Dewa Arak - Mustika Ular Emas

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Mustika Ular Emas Karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak - Mustika Ular Emas

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
"MARI kita bermain-main dulu, Kak," ajak Suri sambil bangkit dan menarik-narik tangan Lanang. Sepasang matanya yang liar terlihat berbinar-binar ceria.

Lanang menatap wajah Suri sesaat. Pemuda pesolek itu sebenarnya merasa jijik dan muak. Tapi, keinginan yang besar untuk mendapatkan kesaktian membuatnya menyembunyikan perasaan itu. Dia bahkan menyunggingkan seulas senyum. "Aku mau saja bermain-main, Suri. Tapi, aku malas untuk berdiri."

"Kau tidak perlu bangkit, Kak. Aku yang akan membawamu ketempat kita bermain," sambut Suri sambil mengikik. Gadis kurang waras ini gembira melihat tanggapan Lanang.

Senyum yang tersungging di mulut Lanang semakin melebar. Pemuda ini memang hendak menguji tenaga dalam Suri. Kendati sebelumnya telah disaksikan sendiri kehebatan gadis berpakaian kembang-kembang itu. (Untuk lebih jelasnya mengenai tokoh-tokoh ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Misteri Gadis Gila).

Lanang segera mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memberatkan tubuh. Pemuda ini merasa yakin bobot tubuhnya sekarang tidak kalah beratnya dengan seekor gajah! Suri tertawa mengikik. Otaknya yang tidak beres membuatnya menganggap Lanang sedang mengajaknya bermain-main.

Maka, sambil tersenyum-senyum dicekalnya pangkal lengan kanan Lanang, lalu ditariknya keatas. Senyumnya semakin lebar ketika mengetahui tubuh pemuda itu tidak bergeming dari tempatnya. Lanang seperti menempel dengan bumi!

"Rupanya kau pintar mencari permainan yang menarik, Kak," ujar Suri gembira. Semula gadis berpakaian kembang-kembang ini tidak mengerahkan tenaga dalam. Tapi, setelah tahu Lanang mengajaknya bermain diapun mengeluarkan tenaga dalam.

Lanang merasakan kekuatan dahsyat memaksa tubuhnya naik keatas. Pemuda ini bersikeras bertahan. Wajahnya sampai merah padam. Tapi, perlawanan Lanang hanya berlangsung sebentar. Betapapun ia berusaha bertahan tubuhnya tetap terangkat naik Masih dalam posisi duduk bersila tubuh Lanang terbawa keatas. Lanang sadar dia telah dikalahkan. Dia pun menurunkan kedua kakinya dan berdiri di tanah.

Lanang memperhatikan wajah Suri. Terkejut dia ketika mengetahui keadaan gadis itu biasa-biasa saja. Tidak terlihat tanda-tanda Suri telah bertarung tenaga dalam dengannya! Padahal, Lanang sampai berkeringat. Wajahnya pun masih merah.

"Bagaimana, Kak? Perlukah kau kubawa sampai ketempat kita bermain?" tanya Suri. Kelihatan betul gadis ini amat menyukai Lanang. Ia ingin selalu menyenangkan hati pemuda pesolek itu.

"Tidak usah, Suri." Lanang menggelengkan kepala.

"Kalau begitu, mari kita keluar." Suri cepat menyambar pergelangan tangan Lanang dan dibawanya berlari.

Tentu saja Lanang tidak ingin terseret-seret. Ilmu lari cepatnya segera dikerahkan. Namun, lagi-lagi pemuda pesolek ini menerima kenyataan pahit. Ilmu lari cepatnya tidak berarti sama sekali. Lanang tercecer di belakang. Kenyataan ini membuat Lanang mengambil keputusan lain. Dia tidak berlari lagi. Pemuda itu membiarkan Suri membawanya berlari. Suri baru menghentikan larinya ketika tiba di tepi sebuah hutan kecil.

"Di sinilah tempat kita bermain, Kak," ujar gadis berpakaian kembang-kembang itu.Pegangan tangannya dilepaskan.

"Bermain apa, Suri?" tanya Lanang setelah mengedarkan pandanganmemperhatikan suasana disekitarnya.

"Terserah Kakak. Bermain apa pun aku mau," jawab Suri sambil menunduk malu-malu.

Kalau menuruti perasaan, tentu Lanang sudah meludahi gadis itu. Meski sebenarnya jika tengah malu-malu seperti itu Suri tidak terlihat seperti gadis yang kurang waras. "Aku tidak begitu mengetahui jenis-jenis permainan, Suri. Kaulah yang tentukan jenis permainannya. Bagaimana? Kau setuju?"

Sambil menggigit jari telunjuknya, Suri mengangguk-anggukkan kepala. Tapi, jumlah anggukannya terlalu banyak. "Bagaimana kalau kita bermain petak umpet?" usul Suri.

Sepasang alisnya mengernyit tampak lucu. "Boleh," sahut Lanang dengan hati dongkol. Dia sudah dewasa. Bermain petak umpet adalah permainan anak-anak kecil. "Siapa yang jaga lebih dulu?"

"Harus suit supaya adil," beritahu Suri dengan sepasang mata berbinar. "Kalau aku menang, kau yang harus jaga. Tapi bila kau yang menang, aku yang akan sembunyi. Adil bukan?"

Lanang hampir saja mengangguk. Tapi, anggukannya tertahan ketika kalimat Suri dicernanya. Perjanjian curang. Suri terus beruntung. Lanang hampir saja membantah. Tapi ketika teringat dengan siapa dia berhadapan, kata-katanya ditelan kembali. "Aku setuju," ucap Lanang pelan.

Lanang membalikkan tubuh sambil membuka matanya. Seruan-seruan yang dikeluarkan sejak dia menghadap pada sebatang pohon besar sambil memejamkan mata tidak mendapat sambutan lagi. Suri telah bersembunyi. Lanang mengedarkan pandangan kesekitarnya. Dengan menajamkan pendengarannya pemuda pesolek ini mencoba mencari tempat persembunyian Suri.

Biasanya Lanang memang mampu mengetahui sumber suatu suara hanya denganmendengarnya. Tapi, hal itu ternyata tidak berlaku untuk Suri. Gadis itu sulit untuk diketahui jejaknya. Dengan ilmunya yang tinggi Suri dapat membuat suaranya seperti muncul dari segenap penjuru.

Lanang mengayunkan kaki meninggalkan pohon tempat penjagaannya, segera mengedarkan pandangan. Dia tidak ingin kecolongan. Bila Suri sampai lolos dari pengamatannya dan tiba di pohon yang dijaga, itu berarti Lanang harus berjaga lagi. Baru beberapa langkah meninggalkan tempat penjagaannya, Lanang mengernyitkan alis. Dia merasakan getaran keras pada tanah yang dipijaknya. Getaran yang hebat ini layaknya terjadi bila seekor gajah lewat.

Perhatian Lanang jadi terpecah. Pemuda pesolek ini mempunyai kecerdikan yang luar biasa. Ia bisa memperkirakan kalau yang menimbulkan getaran hebat itu bukan gajah. Hutan kecil seperti ini mana mungkin ditinggali gajah? Lanang yakin bunyi seperti itu disebabkan oleh tenaga dalam yang amat kuat! Jantung Lanang berdetak kencang. Orang yang mampu menimbulkan bunyi demikian pasti memiliki tenaga dalam tinggi.

Dia sendiri tidak mampu melakukannya. Padahal, bunyi getaran yang berirama menunjukkan orang itu tengah berjalan. Senantiasa mengerahkan tenaga untuk menggetarkan tanah dalam setiap langkah merupakan sesuatu yang amat sulit! Lanang tidak mampu melakukan hal itu.

Rasa penasaran mendorong Lanang mendekati tempat yang menjadi sumber bunyi. Baru beberapa langkah, pemuda pesolek ini berseru kaget. Lanang terlonjak kebelakang bagai orang menginjak ular berbisa! Sepasang mata pemuda itu tertuju lurus kedepan.

Hamparan rumput setinggi setengah tombak yang berada kira-kira sepuluh tombak di depannya menguak kekanan dan kekiri, membentuk jalan kecil. Pemandangan ini sangat mengejutkan Lanang. Sebelum perasaan kaget yang melanda hatinya lenyap, muncul sesosok tubuh pendek gemuk. Sosok itu berada hampir duapuluh tombak dari Lanang.

Sekarang Lanang mengerti mengapa hamparan rumput seperti menyibak memberi jalan. Sosok pendek gemuk itulah penyebabnya. Sosok itu tidak terlihat melakukan tindakan apa pun. la hanya berjalan lurus. Tapi, mengapa rumput-rumput itu menyibak memberi jalan?

"Horeee...!"

Seruan gembira yang melengking nyaring membuat Lanang teringat dengan permainannya. Lanang hafal betul pemilik suara itu. Pemuda pesolek ini menoleh kebelakang. Di pohon yang harus dijaganya berdiri dengan gembira Suri. Gadis berpakaian kembang-kembang itu berhasil memenangkan permainan. Lanang harus berjaga lagi.

Tapi Lanang hanya sebentar menoleh. Cepat pandangannya dialihkan lagi kedepan. Dilihatnya sosok pendek gemuk semakin mendekat. Sekarang Lanang baru melihat jelas penyebab pemandangananeh itu. Semakin dekat sosok pendek gemuk itu dengan rumput, keadaan rumput semakin kacau. Jelas, penyebab semua itu adalah sosok pendek gemuk. Lanang yang cerdik segera tahu di sekitar tubuh sosok pendek gemuk berhembus angin keras yang menerpa rumput-rumput. Pameran tenaga dalam tingkat tinggi yang sangat mengagumkan!

Lanang merasa amat tertarik. Ia memperhatikan sosok pendek gemuk hingga melintasi hamparan rumput. Kembali Lanang melihat pemandangan yang menakjubkan. Begitu sosok pendek gemuk keluar dari hamparan rumput, tanaman-tanaman itu kembali berdiri tegak seperti semula!

Lanang terbengong-bengong saking takjubnya. Pemuda pesolek ini merasa yakin sedang bertemu dengan seorang tokoh sakti. Bahkan, dia yakin sosok pendek gemuk yang ternyata seorang kakek berkepala botak memiliki kepandaian di atas bekas ayahnya, Naga Sakti Berwajah Hitam.

Kakek berkepala botak yang menjadi pusat perhatian Lanang tampak bersikap tidak peduli. Wajahnya tetap berseri-seri dan penuh senyum. Kaki-kaki bulat dan pendek itu terus terayun mantap..Lanang tercekat merasakan tanah yang dipijaknya semakin bergetar hebat. Bunyi berdebam keras seperti langkah seekor gajah, terdengar.

Lanang semakin merasa pasti kakek itu memang orang sakti. Dilihatnya jelas kakek pendek gemuk melangkah biasa, tidak dijejakkan. Namun akibatnya demikian menakjubkan!

"Hehehe...!" Kakek pendek gemuk terkekeh ketika jaraknya tinggal dua tombak dari Lanang. Langkah kakinya dihentikan. Masih dengan senyum diperhatikannya sekujur tubuh bekas putra Naga Sakti Berwajah Hitam.

"Luar biasa anehnya dunia ini. Belum lama aku bertemu seorang pemuda gagah dan kuat laksana batu karang dan seorang kakek gila berpakaian terbalik, sekarang aku bertemu dengan seorang banci. Hehehe...!"

Wajah Lanang merah padam. Sudah dua kali dia dimaki sebagai banci. Pertama oleh Jumini. Kali ini oleh kakek pendek gemuk. Padahal kendati pesolek, Lanang paling benci bila dianggap perempuan. Apalagi banci.

"Sayang sekali aku tengah mempunyai urusan penting. Kalau tidak, aku akan senang sekali bermain-main denganmu," ujar kakek pendek gemuk sambil melangkah maju. Kali ini tidak ada getaran pada tanah. Tapi Lanang merasakan dorongan angin keras keluar dari tubuh kakek itu.

Lanang terkejut bukan main. Dia segera bertindak cepat. Seluruh tenaganya dikerahkan untuk membuat kakinya menjejak bumi. Lanang berhasil mencegah dorongan angin keras tidak membuat tubuhnya terhuyung. Namun itu terjadi ketika kakek pendek gemuk melangkah dua tindak. Pada langkah ketiga dorongan itu demikian kuat Lanang bersikeras untuk bertahan.

Wajahnya sampai merah padam. Di langkah keempat, pemuda pesolek ini tidak mampu bertahan lagi. Lanang terdorong kebelakang sejauh tiga tombak! Tanah tergurat cukup dalam ketika tubuh pemuda pesolek itu terseret. Kakek pendek gemuk terus saja melangkah. Lanang yang merasa penasaran mengirimkan serangan. Pemuda pesolek itu menghentakkan kedua tangan terbuka kedepan. Sebuah serangan jarak jauh dilancarkan.

Serangkum angin keras meluruk kearah kakek berkepala botak. Hembusan angin yang mampu menghancurkan sebongkah batu sebesar gajah. Kakek pendek gemuk tahu akibat serangan itu. Tapi, dia bersikap tidak peduli. Baru ketika serangan menyambar dekat, dia melakukan gerak meniup!

Lanang terperanjat. Pukulan jarak jauhnya lenyap begitu saja bagai tertelan sesuatu. Keterkejutannya membesar ketika melihat kakek itu kembali meniup. Lanang mencoba mengelak. Tapi, kakek pendek gemuk cepat bertindak. Dia bersiul pelan dengan mempergunakan ibu jari dan jari tengah. Akibatnya sungguh mengagumkan. Lanang merasakan sekujur tubuhnya mendadak lemas. Tenaganya lenyap entah kemana. Otot-otot tubuhnya seakan lumpuh!

Lanang tercekat ketakutan. Maut berada di hadapannya. Tiupan kakek pendek gemuk tidak kalah dengan hantaman tongkat pusaka! Cukup untuk mengirim nyawanya melayang kealambaka. Di saat genting bagi keselamatan nyawa bekas putra Naga Sakti Berwajah Hitam itu, suatu kekuatan dahsyat menarik tubuhnya kebelakang!

Lanang yang tengah tidak berdaya tidak mampu mencegahnya. Tubuhnya tertarik dengan deras. Tapi, justru inilah yang menyelamatkan nyawa pemuda itu. Serangan kakek pendek gemuk tidak mengenai sasaran. Lewat beberapa jengkal di depan tubuhnya. Kekuatan dahsyat itu membuat Lanang terjengkang!

"Hehehe...!" Kakek pendek gemuk terkekeh gembira. Wajahnya makin berseri-seri. Sepasang matanya pun berbinar-binar. Padahal, sekejap tadi memancarkan sinar maut ketika serangannya kandas akibat campur tangan orang. "Rupanya aku tengah laris. Ada lagi yang ingin mengajakku bermain-main ini!"

"Tutup mulutmu, Manusia Aneh! Siapa yang sudi bermain dengan orang sepertimu? Jijik aku! Kau ini orang atau bola? Sudah jelek masih berani mengajak calon suamiku bermain-main. Benar-benar tidak tahu diri! Cepat pergi sebelum aku memecahkan kepalamu yang mirip batu itu!"

Di depan kakek botak, membelakangi Lanang yang sekarang telah berdiri tegak, berdiri gadis berpakaian kembang-kembang. Suri. Gadis ini marah bukan main. Kedua tangannya ditaruh di pinggang.

"Hehehe...!" Kakek pendek gemuk malah tertawa.

Lanang memperhatikan kedua orang yang berdiri berhadapan dan siap bertarung itu dengan hati berdebar tegang. Tingkah laku kakek botak mengingatkannya pada seorang tokoh tua yang telah lama meninggalkan dunia persilatan. Naga Sakti Berwajah Hitam telah banyak menceritakan tentang tokoh-tokoh besar. Salah seorang di antaranya mempunyai sifat seperti kakek pendek gemuk ini. Lanang yakin kakek itu tokoh yang dimaksud bekas ayahnya. Dialah Setan Gila!

"Mulutmu tajam sekali, Gadis Gila! Aneh-aneh saja orang yang kujumpai. Aku ingin bermain-main denganmu. Suaramu tidak kalah buruknya dengan suara katak. Maka, aku akan bertepuk tangan. Biar aku mengiringinya dengan nyanyian!"

Tanpa menunggu persetujuan Suri, kakek pendek gemuk yang bukan lain Setan Gila, mulai bertepuk tangan. Tak terlalu keras tapi terdengar berirama. Sebenarnya irama yang dibuat Setan Gila cukup merdu. Tapi, tidak demikian yang dialami Lanang. Pemuda pesolek ini merasa tersiksa bukan main. Setiap kali terdengar bunyi tepukan dirasakan dadanya seperti dipukul. Nyeri bukan main.

Bekas putra Naga Sakti Berwajah Hitam ini tahu tepukan tangan Setan Gila bukan tepukan biasa. Tepukan itu mengandung serangan yang ditujukan pada Suri. Kendati demikian, Lanang ikut terkena pengaruhnya. Lanang tidak ingin celaka. Ia mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi bagian dalam dadanya. Mula-mula memang menampakkan hasil. Tapi, lama-kelamaan Lanang mulai tersiksa. Bunyi tepukan tetap menyakitkan dada. Di telinganya bagai berdengung puluhan ekor nyamuk.

DUA

Berbeda dengan Lanang, Suri yang menjadi sasaran serangan tidak tersiksa sedikit pun. Gadis ini malah tersenyum-senyum sendiri. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Entah karena gatal atau iseng saja.

Setan Gila meski tetap tersenyum lebar di dalam hati merasa geram. Sikap Suri membuatnya sangat tersinggung. Dia merasa diremehkan. Di samping perasaan itu muncul pula rasa kagum dan heran. Orang semuda Suri memiliki tenaga dalam yang demikian tinggi. Hingga, serangannya tidak berartiapa-apa. Setan Gila memperhebat serangannya.

Suri mengetahui. Tapi, gadis kurang waras ini tidak melakukan tindakan apa pun. Suri malah terkikik kegirangan. Kembali Setan Gila menerima kenyataan yang menyakitkan. Tawa Suri bukan tawa sembarangan. Tawa itu mengandung getaran tenaga dalam yang membendung pengaruh bunyi tepukannya. Dua gelombang tenaga dalam tinggi saling beradu.

