Dewa Arak - Penyair Cengeng

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Penyair Cengeng Karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak - Penyair Cengeng

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
WAJAH Lingga terlihat menampakkan ketegangan. Meski belum lama menerjunkan diri di dunia persilatan, tapi pemuda ini telah banyak mendengar tentang tokoh yang berjuluk Penyair Cengeng. Tapi sepengetahuannya, tokoh itu telah belasan tahun lenyap dari dunia persilatan. Mungkinkah sekarang tokoh itu telah keluar dari tempatnya mengasingkan diri? Apa yang menjadi penyebabnya?

Sementara lantunan syair dari Penyair Cengeng terus berkumandang (Untuk lebih jelasnya mengenai kejadian ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Golok Kilat). Sampai tiba-tiba terdengar hantaman keras...

Brakkk!

Beberapa langkah dari ambang pintu tampak brrdiri dengan tenang seorang kakek. Rambut yang tumbuh di kepala dan di sekitar wajahnya telah memutih semua. Pakaian abu-abu membungkus tubuhnya yang ringkih.

Kakek yang bukan lain Ki Jaran Sangkar alias Penyair Cengeng ini tidak berubah wajahnya. Dia kelihatan begitu tenang kendati di depannya terpampang pemandangan yang cukup mendebarkan. Wiryadi, Linasih, dan Gurit menatap ke arahnya penuh harapan. Ketiga orang ini sedikit mempunyai harapan kalau Penyair Cengeng akan dapat menolong mereka.

Lingga menggertakkan gigi penuh perasaan geram. Sepasang matanya seakan bernyala ketika menatap Penyair Cengeng. Pemuda ini marah bukan main karena merasa terganggu.

“Tua bangka gila...!" maki Lingga. "Rupanya, kau sudah tidak sabar untuk menemui kematian sehingga begitu berani mencampuri urusanku! Menyingkirlah dari sini, cepat! Jangan tunggu kesabaranku habis...!"

Lingga memang cerdik bukan main. Dia tahu Penyair Cengeng memiliki kemampuan tinggi. Seorang lawan yang amat tangguh! Walaupun dia tidak takut, tapi demi keberhasilan usahanya, lebih baik tidak terjadi keributan antara mereka. Perasaan marah yang mencekam hati segera ditekannya.

Penyair Cengeng tetap tenang. Dia tidak menjadi marah melihat makian dan sikap Lingga yang demikian kurang ajar.

Ilmu yang tinggi membuat manusia lupa
Menyebar maut dan bencana di mana-mana
Sadarlah, Tuhan tidak buta
Kelak akan diturunkan hukumannya


Rangkaian syair itu didendangkan Penyair Cengeng. Memang tak aneh kalau tokoh itu mendapat gelar demikian. Nada syairnya sangat sendu. Sarat dengan kedukaan dan keprihatinan. Malah, lebih cenderung meratap-ratap.

Perlahan saja Penyair Cengeng menyanyikannya. Tapi, pengaruh yang ditimbulkannya tidak sesederhana yang terdengar. Semua orang yang berada di sini larut dengan kesedihan yang mendalam.

Wiryadi hampir menangis ketika teringat akan kematian istri dan anaknya yang demikian menyedihkan. Gurit dan Linasih pun dilanda perasaan yang sama. Mereka teringat kedua orang tua mereka dan seluruh anggota keluarga yang tidak tersisa lagi akibat ulah perampok-perampok.

Perasaan yang sama dialami pula oleh Lingga. Pemuda berpakaian merah ini merasakan gelombang rasa sedih dan iba pada dirinya sendiri menyerangnya dengan hebat. Nada syair Penyair Cengeng membuarnya terkenang kembali akan nasib dirinya. Dia orang yang tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Bahkan, orang tuanya sendiri pun tidak dikenalnya.

Suasana terasa hening yang mengharukan. Masing-masing dari mereka merenung dengan mata berkaca-kaca. Malah Wiryadi kemudian menangis terisak kendati lelaki ini telah mencoba untuk menahannya. Isakan Wiryadi membuat Lingga tersadar.

Pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini segera tahu pengaruh syair Penyair Cengeng telah mencengkeramnya. Kesadaran yang timbul membuat Lingga menggertakkan gigi, mengerahkan seluruh kekuatan batin untuk mengenyahkan perasaan ganjil itu.

"Tua bangka gila...!" seru Lingga keras. Tapi, masih terasa ada getaran pada suaranya. "Rupanya kali memang berniat mencari keributan denganku!"

Keributan ada di mana-mana
Ribuan kali aku terlibat
Sekarang aku telah bertobat
Tak mau aku ada di dalamnya


Lingga tidak bisa menahan diri lagi. Kemarahan yang amat sangat membakar hatinya. Sambil mengeluarkan pekikan keras, kedua tangannya cepat dihentakkan ke depan!

Hembusan angin yang luar biasa dingin menyerbu ke arah Penyair Cengeng. Karena dinginnya, angin itu sampai mampu membuat Wiryadi dan yang lainnya menggemelutukkan gigi. Padahal, bukan mereka yang dijadikan sasaran serangan!

Penyair Cengeng mendendangkan nada tanpa syair melalui lubang hidungnya, mirip orang bergumam. Lingga hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pukulannya lenyap begitu saja. Hawa di dalam rumah itu yang semula dingin bagai di atas puncak gunung salju, kini menjadi hangat. Seakan-akan tempat itu disorot sinar matahari menjelang siang!

Penyair Cengeng mengangkat tangannya di depan wajah, agak lebih tinggi sedikit dari kepala. Bagai diambil oleh tangan, Golok Kilat yang ada di punggung Lingga melayang ke arah tangan kakek itu. Tidak hanya goloknya saja tapi berikut warangkanya.

Lingga tentu saja tidak ingin benda pusaka itu jatuh ke tangan orang lain. Kedua tangannya buru-buru dijulurkan. Dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk menarik kembali Golok Kilat. Lagi-lagi Lingga harus menelan kenyataan yang mengejutkan!

Golok Kilat tetap meluncur ke tangan Penyair Cengeng. Lajunya tidak tertahan sedikit pun. Tenaga tarikan Lingga seperti lenyap di tengah jalan tanpa mempedulikan Lingga yang masih terlibat dalam keheranan, Penyair Cengeng menghunus Golok Kilat dari sarungnya. Diperhatikannya beberapa saat, lalu diciumnya.

Golok Kilat
Sekian lamanya kau istirahat
Orang laknat berhati bangsat
Akan membuatmu kembali bejat

Golok Kilat
Kau hanya menunggu saat
Seorang pendekar muda berhati bersih
Akan membuatmu menjadi suci


Wiryadi, Gurit, dan Linasih menangis keras. Wiryadi malah melolong-lolong sambil menyebut-nyebut nama istrinya yang telah meninggal. Pengaruh nada Penyair Cengeng yang belum sirna dan semakin menjadi-jadi yang menyebabkannya demikian.

Lingga pun mendapatkan pengaruh syair Penyair Cengeng. Tapi, karena sejak sadarnya pemuda ini telah mengerahkan kekuatan batin dan berusaha menulikan telinga, pengaruh yang melandanya tidak seberapa besar.

Dan pengaruh itu mampu dihilangkan dengan gertak gigi kemarahan. Lingga sudah bersiap untuk melancarkan serangan lagi. Namun, terpaksa dihentikan ketika mendengar ucapan dan tindakan Penyair Cengeng.

"Akan kukembalikan golok ini, Anak Muda. Aku tidak mau mengambilnya. Seperti yang kukatakan, akan tiba masanya golok ini tidak dijadikan penyebar bencana untuk selama-lamanya."

Golok Kilat melayang ke arah Lingga tanpa Penyair Cengeng melemparkannya. Senjata mengerikan itu seperti mempunyai nyawa dan terbang sendiri. Lingga segera menangkapnya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam. Tapi, tetap saja begitu golok berada di tangan, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Golok itu sendiri hampir terlepas dari pegangan.

Lingga sadar kalau Penyair Cengeng terlalu sakti untuk dilawan. Tanpa malu-malu tubuhnya segera dibalikkan. Kemudian, dia melesat kabur meninggalkan rumah itu melalui pintu belakang.

Penyair Cengeng menatap kepergian Lingga tanpa berusaha hendak mengejar. Setelah memandang Gurit, Wiryadi, dan Linasih, dia pun meninggalkan rumah itu sambil bersenandung. Tinggallah Gurit dan yang lainnya merasa bersyukur atas pertolongannya. Mereka sampai tak sempat mengucapkan terima kasih karena begitu terkesima menyaksikan Lingga yang lari ketakutan.

* * *

Arya mendengus-denguskan hidung. Bau sedap yang tercium hidungnya membuat rasa lapar yang sejak tadi melilit perut terasa semakin menjadi-jadi. Memang, bunyi nyaring terdengar dari dalam perut Arya. Bunyi yang membuat pemuda ini menoleh ke kanan dan ke kiri karena khawatir ada orang yang mendekatinya.

Hati pemuda ini menjadi lega ketika melihat tak ada orang di dekatnya. Perhatiannya lalu kembali dipusatkan pada bau sedap yang mampir ke hidungnya. Kemudian, kaki Arya terayun menuju asal bau itu.

Semakin lama bau wangi daging panggang itu semakin keras. Dan setelah Arya bergerak dari tempatnya semula sampai belasan tombak dalam jarak lima tombak di depannya, duduk bersandar pada sisa sebatang pohon yang telah ditebang seorang kakek berpakaian kuning kentang.

Arya yang memiliki mata tajam segera bisa memperkirakan kalau kakek yang memiliki wajah persegi dan penuh ditumbuhi cambang bauk, kumis, serta jenggot lebat ini memiliki kepandaian tinggi. Tubuhnya yang kekar mengingatkan Arya akan seekor singa jantan. Suatu hal yang tidak berlebihan karena wajahnya pun mirip wajah singa. Dan, pakaian yang dikenakan kakek itu adalah kulit seekor singa!

Kakek bermuka singa sepertinya tidak tahu akan kehadiran Arya. Dia tetap saja tenggelam dalam kesibukannya memutar-mutarkan daging yang berada di atas tumpukan arang menyala. Tangan kirinya mencekal sehelai daun nangka. Dengan daun itu arang dikipasinya agar terus menyala. Dari daging yang tengah dipanggang si kakek itulah bau sedap berasal.

"Tidak pantas memperhatikan seperti itu, Anak Muda. Kemarilah. Aku tahu kau lapar. Mari kita santap bersama. Lagi pula, aku tidak akan bisa menghabiskannya sendiri."

Perkataan itu terdengar oleh Arya. Namun, pemuda ini tidak menjadi kaget karenanya. Meskipun ucapan itu keluar dari mulut si kakek yang tetap tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun. Dari mana si kakek tahu keberadaannya, dan dengan tepat menduga kalau dia adalah seorang pemuda?

Padahal sejak tadi kakek itu belum melihat Arya. Dan, dari mana kakek itu tahu kalau Arya sedang lapar? Pertanyaanpertanyaan itu tidak begitu menggayuti hati Arya. Pemuda ini telah maklum kalau si kakek seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

"Maaf, kalau tindakanku tidak berkenan di hatimu, Kek," ucap Arya sopan. "Tak lupa kuucapkan terima kasih atas tawaran yang kau berikan. Memang aku tengah lapar. Dan, bau daging panggangmu yang nikmat yang membawaku kemari."

Si kakek tidak memberikan sambutan. Dengan tenang didekatkan daging panggangnya ke wajah. Diciumnya dalam-dalam bau wangi yang menyebar. Nikmat sekali kelihatannya.

Arya sampai menelan ludah melihatnya. Tanpa bergerak dari duduknya, si kakek memindahkan ranting di mana daging panggang tertusuk ke tangan kiri. Tangan kanannya lalu diulurkan pada Arya.

"Siapa namamu, Anak Muda Berambut Aneh? Aku cukup kau kenal sebagai Singa Air. Namaku sendiri aku tidak ingat lagi. Sudah belasan bahkan mungkin puluhan tahun tak ada orang yang memanggil namaku. Julukan aku tidak punya. Jadi, hanya itu yang bisa kuperkenalkan agar kau bisa menyapaku," si kakek memperkenalkan diri.

"Namaku Arya, Kek. Arya Buana," jawab Arya sambil mendekat dan menyambut uluran tangan Singa Air. Senyum lebar tersungging di bibir pemuda berambut putih keperakan itu.

Tapi, senyum Arya langsung memupus ketika merasakan ada gelombang aliran tenaga dalam menyerbunya. Arya menjadi heran. Ditatapnya wajah Singa Air. Usaha Arya sia-sia. Dia tidak mampu membaca perasaan hati kakek itu. Apakah si kakek bermaksud menguji atau memang sungguh-sungguh berniat menyerangnya, Arya tidak tahu.

Arya tidak mempunyai pilihan lain. Dikerahkannya tenaga dalam untuk melawan gelombang serangan tenaga dalam Singa Air. Pertarungan adu tenaga dalam kini berlangsung. Pertarungan itu tidak teriihat meskipun jika kebetulan ada yang menyaksikan. Yang tampak hanya jabatan tangan yang lebih lama dari biasanya.

Kedua belah pihak ternyata sama-sama kuat. Namun ketika berlangsung agak lama, dari kepala Dewa Arak mulai mengepul uap tipis. Sedangkan si kakek hanya mengeluarkan peluh banyak di wajahnya yang merah!

Pertarungan tenaga dalam itu rupanya demikian dahsyat sehingga tanah tidak mampu menahan. Perlahan tapi meyakinkan kedua kaki Dewa Arak dan Singa Air amhlas ke tanah. Mula-mula hanya setelapak kaki lalu terus lebih ke dalam hingga betis!

Baik Dewa Arak maupun Singa Air rupanya tidak menginginkan tubuh mereka tenggelam lebih dalam lagi. Keduanya tahu apabila diteruskan bukan tidak mungkin tubuh mereka akan tenggelam seluruhnya. Sesaat kemudian bagai telah disepakati sebelumnya, Dewa Arak dan Singa Air menarik tangannya masing-masing.

"Kau hebat, Arya. Kau seorang pemuda yang luar biasa," puji Singa Air sejujurnya. Sinar kekaguman tampak pada sorot sepasang matanya yang mencorong kehijauan. "Kau memiliki tenaga dalam yang amat kuat!"

Arya mendengar nada persahabatan dalam ucapan Singa Air. Kecurigaannya terhadap Singa Air pun berkurang. Timbul dugaan kalau kakek ini hanya bermaksud mengujinya. Arya lalu menyunggingkan senyum.

Tapi, baru juga mulut Dewa Arak terkembang setengah jalan, Singa Air telah melancarkan serangan berupa bacokan sisi tangan ke arah leher. Bunyi berciutan tajam yang mengiringi meluncurnya serangan menunjukkan pada Arya kalau bacokan itu sanggup membuat benda yang paling keras sekalipun menjadi punggal!

Arya pun marah! Singa Air benar-benar keterlaluan. Andaikata benar kakek itu bermain-main, juga tetap kelewatan! Permainannya terlalu berbahaya karena berakibat membawa kematian. Kalau bukan dia sejak tadi diperlakukan seperti itu, tentu telah menggeletak tanpa nyawa melekat di badan.

Kemarahan yang timbul membuat Dewa Arak segera mengambil keputusan yang dipandangnya tepat. Sambil merendahkan tubuh sehingga membuat serangan Singa Air lewat di atas kepala, pemuda ini mengirimkan gedoran tangan kanan ke arah dada.

Blarrr!

Tubuh Dewa Arak dan Singa Air terhuyung-huyung ke belakang. Arya selangkah lebih jauh ketika Singa Air memapaki serangannya dengan cara serupa! Begitu berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung, Arya langsung melesat untuk mengirimkan serangan berikutnya. Pemuda ini tidak mau lagi dijadikan sasaran serangan. Namun, serangannya terhenti di tengah jalan.

Singa Air bukannya bersiap untuk mengelak atau memapaki. Kakek ini malah menjulurkan kedua tangannya ke depan. "Cukup, Arya...!" seru kakek bermuka singa itu. "Permainan ini sudah cukup!"

Arya menatap tajam wajah Singa Air. Perasaan tidak senang memancar jelas dari sepasang matanya. "Mungkin benar kau bermain-main, Kek. Tapi ini permainan yang amat berbahaya. Taruhannya adalah nyawa! Dua permainan yang kau suguhkan terlalu dahsyat. Kalau aku tidak memiliki kepandaian yang cukup, mungkin saat ini nyawaku sudah pergi meninggalkan badan. Tidak bisa kubayangkan berapa banyaknya orang yang tewas di tanganmu akibat permainan yang keterlaluan ini!"

Singa Air tidak marah atau tersinggung mendengar ucapan Arya yang dikeluarkan dengan agak keras dan bernada tidak senang. Kakek ini malah tersenyum.

"Dugaanmu keliru, Anak Muda," sahut Singa Air tenang. "Aku tidak seperti dugaanmu. Aku tidak pernah bermain-main seperti ini terhadap sembarang, orang! Apalagi dengan serangan-serangan berbahaya seperti tadi. Hanya padamulah hal ini kulakukan! Itu pun karena aku yakin kau mampu menangkalnya."

Arya mengernyitkan alis. Penjelasan si kakek membuat kemarahannya mereda. Singa Air tampaknya tidak berbohong. Terdengar jelas nada kesungguhan dalam ucapannya. "Aku tidak mengerti maksudmu, Kek!"

"Permainan yang kau katakan itu, Anak Muda dan kau anggap amat berbahaya ini tidak sembarangan kulakukan. Aku telah memperhitungkan sebelumnya. Aku yakin kau akan mampu menghadapinya. Kau memiliki kepandaian tinggi," jelas Singa Air.

"Maksudmu..., kau telah bisa menduga siapa sebenarnya aku?" tanya Arya. Ia tidak begitu kaget karena tahu dirinya cukup terkenal di kalangan tokoh tokoh rimba persilatan.

Singa Air mengangguk.

"Muridku telah menceritakan cukup banyak hal mengenai dirimu sekembalinya dari merantau. Dia banyak memujimu, Arya. Katanya, kau memiliki tingkat kepandaian tidak berada di bawahnya..."

"Sekarang aku mengerti," Arya mengangguk-anggukkan kepala. "Kau mengujiku sesuai dengan kemampuan muridmu itu. Benarkah dugaanku ini kek?"

Singa Air hanya tersenyum. Tidak mengiyakan atau mengangguk. Tapi, jawaban ini telah cukup bagi Arya. Kemarahannya pun seketika pupus bak awan tersapu angin.

"Boleh kutahu siapa muridmu yang terlalu melebih-lebihkan cerita mengenai diriku, Kek?"

"Dia seorang pemuda gagah sepertimu, Arya. Menurut ceritanya, dia berhasil menunaikan tugas dariku karena pertolonganmu." Singa Air masih mencoba berahasia.

Arya tercenung mengingat-ingat apa yang pernah dilakukannya. Tapi sulit sekali. Terlalu banyak orang yang telah ditolongnya. "Aku tidak mampu mengingatnya, Kek. Maaf, bukannya aku tidak mempedulikan masalah ini. Tapi karena terlalu banyaknya aku terlibat dalam masalah seperti itu. Sekali lagi, maaf. Bukannya aku bermaksdu menyombongkan diri dengan menceritakan hal ini."

"Aku bisa mengerti, Arya," sahut Singa Air, bijaksana. "Aku tahu kau bukanlah orang yang sombong. Kalau tidak, pasti kau telah memberitahukan julukanmu. Orang dengan kepandaian sepertimu, dan sikap tenang yang mencerminkan kematangan telah menunjukkan seringnya kau terlibat dalam masalah. Kau pasti punya julukan. Pemberitahuan sedikit dariku pasti akan membuatmu teringat. Kau dan muridku itu terlibat dalam masalah Kerajaan Kujang."

Wajah Arya berubah. Pemuda ini segera teringat pengalaman beberapa waktu yang lalu itu berkesan di hatinya.

DUA

"Mungkin aku tahu sekarang siapa muridmu itu, kek," ujar Arya. Terbayang kembali di benaknya seorang pemuda berpakaian kuning, bercambang lebat, dan bertangan kuat.

Singa Air tersenyum. "Silakan katakan, Arya. Aku ingin mendengarnya. Benar atau tidak jawaban yang akan kau berikan."

"Muridmu itu adalah Pendekar Tangan Baja!"

'Pendekar Tangan Baja?" ulang Singa Air setengah tertawa. "Jadi..., itukah julukannya? Dia tidak pernah menceritakan hal itu padaku. Atau..., jangan-jangan kau salah mengenali orang."

"Kurasa tidak, Kek. Bukankah Gumintang nama muridmu itu?" tanya Arya untuk memastikan kebenarannya.

Ketika dilihatnya si kakek mengangguk, ucapannya segera dilanjutkan.

"Dialah Pendekar Tangan Baja!"

Singa Air menggeleng-gelengkan kepala kagum. Bisa diperkirakannya, mengapa muridnya yang mendapat julukan seperti itu (Untuk jelasnya mengenai Gumintang alais Pendekar Tangan Baja, silakan baca episode yang berjudul Pendekar Tangan Baja).

"Mengapa kau bisa berada di sini, Kek? Apakah Pendekar Tangan Baja mendapat masalah?"

"Tidak!" Singa Air kembali menggelengkan kepala. "Dia tengah berlatih sebuah ilmu yang membuatnya harus bersungguh-sungguh mempelajarinya. Masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Sialnya, pada saat itu pula aku menemukan masalah besar! Aku yakin ini ada hubungannya dengan kejadian pada puluhan tahun lalu. Di saat aku tengah bertarung dengan seorang tokoh berkepala botak yang amat sakti."

"Masalah? Masalah apa, Kek?" tanya Arya, ingin tahu. Tapi ketika disadarinya kalau mungkin dia bertindak lancang, buru-buru ucapannya dibetulkan. "Maaf, kalau aku terlalu ingin tahu, Kek."

"Tidak mengapa, Arya. Justru aku menaruh harapan padamu. Urusan ini kurasa memang sebaiknya kuberikan padamu. Aku sudah lama tidak terlibat dengan kekerasan. Dan, memang aku tidak ingin terlibat. Tapi, mengetahui akan adanya ancaman besar terhadap dunia persilatan, aku tidak bisa berpangku tangan. Daripada aku gelisah di tempatku lebih baik aku turun. Masalah aku akhirnya mencampuri urusan itu atau tidak, bukan hal yang penting. Di hatiku timbul harapan agar bisa bertemu denganmu untuk memberi tahukan masalah ini. Jiwa kependekaran tidak bisa kusangsikan lagi. Gumintang banyak memuji-mujimu dalam hal ini."

"Bisa kutahu masalah itu, Kek?" tanya Arya buru-buru.

Dia merasa risih mendapat pujian terus-menerus. Singa Air mengeluarkan lembaran-lembaran dari balik bajunya dan menyerahkannya pada Arya. Dengan sigap pemuda itu menerimanya ketika si kakek berkata dengan nada keluh.

"Inilah masalah itu, Arya Kau bacalah."

