Dewa Arak - Memperebutkan Batu Kalimaya
Karya : AjisakaSATU
LAPANGAN luas yang ditumbuhi sedikit rumput kering dan pendek-pendek itu menjadi tujuan banyak orang. Berbondong-bondong mereka berdatangan ke sana. Dalam waktu singkat tempat yang biasanya sepi itu kini dipadati orang.
Sang surya memancarkan sinarnya dengan garang, seakan hendak melelehkan semua yang ada di persa-da. Panas menyengat melingkupi tanah lapang itu. Tetapi, orang-orang yang berkerumun tak bergeming dari tempatnya. Peluh yang membahasi sekujur tubuh dihapusnya dengan punggung tangan.
Letak tanah lapang tak jauh dari istana kerajaan. Orang-orang yang berkerumun pun sebagian besar merupakan penduduk kota raja. Mereka berdiri berdesak-desakan mengelilingi dua orang yang berdiri tepat di tengah lapangan. Keduanya memiliki ciri-ciri yang cukup mengundang perhatian. Mereka terdiri dari lelaki dan wanita berusia hampir setengah baya.
Yang lelaki bertubuh kecil kurus. Terlalu kecil, malah. Tinggi tubuhnya tak lebih dari seorang bocah berusia sepuluh tahun. Pakaiannya yang serba ketat semakin memperlihatkan kekerdilan tubuhnya.
Sebaliknya, yang perempuan memiliki tubuh tinggi besar dan gendut, persis gajah bengkak. Karena gemuknya dagunya seakan berjumlah banyak. Daging-daging tubuhnya bergoyang ke sana kemari setiap kali wanita ini bergerak. Keluar-biasaan tubuhnya itu semakin terlihat karena pakaian yang dikenakannya serba kebesaran.
Perbedaan kedua manusia ini saja sudah menimbulkan daya tarik. Apalagi ketika melihat tingkah keduanya. Wanita bertubuh luar biasa besar itu duduk bersila di atas kepala si lelaki. Sementara lelaki kerdil itu sendiri seperti tak merasa keberatan. Dengan wajah dan sikap biasa dia berjalan mondar-mandir di tengah lapangan.
Pasangan manusia aneh ini membuat tempat pertunjukan berukuran delapan kali empat tombak. Di tempat yang berbentuk persegi panjang itu ditaburkan bubuk putih. Puluhan orang yang berkerumun berdiri di luar garis dari bubuk putih itu.
Lelaki kerdil yang membawa tubuh wanita raksasa mengitari bagian dalam garis putih seraya mengedarkan pandangan berkeliling. Setelah dirasa semua orang melihat ke arah mereka, langkah kakinya dihentikan tepat di tengah-tengah tempat pertunjukan.
"Sebelumnya, aku mewakili kami berdua mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kehadiran para sahabat di sini. Kalian telah menyempatkan waktu untuk menyaksikan pertunjukan yang kami gelar. Pertunjukan yang tak seberapa hebat. Tapi jangan dilihat pertunjukannya, lihatlah niatnya. Kami bermaksud untuk menghibur para sahabat sekalian. Hanya ini yang kami lakukan sejak bertahun-tahun, berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya!" ujar lelaki kerdil panjang lebar.
Tepuk tangan bergemuruh menyambuti selesainya ucapan lelaki kecil kurus. Semua yang mendengar ucapan itu diam-diam merasa geli. Lelaki ini memiliki suara berat dan parau, layaknya dimiliki orang-orang yang bertubuh tinggi besar.
"Suamiku melupakan satu hal," sambung wanita bertubuh besar ketika gemuruh tepuk tangan dan teriakan memberi semangat mereka. Berlainan dengan lelaki kecil kurus, suara wanita ini melengking nyaring.
"Kami belum memperkenalkan diri. Kami berasal dari tempat yang jauh dari sini. Namaku Wudani, sedangkan suamiku Darmakala,"
Wudani melompat dari atas kepala suaminya. Kedua kakinya yang besar menjejak tanah dengan ringan sekali. Kemudian, dengan langkah-langkah lebar wanita ini mengayunkan kaki ke arah gerobak yang ditarik seekor sapi. Gerobak yang berada di dalam garis putih.
Semua orang menyaksikan gerak-gerik Wudani. Apa yang akan dilakukan wanita ini? Mereka melihat Wudani berdiri di belakang gerobak. Disibaknya tirai yang menutupi benda-benda di dalam gerobak. Sebentar kemudian Wudani meninggalkan gerobaknya. Di kedua tangannya tergenggam beberapa kayu sebesar lengan yang panjangnya setengah tombak. Pada bagian ujung kayu terikat kain berbentuk segi tiga dengan warna yang berlainan.
Wudani melemparkan kayu-kayu berbendera itu sembarangan saja. Namun bendera-bendera melayang dan menancap di tanah berjajar rapi dalam jarak yang sama. Bagian di mana terdapat kain berada di atas. Angin yang bertiup cukup keras membuat kain-kain bendera berkibaran.
"Suamiku mempunyai ilmu yang dinamakan Mata Dewa. Dengan ilmu itu dia dapat melihat sesuatu kendati sepasang matanya ditutup," ujar Wudani lagi, tak dipedulikannya keterkejutan orang-orang melihat caranya menancapkan bendera-bendera. Sebagian penonton yang merupakan tokoh-tokoh persilatan harus mengakui kalau Wudani memiliki tenaga dalam kuat.
Wanita bertubuh besar ini menutup ucapannya dengan melemparkan sabuk hitam yang melilit pinggangnya. bagaikan bernyawa, sabuk itu meluncur ke arah Darmakala. Orang yang dituju hanya diam saja. Bahkan, ketika sabuk mulai melilit kepala dan menutup sepasang matanya.
"Sekarang, kuharap ada di antara para sahabat yang bersedia menolong kami. Pilihlah bendera mana yang kalian mau, kemudian tanyakan pada suamiku apa warnanya. Dia akan dapat menjawabnya dengan tepat!"
Suasana menjadi gaduh ketika Wudani selesai berbicara. Para penonton merasa ragu untuk maju dan memenuhi permintaan Wudani. Mereka malah berbicara sendiri-sendiri. Terdengar gumaman-gumaman tak jelas di sana-sini.
Wudani menunggu dengan sabar sampai akhirnya salah seorang penonton bersedia memenuhi permintaannya. Orang yang baik hati itu masih muda. Tapi, gerak-geriknya terlihat angkuh. Pedang yang tergantung di punggung menunjukkan lelaki ini bukan penduduk biasa.
"Terima kasih atas kesediaanmu untuk membantu kami, Sahabat," sambut Wudani buru-buru dengan sikap penuh hormat. "Silahkan pilih bendera yang kau inginkan."
Lelaki berpakaian coklat itu tak memberikan tanggapan. Wajahnya yang dingin tak menampilkan biasan perasaan apa pun. Dihampirinya jejeran bendera. Puluhan pasang mata penonton memperhatikan dengan penuh rasa tertarik.
Lelaki berusia tiga puluh lima tahun dan berkulit pucat seperti jarang terkena sinar matahari itu memilih salah satu bendera. Dia tak mencabut bendera itu dengan tangan. Dalam jarak dua tombak tangan kanannya dikibaskan seperti orang mengusir nyamuk. Angin bertiup keras. Salah satu bendera tercabut dari tanah dan melayang ke arah lelaki itu.
"Salah satu bendera telah kuambil. Wahai orang sombong yang berani mengaku memiliki ilmu Mata Dewa, beritahukan jawabanmu!" desis lelaki berpa-kaian coklat, dingin.
"Kau mengambil bendera kuning, Sahabat!" seru Darmakala nyaring dan mantap.
Wajah lelaki berpakaian coklat tak berubah kendati jawaban yang diberikan Darmakala benar. Tapi, dari kilatan pada sinar matanya dapat diketahui kalau lela-ki itu merasa terkejut. Lelaki berpakaian coklat merasa penasaran. Dengan cara seperti tadi diambil bendera lain. Tapi seperti juga sebelumnya, Darmakala dapat menerkanya dengan tepat. Tepuk tangan bergemuruh sebagai tanda kekaguman terdengar tak putus-putus.
Sampai semua bendera yang jumlahnya sepuluh buah itu habis, tak satu pun jawaban yang meleset. Dengan rasa jengkel yang tak dapat disembunyikan lelaki berpakaian coklat meninggalkan tempat itu. Gemuruh tepuk tangan dan ucapan-ucapan kekaguman membahana bagai hendak meruntuhkan langit. Wudani terpaksa berseru-seru meminta semua penon-ton untuk tenang.
"Para sahabat sekalian," tutur Wudani lagi setelah suasana menjadi tenang. "Perlu kalian ketahui, kemampuan suamiku tak hanya demikian. Masih banyak yang lainnya. Dia mampu menelan api, tidur di atas hamparan ujung pisau. Malah, meramal suamiku pun mampu. Juga dia bisa menceritakan kejadian-kejadian yang lucu."
"Tunggu apa lagi? Tunjukkanlah hal-hal ajaib itu!" celetuk seorang penonton.
"Benar! Kami sudah tak sabar ingin melihatnya!" dukung penonton lainnya.
Wudani segera menyiapkan segala peralatan yang di perlukan. Seketika decak kekaguman dan teriakan heran berkumandang. Darmakala memasukkan obor yang bernyala-nyala ke dalam mulutnya sampai koba-ran api itu mati! Darmakala pun dengan enaknya tidur dan bergulingan bertelanjang dada di atas hamparan ujung-ujung pisau yang amat tajam.
Kegaduhan baru mereda ketika terdengar derap kaki kuda bergemuruh menghantam bumi. Sosok-sosok yang memacu kudanya ke tempat itu berjumlah lima orang. Semuanya mengenakan pakaian seragam kerajaan. Ketika para prajurit kerajaan turun dari kuda dan melangkah cepat mendekati tempat pertunjukan, sebagian besar penonton menyibak memberi jalan.
Tak terkecuali seorang pemuda berpakaian ungu. Pemuda ini berambut panjang dan berwarna putih keperakan. Dialah Arya Buana atau yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak.
"Mengapa pasukan kerajaan kemari? Apakah hendak menyaksikan pertunjukan juga!" pikir semua pengunjung.
Darmakala dan Wudani segera menghentikan pertunjukkan dan menunggu tibanya rombongan kerajaan. Melihat pakaian dan tanda-tanda yang mereka kenakan, pasangan suami istri ini menunjukkan perhatian pada prajurit yang berada paling depan.
Prajurit itu mengenakan pakaian yang menunjukkan kedudukannya di atas empat orang kawannya. Dia bertubuh sedang tapi berwajah-hitam seperti pantat kuali! Tangannya tidak menggenggam senjata. Sedangkan empat orang prajurit di belakangnya memegang tombak.
"Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami pertunjukan yang kecil dan sederhana ini mampu mengundang datangnya pasukan kerajaan," ujar Darmakala santun sekali.
"Dan kehormatan untuk kalian berdua tak sampai di sini saja, Sobat," balas prajurit bermuka hitam. "Aku, Cemong, atas nama Gusti Prabu Mandaraka mengundang kalian untuk datang ke istana. Raja berkenan menerima kalian berdua."
Darmakala dan Wudani saling berpandangan. "Ah, begitukah? Boleh kami tahu apa sebabnya?" tanya Darmakala sesaat kemudian.
"Apakah kau belum mendengar mengenai sayembara yang dibuat kerajaan ini?"
"Kami memang mendengarnya. Kami tahu raja tengah menderita suatu penyakit. Tapi, kami berdua bukan orang-orang yang tahu banyak mengenai pengobatan. Kalau tabib dan ahli-ahli obat saja tak mampu menyembuhkan sakit baginda raja, bagaimana pula halnya dengan kami?" sahut Darmakala.
Cemong mengangguk-anggukkan kepala. "Berita yang kau dengar kurang lengkap, Sobat. Gusti Prabu Mandaraka tak hanya membutuhkan ahli obat. Beliau juga mencari orang yang mampu membuatnya tertawa serta pandai berdebat." beritahu Cemong. "Dan menurut penyelidik yang kami sebar, kalian berdua termasuk orang-orang seperti itu. Maka atas nama Gusti Prabu Mandaraka, kami mengundangmu ke istana."
Darmakala dan Wudani kembali saling berpandangan sebelum akhirnya lelaki kecil kurus itu memberikan jawaban. "Kami putuskan untuk menerima undangan Gusti Prabu Mandaraka. Ini merupakan suatu kehormatan besar. Tapi, kami minta waktu sebentar untuk berkemas-kemas."
Cemong meluluskan permintaan Darmakala. Tak lama kemudian, Wudani dan Darmakala berangkat meninggalkan lapangan bersama rombongan kerajaan untuk pergi ke istana. Kerumunan para penonton pun buyar. Mereka meninggalkan tempat itu dengan perasaan kecewa karena kehilangan pertunjukan yang menarik.
Arya ikut melangkah pergi. Diikutinya rombongan pasukan kerajaan dengan pandangan mata. "Apa sebenarnya yang diinginkan raja?" pikir pemuda berambut putih keperakan itu.
Memang, seperti juga Wudani dan Darmakala, Arya telah mendengar akan sayembara raja. Tapi, mengapa bukan hanya tabib-tabib saja yang dicari dan dibawa ke istana? Mengapa orang-orang yang mampu bercerita lucu pun juga? Apakah raja membutuhkan hiburan?
Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak Dewa Arak. Dan karena rasa ingin tahu yang besar, pemuda ini memutuskan untuk mengikuti rombongan pasukan kerajaan.
Prabu Mandaraka yang berusia empat puluh lima tahun, bertubuh tegap, dan kelihatan berwibawa itu mengelus-elus jenggotnya yang hanya beberapa lembar. Pandangannya ditujukan pada sosok Darmakala dan Wudani yang duduk bersila di depannya. Prabu Mandaraka sendiri duduk bersandar di singgasananya yang mewah dan indah.
"Benarkah apa yang dikatakan prajurit itu Darmakala?"
"Benar, Gusti Prabu. Hamba memang berkata demikian," jawab Darmakala sopan seraya merapatkan kedua tangannya di ujung hidung.
"Aku percaya dengan keteranganmu itu, Darmakala. Tapi aku perlu bukti. Ingin ku saksikan sendiri kemampuan yang kau miliki. Baru bisa kuketahui apakah kau dan istrimu pantas untuk mengemban tugas yang akan kuberikan. Bagaimana, Darmakala? Kau bersedia diuji kemampuanmu?"
"Hamba bersedia, Gusti Prabu," jawab Darmakala, mantap. Prabu Mandaraka tersenyum sambil mengusap-usap jenggotnya. Pandangannya dialihkan pada seorang kakek berjubah kuning yang duduk di sebelah kirinya.
"Kau sudah siap untuk mengujinya, Resi Druna?"
"Hamba siap, Gusti Prabu!" sahut kakek berjubah kuning.
Prabu Mandaraka meletakkan kedua tangannya pada tangan kursi singgasana. Resi Druna sendiri tak berani lama-lama membiarkan junjungannya menunggu. Pandangan kakek ini segera ditujukan pada Dar-makala.
"Dengar baik-baik ucapanku ini, Darmakala. Tugas yang akan kau emban apabila berhasil lulus dari ujian ini sangat membutuhkan kemampuan berdebat. Maka, ujian yang akan kuberikan berkisar pada kelihaian permainan lidah."
"Boleh aku mengajukan pertanyaan, Resi?" tanya Darmakala hati-hati.
"Silakan," Resi Druna menganggukkan kepala.
"Dalam permainan lidah itu apakah masuk akal mempunyai kedudukan penting?"
"Tidak, Darmakala. Masuk akal atau tidak bukan menjadi masalah. Yang penting, kau mampu membuat lawan bicaramu tak dapat memberikan sanggahan. Jelas?"
Darmakala mengangguk. Resi Druna tersenyum tipis. Wudani memperlihatkan paras tegang. Sementara wajah-wajah para pejabat istana yang ikut menyaksikan jalannya ujian menampakkan rasa ingin tahu yang besar.
Hari masih pagi. Sang Surya baru saja muncul di ufuk timur, bagai bola api raksasa yang berwarna merah saga. Sepagi itu suasana di Perguruan Kelabang Merah sudah tampak kesibukan. Murid-murid perguruan tidak ada yang berpangku tangan. Mereka sibuk berlatih silat di halaman depan.
Saat ini Perguruan Kelabang Merah memang tengah menghadapi saat istimewa. Ketua perguruan yang berjuluk Kelabang Sakti mendapat kunjungan dari sahabat lamanya. Sahabat yang merupakan tokoh besar golongan putih itu berjuluk Dewa Tangan Sakti.
Dewa Tangan Sakti telah berada di Perguruan Kelabang Merah sejak kemarin malam. Dan sejak pagi harinya murid-murid perguruan sibuk membuat hiasan dan umbul-umbul, mulai dari pintu gerbang sampai ke ruang dalam, sehingga suasana di perguruan itu kelihatan semarak.
Di kanan kiri pintu gerbang terpancang dua tongkat panjang. Pada ujung-ujungnya tergantung panji Perguruan Kelabang Merah dalam sulaman benang hijau berbentuk kelabang merah! Panji-panji ini kelihatan gagah dan angker.
Murid-murid Perguruan Kelabang Merah di bawah bimbingan Tanggala, murid kepala perguruan, sengaja berlatih lain dari biasanya. Tanggala biasanya memperagakan beberapa gerakan dan murid-murid lain mengikuti, tapi kali ini tidak. Masing-masing memperagakan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Tindakan itu sengaja mereka lakukan agar mendapat petunjuk-petunjuk berharga dari Dewa Tangan Sakti. Beliau merupakan salah satu anggota Tiga Pendekar Sakti, selain Ketua Perguruan Kelabang Merah, Kelabang Sakti. Saat itu Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti duduk di depan pintu bangunan utama. Mereka tengah memperhatikan Tanggala dan murid-murid lainnya berlatih.
"Hanya begitu sajakah kedahsyatan ilmu-ilmu Perguruan Kelabang Sakti? Sungguh buruk dan tak sepadan sekali dengan berita yang tersiar di dunia persilatan!"
Seruan itu keras sekali dan penuh nada ejekan. Belum lagi gema ucapan itu lenyap, sesosok tubuh melangkah tenang memasuki halaman depan perguruan. Kebetulan daun pintu gerbangnya terbuka dan tak terjaga.
Seketika, semua murid perguruan menghentikan latihan dan mengalihkan perhatian ke arah tamu tak diundang itu. Tapi Tanggala segera memberi isyarat untuk terus melanjutkan latihan. Dia sendiri dengan sikap tenang menghampiri si pendatang baru.
"Siapa kau, Sobat? Apa urusanmu datang ke tempat kami? Bahkan, berani-beraninya melemparkan hinaan!" tanya Tanggala dengan berusaha bersikap ramah.
"Keroco seperti kau tak layak untuk mengenalku! Kalau kau masih sayang nyawa menyingkirlah, Anjing Kecil!" dengus sosok berpakaian hitam itu. "Dan panggil gurumu untuk menghadapiku!"
Sosok itu seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun. Tubuhnya tegap dan kekar. Wajahnya yang tampan terhias sebaris kumis tipis, tatapan matanya terlihat begitu dingin.
Tanggapan lelaki berpakaian hitam membuat Tanggala murka. Dia merasa tersinggung bukan main. Dengan wajah merah padam dan mata mendelik, ditatapnya tamu tak diundang itu.
"Tak perlu guruku, aku sendiri sudah cukup untuk mengusir kau!"
"Ha ha ha...!" Lelaki berpakaian hitam tertawa keras. Tapi hanya mulutnya saja yang tertawa. Raut wajah dan sepasang matanya tetap dingin. "Kau akan menyesali keputusan yang kau ambil, Kunyuk Goblok!"
"Tutup mulutmu, Pengacau Hina!" Tanggala yang tak kuasa menahan kemarahan lagi segera melancarkan serangan. Kedua kakinya dilayangkan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar lawan. Amarah yang membakar hati membuat lelaki ini tak ingat kalau serangan-serangannya dapat mengirim nyawa lawan ke akhirat!
Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti menghela napas berat. Mata kedua tokoh ini memancarkan kekhawatiran besar. Mereka segera bisa mengetahui kalau lelaki berpakaian hitam memiliki kepandaian amat tinggi. Sebagai tokoh-tokoh kawakan, kedua kakek berusia dia atas enam puluh tahun ini segera dapat menilai kemampuan lawan Tanggala.
Apalagi ketika melihat sepasang mata lelaki berpakaian hitam. Sinar sepasang mata itu mencorong tajam dan bersinar kehijauan. Sorot seperti itu hanya dimiliki oleh tokoh persilatan yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi.
Karena pertarungan tak mungkin bisa di cegah lagi, kedua kakek ini hanya bisa berharap Tanggala dapat selamat. Setidak-tidaknya jangan sampai terluka terlalu parah. Dengan hati berdebar tegang Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti mengarahkan pandangan ke halaman. Di tempat itu pertarungan baru saja dimulai.
Terlihat lelaki berpakaian hitam bersikap tak peduli dengan serangan yang dilancarkan Tanggala. Padahal, kedua kaki yang menimbulkan deru angin keras itu mampu menghancurkan batu karang.
Buk, buk, bukkk!
Berturut-turut dan secara telah tendangan Tanggala mendarat di sasaran. Seketika itu pula terdengar jerit kesakitan. Tapi bukan dari mulut lelaki berpakaian hitam, melainkan dari mulut Tanggala. Murid utama Perguruan Kelabang Merah itu merasakan kedua kakinya tak menghantam tubuh manusia. Bukan tubuh yang terbuat dari kulit dan daging, tetapi baja yang amat keras. Tanggala merasakan ujung-ujung kakinya sakit dan nyeri bukan main.
"Hanya sampai di situ saja kemampuanmu, kunyuk tak tahu diri?!" dengus lelaki berpakaian hitam. "Dengan kemampuan serendah ini kau hendak mengusirku?!"
Ejekan lawan membuat Tanggala menelan rasa nyeri yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Sambil melengking nyaring kembali dilancarkannya serangan susulan. Kali ini berupa tamparan kedua tangan, berturut-turut ke arah pelipis kanan dan kiri.
Lelaki berpakaian hitam tak bergeming dari tempatnya. Tadi pun ketika tendangan Tanggala mendarat di tubuhnya, kuda-kudanya tak bergeming sedikit pun. Malah, Tanggala yang terjengkang ke belakang. Lelaki berpakaian hitam baru bertindak ketika sampokan kedua tangan Tanggala hampir mengenai sasaran. Kedua tangannya digerakkan memapaki serangan dari arah dalam.
Plakkk, Tappp!
Tanggala mengeluarkan keluhan tertahan. Tangkisan kedua tangan lawan diikuti dengan gerakan mencekal pergelangan tangannya. Dan sebelum Tanggala sempat berbuat sesuatu, lelaki berpakaian hitam telah menyentakkan kedua tangannya.
Tak ampun lagi tubuh Tanggala tertarik ke arah lawan. Kedudukan Tanggala yang tengah berada di udara dan kekuatan tenaga dalamnya yang berada di bawah lawan, membuat tubuh murid utama Perguruan Kelabang Merah itu tertarik begitu deras ke depan.
Kelabang Sakti tanpa sadar mencengkeram kedua tangan kursi karena perasaan tegang. Tanggala berada dalam bahaya besar. Di sebelah Kelabang Sakti, Dewa Tangan Sakti hanya menghela napas berat. Tokoh golongan putih yang terkenal itu pun tahu kalau Tanggala berada dalam keadaan kritis!
Kekhawatiran mereka memang beralasan. Begitu tubuh Tanggala semakin dekat, lelaki berpakaian hitam menggerakkan kepalanya menghantam dada Tanggala. Terdengar bunyi berderak tulang-belulang yang patah. Lelaki berpakaian hitam berlaku cerdik. Berbarengan dengan benturan yang dilakukan, pegangannya pada dua tangan Tanggala dilepaskan. Akibatnya tubuh murid utama Perguruan Kelabang Merah melayang deras ke belakang.
Dari mulut Tanggala terdengar bunyi seperti hewan disembelih. Mulut, hidung, dan kedua telinganya menyemburkan darah segar. Semburan dari mulut cukup deras, sehingga meluncur ke arah lelaki berpakaian hitam. Namun beberapa jengkal sebelum mengenai tubuh cairan kental itu runtuh ke tanah seperti membentur dinding tak tampak.
Lelaki berpakaian hitam tetap bersikap seperti semula. Tenang dan dingin. Bahkan ketika tubuh Tanggala yang telah menjadi mayat itu ambruk ke tanah. Sesaat semua orang yang menyaksikan kejadian itu tak melakukan tindakan apa pun. Mereka berdiri terpaku di tempatnya seperti orang kena sihir. Kejadian yang mereka saksikan rupanya terlalu mengejutkan.
"Pengacau Hina! Berani kau main gila di Perkumpulan Kelabang Merah?!"
Belum juga bentakan kemarahan itu lenyap, berkelebatan ke arah lelaki berpakaian hitam beberapa sosok tubuh berpakaian hijau yang bersulamkan gambar kelabang merah.
"Tak usah banyak bicara seperti nenek-nenek kehabisan sirih! Maju dan seranglah aku!?" tandas lelaki berpakaian hitam.
Keempat murid Perguruan Kelabang Merah tak kuasa menahan kemarahan lagi. Mereka adalah murid-murid pilihan yang tingkatnya sedikit di bawah Tanggala. Dan sekarang tamu tak diundang itu menantang mereka untuk maju menyerang secara bersama-sama.
Empat murid Kelabang Sakti segera menggunakan tongkat yang menjadi senjata andalan mereka. Dipu-tarnya senjata itu sampai lenyap bentuknya menjadi gulungan sinar hijau. Baru setelah itu, serangan dahsyat mereka lancarkan!
Lelaki berpakaian hitam tetap diam di tempatnya. Dan ketika gulungan sinar tongkat menyambar dekat, semua pasang mata yang menyaksikan jalannya pertarungan melihat sinar menyilaukan mata mencuat dari arah lelaki itu. Sinar terang menyambar bagai halilintar ke arah empat murid Perguruan Kelabang Merah. Hanya sekelebatan saja, kemudian lenyap!
Semua murid Perguruan Kelabang Merah terkejut. Empat rekan mereka mendadak menghentikan serangan dan berdiri di tempatnya. Sebentar kemudian roboh ke tanah dengan tubuh dibasahi cairan merah kental!
Karuan saja pemandangan ini sangat mengherankan semua murid perguruan. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Hanya Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti yang bisa memperkirakan. Empat murid Perguruan Kelabang Merah itu tewas karena leher mereka robek terkena babatan sinar terang. Luka lebar yang sampai memutus urat besar di tenggorokan itu telah mencabut nyawa keempatnya.
Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti saling bertukar pandang. Kedua kakek ini merasakan detak jantung mereka bergerak lebih cepat. Rasa tegang melanda keduanya. Meski mereka mengetahui penyebab kematian empat rekan Tanggala, tapi kedua pentolan golongan putih itu tak tahu apa sebenarnya sinar menyilaukan mata yang dikirimkan lelaki berpakaian hitam.
Mereka hanya bisa menduga sinar terang itu be-rasal dari pancaran pedang pusaka. Dan memang, kedua kakek ini melihat di pinggang lelaki berpakaian hitam tergantung sebatang pedang. Ketidakmampuan mereka melihat gerakan lelaki itu mempergunakan pedangnya sungguh sangat memukul perasaan. Benar-benar ilmu pedang yang mengiriskan hati!
Kelabang Sakti sadar tak ada seorang muridnya pun yang sanggup menghadapi tamu tak diundang itu. Bahkan meski mereka menghadapinya bersama-sama. Ilmu lelaki asing itu benar-benar sangat tinggi. Itulah sebabnya ketika murid-murid Perguruan Kelabang Me-rah berbondong-bondong hendak menempur pengacau tak dikenal itu, Kelabang Sakti buru-buru mencegah.
"Mundur semua...! Siapakah kau, Saudara? Mengapa mengacau di tempatku? Aku yakin diantara kita tak pernah ada urusan!" tegas Kelabang Sakti dengan suara keren seraya melangkah maju.
"Antara kau dan aku memang tak pernah saling kenal, Kelabang Sakti. Jadi mustahil akan tercipta suatu urusan," jawab lelaki berpakaian hitam, sinis. "Urusan itu baru muncul setelah kau membunuh orang yang mempunyai hubungan dekat denganku. Kau ingat tokoh-tokoh yang berjuluk Tiga Naga Dunia?"
"Tokoh-tokoh sesat yang gemar membuat kekacauan?" tanya Kelabang Sakti dengan alis berkerut.
Tiga Naga Dunia sekitar delapan tahun lalu menyebar kekacauan di sana-sini. Kepandaian mereka yang tinggi membuat banyak tokoh golongan putih tewas. Namun, Kelabang Sakti berhasil menewaskan satu di antara mereka. Demikian juga Dewa Tangan Sakti dan seorang tokoh golongan putih lainnya. Angkara murka Tiga Naga Dunia berhasil mereka hentikan.
"Benar," jawab lelaki berpakaian hitam.
"Tentu saja aku mengenalnya!" tanda Kelabang Sakti sejujurnya. Meski diketahui tamunya mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh Tiga Naga Dunia, tapi hal itu tak menjadikannya mengingkari kenyataan. Padahal pembalasan dendam bisa saja dilakukan lelaki itu. "Salah seorang di antara mereka telah ku tewaskan!" lanjut Kelabang Sakti.
"Bagus kalau kau mengakui hal itu, Kelabang Sakti!" dengus lelaki berpakaian hitam. Sepasang matanya tampak menyiratkan api kebencian. "Perlu kau ketahui, tokoh yang kau bunuh itu adalah murid keponakan guruku! Maka bersiaplah untuk menerima pembalasannya, Kelabang Sakti! Agar kau tak mati penasaran, akan ku perkenalkan diriku. Namaku Sapta Renggi!"
"Mereka jahat, kau pun tak akan lebih baik dari iblis. Majulah, Renggi! Ingin kulihat sampai di mana kesaktianmu!" tantang Kelabang Sakti.
"Tak perlu kau gurui aku, Kelabang Sakti! Mampuslah...!" untuk pertama kalinya Sapta Renggi yang memulai penyerangan. Lelaki ini mengirimkan pukulan kanan kiri bertubi-tubi ke arah dada Kelabang Sakti. Deru angin keras mengiringi luncuran serangannya.
Kelabang Sakti yang bermaksud mengetahui kekuatan tenaga dalam sengaja tak menghindari serangan itu. Dipapakinya dengan kedudukan jari-jari tangan serupa.
Bukkk, dukkk!
Benturan nyaring seperti bertumbukkannya dua batang logam besar terdengar. Dua pasang kepalan itu bertemu berkali-kali di tengah jalan. Akibatnya, tubuh Kelabang Sakti terguncang. Malah pada benturan terakhir kakek ini terhuyung-huyung ke belakang. Seringai kesakitan menghiasi mulutnya. Di lain pihak, Sapta Renggi tak terpengaruh sedikit pun.
Kelabang Sakti menggertakkan gigi untuk menekan rasa terpukul yang melanda hati. Tanpa banyak bicara lagi diterjangnya Sapta Renggi. Lelaki berpakaian hitam itu menyambutnya dengan penuh semangat. Pertarungan hidup dan mati pun berlangsung. Kelabang Sakti yang telah mengetahui ketangguhan lawannya segera menggunakan ilmu 'Kelabang Sakti'. Ilmu itu membuat tubuhnya bagai tak memiliki berat.
Sapta Renggi pun tak kalah mempertunjukkan kehebatannya. Lelaki ini memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Betapapun gencar serangan-serangan yang dikirimkan Kelabang Sakti, Sapta Renggi senan-tiasa dapat memusnahkannya!
Semula jalannya pertarungan masih berimbang. Tapi, memasuki jurus kedua puluh lima perlahan-lahan Kelabang Sakti mulai terdesak. Ketua Perguruan Kelabang Merah ini segera mengeluarkan senjata andalannya, tongkat berwarna hijau.
Dengan tongkat di tangan Kelabang Sakti bagai harimau tumbuh sayap. Serangan-serangannya semakin dahsyat. Selama beberapa gebrakan Sapta Renggi hanya mengelakkannya. Namun, tiba-tiba saja Kelabang Sakti melihat sinar terang meluncur ke arahnya.
Kakek ini berusaha sekuat tenaga untuk membentuk benteng pertahanan. Tapi usahanya sia-sia. Sinar terang itu mampu menembus putaran tongkatnya dan membabat leher Kelabang Sakti ambruk ke tanah. Menggeliat sebentar sebelum akhirnya diam tak bergerak untuk selamanya.
Tindakan Sapta Renggi tak hanya sampai di situ. Robohnya Kelabang Sakti justru membuatnya semakin beringas. Lelaki ini mengamuk. Jeritan kematian terdengar di sana-sini dengan diikuti ambruknya tubuh-tubuh tak bernyawa. Tak lama kemudian, tak satu pun sosok lawan yang masih berdiri tegak.
Semua tewas tak terkecuali Dewa Tangan Sakti! Seakan tak pernah terjadi apa-apa, Sapta Renggi lalu melangkahkan kakinya dengan tenang meninggalkan halaman Perguruan Kelabang Merah.
Sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda berpacu cepat melewati jalan tanah berdebu di gunung. Sang kusir seorang gadis cantik berusia dua puluh dua tahun dan berpakaian kuning gading. Gadis itu tak henti-hentinya melecutkan cemeti ke punggung kuda-kuda.
Di belakang kereta kuda, tampak belasan orang berkuda mengejar. Jarak yang terpaut hanya belasan tombak. Kiranya, inilah penyebab gadis berpakaian kuning memacu kuda-kudanya bagai kesetanan. Sedi-kit demi sedikit jarak di antara mereka semakin dekat. Jarak yang semula belasan tombak sekarang tak sampai sepuluh tombak lagi.
Gadis berpakaian kuning memang tidak melihat semakin dekatnya para pengejar. Tapi dari bunyi derap kaki kuda yang semakin jelas terdengar, hal itu bisa diketahuinya.
Krakkkk!
Terdengar bunyi gaduh ketika salah saru roda kereta masuk ke dalam lubang. Meski lubang itu tak terlalu dalam namun mengakibatkan as roda patah. Kereta kuda itu pun jatuh tersungkur! Gadis berpakaian kuning ternyata bukan wanita sembarangan. Dia melompat turun sebelum kereta kuda itu ambruk. Manis dan indah gerakannya. Bahkan ketika menjejak tanah, tak terdengar bunyi berarti.
Sementara itu para pengejarnya sudah tiba dan langsung mengurungnya. Gadis berpakaian kuning mengedarkan pandangan ke arah orang-orang tersebut. Tangannya yang berjari-jari lentik mencabut sepasang belati dari pinggangnya.
"Kemana pun kau pergi tetap akan kami kejar, Gadis Liar!" tandas salah seorang pengejarnya.
Orang itu bertubuh pendek gemuk dan berperut gendut. Kepalanya polos tanpa sehelai rambut pun. Perut dan sebagian dadanya terlihat jelas karena rompi ketat yang dikenakannya. Di tangan lelaki botak ini tergenggam sebatang gada! Gadis berpakaian kuning menatap lelaki gendut yang melangkah menghampirinya. Bibir gadis ini membentuk senyum mengejek.
"Pengecut-pengecut Hina! Dulu sewaktu ayahku masih ada kalian tak ada yang berani menunjukkan congor! Sekarang setelah beliau dibunuh oleh penjahat keji, kalian datang mencari-cariku. Beramai-ramai lagi! Benar-benar pengecut yang terlalu licik!" maki gadis berpakaian kuning. "Ketidakadaan Ayahku membuatku merasa terpanggil untuk mewakilinya melenyapkan kalian semua. Hai Pengecut-pengecut Hina. Kemari akan kukirim kalian semua ke akhirat!"
"Tutup mulutmu, Gadis Liar! Selama ini bukannya kami takut pada ayahmu! Kami tengah menyusun kekuatan dan waktu yang tepat untuk mengirim ayahmu yang sok suci itu ke neraka. Sayang, di saat kami bermaksud melaksanakannya telah didahului orang lain. Maka, kaulah yang harus menggantikan ayahmu!"
Setelah berkata demikian, lelaki pendek gemuk langsung mengayunkan gadanya ke arah kepala Kemani. Bunyi menderu keras mengiringi tibanya serangan. Kemani tersenyum mengejek. Kaki kanannya dilangkahkan ke belakang dengan diikuti condongan tubuhnya. Serangan lawan lewat beberapa jari di depan wajah. Rambut Kemani sampai berkibaran oleh deru angin keras yang menyertai ayunan gada.
Tindakan Kemani segera dilanjutkan dengan ayunan kaki kiri ke arah siku lawan yang menggenggam gada. Lelaki gemuk yang tak ingin gadanya lepas dari pegangan bergegas menarik tangannya. Serangan Kemani pun mengenai tempat kosong.
Gerakan Kemani lincah bukan main. Begitu serangannya berhasil dielakkan dia meluruk maju dengan serangan sepasang belati. Sesaat kemudian, kedua orang itu telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Meski masih muda, Kemani memiliki kepandaian tinggi. Hampir seluruh kepandaian ayahnya yang merupakan tokoh tingkat tinggi golongan putih telah diwariskan padanya. Naga Sakti, itulah ayah Kemani.
Sayang, lawan yang dihadapi Kemani bukan orang sembarangan. Lelaki gundul itu amat terkenal di dunia persilatan sebagai salah satu tokoh sesat yang ditakuti. Gada Pelumat Dunia, demikian julukannya.
"Uh...!" Kemani mengeluarkan keluhan tertahan. Sebuah gerakan tipuan Gada Pelumat Dunia berhasil menyapu kakinya. Kemani terjungkal ke belakang dan jatuh terlentang.
"Terimalah ajalmu, Gadis Liar!" seru lelaki gundul seraya melompat untuk menubruk Kemani. Gadanya diayunkan ke arah kepala gadis itu.
Wajah Kemani langsung pucat. Serangan yang datang terlalu tiba-tiba, sementara dirinya berada dalam kedudukan yang tidak menguntungkan. Membuat tak sempat mengelak. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan kepalanya dari hantaman gada hanya dengan menangkis. Padahal, sepasang belati Kemani telah terlempar dari pegangan ketika gadis itu terjungkal.
Kemani bimbang, haruskah dipergunakan tangannya untuk menangkis? Bila hal itu dilakukan tulang-tulang tangannya akan hancur berantakan! Atau, dibiarkan saja kepalanya hancur oleh Gada? Dalam waktu yang demikian singkat Kemani memutuskan untuk menangkis. Dikerahkan seluruh tenaganya ke tangan, kemudian dihentakkan ke depan.
Beberapa jari sebelum gada berbenturan dengan tangan tiba-tiba terdengar bunyi lecutan nyaring bagai suara halilintar. Tampak meluncur selarik sinar hitam yang ternyata sebuah sabuk. Sabuk itu melilit pergelangan kaki Gada Pelumat Dunia. Lilitan sabuk yang diikuti dengan sentakan membuat gada yang meluncur ke arah Kemani tak sampai di tujuan.
Gada Pelumat Dunia segera sadar seseorang telah mencampuri urusannya. Maka, sentakan sabuk yang menarik tubuhnya ke belakang dimanfaatkan untuk memberi hajaran pada orang usilan itu. Gada Pelumat Dunia bersalto beberapa kali. Dilihatnya, dua tombak di belakangnnya berdiri seorang pemuda berpakaian hitam. Di tangan pemuda ini tergenggam sehelai sabuk. Ujung yang satu berada di pergelangan kaki Gada Pelumat Dunia.
Dengan pergelangan kaki masih terbelit sabuk, Gada Pelumat Dunia mengirimkan serangan. Salto yang dilakukannya membuat rentangan sabuk mengendur. Ini membuat lelaki gundul itu leluasa untuk mengirimkan serangan.
Lelaki berpakaian hitam yang bukan lain Sapta Renggi terdengar mendengus. Sekali tangannya yang menggenggam ujung sabuk digerakkan, getaran yang timbul membuat sabuk bergelombang keras.
Desss!
