Dewa Arak - Setan Bongkok
Karya : AjisakaSATU
"Siluman Harimau...! Manusia licik...! Jangan lari kau…!" Seorang kakek berpakaian putih berteriak-teriak mengayunkan kaki berlari cepat.
Sosok yang disebut Siluman Harimau tampak tidak mempedulikan teriakan itu. Bahkan, menoleh pun tidak. Dia terus berlari cepat.
Kakek berpakaian putih yang bertubuh jangkung dan bermuka pucat menggertakkan gigi. Ia geram bukan main. Sorot matanya yang tertuju pada Siluman Harimau menyiratkan kemarahan besar. Sepasang matanya yang sipit semakin bertambah sipit. Kakek itu meengerahkan seluruh ilmu larinya.
Tapi, usaha kakek berpakaian putih hampir tidak berarti. Meski lari kakek ini cepat bukan main sehingga tubuhnya terlihat sebagai kelebatan saja, jarak antara mereka tidak berubah. Siluman Harimau juga memiliki kecepatan lari yang menakjubkan. Kedua kakinya seperti tidak menjejak tanah karena cepatnya digerakkan. Sebentar kemudian, jarak telah terlampaui ratusan tombak. Meski begitu, kakek berpakaian putih tetap belum bisa merubah jarak.
Kakek ini semakin geram. Beberapa kali kedua tangannya dihentakkan bergantian ke depan. Angin luar biasa keras berhembus ke arah Siluman Harimau. Tapi, serangan itu dengan mudah dipatahkan. Siluman Harimau melompat ke atas sehingga angin deras itu lewat di bawah kedua kakinya.
Kakek berwajah pucat ini berseri wajahnya ketika melihat bukit-bukit kapur terhampar di depannya. Arah yang dituju si kakek dan Siluman Harimau memang puncak gunung. Mereka kini tengah berlari cepat di lerengnya. Lereng Gunung Kidul!
Si kakek kembali menghentikan kedua tangannya. Seperti yang diduganya, Siluman Harimau kembali melompat ke atas hingga pukulan jarak jauh itu lewat di bawah kedua kakinya. Tapi, begitu Siluman Harimau menjejakkan kaki di tanah, sesuatu yang direncanakan kakek berpakaian putih pun terjadi. Batu-batu kapur sebesar kepala kerbau yang terkena pukulan jarak jauh kakek berpakaian putih meluncur ke arah Siluman Harimau dan kakek itu.
Siluman Harimau tidak menjadi gugup. Dia menggeram keras laksana seekor harimau murka. Batu-batu yang mengancamnya berpentalan ke berbagai arah sebelum berhasil menyentuh kulit tubuhnya, seakan di sekitar tubuh Siluman Harimau memancarkan kekuatan menolak yang luar biasa!
Kakek berpakaian putih tidak menjadi kecil hati. Dia tahu batu-batu itu tak akan dapat melukai, apalagi sampai membunuh Siluman Harimau. Tokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Jadi, tak akan semudah itu ditaklukkan. Tindakan tadi dilakukan si kakek hanya untuk menghambat lari Siluman Harimau. Waktu yang hanya sekejap itu telah membuat si kakek berhasil menyusul lawannya.
"Hendak lari ke mana lagi kau, Siluman licik?!" ejek kakek berpakaian putih.
Siluman Harimau yang juga seorang kakek, hanya saja bertubuh tinggi besar, menatap kakek berpakaian putih yang telah berada di depannya. Dua pasang mata saling berpandangan dengan sorot penuh tantangan. Sikap mereka tak ubahnya dua ekor ayam jago yang hendak berlaga.
"Ha ha ha...!" Tawa bergelak dikeluarkan Siluman Harimau. Tawa yang membuat tubuhnya berguncang-guncang. Wajahnya yang memang mirip wajah harimau, apalagi dengan adanya dua buah taring di sudut-sudut mulutnya, terlihat menyeramkan dan menggiriskan hati.
"Rupanya kau sudah ingin melihat alam kubur, Donggala? Kalau belum, mumpung aku belum kehilangan kesabaran, cepat menyingkir dari hadapanku!"
"Aku akan menyingkir apabila kau mengembaliain kitab milik majikanku, dengan ditambah sebelah taringmu atas kekurangajaranmu mempermainkanku, Siluman Harimau!" tandas Donggala, dingin.
Tawa Siluman Harimau semakin keras. Ancaman Donggala dianggapnya lelucon. Kakek bermuka harimau ini tidak marah atau pun tersinggung. Wataknya yang periang membuatnya tidak mudah dipengaruhi amarah.
"Kau lucu, Donggala. Ingin kulihat berapa tebal kulit wajahmu sehingga kau begitu tak tahu malu menyebut-nyebut tua bangka yang bernasib malang itu sebagai majikanmu! Kau yang telah diperlakukannya dengan baik malah mencelakai dan mencuri kitabnya! Seekor anjing pun tak akan bertindak sekeji itu pada tuannya, Donggala! Kau lebih hina dari pada seekor anjing! Kitab ini tak akan kuberikan padamu! Sekarang kau mau apa?!"
Donggala menggertakkan gigi. Ucapan Siluman Harimau jelas-jelas merupakan tantangan. Tidak ada pilihan baginya untuk mendapatkan kitab itu kembali kalau tidak melalui perkelahian.
"Kalau itu maumu, aku tidak punya pilihan lain! Kau yang memaksaku untuk menjadikanmu harimau mati! Aku tidak akan berlaku lunak lagi padamu, Siluman Harimau! Mulai sekarang kau bukan rekanku lagi!" tandas Donggala, keras.
Siluman Harimau kembali tertawa keras. Ancaman Donggala tidak membuatnya gentar. Bahkan tawanya berkesan melecehkan. "Pada orang lain kau mungkin bisa mengucapkan kata-kata palsu seperti itu, Donggala. Tapi tidak padaku! Orang macam kau mana bisa dipercaya?! Jangankan aku yang tidak pernah menanam budi padamu, majikanmu yang demikian baik hati padamu saja kau balas dengan perbuatan keji!"
Hanya sampai di situ kata-kata Siluman Harimau. Donggala dengan kemarahan yang meluap-luap telah mendorongkan kedua tangannya bergantian ke depan secara perlahan. Angin dingin yang diiringi bau busuk menyengat berhembus ke arah Siluman Harimau.
"Ilmu 'Pukulan Racun Bunga Salju'...," desis Siluman Harimau begitu merasakan akibat pukulan Donggala. "Rupanya kau masih ingat ilmu jelekmu itu, Donggala, kendati kau lama menjadi budak tua bangka yang telah kau khianati itu...!"
Siluman Harimau melompat ke belakang. Ia bersalto beberapa kali untuk menjauhi Donggala. Kedua tangannya dipukulkan bertubi-tubi ke depan secara cepat. Seketika deru angin berhawa panas disertai bau sangit menguak. Bunyi letupan terdengar begitu dua angin pukulan itu bertemu di udara. Titik-titik air berjatuhan. Tanah kapur yang semula putih kekuningan langsung berubah hitam pekat seperti terbakar ketika terkena tetesan air.
Donggala, yang seperti juga Siluman Harimau, terhuyung-huyung ke belakang akibat benturan itu. Ia mendengus mengejek. "Pukulan Seribu Macan Api'-mu masih cukup bagus, Siluman Harimau...!"
Meski kelihatan seperti memuji, Siluman Harimau tahu kalau Donggala mengejeknya. Tapi, dia malah tertawa. Tawa yang lebih mirip auman seekor harimau!
Donggala menyambut tawa itu dengan terjangan. Ia mempergunakan 'Ilmu Pukulan Racun Bunga Salju' yang menjadi andalan. Siluman Harimau menyambutinya.
Pertarungan antara mereka pun tidak bisa dielakkan lagi. Dua tokoh itu sama-sama lihai. Mereka mempunyai ilmu yang memiliki dasar tenaga dalam berlawanan. Jalannya pertarungan tampak seru sekali. Siluman Harimau mempunyai gerakan yang cepat dan liar serta penuh dengan penyerangan. Sebaliknya, Donggala lebih memusatkan pada pertahanan. Gerakannya lambat tapi penuh dengan tenaga!
Sebentar saja belasan jurus telah terlampaui. Selama itu jalannya pertarungan belum berubah. Dua kakek itu sama-sama tangguh!
"Donggala...! Manusia tak kenal budi! Kau harus mendapat hukuman atas kekejian yang kau lakukan terhadap Guru...!"
Seruan lantang penuh getaran kemarahan itu berkumandang. Keras dan berpengaruh hebat! Dinding-dinding kapur sampai bergetar keras. Pertarungan antara Donggala dan Siluman Harimau langsung terhenti. Kedua kakek itu bersamaan melompat mundur dan mengalihkan perhatian pada si pendatang baru.
"Kiranya kau, Lesmana. Sungguh besar nyalimu mengejarku, Bocah Bau Kencur? Pergilah cepat! Tinggalkan tempat ini! Atau, kau ingin kujadikan seperti tua bangka dungu yang menjadi gurumu itu...!" sahut Donggala dengan sikap meremehkan.
Pemilik seruan, Lesmana, seorang pemuda bertubuh tegap, dan berahang kokoh, mengepalkan tinju. Sepasang matanya menatap tajam ke arah Donggala, bak mata seekor burung elang mengincar mangsa! Tajam bukan main dan penuh ancaman!
"Kaulah yang akan kuseret ke hadapan Guru untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan biadabmu. Cepat serahkan Kitab Seribu Racun Tanpa Obat! Jangan tunggu sampai aku merampasnya darimu!"
"Ha ha ha...!" Siluman Harimau tertawa bergelak. Kakek itu kelihatan gembira sekali. "Donggala..., Donggala... Nasibmu jelek sekali. Seorang bocah yang baru lepas dari tetek ibunya berani mengancammu seperti itu!"
"Tutup mulutmu, Siluman Harimau!" sentak Donggala dengan wajah merah padam menahan amarah. "Setelah menghancurkan mulut bocah yang kurang ajar ini, kau pun akan kubereskan!"
Wajah Lesmana berubah. Ditatapnya Siluman Harimau. Dia telah mendengar banyak tentang tokoh itu. Seorang pentolan kaum sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Kejam dan memiliki ilmu racun hebat! Jantung Lesmana berdebar tegang.
"Kau kelihatan kaget mendengar ucapanku, Bocah Sombong?!" dengus Donggala. "Tak menyangka kau akan bertemu dengan Siluman Harimau? Sebagai tambahan dan untuk menghilangkan kesombonganmu, kuberitahu kalau aku saingan terberat Siluman Harimau. Aku yakin tua bangka gila yang dungu itu telah bercerita banyak padamu!"
"Siapa kau sebenarnya, manusia tak kenal budi...?!"
"Orang yang kau kenal selama ini sebagai Donggala tak lain dari Mayat Sejuta Bunga, Pemuda Ingusan...!" selak Siluman Harimau sebelum Donggala memberikan jawaban.
Lesmana terjingkat ke belakang saking kagetnya. Dengan pandangan tak percaya ditatapnya Donggala. Kakek itu hanya mendengus.
"Sekarang tidak ada gunanya lagi, Pemuda Sombong! Meski kau merangkak-rangkak memohon ampun, aku tidak akan memenuhinya. Kesempatan yang tadi kuberikan tidak kau gunakan. Bersiaplah menerima kematian! Tapi, bisa jadi aku akan membiarkanmu pergi dari sini. Tentu saja dengan satu syarat! Kau harus memaki-maki gurumu. Dengan begitu mungkin aku akan memperbincangkan untuk tidak membunuhmu. Mungkin hanya kedua kakimu yang kuambil. Bagaimana?!"
"Sampai mati pun aku tidak sudi! Jangan kau kira aku takut. Apa pun yang terjadi kau akan kubawa ke hadapan guruku, Donggala!"
"Kalau begitu, mampuslah...!" Donggala alias Mayat Sejuta Bunga membuka serangan dengan ilmu andalan.
Lesmana tidak gentar. Pemuda ini berteriak keras bagai garuda murka. Tangannya didorongkan ke depan. Tidak hanya Mayat Setuju Bunga, Siluman Harimau pun kaget melihat angin serangan Donggala terhempas balik.
Siluman Harimau sendiri tidak mampu melakukan hal itu! Mayat Sejuta Bunga marah bukan main. Ia merasa malu melihat hasil serangannya. Serangan yang lebih hebat pun dilancarkan. Tapi, Lesmana memang seorang pemuda luar biasa. Dia mampu menghadapinya dengan baik.
Setelah lima belas jurus pertarungan berlangsung, Mayat Sejuta Bunga kehabisan kesabaran. Ilmu andalannya penuh keistimewaan. Kekuatan tenaga dalam Lesmana membuat serangannya membalik sebelum mendekati sasaran. Malah, beberapa kali Mayat Sejuta Bunga sendiri yang mengisap hawa beracun dari serangannya. Tentu saja sebagai pemiliknya hal itu tidak berarti apa-apa.
Siluman Harimau kendati terkejut melihat kemampuan Lesmana, tak henti-hentinya mengeluarkan ejekan terhadap saingannya. Hal ini membuat kemarahan Mayat Sejuta Bunga semakin berkobar. Karena yakin Mayat Sejuta Bunga tidak akan bisa merobohkan Lesmana dengan cepat, Siluman Harimau dengan sikap seenaknya meninggalkan tempat itu. Mayat Sejuta Bunga geram bukan main. Tapi, apa dayanya? Lesmana tidak membiarkan dia meninggalkan kancah pertarungan.
Mayat Sejuta Bunga hanya bisa melihat sekejap kepergian Siluman Harimau. Kecil sekali kemungkinannya kitab yang dibawa Siluman Harimau dapat direbutnya. Itu terjadi karena kehadiran Lesmana. Maka, kepada pemuda itu luapan amarahnya dilampiaskan!
Mayat Sejuta Bunga melempar tubuh ke belakang menjauhi Lesmana. Pemuda itu mengejar seraya bersiap melancarkan serangan. Mayat Sejuta Bunga yang telah memutuskan untuk segera mengakhiri pertarungan, langsung bertindak.
Kakek berpakaian putih ini menarik napas dengan kedua tangan dirangkapkan ke depan dada. Kemudian, cepat dihembuskannya. Wangi bunga yang aneh menyebar dari sekujur tubuh kakek itu. Lesmana yang tidak memperhitungkan hal ini segera menahan napas. Namun, tindakan pemuda ini terlambat. Bau wangi itu keburu dihisapnya. Seketika rasa pusing menyergap. Tenaganya langsung lenyap. Tubuh Lesmana ambruk sebelum serangannya dirampungkan!
Mayat Sejuta Bunga menghembuskan napas berat. Itulah ilmu yang membuatnya dijuluki Mayat Sejuta Bunga. Sebuah ilmu yang hanya digunakan dalam keadaan terjepit. Bila lawan mampu segera menangkalnya, dia yang akan kehabisan tenaga. Ilmu itu memang banyak menguras tenaga.
Mayat Sejuta Bunga menghampiri Lesmana. Kemudian, ujarnya dengan sinis dan penuh ancaman. "Kau akan menerima ganjaran atas perbuatanmu yang sok pahlawan, Pemuda Sombong!"
"Sebenarnya untuk apakah kita ke sana, Nek? Bukankah lebih enak tinggal di tempat kita. Berhari-hari sudah kita melakukan perjalanan dan kau hanya menyebutkan nama tempat itu, tanpa kutahu maksud dan kepergian kita ke sana," ucap seorang gadis cantik dengan penuh penasaran.
Sang nenek yang menjadi tumpahan kekurangsenangan gadis berpakaian kuning itu hanya terkekeh pelan. Dia terus saja mengayunkan kaki dengan dibantu tongkat bututnya. Di sebelah si nenek, gadis berpakaian kuning menunggu jawaban dengan perasaan tidak sabar yang terlihat jelas di wajahnya.
Tingkah sang nenek yang beranting-anting sebesar gelang dan berpakaian hitam membuat si gadis tidak sabar lagi. Ia rupanya memiliki watak manja. Dengan mulut meruncing, menunjukkan bibirnya yang indah dan ranum, si gadis menghentikan langkah.
"Mengapa berhenti, Cendana?" tanya si nenek pelan, sarat dengan kasih sayang. Ia sedikit pun tidak marah melihat sikap si gadis. Si nenek berhenti melangkah. Beberapa tindak di depan Cendana, tubuhnya dibalikkan. "Dalam beberapa hari kita akan sampai di sana. Ayo, teruskan perjalanan."
"Tidak!" bantah Cendana dengan mulut cemberut "Sebelum Nenek memberikan penjelasan kepadaku mengenai kepergian kita, aku tidak akan beranjak dari sini!"
Cendana menguatkan tekadnya dengan duduk di tanah. Kedua kakinya terjulur. Ia tak peduli tindakan itu membuat celananya kotor. Si nenek menghela napas berat. Didekatinya Cendana. Gadis itu berpura-pura tidak melihat. Sepasang matanya yang bening indah dilayangkan ke sekitarnya, yang terlihat hanya batu kapur.
"Baiklah, Cendana. Aku akan memenuhi permintaanmu." "Nah! Begitu dong, Nek. Nenek memang bijaksana. Aku yakin Nenek akan memenuhi permintaanku!" sambut Cendana dengan gembira. Ia bangkit berdiri dan mencium pipi si nenek.
Sang nenek terkekeh pelan hingga kelihatan bagian mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi. "Kau memang pandai membuat orang menuruti kehendakmu, Cendana," tegur si nenek yang ditanggapi Cendana dengan tawa. "Dengar baik-baik," si nenek mulai dengan penjelasannya. "Kita akan pergi ke Puncak Bukit Angsa, di balik Gunung Kidul ini, untuk menemui seorang pendekar besar berilmu tinggi, yang disegani belasan tahun lalu. Sayang, pendekar ini memiliki satu cacat."
Cendana mengernyitkan kening. Dirasakan ada keluhan di dalam suara si nenek. Cendana adalah seorang gadis yang cerdik. Dia segera dapat menduga kalau si nenek memiliki hubungan yang cukup erat dengan sang pendekar.
"Pendekar itu tak boleh melihat jidat licin," sambung si nenek dengan nada getir.
"Jidat licin, Nek? Apa itu?" tanya Cendana bingung.
Si nenek terkekeh. Geli melihat kepolosan muridnya. "Cendana... Cendana.... Jidat licin itu, maksudnya wanita cantik."
Cendana mengangguk-anggukkan kepala sambil membulatkan bibirnya. "Apakah aku termasuk jidat licin, Nek?"
"Bukan saja licin, Cendana. Tapi, sangat licin!" tandas si nenek "Kau tahu, Cendana. Kau memiliki wajah yang amat cantik. Yakin kau akan menjadi rebutan para pemuda."
"Mereka akan terkaing-kaing pergi dariku, Nek!" sahut Cendana.
"Heh? Mengapa begitu, Cendana?!"
"Aku tak mau direbut-rebutkan. Aku kan bukan benda atau makanan. Lagipula, aku lebih suka tinggal bersama Nenek. Nenek kan sudah tua. Siapa lagi yang akan merawat Nenek kalau bukan aku!"
Sang nenek terkekeh geli. Kepalanya digoyang-goyangkan sehingga sepasang antingnya terayun-ayun "Percayalah, Cendana. Kau tak akan bisa mengingkari kodrat. Akan tiba masanya kau jatuh hati pada lelaki. Dan...."
"Sudahlah, Nek. Aku jemu mendengar tentang lelaki. Aku lebih suka kau ceritakan tentang maksud kepergian kita!" potong Cendana yang merasa kurang senang mendengar uraian sang Nenek.
"Baiklah, Cendana." Nenek berpakaian hitam mengalah. "Tapi, camkan kata-kataku itu. Sekarang mengenai sang pendekar. Setiap kali melihat jidat licin, dia terpincuk. Pendekar itu memang gila wanita cantik. Anehnya, entah mengapa setiap wanita selalu mencintainya. Karena itu, dunia persilatan menjulukinya sebagai Pendekar Penyebar Asmara. Tak terhitung sudah wanita-wanita cantik yang patah hati karena tindakannya."
"Jahat sekali dia!" tandas Cendana, geram. "Kalau bertemu nanti, akan kuketuk kepalanya!"
Si nenek tersenyum. Geli hatinya mendengar ancaman Cendana. "Dia tidak jahat, Cendana. Bagi wanita-wanita yang mau hidup bersamanya, harus rela menekan perasaan. Beberapa di antara mereka mampu. Pendekar Penyebar Asmara hidup bersama tiga istrinya. Mereka rela dimadu daripada kehilangan pendekar itu."
Cendana mengepalkan tinju. Tampak jelas rasa tidak senangnya "Lalu, untuk apa kita pergi ke sana?"
"Mempertemukanmu dengan Pendekar Penyebar Asmara."
"Untuk apa, Nek?"
"Sedikit membalas sakit hatiku, Cendana," jawab sang nenek dengan suara agak bergetar. Sepasang mata tuanya tampak dipenuhi air.
Cendana menatap wajah si nenek penuh selidik. Ada rasa iba di hatinya. Kendati sering membantah dan tak menuruti ucapan si nenek, Cendana menyayanginya. Karenanya, kesedihan si nenek membuat gadis itu mengambil keputusan untuk memenuhi perminttannya.
"Apakah Nenek termasuk wanita yang patah hati oleh perbuatan Pendekar Mata Bongsang itu?"
"Pendekar Mata Bongsang?" ulang si nenek. Sesaat dia lupa pada kesedihannya.
"Bukankah orang yang mudah terpincuk oleh wanita cantik disebut mata keranjang, Nek? Dan, keranjang masih ada pertalian saudara dengan bongsang. Apa salahnya kalau kusebut dia Pendekar Mata Bongsang?" kilah Cendana.
Sang nenek terkekeh geli. Harus diakuinya, semenjak tinggal dengan Cendana, tak terhitung sudah tawa lepas keluar dari mulutnya. Tingkah Cendana yang lucu dan polos membuatnya tak bisa menahan tawa. Perasaan sedih tak pernah lama bersarang di hatinya. Cendana selalu menemukan cara yang tepat untuk mengusir kesedihannya.
"Tidak, Cendana." Si nenek menggeleng. "Aku tidak termasuk dalam deretan wanita-wanita yang tertarik pada Pendekar Penyebar Asmara. Tapi harus kuakui, lelaki itu memang amat menarik. Kalau saja belasan tahun lalu usiaku lebih muda dua puluh tahun, mungkin aku pun akan tertarik padanya."
"Kalau demikian, mengapa nenek sakit hati padanya?" kejar Cendana, penasaran.
"Muridku tewas akibat ulahnya. Meski bukan sepenuhnya kesalahan Pendekar Penyebar Asmara, tapi dia bertanggung jawab atas kematian muridku!" tegas di nenek sambil mengarahkan pandangan ke langit. Seakan-akan di sana ada sesuatu yang dicarinya. Sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Kejadian bertahun silam itu rupanya masih membekas di hatinya.
"Bagaimana kejadiannya, Nek? Mengapa selama ini Nenek tak pernah menceritakannya padaku? Mengenai peristiwa itu, maupun tentang murid Nenek sebelum aku."
"Aku sengaja tidak menceritakannya, Cendana," jawab si nenek tanpa mengalihkan pandangan. "Aku tidak ingin mengorek luka lama. Dengan tidak menceritakannya, aku seperti lupa akan hal itu. Apalagi keberadaanmu lebih berarti dari pada muridku yang dulu."
Si nenek kemudian menatap wajah Cendana lekat-lekat. Dua pasang mata mereka saling bertatapan.
"Muridku yang terpikat hatinya oleh Pendekar Penyebar Asmara telah menyerahkan jiwa dan raganya pada pendekar itu. Tapi, ketika muridku meminta Pendekar Penyebar Asmara untuk menjadikannya sebagai istri, si pendekar itu mengajukan syarat. Muridku tidak bisa mengekang kebebasannya. Jadi, Pendekar Penyebar Asmara boleh memiliki istri semaunya, asal wanita yang diingininya bersedia. Syarat Pendekar Penyebar Asmara tidak bisa dipenuhi muridku. Pendekar Penyebar Asmara lalu meninggalkannya."
"Kejam sekali dia!" rutuk Cendana. "Apakah murid Nenek itu tidak menghalangi kepergiannya?"
"Apa daya muridku yang memiliki ilmu seujung kuku Pendekar Penyebar Asmara? Tanpa menemui kesulitan pendekar itu pergi. Muridku yang ternoda dan dalam cekaman rasa kecewa, setelah mengadu padaku, ia lalu membunuh diri di hadapanku! Dia tidak pantas lagi hidup, katanya."
"Itu kejadian belasan tahun silam. Sekarang kau baru hendak membalas dendam, Nek?" tanya Cendana dengan tidak senang.
"Aku tidak bermaksud melakukan pembalasan secara keras, Cendana. Kepandaian Pendekar Penyebar Asmara terlalu tinggi untuk kuhadapi. Tak sampai setahun setelah kematian muridku, aku yang mencari-cari pendekar itu berhasil menemukannya. Pertarungan antara kami terjadi. Aku berhasil dirobohkannya. Tapi, Pendekar Penyebar Asmara tidak membunuhku. Bahkan, dia menyatakan penyesalan ketika mendengar dariku tentang nasib naas yang menimpa muridku," si nenek mengakhiri kisahnya.
Suasana menjadi hening setelah nenek berpakaian hitam menghentikan ceritanya. Kedua wanita itu tenggelam dalam alun pikiran sendiri-sendiri.
"Pembalasan apa yang hendak kau lakukan, Nek?" tanya Cendana memecah keheningan yang mencekik.
"Begini, Cendana. Kau memiliki wajah yang amat cantik. Aku yakin sembilan dari sepuluh lelaki akan jatuh cinta padamu. Pendekar Mata Bongsang itu pun akan terpikat padamu. Kuharap kau sudi membalas sakit hatiku dengan berpura-pura menyukainya. Kau harus mempermainkannya dan jangan sampai terpikat padanya. Buktikan kalau ucapan yang tadi kau katakan mengenai lelaki, benar adanya."
"Bagaimana kalau pendekar itu melakukan kekerasan padaku, Nek? Bukankah kepandaiannya amat tinggi? Tidak akan sulit baginya melakukan hal itu!" Cendana mengutarakan kekhawanrannya.
Si nenek tersenyum lebar dan menggelengkan kepala. "Itu tidak akan terjadi, Cendana. Meski gemar wajah-wajah cantik, Pendekar Penyebar Asmara tidak pernah melakukan kekerasan untuk mendapatkan tubuh wanita yang disukainya. Dia terlalu tinggi hati untuk melakukan hal serendah itu. Tambahan lagi, dia merupakan tokoh golongan putih. Pantangan besar bagi seorang pendekar melakukan hal seperti itu."
Cendana membisu. "Bagaimana, Cendana?" tagih si nenek "Apakah kamu sekarang masih hendak mogok jalan?"
"Tentu saja tidak, Nek. Dengan senang hati aku akan ikut denganmu. Ceritamu mengenai Pendekar Bermata Bongsang itu semakin menambah besar keinginanku untuk ikut. Aku jadi ingin tahu sampai di mana ketampanan pendekar itu hingga membuat wanita tergila-gila kepadanya!"
Nenek berpakaian hitam tersenyum gembira bercampur geli. Lenyap sudah kesedihan yang semula melanda hatinya, bak awan tertiup angin.
"Lurik...! Kembali...!" seru seorang gadis. Pandangannya diarahkan ke angkasa. Di sana yang dipanggilnya berada.
Lurik yang ternyata seekor burung elang hitam berbintik-bintik putih seakan tidak mendengar seruan itu. Dia terus melesat ke arah puncak salah satu gunung di deretan Pegunungan Sewu.
Gadis berpakaian hijau pupus tampak cemas bukan main. Setelah kebingungan sesaat, dia melesat mengejar ke arah yang dituju burung itu. Tentu saja gadis yang memiliki wajah cantik dengan bentuk wajah bulat telur harus beberapa kali melihat ke angkasa agar tidak kehilangan jejak.
Gadis berpakaian hijau pupus ini mengejar dengan perasaan heran. Baru kali ini Lurik tidak mempedulikan seruannya. Biasanya binatang itu amat penurut. Malah, tidak pernah meninggalkan tempatnya bertengger di cabang pohon dekat pondok si gadis.
"Larasati, hendak ke mana kau...?!" seru seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, berkulit hitam legam dan bergigi tonggos. Lelaki ini tengah berada di dalam rumah. Ia keluar karena mendengar kegaduhan di depan.
Larasati, si gadis berpakaian hijau pupus, menoleh sebentar. "Aku hendak mengejar Lurik dulu, Ayah. Tingkahnya kelihatan aneh bukan main!" jawab Larasati.
"Hati hati, Laras...!" seru lelaki bergigi tonggos lagi.
Kali ini tidak mendapatkan jawaban dari Larasati. Meskipun demikian, lelaki ini tidak menjadi kecil hati. Dia yakin Larasati mendengar seruannya. Itu sudah cukup. Larasati adalah seorang anak yang taat pada orangtuanya, terutama sekali ayahnya. Setiap nasihat ayahnya selalu diperhatikannya baik-baik. Itulah sebabnya, kendati tidak mendapatkan jawaban, lelaki itu tidak menjadi khawatir.
"Apa yang terjadi, Kak Tanggur?" tanya seorang wanita setengah baya ketika lelaki bergigi tonggos melangkah ke ambang pintu, hendak masuk kembali ke dalam rumah.
"Lurik bertingkah aneh. Larasati tengah mengejarnya untuk membawanya pulang," jawab lelaki itu.
"Kau biarkan dia pergi, Kak?" desak wanita berpakaian abu-abu, tak puas. Sinar matanya penuh tuntutan.
"Mengapa tidak, Sakini? Larasati bukan gadis sembarangan. Dia telah memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi bahaya di jalan. Lagi pula, tempat ini sepi. Tidak pernah dikunjungi orang. Untuk apa dicemaskan?" bantah Tanggur, ringan.
"Kalau terjadi sesuatu padanya di tengah jalan, bagaimana?" Si wanita yang menjadi istri Tanggur ini tampak begitu khawatir.
Tanggur menatap wajah istrinya lekat-lekat. Dia tidak menyalahkan sikap istrinya yang terlalu mencemaskan Larasati. "Larasati sudah dewasa. Aku yakin dia dapat menjaga diri. Dan lagi kepergiannya tidak jauh. Ingat, Sakini. Tak lama lagi Larasati harus terjun ke dunia persilatan untuk mengamalkan ilmunya dan mencari pengalaman. Di samping itu, agar mendapat jodoh yang sesuai. Apakah kau tidak ingin segera menimang cucu?"
Sakini mulai sedikit tenang. Ucapan Tanggur rupanya masuk akalnya juga. "Meski demikian, aku tetap khawatir, Kak Tanggur. Larasati masih terlalu hijau, sedangkan dunia persilatan demikian kejam dan tak kenal ampun...."
"Tenangkan hatimu, Sakini," hibur Tanggur. "Kelak apabila saatnya turun gunung tiba, aku akan memberikan nasihat-nasihat yang amat berguna untuk bekalnya. Berdoa saja pada Tuhan agar dia diberikan keselamatan."
Sakini sekarang benar-benar tenang. Dirasakan kebenaran semua ucapan suaminya. Dia tak membantah ketika Tanggur mengajaknya ke dalam.
Sementara di tempat lain, Larasati harus menguras seluruh kemampuannya agar tidak kehilangan jejak Lurik. Burung itu tidak mengalami hambatan dalam perjalanannya. Namun, tidak demikian halnya dengan Larasati. Lereng yang terjal dan curam membuatnya harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Jika tidak ingin celaka.
Begitu hampir mencapai puncak, Larasati mendengar bunyi pekikan khas burung. Tapi tidak hanya satu, melainkan dua! Satu di antaranya dikenal gadis itu sebagai pekikan Lurik. Larasati semakin bersemangat untuk secepatnya tiba di puncak. Pekikan Lurik yang didengarnya adalah pekik kemarahan! Ini berarti ada sesuatu yang membuatnya marah.
Begitu menjejakkan kaki di puncak, Larasati menjadi tidak senang. Di puncak yang memiliki dataran rata itu tampak Lurik tengah berusaha untuk terbang. Ia mengepak-ngepakkan kedua sayapnya. Tapi, binatang itu tidak mampu terbang. Lurik hanya diam di angkasa dengan kedua sayap terkepak-kepak.
Di bawah, duduk tiga orang kakek yang memiliki ciri-ciri menyeramkan. Salah satu di antaranya mirip monyet besar. Mulutnya membentuk sedemikian rupa, mirip orang yang tengah mengisap sesuatu.
Larasati yang memiliki kecerdikan segera mengetahui kalau bentuk mulut si kakek bukan karena dia tengah bermain-main. Karena mulut kakek gorilla itulah Lurik tidak bisa terbang! Kakek gorilla itu agaknya memiliki kepandaian tinggi. Setidak-adaknya dalam hal tenaga dalam. Tapi, Larasati tidak menjadi gentar karenanya. Kekhawatiran akan nasib Lurik membuatnya berani!
"Kakek jahat! Lepaskan burungku...!" seru Larasati. Kemudian melompat mengirimkan tendangan bertubi-tubi ke arah dada si kakek. Tendangan yang menimbulkan deru angin keras.
Kakek gorilla tersenyum dengan mempergunakan matanya. Bentuk mulutnya diubah. Tidak untuk menyedot melainkan meniup! Kembali Lurik mengeluarkan pekikan nyaring. Tubuh binatang itu terhempas jauh ke atas bagai dihembus angin yang luar biasa keras.
Des, des, desss!
Tendangan Larasati mendarat di sasaran dengan telak, karena kakek gorilla tidak mengelakkannya sama sekali. Tapi, kesudahannya bukan si kakek yang kesakitan. Justru Larasati yang memekik tertahan karena kaget dan sakit. Tubuh Larasati terpental ke belakang. Mulutnya yang memiliki sepasang bibir indah mengeluarkan jeritan. Larasati merasakan seolah yang ditendangnya bukan tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang, melainkan gumpalan karet yang keras dan kenyal!
"Raja Monyet, tak disangka kita menemukan alat yang dapat digunakan untuk menguji kemampuan kita! Sekarang, kita buktikan siapa yang lebih berhak untuk menduduki tempat pertama. Kau atau aku. Atau, Kelabang Merah!"
Kakek yang memiliki tubuh pendek bulat dan gemuk mirip bola, membuka suara.
"Benar!" sambung kakek terakhir yang dipanggil Kelabang Merah. Tokoh ini memiliki bentuk tubuh luar biasa. Tinggi kurus mirip bambu. Kulit tubuhnya merah seperti besi dipanaskan.
Larasati yang telah berhasil menjejak tanah, wajahnya berubah hebat, begitu mendengar percakapan ketiga kakek itu. Ayahnya telah bercerita banyak tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih.
Di antara tokoh-tokoh golongan hitam, julukan Raja Monyet yang lengkapnya Raja Monyet Bertangan Seribu, Kelabang Merah, dan Gajah Kecil merupakan tokoh-tokoh terbesar kaum hitam! Saking besarnya, mereka sampai malu untuk terjun ke dunia persilatan. Mereka merasa tidak memiliki lawan yang seimbang. Ketiga tokoh ini dikenal dengan sebutan Tiga Binatang Iblis Neraka!
Larasati tidak pernah membayangkan akan bisa bertemu dengan pentolan-pentolan dunia hitam yang sudah menjauhkan diri dari dunia persilatan ini. Menurut kabar, Tiga Binatang lblis Neraka lebih sibuk menentukan siapa di antara mereka bertiga yang paling lihai. Sekitar lima belas tahun mereka telah mengasingkan diri, dan mengadakan pertemuan lima tahun sekali untuk menentukan pihak yang terlihai dan patut disebut datuk sesat nomor satu.
Dari percakapan yang didengarnya, Larasati tahu kalau dirinya akan dijadikan sasaran uji coba pertandingan tiga tokoh sesat itu. Larasati tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka, ketika dilihatnya Lurik telah bebas dari pengaruh ilmu Raja Monyet Bertangan Seribu, Larasati segera membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Tapi, baru beberapa kali lesatan larinya segera dihentikan. Beberapa tombak di depannya, telah berada Tiga Binatang lblis Neraka dalam sikap yang sama saat ditinggalkan! Mereka sibuk bercakap-cakap.
Larasati merasakan adanya ancaman bahaya. Tiga Binatang lblis Neraka tidak mau melepaskannya pergi. Karena itu mereka menghadangnya. Entah bagaimana hal itu terjadi, Larasati tidak mengerti. Dia tidak melihat ketiga kakek itu berlari mendahuluinya. Tahu-tahu mereka telah berada di depannya.
Kejadian kedua ini mengakibatkan Larasati lebih yakin kalau Tiga Binatang Iblis Neraka benar-benar memiliki kepandaian luar biasa tinggi. Rasanya tidak mungkin melarikan diri dari mereka dengan cara kekerasan. Maka, Larasati memasang senyum manis di bibir.
"Orang-orang tua gagah, berilah aku jalan. Aku hendak pulang dan menemui orangtuaku. Aku yakin sekarang mereka tengah menungguku dengan hati cemas," ujar Larasati dengan suara lembut dan sesopan mungkin.
Kelabang Merah mendengus. Sepasang matanya yang hampir tak ubahnya sebuah garis, menatap Larasati. Si gadis mengkirik bulu kuduknya melihat sepasang mata yang menyorot kehijauan itu!
"Salahmu sendiri mengapa datang ke tempat ini. Kau tidak bisa pergi sebelum urusanmu dengan kami selesai!"
"Kalau kau memiliki kepandaian, mungkin bisa meninggalkan tempat ini, Nona Cantik!" Gajah Kecil ikut menimpali sambil tersenyum lebar. Kakek ini memang terlihat aneh. Wajahnya selalu kelihatan tersenyum.
"Aku memiliki sedikit kepandaian. Tapi, apa artinya jika dibandingkan dengan kepandaian kalian, Orang-orang Tua Gagah yang memiliki kesaktian demikian menakjubkan!" bantah Larasati sedikit memuji.
"Kau pandai mengambil hati, Nona," Raja Monyet Bertangan Seribu tak mau ketinggalan. Kakek ini berbicara dengan tenang dan kelihatan penuh kesungguhan. "Harus kami akui kalau ucapanmu itu tepat! Karena itulah, kami tidak akan menarik keuntungan dari kelebihan yang kami miliki. Asal kau mampu bertahan dan serangan kami sejurus saja, kau boleh meninggalkan tempat ini. Kau boleh melakukan tindakan apa pun sesukamu, yang penting kau tidak roboh dalam sejurus. Bagaimana?"
Larasati terdiam sejenak. Gadis ini merasa heran. Raja Monyet Bertangan Seribu yang memiliki ciri-ciri mengerikan ternyata mempunyai sikap yang demikian halus. Perkataannya sopan dan lemah lembut, seperti bukan keluar dari tokoh sesat sakti yang mirip monyet besar itu.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?" pancing Larasati untuk mengetahui kelanjutan tindakan yang akan diambil Tiga Binatang Iblis Neraka. Terutama Raja Monyet Bertangan Seribu yang memiliki sikap sopan dan lemah lembut itu.
"Tentu saja tidak apa-apa, Nona," jawab Raja Monyet Bertangan Seribu masih dengan suara halus. "Hanya saja kami, terutama aku, akan memintamu memberikan tanda mata sebagai kenang-kenangan kalau kita telah pernah bertemu."
"Boleh kutahu tanda mata itu, Kek?" desak Larasati penuh rasa ingin tahu.
"Tidak banyak dan mudah saja, Nona. Hanya dua biji matamu, dan potongan ujung hidungmu, serta dua kakimu. Itu saja sudah cukup."
Leher Larasati bagai tercekik. Raja Monyet Bertangan Seribu kiranya tidak memiliki hati baik seperti ucapan-ucapannya yang sopan dan lembut. Kakek gorila ini memiliki hati yang luar biasa keji! Apa jadinya dengan dirinya bila tanda mata untuk kakek itu diberikan? Berdiri bulu kuduk Larasati membayangkannya.
Larasati marah bukan main, ia merasa dirinya dipermainkan. Tapi, kecerdikannya melarangnya untuk mengumbar kemarahan. Hal itu hanya akan merugikan dirinya. "Kalau begitu, aku pilih menghadapimu selama satu jurus, Kek. Tapi, apakah janji yang kau ucapkan bisa dipercaya? Tidakkah sia-sia apabila aku berhasil bertahan sejurus, kau akan menjilat ludah dan mengingkari janji?"
"Kalau kau mampu bertahan, Nona Cantik," Gajah Kecil memberikan jawaban lebih dulu. "Tidak hanya kami biarkan pergi. Tapi, kami bersedia menjadi budakmu! Ha ha ha...!"
"Akan kuingat kata-katamu itu, Kek!!" sambut Larasati cepat dengan hati lega. Secercah harapan bersemi di hatinya. Satu jurus tidak lama. Dia yakin akan mampu bertahan. Larasati segera mundur dua langkah untuk mengatur jarak. Dibentuknya kuda-kuda pertahanan yang amat kuat.
"Aku sudah siap, Kek. Silakan mulai. Siapa di antara kalian yang akan maju?!" beritahu Larasati setengah menantang. Gadis ini sengaja tidak bertindak sebagai penyerang, kemungkinan untuk dirobohkan lebih besar.
Dalam penyerangan, banyak bagian-bagian yang terbuka dapat dijadikan sasaran penyerangan. Ini dapat membuatnya lebih mudah untuk dirobohkan! Lain halnya bila dibentuk pertahanan. Semua celah yang ada tertutup!
"Kau cerdik, Nona," puji Raja Monyet Bertangan Seribu dengan mulut menyunggingkan senyum. Hanya, senyum yang terbentuk lebih mirip seringai karena wajah si kakek yang mengerikan "Tapi, kecerdikan seperti itu tidak ada artinya bila ditujukan padaku."
Belum juga lenyap gema suaranya, Raja Monyet Bertangan Seribu telah melesat ke arah Larasati dalam keadaan masih bersila! Kakek ini tak ubahnya melayang. Larasati yang memang sudah bersiaga sejak tadi langsung melompat ke belakang.
Raja Monyet Bertangan Seribu tetap memburunya. Jauh lebih laju dari pada gerakan menghindar Larasati. Begitu jarak antara mereka telah masuk dalam jangkauan serangan, kakek gorila itu melancarkan serangan dengan kedua tangannya yang besar dan berbulu!
Larasati kelabakan, melihat tangan Raja Monyet bertangan Seribu seperti berjumlah banyak. Sukar untuk diketahuinya mana yang asli dan bagian yang akan dijadikan sasaran serangan. Dengan sekenanya digerakkan kedua tangannya untuk membuat pertahanan!
Larasati mengeluh tertahan ketika kedua tangannya lemas begitu dirasakan ada jari-jari tangan menyentuh sikunya. Sebelum keterkejutannya hilang, jari-jari tangan lain telah menotok bahunya. Tubuh Larasati langsung lemas dan ambruk ke tanah tak ubahnya karung basah. Raja Monyet Bertangan Seribu memenuhi janjinya, merobohkan Larasati sebelum satu jurus usai!
'"Ilmu Tangan Bayangan-mu masih memiliki keampuhan juga, Raja Monyet," dengus Kelabang Merah bersikap merendahkan.
"Setidak-tidaknya masih lebih ampuh dari pada 'Ilmu Kelabang Terbang'-mu, Kelabang Merah!" sahut Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Rupanya kau ingin membuktikannya sekarang juga?!" Kelabang Merah yang memiliki sikap berangasan segera melangkah maju.
Raja Monyet Bertangan Seribu tenang-tenang saja. Kakek itu tetap diam di tempatnya. Sebaliknya, Gajah Kecil cepat-cepat menengahi. Kakek ini dengan langkah mirip menggelinding, menyelak di antara kedua saingannya.
"Kau jangan mau menang sendiri, Kelabang. Bukan hanya kau dan Raja Monyet saja yang ingin memperebutkan kedudukan pertama. Aku juga!"
"Barangkali saja dia sudah tidak sabar untuk segera mencoba kedahsyatan ilmu 'Kelabang Terbang'ku!" rutuk Kelabang Merah. Suaranya agak lebih lembut.
"Mungkin saja begitu," sambut Gajah Kecil. "Tapi, salah seorang dari kalian pasti akan mendapat dua lawan. Aku! Karena, aku tidak akan berdiam diri tanpa adanya lawan. Seperti biasanya, kita tentukan siapa yang lebih berhak untuk bertarung lebih dulu!"
Kelabang Merah hanya mendengus. Sedangkan Raja Monyet Bertangan Seribu menyeringai, mempertunjukkan gigi-geriginya yang besar-besar dan runcing.
"Usul yang bagus," puji Raja Monyet Bertangan Seribu. "Bagaimana pelaksanaannya?"
"Tidakkah membosankan selalu begitu untuk memulai pertarungan?" dengus Kelabang Merah.
"Kau mempunyai usul yang lebih baik, Kelabang?!" Gajah Kecil malah menantang.
Kelabang Merah melotot, marah. Tapi kemudian dia diam dengan dengus kesal dikeluarkan dari hidungnya.