Kedengarannya seperti paduan irama yang saling mendukung. Padahal, bunyi itu sebenarnya tangan-tangan maut! Yang kalah kuat akan mendapat karcis untuk pergi ke alam baka. Wajah Suri dan Setan Gila telah dibanjiri peluh. Malah, dari atas kepala Setan Gila mengepul uap putih. Tampaknya kakek ini mengerahkan tenaga dalam yang melampaui batas.

Lanang terlihat tenang. Pemuda pesolek ini menghentikan pengerahan tenaga dalamnya. Suara tawa Suri telah menolongnya. Kini dia hanya memperhatikan jalannya pertarungan. Lanang memang tahu Suri memiliki tenaga dalam dahsyat. Namun, sungguh tidak disangka akan seperti ini.

Setan Gila seorang datuk golongan hitam yang menurut penuturan Naga Sakti Berwajah Hitam memiliki kepandaian sejajar dengan dirinya. Tapi, kenyataannya Setan Gila kewalahan menghadapi Suri. Keinginan untuk mendapatkan Telur Elang perak semakin membara di hati Lanang. Suri sampai bisa sesakti ini karena telur binatang langka itu.

Wajah Lanang berubah ketika melihat Setan Gila terhuyung-huyung seraya memuntahkan darah segar. Dia tak bisa menghadapi tawa Suri yang semakin meninggi. Dengan tawa yang tidak putus Suri melompat memburu lawannya. Bagai seekor garuda yang menerkam mangsa, gadis ini melesat! Kedua tangannya terbuka hendak mencengkeram ulu hati dan pusar Setan Gila!

Sepasang mata Setan Gila membelalak lebar. Bukan karena serangan maut yang tertuju kearahnya.Tapi, melihat gerakan Suri. "Ilmu Camar Hitam'...," desis kakek pendek gemuk. Namun, rasa kaget terlihat tidak bisa merubah sorot wajahnya yang berseri-seri. Ketika serangan Suri menyambar kearahnya, kakek pendek gemuk mampu menunjukkan kelihaiannya sebagai seorang datuk kaum sesat.

Dengan jari-jari terbuka dipapakinya serangan Suri. Beberapa jari sebelum dua pasang tangan itu saling berbenturan, tangan Suri berputar keatas. Ia merubah arah serangannya. Kali ini mengancam kepala. Setan Gila tercekat. perubahan itu terlalu mendadak, membuat dia tidak mempunyai kesempatan untuk memapaki. Kakek itu berusaha untuk menyelamatkan nyawanya dengan melempar tubuh kebelakang.

Prat, prattt!

Tindakan untung-untungan yang dilakukan Setan Gila berhasil membuat serangan Suri tidak mendarat di sasaran. Jari-jari tangan gadis itu menghantam dua pangkal lengannya, hingga hancur.

"Hi hi hi...!" Suri terkikik dengan kedua tangan berkacak pinggang. Matanya berputaran liar menatap Setan Gila yang tergolek di tanah.

Kakek itu terluka dalam yang amat parah! Ditambah lagi dengan luka pada kedua tangannya. Luka itu tidak hanya menghancurkan tulang. Tapi, juga melukai bagian dalam tubuhnya.

"Sudah kukatakan tadi orang sepertimu seharusnya bermain dengan anjing. Tapi, kau tidak percaya. Sekarang kau baru merasakan sendiri akibatnya."

Setan Gila terkekeh. Batuk-batuk yang memercikkan darah mengiringi tawanya. "Gadis Gila, bukankah gerakan yang kau pergunakan tadi salah satu jurus 'Ilmu Camar Hitam!?" tanya kakek itu dengan agak tersendat karena luka yang dideritanya.

"Hi hi hi...! Rupanya kau memiliki mata yang awas kendati kepalamu mirip batok kura-kura."

"Apa hubunganmu dengan Begawan Narasoma...?" desak Setan Gila penuh gairah.

"Beliau adalah ayahku, Gundul Bodoh!" tandas Suri.

"Tidak mungkin! Kau mengada-ada, Gila! Begawan Narasoma hanya mempunyai seorang anak perempuan. Tapi, dia tidak semuda kau. Lagi pula dia telah lama meninggal. Mati dibunuh musuh-musuh menantu Begawan Narasoma. Hehehe...! Kau tidak bisa menipuku, Gila. Meski tidak mempunyai rambut, tapi otakku banyak. Kau tak bisa menipuku. Hehehe...!"

"Siapa yang menipumu, Katak Botak! Aku memang putri Begawan Narasoma. Namaku Raden Ajeng Suri Kencuri. Dasar botak! Di samping tidak mempunyai rambut, kau pun tidak mempunyai kepercayaan atas ucapan orang lain. Menjijikkan!"

Dengan tingkah orang yang benar-benar merasa jijik Suri membuang ludah. Memang tidak ditujukan pada Setan Gila. Tapi, karena kakek itu berada di bawah, percikan yang menjijikkan itu mencipratinya. Rasa tegang karena tengah menghadapi persoalan membuat kakek pendek gemuk tidak mempedulikan.

"Aku memang telah mati. Tapi, oleh ayahku aku diberikan Telur Elang perak. Aku pun hidup kembali. Bahkan, menjadi jauh lebih muda dari usia sesungguhnya," jelas Suri tanpa pikir panjang lagi.

Lanang memperhatikan dengan penuh perhatian percakapan itu. Diam-diam dia memaki Suri dalam hati. Dasar orang tak waras, benda pusaka yang menjadi incaran tokoh-tokoh dunia persilatan enak saja diberitahukan.

"Telur Elang perak?!" Setan Gila yang telah di ambang maut bergumam dengan suara bergetar. Apa yang dicarinya ternyata berada di depan hidung. "Kau bohong, Gila! Gendeng! Telur Elang Perak telah jatuh ketangan Iblis Buta! Apakah kau hendak mengatakan kalau ayahmu, Begawan Narasoma, telah merampasnya dari orang buta itu!"

"Hi hi hi...! Botak! Gundul! Kau pun berhasil tertipu juga. Tak kusangka orang-orang demikian bodoh sehingga bisa ditipu ayahku. Iblis Buta itu sebenarnya ayahku. Beliau menyamar sebagai Iblis Buta! Dasar orang bodoh. Hanya dengan tipuan kecil seperti itu saja bisa kena. Hi hi hi...!"

Bukan hanya Setan Gila yang kaget Lanang pun demikian. Hanya, keterkejutan mereka berbeda. Lanang kaget karena tidak menyangka Suri akan memberikan keterangan demikian jelas. Lanang khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Meski di sekitar tempat ini sepi-sepi saja, tapi orang-orang persilatan sering kali mendengar berita yang menurut perhitungan tidak akan tersebar! Lanang khawatir sisa telur mukjizat itu jatuh ketangan orang lain. Suri memang benar-benar gendeng!

Keterkejutan Setan Gila lain lagi. Dia tidak menyangka Iblis Buta yang dicari-carinya adalah samaran dari Begawan Narasoma! Pantas saja peramal Gendeng tidak bisa menemukannya. Bagaimana mungkin mencari orang yang tidak ada?

"Sekarang aku mengerti mengapa tokoh yang berjuluk Iblis Buta tidak ketahuan berdiri di golongan mana. Tindakan yang dilakukannya hanya untuk membalas dendam. Akh...!"

Setan Gila menghentikan ucapannya sebelum berhasil diselesaikan. Nyawanya telah melayang kealam baka. Kakek ini mati penasaran. Keinginannya tidak terkabul. Ia mati tepat ketika jawaban bagi teka-teki yang melingkupi kemisteriusan masalahnya terungkap.

"Suri," Lanang buru-buru mendekati gadis berpakaian kembang-kembang yang tertawa sambil berkacak pinggang di depan mayat Setan Gila.

"Ada apa, Kak?" tanya Suri. Gadis ini kelihatan patuh bukan main pada Lanang.

"Mari kita tinggalkan tempat ini. Kita harus segera menemui kakek. Aku khawatir Telur Elang Perak keburu diambil orang. Bila itu terjadi, kau tidak akan mempunyai seorang suami. Apakah kau mau hal itu terjadi?!" gertak Lanang. Pemuda ini tidak merasa khawatir ancamannya tidak membuahkan hasil. Suri amat mencintainya. Gadis itu punmemiliki otak kurang waras.

"Tentu saja tidak, Kak. Kau harus menjadi suamiku. Ayo, kita pergi menemui Kakek!" sambut Suri cepat penuh rasa khawatir.

Sikap gilanya lenyap karena takut kehilangan Lanang. Lanang tertawa dalam hati. Tapi, dia tidak menampakkan kegembiraannya. Dia berlari mendahului Suri. Dalam waktu singkat gadis edan itu berhasil menyusulnya. Mereka berlari berjajar menuju gua tempat tinggal Iblis Buta alias Begawan Narasoma.

* * *

"Ah...!" Seruan kaget dikeluarkan seorang pemuda berpakaian ungu. Pemuda itu tengah merayap dengan susah-payah melewati hamparan tanah yang ditumbuhi rumput-rumput pendek dan onak duri. Rayapannya terhenti. Mulutnya menyeringai menahan sakit yang cukup hebat. Wajah pemuda itu tampak pucat bagai kertas. Kelihatannya dia tengah terluka dalam yang parah.

"Hukh!" Pemuda berambut putih keperakan itu terbatuk. Percikan darah segar keluar dari mulutnya. "Naga Sakti Berwajah Hitam benar-benar hebat," desis pemuda berpakaian ungu. "Kalau tidak ada penolong tak nampak itu, mungkin nyawaku telah melayang...."

Wajah pemuda itu yang semula tertuju ketanah tiba-tiba dikerahkan kedepan. Telinganya yang memiliki pendengaran sangat tajam mendengar bunyi mencurigakan dari arah depan. Semakin lama bunyi itu semakin jelas tertangkap telinganya. Tampaknya ada orang yang tengah menuju kearahnya. Dari langkah-langkah yang terdengar, pemuda ini memperkirakan orang yang tengah menuju kearahnya adalah dua orang.

Pemuda berambut putih keperakan itu tidak ingin keberadaannya diketahui. Meski keadaannya tidak memungkinkan, dipaksakannya meninggalkan tempat itu. Pemuda itu merayap ke sebelah kiri. Disana terdapat semak-semak yang cukup lebat Pemuda itu ternyata merayap dengan mempergunakan kedua kaki dan badan. Kedua tangannya yang seharusnya menyangga tubuhnya tidak dipergunakan.Tulang lengan si pemuda telah terlepas darisambungannya.

Sebenarnya, jarak pemuda berambut putih keperakan dengan semak-semak yang ditujunya tak lebih dari enam tombak. Tapi, keadaan si pemuda yang tidak memungkinkan membuat jarak yang ditempuhnya terasa amat jauh. Sebelum pemuda berpakaian ungu tiba di semak-semak, terdengar bunyi berkerosokan yang disusul dengan munculnya dua sosok tubuh.

Pemuda berpakaian ungu menghentikan gerakannya. Wajahnya dipalingkan kearah dua sosok yang baru muncul. Pada saat yang bersamaan dua sosok itu kearahnya. Tiga pasang mata saling berpandangan dengan penuh selidik.

"Dewa Arak...!" Dua sosok itu berseru kaget.

Pemuda berpakaian ungu yang memang Dewa Arak hanya tersenyum pahit. Dua sosok itu dikenalnya. Lelaki pendek kekar berkulit merah dengan bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya adalah Singa Berbulu Merah. Yang lain kurus kering seperti cecak kelaparan. Dia adalah si Pengais Nyawa. Dua di antara tiga tokoh sesat yang terluka dalam akibat campur tangan Dewa Arak. (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: Sengketa Guci Pusaka).

"Ha ha ha...!" Singa Berbulu Merah tertawa bergelak. Ia kelihatan gembira sekali. "Kau lihat, Pengais Nyawa? Orang yang usilan terhadap kita sekarang tengah sekarat. Dia tak lebih dari anjing lumpuh!"

"Benar! Sekarang orang usilan ini harus merasakan akibat sifat sombongnya yang selalu mencampuri urusan orang." Pengais Nyawa menyambung. "Kau akan rasakan akibat kelancanganmu berurusan dengan kami, Dewa Arak! Kami akan menyiksamu!"

Pengais Nyawa memandang Dewa Arak dengan tatapan penuh dendam. Lelaki kurus kering ini mengeluarkan senjata andalannya. Ganco. Benda yang terlihat mengerikan itu diayun-ayunkan di atas kepala. Kemudian, diturunkan pelan-pelan kedepatwajah Arya.

"Kau akan menyesali kelancanganmu seumur hidup, Dewa Arak. Kau tahu apa yang akan kulakukan terhadap dirimu?" tanya Pengais Nyawa dengan nada menyeramkan. Ia mengoleskan bagian ganco yang tidak tajam di wajah Arya.

"Aku tahu," jawab Arya tenang. Tidak terlihat kegentaran pada wajah pucat itu. "Yang akan kuterima adalah kematian! Itu sudah akibat yang harus kutanggung bagi orang sepertiku. Sejak dulu aku sudah tahu, Pengais Nyawa!"

"Ha ha ha...!" tawa Pengais Nyawa meledak. "Jangan kau kira aku akan membunuhmu, Dewa Arak! Terlalu enak bagimu. Sudah kukatakan, aku akan membuatmu menyesal seumur hidup. Aku hanya akan mencungkil kedua matamu! Ha ha ha...!"

Arya tercekat. Pengais Nyawa benar-benar keji. Betapapun berani dan tabahnya Dewa Arak, tapi tindakan yang akan dilakukan Pengais Nyawa benar-benar mengerikan! Arya bergidik. Namun dengan pandainya dia berhasil menyembunyikan perasaan itu.

Singa Berbulu Merah ikut tertawa bergelak. "Kau seharusnya berterima kasih padaku, Dewa Arak. Aku tidak sekejam Pengais Nyawa. Siksaan yang akan kuberikan ringan saja. Hanya..., yahhh... menghancurkan tulang-tulang pangkal lengan dan kakimu!"

Pengais Nyawa tertawa bergelak mendengar ucapan rekannya. Lelaki pendek kekar itu hendak mengejek Arya. Singa Berbulu Merah tak kalah keji dengan dirinya. Bahkan, siksaan yang katanya ringan itu sebenarnya tak kalah mengerikan! Bila itu sampai terjadi, Dewa Arak akan menjadi orang yang lemah untuk selamanya. Dia tidak akan dapat bermain silat lagi.

Dewa Arak tersenyum lebar. Tidak tampak kecemasan pada wajahnya, meski sebenarnya batin pemuda ini terguncang. Siksaan yang didengarnya terlalu mengerikan dan tidak pernah terpikirkan. "Kalian kira aku takut! Kalian keliru besar bila menyangka demikian! Aku sudah memperkirakan sebelumnya. Ayo, tunggu apa lagi? Segera lakukan ancaman kalian itu!"

Singa Berbulu Merah dan Pengais Nyawa saling berpandangan. Mereka kecewa melihat Dewa Arak tidak terlihat takut dan cemas. Padahal, keduanya ingin melihat pendekar yang tersohor itu merasa ngeri agar mereka bisa lebih nikmat melakukan penyiksaan.

"Baik!" geram Singa Berbulu Merah, kesal. "Kau pikir kami hanya menggertak saja! Akan kupenuhi permintaanmu! Lebih dulu sepasang tanganmu kuremukkan!"

Wukkk!

Angin keras menderu ketika Singa Berbulu Merah mengayunkan gada berdurinya kepangkal lengan Arya yang tengah terlepas dari sambungan. Dewa Arak tetap bersikap tenang. Sebentar lagi tulang-tulang pangkal lengannya akan hancur luluh. Dia tidak melakukan tindakan apa pun. Memang, tidak ada yang mampu diperbuatnya selain menunggu.

Trikkk!

Singa Berbulu Merah memekik tertahan. Seleret sinar gelap meluncur dengan kecepatan luar biasa memapak ayunan gada berdurinya. Senjata mengerikan itu hampir saja mengenai sasaran. Gada berduri Singa Berbulu Merah terlepas dari pegangan, saking kuatnya benturan yang terjadi. Tangan lelaki pendek kekar itu terasa sakit dan lumpuh sebentar.

Pengais Nyawa menggeram melihat kegagalan rekannya. Ada seseorang yang telah menolong Dewa Arak. Orang itu memiliki tenaga dalam amat kuat. Gada Singa Berbulu Merah sampai terlempar dari cekalan. Benda berwarna gelap yang dipergunakan untuk menangkis adalah sebuah tengkorak manusia. Benda itu mampu membuat gada yang besar dan berat terlepas dari pegangan.

Pengais Nyawa maupun Singa Berbulu Merah tidak tampak merasa gentar. Keduanya tidak yakin penolong Dewa Arak memiliki kepandaian tinggi. Keberhasilannya menjatuhkan gada dengan sebuah tengkorak tidak bisa dijadikan ukuran kepandaiannya. Saat itu tenaga dalam Singa Berbulu Merah, seperti juga Pengais Nyawa, belum pulih benar.

"Tikus-tikus tak tahu diri hendak membokong Dewa Arak? Benar-benar mencari penyakit..!"

Suara yang melengking nyaring dan penuh kemarahan menggema di sekitar tempat itu. Suara itu dikirim dari jarak cukup jauh. Tapi, belum juga gemanya lenyap angin bertiup pelan. Di sebelah Dewa Arak telah berdiri sesosok tubuh berpakaian serba putih. Sikapnya terlihat penuh ancaman.

TIGA

Pengais Nyawa dan Singa Berbulu Merah saling berpandangan. Dalam sinar mata mereka terkandung pertanyaan tentang sosok ramping berpakaian putih. Berbeda dengan mereka, Dewa Arak mengenal sosok ramping itu. Bahkan amat mengenalnya. Arya sudah tahu begitu mendengar suaranya. Suara yang amat dekat di hatinya dan selama ini dirindukan. Hampir saja pemuda berambut putih keperakan itu meneriakkan nama sosok ramping berpakaian putih.

