ingin meninggalkan ayahnya menghadapi bahaya sendirian.
"Mudah-mudahan saja ayahmu selamat, Nona," ujar Arya akhirnya.
"Begitulah harapanku, Dewa Arak. Andaikata pun beliau tewas, aku harus menemukan mayatnya!" tandas Pringgani.
"Itu merupakan sebuah keharusan, Nona. Tentu saja bila keadaan memungkinkan. Aku bersedia membantumu kalau kau tak keberatan," ucap Arya menawarkan jasa.
"Terima kasih atas kesediaanmu, Dewa Arak."
"Tak perlu kau permasalahkan hal itu, Nona. Tolong-menolong merupakan kewajiban kita. Kurasa kau sendiri pun tahu, karena ayahmu seorang pendekar," kilah Arya.
Pringgani mengangguk-anggukkan kepala. Sikap dan ucapan pemuda berambut putih keperakan yang menarik hatinya itu membuat kedukaannya sedikit berkurang. "Maaf, Dewa Arak. Aku mempunyai sebuah dugaan mengenai dirimu. Tapi, aku khawatir kau akan marah jika aku mengatakannya," ucap Pringgani ragu-ragu, memecah keheningan yang menyelimuti mereka.
"Katakan saja, Nona. Tidak perlu khawatir. Kurasa aku tak akan marah. Apakah aku kelihatan seperti orang yang gampang marah-marah?" tanya Arya setengah bergurau.
Pringgani tersenyum. Tak disahutinya gurauan Dewa Arak.
"Satu hal yang perlu kau ingat, Nona," Arya terdengar bersungguh-sungguh. "Hal yang telah berlalu biarkan berlalu. Kita boleh saja berduka karena malapetaka yang menimpa, tapi berlarut-larut dalam kedukaan hanya akan merugikan diri sendiri. Lagi pula, setiap kejadian di muka bumi ini tak luput dari kehendak Tuhan. Jadi terimalah semua ini dengan lapang dada."
Pringgani tercenung sejenak memikirkan nasihat Dewa Arak. Gadis yang cerdas ini segera dapat menerima kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kembali kedukaannya sedikit terusir pergi.
"Begini Dewa Arak, keadaanmu membuatku menduga kau tengah menyembunyikan diri. Maksudku... kau seperti tak ingin dikenal orang. Aku berpikir demikian karena melihat kau menyembunyikan wajah dan rambutmu di balik caping. Apakah dugaanku ini benar, Dewa Arak?" tanya Pringgani kemudian. Ditatapnya wajah Arya lekat-lekat, seolah ingin membaca apa yang terkandung di hati pemuda berambut putih keperakan itu.
Arya lebih dulu tersenyum sebelum menganggukkan kepalanya.
"Mengapa, Dewa Arak? Apakah kau pun tengah dikejar-kejar musuh-musuhmu yang jauh lebih sakti?" desak Pringgani, ingin tahu. "Rasanya aku tak percaya ada orang yang lebih lihai dari padamu. Kudengar kau belum pernah dikalahkan tokoh mana pun. Malah, Tiga Hantu Pantai Selatan dapat kau pecundangi!"
"Tidak terlalu tepat benar, Nona," kilah Arya. "Memang, aku tak ingin dikenali. Tapi bukan karena takut pembalasan dari musuh-musuhku. Aku hanya berusaha menjauhkan gangguan orang-orang. Bila aku tampil seperti biasanya, kemungkinan besar tokoh-tokoh persilatan mengenaliku."
Arya menghentikan ucapannya sebentar. Ia ingin memberikan kesempatan pada Pringgani untuk mencerna kata-katanya.
"Tentu saja kalau ada tindak kejahatan, aku tak akan tinggal diam. Penyamaranku pun akan kutanggalkan. Dan yang pasti, sedikit banyak tindakan penyamaranku ini mengurangi jumlah orang yang tewas, karena menaruh dendam padaku."
Pringgani mengangguk dengan wajah puas. Keadaan menjadi hening ketika Arya tak berbicara lagi. Pringgani sendiri tampak belum menemukan bahan pembicaraan lain.
"Kita seperti telah bersahabat lama, Nona. Saling bercerita seakan telah saling mengenal. Kalau tak salah namamu Pringgani, bukan?"
"Betul," jawab putri Paksi Dilaga itu dengan wajah memerah, karena agak malu. "Kau sendiri..., maksudku..., nama aslimu Arya Buana?"
"Benar, Nona. Arya Buana nama pemberian orangtuaku. Kuharap kau memanggilku dengan nama saja. Aku lebih suka dipanggil dengan nama asliku daripada julukan kosong pemberian orang-orang persilatan yang terlalu berlebihan," jawab Arya.
"Aku setuju saja, De…, eh, Arya," wajah Pringgani semakin memerah. Entah mengapa dia merasa risih memanggil pemuda tampan di hadapannya dengan namanya. "Bukan hanya kau saja yang lebih suka dipanggil dengan nama. Aku pun demikian. Karena itu, panggillah aku dengan nama yang diberikan orangtuaku. Jangan nona-nonaan segala."
"Baiklah, No..., eh, Pringgani'"
Pringgani tersenyum geli mendengar Arya kerepotan menyapanya. Perasaan ini sedikit mengusir rasa malu yang mendera, dan membuatnya lebih berani untuk berbicara. "Panggil saja aku Gani, Arya. Orang-orang biasanya memanggilku demikian."
"Kurasa itu lebih enak diucapkan, Gani…"
Pringgani menundukkan wajahnya yang memerah. Ketika itulah si gadis baru sadar akan keadaan dirinya. Dia berbincang-bincang dengan seorang pemuda di saat seluruh pakaiannya basah kuyup! Pakaian itu melekat hingga potongan tubuhnya terlihat jelas. Bahkan dua bukit kembar di dadanya menonjol dengan jelas.
Arya sendiri harus mengakui kalau Pringgani, seorang gadis yang sempurna. Bukan hanya wajahnya yang jelita dengan kulit putih mulus, tapi bentuk tubuhnya pun benar-benar menggiurkan hati. Semua itu terlihat jelas karena pakaian si gadis yang basah kuyup. Sebagai seorang pemuda, Arya tak kuasa untuk menekan debaran jantungnya.
"Kurasa...," ujar Pringgani lirih seraya mengangkat wajahnya. "Lebih baik aku berganti pakaian dulu, Arya. Tapi sayang, aku tak mempunyai pakaian ganti. Semuanya tercebur di sungai."
"Jangan khawatir, Gani," sambut Arya, cepat. "Aku mempunyai beberapa potong pakaian di buntalanku. Mungkin sedikit kebesaran. Tapi, kurasa itu lebih baik daripada kau mengenakan pakaian basah."
Pringgani mengedarkan pandangan berkeliling setelah menerima pakaian dari Arya. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya kesunyian. Tak hanya di sekitar sungai. Tapi di daratan. Arya tahu maksud gadis berpakaian kuning itu. Maka, tanpa banyak bicara, tubuhnya segera dibalikkan. Tanpa membuang-buang waktu, Pringgani bergegas membuka pakaiannya dengan pandangan yang tak lepas dari Arya. Gadis ini merasa tegang. Kalau saja tak ingat orang yang berada di depannya adalah Dewa Arak, dia tak akan sudi berganti pakaian dengan cara demikian.
Dewa Arak berdiri membelakangi Pringgani tanpa berani menoleh sedikit pun. Tapi, kekhawatiran mulai merayapi hatinya ketika tak mendengar adanya bunyi.
"Gani...," tegur Arya ragu-ragu. Suaranya terdengar lirih.
Sungguhpun demikian, pemuda berambut putih keperakan ini yakin Pringgani akan mendengarnya. Tidak ada sahutan. Arya menunggunya beberapa saat. Tapi sahutan yang diharapkannya tak kunjung tiba. Kekhawatiran Arya mulai membesar. Apalagi ketika dirasakannya keadaan demikian lengang. Tak terdengar bunyi apa pun selain desau angin dan riak air sungai.
"Gani...!" sapa Arya lebih keras. "Sudah selesaikah kau? Katakanlah! Kalau sudah, aku akan berbalik. Kita harus bergegas agar dapat mencari ayahmu...."
Tetap saja tak ada sahutan. Arya jadi kehilangan kesabaran, karena rasa khawatir yang semakin besar akan keselamatan Pringgani.
"Ku hitung sampai tiga, Gani. Bila kau tetap diam, aku akan menganggap kau telah selesai. Aku akan berbalik!"
Untuk kesekian kalinya tak ada sahutan atas perkataan Dewa Arak. Kenyataan ini membuat pemuda tersebut kehilangan kesabarannya.
"Satu..., dua..., ti...," Arya menggantung hitungan yang terakhir, untuk memberikan kesempatan pada Pringgani menyela. Tapi, harapan pemuda berpakaian ungu itu sia-sia.
"Ga...!", lanjut Arya dengan suara keras. "Aku berbalik, Gani." Pemuda berambut putih keperakan ini membalikkan tubuhnya.
"Ah...!" Dewa Arak tak kuasa untuk menahan seruan kagetnya. Dia tak melihat Pringgani! Arya sampai terjingkat ke belakang menghadapi kenyataan tak diduganya itu.
"Gani!" seru Arya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi, hanya kesunyian yang disaksikannya. "Ke mana perginya Pringgani?" tanya Dewa Arak dalam hati. "Mungkinkah dia diam-diam pergi dari sini? Tapi, rasanya tak mungkin! Aku pasti akan mendengar bunyi langkahnya. Lagi pula, tak mungkin dia pergi tanpa mengenakan pakaian."
Pakaian-pakaian yang berserakan di tanah membuat Dewa Arak yakin kalau Pringgani telah diculik. Bulu kuduk Arya berdiri tanpa dapat dicegahnya. Arya membayangkan betapa tingginya kepandaian si penculik, sehingga bisa membawa putri Paksi Dilaga tanpa dia mendengarnya. Kalau saja saat itu sang penculik membokongnya, kemungkinan besar Arya akan celaka!
Peristiwa penculikan terhadap putri Paksi Dilaga itu merupakan tantangan terhadap dirinya. Karena itu, pemuda berambut putih keperakan ini memutuskan untuk mencarinya! Dia telah mempunyai patokan arah si penculik pergi. Yang jelas, tidak ke arah Arya semula menghadap.
Arya menatap ke seberang. Diperkirakannya lebar sungai yang terbentang di hadapannya. Beberapa lama pemuda ini bersikap demikian. Kemudian, dengan didahului pekikan nyaring, dia menjejak tanah dan bersalto beberapa kali untuk menambah jauh jarak yang dicapainya.
Seperti yang telah diperhitungkan Arya, tubuhnya melayang turun ketika baru berjarak delapan tombak dari pinggir sungai. Padahal, jarak yang terbentang dari tepi sungai yang satu ke tepi yang lain tak kurang dari dua puluh tombak! Arya tetap bersikap tenang. Di saat tubuhnya meluncur turun, sabuk yang melilit pinggang diloloskan lalu dilecutkannya ke arah permukaan air.
Ctarrr...!
Permukaan air sungai bergolak hebat bak dilanda angin besar. Tapi, Dewa Arak tak mempedulikan hal itu. Dia kemudian membenturkan sabuknya pada permukaan air, meminjam tenaga benturan sabuk dengan air untuk melentingkan tubuhnya ke udara!
Jlig!
Arya menjejakkan kaki secara mantap di seberang sungai. Untuk mencapai tempat ini, pemuda berambut putih keperakan ini beberapa kali melecutkan cambuknya ke permukaan sungai. Daerah pinggir sungai ini berbeda dengan pinggir sungai yang ditinggalkan Arya. Di tempat ini banyak terdapat gundukan-gundukan batu berukuran beraneka ragam.
"Bodoh! Kalian benar-benar goblok!"
Makian-makian keras itu tertangkap telinga Arya, ketika baru saja melangkah dua tindak. Tanpa pikir panjang lagi pemuda ini menyelinap ke salah satu gundukan batu. Dari tempat tersebut dia berindap-indap menuju asal suara.
Beberapa tombak kemudian pemuda berambut putih keperakan ini mengintai. Tampak olehnya enam sosok tubuh tengah duduk bersila. Lima orang lelaki berompi hitam duduk berhadapan dengan seorang lelaki berpakaian kulit ular.
"Aku benar-benar tak mengerti! Bagaimana mungkin si macan ompong itu dapat lolos?!"
Itu ucapan orang yang pertama kali didengar Arya. Pemuda ini segera tahu siapa pemiliknya! Sosok berpakaian kulit ular yang duduk di atas gundukan batu berpermukaan rata.
"Kalau di daratan, bisa kumaklumi macan ompong itu bisa mempecundangi kalian! Tapi di sungai? Apa artinya julukan kalian yang besar? Lima Setan Air! Buktinya, nol besar!"
"Bukan hanya Datuk, kami sendiri kalau tak mengalaminya sendiri tak akan percaya," jawab salah seorang dari lima lelaki berompi hitam. Dia bertubuh tinggi kurus. "Si keparat Paksi Dilaga itu ternyata memiliki kemampuan luar biasa. Tak kalah dengan kami. Setelah memerintahkan putrinya segera lolos, dia kabur pula!"
Sosok berpakaian kulit ular, adalah seorang kakek berusia delapan puluh tahun. Wajahnya tirus mirip muka tikus. Tubuhnya kecil kurus. Kelihatan ringkih dan lemah jika dibandingkan dengan anggota-anggota Setan Air. Si datuk mendengus, mendengar alasan yang dikemukakan lelaki berompi hitam. Hal ini membuat Lima Setan Air menjadi gelisah.
"Percayalah Datuk, kami tak bohong! Kami berjanji akan membawa mereka ke hadapan Datuk!" sambung lelaki tinggi kurus. Dia terlihat lebih pandai bicara daripada rekan-rekannya. Empat rekannya segera menganggukkan kepala, membenarkan ucapan itu.
Kakek berpakaian kulit ular kembali mendengus. "Dengar baik-baik, Kecoa-Kecoa Air!" rutuk kakek itu. "Aku tak pernah memberikan kesempatan lain pada siapa pun! Tak terkecuali pada kalian! Jelas?!"
Wajah Lima Setan Air langsung pucat pasi. Jawaban si kakek merupakan pertanda buruk bagi mereka.
"He he he...!" Si kakek terkekeh berkepanjangan. Mula-mula Lima Setan Air tak merasakan adanya hal yang aneh. Tapi, beberapa saat kemudian mereka mengetahui kalau tawa itu bukan tawa sembarangan. Lelaki-lelaki berompi hitam ini merasakan getaran hebat pada dada. Telinga mereka pun berdengung seakan ada puluhan lebah marah masuk ke dalamnya.
Sesaat kemudian, kelimanya menggelepar-gelepar seperti binatang disembelih. Bergulingan ke sana kemari dengan wajah menyiratkan kesakitan. Lolong kesakitan menyayat hati keluar dari mulut mereka.
Si kakek terus tertawa. Karena, memang melalui tawanya yang mengandung pengerahan tenaga dalam dia menyiksa Lima Setan Air. Wajah kakek ini berseri-seri. Sepasang matanya berbinar-binar melihat para korbannya menderita hebat.
Kakek ini baru menghentikan tawanya ketika Lima Setan Air tak bergerak-gerak lagi. Mereka tewas dalam keadaan begitu mengenaskan. Dari lubang hidung, mata, dan telinga mereka mengalir darah segar.
"Kunyuk-kunyuk yang tak punya guna!" Sambil merutuk jengkel, si kakek mengarahkan pandangan lurus ke depan.
"Kurasa..., sudah saatnya kau unjukkan diri, Pengintai Hina! Atau kau ingin aku yang memaksamu keluar?!"
Arya terperanjat di tempat pengintaiannya. "Begitu lihaikah kakek ini sehingga dapat mengetahui keberadaanku?" pikir pemuda itu setengah tak percaya. "Padahal aku berjarak tiga tombak darinya."
"Rupanya kau pikir aku main-main, heh?! Tidakkah kau lihat nasib kunyuk-kunyuk yang tak menyenangkan hatiku itu? Kau ingin bernasib seperti mereka?!" sambung kakek berwajah tirus. "Atau kau benar-benar seorang pengecut! Hanya berani mengintai di tempat tersembunyi. Tidakkah kau dapat bertindak sedikit jantan, Monyet?!"
Pernyataan kedua kalinya dari si kakek sangat menyinggung harga diri Arya. Pemuda ini tak sudi dianggap pengecut! Dia telah bersiap untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi, maksud itu segera ditunda.
Kakek berpakaian kulit ular terdengar kembali berujar. "Kubuktikan ancamanku, Pengecut Hina!"
Belum lenyap gema teriakan itu, Arya mendengar bunyi melengking. Kakek berpakaian kulit ular ini mengerahkan tenaga dalam pada lengkingannya. Hanya, pemuda ini heran ketika tak merasakan adanya pengaruh serangan terhadap dirinya.
"Ke mana kakek itu menujukan serangannya?!" tanya Arya dalam hati. Seperti hendak memberikan jawaban atas kebingungan si pemuda, terdengar bunyi ledakan keras.
Arya hampir terlompat saking kagetnya. Bunyi gaduh itu berasal dari hancurnya gundukan batu sebesar kerbau yang berada di sebelah kiri si kakek. Sementara Arya berada di balik batu yang berada di sebelah kanannya.
Debu mengepul tinggi ke udara. Pemandangan yang terpampang di balik gundukan batu tadi terhalang. Ketika debu-debu itu terusir pergi, Arya tersentak kaget melihat sosok yang tampak! Hampir saja seruan yang berada di ujung lidahnya terlontar kelar. Untung, di saat-saat terakhir dia teringat! Akhirnya seruan itu hanya terpekik di dalam hati.
"Paman Paksi!" Sosok yang dilihat Arya memang Paksi Dilaga. Lelaki itu berdiri tegak menatap kakek berpakaian kulit ular yang menundukkan kepala, bersikap memandang remeh.
"Siapa kau, Anjing Pengecut?!" dengus si kakek penuh ancaman. "Sungguh berani kau mengintaiku! Rupanya kau telah bosan hidup, heh?!"
Paksi Dilaga tak segera menjawab pertanyaan itu. Dia masih belum dapat menekan guncangan dalam dadanya. Keberadaannya yang diketahui dan hancurnya gundukan batu tanpa si kakek menyentuhnya, terlalu mengejutkannya.
"Aku tidak serendah itu. Dan, aku tak pernah mengintai. Aku telah berada di sini sebelum kau dan kaki tanganmu datang!"
Kakek berwajah tirus menatap paksi Dilaga. Yang ditatap merasakan bulu kuduknya berdiri. Sepasang mata si kakek mencorong tajam dan bersinar kehijauan laksana mata seekor harimau dalam gelap. Hanya karena kekerasan hati, ayahnya Pringgani ini rnampu untuk menatap terus.
"Aku tak peduli!" tandas si kakek dengan wajah bengis. "Kau boleh memberikan alasan apa pun, namun aku akan tetap menghukummu! Tapi sebelum kau mampus, perkenalkan dulu dirimu! Aku tak ingin membunuh orang yang tak pernah kukenal!"
Merah padam selebar wajah Paksi Dilaga. Dia merasa tersinggung bukan main. Karena dorongan perasaan itu pula, dia kemudian bertindak nekat. "Akan kubuktikan padamu kalau aku bukan seorang pengecut!" geram Paksi Dilaga. "Dengar baik-baik, aku adalah orang yang kau cari-cari! Akulah Paksi Dilaga!"
Kakek berwajah tirus terperanjat. Diperhatikannya ayahnya Pringgani dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sikapnya penuh rasa tak percaya. "Kau?! Paksi Dilaga?!" ujar si kakek setengah tertawa. Karena tak menyangka akan dapat menemukan orang yang dicari-carinya.
"Benar! Aku Paksi Dilaga! Mengapa kau mencariku? Sepengetahuanku, aku tak pernah berurusan denganmu. Kenal pun tidak!"
"Aku memang tak mempunyai urusan dengan monyet cilik sepertimu! Tapi pemimpinku, Sang Pangeran Muda, mencari-carimu! Kau dan anakmu harus kubawa ke hadapannya, hidup atau mati!"
"Kau belum memperkenalkan siapa dirimu! Atau..., kau takut mengatakannya?!" ujar Paksi Dilaga dengan berani.
"Orang sepertimu tak pantas untuk mengenalku, Monyet Kecil! Tapi karena saat ini perasaanku tengah gembira, kau mendapat kehormatan untuk mengenal diriku. Aku adalah Raja Ular Berbaju Emas."
Paksi Dilaga merasakan jantungnya berdegup keras. Julukan Raja Ular Berbaju Emas telah sampai di telinganya. Salah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru mata angin. Tokoh itu, bersama datuk-datuk lainnya, tak pernah terdengar lagi beritanya. Lenyap begitu saja bagai ditelan bumi!
Paksi Dilaga tak pernah menyangka akan bisa bertemu Raja Ular Berbaju Emas, yang diduganya tak akan pernah muncul lagi. Ayahnya Pringgani ini mempunyai alasan kuat untuk menduga demikian. Dia tahu penyebab lenyapnya empat datuk sesat itu. Padahal, sebagian besar tokoh persilatan tak mengetahuinya.
"Sebenarnya aku merasa malu menangkap kroco sepertimu!" ucap Raja Ular Berbaju Emas. Tak dipedulikannya Paksi Dilaga yang belum dapat menguasai perasaannya. "Karena itu, kuberikan perintah Sang Pangeran Muda pada tokoh-tokoh seperti Lima Setan Air. Tapi, sekarang apa boleh buat. Kau telah berada di depanku, dan tak ada orang lain yang dapat kuperintahkan untuk menangkapmu!"
"Sombong!" maki Paksi Dilaga dalam cekaman kemarahan yang bergelora. Kedua tangannya dihentakkan ke arah Raja Ular Berbaju Emas.
Wuusss...! Wusss...!
Angin yang luar biasa keras berhembus. Tapi, Raja Ular Berbaju Emas hanya terkekeh pelan. Dia tak bergeming dari tempatnya. Tindakan si kakek membuat Paksi Dilaga kebingungan.
"Sudah gilakah kakek ini, sehingga membiarkan saja serangan yang tertuju ke arahnya?"
Blar, blar, blar...!
Paksi Dilaga terperanjat. Tanah di sekitar tempat itu yang terkena pukulan jarak jauhnya. Terbongkar di sana-sini menampakkan lubang-lubang besar. Serangan itu melenceng ke kanan dan kiri, beberapa kali sebelum mencapai sasaran. Di sekeliling tubuh kakek bemajah tirus seakan terdapat dinding yang tak tampak.
Paksi Dilaga ternganga. Dia hampir tak percaya akan kejadian yang dialaminya. Lelaki ini tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Namun, tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu betul apa yang terjadi. Tawa terkekeh yang dilontarkan si kakek mengandung pengerahan tenaga dalam untuk menangkal serangan jarak jauh lawan!
Kenyataan ini membuat jantung Dewa Arak berdetak lebih cepat. Kakek berwajah tirus itu memiliki kepandaian amat tinggi! Jika orang sehebat itu hanya anak buah, tak bisa dibayangkannya kepandaian yang dimiliki Sang Pangeran Muda.
Arya segera sadar kalau Paksi Dilaga bukan tandingan Raja Ular Berbaju Emas. Maka, dia bersiap-siap untuk memberikan pertolongan. Pemuda ini sengaja tak segera muncul, agar bisa mengetahui persoalan yang membelit Paksi Dilaga.
Sementara itu, Paksi Dilaga tak menjadi gentar dengan kegagalan serangannya. Ayahnya Pringgani kembali melancarkan serangan susulan. Paksi Dilaga mengeluarkan ilmu andalannya, yang membuat namanya terkenal dengan julukan Harimau Bertangan Delapan. Dikirimkannya sampokan susul-menyusul ke arah kepala Raja Ular Berbaju Emas.
Plak, plak, plak...!
Tubuh Paksi Dilaga terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang ketika Raja Ular Berbaju Emas mengangkat tangan kirinya, memapak. Lelaki ini menyeringai kesakitan!
"Harap menyingkir, Paman Paksi! Biar aku yang menghadapinya!" Seruan itu tidak lantang. Tapi, pengaruhnya luar biasa besar.
Tanpa banyak membantah Paksi Dilaga menuruti. Dihentikannya serangan susulan yang hampir dilancarkannya. Pada saat yang bersamaan, sesosok bayangan ungu berkelebat datang dan menjejakkan kaki di sebelah ayahnya Pringgani.
"Kau?" Paksi Dilaga menggantung ucapannya. Dia merasa pernah melihat si pemuda. Namun penampilannya ketika itu agak berbeda. "Kau..., Arya?"
"Benar, Paman. Aku Arya si tukang perahu...," jawab Arya setengah bergurau.
Paksi Dilaga hendak mengajukan pertanyaan lagi, karena melihat keberadaan pemuda itu di tempat ini. Tapi maksudnya terpaksa diurungkan. Raja Ular Berbaju Emas terdengar membentak keras. Kakek ini merasa tersinggung melihat sikap Paksi Dilaga dan Arya yang tak menganggap keberadaan dirinya.
"Keparat!"
Paksi Dilaga terhuyung-huyung dengan wajah pucat! Dadanya bergetar hebat akibat bentakan tersebut. Buru-buru dikerahkannya tenaga dalamnya agar pengaruh yang melanda tak menimbulkan akibat yang lebih parah.
Apa yang menimpa Paksi Dilaga, tak terjadi pada Dewa Arak. Pemuda ini tak terpengaruh bentakan Raja Ular Berbaju Emas yang mengandung tenaga dalam tinggi. Raja Ular Berbaju Emas mendengus untuk menutupi rasa kagetnya, ketika dia melihat Dewa Arak tak terpengaruh bentakannya.
"Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian, Kunyuk Kecil?! Pantas kau berani lancang mencampuri urusanku. Tapi, kau jangan besar kepala dulu. Aku belum mengeluarkan kemampuan secuil pun!"
"Aku percaya, Raja Ular," timpal Arya, kalem. "Meskipun begitu, aku tak gentar. Demi menegakkan kebenaran dan keadilan, siapa pun akan kuhadapi."
"Sombong! Kau mencari mati sendiri, Kunyuk Kerdil!" Raja Ular Berbaju Emas tak terlihat menggerakkan tangan atau kaki. Tapi, tubuhnya yang masih dalam keadaan bersila melayang ke arah Dewa Arak! Dari udara kakek ini melancarkan tusukan bertubi-tubi dengan sepuluh jari tangannya. Kakek ini tampaknya tak bertindak main-main. Sekali menyerang dia telah menggunakan jurus 'Ular' yang menjadi andalan. Desisan keras mengiringi setiap luncuran serangannya.
Dewa Arak mengelak dengan melompat ke belakang dua tindak. Bersamaan dengan itu kepalanya mengegos. Rambutnya yang panjang akan lebih dulu menghantam pelipis Raja Ular Berbaju Emas apabila si kakek bersikeras melanjutkan serangan. Raja Ular Berbaju Emas menggeram. Dia tak punya pilihan lagi kecuali melompat mundur. Maksudnya untuk melancarkan serangan susulan bergegas diurungkan. Raja Ular Berbaju Emas menatap tajam pada Dewa Arak. Arya tak mau kalah gertak. Dia melakukan hal yang sama.
"Kemampuanmu cukup lumayan, Kunyuk Kerdil! Dan, kurasa kau cukup pantas untuk mati di tanganku. Perkenalkan dirimu agar tak mati penasaran!"
Arya tersenyum mendengar ucapan lawannya. "Kau pandai bicara, Raja Ular. Sengaja menyinggung kehormatan orang agar mau menurut kehendakmu. Nah, dengar baik-baik. Namaku Arya Buana. Orang-orang persilatan lebih mengenalku sebagai Dewa Arak!"
"Ahhh...!" Seruan itu keluar dari mulut Paksi Dilaga. Memang, kendati menjauhkan diri dari dunia persilatan, selentingan mengenai Dewa Arak telah sampai di telinganya. Dia terkejut bukan main mengetahui pemuda yang dikiranya tukang perahu ternyata seorang pendekar besar.
Raja Ular Berbaju Emas pun telah mendengar berita tentang Dewa Arak. Tapi, kakek ini tidak kelihatan terkejut. Dia malah terkekeh gembira. "Sungguh kebetulan sekali! Begitu mendengar berita mengenai dirimu, aku merasa penasaran dan ingin membuktikan kebenarannya. Aku ingin tahu apakah kepandaianmu seperti yang digembar-gemborkan orang!"
Arya hanya tersenyum pahit. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Yang dilakukannya malah mengambil guci arak dari punggung, lalu menuangkan isinya ke dalam mulut.
Raja Ular Berbaju Emas tersenyum sinis. "Itukah senjatamu, Kunyuk Kecil? Kudengar merupakan senjata pusaka yang jarang tandingan. Mana yang lebih kuat, gucimu atau Tongkat Ular Emas-ku!"
Raja Ular Berbaju Emas lalu terkekeh. Sebatang tongkat kekuningan tampak melayang dari punggung menuju ke tangannya melalui atas kepala. Si kakek menangkap tongkat itu dan memalangkannya di depan dada sehingga Paksi Dilaga dan Dewa Arak melihatnya dengan jelas.
Tongkat Raja Ular Berbaju Emas ternyata bukan sembarang tongkat. Bukan terbuat dari kayu baja, atau bahan mati lainnya. Tongkat itu berwujud makhluk hidup. Seekor ular berwama kuning keemasan yang dikeringkan hidup-hidup! "Jaga seranganku, Kunyuk Kecil!"
Belum habis gema ucapan itu, Raja Ular Berbaju Emas telah menerjang. Tongkatnya diputar cepat hingga lenyap bentuknya. Berubah menjadi gulungan sinar keemasan yang diiringi bunyi menderu-deru.
Dewa Arak yang sejak tadi sudah bersiaga segera menyambutinya. Pertarungan yang tertunda pun berlangsung kembali. Jauh lebih seru dari sebelumnya. Paksi Dilaga yang menyaksikan jalannya pertarungan merasa tegang bukan main.
Di kancah pertarungan, Dewa Arak maupun Raja Ular Berbaju Emas segera menyadari kalau lawan yang dihadapi memang tangguh. Kenyataan membuat Raja Ular Berbaju Emas menjadi penasaran. Puluhan jurus telah terlewati.
Selama itu jalannya pertarungan masih berimbang. Masing-masing pihak silih berganti melancarkan serangan. Raja Ular Berbaju Emas tak bisa sabar lagi. Bila tak dilakukan perubahan dalam bertarung, kemungkinan besar dirinya yang akan roboh.
Telah dibuktikan oleh Raja Ular Berbaju Emas kalau dalam kelincahan dan tenaga dia tak bisa unggul. Dalam pengalaman bertarung pun pemuda itu tak dapat ditekan. Tidak ada lagi segi-segi menguntungkan yang dapat dipergunakannya untuk mendesak Dewa Arak.
Arya mengernyitkan alis. Disadarinya gerakan Raja Ular Berbaju Emas mulai berubah. Gerakan tongkat si kakek tetap menderu-deru seperti semula, tapi bunyi yang terdengar tidak riuh lagi melainkan melengking nyaring. Semakin lama semakin meninggi. Sesaat kemudian, terdengar desisan-desisan tajam dari berbagai penjuru. Bau amis pun menyebar.
Orang yang dapat melihat jelas penyebab keriuhan itu adalah Paksi Dilaga. Bulu kuduk lelaki ini berdiri. Ditatapnya dengan mata membelalak lebar pada penyebab desisan dan bau amis. Ular! Tidak hanya seekor, melainkan ratusan! Dari segala penjuru dan dalam jenis beraneka ragam. Sebagian diketahuinya sebagai jenis ular berbisa yang sangat mematikan.
Semula Paksi Dilaga hendak menyambut kemunculan ular itu. Gagang pedang telah dicekal dan siap untuk dicabut. Tapi, niat itu diurungkannya. Dia kemudian malah melompat ke atas. Dilemparkannya pedang sekaligus sarungnya ke tanah.
Cap, cap!
Pedang amblas di tanah hampir setengahnya. Sedangkan batang pedang menancap pada gagangnya. Bertumpuk! Di atas gagang pedang itulah Paksi Dilaga menjejakkan kaki. Rombongan ular tak mempedulikan Paksi Dilaga sedikit pun. Binatang-binatang itu melaluinya terus menuju kancah pertarungan. Dengan ganasnya ular-ular itu kemudian menyerang Dewa Arak.
Bantuan binatang-binatang melata tersebut membuat Dewa Arak harus membagi perhatiannya. Dalam beberapa jurus saja dia sudah terdesak! Terpontang-panting ke sana kemari menyelamatkan nyawa. Sesekali dikirimkannya pukulan jarak jauh pada rombongan ular. Beberapa ekor terpental dalam keadaan hancur. Tapi, jumlah binatang itu seperti tak berkurang. Terus merangsek maju.
"Jangan khawatir, Dewa Arak! Aku datang…!" Seruan itu dikeluarkan Paksi Dilaga. Lelaki ini melompat turun ke tanah lalu mencabut pedangnya. Sekejap kemudian telah terjun dalarn kancah pertarungan.
Cras, cras, crasss...!
Darah bermuncratan ketika pedang Paksi Dilaga terayun. Setiap kali lelaki ini mengayunkan pedang, beberapa ekor ular menjadi bangkai. Kendati demikian, jumlah binatang melata itu tak berkurang. Jumlahnya yang demikian banyak membuat bantuan Paksi Dilaga hampir-hampir tak berarti. Dewa Arak tetap saja terjepit.
Arya sendiri tahu akan gawatnya keadaan. Bukan hanya dirinya yang terancam. Tapi, juga ayahnya Pringgani. Pemuda ini tak yakin pembunuhan besar-besaran terhadap ular-ular akan berarti. Dewa Arak menggeram keras. Geraman yang berkepanjangan dan mengandung pengerahan tenaga dalam. Geraman itu mampu menutup suara lengkingan yang timbul dari gerakan tongkat Raja Ular Berbaju Emas. Pengaruhnya terhadap ular-ular jadi terhalang.
Akibatnya, keberingasan binatang-binatang melata itu lenyap. Memang, lengkingan Raja Ular Berbaju Emas merupakan panggilan terhadap ular-ularnya. Lenyapnya bunyi itu membuat rombongan ular kebingungan. Raja Ular Berbaju Emas tak mau kehilangan kesempatan. Dikeluarkan lengkingan yang mengandung getaran jauh lebih kuat dari putaran tongkat. Ular-ular itu menjadi buas kembali! Tapi sebelum binatang-binatang melata itu menyerang lagi, Dewa Arak meningkatkan kekuatan geramannya.
Raja Ular Berbaju Emas tak mau kalah. Ditambahnya kekuatan suara lengkingan. Bentuk pertarungan pun berubah. Kedua tokoh hebat itu saling adu kekuatan tenaga dalam. Yang merasakan langsung akibat pertarungan unik itu adalah ular-ular dan Paksi Dilaga. Binatang-binatang melata tersebut tampak gelisah.
Paksi Dilaga lebih menderita lagi. Lelaki ini merasakan dadanya bergetar hebat. Sepasang telinganya berdengung keras. Bahkan, kedua kakinya menggigil. Namun, dengan pengerahan seluruh tenaganya, ayahnya Pringgani ini mampu bertahan. Meskipun demikian, cepat atau lambat dia tetap akan celaka! Maka dengan tubuh terhuyung-huyung Paksi Dilaga meninggalkan tempat itu.
Adu tenaga dalam antara Dewa Arak dan Raja Ular Berbaju Emas semakin menegangkan. Dari kepala kedua petarung ini mengepul uap. Bunyi yang tercipta pun tak ketahuan lagi nadanya. Akibatnya, ular-ular kebingungan! Sebagian di antara mereka malah saling serang satu sama lain. Tapi, sebagian besar meninggalkan tempat itu.