Seorang pemuda berpakaian ungu mengayunkan kaki seenaknya menyusuri medan berbatu-batu kapur. Angin yang sesekali berhembus agak keras mempermainkan rambutnya yang tergerai putih panjang. Sebuah guci perak tersampir di punggung. Pemuda ini tidak lain Dewa Arak. Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan, yang memiliki nama asli Arya Buana.
Ketenangan Arya terusik ketika di kejauhan, di lereng bukit kapur, melesat tiga titik yang semakin membesar dengan cepat. Pemuda yang selalu bertindak hati-hati ini segera bersembunyi di balik sebatang pohon jati besar. Dari tempat ini Arya mengintai!
Tiga sosok yang berasal dari puncak itu melesat dengan kecepatan mengagumkan. Begitu melihat dengan jelas cara ketiga sosok itu berlari, Arya mengernyitkan kening karena kaget dan heran.
Sosok yang pertama, jangkung laksana bambu dan berkulit merah, berlari dengan mengandalkan sepasang kakinya yang panjang. Langkahnya lebar-lebar. Tapi terkadang sosok ini berlari dengan mempergunakan kedua tangannya. Cara ini tidak membuat lari kakek jangkung berkurang kecepatannya. Malah, semakin bertambah cepat!
Sosok kedua bertubuh pendek gemuk dan berperut gendut. Ia berlari tak kalah cepat dengan kakek jangkung. Padahal, kedua kakinya pendek tak ubahnya kaki babi! Sesekali kakek pendek ini bergulingan bak bola menggelinding. Ini membuat larinya bertambhh laju!
Sosok ketiga tak kalah aneh caranya berlari. Kakek yang lebih mirip monyet besar daripada manusia ini lebih banyak melompat-lompat daripada mengayunkan kaki. Cara yang dipergunakannya membuat dua kakek terdahulu tidak bisa meninggalkannya. Mereka bertiga berlari berjajar!
Arya merasakan detak jantungnya bertambah cepat. Dari cara mereka berlari, bisa diketahui kalau ketiga kakek ini memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi. Semakin dekat jarak tiga kakek yang bukan lain Tiga Binatang Iblis Neraka, perasaan pemuda berambut putih keperakan ini semakin menegang. Jika ketiga kakek itu terus berlari ke kaki gunung, keberadaannya akan diketahui!
Bukan tidak mungkin akan terjadi bentrokan. Arya tahu, banyak tokoh-tokoh aneh di dunia ini yang meskipun tidak ada urusan, bisa dibuat sengketa yang berakhir dengan pertarungan. Kekhawatiran Dewa Arak ternyata tidak beralasan. Beberapa puluh tombak dari tempatnya berada ketiga kakek yang seperti tengah berlomba itu terlihat tidak akan turun lebih ke bawah. Mereka mengalihkan perhatian pada batu-batu kapur sebesar gajah yang berjajar di lereng gunung.
Ketiga batu yang menilik letaknya telah diatur sebelumnya. Cara tiga kakek bertindak terhadap batu-batu besar itu kembali mengundang kekaguman di hati Dewa Arak. Kakek jangkung menjulurkan kedua tangan. Tangannya yang memang sudah lebih panjang dari tangan manusia umumnya, memanjang lagi. Ia dapat menjangkau batu, yang hampir lima tombak jauhnya.
Kakek pendek menggunakan cara yang lebih gila! Batu itu ditabrak dengan gulingan tubuhnya. Tapi, tidak hancur atau terguling ke kaki gunung. Batu itu malah bertengger di atas kepalanya. Kakek gorila menghentakkan kedua kakinya sehingga membuat batu melayang ke arahnya. Diterimanya jatuhnya batu dengan menggunakan kepala. Batu itu mendarat dengan pelan bagai ditaruh dengan hati-hati. Dan, melekat seperti direkatkan!
Begitu mendapatkan batu, ketiga kakek ini membalikkan tubuh dan bersicepat menuju puncak. Batu sebesar gajah berada di atas kepala masing-masing. Meski dengan beban seberat itu, kecepatan lari mereka tidak berkurang.
Dewa Arak tercenung memperhatikan Tiga Binatang lblis Neraka yang semakin menjauh. Benak pemuda ini menduga-duga maksud tindakan ketiga kakek berkepandaian luar biasa itu. Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk mengikuti mereka. Ingin diketahuinya secara jelas maksud tindakan mereka. Barangkali saja ada sesuatu yang tidak menyenangkan yang akan mereka lakukan.
Dengan hati-hati, karena khawatir diketahui Tiga Binatang Iblis Neraka, Dewa Arak melesat ke arah puncak. Tak sampai puncak telah didengarnya teriakan-teriakan mereka. Arya sempat menangkapnya sedikit. Perlombaan tadi dimenangkan oleh Raja Monyet Bertangan Seribu. Sedangkan Kelabang Merah dan Gajah Kecil, seri!
Begitu tiba di puncak Dewa Arak segera menyelinap ke gundukan batu besar yang ada di situ. Pemuda berambut putih keperakan ini memang telah mengincar tempat itu sewaktu belum mencapai puncak. Dari tempat ini diamatinya sekitar puncak dan Tiga Binatang Iblis Neraka. Arya menghela napas berat ketika melihat keberadaan seorang gadis berpakaian hijau pupus. Gadis itu tergolek lemas di tanah. Gadis yang bukan lain Larasati itu tertotok lemas.
Tak jauh dari tubuh Larasati, tergolek bangkai dua ekor burung elang. Yang satu Lurik, sedangkan yang lain adalah burung elang yang menjadi kawan hidup Lurik. Lurik dengan nalurinya tahu akan adanya ancaman terhadap kawan hidupnya. Karena itu, dia pergi ke puncak Gunung Sewu ini untuk menolong. Tapi, binatang ini pun menjadi korban pula. Dia tewas akibat tangan Raja Monyet Bertangan Seribu yang kejam, meski selalu terlihat baik hati karena sikap dan gerak-geriknya yang lemah lembut.
Lurik tewas, jatuh ke tanah setelah terbang beberapa tombak. Larasati yang semula mengira binatang kesayangannya itu selamat, menangis di dalam hati. Marasa keliru kalau mengira Raja Monyet Bertangan Seribu akan melepaskan burungnya. Jangankan hanya seekor burung, nyawa manusia pun bagi kakek ini tak ubahnya nyawa nyamuk!
"Sekarang kalian berdua yang harus bertarung untuk menjadi lawanku," ujar Raja Monyet Bertangan Seribu sambil menatap kedua saingannya bergantian. "Seperti yang telah disetujui bersama, pertarungan tenaga dalam yang akan kalian lakukan. Dalam ilmu lari cepat dan meringankan tubuh, kalian berimbang. Sekarang, buktikan kalau salah satu di antara kalian pantas untuk melawan aku!"
Kelabang Merah mendengus. Suatu kebiasaan buruk yang telah menjadi ciri khasnya. Dengan kasar dia membuka percakapan. "Biar aku yang mulai lebih dulu...!"
Kelabang Merah kemudian membuat sepasang tangannya bertambah panjang. Kali ini yang menjadi sasaran adalah tubuh Larasati. Tangan-tangan Kelabang Merah yang memiliki jari-jari panjang dan berkuku hitam mencekal kedua pinggang Larasati.
Larasati yang bisa bersuara, memekik pelan. Kaget dan geli karena pinggangnya dicekal. Pekikannya berganti dengan makian ketika jari-jari tangan Kelabang Merah dengan liarnya meremas-remas dua bukit kembar di dadanya.
"Rupanya kau pandai memanfaatkan kesempatan, Kelabang! Atau, kau masih ragu-ragu untuk mulai menentukan keunggulanku?!" ejek Gajah Kecil.
Gajah Kecil mengeluarkan perkataan seperti itu bukan karena ingin menolong Larasati dari rasa malu. Sama sekali tidak! Malah, kakek ini suka melihat Larasati merasa malu dan menderita. Tapi, yang lebih penting baginya sekarang adalah menentukan siapa yang lebih unggul agar segera bisa bertarung dengan Raja Monyet Bertangan Seribu.
Kelabang Merah mendengus. Dengan sorot mata geram dilemparkan tubuh Larasati ke arah Gajah Kecil. Tak lupa, dibebaskan dulu totokan yang membuat gadis itu tak bisa bergerak. Kelabang Merah sengaja melakukan hal itu untuk membuat Gajah Kecil agak repot!
Maksud Kelabang Merah ternyata tidak berhasil. Gajah Kecil tanpa menemui kesulitan menangkap tubuh Larasati dan melemparkannya lagi ke arah Kelabang Merah. Kelabang Merah menangkap dan membalas melempar!
Larasati yang menjadi korban permainan ini memaki-maki tak henti. Apalagi ketika beberapa kali bukit kembar di dadanya tercekal tangan Kelabang Merah maupun Gajah Kecil! Dia mencoba untuk meronta, bahkan mengirimkan serangan begitu tubuhnya terlontar. Tapi, dengan mudah dipatahkan dan tubuhnya diterima kemudian dilontarkan kembali.
Menginjak puluhan kali lemparan, tubuh Larasati lebih sering tertutup pada Gajah Kecil! Baru selesai melempar dia telah menerima kembali. Ini menandakan Gajah Kecil masih kalah kuat tenaga dibanding saingannya, Kelabang Merah!
Napas Gajah Kecil mulai memburu. Dahinya yang lebar telah basah oleh keringat. Semakin lama deru napasnya semakin memburu dengan cepat. Ketika kembali tubuh Larasati meluncur ke arahnya, Gajah Kecil mengibaskan tangan. Tubuh Larasati pun melayang. Ke tanah.
"Bagus! Kau telah mengaku kalah, Gajah!" ujar Raja Monyet Bertangan Seribu, gembira. "Sudah sejak tadi tanganku gatal-gatal!"
"Rupanya kau ingin meraih kemenangan dengan memanfaatkan di saat aku masih lelah!" Kelabang Merah menukas dengan suara agak memburu. Pertandingan dengan Gajah Kecil cukup membuatnya lelah.
"Tenangkan hatimu, Kelabang," timpal Raja Monyet Bertangan Seribu, halus. "Tanganku gatal-gatal bukan untuk bertarung denganmu. Tapi, untuk memberikan hajaran pada orang yang berani mengintai pertemuan kita!"
Raja Monyet Bertangan Seribu lalu mengeluarkan sepasang kecer yang berada di punggungnya. Di persembunyiannya, Dewa Arak bersikap waspada. Didengarnya Raja Monyet Bertangan Seribu telah mengetahui adanya orang yang mengintai pertemuan mereka. Meski demikian, pemuda berambut putih keperakan ini tidak mau keluar dari persembunyian. Bukan tidak mungkin pengintai yang dimaksud adalah orang lain.
Kendati ada dugaan demikian, Arya tidak berani bersikap ceroboh. Sekujur urat-urat sarafnya menegang penuh kewaspadaan. Ia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan. Arya berusaha sedapat mungkin untuk tidak mengeluarkan bunyi sekecil apa pun. Dia berdiam di tempatnya. Di lain pihak, Kelabang Merah dan Gajah Kecil memusatkan pendengaran untuk mengetahui pengintai yang dimaksud Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Pengintip Hina, keluarlah kau...!" Raja Monyet Bertangan Seribu membenturkan kecernya satu sama lain dengan keras. Anehnya, tidak terdengar bunyi sedikit pun. Memang terdengar bunyi keras menggelegar. Tapi, berasal dari gundukan batu tempat Arya bersembunyi yang hancur berkeping-keping.
Dewa Arak melemparkan tubuh ke belakang saking kagetnya. Kejadian ini sungguh di luar perkiraannya. Hanya berkat kesiapsiagaannya dia berhasil melompat ke belakang untuk menghindari serangan itu.
Sungguh pun demikian, pecahan batu yang menyebar ke berbagai arah, beberapa di antaranya mengenai tubuhnya. Berkat tenaga dalam yang dimiliki tidak sedikit pun luka yang diderita Dewa Arak. Malah, batu-batu itu yang berpentalan begitu mengenai tubuhnya.
Raja Monyet Bertangan Seribu tersenyum ketika Arya berhasil menjejak tanah secara mantap. Kakek ini tidak kelihatan kesal atau marah melihat kegagalan serangannya. Bahkan, dia gembira karena menemukan seorang lawan yang dianggapnya cukup tangguh.
"Kau hebat, Anak Muda. Aku jadi ingin melemaskan otot-ototku yang kaku," ujar Raja Monyet Bertangan Seribu seraya menyimpan kecernya dan melangkah mendekati Arya.
"Huh! Hebat apanya?!" rutuk Kelabang Merah, tak senang. "Tokoh rendahan pun tidak akan menemui kesulitan mengelakkan serangan itu!"
Gerutuan Kelabang Merah tidak ada yang menanggapi. Dewa Arak lebih memusatkan perhatiannya pada kakek gorila. Lawan di hadapannya ini tangguh bukan main! Tahunya Raja Monyet Bertangan Seribu akan tempat persembunyiannya telah menjadi bukti ketinggian tingkat kepandaiannya.
Kali ini dia tidak bisa bermain-main. Ada Larasati yang harus segera ditolongnya. Bertindak ayal-ayalan bisa merenggut nyawa gadis itu. Maka, di luar kebiasaannya, Dewa Arak melancarkan serangan lebih dulu. Pemuda berpakaian ungu ini mengirimkan pukulan bertubi-tubi ke arah dada Raja Monyet Bertangan Seribu. Pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring.
Raja Monyet Bertangan Seribu sampai mengunjukkan giginya yang tidak enak dilihat saking gembiranya mengetahui kedahsyatan serangan Dewa Arak. Penyakit lamanya, gemar untuk bertarung dengan lawan tangguh, muncul kembali. Tanpa ragu-ragu lagi dipapakinya serangan Arya.
Duk, duk, dukkk!
Bunyi keras seperti logam-logam beradu terdengar ketika dua pasang tangan berbenturan. Tubuh Raja Monyet Bertangan Seribu terhuyung selangkah ke belakang, sedangkan Dewa Arak terpental ke udara. Dewa Arak memang sudah memperhitungkan kejadian ini. Lontaran tubuhnya dipergunakan untuk melampaui kepala Raja Monyet Bertangan Seribu. Ia terus ke belakang dan melesat ke arah di mana tubuh Larasati tergolek.
Kelabang Merah dan Gajah Kecil yang menyaksikan jalannya pertarungan tidak tinggal diam. Meski tidak menduga hal ini akan terjadi, kedua kakek ini mampu bertindak cepat. Mereka langsung bergerak menghadang. Gajah Kecil mampu mendahului Kelabang Merah di dalam menghadang Dewa Arak!
Arya tidak menjadi kelabakan. Dia sudah memperhitungkan semuanya. Begitu dilihatnya tubuh Gajah Kecil meluruk ke arahnya dengan gedoran kedua tangan, segera dihentakkan kedua tangannya. Dewa Arak langsung menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' yang dahsyat!
Gajah Kecil mengeluarkan keluhan tertahan. Disadari kalau sebelum serangannya mendarat di sasaran, serangan Dewa Arak akan lebih dulu menghantamnya. Dia sedikit pun tidak menyangka Dewa Arak dalam waktu yang demikian singkat mampu mengirimkan serangan jarak jauh yang sangat dahsyat!
Gajah Kecil segera membanting tubuh dan bergulingan di tanah untuk menyelamatkan diri. Sedangkan Dewa Arak langsung menjejakkan kaki di tanah. Dilanjutkan dengan bergulingan ke depan, melewati kolong kedua kaki Kelabang Merah!
Kelabang Merah menjejakkan kaki untuk menghancurkan tubuh Dewa Arak. Tapi, pemuda itu telah lebih dulu meletik bangkit sehingga tanah kapur amblas sedalam betis Kelabang Merah. Arya sendiri segera menyambar tubuh Larasati dan melarikannya secepat mungkin menuruni puncak.
Rentetan kejadian yang dilakukan Dewa Arak itu berlangsung demikian cepat dan singkat. Kendati demikian, tidak cukup untuk lolos dari sergapan Raja Monyet Bertangan Seribu. Kakek gorilla ini membalikkan tubuh dan mengirimkan pukulan jarak jauh dengan dorongan tangan kanan!
Dewa Arak mendengar deru bahaya mengancam di belakangnya. Tanpa menghentikan lari, disampokkan tangan kirinya yang bebas untuk memapak serangan Raja Monyet Bertangan Seribu.
Blarrr!
Puncak gunung itu bergetar hebat ketika dua pukulan jarak jauh yang memiliki kekuatan dahsyat bertemu di udara. Akibatnya, tubuh Dewa Arak terpental ke depan. Padahal saat itu ia tengah berada di udara. Keseimbangannya kurang terkuasai. Kakinya menabrak gundukan batu. Dewa Arak pun terjungkal membawa Larasati di pondongannya.
Gulingan tubuh Dewa Arak hanya berlangsung sebentar. Dengan jejakan kaki pemuda ini kembali tegak berdiri dan berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Kelabang Merah dan Gajah Kecil melesat mengejar. Tapi, keberadaan Raja Monyet Bertangan Seribu di hadapan mereka membuat maksud itu terhalang. Gajah Kecil terutama Kelabang Merah, penasaran bukan main. Keduanya menatap Raja Monyet Bertangan Seribu dengan sorot penasaran.
"Apakah kalian hendak menjatuhkan julukan Tiga Binatang Iblis Neraka dengan melakukan pengeroyokan terhadap seorang pemuda yang tidak terkenal?!" ujar Raja Monyet Bertangan Seribu dengan suara lembut tapi sarat dengan teguran.
"Jadi, menurutmu lebih baik kita biarkan pemuda usilan itu pergi?" sentak Kelabang Merah. "Tidakkah tindakan itu akan lebih menghancurkan julukan kita? Apa kata orang-orang persilatan bila tahu seorang pemuda tak terkenal mampu merampas tawanan Tiga Hlnatang Iblis Neraka di depan hidung kita?!"
"Itu tidak akan terjadi, Kelabang Merah. Aku akan mencarinya! Aku yakin, tidak sulit mencari pemuda yang mempunyai ciri-ciri demikian menyolok. Tanganku sudah gatal-gatal untuk bertarung dengannya!" tandas Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Aku pun demikian, Monyet'" timpal Gajah Kecil.
"Kurasa sudah saatnya bagiku untuk turun gunung dan kembali ke dunia persilatan. Aku yakin, sekarang banyak tokoh-tokoh hebat telah muncul. Buktinya, orang seusia pemuda itu telah memiliki kepandaian demikian tinggi!"
Kelabang Merah tersenyum mengejek. Kakek ini kelihatan tidak senang mendengar ucapan rekan-rekannya yang memuji-muji Arya.
"Kelak akan kubuktikan kalau pemuda yang kalian puji-puji itu sebenarnya tak berarti. Akan kurobek-robek tubuhnya dan kubawa kepalanya ke hadapan kalian!"
"Bagus sekali!" Gajah Kecil bersorak. "Bagaimana kalau pemuda itu kita jadikan syarat untuk menentukan siapa di antara kita yang patut menjadi orang pertama?"
"Bagaimana maksudmu, Gajah?" tanya Raja Monyet Bertangan Seribu. Kelabang Merah hanya mendengus tak peduli.
"Siapa yang lebih dulu membawa kepala pemuda itu, akan menjadi tokoh sesat tanpa tanding. Bagaimana?"
"Sebuah usul yang bagus!" puji Raja Monyet Bertangan Seribu, gembira.
"Tidak terlalu jelek," gumam Kelabang Merah sambil bersungut-sungut. "Bersiap-siaplah untuk mengangkatku sebagai tokoh sesat tanpa tanding!"
Raja Monyet Bertangan Seribu hanya tersenyum lebar. Sedangkan Gajah Kecil tertawa terbahak-bahak mendengar sesumbar Kelabang Merah.
"Kalian enak tidak mempunyai urusan lain. Aku masih ada urusan lainnya," keluh Gajah Kecil, iri. "Di samping mencari pemuda itu, aku harus menemui Pendekar Penyebar Asmara. Pendekar kemaruk wanita itu harus menerima balasan atas perbuatannya berani-beranian menggauli muridku."
Raja Monyet Bertangan Seribu hanya tersenyum, tidak kelihatan tertarik dengan cerita itu. Dia hanya memberikan tanggapan singkat "Apakah kau akan balas perbuatannya dengan menggaulinya pula?"
"Mungkin." Gajah Kecil mengangkat bahu. "Yang jelas, muridku tidak bisa dipermainkan begitu saja!"
"Aku masih kurang jelas, Gajah. Yang digauli pendekar cabul itu muridmu atau gundikmu? Kudengar, orang yang kau sebut muridmu itu gila lelaki!" selak Kelabang Merah, sinis.
"Apa salahnya kalau aku menggauli muridku sendiri, Kelabang? Di samping dia menikmati hubungan itu, dia mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat dariku!" kilah Gajah Kecil sambil tersenyum lebar. "Sayang, umurnya demikian singkat. Murid kesayanganku itu tewas akibat pendekar kemaruk perempuan itu!"
"Tidak salah dengarkah aku? Bukankah kau sendiri yang membunuh muridmu ketika dia memintamu untuk menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi karena Pendekar cabul itu menolak keinginannya untuk menjadikannya istri?" ejek Kelabang Merah terus menekan saingannya.
Gajah Kecil tertawa bergelak. Dia tidak kelihatan sedih atau geram mengingat kematian murid sekaligus gundiknya. Bahkan, ketika menceritakannya pun wajahnya biasa saja. Tidak kelihatan ada duka sedikit pun.
"Pendengaranmu rupanya masih cukup baik, Kelabang Merah. Muridku mati di tanganku. Tapi, semua itu akibat ulah Pendekar Penyebar Asrama. Penghinaan ini harus kubalas! Apa kata orang-orang persilatan bila tahu kematian muridku tidak kubalaskan? Mereka akan mengira aku, Gajah Kecil, takut terhadap Pendekar Penyebar Asmara!"
Setelah berkata demikian, Gajah Kecil melesat meninggalkan tempat itu. Kelabang Merah dan Raja Monyet Bertangan Seribu berdiam diri saja. Mereka tidak berusaha mencegah. Malah, keduanya saling bertatapan dengan sinar mata penuh tantangan. Terutama Kelabang Merah. Di samping kakek jangkung memang memiliki watak pemarah, dia sudah tak sabar lagi untuk segera menempati urutan pertama di kelompok Tiga Binatang Iblis Neraka. Tidak nomor dua seperti lima tahun sebelumnya.
"Apakah kau ingin bertarung sekarang, Kelabang? Inginkah kau melanggar ketentuan yang telah dibuat. Bukan hanya kau, aku pun tak sabar lagi untuk menentukan tempat teratas di antara kita. Tapi, aku masih bisa menahan sabar. Yang penting bagiku adalah pemuda berambut putih itu. Tak pernah ada orang yang bisa lolos dari Raja Monyet Bertangan Seribu. Pemuda itu secepatnya harus mati di tanganku!"
Raja Monyet Bertangan Seribu melompat-lompat meninggalkan Kelabang Merah. Kakek jangkung ini tak menghalangi kepergian saingan beratnya. Dipandanginya sesaat sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu pula.
Arya baru menghentikan lari ketika dirasakan jaraknya telah jauh dari puncak gunung. Ia telah tiba di hamparan hutan pohon jati, di kaki gunung. Larasati segera melompat turun. Wajah gadis itu merah padam. Amarah yang menyebabkan wajahnya berwarna demikian.
Arya rupanya telah menyentuh-nyentuh pinggulnya di kala memondongnya. Larasati menganggap Arya sengaja memanfaatkan kesempatan. Maka begitu totokan yang membuatnya lemas berangsur hilang dan kebetulan Arya berhenti berlari, dia melompat turun dari pondongan.
"Manusia kurang ajar...!" maki Larasati geram. Lalu mengirimkan tendangan ke arah perut Arya. Serangan itu dikirimkan Larasati berbarengan dengan keluarnya makian dari mulutnya.
Di saat kaki Larasati terayun, gadis ini baru melihat cairan merah kental mengalir dari mulut Arya. Pemandangan ini membuat Larasati terkejut dan hampir terpekik. Sedapat mungkin serangannya dialihkan, karena untuk membatalkannya sudah tidak mungkin lagi. Tenaga yang dikeluarkan pun dikurangi.
Desss!
Usaha Larasati tidak sia-sia. Sasaran yang dihantam kakinya adalah paha kanan Arya. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terjengkang ke belakang dan terguling-guling. Ketika gulingannya berhenti, diam tidak bergerak-gerak! Darah yang keluar dari mulutnya semakin banyak.
Larasati bergegas memburu. Setengah berjongkok ia memeriksa keadaan Arya dengan penuh rasa khawatir. Tarikan wajahnya menyiratkan penyesalan yang mendalam. Larasati yang sedikit banyak mengetahui pengobatan sadar kalau Dewa Arak terluka dalam cukup parah.
Larasati tidak tahu mengapa penolongnya ini terluka. Yang dilihatnya, Dewa Arak selalu berhasil lolos dari jegalan Tiga Binatang Iblis Neraka. Larasati tidak melihat kalau meski jejakan Kelabang Merah berhasil dielakkan, kibasan tangan kakek jangkung itu sempat menyerempet bahu kanan Arya.
Akibat serangan Kelabang Merah telah cukup membuat Dewa Arak terluka dalam. Luka itu semakin menjadi ketika Arya dalam keadaan terjepit memapaki serangan jarak jauh Raja Monyet Bertangan Seribu. Padahal, pantangan besar bagi orang yang telah terluka dalam untuk mengerahkan tenaga dalam. Tindakan itu tidak hanya akan membuat luka bertambah parah. Tapi, juga dapat menyeret jiwa ke lubang kubur!
Melihat penolongnya rebah dengan wajah pucat laksana mayat, Larasati menyesal bukan main telah menyerang. Arya sudah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkannya. Tindakan pemuda itu untuk harus berlari dengan tidak mempedulikan seruan-seruannya yang minta diturunkan, karena ingin selekasnya bebas dari cengkeraman Tiga Binatang Iblis Neraka. Apabila terkejar pemuda itu pasti akan dengan mudah digilas lawan-lawan tangguhnya. Dalam keadaan tidak dipengaruhi amarah Larasati dapat berpikir jernih.
Mengingat akan pertolongan Dewa Arak, Larasati tidak ragu-ragu untuk menempelkan kedua tangannya dan mengalirkan tenaga dalam untuk mengobati luka Arya. Tapi, baru sebentar segera diurungkan karena Larasati tidak merasakan adanya detak jantung. Larasati kebingungan. Bukan karena tidak tahu cara untuk membuat jantung berdetak dan napas kembali normal.
Tapi, karena cara yang akan dilakukannya. Gadis ini berperang dengan perasaannya sendiri. Beberapa saat peperangan batin itu berlangsung, sebelum akhirnya Larasati memutuskan untuk melakukannya! Diedarkan pandangan ke sekelilingnya untuk membuktikan kalau di sekitar tempat itu tidak ada orang lain.
Dengan wajah merah padam hingga kedua telinganya, Larasati kemudian menempelkan mulutnya ke mulut Arya. Larasati menghembuskan napasnya untuk membuat Arya kembali bernapas. Beberapa saat dia meniup, kemudian menghentikannya, dan menekan-nekan dada Arya agar detak jantung kembali timbul. Beberapa kali gerakan pertolongan itu dilakukan sampai detak jantung Arya kembali normal.
Larasati menghentikan pertolongannya. Sesaat ditatapnya wajah Arya dengan wajah menyemburat merah. Sebuah perasaan aneh muncul ketika melihat wajah tampan yang tarlihat matang dan tenang itu. Perasaan yang belum pernah dirasakan selama ini. Perasaan suka yang besar!
Perasaan itu berkembang semakin besar ketika teringat tindakan Dewa Arak yang lelah menyelamatkan nyawanya. Rasa takut akan kehilangan dan tidak bertemu lagi dengan Arya muncul di hatinya. Setelah puas memperhatikan pemuda berpakaian ungu itu, Larasati baru memberikan pertolongan untuk menyembuhkan luka dalam Arya. Gadis ini menyalurkan hawa murni di dalam tubuhnya.
"Arrrggghhh...." Cendana menatap wajah gurunya. Yang ditatap kelihatan tenang-tenang saja. Cendana jadi penasaran. Apakah nenek baju hitam ini tidak mendengarnya? Geraman yang berasal dari kejauhan tapi mampu menimbulkan getaran pada tanah yang dipijaknya!
"Suara apakah itu, Nek? Mungkinkah suara binatang buas yang tengah murka?"
Cendana yang tidak kuat menahan rasa ingin tahu din herannya, mengajukan pertanyaan itu tanpa menghentikan lari. Si nenek bersikap seperti tidak mendengarnya dan terus mengayunkan kaki dengan cepat.
"Aku yakin bukan, Cendana," jawab si nenek. "Suara itu keluar dari mulut manusia. Seorang yang memiliki kekuatan tenaga dalam luar biasa!"
"Itu sudah pasti, Nek. Kurasakan sendiri getarannya di tanah," dukung Cendana. "Kira-kira dari mana asalnya?"
"Kalau aku tidak salah duga, di sana," jawab si nenek sambil menudingkan jarinya ke sebelah kiri depan.
Cendana diam. Dia terus berlari mengikuti si nenek yang beberapa kaki di depannya. Benak gadis ini dipenuhi pikiran tentang bunyi geraman keras itu. Cendana gadis manja yang selalu ingin tahu. Maka, bunyi itu menimbulkan rasa ingin tahu yang besar.
"Tidakkah kita lihat dulu penyebab bunyi itu, Nek?"
"Kurasa lebih baik tidak, Cendana. Barangkali saja bunyi itu keluar dari mulut seorang tokoh sakti berwatak aneh yang tengah berlatih. Kemunculan kita bisa diartikan sebagai gangguan. Itu bisa dijadikannya alasan untuk menyerang kita. Lebih baik kita menjauhi tempat itu, bukan malah mendekatinya," si nenek memberi nasihat.
"Tapi, Nek," dengan dua kaki terus terayun agar tidak tertinggal oleh si nenek baju hitam, Cendana mengajukan bantahan. Bukan karena yakin lebih tahu dari gurunya, tapi karena rasa ingin tahunya yang besar. "Kita kan tidak bermaksud jahat. Mana mungkin akan diserang atau dicelakai. Toh, belum tentu tokoh yang menjadi pemiliknya orang golongan hitam, bagai mana kalau di sana ada orang teraniaya yang membutuhkan pertolongan?"
Nenek baju hitam diam. Sambil terus berlari dia menimbang-nimbang. Harus diakui bantahan Cendana mungkin ada benarnya. Bukan tidak mungkin geraman yang layak keluar dari mulut binatang buas itu, berasal dari orang yang tengah membutuhkan pertolongan.
"Ayolah, Nek. Kita lihat dulu," desak Cendana. Gadis ini yakin si nenek akan memenuhi keinginannya. Biasanya, si nenek tidak pernah menolak keinginannya. Dan, apabila itu terjadi, si nenek akan diam seperti saat sekarang ini.
"Tapi kita tengah mempunyai urusan lain, Cendana. Urusan penting." Si nenek masih mencoba untuk membantah. Tapi, pelan dan sekadarnya.
"Apa salahnya, Nek. Kita hanya sebentar saja membuang waktu. Pendekar Mata Bongsang itu pun tidak akan pergi jauh. Begitu tahu aku dan nenek akan datang, dia pasti akan sabar menunggu. Bukankah dia gemar wajah cantik berjidat licin sepertiku? Aku yakin dia akan sabar menunggu," ujar Cendana.
"Dia tidak tahu akan kedatangan kita, Cendana," kilah si nenek seraya menghentikan lari.
"Itu lebih bagus lagi, Nek. Kita jadi tidak terikat, dan mempunyai waktu lebih banyak untuk mengetahui si milik geraman keras itu!" Cendana tidak kurang akal untuk memberikan bantahan.
"Baiklah." Si nenek mengangguk dengan hati kurang setuju. Permintaan Cendana hampir tidak pernah bisa ditolaknya. Gadis itu terlalu pintar membujuknya. Dan, si nenek tidak sampai hati untuk menolak. "Tapi ingat, jangan melakukan tindakan macam-macam. Kau mau berjanji? Kalau tidak, mungkin kali ini aku tidak bisa memenuhinya."
"Aku berjanji, Nek," jawab Cendana tanpa pikir panjang lagi, karena terlalu gembiranya. "Aku sudah yakin nenek akan mengabulkan permintaanku. Nenek sungguh bijaksana dan baik hati, karena itu pasti akan memenuhinya."
Si nenek hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan Cendana. Bafinnya bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana nasib Cendana kelak sepeninggalnya? Gadis itu terlalu polos dan lugu, sedangkan dunia persilatan amat keras dan penuh tipu. Perasaan si nenek selalu gundah jika mengingat hal ini.
Meskipun demikian, nenek berpakaian hitam ini mampu menyembunyikan kegalauan perasaannya. Pada wajahnya tidak terlihat gambaran perasaan itu. Dia tidak ingin Cendana mengetahuinya. Ditunggunya saat yang baik untuk menasihati gadis ini.
"Ayolah, Nek. Tunggu apalagi? Nanti pemilik suara itu keburu pergi." Cendana mengingatkan dengan nada merajuk.
Nenek berpakaian hitam tersenyum. Satu hal lagi yang membuatnya tidak pernah menolak keinginan Cendana. Cendana tidak pernah berani mendahuluinya melakukan sesuatu, kendati telah diizinkan. Padahal, seperti kali ini, bisa saja Cendana karena telah mendapat izin, melesat lebih dulu ke tempat itu. Tapi Cendana tidak melakukannya. Dia tidak berani bertindak lancang. Hal ini yang membuat rasa sayang si nenek semakin besar.
"Jangan khawatir, Cendana. Aku yakin pemilik suara itu tidak akan pergi," ucap si nenek dengan bersungguh-sungguh.
"Benarkah itu, Nek?" tanya Cendana, agak heran.
"Aku yakin demikian."
"Mengapa, Nek?" kejar Cendana.
"Dia ingin melihat jidatmu yang licin, Cendana. Hi hi hi…" jawab si nenek sambil melesat meninggalkan Cendana.
Cendana sadar kalau si nenek menggodanya. Dia pun melesat mengejar dengan mulut cemberut Berpura-pura marah dan tidak senang!
"Jangan membuat bunyi gaduh, Cendana," bisik si nenek pelan. Tangannya yang keriput disentuhkan kepergelangan tangan kiri muridnya untuk lebih menguatkan peringatannya.
Cendana tidak berani membantah. Dirasakan nada kesungguhan dan ketegangan dalam ucapan gurunya. Napasnya hampir ditahan ketika melayangkan pandangan ke arah yang ditatap si nenek.
Si nenek dan Cendana saat itu berada di pinggir tebing bukit kapur. Di hadapan keduanya terhampar dataran kapur yang rata, sekitar sepuluh tombak di bawah dasar tebing. Bukan tanah kapur datar itu yang menjadi pusat perhatian Cendana dan gurunya. Melainkan sesosok tubuh tegap milik seorang pemuda berahang kokoh. Lesmana!
Pemuda ini tengah mengamuk. Memukul dan menendang ke sana kemari sambil mengeluarkan bunyi geraman keras. Lesmana tidak sendirian. Di sekitarnya tengah meluruk ke arahnya puluhan ekor ular dari berbagai jenis. Ular-ular itu berdesis-desis menyeramkan! Cendana merasa perutnya mual melihat ular sebanyak itu. Gadis ini merasa jijik bukan main. Perasaan yang dialami si gadis tidak dialami nenek baju hitam.
Sementara di bawah sana Lesmana kembali menggeram keras sehingga membuat sekitar tempat itu bergetar hebat. Ular-ular itu pun menerima pengaruhnya. Beberapa di antaranya berkelojotan meregang maut. Tindakan Lesmana tidak berhenti sampai di situ. Tangan dan kakinya digerak-gerakkan. Tidak mengenai ular-ular itu sebenarnya. Tapi, cukup untuk membuat binatang-binatang itu berpentalan bagai daun kering diterbangkan angin.
"Seorang pemuda yang hebat…"
Cendana mendengar ucapan itu di dalam telinganya. Gadis ini tahu kalau nenek baju hitam mengucapkannya dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh. Sehingga, hanya Cendana seorang yang mendengarnya.
"Sayang, ada sesuatu yang membuat akal sehatnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sayang sekali.... Pemuda hebat ini akan menjadi ancaman bagi orang lain. Dia akan menyebar bahaya tanpa menyadarinya. Sungguh keji orang yang menyebabkan dia melakukan perbuatan seperti ini...."
"Apa yang terjadi dengan pemuda itu, Nek?" bisik Cendana.
Belum sempat si nenek memberikan jawaban, Lesmana menengok ke atas. Adu pandang pun tidak bisa dihindarkan lagi. Cendana dan si nenek tengah memperhatikannya. Sekarang Cendana baru bisa memahami mengapa nenek baju hitam memberikan peringatan terhadapnya.
Lesmana memiliki pendengaran luar biasa tajam. Begitu bersitatap, Cendana merasakan bulu kuduknya berdiri. Mata Lesmana merah membara, seperti mata binatang buas yang tengah murka. Wajahnya pun beringas menyiratkan hawa pembunuhan.
"Bersiap-siaplah, Cendana. Pemuda itu akan menyerang kita," beritahu si nenek yang telah kenyang pengalaman itu. Nenek baju hitam ini tahu tidak ada gunanya menyesalkan kecerobohan Cendana. Nasi telah menjadi bubur! Yang lebih penting sekarang adalah bagaimana menghadapi Lesmana.
Baru saja mulut si nenek terkatup. Lesmana menggeram keras. Kali ini geraman yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu ditujukan pada Cendana dan gurunya. Si nenek tidak terlalu terpengaruh karena telah memiliki tenaga dalam amat kuat.
Tapi, tidak demikian dengan Cendana. Gadis ini seperti mendengar bunyi halilintar yang meledak dekat telinganya! Dada Cendana tergetar hebat. Kedua kakinya menggigil keras sehingga tidak bisa menunjang tubuhnya. Cendana limbung dengan wajah pucat pasi.
"Cendana...!" seru si nenek khawatir melihat keadaan muridnya.
Hanya sampai di situ tindakan si nenek. Lesmana telah melompat ke atas dan menyerangnya dengan hantaman ke arah dada. Si nenek yang tadi mengalihkan perhatian ke arah Cendana, jadi tidak memiliki kesempatan untuk mengelak. Dipapakinya serangan itu dengan tinju kirinya.
Dukkk!
Tubuh si nenek terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Dadanya dirasakan sesak bukan main. Lesmana seperti tidak terpengaruh sama sekali. Pemuda itu meluruk dengan serangan-serangan lanjutan yang tak kalah dahsyat. Si nenek tidak punya pilihan lain kecuali membela diri. Dengan seluruh kemampuan dihadapinya serangan Lesmana. Pertarungan sengit pun berlangsung!
Cendana yang telah berhasil menguasai diri memperhatikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar tegang. Perasaan cemas dan menyesal melanda hati. Cemas akan keselamatan gurunya dan menyesal karena telah melanggar larangan nenek itu untuk tidak berbicara.
Saking cepatnya gerakan dua pihak yang bertarung, Cendana tidak bisa melihat secara jelas. Tapi, dari bayangan si nenek dan Lesmana yang saling gebrak, bisa diperkirakannya siapa yang berada di pihak menguntungkan.
Dan si nenek kelihatan kewalahan bukan main. Penilaian Cendana memang tidak keliru. Meski nenek baju hitam telah menggunakan tongkatnya dan Lesmana bertangan kosong, tetap saja Lesmana yang berada di atas angin. Pemuda itu memiliki keunggulan di semua hal. Tidak hanya tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, tapi juga ilmu-ilmu silatnya dan usianya yang masih muda. Tak sampai lima belas jurus Lesmana berhasil mendesak si nenek.
"Cendana...! Lari...! Tinggalkan tempat ini!"
Dalam keadaan tenepit si nenek mengingatkan muridnya. Disadari kalau dirinya tak akan mampu bertahan terus. Namun, bukannya menuruti seruan si nenek, Cendana malah mencabut pedang dan melompat masuk dalam kancah pertarungan. Bertepatan dengan itu, si nenek menyabetkan tongkatnya ke arah leher Lesmana!
Trakkk!
Tongkat patah tiga ketika Lesmana menyampoknya dengan keras. Tubuh si nenek terhuyung ke belakang. Saat itu pula Lesmana mengirimkan gedoran ke arah dada! Cendana yang melihat ancaman itu segera merubah arah serangannya. Tusukan yang semula ditujukan ke dada Lesmana, dialihkan ke pergelangan tangan si pemuda yang tengah meluncur ke arah dada nennek baju hitam!
Takkk! Desss!
Cendana memekik tertahan. Mata pedangnya tidak mampu membuat tangan Lesmana buntung. Pedang itu malah membalik dan gadis ini merasakan tangannya lumpuh. Kibasan tangan kiri Lesmana yang mengeluarkan deru angin dahsyat membuat tubuh Cendana terlempar ke belakang.
Di saat yang bersamaan, tubuh nenek baju hitam pun terjengkang ke belakang. Tubuh murid dan guru ini jatuh di tanah secara berbarengan. Hanya saja, kalau Cendana meski terhuyung-huyung mampu mendarat dengan kedua kakinya, si nenek mendarat di tanah dengan punggungnya!
"Nenek...!" Tanpa mempedulikan Lesmana lagi, Cendana menghambur ke arah tubuh si nenek yang tergolek. Suaranya sarat dengan kesedihan dan penyesalan.
"Cendana...," sahut si nenek, berusaha menyugingkan senyum untuk menenangkan hati muridnya. Tapi, justru membuat Cendana semakin dililit perasa sedih. Darah mengalir dari sudut mulut si nenek.
"Maafkan aku, Nek. Aku selalu menentang ucapanmu. Aku yang salah, Nek. Akulah yang menyebabkan nenek jadi seperti ini," ucap Cendana tersendat-sendat menahan isak di tenggorokan. Gadis ini duduk bersimpuh di dekat si nenek. Nenek baju hitam masih mampu menggelengkan kepala.
"Kau tidak bersalah, Cendana. Ini yang namanya nasib. Malah, kau telah berjasa besar. Kalau tidak karena pedangmu yang membabat serangan pemuda itu, mungkin nyawaku telah melayang ke alam baka. Tindakan yang kau lakukan membuat tenaga serangan yang mengenai dadaku berkurang jauh. Kau telah menyelamatkanku, Cendana," hibur si nenek.
Cendana semakin terpuruk dalam kesedihan. Hiburan si nenek menambah kesedihannya. Ia menyadari betapa besar kasih sayang si nenek terhadapnya, sedangkan balasannya selalu sikap yang membangkang.
Bahu Cendana terguncang-guncang karena tangis yang tersendat. Cendana berusaha keras untuk bertahan agar tidak menangis. Tapi, kodratnya sebagai wanita yang memiliki perasaan lembut membuatnya harus berjuang keras.
"Sudah lama aku mendapat firasat ajalku akan datang. Aku sudah bersiap-siap untuk memberitahukanmu beberapa hal, Cendana," ujar nenek baju hitam.
Cendana mulai meneteskan air mata. Tidak ada suara tangisan yang keluar. Gadis yang memiliki watak periang dan manja ini ternyata memiliki kekerasan hati luar biasa. Dia malu untuk menangis.
"Kuharap kau tidak menangis, Cendana. Relakan saja kepergianku. Hanya pesanku, kau tidak boleh berlarut-larut tenggelam dalam kesedihan. Dan, kau harus berhati-hati menghadapi orang-orang persilatan. Jangan sampai kau tertipu. Waspadalah selalu," si nenek mulai dengan wejangannya.
Sementara Lesmana seperti terkesima melihat adegan mengharukan itu. Sepasang matanya yang semula merah membara mulai agak meredup. Bahkan, geraman-geraman yang dikeluarkan sudah tidak sekeras sebelumnya. Rupanya, adegan yang terpampang di depan matanya berhasil merasuk ke dalam lubuk hatinya! Karena, pada dasarnya pemuda ini memang bukan orang jahat.
Ketika melihat Cendana meneteskan air mata, sinar mata Lesmana melembut. Ada penyesalan di dalamnya. Sambil mengeluarkan bunyi seperti keluhan, tubuhnya dibalikkan lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu.
Cendana duduk tercenung di atas gundukan batu sebesar kerbau yang permukaannya datar dan rata. Wajahnya muram. Sepasang matanya yang biasanya berseri-seri penuh kehidupan, kini layu bagaikan lampu kehabisan minyak. Ada gumpalan kabut kedukaan di sepasang matanya. Terngiang-ngiang kembali ucapan gurunya sebelum menghembuskan napas penghabisan di pelukannya.
"Jangan kau mendendam pada pemuda itu, Cendana. Dia tidak bersalah. Tindakan yang dilakukannya tidak disadarinya. Aku yakin pemuda itu orang baik-baik. Gerakan-gerakan pemuda itu kukenali milik seorang pendekar yang disegani. Kalau bisa, tolong dia. Sembuhkan dari penyakitnya yang membuatnya menjadi buas. Mungkin karena diracuni orang. Kau mau memenuhi permintaan terakhirku ini, Cendana?"