"Ayo, mengapa kalian diam saja? Tidakkah kalian berniat mengulangi tindakan pengecut ini? Tanganku sudah gatal untuk melenyapkan orang-orang seperti kalian!" kata sosok berpakaian putih pada Pengais Nyawa dan Singa Berbulu Merah yang masih berdiri terpaku.

Teguran bernada tantangan itu bagai seember air yang diguyurkan pada orang yang tengah tertidur. Singa Berbulu Merah dan Pengais Nyawa teringat kembali akan niat semula.

"Kau terlalu memaksa kami, Wanita Liar! Jangan salahkan kalau kau tewas di tangan kami. Tapi, kami bersedia membiarkanmu dan tidak memperpanjang urusan apabila kau mau meninggalkan tempat ini. Kami tidak mempunyai urusan denganmu. Pergilah, sebelum kami berubah pikiran! Kau tengah berhadapan dengan Singa Berbulu Merah dan Pengais Nyawa! Tokoh-tokoh besar dunia persilatan! Sekali kami turun tangan, tak akan ada nyawa menempel di badan! Pergilah cepat!"

Gertakan itu dikeluarkan Singa Berbulu Merah. Tokoh ini memang cerdik bukan main. Dia tahu sosok ramping yang ternyata seorang gadis cantik itu bukan orang sembarangan. Gadis ini tampaknya berkepandaian tinggi. Padahal, dia dan Pengais Nyawa masih belum pulih kemampuannya. Dicobanya mengusir gadis itu tanpa melalui pertarungan yang sudah pasti akan merugikan pihaknya.

"Tidak ada gunanya berbasa-basi. Aku tidak akan pergi dari sini sebelum kalian mengantarkan nyawa! Tindakan kalian telah cukup menjadi alasan bagiku untuk membunuh. Bersiaplah, sebelum mati percuma di tanganku!" sahut gadis berpakaian putih.

"Keparat!" Pengais Nyawa menggeram gusar. "Rupanya, kau sudah pingin melihat neraka. Terimal ahajalmu!"

Lelaki kurus kering ini mengayunkan ganconya. Dasar orang berwatak keji, serangan itu ditujukan pada wajah. Pengais Nyawa ingin merusak wajah lawannya. Seorang wanita muda, apalagi cantik, wajah merupakan segalanya. Untuk menghancurkan hati gadis berpakaian putih bagian itulah yangharus ditujunya.

Pada saat yang hampir bersamaan, Singa Berbulu Merah mengirimkan hantaman gada kearah dada! Tapi, seperti juga Pengais Nyawa, lelaki pendek kekar ini tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Bila itu dilakukan, luka dalam mereka akan kambuh.

Gadis berpakaian putih tersenyum mengejek. Dia berdiri tenang di tempatnya. Baru ketika serangan-serangan menyambar dekat, gadis ini menggeliatkan tubuh. Pedang yang tersampir di punggung mencelat keatas bagai dilemparkan.

Gadis berpakaian putih itu melompat keatas. Tangan kanannya menangkap pedang. Kemudian, langsung dibabatkan ke bawah di mana Singa Berbulu Merah dan Pengais Nyawa belum sempat melakukan tindakan apa pun setelah serangan mereka mengenai tempat kosong.

Singa Berbulu Merah dan Pengais Nyawa hanya bisa mengeluarkan keluhan tertahan. Tubuh mereka ambruk ketanah dengan nyawa melayang meninggalkan badan. Babatan pedang gadis berpakaian putih telah merobek leher keduanya!

Kedua tokoh hitam yang sial itu tidak sempat lagi melihat gadis berpakaian putih menyimpan pedangnya. Cepat bukan main gerakan si gadis. Pedang telah lebih dulu masuk sarung sebelum kedua kakinya menjejak tanah. Gadis berpakaian putih tidak mempedulikan mayat korbannya. Tubuhnya segera dibalikkan menghadap Arya yang meski masih tertelungkup di tanah tapi memperhatikan semua kejadian itu dengan jelas.

"Kakang Arya...," sapa si gadis dengan suara bergetar. Sepasang matanya yang bening indah menatap pemuda berpakaian ungu dengan sorotmata menyiratkan kerinduan.

"Melati...," Arya menyebutkan nama gadis itu. Suaranya sarat dengan kerinduan.

"Apa yang terjadi terhadapmu, Kakang? Mengapa bisa seperti ini? Jangan katakan dua orang itu yang melakukannya!" ucap gadis berpakaian putih yang memang Melati, kekasih Dewa Arak Gadis itu menekuk lutut dan duduk di depan Arya.

"Cukup panjang ceritanya, Melati," jawab Arya sambil tersenyum. Pemuda ini gembira bukan main bertemu lagi dengan kekasihnya. "Aku tidak dilukai mereka. Kau sendiri mengapa bisa berada di sini? Aku mencari-carimu."

"Aku pun mencarimu, Kakang!" sergah Melati cepat. Senyumnya menghias bibir. Mereka berdua rupanya saling mencari.

"Kau berada di sini hanya sekadar lewat atau memang mencariku?" tanya Arya ingin tahu.

"Mencarimu, Kakang. Aku yakin kau pasti berada di daerah ini." "Kau menduga demikian karena Telur Elang Perak yang menggemparkan itu kan?"

Melati mengangguk. "Walau mungkin bukan untuk memperebutkannya, tapi kau tidak akan membiarkan benda mukjizat itu jatuh ketangan orang yang tidak bertanggung jawab," jelas Melati.

"Kau memang pintar," puji Arya tersenyum lebar, membuat mulut Melati meruncing. Tapi, di dalam hati gadis ini merasa girang sekali. "Obrolan kita bisa dilanjutkan nanti, Melati," sambung Arya. "Aku ingin mengobati luka dalamku. Nanti akan kuceritakan semuanya yang terjadi padaku."

"Tanganmu harus diobati, Kakang. Mungkin harus didahulukan agar kau bisa mengobati luka dalammu." Melati kemudian mengangkat tubuh Arya dan menggendongnya.

* * *

"Masih jauhkah tempat tinggal Naga Sakti Berwajah Hitam, Jari Maut?" tanya seorang kakek berkulit hitam kecoklatan pada kakek berwajah tirus yang berlari di sebelahnya. Kakek berkulit hitam kecoklatan memiliki tubuh tegap dan berpakaian sederhana. Sebuah caping bambu menutup kepalanya. Rambutnya yang panjang dan berwarna putih terurai hingga ke pinggang. Dialah Petani Berambut Putih.

Kakek berwajah tirus yang disapa dengan panggilan Jari Maut dan sebenarnya berjuluk Pendekar Jari Maut, menoleh. Ditatapnya petani Berambut Putih. "Tidak. Begitu kita tiba di kelokan, akan terlihat batu berbentuk seekor naga. Sekitar sepuluh tombak dari situlah tempat tinggal Naga Sakti Berwajah Hitam," jawab Pendekar Jari Maut.

Petani Berambut Putih tidak bertanya lagi. Matanya memandang kedepan. Dia melihat kelokan yang dimaksud Pendekar Jari Maut Di sebelah kiri kelokan membentang jurang yang dalam, sedang di kanannya dinding batu menjulang tinggi. Di antara kedua sisi ini terdapat jalan selebar satu tombak.

"Hey...! Tunggu...! Kalian tidak boleh kesana...!" Seruan keras yang menggema kesekitar tempat itu membuat petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut menghentikan larinya dan menoleh kebelakang.

Belasan tombak dari kedua kakek itu tampak sesosok tubuh tengah melesat kearah yang ditempuh petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut Mereka segera membalikkan tubuh dan berdiri menunggu. Ingin diketahui siapa sosok yang mengeluarkan seruan itu. Dalam sekejapan saja sosok yang bergerak mendatangi telah berada di depan petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut. Ternyata dia seorang pemuda tampan berpakaian hitam bergaris-garis putih. Ia berdiri dua tombak di hadapan kedua kakek itu.

"Siapa kau, Anak Muda? Mengapa mencegah kami? Apakah kau mempunyai hubungan dengan orang yang hendak kami datangi?" tanya petani Berambut Putih dengan ramah.

"Sebenarnya, akulah yang harus mengajukan pertanyaan. Tapi mengingat usia kalian, biarlah aku yang muda mengalah," sahut pemuda yang mempunyai tahi lalat besar di bawah mata kanan.

Pendekar Jari Maut yang memiliki watak kurang sabar jadi melotot. Kakek ini merasa tersinggung. Sedangkan petani Berambut Putih hanya tersenyum kecil mendengarnya.

"Namaku Brawijaya. Aku putra orang yang tinggal di sana," jawab pemuda berpakaian hitam bergaris-garis putih. Tangannya menuding ketempat yang akan didatangi petani Berambut Putih Dan Pendekar Jari Maut.

"Kau putra Naga Sakti Berwajah Hitam?!" tanya petani Berambut Putih tanpa menyembunyikan rasa kagetnya.

Pendekar Jari Maut yang telah diberitahu mengenai nasib putrinya oleh petani Berambut Putih ikut terkejut (Mengenai hal itu, silakan baca serial Dewa Arak dalamepisode Iblis Buta).

"Benar! Kakek berdua mengenal ayahku...?"

"Naga Sakti Berwajah Hitam memiliki beberapa orang anak!" ujar Pendekar Jari Maut agak keras.

Brawijaya menatap lekat-lekat kakek berwajah tirus. "Apa maksudmu, Kek? Aku tidak mengerti. Apakah kau pernah berjumpa dengan orang yang mengaku sebagai putra ayahku?"

Pendekar JariMaut tersenyum sinis. "Tanyakanlah pada ayahmu. Kenalkah dia dengan dua orang muda yang beberapa hari lalu datang ketempat ini? Salah satu di antara mereka adalah putriku. Ayahmu dengan dibantu putranya itu telah menawan putriku!"

"Fitnah!" Brawijaya kaget bercampur geram mendengar tuduhan yang ditimpakan pada ayah-nya. "Belum pernah ada orang yang datang kemari. Apalagi bertemu ayahku dan beliau menahannya. Kau hanya mengada-ada, Kek!"

Pendekar Jari Maut menatap wajah petani Berambut Putih. Dia menyerahkan jawabannya pada kakek berambut putih. Dari kakek itulah dia mendapatkan berita ini.

"Jaga mulutmu, Brawijaya! Muridku tidak pernah berbohong. Kalau dia tidak berlaku cerdik dengan memberitahuku, mungkin dia pun menjadi tahanan ayahmu!"

Wajah Brawijaya merah padam. Dia tersinggung bukan main. Denganmata mendelik ditatapnya petani Berambut Putih dan Pendekar JariMaut Sinar matanya penuh kemarahan. "Semula kukira kalian orang baik-baik. Tak tahunya penjahat-penjahat keji! Sebelum kesabaranku habis, menyingkirlah dari tempat ini!"

"Manusia sombong!" sambut Pendekar Jari Maut tak kalah keras. "Lancang sekali mulutmu! Ayahmu sendiri tidak akan berani berkata demikian padaku. Aku sudah menjadi pendekar pembela keadilan sebelum kau lahir, Pemuda Sombong! Tarik kembali katakatamu sebelum aku mewakili ayahmu memberikan pelajaran padamu!"

"Jangan harap, Kakek Jahat! Aku lebih suka mati daripada menarik ucapan yang telah kukeluarkan. Majulah! Kau kira aku takut padamu?!" Brawijaya melangkah mundur dua langkah untuk menjaga jarak. Sikapnya telah siap bertarung.

"Semakin lancang kau! Kalau tidak kuberi pelajaran, kau akan menginjak kepalaku!"

Pendekar Jari Maut bersiap untuk melancarkan serangan. Tapi, petani Berambut Putih telah memegang pergelangan tangan kirinya. Kakek kecil kurus yang tenga marah itu menoleh.

"Kurasa ada hal tidak wajar di sini. Tidak sepatutnya menuruti perasaan, Jari Maut." petani Berambut Putih menoleh ke arah Brawijaya. "Dan kau Brawijaya. Kami berdua bukan orang jahat seperti perkiraanmu. Kawanku ini sahabat baik ayahmu. Aku berjuluk petani Berambut Putih. Sedangkan dia Pendekar Jari Maut."

"Ah...!" Brawijaya berseru kaget. Sekujur tubuhnya mendadak lemas begitu mengetahui siapa orang-orang yang berdiri di hadapannya. Ayahnya, Naga Sakti Berwajah Hitam telah menceritakan tentang tokoh-tokoh ini. "Maafkan saya, Kek," ucap Brawijaya terbata. "Bukan maksud saya bertindak kurang ajar. Saya tidak mengenal Kakek berdua. Saya rela menerima hukuman atas kelancangan sikap saya tadi...."

"Lupakanlah, Brawijaya," sambut Pendekar Jari Maut. Amarah yang melanda hatinya pupus melihat sikap pemuda bertahi lalat ini. Pendekar Jari Maut memang memiliki watak agak ganjil. Betapapun marahnya, apabila orang yang bersangkutan telah meminta maaf, amarahnya akan pupus. "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau tidak bersalah. Hanya kesalah-pahaman saja. Jadi, tidak perlu ada hukuman."

Petani Berambut Putih tersenyum. Brawijaya merasa lega. Kekagumannya kepada kedua kakek ini semakin membesar.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Brawijaya? Tamu-tamu agung telah datang, mengapa kau tidak persilakan mereka masuk?"

Seruan yang tidak keras tapi terdengar jelas oleh ketiga orang itu cukup mengejutkan. Ketiganya tidak tahu ada orang lain yang mengetahui keributan itu. Wajah Brawijaya merah karena malu. Dia kenal betul suara itu. Suara ayahnya, Naga Sakti Berwajah Hitam.

"Ayahku benar. Mari silakan masuk, Kek. Maaf, aku ternyata bukan seorang tuan rumah yang baik."

Petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut saling berpandangan. Diam-diam mereka mengagumi kemampuan Naga Sakti Berwajah Hitam. Kedua kakek ini tahu Naga Sakti Berwajah Hitam tidak meninggalkan tempat kediamannya. Dengan langkah tenang namun hati berdebar tegang, petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut mengikuti Brawijaya yang mendahului menuju ketempat kediaman ayahnya.

Kalau saja tidak sedang menghadapi masalah, petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut akan merasa senang mengunjungi Naga Sakti Berwajah Hitam. Baru beberapa langkah, kedua kakek ini saling bertatapan kembali. Dalam adu pandang itu mereka bersepakat untuk menentang Naga Sakti Berwajah Hitam, kalau perlu mengadu nyawa, apabila tokoh itu benar telah melakukan tindakan seperti yang diceritakan Dirgantara!

EMPAT

Petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut sedikit pun tidak tersenyum kendati seorang kakek berpakaian kulit ular dan berwajah hitam mengembangkan senyum lebar. Kakek itu duduk di lantai teras pondoknya yang cukup luas. Sehelai tikar dari daun pandan dibentangkan sebagai alas.

Brawijaya memberi hormat pada Naga Sakti Berwajah Hitam lalu segera duduk di belakang kakek itu. Pendekar Jari Maut dan petani Berambut Putih tetap berdiri tegak. Kedua kakek ini berdiri di depan teras.

"Tamu-tamu agung, mengapa masih tetap berdiri? Di antara kawan haruskah ada peradatan? Atau, aku harus mempersilakan kalian? Kau kawanku Pendekar Jari Maut, mengapa wajahmu ditutupi mendung?" Naga Sakti Berwajah Hitam tetap mengembangkan senyum lebar. Dia seperti tidak melihat ketegangan yang menyelimuti wajah kedua kakek yang berdiri di hadapannya.

"Naga Hitam," Pendekar Jari Maut membuka suara. Wajahnya tampak kaku. Sinar matanya dingin. "Kita telah lama bersahabat. Bahkan, kita mempunyai perjanjian yang akan mengekalkan persahabatan itu. Maka, maukah kau menjawab pertanyaanku dengan jujur?"

"Katakanlah, Jari Maut. Aku tetap sahabatmu. Aku berjanji akan menjawab pertanyaanmu dengan jujur. Tapi dengan syarat, asal aku mampu menjawabnya," sahut Naga Sakti Berwajah Hitam dengan tersenyum.

Kakek berwajah hitam ini sebenarnya telah bisa menduga dua tokoh besar dunia persilatan itu datang dengan membawa masalah yang tidak menyenangkan. Dia telah mendengar sedikit keributan yang terjadi di antara muridnya dengan kedua kakek itu. Tapi Naga Sakti Berwajah Hitam ingin mengetahui langsung dari kedua tamunya.

"Apakah kau telah bertarung dengan dua orang muda kemudian menawan seorang di antara mereka? Asal kau tahu saja, orang yang tertawan itu adalah putri tunggalku. Namanya Jumini?" tanya Pendekar Jari Maut.

"Tidak, Jari Maut. Jangankan bertempur, bertemu orang lain pun aku belum pernah," jawab Naga Sakti Berwajah Hitam dengan sungguh-sungguh.

Pendekar Jari Maut dan petani Berambut Putih bertukar pandang sesaat. Naga Sakti Berwajah Hitam tidak berkata bohong. Mereka merasakan nada kesungguhan dalam ucapan kakek berwajah hitam itu.

"Apakah kau tidak mempunyai anak lain lagi? Maksudku, seorang pemuda selain Brawijaya?" Petani Berambut Putih ikut berbicara.

Naga Sakti Berwajah Hitam menggeleng. "Brawijaya adalah anak tunggalku."

"Bagaimana ini, petani?" tanya Pendekar Jari Maut penuh tuntutan. Dia ikut-ikutan menjatuhkan tuduhan pada Naga Sakti Berwajah Hitam karena pengaduan kakek berambut putih itu.

"Muridku tidak mungkin berbicara sembarangan," tandas Petani Berambut Putih, membela diri.

Naga Sakti Berwajah Hitam tersenyum lebar. "Aku yakin hal itu, petani. Kurasa aku tahu penyebab Kesalah pahaman ini. Kalian lebih baik duduk dulu. Kita berbincang-bincang dengan nyaman. Aku ingin menceritakan sesuatu pada kalian. Aku yakin cerita yang akan kuutarakan ini merupakan jawaban atas kesalah-pahaman ini."

