Dewa Arak - Perawan Buronan

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak episode Perawan Buronan Karya Ajisaka
Sonny Ogawa

Dewa Arak - Perawan Buronan

Karya : Ajisaka
Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Arak Karya Ajisaka
SATU
HARI ini sungguh berbeda dengan hari-hari biasanya. Suasana di Kerajaan Kamulan terlihat ramai. Hiasan dan umbul-umbul dipasang di sepanjang jalan di sekitar lingkungan istana. Di setiap sudut kota pun terpancang berbagai hiasan yang menyemaraki suasana.

Keadaan di istana lebih meriah lagi. Tampak di alun-alun yang luas dan ditumbuhi pohon beringin raksasa, rakyat sedang berkumpul. Mereka ingin menyaksikan peristiwa yang jarang terjadi. Raja Kamulan hendak memilih salah satu dari sekian banyak putranya untuk menjadi pewaris tahta kerajaan.

Di bangsal agung ratusan undangan memenuhi tempat yang cukup luas dan megah itu. Seorang kakek berusia tujuh puluh lima tahun dan mengeakan jubah panjang putih bangkit dari kursinya. Seketika rombongan pemain degung merendahkan alunan musik dan akhirnya berhenti sama sekali.

Kakek berjubah putih ini bernama Eyang Cakra. Dia seorang penasihat kerajaan dalam hal-hal yang berhubungan dengan ilmu gaib. Kakek ini pula yang dipercaya Raja Kamulan untuk memimpin upacara penting ini. Eyang Cakra memutar tubuhnya ke kanan. Berdirinya kini menghadap Raja Kamulan, Prabu Suwandana, yang duduk di singgasana emas.

Di sebelah kiri sang Prabu duduk permaisuri. Di belakangnya berderet-deret duduk keluarga istana. Putra-putra Prabu Suwandana duduk di singgasana kecil berhadapan dengan singgasana sang Prabu. Ada tiga buah singgasana kecil yang diduduki para putra Prabu Suwandana. Di kanan kiri singgasana-singgasana kecil itu berdiri seorang prajurit kerajaan yang bersenjatakan tombak dan perisai.

"Para hadirin sekalian...!" ujar Eyang Cakra setelah memberi penghormatan pada Prabu Suwandana. "Hari ini Yang Mulia Gusti Prabu Suwandana berkenan mengadakan acara untuk memilih pangeran yang berhak menjadi Pangeran Putra Mahkota. Sang Pangeran Putra Mahkota kelak akan menggantikan Gusti Prabu Suwandana menjadi Raja Kamulan yang kita cintai ini. Seperti yang kita ketahui bersama, dari Gusti Permaisuri sang Prabu memperoleh beberapa keturunan. Tepatnya tiga orang. Mereka sama-sama cakap dan memiliki kelebihan masing-masing. Oleh karena itu, Gusti Prabu harus menentukan pilihan untuk menunjuk orang yang berhak menjadi raja. Gusti Prabu Suwandana memutuskan untuk mempergunakan pusaka leluhur kerajaan. Kujang Emas yang akan menentukan siapa di antara ketiga pangeran itu untuk menggantikan Gusti Prabu Suwandana!"

Eyang Cakra menutup ucapannya dengan mengangkat tangan kanan ke atas. Rombongan pemain degung pun kembali memainkan musiknya. Bunyi yang merupakan paduan dari suara gong, gendang, bonang, gambang, dan rebab kembali mengalun.

Dari salah satu bangunan di dekat bangsal agung seorang gadis melangkah perlahan-lahan mengikuti alunan bunyi degung. Gadis cantik ini membawa sebuah baki emas. Di atasnya terletak Kujang Emas yang dialasi selembar kain indah. Gadis sembilan belas tahun itu memiliki tahi lalat di pipi kiri. Tahi lalat kecil itu tampak jelas karena kulitnya yang putih dan halus.

Dengan langkah satu-satu si gadis memasuki bangsal agung, dan beringsut ke hadapan putra-putra Prabu Suwandana. Kemudian dengan berdiri mempergunakan kedua lutut dan wajah ditundukkan, si gadis mengangkat bakinya tinggi-tinggi. Eyang Cakra dengan sikap penuh khidmat mengulurkan tangan hendak mengambil baki yang berisi Kujang Emas. Benda ini merupakan salah satu dari sekian banyak pusaka kerajaan.

Gadis pembawa baki lalu beringsut-ingsut mundur dan meninggalkan bangsal agung. Eyang Cakra mengangkat baki tempat Kujang Emas berada dengan kedua tangan tinggi-tinggi.

"Ini adalah Kujang Emas! Senjata yang luar biasa ampuh. Hanya orang yang berjodoh saja mampu mencabutnya keluar dari sarung. Dengan pusaka inilah kita akan mengetahui siapa di antara para pangeran yang berhak kelak memimpin kerajaan!" ujar Eyang Cakra dengan suara lantang.

Eyang Cakra menekuk lututnya. Baki di tangannya diangsurkan pada pangeran yang duduk di singgasana paling kanan. Pangeran ini merupakan pangeran tertua. Dia bernama Rajamala. Di sebelahnya Pangeran Samudra. Dan di sebelahnya lagi Pangeran Danalaya.

Pangeran Rajamala yang berusia dua puluh tujuh tahun segera bangkit berdiri. Dengan sikap hormat dan khidmat Kujang Emas di ambilnya dari baki. Pangeran tertua ini memegang dengan kedua tangan.

Tangan kanan memegang hulu kujang, sedangkan tangan kiri memegangbagian sarungnya. Pangeran Rajamala mengangkat Kujang Emas tinggi ke atas. Kemudian, dengan senyum penuh rasa percaya diri diturunkannya perlahan-lahan sampai di depan dada. Hulu Kujang digenggamnya. Pangeran tertua ini bersiap untuk mencabut.

"Aaakh...!"

Pekik kesakitan Pangeran Rajamala membuat semua orang yang menunggu dengan tegang terperanjat kaget. Mereka terkejut bukan main melihat sang pangeran memperlihatkan kenyerian hebat pada wajahnya. Apalagi dari telapak tangan Pangeran Rajamala mengepul asap.

Kujang Emas terjatuh ke lantai memperdengarkan bunyi nyaring. Semua yang berada di bangsal terkesima. Kejadian yang mereka saksikan terlalu tiba-tiba. Mereka hanya dapat menatap di dengan pandangan bingung.

"Rajamala...!"

"Gusti Pangeran...!"

Seruan kaget itu dilontarkan hampir berbarengan oleh Prabu Suwandana dan Eyang Cakra. Pangeran Rajamala ambruk ke lantai. Sang Pangeran mengeluarkan keluhan tertahan sebelum terjatuh.

Eyang Cakra yang berada paling dekat dengan Pangeran Rajamala tiba lebih dulu di dekat sang Pangeran. Kakek ini langsung berjongkok dan memeriksa keadaan Pangeran Rajamala. Seruan Eyang Cakra dan Prabu Suwandana kemudian menyadarkan orang-orang di bangsal. Seketika timbul kegemparan di tempat itu. Permaisuri menangis sesenggukan menutupi wajah dengan kedua telapak tangan.

Sementara itu wajah Eyang Cakra langsung memucat. Pangeran Rajamala telah tewas. Wajah sang Pangeran tampak bersemu kehijauan dan tak memancarkan tanda-tanda kehidupan. Prabu Suwandana memanggil-manggil nama putranya. Raja Kamulan ini menubruk tubuh Pangeran Rajamala yang terbujur. Eyang Cakra yang bisa memperkirakan mengapa Pangeran Rajamala tewas terkejut bukan main melihat kecerobohan Prabu Suwandana.

"Gusti Prabu...! Tahan! Jangan sentuh! Tubuh Gusti Pangeran Rajamala mengandung racun ganas yang mematikan!" seru Eyang Cakra, kalap.

Seruan Eyang Cakra terdengar ke seantero bangsal agung. Tapi Prabu Suwandana yang telah kehilangan akal sehatnya melihat kejadian yang menimpa putranya seperti tak mendengar peringatan itu.

Pangeran Samudra segera bertindak. Keselamatan ayahandanya terancam. Maka, pangeran ini mengulurkan kedua tangannya yang terbuka. "Maafkan atas kelancangan Ananda, Ayahanda Prabu!" ucap Pangeran Samudra.

Deru angin keras meluncur dari kedua telapak tangannya. Hembusan angin itu ternyata cukup kuat untuk mendorong tubuh Prabu Suwandana hingga terduduk kembali di singgasananya. Dan sebelum Prabu Suwandana berbuat sesuatu, Eyang Cakra telah lebih dulu bertindak. Kakek ini bergegas menghampiri junjungannya lalu memberi hormat.

"Maafkan. kelancangan hamba, Gusti Prabu. Menurut hemat hamba, amat berbahaya menyentuh tubuh Gusti Pangeran Rajamala. Di sekujur tubuhnya mengalir racun mematikan yang membuat siapa pun menyentuhnya akan tewas."

Prabu Suwandana menghembuskan napas berat beberapa kali untuk menenangkan diri. "Sebenarnya apa yang telah terjadi, Eyang?" tanyanya kemudian. Suaranya terdengar begitu sedih.

"Semua ini terjadi akibat Kujang Emas, Gusti Prabu."

Sepasang alis Prabu Suwandana terkerut mendengar jawaban Eyang Cakra. Tanggapan Prabu Suwandana berbeda dengan Ladoya. Ladoya adalah kepala pasukan istana yang segera mengeluarkan seruan lantang.

"Cari wanita yang membawa Kujang Emas...!"

Seketika itu pula belasan pasukan istana berlarian mencari gadis pembawa baki berisi Kujang Emas. Ladoya sendiri ikut serta dalam pencarian itu.

"Jaga mulutmu, Eyang Cakra...!" sembur Prabu Suwandana tak senang. "Sungguh lancang kau berani bersikap tak sopan terhadap pusaka leluhur kami!"

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," sembah Eyang Cakra buru-buru. Wajahnya tampak berubah pucat "Hamba kesalahan bicara. Maksud Hamba..., penyebab kematian Gusti Pangeran Rajamala adalah racun yang ditaburkan pada Kujang Emas."

"Bagaimana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu, Eyang? Tidakkah dugaan itu terlalu dini untuk dilontarkan?!"

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Untuk menguatkan kebenaran dugaan itu bolehkan hamba membuktikannya."

Prabu Suwandana menganggukkan kepala. Seketika itu pula, Eyang Cakra bangkit berdiri dan memberi isyarat pada salah seorang prajurit.

"Ambilkan baskom berisi air."

Sang prajurit mengangguk cepat dan berlari untuk melaksanakan perintah itu. Eyang Cakra menghampiri tempat di mana Kujang Emas terjatuh. Kakek ini mengambil baki tempat pusaka Kerajaan Kamulan itu.

Eyang Cakra menjejakkan kaki. Kujang Emas pun melayang naik ke atas dan hinggap di atas baki yang dipegangnya. Pusaka itu jatuh ke atas baki perlahan-lahan seperti diletakkan dengan tangan. Kakek ini kemudian bergegas menghampiri Prabu Suwandana. Tak lama prajurit yang membawa baskom berisi air tiba.

"Hamba akan coba membuktikan kebenaran ucapan hamba, Gusti Prabu." Usai berkata, Eyang Cakra mengambil keris yang terselip di pinggang. Dimasukkannya senjata itu ke dalam baskom berisi air. "Sekarang akan hamba masukkan Kujang Emas, Gusti Prabu," ujar Eyang Cakra seraya menatap wajah Prabu Suwandana.

Eyang Cakra memasukkan Kujang Emas ke dalam baskom dengan memiringkan baki, sehingga pusaka kerajaan itu merosot ke dalam baskom. Terdengar bunyi berdesis seperti besi panas terkena air. Pusaka Kerajaan Kamulan itu tenggelam ke dalam dasar baki dengan menimbulkan gelembung-gelembung bagai air mendidih. Permukaan air di dalam baki bergolak hebat memperdengarkan bunyi bergemuruh.

Semua mata yang menyaksikan peristiwa ini membelalak kaget bercampur ngeri. Peristiwa seperti ini tak terjadi ketika keris Eyang Cakra dimasukkan ke dalam air. Sekejap kemudian air di dalam baki berubah. Tidak lagi bening dan jernih, melainkan hijau keruh. Bau yang memualkan perut pun menyebar. Orang-orang sampai menutup hidungnya.

"Dugaan hamba tidak keliru, Gusti Prabu. Kujang Emas telah ditaburi bubuk racun mematikan! Racun yang amat ganas. Racun itu menjalar pada Gusti Pangeran Rajamala melalui kedua tangannya yang mencekal pusaka," beri tahu Eyang Cakra.

Kakek berjubah putih ini memang banyak memiliki ilmu aneh. Benda-benda aneh pun banyak dimilikinya. Benda-benda yang mempunyai keistimewaan tersendiri. Tadi sebelum merendam keris dan Kujang Emas, kakek ini telah lebih dulu menaburkan bubuk ke dalam air. Bubuk yang akan memberikan pertanda bila terdapat racun pada benda-benda yang hendak direndamnya. Bubuk itu merupakan hancuran dari batu mirah.

"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, Eyang?!" geram Prabu Suwandana, murka. Dengan wajah merah padam dia menoleh ke kanan. "Patih! Apa saja kerjamu sehingga kejadian seperti ini bisa terjadi!"

Wajah Patih Singabarong memucat. Bibirnya menggigil ketika berbicara. "Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba bersedia menerima hukuman. Tapi sebelum itu hamba tak akan tinggal diam. Hamba akan usut sampai tuntas peristiwa ini."

Prabu Suwandana mendengus. "Kuberi kau waktu dua minggu untuk mengungkap masalah ini. Jika gagal, tiang gantungan siap menunggumu!"

"Terima kasih atas kemurahan hati Gusti Prabu. Hamba mohon diri untuk mempersiapkan segala sesuatunya."

Prabu Suwandana menganggukkan kepala dengan sikap kaku. Sementara itu Eyang Cakra telah mengangkat Kujang Emas dari dasar baki. Kakek ini tak merasa khawatir lagi untuk menyentuhnya. Racun pada pusaka kerajaan itu telah ditawarkan oleh bubuk batu mirah. Ditimang-timangnya Kujang Emas lalu di ciumnya beberapa kali. Sepasang alis Eyang Cakra yang telah memutih tampak berkerut dalam.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba akan mengatakan hal yang tidak berkenan di hati Gusti," ucap Eyang Cakra kemudian hati-hati sekali.

"Katakan saja, Eyang. Aku lebih suka kalau Eyang bicara terus terang," sambut Prabu Suwandana.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Kujang Emas ini bukan Kujang Emas yang asli. Senjata ini palsu dan bukan pusaka kerajaan...."

"Apa?!" Biji mata Prabu Suwandana hendak melompat keluar. "Oh, Sang Hyang Widi! kutuk apa yang telah menimpa kerajaan ini?"

Permaisuri menangis semakin keras. Prabu Suwandana mengepalkan kedua tinjunya kuat-kuat. Rahangnya tampak menggembung. Kelihatan jelas kalau sang Prabu tengah murka. "Patih...!"

Patih Singabarong yang baru saja beberapa tindak meninggalkan bangsal agung buru-buru menghentikan langkah.

"Kau dengar apa yang dikat akan Eyang Cakra?! Tugasmu bertambah! Cari Pusaka Kujang Emas sampai dapat dan seret pelakunya kemari!" titah Prabu Suwandana.

"Akan hamba laksanakan, Gusti Prabu!"

"Eyang," Prabu Suwandana mengalihkan perhatian pada Eyang Cakra. "Kurasa perlu diberitahukan pada rakyat kalau kerajaan berkabung selama dua puluh satu hari."

* * *

Seorang gadis muda tampak memacu kuda tunggangannya tengah dikejar setan. Pecutnya senantiasa mendarat di bagi an belakang tubuh kuda coklatnya. Tali kekang yang di cekal dengan tangan kiri pun tak henti-hentinya digeprakkan. Bunyi derap kaki kuda berdebam-debam menghantam bumi.

Lari kuda coklat itu telah luar biasa cepat. Tapi, si gadis terus saja memacunya. Gadis ini memiliki tahi lalat di pipi kiri. Berkulit putih halus. Rambutnya digulung, dan pada bagian depan diikat dengan hiasan emas berbentuk bulan sabit.

Si gadis memacu kudanya seraya berkali-kali menolehkan kepala ke belakang, seakan di belakangnya ada orang yang mengejar. Tanpa memperlambat laju kudanya si gadis kemudian menggoyang-goyangkan kepala. Hiasan rambutnya pun terlepas. Demikian pula dengan gelungannya. Rambutnya yang panjang segera melambai-lambai diterpa angin.

Gadis yang mengenakan pakaian ringkas warna kuning itu terus memacu kudanya di pinggir aliran Sungai Citarum. Medan yang terkadang naik turun tidak menghalangi laju lari kuda. Menjelang matahari menuju titik tengahnya, si gadis melihat mulut sebuah hutan di kejauhan. Wajah gadis itu seketika terlihat berseri-seri.

"Apabila telah memasuki hutan itu, tak akan sulit bagiku untuk menyembunyikan diri dari kejaran," pikir gadis berpakaian kuning penuh keyakinan. "Setidak-tidaknya pasukan kerajaan akan mendapat kesulitan. Dan berkat pusaka yang kudapatkan ini, aku akan menjadi seorang wanita yang sakti. Rahasti, dunia akan berada di tanganku. Tidak hanya wilayah Jawa Barat, tapi seantero tanah Jawa. Dan bukan hanya dunia persilatan saja, namun juga kekuasaan pemerintahan. Aku akan menjadi ratu, Disembah-sembah oleh sekian puluh ribu manusia! Betapa menyenangkan! Hi hi hik...!"

Harapan itu membuat gadis berpakaian kuning yang bernama Rahasti semakin bersemangat memacu binatang tunggangannya. Hanya dalam beberapa saat hutan kecil itu telah dimasukinya. Sampai di tengah hutan, Rahasti melompat turun dari punggung kuda. Binatang berwarna coklat itu diusirnya untuk menempuh arah yang berlawanan dengan yang akan ditempuhnya. Rahasti yang merasa yakin dirinya dikejar-kejar bermaksud mengecoh para pengejarnya.

Melihat binatang tunggangannya telah berada cukup jauh, Rahasti membalikkan tubuh dan berlari ke arah yang berlawanan. Semak belukar diterjangnya sehingga menimbulkan bunyi gaduh. Binatang-binatang kecil yang berada di tempat itu kalang kabut menyelamatkan diri. Dengan pengerahan tenaga dalam Rahasti tak perlu khawatir kulitnya terluka oleh duri-duri tajam. Hanya pakaiannya yang koyak-koyak di sana sini.

Rahasti masih mengayunkan kedua kakinya ketika mendengar bunyi yang telah cukup akrab di telinganya. Bunyi berdentum-dentum tapi mempunyai nada yang enak didengar. Bunyi bonang (jejeran gong kecil yang merupakan salah satu perangkat degung).

Kleung dengdek buah kopi rarang geuyan
Keun anu dewek ulah pati diheureuyan
Cing cangkeling manuk cingkleung cindeten
Plos ka kolong bapak satar buleneng


"Orang gila dari mana yang main bonang dan bernyanyi di tempat sesepi ini?" pikir Rahasti.