Tanpa sadar Cendana mengangguk seperti yang dilakukannya waktu itu. Anggukan yang dirasakan gadis ini berat bukan main. Bagaimana mungkin pembunuh gurunya tidak dibalas, bahkan malah ditolong? Tapi, saat itu Cendana tidak punya pilihan lain. Si nenek hanya akan meninggalkan dunia dengan hati tenang bila permohonannya dikabulkan.
Cendana menggertakkan gigi. Geram. Itu selalu terjadi setiap kali teringat wajah Lesmana. Tindakannya kali ini membuatnya sadar dari lamunan. Cendana melayangkan pandangan ke bawah, ke lereng gunung. Di bagian yang datar dilihatnya sebuah pondok sederhana. Pondok yang menjadi sebab gurunya keluar dari tempat tinggal dan akhirnya menemui ajal.
Pondok yang menjadi tempat tinggal Pendekar Penyebar Asmara! Semangat Cendana bangkit kembali. Semula, kematian gurunya membuatnya tidak bersemangat untuk hidup. Ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Gurunya telah menjadi bagian yang amat penting dari kehidupannya.
Bangkitnya semangat Cendana karena menyadari masih ada tugas yang dibebankan di pundaknya. Tugas yang mungkin akan dapat menebus perasaan bersalah karena merasa telah menjadi penyebab kematian gurunya. Tugas itu adalah membalaskan sakit hati gurunya pada Pendekar Penyebar Asmara!
Tugas ini membuat Cendana bagai bangkit kematian. Meski kedukaan tidak sirna dari wajahnya, langkahnya tidak selesu sebelumnya. Cendana melesa menuruni puncak dengan cepat. Tak berapa lama, pondok itu telah berjarak sepuluh tombak lagi. Tapi, Cendana terpaksa menghentikan lari karena mendengar bentakan keras.
"Hey...! Berhenti...!"
Dari dalam pondok melesat sesosok bayangan merah. Tidak terlihat jelas oleh Cendana karena cepatnya sosok itu bergerak. Hanya, mendengar suaranya yang melengking tinggi dan nyaring, gadis ini tahu pemilik suara itu adalah seorang wanita.
Dugaan Cendana memang tidak keliru. Dua tombak di depannya berdiri seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya yang cantik terlihat matang. Apalagi karena model rambutnya yang digelung ke atas. Sebuah tahi lalat yang cukup besar menempel di ujung hidungnya. Seorang wanita yang cukup menarik, puji Cendana dalam hati. Apalagi ketika melihat bentuk tubuh wanita itu yang menggiurkan.
"Mau apa kau kemari, Wanita Centil? Cepat pergi dari sini!" usir wanita berpakaian merah, ketus.
Cendana yang tengah gusar karena kematian gurunya, jadi marah bukan main melihat sikap kasar itu. Sepasang matanya menyambar wajah wanita di depannya dengan kilatan kemarahan. "Kau yang centil! Centil dan gila! Kalau tidak, mengapa tidak ada hujan atau angin memaki-maki orang?" balas Cendana, tak mau kalah memaki.
"Tak perlu ada hujan atau angin untuk memakimu! Kau memang centil. Kalau tidak, untuk apa kau kemari?!" Wanita berpakaian merah menimpali lagi sambil bertolak pinggang.
"Ada apa, Mirah? Mengapa ribut-ribut di luar?" sambut sebuah suara sebelum Cendana memberikan tanggapan.
"Tidak ada apa-apa, Kak. Hanya gangguan kecil. Dapat kuatasi. Kau tidak usah keluar!" sambut Mirah, cepat. Cendana tersenyum mengejek. Kemudian, kepalanya diangguk-anggukkan.
"Sekarang aku mengerti mengapa kau kelihatan khawatir sekali, nenek bawel dan galak!" ujar Cendana, seenaknya. "Kau pasti istri si Pendekar Mata Bongsang! Wanita tak tahu malu. Kemaruk lelaki seakan-akan di dunia ini hanya ada satu lelaki, tidak ada lainnya kecuali Pendekar Mata Bongsang yang tidak tahan melihat jidat licin! Kau takut dia melihatku yang berjidat sangat licin, hingga akan membuatnya tertarik padaku. Begitu kan?!"
Wajah Mirah memerah sampai ke daun telinganya. Dia kelihatan marah sekali. Marah dan malu. Semula wanita ini bingung mendengar julukan Pendekar Mata Bongsang. Tapi, begitu mendengar ucapan-ucapan selanjutnya, dia jadi mengerti!
"Rupanya di samping berwatak centil, kau pun memiliki mulut tajam. Kalau tidak dihajar, sifat kurang ajarmu semakin menjadi-jadi!"
Mirah memenuhi ancamannya. Dia menyerang Cendana dengan sebuah tamparan ke arah mulut gadis berpakaian kuning itu. Bunyi yang mengiringi gerakan tangannya menjadi petunjuk kalau bibir menggiurkan milik Cendana akan kehilangan keindahannya jika menjadi sasaran. Cendana tidak mau hal itu terjadi. Tubuhnya ditarik ke belakang sehingga serangan Mirah luput. Tendangan kaki kanan dikirimkan Cendana ke arah lambung lawan sebagai balasannya.
Mirah memekik pelan karena kaget. Serangan itu memaksanya melompat mundur. Amarahnya semakin meluap. Ini membuat terjangannya yang berikut lebih dahsyat. Cendana menimpali. Pertarungan pun berlangsung sengit. Dua perempuan yang sama-sama cantik dan galak ini bertarung dengan menggunakan senjata.
Tapi, lewat beberapa jurus keduanya segera mengeluarkan senjata masing-masing. Cendana dengan pedangnya. Sedangkan Mirah menggunakan sepasang belati berwarna merah seperti warna pakaiannya.
Cendana memang lihai. Tapi, Mirah tak kalah lihai! Satu kelebihan Mirah adalah wanita ini lebih menang pengalaman. Sikapnya bertarung menunjukkan kalau dia telah kenyang pengalaman bertarung. Bisa diperkirakan jika mengingat usianya. Sementara Cendana baru turun gunung dan belum pernah terlibat dalam pertarungan. Lewat beberapa belas jurus gadis ini mulai terdesak.
"Jangan hiraukan tangan kanan. Tangan kiri akan ditujukan pada leher, tendang perutnya," terdengar sebuah suara di telinga Cendana. Suara yang diyakini gadis ini dikirimkan lewat ilmu mengirim suara dari jauh.
Cendana berpikir cepat. Dia yakin si pengirim suara bermaksud membantunya. Maka, dengan membuta diikutinya petunjuk itu. Serangan tangan kanan Mirah dibiarkannya. Dia malah berjaga-jaga terhadap yang kiri. Serangan yang dilancarkannya pun mengikuti petunjuk pemilik suara tanpa wujud itu.
Pastinya memang menggembirakan Cendana. Meski serangannya tidak berhasil, tapi bukan karena kesalahan pemilik suara. Dia yang bertindak kurang cepat karena tadi berpikir sebentar. Yang jelas, semua pemberitahuan itu benar.
Kenyataan ini membuat Cendana mengikuti semua petunjuk yang diterimanya tanpa pikir panjang lagi. Dan memang, sejak itu Mirah berhasil dibuatnya kalang kabut. Bahkan, sekarang ganti Mirah yang terdesak.
"Ha ha ha...! Sungguh tidak kuduga Pendekar Penyebar Asmara membiarkan gundik-gundiknya saling bertarung!"
Sosok tubuh pendek gemuk terjun ke dalam kancah pertempuran. Dia tidak ikut bertarung, apalagi melancarkan serangan. Sosok itu melesat begitu saja di antara Cendana dan Mirah tanpa khawatir akan menjadi korban serangan nyasar.
Hal itu memang tidak terjadi. Begitu sosok gemuk itu menyelak di tengah-tengah, tubuh Cendana dan Mirah terjengkang ke belakang bagai didorong kekuatan tak nampak.
Cendana tidak menjadi gentar. Begitu berhasil memperbaiki kedudukan, dia melesat menerjang sosok pendek gemuk dengan bacokan ke arah leher. Cendana sakit hati sekali mendengar makian sosok itu yang mengatakan dia gundik Pendekar Penyebar Asmara.
"Jangan ceroboh! Kau mencari penyakit sendiri, Nona," pemilik suara tanpa wujud memberikan peringatan.
Tapi, peringatan itu datangnya tertambat. Cendana telah lebih dulu melancarkan serangan. Memang, andaikata gadis itu menghendaki, bisa saja serangan itu dibatalkan. Tapi, Cendana sudah terlalu marah. Peringatan suara tanpa wujud itu tidak dipedulikannya lagi.
Sosok pendek yang bukan lain Gajah Kecil, tertawa terbahak-bahak. Kakek ini memang memiliki sifat mudah tertawa. Bahkan, dalam marahnya pun dia tertawa. Seakan-akan Gajah Kecil hidup di satu dunia, yaitu dunia yang penuh dengan kegembiraan.
"Gundik si Pemadat Perempuan berani menyerangku?!" Gajah Kecil mendorongkan tangan kanannya ke depan.
Cendana merasakan sekujur tubuhnya lemas. Tenaganya lenyap entah ke mana. Dan, sebelum dia mengerti apa yang telah teriadi, Gajah Kecil mengibaskan tangan kiri seperti orang mengusir nyamuk! Untuk kedua kalinya tubuh Cendana terlempar ke belakang. Kali ini bahkan lebih jauh dari sebelumnya. Cendana tidak bisa mendarat dengan kedua kaki. Ia mendarat di tanah dengan punggungnya!
Cendana mengernyitkan alis ketika tidak merasakan sakit kendati dirasakan punggungnya menempel dengan sesuatu, yang diyakininya tanah. Sebuah tangan yang menyentuh bahu belakangnya dan menyebarkan hawa hangat sehingga tenaga Cendana kembali pulih, menyadarkan gadis ini akan keanehan itu. Dia ternyata tidak berada di tanah, melainkan beberapa kaki di atasnya. Punggungnya menempel pada tongkat yang berada di tangan seseorang yang berada di belakangnya!
Kalau saja Cendana bukan orang yang berhati besar tentu agak kaget melihat si pemegang tongkat. Sosok itu memiliki wajah demikian buruk. Wajahnya lebih mirip wajah kera! Matanya bundar kecil dan berwarna kehijauan. Hidungnya pesek dengan mulut lebar serta wajah dipenuhi bulu. Seorang manusia berwajah setan! Wajah itu lebih buruk dari pada wajah monyet. Di sana-sini terlihat guratan luka.
Cacat pemilik tongkat itu masih ditambah lagi dengan tubuhnya yang tidak normal. Punggungnya bungkuk! Tongkat itu mungkin untuk menahan tubuhnya agar tidak roboh.
"Menyingkiriah, Nona. Iblis itu bukan lawanmu," ujar sosok berwajah mirip setan itu, lembut.
Cendana tidak membantah. Dia percaya penuh. Bukan karena menyadari Gajah Kecil jauh lebih tangguh daripadanya. Tapi, karena suara yang keluar dari mulut sosok berwajah setan ini adalah suara orang yang memberi petunjuk kepadanya ketika menghadapi Mirah. Sosok berwajah setan ini adalah penolongnya!
"Ha ha ha...!" Gajah Kecil tertawa bergelak "Kau ini manusia atau setan? Dibilang manusia kau lebih mirip setan. Benar! Kau... Setan Bongkok! Itu julukan yang tepat untukmu. Ha ha ha...!"
Sosok yang disebut Setan Bongkok tidak memberikan tanggapan sedikit pun. Dia menatap Gajah Kecil penuh selidik dan waspada. Terlihat jelas sikap hati-hatinya.
"Sebelumnya, kedatanganku kemari hanya untuk mengirim nyawa Pendekar Pemadat Wanita ke neraka. Tapi, karena kau berani bersikap menantangku, aku jadi ingin membuatmu bepergian ke alam baka. Mudah-mudahan saja kau senang!" ujar Gajah Kecil.
Gajah Kecil lalu mengambil napas panjang-panjang. Dia ingin menyedot udara sebanyak-banyaknya. Setan Bongkok memperhatikannya dengan kewaspadaan tidak berkurang. Cendana dan Mirah pun demikian. Kedua wanita ini ingin tahu apa yang akan dilakukan Gajah Kecil.
Mirah dan Cendana membelalakkan mata ketika melihat tubuh Gajah Kecil melembung seperti balon ditiup! Tubuhnya yang memang sudah bulat jadi bertambah bundar. Sesaat kemudian, terdengar bunyi berkerotokan seperti tulang-tulang patah. Padahal, Gajah Kecil tidak menggerakkan tangan atau kakinya. Dia tetap diam di ternpatnya sambil terus menarik napas dalam-dalam.
Tindakan ini membuat tubuhnya semakin melembung. Mirah dan Cendana tidak mengerti maksud tindakan Gajah Kecil. Tapi mereka segera mengetahuinya ketika bunyibunyi yang terdengar itu mulai menimbulkan akibat. Bunyibunyi itu sebenarnya tidak keras. Namun akibatnya tidak sesederhana bunyi yang terdengar. Mirah dan Cendana merasakan kelelahan merayapi sekujur otot-otot di tubuhnya.
Semakin lama rasa lelah yang mendera semakin besar. Seiring dengan semakin membesarnya kelelahan menyergap, rasa kantuk pun timbul. Kantuk yang luar biasa hebatnya. Sehingga, meski Cendana dan Mirah berusaha keras untuk bertahan, keduanya tidak mampu. Sepasang mata mereka memejam sendiri.
Kesadaran yang masih tersisa membuat Mirah dan Cendana berusaha untuk mengadakan perlawanan. Tapi, sia-sia saja. Pengaruh bunyi yang menyerang langsung menerjang urat saraf yang berhubungan dengan kelelahan. Tenaga yang hendak dikerahkan kedua wanita perkasa ini jadi pupus. Cendana dan Mirah akhirnya tertidur dalam sikap berdiri!
Kalau pengaruh yang melanda Mirah dan Cendana saja demikian hebatnya, apalagi yang dialami Setan Bongkok. Setan Bongkoklah sebenarnya yang menjadi sasaran penyerangan. Pengaruh yang melanda sosok berwajah mengerikan ini berlipat kali lebih dahsyat!
Tapi, Setan Bongkok tidak sampai terpengaruh seperti halnya Mirah dan Cendana. Di samping tokoh berwajah mengerikan ini memiliki tenaga dalam yang jauh lebih kuat, sejak semula dia sudah bersikap waspada. Begitu mendengar adanya bunyi ia segera mengetuk-ngetukkan ujung tongkatnya ke tanah secara berirama. Bunyi yang terdengar dari beradunya ujung tongkat dengan tanah kapur berpengaruh untuk melawan serangan bunyi yang diciptakan Gajah Kecil!
"Haaa...!" Gajah Kecil membuka mulutnya lebar-lebar sambil mengeluarkan seruan keras.
Setan Bongkok bagai disambar halilintar! Tubuh sosok berwajah kacau balau ini terjengkang ke belakang. Tongkatnya terpental entah ke mana. Pengaruh seruan Gajah Kecil yang sudah luar biasa itu masih ditambah dengan hembusan angin dahsyat. Dua serangan gabungan ini yang menyebabkan tubuh Setan Bongkok lintang pukang!
Bukan hanya Setan Bongkok yang menerima akibatnya. Mirah dan Cendana pun tidak luput. Tubuh kedua wanita ini tersentak seperti orang terkena demam tinggi. Kemudian, jatuh ambruk ke tanah bagai sehelai karung basah. Meski demikian, keduanya tidak tergugah dari tidurnya!
Di lain pihak, Gajah Kecil tidak menunggu lebih lama. Kakek ini sadar kalau Setan Bongkok merupakan lawan tangguh. Maka, langsung dia menggelinding memburu lawannya. Perhitungan Gajah Kecil memang tidak keliru. Setan Bongkok tidak terluka sama sekali kendati tubuhnya terjengkang dan terguling-guling.
Sebelum tubuh Gajah Kecil mendekat, Setan Bongkok melompat ke atas dan melancarkan serangan balasan. Dua tokoh yang sama-sama memiliki ciri-ciri aneh ini pun terlibat pertarungan sengit.
Saat Setan Bongkok dan Gajah Kecil terlibat dalam pertarungan, dari dalam pondok melesat sesosok bayangan putih. Sosok yang ternyata seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun ini berdiri di dekat tubuh Mirah dan Cendana yang tergolek di tanah. Kendati demikian, pandangannya tertuju pada pertarungan yang tengah berlangsung.
"Sungguh berbahaya sekali...," desis lelaki berpakaian putih yang memiliki wajah tampan dan bertubuh tegap berisi dengan bau wangi menyebar dari sekujur badan. Kepalanya digeleng-gelengkan. "Gajah Kecil telah keluar dari persembunyian. Bukan tidak mungkin dua yang lain dari Tiga Binatang Iblis Neraka telah meninggalkan sarang. Kepandaian Gajah Kecil tidak berkurang. Malah, bertambah dahsyat."
Lelaki ganteng yang bukan lain Pendekar Penyebar Asmara ini mengalihkan perhatian pada Setan Bongkok. "Siapa tokoh luar biasa ini? Gerakan-gerakannya mengingatkanku pada tokoh penuh rahasia yang berjuluk Elang Malaikat. Mungkinkah ada hubungan perguruan dengannya?"
Cukup lama Pendekar Penyebar Asmara memperhatikan jalannya pertarungan sebelum akhirnya perhatiannya dialihkan pada Mirah dan Cendana. Sepasang mata Pendekar Penyebar Asmara menyiratkan rasa kagum ketika menatap Cendana. Bagai orang yang kehausan melihat air, tatapannya menjelajahi sekujur tubuh Cendana mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Mirah...," sapa Pendekar Penyebar Asmara, lembut seperti layaknya orang yang memanggil buah hati yang sangat dikasihi. "Sudah cukup kau tenggelam dalam tidur. Bangun. Mari kita pergi. Ada urusan lain yang menunggu."
Aneh bin ajaib! Mirah yang sejak tadi bagaikan orang mati, tak bangun kendati jatuh secara keras di tanah dan adanya bunyi menggelegar di telinga, membuka mata.
"Apa yang terjadi, Kak? Mengapa aku tiduran di tanah?" tanya Mirah kebingungan. Kepalanya ditolehkan ke sana kemari. Terlihat olehnya Cendana yang tadi telah berhasil mendesaknya secara mendadak. Tampak juga Setan Bongkok tengah bertarung dengan Gajah Kecil.
"Nanti saja kujawab pertanyaanmu, Mirah," jawab Pendekar Penyebar Asmara tetap lembut sambil tersenyum manis. "Sekarang, yang penting kita harus segera tinggalkan tempat ini."
Tanpa memberi kesempatan pada Mirah untuk berpikir lebih lama, Pendekar Penyebar Asmara menadahkan kedua tangannya seperti orang tengah berdoa. Mendadak, tubuh Cendana melayang ke arahnya dan hinggap di kedua tangannya. Seakan ada daya tarik yang amat kuat dari kedua tangan itu.
"Apa artinya ini, Kak? Mengapa wanita centil itu kau bawa?!" kecam Mirah. Pandang matanya dikerlingkan pada Cendana dengan penuh kebencian.
Pendekar Penyebar Asmara hanya tersenyum kalem. "Nanti pun kau akan tahu, Mirah."
Hanya itu jawaban Pendekar Penyebar Asmara sebelum melesat meninggalkan tempat itu. Mirah tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti, meski dengan bersungut-sungut tidak senang.
Setan Bongkok sempat melihat kejadian itu. Ini membuatnya cemas. Tapi, apa dayanya? Saat itu dia tengah sibuk menghadapi Gajah Kecil. Mengalihkan perhatian hanya akan mengirim nyawanya ke neraka! Meski demikian, sekarang Setan Bongkok sulit untuk memusatkan perhatian. Dia tahu siapa adanya Pendekar Penyebar Asmara. Cendana akan menjadi korbannya. Tokoh aneh ini jadi gelisah bukan main. Ini membuat keadaannya semakin tidak menguntungkan.
Tingkat kepandaian Setan Bongkok memang masih di bawah Gajah Kecil. Bertarung dengan sepenuh hati pun dia kewalahan. Untungnya, mutu ilmu silat yang dimilikinya lebih unggul dari ilmu Gajah Kecil. Ini yang membuatnya berhasil untuk bertahan. Apalagi ilmunya memang cukup mempunyai pertahanan yang kokoh hingga Gajah Kecil sulit untuk merobohkan. Pertarungan jadi berlangsung alot!
Tapi setelah kejadian yang menimpa Cendana, Setan Bongkok merubah cara bertarung. Tokoh ini mulai melancarkan serangan-serangan. Tak tanggung-tanggung lagi yang dipergunakan. Serangan yang terdahsyat dan merupakan ilmu andalannya!
Gajah Kecil sempat berubah wajahnya ketika melihat Setan Bongkok menerjang sambil mengeluarkan pekikan melengking nyaring. Pekikan itu membuat nyawanya untuk sesaat seperti melayang ke alam baka. Isi dadanya sampai terguncang! Buru-buru dikerahkan tenaga dalam untuk menangkalnya. Pada saat yang hampir bersamaan dia melompat memapaki serangan Setan Bongkok!
Bresss!
Tubuh Setan Bongkok dan Gajah Kecil sama-sama terpental ke belakang dan terbanting keras di tanah. Namun, keduanya segera bangkit berdiri. Pertarungan terhenti. Kedua belah pihak tidak ada yang memulai serangan. Yang dilakukan hanya saling tatap dengan sinar mata penuh tantangan.
"Kau hendak mengadu nyawa, Gajah Kecil?!" tanya Setan Bongkok, angker.
Gajah Kecil adalah seorang tokoh kawakan. Dia segera tahu lawan tangguhnya ini memberikan pilihan padanya untuk menghabiskan masalah ini sampai di situ saja. Setan Bongkok tidak ingin memperpanjang masalah. Gajah Kecil yang cerdik ini pun bisa melihat adanya keuntungan dengan tawaran itu. Setan Bongkok benar. Tidak ada gunanya meneruskan pertarungan.
"Kalau kau menginginkannya apa boleh buat, Bongkok? Aku, Gajah Kecil, bukan orang yang takut mati! Lagi pula, kaulah yang lebih dulu mencampuri urusanku. Ha ha ha...!"
"Itu kulakukan karena kau hendak mencelakai gadis yang berada dalam perlindunganku. Tak satu pun makhluk yang bisa mencelakainya selama aku ada!" tandas Setan Bongkok.
Gajah Kecil tersenyum penuh kemenangan. Ucapan lawannya yang terakhir menunjukkan kalau Setan Bongkok enggan bermusuhan dengannya. Setan Bongkok hanya terpaksa melawannya. Meski sebenarnya tak takut terhadap Setan Bongkok, tapi Gajah Kecil tahu untuk membunuh lawannya ini bukan perkara yang mudah.
Padahal, dia mempunyai urusan yang lebih penting. Mencari dan membalaskan sakit hati muridnya pada Pendekar Penyebar Asmara.Satu hal yang menggembirakan hati Gajah Kecil adalah sikap Setan Bongkok yang mengalah. Hal ini dianggapnya karena keunggulannya. Kendati, dia belum menang secara mutlak.
"Kalau itu maumu, lain kali urusan ini kita perpanjang lagi, Bongkok! Ha ha ha...!" Gajah Kecil menggelinding meninggalkan tempat itu. Setan Bongkok pun bergegas pergi. Dia sudah tidak sabar lagi untuk menolong Cendana.
"Nona, bangunlah. Tidak baik tidur terlalu lama," ujar Pendekar Penyebar Asmara lembut.
Cendana bagaikan orang tidur yang diguyur seember air dingin. Dia tersentak bangun. Yang pertama kali dilihatnya adalah seraut wajah ganteng yang tersenyum penuh daya pikat. Kumis tipis, sedikit jenggot, dan cambang yang teratur rapi membuat wajah itu semakin menarik.
Cendana merasakan hatinya terguncang. Sebuah perasaan aneh muncul di hatinya. Perasaan tertarik. Lelaki yang duduk bersila sekitar satu tombak di depannya ini amat menarik! Tidak hanya wajah, suaranya pun penuh daya tarik. Demikian lembut dan menggetarkan hati. Aroma wangi yang nikmat di hidung semakin menambah ketertarikan hati Cendana.
Aroma itu keluar dari tubuh Pendekar Penyebar Asmara. Malu karena hanya berdua saja di dalam gua yang cukup luas ini, Cendana menundukkan kepala. Gadis ini sempat merasa aneh. Inikah dirinya, Cendana yang periang? Mengapa sekarang seperti seorang gadis pemalu dilamar orang?
Sekarang Cendana baru menyadari kebenaran ucapan gurunya yang menyatakan akan tiba masanya dia jatuh hati pada seorang lelaki. Cendana tidak menyalahkan dirinya. Lelaki di hadapannya ini memang amat menarik! Cendana sungguh tidak tahu kalau lelaki di hadapannya itu adalah Pendekar Penyebar Asmara. Orang yang dicari-carinya!
"Mengapa aku bisa berada di sini?" tanya Cendana lirih tanpa berani mengangkat wajah. Samar-sama dia mulai teringat kejadian-kejadian yang dialaminya.
"Aku yang membawamu kemari, Nona. Kulihat kau tergeletak di tanah," jawab Pendekar Penyebar Asmara.
Cendana bagaikan dibuai. Suara Pendekar Penyebar Asmara terasa nyaman di dada. Sejuk! Ingin didengarnya lagi suara itu. Pendekar Penyebar Asmara bangkit dari duduk bersilanya dan turun dari gundukan batu yang didudukinya. Dengan langkah lambat-lambat dihampirinya Cendana yang tetap berdiri dengan wajah tertunduk. Dada gadis itu berombak keras menandakan besarnya ketegangan yang melanda hati.
Cendana hampir saja terjingkat ketika Pendekar Penyebar Asmara menyentuh kedua bahunya. Cendana tiba-tiba merasakan sekujur tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Cendana tidak memberikan penolakan ketika Pendekar Penyebar Asmara mengangkat wajahnya. Bahkan, ketika lelaki itu mendekatkan wajah. Cendana malah pasrah! Ketika bibir Pendekar Penyebar Asmara mengulum bibirnya, gadis ini mengeluh tertahan.
Cendana malah balas memagut. Dua insan yang berbeda jenis ini saling cium dengan tubuh berpelukan erat. Cendana hanya sedikit meronta ketika Pendekar Penyebar Asmara merebahkan tubuhnya ke tanah. Tapi, itu hanya sebentar. Sesaat kemudian hal itu dibiarkannya.
"Hentikan, Jahanam...!"
Teriakan keras penuh kemarahan membuat Pendekar Penyebar Asmara dan Cendana tersentak bagai disengat kalajengking! Pendekar Penyebar Asmara segera bangkit dari atas tubuh Cendana. Gadis ini lalu bergegas bangkit dan membereskan pakaiannya yang telah terbuka di sana sini. Cendana seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruk.
"Menyingkirlah, Nona," ucap Setan Bongkok, pemilik bentakan tadi. Lelaki ini berdiri tegak di mulut gua. "Tutup matamu dan pergunakan mata hatimu. Pendekar Penyebar Asmara memang memiliki suatu pengaruh aneh yang membuat setiap wanita tidak berdaya untuk menolak keinginan bejatnya."
Bagai ada halilintar menggelegar di tempat itu ketika Cendana mendengar ucapan Setan Bongkok. Jadi, lelaki ganteng itu adalah Pendekar Penyebar Asmara? Orang yang telah banyak menjatuhkan hati wanita dan orang yang tengah dicari-carinya untuk membalaskan sakit hati gurunya! Hampir saja dia menjadi korban!
Sekarang Cendana baru mengerti mengapa gurunya begitu khawatir dia akan terpikat pada Pendekar Penyebar Asmara. Nenek baju hitam benar. Setan Bongkok juga benar. Pendekar Penyebar Asmar mempunyai pengaruh aneh yang membuat lawan jenisnya tertarik dan tak berdaya menolak kehendaknya.
Cendana teringat lagi akan dugaan gurunya. Nenek baju hitam ini mengatakan Pendekar Penyebar Asmara mungkin menuntut sebuah ilmu aneh. Ilmu yang membuat lawan jenisnya tertarik dan lupa diri. Ilmu yang jauh lebih dahsyat dan memiliki pengaruh lebih dari susuk atau pelet!
Cendana geram bukan main. Marah karena hampir saja menjadi korban seperti halnya murid gurunya sebelum dia. Perasaan geram membuatnya mencabut pedang dan menyerang Pendekar Penyebar Asmara. Cendana harus menggertakkan gigi untuk mengusir perasaan tertariknya.
"Mengapa mencabut pedang, Nona? Bukankah lebih baik kalau kita bersahabat daripada bermusuhan," ucap Pendekar Penyebar Asmara lembut dengan senyum memikat. Pendekar Penyebar Asmara mengulurkan tangan, menangkap pedang Cendana. Dan, sekali tarik tubuh gadis itu kembali jatuh ke pelukannya.
Cendana hendak meronta. Tapi seperti juga sebelumnya, pengaruh aneh yang menyebar dari Pendekar Penyebar Asmara melarangnya melakukan hal itu. Cendana pasrah! Sepasang mata Setan Bongkok berkilat-kilat melihat hal ini. Laksana seekor burung yang tengah murka, dia memekik nyaring. Pekikan yang membuat Cendana sadar kembali ciri kungkungan perasaan aneh Cendana meronta. Pendekar Penyebar Asmara sedikit pun tidak menahannya, sehingga gadis itu berhasil melepaskan diri. Wajah Cendana merah padam.
Setan Bongkok melesat ke depan dan berdiri di antara Pendekar Penyebar Asmara dan Cendana. "Menyingkirlah, Nona. Pengaruh aneh yang ditimbulkan Pendekar Penyebar Asmara terlalu kuat untukmu," Setan Bongkok memberi nasihat dengan suara halus.
Cendana yang sudah merasakan sendiri kenyataannya, melangkah mundur. Dia bergidik rnembayangkan dirinya menjadi korban seperti wanita-wanita lain. Gadis ini berdiri bersandar di dinding gua. Diperhatikannya jalannya peristiwa yang akan terjadi antara Setan Bongkok dan Pendekar Penyebar Asmara.
Pendekar Penyebar Asmara tersenyum. Dia tidak marah dengan kegagalannya menikmati kegadisan Cendana. Senyumnya yang memikat bahkan tidak hanya ditujukan pada Cendana, tapi juga pada Setan Bongkok.
"Kukira kau sudah mati di tangan Gajah Kecil, Sobat," ujar Pendekar Penyebar Asmara tanpa ada nada permusuhan sama sekali. "Apakah kau berhasil mengalahkannya?"
"Tidak usah mengalihkan persoalan, Pendekar Bejat!" bentak Setan Bongkok, keras. "Bersiaplah untuk menerima hukuman atas kekejian yang kau lakukan!"
"Ha ha ha...!" Pendekar Penyebar Asmara tertawa. Tidak keras. Cendana harus mengakui kalau tawa pendekar itu terasa nikmat menyelusup ke dalam dadanya. "Kekejian yang mana, Sobat? Kau lihat sendiri kenyataannya., Permainan asmara yang kami lakukan berdasarkan saling suka. Aku tidak pernah memaksa, meskipun kalau kumau bukan hal yang sulit!"
Setan Bongkok diam. Apa yang diucapkan Pendekar Penyebar Asmara memang bukan bualan belaka. Ini membuatnya bingung untuk melakukan tindakan. "Kuakui apa yang kau katakan itu benar, Pendekar. Tapi, perlu kau sadari dan mungkin telah kau ketahui sendiri, perbuatanmu tidak layak dilakukan oleh seseorang pendekar. Perbuatan yang kau lakukan ini terkutuk!" tandas Setan Bongkok, tegas.
"Apa pun yang kau katakan, aku tidak menganggap perbuatanku terkutuk! Yang kulakukan dengan wanita-wanita yang menyukaiku adalah atas dasar suka sama suka. Bahkan, bagi wanita yang mengerti sifatku dan mau mencintaiku, aku tak segan-segan untuk menjadikannya istri. Perlu kau ketahui, wanita berpakaian merah yang kau temui di muka gua adalah istriku. Aku yakin kau menjumpainya sebelum masuk kemari. Entah apa yang kau lakukan terhadapnya."
"Tenangkan hatimu, Pendekar. Aku tidak melakukan apa pun terhadapnya. Aku melesat masuk tanpa dia mampu mencegahku," beritahu Setan Bongkok.
"Bagus!" puji Pendekar Penyebar Asmara dengan hati lega. "Karena bila sampai kau melukainya, aku tidak akan berdiam diri begitu saja. Sekalipun kau mempunyai nyawa rangkap, tak akan kubiarkan kau hidup!"
Usai berkata demikian, dengan sikap tenang Pendekar Penyebar Asmara mengayunkan kaki meninggalkan gua. Tidak kelihatan lelaki ganteng ini berwaspada ketika melalui Setan Bongkok. Pendekar Penyebar Asmara yakin betul Setan Bongkok tidak akan menyerangnya. Dan memang, Setan Bongkok tidak berbuat apa pun untuk mencegah kepergian Pendekar Penyebar Asmara.
Cendana yang tidak bisa tinggal diam. Gadis ini bergerak untuk menghadang. Tapi, tindakan itu segera dihentikan ketika didengarnya ucapan Setan Bongkok.
"Jangan cegah kepergiannya, Nona. Lupakan saja kemarahanmu. Jangan sampai kejadian yang kau alami berulang kembali."
Cendana sampai bergidik mengingat hal itu. Maka, meski hatinya penasaran bukan main, dibiarkannya Pendekar Penyebar Asmara meninggalkan tempat itu dengan senyum menghias bibir. Senyum yang penuh daya pikat!
Cendana berdiri menengadah ke langit dengan kedua tangan di punggung. Bola matanya tidak bergerak-gerak. Seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya di angkasa. Padahal, kendati menatap ke langit pikiran gadis berpakaian kuning ini melayang-layang mengingat semua kejadian yang dialami.
Segumpal penyesalan masih bergayut di hati Cendana ketika teringat gurunya. Gadis ini trenyuh mengingat ketidak-berhasilannya memenuhi permintaan nenek baju hitam itu. Pendekar Penyebar Asmara tidak bisa dibunuhnya! Pembunuh gurunya pun tidak mungkin dijadikan sasaran balas dendam. Dua keinginannya kandas!
"Hendak ke mana lagi kau pergi, Laras? Setengah mati kami mencarimu, kau enak-enakan di sini. Tidakkah kau tahu kami mengkhawatirkan keselamatan mu?!"
Seruan yang terdengar dekat itu membuat Cendana terkejut bukan main. Apalagi ketika kedua bahunya disentuh sepasang tangan. Lamunan Cendana buyar seketika. Dengan cepat ditampiknya sepasang tangan yang menempel di bahunya. Dan, sambil membalikkan tubuh gadis ini menyampokkan tangannya ke arah orang yang memiliki tangan usil itu.
Sang pemilik tangan mengeluarkan seruan kaget mendapat serangan tidak disangka-sangka ini. Lelaki berkulit hitam dengan gigi tonggos ini untungnya masih sempat melompat ke belakang. Kalau tidak, wajahnya akan porak-poranda terkena sampokan Cendana yang mampu menghancurkan batu karang yang paling keras sekalipun itu.
"Manusia kurang ajar...!" seru Cendana keras, penuh kemarahan. Apalagi ketika serangannya gagal mengenai sasaran. Cendana langsung mengirimkan tendangan ke pusar.
Lagi-lagi lelaki tonggos yang bukan lain Tanggur, ayah Larasati cepat mengelak. "Hentikan, Nona. Kau salah paham. Aku tidak bermaksud demikian," beritahu Tanggur sambil mengelak ke samping sehingga serangan Cendana kembali luput.
Tapi, Cendana tidak menghentikan tindakannya. Bahkan dia menyerang semakin kalang kabut. Gadis ini tidak mempedulikan pemberitahuan Tanggur. Kemarahan yang timbul karena tindakan Tanggur yang dianggapnya kurang ajar dan Cendana memang tengah uring-uringan, membuatnya terus mengumbar kemarahan.
Dalam waktu sebentar saja Cendana telah menyerang beberapa jurus. Tapi, semua dapat dipunahkan Tanggur tanpa menemul kesulitan. Tanggur bergerak ke sana kemari. Ia hanya mengelak dan tak sedikit pun melancarkan serangan balasan. Berkali-kali dari mulutnya keluar ucapan yang menyatakan kalau kejadian tadi hanya salah paham.
Namun, Cendana tetap menyerang bertubi-tubi Setelah berlangsung lima belas jurus dan Cendana terus menyerang. Tanggur sadar penjelasannya sia-sia belaka. Cendana bukan gadis yang mudah diberikan pengertian. Cara lain pun terpaksa digunakan. Tanggur memutuskan untuk merobohkan Cendana. Baru setelah itu diberikan penjelasan. Mungkin dengan cara itu Cendana mengerti karena terpaksa mendengarkan penjelasannya.
Sebenarnya bisa saja Tanggur melarikan diri. Dengan tingkat kepandaiannya yang berada di atas Cendana, merupakan hal yang mudah untuknya. Tapi Tanggur tidak mau melakukan hal demikian. Tindakan itu dianggapnya perbuatan pengecut, dan melarikan diri hanya menunjukkan kalau sangkaan Cendana benar adanya.
Pada satu kesempatan, Tanggur mendorong tubuh Cendana hingga jatuh terjengkang di tanah. Cendana bangkit dengan cepat. Tapi, Tanggur lebih cepat lagi. Lelaki ini menyerang dengan sebuah totokan arah bahu kanan lawan. Cendana kaget. Gadis ini tahu dia kalah cepat bergerak. Tapi sebelum kejadian yang tak diharap menimpa Cendana, dari samping melesat sesosok bayangan memapaki serangan Tanggur!
"Sungguh tidak pantas seorang tua menghina yang muda!" seru sosok bayangan itu.
Plakkk!
Tubuh Tanggur terhuyung-huyung akibat tangkisan sosok yang menolong Cendana. Lelaki tonggos merasakan sekujur tangannya sakit. Di depan Tanggur berdiri membelakangi Cendana, sosok yang bukan lain Setan Bongkok. Sikapnya tampak angker bukan main.
"Menyingkirlah, Cendana. Dia bukan lawanmu. Biar aku yang menghadapinya," ujar Setan Bongkok. "Apa yang terjadi, Cendana?"
"Dia hendak berbuat kurang ajar padaku!" tandas Cendana berapi-api.
"Itu tidak benar!" bantah Tanggur. "Hanya salah paham saja. Aku tidak bermaksud demikian!"
"Kalau tidak hendak berbuat kurang ajar, mengapa menyentuh-nyentuh bahuku?!" kejar Cendana tak kalah gertak.
"Kukira kau anakku, Nona," jelas Tanggur. "Potongan tubuhmu dari belakang mirip sekali dengan Larasati, putriku. Dia pergi dan belum kembali sampai sekarang. Aku dan istriku mencari-carinya."
"Alasan! Dusta! Kau memang tua-tua cabul!" Cendana melompat menerjang Tanggur dengan pukulan bertubi-tubi. Setan Bongkok ingin mencegahnya, tapi terlambat Cendana telah lebih dulu melesat.
Tanggur kali ini tidak sesabar sebelumnya. Dia telah terlalu banyak mengalah. Cendana pun mengetahuinya. Tapi, tetap saja tindakannya kasar dan mulutnya tajam. Tanggur jadi tidak senang. Tanpa pikir panjang lagi, dengan niat untuk memberikan hajaran, serangan Cendana ditangkisnya.
Akibatnya, tubuh gadis itu terjengkang ke belakang dan terbanting di tanah. Berbeda dengan sebelumnya, Cendana tidak langsung bangkit. Kedua tangannya yang berbentoran dengan tangan Tanggur terasa sakit bukan main.
Setan Bongkok berkilat-kilat sepasang matanya. Lelaki ini sangat marah melihat tindakan Tanggur. Kendati diakui sikap Cendana sudah kelewatan, tapi tindakan Tanggur pun dinilai Setan Bongkok terlalu keras!
"Mengandalkan kepandaian untuk melakukan tindakan tak adil terhadap orang lemah bukan tindakan terpuji. Aku, Setan Bongkok, tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Majulah, Sobat. Lawan aku! Jangan kau tekan gadis yang bukan tandinganmu itu kalau kau bukan seorang pengecut!"
Tanggur membusungkan dada. Harga dirinya tersinggung mendengar tantangan yang diajukan Setan Bongkok. Dengan sorot mata penuh tantangan ditatapnya Setan Bongkok.
"Apa boleh buat. Kalau kau memang hendak membela wanita liar bermulut kurang ajar itu, aku pun, Tanggur bukan orang berwatak pengecut! Kuterima tantanganmu, Setan Bongkok!" mantap dan tegas kata-kata yang dikeluarkan Tanggur.
"Hajar orang kurang ajar itu, Paman Bongkok!" seru Cendana. Ia bangkit berdiri dan memberi semangat pada Setan Bongkok.
Mata Setan Bongkok berbinar. Memang hanya sesaat terlihat, tapi bisa diketahui kalau tokoh aneh ini gembira. Itu tidak terlalu berlebihan. Sejak pertemuannya dengan Cendana, sewaktu menolong gadis itu dari tangan Gajah Kecil, Cendana tidak pernah mengajaknya bicara.
Bahkan ketika mereka melakukan perjalanan berdua setelah Setan Bongkok menyelamatkan Cendana dari Pendekar Penyebar Asmara, Cendana juga tidak bicara. Gadis ini banyak termenung ketika beristirahat. Setan Bongkok yang tidak mau mengganggunya, meninggalkannya untuk mencari makanan. Ketika kembali Cendana ternyata telah terlibat keributan dengan Tanggur. Setan Bongkok pun ikut campur.
Ucapan Cendana membuat semangat Setan Bongkok bergelora. Lelaki ini menerjang Tanggur. Tanggur yang memang sudah bersiap sedia segera menyambutinya. Pertarungan antara dua tokoh ini pun berlangsung. Setan Bongkok ternyata terlalu tangguh untuk Tanggur.
Setelah bergebrak beberapa kali lelaki tonggos ini segera berada di bawah angin. Setan Bongkok unggul dalam segala hal. Tidak hanya dalam kecepatan gerak. Tapi juga tenaga dalam dan mutu ilmu silatnya. Meski demikian, Tanggur berusaha sekuat tenaga melakukan perlawanan.
Beberapa kali dia terpontang-panting! Cendana yang melihat keunggulan Setan Bongkok kelihatan gembira bukan main. Dia bertepuk tangan sambil tak henti-hentinya memberi semangat.
"Ayo, Paman Bongkok! Hajar lelaki kurang ajar itu! Gebuk saja pantatnya!"
Hampir Setan Bongkok tertawa karena geli mendengar ucapan Cendana yang terdengar lucu dan menggelikan. Semangatnya semakin membara. Gerakan-gerakannya semakin dahsyat dan menggiriskan. Tanggur semakin terdesak. Di samping itu, lelaki tonggos ini juga merasa sakit hati dengan ucapan Cendana.
"Mengapa pantatnya yang disebut-sebut?" rutuk Tanggur dalam hati.
Di saat keadaan Tanggur semakin mengkhawatirkan dan lebih sering terbanting ke sana kemari, terdengar teriakan melengking nyaring dari kejauhan.
"Ayah...!"
"Kak Tanggur...!"
Dua seruan itu keluar hampir bersamaan. Yang satu berasal dari mulut Larasati. Sedangkan yang satunya lagi diserukan Nilam Sakini, istri Tanggur. Ibu dan anak ini masih berjarak tak kurang dua puluh tombak. Tapi, seruan keras itu telah mereka keluarkan dan sambil terus berlari mendekat. Di sebelah Larasati dan Sakini tampak berdiri orang lain, seorang pemuda berpakaian ungu dengan rambut putih panjang berkibaran. Arya Buana alias Dewa Arak.
Hampir bersamaan Larasati dan Sakini melompat menyerang Setan Bongkok yang tengah mendesak Tanggur dengan hebat. Setan Bongkok mendengus. Kedua tangannya dikibaskan. Bagaikan diterpa angin keras, tubuh ibu dan anak itu terlempar balik dan jatuh bergulingan di tanah.
Tanggur menggeram. Lelaki ini marah bukan main melihat kejadian yang menimpa anak dan istrinya. Namun sebuah sapuan kaki Setan Bongkok telah melemparkan tubuhnya. Tanggur masih mampu menunjukkan keperkasaannya dengan menjejakkan kedua kaki di tanah. Tanggur tidak menjadi gentar. Lelaki tonggos ini bertekad untuk terus bertarung sampai tetes darah penghabisan!
Sebuah tangan yang menyentuh bahunya membuat Tanggur mengurungkan niat itu. Ditolehnya kepalanya ke belakang. Tidak tergesa-gesa. Sebab, Tanggur tahu orang yang menyentuh itu tidak bermaksud jahat. Apabila tidak, saat itu nyawanya sudah melayang!
"Boleh aku mewakilimu untuk menghadapinya, Paman?" sapa Arya Buana, yang menyentuh bahu Tanggur.