Gada Pelumat Dunia mengeluarkan jeritan serak ketika sabuk melecut dadanya. Bukan ujung sabuk yang menghantam, melainkan bagian tengahnya yang berombak keras. Tubuh Gada Pelumat Dunia terlempar ke belakang. Dari mulut tersembur cairan merah kental. Meski hanya sehelai kain, tapi karena ditopang oleh tenaga dalam lecutan sabuk tak kalah keras dengan hantaman gada!
Sapta Renggi tersenyum keji. Sabuknya ditarik secara tiba-tiba. Luncuran tubuh Gada Pelumat Dunia langsung tertahan. Bahkan, tubuh lelaki gundul itu melayang ke arah Sapta Renggi. Sapta Renggi terlihat menggerakkan pergelangan tangannya. Lilitan sabuk terlepas. Lelaki ini langsung menyusulinya dengan lecutan ujung sabuk ke arah leher!
Ctarrr!
Gada Pelumat Dunia yang malang tak mampu berbuat apa pun untuk mengelakkan serangan. Secara telak dan keras ujung sabuk menghantam sasaran. Bunyi berderak keras tulang-tulang leher yang hancur dan muncratan darah dari mulut, hidung dan telinga mengiringi terlemparnya tubuh Gada Pelumat Dunia. Nyawa lelaki gundul ini pergi meninggalkan raga sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Malah lelaki malang ini tak sempat mengeluarkan jeritan kematian.
Kemani terbelalak kaget melihat Gada Pelumat Dunia tewas dalam beberapa gebrakan. Gadis ini terpaku di tempatnya. Perasaan kaget dan takjub terhadap Sapta Renggi membuatnya tak ingat untuk segera bangkit berdiri.
Sapta Renggi mengerling ke arah Kemani. Terlihat kilatan aneh di mata lelaki berpakaian serba hitam ini. Kerlingan Sapta Renggi beradu dengan pandangan Kemani yang tengah menatapnya. Sementara, belasan anak buah Gada Pelumat Dunia segera meluruk ke arah Sapta Renggi dengan senjata di tangan.
Mereka menyerbu seraya mengeluarkan teriakan-teriakan kemarahan. Tewasnya Gada Pelumat Dunia demikian cepat sehingga mereka tak sempat turun tangan untuk membantu. Sapta Renggi tetap bersikap tenang. Lelaki ini malah menunggu tibanya serangan. Kemani yang melihat hal ini tanpa sadar memekik kecil. Terbayang di benaknya tubuh Sapta Renggi hancur tercacah-cacah hujan senjata.
Ketika senjata-senjata itu meluncur semakin dekat, sinar terang menyilaukan mata mencuat dari arah Sapta Renggi. Sinar terang itu menyambar-nyambar ke arah belasan anak buah Gada Pelumat Dunia. Dan se-cepat sinar terang itu muncul, secepat itu pula lenyapnya. Kemani melihat Sapta Renggi tetap berdiri di tempatnya. Belasan penyerangnya juga menghentikan gerakan.
Keheranan Kemani berganti dengan keterkejutan. Tubuh belasan orang itu ambruk ke tanah dengan didahului mengucurnya darah dan terlepasnya senjata yang mereka cekal. Sambil bangkit Kemani memperhatikan lebih teliti. Dilihatnya leher anak buah Gada Pelumat Dunia sobek lebar. Dari tempat inilah darah mengucur! Kemani tak habis pikir bagaimana itu bisa terjadi.
Sapta Renggi tak mengganggu Kemani yang tengah larut dalam kebingungan. Dia justru mempergunakan kesempatan itu untuk memperhatikan si gadis. Ada perasaan aneh yang tak dimengerti dirasakan Sapta Renggi ketika melihat Kemani pertama kali.
Sapta Renggi buru-buru mengalihkan perhatiannya ke arah lain ketika Kemani mengalihkan pandangan menatapnya. Tanpa ragu-ragu Kemani segera mengayunkan kaki menghampiri Sapta Renggi.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kak. Kalau tak ada kau, mungkin saat ini aku hanya tinggal nama," ucap Kemani penuh rasa terima kasih.
Sapta Renggi menyunggingkan senyum lebar. Senyum yang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam. Kenyataan ini membuat lelaki itu merasa heran sendiri. Sejak kapan dia bisa tersenyum? Padahal, selama ini dia tak pernah tersenyum.
Yang lebih mengherankan lagi, dunia jadi kelihatan indah ketika Kemani tersenyum kepadanya. Pohon-pohon tampak lebih menarik. Kicau burung yang terdengar lebih merdu dari biasanya. Dan, hatinya gembira bukan main! Hal ini benar-benar mengherankan Sapta Renggi.
"Tak ada yang perlu untuk diucapkan terima kasih, Nona. Orang-orang seperti mereka memang selayaknya dilenyapkan dari muka bumi, mereka hanya menimbulkan kekacauan belaka," sahut Sapta Renggi dengan senyum menghias bibir.
Sapta Renggi hampir tak percaya dengan ucapan yang keluar dari mulutnya. Ucapan seperti itu layaknya diucapkan seorang pendekar. Setidak-tidaknya, seseorang yang mencintai kebenaran dan membenci tindak kejahatan. Padahal, dia sendiri belum lama ini telah membasmi puluhan tokoh golongan putih di Perkumpulan Kelabang Merah!
"Aku, Sumantri," Sapta Renggi memperkenalkan diri dengan nama palsu. "Boleh ku tahu siapa namamu, Nona?"
"Mengapa tidak, Sumantri?" balas Kemani sambil tersenyum manis. "Kau adalah penolongku. Namaku Kemani."
"Sebuah nama yang bagus sekali, Kemani. Kau juga memiliki kepandaian luar biasa tinggi. Sungguh seorang gadis yang sulit untuk dicari duanya," puji Sumantri sejujurnya.
Tentu saja bukan kepandaian Kemani yang mendapat pujian Sumantri. Tapi, kecantikan dan keindahan tubuh gadis itu yang telah menaut hati Sapta Renggi.
"Tak ada artinya kepandaian yang kumiliki bila dibandingkan denganmu, Sumantri," cetus Kemani, kecewa. "Kalau saja aku memiliki kepandaian sepertimu, mungkin ayahku tak perlu meninggal dan gerombolan orang kasar itu tak dapat berbuat semaunya terhadapku!"
Kemani kemudian menghampiri kereta kudanya. Dari bagian belakang kereta di turunkannya sebuah peti mati hitam berukir. Sapta Renggi mendekati. Bola matanya beralih berganti-ganti pada Kemani dan peti mati.
"Tenangkanlah hatimu, Kemani. Bukankah orang-orang yang telah membunuh ayahmu telah tewas?" hibur Sapta Renggi.
"Maksudmu... gerombolan orang kasar ini?"
"Tentu saja! Bukankah orang-orang ini yang telah membunuh ayahmu?" Sumantri alias Sapta Renggi meminta penegasan.
"Kau keliru, Sumantri. Mereka bukan pembunuh ayahku. Lagi pula, bagaimana mungkin ayahku bisa tewas oleh orang-orang seperti mereka? Biar jumlah mereka tiga kali lipat pun tak akan mampu membunuh ayahku!"
"Ahhh...!" desah Sapta Renggi berpura-pura kagum. "Kalau begitu ayahmu memiliki kepandaian tinggi, Kemani."
"Tentu saja, Sumantri! Kalau tidak, mana mungkin bisa menjadi salah seorang dari Tiga Pendekar Sakti" tandas Kemani tanpa menyembunyikan nada bangganya.
"Ahhh...! Untuk kedua kalinya Sapta Renggi berseru kaget. Kali ini lelaki itu benar-benar merasa kaget. Sungguh tak disangkanya Kemani putri dari tokoh Tiga Pendekar Sakti yang tersisa. Naga Sakti seorang tokoh golongan putih yang dibunuhnya. Tapi, Sapta Renggi mampu menyembunyikan perasaannya. Dalam sekejapan lelaki ini telah mampu bersikap biasa.
"Boleh kulihat isi peti itu, Kemani?" Sapta Renggi mengalihkan pembicaraan. Hatinya merasa galau mengingat gadis yang menarik hatinya adalah putri dari musuh besarnya.
"Mayat ayahku," jawab Kemani serak. "Semasa hidup beliau berpesan padaku agar jika beliau meninggal kuburkan di dekat makam ibuku. Karena itulah aku membawa-bawanya. Karena perjalanan membutuhkan waktu beberapa hari, kuberikan ramuan-ramuan agar mayat ayahku tidak berbau dan bisa tahan sampai di tempat tujuan."
"Bagaimana kau membawa mayat ayahmu sedang keretamu telah rusak?"
"Kupanggul. Di samping tak berat, tempatnya pun tak jauh lagi. Tinggal seratus tombak dari sini," beritahu Kemani, lirih. "O ya, maukah kau menerimaku sebagai murid, Sumantri. Kulihat kau memiliki kepandaian tinggi. Kau bersedia Sumantri?"
Sumantri kelihatan bingung. Kemani melihat hal itu secara jelas. Dan, sebuah dugaan jelek berkumpul di benaknya.
"Tak usah ragu-ragu, Sumantri. Aku yakin kau akan menolak permintaanku. Siapa yang bersedia menerimaku sebagai murid?" keluh Kemani dengan nada sendu. Gadis berpakaian kuning ini kemudian membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan tempat itu. Sambil memanggul peti mati ayahnya. "Selamat tinggal, Sumantri."
Sumantri alias Sapta Renggi terpaku ditempatnya. Dia terlalu terkejut melihat tanggapan Kemani. Ketika gadis itu telah melangkah sejauh tiga tombak, Sapta Renggi segera tersadar dari keterkejutannya.
"Kemani...! Tunggu...!" seru Sumantri keras.
Kemani tak mempedulikan seruan Sapta Renggi. Ayunan kakinya semakin dipercepat. Sapta Renggi kebingungan. Sebuah keputusan segera diambilnya. Lelaki ini melompat dan bersalto beberapa kali sebelum akhirnya mendarat di depan Kemani, menghadang langkah gadis itu.
"Jangan salah mengerti, Kemani," ucap Sapta Renggi seraya menatap wajah gadis di depannya lekat-lekat.
Kemani berusaha untuk tersenyum. Tapi gagal. Kekecewaan akibat penolakan Sapta Renggi menyebabkan senyum yang diukirnya terlihat begitu tawar. "Aku tak apa-apa, Sumantri. Aku cukup tahu diri..."
"Dengar dulu penjelasanku, Kemani," potong Sumantri, cepat. "Aku belum menjawab pertanyaanmu, bukan karena aku tak setuju. Tapi, aku bingung."
"Apa yang harus kau bingungkan? Aku tak marah seandainya kau terus terang menolakku. Itu hakmu, bukan?" timpal Kemani berusaha bersikap tegar.
"Lagi-lagi kau salah mengerti, Kemani," keluh Sap-ta Renggi. "Aku bukan bingung memikirkan jawaban permintaanmu. Aku bingung karena ingin memenuhi permintaanmu, tapi aku berhadapan dengan sumpah yang kubuat..."
Sepasang alis Kemani yang indah tampak berkerut.
"Sejujurnya aku ingin memenuhi permintaanmu, Kemani. Aku ingin mengajarimu. Tapi aku telah bersumpah demi almarhum orang tuaku, bahwa aku hanya akan menggunakan kepandaianku untuk satu tujuan yaitu membasmi musuh-musuhku. Aku berjanji di hadapan guruku, Kemani."
Kemani masih diam. Tapi, kerutan pada alisnya telah mengendur. Sapta Renggi tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Buru-buru keterangannya dilanjutkan.
"Kuakui, aku memang jauh untuk bisa dikatakan orang baik-baik. Kendati demikian, sumpah itu ku junjung tinggi. Bagiku kehormatan lebih berharga daripada nyawa."
Kemani menghias senyum di bibirnya yang indah. Kali ini lebih berbentuk senyuman dari pada sebelumnya. Sapta Renggi merasakan beban yang menghimpit batinnya mendadak lenyap. Tapi, kegembiraan yang timbul kembali pupus ketika mendengar ucapan Kemani selanjutnya.
"Aku bisa memakluminya, Sumantri. Aku malah bangga dengan pendirianmu. Hanya orang-orang berwatak gagah mau mengakui kekurangan dirinya dan menjunjung tinggi kehormatan. Aku tak marah, Sumantri. Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Selamat tinggal."
Kemani melangkahkan kaki hendak melewati Sapta Renggi yang berdiri di depannya. Karuan saja tanggapan yang tak terduga-duga ini membuat Sapta Renggi kelabakan. Dengan tergesa-gesa kedua tangannya dijulurkan untuk mencegah.
"Mengapa harus berpisah, Kemani? Tidakkah lebih baik kalau aku, maksudku..., kita melakukan perjalanan bersama-sama?"
"Itu tak mungkin, Sumantri," bantah Kemani seraya menggelengkan kepala." Aku ingin mengunjungi bibiku untuk memberitahukan semua yang telah terjadi. Asal kau tahu saja Sumantri, bibiku itu tidak suka dengan lelaki. Lagi pula aku tak ingin mengganggu perjalananmu. Bukankah kau mengemban tugas dari gurumu?"
"Tapi, Kemani...,"
"Jangan halangi kepergianku, Sumantri!" potong Kemani dengan nada tinggi. "Jangan kau rusak kekaguman ku dengan sikap seperti ini. Aku tak ingin melakukan perjalanan bersama, dan aku tak suka kalau kau menguntit perjalananku! Bila itu kau lakukan, aku akan marah. Seumur hidup aku tak akan mau bertemu apalagi bercakap-cakap denganmu!"
Sapta Renggi terdiam. Kemani tampaknya bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Jadi akan sia-sia saja berusaha membujuknya. "Kalau kau memang berkeras demikian aku tak mempunyai pilihan lain, Kemani," desah Sapta Renggi putus asa. "Kuharap kau selamat tiba di tempat tujuan. Dan kuharap kita bisa bersua kembali, Kemani."
"Semoga saja, Sumantri. Percayalah, aku tak akan melupakanmu. Kau seorang lelaki yang baik."
Kemani melanjutkan langkahnya kembali. Kali ini Sapta Renggi tak menghalanginya lagi. Lelaki ini malah menggeser kaki untuk memberikan jalan pada gadis berpakaian kuning itu.
Sapta Renggi tetap berdiri di tempat itu memandangi kepergian Kemani, hingga tubuh gadis itu lenyap ditelan kejauhan. Terasa ada kehampaan yang dirasakan Sapta Renggi. Alam tak seindah sebelumnya. Kicau burung pun tak lagi merdu. Keindahan yang ada lenyap terbawa perginya Kemani.
Delapan ekor kuda itu tertambat di batang pohon di lereng gunung. Penunggangnya terdiri dari lima orang pasukan kerajaan dan tiga orang rakyat biasa. Ketiga orang yang tidak berseragam pasukan kerajaan itu adalah Resi Druna, Darmakala, dan Wudani.
"Tak bisakah binatang-binatang ini kita bawa hingga ke tempat tinggal yang Mulia Sendari?" tanya anggota pasukan kerajaan yang bermuka hitam.
"Tidak, Cemong," jawab Resi Druna sambil menggeleng.
"Medan yang akan kita hadapi terlalu sulit. Biar binatang-binatang ini kita tinggal di sini dengan dijaga empat orang prajurit. Kau ikut denganku bersama-sama Darmakala dan Wundani untuk menemui Sendari. Dengan adanya kau, aku yakin wanita keras kepala itu percaya kalau kedatanganku sebagai utusan Gusti Prabu Mandaraka."
Cemong tak berani membantah. Dia tahu siapa Resi Druna dan Sendari, serta hubungan mereka dengan Prabu Mandaraka. Resi Druna sendiri Segera mengayunkan kaki mendaki lereng gunung. Tanpa banyak bicara Darmakala, Wudani, dan Cemong mengikuti langkahnya. Setelah menempuh perjalanan beberapa saat lamanya, Cemong harus mengakui kebenaran ucapan Resi Druna. Medan yang mereka tempuh terlalu berat. Kuda-kuda tak akan mampu menempuhnya. Bahkan para prajurit anak buah Cemong pun akan mengalami kesulitan.
Jika mereka ikut serta perjalanan menuju tempat Nenek Payung Sakti akan mengalami hambatan. Pantas, Resi Druna tak membawa serta mereka. Cemong sendiri yang memiliki kemampuan jauh di atas empat prajurit itu susah payah mengikuti Resi Druna, Darmakala serta Wudani. Prajurit bermuka hitam ini senantiasa tertinggal.
Setelah napas Cemong hampir putus dan peluh membasahi sekujur tubuh, baru mereka berada di tempat yang datar. Di kejauhan tampak sebuah pon-dok sederhana. Tak ada pintu gerbang atau tembok yang mengelilingi. Kendati demikian, pondok itu kelihatan apik dan bersih karena di bagian depan dan sekelilingnya ditumbuhi tanaman bunga aneka warna.
"Begitu tersembunyi tempat tinggal Sendari. Aku yakin tanpa bantuan Resi Druna tak akan mungkin tempat ini bisa diketemukan," ujar Darmakala dan Wudani dalam hati.
Keyakinan pasangan suami istri ini memang beralasan. Untuk mencapai tempat tinggal Sendari mereka harus melalui jalan terjal dan berliku-liku naik turun. Jalan setapak licin serta jurang yang dalam menganga lebar siap menelan tubuh mereka. Ketiga orang ini terus melangkah menghampiri pondok yang masih berjarak puluhan tombak. Ketika jarak mereka tinggal lima tombak lagi dari daun pintu yang tertutup rapat, tiba-tiba terdengar suara teguran.
"Tikus-tikus dari mana berani lancang mendekati tempat tinggalku?! Apakah ingin ekor-ekor kalian ku putuskan?!" sambut suara nyaring dari balik pintu pondok yang tertutup.
Seruan bernada ancaman itu membuat Resi Druna menghentikan langkah. Melihat kakek ini berhenti, Darmakala dan yang lainnya mengambil sikap serupa. Keempat orang ini berdiri dengan sikap menunggu.
Paras Resi Druna tampak menegang. "Suara itu masih belum berubah juga. Galak dan ketus. Apakah sikap kerasnya tak juga luluh oleh waktu?" keluh Resi Druna dalam hati.
"Tikus-tikus tak tahu diri! Mengapa kalian tak segera angkat kaki dari tempat ini?! Aku masih bersabar tak langsung memberikan hajaran. Tapi apabila kalian tetap bersikeras, aku bisa berubah pikiran!"
"Kami tak akan beranjak dari sini, Sendari! Kedatangan kami kemari memang untuk menemuimu. Ini atas perintah dari Gusti Prabu Mandaraka!" jawab Resi Druna, lantang.
Tak terdengar tanggapan atas jawaban yang diberikan Resi Druna. Sesaat kemudian, di ambang pintu pondok berdiri sesosok tubuh ringkih seorang nenek berpakaian serba putih. Tubuhnya agak bongkok. Berdirinya ditunjang oleh sebatang tongkat berkepala ular. Sikap nenek itu kelihatan anggun dan penuh wibawa sebagaimana harusnya seorang wanita tingkat tinggi.
Empat pasang mata tertuju ke arah nenek berpakaian putih. Tapi, hanya Resi Druna yang memandang penuh selidik. Sepasang matanya diedarkan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sendari pun bertindak demikian. Nenek ini memang memperhatikan keempat orang tamunya. Tapi terhadap Resi Druna perhatiannya lebih ditujukan. Dua pasang mata saling bentrok beberapa saat.
"Mengapa Resi Druna dan Sendari bertingkah demikian? Melihat gelagatnya rasa-rasanya antara kedua orang ini mempunyai hubungan. Kalau tidak, sikap mereka terlihat janggal sekali," Darmakala dan Wudani bertanya-tanya dalam hati.
Pertanyaan demikian tak menggayuti benak Cemong. Prajurit ini bersikap sebagaimana prajurit sejati. Dia tak mau tahu urusan ini lebih jauh. Yang menjadi patokannya hanya satu, melaksanakan perintah junjungannya!
"Rupanya kali ini kau lebih siap, Druna? Kulihat kau tak hanya membawa satu orang untuk memenuhi keinginanmu itu. Kuharap kali ini orang-orang yang kau bawa mampu bertahan lebih lama menghadapiku. Jangan seperti orang-orang sebelumnya."
Isi ucapan itu terasa mengharapkan kemenangan untuk Resi Druna. Tapi, sikap Sendari mengisyaratkan sebaliknya. Nenek itu kelihatan demikian sinis. Apalagi ketika menatap Darmakala dan Wudani!
Darmakala tak terlalu mempedulikan sikap Sendari. Tapi, tak demikian halnya dengan Wudani. Wanita itu kelihatan tersinggung bukan main. Parasnya menegang. Sorot sepasang matanya berkilat-kilat penuh ancaman.
Wudani hendak mengeluarkan makian. Tapi, Darmakala yang mengetahui watak istrinya telah lebih dulu menyentuh lengan Wudani dan memberi isyarat agar wanita itu bersabar. Wudani dengan terpaksa menelan kembali marahnya.
Di lain pihak, Resi Druna tersenyum. Namun tidak terpancar sorot kegembiraan di dalamnya. Yang lebih terlihat adalah kegundahan hati. "Kau tetap belum berubah, Sendari. Hanya kemauanmu yang ingin dituruti orang lain. Tingkahmu ini yang memaksaku dan Gusti Prabu Mandaraka bertindak seperti ini. Kuharap kali ini kau mau ikut bersamaku menghadap Gusti Prabu."
"Semua tergantung dari kemampuan orang-orang yang kau bawa, Druna. Ciri-ciri kedua budakmu ini boleh juga. Tapi, entah bagaimana dengan kemampuannya," jengek Sendari seraya menatap Darmakala dan Wudani dengan sorot mata sengit.
"Mereka akan membuat keangkuhan mu pudar, Sendari," balas Resi Druna, tenang.
"Begitukah?!" sembur Sendari tak senang. Keras suaranya. "Akan kau lihat sendiri kenyataannya, Dru-na! Ayo, tunggu apa lagi? Mari segera kita mulai!"
Resi Druna hanya tersenyum pahit. Tapi, Sendari tahu senyuman itu merupakan pertanda kakek berjubah kuning setuju atas usulnya. "Darmakala... Wudani...," ujar Resi Druna pelan pada pasangan suami istri itu.
"Kami telah siap, Sendari. Kau boleh memulainya," ucap Darmakala pada Sendari.
"Bagus!" sambut Sendari. Suaranya terdengar seperti binatang buas menggeram. "Kau mungkin telah mengetahui jenis pertandingan yang kuinginkan. Druna pasti telah memberitahu kalian!"
Darmakala mengangguk.
"Hmh...!" dengus Sendari. "Dengar baik-baik ucapanku."
Begitu ucapan nenek itu usai, Darmakala mendengar suatu suara di telinganya. Rangkaian kata-kata yang membentuk pertanyaan. Hanya lelaki ini yang mendengarnya, karena Sendari mengeluarkan perkataan itu melalui ilmu mengirim suara dari jauh.
Wudani kebingungan ketika tak mendengar pertanyaan yang diajukan Sendari. Bukan hanya Wudani yang dibuat heran. Ada seorang lagi yang dilanda perasaan sama. Seseorang yang keberadaannya tak diketahui oleh siapa pun. Sosok yang bukan lain dari Dewa Arak itu duduk di salah satu cabang pohon. Sukar terlihat dari bawah karena terhalang oleh kerimbunan dedaunan.
Memang, karena keinginannya yang besar untuk mengungkap rahasia keanehan sikap Raja Mandaraka, Dewa Arak terus mengikuti ke mana Wudani dan Darmakala dibawa. Bahkan ketika pasangan suami istri itu berada di istana, pemuda berambut putih keperakan ini menunggu di luar.
Tapi yang paling bingung adalah Darmakala! Hanya saja kebingungan Darmakala bukan disebabkan oleh sikap nenek itu, melainkan oleh pertanyaannya. Terdengar jelas oleh Darmakala bunyi pertanyaan Sendari.
"Aku ingin kau menceritakan sebuah kisah yang tak habis diceritakan sampai tiga hari tiga malam."
"Gila!" pekik Darmakala dalam hati. "Tiga hari tiga malam?! Setengah hari pun rasanya sudah mustahil. Apa yang diceritakan sampai bisa selama itu?"
"Kuberi kau waktu sampai matahari berada di atas kepala untuk memberikan jawaban. Bila sampai batas waktu itu kau belum juga memberikan jawaban, berarti aku menang," lanjut Sendari masih menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Darmakala menatap ke langit. Hatinya agak lega ketika mengetahui sang Surya belum lama meninggalkan tempat terbitnya. Waktu baginya masih cukup lama. Keheningan pun menyelimuti tempat itu. Semua mulut terkatup rapat, seakan keempat orang yang ada di situ telah berubah menjadi arca!
Wudani terlihat seperti semut yang diletakkan di abu panas, wanita itu gelisah sekali. Wudani tahu suaminya tengah dilanda rasa bingung. Sayang, dia tak tahu hal apa yang membuat Darmakala kebingungan seperti itu. Sungguh pun demikian Wudani tak kehilangan akal. Wanita ini memiliki kecerdikan yang besar. Dia segera tahu kalau Sendari mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
"Kalau nenek sombong ini mempergunakan ilmu itu, mengapa aku tidak? Memangnya hanya dia seorang yang bisa menggunakan ilmu itu?!" desis hati Wudani tak senang.
"Ada apa, Kak Darma? Mengapa kau kelihatannya bingung sekali?" tanya Wudani pada suaminya dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Darmakala merasa gembira bukan main mendapat kiriman suara dari istrinya. Lelaki ini memang amat membutuhkan bantuan Wudani. Istrinya jauh lebih pandai menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjebak seperti ini.
"Aku memang tengah bingung, Wudani," jawab Darmakala. "Sendari memberikan pertanyaan yang sangat sulit untuk kujawab."
"Bagaimana pertanyaannya, Kak Darma?"
"Wanita tua bangka itu meminta ku Untuk menceritakan sebuah kisah. Kisah apa pun yang tak habis diceritakan hingga tiga hari tiga malam."
"Tiga hari tiga malam?! Mana ada cerita yang memakan waktu demikian lama?" cetus Wudani, kaget dan heran.
"Mana ku tahu, Wudani? Itu keinginan nenek keparat itu!" rutuk Darmakala.
"Tunggu sebentar, Kak Darma." Perbincangan tanpa menggerakkan bibir itu untuk sementara terhenti. Wudani tengah mencari jawaban bagi pertanyaan aneh Sendari.
Darmakala mulai mengkhawatirkan kemenangan di pihak Sendari setelah beberapa saat lamanya tak juga didapatkan jawaban dari Wudani. Wanita itu berdiri gelisah dengan pandangan sesekali terarah pada Sendari. Sementara tak sepatah kata pun ucapan dikirimkannya pada Darmakala.
"Kurasa aku menemukan jawabannya, Kak Darma." Perkataan yang dikirim tanpa menggerakkan bibir itu diterima Darmakala ketika dia sudah hampir putus asa. Waktu yang dibutuhkan Wudani ternyata tak sesingkat perkiraannya.
"Apa, Wudani? Cepat katakan!"
"Begini, Kak Darma. Kurasa pertanyaan nenek sombong itu cuma akal-akalan. Mana mungkin sebuah cerita membutuhkan waktu tiga hari tiga malam."
"Jadi bagaimana jawabannya, Wudani? Apakah harus kukatakan kalau tak ada jawabannya?!" desak Darmakala tak sabar.
"Tentu saja tidak demikian, Kak Darma. Kita harus memberikan sambutan sesuai dengan pertanyaan itu. Tipu daya harus kita lawan dengan cara yang sama."
Wudani segera menyambung ucapannya dengan jawaban yang diperoleh. Darmakala mendengarkan penuh perhatian.
"Bagaimana? Apakah kau tak bisa memberikan jawaban atas pertanyaanku?" Sendari dengan senyum mengejek.
Darmakala bersyukur dalam hati. Datangnya pertanyaan Sendari setelah istrinya selesai memberikan jawaban. Dengan demikian lelaki ini telah siap. Darmakala mengulas senyum di bibir dan mengangguk pasti.
Sepasang alis Sendari berkerut. Dia masih belum mengerti arti anggukan Darmakala. Tapi, senyum lelaki itu menunjukkan kalau ada hal-hal yang menggembirakan hatinya.
"Jadi, kau telah mendapatkan jawabannya?!" dengus Sendari penuh ketidakpercayaan.
"Benar!"
"Katakanlah. Aku ingin mendengarnya."
"Dengarkan baik-baik cerita ku ini, Sendari!" ucap Darmakala, mantap. "Belasan tahun yang lalu di sebuah desa musim panen telah datang. Tanaman padi yang siap untuk dituai bertebaran dimana-mana."
Sendari mengernyitkan kening. Wanita ini tak bisa menebak arah cerita Darmakala. Kendati demikian, dia mendengarkan cerita Darmakala dengan senyum mengejek di bibir.
"Di antara puluhan petani yang ada di desa itu," Darmakala melanjutkan ceritanya. "Ada seorang petani yang memiliki sawah paling luas. Dia merupakan petani terkaya di desa. Lumbung padinya merupakan bangunan paling besar. Ribuan pikul padi dapat disimpan di dalam lumbung itu."
Darmakala menghentikan ceritanya. Sendari tak mengusik sama sekali. Meski Darmakala sering berhenti, tak akan ada pengaruhnya dengan waktu yang tersedia, pikir Sendari. Waktu tiga hari tiga malam terlalu panjang hanya untuk menghabiskan satu cerita.
"Sayang, lumbung padi petani terkaya itu berdekatan dengan lubang-lubang tempat semut bersarang. Jumlahnya tak terhitung. Semut-semut itu tahu akan adanya makanan. Melalui lubang yang ada di lumbung, binatang-binatang itu masuk ke dalam lumbung dan mengambil butir-butir padi."
Darmakala kembali menghentikan cerita. Senyum tersungging di bibirnya seperti layaknya orang yang tengah mendapat kemenangan. Sendari, Resi Druna, dan Cemong mendengarkan cerita Darmakala. Tapi hanya Sendari dan Resi Druna yang mendengarkan dengan penuh perhatian, sedangkan Cemong hampir bersikap tak peduli.
"Semut pertama datang memasuki lumbung dan keluar kembali dengan menggondol sebutir padi. Sesaat kemudian disusul oleh semut kedua. Semut ketiga pun masuk juga melalui lubang yang ada dan mengambil sebutir padi lalu kembali ke sarangnya. Kemudian disusul dengan...."
"Cukup...!" sentak Sendari tiba-tiba. Wajahnya tampak merah padam. "Kau memenangkan pertaruhan!"
Resi Druna, Cemong, dan Wudani tersenyum gembira. Teriakan Sendari telah mengakhiri pertandingan itu. Kemenangan berada di pihak Darmakala. Besarnya kegembiraan mereka masih tak sebesar kegembiraan Darmakala. Sudah diduganya Sendari tak akan sabar mendengarkan cerita semut yang satu per satu masuk ke lumbung padi.
"Kali ini kau menang Druna. Aku terpaksa kembali ke kerajaan. Tapi seperti yang kukatakan dulu, hanya untuk waktu yang terbatas. Paling lama, dua belas purnama," ucap Sendari dengan nada pahit.
"Tak perlu selama itu kukira, Sendari," bantah Resi Druna. "Gusti Prabu tak ingin mengganggu ketenteraman hidupmu. Kalau saja tak mempunyai keperluan yang amat penting, Gusti Prabu tak ingin mengusik mu. Tapi karena terpaksa...."
"Tidak usah banyak bicara yang tak perlu, Druna!" potong Sendari tak sabar. Tongkatnya diketukkan ke tanah hingga amblas hampir setengahnya. "Katakan saja apa keperluanmu!"
Resi Druna tampak bimbang. Kakek ini melihat keberadaan Darmakala dan Wudani di tempat itu. Bila ia bicara pasangan suami istri itu akan mendengar. Padahal, masalah yang tengah dialami Prabu Mandaraka cukup rahasia.
"Tak usah bimbang untuk bicara, Resi," ujar Darmakala tenang tanpa merasa tersinggung. "Kalau kau takut kami mendengar masalah Prabu Mandaraka, kau salah besar. Kami telah tahu mengenai hal itu dari sikap Gusti Prabu sendiri."
"Hm...! Apa yang kau ketahui, Darmakala?" tanya Resi Druna.
"Tidak banyak. Bukankah Gusti Prabu Mandaraka kehilangan hal yang teramat penting dalam dirinya selaku seorang lelaki? Gusti Prabu kehilangan kejantanannya, bukan?"
"Hm...!" Resi Druna hanya bisa menghela napas. Kakek ini tak membantah atau membenarkan. Tapi, sikapnya menunjukkan kalau terkaan Darmakala tidak salah.
"Sungguhkah itu, Druna?!" Sendari setengah terpekik.
Pelan dan kaku Resi Druna menganggukkan kepala. Jawaban ini telah lebih dari cukup. Sendari memekik laksana seekor garuda murka. Pekikannya membuat Cemong terhuyung-huyung dengan wajah pucat. Sekitar tempat itu bergetar hebat dan tongkat berkepa-la ularnya terlontar ke atas. Sendari buru-buru menangkapnya.
"Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, Druna?!" tegur Sendari dengan suara keras. "Lalu..., apa artinya keberadaanmu di Sana?!"
Wajah Resi Druna langsung merah padam. Nada suaranya mulai meninggi ketika bicara. "Apa artinya seorang manusia, betapapun tinggi kepandaiannya, jika Yang Maha Kuasa telah menentukan lain?! Puluhan tabib dan ahli obat didatangkan, tapi tak seorang pun sanggup menyembuhkan sakit Gusti Prabu. Semua ahli obat itu mempunyai usul yang sama kalau ingin Gusti Prabu Mandaraka sembuh dari penyakitnya!"
"Apa itu, Druna?!" tanya Sendari tak sabar. "Sebuah batu permata yang bernama Kalimaya."
"Kalimaya?! Bagaimana mungkin bisa mendapatkan pusaka itu? Bukankah tempatnya amat jauh dari sini. Konon, pusaka itu dijaga oleh seorang tokoh sakti yang memiliki watak aneh."
"Aku pun telah mendengar berita itu, Sendari," keluh Resi Druna. "Pusaka Kalimaya dimiliki oleh seorang tokoh yang amat sakti. Demi kesembuhan Gusti Prabu dan keutuhan kerajaan, aku bersedia menempuh bahaya untuk mendapatkan pusaka itu. Sayang aku tak mengetahui tempatnya. Itulah sebabnya aku hendak meminta bantuanmu."
"Mengenai keadaan Gusti Prabu, Druna," sesal Sendari. "Kalau tahu keadaannya seperti ini, aku tak akan bersikeras dengan pendapatku dan masalahnya tidak berlarut-larut...."
"Aku tak ingin kau mengingkari sumpahmu sendiri, Sendari," jawab Resi Druna.
"Kau pergilah lebih dulu, Druna. Aku ingin berkemas-kemas. Cukup banyak yang harus kuurus di sini,"
"Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Aku akan menunggumu di kaki gunung, dekat sumber air. Kau tahu kan?" Sambung Resi Druna, gembira. Usahanya membujuk Sendari untuk turun gunung ternyata berhasil.
Sendari hanya mengangguk. Resi Druna tanpa banyak cakap segera meninggalkan tempat itu. Diberikannya isyarat pada rombongannya untuk mengikuti. Sendari sendiri bergegas kembali ke dalam pondok.
Di atas pohon Dewa Arak merasa lega. Prabu Mandaraka ternyata tak mempunyai maksud yang tak baik. Dari percakapan yang didengarnya, semua ingin tahunya telah terpuaskan. Meskipun demikian, Arya tak segera turun dari pohon. Pemuda ini merasa tak enak jika nanti keberadaannya diketahui dan akan menimbulkan salah paham. Diputuskannya untuk meninggalkan tempat itu setelah Sendari pergi.
"Hhh...!" Resi Druna mengarahkan pandangan ke puncak gunung. Telah cukup lama dia dan rombongannya menunggu. Batas kesabarannya telah terlampaui. Sendari tetap juga belum tampak batang hidungnya.
Bukan hanya Resi Druna yang merasa gelisah dan berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan di belakang punggung. Lima orang yang menyertai perjalanannya pun ikut gelisah. Rasa tak sabar tampak jelas pada wajah dan sikap mereka.
"Jangan-jangan nenek itu kabur. Alasan yang dipergunakannya untuk berkemas-kemas sekedar siasat belaka. Kalau tak demikian, mana mungkin akan begitu lama?" celetuk Wudani tak sabar.
Resi Druna mengalihkan perhatian pada Wudani. "Aku memaklumi kecurigaan mu, Wudani. Tapi bila kau mengenal lebih jauh siapa Sendari, kau tak akan berkata demikian."
"Begitukah?!" tanya Wudani tanpa menyembunyikan keraguan hatinya.
"Tentu saja!" tandas Resi Druna, "Sendari bukan orang lain. Beliau termasuk guru dari Gusti Prabu Mandaraka. Kasih sayangnya terhadap murid sekaligus junjungannya itu demikian tinggi. Mana mungkin Sendari akan kabur dengan alasan hendak berkemas-kemas?"
Wudani dan Darmakala saling berpandangan dengan wajah kaget. Sama sekali tak mereka sangka Sendari mempunyai kedudukan demikian tinggi. Ini benar-benar di luar pengetahuan mereka.
"Maafkan atas sikap istriku yang tak patut, Resi," Darmakala mewakili istrinya meminta maaf. "Kami berdua sungguh tak mengetahui hal ini."
"Lupakanlah. Aku bisa memakluminya," jawab Resi Druna, bijaksana.
"Tadi kau katakan Sendari merupakan salah satu guru Gusti Prabu Mandaraka. Lalu, siapakah guru-guru yang lain?" tanya Wudani ingin tahu.
"Gusti Prabu Mandaraka hanya mempunyai dua orang guru. Orang satunya lagi yang mendapat kehormatan untuk menjadi guru beliau adalah aku."
"Ahhh...!" Untuk kedua kalinya Wudani dan Darmakala tak kuasa menahan rasa kagetnya. Ditatapnya Resi Druna dengan mata membelalak seperti orang melihat hantu.
"Benar-benar luar biasa," desah Darmakala. "Sama sekali tak kami sangka kau merupakan orang yang amat terhormat, Resi. Maafkan kalau sikap yang kami tunjukkan padamu mungkin kurang hormat."
Resi Druna buru-buru mengulapkan tangan. Terlihat jelas perasaan tak sukanya memperbincangkan hal itu. "Lupakan segala urusan tetek bengek itu, Darma. Terus terang, aku sendiri merasa risih dengan segala sopan santun yang terlalu berlebihan. Kuharap kau dan istrimu bersikap padaku sebagaimana wajarnya saja."
Hampir berbarengan Darmakala dan Wudani menganggukkan kepala. "Maaf kalau aku terlalu lancang, Resi. Melihat sikapmu dan Sendari kelihatannya kalian mempunyai hubungan yang cukup erat. Apakah dugaanku benar?" tanya Darmakala.
"Yahhh.... Begitulah, Darma. Kami memang mempunyai hubungan yang erat. Bahkan sangat erat" jawab Resi Druna dengan pandangan tertuju ke angkasa, seperti tengah melihat gambaran masa lalunya di sana. "Kami saudara seperguruan. Sendari adalah adik seperguruanku. Kami saling jatuh cinta dan menjadi suami istri."
Sampai di sini wajah Resi Druna tampak muram. Perasaan duka tergambar jelas di wajah dan sinar matanya. Darmakala jadi merasa tak enak melihat hal ini.
"Maafkan aku, Resi. Aku telah membuatmu terkenang kembali pada hal-hal yang tak menyenangkan. Kurasa kau tak perlu memberi keterangan lebih jauh."
"Tidak mengapa, Darma. Kau telah menolongku. Tak ada salahnya kuceritakan padamu mengenai diriku dan Sendari. Anggaplah hal ini sebagai balas jasa atas jerih payahmu."
Darmakala hanya mengangkat bahu. Diserahkannya keputusan itu pada Resi Druna.