Suara serak-serak penyanyi ini menunjukkan kalau dia sudah tidak muda lagi. Dan tampaknya yang menyanyi adalah laki-laki. Tapi, Rahasti tak mempunyai keinginan untuk mengetahui orang yang bermain bonang.

Gadis itu lebih memikirkan urusannya. Tanpa dipikirkan lebih jauh, ayunan kakinya terus dipacu. Beberapa lama berlari, kening Rahasti mulai berkernyit. Ia merasakan ada kejanggalan pada tempat yang dilaluinya.

"Aneh...! Sepertinya aku telah melalui tempat ini sebelumnya. Aku yakin tidak salah. Keadaan semak-semak yang porak-poranda menjadi alasan kuat kalau tempat ini telah kulalui!"

Perasaan heran mengapa bisa kembali ke tempat semula membuat Rahasti memperlambat lari. Sekarang gadis ini berlari seraya memperhatikan sekitarnya.

"Tidak salah lagi...," pikir Rahasti kemudian. "Aku telah tersesat jalan dan hanya berputar-putar di tempat ini. Aku ingat betul tempat ini telah kulalui sebelumnya. Tempat pertama kali kudengar bunyi bonang dan nyanyian itu!"

Karena yakin betul dirinya telah tersesat jalan, Rahasti sekarang memperhatikan benar-benar jalan dan tempat-tempat yang dilaluinya. Dan selama Rahasti mengayunkan kaki, bunyi bonang dan nyanyian terus terdengar.

"Gila...!" Kali ini Rahasti tak kuasa menahan seruan. Cetusan dari perasaan bingung dan putus asa. Ia kembali menempuh tempat semula! Sambil mengumpat panjang pendek sebagai pel ampiasan rasa jengkel, Rahasti menghapus peluh yang membas ahi dahi dengan sapu tangan. Rahasti kemudian berdiam diri, memperhatikan sekitarnya.

"Aku yang bodoh sehingga tak bisa mengenali arah, atau... ada yang mengganggu perjalananku? Mungkinkah penunggu hutan ini telah menutup pandanganku sehingga hanya jalan yang menuju ke tempat ini yang terlihat olehku! Tapi jika benar hutan ini ada penunggunya, mungkinkah di siang hari seperti ini lelembut itu bertindak usil?" gumam Rahsti, bingung.

Seperti menyambuti keluhan gadis ini, terdengar seruan yang tidak keras tapi tegas. Seruan yang mengandung teguran dan celaan.

"Mengandalkan kemampuan dengan perantaraan nyanyian untuk mempermainkan seorang wanita muda sungguh suatu tindakan tak terpuji. Apalagi jika dilakukan oleh orang yang telah dekat dengan lubang kubur, seperti kau Kek...!"

DUA

Ucapan itu menyadarkan Rahasti dari kebingungannya. Kiranya karena bunyi bonang dan nyanyian itu! Tapi, bagaimana hal itu bisa terjadi. Rahasti mengedarkan pandangan untuk mengetahui pemilik suara yang menegur pemain bonang. Sia-sia! Asal suara itu sulit dilacak karena seperti beras al dari segenap arah.

Kenyataan ini mengejutkan Rahasti. Jantungnya berdetak jauh lebih cepat karena perasaan tegang yang melanda. Pemilik suara itu agaknya mempunyai ilmu memindahkan suara. Ilmu seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi.

"He he he...!" Tiba-tiba terdengar tawa mengekeh. Tawa pemain bonang. "Kau tak usah bertindak seperti pendekar, Anak Muda. Aku tahu mengapa kau membela wanita itu. Dia masih muda, cantik, dan bertubuh montok! Kau ingin mencari perhatiannya, bukan? He he he...! Aku tahu apa yang berkecamuk di hatimu. Aku dulu pernah muda, Anak Muda!"

"Mulutmu kotor sekali, Kek!" sembur pemilik suara kedua yang disapa sebagai anak muda. Nada suaranya terdengar penuh teguran.

"He he he...! Masih juga kau bertingkah seperti orang suci, Anak Muda! Aku tahu apa yang ada di benak orang-orang muda seperti kau! Ataukah..., perkataanku membuatmu sukar untuk bersandiwara di depan gadis montok itu?!"

Pemilik suara kedua belum sempat memberikan tanggapan, ketika Rahasti yang merasa jengkel karena dirinya merasa diremehkan menyambuti ucapan pemain bonang.

"Kalian ini manusia pengecut yang hanya bisa menggonggong keras-keras tanpa berani menunjukkan muka! Kalau memang mempunyai nyali, tunjukkan diri!"

Seruan Rahasti nadanya tajam bukan main. Apalagi diucapkan secara keras. Terasa jelas kasarnya isi ucapan itu. Hal ini rupanya dirasakan oleh kedua orang yang belum memunculkan diri. Keduanya terdiam tak memberikan tanggapan apa pun. Suasana menjadi hening beberapa saat. Rahasti kebingungan. Gadis itu khawatir mereka telah pergi.

"Mulutmu tajam sekali, Gadis Liar! Ucapanmu terlalu keji sekeji kedua tangan dan otak yang ada di kepalamu. Aku tak bersembunyi, dan tak pernah bermaksud demikian. Sejak kau belum tiba aku telah berada di sini. Kau saja yang mempunyai mata buta, sehingga tak mampu melihat keberadaanku...!"

Ucapan pemilik bonang kali ini dapat diketahui secara jelas oleh Rahasti. Lelaki itu tak menggunakan kemampuannya memindahkan suara. Begitu mengetahui asal suara itu, Rahasti tanpa sadar menutup mulutnya agar tak keluar jeritan.

Suara pemilik bonang berasal dari gundukan tanah sepanjang satu tombak dan lebar setengah tombak. Gundukan tanah yang terletak tiga tombak di sebelah kanan Rahasti. Dan itu adalah... kuburan!

Rahasti adalah seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi. Dia pun tak gentar menghadapi maut. Tapi biar bagaimanapun dia seorang wanita. Melihat asal suara itu dari kuburan, nyalinya langsung menciut. Kalau saja saat itu bukan siang hari, melainkan malam, mungkin Rahasti sudah lari pontang-panting meninggalkan tempat itu.

Jantung Rahasti berdebur kencang. Dadanya yang padat membusung tampak berombak dengan keras. Gundukan tanah bergetar seakan ada sesuatu yang akan keluar. Sudah terbayang di benak gadis ini kalau sesuatu yang akan keluar itu adalah sesosok mayat yang telah membusuk. Apalagi yang berada di dalam kuburan kalau bukan mayat?!

Rahasti sampai terlonjak ke belakang ketika melihat sebuah tangan terjulur keluar seiring dengan terbongkarnya tanah ke sana kemari. Tapi melihat keadaan tangan seperti layaknya milik manusia hidup, rasa takut dan ngeri gadis ini s edikit lenyap. Dan rasa takut murid Kuntilanak Hitam Gunung Salak ini semakin menipis tatkala 'mayat hidup' itu keluar seutuhnya. Sosok itu tak patut disebut mayat.

Dia ternyata seorang kakek pendek. Bentuk tubuh dan tingginya tak ubahnya anak berusia sepuluh tahun. Kepal anya sangat besar. Kakek berkepala besar ini tidak hanya memiliki wajah dan kulit keriput. Wajahnya penuh ditumbuhi kumis, jenggot, dan cambang yang telah memutih. Bahkan, sepasang alisnya pun berwarna putih.

"Kukira siapa, kiranya hanya seorang yang sudah dekat dengan lubang kubur!" dengus Rahasti, sinis.

"Memang aku telah dekat dengan liang kubur, Nona. Tapi, itu tidak menjadikan alasan buatku membiarkan kelancangan yang kau lakukan!" tandas kakek berkepala besar.

"Aku tak peduli apa pun yang kau katakan, Kepala Besar! Aku ingin lewat. Kuharap kau bersedia menyingkir sebelum aku terpaksa menyingkirkanmu dengan kekerasan!"

"Begitukah...?!" sahut si kakek setengah tertawa meremehkan. "Aku justru ingin tahu bagaimana caramu melakukan hal itu!"

Tanpa mempedulikan Rahasti yang semakin geram melihat ancamannya tak dipedulikan, kakek aneh ini duduk di atas sebatang pohon tumbang. Bonang yang semula tersampir di punggung diletakkan di depannya. Sikap si kakek membuat Rahasti kehabisan kesabaran.

Gadis ini merogoh buntalan kecil yang terikat di pinggang. Dari tempat itu diambilnya beberapa batang paku, kemudian dilemparkannya ke arah si kakek. Lima batang paku meluncur menuju lima tempat mematikan di tubuh kakek berkepal a besar. Ubun-ubun, bawah hidung, leher, ulu hati, dan pusar!

Kakek aneh menundukkan kepala seakan tak tahu bahaya yang tengah mengancamnya. Tapi ketika paku-paku menyambar semakin dekat, si kakek memukul salah satu dari jajaran gong kecilnya.

Tungngng...!

Seiring terdengarnya bunyi gong, salah satu paku yang tengah meluncur berhenti mendadak lalu jatuh ke tanah! Rahasti terbelalak melihat kejadian di depannya. Belum lagi hilang rasa kagetnya, empat batang paku yang lain ikut runtuh ketika si kakek kembali memukul bonangnya.

Sungguh pun demikian Rahasti tak menjadi gentar. Ketika peras aan kaget berhasil ditekannya, rant ai bajanya segera diuraikan dan diputar di atas kepala. Kemudian, dengan diawali bentakan nyaring diayunkan ke arah kepala si kakek.

Seperti juga sebelumnya kakek aneh itu menunggu hingga jarak Rahasti mendekat, setelah itu bonang dipukul. Akibatnya bola berduri Rahasti tak dapat terus melaju ke sasaran. Rahasti menggertakkan gigi. Dikerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Bunyi menderu-deru mengiringi gerakan rantai Rahasti.

"Kurasa sudah cukup kesempatan yang kuberikan! Sekarang giliranku menyerang!" ucap si kakek mengatasi bunyi gaduh put aran rantai Rahasti.

Rahasti tak mempedulikan seruan itu. Malah, semangatnya untuk menyarangkan serangan semakin bertambah. Kakek berkepala besar ternyata tak bermain-main dengan ucapannya. Jajaran gong kecilnya secara bertubi-tubi dipukul. Bunyi berdentum-dentum yang tertangkap telinga bagai bunyi derap puluhan ekor kuda. Si kakek semakin memukul bonangnya dengan kecepatan yang menakjubkan.

Akibat yang terjadi lebih luar biasa! Rahasti kehilangan kendali atas senjatanya. Rantai berujung bola berduri menjadi liar. Senjata ini melayang ke arah pemiliknya sendiri, bertubi-tubi mengikuti irama bunyi bonang! Jika bunyi melambat maka sambaran rant ai pun perlahan. Begitu pula sebaliknya.

Rahasti kelabakan! Seumur hidupnya belum pernah dialami kejadian seperti ini. Hanya dengan bunyi, senjatanya diambil alih lawan dan dipaksa untuk menyerang pemiliknya sendiri. Kal au saja ada orang yang menyaksikan pertempuran ini tentu akan melongo keheranan. Rahasti yang memegang pangkal rantai, tapi justru senjata itu yang menyerangnya!

Kalang kabut dan menderu-deru. Betapapun gadis itu berusaha mengendalikan senjatanya, namun usahanya sia-sia! Rahasti terpontang-panting menyelamatkan diri. Sampai beberapa belas jurus hanya itu yang dapat dilakukannya. Mengelak dan terus mengelak! Sampai akhirnya gadis itu putus asa. Di jurus kedua puluh sentajanya dilepas dari cekalan!

Ternyata, tindakan yang diambil Rahasti tak membuatnya terlepas dari masalah. Rantai itu masih tetap mengejarnya. Malah lebih liar dan ganas dari sebelumnya! Keadaan Rahasti semakin mengkhawatirkan. Mengelak terus-menerus akan membuatnya lelah. Dan jika keadaan demikian terus berlangsung dia akan celaka!

"Benar-benar keterlaluan tindakanmu, Kek! Bukan hanya menghalangi perjalanan orang, tapi sekarang kau hendak membunuhnya! Terpaksa aku tak bisa tinggal diam!" Seruan yang tadi memihak Rahasti kembali terdengar. Lagi-lagi menegur kakek pemain bonang. Nadanya kali ini lebih keras.

Rahasti mengarahkan pandangan ke satu arah. Sementara kakek pemain bonang tetap dengan kesibukannya semula, memukul bonang! Wajahnya tetap menekuri tanah. Tak sedikit pun timbul keinginan untuk melihat orang yang sejak tadi mencampuri urusannya.

Rahasti yang merasa penasaran terperanj at kaget bukan main. Pada sebatang pohon kelapa yang amat tinggi tampak berjalan seseorang dari atas puncaknya menuju ke bagian bawah. Sosok berpakaian ungu itu berjalan seenaknya seakan-akan batang pohon kelapa tidak berdiri tegak, melainkan rebah! Tak lama kemudian sosok berpakaian ungu itu menjejak tanah.

Rahasti semakin terkejut mendapati sosok yang dikiranya telah berusia amat lanjut itu ternyata seorang pemuda tampan berwajah tenang. Rambutnya berwarna putih keperakan.

"Menyingkirlah, Nona. Biar aku yang menghadapi kakek usilan," ujar pemuda berpakaian ungu. Suaranya tenang dan kalem.

Bagai kerbau dicocok hidungnya, dengan wajah masih memancarkan keheranan Rahasti menyingkir dari tempat itu. Ingin diketahuinya apa yang akan dilakukan pemuda berambut putih keperakan. Rahasti dapat dengan mudah menyingkir karena si kakek tak menyerangnya lagi. Memang bonangnya tetap dimainkan, tapi nada permainannya tak ditujukan untuk membuat rantai Rahasti menyerang pemiliknya. Rantai itu hanya bergerak-gerak di udara.

"Ha ha ha...! Kau hebat, Anak Muda. Kau membuatku yang telah bertulang rapuh ini jadi tertarik untuk bertarung lagi. Asal kau tahu saja, sejak beberapa belas tahun lalu aku tak pernah lagi mengadu otot. Kau patut merasa bangga Anak Muda!" ujar kakek berkepala besar seraya menatap Arya Buana Alias Dewa Arak penuh selidik. "Dan sebagai tanda rasa kagumku atas kepandaian yang kau miliki, aku bersedia memperkenalkan diri. Kebetulan aku belum lupa dengan nama yang diberikan orang tuaku. Sampang, itulah namaku, Anak Muda."

"Aku Arya, Kek. Arya Buana," balas Arya memperkenalkan jati dirinya. "Kuucapkan terima kasih atas penghormatan yang kau berikan padaku, walaupun ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu."

"Heh?! Atas dasar apa kau berkata demikian, Anak Muda?!" tanya Sampang agak tersentak. Kakek ini tak menyapa Arya dengan namanya.

"Kau katakan tadi kalau kau telah belasan tahun tak bertarung, dan baru denganku kau akan melakukannya lagi?" Arya meminta penegasan seraya menatap Sampang tepat pada bola matanya.

"Benar," jawab Sampang singkat.

"Lalu apa yang kau perbuat dengan wanita muda ini? Bukankah kau mengeluarkan kemampuanmu untuk menghalanginya melakukan perjalanan? Kulihat gadis itu melawan sehingga terjadi pertarungan antara kalian?"

"He he he...!" Sampang terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kuakui apa yang kau katakan memang tak salah. Tapi, aku mempunyai alasan yang amat kuat. Sayang, hal itu tak bisa kuberitahukan padamu, Anak Muda."

"Aku pun mempunyai alasan untuk menolong gadis itu, Kek. Terkecuali kalau kau dapat memberikan alasan yang tepat," timpal Arya.

"Seperti yang telah kukatakan tadi, aku tak bisa memberitahukan alasannya. Perlu kau ketahui, sekali aku berkata hitam tak akan nanti aku berubah pendirian. Kau dengar, Anak Muda?! Jadi apa pun yang terjadi, yang kukatakan tak akan berubah lagi. Jelas?!"

Arya hanya mengangkat bahu.

"Hei! Hendak kabur ke mana kau?!" Sampang yang melihat Rahasti melesat meninggalkan tempat itu segera mempergencar pukulan bonangnya. Seketika itu pula rantai yang sejak tadi mengawang di udara meluncur ke arah si gadis. Arya tak rela membiarkan Rahasti dijegal. Pemuda ini buru-buru menjulurkan tangannya.

Wuttt!

Angin yang mengeluarkan deru keras keluar dari t elapak tangan Arya, dan menghantam rantai yang tengah mengejar Rahasti. Rantai bola berduri itu pun terpental jauh, menyeleweng dari sasaran semula. Rahasti terbebas dari ancaman dan melesat tanpa terganggu.

Sampang tak tinggal diam. Bonangnya kembali dimainkan sambil memperdengarkan nyanyian. Kakek ini hendak menyesatkan Rahasti seperti sebelumnya. Tapi, Arya yang menyadari maksud Sampang segera menjulurkan tangan. Rantai yang terjatuh di tanah meluncur ke arahnya. Arya segera menangkap dan memutarnya di atas kepala.

Wuk, wuk, wukkk...!

Bunyi menderu-deru segera terdengar. Tak hanya satu nada, melainkan banyak nada seperti layaknya bunyi yang keluar dari al at-alat musik!

"Gila...!" puji Sampang dalam hati. Bunyi bonangnya tertekan oleh bunyi putaran rantai sehingga tak menimbulkan pengaruh terhadap Rahasti.

"Pemuda ini benar-benar luar biasa! Kalau tidak, bagaimana mungkin mampu menimbulkan bunyi seperti suling hanya dengan sebelah rantai?!" Sampang penasaran. Tenaganya diperbesar dan jumlah pukulannya pada bonang ditambah sehingga kekuatan pengaruhnya semakin dahsyat.

Dewa Arak tak tinggal diam. Perlawanan yang diberikannya pun semakin gencar. Pertarungan tak lazim segera terjadi. Mesti Dewa Arak dan Sampang berdiam diri di tempatnya, tapi kadar bahayanya tak kalah dengan pertarungan umumnya. Peluh membasahi wajah keduanya.

"Kakek ini memiliki tenaga dalam yang amat kuat," pikir Dewa Arak. "Mungkin tak berada di bawah tenagaku. Apabila pertarungan dibiarkan terus berlangsung, kami berdua akan terancam maut. Hal ini tak boleh terjadi! Aku dan kakek itu tak mempunyai urusan sedikit pun sehingga harus mengorbankan nyawa!"

"Pemuda ini hebat sekali..." puji Sampang dalam hati sambil terus memainkan bonangnya. "Belum pernah kutemukan pemuda seperti ini. Rasanya tenaga dalamnya setingkat dengan tenagaku. Tak mengecewakan kalau aku tewas di tangannya!" Pikiran yang ada ini membuat Sampang semakin memperdahsyat permaman bonangnya. Dia tak peduli lagi dengan keselamatan nyawanya.

Dewa Arak tentu saja kaget bukan main. Pemuda yang kenyang pengalaman ini tahu betapa berbahayanya hal itu. Dan dia yakin pula Sampang mengetahui bahaya yang mengancam dirinya. Sampang rupanya hendak mengadu nyawa!

Dewa Arak kebingungan. Dia tak ingin Sampang tewas. Maka setelah memutar benaknya mencari jalan keluar, pemuda berambut putih keperakan ini memutuskan suatu cara. Arya menambah tenaga pada putaran rantainya. Bedanya kalau Sampang menambah tenaga untuk memperbesar daya serang, Arya menambah kekuatan serangan untuk ditujukan pada bonang Sampang!