Dalam waktu sekejap, yang tinggal hanya Dewa Arak dan Raja Ular Berbaju Emas. Keadaan kedua tokoh ini pun semakin mengkhawatirkan. Asap yang mengepul dari atas kepala bertambah banyak dan menebal. Wajah dan leher mereka dipenuhi butiran-butiran peluh sebesar biji jagung. Tapi, asap dan peluh yang keluar dari tubuh Raja Ular Berbaju Emas jauh lebih banyak. Bahkan, kedua kakinya pun menggigil keras!
"Hugh...!" Hampir berbarengan, Dewa Arak dan Raja Ular Berbaju Emas mengeluh tertahan. Tubuh keduanya terhuyung ke belakang. Baru beberapa langkah, cairan merah kental terlontar dari mulut mereka.
"Kau...," ujar Raja Ular Berbaju Emas. Tangannya mendekap dada yang terasa sakit bukan main. Darah segar mengalir dari mulutnya. "Ternyata kau lebih hebat dari perkiraanku. Kau.... Kau...."
Pernyataan Raja Ular Berbaju Emas terhenti di tengah jalan. Malaikat maut telah lebih dulu menjemput nyawanya. Kakek berwajah tirus ini ambruk ke tanah. Diam, tak bergerak-gerak lagi.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Sejenak ditatapnya mayat Raja Ular Berbaju Emas. Kemudian kakinya diayunkan meninggalkan tempat itu. Beberapa kali pemuda berambut putih keperakan itu terhuyung. Jarak dua puluh tombak ditempuh Arya dengan susah payah. Di sini pemuda itu menghempaskan pantatnya ke tanah. Duduk bersemadi untuk mengobati luka dalamnya.
"Buka matamu, Anak Setan!"
Bentakan keras menggelegar itu membuat Arya membuka sepasang matanya. Hanya berjarak tiga tombak darinya, berdiri seorang kakek bertubuh jangkung kurus laksana bambu. Pakaian yang dikenakannya tampak kebesaran.
Arya menyudahi semadinya, lalu bangkit berdiri. Kakek jangkung itu agaknya memiliki kepandaian tinggi. Karena, hanya orang-orang demikian yang mampu memunculkan diri dengan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Siapa yang kau maksud dengan anak setan itu, Kek? Akukah?" tanya Arya. Suaranya terdengar tenang, kendati sebenarnya tersinggung bukan main. Sapaan itu sama artinya dengan penghinaan terhadap orang tuanya. Kalau dirinya dianggap anak setan, bukankah artinya orang tuanya adalah setan?
"Tentu saja! Hanya kau dan aku yang ada di sini. Mana mungkin aku menyapa diriku sendiri. Tak mungkin, bukan?!" dengus kakek jangkung dengan kasarnya. "Dengar baik-baik, Anak Setan. Mana kawan-kawanmu? Cepat tunjukkan!"
Arya melongo. Bingung mendengar pertanyaan aneh itu. "Kawan-kawanku? Aku tak mengerti maksudmu, Kek?!" sahut Arya, jujur.
"Tidak usah berpura-pura, Anak Setan! Cepat katakan di mana kawan-kawanmu. Tak ada gunanya membohongiku!"
"Aku makin tak mengerti, Biang Setan!" sergah Arya, kesal. Amarahnya mulai diumbar. Sikap si kakek benar-benar memancing kejengkelannya.
Si kakek tersenyum sinis. Sepasang matanya yang mencorong tajam, merayapi sekujur tubuh Arya, mulai dari rambut sampai ke kaki.
"Aku mencium bau amis ular di tubuhmu, Anak Setan! Aku yakin kau mempunyai hubungan dengan bangkai-bangkai ular di sana!" tandas si kakek. Telunjuknya menuding ke arah tempat Raja Ular Berbaju Emas tewas.
"Benar. Aku memang dari tempat itu!"
"Bagus kalau kau mengaku! Sekarang, katakanlah di mana kawan-kawanmu! Atau..., kau hendak mengatakan kalau kau sendiri yang membunuh Raja Ular Berbaju Emas tiga hari yang lalu?!" desak kakek jangkung.
"Aku tak peduli kau percaya atau tidak!" ujar Arya.
Kendati pernyataan si kakek membuatnya terperanjat. Kalau benar ucapan kakek itu, berarti dia tenggelam dalam semadinya selama tiga hari. "Orang yang kau maksudkan itu memang tewas di tanganku. Raja Ular Berbaju Emas memang luar biasa hebat!"
Wajah kakek jangkung menyiratkan ketidak-percayaan besar. "Begitukah?! Aku jadi ingin tahu sampai di mana kelihaianmu, Anak Setan! Kalau benar kau mampu menewaskan Raja Ular, berarti kau mampu menewaskanku pula!"
Si kakek menutup ucapannya dengan serangan sampokan tangan kanan dan kiri bertubi-tubi tertuju ke kepala Dewa Arak. Tapi dengan menarik kaki kanan ke belakang seraya mencondongkan tubuh, pemuda itu membuat serangan lawan mengenai tempat kosong. Kakek jangkung menjadi penasaran. Dia tak bertindak ragu-ragu lagi.
Serangan lanjutannya kini menggunakan tangan dan kaki. Demi mempertahankan selembar nyawanya, Arya terpaksa meladeninya. Padahal meski luka dalamnya tak berbahaya lagi, keadaan pemuda itu masih lemah. Hanya sebagian tenaganya yang kembali.
Arya mengeluh dalam hati. Seperti yang telah diduganya, kakek jangkung itu benar-benar lihai. Tingkat kepandaiannya tak berada di bawah Raja Ular Berbaju Emas. Dalam beberapa jurus Arya dibuat terpontang-panting menyelamatkan diri.
Si kakek tertawa mengejek. "Hanya sampai di sini saja kepandaianmu, Anak Setan? Dan kau berani bicara besar telah mengalahkan Raja Ular!"
Desss...!
Sebuah gedoran telak si kakek mengenal dada kanan Arya. Pemuda itu terjengkang ke belakang. Dari mulutnya mengalir darah segar.
Sambil terkekeh menyeramkan, kakek jangkung melesat mengejar. Hendak diberikannya serangan susulan. Serangan yang dapat mengirim nyawa Arya ke neraka! Tapi, maksud itu diurungkannya di tengah jalan. Ia mendengar seruan lantang dari sebelah kanannya.
"Kalau kau ingin aku campur tangan, lanjutkan seranganmu!"
Si kakek menoleh. "Ahhh...!" Tokoh tua itu berseru kaget sambil melangkah mundur. Sikap dan parasnya menampakkan keterkejutan besar. Juga rasa gentar.
Sang pendatang baru yang mengenakan pakaian kuning keemasan menggumam tak jelas. Wajahnya tak terlihat. Tertutup selubung yang sewarna dengan pakaiannya. Hanya sepasang matanya yang terlihat tajam berkilat-kilat. Karena, selubung itu mempunyai dua lubang kecil untuk mata.
"Kau?! Kau masih hidup?!" ujar kakek jangkung terbata-bata. Tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
Sang pendatang baru kembali mendengus. "Tak kusangka aku akan bertemu Dewa Arak. Padahal yang kucari adalah Paksi Dilaga," gumam sosok itu dalam hati. Kemudian, terdengar suaranya yang besar berwibawa.
"Seperti yang kau lihat. Kalau aku sudah mati, mana mungkin bisa berada di sini!"
"Tapi..., kau terkena Racun Ular Emas. Tak ada yang tahu pemunahnya kecuali si Raja Ular. Dan tak pemah ada orang yang dapat lolos dari maut akibat racun itu!" kakek jangkung masih kebingungan.
"Kenyataannya aku masih hidup!" tandas sosok berselubung.
Si kakek terdiam. Tapi hanya sesaat. "Kalau begitu kesempatan terbuka bagiku untuk membalas dendam. Kau telah membuatku terpaksa mengucilkan diri selama dua puluh tahun lebih. Sekarang kau harus menerima balasannya!"
Kakek jangkung melesat ke arah sosok berselubung. Serangan-serangan dahsyat dan mematikan dikirimkannya. Tapi, orang yang diserang hanya mendengus. Tanpa bimbang sedikit pun, ditangkisnya serangan-serangan si kakek.
Plak, plak, plak...!
Tubuh kakek jangkung terlontar kembali ke belakang. Seringai kesakitan menghias wajahnya. Sosok berselubung tak bergeming dari tempatnya.
"Kalau kau masih sayang nyawa, cepat tinggalkan tempat ini. Lupakan urusanmu dengan pemuda itu!" tandas si sosok berselubung.
Kakeng jangkung bukan orang bodoh. Dia tahu, berkeras hanya akan merugikan dirinya sendiri. Sosok berselubung terlalu tangguh untuk dihadapinya. Kendati demikian, pergi begitu saja terlampau merendahkan diri.
"Kali ini kau boleh menang, Malaikat! Tapi ingat, kejadian hari ini dan peristiwa dua puluh tahun lalu tak akan kulupakan begitu saja. Ingat-ingatlah hal ini!"
Sosok berselubung hanya mendengus tak peduli. Bahkan, ketika kakek jangkung melesat pergi meninggalkan tempat itu. Arya yang menyaksikan tingkah kakek jangkung dan sosok berselubung segera melangkah maju.
"Terima kasih, Kek. Kalau kau tak datang menolong, mungkin saat ini aku telah menjadi mayat!" ujar Arya ragu menyapa sosok berselubung dengan panggilan 'kek'. Bukankah sosok ini kenal betul dengan kakek jangkung? Setidaknya usia mereka kemungkinan besar sebaya.
"Lupakanlah, Anak Muda," jawab sosok berselubung dengan sorot mata aneh. Sorot orang yang merasa geli. "Hal yang lebih penting adalah merawat lukamu. Kau terluka cukup parah, Anak Muda. Serangan lawanmu mengandung racun berbahaya!"
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Kek. Tapi aku baik-baik saja. Dan..., ahh...!"
Arya menghentikan ucapannya. Kepalanya tiba-tiba terasa pening. Tubuhnya bergerak limbung. Sebelum ambruk ke tanah, sosok berselubung telah lebih dulu menangkapnya. Kesadaran Arya telah hampir lenyap. Kendati demikian, dia masih dapat mengetahui tindakan sosok berselubung. Sisa kesadaran yang masih ada membuat pemuda ini sempat merasakan hal aneh. Sayang, dia tak bisa memikirkan kemungkinan itu. Arya telah jatuh tak sadarkan diri.
"Uhhh...!" Arya menggeliatkan tubuh merenggangkan tangan dan kakinya. Sepasang matanya pun dibuka. Pemuda ini tersentak kaget ketika melihat sosok yang duduk bersila di depannya.
"Paman Paksi!" seru Arya, kaget bercampur gembira. Tak disangka dia akan bertemu ayahnya Pringgani kembali.
Paksi Dilaga tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Bagaimana kau bisa berada di sini, Paman? Dan, mengapa pula aku bisa berada di sini?" Arya teringat pada pertemuannya dengan sosok berselubung.
"Mengenai keberadaanmu di tempat ini aku tak tahu, Arya. Sedangkan diriku hanya kebetulan saja. Karena perasaan curigaku...," beri tahu Paksi Dilaga. "Kulihat seseorang berpakaian kuning selama beberapa hari setiap pagi dan sore masuk ke gua ini. Aku jadi ingin tahu. Ternyata kau yang kujumpai."
Arya tersentak kaget. "Beberapa hari? Berarti selama itu aku tak sadarkan diri?" gumam Arya lirih.
"Tingkah orang berpakaian kuning itu membuatku curiga, Arya. Apa keperluannya sehingga selama beberapa hari datang ke gua ini."
"Lalu di mana orang berpakaian kuning itu, Paman?"
"Aku tidak tahu, Arya," Paksi Dilaga mengangkat bahunya. "Kali ini tampaknya dia tidak datang. Sekarang telah siang. Padahal biasanya dia datang pagi. Kalau boleh kutahu, sebenarnya apa hubunganmu dengan orang itu?"
"Tidak ada hubungan apa-apa, Paman. Kami hanya kebetulan bertemu. Dia menolongku dari ancaman maut."
Secara singkat Arya kemudian menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Paksi Dilaga mendengarkan dengan penuh minat. Wajahnya berubah ketika Arya menceritakan ciri-ciri penolongnya.
"Ada apa, Paman? Apakah kau mengenal penolongku itu?!" tanya Arya yang sempat melihat perubahan wajah Paksi Dilaga.
"Aku tak pasti, Arya," jawab Paksi Dilaga. Lalu dihelanya napas berat. "Hanya ceritamu mengingatkanku akan kejadian berpuluh tahun silam di dunia persilatan. Ciri-ciri penolongmu hanya dimiliki tokoh yang berjuluk Malaikat Tanpa Wajah."
"Mungkin tokoh itu yang telah menolongku," timpal Arya. "Kudengar lawanku menyapanya 'malaikat'.
"Mungkin, Arya. Tapi menurut berita yang kudapat, Malaikat Tanpa Wajah telah mati karena racun."
Arya tertegun. Sungguh tak disangkanya akan mendapat berita seperti itu dari Paksi Dilaga. "Yakinkah kau dengan berita yang kau dapatkan itu, Paman?!" Arya meminta penegasan.
"Tentu saja, Arya!" tandas Paksi Dilaga.
Arya diam.
"Masih ingatkah kau akan tokoh sesat yang hendak membawaku pada Sang Pangeran Muda? Tokoh sesat yang memanggil ular untuk menghadapimu?" tanya Paksi Dilaga.
Arya menganggukkan kepalanya. "Dia berjuluk Raja Ular Berbaju Emas," sahutnya.
"Benar. Raja Ular Berbaju Emas. Nah! Datuk sesat itulah yang telah menyarangkan racun dalam tubuh Malaikat Tanpa Wajah. Sehingga, tokoh yang luar biasa itu menemui ajalnya beberapa bulan kemudian."
Keterangan itu membuat Arya teringat kembali akan ucapan kakek jangkung. Si kakek pun menyangka sosok berselubung telah tewas!
"Beberapa puluh tahun lalu...," tanpa diminta Paksi Dilaga bercerita. "Di dunia persilatan berkuasa empat datuk kaum sesat. Di antaranya adalah Raja Ular Berbaju Emas. Mereka menyebar angkara murka di mana-mana. Seorang tokoh tingkat tinggi, golongan putih yang berjuluk Malaikat Tanpa Wajah tak bisa tinggal diam. Datuk-datuk sesat itu dicarinya. Salah seorang datuk dapat ditewaskan. Sisanya terluka amat parah. Luka yang sulit untuk disembuhkan. Membutuhkan waktu puluhun tahun untuk memulihkan kemampuan seperti semula."
"Kalau empat datuk sesat itu berhasil dikalahkan, bagaimana Malaikat Tanpa Wajah dapat diracuni?" Arya masih belum jelas.
"Raja Ular Berbaju Emas merupakan datuk sesat yang licik!" tandas Paksi Dilaga penuh kebencian, sehingga membuat Arya keheranan. "Begitu mendengar seorang datuk roboh di tangan Malaikat Tanpa Wajah, dia segera mengajak datuk yang tersisa untuk bergabung. Bersama mereka mengeroyok Malaikat Tanpa Wajah. Tapi, tokoh yang penuh rahasia itu memang luar biasa. Pengeroyokan lawan-lawannya dapat dipatahkan. Bahkan, dia mampu membuat mereka terluka parah. Sayang, Raja Ular Berbaju Emas sempat menyarangkan Racun Ular Emas pada dirinya."
Arya terdiam. Dia tak menduga akan mendengar cerita seperti ini. Julukan Malaikat Tanpa Wajah telah demikian terkenal. Arya menatap Paksi Dilaga yang menundukkan kepala. Lelaki itu kelihatan demikian mengagumi Malaikat Tanpa Wajah.
"Menurutmu, dari empat datuk sesat itu hanya satu orang yang tewas, Paman?" tanya Arya, sekadar untuk mengalihkan perhatian Paksi Dilaga.
"Benar."
"Berarti masih ada tiga datuk yang hidup," lanjut Dewa Arak. "Kalau Raja Ular Berbaju Emas sanggup hidup, kemungkinan besar dua datuk lainnya pun masih hidup pula. Sekarang aku dapat mengira siapa sebenarnya kakek jangkung itu. Pasti dia salah seorang dari empat datuk sesat itu."
"Menurut berita yang kudengar, datuk yang memiliki ciri jangkung dan kurus berjuluk Iblis Tangan Bayangan, yang seorang lagi berjuluk Lelembut Berwajah Dewa!" jelas Paksi Dilaga.
Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Suasana menjadi hening ketika Arya maupun Paksi Dilaga tak berbicara. Tapi, keadaan itu tak berlangsung lama.
"Aku mempunyai pemikiran aneh, paman. Tapi kurasa masuk akal juga," celetuk Arya.
"Mengenai apa, Arya?"
"Nasib Malaikat Tanpa Wajah."
"Maksudmu?" Paksi Dilaga belum mengerti.
"Begini, Paman. Kalau datuk-datuk sesat yang memiliki kemampuan di bawah Malaikat Tanpa Wajah saja bisa lolos dari maut, bukan tak mungkin tokoh itu pun berhasil menyembuhkan keracunannya. Kenyataannya kulihat sendiri. Dan mengenai kepandaiannya, memang luar biasa."
"Kematian Malaikat Tanpa Wajah tak usah kau sangsikan lagi, Arya. Aku melihatnya sendiri. Bukan mendengar berita dari orang lain. Namun ceritamu membuatku penasaran. Aku ingin tahu, siapa yang telah begitu lancang memalsukan tokoh penuh rahasia itu!"
"Mungkin keturunan atau muridnya, paman?!" Arya mencetuskan dugaannya.
Paksi Dilaga terperanjat. Ditatapnya waiah Arya lekat-lekat. Tapi, tak sepatah kata pun dilontarkan. Tampaknya lelaki itu berniat melanjutkan pembicaraan. Maka, Arya pun tak mendesaknya. Ketika tiba-tiba teringat pada Pringgani, dengan hati-hati diceritakannya pada Paksi Dilaga. Paksi Dilaga mendengarkan cerita Dewa Arak dengan penuh perhatian. Saat Arya menyelesaikan ceritanya lelaki itu menghela napas berat dengan wajah muram.
"Kalau menurut pendapatku, Paman," kata Arya hati-hati. Pemuda ini hendak menghibur hati Paksi Dilaga. "Pringgani masih hidup. Kalau hendak dibunuh, untuk apa repot-repot menculiknya. Bunuh saja di situ langsung."
"Aku setuju dengan pendapatmu, Arya," wajah Paksi Dilaga agak berseri. Dia bisa merasakan kebenaran dalam pendapat Arya. "Pringgani dalam keadaan selamat. Kendati demikian, hatiku merasa tak tenang. Kalau dia sampai celaka, aku tak berani bertemu dengan istriku di akhirat sana...."
Arya bisa memaklumi kegalauan yang melanda hati Paksi Dilaga. Dia telah mendengar tentang pesan almarhum istrinya yang disanggupi lelaki itu. "Aku akan berusaha mendapatkan putrimu kembali, Paman," janji Arya.
"Terima kasih, Arya. Aku yakin dengan kemampuanmu kau bisa berbuat lebih banyak. Kalau penculiknya memiliki kepandaian di atasku, aku dapat mengandalkan dirimu."
"Kau terlalu memandang tinggi padaku, paman," keluh Arya agak tersipu.
"Itu kenyataan, Dewa Arak!" bantah Paksi Dilaga. "Nama besarmu telah mengguncangkan dunia persilatan."
Arya hanya diam saja. "Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Paman?!" tanyanya kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Mencari putriku, Arya. Karena tak tahu harus mencarinya di mana, biarlah kulakukan sambil lalu. Aku akan menemui keluargaku lebih dulu. Kau mau ikut?"
"Tentu saja, Paman!" jawab Arya, cepat. "Bukankah aku telah berjanji akan membantumu mencari Pringgani. Bagaimanapun juga aku merasa bersalah. Atau, kau lebih suka mencari putrimu itu sendirian, Paman?!"
"Kau tidak bersalah, Arya," bantah Paksi Dilaga. "Bila kau tak menolongnya, mungkin dia telah tewas di tangan penjahat-penjahat keji dari Pantai Selatan itu."
"Kau lebih suka kalau kita mencarinya berpencar, Paman?!" desak pemuda berambut putih keperakan. Salah satu pertanyaannya belum terjawab.
"Itu terserah padamu. Aku tak berani meminta. Walaupun, aku akan merasa terhormat bila bisa melakukan perjalanan bersama tokoh besar sepertimu."
"Aku hanya hendak memastikan, Paman," kilah Arya. "Barangkali saja kau mempunyai urusan yang amat pribadi dengan keluargamu. Aku kan terhitung orang luar."
"Bukan, Arya. Hanya urusan biasa saja. Bagaimana, kau mau pergi bersamaku?"
Arya mengangguk. "Masih jauhkah tempat kediaman keluargamu itu, Paman?"
"Tidak. Tidak sampai dua hari kita telah tiba di sana," beri tahu Paksi Dilaga seraya mengayunkan kaki.
Arya pun bergegas melangkah mengikuti. Arya melirik Paksi Dilaga yang tertunduk menekuri tanah. Pemuda ini berdiam diri, tak ingin mengganggunya. Dia bisa merasakan kesedihan yang mendera ayahnya Pringgani.
"Kalau tak melihatnya sendiri, aku tak akan percaya, Arya," ujar tokoh yang belasan tahun lalu terkenal dengan julukan Harimau Bertangan Delapan. Suaranya bergetar penuh kesedihan, perasaan hatinya begitu terpukul.
Arya hanya menghela napas berat. Mereka berdua berdiri di depan bangunan cukup besar yang kelihatan kotor tak terawat, seperti telah bertahun-tahun ditinggal pergi. Bangunan yang selama ini menjadi tempat tinggal keluarga Paksi Dilaga.
"Aku tak mengerti bagaimana ini bisa terjadi," keluh Paksi Dilaga. Kemudian, tanpa diminta dia menceritakan tentang keluarganya.
"Maaf, bukan maksudku untuk mengajari paman. Tapi, apa pun di dunia ini bisa saja terjadi," ujar Arya hati-hati. Khawatir Paksi Dilaga tersinggung. "Kebencian para pengejarmu ternyata tak hanya tertuju pada dirimu, tapi juga keluargamu."
"Dari mana mereka tahu penghuni rumah ini adalah keluargaku, Arya?" tanya Paksi Dilaga dengan nada sedih. "Tak seorang pun tahu dari mana aku berasal. Juga mengenai keluarga ini."
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Paman."
Paksi Dilaga menghela napas berat. Ditatapnya Arya dalam-dalam. "Aku percaya padamu, Arya. Maka meski hal ini sebenarnya rahasia keluarga kami, aku akan memberitahukanmu."
"Kalau merupakan rahasia keluarga, kukira lebih baik tak usah dibicarakan, Paman," tolak Arya.
"Tidak Arya. Kau merupakan pengecualian!" Paksi Dilaga berkeras dengan kehendaknya. "Kau tentu masih ingat mengenai Malaikat Tanpa Wajah."
Arya mengangguk.
"Perlu kau ketahui, Arya. Aku terkejut sekali mendengar ucapanmu. Kau mengatakan kalau tokoh yang kau temui mungkin keturunan atau murid Malaikat Tanpa Wajah. Terus terang, aku baru pertama kali mendengar ucapan seperti itu. Selama ini orang-orang persilatan menganggap Malaikat Tanpa Wajah tak pernah mati. Jadi, Malaikat Tanpa Wajah yang muncul dua ratus tahun lalu adalah Malaikat Tanpa wajah yang muncul dua puluh tahun lalu. Hanya aku yang mempunyai pendapat berbeda. Bagaimana kau bisa menduga demikian, Arya?"
"Aku pernah menemukan tokoh yang melegenda seperti itu, Paman," jawab Arya (Untuk jelasnya, silakan baca episode: "Peninggalan Iblis Hitam")
Paksi Dilaga mengangguk maklum.
"Dugaanmu memang tepat, Arya. Malaikat Tanpa Wajah tak hanya seorang. Selubung dan pakaian yang dikenakannya membuat orang itu tak dikenal jati dirinya. Sehingga, tak ada seorang pun yang tahu kalau selama kurun waktu ratusan tahun telah beberapa kali Malaikat Tanpa Wajah berganti-ganti. Leluhurku yang pertama kali menjadi Malaikat Tanpa Wajah, Dewa Arak. Beliau seorang pelaut. Pekerjaannya membuatnya mengenal banyak orang. Salah seorang kenalan memberinya mantera pemanggil makhluk gaib. Ilmu 'Nyambat' namanya. Dari makhluk-makhluk gaib itu beliau mempelajari kesaktian. Kemudian, ilmu-ilmu itu diwariskan pada keturunannya."
Paksi Dilaga menghentikan ceritanya sejenak. Diambilnya napas dan ditelannya ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Sayang, dua keturunan terakhir yaitu aku dan ayahku tak memiliki bakat baik. Kami tak mampu menguasai ilmu-ilmu tingkat tertinggi keluarga kami. Kendati demikian, Ayah masih lebih berbakat daripada aku. Tapi tetap saja beliau tak boleh menggantikan tugas menjadi Malaikat Tanpa Wajah, karena tak mempunyai ilmu khas. Jadi ketika kakek wafat oleh Racun Ular Emas, tak ada lagi yang menggantikan menjadi Malaikat Tanpa Wajah."
"Berarti..., seharusnya Malaikat Tanpa Wajah tak muncul lagi ke dunia persilatan," cetus Arya.
"Benar, Arya," dukung Paksi Dilaga. "Sekarang kau mengerti mengapa aku merasa heran ayah dan ibuku bisa terbunuh. Kami keluarga yang penuh rahasia. Tempat kami pun terpencil. Rasanya mustahil ada orang mengetahui rahasia ini. Andaikata pun ada yang tahu, rasanya sulit untuk dapat membunuh Ayah. Kepandaian beliau jauh lebih tinggi dari aku. Empat datuk sesat pun belum tentu mampu mengalahkan Ayah."
"Kita harus melihat kenyataan, Paman. Ayah dan ibumu telah tewas terbunuh. Kalau hanya bingung memikirkan mengapa mereka bisa tewas, tak akan kita temukan jawabannya. Bukankah lebih baik kalau kita menyelidiki pelaku tindak kekejian ini?" usul Arya, hati-hati.
Paksi Dilaga tersenyum. Tapi, terlihat belum dengan sepenuh hati. "Aku bisa menerima kebenaran ucapanmu, Arya. Orang yang sudah mati memang tak akan kembali lagi. Kau benar. Akan kucari orang yang telah melakukan kekejian ini. Hhh...! Tugasku jadi bertambah, Arya. Tak hanya mencari Pringgani sekarang, tapi juga pembunuh ayahku..."
Sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi bergerak lambat. Jalan berupa permukaan tanah tak rata membuat gerobak berguncang-guncang. Semua itu seperti tak dipedulikan sang kusir yang duduk melengguk di tempatnya.
Gerobak masih berjarak belasan tombak di belakang dua orang yang tengah berjalan seenaknya. Sungguhpun demikian, pemuda berpakaian ungu dapat mengetahui keberadaannya. Rekan lelaki setengah baya berpakaian putih ikut pula mendengar. Dua orang itu memang bukan orang sembarang. Mereka adalah Paksi Dilaga dan Dewa Arak.
Arya dan Paksi Dilaga bersikap tak peduli. Keduanya tetap mengayunkan langkah, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Padahal dari bunyi yang tertangkap telinga, gerobak sapi itu berada semakin dekat dengan mereka.
Kedua tokoh golongan putih ini hanya bergeser agak ke tepi jalan, agar gerobak dapat melaju tanpa terhambat mereka. Jalan itu sendiri cukup lebar untuk menampung dua buah gerobak sapi sekaligus. Di kanan kirinya, dipisahkan oleh parit kecil, membentang tanaman alang-alang.
Gerobak sapi itu telah mulai mensejajari langkah Arya dan Paksi Dilaga. Kedua tokoh itu tetap bersikap tak peduli, seakan tak mengetahui kehadiran gerobak sapi.
"Dewa Arak!"
Cepat Arya menoleh ke arah asal suara. Paksi Dilaga ikut-ikutan. Tapi, sang kusir gerobak cepat melanjutkan ucapannya. Nadanya tetap lirih seperti khawatir didengar orang lain.
"Tak perlu menoleh. Harap dengan baik-baik ucapanku ini. Di malam bulan purnama akan ada pertemuan tokoh-tokoh golongan putih, untuk menyusun kekuatan dan rencana guna menghadapi gerombolan sesat di bawah pimpinan Sang Pangeran Muda. Kami berharap kau dapat hadir. Tempatnya di Lembah Maut di lereng Gunung Merapi. Apakah keteranganku sudah jelas, Dewa Arak?!"
"Sangat jelas, " jawab Arya tanpa menoleh.
"Kalau begitu, selamat tinggal. Mudah-mudahan kelompok sesat itu dapat kita hancurkan."
Bersamaan dengan lenyapnya perkataan terakhir, gerobak bergerak lambat meninggalkan Dewa Arak dan Paksi Dilaga. Sedikit demi sedikit gerobak itu semakin jauh.
"Malam bulan pumama...," gumam Arya pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Dua malam lagi, Arya," timpal Paksi Dilaga setengah memberi tahu.
"Kalau begitu, waktu yang tersedia cukup untuk ke sana, Paman...."
"Apa yang kau katakan itu tak salah, Arya. Waktu yang kita miliki lebih dari cukup. Dengan demikian, kita tak pertu terburu-buru."
Sebetulnya Arya dan Paksi Dilaga merasa heran. Namun mereka mampu meredamnya, sehingga tak terlihat. Wajah dan sikap kedua tokoh ini tetap biasa.
"Sang kusir gerobak mengatakan akan ada pertemuan tokoh-tokoh golongan putih. Tapi, mengapa hanya beberapa orang saja yang hadir? Mana yang lainnya? Atau ini hanya tipuan belaka?"
Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak Arya dan Paksi Dilaga. Untuk kesekian kalinya kedua tokoh ini mengedarkan pandangan berkeliling. Ditatapnya sekilas tokoh-tokoh lang hadir. Hanya tiga orang yang ada di situ selain mereka berdua.
"Kurasa...," cetus seorang kakek bermuka merah memecahkan keheningan yang menyelimuti mereka. "Tak ada gunanya lagi kita menunggu. Malam telah semakin larut. Aku yakin tak akan ada lagi orang yang datang."
"Apa yang diucapkan Raja Tuak memang tepat. Kita tak perlu lagi menunggu. Mungkin rekan yang lain khawatir kalau-kalau Sang Pangeran Muda dan gerombolannya muncul di tempat ini. Kita tak bisa menyalahkan mereka," timpal kakek yang memiliki tangan sebelah dengan sikap bijaksana."
Kakek bermuka merah yang ternyata berjuluk Raja Tuak, terkekeh. Tabung bambu yang sejak tadi tergeletak di dekatnya diangkat lalu dituangkan ke mulut. Tuak mengalir ke dalam mulutnya yang terbuka lebar. Bunyi menggeluguk terdengar ketika minuman memabukkan itu melewati tenggorokannya.
"Sebelum kita lanjutkan pertemuan ini...," kata Raja Tuak seraya meletakkan tabung bambunya lagi. Disekanya tepi-tepi mulutnya yang basah. Sepasang matanya yang tajam berkilat diedarkan pada semua orang, dan berhenti di wajah Dewa Arak. "Kurasa ada baiknya kalau kita saling memperkenalkan diri dulu."
Raja Tuak menunjuk pada kakek bertangan sebelah, sementara pandangannya tertuju pada Dewa Arak dan Paksi Dilaga. Pada kedua tokoh itulah kakek bermuka merah hendak memberitahukannya. "Sahabat ini berjuluk Naga Bercakar Tunggal."
Dewa Arak dan paksi Dilaga tersenyum. Kepalanya dianggukkan dan balas memperkenarkan diri pada Naga Bercakar Tunggal yang menyunggingkan senyum ramah.
"Dan sahabat yang satunya lagi..." lanjut Raja Tuak. Perhatiannya dialihkan sebentar pada kakek terakhir yang ada di situ. Dia berkepala botak dan kelihatan licin mengkilat. Terkekeh ramah pada Dewa Arak dan paksi Dilaga. "Dikenal orang dengan julukan Dewa Berkepala Baja."
"Aku telah mendengar julukan Dewa Arak yang menggetarkan dunia persilatan. Dan, telah lama mengaguminya. Tapi, baru kali ini aku mendapat keberuntungan bertemu muka. Sungguh menakjubkan sekali! Dalam usia semuda ini telah memiliki kepandaian luar biasa serta nama besar."
"Ahhh..., apalah artinya dibandingkan dengan kakek bertiga. Berita yang tersiar itu terlalu dibesar-besarkan," sahut Arya merendah.
"Sungguh sebuah sikap yang bagus," puji Raja Tuak. "Dan kau Paksi Dilaga, kami tahu kau pun telah membuat dunia persilatan geger dengan tindakan-tindakanmu. Sehingga kau mendapat julukan Harimau Bertangan Delapan. Kami manghargai sekali kehadiran kalian berdua di tempat ini."
"Kami hanya ingin menyumbangkan sedikit kemampuan yang kami miliki, Raja Tuak," kilah Arya.
Arya dan Paksi Dilaga tahu kalau Raja Tuaklah yang menjadi kusir gerobak sapi dan mengundang mereka ikut pertemuan. Sungguh tak mereka sangka kalau si kakek yang menjadi pemimpin pertemuan.
"Tidak ada yang patut dikagumi dari diriku, Raja Tuak," kilah Paksi Dilaga, memberikan tanggapan atas pujian yang dilontarkan Raja Tuak. Nada ucapan lelaki ini terdengar getir karena teringat akan keadaan dirinya. "Aku hanya seorang pengecut yang melarikan diri dari kejaran musuh-musuh yang ingin membunuhku!"
Raja Tuak, Naga Bercakar Tunggal, dan Dewa Berkepala Baja agak heran mendengar jawaban tersebut. Namun mereka tak mendesak lebih jauh. Tanggapan Paksi Dilaga membuat ketiga kakek itu tahu kalau dia telah mengalami kejadian tak menyenangkan. Adalah sikap kurang patut memintanya menjelaskan maksud pernyataannya tadi.
"Tujuan kita berkumpul di sini sebenarnya untuk menyusun kekuatan guna mencegah angkara murka Sang Pangeran Muda dan komplotannya."
Raja Tuak langsung berbicara pada pokok persoalan, sekaligus membuka jalannya pertemuan. "Tapi, yang kita temui ternyata tak berjalan sesuai keinginan. Hanya kita yang berkumpul di tempat ini. Kita berlima! Semula aku telah memperhitungkan puluhan orang yang akan hadir. Karena itulah kupilih tempat yang cukup luas ini. Tapi kenyataannya?"
Raja Tuak mengangkat kedua bahu, menampakkan sikap kecewanya. Semua yang hadir di situ bisa memakluminya. Kakek bermuka merah itu telah bersusah payah mencari temat yang nyaman. Tanah lapang luas yang ditumbuhi rumput setinggi dua kaki. Dikelilingi pohon-pohon cukup besar di tepinya. Luas lapangan itu cukup untuk menampung puluhan orang.
"Entah masalah apa yang membuat rekan-rekan lainnya tertahan untuk hadir di sini. Tapi, kuharap kalian semua tak berkecil hati. Rencana mulia kita jangan sampai hancur karenanya."
Raja Tuak menenggak minumannya kembali sebelum melanjutkan bicara. "Dan, kuminta yang hadir di sini sedapat mungkin membawa rekan-rekan lain untuk ikut pertemuan dua pekan yang akan datang. Bagaimana, kalian setuju?"
"Aku tak yakin akan keberhasilannya, Raja Tuak," Naga Bercakar Tunggal menimpali. "Kurasa mereka telah telanjur berpendapat kalau Sang Pangeran Muda tak bisa ditanggulangi. Mereka berpikir, tak ada gunanya menyusun kekuatan dan mengadakan perlawanan. Hanya akan mengakibatkan pertumpahan darah besar-besaran."