Arya segera membacanya halaman demi halaman. Beberapa kali alisnya berkerut membaca tulisan itu. Setelah selesai, diberikannya lagi lembaran-Iembaran daun lontar bertulis itu pada Singa Air. Tapi, si kakek menolaknya.

"Kurasa, lebih baik daun-daun lontar itu ada padamu, Arya. Aku tahu kau adalah orang yang paling tepat untuk mengurus masalah ini. Aku pergi dulu, Arya. Aku akan kembali ke tempatku yang tenang dan nyaman. Ini bagianmu...!"

Singa Air melemparkan separuh daging panggangnya pada Arya sebelum melesat meninggalkan tempat itu.

Sepeninggal Singa Air, Arya tercenung. Dia teringat akan tulisan yang tertera di daun lontar. Tulisan itu berisikan keterangan mengenai Golok Kilat. Sebagian besar dari keterangan itu cocok dengan cerita Setan Kepala Besi dan uraian Penyair Cengeng. Malah, tulisan di daun lontar ini lebih lengkap.

Sebenarnya, kalau saja Singa Air mau tinggal lebih Lama, Arya ingin bertanya satu hal. Apakah Singa Air yang dulu menyerang Setan Kepala Besi? Tapi, bukankah Singa Air tidak berwatak aneh? Kalau melihat dari uraian masing-masing pihak, baik Singa Air maupun Setan Kepala Besi, tidak salah lagi Singa Air-lah tokoh aneh yang dulu bertempur dengan Setan Kepala Besi.

Sekarang Arya lebih memusatkan perhatian pada tulisan di lembaran-lembaran daun lontar. Arya bisa memperkirakan mengapa Lintang tahu mengenai Golok Kilat. Dari mana lagi kalau bukan dari lembaran-lembaran ini!

Lembaran daun lontar ini ada beberapa halaman yang hilang. Entah bagaimana itu bisa terjadi. Mungkin karena arus air laut sehingga ikatan lembarannya itu terpisah-pisah. Tidak ada jawaban pasti yang didapatkan Arya.

Bunyi halilintar bersahut-sahutan yang terdengar tiba-tiba membuat Arya merasa heran bukan main. Hari cerah begini mengapa ada bunyi guntur? Dengan cekaman rasa heran yang melanda pemuda ini mengedarkan pandangan ke langit.

Tercekat hati Arya ketika melihat pemandangan di angkasa. Kilat yang bermain di angkasa disertai bunyi menggelegar yang tak henti-henti itu ternyata bercabang tiga! Yang luar biasa, pada saat yang bersamaan tiga kilatan menyilaukan mata dari halilintar muncul dari tiga arah, dan masing-masing menuju ke satu tempat!

Petir bercabang tiga, petir tiga arah menuju ke satu tempat, serta bunyi guruh yang tak henti-henti tertulis dalam lembaran daun lontar! Itu berarti Golok Kilat telah kembali memiliki keistimewaannya!

Jantung Arya berdetak lebih cepat melihat semua kejadian ini. Kecepatan detak jantungnya tetap tidak berubah kendati setelah petir dari tiga arah itu lenyap dan keadaan alam kembali tenang. Terbayang kembali di benak Dewa Arak barisan kalimat di dalam lembaran daun lontar. Kalimat yang membuat Aiya gelisah bukan main.

Apabila karena satu dan lain hal Golok Kilat kembali muncul dan memiliki keistimewaan, ini merupakan ancaman besar bagi tokoh-tokoh persilatan. Karena sekali pun senjata itu ada di tangan tokoh yang berpandaian rendah, tokoh yang memiliki kepandaian bagaimanapun tingginya akan tewas. Cahaya yang keluar dari Golok Kilat akan memburu ke mana pun tokoh yang dimaksud melarikan diri.

Arya tanpa sadar bergidik ngeri. Apabila di tangan tokoh berkepandaian rendah saja demikian Hebatnya bagaimana pula jika Golok Kilat berada di tangan seorang tokoh sakti seperti Lingga? Sudah pasti bahaya yang ditimbulkannya akan berlipat ganda!

"Arya..." Sapaan lembut yang menyejukkan hati Dewa Arak dan menebarkan kedamaian, terdengar. Berbarengan dengan itu di hadapan Arya telah berdiri seorang kakek berpakaian putih bersih berusia tak kurang dari tujuh puluh lima tahun. Seluruh tubuhnya seperti memancarkan cahaya. Terutama wajahnya yang ditumbuhi kumis, alis, dan jenggot putih. Di tangannya tergenggam seuntai tasbih.

"Guru...," panggil pemuda berambut putih keperakan pada kakek yang tahu-tahu berdiri di depannya itu dalam jarak satu tombak.

Kakek yang bukan lain Ki Gering Langit, guru Arya terlihat tersenyum. Ia mengelus-elus kepala Arya yang berdiri dengan mempergunakan lututnya.

"Apa yang membuat Guru keluar dari tempat pertapaan?" tanya Arya sambil bangkit berdiri. Arya dan kakek berpakaian putih itu memang telah cukup lama tidak berjumpa.

"Kurasa kau telah mengetahuinya, Arya," jawab Ki Gering Langit, lembut "Bukankah kau telah membaca lembaran-Iembaran daun lontar?"

"Benar, Guru," jawab Arya, tanpa merasa heran dari mana gurunya tahu.

Kakek berpakaian putih bersih ini memiliki ilmu gaib yang sukar diukur tingginya. Sehingga sepertinya, ada kejadian apa pun kakek itu pasti mengetahuinya. "Ketahuilah, Arya. Golok Kilat memiliki keistimewaan lebih dari yang dikatakan Setan Kepala Besi atau Penyair Cengeng. Golok itu tak ubahnya makhluk hidup!"

"Aku tidak mengerti maksudmu, Guru?" tanya Arya. Penjelasan gurunya rupanya masih terasa membingungkan Ki Gering Langit tersenyum. la kelihatan sabar sekali. Kakek yang memiliki kepandaian sukar untuk dijajaki ini pun seperti tidak memiliki amarah sama sekali.

"Golok Kilat tak ubahnya manusia seperti kita, Arya. Bisa kukatakan seperti itu karena Golok Kilat dapat diperintahkan untuk membunuh seseorang yang kita ingini meski jaraknya teramat jauh. Bila itu terjadi, kau bisa bayangkan sendiri akibatnya, Arya," beritahu Ki Gering Langit Arya menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Keterangan yang diberikan Ki Gering Langit benar-benar tidak disangka.

Sekarang dia mengerti mengapa dalam lembaran daun lontar tertulis kalimat yang mengatakan kalau tokoh berkepandaian rendah sekalipun akan dapat membunuh tokoh yang memiliki kepandaian amat tinggi.

"Lalu bagaimana cara untuk menghentikannya, Guru?" tanya Arya dengan suara kering "Apakah Guru mengetahuinya?"

Ki Gering Langit mengangguk. "Tapi, aku telah bersumpah untuk tidak terlibat langsung dalam urusan dunia persilatan. Jadi, aku tidak bisa memberitahukannya. Kau tidak perlu berkecil hati dulu, Arya. Untuk membuat Golok Kilat hidup sehingga dapat disuruh untuk melakukan tindakan apa pun membutuhkan cara yang tidak mudah. Kau boleh tenangkan hati karena orang yang telah berhasil membuat Golok Kilat timbul kembali keistimewaannya belum mengetahui hal ini."

Arya menghembuskan napas lagi. Kalau begitu tidak terlalu berbahaya, pikir pemuda berambut putih keperakan ini. Ki Gering Langit tersenyum. Kakek ini dapat membaca pikiran yang terkandung di kepala Arya.

"Kau jangan merasa tenang dulu, Arya. Golok Kilat sendiri sudah amat berbahaya. Hanya dengan diacungkan pada lawan, dari ujung golok akan melesat cahaya menyilaukan laksana halilintar. Sinar itu akan mengejar ke mana pun lawan yang dituju menghindar. Membutuhkan kecerdikan luar biasa dan kemampuan yang sangat tinggi untuk meloloskan diri dari kejaran cahaya maut itu."

"Benar-benar senjata yang amat berbahaya, Guru. Tidak bisa kubayangkan mengapa ada orang yang sampai hati membuatnya. Sebuah senjata yang akan menyebar maut di mana-mana. Hhh...! Manusia macam bagaimana yang mampu menciptakan senjata sehebat itu, Guru?"

Ki Gering Langit tersenyum. "Kelak kau akan mengetahuinya sendiri, Arya. Tidak baik kalau hal itu kuberitahukan sekarang. Lagi pula seperti yang kukatakan sebelumnya, aku hanya ikut campur tangan sebatas di luar garis. Kaulah yang harus memecahkan semua masalah ini. Semoga kau berhasil, Arya."

"Selamat jalan, Guru. Dan, terima kasih atas pemberitahuanmu. Akan kuperhatikan baik-baik semua yang kau katakan," ujar Arya seraya memberi hormat Ki Gering Langit tersenyum. Sesaat kemudian, tubuhnya raib dari pandangan.

Arya tercenung sepeninggal Ki Gering Langit. Disadarinya kalau kali ini tugas yang terpikul di pundaknya amat berat. Semua urusan ini, meski telah jelas, tetap masih terselimut rahasia besar. Di dalam diri pemuda berambut putih keperakan itu bertekad akan secepatnya mengirim Lingga ke akhirat. Karena, pemuda berpakaian merah itu seorang lawan yang amat berbahaya.

Arya tahu dia harus bertindak cepat. Disadari betul lambat laun Lingga akan mengetahui kalau Golok Kilat dapat hidup tak ubahnya manusia! Sekelebat pertanyaan bergayut di benak pemuda berambut putih keperakan ini. Apakah ada orang lain yang tahu rahasia ini? Penciptanya mungkin? Diam-diam Arya memaki dirinya sendiri. Mengapa dia bisa lupa?

Dia tidak ingat untuk menanyakan tadi apakah pencipta Golok Kilat masih hidup? Selama ini memang belum ada yang memberitahukannya. Tidak Setan Kepala Besi, Penyair Cengeng, tidak juga gurunya. Bagaimana kalau pencipta Golok Kilat masih hidup? Bukankah itu berarti bahaya yang jauh lebih besar akan mengancam dunia persilatan!

Dengan benak dipenuhi pertanyaan yang tidak terjawab dan kekhawatiran besar, Dewa Arak meninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah pasti, mencari Lingga untuk merampas Golok Kilat. Kalau bisa, sekaligus dengan nyawa pemuda berpakaian merah itu. Membiarkan Lingga berada di dunia persilatan hanya akan menyebarkan malapetaka di mana-mana.

* * *

Hari sudah siang. Kicau burung tidak terdengar lagi. Angin yang bertiup pun terasa tidak nikmat di kulit. Sebuah kereta kuda yang dikawal delapan penunggang kuda bergerak memasuki mulut sebuah hutan.

Para pengiring kereta rata-rata memiliki wajah dan sikap gagah. Kereta kuda itu ternyata tidak memakai kusir. Jalannya kereta karena tali kekang kuda penariknya ditarik oleh seorang pengawal yang berada depan. Para pengiring itu masing-masing empat berada di depan dan yang empat lagi berada di belakang. Semuanya mengenakan seragam pasukan kerajaan. Sedangkan kereta kuda yang dikawal kelihatan indah dan mewah. Kereta khas bangsawan atau pejabat kerajaan.

Seorang yang bertubuh kekar dan berkumis tebal rupanya menjadi pemimpin rombongan ini. Terbukti dialah yang berkuda paling depan sambil memberi aba-aba.

"Pertinggi kewaspadaan kalian!" ujar lelaki berkumis tebal dengan suara penuh wibawa. "Jaga baik-baik keselamatan Gusti Adipati. Aku mendapat firasat tidak baik. Tapi, mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu. Meski demikian, jangan lengah!"

Lelaki berkumis tebal ini mengedarkan pandangan pada tujuh orang berseragam pasukan kerajaan lainnya. Lelaki ini membalapkan kudanya mendahului rombongan kemudian membalikkan arah kudanya hingga berhadapan dengan tujuh orang lainnya. Hal itu dilakukannya sebelum melanjutkan perjalanan.

Bunyi langkah kaki kuda dan gerit roda kereta menggilas jalan tanah terdengar kembali. Tapi, baru juga beberapa tombak meninggalkan tempat di mana sang pemimpin rombongan memberikan peringatan, terdengar bunyi berdesing nyaring yang disusul dengan menancapnya sebatang tombak di hadapan empat orang berseragam kerajaan yang berada di depan kereta.

Seketika itu pala kesibukan melanda delapan orang perajurit kerajaan. Masing-masing mencabut pedang yang tergantung di pinggang, Dan, dengan kesigapan khas pasukan yang terlatih, mereka bergerak mengelilingi kereta.

Delapan pasang mata beredar. Masing-masing mengarahkan pandangan ke arah kerimbunan semak-semak yang berada di kanan kiri jalan selebar dua tombak. Sikap mereka kelihatan penuh kewaspadaan. Bunyi sedikit saja sudah cukup untuk membuat masing-masing bertindak!

Tapi ternyata gangguan yang dikhawatirkan tidak muncul dari kerimbunan semak-semak. Bunyi berkerosakan akibat terlandanya semak-semak dan pepohonan kecil memang terdengar, tapi asalnya tidak dari rerimbunan semak itu melainkan beberapa tombak di depan. Hanya berselisih waktu demikian singkat dengan bunyi gaduh yang timbul, belasan sosok bermunculan.

Lelaki berkumis tebal segera memajukan kudanya. Dengan sikap tenang diperhatikannya belasan penghadang itu. Mereka bertampang kasar dan berpakaian sembarangan. Pakaian khas orang-orang golongan hitam!

"Maafkan kami, Sobat Sekalian. Bisakah kalian menyingkir sebentar? Kami hendak lewat. Dan, kami tengah memburu waktu. Atas kesediaan sobat-sobat sekalian kelak kami akan datang menghaturkan terima kasih. Tentu saja dengan sedikit oleh-oleh!" ujar lelaki berkumis tebal. Sikap dan suaranya tampak ramah. "Aku, Sokananta, pimpinan rombongan ini"

"Bagaimana kalau kami tidak mau?!" sahut lelaki berkepala botak yang bertubuh besar dan berperut gendut dengan nada mengejek. Dialah pimpinan rombongan belasan penghadang.

"Maaf, Sobat," kilah Sokananta dengan suara tidak sehormat sebelumnya, kendati tidak kasar. Sikap lelaki botak dan tawa rombongan penghadang yang penuh ejekan membuatnya membuang sikap mengalah. "Rupanya, kalian semua tidak mengenal siapa adanya kami dan orang yang tengah kami kawal sekarang!"

Lelaki botak mengalihkan pandangan ke arah kereta kuda. Pada saat itu, dari jendela kereta melongok satu kepala yang memiliki wajah tirus dan garis-garis penderitaan batin di wajah. Pemilik kepala itu adalah sang adipati. Ia melongokkan kepala dari jendela karena ingin mengetahui hal yang tengah terjadi.

"Cuhhh!" Lelaki botak membuang ludah dengan sikap kasar dan menjijikkan. Kemudian, pandangannya dialihkan pada Sokananta. "Kami tahu siapa kalian, Pengecut-pengecut Hina! Bukankah kalian semua melarikan diri dari serbuan pasukan kerajaan? Dan, bukankah yang berada di dalam kereta itu adalah sang adipati yang pengecut dan hendak memberontak?!"

Wajah Sokananta langsung berubah. Pedang yang tadi sudah dimasukkan ke sarung segera dicabutnya lagi. Sikapnya terlihat penuh wibawa dan ketegasan ketika kemudian berbicara.

"Aku tidak percaya kalau kalian perampok-perampok biasa. Pasti ada rahasia besar di balik semua ini. Kalian tahu kalau kami diserbu pasukan kerajaan yang menganggap junjungan kami yang selalu setia pada kerajaan sebagai pemberontak. Padahal, masalah ini belum diketahui orang luar. Bahkan kami pun tahu hal itu sewaktu terjadi penyerbuan pasukan kerajaan. Aku yakin kehadiran kalian di sini pun tidak secara kebetulan!"

"Kau memang tidak sedungu yang kukira, Sokananta! Kedunguanmu, hanya kau mengabdi pada orang yang salah!"

Sokananta membelalakkan sepasang matanya ketika melihat sesosok tubuh muncul dari balik pepohonan di belakang rombongan penghadang. "Kau rupanya, Wisoka...," ujar Sokananta sambil mengangguk-anggukkan kepala, maklum. Sosok itu berusia tiga puluhan dan berpakaian seragam pasukan kerajaan.

"Sekarang aku tahu siapa yang berdiri di balik penyerbuan pasukan kerajaan. Pasti ulah Patih Liwung yang tidak menyukai junjunganku sejak dulu. Entah mengapa, Gusti Prabu mudah sekali dihasut."

"Apa susahnya melakukan hal itu, Sokananta yang dungu?!" ejek Wisoka. "Kami melakukan rencana yang amat rapi. Seorang dayang raja kami ancam, seluruh keluarganya akan dibasmi apabila dia tidak mau melaksanakan perintah kami untuk membunuh Gusti Prabu. Dia tidak punya pilihan lain kecuali melaksanakan perintah itu. Seperti yang kami duga dayang itu gagal. Dan sesuai dengan perintah kami, dayang itu mengaku disuruh oleh junjunganmu! Dengan alasan geram karena tindakan dayang itu, salah seorang dari kami membunuhnya. Tidak ada lagi yang akan membuka rahasia. Hasilnya, seperti yang kalian alami sendiri! Ha ha ha...!"

"Keparat!" Sokananta meraung seperti harimau luka. Dia melompat dari punggung kudanya dan meluruk ke arah Wisoka.

Tapi, lelaki botak dan rombongannya tidak membiarkan tindakan itu. Mereka beramai-ramai menyambuti. Melihat hal ini, prajurit bawahan Sokananta tidak tinggal diam. Mereka pun ikut terjun dalam kancah pertarungan.

Hanya dalam sekejapan suasana hutan yang semula hening jadi gaduh oleh bunyi dentang senjata beradu dan teriakan-teriakan. Namun, tak lama kemudian teriakan-teriakan keras itu mulai berganti jerit kesakitan. Malah, lolong kematian yang memilukan pun telah terdengar!

Dalam waktu sebentar saja telah jatuh korban setengah lebih di pihak Sokananta. Sedangkan di pihak Wisoka hanya satu orang yang roboh. Itu pun tidak tewas. Wisoka dan lelaki botak segera mundur dari kancah pertarungan. Mereka menghampiri kereta adipati. Karena, dengan mundurnya mereka dari kancah pertarungan pun tidak akan menguntungkan pihak Sokananta.

Sokananta dan seorang anak buahnya yang tersisa akhirnya tewas dengan cara mengerikan. Tubuh mereka hancur menjadi cacahan daging yang tidak berbentuk lagi karena dihujani belasan senjata tajam.

"Gili...! Keluar kau...! Bersiaplah untuk menerima kematian!" seru Wisoka tanpa nada penghormatan sedikit pun. Bahkan, tidak memanggil Gili dengan jabatannya sebagai adipati.

Brakkk!

Daun pintu kereta hancur berantakan, disusul dengan turunnya dari dalam kereta seorang lelaki berpakaian mentereng. Tubuhnya kecil kurus. Wajahnya muram seperti lampu kehabisan minyak. Tarikan wajahnya tampak menyiratkan seseorang yang menderita tekanan batin.

"Apa yang terjadi denganmu, Gili? Ketidak-tenangan hidup?" ejek Wisoka sambil menyeringai. "Kulihat wajahmu layu seperti pohon yang tidak pernah kena air. Apakah kematian istri, adik, dan putrimu yang menjadi penyebabnya?"

Mata Adipati Gili yang sejak tadi terlihat hampa bagai orang yang kehilangan semangat hidup, seketika berkilau tajam! Seakan ada cahaya yang mengusir kabut duka di wajahnya. Rahang lelaki ini mengeras. Suaranya pun terdengar penuh kemarahan dan ancaman "Sepertinya kau tahu banyak mengenai peristiwa yang menimpa mereka, Wisoka?!"

"Sepertinya, Gili? Ha ha ha...! Kau memang bebal! Peristiwa yang menimpa anak, istri, dan adikmu itu adalah hasil rencana Patih Sura Banggal. Beliau yang menyewa perampok-perampok untuk membunuh keluargamu! Tentu saja dengan bayaran yang luar biasa mahal. Setelah itu, rombongan perampok yang tersisa kami bereskan. Dengan demikian, rahasia terterjaga! Ha ha ha...!"

"Keparat!" Adipati Gili menggeram bak singa teduka. Keris yang terselip di belakang tubuhnya langsung dicabut. Kemudian, ditusukkan ke arah Wisoka! Wisoka mengelak dan segera balas menyerang. Pertarungan kembali terjadi.

Wisoka yang mempergunakan trisula memiliki kepandaian tidak rendah. Tapi yang dihadapinya Adipati Gili. Seorang patih kerajaan yang memiliki kepandaian tinggi, dan memiliki kemampuan untuk mengatur pemerintahan dengan baik. Oleh karena itu, Patih Gili diangkat menjadi Adipati.

Menghadapi Adipati Gili yang lihai ini, Wisoka segera saja terdesak. Melihat hal itu, lelaki botak tidak tinggal diam. Dia ikut terjun dalam kancah pertarungan dengan mempergunakan tongkat baja.

Ikut campurnya lelaki botak dengan cepat merubah jalannya pertarungan. Adipati Gili segera terdesak. Kepandaian si botak memang tinggi. Malah sedikit lebih tinggi dari Wisoka. Tapi bila dibandingkan dengan Adipati Gili, lelaki botak ini tetap kalah sedikit.

Adipati Gili bertarung bagai binatang buas terluka. Lelaki itu begitu penuh semangat! Tapi, modal itu saja tak cukup untuk dipakai menghadapi pengeroyokan lawan-lawannya.

Tak sampai dua puluh jurus ujung trisula Wisoka menyerempet perutnya. Susulan serangan berupa tendangan lelaki botak membuat tubuhnya terlempar dan terguling-guling di tanah.

"Terimalah kematianmu Gili!" Sambl berseru keras. Wisoka melontarkan trisulanya. Senjata itu meluncur deras kearah Adipati Gili yang saat itu tengah terguling-guling!

TIGA

Trakkk!

Beberapa jengkal sebelum trisula Wisoka menghujam tubuh Adipati Gili, sehelai sabuk meluncur dan memapakinya. Trisula itu terpental jauh ketika terbentur ujung sabuk berwarna merah muda!

Tidak hanya Wisoka, lelaki botak pun terkejut. Serentak keduanya menoleh ke arah belakang Adipati Gili. Terlihat seorang gadis cantik jelita berpakaian merah berdiri dengan sikap gagah! Tahi lalat di bawah lubang hidungnya sebelah kiri menambah kejelitaan wajahnya.

"Menyingkirlah. Paman. Biar aku yang mewakilimu menghajar pengecut-pengecut hina yang beraninya main keroyok ini!" ujar gadis berpakaian merah itu.

Si gadis melangkah maju dan bersiap menghadapi Wisoka serta lelaki botak. Pada saat yang bersamaan, Adipati Gili segera bangkit berdiri dan membalikkan tubuh menjauhi arena pertarungan. Lelaki ini menyadari lawan-lawannya terlalu tangguh untuk bisa dirobohkan.