Pyarrr...!

"Huakh...!"

Berbarengan dengan hancur berkeping-kepingnya bonang, tubuh Sampang terjengkang. Dewa Arak juga terjengkang ke belakang seraya memuntahkan darah segar. Rantai di tangan pemuda itu terpental dalam keadaan hancur!

Baik Dewa Arak maupun Sampang memang mampu bangkit. Tapi Arya berdiri dengan limbung. Di sudut-sudut mulutnya masih mengalir darah segar. Sampang menatap Dewa Arak dengan wajah pucat. Sepasang matanya terlihat memancarkan keharuan. Dewa Arak telah merelakan dirinya terluka parah untuk menghentikan pertarungan adu nyawa ini.

Padahal, Sampang tahu jika diteruskan kemungkinan besar dirinya yang akan menderita kerugian. Karena meski tenaga dalamnya setingkatan dengan Dewa Arak, usianya yang telah lanjut membuatnya cepat lelah.

TIGA

"Mengapa kau lakukan hal ini, Anak Muda? Kau telah mengorbankan dirimu," tanya Sampang terbata setelah sekian lamanya terpaku.

Arya berusaha mengulas senyum. Tapi dia gagal! Yang tampak hanya seringai kes akitan. Kenyataan ini menyadarkan Arya akan beratnya luka dalam yang ditanggungnya. Tanpa mempedulikan pertanyaan Sampang, Pemuda itu kemudian duduk bersila dan bersemadi untuk mengobati luka-lukanya.

Sampang tahu diri. Dibiarkannya saja tingkah Arya. Bahkan, kakek ini malah memperhatikan. Ada perasaan menyesal bermain-main di lubuk hati Sampang. Penyesalan mengapa dirinya yang telah berusia lanjut ini masih memiliki watak tak mau mengalah.

Cukup lama juga Sampang harus menunggu. Matahari yang tadi berada tepat di atas kepala telah cukup jauh bergulir ke barat. Sinarnya yang semula tak terasa menyengat karena terhalang rindangnya pepohonan, kini mulai menggigit. Saat itulah Dewa Arak menghentikan semadinya.

Arya membuka mata. Yang pertama kali dilihatnya adalah Sampang yang tengah memperhatikannya dengan penuh selidik. Pemuda ini melihat sorot penyesalan dalam sinar mata Sampang. Kenyataan ini cukup menghibur hati Arya.

"Maaf aku tak segera menjawab pertanyaanmu, Kek," ucap Arya seraya bangkit berdiri. Wajah pemuda ini tampak lebih segar. Kendati demikian tenaganya belum pulih seluruhnya, walaupun luka-luka dalamnya telah sembuh. Arya masih harus bersemadi lagi untuk memulihkan seluruh tenaganya.

"Tidak mengapa, Arya," jawab Sampang penuh pengertian, seraya mengulas senyum lebar di bibirnya. Kakek ini untuk pertama kalinya menyapa Arya dengan namanya. "Aku bisa memaklumi keadaanmu. Bagaimana sekarang? Lebih enak?"

"Begitukah, Kek. Jauh lebih enak daripada sebelumnya. Kau memang hebat, Kek. Aku mengaku kalah...."

"Kau hanya membuatku malu saja, Arya," kilah Sampang dengan wajah memerah. "Ucapanmu membuatku teringat akan ketidak-patutan yang telah kulakukan. Kalau saja kau ikut-ikutan bersikeras sepertiku, entah apa yang akan terjadi pada diriku. Mungkin saat ini aku hanya tinggal nama saja...."

"Kau terlalu merendah, Kek."

"Kau yang terlalu merendah dan mengalah, Arya!" bantah Sampang, cepat. "Dan hal ini yang masih tidak kumengerti. Mengapa kau lakukan, Arya? Tindakan yang kau ambil bisa mengakibatkan nyawamu melayang!"

Arya menghela napas berat. "Aku tak ingin kita berdua tewas. Aku yakin hal itulah yang akan terjadi apabila diteruskan. Maka mumpung tenagaku belum terkuras habis, kulakukan tindakan itu. Kuhancurkan alatmu dan kuambil risiko untuk terkena seranganmu. Aku yakin tak akan sampai merenggut nyawaku. Telah kupersiapkan tenaga cadangan untuk menangkalnya. Perhitunganku ternyata hampir gagal! Nyawaku mungkin telah melayang bila luka-luka yang kuderita tak segera kutanggulangi."

Sampang mengangguk-anggukkan kepala. Tapi kelihatan sorot matanya, Arya tahu kakek ini masih belum puas dengan jawabannya. Dugaan pemuda ini ternyata tak keliru.

"Keterangan yang kau berikan belum lengkap, Arya. Kau masih belum memberikan jawaban mengapa hal itu kau lakukan?" tagih Sampang.

"Aku tak ingin kita berdua, terutama kau tewas Kek!"

"Itu aku tahu, Arya. Tapi aku ingin tahu alasannya!" desak Sampang.

"Karena antara kau dan aku tak ada urusan apa pun hingga persoalan ini harus diselesaikan dengan melayangnya nyawa!"

Sampang terdiam. Alasan yang dikemukakan Arya benar-benar menyentuh hatinya. Harus di akuinya kalau jawaban pemuda itu memang tepat. "Hhh...!" Sampang menghela napas berat seperti hendak membuat peras aan yang mengganjal di dalam dadanya. "Apa yang kau katakan memang benar, Arya. Kau telah membuka mata hatiku yang tertutup oleh keinginan untuk menjadi pemenang."

"Syukurlah kalau kau berpendapat sama denganku, Kek," ujar Arya, gembira. "Dengan demikian, sekarang antara kita tak ada persoalan lagi."

"Tentu saja, Arya!" tandas Sampang. "Kalau ada waktu aku ingin mengenalmu lebih dekat. Sayang sekali aku mempunyai urusan penting yang harus segera diselesaikan."

"Mengenai gadis muda itukah?!" tanya Arya setelah berpikir sejenak.

Sampang tahu siapa yang dimaksud oleh Arya. Tanpa ragu-ragu kepalanya dianggukkan. "Mungkin perlu kuberitahukan padamu alasan aku berurusan dengan gadis muda itu, Arya," ujar Sampang.

"Kukira tindakan itu lebih bijaksana, Kek. Tanpa mengetahui alasanmu bermusuhan dengan gadis muda itu, aku terpaksa membelanya," beritahu Arya dengan nada menyesal.

"Kau memang seorang pendekar tulen, Arya. Dan menilik ketenangan yang kau miliki, kau agaknya telah cukup pengalaman dalam meniti kehidupan keras dunia persilatan. Bahkan, aku yakin kau telah mempunyai nama besar...."

"Berhentilah memujiku, Kek. Nanti kepalaku akan pecah karena pujian yang terus kau berikan. Kurasa lebih baik segera kau beritahukan alasan permusuhanmu dengan gadis itu."

Sampang mengangguk-anggukkan kepala menyetujui usul yang diajukan Arya. "Dengar baik-baik, Anak Muda. Gadis yang kau tolong itu adalah seorang pencuri! Bahkan mungkin pembunuh. Meski belum memeriksanya, aku tahu kalau dia menyembunyikan pusaka Kerajaan Kamulan. Aku yakin betul hal itu!"

"Pusaka Kerajaan Kamulan?! Pusaka apa, Kek? Aku pernah mendengar tentang kerajaan itu. Kalau tak salah rajanya bernama Prabu Suwandana. Kudengar pusaka kerajaan itu cukup banyak...," ujar Arya yang rupanya cukup banyak mengetahui tentang Kerajaan Kamulan.

"Memang, pusaka Kerajaan Kamulan cukup banyak. Tapi hanya ada sebuah pusaka yang biasan sinarnya mirip pelangi. Pusaka itu bernama Kujang Emas!"

"Biasan sinarnya mirip pelangi, Kek?!" ulang Arya setengah tak percaya. "Mengapa aku tak melihatnya?"

"Tidak aneh, Arya," jawab Sampang, kalem. "Kau belum pernah melihat pusaka tersebut. Apabila kau telah pernah melihatnya, akan terlihat biasan sinar yang kumaksud kendati tak terlihat oleh mata biasa."

Arya, tak memberikan tanggapan. Pemuda ini percaya Sampang bicara sebenarnya. Banyak hal-hal yang tak terlihat oleh mata, tapi bisa dilihat dengan mata hati. Arya sendiri sering mengalami hal itu. Belalang raksasa miliknya tak pernah terlihat olehnya apabila dicoba dengan mata biasa. Binatang itu baru terlihat apabila Arya menggunakan mata hatinya.

"Dengan kata lain, kau cukup mengenal Kujang Emas, Kek?"

"Begitulah kira-kira, Arya. Aku cukup lama tinggal di Kerajaan Kamulan, sekitar dua puluh lima tahun. Aku bertugas melatih pasukan khusus kerajaan. Salah seorang muridku sekarang telah menjadi patih di sana. Singabarong namanya," jelas Sampang.

"Ahhh...!" seru Arya, kaget. "Sungguh tak kusangka kau termasuk orang penting, Kek. Maaf kalau aku berlaku kurang hormat."

"Tak usah memuji-mujiku, Arya. Sekarang kau bisa mengerti mengapa aku berusaha menahan kepergian gadis muda itu? Aku yakin Kujang Emas didapatkannya secara tak sah. Benda pusaka itu tak boleh keluar dari lingkungan istana."

"Aku mengerti, Kek," Arya mengangguk. "Aku meminta maaf telah menyebabkan wanita tadi berhasil melarikan diri."

"Tak mengapa, Arya. Juga kesalahanku. Kalau saja aku menjelaskan masalah sebenarnya, mungkin urusannya tak akan seperti ini. Tapi kau kan mengerti aku tak bisa sembarangan memberi keterangan?"

"Tentu saja, Kek. Bila hal ini terdengar orang-orang persilatan akan lebih sulit untuk mendapatkannya kembali. Aku yakin tokoh-tokoh persilatan akan berusaha keras mendapatkan Kujang Emas. Kekacauan akan terjadi, dan darah segera tumpah di sana-sini."

"Syukurlah kalau kau mengerti, Arya," timpal Sampang. "Sekarang juga aku akan pergi mencari gadis itu."

"Sebenarnya aku ingin membantumu Kek. Sayang, keadaanku belum mengizinkan," sahut Arya bernada penyesalan.

"Aku mengerti, Arya. Selamat tinggal. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi."

"Mudah-mudahan, Kek," harap Arya.

Sampang melesat meninggalkan tempat itu. Arya hanya bisa memandanginya sampai tubuh kakek itu lenyap dari pandangan. Pemuda berambut putih keperakan ini kemudian berjalan tertatih-tatih mencari tempat sepi untuk bersemadi. Tenaga lamanya perlu segera dipulihkan. Di tempat yang agak tersembunyi akan mengurangi kemungkinan timbulnya gangguan.

* * *

Entah berapa lama tenggelam dalam semadinya, Arya terjaga ketika pendengarannya menangkap bunyi derap kaki-kaki kuda. Arya membuka mata dan bangkit berdiri. Dengan pendengarannya yang tajam, Arya dapat mengetahui kalau belasan ekor kuda tengah berlari cepat menuju tempat dirinya dan Sampang tadi terlibat pertarungan. Dewa Arak sendiri saat ini berada beberapa belas tombak dari tempat tersebut. Tempat pemuda berambut putih keperakan ini berada terlindung oleh kerimbunan semak-semak.

Perasaan ingin tahu mendorong Arya untuk mengayunkan kaki mendekati tempat yang dituju rombongan berkuda. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi diinjaknya kerimbunan semak dan daun-daun kering tanpa menimbulkan bunyi. Dugaan Arya ternyata tepat.

Belasan ekor kuda tampak ditunggangi laki-l aki gagah berpakaian seragam pasukan kerajaan. Rombongan ini berhenti tepat di tempat terjadinya pertarungan Dewa Arak dan Sampang. Rombongan ini adalah pasukan Kerajaan Kamulan! Jumlah mereka lima belas orang, termasuk pemimpin rombongan.

"Apa yang membuat pasukan kerajaan berada di tempat ini?" pikir Arya ditempat persembunyiannya. Tapi, sekelebat dugaan lain menyelinap. "Apakah pasukan ini rombongan Kerajaan Kamulan? Mungkinkah mereka telah mengetahui hilangnya pusaka kerajaan dan sekarang tengah mengejar pencurinya?"

Arya memperhatikan sosok pemimpin pasukan kecil itu. Seorang lelaki berusia empat puluh tahun, berjenggot tebal. Dialah Ladoya, kepala pasukan khusus Istana Keraj aan Kamulan.

"Periksa sekitar tempat ini!" seru Ladoya, lantang. "Aku yakin wanita itu lewat tempat ini. Dan bukan tak mungkin porak-porandanya tempat ini karena dia bentrok dengan seseorang."

Serentak para prajurit melompat turun dari punggung kuda dan memeriksa sekitar tempat itu. Ladoya sendiri tet ap duduk di atas punggung kuda. Dia hanya memperhatikan keadaan di sekitarnya secara sekilas. Seruan Ladoya menjawab pertanyaan yang menggayuti benak Dewa Arak.

"Rupanya dugaanku benar. Mereka pasukan Kerajaan Kamulan yang tengah memburu pencuri pusaka Kujang Emas," pikir Arya.

Kendati demikian Arya tetap diam di tempatnya. Dia ingin mengetahui lebih banyak mengenai penyebab tercurinya Kujang Emas. Untuk mencuri pusaka kerajaan bukanlah pekerjaan mudah. Di samping dijaga ketat, banyak tokoh istana berkepandaian tinggi. Rasanya orang seperti Rahasti akan sulit bisa mencuri pusaka dengan mengandalkan kepandai an yang dimilikinya.

"Bagaimana hasil penyelidikan kalian?" tanya Ladoya setelah para prajurit kembali.

"Wanita liar itu memang benar telah melewati tempat ini, Senapati!" lapor seorang prajurit. "Rupanya di sini dia terlibat pertarungan sengit sehingga menyebabkan ada yang terluka. Dan melihat banyaknya darah di tempat ini, sepertinya yang bertarung tak hanya dua orang!"

"Hm...!" Ladoya mengelus-elus jenggotnya. "Rupanya berita mengenai tercurinya Kujang Emas telah tersebar luas."

"Bukan tak mungkin pula pertempuran yang terjadi bukan karena Kujang Emas, Senapati. Rasanya tak mungkin pusaka yang baru saja tercuri beritanya telah tersebar," bantah si prajurit tak setuju.

"Mudah-mudahan saja demikian, Prajurit! Aku lebih suka begitu. Tugas kita akan lebih mudah. Kalau berita mengenai Kujang Emas telah tersebar luas dan pusaka itu terampas dari buruan kita, akan lebih sulit bagi kita untuk melacaknya," timpal Ladoya. "Dan agar kita tak keduluan pihak lain, kita harus bergegas! Aku tak yakin pusaka itu dapat tercuri dengan mudahnya tanpa bantuan orang dalam!"

Senapati Ladoya menutup ucapannya dengan mengepalkan tangan kuat-kuat hingga menimbulkan bunyi berkerotokan keras. Kelihat an jelas perasaan geram Senapati ini.

"Maksud Senapati, ada yang berkhianat di istana?!" tanya prajurit yang melapor.

"Benar! Seseorang yang mempunyai pengaruh sehingga mudah saja menyuruh seorang pencuri menjadi pembawa pusaka dalam upacara. Dan, aku telah bisa menduga siapa orang itu. Patih Singabarong!"

Wajah para prajurit langsung berubah. Mereka tahu siapa Patih Singabarong. Bila tuduhan itu terdengar olehnya, akan terjadi kekacauan besar di kerajaan.

"Sekarang kita cari wanita liar itu untuk membuka kedok Patih Singabarong! Berangkat!" seru Ladoya, keras.

Bumi kembali bergetar oleh derap langkah belasan kaki kuda. Debu mengepul tinggi ke udara. Tak berapa lama kemudian suasana di tempat itu menjadi hening.

* * *

Angin malam berhembus agak keras. Hawanya dingin menusuk hingga ke tulang sumsum. Beberapa orang prajurit jaga di rumah Patih Singabarong merapatkan kedua tangan ke tubuh untuk sekadar mendapatkan kehangatan.

Dinginnya suasana mal am tak dirasakan orang-orang yang berada di dalam rumah. Bangunan megah yang ditinggali Senapati Singabarong bersama istri dan seorang anak perempuan mereka telah berusia hampir dua puluh tahun. Saat ini istri dan anak Patih Singabarong tak bisa tidur. Kedua wanita itu tetap membelalakkan mata kendati telah merebahkan diri di peraduan.

"Mengapa kau kelihatan gelisah, Bu? Memikirkan Ayah? Tenangkanlah hati Ibu. Aku yakin Ayah akan segera menyelesaikan masalah yang tengah dihadapinya," ujar wanita yang lebih muda, berusia dua puluh tahun dan memiliki wajah cantik.

Wanita ini adalah putri Patih Singabarong. Tentu saja sebagai putri seorang patih kerajaan, Rati Hinggil bukan seorang gadis lemah. Sejak kecil gadis ini telah digembleng ilmu-ilmu silat. Yang menjadi pengajarnya tak hanya ayahnya, juga tokoh-tokoh silat istana. Patih Singabarong sengaja mendatangkan mereka untuk mendidik putrinya semata wayang itu. Maka, tak mengherankan di usianya sekarang ini Rati Hinggil memiliki tingkat kepandai an tak kalah dengan ayahnya.

"Kau tak tahu, Hinggil," cela ibunya dengan nada lembut. "Kalau saja mengalami kejadian aneh, aku tak akan segelisah ini."

"Kejadian aneh?!" Rati Hinggil mengerutkan alisnya. "Kejadian aneh apa, Bu?"

Sumbadra tak segera menjawab pertanyaan itu. Dia malah menghela napas berat, seperti ada sesuatu yang menekan batinnya. Rati Hinggil dengan sabar menunggu ibunya memberikan jawaban.

"Ibu bermimpi, Hinggil," ujar Sumbadra lirih.

"Mimpi, Bu...?!" tanya Rati Hinggil dengan perasaan geli. Hampir saja tawanya meledak. "Mimpi apa? Dan apa hubungannya dengan masalah yang tengah dihadapi Ayah?"

"Aku yakin masalah yang menimpa ayahmu mempunyai hubungan erat dengan mimpi-mimpiku. Yang Dewata telah memberi petunjuk padaku melalui mimpi itu. Sayang aku kurang tanggap bertindak sehingga tak sempat memberitahukan ayahmu. Mimpi-mimpi itu datang tiga hari sebelum kejadian mengerikan yang menimpa Gusti Pangeran Rajamala,"

"Sebenarnya mimpi-mimpi apa sih, Bu? Sehingga, kau demikian yakin mimpi itu merupakan petunjuk dari Dewata?" tanya Rati Hinggil lagi.

"Telah kuperiksa arti mimpi-mimpi yang kudapat dengan mencocokkan pada keterangan orang-orang tua dulu. Semuanya cocok! Isi dan maksud yang terkandung dalam setiap mimpi itu mirip satu sama lain!"

"Maksud Ibu bagaimana? Aku masih belum mengerti."

"Makna mimpi-mimpiku itu semuanya mengandung arti akan datangnya malapetaka pada keluarga kita, Hinggil. Dan terbukti, ayahmu mendapat musibah itu!"