"Apa yang dikatakan Naga memang benar, Raja Tuak," celetuk Dewa Berkepala Baja memberikan dukungan. "Komplotan Pangeran Muda luar biasa kuat. Jangankan tokoh misterius itu, wakil-wakilnya saja mungkin tak akan terlawan oleh kita. Siapa yang tak kenal Raja Ular Berbaju Emas, Iblis Tanpa Bayangan, dan Lelembut Bermuka Dewa. Datuk-datuk sesat empat penjuru mata angin. Puluhan tahun yang lalu pun mereka tak terkalahkan"
Arya mengerling pada Paksi Dilaga. Ayahnya Pringgani melihat. Dan, dia tahu apa artinya. Kerling sekilas itu mengandung pertanyaan besar akan kebenaran cerita Paksi Dilaga yang menyatakan datuk-datuk sesat empat penjuru angin telah dikalahkan kakeknya.
Paksi Dilaga pun menunjukkan rasa penasaran. Dia telah memberikan bantahan. Tapi, Naga Bercakar Tunggal telah mendahului berbicara.
"Kau keliru, Dewa. Sepanjang yang kutahu keempat datuk sesat itu berhasil dikalahkan seorang tokoh golongan putih yang berjuluk Malaikat Tanpa Wajah! Bahkan, tokoh yang telah muncul sejak ratusan tahun lalu itu berhasil menghadapi keroyokan dua datuk."
"Aku pun mendengar berita itu, Naga," kelit Dewa Berkepala Baja. "Tapi, Malaikat Tanpa Wajah tak bisa dimasukkan ke dalam datuk golongan putih, karena kemisteriusannya. Tak ada seorang pun tahu siapa sebenarnya tokoh itu. Apalagi mengingat kemunculannya pertama kali, pada ratusan tahun lalu sebelum dia menyebabkan empat datuk sesat menghilang dari dunia persilatan. Anehnya, sejak empat datuk sesat menghilang, tokoh itu pun lenyap pula. Lagi pula, menurutmu mungkinkah ada orang yang mampu hidup sampai usia dua ratus tahun?"
Naga Bercakar Tunggal terdiam. Kebingungan dia memberikan bantahan. Dewa Berkepala Baja semakin bersemangat memojokkannya. "Bila kau menghitung, Malaikat Tanpa Wajah itu berusia lebih dari dua ratus tahun. Cobalah kau perhitungkan saat pertama kali tokoh itu muncul, hingga lenyapnya dia bersama empat datuk sesat, Naga!"
Naga Bercakar Tunggal tetap terdiam. Kakek bertangan sebelah ini tampak gelisah. Arya melirik ke arah Paksi Dilaga. Lelaki berpakaian putih itu merupakan satu-satunya orang yang dapat memberikan keterangan secara lengkap. Sayang, dia tak dapat ikut campur. Itu akan membuka rahasia yang selama ini tertutup rapat.
"Sebenarnya...," Arya ikut campur dalam perdebatan. Tindakannya ini mengundang perhatian semua orang. Mereka ingin tahu kelanjutan pernyataan Dewa Arak. "Hal yang tak memungkinkan mengenai Malikat Tanpa Wajah bisa saja terjadi," cetus Arya hati-hati.
"Apa maksudmu, Dewa Arak?" tanya Dewa Berkepala Baja dengan alis berkernyit. Kakek berkepala botak ini sudah memperkirakan Arya akan mengeluarkan pendapat yang mendukung pernyataan Naga Bercakar Tunggal. Karena itu, kakek ini yang paling merasa penasaran.
"Maksudku, mengenai kemustahilan usia Malaikat Tanpa Wajah seperti yang kau kemukakan tadi, Kepala Baja," jelas Arya. "Memang ada hal yang mencurigakan mengenai tokoh misterius itu. Tentang usianya."
"Benar, Dewa Arak. Apakah kau ingin mengatakan kalau mustahil seseorang berusia sampai dua ratus tahun?" desak Dewa Berkepala Baja.
"Aku tidak mengatakan demikian, Kepala Baja," bantah Arya. "Yang jelas, aku percaya Malaikat Tanpa Wajah yang muncul sejak ratusan tahun lalu membuat datuk-datuk sesat empat penjuru angin menghilang dari dunia persilatan."
"Kau berbelit-belit, Dewa Arak!" cela Dewa Berkepala Baja tak sabar. "Kalau kau percaya Malaikat Tanpa Wajah terus muncul hingga dua puluh tahun lalu, itu berarti kau harus percaya seseorang dapat berusia dua ratus tahun."
Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak mengernyitkan alis. Mereka merasakan kebenaran ucapan Dewa Berkepala Baja. Arya berbelit-belit dengan berbagai alasan. Pada akhirnya dia juga akan mendukung pernyataan Dewa Berkepala baja.
"Mungkinkah Arya akan membuka rahasia tentang siapa sebenarnya Malaikat Tanpa Wajah?" pikir Paksi Dilaga mulai khawatir. "Mudah-mudahan hal itu tak dilakukannya. Arya tahu hal itu merupakan rahasia besar keluargaku."
Arya terlihat tetap tenang. Bibirnya mengembangkan senyum. "Kalau kau mencerna pernyataanku lebih dalam, kau akan dapat membedakannya, Kepala Baja. Kukatakan aku tak percaya bila seseorang bisa berusia sampai dua ratus tahun. Tapi, aku percaya kalau Malaikat Tanpa Wajah bisa berusia sampai dua ratus tahun."
"Sepertinya pernyataan itu memang bertentangan satu sama lain. Tapi, sekarang mari kita membuktikan kebenarannya," tantang Dewa Berkepala Baja.
"Siapa di antara kalian yang pernah melihat paras Malaikat Tanpa Wajah?" tanya Arya. Pandangannya diedarkan berkeliling. Dtatapnya satu persatu tokoh yang ada di situ.
Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak terdiam. Demikian pula Paksi Dilaga, kendati jantungnya berdetak lebih cepat. Tapi, tidak demikian halnya dengan Dewa Berkepala Baja.
"Kurasa kita cukupkan perdebatan ini, Dewa Arak. Pertanyaanmu saja telah membuktikan kalau kau tak tahu apa-apa mengenai Malaikat Tanpa Wajah. Dengar, Dewa Arak! Hampir semua tokoh persilatan tahu kalau Malaikat Tanpa Wajah mengenakan selubung. Selubung itu menjadi petunjuk jelas kalau dia tak ingin dikenal. Lalu, bagaimana mungkin orang dapat melihat wajahnya? Kau malah menanyakan hal itu. Bukankah itu berarti kau tak tahu apa pun. Perdebatan ini tak ada gunanya dilanjutkan!"
Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak kembali harus mengakui kebenaran pendapat Dewa Berkepala Baja. Sedangkan Paksi Dilaga gelisah mendengar bantahan kakek berkepala botak. Dia khawatir Dewa Arak akan kalah berdebat dengan kakek yang pandai bicara itu.
"Di sinilah kekeliruannya, Kepala Baja, " kata Arya dengan ketenangan yang menakjubkan. "Kalau tak ada yang pernah melihat wajahnya, siapa yang dapat membuktikan wajah di balik selubung tokoh Malaikat Tanpa Wajah ratusan tahun lalu adalah wajah yang sama. Siapa yang bisa menjamin?"
Naga Bercakar Tunggal, Raja Tuak, dan Dewa Berkepala Baja terkejut bukan main mendengar alasan Dewa Arak. Alasan yang luar biasa kuat!
"Aku yakin wajah di balik selubung itu senantiasa berganti-ganti!" lanjut Dewa Arak. "Aku mempunyai alasan kuat untuk pernyataan ini. Aku pernah menemui tokoh melegenda seperti Malaikat Tanpa Wajah. Tokoh itu berjuluk Iblis Hitam! Tokoh yang merupakan datuk sesat ini terkenal sejak ratusan tahun lalu."
(Untuk jelasnya, silahkan baca episode : "Iblis Hitam").
"Semua tokoh-tokoh persilatan bingung mengapa tokoh itu tetap muncul di dunia persilatan. Padahal, menurut perhitungan dia sebenarnya sudah meninggal karena usia tua. Belakangan baru ketahuan kalau Iblis Hitam yang selalu berselubung itu senantiasa berganti. Keturunan-keturunannya yang menggantikannya. Aku yakin sekali Malaikat Tanpa Wajah pun demikian."
Raja Tuak, Naga Bercakar Tunggal dan bahkan Dewa Berkepala Baja harus mengakui kembali kebenaran pernyataan Dewa Arak. Dalam hati mereka menyesali diri sendiri mengapa tak berpikir demikian.
Paksi Dilaga menjadi lega mendengar akhir perdebatan itu. Arya tak membuka rahasia mengenai Malaikat Tanpa Wajah. Pemuda itu hanya mengutarakan alasan yang bisa diterima akal. Jawaban sebenarnya dapat ditemukan orang-orang yang mau berpikir panjang.
"Kalau benar demikian...," celetuk Dewa Berkepala Baja. Suaranya tak segagah sebelumnya. "Mengapa telah dua puluh tahun lebih Malaikat Tanpa Wajah tak muncul-muncul di dunia persilatan lagi?!"
"Bukan merupakan hal yang aneh, Kepala Baja," jawab Arya. "Banyak jawaban untuk pertanyaan itu. Bisa saja orang yang menjadi Malaikat Tanpa Wajah terakhir tak mempunyai keturunan. Atau..., keturunannya tak mempunyai bakat seperti yang diharapkan."
Dewa Berkepala Baja mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya dia setuju dengan penjelasan Dewa Arak.
"Kukira..., persoalan mengenai Malaikat Tanpa Wajah telah selesai. Sekarang kita kembali pada pokok persoalan, bagaimana menyusun kekuatan untuk menentang komplotan Sang Pangeran Muda," sela Raja Tuak buru-buru sebelum ada yang bicara lagi.
"Masih belum tuntas perbincangan kalian?"
Raja Tuak, Dewa Berkepala Bala, Naga Bercakar Tunggal, Paksi Dilaga, dan Dewa Arak terperanjat kaget mendengar teguran itu. Serempak mereka bangkit dari duduk dan bersikap waspada. Seiring dengan lenyapnya gema teguran itu, dari balik sebatang pohon bermunculan dua sosok. Seorang di antaranya kakek jangkung yang hampir membunuh Dewa Arak. Iblis Tanpa Bayungan!
"Aku yakin mereka datuk-datuk sesat yang telah dua puluh tahun lenyap," desis Raja Tuak dengan pandangan tertuju pada dua sosok yang menghampiri mereka.
"Yang yang berbicara berada di atas pohon. Mungkinkah dia yang terkenal sebagai Sang Pangeran Muda itu?" Arya menujukan pandangan ke atas pohon.
Serentak yang lainnya segera mengarahkan pandangan ke sana. Mereka melihat seseorang yang tak terlihat jelas, karena berdiri membelakangi bulan. Dia berdiri di atas satu kaki pada cabang pohon sebesar ibu jari. Anehnya, cabang itu tak melengkung sedikit pun. Seakan-akan yang berdiri di atasnya bukan manusia, melainkan seekor cengcorang!
Raja Tuak dan yang lainnya tanpa sadar menelan ludah melihat pameran ilmu meringankan tubuh. Dari apa yang terlihat saja mereka tahu kalau orang di atas pohon memiliki kepandaian luar biasa.
Kekeh penuh ejekan dari kakek yang berada di sebelah Iblis Tanpa Bayangan membuat rombongan Raja Tuak mengalihkan perhatian. Kakek itu berwajah ramah penuh senyum. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh seri. Lelembut Berwajah Dewa julukannya!
"Kalian benar-benar tak ubahnya anjing-anjing buduk!" maki Lelembut Berwajah Dewa. Telunjuknya menuding pada rombongan Raja Tuak. Sikap dan ucapannya kasar bukan main. Bertolak belakang dengan gerak-geriknya yang halus dan wajah penuh senyuman. Tak aneh kalau dia mendapat julukan Lelembut Berwajah Dewa.
"Apa yang kalian andalkan sehingga berani bertindak demikian lancang, mencoba menentang Sang Pangeran Muda?!"
Raja Tuak melangkah maju dua tindak. Dadanya yang tipis dibusungkan. "Kami memang hanya memiliki sedikit kepandaian. Tapi bukan berarti kami takut. Kami rela mengorbankan nyawa asal iblis-iblis semacam kalian lenyap dari muka bumi!"
"Begitukah?!" ejek Iblis Tanpa Bayangan. Ikut campur dalam perdebatan. "Kalau begitu, pergilah kau ke neraka!"
Wusss...!
Angin menderu keras ketika kakek jangkung itu menghentakkan kedua tangannya. Seketika, rombongan Raja Tuak terpencar untuk menyelamatkan diri. Serangan jarak jauh Iblis Tanpa Bayangan pun menerpa tempat kosong.
"Jangan serakah, Iblis," ujar Lelembut Berwajah Dewa. "Babi-babi busuk itu cukup banyak. Biar aku ikut ambil bagian untuk mencincang daging-dagingnya yang bau!"
Kakek yang memiliki wajah ramah ini lalu meludah berkali-kali. Tidak ke tanah sebagaimana layaknya orang membuang cairan menjijikkan itu, tapi menunjukkannya ke arah Raja Tuak.
Sing...!
Bunyi nyaring yang menyakitkan telinga itu menyeruak ketika gumpalan-gumpalan ludah meluncur. Raja Tuak yang menjadi sasaran serangan segera menenggak minumannya. Kemudian disemburkannya untuk memapak serangan lawan.
Gumpalan-gumpalan benda cair itu berbenturan di tengah jalan dengan menimbulkan suara nyaring. Gumpalan dari mulut Raja Tuak langsung terpental dan jatuh ke tanah. Sedangkan ludah Lelembut Berwajah Dewa terus meluncur. Namun beberapa kaki sebelum mencapai tujuan, kehabisan daya luncur dan jatuh ke tanah.
Lelembut Berwajah Dewa memaki kalang-kabut. Sedangkan Raja Tuak mengeluh dalam hati. Dari hasil benturan itu tenaga dalamnya ternyata masih di bawah tenaga datuk sesat berparas menyenangkan ini. Meskipun demikian, Raja Tuak tak menjadi gentar. Ketika lawannya meluruk menerjang, dengan berani disambutinya. Pertarungan seru pun terjadi.
Bukan hanya Raja Tuak yang terlibat pertarungan. Naga Bercakar Tunggal dan Dewa Berkepala Baja bahu-membahu menghadapi amukan Iblis Tanpa Bayangan. Sedangkan Dewa Arak dan Paksi Dilaga masih belum bertindak. Arya masih memperhatikan sosok yang berada di atas pohon. Sang Pangeran Muda!
"Paman, harap kau bantu Raja Tuak...," pinta Arya melalui ilmu mengirim suara dari jauh pada Paksi Dilaga.
Saat itu keadaan Raja Tuak memang mengkhawatirkan. Kepandaiannya masih terpaut cukup jauh dengan Lelembut Berwajah Dewa. Dalam beberapa jurus datuk sesat itu berhasil membuat Raja Tuak terdesak hebat. Untunglah, Paksi Dilaga datang membantu. Sehingga tekanan Lelembut Berwajah Dewa sedikit berkurang.
Suasana yang semula hening jadi hiruk-pikuk. Tidak hanya teriakan. Gerakan tokoh-tokoh yang bertarung pun menimbulkan bunyi nyaring menyakitkan telinga. Pertarungan yang berlangsung seru dan sengit. Tapi, belasan jurus kemudian keadaan mulai berubah. Lelembut Berwajah Dewa dan Iblis Tanpa Bayangan terlalu tangguh untuk dihadapi. Raja Tuak dan rekan-rekannya yang telah mengerahkan seluruh kemampuannya tetap saja kewalahan.
Keadaan yang menimpa mereka membuat Dewa Arak gelisah. Kalau tak segera dibantu, Raja Tuak dan rekanrekannya akan tewas. Tanpa menunggu lebih lama dilancarkannya serangan beruntun dengan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss, wusss, wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat bertubi-tubi meluncur ke arah Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut Berwajah Dewa. Datuk-datuk sesat itu menyambutinya dengan cara yang sama. Terdengar benturan nyaring memekakkan telinga dan menggetarkan sekitar tempat itu. Tubuh mereka terlihat terhuyung-huyung. Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk menerjang Lelembut Berwajah Dewa.
"Menyingkirlah! Biar aku yang menghadapinya!" seru Arya di saat tubuhnya masih melayang di udara. Serangan Arya mendapat sambutan langsung dari lawan. Lelembut Beruaiah Dewa menyambuti kedatangan Arya dengan sebuah serangan mematikan.
Wuuttt...!
Sampokan Lelembut Berwajah Dewa yang ditujukan pada pelipis mengenai tempat kosong. Arya telah lebih dulu merendahkan tubuhnya. Hampir bersamaan waktunya, pemuda itu mengirimkan gedoran ke arah dada.
Desss...!
Lelembut Berwajah Dewa memekik ngeri. Telapak tangan Arya mendarat di bahu kanannya. Tubuh kakek itu pun terjengkang ke belakang. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Serangan yang tak disangka-sangka itu membuat elakannya tak sepenuhnya berhasil. Kendati demikian, cukup untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tanpa mempedulikan keadaan lawan. Dewa Arak melesat ke arah pertarungan Iblis Tanpa Bayangan yang menghadapi Dewa Berkepala Baja dan Raja Bercakar Tunggal. Karena dilihatnya Paksi Dilaga dan Raja Tuak belum mencapai kancah pertarungan mereka.
Bersamaan dengan melesatnya Dewa Arak, Iblis Tanpa Bayangan mengeluarkan lengkingan nyaring. Hanya sebentar. Tapi, mampu membuat kedua lawannya terkesima. Sukma mereka seperti melayang entah ke mana. Dada terasa berguncang hebat dan sepasang kaki menggigil keras!
Kesempatan yang hanya sesaat itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Iblis Tanpa Bayangan. Dikirimkannya tamparan berturut-turut ke arah pelipis kedua lawannya.
Plak, plak, plak...!
Terdengar bunyi berderak cukup keras. Disusul dengan pekikan tertahan dan ambruknya tubuh Naga Bercakar Tunggal serta Dewa Berkepala Baja. Mereka tewas dengan tulang pelipis retak mengucurkan darah.
Arya menggertakkan gigi melihat kejadian yang tak diinginkannya itu. Kedatangannya sudah terlambat Sungguhpun demikian, maksudnya tetap tak diurungkan. Diterjangnya Iblis Tanpa Bayangan untuk membalaskan kematian mereka. Pertarungan pun terjadi ketika sang datuk sesat menyambuti.
Sementara itu di atas pohon Sang Pangeran Muda memperhatikan Dewa Arak dengan dahi berkernyit. "Pemuda ini berkepandaian lumayan juga. Dia dapat menjadi ancaman besar kalau tak dilenyapkan. Kalau aku tak bertindak cepat, kemungkinan besar Iblis Tanpa Bayangan akan tewas," gumamnya lirih.
Tokoh yang disebut-sebut sebagai Sang Pangeran Muda ini berpakaian putih. Celananya merah dan berikat kepala hijau. Wajahnya dingin memancarkan keangkuhan besar, sebagaimana layaknya tingkah orang-orang berkedudukan. Ketika Arya dan Iblis Tanpa Bayangan terlibat pertarungan, Sang Pangeran Muda berdehem. Bukan sembarang deheman. Tapi mampu membuat sehelai daun lepas dari tangkainya dan melayang ke bawah.
Tanpa menekuk lutut, Sang Pangeran Muda meninggalkan cabang pohon tempatnya berdiri. Laksana seekor burung besar dia melayang turun dan menjejakkan salah satu kakinya pada daun itu. Seakan-akan tak menerima beban, daun yang lebarnya hampir setelapak tangan orang dewasa itu melayang ringan ke tanah. Dan ketika telah mendarat di tanah, pentolan kaum sesat yang penuh rahasia ini membentak keras.
"Berhenti...!"
Sekitar tempat itu tergetar hebat karena kuatnya tenaga yang terkandung dalam bentakan. Tapi, pengaruh yang melanda tokoh-tokoh dalam kancah pertarungan lebih besar lagi. Mereka semua menghentikan gerakannya, kemudian melompat mundur. Tanpa sadar mereka mematuhi seruan Sang Pangeran Muda! Ada pengaruh aneh yang membuat mereka mengikuti seruan itu
. Pertarungan tak berlanjut lagi. Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut Berwajah Dewa melangkah mundur, membiarkan pemimpin mereka maju menghadapi kelompok Raja Tuak yang berdiri berjejer. Sang Pangeran Muda sendiri bersikap seolah Raja Tuak dan Paksi Dilaga tak berada di situ. Pandangannya hanya ditujukan pada Arya.
Dewa Arak balas menatap. Pemuda ini harus mengakui kalau Sang Pangeran Muda memiliki wibawa menggiriskan hati. Sepasang matanya yang tajam berkilat mengandung pengaruh besar. Malah, Paksi Dilaga dan Raja Tuakmerasakan bulu kuduk mereka meremang. Sepasang mata yang sinarnya amat tajam itu membuat orang tak kuat menatapnya berlama-lama.
"Kepandaianmu lumayan juga, Sobat Kecil!" suara Sang Pangeran Muda terdengar begitu dingin. Nada bicara dan sikapnya demikian merendahkan Arya. Tetapi Arya tetap tenang. Dia tak terpancing untuk melakukan hal serupa.
"Tapi, perlu kuberitahukan padamu. Kau tak perlu mencari penyakit dengan berani menentangku. Kepandaianmu tak ada artinya bagiku. Menentang Sang Pangeran Muda sama artinya kau telah bosan hidup. Sayangilah nyawamu, Sobat Kecil. Jadilah anak buahku! Untuk apa kau mengikuti langkah tua bangka yang tak bisa berpikir jernih karena terlalu mabuk menenggak minuman setannya!" lanjut Sang Pangeran Muda menyindir Raja Tuak.
"Terima kasih atas perhatianmu, Sobat Besar. Sayang, aku tak bisa memenuhinya. Sejak dulu aku telah bertekad membasmi setiap angkara murka di muka bumi ini. Dan, sejak dulu pula nyawa yang ada di tubuh ini bukan milikku lagi. Telah kuberikan untuk membela orang-orang yang tertindas!" sahut Arya, kalem.
Berbeda dengan Dewa Arak yang tetap tenang, Raja Tuak tidak. Kakek ini merasa tersinggung sekali. Perasaan ini mendorong amarahnya dan membuat akal sehatnya hilang. Rasa ngeri Raja Tuak terhadap Sang Pangeran Muda menciut dengan cepat. Keinginannya yang mendesak adalah melampiaskan amarah itu.
"Manusia sombong!" bentak Raja Tuak. Kakinya melangkah maju dengan telunjuk menuding pada Sang Pangeran Muda. "Kau kira aku takut padamu? Aku Raja Tuak, bukan orang yang takut mati! Mampuslah!"
Wuuut... !
Kakek bermuka merah itu melancarkan pukulan kanan kiri susul-menyusul ke arah dada.
Buk, buk!
Tubuh Sang Pangeran Muda tak bergeming sama sekali, kendati kepalan Raja Tuak menghantamnya telak. Pentolan kaum sesat ini tak tampak kesakitan. Padahal, dia tak kelihatan mengerahkan tenaga.
Raja Tuak terkejut melihat hasil serangannya. Dia lebih terkejut lagi ketika mengetahui sepasang tangannya melekat pada dada lawan. Betapapun dikerahkan seluruh tenaganya untuk menarik kembali, hasilnya sia-sia.
Sementara Sang Pangeran Muda tak tampak mengeluarkan tenaga untuk mempertahankannya. "Orang lancang sepertimu harus diberi pelajaran agar kapok!" dengus Sang Pangeran Muda penuh ancaman. Ucapannya menimbulkan perasaan kaget. Tidak hanya pada Raja Tuak, tapi semua tokoh yang berada di situ. Mereka tahu pasti adalah pantangan besar bagi orang yang tengah mengadu tenaga dalam untuk berbicara.
Pengerahan tenaga jadi membuyar. Ini berbahaya sekali! Di samping akan terkena serangan tenaga dalam lawan, juga kemungkinan terpukul oleh tenaga dalamnya sendiri yang membalik. Tapi, Sang Pangeran Muda mampu melakukannya.
Sekejap setelah mendapat ancaman Sang Pangeran Muda, Raja Tuak mendapatkan buktinya. Kedua tangannya seperti dimasukkan ke dalam tungku perapian. Panas bukan main! Semakin lama semakin panas. Sehingga, kakek ini menggeliat-geliat seperti cacing di abu panas.
Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Melihat kejadian yang dialami Raja Tuak, Dewa Arak tak bisa tinggal diam. Sebelumnya pun dia bermaksud mencegah tindakan kakek bermuka merah itu. Sayang, dia terlambat. Sekarang Arya tak ingin terlambat lagi. Dewa Arak tak berani bertindak sembrono seperti yang dilakukan Raja Tuak, kendati dia memiliki tenaga dalam tinggi. Tapi kalau tenaganya kalah kuat, dia akan mengalami nasib serupa.
Pemuda berambut putih keperakan itu menenggak araknya, lalu menyemburkannya pada Sang Pangeran Muda. Arak yang meluncur tidak berbentuk cair, melainkan agak panjang dan runcing seperti jarum. Banyaknya ratusan. Arya yang memiliki kecerdikan mengagumkan telah memperkirakan serangan araknya tak dapat melukai kulit Sang Pangeran Muda. Maka, serangan itu ditujukan pada bagian-bagian tubuh paling lemah. Mata, ubun-ubun, dan kerongkongan!
Memang, betapapun sakti dan kuatnya tenaga dalam seseorang, bila matanya terkena serangan akan mengakibatkan kebutaan. Sang Pangeran Muda pun tahu hal itu. Maka, disambutnya serangan Dewa Arak dengan tiupan. Percikan-percikan arak pun kembali seperti semula, menjadi butiran-butiran arak yang kemudian runtuh ke tanah.
Pengerahan tenaga untuk meniup membuat daya tarik untuk melekatkan tangan Raja Tuak berkurang. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Tuak. Cepat ia menarik tangannya. Kali ini usaha Raja Tuak berhasil. Tapi karena terlalu kerasnya menarik, dia terhuyung-huyung ke belakang tak bisa menguasai keseimbangan.
Sang Pangeran Muda tak mau membiarkan calon korbannya selamat. Dia hendak mengirimkan serangan maut. Tapi, Dewa Arak mendahului pentolan datuk sesat itu. Diserangnya Sang Pangeran Muda dengan ayunan guci ke arah kepala.
Plak!
Tangkisan yang dilakukan Sang Pangeran Muda membuat Arya terputar lalu terpelanting. Gucinya hampir terlepas dari pegangan, karena telapak tangannya terasa panas dan sakit.
Sang Pangeran Muda benar-benar yakin akan kemampuannya. Dia tak menggunakan kesempatan untuk melancarkan serangan. Tokoh yang menggiriskan hati ini menunggu lawannya memperbaiki kedudukan.
Dewa Arak merasakan jantungnya berdetak jauh lebih cepat. Ketegangan melanda dirinya. Sejak semula dia telah menyangka Sang Pangeran Muda memiliki kepandaian tinggi. Tapi, sama sekali tak disangkanya akan demikian hebat.
"Kau hebat, Pangeran Muda," puji Arya sejujurnya.
"Syukur kalau kau mengetahuinya, Sobat Kecil. Mumpung pendirianku belum berubah, kuberikan kesempatan padamu untuk merubah jawaban. Kalau kau masih bersikeras, aku akan mengirimmu ke akhirat!"
"Kau hanya membuang-buang waktu, Pangeran Muda. Pendirianku tak akan berubah. Apa pun yang akan terjadi aku tetap menentangmu!" tandas Arya.
Paras Sang Pangeran Muda membesi. Sorot sepasang matanya memancarkan hawa maut ketika menatap Arya. Dewa Arak tak menjadi gentar. Dia balas menatap. Kemarahan Sang Pangeran Muda semakin menjadi.
Tangan dedengkot kaum sesat itu dijulurkan ke depan sejajar bahu. Dewa Arak yang berdiri tiga tombak darinya bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tapi ketika melihat tindakan dedengkot kaum sesat itu, dia bersikap menunggu. Ingin diketahuinya maksud tindakan lawan.
"Ahhh...!" Seruan kaget itu dikeluarkan Paksi Dilaga. Paras dan pancaran sepasang matanya menyiratkan keterkejutan besar. Biji matanya bak hendak melompat keluar dari rongga.
Keterkejutan Paksi Dilaga tak menarik perhatian siapa pun. Tokoh-tokoh yang ada di situ menunjukkan perhatian pada Sang Pangeran Muda dan Dewa Arak. Terpancang di benak mereka pertarungan yang akan terjadi benar-benar dahsyat.
Arya yang semula bersikap menunggu terperanjat ketika merasakan kekuatan tak nampak menekannya dari segala arah! Kekuatan sihir luar biasa dahsyat seperti hendak menghancurkan tubuhnya. Dewa Arak menyadari adanya bahaya. Dia bermaksud melesat menghindar. Tercekat hatinya ketika mengetahui tak dapat melakukan hal itu. Kekuatan yang menghimpit bak dinding yang menghalangi.
Karena tak mau mati konyol, Arya mengerahkan tenaga dalam untuk menahan himpitan pada dirinya. Pertarungan tenaga dalam secara langsung pun tak dapat dihindarkan lagi. Arya mengeluh dalam hati. Dia telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga pengaruh yang menekan agak berkurang. Bila hal ini terus berlangsung dia akan tewas dengan isi dada hancur.
Semua tokoh yang menyaksikan jalannya pertarungan merasa tegang. Di antara mereka, Paksi Dilaga yang paling tegang. Dia mengenal baik bentuk serangan Sang Pangeran Muda. Serangannya itu sering dilihatnya puluhan tahun lalu. Hanya saja bukan dilakukan dedengkot kaum sesat itu, melainkan kakeknya yang tewas karena kelicikan Raja Ular Berbaju Emas.
Itulah sebabnya tadi, Paksi Dilaga berseru kaget. Lelaki berpakaian putih itu segera menggali ingatannya. Kendati tak menguasainya, Paksi Dilaga hafal dengan jurus-jurusnya.
Kini dia menguras seluruh ingatannya untuk mencari kelemahan ilmu itu. Beberapa saat kemudian, wajahnya tampak berseri-seri. Dia telah berhasil mengingatnya.
"Jongkok, Arya! Jongkok! Rendahkan tubuhmu...!" seru Paksi Dilaga keras, agar bisa didengar Arya.
Dewa Arak memang mendengarnya. Saat itu Arya tengah berada dalam keadaan genting. Wajahnya telah merah padam dan dari atas kepalanya mengepul uap putih. Tanpa pikir panjang lagi Dewa Arak segera berjongkok. Dan memang, kekuatan yang menekannya langsung lenyap. Arya pun mengerti kalau tekanan dari segala arah itu hanya menyerang bagian pinggang ke atas!
Sang Pangeran Muda menggertakkan gigi. Sorot matanya memancarkan maut ketika mengerling ke arah Paksi Dilaga. Dia tahu yang memberikan petunjuk pada Arya sehingga pemuda itu dapat lolos dan serangannya.
"Kau akan mendapatkan ganjaran yang setimpal atas kelancanganmu ini, Paksi Dilaga!" desis Sang Pangeran Muda. "Kau memang telah lama kucari-cari. Setelah kukirim monyet kecil ini ke neraka, giliranmu akan tiba!"
Sang Pangeran tak bisa melanjutkan ucapannya. Dewa Arak telah menyerangnya. Pemuda ini menggulingkan tubuhnya, kemudian melancarkan tendangan ke arah pusar.
Desss...!
Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang, lalu terguling-guling. Sang Pangeran Muda telah lebih dulu mengayunkan kaki memapak! Dedengkot kaum sesat itu tergetar tubuhnya. Kali ini Sang Pangeran Muda tak bertindak murah hati lagi. Tak diberinya kesempatan pada lawan untuk memperbaiki kedudukan. Dewa Arak dikirimkannya serangan bertubi-tubi. Serangan yang membuat Paksi Dilaga tak henti-hentinya berseru kaget. Jurus-jurus sang dedengkot kaum sesat itu dikenalinya sebagai ilmu milik keluarganya.
Sang Pangeran Muda memang hebat bukan main. Arya membuktikannya sendiri. Dia dibuat terpontang-panting dalam usahanya memberikan perlawanan. Seluruh kemampuannya telah dikerahkan. Bahkan, ilmu 'Belalang Sakti' andalannya dikeluarkan pula. Tapi, Arya harus menerima kenyataan kalau lawan jauh lebih unggul.
Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya berada di atasnya. Hanya berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang' Dewa Arak mampu bertahan. Kendati demikian, lambat laun dia terdesak juga. Apalagi setelah Sang Pangeran Muda memecahkan rahasia jurus itu.
Plak!
Tubuh Arya terlempar. Tamparan Sang Pangeran Muda menghantam bahunya. Darah menyembur dari mulut Dewa Arak. Arya masih mampu mendarat dengan kedua kakinya. Saat Dewa Arak dalam keadaan tak menguntungkan itu, Sang Pangeran Muda menerkam bak seekor macan lapar. Dewa Arak hendak melompat menghindari serangan.
Namun, kedua kakinya tak dapat diangkat. Telapak kaki itu seakan melekat dengan tanah. Arya segera sadar peristiwa aneh yang menimpanya tidak terjadi begitu saja. Kemungkinan besar karena kedahsyatan jurus dedengkot kaum sesat itu.
Dia tak bisa mengelak lagi. Jalan satu-satunya untuk mematahkan serangan hanya dengan menangkis. Sayang, sebelah tangannya tak dapat digunakan. Kalau mempergunakan satu tangan yang lain, dia tak akan mampu mementahkan gempuran Sang Pangeran Muda.
Nyawanya bagaikan telur di ujung tanduk! Di saat-saat terakhir, dari belakang Dewa Arak melesat sesosok bayangan kuning keemasan. Gerakannya cepat bukan main yang terlihat hanya sekelebatan bayangan. Sosok ini melesat memapak terjangan Sang Pangeran Muda.
Bresss... !
Sekitar tempat itu bergetar hebat. Bahkan, getarannya dirasakan oleh semua orang yang hadir. Untuk pertama kalinya setiap pasang mata membelalak lebar. Tubuh Sang Pangeran Muda terlempar ke belakang, seperti juga sosok bayangan kuning keemasan. Dedengkot kaum sesat yang luar biasa itu ternyata bisa juga terlempar.
Dan seperti juga penolong Dewa Arak, Sang Pangeran Muda berhasil menjejak tanah dengan mantap. Dia berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar. Kedua kalinya semua orang membelalakkan mata. Terutama Paksi Dilaga, Iblis Tanpa Bayangan, dan Lelembut Berwajah Dewa! Pandangan mereka tertuju pada sang penolong Dewa Arak. Sinar mata ketidak-percayaan memancar di sana.
"T..., ti..., tidak mungkin...!" desis Paksi Dilaga dengan bibir bergetar. Berusaha diyakinkan dirinya akan ketidak-benaran yang dilihatnya.
"Malaikat Tanpa Wajah?!" gumam Lelembut Berwajah Dewwa dan Iblis Tanpa Bayangan, tanpa menyembunyikan kegentaran dalam nada suaranya.
"Siapa kau, Keparat?!" bentak Sang Pangeran Muda, setelah berhasil meredakan perasaan kagetnya. "Sungguh berani kau menyamar sebagai Malaikat Tanpa Wajah!"
