Dewa Arak - Tombak Panca Warna
Karya : AjisakaSATU
MALAM telah datang menjelang. Kegelapan pun mulai menyelimuti persada. Suasana malam ini terasa berbeda dengan sebelumnya. Tidak terdengar suara kukuk burung hantu, kepak kelelawar, serta kerik jangkrik. Suasana terasa hening dan sepi.
Suasana seperti itu sebenarnya sudah cukup menyeramkan. Tapi, yang lebih mengiriskan hati adalah keadaan malam ini. Langit merah membara seperti terbakar! Tidak ada awan, bulan ataupun bintang di angkasa raya Seluruh penjuru langit berwarna merah. Keadaan ini sungguh berbeda dengan biasanya.
Peristiwa aneh ini membuat orang-orang yang menyaksikan kaget bercampur ngeri. Orang-arang yang tidak mengerti ilmu silat buru-buru masuk ke dalam rumah lalu ditutupnya pintu dan jendela rapat-rapat. Mereka semua merasa yakin keadaan alam yang demikian suatu pertanda akan terjadi sesuatu yang mengerikan.
Berbeda dengan para penduduk desa itu, orang-orang yang merasa memiliki ilmu bela diri tak bersembunyi. Di antara mereka adalah tiga sosok tubuh yang kini tengah berdiri di halaman rumah dengan kepala menengadah menatap langit.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Ayah?" tanya salah satu dari ketiga sosok itu. Dia seorang gadis berusia dua puluh tahun. Tubuhnya padat ramping dengan lekuk-lekuk yang menawan. Wajahnya cantik jelita, berkulit halus dan putih.
"Aku juga tak mengerti, Wati," jawab sosok yang dipanggil ayah. Sang ayah adalah seorang kakek tinggi kurus berjenggot putih panjang mirip kambing. Sanggara namanya. "Tapi yang jelas, sesuatu yang hebat pasti akan terjadi," lanjut Sanggara.
Gadis cantik yang bernama lengkap Kusumawati terlihat mengangguk-anggukkan kepala. "Kejadian apa, Ayah?" tanya Kusumawati kemudian.
"Sabarlah, Wati," sergah sosok yang satu lagi. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun dan berpakaian putih.
"Maafkan aku, Kak Angruna," ucap Kusumawati pelan sambil menundukkan kepala.
Angruna, pemuda bertubuh kekar itu, adalah kakak kandung dari Kusumawati. Permintaan maaf adiknya disambutnya dengan senyum penuh pengertian. Sanggara membiarkan saja keributan kecil itu terjadi. Hal seperti itu memang sudah biasa. Meski keduanya saling akrab satu sama lain, tapi perselisihan kecil juga kadang terjadi. Itulah sebabnya, kakek ini tak mau ikut campur.
"Kurasa...," ucap Sanggara sambil mengerutkan kening, setelah berdiam diri beberapa saat lamanya. "Kejadian seperti ini bukan disebabkan dari dunia kita. Aku lebih condong menduga hal-hal seperti ini berasal dari alam gaib."
"Apa yang kau katakan itu benar, Sanggara."
Hampir berbarengan Sanggara, Angruna, dan Ku-sumawati menolehkan kepala ke arah asal suara. Tahu-tahu saja, tak jauh dari tempat mereka berada telah berdiri seorang kakek tinggi besar. Cambang bauk berwarna hitam dan lebat tampak menghias wajahnya. Pakaian dalamnya berwarna merah menyala, kemu-dian dibungkus dengan jubah hitam kelam.
"Ah...! Kiranya Setyaki...." sambung Sanggara. "Apa maksud ucapanmu, Adi Setyaki?"
Kakek tinggi besar yang dipanggil Setyaki tidak segera menjawab. Kakinya melangkah menghampiri Sanggara. "Dugaan yang kau katakan itu benar, Sanggara," tegas Setyaki.
Angruna dan Kusumawati mengerutkan alis melihat Setyaki. Keduanya merasa seram melihat penampilan Setyaki yang mengiriskan. Kendati demikian, kakak beradik ini tak berkata apa-apa. Ayah mereka telah bercerita cukup banyak tentang kakek itu.
Setyaki adalah kawan akrab Sanggara. Sejak muda mereka sudah bersahabat Setyaki dan Sanggara pernah belajar silat dari guru yang sama, sebelum akhirnya mereka berpisah karena Setyaki lebih menyukai ilmu-ilmu gaib. Puluhan tahun mereka berpisah. Mereka bertemu lagi sekitar tiga tahun lalu. Namun, baru kali ini Setyaki mengunjungi Sanggara.
"Maksudmu..., semua keanehan alam ini karena hal-hal gaib?" Sanggara menegaskan.
"Benar," Setyaki menganggukkan kepala. "Ada hal yang luar biasa terjadi di mayapada ini sehingga memaksaku keluar dari tempat tinggalku."
"Ah...!" Sanggara berseru kaget Kakek berjenggot kambing ini baru teringat kalau Setyaki tinggal agak jauh dari tempat tinggalnya. Meski memang berada di gunung yang sama, tapi di lereng yang berlawanan. Keberadaannya di sini jelas karena adanya urusan yang amat penting. Padahal, kakek itu sudah berkeinginan tak akan terjun lagi ke dunia ramai.
"Bisa kau ceritakan lebih jelas, Setyaki?" pinta Sanggara penuh perasaan tertarik.
"Hhh...!" Setyaki menghela napas berat. Sementara Sanggara dan anak-anaknya menunggu keluarnya ucapan dari mulut kakek tinggi besar itu.
"Kalau menuruti perasaan, lebih baik aku tak men-ceritakannya. Agar kalian tak ikut menjadi ngeri karenanya...," pelan dan satu-satu ucapan yang dikeluarkan Setyaki.
"Aku tak setuju dengan pendapatmu, Setyaki," bantah Sanggara. "Menurut pendapatku, lebih baik kau katakan saja apa yang sebenarnya tengah terjadi. Dengan begitu mungkin kita bisa bersiap-siap untuk menghadapinya."
Setyaki menghembuskan napas kuat-kuat setelah terlebih dulu menariknya dalam-dalam. "Sejak tiga hari yang lalu aku selalu merasa gelisah tanpa sebab. Perasaan hatiku selalu tak enak," Setyaki memulai ceritanya dengan suara kering dan getir.
Sanggara, Angruna, dan Kusumawati mendengar-kannya dengan sabar. Mereka tak ingin menyelak, kendati Setyaki berhenti beberapa saat.
"Dengan kemampuan yang kumiliki kucoba mencari sebab kegelisahanku. Tapi hasilnya peralatan yang kugunakan untuk menyelidiki porak-poranda. Tentu saja hal ini membuatku kaget karena peristiwa seperti ini tak pernah ku alami sebelumnya."
Setyaki menghentikan ceritanya lagi. Diperhatikannya satu persatu wajah-wajah yang berada di sekelilingnya. Wajah-wajah yang penuh rasa ingin tahu, di samping rasa tegang yang tersirat jelas.
"Meskipun hasil yang ku peroleh mengejutkan, tapi aku tidak kapok. Aku malah merasa ditantang," lanjut Setyaki. "Baru ketika usahaku yang kedua juga mengalami kegagalan, aku tak berani mencobanya lagi. Terlalu dahsyat akibat yang kuterima. Tidak hanya peralatan ku yang hancur tapi tubuhku juga terpental ke belakang...."
"Lalu dari mana kau tahu kalau penyebab keanehan ini dari alam gaib?" kejar Sanggara tak puas.
"Hasil yang ku peroleh dari usahaku," jelas Setyaki. "Meski memang tak memuaskan, tapi cukup meyakinkan aku kalau hal itu disebabkan dari ilmu gaib. Dan menilik dari kekuatannya, aku merasa yakin bukan manusia biasa yang menjadi penyebabnya...."
"Maksudmu siluman?" tanya Sanggara meminta penegasan dengan suara seperti tercekik di tenggorokan.
"Kira-kira demikian, Sanggara."
Sanggara tidak memberikan tanggapan lagi. Dalam hal ilmu gaib Setyaki memang ahlinya. Dia sendiri tak tahu apa-apa.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Setyaki?" tanya Sanggara kebingungan. Ucapan kakek berjenggot kambing memecahkan keheningan yang menyelimuti tempat itu. Keheningan yang menegangkan hati.
Setyaki terlihat menggelengkan kepala. "Aku pun tak tahu, Sanggara. Meski demikian aku akan tetap berusaha mencari tahu, sebelum nyawaku keburu melayang."
"Apa maksudmu, Setyaki? Siapa yang mengancam mu?!"
"Tak ada yang mengancamku, Sanggara," jawab Setyaki sambil tersenyum pahit. "Hanya saja, aku merasa yakin bahaya akan datang dari alam gaib. Sesuatu yang menjadi penyebab keanehan alam ini pasti tahu aku telah berusaha menyelidikinya. Aku akan dicarinya untuk dilenyapkan. Karena itu, sebelum terjadi aku harus menyingkap rahasia ini."
Sanggara terdiam. Campur tangan Setyaki memang bisa jadi telah diketahui oleh sesuatu dari alam gaib itu. Campur tangan itu pasti tak menyenangkannya.
"Tidak adakah jalan untuk mengetahui bahaya yang mengancam, Setyaki? Jika memang mencegahnya merupakan hal yang tak mungkin, dengan mengetahui berupa apakah bahaya itu kita akan lebih siap menghadapinya."
"Karena itulah aku datang menjumpai mu, Sanggara. Aku khawatir akan lebih dulu tewas sebelum memberitahukan mu. Kau satu-satunya sahabatku. Nah, dengarkan baik-baik. Juga kalian, Anak-anak Muda," ucap Setyaki seraya menatap Angruna dan Kusumawati.
Putra-putri Sanggara itu buru-buru menundukkan kepala ketika bertemu pandang dengan Setyaki. Mereka tak kuat menahan rasa ngeri melihat sepasang mata yang memiliki sinar aneh itu. Sinar dari orang yang memiliki ilmu gaib tinggi.
"Setelah gagal mengungkapkan rahasia keanehan alam itu, lalu kucoba mengalihkan usaha. Ku kerahkan seluruh kemampuan untuk mencari orang-orang yang bisa mengungkapkan rahasia itu. Kali ini aku mujur. Aku berhasil mengetahuinya."
"Syukurlah...!" desah Sanggara dengan wajah berseri-seri, karena merasa lega.
"Jangan bergembira dulu, Sanggara. Bukan tak mungkin orang-orang yang kumaksudkan ini tak akan pernah kau temukan. Hhh...! Baru kali ini aku menyesal karena jarang terjun ke dunia persilatan. Kalau tidak, mungkin aku akan mengetahui nama atau julukan orang-orang ini."
"Bukankah kau bisa menyebutkan ciri-cirinya?" hibur Sanggara.
"Itu memang benar, Sanggara," masih terasa nada keluhan dalam ucapan Setyaki. "Orang yang pertama kali muncul adalah seorang kakek kecil bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek kumal."
Sanggara mengernyitkan kening. Dia berpikir untuk mengingat-ingat. Barangkali saja pernah melihat atau mendengar tentang tokoh persilatan yang memiliki ciri-ciri demikian. Tapi sampai dahinya berkeringat, dia tak mampu menemukannya.
"Rupanya tokoh-tokoh itu termasuk orang sepertiku. Gemar bersembunyi juga. Kalau tidak, mana mungkin kau yang berpengalaman luas tidak mengetahuinya," ujar Setyaki agak kecewa melihat ketidak-tahuan Sanggara.
"Mungkinkah tokoh itu bukan seorang tokoh persilatan, Kek?" Kusumawati yang sejak tadi diam memberanikan diri angkat bicara.
"Tokoh yang ku maksud bukan hanya orang persilatan saja, Nona Kecil. Dia seorang tokoh berilmu sangat tinggi. Sorot sepasang matanya yang tajam berkilat menandakan kuatnya tenaga dalam yang dimiliki!" tandas Setyaki.
"Barangkali saja dia merupakan tokoh sepertimu, Kek?" Angruna membela adiknya. "Tokoh yang tak terjun ke dunia persilatan. Meski memiliki kepandaian tinggi dia cenderung menyembunyikan diri"
"Jawabanmu lebih bagus! Tapi itu tidak menjadi alasan untuk berputus asa mencarinya. Sekarang kuberitahukan tokoh yang lain. Yang kedua seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Kulihat ada guci perak tergantung di punggungnya."
"Dia pasti Dewa Arak!" sergah Kusumawati.
"Dewa Arak?!" Setyaki mengernyitkan kening.
"Benar, Setyaki," Sanggara ikut memberikan jawaban. "Seorang pendekar muda yang belakangan ini menggemparkan dunia persilatan dengan tindakan-tindakannya yang luar biasa."
"Bagus, kalau kau mengetahuinya. Dengan demikian lebih mudah untuk mencarinya. Kini sudah saatnya bagiku untuk mohon diri. Yang perlu kalian ketahui adalah aku tak akan tinggal diam. Selama nyawaku masih melekat di tubuh, dua tokoh itu akan kucari!"
Setyaki kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Sanggara, Angruna, dan Kusumawati hanya menatap kepergiannya.
"Sungguh tak kusangka tokoh yang selama ini Ayah ceritakan sebagai orang yang tak pernah peduli pada dunia persilatan ternyata mempunyai perhatian penuh terhadap malapetaka yang akan menimpa persada ini," gumam Kusumawati.
"Kau salah menduga. Wati," ralat Sanggara. "Dia bersusah payah melakukan hal itu bukan demi orang lain. Tapi karena rasa ingin tahunya akan kejadian langka ini. Sebagai seorang yang mengerti ilmu-ilmu gaib, kejadian aneh seperti ini bagai tantangan terhadapnya!"
Kusumawati mengernyitkan kening, bingung. Tapi Angruna tidak. Pemuda itu bisa merasakan kebenaran yang terkandung dalam ucapan ayahnya.
"Wati, Angruna, kurasa sudah tiba saatnya bagi kita menyumbangkan kemampuan yang kita miliki untuk keamanan dunia persilatan," ajak Sanggara kemudian pada anak-anaknya.
"Hooop...!" Seorang lelaki bertubuh kekar dan berpakaian lusuh menarik tali kekang kudanya tepat di depan pintu gerbang sebuah bangunan megah. Tindakannya membuat kuda coklat yang ditunggangi menghentikan langkah. Dengan gerakan yang indah dan manis lelaki berkumis, cambang, dan jenggot kasar tak teratur itu melompat dari atas punggung kuda. Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah.
Tingkah lelaki itu membuat dua orang berseragam prajurit yang menjaga pintu gerbang memperhatikan dengan penuh rasa curiga. Apalagi ketika melihat lelaki lusuh itu menghampiri pintu gerbang. Serentak keduanya bergerak menghadang seraya meraba gagang golok masing-masing. Kelihatan keduanya bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
"Mengapa kalian menghalangi jalanku?" tanya lelaki lusuh. Nada suaranya sedikit mengandung teguran.
Kedua penjaga pintu gerbang terlihat saling berpandangan. Sorot mata mereka memancarkan kebingungan. Tidak salahkah pendengaran mereka? "Maaf, kalau boleh kami tahu siapakah kau, Sobat? Apa maksudnya datang kemari?" tanya salah seorang pengawal yang berkumis tapis dan jarang. Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada hati-hati.
"Kalian tak mengenalku? O ya, mungkin kalian orang baru di sini. Apakah kalian pernah mendengar nama Antaboga?" Lelaki lusuh itu malah balik bertanya.
Wajah kedua penjaga itu langsung berubah. Meski memang belum pernah melihat orang yang bernama Antaboga, tapi namanya sering mereka dengar. Kedua penjaga itu segera menganggukkan kepala.
"Benar," jawab pengawal yang bermuka hitam. "Apa hubunganmu dengan Antaboga, Sobat?"
"Akulah orang yang bernama Antaboga itu!" tegas lelaki lusuh.
"Ah...!" Kedua penjaga itu mengeluarkan seruan kaget. Perasaan terkejut yang sangat menghias wajah mereka: "Kalau begitu maafkan kami, Pangeran. Kami tidak mengenal pangeran sehingga bersikap tidak sopan," ucap kedua pengawal itu sambil membungkukkan tubuh.
"Hmh...!" Laki-laki berpakaian lusuh yang mengaku bernama Antaboga itu mendengus. "Menyingkirlah kalian! Aku ingin lewat!"
Pengawal yang bermuka hitam segera beringsut menyingkir. Tapi, tidak demikian halnya dengan pengawal yang berkumis jarang-jarang. Dia tetap berdiri menghadang jalan.
"Maafkan kami, Pangeran. Sebelum kami yakin kalau Pangeran benar-benar Pangeran Antaboga, kami tak bisa memperkenankan masuk. Maafkan kami, Pangeran. Kami tak ingin terjadi sesuatu atas diri Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa."
Pengawal bermuka hitam tercekat. Ucapan rekannya menyadarkan dirinya kalau lelaki lusuh itu belum tentu Pangeran Antaboga. Maka, dia pun segera melangkah maju dan berdiri di sebelah temannya.
Pangeran Antaboga tersenyum. "Bagus! Aku ingin tahu kepandaian kalian. Ingin kulihat apakah kalian mampu menghalangiku," ujar Pangeran Antaboga bernada menantang.
"Maafkan kami, Pangeran. Kami hanya menjalankan tugas," pengawal bermuka hitam rupanya masih merasa tidak enak dengan tindakan yang dilakukannya.
"Tidak usah banyak berbasa-basi! Ayo, serang aku!" bentak Pangeran Antaboga.
"Maafkan kami, Pangeran Hiyaaa...!" Pengawal berkumis jarang-jarang lalu menyerang Pangeran Antaboga. Kaki kanannya diayunkan dalam bentuk tendangan miring.
Pangeran Antaboga hanya mendengus pelan. Tubuhnya didoyongkan ke belakang sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong di depannya. Pada saat yang bersamaan, tangan kanan Pangeran itu bergerak cepat.
Tappp!
"Akh...!" Pengawal berkumis jarang-jarang memekik kaget. Pergelangan kakinya berhasil dicekal lawan, kemudian disentakkan dengan keras. Kuat bukan main tenaga sentakan itu. Tubuh lelaki Itu sampai terlempar ke atas.
Pengawal bermuka hitam tentu saja terkejut melihat rekannya dengan mudah ditanggulangi. Tanpa ra-gu-ragu lagi goloknya segera dicabut. Lalu diputarnya sambil mendekati Pangeran Antaboga yang tetap berdi-ri tenang. Dengan mengeluarkan seruan melengking nyaring, golok itu ditusukkannya ke arah perut Pangeran Antaboga. Tapi, lelaki lusuh itu, tidak bertindak apa pun. Pangeran Antaboga tak mengelak atau pun menangkis.
Pengawal bermuka hitam yang tidak bermaksud untuk membunuh menjadi kaget Sedapat mungkin serangannya diurungkan. Tapi dia tak mampu. Yang dapat dilakukannya hanya mengurangi tenaga!
Wukkk!
Kengerian pengawal bermuka hitam berganti dengan keterkejutan. Tampak jelas batang golok menembus perut, tapi tidak terdengar suara apa pun. Tidak ada darah yang keluar. Tubuh Pangeran Antaboga tak ubahnya bayangan! Batang golok yang seharusnya sebagian tak terlihat karena masuk ke dalam perut, terlihat semuanya.
Pengawal bermuka hitam terpaku bagai orang kena sihir. Matanya membelalak lebar penuh ketidakpercayaan. Pemandangan yang disaksikannya ini terlalu luar biasa. Malah, rekannya sendiri pun terkesima di tempatnya dan tidak melanjutkan penyerangan.
"Nyi Marca...!" seru Pangeran Antaboga ketika melihat sesosok tubuh berpakaian hitam berdiri di bagian dalam pintu gerbang.
Sosok hitam yang ternyata seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun. Wanita itu tertegun mendengar panggilan Pangeran Antaboga.
"Siapa kau, Sobat! Dari mana kau tahu namaku?" tanya wanita berpakaian hitam. Kakinya diayunkan mendekati Pangeran Antaboga. Wanita yang dipanggil Nyi Marca ini menatap sekujur tubuh Pangeran Anta-boga dengan penuh selidik.
Nyi Marca memang patut merasa heran. Nama yang disebutkan Pangeran Antaboga adalah nama aslinya. Nama itu jarang diketahui orang. Dia tak pernah memperkenalkan namanya kecuali pada junjungannya dan keluarganya. Selain keluarga junjungannya, orang hanya mengenal dirinya sebagai Camar Hitam!
Pangeran Antaboga mengembangkan senyum geli. Tapi karena keadaan wajahnya yang tak terurus dan kotor berdebu, senyuman yang diukirnya terlihat seperti seringai kesakitan. "Kau lupa padaku, Nyi Marca?" tanya Pangeran Antaboga, tak dipedulikannya pertanyaan Camar Hitam.
Wajah Camar Hitam tampak menegang. Dahinya berkerut-kerut. Wanita anggun yang menjadi pengawal pribadi Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa ini kelihatan berpikir keras. "Rasanya aku memang seperti pernah mengenalmu, Anak Muda. Sayang, aku lupa...," gumam Nyi Marca.
"Aku Antaboga, Nyi," sahut lelaki lusuh memberi-tahu.
“Jagat Dewa Batara...! Aku memang sudah pikun sehingga tak mengenalmu lagi, Pangeran!" pekik Nyi Marca penuh rasa kaget. Kelihatan jelas rasa gembira membias di wajah wanita tua itu. "Beliau adalah Pangeran Antaboga," beritahu Nyi Marca pada kedua pengawal yang menjaga pintu gerbang.
"Ah...! Maafkan kami, Pangeran. Kami telah bertindak lancang. Kami siap menerima hukuman," ucap kedua pengawal itu buru-buru seraya membungkuk hormat.
"Lupakanlah. Aku bangga kalian berdua telah menjalankan tugas dengan baik," sahut Pangeran Antaboga.
Tentu saja kedua pengawal itu menjadi girang bukan main. Tadi ketika Camar Hitam memanggil lelaki lusuh itu dengan Pangeran Antaboga, mereka menjadi gelisah. Menurut dugaan mereka, sang pangeran akan memberikan hukuman. Ternyata Pangeran Antaboga sama sekali tak marah. Malah, mereka mendapat pujian.
"Mari, Pangeran. Aku yakin Raden Ajeng akan gembira melihat kedatangan Pangeran," ajak Camar Hitam. Dibawanya Pangeran Antaboga memasuki bangunan megah itu.
"Boga...! Antaboga, Anakku...!"
"Ibu...!" Pangeran Antaboga memburu ke arah seorang wanita berpakaian indah. Wanita yang kelihatan anggun itu baru saja ke luar dari ruangan dalam. Sedangkan Pangeran Antaboga berdiri baru memasuki ambang pintu ruangan tengah yang mewah dan megah.
Pangeran Antaboga menjatuhkan tubuhnya duduk bersimpuh di hadapan Ibunya. Dipeluknya kedua kaki wanita berusia sekitar lima puluh lima tahun itu.
"Ibu, betapa rindunya aku pada Ibu...," adu Pangeran Antaboga.
"Aku pun demikian, Boga," balas Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa sambil mengusap-usap rambut sang pangeran dengan penuh kasih sayang. "Aku hampir tak percaya ketika mendengar berita kedatanganmu, Boga. Kukira aku tak akan pernah bertemu dengan dirimu lagi."
"Nasib baik berpihak kepadaku, Ibu," jawab Pangeran Antaboga. Wajahnya ditengadahkan untuk bisa menatap wajah ibunya yang sudah lama tak dijumpainya. "Aku tidak saja selamat. Tapi juga telah mendapatkan kepandaian, Ibu."
Pangeran Antaboga lalu perlahan-lahan bangkit berdiri. Tubuhnya yang jangkung membuat Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa terpaksa agak menengadah agar bisa menatap wajah putranya.
"Syukurlah kalau demikian, Boga," ujar Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa. "Karena memandang muka Ibu, mungkin Gusti Prabu tidak memperpanjang masalah yang telah lalu."
"Dia boleh melupakan masalah itu, Ibu. Tapi aku tak akan pernah lupa! Tua bangka yang tak tahu diri dan telah menyengsarakan Ibu itu akan ku binasakan!" tandas Pangeran Antaboga.
Lelaki jangkung ini mengepalkan tangan kanannya sehingga menimbulkan bunyi bergemeretak nyaring. Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa kelihatan terkejut. Bukan hanya karena sekitar ruangan itu bergetar seiring dengan timbulnya bunyi itu, tapi juga karena sikap Pangeran Antaboga.
"Apa maksudmu, Boga?" tanya Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa dengan suara bergetar.
"Artinya, aku akan kembali menyusun kekuatan untuk meruntuhkan kekuasaan tua bangka itu, Ibu!" tegas Pangeran Antaboga.
Sepasang mata Pangeran Antaboga memancarkan hawa membunuh. Wajahnya yang meskipun tak terawat tapi kelihatan gagah dan tampan itu tampak membesi. Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa sampai melangkah mundur dengan bibir gemetar. Kentara jelas keterkejutan melanda wanita itu.
"Boga, Anakku...," setelah terdiam beberapa saat akhirnya keluar juga ucapan dari mulut Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa. Suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran. "Urungkan saja niatmu. Nak. Aku tak ingin kehilangan kau. Kaulah satu-satunya anak ibu. Gusti Prabu tak akan menyakitimu. Apalagi jika kau datang kepadanya untuk meminta maaf. Dan...."
"Ibu!" Meski tetap lembut, tapi ucapan Pangeran Antaboga dipenuhi tekanan. "Selama nyawa masih ada di badan dan selama darahku masih berwarna merah, tak akan pernah terjadi Pangeran Antaboga meminta maaf pada tua bangka licik itu!"
Sekujur tubuh Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa langsung menggigil. Air mata mengalir membasahi kedua pipinya. Selir raja ini merasa sedih bukan main mendengar keputusan yang diambil putranya. Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa tahu maksud Pangeran Antaboga tak bisa dicegah lagi. Dirasakan adanya kesungguhan yang besar dalam ucapan lelaki jangkung itu.
"Boga, Anakku.... Apakah kau tak sayang lagi pada Ibu, Nak? Tegakah kau melihat Ibu yang telah renta ini tinggal sendiri? Kalau niatmu itu kau teruskan, Gusti Prabu tak akan mengabulkan permintaan Ibu, Nak. Gusti Prabu tak akan memaafkanmu lagi. Kau akan dihukum mati, Boga," ujar Raden Ajeng Dewi Cipta Ra-sa dengan suara tersendat dan air mata mengalir deras.
"Aku tak perlu ampunan tua bangka gila itu, Ibu! Aku lebih suka mati daripada memperoleh maafnya. Maafkan aku, Bu. Aku tak bisa memenuhi permintaanmu yang satu ini. Apa pun yang terjadi, raja sialan itu akan ku gulingkan!"
Tangis Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa semakin men-jadi-jadi. Wanita ini sampai menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Pangeran Antaboga yang amat sayang pada ibunya menggertakkan gigi kuat-kuat agar tak ikut terharu.
"Ingatlah, Boga...," ujar Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa. "Biar bagaimanapun Gusti Prabu adalah ayahmu. Dia yang telah menyebabkan kau lahir ke dunia ini. Tak baik seorang anak membunuh ayahnya sendiri...."
"Aku tak pernah menganggapnya sebagai ayahku, Bu!" geram Pangeran Antaboga dengan wajah merah padam. "Sejak kecil aku tak pernah merasa kasih sayangnya. Dia lebih sayang pada anak-anaknya yang lain. Malah, kedudukan sebagai raja akan diberikan-nya pada si keparat Kertasana! Padahal akulah pangeran yang paling tua di antara semua pangeran yang ada. Tidakkah Ibu melihat semua ketidakadilan ini?!"
Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa hanya membisu. Apa yang dikatakan putranya memang benar. Raja telah bertindak tak adil. Padahal menurut perhitungan Pangeran Antabogalah yang seharusnya diangkat sebagai raja. Ibunya adalah selir pertama raja, sementara permaisuri tak mempunyai keturunan.
"Maafkan aku, Ibu. Aku tak bisa memenuhi permintaanmu," ujar Pangeran Antaboga. Dia lalu melangkah meninggalkan Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa yang tenggelam dalam kedukaan.
"Ibu..." Suara pelan mengandung isak tangis memecah kesunyian pagi. Suara itu berasal dari seorang gadis berpakaian kuning. Dia tengah duduk bersimpuh di depan gundukan tanah merah sebuah kuburan.
"Aku dan Kakak Angruna akan pergi merantau untuk menunaikan sebuah tugas suci, Ibu. Kami tak bisa lagi menjengukmu setiap hari seperti biasanya. Kuharap kau berbaring tenang di tempat istirahat mu, Bu. Doakan agar aku dan Kakak Angruna berhasil menyelesaikan tugas suci itu. Aku mohon pamit, Bu!"
Sosok yang bukan lain dari Kusumawati itu bangkit perlahan-lahan. Bunga di tangan ditaburkannya ke atas makam ibunya. Angruna yang sejak tadi berdiri dengan wajah ditundukkan ikut menaburkan bunga. Setelah melepaskan pandangan berat yang terakhir kalinya, Kusumawati dan Angruna membalikkan tubuh. Kaki-kaki mereka diayunkan meninggalkan area pemakaman.
Tapi baru beberapa langkah, ayunan kaki sepasang muda-mudi ini terhenti. Pendengaran mereka menangkap bunyi-bunyi yang mencurigakan dari arah belakang. Hampir berbarengan Kusumawati dan Angruna menolehkan kepala ke sana. Dan... seketika mata mereka membelalak dengan mulut ternganga.
Pemandangan yang mereka saksikan terlalu mengiriskan hati! Permukaan gundukan semua tanah kuburan yang ada di situ tak terkecuali makam ibu mereka, bergetar keras seperti ada sesuatu yang hendak keluar.
Kusumawati dan Angruna adalah pemuda-pemudi gemblengan. Mereka telah memiliki kepandaian tinggi. Menghadapi ancaman maut pun kakak beradik ini akan dapat menghadapinya dengan hati tenang. Tapi apa yang mereka saksikan ini terlalu mengerikan. Angruna dan Kusumawati terdiam di tempat dengan jantung memukul keras. Wajah kakak beradik ini tampak tegang bukan main!
Getaran pada makam-makam semakin menghebat Angruna dan Kusumawati yang berdiri terpaku tak sadar kalau kaki-kaki mereka menggigil keras. Rasa ngeri membersit baik dari sorot mata maupun wajah mereka.
"Oooh...!" Kusumawati tak kuasa untuk menahan jeritan lirih. Gundukan-gundukan tanah kuburan ambrol karena ada tangan-tangan berkuku runcing kehitaman menyembul dari dalamnya.
Angruna yang lebih tabah masih sempat menggamit tangan Kusumawati. Meski demikian, kengerian yang mencekam membuat tangan Angruna menggigil seperti orang terkena demam tinggi. Angruna dan Kusumawati hampir tak percaya akan penglihatan mereka. Sosok-sosok tubuh tampak keluar dari lubang kuburan! Sosok yang memiliki ciri-ciri mengiriskan hati.
Tubuh mereka kurus kering, tak memiliki daging dan terbungkus pakaian koyak-koyak. Sehelai pakaian yang telah rapuh terjatuh ke tanah ketika angin berhembus agak keras. Sosok-sosok itu adalah mayat-mayat yang bangkit dari kuburnya! Ciri-ciri mereka, dan terutama sekali bau bangkai yang menyebar dari sekujur tubuh, telah menjadi bukti tak terbantahkan lagi!
Mayat-mayat itu dengan langkah kaku bergerak mendekati Angruna dan Kusumawati. Jumlah mereka puluhan. Bau busuk yang hampir membuat Angruna dan Kusumawati muntah-muntah semakin menyengat, seiring dengan mendekatnya mayat-mayat. Angruna yang lebih tabah segera sadar akan adanya bahaya mengancam.
"Kuatkanlah hatimu, Wati. Bangkitkan semangat mu. Kalau tidak makhluk-makhluk jahanam itu akan merencah-rencah kita," beritahu Angruna dengan suara bergetar, menahan perasaan ngeri.
Ucapan Angruna membangkitkan kesadaran Kusumawati. Ditariknya napas dalam-dalam lalu dibusungkan kuat-kuat untuk menenangkan hati. Cara itu memang berhasil mengurangi ketegangan yang melanda dirinya. Angruna sendiri telah mencabut golok yang menjadi senjata andalannya. Kusumawati segera mengikuti dengan meloloskan sabuknya. Sabuk jingga berbau harum.
Ctarrr!
Kusumawati yang tak ingin sabuknya menyentuh tubuh mayat-mayat hidup, sengaja melecutkan senjatanya ke udara. Diharapkan lecutan nyaring yang tercipta akan membuat makhluk-makhluk menjijikkan itu menjauh. Tapi harapan Kusumawati kandas. Mayat-mayat hidup sama sekali tak mempedulikan bunyi sabuk. Mereka terus bergerak menghampiri. Gerakan-gerakan makhluk menjijikkan ini sekarang jauh lebih gesit. Rupanya mereka mulai terbiasa bergerak.
Melihat kebandelan mayat-mayat hidup ini Kusu-mawati tak mempunyai pilihan lain. Gadis ini tak ingin bau busuk yang menyergap hidungnya semakin menjadi-jadi. Kusumawati segera melecutkan ujung sabuknya ke arah mayat hidup terdepan. Sabuk meluncur dan menghantam dada makhluk menjijikkan itu.
Ctarrr!
Mayat hidup yang sial itu terhuyung-huyung ke be-lakang beberapa langkah. Pakaiannya hancur berantakan pada bagian yang terkena lecutan. Mayat hidup itu sendiri sedikit pun tak terluka! Begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung punah, mahluk menjijikkan itu kembali merangsek maju.
Bukan hanya Kusumawati saja yang terkejut melihat kekuatan mayat hidup itu, Angruna pun demikian. Lecutan sabuk adiknya mampu menghancurkan batu karang yang paling keras sekalipun. Dia sendiri bila terkena lecutannya akan terluka berat. Tapi, mayat hidup itu tak kurang suatu apa! Makhluk menjijikkan itu bagai tak merasakan.
Angruna dan Kusumawati tak bisa berlama-lama tenggelam dalam keheranannya. Mayat-mayat hidup telah semakin dekat. Sambil berteriak keras untuk menguatkan semangatnya, Angruna membolang-balingkan golok di depan dada.
Seperti juga Kusumawati, Angruna menerima kenyataan pahit. Serangan-serangannya sama sekali tak berarti. Betapa pun telah dikerahkan seluruh tenaga babatan, bacokan, dan tikaman goloknya tidak mampu membuat buntung anggota tubuh makhluk-makhluk menjijikkan itu. Malah serangan-serangan yang menusuk dada dan perut tak ubahnya menusuk batang pisang. Amblas ke sasaran tapi tak membuahkan hasil sama sekali! Angruna dan Kusumawati tak putus asa.
Kedua anak Sanggara ini dengan gagah berani melakukan perlawanan. Tak terhitung sudah senjata, tangan, atau kaki mereka mengenai sasaran. Tapi, kesudahannya hanya membuat tubuh makhluk-makhluk menjijikkan itu terhuyung-huyung. Setelah itu, mayat-mayat hidup kembali menyerbu. Dan meskipun Angruna serta Kusumawati telah mempergunakan berbagai cara, hasil yang didapat tetap sia-sia.
Kedua kakak beradik ini sadar benar lama-kelamaan merekalah yang akan celaka. Tenaga mereka mulai berkurang dan akan terus berkurang. Sementara makhluk-makhluk menjijikkan itu bagai memiliki tenaga yang tak pernah habis. Kekuatan dan kegesitan mereka sedikit pun tak berkurang.
Tak sampai dua puluh jurus Angruna dan Kusumawati sudah terdesak. Serangan-serangan yang semula gencar semakin tak terlihat. Gerakan senjata yang mereka lakukan sebagian besar hanya untuk menangkis serangan lawan.
"Wati...! Tak ada gunanya melakukan perlawanan! Selamatkan dirimu...!"
Seiring dengan selesainya seruan itu Angruna me-lesat menerjang dengan nekat. Tanpa mempedulikan pertahanan diri pemuda ini mengerahkan seluruh kemampuan yang masih tersisa. Goloknya diputar laksa-na kitiran kemudian dibabatkan ke arah lawan-lawannya.
Kenekatan Angruna tidak sia-sia. Kerumunan mayat hidup langsung membuyar. Beberapa di antara mereka berpentalan tak tentu arah. Namun, tindakan nekat itu harus ditebus cukup mahal oleh Angruna. Dua di antara mayat-mayat hidup berhasil menyarangkan sampokan yang mengenai perut dan bahu kanan.
Tidak ada jeritan atau keluhan dikeluarkan putra Sanggara ini. Hanya seringai pada mulutnya menunjukkan kalau pemuda ini merasa kesakitan. Darah mengalir dari bagian tubuh Angruna yang tersampok. Bagian perut dan bahunya tergurat oleh kuku-kuku mayat-mayat hidup yang runcing dan kehitaman.
"Kak Angruna...!" jerit Kusumawati kaget dan khawatir. Gadis ini segera bergerak untuk menolong kakaknya.
"Jangan pedulikan aku! Cepat kau tinggalkan tempat ini!" cegah Angruna sebelum Kusumawati mendekat.
Pemuda itu lalu kembali menyerang lawannya dengan membabi buta. Serangannya tidak ditujukan pada seorang lawan, melainkan semuanya. Tindakan itu dilakukan untuk mengalihkan penyerangan mayat-mayat hidup dari Kusumawati.
"Tapi, Kak...!" Ucapan Kusumawati terhenti di tengah jalan karena dua mayat hidup menyerbunya. Gadis ini memainkan sabuknya hingga terbentuk gulungan-gulungan seperti gelang besar. Dan, gelang-gelang itu menghantam tubuh mayat-mayat hidup hingga terpental ke belakang.
"Pergilah cepat, Wati! Aku akan menyusulmu...!" perintah Angruna penuh tekanan.
Kusumawati tak membantah lagi. Dengan hati dia melesat meninggalkan tempat itu. Dirasakan benar ucapan Angruna tak menghendaki adanya bantahan. Karena itu Kusumawati tak berani menentangnya. Kusumawati amat menghormati kakaknya karena gadis ini tahu kalau Angruna amat sayang padanya.
Tiga mayat hidup berusaha mencegah kepergian Kusumawati. Tapi dengan lecutan sabuknya gadis ini mampu membuat makhluk-makhluk menjijikkan itu mencium tanah. Angruna tersenyum lega melihat adiknya berhasil lolos. Sekarang pemuda ini berjuang sendiri untuk mempertahankan nyawanya.
Kusumawati terus berlari tanpa mengendurkan kecepatannya. Sempat dilihatnya beberapa mayat hidup mengejarnya. Lari mereka ternyata cukup cepat. Namun demikian makhluk-makhluk menjijikkan itu tak mampu menandingi kecepatan lari Kusumawati.
Gadis itu berlari menuju arah yang akan ditempuhnya bersama Angruna. Dengan begitu kakaknya nanti akan bisa menemukannya. Kusumawati baru menghentikan lari ketika tak melihat pengejaran dari mayat-mayat hidup. Disandarkannya punggungnya pada salah satu pohon yang ada di dekatnya. Peluh yang membasahi sekujur wajah disusutnya dengan sa-pu tangan warna jingga. Kusumawati memutuskan un-tuk menunggu Angruna di tempat ini.
Sambil membayangkan kejadian mengerikan yang ditemuinya, Kusumawati mengedarkan pandangan ke sekitar. Tampak pohon besar yang rata-rata tingginya sama. Dia rupanya tengah berada di hutan karet. Debaran jantung Kusumawati yang telah mulai mereda tiba-tiba berpacu dengan cepat lagi.
Perasaan khawatir kembali melanda ketika pendengarannya menangkap suara langkah-langkah mendekati tempatnya berada. Bunyi langkah bergemuruh seakan-akan ada serombongan orang tengah bergerak. Nadanya terdengar tetap dan berirama.
Kusumawati memutar benaknya sebentar untuk mencari jalan selamat. Pengalaman pertamanya terjun ke dunia persilatan yang mengerikan tadi membuatnya jadi bersikap lebih hati-hati. Setelah memperhatikan keadaan sekitarnya sebentar, Kusumawati melompat ke atas. Laksana seekor kera Kusumawati melompat dari satu cabang ke cabang yang lain. Dan, pada cabang pohon yang tinggi dan banyak ditumbuhi daun-daun gadis ini berhenti melompat lalu duduk di dahannya.
Dari balik kerimbunan dedaunan Kusumawati mengintai ke bawah. Tampak serombongan pasukan berkuda tengah menuju ke tempat putri Sanggara ini tadi berada. Jarak antara pasukan berkuda dengan tempat Kusumawati berada tak kurang dari lima belas tombak. Hanya karena terhalang banyak pohon mereka tak bisa saling melihat. Pasukan berkuda itu berjumlah dua puluh orang. Yang berkuda paling depan adalah dua orang berseragam panglima.
"Benarkah Pangeran Antaboga telah kembali, Soka?" tanya panglima bermuka kuning.
"Hhh...!" Panglima Soka yang bertubuh tinggi besar terlebih dulu menghela napas berat "Menurut berita yang kudengar memang demikian, Gardika. Karena itu Gusti Prabu menyuruh kita untuk mengecek kebenarannya, Gusti Prabu khawatir Pangeran Antaboga akan kembali memberontak!"
"Aku sependapat dengan Gusti Prabu, Soka," ujar Panglima Gardika. "Dulu aku tak setuju Gusti Prabu menghukum buang pangeran pemberontak itu. Aku cenderung menginginkan Pangeran Antaboga dihukum mati agar peristiwa pemberontakan itu tak terulang lagi."
"Gusti Prabu tak ingin mengecewakan Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa. Raden Ajenglah yang membuat Pangeran Antaboga lolos dari hukuman mati. Raden Ajeng meminta pada Gusti Prabu agar Pangeran Antaboga diampuni," sambung Panglima Soka setengah menyesalkan keputusan rajanya.
"Apakah Gusti Prabu tak tahu kalau Pangeran Antaboga merupakan orang yang amat berbahaya?" ujar Panglima Gardika lagi "Padahal melihat keinginan dan kepandaian Pangeran Antaboga sudah seharusnya dia dihukum mati. Dulu pun tak ada tokoh kerajaan yang mampu menandingi kepandaiannya. Entah sekarang apakah kepandaian Pangeran Antaboga telah maju pesat. Tapi aku yakin pangeran itu lebih berbahaya dari-pada dulu."
Panglima Soka terlihat menganggukkan kepala. "Terlepas dari kekhawatiran dan dugaan kita, aku lebih suka kalau Pangeran Antaboga menyadari kekeliruannya. Tentu saja jika berita mengenai kembalinya Pangeran Antaboga itu benar."
"Aku pun berharap demikian, Soka," dukung Panglima Gardika.
Brosss! Brosss! Brosss!
Panglima Soka dan Panglima Gardika bergegas menghentikan langkah kuda mereka, ketika sekitar satu tombak di depan mereka muncul sosok-sosok dari dalam tanah. Sosok mayat hidup!
Tindakan kedua panglima itu membuat pasukan di belakang mereka menghentikan laju kudanya. Mereka semua lalu mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Bunyi-bunyi berdesing nyaring terdengar.
Keberanian rombongan di bawah pimpinan Panglima Soka dan Panglima Gardika rupanya tidak dimiliki binatang tunggangan mereka. Kuda-kuda yang besar dan kuat itu meringkik ketakutan. Kedua kaki depannya diangkat tinggi-tinggi. Binatang-binatang itu ru-panya merasa terancam.