Tanggur membutuhkan waktu sejenak untuk mengangguk. Lelaki ini tertegun melihat ciri-ciri pemuda di hadapannya. Wajah dan potongan tubuhnya pemuda. Tapi, rambutnya milik orang berusia lanjut!
"Dia memiliki kepandaian amat tinggi, Anak Muda, Kau harus berhati-hati." Tanggur masih sempat untuk berpesan. Agak ragu-ragu lelaki tonggos ini menyapa Arya sebagai pemuda.
"Akan kuperhatikan nasihatmu, Paman," jawab Arya sopan seraya tersenyum. Dewa Arak lalu mengalihkan perhatian ke arah Setan Bongkok. Tokoh ini tidak melakukan tindakan apa pun setelah Tanggur tidak menyerangnya.
Agak jauh ke belakang Setan Bongkok, Cendana memperhatikan Dewa Arak dengan perasaan lain. Pemuda ini kelihatan matang dan dewasa karena sikapnya yang tenang dan rambutnya yang putih. Wajah dan potongan tubuhnya pun menarik. Cendana mulai menaruh perhatian. Sungguh amat jauh bedanya, bagaikan bumi dan langit jika dibandingkan dengan Setan Bongkok.
Bukan hanya Setan Bongkok yang bersikap waspada. Dewa Arak pun demikian. Untuk sesaat kedua tokoh ini saling memperhatikan gerak-gerik lawan. Setan Bongkok yang pertama kali membuka serangan. Dia melompat ke atas dengan kedua tangan membentuk cakar, siap untuk dikirimkan ke arah Dewa Arak dalam bentuk serangan dahsyat. Kedua kakinya agak didekatkan ke perut dengan menekuk lututnya.
Dewa Arak melangkah mundur seraya mengangkat wajah untuk memperhatikan gerakan lawan. Pemuda ini melompat agak jauh ke belakang ketika Setan Bongkok melancarkan serangan bertubi-tubi dalam bentuk sampokan. Tahu kalau lawan telah menggunakan ilmu andalan, Dewa Arak segera menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Setelah beberapa kali mengelak, serangan ba lasan pun dilancarkan.
Plak, plakkk, plakkk!
Berturut-turut benturan terjadi ketika pertarungan berlangsung beberapa jurus. Tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung dua langkah. Tapi, Setan Bongkok terhuyung tiga langkah ke belakang.
Cendana bengong melihat hal ini. Sebaliknya, Larasati dan Tanggur serta Sakini tampak gembira. Pemandangan yang terpampang menjadi pertanda kalau jagoan mereka berada di pihak yang unggul.
Setan Bongkok penasaran bukan main. Seluruh ilmunya dikerahkan. Tubuhnya bagai tidak pernah menjejak tanah. Mulutnya tak henti-henti mengeluarkan pekikan nyaring. Setan Bongkok tidak ingin peristiwa yang memalukan tadi terulang kembali. Dia tidak ingin Cendana merasa kecewa.
Tapi, betapa pun besarnya semangat Setan Bongkok untuk menang, kemampuan yang tertinggi yang menentukan. Ternyata kemampuan puncak Setan Bongkok masih belum mampu menandingi Dewa Arak yang mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Setan Bongkok tetap tidak mampu mendesak lawannya.
Di lain pihak, Dewa Arak dapat mendesak Setan Bongkok. Sementara desakan-desakan lawan dapat dipunahkan dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Tak sampai lima puluh jurus pertarungan Setan Bongkok telah dipaksa untuk bertarung mundur. Ilmunya yang biasa menang dalam mutu sekarang mati kutu. Ilmu 'Belalang Sakti' milik Dewa Arak tidak kalah tinggi mutunya!
Di saat Setan Bongkok terus bergerak mundur tiba-tiba terdengar geraman keras. Dari bunyi yang tertangkap, Setan Bongkok dan Dewa Arak tahu kalau pemilik suara itu sudah pasti manusia. Ia berada di tempat yang jauh dari mereka. Geraman itu cukup menarik perhatian. Tidak hanya Larasati, Sakini, maupun Tanggur. Juga Dewa Arak, Setan Bongkok, dan terutama. Cendana. Pertarungan antara Dewa Arak dan Setan Bongkok seketika terhenti.
Tindakan Cendana lebih hebat lagi. Wajah gadis itu pucat pasi laksana mayat. Tapi, sinar mata dan tarikan mulutnya menyiratkan kebencian dan dendam. Cendana menduga pemilik geraman ini adalah pemuda gila yang telah menewaskan gurunya. Sesaat tubuh gadis ini menggigil keras seperti orang terkena demam tinggi. Kemudian, sambil mengeluarkan keluhan tertahan ia melesat menuju sumber suara geraman.
"Cendana...! Hentikan...!" seru Setan Bongkok Dalam teriakannya tersirat kekhawatiran yang dalam. "Sobat, di antara kita tidak pernah ada urusan. Dan, aku bukan orang jahat. Mungkin aku telah bertindak terlalu kasar pada kawan-kawanmu. Tapi, itu kulakukan karena tidak ada pilihan lain. Aku mohon kau biarkan aku pergi untuk menyusul kawanku agar dia tidak celaka di tangan orang jahat. Bagaimana?" pinta Setan Bongkok penuh harap.
Setan Bongkok sebenarnya tidak gentar. Bahkan, andaikata mati sekalipun dalam pertarungan ini. Tapi, dia tidak ingin Cendana celaka. Apabila pertarungan ini dilanjutkan mungkin Cendana sudah pergi terlalu jauh dan dia akan kehilangan jejak. Tidak ada pilihan lain kecuali meminta kebijaksanaan Dewa Arak.
"Pergilah. Selamatkan kawanmu," timpal Arya sambil menyimpan gucinya dan melangkah mundur.
Setan Bongkok menatap Arya dengan pandangan penuh terima kasih sebelum membalikkan tubuh dan melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tanggur beserta anak dan istrinya menyaksikan kejadian itu dengan alis berkerut.
"Mengapa Dewa Arak membebaskan tokoh jahat itu?" tanya mereka dalam hati.
Cendana berlari bagaikan dikejar hantu. Gadis ini ingin segera tiba di tempat geraman tadi berasal. Geraman yang diyakininya keluar dari mulut Lesmana. Perasaan benci membuat Cendana lupa akan nasihat gurunya untuk tidak membalas dendam.
Setelah berlari beberapa lama, di kejauhan sekitar delapan tombak di depannya, Cendana melihat dua sosok tengah berdiri berhadapan dalam jarak tiga tombak. Mereka memiliki ciri-ciri yang amat aneh. Wajah sosok yang satu mirip harimau. Sedangkan yang satu lagi mirip kera besar.
Cendana merasa kecewa sekali melihat hal ini. Apalagi ketika mengetahui geraman itu dikeluarkan kakek berwajah harimau. Dialah Siluman Harimau. Tokoh sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Kakek yang satu lagi lebih mengerikan dari pada Siluman Harimau. Kakek ini tidak lain dari Raja Monyet Bertangan Seribu. Tokoh teratas dalam kelompok Tiga Binatang lblis Neraka.
Kendati tahu pemilik geraman itu bukan Lesmana, Cendana tidak meninggalkan tempat itu. Gadis ini malah tertarik untuk mengetahui kelanjutan kejadian yang tengah disaksikannya. Tampak oleh Cendana, Siluman Harimau melompat menerjang Raja Monyet Bertangan Seribu. Serangannya ganas bukan main.
Tapi, dengan gerak kaku Raja Monyet Bertangan Seribu mengelakkannya. Ketika tangannya diayunkan secara sembarangan, kakek yang memiliki wajah mirip kera besar itu berhasil membuat tubuh Siluman Harimau terhuyung-huyung kebelakang. Padahal, yang melanda Siluman Harimau hanya angin pukulannya saja!
Cendana membelalakkan mata saking kagumnya melihat kepandaian Raja Monyet Bertangan Seribu. Meski melihat gerakan-gerakan Siluman Harimau, gadis ini tahu kalau tingkat kepandaian kakek itu jauh di atas tingkatnya, bahkan mungkin tidak kalah dengan Setan Bongkok. Namun kenyataannya Siluman Harimau bagai seekor semut bertarung melawan api.
Setelah beberapa kali dibuat permainan lawan, Siluman Harimau mengeluarkan senjatanya. Sepasang cakar yang memiliki pegangan. Cakar yang terbuat dari baja pilihan itu pada ujung-ujungnya dibubuhi racun mematikan. Dengan senjata andalan di tangan Siluman Harimau bagai seekor harimau tumbuh sayap. Serangan-serangannya semakin dahsyat.
Siluman Harimau berhasil menyerang selama tiga jurus. Tapi semua itu berhasil dielakkan Raja Monyet Bertangan Seribu dengan tanpa kesulitan. Bahkan seperti sebelumnya, Siluman Harimau dibuat terhuyung-huyung dengan angin pukulannya. Raja Monyet Bertangan Seribu lalu mengeluarkan senjatanya. Sepasang kecer!
Raja Monyet Bertangan Seribu membenturkan sepasang kecernya dengan pengerahan seluruh tenaga. Menurut perhitungan akan terdengar bunyi menggelegar yang luar biasa keras, mengingat kakek ini memiliki tenaga dalam amat kuat. Namun, tidak terdengar bunyi sedikit pun!
Cendana yang sudah siap untuk menutup telinga mengernyitkan alis. Heran. Cendana hampir tak kuat menahan pekikannya ketika melihat kejadian yang terpampang kemudian. Siluman Harimau terkesima sebentar. Kemudian, tertawa terbahak-bahak. Demikian gelinya sampai tubuhnya terbungkuk-bungkuk.
Semula Cendana menduga Siluman Harimau menertawakan serangan Raja Monyet Bertangan Seribu. Tapi ketika melihat wajah Siluman Harimau, gadis ini mulai menaruh curiga. Wajah Siluman Harimau seperti bukan wajah orang yang tengah tertawa. Hanya mulutnya yang menganga mengeluarkan tawa, tapi wajah dan sinar matanya tidak! Wajah itu menyiratkan rasa takut yang besar. Kelihatan tegang bukan main!
Kecurigaan Cendana semakin besar ketika melihat Siluman Harimau terus saja tertawa seperti tidak mempedulikan keberadaan Raja Monyet Bertangan Seribu yang menjadi lawannya. Raja Monyet Bertangan Seribu sendiri dengan tenang menyimpan kembali kecernya lalu menyaksikan perbuatan lawan.
Raja Monyet Bertangan Seribu tentu saja melihat keberadaan Cendana karena medan pertarungan berupa tanah datar yang luas tanpa ada penghalang sampai belasan tombak. Tapi, kakek monyet itu bersikap tidak peduli, seakan Cendana tidak berada di situ. Seluruh perhatiannya ditujukan pada Siluman Harimau.
Siluman Harimau sendiri terus saja tertawa. Sampai suara tawanya semakin pelan dan sekujur urat-urat menonjol di sekitar wajah dan leher. Wajahnya pun merah padam. Matanya telah mengeluarkan air. Tak lama lagi tokoh ini akan tewas dengan pembuluh darah pecah dan napas putus!
Sekarang Cendana mulai merasa ngeri. Gadis ini tahu Siluman Harimau akan tewas dalam keadaan mengerikan. Semua itu terjadi akibat berbenturannya sepasang kecer yang tidak berbunyi itu. Cendana merasa ngeri. Raja Monyet Bertangan Seribu ternyata memiliki watak yang luar biasa keji.
Sebelum dia menjadi korban pula, maka dibalikkan tubuhnya. Cendana mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu. Tapi ternyata tidak mudah rencana itu dilaksanakan. Terdengar oleh Cendana, Raja Monyet Bertangan Seribu menegurnya dengan suara tanpa kemarahan.
"Mengapa tergesa-gesa, Nona Cilik? Tidakkah kau ingin menyaksikan pertunjukan ini terus. Belum selesai, bukan?"
Cendana tidak mempedulikan ucapan itu. Ia tetap meneruskan maksudnya. Tapi begitu ucapan Raja Monyet Bertangan Seribu selesai, dia tidak bisa menggerakkan kakinya. Padahai Cendana ingin berlari sejauh-jauhnya.
Cendana tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Dia tidak merasakan adanya sentuhan jari tangan atau totokan pada bagian tubuhnya. Cendana tidak tahu kalau begitu menegur, Raja Monyet Bertangan Seribu mengambil kecer dan membenturkannya satu sama lain seperti yang dilakukan terhadap Siluman Harimau!
"Yang jantan ada, betina pun sekarang datang. Si jantan telah tertawa. Alangkah baiknya kalau si betina menangis. Hey, wanita usilan yang terlalu mau tahu urusan orang, kau akan bersedih untuk menimpali Siluman Harimau!"
Raja Monyet Bertangan Seribu kembali membenturkan sepasang kecernya. Tidak terdengar oleh Cendana. Bahkan terlihat pun tidak. Gadis ini berdiri membelakangi. Tapi, akibatnya tetap berlangsung sebagaimana yang dikehendaki Raja Monyet Bertangan Seribu.
Cendana mampu bergerak kembali. Tapi gadis itu tidak memanfaatkannya untuk melarikan diri, melainkan menangis dengan sedihnya sambil menjatuhkan diri di tanah. Di lain pihak, Siluman Harimau sudah tidak terdengar lagi suaranya. Tokoh itu telah tergeletak di tanah. Diam tidak bergerak-gerak lagi Siluman Harimau telah tewas dengan mulut masih menganga lebar. Pembuluh darahnya telah pecah!
"Khraaak...!" Pekikan yang mirip burung marah itu terdengar keras bukan main. Keras dan melengking nyaring. Cendana yang tengah menangis menggerung-gerung, tapi dengan tidak adanya kesedihan baik di wajah maupun matanya, langsung menghentikan tangis. Secepat itu pula Cendana melesat ke arah orang yang mengeluarkan pekikan. Orang yang tadi masih berjarak belasan tombak ketika Raja Monyet Bertangan Seribu mulai membenturkan sepasang kecernya.
Dewa penolong Cendana yang sekarang telah berdiri di depan gadis itu dalam jarak dua tombak tidak lain Setan Bongkok! Tokoh yang tertinggal Cendana cukup jauh ini berhasil menyusul dan menemukan buruannya setelah tersaruk-saruk cukup lama. Tangis Cendana yang membuatnya dapat menemukan gadis itu.
Setan Bongkok mengembangkan kedua tangan ketika Cendana menghambur ke arahnya. Sesaat kemudian, tubuh mungil itu telah berada di pelukan Setan Bongkok yang merengkuhnya dengan penuh kasih sayang. Setan Bongkok malah membelai-belai rambut Cendana.
Cendana adalah seorang gadis manja. Selama ini nenek baju hitam kelewat menyayanginya. Boleh dikata, Cendana hidup dan tumbuh besar dalam limpahan kasih sayang yang besar. Hilangnya si nenek membuat Cendana kehausan kasih sayang. Sekarang Setan Bongkok dirasakannya memberikan kasih sayang itu. Ini membuat Cendana tidak segera menarik dirinya dari pelukan Setan Bongkok.
Sebelum munculnya Setan Bongkok, Cendana merasa ngeri sekali. Gadis ini takut mati dengan cara mengerikan. Mati karena kebanyakan menangis. Dicobanya untuk menghentikan tangis atau mengatupkan mulutnya, tapi hai itu tidak bisa dilakukan. Urat-urat sarafnya seperti bukan menjadi miliknya lagi sehingga tidak mau diperintah.
"Alangkah mengharukannya pertemuan ini tidakkah aku merupakan gangguan di sini?" celetuk Raja Monyet Bertangan Seribu dengan suara khasnya, lembut seperti orang yang berwatak welas asih dan memiliki sopan santun tinggi.
Teguran Raja Monyet Bertangan Seribu membuat Cendana melepaskan pelukan. Dengan muka ditundukkan dia berdiri diam di tempatnya. Cendana tidak berani mengangkat wajah, lalu!
"Minggirlah, Cendana. Biar aku yang menghadapi monyet besar ini." Setan Bongkok menyentuh bahu Cendana dan mendorongnya ke belakangnya dengan halus.
Raja Monyet Bertangan Seribu tidak kelihatan marah atau tersinggung, meski dia dimaki monyet besar. Kakek ini malah tersenyum memperlihatkan gjgi-giginya yang runcing dan kuning.
"Kau cukup menarik hatiku sebagai lawan, Sobat. Meskipun bukan tandinganku, biasanya aku tidak bergairah bertarung dengan orang yang jauh dari tingkatanku. Kau merupakan kekecualian, Sobat. Pekik yang kau keluarkan mengingatkan aku pada seorang tokoh penuh rahasia yang berjuluk Elang Malaikat. Tokoh yang tinggal di daerah pegunungan ini, tapi tidak pernah ketahuan di mana tempatnya yang pasti. Aku akan bertempur denganmu!"
"Elang Malaikat? Kau mengenal tokoh luar biasa itu, Raja Monyet?" Setan Bongkok mengutarakan rasa ingin tahunya.
"Mengenalnya? Ha ha ha...! Kau lucu, Sobat. Aku bukan saja mengenalnya, tapi amat kenal! Aku telah pernah bertarung dengannya dan berhasil dikalahkan. Elang Malaikat memang hebat. Aku jumpa dengannya secara tidak sengaja di saat tengah mencari tempat kediamannya. Sekarang, ingin kutahu apakah kakek bongkok itu memiliki ilmu yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Bukan tidak mungkin ketuaannya telah membuat ilmu-ilmunya berkurang. Mataku tidak lamur untuk bisa mengetahui kitab yang tengah dibaca Siluman Harimau adalah kitab milik Elang Malaikat Seribu Satu Obat Langit Bumi terkenal sebagai kitab Elang Malaikat."
"Kau pasti tak perlu menunggu lebih lama untuk mengambilnya, bukan? Aku tahu pasti tokoh-tokoh sesat seperti kau atau Siluman Harimau tak pernah puas dengan ilmu-ilmu yang kalian miliki!" tandas Setan Bongkok berapi-api.
"Apa hubunganmu dengan Elang Malaikat? Aku yakin ada. Kalau tidak, mengapa kau terlalu mementingkan kitab palsu itu?"
"Kitab palsu?!" ulang Setan Bongkok. Tokoh itu kelihatan terkejut bukan main.
Raja Monyet Bertangan Seribu hanya terkekeh sambil menggaruk-garuk dadanya. Tindakan khas binatang bertangan panjang itu. "Ketidaktahuanmu akan hal ini menunjukkan kalau hubunganmu dengan Elang Malaikat cukup jauh," timpal Raja Monyet Bertangan Seribu tenang. "Telah menjadi rahasia umum kalau Elang Malaikat mempunyai watak yang luar biasa pelit. Terlebih di dalam ilmu. Tidak pernah ada orang yang mendapatkan cepretan ilmunya kecuali orang-orang yang teramat dekat dengannya. Andaikata seorang tokoh seperti Siluman Harimau berhasil membawa kitab miliknya, apalagi kitab Seribu Satu Racun Langit Bumi, tidak ada hal Iain kecuali kitab itu palsu!"
"Mana mungkin palsu. Raja Monyet!" tandas Setan Bongkok, tidak setuju dengan kakek gorilla itu. "Kitab itu diambil sendiri oleh pelayannya."
Raja Monyet Bertangan Seribu terkekeh. Nadanya meremehkan sekali. "Jangankan terhadap pelayannya, kepada muridnya sekalipun aku yakin Elang Maiaikat tidak akan menunjukkan kitab-kitab miliknya. Dia lebih sayang kitab-kitabnya daripada nyawanya sendiri!"
Setan Bongkok terdiam. Ia tidak memberikan bantahan sedikit pun.
"Dan lagi," sambung Raja Monyet Bertangan Seribu "Tokoh-tokoh macam Siluman Harimau mana bisa membawa pergi kitab itu? Tanpa menemui kesulitan sama sekali Elang Malaikat akan mengambilnya kembali seandainya kitab itu asli!"
Setelah berkata demikian, Raja Monyet Bertangan Seribu melompat menerjang Setan Bongkok. Sepasang kecernya disimpan. Kakek gorilla ini menggunakan tangan kosong. Gerak-geriknya kelihatan kaku dan lambat, tapi ternyata tetap cepat dan kuat!
Cendana segera melompat menjauh. Tapi, tak urung serempetan angin serangan membuat tubuhnya terguling-guling. Setan Bongkok sendiri telah melompat ke atas. Dari sana Setan Bongkok melancarkan serangan balasan! Gerakannya cepat dan ganas. Kendati demikian, Raja Monyet Bertangan Seribu yang tampak bergerak lambat mampu mengelakkan serangannya! Kakek gorilla ini lalu balas menyerang.
Setan Bongkok harus mengakui Raja Monyet Bertangan Seribu merupakan lawan tertangguh yang pernah ditemuinya. Bahkan mungkin lebih tangguh dari Dewa Arak. Setiap gerakan kakek gorilla ini menimbulkan angin kuat dan cukup untuk membuat tubuh Setan Bongkok terhuyung-huyung. Sekitar tempat itu pun dipenuhi gelombang angin serangan Raja Monyel Bertangan Seribu.
Meski demikian, Setan Bongkok berusaha keras melakukan perlawanan. Dia berkali-kali memekik nyaring mengeluarkan ilmu andalan yang mengingatkan orang akan tingkah laku burung yang tengah murka. Setan Bongkok tahu Raja Monyet Bertangan Seribu unggul dalam segala hal. Tenaga dalam, kecepatan, maupun ilmu silat. Untungnya, di bidang lompat-melompat Setan Bongkok, meski keadaan tubuhnya demikian, mampu melompat ke sana kemari dengan lincahnya.
Satu yang dikhawatirkan Setan Bongkok adalah benturan antara mereka. Sedapat mungkin hal itu dihindarkannya. Perbedaan tingkat tenaga dalam mereka terlalu jauh. Akan terjadi hal yang tak menguntungkan pada Setan Bongkok bila benturan itu terjadi.
Blarrr!
Apa yang ditakutkan Setan Bongkok terjadi juga. Benturan antara mereka tak bisa dielakkan lagi. Itu terpaksa dilakukannya untuk menyelamatkan diri. Setan Bongkok memapaki sampokan Raja Monyet Bertangan Seribu dengan kakinya. Akibatnya, tubuh tokoh aneh ini terpental ke belakang dan jatuh terbanting keras di tanah.
"Cendana...! Cepat lari,..! Tinggalkan tempat ini. Cepat...!"
Di saat tubuhnya melayang, Setan Bongkok masih sempat memberikan peringatan. Cendana hampir menangis melihat dalam keadaan terjepit Setan Bongkok masih ingat akan nasibnya, bukan nasib dirinya sendiri. Sikap Setan Bongkok sama betul dengan nenek baju hitam. Kedua tokoh itu menyayanginya dan menginginkan keselamatannya. Untuk pertama kalinya Cendana yang gemar membantah tidak menentang perintah Setan Bongkok sedikit pun. Gadis ini melesat dengan kecepatan tinggi meninggaikan tempat itu.
Setan Bongkok, yang bertepatan dengan melesatnya Cendana jatuh ke tanah, merasa lega melihat kepergian Cendana tapi juga sedikit kecewa. Cendana tidak bertimbang sama sekali tidak ada perasaan berat sedikit pun meninggalkan dirinya. Bahkan, gadis itu berlari secepat mungkin.
Meski menginginkan Cendana mengikuti perintahnya, Setan Bongkok akan lebih gembira kalau Cendana menampakkan perasaan berat untuk pergi. Setidak-tidaknya bila hal itu dilakukan menjadi pertanda kalau keselamatan Setan Bongkok dipikirkan gadis itu.
Setan Bongkok tidak bisa berpikir lebih lama karena Raja Monyet Bertangan Seribu telah menyerbunya. Tokoh berwajah buruk ini pun kembali berjuang keras untuk menyelamatkan selembar nyawa. Kali ini lebih sulit dari sebelumnya. Benturan tadi menyebabkan kakinya sakit dan sulit digerakkan.
Setan Bongkok sadar nasibnya akan segera ditentukan. Dan, perhitungannya sama sekali tidak meleset Raja Monyet Bertangan Seribu berhasil menghimpitnya sedemikian rupa kemudian mengirimkan sampokan tangan kanan dan kiri secara bergantian. Setan Bongkok yang telah terjepit tidak dapat berbuat lain kecuali berdiam diri menanti datangnya maut. Menangkis ia tidak sempat, apalagi mengelak!
Wusss!
Deru angin keras meluncur dari samping. Hawanya panas bukan main. Padahal, pukulan itu sendiri masih cukup jauh. Serangan jarak jauh itu memotong di tengah-tengah antara Setan Bongkok dengan Raja Monyet Bertangan Seribu.
Andaikata Raja Monyet Bertangan Seribu meneruskan maksudnya, sebelum serangan yang dilancarkannya mendarat di sasaran akan terlebih dulu terlanda serangan angin pukulan berhawa panas menyengat itu. Raja Monyet Bertangan Seribu tidak punya pilihan lain kecuali membatalkan serangannya. Kakek gorilla ini malah menambahkannya dengan melompat ke belakang.
Sekejap kemudian, melesat sesosok bayangan ungu. Di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh lagi. Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini menatap Setan Bongkok sebentar, lalu mengalihkan perhatian pada Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Ternyata dunia ini sempit, Anak muda," Raja Monyet Bertangan Seribu berkata setengah berfilsafat "Belum lama kita bertemu sekarang sudah bersua lagi di sini. Mungkin sudah menjadi jalan nasib kita untuk meneruskan pertarungan yang waktu itu belum tuntas."
Dewa Arak tersenyum pahit. "Dan, senantiasa di setiap pertemuan kita kulihat kau selalu membuat keonaran, Raja Monyet!" tandas Dewa Arak.
Raja Monyet Bertangan Seribu tertawa lembut. "Siang malam. Ada gelap ada terang. Disebut pendekar karena adanya penjahat. Tanpa adanya orang yang selalu menyebar kejahatan mana mungkin orang-orang seperti kau mendapat nama harum sebagai seorang yang berada di jalan lurus dan gemar menegakkan kebenaran. Seharusnya kau berterima kasih terhadap golonganku, Anak Muda. Tanpa adanya kami mana mungkin kau akan memperoleh nama harum?"
"Kurasa tidak ada gunanya perdebatan ini diteruskan, Raja Monyet. Atau, kau memang lebih gemar berbicara dari pada bertarung?"
Sambutan Raja Monyet Bertangan Seribu adalah sambaran kedua tangannya yang memiliki ukuran panjang di atas tangan manusia umumnya. Kakek gorilla ini memang memiliki ilmu silat yang sebagian besar bertumpu pada kedua tangan. Jarang sekali kakinya dipergunakan untuk menyerang.
Dewa Arak tak ragu-ragu lagi untuk menyambutnya dengan menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya. Dua tokoh lihai ini sesaat kemudian telah terlibat dalam pertempuran dahsyat!
Setan Bongkok menghela napas berat. Sungguh tidak disangka nyawanya akan tertolong oleh Dewa Arak. Semakin bertumpuk budi yang diberikan pemuda berpakaian ungu itu terhadapnya. Entah bagaimana Dewa Arak bisa berada di sini dalam waktu yang tepat dan cepat Atau, pemuda berpakaian ungu ini mengikuti perjalanannya?
Setan Bongkok tidak perlu berpikir lebih lama untuk menemukan jawabannya. Di kejauhan dilihatnya Cendana melesat cepat menuju tempat ini. Pasti Cendana yang memberitahukan hai ini pada Dewa Arak, duga Setan Bongkok.
"Syukur kau berhasil selamat, Paman Bongkok,'' ujar Cendana sambil berlari mendekat. Tak sabar menunggu dirinya lebih dekat dengan Setan Bongkok yang sekarang telah berdiri tegak. "Aku sudah khawatir sekali usahaku akan terlambat."
Setan Bongkok tersenyum. Senyum yang lebih pantas disebut seringai. "Jadi, kau yang menyebabkan pemuda itu sampai di sini dan menolongku pada saat yang tepat?" Setan Bongkok berusaha mencari kepastian mengenai dugaannya.
"Aku tidak punya pilihan lain, Paman Bongkok," Cendana memberikan jawaban sambil menundukkan kepala. Ia merasa bersalah telah meminta pertolongan pada orang yang semula justru menjadi lawan tarung Setan Bongkok.
"Aku rela kau marahi daripada harus kehilanganmu, Paman. Kaulah yang selama ini melindungiku. Tanpa adanya kau mungkin aku telah celaka. Cukup sudah aku kehilangan Guru. Aku tidak ingin kau pun pergi dari sisiku."
Sepasang mata Setan Bongkok mengerjap beberapa kali untuk mencegah runtuhnya air mata. Perasaan haru melanda hatinya. Kini dia mengerti mengapa tadi Cendana berlari bagai dikejar hantu. Rupanya, untuk mencari pertolongan! Agak menyesal Setan Bongkok karena telah menduga jelek terhadap Cendana.
Memang Cendana bernasib baik. Tepat pada saat dia tiba di tempat semula dirinya terlibat keributan dengan Tanggur. Dewa Arak baru hendak berpamitan meninggalkan keluarga Tanggur. Berkumpulnya lagi Tanggur bersama anak dan istrinya menjadi alasan Arya untuk selekasnya berpisah dengan Larasati. Arya melihat adanya benih-benih asmara dalam hati gadis itu. Dan, Arya tidak ingin perasaan suka Larasati terhadapnya semakin membesar.
Seperti dugaan Dewa Arak, Larasati terlihat keberatan. Tapi, sifatnya yang tenang membuat gadis itu berdiam diri saja. Ia tidak mengajukan keberatannya. Saat itulah Cendana datang membawa kabar mengenai ancaman maut terhadap Setan Bongkok. Arya jadi mempunyai alasan kuat untuk meninggalkan tempat itu.
Karena keadaan sudah gawat, demikian menurut penuturan Cendana, Arya berlari mendahului agar tidak terlambat. Usaha pemuda berambut putih keperakan itu ternyata berhasil. Setan Bongkok berhasil diselamatkannya.
"Aku tidak marah, Cendana. Malah sebaliknya, berterima kasih sekali atas usahamu. Aku terlalu rendah untuk mendapatkan pertolonganmu, Cendana. Aku orang yang telah berlumuran darah dan dosa. Tidak pantas untuk ditolong. Apalagi oleh gadis secantik dan segagah kau!"
Cendana mengibaskan tangan. "Apa pun katamu, Paman Bongkok. Bagiku kau merupakan orang yang paling mulia. Akan kuterjang orang yang berani menghinamu. Orang sedunia boleh menganggapmu jahat, tapi aku tidak!" lantang dan penuh semangat ucapan Cendana.
Setan Bongkok tidak kelihatan gembira. Dia bahkan semakin menundukkan kepala. Terpuruk dalam kesedihan yang mendera. Karuan saja hal ini membuat Cendana heran. Tapi sebelum Cendana yang penasaran melihat sikap Setan Bongkok mendesak lebih jauh, terdengar bentakan-bentakan nyaring. Kedengarannya berasal dari tempat yang cukup jauh. Terdengar derap langkah kaki sekejap telah menyusul. Tidak hanya satu, tapi beberapa pasang.
Setan Bongkok langsung sadar dari cengkeraman perasaannya. Tokoh ini segera mengetahui ada orang-orang berkepandaian luar biasa tinggi tengah menuju ke tempat ini. Cepatnya mereka mendekat, padahal dari teriakan-teriakan yang terdengar jaraknya masih jauh, telah menjadi pertanda ketinggian ilmu mereka. Setan Bongkok bersikap waspada. Dia bertindak cepat, berdiri di depan Cendana dengan sikap melindungi.
Padahal lelaki ini telah terluka! Gempuran-gempuran Raja Monyet Bertangan Seribu yang dahsyat telah melukai bagian dalam tubuhnya. Hampir berbarengan dengan pindahnya Setan Bongkok, melesat tiga sosok yang saling berkejaran. Sosok paling depan dikenali Cendana dan Setan Bongkok sebagai Pendekar Penyebar Asmara!
Pendekar Penyebar Asmara berlari sambil membopong tubuh Mirah, istrinya. Di belakangnya mengejar Kelabang Merah dan Gajah Kecil. Setan Bongkok melihat dari sudut mulut Pendekar Penyebar Asmara menetes cairan merah kental. Kiranya pendekar ganteng itu telah terluka dalam.
Karena telah terluka, tambahan lagi tengah membopong istrinya, dengan satu lompatan, Kelabang Merah berhasil mencegah perjalanan Pendekar Penyebar Asmara. Mau tidak mau Pendekar Penyebar Asmara menghentikan lari. Sekarang, Pendekar Penyebar Asmara dikepung dari dua arah. Pendekar ganteng yang masih bisa tersenyum itu menurunkan tubuh Mirah.
"Menyingkirlah dari sini, Mirah!" ucapnya lembut tapi penuh tekanan. Terasa jelas nadanya yang tak menghendaki bantahan.
Mirah tahu lawan-lawan suaminya amat tangguh. Dia pun tidak akan berarti banyak andaikata memberikan bantuan. Bahaya maut tengah mengancam suaminya. Dengan terisak Mirah menyingkir.
"Bersiaplah untuk menghadap malaikat maut, Pendekar Pemadat Wanita!" sentak Gajah Kecil penuh kegembiraan, karena menyadari sakit hatinya kali ini mungkin akan terbalaskan.
"Belum tentu, Gajah Kecil!" bantah Pendekar Penyebar Asmara. "Andaikata pun aku harus menghadap malaikat maut, setidak-tidaknya kau akan kubawa serta!"
Ucapan Pendekar Penyebar Asmara ini sebagian besar hanya berupa ancaman. Saat itu dia telah terluka. Itu terjadi karena pengeroyokan dua lawannya. Semula Pendekar Penyebar Asmara berhasil mendesak Gajah Kecil, tapi Kelabang Merah muncul dan membantu saingan beratnya itu. Pendekar Penyebar Asmara tak mampu menghadapi keroyokan mereka. Untungnya, dia sempat kabur sambil membawa Mirah.
Sayang, lukanya yang semakin parah karena dipaksa mengerahkan kemampuan untuk terus berlari membuat Kelabang Merah berhasil menghadangnya. Kelabang Merah yang memiliki watak tidak sabaran langsung menyerang Pendekar Penyebar Asmara dengan ilmu andalan.
Gajah Kecil tidak bisa tinggal diam. Dengan gelindingan yang menjadi ciri khasnya, dia ikut ambil bagian. Sebentar saja Pendekar Penyebar Asmara telah dikeroyok dan langsung terdesak.
Setan Bongkok tidak bisa berpangku tangan melihat hal ini. Meski sebenarnya kurang suka dengan Pendekar Penyebar Asmara, lelaki ganteng itu tengah diperlakukan tidak adil. Dikeroyok. Terlepas dari sifat pendekar itu yang jelek, Pendekar Penyebar Asmara adalah seorang tokoh golongan putih yang sejak bertahun-tahun lalu menentang kejahatan!
Nama dan tingkat kepandaiannya tidak berada di bawah tingkat kepandaian salah satu anggota Tiga Binatang Iblis Neraka. Pendekar Penyebar Asmara berada di atas tingkatan tokoh-tokoh seperti Siluman Harimau atau Mayat Sejuta Bunga.
Maka, melihat Pendekar Penyebar Asmara didesak hebat, Setan Bongkok terjun dalam kancah pertarungan. Dia menyerang Gajah Kecil! Dengan terjunnya Setan Bongkok di tempat itu terjadi tiga kancah pertarungan. Pertarungan yang paling dahsyat berlangsung antara Dewa Arak dengan Raja Monyet Bertangan Seribu. Ilmu tokoh tertinggi dalam kelompok Tiga Binatang Iblis Neraka ini memang luar biasa. Dewa Arak kendati telah menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' masih juga kewalahan menghadapinya.
Apalagi ketika Raja Monyet Bertangan Seribu menggunakan sepasang kecernya. Dewa Arak sempat kelabakan. Benturan kecer lawan yang tidak berbunyi tapi menimbulkan akibat-akibat dahsyat sempat membingungkannya. Tingkat penguasaan tenaga dalam Raja Monyet Bertangan Seribu memang telah mencapai puncak.
Itu masih ditambah lagi dengan seperti adanya hubungan batin antara kakek gorilla itu dengan senjatanya. Kedua hal itu membuat Raja Monyet Bertangan Seribu mampu menyalurkan keinginannya terhadap lawan lewat benturan sepasang kecernya. Menotok lumpuh, menidurkan, membuat lawan menangis, atau tertawa.
Dewa Arak sempat dibuat menangis. Untungnya, berkat pengalamannya yang banyak, pemuda berambut putih keperakan ini segera sadar dan mengusir pengaruh tak wajar itu dengan teriakan nyaring. Setelah itu setiap kali lawan membenturkan kecer, Dewa Arak berkumur-kumur dengan araknya. Bunyi kumur-kumur itu menangkal pengaruh benturan kecer yang tidak bersuara.
Berbeda dengan pertarungan Dewa Arak dengan Raja Monyet Bertangan Seribu yang tetap berlangsung sengit, pertarungan Pendekar Penyebar Asmara dan Setan Bongkok menghadapi lawan lawannya mulai menghadapi puncak! Lawan-lawan Pendekar Penyebar Asmara dan Setan Bongkok lebih menguntungkan. Mereka belum terluka. Apalagi tidak diambil jalan nekat, pertarungan lambat-laun akan dimenangkan kedua tokoh sesat itu.
Pendekar Penyebar Asmara dengan tingkat kepandaiannya yang hampir sejajar dan mengerahkan seluruh kemampuan terakhirnya segera membuat lawannya tersudut, hingga tidak bisa berbuat apa pun kecuali menangkis. Pendekar Penyebar Asmara menggunakan kesempatan ini untuk melancarkan serangan yang mengadu nyawa!
"Kak...!" seru Mirah melihat tindakan yang diambil Pendekar Penyebar Asmara. Wanita ini kaget bukan main.
"Paman Bongkok...! Jangan...!" Cendana berseru penuh kekhawatiran pula ketika melihat Setan Bongkok, dengan mengandalkan ilmunya yang istimewa, mengirimkan serangan mengadu nyawa yang menutup semua jalan keluar bagi Gajah Kecil.
Maksud Setan Bongkok dan Pendekar Penyebar Asmara memang tidak sia-sia. Gajah Kecil dan Kelabang Merah demi untuk menyelamatkan nyawa memapaki serangan itu dengan seluruh tenaga mereka.
Bresss! Blarrr!
Dua benturan keras yang membuat sekitar tempat itu bagai dilanda gempa bumi pun terdengar. Tubuh empat tokoh yang bertindak nekat itu berpentalan ke belakang sambil mengeluarkan jeritan menyayat hati!
Dengan berteriak kaget dan khawatir, Mirah serta Cendana meluruk ke arah tubuh Setan Bongkok dan Pendekar Penyebar Asmara. Kekhawatiran mereka meledak menjadi kesedihan ketika mendapati tubuh kedua tokoh perkasa itu tidak bangkit lagi untuk selama-lamanya! Dari mulut, hidung, telinga, bahkan mata Pendekar Penyebar Asmara dan Setan Bongkok mengalir darah segar.
Di tempat yang terpisah, belasan tombak jauhnya, Gajah Kecil dan Kelabang Merah pun menemui ajal! Keadaan mereka tidak berbeda dengan Setan Bongkok. Akibat benturan keras itu, pertarungan Dewa Arak dan Raja Monyet Bertangan Seribu terhenti. Keduanya lebih tertarik untuk memeriksa keadaan tokoh-tokoh yang bertindak nekat itu.
Raja Monyet Bertangan Seribu tercenung melihat mayat dua orang saingannya. Sementara Dewa Arak hanya memandangi dua wanita yang tengah berduka. Pandang mata Arya yang tajam melihat adanya keanehan pada mayat Setan Bongkok. Arya menegasi lebih seksama. Ternyata tidak salah. Ada bagian wajah Setan Bongkok, pada kening sebelah kanan terdapat kulit yang berbeda dengan sekitarnya.
Arya menghampiri dan duduk bersimpuh. Setelah melempar senyum duka pada Cendana, diulurkan tangannya memeriksa selebar wajah Setan Bongkok. Cendana yang bingung melihat tingkah Arya memperhatikannya dengan setengah hati. Dia masih terlalu sedih untuk memikirkan hal-hal lain Arya tidak hanya memeriksa wajah, tapi juga leher dari kulit tubuh lainnya. Tidak sulit bagi Arya untuk mengetahui kalau Setan Bongkok tidak setua kelihatannya.
"Dia memakai topeng, Nona. Mungkin kau, sebagai orang yang paling dekat dengannya ingin mengetahui siapa dia sebenarnya? Hidupnya pasti menyedihkan sehingga dia harus bersembunyi di balik topeng." beritahu Arya.
Cendana tidak langsung menanggapi pemberitahuan Arya. Dia masih dibalut kesedihan. Membutuhkan waktu yang cukup untuk mencerna kata-kata Arya. Kepalanya terasa pusing hingga tidak bisa diajak berpikir. Bahunya pun masih terguncang-guncang oleh tangis yang siap meledak.
Kemudian, dengan tangan gemetar Cendana mengikuti anjuran Arya. Dia pun melihat kalau Setan Bongkok ternyata mengenakan topeng. Kulit yang berbeda di kening kanan itu adalah kulit asli. Mungkin kulit topeng terkoyak akibat pertarungan.
"Aaa...!" Cendana mengeluarkan jeritan tertahan ketika melihat wajah lain di balik topeng itu. Wajah yang amat dikenalnya. Wajah Lesmana! Hanya saja wajah itu tidak beringas seperti dulu. Lembut. Sinar sepasang matanya pun tampak lembut.
Cendana kaget bukan main. Sepasang matanya membelalak lebar. Mulutnya pun menganga seperti orang melihat hantu. Beberapa saat dia bersikap demikian, sebelum akhirnya dengan mengeluarkan keluhan tertahan, gadis itu roboh ke tanah. Cendana pingsan! Dia tak kuat menahan guncangan batin yang bertubi-tubi itu.
Dewa Arak dan Mirah terkejut melihat kejadian yang menimpa Cendana. Untung, Arya sempat menyambut sebelum tubuh Cendana ambruk ke tanah. Pada saat itu Raja Monyet Bertangan Seribu rupanya berhasil menguasai perasaannya. Dengan langkah lebar dihampirinya Dewa Arak untuk diajak bertarung kembali!
Arya kaget. Apalagi ketika melihat Raja Monyet Bertangan Seribu mengeluarkan kecer. Saat itu tangannya tengah memondong tubuh Cendana. Dewa Arak tidak punya kesempatan untuk bertindak. Tepat di saat Raja Monyet Bertangan Seribu membenturkan kecer, mendadak saja, entah datang dari mana di tempat itu telah berdiri seorang kakek yang luar biasa pendek. Kepalanya botak mirip tuyul. Tanpa berkata apa pun kakek ini bertepuk tangan.
Seperti juga kecer, tepukan tangan kakek cebol tidak berbunyi. Tapi, akibatnya sepasang kecer Raja Monyet Bertangan Seribu hancur berkeping-keping. Tubuh Raja Monyet Bertangan Seribu sendiri terjengkang ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
"Kali ini aku mengaku kalah lagi, Elang Malaikat. Tapi kelak aku akan kembali," rutuk Raja Monyet Bertangan Seribu. Kemudian, berlari tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," ujar Dewa Arak dengan tersenyum.
Kakek cebol tidak menyambuti. Dipanggulnya tubuh Setan Bongkok alias Lesmana. "Dia muridku, Anak Muda. Untuk memberinya pengalaman aku pura-pura terluka parah ketika Mayat Sejuta Bunga dan Siluman Harimau kupergoki mencuri kitab. Padahal, luka-luka yang kuderita hanya sandiwara saja. Demikian pula kitab yang dicuri. Hanya kitab palsu. Aku memang membiarkan diriku dipukul oleh mereka. Sungguh tidak kusangka kalau perkembangannya akan jadi demikian jauh. Muridku dibuat gila oleh Mayat Sejuta Bunga. Maksud tokoh itu untuk dijadikan budak. Malang, dia malah tewas diamuk muridku. Untung aku segera mengobatinya sebelum angkara murka yang ditimbulkan muridku bertambah."
Arya sempat termangu. Kakek itu kelihatan acuh saja.
"Sayangnya, muridku telah membuat guru gadis itu tewas. Untuk menebus kesalahan dia mencoba menjadi pelindungnya. Tentu saja untuk itu dia harus menyamar. Namun, segalanya harus berakhir seperti ini." Kakek cebol yang ternyata Elang Malaikat, mengakhiri ceritanya.
Tanpa permisi lagi, Elang Malaikat kemudian melesat meninggalkan Dewa Arak. Angin bertiup sepoi-sepoi. Arya menatap kepergjan si kakek dengan tubuh Cendana masih dibopongnya. Tunggu serial Dewa Arak selanjutnya dalam episode Putri Teratai Merah
Sosok yang disebut Siluman Harimau tampak tidak mempedulikan teriakan itu. Bahkan, menoleh pun tidak. Dia terus berlari cepat.