Dengan sedikit malu karena sikap lancang mereka, petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut memenuhi ajakan kakek berwajah hitam. Kedua kakek ini tidak mempunyai pilihan lain.

"Nah! Bukankah begini lebih enak?" seloroh Naga Sakti Berwajah Hitam, begitu petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut duduk bersila di depannya. petani Berambut Putih dan Pendekar JariMaut hanya tersenyum masam.

"Sekarang, ceritakan semua kejadiannya dengan jelas. Aku berhak mendengarnya. Bukankah aku yang terkena fitnah itu?" Naga Sakti Berwajah Hitam kembali membuka percakapan.

Petani Berambut Putih tanpa ragu-ragu menceritakan semuanya. persis seperti yang diceritakan Dirgantara kepadanya. Tidak ada yang ditambah atau dikurangi. Naga Sakti Berwajah Hitam dan Brawijaya mendengarkan dengan penuh minat. Pendekar Jari Maut bersikap tidak peduli. Kakek ini telah mendengar cerita itu sebelumnya.

"Hhh...!" Naga Sakti Berwajah Hitam menghela napas berat ketika Petani Berambut Putih menyelesaikan ceritanya. "Sebenarnya, aku tidak ingin menceritakan hal ini. Tapi, karena ada masalah ini hal yang seharusnya kurahasiakan terpaksa kuungkapkan. Kau pun boleh ikut mendengarnya, Brawijaya." Naga Sakti Berwajah Hitam menoleh kearah Brawijaya.

Tidak ada yang menanggapi ucapan Naga Sakti Berwajah Hitam. petani Berambut Putih, Pendekar Jari Maut, maupun Brawijaya hanya membisu dan bersikap sebagai pendengar yang baik.

"Aku mempunyai seorang saudara kembar. Dia bernama Guntar. Aku sendiri bernama Gundar. Sayang, Guntar menempuh jalan yang salah. Dia memang memiliki watak yang kurang baik. Puluhan tahun lalu bersama adik seperguruannya dia mengacaukan dunia persilatan. Julukan mereka Sepasang Iblis Penghilang Nyawa. Mereka merajai daerah timur dan selatan."

Petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut kelihatan terkejut mendengar julukan yang disebutkan Naga Sakti Berwajah Hitam. Julukan itu adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi dunia hitam yang tidak kalah tenar dengan Setan Gila atau Jerangkong Penjagal Nyawa. Sungguh tidak disangka salah seorang dari Sepasang Iblis Penghilang Nyawa adalah saudara Naga Sakti Berwajah Hitam.

"Kemenangan demi kemenangan membuat Sepasang Iblis Penghilang Nyawa tinggi hati. Mereka menyatroni Begawan Narasoma untuk mengadu kesaktian. Kali ini mereka menelan kenyataan pahit. Begawan Narasoma terlalu kuat. Mereka berhasil dikalahkan." Naga Sakti Berwajah Hitam menuturkan ceritanya dengan penuh penyesalan. "Sejak saat itu nama besar Sepasang Iblis Penghilang Nyawa lenyap. Tidak kusangka kalau kemudian Guntar tinggal di gunung ini. Bahkan, memakai julukanku. Semakin lama Guntar tampaknya semakin tersesat..."

Petani Berambut Putih, Pendekar Jari Maut, dan Brawijaya terpaku mendengar akhir cerita Naga Sakti Berwajah Hitam. Dua kakek itu sekarang baru sadar mengapa julukan Sepasang Iblis Penghilang Nyawa lenyap begitu saja.

Naga Sakti Berwajah Hitam tersenyum pahit. Dengan sinar mata sayu ditatapnya wajah petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut berganti-ganti. "Meskipun bukan aku yang melakukan tindakan seperti yang kalian tuduhkan, tapi sebagai saudara Guntar aku ikut bertanggung jawab."

"Sekarang aku tidak bisa mengharapkan terwujudnya perjanjian kita dulu, Jari Maut. Kalau kau hendak membatalkannya, aku rela," ujarNaga Sakti Berwajah Hitam.

"Omongan macam apa itu, Naga Hitam!" sergah Pendekar Jari Maut. "Apa pun yang terjadi, seandainya putriku selamat perjodohan antara putriku dan putramu tetap akan kupenuhi."

"Terima kasih atas pengertianmu, Jari maut," ujar kakek berwajah hitam.

Naga Sakti Berwajah Hitam maupun Pendekar Jari Maut tidak menduga kalau percakapan mereka yang terakhir membuat Petani Berambut Putih dan Brawijaya merasakan bumi bagai berguncang. Brawijaya tidak tahu dirinya telah dijodohkan. Bagaimana mungkin dia menikah dengan seorang gadis yang belum pernah dilihatnya? Bagaimana kalau dia tidak suka? Ngeri hati Brawijaya membayangkannya.

Petani Berambut Putih tak kalah gelisahnya. Semula dia sudah bermaksud mengajukan perjodohan antara putri Pendekar Jari Maut dengan muridnya, Dirgantara. Bukankah perjodohan antara Pendekar Jari Maut dan Naga Sakti Berwajah Hitam terancam bubar? Sungguh tidak disangka kenyataannya akan seperti ini!

"Maafkan aku, Jari Maut, petani. Bukannya hendak mengusir kalian, tapi saat ini aku ingin menyendiri. Berita yang kalian bawa terlalu mengejutkan. Kuharap kalian...."

"Tak perlu khawatir, Naga Hitam. Kami mengerti," potong Pendekar Jari Maut, buru-buru.

"Benar. Lagi pula kami ingin mencari saudaramu itu." Petani Berambut Putih tak mau ketinggalan.

"Syukurlah kalau demikian. Brawijaya, kau ikut mereka membebaskan calon istrimu dari tahanan pamanmu. Hati-hatilah. Jangan segan-segan meminta petunjuk pada mereka berdua," pesan Naga Sakti Berwajah Hitam pada putranya. "Hanya ini yang dapat kulakukan, Jari Maut!"

"Lalu..., bagaimana dengan Ayah? Siapa yang akan menemani Ayah nanti?" Brawijaya mencoba mengutarakan keberatannya!

"Tidak usah kau pikirkan hal itu. Kau tidak usah khawatir. Apa pun yang terjadi kau harus pergi! Orang yang ditahan oleh pamanmu adalah calon istrimu."

"Tapi, Ayah." Brawijaya masih mencoba membantah.

"Tidak ada alasan lagi, Brawijaya. Sekarang juga kau harus pergi!" tandas Naga Sakti Berwajah Hitam, tegas.

Brawijaya tidak berani membantah lagi. Dia merasakan ucapan ayahnya tidak menghendaki bantahan. Meski berat, mau tidak mau tugas itu harus dilaksanakannya.

"Cepatlah berkemas, Brawijaya. Aku sudah ingin menyendiri," Naga Sakti Berwajah Hitam tidak sabar melihat pemuda berpakaian hitam garis-garis masih duduk di tempatnya.

"Kalau begitu kami akan segera mencari Guntar, Naga Hitam. Maaf atas kesalah-pahaman yang telah terjadi." Petani Berambut Putih mohon diri.

"Akulah yang seharusnya minta maaf, petani." Naga Sakti Berwajah Hitam tersenyum pahit.

Petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut bergegas meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, Brawijaya menyusul. Pemuda ini mendapat tugas dari ayahnya untuk menyelamatkan calon istri yang belum pernah dikenal wajahnya.

* * *

"Aku akan memenuhi janjiku. Kau akan kujadikan manusia sakti. Bahkan, tersakti di kolong langit," ujar Begawan Narasoma tanpa semangat. Batin kakek ini dipenuhi rasa duka yang sangat.

Lanang tidak berkata apa-apa. perasaan gembira yang sangat melanda hatinya. Maksud hatinya untuk menjadi orang sakti sebentar lagi akan terkabul. Betapa menyenangkan. Sungguh pun demikian sikapnya terlihat biasa. Dia duduk bersila di depan Begawan Narasoma.

Kakek sakti yang ternyata ayah Suri itu duduk bersila di sebongkah batu setinggi tiga kaki. Suri berdiri di salah satu sisi ruangan sambil tersenyum-senyum ganjil. Sepasang matanya berputar liar.

"Mungkin sedikit perlu kuberitahu padamu, Lanang," kata Begawan Narasoma lagi. "Kemampuan yang akan kau miliki berada di atas Suri. Telur Elang perak khasiatnya lebih besar bila dipergunakan oleh lelaki. Tubuhmu tidak akan mampu dilukai senjata apa pun. Tenaga dalammu meningkat pesat. Segala macam racun tidak akan mempan terhadapmu. Kau pun akan awet muda. Tapi ingat, kau harus menjadi suami Suri. Mengerti?!"

"Mengerti, Kek." Meski di dalam hatinya tidak setuju, Lanang menganggukkan kepala.

"Bagus! Sekarang kau bersiap menerima anugerah ini."

"Boleh saya mengajukan pertanyaan, Kek?" tanya Lanang hati-hati. Pemuda ini tidak berani bertindak terlalu lancang. Khawatir Begawan Narasoma memiliki sifat aneh! Bisa saja karena perasaan tidak senang kakek itu membunuhnya. Memang, rasa cinta Suri cukup untuk menjadi jaminan. Tapi, siapa tahu?

"Hmh...!" Begawan Narasoma menggumam. Tarikan wajahnya menyiratkan perasaan tidak senang. "Katakan cepat sebelum aku berubah pikiran!"

Lanang merasakan tenggorokannya tercekik mendapat sarnbutan yang datar dan penuh rasa tidak senang. "Kalau hanya demikian kehebatan Telur Elang perak, tetap saja aku tidak akan bisa menjadi jago nomor satu di dunia persilatan!" ujar Lanang memberanikan diri.

"Apa alasanmu sehingga bisa mengambil kesimpulan dungu seperti itu, Pemuda Dungu?!" suara Begawan Narasoma mulai meninggi.

"Bukankah hanya itu saja yang kudapat? Tanpa ilmu silat tinggi, bagaimana mungkin aku dapat mengalahkan lawan yang tangguh? Atau, aku harus terus mengadu tenaga dalam, berkelahi seperti babi dan banteng yang hanya mengandalkan kekuatan?"

"Memang hanya demikian khasiat Telur Elang perak. Tapi, apabila mau berusaha kau akan menjadi tokoh tak terkalahkan!"

"Aku mulai tidak mengerti dengan keteranganmu, Kek?" Lanang mengernyitkan dahi. Bingung.

"Dengar, Pemuda Bodoh! Khasiat Telur Elang perak masih ada lagi. Ini tak kalah penting dengan yang kusebut sebelumnya. Setelah menelan sebutir telur, kau akan memiliki ingatan luar biasa tajam. Hanya dengan sekali lihat kau bisa langsung hafal dan terus mengingatnya. Bahkan, sampai bertahun-tahun! Dengan keistimewaan ini dan ilmu meringankan tubuh serta tenaga dalam yang telah meningkat pesat, ilmu apa pun dapat kau pelajari dalam waktu singkat!"

Lanang termangu. Pemuda pesolek ini tidak menyangka khasiatTelur Elang Perak akan demikian menakjubkan!

"Kau ingin segera menelan telur ini atau terus mengajukan pertanyaan?!" Ketus dan dingin ucapan yang dikeluarkan Begawan Narasoma.

"Telur itu, Kek. pertanyaanku sudah tidak ada lagi," jawab Lanang cepat dengan suara bergetar. Karena perasaan tegang sebab sebentar lagi akan mendapat kesaktian juga karena perasaan gentar melihat sikapayah Suri.

"Tangkap ini! Pecahkan kulitnya dan telan semua isinya!" Begawan Narasoma melemparkan sebuah benda bulat panjang berwarna perak. Benda itu diambil dari saku bajunya yang besar dan lebar.

Dengan jantung berdetak amat cepat Lanang mengulurkan tangan menyambuti. Tahu kalau Begawan Narasoma bukan orang sembarangan, pemuda pesolek ini mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Lanang tidak berani memandang remeh kendati kakek itu melemparkannya dengan sembarangan.

"Ah...!" Lanang tanpa sadar mengeluarkan seruan kaget. Dia seperti bukan menangkap sebuah benda kecil, melainkan sebongkah batu sebesar gajah! Tubuh Lanang terjengkang kebelakang dan terguling-guling.

Tadi ketika menyambuti telur itu, Lanang berdiri dengan mempergunakan kedua lututnya. Keringat dingin membasahi wajah Lanang yang ternyata anak pungut Guntar. Hampir saja benda pusaka berkhasiat besar itu hancur. Beruntung, meskipun terguling-guling Lanang masih ingat untuk mengangkat tangannya yang menggenggam telur ajaib tinggi-tinggi hingga tidak tergiling tubuhnya.

Keinginan yang besar untuk menjadi tokoh sakti tanpa tanding membuat Lanang berbuat apa pun demi terwujudnya cita-cita itu. Dengan sepasang mata melotot seperti hendak keluar dan tangan gemetar dilubanginya kulit telur. Telur itu ternyata mempunyai kulit yang luar biasa keras. Tak kalah keras dengan batu! Mungkin tak akan pecah bila jatuh ke tanah! Lanang terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk bisa melubangi kulit telur.

Sekarang Lanang tahu mengapa Begawan Narasoma berani melemparkan telur. Bukan karena yakin Lanang mampu menangkapnya, namun karena tahu telur itu tak pecah kendati jatuh! Seluruh perhatian Lanang kini dicurahkan pada Telur Elang Perak. Dengan penuh semangat dan tanpa mempedulikan bau amis yang menyeruak, Lanang menelan isi telur.

Dalam sekejap, isi telur telah berpindah keperut Lanang. Semula tidak terjadi apa. Tapi sesaat kemudian, pemuda pesolek ini merasakan golakan keras pada perutnya. Seakan di dalam perut ada sesuatu yang ingin keluar! Semakin lama golakannya semakin hebat! Hawanya pun berganti-ganti. Sebentar panas sebentar dingin. Lanang kelabakan! Dia khawatir bukan main. Tidak salahkah Begawan Narasoma? Siapa tahu telur ini bukan telur mukjizat melainkan racun mematikan!

Semakin lama rasa yang diderita Lanang semakin menghebat! Golakan itu terlihat jelas. Aneh dan mengerikan! Daging dan kulitnya terangkat naik turun bagai ada makhluk yang tengah merayap di bawah kulit. Itu terjadi di seluruh tubuh Lanang! Tidak hanya di perut. Bukan itu saja yang terjadi. Kulit tubuh Lanang memerah! Semakin lama semakin merah seperti udang direbus! Warna itu sampai kematanya. Sekujur tubuh Lanang mengepulkan uap tipis!

Ketika Lanang hampir tidak kuat bertahan, perlahan-lahan hawa panas dalam tubuhnya menurun dan kembali seperti sediakala. Setelah itu, hawa dingin yang ganti menyerang. Tidak hanya sampai membuat kulit Lanang menghijau, tapi juga pemuda pesolek itu bersedakap untuk lebih menghangatkan badan! Bunyi bergemeletukan terdengar ketika gigi anak pungut Guntar beradu satu sama lain.

Lanang menatap Begawan Narasoma dengan sorot memohon pertolongan. Tapi, kakek itu berdiam diri bagai patung. Semua kejadian itu disaksikannya dengan tatapan dan wajah dingin. Akhirnya, setelah beberapa saat lamanya tersiksa, Lanang tidak kuat bertahan.Pemuda pesolek ini jatuh pingsan!

Begawan Narasoma tidak melakukan tindakan apa pun. Lanang dibiarkan tergeletak di tanah. Suri yang merasa khawatir dan ingin mendekati Lanang jadi mengurungkan maksudnya. Begawan Narasoma membentaknya. Suri dilarang ikut campur.

* * *

LIMA

"Ayahmu memiliki kepandaian tinggi, Suri." Ucapan itu dikeluarkan Lanang ketika pemuda pesolek itu tengah berjalan-jalan bersama Suri. Mereka berada cukup jauh dari tempat tinggal Begawan Narasoma.

"Hi hi hi...! Tentu saja, Kak" Suri cengengesan. "Aku yakin beliau jago nomor satu di dunia persilatan!"

"Tentu ayahmu memiliki banyak ilmu tinggi," ujar Lanang lagi. Ia ingin mencari keuntungan dengan mengajukan pertanyaan itu.

Suri mengangguk dengan lagak yang membuat Lanang menjadi muak.

"Apakah ilmu-ilmunya yang tinggi telah kau miliki?" tanya Lanang pada pokok permasalahan.

Suri menghentikan langkah. Matanya yang memiliki sorot orang kurang waras menyapu wajah Lanang penuh selidik. Ada sinar kecurigaan dalam tatapannya. Suri merasa curiga. Itu memang sudah diperhitungkan. Pemuda pesolek itu tahu Suri meskipun gila masih memiliki kesadaran. Gadis ini masih bisa mengetahui maksud seseorang!

"Apa maksud pertanyaanmu, Kak?" tanya Suri tajam. "Tentu saja aku menguasai semua ilmu yang dimiliki Ayah. Beliau mewariskannya padaku karena akulah putri satu-satunya."

"Aku hanya ingin mengetahui, Suri. Maukah kau memainkannya di depanku? Aku ingin sekali melihatnya."

"Tapi, Kak, ilmu-ilmu itu milik keluarga. Tidak boleh dipelajari orang lain!" bantah Suri. Ia tidak segera memenuhi keinginan Lanang seperti biasanya.

"Aku hanya ingin melihatnya, Suri. Aku ingin tahu sampai di mana kedahsyatannya." Lanang yang memiliki kecerdikan luar biasa segera memperbaiki kata-katanya. "Tapi, yang lebih penting aku ingin melihatmu memainkan ilmu-ilmu itu. Orang semanis dan secantik kau tentu dapat memainkannya dengan indah. Kau akan terlihat lebih menawan karenanya."

Sikap tegang Suri berkurang. Malah, wajahnya bersemu merah karena perasaan malu dan bangga. Wanita mana yang tidak senang dipuji? Apalagi Suri. Sudah memiliki otak kurang waras, kemudian dipuji oleh orang yang disukainya. Hidungnya kembang kempis dan wajahnya tertunduk menekuri tanah.