Panglima Soka, Panglima Gardika, dan delapan belas prajurit kerajaan berusaha sekuat tenaga menenangkan binatang tunggangannya. Tapi sia-sia belaka. Kuda-kuda yang biasanya amat taat pada perintah majikannya itu, sekarang jadi tak terkendali. Malah, binatang-binatang itu berusaha sekuat tenaga melemparkan majikannya.
"Biarkan binatang-binatang itu kabur!" seru Panglima Soka untuk mengatasi riuh rendah ringkik kuda yang ketakutan.
Binatang tunggangan itu sudah tak bisa dikendalikan lagi. Tindakan liar binatang-binatang itu akan membuat mereka memusatkan perhatian untuk mengendalikannya. Padahal, mayat-mayat hidup telah bersiap untuk menyerang.
Perintah Panglima Soka langsung dituruti oleh semua prajurit, tak terkecuali Panglima Gardika. Mereka semua berlompatan ke tanah. Kuda-kuda yang mereka tunggangi pun berlarian kalang kabut meninggalkan tempat itu.
Panglima Soka segera memerintahkan para prajuritnya untuk membentuk lingkaran, karena mayat-mayat hidup bermunculan dari dalam tanah di sekeliling tempat mereka. Panglima Soka dan rombongannya terkurung oleh puluhan mayat-mayat hidup itu.
"Jagat Dewa Batara,..! Apakah mereka tak betah tinggal di dalam tanah sehingga beramai-ramai keluar?!" ujar Panglima Gardika dengan suara tercekat di tenggorokan.
Panglima bermuka kuning ini telah menghunus pedangnya. Demikian juga Panglima Soka. Dua pan-glima ini dan seluruh prajurit kerajaan menatap makhluk-makhluk menjijikkan yang mendekati mereka dengan mata membelalak kaget. Mulut mereka tak henti-hentinya memercikkan ludah. Bau busuk menyengat hidung hingga membuat isi perut seperti hendak keluar.
"Ini ada hubungannya dengan tanda aneh di langit beberapa hari yang lalu aku rasa," ucap Panglima Soka dengan suara kering karena perasaan tegang. Memang, meskipun Panglima Soka telah puluhan kali berhada-pan dengan bahaya kematian, tapi menghadapi mayat-mayat hidup merupakan hal yang belum pernah dialaminya.
"Kau benar, Soka. Sekarang terjawab sudah teka-teki keanehan angkasa itu," timpal Panglima Gardika mendukung dugaan kawannya.
Tapi Panglima Soka dan Panglima Gardika tak bisa berbincang-bincang lebih lama. Mayat-mayat hidup te-lah menerjang mereka. Rombongan Panglima Soka pun segera menyambutnya.
Wuttt!
Panglima Soka yang mendapat giliran diserang lebih dulu. Sesosok mayat hidup menerkam dengan kedua cakar terkembang tak ubahnya tingkah seekor harimau. Panglima Soka tak ingin maksud mayat hidup itu tercapai. Di samping merasa ngeri terkena sambaran kuku-kuku runcing dan hitam itu, dia juga merasa jijik.
Mayat hidup yang menyerang panglima ini memang terlalu rusak keadaannya. Daging di sekujur tubuh makhluk itu sebagian besar telah hilang. Mulutnya mengeluarkan lendir kekuningan mirip nanah yang berbau amat busuk. Panglima Soka segera menyambut terkaman mayat hidup itu dengan tusukan pedang ke arah leher!
Cappp!
Telak dan keras sekali serangan Panglima Soka mendarat di sasaran. Batang pedang panglima tinggi besar ini sampai amblas ke leher belakang. Tapi, hasilnya membuat Panglima Soka terperanjat. Bukan hanya tidak adanya darah yang keluar dari leher mayat hidup yang tertembus pedang, tapi tak terpengaruhnya mayat hidup itu oleh tusukan.
Mayat itu tetap meluncur ke arah Panglima Soka dengan cakar-cakar siap menghunjam! Panglima Soka terpaksa membanting tubuh ke tanah dan bergulingan. Pedang-nya tertinggal di leher makhluk menjijikkan itu.
"Mayat hidup itu tak membiarkan buruannya lolos. Tubuh Panglima Soka yang tengah bergulingan dike-jarnya. Pedang yang masih menembus leher itu mem-buatnya kerepotan untuk menyerang. Kejadian menak-jubkan ini tak hanya melanda Panglima Soka. Semua anggota rombongannya pun demikian. Mereka semua terlibat dalam pertarungan aneh yang baru pertama kali ini mereka alami.
Di atas pohon Kusumawati memperhatikan semua yang terjadi dengan hati ngeri. Gadis ini tahu lambat laun rombongan pasukan kerajaan akan hancur. Tanda-tanda ke arah itu sudah dilihatnya. Kusumawati tak kuasa untuk terus melihat ketika beberapa orang prajurit mengalami nasib naas.
Mereka tewas secara mengerikan, direncah-rencah mayat-mayat hidup. Makhluk-makhluk menjijikkan itu membunuh lawannya tak hanya dengan cakar. Gigi-gigi mereka yang runcing dan hitam pun dipergunakan untuk menggigit leher korbannya. Pertarungan belum berlangsung dua puluh jurus. Tapi, jerit kematian dari rombongan Panglima Soka tak henti-hentinya berkumandang. Satu persatu mereka roboh ke tanah.
Tubuh-tubuh para prajurit yang malang itu bergeletakkan memenuhi sekitar tempat itu. Panglima Soka dan Panglima Gardika yang paling he-bat di antara rombongan itu hanya bisa menggertak-kan gigi. Untuk menolong mereka tak mempunyai daya sama sekali. Jangankan menolong, keadaan mereka sendiri tengah terjepit.
"Kurasa tak ada gunanya melawan mereka terus, Gardika!" teriak Panglima Soka.
"Benar, Soka!" sambung Panglima Gardika yang juga tengah terjepit oleh keroyokan mayat-mayat hidup. "Mereka bukan manusia! Mereka tak bisa kita binasakan!"
"Gusti Prabu harus kita beritahu agar berjaga-jaga dari serangan makhluk-makhluk jahanam ini, Gardika. Aku khawatir mereka akan menyebar ke mana-mana dan menimbulkan kekacauan!"
Panglima Soka menyempatkan diri mengerling ke arah anak buahnya yang masih tersisa. "Tidak ada gunanya melawan. Tinggalkan mereka! Selamatkan diri masing-masing. Kerajaan harus tahu akan adanya makhluk-makhluk jahanam ini. Kembali dan laporkan pada Gusti Prabu...!"
Seruan Panglima Soka itu keras bukan main. Panglima ini memang mengerahkan tenaga dalam ketika berteriak, agar bisa terdengar oleh semua anak buahnya. Seruan Panglima Soka membuat seluruh anggota rombongan berusaha membebaskan diri dari kepungan. Panglima Soka dan Panglima Gardika segera menyusul. Dengan kemampuannya kedua panglima ini berhasil meloloskan diri pari kepungan.
Keberuntungan yang diterima Panglima Soka dan Panglima Gardika tak dialami anak buah mereka. Kemampuan para prajurit memang tak bisa dibandingkan dengan kedua panglima kosen itu. Meski kemampuan mayat-mayat hidup tak melebihi kepandaian para prajurit, tapi jumlah mereka yang sudah menyusut jauh membuat setiap prajurit berhadapan dengan tiga mayat hidup. Satu persatu para prajurit itu roboh dalam usahanya membebaskan diri dari kepungan.
Hanya Panglima Soka dan Panglima Gardika yang berhasil lolos meninggalkan tempat itu. Untuk usaha keras itu mereka berdua harus menebusnya dengan luka-luka. Terhuyung-huyung keduanya berlari meninggalkan lawan-lawannya. Panglima Soka setengah menyeret Panglima Gardika yang menderita luka-luka parah. Di belakang mereka mayat-mayat hidup ber-bondong-bondong mengejar. Rupanya, makhluk-makhluk menjijikkan itu tak ingin melepaskan lawannya hidup-hidup.
"Aku sudah tak kuat lagi, Soka," ujar Panglima Gardika dengan napas terengah.
Panglima bermuka kuning ini sudah tak kuat lagi mengayunkan kaki. Darah yang mengalir deras dari luka-luka di sekujur tubuhnya membuat panglima ini lemas dengan cepat. Apa lagi dalam kuku-kuku mayat-mayat hidup memang mengandung racun.
"Kuatkan dirimu, Gardika! Aku akan membawamu ke kerajaan. Tabib-tabib istana akan mengobati luka-lukamu," sahut Panglima Soka seraya terus berlari dengan sebelah tangan mencekal pergelangan tangan Panglima Gardika.
Keadaan Panglima Soka sendiri tak terlalu menggembirakan. Luka-luka yang dideritanya memang tak separah Panglima Gardika, tapi racun yang menyeruak dari luka-luka akibat cakaran mayat-mayat hidup membuatnya lemas dan pusing. Keadaan membuat kecepatan larinya berkurang jauh.
Sementara itu mayat-mayat hidup memiliki kecepatan lari di bawah Panglima Soka. Namun makhluk-makhluk itu bagaikan mempunyai tenaga yang tak pernah habis. Mereka tetap segar. Maka, jarak yang memisahkan kedua panglima itu dengan mayat-mayat hidup semakin dekat. Baik Panglima Soka maupun Panglima Gardika menyadari keadaan yang gawat itu. Meskipun demikian, Panglima Soka tetap membawa rekannya berlari.
"Tinggalkan aku, Soka. Kau kembalilah ke kerajaan. Jangan sia-siakan nyawamu untuk membawaku. Aku sudah tak kuat lagi," beritahu Panglima Gardika lagi yang tak ingin rekannya karena ingin menyelamatkan dirinya lalu ikut dikejar-kejar mayat hidup.
"Tidak!" bantah Panglima Soka berkeras dengan maksudnya. "Apa pun yang akan terjadi tak akan ku-biarkan kau sendiri menunggu maut. Kita akan kembali ke kerajaan dengan selamat, Gardika. Berdua, kau dan aku!"
Panglima Gardika menoleh ke belakang. Dilihatnya rombongan mayat-mayat hidup semakin dekat. Dia tahu tak lama lagi mayat-mayat hidup itu akan berhasil menyusul. Dan bila itu terjadi, dia dan Panglima Soka akan celaka. Panglima Gardika menggertakkan gigi. Pedang yang masih tergenggam di tangan dibacokkan ke arah tangannya yang dicekal Panglima Soka.
Panglima Soka sempat menangkap bunyi desir gerakan pedang Panglima Gardika. Panglima tinggi besar ini terkejut. Kepalanya cepat-cepat ditolehkan ke belakang. "Gardika...!" seru Panglima Soka kaget. Dia tak menyangka tindakan nekat rekannya.
Panglima Soka tak sempat mencegah perbuatan Panglima Gardika. Dia hanya sempat melihat tangan Panglima Gardika putus. Sehingga hanya potongan tangan panglima bermuka kuning itu yang ada di genggaman tangannya.
Panglima Soka yang cerdik segera bisa menerka maksud Panglima Gardika. Dan, panglima ini tak mau membiarkan maksud rekannya itu terlaksana. Segera dihentikan larinya dan melesat untuk menangkap Panglima Gardika.
Panglima Gardika lebih cepat bertindak. Tanpa mempedulikan darah yang mengalir dari tangannya yang buntung, dia menjejakkan kaki lalu melempar tubuhnya ke belakang. Panglima bermuka kuning ini malah terjun ke dalam kerumunan mayat-mayat hidup!
"Selamat tinggal, Soka! Sampaikan hormatku untuk Gusti Prabu...!" teriak Panglima Gardika sebelum tubuhnya dihujani serangan cakar dan gigitan mayat-mayat hidup yang berebut untuk menyambut kedatan-gan tubuhnya.
"Gardika...!" seru Panglima Soka sekeras-kerasnya melihat nasib yang menimpa Panglima Gardika. Panglima tinggi besar ini bergerak untuk menyelamatkan rekannya. Tapi, langkahnya terhenti ketika menangkap ucapan Panglima Gardika.
"Jangan sia-siakan usahaku ini, Soka...."
Tubuh Panglima Soka menggigil melihat kematian rekannya tanpa dia mampu berbuat apa pun untuk menolong. "Tak akan ku sia-siakan pengorbanan mu, Gardika. Aku akan selamat Tapi kelak akan kubalaskan kematianmu..!" desis Panglima Soka penuh dendam.
Panglima tinggi besar ini kemudian membalikan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Mayat-mayat hidup mengejarnya berbondong-bondong. Kali ini makhluk-makhluk menjijikkan itu terus tertinggal. Semakin lama jarak yang terentang semakin jauh. Tekad yang besar untuk selamat agar pengorbanan Panglima Gardika tak sia-sia, menyebabkan Panglima Soka seperti mendapat tambahan tenaga baru.
Sementara itu, Kusumawati hampir jatuh dari cabang pohon yang didudukinya. Seluruh tenaganya seperti lenyap. Ingin rasanya gadis ini menjerit-jerit mengingat nasib Angruna. Kusumawati menggigit bibirnya keras-keras untuk mengusir perasaan sedih dan haru yang menggelegak. Dia tak ingin mengeluarkan bunyi sekalipun lirih.
Gadis ini khawatir keberadaannya di atas pohon akan diketahui rombongan mayat hidup. Siapa tahu makhluk-makhluk menjijikkan itu memiliki pendengaran yang tajam. Kusumawati sebenarnya tak takut mati. Tapi mati di tangan mayat-mayat hidup dia merasakan ngeri bukan main. Karena itu sedapat mungkin gadis ini berusaha untuk tak bergerak. Bahkan bernapas pun hampir-hampir ditahan.
Kusumawati sudah merasa lega ketika melihat mayat-mayat hidup berbondong-bondong mengejar Panglima Soka. Panglima kerajaan itu berlari menuju kerajaannya, arah semula dia dan rombongannya datang. Arah itu menjauhi tempat di mana Kusumawati berada.
Dengan hati tegang Kusumawati mengarahkan pandangan ke arah di mana tadi dia meninggalkan Angruna. Putri Sanggara ini berharap kakaknya selamat dan segera tiba di tempat ini. Dia akan mengajak Angruna bersembunyi dulu di atas pohon, menunggu sampai mayat-mayat hidup tak ada lagi.
Kusumawati mengarahkan pandangan lagi ke arah mayat-mayat hidup yang mengejar Panglima Soka. Hampir jantung gadis ini lepas dari dada. Berbondong-bondong makhluk-makhluk itu menuju kemari! Kusumawati tak tahu apakah nasib yang menimpa Panglima Soka. Berhasilkah panglima itu menyelamatkan diri dari makhluk-makhluk yang haus darah ini.
Pertanyaan yang bergayut di benak Kusumawati itu segera berganti dengan perasaan tegang, ketika melihat mayat-mayat hidup mengedarkan pandangan ke sekitar tempatnya berada. Tingkah makhluk-makhluk menjijikkan itu seperti ada yang tengah dicarinya. "Akukah yang dicari-cari mereka?" tanya Kusumawati dalam hati.
Kekhawatiran Kusumawati semakin membesar melihat makhluk-makhluk menjijikkan itu melangkah mendekati pohon tempatnya berada. Kepala mayat-mayat hidup itu ditolehkan ke sana kemari, Semakin mayat-mayat hidup mendekat semakin tegang perasaan Kusumawati. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Semakin besarlah dugaannya kalau dialah yang dicari mayat-mayat hidup itu!
"Grrrhhh...!" Tepat di sekitar pohon di mana Kusumawati bersembunyi, mayat-mayat hidup menghentikan langkah. Mereka mengelilingi pohon dengan kepala didongakkan. Geraman yang dikeluarkan terdengar bergemuruh karena dilakukan secara bersamaan.
Wajah Kusumawati langsung berubah putih laksana kapur. Rasa ngeri yang mencekam hati membuat seluruh kemampuannya buyar. Malah, kedua kaki dan sekujur tubuh Kusumawati terasa lemas tak bertenaga.
Sambil menggeram laksana binatang buas salah satu mayat hidup mencakari batang pohon. Kusumawati semakin panik. Tapi, gadis ini tak mampu berbuat apa pun. Kemudian dengan menggeram sekali lagi mayat hidup itu mengerahkan tenaga untuk mengangkat. Batang pohon berguncang keras.
Kusumawati terpaksa berpegangan agar tak jatuh. Gadis ini tak berani melompat karena lemahnya tubuhnya. Bahkan, ketika pohon itu tercabut dari tanah dengan membawa serta akar-akarnya! Untuk kesekian kalinya mayat hidup itu menggeram keras. Tangannya diayunkan. Seketika pohon di mana Kusumawati berada meluncur cepat bak anak panah lepas dari busur.
Kusumawati sadar keadaan amat berbahaya. Diusahakannya untuk menenangkan hati. Ditariknya napas panjang berulang-ulang selagi pohon itu meluncur. Usaha Kusumawati berhasil. Ketenangannya berhasil dipulihkan dan seiring dengan itu tenaganya mulai timbul kembali.
Kusumawati melompat ketika pohon tempatnya berada hampir menghantam pohon lainnya. Berbarengan dengan menjejaknya kedua kaki gadis ini di tanah, bunyi hiruk-pikuk terdengar ketika pohon yang meluncur berbenturan dengan pohon tersebut.
Begitu menjejak tanah Kusumawati langsung berlari. Seluruh kemampuannya dikerahkan. Gadis ini ingin sejauh mungkin menghindari mayat-mayat hidup yang mengerikan. Sempat dilihatnya rombongan makhluk-makhluk menjijikkan itu mengejarnya.
Kusumawati berlari sejadi-jadinya. Tak dipedulikannya medan yang ditempuh. Beberapa kali gadis ini hampir terhuyung karena terkait semak-semak kering yang menghampar. Tapi semua itu tak dipedulikan. Kusumawati tetap berlari dengan kepala sering ditolehkan ke belakang untuk melihat keadaan para pengejarnya.
Seorang pemuda berambut putih keperakan melangkah hati-hati. Pandangannya ditujukan ke depan mengintai melalui celah-celah kerimbunan semak. Tampak seekor kijang tengah merumput. Binatang itulah yang menarik perhatian pemuda berpakaian ungu itu.
Pemuda yang bukan lain dari Arya Buana alias Dewa Arak ini menudingkan jari telunjuknya ke arah semak-semak yang masih satu tombak di depannya. Terlihat salah satu daun putus dari tangkainya dan melayang tanpa bunyi ke arah Arya. Pemuda ini segera menangkapnya.
Arya lalu melangkah dua tindak. Daun dilontarkan ke arah kijang yang masih sibuk dengan santapannya. Daun itu meluncur tanpa bunyi sedikit pun, meski kecepatannya bak anak panah lepas dari busur. Sudah diperkirakan oleh Arya daun itu akan menembus kepala sang kijang, kemudian hewan itu akan menggelepar dan mati.
Tapi.. beberapa kaki lagi daun akan mengenai sasarannya terdengar bunyi berkerosokan nyaring. Si kijang terperanjat dan langsung berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Daun yang dilontarkan Arya menancap di pohon yang berada di samping binatang itu.
Arya hanya bisa menahan kecewa melihat buruannya berhasil lolos. Sekelebatan muncul keinginan untuk berlari mengejar binatang itu. Tapi maksudnya diurungkan ketika melihat seorang gadis berpakaian kuning berlari menuju tempat kijang tadi berada.
Arya jadi memperhatikan si gadis. Dia ingin tahu penyebab gadis itu berlari-lari sampai menimbulkan bunyi gaduh. Melihat caranya berlari, Arya tiba-tiba menjadi curiga. Semakin dekat dengan Arya semakin kelihatan jelas sosok gadis itu. Arya mengernyitkan dahi melihat wajah si gadis. Wajah itu tampak sarat dengan kengerian.
Dari tempatnya berada Arya memandang dengan leluasa memperhatikan gadis itu tanpa perlu merasa khawatir akan diketahui. Di samping kerimbunan semak-semak melindungi tubuhnya, gadis itu sendiri berlari tanpa mempedulikan kanan kirinya. Memang sering dilihat Arya gadis itu menolehkan kepala. Tapi tidak ke kanan atau ke kiri, melainkan ke belakang.
Sifat kependekaran Arya membuatnya memperhatikan terus kejadian aneh itu. Arya tahu tak akan mungkin gadis itu kerap kali menoleh ke belakang kalau tak ada apa-apa di sana. Kemungkinan besar gadis itu tengah dikejar-kejar. Demikian dugaan pemuda berpakaian ungu ini.
Gadis berpakaian kuning itu telah melewati depan Arya dan kini berada di sebelah kanannya. Arya jadi menujukan pandangannya ke sebelah kiri. Namun di sana tidak terlihat apa pun.
"Aaawww...!"
Jerit keterkejutan si gadis membuat Arya buru-buru mengalihkan perhatian. Sepasang mata pemuda ini membelalak melihat penyebab keluarnya jeritan dari mulut gadis itu. Dari dalam tanah, sekitar dua tombak di depan gadis berpakaian kuning, menyembul tangan-tangan kurus kering berkuku runcing kehitaman. Sementara gadis berpakaian kuning itu kelihatan ketakutan bukan main. Larinya dihentikan dan segera dibelokkan arahnya ke kanan menerobos ke rimbunan semak-semak.
"Aaawww...!" Lagi-lagi gadis itu menjerit setelah menerobos kerimbunan semak-semak melihat adanya sesosok tubuh di sana. Larinya langsung dihentikan. Tapi ketika melihat perbedaan pada sosok-sosok di balik semak-semak ini, kengeriannya mendadak sirna. Bahkan ada kilatan harapan di wajah dan sorot matanya.
Sosok yang bukan lain dari Arya sempat kaget dan melangkah mundur ketika mendapati gadis itu terpekik ketakutan melihatnya. Untuk menghindari kesalahpahaman, Arya buru-buru menjulurkan kedua tangannya.
"Tenang, Nona. Aku bukan orang jahat, percayalah," ucap Arya sungguh-sungguh agar si gadis percaya.
Hanya sampai di situ Arya berbicara, karena telah dilihatnya kilatan harapan di mata dan wajah si gadis. Sorot ketakutan terusir dari wajahnya. Arya tak menyalahkan kalau gadis itu kaget. Dia tengah ketakutan dan heran bukan main mendapati Arya berada di balik semak-semak.
"Apakah kau Dewa Arak...?" tanya gadis itu tanpa basa-basi lagi. Kilatan harapan semakin membesar di wajah dan sorot matanya.
"Benar, Nona. Akulah yang dijuluki Dewa Arak," jawab Arya.
"Syukurlah...," desah si gadis gembira. "Aku memang tengah mencari-carimu, Dewa Arak."
"Kurasa mengenai hal itu dapat diurus belakangan, Nona. Yang penting sekarang mengapa kau kelihatan demikian ketakutan? Apakah kau dikejar-kejar oleh makhluk-makhluk itu?" tanya Arya sambil menunjuk mayat-mayat hidup yang tengah bergerak ke arah dia dan gadis berpakaian kuning berada.
Si gadis menoleh ke arah yang ditunjuk Arya. Tampak olehnya mayat-mayat hidup yang semula baru muncul tangan-tangannya telah berbondong-bondong menuju tempatnya berada. Gerakan makhluk-makhluk itu kaku dan lambat.
"Memang, yang sejenis dengan mereka tengah mengejar-ngejarku," jawab gadis itu. "Tapi bukan mereka. Nah, itu makhluk-makhluk yang mengejarku!"
Arya menoleh ke arah kiri, tempat di mana tadi pandangannya sering ditujukan. Tanpa sadar pemuda ini menggeleng-gelengkan kepala. "Banyak juga jumlah makhluk-makhluk itu," desah Arya ketika melihat rombongan mayat hidup. Mayat-mayat hidup yang baru muncul dari dalam tanah memang tak terlalu banyak. Hanya belasan jumlahnya.
"Makhluk-makhluk jahanam itu tak bisa dibunuh, Dewa Arak!" beritahu si gadis tanpa diminta. "Percuma melawan mereka. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri rombongan prajurit kerajaan mereka bantai."
Kemudian secara sangat singkat, karena khawatir mayat-mayat hidup lebih dulu mencapai tempat mereka berada, gadis itu menceritakan hal-hal yang baru saja dialaminya.
"Entah bagaimana nasib kakakku, Dewa Arak. Aku khawatir dia menjadi korban makhluk-makhluk jahanam itu!" ujar si gadis menutup ceritanya.
Gadis ini memang bukan lain Kusumawati. Nasib baik masih berpihak padanya. Dewa Arak berada di hutan yang sama dengannya dan kebetulan melihatnya.
"Mumpung belum terlambat, kukira lebih baik kita tinggalkan mereka, Dewa Arak. Mereka tak bisa dibunuh!" beritahu Kusumawati lagi.
"Aku tak bisa membiarkan hal itu, Wati," kilah Arya sambil menggelengkan kepala. Pemuda ini tak ragu-ragu lagi untuk menyapa Kusumawati dengan namanya. Gadis itu tadi memang telah memperkenalkan namanya.
"Mengapa Dewa Arak?"
"Aku khawatir makhluk-makhluk ini akan menyebar ke tempat lain dan menimbulkan korban. Akan kucoba untuk mengirim mereka ke tempatnya semula."
"Tapi...."
"Mudah-mudahan saja caraku berhasil, Wati," sela Arya buru-buru. "Menyingkirlah sedikit agar makhluk-makhluk itu tak menyerangmu."
Tanpa banyak bantahan lagi Kusumawati melangkah mundur. Meski tahu mayat-mayat itu tak bisa dibunuh, Kusumawati agak berbesar hati juga. Julukan Dewa Arak telah sering didengarnya. Tokoh muda itu konon memiliki kepandaian tinggi. Siapa tahu Dewa Arak mempunyai ilmu yang bisa membuat mayat-mayat hidup itu mati?
"Ggrrrhhh...!" Diawali geraman keras yang memekakkan telinga dan menciutkan hati, dua makhluk menjijikkan itu menerkam Dewa Arak.
Arya mendengus ketika mencium bau bangkai menyengat hidungnya. Pemuda itu tak mau mencium yang lebih bau lagi. Sebelum tubuh-tubuh mayat hidup semakin mendekat, disambutnya dengan pukulan jarak jauh yang dihentakkan dua kali.
Wusss!
Angin menderu keras keluar dari kepalan tangan Dewa Arak. Seperti biasanya, mayat-mayat hidup tak mempedulikan serangan itu.
Desss, desss!
Tubuh mayat-mayat hidup melayang jauh ke belakang bagaikan daun kering dihembus angin keras ketika terhantam pukulan jarak jauh Arya. Dan tepat seperti yang dikatakan Kusumawati, begitu luncuran tubuh itu terhenti makhluk-makhluk dari dalam bumi ini kembali merangsek maju. Dewa Arak tak kaget melihat kenyataan ini, kendati angin pukulannya yang mengenai dada mayat-mayat hidup itu cukup untuk menghancurleburkan batu-batu sebesar gajah.
Berbeda dengan Dewa Arak yang tetap bersikap tenang, Kusumawati mulai merasa gelisah. Dilihatnya sendiri Dewa Arak pun tak mampu membuat mayat-mayat hidup mati meski dengan pukulan yang demikian dahsyat. Sungguh pun demikian putri Sanggara ini tak berkata apa pun. Dia hanya merasa ngeri ketika melihat Dewa Arak diterkam oleh beberapa mayat hidup sekaligus.
Dewa Arak sendiri tak bergeming dari tempatnya. Pemuda ini mengibaskan kedua tangannya. Angin keras yang berhembus membuat mayat-mayat hidup berpentalan tak tentu arah. Kejadian yang sama berulang pada mayat-mayat hidup lainnya. Mereka berpentalan ke sana kemari sebelum berhasil menyentuh kulit Dewa Arak.
Tapi semua itu tak membuat mayat-mayat hidup kapok. Serangan-serangan terus dilakukan. Dan pandangan yang terlihat bagaikan semut-semut menyerbu api, rontok sebelum berhasil mendekat. Setelah beberapa gebrakan bertarung seperti itu, Dewa Arak meloloskan sabuknya. Dengan senjata di tangan pemuda berambut putih keperakan itu menghadapi pengeroyokan lawan-lawannya.
Kusumawati adalah gadis yang sangat mahir mempergunakan sabuk. Dia menggunakan sabuk sebagai senjata andalannya. Tapi ketika melihat permainan sabuk Dewa Arak, gadis ini baru merasa kalau permainan sabuknya belum apa-apa.
Di tangan Dewa Arak sabuk itu justru lebih berbahaya dari pada senjata tajam lainnya. Terkadang Dewa Arak membuat sabuk menegang kaku laksana pedang atau golok. Tapi, tak jarang meliuk-liuk laksana ular sehingga sukar diketahui arah yang dituju. Sering kali pula sabuk itu dipergunakan seperti cambuk, melecut-lecut memperdengarkan bunyi nyaring.
Ctarrr, ctarrr!
Lecutan ujung sabuk Dewa Arak menghantam kepala dua mayat hidup yang sial. Terdengar bunyi ber-derak keras ketika kepala makhluk-makhluk itu han-cur. Kusumawati tak kuasa untuk tidak berteriak. Mayat-mayat hidup itu ambruk ke tanah dan tak bangkit lagi.
Tindakan Dewa Arak benar-benar mengiriskan. Ke mana pun ujung sabuknya meluncur selalu mendarat di kepala lawannya. Bunyi berderak keras terdengar susul-menyusul. Tubuh-tubuh ambruk ke tanah dan tak bangkit lagi. Hanya dalam waktu sebentar saja lebih dari separo mayat hidup tergolek di tanah.
Kusumawati tak henti-hentinya bersorak gembira melihat keberhasilan Dewa Arak membinasakan lawan-lawannya. Tak sedikit pun menyeruak perasaan miris melihat kepala-kepala mayat hidup yang hancur. Dua lecutan terakhir mengakhiri pertarungan itu. Dewa Arak lalu menggulung kembali sabuknya dan mengikatkannya di pinggang.
Sesaat pemuda ini menatap mayat-mayat yang bergeletakan di tanah sebelum membalikkan tubuh menghadap Kusumawati. Gadis itu tampak memperhatikan Arya dengan sorot mata kagum. Kepandaian Dewa Arak berada jauh di atas-nya. Sempat dilihatnya ketika Arya menggulung sabuk, tak ada noda sedikit pun pada kain berwarna ungu itu. Padahal, puluhan kepala telah dihancurkan dengan senjata lemas tersebut.
"Kau hebat, Dewa Arak!" puji Kusumawati tak me-nyembunyikan perasaan kagumnya. "Dari mana kau tahu kalau kepala mereka merupakan kelemahannya?"
"Aku pernah menghadapi makhluk-makhluk seperti ini sebelumnya," ujar Arya kalem. Sekarang mari kita ke tempat kakakmu berada, Wati. Barangkali saja belum terlambat untuk menolongnya," ajak Arya dengan separo mengingatkan.
"Ah...! Mengapa aku bisa lupa?" sambut Kusumawati. Dia baru teringat kembali dengan keadaan kakaknya.
Arya dan Kusumawati pun melesat meninggalkan tempat itu. Di tengah perjalanan Arya mendapati pa-sukan kerajaan yang menjadi korban amukan mayat-mayat hidup. Karena sepasang muda-mudi itu mempergunakan ilmu lari cepat, tak lama kemudian areal pemakaman yang dimaksud Kusumawati telah terlihat.
"Mengapa sepi, Dewa Arak?" keluh Kusumawati tanpa mampu menyembunyikan rasa khawatirnya. Wajah dan sorot matanya menyiratkan kecemasan yang menggelegak.
Arya tak memberikan tanggapan. Seperti juga Ku-sumawati, pemuda ini mengkhawatirkan kedatangan mereka terlambat. Areal pemakaman tampak lengang. Kendati demikian, Arya dan Kusumawati tetap melan-jutkan lari mereka untuk menuju ke tempat itu.
Apa yang mereka lihat dari kejauhan ternyata tak berbeda dengan setelah berada di areal pemakaman. Suasana tampak sunyi. Tidak terlihat sepotong makhluk hidup pun di sana. Tempat itu porak poranda seperti telah terjadi pertarungan.
Kusumawati berdiri terpaku bagai patung. Wajah gadis ini pucat bukan main. Sinar kesedihan yang sangat tampak jelas pada sorot matanya yang seperti lampu kehabisan minyak.
"Tenangkan hatimu, Wati," hibur Arya sebisa mungkin. Suara pemuda ini penuh perasaan prihatin. "Mudah-mudahan saja kakakmu selamat. Bukankah tak ada mayatnya di sini?"
Kusumawati tak segera memberikan tanggapan. Gadis ini malah menarik napas berulang-ulang. Beberapa kali hal itu dilakukan hingga ketenangannya pun timbul. Seiring dengan itu Kusumawati dapat merasa-kan kebenaran ucapan Dewa Arak. Benar. Bukankah korban-korban mayat-mayat hidup dibiarkan begitu saja? Dan, ketidakadaan mayat Angruna di sini bukan tak mungkin karena pemuda itu berhasil meloloskan diri!
"Tapi mengapa Kak Angruna tak segera menyusul?" bantah Kusumawati mulai khawatir lagi.
"Barangkali saja karena jalan menuju tempatmu dipenuhi makhluk-makhluk itu, Wati," jawab Arya sekenanya. "Atau mungkin karena usahanya untuk menyelamatkan diri, Angruna tak memperhitungkan arah lagi. Yang penting dia bisa selamat dari ancaman makhluk-makhluk itu."
Kusumawati terdiam. Hiburan yang diberikan Arya berhasil menenangkan hatinya yang resah.
"Menurut ceritamu, aku atau kakek bercelana pendek yang akan mampu menyingkap rahasia aneh di langit," ujar Arya sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Begitulah menurut penuturan Kakek Setyaki, De-wa Arak."
"Kau tahu di mana Kakek Setyaki tinggal?" tanya Arya lebih jauh. "Kita akan coba untuk menemuinya."
Kusumawati menggeleng. "Kakek Setyaki tak memberitahukan tempat tinggalnya. Tapi beliau memberikan suatu tanda yang membuatnya akan mengetahui kalau aku atau Kak Angruna bertemu dengan orang yang kami cari. Setelah itu, dengan mempergunakan ilmunya akan diberitahukan ke mana kami harus menemuinya."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang apakah kau sudah mendapat pemberitahuan untuk menuju ke mana, Wati?"
"Belum, Dewa Arak," jawab Kusumawati.
Arya menghela napas berat. Pemuda ini kelihatan tidak tenang. Kusumawati jadi merasa heran melihatnya.
"Ada hal yang menyusahkan pikiranmu, Dewa Arak?" tanya Kusumawati hati-hati, takut dianggap bertindak lancang.
"Sebenarnya sih tidak, Wati. Aku hanya merasa khawatir Kakek Setyaki tak akan pernah bisa menghubungi mu."
"Aku belum mengerti maksudmu, Dewa Arak?" Kusumawati tampak mengernyitkan kuning.
"Bukankah kau tahu semua usaha Kakek Setyaki untuk menyingkap tanda aneh di langit selalu berakhir dengan kegagalan?" Arya malah balas mengajukan pertanyaan. Ketika dilihatnya Kusumawati mengangguk, perkataannya segera dilanjutkan. "Itu menunjukkan kalau seseorang atau sesuatu yang berada di balik peristiwa aneh ini mengetahui tindak tanduknya. Semua usaha Kakek Setyaki akan dihalanginya tak terkecuali dengan pemberitahuan terhadap dirimu, Wati. Bahkan aku khawatir Kakek Setyaki sudah tak ada lagi. Tokoh yang berada di balik semua kejadian ini tahu pasti Kakek Setyaki merupakan bahaya besar yang harus dilenyapkan dari muka bumi."
Kusumawati kelihatan terkejut mendengar penjelasan Arya. Hal seperti itu tak pernah masuk dalam pikirannya.
"Kalau demikian halnya...," ucap Kusumawati kemudian. "Aku dan Kak Angruna pun tak luput dari incaran bahaya itu?"
"Bisa jadi, Wati," jawab Arya sejujurnya. "Asal kau tahu saja, mayat-mayat itu tak akan mampu hidup lagi tanpa adanya campur tangan seseorang atau sesuatu. Bukan tak mungkin penyerangan mayat-mayat hidup terhadap kau dan kakakmu merupakan pekerjaannya."
"Lalu apa yang harus kulakukan sekarang, Dewa Arak?" tanya Kusumawati, bingung bercampur ngeri mengingat kemungkinan mayat-mayat hidup akan menyerangnya kembali.
"Bukan hanya kau saja, Wati, tapi juga aku. Kita berdua akan bekerja sama untuk menyingkapkan masalah ini. Untuk langkah pertama, kita jumpai dulu ayahmu. Beliau sedikit banyak bisa memperkirakan tempat tinggal Kakek Setyaki. Tentu saja sambil kita selidiki ke mana Angruna pergi," usul Arya setelah memperbaiki ucapan Kusumawati.
Malam ini tampak begitu cerah. Langit bersih tanpa sepotong awan pun menggantung di sana. Binatang-binatang leluasa memancarkan sinar lembutnya ke persada. Bulan purnama berwarna kuning keemasan semakin menambah indahnya suasana malam.
Dalam suasana seperti itu tampak sosok-sosok tubuh tengah bergerak. Mereka memiliki gerakan cepat kendati tak ringan menjejak tanah. Bunyi langkah so-sok-sosok itu berdebam-debam menghantam tanah tak ubahnya segerombolan gajah liar yang tengah berlari. Mereka memang tak patut disebut manusia. Sebagian besar tak memiliki daging yang utuh melekat di tubuh. Bau bangkai pun menyeruak dari tubuh-tubuh itu. Sosok-sosok ini adalah mayat-mayat hidup!
Gerombolan mayat hidup berlari dengan pasti menuju kelompok bangunan yang dikelilingi pagar tembok tinggi menjulang. Istana kerajaan! Sinar bulan yang memancar membuat rombongan mayat hidup segera terlihat oleh prajurit-prajurit kerajaan yang berjaga-jaga di atas tembok istana.
"Makhluk-makhluk celaka yang dikatakan Panglima Soka menuju kemari. Sepertinya hendak menyerang istana. Gila!" teriak prajurit bertubuh gemuk dengan suara menyiratkan kengerian.
"Kita akan habisi mereka...!" sahut prajurit yang berkumis mirip misai tikus. Setelah berkata demikian, prajurit itu meniup terompet dari tanduk menjangan. Bunyi khas yang menjadi pertanda adanya bahaya pun terdengar. Nyaring, menguak kesunyian malam.
Sekejap kemudian suasana kalut melingkupi se isi istana. Puluhan prajurit berlarian dari beberapa ban-gunan. Gerakan mereka tangkas dan cepat. Dalam waktu sebentar saja prajurit-prajurit itu telah berada di atas tembok istana.
"Serang...!" Puluhan anak panah berapi melesat dari busurnya ketika rombongan mayat hidup telah semakin dekat. Suasana mendadak menjadi terang benderang bak siang hari.
Namun seperti biasanya, mayat-mayat hidup itu tak mempedulikan akan adanya serangan. Makhluk-makhluk menyeramkan ini terus berlari. Maka tak pelak lagi panah-panah berapi menembus tubuh mereka. Sebagian besar mayat-mayat hidup yang terkena serangan dengan tubuhnya terbakar tetap merangsek maju bersama rekan-rekannya. Kobaran api di tubuh mereka sama sekali tak dirasakan.
"Gila!"
"Luar biasa!"
"Ajaib!"
Seruan-seruan bernada kaget dan ngeri keluar dari mulut para prajurit kerajaan. Kendati demikian mereka tak mempunyai pilihan lain kecuali terus melontar-kan anak-anak panah itu. Tapi hasil yang didapat tak berbeda dengan sebelumnya. Gelombang penyerbuan mayat-mayat hidup tak bisa dicegah. Seluruh prajurit menjadi panik
. "Panglima Soka benar. Makhluk-makhluk jahanam itu tak bisa dibunuh," celetuk salah seorang prajurit dengan nada putus asa.
"Mayat-mayat gila! Apakah dunia telah terbalik sehingga mereka bangkit dari kubur dan menyerbu kerajaan? Apakah makhluk-makhluk itu pun ingin mendirikan kerajaan mayat hidup?" gerutu seorang prajurit lain.
Dalam keadaan biasa ucapan prajurit itu akan memancing rasa lucu di hati yang lain. Tapi karena saat itu ketegangan menyelimuti, tak ada seorang pun yang tersenyum, apalagi tertawa!
Para prajurit terpaksa membuang busur-busur dan menggantinya dengan tombak ketika jarak lawan telah semakin dekat. Bahkan beberapa mayat hidup mulai berusaha memanjat dinding istana. Sebagian lagi menuju pintu gerbang.
Brakkk!
Daun pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati tebal dan berukir hancur berantakan dilabrak beberapa mayat hidup. Hancurnya pintu membuat mayat-mayat hidup itu meluruk masuk ke dalam istana. Serbuan ini segera disambut oleh ratusan prajurit dengan pedang dan tameng. Pertarungan besar-besaran pun terjadi. Tak hanya di bawah, tapi juga di atas tembok istana.
Korban di pihak pasukan kerajaan pun berjatuhan. Mayat-mayat hidup itu terlalu tangguh untuk mereka hadapi. Jeritan kematian terdengar silih berganti di-ikuti dengan robohnya tubuh mereka ke tanah. Darah membanjiri halaman istana!
Pasukan kerajaan berusaha keras untuk bertahan. Tapi ketangguhan lawan-lawan yang mereka hadapi membuatnya tak berdaya. Betapapun keras perlawanan yang mereka berikan namun terus terdesak mundur ke arah bangunan istana.
Di antara pasukan kerajaan terdapat Panglima Soka. Panglima yang telah sembuh dari luka-lukanya ini tak kuasa pula untuk diam di tempatnya, Panglima tinggi besar ini ikut bergerak mundur. Panglima Soka menggertakkan gigi. Dia kesal dan geram. "Haruskah kerajaan jatuh ke tangan mayat-mayat hidup itu?" tanya sang panglima dalam hati.
Kekhawatiran Panglima Soka dan semua pasukan kerajaan tampaknya akan terjadi. Mereka terus terdesak mundur. Namun sebuah keajaiban terjadi! Setelah rombongan mayat-mayat hidup masuk lima tombak dari pintu gerbang istana, makhluk-makhluk itu roboh ke tanah dan tak bergerak lagi!
Kejadian itu menggembirakan pihak pasukan kerajaan, meski mereka tak mengerti apa yang telah terjadi. Yang mereka ketahui, setiap kali mayat-mayat hidup melewati jarak lima tombak dari daun pintu gerbang mereka lalu roboh dan mati! Panglima Soka sege-ra memerintahkan pasukannya untuk berada di jarak yang aman. Sorot-sorot kegembiraan dan kelegaan tampak memancar di wajah pasukan kerajaan.
Sisa rombongan mayat hidup rupanya merasa jeri. Berbondong-bondong makhluk-makhluk itu bergerak mundur dan meninggalkan istana. Kegeraman rupanya masih bersarang di hati makhluk-makhluk itu. Sambil meninggalkan istana mereka mengeluarkan geraman-geraman kemarahan.
"Hhh...!" Prabu Rancamala menghela napas berat. Dahi raja yang telah berusia hampir enam puluh lima tahun ini berkernyit. Sepasang matanya kemudian beredar men-gawasi sekelilingnya. Satu persatu dirayapinya wajah-wajah orang yang duduk bersila di depannya.
"Tombak Panca Warna...," gumam Prabu Rancamala pelan.
"Benar, Gusti Prabu," sahut seorang kakek berjenggot panjang dan berpakaian putih. "Benda itulah yang membuat makhluk-makhluk jahanam itu tak mampu mendekati bangunan istana. Jawaban ini hamba dapatkan melalui semadi hamba, Gusti Prabu."