Adipati Gili tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika menatap si gadis. Sepasang matanya membelalak lebar. Wajahnya pun pucat pasi seperti melihat hantu di tengah hari. Lelaki kecil kurus ini terkesima seperti orang kena sihir!

Si gadis mengerutkan alisnya. Dia merasa heran melihat tingkah Adipati Gili. Apakah ada yang salah dengan dirinya sehingga membuat Adipati Gili bersikap seperti itu? Barangkali ada sesuatu yang menempel di wajahnya. Dengan punggung tangan kiri diusap wajahnya secara asal.

"Ada apa, Paman?" tanya si gadis yang merasa risih mendapat tatapan sedemikian rupa dari Adipati Gili.

Pertanyaan si gadis membuat Adipati Gili tersadar. Dia tahu sikapnya itu tidak pantas. Maka, dengan gugup digeleng-gelengkan kepalanya. "Ah..., ti..., tidak ada apa-apa, Nona. Tidak apa-apa..."

Gadis berpakaian merah melanjutkan langkahnya. Adipati Gili bertindak serupa. Bedanya, kalau si gadis mendekati Wisoka dan lelaki botak, Adipati Gili malah sebaliknya. Lelaki berpakaian indah itu menjauhi tempat pertarungan.

Tapi, setibanya di tempat yang aman Adipati Gili terus memperhatikan si gadis dengan penuh selidik. Ada sesuatu pada diri si gadis yang menarik perhatiannya. Gadis berpakaian merah sendiri telah menghentikan langkahnya ketika jaraknya dengan Wisoka dan lelaki botak tinggal tiga tombak lagi. Kedua tangannya yang berjari-jari lentik mempermainkan sabuk merah muda.

Wisoka dan lelaki botak segera menyadari lawannya kali ini jauh lebih tangguh daripada Adipati Gili. Keduanya pun bersikap lebih hati-hati. Senjata-senjata yang tergenggam di tangan telah siap untuk dipergunakan. Wisoka telah mengambil trisulanya yang tadi terlempar. Seandainya Wisoka dan lelaki botak melihat tingkah Adipati Gili tadi, mereka pasti akan keheranan. Tapi, perhatian mereka tengah dipusatkan untuk menghadapi gadis yang telah siap bertarung.

Meski demikian, Wisoka sempat merasa heran. Dia seperti perna melihat gadis berpakaian merah ini. Hanya kapan dan di mana tempatnya dia lupa.

"Apamukah keparat ini, Nona, sehingga kau sampai membelanya? Kau tahu, taruhannya adalah nyawamu! Tidak sayangkah kau dengan usiamu yang masih muda? Menyingkirlah dari sini, mumpung kami masih mau bermurah hati," ujar Wisoka.

Wisoka tidak takut sekalipun tahu si gadis memiliki kepandaian tinggi. Atau, setidak-tidaknya tenaga dalam yang amat kuat, mengingat dengan ujung sabuk yang lemas mampu membuat trisulanya terlempar jauh. Padahal, trisula itu diluncurkan dengan tenaga penuh! Wisoka hanya tidak ingin maksudnya untuk membunuh Adipati Gili gagal karena lelaki itu kabur.

"Aku memang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan orang yang kalian keroyok! Tapi, keperkasaannya melawan kalian yang merupakan pengecut-pengecut hina ini telah mengagumkan hatiku. Dan aku, Nuri, tahu mana yang harus kubela!" tandas si gadis penuh semangat.

"Sombong! Lihatlah nasib yang akan menimpamu, Gadis Konyol!" maki Wisoka marah mendengar jawaban si gadis. "Kau akan kuberikan pada belasan orang gagah di belakang. Mereka akan memperkosamu habis-habisan sampai kau mati kelelahan!"

Belasan anak buah lelaki botak menelan air liur mendengar ucapan Wisoka. Sudah terbayang di benak mereka nikmatnya menggeluti tubuh montok Nuri. Mata-mata mereka merayapi sekujur tubuh Nuri seperti mata seekor serigala kelaparan melihat anak domba gemuk.

Gadis berpakaian merah yang bukan lain murid Setan Kepala Besi menjerit penuh kemarahan mendengar ucapan Wisoka. Tangannya digerakkan sehingga membuat sabuknya meliuk-liuk ke arah Wisoka sambil memperdengarkan bunyi meledak-ledak seperti halilintar.

Wisoka segera melompat ke belakang mengelakkan serangan itu. Di saat yang bersamaan, lelaki botak mengayunkan tongkatnya untuk menyapu lutut Nuri. Nuri melompat ke atas menghindari serangan lawan. Kemudian, dia melancarkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Sekejapan saja pertarungan yang jauh lebih sengit segera tercipta!

Adipati Gili menatap Nuri dengan sepasang mata berkaca-kaca. Tanpa sepengetahuan siapa pun, begitu Nuri memperkenalkan namanya, lelaki ini hampir berteriak karena kaget. Untung dia cepat menutup mulut sehingga seruan yang hampir dikeluarkan tertelan kembali.

Meski demikian, Adipati Gili tidak mau berkedip sekejap pun. Padahal, dengan berkaca-kacanya matanya terasa panas. Tapi kekhawatiran kalau kedipan itu akan membuatnya sekejap tidak menyaksikan jalannya pertarungan memaksa Adipati Gili berkeras untuk terus membuka mata.

Nuri ternyata terlalu tangguh untuk dilawan oleh Wisoka dan si lelaki botak. Kemampuannya yang tinggi membuat Nuri mampu mendesak kedua lawannya. Dan senjatanya yang lemas sehingga mudah menerima aliran tenaga dalam itu semakin menambah kebingungan mereka.

Sabuk merah muda di tangan Nuri menjadi senjata yang amat berbahaya. Begitu mudah dan cepat berubah bentuk! Terkadang menegang kaku laksana pedang atau golok. Tapi, tak jarang melecut-lecut seperti cambuk dan mengeluarkan bunyi menggelegar. Di lain waktu, meliuk-liuk seperti ular. Tak terduga ke mana arah yang dituju. Persis seekor ular sungguhan! Itu pun masih ditambah lagi dengan mampu membelit dengan kuat hingga tak kalah dengan jepitan baja.

Tahu kalau berdua tidak akan dapat menghadapi Nuri, lelaki botak segera memerintahkan anak buahnya untuk membantu mengeroyok. Belasan orang itu pun menghunus senjata masing-masing dan terjun ke dalam kancah pertarungan. Bantuan mereka ternyata hampir tidak berarti. Tingkat kepandaian mereka terlalu rendah.

Hanya dalam beberapa gebrakan saja orang-orang yang sial itu berpentalan satu persatu ke belakang ketika ujung sabuk Nuri melecut. Tidak membuat mereka tewas memang, tapi cukup untuk memaksa para lelaki bengis itu tidak mampu bangkit dan mengeroyok lagi.

Lelaki botak dan Wisoka mendapat giliran belakangan. Ujung sabuk Nuri melecut dada mereka dengan keras. Keduanya pun roboh dengan terluka dalam yang parah, seperti belasan rombongan anak buah lelaki botak. Nuri menatapi lawan-lawannya satu persatu sambil membelitkan sabuknya kembali ke pinggangnya yang ramping.

"Untunglah kalian," ucap Nuri penuh wibawa. "Aku bukan orang yang berhati kejam. Dan lagi, aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Maka aku tidak akan membunuh kalian. Tapi, ingat! Bila lain kali bertemu dengan kalian lagi dan sikap kalian masih seperti ini, aku tidak bisa bermurah hati lagi. Camkan itu baik baik!"

"Nuri...." Sapaan yang sarat dengan getaran perasaan itu membuat Nuri membalikkan tubuh. Asal sapaan datang dari belakang tubuhnya. Rasa heran karena mampu menangkap getaran perasaan yang amat besar dalam sapaan itu membuat Nuri cepat memberikan tanggapan.

Tepat seperti dugaan Nuri. Orang yang memanggilnya adalah Adipati Gili. Suara adipati itu telah dikenalnya. Nuri merasa heran ketika melihat sepasang mata Adipati Gili tampak berkaca-kaca. Apa pula ini? Tanya si gadis dalam hati. Apakah Adipati Gili demikian cengeng? Menangis karena luka yang diderita? Dugaan ini membuat Nuri kecewa.

"Benar namamu Nuri...?" tanya Adipati Gili kemudian. Suaranya terdengar lebih gemetar karena bibir-bibirnya menggigil.

"Benar, Paman? Kenapa?" tanya Nuri dengan perasaan heran yang menjadi.

"Kau tahu siapa ibu dan ayahmu?"

Nuri mulai bisa menduga arah pertanyaan Adipati Gili. Jantung gadis ini pun berdetak lebih cepat dari biasanya. "Tidak, Paman. Aku tidak tahu siapa orang tuaku. Sejak kecil aku dipelihara dan dibesarkan oleh guruku. Menurut beliau, ayah dan ibuku tewas di tangan para perampok," suara Nuri gemetar ketika menjawab. "Apakah kau tahu siapa ayah ibuku, Paman?"

Sekarang tidak hanya suara Adipati Gili yang menggigil. Kedua kakinya pun goyah! Rupanya, guncangan perasaan yang melandanya demikian hebat. "Apakah gurumu itu menceritakan di mana tewasnya orang tuamu itu, Nuri? Apakah di hutan karet...?"

"Benar, Paman. Dari mana kau tahu hal ini? Siapakah kau sebenarnya?"

"Nuri, Anakku...!" Adipati Gili berseru. Serak. Penuh perasaan haru dan gembira yang besar. Kedua tangan lelaki itu terkembang ketika melangkah tertatih-tatih ke arah Nuri.

Nuri melangkah mundur selangkah. "Kau jangan membohongiku, Paman. Orang tuaku telah mati di tangan perampok. Kau jangan mengaku-aku sembarangan saja. Aku bisa marah dan menghajarmu, Paman!"

Adipati Gili merasakan nada kesungguhan dalam nada dan sikap Nuri. Maka, dia menghentikan langkahnya. Wajahnya berubah sedih ketika melihat penolakan gadis berpakaian merah itu."Percayalah, Nuri. Kau benar anakku. Aku tidak berdusta. Sungguh, Nak. Bertahun-tahun kau kucari. Bahkan seluruh prajurit kadipaten kupesan dan kuperintahkan untuk mencarimu ketika tidak kutemukan mayatmu di sana. Yang ada hanya mayat para prajurit, ibumu, dan adikku yang kuperintahkan untuk menemani ibumu pergi, Nuri," urai Adipati Gili untuk menimbulkan kepercayaan Nuri.

Nuri tetap diam. Sikapnya belum berubah. Malah, jadi terkesima seperti orang terkena sihir. Rupanya cerita yang didengarnya terlalu mengejutkan hati.

"Mungkin adikku yang dianggap gurumu sebagai ayahmu, Nuri. Kau tahu, Anakku. Wajahmu sangat mirip dengan mendiang ibumu. Karena itu, aku kaget ketika melihatmu tadi. Kukira kau istriku yang bangkit kembali dari kuburnya. Tapi, akal sehatku segera membuatku sadar kalau hal itu tidak mungkin terjadi. Orang yang telah mati tidak mungkin akan bangkit kembali. Lagi pula, antara kau dan ibumu ada perbedaan yang amat menyolok. Ibumu menyukai warna putih. Karena itu pakaian yang dikenakannya selalu putih. Sedangkan kau sejak kecil suka dengan warna merah!"

Adipati Gili menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. Guncangan perasaan yang melanda membuatnya cepat lelah. Juga luka akibat serangan Wisoka dan lelaki botak belum diobatinya.

Nuri masih membeku di tempatnya. Gadis ini seakan telah berubah menjadi patung batu yang amat cantik. Wajahnya beku. Sinar matanya hampa. Kendati demikian, semua keterangan Adipati Gili didengarnya dengan jelas.

"Kau anak yang lama kami nantikan kehadirannya. Kau lahir setelah kami menikah lima tahun. Kami amat menyayangimu Nuri, untuk menyatakan rasa sayang itu kami membuat sapu tangan yang berbeda. Ibumu sapu tangan putih dengan sulaman namamu berwarna merah. Aku mempunyai sapu tangan kuning bertuliskan namamu dengan benang merah. Sedangkan kau Nuri, sapu tanganmu merah. Tapi nama yang tersulam, meski namamu, tersulam atas dua warna. Kuning dan putih! Ketika kau menyebutkan nama, aku yakin kalau kau adalah Nuri-ku yang hilang.

Sekujur tubuh Nuri menggigil. Penjelasan Adipati Gili yang terakhir begitu menusuk hatinya. Meski demikian, dia tetap tidak beranjak dari tempatnya.

"Apakah kau masih menyimpan sapu tangan itu, Nak?" tanya Adipati Gili sarat dengan perasaan haru. "Aku masih menyimpannya. Kuanggap sapu tangan ini adalah dirimu, Nuri. Apabila aku rindu padamu kupandangi sapu tangan ini. Rupanya, Tuhan berkenan memperkenankan keinginanku untuk bertemu denganmu. Aku tidak meminta banyak-banyak. Hanya, sebelum pergi dipanggil-Nya aku ingin bertemu denganmu, Anakku. Itu saja pintaku. Sungguh tidak disangka permintaanku dikabulkan-Nya. Aku bahagia sekali melihat kau yang dulu kecil dan lincah kini tumbuh menjadi seorang gadis cantik jelita seperti mendiang ibumu. Memiliki kepandaian tinggi lagi. Kalau ibumu masih hidup dia pasti akan sangat bahagia dan bangga, Nuri."

Adipati Gili mengeluarkan sehelai sapu tangan kuning bersulamkan benang merah yang bertuliskan nama Nuri.

Kali ini Nuri tidak bisa bertahan lagi dengan sikapnya. Dengan jari-jari tangan menggigil dikeluarkan dua helai sapu tangan yang memiliki ciri-ciri seperti yang dikatakan Adipati Gili. Sapu tangan yang sejak dulu menjadi tanda tanya besar bagi Nuri, namun sekarang telah terpecahkan rahasianya!

"Kau benar Nuri, Anakku," rintih Adipati Gili.

"Ayaaah...!'' Nuri berseru nyaring sambil menghambur ke arah Adipati Gili dengan kedua tangan terkembang. Wajah Adipati Gili jadi berseri-seri. Matanya seperti menyiratkan cahaya.

Lenyap sudah gumpalan kabut duka yang belasa tahun menutupi sepasang mata dan wajahnya. Lelaki ini mengembangkan kedua tangan dan membiarkan tubuh Nuri masuk ke dalam pelukannya. Dipeluknya gadis itu dengan penuh kegembiraan, dan rasa sayang yang besar. Dua titik air mata mengalir dari mata Adipati Gili. Air mata kegembiraan.

Hanya dua titik! Namun, sangat berharga bagi Adipati Gili. Lelaki ini tidak pernah menangis sebelumnya. Bagi Adipati Gili, lebih baik berhamburan darah daripada meneteskan setitik air mata. Tapi kali ini keadaannya lain. Itu terjadi begitu saja. Bagaimanapun juga lelaki ini seorang manusia yang tidak luput dari landaan berbagai macam perasaan.

"Apakah Ayah tahu orang-orang yang telah membunuh ibu?" tanya Nuri setelah gelombang rasa harunya terlampiaskan. Perlahan-lahan pelukannya dilepaskan Adipati Gili bagai disengat ular berbisa. Dia telah lupa segala hal. Yang diingatnya hanya tentang Nuri. Baru sekarang dia teringat lagi. Cepat pandangannya dialihkan pada tempat Wisoka dan kelompoknya tergolek.

Ternyata Wisoka dan teman-temannya masih ada di situ. Mereka tidak bisa menggunakan kesempatan di saat ayah dan anak itu larut dalam pertemuannya untuk melarikan diri. Keadaan mereka tidak mendukung!

Sejak tadi Wisoka dan kelompoknya mengeluh mendengar perbincangan Adipati Gili dengan Nuri. Terutama Wisoka. Begitu mendengar Adipati Gili memanggil Nuri sebagai anaknya, sebelum Nuri sendiri mengakuinya, Wisoka segera tahu kalau Nuri adalah putri Adipati Gili. Pengakuan sang adipati itu telah membuatnya sadar kalau dia belum pernah melihat Nuri sebelumnya. Yang pernah dilihatnya adalah orang lain yang mirip dengan Nuri. Dan, orang itu adalah istri Adipati Gili, ibu Nuri!

"Mereka semualah yang telah membunuh ibumu, Nuri. Mungkin juga kau akan menjadi korban apabila gurumu tidak datang dan menyelamatkanmu!" beritau Adipati Gili sambil menunjuk Wisoka dan rombongannya.

"Tapi, orang yang paling jahat di antara mereka adalah dia!" tunjuk Adipati Gili pada Wisoka.

Nuri menggertakkan gigi. Sepasang matanya berkilat memancarkan kemarahan. Tak ubahnya seekor harimau betina yang diganggu anaknya. "Apa yang seharusnya aku lakukan terhadap mereka Ayah?" desis Nuri penuh ancaman maut.

Adipati Gili mengangkat bahu. "Entahlah, Nuri. Begitu bertemu denganmu dan kau mengakuiku sebagai Ayah, hilang sudah rasa sakit hati yang bertumpuk-tumpuk selama belasan tahun ini."

"Tapi bila mereka kita biarkan begitu saja terlalu enak. Ayah!" bantah Nuri. "Di samping itu, bukan tidak mungkin mereka akan melakukan tindakan serupa. Kurasa, orang-orang berhati binatang seperti mereka tidak patut dibiarkan berkeliaran lebih lama di muka bumi!"

Adipati Gili mengangguk-anggukkan kepala. Dia menyetujui pendapat putrinya. Bisa dirasakan sakit hati yang diderita Nuri. Karena perbuatan mereka, Nuri tidak merasakan kasih sayang orang tua. Terlalu enak memang kalau dibiarkan begitu saja. Nuri benar!

"Aku harus meminta ganti rugi atas hilangnya kasih sayang Ayah dan Ibu. Tambahan lagi rasa sakit hati Ayah. Belum lagi penderitaan batin yang Ayah alami selama belasan tahun. Mati sepuluh kali pun belum cukup untuk membayar semua hutang-hutang itu!"

Dengan pandang mata beringas seperti harimau lapar mencium bau darah. Nuri meloloskan sabuknya. Gerakan gadis itu diperhatikan Wisoka dan kelompoknya dengan wajah pucat. Mereka telah bisa memperkirakan apa yang akan menimpa.

Nuri melecutkan sabuknya. Wisoka dan kelompoknya merasakan nyali mereka melayang pergi meninggalkan tubuh. Sabuk di tangan Nuri tak kalah ampuh dengan senjata tajam. Bisa diperkirakan akan mengirim nyawa mereka ke alam baka!

Semua melongo ketika melihat sabuk tidak meluncur ke arah mereka, tapi menuju sebatang pohon. Ujung sabuk yang menghantam sasaran menimbulkan ledakan keras. Pohon bergoyang keras bagai didorong-dorong seekor gajah liar.

Wisoka dan kelompoknya, tidak terkecuali Adipati Gili, merasa takjub bercampur ngeri melihat daun-daun pohon berguguran. Apalagi ketika melihat daun-daun itu tidak jatuh ke tanah. Tapi, melayang dengan kecepatan menakjubkan ke arah Wisoka dan kelompoknya. Bunyi berdesing nyaring yang terdengar menjadi pertanda cepatnya luncuran daun-daun.

Wisoka dan semua anggota kelompoknya memekik memilukan ketika daun-daun menghujam dahi mereka. Sekejap kemudian, belasan orang itu menggelepar-gelepar sekarat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Mati!

Nuri menyimpan sabuknya kembali. Wajah gadis itu agak pucat karena ini untuk pertama kalinya dia membunuh orang! Tidak hanya satu, melainkan belasan! Tapi, dikeraskan hatinya untuk membuang rasa nyeri yang melanda.

Adipati Gili memaklumi perasaan yang tengah berkecamuk di hati putrinya. Disentuhnya bahu Nuri. Perlahan Nuri menoleh dan tersenyum dipaksakan ketika melihat ayahnya tersenyum.

"Mari kita cari tempat yang tenang untuk saling bercerita mengenai pengalaman masing-masing. Aku sudah tidak sabar lagi mendengarkan pengalamanmu yang luar biasa, Nuri."

Nuri mengangguk. Ayah dan anak yang tengah diliputi rasa gembira itu pun melesat pergi meninggalkan tempat itu.

* * *

"Ke manakah kita harus mencari bangsat penculik itu. Ayah?"

Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang pemuda berpakalan cokat dan bertubuh pendek kekar. Alis pemuda ini tebal, hitam, dan berbetuk golok. Sosok yang disapa si ayah, dan tengah berlari cepat di sebelah si pemuda, menoleh sebentar.

"Ke mana saja, Gentala," jawab sang ayah. Seiring lelaki berusia lima puluhan, berkumis melintang dan bermata picak. "Tapi, aku yakin dengan ciri-ciri yang dimilikinya tidak terlalu sulit untuk mengikuti jejaknya. Pemuda yang mengenakan pakaian serba merah dan berikat kepala merah tidak banyak. Jadi kita bisa mencari keterangan itu di sepanjang jalan."

Gentala, si pemuda beralis tebal, tidak bertanya lagi. Namun, kelihatan jelas kalau dia geram bukan main. Tinju kanannya dipukulkan ke telapak tangan kiri sehingga menimbulkan bunyi keras. Samar-samar terlihat kepulan asap tipis. Gerakan itu dilakukan sambil terus berlari.

"Kalau kutemukan, akan kuhancurkan kepala penculik terkutuk itu. Apalagi kalau dia berani-berani mengganggu Priyani. Akan kubuat hancur seluruh tulang belulangnya!"

"Jangan kau terlalu memandang rendah penculik itu, Gentala!" tegur lelaki bermata picak.

"Aku heran mengapa Ayah demikian meremehkanku? Aku jadi ingin tahu sampai di mana kemampuan penculik itu? Sampai-sampai Ayah tidak mau melepaskan aku mencari penculik Priyani itu sendiri!" terdengar penuh penasaran ucapan yang dikeluarkan Gentala. Sepasang alisnya yang tebal berkerut dalam menandakan ketidaksenangan hatinya.

"Tidak kau dengar cerita Empu Lahang Samedi, Gentala?" tukas lelaki bermata picak. "Kau tahu sendiri Priyani, adik seperguruanmu itu, memiliki kepandaian tidak rendah. Malah hanya berselisih sedikit saja denganmu. Kau saja yang telah mengenal semua ilmu dan gerakannya tidak mudah untuk merobohkannya. Sedangkan penculik itu? Tanpa bergeming dari tempatnya dia telah membuat Priyani bersama-sama Empu Lahang Samedi tidak berdaya! Bisa kau bayangkan betapa tinggi kepandaiannya. Jangankan kau, aku sendiri tidak yakin akan mampu menghadapinya, apalagi untuk merobohkannya!"