Kakek berpakaian putih yang bertubuh jangkung dan bermuka pucat menggertakkan gigi. Ia geram bukan main. Sorot matanya yang tertuju pada Siluman Harimau menyiratkan kemarahan besar. Sepasang matanya yang sipit semakin bertambah sipit. Kakek itu meengerahkan seluruh ilmu larinya.
Tapi, usaha kakek berpakaian putih hampir tidak berarti. Meski lari kakek ini cepat bukan main sehingga tubuhnya terlihat sebagai kelebatan saja, jarak antara mereka tidak berubah. Siluman Harimau juga memiliki kecepatan lari yang menakjubkan. Kedua kakinya seperti tidak menjejak tanah karena cepatnya digerakkan. Sebentar kemudian, jarak telah terlampaui ratusan tombak. Meski begitu, kakek berpakaian putih tetap belum bisa merubah jarak.
Kakek ini semakin geram. Beberapa kali kedua tangannya dihentakkan bergantian ke depan. Angin luar biasa keras berhembus ke arah Siluman Harimau. Tapi, serangan itu dengan mudah dipatahkan. Siluman Harimau melompat ke atas sehingga angin deras itu lewat di bawah kedua kakinya.
Kakek berwajah pucat ini berseri wajahnya ketika melihat bukit-bukit kapur terhampar di depannya. Arah yang dituju si kakek dan Siluman Harimau memang puncak gunung. Mereka kini tengah berlari cepat di lerengnya. Lereng Gunung Kidul!
Si kakek kembali menghentikan kedua tangannya. Seperti yang diduganya, Siluman Harimau kembali melompat ke atas hingga pukulan jarak jauh itu lewat di bawah kedua kakinya. Tapi, begitu Siluman Harimau menjejakkan kaki di tanah, sesuatu yang direncanakan kakek berpakaian putih pun terjadi. Batu-batu kapur sebesar kepala kerbau yang terkena pukulan jarak jauh kakek berpakaian putih meluncur ke arah Siluman Harimau dan kakek itu.
Siluman Harimau tidak menjadi gugup. Dia menggeram keras laksana seekor harimau murka. Batu-batu yang mengancamnya berpentalan ke berbagai arah sebelum berhasil menyentuh kulit tubuhnya, seakan di sekitar tubuh Siluman Harimau memancarkan kekuatan menolak yang luar biasa!
Kakek berpakaian putih tidak menjadi kecil hati. Dia tahu batu-batu itu tak akan dapat melukai, apalagi sampai membunuh Siluman Harimau. Tokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Jadi, tak akan semudah itu ditaklukkan. Tindakan tadi dilakukan si kakek hanya untuk menghambat lari Siluman Harimau. Waktu yang hanya sekejap itu telah membuat si kakek berhasil menyusul lawannya.
"Hendak lari ke mana lagi kau, Siluman licik?!" ejek kakek berpakaian putih.
Siluman Harimau yang juga seorang kakek, hanya saja bertubuh tinggi besar, menatap kakek berpakaian putih yang telah berada di depannya. Dua pasang mata saling berpandangan dengan sorot penuh tantangan. Sikap mereka tak ubahnya dua ekor ayam jago yang hendak berlaga.
"Ha ha ha...!" Tawa bergelak dikeluarkan Siluman Harimau. Tawa yang membuat tubuhnya berguncang-guncang. Wajahnya yang memang mirip wajah harimau, apalagi dengan adanya dua buah taring di sudut-sudut mulutnya, terlihat menyeramkan dan menggiriskan hati.
"Rupanya kau sudah ingin melihat alam kubur, Donggala? Kalau belum, mumpung aku belum kehilangan kesabaran, cepat menyingkir dari hadapanku!"
"Aku akan menyingkir apabila kau mengembaliain kitab milik majikanku, dengan ditambah sebelah taringmu atas kekurangajaranmu mempermainkanku, Siluman Harimau!" tandas Donggala, dingin.
Tawa Siluman Harimau semakin keras. Ancaman Donggala dianggapnya lelucon. Kakek bermuka harimau ini tidak marah atau pun tersinggung. Wataknya yang periang membuatnya tidak mudah dipengaruhi amarah.
"Kau lucu, Donggala. Ingin kulihat berapa tebal kulit wajahmu sehingga kau begitu tak tahu malu menyebut-nyebut tua bangka yang bernasib malang itu sebagai majikanmu! Kau yang telah diperlakukannya dengan baik malah mencelakai dan mencuri kitabnya! Seekor anjing pun tak akan bertindak sekeji itu pada tuannya, Donggala! Kau lebih hina dari pada seekor anjing! Kitab ini tak akan kuberikan padamu! Sekarang kau mau apa?!"
Donggala menggertakkan gigi. Ucapan Siluman Harimau jelas-jelas merupakan tantangan. Tidak ada pilihan baginya untuk mendapatkan kitab itu kembali kalau tidak melalui perkelahian.
"Kalau itu maumu, aku tidak punya pilihan lain! Kau yang memaksaku untuk menjadikanmu harimau mati! Aku tidak akan berlaku lunak lagi padamu, Siluman Harimau! Mulai sekarang kau bukan rekanku lagi!" tandas Donggala, keras.
Siluman Harimau kembali tertawa keras. Ancaman Donggala tidak membuatnya gentar. Bahkan tawanya berkesan melecehkan. "Pada orang lain kau mungkin bisa mengucapkan kata-kata palsu seperti itu, Donggala. Tapi tidak padaku! Orang macam kau mana bisa dipercaya?! Jangankan aku yang tidak pernah menanam budi padamu, majikanmu yang demikian baik hati padamu saja kau balas dengan perbuatan keji!"
Hanya sampai di situ kata-kata Siluman Harimau. Donggala dengan kemarahan yang meluap-luap telah mendorongkan kedua tangannya bergantian ke depan secara perlahan. Angin dingin yang diiringi bau busuk menyengat berhembus ke arah Siluman Harimau.
"Ilmu 'Pukulan Racun Bunga Salju'...," desis Siluman Harimau begitu merasakan akibat pukulan Donggala. "Rupanya kau masih ingat ilmu jelekmu itu, Donggala, kendati kau lama menjadi budak tua bangka yang telah kau khianati itu...!"
Siluman Harimau melompat ke belakang. Ia bersalto beberapa kali untuk menjauhi Donggala. Kedua tangannya dipukulkan bertubi-tubi ke depan secara cepat. Seketika deru angin berhawa panas disertai bau sangit menguak. Bunyi letupan terdengar begitu dua angin pukulan itu bertemu di udara. Titik-titik air berjatuhan. Tanah kapur yang semula putih kekuningan langsung berubah hitam pekat seperti terbakar ketika terkena tetesan air.
Donggala, yang seperti juga Siluman Harimau, terhuyung-huyung ke belakang akibat benturan itu. Ia mendengus mengejek. "Pukulan Seribu Macan Api'-mu masih cukup bagus, Siluman Harimau...!"
Meski kelihatan seperti memuji, Siluman Harimau tahu kalau Donggala mengejeknya. Tapi, dia malah tertawa. Tawa yang lebih mirip auman seekor harimau!
Donggala menyambut tawa itu dengan terjangan. Ia mempergunakan 'Ilmu Pukulan Racun Bunga Salju' yang menjadi andalan. Siluman Harimau menyambutinya.
Pertarungan antara mereka pun tidak bisa dielakkan lagi. Dua tokoh itu sama-sama lihai. Mereka mempunyai ilmu yang memiliki dasar tenaga dalam berlawanan. Jalannya pertarungan tampak seru sekali. Siluman Harimau mempunyai gerakan yang cepat dan liar serta penuh dengan penyerangan. Sebaliknya, Donggala lebih memusatkan pada pertahanan. Gerakannya lambat tapi penuh dengan tenaga!
Sebentar saja belasan jurus telah terlampaui. Selama itu jalannya pertarungan belum berubah. Dua kakek itu sama-sama tangguh!
"Donggala...! Manusia tak kenal budi! Kau harus mendapat hukuman atas kekejian yang kau lakukan terhadap Guru...!"
Seruan lantang penuh getaran kemarahan itu berkumandang. Keras dan berpengaruh hebat! Dinding-dinding kapur sampai bergetar keras. Pertarungan antara Donggala dan Siluman Harimau langsung terhenti. Kedua kakek itu bersamaan melompat mundur dan mengalihkan perhatian pada si pendatang baru.
"Kiranya kau, Lesmana. Sungguh besar nyalimu mengejarku, Bocah Bau Kencur? Pergilah cepat! Tinggalkan tempat ini! Atau, kau ingin kujadikan seperti tua bangka dungu yang menjadi gurumu itu...!" sahut Donggala dengan sikap meremehkan.
Pemilik seruan, Lesmana, seorang pemuda bertubuh tegap, dan berahang kokoh, mengepalkan tinju. Sepasang matanya menatap tajam ke arah Donggala, bak mata seekor burung elang mengincar mangsa! Tajam bukan main dan penuh ancaman!
"Kaulah yang akan kuseret ke hadapan Guru untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan biadabmu. Cepat serahkan Kitab Seribu Racun Tanpa Obat! Jangan tunggu sampai aku merampasnya darimu!"
"Ha ha ha...!" Siluman Harimau tertawa bergelak. Kakek itu kelihatan gembira sekali. "Donggala..., Donggala... Nasibmu jelek sekali. Seorang bocah yang baru lepas dari tetek ibunya berani mengancammu seperti itu!"
"Tutup mulutmu, Siluman Harimau!" sentak Donggala dengan wajah merah padam menahan amarah. "Setelah menghancurkan mulut bocah yang kurang ajar ini, kau pun akan kubereskan!"
Wajah Lesmana berubah. Ditatapnya Siluman Harimau. Dia telah mendengar banyak tentang tokoh itu. Seorang pentolan kaum sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Kejam dan memiliki ilmu racun hebat! Jantung Lesmana berdebar tegang.
"Kau kelihatan kaget mendengar ucapanku, Bocah Sombong?!" dengus Donggala. "Tak menyangka kau akan bertemu dengan Siluman Harimau? Sebagai tambahan dan untuk menghilangkan kesombonganmu, kuberitahu kalau aku saingan terberat Siluman Harimau. Aku yakin tua bangka gila yang dungu itu telah bercerita banyak padamu!"
"Siapa kau sebenarnya, manusia tak kenal budi...?!"
"Orang yang kau kenal selama ini sebagai Donggala tak lain dari Mayat Sejuta Bunga, Pemuda Ingusan...!" selak Siluman Harimau sebelum Donggala memberikan jawaban.
Lesmana terjingkat ke belakang saking kagetnya. Dengan pandangan tak percaya ditatapnya Donggala. Kakek itu hanya mendengus.
"Sekarang tidak ada gunanya lagi, Pemuda Sombong! Meski kau merangkak-rangkak memohon ampun, aku tidak akan memenuhinya. Kesempatan yang tadi kuberikan tidak kau gunakan. Bersiaplah menerima kematian! Tapi, bisa jadi aku akan membiarkanmu pergi dari sini. Tentu saja dengan satu syarat! Kau harus memaki-maki gurumu. Dengan begitu mungkin aku akan memperbincangkan untuk tidak membunuhmu. Mungkin hanya kedua kakimu yang kuambil. Bagaimana?!"
"Sampai mati pun aku tidak sudi! Jangan kau kira aku takut. Apa pun yang terjadi kau akan kubawa ke hadapan guruku, Donggala!"
"Kalau begitu, mampuslah...!" Donggala alias Mayat Sejuta Bunga membuka serangan dengan ilmu andalan.
Lesmana tidak gentar. Pemuda ini berteriak keras bagai garuda murka. Tangannya didorongkan ke depan. Tidak hanya Mayat Setuju Bunga, Siluman Harimau pun kaget melihat angin serangan Donggala terhempas balik.
Siluman Harimau sendiri tidak mampu melakukan hal itu! Mayat Sejuta Bunga marah bukan main. Ia merasa malu melihat hasil serangannya. Serangan yang lebih hebat pun dilancarkan. Tapi, Lesmana memang seorang pemuda luar biasa. Dia mampu menghadapinya dengan baik.
Setelah lima belas jurus pertarungan berlangsung, Mayat Sejuta Bunga kehabisan kesabaran. Ilmu andalannya penuh keistimewaan. Kekuatan tenaga dalam Lesmana membuat serangannya membalik sebelum mendekati sasaran. Malah, beberapa kali Mayat Sejuta Bunga sendiri yang mengisap hawa beracun dari serangannya. Tentu saja sebagai pemiliknya hal itu tidak berarti apa-apa.
Siluman Harimau kendati terkejut melihat kemampuan Lesmana, tak henti-hentinya mengeluarkan ejekan terhadap saingannya. Hal ini membuat kemarahan Mayat Sejuta Bunga semakin berkobar. Karena yakin Mayat Sejuta Bunga tidak akan bisa merobohkan Lesmana dengan cepat, Siluman Harimau dengan sikap seenaknya meninggalkan tempat itu. Mayat Sejuta Bunga geram bukan main. Tapi, apa dayanya? Lesmana tidak membiarkan dia meninggalkan kancah pertarungan.
Mayat Sejuta Bunga hanya bisa melihat sekejap kepergian Siluman Harimau. Kecil sekali kemungkinannya kitab yang dibawa Siluman Harimau dapat direbutnya. Itu terjadi karena kehadiran Lesmana. Maka, kepada pemuda itu luapan amarahnya dilampiaskan!
Mayat Sejuta Bunga melempar tubuh ke belakang menjauhi Lesmana. Pemuda itu mengejar seraya bersiap melancarkan serangan. Mayat Sejuta Bunga yang telah memutuskan untuk segera mengakhiri pertarungan, langsung bertindak.
Kakek berpakaian putih ini menarik napas dengan kedua tangan dirangkapkan ke depan dada. Kemudian, cepat dihembuskannya. Wangi bunga yang aneh menyebar dari sekujur tubuh kakek itu. Lesmana yang tidak memperhitungkan hal ini segera menahan napas. Namun, tindakan pemuda ini terlambat. Bau wangi itu keburu dihisapnya. Seketika rasa pusing menyergap. Tenaganya langsung lenyap. Tubuh Lesmana ambruk sebelum serangannya dirampungkan!
Mayat Sejuta Bunga menghembuskan napas berat. Itulah ilmu yang membuatnya dijuluki Mayat Sejuta Bunga. Sebuah ilmu yang hanya digunakan dalam keadaan terjepit. Bila lawan mampu segera menangkalnya, dia yang akan kehabisan tenaga. Ilmu itu memang banyak menguras tenaga.
Mayat Sejuta Bunga menghampiri Lesmana. Kemudian, ujarnya dengan sinis dan penuh ancaman. "Kau akan menerima ganjaran atas perbuatanmu yang sok pahlawan, Pemuda Sombong!"
* * *
"Sebenarnya untuk apakah kita ke sana, Nek? Bukankah lebih enak tinggal di tempat kita. Berhari-hari sudah kita melakukan perjalanan dan kau hanya menyebutkan nama tempat itu, tanpa kutahu maksud dan kepergian kita ke sana," ucap seorang gadis cantik dengan penuh penasaran.
Sang nenek yang menjadi tumpahan kekurangsenangan gadis berpakaian kuning itu hanya terkekeh pelan. Dia terus saja mengayunkan kaki dengan dibantu tongkat bututnya. Di sebelah si nenek, gadis berpakaian kuning menunggu jawaban dengan perasaan tidak sabar yang terlihat jelas di wajahnya.
Tingkah sang nenek yang beranting-anting sebesar gelang dan berpakaian hitam membuat si gadis tidak sabar lagi. Ia rupanya memiliki watak manja. Dengan mulut meruncing, menunjukkan bibirnya yang indah dan ranum, si gadis menghentikan langkah.
"Mengapa berhenti, Cendana?" tanya si nenek pelan, sarat dengan kasih sayang. Ia sedikit pun tidak marah melihat sikap si gadis. Si nenek berhenti melangkah. Beberapa tindak di depan Cendana, tubuhnya dibalikkan. "Dalam beberapa hari kita akan sampai di sana. Ayo, teruskan perjalanan."
"Tidak!" bantah Cendana dengan mulut cemberut "Sebelum Nenek memberikan penjelasan kepadaku mengenai kepergian kita, aku tidak akan beranjak dari sini!"
Cendana menguatkan tekadnya dengan duduk di tanah. Kedua kakinya terjulur. Ia tak peduli tindakan itu membuat celananya kotor. Si nenek menghela napas berat. Didekatinya Cendana. Gadis itu berpura-pura tidak melihat. Sepasang matanya yang bening indah dilayangkan ke sekitarnya, yang terlihat hanya batu kapur.
"Baiklah, Cendana. Aku akan memenuhi permintaanmu." "Nah! Begitu dong, Nek. Nenek memang bijaksana. Aku yakin Nenek akan memenuhi permintaanku!" sambut Cendana dengan gembira. Ia bangkit berdiri dan mencium pipi si nenek.
Sang nenek terkekeh pelan hingga kelihatan bagian mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi. "Kau memang pandai membuat orang menuruti kehendakmu, Cendana," tegur si nenek yang ditanggapi Cendana dengan tawa. "Dengar baik-baik," si nenek mulai dengan penjelasannya. "Kita akan pergi ke Puncak Bukit Angsa, di balik Gunung Kidul ini, untuk menemui seorang pendekar besar berilmu tinggi, yang disegani belasan tahun lalu. Sayang, pendekar ini memiliki satu cacat."
Cendana mengernyitkan kening. Dirasakan ada keluhan di dalam suara si nenek. Cendana adalah seorang gadis yang cerdik. Dia segera dapat menduga kalau si nenek memiliki hubungan yang cukup erat dengan sang pendekar.
"Pendekar itu tak boleh melihat jidat licin," sambung si nenek dengan nada getir.
"Jidat licin, Nek? Apa itu?" tanya Cendana bingung.
Si nenek terkekeh. Geli melihat kepolosan muridnya. "Cendana... Cendana.... Jidat licin itu, maksudnya wanita cantik."
Cendana mengangguk-anggukkan kepala sambil membulatkan bibirnya. "Apakah aku termasuk jidat licin, Nek?"
"Bukan saja licin, Cendana. Tapi, sangat licin!" tandas si nenek "Kau tahu, Cendana. Kau memiliki wajah yang amat cantik. Yakin kau akan menjadi rebutan para pemuda."
"Mereka akan terkaing-kaing pergi dariku, Nek!" sahut Cendana.
"Heh? Mengapa begitu, Cendana?!"
"Aku tak mau direbut-rebutkan. Aku kan bukan benda atau makanan. Lagipula, aku lebih suka tinggal bersama Nenek. Nenek kan sudah tua. Siapa lagi yang akan merawat Nenek kalau bukan aku!"
Sang nenek terkekeh geli. Kepalanya digoyang-goyangkan sehingga sepasang antingnya terayun-ayun "Percayalah, Cendana. Kau tak akan bisa mengingkari kodrat. Akan tiba masanya kau jatuh hati pada lelaki. Dan...."
"Sudahlah, Nek. Aku jemu mendengar tentang lelaki. Aku lebih suka kau ceritakan tentang maksud kepergian kita!" potong Cendana yang merasa kurang senang mendengar uraian sang Nenek.
"Baiklah, Cendana." Nenek berpakaian hitam mengalah. "Tapi, camkan kata-kataku itu. Sekarang mengenai sang pendekar. Setiap kali melihat jidat licin, dia terpincuk. Pendekar itu memang gila wanita cantik. Anehnya, entah mengapa setiap wanita selalu mencintainya. Karena itu, dunia persilatan menjulukinya sebagai Pendekar Penyebar Asmara. Tak terhitung sudah wanita-wanita cantik yang patah hati karena tindakannya."
"Jahat sekali dia!" tandas Cendana, geram. "Kalau bertemu nanti, akan kuketuk kepalanya!"
Si nenek tersenyum. Geli hatinya mendengar ancaman Cendana. "Dia tidak jahat, Cendana. Bagi wanita-wanita yang mau hidup bersamanya, harus rela menekan perasaan. Beberapa di antara mereka mampu. Pendekar Penyebar Asmara hidup bersama tiga istrinya. Mereka rela dimadu daripada kehilangan pendekar itu."
Cendana mengepalkan tinju. Tampak jelas rasa tidak senangnya "Lalu, untuk apa kita pergi ke sana?"
"Mempertemukanmu dengan Pendekar Penyebar Asmara."
"Untuk apa, Nek?"
"Sedikit membalas sakit hatiku, Cendana," jawab sang nenek dengan suara agak bergetar. Sepasang mata tuanya tampak dipenuhi air.
Cendana menatap wajah si nenek penuh selidik. Ada rasa iba di hatinya. Kendati sering membantah dan tak menuruti ucapan si nenek, Cendana menyayanginya. Karenanya, kesedihan si nenek membuat gadis itu mengambil keputusan untuk memenuhi perminttannya.
"Apakah Nenek termasuk wanita yang patah hati oleh perbuatan Pendekar Mata Bongsang itu?"
"Pendekar Mata Bongsang?" ulang si nenek. Sesaat dia lupa pada kesedihannya.
"Bukankah orang yang mudah terpincuk oleh wanita cantik disebut mata keranjang, Nek? Dan, keranjang masih ada pertalian saudara dengan bongsang. Apa salahnya kalau kusebut dia Pendekar Mata Bongsang?" kilah Cendana.
Sang nenek terkekeh geli. Harus diakuinya, semenjak tinggal dengan Cendana, tak terhitung sudah tawa lepas keluar dari mulutnya. Tingkah Cendana yang lucu dan polos membuatnya tak bisa menahan tawa. Perasaan sedih tak pernah lama bersarang di hatinya. Cendana selalu menemukan cara yang tepat untuk mengusir kesedihannya.
DUA
"Tidak, Cendana." Si nenek menggeleng. "Aku tidak termasuk dalam deretan wanita-wanita yang tertarik pada Pendekar Penyebar Asmara. Tapi harus kuakui, lelaki itu memang amat menarik. Kalau saja belasan tahun lalu usiaku lebih muda dua puluh tahun, mungkin aku pun akan tertarik padanya."
"Kalau demikian, mengapa nenek sakit hati padanya?" kejar Cendana, penasaran.
"Muridku tewas akibat ulahnya. Meski bukan sepenuhnya kesalahan Pendekar Penyebar Asmara, tapi dia bertanggung jawab atas kematian muridku!" tegas di nenek sambil mengarahkan pandangan ke langit. Seakan-akan di sana ada sesuatu yang dicarinya. Sepasang matanya kembali berkaca-kaca. Kejadian bertahun silam itu rupanya masih membekas di hatinya.
"Bagaimana kejadiannya, Nek? Mengapa selama ini Nenek tak pernah menceritakannya padaku? Mengenai peristiwa itu, maupun tentang murid Nenek sebelum aku."
"Aku sengaja tidak menceritakannya, Cendana," jawab si nenek tanpa mengalihkan pandangan. "Aku tidak ingin mengorek luka lama. Dengan tidak menceritakannya, aku seperti lupa akan hal itu. Apalagi keberadaanmu lebih berarti dari pada muridku yang dulu."
Si nenek kemudian menatap wajah Cendana lekat-lekat. Dua pasang mata mereka saling bertatapan.
"Muridku yang terpikat hatinya oleh Pendekar Penyebar Asmara telah menyerahkan jiwa dan raganya pada pendekar itu. Tapi, ketika muridku meminta Pendekar Penyebar Asmara untuk menjadikannya sebagai istri, si pendekar itu mengajukan syarat. Muridku tidak bisa mengekang kebebasannya. Jadi, Pendekar Penyebar Asmara boleh memiliki istri semaunya, asal wanita yang diingininya bersedia. Syarat Pendekar Penyebar Asmara tidak bisa dipenuhi muridku. Pendekar Penyebar Asmara lalu meninggalkannya."
"Kejam sekali dia!" rutuk Cendana. "Apakah murid Nenek itu tidak menghalangi kepergiannya?"
"Apa daya muridku yang memiliki ilmu seujung kuku Pendekar Penyebar Asmara? Tanpa menemui kesulitan pendekar itu pergi. Muridku yang ternoda dan dalam cekaman rasa kecewa, setelah mengadu padaku, ia lalu membunuh diri di hadapanku! Dia tidak pantas lagi hidup, katanya."
"Itu kejadian belasan tahun silam. Sekarang kau baru hendak membalas dendam, Nek?" tanya Cendana dengan tidak senang.
"Aku tidak bermaksud melakukan pembalasan secara keras, Cendana. Kepandaian Pendekar Penyebar Asmara terlalu tinggi untuk kuhadapi. Tak sampai setahun setelah kematian muridku, aku yang mencari-cari pendekar itu berhasil menemukannya. Pertarungan antara kami terjadi. Aku berhasil dirobohkannya. Tapi, Pendekar Penyebar Asmara tidak membunuhku. Bahkan, dia menyatakan penyesalan ketika mendengar dariku tentang nasib naas yang menimpa muridku," si nenek mengakhiri kisahnya.
Suasana menjadi hening setelah nenek berpakaian hitam menghentikan ceritanya. Kedua wanita itu tenggelam dalam alun pikiran sendiri-sendiri.
"Pembalasan apa yang hendak kau lakukan, Nek?" tanya Cendana memecah keheningan yang mencekik.
"Begini, Cendana. Kau memiliki wajah yang amat cantik. Aku yakin sembilan dari sepuluh lelaki akan jatuh cinta padamu. Pendekar Mata Bongsang itu pun akan terpikat padamu. Kuharap kau sudi membalas sakit hatiku dengan berpura-pura menyukainya. Kau harus mempermainkannya dan jangan sampai terpikat padanya. Buktikan kalau ucapan yang tadi kau katakan mengenai lelaki, benar adanya."
"Bagaimana kalau pendekar itu melakukan kekerasan padaku, Nek? Bukankah kepandaiannya amat tinggi? Tidak akan sulit baginya melakukan hal itu!" Cendana mengutarakan kekhawanrannya.
Si nenek tersenyum lebar dan menggelengkan kepala. "Itu tidak akan terjadi, Cendana. Meski gemar wajah-wajah cantik, Pendekar Penyebar Asmara tidak pernah melakukan kekerasan untuk mendapatkan tubuh wanita yang disukainya. Dia terlalu tinggi hati untuk melakukan hal serendah itu. Tambahan lagi, dia merupakan tokoh golongan putih. Pantangan besar bagi seorang pendekar melakukan hal seperti itu."
Cendana membisu. "Bagaimana, Cendana?" tagih si nenek "Apakah kamu sekarang masih hendak mogok jalan?"
"Tentu saja tidak, Nek. Dengan senang hati aku akan ikut denganmu. Ceritamu mengenai Pendekar Bermata Bongsang itu semakin menambah besar keinginanku untuk ikut. Aku jadi ingin tahu sampai di mana ketampanan pendekar itu hingga membuat wanita tergila-gila kepadanya!"
Nenek berpakaian hitam tersenyum gembira bercampur geli. Lenyap sudah kesedihan yang semula melanda hatinya, bak awan tertiup angin.
* * *
"Lurik...! Kembali...!" seru seorang gadis. Pandangannya diarahkan ke angkasa. Di sana yang dipanggilnya berada.
Lurik yang ternyata seekor burung elang hitam berbintik-bintik putih seakan tidak mendengar seruan itu. Dia terus melesat ke arah puncak salah satu gunung di deretan Pegunungan Sewu.
Gadis berpakaian hijau pupus tampak cemas bukan main. Setelah kebingungan sesaat, dia melesat mengejar ke arah yang dituju burung itu. Tentu saja gadis yang memiliki wajah cantik dengan bentuk wajah bulat telur harus beberapa kali melihat ke angkasa agar tidak kehilangan jejak.
Gadis berpakaian hijau pupus ini mengejar dengan perasaan heran. Baru kali ini Lurik tidak mempedulikan seruannya. Biasanya binatang itu amat penurut. Malah, tidak pernah meninggalkan tempatnya bertengger di cabang pohon dekat pondok si gadis.
"Larasati, hendak ke mana kau...?!" seru seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, berkulit hitam legam dan bergigi tonggos. Lelaki ini tengah berada di dalam rumah. Ia keluar karena mendengar kegaduhan di depan.
Larasati, si gadis berpakaian hijau pupus, menoleh sebentar. "Aku hendak mengejar Lurik dulu, Ayah. Tingkahnya kelihatan aneh bukan main!" jawab Larasati.
"Hati hati, Laras...!" seru lelaki bergigi tonggos lagi.
Kali ini tidak mendapatkan jawaban dari Larasati. Meskipun demikian, lelaki ini tidak menjadi kecil hati. Dia yakin Larasati mendengar seruannya. Itu sudah cukup. Larasati adalah seorang anak yang taat pada orangtuanya, terutama sekali ayahnya. Setiap nasihat ayahnya selalu diperhatikannya baik-baik. Itulah sebabnya, kendati tidak mendapatkan jawaban, lelaki itu tidak menjadi khawatir.
"Apa yang terjadi, Kak Tanggur?" tanya seorang wanita setengah baya ketika lelaki bergigi tonggos melangkah ke ambang pintu, hendak masuk kembali ke dalam rumah.
"Lurik bertingkah aneh. Larasati tengah mengejarnya untuk membawanya pulang," jawab lelaki itu.
"Kau biarkan dia pergi, Kak?" desak wanita berpakaian abu-abu, tak puas. Sinar matanya penuh tuntutan.
"Mengapa tidak, Sakini? Larasati bukan gadis sembarangan. Dia telah memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi bahaya di jalan. Lagi pula, tempat ini sepi. Tidak pernah dikunjungi orang. Untuk apa dicemaskan?" bantah Tanggur, ringan.
"Kalau terjadi sesuatu padanya di tengah jalan, bagaimana?" Si wanita yang menjadi istri Tanggur ini tampak begitu khawatir.
Tanggur menatap wajah istrinya lekat-lekat. Dia tidak menyalahkan sikap istrinya yang terlalu mencemaskan Larasati. "Larasati sudah dewasa. Aku yakin dia dapat menjaga diri. Dan lagi kepergiannya tidak jauh. Ingat, Sakini. Tak lama lagi Larasati harus terjun ke dunia persilatan untuk mengamalkan ilmunya dan mencari pengalaman. Di samping itu, agar mendapat jodoh yang sesuai. Apakah kau tidak ingin segera menimang cucu?"
Sakini mulai sedikit tenang. Ucapan Tanggur rupanya masuk akalnya juga. "Meski demikian, aku tetap khawatir, Kak Tanggur. Larasati masih terlalu hijau, sedangkan dunia persilatan demikian kejam dan tak kenal ampun...."
"Tenangkan hatimu, Sakini," hibur Tanggur. "Kelak apabila saatnya turun gunung tiba, aku akan memberikan nasihat-nasihat yang amat berguna untuk bekalnya. Berdoa saja pada Tuhan agar dia diberikan keselamatan."
Sakini sekarang benar-benar tenang. Dirasakan kebenaran semua ucapan suaminya. Dia tak membantah ketika Tanggur mengajaknya ke dalam.
Sementara di tempat lain, Larasati harus menguras seluruh kemampuannya agar tidak kehilangan jejak Lurik. Burung itu tidak mengalami hambatan dalam perjalanannya. Namun, tidak demikian halnya dengan Larasati. Lereng yang terjal dan curam membuatnya harus mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Jika tidak ingin celaka.
Begitu hampir mencapai puncak, Larasati mendengar bunyi pekikan khas burung. Tapi tidak hanya satu, melainkan dua! Satu di antaranya dikenal gadis itu sebagai pekikan Lurik. Larasati semakin bersemangat untuk secepatnya tiba di puncak. Pekikan Lurik yang didengarnya adalah pekik kemarahan! Ini berarti ada sesuatu yang membuatnya marah.
Begitu menjejakkan kaki di puncak, Larasati menjadi tidak senang. Di puncak yang memiliki dataran rata itu tampak Lurik tengah berusaha untuk terbang. Ia mengepak-ngepakkan kedua sayapnya. Tapi, binatang itu tidak mampu terbang. Lurik hanya diam di angkasa dengan kedua sayap terkepak-kepak.
Di bawah, duduk tiga orang kakek yang memiliki ciri-ciri menyeramkan. Salah satu di antaranya mirip monyet besar. Mulutnya membentuk sedemikian rupa, mirip orang yang tengah mengisap sesuatu.
Larasati yang memiliki kecerdikan segera mengetahui kalau bentuk mulut si kakek bukan karena dia tengah bermain-main. Karena mulut kakek gorilla itulah Lurik tidak bisa terbang! Kakek gorilla itu agaknya memiliki kepandaian tinggi. Setidak-adaknya dalam hal tenaga dalam. Tapi, Larasati tidak menjadi gentar karenanya. Kekhawatiran akan nasib Lurik membuatnya berani!
"Kakek jahat! Lepaskan burungku...!" seru Larasati. Kemudian melompat mengirimkan tendangan bertubi-tubi ke arah dada si kakek. Tendangan yang menimbulkan deru angin keras.
Kakek gorilla tersenyum dengan mempergunakan matanya. Bentuk mulutnya diubah. Tidak untuk menyedot melainkan meniup! Kembali Lurik mengeluarkan pekikan nyaring. Tubuh binatang itu terhempas jauh ke atas bagai dihembus angin yang luar biasa keras.
Des, des, desss!
Tendangan Larasati mendarat di sasaran dengan telak, karena kakek gorilla tidak mengelakkannya sama sekali. Tapi, kesudahannya bukan si kakek yang kesakitan. Justru Larasati yang memekik tertahan karena kaget dan sakit. Tubuh Larasati terpental ke belakang. Mulutnya yang memiliki sepasang bibir indah mengeluarkan jeritan. Larasati merasakan seolah yang ditendangnya bukan tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang, melainkan gumpalan karet yang keras dan kenyal!
"Raja Monyet, tak disangka kita menemukan alat yang dapat digunakan untuk menguji kemampuan kita! Sekarang, kita buktikan siapa yang lebih berhak untuk menduduki tempat pertama. Kau atau aku. Atau, Kelabang Merah!"
Kakek yang memiliki tubuh pendek bulat dan gemuk mirip bola, membuka suara.
"Benar!" sambung kakek terakhir yang dipanggil Kelabang Merah. Tokoh ini memiliki bentuk tubuh luar biasa. Tinggi kurus mirip bambu. Kulit tubuhnya merah seperti besi dipanaskan.
Larasati yang telah berhasil menjejak tanah, wajahnya berubah hebat, begitu mendengar percakapan ketiga kakek itu. Ayahnya telah bercerita banyak tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih.
Di antara tokoh-tokoh golongan hitam, julukan Raja Monyet yang lengkapnya Raja Monyet Bertangan Seribu, Kelabang Merah, dan Gajah Kecil merupakan tokoh-tokoh terbesar kaum hitam! Saking besarnya, mereka sampai malu untuk terjun ke dunia persilatan. Mereka merasa tidak memiliki lawan yang seimbang. Ketiga tokoh ini dikenal dengan sebutan Tiga Binatang Iblis Neraka!
Larasati tidak pernah membayangkan akan bisa bertemu dengan pentolan-pentolan dunia hitam yang sudah menjauhkan diri dari dunia persilatan ini. Menurut kabar, Tiga Binatang lblis Neraka lebih sibuk menentukan siapa di antara mereka bertiga yang paling lihai. Sekitar lima belas tahun mereka telah mengasingkan diri, dan mengadakan pertemuan lima tahun sekali untuk menentukan pihak yang terlihai dan patut disebut datuk sesat nomor satu.
Dari percakapan yang didengarnya, Larasati tahu kalau dirinya akan dijadikan sasaran uji coba pertandingan tiga tokoh sesat itu. Larasati tidak menginginkan hal itu terjadi. Maka, ketika dilihatnya Lurik telah bebas dari pengaruh ilmu Raja Monyet Bertangan Seribu, Larasati segera membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Tapi, baru beberapa kali lesatan larinya segera dihentikan. Beberapa tombak di depannya, telah berada Tiga Binatang lblis Neraka dalam sikap yang sama saat ditinggalkan! Mereka sibuk bercakap-cakap.
Larasati merasakan adanya ancaman bahaya. Tiga Binatang lblis Neraka tidak mau melepaskannya pergi. Karena itu mereka menghadangnya. Entah bagaimana hal itu terjadi, Larasati tidak mengerti. Dia tidak melihat ketiga kakek itu berlari mendahuluinya. Tahu-tahu mereka telah berada di depannya.
Kejadian kedua ini mengakibatkan Larasati lebih yakin kalau Tiga Binatang Iblis Neraka benar-benar memiliki kepandaian luar biasa tinggi. Rasanya tidak mungkin melarikan diri dari mereka dengan cara kekerasan. Maka, Larasati memasang senyum manis di bibir.
"Orang-orang tua gagah, berilah aku jalan. Aku hendak pulang dan menemui orangtuaku. Aku yakin sekarang mereka tengah menungguku dengan hati cemas," ujar Larasati dengan suara lembut dan sesopan mungkin.
Kelabang Merah mendengus. Sepasang matanya yang hampir tak ubahnya sebuah garis, menatap Larasati. Si gadis mengkirik bulu kuduknya melihat sepasang mata yang menyorot kehijauan itu!
"Salahmu sendiri mengapa datang ke tempat ini. Kau tidak bisa pergi sebelum urusanmu dengan kami selesai!"
"Kalau kau memiliki kepandaian, mungkin bisa meninggalkan tempat ini, Nona Cantik!" Gajah Kecil ikut menimpali sambil tersenyum lebar. Kakek ini memang terlihat aneh. Wajahnya selalu kelihatan tersenyum.
"Aku memiliki sedikit kepandaian. Tapi, apa artinya jika dibandingkan dengan kepandaian kalian, Orang-orang Tua Gagah yang memiliki kesaktian demikian menakjubkan!" bantah Larasati sedikit memuji.
"Kau pandai mengambil hati, Nona," Raja Monyet Bertangan Seribu tak mau ketinggalan. Kakek ini berbicara dengan tenang dan kelihatan penuh kesungguhan. "Harus kami akui kalau ucapanmu itu tepat! Karena itulah, kami tidak akan menarik keuntungan dari kelebihan yang kami miliki. Asal kau mampu bertahan dan serangan kami sejurus saja, kau boleh meninggalkan tempat ini. Kau boleh melakukan tindakan apa pun sesukamu, yang penting kau tidak roboh dalam sejurus. Bagaimana?"
Larasati terdiam sejenak. Gadis ini merasa heran. Raja Monyet Bertangan Seribu yang memiliki ciri-ciri mengerikan ternyata mempunyai sikap yang demikian halus. Perkataannya sopan dan lemah lembut, seperti bukan keluar dari tokoh sesat sakti yang mirip monyet besar itu.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?" pancing Larasati untuk mengetahui kelanjutan tindakan yang akan diambil Tiga Binatang Iblis Neraka. Terutama Raja Monyet Bertangan Seribu yang memiliki sikap sopan dan lemah lembut itu.
"Tentu saja tidak apa-apa, Nona," jawab Raja Monyet Bertangan Seribu masih dengan suara halus. "Hanya saja kami, terutama aku, akan memintamu memberikan tanda mata sebagai kenang-kenangan kalau kita telah pernah bertemu."
"Boleh kutahu tanda mata itu, Kek?" desak Larasati penuh rasa ingin tahu.
"Tidak banyak dan mudah saja, Nona. Hanya dua biji matamu, dan potongan ujung hidungmu, serta dua kakimu. Itu saja sudah cukup."
Leher Larasati bagai tercekik. Raja Monyet Bertangan Seribu kiranya tidak memiliki hati baik seperti ucapan-ucapannya yang sopan dan lembut. Kakek gorila ini memiliki hati yang luar biasa keji! Apa jadinya dengan dirinya bila tanda mata untuk kakek itu diberikan? Berdiri bulu kuduk Larasati membayangkannya.
Larasati marah bukan main, ia merasa dirinya dipermainkan. Tapi, kecerdikannya melarangnya untuk mengumbar kemarahan. Hal itu hanya akan merugikan dirinya. "Kalau begitu, aku pilih menghadapimu selama satu jurus, Kek. Tapi, apakah janji yang kau ucapkan bisa dipercaya? Tidakkah sia-sia apabila aku berhasil bertahan sejurus, kau akan menjilat ludah dan mengingkari janji?"
"Kalau kau mampu bertahan, Nona Cantik," Gajah Kecil memberikan jawaban lebih dulu. "Tidak hanya kami biarkan pergi. Tapi, kami bersedia menjadi budakmu! Ha ha ha...!"
"Akan kuingat kata-katamu itu, Kek!!" sambut Larasati cepat dengan hati lega. Secercah harapan bersemi di hatinya. Satu jurus tidak lama. Dia yakin akan mampu bertahan. Larasati segera mundur dua langkah untuk mengatur jarak. Dibentuknya kuda-kuda pertahanan yang amat kuat.
"Aku sudah siap, Kek. Silakan mulai. Siapa di antara kalian yang akan maju?!" beritahu Larasati setengah menantang. Gadis ini sengaja tidak bertindak sebagai penyerang, kemungkinan untuk dirobohkan lebih besar.
Dalam penyerangan, banyak bagian-bagian yang terbuka dapat dijadikan sasaran penyerangan. Ini dapat membuatnya lebih mudah untuk dirobohkan! Lain halnya bila dibentuk pertahanan. Semua celah yang ada tertutup!
"Kau cerdik, Nona," puji Raja Monyet Bertangan Seribu dengan mulut menyunggingkan senyum. Hanya, senyum yang terbentuk lebih mirip seringai karena wajah si kakek yang mengerikan "Tapi, kecerdikan seperti itu tidak ada artinya bila ditujukan padaku."
Belum juga lenyap gema suaranya, Raja Monyet Bertangan Seribu telah melesat ke arah Larasati dalam keadaan masih bersila! Kakek ini tak ubahnya melayang. Larasati yang memang sudah bersiaga sejak tadi langsung melompat ke belakang.
Raja Monyet Bertangan Seribu tetap memburunya. Jauh lebih laju dari pada gerakan menghindar Larasati. Begitu jarak antara mereka telah masuk dalam jangkauan serangan, kakek gorila itu melancarkan serangan dengan kedua tangannya yang besar dan berbulu!
Larasati kelabakan, melihat tangan Raja Monyet bertangan Seribu seperti berjumlah banyak. Sukar untuk diketahuinya mana yang asli dan bagian yang akan dijadikan sasaran serangan. Dengan sekenanya digerakkan kedua tangannya untuk membuat pertahanan!
Larasati mengeluh tertahan ketika kedua tangannya lemas begitu dirasakan ada jari-jari tangan menyentuh sikunya. Sebelum keterkejutannya hilang, jari-jari tangan lain telah menotok bahunya. Tubuh Larasati langsung lemas dan ambruk ke tanah tak ubahnya karung basah. Raja Monyet Bertangan Seribu memenuhi janjinya, merobohkan Larasati sebelum satu jurus usai!
'"Ilmu Tangan Bayangan-mu masih memiliki keampuhan juga, Raja Monyet," dengus Kelabang Merah bersikap merendahkan.
"Setidak-tidaknya masih lebih ampuh dari pada 'Ilmu Kelabang Terbang'-mu, Kelabang Merah!" sahut Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Rupanya kau ingin membuktikannya sekarang juga?!" Kelabang Merah yang memiliki sikap berangasan segera melangkah maju.
Raja Monyet Bertangan Seribu tenang-tenang saja. Kakek itu tetap diam di tempatnya. Sebaliknya, Gajah Kecil cepat-cepat menengahi. Kakek ini dengan langkah mirip menggelinding, menyelak di antara kedua saingannya.
"Kau jangan mau menang sendiri, Kelabang. Bukan hanya kau dan Raja Monyet saja yang ingin memperebutkan kedudukan pertama. Aku juga!"
"Barangkali saja dia sudah tidak sabar untuk segera mencoba kedahsyatan ilmu 'Kelabang Terbang'ku!" rutuk Kelabang Merah. Suaranya agak lebih lembut.
"Mungkin saja begitu," sambut Gajah Kecil. "Tapi, salah seorang dari kalian pasti akan mendapat dua lawan. Aku! Karena, aku tidak akan berdiam diri tanpa adanya lawan. Seperti biasanya, kita tentukan siapa yang lebih berhak untuk bertarung lebih dulu!"
Kelabang Merah hanya mendengus. Sedangkan Raja Monyet Bertangan Seribu menyeringai, mempertunjukkan gigi-geriginya yang besar-besar dan runcing.
"Usul yang bagus," puji Raja Monyet Bertangan Seribu. "Bagaimana pelaksanaannya?"
"Tidakkah membosankan selalu begitu untuk memulai pertarungan?" dengus Kelabang Merah.
"Kau mempunyai usul yang lebih baik, Kelabang?!" Gajah Kecil malah menantang.
Kelabang Merah melotot, marah. Tapi kemudian dia diam dengan dengus kesal dikeluarkan dari hidungnya.
TIGA
Seorang pemuda berpakaian ungu mengayunkan kaki seenaknya menyusuri medan berbatu-batu kapur. Angin yang sesekali berhembus agak keras mempermainkan rambutnya yang tergerai putih panjang. Sebuah guci perak tersampir di punggung. Pemuda ini tidak lain Dewa Arak. Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan, yang memiliki nama asli Arya Buana.