"Aku memang pernah mendengar kabar tentang benda pusaka itu di kerajaan ini, Eyang," ujar Prabu Rancamala lagi.
"Tapi aku sendiri belum pernah melihatnya. Jadi, ku sangsikan kebenaran berita itu."
"Menurut wangsit yang hamba terima, Gusti Prabu," timpal Eyang Santer, ahli kebatinan kerajaan, "Tombak Panca Warna dihadiahkan seorang brahmana penyebar agama pada buyut Gusti Prabu. Berkat pengaruh Tombak Panca Warna buyut Gusti Prabu tidak menghadapi gangguan apa pun dari makhluk-makhluk halus yang dulu mendiami wilayah kerajaan ini, yang di waktu zaman buyut Gusti Prabu masih berupa hutan liar."
"Ayahanda pun pernah menceritakan hal itu, Eyang. Tapi betapa pun kucari tak kutemukan pusaka itu di sini. Apakah Eyang mampu menemukannya?" tanya Prabu Rancamala penuh harap.
"Ampunkan Hamba, Gusti Prabu. Sejauh ini hamba belum berhasil mengetahui tempat Tombak Panca Warna berada," jawab Eyang Santer seraya memberi hormat.
Selebar wajah Prabu Rancamala menyiratkan kekecewaan besar mendengar jawaban itu.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Boleh hamba bicara?" tanya Panglima Soka.
"Silakan, Panglima."
Panglima Soka kemudian mengalihkan perhatian pada Eyang Santer. "Aku menjumpai hal aneh, Eyang," ujar Panglima Soka memulai pembicaraannya. "Ini sehubungan dengan mayat-mayat hidup itu. Mengapa mayat-mayat hidup roboh pada jarak tertentu? Apakah Tombak Panca Warna menyebarkan hawa yang dapat melumpuhkan mayat-mayat hidup pada jarak tertentu? Misalnya..., tiga tombak, Eyang? Dengan demikian kita bisa mencarinya dalam jarak sekian dari batas di mana mayat-mayat itu roboh."
"Tombak Panca Warna tidak mempunyai pengaruh demikian, Panglima," jawab Eyang Santer. "Tewasnya mayat-mayat hidup itu menurut wangsit yang kudapat karena pada tempat yang mereka lalui, jarak lima tombak dari pintu gerbang, telah dikucuri air berkhasiat yang diberikan ulama ratusan tahun lalu. Dan sebenarnya tempat di mana air itu dikucurkan dulu adalah dinding istana kerajaan. Karena istana diperluas, tempat yang dikucuri air jadi berada di dalam dinding istana. Air itu pun dimaksudkan untuk mencegah masuknya makhluk-makhluk gaib yang bermaksud jahat ke dalam lingkungan istana."
Eyang Santer lalu mengalihkan perhatian pada Prabu Rancamala. "Dan menurut pengetahuan hamba Gusti Prabu, air itu berasal dari rendaman Tombak Panca Warna. Tapi apabila Tombak Panca Warna lenyap dari lingkungan istana, air itu kehilangan kegunaannya. Pengaruh air bisa memudar oleh waktu. Keberadaan Tombak Panca Warna yang membuat pengaruh air tetap ada. Karena itu Gusti Prabu, hamba yakin sekali Tombak Panca Warna masih berada di sini."
Prabu Rancamala mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah kalau demikian, Eyang. Panglima Soka!"
"Hamba, Gusti Prabu," jawab Panglima Soka cepat sambil memberi hormat.
"Kau perintahkan prajurit untuk mencari di mana adanya Tombak Panca Warna itu!" titah sang raja yang berkulit wajah kemerahan itu dengan penuh wibawa.
"Hamba, Gusti Prabu. Titah Gusti Prabu akan, segera hamba laksanakan!"
"Bisa kau beritahukan ciri-ciri Tombak Panca Warna itu, Eyang?" tanya Prabu Rancamala.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," Eyang Santer memberi hormat "Hamba belum mengetahuinya. Akan hamba usahakan untuk mengetahuinya, Gusti Prabu. Hamba akan bersemadi lagi untuk mendapatkan wangsit."
Prabu Rancamala terdengar menghela napas berat mendengar jawaban ahli kebatinan istananya. Disandarkannya punggungnya ke singgasana yang mewah dan indah.
Bangunan itu besar dan megah. Dinding batu setinggi satu tombak mengelilingi bangunan yang memiliki halaman luas. Bunga berwarna-warni menghiasi sebagian besar halaman. Jika melihat tempat ini tak seorang pun akan menyangka pemiliknya seorang datuk kaum sesat berhati kejam dan berwatak bengis. Iblis Gelang Raksasa, julukannya.
Saat itu Iblis Gelang Raksasa, seorang kakek tinggi besar berpakaian indah dan berkulit putih bersih, tengah duduk di sebuah bangku di halaman samping yang dipenuhi bunga-bungaan aneka warna. Iblis Gelang Raksasa menarik napas dan mengeluarkan secara berirama, sebagaimana layaknya orang yang tengah bersemadi. Dan memang sesungguhnya demikian, kakek yang telah berusia enam puluh lima tahun itu tengah bersemadi. Dan tempatnya selalu di halaman samping yang tertutup.
Setelah beberapa lama Iblis Gelang Raksasa mengatur jalan napasnya, tampaklah perubahan pada wajah yang putih bersih itu. Wajah itu mulai memerah dan akhirnya hitam kelam laksana arang. Kemudian perlahan-lahan warna hitam memudar menjadi putih seperti sediakala. Perubahan warna itu tak berhenti hanya sampai di sini.
Wajah Iblis Gelang Raksasa semakin putih pucat hingga akhirnya berwarna hijau! Tokoh persilatan besar akan dapat mengetahui perubahan seperti ini hanya dapat terjadi akibat penguasaan tenaga dalam berhawa dingin dan panas yang sampai ke puncaknya!
Wajah Iblis Gelang Raksasa yang telah berubah hi-jau kemudian kembali memudar. Namun sebelum sampai seperti sediakala, tampak kerutan di sepasang alis kakek ini, seakan-akan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Kendati demikian, latihannya tetap diteruskan hingga warna wajahnya putih kembali seperti sediakala. Iblis Gelang Raksasa membuka sepasang matanya. Peluh yang membasahi sedikit dahinya dihapus dengan sapu tangan indah.
"Kunyuk-kunyuk itu rupanya sudah kepingin mati lebih cepat!" desis Iblis Gelang Raksasa dengan sepasang mata memancarkan hawa pembunuhan. "Berani-beraninya mereka mengganggu latihanku dengan bunyi-bunyi gaduh."
Iblis Gelang Raksasa lalu bangkit dari semadinya dan melangkah lebar-lebar menuju pintu halaman samping yang tertutup dan diselot. Tangan kakek ini diulapkan seperti orang mengusir lalat. Selot di pintu pun bergerak membuka bagai digerakkan oleh tangan tak nampak. Padahal jarak kakek itu dengan daun pintu masih dua tombak.
Iblis Gelang Raksasa terus melangkah seakan hendak menabrak daun pintu yang belum membuka. Tapi setengah tombak sebelum sampai, daun pintu itu telah bergerak membuka sendiri. Dengan langkah-langkah lebar dan wajah bengis Iblis Gelang Raksasa terus melangkahkan kakinya menuju keluar.
Pendengarannya yang tajam mengisyaratkan kalau bunyi gaduh itu berasal dari halaman depan. Puluhan langkah berjalan baru Iblis Gelang Raksasa sampai diambang pintu yang berbatasan dengan teras. Dari tempat itu tampak pemandangan yang membuat kemarahannya yang berkobar berganti dengan keterkejutan!
Di halaman depan belasan anak buah Iblis Gelang Raksasa tengah terlibat pertarungan meng-hadapi seorang lelaki jangkung. Sepuluh anak buah datuk kaum sesat ini dengan senjata di tangan, tapi mereka terdesak oleh lawannya yang tak bersenjata.
Lelaki jangkung itu justru tak bergeming dari tempatnya. Hanya kedua tangannya yang digerakkan ke sana kemari menangkis serangan-serangan yang datang. Akibat tangkisan-tangkisan itu tubuh para pengeroyoknya berpentalan dan jatuh terguling-guling.
Lelaki jangkung tampak tak terpengaruh sama sekali akan tindakan yang dilakukannya. Tak terlihat tanda-tanda dia merasa kesakitan akibat benturan tangannya yang telanjang dengan senjata-senjata lawan. Malah, beberapa kali senjata lawan dibiarkan mengenai sekujur tubuhnya. Akibatnya, senjata-senjata itu berbalik dan berpentalan seperti mengenai gumpalan karet kenyal.
"Minggir semua, kecoak-kecoak tak berguna!" seru Iblis Gelang Raksasa seraya menghampiri kancah pertarungan.
Tanpa menunggu perintah dua kali anak-anak buah Iblis Gelang Raksasa berbondong-bondong meninggalkan kancah pertarungan. Yang tinggal hanya lelaki jangkung berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Lelaki jangkung itu menatap tak berkedip pada Iblis Gelang Raksasa. Si iblis sendiri tak mau kalah gertak. Sambil mengayunkan kaki tatapannya ditujukan pada lelaki jangkung. Dua pasang mata yang sama-sama tajam saling bertemu tanpa ada yang mau mengalah.
"Selamat berjumpa lagi, Iblis Gelang Raksasa," ujar lelaki jangkung ketika Iblis Gelang Raksasa telah menghentikan langkahnya. Lelaki jangkung dan Iblis Gelang Raksasa berdiri berhadapan dalam jarak tiga tombak.
Iblis Gelang Raksasa terdengar mendengus marah. Ucapan lelaki jangkung tidak dipedulikannya sama sekali. "Apa yang mendorongmu datang kemari, Antaboga?!" tanya Iblis Gelang Raksasa tak ramah. "Meminta ku untuk membantu gerakan pemberontakanmu lagi?!"
Lelaki jangkung yang ternyata Pangeran Antaboga langsung mengelam wajahnya. Sorot sepasang matanya seperti memancarkan api. Namun hanya sebentar, kemudian kembali seperti biasa. Tenang dan dingin.
"Kau keliru besar kalau menduga demikian, Iblis Gelang!" dengus Pangeran Antaboga. "Aku tahu tak ada gunanya mengajak orang yang takut. Kedatanganku kemari hanya untuk menengok kawan lama."
"Tak usah berbasa-basi denganku, Antaboga! Cepatlah menyingkir dari tempat ini sebelum kesabaranku habis. Aku tak butuh pangkat atau kedudukan karena keadaan sekarang sudah enak. Kau boleh mengejar keinginanmu, tapi jangan harap aku akan bersedia membantu!" tandas Iblis Gelang Raksasa.
"Aku malah menunggu habisnya kesabaran mu, Iblis Gelang!" sahut Pangeran Antaboga dengan berani. "Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan terhadapku?"
"Kuperingatkan sekali lagi, Antaboga. Pergi dari sini! Ini peringatan terakhir. Kau bukan seorang pange-ran lagi. Raja Rancamala malah telah membuang mu ke tempat terkutuk. Kendati berhasilnya kau lolos dari tempat pembuangan itu merupakan teka-teki, namun tak menjadikan ku gentar. Kalau aku masih mempedulikan kedudukan dan pangkat, kutangkap kau dan kuserahkan pada kerajaan. Tapi aku tak ingin melakukan hal itu. Pergilah, Antaboga!"
"Sesumbar mu besar sekali, Iblis Gelang!" sambut Pangeran Antaboga dengan suara keras. "Dua tahun yang lalu mungkin kau bisa berkata demikian. Tapi sekarang tak sepotong makhluk pun boleh menghina Pangeran Antaboga. Majulah kau, Iblis! Ingin kulihat sampai di mana kemampuanmu!"
"Keparat! kau mencari penyakit sendiri, Pangeran Pemberontak! Di istana kau boleh ditakuti dengan kemampuan yang kau miliki. Tapi semua kemampuanmu tak ada artinya bila dipertunjukkan padaku. Sikap lancang mu cukup membuatku untuk membawamu ke hadapan raja. Aku yakin Raja Rancamala akan gembira mendapat oleh-oleh dariku. Kudengar kerajaan memang bermaksud membawamu kembali ke sana sebagai tahanan!"
"Cuhhhh!" Dengan kasar Pangeran Antaboga meludah. Bukan ke tanah tapi ke wajah Iblis Gelang Raksasa. Terdengar bunyi berdesing nyaring bak anak panah lepas dari busur, ketika cairan yang kental menjijikkan itu meluncur ke arah wajah Iblis Gelang Raksasa.
Wajah Iblis Gelang Raksasa merah padam saking marahnya mendapat serangan seperti itu. Meskipun diakui serangan itu hanya seperti serangan anak panah, tapi Iblis Gelang Raksasa merasa terhina. Kema-rahan yang sudah membakar hati berkobar semakin besar!
Iblis Gelang Raksasa tak mengelakkan serangan itu sama sekali. Tangan kanannya dijulurkan ke depan lalu diputar ke kiri. Angin menderu keras dari gerakan itu. Akibatnya, semburan ludah terhenti di tengah jalan dan rubuh ke tanah.
"Kau masih lihai seperti dulu, Iblis Gelang! Tapi Pangeran Antaboga yang sekarang tak bisa disamakan dengan yang dulu. Bersiaplah, Iblis Gelang!"
Berbarengan dengan selesainya ucapan itu Pangeran Antaboga melesat menerjang Iblis Gelang Raksasa. Kedua tangannya terkembang membentuk cakar dan dilayangkan ke arah lawan. Cakar kanan mengancam leher sedangkan yang kiri mengancam dada. Kedudukan buku-buku jari tangan kanan menghadap ke langit, bertolak belakang dengan buku-buku jari tangan kiri yang menghadap ke bumi.
Iblis Gelang Raksasa tak mau kalah gertak. Serangan itu segera di sambutnya dengan dorongan kedua tangan terbuka. Jari-jari kedua tangannya lurus. Ujung-ujung jari yang kanan menghadap ke langit sementara yang kiri menghadap ke bumi. Gerakan kakek ini mirip dengan gerakan Pangeran Antaboga. Hanya saja berbeda kedudukan jari-jarinya.
Prattt!
Diiringi bunyi keras ketika dua pasang tangan berbenturan tubuh kedua tokoh itu terhuyung ke belakang. Iblis Gelang Raksasa lebih jauh selangkah dari Pangeran Antaboga. Iblis Gelang Raksasa hampir-hampir tak percaya akan kenyataan ini. Telah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya pada tangkisan tadi. Namun tetap saja Pangeran Antaboga lebih unggul. Hal ini benar-benar di luar perhitungannya!
Pangeran Antaboga mengetahui keterkejutan lawannya. Maka, dibentuknya seulas senyuman mengejek. Tindakan pangeran ini membuat kemarahan Iblis Gelang Raksasa menggelegak. Keheranan yang semula menyelimuti segera berganti dengan kemarahan besar.
Perasaan ini mendorong Iblis Gelang Raksasa untuk melancarkan serangan lebih dulu. Kakek ini mengerahkan ilmu andalan dan seluruh kemampuannya dalam serangan itu. Pangeran Antaboga segera menyambutnya sehingga pertarungan sengit pun terjadi. Bunyi angin menderu, mencicit, dan mengaung menyemaraki jalannya pertarungan. Gerakan kedua tokoh yang sama-sama cepat membuat bentuk tubuh mereka tak terlihat jelas. Yang kelihatan hanya bayangan coklat dan keemasan saling belit.
Iblis Gelang Raksasa menggertakkan gigi karena perasaan geram dan penasaran. Pangeran Antaboga tak bisa didesaknya kendati pertarungan telah melewati jurus kelima puluh. Sungguh tak disangkanya waktu dua tahun telah membuat sang pangeran memperoleh kemajuan yang demikian pesat.
"Kurasa main-main ini sudah cukup, Iblis!" Pangeran Antaboga kemudian mengubah gerakannya. Dia tidak lagi mengirimkan serangan secara langsung. Pangeran itu malah berlarian memutari Iblis Gelang Raksasa.
Tingkah Pangeran Antaboga membuat Iblis Gelang Raksasa merasa heran. Meski telah kenyang pengalaman bertempur tapi baru kali ini Iblis Gelang Raksasa menemui pertarungan semacam ini. Dia pun berdiam diri di tempatnya dan tak melakukan tindakan apa pun kecuali memperhatikan perbuatan Pangeran Antaboga.
Mula-mula memang tidak ada hal aneh yang didapati Iblis Gelang Raksasa. Tapi beberapa saat kemudian kepalanya dirasakan pening. Pandangan matanya pun berkunang-kunang karena terus dipergunakan untuk melihat tubuh Pangeran Antaboga yang berputaran di sekelilingnya.
Sekarang Iblis Gelang Raksasa baru mengetahui kedahsyatan yang terkandung dalam cara pertarungan aneh itu. Kakek ini pun sadar kalau terus diikutinya gerakan lawan dia akan roboh dengan sendirinya.
Iblis Gelang Raksasa buru-buru berdiri tegak di tempatnya sambil memejamkan mata. Indera penglihatannya tak dipergunakan lagi. Sekarang yang dipakainya adalah sepasang telinganya. Dengan pendengarannya yang luar biasa tajam diikutinya setiap gerakan Pangeran Antaboga.
Pertarungan unik pun terjadi. Iblis Gelang Raksasa berdiam diri di tempatnya. Tapi ketika pendengarannya menangkap bunyi serangan, ditangkis dan sekaligus dilancarkannya serangan balasan. Di lain pihak, Pangeran Antaboga terus berlari mengitari lawannya sambil sesekali melancarkan serangan.
Tak sampai sepuluh jurus pertarungan aneh itu berlangsung Iblis Gelang Raksasa telah terdesak hebat. Begitu menginjak jurus ketiga belas sebuah tendangan Pangeran Antaboga mengenai lututnya Iblis Gelang Raksasa terjengkang ke belakang. Berkat kelihayannya kakek ini memang tak sampai terjatuh, tapi sambungan tulang lututnya terlepas. Iblis Gelang Raksasa menggigit bibir menahan rasa nyeri yang mendera. Kendati demikian, kakek ini bersiap untuk menghadapi serangan lawan selanjutnya.
Tapi Pangeran Antaboga tak mengirimkan serangan lagi. Lelaki itu malah menatap lawannya dengan sorot mata kemenangan. Pangeran Antaboga berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Bagaimana, Iblis? Apakah kau masih berkeras ingin melanjutkan pertarungan? Asal kau tahu saja, masih banyak ilmu-ilmu dahsyat lainnya yang kumiliki. Kurasa hal ini telah cukup untuk membuatmu mengerti kalau kau bukan tandinganku!"
Iblis Gelang Raksasa menatap Pangeran Antaboga dengan sorot yang sukar ditebak maksudnya. Namun yang jelas datuk kaum sesat ini tak percaya akan apa yang dialaminya.
"Sebenarnya apa maksudmu datang kemari, Antaboga?" tanya Iblis Gelang Raksasa meminta kepastian.
"Hanya sebuah maksud kecil," jawab Pangeran Antaboga ringan. "Memintamu untuk melaksanakan suatu pekerjaan."
"Pekerjaan apa?" tanya Iblis Gelang Raksasa setelah berpikir sebentar.
"Mengambil Tombak Panca Warna."
"Tombak Panca Warna?!" Iblis Gelang Raksasa mengernyitkan dahi. Kakek ini telah mendengar tentang senjata itu. Sebuah senjata pusaka di masa ratusan tahun silam. Namun, tak ada seorang pun yang tahu bagaimana bentuknya. "Di mana harus kudapatkan benda itu?"
"Di kerajaan," jawab Pangeran Antaboga dengan sikap biasa. Tak dipedulikannya keterkejutan Iblis Gelang Raksasa. "Bagaimana? Kau setuju dengan usulku ini, Iblis? Kalau kau tidak mau, taruhannya adalah nyawamu!" ujar Pangeran Antaboga mantap.
Iblis Gelang Raksasa tak mempunyai pilihan lain. Dihelanya napas berat kemudian dianggukkan kepalanya. Kaku dan perlahan-lahan gerakan itu dilakukan.
"Bisa kau beritahukan di mana letaknya yang pasti?" tanya Iblis Gelang Raksasa dengan suara yang hampir tak terdengar.
Pangeran Antaboga mengangguk. Kemudian, secara gamblang diberitahukannya pada Iblis Gelang Raksasa. Iblis itu mencatat semua keterangan Pangeran Antaboga di benaknya.
"Ingat, Iblis Gelang," ujar Pangeran Antaboga penuh tekanan. "Jangan coba-coba untuk mempermainkan ku. Akibatnya akan sangat mengerikan!"
Iblis Gelang Raksasa hanya tersenyum pahit. Kalau menuruti perasaan, ingin diterjangnya Pangeran Antaboga untuk mengadu nyawa. Tapi segera ditekannya keinginan itu karena akibatnya hanya akan mencelakakan diri sendiri. Dalam keadaan seperti ini dia tak akan mungkin menang menghadapi Pangeran Antaboga. Mengalah sedikit tak mengapa demi keuntungan, demikian pikir kakek berpakaian keemasan ini.
Angin lembut yang membawa hawa dingin menusuk tulang berdesir di malam yang hanya diterangi sinar bulan sepotong. Kendati demikian suasana di persada cukup terang. Bahkan bintang-bintang bertaburan di langit.
Dalam suasana malam seperti itu Iblis Gelang Raksasa melesat cepat menuju istana kerajaan. Gerakannya yang cepat dengan kedua kaki bagai tak menginjak tanah membuatnya cepat tiba di dinding tembok istana. Berlainan dengan biasanya, prajurit-prajurit yang bertugas di atas tembok istana tak melihat kedatangan tamu tak diundang itu.
Iblis Gelang Raksasa merapatkan tubuh di dinding beberapa saat. Kakek ini menanti saat yang menguntungkan untuk dapat masuk ke dalam lingkungan is-tana. Dan ketika saat yang dinantikannya tiba, dia me-lesat ke atas. Berkat ilmu meringankan tubuh Iblis Gelang Raksasa yang telah mencapai tingkatan tinggi, sekali menjejakkan kaki tubuhnya telah melesat melewati dinding istana.
Tanpa menimbulkan bunyi, Iblis Gelang Raksasa menjejakkan kaki di tanah, di dalam lingkungan istana. Untuk kedua kalinya keuntungan seperti berpihak pada datuk sesat itu. Tak seorang pun anggota pasukan kerajaan yang memergokinya. Prajurit-prajurit yang berkeliling memperhatikan keadaan di sekitar is-tana telah melewati tempat di mana Iblis Gelang Rak-sasa mendarat.
Iblis Gelang Raksasa menghela napas lega. Dia merasa gembira melihat keberhasilannya di tahap-tahap pertama. Kakek itu tak membuang-buang waktu. Bergegas dia melesat ke arah salah satu bangunan. Begitu tiba di bangunan yang dituju Iblis Gelang Raksasa melompat ke atas genting. Kembali tak terdengar bunyi yang berarti ketika kedua kakinya menjejak di sana.
Laksana seekor kucing Iblis Gelang Raksasa berlarian di atas genting menuju bagian belakang. Menurut penuturan Pangeran Antaboga tepat di sebelah bawah puncak genting tersimpan Tombak Panca Warna. Baru juga mencapai pertengahan jalan, Iblis Gelang Raksasa merasakan ada keanehan.
Pendengaran kakek ini yang tajam menangkap suara desah napas halus di tempat yang ditujunya. Tertangkap oleh pendengarannya desah napas itu tak hanya keluar dari satu hidung. Banyak lubang hidung yang menimbulkan bunyi seperti itu! Kecurigaan yang timbul membuat Iblis Gelang Raksasa menghentikan lari. Saat itulah dari balik puncak genting bermunculan banyak busur dalam keadaan terentang.
"Matilah kau, Pencuri Hina...!" Berbarengan dengan keluarnya teriakan yang memecahkan kesunyian malam itu, terdengar bunyi berdesingan nyaring bertubi-tubi dari melesatnya belasan anak panah menuju ke arah Iblis Gelang Raksasa!
Iblis Gelang Raksasa segera mengeluarkan senjata andalannya. Sebuah baja putih besar berbentuk gelang. Garis tengah gelang ini mencapai setengah tombak. Tak aneh kalau datuk sesat ini berjuluk Iblis Gelang Raksasa.
Trang, trang, trangngng!
Bunyi berdentang nyaring bertubi-tubi yang diikuti dengan berpercikannya bunga-bunga api terjadi ketika gelang raksasa memapaki anak-anak panah. Iblis Gelang Raksasa tak berani mengandalkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menerima hunjaman anak-anak panah. Dari desingan yang terdengar agaknya anak-anak panah itu dilepaskan oleh tenaga dalam yang amat kuat. Dan tampaknya bukan prajurit sembarangan yang melepaskan.
Baru saja serangan itu berhasil dipatahkan Iblis Gelang Raksasa, dari tempat di mana busur-busur terlihat berlompatan belasan sosok yang memilik gerakan gesit. Sosok-sosok dalam sekelebatan telah berada di depan Iblis Gelang Raksasa. Sikap mereka terlihat penuh ancaman.
Iblis Gelang Raksasa dalam hati memaki Pangeran Antaboga. Kakek ini yakin kedatangannya memang telah ditunggu-tunggu. Dia telah dijebak Oleh siapa lagi kalau bukan pangeran pemberontak itu? Dugaan itu membuat Iblis Gelang Raksasa merasa geram dan murka bukan main.
Disadarinya kini tindakan sang pangeran yang memintanya untuk mengambil Tombak Panca Warna hanya sebuah siasat agar dirinya dimusuhi pihak kerajaan. Iblis Gelang Raksasa tahu Pangeran Antaboga mempunyai alasan kuat untuk melakukan hal itu. Bukankah dulu ketika sang pangeran mengajaknya ikut dalam pemberontakan dia tak mau?
Iblis Gelang Raksasa tak ingin terlibat keributan dengan pasukan kerajaan. Maka, dibalikkan tubuhnya untuk melesat meninggalkan tempat itu. Tapi niatnya langsung diurungkan ketika melihat di bawahnya menunggu puluhan pasukan kerajaan bersenjata lengkap. Di tangan para prajurit itu tergenggam perisai dan pedang. Sebagian di antaranya bersenjatakan tombak panjang. Hanya sebagian kecil yang menggenggam anak panah.
Tanpa dapat ditahan lagi keringat dingin bermunculan di wajah Iblis Gelang Raksasa. Dirinya benar-benar telah masuk perangkap! Jalan lolos sepertinya sudah tertutup! Satu-satunya cara untuk selamat hanya melawan dengan seluruh kemampuan yang ada.
"Tak ada jalan keluar bagi tamu tak diundang, Iblis Gelang Raksasa!" ejek Panglima Soka, salah seorang dari belasan sosok di atas genting.
Iblis Gelang Raksasa hanya menggertakkan gigi sebagai tanggapan atas ucapan sang panglima. Bagi datuk sesat ini Panglima Soka bukan lawan tangguh. Diakuinya panglima tinggi besar itu merupakan jago istana. Tapi, seorang Panglima Soka tak berarti apa-apa baginya!
Sementara sosok-sosok yang bersama Panglima Soka memiliki kepandaian tak di bawah sang panglima. Melihat tanda-tanda khas di tubuh mereka, Iblis Gelang Raksasa tahu lima sosok di antara mereka merupakan pasukan khusus kerajaan. Pasukan-pasukan pengawal Raja Rancamala! Tentu saja sebagai pasukan khusus kepandaian mereka amat tinggi.
Di samping lima anggota pasukan khusus itu masih ada tujuh sosok yang bersikap gagah dan bermata tajam berkilat. Sorot mata seperti itu hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh bertenaga dalam amat kuat. Dan, Iblis Gelang Raksasa tahu kalau ketujuh sosok itu memang lawan-lawan yang cukup tangguh. Setidak-tidaknya seorang di antara mereka; memiliki kemampuan di atas Panglima Soka.
Iblis Gelang Raksasa, memang belum pernah menjajal kepandaian ketujuh sosok yang terdiri dari lelaki-lelaki berusia tiga puluhan. Tapi nama besar Tujuh Pendekar Gunung Harimau telah lama didengarnya sebagai tokoh-tokoh jarang tandingan. Telah banyak tokoh-tokoh sesat yang tewas di tangan ketujuh pendekar ini. Tujuh Pendekar Gunung Harimau memang mempunyai hubungan satu perguruan dengan Panglima Soka.
"Sungguh tak kusangka kau bermaksud tak baik terhadap kerajaan, Iblis Gelang Raksasa," ucap Panglima Soka lagi. "Padahal selama ini kerajaan bersikap tak peduli dengan segala tindakan yang kau lakukan. Kerajaan tahu, kau menjadi kaya raya dari hasil kejahatan anak-anak buahmu. Rumah-rumah judi dan tempat pelacuran yang kau kelola. Perampokan-perampokan atas perusahaan pengawalan barang, dan masih banyak lagi. Tapi kau menyangka diamnya kerajaan karena takut, Iblis Gelang Raksasa. Sehingga secara lancang kau masuk kemari. Sayang sekali maksud burukmu itu berhasil kami ketahui. Sekarang bersiaplah untuk menerima kematian, Iblis Gelang Raksasa!"
Iblis Gelang Raksasa hampir meledak dadanya mendengar ucapan Panglima Soka. Yang membuat kakek ini marah adalah tindakan licik sang pangeran dengan menjerumuskannya ke dalam perangkap seperti ini.
"Pangeran Antaboga! Keparat licik! Keluar kau! Jangan bersembunyi saja! Mari kita mengadu nyawa sampai salah seorang di antara kita tergeletak tanpa jiwa!" teriak Iblis Gelang Raksasa dengan pengerahan tenaga dalamnya, sehingga suaranya berkumandang ke seluruh penjuru. Bahkan terdengar sampai ke tempat yang jauh.
Tingkah Iblis Gelang Raksasa membuat Panglima Soka dan rekan-rekannya mengernyitkan alis. Mereka kelihatan heran bercampur bingung.
"Jangan kira dapat mengalihkan perhatian kami dengan tingkahmu yang aneh-aneh, Iblis!" sentak Panglima Soka setelah berpikir sejenak. Panglima tinggi besar ini menduga tingkah Iblis Gelang Raksasa hanya sebuah siasat belaka.
Iblis Gelang Raksasa kebingungan mendengar ucapan Panglima Soka. Sebagai datuk yang telah kenyang pengalaman kakek ini tahu Panglima Soka bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Benarkah bukan Pangeran Antaboga yang membocorkan kedatangannya? Kalau begitu, siapa?" tanya hati Iblis Gelang Raksasa.
"Kelihatannya iblis itu tak bermain-main, Panglima," ujar salah satu tokoh dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau. "Barangkali saja Pangeran Antaboga pun ikut menyelusup masuk kemari tanpa sepengetahuan kita."
"Andaikata benar demikian kedatangan pangeran itu pun akan diketahui, Adi," sahut Panglima Soka. "Seluruh sudut istana telah dijaga ketat oleh para prajurit. Jangankan manusia, seekor burung pun akan ketahuan jika masuk kemari."
Anggota Tujuh Pendekar Gunung Harimau pun diam. Jawaban Panglima Soka tak terlalu berlebihan. Hal yang dikatakan panglima itu memang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang dilihatnya.
Iblis Gelang Raksasa segera mempunyai pikiran lain mendengar percakapan itu. Mungkinkah dirinya dijadikan Pangeran Antaboga sebagai pengalih perhatian? Dia dijadikan umpan agar sang pangeran dapat masuk ke istana tanpa mendapat gangguan!
Banyak pertanyaan yang menggayut di benak Iblis Gelang Raksasa. Namun dia tak bisa berlama-lama memikirkannya. Tujuh Pendekar Gunung Harimau te-lah melancarkan serangan. Sesuai julukannya, tokoh-tokoh golongan putih ini memang menyerang secara bertujuh.
Lima anggota pasukan khusus hendak ikut ambil bagian. Tapi tindakan itu mereka urungkan ketika melihat Panglima Soka memberi isyarat untuk tidak mencampuri jalannya pertarungan.
Tujuh Pendekar Gunung Harimau ternyata bukan hanya besar julukan saja. Kepandaian rata-rata mereka pun hebat. Memang bila dibandingkan satu persatu dengan Iblis Gelang Raksasa, mereka bukan tandingan iblis itu. Tapi begitu maju bertujuh dan dengan menggunakan golok yang menjadi senjata andalan mereka, Iblis Gelang Raksasa dibuat kerepotan bukan main.
Tujuh Pendekar Gunung Harimau mampu bekerja sama secara baik. Mereka dapat menutup kekurangan masing-masing rekannya dan kemudian menambah kedahsyatan serangan yang dilancarkan.
Iblis Gelang Raksasa menggertakkan gigi menahan geram. Semula, menyadari keunggulannya baik dalam kecepatan dan kekuatan tenaga, datuk sesat ini bermaksud sesering mungkin membenturkan senjata untuk memperoleh kemenangan. Dengan tenaga dalamnya yang jauh lebih kuat mudah baginya untuk mem-buat senjata lawan lepas dari genggaman. Bahkan, dengan benturan yang terjadi Iblis Gelang Raksasa yakin mampu mematahkan tangan lawan-lawannya.
Tapi, semua itu hanya dapat diwujudkan Iblis Gelang Raksasa dalam angan-angan saja. Tujuh Pendekar Gunung Harimau tak kalah cerdik. Dalam benturan yang tak terelakkan dengan gelang raksasa lawan, mereka tak sendiri-sendiri bertindak. Serangan yang dilakukan selalu bertiga.
Hal itu membuat tangkisan Iblis Gelang Raksasa selalu berbenturan dengan tiga senjata. Gabungan tiga tokoh Pendekar Gunung Harimau dalam hal tenaga ini ternyata terlalu kuat untuk dapat ditahan Iblis Gelang Raksasa. Kakek ini selalu terhuyung setiap kali serangan lawan-lawannya ditangkis.
Iblis Gelang Raksasa menguras seluruh kemampuannya. Tapi tetap saja harus diakui kalau pengeroyokan itu terlalu tangguh. Kalau saja tujuh pendekar itu tak bekerja sama demikian baik, Iblis Gelang Raksasa masih mempunyai harapan. Tapi kerja sama Tujuh Pendekar Gunung Harimau yang demikian baik membuat harapan Iblis Gelang Raksasa pupus di tengah jalan.
Iblis Gelang Raksasa akhirnya memutuskan untuk bertahan saja. Sebagai tokoh kawakan datuk sesat ini merasakan kedudukan bertahan jauh lebih menguntungkan daripada menyerang. Gelang raksasanya di-putar mengelilingi tubuhnya bagaikan benteng. Andai-kata saat itu hujan hebat pun tak setitik air akan membasahi tubuhnya.
Iblis Gelang Raksasa sambil terus bertahan mencoba mencari cara agar bisa meninggalkan lawan-lawannya. Jika dia memaksakan diri untuk terus bertahan, hanya akan memperoleh akibat yang merugikan!
Di saat-saat genting bagi keselamatan Iblis Gelang Raksasa itu terjadi kegaduhan di bawah. Pasukan kerajaan yang semula menunggu di bawah dengan sikap siaga kelihatan kalang kabut. Bunyi terompet tanda bahaya menguak kesunyian malam, mengatasi riuh rendah bunyi pertarungan.
Bunyi tanda bahaya dikeluarkan oleh prajurit-prajurit yang berjaga-jaga di atas dinding istana. Mere-ka melihat serombongan orang menuju ke istana. Jumlah rombongan tak kurang dari seratus orang!
Rombongan yang sebagian besar mengenakan seragam kerajaan itu berada di bawah pimpinan Pangeran Antaboga! Lelaki jangkung ini berlari paling depan, meninggalkan rombongannya. Sepertinya, pangeran pemberontak ini sudah tak sabar untuk merebut istana kerajaan.
"Pasukan dari mana itu?" tanya seorang prajurit yang bertubuh pendek gemuk.
"Kalau melihat dari seragamnya sebagian besar pasukan Kadipaten Bringin," jawab prajurit yang bertubuh tinggi kurus. "Tapi, sebagian lagi sepertinya orang-orang persilatan!"
"Keparat!" Panglima Soka yang telah berada di atas dinding istana, karena meninggalkan Tujuh Pendekar Gunung Harimau bertempur dengan Iblis Gelang Raksasa, memaki penuh kemurkaan. "Berani-beraninya pasukan Kadipaten Bringin memberontak. Akan kupenggal kepala Adipati Menak!"
Sambil berkata demikian Panglima Soka menyipitkan mata untuk dapat melihat sosok yang tengah melesat dengan kecepatan menakjubkan. Kecepatan gerakan Pangeran Antaboga membuat Panglima Soka tak bisa melihatnya dengan jelas.
Seperti yang sudah diperkirakan Pangeran Antaboga, begitu tubuhnya semakin mendekati tembok istana dan telah berada dalam jangkauan luncuran anak panah, prajurit-prajurit kerajaan yang sejak semula telah siap dengan busur terentang segera membidiknya.
Twang, twang, twangngng...!
Puluhan anak panah meluncur ke arahnya, namun tak dipedulikan sedikit pun oleh Pangeran Antaboga. Lelaki jangkung ini hanya mengerahkan tenaga dalamnya. Maka, anak-anak panah yang mendarat di sekujur tubuhnya berpentalan kembali bagai mengenai gumpalan karet keras.
Puluhan prajurit istana, tak terkecuali Panglima Soka, terkejut melihat kenyataan itu. Kendati demikian, para prajurit tetap melepaskan anak-anak panah. Panglima Soka sendiri tak mencegahnya. Baru ketika anak-anak panah kedua runtuh semua dalam keadaan patah ketika membentur tubuh Pangeran Antaboga, Panglima Soka memerintahkan sebagian prajuritnya untuk mengganti senjata dengan golok.
Bertepatan dengan sebagian prajurit itu menghunus golok, Pangeran Antaboga menjejak dinding tembok istana. Seketika itu pula belasan batang golok telanjang menghujani sang pangeran. Pangeran Antaboga hanya mendengus. Tangan dan kakinya digerakkan ke sekitarnya. Bunyi berpatahannya golok-golok pasukan kerajaan ketika membentur sekujur tubuh Pangeran Antaboga terdengar berbarengan dengan jeritan menyayat hati para pemiliknya.
Tubuh-tubuh prajurit yang malang itu pun berjatuhan ke tanah. Nyawa mereka telah melayang ke alam baka sebelum tubuh mereka menimpa tanah. Panglima Soka menggeram keras melihat tewasnya prajurit-prajurit bawahannya. Dan, kegeramannya semakin bertambah ketika melihat tokoh yang mengejutkan itu.
"Pangeran Antaboga...!" desis Panglima Soka seakan tak percaya dengan akan apa yang dilihatnya. Sekarang Panglima Soka baru percaya kalau Pangeran Antaboga benar-benar telah lolos dari tempat pengasingan.
"Syukur kau masih mampu mengenaliku, Soka," dengus Pangeran Antaboga setelah mengirim nyawa lima orang prajurit yang mengeroyoknya dengan kibasan tangan dan kaki. "Kedatanganku kemari di samping ingin melenyapkan raja keparat itu juga untuk membunuh antek-anteknya yang setia seperti kau!"
"Jangan mimpi, Antaboga! kaulah yang akan terkubur di sini!" sergah Panglima Soka. Kemudian dikirimkannya tusukan pedang ke arah leher lelaki jangkung itu.
Serangan Panglima Soka berbahaya bukan main. Ujung pedangnya kelihatan seperti berjumlah belasan ketika meluncur ke arah Pangeran Antaboga. Namun pangeran itu tetap bersikap tenang.
Kreppp!
Panglima Soka hampir tak percaya. Semula panglima tinggi besar ini yakin betul pedangnya akan menembus leher lawan. Tapi dengan gerakan, cepat yang tak bisa diikuti mata, Pangeran Antaboga merendahkan tubuh dengan cara menekuk lututnya. Tusukan pedang yang semula mengarah ke leher jadi menembus mulut.
Dan sebelum ujung pedang melukai tenggorokan, Pangeran Antaboga telah lebih dulu memupusnya dengan menggigitnya! Sekali gigi-gigi itu ditekankan batang pedang Panglima Soka yang terbuat dari baja pilihan patah dua!
Tindakan Pangeran Antaboga tak berhenti hanya sampai di situ. Kepalanya kemudian diegoskan. Akibatnya, potongan pedang Panglima Soka yang berada di giginya melayang ke arah panglima itu dengan kecepatan yang luar biasa tinggi.
Panglima Soka terkejut bukan main. Sebisa-bisanya dia berusaha mengelak. Tapi jarak yang demikian dekat dan kecepatan meluncurnya potongan pedang yang menakjubkan membuat panglima tinggi besar ini tak terlalu berhasil dengan usahanya. Potongan pedang yang semula mengincar jantung jadi menancap di dada kiri atas Panglima Soka.
Tubuh Panglima Soka terjajar ke belakang akibat hunjaman potongan pedang. Namun hal inilah yang menyebabkan nyawa sang panglima lolos dari maut. Pada saat yang bersamaan dengan meluncurnya po-tongan pedang itu Pangeran Antaboga mengirimkan tendangan ke arah pusar. Andaikata mengenai sasaran seluruh isi perut Panglima Soka akan hancur berantakan!
Terjajar tubuh Panglima Soka ke belakang membuat tendangan Pangeran Antaboga mendarat di paha kanan. Itu pun tidak telak. Kendati demikian cukup untuk membuat tubuh Panglima Soka terjengkang ke belakang dengan tulang paha remuk.
Untungnya Panglima Soka memiliki watak keras hati. Tak terdengar sedikit pun keluhan dari mulutnya, kendati rasa sakit yang amat sangat menderadera pahanya. Bahkan panglima tinggi besar ini tak mengeluarkan keluhan kaget meski semangatnya seperti terbang ketika kedua kakinya tak menginjak landasan lagi. Sesaat kemudian, Panglima Soka baru tersadar kalau dia telah terjatuh dari tembok istana.
Pangeran Antaboga bergegas ikut melompat ke bawah. Tapi tubuh Panglima Soka tak dipedulikannya. Panglima Soka pingsan karena luka-luka yang dideritanya terlalu menyakitkan. Dan Pangeran Antaboga tak mengirimkan serangan susulan yang akan membawa sang panglima ke neraka. Tanpa dikirimkan serangan susulan lagi pun nyawa Panglima Soka akan sulit untuk diselamatkan. Luka-luka yang dideritanya terlalu parah!
Bertepatan dengan menjejaknya kedua kaki Pangeran Antaboga di tanah, daun pintu gerbang hancur berantakan dengan diiringi bunyi hiruk-pikuk yang memekakkan telinga. Rupanya rombongan yang dipimpin Pangeran Antaboga berhasil tiba di depan pintu ger-bang dan menghancurkannya. Untuk kedua kalinya daun pintu gerbang kerajaan hancur. Padahal baru beberapa hari yang lalu daun pintu itu hancur berkeping-keping.
Dengan hancurnya daun pintu gerbang rombongan Pangeran Antaboga leluasa masuk ke dalam lingkungan istana. Berbondong-bondong mereka masuk yang segera disambut oleh rombongan pasukan kerajaan. Pertarungan besar-besaran pun terjadi.
Seketika dentang senjata beradu, pekikan-pekikan perang, dan jerit kematian terdengar saling susul. Tubuh-tubuh malang berjatuhan ke tanah dalam keadaan tak bernyawa. Tanah halaman kerajaan pun bersimbah darah.
Pangeran Antaboga tak mempedulikan pertempuran itu. Lelaki jangkung ini merasa dirinya terlampau tinggi untuk mencampuri pertarungan semacam itu. Pertarungan keroco-keroco. Sang pangeran ini melesat cepat menuju bangunan istana raja.