Penolong Dewa Arak yang dipanggil Malaikat Tanpa Wajah terdengar mendengus. Sepasang matanya mencorong tajam dan bersinar kehijauan tertuju lurus ke arah Sang Pangeran Muda. Sorot mata ini sukar ditebak maksudnya. Apalagi karena wajahnya terlindung selubung kuning keemasan.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Biang Keparat!" balas Malaikat Tanpa Wajah tak kalah keras. "Perlu kuberitahukan, sebelum memaki-maki sebaiknya kau bercerminlah lebih dulu. Jelas-jelas kulihat ilmu yang kau pergunakan adalah ilmu-ilmu milik Malaikat Tanpa Wajah. Dari mana kau mendapatkannya, heh?!"
Sang Pangeran Muda terdiam. Di sekelilingnya, semua tokoh persilatan mendengarkan jalannya perdebatan dengan penuh minat. Mereka tertarik untuk mendengar kelanjutannya. Terutama Paksi Dilaga, orang yang merasa paling berkepentingan.
Keadaan di tempat ini pun jadi hening. Semua tokoh yang ada berdiri mematung. Seakan khawatir kalau sedikit gerakan yang mereka lakukan akan membuat jawaban Sang Pangeran Muda tidak tertangkap. Bahkan bernapas pun hampir-hampir ditahan.
"Kalau kukatakan dari mana ilmu-ilmu ini, kau mau berjanji memperkenalkan diri dan membuka selubungmu?!" tantang Sang Pangeran Muda.
"Tidak!" jawab Malaikat Tanpa Wajah, tanpa berpikir lebih lama. "Aku tidak mau berjanji seperti itu. Lagi pula, tanpa kau jawab pun aku tahu. Kau mencurinya, bukan?!"
"Tutup mulutmu, Keparat! Aku bukan orang semacam itu!" bentak Sang Pangeran Muda. "Pantang bagiku mencuri ilmu orang lain!"
"Memang bukan kau yang mencurinya. Tapi ayah, kakek, atau gurumu. Kau mempelajari ilmu curian itu darinya. Bukankah itu berarti kau mencurinya pula!"
"Mampuslah kau...!" Dibarengi teriakan menggeledek, dedengkot kaum sesat itu menerjang Malaikat Tanpa Wajah. Sebuah tendangan terbang dikirimkannya.
Pertarungan dua tokoh yang memiliki kepandaian tinggi itu segera terjadi. Padahal, saat itu Dewa Arak masih berada di antara mereka. Kemungkinan besar dirinya akan terkena serangan nyasar. Arya bergegas menggulingkan tubuhnya menjauh.
Hampir tanpa selang waktu, Malaikat Tanpa Wajah ikut melesat. Tokoh ini memapaki serangan Sang Pangeran Muda dengan gerakan yang sama. Benturan yang terjadi beberapa saat kemudian membuat tubuh mereka terpental. Kemudian, keduanya kembali saling serang.
Semua pasang mata tertuju pada jalannya pertarungan. Arya menoleh ke arah Paksi Dilaga dengan sorot mata mengandung pertanyaan. Kemunculan Malaikat Tanpa Wajah begitu mengejutkan. Bukankah orang terakhir yang menjadi tokoh legenda itu adalah ayah Paksi Dilaga dan telah tewas? Bagaimana mungkin dapat muncul Malaikat Tanpa Wajah lainnya?!
Arya segera tahu tak akan mendapat jawaban yang memuaskan. Dilihatnya sendiri Paksi Dilaga tak kalah bingungnya. Perhatiannya pun kembali dialihkan pada jalannya pertarungan. Di kancah pertarungan, Sang Pangeran Muda dan Malaikat Tanpa Wajah terlibat pertarungan unik. Seringkali gerakan-gerakan mereka mirip satu sama lain, menunjukkan kalau ilmu keduanya berasal dari satu sumber. Ketika pertarungan telah berlangsung belasan jurus, Sang Pangeran Muda berteriak keras.
"Tunggu apa lagi? Habisi mereka!"
Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut Berwajah Dewa tersadar dari terkesimanya, seperti orang tertidur yang diguyur air. Hampir berbarengan keduanya melesat menyerang rombongan Raja Tuak. Pertarungan pun terjadi. Dewa Arak kembali bertarung dengan Iblis Tanpa Bayangan. Raja Tuak dan Paksi Dilaga bekerjasama menghadapi Lelembut Berwajah Dewa.
Baru saja pertarungan berlangsung, muncul Tiga Hantu Pantai Selatan. Tanpa banyak bicara mereka langsung terjun ke dalam kancah pertarungan. Diserangnya Paksi Dilaga dan Raja Tuak. Sebaliknya, Lelembut Berwajah Dewa malah meninggalkan kancah pertarungan dan menyerang Dewa Arak. Sehingga pemuda ini menghadapi keroyokan dua orang lawan.
Dalam keadaan terluka, Arya segera terdesak hebat. Keadaan Dewa Arak ternyata tak luput dari perhatian Malaikat Tanpa Wajah. Sorot matanya memancarkan kecemasan besar. Cara pertarungannya pun berubah. Tokoh misterius ini menyerang tanpa mempedulikan pertahanan dirinya.
Sang Pangeran terperanjat melihat tindakan nekat lawannya. Tapi dia juga merasa gembira. Apalagi ketika dilihatnya pertahanan lawan banyak mempunyai celah-celah yang dapat dijatuhi serangan.
"Hih...!" Sang Pangeran melancarkan pukulan tangan kanan lurus ke arah dada yang tak terlindungi. Sudah terbayang di benak dedengkot kaum sesat ini kalau lawannya terlempar jauh dan terluka dalam yang parah.
Dugaan Sang Pangeran Muda tak sepenuhnya tercapai. Di saat terakhir, Malaikat Tanpa Wajah memiringkan tubuh. Bersamaan dengan itu dikirimkannya bacokan ke arah tengkuk dengan sisi telapak tangan. Karuan saja, Sang Pangeran Muda tercekat hatinya. Dia sama sekali tak menyangka kejadiannya akan seperti ini.
Duk, des!
Kejadian itu berlangsung hampir berbarengan. Pukulan Sang Pangeran Muda menyerempet dada Malaikat Tanpa Wajah, tapi tengkuhnya terkena bacokan lawan. Tubuh Malaikat Tanpa Wajah dan Sang Pangeran Muda terhuyung-huyung. Malaikat Tanpa Wajah masih mampu berdiri kendati agak limbung. Sebaliknya, Sang Pangeran Muda ambruk ke tanah. Dedengkot kaum sesat ini tewas karena tulang lehernya patah.
Tanpa mempedulikannya rasa sakit yang mendera, Malaikat Tanpa Wajah memasuki kancah pertarungan Dewa Arak. Arya tengah terhuyung-huyung, sedangkan dua lawannya meluruk ke arahnya dengan serangan maut. Malaikat Tanpa Wajah melancarkan gedoran ke arah Iblis Tanpa Bayangan.
Duk, des!
Tubuh Iblis Tanpa Bayangan terpental jauh. Terhantam gedoran Malaikat Tanpa Wajah. Tapi, di saat yang bersamaan tokoh legenda itu terkena pukulan Lelembut Berwajah Dewa. Malaikat Tanpa Wajah pun terlempar. Arya terpukul melihat kenekatan Malaikat Tanpa Wajah untuk menolong dirinya. Pemuda berambut putih keperakan ini pun menghentakkan kedua tangannya, melancarkan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss... ! Bresss!
Lelembut Berwajah Dewa menjerit menyayat hati. Pukulan jarak jauh Dewa Arak telah menghantamnya. Saat tubuhnya melayang, nyawanya pun ikut melayang. Kulit tubuhnya gosong dan bau hangus daging menyebar.
Arya tak mempedulikan korban serangannya. Dia melesat ke arah Malaikat Tanpa Wajah yang tergolek di tanah. Dilihatnya bagian pinggang atas tokoh legenda itu hangus dan menyebarkan bau amis. Tampaknya serangan Lelembut Berwajah Dewa mengadung racun!
Karena mengkhawatirkan keselamatan Malaikat Tanpa Wajah, Dewa Arak merobek pakaian di bagian yang terluka. Dia hendak menyedot racun yang belum menjalar jauh itu. Arya tak peduli kendati orang yang akan ditolongnya menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan, Arya...."
Bret…!
Arya merobeknya agak lebar sampai ke dada. Seketika pemuda itu terperanjat. Wajahnya merah padam. Dada Malaikat Tanpa Wajah terlihat membusung. Putih halus dengan puting susu merah segar. Tokoh yang luar biasa ini ternyata seorang wanita! Arya kebingungan. Ditutupnya lagi robekan pakaian itu. Dia teringat akan ucapan Malaikat Tanpa Wajah tadi. Seketika keheranannya timbul.
"Dari mana kau tahu namaku!"
"Bukalah selubungku ini, Arya...," kata Malaikat Tanpa Wajah, tak menjawab pertanyaan Arya.
Di saat Dewa Arak melepas selubung itu, Paksi Dilaga dan Raja Tuak ikut mendekat. Tiga Hantu Pantai Selatan telah berhasil mereka tewaskan. Tubuh tokoh-tokoh sesat itu bergeletakan di tanah. Sekarang kedua tokoh golongan putih itu menanti dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka tak sabar ingin melihat wajah orang yang berada di balik selubung.
"Pringgani...!"
Seruan kaget itu dikeluarkan Arya dan Paksi Dilaga. Seraut wajah cantik di balik selubung itu memang wajah Pringgani. Mulut, hidung dan telinganya mengalirkan darah segar. Napas gadis ini telah tersengal-sengal. Kendati demikian, bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Ayah..., " desis Pringgani, lirih. "Mungkin Ayah kaget mengapa aku bisa seperti ini…"
Paksi Dilaga hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Dia tak sanggup bicara lagi. Kesedihan dan keharuan besar melanda hatinya. Kerongkongannya terasa tercekik. Kalau saja tak ingat akan malu, lelaki ini telah menangis meraung-raung melihat keadaan Pringgani. Kendati demikian sepasang matanya yang berkaca-kaca tak dapat dihindarkan. Arya sendiri, bahkan Raja Tuak, ikut dililit perasaan haru.
"Kau pun mungkin kebingungan dengan hilangnya diriku, Arya," ujar Pringgani lagi.
Yang segera dibalas dengan anggukan kepala oleh Arya. "Tentu saja, Gani. Aku dan ayahmu mencarimu ke mana-mana," jawab Arya.
Pringgani tersenyum. Tapi, yang terlihat adalah seringai kesakitan. Arya buru-buru menotok beberapa jalan darah di tubuh gadis itu untuk mengurangi rasa sakitnya. Bahkan, disalurkan hawa murni untuk mengusir racun dalam tubuh Pringgani. Asap hitam mengepul dari bagian tubuh yang terluka, mula-mula hitam pekat. Tapi, semakin lama semakin memudar warnanya. Berbarengan dengan itu, warna hitam pada bagian pinggang Pringgani berangsur-angsur lenyap.
"Aku akan menceritakan kejadiannya," kata Pringgani. Diberinya isyarat agar Dewa Arak menghentikan penyaluran hawa murninya. "Sudah lebih baik, Arya," ujarnya. Pringgani tercenung mengingat-ingat kejadian yang dialami sebelum mulai bercerita.
Pringgani yang telah tak berpakaian berusaha secepat mungkin mengenakan pakaian pemberian Dewa Arak. Tapi, mendadak punggungnya seperti tersentuh sesuatu. Seketika itu pula gadis ini merasakan sekujur tubuhnya lemas tak bertenaga. Ada seseorang yang telah menotoknya dari belakang! Totokan itu membuat Pringgani tak kuasa untuk berdiri. Bak sehelai kain basah, tubuhnya ambruk ke tanah.
Tapi sebelum tubuh putri Paksi Dilaga itu berbenturan dengan tanah, sehelai sabuk hitam melilit pinggangnya. Pringgani yang sudah tak berdaya tak mampu menolak ketika tubuhnya ditarik ke belakang. Kejadian berturut-turut itu berlangsung demikian cepat. Namun Pringgani masih mampu berpikir jernih. Hal ini yang membuatnya dapat meredam keterkejutan.
Padahal, jeritan meminta tolong telah berada di ujung lidah. Apabila dia menjerit, Dewa Arak pasti akan menoleh. Tapi hal itu tak diinginkannya. Dia tengah berada dalam keadaan tanpa busana. Gadis ini lalu memutuskan untuk melihat keadaan lebih dulu. Belum terlambat baginya untuk menjerit bila keadaannya terancam.
"Penculikku ternyata seorang nenek," jelas Pringgani. "Dia membawaku ke tempat tinggalnya setelah lebih dulu membuatku tak bersuara. Di kediamannya nenek itu memberitahukan tentang dirinya. Dia adalah kakak dari kakeknya ayah. Anak yang disia-siakan oleh ayahnya sendiri, yaitu kakek dari kakekku."
Paksi Dilaga terkejut mendengar penjelasan putrinya. Dia sama sekali tak ingat kalau kakeknya mempunyai kakak perempuan. Anak yang disia-siakan. Memang, dalam keluarga mereka anak lelakilah yang diharap-harapkan kelahirannya.
"Nenek yang disia-siakan itu kabur dari rumah ketika ibunya meninggal. Bertahun-tahun dia terlunta-lunta. Sampai akhirnya, disuatu malam beliau bermimpi bertemu dengan leluhurnya yang pertama kali. Leluhur itu mengajarinya mantera-mantera yang terdapat pada lembaran kitab. Beliau belajar dari leluhurnya sehingga menjadi sakti. Bahkan, beliau sampai mempunyai ilmu yang dapat memindahkan semua ilmu yang dimilikinya pada orang lain. Kepadakulah ilmu-ilmu itu diwariskan, Ayah. Setelah mewariskan semua ilmunya, beliau pun wafat."
Pringgani juga menceritakan kalau si nenek mengetahui dari leluhurnya bahwa ada orang yang mencuri ilmu-ilmu keluarga mereka. Orang itu adalah pelayan ayah si nenek. Dia memperhatikan setiap kali buyut Pringgani mengajari kakeknya. Belakangan dia kabur dengan membawa kitab-kitab ilmu keluarga. Kepada Sang Pangeran Muda ilmu curian itu diwariskan. Karena itu, Sang Pangeran Muda mengejar-ngejar Pringgani dan ayahnya. Dia tahu, mereka berdualah keturunan terakhir.
"Ahhh...!" desah Paksi Dilaga dan Arya. Kaget bercampur haru mengingat nasib yang diderita sang nenek.
Raja Tuak yang tak tahu apa-apa berdiam diri saja dan terus mendengarkan.
"Mengapa kau sampai berkorban demikian besar untuk menolongku, Gani, " keluh Arya, seakan menyesali tindakan Pringgani.
Pringgani mengulas senyum. Sesaat sepasang matanya berbinar-binar. "Tidakkah kau dapat menduganya, Arya?" tanya gadis itu lirih. Wajahnya merah padam karena rasa malu. "Aku..., aku mencintaimu..., Arya...."
Arya merasa terharu sekali dengan pengorbanan gadis berpakaian merah itu. Dengan penuh rasa terima kasih, dikecupnya kening Pringgani. Paksi Dilaga tersenyum. Pringgani pun ikut tersenyum. Tapi, luka yang diderita membuat senyum Pringgani tidak manis. Gadis ini tampak tak ambil peduli. Dia terlalu bahagia mendapat kecupan dari Arya. Hal ini membuatnya bersemangat. Untuk menjawab pertanyaan Paksi Dilaga mengenai tingkahnya yang mondar-mandir ke gua.
Pringgani tengah mencarikan obat untuk Arya. Keharuan kembali menyeruak di hati Dewa Arak. Obat itu adalah untuk menawarkan racun serangan Raja Ular Berbaju Emas. Pemberian obat yang mesti teratur. Pagi dan sore selama tiga hari, hingga membuat gadis itu harus mondar-mandir.
Pemuda yang memiliki wajah jantan dan bertubuh tegap kekar itu kemudian mengambil keranjang rotan berisi ikan dari lantai perahu. Sejenak pandangannya diedarkan berkeliling. Arah tatapannya terhenti pada pohon yang tergolek di tanah, sekitar sepuluh tombak dari tempatnya berada.
Langkahnya terayun begitu cepat. Sekejap saja pemuda yang mengenakan caping dan menjinjing keranjang rotan itu telah berada di dekat pohon meranggas yang tergolek di tanah. Pemuda itu melepas capingnya.
Rambutnya yang digelung ke atas pun diuraikan. Panjang mencapai pinggang dan benwarna putih keperakan! Rambut yang mempunyai warna tidak seperti rambut pemuda pada umumnya itu diayunkannya ke arah batang pohon.
Crasss!
Batang pohon sepanjang satu tombak dengan besar sepelukan tangan orang dewasa itu terbelah dua. Rambut yang telah menegang kaku karena aliran tenaga dalam, hingga tak ubahnya sebilah pedang, menghantamnya dengan telak.
Pemuda berpakaian ungu tampaknya bukan orang sembarangan. Dia memiliki ilmu cukup tinggi. Terbukti, dapat menggerakkan rambutnya untuk membelah pohon. Ketika rambutnya kembali menghantam, batang pohon terbelah menjadi puluhan potongan kayu sebesar pergelangan tangan.
Si pemuda lalu menghempaskan pantatnya pada belahan batang pohon yang lain. Dengan bantuan batu api dia membuat perapian dari potongan-potongan kayu yang tadi dibelahnya! Beberapa saat kemudian, dia sibuk memanggang ikan-ikan hasil tangkapannya.
Bau sedap menyebar ke sekitar tempat itu. Pemuda berambut putih keperakan ini mendengar bunyi langkah kaki mendekati tempatnya berada. Datangnya dari arah belakang. Karena, saat ini dia tengah duduk menghadap sungai.
Tapi meskipun tahu akan adanya orang yang menuju ke tempatnya, si pemuda bersikap biasa saja. Dia tetap meneruskan kesibukannya. Hanya indera pendengarannya lebih dipertajam. Sikapnya pun terlihat sedikit waspada untuk rnenjaga segala kemungkinan yang tak diinginkan.
"Ayah...!" Tertangkap oleh telinga pemuda tampan itu nada ucapan yang halus dan merdu. Suara itu begitu lirih. Kalau saja ia tak memiliki pendengarannya yang luar biasa tajam, tak akan terdengar sapaan itu.
"Menurut pendapatku, tak perlu kita mencari tahu siapa pemilik perahu itu. Lagi pula, andai kata benar pemiliknya adalah orang yang tengah memanggang ikan, tak perlu kita minta izinnya...."
"Maksudmu kita mencurinya. Begitu, Pringgani?!" timpal orang yang disapa ayahnya.
"Tidak seperti itu, Ayah," bantah suara seorang gadis. "Maksudku, kita bawa saja dulu perahu itu. Kelak kita akan kembalikan ke sini dan sekaligus memberikan ganti rugi yang berlipat ganda. Kau tahu sendiri Ayah, waktu kita sangat sempit. Aku khawatir...."
"Lupakan saja maksudmu itu, Pringgani," potong sang ayah, tak sabar. "Aku tak setuju dengan usulmu. Aku lebih baik mati daripada harus melakukan kejahatan yang memalukan ini! Mencuri perahu. Huh! Betapa rendahnya!"
Pringgani tak memberikan tanggapan lagi. Ia tahu pendirian ayahnya tak mungkin dapat berubah. Dia hanya menghela napas berat dan menampakkan sikap tak puasnya. Dengan roman wajah seperti itu, diikutinya ayahnya yang tengah menghampiri pemuda berpakaian ungu.
"Maaf, Kisanak...." Sapaan yang dikeluarkan ayahnya Pringgani membuat pemuda berpakaian ungu tak dapat terus berpura-pura tidak mengetahui kehadiran mereka.
"Ada apa, Paman?" pemuda itu bangkit berdiri setelah meletakkan ikan panggangnya.
Diperhatikannya dua sosok tubuh yang berdiri di hadapannya. Terlihatlah seorang lelaki setengah baya, berkumis tebal, dan berpakaian putih. Lelaki ini mengembangkan senyum ramah di bibir. Sebaliknya, di sebelahnya dengan wajah cemberut berdiri seorang gadis jelita bertubuh montok dan berpinggang ramping.
Hanya sekilas pemuda berpakaian ungu memperhatikan Pringgani. Perhatiannya kini lebih ditunjukkan pada wayah gadis itu. Di samping tak nyaman menatap wajah yang cemberut, juga ayahnya Pringgani mengajaknya berbicara.
"Kau tahu pemilik perahu itu?" tanya laki-laki berpakaian putih seraya menunjuk ke arah sungai.
"Tahu, Paman. Akulah pemiliknya."
"Sungguh kebetulan sekali!" sahut ayahnya Pringgani, gembira. "Saat ini aku sangat membutuhkan perahu untuk menyeberangi sungai ini bersama anakku, Kisanak. Sayang, kami telah kehabisan uang, jadi tak bisa membeli atau menyewanya. Tapi percayalah, aku Paksi Dilaga, bukan seorang penipu. Kelak kami akan kembali dan memberikan ganti rugi yang berlipat ganda. Bagaimana, Anak Muda?"
Pemuda berpakaian ungu meneliti wajah lelaki setengah baya yang tengah menatapnya. Dia sedang menunggu jawaban atas permintaannya. "Ambil saja, Paman. Tampaknya kau lebih memerlukannya daripada aku," jawab pemuda itu kemudian.
Wajah Paksi Dilaga langsung berseri-seri. Lelaki ini kelihatan gembira sekali. Ditatapnya sang pemuda penuh rasa terima kasih, kemudian mengalihkannya pada putrinya. "Bagaimana, Pringgani? Bukankah keputusan yang Ayah ambil jauh lebih tepat? Kita tak perlu melakukan tindakan yang tercela untuk mendapatkan sebuah perahu."
Pringgani hanya tersenyum pahit. Kendati demikian, kilatan pada sepasang matanya yang bening dan indah menyiratkan kegembiraan pula. Betapapun juga, dia lebih gembira mendapatkan perahu itu tanpa perlu mencurinya. Pringgani sama sekali tidak mengira akan demikian mudah memintanya. Hasil yang menyenangkan ini membuatnya agak memperhatikan pemilik perahu. Namun, dengan diam-diam dia melakukannya. Sebagai seorang gadis, dia merasa malu untuk memperhatikan seorang pemuda secara terang-terangan.
Dalam pandangan yang hanya sekilas itu Pringgani harus mengakui kalau sang pemilik perahu tersebut cukup menarik. Tubuhnya tegap dan kekar. Sayang, wajahnya tak terlihat jelas karena terhalang oleh caping yang bertengger di kepalanya.
"Terima kasih, Anak Muda. Kau baik sekali. Kami tak akan melupakan budi baik ini. Bila Tuhan mengizinkan, kami akan kembali untuk membalas jasamu. Siapa kau, Anak Muda? Dan di mana tempat tinggalmu?" tanya Paksi Dilaga.
Pemuda berpakaian ungu ini tersenyum. "Lupakan saja, Paman. Aku tak menganggap hal ini sebagai budi yang harus dibalas. Namaku Arya," sahut pemuda ini, masih dengan tersenyum.
"Aku Paksi Dilaga, Arya. Dan ini putiku. Pringgani," Paksi Dilaga balas memperkenalkan diri. Dia tak mendesak ketika Arya tak mengatakan di mana tempat tinggalnya.
"Tapi apa pun pendapatmu kami tak akan bisa melupakan budi baik ini. Kalau saja waktu mengizinkan, kami suka berbincang-bincang denganmu. Sayang, kami mempunyai urusan penting yang harus segera diselesaikan. Sekali lagi terima kasih atas kebaikan hatimu, Arya."
Pemuda berpakaian ungu yang bernama Arya Buana alias Dewa Arak ini, hanya tersenyum. Dan senyum pemuda ini semakin lebar ketika melihat Pringgani melempar senyum pula padanya. Senyum tipis yang mengutarakan perasaan terima kasih.
Arya menatap kepergian Paksi Dilaga dan putrinya yang bergegas menuju tepi sungai. Baru ketika ayah dan anak itu telah menghanyutkan perahu ke sungai, pemuda ini meneruskan kesibukannya yang tadi tertunda. Diraih ikan panggangnya yang telah matang dan hampir dingin. Perutnya telah sejak tadi menjerit-jerit minta diisi.
Arya merebahkan tubuhnya di tanah. Punggungnya disandarkan pada batang pohon yang tadi didudukinya. Perut kenyang dan angin bertiup lembut yang bertiup membuatnya mengantuk.
Saat itu cuaca sudah tidak pagi lagi. Matahari telah naik cukup tinggi. Namun, awan-awan yang menggantung di angkasa membuat keadaan dipersada tidak terasa panas. Malah Arya merasa cukup nyaman sehingga jatuh tertidur.
Baru beberapa saat terlena, pemuda berpakaian ungu ini terbangun. Dia mendengar bunyi derap kaki kuda bertubi-tubi menghantam bumi. Dari bunyinya yang semakin keras, agaknya binatang itu berlari cepat menuju ke arahnya.
Arya tak bergeming dari sikapnya. Bahkan ketika bunyi derap kaki kuda tidak terdengar lagi, dan sekitar dua tombak di hadapannya telah berdiri tiga ekor kuda perkasa dengan tiga orang penunggang di atasnya. Ketiga orang penunggang kuda itu menatap Arya yang masih merebahkan tubuh dengan bersandarkan pada batang pohon.
"Bagaimana Angkeran?" tanya penunggang kuda coklat putih, seraya menoleh pada penunggang kuda hitam di sebelahnya. "Perlukah kita tanyakan pada anjing kecil itu tentang kelinci-kelinci buruan kita?"
Angkeran, lelaki tinggi besar berkulit hitam dan berikat kepala loreng, mengelus-ngelus cambang bauknya yang lebat. "Kurasa tak ada salahnya kita tanyakan pada anjing kecil itu, Longga!" tandas Angkeran kemudian. Suaranya parau dan keras.
Longga, yang memiliki kepala botak dan berbibir sumbing tampak meyeringai. Dia merasa gembira mendapatkan dukungan Angkeran. Sorot sepasang matanya memancarkan maut ketika ditujukan pada Arya.
"Sudah nasibnya anjing kecil itu menjadi korban sembelihan kita!" desis Longga. Suaranya melengking tinggi, mirip ringkik kuda. Mungkin cacat pada bibirnya yang menyebabkan suaranya terdengar demikian.
Angkeran dan penunggang kuda yang lainnya tertawa bergelak mendengar ucapan Longga. Teman Angkeran ini bertubuh tinggi kurus dan berkulit kuning seperti penyakitan. Dunggul namanya.
Dengan diiringi tawa Angkeran dan Dunggul, Longga melompat dari punggung kuda. Dihampirinya tempat Dewa Arak merebahkan diri. Sekitar lima kaki dari pemuda berpakaian ungu itu, lelaki berkepala botak ini mengibasakn tangannya.
Wuuusss!
Angin luar biasa keras meluruk ke arah Arya. Longga dan kawan-kawannya telah membayangkan tubuh pemuda berambut putih keperakan itu akan terlempar jauh, lalu terbanting keras di tanah. Paling ringan Arya akan patah tulang.
Namun kenyataan yang terlihat membuat ketiga lelaki itu kebingungan. Dewa Arak memang terlempar dari tempat semula. Tapi tidak hanya pemuda itu sendiri yang benasib demikian. Batang pohon yang menjadi sandaran punggungnya pun ikut terlempar, dalam keadaan masih menempel dengan punggung Arya!
Keterkejutan Longga dan kawan-kawannya semakin besar. Arya dan batang pohon itu kembali ke tempat semula setelah melayang beberapa tombak, seakan-akan ditarik kekuatan tak nampak. Tak terdegnar suara berisik ketika mendarat di tanah.
Longga, Dunggul, dan Angkeran langsung mengetahui kalau kejadian yang menimpa Dewa Arak bukan sebuah kebetulan. Dungkul dan Angkeran tahu betul kejadian aneh itu bukan terjadi karena perbuatan Longga. Lelaki berkepala botak itu tak bermaksud demikian ketika mengibaskan tangannya.
Longga bermaksud membangunkan Arya yang dikiranya tengah tertidur. Wataknya yang keji membuat lelaki ini membangunkan tidak dengan cara baik-baik. Kibasannya hendak membuat tubuh Arya terlempar lalu jatuh terbanting. Kalaupun batang pohon ikut terlempar, karena tubuh Dewa Arak bersandar padanya, tidak akan seperti ini kejadiannya.
Setelah keterkejutan yang melanda mereka, Longga langsung naik pitam. Kejadian itu pasti disengaja oleh Dewa Arak. Dan, mereka menganggap hal itu sebagai tantangan! Longga menggeram. Tapi, bunyi yang tercipta tak ubahnya ringkik seekor kuda.
"Rupanya kau punya kepandaian juga, Anjing Kecil! Kau mau main-main denganku, heh?! Baik, kuladeni! Tapi sebelumnya kuberitahukan dulu dengan siapa kau berhadapan. Aku Longga, salah seorang dari Tiga Hantu Pantai Selatan. Nah! kalau kau bukan seorang pengecut, perkenalkan dirimu! Merupakan pantangan besar bagiku membunuh orang yang tak terkenal sama sekali!"
"Kalau begitu sekali ini kau langgarkan pantanganmu, Longga. Aku tak mau memberitahukan nama atau julukanku. Apalah artinya semua itu!" sambut Arya tanpa merubah sikapnya. "Lagi pula, untuk apa kuberi tahu. Toh, kau pun tak akan menyapa dengan namaku. Panggil saja aku sekehendak hatimu, Longga!"
"Sombong!" geram Longga. Sepasang alisnya hampir bertaut karena amarah yang melanda. "Rupanya pertunjukan tak ada artinya yang kau pamerkan tadi membuatmu besar kepala! Kau tak tahu tingginya langit dan dalamnya lautan, Anjing Buduk!"
"Jadi, kau tahu tingginya langit dan dalamnya lautan, Longga? Sungguh kebetulan sekali! Boleh aku tahu berapa tingginya langit dan dalamnya lautan? Barangkali saja nanti ada yang menanyakan hal itu padaku."
Bukan hanya Longga, Dunggul, dan Angkeran pun terkesima mendengar sambutan Arya. Terutama Longga. Mereka tak menyangka akan mendapatkan tanggapan seperti itu. Sadarlah Longga kalau dirinya menjadi korban permainan Arya.
"Anjing kecil! Mampuslah kau...!" Longga mengirimkan pukulan jarak jauh bertubi-tubi dengan kepalan tangan kanan-kirinya. Angin keras menderu saling susul, meluruk deras ke arah Dewa Arak.
Arya tahu, Longga tak main-main lagi. Serangan-serangan jarak jauhnya mengandung pengerahan tenaga dalam kuat. Maka, dia pun tak bisa bertindak sembarangan seperti sebelumnya. Dewa Arak membuka kelopak mata, lalu tangannya dikibaskan bagaikan orang mengusir lalat. Batang pohon yang menjadi tempat sandaran punggungnya bergeser ke belakang seperti didorong, membawa serta tubuh pemuda berambut putih keperakan itu.
Serangan-serangan Longga pun kembali kandas. Dan hanya mengenai tanah beberapa tombak di depan sasaran yang dituju. Bunyi riuh-rendah terdengar ketika pukulan-pukulan jarak jauh itu menghantam. Debu mengepul tinggi. Ketika telah sirna tertiup angin, terlihat lubang-lubang cukup besar di tanah.
"Nasibmu cukup baik, Anjing Cilik! Dua kali kau lolos dari seranganku. Tapi, jangan besar kepala! Belum pernah ada seorang pun yang mampu menandingiku selama belasan tahun aku merajalela di dunia persilatan. Jangan mimpi kau bisa selamat dari tanganku!"
Longga menutup ucapannya dengan sebuah terkaman. Kegagalan berturut-turut membuat lelaki botak ini memutuskan untuk mengadakan pertarungan jarak dekat. Dewa Arak bangkit berdiri. Dipapaknya kedua cakar lawan yang mengancam dada. Jari-jari tangan pemuda berambut putih keperakan ini terkembang membentuk cakar pula.
Prattt!
Tubuh Longga terpental ke belakang ketika benturan itu terjadi. Namun, dengan gerakan yang ringan lelaki ini berhasil mematahkannya. Dijejaknya tanah dengan kedua kaki, kendati agak terhuyung. Arya sendiri tak mengalami akibat yang berarti. Angkeran dan Dunggul terdengar mengeluarkan seruan kaget. Kalau tak melihat sendiri, kedua orang ini tak akan percaya. Mana mungkin Longga dibuat terlempar dalam satu benturan seperti itu.
"Apakah Longga tidak bersungguh-sungguh dengan serangannya, sehingga dengan begitu mudah dapat dipatahkan?!" pikir Angkeran dan Dunggul. "Tapi, rasanya tak mungkin. Lubang besar pada tanah telah menjadi bukti kalau Longga mengeluarkan seluruh tenaganya."
Tak hanya Angkeran dan Dunggul yang menduga, Dewa Arak memiliki kepandaian tinggi. Longga pun demikian. Kejadian terakhir membuatnya yakin kalau Arya bukan lawan yang dapat dengan mudah dirobohkan. Meskipun demikian, keyakinannya akan kepandaian dirinya membuat lelaki botak ini tak bisa menerima kekalahannya. Dengan didahului pekikan melengking, dia kembali menyerang Dewa Arak.
Pertarungan jarak dekat pun berlangsung begitu Arya menyambuti. Longga demikian bersemangat. Dia menyerang kalang kabut, seperti harimau terluka. Setiap serangannya tak ubahnya tangan-tangan malaikat maut yang siap merenggut nyawa. Angin keras dan bunyi bersiutan senantiasa mengiringi setiap gerakan Longga.
DUA
Dewa Arak kelihatan demikian tenang. Pemuda itu hanya mengelak ke sana kemari. Dia belum melancarkan serangan balasan. Dunggul dan Angkeran yang memperhatikan jalannya pertarungan segera mengetahui kalau Dewa Arak terlalu tangguh. Kalau dibiarkan, Longga akan roboh di tangan lawannya.
Longga sendiri belakangan baru menyadari kalau Dewa Arak benar-benar terlalu tangguh baginya. Setiap serangannya dengan mudah ditangkal Arya. Sebaliknya, dia selalu terpontang-panting setiap kali pemuda berambut putih keperakan itu balas menyerang. Beberapa kali tokoh tiga Hantu Pantai Selatan itu jatuh terjengkang.
Dalam belasan jurus saja Longga telah terdesak hebat. Serangan-serangannya sekarang tak terlihat lagi. Lelaki botak ini hanya bisa bermain mundur dan terus-menerus mengelak. Hanya sesekali dia menangkis. Itu pun karena tak ada pilihan lain.
Keadaan Longga membuat Dunggul dan Angkeran tak bisa tinggal diam. Setelah saling pandang sejenak, kedua tokoh Tiga Hantu Pantai Selatan ini melompat dari punggung kuda. Mereka lalu melesat ke kancah pertarungan untuk membantu Longga. Di saat berada di udara, Dunggul dan Angkeran mengeluarkan senjata andalan masing-masing. Dengan senjata di tangan kedua tokoh ini menyerang Dewa Arak.
Dunggul dan Angkeran ternyata turun tangan pada waktu yang tepat. Saat itu Longga terjengkang ke belakang, setelah menangkis serangan Dewa Arak. Ikut campurnya kedua rekan Longga membuat Arya membatalkan maksudnya untuk melancarkan serangan susulan.
Angkeran yang bersenjatakan golok besar berbatang lebar mengirimkan bacokan ke arah leher. Sedangkan Dunggul menusukkan trisulanya ke arah perut. Dua serangan yang mematikan itu meluncur dalam waktu yang bersamaan!
Serangan rekan-rekan Longga meluncur cepat. Tapi, gerakan Dewa Arak masih lebih cepat lagi. Pemuda ini mengelakkannya dengan melakukan lompatan harimau ke samping. Dilanjutkan dengan bergulingan di tanah, lalu melenting ke udara, dan menjejak tanah dengan mantap.