Ketenangan Arya terusik ketika di kejauhan, di lereng bukit kapur, melesat tiga titik yang semakin membesar dengan cepat. Pemuda yang selalu bertindak hati-hati ini segera bersembunyi di balik sebatang pohon jati besar. Dari tempat ini Arya mengintai!
Tiga sosok yang berasal dari puncak itu melesat dengan kecepatan mengagumkan. Begitu melihat dengan jelas cara ketiga sosok itu berlari, Arya mengernyitkan kening karena kaget dan heran.
Sosok yang pertama, jangkung laksana bambu dan berkulit merah, berlari dengan mengandalkan sepasang kakinya yang panjang. Langkahnya lebar-lebar. Tapi terkadang sosok ini berlari dengan mempergunakan kedua tangannya. Cara ini tidak membuat lari kakek jangkung berkurang kecepatannya. Malah, semakin bertambah cepat!
Sosok kedua bertubuh pendek gemuk dan berperut gendut. Ia berlari tak kalah cepat dengan kakek jangkung. Padahal, kedua kakinya pendek tak ubahnya kaki babi! Sesekali kakek pendek ini bergulingan bak bola menggelinding. Ini membuat larinya bertambhh laju!
Sosok ketiga tak kalah aneh caranya berlari. Kakek yang lebih mirip monyet besar daripada manusia ini lebih banyak melompat-lompat daripada mengayunkan kaki. Cara yang dipergunakannya membuat dua kakek terdahulu tidak bisa meninggalkannya. Mereka bertiga berlari berjajar!
Arya merasakan detak jantungnya bertambah cepat. Dari cara mereka berlari, bisa diketahui kalau ketiga kakek ini memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi. Semakin dekat jarak tiga kakek yang bukan lain Tiga Binatang Iblis Neraka, perasaan pemuda berambut putih keperakan ini semakin menegang. Jika ketiga kakek itu terus berlari ke kaki gunung, keberadaannya akan diketahui!
Bukan tidak mungkin akan terjadi bentrokan. Arya tahu, banyak tokoh-tokoh aneh di dunia ini yang meskipun tidak ada urusan, bisa dibuat sengketa yang berakhir dengan pertarungan. Kekhawatiran Dewa Arak ternyata tidak beralasan. Beberapa puluh tombak dari tempatnya berada ketiga kakek yang seperti tengah berlomba itu terlihat tidak akan turun lebih ke bawah. Mereka mengalihkan perhatian pada batu-batu kapur sebesar gajah yang berjajar di lereng gunung.
Ketiga batu yang menilik letaknya telah diatur sebelumnya. Cara tiga kakek bertindak terhadap batu-batu besar itu kembali mengundang kekaguman di hati Dewa Arak. Kakek jangkung menjulurkan kedua tangan. Tangannya yang memang sudah lebih panjang dari tangan manusia umumnya, memanjang lagi. Ia dapat menjangkau batu, yang hampir lima tombak jauhnya.
Kakek pendek menggunakan cara yang lebih gila! Batu itu ditabrak dengan gulingan tubuhnya. Tapi, tidak hancur atau terguling ke kaki gunung. Batu itu malah bertengger di atas kepalanya. Kakek gorila menghentakkan kedua kakinya sehingga membuat batu melayang ke arahnya. Diterimanya jatuhnya batu dengan menggunakan kepala. Batu itu mendarat dengan pelan bagai ditaruh dengan hati-hati. Dan, melekat seperti direkatkan!
Begitu mendapatkan batu, ketiga kakek ini membalikkan tubuh dan bersicepat menuju puncak. Batu sebesar gajah berada di atas kepala masing-masing. Meski dengan beban seberat itu, kecepatan lari mereka tidak berkurang.
Dewa Arak tercenung memperhatikan Tiga Binatang lblis Neraka yang semakin menjauh. Benak pemuda ini menduga-duga maksud tindakan ketiga kakek berkepandaian luar biasa itu. Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk mengikuti mereka. Ingin diketahuinya secara jelas maksud tindakan mereka. Barangkali saja ada sesuatu yang tidak menyenangkan yang akan mereka lakukan.
Dengan hati-hati, karena khawatir diketahui Tiga Binatang Iblis Neraka, Dewa Arak melesat ke arah puncak. Tak sampai puncak telah didengarnya teriakan-teriakan mereka. Arya sempat menangkapnya sedikit. Perlombaan tadi dimenangkan oleh Raja Monyet Bertangan Seribu. Sedangkan Kelabang Merah dan Gajah Kecil, seri!
Begitu tiba di puncak Dewa Arak segera menyelinap ke gundukan batu besar yang ada di situ. Pemuda berambut putih keperakan ini memang telah mengincar tempat itu sewaktu belum mencapai puncak. Dari tempat ini diamatinya sekitar puncak dan Tiga Binatang Iblis Neraka. Arya menghela napas berat ketika melihat keberadaan seorang gadis berpakaian hijau pupus. Gadis itu tergolek lemas di tanah. Gadis yang bukan lain Larasati itu tertotok lemas.
Tak jauh dari tubuh Larasati, tergolek bangkai dua ekor burung elang. Yang satu Lurik, sedangkan yang lain adalah burung elang yang menjadi kawan hidup Lurik. Lurik dengan nalurinya tahu akan adanya ancaman terhadap kawan hidupnya. Karena itu, dia pergi ke puncak Gunung Sewu ini untuk menolong. Tapi, binatang ini pun menjadi korban pula. Dia tewas akibat tangan Raja Monyet Bertangan Seribu yang kejam, meski selalu terlihat baik hati karena sikap dan gerak-geriknya yang lemah lembut.
Lurik tewas, jatuh ke tanah setelah terbang beberapa tombak. Larasati yang semula mengira binatang kesayangannya itu selamat, menangis di dalam hati. Marasa keliru kalau mengira Raja Monyet Bertangan Seribu akan melepaskan burungnya. Jangankan hanya seekor burung, nyawa manusia pun bagi kakek ini tak ubahnya nyawa nyamuk!
"Sekarang kalian berdua yang harus bertarung untuk menjadi lawanku," ujar Raja Monyet Bertangan Seribu sambil menatap kedua saingannya bergantian. "Seperti yang telah disetujui bersama, pertarungan tenaga dalam yang akan kalian lakukan. Dalam ilmu lari cepat dan meringankan tubuh, kalian berimbang. Sekarang, buktikan kalau salah satu di antara kalian pantas untuk melawan aku!"
Kelabang Merah mendengus. Suatu kebiasaan buruk yang telah menjadi ciri khasnya. Dengan kasar dia membuka percakapan. "Biar aku yang mulai lebih dulu...!"
Kelabang Merah kemudian membuat sepasang tangannya bertambah panjang. Kali ini yang menjadi sasaran adalah tubuh Larasati. Tangan-tangan Kelabang Merah yang memiliki jari-jari panjang dan berkuku hitam mencekal kedua pinggang Larasati.
Larasati yang bisa bersuara, memekik pelan. Kaget dan geli karena pinggangnya dicekal. Pekikannya berganti dengan makian ketika jari-jari tangan Kelabang Merah dengan liarnya meremas-remas dua bukit kembar di dadanya.
"Rupanya kau pandai memanfaatkan kesempatan, Kelabang! Atau, kau masih ragu-ragu untuk mulai menentukan keunggulanku?!" ejek Gajah Kecil.
Gajah Kecil mengeluarkan perkataan seperti itu bukan karena ingin menolong Larasati dari rasa malu. Sama sekali tidak! Malah, kakek ini suka melihat Larasati merasa malu dan menderita. Tapi, yang lebih penting baginya sekarang adalah menentukan siapa yang lebih unggul agar segera bisa bertarung dengan Raja Monyet Bertangan Seribu.
Kelabang Merah mendengus. Dengan sorot mata geram dilemparkan tubuh Larasati ke arah Gajah Kecil. Tak lupa, dibebaskan dulu totokan yang membuat gadis itu tak bisa bergerak. Kelabang Merah sengaja melakukan hal itu untuk membuat Gajah Kecil agak repot!
Maksud Kelabang Merah ternyata tidak berhasil. Gajah Kecil tanpa menemui kesulitan menangkap tubuh Larasati dan melemparkannya lagi ke arah Kelabang Merah. Kelabang Merah menangkap dan membalas melempar!
Larasati yang menjadi korban permainan ini memaki-maki tak henti. Apalagi ketika beberapa kali bukit kembar di dadanya tercekal tangan Kelabang Merah maupun Gajah Kecil! Dia mencoba untuk meronta, bahkan mengirimkan serangan begitu tubuhnya terlontar. Tapi, dengan mudah dipatahkan dan tubuhnya diterima kemudian dilontarkan kembali.
Menginjak puluhan kali lemparan, tubuh Larasati lebih sering tertutup pada Gajah Kecil! Baru selesai melempar dia telah menerima kembali. Ini menandakan Gajah Kecil masih kalah kuat tenaga dibanding saingannya, Kelabang Merah!
Napas Gajah Kecil mulai memburu. Dahinya yang lebar telah basah oleh keringat. Semakin lama deru napasnya semakin memburu dengan cepat. Ketika kembali tubuh Larasati meluncur ke arahnya, Gajah Kecil mengibaskan tangan. Tubuh Larasati pun melayang. Ke tanah.
"Bagus! Kau telah mengaku kalah, Gajah!" ujar Raja Monyet Bertangan Seribu, gembira. "Sudah sejak tadi tanganku gatal-gatal!"
"Rupanya kau ingin meraih kemenangan dengan memanfaatkan di saat aku masih lelah!" Kelabang Merah menukas dengan suara agak memburu. Pertandingan dengan Gajah Kecil cukup membuatnya lelah.
"Tenangkan hatimu, Kelabang," timpal Raja Monyet Bertangan Seribu, halus. "Tanganku gatal-gatal bukan untuk bertarung denganmu. Tapi, untuk memberikan hajaran pada orang yang berani mengintai pertemuan kita!"
Raja Monyet Bertangan Seribu lalu mengeluarkan sepasang kecer yang berada di punggungnya. Di persembunyiannya, Dewa Arak bersikap waspada. Didengarnya Raja Monyet Bertangan Seribu telah mengetahui adanya orang yang mengintai pertemuan mereka. Meski demikian, pemuda berambut putih keperakan ini tidak mau keluar dari persembunyian. Bukan tidak mungkin pengintai yang dimaksud adalah orang lain.
Kendati ada dugaan demikian, Arya tidak berani bersikap ceroboh. Sekujur urat-urat sarafnya menegang penuh kewaspadaan. Ia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan. Arya berusaha sedapat mungkin untuk tidak mengeluarkan bunyi sekecil apa pun. Dia berdiam di tempatnya. Di lain pihak, Kelabang Merah dan Gajah Kecil memusatkan pendengaran untuk mengetahui pengintai yang dimaksud Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Pengintip Hina, keluarlah kau...!" Raja Monyet Bertangan Seribu membenturkan kecernya satu sama lain dengan keras. Anehnya, tidak terdengar bunyi sedikit pun. Memang terdengar bunyi keras menggelegar. Tapi, berasal dari gundukan batu tempat Arya bersembunyi yang hancur berkeping-keping.
Dewa Arak melemparkan tubuh ke belakang saking kagetnya. Kejadian ini sungguh di luar perkiraannya. Hanya berkat kesiapsiagaannya dia berhasil melompat ke belakang untuk menghindari serangan itu.
Sungguh pun demikian, pecahan batu yang menyebar ke berbagai arah, beberapa di antaranya mengenai tubuhnya. Berkat tenaga dalam yang dimiliki tidak sedikit pun luka yang diderita Dewa Arak. Malah, batu-batu itu yang berpentalan begitu mengenai tubuhnya.
Raja Monyet Bertangan Seribu tersenyum ketika Arya berhasil menjejak tanah secara mantap. Kakek ini tidak kelihatan kesal atau marah melihat kegagalan serangannya. Bahkan, dia gembira karena menemukan seorang lawan yang dianggapnya cukup tangguh.
"Kau hebat, Anak Muda. Aku jadi ingin melemaskan otot-ototku yang kaku," ujar Raja Monyet Bertangan Seribu seraya menyimpan kecernya dan melangkah mendekati Arya.
"Huh! Hebat apanya?!" rutuk Kelabang Merah, tak senang. "Tokoh rendahan pun tidak akan menemui kesulitan mengelakkan serangan itu!"
Gerutuan Kelabang Merah tidak ada yang menanggapi. Dewa Arak lebih memusatkan perhatiannya pada kakek gorila. Lawan di hadapannya ini tangguh bukan main! Tahunya Raja Monyet Bertangan Seribu akan tempat persembunyiannya telah menjadi bukti ketinggian tingkat kepandaiannya.
Kali ini dia tidak bisa bermain-main. Ada Larasati yang harus segera ditolongnya. Bertindak ayal-ayalan bisa merenggut nyawa gadis itu. Maka, di luar kebiasaannya, Dewa Arak melancarkan serangan lebih dulu. Pemuda berpakaian ungu ini mengirimkan pukulan bertubi-tubi ke arah dada Raja Monyet Bertangan Seribu. Pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring.
Raja Monyet Bertangan Seribu sampai mengunjukkan giginya yang tidak enak dilihat saking gembiranya mengetahui kedahsyatan serangan Dewa Arak. Penyakit lamanya, gemar untuk bertarung dengan lawan tangguh, muncul kembali. Tanpa ragu-ragu lagi dipapakinya serangan Arya.
Duk, duk, dukkk!
Bunyi keras seperti logam-logam beradu terdengar ketika dua pasang tangan berbenturan. Tubuh Raja Monyet Bertangan Seribu terhuyung selangkah ke belakang, sedangkan Dewa Arak terpental ke udara. Dewa Arak memang sudah memperhitungkan kejadian ini. Lontaran tubuhnya dipergunakan untuk melampaui kepala Raja Monyet Bertangan Seribu. Ia terus ke belakang dan melesat ke arah di mana tubuh Larasati tergolek.
Kelabang Merah dan Gajah Kecil yang menyaksikan jalannya pertarungan tidak tinggal diam. Meski tidak menduga hal ini akan terjadi, kedua kakek ini mampu bertindak cepat. Mereka langsung bergerak menghadang. Gajah Kecil mampu mendahului Kelabang Merah di dalam menghadang Dewa Arak!
Arya tidak menjadi kelabakan. Dia sudah memperhitungkan semuanya. Begitu dilihatnya tubuh Gajah Kecil meluruk ke arahnya dengan gedoran kedua tangan, segera dihentakkan kedua tangannya. Dewa Arak langsung menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' yang dahsyat!
Gajah Kecil mengeluarkan keluhan tertahan. Disadari kalau sebelum serangannya mendarat di sasaran, serangan Dewa Arak akan lebih dulu menghantamnya. Dia sedikit pun tidak menyangka Dewa Arak dalam waktu yang demikian singkat mampu mengirimkan serangan jarak jauh yang sangat dahsyat!
Gajah Kecil segera membanting tubuh dan bergulingan di tanah untuk menyelamatkan diri. Sedangkan Dewa Arak langsung menjejakkan kaki di tanah. Dilanjutkan dengan bergulingan ke depan, melewati kolong kedua kaki Kelabang Merah!
Kelabang Merah menjejakkan kaki untuk menghancurkan tubuh Dewa Arak. Tapi, pemuda itu telah lebih dulu meletik bangkit sehingga tanah kapur amblas sedalam betis Kelabang Merah. Arya sendiri segera menyambar tubuh Larasati dan melarikannya secepat mungkin menuruni puncak.
Rentetan kejadian yang dilakukan Dewa Arak itu berlangsung demikian cepat dan singkat. Kendati demikian, tidak cukup untuk lolos dari sergapan Raja Monyet Bertangan Seribu. Kakek gorilla ini membalikkan tubuh dan mengirimkan pukulan jarak jauh dengan dorongan tangan kanan!
Dewa Arak mendengar deru bahaya mengancam di belakangnya. Tanpa menghentikan lari, disampokkan tangan kirinya yang bebas untuk memapak serangan Raja Monyet Bertangan Seribu.
Blarrr!
Puncak gunung itu bergetar hebat ketika dua pukulan jarak jauh yang memiliki kekuatan dahsyat bertemu di udara. Akibatnya, tubuh Dewa Arak terpental ke depan. Padahal saat itu ia tengah berada di udara. Keseimbangannya kurang terkuasai. Kakinya menabrak gundukan batu. Dewa Arak pun terjungkal membawa Larasati di pondongannya.
Gulingan tubuh Dewa Arak hanya berlangsung sebentar. Dengan jejakan kaki pemuda ini kembali tegak berdiri dan berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Kelabang Merah dan Gajah Kecil melesat mengejar. Tapi, keberadaan Raja Monyet Bertangan Seribu di hadapan mereka membuat maksud itu terhalang. Gajah Kecil terutama Kelabang Merah, penasaran bukan main. Keduanya menatap Raja Monyet Bertangan Seribu dengan sorot penasaran.
"Apakah kalian hendak menjatuhkan julukan Tiga Binatang Iblis Neraka dengan melakukan pengeroyokan terhadap seorang pemuda yang tidak terkenal?!" ujar Raja Monyet Bertangan Seribu dengan suara lembut tapi sarat dengan teguran.
"Jadi, menurutmu lebih baik kita biarkan pemuda usilan itu pergi?" sentak Kelabang Merah. "Tidakkah tindakan itu akan lebih menghancurkan julukan kita? Apa kata orang-orang persilatan bila tahu seorang pemuda tak terkenal mampu merampas tawanan Tiga Hlnatang Iblis Neraka di depan hidung kita?!"
"Itu tidak akan terjadi, Kelabang Merah. Aku akan mencarinya! Aku yakin, tidak sulit mencari pemuda yang mempunyai ciri-ciri demikian menyolok. Tanganku sudah gatal-gatal untuk bertarung dengannya!" tandas Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Aku pun demikian, Monyet'" timpal Gajah Kecil.
"Kurasa sudah saatnya bagiku untuk turun gunung dan kembali ke dunia persilatan. Aku yakin, sekarang banyak tokoh-tokoh hebat telah muncul. Buktinya, orang seusia pemuda itu telah memiliki kepandaian demikian tinggi!"
Kelabang Merah tersenyum mengejek. Kakek ini kelihatan tidak senang mendengar ucapan rekan-rekannya yang memuji-muji Arya.
"Kelak akan kubuktikan kalau pemuda yang kalian puji-puji itu sebenarnya tak berarti. Akan kurobek-robek tubuhnya dan kubawa kepalanya ke hadapan kalian!"
"Bagus sekali!" Gajah Kecil bersorak. "Bagaimana kalau pemuda itu kita jadikan syarat untuk menentukan siapa di antara kita yang patut menjadi orang pertama?"
"Bagaimana maksudmu, Gajah?" tanya Raja Monyet Bertangan Seribu. Kelabang Merah hanya mendengus tak peduli.
"Siapa yang lebih dulu membawa kepala pemuda itu, akan menjadi tokoh sesat tanpa tanding. Bagaimana?"
"Sebuah usul yang bagus!" puji Raja Monyet Bertangan Seribu, gembira.
"Tidak terlalu jelek," gumam Kelabang Merah sambil bersungut-sungut. "Bersiap-siaplah untuk mengangkatku sebagai tokoh sesat tanpa tanding!"
Raja Monyet Bertangan Seribu hanya tersenyum lebar. Sedangkan Gajah Kecil tertawa terbahak-bahak mendengar sesumbar Kelabang Merah.
"Kalian enak tidak mempunyai urusan lain. Aku masih ada urusan lainnya," keluh Gajah Kecil, iri. "Di samping mencari pemuda itu, aku harus menemui Pendekar Penyebar Asmara. Pendekar kemaruk wanita itu harus menerima balasan atas perbuatannya berani-beranian menggauli muridku."
Raja Monyet Bertangan Seribu hanya tersenyum, tidak kelihatan tertarik dengan cerita itu. Dia hanya memberikan tanggapan singkat "Apakah kau akan balas perbuatannya dengan menggaulinya pula?"
"Mungkin." Gajah Kecil mengangkat bahu. "Yang jelas, muridku tidak bisa dipermainkan begitu saja!"
"Aku masih kurang jelas, Gajah. Yang digauli pendekar cabul itu muridmu atau gundikmu? Kudengar, orang yang kau sebut muridmu itu gila lelaki!" selak Kelabang Merah, sinis.
"Apa salahnya kalau aku menggauli muridku sendiri, Kelabang? Di samping dia menikmati hubungan itu, dia mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat dariku!" kilah Gajah Kecil sambil tersenyum lebar. "Sayang, umurnya demikian singkat. Murid kesayanganku itu tewas akibat pendekar kemaruk perempuan itu!"
"Tidak salah dengarkah aku? Bukankah kau sendiri yang membunuh muridmu ketika dia memintamu untuk menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi karena Pendekar cabul itu menolak keinginannya untuk menjadikannya istri?" ejek Kelabang Merah terus menekan saingannya.
Gajah Kecil tertawa bergelak. Dia tidak kelihatan sedih atau geram mengingat kematian murid sekaligus gundiknya. Bahkan, ketika menceritakannya pun wajahnya biasa saja. Tidak kelihatan ada duka sedikit pun.
"Pendengaranmu rupanya masih cukup baik, Kelabang Merah. Muridku mati di tanganku. Tapi, semua itu akibat ulah Pendekar Penyebar Asrama. Penghinaan ini harus kubalas! Apa kata orang-orang persilatan bila tahu kematian muridku tidak kubalaskan? Mereka akan mengira aku, Gajah Kecil, takut terhadap Pendekar Penyebar Asmara!"
Setelah berkata demikian, Gajah Kecil melesat meninggalkan tempat itu. Kelabang Merah dan Raja Monyet Bertangan Seribu berdiam diri saja. Mereka tidak berusaha mencegah. Malah, keduanya saling bertatapan dengan sinar mata penuh tantangan. Terutama Kelabang Merah. Di samping kakek jangkung memang memiliki watak pemarah, dia sudah tak sabar lagi untuk segera menempati urutan pertama di kelompok Tiga Binatang Iblis Neraka. Tidak nomor dua seperti lima tahun sebelumnya.
"Apakah kau ingin bertarung sekarang, Kelabang? Inginkah kau melanggar ketentuan yang telah dibuat. Bukan hanya kau, aku pun tak sabar lagi untuk menentukan tempat teratas di antara kita. Tapi, aku masih bisa menahan sabar. Yang penting bagiku adalah pemuda berambut putih itu. Tak pernah ada orang yang bisa lolos dari Raja Monyet Bertangan Seribu. Pemuda itu secepatnya harus mati di tanganku!"
Raja Monyet Bertangan Seribu melompat-lompat meninggalkan Kelabang Merah. Kakek jangkung ini tak menghalangi kepergian saingan beratnya. Dipandanginya sesaat sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu pula.
EMPAT
Arya baru menghentikan lari ketika dirasakan jaraknya telah jauh dari puncak gunung. Ia telah tiba di hamparan hutan pohon jati, di kaki gunung. Larasati segera melompat turun. Wajah gadis itu merah padam. Amarah yang menyebabkan wajahnya berwarna demikian.
Arya rupanya telah menyentuh-nyentuh pinggulnya di kala memondongnya. Larasati menganggap Arya sengaja memanfaatkan kesempatan. Maka begitu totokan yang membuatnya lemas berangsur hilang dan kebetulan Arya berhenti berlari, dia melompat turun dari pondongan.
"Manusia kurang ajar...!" maki Larasati geram. Lalu mengirimkan tendangan ke arah perut Arya. Serangan itu dikirimkan Larasati berbarengan dengan keluarnya makian dari mulutnya.
Di saat kaki Larasati terayun, gadis ini baru melihat cairan merah kental mengalir dari mulut Arya. Pemandangan ini membuat Larasati terkejut dan hampir terpekik. Sedapat mungkin serangannya dialihkan, karena untuk membatalkannya sudah tidak mungkin lagi. Tenaga yang dikeluarkan pun dikurangi.
Desss!
Usaha Larasati tidak sia-sia. Sasaran yang dihantam kakinya adalah paha kanan Arya. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terjengkang ke belakang dan terguling-guling. Ketika gulingannya berhenti, diam tidak bergerak-gerak! Darah yang keluar dari mulutnya semakin banyak.
Larasati bergegas memburu. Setengah berjongkok ia memeriksa keadaan Arya dengan penuh rasa khawatir. Tarikan wajahnya menyiratkan penyesalan yang mendalam. Larasati yang sedikit banyak mengetahui pengobatan sadar kalau Dewa Arak terluka dalam cukup parah.
Larasati tidak tahu mengapa penolongnya ini terluka. Yang dilihatnya, Dewa Arak selalu berhasil lolos dari jegalan Tiga Binatang Iblis Neraka. Larasati tidak melihat kalau meski jejakan Kelabang Merah berhasil dielakkan, kibasan tangan kakek jangkung itu sempat menyerempet bahu kanan Arya.
Akibat serangan Kelabang Merah telah cukup membuat Dewa Arak terluka dalam. Luka itu semakin menjadi ketika Arya dalam keadaan terjepit memapaki serangan jarak jauh Raja Monyet Bertangan Seribu. Padahal, pantangan besar bagi orang yang telah terluka dalam untuk mengerahkan tenaga dalam. Tindakan itu tidak hanya akan membuat luka bertambah parah. Tapi, juga dapat menyeret jiwa ke lubang kubur!
Melihat penolongnya rebah dengan wajah pucat laksana mayat, Larasati menyesal bukan main telah menyerang. Arya sudah mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkannya. Tindakan pemuda itu untuk harus berlari dengan tidak mempedulikan seruan-seruannya yang minta diturunkan, karena ingin selekasnya bebas dari cengkeraman Tiga Binatang Iblis Neraka. Apabila terkejar pemuda itu pasti akan dengan mudah digilas lawan-lawan tangguhnya. Dalam keadaan tidak dipengaruhi amarah Larasati dapat berpikir jernih.
Mengingat akan pertolongan Dewa Arak, Larasati tidak ragu-ragu untuk menempelkan kedua tangannya dan mengalirkan tenaga dalam untuk mengobati luka Arya. Tapi, baru sebentar segera diurungkan karena Larasati tidak merasakan adanya detak jantung. Larasati kebingungan. Bukan karena tidak tahu cara untuk membuat jantung berdetak dan napas kembali normal.
Tapi, karena cara yang akan dilakukannya. Gadis ini berperang dengan perasaannya sendiri. Beberapa saat peperangan batin itu berlangsung, sebelum akhirnya Larasati memutuskan untuk melakukannya! Diedarkan pandangan ke sekelilingnya untuk membuktikan kalau di sekitar tempat itu tidak ada orang lain.
Dengan wajah merah padam hingga kedua telinganya, Larasati kemudian menempelkan mulutnya ke mulut Arya. Larasati menghembuskan napasnya untuk membuat Arya kembali bernapas. Beberapa saat dia meniup, kemudian menghentikannya, dan menekan-nekan dada Arya agar detak jantung kembali timbul. Beberapa kali gerakan pertolongan itu dilakukan sampai detak jantung Arya kembali normal.
Larasati menghentikan pertolongannya. Sesaat ditatapnya wajah Arya dengan wajah menyemburat merah. Sebuah perasaan aneh muncul ketika melihat wajah tampan yang tarlihat matang dan tenang itu. Perasaan yang belum pernah dirasakan selama ini. Perasaan suka yang besar!
Perasaan itu berkembang semakin besar ketika teringat tindakan Dewa Arak yang lelah menyelamatkan nyawanya. Rasa takut akan kehilangan dan tidak bertemu lagi dengan Arya muncul di hatinya. Setelah puas memperhatikan pemuda berpakaian ungu itu, Larasati baru memberikan pertolongan untuk menyembuhkan luka dalam Arya. Gadis ini menyalurkan hawa murni di dalam tubuhnya.
* * *
"Arrrggghhh...." Cendana menatap wajah gurunya. Yang ditatap kelihatan tenang-tenang saja. Cendana jadi penasaran. Apakah nenek baju hitam ini tidak mendengarnya? Geraman yang berasal dari kejauhan tapi mampu menimbulkan getaran pada tanah yang dipijaknya!
"Suara apakah itu, Nek? Mungkinkah suara binatang buas yang tengah murka?"
Cendana yang tidak kuat menahan rasa ingin tahu din herannya, mengajukan pertanyaan itu tanpa menghentikan lari. Si nenek bersikap seperti tidak mendengarnya dan terus mengayunkan kaki dengan cepat.
"Aku yakin bukan, Cendana," jawab si nenek. "Suara itu keluar dari mulut manusia. Seorang yang memiliki kekuatan tenaga dalam luar biasa!"
"Itu sudah pasti, Nek. Kurasakan sendiri getarannya di tanah," dukung Cendana. "Kira-kira dari mana asalnya?"
"Kalau aku tidak salah duga, di sana," jawab si nenek sambil menudingkan jarinya ke sebelah kiri depan.
Cendana diam. Dia terus berlari mengikuti si nenek yang beberapa kaki di depannya. Benak gadis ini dipenuhi pikiran tentang bunyi geraman keras itu. Cendana gadis manja yang selalu ingin tahu. Maka, bunyi itu menimbulkan rasa ingin tahu yang besar.
"Tidakkah kita lihat dulu penyebab bunyi itu, Nek?"
"Kurasa lebih baik tidak, Cendana. Barangkali saja bunyi itu keluar dari mulut seorang tokoh sakti berwatak aneh yang tengah berlatih. Kemunculan kita bisa diartikan sebagai gangguan. Itu bisa dijadikannya alasan untuk menyerang kita. Lebih baik kita menjauhi tempat itu, bukan malah mendekatinya," si nenek memberi nasihat.
"Tapi, Nek," dengan dua kaki terus terayun agar tidak tertinggal oleh si nenek baju hitam, Cendana mengajukan bantahan. Bukan karena yakin lebih tahu dari gurunya, tapi karena rasa ingin tahunya yang besar. "Kita kan tidak bermaksud jahat. Mana mungkin akan diserang atau dicelakai. Toh, belum tentu tokoh yang menjadi pemiliknya orang golongan hitam, bagai mana kalau di sana ada orang teraniaya yang membutuhkan pertolongan?"
Nenek baju hitam diam. Sambil terus berlari dia menimbang-nimbang. Harus diakui bantahan Cendana mungkin ada benarnya. Bukan tidak mungkin geraman yang layak keluar dari mulut binatang buas itu, berasal dari orang yang tengah membutuhkan pertolongan.
"Ayolah, Nek. Kita lihat dulu," desak Cendana. Gadis ini yakin si nenek akan memenuhi keinginannya. Biasanya, si nenek tidak pernah menolak keinginannya. Dan, apabila itu terjadi, si nenek akan diam seperti saat sekarang ini.
"Tapi kita tengah mempunyai urusan lain, Cendana. Urusan penting." Si nenek masih mencoba untuk membantah. Tapi, pelan dan sekadarnya.
"Apa salahnya, Nek. Kita hanya sebentar saja membuang waktu. Pendekar Mata Bongsang itu pun tidak akan pergi jauh. Begitu tahu aku dan nenek akan datang, dia pasti akan sabar menunggu. Bukankah dia gemar wajah cantik berjidat licin sepertiku? Aku yakin dia akan sabar menunggu," ujar Cendana.
"Dia tidak tahu akan kedatangan kita, Cendana," kilah si nenek seraya menghentikan lari.
"Itu lebih bagus lagi, Nek. Kita jadi tidak terikat, dan mempunyai waktu lebih banyak untuk mengetahui si milik geraman keras itu!" Cendana tidak kurang akal untuk memberikan bantahan.
"Baiklah." Si nenek mengangguk dengan hati kurang setuju. Permintaan Cendana hampir tidak pernah bisa ditolaknya. Gadis itu terlalu pintar membujuknya. Dan, si nenek tidak sampai hati untuk menolak. "Tapi ingat, jangan melakukan tindakan macam-macam. Kau mau berjanji? Kalau tidak, mungkin kali ini aku tidak bisa memenuhinya."
"Aku berjanji, Nek," jawab Cendana tanpa pikir panjang lagi, karena terlalu gembiranya. "Aku sudah yakin nenek akan mengabulkan permintaanku. Nenek sungguh bijaksana dan baik hati, karena itu pasti akan memenuhinya."
Si nenek hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan Cendana. Bafinnya bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana nasib Cendana kelak sepeninggalnya? Gadis itu terlalu polos dan lugu, sedangkan dunia persilatan amat keras dan penuh tipu. Perasaan si nenek selalu gundah jika mengingat hal ini.
Meskipun demikian, nenek berpakaian hitam ini mampu menyembunyikan kegalauan perasaannya. Pada wajahnya tidak terlihat gambaran perasaan itu. Dia tidak ingin Cendana mengetahuinya. Ditunggunya saat yang baik untuk menasihati gadis ini.
"Ayolah, Nek. Tunggu apalagi? Nanti pemilik suara itu keburu pergi." Cendana mengingatkan dengan nada merajuk.
Nenek berpakaian hitam tersenyum. Satu hal lagi yang membuatnya tidak pernah menolak keinginan Cendana. Cendana tidak pernah berani mendahuluinya melakukan sesuatu, kendati telah diizinkan. Padahal, seperti kali ini, bisa saja Cendana karena telah mendapat izin, melesat lebih dulu ke tempat itu. Tapi Cendana tidak melakukannya. Dia tidak berani bertindak lancang. Hal ini yang membuat rasa sayang si nenek semakin besar.
"Jangan khawatir, Cendana. Aku yakin pemilik suara itu tidak akan pergi," ucap si nenek dengan bersungguh-sungguh.
"Benarkah itu, Nek?" tanya Cendana, agak heran.
"Aku yakin demikian."
"Mengapa, Nek?" kejar Cendana.
"Dia ingin melihat jidatmu yang licin, Cendana. Hi hi hi…" jawab si nenek sambil melesat meninggalkan Cendana.
Cendana sadar kalau si nenek menggodanya. Dia pun melesat mengejar dengan mulut cemberut Berpura-pura marah dan tidak senang!
"Jangan membuat bunyi gaduh, Cendana," bisik si nenek pelan. Tangannya yang keriput disentuhkan kepergelangan tangan kiri muridnya untuk lebih menguatkan peringatannya.
Cendana tidak berani membantah. Dirasakan nada kesungguhan dan ketegangan dalam ucapan gurunya. Napasnya hampir ditahan ketika melayangkan pandangan ke arah yang ditatap si nenek.
Si nenek dan Cendana saat itu berada di pinggir tebing bukit kapur. Di hadapan keduanya terhampar dataran kapur yang rata, sekitar sepuluh tombak di bawah dasar tebing. Bukan tanah kapur datar itu yang menjadi pusat perhatian Cendana dan gurunya. Melainkan sesosok tubuh tegap milik seorang pemuda berahang kokoh. Lesmana!
Pemuda ini tengah mengamuk. Memukul dan menendang ke sana kemari sambil mengeluarkan bunyi geraman keras. Lesmana tidak sendirian. Di sekitarnya tengah meluruk ke arahnya puluhan ekor ular dari berbagai jenis. Ular-ular itu berdesis-desis menyeramkan! Cendana merasa perutnya mual melihat ular sebanyak itu. Gadis ini merasa jijik bukan main. Perasaan yang dialami si gadis tidak dialami nenek baju hitam.
Sementara di bawah sana Lesmana kembali menggeram keras sehingga membuat sekitar tempat itu bergetar hebat. Ular-ular itu pun menerima pengaruhnya. Beberapa di antaranya berkelojotan meregang maut. Tindakan Lesmana tidak berhenti sampai di situ. Tangan dan kakinya digerak-gerakkan. Tidak mengenai ular-ular itu sebenarnya. Tapi, cukup untuk membuat binatang-binatang itu berpentalan bagai daun kering diterbangkan angin.
"Seorang pemuda yang hebat…"
Cendana mendengar ucapan itu di dalam telinganya. Gadis ini tahu kalau nenek baju hitam mengucapkannya dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh. Sehingga, hanya Cendana seorang yang mendengarnya.
"Sayang, ada sesuatu yang membuat akal sehatnya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sayang sekali.... Pemuda hebat ini akan menjadi ancaman bagi orang lain. Dia akan menyebar bahaya tanpa menyadarinya. Sungguh keji orang yang menyebabkan dia melakukan perbuatan seperti ini...."
"Apa yang terjadi dengan pemuda itu, Nek?" bisik Cendana.
Belum sempat si nenek memberikan jawaban, Lesmana menengok ke atas. Adu pandang pun tidak bisa dihindarkan lagi. Cendana dan si nenek tengah memperhatikannya. Sekarang Cendana baru bisa memahami mengapa nenek baju hitam memberikan peringatan terhadapnya.
Lesmana memiliki pendengaran luar biasa tajam. Begitu bersitatap, Cendana merasakan bulu kuduknya berdiri. Mata Lesmana merah membara, seperti mata binatang buas yang tengah murka. Wajahnya pun beringas menyiratkan hawa pembunuhan.
"Bersiap-siaplah, Cendana. Pemuda itu akan menyerang kita," beritahu si nenek yang telah kenyang pengalaman itu. Nenek baju hitam ini tahu tidak ada gunanya menyesalkan kecerobohan Cendana. Nasi telah menjadi bubur! Yang lebih penting sekarang adalah bagaimana menghadapi Lesmana.
Baru saja mulut si nenek terkatup. Lesmana menggeram keras. Kali ini geraman yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu ditujukan pada Cendana dan gurunya. Si nenek tidak terlalu terpengaruh karena telah memiliki tenaga dalam amat kuat.
Tapi, tidak demikian dengan Cendana. Gadis ini seperti mendengar bunyi halilintar yang meledak dekat telinganya! Dada Cendana tergetar hebat. Kedua kakinya menggigil keras sehingga tidak bisa menunjang tubuhnya. Cendana limbung dengan wajah pucat pasi.
"Cendana...!" seru si nenek khawatir melihat keadaan muridnya.
Hanya sampai di situ tindakan si nenek. Lesmana telah melompat ke atas dan menyerangnya dengan hantaman ke arah dada. Si nenek yang tadi mengalihkan perhatian ke arah Cendana, jadi tidak memiliki kesempatan untuk mengelak. Dipapakinya serangan itu dengan tinju kirinya.
Dukkk!
Tubuh si nenek terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Dadanya dirasakan sesak bukan main. Lesmana seperti tidak terpengaruh sama sekali. Pemuda itu meluruk dengan serangan-serangan lanjutan yang tak kalah dahsyat. Si nenek tidak punya pilihan lain kecuali membela diri. Dengan seluruh kemampuan dihadapinya serangan Lesmana. Pertarungan sengit pun berlangsung!
Cendana yang telah berhasil menguasai diri memperhatikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar tegang. Perasaan cemas dan menyesal melanda hati. Cemas akan keselamatan gurunya dan menyesal karena telah melanggar larangan nenek itu untuk tidak berbicara.
Saking cepatnya gerakan dua pihak yang bertarung, Cendana tidak bisa melihat secara jelas. Tapi, dari bayangan si nenek dan Lesmana yang saling gebrak, bisa diperkirakannya siapa yang berada di pihak menguntungkan.
Dan si nenek kelihatan kewalahan bukan main. Penilaian Cendana memang tidak keliru. Meski nenek baju hitam telah menggunakan tongkatnya dan Lesmana bertangan kosong, tetap saja Lesmana yang berada di atas angin. Pemuda itu memiliki keunggulan di semua hal. Tidak hanya tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, tapi juga ilmu-ilmu silatnya dan usianya yang masih muda. Tak sampai lima belas jurus Lesmana berhasil mendesak si nenek.
"Cendana...! Lari...! Tinggalkan tempat ini!"
Dalam keadaan tenepit si nenek mengingatkan muridnya. Disadari kalau dirinya tak akan mampu bertahan terus. Namun, bukannya menuruti seruan si nenek, Cendana malah mencabut pedang dan melompat masuk dalam kancah pertarungan. Bertepatan dengan itu, si nenek menyabetkan tongkatnya ke arah leher Lesmana!
Trakkk!
Tongkat patah tiga ketika Lesmana menyampoknya dengan keras. Tubuh si nenek terhuyung ke belakang. Saat itu pula Lesmana mengirimkan gedoran ke arah dada! Cendana yang melihat ancaman itu segera merubah arah serangannya. Tusukan yang semula ditujukan ke dada Lesmana, dialihkan ke pergelangan tangan si pemuda yang tengah meluncur ke arah dada nennek baju hitam!
Takkk! Desss!
Cendana memekik tertahan. Mata pedangnya tidak mampu membuat tangan Lesmana buntung. Pedang itu malah membalik dan gadis ini merasakan tangannya lumpuh. Kibasan tangan kiri Lesmana yang mengeluarkan deru angin dahsyat membuat tubuh Cendana terlempar ke belakang.
Di saat yang bersamaan, tubuh nenek baju hitam pun terjengkang ke belakang. Tubuh murid dan guru ini jatuh di tanah secara berbarengan. Hanya saja, kalau Cendana meski terhuyung-huyung mampu mendarat dengan kedua kakinya, si nenek mendarat di tanah dengan punggungnya!
"Nenek...!" Tanpa mempedulikan Lesmana lagi, Cendana menghambur ke arah tubuh si nenek yang tergolek. Suaranya sarat dengan kesedihan dan penyesalan.
"Cendana...," sahut si nenek, berusaha menyugingkan senyum untuk menenangkan hati muridnya. Tapi, justru membuat Cendana semakin dililit perasa sedih. Darah mengalir dari sudut mulut si nenek.
"Maafkan aku, Nek. Aku selalu menentang ucapanmu. Aku yang salah, Nek. Akulah yang menyebabkan nenek jadi seperti ini," ucap Cendana tersendat-sendat menahan isak di tenggorokan. Gadis ini duduk bersimpuh di dekat si nenek. Nenek baju hitam masih mampu menggelengkan kepala.
"Kau tidak bersalah, Cendana. Ini yang namanya nasib. Malah, kau telah berjasa besar. Kalau tidak karena pedangmu yang membabat serangan pemuda itu, mungkin nyawaku telah melayang ke alam baka. Tindakan yang kau lakukan membuat tenaga serangan yang mengenai dadaku berkurang jauh. Kau telah menyelamatkanku, Cendana," hibur si nenek.
Cendana semakin terpuruk dalam kesedihan. Hiburan si nenek menambah kesedihannya. Ia menyadari betapa besar kasih sayang si nenek terhadapnya, sedangkan balasannya selalu sikap yang membangkang.
Bahu Cendana terguncang-guncang karena tangis yang tersendat. Cendana berusaha keras untuk bertahan agar tidak menangis. Tapi, kodratnya sebagai wanita yang memiliki perasaan lembut membuatnya harus berjuang keras.
"Sudah lama aku mendapat firasat ajalku akan datang. Aku sudah bersiap-siap untuk memberitahukanmu beberapa hal, Cendana," ujar nenek baju hitam.
Cendana mulai meneteskan air mata. Tidak ada suara tangisan yang keluar. Gadis yang memiliki watak periang dan manja ini ternyata memiliki kekerasan hati luar biasa. Dia malu untuk menangis.
"Kuharap kau tidak menangis, Cendana. Relakan saja kepergianku. Hanya pesanku, kau tidak boleh berlarut-larut tenggelam dalam kesedihan. Dan, kau harus berhati-hati menghadapi orang-orang persilatan. Jangan sampai kau tertipu. Waspadalah selalu," si nenek mulai dengan wejangannya.
Sementara Lesmana seperti terkesima melihat adegan mengharukan itu. Sepasang matanya yang semula merah membara mulai agak meredup. Bahkan, geraman-geraman yang dikeluarkan sudah tidak sekeras sebelumnya. Rupanya, adegan yang terpampang di depan matanya berhasil merasuk ke dalam lubuk hatinya! Karena, pada dasarnya pemuda ini memang bukan orang jahat.
Ketika melihat Cendana meneteskan air mata, sinar mata Lesmana melembut. Ada penyesalan di dalamnya. Sambil mengeluarkan bunyi seperti keluhan, tubuhnya dibalikkan lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu.
LIMA
Cendana duduk tercenung di atas gundukan batu sebesar kerbau yang permukaannya datar dan rata. Wajahnya muram. Sepasang matanya yang biasanya berseri-seri penuh kehidupan, kini layu bagaikan lampu kehabisan minyak. Ada gumpalan kabut kedukaan di sepasang matanya. Terngiang-ngiang kembali ucapan gurunya sebelum menghembuskan napas penghabisan di pelukannya.
"Jangan kau mendendam pada pemuda itu, Cendana. Dia tidak bersalah. Tindakan yang dilakukannya tidak disadarinya. Aku yakin pemuda itu orang baik-baik. Gerakan-gerakan pemuda itu kukenali milik seorang pendekar yang disegani. Kalau bisa, tolong dia. Sembuhkan dari penyakitnya yang membuatnya menjadi buas. Mungkin karena diracuni orang. Kau mau memenuhi permintaan terakhirku ini, Cendana?"
Tanpa sadar Cendana mengangguk seperti yang dilakukannya waktu itu. Anggukan yang dirasakan gadis ini berat bukan main. Bagaimana mungkin pembunuh gurunya tidak dibalas, bahkan malah ditolong? Tapi, saat itu Cendana tidak punya pilihan lain. Si nenek hanya akan meninggalkan dunia dengan hati tenang bila permohonannya dikabulkan.