Beberapa kali lelaki jangkung ini terpaksa melemparkan tubuh-tubuh orang yang menghalangi jalannya. Semua itu dilakukan hanya dengan mengibaskan tangan atau kaki. Pangeran Antaboga sama sekali tak ambil peduli kalau rombongannya terdesak hebat.
Rombongan yang terdiri dari campuran pasukan Kadipaten Bringin dan tokoh-tokoh persilatan golongan hitam itu terus didesak mundur ke luar tembok yang melingkari bangunan-bangunan istana. Rombongan Pangeran Antaboga kalah banyak jumlahnya. Karena itu, rombongan ini terdesak hebat!
Rombongan pasukan kerajaan sudah berbesar hati melihat pihak penyerang berhasil mereka desak. Namun kegembiraan itu hanya berlangsung sebentar saja. Perubahan besar-besaran segera terjadi! Gerombolan mayat hidup muncul dan menyerang pihak mereka. Sebuah hal yang aneh. Pihak penyerang tidak mendapatkan serangan mayat-mayat hidup!
Kemunculan makhluk-makhluk menjijikkan itu benar-benar merupakan malapetaka besar bagi pasukan kerajaan. Hanya dalam sekejapan pihak kerajaan ganti terdesak. Jeritan kematian terdengar saling susul di antara mereka.
Pihak penyerang semula ikut menyerang pasukan kerajaan. Tapi sesaat kemudian mereka bertindak se-bagai penonton saja. Rombongan penyerang menyaksikan jalannya pertarungan yang lebih layak disebut pembantaian besar-besaran.
Setapak demi setapak pasukan kerajaan terdesak mundur. Malah ketika korban yang jatuh semakin banyak dan pasukan kerajaan telah putus asa, mereka berbondong-bondong bergerak mundur untuk mencapai tempat di mana jarak lima tombak dari daun pintu gerbang berada. Mereka ingin secepatnya berada di tempat yang aman dari serangan mayat hidup.
Yakin akan keampuhan air bekas rendaman Tom-bak Panca Warna yang dikucurkan mengitari tempat di mana dulu dinding istana terdapat, rombongan pasukan kerajaan berhenti mundur. Mereka semua berdiri menanti tewasnya mayat-mayat hidup dalam jarak satu tombak dari batasan untuk makhluk itu.
Rombongan pasukan kerajaan baru kelabakan ketika mengetahui mayat-mayat hidup terus melangkah maju melewati batas tersebut. Mayat-mayat hidup itu tak mengalami kejadian apa pun ketika melewati batas maut itu. Malah, berbondong-bondong mereka melaluinya tanpa terpengaruh sedikit pun!
Rombongan pasukan kerajaan tak mempunyai pilihan lain kecuali terus bergerak mundur. Yang tak sempat segera melakukan perlawanan semampunya. Korban-korban di pihak kerajaan kembali berjatuhan. Kejadian itu tak luput dari perhatian Prabu Rancamala yang menyaksikannya dari bangunan istana. Belasan pasukan khusus berada di sekeliling raja yang masih terlihat gagah di usianya yang senja itu.
"Apa yang terjadi, Eyang?" tanya Prabu Rancamala tanpa mampu menyembunyikan kecemasan di wajahnya. "Mengapa makhluk-makhluk celaka itu mampu melewati tempat yang telah dikucuri air sakti?"
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," jawab Eyang Santer sambil memberi hormat "Ini berarti Tombak Panca Warna telah tidak berada di lingkungan istana lagi..."
"Maksud Eyang pusaka itu telah dicuri orang?!" tanya Prabu Rancamala.
"Begitulah kira-kira, Gusti Prabu."
"Keparat!" geram Prabu Rancamala penuh kemarahan. Jari-jari tangannya dikepalkan. "Apa kerjanya para prajurit itu?!"
Tak ada yang memberikan tanggapan sama sekali. Tak juga Eyang Santer. Mereka semua khawatir terkena pelampiasan kemarahan Prabu Rancamala yang tengah murka.
"Menyesal dulu kubiarkan anak durhaka Antaboga itu hidup. Kalau ku tahu akan seperti ini jadinya sudah ku hukum mati dia!" geram Prabu Rancamala lagi.
"Entah di mana dia memperoleh ilmu yang mampu membuatnya melakukan hal-hal terkutuk itu!"
Di lain tempat Pangeran Antaboga yang tengah dimaki-maki oleh Prabu Rancamala sedang melesat menuju atas genting, di mana tengah terjadi pertarungan sengit antara Iblis Gelang Raksasa dengan Tujuh Pendekar Gunung Harimau.
Saat itu kedudukan Iblis Gelang Raksasa sangat mengkhawatirkan. Gerakan kakek ini sudah tak sege-sit sebelumnya. Iblis Gelang Raksasa kelelahan karena terus menerus mengadu tenaga dengan lawan-lawannya. Sekujur tubuh datuk sesat ini dibasahi peluh. Gulungan gelang baja yang semula rapat melindungi seluruh tubuhnya kini agak terbuka. Bunyi mengaung yang mengiringi pergerakan gelangnya juga semakin melemah.
Saat itulah Pangeran Antaboga muncul. Lelaki jangkung ini langsung terjun ke dalam kancah pertarungan. Sang pangeran melesat ke tengah-tengah antara Iblis Gelang Raksasa dan ketujuh lawannya. Padahal saat itu tiga batang golok tengah meluncur ke arah Iblis Gelang Raksasa. Dengan melesat masuknya Pangeran Antaboga menjadikan lelaki ini sasaran serangan!
Cap, cap, cappp!
Ujung tiga batang golok mengenai tiga sasaran di tubuh Pangeran Antaboga dengan telak. Kendati menyambar di tiga tempat, tenaga yang terkandung dalam setiap serangan merupakan gabungan tenaga tiga orang. Semula tiga tokoh dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau ini kaget mendapati sesosok bayangan coklat melesat masuk ke dalam kancah pertarungan dan terkena sasaran serangan mereka.
Keterkejutan itu semakin membesar ketika melihat senjata-senjata mereka tak mampu menembus tubuh Pangeran Antaboga! Golok-golok itu hanya menembus pakaian sang pange-ran tapi tak bisa melukai kulit. Mereka berusaha un-tuk menarik senjatanya. Ternyata hal itu tak mampu mereka lakukan. Senjata itu seakan-akan telah bersatu dengan tubuh Pangeran Antaboga.
Di saat tokoh-tokoh dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau berusaha keras menarik pulang senjatanya, Pangeran Antaboga meludah tiga kali! Tiga gumpalan cairan kental yang menjijikkan pun meluncur ke arah dahi masing-masing tokoh golongan putih itu.
Ketiganya kelihatan terperanjat. Serangan ludah itu amat berbahaya. Terkena telak akan membuat dahi berlubang yang mengakibatkan nyawa mereka melayang ke alam baka. Dengan hati terpaksa golok-golok di tangan pun dilepaskan. Hampir berbarengan ketiganya merendahkan tubuh sehingga serangan yang menjijikkan itu lewat di atas kepala.
Pangeran Antaboga memang menunggu-nunggu saat ini! Serangan dengan ludahnya itu hanya sekadar tipuan belaka. Dan, serangan yang sesungguhnya adalah tendangan kaki kanan bertubi-tubi ke arah perut ketiga lawannya.
Des, des, desss!
Tiga kali berturut-turut tendangan Pangeran Anta-boga mendarat di sasaran. Seketika tubuh tiga pendekar yang malang itu terjengkang ke belakang dengan darah menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinga mereka, Di saat tubuh pendekar-pendekar itu melayang, nyawanya pun melayang!
Empat dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau yang tersisa terkejut bukan main melihat hal ini Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat, sehingga mereka tak sempat bertindak untuk membantu. Kemarahan terhadap Pangeran Antaboga pun menyeruak.
Dengan diiringi teriakan nyaring membahana mereka menerjang sang pangeran. Golok-golok di tangan empat tokoh golongan putih itu lenyap bentuk-nya menjadi gulungan sinar menyilaukan mata yang mengancam keselamatan Pangeran Antaboga.
Tapi sebelum serangan empat dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau mengenai sasaran, dari belakang Iblis Gelang Raksasa telah mengirimkan serangan dengan ayunan gelang bajanya ke arah kepala Pangeran Antaboga! Sang pangeran terkejut bukan main mendengar deru angin keras dari arah belakangnya. Dalam sekejapan benaknya memberitahukan akan adanya bahaya maut. Buru-buru tubuhnya direndahkan.
Saat serangan gelang baja Iblis Gelang Raksasa lewat jauh di atas kepalanya, serangan golok-golok empat dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau meluncur tiba. Pangeran Antaboga melesat cepat dengan mempergunakan tangan dan kaki melalui bawah para pe-nyerangnya. Pangeran itu seperti telah berubah menjadi binatang berkaki empat.
Tindakan Pangeran Antaboga membuatnya berada di belakang lawan-lawannya. Dan sebagai akibatnya, Iblis Gelang Raksasa yang mendapatkan serangan lawan-lawan Pangeran Antaboga. Iblis Gelang Raksasa yang tak mempunyai kesempatan mengelak segera menangkis dengan senjata andalan.
Trangng!
Dentang beradunya dua macam senjata yang diiku-ti berpercikannya bunga api mengiringi terhuyungnya tubuh Iblis Gelang Raksasa. Kakek berpakaian indah ini masih sempat mengirimkan pukulan jarak jauh dengan tangan kirinya.
Serangan yang mendatangkan deru angin kuat itu membuat empat pendekar dari Tujuh Pendekar Gu-nung Harimau yang tengah berada di udara tak kuasa untuk bertahan. Mereka tak terluka. Tapi, ketika menjejak tanah tubuh mereka limbung.
Di saat itulah Pangeran Antaboga mencabut pedang yang selama ini tergantung di pinggang dan tak pernah digunakan. Begitu dicabut pedang itu langsung dikelebatkan. Tak terlihat bentuk pedang itu. Hanya seleret sinar menyilaukan mata yang melesat. Sesaat kemudian, empat dari Tujuh Pendekar Gunung Hari-mau yang tersisa memekik meregang maut sebelum ambruk ke tanah.
Di punggung empat tokoh golongan putih yang malang itu tampak guratan memanjang yang mengalirkan darah. Pangeran Antaboga sendiri telah menyimpan pedangnya kembali. Pangeran Antaboga menatap Iblis Gelang Raksasa dengan sorot tajam. Sinar sepasang matanya maupun raut wajahnya demikian dingin.
Meski merasa gentar, namun karena kemarahan yang melanda hati mengingat Pangeran Antaboga telah menjebaknya, Iblis Gelang Raksasa balas menatap. Dua pasang mata tajam mencorong penuh tenaga dalam kuat saling beradu.
"Rupanya kau benar-benar bermaksud untuk bermusuhan denganku, Iblis Gelang?!" rungut Pangeran Antaboga, datar dan dingin suaranya. "Apakah kau te-lah mempunyai andalan yang dapat kau pergunakan untuk melawanku?"
"Cuhhh!" Iblis Gelang Raksasa malah membuang ludah dengan pandang mata penuh tantangan.
Sikap Iblis Gelang Raksasa membuat kemarahan Pangeran Antaboga semakin menjadi-jadi. Namun pangeran ini masih mampu menahan diri karena masih mempunyai kepentingan terhadap datuk kaum sesat itu.
"Aku masih mempunyai persediaan kesabaran, Iblis Gelang. Maka, tindakanmu sekarang dan juga yang tadi ku maafkan. Kau bukan termasuk musuhku. Apalagi kau telah memenuhi janji untuk menyatroni istana ini dan mengambil Tombak Panca Warna. Kau termasuk rekan ku pula. Kita sahabat, Iblis Gelang. Karena itu agar tak merusak persahabatan kita, kuharap kau bersedia memberikan Tombak Panca Warna kepadaku!"
"Tak usah bermanis mulut di depanku, Antaboga!" sentak Iblis Gelang Raksasa dengan nada tinggi. "Kuakui kau memiliki kemampuan dahsyat. Tapi itu tak berarti kau dapat mempermainkan diriku. Majulah, Keparat! Penghinaan yang kau timpakan padaku hanya dapat ditebus dengan nyawamu!"
Pangeran Antaboga menggertakkan gigi mendapat sambutan pedas. Kemarahan semakin membakar hatinya. Tapi, besarnya kemarahan itu masih kalah dengan rasa heran dan bingung mendengar ucapan Iblis Gelang Raksasa. Itulah sebabnya Pangeran Antaboga masih bisa bersabar.
"Apa maksudmu, Iblis Gelang? Aku benar-benar tidak mengerti."
"Tidak mengerti?!" ulang Iblis Gelang Raksasa dengan suara semakin meninggi. Sepasang matanya membelalak lebar bagaikan hendak melompat keluar. "Rupanya kau masih mencoba untuk terus berpura-pura, Boga! Baiklah ku jelaskan agar kau tak menyangka aku demikian bodoh. Permintaanmu untuk mengambil Tombak Panca Warna hanya merupakan sebuah jebakan?! Kau tak usah mungkir. Yang tahu masalah ini hanya kau, aku dan sedikit anak buahku. Tapi kenyataannya begitu aku tiba di sini langsung dikepung. Kalau tak beruntung mungkin nyawaku telah melayang. Nah, dari mana pasukan kerajaan tahu aku akan menyatroni tempat ini kalau bukan darimu?!"
"Jaga mulutmu, Iblis Gelang!" bentak Pangeran Antaboga murka mendengar tuduhan keji yang dialamatkan padanya. "Untuk apa aku melakukan hal itu? Membunuhmu dengan tangan sendiri pun tidak sulit. Untuk apa aku meminjam tangan keroco-keroco untuk menghabisi nyawamu? Kau saja yang terlalu bodoh sehingga keroco-keroco mengetahui kedatanganmu!"
Iblis Gelang Raksasa menatap Pangeran Antaboga lekat-lekat, dicobanya melihat kesungguhan lelaki jangkung itu melalui mata dan wajahnya. Pangeran Antaboga balas menatap. Iblis Gelang Raksasa menjadi bingung. Dilihatnya ada kesungguhan baik dalam ucapan maupun sikap Pangeran Antaboga.
"Kalau bukan kau yang membocorkan hal ini, siapa lagi?" ujar Iblis Gelang Raksasa dengan suara melunak. Nada ucapannya penuh pembelaan terhadap diri sendiri.
"Kau yakin bukan anak buahmu?" tanya Pangeran Antaboga meminta kepastian.
Iblis Gelang Raksasa mengangguk dengan pasti.
"Berarti ada orang lain yang mengetahui hal ini," sambut Pangeran Antaboga. "Tapi itu tak penting. Bagaimana dengan Tombak Panca Warna itu? Berhasil kau dapatkan?"
"Bagaimana mungkin aku mendapatkan pusaka itu kalau sebelum tiba di tempatnya aku telah dikepung oleh orang-orang kerajaan!" bantah Iblis Gelang Raksasa memberikan alasan kegagalannya.
"Berarti kau belum ke tempat pusaka itu?!" Pangeran Antaboga meminta penegasan dengan sorot mata lain.
Iblis Gelang Raksasa mengangguk. Tanpa membuang-buang waktu Pangeran Antaboga melesat ke arah puncak genting. Hanya sesaat saja dia di sana, dan kemudian kembali dengan sikap bingung yang tak tersembunyikan.
Tanpa diberi penjelasan pun Iblis Gelang Raksasa telah bisa menduga kalau Pangeran Antaboga tak berhasil mendapatkan pusaka yang diinginkannya. Kakek berpakaian indah itu pun lalu diam membisu.
"Benar kau belum mengambil Tombak Panca Warna itu, Iblis Gelang?!" tanya Pangeran Antaboga den-gan nada ucapan yang mengandung ancaman.
"Apakah perlu aku bersumpah, Antaboga?" Iblis Gelang Raksasa malah balas mengajukan pertanyaan.
Pangeran Antaboga tak memberikan jawaban. Dia merasa Iblis Gelang Raksasa tak berbohong dengan ucapannya. "Berarti ada orang ketiga yang mengetahui hal ini," desis Pangeran Antaboga penuh perasaan geram. "Orang itu pula yang menyebabkan kau seperti terjebak, Iblis Gelang? Dan... orang itu pula yang telah mengambil Tombak Panca Warna! Keparat! Pengecut hina itu akan menyesali perbuatannya!"
Iblis Gelang Raksasa tak memberikan sambutan sama sekali. Dia tak terlalu memusingkan masalah ada atau tidaknya Tombak Panca Warna. Karena dia pribadi tak membutuhkan pusaka itu. Sorak-sorai kemenangan dari bawah menyadarkan Pangeran Antaboga kalau dirinya masih mempunyai urusan penting. Tanpa mempedulikan Iblis Gelang Raksasa dilayangkan pandangannya ke bawah.
Wajah sang pangeran tampak membiaskan keterkejutan yang sangat. Pandangannya tertumbuk pada gerombolan mayat hidup yang melesat berbondong-bondong meninggalkan halaman istana. Di pinggir bergerombolan rombongan yang dipimpinnya, bersorak-sorak memekikkan kemenangan dan kegembiraan.
Pangeran Antaboga melesat ke bawah. Dalam hati dimaki dirinya sendiri yang telah melupakan segala hal karena terlalu memikirkan Tombak Panca Warna. Begitu menjejak tanah Pangeran Antaboga langsung melayangkan pandangan ke sekelilingnya. Tak terlihat lagi pasukan kerajaan. Yang tampak di sana-sini dan di dalam bangunan hanya rombongannya.
"Ke mana raja keparat itu?!" tanya Pangeran Antaboga pada seorang anggota rombongannya.
"Mereka semua melarikan diri melalui jalan rahasia, Gusti Pangeran," jawab yang ditanya.
"Keparat!" Pangeran Antaboga memukulkan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kirinya. Kelihatan jelas pangeran itu merasa geram dan kecewa dengan kegagalannya. Beberapa kali ditariknya napas panjang untuk menenangkan hati. "Tak mengapa. Kelak pun masih ada kesempatan untuk melenyapkan nyawa raja jahanam itu," gumam Pangeran Antaboga pelan. "Tapi benarkah apa yang kulihat tadi? Mayat-mayat hidup meninggalkan tempat ini?" tanya sang pangeran ketika teringat lagi dengan pemandangan yang menimbulkan keterkejutan di hatinya.
"Benar, Gusti Pangeran. Bahkan mayat-mayat hidup itu membantu kami memerangi pasukan kerajaan. Tanpa adanya bantuan makhluk-makhluk itu kami akan dapat dilumpuhkan pasukan raja lalim itu!" jawab orang yang ditanya.
Pangeran Antaboga mengernyitkan kening. Dia memang memiliki kemampuan untuk membangunkan mayat-mayat dan memerintahkannya melakukan perbuatan yang dikehendakinya. Tapi tidak kali ini! Pangeran Antaboga baru melakukannya dua kali. Pertama, mayat-mayat itu dibangunkan untuk mencegah kedatangan rombongan Panglima Soka untuk menemuinya. Yang kedua, sewaktu menyerbu kerajaan sebagai uji coba kekuatan bala tentara Prabu Rancamala sebelum serangan sesungguhnya dilancarkan.
"Mungkinkah mayat-mayat hidup itu bangkit sendiri lalu melancarkan penyerangan?" tanya hati Pangeran Antaboga, bingung.
Tapi setelah tidak menemukan jawabannya cukup lama, Pangeran Antaboga melupakannya. Yang memenuhi benaknya sekarang adalah perasaan gembira karena telah berhasil memenuhi sebagian keinginannya, merebut kerajaan!
"Relakanlah kepergiannya, Wati. Semua kejadian yang ada di muka bumi ini atas kehendak Hyang Widhi. Ayahmu tewas pun demikian. Kalau kau terus-menerus terlibat kesedihan seperti ini, sama saja artinya kau tak setuju dengan keputusan Hyang Widhi. Itu tak baik, Wati"
Ucapan yang sarat dengan nasihat itu dikeluarkan Arya. Saat itu dia tengah berdiri di belakang seorang gadis yang duduk bersimpuh di depan sebuah kuburan. Gadis itu adalah Kusumawati.
"Aku akan dapat menerima kepedihan ini dengan lapang dada kalau tidak demikian bertubi-tubi, Dewa Arak," timpal Kusumawati. "Bagaimana mungkin aku tak akan terpukul menerimanya. Baru saja Kak Angruna lenyap, telah muncul lagi musibah lain. Ayahku tewas secara demikian mengerikan. Melihat keadaan mayatnya, pasti beliau direncah-rencah oleh mayat-mayat hidup jahanam itu! Terkutuk! Akan ku basmi orang yang telah menggerakkan makhluk-makhluk jahanam itu!"
Arya hanya menggelengkan kepala melihat sikap Kusumawati. Di lubuk hatinya pemuda ini tak bisa menyalahkan gadis itu. Arya bisa merasakan kepedi-han hatinya. Tewasnya sang ayah saja sebenarnya sudah memukul perasaan. Apalagi tewasnya Sanggara dengan cara yang mengenaskan. Tubuh ayah Kusu-mawati itu cerai-berai seperti dikoyak-koyak binatang buas.
"Sekarang dengan siapa aku harus tinggal, Dewa Arak? Ayahku tak mempunyai kenalan lagi. Apakah aku boleh ikut bersamamu merantau," tanya Kusu-mawati setelah membalikkan tubuh dan berdiri menatap wajah Arya lekat-lekat. Sinar mata gadis ini terlihat penuh harapan.
Arya jadi kebingungan. Bagaimana mungkin per-mintaan Kusumawati bisa diterimanya. Kusumawati adalah seorang gadis. Akan tak baik akibatnya apabila ikut bersamanya merantau. Apa tanggapan Melati nanti? Tapi untuk menolak terang-terangan Arya tak bera-ni. Pemuda ini takut Kusumawati akan tersinggung dan semakin larut dalam kesedihan.
"Kita lihat saja nanti, Wati," jawab Arya setelah mempertimbangkannya sejenak. "Pada pokoknya aku setuju saja kau ikut bersamaku merantau. Lagi pula saat ini pun kita tengah bersama-sama merantau untuk mencari jejak kakakmu yang lenyap dan mencari siapa yang menjadi penyebab timbulnya tanda aneh di langit. Bukankah demikian?"
Kusumawati mengangguk-anggukkan kepala. Ala-san yang diajukan Arya bisa diterimanya. Bagi gadis ini, asal Arya sudah setuju dia merasa sangat senang.
"Ssst...! Aku mendengar banyak langkah kaki men-dekati tempat ini, Wati. Bersembunyilah dulu," beritahu Arya dengan suara lirih ketika dilihatnya Kusumawati hendak berbicara lagi.
Kusumawati menahan ucapan yang hendak dikeluarkannya. Dia bergegas berlindung di balik gundukan batu yang cukup banyak berada di tempat itu. Arya pun melakukan hal yang sama. Dari celah-celah yang ada pasangan muda-mudi ini mengintai ke arah asal suara.
Kusumawati yang belum mendengar bunyi yang dimaksud Dewa Arak hanya mengikuti ke mana pemuda itu mengarahkan pandangan. Sepasang mata Arya ternyata dilayangkan ke arah lubang sebuah gua yang tadi berada di belakang mereka.
Sebentar kemudian Kusumawati pun mendengar bunyi langkah yang tadi didengar Arya. Gadis ini semakin bertambah kagum. Kenyataan ini menunjukkan ketinggian ilmu pemuda berambut putih keperakan itu. Dengan hati berdebar tegang karena perasaan ingin tahu, Kusumawati menunggu.
Tak lama kemudian penyebab suara itu terlihat muncul di depan gua. Sebagian besar adalah lelaki-lelaki gagah dan kekar terbungkus pakaian kerajaan. Seragam itu sama dengan seragam yang dikenakan rombongan yang dipimpin Panglima Soka dan Panglima Gardika. Rombongan yang diserbu oleh gerombolan mayat hidup!
Dugaan Kusumawati memang tak keliru. Rombon-gan itu adalah pasukan kerajaan yang mengawal Prabu Rancamala menyelamatkan diri. Di antara mereka terdapat Eyang Santer.
"Kurasa tempat ini cocok untuk beristirahat. Aku sangat lelah sekali," ujar Prabu Rancamala yang wa-jahnya sudah dibasahi peluh.
Seketika itu pula rombongan pasukan khusus be-kerja. Dengan gerak cepat mereka membersihkan tempat itu dan menyediakan hal-hal yang pantas untuk menyenangkan junjungan mereka.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Eyang?" tanya Prabu Rancamala. Raja yang kelelahan ini kelihatan mengantuk. Beliau duduk bersandar dengan dikipasi dua anggota pasukan khususnya.
"Ampun, Gusti Prabu," sembah Eyang Santer. "Menurut hemat hamba, yang penting sekarang adalah kita beristirahat dulu. Dengan perut yang kenyang akan mudah dan enak bagi kita untuk berpikir."
Wajah Prabu Rancamala kelihatan berseri. Sebuah usul yang amat bagus, pikirnya. Saat ini dia memang tengah lapar. Namun, perasaan takut yang besar akan kehilangan nyawa membuat Prabu Rancamala seperti lupa dengan hal itu. Dia baru teringat kembali ketika diingatkan.
Prabu Rancamala dengan suara keras segera memerintahkan semua prajuritnya untuk mencari makanan yang enak-enak. Yang disuruhnya tinggal hanya dua orang, itu pun yang bertugas mengipasi tubuhnya.
"Sambil kita menunggu makanan tiba tak ada salahnya kalau perbincangan dilanjutkan, Eyang."
"Benar, Gusti Prabu. Tambahan lagi hamba memang hendak membicarakan sesuatu. Hanya hamba masih ragu."
"Mengapa mesti ragu? Apa yang harus diragukan? Katakan saja, Eyang!" timpal Prabu Rancamala.
"Baiklah kalau begitu, Gusti Prabu," Eyang Santer seperti terpaksa. menyerah. "Sebenarnya sudah lama hamba hendak membicarakan hal ini. Sesungguhnya hamba... maksudku, aku ingin membunuhmu, Raja Keparat!"
Prabu Rancamala sampai terjingkat kaget mendengar ucapan itu. Dua pengawal khususnya pun tersentak. Serentak keduanya maju ke depan dua langkah sehingga berada di kanan dan kiri sang raja. Sikap mereka terlihat demikian melindungi.
"Perlu kuberitahukan padamu, Raja Kejam! Ingatkah kau akan peristiwa pemberontakan Pangeran Antaboga dan aku memintamu untuk membebaskan seorang pemuda dari hukuman mati? Pemuda yang menjadi anak buah pangeran itu kukatakan amat menarik hatiku. Ketahuilah, pemuda itu adalah cucuku! Ayah dari pemuda itu adalah menantuku. Kau tak akan mengenal anakku karena aku telah terpisah dengannya sebelum mengabdi kepadamu!"
Prabu Rancamala tak berkata apa pun selain menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap bingung. Dua pengawal khususnya telah mencabut senjata masing-masing untuk menghadapi serangan tak terduga Eyang Santer.
"Aku dendam sekali akan kejadian itu! Kalau saja dulu aku berani mengutarakan hal ini, aku khawatir kedudukanku akan dicopot dan ikut kau hukum mati sebagai seorang pemberontak. Maka meski sakit hati aku mampu meredamnya."
Eyang Santer menghentikan ucapannya sebentar untuk menelan liur, membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Sakit hati yang berhasil kutekan semakin menyakitkan ketika ku tahu anakku meninggal karena menanggung kesedihan besar akibat tewasnya anaknya. Aku sudah mulai berpikir untuk membunuhmu. Tapi, sayang aku masih khawatir mati sebagai seorang pemberontak. Aku ingin hidup terhormat. Maka, kubuang jauh-jauh lagi pikiran itu!"
Prabu Rancamala hanya diam. Raja ini terlalu kaget mendengar berita yang didapatnya.
"Tapi sekarang kau bukan lagi seorang Raja! Jadi, aku tak mempunyai harapan apa pun lagi jika tetap menjadi orangmu! Kau harus mati, Raja Lalim!"
Setelah berkata demikian, Eyang Santer menyerang Prabu Rancamala. Kedua tangannya dipukulkan bertubi-tubi berupa pukulan kanan dan kiri ke arah dada orang nomor satu dalam kerajaan itu.
Dua orang anggota pasukan khusus tak tinggal diam. Mereka segera bergerak maju dan memapaki datangnya serbuan. Tapi hanya dengan kibasan kedua tangannya Eyang Santer berhasil membuat kedua pengawal itu terpental ke kanan dan kiri. Prabu Rancamala terperanjat melihat kenyataan ini. Sementara Eyang Santer melangkah lambat-lambat menghampirinya. Kakek ini kembali mengirimkan serangan ketika jaraknya telah dekat.
Dewa Arak tak bisa tinggal diam lagi. Dari perbincangan yang ditangkapnya bisa diketahui kalau Eyang Santer bukan orang baik-baik. Kendati Prabu Rancamala sendiri belum tentu merupakan raja yang baik, tapi Dewa Arak lebih condong terhadap sang raja. Arya bergegas melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Pemuda ini langsung memapaki serangan Eyang Santer.
Plak, plak, plakkk!
Bunyi benturan berkali-kali terdengar ketika puku-lan Eyang Santer berhasil ditangkis Dewa Arak. Tubuh kakek itu terjengkang ke belakang dan terbanting di tanah. Untung baginya Dewa Arak tak ingin mencelakainya. Papakan yang dikirimkannya hanya untuk melumpuhkan serangan Eyang Santer.
Begitu berhasil bangkit Eyang Santer membelalakkan mata melihat Dewa Arak. Kakek ini sadar seorang tokoh hebat telah datang untuk menolong Prabu Rancamala. Dan dirinya bukan tandingan pemuda itu.
Setelah melempar pandang sebentar pada Dewa Arak, Eyang Santer menggigit lidahnya sendiri sampai putus. Wajah kakek itu memperlihatkan kenyerian yang besar. Darah tampak mengalir keluar dari mulutnya.
Dewa Arak terperanjat bukan main melihat tindakan yang diambil Eyang Santer. Nyawa kakek itu tak akan bisa diselamatkan lagi. Arya tak mengerti mengapa Eyang Santer membunuh diri? Padahal, dia tak berniat membunuh kakek berjenggot panjang ini.
Dewa Arak tak tahu kalau Eyang Santer mempunyai pendirian aneh. Dari pada terbunuh orang lain, Eyang Santer lebih suka mati di tangan sendiri, membunuh diri! Dewa Arak menghambur ke arah si kakek. Tapi sebelum pemuda berambut putih keperakan ini berhasil menyentuh tubuh Eyang Santer, kakek itu ambruk di tanah dan diam tak bergerak lagi.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Kalau tak ada dirimu mungkin saat ini nyawaku telah melayang ke alam baka. Boleh ku tahu nama atau julukanmu?" tanya Prabu Rancamala penuh rasa terima kasih dan gembira. Sambil berkata demikian Prabu Rancamala melangkah menghampiri Dewa Arak.
"Lupakanlah, Gusti Prabu. Hanya sebuah pertolongan kecil yang tak ada artinya. O ya, namaku Arya Bu-ana. Panggil saja, Arya," ujar Arya memperkenalkan di-ri tanpa menyebutkan julukannya.
"Dan aku Kusumawati, Gusti Prabu," sambung sebuah suara yang melesat dari balik gundukan batu.
Prabu Rancamala menoleh lalu tertawa bergelak. Raja ini merasa geli melihat tingkah Kusumawati. "Kalian adalah pasangan pendekar muda yang sama-sama cakapnya. Senang bertemu kalian di sini."
"Kami pun senang bertemu dengan Gusti Prabu. Entah apa gerangan keperluan Gusti Prabu di tempat ini. Berburukah?" tanya Arya ingin tahu.
Wajah Prabu Rancamala jadi tertutup mendung kedukaan. Tentu saja Arya dan Kusumawati terperanjat melihatnya. Sebenarnya, ucapan yang didengar dari Eyang Santer sedikit membuat Arya bisa memperkirakan apa yang terjadi. Namun untuk kepastiannya pertanyaan itu diajukan juga.
"Malapetaka besar menimpa kerajaan kami, Arya, Wati," beritahu Prabu Rancamala dengan suara sendu.
Kemudian secara singkat diceritakannya semua yang menimpa kerajaan akibat ulah Pangeran Antaboga. Dewa Arak dan Kusumawati mendengarkan dengan penuh perhatian. Tak sekali pun pasangan pendekar muda ini menyela cerita.
"Berbahaya sekali...!" cetus Arya ketika Prabu Rancamala telah selesai bercerita. "Lalu, apa tindakan yang akan Gusti Prabu lakukan?"
"Entahlah," jawab Prabu Rancamala sambil menggeleng.
"Menurut pendapat hamba, kita minta bantuan pada kerajaan tetangga. Kita serbu kembali para pemberontak itu," usul Kusumawati. "Hamba yakin Pangeran Antabogalah yang menjadi sumber kekacauan selama ini. Maksudku, kau ingat perkataan Kakek Setyaki, Dewa Arak?" tanyanya kemudian pada Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu mengangguk. Ketika dia akan memberikan jawaban, sebuah suara lain mendahuluinya.
"Tapi sebelum mereka menyerbu, agar tak ada lagi mayat hidup yang mengganggu dan ikut campur dalam pertempuran, setiap prajurit harus mendapatkan kucuran air ini!"
Prabu Rancamala, Dewa Arak, dan Kusumawati menolehkan kepala ke arah asal suara. Mereka melihat dua sosok tubuh berjalan menghampiri. Dua sosok yang masih berjarak sepuluh tombak.
Sosok yang pertama seorang kakek berkepala bo-tak dan bertelanjang baju. Hanya sepotong celana pendek membungkus bagian bawah tubuhnya. Kusu-mawati dan Dewa Arak terkejut bercampur gembira. Kakek inilah yang dimaksud Setyaki.
Sosok kedua tak dikenal Arya. Dia seorang pemuda. Tapi tidak demikian halnya dengan Kusumawati. Wajah gadis ini terlihat menyiratkan kegembiraan yang sangat. Bahkan, seruan kegembiraan terlontar dari mulutnya.
"Kak Angruna...!" seru Kusumawati dalam luapan kegembiraan yang besar.
"Kusumawati...!" panggil Angruna tak kalah keras.
Kakak beradik ini berlari menghambur dengan kedua tangan terkembang. Sebentar kemudian tubuh keduanya telah saling berangkulan.
"Syukurlah kau selamat, Kak Angruna. Aku sangat gelisah sekali. Kupikir kau telah...," Kusumawati menghentikan ucapannya di tengah jalan.
"Kakek yang bersamaku ini telah menolongku sebelum mayat-mayat hidup mencelakai ku, Kusumawati," beritahu Angruna.
"Bagaimana kau bisa sampai kemari? Apakah hanya kebetulan saja?" tanya Kusumawati.
"Tidak, Wati," Angruna menggeleng. "Kakek Setyaki yang memberitahukan kami. Beliau berhasil menemui kami karena tanda yang telah diberikannya pada kita berdua. Kau ingat kan, Wati?"
Kusumawati mengangguk.
"Kau mengenal benda ini, Gusti Prabu," tanya kakek botak pada Prabu Rancamala. Gaya bicaranya seperti berbincang-bincang dengan seorang kawan yang setingkatan.
Prabu Rancamala memperhatikan benda yang diangsurkan kakek botak. Sebuah benda yang aneh karena berbentuk bintang persegi lima. Ujung-ujungnya mirip tombak kecil. Panjang tiap sisi tak kurang dari dua jengkal.
"Aku tak pernah melihat benda seperti ini," jawab Prabu Rancamala setelah memperhatikan beberapa saat lamanya.
"Sekarang lihatlah lagi dengan kau kerahkan sedikit tenaga dalam, Gusti Prabu," ucap kakek botak lagi.
"Ah...!" Seruan kaget itu bukan hanya keluar dari mulut Prabu Rancamala, tapi juga Dewa Arak. Tiap-tiap segi pada benda berbentuk segi lima itu memancarkan warna yang berbeda. Merah, kuning, hijau, biru, dan putih. Lima macam warna.
"Apakah itu Tombak Panca Warna?!" tanya Prabu Rancamala ketika teringat akan senjata pusaka kerajaan yang telah lenyap.
"Benar, Gusti Prabu. Aku mengambilnya sebelum Pangeran Antaboga atau tokoh lainnya yang bersembunyi di balik Pangeran Antaboga mencurinya. Aku tahu, keduanya bermaksud mengambilnya. Jatuhnya Tombak Panca Warna ke tangan salah satu di antara mereka berarti malapetaka besar bagi dunia persilatan," jelas kakek botak.
Dewa Arak dan Prabu Rancamala hanya mendengarkan semua keterangan kakek botak dengan sikap takjub.
"Tombak Panca Warna ini akan ku rendam air dan ku kucurkan pada setiap prajurit. Kemudian, kita serbu kerajaan. Dengan kemukjizatan air rendaman tombak ini mayat-mayat hidup tak akan berarti apa pun. Nah, kau laksanakan penjelasanku tadi, Dewa Arak!"
Kakek botak melemparkan tombak itu pada Arya, yang segera menangkapnya. Tapi, raut wajah Arya menyiratkan keheranan. "Mengapa harus aku, Kek?"
"Karena kaulah yang memiliki kepandaian setingkat dengan iblis-iblis penyebar bencana itu. Tak ada lagi orang lain," jelas kakek botak tak sabaran.
Arya tak memberikan tanggapan lagi. Prabu Rancamala termangu. "Jadi, inikah tokoh yang berjuluk Dewa Arak?" tanya raja ini dalam hati.
Bantuan kerajaan tetangga, tokoh-tokoh persilatan aliran putih, dan sisa-sisa prajurit kerajaan cukup untuk membuat pasukan yang dipimpin Prabu Rancamala menjadi besar. Berbondong-bondong mereka menuju istana kerajaan.
Kedatangan rombongan penyerbu ini segera diketahui oleh pasukan Kadipaten Bringin yang telah menguasai kerajaan. Anak-anak panah pun berhamburan bagaikan hujan ke arah rombongan pasukan penyerbu. Tapi rombongan yang dipimpin Prabu Rancamala memang telah bersiap sedia. Tameng-tameng yang mereka bawa segera dipergunakan untuk memapaki hujan anak panah.
Dengan adanya tameng itu serangan anak panah pasukan Kadipaten Bringin kandas. Pasukan kerajaan terus meluruk maju. Pertempuran besar-besaran pun terjadi ketika pintu gerbang berhasil didobrak Dewa Arak.
Suasana siang yang semula hening dipecahkan oleh teriakan-teriakan kemarahan, jerit kesakitan, dan dentang senjata beradu. Darah mengalir membasahi tanah seiring dengan robohnya beberapa sosok tubuh.
Pertempuran yang terjadi berlangsung sengit. Sebagian besar memiliki kemampuan berimbang. Itu terjadi karena masing-masing diri memilih lawan yang seimbang. Hanya Iblis Gelang Raksasa seorang yang bertarung bagai orang mencabuti rumput. Ke mana pun tangan atau kakinya bergerak akan ada sesosok tubuh jatuh tak bernyawa lagi.
Dewa Arak yang melihat hal ini tak bisa tinggal diam. Pemuda ini menerobos kerumunan orang-orang yang sedang bertempur untuk menghampiri Iblis Gelang Raksasa. Dan ketika kedua tokoh itu telah dekat, pertarungan pun tak bisa dicegah lagi.
Senjata Iblis Gelang Raksasa memang hebat bukan main. Apalagi di tangan seorang tokoh seperti datuk sesat ini. Gelang itu dapat diperlakukan semaunya. Tapi, lawan yang dihadapi datuk sesat itu adalah Dewa Arak. Dengan gucinya pemuda ini mampu mengimbangi lawan, dan bahkan mengirimkan serangan tak kalah dahsyat.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Sampai em-pat puluh jurus jalannya pertarungan masih berlang-sung imbang. Kedua belah pihak saling serang dan tangkis. Tapi ketika menginjak jurus keenam puluh, Iblis Gelang Raksasa harus mengakui keunggulan lawannya. Perlahan-lahan Dewa Arak mampu mendesak. Arya mempergunakan kedua tangan, guci, dan semburan arak dari mulutnya. Dipadu dengan ilmu 'Belalang Sakti' yang aneh serta jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang ajaib.
"Haaat!"
Di saat Iblis Gelang Raksasa menyorongkan gelang dengan kedua tangan pada dada Dewa Arak, pemuda itu melompat ke atas dan mengirimkan tendangan ke arah dada.
Desss!
"Aaakh...!" Iblis Gelang Raksasa meraung memilukan hati. Tendangan Dewa Arak secara telak mengenai dadanya. Tubuh datuk sesat ini melayang jauh ke belakang. Darah menyembur dari mulut, hidung, dan kedua telinganya. Saat itu juga nyawa Iblis Gelang Raksasa melawat ke akhirat. Tulang-tulang dadanya hancur berantakan!
Dewa Arak tak peduli pada Iblis Gelang Raksasa. Pemuda ini segera melesat ke atas genting dan meletakkan Tombak Panca Warna di tempat semula. Terdengar raungan laksana puluhan ekor macan terluka dari dalam bangunan istana. Sesaat kemudian sesosok tubuh melesat keluar dengan kecepatan luar biasa. Sekujur tubuhnya diselimuti kobaran api. Meski begitu orang mengenalinya sebagai sosok Pangeran Antaboga!
Baru beberapa tombak melalui anak tangga istana yang paling bawah, terdengar bunyi letupan keras, disusul dengan hancurnya tubuh Pangeran Antaboga. Seulas senyum tersungging di mulut Dewa Arak. Dia tak merasa heran melihat kejadian aneh itu. Kakek botak telah memberitahukannya. Rupanya, Kakek Setyaki bersama-sama dengan kakek botak telah berhasil mengungkapkan rahasia tanda aneh di langit.
Tanda itu muncul karena sebuah lorong yang menghubungkan alam gaib dan alam nyata terbuka. Sebenarnya hal ini sering terjadi. Tapi, tanda itu muncul karena adanya keinginan seorang manusia, Pangeran Antaboga. Melalui lorong itu dia meninggalkan alam gaib dengan membawa ilmu dari alam itu. Dua tahun yang lalu sang pangeran terjerumus ke sana secara tak sengaja.
Arya kemudian mengalihkan perhatian pada pertarungan yang berlangsung. Keadaan sudah dikuasai oleh pasukan kerajaan di bawah pimpinan Prabu Rancamala. Kemenangan yang akan dipetik hanya tinggal menunggu waktu saja. Angruna dan Kusumawati berlaga dengan penuh semangat. Mereka seperti berlomba untuk merobohkan lawan sebanyak-banyaknya.
Arya tersenyum lagi ketika teringat akan maksud Kusumawati. Munculnya Angruna membuat gadis itu tak mempunyai alasan untuk berpetualang dengannya. Arya merasa lega. Dia lebih suka bertualang dengan Melati.
"Bagaimana kabar Melati sekarang?" tanya pemuda ini dalam hati dengan rasa rindu yang menggebu-gebu.
Dengan benak masih membayangkan Melati, Dewa Arak melangkah meninggalkan tempat itu. Tak sampai lima puluh tombak melangkah, kegaduhan yang terdengar sejak tadi telah sirna. Kini yang terdengar hanya pekik kemenangan dari pihak kerajaan.
Di antara kegaduhan itu tertangkap oleh telinga Arya seruan Kusumawati yang mencari-cari dirinya. Arya hanya tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala. Dia tetap meneruskan ayunan kakinya.
Suasana seperti itu sebenarnya sudah cukup menyeramkan. Tapi, yang lebih mengiriskan hati adalah keadaan malam ini. Langit merah membara seperti terbakar! Tidak ada awan, bulan ataupun bintang di angkasa raya Seluruh penjuru langit berwarna merah. Keadaan ini sungguh berbeda dengan biasanya.