"Setelah menjadi suami istri kami turun gunung. Sama seperti murid-murid golongan putih lainnya, kami bermaksud hendak membela si lemah dari tekanan angkara murka. Cukup lama kami menunaikan tugas suci itu sebelum akhirnya tanpa sengaja berhasil menyelamatkan nyawa seorang raja dari suatu pembunuhan."
"Raja itu Prabu Mandaraka?" sela Wudani.
"Bukan. Raja yang saat itu tengah menyamar adalah ayah kandung dari Prabu Mandaraka. Prabu Mandaraka sendiri masih muda dan menjadi pangeran mahkota. Ayahanda beliau bernama Prabu Baka. Sejak itulah kami diangkat menjadi pengawal-pengawal pribadi Prabu Baka. Di istana kami menjadi guru Pangeran Mandaraka."
Resi Druna menghentikan ceritanya. Darmakala dan Wudani menunggu dengan perasaan tak sabar.
"Ketika Prabu Baka mangkat dan Pangeran Mandaraka menjadi raja, istriku ingin beristirahat dari tugas-tugasnya. Dia ingin menyepi bersamaku untuk menghabiskan masa tua. Tapi aku menolak. Kami bertengkar hebat karena watak istriku amat keras. Kesudahannya adalah seperti ini. Dia tinggal di tempat ini sedangkan aku di istana. Istriku bersumpah tak akan menginjak istana kecuali aku bisa memenuhi syaratnya. Dia rupanya merasa tersinggung sekali sehingga ingin membuatku repot. Syaratnya adalah seperti yang kau alami, Darma. Telah banyak tokoh yang gagal untuk memaksanya meninggalkan tempatnya, sampai akhirnya kau datang."
Suasana menjadi hening ketika Resi Druna menghentikan cerita. Namun, lamunan mereka segera buyar, Resi Druna tampak mengarahkan pandangan ke satu arah. Sinar matanya terlihat penuh selidik. Darmakala, Wudani, Cemong, dan empat prajuritnya mengarahkan pandangan ke arah yang ditatap Resi Druna. Tampak sesosok bayangan berkelebatan cepat menuju ke arah mereka.
Sosok bayangan kuning itu memiliki bentuk tubuh yang mungil dan ramping. Resi Druna dan pasangan suami istri Wudani Darmakala mampu melihatnya secara jelas. Sosok kuning itu adalah seorang wanita muda. Sedangkan Cemong dan empat prajurit lainnya hanya mampu melihat sosok bayangan kuning berkelebatan menuju tempat mereka berada.
Bentuk sosok bayangan kuning itu terlalu samar untuk dapat mere-ka tangkap. Darmakala dan Wudani melihat dahi Resi Druna berkernyit dalam. Resi Druna tampaknya tengah dilanda kebingungan.
"Siapa gadis itu? Mengapa bisa tahu tempat ini? Jarang ada tokoh persilatan yang melewati daerah terpencil ini. Apakah gadis itu mempunyai hubungan dengan Sendari?" Resi Druna bertanya-tanya dalam hati.
Gadis berpakaian kuning itu pun telah melihat keberadaan rombongan Resi Druna. Tapi, dia berpura-pura tak melihat. Ayunan kakinya tak diperlambat. Hanya arah yang ditempuhnya agak dipalingkan, sehingga tak melalui tempat berkumpulnya Resi Druna dan rombongannya.
Tapi, sebelum maksud gadis itu mendaki ke puncak melalui jalur lain terlaksana, Resi Druna telah menggeser kaki. Tubuh kakek ini melayang dan dalam sekejapan telah berdiri di tempat yang akan dilalui gadis berpakaian kuning.
Tindakan Resi Druna membuat gadis itu menghentikan ayunan kakinya. Dia berhenti berlari empat tombak dari Resi Druna. Dengan sepasang matanya yang bening indah ditatapnya Resi Druna penuh tuntutan.
"Mengapa kau menghalangi jalanku, Kek? Aku tak ingin mencari keributan!" tandas gadis itu.
"Aku tahu, Nona," jawab Resi Druna kalem. "Karena itu kau menempuh jalan yang tidak melewati ku. Tapi aku pun tak mau mencari keributan. Aku wajib tahu maksudmu mendaki puncak gunung ini."
"Harus...?! Si gadis mengerutkan sepasang alisnya yang indah.
"Benar!"
"Mengapa? Apakah kau yang mempunyai gunung ini?" sembur gadis berpakaian kuning.
"Tentu saja bukan, Nona. Tak ada orang yang mempunyai gunung ini. Tapi...."
"Kalau begitu, apa hakmu melarangku naik ke puncak? Malah harus tahu apa yang kulakukan di sana?!" selak si gadis cepat dengan nada semakin tinggi.
Resi Druna menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah gadis itu. Kalau tak memberikan jawaban lebih dulu, gadis itu pasti tak akan memberikan keterangan. Maka, diputuskannya untuk mengalah.
"Aku berhak tahu karena gunung ini jarang didatangi orang. Merupakan suatu keanehan kalau kau hendak mendaki sampai ke puncak. Tapi, yang lebih penting lagi karena di atas sana tinggal seorang kawan baikku. Dia tak ingin ada orang mendatangi tempatnya menyepi"
Sepasang alis gadis berpakaian kuning berkerut kembali. Rupanya penjelasan Resi Druna menarik hatinya. "Boleh ku tahu kawan baikmu yang tinggal di puncak sana, Kek?"
"Tentu saja, Nona," jawab Resi Druna sambil terkekeh. "Tapi kuharap kau mau bersikap adil. Aku telah memberikan penjelasan sebab-sebab kau ku cegah naik ke puncak. Maka, kuharap kau memberikan keterangan mengapa hendak naik ke sana. Setelah itu, aku baru akan menjawab pertanyaanmu yang kedua. Bagaimana?"
Si gadis tercenung sebentar. Kemudian, kepalanya dianggukkan. "Cukup adil syarat yang kau ajukan, Kek. Baiklah kuberitahukan. Aku hendak ke puncak untuk menemui seorang bibi guruku. Dia tinggal di atas sana."
"Boleh ku tahu siapa bibi gurumu?" desak Resi Druna.
"Kau dulu yang harus memberikan keterangan, Kek. Kau tak boleh mengajukan pertanyaan lagi. Sekarang giliranku. Yang kutanyakan, siapa kawan baikmu yang tinggal di puncak gunung itu?"
"Namanya Sendari," Resi Druna terpaksa mengalah karena bisa menerima alasan yang dikemukakan si gadis.
Gadis berpakaian kuning terjingkat ke belakang seperti dipatuk ular berbisa. Wajahnya memperlihatkan keterkejutan besar. "Bibi guruku itu pun bernama Sendari, Kek," ujar gadis berpakaian kuning.
Resi Druna kaget bukan main. Sepasang matanya membelalak lebar ketika menatap si gadis. "Bibi gurumu bernama Sendari?! Apakah kau mempunyai hubungan dengan Raharja?" tanya Resi Druna dengan suara bergetar.
"Kau mengenal ayahku, Kek?" Si gadis malah balas bertanya.
"Mengenal sih, tidak. Tapi Sendari telah bercerita padaku mengenai putri seorang tokoh persilatan bernama Raharja. Putri yang bernama Kemani itu menjadi muridnya selama beberapa bulan. Hanya saja Sendari tak ingin dipanggil guru, sehingga Kemani menyebutnya bibi guru. Kaukah gadis yang bernama Kemani itu?"
Gadis berpakaian kuning mengangguk. Resi Durna tersenyum lebar. "Ternyata kita orang sendiri, Kemani. Aku bernama Durna. Resi Durna. Ini anggota rombonganku."
Kemudian, Resi Durna menceritakan maksud kedatangannya ke tempat ini. Tak lupa diperkenalkannya satu per satu orang-orang yang bersamanya. Di saat Resi Durna tengah bercerita, di puncak gunung Sendari tengah sibuk berkemas-kemas. Nenek ini mempunyai banyak hiasan di dinding pondoknya. Sekarang hiasan-hiasan itu dipindahkan. Dari salah satu hiasan berbentuk kepala seekor menjangan, dikeluarkannya gulungan kain dari kulit binatang.
Sendari membuka gulungan kulit binatang itu. Tampak coretan-coretan berupa garis, segi tiga, dan tanda silang. Nenek ini memperhatikannya sebentar dengan penuh perhatian. Kemudian digulungnya kembali kulit binatang itu.
Sendari menyelipkan gulungan kulit binatang di selipan pinggangnya. Pada saat yang bersamaan dengan terselipnya gulungan kulit binatang tersebut, terdengar suara keras....
Brakkk!
Daun pintu pondok hancur berkeping-keping. Sendari sampai terjingkat kaget dan mengalihkan perhatian ke arah daun pintu. Nenek ini mengibaskan tangan ke sana kemari menepis kepingan-kepingan daun pintu yang berpentalan tak tentu arah. Beberapa di antaranya meluruk ke arah Sendari.
Dalam selisih waktu yang demikian singkat, dari luar pondok tampak sesosok tubuh melangkah masuk dengan tenangnya. Sendari memperhatikan hampir tak berkedip. Sosok itu seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun. Pakaiannya coklat membungkus tubuhnya yang kekar. Wajahnya cukup tampan. Sayang, air mukanya terlihat dingin tak menggambarkan perasaan apa pun.
"Siapa kau, Sobat?! Sungguh lancang sekali tindakan yang kau lakukan!" seru Sendari keras penuh kemarahan,
"Siapa adanya aku tak perlu kau tahu, Tua Bangka! Yang penting, serahkan gulungan kain itu padaku! Atau, kau lebih suka kukirim ke neraka?!" dengus lelaki berpakaian coklat.
"Enak saja kau membuka mulut, Anjing Kurap! Aku lebih suka mencopot lidahmu dari pada memberikan benda ini!"
Sendari menutup ucapannya dengan sebuah terjangan. Nenek ini tak bertindak setengah-setengah lagi. Kebutan yang terselip di pinggang segera dicabutnya. Senjata itu ditusukkan ke arah leher lawan. Dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi Sendari mampu membuat bulu kebutan yang lembut menjadi keras laksana ujung tombak!
Lelaki berpakaian coklat tersenyum sinis. Mulutnya bergerak meniup. Angin yang keluar membuat bulu-bulu kebutan kembali melemas. Hampir bersamaan dengan serangan itu kedua tangannya dihentakkan ke dada Sendari.
Sendari adalah seorang wanita yang keras kepala. Kenyataan betapa lawan mampu melumpuhkan bulu-bulu kebutannya telah membuktikan betapa kuat tenaga dalam lawan. Sifat keras kepalanya mendorong Sendari untuk tak ragu-ragu memapaki serangan lawan berikutnya.
Plakkkk!
Bunyi keras terdengar. Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam amat kuat berbenturan. Seketika, tubuh kedua pemiliknya terjengkang ke belakang. Si lelaki mampu menjejak tanah dengan kedua kaki kendati harus melewati pintu pondok.
Sendari lebih parah keadaannya. Nenek itu terjengkang dan punggungnya menabrak dinding dengan keras. Dinding hancur berkeping-keping membawa tubuh renta itu keluar pondok.
Sendari bergegas bangkit. Nenek ini langsung terperanjat ketika melihat gulungan kulit binatang yang merupakan peta tempat batu Kalimaya berada telah lenyap. Amarah Sendari semakin bergolak. Tanpa perlu melihat buktinya lagi, nenek ini tahu kalau lelaki berpakaian coklat telah mengambil benda miliknya.
Sementara pendatang tak diundang itu tengah diamuk kemarahan pula. Sinar matanya tajam berkilat-kilat. Pakaian luarnya yang berupa rompi segera disingkapkan dengan kedua tangan ke kanan dan kiri. Pada bagian dalam rompi terlihat jajaran pisau-pisau putih berkilat. Sendari sampai terbelalak melihatnya.
"Luar biasa orang ini," pikir istri Resi Druna itu. "Apakah dia memiliki ilmu melempar pisau yang hebat? Dia sampai menyediakan tempat khusus di ba-gian dalam rompinya untuk tempat pisau."
Lelaki berpakaian coklat tersenyum sinis. Diliriknya Sendari sekilas, kemudian dikerlingnya deretan pisaunya. "Sebenarnya aku tak terlalu ingin membunuhmu, tapi kau menghendaki lain. Maka, biarlah ku turuti kemauanmu!"
Lelaki itu mencabut sebatang pisau. Kemudian di lemparkannya ke arah Sendari. Nenek ini tak tinggal diam menerima kematian. Kebutannya dijadikan menegang kaku dan dipergunakan untuk memapaki sambaran pisau!
Trakkk!
Benturan yang terjadi membuat bulu-bulu kebutan melemas. Namun pisau lawan terlempar ke belakang. Sungguh pun begitu Sendari tak bisa berlega hari. Pi-sau yang terlempar balik itu tak jatuh ke tanah. Bagai memiliki nyawa. Pisau berbalik dan meluncur kembali ke arah Sendari. Kali ini bagian yang dituju adalah leher!
Meski terkejut melihat kejadian yang tak disangka-sangka ini, Sendari tak menjadi gugup. Nenek ini menggunakan kebutannya untuk menghalau serangan pisau. Tak repot memang. Tapi ketika lelaki berpakaian coklat menambah jumlah pisaunya, Sendari mulai kelabakan.
Istri Resi Druna ini berlari ke sana kemari menyelamatkan diri dari tangan-tangan maut yang meluncur ke arahnya. Terlihat menggelikan betapa nenek itu tampak sibuk menangkis dan mengelak dari serangan-serangan pisau yang seperti mempunyai pikiran.
Lelaki berpakaian coklat hanya memperhatikan dengan senyum sinis tersungging di bibir. "Ingin ku tahu sampai berapa lama kau dapat bertahan, Peot?!" guman lelaki itu dalam hati.
Ketika puluhan jurus telah berlalu, gerakan Sendari mulai mengendur. Nenek ini merasa kelelahan. Di samping karena usia tua, bertarung dengan cara de-mikian benar-benar menguras tenaga. Tidak hanya lelah badan, tapi juga lelah pikiran!
Crattt!
"Aaakh...!" Sendari memekik kesakitan. Salah satu pisau menyayat bahunya. Darah pun merembes keluar dari kulit dan daging yang terkoyak. Sendari terhuyung-huyung. Saat itu dua pisau lain meluruk ke arahnya. Pisau yang telah berhasil melukai Sendari meliuk, kemudian mengikuti dua pisau sebelumnya.
Sendari hanya bisa membelalakkan mata lebar-lebar. Nenek ini ingin mengelak, tapi keadaan sudah tak memungkinkan lagi. Dia telah terlalu lelah. Sendari hanya bermaksud memapaki apabila pisau-pisau me-luncur dekat.
Sing, sing, singggg!
Zebbb, zeb, zebbb!
Di saat yang amat genting bagi keselamatan Sendari meluncurlah sebatang pohon pisang. Batang tanaman yang panjangnya hampir satu tombak itu menyela di antara pisau-pisau dan Sendari. Akibatnya, batang pisang itu yang menjadi sasaran pisau-pisau lawan. Pisau-pisau amblas ke batang pisang sampai ke gagangnya.
"Keparat!" maki lelaki berpakaian coklat Pandangannya di edarkan berkeliling. "Siapa yang berani mati mencampuri urusan Sangka Ruti?! Kalau memang jantan, keluar!"
Sendari juga mengedarkan pandangan. Nenek ini tahu ada seseorang yang telah menolongnya. Dan ketika seruan lelaki yang bernama Sangka Ruti lenyap, seperti hendak membuktikan ketidak-pengecutannya sesosok bayangan ungu melesat turun dari atas wu-wungan rumah!
"Sebutkan namamu sebelum kukirim nyawamu ke neraka, Keparat! Sangka Ruti tak pernah berkeinginan membunuh orang yang tak terkenal!" sera Sangka Ruti ketika sosok berpakaian ungu telah menjejak tanah.
Sosok berpakaian ungu itu ternyata seorang pemuda berwajah tampan. Rambutnya yang panjang dan berwarna putih keperakan semakin menambah keangkeran sikapnya. Pemuda ini terlihat tak tersinggung mendapat teguran kasar dari Sangka Ruti. Sikapnya tetap tenang, memperlihatkan kematangan diri.
"Namaku Arya Buana. Panggil saja Arya," beri tahu pemuda berambut putih keperakan.
Baik Sangka Ruti maupun Sendari tak tampak kaget mendengar nama Arya Buana. Bahkan andaikata pemuda ini memperkenalkan julukannya, kedua pendengarnya itu tak akan kaget. Baik Sangka Ruti maupun Sendari belum pernah mendengar julukan itu. Yang satu karena terlalu lama mengeram diri. Sedangkan yang lain karena belum lama menampakkan diri ke dunia persilatan!
"Terimalah kematianmu, Anjing Kurap!" Sangka Ruti yang tengah dilanda kemarahan tak tanggung-tanggung lagi dalam melancarkan serangan. Lima batang pisaunya di lemparkan pada Dewa Arak! Padahal, tiga batang pisau saja telah cukup untuk membuat Sendari hampir kehilangan nyawa.
Dewa Arak tak berani bertindak gegabah. Pemuda ini telah tahu keluar-biasaan pisau-pisau milik Sangka Ruti. Arya telah lama memperhatikan pertempuran Sendari dengan pisau-pisau sebelum menemukan cara yang tepat untuk menolongnya.
Memang, sejak Sangka Ruti melesat menuju pondok untuk kemudian menghancurkan daun pintu, Dewa Arak telah menaruh curiga. Arya mengenal Sangka Ruti sebagai pemuda yang mencoba keampuhan ilmu 'Mata Dewa' Darmakala. Arya khawatir Sangka Ruti bermaksud kurang baik terhadap si nenek. Begitu daun pintu dihancurkan Sangka Ruti, Dewa Arak bergegas turun dari pohon dan melesat ke arah pondok Sendari.
Maka, ketika melihat Sangka Ruti mulai mempergunakan senjatanya yang luar biasa, Dewa Arak dengan cara yang tak kalah luar biasa mengambil batang-batang pisang kemudian diletakkannya di atas atap pondok.
Dewa Arak hanya melambaikan tangan seperti tengah memanggil seseorang. Sesaat kemudian, sebatang gedebong pisang berukuran satu tombak telah berada di genggaman tangannya. Dengan batang pisang ini Dewa Arak menghadapi serbuan lima batang pisau.
Menurut perkiraan Dewa Arak, hanya dalam beberapa gebrakan saja pisau-pisau Sangka Ruti akan dapat dilumpuhkan. Tapi, pemuda ini ternyata salah terka. Pisau-pisau seperti benar-benar mempunyai pikiran. Setiap kali Dewa Arak memapaki serangan agar pisau-pisau itu amblas ke batang pisang, usahanya selalu gagal. Benturan yang terjadi membuat pisau-pisau terpental ke belakang hingga tak menancap pada batang pisang.
Belasan jurus tindakan itu dilakukan. Dewa Arak menjadi penasaran. Pemuda ini merasa dipermainkan. Lawan yang dihadapinya padahal hanya senjata yang berupa benda mati. Tapi, dia tidak mampu mengatasinya. Amarah yang timbul membuat Dewa Arak mengambil tindakan lain.
Ketika untuk kesekian kalinya lima batang pisau meluncur ke arahnya, Dewa Arak mendorongkan tapak tangan kanannya yang terbuka. Deru angin keluar dan meluncur dengan kuat bukan main, laju lima batang pisau itu langsung tertahan. Pi-sau-pisau berhenti di tengah Jalan!
Saat ini yang memang ditunggu-tunggu Dewa Arak. Tangan kirinya yang memegang gedebong pisang diayunkan menghantam pisau-pisau yang tengah tertahan di udara.
Zeb, zeb, zeb....!
Lima batang pisau itu langsung amblas ke dalam gedebong pisang. Arya kemudian membanting batang pisang karena sudah tak diperlukan lagi.
Sangka Ruti menatap Dewa Arak dengan sepasang mata seperti mengeluarkan api. Lelaki ini tak melakukan tindakan apa pun. Dia hanya mengarahkan pandangan berganti-ganti pada Dewa Arak dan pisau-pisaunya yang masih tersisa di bagian dalam rompi.
Dewa Arak dan Sendari menunggu tindakan Sangka Ruti selanjutnya. Lelaki berpakaian coklat itu tampaknya merasa bimbang untuk melancarkan serangan. Cukup lama Sangka Ruti tenggelam dalam alun kebimbangan. Tapi, akhirnya sebuah keputusan diambilnya.
Tanpa banyak bicara tubuhnya dibalikkan, lalu secepat kilat kakinya diayunkan meninggalkan tempat itu. Sungguh pun demikian, Sangka Ruti masih sempat meninggalkan ancaman lewat sorot matanya pada Dewa Arak dan Sendari.
Dewa Arak dan Sendari tak mencegah kepergian Sangka Ruti. Sendari tak berani bertindak gegabah karena menyadari kelebihan Sangka Ruti dibanding dirinya. Sedangkan Dewa Arak, dia tak mempunyai urusan dengan lelaki itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Arya. Kau telah menyelamatkan nyawaku hingga esok masih bisa melihat munculnya sang surya dan merasakan kehanga-tan sinarnya," ujar Sendari seraya menatap Dewa Arak dengan pandangan penuh rasa terima kasih.
"Lupakanlah, Nek. Keberadaanku di sini hanya karena ketidaksengajaan. Aku berjalan mengikuti ke mana ayunan kakiku menuju. Dan aku yakin ini merupakan kehendak Hyang Widhi. Maka, lebih baik kalau kita bersyukur pada Nya," kilah Arya.
"Apa yang kau katakan memang benar, Arya. Kalau saja tak terjepit waktu dan kesempatan, aku suka sekali berbincang-bincang denganmu. Tapi sayang, banyak orang yang telah menantikan kehadiranku. Aku tak bisa berlama-lama di sini. Atau, kau ingin ikut bersamaku?"
Arya menggelengkan kepala. Pemuda ini dapat merasakan adanya keraguan dalam ajakan Sendari. Ajakan itu tak keluar dari hati yang tulus, melainkan karena basa-basi. Arya menghibur diri dengan beranggapan kalau si nenek tengah mempunyai masalah pribadi.
"Kebetulan aku tengah ingin menyendiri, Nek. Mungkin aku akan tinggal di tempat ini beberapa waktu, lamanya. Tempat ini kelihatannya jarang disinggahi orang."
"Kalau itu memang sudah keputusanmu, apa boleh buat?" kilah Sendari. "Kalau kau mau, kau bisa tinggal di pondokku. Selamat tinggal, Arya."
"Selamat jalan, Nek," balas Arya.
"Kau yakin bukit itu yang dimaksud dalam petamu yang hilang, Sendari?"
Pertanyaan itu dilontarkan Resi Druna. Kakek ini bersama istrinya, Darmakala, Wudani dan Kemani, berdiri di atas gundukan batu yang menjulang tinggi di kaki gunung. Pandang mata mereka ditujukan ke arah sebuah bukit beberapa puluh tombak di depan mereka.
Panjang dan lebar bukit itu belasan tombak. Bagian bawahnya besar. Semakin ke atas semakin kecil, mirip segi tiga sama sisi. Tinggi bukit kira-kira lima puluh tombak. Pada ketinggian sekitar dua puluh lima tombak dari tanah terlihat sebuah lubang yang gelap dan pekat. Tampaknya lubang itu adalah gua yang cukup besar.
"Aku tak yakin, Kak Druna," Sendari merubah panggilan pada suaminya. "Tapi, kurasa tak ada salahnya kalau kita mencoba. Toh, hal itu tak akan merugikan. Hhh...! Kalau ku tahu akan ada orang yang merampas gulungan peta itu, tentu akan kuperhatikan baik-baik semua tanda-tanda yang ada. Bahkan kalau mungkin akan ku hafalkan. Sayang...,"
"Kau kan sempat melihatnya lagi sebelum menyelipkannya di pinggang, Bi?" cetus Kemani setengah mengingatkan.
Tidak hanya Kemani yang mengetahui hal itu, tapi semua anggota rombongan. Sendari telah menceritakan sebelumnya. Dan sekarang mereka semua menunggu jawaban Sendari.
"Memang. Tapi hanya sekilas. Tanda-tanda yang ada mirip dengan keadaan di tempat ini. Aku separuh yakin kalau tempat inilah yang dimaksud dalam peta."
"Kalau begitu tunggu apa lagi, Bibi? Kita satroni saja tempat itu. Kalau yang lain tak setuju, biar mereka menunggu di sini. Aku bersedia menemanimu naik ke atas sana!" cetus Kemani berapi-api.
"Kau jangan salah mengerti, Kemani," bantah Resi Druna. "Bukannya kami tak membuktikan kebenaran keterangan Sendari. Tapi, aku khawatir dengan sikap coba-coba itu. Bukan tak mungkin gua yang akan kita masuki merupakan tempat tinggal tokoh persilatan yang mengasingkan diri. Kedatangan kita beramai-ramai akan mengganggunya," jelas Resi Druna.
"Mengapa kau jadi seperti anak kecil, Kek. Berikan dia alasan apa saja. Kalau dia tak menerima, aku tak akan terlalu bodoh untuk menempurnya!" tandas Kemani penuh semangat Resi Druna, Sendari, Darmakala, dan Wudani tersenyum simpul melihat semangat Kemani. Mereka tak merasa tersinggung mendengar perkataan gadis itu. Kemani hanya terlalu menuruti perasaan, bukan sedang mengejek kehati-hatian mereka.
Resi Druna mengerling ke arah Sendari, Darmakala, dan Wudani. "Kurasa tidak ada salahnya kalau kita mencoba usul, Kemani. Sebuah usul yang cukup baik," ujarnya kemudian.
Persetujuan Resi Druna semakin menambah semangat Kemani. Gadis yang memiliki keberanian besar ini segera melesat mendahului yang lainnya. Kakinya yang mungil dan berbentuk bagus beberapa kali menotol bebatuan untuk segera sampai di depan gua. Pada bagian depan gua terdapat bagian batu yang menjorok, panjangnya sekitar setengah tombak. Di bagian inilah Kemani mendaratkan ke dua kakinya.
"Monyet dari mana berani mati mengganggu ketenangan ku?!"
Seiring terdengarnya bentakan itu, serentetan angin berpusar menyerbu Kemani. Gadis ini buru-buru menjulurkan kedua tangannya. Dilancarkannya dorongan angin pukulan untuk menangkal serangan yang datang.
"Uhkh...!" Perlawanan Kemani kandas di tengah jalan. Angin pukulannya lenyap begitu saja. Serangan yang datang secara berputar seperti menelan angin pukulan Kemani. Dan, serangan itu terus meluncur ke arah si gadis dengan kedahsyatan yang tidak berkurang. Kemani tampak terperanjat bukan main.
Kemani tak ingin nyawanya melayang begitu saja. Dia berusaha melompat untuk menghindari serangan lawan. Tapi, serasa terbang semangat gadis ini ketika mengetahui sekujur otot dan urat-uratnya terasa lemas. Nyawanya kini bagai telur di ujung tanduk. Dia tak bisa melompat atau mengelak.
Namun Kemani memiliki otak yang cukup cerdik. Dia berpikir cepat untuk menyelamatkan nyawanya. Kemani mengikuti keadaan tubuhnya yang sudah tak berdaya. Karena untuk melompat merupakan hal yang tak mungkin, gadis ini menjatuhkan diri mengikuti lemasnya tubuhnya.
Usaha Kemani ternyata tak berhasil mulus. Jatuh tubuhnya terlalu lambat. Angin yang bergerak berputar tetap menghantamnya, meski hanya mengenai bahu kiri. Ternyata akibatnya tetap dahsyat. Tubuh Kemani terpental ke belakang dalam keadaan berputar. Dari mulut gadis ini menyembur darah segar. Dan karena tempat di belakang Kemani tak ada yang dapat di-jadikan tempat berpijak, tubuhnya melayang ke bawah dalam keadaan berputar.
"Kemani...!" Sendari memekik keras melihat keadaan Kemani. Nenek ini memang belum bergerak dari tempatnya. Hanya Resi Druna yang sudah melesat menyusul Kemani. Kakek itu pun tak mampu berbuat sesuatu untuk menolong Kemani. Semua kejadian itu berlangsung demikian cepat.
"Tak seorang pun boleh hidup setelah berani menginjak tempat kediamanku!" Seruan keras itu berasal dari dalam gua. Disusul dengan meluncurnya benda-benda kekuningan yang meluncur mengikuti tubuh Kemani.
Pada saat itulah Resi Druna menjejakkan kaki di depan gua. Tepat pada saat benda-benda kekuningan telah jauh melewati mulut gua. Resi Druna menjadi bimbang sejenak.
"Haruskah kutolong Kemani lebih dulu?" pikir kakek berjubah kuning ini.
Sebelum Resi Druna sempat melaksanakan maksudnya, dari dalam gua bertiup angin keras yang meluncur secara berputar ke arahnya. Resi Druna kembali menjadi bimbang. Kakek ini khawatir kalau me-nyelamatkan Kemani lebih dulu dirinya tak akan mempunyai kesempatan menghadapi serangan lawan.
Kebimbangan Resi Druna sirna ketika melihat Sendari telah bertindak cepat Nenek itu meloloskan sabuk dan melemparkannya ke arah Kemani. Tanpa membuang-buang waktu lagi Resi Druna segera memapaki serangan dari dalam gua. Dilontarkannya pukulan jarak jauh dengan seluruh pengerahan tenaga dalamnya.
Resi Druna yang telah kenyang pengalaman secepat dapat mengetahui keanehan serangan lawan. Maka, dia pun melancarkan pukulan jarak jauh yang mengandung pusaran angin.
Blarrrr!
Bunyi keras terdengar ketika dua pukulan jarak jauh berbenturan di tengah jalan. Tubuh Resi Druna terpental ke belakang dalam keadaan berputar. Kakek ini terkejut bukan main merasakan sekujur ototnya seperti lumpuh. Dadanya juga terasa sesak. Sadarlah ia kalau pemilik serangan dari dalam gua memiliki te-naga dalam amat kuat!
Pada saat yang bersamaan dengan terlemparnya tubuh Resi Druna, sabuk Sendari melilit sekujur tubuh Kemani dan membawanya ke arah pemiliknya. Benda-benda kekuningan itu pun meluncur lewat tanpa mendapatkan sasaran. Tubuh Kemani yang terbelit sabuk jatuh di tangan Sendari yang sudah bersiap menyambutnya. Sekejapan kemudian, menyusul Resi Druna yang menjejakkan kedua kaki di tanah.
Kakek berjubah kuning itu berhasil mendarat dengan mantap. Tapi, parasnya masih menampakkan keterkejutan besar. Cepat pandangannya dialihkan ke arah Sendari yang telah menurunkan tubuh Kemani dan membebaskannya dari belitan sabuk.
"Orang yang berada di dalam gua memiliki kepandaian amat tinggi. Tenaga dalamnya kuat bukan main," beritahu Resi Druna.
"Mudah-mudahan saja hanya tenaga dalamnya yang dahsyat, tapi kepandaiannya tak terlalu tinggi," timpal Sendari setengah berharap.
Baru saja Sendari selesai berbicara, dari dalam gua melesat sesosok bayangan kuning. Gerakannya cepat bukan main sehingga bentuk tubuhnya tak terlihat jelas. Yang tampak hanya sekelebatan bayangan kuning.
Sekejapan saja, sosok bayangan kuning telah berada di depan rombongan Resi Druna. Sosok itu berdiri dalam jarak beberapa tombak. Kini rombongan Resi Druna bisa memperhatikan sosok kuning itu secara jelas.
Sosok kuning itu ternyata seorang kakek berusia delapan puluh tahun. Tubuhnya kecil kurus dengan kumis panjang menjuntai ke bawah mirip kumis tikus. Pakaian kuning membungkus sekujur tubuhnya. Kakek berpakaian kuning berdiri dengan mempergunakan dua batang tongkat yang dikempitkan di ketiak. Kedua tongkat kakek itu lebih panjang dari kakinya, sehingga kedua telapak kakinya menggantung tak menyentuh tanah.
Ditatapnya wajah rombongan Resi Durna satu per satu. Resi Druna, Sendari, Darmakala serta Wudani segera tahu kalau kedua kaki si kakek lumpuh! Kedua batang tongkat di pergunakan untuk menopang berdirinya.
"Maafkan kalau kami membuat ketenanganmu terganggu, Sobat. Tapi, percayalah. Kami tak bermaksud jahat. Kedatangan kami ke sini tak bermaksud mengganggumu. Sekali lagi kami mohon maaf."
Kakek berpakaian kuning menatap Resi Durna. Tidak ada keramahan sedikit pun pada paras mau pun sorot matanya. "Tidak ada maaf bagi orang yang berani mengganggu ketenangan ku!" tandas kakek berpakaian kuning.
"Sombong!" bentak Sendari yang mempunyai watak tak sabaran. Nenek ini merasa tersinggung melihat sikap kakek lumpuh. "Kau kira kami takut padamu? Ingin ku tahu sampai di mana kepandaianmu sehingga berani bersikap sesombong ini!"
Resi Durna segera menggamit lengan Sendari yang sudah melangkah maju. Tindakan Sendari dianggapnya terlalu menuruti amarah. Tapi, Sendari menyentakkan tangan suaminya hingga lepas dari cekalan.
Tanpa mempedulikan Resi Durna lagi dia melompat, menerjang lawan. Nenek ini meski telah tua dan kelihatan lemah ternyata memiliki kegesitan luar biasa. Dilancarkannya serangan bertubi-tubi dengan mempergunakan kedua kaki.
Kakek berpakaian kuning mendengus. Tampaknya dia meremehkan serangan Sendari. Dengan kedua tongkat terkepit di ketiak di elakkannya tendangan lawan yang bertubi-tubi. Bagai memiliki kaki yang wajar kakek ini berlompatan ke sana kemari.
Sampai beberapa jurus Sendari mengirimkan se-rangan dengan kedua kakinya. Tapi, semua serangan itu tak satu pun mengenai sasaran. Sendari semakin kalap. Di jurus ke tujuh belas nenek ini mengirimkan gedoran kedua tangan ke arah dada. Kali ini kakek lumpuh tak berusaha mengelak. Dia malah melakukan hal yang sama dengan lawan.
Blarrr!
Sendari mengeluarkan jeritan tertahan. Kedua tan-gannya berbenturan dengan kedua tangan lawan. Tu-buhnya melayang deras ke belakang bagai daun kering diterbangkan angin. Sekujur tangan Sendari terasa lumpuh. Kakek berpakaian kuning hanya bergoyang-goyang tubuhnya. Padahal, kakek ini berdiri dengan kedua tongkat.
Resi Druna tak bisa menahan sabar lagi. Betapa-pun antara dirinya dengan istrinya masih terdapat ganjalan, penghinaan terhadap Sendari sama artinya dengan menghina dirinya.
"Tidak patut seorang lelaki menghadapi perempuan. Hadapi aku! Kita buktikan siapa yang lebih patut untuk disebut lelaki!"
Diawali pekikan melengking Resi Druna menyodokkan tongkatnya ke arah dada si kakek. Tongkat Resi Druna besar dan berat. Jangankan dada manusia yang terdiri dari tulang dan daging, batu karang yang paling keras pun akan hancur terkena sodokannya.
Kakek berpakaian kuning tidak bergeming dari tempatnya. Baru ketika serangan menyambar dekat kakek ini bertindak cepat. Tongkat itu dijepitnya den-gan kedua telapak tangan yang disatukan.
Tappp!
Ujung tongkat Resi Druna berhenti beberapa jari dari sasaran. Resi Druna tak mau mengalah. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya pada kedua tangan, lalu disalurkan pada tongkat. Tapi maksud Resi Druna tak terkabul. Tongkatnya tak bergeming sedikit pun dari jepitan kedua tangan kakek berpakaian kuning. Betapapun Resi Druna berusaha keras sampai wajahnya merah padam, tongkat tak bergerak maju sedikit pun.
Resi Druna segera sadar usahanya akan berakhir sia-sia. Buru-buru digantinya cara lain. Sekarang dia tak lagi berusaha mendorong, melainkan menariknya. Namun seperti juga sebelumnya, usahanya kali ini pun tak membuahkan hasil.
"Akan kau dapati suatu kenyataan kalau kau ternyata bukan seorang lelaki!" dengus kakek berpakaian kuning.
Bukan hanya Resi Druna saja yang terkejut mendengar ucapan kakek itu. Darmakala, Wudani, dan Sendari pun dilanda perasaan sama. Sendari telah berhasil menjejak tanah, meski agak terhuyung-huyung, sebelum Resi Druna terlibat pertarungan dengan kakek berpakaian kuning.
Tokoh-tokoh itu terkejut karena tahu betapa berbahayanya berbicara di saat tengah mengadu tenaga dalam. Hal itu akan mengakibatkan aliran tenaga dalam menghantam si pembicara tak hanya dari aliran tenaga dalam lawan, tapi juga dari tenaga dalamnya sendiri yang membalik. Tapi, kenyataannya kakek berpakaian kuning mampu melakukan tanpa mengalami akibat apa pun.
Belum lagi hilang keterkejutan yang melanda, Resi Druna menerima keterkejutan. Tenaga dalamnya mengalir dengan deras ke arah lawan. Resi Druna tentu saja tak menginginkan hal itu terjadi. Nyawanya akan melayang karena kehabisan tenaga. Ketika semua itu berlangsung Sendari melihat suatu keanehan.
"Tidak salahkah penglihatanku?!" pikir Sendari, "Bukankah itu ilmu 'Ulat Sutera'. Ilmu yang hanya dimiliki oleh Ulat Emas Pemetik Bunga."
Sesampainya di puncak Sangka Ruti mendapati sebuah pondok sederhana, berdinding bilik dan beratapkan rumbia. Pondok itu mempunyai lantai pang-gung yang disangga kayu bulat dan besar setinggi setengah tombak di keempat sudutnya. Lantai pondok dari papan dan mempunyai pendapa yang luas. Tak terlihat ada seseorang di sana.
Kendati demikian, Sangka Ruti tahu pasti di dalam pondok itu ada penghuninya. Dari celah-celah jendela dan pintu dilihatnya asap mengepul. Bau khas ramuan obat-obatan menyebar. Pondok itu memang merupakan tempat tinggal seorang kakek yang terkenal seba-gai ahli pengobatan.
Sangka Ruti melompat ke atas dan mendarat di lantai papan tanpa bunyi sedikit pun. Dengan berjingkat-jingkat ringan didekatinya daun pintu. Pendenga-rannya dipasang setajam mungkin agar dapat mendengar bunyi sekecil apa pun.
"Kurasa sudah cukup, Kisanak. Minumkan saja ramuan itu. Aku yakin dia akan segera sembuh."
Ucapan itu membuat Sangka Ruti tahu kalau pemilik pondok tengah menerima tamu. Hal itu tak mengejutkannya. Orang yang akan dijumpainya memang banyak didatangi orang untuk dimintai pertolongan. Tapi kelanjutan ucapan yang sangat mengejutkan lelaki berpakaian coklat ini.
"Maaf, kalau aku seperti kurang sopan. Tampaknya masih ada orang yang ingin menjumpai ku. Dan orang itu tak ingin kedatangannya kuketahui...."
Sangka Ruti seperti menerima hantaman keras pada dadanya. Ucapan itu merupakan pertanda kedatangannya telah di ketahui. Padahal, hampir seluruh ilmu meringankan tubuhnya telah dikerahkan.
"Wahai orang yang berada di luar, tak usah ragu-ragu. Silakan masuk...!" seru suara dari dalam pondok, lantang dan bernada tenang.
Berbarengan dengan selesainya ucapan itu, daun pintu pondok bergerak membuka. Tapi, tak ada seorang pun berada di balik pintu. Daun pintu itu bergerak sendiri! Dan ketika seluruh daun pintu telah terkuak, terlihatlah oleh Sangka Ruti apa yang berada di dalam ruangan.
Ruangan di dalam pondok ternyata cukup luas. Apalagi karena hampir tidak ada perabotan yang berarti di sana. Hanya sebuah balai-balai bambu dan sebuah kursi sederhana. Di atas balai duduk bersila seorang kakek bertubuh tinggi besar. Sekujur tubuhnya dipenuhi urat-urat yang melingkar. Wajahnya persegi dan ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat. Tak hanya kumis, tapi juga cambang dan jenggot. Pakaian abu-abu yang serba kebesaran membungkus tubuh si kakek.