"Aku jadi penasaran, Bu. Sebenarnya mimpi apa yang kau terima?" Rati Hinggil tak kuasa menahan rasa ingin tahunya.

"Dengar baik-baik, Hinggil," ujar Sumbadra penuh tekanan. Rati Hinggil sampai menahan napas, khawatir ucapan ibunya tak terdengar. "Di malam pertama bermimpi ibu melihat hujan deras dan angin ribut. Kau tahu apa arrinya?"

Rati Hinggil menggeleng.

"Mimpi itu mempunyai arti kalau kita kedatangan musuh. Kau dan aku rasanya tak mungkin punya musuh. Ini sudah pasti ayahmu. Beliau yang banyak berhubungan dengan orang. Bukan tak mungkin ayahmu itu pernah menyakiti orang lain. Atau..., barangkali kedudukannya membuat orang menjadi iri."

Rati Hinggil mengangguk-anggukkan kepala. Gadis ini dapat menerima penjelasan ibunya. "Lalu, mimpi Ibu yang lain?"

EMPAT

"Mimpi kedua kalinya tak kalah buruk. Ibu mendengar bunyi halilintar. Mimpi itu mempunyai makna yang buruk. Kita akan mendapat bahaya, Hinggil."

"Bahaya! Bahaya apa, Bu?!" tanya Rati Hinggil ingin tahu.

"Semula aku tak tahu, Hinggil. Tapi setelah kupikir-pikir, mimpiku itu satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Di mimpiku yang terakhir aku, kau, dan ayahmu berhadapan dengan sebuah sungai besar. Aku tak ingat apakah kau dan ayahmu melompatinya. Yang jelas, saat itu aku melompati sungai besar itu...."

Sampai di sini Sumbadra menghentikan ucapannya. Dia menangis seraya menutup wajah dengan kedua tangan. Wanitu itu kelihatan bingung dan sedih. Rati Hinggil buru-buru memeluk ibunya. Rati Hinggil merasa terharu sekali. Ibunya bukan termasuk perempuan cengeng.

Gadis ini tahu kalau sejak dia masih kecil ibunya tak pernah menangis, betapapun berat masalah yang dihadapi. Kalau sekarang wanita ini sampai menangis, bahkan dengan demikian sedih dan takutnya. Pasti masalah yang dihadapinya amat berat.

"Mengapa kau menangis, Bu? Apakah arti mimpi itu?" bujuk Rati Hinggil dengan suara halus.

Sumbadra menatap wajah putrinya lekat-lekat dengan air mata berlinang. Wajahnya yang sembab membuat wanita setengah baya itu tampak menyedihkan.

"Jika kau bermimpi berhadapan dengan sebuah sungai besar lalu kau melompatinya, itu pertanda kalau ajalmu telah dekat."

"Ibu!" jerit Rati Hinggil, kaget. "Tidak! Arti mimpi itu tidak benar. Ibu tak akan mati!" Rati Hinggil bagai kehilangan akal sehatnya. Dia berteriak keras-keras seraya bangkit dari berbaringnya.

Sumbadra yang tak mendapat kesempatan berbicara hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dia amat sayang pada Rati Hinggil, dan tak siap untuk meninggalkannya selama-lamanya. Tapi jika yang berhak atas nyawa manusia telah menentukan, siapa yang dapat menghalangi?

"Kau tidak boleh berkata begitu, Hinggil," beritahu Sumbadra dengan suara serak. Air mata mengalir deras sepanjang kedua belah pipinya. Semua yang hidup pasti akan mati. Tak ada satu pun makhluk yang tidak akan mati. Dan...."

"Tidak!" potong Rati Hinggil. "Pokoknya aku tak ingin Ibu mati! Ibu tak akan mati!"

"Hinggil...!" seru Sumbadra, terharu melihat Rati Hinggil kelihatan demikian terpukul. Hati wanita ini serasa diremas-remas. Ibu dan anak ini kemudian saling berangkulan.

Saat Sumbadra mulai menceritakan mimpi-mimpinya, beberapa sosok bayangan berkelebat mendekati bangunan rumah yang dikelilingi dinding batu setinggi satu tombak itu. Sosok-sosok ini mempunyai gerakan yang gesit sekali. Mereka mengenakan pakaian serba hitam serta selubung wajah. Jumlah mereka ternyata belasan. Di setiap tangan sosok hitam tergenggam sebatang golok besar!

Suasana malam demikian sunyi. Yang terdengar hanya bunyi jengkerik dan serangga malam. Tapi suasana itu dipecahkan tiba-tiba oleh bunyi burung hantu. Suaranya yang keras mengejutkan para prajurit jaga.

Mereka yang telah terkantuk-kantuk karena hawa dingin terjaga sesaat. Para prajurit itu tak tahu kalau bunyi burung hantu yang terdengar bukan bunyi burung yang sebenarnya. Bunyi itu dikeluarkan pemimpin gerombolan sosok hitam, dan merupakan isyarat bagi anak buahnya untuk mulai menyerang. Bagai hantu-hantu bergentayangan, belasan sosok hitam langsung melancarkan penyerbuan.

Tidak hanya dari depan yang pintu gerbangnya tidak memiliki daun pintu, tapi juga dari dinding-dinding batu Lincah laksana kera mereka berlompatan ke atas dinding batu lalu melompat ke bagian dalam. Begitu menjejak tanah keberadaan mereka segera diketahui oleh para prajurit.

"Siapa kalian?!" Pertanyaan keras bernada kecurigaan itu dilontarkan prajurit yang menjaga pintu gerbang. Tapi jawaban yang didapat adalah babatan golok besar di tangan sosok hitam!

Dua penjaga pintu gerbang yang bersenjatakan tombak segera melompat ke belakang. Tombaknya ditusukkan ke arah perut para penyerangnya. Ternyata dua sosok hitam memiliki kepandaian jauh di atas prajurit-prajurit itu. Mereka menggeser kaki ke samping seraya mendoyongkan tubuh. Serangan ujung tombak lewat di sisi tubuh keduanya.

Melalui samping tubuh sosok-sosok hitam kemudian mengulurkan tangan menangkap batang tombak. Gerakan mereka yang tak terduga-duga membuat kedua penjaga pintu gerbang tak kuasa menyelamatkan tombaknya. Begitu tercekal ditariknya dengan keras. Tubuh dua prajurit itu pun tertarik ke depan. Mereka tak sempat berbuat apa-apa lagi ketika dua sosok hitam membabatkan golok ke batang leher keduanya!

Crasss, crasss...!

Hampir berbarengan terdengar bunyi seperti bat ang pisang ditebang. Kepala dua penjaga pintu gerbang terpisah dari tubuhnya, dan menggelinding dengan darah memancur deras dari bagian yang terluka. Saat itu pula nyawa kedua prajurit itu melayang ke alam baka.

Kematian kedua prajurit itu ternyata lebih beruntung dibanding rekan-rekannya. Mereka tewas tanpa mengalami sakit yang berarti, sementara para prajurit yang lain tewas dalam keadaan menyedihkan. Nyawa mereka terpisah dari raga setelah menggelepar-gelepar dalam cekaman rasa sakit yang mendera.

Rombongan sosok hitam itu memang luar biasa. Kepandaian mereka rata-rata di atas para prajurit. Memang terjadi pertarungan, tapi tak sampai tiga jurus setiap sosok hitam mampu merobohkan lawan-lawannya. Jerit kematian terdengar di sana-sini. Darah pun membanjiri tempat yang biasanya tenang itu.

"Apa yang terjadi, Hinggil?!" tanya Sumbadra dengan cemas. Dari dalam rumah keributan itu terdengar jelas.

"Aku pun tak tahu, Ibu," jawab Rati Hinggil, setelah terlebih dulu menggelengkan kepala untuk mendengarkan bunyi-bunyi mencurigakan di luar. "Sepertinya terjadi keributan di luar. Aku juga mendengar suara langkah-langkah kaki menaiki anak tangga."

Apa yang dikatakan Rati Hinggil memang tepat sekali. Sosok-sosok hitam tengah menaiki undakan anak tangga batu yang menuju ke bangunan tempat tinggal Patih Singabarong.

"Mimpi Ibu tak salah, Hinggil. Ibu yakin ini merupakan saat terakhir hidup Ibu. Dan...."

"Tidak, Ibu!" bantah Rati Hinggil memotong ucapan Sumbadra yang belum selesai. "Ibu tak akan mati! Selama ada aku, biar iblis sekalipun tak akan kubiarkan menyentuh Ibu. Apalagi hanya pengacau-pengacau hina!"

Seperti menyambuti tantangan Rati Hinggil, daun pintu kamar mereka hancur berantakan di dobrak dua tangan kokoh dari luar. Kepingan-kepingan daun pintu berpentalan ke sana kemari. Dengan mempergunakan sebelah tangan, Rati Hinggil menangkisi potongan-potongan kayu yang menyambar ke arahnya dan ibunya.

Rati Hinggil segera melompat dari peraduan. Ibunya ditempatkan di belakangnya. Gadis itu menatap nanar ke arah ambang pintu. Tampak dua sosok hitam bergerak masuk dengan sikap waspada. Tangan mereka menggenggam sebatang golok besar yang berlumuran darah.

"Pengacau-pengacau keparat! Kalian harus membayar mahal atas kekejian yang kalian l akukan di tempat ini!" desis Rati Hinggil penuh kemarahan.

"Kaulah yang harus mati, Wanita Liar!" balas sosok hitam yang memiliki tubuh jangkung.

Belum hilang gema suara itu, sosok hitam jangkung meluruk ke arah Rati Hinggil. Golok berlumuran darah di tangannya diayunkan ke pinggang. Keras bukan main. Apabila mengenai sasaran tubuh Rati Hinggil akan terpisah menjadi dua bagian.

Gerakan sosok hitam ternyata kurang cepat. Sekali menjejakkan kaki tubuh Rati Hinggil telah melayang ke atas sehingga serangan lawan lewat di bawah kakinya. Dan begitu berada di atas Rati Hinggil segera melancarkan tendangan ke kepala sosok hitam. Lawannya terperanjat dan berusaha mengel akkan s erangan dengan melompat ke belakang. Tapi, tindakan itu kurang cepat.

Krakkk...!

Diiringi bunyi gemeretak nyaring, sosok hitam terlempar ke belakang. Tulang-tulang lehernya patah akibat tendangan Rati Hinggil yang keras bukan main. Seketika itu juga nyawa sosok hitam melayang ke alam baka.

Sosok hitam yang tersisa terkejut melihat kematian rekannya. Maka begitu Rati Hinggil mendarat di lantai, sosok hitam menyerbunya sambil berseru keras. Goloknya dibaling-balingkan hingga lenyap bentuknya. Putaran golok membuat putri Patih Singabarong tak bisa melihat jelas sasaran yang akan dituju.

Tapi Rati Hinggil tak terpengaruh. Gadis ini berdiri diam di tempatnya menunggu serangan lawan tiba. Kemudian, laksana bayangan Hinggil menyelinap di antara kelebatan golok lawan. Selama tiga jurus Rati Hinggil mempermainkan lawannya. Dia membiarkan sosok hitam kelelahan mengirimkan serangan. Baru di jurus keempat gadis ini bertindak.

"Ukh...!" Sosok hitam mengeluh ketika merasakan tangannya yang menggenggam golok tiba-tiba bagai lumpuh. Sebelumnya terasa ada sesuatu yang menyentuh sikunya. Sosok hitam tak tahu kalau Rati Hinggil telah menotok bagian tubuh tersebut. Lumpuhnya tangan sosok hitam membuat cekalannya terhadap golok terlepas. Tanpa menemui kesulitan Hinggil merampasnya. Kemudian, dihunjamkannya ke perut lawan.

Blesss!

"Aaakh...!" Sosok hitam mengeluarkan jerit memilukan. Goloknya sendiri menembus perut hingga ke punggung. Darah segar memancar keluar dari luka yang yang terbentuk.

Rati Hinggil sendiri buru-buru melompat mundur. Bersama Sumbadra, gadis ini memperhatikan lawan meregang maut. Sosok hitam itu berdiri limbung dengan mata membelalak lebar, seakan tak percaya dengan kejadian yang diterimanya.

Bertepatan dengan ambruknya sosok hitam ke lantai, terdengar bunyi ribut-ribut disusul masuknya belasan sosok hitam ke dalam ruangan. Rati Hinggil bersikap tenang. Dengan mata dihitungnya jumlah calon lawannya. Lima belas orang! Hinggil yakin dirinya akan mampu menghadapi keroyokan mereka. Dari tingkat kepandaian dua sosok hitam yang berhasil ditewaskannya, dia telah bisa memperhitungkan kemampuan lawan.

Rati Hinggil tetap berdiri di tempatnya. Dilihatnya belasan orang itu belum memperlihatkan tanda-tanda hendak melancarkan serangan. Mereka hanya bergerak menyebar membentuk kepungan. Rati Hinggil mengernyitkan sepasang alisnya yang indah. Dia merasa heran dengan tindakan sosok-sosok hitam itu. Apa lagi yang mereka tunggu?

Keheranan Rati Hinggil tak berlangsung lama. Dia baru mengerti mengapa belasan sosok hitam tak segera menyerangnya. Di ambang pintu muncul sosok hitam lainnya. Dari gerak-geriknya Hinggil tahu kalau sosok yang baru datang ini merupakan pimpinan mereka.

Sosok hitam yang baru datang memiliki tubuh kecil kurus. Ciri-cirinya tak menimbulkan perasaan apapun di hati Hinggil. Tapi, tak demikian halnya ketika gadis ini menatap mata sosok kecil kurus itu. Mata tersebut bersinar kehijauan. Mencorong bagai mata seekor harimau dalam gelap. Hinggil merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Sinar mata seperti itu hanya dimiliki tokoh-tokoh yang telah memiliki tenaga dalam sangat tinggi.

"Bagaimana? Apakah kalian mengetahui di mana si keparat Singabarong itu?!" tanya sosok kecil kurus kemudian.

Rati Hinggil merasakan tengkuknya dingin. Suara sosok kecil kurus terdengar aneh sekali. Suara itu patutnya keluar dari mulut setan penghuni kuburan. Yang lebih mengejutkan hati Hinggil, setiap perkataan yang keluar menimbulkan getaran di dalam dadanya! Hinggil sampai harus mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi bagian dalam dadanya.

"Tidak, Tuan! Kami tak melihat si keparat Singabarong di sini! Mungkin keparat itu telah mengetahui tindakan kita dan buru-buru kabur menyelamatkan diri!" sahut salah satu sosok hitam.

"Tutup mulutmu, Keparat!" bentak Hinggil yang tak kuasa menahan kemarahan mendengar ayahnya dimaki-maki. "Kalau tidak, kuhancurkan!"

Sosok hitam yang mendapat teguran merasa tersinggung. Dia menggertakkan gigi. Ditatapnya Hinggil dengan mata melotot. Kemudian, kakinya diayunkan cepat menghampiri si gadis. Melihat itu Sumbadra yang memiliki sedikit kepandaian segera melangkah maju.

Rati Hinggil tentu saja tak membiarkan tindakan ibunya. Buru-buru dicekal pergelangan tangan ibunya. Sang ibu menoleh dan melihat Hinggil menggelengkan kepala.

"Biar aku yang menyelesaikan masalah ini, Ibu," bujuk Hinggil dengan suara lembut. Seperti mengikuti tindakan Hinggil yang menyuruh mundur ibunya, sosok kecil kurus mengeluarkan bentakan nyaring.

"Sebelum kuperintahkan, jangan ada seorang pun di antara kalian yang bergerak!"

Tanpa banyak membantah sosok hitam yang baru maju tiga langkah kembali ke tempat semula. Sementara sosok kecil kurus mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Kalian dengar baik-baik! Wanita liar itu terlalu tangguh untuk kalian. Kepandaian yang dimilikinya tak berada di bawah kepandaian si keparat Singabarong! Biar aku yang mengirimnya ke neraka. Kalian urus ibunya. Binasakan siapa pun yang ada di tempat ini! Mengerti?!"

"Mengerti, Tuan...!" sahut sosok-sosok hitam serempak, membuat ruangan tempat mereka berada bergetar.

"Kalau begitu tunggu apa lagi? Kerjakan segera!"

Sosok-sosok hitam bagai sekelompok semut yang didekatkan api. Mereka semua berlari berpencaran ketika sosok kecil kurus memberikan perintah. Yang tinggal di tempat itu hanya lima orang. Mereka bersiap untuk menangkap Sumbadra.

Rati Hinggil yang merasa geram mendengar perintah sosok kecil kurus segera menerjang pimpinan gerombolan itu. Gadis yang mengenakan pakaian hijau ini mengirimkan serangan berupa tendangan.

Sosok kecil kurus mendengus melihat serangan yang tertuju ke arahnya. Di saat serangan Hinggil masih melayang, dia melompat pula. Disambutinya serangan itu dengan mengirimkan tendangan terbang pula.

Desss...!

Benturan dua batang kaki secara keras di udara tak bisa di elakkan lagi. Disusul kemudian dengan terlemparnya tubuh kedua pemiliknya. Hinggil terlempar lebih jauh ke belakang. Bahkan sampai menabrak dinding. Sedangkan sosok kecil kurus mampu mematahkan daya lontar dengan bersalto beberapa kali dan menjejak lantai secara mantap.

Hinggil bangkit berdiri sambil menyeringai. Dirasakan kakinya yang berbenturan sakit bukan main. Sementara lawannya tampak sedikit pun tak terpengaruh.

"Biarlah kali ini aku gagal menangkap si keparat Singabarong. Aku cukup puas bila telah berhasil membunuh anak dan istrinya!" ujar sosok kecil kurus seraya mengalihkan perhatian pada lima orang anak buahnya yang tersisa. "Bunuh wanita tua itu!" perintah sosok kecil kurus kemudian.

Lima sosok hitam bagai saling berlomba lebih dulu memenuhi perintah pimpinannya. Melihat hal ini Hinggil tak tinggal diam. Gadis ini berusaha untuk menghadang. Tapi, pimpinan gerombolan menyadari maksud Hinggil. Dia melompat menerjang si gadis. Dan ketika berada di udara, dilancarkan kibasan yang dilakukan dengan membalikkan tubuh.

Hinggil tahu sasaran serangan itu adalah lehernya. Apabila terkena babatan kaki lawan, kepalanya bisa t erpisah dari tubuh. Maka, dia melompat ke samping dan bergulingan menjauh. Sosok kecil kurus tak tinggal diam. Dikejarnya calon korbannya. Sosok yang belum ketahuan jati dirinya ini mengirimkan serangan dahsyat bertubi-tubi.

LIMA

Setelah bertarung beberapa jurus, Rati Hinggil harus mengakui kepandaian lawan jauh di atas tingkatannya. Suatu keberuntungan baginya. Karena lawan tampaknya tak berniat membunuh. Serangan-serangan yang dilancarkan tak terlalu berbahaya. Bahkan, sosok kecil kurus itu terlihat berhati-hati.

Keadaan Hinggil jauh lebih baik dari Sumbadra. Istri Patih Singabarong itu harus berjuang keras untuk bertahan. Lewat empat jurus kemudian sebuah tendangan lawan membuatnya terhuyung. Belum sempat Sumbadra berbuat sesuatu, lawan yang lain telah memukul perutnya.