Peristiwa aneh ini membuat orang-orang yang menyaksikan kaget bercampur ngeri. Orang-arang yang tidak mengerti ilmu silat buru-buru masuk ke dalam rumah lalu ditutupnya pintu dan jendela rapat-rapat. Mereka semua merasa yakin keadaan alam yang demikian suatu pertanda akan terjadi sesuatu yang mengerikan.
Berbeda dengan para penduduk desa itu, orang-orang yang merasa memiliki ilmu bela diri tak bersembunyi. Di antara mereka adalah tiga sosok tubuh yang kini tengah berdiri di halaman rumah dengan kepala menengadah menatap langit.
"Apa yang terjadi sebenarnya, Ayah?" tanya salah satu dari ketiga sosok itu. Dia seorang gadis berusia dua puluh tahun. Tubuhnya padat ramping dengan lekuk-lekuk yang menawan. Wajahnya cantik jelita, berkulit halus dan putih.
"Aku juga tak mengerti, Wati," jawab sosok yang dipanggil ayah. Sang ayah adalah seorang kakek tinggi kurus berjenggot putih panjang mirip kambing. Sanggara namanya. "Tapi yang jelas, sesuatu yang hebat pasti akan terjadi," lanjut Sanggara.
Gadis cantik yang bernama lengkap Kusumawati terlihat mengangguk-anggukkan kepala. "Kejadian apa, Ayah?" tanya Kusumawati kemudian.
"Sabarlah, Wati," sergah sosok yang satu lagi. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun dan berpakaian putih.
"Maafkan aku, Kak Angruna," ucap Kusumawati pelan sambil menundukkan kepala.
Angruna, pemuda bertubuh kekar itu, adalah kakak kandung dari Kusumawati. Permintaan maaf adiknya disambutnya dengan senyum penuh pengertian. Sanggara membiarkan saja keributan kecil itu terjadi. Hal seperti itu memang sudah biasa. Meski keduanya saling akrab satu sama lain, tapi perselisihan kecil juga kadang terjadi. Itulah sebabnya, kakek ini tak mau ikut campur.
"Kurasa...," ucap Sanggara sambil mengerutkan kening, setelah berdiam diri beberapa saat lamanya. "Kejadian seperti ini bukan disebabkan dari dunia kita. Aku lebih condong menduga hal-hal seperti ini berasal dari alam gaib."
"Apa yang kau katakan itu benar, Sanggara."
Hampir berbarengan Sanggara, Angruna, dan Ku-sumawati menolehkan kepala ke arah asal suara. Tahu-tahu saja, tak jauh dari tempat mereka berada telah berdiri seorang kakek tinggi besar. Cambang bauk berwarna hitam dan lebat tampak menghias wajahnya. Pakaian dalamnya berwarna merah menyala, kemu-dian dibungkus dengan jubah hitam kelam.
"Ah...! Kiranya Setyaki...." sambung Sanggara. "Apa maksud ucapanmu, Adi Setyaki?"
Kakek tinggi besar yang dipanggil Setyaki tidak segera menjawab. Kakinya melangkah menghampiri Sanggara. "Dugaan yang kau katakan itu benar, Sanggara," tegas Setyaki.
Angruna dan Kusumawati mengerutkan alis melihat Setyaki. Keduanya merasa seram melihat penampilan Setyaki yang mengiriskan. Kendati demikian, kakak beradik ini tak berkata apa-apa. Ayah mereka telah bercerita cukup banyak tentang kakek itu.
Setyaki adalah kawan akrab Sanggara. Sejak muda mereka sudah bersahabat Setyaki dan Sanggara pernah belajar silat dari guru yang sama, sebelum akhirnya mereka berpisah karena Setyaki lebih menyukai ilmu-ilmu gaib. Puluhan tahun mereka berpisah. Mereka bertemu lagi sekitar tiga tahun lalu. Namun, baru kali ini Setyaki mengunjungi Sanggara.
"Maksudmu..., semua keanehan alam ini karena hal-hal gaib?" Sanggara menegaskan.
"Benar," Setyaki menganggukkan kepala. "Ada hal yang luar biasa terjadi di mayapada ini sehingga memaksaku keluar dari tempat tinggalku."
"Ah...!" Sanggara berseru kaget Kakek berjenggot kambing ini baru teringat kalau Setyaki tinggal agak jauh dari tempat tinggalnya. Meski memang berada di gunung yang sama, tapi di lereng yang berlawanan. Keberadaannya di sini jelas karena adanya urusan yang amat penting. Padahal, kakek itu sudah berkeinginan tak akan terjun lagi ke dunia ramai.
"Bisa kau ceritakan lebih jelas, Setyaki?" pinta Sanggara penuh perasaan tertarik.
"Hhh...!" Setyaki menghela napas berat. Sementara Sanggara dan anak-anaknya menunggu keluarnya ucapan dari mulut kakek tinggi besar itu.
"Kalau menuruti perasaan, lebih baik aku tak men-ceritakannya. Agar kalian tak ikut menjadi ngeri karenanya...," pelan dan satu-satu ucapan yang dikeluarkan Setyaki.
"Aku tak setuju dengan pendapatmu, Setyaki," bantah Sanggara. "Menurut pendapatku, lebih baik kau katakan saja apa yang sebenarnya tengah terjadi. Dengan begitu mungkin kita bisa bersiap-siap untuk menghadapinya."
Setyaki menghembuskan napas kuat-kuat setelah terlebih dulu menariknya dalam-dalam. "Sejak tiga hari yang lalu aku selalu merasa gelisah tanpa sebab. Perasaan hatiku selalu tak enak," Setyaki memulai ceritanya dengan suara kering dan getir.
Sanggara, Angruna, dan Kusumawati mendengar-kannya dengan sabar. Mereka tak ingin menyelak, kendati Setyaki berhenti beberapa saat.
"Dengan kemampuan yang kumiliki kucoba mencari sebab kegelisahanku. Tapi hasilnya peralatan yang kugunakan untuk menyelidiki porak-poranda. Tentu saja hal ini membuatku kaget karena peristiwa seperti ini tak pernah ku alami sebelumnya."
Setyaki menghentikan ceritanya lagi. Diperhatikannya satu persatu wajah-wajah yang berada di sekelilingnya. Wajah-wajah yang penuh rasa ingin tahu, di samping rasa tegang yang tersirat jelas.
"Meskipun hasil yang ku peroleh mengejutkan, tapi aku tidak kapok. Aku malah merasa ditantang," lanjut Setyaki. "Baru ketika usahaku yang kedua juga mengalami kegagalan, aku tak berani mencobanya lagi. Terlalu dahsyat akibat yang kuterima. Tidak hanya peralatan ku yang hancur tapi tubuhku juga terpental ke belakang...."
"Lalu dari mana kau tahu kalau penyebab keanehan ini dari alam gaib?" kejar Sanggara tak puas.
"Hasil yang ku peroleh dari usahaku," jelas Setyaki. "Meski memang tak memuaskan, tapi cukup meyakinkan aku kalau hal itu disebabkan dari ilmu gaib. Dan menilik dari kekuatannya, aku merasa yakin bukan manusia biasa yang menjadi penyebabnya...."
"Maksudmu siluman?" tanya Sanggara meminta penegasan dengan suara seperti tercekik di tenggorokan.
"Kira-kira demikian, Sanggara."
Sanggara tidak memberikan tanggapan lagi. Dalam hal ilmu gaib Setyaki memang ahlinya. Dia sendiri tak tahu apa-apa.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Setyaki?" tanya Sanggara kebingungan. Ucapan kakek berjenggot kambing memecahkan keheningan yang menyelimuti tempat itu. Keheningan yang menegangkan hati.
Setyaki terlihat menggelengkan kepala. "Aku pun tak tahu, Sanggara. Meski demikian aku akan tetap berusaha mencari tahu, sebelum nyawaku keburu melayang."
"Apa maksudmu, Setyaki? Siapa yang mengancam mu?!"
"Tak ada yang mengancamku, Sanggara," jawab Setyaki sambil tersenyum pahit. "Hanya saja, aku merasa yakin bahaya akan datang dari alam gaib. Sesuatu yang menjadi penyebab keanehan alam ini pasti tahu aku telah berusaha menyelidikinya. Aku akan dicarinya untuk dilenyapkan. Karena itu, sebelum terjadi aku harus menyingkap rahasia ini."
Sanggara terdiam. Campur tangan Setyaki memang bisa jadi telah diketahui oleh sesuatu dari alam gaib itu. Campur tangan itu pasti tak menyenangkannya.
"Tidak adakah jalan untuk mengetahui bahaya yang mengancam, Setyaki? Jika memang mencegahnya merupakan hal yang tak mungkin, dengan mengetahui berupa apakah bahaya itu kita akan lebih siap menghadapinya."
"Karena itulah aku datang menjumpai mu, Sanggara. Aku khawatir akan lebih dulu tewas sebelum memberitahukan mu. Kau satu-satunya sahabatku. Nah, dengarkan baik-baik. Juga kalian, Anak-anak Muda," ucap Setyaki seraya menatap Angruna dan Kusumawati.
Putra-putri Sanggara itu buru-buru menundukkan kepala ketika bertemu pandang dengan Setyaki. Mereka tak kuat menahan rasa ngeri melihat sepasang mata yang memiliki sinar aneh itu. Sinar dari orang yang memiliki ilmu gaib tinggi.
"Setelah gagal mengungkapkan rahasia keanehan alam itu, lalu kucoba mengalihkan usaha. Ku kerahkan seluruh kemampuan untuk mencari orang-orang yang bisa mengungkapkan rahasia itu. Kali ini aku mujur. Aku berhasil mengetahuinya."
"Syukurlah...!" desah Sanggara dengan wajah berseri-seri, karena merasa lega.
"Jangan bergembira dulu, Sanggara. Bukan tak mungkin orang-orang yang kumaksudkan ini tak akan pernah kau temukan. Hhh...! Baru kali ini aku menyesal karena jarang terjun ke dunia persilatan. Kalau tidak, mungkin aku akan mengetahui nama atau julukan orang-orang ini."
"Bukankah kau bisa menyebutkan ciri-cirinya?" hibur Sanggara.
"Itu memang benar, Sanggara," masih terasa nada keluhan dalam ucapan Setyaki. "Orang yang pertama kali muncul adalah seorang kakek kecil bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek kumal."
Sanggara mengernyitkan kening. Dia berpikir untuk mengingat-ingat. Barangkali saja pernah melihat atau mendengar tentang tokoh persilatan yang memiliki ciri-ciri demikian. Tapi sampai dahinya berkeringat, dia tak mampu menemukannya.
"Rupanya tokoh-tokoh itu termasuk orang sepertiku. Gemar bersembunyi juga. Kalau tidak, mana mungkin kau yang berpengalaman luas tidak mengetahuinya," ujar Setyaki agak kecewa melihat ketidak-tahuan Sanggara.
"Mungkinkah tokoh itu bukan seorang tokoh persilatan, Kek?" Kusumawati yang sejak tadi diam memberanikan diri angkat bicara.
"Tokoh yang ku maksud bukan hanya orang persilatan saja, Nona Kecil. Dia seorang tokoh berilmu sangat tinggi. Sorot sepasang matanya yang tajam berkilat menandakan kuatnya tenaga dalam yang dimiliki!" tandas Setyaki.
"Barangkali saja dia merupakan tokoh sepertimu, Kek?" Angruna membela adiknya. "Tokoh yang tak terjun ke dunia persilatan. Meski memiliki kepandaian tinggi dia cenderung menyembunyikan diri"
"Jawabanmu lebih bagus! Tapi itu tidak menjadi alasan untuk berputus asa mencarinya. Sekarang kuberitahukan tokoh yang lain. Yang kedua seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Kulihat ada guci perak tergantung di punggungnya."
"Dia pasti Dewa Arak!" sergah Kusumawati.
"Dewa Arak?!" Setyaki mengernyitkan kening.
"Benar, Setyaki," Sanggara ikut memberikan jawaban. "Seorang pendekar muda yang belakangan ini menggemparkan dunia persilatan dengan tindakan-tindakannya yang luar biasa."
"Bagus, kalau kau mengetahuinya. Dengan demikian lebih mudah untuk mencarinya. Kini sudah saatnya bagiku untuk mohon diri. Yang perlu kalian ketahui adalah aku tak akan tinggal diam. Selama nyawaku masih melekat di tubuh, dua tokoh itu akan kucari!"
Setyaki kemudian melesat meninggalkan tempat itu. Sanggara, Angruna, dan Kusumawati hanya menatap kepergiannya.
"Sungguh tak kusangka tokoh yang selama ini Ayah ceritakan sebagai orang yang tak pernah peduli pada dunia persilatan ternyata mempunyai perhatian penuh terhadap malapetaka yang akan menimpa persada ini," gumam Kusumawati.
"Kau salah menduga. Wati," ralat Sanggara. "Dia bersusah payah melakukan hal itu bukan demi orang lain. Tapi karena rasa ingin tahunya akan kejadian langka ini. Sebagai seorang yang mengerti ilmu-ilmu gaib, kejadian aneh seperti ini bagai tantangan terhadapnya!"
Kusumawati mengernyitkan kening, bingung. Tapi Angruna tidak. Pemuda itu bisa merasakan kebenaran yang terkandung dalam ucapan ayahnya.
"Wati, Angruna, kurasa sudah tiba saatnya bagi kita menyumbangkan kemampuan yang kita miliki untuk keamanan dunia persilatan," ajak Sanggara kemudian pada anak-anaknya.
* * *
"Hooop...!" Seorang lelaki bertubuh kekar dan berpakaian lusuh menarik tali kekang kudanya tepat di depan pintu gerbang sebuah bangunan megah. Tindakannya membuat kuda coklat yang ditunggangi menghentikan langkah. Dengan gerakan yang indah dan manis lelaki berkumis, cambang, dan jenggot kasar tak teratur itu melompat dari atas punggung kuda. Ringan tanpa suara kedua kakinya menjejak tanah.
Tingkah lelaki itu membuat dua orang berseragam prajurit yang menjaga pintu gerbang memperhatikan dengan penuh rasa curiga. Apalagi ketika melihat lelaki lusuh itu menghampiri pintu gerbang. Serentak keduanya bergerak menghadang seraya meraba gagang golok masing-masing. Kelihatan keduanya bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
"Mengapa kalian menghalangi jalanku?" tanya lelaki lusuh. Nada suaranya sedikit mengandung teguran.
Kedua penjaga pintu gerbang terlihat saling berpandangan. Sorot mata mereka memancarkan kebingungan. Tidak salahkah pendengaran mereka? "Maaf, kalau boleh kami tahu siapakah kau, Sobat? Apa maksudnya datang kemari?" tanya salah seorang pengawal yang berkumis tapis dan jarang. Pertanyaan itu dilontarkan dengan nada hati-hati.
"Kalian tak mengenalku? O ya, mungkin kalian orang baru di sini. Apakah kalian pernah mendengar nama Antaboga?" Lelaki lusuh itu malah balik bertanya.
Wajah kedua penjaga itu langsung berubah. Meski memang belum pernah melihat orang yang bernama Antaboga, tapi namanya sering mereka dengar. Kedua penjaga itu segera menganggukkan kepala.
"Benar," jawab pengawal yang bermuka hitam. "Apa hubunganmu dengan Antaboga, Sobat?"
"Akulah orang yang bernama Antaboga itu!" tegas lelaki lusuh.
"Ah...!" Kedua penjaga itu mengeluarkan seruan kaget. Perasaan terkejut yang sangat menghias wajah mereka: "Kalau begitu maafkan kami, Pangeran. Kami tidak mengenal pangeran sehingga bersikap tidak sopan," ucap kedua pengawal itu sambil membungkukkan tubuh.
"Hmh...!" Laki-laki berpakaian lusuh yang mengaku bernama Antaboga itu mendengus. "Menyingkirlah kalian! Aku ingin lewat!"
Pengawal yang bermuka hitam segera beringsut menyingkir. Tapi, tidak demikian halnya dengan pengawal yang berkumis jarang-jarang. Dia tetap berdiri menghadang jalan.
"Maafkan kami, Pangeran. Sebelum kami yakin kalau Pangeran benar-benar Pangeran Antaboga, kami tak bisa memperkenankan masuk. Maafkan kami, Pangeran. Kami tak ingin terjadi sesuatu atas diri Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa."
Pengawal bermuka hitam tercekat. Ucapan rekannya menyadarkan dirinya kalau lelaki lusuh itu belum tentu Pangeran Antaboga. Maka, dia pun segera melangkah maju dan berdiri di sebelah temannya.
Pangeran Antaboga tersenyum. "Bagus! Aku ingin tahu kepandaian kalian. Ingin kulihat apakah kalian mampu menghalangiku," ujar Pangeran Antaboga bernada menantang.
"Maafkan kami, Pangeran. Kami hanya menjalankan tugas," pengawal bermuka hitam rupanya masih merasa tidak enak dengan tindakan yang dilakukannya.
"Tidak usah banyak berbasa-basi! Ayo, serang aku!" bentak Pangeran Antaboga.
"Maafkan kami, Pangeran Hiyaaa...!" Pengawal berkumis jarang-jarang lalu menyerang Pangeran Antaboga. Kaki kanannya diayunkan dalam bentuk tendangan miring.
Pangeran Antaboga hanya mendengus pelan. Tubuhnya didoyongkan ke belakang sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong di depannya. Pada saat yang bersamaan, tangan kanan Pangeran itu bergerak cepat.
Tappp!
"Akh...!" Pengawal berkumis jarang-jarang memekik kaget. Pergelangan kakinya berhasil dicekal lawan, kemudian disentakkan dengan keras. Kuat bukan main tenaga sentakan itu. Tubuh lelaki Itu sampai terlempar ke atas.
Pengawal bermuka hitam tentu saja terkejut melihat rekannya dengan mudah ditanggulangi. Tanpa ra-gu-ragu lagi goloknya segera dicabut. Lalu diputarnya sambil mendekati Pangeran Antaboga yang tetap berdi-ri tenang. Dengan mengeluarkan seruan melengking nyaring, golok itu ditusukkannya ke arah perut Pangeran Antaboga. Tapi, lelaki lusuh itu, tidak bertindak apa pun. Pangeran Antaboga tak mengelak atau pun menangkis.
Pengawal bermuka hitam yang tidak bermaksud untuk membunuh menjadi kaget Sedapat mungkin serangannya diurungkan. Tapi dia tak mampu. Yang dapat dilakukannya hanya mengurangi tenaga!
Wukkk!
Kengerian pengawal bermuka hitam berganti dengan keterkejutan. Tampak jelas batang golok menembus perut, tapi tidak terdengar suara apa pun. Tidak ada darah yang keluar. Tubuh Pangeran Antaboga tak ubahnya bayangan! Batang golok yang seharusnya sebagian tak terlihat karena masuk ke dalam perut, terlihat semuanya.
Pengawal bermuka hitam terpaku bagai orang kena sihir. Matanya membelalak lebar penuh ketidakpercayaan. Pemandangan yang disaksikannya ini terlalu luar biasa. Malah, rekannya sendiri pun terkesima di tempatnya dan tidak melanjutkan penyerangan.
"Nyi Marca...!" seru Pangeran Antaboga ketika melihat sesosok tubuh berpakaian hitam berdiri di bagian dalam pintu gerbang.
Sosok hitam yang ternyata seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun. Wanita itu tertegun mendengar panggilan Pangeran Antaboga.
"Siapa kau, Sobat! Dari mana kau tahu namaku?" tanya wanita berpakaian hitam. Kakinya diayunkan mendekati Pangeran Antaboga. Wanita yang dipanggil Nyi Marca ini menatap sekujur tubuh Pangeran Anta-boga dengan penuh selidik.
Nyi Marca memang patut merasa heran. Nama yang disebutkan Pangeran Antaboga adalah nama aslinya. Nama itu jarang diketahui orang. Dia tak pernah memperkenalkan namanya kecuali pada junjungannya dan keluarganya. Selain keluarga junjungannya, orang hanya mengenal dirinya sebagai Camar Hitam!
DUA
Pangeran Antaboga mengembangkan senyum geli. Tapi karena keadaan wajahnya yang tak terurus dan kotor berdebu, senyuman yang diukirnya terlihat seperti seringai kesakitan. "Kau lupa padaku, Nyi Marca?" tanya Pangeran Antaboga, tak dipedulikannya pertanyaan Camar Hitam.
Wajah Camar Hitam tampak menegang. Dahinya berkerut-kerut. Wanita anggun yang menjadi pengawal pribadi Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa ini kelihatan berpikir keras. "Rasanya aku memang seperti pernah mengenalmu, Anak Muda. Sayang, aku lupa...," gumam Nyi Marca.
"Aku Antaboga, Nyi," sahut lelaki lusuh memberi-tahu.
“Jagat Dewa Batara...! Aku memang sudah pikun sehingga tak mengenalmu lagi, Pangeran!" pekik Nyi Marca penuh rasa kaget. Kelihatan jelas rasa gembira membias di wajah wanita tua itu. "Beliau adalah Pangeran Antaboga," beritahu Nyi Marca pada kedua pengawal yang menjaga pintu gerbang.
"Ah...! Maafkan kami, Pangeran. Kami telah bertindak lancang. Kami siap menerima hukuman," ucap kedua pengawal itu buru-buru seraya membungkuk hormat.
"Lupakanlah. Aku bangga kalian berdua telah menjalankan tugas dengan baik," sahut Pangeran Antaboga.
Tentu saja kedua pengawal itu menjadi girang bukan main. Tadi ketika Camar Hitam memanggil lelaki lusuh itu dengan Pangeran Antaboga, mereka menjadi gelisah. Menurut dugaan mereka, sang pangeran akan memberikan hukuman. Ternyata Pangeran Antaboga sama sekali tak marah. Malah, mereka mendapat pujian.
"Mari, Pangeran. Aku yakin Raden Ajeng akan gembira melihat kedatangan Pangeran," ajak Camar Hitam. Dibawanya Pangeran Antaboga memasuki bangunan megah itu.
"Boga...! Antaboga, Anakku...!"
"Ibu...!" Pangeran Antaboga memburu ke arah seorang wanita berpakaian indah. Wanita yang kelihatan anggun itu baru saja ke luar dari ruangan dalam. Sedangkan Pangeran Antaboga berdiri baru memasuki ambang pintu ruangan tengah yang mewah dan megah.
Pangeran Antaboga menjatuhkan tubuhnya duduk bersimpuh di hadapan Ibunya. Dipeluknya kedua kaki wanita berusia sekitar lima puluh lima tahun itu.
"Ibu, betapa rindunya aku pada Ibu...," adu Pangeran Antaboga.
"Aku pun demikian, Boga," balas Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa sambil mengusap-usap rambut sang pangeran dengan penuh kasih sayang. "Aku hampir tak percaya ketika mendengar berita kedatanganmu, Boga. Kukira aku tak akan pernah bertemu dengan dirimu lagi."
"Nasib baik berpihak kepadaku, Ibu," jawab Pangeran Antaboga. Wajahnya ditengadahkan untuk bisa menatap wajah ibunya yang sudah lama tak dijumpainya. "Aku tidak saja selamat. Tapi juga telah mendapatkan kepandaian, Ibu."
Pangeran Antaboga lalu perlahan-lahan bangkit berdiri. Tubuhnya yang jangkung membuat Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa terpaksa agak menengadah agar bisa menatap wajah putranya.
"Syukurlah kalau demikian, Boga," ujar Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa. "Karena memandang muka Ibu, mungkin Gusti Prabu tidak memperpanjang masalah yang telah lalu."
"Dia boleh melupakan masalah itu, Ibu. Tapi aku tak akan pernah lupa! Tua bangka yang tak tahu diri dan telah menyengsarakan Ibu itu akan ku binasakan!" tandas Pangeran Antaboga.
Lelaki jangkung ini mengepalkan tangan kanannya sehingga menimbulkan bunyi bergemeretak nyaring. Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa kelihatan terkejut. Bukan hanya karena sekitar ruangan itu bergetar seiring dengan timbulnya bunyi itu, tapi juga karena sikap Pangeran Antaboga.
"Apa maksudmu, Boga?" tanya Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa dengan suara bergetar.
"Artinya, aku akan kembali menyusun kekuatan untuk meruntuhkan kekuasaan tua bangka itu, Ibu!" tegas Pangeran Antaboga.
Sepasang mata Pangeran Antaboga memancarkan hawa membunuh. Wajahnya yang meskipun tak terawat tapi kelihatan gagah dan tampan itu tampak membesi. Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa sampai melangkah mundur dengan bibir gemetar. Kentara jelas keterkejutan melanda wanita itu.
"Boga, Anakku...," setelah terdiam beberapa saat akhirnya keluar juga ucapan dari mulut Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa. Suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran. "Urungkan saja niatmu. Nak. Aku tak ingin kehilangan kau. Kaulah satu-satunya anak ibu. Gusti Prabu tak akan menyakitimu. Apalagi jika kau datang kepadanya untuk meminta maaf. Dan...."
"Ibu!" Meski tetap lembut, tapi ucapan Pangeran Antaboga dipenuhi tekanan. "Selama nyawa masih ada di badan dan selama darahku masih berwarna merah, tak akan pernah terjadi Pangeran Antaboga meminta maaf pada tua bangka licik itu!"
Sekujur tubuh Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa langsung menggigil. Air mata mengalir membasahi kedua pipinya. Selir raja ini merasa sedih bukan main mendengar keputusan yang diambil putranya. Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa tahu maksud Pangeran Antaboga tak bisa dicegah lagi. Dirasakan adanya kesungguhan yang besar dalam ucapan lelaki jangkung itu.
"Boga, Anakku.... Apakah kau tak sayang lagi pada Ibu, Nak? Tegakah kau melihat Ibu yang telah renta ini tinggal sendiri? Kalau niatmu itu kau teruskan, Gusti Prabu tak akan mengabulkan permintaan Ibu, Nak. Gusti Prabu tak akan memaafkanmu lagi. Kau akan dihukum mati, Boga," ujar Raden Ajeng Dewi Cipta Ra-sa dengan suara tersendat dan air mata mengalir deras.
"Aku tak perlu ampunan tua bangka gila itu, Ibu! Aku lebih suka mati daripada memperoleh maafnya. Maafkan aku, Bu. Aku tak bisa memenuhi permintaanmu yang satu ini. Apa pun yang terjadi, raja sialan itu akan ku gulingkan!"
Tangis Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa semakin men-jadi-jadi. Wanita ini sampai menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Pangeran Antaboga yang amat sayang pada ibunya menggertakkan gigi kuat-kuat agar tak ikut terharu.
"Ingatlah, Boga...," ujar Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa. "Biar bagaimanapun Gusti Prabu adalah ayahmu. Dia yang telah menyebabkan kau lahir ke dunia ini. Tak baik seorang anak membunuh ayahnya sendiri...."
"Aku tak pernah menganggapnya sebagai ayahku, Bu!" geram Pangeran Antaboga dengan wajah merah padam. "Sejak kecil aku tak pernah merasa kasih sayangnya. Dia lebih sayang pada anak-anaknya yang lain. Malah, kedudukan sebagai raja akan diberikan-nya pada si keparat Kertasana! Padahal akulah pangeran yang paling tua di antara semua pangeran yang ada. Tidakkah Ibu melihat semua ketidakadilan ini?!"
Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa hanya membisu. Apa yang dikatakan putranya memang benar. Raja telah bertindak tak adil. Padahal menurut perhitungan Pangeran Antabogalah yang seharusnya diangkat sebagai raja. Ibunya adalah selir pertama raja, sementara permaisuri tak mempunyai keturunan.
"Maafkan aku, Ibu. Aku tak bisa memenuhi permintaanmu," ujar Pangeran Antaboga. Dia lalu melangkah meninggalkan Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa yang tenggelam dalam kedukaan.
* * *
"Ibu..." Suara pelan mengandung isak tangis memecah kesunyian pagi. Suara itu berasal dari seorang gadis berpakaian kuning. Dia tengah duduk bersimpuh di depan gundukan tanah merah sebuah kuburan.
"Aku dan Kakak Angruna akan pergi merantau untuk menunaikan sebuah tugas suci, Ibu. Kami tak bisa lagi menjengukmu setiap hari seperti biasanya. Kuharap kau berbaring tenang di tempat istirahat mu, Bu. Doakan agar aku dan Kakak Angruna berhasil menyelesaikan tugas suci itu. Aku mohon pamit, Bu!"
Sosok yang bukan lain dari Kusumawati itu bangkit perlahan-lahan. Bunga di tangan ditaburkannya ke atas makam ibunya. Angruna yang sejak tadi berdiri dengan wajah ditundukkan ikut menaburkan bunga. Setelah melepaskan pandangan berat yang terakhir kalinya, Kusumawati dan Angruna membalikkan tubuh. Kaki-kaki mereka diayunkan meninggalkan area pemakaman.
Tapi baru beberapa langkah, ayunan kaki sepasang muda-mudi ini terhenti. Pendengaran mereka menangkap bunyi-bunyi yang mencurigakan dari arah belakang. Hampir berbarengan Kusumawati dan Angruna menolehkan kepala ke sana. Dan... seketika mata mereka membelalak dengan mulut ternganga.
Pemandangan yang mereka saksikan terlalu mengiriskan hati! Permukaan gundukan semua tanah kuburan yang ada di situ tak terkecuali makam ibu mereka, bergetar keras seperti ada sesuatu yang hendak keluar.
Kusumawati dan Angruna adalah pemuda-pemudi gemblengan. Mereka telah memiliki kepandaian tinggi. Menghadapi ancaman maut pun kakak beradik ini akan dapat menghadapinya dengan hati tenang. Tapi apa yang mereka saksikan ini terlalu mengerikan. Angruna dan Kusumawati terdiam di tempat dengan jantung memukul keras. Wajah kakak beradik ini tampak tegang bukan main!
Getaran pada makam-makam semakin menghebat Angruna dan Kusumawati yang berdiri terpaku tak sadar kalau kaki-kaki mereka menggigil keras. Rasa ngeri membersit baik dari sorot mata maupun wajah mereka.
"Oooh...!" Kusumawati tak kuasa untuk menahan jeritan lirih. Gundukan-gundukan tanah kuburan ambrol karena ada tangan-tangan berkuku runcing kehitaman menyembul dari dalamnya.
Angruna yang lebih tabah masih sempat menggamit tangan Kusumawati. Meski demikian, kengerian yang mencekam membuat tangan Angruna menggigil seperti orang terkena demam tinggi. Angruna dan Kusumawati hampir tak percaya akan penglihatan mereka. Sosok-sosok tubuh tampak keluar dari lubang kuburan! Sosok yang memiliki ciri-ciri mengiriskan hati.
Tubuh mereka kurus kering, tak memiliki daging dan terbungkus pakaian koyak-koyak. Sehelai pakaian yang telah rapuh terjatuh ke tanah ketika angin berhembus agak keras. Sosok-sosok itu adalah mayat-mayat yang bangkit dari kuburnya! Ciri-ciri mereka, dan terutama sekali bau bangkai yang menyebar dari sekujur tubuh, telah menjadi bukti tak terbantahkan lagi!
Mayat-mayat itu dengan langkah kaku bergerak mendekati Angruna dan Kusumawati. Jumlah mereka puluhan. Bau busuk yang hampir membuat Angruna dan Kusumawati muntah-muntah semakin menyengat, seiring dengan mendekatnya mayat-mayat. Angruna yang lebih tabah segera sadar akan adanya bahaya mengancam.
"Kuatkanlah hatimu, Wati. Bangkitkan semangat mu. Kalau tidak makhluk-makhluk jahanam itu akan merencah-rencah kita," beritahu Angruna dengan suara bergetar, menahan perasaan ngeri.
Ucapan Angruna membangkitkan kesadaran Kusumawati. Ditariknya napas dalam-dalam lalu dibusungkan kuat-kuat untuk menenangkan hati. Cara itu memang berhasil mengurangi ketegangan yang melanda dirinya. Angruna sendiri telah mencabut golok yang menjadi senjata andalannya. Kusumawati segera mengikuti dengan meloloskan sabuknya. Sabuk jingga berbau harum.
Ctarrr!
Kusumawati yang tak ingin sabuknya menyentuh tubuh mayat-mayat hidup, sengaja melecutkan senjatanya ke udara. Diharapkan lecutan nyaring yang tercipta akan membuat makhluk-makhluk menjijikkan itu menjauh. Tapi harapan Kusumawati kandas. Mayat-mayat hidup sama sekali tak mempedulikan bunyi sabuk. Mereka terus bergerak menghampiri. Gerakan-gerakan makhluk menjijikkan ini sekarang jauh lebih gesit. Rupanya mereka mulai terbiasa bergerak.
Melihat kebandelan mayat-mayat hidup ini Kusu-mawati tak mempunyai pilihan lain. Gadis ini tak ingin bau busuk yang menyergap hidungnya semakin menjadi-jadi. Kusumawati segera melecutkan ujung sabuknya ke arah mayat hidup terdepan. Sabuk meluncur dan menghantam dada makhluk menjijikkan itu.
Ctarrr!
Mayat hidup yang sial itu terhuyung-huyung ke be-lakang beberapa langkah. Pakaiannya hancur berantakan pada bagian yang terkena lecutan. Mayat hidup itu sendiri sedikit pun tak terluka! Begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung punah, mahluk menjijikkan itu kembali merangsek maju.
Bukan hanya Kusumawati saja yang terkejut melihat kekuatan mayat hidup itu, Angruna pun demikian. Lecutan sabuk adiknya mampu menghancurkan batu karang yang paling keras sekalipun. Dia sendiri bila terkena lecutannya akan terluka berat. Tapi, mayat hidup itu tak kurang suatu apa! Makhluk menjijikkan itu bagai tak merasakan.
Angruna dan Kusumawati tak bisa berlama-lama tenggelam dalam keheranannya. Mayat-mayat hidup telah semakin dekat. Sambil berteriak keras untuk menguatkan semangatnya, Angruna membolang-balingkan golok di depan dada.
Seperti juga Kusumawati, Angruna menerima kenyataan pahit. Serangan-serangannya sama sekali tak berarti. Betapa pun telah dikerahkan seluruh tenaga babatan, bacokan, dan tikaman goloknya tidak mampu membuat buntung anggota tubuh makhluk-makhluk menjijikkan itu. Malah serangan-serangan yang menusuk dada dan perut tak ubahnya menusuk batang pisang. Amblas ke sasaran tapi tak membuahkan hasil sama sekali! Angruna dan Kusumawati tak putus asa.
Kedua anak Sanggara ini dengan gagah berani melakukan perlawanan. Tak terhitung sudah senjata, tangan, atau kaki mereka mengenai sasaran. Tapi, kesudahannya hanya membuat tubuh makhluk-makhluk menjijikkan itu terhuyung-huyung. Setelah itu, mayat-mayat hidup kembali menyerbu. Dan meskipun Angruna serta Kusumawati telah mempergunakan berbagai cara, hasil yang didapat tetap sia-sia.
Kedua kakak beradik ini sadar benar lama-kelamaan merekalah yang akan celaka. Tenaga mereka mulai berkurang dan akan terus berkurang. Sementara makhluk-makhluk menjijikkan itu bagai memiliki tenaga yang tak pernah habis. Kekuatan dan kegesitan mereka sedikit pun tak berkurang.
Tak sampai dua puluh jurus Angruna dan Kusumawati sudah terdesak. Serangan-serangan yang semula gencar semakin tak terlihat. Gerakan senjata yang mereka lakukan sebagian besar hanya untuk menangkis serangan lawan.
"Wati...! Tak ada gunanya melakukan perlawanan! Selamatkan dirimu...!"
Seiring dengan selesainya seruan itu Angruna me-lesat menerjang dengan nekat. Tanpa mempedulikan pertahanan diri pemuda ini mengerahkan seluruh kemampuan yang masih tersisa. Goloknya diputar laksa-na kitiran kemudian dibabatkan ke arah lawan-lawannya.
Kenekatan Angruna tidak sia-sia. Kerumunan mayat hidup langsung membuyar. Beberapa di antara mereka berpentalan tak tentu arah. Namun, tindakan nekat itu harus ditebus cukup mahal oleh Angruna. Dua di antara mayat-mayat hidup berhasil menyarangkan sampokan yang mengenai perut dan bahu kanan.
Tidak ada jeritan atau keluhan dikeluarkan putra Sanggara ini. Hanya seringai pada mulutnya menunjukkan kalau pemuda ini merasa kesakitan. Darah mengalir dari bagian tubuh Angruna yang tersampok. Bagian perut dan bahunya tergurat oleh kuku-kuku mayat-mayat hidup yang runcing dan kehitaman.
"Kak Angruna...!" jerit Kusumawati kaget dan khawatir. Gadis ini segera bergerak untuk menolong kakaknya.
"Jangan pedulikan aku! Cepat kau tinggalkan tempat ini!" cegah Angruna sebelum Kusumawati mendekat.
Pemuda itu lalu kembali menyerang lawannya dengan membabi buta. Serangannya tidak ditujukan pada seorang lawan, melainkan semuanya. Tindakan itu dilakukan untuk mengalihkan penyerangan mayat-mayat hidup dari Kusumawati.
"Tapi, Kak...!" Ucapan Kusumawati terhenti di tengah jalan karena dua mayat hidup menyerbunya. Gadis ini memainkan sabuknya hingga terbentuk gulungan-gulungan seperti gelang besar. Dan, gelang-gelang itu menghantam tubuh mayat-mayat hidup hingga terpental ke belakang.
"Pergilah cepat, Wati! Aku akan menyusulmu...!" perintah Angruna penuh tekanan.
Kusumawati tak membantah lagi. Dengan hati dia melesat meninggalkan tempat itu. Dirasakan benar ucapan Angruna tak menghendaki adanya bantahan. Karena itu Kusumawati tak berani menentangnya. Kusumawati amat menghormati kakaknya karena gadis ini tahu kalau Angruna amat sayang padanya.
Tiga mayat hidup berusaha mencegah kepergian Kusumawati. Tapi dengan lecutan sabuknya gadis ini mampu membuat makhluk-makhluk menjijikkan itu mencium tanah. Angruna tersenyum lega melihat adiknya berhasil lolos. Sekarang pemuda ini berjuang sendiri untuk mempertahankan nyawanya.
Kusumawati terus berlari tanpa mengendurkan kecepatannya. Sempat dilihatnya beberapa mayat hidup mengejarnya. Lari mereka ternyata cukup cepat. Namun demikian makhluk-makhluk menjijikkan itu tak mampu menandingi kecepatan lari Kusumawati.
Gadis itu berlari menuju arah yang akan ditempuhnya bersama Angruna. Dengan begitu kakaknya nanti akan bisa menemukannya. Kusumawati baru menghentikan lari ketika tak melihat pengejaran dari mayat-mayat hidup. Disandarkannya punggungnya pada salah satu pohon yang ada di dekatnya. Peluh yang membasahi sekujur wajah disusutnya dengan sa-pu tangan warna jingga. Kusumawati memutuskan un-tuk menunggu Angruna di tempat ini.
Sambil membayangkan kejadian mengerikan yang ditemuinya, Kusumawati mengedarkan pandangan ke sekitar. Tampak pohon besar yang rata-rata tingginya sama. Dia rupanya tengah berada di hutan karet. Debaran jantung Kusumawati yang telah mulai mereda tiba-tiba berpacu dengan cepat lagi.
Perasaan khawatir kembali melanda ketika pendengarannya menangkap suara langkah-langkah mendekati tempatnya berada. Bunyi langkah bergemuruh seakan-akan ada serombongan orang tengah bergerak. Nadanya terdengar tetap dan berirama.
Kusumawati memutar benaknya sebentar untuk mencari jalan selamat. Pengalaman pertamanya terjun ke dunia persilatan yang mengerikan tadi membuatnya jadi bersikap lebih hati-hati. Setelah memperhatikan keadaan sekitarnya sebentar, Kusumawati melompat ke atas. Laksana seekor kera Kusumawati melompat dari satu cabang ke cabang yang lain. Dan, pada cabang pohon yang tinggi dan banyak ditumbuhi daun-daun gadis ini berhenti melompat lalu duduk di dahannya.
Dari balik kerimbunan dedaunan Kusumawati mengintai ke bawah. Tampak serombongan pasukan berkuda tengah menuju ke tempat putri Sanggara ini tadi berada. Jarak antara pasukan berkuda dengan tempat Kusumawati berada tak kurang dari lima belas tombak. Hanya karena terhalang banyak pohon mereka tak bisa saling melihat. Pasukan berkuda itu berjumlah dua puluh orang. Yang berkuda paling depan adalah dua orang berseragam panglima.
"Benarkah Pangeran Antaboga telah kembali, Soka?" tanya panglima bermuka kuning.
"Hhh...!" Panglima Soka yang bertubuh tinggi besar terlebih dulu menghela napas berat "Menurut berita yang kudengar memang demikian, Gardika. Karena itu Gusti Prabu menyuruh kita untuk mengecek kebenarannya, Gusti Prabu khawatir Pangeran Antaboga akan kembali memberontak!"
"Aku sependapat dengan Gusti Prabu, Soka," ujar Panglima Gardika. "Dulu aku tak setuju Gusti Prabu menghukum buang pangeran pemberontak itu. Aku cenderung menginginkan Pangeran Antaboga dihukum mati agar peristiwa pemberontakan itu tak terulang lagi."
"Gusti Prabu tak ingin mengecewakan Raden Ajeng Dewi Cipta Rasa. Raden Ajenglah yang membuat Pangeran Antaboga lolos dari hukuman mati. Raden Ajeng meminta pada Gusti Prabu agar Pangeran Antaboga diampuni," sambung Panglima Soka setengah menyesalkan keputusan rajanya.
"Apakah Gusti Prabu tak tahu kalau Pangeran Antaboga merupakan orang yang amat berbahaya?" ujar Panglima Gardika lagi "Padahal melihat keinginan dan kepandaian Pangeran Antaboga sudah seharusnya dia dihukum mati. Dulu pun tak ada tokoh kerajaan yang mampu menandingi kepandaiannya. Entah sekarang apakah kepandaian Pangeran Antaboga telah maju pesat. Tapi aku yakin pangeran itu lebih berbahaya dari-pada dulu."
Panglima Soka terlihat menganggukkan kepala. "Terlepas dari kekhawatiran dan dugaan kita, aku lebih suka kalau Pangeran Antaboga menyadari kekeliruannya. Tentu saja jika berita mengenai kembalinya Pangeran Antaboga itu benar."
"Aku pun berharap demikian, Soka," dukung Panglima Gardika.
TIGA
Brosss! Brosss! Brosss!
Panglima Soka dan Panglima Gardika bergegas menghentikan langkah kuda mereka, ketika sekitar satu tombak di depan mereka muncul sosok-sosok dari dalam tanah. Sosok mayat hidup!
Tindakan kedua panglima itu membuat pasukan di belakang mereka menghentikan laju kudanya. Mereka semua lalu mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Bunyi-bunyi berdesing nyaring terdengar.
Keberanian rombongan di bawah pimpinan Panglima Soka dan Panglima Gardika rupanya tidak dimiliki binatang tunggangan mereka. Kuda-kuda yang besar dan kuat itu meringkik ketakutan. Kedua kaki depannya diangkat tinggi-tinggi. Binatang-binatang itu ru-panya merasa terancam.
Panglima Soka, Panglima Gardika, dan delapan belas prajurit kerajaan berusaha sekuat tenaga menenangkan binatang tunggangannya. Tapi sia-sia belaka. Kuda-kuda yang biasanya amat taat pada perintah majikannya itu, sekarang jadi tak terkendali. Malah, binatang-binatang itu berusaha sekuat tenaga melemparkan majikannya.