Sangka Ruti berdiri angkuh di ambang pintu. Matanya yang memiliki sorot dingin memandang kakek pemilik pondok.
"Ada yang bisa kubantu, Anak Muda? Apakah ada di antara anggota keluargamu yang sakit? Kulihat kau tak sedang menderita suatu penyakit. Kalau dugaanku benar, tak usah ragu-ragu untuk mengatakannya," ujar kakek berpakaian abu-abu dengan suara lembut.
Tanggapan Sangka Ruti adalah dengusan mengejek "Tak usah berpura-pura, Tua Bangka! Orang lain boleh kau bohongi. Tapi, jangan harap kau dapat melakukan hal itu pada Sangka Ruti!"
Wajah kakek tinggi besar langsung berubah hebat. Tapi, hanya sekilas. Yang tampak kemudian adalah bias kebingungan di wajahnya. "A... apa maksudmu, Ruti?!" tanya si kakek tanpa menyembunyikan perasaan heran yang melanda.
"Maksudku sudah jelas, Tua Bangka!" sahut Sangka Ruti dengan senyum sinis tersungging di bibir. "Kau sebenarnya bukan tukang obat! Kau adalah tokoh persilatan yang memiliki kepandaian lumayan. Kau beralih menjadi tukang obat karena sikap pengecut mu. Seekor anjing kudisan masih lebih baik dari pada kau!"
Kakek tinggi besar menampakkan kemarahan hebat pada sepasang matanya. Ucapan Sangka Ruti sangat menyinggung harga dirinya. Tapi, rupanya dia segera dapat menguasai diri. "Akhirnya apa yang kuramalkan terjadi juga," ucap kakek itu dengan sikap dan suara tenang. "Memang, betapapun rapinya menyembunyikan barang busuk akhirnya baunya akan menyebar juga."
"Dengan kata lain, kau mengakui kalau selama ini telah bersikap pengecut untuk menyelamatkan nyawamu, Tua Bangka Licik!"
"Tak ku sangkal kebenaran ucapanmu itu, Anak Muda. Tapi perlu kau ketahui, setiap orang mempunyai rasa takut. Apabila rasa takut itu muncul, akal sehat akan kehilangan kegunaannya dan tindakan yang tak wajar pun dilakukan. Harus kuakui kalau aku pun ikut-ikutan melakukan hal yang sama."
"Aku tak butuh pembelaan dirimu, Tua Bangka!" sembur Sangka Ruti, kasar. "Yang kuinginkan adalah pengakuanmu! Aku ingin tahu apakah kau masih bersikap pengecut?"
"Tak usah membakar-bakar harga diriku dengan ucapan seperti itu, Anak Muda. Katakan saja apa yang kau inginkan!"
"Bagus kalau demikian!" dengus Sangka Ruti. "Sekarang katakan siapa kau sebenarnya?!"
Kakek tinggi besar tidak segera menjawab. Dia malah tersenyum. Kemudian, tanpa menggerakkan tubuh atau kaki kakek ini mampu membuat tubuhnya melayang naik ke atas dalam keadaan masih duduk bersila!
Sangka Ruti hanya mencibirkan bibir melihat perbuatan kakek itu. Baginya hal seperti itu bukan merupakan sesuatu yang luar biasa. Dia sendiri mampu melakukannya. Kerutan di atas Sangka Ruti mulai tercipta ketika melihat kelanjutan tindakan si kakek. Balai-balai bambu tempatnya duduk tadi bergeser ke arah Sangka Ruti. Pemuda berpakaian coklat itu hampir tak percaya. Balai-balai bambu bagai memiliki roda. Terlihat jelas kaki-kaki balai bergesekan dengan lantai, tapi tak terdengar bunyi apa pun.
Sangka Ruti bersikap waspada. Pemuda ini bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tak diharapkan. Bukan tak mungkin balai-balai bambu itu dipergunakan menyerangnya. Namun, kekhawatirannya ternyata tak beralasan. Balai-balai bambu berhenti bergeser beberapa jengkal darinya.
Pada saat yang bersamaan kakek tinggi besar me-nurunkan kedua kakinya. Sekarang kakek itu berdiri di lantai seraya menatap Sangka Ruti dengan penuh selidik.
"Sebenarnya..., jika menuruti aturan sudah sepantasnya kau kuberikan hukuman, Anak Muda. Kau datang tanpa kuundang. Menghinaku dan bahkan berani menanyakan siapa diriku sebenarnya. Apa hakmu atas semua itu?!" ujar kakek tinggi besar berapi-api.
"Aku memang tak berhak! Tapi orang yang menjadi guruku amat berhak. Dan, guruku telah menyerahkan haknya kepadaku!"
"Siapa gurumu?"
"Aku akan menyebutkannya, Tua Bangka! Tapi, sebelum itu biar ku terka dulu siapa adanya dirimu. Bukankah kau orang yang dulu bernama Jagasena?!"
Wajah kakek tinggi besar beriak hebat. Terkaan Sangka Ruti rupanya mengenai sasaran dengan tepat.
"Apakah kau terlalu pengecut sehingga tak berani mengakui namamu sendiri, Jagasena?!" ejek Sangka Ruti.
"Siapa yang hendak menyangkal, Anak Muda? Mulutmu terlalu lancang! Aku memang Jagasena! Sekarang, apa kehendakmu?!"
"Kurasa, aku tak perlu menjelaskannya padamu, Jagasena," sahut Sangka Ruti, ringan. "Kau kenal benda ini?"
Jagasena mengalihkan pandangan ke arah benda yang diangsurkan Sangka Ruti. Sebuah benda dari logam kekuningan yang berbentuk seperti ulat bulu! Benda itu di ambil Sangka Ruti dari balik bajunya. Sepasang mata Jagasena membelalak lebar seperti hendak melompat keluar dari rongganya. Kakek ini kenal betul dengan benda di tangan Sangka Ruti.
"Bagaimana, Jagasena? Kurasa sudah cukup bagimu untuk mengenali benda ini, bukan?! ucap Sangka Ruti seraya memasukkan kembali logam kuning itu ke balik bajunya. "Dan, kurasa kau sudah tahu siapa guruku?"
Jagasena hanya tersenyum pahit. Senyum kakek itu mempunyai arti yang sama dengan anggukan kepala.
"Sekarang, kurasa kau tahu maksud kedatanganku menjumpai mu. Aku membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengetahui di mana kau bersembunyi. Kini sudah tiba waktunya bagimu untuk menerima sakit hati guruku!"
"Mengapa harus kau yang diutusnya?! Kau masih, muda dan berilmu mentah. Kurasa lebih baik kalau gurumu sendiri yang menemuiku dan mengurus persoalan lama itu. Akan terlihat lebih adil dan seimbang. Tua sama tua!"
"Menghadapi orang seperti kau tak perlu guruku. Aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk melepaskan nyawamu!" sesumbar Sangka Ruti.
Sangka Ruti tak menunggu lebih lama. Dia melompat ke arah Jagasena laksana harimau menerkam calon korbannya. Kedua tangannya terkembang membentuk cakar dan meluncur ke arah dada dan leher Jagasena. Jagasena hanya tersenyum, sikapnya terlihat sebagaimana orang dewasa menghadapi anak kecil. Kaki kanannya lalu dijejakkan sekali ke tanah. Tiba-tiba balai-balai bambu terangkat ke atas secara cepat.
Sangka Ruti meraung keras, geram melihat balai-balai bambu menghalangi serangannya. Naiknya balai-balai memaksa Sangka Ruti bersalto beberapa kali di udara. Kalau hal itu tak dilakukannya, balai-balai bambu itu yang akan diterjangnya.
"Gerakan yang lumayan...," puji Jagasena melihat kelincahan gerak Sangka Ruti.
Pujian Jagasena memang tidak berlebihan. Sangka Ruti luar biasa lihai. Meski telah terhambat balai-balai bambu, serangannya tak menjadi pupus. Sambil melompat melewati balai-balai dilancarkannya serangan lanjutan.
Jagasena terlihat segan bertarung sungguh-sungguh. Tangannya dikibaskan seperti orang mengusir lalat. Sesaat kemudian, balai-balai bambu melayang ke arahnya. Jagasena mengulurkan tangan menangkap salah satu kaki balai-balai. Bersamaan dengan itu serangan Sangka Ruti meluncur tiba. Jagasena mengayunkan tangannya. Balai-balai bambu pun bergerak menyampok Sangka Ruti.
Jagasena tersenyum dikulum. Sekali lihat saja dia tahu kalau untuk mengelak bagi Sangka Ruti sangat mustahil! Memang dapat dilakukan, tapi kemungkinan besar akan terkena hantaman balai-balai.
Ternyata Sangka Ruti pun memperhitungkan hal demikian. Kesempatan baginya untuk mengelak sangat terbatas. Kendati demikian, Sangka Ruti benar-benar memiliki ketenangan yang mengagumkan! Dan karena ketenangannya itulah dia dapat berpikir.
Sangka Ruti membatalkan serangan dan menggantinya dengan tangkisan ke arah balai-balai. Jagasena sempat terkejut melihat tindakan Sangka Ruti. Lawannya itu pasti bisa memperkirakan tenaga yang terkandung dalam serangannya. Lagi pula, tangkisan yang dilakukan tak terlalu tepat karena kedudukan Sangka Ruti sudah terlalu maju. Tangkisan yang dilakukan akan membuat bahu pemuda itu terhantam ujung balai!
"Pemuda ini hanya melakukan perintah gurunya. Usianya pun masih sangat muda. Rasanya agak keterlaluan kalau nyawanya harus melayang," pikir Jagasena menimbang-nimbang. Pikiran ini membuat Jagasena mengurangi tenaga yang tersalurkan dalam ayunan balai-balai.
Trakkk!
"Ah...!" Jagasena tak kuasa untuk menahan seruannya. Terjadi hal yang di luar perkiraan. Bahu Sangka Ruti memang berbenturan dengan salah satu sisi balai-balai, tapi tidak terjadi hal yang dicemaskannya.
Sangka Ruti telah memperhitungkan semuanya. Meski menangkis, dia tak mempergunakan kekerasan. Tak dihadapinya kekerasan dengan kekerasan pula. Sangka Ruti menggunakan tenaga benturan itu untuk melompat tinggi ke atas. Karena kecerdikannya ini, Sangka Ruti tak menderita kerugian sama sekali. Malah ketika tubuhnya me-layang ke atas, pemuda ini masih sempat menyelipkan tangannya ke balik baju. Dan sewaktu Sangka Ruti mengibaskan tangannya terlihat sinar terang menyambar.
Jagasena tak menjadi gugup kendati kaget juga melihat serangan mendadak itu. Balai-balai bambunya digetarkan. Terdengar deru angin keras yang membuat luncuran sinar-sinar berkilat yang ternyata pisau-pisau itu tertahan, tidak bisa maju.
Kakek tinggi besar ini sudah menduga pisau-pisau akan runtuh ke tanah karena kehabisan daya luncurnya. Tapi, hampir Jagasena terpekik tak kuasa menahan keterkejutan. Pisau-pisau itu tak runtuh ke lantai seperti yang diduganya, melainkan meliuk untuk membebaskan diri dari angin ciptaan Jagasena.
Jagasena hampir tak percaya dengan penglihatannya. Tiga batang pisau itu tetap meluncur ke arahnya. Kakek ini segera melakukan tindakan seperti sebelumnya. Dia ingin menghambat laju luncuran pisau-pisau itu lagi. Tapi, hatinya tercekat ketika kali ini pisau-pisau tak terpengaruh. Tiga batang pisau itu segera meliuk sebelum angin ciptaan Jagasena menghantamnya.
Untuk pertama kali selama hidupnya Jagasena harus bertarung menghadapi benda-benda mati. Malah, jalannya pertarungan terlihat sengit seakan kakek itu menghadapi benda hidup yang punya pikiran dan perasaan. Jagasena penasaran bukan main ketika telah belasan jurus bertarung belum mampu memukul roboh pisah-pisau.
Pisau-pisau itu bahkan lebih cerdik dari benda hidup. Beberapa kali Jagasena gagal memukul roboh pisau-pisau karena benda mati itu selalu dapat mengelak. Bahkan, tangkisan-tangkisan Jagasena mempergunakan balai-balai bambu dengan harapan pisau-pisau menancap di balai-balai, tak terkabulkan. Sampai...
Cap, cap, cappp...!
"Akh...!" Jagasena memekik tertahan. Di jurus ketujuh puluh tiga, karena sudah kelelahan, kakek ini bergerak kurang cepat. Tiga batang pisau menghunjam tubuhnya. Seketika Jagasena terhuyung dan akhirnya ambruk di tanah.
Kakek itu berusaha untuk bangkit, tapi ternyata dia tak mampu. Bukan hanya karena keberadaan dua batang pisau pada pahanya. Sekujur urat-urat dan otot-otot tubuhnya mengejang tak bisa digerakkan. Jagasena tahu apa artinya semua ini. Pisau-pisau Sangka Ruti mengandung racun mematikan yang berdaya kerja cepat. Dalam waktu sebentar saja hasilnya telah terlihat.
Sangka Ruti tertawa bergelak. Pemuda itu menatap Jagasena dengan sorot mata penuh kemenangan. "Ingin ku tahu sampai berapa lama kau bisa bertahan, Jagasena! Asal kau tahu saja, racun yang terkandung dalam pisau-pisau itu sangat mematikan!" dengus Sangka Ruti, dingin "Dan sambil menunggu ajalmu, aku ingin menyelesaikan urusan lain. Urusan yang diembankan Guru kepadaku. Kurasa kau tahu, bukan? Guruku kehilangan kejantanannya akibat perlakuanmu yang keji dan curang. Selamat menemui malaikat maut, Tua Bangka! Aku ingin mengambil Batu Kalimaya!"
Jagasena tak mampu berbuat apa pun untuk mencegah tindakan Sangka Ruti. Kakek ini hanya bisa menggertakkan gigi melihat Sangka Ruti melesat masuk ke dalam ruangan khusus yang dijadikan tempat semadinya.
Sesaat kemudian, pemuda berpakaian coklat itu telah keluar. Di tangannya tergenggam sebongkah benda yang memancarkan cahaya berwarna-warni. Jagasena mengeluh dalam hati. Sangka Ruti berhasil mendapatkan Batu Kalimaya.
"Ha ha ha...!" Untuk pertama kalinya Sangka Ruti tertawa. Namun, wajah dan sepasang matanya tak menunjukkan perubahan. Tetap terlihat dingin. "Akhirnya kudapatkan juga apa yang kucari selama ini. Batu Kalimaya! Selamat tinggal, Jagasena. Selamat menghadapi malaikat maut. Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa bergelak yang tak putus-putus Sangka Ruti melesat meninggalkan tempat itu. Pemuda ini tak merasa khawatir Jagasena bisa lolos dari maut! Dia yakin benar Jagasena akan tewas oleh racun pisaunya yang mematikan!
Pada saat yang bersamaan dengan perginya Sangka Run, di tempat lain Ulat Emas Pemetik Bunga tengah terlibat pertarungan dengan Resi Druna. Kakek itu mulai menyerang Ulat Emas yang terkenal sebagai tokoh sesat puluhan tahun lalu. Tapi, usaha Resi Druna kandas. Bahkan sekarang kakek ini terancam maut karena tenaga dalamnya mengalir deras ke arah Ulat Emas.
Sekujur tubuh Wudani tampak menegang hebat menyaksikan pertempuran itu. Terlebih ketika melihat sinar kekuningan yang membias di sekitar telapak tangan Ulat Emas Pemetik Bunga. Wajah wanita ini tampak berubah-ubah.
"Kiranya kau... Jahanam itu...!" desis Wudani penuh dendam.
Hanya sampai di situ saja ucapan Wudani, tapi Darmakala segera bisa menduga siapa orang yang dimaksud istrinya. Darmakala merasakan dadanya sesak oleh amarah yang bergolak. Wudani telah menceritakan padanya mengenai sinar kuning itu. Sekitar dua puluh lima tahun lalu istrinya diperkosa oleh seorang tokoh sesat. Wudani tak mengenal tokoh itu. Dia hanya mengetahui sinar kuning sebagai ciri-ciri pemerkosanya. Untuk mencari si pemerkosa Darmakala mengajak istrinya berkelana dengan berpura-pura menjadi tukang sulap.
"Manusia iblis! Kau harus menebus mahal perbuatanmu yang bejat itu!" raung Darmakala penuh dendam.
Lelaki kecil kurus ini menyampokkan tangan kanannya yang berbentuk cakar ke arah pelipis Ulat Emas Pemetik Bunga. Kemarahan yang melanda membuat Darmakala tak ingat kalau tindakannya itu tidak mencerminkan kegagahan. Lelaki ini menyerang lawan yang tengah bersitegang menghadapi lawan lainnya.
Ulat Emas Pemetik Bunga ternyata tak gugup menghadapi ancaman maut itu. Sambi menggertakkan gigi dikerahkannya tenaga pada kedua tangan hingga tubuh Resi Druna terjengkang ke belakang! Resi Druna yang memang lelah bukan main karena sebagian besar tenaga dalamnya telah tersedot lawan, tak mampu berbuat apa pun. Tubuh kakek ini terbanting ke tanah dengan keras.
Ulat Emas sendiri begitu berhasil melemparkan Resi Druna, segera memapaki serangan Darmakala dengan tindakan yang sama. Kakek itu menyampokkan tangannya untuk menangkis.
Krakkk!
"Akh...!" Darmakala menjerit kaget. Jari-jarinya patah. Karena berbenturan dengan tangan lawan. Kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam sampokan Ulat Emas yang menyebabkan hal demikian. Hanya berkat kelihayannya, Darmakala mampu mendarat di tanah dengan kedua kaki. Padahal, dia terlempar dalam keadaan tubuh berputar-putar.
Darmakala tak menjadi gentar melihat hasil serangannya. Seraya mengeluarkan raungan keras bak harimau terluka, dia kembali melancarkan serangan mematikan. Pada saat yang bersamaan Wudani juga menyerang Ulat Emas Pemetik Bunga.
Plakkk!
Darmakala mengeluarkan keluhan tertahan. Gedoran kedua tangan terbuka ke arah dada lawan disam-but dengan gerakan yang sama. Bukan tindakan lawan yang membuatnya mengeluh, melainkan akibatnya. Kedua tangannya melekat dengan tangan lawan.
Serangan Wudani pun meluncur datang, dan men-darat di punggung Ulat Emas. Gedoran yang mengan-dung pengerahan seluruh tenaga dalam itu mendarat setelah Wudani bersalto di atas kepala Ulat Emas Pemetik Bunga.
Plakkk!
"Eh...?!" Wudani berseru kaget ketika kedua telapak tangannya mendarat di sasaran yang dituju. Tapi, kedua telapak tangannya bagai bukan berbenturan dengan punggung manusia, melainkan setumpukan besar kapas! Seluruh tenaga serangan wanita itu mendadak lenyap. Bahkan kedua tangannya tak bisa dilepaskan dari punggung. Ada tarikan yang amat kuat membuat tangan Wudani melekat. Hati wanita ini tercekat ketika merasakan tenaga dalamnya tersedot ke arah Ulat Emas Pemetik Bunga.
Kejadian yang menimpa Wudani juga dialami Darmakala. Lelaki ini berusaha sekuat tenaga menahan aliran tenaganya, tapi usahanya sia-sia. Dalam sekejapan wajah Darmakala dan Wudani dibanjiri keringat dingin. Keduanya secara cepat menjadi lelah. Pasangan suami istri itu segera sadar, apabila hal ini terus berlangsung mereka akan mati lemas.
Kecemasan Darmakala dan Wudani memang beralasan. Tapi lawan mereka ternyata tak menginginkan hal itu terjadi. Ketika keadaan Darmakala dan Wudani semakin mengkhawatirkan, secara tak terduga-duga Ulat Emas Pemetik Bunga merubah aliran tenaganya. Tidak lagi menyedot, melainkan memberikan!
Darmakala dan Wudani meraung bagai binatang disembelih. Dari mulut, hidung, dan telinga keduanya mengalir darah segar ketika tubuh mereka terlempar ke belakang. Pasangan suami istri ini melayang-layang sebelum terbanting di tanah. Darmakala dan Wudani menggeliat-geliat sebentar. Akhirnya, keduanya diam tak bergerak lagi untuk selamanya. Mereka tewas dengan bagian dalam dada remuk.
Sendari segera tahu diri. Nenek ini sangat yakin Ulat Emas Pemetik Bunga terlalu lihai untuk dihadapi. Resi Druna yang lebih pandai dari dirinya saja dapat dipecundangi tokoh sesat itu. Sekarang suaminya ten-gah duduk bersila untuk memulihkan tenaga dalam-nya yang hilang. Di sebelah Resi Druna, Kemani juga tengah duduk bersemadi untuk menyembuhkan luka dalamnya. Untungnya luka gadis ini tak terlalu parah.
Tanpa sadar Sendari melangkah mundur. Sementara Ulat Emas Pemetik Bunga justru melangkah maju. Dua batang tongkatnya bergerak maju tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun! Padahal, jelas-jelas bagian bawah tongkat bergesekan dengan tanah. Ulat Emas Pemetik Bunga sekarang memiliki tenaga dalam luar biasa dahsyat. Mendadak tokoh sesat itu menghentikan langkahnya. Pendengarannya yang sangat tajam mendengar suara langkah menuju ke tempatnya berada.
Ulat Emas Pemetik Bunga tak perlu menunggu lama untuk mengetahui pemilik langkah itu. Di kejauhan dilihatnya sosok tubuh coklat bergerak cepat ke arahnya. Ulat Emas Pemetik Bunga yang semula bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan, kini mengendurkan kembali urat-urat syarafnya.
"Membuatku kaget saja monyet kecil itu. Kukira siapa," pikir Ulat Emas Pemetik Bunga.
Sosok coklat itu dalam waktu sekejapan kemudian telah berada di depan Ulat Emas Pemetik Bunga. Dan, sosok yang bukan lain Sangka Ruti ini segera memberi hormat.
"Mengapa kau keluar dari tempatmu, Ulat?" sapa Sangka Ruti seenaknya kendati Ulat Emas Pemetik Bunga adalah gurunya. Pemuda ini mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Diperhatikannya sosok-sosok yang berada di situ. "Kiranya kau telah bekerja cukup keras..."
"Monyet-monyet buduk itu membuatku keluar dari tempat tinggalku yang nyaman, Ruti!" dengus Ulat Emas Pemetik Bunga. "Bagaimana? Kau berhasil melaksanakan tugasmu?"
Sangka Ruti menarik napas berat. Penyesalan tampak jelas di wajahnya. "Aku telah berusaha keras, Ulat. Tapi Jagasena ternyata lebih cerdik...."
"Apa maksudmu, Ruti?! Kau gagal?!" kejar Ulat Emas penasaran.
"Tidak sepenuhnya demikian, Ulat" sahut Sangka Ruti. "Jagasena berhasil kutemukan. Dia menyamar menjadi seorang ahli obat. Tempatnya tak jauh dari sini, malah masih satu gunung, Jagasena tinggal di lereng sebelah timur. Aku berhasil menemukannya dan bahkan membunuhnya, Ulat. Sayang..."
"Mengapa, Ruti? Apakah Batu Kalimaya tak ada padanya?!"
"Hampir tepat dugaanmu, Ulat."
"Terangkan yang jelas, Ruti. Jangan sepotong-sepotong seperti itu. Jangan sampai aku nanti lupa kalau kau adalah muridku!" tegas Ulat Emas Pemetik Bunga.
"Kakek pengecut itu rupanya telah berjaga-jaga lebih dulu. Batu Kalimaya telah dihancurkan sehingga hanya berupa bubuk yang tak berguna," beritahu Sangka Ruti.
"Jangan katakan kalau bubuk Kalimaya tak kau bawa, Ruti. Kesalahan itu telah cukup untuk membuatku mengirim nyawamu ke lubang kubur!"
"Jangan khawatir, Ulat. Bubuk Kalimaya kubawa. Nih, terima!" Sangka Ruti melemparkan buntalan kain kecil yang terselip di pinggangnya. Ulat Emas Pemetik Bunga menangkapnya dengan penuh semangat. Tergesa-gesa dibukanya ikatan buntalan kecil itu. Terdapat bubuk halus di dalamnya. Kemudian, pandangannya dialihkan ke arah Sangka Ruti. Kelihatan jelas sikap penuh selidiknya.
"Benarkah ini bubuk Kalimaya, Ruti?!"
"Aku yakin sekali akan hal itu, Ulat. Jagasena memberikan bubuk itu setelah aku mengancam akan membantai orang-orang yang tengah berada di pondoknya," dusta Sangka Ruti yang juga memiliki keinginan untuk mendapatkan Batu Kalimaya. "Kalau kau tak percaya, biar aku yang membuktikan kebenarannya. Kulihat di tempat ini ada betina liar yang dapat dijadikan percobaan. Berikan padaku bubuk itu, Ulat. Lagi pula, untuk apa orang setua kau menginginkan kejantanan kembali? Biar aku yang masih muda dan memiliki hidup lebih panjang."
Ulat Emas Pemetik Bunga kelihatan bimbang. Sikap muridnya terlihat demikian meyakinkan. Tapi, kewaspadaannya mendorong Ulat Emas Pemetik Bunga untuk bersikap hati-hati. Bukan tak mungkin sikap Sangka Ruti hanya merupakan sandiwara.
"Kurasa kau benar, Ruti," ujar Ulat Emas Pemetik Bunga dengan suara berat "Aku memang telah terlalu tua. Dan, mungkin bubuk Kalimaya ini tak akan berarti banyak untukku. Biarlah kau saja yang mendapatkannya."
"Tua bangka gila ini rupanya tak pernah meninggalkan kewaspadaan. Untung aku sudah menduga hal seperti ini dan meminum penangkalnya. Mudah-mudahan saja ini hanya gertakan. Kalau tidak, bisa berbahaya nanti. Tua bangka ini tak akan segan-segan membunuhku," pikir Sangka Ruti yang memiliki otak cerdik.
Dengan sikap gembira yang dibuat-buat Sangka Ruti kemudian menerima angsuran bubuk Kalimaya dari gurunya. Di dekatkannya bubuk itu ke mulutnya dan siap di minum. Sangka Ruti kecewa bukan main ketika melihat tidak adanya cegahan dari Ulat Emas Pemetik Bunga. Kenyataan ini membuat Sangka Ruti kebingungan.
"Celaka...! Mengapa jadi begini? Bubuk ini sebenarnya racun yang amat mematikan. Kalimaya yang asli ada padaku!" keluh Sangka Ruti dalam hati.
Di saat Sangka Ruti tengah dilanda kebingungan dan bubuk Kalimaya telah dituangkan ke mulutnya, Ulat Emas Pemetik Bunga membentak keras. "Hiyaaa...!"
Bubuk Kalimaya yang tengah meluncur ke dalam mulut Sangka Ruti tiba-tiba meliuk ke arah Ulat Emas Pemetik Bunga, lalu meluruk deras ke arah mulut si kakek yang membuka! Bersamaan dengan tertelannya bubuk itu Sangka Ruti tersenyum di dalam hati. Pemuda ini tahu nyawa gurunya tak akan selamat. Bubuk itu adalah racun yang amat mematikan dan berdaya kerja cepat.
Hanya sesaat setelah tertelannya racun, Ulat Emas Pemetik Bunga merasakan tanda-tanda yang menggelisahkan. Kepalanya terasa pusing dan pandangannya berkunang-kunang. Sekujur urat-urat syaraf dan ototnya melemah secara cepat "Keparat...!" desis Ulat Emas Pemetik Bunga. "Bocah keparat itu telah meracuniku. Kurang ajar!"
Sangka Ruti yang mendengar desisan itu tertawa ganda. Tawa gembira penuh nada kemenangan. "Selamat jalan ke lubang kubur, Ulat. Kau boleh memimpikan Kalimaya di neraka. Aku yakin di akhirat kejantananmu akan pulih kembali. Kau bisa bermain cinta dengan setan-setan perempuan di sana!"
Tanpa mempedulikan Ulat Emas Pemetik Bunga yang tengah meregang nyawa, Sangka Ruti mengalihkan perhatian pada Kemani. "Kita bertemu lagi, Wanita Liar. Dulu kau beruntung karena aku masih sakit akibat ilmu yang kupelajari! Sekarang aku telah mendapatkan pemunahnya. Bersiaplah untuk menerima curahan cinta dariku!"
Kemani yang baru saja sadar dari semadinya terkejut melihat Sangka Ruti. Pemuda itu dikenalinya sebagai orang yang telah membunuh ayahnya dan memperkosa dirinya. Untungnya Sangka Ruti hanya besar gairah saja, kejantanannya nol! Betapapun pemuda itu berusaha keras tetap saja keinginannya untuk merenggut kehormatan Kemani kandas. Dengan kesal dan malu Sangka Ruti meninggalkan calon korbannya.
"Kiranya kau...!" desis Kemani penuh dendam. Tapi, seruan Kemani hanya sampai di situ saja. Belum selesai gadis itu bicara tubuhnya tertarik deras ke arah Sangka Ruti, begitu pemuda itu melambaikan tangan ke arahnya. Kemani berusaha keras untuk mematah-kan pengaruh yang melanda. Tapi dia gagal. Secara de-ras tubuhnya melayang.
Sendari tak membiarkan muridnya yang tak diakui sebagai murid itu celaka di tangan Sangka Ruti. Dia melompat menerjang si pemuda. Di dalam hatinya ne-nek ini menyayangkan mengapa tak membawa batang pisang. Pohon itu mempunyai keistimewaan untuk memunahkan pisau-pisau Sangka Ruti yang mengiriskan!
Kecemasan Sendari beralasan. Sangka Ruti telah diamuk nafsu birahinya. Tak dipedulikannya serangan si nenek. Tangan kirinya dikibaskan setelah dimasukkan ke balik baju. Seketika itu pula sinar terang berkilau dan meluncur ke arah Sendari. Nenek itu pun membatalkan serangannya. Bila hal itu tetap diteruskan nyawanya akan melayang di ujung pisau-pisau.
Tindakan yang diambil Sendari membuat Sangka Ruti leluasa bertindak. Begitu tubuh Kemani berhasil dipeluknya, hanya dengan sekali sentak Sangka Ruti membuat Kemani tak berpakaian lagi.
Kemani menjerit-jerit kebingungan. Dengan kedua tangannya di usahakan untuk menutupi sepasang bukit kembar dan bagian bawah tubuhnya. Usaha seadanya ini hanya bisa menutupi sekadarnya. Sangka Ruti semakin beringas. Sepasang matanya bagai hendak melompat keluar. Dengan buas Sangka Ruti menubruk Kemani dan menggumulinya di tanah. Mulut dan tangannya bergerilya, mencium dan meremas apa yang bisa dicium dan diremas.
Kemani meronta-ronta. Dia menjerit-jerit dan memohon agar Sangka Ruti tak melakukan kekejian yang dicemaskannya itu. Tapi, pemuda ini tak mempedulikannya sama sekali. Malah Sangka Ruti semakin buas bertindak.
"Sangka Ruti! Hentikan...!" Terdengar suara keras menggelegar ketika Kemani sudah lelah dan pasrah. Gadis itu tak melakukan perlawanan lagi, kecuali hanya menangis.
Sangka Ruti terjingkat kaget bagai disengat kalajengking. Pemuda ini kaget bukan main. Bahkan, tubuh Kemani sampai dicampakkannya. Tubuh itu terguling-guling di tanah, dan ketika terhenti buru-buru Kemani mengambil pakaiannya yang koyak-koyak. Dengan bahan seadanya itu dia berusaha menutupi tubuh telanjangnya.
Sangka Ruti dan Kemani tak merasa kaget ketika melihat pemilik bentakan. Sosok itu adalah Arya Buana atau Dewa Arak. Yang membuat Sangka Ruti kaget adalah keberadaan Jagasena di sebelah Dewa Arak. Dia hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya. Jagasena ternyata tidak mati! Bahkan kakek itu masih mampu berdiri, kendati dengan bantuan dua batang bambu pada ketiaknya!
Sangka Ruti lupa kalau Jagasena seorang ahli pengobatan. Meski racun Sangka Ruti amat mematikan, kakek itu mampu memunahkannya! Dan kebetulan pulalah Dewa Arak datang tepat pada waktunya. Aryalah yang meminumkan obat pemunah racun, karena Jagasena sudah tak mampu bergerak. Kakek itu hanya menunjukkan obat yang harus diambil Arya.
Meski lama tak memunculkan diri, ternyata Jaga-sena tetap mengamati perkembangan di dunia persilatan. Dia segera tahu tengah berhadapan dengan Dewa Arak ketika pemuda itu muncul. Maka, tanpa ragu-ragu kakek itu minta tolong. Setelah racun terusir dari tubuhnya.
"Kalimaya alias Bidun Kluwung itu merupakan sela aji (batu mulia) yang luar biasa. Sayang, telah diambil orang untuk memulihkan kejantanannya." beritahu Jagasena setelah Dewa Arak menolong dirinya dan menceritakan mengapa ia bisa sampai berada di tempat ini.
Sangka Ruti segera memutar otaknya ketika melihat Arya membawa batang pisang. Dengan batang tanaman itu pisau-pisaunya dapat dilumpuhkan. Sangka Ruti tak ingin membuang-buang waktu lagi. Segera dikirimkannya serangannya dengan enam batang pisau pada Dewa Arak dan Jagasena. Masing-masing mendapat serangan separuh dari pisau-pisau itu.
Arya bergegas memberikan salah satu gedebong pisangnya pada Jagasena. Dan seperti kejadian yang sudah-sudah, tanpa menemui kesulitan sedikit pun pisau-pisau itu dilumpuhkan. Sangka Ruti yang memang sudah menduga hal ini merasa gembira bukan main. Senjata-senjata penangkal itu hanya dapat digunakan satu kali. Kini lawan tak memiliki penangkal lagi.
"Sekarang, bersiaplah kalian untuk menerima kematian,..!" dengus pemuda berpakaian coklat itu.
"Kurasa lebih baik kau tinggalkan tempat ini segera, Kek," beritahu Arya pada Jagasena dengan ilmu mengirimkan suara dari jauh. "Jumlah banyak tak ada artinya. Yang penting bagi kita adalah penangkal senjata mengerikan itu!"
"Apa yang kau katakan memang benar, Dewa Arak," sahut Jagasena. "Tanpa adanya penangkal, lambat laun nyawa kita akan melayang karenanya. Aku akan pergi mencari penangkal itu!"
Jagasena melesat meninggalkan tempat itu. Dalam kecemasan Sangka Ruti akan mengirimkan serangan dengan pisau mautnya, Jagasena langsung mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Sangka Ruti hanya bisa memaki dalam hati. Dia tak menduga Jagasena akan kabur. Cepatnya tindakan kakek itu membuat Sangka Ruti tak mampu berbuat apa pun untuk mencegahnya.
Kemarahan yang melanda membuat Sangka Ruti segera melemparkan tiga batang pisau pada Dewa Arak. Arya yang telah mengetahui kedahsyatan pisau-pisau itu segera mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya. Dengan gerak terhuyung-huyung seperti akan jatuh dan terkadang seperti hen-dak memapaki serbuan pisau-pisau, Arya menghadapi serangan itu.
Melihat Dewa Arak kerepotan menghadapi pisau-pisaunya, Sangka Ruti kembali mengalihkan perhatian pada Kemani. Gadis yang kini telah berpakaian lagi ini tampak memucat kembali wajahnya. Dengan sikap ngeri yang terlihat jelas dia bergerak mundur.
"Awww...!" jerit Kemani ketika pakaiannya kembali direnggut Sangka Ruti.
Sangka Ruti kemudian dengan napas memburu melepas pakaiannya. Bagai harimau menerkam mangsa, pemuda ini menubruk dan menggeluti tubuh Kemani. Kemani sendiri hanya bisa menjerit dan meronta-ronta.
"Sangka Ruti...! Hentikan...!" Bentakan keras menggelegar penuh dengan hawa kemarahan itu bagai halilintar di telinga Sangka Ruti dan Kemani. Mereka mengenal pemilik suara itu.
Sangka Ruti segera menggulingkan tubuhnya lalu bergegas mengenakan pakaian. Kemani sendiri langsung menyambar pakaiannya. Hampir berbarengan kedua orang ini mengalihkan pandangan ke arah asal suara. Dan, seperti yang sudah mereka duga, di tempat itu berdiri sesosok tubuh berpakaian serba hitam. Sapta Renggi!
"Sapta Renggi...!" desis Sangka Ruti.
"Sumantri...," desah Kemani penuh harap. Sumantri yang bernama asli Sapta Renggi adalah saudara seperguruan Sangka Ruti. Keduanya sama-sama menjadi murid Ulat Emas Pemetik Bunga. Keinginan untuk mempunyai ilmu yang tak terkalahkan membuat mereka rela kehilangan kejantanan. Tentu saja dengan perhitungan, mereka akan sembuh kembali apabila menemukan Batu Kalimaya yang mampu menyembuhkan penyakit itu.
"Mengapa kau mencampuri urusanku, Renggi...!" desis Sangka Ruti penuh ancaman.
"Dialah yang telah membunuh ayahku dan dulu berusaha memperkosaku, Sumantri," beritahu Kemani, sebelum Sapta Renggi memberikan jawaban.
"Kiranya kalian telah saling mengenal!" ejek Sangka Ruti, "Dan kau pasti telah terpincuk padanya, Renggi. Kalau begitu, kau harus mampus!"
"Biadab! Kaulah yang akan kubunuh, Ruti!"
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Sangka Ruti dan Sapta Renggi menggerakkan tangan mereka. Sangka Ruti melemparkan sebatang pisau yang memiliki kemampuan jauh di atas pisau-pisau lainnya.
Sapta Renggi pun menghunus pedang dan melompat ke arah Sangka Ruti. Ini merupakan keuntungan bagi Sangka Ruti! Jarak yang cukup jauh membuat dia yang memiliki senjata lempar berada di atas angin.
Cappp!
"Aaakh...!" Sapta Renggi menjerit memilukan ketika pisau Sangka Ruti menembus lehernya. Nyawa lelaki ini melayang saat itu juga. Kendati demikian, luncuran tubuhnya ke arah Sangka Ruti tak terhenti. Bahkan kecepatannya tak berkurang.
Sangka Ruti berusaha untuk mengelak. Tapi, sekujur urat-uratnya tak bisa digerakkan sama sekali sinar menyilaukan mata yang memancar dari batang pedang Sapta Renggi membuatnya lumpuh!
Blesss!
"Aaakh...!" Sangka Ruti mengeluarkan raungan setinggi langit. Pedang Sapta Renggi menembus perutnya hingga ke punggung. Darah muncrat-muncrat bersamaan dengan tubuhnya dan Sangka Ruti ke tanah. Pemuda itu menggelepar sebentar dan tewas dengan tubuh Sapta Renggi di atasnya.
"Sumantri...!" Kemani menghambur ke tempat tubuh Sangka Ruti dan Sapta Renggi berada. Gadis ini merasa terharu sekali dengan pengorbanan yang diberikan Sapta Renggi.
Sementara itu, seiring dengan tewasnya Sangka Ruti, pisau-pisau yang tengah berkelebatan mencecar Dewa Arak roboh ke tanah seakan kehilangan nyawa. Jatuh begitu saja karena pemiliknya telah tewas.
Dewa Arak, Sendari segera berjalan menghampiri tubuh dua saudara seperguruan itu. Bahkan, Resi Druna yang telah bangkit dari semadinya ikut menghampiri. Kakek ini teringat pada tugas semula, mencari Batu Kalimaya sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit Baginda Prabu Mandaraka.
Kakek itu segera memeriksa sekujur pakaian Sangka Ruti. Tak membutuhkan waktu lama untuk menemukan apa yang dicarinya. Batu Kalimaya diangkatnya tinggi-tinggi seperti ingin menunjukkan pada yang lain. Di sebelahnya Sendari sibuk menghibur Kemani yang terus menangis. Sementara itu, di kejauhan Jagasena tampak tengah membawa banyak sekali gedebong pisang. Dia tidak tahu kalau pertempuran telah berakhir.