"Tapi, Empu Lahang Samedi tidak masuk hitungan. Ayah!" bantah Gentala, tidak puas. "Apa hebatnya kakek itu? Kalau kepandaiannya tinggi, untuk apa dititipkannya pada Ayah?"

Lelaki bermata picak menghentikan lari dengan tiba-tiba. Ini membuat Gentala bertindak serupa. Napas ayah dan anak ini biasa saja kendati telah berlari cepat tanpa berhenti. Hanya, peluh membasahi dahi dan leher Gentala. Sedangkan pada ayahnya hanya di dahi.

"Kau tahu, Gentala, sikapmu yang terlalu menganggap diri sendiri paling hebat yang tidak kusukai!" tandas lelaki bermata picak sambil menatap putranya dengan pandangan tajam.

Gentala diam. Bahkan, menundukkan kepala. Kaki kanannya tampak digurat-guratkannya ke tanah.

"Asal kau tahu saja, sikap sombong akan membuatmu menyesal nantinya. Kau menganggap dirimu sudah tidak memiliki lawan lagi. Itu akan mengurangi kegiatanmu menuntut ilmu. Perlu kau sadari, Gentala. Di dunia persilatan tak terhitung jumlahnya tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Jangankan hanya kau, aku sendiri pun tak akan lebih dari setitik debu di dunia persilatan. Tidakkah kau ingat kalau di atas langit masih ada langit?!"

Gentala tetap diam. Ia tidak memberikan tanggapan. Wajahnya pun tidak diangkat sedikit pun. Lelaki picak terdengar menghela napas berat. Disadari kalau dia telah keliru mendidik. Dan, ini memang salahnya sendiri. Sejak kecil apa pun yang diinginkan Gentala selalu dipenuhinya. Gentala amat dimanjanya! Ini dilakukannya karena Gentala tidak mempunyai ibu lagi. Istri lelaki ini meninggal saat melahirkan Gentala.

"Sekarang, dengan telingaku sendiri kudengar kau memandang rendah Empu Lahang Samedi! Jangan kau merasa aku lebih hebat daripadanya karena dia mengirim putrinya belajar padaku. Kau keliru, Gentala!"

"Tapi, bukankah Ayah sendiri yang mengatakan begitu? Kudengar sendiri ketika dulu kutanyakan hal itu pada Ayah. Bahkan, Ayah bercerita kalau Ayah terhitung tokoh besar dunia persilatan. Siapa yang tidak mengenal Malaikat Picak? Sekarang Ayah justru bicara sebaliknya. Mana ucapan Ayah yang benar?"

"Semuanya benar!" jawab sang ayah yang berjuluk Malaikat Picak. "Dan, tidak ada satu pun yang paling bertentangan. Hanya kau saja yang mengartikannya lain. Memang benar Empu Lahang Samedi memiliki kepandaian di bawahku. Tapi, hanya berselisih sedikit saja. Kalau dibandingkan dengan kau tentu saja masih lebih tinggi kepandaiannya. Itu hal pertama. Yang kedua benar aku Malaikat Picat memang terhitung tokoh besar dunia persilatan. Tapi, itu tidak berarti kalau aku jago nomor satu atau tokoh tak terkalahkan. Kau musti tahu hal itu, Gentala. Ada yang besar pasti ada yang lebih besar. Yang lebih besar lagi dan tak terhitung banyaknya. Nah, apakah ucapanku saling bertentangan?"

Gentala tampak tidak puas dengan penjelasan ayahnya. Dia menatap wajah ayahnya sejenak. "Aku memang salah! Sombong, memandang rendah orang lain, dan selalu salah menilai orang. Meski demikian, walau Ayah merendah-rendahkan diriku dan selalu menganggap penculik hina itu memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripadaku, aku akan tetap memburunya. Apa pun yang akan terjadi terhadap diriku. Kuharap kau membiarkanku pergi melaksanakan maksudku, Ayah! Selamat tinggal!"

Tanpa memberikan kesempatan pada ayahnya untuk memberikan tanggapan, Gentala melesat cepat meninggalkan tempat itu. Pemuda ini mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya sehingga dalam sekejapan telah berada jauh di depan.

"Gentala...!" Malaikat Picak berseru memanggil putranya. Tapi Gentala tetap terus berlari. Jangankan berhenti, menoleh pun tidak.

Malaikat Picak menghela napas berat. Dia merasa khawatir sekali dengan keselamatan putranya. Namun disadarinya kalau Gentala tidak bisa dicegah lagi. Watak pemuda itu terlalu keras. Apa yang diinginkannya harus terlaksana, apa pun hambatannya!

Lelaki bermata picak ini hanya mengawasi Gentala hingga tubuh pemuda itu lenyap di kejauhan. Baru setelah itu Malaikat Picak melesat menuju tempat yang tadi dituju putranya. Perasaan kawatir yang membuat Malaikat Picak bersikeras mengikuti.

* * *

EMPAT

Arya mengernyitkan alis. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada pendengaran. Sekilas tadi ia menangkap bunyi napas yang berirama teratur. Seperti napas yang keluar dari orang yang tengah bersemadi.

Sambil memusatkan perhatian pada telinga, Arya mengedarkan pandangan ke kanan dan kirinya. Pemuda berambut putih keperakan ini tengah berada di jalan berbatu selebar dua tombak. Pada bagian kanan kiri jalan menjulang tinggi dinding batu seakan hendak mencapai langit.

Anehnya, pada dinding tebing itu banyak terdapat lubang-lubang bergaris tengah setengah tombak. Banyak sekali lubang itu. Berderet-deret tak ubahnya lubang-lubang sarang tawon. Tinggi lubang terendah dari tanah tak kurang dari lima tombak. Hanya dalam waktu sebentar saja Arya telah tahu kalau bunyi halus yang didengarnya berasal dari lubang-lubang didinding tebing. Namun, sulit untuk memastikan lubang yang tepat.

Tapi, ternyata Arya tidak perlu repot-repot untuk mencarinya. Dari lubang-lubang yang ada di tengah melesat dua sosok tubuh. Tidak dari satu lubang, melainkan dua. Cepatnya gerakan sosok itu membuat Dewa Arak tidak bisa meliharnya secara jelas. Dia hanya melihat bayangan merah dan putih.

Jantung Arya langsung berdetak cepat. Baju merah itulah yang menyebabkannya bagai tercekat. Bahkan, pemuda ini sampai melompat mundur dengan kewaspadaan penuh. Benak Arya langsung menduga kalau sosok bayangan itu adalah Lingga! Bukankah dia mengenakan pakaian serba merah? Hanya saja yang menjadi pertanyaan Arya adalah sosok bayangan putih itu. Kawan Linggakah?

Sepengetahuannya, Lingga tidak pernah bertindak bersama-sama. Pemuda itu selalu berusaha sendiri. Keangkuhannya yang membuatnya demikian. Ketika dua sosok bayangan itu menjejak tanah baru Arya melihatnya dengan jelas. Dua sosok itu salah satunya bukan Lingga. Kendati demikian Arya mengenalnya. Mereka dua orang kakek yang memiliki ciri-ciri saling bertolak belakang.

Kakek yang satu kurus tinggi, berkulit putih dan mengenakan pakaian warna putih. Jenggotnya yang pendek berwarna putih. Tampangnya tampak angker. Sedangkan kakek yang satu pendek gemuk, berkulit merah dan berjenggot panjang merah. Warna yang sama membungkus tubuhnya. Kakek inilah yang menimbulkan bayangan merah dan membuat Arya mengira kalau dirinya adalah Lingga.

"Kalian rupanya...," desis Arya. Ada kegembiraan dan kekecewaan sekaligus dalam suaranya. Gembira karena bertemu dengan orang yang memang dicari-carinya. Dua kakek inilah yang telah menculik Nuri, murid Setan Kepala Besi (Untuk jelasnya, silakan baca episode Golok Kilat).

Rasa kecewa yang timbul adalah karena sosok bayangan merah itu bukan Lingga. Dewa Arak amat ingin segera bertemu Lingga agar bencana yang menyebar bisa cepat dihentikan. Apakah malapetaka itu akan lenyap dengan berhasilnya Arya menumpasnya? Atau, Dewa Arak yang akan tertumpas dan bencana terus berkecamuk sampai munculnya orang yang akan bisa meredamnya?

"Rupanya matamu masih awas, Arya," sahut kakek pendek gemuk, yang memiliki watak lebih ramah daripada rekannya yang tinggi kurus. "Kau masih bisa mengenali kami."

"Aku masih ingat karena sikap kalian yang menimbulkan kesan di hati," jawab Arya dengan bersungguh-sungguh seraya memandang wajah kedua kakek itu bergantian.

Kakek pendek gemuk tersenyum. Sedangkan rekannya mendengus. Watak kedua kakek ini pun hampir bertentangan satu sama lain, seperti halnya pakaian dan ciri-ciri tubuhnya.

"Sikap kami? Sikap mana yang kau maksudkan?" tanya kakek pendek, ingin tahu.

"Penculikan terhadap murid Setan Kepala Besi," jawab Arya. "Itu tidak aneh atau luar biasa. Yang membuat berkesan adalah petunjuk palsu untuk Setan Kepala Besi yang kalian titipkan padaku. Kalian menyebut Gua Iblis. Tapi ketika Setan Kepala Besi datang ke sana, kalian tidak ada. Hanya tempat kosong yang ditemui oleh Setan Kepala Besi. Jangankan dua orang manusia, lalat gemuk pun tidak ada di sana!!'

"Jadi, kau kira kami bohong..?!" dengus kakek jangkung kurus, menyiratkan perasaan tidak senang. "Kau dan Setan Kepala Besi mengira kami menipu begitu?"

"Lalu, apa lagi?" Arya mengangkat kedua bahunya. "Haruskah kukatakan kalau aku salah dengar atau kalian masih dalam perjalanan? Atau..., kalian salah menyebutkan tempat, begitukah?"

"Kau besar kepala, Anak Muda!" sentak kakek jangkung kurus. "Rupanya, sedikit kepandaian yang dimiliki membuatmu merasa yakin akan dapat dipergunakan untuk menekan kami. Kau mimpi! Sebaliknya kau akan mengalami kejadian seperti sebelumnya. Bahkan mungkin kali ini nyawamu yang hanya satu itu tidak bisa kau selamatkan lagi!"

"Kalau itu terjadi padaku, apa boleh buat. Akibat seperti itu jauh-jauh hari telah kuketahui," timpal Arya.

Sekujur urat-urat syaraf pemuda ini menegang waspada Kakek jangkung kurus menggertakkan gigi. Jawaban Dewa Arak dianggapnya sebagai tantangan. Melihat sikap si kakek, Arya pun bersiap-siap.

Kakek pendek gemuk tertawa berkakakan. "Dasar orang-orang hutan. Yang dipikirkan hanya berkelahi saja. Merah!" tegur kakek pendek pada rekannya. "Kau sendiri kelewatan! Sudah tahu pemuda itu menghendaki alasan kita kau malah mengajaknya bertarung."

Kakek jangkung yang dipanggil Merah mendengus kesal. Kakek gemuk tidak mempedulikannya sama sekali. Perhariannya sekarang dialihkan pada Arya.

"Kau jangan terburu nafsu, Anak Muda. Buang jauh-jauh prasangka tidak baikmu itu. Ketahuilah, semua dugaanmu itu salah. Kami tidak bisa memenuhi janji itu karena adanya hambatan di perjalanan. Hambatan itu pula yang menyebabkan tawanan kami, murid Setan Kepala Besi, lolos. Ah…, tidak pantas disebut lolos karena sengaja dia kami lepaskan agar selamat dari bahaya. Aku yakin pemuda luar biasa yang menghadang perjalanan kami itu bermaksud jahat kepadanya."

"Pemuda luar biasa…?!" ulang Arya, kaget. Bayangan wajah Lingga melintas di benaknya. "Jadi, kalian dihadang pemuda itu dan kalian dikalahkannya?"

Kakek jangkung mendengus. "Kami dikalahkan? Lelucon macam apa itu! Mana mungkin kami bisa dikalahkan. Apalagi kalau orang itu adalah seorang pemuda."

"Ya, bila pemuda yang kalian maksudkan itu adalah Lingga. Dia bukan pemuda sembarangan! Kepandaiannya tak terukur. Itu masih ditambah lagi dengan kecerdikannya. Ini membuatnya menjadi seorang lawan yang amat berbahaya dan berat!"

"Lingga?!" Kakek gemuk mengulang nama yang diucapkan Arya. Sedangkan kakek jangkung hanya mendengus dan bersikap tak peduli.

"Benar. Lingga seorang pemuda sakti yang licik serta kejam. Dia selalu mengenakan pakaian serba merah. Ikat kepala merah membelit dahinya...."

"Seperti itukah ciri-ciri orang yang bernama Lingga? Kalau begitu, pemuda yang kami hadapi adalah Lingga. Kau kenal dia, Anak Muda?" selak kakek pendek.

"Bukan kenal lagi, Kek," jawab Arya. "Begitu mendengar kalau orang yang menghadang kalian hingga membuat tawanan itu lolos adalah seorang pemuda, aku sudah bisa menduga dia tak lain Lingga. Lingga tidak patut dikatakan manusia. Dia lebih tepat disebut iblis!"

"Kalau dia tidak memiliki ilmu aneh yang membuat serangan-serangan kami tidak berarti, jangan harap lolos dari tangan kami!" kakek jangkung masih menyombong. Dia lupa kalau perkataannya sekarang sama dengan mengatakan kalau sejak tadi dia berbohong.

"Lingga memang luar biasa!" dukung Arya, memuji kehebatan seterunya. "Dia mampu mendapatkan ilmu-ilmu menggiriskan dalam waktu yang demikian cepat. Padahal, pada pertemuan pertama dia belum memiliki ilmu luar biasa. Kepandaiannya memang luar biasa, tapi aku masih bisa menanggulanginya."

"Kau kira kami anak kecil yang mudah dibohongi dengan cerita murahan seperti itu, Anak Muda?!" kecam kakek jangkung, pedas.

Arya tidak mempedulikan ucapan kakek itu. Pemuda ini dengan tenang melanjutkan ceritanya. "Tapi pada pertemuan kedua, mungkin nyawaku telah lepas dari badan kalau Setan Kepala Besi tidak segera datang. Lingga dengan ilmunya yang baru bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayap. Amat berbahaya! Dia datang tak lama setelah kalian pergi. Untungnya aku telah berhasil bebas dari pengaruh serangan kalian. Kalau tidak, Lingga dengan mudah akan membantaiku! Perlu kalian ketahui, Kek, Lingga amat benci padaku karena beberapa waktu yang lalu kejahatannya pernah kuhalangi!"

Kakek pendek dan kakek jangkung kali ini tidak memberikan tanggapan. Mereka mulai percaya setelah mendengar uraian Arya.

"Kurasa kalian harus cepat-cepat menemui Setan Kepala Besi untuk menjelaskan kejadian sebenarnya, agar tidak terjadi salah paham yang lebih besar. Lagi pula kulihat luka dalam yang kalian derita telah hampir pulih. Maaf, aku tidak bisa menemani lebih lama karena harus segera mencari Lingga, untuk mencegah terjadinya angkara murka yang lebih besar lagi. Selamat tinggal, Kek."

Dewa Arak melesat dengan pengerahan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dua kakek itu menggeleng-gelengkan kepala penuh rasa kagum ketika melihat Arya telah berada belasan tombak dalam sekali lesatan. Kakek jangkung yang selalu bersikap sinis malah meleletkan lidah saking kagumnya.

Dia pun tahu Arya berbicara benar kalau dulu pernah mengalahkan Lingga. Dan, ia pun sadar kalau keberhasilannya melukai pemuda itu karena kelengahan Arya. Jika terjadi bentrokan kedua belum tentu Dewa Arak akan dapat dirobohkannya. Kakek pendek mendecak-decak lidahnya.

"Dunia semakin dipenuhi orang-orang pandai. Tokoh-tokoh muda telah memiliki kepandaian sedemikian tingginya. Bukan main...!"

Kakek jangkung mendengus, meremehkan ucapan rekannya. Dia tidak ingat kalau tadi ikut merasa kagum. Kakek pendek rupanya tidak peduli dengan sikap rekannya. Tanpa banyak bicara dia melesat ke depan. Tidak mirip berlari, tapi lebih condong menggelinding. Tubuhnya yang pendek gemuk bak bola yang menyebabkan kakek gemuk ini kelihatan seperti menggelinding.

Kakek jangkung mendengus. Kemudian, melesat menyusul si gemuk. Berbeda dengan kakek pendek, si jangkung ini berlari dengan mengandalkan kecepatan pada langkahnya yang lebar-lebar. Kendati demikian, jarak antara dirinya dengan kakek pendek tidak berubah. Padahal, kaki-kaki si gemuk pendek-pendek!

* * *

"Ha ha ha...!"

Tawa keras membuat sekitar tempat sang pemilik suara berada tergetar hebat bagai dilanda gempa. Daun-daun berguguran dari pohon. Beberapa burung melesat tinggi-tinggi ke udara sambil memperdengarkan cicit ketakutan.

Tawa berpengaruh besar itu keluar dari mulut Lingga. Pemuda sakti berhati keji ini duduk bersila di atas sebuah batu sabesar kerbau yang permukaannya rata. Pandangannya yang berbinar-binar penuh kegembiraan tertuju ke depan.

Dalam jarak sekitar lima tombak di depan Lingga, juga di atas gundukan batu sebesar kerbau yang berpermukaan rata, tegak sebatang golok! Bagian gagangnya menempel pada batu sedangkan ujung batangnya menunjuk langit. Di sekeliling batang golok bertebaran berbagai macam kembang dalam garis tengah sekitar dua jengkal. Bunga-bunga itu tampak hangus! Asap masih mengepul dari bunga-bunga itu. Ada sesuatu yang menghanguskannya belum lama berselang!

"Akulah sekarang tokoh sakti tidak terkalahkan. Ha ha ha...!" Lingga tertawa semakin keras. Kemudian, dihentikannya secara tiba-tiba. Raut wajahnya yang semula menyiratkan kegembiraan besar sekarang berganti dengan kebengisan. "Dan kalian, Dewa Arak serta Penyair Cengeng, akan mendapatkan bagiannya. Kalian akan kukirim ke neraka dengan perantaraan pusaka yang kudapatkan dari setan-setan neraka ini. Tunggulah saat kematianmu, Dewa Arak! Juga kau, Penyair Cengeng! Biar kalian berdua menjadi contoh orang yang berani menentang Lingga. Jago nomor satu langit bumi! Benar, sekarang aku akan menjuluki diri sebagai Jago Nomor Satu Langit Bumi! Ha ha ha...!"

Lingga menatap ke arah golok yang tegak dihadapannya dengan pandangan mata penuh minat. Golok itu adalah Golok Kilat. Dan, pemuda ini ingin segera mengambilnya. Tapi, asap yang masih mengepul menjadi pertanda kalau golok masih sangat berbahaya untuk didekati, apalagi disentuh. Kematian secara mengerikan akan dialami oleh orang yang bertindak nekat.

Rangkaian kata-kata itu masih terpampang jelas di benak Lingga. Seakan-akan lembaran daun lontar itu ada di depannya. Memang, rangkaian peringatan itu dibaca Lingga dari lembaran daun lontar. Lembaran-lembaran yang terpisah dari lembaran-lembaran yang ada di tangan Dewa Arak!

Lingga menemukan lembaran-Iembaran daun lontar di pinggir laut. Gelombang membawanya ke pantai. Sungguh kebetulan Lingga tertarik untuk memungut dan membacanya. Pemuda bejat yang memendam dendam pada Dewa Arak dan haus akan hal-hal yang membuatnya mampu mengalahkan seterunya itu, merasa tertarik ketika mengetahui daun lontar mengisahkan tentang pusaka luar biasa yang berjuluk Golok Kilat.

Pada lembaran daun lontar yang ditemukan Lingga berisi kisah tentang Golok Kilat. Keistimewaan dan kedahsyatannya serta keterangan-keterangan tentang di mana adanya senjata pusaka itu. Dengan petunjuk dari daun lontar itu Lingga datang ke tempat tinggal Raja Golok Bertangan Baja, sehingga tokoh besar golongan putih itu menemui ajal secara mengenaskan.

Pada lembaran-lembaran daun lontar yang ditemukan Lingga juga terdapat cara-cara untuk mengetahui apakah Golok Kilat masih mempunyai keistimewaan seperti sediakala atau tidak, dan cara-cara untuk menimbulkan kedahsyatannya kembali apabila memang telah lenyap.

Lingga hampir putus asa untuk menghidupkan kembali Golok Kilat karena tidak tahu ramuan yang tertulis di lembaran daun lontar. Cara-cara untuk menghidupkan golok itu ada lengkap. Tapi, penjelasan tentang ramuan itu tidak diketemukan.

Namun, Lingga yang cerdik segera tahu kalau penjelasan tentang ramuan itu pasti ada di lembaran daun lontar yang tidak didapatkannya. Mencari lembaran yang lain? Mana mungkin! Lautan demikian luas. Tak akan ada gunanya usaha itu dilakukan!

Sebuah pikiran cemerlang diketemukan Lingga. Dicarinya pandai besi yang terkenal. Dan, diketemukannya Empu Lahang Samedi. Sekarang, jerih payah Lingga membuahkan hasil. Golok Kilat telah disambar oleh tiga halilintar yang datang dari tiga arah. Golok Kilat kembali memiliki kedahsyatan seperti sebelumnya! Lingga hanya tinggal menunggu asap dari batang golok sirna.

"Tapi sepertinya...," Lingga bicara sendiri. "Julukan Jago Nomor Satu Langit Bumi kurang mencerminkan diriku. Tidak sesuai untuk seorang seperti Lingga. Kurasa, julukan yang lebih cocok adalah Dewa Kematian. Ya, Dewa Kematian! Bukankah itu lebih menonjolkan sosok Lingga. Lagi pula, apa yang lebih sakti dari Dewa Kematian! Bukankah semua makhluk hidup dicabut nyawanya oleh Dewa Kematian. Benar! Dewa Kematian adalah julukan baru untukku!"

Begitu asap yang mengepul dari batang golok sudah tidak ada lagi, Lingga mengulurkan tangan. Golok Kilat melayang ke arahnya dan hinggap dalam genggaman pemuda itu Lingga menatap sekujur permukaan golok di tangannya dengan perasaan puas. Kemudian, ditudingnya batu besar tempat golok tadi berada dengan ujung golok.

Sinar putih menyilaukan pun segera meluncur. Terdengar bunyi riuh rendah disusul dengan hancur leburnya batu itu ketika sinar yang berasal dari Golok Kilat menghantamnya.

"Luar biasa...!" gumam Lingga, kagum dan takjub. Kepalanya digeleng-gelengkan. Pandangannya bercampur ngeri ketika menatap gundukan batu yang telah menjadi abu.

Di angkasa seekor burung terbang melintas. Lingga melihatnya. Ujung goloknya segera diarahkan pada binatang itu. Untuk kedua kalinya sinar menyilaukan melesat. Burung yang dituju rupanya dengan nalurinya mengetahui adanya bahaya maut. Dengan lincah binatang itu mengelak dari luncuran sinar yang mematikan!