Sekejapan kemudian sebuah sampokan mendarat telak di pelipis. Sapuan kaki lawan lainnya membuat Sumbadra terjengkang dan jatuh terlentang. Istri Patih Singabarong ini tak bangkit lagi. Seiring jatuh tubuhnya, nyawanya melayang karena tulang pelipisnya retak!

Rati Hinggil kendati tengah sibuk menghadapi lawan sempat melihat kejadian yang menimpa ibunya. Gadis ini menangis dalam hati. Kegeramannya dilampiaskan dengan semakin dahsyatnya serangan-serangan yang dilancarkan. Kendati demikian, karena memang tingkat kepandaian Hinggil berada di bawah lawan, semua amukannya dapat dipatahkan. Bahkan lawan berhasil menyapu kakinya sehingga dia jatuh terguling-guling di lantai.

Sosok kecil kurus yang yakin akan kemenangannya tak terburu-buru mengirimkan serangan susulan. Dia melangkah satu-satu ketika mendekati Hinggil. Sementara di saat tubuhnya terguling-guling Hinggil sempat berpikir. Kalau menuruti perasaan ingin rasanya dia mengamuk untuk membalaskan kematian ibunya. Tapi, akal sehatnya melarang. Hinggil sadar lawan terlalu kuat. Jika dia tetap memaksakan keinginannya, kemungkinan besar dia akan tewas menyusul ibunya.

"Bila itu terjadi," pikir Hinggil. "Semuanya akan sia-sia. Ayah tak tahu orang-orang yang telah menyebar bencana di tempat kediamannya. Pembantaian ini akan menjadi rahasia besar. Aku harus selamat!"

Pikiran-pikiran demikian membuat Hinggil memutar benak untuk menyelamatkan diri. Untungnya cara itu segera didapatkannya. Sambil terus bergulingan, gadis ini menyepak sebuah kursi dan mengarahkannya pada lawan. Pada saat yang bersamaan Hinggil melompat ke arah pintu.

Semua tindakan itu dilakukan Hinggil secara cepat. Sosok kecil kurus yang t ak menduga akan terjadinya hal seperti ini tak sempat berbuat apa pun untuk mencegahnya. Apalagi saat itu dia menerima serangan dari Hinggil. Sosok kecil kurus menggeram keras saking marahnya. Tangan kanannya dihantamkan memapaki datangnya luncuran kursi.

Bunyi berderak keras terdengar ketika tangan berbenturan. Kursi pecah berkeping-keping, dan pecahannya berpentalan ke sana ke mari. Sebagian di antaranya justru menyerbu lima sosok hitam. Mereka pun kelabakan mengelakkannya.

Sosok kecil kurus kemudian melesat keluar untuk mengejar Hinggil. Sementara Hinggil telah berada di bawah undakan tangga baru dan tengah melesat melewati pintu gerbang. Sang pemimpin sosok hitam tak putus asa. Dia terus melakukan pengejaran.

Hinggil cukup cerdik. Dia tahu sosok kecil kurus memiliki ilmu lari cepat yang berada di atasnya. Kalau sosok itu terus mengejar, kemungkinan besar dia akan tersusul. Karena itu, Hinggil memilih tempat-tempat yang menguntungkannya. Dipilihnya medan berupa semak belukar. Terkadang gadis ini menyelinap ke balik pohon. Dan memang, siasat gadis itu cukup berhasil. Sosok kecil kurus mengalami kesulitan untuk mengejarnya.

Sayang, medan berupa semak-semak dan pepohonan tak berapa luas. Setelah beberapa saat bermain kucing-kucingan, Hinggil terpaksa menempuh medan berupa hamparan tanah lapang.

"Mau lari ke mana lagi kau, Wanita Liar?!" seru sosok kecil kurus penuh nada kemenangan.

Hinggil berada beberapa belas tombak di depannya. Hinggil tak memberikan jawaban. Gadis ini memusatkan seluruh perhariannya pada lari. Pandang mata Hinggil yang cukup awas melihat adanya hutan kecil ratusan tombak di depannya. Hinggil berusaha keras tiba di sana sebelum pengejarnya berhasil menangkapnya.

Pemimpin sosok hitam pun rupanya bukan orang bodoh. Dia tahu Hinggil berusaha mencapai hutan di depan sana. Maka seluruh ilmu lari cepatnya dikerahkan. Sedikit demi sedikit jarak antara mereka semakin dekat. Dan ketika jarak itu tinggal sepuluh tombak lagi, sosok kecil kurus menjejakkan kaki kanannya ke tanah.

Derrr...!

Tanah tergetar hebat. Beberapa tombak di depan sana Hinggil merasakan pengaruhnya. Seperti ada kaki-kaki kuat menyapu kakinya. Tanpa mampu dicegah lagi gadis ini terjatuh. Tubuh Hinggil terguling-guling. Meski masih bingung akan apa yang terjadi, Hinggil berusaha keras untuk menyelamatkan diri. Gulingan pada tubuhnya segera dimanfaatkan. Tenaga gulingan itu ditambah dan dipergunakan untuk bangkit, lalu melesat meninggalkan tempat itu.

Tapi, maksud Hinggil hanya terlaksana sampai di pikiran saja. Baru saja berguling beberapa tombak dia membentur sepasang kaki yang berada di depannya. Tanpa menoleh untuk menatap wajah pemiliknya.

Hinggil tahu pemilik sepasang kaki itu adalah sosok kecil kurus. Hinggil merasa tak ada gunanya lagi melakukan perbuatan apa pun. Lawannya telah menguasai keadaan. Maka, Hinggil yang saat itu berada dalam sikap tengkurap malah merebahkan kepalanya di tanah. Gadis ini pasrah pada apa yang akan terjadi.

"Balikkan tubuhmu, Wanita Liar!" seru sosok kecil kurus.

Hinggil tak berani membantah. Dirasakannya ada tekanan yang tak menghendaki bantahan dalam ucapan itu. Hinggil segera membalikkan tubuh. Sekarang dia terlentang. Sosok kecil kurus berdiri tepat di atasnya, menghunus golok besar yang terselip di pinggang.

"Sebenarnya aku tak ingin membunuhmu. Tapi, itu sebelum kau menimbulkan kejengkelanku. Sekarang aku tak bisa berlaku lunak lagi. Kau boleh menyusul ibumu sekarang!"

Sambil menggertakkan gigi, sosok kecil kurus mengayunkan golok besarnya ke perut Hinggil. Hinggil yang tak bisa bertindak apa-apa lagi hanya pasrah. Dia berdiam diri menanti datangnya malaikat maut!

Trangngng...!

"Uh..." Sosok kecil kurus mengeluh tertahan. Sesuatu yang tak jelas bentuknya meluncur cepat dan membentur goloknya. Benturan yang terjadi luar biasa keras. Timbul percikan bunga api. Tubuh pemimpin sosok hitam itu pun sampai terhuyung ke belakang.

Hinggil segera bertindak cepat. Kesempatan sekejap itu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tubuhnya digulingkan menjauhi sosok kecil kurus. Kemudian, melenting ke udara dan menjejak tanah dengan mantap.

Pimpinan sosok hitam tak membiarkan Hinggil selamat. Begitu getaran pada tangannya berhasil dihalau, dia melesat mendekati Hinggil. Tapi, sosok kecil kurus ini segera menghentikan maksudnya. Sesosok bayangan ungu telah melesat lebih dulu menghadang jalannya. Bergegas lesatannya dipatahkan dan bersalto beberapa kali ke belakang, kemudian menjejak tanah secara mantap.

Dengan mata seperti mengeluarkan api sosok hitam memperhatikan penolong Hinggil. Sosok itu seorang pemuda berpakaian ungu. Wajahnya tampan dan terlihat matang. Apalagi dengan rambut putih keperakan. Bukan hanya sosok hitam yang memperhatikan pendatang baru. Hinggil pun secara sembunyi-sembunyi menatapnya dari samping. Sosok itu bukan lain Arya Buana alias Dewa Arak.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. Kau telah menyelamatkan nyawaku," ucap Hinggil penuh rasa terima kasih.

"Lupakanlah, Nona. Kebetulan aku lewat tempat ini dan melihat kau tengah terancam. Lagi pula, sudah kewajiban kita untuk saling tolong menolong," kilah Arya.

Hinggil ingin memberikan tanggapan lagi. Tapi, ucapan yang telah berada di ujung lidah itu ditelannya. Tepat pada saat itu sosok hitam mengeluarkan pekikan nyaring untuk mengawali inceran serangannya. Hinggil menutup mulutnya dengan tangan. Gadis ini hampir tak kuasa untuk menahan jeritan. Golok sosok hitam berubah banyak.

"Menyingkirlah, Nona!" seru Arya.

Hinggil segera melompat menjauh. Gadis ini sadar kalau tetap berada di tempat itu bisa terancam bahaya maut. Terkena serangan nyasar sosok hitam yang diarahkan pada Dewa Arak. Sementara Arya bergegas mengambil guci perak yang tersampir di punggung. Senjata andalannya itu diputar di depan dada.

Sebentuk gulungan sinar bagai benteng seketika melindungi tubuh Dewa Arak. Kemanapun golok sosok hitam bergerak akan bertemu dengan gulungan sinar keperakan di sekujur tubuh Arya.

Trang, trang, trang...!

Benturan keras terdengar berkali-kali ketika golok berbenturan dengan guci. Percikan bunga api pun tercipta. Arya maupun sosok hitam terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.

"Keparat! Kiranya kau memiliki kepandaian juga, Orang Usilan!" desis sosok hitam penuh geram. "Tapi, jangan harap akan mampu menandingiku!"

Belum lenyap gema ucapannya, sosok hitam telah mengayunkan goloknya ke leher Dewa Arak. Tapi hanya dengan merendahkan tubuhnya pemuda itu berhasil memunahkan serangan lawan. Dewa Arak kini tak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan seluruh kemampuannya. Di samping sosok hitam itu memiliki kepandaian tinggi, serangan-serangan yang dilancarkannya pun selalu membawa maut. Kalau Arya menghadapinya setengah-setengah nyawanya akan melayang ke akhirat.

Perlawanan sungguh-sungguh yang diberikan Dewa Arak membuat pertarungan berjalan sengit. Kedua petarung itu ternyata memiliki kemampuan berimbang. Mereka silih berganti melancarkan serangan. Beberapa kali keduanya terhuyung-huyung ketika terjadi benturan. Ketika lagi-lagi sosok hitam mengirimkan tusukan ke arah dada, Dewa Arak melompat ke atas. Dari sana dikirimkannya cengkeraman ke arah ubun-ubun sosok hitam.

Kecepatan gerak Dewa Arak pada mulanya membuat sosok hitam kebingungan. Tapi dari desir angin tajam yang mengarah kepalanya, dia langsung menyadari adanya serangan dari atas. Secepat kilat goloknya dibabatkan ke atas.

Wutttt..!

Dewa Arak menyadari ancaman maut itu. Pemuda ini bersalto ke atas melewati kepala lawan dengan serangan yang tetap tertuju pada kepala.

Crattt!

"Akh...!" Rentetan kejadiannya berlangsung demikian cepat. Ujung golok sosok hitam merobek perut Arya. Sebaliknya, cengkeraman Dewa Arak hanya merenggut selubung lawannya. Selubung hitam yang mempunyai dua lubang kecil untuk mata itu sekarang berada dalam tangan Dewa Arak.

"Ahhh...!" Seruan kaget itu keluar dari mulut Hinggil. Itu terjadi ketika ia melihat wajah yang berada di balik selubung. Wajah seorang kakek berkepala botak dengan kumis panjang menjuntai melampaui bibir. Wajah itu pernah dilihat Hinggil!

Kakek botak tak kalah terkejutnya. Penyamarannya telah terbuka. Si kakek tak mau mengambil resiko lebih banyak lagi dengan terus berdiam diri di tempat itu. Bergegas dia melesat pergi. Kakek botak berlari bebas tanpa khawatir ada yang mengejarnya.

Dewa Arak maupun Hinggil tak melakukan pengejaran. Arya merasa tak mempunyai urusan dengannya. Sementara Hinggil masih terpaku di tempatnya, sibuk mengingat-ingat siapa sosok hitam yang diyakini pernah dilihatnya itu.

"Ada apa, Nona?" tanya Arya ketika melihat Hinggil menghela napas berat. "Kau mengenalnya?"

"Entahlah," jawab Hinggil tak yakin seraya mengangkat kedua bahunya. "Rasanya aku pernah melihat wajah itu. Sayang, aku lupa kapan dan di mana."

"Mengapa kau bentrok dengan kakek itu, Nona?" tanya Arya mengalihkan persoalan.

Arya yang semula menduga akan mendapatkan jawaban terperanjat kaget melihat Hinggil seperti tersentak. Wajah gadis itu langsung memucat. Belum sempat Arya mengajukan pertanyaan Hinggil telah melesat pergi. Dari mulutnya yang berbibir mungil Arya menangkap gumaman lemah.

"Ibu.... Ibu...."

Sesaat Arya kebingungan. Pemuda ini hanya menatap kepergian Hinggil dengan penuh tanda tanya. Tapi ketika putri Patih Singabarong itu telah berjarak belasan tombak, Arya teringat pada sesuatu.

"Bagaimana kalau kakek botak itu belum pergi jauh, dan menyerangnya lagi jika mereka bertemu?"

Pikiran yang muncul selintas ini membuat Dewa Arak memutuskan untuk menyusul Hinggil. Dia terpaksa berlari-lari di belakang Hinggil, sebelum akhirnya melihat bangunan rumah yang dikelilingi dinding batu tinggi di kejauhan.

Begitu melewati ambang pintu gerbang Arya mengernyitkan alisnya. Mayat-mayat berseragam pasukan kerajaan tergolek di sana-sini. Sebuah dugaan jelek terhadap gadis yang dikejarnya mulai di hati Arya.

Arya meles at menuju bangunan yang dimasuki Hinggil. Sepanjang perjalanan melewati undak-undakan tangga batu dan lorong ruangan, tampak mayat-mayat berseragam pasukan kerajaan.

"Keji sekali!" rutuk Arya dalam hati. "Siapa orangnya yang telah melakukan pembantaian seperti ini?"

Arya terus mengayunkan kaki mengikuti arah yang ditempuh Rati Hinggi. Tapi begitu memasuki ambang pintu salah satu kamar, Arya terpaku bagai orang terkena sihir. Pandangan segera tertumbuk pada sosok gadis yang dikejarnya tengah duduk bersimpuh di hadapan sesosok tubuh yang tergolek di lantai.

"I... ib....Ibu...," rintih Hinggil. Air mata mengalir membasahi kedua belah pipinya. Tampak jelas kesedihan pada raut wajahnya. Arya jadi merasa kasihan sekali melihatnya. Gadis itu kelihatan begitu kehilangan.

Setelah memperhatikan keadaan dalam ruangan yang porak poranda, Arya melangkah mendekati Hinggil. Ingin rasanya dia menghiburnya, tapi tangis Hinggil malah semakin menjadi-jadi. Cukup lama juga Dewa Arak menunggu tangis Hinggil mereda. Kini yang tinggal hanya isak tertahan. Hinggil bangkit berdiri dan membalikkan tubuh. Ditatapnya Arya yang tengah menatapnya.

"Maafkan atas sikapku yang cengeng," ujar Hinggil dengan suara serak.

"Aku bisa mengerti. O ya, kenalkan, namaku Arya Buana. Panggil saja Arya."

"Aku Hinggil. Rati Hinggil," balas putri Patih Singabarong.

"Sebuah nama yang bagus," puji Arya. "Boleh kutahu mengapa kakek kecil kurus tadi hendak membunuhmu? Dan, apakah dia yang telah melakukan pembantaian di tempat ini?"

"Aku tak tahu, Arya. Kakek itu datang bersama rombongannya. Kejam bagai haus darah mereka membantai semua pengawal dan ibuku."

"Jadi kakek itu tak sendirian? Dia datang membawa rombongan?" tanya Arya meminta penegasan.

"Kakek keji itu datang bersama belasan orang berkepandaian cukup tinggi. Entah apa kesalahan kami sehingga mereka sampai hati melakukan pembantaian ini," keluh Hinggil.

"Kulihat bangunan ini dijaga banyak prajurit. Apakah keluargamu mempunyai hubungan dengan kerajaan?"

"Ayah adalah Patih Kerajaan Kamulan. Beliau bernama Singabarong...."

"Singabarong?" selak Arya, kaget.

"Kau mengenai ayahku, Arya?" Hinggil bertanya penuh rasa ingin tahu. Sepasang matanya menatap wajah Arya tajam-tajam.

"Tidak," jawab Arya. "Aku hanya mendengar dari percakapan para prajurit Kerajaan Kamulan."

Kemudian, secara singkat Dewa Arak menceritakan tentang percakapan serombongan pasukan kerajaan yang dipimpin Ladoya. Mereka tengah mengejar pencuri Kujang Emas.

"Itu sebuah fitnah keji, Arya!" sentak Hinggil begitu Arya selesai bercerita. "Ahhh...! Malang benar nasib Ayah. Tak henti-hentinya petaka menimpa. Saat ini saja beliau tengah mencari Kujang Emas yang dicuri orang. Sekarang ada fitnah yang ditimpakan padanya, yang mengatakan Ayah bersekongkol dengan sang Pencuri."

"Jalan satu-satunya untuk membersihkan tuduhan itu adalah dengan menangkap pelakunya, Hinggil," ujar Arya setelah tercenung sejenak.

"Jadi kita mulai mengungkapkan rahasia ini dengan mengejar pencuri Kujang Emas, Arya?" tanya Hinggil "Bagaimana mungkin? Pencuri itu pasti sudah jauh. Lagipula, kita tak tahu kemana perginya."

"Aku tahu arah yang ditujunya, Hinggil. Itu sebabnya kuusulkan untuk mengejarnya. Memang tak hanya dia yang dapat kita jadikan titik terang untuk mengungkap masalah ini. Masih ada lainnya, yaitu gerombolan orang-orang berseragam hitam yang telah membantai keluargamu. Tapi sayang hanya kakek botak yang bisa kita kenali. Itu pun dia telah melarikan diri."

"Kurasa usulmu itu ada benarnya, Arya," ucap Hinggil akhirnya setelah tercenung sesaat. "Kuharap kau bersedia untuk mengajakku."

Arya hanya membisu. Hinggil jadi khawatir kalau-kalau pemuda itu akan menolaknya. Buru-buru ucapannya disambung.

"Aku tak mungkin tinggal di sini lagi, Arya. Gerombolan penjahat itu pasti akan menyatroniku. Aku juga ingin mencari ayahku untuk mengabarkan kejadian ini. Kurasa mengadakan perjalanan bersamamu akan aman, Arya. Ayahku tak pernah membiarkanku pergi jauh-jauh seorang diri."

"Apa yang dikatakan ayahmu memang benar, Hinggil. Dunia persilatan sangat keras. Kau boleh ikut bersamaku. Sebelumnya, mari kita urus dulu mayat-mayat ini sebelum pergi"

"Terima kasih atas kesediaanmu untuk mengajakku, Arya," wajah Hinggil tampak berseri-seri. Sepasang matanya berbinar ceria. "Percayalah. Aku berjanji tak akan merepotkanmu."

Arya hanya tersenyum. Sesaat kemudian, pasangan muda-mudi ini sibuk mengurus mayat-mayat yang berserakan untuk dikuburkan sebagaimana mestinya.