Cendana menggertakkan gigi. Geram. Itu selalu terjadi setiap kali teringat wajah Lesmana. Tindakannya kali ini membuatnya sadar dari lamunan. Cendana melayangkan pandangan ke bawah, ke lereng gunung. Di bagian yang datar dilihatnya sebuah pondok sederhana. Pondok yang menjadi sebab gurunya keluar dari tempat tinggal dan akhirnya menemui ajal.
Pondok yang menjadi tempat tinggal Pendekar Penyebar Asmara! Semangat Cendana bangkit kembali. Semula, kematian gurunya membuatnya tidak bersemangat untuk hidup. Ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Gurunya telah menjadi bagian yang amat penting dari kehidupannya.
Bangkitnya semangat Cendana karena menyadari masih ada tugas yang dibebankan di pundaknya. Tugas yang mungkin akan dapat menebus perasaan bersalah karena merasa telah menjadi penyebab kematian gurunya. Tugas itu adalah membalaskan sakit hati gurunya pada Pendekar Penyebar Asmara!
Tugas ini membuat Cendana bagai bangkit kematian. Meski kedukaan tidak sirna dari wajahnya, langkahnya tidak selesu sebelumnya. Cendana melesa menuruni puncak dengan cepat. Tak berapa lama, pondok itu telah berjarak sepuluh tombak lagi. Tapi, Cendana terpaksa menghentikan lari karena mendengar bentakan keras.
"Hey...! Berhenti...!"
Dari dalam pondok melesat sesosok bayangan merah. Tidak terlihat jelas oleh Cendana karena cepatnya sosok itu bergerak. Hanya, mendengar suaranya yang melengking tinggi dan nyaring, gadis ini tahu pemilik suara itu adalah seorang wanita.
Dugaan Cendana memang tidak keliru. Dua tombak di depannya berdiri seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya yang cantik terlihat matang. Apalagi karena model rambutnya yang digelung ke atas. Sebuah tahi lalat yang cukup besar menempel di ujung hidungnya. Seorang wanita yang cukup menarik, puji Cendana dalam hati. Apalagi ketika melihat bentuk tubuh wanita itu yang menggiurkan.
"Mau apa kau kemari, Wanita Centil? Cepat pergi dari sini!" usir wanita berpakaian merah, ketus.
Cendana yang tengah gusar karena kematian gurunya, jadi marah bukan main melihat sikap kasar itu. Sepasang matanya menyambar wajah wanita di depannya dengan kilatan kemarahan. "Kau yang centil! Centil dan gila! Kalau tidak, mengapa tidak ada hujan atau angin memaki-maki orang?" balas Cendana, tak mau kalah memaki.
"Tak perlu ada hujan atau angin untuk memakimu! Kau memang centil. Kalau tidak, untuk apa kau kemari?!" Wanita berpakaian merah menimpali lagi sambil bertolak pinggang.
"Ada apa, Mirah? Mengapa ribut-ribut di luar?" sambut sebuah suara sebelum Cendana memberikan tanggapan.
"Tidak ada apa-apa, Kak. Hanya gangguan kecil. Dapat kuatasi. Kau tidak usah keluar!" sambut Mirah, cepat. Cendana tersenyum mengejek. Kemudian, kepalanya diangguk-anggukkan.
"Sekarang aku mengerti mengapa kau kelihatan khawatir sekali, nenek bawel dan galak!" ujar Cendana, seenaknya. "Kau pasti istri si Pendekar Mata Bongsang! Wanita tak tahu malu. Kemaruk lelaki seakan-akan di dunia ini hanya ada satu lelaki, tidak ada lainnya kecuali Pendekar Mata Bongsang yang tidak tahan melihat jidat licin! Kau takut dia melihatku yang berjidat sangat licin, hingga akan membuatnya tertarik padaku. Begitu kan?!"
Wajah Mirah memerah sampai ke daun telinganya. Dia kelihatan marah sekali. Marah dan malu. Semula wanita ini bingung mendengar julukan Pendekar Mata Bongsang. Tapi, begitu mendengar ucapan-ucapan selanjutnya, dia jadi mengerti!
"Rupanya di samping berwatak centil, kau pun memiliki mulut tajam. Kalau tidak dihajar, sifat kurang ajarmu semakin menjadi-jadi!"
Mirah memenuhi ancamannya. Dia menyerang Cendana dengan sebuah tamparan ke arah mulut gadis berpakaian kuning itu. Bunyi yang mengiringi gerakan tangannya menjadi petunjuk kalau bibir menggiurkan milik Cendana akan kehilangan keindahannya jika menjadi sasaran. Cendana tidak mau hal itu terjadi. Tubuhnya ditarik ke belakang sehingga serangan Mirah luput. Tendangan kaki kanan dikirimkan Cendana ke arah lambung lawan sebagai balasannya.
Mirah memekik pelan karena kaget. Serangan itu memaksanya melompat mundur. Amarahnya semakin meluap. Ini membuat terjangannya yang berikut lebih dahsyat. Cendana menimpali. Pertarungan pun berlangsung sengit. Dua perempuan yang sama-sama cantik dan galak ini bertarung dengan menggunakan senjata.
Tapi, lewat beberapa jurus keduanya segera mengeluarkan senjata masing-masing. Cendana dengan pedangnya. Sedangkan Mirah menggunakan sepasang belati berwarna merah seperti warna pakaiannya.
Cendana memang lihai. Tapi, Mirah tak kalah lihai! Satu kelebihan Mirah adalah wanita ini lebih menang pengalaman. Sikapnya bertarung menunjukkan kalau dia telah kenyang pengalaman bertarung. Bisa diperkirakan jika mengingat usianya. Sementara Cendana baru turun gunung dan belum pernah terlibat dalam pertarungan. Lewat beberapa belas jurus gadis ini mulai terdesak.
"Jangan hiraukan tangan kanan. Tangan kiri akan ditujukan pada leher, tendang perutnya," terdengar sebuah suara di telinga Cendana. Suara yang diyakini gadis ini dikirimkan lewat ilmu mengirim suara dari jauh.
Cendana berpikir cepat. Dia yakin si pengirim suara bermaksud membantunya. Maka, dengan membuta diikutinya petunjuk itu. Serangan tangan kanan Mirah dibiarkannya. Dia malah berjaga-jaga terhadap yang kiri. Serangan yang dilancarkannya pun mengikuti petunjuk pemilik suara tanpa wujud itu.
Pastinya memang menggembirakan Cendana. Meski serangannya tidak berhasil, tapi bukan karena kesalahan pemilik suara. Dia yang bertindak kurang cepat karena tadi berpikir sebentar. Yang jelas, semua pemberitahuan itu benar.
Kenyataan ini membuat Cendana mengikuti semua petunjuk yang diterimanya tanpa pikir panjang lagi. Dan memang, sejak itu Mirah berhasil dibuatnya kalang kabut. Bahkan, sekarang ganti Mirah yang terdesak.
"Ha ha ha...! Sungguh tidak kuduga Pendekar Penyebar Asmara membiarkan gundik-gundiknya saling bertarung!"
Sosok tubuh pendek gemuk terjun ke dalam kancah pertempuran. Dia tidak ikut bertarung, apalagi melancarkan serangan. Sosok itu melesat begitu saja di antara Cendana dan Mirah tanpa khawatir akan menjadi korban serangan nyasar.
Hal itu memang tidak terjadi. Begitu sosok gemuk itu menyelak di tengah-tengah, tubuh Cendana dan Mirah terjengkang ke belakang bagai didorong kekuatan tak nampak.
Cendana tidak menjadi gentar. Begitu berhasil memperbaiki kedudukan, dia melesat menerjang sosok pendek gemuk dengan bacokan ke arah leher. Cendana sakit hati sekali mendengar makian sosok itu yang mengatakan dia gundik Pendekar Penyebar Asmara.
"Jangan ceroboh! Kau mencari penyakit sendiri, Nona," pemilik suara tanpa wujud memberikan peringatan.
Tapi, peringatan itu datangnya tertambat. Cendana telah lebih dulu melancarkan serangan. Memang, andaikata gadis itu menghendaki, bisa saja serangan itu dibatalkan. Tapi, Cendana sudah terlalu marah. Peringatan suara tanpa wujud itu tidak dipedulikannya lagi.
Sosok pendek yang bukan lain Gajah Kecil, tertawa terbahak-bahak. Kakek ini memang memiliki sifat mudah tertawa. Bahkan, dalam marahnya pun dia tertawa. Seakan-akan Gajah Kecil hidup di satu dunia, yaitu dunia yang penuh dengan kegembiraan.
"Gundik si Pemadat Perempuan berani menyerangku?!" Gajah Kecil mendorongkan tangan kanannya ke depan.
Cendana merasakan sekujur tubuhnya lemas. Tenaganya lenyap entah ke mana. Dan, sebelum dia mengerti apa yang telah teriadi, Gajah Kecil mengibaskan tangan kiri seperti orang mengusir nyamuk! Untuk kedua kalinya tubuh Cendana terlempar ke belakang. Kali ini bahkan lebih jauh dari sebelumnya. Cendana tidak bisa mendarat dengan kedua kaki. Ia mendarat di tanah dengan punggungnya!
Cendana mengernyitkan alis ketika tidak merasakan sakit kendati dirasakan punggungnya menempel dengan sesuatu, yang diyakininya tanah. Sebuah tangan yang menyentuh bahu belakangnya dan menyebarkan hawa hangat sehingga tenaga Cendana kembali pulih, menyadarkan gadis ini akan keanehan itu. Dia ternyata tidak berada di tanah, melainkan beberapa kaki di atasnya. Punggungnya menempel pada tongkat yang berada di tangan seseorang yang berada di belakangnya!
Kalau saja Cendana bukan orang yang berhati besar tentu agak kaget melihat si pemegang tongkat. Sosok itu memiliki wajah demikian buruk. Wajahnya lebih mirip wajah kera! Matanya bundar kecil dan berwarna kehijauan. Hidungnya pesek dengan mulut lebar serta wajah dipenuhi bulu. Seorang manusia berwajah setan! Wajah itu lebih buruk dari pada wajah monyet. Di sana-sini terlihat guratan luka.
Cacat pemilik tongkat itu masih ditambah lagi dengan tubuhnya yang tidak normal. Punggungnya bungkuk! Tongkat itu mungkin untuk menahan tubuhnya agar tidak roboh.
"Menyingkiriah, Nona. Iblis itu bukan lawanmu," ujar sosok berwajah mirip setan itu, lembut.
Cendana tidak membantah. Dia percaya penuh. Bukan karena menyadari Gajah Kecil jauh lebih tangguh daripadanya. Tapi, karena suara yang keluar dari mulut sosok berwajah setan ini adalah suara orang yang memberi petunjuk kepadanya ketika menghadapi Mirah. Sosok berwajah setan ini adalah penolongnya!
"Ha ha ha...!" Gajah Kecil tertawa bergelak "Kau ini manusia atau setan? Dibilang manusia kau lebih mirip setan. Benar! Kau... Setan Bongkok! Itu julukan yang tepat untukmu. Ha ha ha...!"
Sosok yang disebut Setan Bongkok tidak memberikan tanggapan sedikit pun. Dia menatap Gajah Kecil penuh selidik dan waspada. Terlihat jelas sikap hati-hatinya.
"Sebelumnya, kedatanganku kemari hanya untuk mengirim nyawa Pendekar Pemadat Wanita ke neraka. Tapi, karena kau berani bersikap menantangku, aku jadi ingin membuatmu bepergian ke alam baka. Mudah-mudahan saja kau senang!" ujar Gajah Kecil.
Gajah Kecil lalu mengambil napas panjang-panjang. Dia ingin menyedot udara sebanyak-banyaknya. Setan Bongkok memperhatikannya dengan kewaspadaan tidak berkurang. Cendana dan Mirah pun demikian. Kedua wanita ini ingin tahu apa yang akan dilakukan Gajah Kecil.
Mirah dan Cendana membelalakkan mata ketika melihat tubuh Gajah Kecil melembung seperti balon ditiup! Tubuhnya yang memang sudah bulat jadi bertambah bundar. Sesaat kemudian, terdengar bunyi berkerotokan seperti tulang-tulang patah. Padahal, Gajah Kecil tidak menggerakkan tangan atau kakinya. Dia tetap diam di ternpatnya sambil terus menarik napas dalam-dalam.
Tindakan ini membuat tubuhnya semakin melembung. Mirah dan Cendana tidak mengerti maksud tindakan Gajah Kecil. Tapi mereka segera mengetahuinya ketika bunyibunyi yang terdengar itu mulai menimbulkan akibat. Bunyibunyi itu sebenarnya tidak keras. Namun akibatnya tidak sesederhana bunyi yang terdengar. Mirah dan Cendana merasakan kelelahan merayapi sekujur otot-otot di tubuhnya.
Semakin lama rasa lelah yang mendera semakin besar. Seiring dengan semakin membesarnya kelelahan menyergap, rasa kantuk pun timbul. Kantuk yang luar biasa hebatnya. Sehingga, meski Cendana dan Mirah berusaha keras untuk bertahan, keduanya tidak mampu. Sepasang mata mereka memejam sendiri.
Kesadaran yang masih tersisa membuat Mirah dan Cendana berusaha untuk mengadakan perlawanan. Tapi, sia-sia saja. Pengaruh bunyi yang menyerang langsung menerjang urat saraf yang berhubungan dengan kelelahan. Tenaga yang hendak dikerahkan kedua wanita perkasa ini jadi pupus. Cendana dan Mirah akhirnya tertidur dalam sikap berdiri!
Kalau pengaruh yang melanda Mirah dan Cendana saja demikian hebatnya, apalagi yang dialami Setan Bongkok. Setan Bongkoklah sebenarnya yang menjadi sasaran penyerangan. Pengaruh yang melanda sosok berwajah mengerikan ini berlipat kali lebih dahsyat!
Tapi, Setan Bongkok tidak sampai terpengaruh seperti halnya Mirah dan Cendana. Di samping tokoh berwajah mengerikan ini memiliki tenaga dalam yang jauh lebih kuat, sejak semula dia sudah bersikap waspada. Begitu mendengar adanya bunyi ia segera mengetuk-ngetukkan ujung tongkatnya ke tanah secara berirama. Bunyi yang terdengar dari beradunya ujung tongkat dengan tanah kapur berpengaruh untuk melawan serangan bunyi yang diciptakan Gajah Kecil!
"Haaa...!" Gajah Kecil membuka mulutnya lebar-lebar sambil mengeluarkan seruan keras.
Setan Bongkok bagai disambar halilintar! Tubuh sosok berwajah kacau balau ini terjengkang ke belakang. Tongkatnya terpental entah ke mana. Pengaruh seruan Gajah Kecil yang sudah luar biasa itu masih ditambah dengan hembusan angin dahsyat. Dua serangan gabungan ini yang menyebabkan tubuh Setan Bongkok lintang pukang!
Bukan hanya Setan Bongkok yang menerima akibatnya. Mirah dan Cendana pun tidak luput. Tubuh kedua wanita ini tersentak seperti orang terkena demam tinggi. Kemudian, jatuh ambruk ke tanah bagai sehelai karung basah. Meski demikian, keduanya tidak tergugah dari tidurnya!
Di lain pihak, Gajah Kecil tidak menunggu lebih lama. Kakek ini sadar kalau Setan Bongkok merupakan lawan tangguh. Maka, langsung dia menggelinding memburu lawannya. Perhitungan Gajah Kecil memang tidak keliru. Setan Bongkok tidak terluka sama sekali kendati tubuhnya terjengkang dan terguling-guling.
Sebelum tubuh Gajah Kecil mendekat, Setan Bongkok melompat ke atas dan melancarkan serangan balasan. Dua tokoh yang sama-sama memiliki ciri-ciri aneh ini pun terlibat pertarungan sengit.
Saat Setan Bongkok dan Gajah Kecil terlibat dalam pertarungan, dari dalam pondok melesat sesosok bayangan putih. Sosok yang ternyata seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tujuh tahun ini berdiri di dekat tubuh Mirah dan Cendana yang tergolek di tanah. Kendati demikian, pandangannya tertuju pada pertarungan yang tengah berlangsung.
"Sungguh berbahaya sekali...," desis lelaki berpakaian putih yang memiliki wajah tampan dan bertubuh tegap berisi dengan bau wangi menyebar dari sekujur badan. Kepalanya digeleng-gelengkan. "Gajah Kecil telah keluar dari persembunyian. Bukan tidak mungkin dua yang lain dari Tiga Binatang Iblis Neraka telah meninggalkan sarang. Kepandaian Gajah Kecil tidak berkurang. Malah, bertambah dahsyat."
Lelaki ganteng yang bukan lain Pendekar Penyebar Asmara ini mengalihkan perhatian pada Setan Bongkok. "Siapa tokoh luar biasa ini? Gerakan-gerakannya mengingatkanku pada tokoh penuh rahasia yang berjuluk Elang Malaikat. Mungkinkah ada hubungan perguruan dengannya?"
Cukup lama Pendekar Penyebar Asmara memperhatikan jalannya pertarungan sebelum akhirnya perhatiannya dialihkan pada Mirah dan Cendana. Sepasang mata Pendekar Penyebar Asmara menyiratkan rasa kagum ketika menatap Cendana. Bagai orang yang kehausan melihat air, tatapannya menjelajahi sekujur tubuh Cendana mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Mirah...," sapa Pendekar Penyebar Asmara, lembut seperti layaknya orang yang memanggil buah hati yang sangat dikasihi. "Sudah cukup kau tenggelam dalam tidur. Bangun. Mari kita pergi. Ada urusan lain yang menunggu."
Aneh bin ajaib! Mirah yang sejak tadi bagaikan orang mati, tak bangun kendati jatuh secara keras di tanah dan adanya bunyi menggelegar di telinga, membuka mata.
"Apa yang terjadi, Kak? Mengapa aku tiduran di tanah?" tanya Mirah kebingungan. Kepalanya ditolehkan ke sana kemari. Terlihat olehnya Cendana yang tadi telah berhasil mendesaknya secara mendadak. Tampak juga Setan Bongkok tengah bertarung dengan Gajah Kecil.
"Nanti saja kujawab pertanyaanmu, Mirah," jawab Pendekar Penyebar Asmara tetap lembut sambil tersenyum manis. "Sekarang, yang penting kita harus segera tinggalkan tempat ini."
Tanpa memberi kesempatan pada Mirah untuk berpikir lebih lama, Pendekar Penyebar Asmara menadahkan kedua tangannya seperti orang tengah berdoa. Mendadak, tubuh Cendana melayang ke arahnya dan hinggap di kedua tangannya. Seakan ada daya tarik yang amat kuat dari kedua tangan itu.
"Apa artinya ini, Kak? Mengapa wanita centil itu kau bawa?!" kecam Mirah. Pandang matanya dikerlingkan pada Cendana dengan penuh kebencian.
Pendekar Penyebar Asmara hanya tersenyum kalem. "Nanti pun kau akan tahu, Mirah."
Hanya itu jawaban Pendekar Penyebar Asmara sebelum melesat meninggalkan tempat itu. Mirah tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti, meski dengan bersungut-sungut tidak senang.
Setan Bongkok sempat melihat kejadian itu. Ini membuatnya cemas. Tapi, apa dayanya? Saat itu dia tengah sibuk menghadapi Gajah Kecil. Mengalihkan perhatian hanya akan mengirim nyawanya ke neraka! Meski demikian, sekarang Setan Bongkok sulit untuk memusatkan perhatian. Dia tahu siapa adanya Pendekar Penyebar Asmara. Cendana akan menjadi korbannya. Tokoh aneh ini jadi gelisah bukan main. Ini membuat keadaannya semakin tidak menguntungkan.
Tingkat kepandaian Setan Bongkok memang masih di bawah Gajah Kecil. Bertarung dengan sepenuh hati pun dia kewalahan. Untungnya, mutu ilmu silat yang dimilikinya lebih unggul dari ilmu Gajah Kecil. Ini yang membuatnya berhasil untuk bertahan. Apalagi ilmunya memang cukup mempunyai pertahanan yang kokoh hingga Gajah Kecil sulit untuk merobohkan. Pertarungan jadi berlangsung alot!
Tapi setelah kejadian yang menimpa Cendana, Setan Bongkok merubah cara bertarung. Tokoh ini mulai melancarkan serangan-serangan. Tak tanggung-tanggung lagi yang dipergunakan. Serangan yang terdahsyat dan merupakan ilmu andalannya!
Gajah Kecil sempat berubah wajahnya ketika melihat Setan Bongkok menerjang sambil mengeluarkan pekikan melengking nyaring. Pekikan itu membuat nyawanya untuk sesaat seperti melayang ke alam baka. Isi dadanya sampai terguncang! Buru-buru dikerahkan tenaga dalam untuk menangkalnya. Pada saat yang hampir bersamaan dia melompat memapaki serangan Setan Bongkok!
Bresss!
Tubuh Setan Bongkok dan Gajah Kecil sama-sama terpental ke belakang dan terbanting keras di tanah. Namun, keduanya segera bangkit berdiri. Pertarungan terhenti. Kedua belah pihak tidak ada yang memulai serangan. Yang dilakukan hanya saling tatap dengan sinar mata penuh tantangan.
"Kau hendak mengadu nyawa, Gajah Kecil?!" tanya Setan Bongkok, angker.
Gajah Kecil adalah seorang tokoh kawakan. Dia segera tahu lawan tangguhnya ini memberikan pilihan padanya untuk menghabiskan masalah ini sampai di situ saja. Setan Bongkok tidak ingin memperpanjang masalah. Gajah Kecil yang cerdik ini pun bisa melihat adanya keuntungan dengan tawaran itu. Setan Bongkok benar. Tidak ada gunanya meneruskan pertarungan.
"Kalau kau menginginkannya apa boleh buat, Bongkok? Aku, Gajah Kecil, bukan orang yang takut mati! Lagi pula, kaulah yang lebih dulu mencampuri urusanku. Ha ha ha...!"
"Itu kulakukan karena kau hendak mencelakai gadis yang berada dalam perlindunganku. Tak satu pun makhluk yang bisa mencelakainya selama aku ada!" tandas Setan Bongkok.
Gajah Kecil tersenyum penuh kemenangan. Ucapan lawannya yang terakhir menunjukkan kalau Setan Bongkok enggan bermusuhan dengannya. Setan Bongkok hanya terpaksa melawannya. Meski sebenarnya tak takut terhadap Setan Bongkok, tapi Gajah Kecil tahu untuk membunuh lawannya ini bukan perkara yang mudah.
Padahal, dia mempunyai urusan yang lebih penting. Mencari dan membalaskan sakit hati muridnya pada Pendekar Penyebar Asmara.Satu hal yang menggembirakan hati Gajah Kecil adalah sikap Setan Bongkok yang mengalah. Hal ini dianggapnya karena keunggulannya. Kendati, dia belum menang secara mutlak.
"Kalau itu maumu, lain kali urusan ini kita perpanjang lagi, Bongkok! Ha ha ha...!" Gajah Kecil menggelinding meninggalkan tempat itu. Setan Bongkok pun bergegas pergi. Dia sudah tidak sabar lagi untuk menolong Cendana.
ENAM
"Nona, bangunlah. Tidak baik tidur terlalu lama," ujar Pendekar Penyebar Asmara lembut.
Cendana bagaikan orang tidur yang diguyur seember air dingin. Dia tersentak bangun. Yang pertama kali dilihatnya adalah seraut wajah ganteng yang tersenyum penuh daya pikat. Kumis tipis, sedikit jenggot, dan cambang yang teratur rapi membuat wajah itu semakin menarik.
Cendana merasakan hatinya terguncang. Sebuah perasaan aneh muncul di hatinya. Perasaan tertarik. Lelaki yang duduk bersila sekitar satu tombak di depannya ini amat menarik! Tidak hanya wajah, suaranya pun penuh daya tarik. Demikian lembut dan menggetarkan hati. Aroma wangi yang nikmat di hidung semakin menambah ketertarikan hati Cendana.
Aroma itu keluar dari tubuh Pendekar Penyebar Asmara. Malu karena hanya berdua saja di dalam gua yang cukup luas ini, Cendana menundukkan kepala. Gadis ini sempat merasa aneh. Inikah dirinya, Cendana yang periang? Mengapa sekarang seperti seorang gadis pemalu dilamar orang?
Sekarang Cendana baru menyadari kebenaran ucapan gurunya yang menyatakan akan tiba masanya dia jatuh hati pada seorang lelaki. Cendana tidak menyalahkan dirinya. Lelaki di hadapannya ini memang amat menarik! Cendana sungguh tidak tahu kalau lelaki di hadapannya itu adalah Pendekar Penyebar Asmara. Orang yang dicari-carinya!
"Mengapa aku bisa berada di sini?" tanya Cendana lirih tanpa berani mengangkat wajah. Samar-sama dia mulai teringat kejadian-kejadian yang dialaminya.
"Aku yang membawamu kemari, Nona. Kulihat kau tergeletak di tanah," jawab Pendekar Penyebar Asmara.
Cendana bagaikan dibuai. Suara Pendekar Penyebar Asmara terasa nyaman di dada. Sejuk! Ingin didengarnya lagi suara itu. Pendekar Penyebar Asmara bangkit dari duduk bersilanya dan turun dari gundukan batu yang didudukinya. Dengan langkah lambat-lambat dihampirinya Cendana yang tetap berdiri dengan wajah tertunduk. Dada gadis itu berombak keras menandakan besarnya ketegangan yang melanda hati.
Cendana hampir saja terjingkat ketika Pendekar Penyebar Asmara menyentuh kedua bahunya. Cendana tiba-tiba merasakan sekujur tubuhnya lemas bagai tak bertulang. Cendana tidak memberikan penolakan ketika Pendekar Penyebar Asmara mengangkat wajahnya. Bahkan, ketika lelaki itu mendekatkan wajah. Cendana malah pasrah! Ketika bibir Pendekar Penyebar Asmara mengulum bibirnya, gadis ini mengeluh tertahan.
Cendana malah balas memagut. Dua insan yang berbeda jenis ini saling cium dengan tubuh berpelukan erat. Cendana hanya sedikit meronta ketika Pendekar Penyebar Asmara merebahkan tubuhnya ke tanah. Tapi, itu hanya sebentar. Sesaat kemudian hal itu dibiarkannya.
"Hentikan, Jahanam...!"
Teriakan keras penuh kemarahan membuat Pendekar Penyebar Asmara dan Cendana tersentak bagai disengat kalajengking! Pendekar Penyebar Asmara segera bangkit dari atas tubuh Cendana. Gadis ini lalu bergegas bangkit dan membereskan pakaiannya yang telah terbuka di sana sini. Cendana seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruk.
"Menyingkirlah, Nona," ucap Setan Bongkok, pemilik bentakan tadi. Lelaki ini berdiri tegak di mulut gua. "Tutup matamu dan pergunakan mata hatimu. Pendekar Penyebar Asmara memang memiliki suatu pengaruh aneh yang membuat setiap wanita tidak berdaya untuk menolak keinginan bejatnya."
Bagai ada halilintar menggelegar di tempat itu ketika Cendana mendengar ucapan Setan Bongkok. Jadi, lelaki ganteng itu adalah Pendekar Penyebar Asmara? Orang yang telah banyak menjatuhkan hati wanita dan orang yang tengah dicari-carinya untuk membalaskan sakit hati gurunya! Hampir saja dia menjadi korban!
Sekarang Cendana baru mengerti mengapa gurunya begitu khawatir dia akan terpikat pada Pendekar Penyebar Asmara. Nenek baju hitam benar. Setan Bongkok juga benar. Pendekar Penyebar Asmar mempunyai pengaruh aneh yang membuat lawan jenisnya tertarik dan tak berdaya menolak kehendaknya.
Cendana teringat lagi akan dugaan gurunya. Nenek baju hitam ini mengatakan Pendekar Penyebar Asmara mungkin menuntut sebuah ilmu aneh. Ilmu yang membuat lawan jenisnya tertarik dan lupa diri. Ilmu yang jauh lebih dahsyat dan memiliki pengaruh lebih dari susuk atau pelet!
Cendana geram bukan main. Marah karena hampir saja menjadi korban seperti halnya murid gurunya sebelum dia. Perasaan geram membuatnya mencabut pedang dan menyerang Pendekar Penyebar Asmara. Cendana harus menggertakkan gigi untuk mengusir perasaan tertariknya.
"Mengapa mencabut pedang, Nona? Bukankah lebih baik kalau kita bersahabat daripada bermusuhan," ucap Pendekar Penyebar Asmara lembut dengan senyum memikat. Pendekar Penyebar Asmara mengulurkan tangan, menangkap pedang Cendana. Dan, sekali tarik tubuh gadis itu kembali jatuh ke pelukannya.
Cendana hendak meronta. Tapi seperti juga sebelumnya, pengaruh aneh yang menyebar dari Pendekar Penyebar Asmara melarangnya melakukan hal itu. Cendana pasrah! Sepasang mata Setan Bongkok berkilat-kilat melihat hal ini. Laksana seekor burung yang tengah murka, dia memekik nyaring. Pekikan yang membuat Cendana sadar kembali ciri kungkungan perasaan aneh Cendana meronta. Pendekar Penyebar Asmara sedikit pun tidak menahannya, sehingga gadis itu berhasil melepaskan diri. Wajah Cendana merah padam.
Setan Bongkok melesat ke depan dan berdiri di antara Pendekar Penyebar Asmara dan Cendana. "Menyingkirlah, Nona. Pengaruh aneh yang ditimbulkan Pendekar Penyebar Asmara terlalu kuat untukmu," Setan Bongkok memberi nasihat dengan suara halus.
Cendana yang sudah merasakan sendiri kenyataannya, melangkah mundur. Dia bergidik rnembayangkan dirinya menjadi korban seperti wanita-wanita lain. Gadis ini berdiri bersandar di dinding gua. Diperhatikannya jalannya peristiwa yang akan terjadi antara Setan Bongkok dan Pendekar Penyebar Asmara.
Pendekar Penyebar Asmara tersenyum. Dia tidak marah dengan kegagalannya menikmati kegadisan Cendana. Senyumnya yang memikat bahkan tidak hanya ditujukan pada Cendana, tapi juga pada Setan Bongkok.
"Kukira kau sudah mati di tangan Gajah Kecil, Sobat," ujar Pendekar Penyebar Asmara tanpa ada nada permusuhan sama sekali. "Apakah kau berhasil mengalahkannya?"
"Tidak usah mengalihkan persoalan, Pendekar Bejat!" bentak Setan Bongkok, keras. "Bersiaplah untuk menerima hukuman atas kekejian yang kau lakukan!"
"Ha ha ha...!" Pendekar Penyebar Asmara tertawa. Tidak keras. Cendana harus mengakui kalau tawa pendekar itu terasa nikmat menyelusup ke dalam dadanya. "Kekejian yang mana, Sobat? Kau lihat sendiri kenyataannya., Permainan asmara yang kami lakukan berdasarkan saling suka. Aku tidak pernah memaksa, meskipun kalau kumau bukan hal yang sulit!"
Setan Bongkok diam. Apa yang diucapkan Pendekar Penyebar Asmara memang bukan bualan belaka. Ini membuatnya bingung untuk melakukan tindakan. "Kuakui apa yang kau katakan itu benar, Pendekar. Tapi, perlu kau sadari dan mungkin telah kau ketahui sendiri, perbuatanmu tidak layak dilakukan oleh seseorang pendekar. Perbuatan yang kau lakukan ini terkutuk!" tandas Setan Bongkok, tegas.
"Apa pun yang kau katakan, aku tidak menganggap perbuatanku terkutuk! Yang kulakukan dengan wanita-wanita yang menyukaiku adalah atas dasar suka sama suka. Bahkan, bagi wanita yang mengerti sifatku dan mau mencintaiku, aku tak segan-segan untuk menjadikannya istri. Perlu kau ketahui, wanita berpakaian merah yang kau temui di muka gua adalah istriku. Aku yakin kau menjumpainya sebelum masuk kemari. Entah apa yang kau lakukan terhadapnya."
"Tenangkan hatimu, Pendekar. Aku tidak melakukan apa pun terhadapnya. Aku melesat masuk tanpa dia mampu mencegahku," beritahu Setan Bongkok.
"Bagus!" puji Pendekar Penyebar Asmara dengan hati lega. "Karena bila sampai kau melukainya, aku tidak akan berdiam diri begitu saja. Sekalipun kau mempunyai nyawa rangkap, tak akan kubiarkan kau hidup!"
Usai berkata demikian, dengan sikap tenang Pendekar Penyebar Asmara mengayunkan kaki meninggalkan gua. Tidak kelihatan lelaki ganteng ini berwaspada ketika melalui Setan Bongkok. Pendekar Penyebar Asmara yakin betul Setan Bongkok tidak akan menyerangnya. Dan memang, Setan Bongkok tidak berbuat apa pun untuk mencegah kepergian Pendekar Penyebar Asmara.
Cendana yang tidak bisa tinggal diam. Gadis ini bergerak untuk menghadang. Tapi, tindakan itu segera dihentikan ketika didengarnya ucapan Setan Bongkok.
"Jangan cegah kepergiannya, Nona. Lupakan saja kemarahanmu. Jangan sampai kejadian yang kau alami berulang kembali."
Cendana sampai bergidik mengingat hal itu. Maka, meski hatinya penasaran bukan main, dibiarkannya Pendekar Penyebar Asmara meninggalkan tempat itu dengan senyum menghias bibir. Senyum yang penuh daya pikat!
Cendana berdiri menengadah ke langit dengan kedua tangan di punggung. Bola matanya tidak bergerak-gerak. Seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya di angkasa. Padahal, kendati menatap ke langit pikiran gadis berpakaian kuning ini melayang-layang mengingat semua kejadian yang dialami.
Segumpal penyesalan masih bergayut di hati Cendana ketika teringat gurunya. Gadis ini trenyuh mengingat ketidak-berhasilannya memenuhi permintaan nenek baju hitam itu. Pendekar Penyebar Asmara tidak bisa dibunuhnya! Pembunuh gurunya pun tidak mungkin dijadikan sasaran balas dendam. Dua keinginannya kandas!
"Hendak ke mana lagi kau pergi, Laras? Setengah mati kami mencarimu, kau enak-enakan di sini. Tidakkah kau tahu kami mengkhawatirkan keselamatan mu?!"
Seruan yang terdengar dekat itu membuat Cendana terkejut bukan main. Apalagi ketika kedua bahunya disentuh sepasang tangan. Lamunan Cendana buyar seketika. Dengan cepat ditampiknya sepasang tangan yang menempel di bahunya. Dan, sambil membalikkan tubuh gadis ini menyampokkan tangannya ke arah orang yang memiliki tangan usil itu.
Sang pemilik tangan mengeluarkan seruan kaget mendapat serangan tidak disangka-sangka ini. Lelaki berkulit hitam dengan gigi tonggos ini untungnya masih sempat melompat ke belakang. Kalau tidak, wajahnya akan porak-poranda terkena sampokan Cendana yang mampu menghancurkan batu karang yang paling keras sekalipun itu.
"Manusia kurang ajar...!" seru Cendana keras, penuh kemarahan. Apalagi ketika serangannya gagal mengenai sasaran. Cendana langsung mengirimkan tendangan ke pusar.
Lagi-lagi lelaki tonggos yang bukan lain Tanggur, ayah Larasati cepat mengelak. "Hentikan, Nona. Kau salah paham. Aku tidak bermaksud demikian," beritahu Tanggur sambil mengelak ke samping sehingga serangan Cendana kembali luput.
Tapi, Cendana tidak menghentikan tindakannya. Bahkan dia menyerang semakin kalang kabut. Gadis ini tidak mempedulikan pemberitahuan Tanggur. Kemarahan yang timbul karena tindakan Tanggur yang dianggapnya kurang ajar dan Cendana memang tengah uring-uringan, membuatnya terus mengumbar kemarahan.
Dalam waktu sebentar saja Cendana telah menyerang beberapa jurus. Tapi, semua dapat dipunahkan Tanggur tanpa menemul kesulitan. Tanggur bergerak ke sana kemari. Ia hanya mengelak dan tak sedikit pun melancarkan serangan balasan. Berkali-kali dari mulutnya keluar ucapan yang menyatakan kalau kejadian tadi hanya salah paham.
Namun, Cendana tetap menyerang bertubi-tubi Setelah berlangsung lima belas jurus dan Cendana terus menyerang. Tanggur sadar penjelasannya sia-sia belaka. Cendana bukan gadis yang mudah diberikan pengertian. Cara lain pun terpaksa digunakan. Tanggur memutuskan untuk merobohkan Cendana. Baru setelah itu diberikan penjelasan. Mungkin dengan cara itu Cendana mengerti karena terpaksa mendengarkan penjelasannya.
Sebenarnya bisa saja Tanggur melarikan diri. Dengan tingkat kepandaiannya yang berada di atas Cendana, merupakan hal yang mudah untuknya. Tapi Tanggur tidak mau melakukan hal demikian. Tindakan itu dianggapnya perbuatan pengecut, dan melarikan diri hanya menunjukkan kalau sangkaan Cendana benar adanya.
Pada satu kesempatan, Tanggur mendorong tubuh Cendana hingga jatuh terjengkang di tanah. Cendana bangkit dengan cepat. Tapi, Tanggur lebih cepat lagi. Lelaki ini menyerang dengan sebuah totokan arah bahu kanan lawan. Cendana kaget. Gadis ini tahu dia kalah cepat bergerak. Tapi sebelum kejadian yang tak diharap menimpa Cendana, dari samping melesat sesosok bayangan memapaki serangan Tanggur!
"Sungguh tidak pantas seorang tua menghina yang muda!" seru sosok bayangan itu.
Plakkk!
Tubuh Tanggur terhuyung-huyung akibat tangkisan sosok yang menolong Cendana. Lelaki tonggos merasakan sekujur tangannya sakit. Di depan Tanggur berdiri membelakangi Cendana, sosok yang bukan lain Setan Bongkok. Sikapnya tampak angker bukan main.
"Menyingkirlah, Cendana. Dia bukan lawanmu. Biar aku yang menghadapinya," ujar Setan Bongkok. "Apa yang terjadi, Cendana?"
"Dia hendak berbuat kurang ajar padaku!" tandas Cendana berapi-api.
"Itu tidak benar!" bantah Tanggur. "Hanya salah paham saja. Aku tidak bermaksud demikian!"
"Kalau tidak hendak berbuat kurang ajar, mengapa menyentuh-nyentuh bahuku?!" kejar Cendana tak kalah gertak.
"Kukira kau anakku, Nona," jelas Tanggur. "Potongan tubuhmu dari belakang mirip sekali dengan Larasati, putriku. Dia pergi dan belum kembali sampai sekarang. Aku dan istriku mencari-carinya."
"Alasan! Dusta! Kau memang tua-tua cabul!" Cendana melompat menerjang Tanggur dengan pukulan bertubi-tubi. Setan Bongkok ingin mencegahnya, tapi terlambat Cendana telah lebih dulu melesat.
Tanggur kali ini tidak sesabar sebelumnya. Dia telah terlalu banyak mengalah. Cendana pun mengetahuinya. Tapi, tetap saja tindakannya kasar dan mulutnya tajam. Tanggur jadi tidak senang. Tanpa pikir panjang lagi, dengan niat untuk memberikan hajaran, serangan Cendana ditangkisnya.
Akibatnya, tubuh gadis itu terjengkang ke belakang dan terbanting di tanah. Berbeda dengan sebelumnya, Cendana tidak langsung bangkit. Kedua tangannya yang berbentoran dengan tangan Tanggur terasa sakit bukan main.
Setan Bongkok berkilat-kilat sepasang matanya. Lelaki ini sangat marah melihat tindakan Tanggur. Kendati diakui sikap Cendana sudah kelewatan, tapi tindakan Tanggur pun dinilai Setan Bongkok terlalu keras!
"Mengandalkan kepandaian untuk melakukan tindakan tak adil terhadap orang lemah bukan tindakan terpuji. Aku, Setan Bongkok, tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Majulah, Sobat. Lawan aku! Jangan kau tekan gadis yang bukan tandinganmu itu kalau kau bukan seorang pengecut!"
Tanggur membusungkan dada. Harga dirinya tersinggung mendengar tantangan yang diajukan Setan Bongkok. Dengan sorot mata penuh tantangan ditatapnya Setan Bongkok.
"Apa boleh buat. Kalau kau memang hendak membela wanita liar bermulut kurang ajar itu, aku pun, Tanggur bukan orang berwatak pengecut! Kuterima tantanganmu, Setan Bongkok!" mantap dan tegas kata-kata yang dikeluarkan Tanggur.
"Hajar orang kurang ajar itu, Paman Bongkok!" seru Cendana. Ia bangkit berdiri dan memberi semangat pada Setan Bongkok.
Mata Setan Bongkok berbinar. Memang hanya sesaat terlihat, tapi bisa diketahui kalau tokoh aneh ini gembira. Itu tidak terlalu berlebihan. Sejak pertemuannya dengan Cendana, sewaktu menolong gadis itu dari tangan Gajah Kecil, Cendana tidak pernah mengajaknya bicara.
Bahkan ketika mereka melakukan perjalanan berdua setelah Setan Bongkok menyelamatkan Cendana dari Pendekar Penyebar Asmara, Cendana juga tidak bicara. Gadis ini banyak termenung ketika beristirahat. Setan Bongkok yang tidak mau mengganggunya, meninggalkannya untuk mencari makanan. Ketika kembali Cendana ternyata telah terlibat keributan dengan Tanggur. Setan Bongkok pun ikut campur.
Ucapan Cendana membuat semangat Setan Bongkok bergelora. Lelaki ini menerjang Tanggur. Tanggur yang memang sudah bersiap sedia segera menyambutinya. Pertarungan antara dua tokoh ini pun berlangsung. Setan Bongkok ternyata terlalu tangguh untuk Tanggur.
Setelah bergebrak beberapa kali lelaki tonggos ini segera berada di bawah angin. Setan Bongkok unggul dalam segala hal. Tidak hanya dalam kecepatan gerak. Tapi juga tenaga dalam dan mutu ilmu silatnya. Meski demikian, Tanggur berusaha sekuat tenaga melakukan perlawanan.
Beberapa kali dia terpontang-panting! Cendana yang melihat keunggulan Setan Bongkok kelihatan gembira bukan main. Dia bertepuk tangan sambil tak henti-hentinya memberi semangat.
"Ayo, Paman Bongkok! Hajar lelaki kurang ajar itu! Gebuk saja pantatnya!"
Hampir Setan Bongkok tertawa karena geli mendengar ucapan Cendana yang terdengar lucu dan menggelikan. Semangatnya semakin membara. Gerakan-gerakannya semakin dahsyat dan menggiriskan. Tanggur semakin terdesak. Di samping itu, lelaki tonggos ini juga merasa sakit hati dengan ucapan Cendana.
"Mengapa pantatnya yang disebut-sebut?" rutuk Tanggur dalam hati.
Di saat keadaan Tanggur semakin mengkhawatirkan dan lebih sering terbanting ke sana kemari, terdengar teriakan melengking nyaring dari kejauhan.
"Ayah...!"
"Kak Tanggur...!"
Dua seruan itu keluar hampir bersamaan. Yang satu berasal dari mulut Larasati. Sedangkan yang satunya lagi diserukan Nilam Sakini, istri Tanggur. Ibu dan anak ini masih berjarak tak kurang dua puluh tombak. Tapi, seruan keras itu telah mereka keluarkan dan sambil terus berlari mendekat. Di sebelah Larasati dan Sakini tampak berdiri orang lain, seorang pemuda berpakaian ungu dengan rambut putih panjang berkibaran. Arya Buana alias Dewa Arak.
Hampir bersamaan Larasati dan Sakini melompat menyerang Setan Bongkok yang tengah mendesak Tanggur dengan hebat. Setan Bongkok mendengus. Kedua tangannya dikibaskan. Bagaikan diterpa angin keras, tubuh ibu dan anak itu terlempar balik dan jatuh bergulingan di tanah.
Tanggur menggeram. Lelaki ini marah bukan main melihat kejadian yang menimpa anak dan istrinya. Namun sebuah sapuan kaki Setan Bongkok telah melemparkan tubuhnya. Tanggur masih mampu menunjukkan keperkasaannya dengan menjejakkan kedua kaki di tanah. Tanggur tidak menjadi gentar. Lelaki tonggos ini bertekad untuk terus bertarung sampai tetes darah penghabisan!
Sebuah tangan yang menyentuh bahunya membuat Tanggur mengurungkan niat itu. Ditolehnya kepalanya ke belakang. Tidak tergesa-gesa. Sebab, Tanggur tahu orang yang menyentuh itu tidak bermaksud jahat. Apabila tidak, saat itu nyawanya sudah melayang!
"Boleh aku mewakilimu untuk menghadapinya, Paman?" sapa Arya Buana, yang menyentuh bahu Tanggur.
Tanggur membutuhkan waktu sejenak untuk mengangguk. Lelaki ini tertegun melihat ciri-ciri pemuda di hadapannya. Wajah dan potongan tubuhnya pemuda. Tapi, rambutnya milik orang berusia lanjut!