Pemandangan yang menakjubkan segera dilihat oleh Lingga yang sepasang matanya memancarkan sinar kekaguman. Menurut akal sehat, begitu burung berkelit sinar itu akan menyambar tempat kosong dan binatang itu selamat. Tapi, tidak demikian halnya yang terjadi. Sinar menyilaukan itu bagaikan hidup! Ia mengikuti ke mana binatang itu mengelak.

Binatang yang terancam itu rupanya tahu maut masih membayangi. Kecepatan terbangnya ditambah. Tapi, sinar menyilaukan itu memiliki kecepatan luncuran yang menakjubkan. Tak sampai belasan tombak terbang burung itu harus menyerah pada malaikat maut.

Sinar itu telah menghantamnya! Sang binatang yang malang meluncur jatuh ke tanah dalam keadaan gosong! Nyawa burung itu sudah melayang. Lingga tertawa bergelak. Nada gembira dan puas terdengar jelas di dalamnya.

"Dewa Arak...! Penyair Cengeng...! Tunggulah. Dewa Kematian akan menjemput nyawa kalian dari tubuh...!" teriak Lingga lantang sambil menyarungkan goloknya dan meletakkannya di pinggang.

Lingga bangkit berdiri. Kemudian, melesat cepat meninggalkan tempat itu. Apa lagi tujuannya kalau bukan hendak memenuhi ancamannya itu? Suasana menjadi hening ketika Lingga tidak berada di situ lagi. Keheningan yang mengerikan! Karena, baik dari abu gundukan batu maupun dari bekas tubuh burung masih mengepul asap tipis.

Tak lama setelah Lingga lenyap di kejauhan, dari arah yang berlawanan dengan arah yang ditempuh Lingga tampak mendatangi tempat itu sesosok tubuh yang semakin lama semakin dekat. Dalam waktu yang demikian singkat ia telah tiba di tempat tadi Lingga berada. Sosok itu ternyata seorang kakek bertubuh kekar. Kepalanya botak. Sepasang matanya mencorong tajam dan bersinar kehijauan Setan Kepala Besi!

Setan Kepala Besi mengedarkan pandangan berkeliling. Pandangannya segera tertumbuk pada tumpukan abu gosong di tanah, bekas gundukan batu. Pandangan mata kakek yang telah kenyang pengalaman ini segera bisa mengetahui ada hal yang tidak wajar.

"Aku yakin petir dari tiga jurusan tadi menyambar sekitar tempat ini. Tapi, mengapa tidak ada bekas-bekasnya?" gumam Setan Kepala Besi dengan dahi berkernyit. "Tidak mungkin kalau akibat sambari petir itu hanya gundukan abu ini..."

Setan Kepala Besi kembali mengedarkan pandangan untuk mencari hal-hal yang membuatnya tertarik ke tempat itu. Kakek ini berada di tempat yang cukup jauh ketika melihat petir dari tiga jurusn menyambar ke satu tempat. Perasaan heran dan ingin tahu yang mendorongnya melesat cepat menuju yang dituju petir.

Setan Kepala Besi segera menaruh curiga pada gundukan batu berpermukaan rata yang tadi dijadikan tempat duduk Lingga. Ciri-cirinya berbeda dengan batu-batu di sekitarnya. Setan Kepala Besi segera dapat mengira kalau batu itu tidak berasal dari tempat ini. Dengan kata lain, ada orang yang membawanya dan meletakkannya di sini. Tapi, untuk apa? Pertanyaan itu bergayut di benak kakek berkepala botak ini.

Hal kedua yang membuat Setan Kepala Besi masih menaruh kecurigaan pada batu itu adalah letaknya. Batu ini terletak di tengah-tengah jalan! Setan Kepala Besi mengembangkan dada untuk mengisinya dengan udara sepenuh-penuhnya. Setelah dirasanya penuh, baru dikeluarkan melalui mulutnya. Hembusan angin keras pun menghambur keluar dan menerpa batu.

Tak ubahnya segumpal kapas yang ditiup, batu itu menggelinding jauh dari tempatnya. Kecurigaan Setan Kepala Besi ternyata tidak meleset. Tepat di bawah batu itu berada terdapat sebuah lubang bergaris tengah setengah tombak! Setan Kepala Besi tidak berani bertindak sembrono. Dengan sikap penuh kewaspadaan didekatinya lubang itu. Kakek ini khawatir akan adanya serangan mendadak dari dalam lubang.

Tapi kecurigaan Setan Kepala Besi kali ini tidak beralasan. Tidak ada apa pun sampai dia tiba di pinggir lubang. Bahkan, ketika kepalanya dilongokkan ke dalamnya terlihat kalau lubang itu ternyata tidak dalam. Keadaan cuaca yang cerah membuat Setan Kepala Besi dapat melihat dasar lubang. Setelah yakin tidak ada bahaya yang mengancam kakek itu pun melompat turun.

Lubang jtu ternyata hanya mempunyai satu lorong, berbentuk bulat dan bergaris tengah hampir satu tombak. Sisi-sisi lainnya adalah dinding batu. Dengan langkah pasti dan tetap tidak meninggalkan kewaspadaan, Setan Kepala Besi mengayunkan kaki menyusuri lorong.

Lorong itu tidak lurus melainkan agak melengkung ke kiri. Setan Kepala Besi tidak mengira kalau lorong itu tidak terlalu panjang. Tak sampai lima belas tombak telah bertemu dinding. Tidak ada jalan lagi. Setan Kepala Besi membelalakkan mata, kaget. Bukan karena lorong yang buntu, tapi karena melihat bergeletakannya tiga sosok tanpa busana. Semuanya wanita-wanita bertubuh montok dan berkulit halus mulus.

Setan Kepala Besi mengutuk di dalam hati. Kakek ini tahu kalau ketiga wanita cantik itu adalah korban-korban nafsu birahi seorang lelaki cabul. Dua di antara tiga wanita itu telah tewas. Sedangkan yang seorang masih hidup.

Wanita yang usianya tak lebih dari dua puluh tahun itu dalam keadaan tertotok, sehingga tidak dapat bergerak Setan Kepala Besi segera menjentikkan jari telunjuknya. Angin yang keluar dari jari Setan Kepala Besi, membuat jalan darah si gadis kembali normal. Kakek ini sendiri segera membalikkan tubuh dan memberi kesempatan pada gadis ini untuk mengenakan pakaian.

Meski kelihatannya tidak peduli, Setan Kepala Besi mengamati gerak gerik si gadis dengan mempergunakan telinganya. Didengarnya gadis itu bangkit dan mengenakan pakaian sambil terisak. Tangis yang keluar dari hati yang hancur. Tindakan yang diambil Setan Kepala Besi ini tidak berlebihan. Telinganya tiba-tiba menangkap bunyi angin tajam, tapi bukan tertuju ke arahnya. Setan Kepala Besi bertindak cepat. Tubuhnya dibalikkan sambil mengibaskan tangan.

Si gadis yang mengenakan pakaian kuning mengeluh tertahan karena sakit dan kaget. Kibasan tangan Setan Kepala Besi mengeluarkan angin yang menghantam pergelangan tangan si gadis yang menggenggam pedang. Akibatnya, pedang yang ditujukan si gadis untuk menggorok lehernya sendiri terpental dan jatuh berkerontangan di tanah!

"Hanya pengecut hina yang mengambil jalan seperti ini untuk mengakhiri sebuah persoalan," ujar Setan Kepala Besi, pelan tapi penuh kecaman.

Gadis berpakaian kuning menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dari celah-celah jarinya mengalir air bening. Gadis itu menangis terisak-isak. "Apa artinya aku hidup apabila terlumur aib seperti ini? Tak sanggup aku memandang dunia dengan seluruh tubuh bernoda najis!" keluh si gadis agak memekik.

Setan Kepala Besi menghela napas berat. Hatinya tersentuh merasakan kehancuran hati yang sangat dalam keluhan si gadis. Kakek ini diam-diam merasa heran sendiri. Dulu ia tak pernah merasa terharu melihat penderitaan orang lain. Malah, justru semakin orang menderita hatinya semakin gembira. Sekarang ternyata sangat berbeda.

"Aku bisa memaklumi perasaanmu. Nona," ujar Setan Kepala Besi, lirih. Suara orang yang ikut merasa prihatin. "Kendati demikian, kurasa bunuh diri bukan jalan keluar yang baik. Aku yakin orang yang melakukan kekejian terhadapmu akan merasa gembira melihat kau mengambil jalan pintas ini. Tidakkah lebih baik kalau kau berusaha membalaskan sakit hatimu?"

"Mana mungkin hal itu bisa kulakukan?'' Gadis itu menjauhkan kedua tangannya dari wajah "Iblis keji itu memiliki kepandaian jauh di atasku. Jangankan aku sendiri, di saat bersama ayah saja aku tidak berdaya."

"Kau tidak perlu khawatir, Nona," hibur Setan Kepala Besi. Ia sedikit gembira karena tahu nasihatnya telah mengenai sasaran "Percayalah, aku akan membantumu. Aku yakin dengan bekerja sama kita bisa membalaskan kekejian orang itu."

Gadis berpakaian kuning menyusut air matanya. Mata yang bening indah itu menatap sekujur tubuh Setan Kepala Besi dengan penuh selidik. "Apakah kau mempunyai kepandaian lebih tinggi daripada ayahku, Kek? Kalau tidak, percuma saja, iblis itu amat sakti!"

Setan Kepala Besi mengangkat bahunya. "Aku tidak keberatan kalau kau mau mengujiku, Nona. Setidak-tidaknya kau bisa menilai kemampuanku. Bukankah kau mengetahui tingkat kepandaian ayahmu?"

Si gadis mengangguk "Hanya sedikit lebih tinggi dariku, Kek. Kenalkah kau dengan nama Empu Lahang Samedi? Beliau ayahku. Aku Priyani, putri tunggalnya."

Setan Kepala Besi menggeleng.

"Iblis keji itu mampu membuatku tak berdaya dengan tanpa menyentuhku sama sekali. Mampukah kau melakukannya, Kek?" tantang Priyani penuh harap.

"Akan kucoba untuk melakukannya, Nona." Setan Kepala Besi bertekad untuk mengeluarkan seluruh kemampuannya. Inilah harapan satu-satunya untuk mengembalikan semangat hidup Priyani.

Priyani sendiri setelah memungut pedangnya langsung melompat, menerjang. Dalam sekali serang gadis Ini telah mengeluarkan serangan paling dahsyat. Pedangnya lenyap! Yang terlihat hanya gulungan sinar yang bergulung-gulung. Sukar untuk diketahui bagian tubuh lawan yang akan dijadikan sasaran serangan.

Setan Kepala Besi segera mengibaskan tangan kanannya. Hembusan angin yang luar biasa keras menyambar. Priyani bagaikan membentur benteng angin. Lompatannya tertahan. Bahkan, tubuh gadis ini terjengkang ke belakang. Priyani masih mampu menunjukkan kelihaiannya. Dia mendarat di tanah dengan kedua kaki, kendati dengan limbung.

Bertepatan dengan itu Setan Kepala Besi menggerakkan tangan kiri dengan gerakan seakan menarik sesuatu. Untuk yang kedua kalinya angin keras berhembus. Priyani berusaha keras untuk bertahan dari hembusan angin yang menariknya ke arah Setan Kepala Besi.

Tapi, usahanya gagal. Tubuhnya tetap tertarik ke arah si kakek. Sekejap kemudian, kedua telapak tangan Setan Kepala Besi yang besar telah memegang kedua bahunya. Setan Kepala Besi sesaat kemudian melepaskan pegangannya.

"Bagaimana, Nona? Apakah aku cukup berharga untuk membantumu?"

Wajah Priyani berseri-seri. Pedangnya diletakkan kembali di sarungnya. "Kau hebat, Kek!" puji Priyani, gembira. Kendati demikian, lapisan kabut duka yang tebal masih menutupi sepasang matanya hingga terlihat sayu. "Aku yakin dengan adanya kau untuk membantuku, keparat keji itu akan berhasil kubinasakan!"

Setan Kepala Besi tersenyum. Priyani ikut tersenyum. Tapi, tidak bebas lepas. Pengalaman hebat yang diterimanya membuat kegembiraan yang alaminya terasa semu.

* * *

LIMA

"Tunggu sebentar, Ayah."

Adipati Gili menghentikan larinya. Di samping karena mendengar seruan putrinya, juga melihat tindakan Nuri sendiri. Gadis itu berhenti berlari.

"Ada apa, Nuri?" tanya Adipati Gili sambil menatap wajah putrinya yang menatap jauh ke depan dan menyiratkan kecemasan.

"Sosok yang tengah bergerak mendatangi ke arah kita itu mengenakan pakaian serba merah kan, Ayah?" Nuri malah balas bertanya.

Adipati Gili tidak merasa kecil hati. Diturutinya permintaan putrinya untuk memperhatikan sosok yang masih jauh di depan. "Kelihatannya iya, Nuri. Mengapa?"

"Kalau benar demikian, celaka!" desis Nuri dengan wajah berubah pucat "Kita harus segera meninggalkan tempat ini, Ayah. Kita harus berlari sejauh mungkin. Sosok berpakaian merah itu bukan manusia melainkan iblis!"

"Jadi..., diakah orang muda yang telah melukai kedua kakek yang menawanmu?" tanya Adipab Gili, teringat kembali akan cerita Nuri. Memang, gadis berpakaian merah itu telah menceritakan pengalaman yang dialaminya.

Nuri mengangguk. Wajahnya menyiratkan kegelisahan besar. Sepasang matanya yang bening indah diedarkan ke sekitarnya untuk mencari tempat persembunyian. Tapi, bagaimana mungkin Nuri dan ayahnya bisa bersembunyi? Tempat di mana mereka berada merupakan hamparan tanah lapang berdebu yang amat luas. Sejauh mata memandang di keempat penjuru yang kelihatan hanya kaki langit.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Nuri? Mumpung masih ada waktu. Mari lari...!"

Usul Adipati Gili menyadarkan Nuri yang hilang akal karena perasaan takut yang sangat. Takut akan terjadi sesuatu yang mengerikan terhadapnya. Nuri bisa melihat ancaman apa yang akan timbul dari sosok yang bukan lain Lingga. Sinar mata pemuda itu ketika merayapi sekujur tubuhnya bak orang kelaparan melihat makanan lezat!

Demikian penuh keinginan dan minat. Tanpa pikir panjang lagi Nuri segera berlari. Adipati Gili pun demikian. Tapi, lari ayah Nuri ini terlalu lambat jika dibandingkan dengan Nuri. Maka, agar Adipati Gili tidak tertinggal Nuri hanya mengerahkan sebagian ilmu larinya.

Gadis ini tidak tega meninggalkan ayahnya. Adipati Gili sadar kalau dengan adanya dirinya Nuri tidak bisa mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Maka, sambil mengerahkan seluruh kecepatannya lelaki ini berseru pada anaknya.

"Larilah, Nuri. Lari yang cepat. Tidak usah kau pikirkan, Ayah. Ayah tidak akan apa-apa. Iblis keji itu hanya memburumu. Kau larilah...!"

"Tidak, Ayah!" bantah Nuri mantap sambil menggelengkan kepala. "Apa pun yang akan terjadi aku tidak mau berpisah dengan Ayah lagi. Cukup hanya sekali saja!"

Adipati Gili merasakan dadanya sesak oleh rasa haru yang menggumpal. Dia merasa berbahagia sekali mendengar ucapan Nuri. Ucapan yang hanya keluar dari seorang anak yang berbakti dan mencintai orang tuanya.

Adipati Gili menundukkan wajah agar Nuri tidak melihat perubahan di sana. Memang, Adipati Gili tidak yakin akan terjadi perubahan pada wajahnya. Tapi, perasaan khawatir mendorongnya bertindak demikian. Dan, Adipati Gili mengangkat wajah ketika mendengar seruan kaget Nuri.

Wajahnya kembali diarahkan ke depan. Lelaki kecil kurus ini tanpa sadar membuka mulutnya lebar-lebar. Sepasang matanya pun membelalak lebar. Adipati Gili berhenti berlari seperti juga Nuri. Sekitar sepuluh tombak di depan mereka telah berdiri sesosok tubuh kekar terbungkus pakaian serba merah! Kedudukannya membelakangi mereka. Kelihatannya dia tidak tahu akan kedatangan Nuri dan Adipati Gili.

Sosok yang mengenakan ikat kepala merah itu menatap lurus ke depan Hampir bersamaan Adipati Gili dan Nuri menoleh ke belakang. Arah di mana sosok berpakaian merah tadi mereka lihat. Sebuah dugaan bermain di benak mereka. Barangkali saja sosok yang tadi mereka lihat bukan Lingga. Lingga yang mereka takuti adalah yang sekarang berdiri di depan mereka!

Di belakang Nuri dan Adipati Gili tidak ada sosok tubuh pun! Jelas, sosok kekar di hadapan mereka ini adalah sosok yang tadi berada di belakang mereka. Nuri, apalagi Adipati Gili, terkejut bukan main menyadari kenyataan ini. Bagaimana mungkin sosok merah itu bisa berada di depan mereka tanpa diketahui waktu menyusul keduanya?

Nuri dan Adipati Gili saling berpandangan. Wajah Nuri pucat pasi bagaikan kertas. Sosok merah itu adalah Lingga yang amat ditakutinya. Potongan tubuh pemuda itu cukup dikenalnya, di samping pakaian serba merah dan ikat kepala yang menjadi ciri khas Lingga.

Seakan-akan takut diketahui dan Lingga belum tahu keberadaan dirinya serta ayahnya di belakang pemuda itu, Nuri melangkah mundur tanpa membalikkan tubuh. Sikapnya hati-hati sekali. Hal yang sama dilakukan pula oleh Adipati Gili.

Selangkah demi selangkah Lingga semakin mereka jauhi. Telah hampir lima tombak Nuri dan ayahnya menjauhi tempat semula. Hati mereka agak lega melihat Lingga tetap dengan sikapnya. Diam bagai patung batu.

Setelah mencapai jarak lima belas tombak lagi, Nuri memberi isyarat pada ayahnya untuk membalikkan tubuh dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Hampir berbarengan, ayah dan anak ini membalikkan tubuh dan berlari cepat! Namun, Nuri dan Adipati Gili langsung menghentikan larinya ketika melihat di depan mereka telah berdiri Lingga!

Kali ini pemuda itu berdiri menghadap mereka.Sekarang Adipati Gili bisa mengerti mengapa Nuri demikian cemas dan takut terhadap Lingga. Pemuda berpakaian merah ini memang memiliki kepandaian yang merindingkan bulu kuduk. Mereka tidak melihat kapan Lingga bergerak. Tapi, kini telah berada di depan mereka. Apakah pemuda ini pandai menghilang? Tanya Adipati Gili dalam hati.

"Selamat berjumpa lagi, Nona Cantik," sapa Lingga dengan sepasang mata merayapi sekujur tubuh Nuri. Pandang mata pemuda ini beberapa kali hinggap di bagian-bagian tertentu di tubuh gadis berpakaian merah itu.

"Sungguh tidak kusangka kita akan bertemu lagi. Atau, kau yang memang mencari-cariku?"

Wajah Nuri menyemburat merah karena perasaan marah dan malu. Adipati Gili yang melihat keadaan kurang menguntungkan ini buru-buru melangkah maju dan memberi hormat.

"Boleh kutahu siapakah kau, Pendekar Perkasa? Aku, Gili. Dulu seorang adipati. Tapi, sekarang tidak lebih dari ayah gadis ini. Aku ayah Nuri," pelan dan lembut Adipati Gili mengucapkannya.

"Menyingkirlah kau, Anjing Kurap!" tandas Lingga, dingin. "Mengingat kau ayah Nuri, aku bisa memaafkan ucapanmu barusan. Tapi ingat, sekali lagi kau ikut campur tahu sendiri akibatnya!"

"Ayah, menyingkirlah," ucap Nuri penuh perasaan khawarir. Gadis ini merasa ngeri kalau Lingga mencelakai orang tuanya yang tinggal semata wayang baru saja ditemukannya itu.

Tapi, Adipati Gili bukan orang yang mudah digertak. Dan lagi dia tidak takut menghadapi mati. Apalagi bila untuk membela Nuri! "Kuharap kau mau membebaskan putriku, Tuan Pendekar. Apabila putriku memang mempunyai salah padamu, biar aku yang mintakan maaf padamu. Dan kalau hal itu belum membuatmu puas, aku rela memberikan nyawaku ini sebagai gantinya asal kau mau membiarkannya pergi dari sini...."

"Ayah...! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan tindakan seperti itu!" sela Nuri keras karena kaget.

Lingga tersenyum. Bukan senyum yang menyenangkan untuk dilihat. Pemuda ini tahu Nuri dan ayahnya saling mengkhawatirkan satu sama lain. Benaknya yang dipenuhi berbagai macam kelicikan diputar untuk mencari hal-hal yang dapat menguntungkan dirinya.

Sebentar kemudian, pikiran itu telah didapatkannya. Lingga melesat ke depan. Adipati Gili kaget bukan main melihat serangan yang meluncur ke arahnya. Dia tidak melihat pemuda itu melompat atau menjejakkan kaki. Tapi, tubuh Lingga telah melesat ke arahnya.

Adipati Gili segera mencabut keris yang terselip punggung. Kemudian, ditusukkannya ke arah Lingga yang kelihatan hanya berupa bayangan merah. Tapi, keluhan tertahan yang dikeluarkan Adipati Gili. Dirasakan siku belakangnya tersentuh jari-jari tangan Lingga. Sekerika itu pula tangan Adipati Gili terasa lumpuh. Keris di tangannya langsung terlepas dan jatuh ke tanah. Tubuhnya pun ditarik tangan kuat yang mencengkeram bahu kirinya. Adipati Gili langsung lemas!

"Ayah...!" seru Nuri sangat cemas. Ketika melihat Adipati Gili telah dibuat tak berdaya, pandangan gadis ini segera dialihkan pada Lingga. Terlihat penuh kemarahan dan kebencian yang mendalam. "Lepaskan dia, Jahanam! Ayahku sama sekali tidak ada urusan dengan kita. Kalau kau memang bukan seorang pengecut, mari bertarung denganku!"

Lingga tersenyum mengejek. Tentu saja dia tidak takut atau gentar bertarung dengan Nuri. Tingkat kepandaian gadis itu masih jauh di bawahnya. "Sayang sekali, Nona Cantik. Saat ini aku tengah tidak berselera untuk bertarung. Aku mempunyai sebuah permainan lain yang kuyakini menarik."

Nuri meloloskan sabuknya. Tapi, kedua tangannya tidak mengejang karena aliran tenaga dalam. Keberadaan ayahnya yang menjadi tawanan Lingga menyadarkan gadis itu kalau keadaannya tidak menguntungkan.

Lingga menjilat bibirnya. Rupanya, permainan yang di laksudnya amat menarik hati sehingga membuat jakunnya turun naik. "Mungkin perlu kau ketahui, Nona Cantik," ujar Lingga dengan suara agak memburu. "Aku termasuk orang yang tidak suka main-main. Sekali kukatakan sesuatu, pasti akan kulaksanakan! Nah, kalau kau ingin tidak terjadi sesuatu atas diri ayahmu, kau harus turuti apa yang kukatakan. Jelas?"