"Benarkah itu, Kak?" tanya Suri tanpa berani mengangkat wajah. Kaki kanannya digerakkan menggurat-gurat tanah.

Lanang tersenyum penuh kemenangan. Dia yakin siasatnya akan berhasil. "Tentu saja, Suri. Mana mungkin aku berbohong pada gadis secantik kau?"

Perasaan Suri semakin melambung ke awang-awang. "Tapi, Kak, aku takut dimarahi Ayah. Bukankah kau mempunyai kemampuan luar biasa setelah makan Telur Elang Perak? Meski hanya melihat, kau akan langsung dapat menguasai," Suri membantah lagi ketika teringat ayahnya. Tapi, bantahan yang dilakukannya sangat lemah. Jauh berbeda dengan sebelumnya.

"Kita usahakan jangan sampai ayahmu tahu. Lagipula, aku kan sebenarnya bukan orang lain. Aku calon suamimu. Itu berarti aku termasuk anggota keluarga. Dengan memiliki ilmu keluarga, bukankah aku akan dapat melindungimu dari bahaya? Sekarang aku belum merasa tenang. Orang secantik dirimu pasti menjadi incaran banyak orang. Bagaimana nanti aku menyelamatkanmu dari mereka?"

Suri semakin bimbang.

"Kalau kau benar mencintaiku dan mengharapkanku menjadi suamimu, pasti kau akan meluluskan permintaanku, Suri. Atau, kau sebenarnya tidak mencintaiku?" Lanang mengeluarkan gebrakan terakhir dari siasatnya yang telah diatur rapi.

"Tentu saja aku mencintaimu, Kak!" tandas Suri, mantap dan cepat.

"Kalau benar demikian, tunggu apa lagi?" sambut Lanang yang sudah memperhitungkan jawaban itu.

Suri terdiam sejenak. Akhirnya, kepalanya dianggukkan juga. Terlihat lambat dan sedikit ragu-ragu. Lanang tahu pasti Suri masih merasa berat. Tapi, tanggapan yang diberikan putri Begawan Narasoma itu menggembirakan hatinya. Otaknya yang cerdik langsung mengambil keputusan untuk menghilangkan beban batin Suri.

Dengan menekan rasa muaknya Lanang menghampiri Suri. Dipegangnya kedua pergelangan tangan gadis itu. Kemudian, tubuh Suri dipeluknya. Suri mengeluarkan keluhan tertahan. Gadis itu menyambut pelukan Lanang dengan erat.

"Biarlah, Kak. Biarlah Ayah marah padaku. Asal, kau mencintaiku," ucap Suri kemudian.

Lanang tersenyum dalam hati. Jalan untuknya menjadi orang sakti telah membentang lebar. Pemuda pesolek ini mempunyai calon korban apabila keinginannya tercapai. Dewa Arak! Pemuda yang telah membuat rencananya berantakan!

"Kurasa saatnya sudah tiba, Suri," bisik Lanang mesra di telinga gadis berpakaian kembang-kembang itu. "Masih banyak waktu untuk kita untuk bermesraan."

Suri merenggangkan pelukannya. Dengan wajah berseri-seri dan sepasang mata berbinar-binar ditatapnya wajah Lanang. Tidak ada lagi keraguan di hatinya untuk memenuhi permintaan pemuda pesolek itu. Masih dengan senyum mengembang di bibir Suri memainkan ilmu-ilmu keluarganya.

Lanang memperhatikan dengan mata tidak berkedip. Lanang harus mengakui ilmu-ilmu yang dimainkan Suri memang luar biasa. Tidak sia-sia dia menekan segala perasaan muaknya! Semua gerakan Suri dicatat dengan otaknya yang telah memiliki daya ingat sangat tinggi.

* * *

"Tunggu sebentar, Kakang. Aku ingin mencari kayu untuk menyangga tulang lenganmu yang terlepas. " Melati menurunkan tubuh Arya di dekat kerimbunan batang bambu. Sebuah tempat yang tersembunyi. Melati tidak ingin terjadi hal-hal yang tak diinginkan terhadap kekasihnya.

"Tenangkanlah hatimu, Melati. Tidak akan terjadi apa-apa terhadapku!" Arya berusaha menenangkan gadis berpakaian putih itu.

Melati tersenyum manis. Ia segera mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Arya menatapnya hingga tubuh kekasihnya hilang tertutup kerimbunan pohon. Arya tersenyum mengingat pertemuannya dengan Melati. Rasa sakit yang mendera tubuh tidak dipedulikannya. Tidak sabar ditunggunya kemunculan gadis itu. Waktu berlalu demikian lambat. Menunggu memang pekerjaan yang paling membosankan. Melati tidak kunjung kembali. Arya mulai gelisah.

"Kemana saja Melati?" gumam Arya, khawatir. "Tidak mungkin mencari kayu saja demikian lamanya." Hati Arya merasa tidak enak. Dia khawatir terjadi sesuatu atas diri kekasihnya. Ingin rasanya Arya meninggalkan tempat itu dan mencari Melati. Tapi, itu tidak bisa dilakukan. Lukanya terlalu parah. Arya hanya dapat menunggu dengan gelisah.

Bunyi langkah yang tertangkap telinganya menimbulkan harapan di hati pemuda berambut putih keperakan ini. Dahinya berkernyit ketika mendengar lebih jelas. Ada dua pasang kaki bergerak mendekati. Arya tidak punya pilihan lain kecuali diam dan menunggu. Dia berharap orang-orang yang datang tidak berniat jahat.

"Arya...!"

Pemuda berambut putih keperakan itu menoleh. Seseorang menyapa dirinya. Nadanya melengking tinggi. Suara perempuan. Rasanya dia mengenalnya. Arya menoleh. Dua pemilik langkah itu memang perempuan. Dua-duanya dikenal Arya. Linggar dan Jumpena alias Jumini! Bagai berlomba, Linggar dan Jumini melesat kearah Arya. Kedua gadis itu tampak kaget melihat keadaan pemuda berambut putih keperakan itu.

"Apa yang terjadi, Arya? Kau terluka oleh Naga Sakti Berwajah Hitam?" tanya Jumini yang sempat melihat pertempuran Dewa Arak dengan tokoh yang sebenarnya bernama Guntar itu.

Linggar yang mempunyai perasaan lain terhadap Arya segera memeriksa luka pemuda itu. Linggar tidak merasa risih sedikit pun melihat tingkah Jumini yang kelihatan akrab.

"Benar." Pemuda berambut putih keperakan itu mengangguk "Kau sendiri, bagaimana bisa berada di sini dan bersama Nona Linggar? Bukankah kau bersama pemuda pesolek itu?"

"Berkat Kak Linggar aku bebas dari cengkeraman manusia jahat itu!" jawab Jumini dengan sikapnya yang biasa, lincah.

Arya menatap Linggar. Gadis berpakaian hitam itu masih berdiri satu tombak dari Arya. Jumini sudah berjongkok memeriksa keadaan dirinya. Arya mengeluh dalam hati. Dia melihat wajah Linggar tidak seperti biasanya. Pandangan Arya yang tajam bisa mengetahui kalau Linggar merasa tidak senang terhadap Jumini.

Tatapan gadis berpakaian hitam itu telihat penuh rasa iri. Adakah ini mempunyai hubungan dengan sikap Jumini terhadapnya? Bila itu benar, berarti Linggar ada hati terhadapnya. Arya tidak menginginkan hal itu.

"Mungkin kau mau berkenalan dengan Kak Linggar, Arya," celoteh Jumini.

Arya tersenyum. Linggar pun demikian. Sungguh lucu, mereka yang telah saling kenal sebelumnya hendak diperkenalkan oleh Jumini. Jumini tersenyum lebar. Dia melihat Arya tersenyum dan mengira pemuda berambut putih keperakan itu merasa gembira.

"Kau senang, Arya? Tentu saja senang, bukan? Siapa yang tidak gembira berkenalan dengan seorang gadis secantik Kak Linggar? Tapi ingat, Arya. Mencintainya boleh saja. Kalau kau sampai mengecewakan dan menyakiti hatinya, kau akan berhadapan denganku! Tak seorang pun kubiarkan menyakiti hati Kak Linggar!" tandas Jumini dengan suara bersungguh-sungguh.

Ucapan Jumini membuat Arya dan Linggar menjadi salah tingkah. Bagi Linggar ucapan Jumini mengenai sasaran dengan telak. Sedang Dewa Arak merasa tak enak. Pemuda ini khawatir Linggar salah terima dan mengira ia menyukai gadis itu.

"Kami sudah saling mengenal sebelumnya, Jumini," jawab Arya, pelan. Dia tidak menyalahkan sikap Jumini yang ceplas-ceplos.

Wajah Jumini berubah hebat. Dia tampak gembira sekali. "Benarkah demikian, Kak Linggar?" tanya Jumini sambil membalikkan tubuh. "Mengapa sejak tadi kau tidak bicara? Ah! Maafkan tindakanku. Kau pasti cemburu tidak kebagian memeriksa luka kenalanmu ini. Silakan kau mengobatinya, Kak."

Jumini bangkit berdiri. Ditariknya tangan Linggar untuk berjongkok dan memeriksa luka Arya. Wajah Linggar dan Arya merah padam.

"Kau ini memang pintar menggoda orang, Jumini," ucap Linggar masih dengan wajah merah. Sinar matanya tidak menyiratkan rasa tidak suka lagi.

"Bersenang-senanglah kalian berdua, aku ingin mencari sesuatu yang dapat kita makan." Tanpa memberi kesempatan pada Arya dan Linggar untuk memberi jawaban, Jumini melesat meninggalkan tempat itu.

Sepeninggal Jumini suasana menjadi hening. Godaan Jumini membuat Arya dan Linggar merasa canggung.

"Bagaimana kau bisa menolong Jumini, Linggar?" Arya membuka percakapan untuk menghilangkan perasaan tidak enak. Suaranya terdengar agak serak.

"Hanya kebetulan saja, Arya." Linggar mengangkat kepalanya yang sejak tadi ditundukkan. Ditatapnya sekujur wajah Arya dengan penuh perasaan kagum.

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sinar mata Linggar membuatnya merasa jengah. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan ini gelisah. Melati sejak tadi belum juga kembali. Apa yang terjadi dengannya? Ingat akan Melati membuat Arya bingung. Dia ingin Melati cepat datang agar bisa diketahui gadis itu selamat. Di lain pihak, Arya pun ingin kedatangan Melati agak terlambat. Apabila gadis yang berwatak keras itu melihat keberadaan Linggar di dekatnya dan dalam suasana yang demikian intim, perasaan cemburunya akan muncul.

"Ada apa, Arya? Kau kelihatan gelisah. Kau tidak suka aku berada di dekatmu?" tanya Linggar yang sejak tadi mengawasi gerak-gerik Arya. "Kalau begitu aku akan menjauh."

"Tidak, Linggar!" Arya buru-buru menanggapi. Khawatir terjadi salah paham. Kendati Linggar memiliki watak yang tenang dan tidak bisa disamakan dengan Jumini yang hanya menuruti perasaan, Arya tetap bersikap hati-hati. Watak perempuan sukar untuk diselami.

"Kenapa kau kelihatan gelisah sekali, Arya?" kejar Linggar tak mau menyerah.

"Aku..., aku merasa tidak nyaman dengan luka-lukaku ini." Arya berhasil juga menemukan jawaban asal-asalan.

Linggar berseru kaget. "Maaf. Aku sampai lupa dengan keadaanmu!" Gadis berpakaian hitam ini mencari dua batang kayu. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi Linggar melepas sabuknya. "Tahan sedikit, Arya. Aku ingin menarik tulang yang patah dan menempatkannya pada sambungannya."

"Silakan, Linggar."

Linggar segera melakukan tugasnya. Menarik tulang yang terlepas dan menempatkannya pada sambungan. Kemudian, dia memasang dua batang kayu di sisi kanan dan kiri mengikatnya untuk menjaga agar tulang tidak bergerak-gerak.

"Bagaimana rasanya, Arya? Sakit?" tanya Linggar dengan mulut menyunggingkan senyum.

"Sedikit." Arya menggeleng.

"Tak lama lagi ikatan itu akan kubuka kembali. Obat yang kubalurkan akan membuat tulang-tulangmu cepat tersambung. Obat itu pemberian guruku," jelas Linggar tanpa diminta.

Arya hanya tersenyum. Dia tahu Linggar tidak berdusta. Hal yang lumrah bagi tokoh persilatan memiliki obat-obat mujarab. Dirasakan hawa sejuk dan nyaman meresap dari bagian yang dibalurkan obat.

Suasana menjadi hening. Linggar maupun Arya tidak berbicara lagi. Masing-masing tenggelam dalam alun pikirannya. Tambahan lagi, bahan untuk diperbincangkan belum mereka ketemukan.

"Kurasa sudah waktunya membuka ikatan itu." Linggar memecahkan keheningan yang menyelimuti. Dengan cepat dilakukannya apa yang diucapkannya itu.

"Apa yang tengah kau lakukan, Linggar?!"

Linggar sampai terjingkat kaget ketika baru saja menyingkirkan potongan kayu dari tangan Arya. Dikenalinya betul suara itu. Suara yang dikeluarkan dengan nada kemarahan. Linggar menoleh kearah asal teguran. Wajahnya berubah melihat sosok yang amat dikenalnya. Sosok itu menatapnya dengan sinar mata berapi-api!

ENAM

Arya yang juga mendengar seruan ikut mengalihkan perhatian. Wajah pemuda berambut putih keperakan itu langsung berubah. Sosok itu mengenakan pakaian longgar merah. Wajahnya tidak terlihat karena tertutup selubung kain merah. Tangannya pun terbungkus sarung tangan merah. Yang terlihat hanya sepasang matanya. Kehadiran sosok ini saja sudah cukup mengejutkan Arya. Terlebih teguran yang dikeluarkan sosok itu. Sosok yang bukan lain Tengkorak Darah ini mengenal Linggar! Sepertinya ada hubungan erat antara mereka.

"Guru...!" Linggar bangkit dan memberi hormat.

Arya menghela napas berat. Dugaannya tidak meleset. Linggar ternyata murid Tengkorak Darah. Arya tidak merasa heran jika Tengkorak Darah murka. Pasti karena pertolongan Linggar terhadapnya. Arya yakin Tengkorak Darah merasa sakit hati atas campur tangannya ketika menolong Jumini dan Dirgantara. (Untuk jelasnya mengenai hal ini silakan baca episode Iblis Buta).

Tengkorak Darah mendengus. Tenaga dalamnya dikerahkan. Bunyi berkerotokan bagai tulang-tulang berpatahan langsung terdengar. Pakaian longgar yang dikenakan Tengkorak Darah bergelombang keras. Angin yang luar biasa keras berhembus kearah Linggar.

Linggar terpekik kecil ketika tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling. Ketika berhasil bangkit wajah gadis berpakaian hitam ini dipenuhi perasaan heran.

"Ada apa, Guru? Apakah Guru marah padaku?" tanya Linggar tidak mengerti.

"Mengapa?!" Tengkorak Darah mengulang sebagian perkataan Linggar. "Kau ini memang bodoh atau sengaja mengolok-olokku, Linggar?!"

"Apa maksudmu, Guru? Aku benar-benar tidak mengerti," tanya Linggar hati-hati.

Tengkorak Darah menggertakkan gigi. Tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi ini hampir tidak kuat menahan amarahnya. "Apakah kau tidak ingat mengapa aku menyuruhmu turun gunung?!" tanya Tengkorak Darah dengan suara menggeledek.

"Tentu saja aku ingat, Guru. Aku tengah berusaha melaksanakan perintah Guru."

"Kau ingat, Linggar?!" Semakin meninggi suara Tengkorak Darah. "Aku tidak yakin dengan jawabanmu! Coba katakan tugas yang kubebankan padamu!"

"Mencari putra Guru dan membalas sakit hati Guru pada Dewa Arak!" tandas Linggar, mantap.

"Begitukah?!" sambut Tengkorak Darah dengan nada melecehkan. "Sekarang, apa yang tengah kau lakukan?!"

"Mengobati kawan baikku, Guru. Dia pernah menolongku. Jadi, aku berkewajiban membalas budi baiknya. Ini bukan berarti aku melalaikan tugas. Setelah menyelesaikan ini, aku akan berangkat untuk memenuhi perintahmu," janji Linggar.

"Kawan baikmu?! Orang usilan ini kawan baikmu?!" Tengkorak Darah menggeram. "Dengar, Linggar, orang yang kau katakan kawan baikmu ini adalah orang yang kusuruh kau untuk mencarinya!"

Wajah Linggar berubah hebat. Benaknya segera diputar. Sebentar kemudian, dengan tatapan tidak percaya dipandangnya Tengkorak Darah. Lalu, dialihkan pada Arya. Linggar memperhatikan Arya penuh selidik. Matanya yang bening indah beberapa kali berhenti pada rambut dan pakaian Arya. Baru sekarang Linggar teringat ciri-ciri yang dimiliki Arya sesuai dengan yang diceritakan gurunya. Selama ini tidak terpikirkan oleh Linggar karena gadis ini telah terpikat ketampanan dansikap Arya.

"Jadi... dia... Dewa Arak..?!" tanya Linggar dengan tenggorokan seperti tercekik.

"Siapa lagi kalau bukan dia?! Dasar matamu saja yang telah lamur! Ayo, tunggu apa lagi?! Bunuh dia!" Tengkorak Darah memerintah dengan suara dingin.

Linggar tidak segera melakukan perintah itu. Dia berdiri terpaku di tempatnya dengan wajah membiaskan perasaan galau. Gadis ini seperti orang linglung.

"Linggar!" Tengkorak Darah membentak keras. Geram melihat gadis berpakaian hitam itu tidak segera melaksanakan perintahnya. "Apakah kau hendak menjadi murid murtad?!"

Linggar sadar dari terkesimanya. Tapi, perintah Tengkorak Darah tetap tidak segera dilaksanakan. "Bagaimana mungkin aku membunuhnya, Guru? Dia telah menyelamatkan jiwaku. Mana mungkin kubalas kebaikannya dengan tindakan keji itu?" Linggar mengajukan alasan dengan suara lemah.