Dunggul dan Angkeran menggertakkan gigi karena geram. Mereka tak segera menyerbu Dewa Arak kembali. Yang dilakukan kedua tokoh ini adalah menatap Arya. Sepasang mata mereka seperti hendak menelan pemuda itu bulat-bulat.
Longga segera bergabung bersama kedua rekannya. Dia mengeluarkan sebuah gada berduri! Senjata yang mengerikan itu diamang-amangkannya di atas kepala. Tanpa bersepakat lebih dulu, Tiga Hantu Pantai Selatan ini mendekati Dewa Arak dengan cara berpencar.
Arya tetap berdiri diam di tempatnya. Pemuda ini tak bergeming sama sekali, seakan tak peduli akan tindakan lawan-lawannya. Sepasang bola matanya saja yang bergerak ke sana kemari. Siap menghadapi serbuan Tiga Hantu Pantai Selatan. Setindak demi setindak Angkeran dan rekan-rekannya semakin mendekati Dewa Arak. Senjata di tangan mereka putar-putarkan dan siap diluncurkan pada sasaran. Sementara Arya belum mengambil gucinya yang tersampir di punggung.
Tiga Hantu Pantai Selatan terkenal sebagai tokoh-tokoh sesat tingkat tinggi. Julukan mereka telah sampai ke telinga Arya. Tapi, baru kali ini dia berhadapan langsung dengan mereka. Arya tak berani memastikan akan dapat mengalahkan tokoh-tokoh sesat itu!
"Itu putri si keparat Paksi Dilaga!"
Seruan itu sebenarnya tak perlu dikeluarkan Longga. Angkeran dan Dunggul pun telah melihatnya. Hanya Arya yang tak melihat. Pemuda itu berdiri membelakangi sungai. Seruan tersebut membuat Arya menyempatkan diri menoleh ke belakang. Memang, ada sepercik dugaan kalau seruan itu sengaja dikeluarkan untuk mengalihkan perhatiannya. Bagi tokoh-tokoh sesat seperti Tiga Hantu Pantai Selatan, cara apa pun bukan merupakan masalah untuk mencapai kemenangan. Tidak ada istilah curang. Yang penting adalah menang!
Sekelebatan Arya menoleh. Waktu yang hanya sekejap itu telah cukup untuk membuktikan kebenaran seruan Longga. Pringgani tengah berenang menuju pinggir sungai!
"Mengapa Pringgangi berenang? Ke mana perahunya? Mana ayahnya?" pikir Arya bingung. Pandangannya kembali diarahkan pada Tiga Hantu Pantai Selatan. Arya tidak berani berlama-lama mengalihkan perhatian dari mereka, khawatir akan adanya serangan bokongan.
Kemunculan Pringgani menimbulkan pengaruh yang cukup besar. Bukan hanya pada Dewa Arak. Tapi, juga pada Angkeran dan rekan-rekannya. Arya melihat perhatian mereka terpecah. Pemuda berambut putih keperakan ini adalah seorang yang cerdik. Dari percakapan Tiga Hantu Pantai Selatan tadi, dia tahu kalau mereka tengah mengejar-ngejar gadis itu.
"Kau urus gadis liar itu, Longga. Biar anjing kecil yang usilan ini kami yang bereskan!" seru Angkeran, keras.
Belum juga gema seruan itu lenyap, Angkeran melesat menerjang Dewa Arak. Dunggul segera mengikuti tindakan Angkeran. Longga sendiri melesat cepat menuju pinggir sungai.
Di dalam hati Dewa Arak memuji kecerdikan Angkeran. Lelaki tinggi besar itu mampu berpikir cepat, sehingga Arya tak mempunyai kesempatan untuk menolong Pringgani, jika hal itu memang akan dilakukannya.
Dewa Arak sendiri memang bermaksud untuk menolong Pringgani. Kendati dia belum mengetahu urusan ketiga lawannya dengan gadis itu, tapi melihat Tiga Hantu Pantai Selatan, Arya dapat memperkirakan pihak mana yang harus dibantunya.
Arya tak mau bertindak ayal-ayalan karena Pringgani tengah terancam. Diambil guci araknya lalu diputarputarkan. Benteng sinar keperakan melindungi sekujur tubuh Arya. Demikian cepatnya putaran guci sehingga tubuh Dewa Arak terbungkus gulungan sinar.
Trang...! Trang...!
Bunyi nyaring berkali-kali terdengar. Diikuti dengan berpercikannya bunga-bunga api ke udara. Bunyi itu tercipta ketika golok dan trisula berbenturan dengan guci. Angkeran dan Dunggul memekik tertahan. Tubuh mereka terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang.
Sekujur tangan mereka sakit dan ngilu, bahkan hampir lumpuh. Cekalan terhadap senjatanya pun hampir terlepas. Mereka merasakan trisula dan goloknya seperti bukan membentur guci, melainkan tembok baja yang amat tebal, sehingga membuat tenaga mereka berbalik.
Di lain pihak, Dewa Arak tak terpengaruh dengan benturan yang terjadi. Kesempatan di saat kedua lawannya tengah terhuyung-huyung dipergunakannya untuk bersalto ke belakang. Kemudian, melesat ke pinggir sungai untuk menolong Pringgani dari ancaman Longga.
Angkeran dan Dunggul tak membiarkan tindakan Dewa Arak. Sambil memaki-maki kalang kabut, keduanya lalu melesat mengejar.
Sementara itu, di pinggir sungai. Pringgani yang melihat melesatnya Longga ke arahnya segera menyadari akan adanya bahaya. Dia mengenal Longga sebagai salah seorang di antara pengejar-pengejar dirinya dan ayahnya.
Maka, putri Paksi Dilaga ini pun mempercepat berenangnya. Dia berhasil tiba lebih dulu di pinggir sungai daripada Longga. Pringgani langsung mencabut pedang yang tersampir di punggung. Diterjangnya Longga yang baru tiba dengan sebuah tusukan ke arah leher. Menghadapi serangan maut itu, Longga hanya menyeringai meremehkan. Diayunkan gadanya untuk menangkis.
Trang...!
Pedang di tangan Pringgani terlepas dari pegangan, karena kuatnya benturan yang terjadi. Tubuh gadis itu pun terpental ke belakang. Longga tak menyia-nyiakan kesempatan baik ini, dia melesat mengejar. Dikirimkannya tendangan kanan-kiri bertubi-tubi yang dilakukan dengan tubuh berputaran seperti gasing.
Pringgani terlihat gugup. Kedudukannya saat itu tidak menguntungkan. Tapi, dia tak ingin nyawanya yang hanya selembar itu melayang. Sebisa-bisanya dia mengelak.
Desss... !
Tubuh Pringgani terlempar ketika tendangan Longga menyerempet bahunya. Sepasang bibir yang merah membasah dan berbentuk indah itu mengeluarkan pekik kesakitan. Tapi, Longga belum puas! Lelaki botak ini mengirimkan serangan susulan dengan tendangan terbang. Saat itu tubuh Pringgani masih melayang di udara.
Bresss!
Jeritan menyayat hati keluar dari mulut Longga! Lelaki botak ini terlempar kembali ke belakang. Beberapa kaki sebelum serangannya mengenai sasaran, dari belakang Pringgani melesat dengan kecepatan tinggi si Dewa Arak! Pemuda berpakaian ungu itu memapak serangan Longga dengan tendangan terbang pula. Kemarahan besar yang melanda, melihat kekejaman Longga terhadap Pringgani, membuat Arya mengeluarkan seluruh tenaganya.
"Longga…!" Jeritan penuh rasa kaget dikeluarkan hampir berbarengan Angkeran dan Dunggul. Bagaikan telah disepakati sebelumnya, Dunggul melesat menuju ke arah melayangnya tubuh Longga. Sedangkan Angkeran dengan kemarahan meluap-luap menyerbu Dewa Arak.
Arya yang saat itu hendak menangkap tubuh Pringgani terpaksa mengurungkan niatnya. Dia memutushan untuk lebih dulu menghadapi serangan Angkaran. Serangan yang tertuju ke arah dada itu dihadapinya dengan mengegoskan kepala.
Wung…!
Caping yang sejak tadi bertengger di kepala Arya melesat dengan kecepatan tinggi, memapaki serangan golok Angkeran. Caping meluncur bagaikan dilontarkan tangan yang memiliki tenaga dalam tinggi. Di saat caping meluncur, Dewa Arak memutar-mutarkan rambutnya di atas kepala. Angin keras berhembus searah dengan luncuran caping.
Pyarrr...!
Caping hancur berkeping-keping ketika berbenturan dengan golok Angkeran. Tapi, Angkeran sendiri terjengkang ke belakang. Tangannya bergetar hebat dan senjata hampir terlepas dari pegangan. Belum lagi tokoh Tiga Hantu Pantai Selatan ini berhasil meredakan rasa terkejutnya, hancuran-hancuran caping yang semula berpencaran ke berbagai penjuru meluncur deras ke arah Angkeran. Putaran rambut Dewa Arak yang menjadi penyebabnya! Putaran yang mengandung tenaga dalam kuat itu mengarahkan kepingan-kepingan caping ke arah Angkeran.
Crap, Crap, Crappp...!
"Aaakh...!" Angkeran menjerit kesakitan. Kepingan-kepingan caping menancap di paha, bahu, dada, dan perutnya. Padahal lelaki tinggi besar ini telah berusaha mengelakkannya. Tapi karena banyaknya kepingan, usahanya tak sepenuhnya berhasil. Darah pun mengucur dari bagian tubuh yang terluka. Bahkan, sebelah tangan dan kakinya yang terhujam kepingan caping sukar untuk digerakkan.
Dewa Arak tak mempergunakan kesempatan itu untuk melancarkan serangan. Dia malah menatap Angkeran dengan sorot tajam. Angkeran balas menatap penuh dendam. Dia tak menyerang lagi. Tak ada gunanya hal itu ditakukan. Lawan terlalu lihai untuknya. Apalagi setelah sebelah kaki dan tangannya lumpuh.
Beberapa saat lamanya mereka saling bertatapan. Angkeran kemudian terlihat mengangguk-anggukkan kepala. Dia telah bisa memperkirakan siapa adanya pemuda berpakaian ungu ini. Pakaian, guci, dan terutama sekali rambutnya yang putih keperakan telah menjadi petunjuk yang jelas.
"Kau..., Dewa Arak, bukan?" tanya Angkeran meminta kepastian.
"Kalau benar, mengapa?" Arya malah balas bertanya Wajahnya tampak penuh kesungguhan. Tak lagi bermain-main seperti ketika berbicara dengan Longga.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan kalau kau adalah tokoh sombong dan usilan yang sering dibicarakan orang," kilah Angkeran. Mulutnya menyeringai oleh rasa sakit pada lukanya yang mulai menggigit.
"Aku memang tokoh yang kau maksudkan itu. Puas?!" tandas Arya.
Angkeran membuang ludah dengan sikap angkuh. Kasar dan menjijikkan sekali carannyaa. Bahkan, sepasang matanya masih tertuju pada Arya dengan sinar mata penuh tantangan.
"Pergilah, Angkeran," Dewa Arak mengalihkan pembicaraan. "Aku tak mempunyai urusan denganmu dan kawan-kawanmu. Memang nama besar kalian telah sampai ke telingaku. Tapi, kejahatan kalian belum pernah kusaksikan! Jadi sebelum pikiranku berubah, pergilah. Bawa rekan-rekanmu meninggalkan tempat ini!"
Angkeran menggertakkan gigi. Dia merasa terhina sekali. Tapi, disadarinya pula tidak ada gunanya mengikuti perasaan. Dewa Arak terlalu tangguh untuk dihadapi. "Nama besarmu pun telah lama kudengar, Dewa Arak. Gaung yang menggema di dunia persilatan memang tak terlalu berlebihan. Kau sungguh lihai. Aku dan kawan-kawanku menerima kekalahan hari ini. Tapi ingat, urusan kita belum selesai sampai di sini. Kelak kami akan datang dan mengirim nyawamu ke neraka! Camkan itu!"
Arya hanya mengangkat bahu. Seakan tak begitu peduli dengan keputusan Angkeran. Sementara Angkeran, setelah mengeluarkan ancaman itu, membalikkan tubuh dan meninggalkan Dewa Arak dengan tertatih-tatih. Kendati demikian dadanya dibusung-busungkan! Dihampirinya Dunggul yang telah memanggul tubuh Longga.
Longga tak sadarkan diri. Benturan dengan Dewa Arak berakibat terlalu dahsyat untuk dirinya. Kedua kakinya patah dan terluka dalam. Untung saja Dunggul lebih dulu menangkap tubuhnya sebelum terbanting keras di tanah. Kalau tidak, Longga akan lebih menderita lagi.
Dunggul tak bicara apa-apa ketika melihat Angkeran meninggalkan Dewa Arak. Memang, ada sedikit rasa tak puas di hatinya melihat Angkeran tak mau melanjutkan pertarungan. Namun, akal sehatnya membuat Dunggul dapat membenarkan keputusan tersebut. Karena itu, setelah melemparkan kerling penuh dendam pada Dewa Arak, dia mengikuti rekannya meninggalkan tempat itu.
"Benarkah kau Dewa Arak?!" tanya Pringgani. Nada suaranya terdengar penuh keterkejutan.
Gadis berpakaian kuning ini menatap Arya lekat-lekat. Sorot mata itu mengandung kekaguman dan ketidak-percayaan. Dia telah mendengar tentang julukan Dewa Arak. Sudah lama Pringgani mengaguminya. Tapi, sungguh dia tak pernah menyangka akan dapat bertemu.
Arya berdiri berhadapan dengan putri Paksi Dilaga itu. Dikembangkannya senyum lebar seraya menganggukkan kepala. "Benar Nona," jawab Arya kalem.
"Kalau saja tak melihat sendiri kepandaianmu dan mendengar tokoh sesat itu menyebutkannya, aku tak akan pernah tahu kau adalah Dewa Arak. Semula kukira kau seorang nelayan biasa...."
"Berita yang tersebar di dunia persilatan terlalu berlebihan, Nona," sahut Arya merendah.
"Sama sekali tidak! Persis seperti yang kudengar mengenai dirimu, Dewa Arak. Seorang pendekar muda yang sakti, rendah hati, dan budiman. Pakaian yang dikenakan berwarna ungu, rambut putih keperakan, dan guci perak yang merupakan senjata andalannya," puji Pringgani. Sepasang matanya tampak berbinar-binar. Tak dipedulikan sahutan Arya yang menyanggah pujiannya pertama tadi.
Arya hanya tersenyum tipis menanggapi pujian-pujian Pringgani. "Gembira sekali aku bisa bertemu denganmu, Dewa Arak. Tapi sayang...," desah putri Paksi Dilaga itu. Kemudian menghela napas berat. Wajahnya yang semula berseri-seri mulai tersaput awan kedukaan.
Arya mengerutkan sepasang alisnya. Dia tak mengerti maksud ucapan gadis berpakaian kuning itu. Tapi, Arya tak mengutarakan ganjalan perasaannya. Pringgani telah melanjutkan ucapannya.
"Kalau saja di saat perjumpaan kita pertama kali aku tahu kau adalah Dewa Arak, mungkin sekarang aku tak perlu berpisah dengan ayahku."
"Sejak tadi pun aku bertanya-tanya sendiri mengapa kau tak bersama ayahmu, Nona. Ke mana beliau, dan mengapa kau kembali dengan berenang?" Arya mengutarakan pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi menggayuti benaknya.
Wajah Pringgani semakin muram. Rupanya pertanyaan Dewa Arak mengingatkannya akan pengalaman yang tak menyenangkan. "Ceritanya cukup panjang, Dewa Arak. Aku khawatir kau akan bosan mendengarkannya...."
"Mudah-mudahan saja tidak, Nona," jawab Arya, menghibur.
Pringgani mengukir senyum. Terlihat agak dipaksakan. Kendati demikian, wajahnya yang jelita tampak semakin cantik. Gadis ini menghela napas berat sebelum memulai kisahnya.
"Menurut penuturan ayahku, sewaktu berusia dua puluh tahun beliau melanglang buana di dunia persilatan untuk mengamalkan ilmunya. Membela si lemah dari tindasan sang angkara murka. Tak terhitung sudah banyaknya tokoh sesat yang tewas di tangannya. Julukan ayahku Harimau Bertangan Delapan, karena kehebatannya bermain tangan kosong beliau."
Arya tak merasa heran mendengar cerita itu. Sejak pertama kali melihat Paksi Dilaga, dia sudah bisa memperkirakan kepandaian lelaki setengah baya itu. Walaupun demikian, Arya tak yakin kalau Paksi Dilaga mampu mengalahkan Tiga Hantu Pantai Selatan yang mengejar-ngejarnya.
"Tindakan mulia itu tetap berlanjut kendati telah menikah dengan seorang gadis pendekar. Malah, bersama-sama mereka menentang tindak kejahatan. Keputusan yang mereka sepakati membuat ayah dan ibuku tak mempunyai tempat tinggal tetap. Mereka selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain," Pringgani melanjutkan ceritanya.
Tiga tahun setelah menikah ibunya Pringgani mengandung. Paksi Dilaga yang ingin agar anaknya lahir selamat memutuskan untuk menetap di satu tempat. Mereka berdua tak melanglang buana lagi. Hanya kadang-kadang Paksi Dilaga meninggalkan rumah untuk mengamalkan ilmunya. Kebiasaan itu tak berubah sampai Pringgani lahir.
Sewaktu Pringgani berumur tiga tahun, tempat tinggal mereka disatroni tokoh-tokoh sesat yang dikenal sebagai Tiga Hantu Pantai Selatan. Kedua orang tua Pringgani menghadapi mereka, sehingga terjadi pertarungan. Ternyata tokoh-tokoh itu luar biasa tangguh. Ibunya Pringgani tewas, sementara ayahnya hanya luka ringan.
TIGA
Sebelum wafat, ibunya Pringgani berpesan pada suaminya untuk memelihara anak mereka baik-baik. Pesan terakhir itu membuat Paksi Dilaga meninggalkan lawan-lawannya, meski dengan terpaksa dan berat hati. Paksi Dilaga mencari tempat yang tersembunyi untuk tempat tinggal mereka. Paksi Dilaga menjauhi kehidupan dunia persilatan dan menyambung hidupnya dengan bertani.
"Tapi, malapetaka rupanya belum berhenti menimpa kami. Beberapa bulan yang lalu Tiga Hantu Pantai Selatan berhasil menemukan tempat persembunyian kami. Kembali kami berdua menjadi orang-orang buruan. Ayah tak bermaksud mencari tempat persembunyian baru. Beliau ingin membawaku ke tempat tinggal keluarganya, yang diyakininya mempakan tempat yang aman bagiku. Sementara beliau sendiri akan membalaskan kematian Ibu pada Tiga Hantu Pantai Selatan...."
Arya tercenung ketika Pringgani menghentikan ceritanya. Sejenak diaturnya napas untuk menenangkan perasaan hatinya yang terguncang. Kisah lama yang tak menyenangkan itu membuat kesedihan Pringgani bertambah.
"Dalam pelarian menuju tempat tinggal keluarga Ayah itu, kami bertemu denganmu dan mendapatkan pinjaman perahu. Sayang, di tengah perjalanan gerombolan bajak sungai menyerbu kami, Ayah menyuruhku pergi, sementara beliau menghadapi penjahat-penjahat itu. Semula aku berkeras untuk bersamanya. Aku lebih rela mati bersama Ayah daripada meninggalkannya menghadapi bahaya maut. Tapi, beliau berkeras. Hhh...! Kalau saja Ayah memberiku pilihan, aku lebih suka bersamanya.... "
Arya ikut menghela napas berat ketika Pringgani mengakhiri ceritanya. Dia menyetujui sikap yang diambil Paksi Dilaga, yang memerintahkan putrinya untuk pergi. Di lain pihak, Pringgani pun tak bisa disalahkan. Dia tak ingin meninggalkan ayahnya menghadapi bahaya sendirian.
"Mudah-mudahan saja ayahmu selamat, Nona," ujar Arya akhirnya.
"Begitulah harapanku, Dewa Arak. Andaikata pun beliau tewas, aku harus menemukan mayatnya!" tandas Pringgani.
"Itu merupakan sebuah keharusan, Nona. Tentu saja bila keadaan memungkinkan. Aku bersedia membantumu kalau kau tak keberatan," ucap Arya menawarkan jasa.
"Terima kasih atas kesediaanmu, Dewa Arak."
"Tak perlu kau permasalahkan hal itu, Nona. Tolong-menolong merupakan kewajiban kita. Kurasa kau sendiri pun tahu, karena ayahmu seorang pendekar," kilah Arya.
Pringgani mengangguk-anggukkan kepala. Sikap dan ucapan pemuda berambut putih keperakan yang menarik hatinya itu membuat kedukaannya sedikit berkurang. "Maaf, Dewa Arak. Aku mempunyai sebuah dugaan mengenai dirimu. Tapi, aku khawatir kau akan marah jika aku mengatakannya," ucap Pringgani ragu-ragu, memecah keheningan yang menyelimuti mereka.
"Katakan saja, Nona. Tidak perlu khawatir. Kurasa aku tak akan marah. Apakah aku kelihatan seperti orang yang gampang marah-marah?" tanya Arya setengah bergurau.
Pringgani tersenyum. Tak disahutinya gurauan Dewa Arak.
"Satu hal yang perlu kau ingat, Nona," Arya terdengar bersungguh-sungguh. "Hal yang telah berlalu biarkan berlalu. Kita boleh saja berduka karena malapetaka yang menimpa, tapi berlarut-larut dalam kedukaan hanya akan merugikan diri sendiri. Lagi pula, setiap kejadian di muka bumi ini tak luput dari kehendak Tuhan. Jadi terimalah semua ini dengan lapang dada."
Pringgani tercenung sejenak memikirkan nasihat Dewa Arak. Gadis yang cerdas ini segera dapat menerima kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kembali kedukaannya sedikit terusir pergi.
"Begini Dewa Arak, keadaanmu membuatku menduga kau tengah menyembunyikan diri. Maksudku... kau seperti tak ingin dikenal orang. Aku berpikir demikian karena melihat kau menyembunyikan wajah dan rambutmu di balik caping. Apakah dugaanku ini benar, Dewa Arak?" tanya Pringgani kemudian. Ditatapnya wajah Arya lekat-lekat, seolah ingin membaca apa yang terkandung di hati pemuda berambut putih keperakan itu.
Arya lebih dulu tersenyum sebelum menganggukkan kepalanya.
"Mengapa, Dewa Arak? Apakah kau pun tengah dikejar-kejar musuh-musuhmu yang jauh lebih sakti?" desak Pringgani, ingin tahu. "Rasanya aku tak percaya ada orang yang lebih lihai dari padamu. Kudengar kau belum pernah dikalahkan tokoh mana pun. Malah, Tiga Hantu Pantai Selatan dapat kau pecundangi!"
"Tidak terlalu tepat benar, Nona," kilah Arya. "Memang, aku tak ingin dikenali. Tapi bukan karena takut pembalasan dari musuh-musuhku. Aku hanya berusaha menjauhkan gangguan orang-orang. Bila aku tampil seperti biasanya, kemungkinan besar tokoh-tokoh persilatan mengenaliku."
Arya menghentikan ucapannya sebentar. Ia ingin memberikan kesempatan pada Pringgani untuk mencerna kata-katanya.
"Tentu saja kalau ada tindak kejahatan, aku tak akan tinggal diam. Penyamaranku pun akan kutanggalkan. Dan yang pasti, sedikit banyak tindakan penyamaranku ini mengurangi jumlah orang yang tewas, karena menaruh dendam padaku."
Pringgani mengangguk dengan wajah puas. Keadaan menjadi hening ketika Arya tak berbicara lagi. Pringgani sendiri tampak belum menemukan bahan pembicaraan lain.
"Kita seperti telah bersahabat lama, Nona. Saling bercerita seakan telah saling mengenal. Kalau tak salah namamu Pringgani, bukan?"
"Betul," jawab putri Paksi Dilaga itu dengan wajah memerah, karena agak malu. "Kau sendiri..., maksudku..., nama aslimu Arya Buana?"
"Benar, Nona. Arya Buana nama pemberian orangtuaku. Kuharap kau memanggilku dengan nama saja. Aku lebih suka dipanggil dengan nama asliku daripada julukan kosong pemberian orang-orang persilatan yang terlalu berlebihan," jawab Arya.
"Aku setuju saja, De…, eh, Arya," wajah Pringgani semakin memerah. Entah mengapa dia merasa risih memanggil pemuda tampan di hadapannya dengan namanya. "Bukan hanya kau saja yang lebih suka dipanggil dengan nama. Aku pun demikian. Karena itu, panggillah aku dengan nama yang diberikan orangtuaku. Jangan nona-nonaan segala."
"Baiklah, No..., eh, Pringgani'"
Pringgani tersenyum geli mendengar Arya kerepotan menyapanya. Perasaan ini sedikit mengusir rasa malu yang mendera, dan membuatnya lebih berani untuk berbicara. "Panggil saja aku Gani, Arya. Orang-orang biasanya memanggilku demikian."
"Kurasa itu lebih enak diucapkan, Gani…"
Pringgani menundukkan wajahnya yang memerah. Ketika itulah si gadis baru sadar akan keadaan dirinya. Dia berbincang-bincang dengan seorang pemuda di saat seluruh pakaiannya basah kuyup! Pakaian itu melekat hingga potongan tubuhnya terlihat jelas. Bahkan dua bukit kembar di dadanya menonjol dengan jelas.
Arya sendiri harus mengakui kalau Pringgani, seorang gadis yang sempurna. Bukan hanya wajahnya yang jelita dengan kulit putih mulus, tapi bentuk tubuhnya pun benar-benar menggiurkan hati. Semua itu terlihat jelas karena pakaian si gadis yang basah kuyup. Sebagai seorang pemuda, Arya tak kuasa untuk menekan debaran jantungnya.
"Kurasa...," ujar Pringgani lirih seraya mengangkat wajahnya. "Lebih baik aku berganti pakaian dulu, Arya. Tapi sayang, aku tak mempunyai pakaian ganti. Semuanya tercebur di sungai."
"Jangan khawatir, Gani," sambut Arya, cepat. "Aku mempunyai beberapa potong pakaian di buntalanku. Mungkin sedikit kebesaran. Tapi, kurasa itu lebih baik daripada kau mengenakan pakaian basah."
Pringgani mengedarkan pandangan berkeliling setelah menerima pakaian dari Arya. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya kesunyian. Tak hanya di sekitar sungai. Tapi di daratan. Arya tahu maksud gadis berpakaian kuning itu. Maka, tanpa banyak bicara, tubuhnya segera dibalikkan. Tanpa membuang-buang waktu, Pringgani bergegas membuka pakaiannya dengan pandangan yang tak lepas dari Arya. Gadis ini merasa tegang. Kalau saja tak ingat orang yang berada di depannya adalah Dewa Arak, dia tak akan sudi berganti pakaian dengan cara demikian.
Dewa Arak berdiri membelakangi Pringgani tanpa berani menoleh sedikit pun. Tapi, kekhawatiran mulai merayapi hatinya ketika tak mendengar adanya bunyi.
"Gani...," tegur Arya ragu-ragu. Suaranya terdengar lirih.
Sungguhpun demikian, pemuda berambut putih keperakan ini yakin Pringgani akan mendengarnya. Tidak ada sahutan. Arya menunggunya beberapa saat. Tapi sahutan yang diharapkannya tak kunjung tiba. Kekhawatiran Arya mulai membesar. Apalagi ketika dirasakannya keadaan demikian lengang. Tak terdengar bunyi apa pun selain desau angin dan riak air sungai.
"Gani...!" sapa Arya lebih keras. "Sudah selesaikah kau? Katakanlah! Kalau sudah, aku akan berbalik. Kita harus bergegas agar dapat mencari ayahmu...."
Tetap saja tak ada sahutan. Arya jadi kehilangan kesabaran, karena rasa khawatir yang semakin besar akan keselamatan Pringgani.
"Ku hitung sampai tiga, Gani. Bila kau tetap diam, aku akan menganggap kau telah selesai. Aku akan berbalik!"
Untuk kesekian kalinya tak ada sahutan atas perkataan Dewa Arak. Kenyataan ini membuat pemuda tersebut kehilangan kesabarannya.
"Satu..., dua..., ti...," Arya menggantung hitungan yang terakhir, untuk memberikan kesempatan pada Pringgani menyela. Tapi, harapan pemuda berpakaian ungu itu sia-sia.
"Ga...!", lanjut Arya dengan suara keras. "Aku berbalik, Gani." Pemuda berambut putih keperakan ini membalikkan tubuhnya.
"Ah...!" Dewa Arak tak kuasa untuk menahan seruan kagetnya. Dia tak melihat Pringgani! Arya sampai terjingkat ke belakang menghadapi kenyataan tak diduganya itu.
"Gani!" seru Arya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tapi, hanya kesunyian yang disaksikannya. "Ke mana perginya Pringgani?" tanya Dewa Arak dalam hati. "Mungkinkah dia diam-diam pergi dari sini? Tapi, rasanya tak mungkin! Aku pasti akan mendengar bunyi langkahnya. Lagi pula, tak mungkin dia pergi tanpa mengenakan pakaian."
Pakaian-pakaian yang berserakan di tanah membuat Dewa Arak yakin kalau Pringgani telah diculik. Bulu kuduk Arya berdiri tanpa dapat dicegahnya. Arya membayangkan betapa tingginya kepandaian si penculik, sehingga bisa membawa putri Paksi Dilaga tanpa dia mendengarnya. Kalau saja saat itu sang penculik membokongnya, kemungkinan besar Arya akan celaka!
Peristiwa penculikan terhadap putri Paksi Dilaga itu merupakan tantangan terhadap dirinya. Karena itu, pemuda berambut putih keperakan ini memutuskan untuk mencarinya! Dia telah mempunyai patokan arah si penculik pergi. Yang jelas, tidak ke arah Arya semula menghadap.
Arya menatap ke seberang. Diperkirakannya lebar sungai yang terbentang di hadapannya. Beberapa lama pemuda ini bersikap demikian. Kemudian, dengan didahului pekikan nyaring, dia menjejak tanah dan bersalto beberapa kali untuk menambah jauh jarak yang dicapainya.
Seperti yang telah diperhitungkan Arya, tubuhnya melayang turun ketika baru berjarak delapan tombak dari pinggir sungai. Padahal, jarak yang terbentang dari tepi sungai yang satu ke tepi yang lain tak kurang dari dua puluh tombak! Arya tetap bersikap tenang. Di saat tubuhnya meluncur turun, sabuk yang melilit pinggang diloloskan lalu dilecutkannya ke arah permukaan air.
Ctarrr...!
Permukaan air sungai bergolak hebat bak dilanda angin besar. Tapi, Dewa Arak tak mempedulikan hal itu. Dia kemudian membenturkan sabuknya pada permukaan air, meminjam tenaga benturan sabuk dengan air untuk melentingkan tubuhnya ke udara!
Jlig!
Arya menjejakkan kaki secara mantap di seberang sungai. Untuk mencapai tempat ini, pemuda berambut putih keperakan ini beberapa kali melecutkan cambuknya ke permukaan sungai. Daerah pinggir sungai ini berbeda dengan pinggir sungai yang ditinggalkan Arya. Di tempat ini banyak terdapat gundukan-gundukan batu berukuran beraneka ragam.
"Bodoh! Kalian benar-benar goblok!"
Makian-makian keras itu tertangkap telinga Arya, ketika baru saja melangkah dua tindak. Tanpa pikir panjang lagi pemuda ini menyelinap ke salah satu gundukan batu. Dari tempat tersebut dia berindap-indap menuju asal suara.
Beberapa tombak kemudian pemuda berambut putih keperakan ini mengintai. Tampak olehnya enam sosok tubuh tengah duduk bersila. Lima orang lelaki berompi hitam duduk berhadapan dengan seorang lelaki berpakaian kulit ular.
"Aku benar-benar tak mengerti! Bagaimana mungkin si macan ompong itu dapat lolos?!"
Itu ucapan orang yang pertama kali didengar Arya. Pemuda ini segera tahu siapa pemiliknya! Sosok berpakaian kulit ular yang duduk di atas gundukan batu berpermukaan rata.
"Kalau di daratan, bisa kumaklumi macan ompong itu bisa mempecundangi kalian! Tapi di sungai? Apa artinya julukan kalian yang besar? Lima Setan Air! Buktinya, nol besar!"
"Bukan hanya Datuk, kami sendiri kalau tak mengalaminya sendiri tak akan percaya," jawab salah seorang dari lima lelaki berompi hitam. Dia bertubuh tinggi kurus. "Si keparat Paksi Dilaga itu ternyata memiliki kemampuan luar biasa. Tak kalah dengan kami. Setelah memerintahkan putrinya segera lolos, dia kabur pula!"
Sosok berpakaian kulit ular, adalah seorang kakek berusia delapan puluh tahun. Wajahnya tirus mirip muka tikus. Tubuhnya kecil kurus. Kelihatan ringkih dan lemah jika dibandingkan dengan anggota-anggota Setan Air. Si datuk mendengus, mendengar alasan yang dikemukakan lelaki berompi hitam. Hal ini membuat Lima Setan Air menjadi gelisah.
"Percayalah Datuk, kami tak bohong! Kami berjanji akan membawa mereka ke hadapan Datuk!" sambung lelaki tinggi kurus. Dia terlihat lebih pandai bicara daripada rekan-rekannya. Empat rekannya segera menganggukkan kepala, membenarkan ucapan itu.
Kakek berpakaian kulit ular kembali mendengus. "Dengar baik-baik, Kecoa-Kecoa Air!" rutuk kakek itu. "Aku tak pernah memberikan kesempatan lain pada siapa pun! Tak terkecuali pada kalian! Jelas?!"
Wajah Lima Setan Air langsung pucat pasi. Jawaban si kakek merupakan pertanda buruk bagi mereka.
"He he he...!" Si kakek terkekeh berkepanjangan. Mula-mula Lima Setan Air tak merasakan adanya hal yang aneh. Tapi, beberapa saat kemudian mereka mengetahui kalau tawa itu bukan tawa sembarangan. Lelaki-lelaki berompi hitam ini merasakan getaran hebat pada dada. Telinga mereka pun berdengung seakan ada puluhan lebah marah masuk ke dalamnya.
Sesaat kemudian, kelimanya menggelepar-gelepar seperti binatang disembelih. Bergulingan ke sana kemari dengan wajah menyiratkan kesakitan. Lolong kesakitan menyayat hati keluar dari mulut mereka.
Si kakek terus tertawa. Karena, memang melalui tawanya yang mengandung pengerahan tenaga dalam dia menyiksa Lima Setan Air. Wajah kakek ini berseri-seri. Sepasang matanya berbinar-binar melihat para korbannya menderita hebat.
Kakek ini baru menghentikan tawanya ketika Lima Setan Air tak bergerak-gerak lagi. Mereka tewas dalam keadaan begitu mengenaskan. Dari lubang hidung, mata, dan telinga mereka mengalir darah segar.
"Kunyuk-kunyuk yang tak punya guna!" Sambil merutuk jengkel, si kakek mengarahkan pandangan lurus ke depan.
"Kurasa..., sudah saatnya kau unjukkan diri, Pengintai Hina! Atau kau ingin aku yang memaksamu keluar?!"
Arya terperanjat di tempat pengintaiannya. "Begitu lihaikah kakek ini sehingga dapat mengetahui keberadaanku?" pikir pemuda itu setengah tak percaya. "Padahal aku berjarak tiga tombak darinya."
"Rupanya kau pikir aku main-main, heh?! Tidakkah kau lihat nasib kunyuk-kunyuk yang tak menyenangkan hatiku itu? Kau ingin bernasib seperti mereka?!" sambung kakek berwajah tirus. "Atau kau benar-benar seorang pengecut! Hanya berani mengintai di tempat tersembunyi. Tidakkah kau dapat bertindak sedikit jantan, Monyet?!"