Nuri menggertakkan gigi. Jantungnya berdetak lebih cepat karena luapan perasaan marah dan tegang. Marah karena mengingat kelicikan Lingga. Dan, tegang karena telah bisa memperkirakan apa yang ada di benak Lingga. Pandangan mata pemuda itu yang penuh nafsu telah menjelaskan semuanya.

Lingga menelan ludah dengan susah-payah ketika melihat dua bukit kembar di dada Nuri semakin membusung akibat detak jantung si gadis yang bertambah cepat. "Dengarkan baik-baik ucapanku ini, Nona Cantik," Lingga memulai pembicaraannya. "Lepaskan pakaianmu!"

Sekujur tubuh Nuri menegang. Kedua tangannya yang memegang sabuk pun demikian. Dalam keadaan lain ucapan Lingga sudah cukup untuk membuat gadis itu melancarkan serangan dengan senjata andalannya itu.

"Jangan kau turuti keinginannya yang gila, Nuri. Tidak usah kau pedulikan aku. Serang dia...!" seru Adipati Gili, kalap.

Lingga tersenyum keji. Dia tahu Nuri bimbang. Dan, pemuda ini telah memperhitungkan kejadian ini "Mungkin kau perlu mendapat bukti kalau aku tidak bermain-main dengan ancamanku, Nona Cantik,"

Begitu selesai berkata demikian, Lingga menekuk jari tangan Adipati Gili. Pelan-pelan. Rasa nyeri yang luar biasa pun mendera lelaki kecil kurus ini. Kendati demikian, tidak terdengar sedikit pun keluhan dari mulutnya. Bahkan ketika jari tangannya itu patah! Hanya keringat sebesar besar biji jagung menjadi petunjuk kalau Adipati Gili menahan rasa sakit yang sangat.

"Jahanam!" Nuri menjerit dengan kaki hampir diayunkan. Tapi, hal itu tidak jadi dilakukan. Pandangan matanya yang memancar ke arah Lingga penuh dengan kebencian! Andaikata sorot mata tak ubahnya serangan, tentu saat itu serangan maut yang dihadapi Lingga.

"Tetaplah berkeras dengan sikapmu itu, Nona Cantik. Dan, ayahmu akan mengalami siksaan demi siksaan yang menyakitkan sampai akhirnya seluruh tulang-belulangnya kupatahkan di depan hidungmu! Tapi, itu tidak berarti dia akan mati. Tidak! Aku tidak bisa bertindak demikian. Aku mempunyai kemampuan untuk menyiksa seseorang tanpa membuatnya mati. Kau boleh menyaksikan hal itu kalau tetap bersikeras dengan pendirianmu!"

"Biadab! Kau bukan manusia! Kau binatang!" maki Nuri karena tak tahu harus bertindak bagaimana.

"Jangan kau turuti kemauannya, Nuri. Aku lebih suka mati daripada melihatmu memenuhi permintaannya. Dan..., akh...!"

Ucapan Adipati Gili terhenti di tengah jalan dan berganti dengan keluhan kesakitan. Lingga telah mematahkan satu lagi jarinya. Keluhan itu keluar tanpa disengaja. Dan, hal ini membuat Nuri kebingungan. Peluh membasahi dahi gadis itu.

Lingga sendiri, tidak memberikan ancaman lagi. Dengan sikap tidak peduli, siksaannya dilanjutkan. Jari demi jari Adipati Gili dipatahkan dengan pelan-pelan agar kenyerian yang tercipta semakin besar. Dia seakan-akan tidak mendengar jeritan-jeritan Nuri yang menyuruhnya menghentikan kebiadaban itu.

"Sekarang akan kucabut daun telinga ayahmu," ujar Lingga ketika lima jari tangan Adipati Gili telah patah semua. "Setelah itu kucungkil keluar biji matanya."

Lingga menempelkan jari-jari tangannya ke daun telinga kanan Adipati Gili. Lelaki kecil kurus itu sudah setengah pingsan karena rasa nyeri yang bertubi-tubi menimpanya. Kendati demikian, dari mulutnya masih terdengar suara-suara yang menyuruh Nuri agar tidak menyerah!

Kedua kaki Nuri menggigil. Ngeri dia membayangkan siksaan yang diderita ayahnya. Matanya yang indah membelalak semakin lebar menatap jari-jari tangan Lingga yang telah berada di telinga Adipati Gili.

"Tahan…!" Nuri akhirnya tidak tahan ketika melihat jari-jari tangan Lingga mulai bergerak memutar daun telinga. Dan, Adipati Gili telah kelojotan!

"Kau setuju dengan syaratku?" tanya Lingga penuh nada kemenangan dengan jari-jari tangan tetap di daun telinga Adipati Gili.

Nuri menggigit bibir, kemudian menganggukkan kepala. Pelan dan hampir tidak teriihat. Tapi, itu telah cukup buat Lingga. Tanggapan Nuri telah menyatakan persetujuan.

"Lepaskan dulu ayahku." Hampir tidak terdengar suara yang keluar dari mulut Nuri.

"Itu bukan masalah, Nona Cantik. Tapi ingat, kalau kau bertindak macam-macam aku tidak akan ingat persyaratanku tadi. Ayahmu akan kusiksa habis-habisan di depanmu sebelum kau sendiri kuperkosa sampai mati! Kau camkan baik-baik. Aku tidak pernah bermain-main dengan ancaman!"

Nuri tidak memberikan tanggapan. Sambil menggigit bibir dan dengan jari-jari tangan menggigil dilucutinya pakaiannya. Lingga mengikuti setiap gerakan jari Nuri dengan mata tidak berkedip, seakan-akan khawatir pemandangan indah di hadapannya akan lenyap. Adipati Gili sendiri telah didorongnya hingga jatuh tertelungkup di tanah. Lelaki kecil kurus itu tidak bangkit karena sudah setengah pingsan.

Dalam waktu sebentar saja Nuri telah berdiri di hadapan Lingga dengan tubuh bagian atas telanjang! Kulit tubuhnya tampak putih dan mulus. Lingga menelan ludah beberapa kali melihatnya. Apalagi ketika melihat dua bukit kembar di dada Nuri yang membusung indah dengan puling susu merah segar. Sepasang mata pemuda ini seakan hendak melompat keluar dari rongganya. Nuri sendiri tidak berani mengangkat wajah. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam sampai-sampai dagunya menempel ke dada.

"Tunggu apa lagi?!" desis Lingga dengan suara bergetar dan napas memburu. "Cepat buka celanamu...."

Nuri menggigil sekujur tubuhnya. Perintah Lingga membuatnya berperang dengan perasaan sendiri. Kalau menuruti keinginan sudah diterjangnya pemuda itu. Tapi, Nuri tidak berani menanggung akibatnya. Ngeri akan nasib yang menimpa ayahnya.

Maka, sebelum Lingga yang berwatak keji itu kehilangan kesabaran, dengan wajah yang semaki ditundukkan seakan dagunya hendak dibenamkan ke dalam dada, celananya pun dilucuti. Sekejap kemudian Nuri telah telanjang bulat!

Lingga menelan ludah beberapa kali. Sebelum akhirnya sambil mengeluarkan bunyi dari tenggorokan seperti geraman seekor harimau, dia melompat menubruk Nuri. Kali ini Nuri tidak bisa menahan diri lagi. Keterkejutan dan kengerian yang melanda membuatnya bergerak mengelak. Tapi, dia kalah cepat. Tubuh Lingga telah lebih dulu menerpanya hingga dia dan pemuda itu terguling-guling di tanah.

Nuri meronta-ronta ketika Lingga dengan buas menciumi sekujur wajah dan meremas-remas semua bagian tubuhnya dengan kasar. Satu tangan pemuda itu melucuti pakaiannya sendiri. Adipati Gili hanya bisa menangis dalam hati melihat pergumulan di depan matanya. Dia tidak mau bertindak apa pun kecuali menatap dengan hati ngilu. Lelaki ini tahu, lambat laun pergumulan itu akan dimenangkan oleh Lingga.

Pemuda cabul itu akan memporak-porandakan kegadisan Nuri! Lingga yang mendapat perlawanan dalam usahanya kelihatan tidak marah. Rontaan-rontaan yang dilakukan Nuri malah membuatnya semakin bergairah. Dia tahu perlawanan Nuri tak akan berlangsung lama. Lingga memang lebih suka adanya perlawanan daripada Nuri pasrah saja seperti mayat!

"Iblis keji! Lepaskan dia...!" Seruan keras menggeledek yang sarat dengan kemarahan terdengar di saat perlawanan Nuri telah melemah.

Desss!

Sebuah tongkat menghantam punggung Lingga. Memang, berbarengan dengan keluarnya teriakan itu sang pemilik seruan mengayunkan tongkatnya ke arah punggung Lingga. Lingga sendiri tentu saja mengetahui adanya serangan itu. Tapi, dibiarkannya karena perasaan nikmat yang tengah diterimanya. Sebentar lagi dia akan berhasil merenggut kegadisan Nuri. Maka, serangan itu dibiarkannya. Lingga tidak ingin meninggalkan daging yang telah digigitnya lepas dari mulut!

Sang penyerang, seorang pemuda beralis tebal, terkejut bukan main ketika serangannya tidak membuahkan hasil. Malah, tongkatnya berbalik dan mengarah ke wajahnya. Seakan-akan yang dihantamnya bukan tubuh manusia melainkan gumpalan karet keras dan kenyal.

Lingga sendiri tidak mempedulikan serangan itu. Tubuhnya sedikit pun tidak bergeming. Perbuatannya terhadap Nuri terus dilanjutkan! Sang penyerang yang bukan lain Gentala, putra Malaikat Picak, terkesima sebentar Lalu Kembali tongkatnya diayunkan. Kali ini yang dituju adalah kepala Lingga.

Kekhawatiran akan nasib gadis yang kiranya Priyani membuat Gentala bertindak cepat. Pemuda ini mengira Nuri adalah Priyani. Karena, Gentala melihat pakaian serba merah berserakan di tanah. Bukankah pemuda berpakaian serba merah yang menculik Priyani?

Untuk kedua kalinya Gentala terkejut ketika tongkatnya membalik! Kepala Lingga tidak pecah seperti yang diduganya. Malah, tangan Gentala yang terasa sakit. Hampir-hampir tongkatnya lepas dari genggaman.

Serangan kedua ini pun sebenarnya tidak dirasakan oleh Lingga yang memiliki kekebalan luar biasa tapi dia merasa terganggu. Serangan serangan itu membuat kenikmatannya menggarap tubuh Nuri jadi terhambat. Dan, ini membuat pemuda cabul itu murka.

Lingga bangkit dari tubuh Nuri. Sepasang matanya seperti mengeluarkan api karena kemarahan yang sangat. Saat itu serangan Gentala menyambar lagi. Tongkat itu ditusukkan putra Malaikat Picak ke arah sepasang mata Lingga!

Dalam kemarahan yang menggelegak, Lingga menangkap tongkat itu dan balas menusukkan ke arah pemiliknya! Gentala menjerit ngeri sambil mengeluarkan semburan darah segar ketika tongkat miliknya menghantam perut dengan telak.

Tubuh Gentala melayang jauh ke belakang seperti diseruduk gajah liar. Tongkatnya terlepas dari pegangan. Senjata itu kini berada di tangan Lingga. Namun, Lingga yang geram bukan main segera menyambitkan longkat.

Gentala membelalakkan mata karena ngeri! Dan, ketakutan pemuda beralis tebal itu terjadi. Tongkat yang dilemparkan menembus perutnya hingga ke punggung. Saat itu tubuhnya masih dalam keadaan melayang.

Darah muncrat-muncrat mengiringi jerit kematian yang keluar dari mulut Gentala. Malangnya lagi, tongkat yang menembus terlalu dalam hingga membuat tubuh Gentala tidak bersentuhan dengan bumi ketika jatuh ke tanah karena terganjal tongkat!

Lingga tersenyum puas. Senyum itu mengendur ketika melihat titik hitam kejauhan yang semakin lama semakin membesar. Ada orang lain yang tengah menuju ke tempatnya berada. Niat Lingga untuk meneruskan tindakannya terhadap Nuri segera diurungkan. Sosok itu ingin dibereskannya lebih dulu sebelum mengganggu kesibukannya nanti.

Dalam waktu sebentar saja sosok itu kini terlihat jelas. Seorang lelaki setengah tua, bertubuh pendek kekar dan bermata picak Pandang mata Malaikat Picak tertuju ke arah mayat Gentala, putranya. Sinar sepasang matanya menyiratkan kesedihan besar dan ketidak-percayaan.

"Gentala...!" Malaikat Picak meratap. Tidak keras. Hampir mirip keluhan. Lelaki ini bersimpuh di dekat tubuh putranya. Kenyataan ini telah mengatakan pada Lingga kalau Malaikat Picak adalah seorang lawan. Tidak salah lagi.

Malaikat Picak pasti akan membalaskan kematian putranya. Lingga tak ingin menunggu lebih lama. Sambil mengeluarkan dengusan, dia melompat menerjang lelaki tua ini. Dikirimkannya tamparan ke arah pelipis.

"Susullah anakmu ke neraka!"

Malaikat Picak mendengar adanya ancaman maut dari suara berdesing nyaring. Dia pun memapaki dengan gerakan serupa.

Plakkk!

Tubuh Malaikat Picak terhuyung-huyung ke belakang. Lingga sendiri terlempar. Meski demikian, kedua belah pihak sama-sama tahu kalau dalam benturan itu Lingga lebih unggul. Malaikat Picak tak ragu-ragu lagi mengeluarkan senjata andalannya. Sebuah ruyung berbatang dua. Lingga pun tak mau membuang waktu. Dengan tenaga dalamnya yang luar biasa dan dalam keadaan tubuh masih di udara, diambilnya golok yang terselip di bawah tumpukan pakaian.

Malaikat Picak yang masih memutar-mutarkan ruyungnya membelalak kaget melihat Lingga ketika menjejak tanah telah menghunus golok. Batang golok memancarkan sinar berkilauan yang menyilaukan mata.

"Golok Kilat..!" Malaikat Picak yang kenyang pengalaman dan pernah mendengar desas-desus tentang senjata mengerikan itu, berseru kaget dan gentar.

"Bagus! Kau mengenal senjata pusakaku, Kakek Tua! Berbanggalah karena kau akan menjadi korban pertamanya...!"

Lingga menujukan ujung goloknya pada Malaikat Picak. Seleret sinar menyilaukan mata pun meluncur ke arah ayah Gentala. Lelaki ini tidak berani bertindak gegabah. Cepat dia melompat ke samping untuk mengelak. Kekuatan sinar itu belum diketahui sehingga Malaikat Picak memutuskan untuk mengelakkannya!

Malaikat Picak hampir terpekik kaget ketika melihat sinar dari Golok Kilat mengikuti ke arah mana dia mengelak. Kakek ini merasa penasaran dan mengelak lagi. Tapi, sinar itu tetap mengikutinya.

Kenyataan ini membuat Malaikat Picak sadar kalau ke mana pun dia bergerak sinar itu akan mengikuti. Bila itu terjadi, dia akan kehabisan tenaga! Maka, setelah mengelak beberapa kali Malaikat Picak memutuskan untuk memapaki! Ruyungnya pun diayunkan memapaki sinar yang meluncur ke arahnya!

ENAM

"Darrr!" Malaikat Picak tak kuasa menahan jeritan ketika sinar menyilaukan itu berbenturan dengan salah satu batang ruyungnya. Batang ruyung langsung lenyap! Hancur menjadi debu dan langsung beterbangan tertiup angin! Tubuh Malaikat Picak sendiri terbanting ke belakang saking kuatnya tenaga dorongan sinar itu.

Malaikat Picak segera bangkit berdiri. Sekilas dipandangnya potongan ruyung yang berada di tangannya. Tinggal sebatang. Lelaki ini tidak akan percaya kalau tidak melihatnya sendiri. Ruyungnya terbuat dari bahan yang amat kuat. Campuran dari baja tulen dan bahan-bahan lain. Tapi sekarang pusaka itu hancur berantakan.

"Ruyungmu yang hancur, Tua Bangka! Kali ini tubuhmu yang akan luluh!"

Lingga menudingkan ujung Golok Kilatnya lagi. Sinar menyilaukan kembali meluncur ke arah Malaikat Picak. Dan, belum juga sinar itu mengenai sasaran Lingga menudingkannya lagi sehingga sinar kedua menyambar. Kemudian, ketiga dan keempat!

Pucat wajah Malaikat Picak Satu sinar saja telah membuatnya kelabakan, apalagi empat buah! Dalam waktu yang demikian singkat benaknya diputar. Kemudian, Malaikat Picak membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan. Seperti yang diduga, sinar-sinar itu mengejarnya.

Lelaki kekar ini menyambuti sinar itu dengan lemparan sekepal tanah yang diambilnya saat bergulingan! Empat kali berturut-turut Malaikat Picak melemparkan tanah. Dan, empat kali pula terdengar bunyi ledakan. Nyawa Malaikat Picak pun terselamatkan!

Lingga menggertakkan gigi melihat lawannya masih dapat selamat. Tidak disangkanya Malaikat Picak cukup alot untuk dibunuh. Padahal, dia sudah ingin segera menuntaskan maksudnya terhadap Nuri. Masih terasa kenikmatan tubuh gadis itu.

Kemarahan Lingga semakin menjadi-jadi ketika melihat di kejauhan, dari arah yang berlawanan dengan kedatangan Malaikat Picak, melesat cepat dua sosok tubuh. Memang tak secepat lari Malaikat Picak, tapi membuat Lingga sadar kalau keadaan semakin tidak menguntungkan bagi dirinya.

Kemarahan Lingga pun memuncak! Dan, itu dilampiaskannya pada Malaikat Picak. Berkali-kali sinar-sinar menyilaukan diluncurkan dari ujung goloknya. Berbarengan dengan itu dia melompat menerjang, mengirimkan serangan dengan senjata pusaka itu. Malaikat Picak memang seorang tokoh besar!

Serangan sinar-sinar kilat Lingga kembali dapat dilumpuhkannya. Demikian pula dengan serangan goloknya. Lelaki itu kembali mengorbankan tanah. Sedangkan untuk serangan golok, ruyungnya yang tinggal sebatang ikut dikorbankan.

Meski demikian, serangan susulan Lingga tidak dapat dielakkan. Kaki pemuda itu dengan telak menghantam paha kanannya. Bunyi gemeretak tulang ya patah mengiringi terpentalnya tubuh Malaikat Picak.

"Itu dia penjahat keji itu, Kek...!" Seruan itu keluar dari mulut salah satu dari kedua sosok yang baru datang. Dia adalah Priyani. Gadis yang sudah dinodai Lingga ini menunjuk pemuda itu.

Sosok yang satu lagi bukan lain Setan Kepala Besi. Ia langsung menerkam ke arah Lingga! Tidak patut disebut menerkam sebenarnya. Kakek itu mengirimkan serangan dengan mempergunakan kepala! Tak ubahnya seekor kambing atau kerbau.

Lingga geram bukan main melihat gangguan ini. Saat itu dia tengah hendak mengirimkan serangan susulan terhadap Malaikat Picak, untuk mengirim nyawa ayah Gentala ke neraka. Serangan Setan Kepala Besi membuatnya membatalkan maksudnya.

Pemuda itu terkejut bukan main ketika merasakan hembusan angin yang luar biasa keras meluncur ke arahnya sebelum serangan kepala itu sendiri tiba. Angin luar biasa dahsyat ini cukup untuk menghancurkan sebatang pohon besar! Inilah keistimewaan Setan Kepala Besi. Kepalanya yang kuat mengandung kedahsyatan luar biasa ketika melancarkan serangan! Lingga tidak berani bertindak sembarangan.

Keterbatasan waktu membuat pemuda itu terpaksa mengelak, karena Lingga tidak sempat mempergunakan goloknya. Setelah berhasil menghindari serangan itu, kembali Lingga mempergunakan goloknya dan sinar menyilaukan segera diluncurkan!

Pertarungan pun terjadi antara Setan Kepala Besi bersama Malaikat Picak yang menghadap Lingga. Priyani tidak ikut campur. Di samping kepandaiannya terlalu rendah, dia pun risih melihat keadaan Lingga yang tanpa pakaian. Priyani segera menghampiri Nuri. Dibantunya gadis itu mengobati luka-luka Adipati Gili. Nuri telah mengenakan pakaiannya kembali.

Setelah berupaya meringankan derita Adipati Gili, dua gadis cantik itu memperhatikan jalannya pertarungan. Tidak dapat mereka saksikan secara jelas, tapi cukup untuk mengetahui kalau Lingga tetap berada di pihak yang lebih menguntungkan. Dua jago tua yang menjadi lawannya tampak kelabakan.

Kenyataan ini membuat Nuri dan Priyani khawatir bukan main. Dan, kecemasan mereka beralasan. Malaikat Picak yang tidak leluasa bergerak karena luka pada kakinya menjerit memilukan ketika sinar menyilaukan dari Golok Kilat menerpanya. Tubuh lelaki kekar itu langsung lenyap menjadi debu kering yang segera diterbangkan angin!

Setan Kepala Besi melompat mundur saking kaget dan ngerinya. Lingga menghentikan serangan dan tertawa bergelak. Sedangkan Priyani mengisak lirih melihat kematian gurunya yang mengenaskan.

"Sekarang kau yang akan menerima kematian, Monyet Botak!" seru Lingga penuh kesombongan pada Setan Kepala Besi.

Kakek itu merasakan debaran jantungnya bertambah cepat. Di dalam hati ia mengakui kalau Lingga tedalu tangguh untuk dilawan. Apalagi dengan adanya senjata maut di tangannya. Setan Kepala Besi tidak berani bergerak ketika melihat Lingga mengarahkan ujung golok kepadanya. Lelaki ini menunggu untuk bisa memastikan ke mana harus mengelak. Dia tidak berani menyerang atau bergerak.

Tapi, sinar menyilaukan yang ditunggunya tidak kunjung datang. Dilihatnya wajah Lingga menegang. Pemuda itu kelihatan mendapat masalah! Kendati demikian, Setan Kepala Besi tidak berani mengambil tindakan apa pun. Setan Kepala Besi khawatir kalau sikap Lingga hanya merupakan siasat. Pemuda ini ingin membuatnya lengah lalu mengirimkan serangan.

"Jahanam...!" Teriakan Lingga yang penuh kegeraman membuat Setan Kepala Besi mulai bimbang dengan kecurigaannya. Dilihatnya tangan Lingga mengejang penuh kekuatan. Golok Kilat seperti ditarik oleh tangan tak nampak! Tingkah Lingga menunjukkan kalau pemuda itu tengah berusaha mempertahankan senjatanya dari sesuatu yang menariknya.

Setan Kepala Besi cepat mengambil keputusan. Dikumpulkan seluruh tenaganya. Kemudian, kedua tangannya dihentakkan ke depan mengirimkan pukulan jarak jauh. Kakek ini yakin Lingga tidak bersiasat dengan tingkahnya yang aneh. Lingga tidak mempedulikan serangan Setan Kepala Besi. Dia lebih mementingkan kejadian yang menimpa goloknya.