"Mengapa tidak mungkin?! Bagiku, semua mungkin saja. Bahkan, aku sering membunuh orang yang menolongku. Kau muridku, Linggar. Yang menjadi panutan bagimu adalah aku! Bunuh Dewa Arak! persetan dengan segala pertolongannya!" Keras dan tinggi ucapan Tengkorak Darah.

Linggar menatap Arya. Gadis ini berada dalam kedudukan yang sulit. Ia ingin berbakti kepada gurunya. Tapi, hatinya tidak mengizinkan melakukan tindakan keji terhadap Dewa Arak. "Maafkan aku, Guru. Bukannya aku tidak mau berbakti, tapi aku tidak mampu melakukannya...."

"Murid murtad! Manusia tidak pandai membalas budi! Sedari kecil kupelihara dan kudidik setelah besar kau mendurhakaiku. Inikah balasanmu, Linggar?!"

Linggar tidak memberikan tanggapan. Wajahnya ditundukkan menekuri tanah. Gadis ini sadar dirinya telah mengecewakan gurunya.

"Baik!" Tengkorak Darah berkata penuh kegeraman. "Karena kau tidak mampu membunuhnya, aku sendiri yang akan melakukan!"

Tanpa mempedulikan Linggar. Tengkorak Darah mengalihkan perhatian pada Dewa Arak. Sakit hatinya semakin bertumpuk mengingat Linggar lebih berat pada pemuda itu dibanding padanya.

"Kita bertemu lagi, Dewa Arak. Pertemuan kita ini adalah pertemuan terakhir. Kau akan tewas di tanganku! Bersiaplah menemui malaikat maut, Dewa Arak!"

Tengkorak Darah melambaikan tangan. Sabuk Linggar yang masih tergolek di tanah bagai hidup dan bermata. Benda itu melayang kearah Tengkorak Darah. Sosok berpakaian merah itu menangkapnya dengan ringan.

"Kau akan mati seperti binatang kena perangkap, Dewa Arak!" Tengkorak Darah menutup ucapannya dengan lemparan sabuk. Sabuk itu meluncur kearah Arya. Yang hanya berdiam diri. Sabuk melilit kedua kaki Arya. Lalu, membuat simpul erat.

Arya tidak kelihatan gentar. Sebaliknya, Linggar yang kebingungan. Dia menatap Tengkorak Darah dan Arya bergantian. Tengkorak Darah yang tengah sibuk ingin membalas dendam, tidak memperhatikan tingkah Linggar. Sambil terkekeh girang tangan kirinya dikibaskan. Bagai diangkat dan dilemparkan tangan tak nampak tubuh Dewa Arak melayang keatas menuju sebatang pohon besar dan tinggi. Begitu melalui cabang yang cukup besar, ujung sabuk yang tidak membelit kaki Arya membelit cabang dan menyimpul erat!

Tengkorak Darah terkekeh gembira melihat Dewa Arak tergantung dengan kepala di bawah. "Dengan luka dalam yang kau derita keadaan ini akan membuatmu mati perlahan-lahan, Dewa Arak! Pembuluh darah di kepalamu tak akan sanggup menampung derasnya aliran darah. Ha ha ha...!"

Tengkorak Darah tertawa terbahak-bahak. Apalagi, ketika melihat wajah Arya mulai memerah pertanda darah telah banyak mengalir ke kepala. Linggar semakin gelisah. Sampai-sampai telapak tangannya berkeringat!

Ketika wajah Arya semakin merah, Linggar tidak mampu lagi menahan diri. Rasa cintanya terhadap Arya tidak mengizinkan membiarkan pemuda berambut putih keperakan itu mati. Linggar melompat ketempat Arya tergantung.

Tawa Tengkorak Darah langsung terhenti. Pendengarannya yang tajam menangkap desir angin. Dia menoleh kebelakang. Tapi, yang dilihatnya hanya kelebatan bayangan hitam. Tengkorak Darah tidak sempat bertindak!

Tasss!

Hanya dengan babatan tangannya Linggar berhasil memutuskan sabuk. Sebelum tubuh Arya terbanting ketanah, gadis itu telah lebih dulu menangkapnya. Linggar menjejak tanah dengan tubuh Dewa Arak dalam bopongannya. Tengkorak Darah menggeram keras. Sorot matanya seperti hendak menelan Linggar bulat-bulat. Hawa maut memancar di sana!

"Rupanya kau ingin mampus, Linggar?! Kau tidak hanya berani membantah perintahku. Kau juga telah berani menentangku! Kali ini jangan harap nyawamu kuampuni! Kau sudah terpikat ketampanan pemuda usilan itu. Atau, kau telah menyerahkan kegadisanmu padanya hingga takut anak yang akan kau lahirkan tidak mempunyai ayah?!"

"Aku tidak serendah itu, Guru!" jawab Linggar dengan suara bergetar. "Memang, kuakui aku mencintainya. Salahkah itu?"

"Kau masih tidak mau mengaku telah sering tidur dengan pemuda usilan itu, Murid Murtad?! Gadis Penjinah?!" Tengkorak Darah yang tahu perkataannya menyakiti perasaan Linggar terus mencecarnya.

"Aku bukan orang seperti itu!" Linggar membantah keras setelah meletakkan tubuh Arya di tanah.

"Bersiaplah untuk mati, Gadis Penjinah!" Tanpa merasa kasihan lagi, Tengkorak Darah menghentakkan tangan kanannya. Serangkum angin keras berhembus kearah Linggar. Gadis berpakaian hitam itu tahu bahaya maut tengah mengancamnya. Tapi, dia sengaja tidak mengelak.

Bresss!

Kerimbunan semak-semak yang berada di belakang Linggar langsung porak poranda terkena hantaman pukulan jarak jauh Tengkorak Darah. Beberapa saat sebelum pukulan menghantam Linggar, sesosok bayangan kuning melesat cepat dari samping dan menubruk tubuh gadis berpakaian hitam. Linggar dan sosok bayangan kuning itu terguling-guling di tanah.

"Kau tidak apa-apa, Kak Linggar?" Begitu bangkit dengan sigapnya sosok bayangan kuning bukan lain Jumini segera mengajukan pertanyaan.

"Tidak." Linggar menggeleng. "Terima kasih atas pertolonganmu, Jumini. Kukira, lebih baik tinggalkan tempat ini. Bawalah Dewa Arak pergi."

Sepasang mata Jumini melotot. "Kau kira aku orang macam apa?! Mati bagiku bukan masalah! Mari kita hadapi dia bersama-sama. Dia memang iblis jahat. Dengan bergabung mungkin kita akan mudah mengalahkannya!" ujar Jumini, gagah.

Linggar menggeleng. "Kau tidak tahu siapa dia, Jumini."

"Aku tahu!" sergah Jumini yang memiliki watak tidak sabaran. "Iblis jahat itu memang lihai. Aku bersama kawanku hampir tewas kalau Dewa Arak tidak datang menolong. Tapi, aku tidak takut! Kau jauh lebih pandai dari kawanku. Jadi, keadaan kita lebih kuat Aku yakin kita akan menang..."

"Aku tidak bisa, Jumini." Linggar menggeleng dengan tanpa semangat.

Jumini tertegun melihat sambutan Linggar. Tengkorak Darah yang semula merasa geram bukan main melihat usahanya kembali menemui kegagalan, menjadi gembira ketika melihat Jumini. Beberapa saat dia sempat terpana melihat Jumini. Ia yakin pernah melihat sebelumnya. Sikap Jumini membuatnya teringat siapa gadis berpakaian kuning ini.

"Jadi, kau yang dulu menyamar sebagai banci itu, Gadis Kurang Ajar?! Kau putri Pendekar Jari Maut, bukan? Bagus! Sekarang juga semua dendam kesumat akan kutuntaskan. Kau akan menemani Dewa Arak dan murid murtad itu mati di sini!"

Jumini yang sudah bersiap untuk memaki menahan ucapannya yang telah berada di ujung lidah. Murid murtad? Siapa yang dimaksud Tengkorak Darah? Jumini menoleh kearah Linggar. Gadis berpakaian hitam itu menundukkan kepala. Putri Pendekar Jari Maut ini pun bisa menduga. Linggar murid Tengkorak Darah! Sama sekali tidak disangkanya.

Sekarang Jumini mengerti mengapa Linggar tidak ingin bertarung denganTengkorak Darah. Bukan karena tokoh berpakaian merah itu lihai bukan main, tapi karena Tengkorak Darah adalah gurunya. Kendati demikian, Jumini yang memiliki watak keras hati tidak menjadi gentar. Pedangnya dihunus. Kemudian, sambil mengeluarkan teriakan nyaring, gadis berpakaian kuning ini melancarkan serangan. Pedangnya dibabatkan keleher Tengkorak Darah.

Tengkorak Darah mendengus dengan nada merendahkan. Sekali tenaga dalamnya dikerahkan, pakaian yang longgar serta panjang itu terangkat keatas bagai disingkapkan tangan. Bagian bawah pakaian sampaimelewati leher. Tindakan Tengkorak Darah membuat mata pedang Jumini berbenturan dengan pakaian. Terdengar bunyi berdentang nyaring seperti dua benda logam beradu. Jumini merasakan tangannya tergetar hebat. Kendati demikian, pedang yang tergenggam di tangan tidak terlepas.

Tengkorak Darah mengibaskan tangan kiri. Angin yang luar biasa keras berhembus kearah Jumini. Saat itu gadis berpakaian kuning tengah berada di udara. Dia tidak mempunyai pijakan untuk mempertahankan diri. Akibatnya, tubuhnya terhempas kebelakang.

Nasib baik rupanya masih berpihak pada Jumini. Tengkorak Darah tidak ingin langsung membinasakannya. Serangan yang dilancarkan tidak ditujukan untuk membunuh atau melukai, melainkan hanya untuk melemparkan tubuh gadis itu. Jumini menjejak tanah dengan kedua kaki lebih dulu. Gadis ini langsung menyilangkan pedang di depan dada. Sikapnya terlihat gagah bukan main!

"Kau memang pemberani, Bangsat Kecil! Tapi, keberanianmu sebentar lagi akan berakhir. Tadi hanya permulaan saja. Sekarang kau akan benar-benar pergi kealam baka!" desis Tengkorak Darah penuh ancaman.

"Tidak usah banyak bicara seperti nenek-nenek bawel! Kau kira aku takut dengan ancamanmu?!" sambut Jumini dengan berani. Pedang di tangannya digetarkan hingga terdengar bunyi mengaung.

"Mampuslah...!" Tengkorak Darah melompat menerjang. Tangan kanannya meluncur cepat menuju wajah Jumini. Tokoh sesat ini ingin membuat wajah gadis berpakaian kuning cacat.

Jumini tidak membiarkan malapetaka itu terjadi. Disambutinya serangan dengan tusukan pedang. Kalau Tengkorak Darah meneruskan maksudnya, sebelum jari-jari tangan itu bertemu dengan wajah Jumini, akan terlebih dulu tertusuk pedang. Tapi, Tengkorak Darah tidak mempedulikan hal itu. Serangannya tetap diteruskan. Ketika hampir berbenturan dengan ujung pedang, jari-jari tangan Tengkorak Darah digerakkan mencengkeram.

Krakkk!

Jumini memekik tertahan. Ujung pedangnya hancur. Padahal, senjata itu terbuat dari baja pilihan. Ketika bertemu dengan jari-jari Tengkorak Darah tak ubahnya daun kering! Hancur dalam sekali remas saja! Serangan Tengkorak Darah tidak berhenti sampai di situ. Kaki kanannya mengirimkan tendangan lurus kearah pusar. Tendangan maut yang dapat membuat nyawa putri tunggal Pendekar Jari Maut melayang ke alam baka!

Serangan itu berlangsung demikian cepat. Jumini masih mampu menunjukkan dirinya sebagai anak Pendekar Jari Maut yang tersohor. Dia melempar tubuhnya kebelakang dan bergulingan menjauh. Tengkorak Darah benar-benar sudah berniat ingin menghabisi nyawa Jumini. Tanpa memberi kesempatan sedikit pun dikejarnya Jumini. Lalu, dihujaninya dengan serangan-serangan mematikan.

Jumini tidak mempunyai pilihan lain kecuali menggulingkan tubuh. Dia tidak diberi kesempatan untuk bangkit. Terjadilah pertarungan yang unik. Jumini yang terus bergulingan dan Tengkorak Darah yang mengejarnya dengan tusukan-tusukan maut. Jumini tercekat ketika gulingan tubuhnya membentur sebatang pohon. Dia ingin bangkit, tapi saat itu Tengkorak Darah telah meluruk kearahnya dengan sebuah terkaman yang mematikan.

Jumini yang tidak dapat berbuat sesuatu hanya bisa menatap dengan sepasang mata membelalak lebar. Putri Pendekar Jari Maut ini menunggu datangnya ajal dengan mata terbuka.

TUJUH

Sing, sing, singng...!

Bunyi berdesing nyaring terdengar. Tengkorak Darah terkejut dan menoleh. Dilihatnya belasan batang pisau mengkilat meluncur cepat keberbagai bagian tubuh.

Tengkorak Darah tidak berani bertindak gegabah. Dari bunyi yang terdengar bisa diketahui betapa kuat tenaga dalam orang yang melemparkannya. Serangannya terhadap Jumini terpaksa diurungkan. Kedua tangannya dikibaskan kearah datangnya pisau-pisau!

Akibat kibasan tangan Tengkorak Darah sungguh luar biasa! Meski jarak pisau-pisau itu masih dua tombak, semua runtuh ke tanah bagai membentur dinding tidak nampak. Kesempatan yang tercipta akibat serangan-serangan pisau hanya sesaat. Tapi, itu telah cukup bagi Jumini. Gadis berpakaian hitam ini melompat kesamping dan bergulingan menjauh.

"Dirga...!" Jumini berseru keras tanpa menyembunyikan perasaan gembiranya. Sosok yang muncul dan telah menolongnya dengan lemparan pisau-pisau memang Dirgantara. Pemuda bertubuh kokoh dan terlihat kuat. Ia pernah menjadi kawan seperjalanannya.

Dirgantara menyambuti seruan Jumini dengan sikap dingin. Karuan saja hal ini membuat gadis berpakaian kuning merasa heran. Apalagi ketika melihat keadaan pemuda berpakaian kulit harimau itu. Dirgantara kelihatan kusut. Ia seperti orang yang tidak mengurus dirinya.

Tidak hanya Jumini saja yang merasa heran. Tengkorak Darah pun demikian. Tokoh sesat itu termanggu-manggu. Dia seperti terkesima melihat kehadiran Dirgantara.

"Dirga! Apa yang telah terjadi denganmu...?" Jumini tak dapat lagi menahan rasa ingin tahunya.

Tapi, lagi-lagi pertanyaan Jumini tidak mendapatkan sambutan semestinya. Bahkan, kali ini Dirgantara menoleh pun tidak. Apalagi sampai memberikan jawaban Seakan pertanyaan Jumini tidak didengarnya. Dirgantara malah menunjukan perhtiannya pada Tengkorak Darah.

"Iblis jahat! Beraninya jangan hanya pada seorang perempuan. Kalau kau benar-benar jantan, hadapi aku! Kita bertarung sampai salah seorang diantara kita ada yang mati!"

Dirgantara menutup ucapannya dengan mencabut senjata andalannya. Sepasang bambu yang tersampir di punggung. Pemuda berpakaian kulit harimau ini memutar senjatanya di depan dada hingga terdengar bunyi mengaung keras.

Arya, Jumini, dan Linggar merasa heran melihat tidak adanya tanggapan sedikit pun atas tantangan yang diajukan Dirgantara. Padahal, biasanya Tengkorak Darah tidak pernah membiarkan orang bertindak kurang ajar terhadapnya. Itu cukup menjadi alasan bagi Tengkorak Darah untuk membunuhnya.

Mengapa sekarang tokoh ini kehilangan kegarangannya? Keheranan Arya, Jumini, dan Linggar semakin menjadi-jadi ketika Tengkorak Darah mengeluarkan keluhan panjang. Keluhan putus asa atas kenyataan pahit yang membuat hatinya terpukul.

Ketiga orang muda itu, tak terkecuali Dirgantara, tertegun keheranan ketika Tengkorak Darah malah membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dirgantara ingin mengejar. Tapi baru beberapa tindak sesosok bayangan kuning berkelebat. Di hadapannya telah berdiri.

Jumini dengan tarikan wajah menyiratkan rasa penasaran. Dirgantara membuang muka. Tubuhnya segera dibalikkan. Sikapnya menunjukkan rasa tidak senang. Jumini tidak bisa membendung kemarahannya lagi melihat sikap Dirgantara.

"Tak kusangka kau berubah seperti ini, Dirga! Kau telah gila. Apa yang terjadi terhadap dirimu?"

Secepat kilat Dirgantara membalikkan tubuh dan menatap Jumini dengan sinarmata jijik dan sakit hati. "Tidak usah sok suci, Jumini! Aku telah tahu kartumu. Kau tak lebih dari seorang pelacur! Di depanku saja kau berpura-pura suci. Tapi, di belakangku dengan tak tahu malu berjinah dengan orang lain! Sungguh menjijikkan! Menyesal sekali aku bertemu wanita bejat sepertimu!"

Kalau Arya dan Linggar saja yang mendengar ucapan Dirgantara sangat terkejut, apalagi, Jumini! Gadis ini sampai terkesima saking kagetnya. Dia berdiri bagai patung dengan mulut terbuka lebar.

"Keparat! Mulutmu kotor sekali, Dirgantara. Kau rupanya bukan manusia! Kau orang hutan! Inikah balasanmu atas pertolongan yang kuberikan? Kalau tidak ada aku, mungkin nyawamu telah melayang di tangan Setan Gila dan Jerangkong Penjagal Nyawa!"

Dirgantara mendengus sinis. "Kau mengungkit-ungkit pertolongan itu, Pelacur? Coba kau ingat, apakah aku meminta tolong padamu? Tidak kan?! Lagi pula aku baru saja telah menyelamatkan nyawamu. Hutang di antara kita sudah lunas. Dan, tidak ada hubungan lagi antara kau danaku!"