Pernyataan kedua kalinya dari si kakek sangat menyinggung harga diri Arya. Pemuda ini tak sudi dianggap pengecut! Dia telah bersiap untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi, maksud itu segera ditunda.
Kakek berpakaian kulit ular terdengar kembali berujar. "Kubuktikan ancamanku, Pengecut Hina!"
Belum lenyap gema teriakan itu, Arya mendengar bunyi melengking. Kakek berpakaian kulit ular ini mengerahkan tenaga dalam pada lengkingannya. Hanya, pemuda ini heran ketika tak merasakan adanya pengaruh serangan terhadap dirinya.
"Ke mana kakek itu menujukan serangannya?!" tanya Arya dalam hati. Seperti hendak memberikan jawaban atas kebingungan si pemuda, terdengar bunyi ledakan keras.
Arya hampir terlompat saking kagetnya. Bunyi gaduh itu berasal dari hancurnya gundukan batu sebesar kerbau yang berada di sebelah kiri si kakek. Sementara Arya berada di balik batu yang berada di sebelah kanannya.
Debu mengepul tinggi ke udara. Pemandangan yang terpampang di balik gundukan batu tadi terhalang. Ketika debu-debu itu terusir pergi, Arya tersentak kaget melihat sosok yang tampak! Hampir saja seruan yang berada di ujung lidahnya terlontar kelar. Untung, di saat-saat terakhir dia teringat! Akhirnya seruan itu hanya terpekik di dalam hati.
"Paman Paksi!" Sosok yang dilihat Arya memang Paksi Dilaga. Lelaki itu berdiri tegak menatap kakek berpakaian kulit ular yang menundukkan kepala, bersikap memandang remeh.
"Siapa kau, Anjing Pengecut?!" dengus si kakek penuh ancaman. "Sungguh berani kau mengintaiku! Rupanya kau telah bosan hidup, heh?!"
Paksi Dilaga tak segera menjawab pertanyaan itu. Dia masih belum dapat menekan guncangan dalam dadanya. Keberadaannya yang diketahui dan hancurnya gundukan batu tanpa si kakek menyentuhnya, terlalu mengejutkannya.
"Aku tidak serendah itu. Dan, aku tak pernah mengintai. Aku telah berada di sini sebelum kau dan kaki tanganmu datang!"
Kakek berwajah tirus menatap paksi Dilaga. Yang ditatap merasakan bulu kuduknya berdiri. Sepasang mata si kakek mencorong tajam dan bersinar kehijauan laksana mata seekor harimau dalam gelap. Hanya karena kekerasan hati, ayahnya Pringgani ini rnampu untuk menatap terus.
"Aku tak peduli!" tandas si kakek dengan wajah bengis. "Kau boleh memberikan alasan apa pun, namun aku akan tetap menghukummu! Tapi sebelum kau mampus, perkenalkan dulu dirimu! Aku tak ingin membunuh orang yang tak pernah kukenal!"
EMPAT
Merah padam selebar wajah Paksi Dilaga. Dia merasa tersinggung bukan main. Karena dorongan perasaan itu pula, dia kemudian bertindak nekat. "Akan kubuktikan padamu kalau aku bukan seorang pengecut!" geram Paksi Dilaga. "Dengar baik-baik, aku adalah orang yang kau cari-cari! Akulah Paksi Dilaga!"
Kakek berwajah tirus terperanjat. Diperhatikannya ayahnya Pringgani dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sikapnya penuh rasa tak percaya. "Kau?! Paksi Dilaga?!" ujar si kakek setengah tertawa. Karena tak menyangka akan dapat menemukan orang yang dicari-carinya.
"Benar! Aku Paksi Dilaga! Mengapa kau mencariku? Sepengetahuanku, aku tak pernah berurusan denganmu. Kenal pun tidak!"
"Aku memang tak mempunyai urusan dengan monyet cilik sepertimu! Tapi pemimpinku, Sang Pangeran Muda, mencari-carimu! Kau dan anakmu harus kubawa ke hadapannya, hidup atau mati!"
"Kau belum memperkenalkan siapa dirimu! Atau..., kau takut mengatakannya?!" ujar Paksi Dilaga dengan berani.
"Orang sepertimu tak pantas untuk mengenalku, Monyet Kecil! Tapi karena saat ini perasaanku tengah gembira, kau mendapat kehormatan untuk mengenal diriku. Aku adalah Raja Ular Berbaju Emas."
Paksi Dilaga merasakan jantungnya berdegup keras. Julukan Raja Ular Berbaju Emas telah sampai di telinganya. Salah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat di empat penjuru mata angin. Tokoh itu, bersama datuk-datuk lainnya, tak pernah terdengar lagi beritanya. Lenyap begitu saja bagai ditelan bumi!
Paksi Dilaga tak pernah menyangka akan bisa bertemu Raja Ular Berbaju Emas, yang diduganya tak akan pernah muncul lagi. Ayahnya Pringgani ini mempunyai alasan kuat untuk menduga demikian. Dia tahu penyebab lenyapnya empat datuk sesat itu. Padahal, sebagian besar tokoh persilatan tak mengetahuinya.
"Sebenarnya aku merasa malu menangkap kroco sepertimu!" ucap Raja Ular Berbaju Emas. Tak dipedulikannya Paksi Dilaga yang belum dapat menguasai perasaannya. "Karena itu, kuberikan perintah Sang Pangeran Muda pada tokoh-tokoh seperti Lima Setan Air. Tapi, sekarang apa boleh buat. Kau telah berada di depanku, dan tak ada orang lain yang dapat kuperintahkan untuk menangkapmu!"
"Sombong!" maki Paksi Dilaga dalam cekaman kemarahan yang bergelora. Kedua tangannya dihentakkan ke arah Raja Ular Berbaju Emas.
Wuusss...! Wusss...!
Angin yang luar biasa keras berhembus. Tapi, Raja Ular Berbaju Emas hanya terkekeh pelan. Dia tak bergeming dari tempatnya. Tindakan si kakek membuat Paksi Dilaga kebingungan.
"Sudah gilakah kakek ini, sehingga membiarkan saja serangan yang tertuju ke arahnya?"
Blar, blar, blar...!
Paksi Dilaga terperanjat. Tanah di sekitar tempat itu yang terkena pukulan jarak jauhnya. Terbongkar di sana-sini menampakkan lubang-lubang besar. Serangan itu melenceng ke kanan dan kiri, beberapa kali sebelum mencapai sasaran. Di sekeliling tubuh kakek bemajah tirus seakan terdapat dinding yang tak tampak.
Paksi Dilaga ternganga. Dia hampir tak percaya akan kejadian yang dialaminya. Lelaki ini tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Namun, tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu betul apa yang terjadi. Tawa terkekeh yang dilontarkan si kakek mengandung pengerahan tenaga dalam untuk menangkal serangan jarak jauh lawan!
Kenyataan ini membuat jantung Dewa Arak berdetak lebih cepat. Kakek berwajah tirus itu memiliki kepandaian amat tinggi! Jika orang sehebat itu hanya anak buah, tak bisa dibayangkannya kepandaian yang dimiliki Sang Pangeran Muda.
Arya segera sadar kalau Paksi Dilaga bukan tandingan Raja Ular Berbaju Emas. Maka, dia bersiap-siap untuk memberikan pertolongan. Pemuda ini sengaja tak segera muncul, agar bisa mengetahui persoalan yang membelit Paksi Dilaga.
Sementara itu, Paksi Dilaga tak menjadi gentar dengan kegagalan serangannya. Ayahnya Pringgani kembali melancarkan serangan susulan. Paksi Dilaga mengeluarkan ilmu andalannya, yang membuat namanya terkenal dengan julukan Harimau Bertangan Delapan. Dikirimkannya sampokan susul-menyusul ke arah kepala Raja Ular Berbaju Emas.
Plak, plak, plak...!
Tubuh Paksi Dilaga terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang ketika Raja Ular Berbaju Emas mengangkat tangan kirinya, memapak. Lelaki ini menyeringai kesakitan!
"Harap menyingkir, Paman Paksi! Biar aku yang menghadapinya!" Seruan itu tidak lantang. Tapi, pengaruhnya luar biasa besar.
Tanpa banyak membantah Paksi Dilaga menuruti. Dihentikannya serangan susulan yang hampir dilancarkannya. Pada saat yang bersamaan, sesosok bayangan ungu berkelebat datang dan menjejakkan kaki di sebelah ayahnya Pringgani.
"Kau?" Paksi Dilaga menggantung ucapannya. Dia merasa pernah melihat si pemuda. Namun penampilannya ketika itu agak berbeda. "Kau..., Arya?"
"Benar, Paman. Aku Arya si tukang perahu...," jawab Arya setengah bergurau.
Paksi Dilaga hendak mengajukan pertanyaan lagi, karena melihat keberadaan pemuda itu di tempat ini. Tapi maksudnya terpaksa diurungkan. Raja Ular Berbaju Emas terdengar membentak keras. Kakek ini merasa tersinggung melihat sikap Paksi Dilaga dan Arya yang tak menganggap keberadaan dirinya.
"Keparat!"
Paksi Dilaga terhuyung-huyung dengan wajah pucat! Dadanya bergetar hebat akibat bentakan tersebut. Buru-buru dikerahkannya tenaga dalamnya agar pengaruh yang melanda tak menimbulkan akibat yang lebih parah.
Apa yang menimpa Paksi Dilaga, tak terjadi pada Dewa Arak. Pemuda ini tak terpengaruh bentakan Raja Ular Berbaju Emas yang mengandung tenaga dalam tinggi. Raja Ular Berbaju Emas mendengus untuk menutupi rasa kagetnya, ketika dia melihat Dewa Arak tak terpengaruh bentakannya.
"Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian, Kunyuk Kecil?! Pantas kau berani lancang mencampuri urusanku. Tapi, kau jangan besar kepala dulu. Aku belum mengeluarkan kemampuan secuil pun!"
"Aku percaya, Raja Ular," timpal Arya, kalem. "Meskipun begitu, aku tak gentar. Demi menegakkan kebenaran dan keadilan, siapa pun akan kuhadapi."
"Sombong! Kau mencari mati sendiri, Kunyuk Kerdil!" Raja Ular Berbaju Emas tak terlihat menggerakkan tangan atau kaki. Tapi, tubuhnya yang masih dalam keadaan bersila melayang ke arah Dewa Arak! Dari udara kakek ini melancarkan tusukan bertubi-tubi dengan sepuluh jari tangannya. Kakek ini tampaknya tak bertindak main-main. Sekali menyerang dia telah menggunakan jurus 'Ular' yang menjadi andalan. Desisan keras mengiringi setiap luncuran serangannya.
Dewa Arak mengelak dengan melompat ke belakang dua tindak. Bersamaan dengan itu kepalanya mengegos. Rambutnya yang panjang akan lebih dulu menghantam pelipis Raja Ular Berbaju Emas apabila si kakek bersikeras melanjutkan serangan. Raja Ular Berbaju Emas menggeram. Dia tak punya pilihan lagi kecuali melompat mundur. Maksudnya untuk melancarkan serangan susulan bergegas diurungkan. Raja Ular Berbaju Emas menatap tajam pada Dewa Arak. Arya tak mau kalah gertak. Dia melakukan hal yang sama.
"Kemampuanmu cukup lumayan, Kunyuk Kerdil! Dan, kurasa kau cukup pantas untuk mati di tanganku. Perkenalkan dirimu agar tak mati penasaran!"
Arya tersenyum mendengar ucapan lawannya. "Kau pandai bicara, Raja Ular. Sengaja menyinggung kehormatan orang agar mau menurut kehendakmu. Nah, dengar baik-baik. Namaku Arya Buana. Orang-orang persilatan lebih mengenalku sebagai Dewa Arak!"
"Ahhh...!" Seruan itu keluar dari mulut Paksi Dilaga. Memang, kendati menjauhkan diri dari dunia persilatan, selentingan mengenai Dewa Arak telah sampai di telinganya. Dia terkejut bukan main mengetahui pemuda yang dikiranya tukang perahu ternyata seorang pendekar besar.
Raja Ular Berbaju Emas pun telah mendengar berita tentang Dewa Arak. Tapi, kakek ini tidak kelihatan terkejut. Dia malah terkekeh gembira. "Sungguh kebetulan sekali! Begitu mendengar berita mengenai dirimu, aku merasa penasaran dan ingin membuktikan kebenarannya. Aku ingin tahu apakah kepandaianmu seperti yang digembar-gemborkan orang!"
Arya hanya tersenyum pahit. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Yang dilakukannya malah mengambil guci arak dari punggung, lalu menuangkan isinya ke dalam mulut.
Raja Ular Berbaju Emas tersenyum sinis. "Itukah senjatamu, Kunyuk Kecil? Kudengar merupakan senjata pusaka yang jarang tandingan. Mana yang lebih kuat, gucimu atau Tongkat Ular Emas-ku!"
Raja Ular Berbaju Emas lalu terkekeh. Sebatang tongkat kekuningan tampak melayang dari punggung menuju ke tangannya melalui atas kepala. Si kakek menangkap tongkat itu dan memalangkannya di depan dada sehingga Paksi Dilaga dan Dewa Arak melihatnya dengan jelas.
Tongkat Raja Ular Berbaju Emas ternyata bukan sembarang tongkat. Bukan terbuat dari kayu baja, atau bahan mati lainnya. Tongkat itu berwujud makhluk hidup. Seekor ular berwama kuning keemasan yang dikeringkan hidup-hidup! "Jaga seranganku, Kunyuk Kecil!"
Belum habis gema ucapan itu, Raja Ular Berbaju Emas telah menerjang. Tongkatnya diputar cepat hingga lenyap bentuknya. Berubah menjadi gulungan sinar keemasan yang diiringi bunyi menderu-deru.
Dewa Arak yang sejak tadi sudah bersiaga segera menyambutinya. Pertarungan yang tertunda pun berlangsung kembali. Jauh lebih seru dari sebelumnya. Paksi Dilaga yang menyaksikan jalannya pertarungan merasa tegang bukan main.
Di kancah pertarungan, Dewa Arak maupun Raja Ular Berbaju Emas segera menyadari kalau lawan yang dihadapi memang tangguh. Kenyataan membuat Raja Ular Berbaju Emas menjadi penasaran. Puluhan jurus telah terlewati.
Selama itu jalannya pertarungan masih berimbang. Masing-masing pihak silih berganti melancarkan serangan. Raja Ular Berbaju Emas tak bisa sabar lagi. Bila tak dilakukan perubahan dalam bertarung, kemungkinan besar dirinya yang akan roboh.
Telah dibuktikan oleh Raja Ular Berbaju Emas kalau dalam kelincahan dan tenaga dia tak bisa unggul. Dalam pengalaman bertarung pun pemuda itu tak dapat ditekan. Tidak ada lagi segi-segi menguntungkan yang dapat dipergunakannya untuk mendesak Dewa Arak.
Arya mengernyitkan alis. Disadarinya gerakan Raja Ular Berbaju Emas mulai berubah. Gerakan tongkat si kakek tetap menderu-deru seperti semula, tapi bunyi yang terdengar tidak riuh lagi melainkan melengking nyaring. Semakin lama semakin meninggi. Sesaat kemudian, terdengar desisan-desisan tajam dari berbagai penjuru. Bau amis pun menyebar.
Orang yang dapat melihat jelas penyebab keriuhan itu adalah Paksi Dilaga. Bulu kuduk lelaki ini berdiri. Ditatapnya dengan mata membelalak lebar pada penyebab desisan dan bau amis. Ular! Tidak hanya seekor, melainkan ratusan! Dari segala penjuru dan dalam jenis beraneka ragam. Sebagian diketahuinya sebagai jenis ular berbisa yang sangat mematikan.
Semula Paksi Dilaga hendak menyambut kemunculan ular itu. Gagang pedang telah dicekal dan siap untuk dicabut. Tapi, niat itu diurungkannya. Dia kemudian malah melompat ke atas. Dilemparkannya pedang sekaligus sarungnya ke tanah.
Cap, cap!
Pedang amblas di tanah hampir setengahnya. Sedangkan batang pedang menancap pada gagangnya. Bertumpuk! Di atas gagang pedang itulah Paksi Dilaga menjejakkan kaki. Rombongan ular tak mempedulikan Paksi Dilaga sedikit pun. Binatang-binatang itu melaluinya terus menuju kancah pertarungan. Dengan ganasnya ular-ular itu kemudian menyerang Dewa Arak.
Bantuan binatang-binatang melata tersebut membuat Dewa Arak harus membagi perhatiannya. Dalam beberapa jurus saja dia sudah terdesak! Terpontang-panting ke sana kemari menyelamatkan nyawa. Sesekali dikirimkannya pukulan jarak jauh pada rombongan ular. Beberapa ekor terpental dalam keadaan hancur. Tapi, jumlah binatang itu seperti tak berkurang. Terus merangsek maju.
"Jangan khawatir, Dewa Arak! Aku datang…!" Seruan itu dikeluarkan Paksi Dilaga. Lelaki ini melompat turun ke tanah lalu mencabut pedangnya. Sekejap kemudian telah terjun dalarn kancah pertarungan.
Cras, cras, crasss...!
Darah bermuncratan ketika pedang Paksi Dilaga terayun. Setiap kali lelaki ini mengayunkan pedang, beberapa ekor ular menjadi bangkai. Kendati demikian, jumlah binatang melata itu tak berkurang. Jumlahnya yang demikian banyak membuat bantuan Paksi Dilaga hampir-hampir tak berarti. Dewa Arak tetap saja terjepit.
Arya sendiri tahu akan gawatnya keadaan. Bukan hanya dirinya yang terancam. Tapi, juga ayahnya Pringgani. Pemuda ini tak yakin pembunuhan besar-besaran terhadap ular-ular akan berarti. Dewa Arak menggeram keras. Geraman yang berkepanjangan dan mengandung pengerahan tenaga dalam. Geraman itu mampu menutup suara lengkingan yang timbul dari gerakan tongkat Raja Ular Berbaju Emas. Pengaruhnya terhadap ular-ular jadi terhalang.
Akibatnya, keberingasan binatang-binatang melata itu lenyap. Memang, lengkingan Raja Ular Berbaju Emas merupakan panggilan terhadap ular-ularnya. Lenyapnya bunyi itu membuat rombongan ular kebingungan. Raja Ular Berbaju Emas tak mau kehilangan kesempatan. Dikeluarkan lengkingan yang mengandung getaran jauh lebih kuat dari putaran tongkat. Ular-ular itu menjadi buas kembali! Tapi sebelum binatang-binatang melata itu menyerang lagi, Dewa Arak meningkatkan kekuatan geramannya.
Raja Ular Berbaju Emas tak mau kalah. Ditambahnya kekuatan suara lengkingan. Bentuk pertarungan pun berubah. Kedua tokoh hebat itu saling adu kekuatan tenaga dalam. Yang merasakan langsung akibat pertarungan unik itu adalah ular-ular dan Paksi Dilaga. Binatang-binatang melata tersebut tampak gelisah.
Paksi Dilaga lebih menderita lagi. Lelaki ini merasakan dadanya bergetar hebat. Sepasang telinganya berdengung keras. Bahkan, kedua kakinya menggigil. Namun, dengan pengerahan seluruh tenaganya, ayahnya Pringgani ini mampu bertahan. Meskipun demikian, cepat atau lambat dia tetap akan celaka! Maka dengan tubuh terhuyung-huyung Paksi Dilaga meninggalkan tempat itu.
Adu tenaga dalam antara Dewa Arak dan Raja Ular Berbaju Emas semakin menegangkan. Dari kepala kedua petarung ini mengepul uap. Bunyi yang tercipta pun tak ketahuan lagi nadanya. Akibatnya, ular-ular kebingungan! Sebagian di antara mereka malah saling serang satu sama lain. Tapi, sebagian besar meninggalkan tempat itu.
Dalam waktu sekejap, yang tinggal hanya Dewa Arak dan Raja Ular Berbaju Emas. Keadaan kedua tokoh ini pun semakin mengkhawatirkan. Asap yang mengepul dari atas kepala bertambah banyak dan menebal. Wajah dan leher mereka dipenuhi butiran-butiran peluh sebesar biji jagung. Tapi, asap dan peluh yang keluar dari tubuh Raja Ular Berbaju Emas jauh lebih banyak. Bahkan, kedua kakinya pun menggigil keras!
"Hugh...!" Hampir berbarengan, Dewa Arak dan Raja Ular Berbaju Emas mengeluh tertahan. Tubuh keduanya terhuyung ke belakang. Baru beberapa langkah, cairan merah kental terlontar dari mulut mereka.
"Kau...," ujar Raja Ular Berbaju Emas. Tangannya mendekap dada yang terasa sakit bukan main. Darah segar mengalir dari mulutnya. "Ternyata kau lebih hebat dari perkiraanku. Kau.... Kau...."
Pernyataan Raja Ular Berbaju Emas terhenti di tengah jalan. Malaikat maut telah lebih dulu menjemput nyawanya. Kakek berwajah tirus ini ambruk ke tanah. Diam, tak bergerak-gerak lagi.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat. Sejenak ditatapnya mayat Raja Ular Berbaju Emas. Kemudian kakinya diayunkan meninggalkan tempat itu. Beberapa kali pemuda berambut putih keperakan itu terhuyung. Jarak dua puluh tombak ditempuh Arya dengan susah payah. Di sini pemuda itu menghempaskan pantatnya ke tanah. Duduk bersemadi untuk mengobati luka dalamnya.
"Buka matamu, Anak Setan!"
Bentakan keras menggelegar itu membuat Arya membuka sepasang matanya. Hanya berjarak tiga tombak darinya, berdiri seorang kakek bertubuh jangkung kurus laksana bambu. Pakaian yang dikenakannya tampak kebesaran.
Arya menyudahi semadinya, lalu bangkit berdiri. Kakek jangkung itu agaknya memiliki kepandaian tinggi. Karena, hanya orang-orang demikian yang mampu memunculkan diri dengan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Siapa yang kau maksud dengan anak setan itu, Kek? Akukah?" tanya Arya. Suaranya terdengar tenang, kendati sebenarnya tersinggung bukan main. Sapaan itu sama artinya dengan penghinaan terhadap orang tuanya. Kalau dirinya dianggap anak setan, bukankah artinya orang tuanya adalah setan?
"Tentu saja! Hanya kau dan aku yang ada di sini. Mana mungkin aku menyapa diriku sendiri. Tak mungkin, bukan?!" dengus kakek jangkung dengan kasarnya. "Dengar baik-baik, Anak Setan. Mana kawan-kawanmu? Cepat tunjukkan!"
Arya melongo. Bingung mendengar pertanyaan aneh itu. "Kawan-kawanku? Aku tak mengerti maksudmu, Kek?!" sahut Arya, jujur.
"Tidak usah berpura-pura, Anak Setan! Cepat katakan di mana kawan-kawanmu. Tak ada gunanya membohongiku!"
"Aku makin tak mengerti, Biang Setan!" sergah Arya, kesal. Amarahnya mulai diumbar. Sikap si kakek benar-benar memancing kejengkelannya.
Si kakek tersenyum sinis. Sepasang matanya yang mencorong tajam, merayapi sekujur tubuh Arya, mulai dari rambut sampai ke kaki.
"Aku mencium bau amis ular di tubuhmu, Anak Setan! Aku yakin kau mempunyai hubungan dengan bangkai-bangkai ular di sana!" tandas si kakek. Telunjuknya menuding ke arah tempat Raja Ular Berbaju Emas tewas.
"Benar. Aku memang dari tempat itu!"
"Bagus kalau kau mengaku! Sekarang, katakanlah di mana kawan-kawanmu! Atau..., kau hendak mengatakan kalau kau sendiri yang membunuh Raja Ular Berbaju Emas tiga hari yang lalu?!" desak kakek jangkung.
"Aku tak peduli kau percaya atau tidak!" ujar Arya.
LIMA
Kendati pernyataan si kakek membuatnya terperanjat. Kalau benar ucapan kakek itu, berarti dia tenggelam dalam semadinya selama tiga hari. "Orang yang kau maksudkan itu memang tewas di tanganku. Raja Ular Berbaju Emas memang luar biasa hebat!"
Wajah kakek jangkung menyiratkan ketidak-percayaan besar. "Begitukah?! Aku jadi ingin tahu sampai di mana kelihaianmu, Anak Setan! Kalau benar kau mampu menewaskan Raja Ular, berarti kau mampu menewaskanku pula!"
Si kakek menutup ucapannya dengan serangan sampokan tangan kanan dan kiri bertubi-tubi tertuju ke kepala Dewa Arak. Tapi dengan menarik kaki kanan ke belakang seraya mencondongkan tubuh, pemuda itu membuat serangan lawan mengenai tempat kosong. Kakek jangkung menjadi penasaran. Dia tak bertindak ragu-ragu lagi.
Serangan lanjutannya kini menggunakan tangan dan kaki. Demi mempertahankan selembar nyawanya, Arya terpaksa meladeninya. Padahal meski luka dalamnya tak berbahaya lagi, keadaan pemuda itu masih lemah. Hanya sebagian tenaganya yang kembali.
Arya mengeluh dalam hati. Seperti yang telah diduganya, kakek jangkung itu benar-benar lihai. Tingkat kepandaiannya tak berada di bawah Raja Ular Berbaju Emas. Dalam beberapa jurus Arya dibuat terpontang-panting menyelamatkan diri.
Si kakek tertawa mengejek. "Hanya sampai di sini saja kepandaianmu, Anak Setan? Dan kau berani bicara besar telah mengalahkan Raja Ular!"
Desss...!
Sebuah gedoran telak si kakek mengenal dada kanan Arya. Pemuda itu terjengkang ke belakang. Dari mulutnya mengalir darah segar.
Sambil terkekeh menyeramkan, kakek jangkung melesat mengejar. Hendak diberikannya serangan susulan. Serangan yang dapat mengirim nyawa Arya ke neraka! Tapi, maksud itu diurungkannya di tengah jalan. Ia mendengar seruan lantang dari sebelah kanannya.
"Kalau kau ingin aku campur tangan, lanjutkan seranganmu!"
Si kakek menoleh. "Ahhh...!" Tokoh tua itu berseru kaget sambil melangkah mundur. Sikap dan parasnya menampakkan keterkejutan besar. Juga rasa gentar.
Sang pendatang baru yang mengenakan pakaian kuning keemasan menggumam tak jelas. Wajahnya tak terlihat. Tertutup selubung yang sewarna dengan pakaiannya. Hanya sepasang matanya yang terlihat tajam berkilat-kilat. Karena, selubung itu mempunyai dua lubang kecil untuk mata.
"Kau?! Kau masih hidup?!" ujar kakek jangkung terbata-bata. Tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
Sang pendatang baru kembali mendengus. "Tak kusangka aku akan bertemu Dewa Arak. Padahal yang kucari adalah Paksi Dilaga," gumam sosok itu dalam hati. Kemudian, terdengar suaranya yang besar berwibawa.
"Seperti yang kau lihat. Kalau aku sudah mati, mana mungkin bisa berada di sini!"
"Tapi..., kau terkena Racun Ular Emas. Tak ada yang tahu pemunahnya kecuali si Raja Ular. Dan tak pemah ada orang yang dapat lolos dari maut akibat racun itu!" kakek jangkung masih kebingungan.
"Kenyataannya aku masih hidup!" tandas sosok berselubung.
Si kakek terdiam. Tapi hanya sesaat. "Kalau begitu kesempatan terbuka bagiku untuk membalas dendam. Kau telah membuatku terpaksa mengucilkan diri selama dua puluh tahun lebih. Sekarang kau harus menerima balasannya!"
Kakek jangkung melesat ke arah sosok berselubung. Serangan-serangan dahsyat dan mematikan dikirimkannya. Tapi, orang yang diserang hanya mendengus. Tanpa bimbang sedikit pun, ditangkisnya serangan-serangan si kakek.
Plak, plak, plak...!
Tubuh kakek jangkung terlontar kembali ke belakang. Seringai kesakitan menghias wajahnya. Sosok berselubung tak bergeming dari tempatnya.
"Kalau kau masih sayang nyawa, cepat tinggalkan tempat ini. Lupakan urusanmu dengan pemuda itu!" tandas si sosok berselubung.
Kakeng jangkung bukan orang bodoh. Dia tahu, berkeras hanya akan merugikan dirinya sendiri. Sosok berselubung terlalu tangguh untuk dihadapinya. Kendati demikian, pergi begitu saja terlampau merendahkan diri.
"Kali ini kau boleh menang, Malaikat! Tapi ingat, kejadian hari ini dan peristiwa dua puluh tahun lalu tak akan kulupakan begitu saja. Ingat-ingatlah hal ini!"
Sosok berselubung hanya mendengus tak peduli. Bahkan, ketika kakek jangkung melesat pergi meninggalkan tempat itu. Arya yang menyaksikan tingkah kakek jangkung dan sosok berselubung segera melangkah maju.
"Terima kasih, Kek. Kalau kau tak datang menolong, mungkin saat ini aku telah menjadi mayat!" ujar Arya ragu menyapa sosok berselubung dengan panggilan 'kek'. Bukankah sosok ini kenal betul dengan kakek jangkung? Setidaknya usia mereka kemungkinan besar sebaya.
"Lupakanlah, Anak Muda," jawab sosok berselubung dengan sorot mata aneh. Sorot orang yang merasa geli. "Hal yang lebih penting adalah merawat lukamu. Kau terluka cukup parah, Anak Muda. Serangan lawanmu mengandung racun berbahaya!"
"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Kek. Tapi aku baik-baik saja. Dan..., ahh...!"
Arya menghentikan ucapannya. Kepalanya tiba-tiba terasa pening. Tubuhnya bergerak limbung. Sebelum ambruk ke tanah, sosok berselubung telah lebih dulu menangkapnya. Kesadaran Arya telah hampir lenyap. Kendati demikian, dia masih dapat mengetahui tindakan sosok berselubung. Sisa kesadaran yang masih ada membuat pemuda ini sempat merasakan hal aneh. Sayang, dia tak bisa memikirkan kemungkinan itu. Arya telah jatuh tak sadarkan diri.
* * *
"Uhhh...!" Arya menggeliatkan tubuh merenggangkan tangan dan kakinya. Sepasang matanya pun dibuka. Pemuda ini tersentak kaget ketika melihat sosok yang duduk bersila di depannya.
"Paman Paksi!" seru Arya, kaget bercampur gembira. Tak disangka dia akan bertemu ayahnya Pringgani kembali.
Paksi Dilaga tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Bagaimana kau bisa berada di sini, Paman? Dan, mengapa pula aku bisa berada di sini?" Arya teringat pada pertemuannya dengan sosok berselubung.
"Mengenai keberadaanmu di tempat ini aku tak tahu, Arya. Sedangkan diriku hanya kebetulan saja. Karena perasaan curigaku...," beri tahu Paksi Dilaga. "Kulihat seseorang berpakaian kuning selama beberapa hari setiap pagi dan sore masuk ke gua ini. Aku jadi ingin tahu. Ternyata kau yang kujumpai."
Arya tersentak kaget. "Beberapa hari? Berarti selama itu aku tak sadarkan diri?" gumam Arya lirih.
"Tingkah orang berpakaian kuning itu membuatku curiga, Arya. Apa keperluannya sehingga selama beberapa hari datang ke gua ini."
"Lalu di mana orang berpakaian kuning itu, Paman?"
"Aku tidak tahu, Arya," Paksi Dilaga mengangkat bahunya. "Kali ini tampaknya dia tidak datang. Sekarang telah siang. Padahal biasanya dia datang pagi. Kalau boleh kutahu, sebenarnya apa hubunganmu dengan orang itu?"
"Tidak ada hubungan apa-apa, Paman. Kami hanya kebetulan bertemu. Dia menolongku dari ancaman maut."
Secara singkat Arya kemudian menceritakan semua kejadian yang dialaminya. Paksi Dilaga mendengarkan dengan penuh minat. Wajahnya berubah ketika Arya menceritakan ciri-ciri penolongnya.
"Ada apa, Paman? Apakah kau mengenal penolongku itu?!" tanya Arya yang sempat melihat perubahan wajah Paksi Dilaga.
"Aku tak pasti, Arya," jawab Paksi Dilaga. Lalu dihelanya napas berat. "Hanya ceritamu mengingatkanku akan kejadian berpuluh tahun silam di dunia persilatan. Ciri-ciri penolongmu hanya dimiliki tokoh yang berjuluk Malaikat Tanpa Wajah."
"Mungkin tokoh itu yang telah menolongku," timpal Arya. "Kudengar lawanku menyapanya 'malaikat'.
"Mungkin, Arya. Tapi menurut berita yang kudapat, Malaikat Tanpa Wajah telah mati karena racun."
Arya tertegun. Sungguh tak disangkanya akan mendapat berita seperti itu dari Paksi Dilaga. "Yakinkah kau dengan berita yang kau dapatkan itu, Paman?!" Arya meminta penegasan.
"Tentu saja, Arya!" tandas Paksi Dilaga.
Arya diam.
"Masih ingatkah kau akan tokoh sesat yang hendak membawaku pada Sang Pangeran Muda? Tokoh sesat yang memanggil ular untuk menghadapimu?" tanya Paksi Dilaga.
Arya menganggukkan kepalanya. "Dia berjuluk Raja Ular Berbaju Emas," sahutnya.
"Benar. Raja Ular Berbaju Emas. Nah! Datuk sesat itulah yang telah menyarangkan racun dalam tubuh Malaikat Tanpa Wajah. Sehingga, tokoh yang luar biasa itu menemui ajalnya beberapa bulan kemudian."
Keterangan itu membuat Arya teringat kembali akan ucapan kakek jangkung. Si kakek pun menyangka sosok berselubung telah tewas!
"Beberapa puluh tahun lalu...," tanpa diminta Paksi Dilaga bercerita. "Di dunia persilatan berkuasa empat datuk kaum sesat. Di antaranya adalah Raja Ular Berbaju Emas. Mereka menyebar angkara murka di mana-mana. Seorang tokoh tingkat tinggi, golongan putih yang berjuluk Malaikat Tanpa Wajah tak bisa tinggal diam. Datuk-datuk sesat itu dicarinya. Salah seorang datuk dapat ditewaskan. Sisanya terluka amat parah. Luka yang sulit untuk disembuhkan. Membutuhkan waktu puluhun tahun untuk memulihkan kemampuan seperti semula."
"Kalau empat datuk sesat itu berhasil dikalahkan, bagaimana Malaikat Tanpa Wajah dapat diracuni?" Arya masih belum jelas.
"Raja Ular Berbaju Emas merupakan datuk sesat yang licik!" tandas Paksi Dilaga penuh kebencian, sehingga membuat Arya keheranan. "Begitu mendengar seorang datuk roboh di tangan Malaikat Tanpa Wajah, dia segera mengajak datuk yang tersisa untuk bergabung. Bersama mereka mengeroyok Malaikat Tanpa Wajah. Tapi, tokoh yang penuh rahasia itu memang luar biasa. Pengeroyokan lawan-lawannya dapat dipatahkan. Bahkan, dia mampu membuat mereka terluka parah. Sayang, Raja Ular Berbaju Emas sempat menyarangkan Racun Ular Emas pada dirinya."
Arya terdiam. Dia tak menduga akan mendengar cerita seperti ini. Julukan Malaikat Tanpa Wajah telah demikian terkenal. Arya menatap Paksi Dilaga yang menundukkan kepala. Lelaki itu kelihatan demikian mengagumi Malaikat Tanpa Wajah.
"Menurutmu, dari empat datuk sesat itu hanya satu orang yang tewas, Paman?" tanya Arya, sekadar untuk mengalihkan perhatian Paksi Dilaga.
"Benar."
"Berarti masih ada tiga datuk yang hidup," lanjut Dewa Arak. "Kalau Raja Ular Berbaju Emas sanggup hidup, kemungkinan besar dua datuk lainnya pun masih hidup pula. Sekarang aku dapat mengira siapa sebenarnya kakek jangkung itu. Pasti dia salah seorang dari empat datuk sesat itu."