Bresss!

Telak dan keras sekali pukulan jarak jauh Setan Kepala Besi menghantam Lingga. Tubuh pemuda ini melayang ke belakang bagai diseruduk kerbau liar. Kendati demikian, goloknya tidak terlepas dari tangan. Hanya saja cekalannya mengendur jauh.

Akibat dari mengendurnya cekalan, Lingga tidak kuasa untuk mempertahankan goloknya. Senjata itu melayang ke depan dengan kecepatan tinggi, agak menyerong ke atas. Baru ketika mencapai ketinggian tiga tombak dari tanah benda pusaka itu meluncur secara mendatar ke depan dengan cepatnya.

Lingga meraung bak macan terluka. Begitu berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar, pemuda ini segera melesat cepat memburu ke arah Golok Kilatnya pergi. Tak lupa dijumputnya pakaiannya yang berserakan di tanah.

Tindakan Lingga tidak berusaha dicegah oleh Setan Kepala Besi. Kakek ini masih terkesima melihat Lingga tidak tewas atau terluka berat akibat serangannya. Padahal, serangan itu sudah cukup untuk membuat tokoh yang bagaimanapun lihainya melayang ke alam baka. Tapi, kenyataan Lingga tidak terpengaruh sama sekali.

Priyani menghambur ke arah Setan Kepala Besi. "Mengapa kau biarkan bangsat keji itu pergi, Kek? Kejar dan bunuh dia! Bukankah kau telah berjanji untuk membunuhnya demi aku?" tagih Priyani.

Setan Kepala Besi menghela napas berat. Ditatapnya wajah Priyani sebentar lalu digelengkan kepalanya. "Penjahat keji itu terialu tangguh untukku, Nona. Aku tidak akan mampu mengalahkannya, apalagi membunuhnya. Dia mempunyai ilmu luar biasa di senjata yang mengerikan. Tapi percayalah, meski aku tidak bisa membunuhnya akan ada orang lain yang melenyapkannya dari muka bumi ini," hibur Setan Kepala Besi.

Priyani menutup wajah dengan kedua tangannya karena perasaan sedih. Kalau Setan Kepala Besi yang demikian lihai saja tidak mampu menghadapi Lingga, siapa lagi yang akan dapat membunuh pemuda berhati iblis itu? Rintih Priyani dalam hati. Gurunya sendiri telah tewas.

Setan Kepala Besi merasa tidak ada gunanya lagi mengucapkan kata-kata hiburan. Maka, dibiarkannya saja tingkah Priyani. Bahkan ketika gadis itu menangis di tempat tadi Malaikat Picak berdiri. Kakek ini malah melangkah menghampiri Nuri. Muridnya itu berlari menghambur ke arahnya. Ia terisak di dada Setan Kepala Besi.

Setan Kepala Besi membiarkan saja Nuri menumpahkan seluruh perasaan yang sejak tadi ditahantahannya. Ia tahu pengalaman yang diterima Nuri terlalu dahsyat. Baru setelah tangis Nuri mereda kakek itu memeriksa luka Adipati Gili.

* * *

Dewa Arak merasakan debaran jantungnya berdetak tak menentu. Itu terjadi ketika melihat titik yang kian lama kian membesar dengan cepat. Terlihat jelas oleh mata Arya yang tajam kalau titik yang sekarang terlihat seorang manusia itu mengenakan pakaian serba merah. Lingga! Jerit hati Dewa Arak.

Berbagai macam perasaan berkecamuk di dada Arya. Rasa gembira karena berhasil menemukan Lingga. Dan, rasa tegang mengingat pemuda yang menjadi seterunya itu belum tentu berhasil dikalahkan.

Namun, perasaan itu sempat terusir ketika melihat benda yang diketahui Dewa Arak sebagai golok melayang di udara dengan kecepatan menakjubkan. Arya segera bisa mengetahui Lingga tengah mengejar-ngejar golok itu. Inikah Golok Kilat? Tanya Arya dalam hati.

Tidak berbeda dengan Dewa Arak, Lingga pun melihat keberadaan pemuda berambut purih keperakan itu. Di dalam hatinya pemuda berpakaian merah ini memaki-maki mengutuk keberuntungan Dewa Arak yang bertemu dengannya di saat Golok Kilat lepas dari tangannya.

Ketidak-adaan Golok Kilat membuat Lingga tidak yakin dapat membunuh Dewa Arak. Setidak-tidaknya, dengan tidak adanya Golok Kilat, Arya memiliki kemungkinan untuk lolos dari maut.

"Jangan pikirkan soal Lingga dulu, Dewa Arak," terdengar suara tanpa wujud di telinga Dewa Arak. Suara yang dikenali Arya sebagai milik Penyair Cengeng. "Yang lebih penting, cegah jangan sampai senjata mengerikan itu jatuh ke tangan penciptanya. Malapetaka yang lebih besar menanti. Dunia persilatan akan bersimbah darah. Golok Kilat akan jauh lebih berbahaya dan mengerikan bila jatuh ke tangan penciptanya, karena dia tahu lebih banyak mengenai istimewaan golok itu."

Arya tersentak kaget. Teka-teki yang menggumpal di benaknya sekarang terjawab. Pencipta Golok Kilat ternyata masih hidup. Rupanya, sang pencipta senjata itu sekarang bermaksud mengambil miliknya kembali. Jelas sudah mengapa Golok Kilat bisa terbang sendiri laksana burung.

Pasti itu tejadi karena ulah sang pencipta Golok Kilat. Dewa Arak tidak berani meremehkan peringatan Penyair Cengeng. Buru-buru diloloskan sabuknya. Kemudian, dilemparkannya ke arah Golok Kilat yang masih berada beberapa belas tombak di depannya. Sabuk ungu Dewa Arak meluncur bagai seekor ular, bergulung-gulung siap untuk melibat Golok Kilat yang akan lewat.

Usaha Dewa Arak ternyata berhasil. Sabuknya dengan tepat melilit batang golok. Arya bermaksud menariknya, tapi terpaksa diurungkan. Lingga yang meluncur tiba telah mengirimkan pukulan jarak jauh. Ia rupanya tidak membiarkan pusaka itu jatuh ke tangan seterunya. Arya buru-buru memapaki serangan itu dengan pukulan jarak jauh pula.

Blarrr!

Bumi berguncang ketika dua pukulan jarak jauh yang memiliki kekuatan dahsyat tak terkira bertemu di tengah jalan. Baik Arya maupun Lingga terhuyung ke belakang. Arya selangkah lebih jauh! Dewa Arak terkejut bukan main. Bukan karena benturan itu. Pemuda berambut putih keperakan ini telah tahu kehebatan kekuatan tenaga Lingga. Yang membuatnya kaget adalah ketika melihat Golok Kilat memancarkan sinar menyilaukan dan memercikkan api.

Api yang muncul demikian mengejutkan itu ternyata memiliki kekuatan panas yang mengerikan. Di saat Dewa Arak dan Lingga belum sempat mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka terhuyung, sabuk ungu yang melilit golok habis terbakar! Dengan demikian Golok Kilat kembali bebas. Dan, sebelum Dewa Arak dan Lingga sempat berbuat sesuatu, Golok Kilat kembali melesat dengan kecepatan tinggi!

Lingga lebih dulu bertindak. Kedua tangannya cepat dijulurkan ke depan. Ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menarik golok itu. Setidak-tidaknya, menahan luncurannya. Tindakan Lingga tidak sia-sia. Luncuran Golok Kilat tertahan. Memang tidak tertarik ke arah Lingga, tapi luncurannya terhenti seakan-akan hulu golok dipegang oleh tangan.

Dewa Arak tidak mau ketinggalan. Pemuda berambut putih keperakan ini melompat untuk menangkap golok yang terapung-apung di udara itu. Karena kekhawatiran Golok Kilat jatuh ke tangan penciptanya, Dewa Arak sampai tidak ingat kalau tindakannya bagai menangguk ikan di air keruh.

Lingga menggeram marah. Pemuda ini tahu kalau Dewa Arak berhasil menangkap Golok Kilat sudah pasti akan mendapatkannya. Jarak yang jauh akan membuat tenaga dalamnya yang hanya lebih kuat sedikit dari Dewa Arak tidak berarti sama sekali!. Dan, Lingga tidak menginginkan hal itu terjadi.

"Uhhh…!" Arya mengeluarkan keluhan tertahan ketika tangkapannya mengenai tempat kosong. Golok Kilat telah melesat cepat dari tempat semula. Lebih cepat daripada sebelumnya!

Dewa Arak tidak merasa heran melihat hal ini. Lingga pasti telah menghentikan tarikannya. Itu membuat Golok Kilat yang sejak tadi berkutat untuk membebaskan diri dari tarikan Lingga meluncur bagai anak panah lepas dari busur.

Lingga sendiri begitu melepaskan tarikannya melesat cepat mengejar golok itu. Tapi, pemuda ini tertinggal cukup jauh karena luncuran Golok Kilat yang demikian pesat.

Dewa Arak pun segera bertindak. Pemuda berambut putih keperakan ini ikut melesat mengejar. Pemandangan yang unik pun terpampang. Golok Kilat berada di depan, disusul Lingga dan kemudian Dewa Arak. Jarak antara mereka masing-masing cukup jauh. Dan, semakin lama semakin jauh.

Dewa Arak mengeluh dalam hati. Sungguh tidak disangkanya dalam ilmu lari cepat pun Lingga masih lebih unggul daripadanya. Jarak antara dia dan Lingga semakin lebar. Tidak hanya Dewa Arak, Lingga pun mengutuk di dalam hati melihat jaraknya yang semakin jauh dengan Golok Kilat. Medan tempuh sang golok yang tidak mengenal kesulitan membuat luncurannya tidak terhambat sedikit pun. Sementara Lingga terkadang harus melewati medan yang sulit.

Lingga pucat pasi wajahnya ketika melihat sebuah hutan berada puluhan tombak di depannya. Apabila masuk hutan, pupus sudah harapannya untuk dapat memperoleh senjata itu lagi. Kelebatan hutan akan menyembunyikan Golok Kilat dari pandangan. Dedaunan rindang yang menghalangi pandangan banyak menghampar.

Maka, meskipun rasa lelah yang sangat mendera dan napasnya sudah memburu, dikuatkan hatinya untuk terus mengejar. Malah diusahakan untuk mengerahkan kekuatan lari yang lebih dari sebelumnya. Usaha Lingga sia-sia. Kemauannya tidak terdukung oleh kemampuan yang cukup. Golok Kilat telah lebih dulu masuk ke dalam hutan. Lingga tertinggal beberapa tombak di belakangnya. Hampir sepuluh tombak!

Meski demikian, Lingga tetap menyusul masuk ke dalam hutan. Dia terus melanjurkan pengejaran. Dewa Arak menyusul beberapa saat kemudian. Tapi, sesampainya di dalam hutan pemuda berambut putih keperakan ini menghela napas berat. Lingga sudah tidak kelihatan lagi.

Sementara itu, terpisah beberapa belas tombak di depan, Lingga pun tengah kebingungan. Pandangan mata pemuda ini liar merayapi sekitar tempatnya berada untuk melihat barangkali Golok Kilat ada di sana. Tapi harapannya sia-sia! Golok Kilat tidak terlihat. Mungkin sudah meninggalkan tempat itu.

* * *

Setan Kepala Besi menoleh ke arah Nuri yang melangkah lesu di sebelahnya. Kedua tangan gadis ini ditaruh di belakang. Sementara Setan Kepala Besi membopong tubuh Adipati Gili.

"Kita telah sampai, Nuri," ujar Setan Kepala Besi lembut sambil mengarahkan pandangan ke sebuah pondok sederhana beratapkan rumbia dan berdinding pagar bambu. Nuri hanya tersenyum samar setelah lebih dulu mengangkat wajah dan memandang gurunya. Kemudian, tatapannya diturunkan kembali menekuri tanah.

Setan Kepala Besi tidak berkecil hati melihat tingkah muridnya. Nuri masih terpukul dengan kejadian yang menimpanya akibat ulah Lingga. Sejak kemarin gadis ini berdiam diri saja. Tidak bicara kecuali ditanya. Itu pun jawaban yang diberikan singkat-singkat saja Khawatir akan ancaman Lingga, Setan Kepala Besi tidak mengajak Nuri dan Adipati Gili ke tempatnya yang dulu.

Dibawanya ayah dan anak itu ke tempat yang tersembunyi. Setan Kepala Besi mendorong daun pintu yang terbuat dari bambu. Daun pintu pun terkuak. Cahaya sang surya menyorot menyinari bagian dalam rumah.

"Selamat bertemu lagi, Setan Kepala Besi."

Setan Kepala Besi sampai tanpa sadar terjingkat ke belakang. Ia terkejut bukan main. Suara itu pernah didengarnya. Bahkan cukup akrab di telinganya. Tapi, membutuhkan waktu yang cukup lama bagi Setan Kepala Besi untuk mengingatnya.

Keberadaan pemilik suara yang langsung terlihat oleh Setan Kepala Besi membuat kakek ini tidak perlu bersusah-payah mengingat-ingat. Si pemilik suara duduk di balai-balai bambu yang ada di tengah ruangan.

"Kaget, Setan Kepala Besi?''

Pemilik suara menyapa dengan senyum terkembang lebar. Tampak deretan giginya yang kuning dan beberapa di antaranya hitam. Terlihat cukup menyolok deretan gigi itu karena kulit sosok ini hitam legam.

"Sejujurnya iya, Eyang," jawab Setan Kepala Besi setelah bisa menguasai perasaannya. "Aku tidak menyangka Eyang sampai keluar dari pertapaan. Apalagi bisa tiba di sini. Dari mana Eyang tahu tempat ini?"

"Itu tidak penting, Setan Kepala Besi." jawab kakek hitam legam itu sambil mengibaskan tangan. "Tapi, agar kau tidak penasaran kuberitahukan sekilas. Aku keluar dari pertapaan karena memang sudah waktunya untuk keluar. Dan, tahunya aku tempat ini karena kau juga, Setan Kepala Besi?"

Setan Kepala Besi tersenyum pahit. "Karena aku mencuri lembaran-Iembaran daun lontar yang kau buat dari hasil semadimu, Eyang?"

Kakek hitam legam tersenyum dan menggelengkan kepala.

"Lalu, karena apa? Kakek Merah dan Putih pun keluar dari pertapaan karena hendak meminta lembaran daun lontar itu."

"Aku tahu mereka pergi. Tapi, itu mereka lakukan karena bakti mereka padaku. Padahal aku tidak menginginkan mereka bertindak demikian. Bahkan aku tidak pernah bercerita kalau lembaran daun lontar telah kau curi. Bertahun-tahun kusimpan rapat-rapat rahasia itu sampai akhirnya mereka mengetahuinya sendiri. Dan, begitulah akibatnya. Meski kularang keras, tapi apa dayaku? Kau tahu sendirikan keadaanku?"

Setan Kepala Besi mengangguk. Kakek hitam legam yang dikenalnya dengan nama Eyang Keling ini telah kehilangan seluruh tenaga dalamnya. Setan Kepala Besi tidak tahu mengapa. Yang jelas, Eyang Keling diketahuinya memiliki ilmu nujum yang hebat. Menyepi bertahun-tahun seorang diri sebelum akhirnya sepasang kakek yang memperkenalkan diri dengan nama Merah dan Putih datang menemani. Bertahun kemudian Setan Kepala Besi datang pula ke tempat itu. Sungguh sebuah hal yang kebetulan!

"Apakah kau telah bertemu dengan mereka, Setan Kepala Besi?"

"Tidak, Eyang. Tapi, mereka telah menawan muridku agar aku datang menemuinya. Ternyata sebelum kubebaskan muridku ini telah lebih dulu bebas," Setan Kepala Besi menunjuk pada Nuri.

Eyang Keling menatap Nuri sebentar. Kemudian, tersenyum ramah Nuri membalas senyum itu kendati sedang tidak ingin tersenyum. Itu dilakukannya untuk menghormati Eyang Keling yang demikian dihormati gurunya.

"Apakah ada hal yang penting sehingga kau datang menemuiku, Eyang?" tanya Setan Kepala Besi setelah selesai menceritakan kisah Nuri hingga bisa selamat dari tawanan kakek Merah dan Putih.

"Tentu saja, Setan Kepala Besi," Eyang Keling menganggukkan kepala.

* * *

TUJUH

"Biadab...!" Dewa Arak tidak kuasa untuk menahan makiannya ketika melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya. Dua sosok terpantek di dua batang pohon dalam keadaan mengenaskan. Sekujur tubuhnya penuh guratan senjata tajam. Cukup dalam karena beberapa di antaranya memperlihatkan tulang yang putih. Bercak-bercak darah yang mengering menyebar di sekujur tubuh. Tapi anehnya, tak ada setitik pun yang jatuh di tanah.

Arya bergegas menghampiri. Diperkirakannya kedua sosok tubuh itu dengan hati panas terbakar amarah yang menggelegak melihat penyiksaan yang demikian mendirikan bulu kuduk. Bercak-bercak darah membuat pakaian kedua sosok itu tidak terlihat lagi warnanya. Tapi, Arya tahu kalau mereka adalah dua orang kakek yang menculik Nuri. Lalu, siapakah yang telah melakukan kekejian itu?

Pertanyaan itu bergayut di benak Dewa Arak. Dua dugaan mengenai si pelaku terbersit di benaknya. Dua orang yang mempunyai kemungkinan besar bertindak seperti ini. Setan Kepala Besi yang mungkin karena sakit hatinya melakukan penyiksaan, dan Lingga! Dua tokoh itu memang memiliki kemungkinan besar.

Setan Kepala Besi dulunya adalah seorang pentolan kaum sesat. Bukan tidak mungkin karena saking marah dan sakit hatinya lelaki itu khilaf dan berlaku seperti ini. Di lain pihak, Lingga pun demikian. Kakek Merah dan Putih telah mencari urusan dengannya. Jangankan orang yang berurusan, yang tidak pun bisa saja mendapat sial disiksa oleh Lingga yang memang memiliki hati kejam luar biasa.

Dewa Arak lebih condong pada Lingga. Telah dua hari dia mengikuti jejak Lingga, sejak pemuda itu dan dirinya mengejar-ngejar Golok Kilat. Dan, menurut perhitungannya arah yang diikutinya ini adalah arah yang dituju Lingga. Jadi, kemungkinan besar kakek Merah dan Putih dibunuh olehnya! Hal itu bukan tidak mungkin bagi Lingga. Di samping berkepandaian amat tinggi, pemuda ini pun memiliki ilmu yang membuat kulit tubuhnya tidak bisa dilukai!

"Dewa Arak..."

Sapaan itu membuat Dewa Arak bergegas membalikkan tubuh dan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Pemuda ini sempat kaget karena tidak mendengar adanya bunyi sedikit pun. Keterkejutan kedua adalah karena saat itu ia tengah tegang melihat pemandangan yang menggiriskan.

Sekujur urat-urat saraf di tubuh Dewa Arak langsung mengendur ketika mengetahui orang yang menegurnya. Orang itu adalah Penyair Cengeng. Tokoh luar biasa. Arya heran melihat wajah Penyair Cengeng demikian tegang. Tidak biasanya kakek itu bersikap demikian.

"Malapetaka besar telah berada di ambang pintu, Dewa Arak," ucap Penyair Cengeng dengan suara mengandung keprihatinan mendalam. "Satu tahun lagi Golok Kilat akan menjadi pusaka maha ampuh! Jauh lebih dahsyat dan mengerikan daripada yang dulu. Aku mengetahui hal ini setelah mengerahkan seluruh kemampuan batinku. Ada kekuatan kasatmata yang menghalangi maksudku mencari tahu mengenai Golok Kilat. Ini berarti pencipta Golok Kilat telah campur tangan. Hanya itu yang bisa kuketahui, Dewa Arak! Aku tidak tahu tahap apa lagi yang akan dilalui agar Golok Kilat menjadi pusaka yang sangat mengerikan. Bila tahap itu selesai, tak akan ada seorang tokoh pun yang bisa tidur nyenyak, Dewa Arak. Setiap tokoh yang bagaimanapun saktinya, kecuali mungkin gurumu yang luar biasa itu, bisa mati setiap saat tanpa mereka tahu siapa yang membunuhnya."

"Apa yang harus kulakukan, Penyair Cengeng?" tanya Arya dengan cemas. Ia khawatir sekali mendengar cerita Penyair Cengeng.

"Apa saja, Dewa Arak. Intinya, usahakan agar tahap terakhir dari usaha pencipta Golok Kilat itu gagal. Bila sampai terjadi, meski Golok Kilat tetap merupakan pusaka sangat mengerikan, tak terlalu mengancam keselamatan tokoh-tokoh persilatan."

Arya sebenarnya hendak menanyakan banyak hal. Terutama mengenai ancaman yang teramat berbahaya dan yang tidak. Tapi, melihat sikap Penyair Cengeng yang tergesa-gesa diputuskan untuk mengajukan masalah yang penting saja.

"Aku memutuskan untuk mencari pencipta Golok Kilat itu, Penyair Cengeng. Bisa kau memberikan sedikit petunjuk?"

"Aku tidak bisa memberi banyak petunjuk, Dewa Arak. Aku sendiri tengah berusaha menemukan di mana adanya si pencipta itu. Tapi, hasilnya sia-sia. Ilmu batinku pun tidak mampu membantuku. Jadi, yang bisa kubantu hanya memberikan ciri-ciri pencipta Golok Kilat, agar kau lebih mudah menemukannya. Dia memiliki kulit kuning. Tubuhnya gemuk pendek. Itu yang bisa kuberitahukan, Dewa Arak. Dan...."

"Penyair Cengeng...! Awaaasss...!"

Seruan itu dikeluarkan Dewa Arak ketika melihat seleret sinar menyilaukan mata bak kilat meluncur ke arah Penyair Cengeng. Arahnya dari belakang kakek itu. Sebenarnya, seruan Dewa Arak tidak perlu. Meski bunyi lesatan sinar yang sebetulnya berasal dari Golok Kilat itu amat pelan, tapi cukup untuk tertangkap telinga Penyair Cengeng.

Kakek itu segera membanting tubuh dan menggulingkan diri di tanah. Dewa Arak sendiri ikut menjauh. Pemuda ini agak heran melihat Penyair Cengeng demikian repot-repot mengelak. Sedikit menggeser kaki pun sudah cukup, pikir Dewa Arak.

Arya baru mengetahui alasan Penyair Cengeng melakukan elakan yang demikian merepotkan ketika melihat kilatan sinar yang seharusnya mengenai tempat kosong mengikuti arah ke mana Penyair Cengeng mengelak. Kali ini Penyair Cengeng melenting ke atas. Sinar itu pun mengikutinya. Arya yang melihatnya jadi berdebar tegang. Pemuda ini, yang telah bisa menduga kalau sinar menyilaukan itu berasal dari Golok Kilat, baru menyadari mengapa Penyair Cengeng dan Ki Gering Langit demikian khawatir.

Dewa Arak melihat sendiri ke mana pun Penyair Cengeng mengelak sinar kilat itu tetap memburu. Mengapa Penyair Cengeng tidak menangkisnya saja? Tanya Dewa Arak dalam hati. Arya memperhatikan pemandangan yang terpampang dengan perasaan tertarik bercampur tegang.