* * *

ENAM

Seorang lelaki berpakaian abu-abu melompat turun dari punggung kuda. Binatang berbulu coklat putih itu meringkik sebentar karena lelaki separuh baya yang menungganginya menarik tali kekang dengan agak keras. Lel aki itu terlihat agung dan penuh wibawa. Dia bukan lain Patih Singabarong dari Kerajaan Kamulan. Bergegas dihampirinya sosok-sosok yang bergeletakan sekitar tiga tombak di depannya. Sosok-sosok yang menyebabkannya menghentikan lari kuda.

"Biadab! Terkutuk...!" Sambil terus mengayunkan kaki, Patih Singabarong memaki penuh geram. Pandangannya tertuju pada sosok-sosok yang bergeletakan bermandi darah. Sosok-sosok itu mengenakan pakaian seragam Kerajaan Kamulan.

Mereka adalah para prajurit yang dibawa Senapati Ladoya. Tak ada satu pun yang selamat. Hanya mayat Ladoya tak ada di situ! Perasaan curiga tiba-tiba mencuat di lubuk hati Patih Singabarong. Kecurigaannya semakin besar ketika teringat dengan sebuah kejanggalan beberapa waktu lalu. Dia melihat sepasang suami isteri membawa seorang anak gadis pada Ladoya.

Perasaan tertarik membuat Patih Singabarong langsung keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ternyata mereka menginginkan putrinya menjadi dayang istana. Katanya, anak tetangga mereka telah menjadi dayang di istana.

Saat itu Patih Singabarong mendengar Ladoya, yang telah melihat keberadaannya, menolak niat pasangan suami isteri itu. Ladoya mengatakan kalau dayang-dayang istana tak didapatkan secara sembarangan. Karena ditolak, suami isteri itu meninggalkan istana sambil membawa anaknya.

Patih Singabarong yang terlanjur curiga segera mencari keterangan. Dan, hasil yang didapat membuat patih ini cukup kaget. Ternyata telah belasan gadis masuk menjadi dayang-dayang. Padahal, tak satu pun ada tambahan tenaga dayang-dayang baru.

Dengan kata lain, gadis-gadis itu lenyap begitu saja! Patih Singabarong tak tinggal diam. Dia melakukan penyelidikan. Senapati Ladoya hampir-hampir tak pernah luput dari pengawasan. Tapi penyelidikannya sia-sia. Sampai terjadinya musibah kematian Pangeran Rajamala, Patih Singabarong tak mampu menemukan jawabannya.

Patih Singabarong bergegas melompat naik ke atas punggung kuda lalu memacunya. Menurut dugaannya Senapati Ladoya belum pergi jauh. Ia hendak mengejar senapati itu yang dicurigainya sebagai pembunuh anak buahnya sendiri.

* * *
Seorang lelaki berjenggot lebat yang mengenakan pakaian seragam kerajaan tampak berlari mengindap-indap menyibak kerimbunan semak. Lelaki ini adalah Senapati Ladoya. Dia berlari terhuyung-huyung. Beberapa kali Ladoya tersungkur. Dari mulutnya mengalir darah segar. Entah untuk yang keberapa kalinya Senapati Ladoya kembali tersungkur. Dia jatuh tertelungkup ketika kakinya terkait semat-semak.

Senapati ini tak langsung bangkit berdiri. Agaknya luka yang dideritanya cukup parah. Ketika kemudian dia mengangkat kepalanya sedikit, wajah lelaki ini terlihat semakin pias. Dua batang kaki berdiri tepat di depan wajahnya. Ladoya segera mendongakkan kepala.

"Gusti Pangeran...," desah Senapati Ladoya.

Pemilik sepasang kaki itu memang pangeran Kerajaan Kamulan. Pangeran Samudra, adik dari Pangeran Rajamala. Pangeran Samudra tampak tersenyum sehingga wajahnya yang tampan semakin menarik.

"Kau, Ladoya? Apa yang terjadi terhadap dirimu? Di mana pasukan yang kaum pimpim?" tanya Pangeran Samudra sambil berjongok agar bisa melihat Ladoya lebih jelas.

"Malapetaka besar telah menimpa, Gusti Pangeran," lapor Ladoya. "Kami diserang segerombolan orang berpakaian serba hitam yang mengenakan selubung wajah. Mereka memiliki kemampuan di atas kami. Semua prajurit tewas. Hanya aku yang berhasil selamat. Itu pun karena aku berpura-pura meninggal. Itu kulakukan agar dapat memberikan laporan ke istana, Gusti Pangeran. Masalahnya, aku melihat adanya kejanggalan...."

"Kejanggalan?! Kejanggalan bagaimana yang kau maksud, Ladoya?! desah Pangeran Samudra.

"Pimpinan orang-orang berselubung itu, Pangeran," beritahu Senapati Ladoya. "Sepertinya aku pernah mengenalnya. Potongan tubuh dan sorot matanya dapat kukenali, kendati dia mencoba menyamarkan suaranya. Aku yakin apabila berhasil hidup dan menyelidikinya akan dapat kuketahui siapa pimpinan gerombolan itu."

"Sekarang bangkitlah, Ladoya," ujar Pangeran Samudra seraya bangkit berdiri.

"Hamba tidak mampu, Gusti Pangeran. Mungkin hamba memerlukan waktu untuk…”

"Kepergianmu dari istana untuk mengejar pencuri pusaka kerajaan, bukan?!" Pangeran Samudra segera memotong ucapan Ladoya.

Ladoya merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak. Dirasakan adanya kejanggalan dalam ucapan sang Pangeran. Nadanya tak senang dan penuh kebencian.

"Benar, Gusti Pangeran," jawab Ladoya lirih. "Tapi sayang hamba gagal."

"Itulah akibatnya bagi orang yang terlalu lancang, Ladoya!" dengus Pangeran Samudra tak senang. "Kalau saja kau tak melakukan pengejaran terhadap pencuri Kujang Emas, kau tak akan mengalami nasib seperti ini!"

"Apa... maksud Gusti Pangeran?!" tanya Ladoya terbata. Senapati ini sampai mendongakkan kepala saking terperanjatnya.

"Kau menanyakan maksudku, Ladoya?! Dengar baik-baik! Kalau saja kau tak mendapat serangan dari gerombolan berseragam hitam, aku yang akan menyingkirkanmu!" tandas Pangeran Samudra.

"Tapi... tapi mengapa, Gusti Pangeran? Apa Salah hamba?!"

Pangeran Samudra tertawa mengejek. "Menurut pendapatmu pencuri itu bekerja sendiri atau mendapat bantuan dari orang dalam, Ladoya? tanya Pangeran Samudra.

Senapati Ladoya menelan ludah dengan susah payah. Pertanyaan dan sikap yang ditunjukkan Pangeran Samudra terlihat sangat aneh. Rasa curiga membelit hati Senapati Ladoya.

"Kalau melihat dari rapinya rencana yang dibuat pencuri itu, sepertinya ada orang dalam yang telah membantunya, Gusti Pangeran. Seseorang yang mempunyai kedudukan cukup penting."

"Bukan cukup penting lagi, Ladoya. Tapi sangat penting!" sahut Pangeran Samudra. "Orang itu adalah aku. Pangeran Samudra. Dan pencuri itu adalah kekasihku."

Senapati Ladoya terpaku. Sepasang mata lelaki ini membelalak lebar, mulutnya ikut membuka. Kalau saja saat itu ada lalat, pasti akan masuk. "Hamba... hamba tak pernah mendengar Gusti Pangeran mempunyai seorang kekasih. Dan lagi, sampai hati Gusti Pangeran membunuh kakak sendiri...."

"Kalau tak kubunuh, kesempatanku untuk menjadi raja di Kerajaan Kamulan akan lenyap. Rajamala pasti yang akan diangkat menjadi raja. Apa boleh buat, demi cita-citaku kehilangan seorang kakak tak terlalu penting. Kau tahu Ladoya, untuk mencapai keinginan yang besar memang membutuhkan pengorbanan yang besar pula. Jangankan hanya Rajamala, Ayah pun akan kusingkirkan demi tercapainya cita-citaku. Ha ha ha...!"

Pangeran Samudra tertawa bergelak memperlihatkan kegembiraannya. Perutnya sampai terguncang-guncang.

"Sedangkan mengenai wanita yang kau tanyakan, dia adalah Rahasti. Aku bertemu dengannya beberapa bulan lalu waktu berburu. Dia tengah mandi di sungai. Kecantikan dan kemulusan tubuhnya membuatku langsung jatuh hati. Rahasti hanya mau menikah denganku apabila aku menjadi Raja di Kamulan. Itulah sebabnya kurencanakan hal seperti ini! Jelas, Ladoya? Sekarang kau mengejar untuk menangkapnya. Itu berarti kau akan menghancurkan rencanaku."

"Kau gila, Gusti Pangeran!" desis Ladoya. Dia tak ingat lagi kalau pemuda tampan yang dicercanya itu adalah junjungannya sendiri.

"Kau boleh memakiku hingga suaramu habis, Ladoya! Sekarang bersiap-siaplah untuk menerima kematianmu!"

Pangeran Samudra menghunus pedang yang terselip di pinggang. Seketika, sinar menyilaukan mata mencuat. Ladoya sadar akan adanya maut yang mendekat. Dengan mata membelalak lebar lelaki itu mengikuti setiap gerak Pangeran Samudra.

"Terimalah kematianmu, Ladoya...!" Pangeran Samudra mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Kemudian, dihujamkannya secepat kilat ke arah kuduk Senapati Ladoya yang tetap mendongakkan kepala untuk melihat maut menjemputnya!

Crappp!

"Aaakh...!" Jeritan kematian yang panjang dan memilukan terdengar dari mulut Pangeran Samudra. Tubuh sang Pangeran limbung. Pedang yang tergenggam di tangan terlepas lalu jatuh ke tanah. Sesaat pangeran ini berusaha untuk tetap berdiri tegak, namun ternyata dia tak mampu.

Pangeran Samudra ambruk ke tanah dengan mata membelalak lebar. Senapati Ladoya yang sudah pasrah pada maut terpaku tidak percaya. Sang Pangeran malah ambruk ke tanah. Tewas di depan hidungnya. Pada punggung Pangeran Samudra tertancap sebatang pisau bergagang kepala ular. Sepasang mata Ladoya hampir tak berkedip. Senjata yang memiliki gagang berbentuk khas ini amat dikenalnya!

"Itulah hukuman bagi orang yang berani mengacaukan rencanaku!"

Belum lenyap gema ucapan itu sesosok bayangan berkelebat. Di belakang tubuh Pangeran Samudra yang tergolek tampak berdiri sesosok tubuh kecil kurus, berpakaian serba hitam dan berselubung kepala hitam pula.

Seketika wajah Ladoya menjadi pias. Sosok yang baru datang ini adalah pimpinan gerombolan yang menghadang pasukannya. Ladoya cepat-cepat berusaha menenangkan perasaan. Diperhatikannya sekujur tubuh sosok kecil kurus. Sesaat kemudian, kata-katanya keluar dengan suara gemetar.

"Tak ada gunanya lagi kau menyembunyikan diri, Eyang Cakra. Rahasiamu telah terbongkar. Senjata yang kau hujamkan di punggung Pangeran Samudra telah memberikan jawaban yang jelas. Kau ceroboh."

Sosok kecil kurus merenggut selubungnya. Seketika, tampak seraut wajah tua berkepala botak yang amat dikenal Senapati Ladoya. Wajah milik Eyang Cakra, penasihat kerajaan dalam hal-hal yang berhubungan dengan ilmu gaib!

"Ha ha ha...!" Eyang Cakra tertawa bergelak. "Dugaanmu tak betul, Ladoya. Aku tak ceroboh sama sekali. Aku hanya ingin melihat apakah kau mempunyai otak yang cukup cerdik untuk menduga siapa sebenarnya!"

"Sejak semula pun aku sudah merasa kalau pemimpin gerombolan penyerbu itu orang yang sangat kukenal. Perawakan dan sorot matamu kukenal betul, Eyang Cakra! Pisau itulah yang membuatku dapat menduga tepat orang yang berdiri di balik peristiwa itu."

"Bukan hanya terhadap kau dan pasukanmu saja, Ladoya!" sahut Eyang Cakra. "Tapi juga terhadap Patih Singabarong. Asal kau tahu saja, keluarga patih keparat itu telah kubasmi!"

"Mengapa kau lakukan itu, Eyang Cakra?" desis Ladoya.

"Kau bertanya mengapa?!" ujar Eyang Cakra setengah mengejek.

"Karena kau, Pangeran Rajamala, dan Patih Singabarong telah mencium adanya ketidakberesan di istana. Hanya saja, kalian tak bersatu dan justru saling curiga, sehingga aku mudah menghadapi kalian. Kendati demikian, aku tak berani mengambil risiko lebih besar."

"Jadi, beberapa prajurit berkereta kuda yang mengangkut pemuda-pemudi gagah dan cantik-cantik itu merupakan perintahmu?"

"Benar!" jawab Eyang Cakra. "Dan kau mengira Singabarong yang berdiri di belakang penculikan itu, bukan? demikian pula dengan Pangeran Rajamala. Sang Pangeran melaporkan kecurigaan itu pada Prabu Suwandana. Sang Prabu kemudian hendak menyingkirkan Singabarong, tapi tidak mempunyai alasan. Terbunuhnya Rajamala membuat Baginda berani untuk menekan Singabarong. Keamanan merupakan tanggung jawabnya, dan dia lalai. Ha ha ha...!"

"Padahal," sela Ladoya penuh nafsu. "Kau yang membunuh Pangeran Rajamala!"

"Sayang sekali bukan aku, Ladoya. Padahal aku telah merencanakannya demikian rapi. Selain aku, orang yang melepaskan Kujang Emas dari sarungnya akan mati. Orang itu hanya akan selamat apabila aku membacanya beberapa mantera penangkal. Tapi ternyata ada seseorang yang menukar Kujang Emas kemudian melumurinya dengan racun. Orang yang menjadi biang keladi kekacauan itu adalah Pangeran Samudra. Sekarang dia telah berhasil kusingkirkan!"

"Lalu, untuk apa kau culik pemuda dan pemudi?"

"Pertama, darah mereka sebagai campuran ramuan yang membuat Kujang Emas mampu membunuh siapa pun yang berusaha menghunusnya. Alasan kedua, bermain cinta itu ternyata luar biasa nikmat, Ladoya. Setelah aku puas bermain cinta dengan pemudinya, campuran darah antara si pemuda dan pemudi kumasukkan dalam ramuan untuk memandikan Kujang Emas. Nah! Kurasa penjelasanku telah cukup. Bersiaplah untuk menghadapi malaikat maut!"

"Kaulah yang akan menghadapi malaikat maut, Cakra...!" sentak sebuah suara. "Tak kusangka kau orangnya yang memiliki watak demikian keji!"

"Singabarong?!" seru Eyang Cakra melihat kemunculan Patih Singabarong di tempat itu. Dia sama sekali tak mendengar bunyi langkah kakinya.

"Benar! Aku, Singabarong, orang yang ingin kau bunuh. Tapi kau keliru, Cakra. Kaulah yang akan kubunuh karena tindakanmu terhadap keluargaku!" desis Patih Singabarong menahan kemarahan yang meluap-luap.

Patih Singabarong memang telah mendengar semua ucapan Eyang Cakra. Dia telah berada di situ sejak Eyang Cakra membuka selubungnya. Keberadaan Patih Singabarong karena mendengar jerit kematian Pangeran Samudra.

"Ha ha ha...!" Eyang Cakra tergelak gembira. "Syukur kau datang ke tempat ini, Singabarong. Aku tak repot-repot lagi mencarimu!"

"Kaulah yang akan mati ditanganku, Cakra!" Patih Singabarong mencabut keris yang terselip di pinggul. Kemudian, secepat kilat ditusukkannya ke perut Eyang Cakra.

Wusss...!

Tusukan keris mengenai tempat kosong ketika Eyang Cakra menarik kakinya ke belakang. Sesaat kemudian kaki kanannya bergerak menendang, tiga kali berturut-turut.

Tukkk, desss, desss...!

Tubuh Patih Singabarong terjengkang jauh ke belakang. Tendangan pertama mengenai pergelangan tangan sehingga kerisnya terlempar. Tendangan kedua dan ketiga menghantam paha kanan kirinya.

"Ayaaah...!" Sesosok bayangan kuning berkelebat ke arah Patih Singabarong. Sesosok lainnya yang berpakaian ungu menghadang langkah Eyang Cakra.

"Hinggil...!" seru Patih Singabarong ketika melihat siapa sosok kuning yang tengah meluruk ke arahnya.

Sosok itu memang Rati Hinggil. Dengan mata berkaca-kaca Hinggil menubruk tubuh ayahnya. Patih Singabarong memeluk putrinya dan mengelus-elus rambutnya penuh kasih sayang.

"Ayah... Ib... Ibu...."

"Aku sudah tahu, Hinggil. Aku sudah mendengarnya sendiri dari mulut si jahanam Eyang Cakra. Syukur kau selamat. Kukira kau juga telah dibunuhnya."

"Pemuda itulah yang menolongku, Ayah," beritahu Hinggil seraya menunjuk Arya.

Patih Singabarong mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hinggil. Saat itu sosok ungu tengah berdiri berhadapan dengan Eyang Cakra.

"Kau...?!" seru Eyang Cakra tertahan. Penghadangnya bukan lain Arya Buana alias Dewa Arak.

"Selamat berjumpa lagi, Kek," sahut Dewa Arak tenang.

Tanggapan Eyang Cakra adalah serbuan ke arah Dewa Arak. Kakek ini memutar tongkatnya laksana baling-baling. Kemudian, secepat kilat tongkat itu disodokkan ke arah Dewa Arak. Deru angin yang luar biasa keras mengiringi luncuran serangan itu. Dewa Arak tak mau kalah gertak. Gucinya diambil lalu isinya dituangkan ke dalam mulut. Dipapaknya serangan tongkat lawan dengan guci.

Trangngng...!

Arak dalam guci bermuncratan ke sana kemari. Tubuh kedua petarung itu terhuyung dua langkah ke belakang. Namun, mereka berhasil memperbaiki kedudukan. Sesaat kemudian telah sating gebrak kembali.

"Eyang Cakra...," gumam Hinggil lirih sekali. "Pantas aku merasa pernah melihatnya."

Patih Singabarong tak memberikan tanggapan. Lelaki tinggi besar ini tengah memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh perhatian. Pertarungan dahsyat yang harus diakuinya baru pertama kali dilihatnya.

Hinggil sendiri seperti tak membutuhkan tanggapan ayahnya. Dia juga kemudian sibuk memperhatikan jalannya pertarungan. Kekaguman yang sudah terpancang di hatinya terhadap Dewa Arak semakin membesar. Sementara itu, pertarungan antara Arya dan Eyang Cakra telah mencapai puncaknya. Diawali teriakan melengking nyaring mereka saling melancarkan serangan di tengah udara.

Tukkk, desss...!

Hampir berbarengan serangan Dewa Arak dan Eyang Cakra mendarat di tubuh masing-masing lawannya. Tubuh Dewa Arak dan Eyang Cakra kembali terlempar kebelakang lalu terbanting di tanah. Dewa Arak masih mampu merayap bangkit, meski dari mulutnya menitik darah segar. Sambungan tulang bahu pemuda ini lepas terkena hantaman tongkat.

Eyang Cakra mengalami nasib yang lebih mengenaskan. Guci Dewa Arak telah menghantam dada hingga tulang-tulangnya remuk. Kakek ini menggelepar sekali, kemudian tewas. Darah menyembur dari mulut, hidung, dan telinganya.