Sang surya memancarkan sinarnya dengan garang, seakan hendak melelehkan semua yang ada di persa-da. Panas menyengat melingkupi tanah lapang itu. Tetapi, orang-orang yang berkerumun tak bergeming dari tempatnya. Peluh yang membahasi sekujur tubuh dihapusnya dengan punggung tangan.
Letak tanah lapang tak jauh dari istana kerajaan. Orang-orang yang berkerumun pun sebagian besar merupakan penduduk kota raja. Mereka berdiri berdesak-desakan mengelilingi dua orang yang berdiri tepat di tengah lapangan. Keduanya memiliki ciri-ciri yang cukup mengundang perhatian. Mereka terdiri dari lelaki dan wanita berusia hampir setengah baya.
Yang lelaki bertubuh kecil kurus. Terlalu kecil, malah. Tinggi tubuhnya tak lebih dari seorang bocah berusia sepuluh tahun. Pakaiannya yang serba ketat semakin memperlihatkan kekerdilan tubuhnya.
Sebaliknya, yang perempuan memiliki tubuh tinggi besar dan gendut, persis gajah bengkak. Karena gemuknya dagunya seakan berjumlah banyak. Daging-daging tubuhnya bergoyang ke sana kemari setiap kali wanita ini bergerak. Keluar-biasaan tubuhnya itu semakin terlihat karena pakaian yang dikenakannya serba kebesaran.
Perbedaan kedua manusia ini saja sudah menimbulkan daya tarik. Apalagi ketika melihat tingkah keduanya. Wanita bertubuh luar biasa besar itu duduk bersila di atas kepala si lelaki. Sementara lelaki kerdil itu sendiri seperti tak merasa keberatan. Dengan wajah dan sikap biasa dia berjalan mondar-mandir di tengah lapangan.
Pasangan manusia aneh ini membuat tempat pertunjukan berukuran delapan kali empat tombak. Di tempat yang berbentuk persegi panjang itu ditaburkan bubuk putih. Puluhan orang yang berkerumun berdiri di luar garis dari bubuk putih itu.
Lelaki kerdil yang membawa tubuh wanita raksasa mengitari bagian dalam garis putih seraya mengedarkan pandangan berkeliling. Setelah dirasa semua orang melihat ke arah mereka, langkah kakinya dihentikan tepat di tengah-tengah tempat pertunjukan.
"Sebelumnya, aku mewakili kami berdua mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kehadiran para sahabat di sini. Kalian telah menyempatkan waktu untuk menyaksikan pertunjukan yang kami gelar. Pertunjukan yang tak seberapa hebat. Tapi jangan dilihat pertunjukannya, lihatlah niatnya. Kami bermaksud untuk menghibur para sahabat sekalian. Hanya ini yang kami lakukan sejak bertahun-tahun, berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya!" ujar lelaki kerdil panjang lebar.
Tepuk tangan bergemuruh menyambuti selesainya ucapan lelaki kecil kurus. Semua yang mendengar ucapan itu diam-diam merasa geli. Lelaki ini memiliki suara berat dan parau, layaknya dimiliki orang-orang yang bertubuh tinggi besar.
"Suamiku melupakan satu hal," sambung wanita bertubuh besar ketika gemuruh tepuk tangan dan teriakan memberi semangat mereka. Berlainan dengan lelaki kecil kurus, suara wanita ini melengking nyaring.
"Kami belum memperkenalkan diri. Kami berasal dari tempat yang jauh dari sini. Namaku Wudani, sedangkan suamiku Darmakala,"
Wudani melompat dari atas kepala suaminya. Kedua kakinya yang besar menjejak tanah dengan ringan sekali. Kemudian, dengan langkah-langkah lebar wanita ini mengayunkan kaki ke arah gerobak yang ditarik seekor sapi. Gerobak yang berada di dalam garis putih.
Semua orang menyaksikan gerak-gerik Wudani. Apa yang akan dilakukan wanita ini? Mereka melihat Wudani berdiri di belakang gerobak. Disibaknya tirai yang menutupi benda-benda di dalam gerobak. Sebentar kemudian Wudani meninggalkan gerobaknya. Di kedua tangannya tergenggam beberapa kayu sebesar lengan yang panjangnya setengah tombak. Pada bagian ujung kayu terikat kain berbentuk segi tiga dengan warna yang berlainan.
Wudani melemparkan kayu-kayu berbendera itu sembarangan saja. Namun bendera-bendera melayang dan menancap di tanah berjajar rapi dalam jarak yang sama. Bagian di mana terdapat kain berada di atas. Angin yang bertiup cukup keras membuat kain-kain bendera berkibaran.
"Suamiku mempunyai ilmu yang dinamakan Mata Dewa. Dengan ilmu itu dia dapat melihat sesuatu kendati sepasang matanya ditutup," ujar Wudani lagi, tak dipedulikannya keterkejutan orang-orang melihat caranya menancapkan bendera-bendera. Sebagian penonton yang merupakan tokoh-tokoh persilatan harus mengakui kalau Wudani memiliki tenaga dalam kuat.
Wanita bertubuh besar ini menutup ucapannya dengan melemparkan sabuk hitam yang melilit pinggangnya. bagaikan bernyawa, sabuk itu meluncur ke arah Darmakala. Orang yang dituju hanya diam saja. Bahkan, ketika sabuk mulai melilit kepala dan menutup sepasang matanya.
"Sekarang, kuharap ada di antara para sahabat yang bersedia menolong kami. Pilihlah bendera mana yang kalian mau, kemudian tanyakan pada suamiku apa warnanya. Dia akan dapat menjawabnya dengan tepat!"
Suasana menjadi gaduh ketika Wudani selesai berbicara. Para penonton merasa ragu untuk maju dan memenuhi permintaan Wudani. Mereka malah berbicara sendiri-sendiri. Terdengar gumaman-gumaman tak jelas di sana-sini.
Wudani menunggu dengan sabar sampai akhirnya salah seorang penonton bersedia memenuhi permintaannya. Orang yang baik hati itu masih muda. Tapi, gerak-geriknya terlihat angkuh. Pedang yang tergantung di punggung menunjukkan lelaki ini bukan penduduk biasa.
"Terima kasih atas kesediaanmu untuk membantu kami, Sahabat," sambut Wudani buru-buru dengan sikap penuh hormat. "Silahkan pilih bendera yang kau inginkan."
Lelaki berpakaian coklat itu tak memberikan tanggapan. Wajahnya yang dingin tak menampilkan biasan perasaan apa pun. Dihampirinya jejeran bendera. Puluhan pasang mata penonton memperhatikan dengan penuh rasa tertarik.
Lelaki berusia tiga puluh lima tahun dan berkulit pucat seperti jarang terkena sinar matahari itu memilih salah satu bendera. Dia tak mencabut bendera itu dengan tangan. Dalam jarak dua tombak tangan kanannya dikibaskan seperti orang mengusir nyamuk. Angin bertiup keras. Salah satu bendera tercabut dari tanah dan melayang ke arah lelaki itu.
"Salah satu bendera telah kuambil. Wahai orang sombong yang berani mengaku memiliki ilmu Mata Dewa, beritahukan jawabanmu!" desis lelaki berpa-kaian coklat, dingin.
"Kau mengambil bendera kuning, Sahabat!" seru Darmakala nyaring dan mantap.
Wajah lelaki berpakaian coklat tak berubah kendati jawaban yang diberikan Darmakala benar. Tapi, dari kilatan pada sinar matanya dapat diketahui kalau lela-ki itu merasa terkejut. Lelaki berpakaian coklat merasa penasaran. Dengan cara seperti tadi diambil bendera lain. Tapi seperti juga sebelumnya, Darmakala dapat menerkanya dengan tepat. Tepuk tangan bergemuruh sebagai tanda kekaguman terdengar tak putus-putus.
Sampai semua bendera yang jumlahnya sepuluh buah itu habis, tak satu pun jawaban yang meleset. Dengan rasa jengkel yang tak dapat disembunyikan lelaki berpakaian coklat meninggalkan tempat itu. Gemuruh tepuk tangan dan ucapan-ucapan kekaguman membahana bagai hendak meruntuhkan langit. Wudani terpaksa berseru-seru meminta semua penon-ton untuk tenang.
"Para sahabat sekalian," tutur Wudani lagi setelah suasana menjadi tenang. "Perlu kalian ketahui, kemampuan suamiku tak hanya demikian. Masih banyak yang lainnya. Dia mampu menelan api, tidur di atas hamparan ujung pisau. Malah, meramal suamiku pun mampu. Juga dia bisa menceritakan kejadian-kejadian yang lucu."
"Tunggu apa lagi? Tunjukkanlah hal-hal ajaib itu!" celetuk seorang penonton.
"Benar! Kami sudah tak sabar ingin melihatnya!" dukung penonton lainnya.
Wudani segera menyiapkan segala peralatan yang di perlukan. Seketika decak kekaguman dan teriakan heran berkumandang. Darmakala memasukkan obor yang bernyala-nyala ke dalam mulutnya sampai koba-ran api itu mati! Darmakala pun dengan enaknya tidur dan bergulingan bertelanjang dada di atas hamparan ujung-ujung pisau yang amat tajam.
Kegaduhan baru mereda ketika terdengar derap kaki kuda bergemuruh menghantam bumi. Sosok-sosok yang memacu kudanya ke tempat itu berjumlah lima orang. Semuanya mengenakan pakaian seragam kerajaan. Ketika para prajurit kerajaan turun dari kuda dan melangkah cepat mendekati tempat pertunjukan, sebagian besar penonton menyibak memberi jalan.
Tak terkecuali seorang pemuda berpakaian ungu. Pemuda ini berambut panjang dan berwarna putih keperakan. Dialah Arya Buana atau yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak.
"Mengapa pasukan kerajaan kemari? Apakah hendak menyaksikan pertunjukan juga!" pikir semua pengunjung.
Darmakala dan Wudani segera menghentikan pertunjukkan dan menunggu tibanya rombongan kerajaan. Melihat pakaian dan tanda-tanda yang mereka kenakan, pasangan suami istri ini menunjukkan perhatian pada prajurit yang berada paling depan.
Prajurit itu mengenakan pakaian yang menunjukkan kedudukannya di atas empat orang kawannya. Dia bertubuh sedang tapi berwajah-hitam seperti pantat kuali! Tangannya tidak menggenggam senjata. Sedangkan empat orang prajurit di belakangnya memegang tombak.
"Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami pertunjukan yang kecil dan sederhana ini mampu mengundang datangnya pasukan kerajaan," ujar Darmakala santun sekali.
"Dan kehormatan untuk kalian berdua tak sampai di sini saja, Sobat," balas prajurit bermuka hitam. "Aku, Cemong, atas nama Gusti Prabu Mandaraka mengundang kalian untuk datang ke istana. Raja berkenan menerima kalian berdua."
Darmakala dan Wudani saling berpandangan. "Ah, begitukah? Boleh kami tahu apa sebabnya?" tanya Darmakala sesaat kemudian.
"Apakah kau belum mendengar mengenai sayembara yang dibuat kerajaan ini?"
"Kami memang mendengarnya. Kami tahu raja tengah menderita suatu penyakit. Tapi, kami berdua bukan orang-orang yang tahu banyak mengenai pengobatan. Kalau tabib dan ahli-ahli obat saja tak mampu menyembuhkan sakit baginda raja, bagaimana pula halnya dengan kami?" sahut Darmakala.
Cemong mengangguk-anggukkan kepala. "Berita yang kau dengar kurang lengkap, Sobat. Gusti Prabu Mandaraka tak hanya membutuhkan ahli obat. Beliau juga mencari orang yang mampu membuatnya tertawa serta pandai berdebat." beritahu Cemong. "Dan menurut penyelidik yang kami sebar, kalian berdua termasuk orang-orang seperti itu. Maka atas nama Gusti Prabu Mandaraka, kami mengundangmu ke istana."
Darmakala dan Wudani kembali saling berpandangan sebelum akhirnya lelaki kecil kurus itu memberikan jawaban. "Kami putuskan untuk menerima undangan Gusti Prabu Mandaraka. Ini merupakan suatu kehormatan besar. Tapi, kami minta waktu sebentar untuk berkemas-kemas."
Cemong meluluskan permintaan Darmakala. Tak lama kemudian, Wudani dan Darmakala berangkat meninggalkan lapangan bersama rombongan kerajaan untuk pergi ke istana. Kerumunan para penonton pun buyar. Mereka meninggalkan tempat itu dengan perasaan kecewa karena kehilangan pertunjukan yang menarik.
Arya ikut melangkah pergi. Diikutinya rombongan pasukan kerajaan dengan pandangan mata. "Apa sebenarnya yang diinginkan raja?" pikir pemuda berambut putih keperakan itu.
Memang, seperti juga Wudani dan Darmakala, Arya telah mendengar akan sayembara raja. Tapi, mengapa bukan hanya tabib-tabib saja yang dicari dan dibawa ke istana? Mengapa orang-orang yang mampu bercerita lucu pun juga? Apakah raja membutuhkan hiburan?
Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak Dewa Arak. Dan karena rasa ingin tahu yang besar, pemuda ini memutuskan untuk mengikuti rombongan pasukan kerajaan.
Prabu Mandaraka yang berusia empat puluh lima tahun, bertubuh tegap, dan kelihatan berwibawa itu mengelus-elus jenggotnya yang hanya beberapa lembar. Pandangannya ditujukan pada sosok Darmakala dan Wudani yang duduk bersila di depannya. Prabu Mandaraka sendiri duduk bersandar di singgasananya yang mewah dan indah.
"Benarkah apa yang dikatakan prajurit itu Darmakala?"
"Benar, Gusti Prabu. Hamba memang berkata demikian," jawab Darmakala sopan seraya merapatkan kedua tangannya di ujung hidung.
"Aku percaya dengan keteranganmu itu, Darmakala. Tapi aku perlu bukti. Ingin ku saksikan sendiri kemampuan yang kau miliki. Baru bisa kuketahui apakah kau dan istrimu pantas untuk mengemban tugas yang akan kuberikan. Bagaimana, Darmakala? Kau bersedia diuji kemampuanmu?"
"Hamba bersedia, Gusti Prabu," jawab Darmakala, mantap. Prabu Mandaraka tersenyum sambil mengusap-usap jenggotnya. Pandangannya dialihkan pada seorang kakek berjubah kuning yang duduk di sebelah kirinya.
"Kau sudah siap untuk mengujinya, Resi Druna?"
"Hamba siap, Gusti Prabu!" sahut kakek berjubah kuning.
Prabu Mandaraka meletakkan kedua tangannya pada tangan kursi singgasana. Resi Druna sendiri tak berani lama-lama membiarkan junjungannya menunggu. Pandangan kakek ini segera ditujukan pada Dar-makala.
"Dengar baik-baik ucapanku ini, Darmakala. Tugas yang akan kau emban apabila berhasil lulus dari ujian ini sangat membutuhkan kemampuan berdebat. Maka, ujian yang akan kuberikan berkisar pada kelihaian permainan lidah."
"Boleh aku mengajukan pertanyaan, Resi?" tanya Darmakala hati-hati.
"Silakan," Resi Druna menganggukkan kepala.
"Dalam permainan lidah itu apakah masuk akal mempunyai kedudukan penting?"
"Tidak, Darmakala. Masuk akal atau tidak bukan menjadi masalah. Yang penting, kau mampu membuat lawan bicaramu tak dapat memberikan sanggahan. Jelas?"
Darmakala mengangguk. Resi Druna tersenyum tipis. Wudani memperlihatkan paras tegang. Sementara wajah-wajah para pejabat istana yang ikut menyaksikan jalannya ujian menampakkan rasa ingin tahu yang besar.
* * *
DUA
Hari masih pagi. Sang Surya baru saja muncul di ufuk timur, bagai bola api raksasa yang berwarna merah saga. Sepagi itu suasana di Perguruan Kelabang Merah sudah tampak kesibukan. Murid-murid perguruan tidak ada yang berpangku tangan. Mereka sibuk berlatih silat di halaman depan.
Saat ini Perguruan Kelabang Merah memang tengah menghadapi saat istimewa. Ketua perguruan yang berjuluk Kelabang Sakti mendapat kunjungan dari sahabat lamanya. Sahabat yang merupakan tokoh besar golongan putih itu berjuluk Dewa Tangan Sakti.
Dewa Tangan Sakti telah berada di Perguruan Kelabang Merah sejak kemarin malam. Dan sejak pagi harinya murid-murid perguruan sibuk membuat hiasan dan umbul-umbul, mulai dari pintu gerbang sampai ke ruang dalam, sehingga suasana di perguruan itu kelihatan semarak.
Di kanan kiri pintu gerbang terpancang dua tongkat panjang. Pada ujung-ujungnya tergantung panji Perguruan Kelabang Merah dalam sulaman benang hijau berbentuk kelabang merah! Panji-panji ini kelihatan gagah dan angker.
Murid-murid Perguruan Kelabang Merah di bawah bimbingan Tanggala, murid kepala perguruan, sengaja berlatih lain dari biasanya. Tanggala biasanya memperagakan beberapa gerakan dan murid-murid lain mengikuti, tapi kali ini tidak. Masing-masing memperagakan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Tindakan itu sengaja mereka lakukan agar mendapat petunjuk-petunjuk berharga dari Dewa Tangan Sakti. Beliau merupakan salah satu anggota Tiga Pendekar Sakti, selain Ketua Perguruan Kelabang Merah, Kelabang Sakti. Saat itu Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti duduk di depan pintu bangunan utama. Mereka tengah memperhatikan Tanggala dan murid-murid lainnya berlatih.
"Hanya begitu sajakah kedahsyatan ilmu-ilmu Perguruan Kelabang Sakti? Sungguh buruk dan tak sepadan sekali dengan berita yang tersiar di dunia persilatan!"
Seruan itu keras sekali dan penuh nada ejekan. Belum lagi gema ucapan itu lenyap, sesosok tubuh melangkah tenang memasuki halaman depan perguruan. Kebetulan daun pintu gerbangnya terbuka dan tak terjaga.
Seketika, semua murid perguruan menghentikan latihan dan mengalihkan perhatian ke arah tamu tak diundang itu. Tapi Tanggala segera memberi isyarat untuk terus melanjutkan latihan. Dia sendiri dengan sikap tenang menghampiri si pendatang baru.
"Siapa kau, Sobat? Apa urusanmu datang ke tempat kami? Bahkan, berani-beraninya melemparkan hinaan!" tanya Tanggala dengan berusaha bersikap ramah.
"Keroco seperti kau tak layak untuk mengenalku! Kalau kau masih sayang nyawa menyingkirlah, Anjing Kecil!" dengus sosok berpakaian hitam itu. "Dan panggil gurumu untuk menghadapiku!"
Sosok itu seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun. Tubuhnya tegap dan kekar. Wajahnya yang tampan terhias sebaris kumis tipis, tatapan matanya terlihat begitu dingin.
Tanggapan lelaki berpakaian hitam membuat Tanggala murka. Dia merasa tersinggung bukan main. Dengan wajah merah padam dan mata mendelik, ditatapnya tamu tak diundang itu.
"Tak perlu guruku, aku sendiri sudah cukup untuk mengusir kau!"
"Ha ha ha...!" Lelaki berpakaian hitam tertawa keras. Tapi hanya mulutnya saja yang tertawa. Raut wajah dan sepasang matanya tetap dingin. "Kau akan menyesali keputusan yang kau ambil, Kunyuk Goblok!"
"Tutup mulutmu, Pengacau Hina!" Tanggala yang tak kuasa menahan kemarahan lagi segera melancarkan serangan. Kedua kakinya dilayangkan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar lawan. Amarah yang membakar hati membuat lelaki ini tak ingat kalau serangan-serangannya dapat mengirim nyawa lawan ke akhirat!
Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti menghela napas berat. Mata kedua tokoh ini memancarkan kekhawatiran besar. Mereka segera bisa mengetahui kalau lelaki berpakaian hitam memiliki kepandaian amat tinggi. Sebagai tokoh-tokoh kawakan, kedua kakek berusia dia atas enam puluh tahun ini segera dapat menilai kemampuan lawan Tanggala.
Apalagi ketika melihat sepasang mata lelaki berpakaian hitam. Sinar sepasang mata itu mencorong tajam dan bersinar kehijauan. Sorot seperti itu hanya dimiliki oleh tokoh persilatan yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi.
Karena pertarungan tak mungkin bisa di cegah lagi, kedua kakek ini hanya bisa berharap Tanggala dapat selamat. Setidak-tidaknya jangan sampai terluka terlalu parah. Dengan hati berdebar tegang Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti mengarahkan pandangan ke halaman. Di tempat itu pertarungan baru saja dimulai.
Terlihat lelaki berpakaian hitam bersikap tak peduli dengan serangan yang dilancarkan Tanggala. Padahal, kedua kaki yang menimbulkan deru angin keras itu mampu menghancurkan batu karang.
Buk, buk, bukkk!
Berturut-turut dan secara telah tendangan Tanggala mendarat di sasaran. Seketika itu pula terdengar jerit kesakitan. Tapi bukan dari mulut lelaki berpakaian hitam, melainkan dari mulut Tanggala. Murid utama Perguruan Kelabang Merah itu merasakan kedua kakinya tak menghantam tubuh manusia. Bukan tubuh yang terbuat dari kulit dan daging, tetapi baja yang amat keras. Tanggala merasakan ujung-ujung kakinya sakit dan nyeri bukan main.
"Hanya sampai di situ saja kemampuanmu, kunyuk tak tahu diri?!" dengus lelaki berpakaian hitam. "Dengan kemampuan serendah ini kau hendak mengusirku?!"
Ejekan lawan membuat Tanggala menelan rasa nyeri yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Sambil melengking nyaring kembali dilancarkannya serangan susulan. Kali ini berupa tamparan kedua tangan, berturut-turut ke arah pelipis kanan dan kiri.
Lelaki berpakaian hitam tak bergeming dari tempatnya. Tadi pun ketika tendangan Tanggala mendarat di tubuhnya, kuda-kudanya tak bergeming sedikit pun. Malah, Tanggala yang terjengkang ke belakang. Lelaki berpakaian hitam baru bertindak ketika sampokan kedua tangan Tanggala hampir mengenai sasaran. Kedua tangannya digerakkan memapaki serangan dari arah dalam.
Plakkk, Tappp!
Tanggala mengeluarkan keluhan tertahan. Tangkisan kedua tangan lawan diikuti dengan gerakan mencekal pergelangan tangannya. Dan sebelum Tanggala sempat berbuat sesuatu, lelaki berpakaian hitam telah menyentakkan kedua tangannya.
Tak ampun lagi tubuh Tanggala tertarik ke arah lawan. Kedudukan Tanggala yang tengah berada di udara dan kekuatan tenaga dalamnya yang berada di bawah lawan, membuat tubuh murid utama Perguruan Kelabang Merah itu tertarik begitu deras ke depan.
Kelabang Sakti tanpa sadar mencengkeram kedua tangan kursi karena perasaan tegang. Tanggala berada dalam bahaya besar. Di sebelah Kelabang Sakti, Dewa Tangan Sakti hanya menghela napas berat. Tokoh golongan putih yang terkenal itu pun tahu kalau Tanggala berada dalam keadaan kritis!
Kekhawatiran mereka memang beralasan. Begitu tubuh Tanggala semakin dekat, lelaki berpakaian hitam menggerakkan kepalanya menghantam dada Tanggala. Terdengar bunyi berderak tulang-belulang yang patah. Lelaki berpakaian hitam berlaku cerdik. Berbarengan dengan benturan yang dilakukan, pegangannya pada dua tangan Tanggala dilepaskan. Akibatnya tubuh murid utama Perguruan Kelabang Merah melayang deras ke belakang.
Dari mulut Tanggala terdengar bunyi seperti hewan disembelih. Mulut, hidung, dan kedua telinganya menyemburkan darah segar. Semburan dari mulut cukup deras, sehingga meluncur ke arah lelaki berpakaian hitam. Namun beberapa jengkal sebelum mengenai tubuh cairan kental itu runtuh ke tanah seperti membentur dinding tak tampak.
Lelaki berpakaian hitam tetap bersikap seperti semula. Tenang dan dingin. Bahkan ketika tubuh Tanggala yang telah menjadi mayat itu ambruk ke tanah. Sesaat semua orang yang menyaksikan kejadian itu tak melakukan tindakan apa pun. Mereka berdiri terpaku di tempatnya seperti orang kena sihir. Kejadian yang mereka saksikan rupanya terlalu mengejutkan.
"Pengacau Hina! Berani kau main gila di Perkumpulan Kelabang Merah?!"
Belum juga bentakan kemarahan itu lenyap, berkelebatan ke arah lelaki berpakaian hitam beberapa sosok tubuh berpakaian hijau yang bersulamkan gambar kelabang merah.
"Tak usah banyak bicara seperti nenek-nenek kehabisan sirih! Maju dan seranglah aku!?" tandas lelaki berpakaian hitam.
Keempat murid Perguruan Kelabang Merah tak kuasa menahan kemarahan lagi. Mereka adalah murid-murid pilihan yang tingkatnya sedikit di bawah Tanggala. Dan sekarang tamu tak diundang itu menantang mereka untuk maju menyerang secara bersama-sama.
Empat murid Kelabang Sakti segera menggunakan tongkat yang menjadi senjata andalan mereka. Dipu-tarnya senjata itu sampai lenyap bentuknya menjadi gulungan sinar hijau. Baru setelah itu, serangan dahsyat mereka lancarkan!
Lelaki berpakaian hitam tetap diam di tempatnya. Dan ketika gulungan sinar tongkat menyambar dekat, semua pasang mata yang menyaksikan jalannya pertarungan melihat sinar menyilaukan mata mencuat dari arah lelaki itu. Sinar terang menyambar bagai halilintar ke arah empat murid Perguruan Kelabang Merah. Hanya sekelebatan saja, kemudian lenyap!
Semua murid Perguruan Kelabang Merah terkejut. Empat rekan mereka mendadak menghentikan serangan dan berdiri di tempatnya. Sebentar kemudian roboh ke tanah dengan tubuh dibasahi cairan merah kental!
Karuan saja pemandangan ini sangat mengherankan semua murid perguruan. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Hanya Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti yang bisa memperkirakan. Empat murid Perguruan Kelabang Merah itu tewas karena leher mereka robek terkena babatan sinar terang. Luka lebar yang sampai memutus urat besar di tenggorokan itu telah mencabut nyawa keempatnya.
Kelabang Sakti dan Dewa Tangan Sakti saling bertukar pandang. Kedua kakek ini merasakan detak jantung mereka bergerak lebih cepat. Rasa tegang melanda keduanya. Meski mereka mengetahui penyebab kematian empat rekan Tanggala, tapi kedua pentolan golongan putih itu tak tahu apa sebenarnya sinar menyilaukan mata yang dikirimkan lelaki berpakaian hitam.
Mereka hanya bisa menduga sinar terang itu be-rasal dari pancaran pedang pusaka. Dan memang, kedua kakek ini melihat di pinggang lelaki berpakaian hitam tergantung sebatang pedang. Ketidakmampuan mereka melihat gerakan lelaki itu mempergunakan pedangnya sungguh sangat memukul perasaan. Benar-benar ilmu pedang yang mengiriskan hati!
Kelabang Sakti sadar tak ada seorang muridnya pun yang sanggup menghadapi tamu tak diundang itu. Bahkan meski mereka menghadapinya bersama-sama. Ilmu lelaki asing itu benar-benar sangat tinggi. Itulah sebabnya ketika murid-murid Perguruan Kelabang Me-rah berbondong-bondong hendak menempur pengacau tak dikenal itu, Kelabang Sakti buru-buru mencegah.
"Mundur semua...! Siapakah kau, Saudara? Mengapa mengacau di tempatku? Aku yakin diantara kita tak pernah ada urusan!" tegas Kelabang Sakti dengan suara keren seraya melangkah maju.
"Antara kau dan aku memang tak pernah saling kenal, Kelabang Sakti. Jadi mustahil akan tercipta suatu urusan," jawab lelaki berpakaian hitam, sinis. "Urusan itu baru muncul setelah kau membunuh orang yang mempunyai hubungan dekat denganku. Kau ingat tokoh-tokoh yang berjuluk Tiga Naga Dunia?"
"Tokoh-tokoh sesat yang gemar membuat kekacauan?" tanya Kelabang Sakti dengan alis berkerut.
Tiga Naga Dunia sekitar delapan tahun lalu menyebar kekacauan di sana-sini. Kepandaian mereka yang tinggi membuat banyak tokoh golongan putih tewas. Namun, Kelabang Sakti berhasil menewaskan satu di antara mereka. Demikian juga Dewa Tangan Sakti dan seorang tokoh golongan putih lainnya. Angkara murka Tiga Naga Dunia berhasil mereka hentikan.
"Benar," jawab lelaki berpakaian hitam.
"Tentu saja aku mengenalnya!" tanda Kelabang Sakti sejujurnya. Meski diketahui tamunya mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh Tiga Naga Dunia, tapi hal itu tak menjadikannya mengingkari kenyataan. Padahal pembalasan dendam bisa saja dilakukan lelaki itu. "Salah seorang di antara mereka telah ku tewaskan!" lanjut Kelabang Sakti.
"Bagus kalau kau mengakui hal itu, Kelabang Sakti!" dengus lelaki berpakaian hitam. Sepasang matanya tampak menyiratkan api kebencian. "Perlu kau ketahui, tokoh yang kau bunuh itu adalah murid keponakan guruku! Maka bersiaplah untuk menerima pembalasannya, Kelabang Sakti! Agar kau tak mati penasaran, akan ku perkenalkan diriku. Namaku Sapta Renggi!"
"Mereka jahat, kau pun tak akan lebih baik dari iblis. Majulah, Renggi! Ingin kulihat sampai di mana kesaktianmu!" tantang Kelabang Sakti.
"Tak perlu kau gurui aku, Kelabang Sakti! Mampuslah...!" untuk pertama kalinya Sapta Renggi yang memulai penyerangan. Lelaki ini mengirimkan pukulan kanan kiri bertubi-tubi ke arah dada Kelabang Sakti. Deru angin keras mengiringi luncuran serangannya.
Kelabang Sakti yang bermaksud mengetahui kekuatan tenaga dalam sengaja tak menghindari serangan itu. Dipapakinya dengan kedudukan jari-jari tangan serupa.
Bukkk, dukkk!
Benturan nyaring seperti bertumbukkannya dua batang logam besar terdengar. Dua pasang kepalan itu bertemu berkali-kali di tengah jalan. Akibatnya, tubuh Kelabang Sakti terguncang. Malah pada benturan terakhir kakek ini terhuyung-huyung ke belakang. Seringai kesakitan menghiasi mulutnya. Di lain pihak, Sapta Renggi tak terpengaruh sedikit pun.
Kelabang Sakti menggertakkan gigi untuk menekan rasa terpukul yang melanda hati. Tanpa banyak bicara lagi diterjangnya Sapta Renggi. Lelaki berpakaian hitam itu menyambutnya dengan penuh semangat. Pertarungan hidup dan mati pun berlangsung. Kelabang Sakti yang telah mengetahui ketangguhan lawannya segera menggunakan ilmu 'Kelabang Sakti'. Ilmu itu membuat tubuhnya bagai tak memiliki berat.
Sapta Renggi pun tak kalah mempertunjukkan kehebatannya. Lelaki ini memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Betapapun gencar serangan-serangan yang dikirimkan Kelabang Sakti, Sapta Renggi senan-tiasa dapat memusnahkannya!
Semula jalannya pertarungan masih berimbang. Tapi, memasuki jurus kedua puluh lima perlahan-lahan Kelabang Sakti mulai terdesak. Ketua Perguruan Kelabang Merah ini segera mengeluarkan senjata andalannya, tongkat berwarna hijau.
Dengan tongkat di tangan Kelabang Sakti bagai harimau tumbuh sayap. Serangan-serangannya semakin dahsyat. Selama beberapa gebrakan Sapta Renggi hanya mengelakkannya. Namun, tiba-tiba saja Kelabang Sakti melihat sinar terang meluncur ke arahnya.
Kakek ini berusaha sekuat tenaga untuk membentuk benteng pertahanan. Tapi usahanya sia-sia. Sinar terang itu mampu menembus putaran tongkatnya dan membabat leher Kelabang Sakti ambruk ke tanah. Menggeliat sebentar sebelum akhirnya diam tak bergerak untuk selamanya.
Tindakan Sapta Renggi tak hanya sampai di situ. Robohnya Kelabang Sakti justru membuatnya semakin beringas. Lelaki ini mengamuk. Jeritan kematian terdengar di sana-sini dengan diikuti ambruknya tubuh-tubuh tak bernyawa. Tak lama kemudian, tak satu pun sosok lawan yang masih berdiri tegak.
Semua tewas tak terkecuali Dewa Tangan Sakti! Seakan tak pernah terjadi apa-apa, Sapta Renggi lalu melangkahkan kakinya dengan tenang meninggalkan halaman Perguruan Kelabang Merah.
* * *
Sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda berpacu cepat melewati jalan tanah berdebu di gunung. Sang kusir seorang gadis cantik berusia dua puluh dua tahun dan berpakaian kuning gading. Gadis itu tak henti-hentinya melecutkan cemeti ke punggung kuda-kuda.
Di belakang kereta kuda, tampak belasan orang berkuda mengejar. Jarak yang terpaut hanya belasan tombak. Kiranya, inilah penyebab gadis berpakaian kuning memacu kuda-kudanya bagai kesetanan. Sedi-kit demi sedikit jarak di antara mereka semakin dekat. Jarak yang semula belasan tombak sekarang tak sampai sepuluh tombak lagi.
Gadis berpakaian kuning memang tidak melihat semakin dekatnya para pengejar. Tapi dari bunyi derap kaki kuda yang semakin jelas terdengar, hal itu bisa diketahuinya.
Krakkkk!
Terdengar bunyi gaduh ketika salah saru roda kereta masuk ke dalam lubang. Meski lubang itu tak terlalu dalam namun mengakibatkan as roda patah. Kereta kuda itu pun jatuh tersungkur! Gadis berpakaian kuning ternyata bukan wanita sembarangan. Dia melompat turun sebelum kereta kuda itu ambruk. Manis dan indah gerakannya. Bahkan ketika menjejak tanah, tak terdengar bunyi berarti.
Sementara itu para pengejarnya sudah tiba dan langsung mengurungnya. Gadis berpakaian kuning mengedarkan pandangan ke arah orang-orang tersebut. Tangannya yang berjari-jari lentik mencabut sepasang belati dari pinggangnya.
"Kemana pun kau pergi tetap akan kami kejar, Gadis Liar!" tandas salah seorang pengejarnya.
Orang itu bertubuh pendek gemuk dan berperut gendut. Kepalanya polos tanpa sehelai rambut pun. Perut dan sebagian dadanya terlihat jelas karena rompi ketat yang dikenakannya. Di tangan lelaki botak ini tergenggam sebatang gada! Gadis berpakaian kuning menatap lelaki gendut yang melangkah menghampirinya. Bibir gadis ini membentuk senyum mengejek.
"Pengecut-pengecut Hina! Dulu sewaktu ayahku masih ada kalian tak ada yang berani menunjukkan congor! Sekarang setelah beliau dibunuh oleh penjahat keji, kalian datang mencari-cariku. Beramai-ramai lagi! Benar-benar pengecut yang terlalu licik!" maki gadis berpakaian kuning. "Ketidakadaan Ayahku membuatku merasa terpanggil untuk mewakilinya melenyapkan kalian semua. Hai Pengecut-pengecut Hina. Kemari akan kukirim kalian semua ke akhirat!"
"Tutup mulutmu, Gadis Liar! Selama ini bukannya kami takut pada ayahmu! Kami tengah menyusun kekuatan dan waktu yang tepat untuk mengirim ayahmu yang sok suci itu ke neraka. Sayang, di saat kami bermaksud melaksanakannya telah didahului orang lain. Maka, kaulah yang harus menggantikan ayahmu!"
Setelah berkata demikian, lelaki pendek gemuk langsung mengayunkan gadanya ke arah kepala Kemani. Bunyi menderu keras mengiringi tibanya serangan. Kemani tersenyum mengejek. Kaki kanannya dilangkahkan ke belakang dengan diikuti condongan tubuhnya. Serangan lawan lewat beberapa jari di depan wajah. Rambut Kemani sampai berkibaran oleh deru angin keras yang menyertai ayunan gada.
Tindakan Kemani segera dilanjutkan dengan ayunan kaki kiri ke arah siku lawan yang menggenggam gada. Lelaki gemuk yang tak ingin gadanya lepas dari pegangan bergegas menarik tangannya. Serangan Kemani pun mengenai tempat kosong.
Gerakan Kemani lincah bukan main. Begitu serangannya berhasil dielakkan dia meluruk maju dengan serangan sepasang belati. Sesaat kemudian, kedua orang itu telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Meski masih muda, Kemani memiliki kepandaian tinggi. Hampir seluruh kepandaian ayahnya yang merupakan tokoh tingkat tinggi golongan putih telah diwariskan padanya. Naga Sakti, itulah ayah Kemani.
Sayang, lawan yang dihadapi Kemani bukan orang sembarangan. Lelaki gundul itu amat terkenal di dunia persilatan sebagai salah satu tokoh sesat yang ditakuti. Gada Pelumat Dunia, demikian julukannya.
"Uh...!" Kemani mengeluarkan keluhan tertahan. Sebuah gerakan tipuan Gada Pelumat Dunia berhasil menyapu kakinya. Kemani terjungkal ke belakang dan jatuh terlentang.
"Terimalah ajalmu, Gadis Liar!" seru lelaki gundul seraya melompat untuk menubruk Kemani. Gadanya diayunkan ke arah kepala gadis itu.
Wajah Kemani langsung pucat. Serangan yang datang terlalu tiba-tiba, sementara dirinya berada dalam kedudukan yang tidak menguntungkan. Membuat tak sempat mengelak. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan kepalanya dari hantaman gada hanya dengan menangkis. Padahal, sepasang belati Kemani telah terlempar dari pegangan ketika gadis itu terjungkal.
Kemani bimbang, haruskah dipergunakan tangannya untuk menangkis? Bila hal itu dilakukan tulang-tulang tangannya akan hancur berantakan! Atau, dibiarkan saja kepalanya hancur oleh Gada? Dalam waktu yang demikian singkat Kemani memutuskan untuk menangkis. Dikerahkan seluruh tenaganya ke tangan, kemudian dihentakkan ke depan.
Beberapa jari sebelum gada berbenturan dengan tangan tiba-tiba terdengar bunyi lecutan nyaring bagai suara halilintar. Tampak meluncur selarik sinar hitam yang ternyata sebuah sabuk. Sabuk itu melilit pergelangan kaki Gada Pelumat Dunia. Lilitan sabuk yang diikuti dengan sentakan membuat gada yang meluncur ke arah Kemani tak sampai di tujuan.
Gada Pelumat Dunia segera sadar seseorang telah mencampuri urusannya. Maka, sentakan sabuk yang menarik tubuhnya ke belakang dimanfaatkan untuk memberi hajaran pada orang usilan itu. Gada Pelumat Dunia bersalto beberapa kali. Dilihatnya, dua tombak di belakangnnya berdiri seorang pemuda berpakaian hitam. Di tangan pemuda ini tergenggam sehelai sabuk. Ujung yang satu berada di pergelangan kaki Gada Pelumat Dunia.
Dengan pergelangan kaki masih terbelit sabuk, Gada Pelumat Dunia mengirimkan serangan. Salto yang dilakukannya membuat rentangan sabuk mengendur. Ini membuat lelaki gundul itu leluasa untuk mengirimkan serangan.
Lelaki berpakaian hitam yang bukan lain Sapta Renggi terdengar mendengus. Sekali tangannya yang menggenggam ujung sabuk digerakkan, getaran yang timbul membuat sabuk bergelombang keras.
Desss!
Gada Pelumat Dunia mengeluarkan jeritan serak ketika sabuk melecut dadanya. Bukan ujung sabuk yang menghantam, melainkan bagian tengahnya yang berombak keras. Tubuh Gada Pelumat Dunia terlempar ke belakang. Dari mulut tersembur cairan merah kental. Meski hanya sehelai kain, tapi karena ditopang oleh tenaga dalam lecutan sabuk tak kalah keras dengan hantaman gada!