"Biarkan binatang-binatang itu kabur!" seru Panglima Soka untuk mengatasi riuh rendah ringkik kuda yang ketakutan.
Binatang tunggangan itu sudah tak bisa dikendalikan lagi. Tindakan liar binatang-binatang itu akan membuat mereka memusatkan perhatian untuk mengendalikannya. Padahal, mayat-mayat hidup telah bersiap untuk menyerang.
Perintah Panglima Soka langsung dituruti oleh semua prajurit, tak terkecuali Panglima Gardika. Mereka semua berlompatan ke tanah. Kuda-kuda yang mereka tunggangi pun berlarian kalang kabut meninggalkan tempat itu.
Panglima Soka segera memerintahkan para prajuritnya untuk membentuk lingkaran, karena mayat-mayat hidup bermunculan dari dalam tanah di sekeliling tempat mereka. Panglima Soka dan rombongannya terkurung oleh puluhan mayat-mayat hidup itu.
"Jagat Dewa Batara,..! Apakah mereka tak betah tinggal di dalam tanah sehingga beramai-ramai keluar?!" ujar Panglima Gardika dengan suara tercekat di tenggorokan.
Panglima bermuka kuning ini telah menghunus pedangnya. Demikian juga Panglima Soka. Dua pan-glima ini dan seluruh prajurit kerajaan menatap makhluk-makhluk menjijikkan yang mendekati mereka dengan mata membelalak kaget. Mulut mereka tak henti-hentinya memercikkan ludah. Bau busuk menyengat hidung hingga membuat isi perut seperti hendak keluar.
"Ini ada hubungannya dengan tanda aneh di langit beberapa hari yang lalu aku rasa," ucap Panglima Soka dengan suara kering karena perasaan tegang. Memang, meskipun Panglima Soka telah puluhan kali berhada-pan dengan bahaya kematian, tapi menghadapi mayat-mayat hidup merupakan hal yang belum pernah dialaminya.
"Kau benar, Soka. Sekarang terjawab sudah teka-teki keanehan angkasa itu," timpal Panglima Gardika mendukung dugaan kawannya.
Tapi Panglima Soka dan Panglima Gardika tak bisa berbincang-bincang lebih lama. Mayat-mayat hidup te-lah menerjang mereka. Rombongan Panglima Soka pun segera menyambutnya.
Wuttt!
Panglima Soka yang mendapat giliran diserang lebih dulu. Sesosok mayat hidup menerkam dengan kedua cakar terkembang tak ubahnya tingkah seekor harimau. Panglima Soka tak ingin maksud mayat hidup itu tercapai. Di samping merasa ngeri terkena sambaran kuku-kuku runcing dan hitam itu, dia juga merasa jijik.
Mayat hidup yang menyerang panglima ini memang terlalu rusak keadaannya. Daging di sekujur tubuh makhluk itu sebagian besar telah hilang. Mulutnya mengeluarkan lendir kekuningan mirip nanah yang berbau amat busuk. Panglima Soka segera menyambut terkaman mayat hidup itu dengan tusukan pedang ke arah leher!
Cappp!
Telak dan keras sekali serangan Panglima Soka mendarat di sasaran. Batang pedang panglima tinggi besar ini sampai amblas ke leher belakang. Tapi, hasilnya membuat Panglima Soka terperanjat. Bukan hanya tidak adanya darah yang keluar dari leher mayat hidup yang tertembus pedang, tapi tak terpengaruhnya mayat hidup itu oleh tusukan.
Mayat itu tetap meluncur ke arah Panglima Soka dengan cakar-cakar siap menghunjam! Panglima Soka terpaksa membanting tubuh ke tanah dan bergulingan. Pedang-nya tertinggal di leher makhluk menjijikkan itu.
"Mayat hidup itu tak membiarkan buruannya lolos. Tubuh Panglima Soka yang tengah bergulingan dike-jarnya. Pedang yang masih menembus leher itu mem-buatnya kerepotan untuk menyerang. Kejadian menak-jubkan ini tak hanya melanda Panglima Soka. Semua anggota rombongannya pun demikian. Mereka semua terlibat dalam pertarungan aneh yang baru pertama kali ini mereka alami.
Di atas pohon Kusumawati memperhatikan semua yang terjadi dengan hati ngeri. Gadis ini tahu lambat laun rombongan pasukan kerajaan akan hancur. Tanda-tanda ke arah itu sudah dilihatnya. Kusumawati tak kuasa untuk terus melihat ketika beberapa orang prajurit mengalami nasib naas.
Mereka tewas secara mengerikan, direncah-rencah mayat-mayat hidup. Makhluk-makhluk menjijikkan itu membunuh lawannya tak hanya dengan cakar. Gigi-gigi mereka yang runcing dan hitam pun dipergunakan untuk menggigit leher korbannya. Pertarungan belum berlangsung dua puluh jurus. Tapi, jerit kematian dari rombongan Panglima Soka tak henti-hentinya berkumandang. Satu persatu mereka roboh ke tanah.
Tubuh-tubuh para prajurit yang malang itu bergeletakkan memenuhi sekitar tempat itu. Panglima Soka dan Panglima Gardika yang paling he-bat di antara rombongan itu hanya bisa menggertak-kan gigi. Untuk menolong mereka tak mempunyai daya sama sekali. Jangankan menolong, keadaan mereka sendiri tengah terjepit.
"Kurasa tak ada gunanya melawan mereka terus, Gardika!" teriak Panglima Soka.
"Benar, Soka!" sambung Panglima Gardika yang juga tengah terjepit oleh keroyokan mayat-mayat hidup. "Mereka bukan manusia! Mereka tak bisa kita binasakan!"
"Gusti Prabu harus kita beritahu agar berjaga-jaga dari serangan makhluk-makhluk jahanam ini, Gardika. Aku khawatir mereka akan menyebar ke mana-mana dan menimbulkan kekacauan!"
Panglima Soka menyempatkan diri mengerling ke arah anak buahnya yang masih tersisa. "Tidak ada gunanya melawan. Tinggalkan mereka! Selamatkan diri masing-masing. Kerajaan harus tahu akan adanya makhluk-makhluk jahanam ini. Kembali dan laporkan pada Gusti Prabu...!"
Seruan Panglima Soka itu keras bukan main. Panglima ini memang mengerahkan tenaga dalam ketika berteriak, agar bisa terdengar oleh semua anak buahnya. Seruan Panglima Soka membuat seluruh anggota rombongan berusaha membebaskan diri dari kepungan. Panglima Soka dan Panglima Gardika segera menyusul. Dengan kemampuannya kedua panglima ini berhasil meloloskan diri pari kepungan.
Keberuntungan yang diterima Panglima Soka dan Panglima Gardika tak dialami anak buah mereka. Kemampuan para prajurit memang tak bisa dibandingkan dengan kedua panglima kosen itu. Meski kemampuan mayat-mayat hidup tak melebihi kepandaian para prajurit, tapi jumlah mereka yang sudah menyusut jauh membuat setiap prajurit berhadapan dengan tiga mayat hidup. Satu persatu para prajurit itu roboh dalam usahanya membebaskan diri dari kepungan.
Hanya Panglima Soka dan Panglima Gardika yang berhasil lolos meninggalkan tempat itu. Untuk usaha keras itu mereka berdua harus menebusnya dengan luka-luka. Terhuyung-huyung keduanya berlari meninggalkan lawan-lawannya. Panglima Soka setengah menyeret Panglima Gardika yang menderita luka-luka parah. Di belakang mereka mayat-mayat hidup ber-bondong-bondong mengejar. Rupanya, makhluk-makhluk menjijikkan itu tak ingin melepaskan lawannya hidup-hidup.
"Aku sudah tak kuat lagi, Soka," ujar Panglima Gardika dengan napas terengah.
Panglima bermuka kuning ini sudah tak kuat lagi mengayunkan kaki. Darah yang mengalir deras dari luka-luka di sekujur tubuhnya membuat panglima ini lemas dengan cepat. Apa lagi dalam kuku-kuku mayat-mayat hidup memang mengandung racun.
"Kuatkan dirimu, Gardika! Aku akan membawamu ke kerajaan. Tabib-tabib istana akan mengobati luka-lukamu," sahut Panglima Soka seraya terus berlari dengan sebelah tangan mencekal pergelangan tangan Panglima Gardika.
Keadaan Panglima Soka sendiri tak terlalu menggembirakan. Luka-luka yang dideritanya memang tak separah Panglima Gardika, tapi racun yang menyeruak dari luka-luka akibat cakaran mayat-mayat hidup membuatnya lemas dan pusing. Keadaan membuat kecepatan larinya berkurang jauh.
Sementara itu mayat-mayat hidup memiliki kecepatan lari di bawah Panglima Soka. Namun makhluk-makhluk itu bagaikan mempunyai tenaga yang tak pernah habis. Mereka tetap segar. Maka, jarak yang memisahkan kedua panglima itu dengan mayat-mayat hidup semakin dekat. Baik Panglima Soka maupun Panglima Gardika menyadari keadaan yang gawat itu. Meskipun demikian, Panglima Soka tetap membawa rekannya berlari.
"Tinggalkan aku, Soka. Kau kembalilah ke kerajaan. Jangan sia-siakan nyawamu untuk membawaku. Aku sudah tak kuat lagi," beritahu Panglima Gardika lagi yang tak ingin rekannya karena ingin menyelamatkan dirinya lalu ikut dikejar-kejar mayat hidup.
"Tidak!" bantah Panglima Soka berkeras dengan maksudnya. "Apa pun yang akan terjadi tak akan ku-biarkan kau sendiri menunggu maut. Kita akan kembali ke kerajaan dengan selamat, Gardika. Berdua, kau dan aku!"
Panglima Gardika menoleh ke belakang. Dilihatnya rombongan mayat-mayat hidup semakin dekat. Dia tahu tak lama lagi mayat-mayat hidup itu akan berhasil menyusul. Dan bila itu terjadi, dia dan Panglima Soka akan celaka. Panglima Gardika menggertakkan gigi. Pedang yang masih tergenggam di tangan dibacokkan ke arah tangannya yang dicekal Panglima Soka.
Panglima Soka sempat menangkap bunyi desir gerakan pedang Panglima Gardika. Panglima tinggi besar ini terkejut. Kepalanya cepat-cepat ditolehkan ke belakang. "Gardika...!" seru Panglima Soka kaget. Dia tak menyangka tindakan nekat rekannya.
Panglima Soka tak sempat mencegah perbuatan Panglima Gardika. Dia hanya sempat melihat tangan Panglima Gardika putus. Sehingga hanya potongan tangan panglima bermuka kuning itu yang ada di genggaman tangannya.
Panglima Soka yang cerdik segera bisa menerka maksud Panglima Gardika. Dan, panglima ini tak mau membiarkan maksud rekannya itu terlaksana. Segera dihentikan larinya dan melesat untuk menangkap Panglima Gardika.
Panglima Gardika lebih cepat bertindak. Tanpa mempedulikan darah yang mengalir dari tangannya yang buntung, dia menjejakkan kaki lalu melempar tubuhnya ke belakang. Panglima bermuka kuning ini malah terjun ke dalam kerumunan mayat-mayat hidup!
"Selamat tinggal, Soka! Sampaikan hormatku untuk Gusti Prabu...!" teriak Panglima Gardika sebelum tubuhnya dihujani serangan cakar dan gigitan mayat-mayat hidup yang berebut untuk menyambut kedatan-gan tubuhnya.
"Gardika...!" seru Panglima Soka sekeras-kerasnya melihat nasib yang menimpa Panglima Gardika. Panglima tinggi besar ini bergerak untuk menyelamatkan rekannya. Tapi, langkahnya terhenti ketika menangkap ucapan Panglima Gardika.
"Jangan sia-siakan usahaku ini, Soka...."
Tubuh Panglima Soka menggigil melihat kematian rekannya tanpa dia mampu berbuat apa pun untuk menolong. "Tak akan ku sia-siakan pengorbanan mu, Gardika. Aku akan selamat Tapi kelak akan kubalaskan kematianmu..!" desis Panglima Soka penuh dendam.
Panglima tinggi besar ini kemudian membalikan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu. Mayat-mayat hidup mengejarnya berbondong-bondong. Kali ini makhluk-makhluk menjijikkan itu terus tertinggal. Semakin lama jarak yang terentang semakin jauh. Tekad yang besar untuk selamat agar pengorbanan Panglima Gardika tak sia-sia, menyebabkan Panglima Soka seperti mendapat tambahan tenaga baru.
Sementara itu, Kusumawati hampir jatuh dari cabang pohon yang didudukinya. Seluruh tenaganya seperti lenyap. Ingin rasanya gadis ini menjerit-jerit mengingat nasib Angruna. Kusumawati menggigit bibirnya keras-keras untuk mengusir perasaan sedih dan haru yang menggelegak. Dia tak ingin mengeluarkan bunyi sekalipun lirih.
Gadis ini khawatir keberadaannya di atas pohon akan diketahui rombongan mayat hidup. Siapa tahu makhluk-makhluk menjijikkan itu memiliki pendengaran yang tajam. Kusumawati sebenarnya tak takut mati. Tapi mati di tangan mayat-mayat hidup dia merasakan ngeri bukan main. Karena itu sedapat mungkin gadis ini berusaha untuk tak bergerak. Bahkan bernapas pun hampir-hampir ditahan.
Kusumawati sudah merasa lega ketika melihat mayat-mayat hidup berbondong-bondong mengejar Panglima Soka. Panglima kerajaan itu berlari menuju kerajaannya, arah semula dia dan rombongannya datang. Arah itu menjauhi tempat di mana Kusumawati berada.
Dengan hati tegang Kusumawati mengarahkan pandangan ke arah di mana tadi dia meninggalkan Angruna. Putri Sanggara ini berharap kakaknya selamat dan segera tiba di tempat ini. Dia akan mengajak Angruna bersembunyi dulu di atas pohon, menunggu sampai mayat-mayat hidup tak ada lagi.
Kusumawati mengarahkan pandangan lagi ke arah mayat-mayat hidup yang mengejar Panglima Soka. Hampir jantung gadis ini lepas dari dada. Berbondong-bondong makhluk-makhluk itu menuju kemari! Kusumawati tak tahu apakah nasib yang menimpa Panglima Soka. Berhasilkah panglima itu menyelamatkan diri dari makhluk-makhluk yang haus darah ini.
Pertanyaan yang bergayut di benak Kusumawati itu segera berganti dengan perasaan tegang, ketika melihat mayat-mayat hidup mengedarkan pandangan ke sekitar tempatnya berada. Tingkah makhluk-makhluk menjijikkan itu seperti ada yang tengah dicarinya. "Akukah yang dicari-cari mereka?" tanya Kusumawati dalam hati.
Kekhawatiran Kusumawati semakin membesar melihat makhluk-makhluk menjijikkan itu melangkah mendekati pohon tempatnya berada. Kepala mayat-mayat hidup itu ditolehkan ke sana kemari, Semakin mayat-mayat hidup mendekat semakin tegang perasaan Kusumawati. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Semakin besarlah dugaannya kalau dialah yang dicari mayat-mayat hidup itu!
"Grrrhhh...!" Tepat di sekitar pohon di mana Kusumawati bersembunyi, mayat-mayat hidup menghentikan langkah. Mereka mengelilingi pohon dengan kepala didongakkan. Geraman yang dikeluarkan terdengar bergemuruh karena dilakukan secara bersamaan.
Wajah Kusumawati langsung berubah putih laksana kapur. Rasa ngeri yang mencekam hati membuat seluruh kemampuannya buyar. Malah, kedua kaki dan sekujur tubuh Kusumawati terasa lemas tak bertenaga.
Sambil menggeram laksana binatang buas salah satu mayat hidup mencakari batang pohon. Kusumawati semakin panik. Tapi, gadis ini tak mampu berbuat apa pun. Kemudian dengan menggeram sekali lagi mayat hidup itu mengerahkan tenaga untuk mengangkat. Batang pohon berguncang keras.
Kusumawati terpaksa berpegangan agar tak jatuh. Gadis ini tak berani melompat karena lemahnya tubuhnya. Bahkan, ketika pohon itu tercabut dari tanah dengan membawa serta akar-akarnya! Untuk kesekian kalinya mayat hidup itu menggeram keras. Tangannya diayunkan. Seketika pohon di mana Kusumawati berada meluncur cepat bak anak panah lepas dari busur.
Kusumawati sadar keadaan amat berbahaya. Diusahakannya untuk menenangkan hati. Ditariknya napas panjang berulang-ulang selagi pohon itu meluncur. Usaha Kusumawati berhasil. Ketenangannya berhasil dipulihkan dan seiring dengan itu tenaganya mulai timbul kembali.
Kusumawati melompat ketika pohon tempatnya berada hampir menghantam pohon lainnya. Berbarengan dengan menjejaknya kedua kaki gadis ini di tanah, bunyi hiruk-pikuk terdengar ketika pohon yang meluncur berbenturan dengan pohon tersebut.
Begitu menjejak tanah Kusumawati langsung berlari. Seluruh kemampuannya dikerahkan. Gadis ini ingin sejauh mungkin menghindari mayat-mayat hidup yang mengerikan. Sempat dilihatnya rombongan makhluk-makhluk menjijikkan itu mengejarnya.
Kusumawati berlari sejadi-jadinya. Tak dipedulikannya medan yang ditempuh. Beberapa kali gadis ini hampir terhuyung karena terkait semak-semak kering yang menghampar. Tapi semua itu tak dipedulikan. Kusumawati tetap berlari dengan kepala sering ditolehkan ke belakang untuk melihat keadaan para pengejarnya.
* * *
Seorang pemuda berambut putih keperakan melangkah hati-hati. Pandangannya ditujukan ke depan mengintai melalui celah-celah kerimbunan semak. Tampak seekor kijang tengah merumput. Binatang itulah yang menarik perhatian pemuda berpakaian ungu itu.
Pemuda yang bukan lain dari Arya Buana alias Dewa Arak ini menudingkan jari telunjuknya ke arah semak-semak yang masih satu tombak di depannya. Terlihat salah satu daun putus dari tangkainya dan melayang tanpa bunyi ke arah Arya. Pemuda ini segera menangkapnya.
Arya lalu melangkah dua tindak. Daun dilontarkan ke arah kijang yang masih sibuk dengan santapannya. Daun itu meluncur tanpa bunyi sedikit pun, meski kecepatannya bak anak panah lepas dari busur. Sudah diperkirakan oleh Arya daun itu akan menembus kepala sang kijang, kemudian hewan itu akan menggelepar dan mati.
Tapi.. beberapa kaki lagi daun akan mengenai sasarannya terdengar bunyi berkerosokan nyaring. Si kijang terperanjat dan langsung berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Daun yang dilontarkan Arya menancap di pohon yang berada di samping binatang itu.
Arya hanya bisa menahan kecewa melihat buruannya berhasil lolos. Sekelebatan muncul keinginan untuk berlari mengejar binatang itu. Tapi maksudnya diurungkan ketika melihat seorang gadis berpakaian kuning berlari menuju tempat kijang tadi berada.
Arya jadi memperhatikan si gadis. Dia ingin tahu penyebab gadis itu berlari-lari sampai menimbulkan bunyi gaduh. Melihat caranya berlari, Arya tiba-tiba menjadi curiga. Semakin dekat dengan Arya semakin kelihatan jelas sosok gadis itu. Arya mengernyitkan dahi melihat wajah si gadis. Wajah itu tampak sarat dengan kengerian.
Dari tempatnya berada Arya memandang dengan leluasa memperhatikan gadis itu tanpa perlu merasa khawatir akan diketahui. Di samping kerimbunan semak-semak melindungi tubuhnya, gadis itu sendiri berlari tanpa mempedulikan kanan kirinya. Memang sering dilihat Arya gadis itu menolehkan kepala. Tapi tidak ke kanan atau ke kiri, melainkan ke belakang.
Sifat kependekaran Arya membuatnya memperhatikan terus kejadian aneh itu. Arya tahu tak akan mungkin gadis itu kerap kali menoleh ke belakang kalau tak ada apa-apa di sana. Kemungkinan besar gadis itu tengah dikejar-kejar. Demikian dugaan pemuda berpakaian ungu ini.
EMPAT
Gadis berpakaian kuning itu telah melewati depan Arya dan kini berada di sebelah kanannya. Arya jadi menujukan pandangannya ke sebelah kiri. Namun di sana tidak terlihat apa pun.
"Aaawww...!"
Jerit keterkejutan si gadis membuat Arya buru-buru mengalihkan perhatian. Sepasang mata pemuda ini membelalak melihat penyebab keluarnya jeritan dari mulut gadis itu. Dari dalam tanah, sekitar dua tombak di depan gadis berpakaian kuning, menyembul tangan-tangan kurus kering berkuku runcing kehitaman. Sementara gadis berpakaian kuning itu kelihatan ketakutan bukan main. Larinya dihentikan dan segera dibelokkan arahnya ke kanan menerobos ke rimbunan semak-semak.
"Aaawww...!" Lagi-lagi gadis itu menjerit setelah menerobos kerimbunan semak-semak melihat adanya sesosok tubuh di sana. Larinya langsung dihentikan. Tapi ketika melihat perbedaan pada sosok-sosok di balik semak-semak ini, kengeriannya mendadak sirna. Bahkan ada kilatan harapan di wajah dan sorot matanya.
Sosok yang bukan lain dari Arya sempat kaget dan melangkah mundur ketika mendapati gadis itu terpekik ketakutan melihatnya. Untuk menghindari kesalahpahaman, Arya buru-buru menjulurkan kedua tangannya.
"Tenang, Nona. Aku bukan orang jahat, percayalah," ucap Arya sungguh-sungguh agar si gadis percaya.
Hanya sampai di situ Arya berbicara, karena telah dilihatnya kilatan harapan di mata dan wajah si gadis. Sorot ketakutan terusir dari wajahnya. Arya tak menyalahkan kalau gadis itu kaget. Dia tengah ketakutan dan heran bukan main mendapati Arya berada di balik semak-semak.
"Apakah kau Dewa Arak...?" tanya gadis itu tanpa basa-basi lagi. Kilatan harapan semakin membesar di wajah dan sorot matanya.
"Benar, Nona. Akulah yang dijuluki Dewa Arak," jawab Arya.
"Syukurlah...," desah si gadis gembira. "Aku memang tengah mencari-carimu, Dewa Arak."
"Kurasa mengenai hal itu dapat diurus belakangan, Nona. Yang penting sekarang mengapa kau kelihatan demikian ketakutan? Apakah kau dikejar-kejar oleh makhluk-makhluk itu?" tanya Arya sambil menunjuk mayat-mayat hidup yang tengah bergerak ke arah dia dan gadis berpakaian kuning berada.
Si gadis menoleh ke arah yang ditunjuk Arya. Tampak olehnya mayat-mayat hidup yang semula baru muncul tangan-tangannya telah berbondong-bondong menuju tempatnya berada. Gerakan makhluk-makhluk itu kaku dan lambat.
"Memang, yang sejenis dengan mereka tengah mengejar-ngejarku," jawab gadis itu. "Tapi bukan mereka. Nah, itu makhluk-makhluk yang mengejarku!"
Arya menoleh ke arah kiri, tempat di mana tadi pandangannya sering ditujukan. Tanpa sadar pemuda ini menggeleng-gelengkan kepala. "Banyak juga jumlah makhluk-makhluk itu," desah Arya ketika melihat rombongan mayat hidup. Mayat-mayat hidup yang baru muncul dari dalam tanah memang tak terlalu banyak. Hanya belasan jumlahnya.
"Makhluk-makhluk jahanam itu tak bisa dibunuh, Dewa Arak!" beritahu si gadis tanpa diminta. "Percuma melawan mereka. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri rombongan prajurit kerajaan mereka bantai."
Kemudian secara sangat singkat, karena khawatir mayat-mayat hidup lebih dulu mencapai tempat mereka berada, gadis itu menceritakan hal-hal yang baru saja dialaminya.
"Entah bagaimana nasib kakakku, Dewa Arak. Aku khawatir dia menjadi korban makhluk-makhluk jahanam itu!" ujar si gadis menutup ceritanya.
Gadis ini memang bukan lain Kusumawati. Nasib baik masih berpihak padanya. Dewa Arak berada di hutan yang sama dengannya dan kebetulan melihatnya.
"Mumpung belum terlambat, kukira lebih baik kita tinggalkan mereka, Dewa Arak. Mereka tak bisa dibunuh!" beritahu Kusumawati lagi.
"Aku tak bisa membiarkan hal itu, Wati," kilah Arya sambil menggelengkan kepala. Pemuda ini tak ragu-ragu lagi untuk menyapa Kusumawati dengan namanya. Gadis itu tadi memang telah memperkenalkan namanya.
"Mengapa Dewa Arak?"
"Aku khawatir makhluk-makhluk ini akan menyebar ke tempat lain dan menimbulkan korban. Akan kucoba untuk mengirim mereka ke tempatnya semula."
"Tapi...."
"Mudah-mudahan saja caraku berhasil, Wati," sela Arya buru-buru. "Menyingkirlah sedikit agar makhluk-makhluk itu tak menyerangmu."
Tanpa banyak bantahan lagi Kusumawati melangkah mundur. Meski tahu mayat-mayat itu tak bisa dibunuh, Kusumawati agak berbesar hati juga. Julukan Dewa Arak telah sering didengarnya. Tokoh muda itu konon memiliki kepandaian tinggi. Siapa tahu Dewa Arak mempunyai ilmu yang bisa membuat mayat-mayat hidup itu mati?
"Ggrrrhhh...!" Diawali geraman keras yang memekakkan telinga dan menciutkan hati, dua makhluk menjijikkan itu menerkam Dewa Arak.
Arya mendengus ketika mencium bau bangkai menyengat hidungnya. Pemuda itu tak mau mencium yang lebih bau lagi. Sebelum tubuh-tubuh mayat hidup semakin mendekat, disambutnya dengan pukulan jarak jauh yang dihentakkan dua kali.
Wusss!
Angin menderu keras keluar dari kepalan tangan Dewa Arak. Seperti biasanya, mayat-mayat hidup tak mempedulikan serangan itu.
Desss, desss!
Tubuh mayat-mayat hidup melayang jauh ke belakang bagaikan daun kering dihembus angin keras ketika terhantam pukulan jarak jauh Arya. Dan tepat seperti yang dikatakan Kusumawati, begitu luncuran tubuh itu terhenti makhluk-makhluk dari dalam bumi ini kembali merangsek maju. Dewa Arak tak kaget melihat kenyataan ini, kendati angin pukulannya yang mengenai dada mayat-mayat hidup itu cukup untuk menghancurleburkan batu-batu sebesar gajah.
Berbeda dengan Dewa Arak yang tetap bersikap tenang, Kusumawati mulai merasa gelisah. Dilihatnya sendiri Dewa Arak pun tak mampu membuat mayat-mayat hidup mati meski dengan pukulan yang demikian dahsyat. Sungguh pun demikian putri Sanggara ini tak berkata apa pun. Dia hanya merasa ngeri ketika melihat Dewa Arak diterkam oleh beberapa mayat hidup sekaligus.
Dewa Arak sendiri tak bergeming dari tempatnya. Pemuda ini mengibaskan kedua tangannya. Angin keras yang berhembus membuat mayat-mayat hidup berpentalan tak tentu arah. Kejadian yang sama berulang pada mayat-mayat hidup lainnya. Mereka berpentalan ke sana kemari sebelum berhasil menyentuh kulit Dewa Arak.
Tapi semua itu tak membuat mayat-mayat hidup kapok. Serangan-serangan terus dilakukan. Dan pandangan yang terlihat bagaikan semut-semut menyerbu api, rontok sebelum berhasil mendekat. Setelah beberapa gebrakan bertarung seperti itu, Dewa Arak meloloskan sabuknya. Dengan senjata di tangan pemuda berambut putih keperakan itu menghadapi pengeroyokan lawan-lawannya.
Kusumawati adalah gadis yang sangat mahir mempergunakan sabuk. Dia menggunakan sabuk sebagai senjata andalannya. Tapi ketika melihat permainan sabuk Dewa Arak, gadis ini baru merasa kalau permainan sabuknya belum apa-apa.
Di tangan Dewa Arak sabuk itu justru lebih berbahaya dari pada senjata tajam lainnya. Terkadang Dewa Arak membuat sabuk menegang kaku laksana pedang atau golok. Tapi, tak jarang meliuk-liuk laksana ular sehingga sukar diketahui arah yang dituju. Sering kali pula sabuk itu dipergunakan seperti cambuk, melecut-lecut memperdengarkan bunyi nyaring.
Ctarrr, ctarrr!
Lecutan ujung sabuk Dewa Arak menghantam kepala dua mayat hidup yang sial. Terdengar bunyi ber-derak keras ketika kepala makhluk-makhluk itu han-cur. Kusumawati tak kuasa untuk tidak berteriak. Mayat-mayat hidup itu ambruk ke tanah dan tak bangkit lagi.
Tindakan Dewa Arak benar-benar mengiriskan. Ke mana pun ujung sabuknya meluncur selalu mendarat di kepala lawannya. Bunyi berderak keras terdengar susul-menyusul. Tubuh-tubuh ambruk ke tanah dan tak bangkit lagi. Hanya dalam waktu sebentar saja lebih dari separo mayat hidup tergolek di tanah.
Kusumawati tak henti-hentinya bersorak gembira melihat keberhasilan Dewa Arak membinasakan lawan-lawannya. Tak sedikit pun menyeruak perasaan miris melihat kepala-kepala mayat hidup yang hancur. Dua lecutan terakhir mengakhiri pertarungan itu. Dewa Arak lalu menggulung kembali sabuknya dan mengikatkannya di pinggang.
Sesaat pemuda ini menatap mayat-mayat yang bergeletakan di tanah sebelum membalikkan tubuh menghadap Kusumawati. Gadis itu tampak memperhatikan Arya dengan sorot mata kagum. Kepandaian Dewa Arak berada jauh di atas-nya. Sempat dilihatnya ketika Arya menggulung sabuk, tak ada noda sedikit pun pada kain berwarna ungu itu. Padahal, puluhan kepala telah dihancurkan dengan senjata lemas tersebut.
"Kau hebat, Dewa Arak!" puji Kusumawati tak me-nyembunyikan perasaan kagumnya. "Dari mana kau tahu kalau kepala mereka merupakan kelemahannya?"
"Aku pernah menghadapi makhluk-makhluk seperti ini sebelumnya," ujar Arya kalem. Sekarang mari kita ke tempat kakakmu berada, Wati. Barangkali saja belum terlambat untuk menolongnya," ajak Arya dengan separo mengingatkan.
"Ah...! Mengapa aku bisa lupa?" sambut Kusumawati. Dia baru teringat kembali dengan keadaan kakaknya.
Arya dan Kusumawati pun melesat meninggalkan tempat itu. Di tengah perjalanan Arya mendapati pa-sukan kerajaan yang menjadi korban amukan mayat-mayat hidup. Karena sepasang muda-mudi itu mempergunakan ilmu lari cepat, tak lama kemudian areal pemakaman yang dimaksud Kusumawati telah terlihat.
"Mengapa sepi, Dewa Arak?" keluh Kusumawati tanpa mampu menyembunyikan rasa khawatirnya. Wajah dan sorot matanya menyiratkan kecemasan yang menggelegak.
Arya tak memberikan tanggapan. Seperti juga Ku-sumawati, pemuda ini mengkhawatirkan kedatangan mereka terlambat. Areal pemakaman tampak lengang. Kendati demikian, Arya dan Kusumawati tetap melan-jutkan lari mereka untuk menuju ke tempat itu.
Apa yang mereka lihat dari kejauhan ternyata tak berbeda dengan setelah berada di areal pemakaman. Suasana tampak sunyi. Tidak terlihat sepotong makhluk hidup pun di sana. Tempat itu porak poranda seperti telah terjadi pertarungan.
Kusumawati berdiri terpaku bagai patung. Wajah gadis ini pucat bukan main. Sinar kesedihan yang sangat tampak jelas pada sorot matanya yang seperti lampu kehabisan minyak.
"Tenangkan hatimu, Wati," hibur Arya sebisa mungkin. Suara pemuda ini penuh perasaan prihatin. "Mudah-mudahan saja kakakmu selamat. Bukankah tak ada mayatnya di sini?"
Kusumawati tak segera memberikan tanggapan. Gadis ini malah menarik napas berulang-ulang. Beberapa kali hal itu dilakukan hingga ketenangannya pun timbul. Seiring dengan itu Kusumawati dapat merasa-kan kebenaran ucapan Dewa Arak. Benar. Bukankah korban-korban mayat-mayat hidup dibiarkan begitu saja? Dan, ketidakadaan mayat Angruna di sini bukan tak mungkin karena pemuda itu berhasil meloloskan diri!
"Tapi mengapa Kak Angruna tak segera menyusul?" bantah Kusumawati mulai khawatir lagi.
"Barangkali saja karena jalan menuju tempatmu dipenuhi makhluk-makhluk itu, Wati," jawab Arya sekenanya. "Atau mungkin karena usahanya untuk menyelamatkan diri, Angruna tak memperhitungkan arah lagi. Yang penting dia bisa selamat dari ancaman makhluk-makhluk itu."
Kusumawati terdiam. Hiburan yang diberikan Arya berhasil menenangkan hatinya yang resah.
"Menurut ceritamu, aku atau kakek bercelana pendek yang akan mampu menyingkap rahasia aneh di langit," ujar Arya sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Begitulah menurut penuturan Kakek Setyaki, De-wa Arak."
"Kau tahu di mana Kakek Setyaki tinggal?" tanya Arya lebih jauh. "Kita akan coba untuk menemuinya."
Kusumawati menggeleng. "Kakek Setyaki tak memberitahukan tempat tinggalnya. Tapi beliau memberikan suatu tanda yang membuatnya akan mengetahui kalau aku atau Kak Angruna bertemu dengan orang yang kami cari. Setelah itu, dengan mempergunakan ilmunya akan diberitahukan ke mana kami harus menemuinya."
Arya mengangguk-anggukkan kepala. "Sekarang apakah kau sudah mendapat pemberitahuan untuk menuju ke mana, Wati?"
"Belum, Dewa Arak," jawab Kusumawati.
Arya menghela napas berat. Pemuda ini kelihatan tidak tenang. Kusumawati jadi merasa heran melihatnya.
"Ada hal yang menyusahkan pikiranmu, Dewa Arak?" tanya Kusumawati hati-hati, takut dianggap bertindak lancang.
"Sebenarnya sih tidak, Wati. Aku hanya merasa khawatir Kakek Setyaki tak akan pernah bisa menghubungi mu."
"Aku belum mengerti maksudmu, Dewa Arak?" Kusumawati tampak mengernyitkan kuning.
"Bukankah kau tahu semua usaha Kakek Setyaki untuk menyingkap tanda aneh di langit selalu berakhir dengan kegagalan?" Arya malah balas mengajukan pertanyaan. Ketika dilihatnya Kusumawati mengangguk, perkataannya segera dilanjutkan. "Itu menunjukkan kalau seseorang atau sesuatu yang berada di balik peristiwa aneh ini mengetahui tindak tanduknya. Semua usaha Kakek Setyaki akan dihalanginya tak terkecuali dengan pemberitahuan terhadap dirimu, Wati. Bahkan aku khawatir Kakek Setyaki sudah tak ada lagi. Tokoh yang berada di balik semua kejadian ini tahu pasti Kakek Setyaki merupakan bahaya besar yang harus dilenyapkan dari muka bumi."
Kusumawati kelihatan terkejut mendengar penjelasan Arya. Hal seperti itu tak pernah masuk dalam pikirannya.
"Kalau demikian halnya...," ucap Kusumawati kemudian. "Aku dan Kak Angruna pun tak luput dari incaran bahaya itu?"
"Bisa jadi, Wati," jawab Arya sejujurnya. "Asal kau tahu saja, mayat-mayat itu tak akan mampu hidup lagi tanpa adanya campur tangan seseorang atau sesuatu. Bukan tak mungkin penyerangan mayat-mayat hidup terhadap kau dan kakakmu merupakan pekerjaannya."
"Lalu apa yang harus kulakukan sekarang, Dewa Arak?" tanya Kusumawati, bingung bercampur ngeri mengingat kemungkinan mayat-mayat hidup akan menyerangnya kembali.
"Bukan hanya kau saja, Wati, tapi juga aku. Kita berdua akan bekerja sama untuk menyingkapkan masalah ini. Untuk langkah pertama, kita jumpai dulu ayahmu. Beliau sedikit banyak bisa memperkirakan tempat tinggal Kakek Setyaki. Tentu saja sambil kita selidiki ke mana Angruna pergi," usul Arya setelah memperbaiki ucapan Kusumawati.
* * *
Malam ini tampak begitu cerah. Langit bersih tanpa sepotong awan pun menggantung di sana. Binatang-binatang leluasa memancarkan sinar lembutnya ke persada. Bulan purnama berwarna kuning keemasan semakin menambah indahnya suasana malam.
Dalam suasana seperti itu tampak sosok-sosok tubuh tengah bergerak. Mereka memiliki gerakan cepat kendati tak ringan menjejak tanah. Bunyi langkah so-sok-sosok itu berdebam-debam menghantam tanah tak ubahnya segerombolan gajah liar yang tengah berlari. Mereka memang tak patut disebut manusia. Sebagian besar tak memiliki daging yang utuh melekat di tubuh. Bau bangkai pun menyeruak dari tubuh-tubuh itu. Sosok-sosok ini adalah mayat-mayat hidup!
Gerombolan mayat hidup berlari dengan pasti menuju kelompok bangunan yang dikelilingi pagar tembok tinggi menjulang. Istana kerajaan! Sinar bulan yang memancar membuat rombongan mayat hidup segera terlihat oleh prajurit-prajurit kerajaan yang berjaga-jaga di atas tembok istana.
"Makhluk-makhluk celaka yang dikatakan Panglima Soka menuju kemari. Sepertinya hendak menyerang istana. Gila!" teriak prajurit bertubuh gemuk dengan suara menyiratkan kengerian.
"Kita akan habisi mereka...!" sahut prajurit yang berkumis mirip misai tikus. Setelah berkata demikian, prajurit itu meniup terompet dari tanduk menjangan. Bunyi khas yang menjadi pertanda adanya bahaya pun terdengar. Nyaring, menguak kesunyian malam.
Sekejap kemudian suasana kalut melingkupi se isi istana. Puluhan prajurit berlarian dari beberapa ban-gunan. Gerakan mereka tangkas dan cepat. Dalam waktu sebentar saja prajurit-prajurit itu telah berada di atas tembok istana.
"Serang...!" Puluhan anak panah berapi melesat dari busurnya ketika rombongan mayat hidup telah semakin dekat. Suasana mendadak menjadi terang benderang bak siang hari.
Namun seperti biasanya, mayat-mayat hidup itu tak mempedulikan akan adanya serangan. Makhluk-makhluk menyeramkan ini terus berlari. Maka tak pelak lagi panah-panah berapi menembus tubuh mereka. Sebagian besar mayat-mayat hidup yang terkena serangan dengan tubuhnya terbakar tetap merangsek maju bersama rekan-rekannya. Kobaran api di tubuh mereka sama sekali tak dirasakan.
"Gila!"
"Luar biasa!"
"Ajaib!"
Seruan-seruan bernada kaget dan ngeri keluar dari mulut para prajurit kerajaan. Kendati demikian mereka tak mempunyai pilihan lain kecuali terus melontar-kan anak-anak panah itu. Tapi hasil yang didapat tak berbeda dengan sebelumnya. Gelombang penyerbuan mayat-mayat hidup tak bisa dicegah. Seluruh prajurit menjadi panik
. "Panglima Soka benar. Makhluk-makhluk jahanam itu tak bisa dibunuh," celetuk salah seorang prajurit dengan nada putus asa.
"Mayat-mayat gila! Apakah dunia telah terbalik sehingga mereka bangkit dari kubur dan menyerbu kerajaan? Apakah makhluk-makhluk itu pun ingin mendirikan kerajaan mayat hidup?" gerutu seorang prajurit lain.
Dalam keadaan biasa ucapan prajurit itu akan memancing rasa lucu di hati yang lain. Tapi karena saat itu ketegangan menyelimuti, tak ada seorang pun yang tersenyum, apalagi tertawa!
Para prajurit terpaksa membuang busur-busur dan menggantinya dengan tombak ketika jarak lawan telah semakin dekat. Bahkan beberapa mayat hidup mulai berusaha memanjat dinding istana. Sebagian lagi menuju pintu gerbang.
Brakkk!
Daun pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati tebal dan berukir hancur berantakan dilabrak beberapa mayat hidup. Hancurnya pintu membuat mayat-mayat hidup itu meluruk masuk ke dalam istana. Serbuan ini segera disambut oleh ratusan prajurit dengan pedang dan tameng. Pertarungan besar-besaran pun terjadi. Tak hanya di bawah, tapi juga di atas tembok istana.
Korban di pihak pasukan kerajaan pun berjatuhan. Mayat-mayat hidup itu terlalu tangguh untuk mereka hadapi. Jeritan kematian terdengar silih berganti di-ikuti dengan robohnya tubuh mereka ke tanah. Darah membanjiri halaman istana!
Pasukan kerajaan berusaha keras untuk bertahan. Tapi ketangguhan lawan-lawan yang mereka hadapi membuatnya tak berdaya. Betapapun keras perlawanan yang mereka berikan namun terus terdesak mundur ke arah bangunan istana.
Di antara pasukan kerajaan terdapat Panglima Soka. Panglima yang telah sembuh dari luka-lukanya ini tak kuasa pula untuk diam di tempatnya, Panglima tinggi besar ini ikut bergerak mundur. Panglima Soka menggertakkan gigi. Dia kesal dan geram. "Haruskah kerajaan jatuh ke tangan mayat-mayat hidup itu?" tanya sang panglima dalam hati.
Kekhawatiran Panglima Soka dan semua pasukan kerajaan tampaknya akan terjadi. Mereka terus terdesak mundur. Namun sebuah keajaiban terjadi! Setelah rombongan mayat-mayat hidup masuk lima tombak dari pintu gerbang istana, makhluk-makhluk itu roboh ke tanah dan tak bergerak lagi!
Kejadian itu menggembirakan pihak pasukan kerajaan, meski mereka tak mengerti apa yang telah terjadi. Yang mereka ketahui, setiap kali mayat-mayat hidup melewati jarak lima tombak dari daun pintu gerbang mereka lalu roboh dan mati! Panglima Soka sege-ra memerintahkan pasukannya untuk berada di jarak yang aman. Sorot-sorot kegembiraan dan kelegaan tampak memancar di wajah pasukan kerajaan.
Sisa rombongan mayat hidup rupanya merasa jeri. Berbondong-bondong makhluk-makhluk itu bergerak mundur dan meninggalkan istana. Kegeraman rupanya masih bersarang di hati makhluk-makhluk itu. Sambil meninggalkan istana mereka mengeluarkan geraman-geraman kemarahan.
* * *
LIMA
"Hhh...!" Prabu Rancamala menghela napas berat. Dahi raja yang telah berusia hampir enam puluh lima tahun ini berkernyit. Sepasang matanya kemudian beredar men-gawasi sekelilingnya. Satu persatu dirayapinya wajah-wajah orang yang duduk bersila di depannya.
"Tombak Panca Warna...," gumam Prabu Rancamala pelan.
"Benar, Gusti Prabu," sahut seorang kakek berjenggot panjang dan berpakaian putih. "Benda itulah yang membuat makhluk-makhluk jahanam itu tak mampu mendekati bangunan istana. Jawaban ini hamba dapatkan melalui semadi hamba, Gusti Prabu."
"Aku memang pernah mendengar kabar tentang benda pusaka itu di kerajaan ini, Eyang," ujar Prabu Rancamala lagi.