Ladoya dan Patih Singabarong menghela napas lega melihat kematian Eyang Cakra. Kedua pejabat tinggi Kerajaan Kamulan ini saling berpandangan dan tersenyum. Tak ada lagi permusuhan dalam sorot mata mereka.

Rati Hinggil sendiri dengan malu-malu menghampiri Arya. Wajahnya bersemu merah ketika bicara. "Kau tak apa-apa, Arya?"

Arya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Aku hanya perlu bersemadi untuk mengobati luka ini, agar tak semakin parah."

Hinggil mengangguk-anggukkan kepala. Dengan sudut mata dikerlingnya ayahnya. Sang Patih itu pura-pura tak melihat tingkah putrinya. Pandangannya diarahkan pada Ladoya.

* * *

TUJUH

Di saat Dewa Arak tengah terlibat pertarungan dengan Eyang Cakra, di tempat yang berjarak ribuan tombak dari tempat mereka, Rahasti mengayunkan kaki satu-satu. Wajahnya tertuju lurus ke depan. Sepasang bola matanya tampak berputaran liar memperhatikan sekitarnya. Di kanan kiri gadis ini terdapat pohon-pohon besar.

"Kau menepati janji, Nona Muda. Aku kagum padamu!"

Rahasti sampai terlonjak kaget. Dia buru-buru menghentikan langkahnya. Kepalanya didongakkan memperhatikan ke atas pepohonan. Dari sana seruan tadi didengarnya. Di atas cabang pohon yang berjarak lima tombak dari Rahasti tampak sesosok tubuh berpakaian serba merah. Sosok itu berdiri di atas pohon dengan mempergunakan jari telunjuk kanannya! Rahasti membelalakkan mata melihat tingkah sosok merah. Pertunjukan itu membutuhkan tenaga dalam yang amat tinggi.

"Bagaimana? Apakah telah kau bawa benda yang kuminta?" tanya sosok merah setelah melompat turun dari atas pohon. Sosok itu melompat turun dengan menekankan telunjuknya yang bertelekan pada cabang pohon. Tubuhnya kemudian bersalto beberapa kali di udara dan menjejak tanah secara mantap dengan kedua kaki.

"Benar, Kek," Rahasti menganggukkan kepala. "Tapi sebelum kuserahkan benda ini, aku ingin kau tunjukkan padaku benda yang kau janjikan!"

Sosok merah yang ternyata seorang kakek berkulit hitam dan bertubuh jangkung itu tersenyum. Tangan kanannya dimasukkan ke balik baju. Dan ketika dikeluarkan lagi di tangan itu terdapat sebuah buntalan kain hitam yang mempunyai tali pada ujungnya.

"Lemparkan benda yarig kuinginkan, maka akan kuberikan ajimat ini padamu," ujar kakek hitam memberikan penawaran.

"Kau yang lebih dulu melempar, Kek. Baru setelah itu akan kuberikan benda yang kau inginkan," Rahasti tak mau menuruti begitu saja usul kakek hitam. Gadis ini rupanya takut ditipu.

"Kau tak mempercayaiku, Nona?!" dengus kakek hitam tak senang. "Sungguh lancang! Ucapanmu itu sebenarnya sudah cukup untuk membuatku membunuhmu. Pantang bagi Ardawalika menerima hinaan seperti ini. Ingat Nona, aku telah berlaku murah hati kepadamu. Sedangkan kau? Jangan-jangan kau bermaksud menipuku dengan berpura-pura telah mendapatkan Kujang Emas. Padahal, kau tak memilikinya sama sekali!"

Rahasti mendengus tak senang. Tangannya segera dimasukkan ke balik baju untuk mengambil benda yang diyakini Ardawalika sebagai Kujang Emas. "Bagaimana, Kek? Masih tak percaya kalau aku mempunyai benda yang kau inginkan?" tanya Rahasti setengah mengejek.

Ardawalika terkekeh. Kakek ini memang tetap berdiri di tempatnya. Tapi, sepasang bola matanya yang tertuju ke arah Kujang Emas di tangan Rahasti menyiratkan keinginan yang besar.

"Sekarang aku percaya kau memiliki kujang itu, Nona. Nah! Tunggu apa lagi? Lemparkan benda itu, dan aku pun akan melemparkan benda ini pula!" seru Ardawalika.

Rahasti tersenyum mengejek. "Sebenarnya aku ingin mempercayai ucapanmu, Kek Tapi sayang, aku belajar dari pengalaman yang kuterima. Terlalu percaya pada orang lain hanya akan merugikan diri sendiri. Siapa yang berani menjamin kalau kau tak akan menipuku?"

"Hm.... Lalu, bagaimana baiknya menurutmu, Nona?"

Rahasti mengerutkan sepasang alisnya yang indah. Benaknya diputar untuk mencari jalan keluar. "Aku ada usul, Kek," ujar Rahasti kemudian hampir terpekik kegirangan. "Kau dan aku sama-sama meletakkan kedua benda ini di tanah. Dari tempatku berada, aku akan melangkah ke kanan sejauh sepuluh tombak dan meletakkan Kujang Emas di situ. Sedangkan kau menempuh arah yang sebaliknya dan meletakkan ajimat itu di sana. Setelah itu kita kembali ke tempat masing-masing dan mengambil benda itu. Bagaimana? Usul yang baik, bukan?"

"Baik sih tidak," sahut Ardawalika tak mau memuji. "Tapi karena aku tak ingin masalah ini berlarut-larut, biarlah usul jelekmu ini kuterima."

Rahasti meletakkan Kujang Emas sepuluh tombak di sebelah kanannya. Sementara Ardawalika menaruh buntalan kain hitam yang disebutnya ajimat sepuluh tombak dari tempatnya berdiri tadi. Arahnya berlawanan dengan Rahasti.

"Jangan kau lakukan itu, Nona! Ambil kembali Kujang Emas itu!"

Rahasti dan Ardawalika terperanjat kaget. Seruan itu begitu keras menggelegar. Dari bunyinya, sepertinya pemilik seruan itu berada di tempat ini. Tapi ketika Rahasti dan Ardawalika mengarahkan pandangan, pemilik seruan itu masih berjarak puluhan tombak di belakang Rahasti.

Rahasti dan Ardawalika segera menyadari kalau kemunculan orang itu dapat mengacaukan rencana mereka. Maka, bagai telah disepakati sebelumnya, keduanya berlomba untuk segera mendapatkan benda yang mereka idam-idamkan. Ardawalika lebih dulu mendapatkan Kujang Emas. Baru sekejapan kemudian, Rahasti menjumput buntalan kain hitam.

"Ha ha ha...!" Ardawalika tertawa bergelak penuh kegembiraan ketika Kujang Emas telah berada di genggamannya. Sepasang matanya menatap pusaka itu dengan sorot mata liar, seperti orang kelaparan melihat makanan.

"Akhirnya benda yang kuidam-idamkan berhasil kudapatkan! Aku dapat terjun lagi ke dunia persilatan! Ha ha ha...!"

Saat Ardawalika yang bagai orang kurang waras itu menciumi Kujang Emas, sosok yang tadi berseru tiba di tempat itu. Sosok yang bukan lain dari Sampang ini wajahnya tampak pucat pasi. Kakek itu berdiri lima tombak dari Rahasti.

"Celaka! Bencana di dunia persilatan akan muncul lagi. Iblis itu pasti akan menyebar angkara murka," desis Sampang penuh kekhawatiran.

Di lain pihak, Rahasti tanpa mempedulikan tingkah Ardawalika segera menyelipkan buntalan kain hitam ke pinggangnya. Jari-jari tangannya tampak menggigil ketika mengikatkan tali buntalan. Kelihatan jelas kalau gadis ini terpengaruh oleh perasaannya.

"Ha ha ha...!" Ardawalika kembali tertawa bergelak. Kali ini terdengar nada ejekan di dalamnya. "Kau tertipu, Nona Dungu! Kau tertipu! Kau kira aku demikian bodoh memberikan ajimat yang kau inginkan?!"

"Apa?! Rahasti tersentak kaget. Buntalan kain hitam yang sudah terikat di pinggang direnggutnya kembali hingga lepas. "Kakek curang! Licik!"

"Ha ha ha...!" Ardawalika hanya tertawa bergelak melihat kemarahan yang melanda Rahasti.

"Jangan tertawa dulu, Kakek Licik!" geram Rahasti. "Kau kira aku juga demikian bodoh menyerahkan pusaka berharga itu kepadamu begitu saja? Aku sudah memperhitungkan kau akan menipuku. Maka, kusediakan sebuah Kujang Emas palsu untuk berjaga-jaga! Ternyata kekhawatiranku terbukti. Kita sama-sama mendapatkan benda tak berguna!"

"Keparat...!" geram Ardawalika. Wajah kakek hitam yang semula berseri-seri berubah beringas. Sepasang matanya memancarkan hawa maut. Ditatapnya Kujang Emas hampir tak percaya.

"Kujang Emas ini palsu?!" gumam Ardawalika seperti bicara pada dirinya sendiri. Nada ucapannya terdengar mengambang.

Rahasti tak menjawab. Sementara Sampang yang semula kebingungan kini agak berseri wajahnya. Ada harapan bersemi di hati kakek itu begitu mendengar ucapan Rahasti.

"Benarkah apa yang kau katakan itu, Nona?" tanya Sampang seraya menghampiri Rahasti.

"Untuk apa aku berbohong?" Rahasti malah balas mengajukan pertanyaan. "Kalau kakek itu tak percaya, silakan mencobanya!"

Ardawalika menggeram bagai harimau luka. Kujang Emas di tangannya diperhatikan lebih lama. Terlihat jelas kakek ini masih merasa bimbang dengan keterangan yang diberikan Rahasti. Sampang menatap Ardawalika dengan sorot mata penuh kemenangan. Kakek ini percaya penuh akan kebenaran ucapan Rahasti.

"Tunggu apa lagi, Arda?!" tantang Sampang penuh keyakinan.

"Mengapa kau tak segera membuktikannya? Ayo, ayunkan kakimu! Lewati garis gaib yang selama ini memenjarakanmu! Bukankah kau amat menginginkan hal itu?"

Ardawalika tak mempedulikan ucapan Sampang. Tetap di tatapnya Kujang Emas di tangannya. Kemudian, pandangannya dialihkan pada garis yang dimaksud Sampang. Garis yang tak tampak mata, tapi diketahui keberadaannya oleh Ardawalika. Garis gaib yang dimaksudkan Sampang membentang tiga langkah di depannya.

Melihat garis gaib itu membuat Ardawalika teringat akan masa lalunya. Sekitar empat puluh tahun lalu dia malang melintang di dunia persilatan dengan menyebar malapetaka. Sepak terjangnya membuat tokoh-tokoh golongen putih tak senang. Salah satu di antaranya adalah seorang tokoh besar yang bernama Wiku Ampyang. Pandai besi yang juga memiliki kepandaian tinggi, baik dalam ilmu silat maupun ilmu gaib.

Sayang, Wiku Ampyang tak ingin terjun ke dalam dunia persilatan. Kakek ini tahu, sekali dia terjun dan mencampuri urusan, selamanya akan mendapat masalah. Padahal dia ingin hidup tenang. Maka, Wiku Ampyang memutuskan untuk tak ikut campur. Kakek ini yakin akan ada orang yang dapat menghentikan tindakan Ardawalika.

Sementara itu tindakan Ardawalika semakin menjadi-jadi. Tokoh sesat ini bahkan berani mengacau sebuah kadipaten, membunuh sang adipati dan menculik putrinya. Kadipaten itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kamulan.

Raja Kamulan yang merasa bertanggung jawab akan keamanan di wilayahnya mengutus Sampang untuk menangkap Ardawalika. Sampang yang tahu kepandaian tokoh sesat itu meminta bantuan Wiku Ampyang atas nama Raja Kamulan.

Wiku Ampyang, karena memandang Raja Kamulan dan dia termasuk penduduk kerajaan itu, bersedia memenuhi permintaan Sampang. Hanya, kakek itu tak ingin terlibat pertempuran. Jadi Sampang yang harus bertempur. Baru jika tokoh istana itu tak mampu mengalahkannya, Wiku Ampyang akan bertindak. Itu pun tidak dengan terang-terangan. Wiku Ampyang tak ingin Ardawalika mengenalinya. Sampang memenuhi syarat yang diajukan Wiku Ampyang.

Dua tokoh itu bersama-sama mencari Ardawalika. Tak hanya berhari-hari, melainkan berbulan-bulan Ketika terjadi pertemuan, pertarungan pun tak bisa dielakkan lagi. Ardawalika benar-benar luar biasa. Sampang tak mampu menundukkannya. Bahkan Sampang sampai terluka parah!

Melihat kenyataan ini, dari balik semak-semak Wiku Ampyang menggunakan ilmu gaibnya untuk memenjarakan Ardawalika dengan garis gaib yang tak tampak. Pandai besi itu menciptakan ruangan berbentuk persegi panjang sebagai tempat tinggal Ardawalika.

Wiku Ampyang memang luar biasa. Pagar gaib yang diciptakannya mampu mengurung Ardawalika. Setiap kali tokoh sesat itu melanggar garis, dia akan terjungkal kembali masuk ke dalam kurungan. Keberhasilan usaha Wiku Ampyang membuat Sampang lega.

Meski tak bisa membunuh Ardawalika, kakek itu kembali ke kerajaan dan melaporkan keberhasilan usahanya. Sejak saat itu Ardawalika memang tak bisa terjun ke dunia persilatan. Kakek itu terpenjara secara gaib. Ardawalika tak tinggal diam.

Di dalam pengasingannya dia bersemadi untuk mencari petunjuk agar bisa bebas dari kurungan. Kakek itu terpenjara dua puluh tahun lalu. Dia baru mendapatkan petunjuk sekitar sepuluh tahun lalu. Garis gaib ciptaan Wiku Ampyang bisa dilewati apabila membawa Kujang Emas.

Bertahun-tahun Ardawalika menunggu orang yang dapat dimintanya tolong. Akhirnya seorang gadis bernama Rahasti melalui tempat itu. Rahasti tengah terluka dan melarikan diri dari kejaran perampok yang hendak melakukan tindakan tak senonoh terhadapnya.

Sebenarnya Rahasti memiliki kepandaian di atas rombongan perampok, tapi karena kurang pengalaman, dia terkena racun yang membuatnya lemas. Ardawalika segera memanfaatkan nasib baiknya. Ditolongnya Rahasti. Rombongan perampok itu dibunuhnya. Rahasti bahkan diajarinya sedikit ilmu silat dan dijanjikan akan diberikan ajimat yang membuat gadis itu tak bisa dilukai.

Rahasti yang haus kepandaian menjadi tertarik ketika melihat pertunjukan ajimat yang dipamerkan Ardawalika. Dia langsung menerima permintaan tokoh sesat itu untuk mencuri Kujang Emas dari Kerajaan Kamulan. Tapi sekarang, kedua orang yang sama-sama serakah dan licik itu memberikan benda palsu pada orang yang dijanjikannya.

Karena yakin Ardawalika tak akan berani melewati garis gaib, Sampang mengalihkan perhatiannya pada Rahasti. "Antara kita tak ada masalah, Nona. Maka, kuminta kau serahkan Kujang Emas padaku. Kujamin kau akan pergi dengan selamat. Aku bukan termasuk orang yang hanya bisa berjanji tanpa mampu memenuhinya," ujar Sampang.

"Hentikan langkahmu di situ, Kek!" ancam Rahasti. "Jika tidak, akan kuberikan Kujang Emas ini pada Ardawalika!"

Ancaman Rahasti ternyata cukup manjur. Sampang tak berani melangkah maju. Apal agi ketika dilihatnya murid Kuntilanak Hitam Gunung Salak itu mengacungkan sebuah Kujang Emas di atas kepalanya.

"Jangan bertindak gegabah, Nona!" seru Sampang keras tanpa menyembunyikan rasa khawatirnya. "Hati-hati dengan benda itu! Ardawalika dapat mengambilnya darimu tanpa perlu bergerak dari tempatnya!"

"Kalau demikian, mundur!" ancam Rahasti dengan suara lebih keras. "Kalau tidak akan kulemparkan benda ini padanya, biar kau dibinasakannya!"

Lagi-lagi Sampang tak berani membantah ancaman Rahasti. Kakek ini melangkah mundur. "Baik, aku mundur. Tapi hati-hati dengan benda itu!" ujar Sampang. Perasaan khawatir kalau Kujang Emas terjatuh ke tangan Ardawalika membuat kakek ini memperhatikan gerak-gerik tokoh sesat itu. Dan, dia melihatnya! "Awas, Nona! Kakek licik itu hendak merampas senjatamu!"

Rahasti bergegas menoleh. Ternyata Ardawalika tengah menjulurkan tangannya, bersiap merampas Kujang Emas dari jauh. "Kau boleh teruskan maksudmu kalau ingin Kujang Emas ini kuberikan pada lawanmu!" tandas Rahasti.

Ardawalika langsung kehilangan keinginannya. Tangannya yang semula menegang kaku kembali melemas. Malah, tangannya di turunkan dan diletakkan di sisi pinggang.

Rahasti tersenyum di dalam hati. Meski Ardawalika dan Sampang saat ini tak bisa berbuat apa-apa, tapi gadis ini tetap khawatir. Terutama terhadap Sampang. Bagaimana dia bisa meninggalkan kakek itu dengan aman?

Rahasti juga masih dicemaskan oleh masalah lainnya. Kujang Emas yang ada di tangannya adalah yang palsu. Sedangkan pusaka yang asli ada pada Ardawalika! Memang, semula Rahasti berniat menyerahkan pusaka yang palsu.

Tapi, dia salah ambil karena saking senangnya melihat ajimat yang dipertunjukkan Ardawalika. Meskipun demikian, berkat kelicikannya Rahasti mampu berpura-pura!

DELAPAN

"Mau lari ke mana kau, Murid Murtad...?!" Seruan serak penuh kegeraman terdengar keras bukan main.

Ardawalika dan Sampang tak terkejut mendengar seruan itu. Beberapa saat sebelum seruan itu terdengar, mereka telah lebih dulu mendengar bunyi langkah-langkah kaki mendekati tempat mereka. Bunyi yang sangat halus. Sampai-sampai hampir tak tertangkap telinga.

Dua kakek ini segera tahu akan munculnya seorang tokoh baru yang memiliki kepandaian tinggi. Setidak-tidaknya, pendatang ini mempunyai ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Ini bisa mereka ketahui dari ringannya bunyi langkah yang terdengar.

Kalau Ardawalika dan Sampang tak terkejut, tak demikian halnya dengan Rahasti. Bagi gadis itu sosok yang akan datang jauh lebih menyeramkan dari pada setan penjaga neraka! Suara itu amat dikenal Rahasti. Suara yang pernah akrab dengan telinganya selama bertahun-tahun.

Siapa lagi kalau bukan gurunya? Kuntilanak Hitam Gunung Salak! Guru dari Rahasti ternyata seorang nenek berpakaian hitam. Rambutnya putih panjang dan tergerai awut-awutan. Tubuhnya agak bungkuk. Hidung mancung dengan ujung agak mel engkung seperti paruh burung kakak tua. Sepasang mat anya lebar. Nenek ini berdiri menggunakan tongkat yang di cekal dengan tangan kanan.

"Murid Murtad!" dengus nenek berpakaian hitam. "Rupanya kau hendak mengkhianatiku, heh? Hendak kau bawa ke mana benda itu?!"