Sapta Renggi tersenyum keji. Sabuknya ditarik secara tiba-tiba. Luncuran tubuh Gada Pelumat Dunia langsung tertahan. Bahkan, tubuh lelaki gundul itu melayang ke arah Sapta Renggi. Sapta Renggi terlihat menggerakkan pergelangan tangannya. Lilitan sabuk terlepas. Lelaki ini langsung menyusulinya dengan lecutan ujung sabuk ke arah leher!
Ctarrr!
Gada Pelumat Dunia yang malang tak mampu berbuat apa pun untuk mengelakkan serangan. Secara telak dan keras ujung sabuk menghantam sasaran. Bunyi berderak keras tulang-tulang leher yang hancur dan muncratan darah dari mulut, hidung dan telinga mengiringi terlemparnya tubuh Gada Pelumat Dunia. Nyawa lelaki gundul ini pergi meninggalkan raga sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Malah lelaki malang ini tak sempat mengeluarkan jeritan kematian.
TIGA
Kemani terbelalak kaget melihat Gada Pelumat Dunia tewas dalam beberapa gebrakan. Gadis ini terpaku di tempatnya. Perasaan kaget dan takjub terhadap Sapta Renggi membuatnya tak ingat untuk segera bangkit berdiri.
Sapta Renggi mengerling ke arah Kemani. Terlihat kilatan aneh di mata lelaki berpakaian serba hitam ini. Kerlingan Sapta Renggi beradu dengan pandangan Kemani yang tengah menatapnya. Sementara, belasan anak buah Gada Pelumat Dunia segera meluruk ke arah Sapta Renggi dengan senjata di tangan.
Mereka menyerbu seraya mengeluarkan teriakan-teriakan kemarahan. Tewasnya Gada Pelumat Dunia demikian cepat sehingga mereka tak sempat turun tangan untuk membantu. Sapta Renggi tetap bersikap tenang. Lelaki ini malah menunggu tibanya serangan. Kemani yang melihat hal ini tanpa sadar memekik kecil. Terbayang di benaknya tubuh Sapta Renggi hancur tercacah-cacah hujan senjata.
Ketika senjata-senjata itu meluncur semakin dekat, sinar terang menyilaukan mata mencuat dari arah Sapta Renggi. Sinar terang itu menyambar-nyambar ke arah belasan anak buah Gada Pelumat Dunia. Dan se-cepat sinar terang itu muncul, secepat itu pula lenyapnya. Kemani melihat Sapta Renggi tetap berdiri di tempatnya. Belasan penyerangnya juga menghentikan gerakan.
Keheranan Kemani berganti dengan keterkejutan. Tubuh belasan orang itu ambruk ke tanah dengan didahului mengucurnya darah dan terlepasnya senjata yang mereka cekal. Sambil bangkit Kemani memperhatikan lebih teliti. Dilihatnya leher anak buah Gada Pelumat Dunia sobek lebar. Dari tempat inilah darah mengucur! Kemani tak habis pikir bagaimana itu bisa terjadi.
Sapta Renggi tak mengganggu Kemani yang tengah larut dalam kebingungan. Dia justru mempergunakan kesempatan itu untuk memperhatikan si gadis. Ada perasaan aneh yang tak dimengerti dirasakan Sapta Renggi ketika melihat Kemani pertama kali.
Sapta Renggi buru-buru mengalihkan perhatiannya ke arah lain ketika Kemani mengalihkan pandangan menatapnya. Tanpa ragu-ragu Kemani segera mengayunkan kaki menghampiri Sapta Renggi.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kak. Kalau tak ada kau, mungkin saat ini aku hanya tinggal nama," ucap Kemani penuh rasa terima kasih.
Sapta Renggi menyunggingkan senyum lebar. Senyum yang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam. Kenyataan ini membuat lelaki itu merasa heran sendiri. Sejak kapan dia bisa tersenyum? Padahal, selama ini dia tak pernah tersenyum.
Yang lebih mengherankan lagi, dunia jadi kelihatan indah ketika Kemani tersenyum kepadanya. Pohon-pohon tampak lebih menarik. Kicau burung yang terdengar lebih merdu dari biasanya. Dan, hatinya gembira bukan main! Hal ini benar-benar mengherankan Sapta Renggi.
"Tak ada yang perlu untuk diucapkan terima kasih, Nona. Orang-orang seperti mereka memang selayaknya dilenyapkan dari muka bumi, mereka hanya menimbulkan kekacauan belaka," sahut Sapta Renggi dengan senyum menghias bibir.
Sapta Renggi hampir tak percaya dengan ucapan yang keluar dari mulutnya. Ucapan seperti itu layaknya diucapkan seorang pendekar. Setidak-tidaknya, seseorang yang mencintai kebenaran dan membenci tindak kejahatan. Padahal, dia sendiri belum lama ini telah membasmi puluhan tokoh golongan putih di Perkumpulan Kelabang Merah!
"Aku, Sumantri," Sapta Renggi memperkenalkan diri dengan nama palsu. "Boleh ku tahu siapa namamu, Nona?"
"Mengapa tidak, Sumantri?" balas Kemani sambil tersenyum manis. "Kau adalah penolongku. Namaku Kemani."
"Sebuah nama yang bagus sekali, Kemani. Kau juga memiliki kepandaian luar biasa tinggi. Sungguh seorang gadis yang sulit untuk dicari duanya," puji Sumantri sejujurnya.
Tentu saja bukan kepandaian Kemani yang mendapat pujian Sumantri. Tapi, kecantikan dan keindahan tubuh gadis itu yang telah menaut hati Sapta Renggi.
"Tak ada artinya kepandaian yang kumiliki bila dibandingkan denganmu, Sumantri," cetus Kemani, kecewa. "Kalau saja aku memiliki kepandaian sepertimu, mungkin ayahku tak perlu meninggal dan gerombolan orang kasar itu tak dapat berbuat semaunya terhadapku!"
Kemani kemudian menghampiri kereta kudanya. Dari bagian belakang kereta di turunkannya sebuah peti mati hitam berukir. Sapta Renggi mendekati. Bola matanya beralih berganti-ganti pada Kemani dan peti mati.
"Tenangkanlah hatimu, Kemani. Bukankah orang-orang yang telah membunuh ayahmu telah tewas?" hibur Sapta Renggi.
"Maksudmu... gerombolan orang kasar ini?"
"Tentu saja! Bukankah orang-orang ini yang telah membunuh ayahmu?" Sumantri alias Sapta Renggi meminta penegasan.
"Kau keliru, Sumantri. Mereka bukan pembunuh ayahku. Lagi pula, bagaimana mungkin ayahku bisa tewas oleh orang-orang seperti mereka? Biar jumlah mereka tiga kali lipat pun tak akan mampu membunuh ayahku!"
"Ahhh...!" desah Sapta Renggi berpura-pura kagum. "Kalau begitu ayahmu memiliki kepandaian tinggi, Kemani."
"Tentu saja, Sumantri! Kalau tidak, mana mungkin bisa menjadi salah seorang dari Tiga Pendekar Sakti" tandas Kemani tanpa menyembunyikan nada bangganya.
"Ahhh...! Untuk kedua kalinya Sapta Renggi berseru kaget. Kali ini lelaki itu benar-benar merasa kaget. Sungguh tak disangkanya Kemani putri dari tokoh Tiga Pendekar Sakti yang tersisa. Naga Sakti seorang tokoh golongan putih yang dibunuhnya. Tapi, Sapta Renggi mampu menyembunyikan perasaannya. Dalam sekejapan lelaki ini telah mampu bersikap biasa.
"Boleh kulihat isi peti itu, Kemani?" Sapta Renggi mengalihkan pembicaraan. Hatinya merasa galau mengingat gadis yang menarik hatinya adalah putri dari musuh besarnya.
"Mayat ayahku," jawab Kemani serak. "Semasa hidup beliau berpesan padaku agar jika beliau meninggal kuburkan di dekat makam ibuku. Karena itulah aku membawa-bawanya. Karena perjalanan membutuhkan waktu beberapa hari, kuberikan ramuan-ramuan agar mayat ayahku tidak berbau dan bisa tahan sampai di tempat tujuan."
"Bagaimana kau membawa mayat ayahmu sedang keretamu telah rusak?"
"Kupanggul. Di samping tak berat, tempatnya pun tak jauh lagi. Tinggal seratus tombak dari sini," beritahu Kemani, lirih. "O ya, maukah kau menerimaku sebagai murid, Sumantri. Kulihat kau memiliki kepandaian tinggi. Kau bersedia Sumantri?"
Sumantri kelihatan bingung. Kemani melihat hal itu secara jelas. Dan, sebuah dugaan jelek berkumpul di benaknya.
"Tak usah ragu-ragu, Sumantri. Aku yakin kau akan menolak permintaanku. Siapa yang bersedia menerimaku sebagai murid?" keluh Kemani dengan nada sendu. Gadis berpakaian kuning ini kemudian membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan tempat itu. Sambil memanggul peti mati ayahnya. "Selamat tinggal, Sumantri."
Sumantri alias Sapta Renggi terpaku ditempatnya. Dia terlalu terkejut melihat tanggapan Kemani. Ketika gadis itu telah melangkah sejauh tiga tombak, Sapta Renggi segera tersadar dari keterkejutannya.
"Kemani...! Tunggu...!" seru Sumantri keras.
Kemani tak mempedulikan seruan Sapta Renggi. Ayunan kakinya semakin dipercepat. Sapta Renggi kebingungan. Sebuah keputusan segera diambilnya. Lelaki ini melompat dan bersalto beberapa kali sebelum akhirnya mendarat di depan Kemani, menghadang langkah gadis itu.
"Jangan salah mengerti, Kemani," ucap Sapta Renggi seraya menatap wajah gadis di depannya lekat-lekat.
Kemani berusaha untuk tersenyum. Tapi gagal. Kekecewaan akibat penolakan Sapta Renggi menyebabkan senyum yang diukirnya terlihat begitu tawar. "Aku tak apa-apa, Sumantri. Aku cukup tahu diri..."
"Dengar dulu penjelasanku, Kemani," potong Sumantri, cepat. "Aku belum menjawab pertanyaanmu, bukan karena aku tak setuju. Tapi, aku bingung."
"Apa yang harus kau bingungkan? Aku tak marah seandainya kau terus terang menolakku. Itu hakmu, bukan?" timpal Kemani berusaha bersikap tegar.
"Lagi-lagi kau salah mengerti, Kemani," keluh Sap-ta Renggi. "Aku bukan bingung memikirkan jawaban permintaanmu. Aku bingung karena ingin memenuhi permintaanmu, tapi aku berhadapan dengan sumpah yang kubuat..."
Sepasang alis Kemani yang indah tampak berkerut.
"Sejujurnya aku ingin memenuhi permintaanmu, Kemani. Aku ingin mengajarimu. Tapi aku telah bersumpah demi almarhum orang tuaku, bahwa aku hanya akan menggunakan kepandaianku untuk satu tujuan yaitu membasmi musuh-musuhku. Aku berjanji di hadapan guruku, Kemani."
Kemani masih diam. Tapi, kerutan pada alisnya telah mengendur. Sapta Renggi tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Buru-buru keterangannya dilanjutkan.
"Kuakui, aku memang jauh untuk bisa dikatakan orang baik-baik. Kendati demikian, sumpah itu ku junjung tinggi. Bagiku kehormatan lebih berharga daripada nyawa."
Kemani menghias senyum di bibirnya yang indah. Kali ini lebih berbentuk senyuman dari pada sebelumnya. Sapta Renggi merasakan beban yang menghimpit batinnya mendadak lenyap. Tapi, kegembiraan yang timbul kembali pupus ketika mendengar ucapan Kemani selanjutnya.
"Aku bisa memakluminya, Sumantri. Aku malah bangga dengan pendirianmu. Hanya orang-orang berwatak gagah mau mengakui kekurangan dirinya dan menjunjung tinggi kehormatan. Aku tak marah, Sumantri. Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Selamat tinggal."
Kemani melangkahkan kaki hendak melewati Sapta Renggi yang berdiri di depannya. Karuan saja tanggapan yang tak terduga-duga ini membuat Sapta Renggi kelabakan. Dengan tergesa-gesa kedua tangannya dijulurkan untuk mencegah.
"Mengapa harus berpisah, Kemani? Tidakkah lebih baik kalau aku, maksudku..., kita melakukan perjalanan bersama-sama?"
"Itu tak mungkin, Sumantri," bantah Kemani seraya menggelengkan kepala." Aku ingin mengunjungi bibiku untuk memberitahukan semua yang telah terjadi. Asal kau tahu saja Sumantri, bibiku itu tidak suka dengan lelaki. Lagi pula aku tak ingin mengganggu perjalananmu. Bukankah kau mengemban tugas dari gurumu?"
"Tapi, Kemani...,"
"Jangan halangi kepergianku, Sumantri!" potong Kemani dengan nada tinggi. "Jangan kau rusak kekaguman ku dengan sikap seperti ini. Aku tak ingin melakukan perjalanan bersama, dan aku tak suka kalau kau menguntit perjalananku! Bila itu kau lakukan, aku akan marah. Seumur hidup aku tak akan mau bertemu apalagi bercakap-cakap denganmu!"
Sapta Renggi terdiam. Kemani tampaknya bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Jadi akan sia-sia saja berusaha membujuknya. "Kalau kau memang berkeras demikian aku tak mempunyai pilihan lain, Kemani," desah Sapta Renggi putus asa. "Kuharap kau selamat tiba di tempat tujuan. Dan kuharap kita bisa bersua kembali, Kemani."
"Semoga saja, Sumantri. Percayalah, aku tak akan melupakanmu. Kau seorang lelaki yang baik."
Kemani melanjutkan langkahnya kembali. Kali ini Sapta Renggi tak menghalanginya lagi. Lelaki ini malah menggeser kaki untuk memberikan jalan pada gadis berpakaian kuning itu.
Sapta Renggi tetap berdiri di tempat itu memandangi kepergian Kemani, hingga tubuh gadis itu lenyap ditelan kejauhan. Terasa ada kehampaan yang dirasakan Sapta Renggi. Alam tak seindah sebelumnya. Kicau burung pun tak lagi merdu. Keindahan yang ada lenyap terbawa perginya Kemani.
* * *
Delapan ekor kuda itu tertambat di batang pohon di lereng gunung. Penunggangnya terdiri dari lima orang pasukan kerajaan dan tiga orang rakyat biasa. Ketiga orang yang tidak berseragam pasukan kerajaan itu adalah Resi Druna, Darmakala, dan Wudani.
"Tak bisakah binatang-binatang ini kita bawa hingga ke tempat tinggal yang Mulia Sendari?" tanya anggota pasukan kerajaan yang bermuka hitam.
"Tidak, Cemong," jawab Resi Druna sambil menggeleng.
"Medan yang akan kita hadapi terlalu sulit. Biar binatang-binatang ini kita tinggal di sini dengan dijaga empat orang prajurit. Kau ikut denganku bersama-sama Darmakala dan Wundani untuk menemui Sendari. Dengan adanya kau, aku yakin wanita keras kepala itu percaya kalau kedatanganku sebagai utusan Gusti Prabu Mandaraka."
Cemong tak berani membantah. Dia tahu siapa Resi Druna dan Sendari, serta hubungan mereka dengan Prabu Mandaraka. Resi Druna sendiri Segera mengayunkan kaki mendaki lereng gunung. Tanpa banyak bicara Darmakala, Wudani, dan Cemong mengikuti langkahnya. Setelah menempuh perjalanan beberapa saat lamanya, Cemong harus mengakui kebenaran ucapan Resi Druna. Medan yang mereka tempuh terlalu berat. Kuda-kuda tak akan mampu menempuhnya. Bahkan para prajurit anak buah Cemong pun akan mengalami kesulitan.
Jika mereka ikut serta perjalanan menuju tempat Nenek Payung Sakti akan mengalami hambatan. Pantas, Resi Druna tak membawa serta mereka. Cemong sendiri yang memiliki kemampuan jauh di atas empat prajurit itu susah payah mengikuti Resi Druna, Darmakala serta Wudani. Prajurit bermuka hitam ini senantiasa tertinggal.
Setelah napas Cemong hampir putus dan peluh membasahi sekujur tubuh, baru mereka berada di tempat yang datar. Di kejauhan tampak sebuah pon-dok sederhana. Tak ada pintu gerbang atau tembok yang mengelilingi. Kendati demikian, pondok itu kelihatan apik dan bersih karena di bagian depan dan sekelilingnya ditumbuhi tanaman bunga aneka warna.
"Begitu tersembunyi tempat tinggal Sendari. Aku yakin tanpa bantuan Resi Druna tak akan mungkin tempat ini bisa diketemukan," ujar Darmakala dan Wudani dalam hati.
Keyakinan pasangan suami istri ini memang beralasan. Untuk mencapai tempat tinggal Sendari mereka harus melalui jalan terjal dan berliku-liku naik turun. Jalan setapak licin serta jurang yang dalam menganga lebar siap menelan tubuh mereka. Ketiga orang ini terus melangkah menghampiri pondok yang masih berjarak puluhan tombak. Ketika jarak mereka tinggal lima tombak lagi dari daun pintu yang tertutup rapat, tiba-tiba terdengar suara teguran.
"Tikus-tikus dari mana berani lancang mendekati tempat tinggalku?! Apakah ingin ekor-ekor kalian ku putuskan?!" sambut suara nyaring dari balik pintu pondok yang tertutup.
Seruan bernada ancaman itu membuat Resi Druna menghentikan langkah. Melihat kakek ini berhenti, Darmakala dan yang lainnya mengambil sikap serupa. Keempat orang ini berdiri dengan sikap menunggu.
Paras Resi Druna tampak menegang. "Suara itu masih belum berubah juga. Galak dan ketus. Apakah sikap kerasnya tak juga luluh oleh waktu?" keluh Resi Druna dalam hati.
"Tikus-tikus tak tahu diri! Mengapa kalian tak segera angkat kaki dari tempat ini?! Aku masih bersabar tak langsung memberikan hajaran. Tapi apabila kalian tetap bersikeras, aku bisa berubah pikiran!"
"Kami tak akan beranjak dari sini, Sendari! Kedatangan kami kemari memang untuk menemuimu. Ini atas perintah dari Gusti Prabu Mandaraka!" jawab Resi Druna, lantang.
Tak terdengar tanggapan atas jawaban yang diberikan Resi Druna. Sesaat kemudian, di ambang pintu pondok berdiri sesosok tubuh ringkih seorang nenek berpakaian serba putih. Tubuhnya agak bongkok. Berdirinya ditunjang oleh sebatang tongkat berkepala ular. Sikap nenek itu kelihatan anggun dan penuh wibawa sebagaimana harusnya seorang wanita tingkat tinggi.
Empat pasang mata tertuju ke arah nenek berpakaian putih. Tapi, hanya Resi Druna yang memandang penuh selidik. Sepasang matanya diedarkan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sendari pun bertindak demikian. Nenek ini memang memperhatikan keempat orang tamunya. Tapi terhadap Resi Druna perhatiannya lebih ditujukan. Dua pasang mata saling bentrok beberapa saat.
"Mengapa Resi Druna dan Sendari bertingkah demikian? Melihat gelagatnya rasa-rasanya antara kedua orang ini mempunyai hubungan. Kalau tidak, sikap mereka terlihat janggal sekali," Darmakala dan Wudani bertanya-tanya dalam hati.
Pertanyaan demikian tak menggayuti benak Cemong. Prajurit ini bersikap sebagaimana prajurit sejati. Dia tak mau tahu urusan ini lebih jauh. Yang menjadi patokannya hanya satu, melaksanakan perintah junjungannya!
"Rupanya kali ini kau lebih siap, Druna? Kulihat kau tak hanya membawa satu orang untuk memenuhi keinginanmu itu. Kuharap kali ini orang-orang yang kau bawa mampu bertahan lebih lama menghadapiku. Jangan seperti orang-orang sebelumnya."
Isi ucapan itu terasa mengharapkan kemenangan untuk Resi Druna. Tapi, sikap Sendari mengisyaratkan sebaliknya. Nenek itu kelihatan demikian sinis. Apalagi ketika menatap Darmakala dan Wudani!
Darmakala tak terlalu mempedulikan sikap Sendari. Tapi, tak demikian halnya dengan Wudani. Wanita itu kelihatan tersinggung bukan main. Parasnya menegang. Sorot sepasang matanya berkilat-kilat penuh ancaman.
Wudani hendak mengeluarkan makian. Tapi, Darmakala yang mengetahui watak istrinya telah lebih dulu menyentuh lengan Wudani dan memberi isyarat agar wanita itu bersabar. Wudani dengan terpaksa menelan kembali marahnya.
Di lain pihak, Resi Druna tersenyum. Namun tidak terpancar sorot kegembiraan di dalamnya. Yang lebih terlihat adalah kegundahan hati. "Kau tetap belum berubah, Sendari. Hanya kemauanmu yang ingin dituruti orang lain. Tingkahmu ini yang memaksaku dan Gusti Prabu Mandaraka bertindak seperti ini. Kuharap kali ini kau mau ikut bersamaku menghadap Gusti Prabu."
"Semua tergantung dari kemampuan orang-orang yang kau bawa, Druna. Ciri-ciri kedua budakmu ini boleh juga. Tapi, entah bagaimana dengan kemampuannya," jengek Sendari seraya menatap Darmakala dan Wudani dengan sorot mata sengit.
"Mereka akan membuat keangkuhan mu pudar, Sendari," balas Resi Druna, tenang.
"Begitukah?!" sembur Sendari tak senang. Keras suaranya. "Akan kau lihat sendiri kenyataannya, Dru-na! Ayo, tunggu apa lagi? Mari segera kita mulai!"
Resi Druna hanya tersenyum pahit. Tapi, Sendari tahu senyuman itu merupakan pertanda kakek berjubah kuning setuju atas usulnya. "Darmakala... Wudani...," ujar Resi Druna pelan pada pasangan suami istri itu.
"Kami telah siap, Sendari. Kau boleh memulainya," ucap Darmakala pada Sendari.
"Bagus!" sambut Sendari. Suaranya terdengar seperti binatang buas menggeram. "Kau mungkin telah mengetahui jenis pertandingan yang kuinginkan. Druna pasti telah memberitahu kalian!"
Darmakala mengangguk.
"Hmh...!" dengus Sendari. "Dengar baik-baik ucapanku."
Begitu ucapan nenek itu usai, Darmakala mendengar suatu suara di telinganya. Rangkaian kata-kata yang membentuk pertanyaan. Hanya lelaki ini yang mendengarnya, karena Sendari mengeluarkan perkataan itu melalui ilmu mengirim suara dari jauh.
Wudani kebingungan ketika tak mendengar pertanyaan yang diajukan Sendari. Bukan hanya Wudani yang dibuat heran. Ada seorang lagi yang dilanda perasaan sama. Seseorang yang keberadaannya tak diketahui oleh siapa pun. Sosok yang bukan lain dari Dewa Arak itu duduk di salah satu cabang pohon. Sukar terlihat dari bawah karena terhalang oleh kerimbunan dedaunan.
Memang, karena keinginannya yang besar untuk mengungkap rahasia keanehan sikap Raja Mandaraka, Dewa Arak terus mengikuti ke mana Wudani dan Darmakala dibawa. Bahkan ketika pasangan suami istri itu berada di istana, pemuda berambut putih keperakan ini menunggu di luar.
Tapi yang paling bingung adalah Darmakala! Hanya saja kebingungan Darmakala bukan disebabkan oleh sikap nenek itu, melainkan oleh pertanyaannya. Terdengar jelas oleh Darmakala bunyi pertanyaan Sendari.
"Aku ingin kau menceritakan sebuah kisah yang tak habis diceritakan sampai tiga hari tiga malam."
"Gila!" pekik Darmakala dalam hati. "Tiga hari tiga malam?! Setengah hari pun rasanya sudah mustahil. Apa yang diceritakan sampai bisa selama itu?"
"Kuberi kau waktu sampai matahari berada di atas kepala untuk memberikan jawaban. Bila sampai batas waktu itu kau belum juga memberikan jawaban, berarti aku menang," lanjut Sendari masih menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Darmakala menatap ke langit. Hatinya agak lega ketika mengetahui sang Surya belum lama meninggalkan tempat terbitnya. Waktu baginya masih cukup lama. Keheningan pun menyelimuti tempat itu. Semua mulut terkatup rapat, seakan keempat orang yang ada di situ telah berubah menjadi arca!
Wudani terlihat seperti semut yang diletakkan di abu panas, wanita itu gelisah sekali. Wudani tahu suaminya tengah dilanda rasa bingung. Sayang, dia tak tahu hal apa yang membuat Darmakala kebingungan seperti itu. Sungguh pun demikian Wudani tak kehilangan akal. Wanita ini memiliki kecerdikan yang besar. Dia segera tahu kalau Sendari mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
"Kalau nenek sombong ini mempergunakan ilmu itu, mengapa aku tidak? Memangnya hanya dia seorang yang bisa menggunakan ilmu itu?!" desis hati Wudani tak senang.
"Ada apa, Kak Darma? Mengapa kau kelihatannya bingung sekali?" tanya Wudani pada suaminya dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh.
Darmakala merasa gembira bukan main mendapat kiriman suara dari istrinya. Lelaki ini memang amat membutuhkan bantuan Wudani. Istrinya jauh lebih pandai menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjebak seperti ini.
"Aku memang tengah bingung, Wudani," jawab Darmakala. "Sendari memberikan pertanyaan yang sangat sulit untuk kujawab."
"Bagaimana pertanyaannya, Kak Darma?"
"Wanita tua bangka itu meminta ku Untuk menceritakan sebuah kisah. Kisah apa pun yang tak habis diceritakan hingga tiga hari tiga malam."
"Tiga hari tiga malam?! Mana ada cerita yang memakan waktu demikian lama?" cetus Wudani, kaget dan heran.
"Mana ku tahu, Wudani? Itu keinginan nenek keparat itu!" rutuk Darmakala.
"Tunggu sebentar, Kak Darma." Perbincangan tanpa menggerakkan bibir itu untuk sementara terhenti. Wudani tengah mencari jawaban bagi pertanyaan aneh Sendari.
Darmakala mulai mengkhawatirkan kemenangan di pihak Sendari setelah beberapa saat lamanya tak juga didapatkan jawaban dari Wudani. Wanita itu berdiri gelisah dengan pandangan sesekali terarah pada Sendari. Sementara tak sepatah kata pun ucapan dikirimkannya pada Darmakala.
EMPAT
"Kurasa aku menemukan jawabannya, Kak Darma." Perkataan yang dikirim tanpa menggerakkan bibir itu diterima Darmakala ketika dia sudah hampir putus asa. Waktu yang dibutuhkan Wudani ternyata tak sesingkat perkiraannya.
"Apa, Wudani? Cepat katakan!"
"Begini, Kak Darma. Kurasa pertanyaan nenek sombong itu cuma akal-akalan. Mana mungkin sebuah cerita membutuhkan waktu tiga hari tiga malam."
"Jadi bagaimana jawabannya, Wudani? Apakah harus kukatakan kalau tak ada jawabannya?!" desak Darmakala tak sabar.
"Tentu saja tidak demikian, Kak Darma. Kita harus memberikan sambutan sesuai dengan pertanyaan itu. Tipu daya harus kita lawan dengan cara yang sama."
Wudani segera menyambung ucapannya dengan jawaban yang diperoleh. Darmakala mendengarkan penuh perhatian.
"Bagaimana? Apakah kau tak bisa memberikan jawaban atas pertanyaanku?" Sendari dengan senyum mengejek.
Darmakala bersyukur dalam hati. Datangnya pertanyaan Sendari setelah istrinya selesai memberikan jawaban. Dengan demikian lelaki ini telah siap. Darmakala mengulas senyum di bibir dan mengangguk pasti.
Sepasang alis Sendari berkerut. Dia masih belum mengerti arti anggukan Darmakala. Tapi, senyum lelaki itu menunjukkan kalau ada hal-hal yang menggembirakan hatinya.
"Jadi, kau telah mendapatkan jawabannya?!" dengus Sendari penuh ketidakpercayaan.
"Benar!"
"Katakanlah. Aku ingin mendengarnya."
"Dengarkan baik-baik cerita ku ini, Sendari!" ucap Darmakala, mantap. "Belasan tahun yang lalu di sebuah desa musim panen telah datang. Tanaman padi yang siap untuk dituai bertebaran dimana-mana."
Sendari mengernyitkan kening. Wanita ini tak bisa menebak arah cerita Darmakala. Kendati demikian, dia mendengarkan cerita Darmakala dengan senyum mengejek di bibir.
"Di antara puluhan petani yang ada di desa itu," Darmakala melanjutkan ceritanya. "Ada seorang petani yang memiliki sawah paling luas. Dia merupakan petani terkaya di desa. Lumbung padinya merupakan bangunan paling besar. Ribuan pikul padi dapat disimpan di dalam lumbung itu."
Darmakala menghentikan ceritanya. Sendari tak mengusik sama sekali. Meski Darmakala sering berhenti, tak akan ada pengaruhnya dengan waktu yang tersedia, pikir Sendari. Waktu tiga hari tiga malam terlalu panjang hanya untuk menghabiskan satu cerita.
"Sayang, lumbung padi petani terkaya itu berdekatan dengan lubang-lubang tempat semut bersarang. Jumlahnya tak terhitung. Semut-semut itu tahu akan adanya makanan. Melalui lubang yang ada di lumbung, binatang-binatang itu masuk ke dalam lumbung dan mengambil butir-butir padi."
Darmakala kembali menghentikan cerita. Senyum tersungging di bibirnya seperti layaknya orang yang tengah mendapat kemenangan. Sendari, Resi Druna, dan Cemong mendengarkan cerita Darmakala. Tapi hanya Sendari dan Resi Druna yang mendengarkan dengan penuh perhatian, sedangkan Cemong hampir bersikap tak peduli.
"Semut pertama datang memasuki lumbung dan keluar kembali dengan menggondol sebutir padi. Sesaat kemudian disusul oleh semut kedua. Semut ketiga pun masuk juga melalui lubang yang ada dan mengambil sebutir padi lalu kembali ke sarangnya. Kemudian disusul dengan...."
"Cukup...!" sentak Sendari tiba-tiba. Wajahnya tampak merah padam. "Kau memenangkan pertaruhan!"
Resi Druna, Cemong, dan Wudani tersenyum gembira. Teriakan Sendari telah mengakhiri pertandingan itu. Kemenangan berada di pihak Darmakala. Besarnya kegembiraan mereka masih tak sebesar kegembiraan Darmakala. Sudah diduganya Sendari tak akan sabar mendengarkan cerita semut yang satu per satu masuk ke lumbung padi.
"Kali ini kau menang Druna. Aku terpaksa kembali ke kerajaan. Tapi seperti yang kukatakan dulu, hanya untuk waktu yang terbatas. Paling lama, dua belas purnama," ucap Sendari dengan nada pahit.
"Tak perlu selama itu kukira, Sendari," bantah Resi Druna. "Gusti Prabu tak ingin mengganggu ketenteraman hidupmu. Kalau saja tak mempunyai keperluan yang amat penting, Gusti Prabu tak ingin mengusik mu. Tapi karena terpaksa...."
"Tidak usah banyak bicara yang tak perlu, Druna!" potong Sendari tak sabar. Tongkatnya diketukkan ke tanah hingga amblas hampir setengahnya. "Katakan saja apa keperluanmu!"
Resi Druna tampak bimbang. Kakek ini melihat keberadaan Darmakala dan Wudani di tempat itu. Bila ia bicara pasangan suami istri itu akan mendengar. Padahal, masalah yang tengah dialami Prabu Mandaraka cukup rahasia.
"Tak usah bimbang untuk bicara, Resi," ujar Darmakala tenang tanpa merasa tersinggung. "Kalau kau takut kami mendengar masalah Prabu Mandaraka, kau salah besar. Kami telah tahu mengenai hal itu dari sikap Gusti Prabu sendiri."
"Hm...! Apa yang kau ketahui, Darmakala?" tanya Resi Druna.
"Tidak banyak. Bukankah Gusti Prabu Mandaraka kehilangan hal yang teramat penting dalam dirinya selaku seorang lelaki? Gusti Prabu kehilangan kejantanannya, bukan?"
"Hm...!" Resi Druna hanya bisa menghela napas. Kakek ini tak membantah atau membenarkan. Tapi, sikapnya menunjukkan kalau terkaan Darmakala tidak salah.
"Sungguhkah itu, Druna?!" Sendari setengah terpekik.
Pelan dan kaku Resi Druna menganggukkan kepala. Jawaban ini telah lebih dari cukup. Sendari memekik laksana seekor garuda murka. Pekikannya membuat Cemong terhuyung-huyung dengan wajah pucat. Sekitar tempat itu bergetar hebat dan tongkat berkepa-la ularnya terlontar ke atas. Sendari buru-buru menangkapnya.
"Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, Druna?!" tegur Sendari dengan suara keras. "Lalu..., apa artinya keberadaanmu di Sana?!"
Wajah Resi Druna langsung merah padam. Nada suaranya mulai meninggi ketika bicara. "Apa artinya seorang manusia, betapapun tinggi kepandaiannya, jika Yang Maha Kuasa telah menentukan lain?! Puluhan tabib dan ahli obat didatangkan, tapi tak seorang pun sanggup menyembuhkan sakit Gusti Prabu. Semua ahli obat itu mempunyai usul yang sama kalau ingin Gusti Prabu Mandaraka sembuh dari penyakitnya!"
"Apa itu, Druna?!" tanya Sendari tak sabar. "Sebuah batu permata yang bernama Kalimaya."
"Kalimaya?! Bagaimana mungkin bisa mendapatkan pusaka itu? Bukankah tempatnya amat jauh dari sini. Konon, pusaka itu dijaga oleh seorang tokoh sakti yang memiliki watak aneh."
"Aku pun telah mendengar berita itu, Sendari," keluh Resi Druna. "Pusaka Kalimaya dimiliki oleh seorang tokoh yang amat sakti. Demi kesembuhan Gusti Prabu dan keutuhan kerajaan, aku bersedia menempuh bahaya untuk mendapatkan pusaka itu. Sayang aku tak mengetahui tempatnya. Itulah sebabnya aku hendak meminta bantuanmu."
"Mengenai keadaan Gusti Prabu, Druna," sesal Sendari. "Kalau tahu keadaannya seperti ini, aku tak akan bersikeras dengan pendapatku dan masalahnya tidak berlarut-larut...."
"Aku tak ingin kau mengingkari sumpahmu sendiri, Sendari," jawab Resi Druna.
"Kau pergilah lebih dulu, Druna. Aku ingin berkemas-kemas. Cukup banyak yang harus kuurus di sini,"
"Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Aku akan menunggumu di kaki gunung, dekat sumber air. Kau tahu kan?" Sambung Resi Druna, gembira. Usahanya membujuk Sendari untuk turun gunung ternyata berhasil.
Sendari hanya mengangguk. Resi Druna tanpa banyak cakap segera meninggalkan tempat itu. Diberikannya isyarat pada rombongannya untuk mengikuti. Sendari sendiri bergegas kembali ke dalam pondok.
Di atas pohon Dewa Arak merasa lega. Prabu Mandaraka ternyata tak mempunyai maksud yang tak baik. Dari percakapan yang didengarnya, semua ingin tahunya telah terpuaskan. Meskipun demikian, Arya tak segera turun dari pohon. Pemuda ini merasa tak enak jika nanti keberadaannya diketahui dan akan menimbulkan salah paham. Diputuskannya untuk meninggalkan tempat itu setelah Sendari pergi.
* * *
"Hhh...!" Resi Druna mengarahkan pandangan ke puncak gunung. Telah cukup lama dia dan rombongannya menunggu. Batas kesabarannya telah terlampaui. Sendari tetap juga belum tampak batang hidungnya.
Bukan hanya Resi Druna yang merasa gelisah dan berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan di belakang punggung. Lima orang yang menyertai perjalanannya pun ikut gelisah. Rasa tak sabar tampak jelas pada wajah dan sikap mereka.
"Jangan-jangan nenek itu kabur. Alasan yang dipergunakannya untuk berkemas-kemas sekedar siasat belaka. Kalau tak demikian, mana mungkin akan begitu lama?" celetuk Wudani tak sabar.
Resi Druna mengalihkan perhatian pada Wudani. "Aku memaklumi kecurigaan mu, Wudani. Tapi bila kau mengenal lebih jauh siapa Sendari, kau tak akan berkata demikian."
"Begitukah?!" tanya Wudani tanpa menyembunyikan keraguan hatinya.
"Tentu saja!" tandas Resi Druna, "Sendari bukan orang lain. Beliau termasuk guru dari Gusti Prabu Mandaraka. Kasih sayangnya terhadap murid sekaligus junjungannya itu demikian tinggi. Mana mungkin Sendari akan kabur dengan alasan hendak berkemas-kemas?"
Wudani dan Darmakala saling berpandangan dengan wajah kaget. Sama sekali tak mereka sangka Sendari mempunyai kedudukan demikian tinggi. Ini benar-benar di luar pengetahuan mereka.
"Maafkan atas sikap istriku yang tak patut, Resi," Darmakala mewakili istrinya meminta maaf. "Kami berdua sungguh tak mengetahui hal ini."
"Lupakanlah. Aku bisa memakluminya," jawab Resi Druna, bijaksana.
"Tadi kau katakan Sendari merupakan salah satu guru Gusti Prabu Mandaraka. Lalu, siapakah guru-guru yang lain?" tanya Wudani ingin tahu.
"Gusti Prabu Mandaraka hanya mempunyai dua orang guru. Orang satunya lagi yang mendapat kehormatan untuk menjadi guru beliau adalah aku."
"Ahhh...!" Untuk kedua kalinya Wudani dan Darmakala tak kuasa menahan rasa kagetnya. Ditatapnya Resi Druna dengan mata membelalak seperti orang melihat hantu.
"Benar-benar luar biasa," desah Darmakala. "Sama sekali tak kami sangka kau merupakan orang yang amat terhormat, Resi. Maafkan kalau sikap yang kami tunjukkan padamu mungkin kurang hormat."
Resi Druna buru-buru mengulapkan tangan. Terlihat jelas perasaan tak sukanya memperbincangkan hal itu. "Lupakan segala urusan tetek bengek itu, Darma. Terus terang, aku sendiri merasa risih dengan segala sopan santun yang terlalu berlebihan. Kuharap kau dan istrimu bersikap padaku sebagaimana wajarnya saja."
Hampir berbarengan Darmakala dan Wudani menganggukkan kepala. "Maaf kalau aku terlalu lancang, Resi. Melihat sikapmu dan Sendari kelihatannya kalian mempunyai hubungan yang cukup erat. Apakah dugaanku benar?" tanya Darmakala.
"Yahhh.... Begitulah, Darma. Kami memang mempunyai hubungan yang erat. Bahkan sangat erat" jawab Resi Druna dengan pandangan tertuju ke angkasa, seperti tengah melihat gambaran masa lalunya di sana. "Kami saudara seperguruan. Sendari adalah adik seperguruanku. Kami saling jatuh cinta dan menjadi suami istri."
Sampai di sini wajah Resi Druna tampak muram. Perasaan duka tergambar jelas di wajah dan sinar matanya. Darmakala jadi merasa tak enak melihat hal ini.
"Maafkan aku, Resi. Aku telah membuatmu terkenang kembali pada hal-hal yang tak menyenangkan. Kurasa kau tak perlu memberi keterangan lebih jauh."
"Tidak mengapa, Darma. Kau telah menolongku. Tak ada salahnya kuceritakan padamu mengenai diriku dan Sendari. Anggaplah hal ini sebagai balas jasa atas jerih payahmu."
Darmakala hanya mengangkat bahu. Diserahkannya keputusan itu pada Resi Druna.
"Setelah menjadi suami istri kami turun gunung. Sama seperti murid-murid golongan putih lainnya, kami bermaksud hendak membela si lemah dari tekanan angkara murka. Cukup lama kami menunaikan tugas suci itu sebelum akhirnya tanpa sengaja berhasil menyelamatkan nyawa seorang raja dari suatu pembunuhan."
"Raja itu Prabu Mandaraka?" sela Wudani.