"Tapi aku sendiri belum pernah melihatnya. Jadi, ku sangsikan kebenaran berita itu."
"Menurut wangsit yang hamba terima, Gusti Prabu," timpal Eyang Santer, ahli kebatinan kerajaan, "Tombak Panca Warna dihadiahkan seorang brahmana penyebar agama pada buyut Gusti Prabu. Berkat pengaruh Tombak Panca Warna buyut Gusti Prabu tidak menghadapi gangguan apa pun dari makhluk-makhluk halus yang dulu mendiami wilayah kerajaan ini, yang di waktu zaman buyut Gusti Prabu masih berupa hutan liar."
"Ayahanda pun pernah menceritakan hal itu, Eyang. Tapi betapa pun kucari tak kutemukan pusaka itu di sini. Apakah Eyang mampu menemukannya?" tanya Prabu Rancamala penuh harap.
"Ampunkan Hamba, Gusti Prabu. Sejauh ini hamba belum berhasil mengetahui tempat Tombak Panca Warna berada," jawab Eyang Santer seraya memberi hormat.
Selebar wajah Prabu Rancamala menyiratkan kekecewaan besar mendengar jawaban itu.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Boleh hamba bicara?" tanya Panglima Soka.
"Silakan, Panglima."
Panglima Soka kemudian mengalihkan perhatian pada Eyang Santer. "Aku menjumpai hal aneh, Eyang," ujar Panglima Soka memulai pembicaraannya. "Ini sehubungan dengan mayat-mayat hidup itu. Mengapa mayat-mayat hidup roboh pada jarak tertentu? Apakah Tombak Panca Warna menyebarkan hawa yang dapat melumpuhkan mayat-mayat hidup pada jarak tertentu? Misalnya..., tiga tombak, Eyang? Dengan demikian kita bisa mencarinya dalam jarak sekian dari batas di mana mayat-mayat itu roboh."
"Tombak Panca Warna tidak mempunyai pengaruh demikian, Panglima," jawab Eyang Santer. "Tewasnya mayat-mayat hidup itu menurut wangsit yang kudapat karena pada tempat yang mereka lalui, jarak lima tombak dari pintu gerbang, telah dikucuri air berkhasiat yang diberikan ulama ratusan tahun lalu. Dan sebenarnya tempat di mana air itu dikucurkan dulu adalah dinding istana kerajaan. Karena istana diperluas, tempat yang dikucuri air jadi berada di dalam dinding istana. Air itu pun dimaksudkan untuk mencegah masuknya makhluk-makhluk gaib yang bermaksud jahat ke dalam lingkungan istana."
Eyang Santer lalu mengalihkan perhatian pada Prabu Rancamala. "Dan menurut pengetahuan hamba Gusti Prabu, air itu berasal dari rendaman Tombak Panca Warna. Tapi apabila Tombak Panca Warna lenyap dari lingkungan istana, air itu kehilangan kegunaannya. Pengaruh air bisa memudar oleh waktu. Keberadaan Tombak Panca Warna yang membuat pengaruh air tetap ada. Karena itu Gusti Prabu, hamba yakin sekali Tombak Panca Warna masih berada di sini."
Prabu Rancamala mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah kalau demikian, Eyang. Panglima Soka!"
"Hamba, Gusti Prabu," jawab Panglima Soka cepat sambil memberi hormat.
"Kau perintahkan prajurit untuk mencari di mana adanya Tombak Panca Warna itu!" titah sang raja yang berkulit wajah kemerahan itu dengan penuh wibawa.
"Hamba, Gusti Prabu. Titah Gusti Prabu akan, segera hamba laksanakan!"
"Bisa kau beritahukan ciri-ciri Tombak Panca Warna itu, Eyang?" tanya Prabu Rancamala.
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," Eyang Santer memberi hormat "Hamba belum mengetahuinya. Akan hamba usahakan untuk mengetahuinya, Gusti Prabu. Hamba akan bersemadi lagi untuk mendapatkan wangsit."
Prabu Rancamala terdengar menghela napas berat mendengar jawaban ahli kebatinan istananya. Disandarkannya punggungnya ke singgasana yang mewah dan indah.
* * *
Bangunan itu besar dan megah. Dinding batu setinggi satu tombak mengelilingi bangunan yang memiliki halaman luas. Bunga berwarna-warni menghiasi sebagian besar halaman. Jika melihat tempat ini tak seorang pun akan menyangka pemiliknya seorang datuk kaum sesat berhati kejam dan berwatak bengis. Iblis Gelang Raksasa, julukannya.
Saat itu Iblis Gelang Raksasa, seorang kakek tinggi besar berpakaian indah dan berkulit putih bersih, tengah duduk di sebuah bangku di halaman samping yang dipenuhi bunga-bungaan aneka warna. Iblis Gelang Raksasa menarik napas dan mengeluarkan secara berirama, sebagaimana layaknya orang yang tengah bersemadi. Dan memang sesungguhnya demikian, kakek yang telah berusia enam puluh lima tahun itu tengah bersemadi. Dan tempatnya selalu di halaman samping yang tertutup.
Setelah beberapa lama Iblis Gelang Raksasa mengatur jalan napasnya, tampaklah perubahan pada wajah yang putih bersih itu. Wajah itu mulai memerah dan akhirnya hitam kelam laksana arang. Kemudian perlahan-lahan warna hitam memudar menjadi putih seperti sediakala. Perubahan warna itu tak berhenti hanya sampai di sini.
Wajah Iblis Gelang Raksasa semakin putih pucat hingga akhirnya berwarna hijau! Tokoh persilatan besar akan dapat mengetahui perubahan seperti ini hanya dapat terjadi akibat penguasaan tenaga dalam berhawa dingin dan panas yang sampai ke puncaknya!
Wajah Iblis Gelang Raksasa yang telah berubah hi-jau kemudian kembali memudar. Namun sebelum sampai seperti sediakala, tampak kerutan di sepasang alis kakek ini, seakan-akan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Kendati demikian, latihannya tetap diteruskan hingga warna wajahnya putih kembali seperti sediakala. Iblis Gelang Raksasa membuka sepasang matanya. Peluh yang membasahi sedikit dahinya dihapus dengan sapu tangan indah.
"Kunyuk-kunyuk itu rupanya sudah kepingin mati lebih cepat!" desis Iblis Gelang Raksasa dengan sepasang mata memancarkan hawa pembunuhan. "Berani-beraninya mereka mengganggu latihanku dengan bunyi-bunyi gaduh."
Iblis Gelang Raksasa lalu bangkit dari semadinya dan melangkah lebar-lebar menuju pintu halaman samping yang tertutup dan diselot. Tangan kakek ini diulapkan seperti orang mengusir lalat. Selot di pintu pun bergerak membuka bagai digerakkan oleh tangan tak nampak. Padahal jarak kakek itu dengan daun pintu masih dua tombak.
Iblis Gelang Raksasa terus melangkah seakan hendak menabrak daun pintu yang belum membuka. Tapi setengah tombak sebelum sampai, daun pintu itu telah bergerak membuka sendiri. Dengan langkah-langkah lebar dan wajah bengis Iblis Gelang Raksasa terus melangkahkan kakinya menuju keluar.
Pendengarannya yang tajam mengisyaratkan kalau bunyi gaduh itu berasal dari halaman depan. Puluhan langkah berjalan baru Iblis Gelang Raksasa sampai diambang pintu yang berbatasan dengan teras. Dari tempat itu tampak pemandangan yang membuat kemarahannya yang berkobar berganti dengan keterkejutan!
Di halaman depan belasan anak buah Iblis Gelang Raksasa tengah terlibat pertarungan meng-hadapi seorang lelaki jangkung. Sepuluh anak buah datuk kaum sesat ini dengan senjata di tangan, tapi mereka terdesak oleh lawannya yang tak bersenjata.
Lelaki jangkung itu justru tak bergeming dari tempatnya. Hanya kedua tangannya yang digerakkan ke sana kemari menangkis serangan-serangan yang datang. Akibat tangkisan-tangkisan itu tubuh para pengeroyoknya berpentalan dan jatuh terguling-guling.
Lelaki jangkung tampak tak terpengaruh sama sekali akan tindakan yang dilakukannya. Tak terlihat tanda-tanda dia merasa kesakitan akibat benturan tangannya yang telanjang dengan senjata-senjata lawan. Malah, beberapa kali senjata lawan dibiarkan mengenai sekujur tubuhnya. Akibatnya, senjata-senjata itu berbalik dan berpentalan seperti mengenai gumpalan karet kenyal.
"Minggir semua, kecoak-kecoak tak berguna!" seru Iblis Gelang Raksasa seraya menghampiri kancah pertarungan.
Tanpa menunggu perintah dua kali anak-anak buah Iblis Gelang Raksasa berbondong-bondong meninggalkan kancah pertarungan. Yang tinggal hanya lelaki jangkung berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Lelaki jangkung itu menatap tak berkedip pada Iblis Gelang Raksasa. Si iblis sendiri tak mau kalah gertak. Sambil mengayunkan kaki tatapannya ditujukan pada lelaki jangkung. Dua pasang mata yang sama-sama tajam saling bertemu tanpa ada yang mau mengalah.
"Selamat berjumpa lagi, Iblis Gelang Raksasa," ujar lelaki jangkung ketika Iblis Gelang Raksasa telah menghentikan langkahnya. Lelaki jangkung dan Iblis Gelang Raksasa berdiri berhadapan dalam jarak tiga tombak.
Iblis Gelang Raksasa terdengar mendengus marah. Ucapan lelaki jangkung tidak dipedulikannya sama sekali. "Apa yang mendorongmu datang kemari, Antaboga?!" tanya Iblis Gelang Raksasa tak ramah. "Meminta ku untuk membantu gerakan pemberontakanmu lagi?!"
Lelaki jangkung yang ternyata Pangeran Antaboga langsung mengelam wajahnya. Sorot sepasang matanya seperti memancarkan api. Namun hanya sebentar, kemudian kembali seperti biasa. Tenang dan dingin.
"Kau keliru besar kalau menduga demikian, Iblis Gelang!" dengus Pangeran Antaboga. "Aku tahu tak ada gunanya mengajak orang yang takut. Kedatanganku kemari hanya untuk menengok kawan lama."
"Tak usah berbasa-basi denganku, Antaboga! Cepatlah menyingkir dari tempat ini sebelum kesabaranku habis. Aku tak butuh pangkat atau kedudukan karena keadaan sekarang sudah enak. Kau boleh mengejar keinginanmu, tapi jangan harap aku akan bersedia membantu!" tandas Iblis Gelang Raksasa.
"Aku malah menunggu habisnya kesabaran mu, Iblis Gelang!" sahut Pangeran Antaboga dengan berani. "Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan terhadapku?"
"Kuperingatkan sekali lagi, Antaboga. Pergi dari sini! Ini peringatan terakhir. Kau bukan seorang pange-ran lagi. Raja Rancamala malah telah membuang mu ke tempat terkutuk. Kendati berhasilnya kau lolos dari tempat pembuangan itu merupakan teka-teki, namun tak menjadikan ku gentar. Kalau aku masih mempedulikan kedudukan dan pangkat, kutangkap kau dan kuserahkan pada kerajaan. Tapi aku tak ingin melakukan hal itu. Pergilah, Antaboga!"
"Sesumbar mu besar sekali, Iblis Gelang!" sambut Pangeran Antaboga dengan suara keras. "Dua tahun yang lalu mungkin kau bisa berkata demikian. Tapi sekarang tak sepotong makhluk pun boleh menghina Pangeran Antaboga. Majulah kau, Iblis! Ingin kulihat sampai di mana kemampuanmu!"
"Keparat! kau mencari penyakit sendiri, Pangeran Pemberontak! Di istana kau boleh ditakuti dengan kemampuan yang kau miliki. Tapi semua kemampuanmu tak ada artinya bila dipertunjukkan padaku. Sikap lancang mu cukup membuatku untuk membawamu ke hadapan raja. Aku yakin Raja Rancamala akan gembira mendapat oleh-oleh dariku. Kudengar kerajaan memang bermaksud membawamu kembali ke sana sebagai tahanan!"
"Cuhhhh!" Dengan kasar Pangeran Antaboga meludah. Bukan ke tanah tapi ke wajah Iblis Gelang Raksasa. Terdengar bunyi berdesing nyaring bak anak panah lepas dari busur, ketika cairan yang kental menjijikkan itu meluncur ke arah wajah Iblis Gelang Raksasa.
Wajah Iblis Gelang Raksasa merah padam saking marahnya mendapat serangan seperti itu. Meskipun diakui serangan itu hanya seperti serangan anak panah, tapi Iblis Gelang Raksasa merasa terhina. Kema-rahan yang sudah membakar hati berkobar semakin besar!
Iblis Gelang Raksasa tak mengelakkan serangan itu sama sekali. Tangan kanannya dijulurkan ke depan lalu diputar ke kiri. Angin menderu keras dari gerakan itu. Akibatnya, semburan ludah terhenti di tengah jalan dan rubuh ke tanah.
"Kau masih lihai seperti dulu, Iblis Gelang! Tapi Pangeran Antaboga yang sekarang tak bisa disamakan dengan yang dulu. Bersiaplah, Iblis Gelang!"
Berbarengan dengan selesainya ucapan itu Pangeran Antaboga melesat menerjang Iblis Gelang Raksasa. Kedua tangannya terkembang membentuk cakar dan dilayangkan ke arah lawan. Cakar kanan mengancam leher sedangkan yang kiri mengancam dada. Kedudukan buku-buku jari tangan kanan menghadap ke langit, bertolak belakang dengan buku-buku jari tangan kiri yang menghadap ke bumi.
Iblis Gelang Raksasa tak mau kalah gertak. Serangan itu segera di sambutnya dengan dorongan kedua tangan terbuka. Jari-jari kedua tangannya lurus. Ujung-ujung jari yang kanan menghadap ke langit sementara yang kiri menghadap ke bumi. Gerakan kakek ini mirip dengan gerakan Pangeran Antaboga. Hanya saja berbeda kedudukan jari-jarinya.
Prattt!
Diiringi bunyi keras ketika dua pasang tangan berbenturan tubuh kedua tokoh itu terhuyung ke belakang. Iblis Gelang Raksasa lebih jauh selangkah dari Pangeran Antaboga. Iblis Gelang Raksasa hampir-hampir tak percaya akan kenyataan ini. Telah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya pada tangkisan tadi. Namun tetap saja Pangeran Antaboga lebih unggul. Hal ini benar-benar di luar perhitungannya!
Pangeran Antaboga mengetahui keterkejutan lawannya. Maka, dibentuknya seulas senyuman mengejek. Tindakan pangeran ini membuat kemarahan Iblis Gelang Raksasa menggelegak. Keheranan yang semula menyelimuti segera berganti dengan kemarahan besar.
Perasaan ini mendorong Iblis Gelang Raksasa untuk melancarkan serangan lebih dulu. Kakek ini mengerahkan ilmu andalan dan seluruh kemampuannya dalam serangan itu. Pangeran Antaboga segera menyambutnya sehingga pertarungan sengit pun terjadi. Bunyi angin menderu, mencicit, dan mengaung menyemaraki jalannya pertarungan. Gerakan kedua tokoh yang sama-sama cepat membuat bentuk tubuh mereka tak terlihat jelas. Yang kelihatan hanya bayangan coklat dan keemasan saling belit.
Iblis Gelang Raksasa menggertakkan gigi karena perasaan geram dan penasaran. Pangeran Antaboga tak bisa didesaknya kendati pertarungan telah melewati jurus kelima puluh. Sungguh tak disangkanya waktu dua tahun telah membuat sang pangeran memperoleh kemajuan yang demikian pesat.
"Kurasa main-main ini sudah cukup, Iblis!" Pangeran Antaboga kemudian mengubah gerakannya. Dia tidak lagi mengirimkan serangan secara langsung. Pangeran itu malah berlarian memutari Iblis Gelang Raksasa.
Tingkah Pangeran Antaboga membuat Iblis Gelang Raksasa merasa heran. Meski telah kenyang pengalaman bertempur tapi baru kali ini Iblis Gelang Raksasa menemui pertarungan semacam ini. Dia pun berdiam diri di tempatnya dan tak melakukan tindakan apa pun kecuali memperhatikan perbuatan Pangeran Antaboga.
Mula-mula memang tidak ada hal aneh yang didapati Iblis Gelang Raksasa. Tapi beberapa saat kemudian kepalanya dirasakan pening. Pandangan matanya pun berkunang-kunang karena terus dipergunakan untuk melihat tubuh Pangeran Antaboga yang berputaran di sekelilingnya.
Sekarang Iblis Gelang Raksasa baru mengetahui kedahsyatan yang terkandung dalam cara pertarungan aneh itu. Kakek ini pun sadar kalau terus diikutinya gerakan lawan dia akan roboh dengan sendirinya.
Iblis Gelang Raksasa buru-buru berdiri tegak di tempatnya sambil memejamkan mata. Indera penglihatannya tak dipergunakan lagi. Sekarang yang dipakainya adalah sepasang telinganya. Dengan pendengarannya yang luar biasa tajam diikutinya setiap gerakan Pangeran Antaboga.
Pertarungan unik pun terjadi. Iblis Gelang Raksasa berdiam diri di tempatnya. Tapi ketika pendengarannya menangkap bunyi serangan, ditangkis dan sekaligus dilancarkannya serangan balasan. Di lain pihak, Pangeran Antaboga terus berlari mengitari lawannya sambil sesekali melancarkan serangan.
Tak sampai sepuluh jurus pertarungan aneh itu berlangsung Iblis Gelang Raksasa telah terdesak hebat. Begitu menginjak jurus ketiga belas sebuah tendangan Pangeran Antaboga mengenai lututnya Iblis Gelang Raksasa terjengkang ke belakang. Berkat kelihayannya kakek ini memang tak sampai terjatuh, tapi sambungan tulang lututnya terlepas. Iblis Gelang Raksasa menggigit bibir menahan rasa nyeri yang mendera. Kendati demikian, kakek ini bersiap untuk menghadapi serangan lawan selanjutnya.
Tapi Pangeran Antaboga tak mengirimkan serangan lagi. Lelaki itu malah menatap lawannya dengan sorot mata kemenangan. Pangeran Antaboga berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Bagaimana, Iblis? Apakah kau masih berkeras ingin melanjutkan pertarungan? Asal kau tahu saja, masih banyak ilmu-ilmu dahsyat lainnya yang kumiliki. Kurasa hal ini telah cukup untuk membuatmu mengerti kalau kau bukan tandinganku!"
Iblis Gelang Raksasa menatap Pangeran Antaboga dengan sorot yang sukar ditebak maksudnya. Namun yang jelas datuk kaum sesat ini tak percaya akan apa yang dialaminya.
"Sebenarnya apa maksudmu datang kemari, Antaboga?" tanya Iblis Gelang Raksasa meminta kepastian.
"Hanya sebuah maksud kecil," jawab Pangeran Antaboga ringan. "Memintamu untuk melaksanakan suatu pekerjaan."
"Pekerjaan apa?" tanya Iblis Gelang Raksasa setelah berpikir sebentar.
"Mengambil Tombak Panca Warna."
"Tombak Panca Warna?!" Iblis Gelang Raksasa mengernyitkan dahi. Kakek ini telah mendengar tentang senjata itu. Sebuah senjata pusaka di masa ratusan tahun silam. Namun, tak ada seorang pun yang tahu bagaimana bentuknya. "Di mana harus kudapatkan benda itu?"
"Di kerajaan," jawab Pangeran Antaboga dengan sikap biasa. Tak dipedulikannya keterkejutan Iblis Gelang Raksasa. "Bagaimana? Kau setuju dengan usulku ini, Iblis? Kalau kau tidak mau, taruhannya adalah nyawamu!" ujar Pangeran Antaboga mantap.
Iblis Gelang Raksasa tak mempunyai pilihan lain. Dihelanya napas berat kemudian dianggukkan kepalanya. Kaku dan perlahan-lahan gerakan itu dilakukan.
"Bisa kau beritahukan di mana letaknya yang pasti?" tanya Iblis Gelang Raksasa dengan suara yang hampir tak terdengar.
Pangeran Antaboga mengangguk. Kemudian, secara gamblang diberitahukannya pada Iblis Gelang Raksasa. Iblis itu mencatat semua keterangan Pangeran Antaboga di benaknya.
"Ingat, Iblis Gelang," ujar Pangeran Antaboga penuh tekanan. "Jangan coba-coba untuk mempermainkan ku. Akibatnya akan sangat mengerikan!"
Iblis Gelang Raksasa hanya tersenyum pahit. Kalau menuruti perasaan, ingin diterjangnya Pangeran Antaboga untuk mengadu nyawa. Tapi segera ditekannya keinginan itu karena akibatnya hanya akan mencelakakan diri sendiri. Dalam keadaan seperti ini dia tak akan mungkin menang menghadapi Pangeran Antaboga. Mengalah sedikit tak mengapa demi keuntungan, demikian pikir kakek berpakaian keemasan ini.
* * *
ENAM
Angin lembut yang membawa hawa dingin menusuk tulang berdesir di malam yang hanya diterangi sinar bulan sepotong. Kendati demikian suasana di persada cukup terang. Bahkan bintang-bintang bertaburan di langit.
Dalam suasana malam seperti itu Iblis Gelang Raksasa melesat cepat menuju istana kerajaan. Gerakannya yang cepat dengan kedua kaki bagai tak menginjak tanah membuatnya cepat tiba di dinding tembok istana. Berlainan dengan biasanya, prajurit-prajurit yang bertugas di atas tembok istana tak melihat kedatangan tamu tak diundang itu.
Iblis Gelang Raksasa merapatkan tubuh di dinding beberapa saat. Kakek ini menanti saat yang menguntungkan untuk dapat masuk ke dalam lingkungan is-tana. Dan ketika saat yang dinantikannya tiba, dia me-lesat ke atas. Berkat ilmu meringankan tubuh Iblis Gelang Raksasa yang telah mencapai tingkatan tinggi, sekali menjejakkan kaki tubuhnya telah melesat melewati dinding istana.
Tanpa menimbulkan bunyi, Iblis Gelang Raksasa menjejakkan kaki di tanah, di dalam lingkungan istana. Untuk kedua kalinya keuntungan seperti berpihak pada datuk sesat itu. Tak seorang pun anggota pasukan kerajaan yang memergokinya. Prajurit-prajurit yang berkeliling memperhatikan keadaan di sekitar is-tana telah melewati tempat di mana Iblis Gelang Rak-sasa mendarat.
Iblis Gelang Raksasa menghela napas lega. Dia merasa gembira melihat keberhasilannya di tahap-tahap pertama. Kakek itu tak membuang-buang waktu. Bergegas dia melesat ke arah salah satu bangunan. Begitu tiba di bangunan yang dituju Iblis Gelang Raksasa melompat ke atas genting. Kembali tak terdengar bunyi yang berarti ketika kedua kakinya menjejak di sana.
Laksana seekor kucing Iblis Gelang Raksasa berlarian di atas genting menuju bagian belakang. Menurut penuturan Pangeran Antaboga tepat di sebelah bawah puncak genting tersimpan Tombak Panca Warna. Baru juga mencapai pertengahan jalan, Iblis Gelang Raksasa merasakan ada keanehan.
Pendengaran kakek ini yang tajam menangkap suara desah napas halus di tempat yang ditujunya. Tertangkap oleh pendengarannya desah napas itu tak hanya keluar dari satu hidung. Banyak lubang hidung yang menimbulkan bunyi seperti itu! Kecurigaan yang timbul membuat Iblis Gelang Raksasa menghentikan lari. Saat itulah dari balik puncak genting bermunculan banyak busur dalam keadaan terentang.
"Matilah kau, Pencuri Hina...!" Berbarengan dengan keluarnya teriakan yang memecahkan kesunyian malam itu, terdengar bunyi berdesingan nyaring bertubi-tubi dari melesatnya belasan anak panah menuju ke arah Iblis Gelang Raksasa!
Iblis Gelang Raksasa segera mengeluarkan senjata andalannya. Sebuah baja putih besar berbentuk gelang. Garis tengah gelang ini mencapai setengah tombak. Tak aneh kalau datuk sesat ini berjuluk Iblis Gelang Raksasa.
Trang, trang, trangngng!
Bunyi berdentang nyaring bertubi-tubi yang diikuti dengan berpercikannya bunga-bunga api terjadi ketika gelang raksasa memapaki anak-anak panah. Iblis Gelang Raksasa tak berani mengandalkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menerima hunjaman anak-anak panah. Dari desingan yang terdengar agaknya anak-anak panah itu dilepaskan oleh tenaga dalam yang amat kuat. Dan tampaknya bukan prajurit sembarangan yang melepaskan.
Baru saja serangan itu berhasil dipatahkan Iblis Gelang Raksasa, dari tempat di mana busur-busur terlihat berlompatan belasan sosok yang memilik gerakan gesit. Sosok-sosok dalam sekelebatan telah berada di depan Iblis Gelang Raksasa. Sikap mereka terlihat penuh ancaman.
Iblis Gelang Raksasa dalam hati memaki Pangeran Antaboga. Kakek ini yakin kedatangannya memang telah ditunggu-tunggu. Dia telah dijebak Oleh siapa lagi kalau bukan pangeran pemberontak itu? Dugaan itu membuat Iblis Gelang Raksasa merasa geram dan murka bukan main.
Disadarinya kini tindakan sang pangeran yang memintanya untuk mengambil Tombak Panca Warna hanya sebuah siasat agar dirinya dimusuhi pihak kerajaan. Iblis Gelang Raksasa tahu Pangeran Antaboga mempunyai alasan kuat untuk melakukan hal itu. Bukankah dulu ketika sang pangeran mengajaknya ikut dalam pemberontakan dia tak mau?
Iblis Gelang Raksasa tak ingin terlibat keributan dengan pasukan kerajaan. Maka, dibalikkan tubuhnya untuk melesat meninggalkan tempat itu. Tapi niatnya langsung diurungkan ketika melihat di bawahnya menunggu puluhan pasukan kerajaan bersenjata lengkap. Di tangan para prajurit itu tergenggam perisai dan pedang. Sebagian di antaranya bersenjatakan tombak panjang. Hanya sebagian kecil yang menggenggam anak panah.
Tanpa dapat ditahan lagi keringat dingin bermunculan di wajah Iblis Gelang Raksasa. Dirinya benar-benar telah masuk perangkap! Jalan lolos sepertinya sudah tertutup! Satu-satunya cara untuk selamat hanya melawan dengan seluruh kemampuan yang ada.
"Tak ada jalan keluar bagi tamu tak diundang, Iblis Gelang Raksasa!" ejek Panglima Soka, salah seorang dari belasan sosok di atas genting.
Iblis Gelang Raksasa hanya menggertakkan gigi sebagai tanggapan atas ucapan sang panglima. Bagi datuk sesat ini Panglima Soka bukan lawan tangguh. Diakuinya panglima tinggi besar itu merupakan jago istana. Tapi, seorang Panglima Soka tak berarti apa-apa baginya!
Sementara sosok-sosok yang bersama Panglima Soka memiliki kepandaian tak di bawah sang panglima. Melihat tanda-tanda khas di tubuh mereka, Iblis Gelang Raksasa tahu lima sosok di antara mereka merupakan pasukan khusus kerajaan. Pasukan-pasukan pengawal Raja Rancamala! Tentu saja sebagai pasukan khusus kepandaian mereka amat tinggi.
Di samping lima anggota pasukan khusus itu masih ada tujuh sosok yang bersikap gagah dan bermata tajam berkilat. Sorot mata seperti itu hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh bertenaga dalam amat kuat. Dan, Iblis Gelang Raksasa tahu kalau ketujuh sosok itu memang lawan-lawan yang cukup tangguh. Setidak-tidaknya seorang di antara mereka; memiliki kemampuan di atas Panglima Soka.
Iblis Gelang Raksasa, memang belum pernah menjajal kepandaian ketujuh sosok yang terdiri dari lelaki-lelaki berusia tiga puluhan. Tapi nama besar Tujuh Pendekar Gunung Harimau telah lama didengarnya sebagai tokoh-tokoh jarang tandingan. Telah banyak tokoh-tokoh sesat yang tewas di tangan ketujuh pendekar ini. Tujuh Pendekar Gunung Harimau memang mempunyai hubungan satu perguruan dengan Panglima Soka.
"Sungguh tak kusangka kau bermaksud tak baik terhadap kerajaan, Iblis Gelang Raksasa," ucap Panglima Soka lagi. "Padahal selama ini kerajaan bersikap tak peduli dengan segala tindakan yang kau lakukan. Kerajaan tahu, kau menjadi kaya raya dari hasil kejahatan anak-anak buahmu. Rumah-rumah judi dan tempat pelacuran yang kau kelola. Perampokan-perampokan atas perusahaan pengawalan barang, dan masih banyak lagi. Tapi kau menyangka diamnya kerajaan karena takut, Iblis Gelang Raksasa. Sehingga secara lancang kau masuk kemari. Sayang sekali maksud burukmu itu berhasil kami ketahui. Sekarang bersiaplah untuk menerima kematian, Iblis Gelang Raksasa!"
Iblis Gelang Raksasa hampir meledak dadanya mendengar ucapan Panglima Soka. Yang membuat kakek ini marah adalah tindakan licik sang pangeran dengan menjerumuskannya ke dalam perangkap seperti ini.
"Pangeran Antaboga! Keparat licik! Keluar kau! Jangan bersembunyi saja! Mari kita mengadu nyawa sampai salah seorang di antara kita tergeletak tanpa jiwa!" teriak Iblis Gelang Raksasa dengan pengerahan tenaga dalamnya, sehingga suaranya berkumandang ke seluruh penjuru. Bahkan terdengar sampai ke tempat yang jauh.
Tingkah Iblis Gelang Raksasa membuat Panglima Soka dan rekan-rekannya mengernyitkan alis. Mereka kelihatan heran bercampur bingung.
"Jangan kira dapat mengalihkan perhatian kami dengan tingkahmu yang aneh-aneh, Iblis!" sentak Panglima Soka setelah berpikir sejenak. Panglima tinggi besar ini menduga tingkah Iblis Gelang Raksasa hanya sebuah siasat belaka.
Iblis Gelang Raksasa kebingungan mendengar ucapan Panglima Soka. Sebagai datuk yang telah kenyang pengalaman kakek ini tahu Panglima Soka bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Benarkah bukan Pangeran Antaboga yang membocorkan kedatangannya? Kalau begitu, siapa?" tanya hati Iblis Gelang Raksasa.
"Kelihatannya iblis itu tak bermain-main, Panglima," ujar salah satu tokoh dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau. "Barangkali saja Pangeran Antaboga pun ikut menyelusup masuk kemari tanpa sepengetahuan kita."
"Andaikata benar demikian kedatangan pangeran itu pun akan diketahui, Adi," sahut Panglima Soka. "Seluruh sudut istana telah dijaga ketat oleh para prajurit. Jangankan manusia, seekor burung pun akan ketahuan jika masuk kemari."
Anggota Tujuh Pendekar Gunung Harimau pun diam. Jawaban Panglima Soka tak terlalu berlebihan. Hal yang dikatakan panglima itu memang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang dilihatnya.
Iblis Gelang Raksasa segera mempunyai pikiran lain mendengar percakapan itu. Mungkinkah dirinya dijadikan Pangeran Antaboga sebagai pengalih perhatian? Dia dijadikan umpan agar sang pangeran dapat masuk ke istana tanpa mendapat gangguan!
Banyak pertanyaan yang menggayut di benak Iblis Gelang Raksasa. Namun dia tak bisa berlama-lama memikirkannya. Tujuh Pendekar Gunung Harimau te-lah melancarkan serangan. Sesuai julukannya, tokoh-tokoh golongan putih ini memang menyerang secara bertujuh.
Lima anggota pasukan khusus hendak ikut ambil bagian. Tapi tindakan itu mereka urungkan ketika melihat Panglima Soka memberi isyarat untuk tidak mencampuri jalannya pertarungan.
Tujuh Pendekar Gunung Harimau ternyata bukan hanya besar julukan saja. Kepandaian rata-rata mereka pun hebat. Memang bila dibandingkan satu persatu dengan Iblis Gelang Raksasa, mereka bukan tandingan iblis itu. Tapi begitu maju bertujuh dan dengan menggunakan golok yang menjadi senjata andalan mereka, Iblis Gelang Raksasa dibuat kerepotan bukan main.
Tujuh Pendekar Gunung Harimau mampu bekerja sama secara baik. Mereka dapat menutup kekurangan masing-masing rekannya dan kemudian menambah kedahsyatan serangan yang dilancarkan.
Iblis Gelang Raksasa menggertakkan gigi menahan geram. Semula, menyadari keunggulannya baik dalam kecepatan dan kekuatan tenaga, datuk sesat ini bermaksud sesering mungkin membenturkan senjata untuk memperoleh kemenangan. Dengan tenaga dalamnya yang jauh lebih kuat mudah baginya untuk mem-buat senjata lawan lepas dari genggaman. Bahkan, dengan benturan yang terjadi Iblis Gelang Raksasa yakin mampu mematahkan tangan lawan-lawannya.
Tapi, semua itu hanya dapat diwujudkan Iblis Gelang Raksasa dalam angan-angan saja. Tujuh Pendekar Gunung Harimau tak kalah cerdik. Dalam benturan yang tak terelakkan dengan gelang raksasa lawan, mereka tak sendiri-sendiri bertindak. Serangan yang dilakukan selalu bertiga.
Hal itu membuat tangkisan Iblis Gelang Raksasa selalu berbenturan dengan tiga senjata. Gabungan tiga tokoh Pendekar Gunung Harimau dalam hal tenaga ini ternyata terlalu kuat untuk dapat ditahan Iblis Gelang Raksasa. Kakek ini selalu terhuyung setiap kali serangan lawan-lawannya ditangkis.
Iblis Gelang Raksasa menguras seluruh kemampuannya. Tapi tetap saja harus diakui kalau pengeroyokan itu terlalu tangguh. Kalau saja tujuh pendekar itu tak bekerja sama demikian baik, Iblis Gelang Raksasa masih mempunyai harapan. Tapi kerja sama Tujuh Pendekar Gunung Harimau yang demikian baik membuat harapan Iblis Gelang Raksasa pupus di tengah jalan.
Iblis Gelang Raksasa akhirnya memutuskan untuk bertahan saja. Sebagai tokoh kawakan datuk sesat ini merasakan kedudukan bertahan jauh lebih menguntungkan daripada menyerang. Gelang raksasanya di-putar mengelilingi tubuhnya bagaikan benteng. Andai-kata saat itu hujan hebat pun tak setitik air akan membasahi tubuhnya.
Iblis Gelang Raksasa sambil terus bertahan mencoba mencari cara agar bisa meninggalkan lawan-lawannya. Jika dia memaksakan diri untuk terus bertahan, hanya akan memperoleh akibat yang merugikan!
Di saat-saat genting bagi keselamatan Iblis Gelang Raksasa itu terjadi kegaduhan di bawah. Pasukan kerajaan yang semula menunggu di bawah dengan sikap siaga kelihatan kalang kabut. Bunyi terompet tanda bahaya menguak kesunyian malam, mengatasi riuh rendah bunyi pertarungan.
Bunyi tanda bahaya dikeluarkan oleh prajurit-prajurit yang berjaga-jaga di atas dinding istana. Mere-ka melihat serombongan orang menuju ke istana. Jumlah rombongan tak kurang dari seratus orang!
Rombongan yang sebagian besar mengenakan seragam kerajaan itu berada di bawah pimpinan Pangeran Antaboga! Lelaki jangkung ini berlari paling depan, meninggalkan rombongannya. Sepertinya, pangeran pemberontak ini sudah tak sabar untuk merebut istana kerajaan.
"Pasukan dari mana itu?" tanya seorang prajurit yang bertubuh pendek gemuk.
"Kalau melihat dari seragamnya sebagian besar pasukan Kadipaten Bringin," jawab prajurit yang bertubuh tinggi kurus. "Tapi, sebagian lagi sepertinya orang-orang persilatan!"
"Keparat!" Panglima Soka yang telah berada di atas dinding istana, karena meninggalkan Tujuh Pendekar Gunung Harimau bertempur dengan Iblis Gelang Raksasa, memaki penuh kemurkaan. "Berani-beraninya pasukan Kadipaten Bringin memberontak. Akan kupenggal kepala Adipati Menak!"
Sambil berkata demikian Panglima Soka menyipitkan mata untuk dapat melihat sosok yang tengah melesat dengan kecepatan menakjubkan. Kecepatan gerakan Pangeran Antaboga membuat Panglima Soka tak bisa melihatnya dengan jelas.
Seperti yang sudah diperkirakan Pangeran Antaboga, begitu tubuhnya semakin mendekati tembok istana dan telah berada dalam jangkauan luncuran anak panah, prajurit-prajurit kerajaan yang sejak semula telah siap dengan busur terentang segera membidiknya.
Twang, twang, twangngng...!
Puluhan anak panah meluncur ke arahnya, namun tak dipedulikan sedikit pun oleh Pangeran Antaboga. Lelaki jangkung ini hanya mengerahkan tenaga dalamnya. Maka, anak-anak panah yang mendarat di sekujur tubuhnya berpentalan kembali bagai mengenai gumpalan karet keras.
Puluhan prajurit istana, tak terkecuali Panglima Soka, terkejut melihat kenyataan itu. Kendati demikian, para prajurit tetap melepaskan anak-anak panah. Panglima Soka sendiri tak mencegahnya. Baru ketika anak-anak panah kedua runtuh semua dalam keadaan patah ketika membentur tubuh Pangeran Antaboga, Panglima Soka memerintahkan sebagian prajuritnya untuk mengganti senjata dengan golok.
Bertepatan dengan sebagian prajurit itu menghunus golok, Pangeran Antaboga menjejak dinding tembok istana. Seketika itu pula belasan batang golok telanjang menghujani sang pangeran. Pangeran Antaboga hanya mendengus. Tangan dan kakinya digerakkan ke sekitarnya. Bunyi berpatahannya golok-golok pasukan kerajaan ketika membentur sekujur tubuh Pangeran Antaboga terdengar berbarengan dengan jeritan menyayat hati para pemiliknya.
Tubuh-tubuh prajurit yang malang itu pun berjatuhan ke tanah. Nyawa mereka telah melayang ke alam baka sebelum tubuh mereka menimpa tanah. Panglima Soka menggeram keras melihat tewasnya prajurit-prajurit bawahannya. Dan, kegeramannya semakin bertambah ketika melihat tokoh yang mengejutkan itu.
"Pangeran Antaboga...!" desis Panglima Soka seakan tak percaya dengan akan apa yang dilihatnya. Sekarang Panglima Soka baru percaya kalau Pangeran Antaboga benar-benar telah lolos dari tempat pengasingan.
"Syukur kau masih mampu mengenaliku, Soka," dengus Pangeran Antaboga setelah mengirim nyawa lima orang prajurit yang mengeroyoknya dengan kibasan tangan dan kaki. "Kedatanganku kemari di samping ingin melenyapkan raja keparat itu juga untuk membunuh antek-anteknya yang setia seperti kau!"
"Jangan mimpi, Antaboga! kaulah yang akan terkubur di sini!" sergah Panglima Soka. Kemudian dikirimkannya tusukan pedang ke arah leher lelaki jangkung itu.
Serangan Panglima Soka berbahaya bukan main. Ujung pedangnya kelihatan seperti berjumlah belasan ketika meluncur ke arah Pangeran Antaboga. Namun pangeran itu tetap bersikap tenang.
Kreppp!
Panglima Soka hampir tak percaya. Semula panglima tinggi besar ini yakin betul pedangnya akan menembus leher lawan. Tapi dengan gerakan, cepat yang tak bisa diikuti mata, Pangeran Antaboga merendahkan tubuh dengan cara menekuk lututnya. Tusukan pedang yang semula mengarah ke leher jadi menembus mulut.
Dan sebelum ujung pedang melukai tenggorokan, Pangeran Antaboga telah lebih dulu memupusnya dengan menggigitnya! Sekali gigi-gigi itu ditekankan batang pedang Panglima Soka yang terbuat dari baja pilihan patah dua!
Tindakan Pangeran Antaboga tak berhenti hanya sampai di situ. Kepalanya kemudian diegoskan. Akibatnya, potongan pedang Panglima Soka yang berada di giginya melayang ke arah panglima itu dengan kecepatan yang luar biasa tinggi.
Panglima Soka terkejut bukan main. Sebisa-bisanya dia berusaha mengelak. Tapi jarak yang demikian dekat dan kecepatan meluncurnya potongan pedang yang menakjubkan membuat panglima tinggi besar ini tak terlalu berhasil dengan usahanya. Potongan pedang yang semula mengincar jantung jadi menancap di dada kiri atas Panglima Soka.
Tubuh Panglima Soka terjajar ke belakang akibat hunjaman potongan pedang. Namun hal inilah yang menyebabkan nyawa sang panglima lolos dari maut. Pada saat yang bersamaan dengan meluncurnya po-tongan pedang itu Pangeran Antaboga mengirimkan tendangan ke arah pusar. Andaikata mengenai sasaran seluruh isi perut Panglima Soka akan hancur berantakan!
Terjajar tubuh Panglima Soka ke belakang membuat tendangan Pangeran Antaboga mendarat di paha kanan. Itu pun tidak telak. Kendati demikian cukup untuk membuat tubuh Panglima Soka terjengkang ke belakang dengan tulang paha remuk.
Untungnya Panglima Soka memiliki watak keras hati. Tak terdengar sedikit pun keluhan dari mulutnya, kendati rasa sakit yang amat sangat menderadera pahanya. Bahkan panglima tinggi besar ini tak mengeluarkan keluhan kaget meski semangatnya seperti terbang ketika kedua kakinya tak menginjak landasan lagi. Sesaat kemudian, Panglima Soka baru tersadar kalau dia telah terjatuh dari tembok istana.
Pangeran Antaboga bergegas ikut melompat ke bawah. Tapi tubuh Panglima Soka tak dipedulikannya. Panglima Soka pingsan karena luka-luka yang dideritanya terlalu menyakitkan. Dan Pangeran Antaboga tak mengirimkan serangan susulan yang akan membawa sang panglima ke neraka. Tanpa dikirimkan serangan susulan lagi pun nyawa Panglima Soka akan sulit untuk diselamatkan. Luka-luka yang dideritanya terlalu parah!
Bertepatan dengan menjejaknya kedua kaki Pangeran Antaboga di tanah, daun pintu gerbang hancur berantakan dengan diiringi bunyi hiruk-pikuk yang memekakkan telinga. Rupanya rombongan yang dipimpin Pangeran Antaboga berhasil tiba di depan pintu ger-bang dan menghancurkannya. Untuk kedua kalinya daun pintu gerbang kerajaan hancur. Padahal baru beberapa hari yang lalu daun pintu itu hancur berkeping-keping.
Dengan hancurnya daun pintu gerbang rombongan Pangeran Antaboga leluasa masuk ke dalam lingkungan istana. Berbondong-bondong mereka masuk yang segera disambut oleh rombongan pasukan kerajaan. Pertarungan besar-besaran pun terjadi.
Seketika dentang senjata beradu, pekikan-pekikan perang, dan jerit kematian terdengar saling susul. Tubuh-tubuh malang berjatuhan ke tanah dalam keadaan tak bernyawa. Tanah halaman kerajaan pun bersimbah darah.
Pangeran Antaboga tak mempedulikan pertempuran itu. Lelaki jangkung ini merasa dirinya terlampau tinggi untuk mencampuri pertarungan semacam itu. Pertarungan keroco-keroco. Sang pangeran ini melesat cepat menuju bangunan istana raja.