"Menurut berita yang kudengar, datuk yang memiliki ciri jangkung dan kurus berjuluk Iblis Tangan Bayangan, yang seorang lagi berjuluk Lelembut Berwajah Dewa!" jelas Paksi Dilaga.
Arya mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Suasana menjadi hening ketika Arya maupun Paksi Dilaga tak berbicara. Tapi, keadaan itu tak berlangsung lama.
"Aku mempunyai pemikiran aneh, paman. Tapi kurasa masuk akal juga," celetuk Arya.
"Mengenai apa, Arya?"
"Nasib Malaikat Tanpa Wajah."
"Maksudmu?" Paksi Dilaga belum mengerti.
"Begini, Paman. Kalau datuk-datuk sesat yang memiliki kemampuan di bawah Malaikat Tanpa Wajah saja bisa lolos dari maut, bukan tak mungkin tokoh itu pun berhasil menyembuhkan keracunannya. Kenyataannya kulihat sendiri. Dan mengenai kepandaiannya, memang luar biasa."
"Kematian Malaikat Tanpa Wajah tak usah kau sangsikan lagi, Arya. Aku melihatnya sendiri. Bukan mendengar berita dari orang lain. Namun ceritamu membuatku penasaran. Aku ingin tahu, siapa yang telah begitu lancang memalsukan tokoh penuh rahasia itu!"
"Mungkin keturunan atau muridnya, paman?!" Arya mencetuskan dugaannya.
Paksi Dilaga terperanjat. Ditatapnya waiah Arya lekat-lekat. Tapi, tak sepatah kata pun dilontarkan. Tampaknya lelaki itu berniat melanjutkan pembicaraan. Maka, Arya pun tak mendesaknya. Ketika tiba-tiba teringat pada Pringgani, dengan hati-hati diceritakannya pada Paksi Dilaga. Paksi Dilaga mendengarkan cerita Dewa Arak dengan penuh perhatian. Saat Arya menyelesaikan ceritanya lelaki itu menghela napas berat dengan wajah muram.
"Kalau menurut pendapatku, Paman," kata Arya hati-hati. Pemuda ini hendak menghibur hati Paksi Dilaga. "Pringgani masih hidup. Kalau hendak dibunuh, untuk apa repot-repot menculiknya. Bunuh saja di situ langsung."
"Aku setuju dengan pendapatmu, Arya," wajah Paksi Dilaga agak berseri. Dia bisa merasakan kebenaran dalam pendapat Arya. "Pringgani dalam keadaan selamat. Kendati demikian, hatiku merasa tak tenang. Kalau dia sampai celaka, aku tak berani bertemu dengan istriku di akhirat sana...."
Arya bisa memaklumi kegalauan yang melanda hati Paksi Dilaga. Dia telah mendengar tentang pesan almarhum istrinya yang disanggupi lelaki itu. "Aku akan berusaha mendapatkan putrimu kembali, Paman," janji Arya.
"Terima kasih, Arya. Aku yakin dengan kemampuanmu kau bisa berbuat lebih banyak. Kalau penculiknya memiliki kepandaian di atasku, aku dapat mengandalkan dirimu."
"Kau terlalu memandang tinggi padaku, paman," keluh Arya agak tersipu.
"Itu kenyataan, Dewa Arak!" bantah Paksi Dilaga. "Nama besarmu telah mengguncangkan dunia persilatan."
Arya hanya diam saja. "Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Paman?!" tanyanya kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Mencari putriku, Arya. Karena tak tahu harus mencarinya di mana, biarlah kulakukan sambil lalu. Aku akan menemui keluargaku lebih dulu. Kau mau ikut?"
"Tentu saja, Paman!" jawab Arya, cepat. "Bukankah aku telah berjanji akan membantumu mencari Pringgani. Bagaimanapun juga aku merasa bersalah. Atau, kau lebih suka mencari putrimu itu sendirian, Paman?!"
"Kau tidak bersalah, Arya," bantah Paksi Dilaga. "Bila kau tak menolongnya, mungkin dia telah tewas di tangan penjahat-penjahat keji dari Pantai Selatan itu."
"Kau lebih suka kalau kita mencarinya berpencar, Paman?!" desak pemuda berambut putih keperakan. Salah satu pertanyaannya belum terjawab.
"Itu terserah padamu. Aku tak berani meminta. Walaupun, aku akan merasa terhormat bila bisa melakukan perjalanan bersama tokoh besar sepertimu."
"Aku hanya hendak memastikan, Paman," kilah Arya. "Barangkali saja kau mempunyai urusan yang amat pribadi dengan keluargamu. Aku kan terhitung orang luar."
"Bukan, Arya. Hanya urusan biasa saja. Bagaimana, kau mau pergi bersamaku?"
Arya mengangguk. "Masih jauhkah tempat kediaman keluargamu itu, Paman?"
"Tidak. Tidak sampai dua hari kita telah tiba di sana," beri tahu Paksi Dilaga seraya mengayunkan kaki.
Arya pun bergegas melangkah mengikuti. Arya melirik Paksi Dilaga yang tertunduk menekuri tanah. Pemuda ini berdiam diri, tak ingin mengganggunya. Dia bisa merasakan kesedihan yang mendera ayahnya Pringgani.
"Kalau tak melihatnya sendiri, aku tak akan percaya, Arya," ujar tokoh yang belasan tahun lalu terkenal dengan julukan Harimau Bertangan Delapan. Suaranya bergetar penuh kesedihan, perasaan hatinya begitu terpukul.
Arya hanya menghela napas berat. Mereka berdua berdiri di depan bangunan cukup besar yang kelihatan kotor tak terawat, seperti telah bertahun-tahun ditinggal pergi. Bangunan yang selama ini menjadi tempat tinggal keluarga Paksi Dilaga.
"Aku tak mengerti bagaimana ini bisa terjadi," keluh Paksi Dilaga. Kemudian, tanpa diminta dia menceritakan tentang keluarganya.
"Maaf, bukan maksudku untuk mengajari paman. Tapi, apa pun di dunia ini bisa saja terjadi," ujar Arya hati-hati. Khawatir Paksi Dilaga tersinggung. "Kebencian para pengejarmu ternyata tak hanya tertuju pada dirimu, tapi juga keluargamu."
"Dari mana mereka tahu penghuni rumah ini adalah keluargaku, Arya?" tanya Paksi Dilaga dengan nada sedih. "Tak seorang pun tahu dari mana aku berasal. Juga mengenai keluarga ini."
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Paman."
Paksi Dilaga menghela napas berat. Ditatapnya Arya dalam-dalam. "Aku percaya padamu, Arya. Maka meski hal ini sebenarnya rahasia keluarga kami, aku akan memberitahukanmu."
"Kalau merupakan rahasia keluarga, kukira lebih baik tak usah dibicarakan, Paman," tolak Arya.
"Tidak Arya. Kau merupakan pengecualian!" Paksi Dilaga berkeras dengan kehendaknya. "Kau tentu masih ingat mengenai Malaikat Tanpa Wajah."
Arya mengangguk.
"Perlu kau ketahui, Arya. Aku terkejut sekali mendengar ucapanmu. Kau mengatakan kalau tokoh yang kau temui mungkin keturunan atau murid Malaikat Tanpa Wajah. Terus terang, aku baru pertama kali mendengar ucapan seperti itu. Selama ini orang-orang persilatan menganggap Malaikat Tanpa Wajah tak pernah mati. Jadi, Malaikat Tanpa Wajah yang muncul dua ratus tahun lalu adalah Malaikat Tanpa wajah yang muncul dua puluh tahun lalu. Hanya aku yang mempunyai pendapat berbeda. Bagaimana kau bisa menduga demikian, Arya?"
"Aku pernah menemukan tokoh yang melegenda seperti itu, Paman," jawab Arya (Untuk jelasnya, silakan baca episode: "Peninggalan Iblis Hitam")
Paksi Dilaga mengangguk maklum.
ENAM
"Dugaanmu memang tepat, Arya. Malaikat Tanpa Wajah tak hanya seorang. Selubung dan pakaian yang dikenakannya membuat orang itu tak dikenal jati dirinya. Sehingga, tak ada seorang pun yang tahu kalau selama kurun waktu ratusan tahun telah beberapa kali Malaikat Tanpa Wajah berganti-ganti. Leluhurku yang pertama kali menjadi Malaikat Tanpa Wajah, Dewa Arak. Beliau seorang pelaut. Pekerjaannya membuatnya mengenal banyak orang. Salah seorang kenalan memberinya mantera pemanggil makhluk gaib. Ilmu 'Nyambat' namanya. Dari makhluk-makhluk gaib itu beliau mempelajari kesaktian. Kemudian, ilmu-ilmu itu diwariskan pada keturunannya."
Paksi Dilaga menghentikan ceritanya sejenak. Diambilnya napas dan ditelannya ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
"Sayang, dua keturunan terakhir yaitu aku dan ayahku tak memiliki bakat baik. Kami tak mampu menguasai ilmu-ilmu tingkat tertinggi keluarga kami. Kendati demikian, Ayah masih lebih berbakat daripada aku. Tapi tetap saja beliau tak boleh menggantikan tugas menjadi Malaikat Tanpa Wajah, karena tak mempunyai ilmu khas. Jadi ketika kakek wafat oleh Racun Ular Emas, tak ada lagi yang menggantikan menjadi Malaikat Tanpa Wajah."
"Berarti..., seharusnya Malaikat Tanpa Wajah tak muncul lagi ke dunia persilatan," cetus Arya.
"Benar, Arya," dukung Paksi Dilaga. "Sekarang kau mengerti mengapa aku merasa heran ayah dan ibuku bisa terbunuh. Kami keluarga yang penuh rahasia. Tempat kami pun terpencil. Rasanya mustahil ada orang mengetahui rahasia ini. Andaikata pun ada yang tahu, rasanya sulit untuk dapat membunuh Ayah. Kepandaian beliau jauh lebih tinggi dari aku. Empat datuk sesat pun belum tentu mampu mengalahkan Ayah."
"Kita harus melihat kenyataan, Paman. Ayah dan ibumu telah tewas terbunuh. Kalau hanya bingung memikirkan mengapa mereka bisa tewas, tak akan kita temukan jawabannya. Bukankah lebih baik kalau kita menyelidiki pelaku tindak kekejian ini?" usul Arya, hati-hati.
Paksi Dilaga tersenyum. Tapi, terlihat belum dengan sepenuh hati. "Aku bisa menerima kebenaran ucapanmu, Arya. Orang yang sudah mati memang tak akan kembali lagi. Kau benar. Akan kucari orang yang telah melakukan kekejian ini. Hhh...! Tugasku jadi bertambah, Arya. Tak hanya mencari Pringgani sekarang, tapi juga pembunuh ayahku..."
* * *
Sebuah gerobak yang ditarik seekor sapi bergerak lambat. Jalan berupa permukaan tanah tak rata membuat gerobak berguncang-guncang. Semua itu seperti tak dipedulikan sang kusir yang duduk melengguk di tempatnya.
Gerobak masih berjarak belasan tombak di belakang dua orang yang tengah berjalan seenaknya. Sungguhpun demikian, pemuda berpakaian ungu dapat mengetahui keberadaannya. Rekan lelaki setengah baya berpakaian putih ikut pula mendengar. Dua orang itu memang bukan orang sembarang. Mereka adalah Paksi Dilaga dan Dewa Arak.
Arya dan Paksi Dilaga bersikap tak peduli. Keduanya tetap mengayunkan langkah, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Padahal dari bunyi yang tertangkap telinga, gerobak sapi itu berada semakin dekat dengan mereka.
Kedua tokoh golongan putih ini hanya bergeser agak ke tepi jalan, agar gerobak dapat melaju tanpa terhambat mereka. Jalan itu sendiri cukup lebar untuk menampung dua buah gerobak sapi sekaligus. Di kanan kirinya, dipisahkan oleh parit kecil, membentang tanaman alang-alang.
Gerobak sapi itu telah mulai mensejajari langkah Arya dan Paksi Dilaga. Kedua tokoh itu tetap bersikap tak peduli, seakan tak mengetahui kehadiran gerobak sapi.
"Dewa Arak!"
Cepat Arya menoleh ke arah asal suara. Paksi Dilaga ikut-ikutan. Tapi, sang kusir gerobak cepat melanjutkan ucapannya. Nadanya tetap lirih seperti khawatir didengar orang lain.
"Tak perlu menoleh. Harap dengan baik-baik ucapanku ini. Di malam bulan purnama akan ada pertemuan tokoh-tokoh golongan putih, untuk menyusun kekuatan dan rencana guna menghadapi gerombolan sesat di bawah pimpinan Sang Pangeran Muda. Kami berharap kau dapat hadir. Tempatnya di Lembah Maut di lereng Gunung Merapi. Apakah keteranganku sudah jelas, Dewa Arak?!"
"Sangat jelas, " jawab Arya tanpa menoleh.
"Kalau begitu, selamat tinggal. Mudah-mudahan kelompok sesat itu dapat kita hancurkan."
Bersamaan dengan lenyapnya perkataan terakhir, gerobak bergerak lambat meninggalkan Dewa Arak dan Paksi Dilaga. Sedikit demi sedikit gerobak itu semakin jauh.
"Malam bulan pumama...," gumam Arya pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Dua malam lagi, Arya," timpal Paksi Dilaga setengah memberi tahu.
"Kalau begitu, waktu yang tersedia cukup untuk ke sana, Paman...."
"Apa yang kau katakan itu tak salah, Arya. Waktu yang kita miliki lebih dari cukup. Dengan demikian, kita tak pertu terburu-buru."
Sebetulnya Arya dan Paksi Dilaga merasa heran. Namun mereka mampu meredamnya, sehingga tak terlihat. Wajah dan sikap kedua tokoh ini tetap biasa.
"Sang kusir gerobak mengatakan akan ada pertemuan tokoh-tokoh golongan putih. Tapi, mengapa hanya beberapa orang saja yang hadir? Mana yang lainnya? Atau ini hanya tipuan belaka?"
Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak Arya dan Paksi Dilaga. Untuk kesekian kalinya kedua tokoh ini mengedarkan pandangan berkeliling. Ditatapnya sekilas tokoh-tokoh lang hadir. Hanya tiga orang yang ada di situ selain mereka berdua.
"Kurasa...," cetus seorang kakek bermuka merah memecahkan keheningan yang menyelimuti mereka. "Tak ada gunanya lagi kita menunggu. Malam telah semakin larut. Aku yakin tak akan ada lagi orang yang datang."
"Apa yang diucapkan Raja Tuak memang tepat. Kita tak perlu lagi menunggu. Mungkin rekan yang lain khawatir kalau-kalau Sang Pangeran Muda dan gerombolannya muncul di tempat ini. Kita tak bisa menyalahkan mereka," timpal kakek yang memiliki tangan sebelah dengan sikap bijaksana."
Kakek bermuka merah yang ternyata berjuluk Raja Tuak, terkekeh. Tabung bambu yang sejak tadi tergeletak di dekatnya diangkat lalu dituangkan ke mulut. Tuak mengalir ke dalam mulutnya yang terbuka lebar. Bunyi menggeluguk terdengar ketika minuman memabukkan itu melewati tenggorokannya.
"Sebelum kita lanjutkan pertemuan ini...," kata Raja Tuak seraya meletakkan tabung bambunya lagi. Disekanya tepi-tepi mulutnya yang basah. Sepasang matanya yang tajam berkilat diedarkan pada semua orang, dan berhenti di wajah Dewa Arak. "Kurasa ada baiknya kalau kita saling memperkenalkan diri dulu."
Raja Tuak menunjuk pada kakek bertangan sebelah, sementara pandangannya tertuju pada Dewa Arak dan Paksi Dilaga. Pada kedua tokoh itulah kakek bermuka merah hendak memberitahukannya. "Sahabat ini berjuluk Naga Bercakar Tunggal."
Dewa Arak dan paksi Dilaga tersenyum. Kepalanya dianggukkan dan balas memperkenarkan diri pada Naga Bercakar Tunggal yang menyunggingkan senyum ramah.
"Dan sahabat yang satunya lagi..." lanjut Raja Tuak. Perhatiannya dialihkan sebentar pada kakek terakhir yang ada di situ. Dia berkepala botak dan kelihatan licin mengkilat. Terkekeh ramah pada Dewa Arak dan paksi Dilaga. "Dikenal orang dengan julukan Dewa Berkepala Baja."
"Aku telah mendengar julukan Dewa Arak yang menggetarkan dunia persilatan. Dan, telah lama mengaguminya. Tapi, baru kali ini aku mendapat keberuntungan bertemu muka. Sungguh menakjubkan sekali! Dalam usia semuda ini telah memiliki kepandaian luar biasa serta nama besar."
"Ahhh..., apalah artinya dibandingkan dengan kakek bertiga. Berita yang tersiar itu terlalu dibesar-besarkan," sahut Arya merendah.
"Sungguh sebuah sikap yang bagus," puji Raja Tuak. "Dan kau Paksi Dilaga, kami tahu kau pun telah membuat dunia persilatan geger dengan tindakan-tindakanmu. Sehingga kau mendapat julukan Harimau Bertangan Delapan. Kami manghargai sekali kehadiran kalian berdua di tempat ini."
"Kami hanya ingin menyumbangkan sedikit kemampuan yang kami miliki, Raja Tuak," kilah Arya.
Arya dan Paksi Dilaga tahu kalau Raja Tuaklah yang menjadi kusir gerobak sapi dan mengundang mereka ikut pertemuan. Sungguh tak mereka sangka kalau si kakek yang menjadi pemimpin pertemuan.
"Tidak ada yang patut dikagumi dari diriku, Raja Tuak," kilah Paksi Dilaga, memberikan tanggapan atas pujian yang dilontarkan Raja Tuak. Nada ucapan lelaki ini terdengar getir karena teringat akan keadaan dirinya. "Aku hanya seorang pengecut yang melarikan diri dari kejaran musuh-musuh yang ingin membunuhku!"
Raja Tuak, Naga Bercakar Tunggal, dan Dewa Berkepala Baja agak heran mendengar jawaban tersebut. Namun mereka tak mendesak lebih jauh. Tanggapan Paksi Dilaga membuat ketiga kakek itu tahu kalau dia telah mengalami kejadian tak menyenangkan. Adalah sikap kurang patut memintanya menjelaskan maksud pernyataannya tadi.
"Tujuan kita berkumpul di sini sebenarnya untuk menyusun kekuatan guna mencegah angkara murka Sang Pangeran Muda dan komplotannya."
Raja Tuak langsung berbicara pada pokok persoalan, sekaligus membuka jalannya pertemuan. "Tapi, yang kita temui ternyata tak berjalan sesuai keinginan. Hanya kita yang berkumpul di tempat ini. Kita berlima! Semula aku telah memperhitungkan puluhan orang yang akan hadir. Karena itulah kupilih tempat yang cukup luas ini. Tapi kenyataannya?"
Raja Tuak mengangkat kedua bahu, menampakkan sikap kecewanya. Semua yang hadir di situ bisa memakluminya. Kakek bermuka merah itu telah bersusah payah mencari temat yang nyaman. Tanah lapang luas yang ditumbuhi rumput setinggi dua kaki. Dikelilingi pohon-pohon cukup besar di tepinya. Luas lapangan itu cukup untuk menampung puluhan orang.
"Entah masalah apa yang membuat rekan-rekan lainnya tertahan untuk hadir di sini. Tapi, kuharap kalian semua tak berkecil hati. Rencana mulia kita jangan sampai hancur karenanya."
Raja Tuak menenggak minumannya kembali sebelum melanjutkan bicara. "Dan, kuminta yang hadir di sini sedapat mungkin membawa rekan-rekan lain untuk ikut pertemuan dua pekan yang akan datang. Bagaimana, kalian setuju?"
"Aku tak yakin akan keberhasilannya, Raja Tuak," Naga Bercakar Tunggal menimpali. "Kurasa mereka telah telanjur berpendapat kalau Sang Pangeran Muda tak bisa ditanggulangi. Mereka berpikir, tak ada gunanya menyusun kekuatan dan mengadakan perlawanan. Hanya akan mengakibatkan pertumpahan darah besar-besaran."
"Apa yang dikatakan Naga memang benar, Raja Tuak," celetuk Dewa Berkepala Baja memberikan dukungan. "Komplotan Pangeran Muda luar biasa kuat. Jangankan tokoh misterius itu, wakil-wakilnya saja mungkin tak akan terlawan oleh kita. Siapa yang tak kenal Raja Ular Berbaju Emas, Iblis Tanpa Bayangan, dan Lelembut Bermuka Dewa. Datuk-datuk sesat empat penjuru mata angin. Puluhan tahun yang lalu pun mereka tak terkalahkan"
Arya mengerling pada Paksi Dilaga. Ayahnya Pringgani melihat. Dan, dia tahu apa artinya. Kerling sekilas itu mengandung pertanyaan besar akan kebenaran cerita Paksi Dilaga yang menyatakan datuk-datuk sesat empat penjuru angin telah dikalahkan kakeknya.
Paksi Dilaga pun menunjukkan rasa penasaran. Dia telah memberikan bantahan. Tapi, Naga Bercakar Tunggal telah mendahului berbicara.
"Kau keliru, Dewa. Sepanjang yang kutahu keempat datuk sesat itu berhasil dikalahkan seorang tokoh golongan putih yang berjuluk Malaikat Tanpa Wajah! Bahkan, tokoh yang telah muncul sejak ratusan tahun lalu itu berhasil menghadapi keroyokan dua datuk."
"Aku pun mendengar berita itu, Naga," kelit Dewa Berkepala Baja. "Tapi, Malaikat Tanpa Wajah tak bisa dimasukkan ke dalam datuk golongan putih, karena kemisteriusannya. Tak ada seorang pun tahu siapa sebenarnya tokoh itu. Apalagi mengingat kemunculannya pertama kali, pada ratusan tahun lalu sebelum dia menyebabkan empat datuk sesat menghilang dari dunia persilatan. Anehnya, sejak empat datuk sesat menghilang, tokoh itu pun lenyap pula. Lagi pula, menurutmu mungkinkah ada orang yang mampu hidup sampai usia dua ratus tahun?"
Naga Bercakar Tunggal terdiam. Kebingungan dia memberikan bantahan. Dewa Berkepala Baja semakin bersemangat memojokkannya. "Bila kau menghitung, Malaikat Tanpa Wajah itu berusia lebih dari dua ratus tahun. Cobalah kau perhitungkan saat pertama kali tokoh itu muncul, hingga lenyapnya dia bersama empat datuk sesat, Naga!"
Naga Bercakar Tunggal tetap terdiam. Kakek bertangan sebelah ini tampak gelisah. Arya melirik ke arah Paksi Dilaga. Lelaki berpakaian putih itu merupakan satu-satunya orang yang dapat memberikan keterangan secara lengkap. Sayang, dia tak dapat ikut campur. Itu akan membuka rahasia yang selama ini tertutup rapat.
"Sebenarnya...," Arya ikut campur dalam perdebatan. Tindakannya ini mengundang perhatian semua orang. Mereka ingin tahu kelanjutan pernyataan Dewa Arak. "Hal yang tak memungkinkan mengenai Malikat Tanpa Wajah bisa saja terjadi," cetus Arya hati-hati.
"Apa maksudmu, Dewa Arak?" tanya Dewa Berkepala Baja dengan alis berkernyit. Kakek berkepala botak ini sudah memperkirakan Arya akan mengeluarkan pendapat yang mendukung pernyataan Naga Bercakar Tunggal. Karena itu, kakek ini yang paling merasa penasaran.
"Maksudku, mengenai kemustahilan usia Malaikat Tanpa Wajah seperti yang kau kemukakan tadi, Kepala Baja," jelas Arya. "Memang ada hal yang mencurigakan mengenai tokoh misterius itu. Tentang usianya."
"Benar, Dewa Arak. Apakah kau ingin mengatakan kalau mustahil seseorang berusia sampai dua ratus tahun?" desak Dewa Berkepala Baja.
"Aku tidak mengatakan demikian, Kepala Baja," bantah Arya. "Yang jelas, aku percaya Malaikat Tanpa Wajah yang muncul sejak ratusan tahun lalu membuat datuk-datuk sesat empat penjuru angin menghilang dari dunia persilatan."
"Kau berbelit-belit, Dewa Arak!" cela Dewa Berkepala Baja tak sabar. "Kalau kau percaya Malaikat Tanpa Wajah terus muncul hingga dua puluh tahun lalu, itu berarti kau harus percaya seseorang dapat berusia dua ratus tahun."
Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak mengernyitkan alis. Mereka merasakan kebenaran ucapan Dewa Berkepala Baja. Arya berbelit-belit dengan berbagai alasan. Pada akhirnya dia juga akan mendukung pernyataan Dewa Berkepala baja.
"Mungkinkah Arya akan membuka rahasia tentang siapa sebenarnya Malaikat Tanpa Wajah?" pikir Paksi Dilaga mulai khawatir. "Mudah-mudahan hal itu tak dilakukannya. Arya tahu hal itu merupakan rahasia besar keluargaku."
Arya terlihat tetap tenang. Bibirnya mengembangkan senyum. "Kalau kau mencerna pernyataanku lebih dalam, kau akan dapat membedakannya, Kepala Baja. Kukatakan aku tak percaya bila seseorang bisa berusia sampai dua ratus tahun. Tapi, aku percaya kalau Malaikat Tanpa Wajah bisa berusia sampai dua ratus tahun."
"Sepertinya pernyataan itu memang bertentangan satu sama lain. Tapi, sekarang mari kita membuktikan kebenarannya," tantang Dewa Berkepala Baja.
"Siapa di antara kalian yang pernah melihat paras Malaikat Tanpa Wajah?" tanya Arya. Pandangannya diedarkan berkeliling. Dtatapnya satu persatu tokoh yang ada di situ.
Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak terdiam. Demikian pula Paksi Dilaga, kendati jantungnya berdetak lebih cepat. Tapi, tidak demikian halnya dengan Dewa Berkepala Baja.
"Kurasa kita cukupkan perdebatan ini, Dewa Arak. Pertanyaanmu saja telah membuktikan kalau kau tak tahu apa-apa mengenai Malaikat Tanpa Wajah. Dengar, Dewa Arak! Hampir semua tokoh persilatan tahu kalau Malaikat Tanpa Wajah mengenakan selubung. Selubung itu menjadi petunjuk jelas kalau dia tak ingin dikenal. Lalu, bagaimana mungkin orang dapat melihat wajahnya? Kau malah menanyakan hal itu. Bukankah itu berarti kau tak tahu apa pun. Perdebatan ini tak ada gunanya dilanjutkan!"
Naga Bercakar Tunggal dan Raja Tuak kembali harus mengakui kebenaran pendapat Dewa Berkepala Baja. Sedangkan Paksi Dilaga gelisah mendengar bantahan kakek berkepala botak. Dia khawatir Dewa Arak akan kalah berdebat dengan kakek yang pandai bicara itu.
"Di sinilah kekeliruannya, Kepala Baja, " kata Arya dengan ketenangan yang menakjubkan. "Kalau tak ada yang pernah melihat wajahnya, siapa yang dapat membuktikan wajah di balik selubung tokoh Malaikat Tanpa Wajah ratusan tahun lalu adalah wajah yang sama. Siapa yang bisa menjamin?"
Naga Bercakar Tunggal, Raja Tuak, dan Dewa Berkepala Baja terkejut bukan main mendengar alasan Dewa Arak. Alasan yang luar biasa kuat!
"Aku yakin wajah di balik selubung itu senantiasa berganti-ganti!" lanjut Dewa Arak. "Aku mempunyai alasan kuat untuk pernyataan ini. Aku pernah menemui tokoh melegenda seperti Malaikat Tanpa Wajah. Tokoh itu berjuluk Iblis Hitam! Tokoh yang merupakan datuk sesat ini terkenal sejak ratusan tahun lalu."
(Untuk jelasnya, silahkan baca episode : "Iblis Hitam").
"Semua tokoh-tokoh persilatan bingung mengapa tokoh itu tetap muncul di dunia persilatan. Padahal, menurut perhitungan dia sebenarnya sudah meninggal karena usia tua. Belakangan baru ketahuan kalau Iblis Hitam yang selalu berselubung itu senantiasa berganti. Keturunan-keturunannya yang menggantikannya. Aku yakin sekali Malaikat Tanpa Wajah pun demikian."
Raja Tuak, Naga Bercakar Tunggal dan bahkan Dewa Berkepala Baja harus mengakui kembali kebenaran pernyataan Dewa Arak. Dalam hati mereka menyesali diri sendiri mengapa tak berpikir demikian.
Paksi Dilaga menjadi lega mendengar akhir perdebatan itu. Arya tak membuka rahasia mengenai Malaikat Tanpa Wajah. Pemuda itu hanya mengutarakan alasan yang bisa diterima akal. Jawaban sebenarnya dapat ditemukan orang-orang yang mau berpikir panjang.
"Kalau benar demikian...," celetuk Dewa Berkepala Baja. Suaranya tak segagah sebelumnya. "Mengapa telah dua puluh tahun lebih Malaikat Tanpa Wajah tak muncul-muncul di dunia persilatan lagi?!"
"Bukan merupakan hal yang aneh, Kepala Baja," jawab Arya. "Banyak jawaban untuk pertanyaan itu. Bisa saja orang yang menjadi Malaikat Tanpa Wajah terakhir tak mempunyai keturunan. Atau..., keturunannya tak mempunyai bakat seperti yang diharapkan."
TUJUH
Dewa Berkepala Baja mengangguk-anggukkan kepala. Tampaknya dia setuju dengan penjelasan Dewa Arak.
"Kukira..., persoalan mengenai Malaikat Tanpa Wajah telah selesai. Sekarang kita kembali pada pokok persoalan, bagaimana menyusun kekuatan untuk menentang komplotan Sang Pangeran Muda," sela Raja Tuak buru-buru sebelum ada yang bicara lagi.
"Masih belum tuntas perbincangan kalian?"
Raja Tuak, Dewa Berkepala Bala, Naga Bercakar Tunggal, Paksi Dilaga, dan Dewa Arak terperanjat kaget mendengar teguran itu. Serempak mereka bangkit dari duduk dan bersikap waspada. Seiring dengan lenyapnya gema teguran itu, dari balik sebatang pohon bermunculan dua sosok. Seorang di antaranya kakek jangkung yang hampir membunuh Dewa Arak. Iblis Tanpa Bayungan!
"Aku yakin mereka datuk-datuk sesat yang telah dua puluh tahun lenyap," desis Raja Tuak dengan pandangan tertuju pada dua sosok yang menghampiri mereka.
"Yang yang berbicara berada di atas pohon. Mungkinkah dia yang terkenal sebagai Sang Pangeran Muda itu?" Arya menujukan pandangan ke atas pohon.
Serentak yang lainnya segera mengarahkan pandangan ke sana. Mereka melihat seseorang yang tak terlihat jelas, karena berdiri membelakangi bulan. Dia berdiri di atas satu kaki pada cabang pohon sebesar ibu jari. Anehnya, cabang itu tak melengkung sedikit pun. Seakan-akan yang berdiri di atasnya bukan manusia, melainkan seekor cengcorang!
Raja Tuak dan yang lainnya tanpa sadar menelan ludah melihat pameran ilmu meringankan tubuh. Dari apa yang terlihat saja mereka tahu kalau orang di atas pohon memiliki kepandaian luar biasa.
Kekeh penuh ejekan dari kakek yang berada di sebelah Iblis Tanpa Bayangan membuat rombongan Raja Tuak mengalihkan perhatian. Kakek itu berwajah ramah penuh senyum. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh seri. Lelembut Berwajah Dewa julukannya!
"Kalian benar-benar tak ubahnya anjing-anjing buduk!" maki Lelembut Berwajah Dewa. Telunjuknya menuding pada rombongan Raja Tuak. Sikap dan ucapannya kasar bukan main. Bertolak belakang dengan gerak-geriknya yang halus dan wajah penuh senyuman. Tak aneh kalau dia mendapat julukan Lelembut Berwajah Dewa.
"Apa yang kalian andalkan sehingga berani bertindak demikian lancang, mencoba menentang Sang Pangeran Muda?!"
Raja Tuak melangkah maju dua tindak. Dadanya yang tipis dibusungkan. "Kami memang hanya memiliki sedikit kepandaian. Tapi bukan berarti kami takut. Kami rela mengorbankan nyawa asal iblis-iblis semacam kalian lenyap dari muka bumi!"
"Begitukah?!" ejek Iblis Tanpa Bayangan. Ikut campur dalam perdebatan. "Kalau begitu, pergilah kau ke neraka!"
Wusss...!
Angin menderu keras ketika kakek jangkung itu menghentakkan kedua tangannya. Seketika, rombongan Raja Tuak terpencar untuk menyelamatkan diri. Serangan jarak jauh Iblis Tanpa Bayangan pun menerpa tempat kosong.
"Jangan serakah, Iblis," ujar Lelembut Berwajah Dewa. "Babi-babi busuk itu cukup banyak. Biar aku ikut ambil bagian untuk mencincang daging-dagingnya yang bau!"
Kakek yang memiliki wajah ramah ini lalu meludah berkali-kali. Tidak ke tanah sebagaimana layaknya orang membuang cairan menjijikkan itu, tapi menunjukkannya ke arah Raja Tuak.
Sing...!
Bunyi nyaring yang menyakitkan telinga itu menyeruak ketika gumpalan-gumpalan ludah meluncur. Raja Tuak yang menjadi sasaran serangan segera menenggak minumannya. Kemudian disemburkannya untuk memapak serangan lawan.
Gumpalan-gumpalan benda cair itu berbenturan di tengah jalan dengan menimbulkan suara nyaring. Gumpalan dari mulut Raja Tuak langsung terpental dan jatuh ke tanah. Sedangkan ludah Lelembut Berwajah Dewa terus meluncur. Namun beberapa kaki sebelum mencapai tujuan, kehabisan daya luncur dan jatuh ke tanah.
Lelembut Berwajah Dewa memaki kalang-kabut. Sedangkan Raja Tuak mengeluh dalam hati. Dari hasil benturan itu tenaga dalamnya ternyata masih di bawah tenaga datuk sesat berparas menyenangkan ini. Meskipun demikian, Raja Tuak tak menjadi gentar. Ketika lawannya meluruk menerjang, dengan berani disambutinya. Pertarungan seru pun terjadi.
* * *
Bukan hanya Raja Tuak yang terlibat pertarungan. Naga Bercakar Tunggal dan Dewa Berkepala Baja bahu-membahu menghadapi amukan Iblis Tanpa Bayangan. Sedangkan Dewa Arak dan Paksi Dilaga masih belum bertindak. Arya masih memperhatikan sosok yang berada di atas pohon. Sang Pangeran Muda!
"Paman, harap kau bantu Raja Tuak...," pinta Arya melalui ilmu mengirim suara dari jauh pada Paksi Dilaga.
Saat itu keadaan Raja Tuak memang mengkhawatirkan. Kepandaiannya masih terpaut cukup jauh dengan Lelembut Berwajah Dewa. Dalam beberapa jurus datuk sesat itu berhasil membuat Raja Tuak terdesak hebat. Untunglah, Paksi Dilaga datang membantu. Sehingga tekanan Lelembut Berwajah Dewa sedikit berkurang.
Suasana yang semula hening jadi hiruk-pikuk. Tidak hanya teriakan. Gerakan tokoh-tokoh yang bertarung pun menimbulkan bunyi nyaring menyakitkan telinga. Pertarungan yang berlangsung seru dan sengit. Tapi, belasan jurus kemudian keadaan mulai berubah. Lelembut Berwajah Dewa dan Iblis Tanpa Bayangan terlalu tangguh untuk dihadapi. Raja Tuak dan rekan-rekannya yang telah mengerahkan seluruh kemampuannya tetap saja kewalahan.