"Bukan. Raja yang saat itu tengah menyamar adalah ayah kandung dari Prabu Mandaraka. Prabu Mandaraka sendiri masih muda dan menjadi pangeran mahkota. Ayahanda beliau bernama Prabu Baka. Sejak itulah kami diangkat menjadi pengawal-pengawal pribadi Prabu Baka. Di istana kami menjadi guru Pangeran Mandaraka."
Resi Druna menghentikan ceritanya. Darmakala dan Wudani menunggu dengan perasaan tak sabar.
"Ketika Prabu Baka mangkat dan Pangeran Mandaraka menjadi raja, istriku ingin beristirahat dari tugas-tugasnya. Dia ingin menyepi bersamaku untuk menghabiskan masa tua. Tapi aku menolak. Kami bertengkar hebat karena watak istriku amat keras. Kesudahannya adalah seperti ini. Dia tinggal di tempat ini sedangkan aku di istana. Istriku bersumpah tak akan menginjak istana kecuali aku bisa memenuhi syaratnya. Dia rupanya merasa tersinggung sekali sehingga ingin membuatku repot. Syaratnya adalah seperti yang kau alami, Darma. Telah banyak tokoh yang gagal untuk memaksanya meninggalkan tempatnya, sampai akhirnya kau datang."
Suasana menjadi hening ketika Resi Druna menghentikan cerita. Namun, lamunan mereka segera buyar, Resi Druna tampak mengarahkan pandangan ke satu arah. Sinar matanya terlihat penuh selidik. Darmakala, Wudani, Cemong, dan empat prajuritnya mengarahkan pandangan ke arah yang ditatap Resi Druna. Tampak sesosok bayangan berkelebatan cepat menuju ke arah mereka.
Sosok bayangan kuning itu memiliki bentuk tubuh yang mungil dan ramping. Resi Druna dan pasangan suami istri Wudani Darmakala mampu melihatnya secara jelas. Sosok kuning itu adalah seorang wanita muda. Sedangkan Cemong dan empat prajurit lainnya hanya mampu melihat sosok bayangan kuning berkelebatan menuju tempat mereka berada.
Bentuk sosok bayangan kuning itu terlalu samar untuk dapat mere-ka tangkap. Darmakala dan Wudani melihat dahi Resi Druna berkernyit dalam. Resi Druna tampaknya tengah dilanda kebingungan.
"Siapa gadis itu? Mengapa bisa tahu tempat ini? Jarang ada tokoh persilatan yang melewati daerah terpencil ini. Apakah gadis itu mempunyai hubungan dengan Sendari?" Resi Druna bertanya-tanya dalam hati.
Gadis berpakaian kuning itu pun telah melihat keberadaan rombongan Resi Druna. Tapi, dia berpura-pura tak melihat. Ayunan kakinya tak diperlambat. Hanya arah yang ditempuhnya agak dipalingkan, sehingga tak melalui tempat berkumpulnya Resi Druna dan rombongannya.
Tapi, sebelum maksud gadis itu mendaki ke puncak melalui jalur lain terlaksana, Resi Druna telah menggeser kaki. Tubuh kakek ini melayang dan dalam sekejapan telah berdiri di tempat yang akan dilalui gadis berpakaian kuning.
Tindakan Resi Druna membuat gadis itu menghentikan ayunan kakinya. Dia berhenti berlari empat tombak dari Resi Druna. Dengan sepasang matanya yang bening indah ditatapnya Resi Druna penuh tuntutan.
"Mengapa kau menghalangi jalanku, Kek? Aku tak ingin mencari keributan!" tandas gadis itu.
"Aku tahu, Nona," jawab Resi Druna kalem. "Karena itu kau menempuh jalan yang tidak melewati ku. Tapi aku pun tak mau mencari keributan. Aku wajib tahu maksudmu mendaki puncak gunung ini."
"Harus...?! Si gadis mengerutkan sepasang alisnya yang indah.
"Benar!"
"Mengapa? Apakah kau yang mempunyai gunung ini?" sembur gadis berpakaian kuning.
"Tentu saja bukan, Nona. Tak ada orang yang mempunyai gunung ini. Tapi...."
"Kalau begitu, apa hakmu melarangku naik ke puncak? Malah harus tahu apa yang kulakukan di sana?!" selak si gadis cepat dengan nada semakin tinggi.
Resi Druna menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah gadis itu. Kalau tak memberikan jawaban lebih dulu, gadis itu pasti tak akan memberikan keterangan. Maka, diputuskannya untuk mengalah.
"Aku berhak tahu karena gunung ini jarang didatangi orang. Merupakan suatu keanehan kalau kau hendak mendaki sampai ke puncak. Tapi, yang lebih penting lagi karena di atas sana tinggal seorang kawan baikku. Dia tak ingin ada orang mendatangi tempatnya menyepi"
Sepasang alis gadis berpakaian kuning berkerut kembali. Rupanya penjelasan Resi Druna menarik hatinya. "Boleh ku tahu kawan baikmu yang tinggal di puncak sana, Kek?"
"Tentu saja, Nona," jawab Resi Druna sambil terkekeh. "Tapi kuharap kau mau bersikap adil. Aku telah memberikan penjelasan sebab-sebab kau ku cegah naik ke puncak. Maka, kuharap kau memberikan keterangan mengapa hendak naik ke sana. Setelah itu, aku baru akan menjawab pertanyaanmu yang kedua. Bagaimana?"
Si gadis tercenung sebentar. Kemudian, kepalanya dianggukkan. "Cukup adil syarat yang kau ajukan, Kek. Baiklah kuberitahukan. Aku hendak ke puncak untuk menemui seorang bibi guruku. Dia tinggal di atas sana."
"Boleh ku tahu siapa bibi gurumu?" desak Resi Druna.
"Kau dulu yang harus memberikan keterangan, Kek. Kau tak boleh mengajukan pertanyaan lagi. Sekarang giliranku. Yang kutanyakan, siapa kawan baikmu yang tinggal di puncak gunung itu?"
"Namanya Sendari," Resi Druna terpaksa mengalah karena bisa menerima alasan yang dikemukakan si gadis.
Gadis berpakaian kuning terjingkat ke belakang seperti dipatuk ular berbisa. Wajahnya memperlihatkan keterkejutan besar. "Bibi guruku itu pun bernama Sendari, Kek," ujar gadis berpakaian kuning.
Resi Druna kaget bukan main. Sepasang matanya membelalak lebar ketika menatap si gadis. "Bibi gurumu bernama Sendari?! Apakah kau mempunyai hubungan dengan Raharja?" tanya Resi Druna dengan suara bergetar.
"Kau mengenal ayahku, Kek?" Si gadis malah balas bertanya.
"Mengenal sih, tidak. Tapi Sendari telah bercerita padaku mengenai putri seorang tokoh persilatan bernama Raharja. Putri yang bernama Kemani itu menjadi muridnya selama beberapa bulan. Hanya saja Sendari tak ingin dipanggil guru, sehingga Kemani menyebutnya bibi guru. Kaukah gadis yang bernama Kemani itu?"
Gadis berpakaian kuning mengangguk. Resi Durna tersenyum lebar. "Ternyata kita orang sendiri, Kemani. Aku bernama Durna. Resi Durna. Ini anggota rombonganku."
Kemudian, Resi Durna menceritakan maksud kedatangannya ke tempat ini. Tak lupa diperkenalkannya satu per satu orang-orang yang bersamanya. Di saat Resi Durna tengah bercerita, di puncak gunung Sendari tengah sibuk berkemas-kemas. Nenek ini mempunyai banyak hiasan di dinding pondoknya. Sekarang hiasan-hiasan itu dipindahkan. Dari salah satu hiasan berbentuk kepala seekor menjangan, dikeluarkannya gulungan kain dari kulit binatang.
Sendari membuka gulungan kulit binatang itu. Tampak coretan-coretan berupa garis, segi tiga, dan tanda silang. Nenek ini memperhatikannya sebentar dengan penuh perhatian. Kemudian digulungnya kembali kulit binatang itu.
Sendari menyelipkan gulungan kulit binatang di selipan pinggangnya. Pada saat yang bersamaan dengan terselipnya gulungan kulit binatang tersebut, terdengar suara keras....
Brakkk!
LIMA
Daun pintu pondok hancur berkeping-keping. Sendari sampai terjingkat kaget dan mengalihkan perhatian ke arah daun pintu. Nenek ini mengibaskan tangan ke sana kemari menepis kepingan-kepingan daun pintu yang berpentalan tak tentu arah. Beberapa di antaranya meluruk ke arah Sendari.
Dalam selisih waktu yang demikian singkat, dari luar pondok tampak sesosok tubuh melangkah masuk dengan tenangnya. Sendari memperhatikan hampir tak berkedip. Sosok itu seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahun. Pakaiannya coklat membungkus tubuhnya yang kekar. Wajahnya cukup tampan. Sayang, air mukanya terlihat dingin tak menggambarkan perasaan apa pun.
"Siapa kau, Sobat?! Sungguh lancang sekali tindakan yang kau lakukan!" seru Sendari keras penuh kemarahan,
"Siapa adanya aku tak perlu kau tahu, Tua Bangka! Yang penting, serahkan gulungan kain itu padaku! Atau, kau lebih suka kukirim ke neraka?!" dengus lelaki berpakaian coklat.
"Enak saja kau membuka mulut, Anjing Kurap! Aku lebih suka mencopot lidahmu dari pada memberikan benda ini!"
Sendari menutup ucapannya dengan sebuah terjangan. Nenek ini tak bertindak setengah-setengah lagi. Kebutan yang terselip di pinggang segera dicabutnya. Senjata itu ditusukkan ke arah leher lawan. Dengan pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi Sendari mampu membuat bulu kebutan yang lembut menjadi keras laksana ujung tombak!
Lelaki berpakaian coklat tersenyum sinis. Mulutnya bergerak meniup. Angin yang keluar membuat bulu-bulu kebutan kembali melemas. Hampir bersamaan dengan serangan itu kedua tangannya dihentakkan ke dada Sendari.
Sendari adalah seorang wanita yang keras kepala. Kenyataan betapa lawan mampu melumpuhkan bulu-bulu kebutannya telah membuktikan betapa kuat tenaga dalam lawan. Sifat keras kepalanya mendorong Sendari untuk tak ragu-ragu memapaki serangan lawan berikutnya.
Plakkkk!
Bunyi keras terdengar. Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam amat kuat berbenturan. Seketika, tubuh kedua pemiliknya terjengkang ke belakang. Si lelaki mampu menjejak tanah dengan kedua kaki kendati harus melewati pintu pondok.
Sendari lebih parah keadaannya. Nenek itu terjengkang dan punggungnya menabrak dinding dengan keras. Dinding hancur berkeping-keping membawa tubuh renta itu keluar pondok.
Sendari bergegas bangkit. Nenek ini langsung terperanjat ketika melihat gulungan kulit binatang yang merupakan peta tempat batu Kalimaya berada telah lenyap. Amarah Sendari semakin bergolak. Tanpa perlu melihat buktinya lagi, nenek ini tahu kalau lelaki berpakaian coklat telah mengambil benda miliknya.
Sementara pendatang tak diundang itu tengah diamuk kemarahan pula. Sinar matanya tajam berkilat-kilat. Pakaian luarnya yang berupa rompi segera disingkapkan dengan kedua tangan ke kanan dan kiri. Pada bagian dalam rompi terlihat jajaran pisau-pisau putih berkilat. Sendari sampai terbelalak melihatnya.
"Luar biasa orang ini," pikir istri Resi Druna itu. "Apakah dia memiliki ilmu melempar pisau yang hebat? Dia sampai menyediakan tempat khusus di ba-gian dalam rompinya untuk tempat pisau."
Lelaki berpakaian coklat tersenyum sinis. Diliriknya Sendari sekilas, kemudian dikerlingnya deretan pisaunya. "Sebenarnya aku tak terlalu ingin membunuhmu, tapi kau menghendaki lain. Maka, biarlah ku turuti kemauanmu!"
Lelaki itu mencabut sebatang pisau. Kemudian di lemparkannya ke arah Sendari. Nenek ini tak tinggal diam menerima kematian. Kebutannya dijadikan menegang kaku dan dipergunakan untuk memapaki sambaran pisau!
Trakkk!
Benturan yang terjadi membuat bulu-bulu kebutan melemas. Namun pisau lawan terlempar ke belakang. Sungguh pun begitu Sendari tak bisa berlega hari. Pi-sau yang terlempar balik itu tak jatuh ke tanah. Bagai memiliki nyawa. Pisau berbalik dan meluncur kembali ke arah Sendari. Kali ini bagian yang dituju adalah leher!
Meski terkejut melihat kejadian yang tak disangka-sangka ini, Sendari tak menjadi gugup. Nenek ini menggunakan kebutannya untuk menghalau serangan pisau. Tak repot memang. Tapi ketika lelaki berpakaian coklat menambah jumlah pisaunya, Sendari mulai kelabakan.
Istri Resi Druna ini berlari ke sana kemari menyelamatkan diri dari tangan-tangan maut yang meluncur ke arahnya. Terlihat menggelikan betapa nenek itu tampak sibuk menangkis dan mengelak dari serangan-serangan pisau yang seperti mempunyai pikiran.
Lelaki berpakaian coklat hanya memperhatikan dengan senyum sinis tersungging di bibir. "Ingin ku tahu sampai berapa lama kau dapat bertahan, Peot?!" guman lelaki itu dalam hati.
Ketika puluhan jurus telah berlalu, gerakan Sendari mulai mengendur. Nenek ini merasa kelelahan. Di samping karena usia tua, bertarung dengan cara de-mikian benar-benar menguras tenaga. Tidak hanya lelah badan, tapi juga lelah pikiran!
Crattt!
"Aaakh...!" Sendari memekik kesakitan. Salah satu pisau menyayat bahunya. Darah pun merembes keluar dari kulit dan daging yang terkoyak. Sendari terhuyung-huyung. Saat itu dua pisau lain meluruk ke arahnya. Pisau yang telah berhasil melukai Sendari meliuk, kemudian mengikuti dua pisau sebelumnya.
Sendari hanya bisa membelalakkan mata lebar-lebar. Nenek ini ingin mengelak, tapi keadaan sudah tak memungkinkan lagi. Dia telah terlalu lelah. Sendari hanya bermaksud memapaki apabila pisau-pisau me-luncur dekat.
Sing, sing, singggg!
Zebbb, zeb, zebbb!
Di saat yang amat genting bagi keselamatan Sendari meluncurlah sebatang pohon pisang. Batang tanaman yang panjangnya hampir satu tombak itu menyela di antara pisau-pisau dan Sendari. Akibatnya, batang pisang itu yang menjadi sasaran pisau-pisau lawan. Pisau-pisau amblas ke batang pisang sampai ke gagangnya.
"Keparat!" maki lelaki berpakaian coklat Pandangannya di edarkan berkeliling. "Siapa yang berani mati mencampuri urusan Sangka Ruti?! Kalau memang jantan, keluar!"
Sendari juga mengedarkan pandangan. Nenek ini tahu ada seseorang yang telah menolongnya. Dan ketika seruan lelaki yang bernama Sangka Ruti lenyap, seperti hendak membuktikan ketidak-pengecutannya sesosok bayangan ungu melesat turun dari atas wu-wungan rumah!
"Sebutkan namamu sebelum kukirim nyawamu ke neraka, Keparat! Sangka Ruti tak pernah berkeinginan membunuh orang yang tak terkenal!" sera Sangka Ruti ketika sosok berpakaian ungu telah menjejak tanah.
Sosok berpakaian ungu itu ternyata seorang pemuda berwajah tampan. Rambutnya yang panjang dan berwarna putih keperakan semakin menambah keangkeran sikapnya. Pemuda ini terlihat tak tersinggung mendapat teguran kasar dari Sangka Ruti. Sikapnya tetap tenang, memperlihatkan kematangan diri.
"Namaku Arya Buana. Panggil saja Arya," beri tahu pemuda berambut putih keperakan.
Baik Sangka Ruti maupun Sendari tak tampak kaget mendengar nama Arya Buana. Bahkan andaikata pemuda ini memperkenalkan julukannya, kedua pendengarnya itu tak akan kaget. Baik Sangka Ruti maupun Sendari belum pernah mendengar julukan itu. Yang satu karena terlalu lama mengeram diri. Sedangkan yang lain karena belum lama menampakkan diri ke dunia persilatan!
"Terimalah kematianmu, Anjing Kurap!" Sangka Ruti yang tengah dilanda kemarahan tak tanggung-tanggung lagi dalam melancarkan serangan. Lima batang pisaunya di lemparkan pada Dewa Arak! Padahal, tiga batang pisau saja telah cukup untuk membuat Sendari hampir kehilangan nyawa.
Dewa Arak tak berani bertindak gegabah. Pemuda ini telah tahu keluar-biasaan pisau-pisau milik Sangka Ruti. Arya telah lama memperhatikan pertempuran Sendari dengan pisau-pisau sebelum menemukan cara yang tepat untuk menolongnya.
Memang, sejak Sangka Ruti melesat menuju pondok untuk kemudian menghancurkan daun pintu, Dewa Arak telah menaruh curiga. Arya mengenal Sangka Ruti sebagai pemuda yang mencoba keampuhan ilmu 'Mata Dewa' Darmakala. Arya khawatir Sangka Ruti bermaksud kurang baik terhadap si nenek. Begitu daun pintu dihancurkan Sangka Ruti, Dewa Arak bergegas turun dari pohon dan melesat ke arah pondok Sendari.
Maka, ketika melihat Sangka Ruti mulai mempergunakan senjatanya yang luar biasa, Dewa Arak dengan cara yang tak kalah luar biasa mengambil batang-batang pisang kemudian diletakkannya di atas atap pondok.
Dewa Arak hanya melambaikan tangan seperti tengah memanggil seseorang. Sesaat kemudian, sebatang gedebong pisang berukuran satu tombak telah berada di genggaman tangannya. Dengan batang pisang ini Dewa Arak menghadapi serbuan lima batang pisau.
Menurut perkiraan Dewa Arak, hanya dalam beberapa gebrakan saja pisau-pisau Sangka Ruti akan dapat dilumpuhkan. Tapi, pemuda ini ternyata salah terka. Pisau-pisau seperti benar-benar mempunyai pikiran. Setiap kali Dewa Arak memapaki serangan agar pisau-pisau itu amblas ke batang pisang, usahanya selalu gagal. Benturan yang terjadi membuat pisau-pisau terpental ke belakang hingga tak menancap pada batang pisang.
Belasan jurus tindakan itu dilakukan. Dewa Arak menjadi penasaran. Pemuda ini merasa dipermainkan. Lawan yang dihadapinya padahal hanya senjata yang berupa benda mati. Tapi, dia tidak mampu mengatasinya. Amarah yang timbul membuat Dewa Arak mengambil tindakan lain.
Ketika untuk kesekian kalinya lima batang pisau meluncur ke arahnya, Dewa Arak mendorongkan tapak tangan kanannya yang terbuka. Deru angin keluar dan meluncur dengan kuat bukan main, laju lima batang pisau itu langsung tertahan. Pi-sau-pisau berhenti di tengah Jalan!
Saat ini yang memang ditunggu-tunggu Dewa Arak. Tangan kirinya yang memegang gedebong pisang diayunkan menghantam pisau-pisau yang tengah tertahan di udara.
Zeb, zeb, zeb....!
Lima batang pisau itu langsung amblas ke dalam gedebong pisang. Arya kemudian membanting batang pisang karena sudah tak diperlukan lagi.
Sangka Ruti menatap Dewa Arak dengan sepasang mata seperti mengeluarkan api. Lelaki ini tak melakukan tindakan apa pun. Dia hanya mengarahkan pandangan berganti-ganti pada Dewa Arak dan pisau-pisaunya yang masih tersisa di bagian dalam rompi.
Dewa Arak dan Sendari menunggu tindakan Sangka Ruti selanjutnya. Lelaki berpakaian coklat itu tampaknya merasa bimbang untuk melancarkan serangan. Cukup lama Sangka Ruti tenggelam dalam alun kebimbangan. Tapi, akhirnya sebuah keputusan diambilnya.
Tanpa banyak bicara tubuhnya dibalikkan, lalu secepat kilat kakinya diayunkan meninggalkan tempat itu. Sungguh pun demikian, Sangka Ruti masih sempat meninggalkan ancaman lewat sorot matanya pada Dewa Arak dan Sendari.
Dewa Arak dan Sendari tak mencegah kepergian Sangka Ruti. Sendari tak berani bertindak gegabah karena menyadari kelebihan Sangka Ruti dibanding dirinya. Sedangkan Dewa Arak, dia tak mempunyai urusan dengan lelaki itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Arya. Kau telah menyelamatkan nyawaku hingga esok masih bisa melihat munculnya sang surya dan merasakan kehanga-tan sinarnya," ujar Sendari seraya menatap Dewa Arak dengan pandangan penuh rasa terima kasih.
"Lupakanlah, Nek. Keberadaanku di sini hanya karena ketidaksengajaan. Aku berjalan mengikuti ke mana ayunan kakiku menuju. Dan aku yakin ini merupakan kehendak Hyang Widhi. Maka, lebih baik kalau kita bersyukur pada Nya," kilah Arya.
"Apa yang kau katakan memang benar, Arya. Kalau saja tak terjepit waktu dan kesempatan, aku suka sekali berbincang-bincang denganmu. Tapi sayang, banyak orang yang telah menantikan kehadiranku. Aku tak bisa berlama-lama di sini. Atau, kau ingin ikut bersamaku?"
Arya menggelengkan kepala. Pemuda ini dapat merasakan adanya keraguan dalam ajakan Sendari. Ajakan itu tak keluar dari hati yang tulus, melainkan karena basa-basi. Arya menghibur diri dengan beranggapan kalau si nenek tengah mempunyai masalah pribadi.
"Kebetulan aku tengah ingin menyendiri, Nek. Mungkin aku akan tinggal di tempat ini beberapa waktu, lamanya. Tempat ini kelihatannya jarang disinggahi orang."
"Kalau itu memang sudah keputusanmu, apa boleh buat?" kilah Sendari. "Kalau kau mau, kau bisa tinggal di pondokku. Selamat tinggal, Arya."
"Selamat jalan, Nek," balas Arya.
* * *
"Kau yakin bukit itu yang dimaksud dalam petamu yang hilang, Sendari?"
Pertanyaan itu dilontarkan Resi Druna. Kakek ini bersama istrinya, Darmakala, Wudani dan Kemani, berdiri di atas gundukan batu yang menjulang tinggi di kaki gunung. Pandang mata mereka ditujukan ke arah sebuah bukit beberapa puluh tombak di depan mereka.
Panjang dan lebar bukit itu belasan tombak. Bagian bawahnya besar. Semakin ke atas semakin kecil, mirip segi tiga sama sisi. Tinggi bukit kira-kira lima puluh tombak. Pada ketinggian sekitar dua puluh lima tombak dari tanah terlihat sebuah lubang yang gelap dan pekat. Tampaknya lubang itu adalah gua yang cukup besar.
"Aku tak yakin, Kak Druna," Sendari merubah panggilan pada suaminya. "Tapi, kurasa tak ada salahnya kalau kita mencoba. Toh, hal itu tak akan merugikan. Hhh...! Kalau ku tahu akan ada orang yang merampas gulungan peta itu, tentu akan kuperhatikan baik-baik semua tanda-tanda yang ada. Bahkan kalau mungkin akan ku hafalkan. Sayang...,"
"Kau kan sempat melihatnya lagi sebelum menyelipkannya di pinggang, Bi?" cetus Kemani setengah mengingatkan.
Tidak hanya Kemani yang mengetahui hal itu, tapi semua anggota rombongan. Sendari telah menceritakan sebelumnya. Dan sekarang mereka semua menunggu jawaban Sendari.
"Memang. Tapi hanya sekilas. Tanda-tanda yang ada mirip dengan keadaan di tempat ini. Aku separuh yakin kalau tempat inilah yang dimaksud dalam peta."
"Kalau begitu tunggu apa lagi, Bibi? Kita satroni saja tempat itu. Kalau yang lain tak setuju, biar mereka menunggu di sini. Aku bersedia menemanimu naik ke atas sana!" cetus Kemani berapi-api.
"Kau jangan salah mengerti, Kemani," bantah Resi Druna. "Bukannya kami tak membuktikan kebenaran keterangan Sendari. Tapi, aku khawatir dengan sikap coba-coba itu. Bukan tak mungkin gua yang akan kita masuki merupakan tempat tinggal tokoh persilatan yang mengasingkan diri. Kedatangan kita beramai-ramai akan mengganggunya," jelas Resi Druna.
"Mengapa kau jadi seperti anak kecil, Kek. Berikan dia alasan apa saja. Kalau dia tak menerima, aku tak akan terlalu bodoh untuk menempurnya!" tandas Kemani penuh semangat Resi Druna, Sendari, Darmakala, dan Wudani tersenyum simpul melihat semangat Kemani. Mereka tak merasa tersinggung mendengar perkataan gadis itu. Kemani hanya terlalu menuruti perasaan, bukan sedang mengejek kehati-hatian mereka.
Resi Druna mengerling ke arah Sendari, Darmakala, dan Wudani. "Kurasa tidak ada salahnya kalau kita mencoba usul, Kemani. Sebuah usul yang cukup baik," ujarnya kemudian.
Persetujuan Resi Druna semakin menambah semangat Kemani. Gadis yang memiliki keberanian besar ini segera melesat mendahului yang lainnya. Kakinya yang mungil dan berbentuk bagus beberapa kali menotol bebatuan untuk segera sampai di depan gua. Pada bagian depan gua terdapat bagian batu yang menjorok, panjangnya sekitar setengah tombak. Di bagian inilah Kemani mendaratkan ke dua kakinya.
"Monyet dari mana berani mati mengganggu ketenangan ku?!"
Seiring terdengarnya bentakan itu, serentetan angin berpusar menyerbu Kemani. Gadis ini buru-buru menjulurkan kedua tangannya. Dilancarkannya dorongan angin pukulan untuk menangkal serangan yang datang.
"Uhkh...!" Perlawanan Kemani kandas di tengah jalan. Angin pukulannya lenyap begitu saja. Serangan yang datang secara berputar seperti menelan angin pukulan Kemani. Dan, serangan itu terus meluncur ke arah si gadis dengan kedahsyatan yang tidak berkurang. Kemani tampak terperanjat bukan main.
Kemani tak ingin nyawanya melayang begitu saja. Dia berusaha melompat untuk menghindari serangan lawan. Tapi, serasa terbang semangat gadis ini ketika mengetahui sekujur otot dan urat-uratnya terasa lemas. Nyawanya kini bagai telur di ujung tanduk. Dia tak bisa melompat atau mengelak.
Namun Kemani memiliki otak yang cukup cerdik. Dia berpikir cepat untuk menyelamatkan nyawanya. Kemani mengikuti keadaan tubuhnya yang sudah tak berdaya. Karena untuk melompat merupakan hal yang tak mungkin, gadis ini menjatuhkan diri mengikuti lemasnya tubuhnya.
Usaha Kemani ternyata tak berhasil mulus. Jatuh tubuhnya terlalu lambat. Angin yang bergerak berputar tetap menghantamnya, meski hanya mengenai bahu kiri. Ternyata akibatnya tetap dahsyat. Tubuh Kemani terpental ke belakang dalam keadaan berputar. Dari mulut gadis ini menyembur darah segar. Dan karena tempat di belakang Kemani tak ada yang dapat di-jadikan tempat berpijak, tubuhnya melayang ke bawah dalam keadaan berputar.
"Kemani...!" Sendari memekik keras melihat keadaan Kemani. Nenek ini memang belum bergerak dari tempatnya. Hanya Resi Druna yang sudah melesat menyusul Kemani. Kakek itu pun tak mampu berbuat sesuatu untuk menolong Kemani. Semua kejadian itu berlangsung demikian cepat.
"Tak seorang pun boleh hidup setelah berani menginjak tempat kediamanku!" Seruan keras itu berasal dari dalam gua. Disusul dengan meluncurnya benda-benda kekuningan yang meluncur mengikuti tubuh Kemani.
Pada saat itulah Resi Druna menjejakkan kaki di depan gua. Tepat pada saat benda-benda kekuningan telah jauh melewati mulut gua. Resi Druna menjadi bimbang sejenak.
"Haruskah kutolong Kemani lebih dulu?" pikir kakek berjubah kuning ini.
Sebelum Resi Druna sempat melaksanakan maksudnya, dari dalam gua bertiup angin keras yang meluncur secara berputar ke arahnya. Resi Druna kembali menjadi bimbang. Kakek ini khawatir kalau me-nyelamatkan Kemani lebih dulu dirinya tak akan mempunyai kesempatan menghadapi serangan lawan.
Kebimbangan Resi Druna sirna ketika melihat Sendari telah bertindak cepat Nenek itu meloloskan sabuk dan melemparkannya ke arah Kemani. Tanpa membuang-buang waktu lagi Resi Druna segera memapaki serangan dari dalam gua. Dilontarkannya pukulan jarak jauh dengan seluruh pengerahan tenaga dalamnya.
Resi Druna yang telah kenyang pengalaman secepat dapat mengetahui keanehan serangan lawan. Maka, dia pun melancarkan pukulan jarak jauh yang mengandung pusaran angin.
Blarrrr!
Bunyi keras terdengar ketika dua pukulan jarak jauh berbenturan di tengah jalan. Tubuh Resi Druna terpental ke belakang dalam keadaan berputar. Kakek ini terkejut bukan main merasakan sekujur ototnya seperti lumpuh. Dadanya juga terasa sesak. Sadarlah ia kalau pemilik serangan dari dalam gua memiliki te-naga dalam amat kuat!
Pada saat yang bersamaan dengan terlemparnya tubuh Resi Druna, sabuk Sendari melilit sekujur tubuh Kemani dan membawanya ke arah pemiliknya. Benda-benda kekuningan itu pun meluncur lewat tanpa mendapatkan sasaran. Tubuh Kemani yang terbelit sabuk jatuh di tangan Sendari yang sudah bersiap menyambutnya. Sekejapan kemudian, menyusul Resi Druna yang menjejakkan kedua kaki di tanah.
Kakek berjubah kuning itu berhasil mendarat dengan mantap. Tapi, parasnya masih menampakkan keterkejutan besar. Cepat pandangannya dialihkan ke arah Sendari yang telah menurunkan tubuh Kemani dan membebaskannya dari belitan sabuk.
"Orang yang berada di dalam gua memiliki kepandaian amat tinggi. Tenaga dalamnya kuat bukan main," beritahu Resi Druna.
"Mudah-mudahan saja hanya tenaga dalamnya yang dahsyat, tapi kepandaiannya tak terlalu tinggi," timpal Sendari setengah berharap.
Baru saja Sendari selesai berbicara, dari dalam gua melesat sesosok bayangan kuning. Gerakannya cepat bukan main sehingga bentuk tubuhnya tak terlihat jelas. Yang tampak hanya sekelebatan bayangan kuning.
Sekejapan saja, sosok bayangan kuning telah berada di depan rombongan Resi Druna. Sosok itu berdiri dalam jarak beberapa tombak. Kini rombongan Resi Druna bisa memperhatikan sosok kuning itu secara jelas.
ENAM
Sosok kuning itu ternyata seorang kakek berusia delapan puluh tahun. Tubuhnya kecil kurus dengan kumis panjang menjuntai ke bawah mirip kumis tikus. Pakaian kuning membungkus sekujur tubuhnya. Kakek berpakaian kuning berdiri dengan mempergunakan dua batang tongkat yang dikempitkan di ketiak. Kedua tongkat kakek itu lebih panjang dari kakinya, sehingga kedua telapak kakinya menggantung tak menyentuh tanah.
Ditatapnya wajah rombongan Resi Durna satu per satu. Resi Druna, Sendari, Darmakala serta Wudani segera tahu kalau kedua kaki si kakek lumpuh! Kedua batang tongkat di pergunakan untuk menopang berdirinya.
"Maafkan kalau kami membuat ketenanganmu terganggu, Sobat. Tapi, percayalah. Kami tak bermaksud jahat. Kedatangan kami ke sini tak bermaksud mengganggumu. Sekali lagi kami mohon maaf."
Kakek berpakaian kuning menatap Resi Durna. Tidak ada keramahan sedikit pun pada paras mau pun sorot matanya. "Tidak ada maaf bagi orang yang berani mengganggu ketenangan ku!" tandas kakek berpakaian kuning.
"Sombong!" bentak Sendari yang mempunyai watak tak sabaran. Nenek ini merasa tersinggung melihat sikap kakek lumpuh. "Kau kira kami takut padamu? Ingin ku tahu sampai di mana kepandaianmu sehingga berani bersikap sesombong ini!"
Resi Durna segera menggamit lengan Sendari yang sudah melangkah maju. Tindakan Sendari dianggapnya terlalu menuruti amarah. Tapi, Sendari menyentakkan tangan suaminya hingga lepas dari cekalan.
Tanpa mempedulikan Resi Durna lagi dia melompat, menerjang lawan. Nenek ini meski telah tua dan kelihatan lemah ternyata memiliki kegesitan luar biasa. Dilancarkannya serangan bertubi-tubi dengan mempergunakan kedua kaki.
Kakek berpakaian kuning mendengus. Tampaknya dia meremehkan serangan Sendari. Dengan kedua tongkat terkepit di ketiak di elakkannya tendangan lawan yang bertubi-tubi. Bagai memiliki kaki yang wajar kakek ini berlompatan ke sana kemari.
Sampai beberapa jurus Sendari mengirimkan se-rangan dengan kedua kakinya. Tapi, semua serangan itu tak satu pun mengenai sasaran. Sendari semakin kalap. Di jurus ke tujuh belas nenek ini mengirimkan gedoran kedua tangan ke arah dada. Kali ini kakek lumpuh tak berusaha mengelak. Dia malah melakukan hal yang sama dengan lawan.
Blarrr!
Sendari mengeluarkan jeritan tertahan. Kedua tan-gannya berbenturan dengan kedua tangan lawan. Tu-buhnya melayang deras ke belakang bagai daun kering diterbangkan angin. Sekujur tangan Sendari terasa lumpuh. Kakek berpakaian kuning hanya bergoyang-goyang tubuhnya. Padahal, kakek ini berdiri dengan kedua tongkat.
Resi Druna tak bisa menahan sabar lagi. Betapa-pun antara dirinya dengan istrinya masih terdapat ganjalan, penghinaan terhadap Sendari sama artinya dengan menghina dirinya.
"Tidak patut seorang lelaki menghadapi perempuan. Hadapi aku! Kita buktikan siapa yang lebih patut untuk disebut lelaki!"
Diawali pekikan melengking Resi Druna menyodokkan tongkatnya ke arah dada si kakek. Tongkat Resi Druna besar dan berat. Jangankan dada manusia yang terdiri dari tulang dan daging, batu karang yang paling keras pun akan hancur terkena sodokannya.
Kakek berpakaian kuning tidak bergeming dari tempatnya. Baru ketika serangan menyambar dekat kakek ini bertindak cepat. Tongkat itu dijepitnya den-gan kedua telapak tangan yang disatukan.
Tappp!
Ujung tongkat Resi Druna berhenti beberapa jari dari sasaran. Resi Druna tak mau mengalah. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya pada kedua tangan, lalu disalurkan pada tongkat. Tapi maksud Resi Druna tak terkabul. Tongkatnya tak bergeming sedikit pun dari jepitan kedua tangan kakek berpakaian kuning. Betapapun Resi Druna berusaha keras sampai wajahnya merah padam, tongkat tak bergerak maju sedikit pun.
Resi Druna segera sadar usahanya akan berakhir sia-sia. Buru-buru digantinya cara lain. Sekarang dia tak lagi berusaha mendorong, melainkan menariknya. Namun seperti juga sebelumnya, usahanya kali ini pun tak membuahkan hasil.
"Akan kau dapati suatu kenyataan kalau kau ternyata bukan seorang lelaki!" dengus kakek berpakaian kuning.
Bukan hanya Resi Druna saja yang terkejut mendengar ucapan kakek itu. Darmakala, Wudani, dan Sendari pun dilanda perasaan sama. Sendari telah berhasil menjejak tanah, meski agak terhuyung-huyung, sebelum Resi Druna terlibat pertarungan dengan kakek berpakaian kuning.
Tokoh-tokoh itu terkejut karena tahu betapa berbahayanya berbicara di saat tengah mengadu tenaga dalam. Hal itu akan mengakibatkan aliran tenaga dalam menghantam si pembicara tak hanya dari aliran tenaga dalam lawan, tapi juga dari tenaga dalamnya sendiri yang membalik. Tapi, kenyataannya kakek berpakaian kuning mampu melakukan tanpa mengalami akibat apa pun.
Belum lagi hilang keterkejutan yang melanda, Resi Druna menerima keterkejutan. Tenaga dalamnya mengalir dengan deras ke arah lawan. Resi Druna tentu saja tak menginginkan hal itu terjadi. Nyawanya akan melayang karena kehabisan tenaga. Ketika semua itu berlangsung Sendari melihat suatu keanehan.
"Tidak salahkah penglihatanku?!" pikir Sendari, "Bukankah itu ilmu 'Ulat Sutera'. Ilmu yang hanya dimiliki oleh Ulat Emas Pemetik Bunga."
* * *
Sementara itu, di tempat lain di bagian lereng gunung seorang pemuda berpakaian coklat berlari-lari hendak mendaki ke puncak. Wajahnya kelihatan dingin seperti tak menampakkan perasaan apa pun. Dialah Sangka Ruti.Sesampainya di puncak Sangka Ruti mendapati sebuah pondok sederhana, berdinding bilik dan beratapkan rumbia. Pondok itu mempunyai lantai pang-gung yang disangga kayu bulat dan besar setinggi setengah tombak di keempat sudutnya. Lantai pondok dari papan dan mempunyai pendapa yang luas. Tak terlihat ada seseorang di sana.
Kendati demikian, Sangka Ruti tahu pasti di dalam pondok itu ada penghuninya. Dari celah-celah jendela dan pintu dilihatnya asap mengepul. Bau khas ramuan obat-obatan menyebar. Pondok itu memang merupakan tempat tinggal seorang kakek yang terkenal seba-gai ahli pengobatan.
Sangka Ruti melompat ke atas dan mendarat di lantai papan tanpa bunyi sedikit pun. Dengan berjingkat-jingkat ringan didekatinya daun pintu. Pendenga-rannya dipasang setajam mungkin agar dapat mendengar bunyi sekecil apa pun.
"Kurasa sudah cukup, Kisanak. Minumkan saja ramuan itu. Aku yakin dia akan segera sembuh."
Ucapan itu membuat Sangka Ruti tahu kalau pemilik pondok tengah menerima tamu. Hal itu tak mengejutkannya. Orang yang akan dijumpainya memang banyak didatangi orang untuk dimintai pertolongan. Tapi kelanjutan ucapan yang sangat mengejutkan lelaki berpakaian coklat ini.
"Maaf, kalau aku seperti kurang sopan. Tampaknya masih ada orang yang ingin menjumpai ku. Dan orang itu tak ingin kedatangannya kuketahui...."
Sangka Ruti seperti menerima hantaman keras pada dadanya. Ucapan itu merupakan pertanda kedatangannya telah di ketahui. Padahal, hampir seluruh ilmu meringankan tubuhnya telah dikerahkan.
"Wahai orang yang berada di luar, tak usah ragu-ragu. Silakan masuk...!" seru suara dari dalam pondok, lantang dan bernada tenang.
Berbarengan dengan selesainya ucapan itu, daun pintu pondok bergerak membuka. Tapi, tak ada seorang pun berada di balik pintu. Daun pintu itu bergerak sendiri! Dan ketika seluruh daun pintu telah terkuak, terlihatlah oleh Sangka Ruti apa yang berada di dalam ruangan.
Ruangan di dalam pondok ternyata cukup luas. Apalagi karena hampir tidak ada perabotan yang berarti di sana. Hanya sebuah balai-balai bambu dan sebuah kursi sederhana. Di atas balai duduk bersila seorang kakek bertubuh tinggi besar. Sekujur tubuhnya dipenuhi urat-urat yang melingkar. Wajahnya persegi dan ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat. Tak hanya kumis, tapi juga cambang dan jenggot. Pakaian abu-abu yang serba kebesaran membungkus tubuh si kakek.