Beberapa kali lelaki jangkung ini terpaksa melemparkan tubuh-tubuh orang yang menghalangi jalannya. Semua itu dilakukan hanya dengan mengibaskan tangan atau kaki. Pangeran Antaboga sama sekali tak ambil peduli kalau rombongannya terdesak hebat.
Rombongan yang terdiri dari campuran pasukan Kadipaten Bringin dan tokoh-tokoh persilatan golongan hitam itu terus didesak mundur ke luar tembok yang melingkari bangunan-bangunan istana. Rombongan Pangeran Antaboga kalah banyak jumlahnya. Karena itu, rombongan ini terdesak hebat!
TUJUH
Rombongan pasukan kerajaan sudah berbesar hati melihat pihak penyerang berhasil mereka desak. Namun kegembiraan itu hanya berlangsung sebentar saja. Perubahan besar-besaran segera terjadi! Gerombolan mayat hidup muncul dan menyerang pihak mereka. Sebuah hal yang aneh. Pihak penyerang tidak mendapatkan serangan mayat-mayat hidup!
Kemunculan makhluk-makhluk menjijikkan itu benar-benar merupakan malapetaka besar bagi pasukan kerajaan. Hanya dalam sekejapan pihak kerajaan ganti terdesak. Jeritan kematian terdengar saling susul di antara mereka.
Pihak penyerang semula ikut menyerang pasukan kerajaan. Tapi sesaat kemudian mereka bertindak se-bagai penonton saja. Rombongan penyerang menyaksikan jalannya pertarungan yang lebih layak disebut pembantaian besar-besaran.
Setapak demi setapak pasukan kerajaan terdesak mundur. Malah ketika korban yang jatuh semakin banyak dan pasukan kerajaan telah putus asa, mereka berbondong-bondong bergerak mundur untuk mencapai tempat di mana jarak lima tombak dari daun pintu gerbang berada. Mereka ingin secepatnya berada di tempat yang aman dari serangan mayat hidup.
Yakin akan keampuhan air bekas rendaman Tom-bak Panca Warna yang dikucurkan mengitari tempat di mana dulu dinding istana terdapat, rombongan pasukan kerajaan berhenti mundur. Mereka semua berdiri menanti tewasnya mayat-mayat hidup dalam jarak satu tombak dari batasan untuk makhluk itu.
Rombongan pasukan kerajaan baru kelabakan ketika mengetahui mayat-mayat hidup terus melangkah maju melewati batas tersebut. Mayat-mayat hidup itu tak mengalami kejadian apa pun ketika melewati batas maut itu. Malah, berbondong-bondong mereka melaluinya tanpa terpengaruh sedikit pun!
Rombongan pasukan kerajaan tak mempunyai pilihan lain kecuali terus bergerak mundur. Yang tak sempat segera melakukan perlawanan semampunya. Korban-korban di pihak kerajaan kembali berjatuhan. Kejadian itu tak luput dari perhatian Prabu Rancamala yang menyaksikannya dari bangunan istana. Belasan pasukan khusus berada di sekeliling raja yang masih terlihat gagah di usianya yang senja itu.
"Apa yang terjadi, Eyang?" tanya Prabu Rancamala tanpa mampu menyembunyikan kecemasan di wajahnya. "Mengapa makhluk-makhluk celaka itu mampu melewati tempat yang telah dikucuri air sakti?"
"Ampunkan hamba, Gusti Prabu," jawab Eyang Santer sambil memberi hormat "Ini berarti Tombak Panca Warna telah tidak berada di lingkungan istana lagi..."
"Maksud Eyang pusaka itu telah dicuri orang?!" tanya Prabu Rancamala.
"Begitulah kira-kira, Gusti Prabu."
"Keparat!" geram Prabu Rancamala penuh kemarahan. Jari-jari tangannya dikepalkan. "Apa kerjanya para prajurit itu?!"
Tak ada yang memberikan tanggapan sama sekali. Tak juga Eyang Santer. Mereka semua khawatir terkena pelampiasan kemarahan Prabu Rancamala yang tengah murka.
"Menyesal dulu kubiarkan anak durhaka Antaboga itu hidup. Kalau ku tahu akan seperti ini jadinya sudah ku hukum mati dia!" geram Prabu Rancamala lagi.
"Entah di mana dia memperoleh ilmu yang mampu membuatnya melakukan hal-hal terkutuk itu!"
Di lain tempat Pangeran Antaboga yang tengah dimaki-maki oleh Prabu Rancamala sedang melesat menuju atas genting, di mana tengah terjadi pertarungan sengit antara Iblis Gelang Raksasa dengan Tujuh Pendekar Gunung Harimau.
Saat itu kedudukan Iblis Gelang Raksasa sangat mengkhawatirkan. Gerakan kakek ini sudah tak sege-sit sebelumnya. Iblis Gelang Raksasa kelelahan karena terus menerus mengadu tenaga dengan lawan-lawannya. Sekujur tubuh datuk sesat ini dibasahi peluh. Gulungan gelang baja yang semula rapat melindungi seluruh tubuhnya kini agak terbuka. Bunyi mengaung yang mengiringi pergerakan gelangnya juga semakin melemah.
Saat itulah Pangeran Antaboga muncul. Lelaki jangkung ini langsung terjun ke dalam kancah pertarungan. Sang pangeran melesat ke tengah-tengah antara Iblis Gelang Raksasa dan ketujuh lawannya. Padahal saat itu tiga batang golok tengah meluncur ke arah Iblis Gelang Raksasa. Dengan melesat masuknya Pangeran Antaboga menjadikan lelaki ini sasaran serangan!
Cap, cap, cappp!
Ujung tiga batang golok mengenai tiga sasaran di tubuh Pangeran Antaboga dengan telak. Kendati menyambar di tiga tempat, tenaga yang terkandung dalam setiap serangan merupakan gabungan tenaga tiga orang. Semula tiga tokoh dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau ini kaget mendapati sesosok bayangan coklat melesat masuk ke dalam kancah pertarungan dan terkena sasaran serangan mereka.
Keterkejutan itu semakin membesar ketika melihat senjata-senjata mereka tak mampu menembus tubuh Pangeran Antaboga! Golok-golok itu hanya menembus pakaian sang pange-ran tapi tak bisa melukai kulit. Mereka berusaha un-tuk menarik senjatanya. Ternyata hal itu tak mampu mereka lakukan. Senjata itu seakan-akan telah bersatu dengan tubuh Pangeran Antaboga.
Di saat tokoh-tokoh dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau berusaha keras menarik pulang senjatanya, Pangeran Antaboga meludah tiga kali! Tiga gumpalan cairan kental yang menjijikkan pun meluncur ke arah dahi masing-masing tokoh golongan putih itu.
Ketiganya kelihatan terperanjat. Serangan ludah itu amat berbahaya. Terkena telak akan membuat dahi berlubang yang mengakibatkan nyawa mereka melayang ke alam baka. Dengan hati terpaksa golok-golok di tangan pun dilepaskan. Hampir berbarengan ketiganya merendahkan tubuh sehingga serangan yang menjijikkan itu lewat di atas kepala.
Pangeran Antaboga memang menunggu-nunggu saat ini! Serangan dengan ludahnya itu hanya sekadar tipuan belaka. Dan, serangan yang sesungguhnya adalah tendangan kaki kanan bertubi-tubi ke arah perut ketiga lawannya.
Des, des, desss!
Tiga kali berturut-turut tendangan Pangeran Anta-boga mendarat di sasaran. Seketika tubuh tiga pendekar yang malang itu terjengkang ke belakang dengan darah menyembur deras dari mulut, hidung, dan telinga mereka, Di saat tubuh pendekar-pendekar itu melayang, nyawanya pun melayang!
Empat dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau yang tersisa terkejut bukan main melihat hal ini Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat, sehingga mereka tak sempat bertindak untuk membantu. Kemarahan terhadap Pangeran Antaboga pun menyeruak.
Dengan diiringi teriakan nyaring membahana mereka menerjang sang pangeran. Golok-golok di tangan empat tokoh golongan putih itu lenyap bentuk-nya menjadi gulungan sinar menyilaukan mata yang mengancam keselamatan Pangeran Antaboga.
Tapi sebelum serangan empat dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau mengenai sasaran, dari belakang Iblis Gelang Raksasa telah mengirimkan serangan dengan ayunan gelang bajanya ke arah kepala Pangeran Antaboga! Sang pangeran terkejut bukan main mendengar deru angin keras dari arah belakangnya. Dalam sekejapan benaknya memberitahukan akan adanya bahaya maut. Buru-buru tubuhnya direndahkan.
Saat serangan gelang baja Iblis Gelang Raksasa lewat jauh di atas kepalanya, serangan golok-golok empat dari Tujuh Pendekar Gunung Harimau meluncur tiba. Pangeran Antaboga melesat cepat dengan mempergunakan tangan dan kaki melalui bawah para pe-nyerangnya. Pangeran itu seperti telah berubah menjadi binatang berkaki empat.
Tindakan Pangeran Antaboga membuatnya berada di belakang lawan-lawannya. Dan sebagai akibatnya, Iblis Gelang Raksasa yang mendapatkan serangan lawan-lawan Pangeran Antaboga. Iblis Gelang Raksasa yang tak mempunyai kesempatan mengelak segera menangkis dengan senjata andalan.
Trangng!
Dentang beradunya dua macam senjata yang diiku-ti berpercikannya bunga api mengiringi terhuyungnya tubuh Iblis Gelang Raksasa. Kakek berpakaian indah ini masih sempat mengirimkan pukulan jarak jauh dengan tangan kirinya.
Serangan yang mendatangkan deru angin kuat itu membuat empat pendekar dari Tujuh Pendekar Gu-nung Harimau yang tengah berada di udara tak kuasa untuk bertahan. Mereka tak terluka. Tapi, ketika menjejak tanah tubuh mereka limbung.
Di saat itulah Pangeran Antaboga mencabut pedang yang selama ini tergantung di pinggang dan tak pernah digunakan. Begitu dicabut pedang itu langsung dikelebatkan. Tak terlihat bentuk pedang itu. Hanya seleret sinar menyilaukan mata yang melesat. Sesaat kemudian, empat dari Tujuh Pendekar Gunung Hari-mau yang tersisa memekik meregang maut sebelum ambruk ke tanah.
Di punggung empat tokoh golongan putih yang malang itu tampak guratan memanjang yang mengalirkan darah. Pangeran Antaboga sendiri telah menyimpan pedangnya kembali. Pangeran Antaboga menatap Iblis Gelang Raksasa dengan sorot tajam. Sinar sepasang matanya maupun raut wajahnya demikian dingin.
Meski merasa gentar, namun karena kemarahan yang melanda hati mengingat Pangeran Antaboga telah menjebaknya, Iblis Gelang Raksasa balas menatap. Dua pasang mata tajam mencorong penuh tenaga dalam kuat saling beradu.
"Rupanya kau benar-benar bermaksud untuk bermusuhan denganku, Iblis Gelang?!" rungut Pangeran Antaboga, datar dan dingin suaranya. "Apakah kau te-lah mempunyai andalan yang dapat kau pergunakan untuk melawanku?"
"Cuhhh!" Iblis Gelang Raksasa malah membuang ludah dengan pandang mata penuh tantangan.
Sikap Iblis Gelang Raksasa membuat kemarahan Pangeran Antaboga semakin menjadi-jadi. Namun pangeran ini masih mampu menahan diri karena masih mempunyai kepentingan terhadap datuk kaum sesat itu.
"Aku masih mempunyai persediaan kesabaran, Iblis Gelang. Maka, tindakanmu sekarang dan juga yang tadi ku maafkan. Kau bukan termasuk musuhku. Apalagi kau telah memenuhi janji untuk menyatroni istana ini dan mengambil Tombak Panca Warna. Kau termasuk rekan ku pula. Kita sahabat, Iblis Gelang. Karena itu agar tak merusak persahabatan kita, kuharap kau bersedia memberikan Tombak Panca Warna kepadaku!"
"Tak usah bermanis mulut di depanku, Antaboga!" sentak Iblis Gelang Raksasa dengan nada tinggi. "Kuakui kau memiliki kemampuan dahsyat. Tapi itu tak berarti kau dapat mempermainkan diriku. Majulah, Keparat! Penghinaan yang kau timpakan padaku hanya dapat ditebus dengan nyawamu!"
Pangeran Antaboga menggertakkan gigi mendapat sambutan pedas. Kemarahan semakin membakar hatinya. Tapi, besarnya kemarahan itu masih kalah dengan rasa heran dan bingung mendengar ucapan Iblis Gelang Raksasa. Itulah sebabnya Pangeran Antaboga masih bisa bersabar.
"Apa maksudmu, Iblis Gelang? Aku benar-benar tidak mengerti."
"Tidak mengerti?!" ulang Iblis Gelang Raksasa dengan suara semakin meninggi. Sepasang matanya membelalak lebar bagaikan hendak melompat keluar. "Rupanya kau masih mencoba untuk terus berpura-pura, Boga! Baiklah ku jelaskan agar kau tak menyangka aku demikian bodoh. Permintaanmu untuk mengambil Tombak Panca Warna hanya merupakan sebuah jebakan?! Kau tak usah mungkir. Yang tahu masalah ini hanya kau, aku dan sedikit anak buahku. Tapi kenyataannya begitu aku tiba di sini langsung dikepung. Kalau tak beruntung mungkin nyawaku telah melayang. Nah, dari mana pasukan kerajaan tahu aku akan menyatroni tempat ini kalau bukan darimu?!"
"Jaga mulutmu, Iblis Gelang!" bentak Pangeran Antaboga murka mendengar tuduhan keji yang dialamatkan padanya. "Untuk apa aku melakukan hal itu? Membunuhmu dengan tangan sendiri pun tidak sulit. Untuk apa aku meminjam tangan keroco-keroco untuk menghabisi nyawamu? Kau saja yang terlalu bodoh sehingga keroco-keroco mengetahui kedatanganmu!"
Iblis Gelang Raksasa menatap Pangeran Antaboga lekat-lekat, dicobanya melihat kesungguhan lelaki jangkung itu melalui mata dan wajahnya. Pangeran Antaboga balas menatap. Iblis Gelang Raksasa menjadi bingung. Dilihatnya ada kesungguhan baik dalam ucapan maupun sikap Pangeran Antaboga.
"Kalau bukan kau yang membocorkan hal ini, siapa lagi?" ujar Iblis Gelang Raksasa dengan suara melunak. Nada ucapannya penuh pembelaan terhadap diri sendiri.
"Kau yakin bukan anak buahmu?" tanya Pangeran Antaboga meminta kepastian.
Iblis Gelang Raksasa mengangguk dengan pasti.
"Berarti ada orang lain yang mengetahui hal ini," sambut Pangeran Antaboga. "Tapi itu tak penting. Bagaimana dengan Tombak Panca Warna itu? Berhasil kau dapatkan?"
"Bagaimana mungkin aku mendapatkan pusaka itu kalau sebelum tiba di tempatnya aku telah dikepung oleh orang-orang kerajaan!" bantah Iblis Gelang Raksasa memberikan alasan kegagalannya.
"Berarti kau belum ke tempat pusaka itu?!" Pangeran Antaboga meminta penegasan dengan sorot mata lain.
Iblis Gelang Raksasa mengangguk. Tanpa membuang-buang waktu Pangeran Antaboga melesat ke arah puncak genting. Hanya sesaat saja dia di sana, dan kemudian kembali dengan sikap bingung yang tak tersembunyikan.
Tanpa diberi penjelasan pun Iblis Gelang Raksasa telah bisa menduga kalau Pangeran Antaboga tak berhasil mendapatkan pusaka yang diinginkannya. Kakek berpakaian indah itu pun lalu diam membisu.
"Benar kau belum mengambil Tombak Panca Warna itu, Iblis Gelang?!" tanya Pangeran Antaboga den-gan nada ucapan yang mengandung ancaman.
"Apakah perlu aku bersumpah, Antaboga?" Iblis Gelang Raksasa malah balas mengajukan pertanyaan.
Pangeran Antaboga tak memberikan jawaban. Dia merasa Iblis Gelang Raksasa tak berbohong dengan ucapannya. "Berarti ada orang ketiga yang mengetahui hal ini," desis Pangeran Antaboga penuh perasaan geram. "Orang itu pula yang menyebabkan kau seperti terjebak, Iblis Gelang? Dan... orang itu pula yang telah mengambil Tombak Panca Warna! Keparat! Pengecut hina itu akan menyesali perbuatannya!"
Iblis Gelang Raksasa tak memberikan sambutan sama sekali. Dia tak terlalu memusingkan masalah ada atau tidaknya Tombak Panca Warna. Karena dia pribadi tak membutuhkan pusaka itu. Sorak-sorai kemenangan dari bawah menyadarkan Pangeran Antaboga kalau dirinya masih mempunyai urusan penting. Tanpa mempedulikan Iblis Gelang Raksasa dilayangkan pandangannya ke bawah.
Wajah sang pangeran tampak membiaskan keterkejutan yang sangat. Pandangannya tertumbuk pada gerombolan mayat hidup yang melesat berbondong-bondong meninggalkan halaman istana. Di pinggir bergerombolan rombongan yang dipimpinnya, bersorak-sorak memekikkan kemenangan dan kegembiraan.
Pangeran Antaboga melesat ke bawah. Dalam hati dimaki dirinya sendiri yang telah melupakan segala hal karena terlalu memikirkan Tombak Panca Warna. Begitu menjejak tanah Pangeran Antaboga langsung melayangkan pandangan ke sekelilingnya. Tak terlihat lagi pasukan kerajaan. Yang tampak di sana-sini dan di dalam bangunan hanya rombongannya.
"Ke mana raja keparat itu?!" tanya Pangeran Antaboga pada seorang anggota rombongannya.
"Mereka semua melarikan diri melalui jalan rahasia, Gusti Pangeran," jawab yang ditanya.
"Keparat!" Pangeran Antaboga memukulkan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kirinya. Kelihatan jelas pangeran itu merasa geram dan kecewa dengan kegagalannya. Beberapa kali ditariknya napas panjang untuk menenangkan hati. "Tak mengapa. Kelak pun masih ada kesempatan untuk melenyapkan nyawa raja jahanam itu," gumam Pangeran Antaboga pelan. "Tapi benarkah apa yang kulihat tadi? Mayat-mayat hidup meninggalkan tempat ini?" tanya sang pangeran ketika teringat lagi dengan pemandangan yang menimbulkan keterkejutan di hatinya.
"Benar, Gusti Pangeran. Bahkan mayat-mayat hidup itu membantu kami memerangi pasukan kerajaan. Tanpa adanya bantuan makhluk-makhluk itu kami akan dapat dilumpuhkan pasukan raja lalim itu!" jawab orang yang ditanya.
Pangeran Antaboga mengernyitkan kening. Dia memang memiliki kemampuan untuk membangunkan mayat-mayat dan memerintahkannya melakukan perbuatan yang dikehendakinya. Tapi tidak kali ini! Pangeran Antaboga baru melakukannya dua kali. Pertama, mayat-mayat itu dibangunkan untuk mencegah kedatangan rombongan Panglima Soka untuk menemuinya. Yang kedua, sewaktu menyerbu kerajaan sebagai uji coba kekuatan bala tentara Prabu Rancamala sebelum serangan sesungguhnya dilancarkan.
"Mungkinkah mayat-mayat hidup itu bangkit sendiri lalu melancarkan penyerangan?" tanya hati Pangeran Antaboga, bingung.
Tapi setelah tidak menemukan jawabannya cukup lama, Pangeran Antaboga melupakannya. Yang memenuhi benaknya sekarang adalah perasaan gembira karena telah berhasil memenuhi sebagian keinginannya, merebut kerajaan!
* * *
DELAPAN
"Relakanlah kepergiannya, Wati. Semua kejadian yang ada di muka bumi ini atas kehendak Hyang Widhi. Ayahmu tewas pun demikian. Kalau kau terus-menerus terlibat kesedihan seperti ini, sama saja artinya kau tak setuju dengan keputusan Hyang Widhi. Itu tak baik, Wati"
Ucapan yang sarat dengan nasihat itu dikeluarkan Arya. Saat itu dia tengah berdiri di belakang seorang gadis yang duduk bersimpuh di depan sebuah kuburan. Gadis itu adalah Kusumawati.
"Aku akan dapat menerima kepedihan ini dengan lapang dada kalau tidak demikian bertubi-tubi, Dewa Arak," timpal Kusumawati. "Bagaimana mungkin aku tak akan terpukul menerimanya. Baru saja Kak Angruna lenyap, telah muncul lagi musibah lain. Ayahku tewas secara demikian mengerikan. Melihat keadaan mayatnya, pasti beliau direncah-rencah oleh mayat-mayat hidup jahanam itu! Terkutuk! Akan ku basmi orang yang telah menggerakkan makhluk-makhluk jahanam itu!"
Arya hanya menggelengkan kepala melihat sikap Kusumawati. Di lubuk hatinya pemuda ini tak bisa menyalahkan gadis itu. Arya bisa merasakan kepedi-han hatinya. Tewasnya sang ayah saja sebenarnya sudah memukul perasaan. Apalagi tewasnya Sanggara dengan cara yang mengenaskan. Tubuh ayah Kusu-mawati itu cerai-berai seperti dikoyak-koyak binatang buas.
"Sekarang dengan siapa aku harus tinggal, Dewa Arak? Ayahku tak mempunyai kenalan lagi. Apakah aku boleh ikut bersamamu merantau," tanya Kusu-mawati setelah membalikkan tubuh dan berdiri menatap wajah Arya lekat-lekat. Sinar mata gadis ini terlihat penuh harapan.
Arya jadi kebingungan. Bagaimana mungkin per-mintaan Kusumawati bisa diterimanya. Kusumawati adalah seorang gadis. Akan tak baik akibatnya apabila ikut bersamanya merantau. Apa tanggapan Melati nanti? Tapi untuk menolak terang-terangan Arya tak bera-ni. Pemuda ini takut Kusumawati akan tersinggung dan semakin larut dalam kesedihan.
"Kita lihat saja nanti, Wati," jawab Arya setelah mempertimbangkannya sejenak. "Pada pokoknya aku setuju saja kau ikut bersamaku merantau. Lagi pula saat ini pun kita tengah bersama-sama merantau untuk mencari jejak kakakmu yang lenyap dan mencari siapa yang menjadi penyebab timbulnya tanda aneh di langit. Bukankah demikian?"
Kusumawati mengangguk-anggukkan kepala. Ala-san yang diajukan Arya bisa diterimanya. Bagi gadis ini, asal Arya sudah setuju dia merasa sangat senang.
"Ssst...! Aku mendengar banyak langkah kaki men-dekati tempat ini, Wati. Bersembunyilah dulu," beritahu Arya dengan suara lirih ketika dilihatnya Kusumawati hendak berbicara lagi.
Kusumawati menahan ucapan yang hendak dikeluarkannya. Dia bergegas berlindung di balik gundukan batu yang cukup banyak berada di tempat itu. Arya pun melakukan hal yang sama. Dari celah-celah yang ada pasangan muda-mudi ini mengintai ke arah asal suara.
Kusumawati yang belum mendengar bunyi yang dimaksud Dewa Arak hanya mengikuti ke mana pemuda itu mengarahkan pandangan. Sepasang mata Arya ternyata dilayangkan ke arah lubang sebuah gua yang tadi berada di belakang mereka.
Sebentar kemudian Kusumawati pun mendengar bunyi langkah yang tadi didengar Arya. Gadis ini semakin bertambah kagum. Kenyataan ini menunjukkan ketinggian ilmu pemuda berambut putih keperakan itu. Dengan hati berdebar tegang karena perasaan ingin tahu, Kusumawati menunggu.
Tak lama kemudian penyebab suara itu terlihat muncul di depan gua. Sebagian besar adalah lelaki-lelaki gagah dan kekar terbungkus pakaian kerajaan. Seragam itu sama dengan seragam yang dikenakan rombongan yang dipimpin Panglima Soka dan Panglima Gardika. Rombongan yang diserbu oleh gerombolan mayat hidup!
Dugaan Kusumawati memang tak keliru. Rombon-gan itu adalah pasukan kerajaan yang mengawal Prabu Rancamala menyelamatkan diri. Di antara mereka terdapat Eyang Santer.
"Kurasa tempat ini cocok untuk beristirahat. Aku sangat lelah sekali," ujar Prabu Rancamala yang wa-jahnya sudah dibasahi peluh.
Seketika itu pula rombongan pasukan khusus be-kerja. Dengan gerak cepat mereka membersihkan tempat itu dan menyediakan hal-hal yang pantas untuk menyenangkan junjungan mereka.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Eyang?" tanya Prabu Rancamala. Raja yang kelelahan ini kelihatan mengantuk. Beliau duduk bersandar dengan dikipasi dua anggota pasukan khususnya.
"Ampun, Gusti Prabu," sembah Eyang Santer. "Menurut hemat hamba, yang penting sekarang adalah kita beristirahat dulu. Dengan perut yang kenyang akan mudah dan enak bagi kita untuk berpikir."
Wajah Prabu Rancamala kelihatan berseri. Sebuah usul yang amat bagus, pikirnya. Saat ini dia memang tengah lapar. Namun, perasaan takut yang besar akan kehilangan nyawa membuat Prabu Rancamala seperti lupa dengan hal itu. Dia baru teringat kembali ketika diingatkan.
Prabu Rancamala dengan suara keras segera memerintahkan semua prajuritnya untuk mencari makanan yang enak-enak. Yang disuruhnya tinggal hanya dua orang, itu pun yang bertugas mengipasi tubuhnya.
"Sambil kita menunggu makanan tiba tak ada salahnya kalau perbincangan dilanjutkan, Eyang."
"Benar, Gusti Prabu. Tambahan lagi hamba memang hendak membicarakan sesuatu. Hanya hamba masih ragu."
"Mengapa mesti ragu? Apa yang harus diragukan? Katakan saja, Eyang!" timpal Prabu Rancamala.
"Baiklah kalau begitu, Gusti Prabu," Eyang Santer seperti terpaksa. menyerah. "Sebenarnya sudah lama hamba hendak membicarakan hal ini. Sesungguhnya hamba... maksudku, aku ingin membunuhmu, Raja Keparat!"
Prabu Rancamala sampai terjingkat kaget mendengar ucapan itu. Dua pengawal khususnya pun tersentak. Serentak keduanya maju ke depan dua langkah sehingga berada di kanan dan kiri sang raja. Sikap mereka terlihat demikian melindungi.
"Perlu kuberitahukan padamu, Raja Kejam! Ingatkah kau akan peristiwa pemberontakan Pangeran Antaboga dan aku memintamu untuk membebaskan seorang pemuda dari hukuman mati? Pemuda yang menjadi anak buah pangeran itu kukatakan amat menarik hatiku. Ketahuilah, pemuda itu adalah cucuku! Ayah dari pemuda itu adalah menantuku. Kau tak akan mengenal anakku karena aku telah terpisah dengannya sebelum mengabdi kepadamu!"
Prabu Rancamala tak berkata apa pun selain menggeleng-gelengkan kepala dengan sikap bingung. Dua pengawal khususnya telah mencabut senjata masing-masing untuk menghadapi serangan tak terduga Eyang Santer.
"Aku dendam sekali akan kejadian itu! Kalau saja dulu aku berani mengutarakan hal ini, aku khawatir kedudukanku akan dicopot dan ikut kau hukum mati sebagai seorang pemberontak. Maka meski sakit hati aku mampu meredamnya."
Eyang Santer menghentikan ucapannya sebentar untuk menelan liur, membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Sakit hati yang berhasil kutekan semakin menyakitkan ketika ku tahu anakku meninggal karena menanggung kesedihan besar akibat tewasnya anaknya. Aku sudah mulai berpikir untuk membunuhmu. Tapi, sayang aku masih khawatir mati sebagai seorang pemberontak. Aku ingin hidup terhormat. Maka, kubuang jauh-jauh lagi pikiran itu!"
Prabu Rancamala hanya diam. Raja ini terlalu kaget mendengar berita yang didapatnya.
"Tapi sekarang kau bukan lagi seorang Raja! Jadi, aku tak mempunyai harapan apa pun lagi jika tetap menjadi orangmu! Kau harus mati, Raja Lalim!"
Setelah berkata demikian, Eyang Santer menyerang Prabu Rancamala. Kedua tangannya dipukulkan bertubi-tubi berupa pukulan kanan dan kiri ke arah dada orang nomor satu dalam kerajaan itu.
Dua orang anggota pasukan khusus tak tinggal diam. Mereka segera bergerak maju dan memapaki datangnya serbuan. Tapi hanya dengan kibasan kedua tangannya Eyang Santer berhasil membuat kedua pengawal itu terpental ke kanan dan kiri. Prabu Rancamala terperanjat melihat kenyataan ini. Sementara Eyang Santer melangkah lambat-lambat menghampirinya. Kakek ini kembali mengirimkan serangan ketika jaraknya telah dekat.
Dewa Arak tak bisa tinggal diam lagi. Dari perbincangan yang ditangkapnya bisa diketahui kalau Eyang Santer bukan orang baik-baik. Kendati Prabu Rancamala sendiri belum tentu merupakan raja yang baik, tapi Dewa Arak lebih condong terhadap sang raja. Arya bergegas melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Pemuda ini langsung memapaki serangan Eyang Santer.
Plak, plak, plakkk!
Bunyi benturan berkali-kali terdengar ketika puku-lan Eyang Santer berhasil ditangkis Dewa Arak. Tubuh kakek itu terjengkang ke belakang dan terbanting di tanah. Untung baginya Dewa Arak tak ingin mencelakainya. Papakan yang dikirimkannya hanya untuk melumpuhkan serangan Eyang Santer.
Begitu berhasil bangkit Eyang Santer membelalakkan mata melihat Dewa Arak. Kakek ini sadar seorang tokoh hebat telah datang untuk menolong Prabu Rancamala. Dan dirinya bukan tandingan pemuda itu.
Setelah melempar pandang sebentar pada Dewa Arak, Eyang Santer menggigit lidahnya sendiri sampai putus. Wajah kakek itu memperlihatkan kenyerian yang besar. Darah tampak mengalir keluar dari mulutnya.
Dewa Arak terperanjat bukan main melihat tindakan yang diambil Eyang Santer. Nyawa kakek itu tak akan bisa diselamatkan lagi. Arya tak mengerti mengapa Eyang Santer membunuh diri? Padahal, dia tak berniat membunuh kakek berjenggot panjang ini.
Dewa Arak tak tahu kalau Eyang Santer mempunyai pendirian aneh. Dari pada terbunuh orang lain, Eyang Santer lebih suka mati di tangan sendiri, membunuh diri! Dewa Arak menghambur ke arah si kakek. Tapi sebelum pemuda berambut putih keperakan ini berhasil menyentuh tubuh Eyang Santer, kakek itu ambruk di tanah dan diam tak bergerak lagi.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. Kalau tak ada dirimu mungkin saat ini nyawaku telah melayang ke alam baka. Boleh ku tahu nama atau julukanmu?" tanya Prabu Rancamala penuh rasa terima kasih dan gembira. Sambil berkata demikian Prabu Rancamala melangkah menghampiri Dewa Arak.
"Lupakanlah, Gusti Prabu. Hanya sebuah pertolongan kecil yang tak ada artinya. O ya, namaku Arya Bu-ana. Panggil saja, Arya," ujar Arya memperkenalkan di-ri tanpa menyebutkan julukannya.
"Dan aku Kusumawati, Gusti Prabu," sambung sebuah suara yang melesat dari balik gundukan batu.
Prabu Rancamala menoleh lalu tertawa bergelak. Raja ini merasa geli melihat tingkah Kusumawati. "Kalian adalah pasangan pendekar muda yang sama-sama cakapnya. Senang bertemu kalian di sini."
"Kami pun senang bertemu dengan Gusti Prabu. Entah apa gerangan keperluan Gusti Prabu di tempat ini. Berburukah?" tanya Arya ingin tahu.
Wajah Prabu Rancamala jadi tertutup mendung kedukaan. Tentu saja Arya dan Kusumawati terperanjat melihatnya. Sebenarnya, ucapan yang didengar dari Eyang Santer sedikit membuat Arya bisa memperkirakan apa yang terjadi. Namun untuk kepastiannya pertanyaan itu diajukan juga.
"Malapetaka besar menimpa kerajaan kami, Arya, Wati," beritahu Prabu Rancamala dengan suara sendu.
Kemudian secara singkat diceritakannya semua yang menimpa kerajaan akibat ulah Pangeran Antaboga. Dewa Arak dan Kusumawati mendengarkan dengan penuh perhatian. Tak sekali pun pasangan pendekar muda ini menyela cerita.
"Berbahaya sekali...!" cetus Arya ketika Prabu Rancamala telah selesai bercerita. "Lalu, apa tindakan yang akan Gusti Prabu lakukan?"
"Entahlah," jawab Prabu Rancamala sambil menggeleng.
"Menurut pendapat hamba, kita minta bantuan pada kerajaan tetangga. Kita serbu kembali para pemberontak itu," usul Kusumawati. "Hamba yakin Pangeran Antabogalah yang menjadi sumber kekacauan selama ini. Maksudku, kau ingat perkataan Kakek Setyaki, Dewa Arak?" tanyanya kemudian pada Arya.
Pemuda berambut putih keperakan itu mengangguk. Ketika dia akan memberikan jawaban, sebuah suara lain mendahuluinya.
"Tapi sebelum mereka menyerbu, agar tak ada lagi mayat hidup yang mengganggu dan ikut campur dalam pertempuran, setiap prajurit harus mendapatkan kucuran air ini!"
Prabu Rancamala, Dewa Arak, dan Kusumawati menolehkan kepala ke arah asal suara. Mereka melihat dua sosok tubuh berjalan menghampiri. Dua sosok yang masih berjarak sepuluh tombak.
Sosok yang pertama seorang kakek berkepala bo-tak dan bertelanjang baju. Hanya sepotong celana pendek membungkus bagian bawah tubuhnya. Kusu-mawati dan Dewa Arak terkejut bercampur gembira. Kakek inilah yang dimaksud Setyaki.
Sosok kedua tak dikenal Arya. Dia seorang pemuda. Tapi tidak demikian halnya dengan Kusumawati. Wajah gadis ini terlihat menyiratkan kegembiraan yang sangat. Bahkan, seruan kegembiraan terlontar dari mulutnya.
"Kak Angruna...!" seru Kusumawati dalam luapan kegembiraan yang besar.
"Kusumawati...!" panggil Angruna tak kalah keras.
Kakak beradik ini berlari menghambur dengan kedua tangan terkembang. Sebentar kemudian tubuh keduanya telah saling berangkulan.
"Syukurlah kau selamat, Kak Angruna. Aku sangat gelisah sekali. Kupikir kau telah...," Kusumawati menghentikan ucapannya di tengah jalan.
"Kakek yang bersamaku ini telah menolongku sebelum mayat-mayat hidup mencelakai ku, Kusumawati," beritahu Angruna.
"Bagaimana kau bisa sampai kemari? Apakah hanya kebetulan saja?" tanya Kusumawati.
"Tidak, Wati," Angruna menggeleng. "Kakek Setyaki yang memberitahukan kami. Beliau berhasil menemui kami karena tanda yang telah diberikannya pada kita berdua. Kau ingat kan, Wati?"
Kusumawati mengangguk.
"Kau mengenal benda ini, Gusti Prabu," tanya kakek botak pada Prabu Rancamala. Gaya bicaranya seperti berbincang-bincang dengan seorang kawan yang setingkatan.
Prabu Rancamala memperhatikan benda yang diangsurkan kakek botak. Sebuah benda yang aneh karena berbentuk bintang persegi lima. Ujung-ujungnya mirip tombak kecil. Panjang tiap sisi tak kurang dari dua jengkal.
"Aku tak pernah melihat benda seperti ini," jawab Prabu Rancamala setelah memperhatikan beberapa saat lamanya.
"Sekarang lihatlah lagi dengan kau kerahkan sedikit tenaga dalam, Gusti Prabu," ucap kakek botak lagi.
"Ah...!" Seruan kaget itu bukan hanya keluar dari mulut Prabu Rancamala, tapi juga Dewa Arak. Tiap-tiap segi pada benda berbentuk segi lima itu memancarkan warna yang berbeda. Merah, kuning, hijau, biru, dan putih. Lima macam warna.
"Apakah itu Tombak Panca Warna?!" tanya Prabu Rancamala ketika teringat akan senjata pusaka kerajaan yang telah lenyap.
"Benar, Gusti Prabu. Aku mengambilnya sebelum Pangeran Antaboga atau tokoh lainnya yang bersembunyi di balik Pangeran Antaboga mencurinya. Aku tahu, keduanya bermaksud mengambilnya. Jatuhnya Tombak Panca Warna ke tangan salah satu di antara mereka berarti malapetaka besar bagi dunia persilatan," jelas kakek botak.
Dewa Arak dan Prabu Rancamala hanya mendengarkan semua keterangan kakek botak dengan sikap takjub.
"Tombak Panca Warna ini akan ku rendam air dan ku kucurkan pada setiap prajurit. Kemudian, kita serbu kerajaan. Dengan kemukjizatan air rendaman tombak ini mayat-mayat hidup tak akan berarti apa pun. Nah, kau laksanakan penjelasanku tadi, Dewa Arak!"
Kakek botak melemparkan tombak itu pada Arya, yang segera menangkapnya. Tapi, raut wajah Arya menyiratkan keheranan. "Mengapa harus aku, Kek?"
"Karena kaulah yang memiliki kepandaian setingkat dengan iblis-iblis penyebar bencana itu. Tak ada lagi orang lain," jelas kakek botak tak sabaran.
Arya tak memberikan tanggapan lagi. Prabu Rancamala termangu. "Jadi, inikah tokoh yang berjuluk Dewa Arak?" tanya raja ini dalam hati.
* * *
Bantuan kerajaan tetangga, tokoh-tokoh persilatan aliran putih, dan sisa-sisa prajurit kerajaan cukup untuk membuat pasukan yang dipimpin Prabu Rancamala menjadi besar. Berbondong-bondong mereka menuju istana kerajaan.
Kedatangan rombongan penyerbu ini segera diketahui oleh pasukan Kadipaten Bringin yang telah menguasai kerajaan. Anak-anak panah pun berhamburan bagaikan hujan ke arah rombongan pasukan penyerbu. Tapi rombongan yang dipimpin Prabu Rancamala memang telah bersiap sedia. Tameng-tameng yang mereka bawa segera dipergunakan untuk memapaki hujan anak panah.
Dengan adanya tameng itu serangan anak panah pasukan Kadipaten Bringin kandas. Pasukan kerajaan terus meluruk maju. Pertempuran besar-besaran pun terjadi ketika pintu gerbang berhasil didobrak Dewa Arak.
Suasana siang yang semula hening dipecahkan oleh teriakan-teriakan kemarahan, jerit kesakitan, dan dentang senjata beradu. Darah mengalir membasahi tanah seiring dengan robohnya beberapa sosok tubuh.
Pertempuran yang terjadi berlangsung sengit. Sebagian besar memiliki kemampuan berimbang. Itu terjadi karena masing-masing diri memilih lawan yang seimbang. Hanya Iblis Gelang Raksasa seorang yang bertarung bagai orang mencabuti rumput. Ke mana pun tangan atau kakinya bergerak akan ada sesosok tubuh jatuh tak bernyawa lagi.
Dewa Arak yang melihat hal ini tak bisa tinggal diam. Pemuda ini menerobos kerumunan orang-orang yang sedang bertempur untuk menghampiri Iblis Gelang Raksasa. Dan ketika kedua tokoh itu telah dekat, pertarungan pun tak bisa dicegah lagi.
Senjata Iblis Gelang Raksasa memang hebat bukan main. Apalagi di tangan seorang tokoh seperti datuk sesat ini. Gelang itu dapat diperlakukan semaunya. Tapi, lawan yang dihadapi datuk sesat itu adalah Dewa Arak. Dengan gucinya pemuda ini mampu mengimbangi lawan, dan bahkan mengirimkan serangan tak kalah dahsyat.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Sampai em-pat puluh jurus jalannya pertarungan masih berlang-sung imbang. Kedua belah pihak saling serang dan tangkis. Tapi ketika menginjak jurus keenam puluh, Iblis Gelang Raksasa harus mengakui keunggulan lawannya. Perlahan-lahan Dewa Arak mampu mendesak. Arya mempergunakan kedua tangan, guci, dan semburan arak dari mulutnya. Dipadu dengan ilmu 'Belalang Sakti' yang aneh serta jurus 'Delapan Langkah Belalang' yang ajaib.
"Haaat!"
Di saat Iblis Gelang Raksasa menyorongkan gelang dengan kedua tangan pada dada Dewa Arak, pemuda itu melompat ke atas dan mengirimkan tendangan ke arah dada.
Desss!
"Aaakh...!" Iblis Gelang Raksasa meraung memilukan hati. Tendangan Dewa Arak secara telak mengenai dadanya. Tubuh datuk sesat ini melayang jauh ke belakang. Darah menyembur dari mulut, hidung, dan kedua telinganya. Saat itu juga nyawa Iblis Gelang Raksasa melawat ke akhirat. Tulang-tulang dadanya hancur berantakan!
Dewa Arak tak peduli pada Iblis Gelang Raksasa. Pemuda ini segera melesat ke atas genting dan meletakkan Tombak Panca Warna di tempat semula. Terdengar raungan laksana puluhan ekor macan terluka dari dalam bangunan istana. Sesaat kemudian sesosok tubuh melesat keluar dengan kecepatan luar biasa. Sekujur tubuhnya diselimuti kobaran api. Meski begitu orang mengenalinya sebagai sosok Pangeran Antaboga!
Baru beberapa tombak melalui anak tangga istana yang paling bawah, terdengar bunyi letupan keras, disusul dengan hancurnya tubuh Pangeran Antaboga. Seulas senyum tersungging di mulut Dewa Arak. Dia tak merasa heran melihat kejadian aneh itu. Kakek botak telah memberitahukannya. Rupanya, Kakek Setyaki bersama-sama dengan kakek botak telah berhasil mengungkapkan rahasia tanda aneh di langit.
Tanda itu muncul karena sebuah lorong yang menghubungkan alam gaib dan alam nyata terbuka. Sebenarnya hal ini sering terjadi. Tapi, tanda itu muncul karena adanya keinginan seorang manusia, Pangeran Antaboga. Melalui lorong itu dia meninggalkan alam gaib dengan membawa ilmu dari alam itu. Dua tahun yang lalu sang pangeran terjerumus ke sana secara tak sengaja.
Arya kemudian mengalihkan perhatian pada pertarungan yang berlangsung. Keadaan sudah dikuasai oleh pasukan kerajaan di bawah pimpinan Prabu Rancamala. Kemenangan yang akan dipetik hanya tinggal menunggu waktu saja. Angruna dan Kusumawati berlaga dengan penuh semangat. Mereka seperti berlomba untuk merobohkan lawan sebanyak-banyaknya.
Arya tersenyum lagi ketika teringat akan maksud Kusumawati. Munculnya Angruna membuat gadis itu tak mempunyai alasan untuk berpetualang dengannya. Arya merasa lega. Dia lebih suka bertualang dengan Melati.
"Bagaimana kabar Melati sekarang?" tanya pemuda ini dalam hati dengan rasa rindu yang menggebu-gebu.
Dengan benak masih membayangkan Melati, Dewa Arak melangkah meninggalkan tempat itu. Tak sampai lima puluh tombak melangkah, kegaduhan yang terdengar sejak tadi telah sirna. Kini yang terdengar hanya pekik kemenangan dari pihak kerajaan.
Di antara kegaduhan itu tertangkap oleh telinga Arya seruan Kusumawati yang mencari-cari dirinya. Arya hanya tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala. Dia tetap meneruskan ayunan kakinya.
SELESAI
Selanjutnya,