Keadaan yang menimpa mereka membuat Dewa Arak gelisah. Kalau tak segera dibantu, Raja Tuak dan rekanrekannya akan tewas. Tanpa menunggu lebih lama dilancarkannya serangan beruntun dengan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss, wusss, wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat bertubi-tubi meluncur ke arah Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut Berwajah Dewa. Datuk-datuk sesat itu menyambutinya dengan cara yang sama. Terdengar benturan nyaring memekakkan telinga dan menggetarkan sekitar tempat itu. Tubuh mereka terlihat terhuyung-huyung. Kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak untuk menerjang Lelembut Berwajah Dewa.
"Menyingkirlah! Biar aku yang menghadapinya!" seru Arya di saat tubuhnya masih melayang di udara. Serangan Arya mendapat sambutan langsung dari lawan. Lelembut Beruaiah Dewa menyambuti kedatangan Arya dengan sebuah serangan mematikan.
Wuuttt...!
Sampokan Lelembut Berwajah Dewa yang ditujukan pada pelipis mengenai tempat kosong. Arya telah lebih dulu merendahkan tubuhnya. Hampir bersamaan waktunya, pemuda itu mengirimkan gedoran ke arah dada.
Desss...!
Lelembut Berwajah Dewa memekik ngeri. Telapak tangan Arya mendarat di bahu kanannya. Tubuh kakek itu pun terjengkang ke belakang. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Serangan yang tak disangka-sangka itu membuat elakannya tak sepenuhnya berhasil. Kendati demikian, cukup untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Tanpa mempedulikan keadaan lawan. Dewa Arak melesat ke arah pertarungan Iblis Tanpa Bayangan yang menghadapi Dewa Berkepala Baja dan Raja Bercakar Tunggal. Karena dilihatnya Paksi Dilaga dan Raja Tuak belum mencapai kancah pertarungan mereka.
Bersamaan dengan melesatnya Dewa Arak, Iblis Tanpa Bayangan mengeluarkan lengkingan nyaring. Hanya sebentar. Tapi, mampu membuat kedua lawannya terkesima. Sukma mereka seperti melayang entah ke mana. Dada terasa berguncang hebat dan sepasang kaki menggigil keras!
Kesempatan yang hanya sesaat itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Iblis Tanpa Bayangan. Dikirimkannya tamparan berturut-turut ke arah pelipis kedua lawannya.
Plak, plak, plak...!
Terdengar bunyi berderak cukup keras. Disusul dengan pekikan tertahan dan ambruknya tubuh Naga Bercakar Tunggal serta Dewa Berkepala Baja. Mereka tewas dengan tulang pelipis retak mengucurkan darah.
Arya menggertakkan gigi melihat kejadian yang tak diinginkannya itu. Kedatangannya sudah terlambat Sungguhpun demikian, maksudnya tetap tak diurungkan. Diterjangnya Iblis Tanpa Bayangan untuk membalaskan kematian mereka. Pertarungan pun terjadi ketika sang datuk sesat menyambuti.
Sementara itu di atas pohon Sang Pangeran Muda memperhatikan Dewa Arak dengan dahi berkernyit. "Pemuda ini berkepandaian lumayan juga. Dia dapat menjadi ancaman besar kalau tak dilenyapkan. Kalau aku tak bertindak cepat, kemungkinan besar Iblis Tanpa Bayangan akan tewas," gumamnya lirih.
Tokoh yang disebut-sebut sebagai Sang Pangeran Muda ini berpakaian putih. Celananya merah dan berikat kepala hijau. Wajahnya dingin memancarkan keangkuhan besar, sebagaimana layaknya tingkah orang-orang berkedudukan. Ketika Arya dan Iblis Tanpa Bayangan terlibat pertarungan, Sang Pangeran Muda berdehem. Bukan sembarang deheman. Tapi mampu membuat sehelai daun lepas dari tangkainya dan melayang ke bawah.
Tanpa menekuk lutut, Sang Pangeran Muda meninggalkan cabang pohon tempatnya berdiri. Laksana seekor burung besar dia melayang turun dan menjejakkan salah satu kakinya pada daun itu. Seakan-akan tak menerima beban, daun yang lebarnya hampir setelapak tangan orang dewasa itu melayang ringan ke tanah. Dan ketika telah mendarat di tanah, pentolan kaum sesat yang penuh rahasia ini membentak keras.
"Berhenti...!"
Sekitar tempat itu tergetar hebat karena kuatnya tenaga yang terkandung dalam bentakan. Tapi, pengaruh yang melanda tokoh-tokoh dalam kancah pertarungan lebih besar lagi. Mereka semua menghentikan gerakannya, kemudian melompat mundur. Tanpa sadar mereka mematuhi seruan Sang Pangeran Muda! Ada pengaruh aneh yang membuat mereka mengikuti seruan itu
. Pertarungan tak berlanjut lagi. Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut Berwajah Dewa melangkah mundur, membiarkan pemimpin mereka maju menghadapi kelompok Raja Tuak yang berdiri berjejer. Sang Pangeran Muda sendiri bersikap seolah Raja Tuak dan Paksi Dilaga tak berada di situ. Pandangannya hanya ditujukan pada Arya.
Dewa Arak balas menatap. Pemuda ini harus mengakui kalau Sang Pangeran Muda memiliki wibawa menggiriskan hati. Sepasang matanya yang tajam berkilat mengandung pengaruh besar. Malah, Paksi Dilaga dan Raja Tuakmerasakan bulu kuduk mereka meremang. Sepasang mata yang sinarnya amat tajam itu membuat orang tak kuat menatapnya berlama-lama.
"Kepandaianmu lumayan juga, Sobat Kecil!" suara Sang Pangeran Muda terdengar begitu dingin. Nada bicara dan sikapnya demikian merendahkan Arya. Tetapi Arya tetap tenang. Dia tak terpancing untuk melakukan hal serupa.
"Tapi, perlu kuberitahukan padamu. Kau tak perlu mencari penyakit dengan berani menentangku. Kepandaianmu tak ada artinya bagiku. Menentang Sang Pangeran Muda sama artinya kau telah bosan hidup. Sayangilah nyawamu, Sobat Kecil. Jadilah anak buahku! Untuk apa kau mengikuti langkah tua bangka yang tak bisa berpikir jernih karena terlalu mabuk menenggak minuman setannya!" lanjut Sang Pangeran Muda menyindir Raja Tuak.
"Terima kasih atas perhatianmu, Sobat Besar. Sayang, aku tak bisa memenuhinya. Sejak dulu aku telah bertekad membasmi setiap angkara murka di muka bumi ini. Dan, sejak dulu pula nyawa yang ada di tubuh ini bukan milikku lagi. Telah kuberikan untuk membela orang-orang yang tertindas!" sahut Arya, kalem.
Berbeda dengan Dewa Arak yang tetap tenang, Raja Tuak tidak. Kakek ini merasa tersinggung sekali. Perasaan ini mendorong amarahnya dan membuat akal sehatnya hilang. Rasa ngeri Raja Tuak terhadap Sang Pangeran Muda menciut dengan cepat. Keinginannya yang mendesak adalah melampiaskan amarah itu.
"Manusia sombong!" bentak Raja Tuak. Kakinya melangkah maju dengan telunjuk menuding pada Sang Pangeran Muda. "Kau kira aku takut padamu? Aku Raja Tuak, bukan orang yang takut mati! Mampuslah!"
Wuuut... !
Kakek bermuka merah itu melancarkan pukulan kanan kiri susul-menyusul ke arah dada.
Buk, buk!
Tubuh Sang Pangeran Muda tak bergeming sama sekali, kendati kepalan Raja Tuak menghantamnya telak. Pentolan kaum sesat ini tak tampak kesakitan. Padahal, dia tak kelihatan mengerahkan tenaga.
Raja Tuak terkejut melihat hasil serangannya. Dia lebih terkejut lagi ketika mengetahui sepasang tangannya melekat pada dada lawan. Betapapun dikerahkan seluruh tenaganya untuk menarik kembali, hasilnya sia-sia.
Sementara Sang Pangeran Muda tak tampak mengeluarkan tenaga untuk mempertahankannya. "Orang lancang sepertimu harus diberi pelajaran agar kapok!" dengus Sang Pangeran Muda penuh ancaman. Ucapannya menimbulkan perasaan kaget. Tidak hanya pada Raja Tuak, tapi semua tokoh yang berada di situ. Mereka tahu pasti adalah pantangan besar bagi orang yang tengah mengadu tenaga dalam untuk berbicara.
Pengerahan tenaga jadi membuyar. Ini berbahaya sekali! Di samping akan terkena serangan tenaga dalam lawan, juga kemungkinan terpukul oleh tenaga dalamnya sendiri yang membalik. Tapi, Sang Pangeran Muda mampu melakukannya.
Sekejap setelah mendapat ancaman Sang Pangeran Muda, Raja Tuak mendapatkan buktinya. Kedua tangannya seperti dimasukkan ke dalam tungku perapian. Panas bukan main! Semakin lama semakin panas. Sehingga, kakek ini menggeliat-geliat seperti cacing di abu panas.
Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Melihat kejadian yang dialami Raja Tuak, Dewa Arak tak bisa tinggal diam. Sebelumnya pun dia bermaksud mencegah tindakan kakek bermuka merah itu. Sayang, dia terlambat. Sekarang Arya tak ingin terlambat lagi. Dewa Arak tak berani bertindak sembrono seperti yang dilakukan Raja Tuak, kendati dia memiliki tenaga dalam tinggi. Tapi kalau tenaganya kalah kuat, dia akan mengalami nasib serupa.
Pemuda berambut putih keperakan itu menenggak araknya, lalu menyemburkannya pada Sang Pangeran Muda. Arak yang meluncur tidak berbentuk cair, melainkan agak panjang dan runcing seperti jarum. Banyaknya ratusan. Arya yang memiliki kecerdikan mengagumkan telah memperkirakan serangan araknya tak dapat melukai kulit Sang Pangeran Muda. Maka, serangan itu ditujukan pada bagian-bagian tubuh paling lemah. Mata, ubun-ubun, dan kerongkongan!
Memang, betapapun sakti dan kuatnya tenaga dalam seseorang, bila matanya terkena serangan akan mengakibatkan kebutaan. Sang Pangeran Muda pun tahu hal itu. Maka, disambutnya serangan Dewa Arak dengan tiupan. Percikan-percikan arak pun kembali seperti semula, menjadi butiran-butiran arak yang kemudian runtuh ke tanah.
Pengerahan tenaga untuk meniup membuat daya tarik untuk melekatkan tangan Raja Tuak berkurang. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Tuak. Cepat ia menarik tangannya. Kali ini usaha Raja Tuak berhasil. Tapi karena terlalu kerasnya menarik, dia terhuyung-huyung ke belakang tak bisa menguasai keseimbangan.
Sang Pangeran Muda tak mau membiarkan calon korbannya selamat. Dia hendak mengirimkan serangan maut. Tapi, Dewa Arak mendahului pentolan datuk sesat itu. Diserangnya Sang Pangeran Muda dengan ayunan guci ke arah kepala.
Plak!
Tangkisan yang dilakukan Sang Pangeran Muda membuat Arya terputar lalu terpelanting. Gucinya hampir terlepas dari pegangan, karena telapak tangannya terasa panas dan sakit.
Sang Pangeran Muda benar-benar yakin akan kemampuannya. Dia tak menggunakan kesempatan untuk melancarkan serangan. Tokoh yang menggiriskan hati ini menunggu lawannya memperbaiki kedudukan.
Dewa Arak merasakan jantungnya berdetak jauh lebih cepat. Ketegangan melanda dirinya. Sejak semula dia telah menyangka Sang Pangeran Muda memiliki kepandaian tinggi. Tapi, sama sekali tak disangkanya akan demikian hebat.
"Kau hebat, Pangeran Muda," puji Arya sejujurnya.
"Syukur kalau kau mengetahuinya, Sobat Kecil. Mumpung pendirianku belum berubah, kuberikan kesempatan padamu untuk merubah jawaban. Kalau kau masih bersikeras, aku akan mengirimmu ke akhirat!"
"Kau hanya membuang-buang waktu, Pangeran Muda. Pendirianku tak akan berubah. Apa pun yang akan terjadi aku tetap menentangmu!" tandas Arya.
Paras Sang Pangeran Muda membesi. Sorot sepasang matanya memancarkan hawa maut ketika menatap Arya. Dewa Arak tak menjadi gentar. Dia balas menatap. Kemarahan Sang Pangeran Muda semakin menjadi.
Tangan dedengkot kaum sesat itu dijulurkan ke depan sejajar bahu. Dewa Arak yang berdiri tiga tombak darinya bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tapi ketika melihat tindakan dedengkot kaum sesat itu, dia bersikap menunggu. Ingin diketahuinya maksud tindakan lawan.
"Ahhh...!" Seruan kaget itu dikeluarkan Paksi Dilaga. Paras dan pancaran sepasang matanya menyiratkan keterkejutan besar. Biji matanya bak hendak melompat keluar dari rongga.
Keterkejutan Paksi Dilaga tak menarik perhatian siapa pun. Tokoh-tokoh yang ada di situ menunjukkan perhatian pada Sang Pangeran Muda dan Dewa Arak. Terpancang di benak mereka pertarungan yang akan terjadi benar-benar dahsyat.
Arya yang semula bersikap menunggu terperanjat ketika merasakan kekuatan tak nampak menekannya dari segala arah! Kekuatan sihir luar biasa dahsyat seperti hendak menghancurkan tubuhnya. Dewa Arak menyadari adanya bahaya. Dia bermaksud melesat menghindar. Tercekat hatinya ketika mengetahui tak dapat melakukan hal itu. Kekuatan yang menghimpit bak dinding yang menghalangi.
Karena tak mau mati konyol, Arya mengerahkan tenaga dalam untuk menahan himpitan pada dirinya. Pertarungan tenaga dalam secara langsung pun tak dapat dihindarkan lagi. Arya mengeluh dalam hati. Dia telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga pengaruh yang menekan agak berkurang. Bila hal ini terus berlangsung dia akan tewas dengan isi dada hancur.
Semua tokoh yang menyaksikan jalannya pertarungan merasa tegang. Di antara mereka, Paksi Dilaga yang paling tegang. Dia mengenal baik bentuk serangan Sang Pangeran Muda. Serangannya itu sering dilihatnya puluhan tahun lalu. Hanya saja bukan dilakukan dedengkot kaum sesat itu, melainkan kakeknya yang tewas karena kelicikan Raja Ular Berbaju Emas.
Itulah sebabnya tadi, Paksi Dilaga berseru kaget. Lelaki berpakaian putih itu segera menggali ingatannya. Kendati tak menguasainya, Paksi Dilaga hafal dengan jurus-jurusnya.
DELAPAN
Kini dia menguras seluruh ingatannya untuk mencari kelemahan ilmu itu. Beberapa saat kemudian, wajahnya tampak berseri-seri. Dia telah berhasil mengingatnya.
"Jongkok, Arya! Jongkok! Rendahkan tubuhmu...!" seru Paksi Dilaga keras, agar bisa didengar Arya.
Dewa Arak memang mendengarnya. Saat itu Arya tengah berada dalam keadaan genting. Wajahnya telah merah padam dan dari atas kepalanya mengepul uap putih. Tanpa pikir panjang lagi Dewa Arak segera berjongkok. Dan memang, kekuatan yang menekannya langsung lenyap. Arya pun mengerti kalau tekanan dari segala arah itu hanya menyerang bagian pinggang ke atas!
Sang Pangeran Muda menggertakkan gigi. Sorot matanya memancarkan maut ketika mengerling ke arah Paksi Dilaga. Dia tahu yang memberikan petunjuk pada Arya sehingga pemuda itu dapat lolos dan serangannya.
"Kau akan mendapatkan ganjaran yang setimpal atas kelancanganmu ini, Paksi Dilaga!" desis Sang Pangeran Muda. "Kau memang telah lama kucari-cari. Setelah kukirim monyet kecil ini ke neraka, giliranmu akan tiba!"
Sang Pangeran tak bisa melanjutkan ucapannya. Dewa Arak telah menyerangnya. Pemuda ini menggulingkan tubuhnya, kemudian melancarkan tendangan ke arah pusar.
Desss...!
Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang, lalu terguling-guling. Sang Pangeran Muda telah lebih dulu mengayunkan kaki memapak! Dedengkot kaum sesat itu tergetar tubuhnya. Kali ini Sang Pangeran Muda tak bertindak murah hati lagi. Tak diberinya kesempatan pada lawan untuk memperbaiki kedudukan. Dewa Arak dikirimkannya serangan bertubi-tubi. Serangan yang membuat Paksi Dilaga tak henti-hentinya berseru kaget. Jurus-jurus sang dedengkot kaum sesat itu dikenalinya sebagai ilmu milik keluarganya.
Sang Pangeran Muda memang hebat bukan main. Arya membuktikannya sendiri. Dia dibuat terpontang-panting dalam usahanya memberikan perlawanan. Seluruh kemampuannya telah dikerahkan. Bahkan, ilmu 'Belalang Sakti' andalannya dikeluarkan pula. Tapi, Arya harus menerima kenyataan kalau lawan jauh lebih unggul.
Tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhnya berada di atasnya. Hanya berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang' Dewa Arak mampu bertahan. Kendati demikian, lambat laun dia terdesak juga. Apalagi setelah Sang Pangeran Muda memecahkan rahasia jurus itu.
Plak!
Tubuh Arya terlempar. Tamparan Sang Pangeran Muda menghantam bahunya. Darah menyembur dari mulut Dewa Arak. Arya masih mampu mendarat dengan kedua kakinya. Saat Dewa Arak dalam keadaan tak menguntungkan itu, Sang Pangeran Muda menerkam bak seekor macan lapar. Dewa Arak hendak melompat menghindari serangan.
Namun, kedua kakinya tak dapat diangkat. Telapak kaki itu seakan melekat dengan tanah. Arya segera sadar peristiwa aneh yang menimpanya tidak terjadi begitu saja. Kemungkinan besar karena kedahsyatan jurus dedengkot kaum sesat itu.
Dia tak bisa mengelak lagi. Jalan satu-satunya untuk mematahkan serangan hanya dengan menangkis. Sayang, sebelah tangannya tak dapat digunakan. Kalau mempergunakan satu tangan yang lain, dia tak akan mampu mementahkan gempuran Sang Pangeran Muda.
Nyawanya bagaikan telur di ujung tanduk! Di saat-saat terakhir, dari belakang Dewa Arak melesat sesosok bayangan kuning keemasan. Gerakannya cepat bukan main yang terlihat hanya sekelebatan bayangan. Sosok ini melesat memapak terjangan Sang Pangeran Muda.
Bresss... !
Sekitar tempat itu bergetar hebat. Bahkan, getarannya dirasakan oleh semua orang yang hadir. Untuk pertama kalinya setiap pasang mata membelalak lebar. Tubuh Sang Pangeran Muda terlempar ke belakang, seperti juga sosok bayangan kuning keemasan. Dedengkot kaum sesat yang luar biasa itu ternyata bisa juga terlempar.
Dan seperti juga penolong Dewa Arak, Sang Pangeran Muda berhasil menjejak tanah dengan mantap. Dia berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar. Kedua kalinya semua orang membelalakkan mata. Terutama Paksi Dilaga, Iblis Tanpa Bayangan, dan Lelembut Berwajah Dewa! Pandangan mereka tertuju pada sang penolong Dewa Arak. Sinar mata ketidak-percayaan memancar di sana.
"T..., ti..., tidak mungkin...!" desis Paksi Dilaga dengan bibir bergetar. Berusaha diyakinkan dirinya akan ketidak-benaran yang dilihatnya.
"Malaikat Tanpa Wajah?!" gumam Lelembut Berwajah Dewwa dan Iblis Tanpa Bayangan, tanpa menyembunyikan kegentaran dalam nada suaranya.
"Siapa kau, Keparat?!" bentak Sang Pangeran Muda, setelah berhasil meredakan perasaan kagetnya. "Sungguh berani kau menyamar sebagai Malaikat Tanpa Wajah!"
Penolong Dewa Arak yang dipanggil Malaikat Tanpa Wajah terdengar mendengus. Sepasang matanya mencorong tajam dan bersinar kehijauan tertuju lurus ke arah Sang Pangeran Muda. Sorot mata ini sukar ditebak maksudnya. Apalagi karena wajahnya terlindung selubung kuning keemasan.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Biang Keparat!" balas Malaikat Tanpa Wajah tak kalah keras. "Perlu kuberitahukan, sebelum memaki-maki sebaiknya kau bercerminlah lebih dulu. Jelas-jelas kulihat ilmu yang kau pergunakan adalah ilmu-ilmu milik Malaikat Tanpa Wajah. Dari mana kau mendapatkannya, heh?!"
Sang Pangeran Muda terdiam. Di sekelilingnya, semua tokoh persilatan mendengarkan jalannya perdebatan dengan penuh minat. Mereka tertarik untuk mendengar kelanjutannya. Terutama Paksi Dilaga, orang yang merasa paling berkepentingan.
Keadaan di tempat ini pun jadi hening. Semua tokoh yang ada berdiri mematung. Seakan khawatir kalau sedikit gerakan yang mereka lakukan akan membuat jawaban Sang Pangeran Muda tidak tertangkap. Bahkan bernapas pun hampir-hampir ditahan.
"Kalau kukatakan dari mana ilmu-ilmu ini, kau mau berjanji memperkenalkan diri dan membuka selubungmu?!" tantang Sang Pangeran Muda.
"Tidak!" jawab Malaikat Tanpa Wajah, tanpa berpikir lebih lama. "Aku tidak mau berjanji seperti itu. Lagi pula, tanpa kau jawab pun aku tahu. Kau mencurinya, bukan?!"
"Tutup mulutmu, Keparat! Aku bukan orang semacam itu!" bentak Sang Pangeran Muda. "Pantang bagiku mencuri ilmu orang lain!"
"Memang bukan kau yang mencurinya. Tapi ayah, kakek, atau gurumu. Kau mempelajari ilmu curian itu darinya. Bukankah itu berarti kau mencurinya pula!"
"Mampuslah kau...!" Dibarengi teriakan menggeledek, dedengkot kaum sesat itu menerjang Malaikat Tanpa Wajah. Sebuah tendangan terbang dikirimkannya.
Pertarungan dua tokoh yang memiliki kepandaian tinggi itu segera terjadi. Padahal, saat itu Dewa Arak masih berada di antara mereka. Kemungkinan besar dirinya akan terkena serangan nyasar. Arya bergegas menggulingkan tubuhnya menjauh.
Hampir tanpa selang waktu, Malaikat Tanpa Wajah ikut melesat. Tokoh ini memapaki serangan Sang Pangeran Muda dengan gerakan yang sama. Benturan yang terjadi beberapa saat kemudian membuat tubuh mereka terpental. Kemudian, keduanya kembali saling serang.
Semua pasang mata tertuju pada jalannya pertarungan. Arya menoleh ke arah Paksi Dilaga dengan sorot mata mengandung pertanyaan. Kemunculan Malaikat Tanpa Wajah begitu mengejutkan. Bukankah orang terakhir yang menjadi tokoh legenda itu adalah ayah Paksi Dilaga dan telah tewas? Bagaimana mungkin dapat muncul Malaikat Tanpa Wajah lainnya?!
Arya segera tahu tak akan mendapat jawaban yang memuaskan. Dilihatnya sendiri Paksi Dilaga tak kalah bingungnya. Perhatiannya pun kembali dialihkan pada jalannya pertarungan. Di kancah pertarungan, Sang Pangeran Muda dan Malaikat Tanpa Wajah terlibat pertarungan unik. Seringkali gerakan-gerakan mereka mirip satu sama lain, menunjukkan kalau ilmu keduanya berasal dari satu sumber. Ketika pertarungan telah berlangsung belasan jurus, Sang Pangeran Muda berteriak keras.
"Tunggu apa lagi? Habisi mereka!"
Iblis Tanpa Bayangan dan Lelembut Berwajah Dewa tersadar dari terkesimanya, seperti orang tertidur yang diguyur air. Hampir berbarengan keduanya melesat menyerang rombongan Raja Tuak. Pertarungan pun terjadi. Dewa Arak kembali bertarung dengan Iblis Tanpa Bayangan. Raja Tuak dan Paksi Dilaga bekerjasama menghadapi Lelembut Berwajah Dewa.
Baru saja pertarungan berlangsung, muncul Tiga Hantu Pantai Selatan. Tanpa banyak bicara mereka langsung terjun ke dalam kancah pertarungan. Diserangnya Paksi Dilaga dan Raja Tuak. Sebaliknya, Lelembut Berwajah Dewa malah meninggalkan kancah pertarungan dan menyerang Dewa Arak. Sehingga pemuda ini menghadapi keroyokan dua orang lawan.
Dalam keadaan terluka, Arya segera terdesak hebat. Keadaan Dewa Arak ternyata tak luput dari perhatian Malaikat Tanpa Wajah. Sorot matanya memancarkan kecemasan besar. Cara pertarungannya pun berubah. Tokoh misterius ini menyerang tanpa mempedulikan pertahanan dirinya.
Sang Pangeran terperanjat melihat tindakan nekat lawannya. Tapi dia juga merasa gembira. Apalagi ketika dilihatnya pertahanan lawan banyak mempunyai celah-celah yang dapat dijatuhi serangan.
"Hih...!" Sang Pangeran melancarkan pukulan tangan kanan lurus ke arah dada yang tak terlindungi. Sudah terbayang di benak dedengkot kaum sesat ini kalau lawannya terlempar jauh dan terluka dalam yang parah.
Dugaan Sang Pangeran Muda tak sepenuhnya tercapai. Di saat terakhir, Malaikat Tanpa Wajah memiringkan tubuh. Bersamaan dengan itu dikirimkannya bacokan ke arah tengkuk dengan sisi telapak tangan. Karuan saja, Sang Pangeran Muda tercekat hatinya. Dia sama sekali tak menyangka kejadiannya akan seperti ini.
Duk, des!
Kejadian itu berlangsung hampir berbarengan. Pukulan Sang Pangeran Muda menyerempet dada Malaikat Tanpa Wajah, tapi tengkuhnya terkena bacokan lawan. Tubuh Malaikat Tanpa Wajah dan Sang Pangeran Muda terhuyung-huyung. Malaikat Tanpa Wajah masih mampu berdiri kendati agak limbung. Sebaliknya, Sang Pangeran Muda ambruk ke tanah. Dedengkot kaum sesat ini tewas karena tulang lehernya patah.
Tanpa mempedulikannya rasa sakit yang mendera, Malaikat Tanpa Wajah memasuki kancah pertarungan Dewa Arak. Arya tengah terhuyung-huyung, sedangkan dua lawannya meluruk ke arahnya dengan serangan maut. Malaikat Tanpa Wajah melancarkan gedoran ke arah Iblis Tanpa Bayangan.
Duk, des!
Tubuh Iblis Tanpa Bayangan terpental jauh. Terhantam gedoran Malaikat Tanpa Wajah. Tapi, di saat yang bersamaan tokoh legenda itu terkena pukulan Lelembut Berwajah Dewa. Malaikat Tanpa Wajah pun terlempar. Arya terpukul melihat kenekatan Malaikat Tanpa Wajah untuk menolong dirinya. Pemuda berambut putih keperakan ini pun menghentakkan kedua tangannya, melancarkan jurus 'Pukulan Belalang'.
Wusss... ! Bresss!
Lelembut Berwajah Dewa menjerit menyayat hati. Pukulan jarak jauh Dewa Arak telah menghantamnya. Saat tubuhnya melayang, nyawanya pun ikut melayang. Kulit tubuhnya gosong dan bau hangus daging menyebar.
Arya tak mempedulikan korban serangannya. Dia melesat ke arah Malaikat Tanpa Wajah yang tergolek di tanah. Dilihatnya bagian pinggang atas tokoh legenda itu hangus dan menyebarkan bau amis. Tampaknya serangan Lelembut Berwajah Dewa mengadung racun!
Karena mengkhawatirkan keselamatan Malaikat Tanpa Wajah, Dewa Arak merobek pakaian di bagian yang terluka. Dia hendak menyedot racun yang belum menjalar jauh itu. Arya tak peduli kendati orang yang akan ditolongnya menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan, Arya...."
Bret…!
Arya merobeknya agak lebar sampai ke dada. Seketika pemuda itu terperanjat. Wajahnya merah padam. Dada Malaikat Tanpa Wajah terlihat membusung. Putih halus dengan puting susu merah segar. Tokoh yang luar biasa ini ternyata seorang wanita! Arya kebingungan. Ditutupnya lagi robekan pakaian itu. Dia teringat akan ucapan Malaikat Tanpa Wajah tadi. Seketika keheranannya timbul.
"Dari mana kau tahu namaku!"
"Bukalah selubungku ini, Arya...," kata Malaikat Tanpa Wajah, tak menjawab pertanyaan Arya.
Di saat Dewa Arak melepas selubung itu, Paksi Dilaga dan Raja Tuak ikut mendekat. Tiga Hantu Pantai Selatan telah berhasil mereka tewaskan. Tubuh tokoh-tokoh sesat itu bergeletakan di tanah. Sekarang kedua tokoh golongan putih itu menanti dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka tak sabar ingin melihat wajah orang yang berada di balik selubung.
"Pringgani...!"
Seruan kaget itu dikeluarkan Arya dan Paksi Dilaga. Seraut wajah cantik di balik selubung itu memang wajah Pringgani. Mulut, hidung dan telinganya mengalirkan darah segar. Napas gadis ini telah tersengal-sengal. Kendati demikian, bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Ayah..., " desis Pringgani, lirih. "Mungkin Ayah kaget mengapa aku bisa seperti ini…"
Paksi Dilaga hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Dia tak sanggup bicara lagi. Kesedihan dan keharuan besar melanda hatinya. Kerongkongannya terasa tercekik. Kalau saja tak ingat akan malu, lelaki ini telah menangis meraung-raung melihat keadaan Pringgani. Kendati demikian sepasang matanya yang berkaca-kaca tak dapat dihindarkan. Arya sendiri, bahkan Raja Tuak, ikut dililit perasaan haru.
"Kau pun mungkin kebingungan dengan hilangnya diriku, Arya," ujar Pringgani lagi.
Yang segera dibalas dengan anggukan kepala oleh Arya. "Tentu saja, Gani. Aku dan ayahmu mencarimu ke mana-mana," jawab Arya.
Pringgani tersenyum. Tapi, yang terlihat adalah seringai kesakitan. Arya buru-buru menotok beberapa jalan darah di tubuh gadis itu untuk mengurangi rasa sakitnya. Bahkan, disalurkan hawa murni untuk mengusir racun dalam tubuh Pringgani. Asap hitam mengepul dari bagian tubuh yang terluka, mula-mula hitam pekat. Tapi, semakin lama semakin memudar warnanya. Berbarengan dengan itu, warna hitam pada bagian pinggang Pringgani berangsur-angsur lenyap.
"Aku akan menceritakan kejadiannya," kata Pringgani. Diberinya isyarat agar Dewa Arak menghentikan penyaluran hawa murninya. "Sudah lebih baik, Arya," ujarnya. Pringgani tercenung mengingat-ingat kejadian yang dialami sebelum mulai bercerita.
Pringgani yang telah tak berpakaian berusaha secepat mungkin mengenakan pakaian pemberian Dewa Arak. Tapi, mendadak punggungnya seperti tersentuh sesuatu. Seketika itu pula gadis ini merasakan sekujur tubuhnya lemas tak bertenaga. Ada seseorang yang telah menotoknya dari belakang! Totokan itu membuat Pringgani tak kuasa untuk berdiri. Bak sehelai kain basah, tubuhnya ambruk ke tanah.
Tapi sebelum tubuh putri Paksi Dilaga itu berbenturan dengan tanah, sehelai sabuk hitam melilit pinggangnya. Pringgani yang sudah tak berdaya tak mampu menolak ketika tubuhnya ditarik ke belakang. Kejadian berturut-turut itu berlangsung demikian cepat. Namun Pringgani masih mampu berpikir jernih. Hal ini yang membuatnya dapat meredam keterkejutan.
Padahal, jeritan meminta tolong telah berada di ujung lidah. Apabila dia menjerit, Dewa Arak pasti akan menoleh. Tapi hal itu tak diinginkannya. Dia tengah berada dalam keadaan tanpa busana. Gadis ini lalu memutuskan untuk melihat keadaan lebih dulu. Belum terlambat baginya untuk menjerit bila keadaannya terancam.
"Penculikku ternyata seorang nenek," jelas Pringgani. "Dia membawaku ke tempat tinggalnya setelah lebih dulu membuatku tak bersuara. Di kediamannya nenek itu memberitahukan tentang dirinya. Dia adalah kakak dari kakeknya ayah. Anak yang disia-siakan oleh ayahnya sendiri, yaitu kakek dari kakekku."
Paksi Dilaga terkejut mendengar penjelasan putrinya. Dia sama sekali tak ingat kalau kakeknya mempunyai kakak perempuan. Anak yang disia-siakan. Memang, dalam keluarga mereka anak lelakilah yang diharap-harapkan kelahirannya.
"Nenek yang disia-siakan itu kabur dari rumah ketika ibunya meninggal. Bertahun-tahun dia terlunta-lunta. Sampai akhirnya, disuatu malam beliau bermimpi bertemu dengan leluhurnya yang pertama kali. Leluhur itu mengajarinya mantera-mantera yang terdapat pada lembaran kitab. Beliau belajar dari leluhurnya sehingga menjadi sakti. Bahkan, beliau sampai mempunyai ilmu yang dapat memindahkan semua ilmu yang dimilikinya pada orang lain. Kepadakulah ilmu-ilmu itu diwariskan, Ayah. Setelah mewariskan semua ilmunya, beliau pun wafat."
Pringgani juga menceritakan kalau si nenek mengetahui dari leluhurnya bahwa ada orang yang mencuri ilmu-ilmu keluarga mereka. Orang itu adalah pelayan ayah si nenek. Dia memperhatikan setiap kali buyut Pringgani mengajari kakeknya. Belakangan dia kabur dengan membawa kitab-kitab ilmu keluarga. Kepada Sang Pangeran Muda ilmu curian itu diwariskan. Karena itu, Sang Pangeran Muda mengejar-ngejar Pringgani dan ayahnya. Dia tahu, mereka berdualah keturunan terakhir.
"Ahhh...!" desah Paksi Dilaga dan Arya. Kaget bercampur haru mengingat nasib yang diderita sang nenek.
Raja Tuak yang tak tahu apa-apa berdiam diri saja dan terus mendengarkan.
"Mengapa kau sampai berkorban demikian besar untuk menolongku, Gani, " keluh Arya, seakan menyesali tindakan Pringgani.
Pringgani mengulas senyum. Sesaat sepasang matanya berbinar-binar. "Tidakkah kau dapat menduganya, Arya?" tanya gadis itu lirih. Wajahnya merah padam karena rasa malu. "Aku..., aku mencintaimu..., Arya...."
Arya merasa terharu sekali dengan pengorbanan gadis berpakaian merah itu. Dengan penuh rasa terima kasih, dikecupnya kening Pringgani. Paksi Dilaga tersenyum. Pringgani pun ikut tersenyum. Tapi, luka yang diderita membuat senyum Pringgani tidak manis. Gadis ini tampak tak ambil peduli. Dia terlalu bahagia mendapat kecupan dari Arya. Hal ini membuatnya bersemangat. Untuk menjawab pertanyaan Paksi Dilaga mengenai tingkahnya yang mondar-mandir ke gua.
Pringgani tengah mencarikan obat untuk Arya. Keharuan kembali menyeruak di hati Dewa Arak. Obat itu adalah untuk menawarkan racun serangan Raja Ular Berbaju Emas. Pemberian obat yang mesti teratur. Pagi dan sore selama tiga hari, hingga membuat gadis itu harus mondar-mandir.
Arya menatap ke langit. Hatinya begitu gundah. Ada satu pertanyaan bergayut di hatinya. "Adakah cinta untuk Pringgani kalau di lubuk hatiku hanya ada bayangan Melati?!"
TAMAT
Selanjutnya,