"Dia memiliki kepandaian amat tinggi, Anak Muda, Kau harus berhati-hati." Tanggur masih sempat untuk berpesan. Agak ragu-ragu lelaki tonggos ini menyapa Arya sebagai pemuda.
"Akan kuperhatikan nasihatmu, Paman," jawab Arya sopan seraya tersenyum. Dewa Arak lalu mengalihkan perhatian ke arah Setan Bongkok. Tokoh ini tidak melakukan tindakan apa pun setelah Tanggur tidak menyerangnya.
Agak jauh ke belakang Setan Bongkok, Cendana memperhatikan Dewa Arak dengan perasaan lain. Pemuda ini kelihatan matang dan dewasa karena sikapnya yang tenang dan rambutnya yang putih. Wajah dan potongan tubuhnya pun menarik. Cendana mulai menaruh perhatian. Sungguh amat jauh bedanya, bagaikan bumi dan langit jika dibandingkan dengan Setan Bongkok.
TUJUH
Setan Bongkok sadar Dewa Arak tidak bisa disamakan dengan lawan-lawan sebelumnya. Kendati menilik usianya dia merupakan lawan paling muda dari lawan-lawan tangguh yang pernah dihadapinya, tapi dari sorot mata Dewa Arak yang tajam mencorong laksana mata seekor naga dalam gelap, Setan Bongkok bisa mengetahui ketangguhan lawannya.Bukan hanya Setan Bongkok yang bersikap waspada. Dewa Arak pun demikian. Untuk sesaat kedua tokoh ini saling memperhatikan gerak-gerik lawan. Setan Bongkok yang pertama kali membuka serangan. Dia melompat ke atas dengan kedua tangan membentuk cakar, siap untuk dikirimkan ke arah Dewa Arak dalam bentuk serangan dahsyat. Kedua kakinya agak didekatkan ke perut dengan menekuk lututnya.
Dewa Arak melangkah mundur seraya mengangkat wajah untuk memperhatikan gerakan lawan. Pemuda ini melompat agak jauh ke belakang ketika Setan Bongkok melancarkan serangan bertubi-tubi dalam bentuk sampokan. Tahu kalau lawan telah menggunakan ilmu andalan, Dewa Arak segera menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Setelah beberapa kali mengelak, serangan ba lasan pun dilancarkan.
Plak, plakkk, plakkk!
Berturut-turut benturan terjadi ketika pertarungan berlangsung beberapa jurus. Tubuh Dewa Arak terhuyung-huyung dua langkah. Tapi, Setan Bongkok terhuyung tiga langkah ke belakang.
Cendana bengong melihat hal ini. Sebaliknya, Larasati dan Tanggur serta Sakini tampak gembira. Pemandangan yang terpampang menjadi pertanda kalau jagoan mereka berada di pihak yang unggul.
Setan Bongkok penasaran bukan main. Seluruh ilmunya dikerahkan. Tubuhnya bagai tidak pernah menjejak tanah. Mulutnya tak henti-henti mengeluarkan pekikan nyaring. Setan Bongkok tidak ingin peristiwa yang memalukan tadi terulang kembali. Dia tidak ingin Cendana merasa kecewa.
Tapi, betapa pun besarnya semangat Setan Bongkok untuk menang, kemampuan yang tertinggi yang menentukan. Ternyata kemampuan puncak Setan Bongkok masih belum mampu menandingi Dewa Arak yang mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Setan Bongkok tetap tidak mampu mendesak lawannya.
Di lain pihak, Dewa Arak dapat mendesak Setan Bongkok. Sementara desakan-desakan lawan dapat dipunahkan dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Tak sampai lima puluh jurus pertarungan Setan Bongkok telah dipaksa untuk bertarung mundur. Ilmunya yang biasa menang dalam mutu sekarang mati kutu. Ilmu 'Belalang Sakti' milik Dewa Arak tidak kalah tinggi mutunya!
Di saat Setan Bongkok terus bergerak mundur tiba-tiba terdengar geraman keras. Dari bunyi yang tertangkap, Setan Bongkok dan Dewa Arak tahu kalau pemilik suara itu sudah pasti manusia. Ia berada di tempat yang jauh dari mereka. Geraman itu cukup menarik perhatian. Tidak hanya Larasati, Sakini, maupun Tanggur. Juga Dewa Arak, Setan Bongkok, dan terutama. Cendana. Pertarungan antara Dewa Arak dan Setan Bongkok seketika terhenti.
Tindakan Cendana lebih hebat lagi. Wajah gadis itu pucat pasi laksana mayat. Tapi, sinar mata dan tarikan mulutnya menyiratkan kebencian dan dendam. Cendana menduga pemilik geraman ini adalah pemuda gila yang telah menewaskan gurunya. Sesaat tubuh gadis ini menggigil keras seperti orang terkena demam tinggi. Kemudian, sambil mengeluarkan keluhan tertahan ia melesat menuju sumber suara geraman.
"Cendana...! Hentikan...!" seru Setan Bongkok Dalam teriakannya tersirat kekhawatiran yang dalam. "Sobat, di antara kita tidak pernah ada urusan. Dan, aku bukan orang jahat. Mungkin aku telah bertindak terlalu kasar pada kawan-kawanmu. Tapi, itu kulakukan karena tidak ada pilihan lain. Aku mohon kau biarkan aku pergi untuk menyusul kawanku agar dia tidak celaka di tangan orang jahat. Bagaimana?" pinta Setan Bongkok penuh harap.
Setan Bongkok sebenarnya tidak gentar. Bahkan, andaikata mati sekalipun dalam pertarungan ini. Tapi, dia tidak ingin Cendana celaka. Apabila pertarungan ini dilanjutkan mungkin Cendana sudah pergi terlalu jauh dan dia akan kehilangan jejak. Tidak ada pilihan lain kecuali meminta kebijaksanaan Dewa Arak.
"Pergilah. Selamatkan kawanmu," timpal Arya sambil menyimpan gucinya dan melangkah mundur.
Setan Bongkok menatap Arya dengan pandangan penuh terima kasih sebelum membalikkan tubuh dan melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tanggur beserta anak dan istrinya menyaksikan kejadian itu dengan alis berkerut.
"Mengapa Dewa Arak membebaskan tokoh jahat itu?" tanya mereka dalam hati.
* * *
Cendana berlari bagaikan dikejar hantu. Gadis ini ingin segera tiba di tempat geraman tadi berasal. Geraman yang diyakininya keluar dari mulut Lesmana. Perasaan benci membuat Cendana lupa akan nasihat gurunya untuk tidak membalas dendam.
Setelah berlari beberapa lama, di kejauhan sekitar delapan tombak di depannya, Cendana melihat dua sosok tengah berdiri berhadapan dalam jarak tiga tombak. Mereka memiliki ciri-ciri yang amat aneh. Wajah sosok yang satu mirip harimau. Sedangkan yang satu lagi mirip kera besar.
Cendana merasa kecewa sekali melihat hal ini. Apalagi ketika mengetahui geraman itu dikeluarkan kakek berwajah harimau. Dialah Siluman Harimau. Tokoh sesat yang memiliki kepandaian amat tinggi. Kakek yang satu lagi lebih mengerikan dari pada Siluman Harimau. Kakek ini tidak lain dari Raja Monyet Bertangan Seribu. Tokoh teratas dalam kelompok Tiga Binatang lblis Neraka.
Kendati tahu pemilik geraman itu bukan Lesmana, Cendana tidak meninggalkan tempat itu. Gadis ini malah tertarik untuk mengetahui kelanjutan kejadian yang tengah disaksikannya. Tampak oleh Cendana, Siluman Harimau melompat menerjang Raja Monyet Bertangan Seribu. Serangannya ganas bukan main.
Tapi, dengan gerak kaku Raja Monyet Bertangan Seribu mengelakkannya. Ketika tangannya diayunkan secara sembarangan, kakek yang memiliki wajah mirip kera besar itu berhasil membuat tubuh Siluman Harimau terhuyung-huyung kebelakang. Padahal, yang melanda Siluman Harimau hanya angin pukulannya saja!
Cendana membelalakkan mata saking kagumnya melihat kepandaian Raja Monyet Bertangan Seribu. Meski melihat gerakan-gerakan Siluman Harimau, gadis ini tahu kalau tingkat kepandaian kakek itu jauh di atas tingkatnya, bahkan mungkin tidak kalah dengan Setan Bongkok. Namun kenyataannya Siluman Harimau bagai seekor semut bertarung melawan api.
Setelah beberapa kali dibuat permainan lawan, Siluman Harimau mengeluarkan senjatanya. Sepasang cakar yang memiliki pegangan. Cakar yang terbuat dari baja pilihan itu pada ujung-ujungnya dibubuhi racun mematikan. Dengan senjata andalan di tangan Siluman Harimau bagai seekor harimau tumbuh sayap. Serangan-serangannya semakin dahsyat.
Siluman Harimau berhasil menyerang selama tiga jurus. Tapi semua itu berhasil dielakkan Raja Monyet Bertangan Seribu dengan tanpa kesulitan. Bahkan seperti sebelumnya, Siluman Harimau dibuat terhuyung-huyung dengan angin pukulannya. Raja Monyet Bertangan Seribu lalu mengeluarkan senjatanya. Sepasang kecer!
Raja Monyet Bertangan Seribu membenturkan sepasang kecernya dengan pengerahan seluruh tenaga. Menurut perhitungan akan terdengar bunyi menggelegar yang luar biasa keras, mengingat kakek ini memiliki tenaga dalam amat kuat. Namun, tidak terdengar bunyi sedikit pun!
Cendana yang sudah siap untuk menutup telinga mengernyitkan alis. Heran. Cendana hampir tak kuat menahan pekikannya ketika melihat kejadian yang terpampang kemudian. Siluman Harimau terkesima sebentar. Kemudian, tertawa terbahak-bahak. Demikian gelinya sampai tubuhnya terbungkuk-bungkuk.
Semula Cendana menduga Siluman Harimau menertawakan serangan Raja Monyet Bertangan Seribu. Tapi ketika melihat wajah Siluman Harimau, gadis ini mulai menaruh curiga. Wajah Siluman Harimau seperti bukan wajah orang yang tengah tertawa. Hanya mulutnya yang menganga mengeluarkan tawa, tapi wajah dan sinar matanya tidak! Wajah itu menyiratkan rasa takut yang besar. Kelihatan tegang bukan main!
Kecurigaan Cendana semakin besar ketika melihat Siluman Harimau terus saja tertawa seperti tidak mempedulikan keberadaan Raja Monyet Bertangan Seribu yang menjadi lawannya. Raja Monyet Bertangan Seribu sendiri dengan tenang menyimpan kembali kecernya lalu menyaksikan perbuatan lawan.
Raja Monyet Bertangan Seribu tentu saja melihat keberadaan Cendana karena medan pertarungan berupa tanah datar yang luas tanpa ada penghalang sampai belasan tombak. Tapi, kakek monyet itu bersikap tidak peduli, seakan Cendana tidak berada di situ. Seluruh perhatiannya ditujukan pada Siluman Harimau.
Siluman Harimau sendiri terus saja tertawa. Sampai suara tawanya semakin pelan dan sekujur urat-urat menonjol di sekitar wajah dan leher. Wajahnya pun merah padam. Matanya telah mengeluarkan air. Tak lama lagi tokoh ini akan tewas dengan pembuluh darah pecah dan napas putus!
Sekarang Cendana mulai merasa ngeri. Gadis ini tahu Siluman Harimau akan tewas dalam keadaan mengerikan. Semua itu terjadi akibat berbenturannya sepasang kecer yang tidak berbunyi itu. Cendana merasa ngeri. Raja Monyet Bertangan Seribu ternyata memiliki watak yang luar biasa keji.
Sebelum dia menjadi korban pula, maka dibalikkan tubuhnya. Cendana mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu. Tapi ternyata tidak mudah rencana itu dilaksanakan. Terdengar oleh Cendana, Raja Monyet Bertangan Seribu menegurnya dengan suara tanpa kemarahan.
"Mengapa tergesa-gesa, Nona Cilik? Tidakkah kau ingin menyaksikan pertunjukan ini terus. Belum selesai, bukan?"
Cendana tidak mempedulikan ucapan itu. Ia tetap meneruskan maksudnya. Tapi begitu ucapan Raja Monyet Bertangan Seribu selesai, dia tidak bisa menggerakkan kakinya. Padahai Cendana ingin berlari sejauh-jauhnya.
Cendana tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Dia tidak merasakan adanya sentuhan jari tangan atau totokan pada bagian tubuhnya. Cendana tidak tahu kalau begitu menegur, Raja Monyet Bertangan Seribu mengambil kecer dan membenturkannya satu sama lain seperti yang dilakukan terhadap Siluman Harimau!
"Yang jantan ada, betina pun sekarang datang. Si jantan telah tertawa. Alangkah baiknya kalau si betina menangis. Hey, wanita usilan yang terlalu mau tahu urusan orang, kau akan bersedih untuk menimpali Siluman Harimau!"
Raja Monyet Bertangan Seribu kembali membenturkan sepasang kecernya. Tidak terdengar oleh Cendana. Bahkan terlihat pun tidak. Gadis ini berdiri membelakangi. Tapi, akibatnya tetap berlangsung sebagaimana yang dikehendaki Raja Monyet Bertangan Seribu.
Cendana mampu bergerak kembali. Tapi gadis itu tidak memanfaatkannya untuk melarikan diri, melainkan menangis dengan sedihnya sambil menjatuhkan diri di tanah. Di lain pihak, Siluman Harimau sudah tidak terdengar lagi suaranya. Tokoh itu telah tergeletak di tanah. Diam tidak bergerak-gerak lagi Siluman Harimau telah tewas dengan mulut masih menganga lebar. Pembuluh darahnya telah pecah!
"Khraaak...!" Pekikan yang mirip burung marah itu terdengar keras bukan main. Keras dan melengking nyaring. Cendana yang tengah menangis menggerung-gerung, tapi dengan tidak adanya kesedihan baik di wajah maupun matanya, langsung menghentikan tangis. Secepat itu pula Cendana melesat ke arah orang yang mengeluarkan pekikan. Orang yang tadi masih berjarak belasan tombak ketika Raja Monyet Bertangan Seribu mulai membenturkan sepasang kecernya.
Dewa penolong Cendana yang sekarang telah berdiri di depan gadis itu dalam jarak dua tombak tidak lain Setan Bongkok! Tokoh yang tertinggal Cendana cukup jauh ini berhasil menyusul dan menemukan buruannya setelah tersaruk-saruk cukup lama. Tangis Cendana yang membuatnya dapat menemukan gadis itu.
Setan Bongkok mengembangkan kedua tangan ketika Cendana menghambur ke arahnya. Sesaat kemudian, tubuh mungil itu telah berada di pelukan Setan Bongkok yang merengkuhnya dengan penuh kasih sayang. Setan Bongkok malah membelai-belai rambut Cendana.
Cendana adalah seorang gadis manja. Selama ini nenek baju hitam kelewat menyayanginya. Boleh dikata, Cendana hidup dan tumbuh besar dalam limpahan kasih sayang yang besar. Hilangnya si nenek membuat Cendana kehausan kasih sayang. Sekarang Setan Bongkok dirasakannya memberikan kasih sayang itu. Ini membuat Cendana tidak segera menarik dirinya dari pelukan Setan Bongkok.
Sebelum munculnya Setan Bongkok, Cendana merasa ngeri sekali. Gadis ini takut mati dengan cara mengerikan. Mati karena kebanyakan menangis. Dicobanya untuk menghentikan tangis atau mengatupkan mulutnya, tapi hai itu tidak bisa dilakukan. Urat-urat sarafnya seperti bukan menjadi miliknya lagi sehingga tidak mau diperintah.
"Alangkah mengharukannya pertemuan ini tidakkah aku merupakan gangguan di sini?" celetuk Raja Monyet Bertangan Seribu dengan suara khasnya, lembut seperti orang yang berwatak welas asih dan memiliki sopan santun tinggi.
Teguran Raja Monyet Bertangan Seribu membuat Cendana melepaskan pelukan. Dengan muka ditundukkan dia berdiri diam di tempatnya. Cendana tidak berani mengangkat wajah, lalu!
"Minggirlah, Cendana. Biar aku yang menghadapi monyet besar ini." Setan Bongkok menyentuh bahu Cendana dan mendorongnya ke belakangnya dengan halus.
Raja Monyet Bertangan Seribu tidak kelihatan marah atau tersinggung, meski dia dimaki monyet besar. Kakek ini malah tersenyum memperlihatkan gjgi-giginya yang runcing dan kuning.
"Kau cukup menarik hatiku sebagai lawan, Sobat. Meskipun bukan tandinganku, biasanya aku tidak bergairah bertarung dengan orang yang jauh dari tingkatanku. Kau merupakan kekecualian, Sobat. Pekik yang kau keluarkan mengingatkan aku pada seorang tokoh penuh rahasia yang berjuluk Elang Malaikat. Tokoh yang tinggal di daerah pegunungan ini, tapi tidak pernah ketahuan di mana tempatnya yang pasti. Aku akan bertempur denganmu!"
"Elang Malaikat? Kau mengenal tokoh luar biasa itu, Raja Monyet?" Setan Bongkok mengutarakan rasa ingin tahunya.
"Mengenalnya? Ha ha ha...! Kau lucu, Sobat. Aku bukan saja mengenalnya, tapi amat kenal! Aku telah pernah bertarung dengannya dan berhasil dikalahkan. Elang Malaikat memang hebat. Aku jumpa dengannya secara tidak sengaja di saat tengah mencari tempat kediamannya. Sekarang, ingin kutahu apakah kakek bongkok itu memiliki ilmu yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Bukan tidak mungkin ketuaannya telah membuat ilmu-ilmunya berkurang. Mataku tidak lamur untuk bisa mengetahui kitab yang tengah dibaca Siluman Harimau adalah kitab milik Elang Malaikat Seribu Satu Obat Langit Bumi terkenal sebagai kitab Elang Malaikat."
"Kau pasti tak perlu menunggu lebih lama untuk mengambilnya, bukan? Aku tahu pasti tokoh-tokoh sesat seperti kau atau Siluman Harimau tak pernah puas dengan ilmu-ilmu yang kalian miliki!" tandas Setan Bongkok berapi-api.
"Apa hubunganmu dengan Elang Malaikat? Aku yakin ada. Kalau tidak, mengapa kau terlalu mementingkan kitab palsu itu?"
"Kitab palsu?!" ulang Setan Bongkok. Tokoh itu kelihatan terkejut bukan main.
Raja Monyet Bertangan Seribu hanya terkekeh sambil menggaruk-garuk dadanya. Tindakan khas binatang bertangan panjang itu. "Ketidaktahuanmu akan hal ini menunjukkan kalau hubunganmu dengan Elang Malaikat cukup jauh," timpal Raja Monyet Bertangan Seribu tenang. "Telah menjadi rahasia umum kalau Elang Malaikat mempunyai watak yang luar biasa pelit. Terlebih di dalam ilmu. Tidak pernah ada orang yang mendapatkan cepretan ilmunya kecuali orang-orang yang teramat dekat dengannya. Andaikata seorang tokoh seperti Siluman Harimau berhasil membawa kitab miliknya, apalagi kitab Seribu Satu Racun Langit Bumi, tidak ada hal Iain kecuali kitab itu palsu!"
"Mana mungkin palsu. Raja Monyet!" tandas Setan Bongkok, tidak setuju dengan kakek gorilla itu. "Kitab itu diambil sendiri oleh pelayannya."
Raja Monyet Bertangan Seribu terkekeh. Nadanya meremehkan sekali. "Jangankan terhadap pelayannya, kepada muridnya sekalipun aku yakin Elang Maiaikat tidak akan menunjukkan kitab-kitab miliknya. Dia lebih sayang kitab-kitabnya daripada nyawanya sendiri!"
Setan Bongkok terdiam. Ia tidak memberikan bantahan sedikit pun.
"Dan lagi," sambung Raja Monyet Bertangan Seribu "Tokoh-tokoh macam Siluman Harimau mana bisa membawa pergi kitab itu? Tanpa menemui kesulitan sama sekali Elang Malaikat akan mengambilnya kembali seandainya kitab itu asli!"
Setelah berkata demikian, Raja Monyet Bertangan Seribu melompat menerjang Setan Bongkok. Sepasang kecernya disimpan. Kakek gorilla ini menggunakan tangan kosong. Gerak-geriknya kelihatan kaku dan lambat, tapi ternyata tetap cepat dan kuat!
Cendana segera melompat menjauh. Tapi, tak urung serempetan angin serangan membuat tubuhnya terguling-guling. Setan Bongkok sendiri telah melompat ke atas. Dari sana Setan Bongkok melancarkan serangan balasan! Gerakannya cepat dan ganas. Kendati demikian, Raja Monyet Bertangan Seribu yang tampak bergerak lambat mampu mengelakkan serangannya! Kakek gorilla ini lalu balas menyerang.
Setan Bongkok harus mengakui Raja Monyet Bertangan Seribu merupakan lawan tertangguh yang pernah ditemuinya. Bahkan mungkin lebih tangguh dari Dewa Arak. Setiap gerakan kakek gorilla ini menimbulkan angin kuat dan cukup untuk membuat tubuh Setan Bongkok terhuyung-huyung. Sekitar tempat itu pun dipenuhi gelombang angin serangan Raja Monyel Bertangan Seribu.
Meski demikian, Setan Bongkok berusaha keras melakukan perlawanan. Dia berkali-kali memekik nyaring mengeluarkan ilmu andalan yang mengingatkan orang akan tingkah laku burung yang tengah murka. Setan Bongkok tahu Raja Monyet Bertangan Seribu unggul dalam segala hal. Tenaga dalam, kecepatan, maupun ilmu silat. Untungnya, di bidang lompat-melompat Setan Bongkok, meski keadaan tubuhnya demikian, mampu melompat ke sana kemari dengan lincahnya.
Satu yang dikhawatirkan Setan Bongkok adalah benturan antara mereka. Sedapat mungkin hal itu dihindarkannya. Perbedaan tingkat tenaga dalam mereka terlalu jauh. Akan terjadi hal yang tak menguntungkan pada Setan Bongkok bila benturan itu terjadi.
Blarrr!
Apa yang ditakutkan Setan Bongkok terjadi juga. Benturan antara mereka tak bisa dielakkan lagi. Itu terpaksa dilakukannya untuk menyelamatkan diri. Setan Bongkok memapaki sampokan Raja Monyet Bertangan Seribu dengan kakinya. Akibatnya, tubuh tokoh aneh ini terpental ke belakang dan jatuh terbanting keras di tanah.
"Cendana...! Cepat lari,..! Tinggalkan tempat ini. Cepat...!"
Di saat tubuhnya melayang, Setan Bongkok masih sempat memberikan peringatan. Cendana hampir menangis melihat dalam keadaan terjepit Setan Bongkok masih ingat akan nasibnya, bukan nasib dirinya sendiri. Sikap Setan Bongkok sama betul dengan nenek baju hitam. Kedua tokoh itu menyayanginya dan menginginkan keselamatannya. Untuk pertama kalinya Cendana yang gemar membantah tidak menentang perintah Setan Bongkok sedikit pun. Gadis ini melesat dengan kecepatan tinggi meninggaikan tempat itu.
Setan Bongkok, yang bertepatan dengan melesatnya Cendana jatuh ke tanah, merasa lega melihat kepergian Cendana tapi juga sedikit kecewa. Cendana tidak bertimbang sama sekali tidak ada perasaan berat sedikit pun meninggalkan dirinya. Bahkan, gadis itu berlari secepat mungkin.
Meski menginginkan Cendana mengikuti perintahnya, Setan Bongkok akan lebih gembira kalau Cendana menampakkan perasaan berat untuk pergi. Setidak-tidaknya bila hal itu dilakukan menjadi pertanda kalau keselamatan Setan Bongkok dipikirkan gadis itu.
Setan Bongkok tidak bisa berpikir lebih lama karena Raja Monyet Bertangan Seribu telah menyerbunya. Tokoh berwajah buruk ini pun kembali berjuang keras untuk menyelamatkan selembar nyawa. Kali ini lebih sulit dari sebelumnya. Benturan tadi menyebabkan kakinya sakit dan sulit digerakkan.
Setan Bongkok sadar nasibnya akan segera ditentukan. Dan, perhitungannya sama sekali tidak meleset Raja Monyet Bertangan Seribu berhasil menghimpitnya sedemikian rupa kemudian mengirimkan sampokan tangan kanan dan kiri secara bergantian. Setan Bongkok yang telah terjepit tidak dapat berbuat lain kecuali berdiam diri menanti datangnya maut. Menangkis ia tidak sempat, apalagi mengelak!
DELAPAN
Wusss!
Deru angin keras meluncur dari samping. Hawanya panas bukan main. Padahal, pukulan itu sendiri masih cukup jauh. Serangan jarak jauh itu memotong di tengah-tengah antara Setan Bongkok dengan Raja Monyet Bertangan Seribu.
Andaikata Raja Monyet Bertangan Seribu meneruskan maksudnya, sebelum serangan yang dilancarkannya mendarat di sasaran akan terlebih dulu terlanda serangan angin pukulan berhawa panas menyengat itu. Raja Monyet Bertangan Seribu tidak punya pilihan lain kecuali membatalkan serangannya. Kakek gorilla ini malah menambahkannya dengan melompat ke belakang.
Sekejap kemudian, melesat sesosok bayangan ungu. Di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh lagi. Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini menatap Setan Bongkok sebentar, lalu mengalihkan perhatian pada Raja Monyet Bertangan Seribu.
"Ternyata dunia ini sempit, Anak muda," Raja Monyet Bertangan Seribu berkata setengah berfilsafat "Belum lama kita bertemu sekarang sudah bersua lagi di sini. Mungkin sudah menjadi jalan nasib kita untuk meneruskan pertarungan yang waktu itu belum tuntas."
Dewa Arak tersenyum pahit. "Dan, senantiasa di setiap pertemuan kita kulihat kau selalu membuat keonaran, Raja Monyet!" tandas Dewa Arak.
Raja Monyet Bertangan Seribu tertawa lembut. "Siang malam. Ada gelap ada terang. Disebut pendekar karena adanya penjahat. Tanpa adanya orang yang selalu menyebar kejahatan mana mungkin orang-orang seperti kau mendapat nama harum sebagai seorang yang berada di jalan lurus dan gemar menegakkan kebenaran. Seharusnya kau berterima kasih terhadap golonganku, Anak Muda. Tanpa adanya kami mana mungkin kau akan memperoleh nama harum?"
"Kurasa tidak ada gunanya perdebatan ini diteruskan, Raja Monyet. Atau, kau memang lebih gemar berbicara dari pada bertarung?"
Sambutan Raja Monyet Bertangan Seribu adalah sambaran kedua tangannya yang memiliki ukuran panjang di atas tangan manusia umumnya. Kakek gorilla ini memang memiliki ilmu silat yang sebagian besar bertumpu pada kedua tangan. Jarang sekali kakinya dipergunakan untuk menyerang.
Dewa Arak tak ragu-ragu lagi untuk menyambutnya dengan menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya. Dua tokoh lihai ini sesaat kemudian telah terlibat dalam pertempuran dahsyat!
Setan Bongkok menghela napas berat. Sungguh tidak disangka nyawanya akan tertolong oleh Dewa Arak. Semakin bertumpuk budi yang diberikan pemuda berpakaian ungu itu terhadapnya. Entah bagaimana Dewa Arak bisa berada di sini dalam waktu yang tepat dan cepat Atau, pemuda berpakaian ungu ini mengikuti perjalanannya?
Setan Bongkok tidak perlu berpikir lebih lama untuk menemukan jawabannya. Di kejauhan dilihatnya Cendana melesat cepat menuju tempat ini. Pasti Cendana yang memberitahukan hai ini pada Dewa Arak, duga Setan Bongkok.
"Syukur kau berhasil selamat, Paman Bongkok,'' ujar Cendana sambil berlari mendekat. Tak sabar menunggu dirinya lebih dekat dengan Setan Bongkok yang sekarang telah berdiri tegak. "Aku sudah khawatir sekali usahaku akan terlambat."
Setan Bongkok tersenyum. Senyum yang lebih pantas disebut seringai. "Jadi, kau yang menyebabkan pemuda itu sampai di sini dan menolongku pada saat yang tepat?" Setan Bongkok berusaha mencari kepastian mengenai dugaannya.
"Aku tidak punya pilihan lain, Paman Bongkok," Cendana memberikan jawaban sambil menundukkan kepala. Ia merasa bersalah telah meminta pertolongan pada orang yang semula justru menjadi lawan tarung Setan Bongkok.
"Aku rela kau marahi daripada harus kehilanganmu, Paman. Kaulah yang selama ini melindungiku. Tanpa adanya kau mungkin aku telah celaka. Cukup sudah aku kehilangan Guru. Aku tidak ingin kau pun pergi dari sisiku."
Sepasang mata Setan Bongkok mengerjap beberapa kali untuk mencegah runtuhnya air mata. Perasaan haru melanda hatinya. Kini dia mengerti mengapa tadi Cendana berlari bagai dikejar hantu. Rupanya, untuk mencari pertolongan! Agak menyesal Setan Bongkok karena telah menduga jelek terhadap Cendana.
Memang Cendana bernasib baik. Tepat pada saat dia tiba di tempat semula dirinya terlibat keributan dengan Tanggur. Dewa Arak baru hendak berpamitan meninggalkan keluarga Tanggur. Berkumpulnya lagi Tanggur bersama anak dan istrinya menjadi alasan Arya untuk selekasnya berpisah dengan Larasati. Arya melihat adanya benih-benih asmara dalam hati gadis itu. Dan, Arya tidak ingin perasaan suka Larasati terhadapnya semakin membesar.
Seperti dugaan Dewa Arak, Larasati terlihat keberatan. Tapi, sifatnya yang tenang membuat gadis itu berdiam diri saja. Ia tidak mengajukan keberatannya. Saat itulah Cendana datang membawa kabar mengenai ancaman maut terhadap Setan Bongkok. Arya jadi mempunyai alasan kuat untuk meninggalkan tempat itu.
Karena keadaan sudah gawat, demikian menurut penuturan Cendana, Arya berlari mendahului agar tidak terlambat. Usaha pemuda berambut putih keperakan itu ternyata berhasil. Setan Bongkok berhasil diselamatkannya.
"Aku tidak marah, Cendana. Malah sebaliknya, berterima kasih sekali atas usahamu. Aku terlalu rendah untuk mendapatkan pertolonganmu, Cendana. Aku orang yang telah berlumuran darah dan dosa. Tidak pantas untuk ditolong. Apalagi oleh gadis secantik dan segagah kau!"
Cendana mengibaskan tangan. "Apa pun katamu, Paman Bongkok. Bagiku kau merupakan orang yang paling mulia. Akan kuterjang orang yang berani menghinamu. Orang sedunia boleh menganggapmu jahat, tapi aku tidak!" lantang dan penuh semangat ucapan Cendana.
Setan Bongkok tidak kelihatan gembira. Dia bahkan semakin menundukkan kepala. Terpuruk dalam kesedihan yang mendera. Karuan saja hal ini membuat Cendana heran. Tapi sebelum Cendana yang penasaran melihat sikap Setan Bongkok mendesak lebih jauh, terdengar bentakan-bentakan nyaring. Kedengarannya berasal dari tempat yang cukup jauh. Terdengar derap langkah kaki sekejap telah menyusul. Tidak hanya satu, tapi beberapa pasang.
Setan Bongkok langsung sadar dari cengkeraman perasaannya. Tokoh ini segera mengetahui ada orang-orang berkepandaian luar biasa tinggi tengah menuju ke tempat ini. Cepatnya mereka mendekat, padahal dari teriakan-teriakan yang terdengar jaraknya masih jauh, telah menjadi pertanda ketinggian ilmu mereka. Setan Bongkok bersikap waspada. Dia bertindak cepat, berdiri di depan Cendana dengan sikap melindungi.
Padahal lelaki ini telah terluka! Gempuran-gempuran Raja Monyet Bertangan Seribu yang dahsyat telah melukai bagian dalam tubuhnya. Hampir berbarengan dengan pindahnya Setan Bongkok, melesat tiga sosok yang saling berkejaran. Sosok paling depan dikenali Cendana dan Setan Bongkok sebagai Pendekar Penyebar Asmara!
Pendekar Penyebar Asmara berlari sambil membopong tubuh Mirah, istrinya. Di belakangnya mengejar Kelabang Merah dan Gajah Kecil. Setan Bongkok melihat dari sudut mulut Pendekar Penyebar Asmara menetes cairan merah kental. Kiranya pendekar ganteng itu telah terluka dalam.
Karena telah terluka, tambahan lagi tengah membopong istrinya, dengan satu lompatan, Kelabang Merah berhasil mencegah perjalanan Pendekar Penyebar Asmara. Mau tidak mau Pendekar Penyebar Asmara menghentikan lari. Sekarang, Pendekar Penyebar Asmara dikepung dari dua arah. Pendekar ganteng yang masih bisa tersenyum itu menurunkan tubuh Mirah.
"Menyingkirlah dari sini, Mirah!" ucapnya lembut tapi penuh tekanan. Terasa jelas nadanya yang tak menghendaki bantahan.
Mirah tahu lawan-lawan suaminya amat tangguh. Dia pun tidak akan berarti banyak andaikata memberikan bantuan. Bahaya maut tengah mengancam suaminya. Dengan terisak Mirah menyingkir.
"Bersiaplah untuk menghadap malaikat maut, Pendekar Pemadat Wanita!" sentak Gajah Kecil penuh kegembiraan, karena menyadari sakit hatinya kali ini mungkin akan terbalaskan.
"Belum tentu, Gajah Kecil!" bantah Pendekar Penyebar Asmara. "Andaikata pun aku harus menghadap malaikat maut, setidak-tidaknya kau akan kubawa serta!"
Ucapan Pendekar Penyebar Asmara ini sebagian besar hanya berupa ancaman. Saat itu dia telah terluka. Itu terjadi karena pengeroyokan dua lawannya. Semula Pendekar Penyebar Asmara berhasil mendesak Gajah Kecil, tapi Kelabang Merah muncul dan membantu saingan beratnya itu. Pendekar Penyebar Asmara tak mampu menghadapi keroyokan mereka. Untungnya, dia sempat kabur sambil membawa Mirah.
Sayang, lukanya yang semakin parah karena dipaksa mengerahkan kemampuan untuk terus berlari membuat Kelabang Merah berhasil menghadangnya. Kelabang Merah yang memiliki watak tidak sabaran langsung menyerang Pendekar Penyebar Asmara dengan ilmu andalan.
Gajah Kecil tidak bisa tinggal diam. Dengan gelindingan yang menjadi ciri khasnya, dia ikut ambil bagian. Sebentar saja Pendekar Penyebar Asmara telah dikeroyok dan langsung terdesak.
Setan Bongkok tidak bisa berpangku tangan melihat hal ini. Meski sebenarnya kurang suka dengan Pendekar Penyebar Asmara, lelaki ganteng itu tengah diperlakukan tidak adil. Dikeroyok. Terlepas dari sifat pendekar itu yang jelek, Pendekar Penyebar Asmara adalah seorang tokoh golongan putih yang sejak bertahun-tahun lalu menentang kejahatan!
Nama dan tingkat kepandaiannya tidak berada di bawah tingkat kepandaian salah satu anggota Tiga Binatang Iblis Neraka. Pendekar Penyebar Asmara berada di atas tingkatan tokoh-tokoh seperti Siluman Harimau atau Mayat Sejuta Bunga.
Maka, melihat Pendekar Penyebar Asmara didesak hebat, Setan Bongkok terjun dalam kancah pertarungan. Dia menyerang Gajah Kecil! Dengan terjunnya Setan Bongkok di tempat itu terjadi tiga kancah pertarungan. Pertarungan yang paling dahsyat berlangsung antara Dewa Arak dengan Raja Monyet Bertangan Seribu. Ilmu tokoh tertinggi dalam kelompok Tiga Binatang Iblis Neraka ini memang luar biasa. Dewa Arak kendati telah menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' masih juga kewalahan menghadapinya.
Apalagi ketika Raja Monyet Bertangan Seribu menggunakan sepasang kecernya. Dewa Arak sempat kelabakan. Benturan kecer lawan yang tidak berbunyi tapi menimbulkan akibat-akibat dahsyat sempat membingungkannya. Tingkat penguasaan tenaga dalam Raja Monyet Bertangan Seribu memang telah mencapai puncak.
Itu masih ditambah lagi dengan seperti adanya hubungan batin antara kakek gorilla itu dengan senjatanya. Kedua hal itu membuat Raja Monyet Bertangan Seribu mampu menyalurkan keinginannya terhadap lawan lewat benturan sepasang kecernya. Menotok lumpuh, menidurkan, membuat lawan menangis, atau tertawa.
Dewa Arak sempat dibuat menangis. Untungnya, berkat pengalamannya yang banyak, pemuda berambut putih keperakan ini segera sadar dan mengusir pengaruh tak wajar itu dengan teriakan nyaring. Setelah itu setiap kali lawan membenturkan kecer, Dewa Arak berkumur-kumur dengan araknya. Bunyi kumur-kumur itu menangkal pengaruh benturan kecer yang tidak bersuara.
Berbeda dengan pertarungan Dewa Arak dengan Raja Monyet Bertangan Seribu yang tetap berlangsung sengit, pertarungan Pendekar Penyebar Asmara dan Setan Bongkok menghadapi lawan lawannya mulai menghadapi puncak! Lawan-lawan Pendekar Penyebar Asmara dan Setan Bongkok lebih menguntungkan. Mereka belum terluka. Apalagi tidak diambil jalan nekat, pertarungan lambat-laun akan dimenangkan kedua tokoh sesat itu.
Pendekar Penyebar Asmara dengan tingkat kepandaiannya yang hampir sejajar dan mengerahkan seluruh kemampuan terakhirnya segera membuat lawannya tersudut, hingga tidak bisa berbuat apa pun kecuali menangkis. Pendekar Penyebar Asmara menggunakan kesempatan ini untuk melancarkan serangan yang mengadu nyawa!
"Kak...!" seru Mirah melihat tindakan yang diambil Pendekar Penyebar Asmara. Wanita ini kaget bukan main.
"Paman Bongkok...! Jangan...!" Cendana berseru penuh kekhawatiran pula ketika melihat Setan Bongkok, dengan mengandalkan ilmunya yang istimewa, mengirimkan serangan mengadu nyawa yang menutup semua jalan keluar bagi Gajah Kecil.
Maksud Setan Bongkok dan Pendekar Penyebar Asmara memang tidak sia-sia. Gajah Kecil dan Kelabang Merah demi untuk menyelamatkan nyawa memapaki serangan itu dengan seluruh tenaga mereka.
Bresss! Blarrr!
Dua benturan keras yang membuat sekitar tempat itu bagai dilanda gempa bumi pun terdengar. Tubuh empat tokoh yang bertindak nekat itu berpentalan ke belakang sambil mengeluarkan jeritan menyayat hati!
Dengan berteriak kaget dan khawatir, Mirah serta Cendana meluruk ke arah tubuh Setan Bongkok dan Pendekar Penyebar Asmara. Kekhawatiran mereka meledak menjadi kesedihan ketika mendapati tubuh kedua tokoh perkasa itu tidak bangkit lagi untuk selama-lamanya! Dari mulut, hidung, telinga, bahkan mata Pendekar Penyebar Asmara dan Setan Bongkok mengalir darah segar.
Di tempat yang terpisah, belasan tombak jauhnya, Gajah Kecil dan Kelabang Merah pun menemui ajal! Keadaan mereka tidak berbeda dengan Setan Bongkok. Akibat benturan keras itu, pertarungan Dewa Arak dan Raja Monyet Bertangan Seribu terhenti. Keduanya lebih tertarik untuk memeriksa keadaan tokoh-tokoh yang bertindak nekat itu.
Raja Monyet Bertangan Seribu tercenung melihat mayat dua orang saingannya. Sementara Dewa Arak hanya memandangi dua wanita yang tengah berduka. Pandang mata Arya yang tajam melihat adanya keanehan pada mayat Setan Bongkok. Arya menegasi lebih seksama. Ternyata tidak salah. Ada bagian wajah Setan Bongkok, pada kening sebelah kanan terdapat kulit yang berbeda dengan sekitarnya.
Arya menghampiri dan duduk bersimpuh. Setelah melempar senyum duka pada Cendana, diulurkan tangannya memeriksa selebar wajah Setan Bongkok. Cendana yang bingung melihat tingkah Arya memperhatikannya dengan setengah hati. Dia masih terlalu sedih untuk memikirkan hal-hal lain Arya tidak hanya memeriksa wajah, tapi juga leher dari kulit tubuh lainnya. Tidak sulit bagi Arya untuk mengetahui kalau Setan Bongkok tidak setua kelihatannya.
"Dia memakai topeng, Nona. Mungkin kau, sebagai orang yang paling dekat dengannya ingin mengetahui siapa dia sebenarnya? Hidupnya pasti menyedihkan sehingga dia harus bersembunyi di balik topeng." beritahu Arya.
Cendana tidak langsung menanggapi pemberitahuan Arya. Dia masih dibalut kesedihan. Membutuhkan waktu yang cukup untuk mencerna kata-kata Arya. Kepalanya terasa pusing hingga tidak bisa diajak berpikir. Bahunya pun masih terguncang-guncang oleh tangis yang siap meledak.
Kemudian, dengan tangan gemetar Cendana mengikuti anjuran Arya. Dia pun melihat kalau Setan Bongkok ternyata mengenakan topeng. Kulit yang berbeda di kening kanan itu adalah kulit asli. Mungkin kulit topeng terkoyak akibat pertarungan.
"Aaa...!" Cendana mengeluarkan jeritan tertahan ketika melihat wajah lain di balik topeng itu. Wajah yang amat dikenalnya. Wajah Lesmana! Hanya saja wajah itu tidak beringas seperti dulu. Lembut. Sinar sepasang matanya pun tampak lembut.
Cendana kaget bukan main. Sepasang matanya membelalak lebar. Mulutnya pun menganga seperti orang melihat hantu. Beberapa saat dia bersikap demikian, sebelum akhirnya dengan mengeluarkan keluhan tertahan, gadis itu roboh ke tanah. Cendana pingsan! Dia tak kuat menahan guncangan batin yang bertubi-tubi itu.
Dewa Arak dan Mirah terkejut melihat kejadian yang menimpa Cendana. Untung, Arya sempat menyambut sebelum tubuh Cendana ambruk ke tanah. Pada saat itu Raja Monyet Bertangan Seribu rupanya berhasil menguasai perasaannya. Dengan langkah lebar dihampirinya Dewa Arak untuk diajak bertarung kembali!
Arya kaget. Apalagi ketika melihat Raja Monyet Bertangan Seribu mengeluarkan kecer. Saat itu tangannya tengah memondong tubuh Cendana. Dewa Arak tidak punya kesempatan untuk bertindak. Tepat di saat Raja Monyet Bertangan Seribu membenturkan kecer, mendadak saja, entah datang dari mana di tempat itu telah berdiri seorang kakek yang luar biasa pendek. Kepalanya botak mirip tuyul. Tanpa berkata apa pun kakek ini bertepuk tangan.
Seperti juga kecer, tepukan tangan kakek cebol tidak berbunyi. Tapi, akibatnya sepasang kecer Raja Monyet Bertangan Seribu hancur berkeping-keping. Tubuh Raja Monyet Bertangan Seribu sendiri terjengkang ke belakang sambil memuntahkan darah segar.
"Kali ini aku mengaku kalah lagi, Elang Malaikat. Tapi kelak aku akan kembali," rutuk Raja Monyet Bertangan Seribu. Kemudian, berlari tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," ujar Dewa Arak dengan tersenyum.
Kakek cebol tidak menyambuti. Dipanggulnya tubuh Setan Bongkok alias Lesmana. "Dia muridku, Anak Muda. Untuk memberinya pengalaman aku pura-pura terluka parah ketika Mayat Sejuta Bunga dan Siluman Harimau kupergoki mencuri kitab. Padahal, luka-luka yang kuderita hanya sandiwara saja. Demikian pula kitab yang dicuri. Hanya kitab palsu. Aku memang membiarkan diriku dipukul oleh mereka. Sungguh tidak kusangka kalau perkembangannya akan jadi demikian jauh. Muridku dibuat gila oleh Mayat Sejuta Bunga. Maksud tokoh itu untuk dijadikan budak. Malang, dia malah tewas diamuk muridku. Untung aku segera mengobatinya sebelum angkara murka yang ditimbulkan muridku bertambah."
Arya sempat termangu. Kakek itu kelihatan acuh saja.
"Sayangnya, muridku telah membuat guru gadis itu tewas. Untuk menebus kesalahan dia mencoba menjadi pelindungnya. Tentu saja untuk itu dia harus menyamar. Namun, segalanya harus berakhir seperti ini." Kakek cebol yang ternyata Elang Malaikat, mengakhiri ceritanya.
Tanpa permisi lagi, Elang Malaikat kemudian melesat meninggalkan Dewa Arak. Angin bertiup sepoi-sepoi. Arya menatap kepergjan si kakek dengan tubuh Cendana masih dibopongnya. Tunggu serial Dewa Arak selanjutnya dalam episode Putri Teratai Merah
SELESAI
Selanjutnya,