Sangka Ruti berdiri angkuh di ambang pintu. Matanya yang memiliki sorot dingin memandang kakek pemilik pondok.
"Ada yang bisa kubantu, Anak Muda? Apakah ada di antara anggota keluargamu yang sakit? Kulihat kau tak sedang menderita suatu penyakit. Kalau dugaanku benar, tak usah ragu-ragu untuk mengatakannya," ujar kakek berpakaian abu-abu dengan suara lembut.
Tanggapan Sangka Ruti adalah dengusan mengejek "Tak usah berpura-pura, Tua Bangka! Orang lain boleh kau bohongi. Tapi, jangan harap kau dapat melakukan hal itu pada Sangka Ruti!"
Wajah kakek tinggi besar langsung berubah hebat. Tapi, hanya sekilas. Yang tampak kemudian adalah bias kebingungan di wajahnya. "A... apa maksudmu, Ruti?!" tanya si kakek tanpa menyembunyikan perasaan heran yang melanda.
"Maksudku sudah jelas, Tua Bangka!" sahut Sangka Ruti dengan senyum sinis tersungging di bibir. "Kau sebenarnya bukan tukang obat! Kau adalah tokoh persilatan yang memiliki kepandaian lumayan. Kau beralih menjadi tukang obat karena sikap pengecut mu. Seekor anjing kudisan masih lebih baik dari pada kau!"
Kakek tinggi besar menampakkan kemarahan hebat pada sepasang matanya. Ucapan Sangka Ruti sangat menyinggung harga dirinya. Tapi, rupanya dia segera dapat menguasai diri. "Akhirnya apa yang kuramalkan terjadi juga," ucap kakek itu dengan sikap dan suara tenang. "Memang, betapapun rapinya menyembunyikan barang busuk akhirnya baunya akan menyebar juga."
"Dengan kata lain, kau mengakui kalau selama ini telah bersikap pengecut untuk menyelamatkan nyawamu, Tua Bangka Licik!"
"Tak ku sangkal kebenaran ucapanmu itu, Anak Muda. Tapi perlu kau ketahui, setiap orang mempunyai rasa takut. Apabila rasa takut itu muncul, akal sehat akan kehilangan kegunaannya dan tindakan yang tak wajar pun dilakukan. Harus kuakui kalau aku pun ikut-ikutan melakukan hal yang sama."
"Aku tak butuh pembelaan dirimu, Tua Bangka!" sembur Sangka Ruti, kasar. "Yang kuinginkan adalah pengakuanmu! Aku ingin tahu apakah kau masih bersikap pengecut?"
"Tak usah membakar-bakar harga diriku dengan ucapan seperti itu, Anak Muda. Katakan saja apa yang kau inginkan!"
"Bagus kalau demikian!" dengus Sangka Ruti. "Sekarang katakan siapa kau sebenarnya?!"
Kakek tinggi besar tidak segera menjawab. Dia malah tersenyum. Kemudian, tanpa menggerakkan tubuh atau kaki kakek ini mampu membuat tubuhnya melayang naik ke atas dalam keadaan masih duduk bersila!
Sangka Ruti hanya mencibirkan bibir melihat perbuatan kakek itu. Baginya hal seperti itu bukan merupakan sesuatu yang luar biasa. Dia sendiri mampu melakukannya. Kerutan di atas Sangka Ruti mulai tercipta ketika melihat kelanjutan tindakan si kakek. Balai-balai bambu tempatnya duduk tadi bergeser ke arah Sangka Ruti. Pemuda berpakaian coklat itu hampir tak percaya. Balai-balai bambu bagai memiliki roda. Terlihat jelas kaki-kaki balai bergesekan dengan lantai, tapi tak terdengar bunyi apa pun.
Sangka Ruti bersikap waspada. Pemuda ini bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tak diharapkan. Bukan tak mungkin balai-balai bambu itu dipergunakan menyerangnya. Namun, kekhawatirannya ternyata tak beralasan. Balai-balai bambu berhenti bergeser beberapa jengkal darinya.
Pada saat yang bersamaan kakek tinggi besar me-nurunkan kedua kakinya. Sekarang kakek itu berdiri di lantai seraya menatap Sangka Ruti dengan penuh selidik.
"Sebenarnya..., jika menuruti aturan sudah sepantasnya kau kuberikan hukuman, Anak Muda. Kau datang tanpa kuundang. Menghinaku dan bahkan berani menanyakan siapa diriku sebenarnya. Apa hakmu atas semua itu?!" ujar kakek tinggi besar berapi-api.
"Aku memang tak berhak! Tapi orang yang menjadi guruku amat berhak. Dan, guruku telah menyerahkan haknya kepadaku!"
"Siapa gurumu?"
"Aku akan menyebutkannya, Tua Bangka! Tapi, sebelum itu biar ku terka dulu siapa adanya dirimu. Bukankah kau orang yang dulu bernama Jagasena?!"
Wajah kakek tinggi besar beriak hebat. Terkaan Sangka Ruti rupanya mengenai sasaran dengan tepat.
"Apakah kau terlalu pengecut sehingga tak berani mengakui namamu sendiri, Jagasena?!" ejek Sangka Ruti.
"Siapa yang hendak menyangkal, Anak Muda? Mulutmu terlalu lancang! Aku memang Jagasena! Sekarang, apa kehendakmu?!"
"Kurasa, aku tak perlu menjelaskannya padamu, Jagasena," sahut Sangka Ruti, ringan. "Kau kenal benda ini?"
Jagasena mengalihkan pandangan ke arah benda yang diangsurkan Sangka Ruti. Sebuah benda dari logam kekuningan yang berbentuk seperti ulat bulu! Benda itu di ambil Sangka Ruti dari balik bajunya. Sepasang mata Jagasena membelalak lebar seperti hendak melompat keluar dari rongganya. Kakek ini kenal betul dengan benda di tangan Sangka Ruti.
"Bagaimana, Jagasena? Kurasa sudah cukup bagimu untuk mengenali benda ini, bukan?! ucap Sangka Ruti seraya memasukkan kembali logam kuning itu ke balik bajunya. "Dan, kurasa kau sudah tahu siapa guruku?"
Jagasena hanya tersenyum pahit. Senyum kakek itu mempunyai arti yang sama dengan anggukan kepala.
"Sekarang, kurasa kau tahu maksud kedatanganku menjumpai mu. Aku membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengetahui di mana kau bersembunyi. Kini sudah tiba waktunya bagimu untuk menerima sakit hati guruku!"
"Mengapa harus kau yang diutusnya?! Kau masih, muda dan berilmu mentah. Kurasa lebih baik kalau gurumu sendiri yang menemuiku dan mengurus persoalan lama itu. Akan terlihat lebih adil dan seimbang. Tua sama tua!"
"Menghadapi orang seperti kau tak perlu guruku. Aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk melepaskan nyawamu!" sesumbar Sangka Ruti.
Sangka Ruti tak menunggu lebih lama. Dia melompat ke arah Jagasena laksana harimau menerkam calon korbannya. Kedua tangannya terkembang membentuk cakar dan meluncur ke arah dada dan leher Jagasena. Jagasena hanya tersenyum, sikapnya terlihat sebagaimana orang dewasa menghadapi anak kecil. Kaki kanannya lalu dijejakkan sekali ke tanah. Tiba-tiba balai-balai bambu terangkat ke atas secara cepat.
Sangka Ruti meraung keras, geram melihat balai-balai bambu menghalangi serangannya. Naiknya balai-balai memaksa Sangka Ruti bersalto beberapa kali di udara. Kalau hal itu tak dilakukannya, balai-balai bambu itu yang akan diterjangnya.
"Gerakan yang lumayan...," puji Jagasena melihat kelincahan gerak Sangka Ruti.
TUJUH
Pujian Jagasena memang tidak berlebihan. Sangka Ruti luar biasa lihai. Meski telah terhambat balai-balai bambu, serangannya tak menjadi pupus. Sambil melompat melewati balai-balai dilancarkannya serangan lanjutan.
Jagasena terlihat segan bertarung sungguh-sungguh. Tangannya dikibaskan seperti orang mengusir lalat. Sesaat kemudian, balai-balai bambu melayang ke arahnya. Jagasena mengulurkan tangan menangkap salah satu kaki balai-balai. Bersamaan dengan itu serangan Sangka Ruti meluncur tiba. Jagasena mengayunkan tangannya. Balai-balai bambu pun bergerak menyampok Sangka Ruti.
Jagasena tersenyum dikulum. Sekali lihat saja dia tahu kalau untuk mengelak bagi Sangka Ruti sangat mustahil! Memang dapat dilakukan, tapi kemungkinan besar akan terkena hantaman balai-balai.
Ternyata Sangka Ruti pun memperhitungkan hal demikian. Kesempatan baginya untuk mengelak sangat terbatas. Kendati demikian, Sangka Ruti benar-benar memiliki ketenangan yang mengagumkan! Dan karena ketenangannya itulah dia dapat berpikir.
Sangka Ruti membatalkan serangan dan menggantinya dengan tangkisan ke arah balai-balai. Jagasena sempat terkejut melihat tindakan Sangka Ruti. Lawannya itu pasti bisa memperkirakan tenaga yang terkandung dalam serangannya. Lagi pula, tangkisan yang dilakukan tak terlalu tepat karena kedudukan Sangka Ruti sudah terlalu maju. Tangkisan yang dilakukan akan membuat bahu pemuda itu terhantam ujung balai!
"Pemuda ini hanya melakukan perintah gurunya. Usianya pun masih sangat muda. Rasanya agak keterlaluan kalau nyawanya harus melayang," pikir Jagasena menimbang-nimbang. Pikiran ini membuat Jagasena mengurangi tenaga yang tersalurkan dalam ayunan balai-balai.
Trakkk!
"Ah...!" Jagasena tak kuasa untuk menahan seruannya. Terjadi hal yang di luar perkiraan. Bahu Sangka Ruti memang berbenturan dengan salah satu sisi balai-balai, tapi tidak terjadi hal yang dicemaskannya.
Sangka Ruti telah memperhitungkan semuanya. Meski menangkis, dia tak mempergunakan kekerasan. Tak dihadapinya kekerasan dengan kekerasan pula. Sangka Ruti menggunakan tenaga benturan itu untuk melompat tinggi ke atas. Karena kecerdikannya ini, Sangka Ruti tak menderita kerugian sama sekali. Malah ketika tubuhnya me-layang ke atas, pemuda ini masih sempat menyelipkan tangannya ke balik baju. Dan sewaktu Sangka Ruti mengibaskan tangannya terlihat sinar terang menyambar.
Jagasena tak menjadi gugup kendati kaget juga melihat serangan mendadak itu. Balai-balai bambunya digetarkan. Terdengar deru angin keras yang membuat luncuran sinar-sinar berkilat yang ternyata pisau-pisau itu tertahan, tidak bisa maju.
Kakek tinggi besar ini sudah menduga pisau-pisau akan runtuh ke tanah karena kehabisan daya luncurnya. Tapi, hampir Jagasena terpekik tak kuasa menahan keterkejutan. Pisau-pisau itu tak runtuh ke lantai seperti yang diduganya, melainkan meliuk untuk membebaskan diri dari angin ciptaan Jagasena.
Jagasena hampir tak percaya dengan penglihatannya. Tiga batang pisau itu tetap meluncur ke arahnya. Kakek ini segera melakukan tindakan seperti sebelumnya. Dia ingin menghambat laju luncuran pisau-pisau itu lagi. Tapi, hatinya tercekat ketika kali ini pisau-pisau tak terpengaruh. Tiga batang pisau itu segera meliuk sebelum angin ciptaan Jagasena menghantamnya.
Untuk pertama kali selama hidupnya Jagasena harus bertarung menghadapi benda-benda mati. Malah, jalannya pertarungan terlihat sengit seakan kakek itu menghadapi benda hidup yang punya pikiran dan perasaan. Jagasena penasaran bukan main ketika telah belasan jurus bertarung belum mampu memukul roboh pisah-pisau.
Pisau-pisau itu bahkan lebih cerdik dari benda hidup. Beberapa kali Jagasena gagal memukul roboh pisau-pisau karena benda mati itu selalu dapat mengelak. Bahkan, tangkisan-tangkisan Jagasena mempergunakan balai-balai bambu dengan harapan pisau-pisau menancap di balai-balai, tak terkabulkan. Sampai...
Cap, cap, cappp...!
"Akh...!" Jagasena memekik tertahan. Di jurus ketujuh puluh tiga, karena sudah kelelahan, kakek ini bergerak kurang cepat. Tiga batang pisau menghunjam tubuhnya. Seketika Jagasena terhuyung dan akhirnya ambruk di tanah.
Kakek itu berusaha untuk bangkit, tapi ternyata dia tak mampu. Bukan hanya karena keberadaan dua batang pisau pada pahanya. Sekujur urat-urat dan otot-otot tubuhnya mengejang tak bisa digerakkan. Jagasena tahu apa artinya semua ini. Pisau-pisau Sangka Ruti mengandung racun mematikan yang berdaya kerja cepat. Dalam waktu sebentar saja hasilnya telah terlihat.
Sangka Ruti tertawa bergelak. Pemuda itu menatap Jagasena dengan sorot mata penuh kemenangan. "Ingin ku tahu sampai berapa lama kau bisa bertahan, Jagasena! Asal kau tahu saja, racun yang terkandung dalam pisau-pisau itu sangat mematikan!" dengus Sangka Ruti, dingin "Dan sambil menunggu ajalmu, aku ingin menyelesaikan urusan lain. Urusan yang diembankan Guru kepadaku. Kurasa kau tahu, bukan? Guruku kehilangan kejantanannya akibat perlakuanmu yang keji dan curang. Selamat menemui malaikat maut, Tua Bangka! Aku ingin mengambil Batu Kalimaya!"
Jagasena tak mampu berbuat apa pun untuk mencegah tindakan Sangka Ruti. Kakek ini hanya bisa menggertakkan gigi melihat Sangka Ruti melesat masuk ke dalam ruangan khusus yang dijadikan tempat semadinya.
Sesaat kemudian, pemuda berpakaian coklat itu telah keluar. Di tangannya tergenggam sebongkah benda yang memancarkan cahaya berwarna-warni. Jagasena mengeluh dalam hati. Sangka Ruti berhasil mendapatkan Batu Kalimaya.
"Ha ha ha...!" Untuk pertama kalinya Sangka Ruti tertawa. Namun, wajah dan sepasang matanya tak menunjukkan perubahan. Tetap terlihat dingin. "Akhirnya kudapatkan juga apa yang kucari selama ini. Batu Kalimaya! Selamat tinggal, Jagasena. Selamat menghadapi malaikat maut. Ha ha ha...!"
Masih dengan tawa bergelak yang tak putus-putus Sangka Ruti melesat meninggalkan tempat itu. Pemuda ini tak merasa khawatir Jagasena bisa lolos dari maut! Dia yakin benar Jagasena akan tewas oleh racun pisaunya yang mematikan!
Pada saat yang bersamaan dengan perginya Sangka Run, di tempat lain Ulat Emas Pemetik Bunga tengah terlibat pertarungan dengan Resi Druna. Kakek itu mulai menyerang Ulat Emas yang terkenal sebagai tokoh sesat puluhan tahun lalu. Tapi, usaha Resi Druna kandas. Bahkan sekarang kakek ini terancam maut karena tenaga dalamnya mengalir deras ke arah Ulat Emas.
Sekujur tubuh Wudani tampak menegang hebat menyaksikan pertempuran itu. Terlebih ketika melihat sinar kekuningan yang membias di sekitar telapak tangan Ulat Emas Pemetik Bunga. Wajah wanita ini tampak berubah-ubah.
"Kiranya kau... Jahanam itu...!" desis Wudani penuh dendam.
Hanya sampai di situ saja ucapan Wudani, tapi Darmakala segera bisa menduga siapa orang yang dimaksud istrinya. Darmakala merasakan dadanya sesak oleh amarah yang bergolak. Wudani telah menceritakan padanya mengenai sinar kuning itu. Sekitar dua puluh lima tahun lalu istrinya diperkosa oleh seorang tokoh sesat. Wudani tak mengenal tokoh itu. Dia hanya mengetahui sinar kuning sebagai ciri-ciri pemerkosanya. Untuk mencari si pemerkosa Darmakala mengajak istrinya berkelana dengan berpura-pura menjadi tukang sulap.
"Manusia iblis! Kau harus menebus mahal perbuatanmu yang bejat itu!" raung Darmakala penuh dendam.
Lelaki kecil kurus ini menyampokkan tangan kanannya yang berbentuk cakar ke arah pelipis Ulat Emas Pemetik Bunga. Kemarahan yang melanda membuat Darmakala tak ingat kalau tindakannya itu tidak mencerminkan kegagahan. Lelaki ini menyerang lawan yang tengah bersitegang menghadapi lawan lainnya.
Ulat Emas Pemetik Bunga ternyata tak gugup menghadapi ancaman maut itu. Sambi menggertakkan gigi dikerahkannya tenaga pada kedua tangan hingga tubuh Resi Druna terjengkang ke belakang! Resi Druna yang memang lelah bukan main karena sebagian besar tenaga dalamnya telah tersedot lawan, tak mampu berbuat apa pun. Tubuh kakek ini terbanting ke tanah dengan keras.
Ulat Emas sendiri begitu berhasil melemparkan Resi Druna, segera memapaki serangan Darmakala dengan tindakan yang sama. Kakek itu menyampokkan tangannya untuk menangkis.
Krakkk!
"Akh...!" Darmakala menjerit kaget. Jari-jarinya patah. Karena berbenturan dengan tangan lawan. Kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam sampokan Ulat Emas yang menyebabkan hal demikian. Hanya berkat kelihayannya, Darmakala mampu mendarat di tanah dengan kedua kaki. Padahal, dia terlempar dalam keadaan tubuh berputar-putar.
Darmakala tak menjadi gentar melihat hasil serangannya. Seraya mengeluarkan raungan keras bak harimau terluka, dia kembali melancarkan serangan mematikan. Pada saat yang bersamaan Wudani juga menyerang Ulat Emas Pemetik Bunga.
Plakkk!
Darmakala mengeluarkan keluhan tertahan. Gedoran kedua tangan terbuka ke arah dada lawan disam-but dengan gerakan yang sama. Bukan tindakan lawan yang membuatnya mengeluh, melainkan akibatnya. Kedua tangannya melekat dengan tangan lawan.
Serangan Wudani pun meluncur datang, dan men-darat di punggung Ulat Emas. Gedoran yang mengan-dung pengerahan seluruh tenaga dalam itu mendarat setelah Wudani bersalto di atas kepala Ulat Emas Pemetik Bunga.
Plakkk!
"Eh...?!" Wudani berseru kaget ketika kedua telapak tangannya mendarat di sasaran yang dituju. Tapi, kedua telapak tangannya bagai bukan berbenturan dengan punggung manusia, melainkan setumpukan besar kapas! Seluruh tenaga serangan wanita itu mendadak lenyap. Bahkan kedua tangannya tak bisa dilepaskan dari punggung. Ada tarikan yang amat kuat membuat tangan Wudani melekat. Hati wanita ini tercekat ketika merasakan tenaga dalamnya tersedot ke arah Ulat Emas Pemetik Bunga.
Kejadian yang menimpa Wudani juga dialami Darmakala. Lelaki ini berusaha sekuat tenaga menahan aliran tenaganya, tapi usahanya sia-sia. Dalam sekejapan wajah Darmakala dan Wudani dibanjiri keringat dingin. Keduanya secara cepat menjadi lelah. Pasangan suami istri itu segera sadar, apabila hal ini terus berlangsung mereka akan mati lemas.
Kecemasan Darmakala dan Wudani memang beralasan. Tapi lawan mereka ternyata tak menginginkan hal itu terjadi. Ketika keadaan Darmakala dan Wudani semakin mengkhawatirkan, secara tak terduga-duga Ulat Emas Pemetik Bunga merubah aliran tenaganya. Tidak lagi menyedot, melainkan memberikan!
Darmakala dan Wudani meraung bagai binatang disembelih. Dari mulut, hidung, dan telinga keduanya mengalir darah segar ketika tubuh mereka terlempar ke belakang. Pasangan suami istri ini melayang-layang sebelum terbanting di tanah. Darmakala dan Wudani menggeliat-geliat sebentar. Akhirnya, keduanya diam tak bergerak lagi untuk selamanya. Mereka tewas dengan bagian dalam dada remuk.
Sendari segera tahu diri. Nenek ini sangat yakin Ulat Emas Pemetik Bunga terlalu lihai untuk dihadapi. Resi Druna yang lebih pandai dari dirinya saja dapat dipecundangi tokoh sesat itu. Sekarang suaminya ten-gah duduk bersila untuk memulihkan tenaga dalam-nya yang hilang. Di sebelah Resi Druna, Kemani juga tengah duduk bersemadi untuk menyembuhkan luka dalamnya. Untungnya luka gadis ini tak terlalu parah.
Tanpa sadar Sendari melangkah mundur. Sementara Ulat Emas Pemetik Bunga justru melangkah maju. Dua batang tongkatnya bergerak maju tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun! Padahal, jelas-jelas bagian bawah tongkat bergesekan dengan tanah. Ulat Emas Pemetik Bunga sekarang memiliki tenaga dalam luar biasa dahsyat. Mendadak tokoh sesat itu menghentikan langkahnya. Pendengarannya yang sangat tajam mendengar suara langkah menuju ke tempatnya berada.
Ulat Emas Pemetik Bunga tak perlu menunggu lama untuk mengetahui pemilik langkah itu. Di kejauhan dilihatnya sosok tubuh coklat bergerak cepat ke arahnya. Ulat Emas Pemetik Bunga yang semula bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan, kini mengendurkan kembali urat-urat syarafnya.
"Membuatku kaget saja monyet kecil itu. Kukira siapa," pikir Ulat Emas Pemetik Bunga.
Sosok coklat itu dalam waktu sekejapan kemudian telah berada di depan Ulat Emas Pemetik Bunga. Dan, sosok yang bukan lain Sangka Ruti ini segera memberi hormat.
"Mengapa kau keluar dari tempatmu, Ulat?" sapa Sangka Ruti seenaknya kendati Ulat Emas Pemetik Bunga adalah gurunya. Pemuda ini mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Diperhatikannya sosok-sosok yang berada di situ. "Kiranya kau telah bekerja cukup keras..."
"Monyet-monyet buduk itu membuatku keluar dari tempat tinggalku yang nyaman, Ruti!" dengus Ulat Emas Pemetik Bunga. "Bagaimana? Kau berhasil melaksanakan tugasmu?"
Sangka Ruti menarik napas berat. Penyesalan tampak jelas di wajahnya. "Aku telah berusaha keras, Ulat. Tapi Jagasena ternyata lebih cerdik...."
"Apa maksudmu, Ruti?! Kau gagal?!" kejar Ulat Emas penasaran.
"Tidak sepenuhnya demikian, Ulat" sahut Sangka Ruti. "Jagasena berhasil kutemukan. Dia menyamar menjadi seorang ahli obat. Tempatnya tak jauh dari sini, malah masih satu gunung, Jagasena tinggal di lereng sebelah timur. Aku berhasil menemukannya dan bahkan membunuhnya, Ulat. Sayang..."
"Mengapa, Ruti? Apakah Batu Kalimaya tak ada padanya?!"
"Hampir tepat dugaanmu, Ulat."
"Terangkan yang jelas, Ruti. Jangan sepotong-sepotong seperti itu. Jangan sampai aku nanti lupa kalau kau adalah muridku!" tegas Ulat Emas Pemetik Bunga.
"Kakek pengecut itu rupanya telah berjaga-jaga lebih dulu. Batu Kalimaya telah dihancurkan sehingga hanya berupa bubuk yang tak berguna," beritahu Sangka Ruti.
"Jangan katakan kalau bubuk Kalimaya tak kau bawa, Ruti. Kesalahan itu telah cukup untuk membuatku mengirim nyawamu ke lubang kubur!"
"Jangan khawatir, Ulat. Bubuk Kalimaya kubawa. Nih, terima!" Sangka Ruti melemparkan buntalan kain kecil yang terselip di pinggangnya. Ulat Emas Pemetik Bunga menangkapnya dengan penuh semangat. Tergesa-gesa dibukanya ikatan buntalan kecil itu. Terdapat bubuk halus di dalamnya. Kemudian, pandangannya dialihkan ke arah Sangka Ruti. Kelihatan jelas sikap penuh selidiknya.
"Benarkah ini bubuk Kalimaya, Ruti?!"
"Aku yakin sekali akan hal itu, Ulat. Jagasena memberikan bubuk itu setelah aku mengancam akan membantai orang-orang yang tengah berada di pondoknya," dusta Sangka Ruti yang juga memiliki keinginan untuk mendapatkan Batu Kalimaya. "Kalau kau tak percaya, biar aku yang membuktikan kebenarannya. Kulihat di tempat ini ada betina liar yang dapat dijadikan percobaan. Berikan padaku bubuk itu, Ulat. Lagi pula, untuk apa orang setua kau menginginkan kejantanan kembali? Biar aku yang masih muda dan memiliki hidup lebih panjang."
Ulat Emas Pemetik Bunga kelihatan bimbang. Sikap muridnya terlihat demikian meyakinkan. Tapi, kewaspadaannya mendorong Ulat Emas Pemetik Bunga untuk bersikap hati-hati. Bukan tak mungkin sikap Sangka Ruti hanya merupakan sandiwara.
"Kurasa kau benar, Ruti," ujar Ulat Emas Pemetik Bunga dengan suara berat "Aku memang telah terlalu tua. Dan, mungkin bubuk Kalimaya ini tak akan berarti banyak untukku. Biarlah kau saja yang mendapatkannya."
"Tua bangka gila ini rupanya tak pernah meninggalkan kewaspadaan. Untung aku sudah menduga hal seperti ini dan meminum penangkalnya. Mudah-mudahan saja ini hanya gertakan. Kalau tidak, bisa berbahaya nanti. Tua bangka ini tak akan segan-segan membunuhku," pikir Sangka Ruti yang memiliki otak cerdik.
Dengan sikap gembira yang dibuat-buat Sangka Ruti kemudian menerima angsuran bubuk Kalimaya dari gurunya. Di dekatkannya bubuk itu ke mulutnya dan siap di minum. Sangka Ruti kecewa bukan main ketika melihat tidak adanya cegahan dari Ulat Emas Pemetik Bunga. Kenyataan ini membuat Sangka Ruti kebingungan.
"Celaka...! Mengapa jadi begini? Bubuk ini sebenarnya racun yang amat mematikan. Kalimaya yang asli ada padaku!" keluh Sangka Ruti dalam hati.
Di saat Sangka Ruti tengah dilanda kebingungan dan bubuk Kalimaya telah dituangkan ke mulutnya, Ulat Emas Pemetik Bunga membentak keras. "Hiyaaa...!"
Bubuk Kalimaya yang tengah meluncur ke dalam mulut Sangka Ruti tiba-tiba meliuk ke arah Ulat Emas Pemetik Bunga, lalu meluruk deras ke arah mulut si kakek yang membuka! Bersamaan dengan tertelannya bubuk itu Sangka Ruti tersenyum di dalam hati. Pemuda ini tahu nyawa gurunya tak akan selamat. Bubuk itu adalah racun yang amat mematikan dan berdaya kerja cepat.
Hanya sesaat setelah tertelannya racun, Ulat Emas Pemetik Bunga merasakan tanda-tanda yang menggelisahkan. Kepalanya terasa pusing dan pandangannya berkunang-kunang. Sekujur urat-urat syaraf dan ototnya melemah secara cepat "Keparat...!" desis Ulat Emas Pemetik Bunga. "Bocah keparat itu telah meracuniku. Kurang ajar!"
Sangka Ruti yang mendengar desisan itu tertawa ganda. Tawa gembira penuh nada kemenangan. "Selamat jalan ke lubang kubur, Ulat. Kau boleh memimpikan Kalimaya di neraka. Aku yakin di akhirat kejantananmu akan pulih kembali. Kau bisa bermain cinta dengan setan-setan perempuan di sana!"
Tanpa mempedulikan Ulat Emas Pemetik Bunga yang tengah meregang nyawa, Sangka Ruti mengalihkan perhatian pada Kemani. "Kita bertemu lagi, Wanita Liar. Dulu kau beruntung karena aku masih sakit akibat ilmu yang kupelajari! Sekarang aku telah mendapatkan pemunahnya. Bersiaplah untuk menerima curahan cinta dariku!"
Kemani yang baru saja sadar dari semadinya terkejut melihat Sangka Ruti. Pemuda itu dikenalinya sebagai orang yang telah membunuh ayahnya dan memperkosa dirinya. Untungnya Sangka Ruti hanya besar gairah saja, kejantanannya nol! Betapapun pemuda itu berusaha keras tetap saja keinginannya untuk merenggut kehormatan Kemani kandas. Dengan kesal dan malu Sangka Ruti meninggalkan calon korbannya.
"Kiranya kau...!" desis Kemani penuh dendam. Tapi, seruan Kemani hanya sampai di situ saja. Belum selesai gadis itu bicara tubuhnya tertarik deras ke arah Sangka Ruti, begitu pemuda itu melambaikan tangan ke arahnya. Kemani berusaha keras untuk mematah-kan pengaruh yang melanda. Tapi dia gagal. Secara de-ras tubuhnya melayang.
Sendari tak membiarkan muridnya yang tak diakui sebagai murid itu celaka di tangan Sangka Ruti. Dia melompat menerjang si pemuda. Di dalam hatinya ne-nek ini menyayangkan mengapa tak membawa batang pisang. Pohon itu mempunyai keistimewaan untuk memunahkan pisau-pisau Sangka Ruti yang mengiriskan!
Kecemasan Sendari beralasan. Sangka Ruti telah diamuk nafsu birahinya. Tak dipedulikannya serangan si nenek. Tangan kirinya dikibaskan setelah dimasukkan ke balik baju. Seketika itu pula sinar terang berkilau dan meluncur ke arah Sendari. Nenek itu pun membatalkan serangannya. Bila hal itu tetap diteruskan nyawanya akan melayang di ujung pisau-pisau.
Tindakan yang diambil Sendari membuat Sangka Ruti leluasa bertindak. Begitu tubuh Kemani berhasil dipeluknya, hanya dengan sekali sentak Sangka Ruti membuat Kemani tak berpakaian lagi.
Kemani menjerit-jerit kebingungan. Dengan kedua tangannya di usahakan untuk menutupi sepasang bukit kembar dan bagian bawah tubuhnya. Usaha seadanya ini hanya bisa menutupi sekadarnya. Sangka Ruti semakin beringas. Sepasang matanya bagai hendak melompat keluar. Dengan buas Sangka Ruti menubruk Kemani dan menggumulinya di tanah. Mulut dan tangannya bergerilya, mencium dan meremas apa yang bisa dicium dan diremas.
Kemani meronta-ronta. Dia menjerit-jerit dan memohon agar Sangka Ruti tak melakukan kekejian yang dicemaskannya itu. Tapi, pemuda ini tak mempedulikannya sama sekali. Malah Sangka Ruti semakin buas bertindak.
"Sangka Ruti! Hentikan...!" Terdengar suara keras menggelegar ketika Kemani sudah lelah dan pasrah. Gadis itu tak melakukan perlawanan lagi, kecuali hanya menangis.
Sangka Ruti terjingkat kaget bagai disengat kalajengking. Pemuda ini kaget bukan main. Bahkan, tubuh Kemani sampai dicampakkannya. Tubuh itu terguling-guling di tanah, dan ketika terhenti buru-buru Kemani mengambil pakaiannya yang koyak-koyak. Dengan bahan seadanya itu dia berusaha menutupi tubuh telanjangnya.
Sangka Ruti dan Kemani tak merasa kaget ketika melihat pemilik bentakan. Sosok itu adalah Arya Buana atau Dewa Arak. Yang membuat Sangka Ruti kaget adalah keberadaan Jagasena di sebelah Dewa Arak. Dia hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya. Jagasena ternyata tidak mati! Bahkan kakek itu masih mampu berdiri, kendati dengan bantuan dua batang bambu pada ketiaknya!
Sangka Ruti lupa kalau Jagasena seorang ahli pengobatan. Meski racun Sangka Ruti amat mematikan, kakek itu mampu memunahkannya! Dan kebetulan pulalah Dewa Arak datang tepat pada waktunya. Aryalah yang meminumkan obat pemunah racun, karena Jagasena sudah tak mampu bergerak. Kakek itu hanya menunjukkan obat yang harus diambil Arya.
Meski lama tak memunculkan diri, ternyata Jaga-sena tetap mengamati perkembangan di dunia persilatan. Dia segera tahu tengah berhadapan dengan Dewa Arak ketika pemuda itu muncul. Maka, tanpa ragu-ragu kakek itu minta tolong. Setelah racun terusir dari tubuhnya.
"Kalimaya alias Bidun Kluwung itu merupakan sela aji (batu mulia) yang luar biasa. Sayang, telah diambil orang untuk memulihkan kejantanannya." beritahu Jagasena setelah Dewa Arak menolong dirinya dan menceritakan mengapa ia bisa sampai berada di tempat ini.
Sangka Ruti segera memutar otaknya ketika melihat Arya membawa batang pisang. Dengan batang tanaman itu pisau-pisaunya dapat dilumpuhkan. Sangka Ruti tak ingin membuang-buang waktu lagi. Segera dikirimkannya serangannya dengan enam batang pisau pada Dewa Arak dan Jagasena. Masing-masing mendapat serangan separuh dari pisau-pisau itu.
Arya bergegas memberikan salah satu gedebong pisangnya pada Jagasena. Dan seperti kejadian yang sudah-sudah, tanpa menemui kesulitan sedikit pun pisau-pisau itu dilumpuhkan. Sangka Ruti yang memang sudah menduga hal ini merasa gembira bukan main. Senjata-senjata penangkal itu hanya dapat digunakan satu kali. Kini lawan tak memiliki penangkal lagi.
"Sekarang, bersiaplah kalian untuk menerima kematian,..!" dengus pemuda berpakaian coklat itu.
"Kurasa lebih baik kau tinggalkan tempat ini segera, Kek," beritahu Arya pada Jagasena dengan ilmu mengirimkan suara dari jauh. "Jumlah banyak tak ada artinya. Yang penting bagi kita adalah penangkal senjata mengerikan itu!"
"Apa yang kau katakan memang benar, Dewa Arak," sahut Jagasena. "Tanpa adanya penangkal, lambat laun nyawa kita akan melayang karenanya. Aku akan pergi mencari penangkal itu!"
Jagasena melesat meninggalkan tempat itu. Dalam kecemasan Sangka Ruti akan mengirimkan serangan dengan pisau mautnya, Jagasena langsung mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Sangka Ruti hanya bisa memaki dalam hati. Dia tak menduga Jagasena akan kabur. Cepatnya tindakan kakek itu membuat Sangka Ruti tak mampu berbuat apa pun untuk mencegahnya.
Kemarahan yang melanda membuat Sangka Ruti segera melemparkan tiga batang pisau pada Dewa Arak. Arya yang telah mengetahui kedahsyatan pisau-pisau itu segera mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya. Dengan gerak terhuyung-huyung seperti akan jatuh dan terkadang seperti hen-dak memapaki serbuan pisau-pisau, Arya menghadapi serangan itu.
Melihat Dewa Arak kerepotan menghadapi pisau-pisaunya, Sangka Ruti kembali mengalihkan perhatian pada Kemani. Gadis yang kini telah berpakaian lagi ini tampak memucat kembali wajahnya. Dengan sikap ngeri yang terlihat jelas dia bergerak mundur.
"Awww...!" jerit Kemani ketika pakaiannya kembali direnggut Sangka Ruti.
Sangka Ruti kemudian dengan napas memburu melepas pakaiannya. Bagai harimau menerkam mangsa, pemuda ini menubruk dan menggeluti tubuh Kemani. Kemani sendiri hanya bisa menjerit dan meronta-ronta.
"Sangka Ruti...! Hentikan...!" Bentakan keras menggelegar penuh dengan hawa kemarahan itu bagai halilintar di telinga Sangka Ruti dan Kemani. Mereka mengenal pemilik suara itu.
Sangka Ruti segera menggulingkan tubuhnya lalu bergegas mengenakan pakaian. Kemani sendiri langsung menyambar pakaiannya. Hampir berbarengan kedua orang ini mengalihkan pandangan ke arah asal suara. Dan, seperti yang sudah mereka duga, di tempat itu berdiri sesosok tubuh berpakaian serba hitam. Sapta Renggi!
"Sapta Renggi...!" desis Sangka Ruti.
"Sumantri...," desah Kemani penuh harap. Sumantri yang bernama asli Sapta Renggi adalah saudara seperguruan Sangka Ruti. Keduanya sama-sama menjadi murid Ulat Emas Pemetik Bunga. Keinginan untuk mempunyai ilmu yang tak terkalahkan membuat mereka rela kehilangan kejantanan. Tentu saja dengan perhitungan, mereka akan sembuh kembali apabila menemukan Batu Kalimaya yang mampu menyembuhkan penyakit itu.
"Mengapa kau mencampuri urusanku, Renggi...!" desis Sangka Ruti penuh ancaman.
"Dialah yang telah membunuh ayahku dan dulu berusaha memperkosaku, Sumantri," beritahu Kemani, sebelum Sapta Renggi memberikan jawaban.
"Kiranya kalian telah saling mengenal!" ejek Sangka Ruti, "Dan kau pasti telah terpincuk padanya, Renggi. Kalau begitu, kau harus mampus!"
"Biadab! Kaulah yang akan kubunuh, Ruti!"
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Sangka Ruti dan Sapta Renggi menggerakkan tangan mereka. Sangka Ruti melemparkan sebatang pisau yang memiliki kemampuan jauh di atas pisau-pisau lainnya.
Sapta Renggi pun menghunus pedang dan melompat ke arah Sangka Ruti. Ini merupakan keuntungan bagi Sangka Ruti! Jarak yang cukup jauh membuat dia yang memiliki senjata lempar berada di atas angin.
Cappp!
"Aaakh...!" Sapta Renggi menjerit memilukan ketika pisau Sangka Ruti menembus lehernya. Nyawa lelaki ini melayang saat itu juga. Kendati demikian, luncuran tubuhnya ke arah Sangka Ruti tak terhenti. Bahkan kecepatannya tak berkurang.
Sangka Ruti berusaha untuk mengelak. Tapi, sekujur urat-uratnya tak bisa digerakkan sama sekali sinar menyilaukan mata yang memancar dari batang pedang Sapta Renggi membuatnya lumpuh!
Blesss!
"Aaakh...!" Sangka Ruti mengeluarkan raungan setinggi langit. Pedang Sapta Renggi menembus perutnya hingga ke punggung. Darah muncrat-muncrat bersamaan dengan tubuhnya dan Sangka Ruti ke tanah. Pemuda itu menggelepar sebentar dan tewas dengan tubuh Sapta Renggi di atasnya.
"Sumantri...!" Kemani menghambur ke tempat tubuh Sangka Ruti dan Sapta Renggi berada. Gadis ini merasa terharu sekali dengan pengorbanan yang diberikan Sapta Renggi.
Sementara itu, seiring dengan tewasnya Sangka Ruti, pisau-pisau yang tengah berkelebatan mencecar Dewa Arak roboh ke tanah seakan kehilangan nyawa. Jatuh begitu saja karena pemiliknya telah tewas.
Dewa Arak, Sendari segera berjalan menghampiri tubuh dua saudara seperguruan itu. Bahkan, Resi Druna yang telah bangkit dari semadinya ikut menghampiri. Kakek ini teringat pada tugas semula, mencari Batu Kalimaya sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit Baginda Prabu Mandaraka.
Kakek itu segera memeriksa sekujur pakaian Sangka Ruti. Tak membutuhkan waktu lama untuk menemukan apa yang dicarinya. Batu Kalimaya diangkatnya tinggi-tinggi seperti ingin menunjukkan pada yang lain. Di sebelahnya Sendari sibuk menghibur Kemani yang terus menangis. Sementara itu, di kejauhan Jagasena tampak tengah membawa banyak sekali gedebong pisang. Dia tidak tahu kalau pertempuran telah berakhir.
SELESAI
Selanjutnya,