Ketika teringat akan sinar kilat yang dulu pernah dialaminya, yang mungkin akan membuatnya tewas, kalau tidak ada guci pusakanya, Dewa Arak menemukan sendiri jawaban mengapa Penyair Cengeng tidak menangkisnya (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode Batu Kematian).

Arya kaget ketika tiba-tiba Penyair Cengeng menubruk tanah seperti orang terjun ke sungai. Apa yang hendak dilakukan kakek ini? Arya hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Tubuh Penyair Cengeng amblas ke dalam tanah! Itu masih belum mengejutkan. Yang membuat Arya kaget bukan main adalah ketika melihat tidak adanya bekas sedikit pun pada tanah! Seakan-akan Penyair Cengeng tidak pernah masuk ke dalamnya.

Blarrr!

Debu mengepul tinggi ketika sinar kilat itu menghantam tanah di mana tubuh Penyair Cengeng lenyap. Dan begitu debu tersapu angin, tampak lubang besar menganga. Lubang yang mampu untuk menimbun mayat seekor gajah besar.

Berbarengan dengan lenyapnya debu, Penyair Cengeng muncul kembali ke permukaan tanah. Tidak teriihat sedikit pun bagian tubuhnya yang kotor. Ilmu apakah yang dipergunakan Penyair Cengeng? Tanya Arya dalam hati. Pemuda ini merasa risih untuk menanyakannya. Yang diketahui Arya, Penyair Cengeng memang banyak memiliki ilmu-ilmu gaib.

"Kau lihat sendiri kedahsyatan Golok Kilat itu, Dewa Arak?" ujar Penyair Cengeng setengah memberi tahu. "Padahal, tahap terakhir belum dilaksanakan oleh pencipta Golok Kilat. Bila tahap itu sudah selesai, tindakan yang kulakukan tadi tidak akan ada artinya. Sinar maut itu mampu menembus tanah tanpa bekas sedikit pun seperti halnya aku. Jadi, tidak ada tempat untuk bersembunyi lagi. Sinar itu akan terus mengejarku sampai aku berhasil disambarnya."

Dewa Arak menelan ludah karena perasaan tegang. Sungguh tidak disangkanya akan demikian dahsyat akibat yang ditimbulkan Golok Kilat.

"Kalau demikian, aku akan secepatnya mencari pencipta gdok itu, Penyair Cengeng," jawab Arya segera mengambil sebuah keputusan. "Tapi sebelum itu..., boleh kutahu mengapa pencipta Golok Kilat kelihatannya memusuhimu?"

Penyair Cengeng tersenyum pahit. "Semua itu karena salahku juga. Dulu aku sepertimu. Tidak tahan untuk berdiam diri melihat tindak ketidakadilan terjadi di depan mata. Pencipta Golok Kilat menyebar malapetaka di dunia persilatan. Tapi waktu itu kedahsyatan Golok Kilat tidak seperti sekarang. Sinar maut yang keluar dari ujung golok tidak mampu mencari sasaran sendiri. Itu pun harus dilakukan dari jarak dekat, misalnya sewaktu bertarung. Tidak seperti sekarang sangat mengerikan! Pencipta Golok Kilat berhasil kukalahkan. Golok itu sendiri kutenggelamkan di laut untuk membuang pengaruhnya. Entah bagaimana bisa keluar dari sana. Mungkin ditemukan nelayan dan dijual pada prajurit kerajaan. Hal itu aku tidak begitu tahu. Yang jelas, beban berat ada di pundakmu, Dewa Arak."

"Doakan aku, Penyair Cengeng. Semoga aku berhasil menunaikan tugas ini seperti halnya kau dulu."

Penyair Cengeng mengangguk sambil tersenyum. Meski demikian, sorot kekhawatiran belum lenyap dari wajahnya. Penyair Cengeng melangkah pelan dan lambat. Namun, tubuhnya dengan cepat telah berada puluhan tombak di depan. Dan yang menarik perhatian Arya, beberapa kali telapak kaki si kakek tidak menginjak tanah. Luar biasa!

* * *

Bunyi gaduh yang dikenal baik oleh Arya sebagai akibat dari terjadinya pertarungan menarik perhatian pemuda berambut putih keperakan itu. Ia segera melesat pergi ke sana. Jantung Arya berdebar tegang ketika akhirnya melihat orang-orang yang terlibat dalam pertarungan di balik gundukan batu besar di pinggir sungai. Salah satu di antaranya adalah Lingga! Sedangkan sosok yang satu lagi tidak dikenal Arya. Seorang kakek berkulit hitam legam. Kakek ini bukan lain Eyang Keling.

Pertempuran ini hebat bukan main. Arya sendiri sampai takjub melihatnya. Lingga diketahui Dewa Arak memiliki kepandaian ringgi. Tapi, lawannya tidak kalah lihai. Lingga yang memiliki ilmu 'Dewa Mabuk' tampak tidak mampu mendesak lawan. Eyang Keling memiliki ilmu tangan kosong yang mengagumkan. Kedua tangannya seperti berjumlah belasan. Beberapa kali Eyang Keling dan Lingga mengadu tenaga. Akibatnya, tubuh keduanya terhuyung-huyung.

Tenaga dalam mereka ternyata berimbang. Namun, lambat laun Eyang Keling mulai terdesak. Kekebalan tubuh Lingga yang menjadi penyebabnya. Kakek ini terus dipaksa bermain mundur. Bila hal itu terus dibiarkan Eyang Keling akan tewas. Eyang Keling pun rupanya menyadari hal itu. Begitu mendapat kesempatan, dia melempar tubuhnya ke belakang. Dan, ketika menjejak tanah di tangannya telah tergenggam sebatang pedang.

Lingga tersenyum mengejek. Tanpa mempedulikan keselamatan diri dia melompat bagai seekor harimau menerkam mangsa! Eyang Keling berdiri tegak menanti datangnya serangan. Ketika telah dekat, batang pedangnya diludahi! Baru setelah itu dibabatkan ke arah kedua tangan Lingga yang meluncur ke arahnya.

Lingga mengeluarkan pekikan tertahan! Pemuda keji ini merasakan desir angin tajam yang membuat ngilu tubuhnya. Dalam waktu yang demikian singkat dia segera menyadari adanya hal-hal yang mencurigakan. Lingga menarik kedua tangannya untuk membatalkan serangan. Pertama kalinya sejak menerima warisan ilmu hebat dari tokoh-tokoh sakti yang berasal dari Nepal, Lingga tidak berani memapaki senjata dengan tangannya (Untuk jelasnya mengenal tokoh-tokoh Nepal, silakan baca episode Petualang-petualang dari Nepal).

Crattt!

Darah mengucur ketika pergelangan tangan kiri Lingga terserempet ujung pedang. Elakan yang dilakukan Lingga kurang cepat. Untungnya, tidak mengenai urat nadi!

"Ha ha ha...!" Eyang Keling tertawa terbahak-bahak. Kakek ini tidak segera melanjutkan serangan. Sikapnya seperti orang yang yakin akan keunggulannya.

Arya terkejut melihat Lingga bisa dilukai. Namun, lebih terkejut lagi ketika melihat pemuda yang tangguh itu terhuyung-huyung limbung bagaikan orang terluka parah. Padahal, luka yang dideritanya hanya kecil saja. Itu pun sudah tidak mengalirkan darah lagi. Lingga telah menotok jalan darah di sekitar luka untuk menghentikan aliran darah.

"Mungkinkah ujung pedang Eyang Keling beracun?" Pertanyaan itu bergayut di benak Arya. Namun, segera terbantah ketika pemuda itu melihat darah yang mengucur dari pergelangan tangan Lingga berwarna merah segar. Tanda darah sehat.

"Di depan orang lain kau boleh membanggakan kekebalan tubuhmu, Pemuda Sombong! Tapi, tidak di hadapan Eyang Keling. Kekebalanmu tidak ada artinya bagiku. Aku telah membuat penangkalnya. Meski hanya terluka sedikit, tapi akibatnya besar! Seluruh tenagamu akan lenyap meski cuma sebentar. Rasa pusing pun akan melandamu. Bukankah demikian?"

Dewa Arak baru mengerti mengapa Lingga kelihatan seperti orang terluka parah. Rupanya, Eyang Keling telah menemukan kelemahannya. Lingga tidak memberikan tanggapan. Pemuda ini memegangi kepalanya dan terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Rupanya, apa yang dikatakan Eyang Keling tidak berlebihan. Eyang Keling menghampiri Lingga dengan pedang terhunus di tangan. Sikapnya sembarangan saja, tidak terlihat waspada sedikit pun.

"Arrrggghhh...!" Laksana seekor harimau luka, Lingga menggeram. Akibatnya, tanah dan sekitar tempat itu bergetar hebat.

Dewa Arak yang memang masih menaruh curiga terhadap Lingga dan tidak yakin pemuda licik itu demikian mudah dilumpuhkan, tidak terpengaruh karena segera mengerahkan tenaga dalam untuk menekan pengaruh teriakan. Tidak demikian halnya dengan Eyang Keling. Kakek ini tidak bersiap sama sekali. Tubuhnya mendadak lemas dan hampir ambruk di tanah karena kedua kakinya menggigil. Dadanya pun terguncang hebat!

Lingga yang sudah memperhitungkan hal itu segera melompat sambil mengirimkan tamparan ke arah pelipis Eyang Keling. Kakek hitam legam ini meski dalam keadaan tidak menguntungkan masih mampu menunjukkan kalau dirinya bukan orang sembarangan. Dia mengegoskan tubuhnya. Dan, ini cukup berarti. Serangan Lingga mendarat di bahu kanan.

Plakkk!

Tubuh Eyang Keling terlempar ke samping. Lalu, jatuh terguling-guling di tanah. Lingga tidak tinggal diam. Pemuda ini melesat untuk mengirimkan serangan mematikan. Tapi, Dewa Arak yang merasa geram melihat kelicikan Lingga tidak dapat tinggal diam. Ia melompat memotong lompatan Lingga seraya mengirimkan tamparan ke arah bahu.

Kalau menuruti perasaan, Dewa Arak ingin mengirimkan serangan ke arah kepala agar bisa memukul mati Lingga. Tapi karena serangan yang dilakukan secara membokong, niat itu dibatalkan. Kalau tidak hendak menyelamatkan Eyang Keling pun Dewa Arak tak mau membokong seperti ini.

Dalam keadaan biasa Lingga akan membiarkan serangan ini. Tapi karena luka yang terjadi membuat kekebalan tubuhnya musnah, Lingga memapaki serangan itu kemudian mengirimkan tendangan ke perut Arya! Pada saat yang bersamaan Dewa Arak mengirimkan gedoran ke arah dada Lingga.

Plak! Duk! Des!

Hampir berbarengan dengan terjadinya benturan dua tangan, tendangan Lingga mendarat di paha kanan Dewa Arak. Sebaliknya, gedoran Arya menghantam dada atas Lingga. Masing-masing pihak serangannya meleset karena sempat berkelit.

Tubuh Dewa Arak dan Lingga sama-sama terjengkang ke belakang. Lingga yang lebih parah lukanya terbanting keras di tanah. Sedangkan Dewa Arak masih mampu menjejak tanah meski dengan agak limbung.Tapi, keberuntungan Dewa Arak hanya sampai di situ. Begitu kakinya menjejak tanah Eyang Keling yang rupanya tidak terluka parah mengirimkan pukulan jarak jauh.

Kejadian itu demikian cepat dan tidak terduga-duga. Padahal, Arya berada dalam keadaan yang kurang menguntungkan. Karena itu Dewa Arak tidak mampu mengelak. Arya hanya sempat mengerahkan tenaga dalam untuk membuat isi dadanya tidak hancur oleh pukulan jarak jauh yang dahsyat itu. Sungguhpun demikian, ketika pukulan itu melandanya, tubuh Dewa Arak melayang ke belakang laksana daun kering dihempas angin keras. Darah menyembur deras dari mulutnya!

Eyang Keling tidak mempedulikan Dewa Arak lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu memang tidak pingsan. Tapi, tergolek tak berdaya di tanah. Luka dalam Arya memang parah! Arya hanya dapat melihat Eyang Keling mendekati Lingga. Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa Eyang Keling malah menyerangnya? Bukankah dia telah membantu kakek itu menghadapi Lingga? Malah, Dewa Arak yang menyelamatkannya! Di pihak manakah kakek itu berdiri? Kalau juga golongan hitam, mengapa bentrok dengan Lingga?

"Ha ha ha...!" Eyang Keling tertawa bergelak. Tawa yang sarat dengan kegembiraan. Dia berdiri di dekat Lingga. Wajahnya didongakkan ke langit dengan penuh kesombongan.

"Penyair Cengeng...! Sebentar lagi kau akan menerima pembalasan dendamku yang kutahan selama puluhan tahun. Dengan berhasilnya kuambil darah pemuda sombong ini, rampunglah sudah tahap terakhir dan aku akan menjadi jago tak terkalahkan di kolong langit ini. Ha ha ha...!"

Dewa Arak yang masih sadar terasa bagai disambar halilintar mendengar ucapan Eyang Keling! Ucapan kakek hitam legam ini mengingatkannya akan cerita Penyair Cengeng tentang seorang tokoh sesat yang menjadi pencipta Golok Kilat. Jadi, Eyang Keling inilah pencipta golok yang mengerikan itu!

"Jadi...," ucap Arya pelan tapi cukup jelas terdengar. "Kau orang yang menciptakan Golok Kilat itu?"

"Kalau bukan aku siapa lagi...?" jawab Eyang Keling.

"Menurut berita yang kudapat, pencipta Golok Kilat memiliki kulit kuning dan bertubuh gemuk pendek," bantah Arya dengan suara lemah. Karena, ia menyadari merubah kulit dan potongan tubuh bukan hal yang sulit bagi seorang tokoh besar persilatan.

"Apa susahnya mengubah semua itu, Dewa Arak? Kau Dewa Arak bukan? Aku tahu, kau pasti mengetahui tentangku dari Penyair Cengeng. Beberapa waktu yang lalu dia boleh selamat dari maut. Tapi, setelah hari ini tidak akan mungkin terulang keberuntungannya."

"Boleh kutahu tahap terakhir itu?" tanya Arya, ingin tahu.

"Tentu saja, Dewa Arak! Tidak ada ruginya memberikan keterangan pada orang yang sudah dekat dengan malaikat maut. Dengar baik-baik. Tahap pertama adalah mengambil Golok Kilat yang telah mendapat keampuhannya lagi dengan mempergunakan sarungnya yang memang kusimpan. Kedua, mengambil darah orang-orang yang sebelumnya telah kuberikan ramuan yang membuat keampuhan Golok Kilat bertambah. Darah mereka akan diserap habis oleh Golok Kilat. Karena darah itulah sinar yang keluar dari Golok Kilat mampu mengikuti ke mana orang yang dituju bergerak. Sedangkan tahap terakhir, Golok Kilat harus meminum habis darah orang yang membuatnya bangkit dari istirahat panjang. Setelah tahap ini, orang yang dituju oleh sinar maut Golok Kilat tak akan mampu lolos lagi. Apa pun yang menghalangi akan ditembus oleh sinar itu."

"Jadi.. , kau yang membunuh dua kakek berkulit merah dan putih, lalu mengikatnya di pohon?" tanya Arya, teringat akan mayat-mayat yang ditemuinya.

"Benar. Mereka dan Setan Kepala Besi. Ketiga orang itulah yang meminum ramuan untuk menambah keistimewaan Golok Kilat. Ramuan itu hanya berkhasiat bila bercampur darah orang yang memiliki tenaga dalam kuat. Bertahun-tahun mereka kucekoki ramuan itu tanpa mereka tahu. Aku memang mencari orang-orang seperti mereka. Kebetulan mereka hendak mengasingkan diri. Dengan ilmu batinku kutarik mereka ke tempatku. Bertahun-tahun kemudian baru Setan Kepala Besi kuberikan catatan tentang Golok Kilat di lembaran daun lontar. Seperti dugaanku, semuanya berjalan lancar. Dengan adanya ramuan di tubuh mereka dan bekas bau Golok Kilat pada pemuda sial ini, mudah saja kutemukan keberadaan mereka. Dan, mereka pun kubunuh!"

"Tapi, menurut Setan Kepala Besi kau tidak memiiiki tenaga dalam?" bantah Arya. Ia penasaran setelah mengetahui banyaknya rahasia di kehidupan Eyang Keling. Nama yang sudah pasti samaran.

"Tentu saja! Bukankah Golok Kilat pun baru mempunyai keistimewaan lagi belum lama ini?" sentak Eyang Keling. Dan ketika melihat Dewa Arak kebingungan, segera dilanjutkan penjelasannya. "Antara aku dengan Golok Kilat seperti satu nyawa. Begitu Golok Kilat kehilangan daya, aku pun demikian. Aku kembali segar setelah Golok Kilat memiliki keistimewaannya lagi. Nah, kurasa sudah cukup basa-basi ini, Dewa Arak. Kau satu-satunya orang yang tahu rahasia ini. Bahkan, kau pula orang pertama sekaligus terakhir yang melihatku menyelesaikan tahap terakhir untuk membuat Golok Kilat memiliki keistimewaan tidak terhingga!"

Setelah berkata demikian, tanpa peduli pada Dewa Arak lagi Eyang Keling mengalihkan perhatian pada Lingga. Golok Kilat dikeluarkan dari balik bajunya dan perlahanlahan dihunus. Sinar terang membersit keluar, menyilaukan mata dan menggiriskan hati.

Dewa Arak tahu keadaan yang amat mengkhawatirkan telah tercipta. Hanya dalam waktu sekejap lagi nyawa tokoh persilatan di mana pun berada akan terancam. Terutama Penyair Cengeng! Dewa Arak tidak punya pilihan lagi kecuali memanggil belalang raksasa di alam gaib. Ia pun segera memusatkan pikirannya. Seketika itu juga tenaganya yang telah sirna pulih kembali. Luka dalamnya yang sejak tadi terasa nyeri saat itu menguap entah ke mana.

Arya mengeluarkan bunyi menggeram keras dari mulutnya. Tak patut suara yang keluar dari mulut manusia. Begitu menyeramkan! Seiring dengan itu, pemuda berambut putih keperakan ini melompat menerjang Eyang Keling.

Eyang Keling merasakan sekujur tubuhnya bagai dirayapi ribuan semut. Dia gemetar! Kejadian yang tidak disangka-sangka ini membuatnya membalikkan tubuh dengan perasaan kaget tak terkira. Itu pun setelah terlebih dulu mengerahkan tenaga dalam untuk membuat pengaruh teriakan Arya pupus. Eyang Keling segera mengirimkan sinar-sinar mematikan dari ujung Golok Kilatnya ke arah Dewa Arak. Perasaan gugup masih melanda kakek itu.

Dewa Arak dalam keadaan disusupi belalang raksasa dari alam gaib. Sedikit pun tidak mempedulikan sinar maut Golok Kilat. Dengan guci araknya sambaran sinar itu dipakaki. Pada saat yang bersamaan, dikirimkan pukulan jarak jauh dengan penggunaan jurus 'Pukulan Belalang'. Eyang keling tidak mau kalah! Pukulan jarak jauh Dewa Arak segera dipapakinya dengan sinar mautnya.

Blang!

Bumi bagai dilanda gempa ketika dua benturan keras terjadi. Yang pertama ketika sinar maut berbenturan dengan guci. Ini membuat tubuh Dewa Arak melayang jauh bagai daun kering dihembus angin keras. Benturan kedua menimbulkan bunyi yang tak kalah keras ketika pukulan jarak jauh Arya bertemu sinar maut Golok Kilat yang memapakinya.

Cras!

"Akh...!" Eyang Keling menjerit menyayat hati, saat pengaruh benturan belum sirna, sebuah benda tajam membabat kedua kakinya. Tak pelak lagi, kedua kakinya pun buntung sebatas lutut. Darah segar memancur deras.

Eyang Keling meraung. Dia tidak mendengar angin serangan senjata tajam itu karena Lingga yang cerdik menunggu hingga terjadi benturan antara serangan Dewa Arak dengan papakan Eyang Keling. Keberadaan Lingga di bawah semakin menguntungkan pemuda itu.

Kejadian yang mengejutkan hati pun terjadi. Golok Kilat memancarkan sinar menyilaukan mata. Dan, darah yang mengucur keluar dari kedua kaki Eyang Keling tersedot ke batang golok, menempel dan lenyap bagai masuk ke dalam. Eyang Keling meraung-raung. Dia berusaha keras mencegah kejadian itu. Tapi, usahanya sia-sia. Darah terus mengucur dengan deras dari kedua kakinya ke arah batang golok.

Lingga memperhatikan dengan perasaan puas bercampur takjub. Demikian pula Dewa Arak. Kedua pemuda itu memperhatikan bagaimana Eyang Keling sekarat sebelum akhirnya tubuh kakek itu meledak! Bertepatan dengan itu terdengar letupan kedua. Golok Kilat hancur berkeping-keping. Hanya berselisih waktu sebentar dengan semua itu, Dewa Arak jatuh pingsan!

Benturan yang dialaminya terlalu hebat. Kendati belalang raksasa ada di dalam tubuhnya, tetapi Arya tetap terpengaruh. Belalang raksasa menerima akibat pula dari sinar maut. Binatang itu telah pergi. Tentu saja kekuatan yang dimiliki Dewa Arak lenyap kembali. Entah berapa lama Dewa Arak pingsan, ia tidak tahu. Yang jelas, begitu sadar masih sempat dilihatnya Lingga berjalan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.

"Kau berhasil, Dewa Arak. Bahkan, Golok Kilat telah musnah! Eyang Keling termakan permainannya sendiri. Dia tidak tahu kalau yang menyebabkan Golok Kilat hidup adalah sejenis jin yang ada di dalamnya. Makhluk itu tidak kerasan hidup di dalam golok. Untuk menentang Eyang Keling, ia tidak berani karena keadaannya yang jadi tahanan. Maka begitu mendapat kesempatan untuk membunuh, langsung dilakukannya. Kesempatan yang amat baik telah didapatkannya."

Arya tersenyum dalam cekaman rasa sakit. Di depannya Penyair Cengeng bicara dengan nada gemetar dan lega. Dewa Arak pun merasa lega. Eyang Keling sudah tidak bisa mengacau dunia persilatan lagi. Tapi, Arya masih belum puas. Lingga masih hidup. Ditatapnya Lingga yang tengah bergerak meninggalkan tempat itu. Arya bertekad dalam hati akan melenyapkan pemuda itu di kemudian hari bila bersua lagi.

Satu hal yang merisaukan Dewa Arak adalah tewasnya Setan Kepala Besi. Bagaimana dengan Nuri, apakah ikut tewas? Nuri pun meninggal dibunuh Eyang Keling yang takut rahasianya terbongkar.

Di kejauhan Lingga menatap Arya. Sorot matanya terlihat penuh tantangan! Arya membalas tatapan itu. Sorot matanya seperti mewakili tekad dalam hatinya.

"Tunggu kau, Lingga. Suatu hari kita harus membuat perhitungan!"

SELESAI
Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.