"Aku... aku...," Rahasti gagap karena tak tahu harus bicara apa.

"Tak perlu banyak alasan, Pengkhianat! Aku tahu kau hendak mengangkangi sendiri benda itu. Dan untuk tindakanmu itu, jangan harap aku akan mengampunimu. Kau harus kuberi hukuman yang setimpal. Mulai saat ini kau tak kuanggap sebagai muridku lagi."

"Apa... apa yang akan kau lakukan, Guru?" tanya Rahasti dengan bibir bergetar. Gadis ini tahu betapa bengis gurunya. Karena itu dia terkenal dengan julukan Kuntilanak Hitam Gunung Salak. Seorang tokoh hitam yang ditakuti kawan dan lawan!

Kuntilanak Hitam Gunung Salak menyeringai. Bagi si nenek yang memiliki watak keji ini tak secuil pun ada rasa sayang di hatinya. Rasa sayangnya hanya ada bila muridnya sejalan dengannya dan menuruti keinginannya. Bila si murid tak sepaham dengannya, lenyap pula rasa sayang itu.

"Aku tak akan menghukummu, Murid Murtad. Aku hanya akan mengambil milikku. Ilmu-ilmu yang kau miliki sekarang adalah milikku. Aku yang mengajarkannya. Maka, sekarang aku akan mengambil ilmu-ilmu itu," ujar Kuntilanak Hitam Gunung Salak, kalem.

Rahasti mundur-mundur dengan ketakutan. Ucapan gurunya kelihatan ringan. Tapi gadis ini tahu apa artinya. Mengambil ilmu sama saja dengan menyiksa seumur hidup! Rahasti akan lebih menderita daripada mati. Kedua tangan dan kakinya akan lumpuh. Rahasti akan menjadi orang cacat seumur hidup! Rahasti merasakan lututnya goyah. Keberani an gadis itu terbang entah ke mana. Keringat dingin tampak bermunculan di dahu Rahasti.

Sementara itu, Kuntilanak Hitam Gunung Salak melangkah menghampiri Rahasti. Langkahnya segera terhenti ketika mendengar ancaman Sampang.

"Kau maju selangkah lagi, aku tak akan ragu-ragu untuk menyerangmu, Kuntilanak!"

Sampang telah lama mendengar julukan Kuntilanak Hitam. Nenek golongan sesat ini jarang keluar dari tempat tinggalnya di Gunung Salak. Kendati demikian, nama besarnya terkenal ke seluruh dunia persilatan.

Beberapa kali pasukan kerajaan dan kadipaten yang melalui Gunung Salak dirampoknya. Di samping untuk menunjukkan kalau dirinya tak gentar terhadap pasukan kerajaan, nenek ini mempunyai penyakit aneh. Dia gemar mencuri milik orang lain kendati barang yang dicurinya tak terlalu berharga.

Untuk menegakkan wibawa kerajaan, Raja Kamulan mengutus Sampang. Dia diberi tugas untuk membunuh Kuntilanak Hitam. Tapi sampai berminggu-minggu Sampang mencari tak juga berhasil menemukan buruannya. Malah, Sampang hampir celaka ketika mendatangi Gunung Salak. Dia hampir celaka terjerumus ke dalam lumpur hidup. Sampang pun pulang ke kerajaan tanpa hasil.

Sampang memang sial. Sewaktu dia mencari Kuntilanak Hitam, nenek itu tengah bersemadi di sarangnya yang tersembunyi. Itu sebabnya nenek itu tak diketemukannya sampai dia kembali ke kerajaan. Kuntilanak Hitam memperdengarkan tawanya yang mengerikan. Tawa yang lebih patut disebut ringkik keledai.

"Kalau saja tak mempunyai urusan yang lebih penting, saat ini juga kukirim nyawamu ke neraka, Sampang! Aku tahu kau dulu mencariku! Sayang, saat itu aku tengah menekuni ilmu baru. Kalau tidak, akan kubuktikan kalau jagoan istana tak ada artinya bagiku!" geram Kuntilanak Hitam Gunung Salak.

"Bukan hanya kau yang mempunyai keinginan demikian, Kuntilanak!" sergah Sampang tak kalah gertak!" Setelah kudapatkan Kujang Emas, kau akan kubawa ke kerajaan. Di samping mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang dulu, kau harus mendapat hukuman atas perbuatanmu yang sekarang, membantu pencurian atas pusaka Kerajaan Kamulan!"

"Sombong!" bentak Kuntilanak Hitam. "Meski sudah tak terpakai lagi oleh raja, kau masih sok berbakti. Sabarl ah! Akan tiba saatnya bagiku untuk membunuhmu!"

Rahasti yang semula sudah merasa gembira melihat keributan antara gurunya dengan Sampang, jadi kecewa lagi. Sepertinya tak akan terjadi pertarungan. Kedua tokoh itu rupanya lebih mementingkan urusan dengan Rahasti dari pada urusan mereka.

Sungguh pun demikian Rahasti tak putus asa. Dia telah mempunyai sebuah rencana. Rahasti yang memiliki otak cerdik dan licik telah bisa memperhitungkan kalau saat ini yang dapat menolongnya adalah Ardawalika. Tokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, Sampang tak akan demikian khawatir Ardawalika bebas dari kurungan.

"Kek," sapa Rahasti lembut. "Aku menawarkan sebuah kerja sama padamu. Kuberikan Kujang Emas ini padamu. Tapi, bersumpahlah atas nama leluhurmu kalau kau bersedia menolongku dan memberikan ajimat yang asli. Bagaimana?"

Sampang menyadari akan munculnya masalah baru. Kakek ini segera bertindak cepat. Dia melompat menerjang Rahasti. Dari atas, laksana seekor burung garuda, kedua tangannya yang berbentuk cakar diulurkan untuk merampas Kujang Emas.

Rahasti yang mendapat serangan, tapi yang memberikan tanggapan tak hanya gadis itu. Ardawalika dan Kuntilanak Hitam pun tak tinggal diam. Mereka tak ingin Kujang Emas terjatuh ke tangan Sampang. Bila itu terjadi, sudah bisa diperkirakan kalau merampas Kujang Emas dari tangan Sampang jauh lebih sulit.

Kuntilanak Hitam melompat dan menerjang Sampang dari samping. Jika Sampang bersikeras melanjutkan serangan, sebelum maksudnya itu berhasil cakar-cakar Kuntilanak Hitam akan merobek lehernya!

Sampang menyadari akan bahaya itu. Maka, serangannya diurungkan dan cepat dirubah menjadi sampokan untuk memapaki serangan Kuntilanak Hitam.

Prattt...!

Benturan jari-jari tangan yang tak kalah kerasnya dari baja pilihan, karena ditopang tenaga dalam kuat, menimbulkan bunyi nyaring. Tubuh keduanya terjengkang ke belakang. Dengan gerakan yang indah baik Sampang maupun Kuntilanak Hitam mampu mematahkan daya lontar tubuh mereka, kemudian menjejak tanah dengan mantap.

Kuntilanak Hitam menggeram. Jari-jari tangannya terasa sakit dan nyeri. Malah, sekujur tangannya bagai lumpuh. Tenaga dalamnya masih kalah kuat dibanding lawan.

Di lain pihak, akibat menangkis serangan Kuntilanak Hitam, Sampang selamat dari pukulan jarak jauh Ardawalika. Angin pukulan yang mampu menghancurkan sebatang pohon besar itu mengenai tempat kosong.

"Jangan mimpi bisa mendapatkan Kujang Emas selama masih ada aku di sini, Sampang!" tandas Kuntilanak Hitam seraya menatap tajamtajam tokoh istana Kerajaan Kamulan yang telah mengundurkan diri itu.

Sampang tak memberikan tanggapan. Hanya, di dalam hatinya kakek ini mengutuk keberadaan Kuntilanak Hitam. Sampang khawatir Ardawalika akan mendapatkan Kujang Emas dan berhasil keluar dari kurungan gaib Wiku Ampyang.

Ardawalika sendiri yang merasa tertarik dengan tawaran Rahasti segera membuka mulut. "Kau saja yang bersumpah atas nama leluhurmu untuk memenuhi janji yang kau ucapkan itu, Nona!" saran Ardawalika. "Bila itu kau lakukan, akan kuberikan ajimat yang kumaksud!"

Sampang semakin gelisah mendengar percakapan Rahasti dan Ardawalika. Kakek ini khawatir akan tetjadinya persekutuan antara keduanya. "Kuntilanak Hitam! Apabila muridmu itu bersekutu dengan Ardawalika, bukan saja kita berdua tak akan mendapatkan Kujang Emas. Nyawa kita pun akan sulit untuk diselamatkan!"

Jawaban yang didapatkan Sampang hanya dengusan mengejek. Nenek ini tak terlalu mempedulikan ucapan Sampang. Memang, dia pernah mendengar nama Ardawalika yang terkenal memiliki kepandaian amat tinggi. Tapi wanita tua ini belum pernah merasakan sendiri kelihaiannya. Jadi, dia tak terlalu memandang tinggi Ardawalika. Bahkan Kuntilanak Hitam tak tahu kalau saat itu Ardawalika tengah terkurung.

Rahasti tak mau berpikir panjang lagi. Sambil membusungkan dada, dia berteriak lantang. "Demi leluhurku, Rahasti bersumpah akan memberikan Kujang Emas ini pada Kakek Ardawalika! Apabila kakek itu memberikan ajimatnya padaku dan membantuku menghadapi lawan-lawanku!"

Wajah Sampang langsung pucat pasi. Kuntilanak Hitam pun terkejut bukan main. Tapi sebelum Sampang maupun si nenek sempat berbuat sesuatu, Ardawalika telah lebih dulu melemparkan buntalan kain hitam yang diambil dari bagian dalam baju. "Terima itu, Nona. Demi roh leluhurku, kuberitahukan kalau buntalan itu asli!"

Rahasti menangkap buntalan kain hitam dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanan dipergunakan untuk melemparkan Kujang Emas. Di saat pusaka Kerajaan Kamulan itu melayang, Sampang dan Kuntilanak Hitam bahkan Ardawalika, melompat untuk menangkap lebih dulu. Ardawalika sampai lupa kalau Kujang Emas yang akan ditangkapnya masih berada di luar garis gaib.

Sementara itu, Rahasti sehabis melemparkan Kujang Emas langsung melesat meninggalkan tempat itu. Siasat yang direncanakannya berhasil. Seperti yang sudah diperhitungkannya, begitu Kujang Emas dilemparkan maka akan segera menjadi rebutan. Dengan begitu dirinya luput dari perhatian.

Kuntilanak Hitam Gunung Salak menggeram ketika melihat Sampang telah dekat dengan Kujang Emas. Nenek ini tahu kalau dirinya kalah cepat. Bergegas diayunkan tongkatnya ke arah pinggang Sampang.

"Uh...!" Sampang mengeluh tertahan. Saat itu semua perhatiannya dipusatkan pada Kujang Emas. Maka, serangan Kuntilanak Hitam agak membuatnya kelabakan. Dalam waktu yang demikian singkat Sampang sempat memperhitungkan kemungkinan. Kalau serangan itu dielakkan, Kuntilanak Hitam tak mungkin menghentikan perburuan atas Kujang Emas. Dia akan lebih dulu mendapatkan pusaka itu. Sampang tak kalah cerdik. Babatan tongkat lawan di terima tangan kiri dengan menggunakan tenaga lemas.

Kemudian, dicekalnya batang tongkat dan disentakkan. Tindakan Sampang membuat tubuh Kuntilanak Hitam terdorong ke belakang. Si nenek tak mau kalah bertindak. Dengan putaran pergelangan tangan yang memegang tongkat, dia membuat Sampang ikut terbawa ke belakang.

Sampang dan Kuntilanak Hitam melihat kemungkinan jatuhnya Kujang Emas ke tangan Ardawalika. Kedua tokoh ini tak menginginkan hal itu terjadi. Bagai telah disepakati sebelumnya, mereka bersamaan mengulurkan tangan. Keduanya mengerahkan tenaga dalam untuk menarik Kujang Emas ke arah mereka.

Pemandangan yang menakjubkan pun terjadi. Kujang Emas mengambang di udara, tertarik ke sana kemari. Sesekali mendekati Ardawalika, dan tak jarang mendekati Sampang dan Kuntilanak Hitam. Gabungan kedua tokoh yang semula bermusuhan ini mampu menandingi tenaga Ardawalika. Keuntungan Ardawalika adalah karena letaknya yang lebih dekat dengan Kujang Emas.

Pyarrr...!

Kujang Emas hancur berkeping-keping setelah beberapa saat lamanya tertarik ke sana kemari. Rupanya, senj ata itu tak mampu menahan dahsyatnya gabungan tiga tenaga dalam yang memperebutkannya.

Ardawalika, Kuntilanak Hitam, dan Sampang menghentikan pengerahan tenaga dalam mereka. Sepasang mata ketiganya membelalak lebar menatap kepingan-kepingan Kujang Emas yang terjatuh.

"Tidak salahkah apa yang kulihat? Mengapa Kujang Emas hancur? Bukankah pusaka itu terkenal amat alot dan luar biasa kuat?!" pikir Ardawalika, Kuntilanak Hitam, dan Sampang.

Tapi, keheranan itu segera buyar ketika tidak melihat adanya Rahasti di tempat itu. Satu dugaan langsung bergayut di benak ketiga tokoh itu. Rahasti telah menipu mereka! Kujang Emas yang dilemparkannya adalah palsu! Seketika rasa persaingan lenyap. Yang ada di benak mereka sekarang adalah perasaan geram. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu untuk memperkirakan ke mana perginya Rahasti.

Tapi baru juga memperhatikan sebentar, Sampang langsung pucat wajahnya. Dia melihat sesuatu yang amat mengejutkannya. Ardawalika juga melihat hal yang sama. Dia telah berada di luar kurungan! Dia telah melewati garis gaib dan tak terkena pengaruh pagar kasat mata itu!

"Ha ha ha...!" Ardawalika tertawa bergelak. Dikeluarkannya Kujang Emas dari selipan pinggangnya. Memang, kendati sudah dirasakan Rahasti kalau pusaka Kujang Emas itu palsu, Ardawalika dengan perasaan agak terpukul menyelipkannya di pinggang sebelum berusaha merebut Kujang Emas yang di lemparkan Rahasti. Dia mengangkat pusaka itu tinggi-tinggi dengan penuh kemenangan.

"Kuntilanak Hitam! Sampang! Lihat baik-baik. Inilah Kujang Emas yang asli. Sungguh pandai bocah itu mempermainkan orang! Ha ha ha...!"

Sampang dan Kuntilanak Hitam saling berpandangan. Dalam pertemuan pandang itu, keduanya bersepakat untuk menentang Ardawalika.

"Akhirnya aku bebas! Akan kuporak-porandakan dunia persilatan! Tapi, sebelum itu kalian berdua yang akan kuhancurkan!"

Diawali teriakan menggeledek Ardawalika melancarkan serangan dahsyat. Kakek ini mengirimkan bacokan sisi tangan miring ke arah leher Sampang. Dalam pengerahan tenaga dalamnya bacokan kakek berpakaian merah ini tak kalah berbahayanya dengan bacokan golok. Apabila mengenai sasaran, mampu memisahkan kepala dari tubuh.

Sampang segera melompat ke belakang. Serangan itu lewat di depannya. Ardawalika tak berusaha mengejar. Perhatiannya kini dialihkan pada lawan yang seorang lagi. Diserangnya Kuntilanak Hitam dengan sapuan kaki kanan. Nenek itu melompat ke atas. Sesaat kemudian, ketika Sampang dan Kuntilanak Hitam balas menyerang, pertarungan sengit pun berlangsung.

Jalannya pertarungan sengit hanya berlangsung lima puluh jurus. Selewat itu Ardawalika berhasil menekan lawan-lawannya. Bahkan menjempitnya sedemikian rupa! Di jurus ke tujuh puluh lima Kuntilanak Hitam dan Sampang yang terdesak nekat menerobos himpitan. Mereka bersamaan menerjang Ardawalika.

Ardawalika sudah memperhitungkan adanya serangan seperti ini. Dia bersalto melewati atas kepala Kuntilanak Hitam Gunung Salak dan Sampang. Jari-jari kedua tangannya mengetuk ubun-ubun mereka.

Tukkk, tukkk...!

Bersamaan dengan menjejaknya kedua kaki Ardawalika di tanah, tubuh Sampang dan Kuntilanak Hitam Gunung Salak ambruk. Nyawa mereka melayang dengan pecahnya ubun-ubun keduanya.

"Ha ha ha...!" Ardawalika tertawa penuh kegembiraan menatap mayat kedua lawannya. "Sekarang Kujang Emas menjadi milikku. Aku akan kembali merajai dunia persilatan! Tak ada satu pun yang tahu kalau pusaka ini ada padaku. Wanita sial itu mungkin sekarang sudah mati, terkena racun yang kutaburkan di buntalan itu! Ha ha ha...!"

Tepat di saat Ardawalika berkata demikian, Rahasti telah hampir mencapai tempat rombongan Arya berada. Dewa Arak dan rombongannya melihat Rahasti. Sebaliknya, Rahasti tak melihat mereka karena letaknya yang tersembunyi.

"Itu pencuri Kujang Emas," beritahu Arya yang telah selesai dengan semadinya.

Ladoya dan Patih Singabarong hanya bisa menatap gemas pada Rahasti. Keduanya merasa menyesal bertemu gadis itu pada saat seperti ini.

"Biar aku yang menghajarnya!" desis Hinggil, geram.

"Tunggu dulu, Hinggil. Tenangkan hatimu. Lihat! Apa yang terjadi?!" cegah Arya.

Hinggil membelalak ngeri ketika melihat Rahasti menghentikan lari secara mendadak. Gadis itu kemudian menggelepar-gelepar seperti binatang disembelih. Hinggil tak kuasa untuk menahan pekikan. Tubuh Rahasti perlahan mencair. Sekejap kemudian Rahasti lenyap! Cairan yang tercipta meresap ke dalam tanah.

"Apa yang terjadi, Arya?!" tanya Hinggil dengan suara menggigil.

"Entahlah. Tapi, jawabannya ada di sana!" tuding Arya ke arah yang ditinggalkan Rahasti. Mari kita ke sana!"

* * *

Dengan tawa yang belum putus Ardawalika menghunus Kujang Emas. Tapi baru saja badan keris muncul separuh, tiba-tiba memancar sinar kebiruan dari batangnya dan meluruk ke arah Ardawalika.

Ardawalika terperanjat. Kakek ini menyadari adanya bahaya mengancam. Dia ingin mengelak. Tapi, seluruh kemampuannya sirna ketika matanya menatap sinar menyilaukan sebelum munculnya sinar biru terang. Ardawalika menjerit-jerit ketika sinar biru terang menerpa ubun-ubunnya. Ubun-ubun tokoh sesat itu langsung bolong. Ardawalika tewas seketika itu juga.

Tak lama kemudian, rombongan Dewa Arak tiba di tempat Rahasti datang. Mereka melihat mayat-mayat bergelimpangan. Kujang Emas tergolek di tanah. Keberadaan Kujang Emas sangat menggembirakan hati Ladoya dan Patih Singabarong. Mereka akhirnya berhasil mendapatkan kembali Pusaka Kerajaan Kamulan. Hukuman yang menanti jika mereka gagal tak akan pernah terwujud.

SELESAI
Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.