"Siapa yang sudi mempunyai hubungan dengan orang hutan sepertimu!" tandas Jumini seraya membanting kaki.

Kemudian, membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu. Dirgantara tidak mau kalah. Pemuda kekar ini pun segera membalikkan tubuh pula dan meninggalkan tempat itu. Arahnya berlawanan dengan yang ditempuh Jumini.

"Jumini...!" Linggar berteriak memanggil ketika melihat gadis berpakaian kuning itu terus saja melangkah pergi. Meski berjalan biasa, tapi langkahnya lebar-lebar.

"Aku tidak sudi berteman denganmu lagi, Linggar! Tidak kusangka kau murid tokoh yang sangat kejam itu. Gurumu beberapa kali hampir membunuhku!" timpal Jumini keras tanpa membalikkan tubuh.

Linggar langsung diam. Ucapan Jumini memang benar. Gadis berpakaian hitam ini menundukkan kepala. Dia tidak bisa menyalahkan Jumini. Murid seorang tokoh sesat sepertinya tidak pantas berteman dengan Jumini yang merupakan putri tokoh besar golongan putih yang memiliki nama harum.

"Tidak usah kau pikirkan ucapan Jumini, Linggar," sebuah suara halus membuat murid Tengkorak Darah mengangkat kepala. Dengan sorot mata penuh selidik ditatapnya pemuda berambut putih keperakan itu. Gadis ini ingin mencari kesungguhan dalam ucapan Arya.

"Apakah kau tidak merasa jijik padaku setelah tahu siapa guruku, Arya?" Linggar masih juga mengajukan pertanyaan kendati telah dilihatnya sendiri kesungguhan sikap Arya. Linggar agaknya ingin meminta kepastian. Mau mendengar langsung dari mulut Arya.

"Mengapa harus jijik? Kau berbeda dengan gurumu. Linggar, aku tidak pernah menilai seseorang dari guru atau orangtuanya. Yang penting adalah orang yang bersangkutan. Berapa banyak orang yang guru atau orangtuanya tokoh golongan putih, tapi dia sendiri yang berwatak jahat. Aku justru merasa bangga terhadapmu, Linggar. Dalam didikan seorang sesat seperti gurumu, kau bisa tumbuh menjadi seorang pendekar gagah. Kau patut mendapat acungan jempol. Jangan pedulikan pandangan orang lain!" urai Arya, panjang lebar.

"Terima kasih, Arya. Kau memang pantas menyandang nama besarmu. Kepandaianmu tidak saja tinggi, kau juga bijaksana." Sepasang mata Linggar berkaca-kaca. Terharu mendengar kata-kata Arya yang sangat membesarkan hatinya.

"Kau mau berjanji tidak mempedulikan siapa gurumu, Linggar? Ingat, yang penting adalah dirimu sendiri!"

Linggar mengangguk. "Akan kuingat kata-katamu, Arya."

"Syukurlah kalau kau telah menyadarinya. Sekarang kau hendak kemana?"

Linggar menggelengkan kepala. "Entahlah, Arya. Aku tidak punya tujuan lagi. Kausendiri hendak kemana?"

"Sementara ini aku belum tahu, Linggar," jawab Arya jujur. "Yang jelas, sekarang aku ingin mengobati luka dalamku dulu."

Linggar mengangguk-angguk. Gadis ini teringat kembali dengan keadaan Arya. "Bolehaku bertanya, Arya?"

Arya tersenyum.

"Mengapa kau bisa berada di tempat ini? Hanya kebetulan saja atau kau memang mempunyai tujuan?"

"Aku datang ketempat ini memang dengan satu tujuan," Arya tak ragu-ragu lagi untuk berterus terang. "Aku tengah mencari seorang tokoh yang berjuluk Iblis Buta."

Linggar tanpa sadar mundur selangkah. Jawaban Arya sangat mengejutkan hatinya. Ditatapnya Arya dengan sinar mata tajam. "Haruskah kau hancurkan kebanggaanku terhadapmu, Arya?"

"Jangan terlalu cepat menarik kesimpulan, Linggar," jawab Arya bernada menasihati. Pemuda ini tahu mengapa murid Tengkorak Darah itu berkata demikian.

"Aku tahu tujuan orang-orang mencari Iblis Buta, Arya." Arya tersenyum pahit.

"Memang kuakui, aku mencari Iblis Buta berkenaan dengan benda mukjizat yang didapatkannya, yaitu Telur Elang perak. Tapi percayalah, Linggar. Aku tidak berniat sedikit pun mendapatkan benda itu. Aku hanya tidak menginginkan benda mukjizat itu jatuh ketangan orang-orang jahat”

"Tidak usah kau khawatirkan hal itu, Arya. Telur Elang Perak akan aman di tangan Iblis Buta. Di samping tokoh itu memiliki kesaktian cukup tinggi, tempat tinggalnya pun tidak diketahui orang. Hanya kau yang telah berhasil memperkirakan tempat kediamannya."

"Kau keliru, Linggar," cela Arya. "Bukan aku saja yang mengetahui. Tokoh-tokoh persilatan lainnya juga. Entah bagaimana caranya, yang jelas keberadaan Iblis Buta di gunung ini telah diketahui orang-orang persilatan."

"Benarkah itu, Arya? Bisakah kau beritahukan beberapa orang di antaranya?"

"Hanya dua orang yang kutahu pasti. Tapi, aku yakin tak lama lagi tokoh-tokoh lainnya akan tahu. Dua orang yang kumaksud itu adalah Setan Gila dan Jerangkong Penjagal Nyawa."

"Ah...!" Linggar memekik tertahan. Dia memang telah mendengar siapa tokoh-tokoh itu. "Kalau benar demikian, ini berbahaya sekali!"

"Kelihatannya kau sangat mengkhawatirkan keselamatan Iblis Buta, Linggar. Apakah kau mengenalnya?" tanya Arya penuh selidik.

Linggar tidak segera memberikan jawaban. Dia tercenung sepertimemikirkansesuatu. "Sebenarnya ini rahasia, Arya. Tapi mengingat gawatnya masalah ini dan aku percaya padamu, terpaksa kuberitahukan. Aku sendiri belum pernah melihat Iblis Buta. Aku banyak mendengar tentang tokoh itu dari guruku." Linggar memulai ceritanya.

Arya merasakan jantungnya berdebar tegang. Rahasia besar yang menyelimuti Iblis Buta sebentar lagi akan terungkap. Dia tidak merasa heran jika Tengkorak Darah mengetahui rahasia Iblis Buta. Bukankah kabarnya Tengkorak Darah lenyap dari dunia persilatan setelah bertemu dengan Iblis Buta?

"Menurut penuturan guruku, Iblis Buta seorang tokoh persilatan yang amat sakti. Beliaulah yang memiliki Telur Elang Perak yang kabarnya didapakan dari puncak sebuah pegunungan yang amat tinggi. Iblis Buta mengambilnya dari sarang burung Elang perak. Suatu jenis binatang yang amat langka. Bertelurnya puluhan tahun sekali. Dan sekali bertelur paling banyak hanya tiga butir."

Arya mendengarkan dengan perasaan tertarik. Baru kali ini didengarnya cerita yang cukup jelas mengenai telur Elang Perak.

"Menurut cerita guruku, Iblis Buta sebenarnya samaran seorang tokoh yang tidak ingin diketahui jati dirinya. Aslinya, Iblis Buta adalah seorang petapa suci. Dia telah menjauhi kerasnya dunia persilatan. Namanya amat tenar! Mungkin kau pernah mendengarnya, Arya, Begawan Narasoma!"

"Ah...!" Dewa Arak tersentak kaget bagai disengat kalajengking. Tentu saja dia pernah mendengar nama petapa yang amat sakti itu. Jadi, begawan luar biasa itu yang telah menjadi Iblis Buta? Pantas saja Tengkorak Darah mengatakan bahwa Iblis Buta seorang tokoh yang memiliki kepandaian tidak ada taranya.

"Begawan Narasoma yang menjadi Iblis Buta? Rasanya tidak mungkin! Mengapa petapa suci itu melakukan pembunuhan-pembunuhan? Rasanya tidak masuk di akal!" bantah Arya tidak menelan bulat-bulat cerita Linggar.

"Aku bisa memaklumi ketidak-percayaanmu, Arya. Tapi, kelanjutan cerita ini mungkin bisa menambah rasa percayamu."

Linggar tidak merasa tersinggung melihat sikap Arya yang meragukan ceritanya. "Begawan Narasoma mempunyai seorang putri yang bernama Raden Ajeng Suri Kencuri. Putrinya itu telah menikah dengan seorang pendekar muda yang tidak kuketahui namanya. Pasangan ini hidup berbahagia. Ketika lahir seorang putra yang menjadi buah cinta mereka, malapetaka itu datang.

"Suami Raden Ajeng Suri Kencuri disatroni musuh. Dia disiksa habis-habisan. Dalam keadaan setengah mati laki-laki itu dipaksa menyaksikan kekejian yang dilakukan musuh-musuhnya. Raden Ajeng Suri Kencuri diperkosa bergantian hingga menemui ajal.

"Anaknya dikuliti dan dibunuh. Saat anak itu disiksa dan terus menangis menjerit-jerit didengar oleh suami Raden Ajeng Suri Kencuri. Baru setelah anak itu tewas suami Raden Ajeng Suri Kencuri dicungkil kedua matanya. Kaki dan tangannya dibuntungi. Setelah itu ditinggal pergi."

"Biadab!" desis Arya, geram bukan main. Cerita Linggar membangkitkan kemarahannya.

"Mereka memang biadab. Seorang tetangga yang melihat keadaan suami Raden Ajeng Suri Kencuri, keesokan harinya, segera pergi menemui Begawan Narasoma yang menyepi tak jauh dari tempat tinggal anak dan menantunya. petapa itu segera datang. Menantunya menceritakan semua yang terjadi. Juga tentang mayat Raden Ajeng Suri Kencuri yang dibawa pimpinan gerombolan musuh-musuhnya, yang ternyata murid Setan Gila."

"Untuk apa murid Setan Gila membawa mayat Suri?" tanya Arya, heran.

"Untuk menyiksa hati suami Raden Ajeng Suri Kencuri dan untuk memenuhi kebiasaan anehnya," jawab Linggar dengan wajah bersemu merah.

"Kebiasaan aneh? Kebiasaan apa, Linggar?"

"Bercumbu dengan mayat," jawab Linggar dengan suara hampir tidak terdengar.

Arya merasa wajahnya panas. Ia malu dan risih.

"Untuk menyiksa hati suami Raden Ajeng Suri Kencuri, murid Setan Gila itu mengatakan maksudnya membawa mayat Suri," tambah Linggar.

"Bagaimana tindakan Begawan Narasoma? Langsung menyamar dan mengejar gerombolan itu?"

"Tidak!" bantah Linggar. "Begawan Narasoma membawa menantunya ketempat penyepiannya. Setelah itu, tidak terdengar lagi berita mengenai mereka. Beberapa waktu kemudian, muncul tokoh sakti yang berjuluk Iblis Buta. Tokoh ini merajalela didunia persilatan dengan tangan besinya. Dia membunuhi tidak hanya tokoh-tokoh golongan hitam. Tokoh-tokoh persilatan sampai tidak bisa memasukkan Iblis Buta kedalam satu golongan. Mereka tidak tahu Iblis Buta bertindak demikian untuk membalas dendam. Akhirnya, murid Setan Gila berhasil ditemukan dan dibunuh oleh Begawan Narasoma. Mayat Raden Ajeng Suri Kencuri pun ditemukan. Mayat itu tidak membusuk karena murid Setan Gila mengawetkannya. Untuk menghidupkan putrinya ini, Iblis Buta mencari Telur Elang Perak."

"Bagaimana hasilnya?" tanya Arya, semakin tertarik dengan cerita Linggar.

"Raden Ajeng Suri Kencuri berhasil dibangkitkan dari kematiannya. Entah karena perlakuan yang diterima menjelang kematiannya, Raden Ajeng Suri Kencuri tidak pulih seperti sedia kala...."

"Maksudmu bagaimana, Linggar?"

"Dia tidak waras."

"Ohhh...!" Arya mengeluarkan keluhan tertahan.

"Malang nian nasib Begawan Narasoma. Batin kakek itu terguncang hebat. Menurut guruku, wataknya jadi berubah. Dia sekarang memiliki sifat yang aneh."

"Bisa kau beritahu di mana tempat tinggalnya sekarang?" tanya Arya setelah tercenung cukup lama. Cerita yang didengar pemuda berambut putih keperakan ini mengenaskan hatinya.

"Di lereng sebelah utara gunung ini. Tempatnya sulit untuk didaki. Hampir tidak pernah ada tokoh persilatan yang melalui lereng itu."

Arya mengangguk-angguk. Entah apa arti anggukannya. Mungkin mengerti dengan keterangan yang diberikan Linggar. "Terima kasih atas keterangan yang kau berikan, Linggar. Aku tidak pernah menduga akan mendapat keterangan demikian lengkapnya. Tapi, aku heran mengapa gurumu bisa mengetahui semua ini. Kalau tidak mempunyai hubungan erat dengan Begawan Narasoma, rasanya tidak mungkin Tengkorak Darah mengetahuinya."

"Aku pun merasa heran, Arya. Guruku tidak berminat sedikit pun terhadap Telur Elang Perak. Padahal, biasanya dia amat suka terhadap benda-benda pusaka. Guruku memang aneh dan penuh rahasia. Aku sendiri tidak mengetahui apakah dia perempuan atau lelaki. Aku belum pernah melihat wajahnya."

Linggar tampak keheranan ketika menceritakan tentang gurunya. Arya mengernyitkan alias. Sebentar kemudian, tiba-tiba wajahnya terlihat berseri-seri. Linggar yang melihat jadi ingin tahu.

"Kau menemukan jawabannya, Arya?" tanya Linggar.

"Tidak. Aku hanya menemukan keganjilan dalam sikap gurumu. Kau ingat, bagaimana sikapnya terhadap Dirgantara?"

Linggar mengangguk. Dia tahu orang yang dimaksudkan Arya. "Memang aneh sekali. Dia tidak marah sedikit pun. Padahal, pemuda itu telah mencampuri urusannya. Malah, menantangnya. Tengkorak Darah tidak akan membiarkan orang berbuat seperti itu pada dirinya."

"Aku telah melihat keanehan itu dua kali," jelas Arya.

"Ah, mengapa aku demikian pelupa?" Linggar menepuk dahinya sendiri. Arya segera menatapnya menunggu jawaban. "Dirgantara pasti anak guruku. Ciri-ciri yang diceritakannya cocok semua. Aku benar-benar pikun..."

"Pantas, kalau begitu." Arya mengerti sekarang duduk masalahnya. "Kurasa sudah saatnya aku mengobati luka dalamku, Linggar," ucap Arya kemudian setelah terdiam beberapa saat.

"Silakan, Arya. Aku akan menjagamu."

Arya tidak menyahut. Pemuda itu lalu duduk bersila. Sesaat kemudian, dia sudah tenggelam dalam keheningan semadi. Kesempatan itu dipergunakan Linggar untuk memperhatikan wajah Arya.

* * *

DELAPAN

Dirgantara berlari bagai dikejar setan. Sepasang matanya yang sayu menatap lurus kedepan. Tak ada sinar kehidupan di dalamnya. pertemuannya yang terakhir dengan Jumini benar-benar membuat pemuda ini kehilangan semangat hidup. Dirgantara tidak mempedulikan medan yang ditempuhnya. Semak-semak berduri yang menghadang diterabas. Pemuda yang sedang patah hati itu terus berlari kencang.

"Ukh...!" Dirgantara mengeluh tertahan. Tubuhnya terjungkal ke depan. Kakinya seperti tersandung sesuatu. Dirgantara tidak segera berusaha bangkit. Tubuhnya tertelungkup di tanah. Dirgantara tidak mempedulikan halaneh yang dialaminya!

Kalau pikirannya tidak sedang kalut, pemuda berpakaian kulit harimau ini tentu akan merasa heran. Seorang tokoh persilatan seperti dirinya dapat jatuh terjerembab karena tersandung, betapa anehnya.

"Guntara...," sapaan yang dikeluarkan dengan lembut dan penuh kasih sayang itu membuat tubuh Dirgantara menggigil hebat.

Panggilan seperti itu hanya diucapkan oleh satu orang! Dirgantara khawatir tengah bermimpi. Wajahnya yang tadi ditempelkan ketanah perlahan-lahan diangkat keatas. Mula-mula yang terlihat hanya sepasang kaki. Dekat sekali dengan wajahnya.

"Ibu...!" Dirgantara berseru kaget ketika melihat wajah pemilik sepasang kaki. Seorang wanita berusia empat puluh lima tahun dan berwajah cukup cantik. Sayang, kecantikannya tertutup oleh sorot mata yang begitu dingin.

"Dirgantara, Anakku...," wanita itu mengembangkan senyum gembira.

"Ibu...!" Dirgantara bangkit dari tertelengkupnya dan memeluk kedua kaki wanita berwajah dingin.

"Anakku, Dirgantara.... Tak kusangka kau akan seperti ini." Wanita itu mengelus-elus kepala Dirgantara. "Bangkitlah, Dirgantara. Tidak pantas seorang lelaki bersikap cengeng. Buang kesedihanmu. Ceritakan pada Ibu mengapa kau jadi begini."

Dirgantara pun bangkit berdiri. "Sekarang aku mengerti mengapa bisa terjatuh. Pasti kau yang melakukannya. Betulkah dugaanku, Ibu?" duga Dirgantara ketika teringat keanehan yang tadi dialaminya.

Wanita berwajah dingin itu tersenyum. Dia menganggukkan kepala membenarkan dugaan putranya. "Kalau tidak dengan cara demikian, bagaimana aku bisa menghentikan tindakanmu yang bodoh itu?"

"Jadi, Ibu sejak tadi membuntutiku?"

"Tidak. Kebetulan saja kulihat kau berlari bagai dikejar setan. Dengan pukulan jarak jauh yang tidak membahayakan, kubuat kau roboh."

"Kau memang cerdik, Ibu," puji Dirgantara.

"Kau telah menjadi pemuda tampan dan gagah, Dirga. Ayahmu pasti bangga padamu."

Wajah Dirgantara yang semula berseri-seri karena bertemu dengan ibunya, tampak kembali muram. Ucapan wanita berwajah dingin membuarnya teringat keadaan dirinya. Betapa tidak berartinya dia. Tidak heran kalau Jumini lebih suka pada Lanang. Putra tunggal Naga Sakti Berwajah Hitam.

"Mengapa, Dirga? Kau tidak senang Ibu membicarakan ayahmu. Mengapa?"

"Lebih baik Ibu ceritakan mengapa rumah kita kosong. Bahkan, banyak jebakan di sana?" Dirgantara mengalihkan persoalan.

"Aku tidak kerasan lagi tinggal di sana setelah kau tidak ada, Dirga. Aku sekarang tinggal di Gunung Cikuray ini. Jika tetap tinggal di rumah hanya akan mencari penyakit. Ayahmu banyak mempunyai musuh. Aku tidak ingin mati konyol!"

"Kasihan kau, Ibu. Gara-gara Ayah kau jadi terlunta-lunta dan dimusuhi banyak orang," desah Dirgantara, terharu.

"Sekarang giliranmu menceritakan pengalaman yang telah kau dapat, Dirga."

Setelah menghela napas berat seperti tengah membuang beban di dadanya, Dirgantara mulai bercerita. Semua yang dialaminya. Mulai dari selesai belajar dengan petani Berambut Putih sampai pertengkaran dengan Jumini, gadis yang dicintainya.

"Tindakanmu benar, Dirga. Gadis seperti itu tidak pantas mendapatkan cintamu. Lupakan saja dia! Lebih baik kau ikut denganku menemui ayahmu. Kau berhak mendapatkan benda pusaka itu."

"Apakah yang Ibu maksudkan Telur Elang Perak?" tanya Dirgantara.

"Benar, Dirga." Wanita berwajah dingin itu mengangguk. Semula, dikiranya Dirgantara akan sangat gembira. Tapi, tanggapan pemuda itu biasa-biasa saja. "Apakah kau tidak ingin mendapatkan Telur Elang Perak?"

"Tentu saja ingin, Ibu. Hanya, aku merasa tidak nyaman bertemu dengan Ayah," jelas Dirgantara sejujurnya.

Wanita berwajah dingin itu menggeleng-gelengkan kepala. "Ayahmu sebenarnya bukan tokoh golongan hitam. Keadaan-lah yang membuatnya jadi seperti ini. Dulu dia seorang yang baik hati. Cerita selengkapnya akan kuutarakan nanti di perjalanan. Aku ingin kau segera memperoleh Telur Elang perak. Yang penting, kau perlu tahu kalau ayahmu sebenarnya adalah Begawan Narasoma."

Kenyataan bahwa ayahnya Begawan Narasoma membuat Dirgantara gembira bukan main. Dia ternyata memiliki ayah yang tidak kalah tenar dengan Lanang dan Jumini. Nama Begawan Narasoma sejajar dengan Pendekar Jari Maut dan Naga Sakti Berwajah Hitam. Dirgantara mengetahui tentang Begawan Narasoma dari cerita ayah angkatnya.

Ibu dan anak itu pun melesat meninggalkan tempat itu. Tempat yang amat bersejarah bagi Dirgantara. Di tempat itu dia bertemu ibunya dan mengetahui kalau ayahnya adalah Begawan Narasoma!

"Kakak Nara...!" Wanita berwajah dingin itu berdiri di depan pintu gua. Sepasang matanya membelalak lebar menatap sesosok tubuh berpakaian putih yang tergolek di tanah.

Dirgantara yang berdiri di sebelah ibunya ikut berdiri terpaku. Kakek berpakaian putih itukah ayahnya? Iblis Buta alias Begawan Narasoma? Mengapa tergolek di tanah seperti orang yang tengah terluka?

"Dialah ayahmu, Dirga. Begawan Narasoma atau yang selama ini kau ketahui sebagai Iblis Buta." Wanita berwajah dingin itu kemudian melesat memasuki gua.

"Ayaaah...!" Dirgantara berseru keras. Ia ikut menghambur kearah tubuh yang tergolek.

"Kakak Narasoma...!" Ibu Dirgantara telah lebih dulu tiba di dekat tubuh Begawan Narasoma. Wanita ini langsung berjongkok dan memeriksa keadaannya.

"Apa yang terjadi terhadap Ayah, Ibu?" tanya Dirgantara yang tiba belakangan. Sepasang mata pemuda ini menyapu sekujur tubuh Begawan Narasoma.

"Entahlah, Dirga. Wanita berwajah dingin menggeleng. "Ayahmu tampaknya telah bertarung dan berhasil dikalahkan. Denyut jantung dan detak nadinya tidak ada lagi."

Dirgantara termangu. Baru saja dia membayangkan dapat bertemu dengan ayahnya, ternyata orang yang dimaksud telah menemuiajalnya.

"Aku tidak dapat membayangkan betapa tinggi kepandaian orang yang menjadi lawan ayahmu. Beliau sendiri sudah memiliki kepandaian sangat tinggi." desis ibu Dirgantara dengan wajah menampakkan kengerian.

"Lalu .., bagaimana dengan Telur Elang perak itu, Ibu?" tanya Dirgantara. "Jangan-jangan orang yang telah membunuh Ayah sudah mengambilnya."

Wanita berwajah dingin menatap Dirgantara sesaat. Dia tidak menyalahkan Dirgantara yang tidak merasa bersedih dengan kematian ayahnya. Pemuda berpakaian kulit harimau ini semenjak kecil memang tidak pernah melihat wajah ayahnya. Bagaimana mungkin dia bisa bersedih dengan kejadian ini? Hubungan akrab antara ayah dan anak belum terjalin.

Tiba-tiba Dirgantara berseru keras. Jari telunjuknya menunjuk-nunjuk tubuh Begawan Narasoma. "Ibu! Lihat! Jari-jari tangan Ayah bergerak-gerak. Ayah belum mati!"

Wanita berwajah dingin mengalihkan perhatiannya kearah yang ditunjuk putranya. Wajahnya seketika berseri ketika melihat kebenaran ucapan Dirgantara. Jari-jari tangan Begawan Narasoma bergerak-gerak. Wanita itu lalu memeriksa kembali detak jantung dan nadi Begawan Narasoma. Ibu Dirgantara ini kelihatan heran melihat apa yang terjadi. Begawan Narasoma membuka mata. Yang pertama kali dilihatnya adalah wanita berwajah dingin. Kakek ini mengembangkan senyum tipis.

"Kau datang lagi, Tulini," bisik Begawan Narasoma, lemah. Kata-katanya ditutup dengan batuk-batuk kecil. percikan darah keluar dari mulutnya ketika dia terbatuk.

Wanita berwajah dingin yang ternyata bernama Tulini, tersenyum pahit. "Kau lihat siapa yang berdiri di sebelahku ini?" Tulini memalingkan kepalanya menatap Dirgantara.

Begawan Narasoma memandang kearah Dirgantara. "Apa maksudmu membawanya kemari, Tulini? Kau membawa orang luar ketempat ini. Tidakkah kau tahu aku tidak ingin ada orang asing di tempat ini," Begawan Narasoma kelihatan tidak senang.

"Singkirkan dulu rasa tidak senangmu, Kak Nara. Pemuda gagah yang bersamaku ini bukan orang lain. Dia anakku. Anak kita, Kak Nara," suara Tulini terdengar bergetar karena perasaan gembira yang meluap-luap.

Terlihat jelas sorot keheranan di matanya. "Anak kita? Aku tidak mengerti, Tulini?!" Begawan Narasoma mengernyitkan sepasang alisnya.

"Dirgantara anak kita. Mengapa kau begini pelupa, Kak Nara?" Tulini mengedip-ngedipkan sebelah matanya, memberi isyarat.

Begawan Narasoma merasa heran. Tapi, sebentar kemudian dia mengerti maksud isyarat Tulini. "Jadi..., ini Dirgantara? Anak kita, Tulini? Ahhh...! Sudah demikian besar. Benar namamu Dirgantara?" Begawan Narasoma tersentak kaget.

Pemuda berpakaian kulit harimau itu mengangguk. "Benar, Ayah. Apa yang terjadi terhadapmu? Mengapa Ayah kelihatan tidak senang dengan kehadiranku?"

"Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, Dirga." Begawan Narasoma setengah mencela. Di dalam hati kakek ini ia memuji kepekaan perasaan Dirgantara. Bagaimana mungkin dia merasa gembira? Dirgantara bukan anaknya! "Bukannya aku tidak suka dengan kehadiranmu. Aku hanya menyesalkan kedatanganmu yang terlambat!"

"Terlambat?! Tulini mengulang perkataan itu. Dengan rasa heran ditatapnya wajah Begawan Narasoma tajam. "Apa maksudmu, Kak Nara?"

Begawan Narasoma menghela napas berat. "Ini semua akibat ulah Suri," keluh kakek itu. "Beberapa hari yang lalu dia datang membawa seorang pemuda pesolek bernama Lanang."

"Lanang?!" Dirgantara setengah menjerit.

"Kau kenal dia, Dirga?" tanya Begawan Narasoma, ingin tahu.

"Benar, Ayah." Dirgantara mengangguk. "Dia putra Naga Sakti Berwajah Hitam. Seperti juga ayahnya, Lanang memiliki watak yang amat jahat. Dia sangat keji!"

Begawan Narasoma dan Tulini saling berpandangan. Alis mereka berkerut dalam. "Aku setuju kalau kau mengatakan Lanang jahat dan keji. Aku sendiri telah membuktikannya. Tapi, penilaianmu terhadap Naga Sakti Berwajah Hitam keliru besar. Dia seorang tokoh golongan putih. Dia tidak jahat, Dirga. Apalagi keji!"

"Aku telah membuktikan sendiri kejahatannya, Ayah!" Dirgantara mencoba membantah.

"Aku tidak menyalahkanmu, Dirga. Tapi percayalah padaku, orang yang kau maksudkan itu pasti bukan Naga Sakti Berwajah Hitam. Dia mempunyai saudara kembar. Guntar namanya. Guntar adalah salah seorang dari Sepasang Iblis Penghilang Nyawa. Aku tahu karena pernah berhadapan dengan mereka. Lanang pun kuyakin bukan putra Naga Sakti Berwajah Hitam. Mungkin putra Guntar."

"Tidak, Kak Nara. Guntar tidak pernah menikah. Dia tidak menyukai wanita. Aku yakin Lanang muridnya. Atau, anak angkatnya." Tulini ikut berbicara.

"Ibu mengenalnya?" Dirgantara kelihatan tidak percaya.

"Mengenalnya? Tulini tertawa kecil. "Bagaimana mungkin aku tidak mengenalnya. Aku saudara seperguruannya. Tapi, aku tidak bertualang bersamanya. Justru kawan bertualang Guntar tidak satu perguruan. Dia telah tewas di tangan ayahmu."

Dirgantara mengangguk-angguk. Dia tidak berani membantah lagi. Ayah dan ibunya jauh lebih mengetahui tentang Naga Sakti Berwajah Hitam daripada dirinya.

"Tadi kau mengatakan telah membuktikan sendiri kejahatan Lanang. Apakah semua ini karena perbuatannya, Kak Nara?" tanya Tulini pada Begawan Narasoma. Ibu Dirgantara ini tidak percaya jika Lanang mampu melukai Begawan Narasoma. Ayah Lanang saja tidak mampu mengungguli kakek berpakaian putih ini, apalagi Lanang?

Begawan Narasoma menganggukkan kepala dengan wajah memerah menahan malu. "Memang memalukan, Tulini. Tapi, itulah kenyataannya. Aku berhasil dibodohi orang yang pantas menjadi cucuku."

Dengan singkat, Begawan Narasoma menceritakan kejadian yang telah menimpanya. Dirgantara dan Tulini mendengarkan dengan penuh perhatian. Beberapa kali Dirgantara yang memang tidak menyukai Lanang mengepal tinju mendengar keberuntungan pemuda pesolek itu.

"Suri telah kularang memperlihatkan ilmu-ilmunya pada Lanang. Aku khawatir pemuda yang kuragukan kebenaran hatinya itu dapat menguasai ilmu-ilmuku. Aku ingin mewariskan semua ilmu yang kumiliki hanya padamu dan Suri, Dirgantara." Begawan Narasoma menatap dalam-dalam wajah pemuda berpakaian kulit harimau.

"Keparat Lanang!" desis Dirgantara geram. "Kemana pun kau pergi akan kucari! Hanya kau atau aku yang berhak untuk hidup!"

Begawan Narasoma menghela napas berat. Dia tahu Dirgantara hanya akan mengantarkan nyawa sia-sia. Lanang yang sekarang tidak bisa disamakan dengan Lanang beberapa hari yang lalu.

"Lanang rupanya berhasil memperdaya Suri. Suri memperlihatkan semua ilmu-ilmunya. Dengan kepandaian yang dimilikinya, Suri berhasil dibunuh. Dia juga ingin membunuhku. Kami bertarung. Telur Elang perak membuat semua seranganku tidak berarti. Aku terdesak hebat. Beberapa serangannya mengenai diriku. Aku sadar tak akan mungkin menang. Maka, kupergunakan ilmu yang tidak pernah kugunakan. Ilmu 'Melepas Roh'. Lanang mengira aku tewas. Dia pun pergi meninggalkanku dengan hati puas!"

"Sekarang aku mengerti mengapa kau tadi tidak bernapas lagi. Jantungmu berhenti berdetak dan nadimu tidak berdenyut. Rupanya, saat itu rohmu telah kau keluarkan." Tulini mengangguk-angguk mengerti.

"Kau memang cerdik, Tulini. Meski usiamu semakin menua, kecerdikanmu tidak berkurang," puji Begawan Narasoma.

Tulini memonyongkan mulurnya. Dirgantara yang melihat hal ini jadi merasa geli.

"Aku bersyukur kalian tidak datang lebih cepat. Bila itu terjadi, korban yang jatuh akan bertambah."

"Justru sebaliknya, aku menyesal mengapa datang terlambat, Ayah. Aku sudah tidak sabar ingin segera mengirim Lanang keakhirat!" tandas Dirgantara berapi-api.

Begawan Narasoma tersenyum. "Aku bangga dengan sikapmu, Dirga. Kau tidak takut mati. Tapi, kusarankan lebih baik kau jauhi Lanang. Pemuda licik itu tidak akan mampu ditahan oleh siapa pun. Aku sendiri tidak habis pikir mengapa semudah itu menyerahkan Telur Elang Perak padanya."

"Tidak ada gunanya menyesali diri. Semua sudah terjadi, Kak Nara. Yang lalu biarkan berlalu. Sekarang, bagaimana caranya melenyapkan pemuda keparat itu!" hibur Tulini.

"Sayang sekali, Tulini." Begawan Narasoma menggelengkan kepala. "Lanang tidak akan bisa dikalahkan. Kecuali...."

"Kecuali apa, Ayah?" sambut Dirgantara cepat. "Lupakanlah! Tidak ada artinya. Itu hanya dongeng belaka."

Begawan Narasoma memperbaiki kata-katanya yang telanjur keluar. Tangannya dikibaskan pertanda tidak mau memperpanjang pembicaraan itu.

"Dirgantara benar, Kak Nara. Katakan saja apa yang hendak kau bicarakan. Toh, tidak ada ruginya." Tulini mendukung pernyataan Dirgantara.

"Baiklah." Begawan Narasoma mengalah. "Begini, menurut cerita yang pernah kudengar dan petunjuk yang kudapat ketika aku menyepi, pada waktu-waktu tertentu muncul kedunia seekor ular besar. Ular yang sisiknya berwarna kuning bagai emas. Ular ini dinamakan Ular Emas. Mustika dari binatang ini dapat memunahkan pengaruh yang ditimbulkan ilmu hitam. Di samping itu, mustika ini membuat pemegangnya dapat berbahasa ular dan dianggap sebagai raja binatang melata itu. Tentu saja khasiatnya tidak hanya itu. Masih banyak lagi. Lain waktu akan kuceritakan pada kalian setelah keadaanku sudah baik."

Dirgantara mendesah kecewa. "Di manakah munculnya Ular itu, Ayah?" tanya pemuda berpakaian kulit harimau itu, tidak sabar.

"Tidak ada yang tahu kapan dan di mana munculnya, Dirga," jawab Begawan Narasoma seraya tersenyum lebar untuk menyenangkan hati Dirgantara. "Kebenarannya saja aku belum yakin. Konon apabila Ular Emas itu kelua, langit akan berwarna keemasan. Apa hubungannya, aku tidak mengerti."

Dirgantara langsung membalikkan tubuh dan melesat menuju mulut gua.

"Dirga...!" Tulini terkejut melihat tindakan Dirgantara.

"Sebentar, Ibu. Aku hanya ingin melihat langit!" teriak pemuda berpakaian kulit harimau itu tanpa menoleh.

Begawan Narasoma menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Dirgantara yang demikian percaya dengan ceritanya barusan. Tapi, belumjuga perasaan geli itu lenyap pasangan suami-istri ini telah dikejutkan oleh seruan Dirgantara.

"Ayah....! Ibu...! Coba kemari...!"

Tulini dan Begawan Narasoma saling berpandangan. Heran mereka merasakan nada paksaan dalam seruan Dirgantara. Tulini jadi ingin tahu. Apakah yang telah menyebabkan Dirgantara demikian tertarik?

Sambil membopong tubuh Begawan Narasoma, Tulini melesat keluar gua. Ketika mereka tiba di sisi Dirgantara, pemuda itu langsung berbisik pe-lan tapi penuh getar perasaan.

"Ayah, Ibu, lihat...!"

Begawan Narasoma dan Tulini mengikuti arah telunjuk Dirgantara. Suami-isteri itu langsung terpaku di tempatnya. Di atas mereka langit tidak berwarna biru cerah, melainkan kuning keemasan! Inikah pertanda Ular Emas telah muncul kedunia ramai?

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.